Datuk Muka Hitam 2
Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam Bagian 2
"Maaf, Ki. Kedatanganku ke sini karena menerima suratmu. Tapi teras terang saja, aku sama sekali tidak melihat adanya sesuatu di sini. Bahkan kau hidup serba berkecukupan. Coba jelaskan arti suratmu itu, Ki"," pinta Rangga langsung.
"Memang tidak akan terlihat dan luar, Rangga," sahut Ki Jumir kalem.
Walaupun orang tua itu tahu kalau pemuda yang menjadi tamunya sekarang ini adalah seorang raja dan juga seorang pendekar ternama yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, tapi tetap saja memanggil dengan nama saja. Dan memang, panggilan seperti itulah yang diinginkan Rangga kalau sedang berada di luar Istana Karang Setra.
Rangga selalu menganggap dirinya sama seper?ti orang lain. Yang jelas kedudukannya sebagai raja jangan sampai menjadi penghalang dalam pengembaraannya sebagai pendekar penegak keadilan dan kebenaran. Apalagi dia memang lebih banyak hidup mengembara daripada harus diam di dalam lingkungan dinding istananya yang megah.
"Apa maksudmu dari luar dan dari dalam, Ki?" tanya Pandan Wangi menyelak.
"Maksudku, kita tidak bisa melihat sesuatu hanya dari luarnya saja, Nini Pandan. Seperti yang sedang terjadi di Pakuan ini, kita tidak akan bisa melihat dari luar saja. Tapi, harus melihatnya dari dalam," jelas Ki Jumir.
Penjelasan Ki Jumir bukannya membuat Pandan Wangi maupun Rangga bisa memahami. Mereka malah semakin tidak mengerti saja. Tapi dalam kepala Rangga, diakui kalau sesuatu memang tidak bisa dilihat dari luar. Apa yang terlihat nyata, tidak selamanya seperti apa adanya. Seringkali sesuatu yang terlihat baik dari luar, justru buruk di dalamnya. Dan semua itu memang sudah terjadi dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dipungkiri lagi. Hanya saja yang masih membuat Rangga tidak mengerti, arti kata-kata Ki Jumir tadi.
"Lalu, apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki?" tanya Rangga.
"Sulit mengatakannya, Rangga. Karena, aku sendiri sebenarnya belum yakin benar. Yaaah..., katakanlah aku baru menduga. Tapi entah kenapa, dugaanku begitu kuat. Seakan-akan, aku sudah mempunyai bukti yang sangat kuat," sahut Ki Jumir, masih berteka-teki.
"Dugaan apa yang ada pada dirimu, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Perebutan kekuasaan."
"Perebutan kekuasaan...?" kening Pandan Wangi jadi berkerut.
"Ya, semacam makar," Ki Jumir memperjelas.
"Apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki" tanya Rangga.
"Sulit mengatakannya, Rangga. Tapi aku menduga ada perebutan kekuasaan," jelas Ki Jumir.
"Kau tidak mengada-ada, Ki?" tanya Rangga.
"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu siapa yang akan melakukannya!" sahut Ki Jumir tegas.
"Kau tidak mengada-ada, Ki?" Rangga seperti ingin meyakinkan.
"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu, siapa yang akan melakukannya," sahut Ki Jumir tegas.
"Siapa, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Panglima Widura," sahut Ki Jumir mantap, tanpa ada keraguan sedikit pun juga.
"Panglima Widura..."!"
Rangga dan Pandan Wangi jadi berseru bersamaan. Mereka begitu terkejut mendengar jawaban Ki Jumir barusan. Sama sekali tidak diduga jika Ki Jumir menduga kalau Panglima Widura akan melakukan perebutan kekuasan di Kerajaan Pakuan ini. Sedangkan mereka belum lama bertemu Panglima Widura dekat perbatasan kota ini.
Dari sikapnya, Rangga sudah merasakan tidak akan mungkin Panglima Widura akan melakukan pemberontakan. Apalagi untuk menggulingkan takhta. Tapi, nada suara Ki Jumir begitu mantap dan tegas, membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir juga. Dia tahu, Ki Jumir tidak pernah mengada-ada. Dan memang, batin orang tua ini begitu kuat. Bahkan terkadang bisa membaca pikiran orang lain. Sehingga apa yang diucapkan Ki Jumir, Rangga tidak berani gegabah untuk mengabaikannya begitu saja.
"Kenapa kalian terkejut mendengarnya?" Tanya Ki Jumir.
"Maaf, Ki. Belum lama tadi, kami bertemu Panglima Widura. Bahkan Kakang Rangga sempat menyelamatkan nyawanya dari serangan orang gila yang ingin membunuhnya," sahut Pandan Wangi menjelaskan.
"Oh, di mana...?" kali ini Ki Jumir yang terkejut.
"Tidak jauh dari perbatasan kota, Ki," sahut Pandan Wangi lagi.
"Siapa orang yang ingin membunuhnya?" tanya Ki Jumir lagi.
"Aku tidak tahu siapa dia, Ki. Tapi namanya sempat disebutkan," sahut Pandan Wangi lagi.
"Siapa?" desak Ki Jumir.
"Datuk Muka Hitam."
"Oh..."!"
Ki Jumir mendesah panjang. Entah kenapa, seketika itu juga wajahnya jadi cerah. Tapi dari sorot matanya, jelas sekali kalau hatinya begitu terkejut mendengar penjelasan Pandan Wangi tadi. Sikap Ki Jumir yang seperti itu, tentu saja membuat Rang?ga dan Pandan Wangi jadi memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga melihat Ki Jumir tersenyum sendiri.
'Ternyata aku salah, dengan memintamu datang ke sini, Rangga. Tanpa kau pun, perebutan kekuasaan kini tidak akan terjadi," sahut Ki Jumir masih dengan bibir tersenyum lebar.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...?" selak Pandan Wangi semakin kebingungan
"Aku tahu siapa Datuk Muka Hitam itu, Nini Pandan. Panglima Widura jelas tidak akan mungkin bisa menandingi Datuk Muka Hitam yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi."
"Kenapa Datuk Muka Hitam ingin membunuh Panglima Widura, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Aku tidak peduli apa persoalan mereka, Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam bukan orang baik-baik. Dia itu bekas kepala gerombolan perampok dan pembunuh yang menguasai bagian selatan negeri ini. Bahkan pihak kerajaan pun tidak pernah bisa menangkapnya. Tapi, sekarang dia tinggal sendiri, tanpa pengikut lagi. Yang penting sekarang, aku akan menyaksikan bagaimana kematiannya nanti. Oh! Selamatlah Pakuan dari kehancuran dan kesengsaraan...," agak mendesah suara Ki Jumir yang terakhir.
Jawaban yang bernada gembira itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin berkerenyit keningnya. Mereka benar-benar heran dan tidak mengerti melihat sikap Ki Jumir yang tiba-tiba saja jadi berubah, setelah diceritakan kalau Panglima Widura baru saja ditolong dari tangan Datuk Muka Hitam.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 " To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
116. Datuk Muka Hitam Bag. 5
26 ?"?"?" 2014 ". " 11:09
5 ? ? Di tempat kediamannya, Panglima Widura kelihatan begitu gelisah di dalam kamar. Sementara saat ini malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Kejadian siang tadi di dekat perbatasan kota sebelah selatan, membuatnya jadi tidak bisa tenang malam ini. Dari para pembesar kerajaan, panglima ini tahu, siapa itu Datuk Muka Hitam yang hampir saja membunuhnya siang tadi. Untung saja, dia cepat ditolong seorang anak muda yang mengaku bernama Rangga.
"Hhh! Perasaanku semakin tidak enak saja sejak tadi. Ada apa ini...?" desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas kuat-kuat.
Entah sudah berapa kali Panglima Widura berjalan mengelilingi kamar peristirahatannya yang be?sar dan megah ini. Sementara, jendela kamarnya dibiarkan tetap terbuka lebar. Sehingga, cahaya bulan yang lembut keperakan, leluasa menerobos masuk menerangi ruangan ini.
"Aku akan menemui Nyai Wisanggeni saja. Aku khawatir akan terjadi sesuatu padanya. Perasaanku terus semakin tidak enak," gumam Pang?lima Widura lagi.
Setelah berpikir beberapa saat, panglima berusia setengah baya itu bergegas melangkah keluar dari kamar peristirahatannya ini. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergeletak di atas meja, kemudian mengikatkannya di pinggang. Ayunan langkah kakinya begitu mantap, keluar dari dalam kamarnya. Dan dia terus berjalan menyusuri lorong yang pintu-pintunya berjajar di sebelah kanan dan kiri.
Panglima Widura terus berjalan melewati sebu?ah ruangan yang berukuran sangat luas dan terang benderang. Sebentar kemudian, dia sudah berada di beranda rumah yang berukuran sangat besar dan megah bagai istana ini. Empat orang anak muda berpakaian seragam prajurit yang berada di beranda segera memberi hormat dengan sedikit membung?kukkan tubuh sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Panglima Widura berpaling menatap pada salah seorang dari mereka.
"Kumpulkan dua puluh orang temanmu. Dan siapkan kuda untukku," perintah Panglima Widura.
"Baik, Gusti Panglima," sahut prajurit muda itu.
Bergegas prajurit itu melangkah pergi. Sementara, Panglima Widura berdiri tegak di tepi beranda. Pandangan matanya lurus, tidak berkedip sedikit pun ke depan. Kepalanya baru berpaling sedikit, begitu di depan beranda rumahnya sudah berkumpul dua puluh orang prajurit dengan kuda masing-masing. Seorang prajurit muda yang berada paling depan memegangi tali kekang kuda yang sudah siap dengan pelana Panglima Widura bergegas menghampiri kuda tunggangannya. Dan dengan gerakan indah sekali dia melompat naik.
"Kalian berempat, atur penjagaan di sini. Lipat gandakan kekuatannya," perintah Panglima Widura pada empat prajurit yang tidak ikut.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut keempat prajurit itu serempak.
"Hs! Hiyaaa...!"
Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya. Maka kuda hitam dengan belang putih pada kedua kakinya itu meringkik kerasa sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Kemudian binatang tunggangan itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Sementara dua puluh orang prajurit yang sejak tadi sudah berada di punggung kuda masing-masing, segera menggebah, begitu panglimanya sudah memacu cepat kudanya meninggalkan kediamannya yang besar dan megah.
Malam ini bumi Kerajaan Pakuan bagai diguncang gempa. Dua puluh orang prajurit yang lang?sung dipimpin Panglima Widura bergerak cepat menuju selatan. Hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, membuat beberapa orang yang masih berada di luar rumahnya jadi terheran-heran. Ketika rombongan itu melewati rumah Ki Jumir, Rangga dan Pandan Wangi tengah duduk-duduk di pinggiran beranda depan. Mereka sempat terkejut melihat Panglima Widura dan dua puluh orang prajurit memacu kuda dengan kecepatan tinggi di tengah malam begini. Seakan, mereka sedang mengejar sesuatu.
"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti untuk dirinya sendiri.
"Mana aku tahu?" sahut Rangga seraya berdiri.
"Kau mau ke mana, Kakang?"
"Aku akan mengikuti mereka. Kau di sini saja, Pandan."
Belum lagi Pandan Wangi bisa membuka mulut, Rangga sudah melesat begitu cepat. Hingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi. Memang sempurna sekali ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tubuhnya bagaikan bisa menghilang saja.
"Nini Pandan...."
"Oh..."!"
Pandan Wangi agak tersentak ketika tiba-tiba terdengar panggilan dari belakang. Cepat kepalanya berpaling ke belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Ki Jumir sudah berada di belakangnya. Orang tua yang sebenarnya adalah patih di Kera?jaan Pakuan ini melangkah menghampiri, dan berhenti setelah berada di sebelah kiri gadis ini.
"Siapa tadi yang menunggang kuda malam-malam begini?" tanya Ki Jumir langsung.
"Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya," sahut Pandan Wangi.
"Ke mana mereka pergi?"
"Mereka menuju ke selatan "
"Lalu, Rangga ke mana?"
"Mengejar mereka.''
"Heh"! Untuk apa...?"
Ki Jumir tampak tersentak kaget mendengar jawaban Pandan Wangi yang begitu polos tadi.
"Aku tidak tahu, Ki. Kakang Rangga memang biasa begitu. Nanti kalau sudah kembali juga akan diberitahu," sahut Pandan Wangi seraya melangkah ke dalam meninggalkan Ki Jumir yang jadi termangu sendiri di depan beranda rumahnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara malam yang begitu dingin, membuat Ki Jumir harus bergegas masuk kembali ke dalam rumahnya.
"Hhh" Mudah-mudahan sang Hyang Widhi melindunginya...," desah Ki Jumir perlahan.
Beberapa saat Ki Jumir masih berdiri terpaku di depan beranda rumahnya yang besar dan megah ini. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah hendak masuk ke dalam. Tapi belum juga mencapai pintu mendadak saja telinganya yang tajam mendengar desiran yang begitu halus dari belakang tubuhnya.
"Haiiit..!"
Tanpa berpaling lagi, Ki Jumir cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan seketika, terlihat secercah cahaya keperakan melewati samping orang tua ini.
"Hup!"
Ki Jumir bergegas memutar tubuhnya berbalik. Dan pada saat itu juga, terlihat cahaya keperakan kembali meluncur cepat bagai kilat. Maka orang tua itu segera melesat berputar dua kali untuk menghindarinya. Dan begitu kakinya menjejak tanah dengan manis sekali...
"Tunggu...!" sentak Ki Jumir cepat-cepat dan keras, sambil menjulurkan tangannya ke depan. "Siapa kau"! Kenapa tiba-tiba menyerangku..."!"
"Hik hik hik...! Kau tidak mengenaliku, Jumir...?"
Ki Jumir jadi berkerut keningnya. Diperhatikannya orang berjubah lusuh berwarna putih, membungkus tubuhnya yang kecil. Tampak pada ta?ngannya tergenggam tongkat berbentuk ular. Sesaat kemudian, Ki Jumir jadi tersentak, ketika orang itu membuka kain kerudung yang menutupi wajahnya.
"Nyai Wisanggeni..." desis Ki Jumir langsung mengenali.
"Hik hik hik...!"
? *** ? Ki Jumir benar-benar kaget setengah mati begitu mengenali orang berjubah hitam yang menyerangnya ternyata adalah Nyai Wisanggeni. Dia adalah seorang wanita tua yang memiliki kepandaian tinggi, dan sangat sukar dicari tandingannya. Tapi, bukan itu yang membuat Ki Jumir jadi terkesiap. Karena dia tahu, wanita tua berjubah putih lusuh ini sudah terkenal kekejamannya. Wanita ini tidak akan pernah meninggalkan lawannya dalam keadaan hidup. Bahkan tidak pernah memandang, apakah orang yang akan dibunuhnya sudah tua, anak muda, atau anak kecil. Kekejamannya inilah yang membuat Nyai Wisanggeni terkenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Kau terkejut melihatku, Ki Jumir?"" terasa begitu dingin nada suara Nyai Wisanggeni.
"Hm.... Apa maksudmu datang ke sini," Tanya Ki Jumir, dibuat dingin nada suaranya.
"Kukira kau sudah tahu maksud kedatanganku, Ki Jumir. Sebaiknya, bersiaplah menjemput ajalmu," sahut Nyai Wisanggeni datar.
"Kenapa kau ingin membunuhku, Nyai Wisanggeni?" tanya Ki Jumir lagi.
Walaupun Ki Jumir sudah berusaha untuk bisa tetap tenang, tapi getaran suaranya terdengar begitu gelisah. Terutama ketika mendengar kata-kata yang begitu dingin dan mengejutkan dari wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Da?rah ini. Dia tahu, apa yang dikatakan Nyai Wisang?geni tidak akan tercabut kembali. Dan wanita itu tidak akan pergi, sebelum memenggal kepala orang yang sudah berhadapan dengannya.
"Hik hik hik..! Kau sudah terlalu banyak tahu, Ki Jumir. Orang sepertimu tentu sangat berbahaya bagi keselamatan muridku. Maka sudah sepantasnya kau harus mampus. Nah! Bersiaplah kau. Ki Jumir...!" dingin sekali jawaban Nyai Wisanggeni, disertai suara tawanya yang mengikik kering mem?buat bulu-bulu halus di tengkuk jadi meremang berdiri.
"Hm...," Ki Jumir jadi menggumam sedikit.
Perlahan laki-laki tua ini mulai menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sorot matanya begitu tajam, tidak berkedip sedikit pun menatap Nyai Wisang?geni yang berada sekitar satu batang tombak di de?pannya. Sedangkan wanita tua yang dikenal ber?juluk Setan Perempuan Penghisap Darah itu masih tetap kelihatan tenang. Malah bibirnya menyeringai, memberikan senyum lebar dan meremehkan.
"Hih...!"
Tiba-tiba saja tangan kiri Nyai Wisanggeni mengebut ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat ke arah Ki Jumir.
"Hap...!"
Tapi hanya sedikit saja Ki Jumir mengegos, serangan Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak sampai menyambar tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, mendadak saja Nyai Wisanggeni sudah melompat cepat bagai kilat, sukar diikuti mata biasa
"Hiyaaa...!"
Bet' Secepat kilat pula tangan kanan Nyai Wisanggeni mengibas, memberikan satu sodokan dahsyat ke arah lambung laki-laki tua ini.
"Haiiit...!"
Ki Jumir cepat melompat ke samping, menghindari kibasan tangan kanan yang mematikan ini. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya meliuk sambil memberi satu pukul?an keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada kiri perempuan tua ini.
"Hih!"
"Hap!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Nyai Wisanggeni tidak berusaha bergerak sedikit pun juga. Bahkan tangan kirinya malah dipasang di depan dada. Hingga...
Plak! "Ikh..."!"
Ki Jumir jadi terpekik tertahan, begitu pukulannya beradu dengan tangan kiri Setan Perempuan Penghisap Darah. Seketika seluruh tulang tangan kanannya terasa bagai remuk setelah berbenturan dengan tangan kiri Nyai Wisanggeni yang kerasnya bagai batu karang. Cepat-cepat Ki Jumir melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Mulutnya sempat meringis sambil mengurut tangan ka?nannya yang nyeri akibat membentur tangan Nyai Wisanggeni tadi.
"Hik hik hik...!"
Nyai Wisanggeni tertawa mengikik, melihat kekuatan tenaga dalam lawannya ternyata masih berada cukup jauh di bawahnya. Dan dengan begitu, sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat ke?pandaian Ki Jumir. Sambil tertawa mengikik mengerikan, Nyai Wisanggeni melangkah ke depan, mendekati Ki Jumir yang masih meringis menahan nyeri pada persendian tulang tangan kanannya.
"Saatmu sudah sampai, Ki Jumir. Bersiaplah untuk mati! Hiyaaat..!"
Sambil mendesis dingin, Nyai Wisanggeni berteriak keras menggelegar. Dan tubuhnya langsung melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Jumir yang belum siap sama sekali. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini, membuat Ki Jumir jadi terbeliak setengah mati. Bahkan kesempatan untuk meng?hindar pun sudah tidak dimilikinya lagi. Maka begitu pukulan menggeledek dilepaskan Nyai Wisanggeni hampir menyambar dada, mendadak saja...
Wut! "Heh..."! Ups!"
Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba secercah cahaya putih keperakan berkelebat begitu cepat, hampir menyambar tangan ka?nannya yang tengah memberikan pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga da?lam tinggi. Cepat tangannya ditarik pulang kembali lalu melompat ke belakang sambil melakukan putaran dua kali. Begitu indah dan ringan gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Setan Perempuan Penghisap Darah menjejakkan kedua kakinya, sekitar satu batang tombak di depan Ki Jumir.
"Setan keparat...!" geram Nyai Wisanggeni berang.
? *** ? Kedua bola mata Setan Perempuan Penghisap Darah jadi membeliak lebar, begitu mengetahui yang menggagalkan serangannya barusan ternyata hanya seorang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna biru muda, membungkus tubuhnya yang ramping dan indah menggiurkan. Sebuah kipas berwarna putih keperakan tampak terkembang di depan dadanya. Sementara, Ki Ju?mir berada di sebelah kiri agak ke belakang dari gadis cantik bersenjata kipas yang tidak lain Pandan Wangi, yang dikenal sebagai si Kipas Maut.
"Bocah keparat! Menyingkir kau! Atau kau ingin mampus, heh..."!" geram Nyai Wisanggeni kasar.
Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum sedikit saja mendengar bentakan yang bernada kasar itu. Dan kakinya malah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorotan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua yang kelihatan memerah menyimpan kemarahan menggele?gak ini.
"Sebaiknya, kau saja yang pergi dari sini, Nenek Tua. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak diperlukan," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pandan Wangi
"Heh..."! Phuih...!"
Nyai Wisanggeni jadi terperangah mendengar jawaban ketus dan tegas dari gadis cantik ini. Matanya sampai mendelik, dan ludahnya disemburkan dengan sengit. Sementara, Pandan Wangi tetap kelihatan tenang sambil menggerak-gerakkan kipasnya perlahan di depan dada. Hanya Ki Jumir yang kelihatan gelisah melihat kemunculan Pandan Wa?ngi.
Walaupun gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya dan sudah dikenalnya dengan baik, tapi te?tap saja gelisah. Karena dia tahu, perempuan tua yang dikenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak bisa dibuat main-main. Kepandaiannya yang sangat tinggi, begitu sukar ditandingi.
"Kuperingatkan sekali lagi, Bocah...!" desis Nyai Wisanggeni seperti tidak sabar melihat sikap Pandan Wangi yang terus menantangnya.
"Aku ingin tahu, sebesar apa mulutmu itu, Nenek Tua," sambut Pandan Wangi malah menantang.
"Pandan...," Ki Jumir agak menyentak, mencoba memperingatkan Pandan Wangi.
Tapi belum juga bisa tertangkap telinga laki-laki tua itu, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah mengebutkan cepat tangan kirinya ke depan. Maka seketika itu juga melesat sebuah benda kecil berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat.
"Haiiit...!"
Wut! Tring! Namun hanya sekali kebut saja, Pandan Wangi sudah bisa menghalau serangan pertama si Setan Perempuan Penghisap Darah dengan kipasnya. Sedikit pun Pandan Wangi tidak menggeser kaki?nya. Dan benda keperakan itu melenting tinggi ke angkasa, terhempas kipas maut di tangan Pandan Wangi.
"Bagus! Rupanya kau berisi juga, Bocah!" dengus Nyai Wisanggeni dingin.
"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.
"Tahan seranganku ini, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wisanggeni melesat cepat bagai kilat, menerjang Pandan Wangi yang masih mengembangkan kipas?nya di depan dada. Satu pukulan dahsyat mengge?ledek langsung dilepaskan Setan Perempuan Peng?hisap Darah, tepat diarahkan ke kepala si Kipas Maut.
"Haiiit...!"
Sedikit saja Pandan Wangi mengegoskan kepala, hingga pukulan si Setan Perempuan Penghisap Darah hanya lewat sedikit saja di atas kepala. Dan pada saat itu juga Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke atas. Sehingga, membuat Nyai Wisang?geni jadi tersentak kaget, tidak menyangka akan mendapat serangan balasan yang begitu cepat ba?gai kilat.
"Ups...!"
Cepat-cepat Nyai Wisanggeni menarik tangannya sambil menghentakkannya sedikit ke atas. Ma?ka ujung kipas maut yang runcing bagai anak panah itu lewat sedikit saja di bawah lengan si Setan Perempuan Penghisap Darah
"Hih! Yeaaah...!"
Namun Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan cepat kipasnya diputar, dan langsung dikebutkan ke arah lambung perempuan tua ini.
Bet! "Haiiikgh. !"
Nyai Wisanggeni cepat menarik kakinya ke belakang, menghindari serangan cepat yang dilancarkan Pandan Wangi barusan. Dan cepat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan setengah berputar. Sehingga, tongkat berbentuk seekor ular itu terus melayang mengarah ke kepala Pandan Wangi.
"Hap!"
Pandan Wangi segera menarik kepalanya sedikit ke belakang. Maka begitu ujung tongkat Nyai Wisanggeni lewat di depan mukanya, Pandan Wangi cepat memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kipasnya dike?butkan ke arah perut perempuan tua ini. Serangan Pandan Wangi memang sungguh membuat Nyai Wisanggeni jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, hingga serangan itu tidak sampai mengenai sasaran. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah kembali menjejakkan kaki?nya dengan tegak, sekitar satu batang tombak jauhnya di depan Pandan Wangi yang kini sudah mengembangkan kipasnya di depan dada. Dan un?tuk sesaat, mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam menusuk. Seakan-akan, mereka te?ngah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.
"Siapa namamu, Bocah?" tanya Nyai Wisanggeni dingin.
"Untuk apa kau ingin tahu namaku..." Tidak ada gunanya kau tahu namaku, karena sebentar lagi kau akan mampus," sahut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Hik hik hik..! Kau angkuh sekali, Bocah. Tapi aku suka dengan wanita angkuh dan berkepandaian tinggi sepertimu. Tapi sayangnya, mulutmu harus kubungkam, Bocah," masih tetap terasa dingin suara Nyai Wisanggeni.
"Coba saja kalau bisa. Aku malah khawatir, mulutmu sendiri yang kurobek nanti," sambut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Kau benar-benar tidak bisa dikasih hati, Bocah. Terimalah seranganku ini! Hiyaaat..!"
"Hap...!"
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" ?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?" ? 2017 . 116. Datuk Muka Hitam Bag. 6
26. August 2014 um 11:10
6 ? ? Pandan Wangi cepat melenting ke udara, begitu Nyai Wisanggeni melompat seraya mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular itu ke arah kaki. Sehingga tongkat itu hanya lewat saja di bawah telapak kaki si Kipas Maut ini.
Bet! Namun Nyai Wisanggeni begitu cepat memutar tongkatnya, langsung disentakkan ke arah perut ga?dis cantik berbaju biru muda ini. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Pandan Wangi jadi se?dikit terperangah juga. Namun dengan gerakan ber?putar yang manis sekali, serangan itu masih bisa dihindari
"Hap!"
Manis sekali Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat itu juga, Nyai Wisanggeni sudah mengebutkan tongkatnya ke arah kepala. Cepat-cepat gadis ini merunduk. Tapi tanpa diduga sama sekali kaki kiri Nyai Wisanggeni menghentak cepat. Maka....
Diegkh! "Akh...!"
Pandan Wangi jadi terpekik, begitu tanpa didu?ga sama sekali dadanya mendapat tendangan telak yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam. Gadis itu kontan terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, sehingga membuatnya kembali terpekik.
"Ugkh! Hoeeek...!"
Pandan Wangi seketika memuntahkan darah kental agak kehitaman, saat mencoba bangkit berdiri. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini membuat seluruh rongga dadanya bagaikan remuk. Dan napasnya juga jadi tersengal, membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.
Walaupun tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah, tapi Pandan Wangi masih tetap berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang disertai penge?rahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Dan pada saat itu juga ...
"Hup! Hiyaaa....!"
Ki Jumir yang mengetahui keadaan Pandan Wangi sangat berbahaya, tidak berpikir panjang lagi. Maka dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya melesat menghadang serangan Nyai Wisanggeni. Dan tepat di saat pukulan Setan Perempuan Peng?hisap Darah terlontar, tubuh Ki Jumir berada tepat di depan Pandan Wangi. Hingga...
Begkh! "Akh...!"
Ki Jumir menjerit keras begitu pukulan menggeledek yang dilepaskan Nyai Wisanggeni tepat menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terpental ke belakang, menghantam Pandan Wangi yang baru saja bisa berdiri. Dan mereka berdua langsung terbanting ke tanah, bergulingan beberapa kali. Sementara itu, Nyai Wisanggeni jadi terperanjat melihat hasil serangannya yang sangat dahsyat.
"Edan...! Keparat...!"
Sementara Ki Jumir tampak menggeliat dengan mulut berlumur darah. Dadanya kelihatan menghitam hangus seperti terbakar, dengan asap berwarna agak kehitaman mengepul dari dadanya. Sedangkan Pandan Wangi sudah tergeletak diam tidak bergerak sedikit pun, tidak jauh dari tubuh Ki Jumir yang menggelepar meregang nyawa.
"Ugkh! Hoeeegkh...!"
Begitu darah tersembur dari mulutnya. Ki Jumir langsung mengejang dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Lelaki tua itu tewas dengan dada remuk dan menghitam hangus seperti terbakar, akibat terkena pukulan yang dilepaskan Nyai Wisanggeni.
"Phuih!"
Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya, sambil menghembuskan napas berat. Sebentar dipandanginya dua tubuh yang tergeletak diam tidak jauh di depannya. Dia yakin, mereka sudah tidak bernyawa lagi. Dan..
Slap! Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Setan Perempuan Penghisap Darah, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangannya su?dah lenyap tidak terlihat lagi. Dan malam pun men?jadi sunyi, tanpa sedikit pun terdengar suara.
? *** ? Sementara itu, agak jauh dari Kotaraja Pakuan, Rangga terus membuntuti Panglima Widura dan dua puluh orang prajuritnya. Arah yang ditempuh jelas menuju hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan wanita tua itu juga guru Panglima Widura.
"Hm..."
Kening Rangga jadi berkerut, begitu melihat Panglima Widura turun dari kudanya, setelah terlihat sebuah gubuk kecil dan reot di tengah hutan ini. Panglima Widura langsung menerobos masuk ke dalam gubuk itu. Tapi tidak berapa lama, dia keluar lagi dengan raut wajah memancarkan kebingungan. Sementara, dua puluh orang prajurit yang dibawa terus menunggui di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa bicara sedikit pun juga, Panglima Widura melompat naik ke punggung ku?danya, dan langsung menggebahnya dengan kencang keluar dari hutan ini.
Rangga yang mengikuti sejak tadi, jadi bertanya-tanya sendiri. Untuk apa Panglima Widura malam-malam datang ke hutan ini..." Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih ke gubuk kecil yang pintunya kini terbuka lebar. Dia keluar dari tempat persembunyiannya setelah Panglima Widura dan para prajuritnya tidak terlihat lagi. Sebentar Pen?dekar Rajawali Sakti berdiri diam tertegun, kemudian hati-hati melangkah menghampiri gubuk kecil itu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sempurna sekali. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun melangkah. Bahkan seakan-akan tidak menjejak tanah.
Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di ambang pintu gubuk ini. Keningnya jadi berkerut begitu memandang ke dalam. Tidak ada satu pun perabotan terlihat di sana. Dan bagian dalam gubuk ini benar benar kosong.
"Hm..."
Rangga bergegas berbalik, dan langsung melesat. Pendekar Rajawali Sakti kini berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sangat sempurna. Hingga ke?dua telapak kakinya seakan tidak menyentuh tanah sedikit pun. Begitu sempurna ilmu meringankan tu?buhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah bisa mengejar Panglima Widura dan para prajuritnya yang baru saja keluar dari hutan ini.
"Ups!"
Untung saja Rangga cepat bisa melihat mereka, dan segera berhenti berlari. Karena tanpa disadari dia kini hanya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di belakang prajurit-prajurit Panglima Widura. Pendekar Rajawali Sakti bergegas menyembunyikan diri di balik pohon. Tapi tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak sebatang ranting kering.
Trek! "Berhenti...!"
Panglima Widura yang sangat tajam pendengarannya, langsung memerintahkan prajurirnya berhenti. Saat itu juga, dia melompat ke belakang dari punggung kudanya. Dua puluh orang prajurit yang mendampinginya bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara itu, Rangga tetap diam di balik pohon sambil menahan napas. Memang sangat dekat jaraknya. Dan Rangga tidak ingin kehadirannya diketahui. Terlebih lagi, dia memang sengaja membuntuti panglima ini.
"Siapa kau"! Keluar, cepaaat...!" teriak Panglima Widura dengan suara lantang menggelegar.
Namun Rangga yang masih tetap berada di balik pohon, tidak menjawab sedikit pun juga. Punggungnya juga dirapatkan ke batang pohon yang cukup besar ini. Dan telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang begitu ringan mendekatinya dari balik pohon ini. Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya langsung tersenyum meli?hat cabang pohon yang cukup besar berada tepat di atas kepalanya.
"Hep!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke cabang pohon di atas kepa?lanya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak di batang pohon ini. Kemu?dian tubuhnya kembali melesat, dan langsung hinggap di cabang pohon lain yang lebih tinggi. Dan kembali tubuhnya melesat ke cabang pohon lainnya. Hingga akhirnya, Pendekar Rajawali Sakti ber?ada di bagian lain dari tepian hutan ini.
"Sayang sekali, aku belum ada urusan dengan?mu, Panglima Widura," gumam Rangga dalam hati.
"Hup!"
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat pergi meninggalkan Panglima Widura dan para prajuritnya yang masih penasaran karena merasa diikuti tadi. Sementara, Rangga sudah begitu jauh meninggalkannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung masuk ke dalam Kotaraja Pakuan yang sudah tenggelam dalam sunyinya malam yang pekat ini.
? *** ? "Pandan...! Ki Jumir...!"
Rangga jadi terhenyak begitu tiba di depan rumah Ki Jumir yang berhalaman luas ini. Tampak Pandan Wangi dan Ki Jumir tergeletak seperti tidak bernyawa lagi. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menghampiri.
Baru saja tubuh Ki Jumir disentuh, telinganya mendengar rintihan halus di sebelahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti berpaling, dan melihat Pandan Wangi menggeliat menggelengkan kepala sambil merintih lirih. Bergegas dihampirinya gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Tampak darah sudah agak mengering di sudut bibirnya. Rangga mengangkat kepala gadis itu, dan menum?pangkan di paha kirinya.
"Pandan.... Apa yang terjadi?" tanya Rangga, dengan suara agak parau tersendat.
"Ka..., Kakang...," lemah sekali suara Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kelopak mata gadis itu terbuka dan terlihat be?gitu sayu, seperti tidak ada lagi cahaya kehidupan di sana. Rangga jadi terkesiap melihat keadaan kekasihnya ini. Cepat diangkatnya tubuh gadis itu, dan dipondongnya dengan kedua tangan. Pandan Wangi begitu lemah terkulai seperti tidak bernyawa lagi. Hanya sedikit gerakan pada dadanya saja, yang menandakan kalau gadis itu masih hidup. Se?bentar Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan sekitarnya yang sunyi. Kemu?dian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang kelam bertaburkan cahaya bintang keperakan.
"Hanya Rajawali yang bisa menyembuhkan Pandan Wangi. Mudah-mudahan dia tidak jauh ber?ada di sini," gumam Rangga pelan, bicara pada diri sendiri.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan seki?tarnya yang masih tetap sunyi. Tidak terlihat seo?rang pun di sekitar halaman rumah Ki Jumir ini. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang menghitam kelam. Kemudian....
"Suiiit...!"
Hanya sebentar saja Rangga menunggu, sudah terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat menuju rumah Ki Jumir. Dan hanya sekejap mata saja, bu?rung raksasa itu sudah mendarat tepat di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Khrrr...!"
"Rajawali, tolong bawa Pandan Wangi. Rawat dia," pinta Rangga.
"Khrrrkh...!"
Rajawali Putih mengangguk sambil mengkirik perlahan.
"Sembuhkan dia, Rajawali. Aku tidak rela dia mati seperti ini," kata Rangga lagi, dengan suara agak tertahan
"Khragkh!"
Rangga meletakkan Pandan Wangi di tanah. Dan begitu melangkah ke belakang beberapa tindak, Rajawali Putih sudah melesat tinggi ke angkasa setelah menyambar tubuh gadis itu. Begitu cepatnya Rajawali Putih melesat, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Dan untuk beberapa saat Rangga masih berdiri diam mematung dengan pandangan lurus ke atas
"Raden...."
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Cepat tubuhnya berputar. Kedua kelopak matanya jadi menyipit me?lihat beberapa orang anak muda tahu-tahu sudah ada tidak jauh di depannya. Rangga tahu, mereka adalah murid-murid Ki Jumir. Beberapa orang terlihat menggotong Ki Jumir, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Rangga hanya memperhatikan saja sekilas. Perhatiannya kini tertumpah pada anak-anak muda yang berada di depannya dengan kepala tertunduk, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang dirasakan teramat berat. Dalam pertarungan tadi, sebenarnya murid-murid Ki Jumir ingin pula membantu gurunya. Namun ketika itu rasanya memang sudah terlambat. Ki Jumir sudah lebih dulu terhantam pukulan telak dari Nyai Wisanggeni. Apalagi, mereka juga baru terbangun, setelah mendengar suara ribut-ribut.
"Ada di antara kalian yang tahu kejadiannya?" tanya Rangga langsung.
"Kami datang terlambat Raden. Tapi yang jelas, perempuan itu yang melakukannya," sahut salah seorang seraya mengangkat kepalanya sedikit.
"Siapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Nyai Wisanggeni, yang juga berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah."
"Hm, ke mana dia pergi?"
"Ke arah sana, Raden," sahut pemuda itu seraya menunjuk ke arah Nyai Wisanggeni pergi, setelah membunuh Ki Jumir dan melukai Pandan Wangi.
Rangga berpaling ke arah yang ditunjukkan murid Ki Jumir. Keningnya jadi berkerut. Memang, arah yang ditunjuk menuju hutan, tempat Pendekar Rajawali Sakti membuntuti Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya. Di hutan itu dia melihat Pang?lima Widura masuk ke dalam sebuah gubuk kecil yang tidak ada penghuninya. Saat itu juga, timbul berbagai macam pertanyaan dalam kepala Pende?kar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang masih terlalu sulit dijawab.
"Kalian urus saja Ki Jumir. Aku akan mengejar wanita itu," kata Rangga.
"Hati-hati, Den. Wanita itu sangat tangguh dan kejam."
Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum kecil mendengar peringatan murid Ki Jumir ini. Kemudian kakinya melangkah ke samping rumah, dan mengambil kudanya yang tertambat di samping rumah Ki Jumir ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu ini.
"Hiyaaa...!"
"Hieeegkh...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat, membuat debu di halaman rumah Ki Jumir beterbangan membubung tinggi ke angkasa. Semua murid Ki Jumir jadi terlongong bengong melihat kuda hitam tunggangan tamu gurunya ini begitu cepat berlari. Hingga dalam waktu sebentar sa?ja, sudah jauh dan lenyap ditelan kegelapan malam.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 116. Datuk Muka Hitam Bag. 7
26. August 2014 um 11:11
7 ? ? Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi menuju luar Kotaraja Pakuan. Begitu cepat Dewa Bayu berlari. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah melewati perbatasan kota yang ditandai sebuah bangunan batu berbentuk candi kecil. Namun baru beberapa tombak Pen?dekar Rajawali Sakti melewati perbatasan, tiba tiba saja lari kudanya dihentikan. Akibatnya, kuda hitam itu meringkik keras, seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
"Hup!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun sebelum terlempar dari punggung kudanya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Sementara, Dewa Bayu mendengus-dengus berat sambil menghentakkan satu kaki depannya, mengais tanah yang sedikit berumput ini.
"Kau juga mendengarnya, Dewa Bayu...?" bisik Rangga perlahan.
Dewa Bayu hanya mendengus sedikit dengan kepala terangguk beberapa kali. Kaki kanan yang depan masih dihentakkan ke tanah. Rangga menepuk leher kuda hitam itu hingga menjadi tenang, kemudian melangkah ke depan beberapa tindak. Sedikit kepalanya dimiringkan ke kanan. Telinganya yang begitu tajam dan terlatih, mendengar suara seperti sebuah pertarungan yang cukup jauh dari tempat ini.
"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu. Akan kulihat, ada apa di sana," kata Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat pergi. Dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah begitu sempurna tingkatannya. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sak?ti sudah jauh meninggalkan perbatasan kota. Se?mentara, Dewa Bayu melenggang mencari tempat nyaman untuk menunggu penunggangnya.
Walaupun malam ini terasa begitu gelap, tapi penglihatan Rangga memang sudah terlatih baik. Pepohonan yang mulai merapat, sama sekali bukan halangan berarti. Pendekar Rajawali Sakti terus saja berlari cepat, hingga sukar diikuti mata biasa.
"Hup!"
Begitu tiba di atas sebuah batu yang cukup besar dan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari. Pandangannya langsung tertuju pada dua orang yang tengah bertarung sengit, tidak jauh dari tempatnya berdiri di atas batu ini. Pertarungan berlangsung di sebuah padang rumput kecil yang cu?kup terbuka, sehingga Rangga bisa melihat jelas da?ri atas baru yang cukup tinggi ini.
"Heh..."! Bukankah itu Jabalang...?" desis Rangga begitu mengenali salah seorang yang bertarung.
Tentu saja Rangga bisa cepat mengenali salah seorang dari mereka. Karena, orang yang mengenakan baju merah muda dengan lencana di dada sebelah kiri dikenali Rangga sebagai patih dari Kerajaan Pakuan. Tapi lawan yang dihadapinya su?lit dikenali, karena mengenakan baju hitam pekat dengan bagian kepala terselubung kain hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Dan dia hanya menggunakan sebatang tongkat dalam menghadapi Patih Jabalang yang menggunakan pedang.
Baru sebentar saja diperhatikan, sudah bisa ditebak kalau Patih Jabalang sudah kewalahan menghadapi lawannya. Namun Rangga tahu, Patih Jabalang masih bisa bertahan sekurangnya lima jurus lagi. Dan Pendekar Rajawali Sakti sempat mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Agak ter?kejut juga hatinya begitu melihat tidak jauh dari tempat pertarungan itu tergolek tubuh-tubuh berlumur darah berseragam prajurit. Dan tidak jauh dari para prajurit yang bergelimpangan bermandikan darah, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut tengah duduk bersandar pada sebatang pohon.
"Eyang Jakot...," desis Rangga juga mengenali orang tua yang mengenakan baju jubah putih itu.
"Hup!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga segera melesat turun dari atas batu ini. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari menghampiri orang tua berjubah putih yang dikenal bernama Eyang Jakot itu, begitu kakinya menjejak tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sebentar saja sudah berada dekat di depan orang tua itu.
"Oh, Gusti Prabu Rangga...," desis Eyang Jakot agak terkejut, begitu tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.
"Eyang, apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga langsung.
Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli orang tua itu mengenalinya sebagai raja di Karang Setra. Dan memang, Eyang Jakot hanya mengenai Rangga se?bagai raja di Karang Setra. Dan walaupun saat ini hanya mengenakan pakaian seorang kependekarannya, tapi Eyang Jakot tak akan pernah salah melihat.
"Tolong Patih Jabalang. Dia tidak akan mampu menghadapi Datuk Muka Hitam seorang diri...," lemah sekali suara Eyang Jakot, seakan tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga langsung berpaling ke arah Patih Jabalang yang sedang bertarung. Dan pada saat itu, tampak satu pukulan orang berbaju hitam yang ternyata Datuk Muka Hitam itu menghantam tepat di dada Patih Jabalang.
"Akh...!"
Terdengar jeritan agak tertahan. Dan Patih Jabalang terlihat terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, orang berbaju serba hitam itu sudah melesat mengejar lawannya ini.
"Hup! Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat menghadang orang berbaju serba hitam ini. Dan bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Ikh..."!"
Terjangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba membuat Datuk Muka Hitam jadi terperanjat setengah mati. Tapi, tidak mungkin pukulan Pendekar Rajawali Sakti bisa dihindari. Dengan cepat sekali tongkatnya diputar ke depan, menghadang pukulan Pendekar Rajawali Sakti Maka"
Plak! "Hup!"
Rangga cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali, lalu manis sekali kakinya menjejak tanah. Sementara Datuk Muka Hitam juga terlompat ke belakang, sejauh setengah batang tombak. Dia juga dengan cepat bisa menguasai keseimbangan tubuh?nya, lalu ringan sekali menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya langsung ditekan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dia berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.
Dari jarak yang tidak begitu jauh ini, Rangga langsung bisa melihat wajah orang itu. Sedikit tubuhnya agak bergidik begitu melihat wajah yang sangat mengerikan dan hampir terselubung kain hitam ini. Wajahnya begitu buruk dan hitam seperti arang. Namun sorotan matanya terlihat sangat tajam memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat...! Siapa kau" Berani mencampuri urusanku!" bentak orang berbaju serba hitam yang tadi dikatakan Eyang Jakot sebagai Datuk Muka Hitam.
? *** ? Rangga sama sekali tidak menanggapi orang berwajah buruk yang tadi namanya sempat didengar dari Eyang Jakot. Tapi melihat wajah dan baju yang dikenakannya, Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam. Yang diketahuinya orang yang bernama Datuk Muka Hitam tidak seperti ini. Dan memang, Rangga pernah sekali berjumpa orang yang bernama Datuk Muka Hitam, saat menolong nyawa Panglima Wi?dura. Sedangkan orang yang berada di depannya ini adalah laki-laki berwajah buruk dan hitam seperti arang. Tapi, memang ada kemiripan antara yang pernah dijumpainya dengan orang yang kini berada di depannya.
Dan tentu Rangga juga tidak mau gegabah begitu saja. Entah berapa jumlah prajurit yang tergeletak sudah tidak bernyawa lagi. Dan Eyang Jakot sendiri kelihatannya terluka parah. Bahkan barusan orang yang dijuluki Datuk Muka Hitam ini membuat Patih Jabalang terpental, hingga tidak bisa bangkit lagi.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak" Kenapa menggunakan nama Datuk Muka Hitam?" terdengar dingin dan datar nada suara Rangga.
"Kalau kau ingin tahu Datuk Muka Hitam, akulah orangnya.'" bentak orang itu kasar.
"Hm... Aku tahu, siapa Datuk Muka Hitam itu. Dan aku tidak kenal denganmu, Kisanak. Siapa pun kau sebenarnya, tidak pantas memakai julukan Datuk Muka Hitam. Siapa kau sebenarnya" Dan, kenapa memusuhi Kerajaan Pakuan?" tegas Rang?ga masih dengan nada dingin.
"Phuih! Kau terlalu banyak omong, Monyet! Mampuslah kau! Hiyaaat...!"
Tampaknya, orang yang mengaku berjukik Datuk Muka Hitam ini tidak ingin berpanjang lebar. Sambil berteriak keras menggelegar dia langsung saja melompat menerjang cepat sekali. Dan tong?katnya seketika dikebutkan mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wut! "Haiiit..!"
Hanya sedikit saja Rangga menggerakkan kepala, maka kebutan tongkat itu lewat di atas kepala. Dan pada saat tubuhnya sedikit dibungkukkan, dengan kecepatan kilat Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kirinya, memberi sodokan ke arah lambung.
"Haps!"
Namun orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu cepat meliuk, hingga sodokan Pen?dekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga tongkatnya dikebutkan ke bawah, membuat Rangga terpaksa harus cepat me?narik tangannya kembali, dan melompat ke belakang sejauh tiga langkah.
"Hiyaaa...!"
Bet! Tanpa membuang waktu lagj, Datuk Muka Hitam yang sebenarnya Rahkapa, sudah melesat menyerang lagi dengan kecepatan sulit diikuti mata biasa. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, mengarah ke bagian-bagian tubuh lawannya yang mematikan. Sementara, Rangga cepat mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', hingga serangan-serangan yang dilancarkan Rahkapa sedikit pun tidak sampai mengenai sasaran.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Beberapa kali tongkat kayu Rahkapa berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tidak satu pun dari serangan itu yang bisa menyentuhnya. Gerakan-gerakan Rangga dari jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang sangat sukar di ikuti. Dan ini tentu saja membuat Rahkapa jadi bertambah berang. Maka serangannya semakin ditingkatkan, hingga membuat kebutan tongkatnya menimbulkan deru angin bagai topan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali begitu cepat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik dengan kedua kaki bergerak berputar cepat, mengarah ke kepala Rahkapa.
"Haiiit..!"
Wut! Namun Rahkapa sudah memutar tongkatnya di atas kepala. Sehingga Rangga terpaksa harus memutar tubuhnya, seraya melepaskan satu pukul?an keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Rahkapa jadi terperanjat setengah mati. Memang sungguh tidak disangka kalau lawannya ini bisa merubah gerakan begitu cepat, dari dua jurus yang digabungkan menjadi satu. Sehingga...
Diegkh! "Akh...!"
Rahkapa tidak dapat lagi menghindari pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang tepat menghantam dadanya. Orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu kontan terpental jauh ke belakang. Dan dengan keras sekali, tubuhnya terbanting di tanah, hingga membuatnya kembali terpekik agak tertahan. Sementara Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Saat itu, Rahkapa menggeliat sambil mengerang merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya. Seakan-akan, seluruh tulang dadanya terasa remuk terkena pukulan yang begitu keras dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Ups!"
Sambil menahan napas, Rahkapa mencoba bangkit berdiri. Walaupun bisa berdiri, namun tubuhnya terlihat agak limbung. Disekanya darah yang mengalir dari sudut bibir dengan punggung tangan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menanti dengan kedua tangan masih terlipat di depan dada.
"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat.!"
Tanpa menghiraukan rasa sakit di dadanya, Rahkapa sudah melompat lagi sambil memaki dan berteriak keras menggelegar. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, tongkatnya diayunkan ke arah kepala pemuda berbaju rompi putih ini.
Wut! "Hap!"
Namun Rangga sama sekali tidak berusaha berkelit menghindarinya. Dan begitu tongkat kayu itu hampir menghantam kepalanya, cepat kedua tangannya dihentakkan ke atas kepala. Dan. .
Tap! "Heh..."!"
Kedua bola mata Rahkapa jadi terbeliak lebar, begitu melihat tongkatnya mudah sekali dapat ditangkap. Dan belum juga hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Rangga sudah menghentakkan ta?ngannya yang menjepit tongkat itu ke atas.
"Hih!"
Begitu kuat sentakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menahan. Dan tubuhnya jadi terpental tinggi ke atas, tanpa dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tubuhnya mela?yang tinggi ke angkasa dengan tongkat berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang menjepit tongkat kayu lawannya ini ke atas. Seketika, tongkat itu meluncur secepat kilat. Dan...
Crab! "Aaa...!"
Jeritan panjang yang begitu melengking seketika terdengar menyayat, saat tongkat kayu itu menghunjam dada hingga tembus ke punggung pemiliknya yang masih melayang di atas.
Tampak tubuh Rahkapa melayang turun deras sekali, dan terbanting ke tanah begitu keras, hingga bumi terasa sedikit bergetar. Sementara. Rangga berdiri tegak memandangi tubuh Rahkapa yang menggelepar meregang nyawa dengan tongkat miliknya sendiri terhunjam di dada sampai tembus ke punggung.
"Ke..., keparat kau ... Akh!"
? *** ? Sambil menyemburkan darah kental dari rnulutnya Rahkapa mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati. Begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Sementara Rangga ma?sih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Lalu, bergegas dihampirinya Patih Jabalang yang tergeletak tidak jauh dari Eyang Jakot.
"Dia sudah mati, Gusti Prabu," ujar Eyang Jakot memberi tahu, sebelum Rangga sempat memeriksa.
Rangga tidak jadi memeriksa tubuh Patih Jaba?lang. Pandangannya langsung tertuju pada Eyang Jakot yang kelihatan semakin lemah dan memucat wajahnya. Orang tua itu tetap duduk bersandar pa?da batang pohon. Sementara, Rangga sudah berlutut dengan lutut yang sebelah kiri menyentuh tanah. Diamatinya wajah Eyang Jakot yang se?makin memucat dan mulai membiru seperti mayat. Rangga tahu, Eyang Jakot mendapatkan luka dari pukulan yang mengandung racun mematikan. Rasanya nyawa orang tua ini tak mungkin bisa di selamatkan lagi. Racun itu sudah menyebar hampir ke seluruh tubuhnya.
"Eyang, apa yang terjadi sebenarnya" Kenapa orang itu mengaku sebagai Datuk Muka Hitam?" tanya Rangga dengan suara pelan.
"Dia..., dia Rahkapa, Gusti Prabu. Murid si Da?tuk Muka Hitam. Dia ingin mencari dan membunuh Panglima Widura. Ugkh! Dia tangguh sekali. Kau harus hati-hati, Gusti Prabu. Datuk Muka Hitam sendiri tidak ada tandingannya di Pakuan ini. Dia pasti akan mencari pembunuh muridnya. Sebaiknya, Gusti Prabu cepat tinggalkan Pakuan ini. Ugkh...!"
"Eyang..."
Eyang Jakot terbatuk beberapa kali. Darah yang mengalir di sudut bibirnya sudah kelihatan membeku. Sorot mata orang tua itu semakin melemah, tanpa cahaya kehidupan lagi.
"Gusti... Tolong selamatkan Pakuan dari kehancuran. Panglima Widura sudah mulai bergerak untuk mengadakan pemberontakan. Dia ... dia kini bersembunyi di dalam hutan, dibantu oleh sss..."
"Eyang..."
Rangga hanya bisa menarik napas saja, ketika Eyang Jakot sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Eyang Jakot yang sudah tidak bernyawa lagi, tersandar pada batang pohon. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedikit napas beratnya dihembuskan, kemudian kakinya terayun melang?kah meninggalkan tempat itu.
Rangga terus berjalan perlahan-lahan, kembali ke tempat Dewa Bayu yang ditinggalkannya tadi. Tapi baru saja sampai pada setengah jalan, sudah terlihat Dewa Bayu berjalan menghampirinya. Rangga berhenti menunggu sampai kuda hitam itu dekat di depannya. Diambilnya tali kekang kuda itu lalu melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Dan baru saja akan menggebah kudanya, menda?dak saja....
"Tidak semudah itu kau bisa lari, Bocah...!"
"Heh..."!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 116. Datuk Muka Hitam Bag. 8 (Selesai)
26 ?"?"?"" 2014 ". " 11:12
8 ? ? Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya, dan langsung berbalik begitu kakinya menjejak tanah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berjubah hitam dengan tongkat kayu tergenggam di tangan kanan. Rangga langsung bisa mengetahui kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam yang sebenarnya. Dan itu bisa langsung dikenali dari wajahnya yang hitam seperti arang walaupun tidak seburuk wajah muridnya yang baru saja tewas di tangan Pendekar Rajawab Sakti.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum membayar nyawa muridku, Anak Muda," terasa begitu dingin suara Datuk Muka Hitam.
"Hm... Jadi itu muridmu?" terasa agak sinis nada suara Rangga.
"Ya! Dan kau harus bayar dengan nyawamu sendiri!" tegas Datuk Muka Hitam.
Rangga hanya diam saja Dia tahu. tidak ada gunanya lagi menghindari si Datuk Muka Hitam ini.
Dan begitu Datuk Muka Hitam menggeser kakinya ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengepalkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian kakinya direntangkan sedikit, hingga terbuka. Pandangan matanya tertuju lurus pada setiap gerak orang bermuka hitam ini.
"Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka, Anak Muda," pinta Datuk Muka Hitam.
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Nah! Bersiaplah kau sekarang. Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Muka Hitam menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya merah bagai api yang begitu cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Cepat Rangga melenting ke atas dan berputaran dua kali, sehingga cahaya merah itu hanya lewat di bawah tubuhnya. Kemudian dengan gerakan manis sekali, Rangga meluncur deras mengejar lawannya, begitu ujung jari kakinya menotok sedikit ke tanah.
"Hiyaaa...!"
Bet! Satu kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', membuat sepasang mata Datuk Muka Hitam jadi terbeliak. Namun cepat tubuhnya ditarik ke belakang, hingga serangan balasan Rangga tidak sampai mengenai sasaran. Dua langkah Datuk Muka Hitam menarik kakinya ke belakang, saat merasakan hempasan angin yang begitu kuat dari kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan belum juga tubuh Datuk Muka Hitam bisa tegak, Rangga sudah memberi sodokan tangan kiri mengarah ke perut. Begitu cepat serangan Pen?dekar Rajawali Sakti, sehingga membuat Datuk Muka Hitam jadi kerepotan juga menghindarinya. Dan Rangga sendiri terus melancarkan serangan-serangannya dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang berurutan dengan cepat dan silih berganti. Hal ini membuat Datuk Muka Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"
Datuk Muka Hitam jadi menyumpah dan memaki sendiri, mendapatkan serangan yang beruntun dan tanpa berhenti. Dan tubuhnya cepat melenting ke atas, sambil mengebutkan tongkatnya ke kepala pemuda lawannya.
Bet! "Ups!"
Namun kebutan itu hanya untuk melonggarkan jarak saja. Begitu Rangga merunduk, Datuk Muka Hitam melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Cepat tubuhnya ditegakkan saat kedua kakinya menjejak tanah. Sementara Rangga sudah sejak tadi berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis. Dari beberapa serangannya yang belum mencapai sasaran, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mengukur, sampai di mana tingkat kepandaian Datuk Muka Hitam ini.
"Kau benar-benar tangguh, Anak Muda. Sudah saatnya kita mengadu jiwa," desis Datuk Muka Hitam dingin.
Setelah berkata demikian, orang tua itu melemparkan tongkatnya begitu saja ke samping. Dan kedua tangannya langsung dirapatkan di depan dada. Sebentar kelopak matanya dipejamkan. Sam?bil membuka mata, dibukanya kedua telapak ta?ngannya yang merapat di depan dada. Saat itu ju?ga, terlihat kedua telapak tangannya memancarkan cahaya merah seperti api yang membakar kedua tangan orang bermuka hitam hangus ini.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia tahu, Datuk Muka Hitam tengah menyiapkan aji kesaktian yang diandalkan. Dan begitu kedua tangan Datuk Muka Hitam mulai terarah padanya, kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung merapat di depan dada. Kemudian tubuh?nya bergerak miring ke kiri, begitu kedua kakinya merenggang. Perlahan-lahan Rangga menarik tu?buhnya ke kanan. Dan saat kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.
"Hadapi aji pamungkasku, Bocah! Hiyaaa...!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
? *** ? Dua cahaya berwarna biru dan merah dari dua aji kesaktian tingkat tinggi saling berbenturan. Maka seketika itu juga terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Tampak percikan bunga api menyebar ke segala arah dari benturan dua cahaya aji kesaktian tingkat tinggi ini. Dan....
"Hih...!"
Rangga cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, begitu kakinya terdorong satu lang?kah ke belakang. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya memancar cahaya biru terang menyilaukan mata, yang meluruk secepat kilat ke arah Datuk Muka Hitam. Padahal saat itu tokoh berwajah busuk itu baru bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, setelah sempat terlempar sejauh satu batang tombak.
Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Datuk Muka Hitam tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...
Slap! "Akh...!"
Datuk Muka Hitam terpekik agak tertahan, begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga menghantam tubuhnya. Maka seketika itu juga, seluruh tubuh Datuk Muka Hitam terselubung cahaya biru yang begitu terang menyilaukan mata.
"Ugkh...!"
Laki-laki tua bermuka hitam itu kontan menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri dari selubung cahaya biru itu. Tapi semakin keras berusaha, semakin deras pula tenaganya mengalir keluar. Dan Datuk Muka Hitam sama sekali tidak menyadari ka?lau aji "Cakra Buana Sukma' yang dilepasakan Pen?dekar Rajawali Sakti justru bisa menyedot habis kekuatannya. Dan dia terus berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan mulai melangkah mendekati sambil terus mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' ke tubuh Datuk Muka Hitam. Dan ayunan kakinya tertahan setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedangkan Datuk Muka Hitam mulai kelihatan melemah gerakannya.
Tampak Rangga mulai melepaskan tangan kanannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya di punggung. Saat itu juga...
Cring! "Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan tercabutnya aji 'Cakra Bua?na Sukma', Rangga mengebutkan pedang pusakanya dengan kecepatan kilat yang sulit diikuti mata biasa. Hanya kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebat begitu cepat ke leher Datuk Muka Hitam. Dan belum lagi laki-laki tua bermuka hitam ini bisa mengerjapkan mata...
Cras! "Aaakh...!"
Tepat di saat mata pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu menebas leher Datuk Muka Hitam, terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi dan menyayat. Sementara itu, Rangga melompat ke belakang sejauh lima langkah sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
Cring! "Hhh...!"
Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Pandangan matanya tertuju lurus pada Datuk Muka Hitam yang sudah tergeletak dengan kepala terpisah dari leher. Darah terus mengalir deras sekali dari lehemya yang sudah buntung tidak berkepala lagi.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri diam mematung memandangi tubuh lawannya yang sudah terbujur kaku tidak bemyawa. Kemudian kepalanya berpaling sedikit ke kanan.
"Suiiit...!"
Rangga memanggil Dewa Bayu dengan siulannya yang nyaring melengking. Dan kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, kemudian berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dengusannya terdengar berat dengan kepala terangguk setelah tiba di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Ayo, Dewa Bayu. Tinggalkan tempat ini. Masih ada yang harus kuselesaikan," ujar Rangga sambil menepuk leher kuda tunggangannya.
Dewa Bayu hanya mendengus kecil saja.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan Rangga saat melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya. Langsung tali kekang kuda itu dihentakkan, mem?buat kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat seperti anak panah lepas dari busur.
Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, semakin masuk ke dalam hutan. Sama sekali dia tidak merasa terhalang oleh pepohonan dan keadaan gelap di dalam hutan ini. Kudanya te?rus dipacu dengan kecepatan tinggi sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Ra?jawali Sakti sudah tiba di tempat tinggal Nyai Wi?sanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah. Tapi kedua kelopak mata Pende?kar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar, lalu cepat melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar kemudian, dia melangkah ke depan beberapa tindak dengan kedua mata masih terbuka lebar seperti tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.
"Apa yang terjadi di sini...?"
Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, melihat gubuk yang ditempati Nyai Wisanggeni sudah hancur rata dengan tanah. Asap tipis terlihat mengepul dari reruntuhan gubuk yang terbakar hangus itu.
Memang sulit diduga, apa yang akan terjadi nanti. Rangga sendiri jadi tidak mengerti melihat perkembangan dalam kepalanya. Dan dia juga terus memikirkan keadaan Pandan Wangi yang nasibnya belum ketahuan, setelah bertarung melawan Setan Perempuan Penghisap Darah. Walaupun kini bera?da di dalam perawatan Rajawali Putih, tapi tetap saja Rangga belum bisa tenang melihat luka parah yang diderita Pandan Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mungkin bisa terus mendampingi Pandan Wangi, karena harus mencari si Setan Perempuan Penghisap Darah untuk membuat per?hitungan. Apakah Pendekar Rajawali Sakti bisa ber?temu Setan Perempuan Penghisap Darah dan membayar kekalahan Pandan Wangi..." Lalu, apa yang akan terjadi di Pakuan selanjutnya" Berhasilkah pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura..." Semua jawaban ini akan ditemukan dalam kisah "Memburu Pengkhianat".
? SELESAI ? ? ? ? http://duniaabukeisel.blogspot.com
Scan by Clickers
Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
? 2017 Serba Hijau 3 Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Perawan Lembah Wilis 12
"Maaf, Ki. Kedatanganku ke sini karena menerima suratmu. Tapi teras terang saja, aku sama sekali tidak melihat adanya sesuatu di sini. Bahkan kau hidup serba berkecukupan. Coba jelaskan arti suratmu itu, Ki"," pinta Rangga langsung.
"Memang tidak akan terlihat dan luar, Rangga," sahut Ki Jumir kalem.
Walaupun orang tua itu tahu kalau pemuda yang menjadi tamunya sekarang ini adalah seorang raja dan juga seorang pendekar ternama yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, tapi tetap saja memanggil dengan nama saja. Dan memang, panggilan seperti itulah yang diinginkan Rangga kalau sedang berada di luar Istana Karang Setra.
Rangga selalu menganggap dirinya sama seper?ti orang lain. Yang jelas kedudukannya sebagai raja jangan sampai menjadi penghalang dalam pengembaraannya sebagai pendekar penegak keadilan dan kebenaran. Apalagi dia memang lebih banyak hidup mengembara daripada harus diam di dalam lingkungan dinding istananya yang megah.
"Apa maksudmu dari luar dan dari dalam, Ki?" tanya Pandan Wangi menyelak.
"Maksudku, kita tidak bisa melihat sesuatu hanya dari luarnya saja, Nini Pandan. Seperti yang sedang terjadi di Pakuan ini, kita tidak akan bisa melihat dari luar saja. Tapi, harus melihatnya dari dalam," jelas Ki Jumir.
Penjelasan Ki Jumir bukannya membuat Pandan Wangi maupun Rangga bisa memahami. Mereka malah semakin tidak mengerti saja. Tapi dalam kepala Rangga, diakui kalau sesuatu memang tidak bisa dilihat dari luar. Apa yang terlihat nyata, tidak selamanya seperti apa adanya. Seringkali sesuatu yang terlihat baik dari luar, justru buruk di dalamnya. Dan semua itu memang sudah terjadi dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dipungkiri lagi. Hanya saja yang masih membuat Rangga tidak mengerti, arti kata-kata Ki Jumir tadi.
"Lalu, apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki?" tanya Rangga.
"Sulit mengatakannya, Rangga. Karena, aku sendiri sebenarnya belum yakin benar. Yaaah..., katakanlah aku baru menduga. Tapi entah kenapa, dugaanku begitu kuat. Seakan-akan, aku sudah mempunyai bukti yang sangat kuat," sahut Ki Jumir, masih berteka-teki.
"Dugaan apa yang ada pada dirimu, Ki?" tanya Rangga lagi.
"Perebutan kekuasaan."
"Perebutan kekuasaan...?" kening Pandan Wangi jadi berkerut.
"Ya, semacam makar," Ki Jumir memperjelas.
"Apa yang tersembunyi di Pakuan ini, Ki" tanya Rangga.
"Sulit mengatakannya, Rangga. Tapi aku menduga ada perebutan kekuasaan," jelas Ki Jumir.
"Kau tidak mengada-ada, Ki?" tanya Rangga.
"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu siapa yang akan melakukannya!" sahut Ki Jumir tegas.
"Kau tidak mengada-ada, Ki?" Rangga seperti ingin meyakinkan.
"Aku yakin sekali, Rangga. Dan aku tahu, siapa yang akan melakukannya," sahut Ki Jumir tegas.
"Siapa, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Panglima Widura," sahut Ki Jumir mantap, tanpa ada keraguan sedikit pun juga.
"Panglima Widura..."!"
Rangga dan Pandan Wangi jadi berseru bersamaan. Mereka begitu terkejut mendengar jawaban Ki Jumir barusan. Sama sekali tidak diduga jika Ki Jumir menduga kalau Panglima Widura akan melakukan perebutan kekuasan di Kerajaan Pakuan ini. Sedangkan mereka belum lama bertemu Panglima Widura dekat perbatasan kota ini.
Dari sikapnya, Rangga sudah merasakan tidak akan mungkin Panglima Widura akan melakukan pemberontakan. Apalagi untuk menggulingkan takhta. Tapi, nada suara Ki Jumir begitu mantap dan tegas, membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi berpikir juga. Dia tahu, Ki Jumir tidak pernah mengada-ada. Dan memang, batin orang tua ini begitu kuat. Bahkan terkadang bisa membaca pikiran orang lain. Sehingga apa yang diucapkan Ki Jumir, Rangga tidak berani gegabah untuk mengabaikannya begitu saja.
"Kenapa kalian terkejut mendengarnya?" Tanya Ki Jumir.
"Maaf, Ki. Belum lama tadi, kami bertemu Panglima Widura. Bahkan Kakang Rangga sempat menyelamatkan nyawanya dari serangan orang gila yang ingin membunuhnya," sahut Pandan Wangi menjelaskan.
"Oh, di mana...?" kali ini Ki Jumir yang terkejut.
"Tidak jauh dari perbatasan kota, Ki," sahut Pandan Wangi lagi.
"Siapa orang yang ingin membunuhnya?" tanya Ki Jumir lagi.
"Aku tidak tahu siapa dia, Ki. Tapi namanya sempat disebutkan," sahut Pandan Wangi lagi.
"Siapa?" desak Ki Jumir.
"Datuk Muka Hitam."
"Oh..."!"
Ki Jumir mendesah panjang. Entah kenapa, seketika itu juga wajahnya jadi cerah. Tapi dari sorot matanya, jelas sekali kalau hatinya begitu terkejut mendengar penjelasan Pandan Wangi tadi. Sikap Ki Jumir yang seperti itu, tentu saja membuat Rang?ga dan Pandan Wangi jadi memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga melihat Ki Jumir tersenyum sendiri.
'Ternyata aku salah, dengan memintamu datang ke sini, Rangga. Tanpa kau pun, perebutan kekuasaan kini tidak akan terjadi," sahut Ki Jumir masih dengan bibir tersenyum lebar.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki...?" selak Pandan Wangi semakin kebingungan
"Aku tahu siapa Datuk Muka Hitam itu, Nini Pandan. Panglima Widura jelas tidak akan mungkin bisa menandingi Datuk Muka Hitam yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi."
"Kenapa Datuk Muka Hitam ingin membunuh Panglima Widura, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Aku tidak peduli apa persoalan mereka, Rangga. Memang, Datuk Muka Hitam bukan orang baik-baik. Dia itu bekas kepala gerombolan perampok dan pembunuh yang menguasai bagian selatan negeri ini. Bahkan pihak kerajaan pun tidak pernah bisa menangkapnya. Tapi, sekarang dia tinggal sendiri, tanpa pengikut lagi. Yang penting sekarang, aku akan menyaksikan bagaimana kematiannya nanti. Oh! Selamatlah Pakuan dari kehancuran dan kesengsaraan...," agak mendesah suara Ki Jumir yang terakhir.
Jawaban yang bernada gembira itu membuat Rangga dan Pandan Wangi semakin berkerenyit keningnya. Mereka benar-benar heran dan tidak mengerti melihat sikap Ki Jumir yang tiba-tiba saja jadi berubah, setelah diceritakan kalau Panglima Widura baru saja ditolong dari tangan Datuk Muka Hitam.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notes by Pendekar Rajawali Sakti
s ? 2017 " To help personalize content, tailor and measure ads, and provide a safer experience, we use cookies. By clicking or navigating the site, you agree to allow our collection of information on and off through cookies. Learn more, including about available controls: Policy.
116. Datuk Muka Hitam Bag. 5
26 ?"?"?" 2014 ". " 11:09
5 ? ? Di tempat kediamannya, Panglima Widura kelihatan begitu gelisah di dalam kamar. Sementara saat ini malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Kejadian siang tadi di dekat perbatasan kota sebelah selatan, membuatnya jadi tidak bisa tenang malam ini. Dari para pembesar kerajaan, panglima ini tahu, siapa itu Datuk Muka Hitam yang hampir saja membunuhnya siang tadi. Untung saja, dia cepat ditolong seorang anak muda yang mengaku bernama Rangga.
"Hhh! Perasaanku semakin tidak enak saja sejak tadi. Ada apa ini...?" desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas kuat-kuat.
Entah sudah berapa kali Panglima Widura berjalan mengelilingi kamar peristirahatannya yang be?sar dan megah ini. Sementara, jendela kamarnya dibiarkan tetap terbuka lebar. Sehingga, cahaya bulan yang lembut keperakan, leluasa menerobos masuk menerangi ruangan ini.
"Aku akan menemui Nyai Wisanggeni saja. Aku khawatir akan terjadi sesuatu padanya. Perasaanku terus semakin tidak enak," gumam Pang?lima Widura lagi.
Setelah berpikir beberapa saat, panglima berusia setengah baya itu bergegas melangkah keluar dari kamar peristirahatannya ini. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergeletak di atas meja, kemudian mengikatkannya di pinggang. Ayunan langkah kakinya begitu mantap, keluar dari dalam kamarnya. Dan dia terus berjalan menyusuri lorong yang pintu-pintunya berjajar di sebelah kanan dan kiri.
Panglima Widura terus berjalan melewati sebu?ah ruangan yang berukuran sangat luas dan terang benderang. Sebentar kemudian, dia sudah berada di beranda rumah yang berukuran sangat besar dan megah bagai istana ini. Empat orang anak muda berpakaian seragam prajurit yang berada di beranda segera memberi hormat dengan sedikit membung?kukkan tubuh sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Panglima Widura berpaling menatap pada salah seorang dari mereka.
"Kumpulkan dua puluh orang temanmu. Dan siapkan kuda untukku," perintah Panglima Widura.
"Baik, Gusti Panglima," sahut prajurit muda itu.
Bergegas prajurit itu melangkah pergi. Sementara, Panglima Widura berdiri tegak di tepi beranda. Pandangan matanya lurus, tidak berkedip sedikit pun ke depan. Kepalanya baru berpaling sedikit, begitu di depan beranda rumahnya sudah berkumpul dua puluh orang prajurit dengan kuda masing-masing. Seorang prajurit muda yang berada paling depan memegangi tali kekang kuda yang sudah siap dengan pelana Panglima Widura bergegas menghampiri kuda tunggangannya. Dan dengan gerakan indah sekali dia melompat naik.
"Kalian berempat, atur penjagaan di sini. Lipat gandakan kekuatannya," perintah Panglima Widura pada empat prajurit yang tidak ikut.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut keempat prajurit itu serempak.
"Hs! Hiyaaa...!"
Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya. Maka kuda hitam dengan belang putih pada kedua kakinya itu meringkik kerasa sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Kemudian binatang tunggangan itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Sementara dua puluh orang prajurit yang sejak tadi sudah berada di punggung kuda masing-masing, segera menggebah, begitu panglimanya sudah memacu cepat kudanya meninggalkan kediamannya yang besar dan megah.
Malam ini bumi Kerajaan Pakuan bagai diguncang gempa. Dua puluh orang prajurit yang lang?sung dipimpin Panglima Widura bergerak cepat menuju selatan. Hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, membuat beberapa orang yang masih berada di luar rumahnya jadi terheran-heran. Ketika rombongan itu melewati rumah Ki Jumir, Rangga dan Pandan Wangi tengah duduk-duduk di pinggiran beranda depan. Mereka sempat terkejut melihat Panglima Widura dan dua puluh orang prajurit memacu kuda dengan kecepatan tinggi di tengah malam begini. Seakan, mereka sedang mengejar sesuatu.
"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti untuk dirinya sendiri.
"Mana aku tahu?" sahut Rangga seraya berdiri.
"Kau mau ke mana, Kakang?"
"Aku akan mengikuti mereka. Kau di sini saja, Pandan."
Belum lagi Pandan Wangi bisa membuka mulut, Rangga sudah melesat begitu cepat. Hingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi. Memang sempurna sekali ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tubuhnya bagaikan bisa menghilang saja.
"Nini Pandan...."
"Oh..."!"
Pandan Wangi agak tersentak ketika tiba-tiba terdengar panggilan dari belakang. Cepat kepalanya berpaling ke belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Ki Jumir sudah berada di belakangnya. Orang tua yang sebenarnya adalah patih di Kera?jaan Pakuan ini melangkah menghampiri, dan berhenti setelah berada di sebelah kiri gadis ini.
"Siapa tadi yang menunggang kuda malam-malam begini?" tanya Ki Jumir langsung.
"Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya," sahut Pandan Wangi.
"Ke mana mereka pergi?"
"Mereka menuju ke selatan "
"Lalu, Rangga ke mana?"
"Mengejar mereka.''
"Heh"! Untuk apa...?"
Ki Jumir tampak tersentak kaget mendengar jawaban Pandan Wangi yang begitu polos tadi.
"Aku tidak tahu, Ki. Kakang Rangga memang biasa begitu. Nanti kalau sudah kembali juga akan diberitahu," sahut Pandan Wangi seraya melangkah ke dalam meninggalkan Ki Jumir yang jadi termangu sendiri di depan beranda rumahnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara malam yang begitu dingin, membuat Ki Jumir harus bergegas masuk kembali ke dalam rumahnya.
"Hhh" Mudah-mudahan sang Hyang Widhi melindunginya...," desah Ki Jumir perlahan.
Beberapa saat Ki Jumir masih berdiri terpaku di depan beranda rumahnya yang besar dan megah ini. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah hendak masuk ke dalam. Tapi belum juga mencapai pintu mendadak saja telinganya yang tajam mendengar desiran yang begitu halus dari belakang tubuhnya.
"Haiiit..!"
Tanpa berpaling lagi, Ki Jumir cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan seketika, terlihat secercah cahaya keperakan melewati samping orang tua ini.
"Hup!"
Ki Jumir bergegas memutar tubuhnya berbalik. Dan pada saat itu juga, terlihat cahaya keperakan kembali meluncur cepat bagai kilat. Maka orang tua itu segera melesat berputar dua kali untuk menghindarinya. Dan begitu kakinya menjejak tanah dengan manis sekali...
"Tunggu...!" sentak Ki Jumir cepat-cepat dan keras, sambil menjulurkan tangannya ke depan. "Siapa kau"! Kenapa tiba-tiba menyerangku..."!"
"Hik hik hik...! Kau tidak mengenaliku, Jumir...?"
Ki Jumir jadi berkerut keningnya. Diperhatikannya orang berjubah lusuh berwarna putih, membungkus tubuhnya yang kecil. Tampak pada ta?ngannya tergenggam tongkat berbentuk ular. Sesaat kemudian, Ki Jumir jadi tersentak, ketika orang itu membuka kain kerudung yang menutupi wajahnya.
"Nyai Wisanggeni..." desis Ki Jumir langsung mengenali.
"Hik hik hik...!"
? *** ? Ki Jumir benar-benar kaget setengah mati begitu mengenali orang berjubah hitam yang menyerangnya ternyata adalah Nyai Wisanggeni. Dia adalah seorang wanita tua yang memiliki kepandaian tinggi, dan sangat sukar dicari tandingannya. Tapi, bukan itu yang membuat Ki Jumir jadi terkesiap. Karena dia tahu, wanita tua berjubah putih lusuh ini sudah terkenal kekejamannya. Wanita ini tidak akan pernah meninggalkan lawannya dalam keadaan hidup. Bahkan tidak pernah memandang, apakah orang yang akan dibunuhnya sudah tua, anak muda, atau anak kecil. Kekejamannya inilah yang membuat Nyai Wisanggeni terkenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Kau terkejut melihatku, Ki Jumir?"" terasa begitu dingin nada suara Nyai Wisanggeni.
"Hm.... Apa maksudmu datang ke sini," Tanya Ki Jumir, dibuat dingin nada suaranya.
"Kukira kau sudah tahu maksud kedatanganku, Ki Jumir. Sebaiknya, bersiaplah menjemput ajalmu," sahut Nyai Wisanggeni datar.
"Kenapa kau ingin membunuhku, Nyai Wisanggeni?" tanya Ki Jumir lagi.
Walaupun Ki Jumir sudah berusaha untuk bisa tetap tenang, tapi getaran suaranya terdengar begitu gelisah. Terutama ketika mendengar kata-kata yang begitu dingin dan mengejutkan dari wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Da?rah ini. Dia tahu, apa yang dikatakan Nyai Wisang?geni tidak akan tercabut kembali. Dan wanita itu tidak akan pergi, sebelum memenggal kepala orang yang sudah berhadapan dengannya.
"Hik hik hik..! Kau sudah terlalu banyak tahu, Ki Jumir. Orang sepertimu tentu sangat berbahaya bagi keselamatan muridku. Maka sudah sepantasnya kau harus mampus. Nah! Bersiaplah kau. Ki Jumir...!" dingin sekali jawaban Nyai Wisanggeni, disertai suara tawanya yang mengikik kering mem?buat bulu-bulu halus di tengkuk jadi meremang berdiri.
"Hm...," Ki Jumir jadi menggumam sedikit.
Perlahan laki-laki tua ini mulai menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sorot matanya begitu tajam, tidak berkedip sedikit pun menatap Nyai Wisang?geni yang berada sekitar satu batang tombak di de?pannya. Sedangkan wanita tua yang dikenal ber?juluk Setan Perempuan Penghisap Darah itu masih tetap kelihatan tenang. Malah bibirnya menyeringai, memberikan senyum lebar dan meremehkan.
"Hih...!"
Tiba-tiba saja tangan kiri Nyai Wisanggeni mengebut ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat ke arah Ki Jumir.
"Hap...!"
Tapi hanya sedikit saja Ki Jumir mengegos, serangan Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak sampai menyambar tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, mendadak saja Nyai Wisanggeni sudah melompat cepat bagai kilat, sukar diikuti mata biasa
"Hiyaaa...!"
Bet' Secepat kilat pula tangan kanan Nyai Wisanggeni mengibas, memberikan satu sodokan dahsyat ke arah lambung laki-laki tua ini.
"Haiiit...!"
Ki Jumir cepat melompat ke samping, menghindari kibasan tangan kanan yang mematikan ini. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya meliuk sambil memberi satu pukul?an keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada kiri perempuan tua ini.
"Hih!"
"Hap!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Nyai Wisanggeni tidak berusaha bergerak sedikit pun juga. Bahkan tangan kirinya malah dipasang di depan dada. Hingga...
Plak! "Ikh..."!"
Ki Jumir jadi terpekik tertahan, begitu pukulannya beradu dengan tangan kiri Setan Perempuan Penghisap Darah. Seketika seluruh tulang tangan kanannya terasa bagai remuk setelah berbenturan dengan tangan kiri Nyai Wisanggeni yang kerasnya bagai batu karang. Cepat-cepat Ki Jumir melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Mulutnya sempat meringis sambil mengurut tangan ka?nannya yang nyeri akibat membentur tangan Nyai Wisanggeni tadi.
"Hik hik hik...!"
Nyai Wisanggeni tertawa mengikik, melihat kekuatan tenaga dalam lawannya ternyata masih berada cukup jauh di bawahnya. Dan dengan begitu, sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat ke?pandaian Ki Jumir. Sambil tertawa mengikik mengerikan, Nyai Wisanggeni melangkah ke depan, mendekati Ki Jumir yang masih meringis menahan nyeri pada persendian tulang tangan kanannya.
"Saatmu sudah sampai, Ki Jumir. Bersiaplah untuk mati! Hiyaaat..!"
Sambil mendesis dingin, Nyai Wisanggeni berteriak keras menggelegar. Dan tubuhnya langsung melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Jumir yang belum siap sama sekali. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini, membuat Ki Jumir jadi terbeliak setengah mati. Bahkan kesempatan untuk meng?hindar pun sudah tidak dimilikinya lagi. Maka begitu pukulan menggeledek dilepaskan Nyai Wisanggeni hampir menyambar dada, mendadak saja...
Wut! "Heh..."! Ups!"
Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba secercah cahaya putih keperakan berkelebat begitu cepat, hampir menyambar tangan ka?nannya yang tengah memberikan pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga da?lam tinggi. Cepat tangannya ditarik pulang kembali lalu melompat ke belakang sambil melakukan putaran dua kali. Begitu indah dan ringan gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Setan Perempuan Penghisap Darah menjejakkan kedua kakinya, sekitar satu batang tombak di depan Ki Jumir.
"Setan keparat...!" geram Nyai Wisanggeni berang.
? *** ? Kedua bola mata Setan Perempuan Penghisap Darah jadi membeliak lebar, begitu mengetahui yang menggagalkan serangannya barusan ternyata hanya seorang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna biru muda, membungkus tubuhnya yang ramping dan indah menggiurkan. Sebuah kipas berwarna putih keperakan tampak terkembang di depan dadanya. Sementara, Ki Ju?mir berada di sebelah kiri agak ke belakang dari gadis cantik bersenjata kipas yang tidak lain Pandan Wangi, yang dikenal sebagai si Kipas Maut.
"Bocah keparat! Menyingkir kau! Atau kau ingin mampus, heh..."!" geram Nyai Wisanggeni kasar.
Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum sedikit saja mendengar bentakan yang bernada kasar itu. Dan kakinya malah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorotan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua yang kelihatan memerah menyimpan kemarahan menggele?gak ini.
"Sebaiknya, kau saja yang pergi dari sini, Nenek Tua. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak diperlukan," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pandan Wangi
"Heh..."! Phuih...!"
Nyai Wisanggeni jadi terperangah mendengar jawaban ketus dan tegas dari gadis cantik ini. Matanya sampai mendelik, dan ludahnya disemburkan dengan sengit. Sementara, Pandan Wangi tetap kelihatan tenang sambil menggerak-gerakkan kipasnya perlahan di depan dada. Hanya Ki Jumir yang kelihatan gelisah melihat kemunculan Pandan Wa?ngi.
Walaupun gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya dan sudah dikenalnya dengan baik, tapi te?tap saja gelisah. Karena dia tahu, perempuan tua yang dikenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak bisa dibuat main-main. Kepandaiannya yang sangat tinggi, begitu sukar ditandingi.
"Kuperingatkan sekali lagi, Bocah...!" desis Nyai Wisanggeni seperti tidak sabar melihat sikap Pandan Wangi yang terus menantangnya.
"Aku ingin tahu, sebesar apa mulutmu itu, Nenek Tua," sambut Pandan Wangi malah menantang.
"Pandan...," Ki Jumir agak menyentak, mencoba memperingatkan Pandan Wangi.
Tapi belum juga bisa tertangkap telinga laki-laki tua itu, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah mengebutkan cepat tangan kirinya ke depan. Maka seketika itu juga melesat sebuah benda kecil berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat.
"Haiiit...!"
Wut! Tring! Namun hanya sekali kebut saja, Pandan Wangi sudah bisa menghalau serangan pertama si Setan Perempuan Penghisap Darah dengan kipasnya. Sedikit pun Pandan Wangi tidak menggeser kaki?nya. Dan benda keperakan itu melenting tinggi ke angkasa, terhempas kipas maut di tangan Pandan Wangi.
"Bagus! Rupanya kau berisi juga, Bocah!" dengus Nyai Wisanggeni dingin.
"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.
"Tahan seranganku ini, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wisanggeni melesat cepat bagai kilat, menerjang Pandan Wangi yang masih mengembangkan kipas?nya di depan dada. Satu pukulan dahsyat mengge?ledek langsung dilepaskan Setan Perempuan Peng?hisap Darah, tepat diarahkan ke kepala si Kipas Maut.
"Haiiit...!"
Sedikit saja Pandan Wangi mengegoskan kepala, hingga pukulan si Setan Perempuan Penghisap Darah hanya lewat sedikit saja di atas kepala. Dan pada saat itu juga Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke atas. Sehingga, membuat Nyai Wisang?geni jadi tersentak kaget, tidak menyangka akan mendapat serangan balasan yang begitu cepat ba?gai kilat.
"Ups...!"
Cepat-cepat Nyai Wisanggeni menarik tangannya sambil menghentakkannya sedikit ke atas. Ma?ka ujung kipas maut yang runcing bagai anak panah itu lewat sedikit saja di bawah lengan si Setan Perempuan Penghisap Darah
"Hih! Yeaaah...!"
Namun Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan cepat kipasnya diputar, dan langsung dikebutkan ke arah lambung perempuan tua ini.
Bet! "Haiiikgh. !"
Nyai Wisanggeni cepat menarik kakinya ke belakang, menghindari serangan cepat yang dilancarkan Pandan Wangi barusan. Dan cepat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan setengah berputar. Sehingga, tongkat berbentuk seekor ular itu terus melayang mengarah ke kepala Pandan Wangi.
"Hap!"
Pandan Wangi segera menarik kepalanya sedikit ke belakang. Maka begitu ujung tongkat Nyai Wisanggeni lewat di depan mukanya, Pandan Wangi cepat memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kipasnya dike?butkan ke arah perut perempuan tua ini. Serangan Pandan Wangi memang sungguh membuat Nyai Wisanggeni jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, hingga serangan itu tidak sampai mengenai sasaran. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah kembali menjejakkan kaki?nya dengan tegak, sekitar satu batang tombak jauhnya di depan Pandan Wangi yang kini sudah mengembangkan kipasnya di depan dada. Dan un?tuk sesaat, mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam menusuk. Seakan-akan, mereka te?ngah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.
"Siapa namamu, Bocah?" tanya Nyai Wisanggeni dingin.
"Untuk apa kau ingin tahu namaku..." Tidak ada gunanya kau tahu namaku, karena sebentar lagi kau akan mampus," sahut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Hik hik hik..! Kau angkuh sekali, Bocah. Tapi aku suka dengan wanita angkuh dan berkepandaian tinggi sepertimu. Tapi sayangnya, mulutmu harus kubungkam, Bocah," masih tetap terasa dingin suara Nyai Wisanggeni.
"Coba saja kalau bisa. Aku malah khawatir, mulutmu sendiri yang kurobek nanti," sambut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Kau benar-benar tidak bisa dikasih hati, Bocah. Terimalah seranganku ini! Hiyaaat..!"
"Hap...!"
? *** ? Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" ?"" Pendekar Rajawali Sakti
?"?" ? 2017 . 116. Datuk Muka Hitam Bag. 6
26. August 2014 um 11:10
6 ? ? Pandan Wangi cepat melenting ke udara, begitu Nyai Wisanggeni melompat seraya mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular itu ke arah kaki. Sehingga tongkat itu hanya lewat saja di bawah telapak kaki si Kipas Maut ini.
Bet! Namun Nyai Wisanggeni begitu cepat memutar tongkatnya, langsung disentakkan ke arah perut ga?dis cantik berbaju biru muda ini. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Pandan Wangi jadi se?dikit terperangah juga. Namun dengan gerakan ber?putar yang manis sekali, serangan itu masih bisa dihindari
"Hap!"
Manis sekali Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat itu juga, Nyai Wisanggeni sudah mengebutkan tongkatnya ke arah kepala. Cepat-cepat gadis ini merunduk. Tapi tanpa diduga sama sekali kaki kiri Nyai Wisanggeni menghentak cepat. Maka....
Diegkh! "Akh...!"
Pandan Wangi jadi terpekik, begitu tanpa didu?ga sama sekali dadanya mendapat tendangan telak yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam. Gadis itu kontan terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, sehingga membuatnya kembali terpekik.
"Ugkh! Hoeeek...!"
Pandan Wangi seketika memuntahkan darah kental agak kehitaman, saat mencoba bangkit berdiri. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini membuat seluruh rongga dadanya bagaikan remuk. Dan napasnya juga jadi tersengal, membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.
Walaupun tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah, tapi Pandan Wangi masih tetap berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang disertai penge?rahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Dan pada saat itu juga ...
"Hup! Hiyaaa....!"
Ki Jumir yang mengetahui keadaan Pandan Wangi sangat berbahaya, tidak berpikir panjang lagi. Maka dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya melesat menghadang serangan Nyai Wisanggeni. Dan tepat di saat pukulan Setan Perempuan Peng?hisap Darah terlontar, tubuh Ki Jumir berada tepat di depan Pandan Wangi. Hingga...
Begkh! "Akh...!"
Ki Jumir menjerit keras begitu pukulan menggeledek yang dilepaskan Nyai Wisanggeni tepat menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terpental ke belakang, menghantam Pandan Wangi yang baru saja bisa berdiri. Dan mereka berdua langsung terbanting ke tanah, bergulingan beberapa kali. Sementara itu, Nyai Wisanggeni jadi terperanjat melihat hasil serangannya yang sangat dahsyat.
"Edan...! Keparat...!"
Sementara Ki Jumir tampak menggeliat dengan mulut berlumur darah. Dadanya kelihatan menghitam hangus seperti terbakar, dengan asap berwarna agak kehitaman mengepul dari dadanya. Sedangkan Pandan Wangi sudah tergeletak diam tidak bergerak sedikit pun, tidak jauh dari tubuh Ki Jumir yang menggelepar meregang nyawa.
"Ugkh! Hoeeegkh...!"
Begitu darah tersembur dari mulutnya. Ki Jumir langsung mengejang dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Lelaki tua itu tewas dengan dada remuk dan menghitam hangus seperti terbakar, akibat terkena pukulan yang dilepaskan Nyai Wisanggeni.
"Phuih!"
Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya, sambil menghembuskan napas berat. Sebentar dipandanginya dua tubuh yang tergeletak diam tidak jauh di depannya. Dia yakin, mereka sudah tidak bernyawa lagi. Dan..
Slap! Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Setan Perempuan Penghisap Darah, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangannya su?dah lenyap tidak terlihat lagi. Dan malam pun men?jadi sunyi, tanpa sedikit pun terdengar suara.
? *** ? Sementara itu, agak jauh dari Kotaraja Pakuan, Rangga terus membuntuti Panglima Widura dan dua puluh orang prajuritnya. Arah yang ditempuh jelas menuju hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan wanita tua itu juga guru Panglima Widura.
"Hm..."
Kening Rangga jadi berkerut, begitu melihat Panglima Widura turun dari kudanya, setelah terlihat sebuah gubuk kecil dan reot di tengah hutan ini. Panglima Widura langsung menerobos masuk ke dalam gubuk itu. Tapi tidak berapa lama, dia keluar lagi dengan raut wajah memancarkan kebingungan. Sementara, dua puluh orang prajurit yang dibawa terus menunggui di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa bicara sedikit pun juga, Panglima Widura melompat naik ke punggung ku?danya, dan langsung menggebahnya dengan kencang keluar dari hutan ini.
Rangga yang mengikuti sejak tadi, jadi bertanya-tanya sendiri. Untuk apa Panglima Widura malam-malam datang ke hutan ini..." Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih ke gubuk kecil yang pintunya kini terbuka lebar. Dia keluar dari tempat persembunyiannya setelah Panglima Widura dan para prajuritnya tidak terlihat lagi. Sebentar Pen?dekar Rajawali Sakti berdiri diam tertegun, kemudian hati-hati melangkah menghampiri gubuk kecil itu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sempurna sekali. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun melangkah. Bahkan seakan-akan tidak menjejak tanah.
Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di ambang pintu gubuk ini. Keningnya jadi berkerut begitu memandang ke dalam. Tidak ada satu pun perabotan terlihat di sana. Dan bagian dalam gubuk ini benar benar kosong.
"Hm..."
Rangga bergegas berbalik, dan langsung melesat. Pendekar Rajawali Sakti kini berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sangat sempurna. Hingga ke?dua telapak kakinya seakan tidak menyentuh tanah sedikit pun. Begitu sempurna ilmu meringankan tu?buhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah bisa mengejar Panglima Widura dan para prajuritnya yang baru saja keluar dari hutan ini.
"Ups!"
Untung saja Rangga cepat bisa melihat mereka, dan segera berhenti berlari. Karena tanpa disadari dia kini hanya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di belakang prajurit-prajurit Panglima Widura. Pendekar Rajawali Sakti bergegas menyembunyikan diri di balik pohon. Tapi tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak sebatang ranting kering.
Trek! "Berhenti...!"
Panglima Widura yang sangat tajam pendengarannya, langsung memerintahkan prajurirnya berhenti. Saat itu juga, dia melompat ke belakang dari punggung kudanya. Dua puluh orang prajurit yang mendampinginya bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara itu, Rangga tetap diam di balik pohon sambil menahan napas. Memang sangat dekat jaraknya. Dan Rangga tidak ingin kehadirannya diketahui. Terlebih lagi, dia memang sengaja membuntuti panglima ini.
"Siapa kau"! Keluar, cepaaat...!" teriak Panglima Widura dengan suara lantang menggelegar.
Namun Rangga yang masih tetap berada di balik pohon, tidak menjawab sedikit pun juga. Punggungnya juga dirapatkan ke batang pohon yang cukup besar ini. Dan telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang begitu ringan mendekatinya dari balik pohon ini. Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya langsung tersenyum meli?hat cabang pohon yang cukup besar berada tepat di atas kepalanya.
"Hep!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke cabang pohon di atas kepa?lanya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak di batang pohon ini. Kemu?dian tubuhnya kembali melesat, dan langsung hinggap di cabang pohon lain yang lebih tinggi. Dan kembali tubuhnya melesat ke cabang pohon lainnya. Hingga akhirnya, Pendekar Rajawali Sakti ber?ada di bagian lain dari tepian hutan ini.
"Sayang sekali, aku belum ada urusan dengan?mu, Panglima Widura," gumam Rangga dalam hati.
"Hup!"
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat pergi meninggalkan Panglima Widura dan para prajuritnya yang masih penasaran karena merasa diikuti tadi. Sementara, Rangga sudah begitu jauh meninggalkannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung masuk ke dalam Kotaraja Pakuan yang sudah tenggelam dalam sunyinya malam yang pekat ini.
? *** ? "Pandan...! Ki Jumir...!"
Rangga jadi terhenyak begitu tiba di depan rumah Ki Jumir yang berhalaman luas ini. Tampak Pandan Wangi dan Ki Jumir tergeletak seperti tidak bernyawa lagi. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menghampiri.
Baru saja tubuh Ki Jumir disentuh, telinganya mendengar rintihan halus di sebelahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti berpaling, dan melihat Pandan Wangi menggeliat menggelengkan kepala sambil merintih lirih. Bergegas dihampirinya gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Tampak darah sudah agak mengering di sudut bibirnya. Rangga mengangkat kepala gadis itu, dan menum?pangkan di paha kirinya.
"Pandan.... Apa yang terjadi?" tanya Rangga, dengan suara agak parau tersendat.
"Ka..., Kakang...," lemah sekali suara Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kelopak mata gadis itu terbuka dan terlihat be?gitu sayu, seperti tidak ada lagi cahaya kehidupan di sana. Rangga jadi terkesiap melihat keadaan kekasihnya ini. Cepat diangkatnya tubuh gadis itu, dan dipondongnya dengan kedua tangan. Pandan Wangi begitu lemah terkulai seperti tidak bernyawa lagi. Hanya sedikit gerakan pada dadanya saja, yang menandakan kalau gadis itu masih hidup. Se?bentar Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan sekitarnya yang sunyi. Kemu?dian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang kelam bertaburkan cahaya bintang keperakan.
"Hanya Rajawali yang bisa menyembuhkan Pandan Wangi. Mudah-mudahan dia tidak jauh ber?ada di sini," gumam Rangga pelan, bicara pada diri sendiri.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan seki?tarnya yang masih tetap sunyi. Tidak terlihat seo?rang pun di sekitar halaman rumah Ki Jumir ini. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang menghitam kelam. Kemudian....
"Suiiit...!"
Hanya sebentar saja Rangga menunggu, sudah terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat menuju rumah Ki Jumir. Dan hanya sekejap mata saja, bu?rung raksasa itu sudah mendarat tepat di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Khrrr...!"
"Rajawali, tolong bawa Pandan Wangi. Rawat dia," pinta Rangga.
"Khrrrkh...!"
Rajawali Putih mengangguk sambil mengkirik perlahan.
"Sembuhkan dia, Rajawali. Aku tidak rela dia mati seperti ini," kata Rangga lagi, dengan suara agak tertahan
"Khragkh!"
Rangga meletakkan Pandan Wangi di tanah. Dan begitu melangkah ke belakang beberapa tindak, Rajawali Putih sudah melesat tinggi ke angkasa setelah menyambar tubuh gadis itu. Begitu cepatnya Rajawali Putih melesat, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Dan untuk beberapa saat Rangga masih berdiri diam mematung dengan pandangan lurus ke atas
"Raden...."
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Cepat tubuhnya berputar. Kedua kelopak matanya jadi menyipit me?lihat beberapa orang anak muda tahu-tahu sudah ada tidak jauh di depannya. Rangga tahu, mereka adalah murid-murid Ki Jumir. Beberapa orang terlihat menggotong Ki Jumir, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Rangga hanya memperhatikan saja sekilas. Perhatiannya kini tertumpah pada anak-anak muda yang berada di depannya dengan kepala tertunduk, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang dirasakan teramat berat. Dalam pertarungan tadi, sebenarnya murid-murid Ki Jumir ingin pula membantu gurunya. Namun ketika itu rasanya memang sudah terlambat. Ki Jumir sudah lebih dulu terhantam pukulan telak dari Nyai Wisanggeni. Apalagi, mereka juga baru terbangun, setelah mendengar suara ribut-ribut.
"Ada di antara kalian yang tahu kejadiannya?" tanya Rangga langsung.
"Kami datang terlambat Raden. Tapi yang jelas, perempuan itu yang melakukannya," sahut salah seorang seraya mengangkat kepalanya sedikit.
"Siapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Nyai Wisanggeni, yang juga berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah."
"Hm, ke mana dia pergi?"
"Ke arah sana, Raden," sahut pemuda itu seraya menunjuk ke arah Nyai Wisanggeni pergi, setelah membunuh Ki Jumir dan melukai Pandan Wangi.
Rangga berpaling ke arah yang ditunjukkan murid Ki Jumir. Keningnya jadi berkerut. Memang, arah yang ditunjuk menuju hutan, tempat Pendekar Rajawali Sakti membuntuti Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya. Di hutan itu dia melihat Pang?lima Widura masuk ke dalam sebuah gubuk kecil yang tidak ada penghuninya. Saat itu juga, timbul berbagai macam pertanyaan dalam kepala Pende?kar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang masih terlalu sulit dijawab.
"Kalian urus saja Ki Jumir. Aku akan mengejar wanita itu," kata Rangga.
"Hati-hati, Den. Wanita itu sangat tangguh dan kejam."
Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum kecil mendengar peringatan murid Ki Jumir ini. Kemudian kakinya melangkah ke samping rumah, dan mengambil kudanya yang tertambat di samping rumah Ki Jumir ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu ini.
"Hiyaaa...!"
"Hieeegkh...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat, membuat debu di halaman rumah Ki Jumir beterbangan membubung tinggi ke angkasa. Semua murid Ki Jumir jadi terlongong bengong melihat kuda hitam tunggangan tamu gurunya ini begitu cepat berlari. Hingga dalam waktu sebentar sa?ja, sudah jauh dan lenyap ditelan kegelapan malam.
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 116. Datuk Muka Hitam Bag. 7
26. August 2014 um 11:11
7 ? ? Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi menuju luar Kotaraja Pakuan. Begitu cepat Dewa Bayu berlari. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah melewati perbatasan kota yang ditandai sebuah bangunan batu berbentuk candi kecil. Namun baru beberapa tombak Pen?dekar Rajawali Sakti melewati perbatasan, tiba tiba saja lari kudanya dihentikan. Akibatnya, kuda hitam itu meringkik keras, seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara.
"Hup!"
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun sebelum terlempar dari punggung kudanya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Sementara, Dewa Bayu mendengus-dengus berat sambil menghentakkan satu kaki depannya, mengais tanah yang sedikit berumput ini.
"Kau juga mendengarnya, Dewa Bayu...?" bisik Rangga perlahan.
Dewa Bayu hanya mendengus sedikit dengan kepala terangguk beberapa kali. Kaki kanan yang depan masih dihentakkan ke tanah. Rangga menepuk leher kuda hitam itu hingga menjadi tenang, kemudian melangkah ke depan beberapa tindak. Sedikit kepalanya dimiringkan ke kanan. Telinganya yang begitu tajam dan terlatih, mendengar suara seperti sebuah pertarungan yang cukup jauh dari tempat ini.
"Kau tunggu di sini saja, Dewa Bayu. Akan kulihat, ada apa di sana," kata Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat pergi. Dia berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah begitu sempurna tingkatannya. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sak?ti sudah jauh meninggalkan perbatasan kota. Se?mentara, Dewa Bayu melenggang mencari tempat nyaman untuk menunggu penunggangnya.
Walaupun malam ini terasa begitu gelap, tapi penglihatan Rangga memang sudah terlatih baik. Pepohonan yang mulai merapat, sama sekali bukan halangan berarti. Pendekar Rajawali Sakti terus saja berlari cepat, hingga sukar diikuti mata biasa.
"Hup!"
Begitu tiba di atas sebuah batu yang cukup besar dan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti berhenti berlari. Pandangannya langsung tertuju pada dua orang yang tengah bertarung sengit, tidak jauh dari tempatnya berdiri di atas batu ini. Pertarungan berlangsung di sebuah padang rumput kecil yang cu?kup terbuka, sehingga Rangga bisa melihat jelas da?ri atas baru yang cukup tinggi ini.
"Heh..."! Bukankah itu Jabalang...?" desis Rangga begitu mengenali salah seorang yang bertarung.
Tentu saja Rangga bisa cepat mengenali salah seorang dari mereka. Karena, orang yang mengenakan baju merah muda dengan lencana di dada sebelah kiri dikenali Rangga sebagai patih dari Kerajaan Pakuan. Tapi lawan yang dihadapinya su?lit dikenali, karena mengenakan baju hitam pekat dengan bagian kepala terselubung kain hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Dan dia hanya menggunakan sebatang tongkat dalam menghadapi Patih Jabalang yang menggunakan pedang.
Baru sebentar saja diperhatikan, sudah bisa ditebak kalau Patih Jabalang sudah kewalahan menghadapi lawannya. Namun Rangga tahu, Patih Jabalang masih bisa bertahan sekurangnya lima jurus lagi. Dan Pendekar Rajawali Sakti sempat mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Agak ter?kejut juga hatinya begitu melihat tidak jauh dari tempat pertarungan itu tergolek tubuh-tubuh berlumur darah berseragam prajurit. Dan tidak jauh dari para prajurit yang bergelimpangan bermandikan darah, terlihat seorang laki-laki berusia lanjut tengah duduk bersandar pada sebatang pohon.
"Eyang Jakot...," desis Rangga juga mengenali orang tua yang mengenakan baju jubah putih itu.
"Hup!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga segera melesat turun dari atas batu ini. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari menghampiri orang tua berjubah putih yang dikenal bernama Eyang Jakot itu, begitu kakinya menjejak tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sebentar saja sudah berada dekat di depan orang tua itu.
"Oh, Gusti Prabu Rangga...," desis Eyang Jakot agak terkejut, begitu tiba-tiba di depannya berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.
"Eyang, apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga langsung.
Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli orang tua itu mengenalinya sebagai raja di Karang Setra. Dan memang, Eyang Jakot hanya mengenai Rangga se?bagai raja di Karang Setra. Dan walaupun saat ini hanya mengenakan pakaian seorang kependekarannya, tapi Eyang Jakot tak akan pernah salah melihat.
"Tolong Patih Jabalang. Dia tidak akan mampu menghadapi Datuk Muka Hitam seorang diri...," lemah sekali suara Eyang Jakot, seakan tidak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga langsung berpaling ke arah Patih Jabalang yang sedang bertarung. Dan pada saat itu, tampak satu pukulan orang berbaju hitam yang ternyata Datuk Muka Hitam itu menghantam tepat di dada Patih Jabalang.
"Akh...!"
Terdengar jeritan agak tertahan. Dan Patih Jabalang terlihat terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, orang berbaju serba hitam itu sudah melesat mengejar lawannya ini.
"Hup! Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat menghadang orang berbaju serba hitam ini. Dan bagaikan kilat dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Ikh..."!"
Terjangan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba membuat Datuk Muka Hitam jadi terperanjat setengah mati. Tapi, tidak mungkin pukulan Pendekar Rajawali Sakti bisa dihindari. Dengan cepat sekali tongkatnya diputar ke depan, menghadang pukulan Pendekar Rajawali Sakti Maka"
Plak! "Hup!"
Rangga cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali, lalu manis sekali kakinya menjejak tanah. Sementara Datuk Muka Hitam juga terlompat ke belakang, sejauh setengah batang tombak. Dia juga dengan cepat bisa menguasai keseimbangan tubuh?nya, lalu ringan sekali menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya langsung ditekan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dia berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.
Dari jarak yang tidak begitu jauh ini, Rangga langsung bisa melihat wajah orang itu. Sedikit tubuhnya agak bergidik begitu melihat wajah yang sangat mengerikan dan hampir terselubung kain hitam ini. Wajahnya begitu buruk dan hitam seperti arang. Namun sorotan matanya terlihat sangat tajam memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat...! Siapa kau" Berani mencampuri urusanku!" bentak orang berbaju serba hitam yang tadi dikatakan Eyang Jakot sebagai Datuk Muka Hitam.
? *** ? Rangga sama sekali tidak menanggapi orang berwajah buruk yang tadi namanya sempat didengar dari Eyang Jakot. Tapi melihat wajah dan baju yang dikenakannya, Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam. Yang diketahuinya orang yang bernama Datuk Muka Hitam tidak seperti ini. Dan memang, Rangga pernah sekali berjumpa orang yang bernama Datuk Muka Hitam, saat menolong nyawa Panglima Wi?dura. Sedangkan orang yang berada di depannya ini adalah laki-laki berwajah buruk dan hitam seperti arang. Tapi, memang ada kemiripan antara yang pernah dijumpainya dengan orang yang kini berada di depannya.
Dan tentu Rangga juga tidak mau gegabah begitu saja. Entah berapa jumlah prajurit yang tergeletak sudah tidak bernyawa lagi. Dan Eyang Jakot sendiri kelihatannya terluka parah. Bahkan barusan orang yang dijuluki Datuk Muka Hitam ini membuat Patih Jabalang terpental, hingga tidak bisa bangkit lagi.
"Siapa kau sebenarnya, Kisanak" Kenapa menggunakan nama Datuk Muka Hitam?" terdengar dingin dan datar nada suara Rangga.
"Kalau kau ingin tahu Datuk Muka Hitam, akulah orangnya.'" bentak orang itu kasar.
"Hm... Aku tahu, siapa Datuk Muka Hitam itu. Dan aku tidak kenal denganmu, Kisanak. Siapa pun kau sebenarnya, tidak pantas memakai julukan Datuk Muka Hitam. Siapa kau sebenarnya" Dan, kenapa memusuhi Kerajaan Pakuan?" tegas Rang?ga masih dengan nada dingin.
"Phuih! Kau terlalu banyak omong, Monyet! Mampuslah kau! Hiyaaat...!"
Tampaknya, orang yang mengaku berjukik Datuk Muka Hitam ini tidak ingin berpanjang lebar. Sambil berteriak keras menggelegar dia langsung saja melompat menerjang cepat sekali. Dan tong?katnya seketika dikebutkan mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Wut! "Haiiit..!"
Hanya sedikit saja Rangga menggerakkan kepala, maka kebutan tongkat itu lewat di atas kepala. Dan pada saat tubuhnya sedikit dibungkukkan, dengan kecepatan kilat Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kirinya, memberi sodokan ke arah lambung.
"Haps!"
Namun orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu cepat meliuk, hingga sodokan Pen?dekar Rajawali Sakti tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga tongkatnya dikebutkan ke bawah, membuat Rangga terpaksa harus cepat me?narik tangannya kembali, dan melompat ke belakang sejauh tiga langkah.
"Hiyaaa...!"
Bet! Tanpa membuang waktu lagj, Datuk Muka Hitam yang sebenarnya Rahkapa, sudah melesat menyerang lagi dengan kecepatan sulit diikuti mata biasa. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, mengarah ke bagian-bagian tubuh lawannya yang mematikan. Sementara, Rangga cepat mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', hingga serangan-serangan yang dilancarkan Rahkapa sedikit pun tidak sampai mengenai sasaran.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Beberapa kali tongkat kayu Rahkapa berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, tidak satu pun dari serangan itu yang bisa menyentuhnya. Gerakan-gerakan Rangga dari jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' memang sangat sukar di ikuti. Dan ini tentu saja membuat Rahkapa jadi bertambah berang. Maka serangannya semakin ditingkatkan, hingga membuat kebutan tongkatnya menimbulkan deru angin bagai topan.
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali begitu cepat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik dengan kedua kaki bergerak berputar cepat, mengarah ke kepala Rahkapa.
"Haiiit..!"
Wut! Namun Rahkapa sudah memutar tongkatnya di atas kepala. Sehingga Rangga terpaksa harus memutar tubuhnya, seraya melepaskan satu pukul?an keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Rahkapa jadi terperanjat setengah mati. Memang sungguh tidak disangka kalau lawannya ini bisa merubah gerakan begitu cepat, dari dua jurus yang digabungkan menjadi satu. Sehingga...
Diegkh! "Akh...!"
Rahkapa tidak dapat lagi menghindari pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang tepat menghantam dadanya. Orang yang mengaku berjuluk Datuk Muka Hitam itu kontan terpental jauh ke belakang. Dan dengan keras sekali, tubuhnya terbanting di tanah, hingga membuatnya kembali terpekik agak tertahan. Sementara Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Saat itu, Rahkapa menggeliat sambil mengerang merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya. Seakan-akan, seluruh tulang dadanya terasa remuk terkena pukulan yang begitu keras dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Ups!"
Sambil menahan napas, Rahkapa mencoba bangkit berdiri. Walaupun bisa berdiri, namun tubuhnya terlihat agak limbung. Disekanya darah yang mengalir dari sudut bibir dengan punggung tangan. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menanti dengan kedua tangan masih terlipat di depan dada.
"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat.!"
Tanpa menghiraukan rasa sakit di dadanya, Rahkapa sudah melompat lagi sambil memaki dan berteriak keras menggelegar. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, tongkatnya diayunkan ke arah kepala pemuda berbaju rompi putih ini.
Wut! "Hap!"
Namun Rangga sama sekali tidak berusaha berkelit menghindarinya. Dan begitu tongkat kayu itu hampir menghantam kepalanya, cepat kedua tangannya dihentakkan ke atas kepala. Dan. .
Tap! "Heh..."!"
Kedua bola mata Rahkapa jadi terbeliak lebar, begitu melihat tongkatnya mudah sekali dapat ditangkap. Dan belum juga hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Rangga sudah menghentakkan ta?ngannya yang menjepit tongkat itu ke atas.
"Hih!"
Begitu kuat sentakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menahan. Dan tubuhnya jadi terpental tinggi ke atas, tanpa dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tubuhnya mela?yang tinggi ke angkasa dengan tongkat berada di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang menjepit tongkat kayu lawannya ini ke atas. Seketika, tongkat itu meluncur secepat kilat. Dan...
Crab! "Aaa...!"
Jeritan panjang yang begitu melengking seketika terdengar menyayat, saat tongkat kayu itu menghunjam dada hingga tembus ke punggung pemiliknya yang masih melayang di atas.
Tampak tubuh Rahkapa melayang turun deras sekali, dan terbanting ke tanah begitu keras, hingga bumi terasa sedikit bergetar. Sementara. Rangga berdiri tegak memandangi tubuh Rahkapa yang menggelepar meregang nyawa dengan tongkat miliknya sendiri terhunjam di dada sampai tembus ke punggung.
"Ke..., keparat kau ... Akh!"
? *** ? Sambil menyemburkan darah kental dari rnulutnya Rahkapa mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati. Begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Sementara Rangga ma?sih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga. Lalu, bergegas dihampirinya Patih Jabalang yang tergeletak tidak jauh dari Eyang Jakot.
"Dia sudah mati, Gusti Prabu," ujar Eyang Jakot memberi tahu, sebelum Rangga sempat memeriksa.
Rangga tidak jadi memeriksa tubuh Patih Jaba?lang. Pandangannya langsung tertuju pada Eyang Jakot yang kelihatan semakin lemah dan memucat wajahnya. Orang tua itu tetap duduk bersandar pa?da batang pohon. Sementara, Rangga sudah berlutut dengan lutut yang sebelah kiri menyentuh tanah. Diamatinya wajah Eyang Jakot yang se?makin memucat dan mulai membiru seperti mayat. Rangga tahu, Eyang Jakot mendapatkan luka dari pukulan yang mengandung racun mematikan. Rasanya nyawa orang tua ini tak mungkin bisa di selamatkan lagi. Racun itu sudah menyebar hampir ke seluruh tubuhnya.
"Eyang, apa yang terjadi sebenarnya" Kenapa orang itu mengaku sebagai Datuk Muka Hitam?" tanya Rangga dengan suara pelan.
"Dia..., dia Rahkapa, Gusti Prabu. Murid si Da?tuk Muka Hitam. Dia ingin mencari dan membunuh Panglima Widura. Ugkh! Dia tangguh sekali. Kau harus hati-hati, Gusti Prabu. Datuk Muka Hitam sendiri tidak ada tandingannya di Pakuan ini. Dia pasti akan mencari pembunuh muridnya. Sebaiknya, Gusti Prabu cepat tinggalkan Pakuan ini. Ugkh...!"
"Eyang..."
Eyang Jakot terbatuk beberapa kali. Darah yang mengalir di sudut bibirnya sudah kelihatan membeku. Sorot mata orang tua itu semakin melemah, tanpa cahaya kehidupan lagi.
"Gusti... Tolong selamatkan Pakuan dari kehancuran. Panglima Widura sudah mulai bergerak untuk mengadakan pemberontakan. Dia ... dia kini bersembunyi di dalam hutan, dibantu oleh sss..."
"Eyang..."
Rangga hanya bisa menarik napas saja, ketika Eyang Jakot sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Perlahan Rangga bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Eyang Jakot yang sudah tidak bernyawa lagi, tersandar pada batang pohon. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedikit napas beratnya dihembuskan, kemudian kakinya terayun melang?kah meninggalkan tempat itu.
Rangga terus berjalan perlahan-lahan, kembali ke tempat Dewa Bayu yang ditinggalkannya tadi. Tapi baru saja sampai pada setengah jalan, sudah terlihat Dewa Bayu berjalan menghampirinya. Rangga berhenti menunggu sampai kuda hitam itu dekat di depannya. Diambilnya tali kekang kuda itu lalu melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Dan baru saja akan menggebah kudanya, menda?dak saja....
"Tidak semudah itu kau bisa lari, Bocah...!"
"Heh..."!"
*** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " 116. Datuk Muka Hitam Bag. 8 (Selesai)
26 ?"?"?"" 2014 ". " 11:12
8 ? ? Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya, dan langsung berbalik begitu kakinya menjejak tanah. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berjubah hitam dengan tongkat kayu tergenggam di tangan kanan. Rangga langsung bisa mengetahui kalau orang ini adalah Datuk Muka Hitam yang sebenarnya. Dan itu bisa langsung dikenali dari wajahnya yang hitam seperti arang walaupun tidak seburuk wajah muridnya yang baru saja tewas di tangan Pendekar Rajawab Sakti.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja sebelum membayar nyawa muridku, Anak Muda," terasa begitu dingin suara Datuk Muka Hitam.
"Hm... Jadi itu muridmu?" terasa agak sinis nada suara Rangga.
"Ya! Dan kau harus bayar dengan nyawamu sendiri!" tegas Datuk Muka Hitam.
Rangga hanya diam saja Dia tahu. tidak ada gunanya lagi menghindari si Datuk Muka Hitam ini.
Dan begitu Datuk Muka Hitam menggeser kakinya ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengepalkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian kakinya direntangkan sedikit, hingga terbuka. Pandangan matanya tertuju lurus pada setiap gerak orang bermuka hitam ini.
"Sebutkan namamu sebelum kukirim ke neraka, Anak Muda," pinta Datuk Muka Hitam.
"Rangga," sahut Rangga singkat.
"Nah! Bersiaplah kau sekarang. Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Muka Hitam menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya melesat cahaya merah bagai api yang begitu cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Cepat Rangga melenting ke atas dan berputaran dua kali, sehingga cahaya merah itu hanya lewat di bawah tubuhnya. Kemudian dengan gerakan manis sekali, Rangga meluncur deras mengejar lawannya, begitu ujung jari kakinya menotok sedikit ke tanah.
"Hiyaaa...!"
Bet! Satu kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti lewat jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', membuat sepasang mata Datuk Muka Hitam jadi terbeliak. Namun cepat tubuhnya ditarik ke belakang, hingga serangan balasan Rangga tidak sampai mengenai sasaran. Dua langkah Datuk Muka Hitam menarik kakinya ke belakang, saat merasakan hempasan angin yang begitu kuat dari kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan belum juga tubuh Datuk Muka Hitam bisa tegak, Rangga sudah memberi sodokan tangan kiri mengarah ke perut. Begitu cepat serangan Pen?dekar Rajawali Sakti, sehingga membuat Datuk Muka Hitam jadi kerepotan juga menghindarinya. Dan Rangga sendiri terus melancarkan serangan-serangannya dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang berurutan dengan cepat dan silih berganti. Hal ini membuat Datuk Muka Hitam terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"
Datuk Muka Hitam jadi menyumpah dan memaki sendiri, mendapatkan serangan yang beruntun dan tanpa berhenti. Dan tubuhnya cepat melenting ke atas, sambil mengebutkan tongkatnya ke kepala pemuda lawannya.
Bet! "Ups!"
Namun kebutan itu hanya untuk melonggarkan jarak saja. Begitu Rangga merunduk, Datuk Muka Hitam melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali. Cepat tubuhnya ditegakkan saat kedua kakinya menjejak tanah. Sementara Rangga sudah sejak tadi berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis. Dari beberapa serangannya yang belum mencapai sasaran, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa mengukur, sampai di mana tingkat kepandaian Datuk Muka Hitam ini.
"Kau benar-benar tangguh, Anak Muda. Sudah saatnya kita mengadu jiwa," desis Datuk Muka Hitam dingin.
Setelah berkata demikian, orang tua itu melemparkan tongkatnya begitu saja ke samping. Dan kedua tangannya langsung dirapatkan di depan dada. Sebentar kelopak matanya dipejamkan. Sam?bil membuka mata, dibukanya kedua telapak ta?ngannya yang merapat di depan dada. Saat itu ju?ga, terlihat kedua telapak tangannya memancarkan cahaya merah seperti api yang membakar kedua tangan orang bermuka hitam hangus ini.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia tahu, Datuk Muka Hitam tengah menyiapkan aji kesaktian yang diandalkan. Dan begitu kedua tangan Datuk Muka Hitam mulai terarah padanya, kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti langsung merapat di depan dada. Kemudian tubuh?nya bergerak miring ke kiri, begitu kedua kakinya merenggang. Perlahan-lahan Rangga menarik tu?buhnya ke kanan. Dan saat kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih merapat di depan dada.
"Hadapi aji pamungkasku, Bocah! Hiyaaa...!"
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
? *** ? Dua cahaya berwarna biru dan merah dari dua aji kesaktian tingkat tinggi saling berbenturan. Maka seketika itu juga terdengar ledakan dahsyat menggelegar. Tampak percikan bunga api menyebar ke segala arah dari benturan dua cahaya aji kesaktian tingkat tinggi ini. Dan....
"Hih...!"
Rangga cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, begitu kakinya terdorong satu lang?kah ke belakang. Dan seketika itu juga dari kedua telapak tangannya memancar cahaya biru terang menyilaukan mata, yang meluruk secepat kilat ke arah Datuk Muka Hitam. Padahal saat itu tokoh berwajah busuk itu baru bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, setelah sempat terlempar sejauh satu batang tombak.
Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Datuk Muka Hitam tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...
Slap! "Akh...!"
Datuk Muka Hitam terpekik agak tertahan, begitu cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga menghantam tubuhnya. Maka seketika itu juga, seluruh tubuh Datuk Muka Hitam terselubung cahaya biru yang begitu terang menyilaukan mata.
"Ugkh...!"
Laki-laki tua bermuka hitam itu kontan menggeliat-geliat berusaha membebaskan diri dari selubung cahaya biru itu. Tapi semakin keras berusaha, semakin deras pula tenaganya mengalir keluar. Dan Datuk Muka Hitam sama sekali tidak menyadari ka?lau aji "Cakra Buana Sukma' yang dilepasakan Pen?dekar Rajawali Sakti justru bisa menyedot habis kekuatannya. Dan dia terus berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru ini.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan mulai melangkah mendekati sambil terus mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma' ke tubuh Datuk Muka Hitam. Dan ayunan kakinya tertahan setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sedangkan Datuk Muka Hitam mulai kelihatan melemah gerakannya.
Tampak Rangga mulai melepaskan tangan kanannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut dari warangkanya di punggung. Saat itu juga...
Cring! "Hiyaaa...!"
Bersamaan dengan tercabutnya aji 'Cakra Bua?na Sukma', Rangga mengebutkan pedang pusakanya dengan kecepatan kilat yang sulit diikuti mata biasa. Hanya kilatan cahaya biru saja yang terlihat berkelebat begitu cepat ke leher Datuk Muka Hitam. Dan belum lagi laki-laki tua bermuka hitam ini bisa mengerjapkan mata...
Cras! "Aaakh...!"
Tepat di saat mata pedang yang memancarkan cahaya biru terang itu menebas leher Datuk Muka Hitam, terdengar jeritan panjang yang melengking tinggi dan menyayat. Sementara itu, Rangga melompat ke belakang sejauh lima langkah sambil memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung.
Cring! "Hhh...!"
Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Pandangan matanya tertuju lurus pada Datuk Muka Hitam yang sudah tergeletak dengan kepala terpisah dari leher. Darah terus mengalir deras sekali dari lehemya yang sudah buntung tidak berkepala lagi.
Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri diam mematung memandangi tubuh lawannya yang sudah terbujur kaku tidak bemyawa. Kemudian kepalanya berpaling sedikit ke kanan.
"Suiiit...!"
Rangga memanggil Dewa Bayu dengan siulannya yang nyaring melengking. Dan kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi ke atas, kemudian berlari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Dengusannya terdengar berat dengan kepala terangguk setelah tiba di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Ayo, Dewa Bayu. Tinggalkan tempat ini. Masih ada yang harus kuselesaikan," ujar Rangga sambil menepuk leher kuda tunggangannya.
Dewa Bayu hanya mendengus kecil saja.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan Rangga saat melompat naik ke punggung kuda hitam tunggangannya. Langsung tali kekang kuda itu dihentakkan, mem?buat kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat seperti anak panah lepas dari busur.
Rangga terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, semakin masuk ke dalam hutan. Sama sekali dia tidak merasa terhalang oleh pepohonan dan keadaan gelap di dalam hutan ini. Kudanya te?rus dipacu dengan kecepatan tinggi sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Ra?jawali Sakti sudah tiba di tempat tinggal Nyai Wi?sanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah. Tapi kedua kelopak mata Pende?kar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar, lalu cepat melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar kemudian, dia melangkah ke depan beberapa tindak dengan kedua mata masih terbuka lebar seperti tidak percaya dengan apa yang ada di depannya.
"Apa yang terjadi di sini...?"
Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, melihat gubuk yang ditempati Nyai Wisanggeni sudah hancur rata dengan tanah. Asap tipis terlihat mengepul dari reruntuhan gubuk yang terbakar hangus itu.
Memang sulit diduga, apa yang akan terjadi nanti. Rangga sendiri jadi tidak mengerti melihat perkembangan dalam kepalanya. Dan dia juga terus memikirkan keadaan Pandan Wangi yang nasibnya belum ketahuan, setelah bertarung melawan Setan Perempuan Penghisap Darah. Walaupun kini bera?da di dalam perawatan Rajawali Putih, tapi tetap saja Rangga belum bisa tenang melihat luka parah yang diderita Pandan Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak akan mungkin bisa terus mendampingi Pandan Wangi, karena harus mencari si Setan Perempuan Penghisap Darah untuk membuat per?hitungan. Apakah Pendekar Rajawali Sakti bisa ber?temu Setan Perempuan Penghisap Darah dan membayar kekalahan Pandan Wangi..." Lalu, apa yang akan terjadi di Pakuan selanjutnya" Berhasilkah pemberontakan yang dilakukan Panglima Widura..." Semua jawaban ini akan ditemukan dalam kisah "Memburu Pengkhianat".
? SELESAI ? ? ? ? http://duniaabukeisel.blogspot.com
Scan by Clickers
Pendekar Rajawali Sakti
?"?"?"" Pendekar Rajawali Sakti
Bahasa Indonesia
? 2017 Serba Hijau 3 Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Perawan Lembah Wilis 12