Pencarian

Teror Si Raja Api 1

Pendekar Rajawali Sakti 111 Teror Si Raja Api Bagian 1


111. Teror Si Raja Api
baca online di http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana
Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank. 5 Agustus 2014 pukul
10:18 Pendekar Rajawali Sakti
episode: TEROR SI RAJA API
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
1 Glaaar...! Kilatan cahaya membelah angkasa yang diikuti oleh suara guntur menggelegar,
menggetarkan alam ini. Awan tebal berawan hitam bergulung-gulung menutupi langit
yang semula cerah. Angin berhembus kencang bagai hendak meruntuhkan puncak
Gunung Galuring yang berselimut awan hitam. Dan setiap kali kilat menyambar,
terlihat sebongkah batu yang sangat besar memancarkan cahaya merah membara bagai
terbakar. Semburat cahaya merah dari batu di atas puncak Gunung Galuring itu sampai
terlihat dari Desa Batang yang terletak tidak jauh dari kaki gunung sebelah
timur. Alam yang seakan-akan sedang murka, membuat seluruh penduduk desa itu
tidak ada yang berani ke luar rumahnya. Tapi pada salah satu rumah kecil yang
letaknya agak menyendiri, terlihat dua orang laki-laki lanjut usia telah berdiri
di depan beranda. Pandangan mereka lurus ke puncak Gunung Galuring tanpa
berkedip sedikit pun. Perhatian mereka tampaknya tertuju pada bongkahan batu
yang memancarkan cahaya merah bagai api yang semakin jelas terlihat itu.
"Aku merasakan, ini bukan kejadian alam biasa. Batinku mengatakan, akan terjadi
sesuatu ..." gumam salah seorang laki-laki tua yang berjubah panjang warna biru
muda. Tidak henti-hentinya ujung tongkatnya diketuk-ketukkan ke tanah. Sedangkan
pandangannya terus tertuju ke arah puncak Gunung Galuring. Sedangkan seorang
lagi yang berbaju jubah panjang warna putih, tangannya tampak menggenggam
sebilah keris yang tangkainya berbentuk kepala seekor ular. Dan matanya hanya
melirik sedikit saja, kemudian kembali tertuju ke puncak Gunung Galuring.
"Kakang Baranang! Aku merasakan hembusan angin yang lain dari biasanya," bisik
orang tua yang berjubah putih.
"Hmmm... Jangan pindah dari tempatmu, Adi Jambala " sahut orang tua berjubah
biru muda yang dipanggil Eyang Baranang. Suaranya terdengar menggumam dan dalam
sekali. "Sebaiknya kita masuk saja, Kakang," kata orang tua berjubah putih yang
dipanggil Eyang Jambala, menyarankan.
Tapi Eyang Baranang hanya diam saja, tanpa sedikit pun menggeser kakinya. Bahkan
kepalanya tidak berpaling sama sekali. Sedangkan Eyang Jambala kelihatan begitu
gelisah. Beberapa kali matanya melirik orang tua yang berada di sebelah
kanannya. Mereka memang dua orang yang sudah lanjut usia. Dan semua penduduk Desa Batang
ini selalu memanggil Eyang Baranang dan Eyang Jambala pada kakak beradik yang
memiliki ilmu sangat tinggi ini. Dan walaupun usia mereka sudah lebih dari
delapan puluh tahun, kedua orang tua itu tak satu pun mengangkat murid.
Sementara itu titik-titik air sudah mulai turun mengguyur Desa Batang. Tapi
kedua orang tua itu masih tetap berdiri tegak di beranda rumahnya, seakan tidak
peduli pada air hujan yang turun semakin deras.
"Masuklah ke dalam, Adi Jambala. Aku akan ke puncak Gunung Garuling," ujar Eyang
Baranang tanpa berpaling sedikit pun.
"Gila...! Kau jangan edan-edanan, Kakang!" sentak Eyang Jambala terkejut.
Tapi belum juga bentakan Eyang Jambala hilang dari pendengaran, bagaikan kilat
Eyang Baranang sudah melesat begitu cepat. Hingga, hanya bayangan jubah yang
berwarna biru muda itu saja yang terlihat berkelebat begitu cepat.
"Kakang...!" teriak Eyang Jambala semakin tersentak kaget.
Tapi laki-laki berjubah putih itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena Eyang
Baranang sudah tidak terlihat lagi bayangannya yang lenyap tertelan kegelapan
dan rintik air hujan deras.
"Edan...! Mau apa dia ke sana...?" dengus Eyang Jambala tidak mengerti.
Sementara dia masih tetap berdiri mematung memandangi arah kepergian kakaknya.
Namun hujan yang semakin deras, membuatnya harus bergegas melangkah masuk ke
dalam gubuknya. Saat itu, hujan pun turun bagaikan ditumpahkan dari langit.
Suaranya mengguruh seperti hendak menghancurkan seluruh isi alam ini. Sementara
Eyang Jambala berdiri mematung di ambang pintu yang setengah tertutup. Dan
pandangannya terus tertuju lurus ke arah puncak Gunung Garuling.
*** Sementara itu, Eyang Baranang sudah tiba di tengah-tengah lereng Gunung
Garuling. Laki-laki tua berjubah biru itu terus berjalan cepat, mempergunakan
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepat ayunan
langkahnya. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan jubah biru muda,
yang menembus gelapnya malam dan lebatnya pepohonan di sekitar Lereng Gunung
Garuling. Tepat di saat terlihat kilatan cahaya membelah angkasa, Eyang Baranang tiba di
puncak Gunung Garuling. Dia berhenti tepat di depan sebongkah batu yang
memancarkan cahaya merah bagai terbakar. Tingginya batu itu sama dengan tinggi
manusia yang sedang duduk. Bentuknya juga seperti seseorang yang sedang duduk
bersila. Dengan kelopak mata tidak berkedip, Eyang Baranang memperhatikan batu
yang berbentuk seperti patung manusia yang memancarkan cahaya merah bagai
terbakar itu. Clark! Glaaar...! Seleret cahaya kilat tiba-tiba menyambar dari angkasa, tepat di atas bongkahan
batu bercahaya merah itu. Bahkan ujung lidah kilat menyambar bongkahan batu itu
tepat di bagian atasnya, menimbulkan satu ledakan keras menggelegar yang
terdengar bagai hendak menghancurkan puncak gunung ini. Malah, Eyang Baranang
sampai terlompat beberapa langkah ke belakang, disertai rasa kaget
"Heh..."!"
Glaaar...! Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, Eyang Baranang kembali terbeliak dan
terlompat ke belakang beberapa langkah. Karena tiba-tiba kembali terdengar
ledakan dahsyat yang menggelegar, bersamaan dengan sambaran kilat di angkasa.
Mulutnya jadi ternganga lebar. Malah kedua bola matanya terbuka bagai melihat
hantu yang begitu menyeramkan.
"Dewata Yang Agung...! Apa itu...?" desis Eyang Baranang dengan kedua bola mata
masih terbeliak lebar.
Hampir laki-laki berjubah biru muda itu tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Bongkahan batu yang membara, bagai terbakar itu, tiba-tiba saja
bergerak-gerak seperti hidup! Dan belum juga Eyang Baranang bisa berpikir lebih
jauh lagi, tiba-tiba saja batu merah membara yang kini sudah berwajah manusia
berwarna merah itu melesat cepat bagai kilat ke arahnya.
"Oh..."! Haiiit...!"
Hanya sesaat saja Eyang Baranang terkesiap, namun cepat melesat ke samping. Dan
seketika tubuhnya dilempar ke tanah bergulingan, menghindari terjangan makhluk
berwarna merah bagai api yang berbentuk manusia itu.
"Hap!"
Eyang Baranang cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun baru saja kakinya
menjejak tanah, makhluk merah itu sudah bergerak cepat. Dan saat itu juga,
melesat kilatan cahaya merah bagai lidah api yang meluruk deras ke arah orang
tua berjubah biru muda ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Eyang Baranang melenting ke udara, dan berputaran dua kali
menghindari serangan makhluk aneh berwarna merah itu. Dan kilatan cahaya merah
bagai lidah api itu terus meluruk deras di bawah kaki orang tua ini. Dan begitu
menyambar sebatang pohon, seketika terdengar ledakan keras yang begitu dahsyat
menggelegar. Sesaat Eyang Baranang jadi terkesiap, begitu melihat pohon itu
menghitam hangus bagai terbakar. Dan tidak berapa lama kemudian, pohon itu
hancur jadi debu.
"Edan...!" dengus Eyang Baranang, kagum.
Tapi laki-laki tua berjubah biru muda itu tidak bisa berlarut-larut dalam
kekaguman. Masalahnya makhluk merah itu sudah kembali melesat menyerang cepat
bagai kilat. Terpaksa Eyang Baranang harus berjumpalitan di udara menghindari
serangan dahsyat makhluk yang seluruh tubuhnya merah menyala bagai terdiri dari
gumpalan api itu. Dan suara-suara ledakan pun terdengar saling susul. Kibasan-
kibasan tangan makhluk itu selalu memancarkan kilatan api yang menghanguskan
pepohonan di sekitarnya, hingga hancur jadi debu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Eyang Baranang cepat-cepat melenting menjauhi tempat itu ketika memiliki
kesempatan yang hanya sedikit sekali. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah tinggi. lakilaki tua itu bisa menjaga jarak hingga sejauh dua batang
tombak. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya cepat kembali melesat
hendak meninggalkan makhluk aneh berwarna merah menyala ini.
"Hap!"
Namun begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja dari arah belakang terasa ada
desir angin mengandung hawa panas membara. Eyang Baranang jadi terkesiap juga.
Cepat-cepat tubuhnya meliuk. Dan saat itu juga, terlihat kilatan cahaya merah
melesat begitu cepat di sampingnya. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya,
Eyang Baranang kembali terbeliak! Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah
berdiri sosok tubuh yang memancarkan cahaya merah menyala bagai gumpalan api!
Slap! "Ikh..."!"
Eyang Baranang jadi terpekik, begitu tiba-tiba tangan makhluk aneh ini mengibas
ke depan. Dan belum juga bisa menyadari apa yang terjadi, tangan makhluk itu
sudah mencengkeram batang lehernya!
"Akh...!"
Eyang Baranang jadi terpekik, begitu tubuhnya terasa terangkat naik. Dan saat
itu juga, tubuh orang tua itu terbanting keras sekali ke tanah, sehingga,
membuatnya kembali terpekik di tanah. Dan begitu gelimpangan tubuhnya terhenti
saat menghantam sebatang pohon tumbang, makhluk merah itu terlihat sudah melesat
cepat sekali. Dan tahu-tahu, kedua kakinya siap mendarat tepat di dada orang tua
ini. Hingga... "Hegkh! Aaaakh...!"
Jeritan melengking tinggi pun seketika terdengar menyayat, memecah kesunyiah
malam di puncak Gunung Garuling ini. Tampak Eyang Baranang menggeliat-geliat di
bawah injakan kaki makhluk berwarna merah menyala bagai gumpalan api ini. Dan
tidak berapa lama kemudian tubuhnya mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak
lagi. Tampak asap berwarna kemerahan mengepul dan dadanya, begitu makhluk merah
ini mengangkat kakinya dari dada Eyang Baranang. Dan pelahan-lahan, tubuh orang
tua itu jadi menghitam hangus seperti terbakar. Lalu tidak berapa lama saja
seluruh tubuh orang tua ini hancur jadi debu.
"Ghragkh! Ha ha ha...!"
*** Suara tawa keras menggelegar terdengar memecah kebisuan malam yang dingin dan
berselimut awan tebal menghitam ini. Suara tawa yang begitu keras, seakan-akan
hendak meruntuhkan seluruh punggung Gunung Garuling. Bahkan suara tawa itu bagai
tidak akan pernah terhenti.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi di puncak
gunung yang dingin dan berselimut kabut tebal ini. Dan tidak jauh dari tubuhnya,
terlihat berdiri sesosok makhluk berbentuk manusia yang seluruh tubuhnya membara
seperti terbakar. Dan tawa yang menggelegar itu datangnya dari makhluk bertubuh
bagai api ini. Tampak kedua bola matanya yang memerah bagai sepasang bola api, menatap nyalang
pada tubuh Eyang Baranang yang menggeletak tidak bernyawa lagi, tidak jauh dari
tempatnya berdiri. Pelahan di hampirinya tubuh orang tua yang tidak bergerak-
gerak itu. Sebentar dipandangi. Dan suara tawanya pun sudah terhenti saat kedua
bola matanya yang merah membara memandangi tubuh Eyang Baranang.
"Ghrrrm...! Kau akan menjadi pengikutku yang pertama, Orang Tua...," terdengar
berat dan dingin sekali suara makhluk yang tubuhnya seperti terselubung api itu.
Pelahan makhluk itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas kepala.
Kemudian, dari mulutnya terdengar geraman kecil, namun begitu dahsyat bagai
Guntur. Dan tidak berapa lama, tampak kedua tangannya dihentakkan ke tubuh Eyang
Baranang yang tergeletak tidak jauh di depannya. Saat itu juga, dari kedua
telapak tangan makhluk bertubuh api itu memancar cahaya merah membara yang
mengepulkan asap kemerahan. Cahaya merah itu langsung menerpa tubuh Eyang Ba-
ranang, dan menyelimuti seluruh tubuhnya!
"Ghrrrr...!"
Tampak tubuh Eyang Baranang mulai bergerak menggeletar. Semakin lama, getaran di
tubuhnya semakin terlihat kencang. Hingga akhirnya, tubuh laki-laki tua berjubah
biru tua itu mengambang, tidak menyentuh tanah sedikit pun juga. Tapi tubuhnya
masih terus menggeletak seperti orang kedinginan. Dan begitu kedua tangan
makhluk bertubuh api ini terhentak ke belakang, tubuh Eyang Baranang kembali
mengeletak di tanah.
"Bangkit kau, Orang Tua! Ghrrr...!" bentak makhluk bertubuh api itu lantang.
Belum juga bentakan itu, hilang tiba-tiba saja kelopak mata Eyang Baranang
terbuka. Namun sedikit pun tidak terlihat adanya cahaya kehidupan pada kedua
bola matanya. Dan dengan gerakan yang sangat kaku, Eyang Baranang langsung
bangkit berdiri tegak di depan makhluk bertubuh api ini. Sedikit pun tubuhnya
tak bergeming, berdiri tegak dengan pandangan lurus dan kosong ke depan.
"Ha ha ha...!"
Makhluk bertubuh api ini tertawa terbahak-bahak, melihat Eyang Baranang yang
sudah tidak bernyawa bisa bangkit berdiri lagi. Tapi sedikit pun Eyang Baranang
tidak menggerakkan tubuhnya. Bahkan raut wajahnya begitu datar, sedangkan
pandangan matanya kosong, tertuju lurus ke depan.
"Orang tua! Siapa namamu..?" tanya makhluk bertubuh api itu.
"Baranang," sahut Eyang Baranang.
Suara orang tua itu terdengar sangat datar. Bahkan sedikit pun tak terdengar
adanya tekanan pada nada suaranya, malah saat bicara tadi pun, hanya sedikit
saja bergerak bibirnya.
Dan dia terus memandang kosong ke depan. Sama sekali hdak terlihat adanya napas
kehidupan, walaupun Eyang Baranang tegak pada kedua kakinya.
"Dari mana kau berasal?" tanya makhluk bertubuh api itu lagi.
"Desa Batang," sahut Eyang Baranang masih dengan suara yang datar, tanpa tekanan
sedikit pun. "Bagus! Sekarang, kau kembali ke desa asal mu. Kau buat desa itu menjadi
neraka," perintah makhluk bertubuh api itu.
"Baik..."
"Pergilah sekarang juga. Dan aku ingin kau membawa manusia-manusia tangguh
sepertimu. Tapi! Kau harus membawanya dalam keadaan sudah mati. Aku akan
menjadikan mereka pengikutku yang paling setia sepertimu. Dan seluruh jagat ini
akan kukuasai. Ha ha ha....!"
Eyang Baranang hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun. Sementara suara
tawa makhluk bertubuh api itu masih terus terdengar beberapa saat.
"Berangkatlah kau sekarang, Baranang," perintah makhluk bertubuh api itu tegas.
"Baik...," sahut Eyang Baranang datar.
Tanpa diperintah dua kali lagi, Eyang Baranang segera berbalik, dan melangkah
pergi menuruni puncak Gunung Garuling ini. Sementara makhluk bertubuh api itu
memandangi sampai orang tua itu lenyap dari pandangan mata. Dan dia kembali
tertawa keras dan menggelegar, bagai halilintar membelah angkasa.
"Ha ha ha...!"
*** Matahari baru saja menampakkan wujudnya. Cahayanya yang terang, hangat menyirami
seluruh permukaan bumi Desa Batang. Dua hari penuh, desa itu bagaikan mati dari
segala kegiatan. Baru hari ketiga ini penduduk desa itu keluar dari dalam
rumahnya, setelah terdengar kokok ayam jantan, dan pancaran sinar sang Surya
unruk menghangatkan bumi yang selama dua hari ini terus-menerus diselimuti
kegelapan serta hembusan angin kencang yang membawa tihk titik air hujan.
Dari sebuah rumah kecil dan sederhana yang agak terpencil letaknya, terlihat
Eyang Jambala melangkah keluar dari dalam. Orang tua itu berialan pelahan-lahan
dengan bantuan sebatang tongkat kayu di tangan kanannya. Dia berhenti melangkah
tepat di tengah-tengah halaman depan yang tidak begitu luas. Dan pandangan
matanya langsung tertuju lurus ke arah puncak Gunung Garuling yang kini tampak
bening tanpa sedikit pun terlihat kabut menggantung menyelimutinya.
"Hhh...! Sudah tiga hari ini Kakang Baranang tidak kembali. Apa yang terjadi
padanya di sana...?" desah Eyang Jambala pelahan. Bicara pada diri sendiri.
Namun perhatian Eyang Jambala teralih, saat dua orang pemuda melintas di depan
halaman rumahnya. Kedua pemuda itu menyapanya ramah. Dan Eyang Jambala membalas
hanya dengan anggukkan kepala dan senyum tipis tersungging di bibir. Kedua


Pendekar Rajawali Sakti 111 Teror Si Raja Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu menghentikan ayunan langkah kakinya, melihat raut wajah Eyang Jambala
terlihat terselimut mendung.
"Aku tidak apa-apa. Pergilah kalian," kata Eyang Jambala, sebelum kedua pemuda
itu bisa membuka suara.
"Maaf, Eyang...," ucap salah seorang seraya membungkuk sedikit memberi hormat.
"Hm.. "
Eyang Jambala hanya menggumam kecil saja, seraya menganggukkan kepala sedikit.
Dan kedua anak muda Desa Batang itu melangkah pergi meninggalkannya sendirian.
Kembali perhatian Eyang Jambala tercurah ke puncak Gunung Garuling yang siang
ini puncaknya terlihat begitu indah. Namun tiba-tiba saja...
"Oh..."!"
Eyang Jambala jadi tersentak kaget. Kelopak mata orang tua itu jadi terlihat
agak menyipit, mulutnya ternganga. Dan pandangannya tertuju ke arah puncak
Gunung Garuling. Raut wajahnya terlihat jagi agak memucat, seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang tengah disaksikannya sekarang ini.
"Bagaimana mungkin..." Oh, Dewata Yang Agung Bencana apa yang akan melanda jagat
ini...?" desah Eyang Jambala agak tersendak nada suaranya.
Tanpa sadar orang tua berjubah putih itu melangkah beberapa tindak ke depan. Dan
raut wajahnya kini memancarkan kesungguhan yang amat sangat, memperhatikan satu
tempat di puncak Gunung Garuling. Sorot matanya terlihat begitu tajam seakan-
akan ingin menegaskan penglihatannya,
"Kakang Baranang.... Oh, tidak..! Ini tidak boleh terjadi, aku harus segera
mencarinya ke sana. Mudah-mudahan saja belum terlambat," desah Eyang Jambala
lagi. Setelah berkata demikian pada dirinya sendiri, dengan kecepatan bagai kilat
Eyang Jambala yang membawa sebatang tongkat kayu melesat bagaikan angin. Begitu
tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja bayangan
baju jubah yang dikenakannya sudah tak terlihat lagi. Dan lesatan yang begitu
cepat, membuat debu serta daun-daun kering berterbangan ke angkasa, bagaikan
dihempas tiupan angin kencang.
2 Tepat di saat matahari berada di atas kepala. Eyang Jambala baru sampai di
Puncak Gunung Garuling. Laki-laki berjubah putih itu berhenti tidak jauh di
depan sebuah tingkaran hitam yang masih mengepulkan asap tipis di tanah berumput
yang tidak begitu tebal. Kedua bola matanya terbeliak lebar, melihat bulatan
hitam di depannya. Dan pelahan pandangannya beredar ke sekeliling. Tampak
keadaan sekitarnya begitu hancur porak-poranda, seperti habis terjadi
pertarungan sangat dahsyat.
"Jagat Dewa Batara.... apa yang terjadi di sini...?" desah Eyang Jambala
bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Laki-laki tua berjubah putih itu terus mengedarkan pandangan ke sekeliling,
merayapi sekitarnya yang hancur porak-poranda. Seakan-akan ada yang tengah
dicarinya. Dan memang, dia sedang mencari Eyang Baranang yang sudah tiga hari
ini menghilang, setelah mengatakan ingin pergi ke puncak Gunung Garuling ini.
Tapi sedikit pun tidak ditemukan tanda-tanda kalau kakaknya itu pernah datang ke
tempat ini. Namun dari keadaan yang hancur seperti ini, Eyang Jambala begitu
yakin kalau Eyang Baranang pasti pernah menginjakkan kakinya di sini dalam nga
hari belakangan ini.
Belum lagi Eyang Jambala bisa berpikir lebih banyak, mendadak saja merasa ada
desir angin yang begitu halus menerpa tubuhnya dari belakang. Sebuah terpaan
angin yang dirasakannya bukan angin biasa. Dan Eyang Jambala cepat-cepat
berbalik. "Kakang Baranang..."
Eyang Jambala hendak melangkah menghampiri begitu Eyang Baranang tahu-tahu sudah
berada di depannya. Tapi langkah kakinya jadi terhenti melihat raut wajah Eyang
Baranang begitu pucat. Dan pandangannya juga kosong, tanpa cahaya kehidupan
sedikit pun juga. Sedangkan Eyang Baranang sendiri hanya tegak seperti patung,
sehingga membuat Eyang Jambala jadi ragu-ragu untuk mendekatinya.
"Kakang, kenapa kau"! Apa yang terjadi pada mu..."! Kenapa wajahmu pucat sekali,
Kakang...?"
Eyang Jambala menyerbu dengan pertanyaan beruntun. Dirasakan adanya keanehan
yang begitu menyolok pada diri kakaknya. Dan keanehan itulah yang membuatnya
jadi ragu-ragu mendekati.
Namun pertanyaan Eyang Jambala yang beruntun tidak mendapatkan jawaban sama
sekali. Bahkan Eyang Baranang malah menyeringai, membuat Eyang Jambala jadi
terhenyak. Tampak baris-baris gigi orang tua di depannya seperti gigi binatang
buas. Begitu runcing dan tajam, seperti siap hendak mengoyak tubuhnya. Maka
Eyang Jambala langsung saja menarik kakinya ke belakang dua langkah.
"Kakang...," Eyang Jambala masih mencoba bicara sambil berusaha menenangkan
diri. Ghrrr...!"
Tapi sahutan Eyang Baranang malah berupa geraman kecil yang membuat Eyang
Jambala jadi terlompat ke belakang sejauh tiga langkah. Laki-laki berjubah putih
ini mendengar geraman yang sangat mengerikan keluar dari bibir orang tua yang
sejak kecil teramat dekat dan sangat dikenalnya.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Apa yang telah terjadi pada kakang Baranang...?"
desah Eyang Jambala lirih.
Eyang Jambala benar-benar tidak tahu, apa yang telah terjadi di puncak Gunung
Garuling ini, hingga Eyang Baranang jadi berubah seperti itu. Sorot matanya yang
semula terlihat kosong tanpa cahaya kehidupan, kini berubah menjadi merah
menyala bagai sepasang bola api. Dan bibirnya semakin lebar menyeringai,
memperlihatkan baris-baris gigi yang runcing dan bertaring tajam seperti mata
pisau. "Kau pasti bukan Kakang Baranang. Siapa pun kau, enyahlah dari tubuh
kakakku...!" desis Eyang Jambala dingin menggetarkan.
"Ghraaakh...!"
Eyang Baranang malah menggerung keras. Sementara, Eyang Jambala sudah menggeser
kakinya pelahan ke kanan. Dan saat itu juga Eyang Baranang melesat cepat bagai
kilat, menerjang orang tua yang memegang tongkat kayu pada tangan kanannya.
Begitu cepat gerakannya hingga membuat Eyang Jambala jadi tersentak sesaat. Tapi
dengan gerakan gesit sekali, Eyang Jambala berhasil menghindari terjangan
kakaknya yang sudah berubah ini.
"Hap! Hiyaaa...!"
Sambil melenting ke udara, Eyang Jambala melepaskan satu tendangan keras
menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat
tendangannya, sehingga Eyang Baranang tidak sempat lagi berkelit. Terlebih lagi,
saat ini tubuhnya tengah doyong ke depan. Dan....
Duk! "Ghragkh!"
Tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Eyang Jambala tepat
menghantam punggung. Akibatnya, Eyang Baranang yang kini sudah berubah seperti
makhluk liar itu jadi terdorong ke depan beberapa langkah. Tapi dengan gerakan
begitu cepat tubuhnya diputar. Langsung saja diberikannya satu kibasan tangan
kanan yang begitu keras, hingga menimbulkan desir angina menggetarkan jantung.
"Haiiit..!"
Eyang Jambala cepat-cepat melompat ke belakang. Dan begitu kibasan tangan kanan
Eyang Baranang lewat di depan tubuhnya, cepat sekali tongkatnya dikebutkan,
langsung diarahkan ke bagian kepala orang tua yang sudah berubah jadi makhluk
mengerikan ini.
Wut! Tak! "Argkh...!"
Untuk kedua kalinya Eyang Baranang meraung keras, begitu hantaman tongkat Eyang
Jambala menghantam telak di batok kepalanya. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa
saat ke belakang, sambil meraung memegangi kepalanya. Sementara, Eyang Jambala
sudah siap dengan tongkat tergenggam erat di tangan kanan.
Agak terkesiap juga laki-laki tua berjubah putih ini melihat Eyang Baranang
tidak mengalami luka sedikit pun juga pada kepalanya. Padahal, tadi tongkat
kayunya diayunkan dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Dan semula dia
begitu yakin kalau kepala Eyang Baranang bakal pecah terhantam tongkatnya. Tapi,
apa yang terlihat sungguh membuat hatinya jadi terkesiap. Sedikit pun tidak
terlihat luka pada kepala orang tua berjubah biru muda itu.
Bahkan Eyang Baranang kembali bersiap hendak menyerang, setelah menggeleng-
gelengkan kepala beberapa kali. Sepertinya, dia tengah menghilangkan rasa pening
akibat sabetan tongkat kayu Eyang Jambala pada kepalanya tadi.
*** Semula Eyang Jambala memang ragu-ragu untuk melayani pertarungan ini. Maka
begitu menyadari kalau yang dihadapinya bukan lagi kakaknya, walaupun berwujud
tubuh kakaknya, Eyang Jambala tidak lagi tanggung-tanggung melancarkan serangan.
Dia sadar di dalam tubuh itu berisi makhluk yang sangat liar dan ganas, dengan
nafsu membunuh sangat tinggi. Maka kini setiap kibasan tongkat Eyang Jambala
selalu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Tapi walaupun beberapa kali Eyang Baranang terkena hantaman tongkat kayu, tampak
sama sekali tidak berpengaruh pada dirinya. Tubuhnya sedikit pun tidak terluka.
Bahkan kelihatan semakin bertambah ganas saja. Serangan serangan yang
dilancarkan begitu berbahaya. Kedua tangannya mengibas dengan cepat dan sangat
dahsyat. Setiap kibasannya menimbulkan hempasan angin kencang yang mengandung
hawa panas menyengat. Akibatnya udara di sekitar pertarungan jadi semakin me-
nipis oleh hempasan hawa panas dari setiap kibasan tangan Eyang Baranang,
membuat dada terasa sesak.
"Ugkh...! Kalau begini terus, bisa habis napasku! Kakang Baranang benar-benar
sudah berubah.... Aku harus mencari tahu, apa penyebabnya. Ugkh...!" Eyang
Jambala jadi mengeluh dalam hati.
Eyang Jambala merasakan napasnya semakin sesak. Dan memang, udara di sekitarnya
semakin menipis saja. Bahkan serangan-serangan yang di lancarkannya, kini
seperti tidak berarti sama sekali pada Eyang Baranang. Sabetan tongkatnya pun
tidak menimbulkan pengaruh apa-apa.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu mendapat kesempatan yang sangat sedikit, Eyang Jambala cepat-cepat
melenting ke belakang, seraya berputaran beberapa kali di udara. Lalu manis
sekali kakinya menjejak kembali di tanah, dengan jarak sejauh dua batang tombak
dari Eyang Baranang.
"Aku tidak boleh mati di sini, agar bisa memperingatkan penduduk Desa Batang,"
desis Eyang Jambala agak tersengal suaranya.
Namun keinginan Eyang Jambala memang tidak mudah dilaksanakan. Sebelum bisa
bergerak. Eyang Baranang sudah melesat cepat bagai kilat kembali menyerangnya.
Satu kibasan tangan kanannya melayang deras di arahkan ke dada Eyang Jambala.
"Hap!"
Cepat-cepat Eyang Jambala melompat ke samping. Langsung tongkat kayunya
dikibaskan, mencoba menangkis serangan tangan kanan Eyang Baranang. Begitu cepat
gerakan yang mereka lakukan, sehingga sangat sulit diikuti pandangan mata biasa.
Dan mendadak saja...
Wut! Trak! "Heh...!"
Eyang Jambala jadi tersentak kaget setengah mati. Dirasakan tongkatnya bagai
membentur sebongkah batu cadas yang teramat keras. Dan kedua bola matanya
semakin terbeliak lebar begitu melihat tongkatnya sudah buntung menjadi dua
bagian. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Eyang Baranang
sudah kembali melesat dengan serangan menggeledek, sambil memperdengarkan
gerungan menggetarkan.
"Ghrooougkh...!"
Bet! Satu kibasan tangan kiri yang begitu cepat, sama sekali tidak dapat dilihat
Eyang Jambala. Terlebih lagi saat, itu keterkejutannya belum sempat dihilangkan.
Hingga.... Plak! "Akh...!"
Eyang Jambala kontan jadi terpekik, begitu kibasan tangan kiri Eyang Baranang
berhasil mendarat telak di dadanya. Begitu keras kibasan itu, hingga Eyang
Jambala jadi terpental sejauh tiga batang tombak. Lalu keras sekali tubuhnya
terbanting ke tanah. Beberapa kali Eyang Jambala bergulingan di tanah yang
berumput tidak begitu tebal ini.
"Hup!"
Namun Eyang Jambala cepat melesat bangkit berdiri, walaupun jadi terhuyung-
huyung. Tampak darah kental memenuhi rongga mulutnya.
"Hoeeek...!"
Eyang Jambala langsung memuntahkan darah kental yang menggumpal di dalam
mulutnya. Dengan punggung tangan kiri, disekanya darah yang masih tersisa di
bibir. Napasnya masih terasa begitu sesak. Bahkan pandangannya berkunang-kunang.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah kembali siap melakukan serangan.
"Phuih! Aku harus cepat meninggalkan tempat ini...!" dengus Eyang Jambala dalam
hati, sambil menyemburkan ludah yang bercampur darah. Tenaganya sungguh luar
biasa. Aku tidak akan mampu menandinginya hanya seorang diri saja. Iblis mana
pun yang bersarang di dalam tubuhnya, pasti memiliki tenaga sangat besar dan
kekebalan tubuh. Huh...!"
Eyang Jambala mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mencari kesempatan
yang baik untuk bisa cepat pergi dari tempat itu. Sementara itu, Eyang Baranang
sudah melangkah pelan-pelan mendekati. Dan dari mulutnya terus memperdengarkan
suara menggereng seperti harimau kelaparan melihat seekor domba yang gemuk.
"Ghrrraukh. !"
Begitu habis menggereng panjang dan keras menggelegar, bagai kilat Eyang
Baranang melesat menerjang Eyang Jambala. Dan kali ini, satu pukulan tangan
kanan dilepaskan begitu cepat dan menggeledek.
"Hup! Hiyaaa...!"
Eyang Jambala cepat-cepat melenting tinggi-tinggi ke udara, menghindari serangan
Eyang Baranang. Dan pukulan yang dilepaskan bagai guntur di siang bolong itu
hanya menghantam pohon beringin yang sangat besar batangnya. Seketika, pohon
yang sangat besar itu hancur berkeping-keping, memperdengarkan ledakan keras
menggelegar yang begitu dahsyat. Bahkan mampu membuat seluruh permukaan tanah di
puncak Gunung Garuling ini jadi bergetar! Sementara itu, Eyang Jambala sudah
berada di atas sebuah pohon.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang buang kesempatan yang ada, Eyang Jambala cepat-cepat melenting ke
pohon yang satu lagi. Dan kembali cepat melenting hanya dengan menotokkan ujung
jarinya saja pada batang pohon.
"Ghraaagkh...!"
Melihat lawannya mencoba melarikan diri, tampaknya Eyang Baranang merasa tidak
puas. Dia langsung menggerung dahsyat sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-
tinggi ke atas kepala. Dan tangan yang sudah terkepal, cepat ditujukan ke arah
Eyang Jambala yang semakin terlihat jauh.
"Ghraaagkh....'"
Eyang Baranang melesat cepat mengejar lawannya, sambil mengeluarkan gerungan
panjang yang terdengar begitu dahsyat. Begitu cepat gerakan Eyang Baranang,
sehingga dalam sekejap mata saja bayangan jubah biru muda yang dikenakannya
tidak terlihat sama sekali.
*** "Phuih...!"
Eyang Jambala menghembuskan napas panjang-panjang. Dia berhenti berlari, lalu
berpaling ke belakang. Tidak terlihat ada yang mengejarnya di belakang.
Sementara, sekelilingnya hanya pepohonan saja yang terlihat. Eyang Jambala tahu
kalau saat ini masih berada di bagian lereng Gunung Garuling. Pelahan kakinya
mulai terayun setelah jalan napasnya kembali seperti biasa.
"Hhh!" Apa yang terjadi sebenarnya..." Kenapa Kakang Baranang jadi liar
begitu..?"
Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam kepala Eyang Jambala, tapi tidak satu
pun yang bisa terjawab. Eyang Jambala terus berjalan pelahan-lahan menuruni
lereng Gunung Garuling ini. Otaknya terus berpikir dan bertanya-tanya tentang
semua yang baru saja terjadi pada dirinya. Dia benar-benar tidak mengerti,
kenapa Eyang Baranang jadi liar seperti binatang buas begitu"
Eyang Jambala terus berjalan pelahan-lahan sambil memikirkan kejadian yang baru
saja dialami. Memang sulit untuk bisa diterima akal sehat manusia biasa. Eyang
Baranang yang sudah dikenalnya sejak kecil, bahkan sudah dianggapnya sebagai
kakak sendiri, mendadak saja jadi berubah liar dan ganas begitu. Bahkan sama
sekali bdak mengenalnya lagi. Ini benar-benar membuatnya jadi tidak mengerti.
Saat berjalan dengan pikiran terus melayang, tiba-tiba saja orang tua itu
dikejutkan oleh gerungan yang begitu keras dari belakang. Cepat tubuhnya
berbalik. Dan seketika itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar,
melihat Eyang Baranang berlari dengan kecepatan sangat tinggi ke arahnya.
"Heh. "! Mau apa dia mengejarku terus...?"


Pendekar Rajawali Sakti 111 Teror Si Raja Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Jambala tidak sempat lagi menjawab pertanyaannya sendiri, karena Eyang
Baranang sudah melesat cepat bagai kilat menerjangnya. Cepat-cepat tubuhnya
meliuk ke kiri, menghindari terjangan yang begitu cepat luar biasa. Namun belum
juga bisa menarik tegak tubuhnya kembali, Eyang Baranang sudah kembali melesat
cepat menyerang sambil memperdengarkan raungan yang begitu keras menggetarkan
jantung. "Haiiit..!"
Kembali Eyang Jambala harus meliukkan tubuhnya, menghindari serangan yang begitu
cepat. Jari-jari tangan Eyang Baranang yang terkembang lebar, mengibas begitu
cepat mengarah ke dadanya. Namun dengan egosan tubuh yang begitu indah sekali,
Eyang Jambala berhasil menghindari. Dan cepat-cepat dia melompat ke belakang,
menjaga jarak sejauh lima langkah.
"Ghraaaugkh...!"
Kembali Eyang Baranang melesat bagai kilat menerjang dengan jari-jari tangan
terkembang lebar, mengincar leher Eyang Jambala.
"Hap! Yeaaah...!"
Tapi, kali ini Eyang Jambala sudah siap menghadapi serangan yang sangat dahsyat
mematikan ini. Dan begitu jari-jari tangan Eyang Baranang dekat dengan lehernya,
seketika itu juga tangan kanannya dikebutkan disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Plak! Benturan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Begitu kerasnya, hingga Eyang Jambala
jadi meringis. Maka cepat-cepat tangannya ditarik sambil meompat ke belakang
beberapa langkah. Hampir tidak dipercaya dengan yang dialaminya barusan.
Pergelangan tangan kanannya terasa seperti remuk, dan jadi panas menyengat saat
berbenturan dengan tangan Eyang Baranang tadi! Dirasakannya seakan-akan
tangannya habis menyentuh lempengan besi baja yang baru saja diangkat dari dalam
tungku pembakaran. Begitu panas, sampai pergelangan tangannya menghitam bagai
terbakar. "Ghraaagkh...!"
Sementara itu, Eyang Baranang sudah kembali melompat menyerang sambil meraung
keras. Dan ini membuat Eyang Jambala jadi agak bergetar juga hatinya. Namun
dengan gerakan gesit sekali, Eyang Jambala cepat-cepat melompat ke kiri,
menghindari serangan orang tua ini. Dan saat itu juga, dilepaskannya satu
tendangan keras menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Eyang Jambala, sehingga Eyang Baranang
yang baru saja gagal melancarkan serangan, tidak sempat lagi menghindar.
Akibatnya lambung orang tua berjubah biru muda itu terkena tendangan keras meng-
geledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Saking kerasnya,
hingga membuat Eyang Baranang jadi meraung keras merasakan kesakitan sekali.
Tapi tubuhnya cepat berbalik dan langsung melesat tinggi ke atas, melewati ke-
pala Eyang Jambala. Seakan-akan rasa sakit yang diakibatkan tendangan keras
bertenaga dalam tinggi pada lambungnya tadi tidak dihiraukan. Dia kembali
menyerang ganas dan cepat luar biasa, membuat Eyang Jambala jadi terkesiap.
Sungguh tidak di sangka kalau Eyang Baranang jadi begitu kuat dan tangguh.
"Hup! Hiyaaa...!"
Eyang Jambala cepat-cepat melenting kebelakang dan berputaran beberapa kali,
menghindari serangan yang dilancarkan Eyang Baranang ini. Dan begitu kakinya
menjejak tanah, tanpa diduga sama sekali satu tendangan yang begitu cepat
melayang ke arah dadanya. Eyang Jambala yang baru saja menjejakkan kakinya di
tanah, sama sekali tidak menduga datangnya serangan ini. Akibatnya dia tidak
sempat lagi menghindarinya. Dan...
Diegkh! "Akh...!"
Suara pekikan tertahan pun terdengar, bersamaan terpentalnya tubuh Eyang Jambala
ke belakang dengan deras sekali. Dan sekarang pohon yang sangat besar, langsung
hancur berkeping-keping terlanda punggung orang tua ini. Tampak Eyang Jambala
terguling beberapa kali di antara pecahan pohon yang terlanda tubuhnya tadi. Na-
mun, dia cepat berusaha bangkit berdiri, begitu melihat Eyang Baranang sudah
kembali hendak menyerang.
"Ugkh..!"
Tapi begitu berdiri, Eyang Jambala jadi terhuyung. Sementara tangan kanannya
terus mendekap dada yang terkena tendangan keras menggeledek tadi. Tampak darah
kental menyembur dari mulutnya, begitu orang tua ini terbatuk. Sepertinya, Eyang
Jambala mengalami luka dalam yang cukup parah, sehingga darah terpaksa harus
menyembur dari mulutnya. Dan saat itu, Eyang Baranang sudah cepat menggeser
kakinya mendekati. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi
dari Eyang Jambala, dia menggerung keras sambil mengangkat kedua tangannya
tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
"Ghraaagkh...!"
Slap! "Ohk! Mati aku...," desah Eyang Jambala, begitu melihat Eyang Baranang sudah
kembali menyerangnya.
Begitu cepat serangan Eyang Baranang ini, hingga membuat Eyang Jambala tidak
punya kesempatan lagi untuk menghindar. Terlebih lagi, sekarang ini menderita
luka dalam yang cukup parah pada dadanya, sampai darah kental terus mengalir
dari mulutnya. Namun begitu jari-jari tangan yang runcing dan agak menghitam itu
hampir sampai di lehar Eyang Jambala, mendadak saja...
Slap! Plak! "Argkh...!" "Heh..."!"
3 Eyang jambala jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terlihat berkelebat sebuah
bayangan putih begitu cepat memapak serangan Eyang Baranang. Dan satu benturan
yang begitu keras, membuat Eyang Baranang jadi meraung dahsyat dan terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu
bergulingan beberapa kali. Namun, dia cepat bisa bangkit tegak berdiri lagi,
sebelum Eyang Jambala bisa menyadari apa yang terjadi.
"Ghrrr...!"
Eyang Baranang jadi menggeram sengit, melihat seorang pemuda berwajah tampan
tahu-tahu sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, tepat
di depan Eyang Jambala yang masih terlongong bengong seperti bermimpi. Sungguh,
seakan tidak dipercayai apa yang sedang dialaminya sekarang ini. Sementara
pemuda yang tiba-tiba saja muncul menyelamatkan nyawa orang tua ini, tetap
berdiri tegak membelakanginya. Tampak sebilah pedang bergagang kepala burung
bertengger di punggungnya. Pemuda itu sungguh tegap. Dan urat-uratnya yang
tersembul dari balik baju rompi putih yang dikenakannya bisa terlihat jelas.
Sementara itu, Eyang Baranang sudah menggeser kakinya pelahan-lahan ke kanan,
sambil menggerung-gerung seperti seekor binatang buas kelaparan. Sorot matanya
terlihat begitu tajam dan memerah, menatap langsung ke wajah tampan pemuda
berbaju rompi putih yang berada sekitar dua batang tombak di depannya.
Perhatiannya kini tidak lagi tertuju pada Eyang Jambala, tapi pada pemuda tampan
yang menyelamatkan nyawa Eyang Jambala tadi.
"Ghrrraugkh...!"
Sambil memperdengarkan gerungan yang begitu dahsyat, Eyang Baranang melesat
cepat menyerang pemuda berbaju rompi putih ini. Dan Saat itu juga, tangan
kanannya mengibas cepat mengarah ke dada.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan tubuh, pemuda berbaju rompi putih yang
menyandang pedang di punggung ini mudah sekali menghindarinya. Bahkan langsung
memberikan serangan balasan yang begitu cepat, hingga sulit diduga. Dia langsung
melepaskan satu tendangan keras menggeledek sambil melompat sedikit. Begitu
cepatnya tendangan itu, hingga Eyang Baranang tidak sempat lagi menghindarinya.
Terlebih, tubuhnya saat itu sedang doyong ke depan. Maka, tendangan pemuda itu
tepat menghantam dadanya.
Diegkh! "Aaargkh...!"
"Aaargkh...!" Eyang Baranang menggerung keras sambil melesat cepat. Lalu,
dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang begitu dahsyat!
"Hup! Hiyaaa...!" Pemuda berompi putih itu pun menghentakkan kedua tangannya ke
depan, menyambut pukulan Eyang Baranang. Maka...
Glaaarrr...! Eyang Baranang meraung keras, dan kontan terpental beberapa langkah ke belakang.
Tapi, dia cepat bisa menguasai keseimbangan tubuh kembali, dan langsung saja
menggerung sambil melesat menyerang. Seketika dilepaskannya, satu pukulan keras
menggeledek yang begitu dahsyat luar biasa!
"Hup! Hiyaaa...!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda berbaju rompi putih ini malah
menghentakkan kedua tangannya ke depan, tanpa ada usaha menghindar sedikit juga.
Akibatnya pukulan yang dilepaskan Eyang Baranang tepat menghantam kedua telapak
tangan pemuda itu. Maka seketika itu juga...
Glaaar...! Satu ledakan yang begitu keras seketika terjadi. Tampak kilatan bunga api
memercik dari kedua tangan yang beradu keras ini. Dan saat itu juga, Eyang
Baranang meraung keras dengan tubuh terpental balik ke belakang Sementara,
pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih bersih ini masih tetap berdiri tegak,
tidak bergeming sedikit pun juga. Terlihat dari kedua telapak tangannya yang
terbuka menjulur ke depan, asap tipis berwarna agak kemerahan mengepul terbawa
angin. Sementara itu, Eyang Baranang jatuh bergulingan beberapa kali di tanah,
tapi cepat bisa bangkit berdiri tegak.
"Hm, hebat... Luar biasa sekali tenaganya. Kalau orang biasa, pasti sudah hancur
lebur terkena pukulan geledekku ini," gumam pemuda itu pelahan, memuji
ketangguhan lawannya.
Sementara itu di tempat lain, terlihat Eyang Jambala berdiri agak jauh di tempat
yang cukup aman. Diperhatikannya semua pertarungan yang terjadi. Hatinya sungguh
mengagumi ketangguhan pemuda berbaju rompi putih yang sama sekali belum
dikenalnya ini, dan tiba-tiba saja muncul menyelamatkan nyawanya. Dan baru saja,
beberapa kali pemuda itu berhasil membuat Eyang Baranang jatuh bangun.
"Kau pasti bukan lagi manusia, Orang tua. Siapa yang ada di dalam dirimu...?"
terdengar dingin dan lantang sekali suara pemuda itu.
"Ghraaagkh...!"
Tapi Eyang Baranang hanya menjawab pertanyaan itu dengan gerungan panjang
menggetarkan, begitu kerasnya, hingga seluruh lereng Gunung Garuling terasa
bergetar. Sementara, pemuda berbaju rompi putih tetap berdiri tegak denga sorot
mata begitu tajam menusuk, memperhatikan orang tua yang berdiri sekitar dua
batang tombak di depannya.
"Kau kelihatan berbahaya sekali bagi orang banyak, Orang Tua. Terpaksa kau harus
kuredam sebelum membuat neraka di jagat ini," kata pemuda berbaju rompi putih
itu lagi, masih dengan nada suara terdengar dingin menggetarkan.
Setelah berkata begitu, cepat pemuda itu merapatkan kedua telapak tangannya ke
depan dada. Dan pelahan-lahan tubuhnya bergerak doyong ke kanan, lalu pelahan
lahan pula ditarik hingga doyong ke kiri. Dan begitu tubuhnya kembali tegak,
telah tampak semburat cahaya biru pada kedua telapak tangan yang merapat di
depan dada. Sementara, sorot matanya masih terlihat tajam, memperhatikan Eyang
Baranang yang tetap berdiri agak membungkuk di depannya. Sedangkan kaki pemuda
berbaju rompi putih ini sudah terpentang cukup lebar, dan agak tertekuk ke depan
lututnya. Saat itu mendadak saja...
Slap! Wusss...! Tiba-tiba saja terlihat kilatan cahaya merah bagai api melesat di angkasa,
diikuti hembusan angin kencang yang membuat debu serta daun-daun kering
berterbangan bagai terlanda badai. Bahkan pepohonan langsung berguguran daun-
daunnya. Kejadian yang begitu cepat ini, membuat Eyang Jambala dan pemuda
berbaju rompi putih itu jadi tersentak. Namun belum juga hilang rasa
keterkejutan mereka, mendadak saja tubuh Eyang Bararang melesat cepat bagai
kilat. Hingga dalam sekejap saja bagaikan tertelan bumi.
"Hhh...!"
Pemuda berbaju rompi putih ini melepaskan telapak tangannya yang menyatu
pelahan-lahan setelah tubuhnya tegak kembali. Dan saat itu, cahaya biru yang
menyemburat dari kedua telapaknya lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Eyang
Jambala bergegas berlari-lari menghampiri.
*** "Anak muda, terimalah salam hormatku...," ucap Eyang Jambala seraya membungkuk
sedikit dengan kedua telapak tangan menyatu di depan dada.
"Sudahlah, Ki. Tidak perlu bersikap begitu padaku," sambut pemuda ini diiringi
senyum ramah sekali.
"Maaf, Anak Muda. Siapakah kau sebenarnya" Kepandaian yang kau miliki sungguh
mengagumkan. Kalau kau tidak muncul tadi, mungkin sekarang ini tubuhku sudah
menjadi santapan cacing-cacing tanah," kata Eyang Jambala.
"Oh, ya... Aku Eyang Jambala, dari Desa Batang. Tidak jauh dari lereng Gunung
Garuling ini. Ada di sebelah sana..."
"Namaku Rangga, Eyang," sahut pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus
tersenyum ramah.
Pemuda tampan itu memang Rangga, yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal
berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Eyang Jambala yang memang tidak
pernah mengikuti perkembangan dunia persilatan, sama sekali tidak tahu kalau
sekarang sedang berhadapan dengan seorang pendekar muda dan digdaya yang namanya
selalu menjadi buah bibir orang-orang persilatan. Baik mereka yang beraliran
putih, maupun hitam.
"Nak Rangga, aku benar-benar berterima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau
tidak keberatan, aku senang sekali bila kau sudi mampir ke gubukku di Desa
Batang barang sejenak," ujar Eyang Jambala langsung mengundang.
"Aku berada di sini tidak seorang diri, Eyang."
"Oh, berapa orang temanmu?"
"Satu. Tidak lama lagi dia pasti datang. Terpaksa tadi kutinggalkan, begitu aku
mendengar suara pertarungan. Dia harus menuntun kudaku yang mendadak saja jadi
rewel." Belum juga selesai kata-kata Pendekar Rajawali Sakti itu, sudah terdengar
hentakan-hentakan langkah kaki kuda mendekati. Dan tidak berapa lama kemudian,
muncul seorang gadis cantik berbaju biru menunggang kuda putih. Di belakangnya
berjalan seekor kuda hitam yang kelihatannya begitu gelisah. Binatang itu
mendengus-dengus sambil menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Dan, gadis
itu langsung melompat turun dari punggung kudanya, setelah dekat dengan kedua
orang laki-laki ini. Langsung dihampirinya Rangga yang berdiri di depan Eyang
Jambala sambil memandangi dengan bibir terus menyunggingkan senyum. Dari sebuah
kipas yang terselip di pinggangnya, jelas sekali kalau gadis ini adalah Pandan
Wangi. Dan di kalangan rimba persilatan, dia dikenal sebagai Si Kipas Maut.
Walaupun, di punggungnya tersandang sebilah pedang bergagang kepala naga yang
berwarna hitam berkilat.
"Kakang, Dewa Bayu tidak mau diam. Dia malah hampir membuatku terjatuh dari
kuda. Sepertinya, dia tidak mau diajak ke sini," kata Pandan Wangi mengomel
sambil merengut.
Rangga hanya tersenyum saja, dan langsung memperkenalkan si Kipas Maut pada
Eyang Jambala tanpa mempedulikan gerutunya. Pandan Wangi buru-buru menjura
memberi salam penghormatan. Eyang Jambala segera membalasnya dengan tubuh
membungkuk sedikit.
"Pandan, Eyang Jambala mengajak kita mampir ke rumahnya. Kau mau...?" ujar
Rangga, mengutarakan maksud orang tua itu.
"Terserah kau saja, Kakang. Tapi...," sahut Pandan Wangi terputus.
"Tapi apa, Nisanak?" tanya Eyang Jambala.
"Jauh tempatnya?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Tidak...," sahut Eyang Jambala sedikit tersenyum. "Kenapa kau ranyakan itu,
Nisanak?" Pandan Wangi tidak langsung menjawab. Dan matanya melirik sedikit pada kuda
hitam Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatan begitu
gelisah, seakan-akan tidak senang berada di tempat ini. Rangga dan Eyang Jambala
juga menatap ke arah kuda hitam yang terus mendengus berat sambil menghentak
hentakkan kedua kaki depannya ke tanah.
"Aku kira Dewa Bayu akan berubah kalau sudah sampai di Desa Batang. Biasanya,
perasaan yang dimiliki binatang lebih peka dari manusia. Aku yakin, dia
mengetahui sesuatu yang tidak bisa kita ketahui di sini," kata Eyang Jambala.
Seakan-akan bisa mengerti kegelisahan Dewa Bayu.
"Kau benar, Eyang. Sejak memasuki daerah Gunung Garuling ini, Dewa Bayu sudah
kelihatan gelisah. Bahkan sempat mengamuk kira-kira dua atau tiga hari yang
lalu, saat seluruh daerah Gunung Garuling tertutup awan tebal," sambut Rangga
membenarkan pendapat orang tua itu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat pergi, Anak Muda. Tempat ini memang tidak
baik untuk ditinggali. Ayo, kita akan lebih leluasa lagi berbicara di gubukku
nanti," ajak Eyang Jambala.


Pendekar Rajawali Sakti 111 Teror Si Raja Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas melangkah meninggalkan lereng Gunung
Garuling ini. Rangga dan Pandan Wangi berjalan di belakang Eyang Jambala, sambil
menuntun kuda masing-masing. Mereka terus berjalan agak cepat, tanpa bicara
sedikit pun juga. Tapi, kening Rangga sedikit agak berkerut melihat Eyang
Jambala berjalan cepat, seakan-akan memang ingin segera meninggalkan gunung yang
kelihatan angker dan menyeramkan ini. Entah, apa yang ada dalam benak Pendekar
Rajawali Sakti saat ini.
*** Pandan Wangi sempat berdecak kagum setelah berada di dalam rumah Eyang Jambala
yang tidak begitu besar dan sangat sederhana. Kekagumannya bukan karena melihat
bentuk rumahnya, tapi kebersihannya. Padahal Eyang Jambala mengatakan kalau
sekarang hanya sendiri saja tinggal di sini. Dan dalam perjalanan tadi, Eyang
Jambala sempat bercerita banyak tentang semua yang telah terjadi, sampai
bertarung dengan saudara angkatnya sendiri. Dan hampir saja, dia terbunuh kalau
saja Rangga tidak segera datang menyelamatkannya.
"Beginilah keadaan gubukku, Nini. Gubuk kakek renta yang tidak punya daya apa-
apa," kata Eyang Jambala merendah.
"Ah! Kau terlalu merendahkan diri, Eyang. Walaupun sederhana, tapi sangat
bersih. Seperti sering terkena sentuhan tangan wanita," puji Pandan Wangi.
Eyang Jambala mempersilakan kedua tamunya duduk di kursi kayu yang sudah tua.
Namun, Pandan Wangi kembali berdecak kagum, begitu tidak mendapatkan debu
sedikit pun di kursi ini. Begitu bersih, walaupun keadaannya sudah sangat lapuk.
Hatinya benar-benar mengagumi orang tua ini dalam merawat rumahnya.
Sementara itu, Eyang Jambala sudah menghilang ke bagian belakang. Tapi tidak
lama dia muncul lagi, membawa sebuah baki kayu yang berisi dua guci arak kecil
dan tiga buah gelas bambu. Pandan Wangi cepat berdiri dan mengambil baki itu
dari tangan Eyang Jambala, kemudian meletakkannya di atas meja yang berada tepat
di depan kursi yang didudukinya tadi. Kemudian, diisinya gelas-gelas bambu
dengan arak dari guci berukuran kecil yang tampaknya terbuat dari tembikar.
"Silakan.... Hanya ini yang bisa kuhidangkan," ujar Eyang Jambala mempersilakan
dengan sikap ramah sekali.
'Terima kasih, Eyang," sahut Rangga dan Pandan Wangi bersamaan.
Mereka menikmati arak manis yang harum ini. Rangga sempat berdecak memuji
kelezatan arak yang dihidangkan Eyang Jambala. Selama dalam pengembaraannya,
baru kali ini Pendekar Rajawali Sakti merasakan arak yang begitu nikmat dan
harum. Sungguh lain dengan arak-arak yang biasa ditemuinya. Pandan Wangi pun
merasakan yang sama. Maka langsung pujiannya tulus diutarakan, membuat Eyang
Jambala jadi tersipu.
"Itu hanya arak buatan penduduk sini. Hanya arak murah yang bisa kudapatkan,"
Eyang Jambala kembali merendah.
"Tapi arak ini benar-benar nikmat, Eyang.. Belum pernah aku menemukan arak
senikmat ini," kembali Pandan Wangi memuji.
"Ah! Sudahlah, Nini... Bisa besar kepalaku nanti kalau dipuji terus menerus,"
kata Eyang Jambala mencoba menghentikan pujian si Kipas Maut itu.
Pandan Wangi jadi tersenyum, dan kembali menuangkan arak dari dalam guci kecil
ke dalam gelasnya. Kemudian ditambahkannya arak itu ke gelas Rangga. Dan, gadis
itu kembali meneguknya hingga tandas. Rangga hanya menggelengkan kepala saja
melihat Pandan Wangi yang menganggap arak seperti air putih biasa dari sungai.
Sedangkan Eyang Jambala terlihat senang melihat tamunya menyukai arak yang
disuguhkannya. Dia bangkit berdiri lagi dari kursinya.
"Mau ke mana, Eyang?" tanya Rangga.
"Aku masih punya persediaan arak yang cukup," kata Eyang Jambala terus saja
berjalan ke belakang.
Rangga tidak bisa lagi mencegah orang tua itu. Dan matanya langsung melirik
Pandan Wangi yang sudah mengisi gelasnya lagi. Baru beberapa saat saja, sudah
empat gelas arak yang masuk dalam tenggorokan gadis ini. Dan pada saat Pandan
Wangi hendak meneguk untuk yang kelima kalinya, Rangga cepat mecekal pergelangan
tangannya. Pandan Wangi jadi mendelik, melihat Rangga mencegah agar tidak menghabiskan arak
yang siap diminumnya.
"Aku tidak mau melihat kau mabuk! Pandan. Jangan terlalu banyak," Rangga
menasehati. "Dulu aku sering minum-minuman seperti ini, Kakang. Bahkan yang lebih keras
sekalipun," kata Pandan Wangi seraya melepaskan cekalan tangan Pendekar Rajawali
Sakti pada pergelangan tangannya.
Tapi, gadis itu juga tidak ingin membuat kekasihnya kecewa. Maka diletakkannya
gelas bambu yang berisi penuh arak manis itu ke atas meja.
"Itu dulu, Pandan. Tapi sekarang kau sudah lain. Aku tidak ingin melihatmu liar
lagi seperti dulu," kata Rangga mengingatkan lagi.
Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum saja mendengar kata-kata Pendekar Rajawali
Sakti itu. Dia jadi teringat pertemuannya pertama kali dengan pemuda tampan yang kini
menjadi kekasihnya. Dan gadis itu tertawa sendiri kalau mengingat masa-masa
kehidupannya dulu. Memang, dia dikenal sebagai gadis liar yang tidak pernah
mengenal tata krama kehidupan.
Sejak kecil Pandan Wangi memang hidup mengembara dari satu tempat ke tempat
lain. Dan sudah beberapa orang yang menjadi gurunya, sebelum kakeknya yang entah
benar atau tidak telah meninggal dalam pertarungan. Tapi, Pandan Wangi yang
sekarang memang sudah lain hanya terkadang, masih belum bisa mengendalikan
kesabarannya. Bahkan kalau sedang bertarung, keganasannya selalu lebih menonjol.
Hingga, terkadang Rangga harus selalu memperingatkan. Dan Pandan Wangi sendiri
tidak pernah merasa marah atau tersinggung setiap kali Rangga memperingatkannya.
Hatinya malah merasa senang. Padahal dulu, tidak ada seorang pun yang bisa
menasehatinya. "Kenapa tersenyum...?" tegur Rangga.
"Ah, tidak...," sahut Pandan Wangi masih saja tersenyum-senyum sendiri.
Saat itu, Eyang Jambala sudah kembali membawa lima guci arak yang cukup besar
ukurannya, dan langsung dilerakkan di atas meja. Pandan Wangi jadi tersenyum
lebar. Sementara, Rangga hanya diam saja. Dan matanya hanya melirik sedikit pada
guci-guci arak yang berada di depannya. Mereka bertiga kembali duduk melingkari
meja kayu yang tidak begitu besar ukurannya, yang terbuat dari kayu biasa yang
sudah lapuk. "Aku senang kalau kalian menyukai arak ini. Jangan takut kehabisan. Aku punya
persediaan yang cukup banyak. Bahkan bisa untuk sebuah perayaan," kata Eyang
Jambala. "Terima kasih, Eyang. Ini saja sudah cukup banyak," ujar Rangga.
"Ayo, Nini. Jangan malu-malu. Gadis-gadis di desa ini juga semuanya minum arak.
Bagi penduduk Desa Batang, minum arak seperti juga minum air biasa dari
pancuran," ujar Eyang Jambala lagi.
Rangga hanya tersenyum saja. Sementara, Pandan Wangi sudah kembali meneguk habis
araknya. Memang selama berjalan bersama-sama dengan Pendekar Rajawali Sakti itu,
Pandan Wangi terpaksa harus menahan kegemarannya minum arak. Bahkan hampir tidak
pernah meneguk minuman yang bisa memabukkan ini. Tapi mendapatkan arak yang
begitu nikmat, keinginannya tidak bisa terbendung lagi. Sementara, Rangga
sendiri tidak bisa lagi mencegah, karena tidak ingin Eyang Jambala tersinggung.
"Eyang, aku masih belum bisa mengerti. Bagaimana Eyang Baranang bisa jadi
berubah seperti itu...?" Rangga memulai kembali pembicaraan yang sempat
terputus. "Itulah yang menjadi pertanyaan, Rangga. Kakang Baranang pergi ke puncak Gunung
Garuling di saat seluruh alam ini diliputi kegelapan beberapa hari. Aku menunggu
di sini sampai ttiga hari lamanya. Dan begitu matahari muncul, aku langsung
menyusulnya. Tapi yang kudapatkan...." Eyang Jambala tidak melanjutkan.
"Peristiwa alam yang terjadi kemarin, memang kurasakan seperti bukan kejadian
alam biasa. Seperti ada kekuatan dahsyat yang menyebabkan langit tertutup awan
hitam beberapa hari. Dan terus terang, Eyang. Aku sendiri jadi tertarik ke
Gunung Garuling, karena melihat adanya cahaya merah dari puncaknya. Aku ingin
mencari tahu, cahaya apa itu," timpal Rangga.
"Yaaah ..., Kakang Baranang juga pergi ke sana karena melihat cahaya itu. Aku
sudah memperingatkan, tapi dia tetap keras kepala. Aku tidak tahu, apa yang
telah terjadi padanya, hingga jadi berubah liar begitu," pelan sekali terdengar
suara Eyang Jambala.
"Eyang sudah sampai ke puncak Gunung Garuling?" selak Pandan Wangi bertanya.
"Sudah," sahut Eyang Jambala seraya beralih menatap Kipas Maut itu.
"Lalu, apa yang kau temukan di sana?" tanya Pandan Wangi lagi.
Eyang Jambala hanya menggelengkan kepala saja. Dia memang tidak menemukan apa-
apa di puncak Gunung Garuling, kecuali hutan yang berantakan saja, seperti habis
terjadi pertempuran sengit. Dan semua itu diceritakan pada kedua pendekar muda
yang menjadi tamunya ini, tanpa sedikit pun ada yang dikurangi atau dilebihkan.
Sementara Rangga kelihatan begitu penuh perhatian pada persoalan ini. Dan
memang, kedatangannya ke Gunung Garuling karena melihat cahaya merah menyala
dari atas puncaknya. Saat itu, memang seluruh alam terselimut awan hitam tebal,
hingga dalam beberapa hari tidak tampak cahaya matahari maupun bulan. Dunia
seakan-akan hendak kiamat. Bahkan tidak seekor binantang pun yang keluar dari
sarangnya. Kejadian inilah yang membuat Rangga jadi tertarik untuk
mengetahuinya. "Kakang, apa sebaiknya kita pergi saja ke puncak Gunung Garuling. Barangkali di
sana kita bisa menemukan jawaban lebih banyak lagi," saran Pandan Wangi.
"Hmmm...," tapi Rangga hanya menggumam saja mendengar saran si Kipas Maut itu.
"Kalau boleh kunasihatkan, sebaiknya kalian berdua tidak perlu pergi ke sana.
Terlalu berbahaya...," selak Eyang Jambala.
Rangga dan Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan pada orang tua ini.
"Aku yakin, ada sesuatu kekuatan yang sangat dahsyat di sana, yang belum bisa
kita ketahui. Demi keselamatan kalian berdua, sebaiknya tidak perlu pergi ke
sana lagi. Kita lihat saja perkembangannya dulu," sambung Eyang Jambala.
Rangga dan Pandan Wangi saling melemparkan pandangan. Mereka sama-sama
mengangkat bahunya, belum bisa memutuskan apa yang akan dilakukan.
"Kalian berdua bisa tinggal di sini. Dan aku membantu apa saja yang dibutuhkan,"
kata Eyang Jambala lagi.
"Terima kasih hanya itu yang terucap dari bibir Rangga.
4 Malam sudah jatuh menyelimuti Gunung Garuling. Kegelapan dan kesunyian begitu
terasa. Bahkan angin pun seakan enggan berhembus membuat udara terasa begitu
panas. Sementara Rangga yang terpaksa harus tinggal sementara di rumah Eyang
Jambala, belum bisa memicingkan matanya. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa
berdiri mematung di depan jendela kamar yang dibiarkan terbuka lebar. Dari
jendela kamar ini, dia bisa memandang jelas ke arah puncak Gunung Garuling yang
kelihatan menghitam bagai raksasa tidur.
"Hm, sepi sekali malam ini...," gumam Rangga pelahan.
Dan Rangga merasakan ada sesuatu yang janggal malam ini. Rasanya kesunyian
teramat sangat menyelimuti sekitarnya. Begitu sunyi, sampai suara gerit serangga
malam pun tidak terdengar sedikit pun juga. Bahkan tidak terasa adanya hembusan
angin, sehingga udara terasa begitu panas. Padahal langit tampak hitam
berselimut awan tebal, tanda-tanda akan turun hujan.
Keanehan semakin terasa menyelimuti hati Pendekar Rajawali Sakti, saat menjelang
tengah malam. Udara yang begitu panas. semakin terasa bagai membakar tubuhnya.
Bahkan titik keringat sudah membanjir di seluruh tubuh.
Dan tiba-tiba saja, terdengar ringkikan kuda yang begitu keras. Rangga jadi
tersentak juga, saat mengenali kalau ringkikan itu pasti berasal dari Dewa Bayu
yang dirambatkan di samping rumah ini. Dan ringkikannya juga terdengar seperti
sedang menderita. Bergegas Rangga menjulurkan kepalanya ke luar melalui jendela,
hendak melihat kuda tunggangannya Dan pada saat kepalanya ke luar jendela...
Slap! "Heh..."!"
Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba
saja terlihat kilatan cahaya merah bagai api melesat begitu cepat melintas di
depan wajahnya. Cepat kepalanya ditarik. Namun, sambaran cahaya merah itu cukup
membuat wajahnya panas bagai terbakar. Rangga cepat-cepat melompat ke belakang,
langsung menyilangkan tangan kiri di depan wajahnya.
'Dewata Yang Agung! Apa itu...?"
Kedua bola mata Rangga kontan terbeliak begitu melihat sesosok tubuh berbentuk
manusia tahu-tahu sudah berdiri tidak seberapa jauh di depan jendela kamar ini.
Sosok tubuh yang mengeluarkan api seperti orang terbakar itu berdiri tegak
menghadap ke jendela kamar yang terbuka ini.
Belum juga Rangga bisa mengerahui, mendadak saja manusia yang seluruh tubuhnya
memancarkan cahaya api itu mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika
itu juga, melesat segumpal bola api yang langsung menembus masuk melalui
jendela. "Heh..."! Hap!"
Rangga cepat-cepat menghentakkan tangan kanannya, memberi pukulan menggeledek
dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir, begitu melihat
manusia yang bertubuh api menyerang. Angin pukulan yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti memang sangat kuat luar biasa, hingga gumpalan bola api itu
terpental balik keluar. Tapi Rangga juga jadi terdorong ke belakang dua langkah.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat ke luar menerobos jendela kamar ini.
Langsung disadari kalau manusia bertubuh api ini bisa saja membakar rumah Eyang
Jambala yang ditempatinya, kalau tidak cepat-cepat keluar. Sungguh ringan
gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga,
kakinya menjejak tanah, tepat sekitar satu batang tombak di depan manusia
bertubuh api ini.
"Siapa kau...?" Rangga langsung melontarkan pertanyaan tegas.
"Ghrrr...! Aku si Raja Api," sahut manusia bertubuh api memperkenalkan diri.
"Hm... Apa maksudmu menyerangku?" tanya Rangga lagi.
"Jawabnya ada pada dirimu sendiri, Pendekar Rajawali Sakti."
"Heh..."! Kau tahu namaku...?" Rangga jadi terperanjat, karena makhluk aneh yang
menamakan diri si Raja Api itu sudah mengetahui julukannya.
"Kedatanganmu memang sudah lama kutunggu, Pendekar Rajawali Sakti. Orang
sepertimulah yang kucari. Kau tangguh dan berilmu tinggi, sehingga akan
membantuku menguasai seluruh jagad ini," kata si Raja Api dengan suara berat dan
besar sekali. Rangga hanya terdiam dengan kening berkerut. Kata-kata si Raja Api barusan sudah
barang tentu membuat hatinya jadi tidak senang. Tidak mungkin dia sudi membantu
keinginan yang dianggapnya gila itu. Menguasai jagad... Keinginan yang tidak
akan mungkin bisa terlaksana.
"Raja Api! Kalau kau sudah tahu siapa diriku, tentu juga sudah bisa menebak
jawabanku dari keinginanmu yang gila itu," tegas Rangga agak lantang suaranya.
"Ghrrr...! Sudah kuduga kau akan bersikap begitu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi,
ketahuilah. Raja Api tidak boleh ditolak. Dan kau akan merasakan akibatnya,
karena berani menolak keinginan Raja Api," sambut si Raja Api dingin.
"Kau tidak bisa memaksaku, Raja Api. Bahkan aku akan menentang segala keinginan
gilamu itu!"
"Ghrrr...!"
Si Raja Api tampak geram mendengar jawaban tegas Pendekar Rajawali Sakb. Dia
sampai menggerung keras, membuat tanah yang dipijaknya jadi bergetar bagai
diguncang gempa. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit
pun juga. Kedua bola matanya menyala tajam, memperhatikan manusia yang seluruh
tubuhnya memancarkan api dan menyebarkan hawa panas yang membakar.
"Kau akan menyesal telah menolakku, Pendekar Rajawali Sakti. Ingat-ingatlah
itu...!" ancam si Raja Api sambil menggeram kecil.
Setelah melontarkan kata-kata ancaman begitu si Raja Api memutar tubuhnya. Dan
saat itu juga, tubuhnya melesat dengan kecepatan bagai kilat. Begitu cepat
lesatannya, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya merah. Dan dalam sekejap
mata saja, dia sudah lenyap dari pandangan mata. Sementara, Rangga tetap berdiri
tegap memandang ke arah perginya si Raja Api.
Saat itu Pendekar Rajawali Sakti mendengar suara gerit daun pintu dibuka.
Perlahan Rangga berbalik, dan melihat Pandan Wangi bersama Eyang Jambala keluar
dari dalam kamar. Sementara kuda hitam bernama Dewa Bayu yang berada di samping
rumah ini sudah tidak lagi meringkik membuat gaduh.
"Kakang, ada apa tadi...?" Pandan Wangi langsung rnelontarkan pertanyaan begitu
dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak ada apa-apa," sahut Rangga seraya melangkah menuju beranda depan.
Pandan Wangi mengikuti dari belakang. Sementara, Eyang Jambala lebih tertarik
pada hal lain. Dan kakinya segera melangkah menghampiri tempat si Raja Api tadi
berdiri. Pelahan tubuhnya jongkok menekuk lututnya. Dan tanganya langsung meraba
tanah yang sedikit berumput dan kelihatan menghitam hangus seperti terbakar.
Kening Eyang Jambala jadi berkerut. Sambil menghembuskan napas panjang yang
terasa berat, laki-laki tua itu kembali berdiri dan langsung berbalik. Kakinya
kini melangkah agak tergesa-gesa menghampiri Rangga dan Pandan Wangi yang sudah
duduk di balai bambu di beranda depan rumah ini.
***

Pendekar Rajawali Sakti 111 Teror Si Raja Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rangga...."
"Ada apa, Eyang?"
Rangga menggeser duduknya, memberi tempat pada Eyang Jambala. Dan orang tua yang
sudah lanjut usianya ini duduk bersila tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, Pandan Wangi bergeser mendekati pemuda berbaju rompi putih ini.
Tampak begitu jelas pada raut wajah Eyang Jambala yang jadi memucat seperti
kapas. "Ada apa, Eyang" Kenapa kau kelihatan...?" pertanyaan Rangga tidak selesai,
karena.... "Kau temukan sesuatu Eyang?" selak Pandan Wangi.
"Hhhh...!"
Eyang Jambala tidak langsung menjawab pertanyaan kedua pendekar muda itu.
Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat kuat. Seakan begitu berat
untuk mengutarakan, apa yang ditemukannya barusan. Dipandanginya Rangga dan
Pandan Wangi bergantian, seakan-akan ada yang hendak dicarinya pada kedua pasang
bola mata pendekar di depannya. Dan pandangannya terus tertuju pada Rangga.
Tentu saja hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi merasa agak jenggah.
"Ada apa, Eyang" Kenapa kau memandangku begitu?" tegur Rangga halus.
"Mahkluk apa yang kau jumpai tadi, Rangga?" Eyang Jambala malah balik bertanya.
"Aku tidak tahu, mahkluk apa itu. Tubuhnya seperti manusia biasa, tapi
seluruhnya terdiri dari api. Dan dia menamakan dirinya si Raja Api," sahut
Rangga. "Sudah kuduga sejak semula desah Eyang Jambala seraya menghembuskan napas berat.
"Ada apa, Eyang" Kau tahu siapa dia...?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Hhhh...!"
Lagi-lagi Eyang Jambala tidak langsung menjawab, kecuali menghembuskan napas
panjang terasa begitu berat. Sementara Rangga dan Pandan Wangi memandangi dengan
sinar mata begitu dalam pada wajah laki-laki tua ini. Sedangkan yang dipandangi
masih terdiam dengan pandangan lurus ke depan, ke arah puncak Gunung Garuling
yang menghitam bagaikan raksasa sedang tidur.
"Apa yang diinginkannya darimu, Rangga?" tanya Eyang Jambala setelah cukup lama
membisu. "Entahlah..., aku tidak mengerti maksudnya," sahut Rangga tidak mau berterus
terang. "Hhhh. !"
Kembali Eyang Jambala menghembuskan napas panjang. Sementara, Rangga jadi
semakin bertanya-tanya dalam hati. Perasaannya mengatakan kalau orang tua ini
mengetahui sesuatu tentang makhluk bertubuh api yang tadi muncul menjumpainya,
dengan satu keinginan gila yang tentu saja sangat ditentang semua kaum pendekar
di kolong langit ini.
"Ketahuilah, Rangga. Orang-orang di Desa Batang ini mempercayai adanya dewa-
dewa. Dan salah satunya, adalah Dewa Api. Mereka juga percaya kalau para dewa
itu mempunyai keturunan. Dan terkadang, keturunan dewa itu menjelma menjadi
manusia. Demikian pula Dewa Api. Kabarnya, Dewa Api mempunyai seorang putra yang
turun ke bumi, tanpa meminta restu lebih dulu dari ayahnya. Sehingga
penjelmaannya menjadi manusia tidak sempurna. Walaupun bentuk tubuhnya sudah
mirip manusia, tapi tidak bisa menghilangkan api yang ada pada dirinya. Dia
ingin kembali ke Swargaloka, tapi para dewa sudah mengutuknya. Makanya hingga
akhir zaman, dia tetap berada di bumi dengan bentuk manusia bertubuh api.
Mendapat kutukan itu, dia menjadi murka. Maka kemarahannya dilampiaskan pada
semua mahkluk yang ada di bumi ini. Aku tidak ingat lagi, kapan kemunculannya
yang terakhir kali. Dan sekarang, rupanya dia muncul lagi untuk membuat bumi ini
menjadi neraka, agar bisa kembali ke Swargaloka," panjang lebar Eyang Jambala
mengisahkan kepercayaan penduduk Desa Batang.
"Lalu, apa hubungannya dengan si Raja Api, Eyang?" tanya Pandan Wangi ingin
lebih jelas lagi.
"Si Raja Api itulah putra Dewa Api," sahut Eyang Jambala.
"Oooh...," Pandan Wangi mendesah panjang.
Kembali mereka terdiam membisu.
"Sekarang aku baru tahu, kenapa Kakang Baranang jadi berubah seperti itu.
Tampaknya, Raja Api ingin kembali melakukan sepak terjangnya dengan cara yang
sama. Dia selalu mencari orang-orang berkepandaian tinggi yang akan dibunuhnya,
dan kemudian dihidupkan kembali dengan diwarisi ilmu para dewa. Ah, Kakang
Baranang.... Kenapa kau bernasib malang begitu...?" desah Eyang Jambala lirih.
"Eyang, untuk apa si Raja Api membunuh dan membangkitkan kembali orang-orang
berkepandaian tinggi?" tanya Rangga ingin tahu lebih banyak lagi.
"Dia selalu membentuk bala tentara dari orang-orang berkepandaian tinggi yang
sudah mati. Dengan bala tentaranya, seluruh jagat ini akan dikuasainya.
Maksudnya untuk mendesak para dewa agar diperbolehkan kembali ke Swargaloka.
Kalau keinginannya tidak juga dikabulkan, seluruh jagat ini bisa dibakar hangus
Rangga," jelas Eyang Jambala gamblang.
"Kalau begitu, dia harus segera dicegah, Kakang," selak Pandan Wangi
bersemangat. 'Tidak semudah yang diperkirakan, Nini Pandan. Raja Api bukanlah manusia, tapi
keturunan langsung dari Dewa Api. Dan tidak ada seorang pun yang bisa
mengalahkannya. Dia tidak akan pernah mati," kata Eyang Jambala.
Wanita Iblis 17 Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka Pendekar Sakti 9
^