Sengketa Tiga Potong Peta 2
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta Bagian 2
habisi saja mereka semua!" sentak Pandan Wangi, dengan amarah meluap-luap.
Gadis itu memang dongkol sekali sejak tadi terhadap pemuda yang dianggapnya
sangat memandang rendah. Maka ketika orang-orang itu menyerang, si Kipas Maut
seperti mempunyai tempat untuk melampiaskan diri. Dengan gemas, dia melompat ke
sana kemari. Sedangkan senjata kipasnya berkelebat cepat mencari mangsa.
Trak! Trak! Brettt!
"Aaaa...!"
Bunyi denting senjata dan pekik kematian langsung terdengar saling bersusulan,
begitu si Kipas Maut berkelebat
cepat sambil mengebutkan senjatanya. Untuk sesaat para pengeroyok itu jadi
terkejut. Beberapa tewas secara mudah, dan yang lainnya akan menyusul. Namun
melihat jumlah mereka, semangat orang-orang itu tidak kendor. Mereka terus
menyerang tanpa mengenal takut.
Rangga sendiri tidak sampai hati untuk menurunkan tangan kejam. Namun orang-
orang itu terlalu memaksa- Sehingga, sesekali pukulan mautnya terpaksa ikut
berbicara. Lagi pula, pemuda itu lebih mengutamakan keselamatan Ki Wiranata dan
Diah Kumitir ketimbang melampiaskan kekesalan dengan menghajar murid-murid
Perguruan Arghaloka.
Yang paling menderita adalah Ki Wiranata. Sambil menggendong Diah Kumitir, laki-
laki tua itu terpaksa melindungi diri dari serangan murid-murid Perguruan
Arghaloka yang bukan main gencarnya. Kalau saja Rangga tidak melindunginya,
niscaya dalam waktu singkat mereka pasti akan tewas direncah tombak-tombak
pendek para pengeroyok.
"Ki Wiranata, kita tidak bisa terus-terusan begini. Kasihan Diah Kumitir. Dia
akan ketakutan sekali. Kalian harus menyelamatkan diri. Tunggu aku di ujung
jalan di dekat Hutan Pagar Alam. Ayo, tidak ada waktu lagi! Pergilah. Dan aku
akan membuka jalan bagimu!" bisik Rangga pelan.
"Tapi, Rangga...."
"Cepat'"
Rangga tidak mempedulikan ocehan orang tua itu. Tubuhnya langsung melenting dan
berputaran. Begitu kakinya mendarat, kedua tangannya langsung menyentak ke
depan, melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
tingkat pertama yang disertai pengerahan tenaga dalam tidak begitu tinggi.
Werrr! "Aaaakh...!"
Lima orang yang terdekat langsung terjungkal disertai jerit kesakitan, ketika
beberapa cahaya merah langsung meluruk menerpa mereka.
"Hiyaaa...!"
Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya sudah kembali berkelebat
dengan gerakan gesit disertai kebutan tangannya. Sebentar saja dua orang di
sebelah kanan kontan terpekik dan tewas dengan dada remuk. Tubuh Pendekar
Rajawali Sakti terus berkelebat, menyambar tiga orang yang berada di barisan
kiri Maka kembali terdengar pekik kesakitan. Tubuh mereka langsung ambruk dan
tewas. Dengan gerakan cepat Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat. Dan kini,
Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi 'Seribu Rajawali'.
"Hei, di mana dia" Aku tidak bisa melihatnya!" seru seorang murid perguruan itu
dengan wajah heran
"Gila! Gerakannya cepat sekali. Seolah-olah dia berjumlah seribu. Tapi.., he"
Jangan-jangan dia memang tidak sendiri"!"
sahut yang lain dengan mulut ternganga.
Gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang memainkan jurus
'Seribu Rajawali" memang cepat bukan main. Sehingga, orang-orang yang
mengeroyoknya mengira Pendekar Rajawali Sakti menjadi sangat banyak. Akibatnya
mereka dibuat kebingungan.
Sementara tanpa disadari, satu demi satu mereka ambruk tidak berdaya terkena hantaman pukulan atau tendangan.
Kesempatan seperti itu yang digunakan Ki Wiranata untuk melarikan diri dari
tempat ini. "Pandan Wangi, pergilah! Lindungi mereka! Biar kubereskan orang-orang ini!"
teriak Rangga. "Tidak! Biar aku saja yang membereskan mereka. Sebaiknya, Kakang saja yang
melindungi mereka!" bantah Pandan Wangi.
Penolakan itu bisa dimaklumi, karena gadis itu tengah dibakar amarah. Namun
Rangga tidak bisa membiarkannya, sebab bisa mencelakakan gadis itu sendiri.
"Pandan Wangi, pergilah. Jangan membantah! Lindungi Ki Wiranata dan Diah
Kumitir!" sentak Rangga, lantang Gadis itu memberengut. Hatinya memang marah dan
kesal betul pada orang-orang itu, sehingga ingin menghajarnya sampai tidak ada
yang tersisa. Namun perkataan Rangga tidak bisa dibantah. Maka mesti dengan hari
kesal, perintah Rangga diturutinya juga.
"Huh! Jangan coba-coba bisa melarikan diri begitu saja!"
desis Setiaji garang, seraya melompat menyerang Pandan Wangi.
"Jangan pedulikan dia! Pergilah, biar aku yang menghadapi!"
Rangga langsung melompat memapak, begitu melihat gelagat Pandan Wangi akan
berbalik menghajar Setiaji.
"Hiyaaa...!"
Mau tidak mau, Pandan Wangi terpaksa mengurungkan niatnya. Dia terus melompat
mengejar Ki Wiranata yang tengah menggendong cucunya. Beberapa orang murid
Perguruan Arghaloka mencoba menghalangi. Namun, agaknya mereka hanya menjadi
tempat pelampiasan kemarahan gadis itu saja.
"Huh! Kalian boleh mampus...!"
Trak! Trakk! Brettt! "Aaaa...!"
*** Tiga orang murid Perguruan Arghaloka langsung terjungkal bermandikan darah,
tersambar senjata si Kipas Maut Pandan Wangi sudah hendak melabrak yang lain,
namun saat itu juga Rangga kembali membentak.
"Pandan Wangi, jangan membandel! Pergilah, dan selamatkan mereka!"
"Iya, iya...!" sahut gadis itu kesal seraya berlari cepat menyusul Ki Wiranata
dan cucunya. Pada saat yang bersamaan, Rangga harus memapak serangan Setiaji yang dialihkan
padanya, setelah melihat Pandan Wangi berhasil meloloskan diri.
Plak! "Uuhh...!"
Setiaji terkejut bukan main begitu serangannya berhasil dipapak Pendekar
Rajawali Sakti. Kepalan tangan kanannya yang berisi tenaga dalam tinggi dihantam
Rangga, seenaknya saja ditangkis Rangga dengan telapak tangan kiri. Sama sekali
tidak terlihat kalau pemuda berbaju rompi putih itu mengeluh kesakitan.
Sebaliknya wajah Setiaji berkerut menahan sakit.
Kepalan tangannya seperti menghantam dinding baja saja.
Belum juga rasa sakitnya hilang, kembali datang serangan yang begitu cepat dari
Rangga berupa sapuan kaki. Masih untung Setiaji mampu menjatuhkan diri untuk
menghindarinya.
Rangga memang tidak berhenti sampai di situ. Begitu Setiaji bangkit berdiri, dia
terus menghajar dengan gerakan cepat
Begitu serangan Pendekar Rajawali Sakti mendekat, Setiaji cepat mengayunkan
tombak pendeknya ke arah lambung. Dan bersamaan dengan itu, senjata kipasnya
disambarkan ke leher.
Namun, Rangga lebih cepat mencelat ke atas. Begitu berada di udara, tubuhnya
meluruk dengan ujung kaki kanannya mengarah ke dada. Gerakannya cepat sekali,
hingga tidak pernah diduga oleh Setiaji. Sehingga....
Desss..,! "Aaaakh...!"
Setiaji menjerit kesakitan, begitu dadanya terhantam kaki Pendekar Rajawali
Sakti. Tubuhnya terjungkal dengan napas sesak. Lalu, dia mencoba bangkit
berdiri, walaupun terhuyung-huyung.
"Itu peringatan pertama bagimu, Kisanak! Ingat, aku akan datang ke tempatmu
untuk menyelesaikan persoalan ini! Ingat baik-baik. Dan sampaikan salam Pendekar
Rajawali Sakti pada ayahmu!" kata Rangga dingin.
Begitu kata-katanya selesai, Pendekar Rajawali Sakti melompat dan berkelebat
cepat dari tempat itu, sebelum anak buah Setiaji mampu berbuat apa pun.
"Pendekar Rajawali Sakti...?" Setiaji tergagap dan wajahnya tampak pucat
"Ada apa, Setiaji...?" tanya salah seorang anak buahnya.
"Pemuda itu...." "
"Kau ingin kami mengejarnya?"
"Percuma saja. Kalian tidak akan mampu mengejarnya. Dia Pendekar Rajawali
Sakti...," sahut Setiaji dengan wajah berkerut menahan sakit.
"Pendekar Rajawali Sakti..."!" Wajah murid itu menunjukkan perasaan kaget.
Setiaji mengangguk lemah.
"Pantas saja dia mampu mudah menghajar kita..!" desis lainnya sambil menggeleng
tidak percaya. "Lalu bagaimana sekarang, Setiaji" Orang tua itu kabur, sedangkan peta itu tidak
kita peroleh. Apa yang akan kita katakan pada guru" Lebih dua puluh orang murid
perguruan kita tewas...!" tanya salah seorang dengan wajah tegang
"Tenanglah, Atmaja. Itu urusanku...."
"Mudah kau berkata seperti itu. Tapi, nanti akulah yang akan disalahkan guru
karena tidak bisa menasehatimu!" sentak Atmaja dengan wajah gusar.
"Hei" Kenapa sekarang kau jadi cerewet seperti perempuan"! Sudah kukatakan, aku
yang bertanggung jawab!"
kata pemuda itu mulai agak keras.
"Ya. Kau bisa bicara begitu, sementara aku ikut daiam rombongan ini. Apa yang
harus kujawab jika guru menanyakannya"!"
Setiaji tersenyum kecil dan wajahnya kelihatan sinis.
"Hei" Kenapa kau ini" Kenapa kau anggap ini persoalan besar" Bukankah ayahku
memang tengah mencari sobekan peta itu" Apa kau kira kita salah jika berusaha
membantunya"
Beliau akan senang. Kau tidak perlu khawatir lagi!"
"Bukan itu yang menjadi masalah...."
"Lalu apa?"
"Kau dengar apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti...?"
Setiaji terdiam beberapa saat. Dia tahu, apa yang dipikirkan Atmaja. Kurang
lebih sama dengan apa yang dipikirkannya saat ini
"Setiaji, aku tidak meragukan kehebatan guru. Tapi untuk saat ini, siapa yang
bisa menghadapi si Pendekar Rajawali Sakti" Kalau benar dia akan datang, maka
Perguruan Arghaloka akan celaka. Bahkan sepuluh kali kekuatan seluruh murid
Perguruan Arghaloka, akan mudah disapu bersih olehnya...."
Setiaji masih membungkam dengan tatapan kosong. Atmaja mengeluh pendek. Lalu dia
memberi isyarat pada yang lain untuk membawa mayat-mayat murid Perguruan
Arghaloka yang tewas dalam pertarungan tadi.
"Kita pulang sekarang...," ajak Setiaji pendek.
Atmaja memandang pemuda itu seperti ingin mengetahui, apa jawaban Setiaji.
"Biariah aku yang urus. Dan nanti, akan kukatakan pada ayah. Jangan khawatir,
aku tidak akan membawa-bawamu dalam persoalan ini," kata pemuda itu berusaha
meyakinkan sambil menepuk pundak Atmaja.
Atmaja hanya tersenyum hambar.
*** Matahari yang tadi bersinar garang, saat ini tertutup awan hitam yang bergulung-
gulung membentuk suatu kumpulan yang terus membesar. A-ngin mulai bertiup agak
kencang, menerbangkan dedaunan serta debu-debu di jalanan.
Di sebuah rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya, Ki Wiranata tampak kecewa
mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Karena, Rangga dan Pandan Wangi
telah sepakat untuk tidak mengajaknya ikut serta dalam persoalan ini.
"Percayalah, Ki. Aku bukan tidak mengerti perasaanmu.
Namun kau harus memikirkan keselamatan Diah Kumitir. Anak ini terlalu muda untuk
melihat kejadian-kejadian kejam di sekelilingnya. Itu tidak baik bagi
perkembangannya di masa depannya...."
"Tapi mana mungkin aku hanya berpangku tangan, sementara kalian berjuang mati-
matian...?"
Rangga tersenyum seraya menepuk bahu orang tua itu.
"Tidak jadi soal. Kami tidak keberatan membantumu...,"
tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Betul, Ki...!" timpal Pandan Wangi. "Kami khawatir akan keselamatan Diah
Kumitir. Kalau saja kejadian seperti tadi terulang kembali, kita tidak tahu apa
yang terjadi dengannya.
Bisa saja, dia terkena senjata nyasar. Demi kebaikan anak ini, sebaiknya Ki
Wiranata dan Diah Kumitir bersembunyi di tempat yang aman...."
"Kenapa kami harus bersembunyi...?" tanya Ki Wiranata.
"Suasana semakin panas. Dan agaknya, semakin banyak yang tahu kalau kau memiliki
sebuah sobekan peta itu. Mereka yang rakus sudah tentu akan mengincar sobekan
peta di tanganmu. Bahkan tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Benar, Ki...," timpal Rangga. "Sebaiknya, bawa Diah Kumitir ke tempat aman.
Percayalah, kami akan membawa kedua sobekan peta itu padamu. Dan kami juga akan
menjagamu sampai berhasil menemukan pusaka peninggalan buyutmu...."
Ki Wiranata diam untuk beberapa saat seraya menghela napas panjang. Dipandangnya
Pandan Wangi, kemudian beralih
pada Rangga. Lalu ditatapnya Diah Kumitir. Perlahan-lahan dihampirinya anak itu.
Kemudian dielus-elusnya kepala Diah Kumitir.
"Malang betul nasibmu, Kumitir. Kedua orang-tuamu sudah tiada, dan kini kau
harus mengalami nasib yang tidak menentu.
Tapi, jangan khawatir. Kakek akan berusaha sekuatnya untuk memberimu sesuatu
yang berharga demi masa depanmu.
Paling tidak, kalau kakek telah tiada, kau bisa menjaga dirimu sendiri...,"
gumam Ki Wiranata pelan.dengan nada haru.
"Sudahlah, Ki. Jangan membuatnya bertambah sedih. Kau harus membesarkan
jiwanya...," ujar Pandan Wangi pelan.
Ki Wiranata mengangguk pelan.
"Adakah suatu tempat yang akan kau kunjungi sementara waktu?" tanya Rangga.
Ki Wiranata terdiam, seperti sedang berpikir. Kemudian kepalanya menggeleng
lemah. "Aku tidak punya sanak keluarga. Dan kawan pun hanya sedikit. Kalau kukunjungi,
hanya menyusahkan mereka.
Bukankah itu akan mengakibatkan malapetaka bagi orang yang kutumpangi...?" sahut
orang tua itu lirih.
"Hm...," Rangga hanya bergumam.
Orang itu memandangnya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan sekarang..?" tanya Ki Wiranata.
Rangga menghela napas pendek.
"Kakang, bagaimana kalau mereka dititipkan saja di wilayah Karang Setra" Dengan
begitu, keselamatannya akan terjamin.
Dan Kakang bisa perintahkan beberapa orang prajurit untuk
menjaga mereka?" selak Pandan Wangi sebelum Rangga buka suara.
"Prajurit" Oh! Apa maksudnya...?" tanya Ki Wiranata dengan wajah heran.
"Ah! Tidak apa-apa, Ki. Kami mendengar kalau Raja Karang Setra sangat pemurah
dan tidak segan-segan melindungi kaum lemah. Pandan Wangi tahu hal itu, sehingga
memberi usul demikian. Bukankah begitu, Pandan?" kata Rangga, sambil melotot
sedikit pada si Kipas Maut.
Rangga sebenarnya mangkel juga pada Pandan Wangi yang hampir-hampir membuka
kedoknya. Karena selain sebagai Pendekar Rajawali Sakti, Rangga sendiri adalah
Raja Karang Setra.
"Ya, betul. Di sana kalian akan aman..," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum
kecil. "Hm, Karang Setra..." Tempat itu agak jauh dari sini...," kata Ki Wiranata
sedikit ragu. "Apakah kau tidak memikirkan keselamatan Diah Kumitir...?"
tanya Pandan Wangi.
"Persoalan ini menyangkut keselamatan Diah Kumitir, Ki.
Kalau dia celaka atau tewas, akan sia-sia saja usaha kita ini.
Meski sedikit jauh, namun kalian aman di sana. Begitu Raja Karang Setra
melindungi kalian, maka bukan saja para prajurit serta para panglimanya saja
yang akan turun tangan. Tapi, seluruh rakyatnya pun akan turun tangan melindungi
kalian!" timpal Rangga. "Begitukah" Kenapa kalian bisa begitu yakin?"
"Karena kami adalah rakyat Karang Setra, dan tahu betul bagaimana watak raja
kami!" sahut Rangga cepat, sebelum Pandan Wangi buka suara.
"Baiklah. Kalau .begitu, aku setuju saja...."
Rangga dan Pandan Wangi tersenyum. Gadis itu langsung memeluk Diah Kumitir
sesaat, seraya mengelus rambutnya.
"Nah, Diah. Untuk sementara waktu, kau ikut dengan kakekmu, ya?"
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bocah perempuan itu memandang Pandan Wangi dengan wajah khawatir.
"Bibi hendak ke mana...?"
"Bibi hendak membawakan hadiah untukmu...."
"Bibi akan menghajar orang-orang jahat itu...?" tanya bocah itu, lugu.
"Benar! Bibi akan menghajar orang-orang jahat yang telah mengganggu kita!"
Diah Kumitir tersenyum lebar. "Kalau saja aku bisa sehebat Bibi dan Paman, tentu
aku mampu melindungi kedua orangtuaku...," kata Diah Kumitir.
"Sudahlah.... Kau jangan terlalu banyak memikirkan mereka.
Orangtuamu telah tenang di surga. Kau pun bisa seperti paman dan bibi. Dan jika
waktunya tiba, bahkan kau bisa melebihi kepandaian bibi," hibur Pandan WangL
"Oh, benarkah itu"!" Bola mata bocah perempuan itu tampak berbinar-binar.
Pandan Wangi mengangguk cepat.
"Kapan waktu itu tiba, Bi?"
"Tidak lama lagi, Anak Manis...."
"Ah! Aku sudah tidak sabar menunggunya!
Aku ingin lekas-lekas bisa sehebat Bibi dan Paman...!"
"Tapi ingat, Diah!"
"Kenapa, Paman Rangga...?"
"Seseorang akan menjadi hebat, bila tekun belajar, berlatih, serta tidak kenal
putus asa!"
"Baik, Paman. Aku akan selalu ingat pesan Paman dan Bibi!"
"Kalau sudah hebat, kau tidak boleh sombong serta harus membantu yang lemah,"
sambung Pandan Wangi.
Diah Kumitir mengangguk cepat.
"Nah, mari kita berangkat sekarang!" lanjut Rangga.
Mereka segera keluar pondok itu, menuju kuda-kuda yang ditambatkan di luar.
Pendekar Rajawali Sakti segera menaiki Dewa Bayu. Dan Ki Wiranata segera ikut
melompat di belakangnya. Sementara Pandan Wangi menaiki si putih, setelah
meletakkan Diah Kumitir dipunggung kudanya.
"Heaaa...!"
Dalam waktu singkat mereka telah meninggalkan tempat itu.
Yang tersisa hanya debu yang mengepul di udara, lalu terbang ditiup angin yang
bergulung-gulung.
*** 6 Malam begitu gelap tertutup awan yang hitam menggumpal.
Hujan deras yang sejak sore tadi turun, mengakibatkan air sungai meluap.
Beberapa bagian jalan yang rendah tampak tergenang air. Dalam keadaan cuaca
demikian, agaknya membuat orang enggan keluar rumah. Mereka lebih merasa enak
berdiam diri sambil menyeruput teh hangat Namun lain halnya sesosok tubuh yang
menyelinap perlahan-lahan di balik pepohonan. Gerakannya ringan dan lincah
sekali. Matanya tak henti-hentinya memandang ke sekeliling seperti seekor elang yang
tengah mengawasi mangsanya. Manakala angin bertiup sedikit kencang, maka
rambutnya terlihat berkibar-kibar. Agak panjang dan semrawut, seperti tidak
terurus. Tubuh sosok itu kecil dan agak kurus. Dia hanya mengenakan celana pendek di atas
lutut. Baju yang dikenakannya berukuran besar dan sudah lusuh. Orang itu
melompat ke cabang pohon yang tinggi dan mengawasi keadaan di bawahnya.
"He he he...! Mereka pasti telah terielap semua. Ini akan memudahkan
urusanku...!" gumam sosok itu pelan sambil menyeringai lebar.
Dengan satu lompatan kecil, tubuh orang itu melayang melewati pagar bambu
setinggi dua tombak. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya menjejak tanah
tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Matanya langsung memandang ke sekeliling,
lalu berlari kecil dan merapat ke balik dinding.
Rupanya, sebuah bangunan kecil yang diterangi dua buah obor menjadi
perhatiannya. Tempat itu lebih tepat dikatakan sebagai
pos keamanan bangunan ini. Tanpa mempedulikannya, sosok itu sudah langsung
melompat ke atas genteng.
"Hup!"
Begitu hinggap di atap, sosok itu segera berlari kecil mencari-cari tempat yang
telah diincarnya. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara keras di suatu
ruangan, tepat di bawah tempatnya berpijak Dia langsung merebahkan diri, dan
mengintip lewat celah-celah genteng. Tampak di bawah sana terlihat banyak orang
berkumpul. "He he he...! Bagus! Mereka agaknya berkumpul di sini...,"
gumam orang itu disertai senyum kecil.
Lalu dengan gesit sosok itu bangkit dan kembali berkelebat menuju sebuah ruangan
lain yang lebih besar. Kembali dia mengintip lewat celah-celah genteng, namun
tidak menemukan siapa pun di sana, segera dibukanya tiga buah genteng. Lalu,
tubuhnya melayang turun dengan ringan ke bawah! Begitu mendarat, matanya
memandang ke kiri dan kanan, seperti mencari-cari sesuatu di seluruh ruangan
ini. "Hm.... Ini ruangan si tua Mugeni. Dia pasti menyimpannya di sini...," kata
orang itu dalam hati seraya membongkar laci-laci meja dan lemari.
Setiap gerakan orang itu terlihat hati-hati sekali dan nyaris tanpa menimbulkan
suara. Ketika membuka laci serta lemari yang terkunci erat, jari-jari tangannya
dengan mudah melepaskan engsel dan kuncinya. Nyata sekali kalau orang ini
memiliki tenaga dalam tinggi.
"Setan! Di mana dia menyimpan benda itu?" gumam sosok itu kesal setelah
membongkar semua benda yang ada di ruangan itu.
Dia termenung sejenak sambil berpikir. Lalu jari-jarinya mulai mengetuk dinding
ruangan. Bola matanya berbinar, ketika merasakan suara ketukan yang nadanya
berbeda dari lainnya.
Brosss! Cepat sekali sisi tangan kanan orang itu menghantam dinding yang dicurigai. Maka
seketika tembok itu hancur, membuat sebuah lubang sebesar kepala orang dewasa.
Didalamnya ada sebuah peti kecil berwarna coklat kehitaman yang langsung diambil
dan buka. Begitu melihat secarik kulit kambing yang bertuliskan huruf-huruf
serta gambar yang terpotong-potong, wajahnya berbinar dan senyumnya mengembang.
"He he he...! Akhirnya peta ini menjadi milikku. Tinggal dua bagian lagi, maka
lengkaplah sudah...!" kata sosok ini, sambil terkekeh.
"Hei, siapa itu di dalam!"
Mendadak saja, terdengar bentakan keras dari luar ruangan.
Orang itu terkejut. Dan dia langsung melompat ke atas dengan gerakan ringan.
Namun, saat itu juga terdengar teriakan-teriakan nyaring. Sehingga membuat
seluruh penghuni bangunan ini terkejut dan langsung bersiaga.
"Itu...! Itu dia di atas genteng...!" teriak seseorang dengan tangan menunjuk ke
atas. "Dia dari kamar guru! Pasti ada sesuatu yang dicurinya.
Tangkap, dan jangan biarkan lolos...!" teriak yang lain memberi perintah.
"Yeaaa...!"
Wut! Wuttt...! Beberapa orang langsung mencelat ke atas genteng, mengejar orang itu. Sementara,
yang lainnya berjaga-jaga di bawah sambil melemparkan berbagai senjata tajam.
"Hiiihh...!"
Bettt! Orang itu bergerak lincah, menghindari desingan senjata-senjata tajam yang
melesat ke arahnya. Tubuhnya melayang ringan, dan beberapa kali berjumpalitan.
Sementara serangan orang-orang yang memang anak buah Ki Mugeni begitu bernafsu
hendak meringkusnya.
"Setan! Dia berusaha melarikan diri! Jaga semua jalan. Dan, jangan biarkan
melarikan diri!" teriak orang yang tadi berteriak lantang.
Lima orang telah mengurung sosok itu dengan rapat di atas atap. Bahkan mereka
langsung mengayunkan senjata. Namun gerakan sosok itu gesit sekali. Bahkan tiba-
tiba saja dia telah melenting ke atas seraya melepaskan pukulan Jarak jauh yang
bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaa...!"
Desss! "Aaakh...!"
Kelima orang itu terpental sambil menjerit kesakitan. Tubuh mereka bergulingan
di atap, lalu jatuh berdebuk keras di tanah.
"Hup!"
Begitu selesai melepaskan pukulan, sosok itu langsung berkelebat cepat. Tubuhnya
cepat menerobos kelebatan pohon dan hinggap pada salah satu cabangnya. Tubuhnya
terus berkelebat di antara cabang-cabang pohon dan dedaunan, lalu lenyap ditelan
kegelapan malam!
Seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berjenggot panjang tampak tengah
mendengus geram sambil mengepalkan kedua tangannya di sebuah bangunan besar.
Matanya tidak lepas memandang orang yang telah lenyap tadi. Tak lama seorang
pemuda menghampiri dengan wajah heran.
"Ayah, siapa orang itu. Dan, kenapa ayah tidak berusaha mengejarnya sampai
dapat?" "Percuma saja, Setiaji...," sahut orang tua yang tidak lain dari Ki Mugeni,
Ketua Perguruan Arghaloka.
"Kenapa, Ayah" Dia telah membuat kekacauan di tempat kita. Bahkan mencuri
sesuatu yang berharga dari kamar Ayah.
Kenapa didiamkan saja?" tanya Setiaji dengan wajah heran dan tidak puas atas
jawaban ayahnya.
"Kau tidak tahu siapa orang itu, Anakku. Meski aku ikut mengejar, nantinya tidak
akan mampu mendapatkan peta yang berhasil dicurinya...," sahut Ki Mugeni putus
asa. "Siapa orang itu sebenarnya?" tanya Setiaji penasaran.
"Dia bergelar Iblis Gila Dari Timur...."
"Iblis Gila Dari Timur" Hm.... Belum pernah kddengar nama itu" Apa dia lebih
daripada Pendekar Rajawali Sakti?"
Ki Mugeni tersenyum kecil mendengar pertanyaan putra satu-satunya.
"Dia memang jarang muncul di dunia persilatan. Namun kepandaiannya cukup hebat.
Orang itu sinting. Dan sampai saat ini, tidak ada satu tokoh pun yang berani
mencari urusan dengannya. Masih untung kita hanya kehilangan beberapa orang
murid. Agaknya, malam ini dia tidak berselera mengumbar kematian...," jelas Ki
Mugeni. "Lalu apa yang kita lakukan sekarang" Mendiamkannya saja!
Susah payah Ayah mencari sobekan peta itu, dan kini tiba-tiba saja seseorang
mengambilnya dengan mudah dari kita. Itu tidak adil! Kita harus mengambilnya
kembali!" desis Setiaji geram.
"Apa yang bisa kita lakukan" Menyerahkan nyawa percuma"
Hm, bukan aku tidak merasakan kekecewaan yang dalam. Tapi kita tidak akan
mungkin melawannya. Orang itu kelewat hebat.
Hmm.... Aku tidak menyangka kalau dia ikut mengincar pusaka Ki Sendang
Bodas...," kilah Ki Mugeni.
Untuk sesaat, mereka terdiam. Sementara lebih dari tiga puluh murid perguruan
yang mengejar Iblis Gila Dari Timur, mulai kembali sia-sia. Wajah mereka tampak
lusuh dan takut-takut ketika melaporkan hal itu pada Ki Mugeni.
"Sudahlah.... Aku tidak menyalahkan kalian. Orang itu memang bukan tandingan
kita...," sahut Ki Mugeni menghibur.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan, Guru?" tanya seorang muridnya.
"Entahlah. Aku pun tidak tahu...," sahut Ki Mugeni putus asa.
Baru saja kata-kata Ki Mugeni selesai, di depan pintu gerbang kembali terdengar
suara ribut-ribut Ki Mugeni dan Setiaji cepat mengarahkan pandangannya ke depan.
Lalu sebentar saja mereka telah berlarian ke depan. Tampak di depan pintu
gerbang telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dan seorang gadis
cantik berbaju biru muda.
"Kisanak, siapa kalian berdua?" tanya Ki Mugeni. Nada suaranya terdengar kesal
bercampur marah.
"Ayah, pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...!" desis Setiaji
dengan wajah kaget begitu melihat kehadiran kedua orang itu.
"Pendekar Rajawali Sakti" Mau apa dia ke sini malam-malam begini?" gumam orang
tua itu lirih. "Aku ingin bertemu guru kalian!" teriak pemuda yang memang Pendekar Rajawali
Sakti lantang. Ki Mugeni mendekati. Dan langkahnya berhenti pada jarak lima langkah dari kedua
orang itu. "Kisanak, akulah Ki Mugeni. Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu sehingga tengah
malam begini datang ke tempat kami...?" sahut Ki
Mugeni dengan nada
lunak. "Hm, bagus. Jadi,
inikah tampang guru
para pengecut yang
mengerahkan begitu
banyak murid untuk
mencelakakan kami"!"
dengus gadis yang
memang Pandan Wangi, sambil berkacak pinggang.
Murid-murid Perguruan Arghaloka
bersiap mengepung
kedua orang itu dengan senjata terhunus. Namun sebelum segalanya menjadi kacau,
Ki Mugeni memerintahkan mereka untuk menyingkir. Orang tua itu menghela napas
panjang. "Pendekar Rajawali Sakti, dan juga kau Kipas Maut. Maafkan kesalahan murid-
muridku. Apa yang mereka lakukan, sama sekali di luar sepenge-tahuanku. Malam
ini kami tengah bersidang untuk memberi hukuman setimpal bagi mereka,
termasuk juga putraku. Namun hal itu ternyata dimanfaatkan Iblis Gila Dari Timur
untuk menyelinap masuk dan mengacau di tempatku. Sekali lagi aku mohon maaf atas
kelancangan mereka...," ucap orang tua itu dengan nada rendah.
"Huh! Enak saja meminta maaf. Orang tua! Apakah kau tidak menyadari kalau murid-
muridmu hampir mencelakakan seorang bocah yang sama sekali tidak mengerti apa-
apa"! Mereka begitu bernafsu untuk merampas sesuatu yang bukan miliknya.
Bahkan menghalalkan segala cara meski harus membunuh!"
desis Pandan Wangi geram.
"Kipas Maut, percayalah. Aku sangat menyesal atas kejadian itu. Maka aku mohon
kemurahan hati kalian untuk memaafkan kami. Dan aku berjanji mereka tidak akan
lepas dari hukuman.
Lantas, apakah itu belum cukup?"
Pandan Wangi sudah hendak kembali menghardik, kalau saja Rangga tidak mencegah
dan menyambarnya. Itu pun wajahnya terlihat amat berang bercampur kesal.
"Buat apa berbaik-baik, Kakang" Sudah jelas mereka bukan orang baik-baik. Dan,
kenapa kita harus terus mengalah"!"
rungut Pandan Wangi. "Sudahlah, Pandan. Memaafkan orang, lebih baik daripada
mengumbar kemarahan. Lagi pula ucapan orang tua ini bersungguh-sungguh. Aku bisa
merasakannya...,"
kilah Rangga. "Huh...!" Pandan Wangi hanya mendengus kesal. Namun tetap saja amarahnya belum
sirna meski telah berusaha melampiaskannya.
"Ki Mugeni... Tahukah kau maksud kedatangan kami ke tempatmu ini?" tanya
Pendekar Rajawali Sakti setelah menatap Ki Mugeni dengan tajam.
"Bukan urusan kelakuan murid-muridku...?" Ki Mugeni malah balik bertanya.
"Benar. Aku ingin menuntaskannya. Namun mendengar jawabanmu, aku yakin dan
percaya kalau kau tidak tahu-menahu soal ini. Biarlah urusan itu kuanggap
selesai. Namun masih ada satu lagi yang mengganjal dalam benakku. Dan rasanya
aku ingin mendapat jawaban jujur darimu," kata Rangga. Nada suaranya ditekan
sedemikian rupa, untuk memperlihatkan pada orang tua itu kalau ucapannya
bersungguh-sungguh
"Hm. Apakah gerangan itu...?"
"Apakah kau menyimpan sobekan peta yang menunjukkan tempat pusaka Ki Sendang
Bodas berada?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar pertanyaan itu Ki Mugeni tampak sama sekali tidak merasa kaget. Bahkan
bibirnya tersenyum lebar dengan wajah geli.
Sudah barang tentu sikap Ketua Perguruan Arghaloka membuat Rangga menjadi kesal
bukan main. "Kenapa kau tersenyum begitu, Ki" Apakah kau kira aku tengah melucu"!" sentak
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa tidak" Kukira pusaka peninggalan Ki Sendang Bodas itu hanya menarik bagi
orang-orang seperti kami. Tapi, heh"!
Agaknya Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu pun mengincarnya juga...!"
sentak Ki Mugeni melecehkan.
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tahulah Rangga apa yang tengah dipikirkan orang tua itu mengenai ucapannya tadi.
Dan kini, ganti Pendekar Rajawali Sakti yang tersenyum sinis..
"Jadi kau kira aku kepincut dengan pusaka itu...?" tanya Rangga, sinis.
"Lalu apa gunanya kau bertanya-tanya?" Ki Mugeni balik bertanya.
"Aku mewakili Ki Wiranata, cucu Ki Sendang Bodas, untuk membawa' pusaka itu
padanya. Tidak lebih dari itu!" sahut Rangga menegaskan.
"Ya, ya.... Tentu saja aku percaya," sahut Ki Mugeni enteng.
Jawaban orang tua itu berkesan melecehkannya. Dan Rangga bukannya tidak
menyadarinya. "Ki Mugeni, aku menghormatimu. Dan aku bisa mempercayai alasanmu tadi. Tapi
sebaliknya, apa yang kau lakukan" Kau meragukan niatku. Dan mungkin dalam hati
mengira aku tamak, ingin mengambil pusaka itu begitu kutemui. Orang seperti apa
kau ini sebenarnya?" ucap Rangga dengan nada tajam.
Nada bicara pemuda itu tentu saja amat menyinggung perasaan Ki Mugeni, hingga
sesaat jadi terdiam menyadari kesalahannya. Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali
Sakti memang tidak salah. Pemuda itu telah menghormatinya dengan mempercayai
kata-katanya tadi, soal penyerangan yang dilakukan murid-muridnya. Tapi sebagai
balasannya, orang tua ini malah melecehkan niat Pendekar Rajawali Sakti. Padahal
selama ini belum pernah didengarnya kalau si Pendekar Rajawali Sakti memiliki
watak telengas.
"Kisanak, maafkan kesalahanku. Tapi..., aku sama sekali tidak memiliki peta
itu...," sahut Ki Mugeni pendek. Langsung ditatapnya pemuda itu dengan sorot
mata bersungguh-sungguh.
"Ki Mugeni! Aku tidak ingin dipermainkan, seperti Ki Sentanu memperlakukan
kami...!" sahut Rangga, bernada memperingatkan.
"Ki Sentanu" Apa yang telah dilakukannya terhadap kalian?"
"Dia telah memberitahukan, kalau kau menyimpan sobekan peta itu. Dan sebentar
lagi, mungkin kau akan mengatakan kalau Ki Sentanu-lah yang memilikinya...."
"Betulkah dia berkata begitu?"
Rangga mengangguk. Tampak ada perubahan di wajah orang tua itu. Ki Mugeni tampak
geram dengan wajah berkerut menahan amarah.
"Sentanu! Kurang ajar kau...!" desis Ki Mugeni geram.
"Ki Mugeni, ketahuilah. Benda itu tidak berhak menjadi milik kalian, termasuk
peta itu. Maka serahkanlah padaku. Sebab, Ki Wiranata-lah yang lebih berhak
memilikinya," sahut Rangga tanpa mempedulikan kekesalan hati orang tua itu.
"Aku berkata yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti. Aku memang memiliki
sobekan peta itu. Namun, Iblis Gila Dari Timur telah mengambilnya, saat aku
tengah memperkarakan murid-muridku yang menyerangmu. Tidakkah kau perhatikan
kalau kami semua tengah berkeliaran malam-malam begini"
Orang gila itu baru saja kabur. Dan saat ini, mungkin menuju tempat kediaman Ki
Sentanu...."
"Iblis Gila Dari Timur" Hm.... Mau apa dia ke tempat Ki Sentanu?"
"Sudah barang tentu untuk mendapatkan sobekan peta yang kedua."
"Berarti Ki Sentanu memilikinya juga?" todong Rangga.
Ki Mugeni mengangguk pelan.
"Dan kau kira kami tahu dari mana kalau sobekan peta ketiga, berada di tangan Ki
Wiranata" Merekalah yang memberitahukannya melalui murid-muridku. Ki Sentanu itu
memang licik. Dia berniat hendak merebutnya dari tangan Ki Wiranata yang kalian
jaga. Lalu setelah memperoleh sobekan peta itu, mereka berniat hendak menawan
murid-muridku untuk ditukar sobekan peta yang kumiliki!" jelas Ki Mugeni.
"Dari mana kau tahu semua?" tanya Rangga.
"Kau kira siapa ketujuh orang bertopeng yang menyerangmu tadi" Mereka adalah
murid-murid pilihan dari Perguruan Naga Jenar. Mereka tidak mengira kalau
Setiaji sudah mengintai bersama kawan-kawannya sejak kau bertarung. Menurut
laporan putraku, setelah pertarungan berlangsung, beberapa orang kawannya
berhasil menangkap salah seorang dari mereka untuk dimintai keterangan...,"
jelas Ki Mugeni. "Baru setelah kau bertarung melawan Danang Anyar yang datang
bersama Nyi Gendang Lurik, Setiaji berusaha menangkapmu."
"Kurang ajar! Hm.... Ki Sentanu akan mendapat pelajaran atas perbuatannya!"
desis Rangga geram.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kalau kau bersedia, aku akan turut membantumu
membalaskan kelicikannya!" sambut Ki Mugeni, semangat
Rangga berpikir sesaat sebelum menggeleng sambil tersenyum.
"Terima kasih, Ki. Biar aku sendiri saja...," sahut pemuda itu tenang. "Aku
memang tidak suka dipermainkan seperti ini. Dan siapa pun orangnya, sudah barang
tentu membuatku tidak senang. Dia harus mendapat pelajaran yang setimpal atas
perbuatannya!"
"Huh! Orang-orang seperti Ki Sentanu memang tidak bisa dipercaya. Dia patut
mendapat balasan yang lebih buruk atas kelakuannya selama ini!" dengus Ki
Mugeni, menimpali.
"Nah, Ki. Karena tidak ada lagi yang akan dibicarakan, kami pamit dulu. Maaf
telah menyusahkanmu...," sahut pemuda itu seraya memberi salam hormat dan segera
berbalik. "Sama-sama, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau ada sesuatu yang kau inginkan,
hubungi kami. Aku dan seluruh muridku siap membantu...!"
"Terima kasih."
Rangga tersenyum, lalu mengajak Pandan Wangi segera meninggalkan tempat itu.
"Mari, Pandan. Kita harus cepat menuju ke tempat Ki Sentanu. Jangan sampai
didahului si Iblis Gila Dari Timur."
"Kakang, apakah kau tidak yakin kalau mereka berbohong?"
bisik Pandan Wangi?curiga.
"Tidak. Tapi kalaupun mereka berbohong dan ingin mempermainkan kita, semut pun
akan menggigit bila diinjak-injak gajah. Dan kita bukan semut. Aku punya batas
kesabaran. Mereka akan menerima akibatnya!" sahut pemuda itu mantap.
Pandan Wangi mengangguk pelan, kemudian mengikuti Rangga melompat ke punggung
kuda dan berialu dari tempat itu.
*** 7 Satu sosok bayangan mengendap-endap di sisi dinding bangunan sebelah timur
Perguruan Naga Jenar. Seorang lagi berada di cabang pohon terdekat sementara
seorang lagi bertiarap di atas genteng. Sulit dikenali wajah mereka, karena
ditutupi topeng hitam. Hanya sepasang mata mereka yang terlihat
Suasana sunyi dan lengang. Suara binatang sudah mulai terdengar. Dan gerimis
betul-betul telah reda. Penghuni tempat ini pasti telah terlelap dalam mimpinya
masing-masing. "Hei...!"
"Hup!"
Bruaakk..! Keheningan tiba-tiba saja dipecahkan oleh satu bentakan nyaring, membuat tiga
orang bertopeng itu tersentak kaget.
Dan dari dalam sebuah ruangan tiba-tiba melesat dua sosok tubuh bertopeng
lainnya, setelah menjebol wuwungan dan memporak-porandakan atapnya.
"Maling Busuk! Kau kira bisa lari dariku, he..."!" teriak seorang gadis, ikut
mencelat ke atas. Dan dia langsung mencabut pedangnya untuk menyerang kedua
orang bertopeng yang baru saja mencelat.
Sringng! "Sudah kudapat sobekan peta itu! Kirjo, tahan gadis itu...!"
teriak orang bertopeng yang baru saja mencelat pada kawannya yang tadi bertiarap
di atap. "Pergilah kalian! Biar kubereskan gadis ini!" sahut orang bertopeng yang
dipanggil Kirjo seraya mencabut pedang di punggungnya. Langsung dipa-paknya
serangan gadis itu.
Trang! "Uhhh...!"
Gadis itu mengeluh kesakitan, ketika senjatanya beradu dengan pedang Kirjo.
Tangannya bergetar dan telapaknya nyaris terkelupas. Belum juga dia menguasai
keadaan, orang bertopeng itu sudah menyodokkan satu tendangan keras ke arah
perut. Untung saja, gadis itu cepat berkelit ke samping, sehingga terhindar dari
sebuah tendangan dahsyat
"Yeaaa...!"
Orang bertopeng yang dipanggil Kirjo itu berkelebat cepat.
Seakan dia tidak ingin memberi kesempatan pada gadis itu untuk bernapas sedikit
pun. Dengan sebisa-bisanya gadis itu menangkis serangan, lalu terus bergulingan ke
bawah. Trang! Beberapa buah genteng kontan hancur beran-takan dihantam senjata Kirjo yang
mengamuk hebat Tapi baru saja kedua kaki gadis itu menjejak tanah, angin
serangan laki-laki bertopeng telah begitu dekat menyerangnya.
"Sri Kuning! Minggirlah kau. Orang ini bukan lawanmu!"
Mendadak saja terdengar teriakan seseorang yang disusul dengan satu hantaman
pukulan jarak jauh ke arah laki-laki bertopeng.
"Huh! Ki Sentanu, orang tua busuk! Apakah kebisaanmu hanya membokong orang"!"
dengus orang bertopeng itu
geram, ketika tahu-tahu di atas atap telah berdiri laki-laki setengah baya yang
memang Ketua Perguruan Naga Jenar.
"Tidak usah banyak bicara! Lima Setan Gunung Kelud memang maling rendah yang
tidak tahu diri! Huh! Ke mana kawanmu yang empat orang lagi"!" dengus Ki
Sentanu. "Ayah! Mereka memasuki kamarmu dan mencuri sobekan peta itu!" tuding Sri Kuning
gemas. "Keparat! Kembalikan milikku!" sentak Ki Sentanu seraya melompat menyerang
"He he he...! Keempat kawanku telah membawanya kabur dari sini. Kau hanya bisa
gigit jari!" ejek Kirjo, sambil terkekeh-kekeh.
"Setan! Kalau begitu kau harus mampus di tanganku!" desis Ki Sentanu garang.
Sring! Dalam kemarahannya, Ketua Perguruan Naga Jenar itu langsung mencabut pedang dan
menyerang menggunakan jurus-jurus terhebatnya. Bagaimanapun, Ki Sentanu
menyadari kalau Lima Setan Gunung Kelud rata-rata ahli menggunakan senjata
pedang. Tring! Tring! "He he he...! Tidak buruk, orang tua! Tidak buruk...! Ilmu pedangmu boleh juga.
Tapi berharap dapat mengalahkanku, kau boleh mimpi atau berguru sepuluh tahun
lagi!" ejek Kirjo setelah menangkis serangan-serangan Ki Sentanu dengan mudah.
"Hhh.... Tidak perlu bermimpi dan tidak periu pula berguru sepuluh tahun untuk
meringkusmu! Kau lihat! Tempat ini telah
dipenuhi murid-muridku. Kau tidak akan lolos dari kami!"
dengus Ki Sentanu.
"Kau kira semua muridmu mampu menghalangiku untuk kabur" He he he...! Sungguh
menganggap remeh!"
Baru saja Kirjo berhenti tertawa, mendadak terdengar jerit kesakitan yang
berasal dari luar pekarangan perguruan itu.
"Aaaa...!"
"Heh"!"
Tanpa mempedulikan lawan, orang bertopeng yang bernama Kirjo ini mencelat ke
arah datangnya suara. Tentu saja tindakannya tidak bisa dibiarkan Ki Sentanu.
Orang tua itu segera mengejar.
"Kepung dia! Jangan biarkan lolos...!"
"Yeaaa...!"'
Bersamaan dengan melompatnya orang tua itu, maka seluruh muridnya pun mengikuti
dengan amarah meluap-luap.
*** Kirjo agaknya mencemaskan keempat kawan-kawannya.
Sebab jeritan yang terdengar tadi berasal dari arah selatan, tempat kawan-
kawannya kabur. Dan kecurigaannya memang beralasan. Sebab begitu tiba di sana,
dua orang kawannya telah tewas dengan kepala remuk. Sementara dua lainnya masih
mencoba bertahan dari serangan seorang laki-laki tua berambut riap-riapan,
bercelana pendek dan baju berukuran besar.
"Iblis Gila Dari Timur...!" seru Kirjo dengan wajah kaget.
"He he he...! Agaknya kawanmu yang seorang lagi telah muncul. Ke sinilah. Dan,
bergabunglah bersama kawanmu.
Kalian akan pergi ke neraka bersama-sama!" ejek orang tua berjuluk Iblis Gila
Dari Timur seraya tertawa lebar.
"Iblis Gila! Kau boleh tertawa sesuka hatimu! Tapi saat ini, adalah kematianmu!"
desis Kirjo. Dan dia sudah langsung membantu kedua kawannya menyerang orang tua
itu. "Ha ha ha...! Lima Setan Gunung Kelud. Orang-orang boleh takut berhadapan dengan
kalian Tapi denganku, kalian tidak lebih dari seorang bocah yang baru belajar
berjalan!" desis Iblis Gila Dari Timur, sangat menganggap rendah lawan-lawannya.
"Kurang ajar! Putus lehermu...!" geram salah seorang bertopeng sambil
mengibaskan pedang ke leher Iblis Gila Dari Timur.
Iblis Gila Dari Timur mendengus kecil Lalu dengan nekat dia menangkap senjata
orang bertopeng itu.
Tap! Orang bertopeng itu terkejut Iblis Gila Dari Timur kembali memperlihatkan
kehebatan Umu yang dimilikinya. Tangannya sama sekali tidak ter-uka oleh tebasan
pedang satu dari Lima Setan Gunung Kelud. Bahkan dengan kuat, disentaknya batang
pedang dalam genggaman Dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya menghantam dada.
Wuttt! Dukkk! "Aaaa...!"
Salah seorang bertopeng memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal dengan
dada remuk. Nyawanya langsung lepas begitu mencium tanah.
"He he he...! Kenapa diam" Ayo, cepatlah kemari. Dan, susul mereka ke neraka
sana!" ejek si Iblis Gila Dari Timur sambil terkekeh-kekeh kecil.
Kedua orang bertopeng lainnya, jadi ragu-ragu menyerang.
Mereka saling pandang untuk beberapa saat. Namun, Iblis Gila Dari Timur agaknya
tidak bisa menunggu barang sekejap.
Tubuhnya langsung mencelat menyerang kedua lawannya.
"Hiyaaa...!"
"Heh!"
Dua dari Lima Setan Gunung Kelud tercekat, namun tidak menghilangkan
kewaspadaan. Pedang mereka cepat dikelebatkan dengan pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya. Iblis Gila Dari Timur cepat merendahkan tubuh, menghindari hantaman pedang yang
bersamaan. Tubuhnya lalu berputar dengan sebelah kaki berpijak di tanah.
Sementara kaki yang lain melakukan tendangan keras pada salah seorang laki-laki
bertopeng. Namun sebelum serangannya berhasil, pedang orang bertopeng yang satu
lagi menghantam punggungnya.
Wuttt! Crak! "He he he...!"
Iblis Gila Dari Timur terkekeh kecil, karena pancingannya mengena. Agaknya dia
sengaja berlaku lengah. Dan dia yakin betul kalau ilmu kebalnya tidak akan mampu
ditembus pedang dua orang lawannya.
Dan itulah yang harus dihadapi salah seorang dari Lima Setan Gunung Kelud.
Begitu pedang satu orang bertopeng menghantam, saat itu juga Iblis Gila Dari
Timur berbalik,
tubuhnya diputar secepat kilat, seraya melepaskan satu tendangan keras. Begitu
cepat gerakannya, sehingga...
Desss! "Aaaa...!"
Kembali satu orang bertopeng menjerit kesakitan, dengan tubuh melayang deras.
Nyawanya melayang begitu tubuhnya mencium tanah, dengan tulang dada remuk!
Seorang dari Lima Setan Gunung Kelud tak lain Kirjo terkejut Dan sesaat dia
tidak tahu harus berbuat apa. Namun saat itu, terlihat Ki Sentanu beserta
seluruh muridnya telah berada di tempat itu. Malam yang gelap gulita kini terang
benderang oleh cahaya obor yang dibawa murid-murid Perguruan Naga Jenar.
"He he he...! Cacing-cacing kurap menyambut kematiannya sendiri!" dengus Iblis
Gila Dari Timur disertai tawa sinis.
"Lima Setan Gunung Kelud atau siapa pun adanya kalian, jangan harap lepas dari
kepungan kami! Serahkan sobekan peta itu. Atau, kalian akan celaka sendiri!"
teriak Ki Sentanu lantang.
"He he he...! Cacing Busuk, ke sinilah kau! Peta itu ada padaku!" kata si Iblis
Gila Dari Timur.
"Siapa kau"!" bentak Ki Sentanu, garang.
"Siapa aku apa pedulimu, he"! Bukankah kau menginginkan sobekan petamu yang
mereka curi" Nah, ambillah dariku!"
sahut si Iblis Gila Dari Timur. Segera dikeluarkannya secarik kulit kambing
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tipis dan dikibar-kibarkannya pada orang tua Itu sambil tersenyum mengejek.
"Berikan padaku!'.' sentak Ki Sentanu garang.
"Ambillah...," sahut Iblis Gila Dari Timur tetap tersenyum kecil seperti hendak
mempermainkan Ki Sentanu.
Bukan main geramnya Ketua Perguruan Naga Jenar diperlakukan demikian. Dia tahu
betul maksud laki-laki berambut riap-riapan. Maka tanpa menghiraukan kata-kata
si Iblis Gila Dari Timur, Ki Sentanu segera memerintahkan murid-muridnya untuk
menghajar. "Cincang dia. Dan, rebut peta itu kembali...!"
"Baik, Guru!"
Namun sebelum murid-murid perguruan itu bergerak menyerang lawan, Iblis Gila
Dari Timur telah lebih dulu menghentakkan kedua tangannya, menghantamkan pukulan
jarak jauh yang mengeluarkan cahaya kemerahan.
"Heaaa..!"
Jdeerrr...! "Aaaa...!"
Murid-murid Perguruan Naga Jenar langsung terpekik.
Sepuluh orang di antaranya kontan ambruk di tanah, dan tewas dengan tubuh hangus
disambar pukulan Iblis Gila Dari Timur.
"Heh"!"
Apa yang dilakukan orang tua gila itu, tentu saja membuat mereka terkejut Bahkan
sepasang mata Ki Sentanu sendiri sempat terbelalak. Namun kesempatan seperti itu
agaknya tidak disia-siakan begitu saja oleh Kirjo, seorang dari Lima Setan
Gunung Kelud yang masih tersisa. Kirjo langsung melarikan diri, begitu Ki
Sentanu memerintahkan murid-muridnya menyerang si Iblis Gila Dari Timur.
Namun.... "Hiyaaa...!"
Iblis Gila Dari Timur kembali menghentakkan kedua tangannya. Seketika seberkas
sinar merah meluruk deras ke arah Kirjo. Dan....
Bruesss! "Aaakh!"
Iblis Gila Dari Timur terkekeh, ketika terdengar pekikan kecil.
Dan tampak orang bertopeng itu tersungkur di tanah, lalu tewas dengan tubuh
gosong! "He he he...! Mau coba-coba kabur dariku, heh"! Kau kira mudah"! Sekali si Iblis
Gila Dari Timur telah berhadapan denganmu, maka tidak ada seorang pun yang boleh
pergi dengan selamat!"
"Iblis Gila Dari Timur..." Kau..., kau tokoh itu...?"
Ki Sentanu tergagap seperti tidak percaya dengan pendengarannya. Dipandanginya
orang tua berbaju lusuh itu beberapa saat
"Kenapa" Terkejut, he"!" ejek Iblis Gila Dari Timur.
Ki Sentanu terdiam. Dan untuk sesaat dia tidak tahu harus berbuat apa. Betapa
tidak" Orang di hadapannya ini bukanlah tokoh sembarangan. Namanya amat
menggetarkan kaum persilatan. Kepandaiannya hebat hampir tak tertandingi. Namun
yang lebih terkenal lagi adalah kelakuannya yang ugal-ugalan dan tidak menentu
Dia bisa saja mencabut nyawa lawan dalam sekejap. Dan dia tidak pernah gentar
menghadapi lawan yang bagaimanapun.
*** "Ayo! Bukankah kau menginginkan sobekan peta yang dicuri mereka" Ambillah...!"
ujar Iblis Gila Dari Timur.
"Iblis Gila Dari Timur! Kau seorang tokoh berkepandaian tinggi Dan rasanya
sangat aneh kalau kau hendak menambah kepandaianmu lagi," kata Ki Sentanu
mencoba memperpanjang waktu.
"Apa maksudmu?" tanya orang tua gila itu.
"Pusaka peninggalan Ki Sendang Bodas yang akan ditunjukkan oleh peta yang ada
padamu..," jelas Ki Sentanu.
"Pusaka" He he he...! Siapa yang menginginkannya. Aku hanya dengar, begitu
banyak orang yang menginginkan peta ini. Dan sejauh ini belum berhasil
menemukannya. Lalu kupikir, apa kehebatannya" He, ternyata hanya pepesan kosong
belaka. Benda ini sama sekali tidak menantang, karena dengan mudah aku mendapatkannya.
Huh! Dan ini membuatku kesal bukan main!" dengus Iblis Gila Dari Timur.
"Kalau benda itu tidak berguna bagimu, maukah kau memberikannya padaku?" pancing
Ki Sentanu. "Memberikannya padamu! He he he...! Enak saja! Kau kira aku budakmu, he"!
Ambillah ke sini. Dan, merangkaklah. Lalu, menyalaklah tiga kali. Maka kau akan
memperoleh sobekan peta ini!"
"Apa"!"
"Merangkak dan menyalak tiga kali, Tolol!" maki Iblis Gila Dari Timur geram.
Ki Sentanu bukannya tidak mendengar. Namun dia sangat terkejut bercampur geram
mendengar kata-kata si Iblis Gila Dari Timur. Di depan seluruh murid-muridnya,
mana mungkin dia melakukannya meski sangat menginginkan peta itu. Dan ini
merupakan penghinaan yang sangat keterlaluan baginya.
Wajah orang tua itu memerah. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah meluap-luap
di dada. Sorot matanya nyalang penuh kebencian.
"Iblis Gila Dari Timur, kau sangat keterlaluan!" desis Ki Sentanu
"He, kenapa kau"! Marah" Ayo, memakilah. Atau, pukullah aku sesuka harimu!
Kenapa diam saja" Kata orang, menahan amarah itu tidak baik. Bahkan hanya akan
menimbulkan penyakit saja...!" sahut Iblis Gila Dari Timur seraya tertawa
mengejek. "Iblis Gila Dari Timur, kau mungkin hebat. Tapi jangan dikira aku takut
menghadapimu!"
"Begitukah cara marahmu, Cacing Buduk" Tidak adakah yang lebih keras...?"
"Setan..:!" Ki Sentanu mulai garang.
"Ha ha ha...! Cacing Buduk! Kau betul-betul lucu seperti monyet! Eh, salah!
Bukan seperti, tapi memang kaulah monyetnya!" sahut si Iblis Gila Dari Timur.
Kemarahan Ki Sentanu agaknya tidak bisa ditahan lagi.
Dadanya terasa mau meledak mendengar ejekan-ejekan orang gila itu.
"Bunuh dia...!" bentak Ketua Perguruan Naga Jenar itu sengit seraya memberi
perintah pada murid-muridnya.
'Tapi, Guru...."
"Bunuh dia kataku! Bunuh orang gila ini...!" hardik Ki Sentanu geram ketika
melihat murid-muridnya tampak ragu-ragu.
Mendengar bentakan gurunya, mereka serentak menyerang Iblis Gila Dari Timur
dengan sikap takut-takut.
"Yeaaa...!"
"He he he...! Bagus! Ke sini cepat, agar aku lebih mudah mengirim kalian ke
neraka!" Iblis Gila Dari Timur tertawa ngakak begitu melihat murid-murid perguruan itu
telah mengepungnya. Bahkan telah melemparkan berbagai senjata tajam ke arahnya.
Dengan sekali melompat ke atas, maka senjata-senjata itu luput dari sasaran. Dan
seketika itu pula telapak tangannya dihantamkan ke depan. Maka selarik cahaya
kemerahan yang berhawa panas kontan menderu laksana badai topan menyerang murid-
murid perguruan itu.
Bruesss! "Aaaa...!"
Beberapa orang langsung ambruk dan tewas dengan tubuh hangus. Sementara yang
lainnya menderita luka bakar yang mengerikan.
"He he he...! Berani mampus mendekatiku, he"! Ayo, majulah kalian semua. Dan kau
cacing buduk bermuka monyet kurap, kenapa diam saja"! Kau hanya bisa
mengandalkan murid-muridmu yang tolol"! Ayo, maju. Dan, hadapi aku!
Bukankah kau tidak takut"!"
"Keparat!"
"Monyet Buduk...!" balas Iblis Gila Dari Timur memaki.
"Yeaaa...!"
Ki Sentanu membentak nyaring. Dan pedangnya sudah langsung dicabut, segera
diserangnya Iblis Gila Dari Timur dengan sekuat tenaga.
Sring! Bettt! Iblis Gila Dari Timur tidak bergeming sedikit pun melihat serangan Ki Sentanu.
Namun, begitu pedang Ki Sentanu
hendak menebas leher, tangan kanannya cepat menangkis, sekaligus menangkapnya.
Tap! "Heh?"
Ki Sentanu tersentak kaget Dan dia berusaha menyentaknya keras samba berharap
lengan orang gila itu akan putus terbabat pedangnya. Namun, pedang itu sama
sekali tidak bergeming! Malah tiba-tiba satu tendangan keras menghantam dada Ki
Sentanu. Dess! "Aaakh!"
Ki Sentanu terpekik, tubuhnya kontan terjungkal tujuh langkah.
"Ha ha ha...! Hanya segitukah kemampuanmu, Muka Monyet" He! Ayo bangun. Dan,
jangan permalukan dirimu di depan murid-muridmu sendiri!"
"Jahanam...!" maki Ki Sentanu.
Sambil menahan rasa nyeri di dada, orang tua itu bangkit.
Ditariknya napas dalam-dalam sambil memasang kuda-kuda.
"Yeaaa...!"
Ki Sentanu langsung menghantam Iblis Gila Dari Timur dengan pukulan jarak jauh
yang bertenaga dalam tinggi.
Namun agaknya orang gila itu telah memperhitungkannya.
Setelah membuat gerakan tangan, Iblis Gila Dari Timur merighentakkan-nya ke
depan, memapak serangan.
Terdengar ledakan keras ketika kedua pukulan mereka beradu. Dan selanjutnya, Ki
Sentanu kembali terpekik sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Tubuhnya
terjungkal di tanah, lalu susah payah berdiri dibantu putrinya yang bernama Sri Kuning.
"Ha ha ha...! Monyet Buduk! Hanya segitu kemampuanmu, he"!"
Sri Kuning yang tengah memapah ayahnya, menggeram hebat. Sorot matanya tajam
penuh dendam. Namun sebelum sempat berbuat apa-apa, mendadak....
"Iblis Gila Dari Timur! Hm.... Sungguh hebat apa yang telah kau lakukan...!"
Terdengar bentakan keras menggelegar yang disusul dengan munculnya dua orang
penunggang kuda. Yang satu seorang pemuda berbaju rompi putih. Sedangkan yang
satu lagi, seorang gadis cantik berbaju biru.
*** 8 Iblis Gila Dari Timur menyipitkan matanya.
"Bocah! Siapa kau, he"!" dengus orang gila itu.
"Kakek! Apakah kau tidak mengenal cucu buyutmu sendiri"
Berilah hormat padaku. Kalau tidak, kutendang pantatmu!"
gadis berbaju biru itu mendahului, sebelum pemuda berpakaian rompi putih ini
menjawab. "Bocah Sial! Kurobek mulutmu, he"! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa saat
ini"!" geram orang tua gila itu sambil menyeringai lebar.
"Cucu Sialan! Kau tidak mau hormat pada cucumu, he"!"
balas gadis itu tidak kalah garang dengan mata melotot lebar.
"Hua ha ha...! Baru sekali ini aku melihat ada seorang gadis yang berani. He,
bisa jadi aku suka padamu dan betul-betul akan mengangkatmu sebagai cucuku. Nah!
Siapa namamu, Anak Manis...?"
"Eee, malah semakin kurang ajar saja sikapmu" Tidakkah kau mau menghormat juga"
Atau pantatmu betul-betul akan kutendang, he?" sahut gadis itu tanpa
mempedulikan nada suara Iblis Gila Dari Timur yang mulai ramah. Dia tetap
berkacak pinggang sambil terbelalak.
"Anak Geblek! Rupanya kau lebih geblek dari-ku, he" Biar, akan kuberi pelajaran
agar kau mau menghormatiku!" geram orang tua gila itu langsung melompat
menyerang. "Pandan Wangi, awas...!" seru pemuda berbaju rompi putih memberitahu, langsung
pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti melesat dari punggung kudanya,
memapak serangan Iblis Gila Dari Timur.
"Hiyaaa...!"
"Hah"!"
Gadis yang memang Pandan Wangi terpana. Gerakan orang gila itu cepat bagaikan
kilat. Sehingga dia tidak sempat berbuat apa-apa.
Plak! "Hup!"
Bahkan ketika Rangga memapak serangan, dia masih belum sirna dari rasa
keterkejutannya.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti tampak terpental ke belakang. Demikian juga
si Iblis Gila Dari Timur. Namun keduanya masih mampu menjejak tanah dengan kedua
kaki. "Hm.... Boleh juga kepandaianmu, Bocah! Jarang ada orang yang mampu menahan
pukulanku. Siapa kau"!" sentak Iblis Gila Dari Timur.
"Iblis Gila Dari Timur! Kali ini kau berhadapan dengan lawan sepadan. Dialah
yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," kata Ki Sentanu dengan suara terbata-
bata. Dia masih bisa tersenyum puas, karena sakit hatinya bisa terlampiaskan
lewat tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hua ha ha...! Jadi kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti" Hm.... Nama
besarmu membuatku iri. Dan paling tidak, aku tidak sia-sia keluar dari
persembunyianku setelah mencicipi sedikit kehebatanmu yang belakangan ini amat
menghebohkan...!" kata Iblis Gila Dari Timur, jumawa.
"Iblis Gila Dari Timur! Apa maksud perkataanmu?"
"Kudengar orang-orang memperebutkan kedua sobekan peta ini," kata Iblis Gila
Dari Timur seraya memperlihatkan kedua sobekan peta yang tengah dicari pemuda
itu. "Nah! Kau pasti menginginkannya, bukan?"
"Kisanak! Aku tidak kemaruk pada benda seperti itu. Kedua sobekan peta itu akan
kuserahkan pada orang yang berhak!"
tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang peduli niatmu itu" Phuiih! Meski kau akan robek-robek atau bakar,
terserah. Yang jelas, masihkah kau menginginkan kedua benda ini"!" Iblis Gila
Dari Timur menegaskan dengan suara lantang.
Rangga terdiam sesaat, sambil memandang Iblis Gila Dari Timur. Sepertinya dia
hendak meneliti, apa sebenarnya yang diinginkan orang tua itu.
"Kisanak, apa maksudmu?" tanya Rangga pelan.
"He he he...! Bocah pintar. Nah! Kedua benda ini akan menjadi milikmu, kalau kau
mampu menahan lima serangan jurus-jurusku!"
"Hm.... Kedatanganku bukan untuk berkelahi. Tapi, meminta dengan hormat padamu
agar sudi memberikan kedua sobekan peta itu untuk kuserahkan pada orang yang
berhak...!" tangkis Rangga.
"Setan alas! Heh! Apakah kau sudah jadi seorang pengecut"!
Kata-kataku tidak bisa dibantah. Sekali aku berkata begitu, maka tidak akan
berubah. Kau boleh langkahi mayatku, kalau hendak memaksa merebutnya dariku...!"
tegas Iblis Gila Dari Timur.
Iblis Gila Dari Timur menghentikan kata-katanya. Lalu diraihnya sebuah kerikil
sebesar kepalan tangannya.
"Atau kedua benda itu akan hancur seperti ini, dan kau tidak akan sempat
melihatnya walau barang sekejap pun!" lanjut orang tua gila itu seraya
menghancurkan batu dalam genggaman tangannya.
Prakkk! Rangga menghela napas panjang. Agaknya, dia tidak punya pilihan lain. Kata-kata
orang tua ini bersungguh-sungguh. Dan yang dikhawatirkan adalah, kalau saja
Iblis Gila Dari Timur melakukan ancamannya yang terakhir, yaitu memusnahkan
sobekan kedua peta. Maka kalau itu dilakukan, gagallah tugasnya. Dan
terbayanglah dia pada si bocah Diah Kumitir yang akan kecewa berkepanjangan.
"Kisanak! Aku terima tantanganmu!" sahut Rangga mantap.
*** "Hua ha ha...! Bagus! Bagus...! Nah, mulailah bersiaga...!"
'Tapi, ingat! Jika kau bohong, maka aku akan mengejarmu sampai di mana pun
bersembunyi!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Ha ha ha...! Baru kali ini aku diancam orang. Tapi, tidak apa. He, bisa jadi
aku berwatak jahat. Tapi menyepelekan ucapanku sendiri, tidak pernah kulakukan!"
sahut Iblis Gila Dari Timur, mantap.
"Baiklah. Aku telah siap, Kisanak!"
"Ingat! Hanya lima jurus, maka kedua sobekan peta ini akan kuberikan padamu. Kau
hanya perlu menangkis tanpa memberikan perlawanan. Bila kau melawan, maka
kuanggap gugur!" ujar Iblis Gila Dari Timur.
"Silakan dimulai...," sahut Rangga mantap sambil mengangguk.
"Heaaa...!"
Iblis Gila Dari Timur membentak nyaring. Tubuhnya sudah melompat dengan gerakan
gesit bukan main. Bukan hanya Rangga yang terkejut melihat gerakannya. Malah
Pandan Wangi serta seluruh murid Perguruan Naga Jenar yang berada di lempat itu
juga sampai terbelalak.
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hup!"
Rangga langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', untuk menjajagi
kemampuan lawannya. Tubuhnya cepat meliuk-liuk seperti hendak jatuh. Dan ketika
kaki kiri Iblis Gila Dari Timur hendak mengait pinggangnya, Pendekar Rajawali
Sakti cepat melenting ke atas. Namun tubuh orang tua gila itu cepat melejit ke
atas mengejarnya. Begitu mendarat di tanah, Pendekar Rajawali Sakti segera
melebarkan kedua kakinya, sehingga pahanya menyentuh tanah. Lalu dibuatnya
gerakan memutar, sambil merendahkan kepala untuk menghindari terjangan kedua kaki Iblis
Gila Dari Timur.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Dengan bertopang kedua tangannya, Rangga melakukan lompatan berjumpalitan ke
belakang. Namun belum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, orang gila itu telah
mengejar dengan satu sodokan kaki yang keras.
Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri dan terus bertiarap
ketika kedua kaki Iblis Gila Dari Timur menyambarnya dengan deras.
Iblis Gila Dari Timur tidak berhenti sampai di situ saja. Kedua tangannya yang
terkepal langsung dihantamkan dengan keras, menimbulkan desir angin kencang yang
mampu membuat kulit seperti terbakar. Rangga menyadari kalau orang tua gila itu
mulai kalap karena belum juga mampu menjatuhkannya!
"Bagus! Kau telah melewati dua jurus. Nah! Sekarang, tahan jurus ketiga dan
keempat ini!" desis orang tua sinting itu sambil terus menyerang
Kali ini Rangga tidak bisa bermain-main lagi. Terpaksa dikerahkannya jurus dari
lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'
yang bisa diandalkan.
"Yeaaa...!"
Wusss! "Uuhh...."
Bukan main kalapnya orang tua itu ketika Pendekar Rajawali Sakti mampu mundur
menghindari serangannya. Dan ini membuat amarahnya tak terkendali lagi. Maka
tanpa segan- segan lagi, seluruh kekuatannya dikempos untuk menghabisi pemuda itu secepatnya.
Seketika dia membuat beberapa gerakan tangan. Lalu pada puncaknya, kedua
tangannya dihentakkan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh"!"
Pendekar Rajawali Sakti terkejut ketika Iblis Gila Dari Timur mulai
menghantamnya dengan pukulan-pukulan maut yang mematikan. Angin kencang bertiup
hangat dan udara mulai panas.
Jdeerrr! Murid-murid Perguruan Naga Jenar menyingkir agak jauh ketika bongkahan-bongkahan
tanah serta pepohonan mulai melayang ke mana-mana terhantam pukulan nyasar dari
laki-laki gila itu.
"Iblis Gila! Apa-apaan kau ini"! Kau tidak bertanding secara jujur!" bentak
Rangga garang. "Huh! Persetan dengan segala ocehanmu! Tidak ada seorang pun yang boleh
menghinaku!" desis orang tua itu garang.
"Siapa yang menghinamu" Kau telah mengajukan syarat.
Dan kini kau sendiri yang berbuat curang!" balas Rangga.
"Tidak ada yang boleh melebihiku! Kau telah menghinaku.
Sebab, selama ini tidak ada yang bisa bertahan lebih dari tiga jurusku. Kau
telah menghinaku! Kau telah menghinaku...!
Untuk itu, kau harus mampus!" teriak Iblis Gila Dari Timur seperti kerasukan
setan. "Kakang! Kenapa kau tidak membalas"! Dia hendak membunuhmu! Dia telah berbuat
curang! Kau jangan berdiam diri saja!"
Pandan Wangi yang sejak tadi mengamati jalannya pertarungan, menjadi khawatir
melihat keadaan Rangga yang diserang! lawannya.
"Tenanglah, Pandan! Iblis curang ini akan menerima akibatnya!" sahut Rangga
geram. "Banyak mulut! Mampus kau...!" Iblis Gila Dari Timur menggeram.
Kembali orang tua gila itu menghantamkan pukulan jarak jauhnya, setelah
menghentakkan kedua tangannya.
Jderrr! "Uts!"
Pukulan maut itu nyaris menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti kalau saja tidak
cepat menjatuhkan diri. Lalu dengan cepat Rangga bangkit dan berdiri tegak.
Seketika dia membuat gerakan tubuh. Sebentar tubuhnya miring ke kiri, dengan
tangan terkepal di pinggang. Lalu tubuhnya condong ke kanan, setelah kedua
tangannya naik ke atas dada dalam keadaan merapat. Setelah tubuhnya tegak
kembali, Pendekar Rajawali Sakti cepat menggosok-gosokkan kedua tangannya. Maka
seketika, kedua telapak tangannya telah terselimuti cahaya biru.
"Iblis Jahanam! Kau telah mencurangiku. Maka kau akan merasakan akibatnya!"
desis Pendekar Rajawali Sakti, dingin menggetarkan.
"Heh"!"
Orang tua sinting itu terkejut ketika melihat cahaya kebiruan pada kedua tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan cepat dia kembali mendengus geram.
"Huh! Kau juga harus merasakan aji pamungkasku.
Terimalah aji 'Pukulan Gila Topan Badai'! Hiaaa...!"
Iblis Gila Dari Timur langsung meluruk, seraya menghentakkan tangannya ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
Agaknya, adu kesaktian'tingkat tinggi akan berakhir sampai di sini, karena
masing-masing telah mengerahkan aji pamungkasnya. Entah, siapa yang bakal keluar
sebagai pemenang.
"Heaaa...!"
Begitu pukulan Iblis Gila Dari Timur hampir menghantam tubuhnya, Pendekar
Rajawali Sakti cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, memapak sinar merah
yang melesat dari tangan orang tua gila itu.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiaaa...!"
Seketika dari tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar biru berkilauan,
menghantam sinar merah pukulan Iblis Gila Dari Timur. Dan....
"Aaaa...!"
*** Terdengar ledakan hebat, ketika kedua pukulan itu beradu di tengah-tengah. Iblis
GUa Dari Timur terpekik, begitu tubuhnya terjungkal empat tombak ke belakang.
Begitu ambruk di tanah, dia tewas seketika dalam keadaan hangus.
Aji kesaktian yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti memang dikerahkan pada
tingkat yang terakhir, sehingga akibatnya sangat dahsyat.
"Uuhh..."
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya terjajar dua langkah, namun cukup
membuat dadanya terasa sesak.
"Kakang Rangga, kau tidak apa-apa..."!" tanya Pandan Wangi cemas. Gadis itu
cepat berlari kencang mendapati pemuda itu yang terduduk di tanah.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak pucat dan napasnya turun naik tidak
beraturan. "Kakang, bertahanlah. Aku akan membantumu...!" ujar Pandan Wangi, seraya
menyalurkan hawa murni ke tubuh Rangga.
Rangga segera bersila. Dia cepat mengatur jalan napas dan peredaran darahnya
yang kacau-balau akibat pengerahan tenaga dalam tinggi tadi. Sementara wajah
Pandan Wangi mulai berkeringat. Namun, gadis itu tidak berusaha menghentikan
penyaluran hawa mumi pada Rangga.
"Pandan, sudahlah. Hentikan.... Aku tidak apa-apa. Kau bisa mati lemas
nantinya...," ujar pemuda itu.
Pandan Wangi menarik napas panjang beberapa kali.
Wajahnya tampak pucat, namun senyumnya terkembang ketika melihat senyum Rangga.
"Betul, kau tidak apa-apa, Kakang?"
"Ya...," Rangga mengangguk.
"Kalau saja tenagamu tidak cukup kuat, kau tentu akan binasa sendiri...," keluh
gadis itu cemas.
Rangga mengangguk pelan. Dipandangnya tubuh lawannya yang telah gosong terkena
pukulannya. "Ah, percuma saja usaha kita Sobekan peta itu telah hancur bersama tubuhnya...."
Pandan Wangi terdiam. Gadis itu ikut merasakan kegagalan yang dialami. Dan saat
itu Sri Kuning, putri Ki Sentanu
perlahan-lahan menghampiri. Rangga dan Pandan Wangi memandang sekilas.
"Aku menyadari, kalau saja kalian tidak muncul, maka kami akan binasa di tangan
orang sinting itu...," desak Sri Kuning.
"Apa maumu..."!" tanya Pandan Wangi dengan nada datar.
"Apakah kalian masih menginginkan peta itu...?" tanya Sri Kuning.
"Kau hendak menghina kami, bukan?" kata Pandan Wangi, dingin.
"Tidak. Aku bersungguh-sungguh. Tanpa sepengetahuan ayahku, aku telah menyalin
gambar peta itu ke tempat lain.
Dan tadi, kami telah bermusyawarah. Beliau ingin agar sobekan peta yang telah
kusalin, diberikan saja pada kalian...," jelas gadis itu.
"Betulkah...?" tanya Rangga penuh harap.
Sri Kuning mengangguk cepat.
Namun wajah pemuda itu kembali berubah ketika menyadari satu hal lagi.
"Percuma saja.... Sebab, sobekan peta yang satu lagi tidak bisa diketahui?"
"Kakang! Kenapa tidak kita tanyakan saja pada Ki Mugeni"
Kalau pun dia tidak menyalinnya, paling tidak pasti ingat akan isi sobekan peta
di tangannya, setelah disatukan lebih dulu dengan kedua sobekan peta yang
ada...!" sahut Pandan Wangi.
"Ya! Kenapa tidak terpikir olehku"!" sahut Rangga dengan wajah cerah.
"Kalau begitu, mari kita ambil bersama-sama di tempat kami.
Ayahku pasti akan senang sekali, bila kalian sudi singgah dan
bermalam barang sehari atau dua hari...," Sri Kuning menawarkan.
Dan Rangga hanya menyambutnya dengan senyum.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pedang Langit Dan Golok Naga 8 Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri Naga Sakti Sungai Kuning 7
habisi saja mereka semua!" sentak Pandan Wangi, dengan amarah meluap-luap.
Gadis itu memang dongkol sekali sejak tadi terhadap pemuda yang dianggapnya
sangat memandang rendah. Maka ketika orang-orang itu menyerang, si Kipas Maut
seperti mempunyai tempat untuk melampiaskan diri. Dengan gemas, dia melompat ke
sana kemari. Sedangkan senjata kipasnya berkelebat cepat mencari mangsa.
Trak! Trak! Brettt!
"Aaaa...!"
Bunyi denting senjata dan pekik kematian langsung terdengar saling bersusulan,
begitu si Kipas Maut berkelebat
cepat sambil mengebutkan senjatanya. Untuk sesaat para pengeroyok itu jadi
terkejut. Beberapa tewas secara mudah, dan yang lainnya akan menyusul. Namun
melihat jumlah mereka, semangat orang-orang itu tidak kendor. Mereka terus
menyerang tanpa mengenal takut.
Rangga sendiri tidak sampai hati untuk menurunkan tangan kejam. Namun orang-
orang itu terlalu memaksa- Sehingga, sesekali pukulan mautnya terpaksa ikut
berbicara. Lagi pula, pemuda itu lebih mengutamakan keselamatan Ki Wiranata dan
Diah Kumitir ketimbang melampiaskan kekesalan dengan menghajar murid-murid
Perguruan Arghaloka.
Yang paling menderita adalah Ki Wiranata. Sambil menggendong Diah Kumitir, laki-
laki tua itu terpaksa melindungi diri dari serangan murid-murid Perguruan
Arghaloka yang bukan main gencarnya. Kalau saja Rangga tidak melindunginya,
niscaya dalam waktu singkat mereka pasti akan tewas direncah tombak-tombak
pendek para pengeroyok.
"Ki Wiranata, kita tidak bisa terus-terusan begini. Kasihan Diah Kumitir. Dia
akan ketakutan sekali. Kalian harus menyelamatkan diri. Tunggu aku di ujung
jalan di dekat Hutan Pagar Alam. Ayo, tidak ada waktu lagi! Pergilah. Dan aku
akan membuka jalan bagimu!" bisik Rangga pelan.
"Tapi, Rangga...."
"Cepat'"
Rangga tidak mempedulikan ocehan orang tua itu. Tubuhnya langsung melenting dan
berputaran. Begitu kakinya mendarat, kedua tangannya langsung menyentak ke
depan, melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
tingkat pertama yang disertai pengerahan tenaga dalam tidak begitu tinggi.
Werrr! "Aaaakh...!"
Lima orang yang terdekat langsung terjungkal disertai jerit kesakitan, ketika
beberapa cahaya merah langsung meluruk menerpa mereka.
"Hiyaaa...!"
Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya sudah kembali berkelebat
dengan gerakan gesit disertai kebutan tangannya. Sebentar saja dua orang di
sebelah kanan kontan terpekik dan tewas dengan dada remuk. Tubuh Pendekar
Rajawali Sakti terus berkelebat, menyambar tiga orang yang berada di barisan
kiri Maka kembali terdengar pekik kesakitan. Tubuh mereka langsung ambruk dan
tewas. Dengan gerakan cepat Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat. Dan kini,
Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya menjadi 'Seribu Rajawali'.
"Hei, di mana dia" Aku tidak bisa melihatnya!" seru seorang murid perguruan itu
dengan wajah heran
"Gila! Gerakannya cepat sekali. Seolah-olah dia berjumlah seribu. Tapi.., he"
Jangan-jangan dia memang tidak sendiri"!"
sahut yang lain dengan mulut ternganga.
Gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang memainkan jurus
'Seribu Rajawali" memang cepat bukan main. Sehingga, orang-orang yang
mengeroyoknya mengira Pendekar Rajawali Sakti menjadi sangat banyak. Akibatnya
mereka dibuat kebingungan.
Sementara tanpa disadari, satu demi satu mereka ambruk tidak berdaya terkena hantaman pukulan atau tendangan.
Kesempatan seperti itu yang digunakan Ki Wiranata untuk melarikan diri dari
tempat ini. "Pandan Wangi, pergilah! Lindungi mereka! Biar kubereskan orang-orang ini!"
teriak Rangga. "Tidak! Biar aku saja yang membereskan mereka. Sebaiknya, Kakang saja yang
melindungi mereka!" bantah Pandan Wangi.
Penolakan itu bisa dimaklumi, karena gadis itu tengah dibakar amarah. Namun
Rangga tidak bisa membiarkannya, sebab bisa mencelakakan gadis itu sendiri.
"Pandan Wangi, pergilah. Jangan membantah! Lindungi Ki Wiranata dan Diah
Kumitir!" sentak Rangga, lantang Gadis itu memberengut. Hatinya memang marah dan
kesal betul pada orang-orang itu, sehingga ingin menghajarnya sampai tidak ada
yang tersisa. Namun perkataan Rangga tidak bisa dibantah. Maka mesti dengan hari
kesal, perintah Rangga diturutinya juga.
"Huh! Jangan coba-coba bisa melarikan diri begitu saja!"
desis Setiaji garang, seraya melompat menyerang Pandan Wangi.
"Jangan pedulikan dia! Pergilah, biar aku yang menghadapi!"
Rangga langsung melompat memapak, begitu melihat gelagat Pandan Wangi akan
berbalik menghajar Setiaji.
"Hiyaaa...!"
Mau tidak mau, Pandan Wangi terpaksa mengurungkan niatnya. Dia terus melompat
mengejar Ki Wiranata yang tengah menggendong cucunya. Beberapa orang murid
Perguruan Arghaloka mencoba menghalangi. Namun, agaknya mereka hanya menjadi
tempat pelampiasan kemarahan gadis itu saja.
"Huh! Kalian boleh mampus...!"
Trak! Trakk! Brettt! "Aaaa...!"
*** Tiga orang murid Perguruan Arghaloka langsung terjungkal bermandikan darah,
tersambar senjata si Kipas Maut Pandan Wangi sudah hendak melabrak yang lain,
namun saat itu juga Rangga kembali membentak.
"Pandan Wangi, jangan membandel! Pergilah, dan selamatkan mereka!"
"Iya, iya...!" sahut gadis itu kesal seraya berlari cepat menyusul Ki Wiranata
dan cucunya. Pada saat yang bersamaan, Rangga harus memapak serangan Setiaji yang dialihkan
padanya, setelah melihat Pandan Wangi berhasil meloloskan diri.
Plak! "Uuhh...!"
Setiaji terkejut bukan main begitu serangannya berhasil dipapak Pendekar
Rajawali Sakti. Kepalan tangan kanannya yang berisi tenaga dalam tinggi dihantam
Rangga, seenaknya saja ditangkis Rangga dengan telapak tangan kiri. Sama sekali
tidak terlihat kalau pemuda berbaju rompi putih itu mengeluh kesakitan.
Sebaliknya wajah Setiaji berkerut menahan sakit.
Kepalan tangannya seperti menghantam dinding baja saja.
Belum juga rasa sakitnya hilang, kembali datang serangan yang begitu cepat dari
Rangga berupa sapuan kaki. Masih untung Setiaji mampu menjatuhkan diri untuk
menghindarinya.
Rangga memang tidak berhenti sampai di situ. Begitu Setiaji bangkit berdiri, dia
terus menghajar dengan gerakan cepat
Begitu serangan Pendekar Rajawali Sakti mendekat, Setiaji cepat mengayunkan
tombak pendeknya ke arah lambung. Dan bersamaan dengan itu, senjata kipasnya
disambarkan ke leher.
Namun, Rangga lebih cepat mencelat ke atas. Begitu berada di udara, tubuhnya
meluruk dengan ujung kaki kanannya mengarah ke dada. Gerakannya cepat sekali,
hingga tidak pernah diduga oleh Setiaji. Sehingga....
Desss..,! "Aaaakh...!"
Setiaji menjerit kesakitan, begitu dadanya terhantam kaki Pendekar Rajawali
Sakti. Tubuhnya terjungkal dengan napas sesak. Lalu, dia mencoba bangkit
berdiri, walaupun terhuyung-huyung.
"Itu peringatan pertama bagimu, Kisanak! Ingat, aku akan datang ke tempatmu
untuk menyelesaikan persoalan ini! Ingat baik-baik. Dan sampaikan salam Pendekar
Rajawali Sakti pada ayahmu!" kata Rangga dingin.
Begitu kata-katanya selesai, Pendekar Rajawali Sakti melompat dan berkelebat
cepat dari tempat itu, sebelum anak buah Setiaji mampu berbuat apa pun.
"Pendekar Rajawali Sakti...?" Setiaji tergagap dan wajahnya tampak pucat
"Ada apa, Setiaji...?" tanya salah seorang anak buahnya.
"Pemuda itu...." "
"Kau ingin kami mengejarnya?"
"Percuma saja. Kalian tidak akan mampu mengejarnya. Dia Pendekar Rajawali
Sakti...," sahut Setiaji dengan wajah berkerut menahan sakit.
"Pendekar Rajawali Sakti..."!" Wajah murid itu menunjukkan perasaan kaget.
Setiaji mengangguk lemah.
"Pantas saja dia mampu mudah menghajar kita..!" desis lainnya sambil menggeleng
tidak percaya. "Lalu bagaimana sekarang, Setiaji" Orang tua itu kabur, sedangkan peta itu tidak
kita peroleh. Apa yang akan kita katakan pada guru" Lebih dua puluh orang murid
perguruan kita tewas...!" tanya salah seorang dengan wajah tegang
"Tenanglah, Atmaja. Itu urusanku...."
"Mudah kau berkata seperti itu. Tapi, nanti akulah yang akan disalahkan guru
karena tidak bisa menasehatimu!" sentak Atmaja dengan wajah gusar.
"Hei" Kenapa sekarang kau jadi cerewet seperti perempuan"! Sudah kukatakan, aku
yang bertanggung jawab!"
kata pemuda itu mulai agak keras.
"Ya. Kau bisa bicara begitu, sementara aku ikut daiam rombongan ini. Apa yang
harus kujawab jika guru menanyakannya"!"
Setiaji tersenyum kecil dan wajahnya kelihatan sinis.
"Hei" Kenapa kau ini" Kenapa kau anggap ini persoalan besar" Bukankah ayahku
memang tengah mencari sobekan peta itu" Apa kau kira kita salah jika berusaha
membantunya"
Beliau akan senang. Kau tidak perlu khawatir lagi!"
"Bukan itu yang menjadi masalah...."
"Lalu apa?"
"Kau dengar apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti...?"
Setiaji terdiam beberapa saat. Dia tahu, apa yang dipikirkan Atmaja. Kurang
lebih sama dengan apa yang dipikirkannya saat ini
"Setiaji, aku tidak meragukan kehebatan guru. Tapi untuk saat ini, siapa yang
bisa menghadapi si Pendekar Rajawali Sakti" Kalau benar dia akan datang, maka
Perguruan Arghaloka akan celaka. Bahkan sepuluh kali kekuatan seluruh murid
Perguruan Arghaloka, akan mudah disapu bersih olehnya...."
Setiaji masih membungkam dengan tatapan kosong. Atmaja mengeluh pendek. Lalu dia
memberi isyarat pada yang lain untuk membawa mayat-mayat murid Perguruan
Arghaloka yang tewas dalam pertarungan tadi.
"Kita pulang sekarang...," ajak Setiaji pendek.
Atmaja memandang pemuda itu seperti ingin mengetahui, apa jawaban Setiaji.
"Biariah aku yang urus. Dan nanti, akan kukatakan pada ayah. Jangan khawatir,
aku tidak akan membawa-bawamu dalam persoalan ini," kata pemuda itu berusaha
meyakinkan sambil menepuk pundak Atmaja.
Atmaja hanya tersenyum hambar.
*** Matahari yang tadi bersinar garang, saat ini tertutup awan hitam yang bergulung-
gulung membentuk suatu kumpulan yang terus membesar. A-ngin mulai bertiup agak
kencang, menerbangkan dedaunan serta debu-debu di jalanan.
Di sebuah rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya, Ki Wiranata tampak kecewa
mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Karena, Rangga dan Pandan Wangi
telah sepakat untuk tidak mengajaknya ikut serta dalam persoalan ini.
"Percayalah, Ki. Aku bukan tidak mengerti perasaanmu.
Namun kau harus memikirkan keselamatan Diah Kumitir. Anak ini terlalu muda untuk
melihat kejadian-kejadian kejam di sekelilingnya. Itu tidak baik bagi
perkembangannya di masa depannya...."
"Tapi mana mungkin aku hanya berpangku tangan, sementara kalian berjuang mati-
matian...?"
Rangga tersenyum seraya menepuk bahu orang tua itu.
"Tidak jadi soal. Kami tidak keberatan membantumu...,"
tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Betul, Ki...!" timpal Pandan Wangi. "Kami khawatir akan keselamatan Diah
Kumitir. Kalau saja kejadian seperti tadi terulang kembali, kita tidak tahu apa
yang terjadi dengannya.
Bisa saja, dia terkena senjata nyasar. Demi kebaikan anak ini, sebaiknya Ki
Wiranata dan Diah Kumitir bersembunyi di tempat yang aman...."
"Kenapa kami harus bersembunyi...?" tanya Ki Wiranata.
"Suasana semakin panas. Dan agaknya, semakin banyak yang tahu kalau kau memiliki
sebuah sobekan peta itu. Mereka yang rakus sudah tentu akan mengincar sobekan
peta di tanganmu. Bahkan tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Benar, Ki...," timpal Rangga. "Sebaiknya, bawa Diah Kumitir ke tempat aman.
Percayalah, kami akan membawa kedua sobekan peta itu padamu. Dan kami juga akan
menjagamu sampai berhasil menemukan pusaka peninggalan buyutmu...."
Ki Wiranata diam untuk beberapa saat seraya menghela napas panjang. Dipandangnya
Pandan Wangi, kemudian beralih
pada Rangga. Lalu ditatapnya Diah Kumitir. Perlahan-lahan dihampirinya anak itu.
Kemudian dielus-elusnya kepala Diah Kumitir.
"Malang betul nasibmu, Kumitir. Kedua orang-tuamu sudah tiada, dan kini kau
harus mengalami nasib yang tidak menentu.
Tapi, jangan khawatir. Kakek akan berusaha sekuatnya untuk memberimu sesuatu
yang berharga demi masa depanmu.
Paling tidak, kalau kakek telah tiada, kau bisa menjaga dirimu sendiri...,"
gumam Ki Wiranata pelan.dengan nada haru.
"Sudahlah, Ki. Jangan membuatnya bertambah sedih. Kau harus membesarkan
jiwanya...," ujar Pandan Wangi pelan.
Ki Wiranata mengangguk pelan.
"Adakah suatu tempat yang akan kau kunjungi sementara waktu?" tanya Rangga.
Ki Wiranata terdiam, seperti sedang berpikir. Kemudian kepalanya menggeleng
lemah. "Aku tidak punya sanak keluarga. Dan kawan pun hanya sedikit. Kalau kukunjungi,
hanya menyusahkan mereka.
Bukankah itu akan mengakibatkan malapetaka bagi orang yang kutumpangi...?" sahut
orang tua itu lirih.
"Hm...," Rangga hanya bergumam.
Orang itu memandangnya.
"Lalu apa yang harus kami lakukan sekarang..?" tanya Ki Wiranata.
Rangga menghela napas pendek.
"Kakang, bagaimana kalau mereka dititipkan saja di wilayah Karang Setra" Dengan
begitu, keselamatannya akan terjamin.
Dan Kakang bisa perintahkan beberapa orang prajurit untuk
menjaga mereka?" selak Pandan Wangi sebelum Rangga buka suara.
"Prajurit" Oh! Apa maksudnya...?" tanya Ki Wiranata dengan wajah heran.
"Ah! Tidak apa-apa, Ki. Kami mendengar kalau Raja Karang Setra sangat pemurah
dan tidak segan-segan melindungi kaum lemah. Pandan Wangi tahu hal itu, sehingga
memberi usul demikian. Bukankah begitu, Pandan?" kata Rangga, sambil melotot
sedikit pada si Kipas Maut.
Rangga sebenarnya mangkel juga pada Pandan Wangi yang hampir-hampir membuka
kedoknya. Karena selain sebagai Pendekar Rajawali Sakti, Rangga sendiri adalah
Raja Karang Setra.
"Ya, betul. Di sana kalian akan aman..," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum
kecil. "Hm, Karang Setra..." Tempat itu agak jauh dari sini...," kata Ki Wiranata
sedikit ragu. "Apakah kau tidak memikirkan keselamatan Diah Kumitir...?"
tanya Pandan Wangi.
"Persoalan ini menyangkut keselamatan Diah Kumitir, Ki.
Kalau dia celaka atau tewas, akan sia-sia saja usaha kita ini.
Meski sedikit jauh, namun kalian aman di sana. Begitu Raja Karang Setra
melindungi kalian, maka bukan saja para prajurit serta para panglimanya saja
yang akan turun tangan. Tapi, seluruh rakyatnya pun akan turun tangan melindungi
kalian!" timpal Rangga. "Begitukah" Kenapa kalian bisa begitu yakin?"
"Karena kami adalah rakyat Karang Setra, dan tahu betul bagaimana watak raja
kami!" sahut Rangga cepat, sebelum Pandan Wangi buka suara.
"Baiklah. Kalau .begitu, aku setuju saja...."
Rangga dan Pandan Wangi tersenyum. Gadis itu langsung memeluk Diah Kumitir
sesaat, seraya mengelus rambutnya.
"Nah, Diah. Untuk sementara waktu, kau ikut dengan kakekmu, ya?"
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bocah perempuan itu memandang Pandan Wangi dengan wajah khawatir.
"Bibi hendak ke mana...?"
"Bibi hendak membawakan hadiah untukmu...."
"Bibi akan menghajar orang-orang jahat itu...?" tanya bocah itu, lugu.
"Benar! Bibi akan menghajar orang-orang jahat yang telah mengganggu kita!"
Diah Kumitir tersenyum lebar. "Kalau saja aku bisa sehebat Bibi dan Paman, tentu
aku mampu melindungi kedua orangtuaku...," kata Diah Kumitir.
"Sudahlah.... Kau jangan terlalu banyak memikirkan mereka.
Orangtuamu telah tenang di surga. Kau pun bisa seperti paman dan bibi. Dan jika
waktunya tiba, bahkan kau bisa melebihi kepandaian bibi," hibur Pandan WangL
"Oh, benarkah itu"!" Bola mata bocah perempuan itu tampak berbinar-binar.
Pandan Wangi mengangguk cepat.
"Kapan waktu itu tiba, Bi?"
"Tidak lama lagi, Anak Manis...."
"Ah! Aku sudah tidak sabar menunggunya!
Aku ingin lekas-lekas bisa sehebat Bibi dan Paman...!"
"Tapi ingat, Diah!"
"Kenapa, Paman Rangga...?"
"Seseorang akan menjadi hebat, bila tekun belajar, berlatih, serta tidak kenal
putus asa!"
"Baik, Paman. Aku akan selalu ingat pesan Paman dan Bibi!"
"Kalau sudah hebat, kau tidak boleh sombong serta harus membantu yang lemah,"
sambung Pandan Wangi.
Diah Kumitir mengangguk cepat.
"Nah, mari kita berangkat sekarang!" lanjut Rangga.
Mereka segera keluar pondok itu, menuju kuda-kuda yang ditambatkan di luar.
Pendekar Rajawali Sakti segera menaiki Dewa Bayu. Dan Ki Wiranata segera ikut
melompat di belakangnya. Sementara Pandan Wangi menaiki si putih, setelah
meletakkan Diah Kumitir dipunggung kudanya.
"Heaaa...!"
Dalam waktu singkat mereka telah meninggalkan tempat itu.
Yang tersisa hanya debu yang mengepul di udara, lalu terbang ditiup angin yang
bergulung-gulung.
*** 6 Malam begitu gelap tertutup awan yang hitam menggumpal.
Hujan deras yang sejak sore tadi turun, mengakibatkan air sungai meluap.
Beberapa bagian jalan yang rendah tampak tergenang air. Dalam keadaan cuaca
demikian, agaknya membuat orang enggan keluar rumah. Mereka lebih merasa enak
berdiam diri sambil menyeruput teh hangat Namun lain halnya sesosok tubuh yang
menyelinap perlahan-lahan di balik pepohonan. Gerakannya ringan dan lincah
sekali. Matanya tak henti-hentinya memandang ke sekeliling seperti seekor elang yang
tengah mengawasi mangsanya. Manakala angin bertiup sedikit kencang, maka
rambutnya terlihat berkibar-kibar. Agak panjang dan semrawut, seperti tidak
terurus. Tubuh sosok itu kecil dan agak kurus. Dia hanya mengenakan celana pendek di atas
lutut. Baju yang dikenakannya berukuran besar dan sudah lusuh. Orang itu
melompat ke cabang pohon yang tinggi dan mengawasi keadaan di bawahnya.
"He he he...! Mereka pasti telah terielap semua. Ini akan memudahkan
urusanku...!" gumam sosok itu pelan sambil menyeringai lebar.
Dengan satu lompatan kecil, tubuh orang itu melayang melewati pagar bambu
setinggi dua tombak. Setelah berputaran beberapa kali, kakinya menjejak tanah
tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Matanya langsung memandang ke sekeliling,
lalu berlari kecil dan merapat ke balik dinding.
Rupanya, sebuah bangunan kecil yang diterangi dua buah obor menjadi
perhatiannya. Tempat itu lebih tepat dikatakan sebagai
pos keamanan bangunan ini. Tanpa mempedulikannya, sosok itu sudah langsung
melompat ke atas genteng.
"Hup!"
Begitu hinggap di atap, sosok itu segera berlari kecil mencari-cari tempat yang
telah diincarnya. Langkahnya terhenti ketika mendengar suara keras di suatu
ruangan, tepat di bawah tempatnya berpijak Dia langsung merebahkan diri, dan
mengintip lewat celah-celah genteng. Tampak di bawah sana terlihat banyak orang
berkumpul. "He he he...! Bagus! Mereka agaknya berkumpul di sini...,"
gumam orang itu disertai senyum kecil.
Lalu dengan gesit sosok itu bangkit dan kembali berkelebat menuju sebuah ruangan
lain yang lebih besar. Kembali dia mengintip lewat celah-celah genteng, namun
tidak menemukan siapa pun di sana, segera dibukanya tiga buah genteng. Lalu,
tubuhnya melayang turun dengan ringan ke bawah! Begitu mendarat, matanya
memandang ke kiri dan kanan, seperti mencari-cari sesuatu di seluruh ruangan
ini. "Hm.... Ini ruangan si tua Mugeni. Dia pasti menyimpannya di sini...," kata
orang itu dalam hati seraya membongkar laci-laci meja dan lemari.
Setiap gerakan orang itu terlihat hati-hati sekali dan nyaris tanpa menimbulkan
suara. Ketika membuka laci serta lemari yang terkunci erat, jari-jari tangannya
dengan mudah melepaskan engsel dan kuncinya. Nyata sekali kalau orang ini
memiliki tenaga dalam tinggi.
"Setan! Di mana dia menyimpan benda itu?" gumam sosok itu kesal setelah
membongkar semua benda yang ada di ruangan itu.
Dia termenung sejenak sambil berpikir. Lalu jari-jarinya mulai mengetuk dinding
ruangan. Bola matanya berbinar, ketika merasakan suara ketukan yang nadanya
berbeda dari lainnya.
Brosss! Cepat sekali sisi tangan kanan orang itu menghantam dinding yang dicurigai. Maka
seketika tembok itu hancur, membuat sebuah lubang sebesar kepala orang dewasa.
Didalamnya ada sebuah peti kecil berwarna coklat kehitaman yang langsung diambil
dan buka. Begitu melihat secarik kulit kambing yang bertuliskan huruf-huruf
serta gambar yang terpotong-potong, wajahnya berbinar dan senyumnya mengembang.
"He he he...! Akhirnya peta ini menjadi milikku. Tinggal dua bagian lagi, maka
lengkaplah sudah...!" kata sosok ini, sambil terkekeh.
"Hei, siapa itu di dalam!"
Mendadak saja, terdengar bentakan keras dari luar ruangan.
Orang itu terkejut. Dan dia langsung melompat ke atas dengan gerakan ringan.
Namun, saat itu juga terdengar teriakan-teriakan nyaring. Sehingga membuat
seluruh penghuni bangunan ini terkejut dan langsung bersiaga.
"Itu...! Itu dia di atas genteng...!" teriak seseorang dengan tangan menunjuk ke
atas. "Dia dari kamar guru! Pasti ada sesuatu yang dicurinya.
Tangkap, dan jangan biarkan lolos...!" teriak yang lain memberi perintah.
"Yeaaa...!"
Wut! Wuttt...! Beberapa orang langsung mencelat ke atas genteng, mengejar orang itu. Sementara,
yang lainnya berjaga-jaga di bawah sambil melemparkan berbagai senjata tajam.
"Hiiihh...!"
Bettt! Orang itu bergerak lincah, menghindari desingan senjata-senjata tajam yang
melesat ke arahnya. Tubuhnya melayang ringan, dan beberapa kali berjumpalitan.
Sementara serangan orang-orang yang memang anak buah Ki Mugeni begitu bernafsu
hendak meringkusnya.
"Setan! Dia berusaha melarikan diri! Jaga semua jalan. Dan, jangan biarkan
melarikan diri!" teriak orang yang tadi berteriak lantang.
Lima orang telah mengurung sosok itu dengan rapat di atas atap. Bahkan mereka
langsung mengayunkan senjata. Namun gerakan sosok itu gesit sekali. Bahkan tiba-
tiba saja dia telah melenting ke atas seraya melepaskan pukulan Jarak jauh yang
bertenaga dalam tinggi.
"Yeaaa...!"
Desss! "Aaakh...!"
Kelima orang itu terpental sambil menjerit kesakitan. Tubuh mereka bergulingan
di atap, lalu jatuh berdebuk keras di tanah.
"Hup!"
Begitu selesai melepaskan pukulan, sosok itu langsung berkelebat cepat. Tubuhnya
cepat menerobos kelebatan pohon dan hinggap pada salah satu cabangnya. Tubuhnya
terus berkelebat di antara cabang-cabang pohon dan dedaunan, lalu lenyap ditelan
kegelapan malam!
Seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berjenggot panjang tampak tengah
mendengus geram sambil mengepalkan kedua tangannya di sebuah bangunan besar.
Matanya tidak lepas memandang orang yang telah lenyap tadi. Tak lama seorang
pemuda menghampiri dengan wajah heran.
"Ayah, siapa orang itu. Dan, kenapa ayah tidak berusaha mengejarnya sampai
dapat?" "Percuma saja, Setiaji...," sahut orang tua yang tidak lain dari Ki Mugeni,
Ketua Perguruan Arghaloka.
"Kenapa, Ayah" Dia telah membuat kekacauan di tempat kita. Bahkan mencuri
sesuatu yang berharga dari kamar Ayah.
Kenapa didiamkan saja?" tanya Setiaji dengan wajah heran dan tidak puas atas
jawaban ayahnya.
"Kau tidak tahu siapa orang itu, Anakku. Meski aku ikut mengejar, nantinya tidak
akan mampu mendapatkan peta yang berhasil dicurinya...," sahut Ki Mugeni putus
asa. "Siapa orang itu sebenarnya?" tanya Setiaji penasaran.
"Dia bergelar Iblis Gila Dari Timur...."
"Iblis Gila Dari Timur" Hm.... Belum pernah kddengar nama itu" Apa dia lebih
daripada Pendekar Rajawali Sakti?"
Ki Mugeni tersenyum kecil mendengar pertanyaan putra satu-satunya.
"Dia memang jarang muncul di dunia persilatan. Namun kepandaiannya cukup hebat.
Orang itu sinting. Dan sampai saat ini, tidak ada satu tokoh pun yang berani
mencari urusan dengannya. Masih untung kita hanya kehilangan beberapa orang
murid. Agaknya, malam ini dia tidak berselera mengumbar kematian...," jelas Ki
Mugeni. "Lalu apa yang kita lakukan sekarang" Mendiamkannya saja!
Susah payah Ayah mencari sobekan peta itu, dan kini tiba-tiba saja seseorang
mengambilnya dengan mudah dari kita. Itu tidak adil! Kita harus mengambilnya
kembali!" desis Setiaji geram.
"Apa yang bisa kita lakukan" Menyerahkan nyawa percuma"
Hm, bukan aku tidak merasakan kekecewaan yang dalam. Tapi kita tidak akan
mungkin melawannya. Orang itu kelewat hebat.
Hmm.... Aku tidak menyangka kalau dia ikut mengincar pusaka Ki Sendang
Bodas...," kilah Ki Mugeni.
Untuk sesaat, mereka terdiam. Sementara lebih dari tiga puluh murid perguruan
yang mengejar Iblis Gila Dari Timur, mulai kembali sia-sia. Wajah mereka tampak
lusuh dan takut-takut ketika melaporkan hal itu pada Ki Mugeni.
"Sudahlah.... Aku tidak menyalahkan kalian. Orang itu memang bukan tandingan
kita...," sahut Ki Mugeni menghibur.
"Lalu apa yang bisa kita lakukan, Guru?" tanya seorang muridnya.
"Entahlah. Aku pun tidak tahu...," sahut Ki Mugeni putus asa.
Baru saja kata-kata Ki Mugeni selesai, di depan pintu gerbang kembali terdengar
suara ribut-ribut Ki Mugeni dan Setiaji cepat mengarahkan pandangannya ke depan.
Lalu sebentar saja mereka telah berlarian ke depan. Tampak di depan pintu
gerbang telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dan seorang gadis
cantik berbaju biru muda.
"Kisanak, siapa kalian berdua?" tanya Ki Mugeni. Nada suaranya terdengar kesal
bercampur marah.
"Ayah, pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti...!" desis Setiaji
dengan wajah kaget begitu melihat kehadiran kedua orang itu.
"Pendekar Rajawali Sakti" Mau apa dia ke sini malam-malam begini?" gumam orang
tua itu lirih. "Aku ingin bertemu guru kalian!" teriak pemuda yang memang Pendekar Rajawali
Sakti lantang. Ki Mugeni mendekati. Dan langkahnya berhenti pada jarak lima langkah dari kedua
orang itu. "Kisanak, akulah Ki Mugeni. Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu sehingga tengah
malam begini datang ke tempat kami...?" sahut Ki
Mugeni dengan nada
lunak. "Hm, bagus. Jadi,
inikah tampang guru
para pengecut yang
mengerahkan begitu
banyak murid untuk
mencelakakan kami"!"
dengus gadis yang
memang Pandan Wangi, sambil berkacak pinggang.
Murid-murid Perguruan Arghaloka
bersiap mengepung
kedua orang itu dengan senjata terhunus. Namun sebelum segalanya menjadi kacau,
Ki Mugeni memerintahkan mereka untuk menyingkir. Orang tua itu menghela napas
panjang. "Pendekar Rajawali Sakti, dan juga kau Kipas Maut. Maafkan kesalahan murid-
muridku. Apa yang mereka lakukan, sama sekali di luar sepenge-tahuanku. Malam
ini kami tengah bersidang untuk memberi hukuman setimpal bagi mereka,
termasuk juga putraku. Namun hal itu ternyata dimanfaatkan Iblis Gila Dari Timur
untuk menyelinap masuk dan mengacau di tempatku. Sekali lagi aku mohon maaf atas
kelancangan mereka...," ucap orang tua itu dengan nada rendah.
"Huh! Enak saja meminta maaf. Orang tua! Apakah kau tidak menyadari kalau murid-
muridmu hampir mencelakakan seorang bocah yang sama sekali tidak mengerti apa-
apa"! Mereka begitu bernafsu untuk merampas sesuatu yang bukan miliknya.
Bahkan menghalalkan segala cara meski harus membunuh!"
desis Pandan Wangi geram.
"Kipas Maut, percayalah. Aku sangat menyesal atas kejadian itu. Maka aku mohon
kemurahan hati kalian untuk memaafkan kami. Dan aku berjanji mereka tidak akan
lepas dari hukuman.
Lantas, apakah itu belum cukup?"
Pandan Wangi sudah hendak kembali menghardik, kalau saja Rangga tidak mencegah
dan menyambarnya. Itu pun wajahnya terlihat amat berang bercampur kesal.
"Buat apa berbaik-baik, Kakang" Sudah jelas mereka bukan orang baik-baik. Dan,
kenapa kita harus terus mengalah"!"
rungut Pandan Wangi. "Sudahlah, Pandan. Memaafkan orang, lebih baik daripada
mengumbar kemarahan. Lagi pula ucapan orang tua ini bersungguh-sungguh. Aku bisa
merasakannya...,"
kilah Rangga. "Huh...!" Pandan Wangi hanya mendengus kesal. Namun tetap saja amarahnya belum
sirna meski telah berusaha melampiaskannya.
"Ki Mugeni... Tahukah kau maksud kedatangan kami ke tempatmu ini?" tanya
Pendekar Rajawali Sakti setelah menatap Ki Mugeni dengan tajam.
"Bukan urusan kelakuan murid-muridku...?" Ki Mugeni malah balik bertanya.
"Benar. Aku ingin menuntaskannya. Namun mendengar jawabanmu, aku yakin dan
percaya kalau kau tidak tahu-menahu soal ini. Biarlah urusan itu kuanggap
selesai. Namun masih ada satu lagi yang mengganjal dalam benakku. Dan rasanya
aku ingin mendapat jawaban jujur darimu," kata Rangga. Nada suaranya ditekan
sedemikian rupa, untuk memperlihatkan pada orang tua itu kalau ucapannya
bersungguh-sungguh
"Hm. Apakah gerangan itu...?"
"Apakah kau menyimpan sobekan peta yang menunjukkan tempat pusaka Ki Sendang
Bodas berada?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar pertanyaan itu Ki Mugeni tampak sama sekali tidak merasa kaget. Bahkan
bibirnya tersenyum lebar dengan wajah geli.
Sudah barang tentu sikap Ketua Perguruan Arghaloka membuat Rangga menjadi kesal
bukan main. "Kenapa kau tersenyum begitu, Ki" Apakah kau kira aku tengah melucu"!" sentak
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kenapa tidak" Kukira pusaka peninggalan Ki Sendang Bodas itu hanya menarik bagi
orang-orang seperti kami. Tapi, heh"!
Agaknya Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu pun mengincarnya juga...!"
sentak Ki Mugeni melecehkan.
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tahulah Rangga apa yang tengah dipikirkan orang tua itu mengenai ucapannya tadi.
Dan kini, ganti Pendekar Rajawali Sakti yang tersenyum sinis..
"Jadi kau kira aku kepincut dengan pusaka itu...?" tanya Rangga, sinis.
"Lalu apa gunanya kau bertanya-tanya?" Ki Mugeni balik bertanya.
"Aku mewakili Ki Wiranata, cucu Ki Sendang Bodas, untuk membawa' pusaka itu
padanya. Tidak lebih dari itu!" sahut Rangga menegaskan.
"Ya, ya.... Tentu saja aku percaya," sahut Ki Mugeni enteng.
Jawaban orang tua itu berkesan melecehkannya. Dan Rangga bukannya tidak
menyadarinya. "Ki Mugeni, aku menghormatimu. Dan aku bisa mempercayai alasanmu tadi. Tapi
sebaliknya, apa yang kau lakukan" Kau meragukan niatku. Dan mungkin dalam hati
mengira aku tamak, ingin mengambil pusaka itu begitu kutemui. Orang seperti apa
kau ini sebenarnya?" ucap Rangga dengan nada tajam.
Nada bicara pemuda itu tentu saja amat menyinggung perasaan Ki Mugeni, hingga
sesaat jadi terdiam menyadari kesalahannya. Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali
Sakti memang tidak salah. Pemuda itu telah menghormatinya dengan mempercayai
kata-katanya tadi, soal penyerangan yang dilakukan murid-muridnya. Tapi sebagai
balasannya, orang tua ini malah melecehkan niat Pendekar Rajawali Sakti. Padahal
selama ini belum pernah didengarnya kalau si Pendekar Rajawali Sakti memiliki
watak telengas.
"Kisanak, maafkan kesalahanku. Tapi..., aku sama sekali tidak memiliki peta
itu...," sahut Ki Mugeni pendek. Langsung ditatapnya pemuda itu dengan sorot
mata bersungguh-sungguh.
"Ki Mugeni! Aku tidak ingin dipermainkan, seperti Ki Sentanu memperlakukan
kami...!" sahut Rangga, bernada memperingatkan.
"Ki Sentanu" Apa yang telah dilakukannya terhadap kalian?"
"Dia telah memberitahukan, kalau kau menyimpan sobekan peta itu. Dan sebentar
lagi, mungkin kau akan mengatakan kalau Ki Sentanu-lah yang memilikinya...."
"Betulkah dia berkata begitu?"
Rangga mengangguk. Tampak ada perubahan di wajah orang tua itu. Ki Mugeni tampak
geram dengan wajah berkerut menahan amarah.
"Sentanu! Kurang ajar kau...!" desis Ki Mugeni geram.
"Ki Mugeni, ketahuilah. Benda itu tidak berhak menjadi milik kalian, termasuk
peta itu. Maka serahkanlah padaku. Sebab, Ki Wiranata-lah yang lebih berhak
memilikinya," sahut Rangga tanpa mempedulikan kekesalan hati orang tua itu.
"Aku berkata yang sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti. Aku memang memiliki
sobekan peta itu. Namun, Iblis Gila Dari Timur telah mengambilnya, saat aku
tengah memperkarakan murid-muridku yang menyerangmu. Tidakkah kau perhatikan
kalau kami semua tengah berkeliaran malam-malam begini"
Orang gila itu baru saja kabur. Dan saat ini, mungkin menuju tempat kediaman Ki
Sentanu...."
"Iblis Gila Dari Timur" Hm.... Mau apa dia ke tempat Ki Sentanu?"
"Sudah barang tentu untuk mendapatkan sobekan peta yang kedua."
"Berarti Ki Sentanu memilikinya juga?" todong Rangga.
Ki Mugeni mengangguk pelan.
"Dan kau kira kami tahu dari mana kalau sobekan peta ketiga, berada di tangan Ki
Wiranata" Merekalah yang memberitahukannya melalui murid-muridku. Ki Sentanu itu
memang licik. Dia berniat hendak merebutnya dari tangan Ki Wiranata yang kalian
jaga. Lalu setelah memperoleh sobekan peta itu, mereka berniat hendak menawan
murid-muridku untuk ditukar sobekan peta yang kumiliki!" jelas Ki Mugeni.
"Dari mana kau tahu semua?" tanya Rangga.
"Kau kira siapa ketujuh orang bertopeng yang menyerangmu tadi" Mereka adalah
murid-murid pilihan dari Perguruan Naga Jenar. Mereka tidak mengira kalau
Setiaji sudah mengintai bersama kawan-kawannya sejak kau bertarung. Menurut
laporan putraku, setelah pertarungan berlangsung, beberapa orang kawannya
berhasil menangkap salah seorang dari mereka untuk dimintai keterangan...,"
jelas Ki Mugeni. "Baru setelah kau bertarung melawan Danang Anyar yang datang
bersama Nyi Gendang Lurik, Setiaji berusaha menangkapmu."
"Kurang ajar! Hm.... Ki Sentanu akan mendapat pelajaran atas perbuatannya!"
desis Rangga geram.
"Pendekar Rajawali Sakti! Kalau kau bersedia, aku akan turut membantumu
membalaskan kelicikannya!" sambut Ki Mugeni, semangat
Rangga berpikir sesaat sebelum menggeleng sambil tersenyum.
"Terima kasih, Ki. Biar aku sendiri saja...," sahut pemuda itu tenang. "Aku
memang tidak suka dipermainkan seperti ini. Dan siapa pun orangnya, sudah barang
tentu membuatku tidak senang. Dia harus mendapat pelajaran yang setimpal atas
perbuatannya!"
"Huh! Orang-orang seperti Ki Sentanu memang tidak bisa dipercaya. Dia patut
mendapat balasan yang lebih buruk atas kelakuannya selama ini!" dengus Ki
Mugeni, menimpali.
"Nah, Ki. Karena tidak ada lagi yang akan dibicarakan, kami pamit dulu. Maaf
telah menyusahkanmu...," sahut pemuda itu seraya memberi salam hormat dan segera
berbalik. "Sama-sama, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau ada sesuatu yang kau inginkan,
hubungi kami. Aku dan seluruh muridku siap membantu...!"
"Terima kasih."
Rangga tersenyum, lalu mengajak Pandan Wangi segera meninggalkan tempat itu.
"Mari, Pandan. Kita harus cepat menuju ke tempat Ki Sentanu. Jangan sampai
didahului si Iblis Gila Dari Timur."
"Kakang, apakah kau tidak yakin kalau mereka berbohong?"
bisik Pandan Wangi?curiga.
"Tidak. Tapi kalaupun mereka berbohong dan ingin mempermainkan kita, semut pun
akan menggigit bila diinjak-injak gajah. Dan kita bukan semut. Aku punya batas
kesabaran. Mereka akan menerima akibatnya!" sahut pemuda itu mantap.
Pandan Wangi mengangguk pelan, kemudian mengikuti Rangga melompat ke punggung
kuda dan berialu dari tempat itu.
*** 7 Satu sosok bayangan mengendap-endap di sisi dinding bangunan sebelah timur
Perguruan Naga Jenar. Seorang lagi berada di cabang pohon terdekat sementara
seorang lagi bertiarap di atas genteng. Sulit dikenali wajah mereka, karena
ditutupi topeng hitam. Hanya sepasang mata mereka yang terlihat
Suasana sunyi dan lengang. Suara binatang sudah mulai terdengar. Dan gerimis
betul-betul telah reda. Penghuni tempat ini pasti telah terlelap dalam mimpinya
masing-masing. "Hei...!"
"Hup!"
Bruaakk..! Keheningan tiba-tiba saja dipecahkan oleh satu bentakan nyaring, membuat tiga
orang bertopeng itu tersentak kaget.
Dan dari dalam sebuah ruangan tiba-tiba melesat dua sosok tubuh bertopeng
lainnya, setelah menjebol wuwungan dan memporak-porandakan atapnya.
"Maling Busuk! Kau kira bisa lari dariku, he..."!" teriak seorang gadis, ikut
mencelat ke atas. Dan dia langsung mencabut pedangnya untuk menyerang kedua
orang bertopeng yang baru saja mencelat.
Sringng! "Sudah kudapat sobekan peta itu! Kirjo, tahan gadis itu...!"
teriak orang bertopeng yang baru saja mencelat pada kawannya yang tadi bertiarap
di atap. "Pergilah kalian! Biar kubereskan gadis ini!" sahut orang bertopeng yang
dipanggil Kirjo seraya mencabut pedang di punggungnya. Langsung dipa-paknya
serangan gadis itu.
Trang! "Uhhh...!"
Gadis itu mengeluh kesakitan, ketika senjatanya beradu dengan pedang Kirjo.
Tangannya bergetar dan telapaknya nyaris terkelupas. Belum juga dia menguasai
keadaan, orang bertopeng itu sudah menyodokkan satu tendangan keras ke arah
perut. Untung saja, gadis itu cepat berkelit ke samping, sehingga terhindar dari
sebuah tendangan dahsyat
"Yeaaa...!"
Orang bertopeng yang dipanggil Kirjo itu berkelebat cepat.
Seakan dia tidak ingin memberi kesempatan pada gadis itu untuk bernapas sedikit
pun. Dengan sebisa-bisanya gadis itu menangkis serangan, lalu terus bergulingan ke
bawah. Trang! Beberapa buah genteng kontan hancur beran-takan dihantam senjata Kirjo yang
mengamuk hebat Tapi baru saja kedua kaki gadis itu menjejak tanah, angin
serangan laki-laki bertopeng telah begitu dekat menyerangnya.
"Sri Kuning! Minggirlah kau. Orang ini bukan lawanmu!"
Mendadak saja terdengar teriakan seseorang yang disusul dengan satu hantaman
pukulan jarak jauh ke arah laki-laki bertopeng.
"Huh! Ki Sentanu, orang tua busuk! Apakah kebisaanmu hanya membokong orang"!"
dengus orang bertopeng itu
geram, ketika tahu-tahu di atas atap telah berdiri laki-laki setengah baya yang
memang Ketua Perguruan Naga Jenar.
"Tidak usah banyak bicara! Lima Setan Gunung Kelud memang maling rendah yang
tidak tahu diri! Huh! Ke mana kawanmu yang empat orang lagi"!" dengus Ki
Sentanu. "Ayah! Mereka memasuki kamarmu dan mencuri sobekan peta itu!" tuding Sri Kuning
gemas. "Keparat! Kembalikan milikku!" sentak Ki Sentanu seraya melompat menyerang
"He he he...! Keempat kawanku telah membawanya kabur dari sini. Kau hanya bisa
gigit jari!" ejek Kirjo, sambil terkekeh-kekeh.
"Setan! Kalau begitu kau harus mampus di tanganku!" desis Ki Sentanu garang.
Sring! Dalam kemarahannya, Ketua Perguruan Naga Jenar itu langsung mencabut pedang dan
menyerang menggunakan jurus-jurus terhebatnya. Bagaimanapun, Ki Sentanu
menyadari kalau Lima Setan Gunung Kelud rata-rata ahli menggunakan senjata
pedang. Tring! Tring! "He he he...! Tidak buruk, orang tua! Tidak buruk...! Ilmu pedangmu boleh juga.
Tapi berharap dapat mengalahkanku, kau boleh mimpi atau berguru sepuluh tahun
lagi!" ejek Kirjo setelah menangkis serangan-serangan Ki Sentanu dengan mudah.
"Hhh.... Tidak perlu bermimpi dan tidak periu pula berguru sepuluh tahun untuk
meringkusmu! Kau lihat! Tempat ini telah
dipenuhi murid-muridku. Kau tidak akan lolos dari kami!"
dengus Ki Sentanu.
"Kau kira semua muridmu mampu menghalangiku untuk kabur" He he he...! Sungguh
menganggap remeh!"
Baru saja Kirjo berhenti tertawa, mendadak terdengar jerit kesakitan yang
berasal dari luar pekarangan perguruan itu.
"Aaaa...!"
"Heh"!"
Tanpa mempedulikan lawan, orang bertopeng yang bernama Kirjo ini mencelat ke
arah datangnya suara. Tentu saja tindakannya tidak bisa dibiarkan Ki Sentanu.
Orang tua itu segera mengejar.
"Kepung dia! Jangan biarkan lolos...!"
"Yeaaa...!"'
Bersamaan dengan melompatnya orang tua itu, maka seluruh muridnya pun mengikuti
dengan amarah meluap-luap.
*** Kirjo agaknya mencemaskan keempat kawan-kawannya.
Sebab jeritan yang terdengar tadi berasal dari arah selatan, tempat kawan-
kawannya kabur. Dan kecurigaannya memang beralasan. Sebab begitu tiba di sana,
dua orang kawannya telah tewas dengan kepala remuk. Sementara dua lainnya masih
mencoba bertahan dari serangan seorang laki-laki tua berambut riap-riapan,
bercelana pendek dan baju berukuran besar.
"Iblis Gila Dari Timur...!" seru Kirjo dengan wajah kaget.
"He he he...! Agaknya kawanmu yang seorang lagi telah muncul. Ke sinilah. Dan,
bergabunglah bersama kawanmu.
Kalian akan pergi ke neraka bersama-sama!" ejek orang tua berjuluk Iblis Gila
Dari Timur seraya tertawa lebar.
"Iblis Gila! Kau boleh tertawa sesuka hatimu! Tapi saat ini, adalah kematianmu!"
desis Kirjo. Dan dia sudah langsung membantu kedua kawannya menyerang orang tua
itu. "Ha ha ha...! Lima Setan Gunung Kelud. Orang-orang boleh takut berhadapan dengan
kalian Tapi denganku, kalian tidak lebih dari seorang bocah yang baru belajar
berjalan!" desis Iblis Gila Dari Timur, sangat menganggap rendah lawan-lawannya.
"Kurang ajar! Putus lehermu...!" geram salah seorang bertopeng sambil
mengibaskan pedang ke leher Iblis Gila Dari Timur.
Iblis Gila Dari Timur mendengus kecil Lalu dengan nekat dia menangkap senjata
orang bertopeng itu.
Tap! Orang bertopeng itu terkejut Iblis Gila Dari Timur kembali memperlihatkan
kehebatan Umu yang dimilikinya. Tangannya sama sekali tidak ter-uka oleh tebasan
pedang satu dari Lima Setan Gunung Kelud. Bahkan dengan kuat, disentaknya batang
pedang dalam genggaman Dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya menghantam dada.
Wuttt! Dukkk! "Aaaa...!"
Salah seorang bertopeng memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal dengan
dada remuk. Nyawanya langsung lepas begitu mencium tanah.
"He he he...! Kenapa diam" Ayo, cepatlah kemari. Dan, susul mereka ke neraka
sana!" ejek si Iblis Gila Dari Timur sambil terkekeh-kekeh kecil.
Kedua orang bertopeng lainnya, jadi ragu-ragu menyerang.
Mereka saling pandang untuk beberapa saat. Namun, Iblis Gila Dari Timur agaknya
tidak bisa menunggu barang sekejap.
Tubuhnya langsung mencelat menyerang kedua lawannya.
"Hiyaaa...!"
"Heh!"
Dua dari Lima Setan Gunung Kelud tercekat, namun tidak menghilangkan
kewaspadaan. Pedang mereka cepat dikelebatkan dengan pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya. Iblis Gila Dari Timur cepat merendahkan tubuh, menghindari hantaman pedang yang
bersamaan. Tubuhnya lalu berputar dengan sebelah kaki berpijak di tanah.
Sementara kaki yang lain melakukan tendangan keras pada salah seorang laki-laki
bertopeng. Namun sebelum serangannya berhasil, pedang orang bertopeng yang satu
lagi menghantam punggungnya.
Wuttt! Crak! "He he he...!"
Iblis Gila Dari Timur terkekeh kecil, karena pancingannya mengena. Agaknya dia
sengaja berlaku lengah. Dan dia yakin betul kalau ilmu kebalnya tidak akan mampu
ditembus pedang dua orang lawannya.
Dan itulah yang harus dihadapi salah seorang dari Lima Setan Gunung Kelud.
Begitu pedang satu orang bertopeng menghantam, saat itu juga Iblis Gila Dari
Timur berbalik,
tubuhnya diputar secepat kilat, seraya melepaskan satu tendangan keras. Begitu
cepat gerakannya, sehingga...
Desss! "Aaaa...!"
Kembali satu orang bertopeng menjerit kesakitan, dengan tubuh melayang deras.
Nyawanya melayang begitu tubuhnya mencium tanah, dengan tulang dada remuk!
Seorang dari Lima Setan Gunung Kelud tak lain Kirjo terkejut Dan sesaat dia
tidak tahu harus berbuat apa. Namun saat itu, terlihat Ki Sentanu beserta
seluruh muridnya telah berada di tempat itu. Malam yang gelap gulita kini terang
benderang oleh cahaya obor yang dibawa murid-murid Perguruan Naga Jenar.
"He he he...! Cacing-cacing kurap menyambut kematiannya sendiri!" dengus Iblis
Gila Dari Timur disertai tawa sinis.
"Lima Setan Gunung Kelud atau siapa pun adanya kalian, jangan harap lepas dari
kepungan kami! Serahkan sobekan peta itu. Atau, kalian akan celaka sendiri!"
teriak Ki Sentanu lantang.
"He he he...! Cacing Busuk, ke sinilah kau! Peta itu ada padaku!" kata si Iblis
Gila Dari Timur.
"Siapa kau"!" bentak Ki Sentanu, garang.
"Siapa aku apa pedulimu, he"! Bukankah kau menginginkan sobekan petamu yang
mereka curi" Nah, ambillah dariku!"
sahut si Iblis Gila Dari Timur. Segera dikeluarkannya secarik kulit kambing
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tipis dan dikibar-kibarkannya pada orang tua Itu sambil tersenyum mengejek.
"Berikan padaku!'.' sentak Ki Sentanu garang.
"Ambillah...," sahut Iblis Gila Dari Timur tetap tersenyum kecil seperti hendak
mempermainkan Ki Sentanu.
Bukan main geramnya Ketua Perguruan Naga Jenar diperlakukan demikian. Dia tahu
betul maksud laki-laki berambut riap-riapan. Maka tanpa menghiraukan kata-kata
si Iblis Gila Dari Timur, Ki Sentanu segera memerintahkan murid-muridnya untuk
menghajar. "Cincang dia. Dan, rebut peta itu kembali...!"
"Baik, Guru!"
Namun sebelum murid-murid perguruan itu bergerak menyerang lawan, Iblis Gila
Dari Timur telah lebih dulu menghentakkan kedua tangannya, menghantamkan pukulan
jarak jauh yang mengeluarkan cahaya kemerahan.
"Heaaa..!"
Jdeerrr...! "Aaaa...!"
Murid-murid Perguruan Naga Jenar langsung terpekik.
Sepuluh orang di antaranya kontan ambruk di tanah, dan tewas dengan tubuh hangus
disambar pukulan Iblis Gila Dari Timur.
"Heh"!"
Apa yang dilakukan orang tua gila itu, tentu saja membuat mereka terkejut Bahkan
sepasang mata Ki Sentanu sendiri sempat terbelalak. Namun kesempatan seperti itu
agaknya tidak disia-siakan begitu saja oleh Kirjo, seorang dari Lima Setan
Gunung Kelud yang masih tersisa. Kirjo langsung melarikan diri, begitu Ki
Sentanu memerintahkan murid-muridnya menyerang si Iblis Gila Dari Timur.
Namun.... "Hiyaaa...!"
Iblis Gila Dari Timur kembali menghentakkan kedua tangannya. Seketika seberkas
sinar merah meluruk deras ke arah Kirjo. Dan....
Bruesss! "Aaakh!"
Iblis Gila Dari Timur terkekeh, ketika terdengar pekikan kecil.
Dan tampak orang bertopeng itu tersungkur di tanah, lalu tewas dengan tubuh
gosong! "He he he...! Mau coba-coba kabur dariku, heh"! Kau kira mudah"! Sekali si Iblis
Gila Dari Timur telah berhadapan denganmu, maka tidak ada seorang pun yang boleh
pergi dengan selamat!"
"Iblis Gila Dari Timur..." Kau..., kau tokoh itu...?"
Ki Sentanu tergagap seperti tidak percaya dengan pendengarannya. Dipandanginya
orang tua berbaju lusuh itu beberapa saat
"Kenapa" Terkejut, he"!" ejek Iblis Gila Dari Timur.
Ki Sentanu terdiam. Dan untuk sesaat dia tidak tahu harus berbuat apa. Betapa
tidak" Orang di hadapannya ini bukanlah tokoh sembarangan. Namanya amat
menggetarkan kaum persilatan. Kepandaiannya hebat hampir tak tertandingi. Namun
yang lebih terkenal lagi adalah kelakuannya yang ugal-ugalan dan tidak menentu
Dia bisa saja mencabut nyawa lawan dalam sekejap. Dan dia tidak pernah gentar
menghadapi lawan yang bagaimanapun.
*** "Ayo! Bukankah kau menginginkan sobekan peta yang dicuri mereka" Ambillah...!"
ujar Iblis Gila Dari Timur.
"Iblis Gila Dari Timur! Kau seorang tokoh berkepandaian tinggi Dan rasanya
sangat aneh kalau kau hendak menambah kepandaianmu lagi," kata Ki Sentanu
mencoba memperpanjang waktu.
"Apa maksudmu?" tanya orang tua gila itu.
"Pusaka peninggalan Ki Sendang Bodas yang akan ditunjukkan oleh peta yang ada
padamu..," jelas Ki Sentanu.
"Pusaka" He he he...! Siapa yang menginginkannya. Aku hanya dengar, begitu
banyak orang yang menginginkan peta ini. Dan sejauh ini belum berhasil
menemukannya. Lalu kupikir, apa kehebatannya" He, ternyata hanya pepesan kosong
belaka. Benda ini sama sekali tidak menantang, karena dengan mudah aku mendapatkannya.
Huh! Dan ini membuatku kesal bukan main!" dengus Iblis Gila Dari Timur.
"Kalau benda itu tidak berguna bagimu, maukah kau memberikannya padaku?" pancing
Ki Sentanu. "Memberikannya padamu! He he he...! Enak saja! Kau kira aku budakmu, he"!
Ambillah ke sini. Dan, merangkaklah. Lalu, menyalaklah tiga kali. Maka kau akan
memperoleh sobekan peta ini!"
"Apa"!"
"Merangkak dan menyalak tiga kali, Tolol!" maki Iblis Gila Dari Timur geram.
Ki Sentanu bukannya tidak mendengar. Namun dia sangat terkejut bercampur geram
mendengar kata-kata si Iblis Gila Dari Timur. Di depan seluruh murid-muridnya,
mana mungkin dia melakukannya meski sangat menginginkan peta itu. Dan ini
merupakan penghinaan yang sangat keterlaluan baginya.
Wajah orang tua itu memerah. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah meluap-luap
di dada. Sorot matanya nyalang penuh kebencian.
"Iblis Gila Dari Timur, kau sangat keterlaluan!" desis Ki Sentanu
"He, kenapa kau"! Marah" Ayo, memakilah. Atau, pukullah aku sesuka harimu!
Kenapa diam saja" Kata orang, menahan amarah itu tidak baik. Bahkan hanya akan
menimbulkan penyakit saja...!" sahut Iblis Gila Dari Timur seraya tertawa
mengejek. "Iblis Gila Dari Timur, kau mungkin hebat. Tapi jangan dikira aku takut
menghadapimu!"
"Begitukah cara marahmu, Cacing Buduk" Tidak adakah yang lebih keras...?"
"Setan..:!" Ki Sentanu mulai garang.
"Ha ha ha...! Cacing Buduk! Kau betul-betul lucu seperti monyet! Eh, salah!
Bukan seperti, tapi memang kaulah monyetnya!" sahut si Iblis Gila Dari Timur.
Kemarahan Ki Sentanu agaknya tidak bisa ditahan lagi.
Dadanya terasa mau meledak mendengar ejekan-ejekan orang gila itu.
"Bunuh dia...!" bentak Ketua Perguruan Naga Jenar itu sengit seraya memberi
perintah pada murid-muridnya.
'Tapi, Guru...."
"Bunuh dia kataku! Bunuh orang gila ini...!" hardik Ki Sentanu geram ketika
melihat murid-muridnya tampak ragu-ragu.
Mendengar bentakan gurunya, mereka serentak menyerang Iblis Gila Dari Timur
dengan sikap takut-takut.
"Yeaaa...!"
"He he he...! Bagus! Ke sini cepat, agar aku lebih mudah mengirim kalian ke
neraka!" Iblis Gila Dari Timur tertawa ngakak begitu melihat murid-murid perguruan itu
telah mengepungnya. Bahkan telah melemparkan berbagai senjata tajam ke arahnya.
Dengan sekali melompat ke atas, maka senjata-senjata itu luput dari sasaran. Dan
seketika itu pula telapak tangannya dihantamkan ke depan. Maka selarik cahaya
kemerahan yang berhawa panas kontan menderu laksana badai topan menyerang murid-
murid perguruan itu.
Bruesss! "Aaaa...!"
Beberapa orang langsung ambruk dan tewas dengan tubuh hangus. Sementara yang
lainnya menderita luka bakar yang mengerikan.
"He he he...! Berani mampus mendekatiku, he"! Ayo, majulah kalian semua. Dan kau
cacing buduk bermuka monyet kurap, kenapa diam saja"! Kau hanya bisa
mengandalkan murid-muridmu yang tolol"! Ayo, maju. Dan, hadapi aku!
Bukankah kau tidak takut"!"
"Keparat!"
"Monyet Buduk...!" balas Iblis Gila Dari Timur memaki.
"Yeaaa...!"
Ki Sentanu membentak nyaring. Dan pedangnya sudah langsung dicabut, segera
diserangnya Iblis Gila Dari Timur dengan sekuat tenaga.
Sring! Bettt! Iblis Gila Dari Timur tidak bergeming sedikit pun melihat serangan Ki Sentanu.
Namun, begitu pedang Ki Sentanu
hendak menebas leher, tangan kanannya cepat menangkis, sekaligus menangkapnya.
Tap! "Heh?"
Ki Sentanu tersentak kaget Dan dia berusaha menyentaknya keras samba berharap
lengan orang gila itu akan putus terbabat pedangnya. Namun, pedang itu sama
sekali tidak bergeming! Malah tiba-tiba satu tendangan keras menghantam dada Ki
Sentanu. Dess! "Aaakh!"
Ki Sentanu terpekik, tubuhnya kontan terjungkal tujuh langkah.
"Ha ha ha...! Hanya segitukah kemampuanmu, Muka Monyet" He! Ayo bangun. Dan,
jangan permalukan dirimu di depan murid-muridmu sendiri!"
"Jahanam...!" maki Ki Sentanu.
Sambil menahan rasa nyeri di dada, orang tua itu bangkit.
Ditariknya napas dalam-dalam sambil memasang kuda-kuda.
"Yeaaa...!"
Ki Sentanu langsung menghantam Iblis Gila Dari Timur dengan pukulan jarak jauh
yang bertenaga dalam tinggi.
Namun agaknya orang gila itu telah memperhitungkannya.
Setelah membuat gerakan tangan, Iblis Gila Dari Timur merighentakkan-nya ke
depan, memapak serangan.
Terdengar ledakan keras ketika kedua pukulan mereka beradu. Dan selanjutnya, Ki
Sentanu kembali terpekik sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Tubuhnya
terjungkal di tanah, lalu susah payah berdiri dibantu putrinya yang bernama Sri Kuning.
"Ha ha ha...! Monyet Buduk! Hanya segitu kemampuanmu, he"!"
Sri Kuning yang tengah memapah ayahnya, menggeram hebat. Sorot matanya tajam
penuh dendam. Namun sebelum sempat berbuat apa-apa, mendadak....
"Iblis Gila Dari Timur! Hm.... Sungguh hebat apa yang telah kau lakukan...!"
Terdengar bentakan keras menggelegar yang disusul dengan munculnya dua orang
penunggang kuda. Yang satu seorang pemuda berbaju rompi putih. Sedangkan yang
satu lagi, seorang gadis cantik berbaju biru.
*** 8 Iblis Gila Dari Timur menyipitkan matanya.
"Bocah! Siapa kau, he"!" dengus orang gila itu.
"Kakek! Apakah kau tidak mengenal cucu buyutmu sendiri"
Berilah hormat padaku. Kalau tidak, kutendang pantatmu!"
gadis berbaju biru itu mendahului, sebelum pemuda berpakaian rompi putih ini
menjawab. "Bocah Sial! Kurobek mulutmu, he"! Kau kira tengah berhadapan dengan siapa saat
ini"!" geram orang tua gila itu sambil menyeringai lebar.
"Cucu Sialan! Kau tidak mau hormat pada cucumu, he"!"
balas gadis itu tidak kalah garang dengan mata melotot lebar.
"Hua ha ha...! Baru sekali ini aku melihat ada seorang gadis yang berani. He,
bisa jadi aku suka padamu dan betul-betul akan mengangkatmu sebagai cucuku. Nah!
Siapa namamu, Anak Manis...?"
"Eee, malah semakin kurang ajar saja sikapmu" Tidakkah kau mau menghormat juga"
Atau pantatmu betul-betul akan kutendang, he?" sahut gadis itu tanpa
mempedulikan nada suara Iblis Gila Dari Timur yang mulai ramah. Dia tetap
berkacak pinggang sambil terbelalak.
"Anak Geblek! Rupanya kau lebih geblek dari-ku, he" Biar, akan kuberi pelajaran
agar kau mau menghormatiku!" geram orang tua gila itu langsung melompat
menyerang. "Pandan Wangi, awas...!" seru pemuda berbaju rompi putih memberitahu, langsung
pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti melesat dari punggung kudanya,
memapak serangan Iblis Gila Dari Timur.
"Hiyaaa...!"
"Hah"!"
Gadis yang memang Pandan Wangi terpana. Gerakan orang gila itu cepat bagaikan
kilat. Sehingga dia tidak sempat berbuat apa-apa.
Plak! "Hup!"
Bahkan ketika Rangga memapak serangan, dia masih belum sirna dari rasa
keterkejutannya.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti tampak terpental ke belakang. Demikian juga
si Iblis Gila Dari Timur. Namun keduanya masih mampu menjejak tanah dengan kedua
kaki. "Hm.... Boleh juga kepandaianmu, Bocah! Jarang ada orang yang mampu menahan
pukulanku. Siapa kau"!" sentak Iblis Gila Dari Timur.
"Iblis Gila Dari Timur! Kali ini kau berhadapan dengan lawan sepadan. Dialah
yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," kata Ki Sentanu dengan suara terbata-
bata. Dia masih bisa tersenyum puas, karena sakit hatinya bisa terlampiaskan
lewat tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hua ha ha...! Jadi kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti" Hm.... Nama
besarmu membuatku iri. Dan paling tidak, aku tidak sia-sia keluar dari
persembunyianku setelah mencicipi sedikit kehebatanmu yang belakangan ini amat
menghebohkan...!" kata Iblis Gila Dari Timur, jumawa.
"Iblis Gila Dari Timur! Apa maksud perkataanmu?"
"Kudengar orang-orang memperebutkan kedua sobekan peta ini," kata Iblis Gila
Dari Timur seraya memperlihatkan kedua sobekan peta yang tengah dicari pemuda
itu. "Nah! Kau pasti menginginkannya, bukan?"
"Kisanak! Aku tidak kemaruk pada benda seperti itu. Kedua sobekan peta itu akan
kuserahkan pada orang yang berhak!"
tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapa yang peduli niatmu itu" Phuiih! Meski kau akan robek-robek atau bakar,
terserah. Yang jelas, masihkah kau menginginkan kedua benda ini"!" Iblis Gila
Dari Timur menegaskan dengan suara lantang.
Rangga terdiam sesaat, sambil memandang Iblis Gila Dari Timur. Sepertinya dia
hendak meneliti, apa sebenarnya yang diinginkan orang tua itu.
"Kisanak, apa maksudmu?" tanya Rangga pelan.
"He he he...! Bocah pintar. Nah! Kedua benda ini akan menjadi milikmu, kalau kau
mampu menahan lima serangan jurus-jurusku!"
"Hm.... Kedatanganku bukan untuk berkelahi. Tapi, meminta dengan hormat padamu
agar sudi memberikan kedua sobekan peta itu untuk kuserahkan pada orang yang
berhak...!" tangkis Rangga.
"Setan alas! Heh! Apakah kau sudah jadi seorang pengecut"!
Kata-kataku tidak bisa dibantah. Sekali aku berkata begitu, maka tidak akan
berubah. Kau boleh langkahi mayatku, kalau hendak memaksa merebutnya dariku...!"
tegas Iblis Gila Dari Timur.
Iblis Gila Dari Timur menghentikan kata-katanya. Lalu diraihnya sebuah kerikil
sebesar kepalan tangannya.
"Atau kedua benda itu akan hancur seperti ini, dan kau tidak akan sempat
melihatnya walau barang sekejap pun!" lanjut orang tua gila itu seraya
menghancurkan batu dalam genggaman tangannya.
Prakkk! Rangga menghela napas panjang. Agaknya, dia tidak punya pilihan lain. Kata-kata
orang tua ini bersungguh-sungguh. Dan yang dikhawatirkan adalah, kalau saja
Iblis Gila Dari Timur melakukan ancamannya yang terakhir, yaitu memusnahkan
sobekan kedua peta. Maka kalau itu dilakukan, gagallah tugasnya. Dan
terbayanglah dia pada si bocah Diah Kumitir yang akan kecewa berkepanjangan.
"Kisanak! Aku terima tantanganmu!" sahut Rangga mantap.
*** "Hua ha ha...! Bagus! Bagus...! Nah, mulailah bersiaga...!"
'Tapi, ingat! Jika kau bohong, maka aku akan mengejarmu sampai di mana pun
bersembunyi!" ancam Pendekar Rajawali Sakti.
"Ha ha ha...! Baru kali ini aku diancam orang. Tapi, tidak apa. He, bisa jadi
aku berwatak jahat. Tapi menyepelekan ucapanku sendiri, tidak pernah kulakukan!"
sahut Iblis Gila Dari Timur, mantap.
"Baiklah. Aku telah siap, Kisanak!"
"Ingat! Hanya lima jurus, maka kedua sobekan peta ini akan kuberikan padamu. Kau
hanya perlu menangkis tanpa memberikan perlawanan. Bila kau melawan, maka
kuanggap gugur!" ujar Iblis Gila Dari Timur.
"Silakan dimulai...," sahut Rangga mantap sambil mengangguk.
"Heaaa...!"
Iblis Gila Dari Timur membentak nyaring. Tubuhnya sudah melompat dengan gerakan
gesit bukan main. Bukan hanya Rangga yang terkejut melihat gerakannya. Malah
Pandan Wangi serta seluruh murid Perguruan Naga Jenar yang berada di lempat itu
juga sampai terbelalak.
Pendekar Rajawali Sakti 145 Sengketa Tiga Potong Peta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hup!"
Rangga langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', untuk menjajagi
kemampuan lawannya. Tubuhnya cepat meliuk-liuk seperti hendak jatuh. Dan ketika
kaki kiri Iblis Gila Dari Timur hendak mengait pinggangnya, Pendekar Rajawali
Sakti cepat melenting ke atas. Namun tubuh orang tua gila itu cepat melejit ke
atas mengejarnya. Begitu mendarat di tanah, Pendekar Rajawali Sakti segera
melebarkan kedua kakinya, sehingga pahanya menyentuh tanah. Lalu dibuatnya
gerakan memutar, sambil merendahkan kepala untuk menghindari terjangan kedua kaki Iblis
Gila Dari Timur.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Dengan bertopang kedua tangannya, Rangga melakukan lompatan berjumpalitan ke
belakang. Namun belum lagi kedua kakinya menyentuh tanah, orang gila itu telah
mengejar dengan satu sodokan kaki yang keras.
Cepat bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri dan terus bertiarap
ketika kedua kaki Iblis Gila Dari Timur menyambarnya dengan deras.
Iblis Gila Dari Timur tidak berhenti sampai di situ saja. Kedua tangannya yang
terkepal langsung dihantamkan dengan keras, menimbulkan desir angin kencang yang
mampu membuat kulit seperti terbakar. Rangga menyadari kalau orang tua gila itu
mulai kalap karena belum juga mampu menjatuhkannya!
"Bagus! Kau telah melewati dua jurus. Nah! Sekarang, tahan jurus ketiga dan
keempat ini!" desis orang tua sinting itu sambil terus menyerang
Kali ini Rangga tidak bisa bermain-main lagi. Terpaksa dikerahkannya jurus dari
lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'
yang bisa diandalkan.
"Yeaaa...!"
Wusss! "Uuhh...."
Bukan main kalapnya orang tua itu ketika Pendekar Rajawali Sakti mampu mundur
menghindari serangannya. Dan ini membuat amarahnya tak terkendali lagi. Maka
tanpa segan- segan lagi, seluruh kekuatannya dikempos untuk menghabisi pemuda itu secepatnya.
Seketika dia membuat beberapa gerakan tangan. Lalu pada puncaknya, kedua
tangannya dihentakkan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh"!"
Pendekar Rajawali Sakti terkejut ketika Iblis Gila Dari Timur mulai
menghantamnya dengan pukulan-pukulan maut yang mematikan. Angin kencang bertiup
hangat dan udara mulai panas.
Jdeerrr! Murid-murid Perguruan Naga Jenar menyingkir agak jauh ketika bongkahan-bongkahan
tanah serta pepohonan mulai melayang ke mana-mana terhantam pukulan nyasar dari
laki-laki gila itu.
"Iblis Gila! Apa-apaan kau ini"! Kau tidak bertanding secara jujur!" bentak
Rangga garang. "Huh! Persetan dengan segala ocehanmu! Tidak ada seorang pun yang boleh
menghinaku!" desis orang tua itu garang.
"Siapa yang menghinamu" Kau telah mengajukan syarat.
Dan kini kau sendiri yang berbuat curang!" balas Rangga.
"Tidak ada yang boleh melebihiku! Kau telah menghinaku.
Sebab, selama ini tidak ada yang bisa bertahan lebih dari tiga jurusku. Kau
telah menghinaku! Kau telah menghinaku...!
Untuk itu, kau harus mampus!" teriak Iblis Gila Dari Timur seperti kerasukan
setan. "Kakang! Kenapa kau tidak membalas"! Dia hendak membunuhmu! Dia telah berbuat
curang! Kau jangan berdiam diri saja!"
Pandan Wangi yang sejak tadi mengamati jalannya pertarungan, menjadi khawatir
melihat keadaan Rangga yang diserang! lawannya.
"Tenanglah, Pandan! Iblis curang ini akan menerima akibatnya!" sahut Rangga
geram. "Banyak mulut! Mampus kau...!" Iblis Gila Dari Timur menggeram.
Kembali orang tua gila itu menghantamkan pukulan jarak jauhnya, setelah
menghentakkan kedua tangannya.
Jderrr! "Uts!"
Pukulan maut itu nyaris menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti kalau saja tidak
cepat menjatuhkan diri. Lalu dengan cepat Rangga bangkit dan berdiri tegak.
Seketika dia membuat gerakan tubuh. Sebentar tubuhnya miring ke kiri, dengan
tangan terkepal di pinggang. Lalu tubuhnya condong ke kanan, setelah kedua
tangannya naik ke atas dada dalam keadaan merapat. Setelah tubuhnya tegak
kembali, Pendekar Rajawali Sakti cepat menggosok-gosokkan kedua tangannya. Maka
seketika, kedua telapak tangannya telah terselimuti cahaya biru.
"Iblis Jahanam! Kau telah mencurangiku. Maka kau akan merasakan akibatnya!"
desis Pendekar Rajawali Sakti, dingin menggetarkan.
"Heh"!"
Orang tua sinting itu terkejut ketika melihat cahaya kebiruan pada kedua tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan cepat dia kembali mendengus geram.
"Huh! Kau juga harus merasakan aji pamungkasku.
Terimalah aji 'Pukulan Gila Topan Badai'! Hiaaa...!"
Iblis Gila Dari Timur langsung meluruk, seraya menghentakkan tangannya ke arah
Pendekar Rajawali Sakti.
Agaknya, adu kesaktian'tingkat tinggi akan berakhir sampai di sini, karena
masing-masing telah mengerahkan aji pamungkasnya. Entah, siapa yang bakal keluar
sebagai pemenang.
"Heaaa...!"
Begitu pukulan Iblis Gila Dari Timur hampir menghantam tubuhnya, Pendekar
Rajawali Sakti cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan, memapak sinar merah
yang melesat dari tangan orang tua gila itu.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...! Hiaaa...!"
Seketika dari tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar biru berkilauan,
menghantam sinar merah pukulan Iblis Gila Dari Timur. Dan....
"Aaaa...!"
*** Terdengar ledakan hebat, ketika kedua pukulan itu beradu di tengah-tengah. Iblis
GUa Dari Timur terpekik, begitu tubuhnya terjungkal empat tombak ke belakang.
Begitu ambruk di tanah, dia tewas seketika dalam keadaan hangus.
Aji kesaktian yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti memang dikerahkan pada
tingkat yang terakhir, sehingga akibatnya sangat dahsyat.
"Uuhh..."
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti hanya terjajar dua langkah, namun cukup
membuat dadanya terasa sesak.
"Kakang Rangga, kau tidak apa-apa..."!" tanya Pandan Wangi cemas. Gadis itu
cepat berlari kencang mendapati pemuda itu yang terduduk di tanah.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti tampak pucat dan napasnya turun naik tidak
beraturan. "Kakang, bertahanlah. Aku akan membantumu...!" ujar Pandan Wangi, seraya
menyalurkan hawa murni ke tubuh Rangga.
Rangga segera bersila. Dia cepat mengatur jalan napas dan peredaran darahnya
yang kacau-balau akibat pengerahan tenaga dalam tinggi tadi. Sementara wajah
Pandan Wangi mulai berkeringat. Namun, gadis itu tidak berusaha menghentikan
penyaluran hawa mumi pada Rangga.
"Pandan, sudahlah. Hentikan.... Aku tidak apa-apa. Kau bisa mati lemas
nantinya...," ujar pemuda itu.
Pandan Wangi menarik napas panjang beberapa kali.
Wajahnya tampak pucat, namun senyumnya terkembang ketika melihat senyum Rangga.
"Betul, kau tidak apa-apa, Kakang?"
"Ya...," Rangga mengangguk.
"Kalau saja tenagamu tidak cukup kuat, kau tentu akan binasa sendiri...," keluh
gadis itu cemas.
Rangga mengangguk pelan. Dipandangnya tubuh lawannya yang telah gosong terkena
pukulannya. "Ah, percuma saja usaha kita Sobekan peta itu telah hancur bersama tubuhnya...."
Pandan Wangi terdiam. Gadis itu ikut merasakan kegagalan yang dialami. Dan saat
itu Sri Kuning, putri Ki Sentanu
perlahan-lahan menghampiri. Rangga dan Pandan Wangi memandang sekilas.
"Aku menyadari, kalau saja kalian tidak muncul, maka kami akan binasa di tangan
orang sinting itu...," desak Sri Kuning.
"Apa maumu..."!" tanya Pandan Wangi dengan nada datar.
"Apakah kalian masih menginginkan peta itu...?" tanya Sri Kuning.
"Kau hendak menghina kami, bukan?" kata Pandan Wangi, dingin.
"Tidak. Aku bersungguh-sungguh. Tanpa sepengetahuan ayahku, aku telah menyalin
gambar peta itu ke tempat lain.
Dan tadi, kami telah bermusyawarah. Beliau ingin agar sobekan peta yang telah
kusalin, diberikan saja pada kalian...," jelas gadis itu.
"Betulkah...?" tanya Rangga penuh harap.
Sri Kuning mengangguk cepat.
Namun wajah pemuda itu kembali berubah ketika menyadari satu hal lagi.
"Percuma saja.... Sebab, sobekan peta yang satu lagi tidak bisa diketahui?"
"Kakang! Kenapa tidak kita tanyakan saja pada Ki Mugeni"
Kalau pun dia tidak menyalinnya, paling tidak pasti ingat akan isi sobekan peta
di tangannya, setelah disatukan lebih dulu dengan kedua sobekan peta yang
ada...!" sahut Pandan Wangi.
"Ya! Kenapa tidak terpikir olehku"!" sahut Rangga dengan wajah cerah.
"Kalau begitu, mari kita ambil bersama-sama di tempat kami.
Ayahku pasti akan senang sekali, bila kalian sudi singgah dan
bermalam barang sehari atau dua hari...," Sri Kuning menawarkan.
Dan Rangga hanya menyambutnya dengan senyum.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pedang Langit Dan Golok Naga 8 Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri Naga Sakti Sungai Kuning 7