Pencarian

Setan Alam Kubur 1

Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam Kubur Bagian 1


. 212. Setan Alam Kubur ~ Bag. 1-3
21. August 2015 um 08:30
1 ? Pemuda itu terus berlari sambil tersaruk-saruk. Dari sekujur tubuhnya menetes darah. Luka-luka bekas bacokan senjata tajam terlihat jelas dari balik bajunya yang robek di sana-sini. Sesekali terlihat dia menoleh ke belakang seperti ingin memastikan bahwa jarak mereka terpaut jauh. Walaupun terlihat tak seorang pun yang mengejar di belakangnya, namun dari teriakan-teriakan mengancam yang sempat mengiang di telinganya, membuat langkahnya seperti tak mau berhenti.
"Oh, Jagad Dewa Batara... selamatkanlah diriku dari kejaran mereka..." keluhnya diantara nafasnya yang tersengal.
Tak terasa langkah pemuda itu mendaki se-buah bebukitan di pinggir sebuah hutan yang ger-sang. Namun menuju lebih jauh ke dalam, pe-pohonan semakin lebat dan cahaya matahari senja itu seperti tak mampu menerobos ke dalam. Suasana mulai terasa suram dan gelap mewarnai isi hutan.
Menuju ke sebuah lembah, pemuda itu se?makin tak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Padahal tempat itu terlihat seram dan seperti tak dihuni manusia.
"Aduh!"
"Bruk!"
Sebuah batu kerikil mcnyandung kaki mem?buat tubuhnya terhempas di atas sebuah gun-dukan tanah. Nafasnya terengah, dan tak ter?lihat dia berusaha bangkit. Pemuda berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu seperti hendak melepaskan lelah dalam keadaan tengkurap. Darah yang mengucur dari luka di tubuh?nya masih menetes dan membasahi gundukan tanah yang kering, langsung merembes ke dalam seperti terhisap.
"Oooh... tempat apakah ini" He..."!"
Pemuda itu baru menyadari adanya sebatang tonggak kayu di ujung gundukan tanah yang di-tidurinya.
"Sebuah nisan" Jadi... jadi...."
Keheranannya segera berlanjut dengan ke-anehan yang mulai dirasakan. Pelan-pelan gun?dukan tanah yang ditidurinya bergerak ke atas dan terbelah. Bukan main kagetnya pemuda itu. Buru-buru dia bangkit dengan mulut terganga dan sepasang matanya terbelalak. Gundukan ta?nah yang tak lain dari sebuah makam itu betul-betul terbongkar.
Sebuah tangan menyembul. Wajah pemuda itu semakin tegang. Jantungnya berdetak lebih kencang dengan bulu kuduk semakin tegak berdiri.
"Bruak!"
"Astaga...!"
"Ha ha ha ha...! Bebas... kini bebaslah aku dari segala kematian yang telah membelenggu selama berabad-abad lamanya! Kini tak seorang pun boleh membuat aku kembali mati! Tak se?orang pun kubiarkan membuatku mati...! ha ha ha ha...!"
Suara tawa itu menggelegar dan memekakan telinga dari sesosok tubuh yang tiba-tiba melom-pat dari dalam makam itu. Wajahnya hitam dan dekil, serta tubuhnya kurus bagai kulit pembalut tulang saja. Sepasang matanya tampak cekung dengan sorot yang menakutkan. Hidungnya nya-ris rata dengan wajah meninggalkan dua buah lubang. Kepalanya gundul dengan rambut yang menjuntai beberapa helai. Sementara tubuhnya dibungkus oleh baju longgar yang telah tercabik-cabik di sana-sini. Dari kesepuluh jari tangan dan kakinya terlihat kuku-kuku yang runcing dan tajam.
Setelah selesai tertawa sepuas hatinya, dia mengeram buas sambil berpaling pada sesosok tubuh yang tergeletak diam tak bergerak di de-katnya. Di periksanya tubuh itu, kemudian se?telah yakin bahwa orang tersebut tak bernyawa, diangkatnya kemudian dia jebloskannya ke dalam liang kubur tempatnya tadi berada.
"Terima kasih, Kisanak. Kau telah menolongku dengan menyumbangkan darah bagi kehidupanku, kalau tidak karenamu, tentu aku? belum bangkit saat ini...."
Ditimbunnya kembali lubang itu hingga men-jadi gundukan, kemudian sebelum berlalu dari tempat itu, sempat dia mengeram dengan suara nyaring.
"Ha ha ha ha...! Kulihat tubuhmu penuh luka, dan darahmu terlalu banyak tumpah. Kurasakan pula peluh dari hela nafasmu yang memburu. Kau seperti sedang dikejar sesuatu yang menakutkan. Aku tak biasa berbuat kebaikan untuk orang lain. Tapi karena kau telah menolongku, biarlah kubantu? kau ?membalaskan sakit? hatimu pada mereka yang telah menyakitimu."
Setelah berkata begitu, orang tersebut langsung melesat meninggalkan tempat itu de?ngan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa.
Apa yang terjadi sebenarnya dengan pe?muda itu" Pada saat tubuhnya tiba di tempat ini, kekuatannya telah lemah karena darah yang mengucur di tubuhnya terlalu banyak keluar akibat luka yang di deritanya. Kemudian ketika menyaksikan pemandangan yang mengerikan di depan matanya, tak ayal lagi. Keterkejutan bercampur dengan rasa takut yang hebat bukan saja membuat dia tak sadarkan diri, tapi lebih jauh dari itu membuat jantungnya berhenti berdenyut yang berakibat nyawanya terhenti seketika.
? *** ? Lebih dari lima belas orang yang mengenakan ikat kepala bergambar tengkorak tampak menghentikan langkah. Seseorang yang bertubuh besar memegang sebuah golok besar di tangan. Wajahnya tampak beringas dan sadis.,
"Setan! Kemana dia melarikan diri"!" umpat-nya sambil duduk di sebuah batu.
"Di telan setan penghuni hutan itu barang-kali!" tunjuk salah seorang yang berada di dekat-nya sambil mendengus geram.
"Bagaimana sekarang, Jolo Kerot" Apakah akan kita cari dia sampai ketemu?" tanya salah seorang yang bertubuh kurus pada temannya yang bertubuh besar itu.
Jolo Kerot membuang ludah sambil menya-rungkan goloknya di punggung. Sepasang mata?nya tajam menatap ke dalam hutan di dekat mereka, sebelum menjawab.
"Puih! Sebelum keparat itu ditemukan, jangan harap kita bisa pulang dengan selamat. Percuma saja. Jala Tunda pasti tak akan mengampuni jiwa kita."
"Tapi kemana lagi harus kita cari?"
"Kita akan masuk ke dalam!"
"Apa"!"
Beberapa orang yang mendengar kata-kata Jolo Kerot terbelalak kaget. Wajah mereka tam?pak pucat, dan rona kekhawatiran mulai mem-bayang.
"Kenapa" Kalian takut"!" suara Jolo Kerot tampak marah.
"Bukan begitu. Tapi Hutan Alas Dandaka terkenal seram dan menakutkan. Tak pernah seorang pun yang keluar selamat dari tempat itu," sahut salah seorang yang bernama Pari Kelor.
"Pari Kelor, kau laki-laki dan juga anggota Tengkorak Merah. Tahu akibatnya kalau Jala Tunda mengetahui kita tak membawa pulang si penghianat itu hidup atau mati"!"
Pari Kelor bergidik ngeri. Jala Tunda adalah Ketua Perguruan Tengkorak Merah yang ter?kenal kejam. Sekali dia memberi perintah, maka hal itu harus di kerjakan sampai tuntas. Sedikit saja gagal, hukuman yang berat akan menimpa mereka. Bahkan tak jarang Jala Tunda memenggai kepala anak buahnya sendiri. Tak heran bila mereka begitu khawatir saat Jolo Kerot mengingalkan hal itu.
"Mari kita berangkat sekarang!" ajak Jolo Kerot sambil bangkit berdiri.
Teman-temannya segera mengikuti dari be?lakang dengan langkah lesu. Baru berjalan be?berapa langkah, sekonyong-konyong melesat se?sosok bayangan di depan mereka. Serentak se-muanya terkejut dan langsung mencabut golok?nya masing-masing.
"Ha ha ha ha ...! Cecurut-cecurut busuk berkeliaran tak tentu rimba. Apa yang kalian cari disini"!"
"Siapa kau"!" bentak Jolo Kerot.
Di depan mereka telah berdiri sesosok tubuh yang amat mengerikan seperti mayat hidup. Tu?buhnya kurus kering berwarna hitam legam. Ke-palanya botak dengan beberapa helai rambut. Se?pasang matanya tampak cekung dengan hidung rata meninggalkan dua buah lubang. Bibirnya se?perti tak terlihat seperti kulit yang robek saja. Pakaiannya compang-camping tak berbentuk.
"Tikus buduk. Ditanya malah balik bertanya!" bentak sesosok tubuh itu marah.
"Kurang ajar!" Jolo Kerot langsung mencabut goloknya dengan wajah bcrang.
"Ha ha ha ha...! Kau mencabut senjatamu untuk apa" Mau membunuhku" bagus... bagus! Ayo, bacoklah aku sepuas hatimu sebelum kalian kukirim ke akherat!" sahut sesosok tubuh itu sambil terbahak-bahak menganggap enteng.
"Bedebah!"
Salah seorang dari anggota Perguruan Teng?korak Merah langsung menyerang dengan wajah geram.
"Ha ha ha ha...! Satu orang ingin mampus di tangan Setan Alam Kubur, kenapa tidak semua-nya saja?"
"Tap!"
"Trak!"
"Jross!"
"Aaaa...!"
Orang yang menamakan dirinya sebagai Se?tan Alam Kubur itu tenang-tenang saja begitu melihat dirinya diserang dengan golok terhunus. Tanpa berkelit, dua jari tangan kanannya menangkap mata golok lawan dan dengan mudah dipatahkannya. Sementara bersamaan dengan itu dua jari tangan kirinya bergerak cepat menyam-bar dahi lawan. Tak ampun lagi. Kedua jarinya yang memiliki kuku-kuku yang tajam dan runcing menembus dahi lawan. Orang itu tcrpekik ke-sakitan. Setan Alam Kubur langsung mengayun-kan kaki menendang dadanya.
"Hei"!"
Jolo Kerot terkejut. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain ketika mengetahui tu?buh Selan Alam Kubur telah tak bernyawa begitu menyentuh tanah.
"Siapa kau sebenarnya dan kenapa begitu ke?jam turun tangan pada teman kami"!" tanya Jolo Kerot garang.
"Siapa kalian dan cari apa di sini?" bentak Setan Alam Kubur. Tak kalah garang.
"Setan...!"
Pari Kelor sudah mulai panas dan mencabut golok untuk menyerang. Tapi Jolo Kerot men-cegahnya. Meski hatinya pun geram bukan main tapi sebagai pimpinan rombongan ini dia harus mampu menahan sabar. Dua kali Setan Alam Ku?bur itu ditanya, tapi saat itu juga dia malah balik bertanya. Melihat cara dia membuat tewas salah seorang teman mereka, pastilah dia memiliki ilmu olah kanuragan yang tak bisa dibuat sem-barangan.
"Kami dari Perguruan Tengkorak Merah, dan aku Jolo Kerot yang memimpin rombongan ini. Kehadiran kami ke sini adalah untuk mencari salah seorang murid Tengkorak Merah yang telah berkhianat. Ki Jala Tunda, guru besar kami me-merintahkan untuk menghukum mati orang itu dan membawa pulang mayatnya sebagai bukti," sahut Jolo Kerot menjelaskan.
"Pemuda yang seluruh tubuhnya penuh luka?" selidik Setan Alam Kubur dengan suara khasnya yang parau.
"Heh" Apakah kau mengetahui di mana dia?" lanya Jolo kerol bersemangat.
"Ha ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba. Ini dia rupanya manusia-manusia yang mesti kubuat mampus!" Selan Alam Kubur tertawa terbahak-bahak dengan suara yang memekakan telinga.
Jolo Kerot tersentak kaget. Dia telah ber?usaha untuk bersikap manis. Tapi yang mereka terima justru kata-kata yang mengancam dan menganggap remeh. Maka karena pada dasarnya dia memang pemarah, Jolo Kerot langsung membentak garang.
"Manusia bangkai tak tahu diri. Di perlaku-kan baik kau malah mengancam, kau pikir kami takut denganmu!"
Satu hal yang membuat mereka tadi terkejut dengan kehadiran Setan Alam Kubur adalah bau busuk yang menyertai tubuhnya. Hal itu baru te?rasa setelah orang-orang itu hilang dari ke-terkejutannya menyaksikan wajah yang me-nyeramkan dan tawa yang membuat jantung ber?detak lebih kencang,
"Heh! Mata Setan Alam Kubur melotot garang.
"Setan!" maki Jolo Kerot.
"Seraaang...!" Pari Kelor langsung memberi aba-aba.
"Yeaaah...!"
"Ha ha ha ha...! Ketahuilah, orang yang kalian cari itu telah mampus." Tapi kematiannya justru menolongku hadir di muka bumi ini kembali. Paling tidak dia telah menanam budi dan aku ingin membalasnya dengan membalaskan sakit hatinya pada kalian!" sahut Setan Alam Kubur sambil bergerak cepat menghindari serangan lawan.
Tubuhnya mengapung seperti sehelai bulu tertiup angin, kemudian melesat cepat bagai anak panah menyambar sasaran.
"Prak!"
"Crass!"
"Aaaa...!"
"Ha ha ha ha...! Mampuslah kalian... mam?pus! Setan Alam Kubur kembali berpesta dengan setiap cucuran darah yang mengalir di tubuhmu!"
Apa yang dilakukan Setan Alam Kubur ter-hadap murid-murid Perguruan Tengkorak Merah sangat mengagumkan, sekaligus mengerikan. Ke?sepuluh jari-jari tangan dan ditambah dengan jari-jari kakinya menyambar-nyambar leher, dahi, dan jantung lawan. Dalam sekejap saja pekik kematian memecahkan tepi hutan yang tadi sepi. Darah mulai membanjir dan sepuluh orang tewas dengan tubuh mengerikan seperti tercabik-cabik kawanan serigala.
"Keparat!" Jolo Kerot memaki saat dua orang temannya kembali tewas, dan Setan Alam Kubur masih saja tertawa-tawa.
"Jangan memaki kau, Tikus buduk! Sini ma-kan bagianmu!" bentak Setan Alam Kubur sambil menyambar tubuh Jolo Kerot.
"Trak!"
"Cras!"
"Aaaa...!"
Jolo Kerot memekik nyaring. Seperti tak per-caya bahwa lawan mampu bergerak secepat itu. Begitu goloknya melesat, Setan Alam Kubur hanya menjentikkan kukunya yang panjang. Golok di tangannya bergetar membuatnya tersentak kaget. Saat itu pula kuku-kuku jari tangan kiri lawan me?nyambar tenggorokannya. Jolo Kerot cuma mampu menjerit tertahan. Kepalanya terkulai ketika lehernya robek lebar. Tubuhnya menggelepar-gelepar di tanah seperti ayam di sembelih sebelum akhirnya diam tak bergerak seiring dengan nafasnya yang terhenti untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha ha...!" Setan Alam Kubur tertawa lebar.
"Keparat! Kita serang dia bersama-sama!" maki Pari Kelor sambil mengajak kedua teman?nya yang masih tersisa.
Dua orang menyerang, tapi temannya yang seorang lagi agaknya mulai ciut nyalinya. Tanpa memperdulikan temannya, dia melarikan diri. Pari Kelor cuma bisa menyumpah-nyumpah.
"Ha ha ha ha...! Tak apa dia kabur, tapi kalian berdua jangan harap bisa lepas dari ceng-keramanku. Yeaaa...!"
Tubuh Setan Alam Kubur melesat cepat ba?gai anak panah sambil menyebarkan bau busuk. Pari Kelor dan temannya bersiap sambil meng-ayunkan golok.
"Bret! Bret!"
"Aaaa...!"
Dengan lincah tubuh Setan Alam Kubur menghindari sabetan golok lawan. Tubuhnya menggelinjang dan cakar tangannya merobek pe-rut Pari Kelor, sedang cakar kakinya merobek leher lawan yang satu lagi. Keduanya terpekik kesakitan sambil terhuyung-huyung dan ke?mudian ambruk ke tanah. Setelah menggelepar-gelepar sesaat, keduanya meregang nyawa. Tapi saat itu pula tubuh Setan Alam Kubur telah hi?lang sambil meninggalkan tawa menyeramkan dan bau busuk yang menyengat.
"Ha ha ha ha...!"
? *** ? 2 ? Di pesisir Pantai Utara ini nama Perguruan Tengkorak Merah amat dikenal. Murid-muridnya banyak dan rata-rata memiliki ilmu olah ka?nuragan yang dapat diandalkan. Namun sayang, di antara mereka banyak yang menyimpang dari jalan kebenaran. Banyak di antara mereka yang bekerja pada tuan tanah-tuan tanah yang sering memeras rakyat. Juga tak jarang yang melakukan perbuatan-perbuatan tak terpuji seperti meram-pok dan memperkosa anak isteri orang.
Jala Tunda yang merupakan Ketua dari Per?guruan itu seperti mendiamkan saja perbuatan-perbuatan muridnya itu. Bila saja banyak tokoh yang menudingnya, dia langsung bisa mengelak karena kebanyakan murid-muridnya yang ber?buat kejahatan tak pernah membawa-bawa nama Perguruan. Satu-satunya yang menandakan bah?wa mereka adalah murid-murid Perguruan Teng?korak merah adalah gagang golok mereka yang berbentuk tengkorak.
Pagi yang cerah di Desa Kedung halang, di?pecahkan oleh segerombolan orang-orang ber-senjata yang turun ke sawah ketika para petani bermaksud memanen padi mereka. Para petani mulai gelisah mengetahui kehadiran mereka, bahkan banyak di antara mereka yang mencoba pulang kembali ke rumahnya masing-masing.
"Eit, mau kemana kalian" Ayo, kembali bekerja dan potong padi-padi itu!" bentak salah seorang sambil mengacungkan golok.
"Belum menguning betul, Juragan. Mungkin dua atau tiga hari lagi, kalau dipotong sekarang hasilnya tak akan menguntungkan...." jawab salah seorang petani di antara beberapa orang yang berusaha kembali pulang.
"Jangan banyak bicara! kau pikir mataku buta"! Padi-padi itu telah siap dipanen dan hari ini langsung harus kalian antar pada Juragan Jala Tunda!"
"Tapi, Juragan...."
"Plak!"
Orang bersenjata golok dengan hulu berben?tuk tengkorak itu langsung menampar muka si petani hingga berdarah.
Si petani mengeluh kesakitan. Ujung bibir?nya terlihat pecah ketika dirabanya. Beberapa orang temannya terkejut dan menunjukkan wajah tak senang.
"Apa"! Kalian mau melawan" Ayo kemari ka?lau mau kuhajar!" bentak orang bergolok itu garang.
Tak seorang pun yang berani bersuara. Pe-tani-petani itu menyadari tak ada gunanya me?reka melawan. Orang-orang ini kejam tak kenal perikemanusiaan, maka dengan langkah pelan mereka kembali bubar menuju sawah.
Orang itu menyarungkan goloknya sambil mendengus pelan.
"Dasar kerbau-kerbau dungu, mau ber-tingkah lagi. Huh...!"
Petani itu sebenarnya masih untung hanya mendapat tamparan, karena pada saat yang ham-pir bersamaan, salah seorang temannya terlihat dihajar habis-habisan oleh salah seorang yang bergolok dengan hulu tengkorak juga. Tubuhnya jatuh bangun berkubang dalam, lumpur.
"Ayo bangun! Sini kau biar kuberi pelajaran lagi. Berani-beraninya kau berkata begitu. Ingat! Kalian telah berhutang budi pada Juragan Jala Tunda. Sudah sepatutnya kalian menjual semua hasil padi ini dengan harga murah."
"Tapi, Den... Juragan Jala Tunda membayar dengan harga yang amat murah sekali. Kami hanya ingin...."
"Duk!"
"Akh...!"
Seorang petani yang ingin bicara langsung terkena tendangan orang itu. Tubuhnya terje-rembab dalam lumpur sambil mengeluh ke?sakitan.
"Siapa lagi yang mau membantah ketentuanyang telah di tetapkan Juragan Jala Tunda"!" bentak orang bergolok itu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Wajahnya mendengus sinis sambil bertolak pinggang dengan pongah. Tak seorang pun di antara petani-petani itu yang berani buka mulut. Nyali mereka ciut melihat beberapa orang teman?nya di hajar orang-orang bergolok itu.
"Nah, kalau begitu kembali bekerja se?karang! jangan sampai golokku menebas batang leher kalian!" bentaknya lagi.
"Den... kami petani kecil yang hidup serba kekurangan. Betul Juragan Jala Tunda telah membantu banyak, tapi sangat tak seimbang bila kami mendapat sedikit sekali dari hasil kerja ke-ras selama berbulan-bulan..." sahut satu suara dengan nada memelas.
"Heh"!"
Sepasang alis orang itu naik tinggi ketika dia menoleh pada seorang pemuda kurus yang baru saja buka suara.
"Hm, besar juga nyalimu bicara begitu..." de-ngusnya sambil mendekati pemuda kurus yang sedang memegang arit di tangannya.
"Maaf, Den... saya tak bermaksud bicara ka-sar. Tapi mohon kemurahan hati Juragan Jala Tunda untuk membeli hasil padi kami dengan harga yang pantas...."
"Pantas Bapak Moyangmu...!"
"Uts!"
Petani bertubuh kurus itu rupanya memiliki sedikit ilmu kepandaian olah kanuragan, karena begitu mendekat, orang bergolok itu langsung ?????mengirim satu sodokan ke dadanya, tapi dengan mudah dielakkan.
"Pantas kau berani buka mulut besar. Berisi juga kau rupanya..." ejek orang bergolok itu yang tak lain dari murid Perguruan Tengkorak Merah.
"Maaf, Den. Saya tetap seorang petani, tapi berhak pula membela diri kalau Aden hendak berbuat kasar..." sahut petani muda itu merendah.
"Kendil Lapis, sudahlah. Jangan membuatkeruh keadaan..." ucap salah seorang petani ber?usia tua mengingatkan.
"Tidak apa, Pak. Mata mereka harus dibuka agar tak seenaknya menurunkan tangan kasar pada kita...."
"Tapi kau akan celaka sendiri."
Pemuda itu tak menyahut. Dia telah bergerak cepat menghindar dari serangan orang bergolok itu yang dengan bernafsu menyerangnya kembali sambil mencabut golok.
"Mampus kau!"???
"Uts!"
"Plak!"
"Des!"
?"Akhhh...!"
Orang bergolok itu menjerit keras. Golok di tangannya terlepas ditangkis pemuda kurus itudan satu depakan keras bersarang di perut mem?buat tubuhnya yang gendut mulai limbung dan terjerembab di kubangan lumpur sawah.
Beberapa orang petani tak kuat menahan geli, ada yang tertawa tertahan. Karena orang itu jatuh bukan hanya mengotori tubuhnya saja, tapi dalam keadaan muka terbenam di lumpur. Se-hingga ketika dia bangkit jadi kelihatan lucu bagi para petani itu.
"Diam! Berani kau berbuat begitu. Mampus?lah bagianmu, bocah keparat!" bentak salah se?orang yang merupakan teihan orang-orang ber?golok itu.
Si pemuda itu bersiap ketika salah seorang mendekatinya dengan wajah garang.
Tubuhnya besar dengan kumis tebal. Pada bagian dadanya terbuka hingga terlihat bulu dadanya yang rimbun dan lebat. Di pergelangan tangan kanannya melingkar sebuah gelang bahar yang berukuran besar. Sepasang matanya tampak merah dan menakutkan ketika dia memandang pemuda petani itu.
? *** ? Para petani yang lain mulai khawatir ketika orang itu mendekati si pemuda, sebab siapapun kenal siapa orang itu sebenarnya. Dia tak lain dari Wiryo Keduro, salah seorang anak buah Jala Tunda yang kejam dan berilmu tinggi. Orang itu tak segan-segan mencabut nyawa siapa saja yang takdisukainya. Dan kebetulan dalam rombongan Tengkorak Merah yang berjumlah lebih dari se?puluh orang ini, dia menjadi pimpinan. Melihat salah seorang anak buahnya dipecundangi begitu, sudah cukup membuatnya tersinggung dan marah.
"Siapa kau" Agaknya kau orang baru di sini"!" bentak Wiryo Keduro sambil menyipitkan mata dengan wajah sinis.
"Namaku Kendil Lapis. Betul aku memang orang baru di sini, tapi tak berarti bisa berdiara diri melihat kekasaran kalian yang tak berperi-kemanusiaan," sahut Kendil Lapis tenang.
"Hm, pantas! Tapi bocah, kau keterlaluan, berani mencampuri urusan Juragan Jala Tunda. Bahkan mempermainkan salah seorang anak buahku. Kau tak punya kesempatan lain untuk memperbaiki kesalahanmu karena siapa pun yang berani berbuat begitu harus mampus!"
Kata-kata Wiryo Keduro enteng saja. Tapi begitu selesai berbicara, tubuhnya langsung ber?gerak mengayunkan telapak tangan ke kepala Kendil Lapis.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
"Plak!"
Wiryo Keduro menyadari bahwa lawan me?miliki kepandaian yang cukup lumayan. Itulah sebabnya dia tak mau gegabah menyerang dengan sembarangan. Gerak tipunya berhasil dihindari pemuda itu dengan baik, bahkan ketika me-nangkis tadi terasa bahwa pemuda bertubuh ku?rus itu memiliki tenaga dalam yang dapat dian?dalkan.
Kendil Lapis sendiri sebenarnya memang ter?lalu gegabah bertindak tanpa memikirkan akibat?nya. Dia belum mengetahui banyak tentang orang-orang Perguruan Tengkorak Merah selain dari cerita-cerita para petani saja.
Lalu ketika berhasil menjatuhkan seorang dari mereka, keyakinannya semakin bertambah. Dengan kemampuan yang di milikinya saat ini tentu tak sukar untuk menghadapi yang lain. Begitu dia berpikir.
Tapi yang terjadi saat ini sungguh mengejut-kan. Serangan yang dilakukan Wiryo Keduro be?rat dan ganas. Bahkan dalam beberapa kali ben-turan tangan terasa bahwa tenaga dalam lawan berada di atasnya, masih untung dia memiliki ilmu peringan tubuh yang dapat diandalkan, ka?lau tidak tentu scjak awal tubuhnya babak belur di hajar lawan. Bahkan tak mustahil akan me-renggut nyawanya!"
"Bagus! kau bisa bertahan dari dua jurus se-ranganku pertanda bahwa kau memiliki kepan?daian yang bisa diandalkan. Cukuplah sudah ka?rena kini saat kematianmu telah tiba. Yeaaa...!" Selesai berkata begitu Wiryo Keduro langsung merubah serangan. Kendil Lapis sendiri bukannya tak merasakan hal itu. Tubuhnya pontang-panting menghindari serangan lawan yang bertenaga kuat itu. Bahkan dalam satu kesem?patan,arit yang sejak tadi diselipkannya di ping?gang terpaksa digunakan untuk melindungi se-lembar nyawanya.
Tapi hal itu sudah membuat geram Wiryo Keduro. Tanpa berpikir panjang lagi dia langsung mencabut golok dan menghajar senjata di tangan pemuda kurus itu.
"Trak!"
"Breeet!"
"Des!"
"Aaaakh...!"
Seperti selcmbar daun kering tertiup angin, tubuh Kendil Lapis terhempas jauh terkena ten?dangan lawan sambil mengeluarkan jeritan ke?sakitan. Ketika senjata mereka beradu, golok la?wan berhasil membuat arit di tangannya patah. Kendil Lapis terkejut. Tangannya perih bukan main. Belum lagi dia memperbaiki keadaan, ujung golok Wiryo Keduro langsung menghajar dada. Masih untung dia sempat bergerak mundur sehingga dadanya cuma tergores saja. Tapi Wiryo Keduro tak berhenti sampai di situ. Kaki kanan?nya melayang sebagai serangan susuian dan tak dapat dielakan oleh Kendil Lapis.
"Mampus!" bentak Wiryo Keduro sambil me-lompat mengejar tubuh Kendil Lapis yang ter-hempas di kubangan lumpur.
Bisa dipastikan dalam sesaat saja tubuh kurus itu akan tewas disabet golok Wiryo Keduro yang tak kenal ampun. Para petani yang lain sudah menarik nafas. Mereka cuma bisa berdo'a agar hal itu tak terjadi, namun harapan itu rasanya amat tipis sebab tak pernah sekalipun Wiryo Ke?duro mengampuni orang yang sedang berurusan dengannya.
"Tak!"
"Heh"!"
Wiryo Keduro tersentak kaget. Sebuah ke?rikil sebesar kepalan anak kecil melesat menghantam mata goloknya hingga bergetar dan ter?tahan lajunya meski tak terlepas. Wajahnya lang?sung merah padam menahan geram. Buru-buru dia menoleh dari arah datangnya kerikil itu dan melihat seorang pemuda berambut memakai baju rompi putih. Sebatang pedang berhulu kepala burung tampak tersembul di punggungnya.
? *** "Siapa kau berani mencampuri urusanku"!" bentak Wiryo Keduro garang.
"Ki sanak, aku cuma seorang pengembara. Kulihat anak muda itu sudah tak berdaya. Apa?kah kesalahannya hingga kau bermaksud me-renggut nyawanya?" tanya pemuda itu sopan de-ngan suara ramah bersahabat.
"Puih! Bocah kesasar! Apa urusannya kau mencampuri persoalanku" Pergilah kau dari sini dan teruskan perjalananmu sebelum kemarahan-ku berpindah padamu!"
Pemuda yang tak lain dari Rangga alias Pen?dekar Rajawali Sakti itu tersenyum kecil.
"Ki sanak, sudilah kau mengampuninya. Dia sudah betul-betul tak berdaya, Setelah ilu ba-rulah aku akan melanjutkan perjalananku tanpa ada ganjalan memikirkan seorang anak manusia yang tak berdaya terhimpit kematian." sahut Rangga enteng.
"Keparat! jadi kau bermaksud mencampuri urusanku?" mata wiryo Keduro mendelik garang.
"Sama sekali tidak, Ki sanak. Aku cuma me-mohon belas kasihanmu untuk mengampuni se-lembar nyawanya...."
"Itu sama saja dengan mencampuri urusanku tahu! Kau tahu akibatnya jika ikut campur" Cuma ada satu, yaitu kematian!" lanjut Wiryo Keduro menggertak.
Rangga mendecah sambil menggejengkan kepala.
"Ah, berat sekali akibatnya. Tapi tak apalah kalau kau menuduhku begitu. Aku sudah siap dengan akibatnya karena tahu betul bahwa nyawa manusia bukan berada di tanganmu."
"Bedebah! Omonganmu betul-betul mem?buatku ingin muntah. Rupanya kau sudah merasa hebat bisa menangkis golokku" Baik, Kau rasakan ini. Yeaaa...!"
Wiryo Keduro agaknya tak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil berteriak nyaring diserangnya Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh nafsu.
Goloknya berkelebat dengan cepat me?nyerang titik kelemahan di tubuh lawan. Melihat dari caranya memainkan senjata itu, terlihat bah?wa Wiryo Keduro sangat ahli dan amat menguasai permainan golok. Bahkan bisa tergolong dalam tokoh yang disegani, sebab tak sembarangan to?koh bisa melakukan apa yang dilakukannya saat ini ketika menyerang lawan.
Kalau pun dia mengerahkan segenap kemam-puannya untuk menyerang lawan hanya karena pertama tadi dia telah dibuat malu di depan anak buahnya. Maka karena tak mau kejadian itu sam?pai terulang lagi, dia tak mau gegabah menyerang pemuda berbaju rompi putih itu dengan setengah hati.
"Uts!"
Rangga dapat merasakan serangan-serangan lawan yang dahsyat dan berbahaya. Tak mem?buang waktu lagi dia langsung meladeni dengan jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghin?dari serangan lawan yang gencar dan bertubi-tubi.
"Hm, pantas kau bertingkah. Rupanya kau pun memiliki kepandaian yang lumayan. Tapi percuma kau pamerkan di depan hidungku ka-rena nasibmu tak jauh berbeda dengan petani sok jago itu!" dengus Wiryo Keduro sangat yakin ka?lau dia sebentar lagi akan menjatuhkan pemuda itu.
"Bisa jadi begitu, Ki sanak. Tapi biarlah kali ini aku mengalah agar tak sama nasibku dengan petani itu. Mudah-mudahan kali ini per-untunganku sedang baik." sahut Rangga santai.
"Huh!"
"Hiyaaat...!"??? .
Sambil berteriak nyaring Rangga mulai mem-balas dengan membuka jurus Rajawali Sakti tingkat pertama.
"Uts!"
"Plak!"
"Duk!"
"Akh!"
Sekali kepalanya berkelit dari tebasan golok lawan, kepalan tangan kanannya langsung me-nyodok ke dada Wiryo Keduro ketika tangan kiri?nya menyambar pergelangan tangan lawan yang, menggenggam golok.
Wiryo Keduro menjerit kesakitan sambil mendekap dada ketika tubuhnya bergerak lim?bung. Golok di tangannya terlepas dan pada saat yang bersamaan dadanya terasa nyeri terkena suatu hantaman yang keras bukan main.
"Keparat!" Wiryo Keduro memaki.
Beberapa orang anak buahnya berusaha me-ngepung Rangga, tapi dengan cepat di cegahnya.
"Diam kalian di tempat! Aku masih mampu menghajar bocah ini dan membuatnya mampus!"
Terpaksa anak buahnya menyurutkan lang?kah dan memperhatikan Wiryo Keduro berusaha bangkit dengan cepat dan menatap Rangga de?ngan wajah garang.
"Bocah, sebutkan kau punya nama agar Wiryo Keduro tak lupa menuliskan nama di nisanmu?? nanti!"?? kata? Wiryo? Keduro? sambil menggeram.
"Dasar kantong nasi tak berguna! Apakah kau tak mengenali Pendekar Rajawali Sakti di depanmu!"
"Heh"!"
Wiryo Keduro tersentak kaget. Suatu suara menimpali dan sekaligus menjawab pertanyaan-nya. Ketika dia melirik ke arah orang yang me-ngeluarkan suara tadi, buru-buru dia beserta se?luruh anak buahnya memberi hormat.
"Ah, kukira siapa. Tak tahunya kau, Ki Soko Menggolo. Terimalah salam hormat kami...."
? *** ? 3 ? "He he he he...! Kudengar ramai di tempat ini sehingga membuatku tergelitik untuk melihat. Kupikir pula kau di pecundangi oleh petani-pe?tani goblok itu, tapi siapa nyana ternyata Pen?dekar Rajawali Sakti yang kesohor itu ikut cam?pur pula dalam urusan ini," sahut orang yang baru tiba sambil menyindir.
Rangga menoleh dan melihat seorang lelaki berbaju bagus dengan tubuh sedikit kurus. Me?lihat dari caranya hadir di tempat ini tanpa ada seorang pun yang mengetahui pastilah orang ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Keris di pinggang kirinya pun terlihat bukan seperti keris sembarangan. Paling tidak orang yang dipanggil Ki Soko Menggolo ini me?miliki ilmu olah kanuragan yang cukup diandal?kan. Apalagi Wiryo Keduro dan anak buahnya tampak menghormatinya.
"Ki sanak, maaf. Aku sama sekali tak bermak?sud mencampuri urusan mereka. Tapi hatiku me?rasa tak tega melihat orang-orang ini menyiksabeberapa orang petani hingga tak berdaya," sahut Rangga membalas sindiran Ki Soko Menggolo.
"Ah, kenapa sungkan-sungkan" Bukankah Pendekar Rajawali Sakti terkenal welas asih dan suka membantu orang yang lemah" barangkali telah digariskan bahwa kehadiranmu di sini untuk menolong mereka."
Pendekar Rajawali Sakti mengerutkan alis. Dia tak mengerti apa maksud orang itu berkata demikian.
Sementara itu Wiryo Keduro dan teman-temannya terkejut ketika mengetahui bahwa pe?muda yang tadi berhadapan dengannya adalah Pendekar terkenal yang namanya menggetarkan rimba persilatan belakangan ini. Pantas saja dia dapat dijatuhkan dengan mudah. Tapi menge?tahui kehadiran Ki Soko Menggolo hatinya se?dikit tenang.
Siapa sebenarnya laki-laki yang berusia se-kitar tiga puluh tahun dan dipanggil Soko Meng?golo itu" Dia tak lain tangan kanan Jala Tunda yang termasuk dalam jajaran orang-orang dekat-nya. Ilmu olah kanuragannya hebat bukan main, dan orang-orang persilatan mengenalnya dengan gelar Malaikat Hitam Bermuka Dua.
"Ki sanak, aku tak mengerti maksud kata-katamu itu...." sahut Rangga pelan.
"Kenapa tak paham" Bukankah itu soal mu?dah. Ada kebaikan dan kejahatan. Keduanya tak pernah sejalan karena masing-masing memilikijalurnya sendiri. Nah, kau yang mengaku berjalan pada hal kebaikan tentu saja tak sejalan dengan kami yang dianggap berjalan pada hal yang jahat...."
"Lalu?"
"Hm... aku tak perduli dengan keadaan itu. Tapi mengusik anggota Perguruan Tengkorak Merah, tentu saja aku perduli, bahkan merasa di usik, dan tak mungkin mendiamkannya begitu saja!"
Sampai disitu mengertilah Rangga apa yang dimaksud orang itu. Rangga menggelengkan kepala sambil mendecah pelan.
"Ki sanak aku tak suka keributan. Kalau ada penyelesaian yang baik dengan jalan musyawarah tentu aku akan lebih senang melakukannya. Ini soal yang amat jelas, kenapa malah membuat kalian merasa tak suka dan marah?"
"Pendekar Rajawali Sakti, mudah kau ber?kata begitu tapi tak mudah bagi kami menerimanya. Aku si Malaikat Hitam Bermuka Dua memang tak sepadan dibandingkan denganmu. Tapi mana bisa berdiam diri melihat kau meng?hajar anak buahku!" sahut Ki Soko Menggolo masih dengan sikap tenang.
Tak heran dia bisa bersikap begitu mengingat gelarnya sebagai Malaikat Hitam Bermuka Dua. Walau di hatinya amarah telah berkobar, namun wajahnya masih tetap tenang bahkan bisa ter?senyum dengan suara yang tetap datar.
"Jadi apa yang kau inginkan, Ki sanak?"
"Huh! Inilah yang kuinginkan!" sambut Ki Soko Menggolo sambil mencelat ke arah Rangga dengan mengirim serangan hebat.
Pendekar Rajawali Sakti telah memperkira-kan hal itu, namun tak menyangka bahwa lawan bisa bergerak secepat yang tak di duganya. Tak percuma Ki Soko Menggolo dihormati oleh ang?gota Perguruan Tengkorak Merah, karena ke-pandaiannya niemang jauh di atas rata-rata murid yang lainnya.
"Hup!"
"Hiyaaat...!"
"Plak!"
Serangan pertama itu dapat dielakkannya de?ngan mulus, dan dalam suatu kesempatan bahkan dia berusaha menangkis siku tangan lawan. Ki Soko Menggolo menggeliat bagai belut mcnghantam telapak tangan ke dada kiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Jebol igamu!"
"Uts!"
Rangga menghindar dengan gesit sambil mengayunkan kaki kanan menghantam dagu la?wan. Tubuh Ki Soko Menggolo melompat ke be?lakang membuat gerakan salto yang indah. Rang?ga mengejar dengan sodokan kepalan tangan.
"Tap!"
"Yeaaa...!"


Pendekar Rajawali Sakti 212 Setan Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan yang dibuat Ki Soko Menggolo sungguh indah seperti orang menari. Bertumpu dengan telapak tangan lawan, tubuhnya kembali bersalto terus ke belakang bagian tubuh Pen?dekar Rajawali Sakti.
"Heh!" "??
"Plak!"
Tapi dengan gerakan yang tak kalah gesit Rangga terus bergerak menghantamkan kaki kirinya yang di tangkis oleh telapak tangan kiri Ki Soko Menggolo yang menyilang di dada. Orang itu terkejut merasakan telapak tangannya perih. Tapi Rangga telah jumpalitan ke arahnya sambil kembali menyodok kepalan tangan kanan ke dadanya.
"Duk!"
"Akh!"
Ki Soko Menggolo mengeluh kesakitan. Wa?lau dia berusaha mengelak namun tak urung bahu kirinya sempat terkena hajaran lawan. Tulang engsel lengannya serasa mau copot menerima pu-kulan itu. Meski Rangga tak melanjutkan serang?an, tubuh Ki Soko Menggolo telah melesat ke belakang untuk menghindari kcmungkinan lawan meneruskan serangan susulan.
"Hebat kau, Ki sanak! Nah, sekarang mari kita lanjutkan permainan dengan adu senjata!"
"Sriiing!"
? *** ? Ki Soko Menggolo telah mencabut kerisnya yang berlekuk sembilan. Bagian tengah badan keris itu terlihat ukiran lidah api dan meman-carkan hawa maut yang menakutkan.
Rangga masih diam tak memberikan reaksi. Dia cuma bersiap jika lawan bermaksud me?nyerang dengan senjata itu.
"Kenapa ragu" Ayo, cabutlah pedangmu yang terkenal itu dan hadapi kerisku ini! ucap Ki Soko Menggolo tak puas dan merasa di remehkan me?lihat lawan tak meladeni keinginannya.
"Ki sanak, apakah tak sebaiknya kita sudahi urusan sampai di sini" Di antara kita tak ada saling permusuhan, kenapa kau memaksa untuk menggunakan senjata...."
"He he he he...! Apakah kau mulai takut, Pen?dekar Rajawali Sakti" Kaulah yang memulai urusan maka kau pun harus menyelesaikannya secara tuntas!"
"Penyelesaian tuntas bagaimana yang kau maksudmu?"
"Pertarungan yang membuat salah seorang di antara kita harus mengakui kehebatan yang lain?nya!"
"Maksudmu bila salah seorang kalah maka dia harus menyudahi urusan dan tak ikut cam?pur?"
Ki Soko Menggolo terkekeh pelan, "Betul, bahkan lebih dari itu dia tak bisa lagi mencampuri urusan mana pun...."
Alis Rangga berkerut mencerna kata-kata orang itu. Tapi dia tak berpikir panjang ketika Ki Soko Menggolo melanjutkan ucapannya.
"Sampai salah seorang di antara kita mam?pus!"
"Heh"!"
"Kenapa" Mulai takut" Apakah Pendekar Rajawali Sakti yang ke sohor itu mengenal rasa takut juga?" ejek Ki Soko Menggolo.
"Ki sanak, itu sudah keterlaluan...."
"Bagi orang-orang Tengkorak Merah tak ada hal yang keterlaluan, berani mencampuri urusan kami maka harus berani pula menanggung akibat?nya!" sahut Ki Soko Menggolo tegas.
Rangga menghela nafas dan berpikir be?berapa lama kemudian.
"Bagaimana Ki sanak, apakah kau berani me?nanggung akibatnya?"
"Baiklah... tapi harus ada tambahannya. Bila aku yang tewas, tak ada urusan lagi. Tapi kalau kau yang tewas maka perintahkan anak buahmu sebelumnya untuk tidak mengganggu para petani ini dan urusan selesai. Bagaimana?"
Rangga merasa tak ada jalan lain untuk mengelak tantangan orang itu, dan terpaksa me-nyambutnya. Sebaliknya Ki Soko Menggolo be?gitu yakin bahwa dia mampu mengalahkan lawan, langsung berteriak pada anak buahnya,
"Kalian dengar itu" Aku yang mewakili Jala Tunda memerintahkan pada kalian untuk tidakmencampuri urusan petani-petani ini jika aku ka?lah dalam pertarungan melawan Pendekar Raja?wali Sakti. Kalian pulang dan melupakan per-soalan ini, dan tak seorangpun boleh mengusik petani-petani ini. Siapa yang melanggar sama artinya melanggar aturan yang dibuat Jala Tunda!"
"Tapi, Ki...."
"Kau mau membantah, Wiryo?"
Wiryo Keduro diam menundukkan wajah sambil menggelengkan kepala. "Eh, ti... tidak, Ki...."
Ki Soko Menggolo mendengus sinis. Kemu?dian mengalihkan pandangan ke Rangga.
"Nah, kau dengar, Ki sanak" Kini bersiaplah kau menahan seranganku!"
Murid-murid Perguruan Tengkorak Merah mengetahui bahwa ilmu olah kanuragan Ki Soko Menggolo memang hebat, bahkan sedikit berada di bawah Guru Besar mereka, Ki Jala Tunda. Wiryo Keduro juga mengetahui bahwa banyak kata-kata Ki Soko Menggolo yang di setujui oleh Ki Jala Tunda. Tapi melupakan soal hasil panen padi ini dan melaporkan hasil itu pada Ki Jala Tunda adalah perbuatan bunuh diri. Membantah perintah yang dikeluarkan Ki Soko Menggolo pun termasuk hal yang sama. Mereka memang tak punya pilihan selain pasrah dan berharap bahwa Ki Soko Menggolo mampu mengungguli lawannya.
Tidak demikian halnya dengan para petani itu. Mereka yang tadi bersiap-siap memetik padi, kini naik ke tegalan dan berkumpul rapi dengan wajah cemas. Seorang yang tak dikenal begitu rela bertaruh nyawa demi mereka adalah per?buatan yang nekat dan berani, sekaligus per?buatan bunuh diri. Sebab, siapa yang tak kenal Perguruan Tengkorak Merah" Murid-muridnya banyak dan rata-rata berilmu tinggi. Mereka bisa membumi hanguskan sebuah desa dalam sekejap, dan menewaskan banyak tokoh yang memiliki ke?pandaian ilmu silat yang cukup lumayan. Dan kini seorang pemuda tak dikenal tiba-tiba saja berani menantang salah seorang pentolan Tengkorak Merah. Pastilah kalau tidak gila dia seorang yang putus asa dan berniat mati secepatnya.
Memang, orang-orang itu hanya petani biasa yang tak mengerti apa-apa tentang dunia per?silatan berikut tokoh-tokoh yang berkecimpung di dalamnya. Meski mengetahui bahwa pemuda berbaju rompi putih itu adalah Pendekar Raja?wali Sakti, tapi nama itu seperti tak berarti apa-apa dibandingkan dengan sepak terjang orang-orang Perguruan Tengkorak Merah yang telah mereka lihat dan alami sendiri.
Sementara itu perlahan-lahan Rangga men?cabut pedang di punggungnya. Seberkas sinar biru keluar dari batang pedang itu seperti me-nerangi tempat itu sesaat. Semuanya terkagum takjub menyaksikan pamor pedang yang luar biasa itu. Termasuk juga Ki Soko Menggolo. Hatinya bergetar hebat dan tak terasa sedikit kegentaran mulai muncul dalam benaknya.
"Aku telah siap. Silahkan dimulai, Ki sa?nak...!" sahut Rangga pelan.
"Yeaaah...!"
Dengan satu teriakan menggelegar Ki Soko Menggolo mulai menyerang lawan dengan keris di tangan. Kali ini dia mengeluarkan jurus ter-hebatnya yang diberi nama Malaikat Maut Men-jarah Darah, dan bersamaan dengan itu kepalan tangan kirinya terlihat hitam legam bagai arang menandakan bahwa dia telah bersiap meng?gunakan pukulan sakti yang di beri nama Gagak Hitam Menerkam.
Sementara itu Pendekar Rajawali Sakti sen?diri menyadari hal itu dan tak mau menganggap remeh lawan. Dia telah bersiap mengeluarkan jurus Ilmu Pedang Pemecah Sukma, dan tangan kirinya mulai membara pertanda dia siap meng?gunakan Pukulan Maut Paruh Rajawali.
? *** ? "Hiyaaa...!"
"Glaaar!"
"Tras!"
"Aaaa...!"
Terdengar pekik kematian halus. Tubuh KiSoko Menggolo terlempar sejauh lima tombak dengan tubuh biru. Dan telah tak bernyawa ke?tika tiba di tanah.
Kejadian itu amat cepat dan mengejutkan semua yang melihat. Begitu keduanya melompat dan saling menyerang, kecepatan mereka sulit diikuti oleh mata biasa. Bahkan Wiryo Keduro sendiri tak mengetahui selain dari kedua pukulan mereka yang beradu. Dari telapak kiri Ki Soko Menggolo keluar sinar hitam menghantam lawan. Sementara dari telapak tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah. Keduanya beradu dan menimbulkan percikan bunga api dan ledakan keras. Asap hitam mengepul, namun saat itu tubuh Ki Soko Menggolo telah limbung ke belakang sambil mendekap dada. Saat itulah tu?buh Pendekar Rajawali Sakti melesat sambil mengayunkan pedang. Wiryo Keduro, tak melihat bagaimana keris Ki Soko Menggolo patah ketika berusaha menangkis, dan pedang lawan terus menghantam dadanya tanpa menimbulkan suara berderak ketika tulang iganya putus.
Perlahan-lahan sinar biru di tubuh Ki Soko Menggolo hilang seiring Pendekar Rajawali Sakti menyarungkan kembali pedangnya. Wajah Pen?dekar Rajawali Sakti yang tadi seram dan me?nakutkan, perlahan-perlahan kembali memudar dan wajar seperti semula.
"Ki Soko Menggolo...!" teriak Wiryo Keduro dan anak buahnya sambil mengerubungi mayat KiSoko Menggolo.
Mereka seperti tak percaya bahwa tangan kanan Ki Jala Tunda tewas dalam beberapa ge-brakan saja di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Semula beberapa anak buah Wiryo Keduro ber?maksud menyerang pemuda itu, tapi dia meng?ingatkan janji yang telah dibuat Ki Soko Meng?golo sebelumnya.
"Ki sanak, aku sebagai orang yang dipercaya oleh Ki Soko Menggolo akan memegang janjinya demi kehormatan Perguruan Tengkorak Merah. Tapi ingat! Guru kami, Ki Jala Tunda, tentu saja tak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Kau harus hati-hati, sebab bisa jadi giliranmu nanti yang menyusul Ki Soko Menggolo!" ujar Wiryo Keduro sambil membopong mayat Ki Soko Menggolo.
"Sebaliknya Ki sanak, aku lebih suka kau sampaikan pesan pada Guru Besarmu agar me?nyudahi persoalan ini sampai di sini. Kematian temanmu itu bukan salahku karena kalian sendiri menjadi saksi bahwa dia sangat memaksa mengadakan pertarungan denganku," sahut Rangga enteng.
"Bukan aku yang memutuskan soal urusan yang menyangkut Perguruan Tengkorak Merah. Itu adalah urusan Ki Jala Tunda. Tak seorang pun di antara kami yang berhak membantah!" Wiryo Keduro mengingatkan sebelum dia dan anak buahnya meninggalkan tempat itu.
Pendekar Rajawali Sakti diam mematung de?ngan mata nyaris tak berkedip menatap rombonjan itu yang menghilang di balik perbukitan yang menjulang tinggi di ujung sana.
"Ki sanak, terima kasih atas pertolongan-mu...."
Rangga menoleh dan melihat pemuda ber?tubuh kurus yang tadi di hajar Wiryo Keduro telah berada di dekatnya beserta para petani yang tadi akan memanen hasil sawah mereka. Pen?dekar Rajawali Sakti tersenyum kecil.
"Ah, sudahlah. Itu soal biasa...."
"Tapi Ki sanak...."
"Panggil saja namaku Rangga...."
"Aku Kendil Lapis...."
"Nak Rangga, mereka tentu tak akan tinggal diam atas peristiwa ini. Kau tentu mengalami na-sib naas kalau sampai Ki Jala Tunda sendiri yang datang. Sebaiknya cepat-cepat tinggalkan desa ini demi keselamatan dirimu sendiri!" ujar salah seorang petani berusia lanjut dengan wajah cemas.
"Siapakah Jala Tunda itu" Kenapa dia begitu berkuasa" Apakah dia orang kepercayaan Raja hingga kalian mesti takut kepadanya?"
"Dia bukan saja orang kepercayaan, tapi Raja di wilayah ini. Den!" sahut salah seorang petani yang lain.
"Betul, Den. Anak buahnya banyak dan se?ring berbuat sesuka hatinya pada rakyat desa..." timpal yang lainnya lagi.
Rangga mengangguk-angguk mendengar pe-nuturan-penuturan itu.
"Itulah, Den... sebaiknya buru-buru saja me?ninggalkan desa ini agar Aden bisa selamat. Bu?kan kami tak mau menerima Aden, tapi juga demi keselamatan Aden sendiri!" kata yang lainnya.
"Ki sanak semua, terima kasih atas perhatian kalian. Tapi biarlah aku berada di sini untuk be?berapa hari kalau kalian berkenan. Aku yang me?mulai semua ini mana bisa kutinggalkan kalian untuk menanggung akibatnya! Kecuali kalau ka?lian tak suka dengan kehadiranku dan ingin raengusirku dari desa ini...."
Para petani yang mendengar kata-kata Rangga itu jadi salah tingkah dan saling pandang.
"Bagaimana" Apakah kalian tak suka aku tinggal di sini beberapa hari saja?"
"Ah, bagaimana kami bisa menolak orang se-baikmu, tapi...."
"Tak usah ragu dan cemas. Biar segala akibat?nya akan kutanggung. Anggap saja persoalan tadi menjadi tanggung jawabku, dan aku tak mau kalian yang terkena getahnya dari perbuatanku. Kalau memang Ki Jala Tunda marah, biarlah kutunggu dia di sini untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya..."
"Tapi, Den, Ki Jala Tunda tak akan bisa me?ngerti. Orang itu tak perduli benar atau salah. Kau pasti dibunuhnya!" ujar salah seorang petani.
"Kalau memang begitu, biarlah kutanggung akibatnya."
Para petani tak bisa lagi mencegah kemauan pemuda itu. Akhirnya mereka menyerahkan per?soalan pada pemuda itu. Apalagi ketika pemuda itu sudah langsung terjun ke sawah membantu mereka memanen padi. Para petani itu cuma menggelengkan kepala sambil menghela nafas. Di satu sisi mereka senang melihat kehadiran pemuda itu di tengah-tengah mereka, tapi di sisi lain ancaman maut mungkin akan menanti pe?muda itu. Bukan mustahil nyawanya besok melayang saat Ki Jala Tunda turun tangan sen?diri!
*** ? Selanjutnya Bagian 4-6
? Setan Alam Kubur
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 212. Setan Alam Kubur ~ Bag. 4-6
21. August 2015 um 08:31
4 ? Jala Tunda tampak duduk di kursinya se-bagaimana layaknya seorang raja. Dua orang mu?rid wanitanya berdiri di sisi kiri dan kanan me-ngipasinya dengan masing-masing kipas yang cu?kup besar. Sementara di depannya berjejer mu?rid-murid utamanya dalam posisi saling ber?hadapan.
Ruangan itu sendiri cukup luas dan mampu memuat lebih kurang lima puluh orang. Meski-pun yang hadir di dalam ruangan itu tak sampai dua puluh lima orang. Selain dari murid-murid utamanya, hadir pula beberapa tokoh persilatan golongan hitam yang selama ini bekerja padanya,
Hari ini mereka berkumpul mengadakan ra-pat darurat sehubungan dengan laporan seorang murid yang di tugaskan untuk menangkap peng?hianat di Perguruan mereka sendiri. Seperti yang banyak di ketahui murid-murid utama Perguruan itu, Ki Jala Tunda berhasrat untuk melebarkan sayap pengaruhnya dengan menyerang pihak ke-rajaan. Belum lagi hal itu dilaksanakan, salah se-orang murid utamanya agaknya tergelitik untuk menceritakan hal itu pada salah seorang pejabat kerajaan. Masih untung Ki Jala Tunda dapat ber?kelit dan menghindar dari segala tuduhan itu ke?tika pihak kerajaan memberi peringatan pada-nya. Dan sebagai hukuman dia memerintahkan murid-muridnya untuk menghukum mati murid?nya yang berkhianat dan sempat melarikan diri.
Tapi hal itu tentu saja mengejutkan ketika mereka mendengar laporan salah seorang murid yang ditugaskan menghukum mati murid yang te?lah berkhianat itu, karena secara kebetulan me?reka bertemu dengan seorang tokoh aneh yang membantai murid-muridnya yang lain dengan sa?dis. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Ki Jala Tunda.
"Jadi apa yang harus kita lakukan saat ini, Ki...?" tanya sala seorang kaki tangannya.
"Hm, aku heran, belum pernah kudengar dia. Ciri-ciri yang di berikan muridku sama sekali tak kukenali. Siapa tokoh itu sebenarnya?" sahut Jala Tunda dengan wajah heran.
"Apakah dia bukan musuhmu?"
"Siapa tokoh yang tak kukenal saat ini. Tapi orang yang satu ini agaknya luput dari per-hatianku. Dengan caranya menjatuhkan Jolo Ke?rot dengan mudah, tentulah dia bukan orang sem?barangan...."
"Tapi dia terlalu gegabah berani mencampuri urusan kita, Ki. Dan orang itu tak boleh diberi ampun!" dengus Kala Pati yang merupakan murid tertua Ki Jala Tunda.
"Betul, Ki! Orang seperti dia harus diberi pelajaran agar dia tak sembarangan bertindak terhadap Perguruan Tengkorak Merah!" sahut salah seorang kaki tangannya yang bernama Kebo Lantungan.
Orang ini dalam dunia persilatan dikenal se?bagai Bandul Sakti Bertangan Darah. Senjatanya memang berupa bandul besi yang di permukaan-nya terdapat paku-paku yang tajam dan kuat. Se?mentara kedua belah tangannya selalu tampak merah sehingga dia mendapat julukan seperti itu.
Jala Tunda mendengus geram. Wajahnya yang bulat jadi tampak lucu. Tapi tak seorang pun yang berani mcnertawakannya. Apalagi kalau dia melotot garang. Sepasang kelopak matanya yang menyipit sulit sekali terbelalak.
"Huh! Orang itu mesti mampus hari ini!" de?ngus Jala Tunda.
"Biar aku saja yang akan mengurusnya, Ki!" sahut Ki Selo Gemulung cepat.
Ki Selo Gemulung adalah juga salah seorang kaki tangan Ki Jala Tunda yang dapat dipercaya. Kepandaiannya pun tak rendah, dan keberanian-nya dapat dijagokan. Tapi Ki Jala Tunda berpikir lain. Dibandingkan dengan Jolo Kerot, ilmu olah kanuragan Ki Selo Gemulung berada satu tingkat di atasnya. Kalau saja Jolo Kerot dapat denganmudah dikalahkan, tentu Ki Selo Gemulung pun dapat dikalahkan juga tanpa menemui kesulitan berarti.
"Ki Selo Gemulung, bukan aku meremehkan kesediaanmu, tapi seperti diketahui setiap ang?gota mempunyai tugas masing-masing. Aku ber-anggapan bahwa tugas ini lebih cocok dilakukan oleh Ki Soko Menggolo. Ada pun halnya dengan kalian, aku mempunyai tugas lain yang telah ku-rencanakan," sahut Ki Jala Tunda.
Meski hati Ki Selo Gemulung agak kecewa dengan penolakan itu, dia berusaha untuk me?nunjukkan kebesaran hatinya sambil tersenyum kecil.
"Tak apalah kalau memang begitu. Tapi ka?lau Ki Soko Menggolo memerlukan bantuan, aku akan berada di barisan paling depan. Itu pun kalau Ki Jala Tunda tak memberi tugas lain...."
"Syukurlah. Saat ini kita sedang menunggu Ki Soko Menggolo yang belum hadir. Mudah-mudahan kalau tak ada halangan dia akan tiba sesaat lagi," sahut Ki Jala Tunda.
Selesai Ki Jala Tunda berkata begitu, tiba-tiba hadir salah seorang muridnya yang bernama Wiryo Keduro di ruangan itu. Melihat bajunya yang kotor berkubang lumpur, Ki Jala Tunda me?ngerutkan dahi. Lebih-lebih lagi melihat wajah Wiryo Keduro yang kuyu dan ketakutan.
"Kenapa kau, Wiryo"!" sentak Ki Jala Tunda.
"Ampun, Ki. Kami... kami,..."
"Bicara yang betul kau!"
"Eh... ketiwasan, Ki. Ki Soko Menggolo tewas...."
"Apa"!" sentak Ki Jala Tunda kaget sampai bangkit dari kursinya.
"Ki Soko Menggolo tewas di tangan seorang yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Rajawali Sakti..." sahut Wiryo Keduro dengan wajah takut-takut.
"Pendekar Rajawali Sakti"!" untuk yang ke?dua kalinya Ki Jala Tunda tersentak kaget.
Ruangan itu sepi sesaat begitu Ki Jala Tunda menyebut nama itu.
"Hm... kalau dia mau ikut campur, apakah ini bukan pertanda bahwa urusan akan semakin berantakan, Ki...?" tanya Kala Pati.
"Diam kau Kala Pati! Segala Pendekar Raja?wali Sakti kau buat takut. Siapa yang pernah mengajarkan rasa takut padamu"!" bentak Ki Jala Tunda garang.
"A... ampun, Ki. Aku tak bermaksud begitu..." sahut Kala Pati dengan suara tergagap.
"Kala Pati, tak seharusnya kau berkata be?gitu. Gurumu orang hebat, dan tak sembarangan orang bisa mengalahkannya. Kenapa mesti mengkhawatirkan segala anak ingusan yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" timpal Ki Kebo Lantungan.
"Betul, kepandaian Ki Jala Tunda tak se?orang pun yang bisa menandingi. Apakah artinya seorang Pendekar Rajawali Sakti. Dengan mu?dah orang itu akan kita singkirkan," sahut Ki Selo Gemulung.
Kala Pati semakin diam saja menundukkan kepala mendengar mereka berkata begitu. Dalam hatinya mengutuk dan memaki bahwa kedua kaki tangan Gurunya itu berkata seperti penjilat.
"Wiryo, kemari kau! Ceritakan persoalan itu hingga tuntas!" panggil Ki Jala Tunda dengan suara keras.
Wiryo Keduro maju ke depan dengan takut dan cemas.
"Ayo cepat...!"
"Ba... baik..." sahut Wiryo Keduro semakin takut.
Dia pun menceritakan peristiwa yang tadi li-hatnya di persawahan itu dari awal sampai tewas-nya Ki Soko Menggolo. Semua yang hadir di ruangan itu seperti tak percaya ketika menge?tahui bahwa Ki Soko Menggolo tewas dalara be?berapa gebrakan saja.
"Barangkali ceritamu hanya dibesar-besarkan saja, Wiryo. Padahal Pendekar Rajawali Sak?ti tak sehebat apa yang kau ceritakan tadi," kala Ki Selo Gemulung sinis.
"Ki Selo Gemulung, yang menyaksikan itu bukan hanya aku seorang, tapi beberapa murid Perguruan Tengkorak Merah juga ada. Ki sanak boleh tanyakah pada mereka kebenaran ceritaku!" sahut Wiryo Keduro dengan wajah tak senang.
"Sudahlah. Biarkan orang itu menjadi urusanku...."
"Maaf", Ki. Kenapa mesti turun tangan sen?diri" Biarlah bocah itu aku yang mengurusnya!" Sela Ki Selo Gemulung menawarkan diri ketika melihat kesempatan itu.
Ki Jala Tunda berpikir sesaat sebelum meng-anggukkan kepala.
"Baiklah, Ki Selo Gemulung. Kalau kau me?rasa mampu menangani Pendekar Rajawali Sakti, silahkan kau urus dia."
"Sekarang juga aku akan ke sana dan mem?bawa kepala bocah itu padamu!" sahut Ki Selo Gemulung cepat sambil bangkit dari duduknya.
Tapi belum lagi dia melangkah, seorang mu?rid Perguruan Tengkorak Merah masuk dan ter-gopoh-gopoh melapor.
"Ketiwasan, Ki Guru. Seorang tokoh tak dikenal mengamuk di gerbang depan...!"
"Bedebah siapa orang itu"!"
"Dia menyebut dirinya sebagai Setan Alam Kubur...."
? *** Ki Jala Tunda menggeram buas ketika men?dengar nama itu. Dengan langkah panjang dia langsung keluar diikuti oleh semua orang yang hadir di ruangan itu.
Baru saja mereka berada di depan rumahnya yang megah itu, tercium bau busuk menyengat. Beberapa murid Perguruan Tengkorak Merah malah terbatuk-batuk merasakan tenggorokan?nya seperti tercekik.
"Ha ha ha ha...! Inikah Perguruan Tengkorak Merah yang menjagokan diri di sepanjang Pesisir Utara" Ha ha ha ha...! Ternyata tak lebih dari sekumpulan kerbau-kerbau dungu yang tak becus apa-apa!"
Di tempat itu, tepatnya di halaman depan Perguruan yang luas itu, tegak berdiri sesosok tubuh yang amat menyeramkan. Tubuhnya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang, tampak le?gam dan dekil. Kepalanya gundul hanya ditumbuhi beberapa helai rambut saja. Sepasang mata?nya cekung ke dalam seperti tak memiliki biji mata.
Mereka juga melihat beberapa murid Per?guruan tewas dengan tubuh yang mengerikan se?perti di cabik-cabik binatang buas. Semua yang berada di situ segera memperhatikan kuku-kuku kaki dan tangan sesosok tubuh itu yang panjang dan runcing. Bajunya sudah tak bisa disebut baju sebab telah banyak terkoyak-koyak di sana-sini.
"Ki sanak, siapa kau sebenarnya" Datang membuat kekacauan, agaknya kau sudah bosan hidup!" bentak Ki Selo Gemulung mewakili Ki Jala Tunda.
"Siapa pula kau" Berani mampus berkata begitu padaku!" balas sesosok tubuh itu ketus.
"Sial!"
"Bocah kurang ajar! Kemari kau kalau mau mampus!" bentak orang bertubuh kurus itu galak.
"Ki Jala Tunda, biarlah ku wakili kau untuk menghajar orang tak tahu diri ini!" ujar Ki Selo Gemulung meminta ijin.
Ki Jala Tunda mengangguk pelan.
"Mayat hidup keparat! mampuslah kau! Yeaaa...!"
Saat itu pula Ki Selo Gemulung langsung me?lompat sambil mengirim satu pukulan telak ke batok kepala lawan, namun dengan gerakan ri-ngan lawannya berkelit menghindar. Tangan ka?nannya terkibas memapaki lengan Ki Selo Gemulung.
"Plak!"
"Prak!"
"Aaaa...!"
"Heh"!"
Tubuh Ki Selo Gemulung ambruk ke tanah dengan kepala pecah. Tubuhnya menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian diam tak ber-kutik ketika nyawanya lepas. Kejadian itu be?gitu cepat sekali terjadi. Bahkan mereka yang melihat seperti tak percaya. Ki Selo Gemulung bukanlan orang sembarangan. Tapi dengan se?kali hajar, dia tewas tanpa perlawanan. Begitu tangannya menangkis, telapak tangan lawan langsung bergerak menghantam batok kepala Ki SeloGemulung.
"Jahanam!" maki Ki Kebo Lantungan geram.
"Ki Kebo, apakah kau bermaksud meng?hadapi orang itu?" tanya Ki Jala Tunda dingin.
"Biarlah kubuat mampus orang gila kesasar ini, Ki!" sahut Ki Kebo Lantungan sambil melom?pat cepat dan mengeluarkan senjata andalannya.
"Ha ha ha ha...! Kebo buduk, apakah kau hendak menjalaku dengan mainanmu itu" Ha ha ha ha...! Sini biar kuletakkan di kepalamu agar dapat merasakan betapa bagusnya kepalamu di letakkan paku-paku itu!" ujar sesosok tubuh kurus itu sambil tertawa kegirangan.
Bukan main geramnya Ki Kebo Lantungan diejek demikian. Tapi dia berusaha menguasai diri. Tewasnya Ki Selo Gemulung membuktikan bahwa dia tak boleh lengah sedikit pun, kalau tidak nasibnya akan sama dengan temannya itu.
"Setan kesasar, mampuslah kau! Yeaaa...!"
"Uts!"
"Sial!"
"Kenapa memaki" Ayo, serang lagi aku se-puasmu dengan benda mainanmu itu sebelum ke?palamu kubenturkan ke situ!"
"Keparat! Hiyaaat...!"
"Wuut!"
"Lepas...!"
Dengan jari telunjuknya, orang yang meng?aku bernama Setan Alam Kubur itu menangkap tali penghubung antara bandul besi berpaku itu dan pangkalnya yang berada di tangan Kebo Lan?tungan. Tali itu terbuat dari bahan yang alot dan keras, namun dengan mudahnya Setan Alam Ku?bur membuat bandul besi itu berputar seiring dengan sentakan tangannya.
Kebo Lantungan berusaha menahan, tapi dia menjerit kesakitan ketika telapak tangannya terkelupas menahan sentakan lawan yang kuat luar biasa.
"Mampus!"
"Uts!"
Bandul Ki Kebo Lantungan telah berpindah ke tangan kanan Setan Alam Kubur, sementara bersamaan dengan itu telapak tangan kirinya ter-sorong menghantam lawan. Serangkum angin kuat yang berbau busuk nyaris membuat tubuh Kebo Lantungan hancur berantakan kalau saja dia tak buru-buru menghindar. Tapi hal itu ter?nyata hanya taktik lawan belaka karena serangan yang sesungguhnya adalah bandul besi itu sendiri yang melesat cepat menghantam batok kepala Kebo Lantungan.
"Modar!"
"Crap!"
"Aaaa...!"
Tak ayal lagi. Bandul besi itu bukan saja me-nancap di batok kepala Kebo Lantungan, tapi juga membuat kepalanya retak. Orang itu me?mekik kesakitan sambil berlari ke sana ke mari tak karuan, namun langkahnya semakin lama se?makin limbung untuk selanjutnya ambruk ketika dengan tiba-tiba Ki Jala Tunda menghantam de?ngan pukulan jarak jauhnya.
Setan Alam Kubur yang melihat Kebo Lan?tungan bertingkah tak karuan begitu langsung tertawa-tawa kegirangan. Namun terhenti ketika melihat apa yang diperbuat Ki Jala Tunda.
"Sial! mau mampus mencampuri urusanku, heh"!" bentak Setan Alam Kubur berang.
? *** ? "Ki sanak, kaukah yang menamakan diri se?bagai Setan Alam Kubur" Aku Jala Tunda, Ketua Perguruan Tengkorak Merah, kau telah mencam?puri urusanku dengan membantai anak buahku, dan kini malah dalang ke sini membuat keonaran. Apa yang kau inginkan dari kami" Atau kau se-kedar ingin mampus" suara Ki Jala Tunda ter?dengar dingin menusuk dengan nada mengan?cam.
"Peduli dengan segala ocehanmu! Aku me?mang Setan Alam Kubur. Aku melakukan apa saja yang kusuka. Kudengar pula bahwa kau menjagoi Pesisir Utara ini, dan ingin kubuktikan sam?pai di mana kehebatan kalian. Puiih! Ternyata cuma bakul-bakul nasi semua!" sahut Setan Alam Kubur dengan nada kesal sambil membuang ludah.
"Ki sanak, kau sudah keterlaluan menghina orang. Tadinya aku masih berpikir untuk meng-hormatimu. Tapi dengan caramu itu, tak ada pi?lihan lain. Kau harus mampus!" desis Ki Jala Tunda geram.
Bersama dengan selesainya kata-katanya itu, belasan murid-murid Perguruan Tengkorak Me?rah langsung mengurung dan menyerang Setan Alam Kubur dengan ketat.
"Yeaaat...!"
"Setan! Kau pikir punya hak apa meremeh?kan aku begitu rupa" Kemari kau biar kupecahkan batok kepalamu!" bentak Setan Alam Kubur kalap sambil melompat ke arah Ki Jala Tunda.
Tapi dengan segera murid-murid Tengkorak Merah bergerak menghalangi. Akibat yang me?reka alami sungguh tragis. Sekali tangan Setan Alam Kubur terkibas, saat itu pula bau busuk menyebar membuat para pengeroyoknya sulit bernafas. Dengan sekali bergerak, kuku-kuku ta?ngan dan kakinya bergerak merobek tenggorokan lawan-lawannya. Bukan hanya itu, na?mun meski golok-golok penyerangnya mampu mengenai sasaran, hal yang mengejutkan justru kulit tubuh Setan Alam Kubur kebal terhadap senjata tajam.
Ki Jala Tunda sendiri terkejut karena dengan tiba-tiba menderu serangkum angin berbau bu?suk? menghajarnya.? Buru-buru? dia? bergerak menghindar"
"Prak!"
"Bangsat!" makinya geram.
Bangunan tembok di belakangnya hancur be?rantakan terkena pukulan lawan yang tadi ber?hasil dihindarinya.
Ki Jala Tunda tak sempat memaki lebih lan?jut karena dengan tiba-tiba tubuh Selan Alam Kubur telah melesat cepat menyerangnya dengan gencar sambil menyebarkan bau busuk di sekitar tempat itu.
Melihat Guru mereka diserang lawan, murid-muridnya yang lain jadi bingung dan salah ting?kah. Selama ini menjadi pantangan kalau Ki Jala Tunda sedang bertarung dibantu oleh murid-mu?ridnya. Siapa yang melanggar larangan itu pasti akan kena hukuman berat. Agaknya Ki Jala Tun?da memang senang memamerkan dan memper-lihatkan kehebatannya di depan murid-muridnya sendiri.
Tapi dalam hubungannya saat ini bukan dia segan atau takut berhadapan dengan Setan Alam Kubur. Semata-mata karena perutnya terasa mual mencium bau busuk yang menyebar di mana-mana setiap kali tubuh lawan bergerak. Maka Ki Jala Tunda tak ayal lagi langsung me?ngeluarkan jurus andalan serta pukulan saktinya untuk membinasakan lawan secepatnya.
"He he he he...! Jurus apa yang kau per-gunakan seperti cacing kepanasan ini" Walah... walah! Pukulan apa itu" Warna merah seperti darah kerbau. Oh, rupanya kau ingin sekali ber-main-main darah denganku. Baiklah, akan kutunjukkan bagaimana caranya," ejek Setan Alam Ku?bur menyaksikan jurus dan pukulan yang di keluarkan Ki Jala Tunda.
? *** ? 5 ? Sesaat kemudian kedua telapak Setan Alam Kubur dirangkapkan. Wajahnya menyeringai sa?dis. Dari tangannya mengepul asap kelabu yang perlahan-lahan berganti hitam. Bersamaan de?ngan itu bau busuk yang menyengat seperti tak tertahankan oleh murid-murid Perguruan Teng?korak Merah. Banyak di antara mereka yang ter?batuk-batuk karena tak tahan oleh bau busuk dengan tubuh terkapar di tanah. Sementara yang lainnya melarikan diri karena tak mampu berbuat apa-apa.
Ki Jala Tunda bukannya tak mengadakan perlawanan. Dengan Mengerahkan tenaga da?lamnya, dia menghantamkan satu pukulan jarak jauh yang mampu menimbulkan angin kencang untuk menghalau asap yang mulai memenuhi se?luruh tempat itu.
"Hiyaaat...!"
Harpa Iblis Jari Sakti 28 Dewi Ular 57 Asmara Mumi Tua Si Kumbang Merah 2
^