Istana Emas 1
Istana Emas Karya Maria A. Sardjono Bagian 1
Satu S EJAK awal melihatnya, rumah besar berhalaman
luas itu sudah memberikan kesan angker kepadaku. Angker yang kumaksud bukan dalam arti mengandung misteri atau ada makhluk halus yang ikut menghuni rumah itu, melainkan keangkeran dalam arti memiliki wibawa yang menyebabkan orang merasa segan. Bahkan juga takut untuk berbuat sesuka hati di dalam rumah itu. Dan sudah sejak awal pula ketika pertama kali melihat rumah besar itu aku mengalami kesulitan untuk menganggapnya sebagai rumah yang sebenar-benarnya rumah, yaitu tempat tinggal di mana orang merasa nyaman hidup di dalamnya. Oleh karena itu dengan diam-diam rumah besar berhalaman luas yang mewah itu kunamakan istana emas . Istana yang cuma sebagai pajangan dan kebanggaan belaka. Bahkan hanya sebagai pemberi prestise atau gengsi bagi pemiliknya. Tak lebih dari itu.
Yah, rasanya memang cocok kalau rumah itu ku-
t . c sebut istana emas. Besar, megah, mewah, serba gemerlap bagaikan istana raja-raja. Setidaknya menurut pandanganku, suatu tinjauan berlatar belakang kehidupanku yang sederhana bersama orangtua dan saudarasaudara kandungku. Kami memang hidup di bawah atap rumah yang sedang-sedang saja besarnya. Ayahku pegawai pemerintah tingkat madya yang bersahaja, lugu, dan terlalu jujur. Beliau tidak bisa mengisi rumah kami dengan pelbagai perabot mewah. Satu-satunya kemewahan, itu pun kalau bisa disebut mewah adalah piano tua warisan kakekku untuk Ibu. Namun meski rumah kami dan seluruh isinya tidak memperlihatkan sesuatu yang mewah, rumah itu benar-benar terasa seperti tempat tinggal yang nyaman dan memberi kehangatan pada masing-masing penghuninya. Jadi memang sangat berbeda dengan istana emas yang kuceritakan tadi, sebab ketika aku masuk ke rumah besar dan mewah itu, apa yang pernah kualami di rumah orangtuaku, tidak sesentuh pun kurasakan di situ. Yang ada di hatiku hanyalah hawa yang angker. Tak nyaman, rasanya. Mau meneriakkan kegembiraan saja pun aku tidak berani.
Kalau bukan karena Aryanti sahabat karibku, barangkali aku tidak akan pernah melihat, apalagi masuk ke rumah yang sebesar, sebagus, semewah, seanggun, dan serapi itu hingga ke sudut-sudutnya. Aku berada di rumah itu karena desakan Aryanti. Sahabatku itu telah memintaku untuk menghabiskan cutiku tahun ini di kota tempatnya tinggal, di istana emasnya itu, di kota Jakarta.
t . c Aku sangat kesepian, Retno, begitu antara lain yang dikatakannya kepadaku melalui telepon genggamnya, beberapa minggu yang lalu. Datang dan berliburlah di rumahku. Aku merindukanmu dan ingin merasakan lagi kedekatan yang kita jalin sejak kita SMA dan kuliah, bertahun-tahun yang lalu.
Terus terang aku merasakan sesuatu yang kurang beres dari nada suara maupun perkataan yang diucapkan Aryanti kepadaku. Aku kenal sahabatku itu dengan amat baik. Ia tergolong orang yang periang. Jadi kedengarannya agak mustahil dia bisa mengalami kesepian. Terutama kalau mengingat usia perkawinannya yang masih termasuk pengantin baru itu. Lebih-lebih lagi karena dia menikah bukan karena terpaksa dan menurutku hidupnya pasti akan senang bersama lakilaki yang bisa memenuhi segala kebutuhannya. Suami Aryanti kaya-raya. Apa saja yang diinginkannya bisa dibeli dengan seketika, dan pergi ke mana pun yang dimauinya, bisa terlaksana. Hardoyo, suaminya, bukan hanya sukses dalam bisnisnya saja, tetapi juga merupakan ahli waris satu-satunya dari seorang pengusaha real estate. Kakak satu-satunya meninggal dunia ketika masih kanak-kanak.
Seperti yang sudah kukatakan, pernikahan Aryanti dengan Hardoyo bukan perkawinan yang dilandasi oleh keterpaksaan. Meskipun begitu, perjodohan mereka memang sudah lama dirintis oleh kedua belah pihak keluarga masing-masing ketika keduanya masih samasama remaja. Kukatakan dirintis, karena kedua belah pihak keluarga sudah bersahabat karib sejak lama.
t . c Suatu persahabatan sejati yang tidak pernah mempersoalkan latar belakang masin-masing. Keluarga Hardoyo jelas merupakan keluarga yang kaya-raya, sedangkan keluarga Aryanti termasuk keluarga biasa. Ayah Aryanti seorang tentara perwira menengah berpangkat kolonel yang jujur dan apa adanya. Sama seperti ayahku. Kedua keluarga itu sama-sama ingin merekatkan persahabatan sejati di antara mereka melalui perkawinan Aryanti dan Hardoyo yang biasa dipanggil Yoyok.
Semula, Aryanti tidak menyetujui niat baik itu. Dia sudah punya kekasih. Begitupun dari pihak Hardoyo juga tidak ada lampu hijau. Laki-laki muda itu lebih banyak berkutat dengan bisnis dan studinya di luar negeri. Entah sudah punya kekasih atau belum, Aryanti tidak pernah peduli. Karena tinggal di kota yang berjauhan, hubungan mereka berdua memang kurang akrab. Sejak SMA dan kemudian kuliah, Aryanti yang berasal dari Jakarta, berada di Yogya, kota tempat tinggalku. Aku dan Aryanti bersahabat sejak awal dia tinggal di Yogya karena kami duduk di kelas yang sama. Kami mendaftar di perguruan tinggi yang sama, dan sama-sama lulus seleksi dan diterima sebagai mahasiswa di sana. Maka persahabatan kami terus berlangsung.
Setelah diterima di perguruan tinggi tersebut, Aryanti memintaku untuk mencarikan tempat kos yang lingkungannya kondusif bagi para pencari ilmu. Alasannya, tinggal di rumah adik ayahnya, ia tidak bisa leluasa belajar.
t . c Kalau tanteku sedang repot, tidak mungkin kan aku diam saja, padahal aku harus belajar untuk ujian keesokan harinya, begitu alasan yang diberikannya kepadaku.
Kebetulan tetangga sebelah rumahku sudah belasan tahun menyewakan kamar-kamarnya untuk mahasiswi dari luar kota. Pada saat Aryanti memintaku untuk mencarikan tempat kos, salah satu kamar sewaan di rumah tetanggaku itu ada yang kosong. Penghuninya baru saja pulang ke Sumatera setelah menyelesaikan studinya. Maka pindahlah Aryanti ke situ.
Sejak Aryanti tinggal di rumah sebelah, persahabatanku dengannya semakin mendalam. Apalagi Aryanti tidak kembali ke Jakarta. Setelah kuliahnya selesai ia mendapat pekerjaan di Yogya. Oleh sebab itu aku tahu kisah cintanya bersama seorang pemuda asal Kalimantan sejak awal hubungan mereka berdua. Dengan demikian harapan keluarganya dan keluarga Hardoyo untuk bisa berbesanan, semakin hari semakin mengabur. Kedua orangtua masing-masing memang tidak ingin memaksakan kehendak mereka.
Namun ketika kekasih Aryanti selingkuh dan menghamili temannya sendiri, hubungan sepasang kekasih itu pun hancur berantakan. Sejak itu Aryanti tidak lagi peduli terhadap kehidupan pribadinya. Maka ketika orangtuanya dan orangtua Hardoyo menyampaikan keinginan lama mereka untuk berbesanan, gadis itu menyerahkan segala sesuatunya kepada pengaturan mereka.
Aku bukan gadis romantis sepertimu, Retno.
t . c Dengan air mata berlinang, Aryanti memberi alasan penyerahannya itu kepadaku. Jadi biar sajalah perkawinanku diatur orangtua. Mencari sendiri malah menyebabkan hatiku tercabik-cabik begini. Sampai detik ini, sakitnya masih terasakan sampai ke ulu hati.
Kedengarannya kok seperti orang putus asa sih, tegurku waktu itu. Jangan karena kekasih selingkuh, kau lalu mau saja menikah dengan laki-laki yang tidak kaucintai, Yanti.
Aku sudah tidak lagi memercayai cinta, Retno. Jadi yang penting bagiku asal calon suamiku laki-laki yang baik, tulus hati, dan bertanggung jawab, cukuplah. Mas Yoyok bahkan lebih dari itu. Ia laki-laki yang sangat matang melebihi usianya. Pembawaannya penuh perhitungan. Sudah begitu, ganteng pula. Kurasa tidak terlalu sulit bagiku untuk nantinya jatuh cinta kepadanya, begitu ia menjawab perkataanku. Jadi aku akan pulang ke Jakarta dan mulai meniti hidupku dari nol lagi, di sana.
Sepengenalanku terhadap Hardoyo yang baru sekali kulihat, memang tampaknya laki-laki itu termasuk orang baik. Tidak banyak bicara dan air mukanya jernih. Jadi akhirnya aku tidak mau ikut campur lagi meskipun cuma mengemukakan pendapat. Lebih-lebih ketika Aryanti menceritakan kisah percintaan teman kami yang selama bertahun-tahun bagaikan percintaan Romeo dan Yuliet namun tiba-tiba saja putus karena masuknya orang ketiga. Kemanisan demi kemanisan yang mereka untai bersama dan pernah membuat
t . c teman-teman merasa iri, hancur lebur tanpa makna. Menyaksikan kenyataan yang tidak pernah kami sangka itu, aku dan Aryanti sampai tertegun-tegun.
Itulah kenyataan yang sering terjadi. Maka aku mau yang realistis sajalah, Retno. Memimpikan percintaan yang bagaikan Ratih dan Kamajaya hanya akan menimbulkan kekecewaan di belakang hari. Apalagi aku bukan gadis yang romantis. Jadi biarlah hidupku bagaikan air. Aku mengikuti saja alirannya, kata Retno.
Jadi begitulah, sepuluh bulan yang lalu Aryanti menikah dengan Hardoyo atau Mas Yoyok. Aku sengaja terbang ke Jakarta dan beberapa hari menginap di rumah kakakku untuk menghadiri perkawinan mereka yang luar biasa meriah. Setelah menikah, Aryanti melepaskan pekerjaannya karena sang suami menginginkan ia menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Kalau aku ingin berkarier, Mas Yoyok tidak keberatan asalkan di salah satu perusahaannya, begitu Aryanti pernah bercerita kepadaku melalui HP-nya. Tetapi nanti-nanti sajalah. Sekarang aku ingin berkarier sebagai ibu rumah tangga dulu seperti yang diinginkannya. Bukankah sebagai istri aku harus menuruti keinginan suami"
Aku tidak sependapat dengan Aryanti. Menurutku, suami dan istri harus saling berbagi dalam suka dan duka. Suami-istri tidak boleh saling mengekang kebebasan untuk berekspresi dan merealisasikan potensi masing-masing sejauh itu tidak merugikan pihak yang lain. Yah, dalam banyak hal Aryanti memang berbeda
t . c dengan diriku. Tetapi di situlah kami bisa saling berbagi, saling mengisi, dan saling melengkapi sehingga persahabatan kami bisa berlangsung sampai lebih dari dua belas tahun lamanya. Tetapi aku tidak menyukai kehidupan seperti yang dijalani Aryanti, karena menurutku sangat tidak menarik. Tidak ada tantangannya. Di kota kelahiranku, aku punya pekerjaan yang menarik dan aku senang menggelutinya. Seperti penilaian Aryanti mengenai diriku, boleh dikata aku ini termasuk gadis romantis. Aku berpacaran dengan Aditya, seorang dosen perguruan tinggi seni di Yogya. Laki-laki itu seniman yang mulai naik daun. Lukisannya laku keras, terutama diminati oleh orang asing. Gaya lukisannya memang memiliki kekhasan yang disukai mereka. Dari sekitar empat lukisan saja dia sudah bisa membeli mobil baru yang bagus. Tetapi bukan karena hal itu aku mengaguminya. Melainkan karena sifatnya yang hangat, terbuka, periang, dan tentu saja sangat romantis. Telah tiga kali aku menjadi model lukisannya. Dan di sepanjang proses penyelesaian lukisannya, laki-laki itu bersikap luar biasa hangat terhadapku sampai aku harus sering mengingatkannya.
Jangan berlebihan, Adit. Kau sedang kasmaran padaku sebagai model. Bukan sebagai kekasihmu, kataku sambil memijit hidungnya. Saat itu hampir saja aku terlena oleh cumbuan-cumbuan Aditya yang luar biasa memabukkan. Untungnya aku lekas sadar bahwa hubungan kami masih sebagai sepasang kekasih. Bertunangan saja pun belum. Rencana Aditya untuk membawa keluarganya melamarku ke rumah, baru bulan
t . c depan akan dilaksanakan. Jadi aku tidak ingin terjerat api asmaranya, kendati kewarasan otakku nyaris terbang entah ke mana saat laki-laki itu memesraiku dan karenanya sempat kutepis tangan nakalnya yang nyaris meluncur ke dadaku.
Ketika itu Aditya hanya tertawa saja. Setelah mencium bibirku lama sekali, tangannya segera meraih kembali kuas yang tadi sempat diletakkannya ke atas meja. Tetapi sorot matanya yang menatapku masih saja diselimuti api asmara, berpendar-pendar bagai cahaya dipermainkan angin sehingga aliran darahku mengalir lebih cepat saat dipandang olehnya.
Kau membuatku tergila-gila, Retno. Dengan bahu telanjang dan rambut hitam tebal panjang seperti itu, kau benar-benar bagaikan dewi, katanya setengah mendesah. Bangga juga hatiku dikagumi sedemikian rupa oleh kekasihku. Tetapi aku tak mau terlena.
Jangan berlebihan, Adit. Kau sedang kasmaran. Emosi dan darah senimu sedang bergejolak saat melukisku. Lanjutkan saja lukisanmu itu, sahutku, menenangkan perasaanku yang melambung. Kalau tidak ingat apa-apa lagi, ingin sekali aku merebahkan tubuhku ke dalam pelukannya. Luar biasa romantis kekasihku itu.
Sebelum kulanjutkan, aku boleh menciummu sekali lagi, kan" pinta lelaki itu. Kalau tidak, konsentrasiku bisa buyar.
Aku ingin mengatakan tidak, tetapi darahku sudah telanjur bergelora. Jadi kuanggukkan kepalaku. Tetapi sebentar saja lho ya....
t . c Oke. Aditya segera meletakkan kembali kuasnya dan mendekati aku yang sedang duduk di sofa. Tangannya merengkuh tubuhku dan dengan mendesah diciuminya bahuku yang telanjang.
Mm, lembut dan halus sekali kulitmu. Laki-laki itu menatapku mesra untuk kemudian meluncurkan wajahnya ke bahuku lagi. Kini sambil menyingkirkan kain Bali yang melilit dadaku sehingga apa yang sejak tadi kusembunyikan rapat-rapat, tampak menyembul. Dengan mendesah, Aditya bermaksud menciumi ujungnya, tetapi aku segera beringsut menjauh sambil membetulkan lilitan kainku.
Katamu tadi cuma mau menciumku sebentar saja, kataku mengingatkan. Awas lho, jangan biarkan kepala kita dijerat setan.
Retno, biarkan aku mencumbumu, sedikit saja& tak perlu sampai tuntas& Aditya mencoba mendekatiku lagi. Tetapi otakku sudah normal kembali. Jadi kudorong laki-laki itu.
Sudahlah, Mas, jangan macam-macam. Belum waktunya! kataku mengingatkan. Suaraku tegas. Kalau kau tetap memaksaku juga, aku pulang sekarang. Oke... oke..., sahut Aditya. Jangan marah. Untunglah selama kami berpacaran, aku memang tidak pernah tersulut api asmara sampai sedemikian rupa. Akal sehatku masih bisa kuajak berpikir secara lurus dan benar kendati Aditya penuh dengan gelora asmara& Oleh sebab itulah ketika di suatu hari aku menemukan laki-laki itu sedang mencumbu modelnya yang lain di studionya, aku mampu bersikap terkendali
t . c kendati darahku memanas sampai ke ubun-ubun di kepalaku. Kupahami, laki-laki itu sedang kasmaran terhadap model lukisannya sendiri. Dia masih belum bisa menguasai diri dan tak mampu memisahkan antara kenyataan dan dunia maya yang dihadirkannya melalui lukisannya. Setidaknya, itulah yang kupikirkan saat memergokinya tengah bergelut mesra dengan Sari, model lukisannya. Namun meskipun aku cukup memahami situasinya, detik itu juga aku memutuskan hubunganku dengan Aditya. Apa pun protesnya dan apa pun yang dikatakannya sehubungan dengan rencana keluarganya yang akan segera melamarku, pendirianku tetap teguh tak tergoyahkan. Aku tidak ingin lagi berhubungan dengan laki-laki itu. Cukup sampai sekian saja keterikatan kami. Titik.
Begitulah, aku sedang dalam keadaan menjomblo alias kosong saat mengurus cutiku guna memenuhi permintaan Aryanti untuk berlibur di rumahnya. Kedua orangtuaku yang mengetahui penyebab putusnya hubunganku dengan Aditya merasa senang aku mau menghabiskan cutiku bersama Aryanti di Jakarta.
Sudah saatnya kau mencari suasana lain, Retno. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kepahitan, begitu ibuku berkata.
Ya. Di dunia ini bukan cuma Aditya saja satu-satunya lelaki, Bu, jawabku dengan gagah. Lagi pula kebahagiaan dan masa depanku tidak ditentukan oleh keberadaan laki-laki seperti Aditya.
Kau betul, nduk. Ibu setuju pada pendapatmu, katanya. Masa depanmu ada di tanganmu sendiri kok.
t . c Sama seperti manusia di mana-mana, laki-laki ataupun perempuan, aku juga seorang pribadi otonom yang mempunyai hak untuk menentukan diriku sendiri dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Keberadaanku sebagai individu tidak tergantung pada siapa pun. Itulah yang selalu kusadari. Aku sangat tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa perempuan atau istri berada di bawah superioritas laki-laki. Aku juga tidak setuju pada ajaran yang mengatakan bahwa istri harus menempati posisi subordinat sehingga menyang swargo nunut, menyang neroko katut . Seolah perempuan sangat tergantung pada laki-laki dan tidak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu atas nama dirinya sendiri. Suami ke surga, istri hanya ikut saja dan kalau sang suami masuk neraka, maka sang istri terbawa. Memangnya barang"
Ya, Bu, begitu kutanggapi perkataan ibuku tadi. Masa depanku ada di tanganku sendiri.
Jadi, pergilah ke Jakarta dan nikmati liburanmu di rumah Yanti. Penuhi keinginannya untuk bersama-sama denganmu lagi seperti di masa lalu, kata ibuku lagi.
Maka begitulah hari pertama cutiku aku langsung terbang ke Jakarta. Yanti memaksa untuk membiayai perjalananku.
Naik kereta api terlalu lama, Retno. Aku ingin segera bertemu denganmu.
Aku kenal betul siapa Aryanti. Dalam hal-hal tertentu, dia sukar dibantah. Tetapi bukan karena itu aku mau memenuhi segala kemauannya, melainkan karena aku mendengar lagi nada kesepian itu dari mulutnya.
t . c Bagiku, hal itu agak aneh. Jakarta adalah tempat kelahirannya. Di kota itu kedua orangtua dan saudarasaudaranya tinggal. Di kota itu pula teman-teman lamanya berada. Dan terutama di sanalah ia tinggal bersama suaminya.
Namun apa pun pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku, aku hanya menyimpannya sendiri. Bahkan aku tak mau memikirkannya terlalu jauh, sebab mungkin saja aku keliru mengartikan kerinduannya untuk bertemu denganku. Lebih-lebih kalau diingat aku dan Aryanti telah bersahabat karib selama dua belas tahun dengan keakraban yang berkualitas. Hubungan kami harmonis dan berada dalam situasi ketersalingan yang memperkaya masing-masing pihak. Jadi mungkin saja selama hampir satu tahun ini Aryanti merasa kehilangan seseorang yang selama ini sehati dan sejiwa dengannya.
Karena pikiran itulah ketika turun dari mobil Aryanti yang menjemputku di bandara, perasaanku terganggu oleh apa yang kusaksikan saat kedua belah kakiku menapaki halaman rumah besarnya itu. Di teras depan istana emas yang luas, teduh, dan tampak cantik dengan pot-pot besar berisi macam-macam tanaman, di antaranya gelombang cinta yang tingginya nyaris mencapai atap, aku melihat Aryanti berdiri di depan pintu, menungguku. Wajahnya tampak berseri-seri saat melihat kedatanganku.
Retno& Ia menyebut namaku dengan hangat, menyiratkan kerinduannya.
Untuk beberapa detik lamanya aku tertegun, tidak
t . c segera berlari menghambur ke pelukannya seperti yang kubayangkan selama perjalanan dari bandara tadi. Aryanti yang kulihat sekarang berbeda dengan Aryanti yang selama ini kukenal. Wajahnya memang tampak lebih cantik. Tetapi bukan itu yang menyebabkan perasaanku terganggu. Rambutnya terlalu rapi untuk dia yang biasa membiarkan rambutnya diburai angin nakal. Rias wajahnya membuat kulit mukanya tampak halus dan ranum. Tentu saja itu karena make up-nya yang sempurna. Pakaiannya bagus, terbuat dari bahan berkualitas. Pasti mahal kendati potongannya sederhana. Dan pada pergelangan tangannya terlilit gelang emas bertatah berlian, sama seperti perhiasan yang ada di sepasang telinganya. Sementara itu kakinya bertumpu pada selop tinggi dengan model yang mempercantik kakinya yang berbentuk indah. Pendek kata, semua yang ada pada diri Aryanti tampak serba pas dan sempurna.
Namun seperti yang sudah kukatakan tadi, perasaanku justru terganggu oleh apa yang tertangkap pandang mataku, sebab yang kulihat itu bukan Aryanti seperti yang kukenal selama ini. Aryanti yang kusaksikan sekarang adalah perempuan muda cantik, yang jika dilihat sepintas lalu saja orang akan mengerti bahwa dia orang kaya yang tahu menempatkan semua yang melekat pada tubuhnya secara pas. Tidak kurang tidak lebih. Bagus. Sangat bagus, malah. Cocok dengan istana emas tempatnya tinggal.
Tetapi sekali lagi, bukan seperti itulah Aryanti yang kukenal. Sebab sama seperti diriku, dia juga suka me-
t . c makai pakaian yang biasa-biasa saja tetapi enak dipakai dan enak dilihat, membuat orang tidak merasa segan untuk berpapasan dengan kami jika berjalan di tempat yang ramai. Mereka tidak perlu merasa khawatir akan mengusutkan pakaian kami. Oleh karena itulah aku pangling melihat penampilan Aryanti yang tidak seperti biasanya itu.
Retno..., kudengar lagi bibir Aryanti mendesahkan namaku.
Mendengar suara itu lagi, batinku langsung terketuk. Maka kubuang jauh-jauh rasa asing yang sempat menyelinap di hatiku dan aku segera terbang ke arahnya. Kami pun berpelukan.
Kalau ada yang menyaksikan kami berdua sedang berpelukan seperti itu, aku yakin dia akan melihat dua perempuan muda yang serba bertolak belakang sedang melepas kerinduan dengan penuh keakraban. Bagaimana tidak" Saat itu rambutku yang agak berantakan setelah dipermainkan angin ketika turun dari pesawat tadi kubiarkan saja tanpa kusisir lagi. Pakaianku serba santai. Kukenakan celana jins ketat dengan atasan kaus yang mencetak tubuh. Di belakangku tergantung tas punggung kecil sebagai ganti tas tangan, sementara sepatu yang kukenakan juga bukan sepatu lady sehingga keseluruhan diriku mengesankan serbasantai dan sederhana. Sangat berbeda dengan penampilan Aryanti yang serba wah dan sempurna itu.
Kau pasti pangling melihatku ya& " Aryanti berbisik di sisi telingaku, merenggutku dari pengembaraan lamunanku. Hm, rupanya dia mengetahui perasaanku.
t . c Tidak. Kau tetap secantik yang kubayangkan, Yanti. Bahkan lebih cantik...
Jangan menjawab pertanyaan yang tidak kutanyakan, Aryanti memotong perkataanku sambil melepas tubuhnya dari pelukanku, kemudian tertawa lembut menatapku. Kau pasti tahu maksud pertanyaanku tadi. Jadi ayolah, hatiku masih seperti yang dulu. Kau boleh bicara apa saja dan berterus terang apa pun seperti biasanya....
Yah, kau memang tampak lain...
Sehingga membuatmu agak tertegun-tegun saat melihatku tadi, kan" Aryanti menyela bicaraku lagi. Mengaku sajalah, Retno.
Iya sih. Aku tersipu, mengakui apa yang dikatakannya itu.
Pasti ada alasannya. Katakan saja. Toh aku sudah tahu apa yang ada di hatimu. Aryanti tertawa lagi. Yah, kau& kau seperti...
Boneka Barbie ya" Atau boneka yang ada di etalase butik" lagi-lagi Aryanti memotong bicaraku. Dan lagilagi pula dia tertawa.
Seharusnya aku merasa lega melihatnya berulang kali tertawa. Prasangka burukku tidak terbukti dan Aryanti tampak bahagia. Tidak mengalami kesepian seperti yang kusangka. Tetapi, tidak. Aku masih lebih memercayai intuisiku daripada apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Senyum perempuan itu tidak menembus ke lubuk hatinya yang terdalam. Aku yakin itu. Namun kali ini aku tidak ingin masuk ke dalam pembicaraan yang serius. Belum saatnya.
t . c Ya, boneka Barbie yang cantik, kataku mengikuti arah angin yang diembuskan Aryanti tadi. Tetapi bukan itu masalahnya. Aku cuma merasa heran, kau bisa tampil beda dengan kebiasaanmu selama ini. Aku kenal betul siapa dirimu, Yanti. Meskipun kita berbeda dalam banyak hal, tetapi dalam hal penampilan dan berpakaian, kita sama. Tak suka terlalu modis kalau tidak sangat perlu. Ribet dan tak bebas. Ya, kan"
Ya, memang.... Senyum Aryanti lenyap dengan seketika. Tetapi Mas Yoyok ingin aku selalu tampak rapi dan enak dipandang mata. Alasannya, kalau ada tamu atau anak buahnya datang ke rumah, aku bisa tampil sebagaimana layaknya istri bos.
Itu bukan masalah, Yanti. Asalkan hatimu merasa senang dan ikhlas demi suami, cukuplah.
Aryanti menatapku beberapa saat lamanya baru kemudian menanggapi perkataanku.
Susahnya, Retno, hatiku tidak senang. Capek aku kalau harus mengikuti kemauan Mas Yoyok, katanya kemudian. Suaranya terdengar lelah. Aku sudah mengikuti sarannya untuk kursus ini dan kursus itu. Di antaranya kursus keluwesan dan kursus merias wajah. Sulit mengelak dari apa yang dimauinya itu. Tetapi yah, demi suami aku menuruti saja apa maunya meskipun aku tidak suka.
Tambah pengalaman dan pengetahuan apa pun isinya, pasti menyenangkan. Ya, kan"
Tetapi apa senangnya sih menjadi boneka Barbie" Otonomi pribadiku seakan terpasung oleh kehendak di luar diriku.
t . c Aku menahan napas. Belum lagi seperempat jam aku bertemu dengan sahabatku ini, tetapi ia sudah menumpahkan ganjalan perasaannya. Namun dengan begitu, aku semakin yakin bahwa prasangkaku memang benar. Aryanti merasa tak nyaman menjadi pendamping seorang bos. Kebebasannya terpasung. Aku tahu betul sifat Aryanti. Sama seperti diriku, dia juga tidak suka dirinya diatur-atur hanya untuk hal-hal yang bukan prinsip.
Tetapi aku tidak mau menambah beban perasaannya. Maka sambil berjalan masuk ke rumah yang kunamakan istana emas itu kuajak dia untuk berpikir netral dan objektif. Sementara itu seorang pembantu rumah tangga yang keluar dari pintu samping, langsung mendorong koper dan bawaanku yang lain masuk ke dalam rumah melalui pintu tempat dia keluar tadi. Dia pasti sudah tahu mana kamar yang akan kutempati selama menginap di sini.
Jangan terlalu berlebihan menilai sesuatu, Yanti. Pasti Mas Yoyok tidak bermaksud mengendalikan dirimu. Aku yakin itu, kataku, mengalihkan kembali perhatianku kepada Aryanti. Dia hanya ingin melihat istrinya selalu tampak oke di mata orang banyak. Terutama di kalangan pergaulannya. Kurasa itu wajar. Kan demi untukmu juga. Bagi teman-teman Mas Yoyok, kau pasti memiliki citra tersendiri.
Ya, citra yang bukan citra diriku yang paling mendasar. Alias, citra tempelen belaka. Aryanti mendengus. Air mukanya tampak keras.
Sudah kukatakan tadi, jangan memandang sesuatu
t . c secara berlebihan. Biarkan sajalah semua itu mengalir seperti apa adanya. Ikuti saja alirannya. Dalam kehidupan bersama orang lain, acapkali kita memang harus bisa menurunkan idealisme yang ada di ubun-ubun kita agar bisa bersekutu dengan realitas yang ada di hadapan mata. Cari saja hikmah yang ada di baliknya. Pasti ada .
Yah& mungkin kata-katamu itu ada benarnya, Retno. Suara Aryanti mulai terdengar pelan. Air mukanya juga tampak melembut.
Ada benarnya atau tidak, yang penting kau harus bisa bersikap lebih kompromis. Kalau tidak, kau sendiri yang akan terbentur-bentur saat menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan kata hatimu.
Aryanti mengangguk. Akan kucoba. Ia mendesah pelan. Kemudian diam. Kesempatan itu kupakai untuk mengalihkan pembicaraan. Tak enak rasanya, baru datang sudah membicarakan hal-hal yang sensitif.
Yanti, tebaklah, aku bawa oleh-oleh apa untukmu"
Bakpia" Ya, oleh-oleh khas Yogya itu pasti ada. Tetapi ada yang lebih khusus lagi. Apa, hayo"
Wajik Magelang kesukaanku. Ah, aku jadi ingat masa lalu. Kulihat mata Aryanti mulai berseri-seri. Hatiku tersentuh melihatnya.
Seperti diriku, ada sebersit kenangan manis yang singgah di benak kami tentang apa yang pernah kami untai bersama dulu. Setiap kali libur semester, kami
t . c berdua selalu mencari oleh-oleh buat keluarganya di Jakarta. Apa pun oleh-oleh yang dipilih Aryanti, selalu merupakan kesukaannya, sehingga sering kugoda dia, mau membeli oleh-oleh untuk keluarganya atau untuk dirinya sendiri.
Wajik Nyonya Week juga kubawa meskipun aku membelinya di Yogya. Aku tertawa, teringat masa lalu. Aku memang membawa beberapa makanan kesukaan Aryanti untuk menyenangkan hatinya. Masih ada dua lagi oleh-olehku yang belum kausebut. Tebaklah. Geplak"
Bukan. Kau kan tidak begitu menyukainya. Aryanti menelengkan kepalanya, menatap mataku sesaat lamanya. Kemudian tertawa.
Aku tahu, kau membawa serundeng pedas. Aduh, aku kangen sekali ketan urap serundeng pedas, serunya. Ya, kan"
Ya, betul. Aku tersenyum.
Nanti akan kusuruh Popon membeli ketan yang bagus, yang pulen, Aryanti berkata dengan penuh semangat. Aku suka ketan.
Aku juga suka. Sore-sore habis mandi, makan ketan urap serundeng pedas, pasti nikmat rasanya. Minumnya serbat wangi.
Ada serbat wangi" Ada dong. Aku bawa juga. Jadi sudah empat macam oleh-oleh yang kaubawakan untukku. Semuanya serba-asyik. Aryanti tertawa lagi. Senang hatiku bisa membuatnya tertawa lepas. Seperti dulu.
t . c Serbat wangi sih bukan oleh-oleh. Aku cuma mengangkutnya dari simpanan Ibu. Dari tempat itu, aku juga mengambil permen tape ketan milik Ibu. Tetapi bukan itu oleh-oleh yang sengaja kubeli untukmu. Ayo tebak, apa"
Apa, ya" Gudeg"
Salah. Kau tidak suka gudeg Yogya yang manis, kan" Lidah Jakarta-mu lebih suka gudeg yang dibuat di sini karena tak terlalu manis. Jadi tentu saja aku tidak membawa gudeg untukmu.
Ah, aku menyerah. Apa sih yang kaubawa" Aryanti menatapku dengan tidak sabar.
Sejak tadi yang kaupikirkan cuma makanan sih, jadi kau tidak bisa menebaknya, sahutku sambil nyengir. Padahal yang kubawa adalah blus batik. Kau pasti menyukainya. Aku tahu seleramu. Sutra, lho. Aduh, itu kan mahal.
Masih lebih mahal tiket pesawat pulang-pergi yang kaubelikan untukku, Yanti.
Wah, kok jadi hitung-hitungan begitu sih! Habis kau yang mulai lebih dulu. Aku cuma mau menyenangkan hati sahabatku yang hampir setahun tak bertemu, sahutku tulus.
Lagi-lagi Aryanti tertawa. Tetapi kali ini disertai ciuman sayang di pipiku.
Aku benar-benar kangen padamu, katanya kemudian sambil mengembuskan napas senang. Puas sekali hatiku, kau mau menghabiskan cutimu bersamaku di sini.
Aku juga senang bisa bersamamu lagi.
t . c Kalau begitu sering-sering ke sini, Ret. Tidak usah menunggu cuti. Kalau ada libur yang berdekatan dengan hari Minggu, datanglah ke sini. Aku yang akan membayari tiketmu.
Oke. Tetapi biarkan aku sendiri yang membayar tiketnya.
Karena aku yang memintamu datang, maka aku yang harus membayar tiketmu. Titik. Aryanti menatap mataku dengan serius. Jangan membantah untuk urusan kecil begini, Retno.
Baiklah. Kalau hal itu membuat Aryanti merasa senang. ya sudah. Uangnya yang banyak pasti tidak akan terasa berkurang kalau hanya untuk membeli tiket pesawat terbang pulang-pergi bagiku.
Begitulah aku dan Aryanti mengobrol berlama-lama untuk memuaskan kerinduan kami berdua. Bahkan usai makan siang, dia masuk ke kamar tidur yang disediakan untukku dan kami melanjutkan mengobrol sambil tiduran. Ada-ada saja yang kami bicarakan dan ada-ada saja yang kami tertawakan. Tetapi ketika jam menunjuk pukul lima lebih, tiba-tiba suasana mulai berubah. Wajah Aryanti berubah menjadi lebih serius.
Aku harus mandi sekarang, Retno. Sebentar lagi Mas Yoyok datang. Istirahatlah dulu. Mudah-mudahan ketannya sudah matang. Habis mandi, kita bisa makan ketan urap serundeng pedas di teras belakang, kata Aryanti sambil turun dari tempat tidur. Setuju" Oke, sahutku.
Kutatap punggung Aryanti yang sedang berjalan menuju pintu dengan perasaan yang mulai terganggu
t . c lagi. Entah, seperti apa kehidupannya sekarang, aku tidak tahu. Tetapi rasa-rasanya seperti ada yang kurang beres. Aku harus bisa mengetahui apa yang tidak beres itu. Aku tak bermaksud apa-apa selain membantu Aryanti agar ia mampu menjalani kehidupannya dengan hati yang damai.
t . c S ORE-SORE setelah mandi aku dan Aryanti duduk
berdua lagi. Kali ini kami berada di teras belakang rumahnya. Teras yang lebar dan teduh dengan seperangkat kursi rotan halus yang nyaman diduduki karena joknya didesain sedemikian rupa untuk duduk bersantai. Kami duduk menghadap ke halaman luas yang tertata dengan indah dan terasa asri. Di atas meja, terdapat sepiring ketan urap serundeng pedas dan dua cangkir serbat wangi panas yang aromanya mengambang di sekitar kami.
Di ujung halaman, di balik perdu dan pilar-pilar yang disandari tanaman hias berbunga-bunga ungu dan pink yang terlihat dari tempat dudukku, terdapat anak tangga menuju ke halaman lain yang lebih rendah. Di sana terdapat kolam renang berikut fasilitasnya. Siang tadi waktu berkeliling rumah bersama Aryanti sambil mengobrol, aku sempat melihat kursi-kursi malas untuk berbaring bagi mereka yang ingin beristirahat sesudah
Dua t . c berenang. Aku juga melihat semacam pendopo luas dengan meja bar di sudutnya, berikut lemari pendingin berisi berbagai macam minuman ringan serta beberapa perangkat kursi. Kelihatannya, tempat itu biasa dipakai untuk pesta taman karena aku melihat pemanggang barbecue berukuran besar di situ. Kemudian juga kulihat kamar mandi mewah di sudut halaman untuk mereka yang ingin membilas tubuh sesudah berenang. Sungguh, rumah ini layak disebut sebagai istana emas. Serba ada dan serba mewah.
Kau sering berenang di situ, Yanti" aku bertanya hanya sekadar mengisi pembicaraan saja. Setelah mandi sore dan memakai pakaian yang rapi dan make up yang memperjelas kecantikannya, Aryanti tampak tak seriang tadi ketika kami mengobrol di kamarku. Isi pembicaraan kami juga terasa lebih serius. Nyaris tidak ada canda dan tawa seperti tadi lagi.
Hanya sesekali saja aku berenang di situ. Itu pun untuk menemani istri teman-teman bisnis Mas Yoyok yang datang ke sini, jawab Aryanti atas pertanyaanku tadi.
Mereka sering membicarakan bisnis di sini" Kuajukan pertanyaan itu untuk mengetahui apa saja kesibukan Aryanti setelah menjadi istri seorang pengusaha sukses seperti Mas Hardoyo.
Tidak terlalu sering. Kau menyukai kehidupan seperti itu, Yanti" Mendengar pertanyaanku Aryanti menatapku sekilas, kemudian tersenyum. Senyum yang terasa hambar.
t . c Kira-kira bagaimana, menurutmu" Bukannya bertanya, Aryanti malah membalikkan pertanyaan kepadaku.
Wah, mana kutahu" aku mencoba mengelak. Tetapi setidaknya pasti ada sesuatu yang muncul di hatimu. Kalau tidak, tak mungkin kau bertanya seperti itu kepadaku. Aku kenal dirimu dengan baik, Retno. Jadi..."
Jadi katakan saja apa yang kaulihat, kaudengar, dan kaupikirkan mengenai kehidupanku.
Aku tidak ingin segera menjawab pertanyaan Aryanti. Maka kubiarkan saja pertanyaannya mengambang di udara. Tetapi sahabatku rupanya tidak puas oleh sikapku. Ia mendesakku lagi.
Retno, aku ingin tahu apa pendapatmu! Suaranya terdengar mengandung tuntutan.
Jangan mendesakku, Yanti.
Aku tidak mendesakmu, Retno. Aku hanya ingin mendengar kejujuranmu. Aryanti mengerucutkan bibirnya ke arahku. Kebiasaan lamanya sebagai gadis manja, muncul.
Yanti, aku baru saja datang hari ini, jadi belum melihat dan mendengar banyak mengenai bagaimana kehidupanmu sehari-hari. Kalau kau memang ingin mengetahui pendapatku, tunggulah dalam sehari dua hari ini..., aku masih mencoba mengelak.
Aku justru ingin mengetahui pendapat dan kesan pertama yang kaudapat dari yang sedikit itu, Retno. Ayolah, jangan pelit-pelit. Aku tidak apa-apa kok. Cuma sekadar ingin tahu saja.
t . c Aku melihat ke arah Aryanti sejenak, baru kemudian menjawab pertanyaannya.
Baiklah, sahutku, terpaksa. Secara sepintas aku melihat kau masih berada dalam proses penyesuaian diri dengan kehidupan barumu yang serba wah. Maaf, kalau aku salah.
Kenapa mesti minta maaf sih. Apalagi yang kaukatakan itu benar, sahut Aryanti. Cuma saja kau tidak mengatakan dengan terus terang tentang lamanya proses adaptasi yang belum selesai kulalui, padahal hampir sepuluh bulan lamanya pernikahanku dengan Mas Yoyok berjalan. Aku berani taruhan, kau pasti memikirkan hal itu. Mengaku sajalah.
Ya, kuakui itu. Tetapi sebagai sahabatmu, aku bisa memahami dirimu kenapa proses itu berjalan lambat. Kenapa menurutmu"
Karena kau belum pasrah, Yanti.
Ya... memang begitu. Aku bahkan sering merasa tertekan. Tidak mudah bagiku memasuki dunia gemerlap yang selama ini berada jauh dari kehidupanku. Kau tahu kan, aku tidak menyukai cara pandang dengan sentral dan tolok ukur pada kemewahan, harta, uang, kedudukan, jabatan, dan kesuksesan. Tetapi itulah tolok ukur di lingkup pergaulan Mas Yoyok, dan sekarang menjadi lingkup pergaulanku juga. Orang yang dinilai sukses adalah orang yang berhasil mengumpulkan harta, dan seterusnya. Kan itu tidak tepat. Kadangkadang& aku merasa telah salah melangkah masuk ke dunia yang bukan duniaku.
Kalau kau sadar mengenai hal itu, gampang
t . c mengatasinya. Bersahabatlah dengan realita yang ada, jangan menentangnya, kataku. Memasuki suatu dunia yang bukan dunia kita, tidak harus dengan penolakan bahwa kita tak bisa menyatu di sana. Paling tidak, pahami sajalah agar kau tidak merasa tertekan.
Baiklah, Retno, saranmu akan kucoba. Aryanti mendesah pelan. Terima kasih.
Kuusap lengannya dengan lembut.
Kau pasti bisa, kataku kemudian. Ingatlah bahwa tidak semua yang kita inginkan atau kita cita-citakan, bisa tergapai. Aku tahu seperti apa impianmu tentang kehidupan perkawinan. Bahwa sekarang seperti ini yang kauhadapi, terimalah itu dengan ikhlas. Kalau tidak, kau sendiri yang akan terbentur-bentur. Lagi pula, bukankah tidak ada orang yang memaksamu untuk memasuki kehidupan seperti ini" Kau sendiri yang telah memilihnya.
Ya, kau benar. Suara Aryanti terhenti oleh suara langkah kaki dari arah dalam rumah. Kepalaku dan kepala Aryanti secara serentak menoleh ke arah asal suara. Dari dalam, Mas Yoyok muncul dan mulai menapaki teras, melangkah menuju ke tempat aku dan Aryanti sedang berbincangbincang.
Lho, sudah pulang tho, Mas. Aku tidak mendengar suara kedatanganmu, kata Aryanti, menyambut sang suami. Tumben pulang cepat.
Kan di rumah ada tamu dari jauh, sahut Mas Yoyok sambil mendekat ke arahku dan mengulurkan tangannya padaku. Apa kabar, Jeng Retno"
t . c Baik, Mas. Tetapi tolong, panggil namaku saja. Tidak usah pakai jeng-jeng-an segala. Seperti orang tua, sahutku sambil tertawa. Kusambut jabat tangannya. Genggamannya terasa tegas dan pasti.
Aku bertemu Mas Yoyok baru beberapa kali. Seingatku, laki-laki itu termasuk laki-laki yang gagah, tinggi, cukup ganteng, dan selalu tampil prima. Tetapi sekarang aku menangkap air muka yang terlalu serius dan tampak lebih tua daripada usianya. Dari pengalamanku bergaul dengan banyak orang, laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun lebih pantas memakai pakaian yang ringan, kecuali kalau sedang dalam pertemuan resmi. Tidak seperti Mas Yoyok dengan pakaian beratnya, setelan jas berwarna gelap dan bersepatu kulit. Apalagi air mukanya tegang. Orang-orang seperti dia bisa kehilangan keceriaan masa muda kalau terlalu lama berada dalam situasi serius saat melayari kehidupannya.
Jika dilihat secara sepintas, Mas Yoyok tidak ada bedanya dengan laki-laki sukses lainnya, terutama yang umurnya di atas usianya. Tidak ada yang istimewa padanya. Kerapihan, ketampanan, dan pakaiannya yang rapi dan terbuat dari bahan pilihan itu bukan monopoli dirinya saja. Ada banyak eksekutif muda berpenampilan seperti dia. Namun menurut pandang mataku yang cukup jeli, aku sempat melihat perbedaannya dari yang lain. Pertama, Mas Yoyok tampak lebih tua daripada umurnya. Kedua, aku menangkap sorot mata yang tajam memancar, yang menurut pengalaman menunjukkan otak yang cerdas dan keseriusan dalam menangani
t . c pekerjaan. Ketiga, jabat tangannya yang tegas, kuat, dan tanpa sikap canggung barang secuil pun itu menyebarkan kesan bahwa ia orang yang mampu menguasai keadaan, tahu bagaimana memimpin, dan berani mengambil keputusan keputusan besar. Keempat, Mas Yoyok termasuk orang yang terlalu serius menghadapi segala hal yang ada di hadapannya sehingga penampilannya kurang sesuai dengan usianya yang masih muda. Seperti sekarang ketika menghadapi diriku, misalnya, aku menganggapnya kurang santai, kurang familiar, dan sikapnya terlalu formal untuk sahabat karib istrinya sendiri. Bukankah ini di dalam rumahnya sendiri, bukan di kantor atau di ruang-ruang publik yang mungkin saja mengharuskannya bersikap tertentu.
Oke, kalau Retno maunya begitu, aku akan memanggilmu dengan nama saja, begitu Mas Yoyok menanggapi perkataanku tadi tanpa basa-basi. Yah, seperti genggaman tangannya, bicaranya pun sama tegas dan jelasnya. Bagaimana keadaan orangtuamu di Yogya" Mereka baik-baik juga. Terima kasih. Jam berapa tadi tiba di rumah ini" Sambil bertanya seperti itu, Mas Yoyok mulai duduk di dekat pilar.
Sekitar jam sepuluh, Mas.
Berarti sudah setengah harian lebih berada di sini. Bagaimana perasaan Retno" Senang"
Tentu saja senang. Hampir satu tahun aku tidak berjumpa dengan Yanti. Padahal dulu ketika masih sama-sama tinggal di Yogya, setiap saat kami bertemu. Waktu masih SMA, kami sering belajar bersama.
t . c Begitupun ketika kuliah, kami juga sering belajar dan jalan sama-sama. Mencari camilan di Malioboro, misalnya. Tetapi sekarang, tempat tinggal kami berjauhan sehingga sama-sama merasa kehilangan. Tentu saja perjumpaan ini sangat menyenangkan, Mas.
Begitu, rupanya. Tetapi bagaimana dengan rumah ini" Senang berada di sini" Kudengar ada nada bangga tersirat dalam suaranya. Aku menangkap suara anak muda di dalam pertanyaan Mas Yoyok. Dengan perkataan lain, betapa pun penampilan tua yang diperlihatkan Mas Yoyok, tetapi sifat kekanakan yang ada di bawah sadarnya tersingkap juga lewat pertanyaannya. Dia ingin mengetahui tanggapanku mengenai rumahnya, rumah yang ia bangun dengan hasil keringatnya sejak masih usia muda. Sebenarnya hal yang wajar jika seorang anak muda merasa bangga atas hasil besar yang dicapainya.
Sayangnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan Mas Yoyok itu dengan terus terang. Tak mungkin kujawab bahwa aku tidak suka tinggal di rumah yang telah menyebabkan sahabat karibku merasa tertekan. Jadi aku memilih jawaban yang umum saja.
Tentu saja aku senang berada di rumah ini sebab ada Yanti di dalamnya! aku menjawab diplomatis. Aku tidak mau membuatnya merasa bangga dengan istananya yang mewah dan bagus tetapi yang terlalu angker dan tua untuk penghuninya yang masih muda-muda itu. Namun aku juga tidak ingin sang tuan rumah merasa kecewa. Jadi kujawab saja secara diplomatis meskipun aku ingin mengatakan bahwa istana emas ini tidak
t . c memiliki kehangatan seperti rumah keluargaku dan karenanya aku tidak suka berada di dalamnya. Bahwa sekarang aku ada di sini, itu semata-mata karena sahabat karibku tinggal di sini.
Tiba-tiba aku tersentak sendiri saat kata hangat itu menyelinap di benakku. Aku mulai sadar, mengapa sampai sekarang Aryanti masih belum juga merasa menjadi bagian dari rumah ini bahkan merasa masih berada dalam proses adaptasi yang belum juga usai. Rupanya, masih belum ada kehangatan di dalam hatinya. Aku yakin, kalau kehangatan ada di dalam rumah ini, orang akan mudah merasa kerasan tinggal di dalamnya. Oleh sebab itu menurutku, rumah sebagus apa pun kalau kurang kehangatan di dalamnya, belum layak dinamakan rumah, tetapi lebih tepat disebut bangunan. Dan menurutku pula, rumah ini hanyalah istana emas belaka. Dengan perkataan lain, kalau rumah ini tidak ada Aryanti di dalamnya, aku pasti tidak akan suka tinggal di sini meskipun hanya semalam saja. Kuharap Mas Yoyok menangkap apa yang tersirat dari jawabanku tadi.
Mudah-mudahan Retno senang berlibur di sini, kudengar Mas Yoyok berkata lagi. Suaranya terdengar hambar. Hmm, apakah dia menangkap maksud yang tersirat dari jawabanku tadi"
Ya, mudah-mudahan sajalah, sahutku. Aku merasa Aryanti melirikku dengan tajam. Pasti jawaban-jawabanku atas pertanyaan suaminya tadi kurang disetujuinya. Barangkali saja dia ingin supaya aku memuji-muji rumahnya biar laki-laki itu merasa senang
t . c mempunyai tamu seperti diriku. Tetapi tidak. Aku mau bersikap jujur. Aku tak mau bersikap munaik kendati maksudnya baik. Menurutku, laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun seperti Mas Yoyok, betapapun sukses dan hebatnya dia, mestinya tampil dengan keceriaan dan kebebasan anak muda. Kalaupun harus tampil berwibawa sesuai dengan jabatan dan kedudukannya sebagai pemimpin, biarlah itu ditinggal di kantor saja. Tidak usah dibawa-bawa ke mana-mana. Apalagi sampai ke rumah.
Tetapi tampaknya Aryanti merasa tidak nyaman mendengar obrolanku dengan sang suami. Dia tahu aku tidak menyukai suaminya. Nyatanya cepat-cepat ia memotong pembicaraan dan melemparkan pertanyaan pada Mas Yoyok.
Mas Yok mau minum serbat wangi juga" tanyanya. Ini salah satu oleh-oleh Retno.
Ya. Mas Yoyok mengangguk. Tetapi aku mau mandi dulu.
Aryanti menoleh ke arahku kemudian bangkit dari tempat duduknya.
Sebentar ya, Ret, aku melayani Mas Yoyok dulu, katanya dengan suara pelan.
Aku mengangguk. Kucoba untuk tidak menampilkan wajah tak setuju meskipun hatiku berontak. Lakilaki semuda Mas Yoyok tidak perlu dilayani, menurut pendapatku. Dia masih kuat untuk mengambil sendiri handuknya, menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya, membuat minuman serbat wangi, dan seterusnya lagi. Dia bukan anak kecil. Dia juga bukan orangtua
t . c yang sudah jompo. Dan sekarang ini zamannya orang harus sadar bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam segala hal. Termasuk harkat dan martabat. Seorang istri tidak harus melayani suaminya sampai sedemikian rupa. Kalaupun demikian, harus ada keseimbangan di dalamnya. Suami juga harus bisa melayani istrinya. Keduanya harus sama-sama berusaha saling membahagiakan, saling mendukung, saling berbagi dalam segala hal. Tetapi tampaknya tidak demikian yang terjadi dalam kehidupan perkawinan Aryanti dan Mas Yoyok.
Sepeninggal istrinya, Mas Yoyok juga mulai bangkit dari tempat duduknya, berniat pergi meninggalkan teras belakang yang cantik ini. Tetapi sebelum kakinya melangkah pergi, ia menoleh kepadaku.
Retno sudah berkeliling di rumah ini" tanyanya kemudian.
Sudah. Kudengar dari Yanti, Retno memiliki jiwa seni yang tinggi. Nah, bagaimana pendapatmu mengenai rumah ini" Sudah cukup bagus seperti ini ataukah ada yang harus ditambah atau dikurangi"
Lagi-lagi aku tidak bisa segera menjawab karena tidak enak kalau harus menjawab dengan terus terang dan apa adanya. Melihatku terdiam, Mas Yoyok tidak jadi melangkah pergi. Ia memandangku dengan tatapan tajam.
Sepertinya ada yang kurang menurut penilaian Retno, tetapi sungkan untuk mengatakannya dengan terus terang, katanya kemudian. Betul, kan"
t . c Aku hanya tidak ingin mengecewakan perasaan orang. Lagi pula, Mas Yoyok harus ingat bahwa masalah selera, tiap-tiap orang bisa berbeda satu sama lain, sahutku berdalih.
Tetapi toh ada ciri-ciri kesamaan yang lebih umum sifatnya.
Iya sih& . Jadi secara umum, bagaimana pendapat Retno mengenai rumah ini" dia bertanya lagi.
Wah, kelihatannya Mas Yoyok benar-benar ingin tahu apa pendapatku mengenai istana emas yang berhasil dibangunnya ini. Baiklah, aku akan menjawab apa adanya seperti yang dimauinya& .
Secara umum, tempat ini nyaris sempurna, jawabku kemudian dengan perasaan terpaksa. Serba-ada dan segala sesuatu yang terdapat di sini berada pada tempatnya yang tepat.
Mendengar penilaianku, Mas Yoyok tersenyum senang. Melihat itu aku malah merasa kesal sebab jawabanku itu tidak untuk menyenangkan hatinya, karena memang aku tidak bermaksud demikian. Tetapi tampaknya laki-laki itu tidak menangkap maksudku sebenarnya. Padahal aku ingin agar dia sadar bahwa yang kukatakan nyaris sempurna itu hanya bentuk bangunan isiknya belaka. Bukan rohnya . Jadi kuulangi lagi jawabanku tadi dengan penekanan pada bangunannya.
Tampaknya bangunan ini memang dirancang dengan teliti dan cermat sampai hal yang sekecil-kecilnya. Ya kan, Mas" Dan kelihatan betul bahan-bahan yang dipakai sangat berkualitas dan disesuaikan dengan
t . c kebutuhan dan kegunaannya. Kulihat, bangunan ini bukan hanya tampak indah dan bagus saja hingga sampai ke sudut-sudutnya, tetapi juga merupakan bangunan yang kokoh, kuat, dan meyakinkan, kataku lagi. Disempurnakan pula oleh penataan taman yang asri dan sedap dipandang mata.
Tampaknya Mas Yoyok mulai menyadari adanya udang di balik batu dari jawaban-jawabanku tadi.
Retno hanya menjawab tentang bangunan rumah ini secara isik, padahal yang kutanyakan adalah keseluruhan rumah ini, termasuk berbagai perlengkapan dan perabotannya.
Semua serba-oke kok, Mas. Kalau semua itu merupakan pilihan Mas Yoyok, itu artinya Mas juga mempunyai jiwa seni yang tinggi. Tetapi kalau semua itu merupakan hasil sentuhan ahli-ahli terkait, termasuk penata halaman dan taman, Mas Yoyok telah melakukannya dengan benar karena meminta bantuan kepada orang yang tepat. Apalagi sedikit atau banyak pasti Mas Yoyok punya andil dalam pilihan-pilihan perlengkapannya.
Ya, memang. Tetapi... Alis mata Mas Yoyok terjungkit ke atas. Matanya menatapku lagi dengan tajam. Katakan sajalah. Aku yakin masih ada kalimat dengan awal kata tetapi yang masih belum terucapkan. Penilaianmu belum tuntas terungkap semua, kan"
Jujur, memang ada. Tetapi tidak akan kukatakan sekarang karena aku kan baru setengah hari lebih di sini. Besok-besok saja ya kalau Mas Yoyok ingin mengetahui pendapatku, sahutku mengelak.
t . c Pasti penilaian itu bukan positif sifatnya.... Aku tersenyum sekilas.
Tidak usah dibahas sekarang, Mas. Kesan pertama kan bisa saja keliru. Makanya aku tidak akan mengatakannya sekarang, sahutku. Nah, silakan lho, Mas, kalau mau mandi atau beristirahat.
Baiklah. Aku mandi dulu. Silakan.
Beberapa jam kemudian setelah selesai makan malam, kami bertiga duduk di ruang keluarga menonton televisi sambil mengobrol macam-macam. Selama mengobrol, aku mencoba mencermati sikap pasangan suami-istri itu. Terus terang aku cukup terkejut melihat sikap Aryanti yang tiba-tiba tampil sebagai perempuan yang asing bagiku. Aneh rasanya karena kelincahan, canda ria, dan ceplas-ceplos bicaranya yang dulu ada padanya, bahkan yang juga mewarnai obrolan kami berdua di sepanjang siang hingga sore tadi, petang ini nyaris tak tampak lagi. Ada kehatihatian yang kutangkap dari sikap dan bicaranya. Kebebasannya seperti terpasung, entah oleh apa dan mengapa demikian, aku tidak tahu. Aryanti seperti memakai topeng dan tabir yang selama ini tidak pernah kulihat, terutama jika sedang bersamaku. Sulit sekali aku menerima keadaan seperti itu Asing rasanya. Di manakah Aryanti-ku yang selama dua belas tahun kukenal dengan baik itu"
Namun di atas semua itu, hal yang paling tidak kusukai, bahkan membuatku jadi merasa prihatin, adalah sikap Aryanti yang kadang-kadang dibuat-buat dan
t . c tampaknya hanya demi menyenangkan suaminya. Ada apa sebenarnya" Lalu seperti apa sesungguhnya perkawinan mereka" Sampai umurku dua puluh tujuh tahun begini, aku selalu menyaksikan kehidupan perkawinan yang harmonis di sekitarku. Baik itu di dalam rumah tangga kedua orangtuaku, di rumah tangga pamanku, dan sekarang juga di dalam rumah tangga Mbak Diah, kakak perempuanku, maupun di dalam rumah tangga Mas Bayu, kakak lelakiku. Memang, kadang-kadang Mbak Diah mengomel di depan suaminya kalau sedang jengkel. Lalu kadang-kadang ganti suaminya yang mengomel di depan Mbak Diah. Namun dalam waktu yang tidak lama berselang keduanya sudah tertawa-tawa lagi. Sebaliknya, yang kusaksikan di antara Mas Yoyok dan Aryanti tampak rukunrukun dan damai-damai saja. Keduanya bahkan sama-sama saling mengendalikan diri demi menghargai masing-masing pihak di hadapan tamu. Terutama Aryanti. Tetapi aku menangkap kedamaian dan kerukunan mereka itu merupakan kedamaian dan kerukunan yang gersang. Entah di mana letak ketidakharmonisannya, aku belum melihatnya.
Betapapun eratnya hubunganku dengan Aryanti, seharusnya aku tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya bersama Mas Yoyok. Aku hanya orang luar. Pada dasarnya aku juga tidak suka memasuki wilayah yang menyangkut kehidupan pribadi seseorang biarpun dia keluargaku sendiri. Kecuali kalau aku dimintai pendapat. Namun karena melihat hubungan Aryanti dengan suaminya tampak kurang harmonis,
t . c bahkan ada ketidakbahagian yang tersirat dari pancaran wajah dan sikap sahabatku itu, aku ingin campur tangan untuk meluruskannya demi kebahagiaan mereka. Aku tidak akan membiarkan ketidakberesan itu tetap mengambang di antara mereka berdua. Apalagi kalau kuingat sifat-sifat Aryanti yang sudah kukenal baik selama ini, manja dan periang. Juga masih kuingat betul bagaimana mesra dan manjanya Aryanti terhadap kekasihnya dulu. Tetapi mengapa terhadap Mas Yoyok, laki-laki yang telah menjadi suaminya itu, kemesraan dan kemanjaan sifatnya itu tidak tampak barang sedikit pun" Ataukah karena sikap Mas Yoyok yang kurang santai, kurang hangat, dan lebih bersikap seperti bos daripada sebagai suami" Entah apa pun penyebabnya, aku semakin merasa tidak suka pada Mas Yoyok. Menurutku, karena sikap laki-laki itulah maka kebiasaan dan sifat Aryanti jadi berubah. Dan bagiku, itu suatu kesalahan besar.
Namun terhadapku sebagai tamu mereka, Mas Yoyok berusaha menunjukkan keramahannya dan menjadikan dirinya sebagai tuan rumah yang baik. Misalnya, dia mengeluarkan sendiri sekotak cokelat dan kue yang rasanya enak sekali.
Cicipilah, Retno, cokelat Valrhona ini enak sekali. Legit, gurih, dan terasa betul cokelatnya. Aku bawa dari Prancis, begitu antara lain yang dikatakannya. Atau, Kalau kau suka membaca, aku punya satu ruang perpustakaan yang isinya penuh dengan berbagai macam jenis buku. Di ruang itu ada meja dan kursi untuk membaca. Bahkan juga sofa untuk membaca
t . c dengan santai. Jangan khawatir ada kutu atau yang semacam itu di ruang perpustakaanku. Secara berkala aku selalu memanggil orang untuk membersihkan dan melakukan perawatan terhadap buku-buku itu. Suhu sejuk dari alat pendingin ikut menjaga agar buku-buku koleksiku itu bisa awet.
Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku suka membaca, Mas. Pasti aku akan menyelinap ke ruang perpustakaan kalau sudah mendapat izin darimu. Apakah buku-buku sastra juga ada di sana" aku menanggapi apa adanya karena aku memang doyan membaca.
Banyak, Retno. Ada karya sastrawan Inggris, Jepang, Cina, India, Prancis, dan lain sebagainya. Tentu saja buah karya bangsa kita juga ada. Suka" Suka sekali.
Silakan kalau mau membaca-baca di sana. Malam hari pun kalau mau, masuk saja.
Aku memang mencoba untuk mengimbangi keramahan Mas Yoyok, tetapi bukan berarti aku mau saja mengiyakan apa pun pendapatnya hanya demi menyenangkan hatinya. Terutama kalau yang kami bicarakan itu menyangkut nilai-nilai kehidupan. Jadi apabila dia mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan kata hatiku, aku langsung saja membantahnya sehingga kami sering bersitegang dan beradu argumentasi. Memang, ada perbedaan di antara kami, seperti misalnya mengenai aturan-aturan ataupun undang-undang yang dianggapnya baku. Menurut Mas Yoyok, peraturan dibuat untuk dipatuhi. Kuakui itu memang benar, karena hukum dibuat untuk manusia. Tetapi salah, jika terjadi
t . c yang sebaliknya, hanya bertumpu pada hukum semata, karena bisa tidak manusiawi lagi.
Peraturan kan dibuat dengan tujuan demi kebaikan manusia. Oleh sebab itu tidaklah pada tempatnya jika dalam peraturan hukum yang berlaku ada hal-hal yang tidak adil, seperti misalnya undang-undang yang tak berpihak pada kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan sehingga tidak mampu menjadi payung yang melindungi kaum perempuan. Dan itu harus direvisi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hukum tidak bisa diubah, begitu kataku membantah pendapatnya. Jika sudah begitu, adu argumentasi pun menjadi bagian dari pembicaraan kami.
Namun selama kami bertiga mengobrol macammacam, Aryanti tidak banyak mengambil bagian. Dia lebih suka berdiam diri dan menjadi pendengar. Sesekali juga tersenyum, tetapi aku tidak melihat ketulusan dari lekukan di bibirnya itu. Mungkin saja dia merasa tidak nyaman mendengar obrolanku dengan suaminya. Obrolan kami memang kurang menyenangkan. Komentar atau argumentasi Mas Yoyok terhadap apa pun pendapatku, seperti cara seorang bos sedang berbicara dengan bawahannya. Kalau tidak menyadari bahwa obrolan itu hanya sebagai sarana Mas Yoyok yang ingin menampilkan diri sebagai tuan rumah yang ramah, aku pasti akan membalasnya dengan sikap arogan yang sama. Bukan hanya dia saja yang bisa berpendapat dan berargumentasi.
Kurasa, Aryanti yang sudah tahu merah-hijaunya diriku merasa khawatir kalau-kalau aku membalas sikap
t . c Mas Yoyok. Untungnya aku bisa menahan diri untuk tidak merusak suasana.Tetapi kesabaran itu hampir saja tergelincir ketika mendengar bisikan Aryanti kepadaku saat suaminya sedang menerima telepon.
Retno, sejak tadi kau belum mengucapkan terima kasih pada Mas Yoyok atas undangannya berlibur di sini lho, bisiknya di samping telingaku.
Mula-mula aku tertegun mendengar permintaan Aryanti, tetapi ketika aku sadar bahwa menurutnya apa yang diusulkan itu demi kebaikan diriku, minimal agar Mas Yoyok menyukai diriku, aku mengiyakannya saja, padahal aku tidak peduli apakah dia menyukaiku atau tidak. Maka ketika ada kesempatan untuk mengatakannya, aku langsung mengucapkan terima kasihku kepadanya sebagaimana yang diinginkan Aryanti, dan itu hanya demi menyenangkan hati sahabatku. Membuatnya merasa kurang nyaman, harus kuhindari sedapat-dapatnya. Aku merasa kasihan terhadapnya.
Mas Yoyok, aku belum mengucapkan terima kasih kepadamu, begitu aku berkata, mengambil kesempatan yang ada.
Terima kasih untuk apa"
Atas undangan Mas Yoyok dan Yanti agar aku berlibur di sini. Terlebih atas penerimaan Mas Yoyok yang ramah dan hangat, sahutku. Huh, seperti main sinetron saja. Apanya yang hangat"
Oh, itu. Kami juga mengucapkan terima kasih atas kesediaan Retno berlibur di sini bersama kami, terutama dengan Yanti, dan melewatkan begitu saja waktu-waktu
t . c berharga yang semestinya bisa dimanfaatkan di tempat lain.
Usai berkata seperti itu, cepat-cepat Mas Yoyok mengubah isi pembicaraan dengan meminta maaf kepadaku.
Ada sesuatu yang harus saya kerjakan, begitu katanya sambil berdiri. Jadi aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu mengobrol. Mudah-mudahan besok malam aku ada waktu untuk itu.
Silakan saja lho, Mas. Jangan merasa sungkan kalau tidak bisa menemani kami. Aku orang yang tidak suka basa-basi. Jadi kalau Mas Yoyok mau bekerja atau mau tidur atau mau apa pun itu, lakukan saja dengan perasaan enak. Aku tidak mau Mas Yoyok jadi repot karena keberadaanku di rumah ini. Toh yang penting bagiku adalah bisa kangen-kangenan dengan Yanti.
Baiklah. Aku akan bersikap apa adanya, seolah tidak ada tamu di sini. Jadi kita sama-sama enak. Seperti yang sudah mulai kukenal pada diri Mas Yoyok, laki-laki itu suka bicara apa adanya tanpa basa-basi, langsung pada apa yang mau dikatakannya. Bagiku, itu lebih baik. Kami jadi sama-sama bebas untuk tidak terikat pada tata aturan yang bisa menyebabkan timbulnya rasa tak enak dan rasa sungkan.
Terima kasih, Mas. Mas Yoyok mengangguk kemudian beranjak pergi. Aryanti juga bangkit dari tempat duduknya dan mengekor di belakang suami setelah sebelumnya sempat berbisik kepadaku.
Retno, tunggu sebentar ya. Aku ingin menyiapkan
t . c apa-apa yang mungkin dibutuhkan Mas Yoyok, katanya menjelaskan. Nanti kita sambung lagi obrolan kita.
Oke, sahutku dengan suara mengambang. Enak betul Mas Yoyok mempunyai istri seperti Aryanti, yang begitu memperhatikan dia sampai sedemikian rupa.
Kemudian aku mencoba mengalihkan perhatianku pada layar televisi dan menonton apa saja yang tersaji di sana tanpa memilah ataupun memilih. Mudah-mudahan saja ada yang menarik hatiku. Tetapi ternyata pikiranku masih saja tersangkut pada Aryanti. Berbagai macam pertanyaan datang silih berganti menyerbu batinku dengan suatu keprihatinan yang timbul-tenggalam di dalamnya. Sampai sahabatku itu datang kembali, pikiranku masih saja berkutat di seputar kehidupannya.
Untuk melupakan pikiranku yang penuh itu kuperhatikan Aryanti yang sedang sibuk di dekatku. Di tangannya ada satu stoples berisi kacang kulit dan sepiring pisang rebus yang dibawanya dari dalam.
Ini makanan kesukaanmu, katanya sambil tersenyum. Sengaja aku membelinya sendiri ke supermarket, memilih merek kacang kulit kesukaanmu dan mencari pisang kepok yang pas untuk direbus. Tidak terlalu matang dan tidak terlalu mentah. Nah, makanlah selagi masih hangat.
Aku tertawa. Aku sering sekali menikmati makanan seperti ini di Yogya, juga yang pas begini. Tetapi dibeli di Jakarta dan dimakan bersamamu, selalu lain rasanya, kataku.
Untung saja kita sama-sama tahu bahwa kita bukan termasuk golongan perempuan lesbian. Mesra
t . c betul kita ini. Aryanti tertawa mengikik yang menyebabkan aku merasa senang karena selama ada Mas Yoyok di dekatnya, tawa yang kukenal ini nyaris hilang darinya.
Itu karena kita sama-sama merasa senang dapat memuaskan rasa kangen kita. Aku tertawa. Ditambah makanan-makanan kesukaan yang tersaji di depan kita pula .
Eh, omong-omoing nih, Retno, bagaimana pendapatmu mengenai Mas Yoyok" Sekonyong-konyong Aryanti mengubah topik pembicaraan kami. Sialnya aku tidak menyukai pertanyaan itu.
Oleh sebab itu aku terdiam seribu bahasa dengan perasaan bimbang. Harus kujawab dengan terus terang ataukah hanya mengatakan hal yang baik-baik saja mengenai suaminya itu" Tetapi rupanya Aryanti tahu apa yang sedang bergejolak di dalam pikiranku. Dia menolah ke arahku.
Retno, jawablah pertanyaanku dengan penilaian yang sungguh berasal dari hatimu. Jangan mengada-ada meskipun maksudmu baik. Aku tidak akan tersinggung andaikata penilaianmu tentang Mas Yoyok serba minus, sebab yang kuinginkan hanyalah pendapat atau pandanganmu yang sebenar-benarnya terhadap dia, katanya. Kau satu-satunya sahabat sejatiku, Retno. Jadi katakan terus terang kepadaku.
Yah, terpaksalah aku bicara jujur. Aryanti sudah tahu siapa diriku. Jadi percuma saja aku menyembuyikan sesuatu dari dia.
Baiklah, sahutku dengan perasaan enggan yang
t . c kusembunyikan. Menurut pandanganku, karena Mas Yoyok selalu berada di pucuk pimpinan dan menempati posisi teratas, entah itu di kantor atau di perkumpulanperkumpulan lainnya, maka di dalam rumah tangganya pun ia terbiasa bersikap seperti bos. Antara lain terlihat dari sikap dan cara bicaranya yang terkontrol dengan baik, namun di dalamnya termuat kehendak untuk dipatuhi. Dan sikapnya sering mengambil jarak. Tidak mau atau tidak ingin menebar kehangatan dan keakraban yang menurutnya mungkin akan mengurangi wibawanya, sahutku. Mungkin lho ya.
Tetapi kau benar kok. Di dalam keluarga besarnya pun Mas Yoyok juga dianggap sebagai pemimpin mereka. Mungkin karena itu sikapnya menjadi serba-hatihati, agak kaku dan mau mengatur apa saja karena terkondisikan begitu. Meskipun tujuannya baik, tetapi kan tidak semua orang bisa menerima. Tiga sepupunya yang kuliah di Jakarta dan pernah tinggal bersama kami, pergi satu per satu, pindah ke tempat lain. Kecuali Purnomo. Laki-laki itu termasuk orang yang tahan banting. Ia bisa bersikap acuh tak acuh menghadapi Mas Yoyok yang sering otoriter. Dia juga bisa mengikuti arah angin yang ditiupkan oleh Mas Yoyok. Mungkin itu karena pembawaannya yang periang dan suka humor.
Jadi selain kalian berdua, sepupu Mas Yoyok juga ada yang tinggal di rumah ini"
Ya. Sekarang ini dia sedang pergi, disuruh Mas Yoyok menyelesaikan suatu urusan di Jepang, jawab Yanti. Kau pasti menyukainya.
t . c Karena" Karena sifatnya hampir sama seperti dirimu. Tidak suka dipasung dengan berbagai aturan yang berlebihan, seperti yang sering dilakukan oleh Mas Yoyok. Orangnya enak diajak bicara apa saja, santai dan akrab. Mana keren dan ganteng pula, jawab Aryanti sambil tersenyum. Bener!
Ah, kau. Aku tertawa lagi. Tetapi terlepas dari masalah itu, aku memang menghargai orang-orang yang mandiri dan berani mengatakan tidak kalau memang harus menjawab demikian.
Aku bercerita tentang sikap Purnomo itu supaya kau juga bisa menerima dengan lapang dada kalau ada sikap atau perkataan Mas Yoyok yang tidak sejalan dengan pola pikirmu, kata Aryanti lagi. Apalagi sikapnya yang seperti itu tidak hanya ditujukan kepadamu saja.
Tentu saja, Yanti. Jangan khawatir. Seperti biasanya, aku selalu siap untuk bisa mengerti orang, sahutku, mencoba menenangkan perasaannya Nah, kembali ke soal Purnomo tadi, kenapa dia tinggal di sini bersama kalian"
Mas Purnomo berasal dari Surabaya. Ibunya adalah adik ibu Mas Yoyok. Orangtuanya tinggal di sana. Tetapi sejak dia mendapat pekerjaan di Jakarta, dia tinggal di sini bersama kami.
Dia bekerja di perusahaan Mas Yoyok" Ya. Tetapi dia melamar pekerjaan lewat prosedur resmi. Dalam hal-hal seperti itu Mas Yoyok tidak mau tahu karena sudah ada bagian lain yang mengurusnya. Jadi tidak ada istilah sahabat, saudara, atau yang se-
t . c macam itu dalam penerimaan karyawan di perusahaan Mas Yoyok. Yang penting memiliki kemampuan dan kapasitas sesuai SDM yang dibutuhkan perusahaan.
Bagus sekali, itu. Aku angkat jempol untuk suamimu. Meskipun ada banyak hal yang tidak sejalan di antara kami, tetapi dalam hal-hal tertentu seperti yang kaukatakan tadi, aku sangat setuju.
Setidaknya masih ada penilaianmu yang positif mengenai dia, sahut Aryanti sambil tertawa p"lan. Nah, apa lagi penilaianmu terhadap Mas Yoyok"
Untuk sementara segitu dululah, Yanti. Aku masih belum banyak bergaul dengannya dan belum banyak pula kesan yang kutangkap mengenai dirinya, kataku, mengelak. Kenapa sih kau begitu ingin tahu pendapatku"
Karena aku ingin menguji penilaianku terhadap dirinya. Selama ini kita berdua kan mempunyai pandangan yang hampir sama. Jadi aku ingin tahu apakah penilaian kita terhadap Mas Yoyok juga sama.
Aku tidak memberi tanggapan sehingga perempuan itu menoleh ke arahku.
Kok diam" tanyanya kemudian. Sepertinya kau tidak setuju.
Aku cuma merasa ada yang berubah dalam dirimu sehingga tentu saja juga ada cara pandang dan cara menilai yang tidak lagi searah denganku.
Mungkin kau betul. Jadi tolong katakan apa yang berbeda dalam diriku sekarang ini, Aryanti berkata lagi. Kini tersirat tuntutan untuk mendengar jawabanku dari suaranya.
t . c Yah, aku melihat kau sangat mengabdi dan menjunjung Mas Yoyok. Bahkan menurutku, kau begitu mengabdikan diri kepadanya. Sepanjang yang kuketahui, kau bukan tipe perempuan seperti itu. Entah kalau selama ini aku salah menilaimu.
Pipi Aryanti langsung merona merah mendengar komentarku.
t . c K UPEJAMKAN mataku sesaat lamanya. Sekali lagi
dengan terus terang aku melontarkan apa yang ada di benakku.
Aku tidak mengira kau bisa memainkan peranmu sebagai seorang istri dengan baik, kataku memancing.
Itu karena aku diberi pelajaran oleh Ibu sebelum memasuki pernikahan. Katanya, seorang istri harus mendahulukan suami dalam banyak hal. Meskipun kedudukan suami-istri sejajar, tetapi dalam banyak hal seorang istri harus patuh terhadap suami karena dia adalah kepala keluarga. Kerajaan yang dipegang oleh dua raja tidak baik jadinya, kan" Begitupun dua nakhoda di dalam satu kapal bisa menyebabkan hambatan terhadap laju perjalanan. Meskipun ajaran ibuku itu terdengar konservatif tetapi hasilnya memang nyata kualami, Retno.
Misalnya" Kami selalu rukun-rukun saja dan dalam suasana
Tiga t . c yang damai dan tenang. Mas Yoyok sangat menghargai apa pun yang kulakukan untuknya, jawab Aryanti.
Hmm damai yang gersang, menurutku. Kurasa Aryanti pun mengakuinya di dalam hati. Nyatanya, apa yang kupikirkan itu terungkap juga dari bibirnya, seakan hendak mengatakan persetujuan terhadap pendapatku bahwa damai yang dialaminya adalah damai yang memang terasa gersang.
Memang, Mas Yoyok itu termasuk orang yang sulit dipahami, Dan seperti katamu, ia sering mengambil jarak dengan orang lain. Bahkan juga dengan diriku, sehingga aku sering merasa seperti berhadapan dengan orang asing. Bukan dengan suamiku. Terkadang, aku merasa lelah dan kesepian karena sifat dan sikapnya itu, Aryanti melanjutkan jawabannya tadi. Tetapi karena aku selalu berusaha untuk menerima apa pun yang dimauinya dan apa pun yang dilakukannya tanpa banyak komentar, yah& semuanya jadi berjalan dengan baik. Bagiku yang penting adalah kedamaian dan ketenangan meskipun aku sadar kedamaian dan ketenangan itu nyaris semu karena aku sering gelisah sendiri tanpa tahu jelas apa penyebabnya.
Ini sudah merupakan keluhan, pikirku prihatin. Bukan lagi jawaban atas pertanyaanku tadi. Oleh sebab itu sekali lagi aku mengajukan pertanyaan kepadanya sambil menatap wajahnya, ingin tahu apa yang tersirat dari sana.
Tetapi kalian saling mencintai, kan" tanyaku. Mungkin& . Aryanti mengelakkan tatapan mataku.
t . c Entah aku salah lihat, rasanya ia sedang menyembunyikan air mata dari pandanganku.
Kok mungkin" Karena ingin tahu, kukejar dia dengan pertanyaan lagi.
Kau masih ingat pendapatku mengenai cinta setelah aku dikhianati Deddy hampir dua tahun yang lalu, kan" Bukannya menjawab, Aryanti malah melontarkan pertanyaan kepadaku.
Ya, sahutku. Kaukatakan bahwa mengagungkan perasaan cinta itu bukan sikap yang bijaksana karena bisa kecewa berat. Jadi untuk memasuki penikahan tidak perlu ada cinta lebih dulu, karena perasaan itu bisa datang perlahan-lahan dengan berjalannya waktu. Lagi pula kau lebih menggarisbawahi hidup yang tenang, tentram dan damai meskipun tanpa cinta. Begitu juga kan katamu ketika aku memintamu untuk berpikir panjang-lebar lebih dulu sebelum mengambil keputusan menikah dengan Mas Yoyok.
Syukurlah kau masih ingat, suara Aryanti terdengar pelan. Tetapi, Retno, kenyataan sering kali berbeda dari yang kita bayangkan. Sampai hari ini, sepuluh bulan lebih setelah kami menikah, aku& masih belum mampu mencintainya. Ada sesuatu yang menyebabkan perasaan itu tidak segera hadir di antara kami. Tetapi bagiku itu bukan masalah selama kehidupan kami berada dalam suasana yang tenang dan damai, apa pun sifat tenang dan damai itu....
Kau bilang ada sesuatu yang menyebabkan perasaan cinta belum juga hadir di antara kalian. Nah, apa itu"
t . c Seperti yang sudah kukatakan kepadamu tadi, sampai sekarang aku masih belum bisa memahami Mas Yoyok. Laki-laki itu terlalu tinggi untuk bisa kuraih, dan terlalu jauh untuk bisa kuajak berjalan seiring sejalan denganku. Oleh sebab itu di sini, di rumah yang penuh dengan pelbagai macam barang-barang pilihan yang semestinya bisa menyenangkan hati, aku merasakan kehampaan, kekosongan di rongga dadaku. Itulah sesuatu yang kumaksud& .
Perasaanku langsung terusik begitu mendengar curahan hati Aryanti. Ah, aku harus menolongnya. Dia tidak boleh pesimis.
Yanti, kau harus sabar menghadapi keadaan ini. Ingat, cukup banyak para ahli perkawinan mengatakan bahwa tahun-tahun pertama pernikahan merupakan tahun penyesuaian dalam banyak hal. Bahwa di dalam penyesesuaian itu terdapat banyak kerikil, itu wajar. Suami-istri kan datang dari keluarga yang berbeda. Kebiasaan-kebiasaannya, cara pandangnya, budayanya, status sosialnya, dan lain sebagainya, kataku mengingatkannya.
Ya& aku tahu itu. Tetapi bahwa ternyata realitas yang kuhadapi ini jauh dari yang kubayangkan, aku baru menyadarinya belakangan ini. Dan itu menyiksaku.
Kau tidak boleh putus asa, Yanti. Pernikahan sepasang insan yang dilandasi cinta, bahkan yang cintanya menggebu-gebu sekalipun, di dalam perjalanannya nanti belum tentu bisa seiring dan sejalan, sahutku menghiburnya. Apalagi mereka yang menikah tanpa cinta,
t . c kan" Adaptasi dan proses penyesuaiannya pasti membutuhkan waktu lebih lama. Jadi bersabarlah. Sekarang ini kalian memang masih belum menemukan landasan yang sama, tetapi siapa tahu besok atau lusa akan terjadi yang sebaliknya. Kalian masih punya waktu yang panjang.
Yah& kau betul, Retno.
Kalau begitu, biarkan kehidupan ini mengalir. Memang kalimat klise, tetapi masih tetap relevan untuk dijalankan dalam kasusmu. Artinya, masalah yang kauhadapi itu jangan ditentang atau dilawan. Aku yakin, lama-lama Mas Yoyok akan merasa capek dan lalu menyadari bahwa hidup ini jangan selalu dibawa serius. Dan bahwa rumah itu bukan hanya sebagai bangunan yang indah saja, tetapi terutama merupakan tempat kita tinggal dengan perasaan nyaman, aman, tenang, dan senang.
Syukurlah kalau kau bisa memahamiku sehingga kalau kau menyaksikan ada hal-hal yang menurutmu kurang masuk akal atau tidak wajar di dalam hubunganku dengan Mas Yoyok, kau bisa memakluminya.
Tentu saja aku akan memahami dan memakluminya, Yanti. Jangan khawatir. Aku masih sahabat sejatimu. Seperti dulu aku selalu siap untuk mengerti keadaanmu.
Terima kasih, Retno. Aku benar-benar merasa amat beruntung kau mau datang ke Jakarta dan menghabiskan cutimu bersamaku, kata Aryanti lagi. Suaranya terdengar melembut.
Begitulah malam itu aku dan Aryanti berbicara
t . c lama mengenai banyak hal di seputar kehidupan kami masing-masing. Seperti aku memprihatinkan dirinya, dia juga memprihatinkan keadaan diriku. Mengenai putusnya hubunganku dengan Aditya baru sekarang aku ceritakan kepadanya. Ketika kuceritakan bahwa Aditya selingkuh, ia amat marah kepada mantan kekasihku itu.
Dia itu laki-laki yang amat tolol, Retno. Matanya buta, tidak melihat betapa banyaknya kelebihan dirimu. Apa yang dilihat pada pacar selingkuhannya itu sih" Aku yakin, dia pasti sangat menyesal kehilangan dirimu, katanya berapi-api.
Yanti, kau tak perlu marah-marah begitu. Membuang-buang energi saja. Bahwa Mas Adit selingkuh, pasti ada yang tidak bisa dia dapatkan dariku, kataku sambil tertawa. Lagi pula, dia masa laluku. Kemarahanku sudah sampai di titik nol dan perasaanku kepadanya sudah kemarin-kemarin lenyap tak berbekas. Lagi pula kehidupan ini kan berjalan ke depan. Bukan mundur.
Begitulah kami berbicara dan berbicara. Ketika jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, aku menghentikan pembicaraan kami. Kurasa sudah waktunya Aryanti masuk ke kamar tidurnya. Mungkin saja suaminya sedang menantikan kehadirannya. Hari sudah larut malam.
Tidurlah, Yanti. Siapa tahu kau ditunggu Mas Yoyok, kataku.
Aku yakin dia masih berada di depan komputernya, jawab Aryanti. Tetapi memang sebaiknya aku
t . c beristirahat. Belakangan ini tubuhku cepat sekali merasa lelah.
Jangan-jangan kau mulai hamil.
Baru kemarin aku selesai haid. Jadi tak mungkin aku hamil. Aryanti tersenyum hambar.
Ya sudah, beristirahatlah sana. Aku juga sudah mengantuk.
Bersamaan kami berdiri dari tempat duduk masingmasing. Tetapi ketika kakiku sudah mulai melangkah, Aryanti memanggilku. Aku menoleh.
Retno, sahut Aryanti, setengah berbisik. Besok kalau sarapan bersama, katakan pada Mas Yoyok bahwa kau mengagumi pengaturan rumah ini.
Aku tertegun sejenak. Itu artinya aku harus main sinetron lagi dan masuk acara basa-basi yang membuatku merasa kehilangan rasa nyaman. Tetapi biarlah, demi menjaga perasaan Aryanti aku harus mengikuti arus yang ada dan selama berada di rumah ini sedapatdapatnya aku harus bisa menenggang perasaan Aryanti. Kulihat, dia tidak bahagia. Kasihan.
Memangnya yang mengatur rumah dan seluruh isinya ini Mas Yoyok sendiri" tanyaku menegaskan.
Ya, seluruhnya. Bahkan dia juga yang membeli sendiri pernak-pernik yang mempercantik rumah ini. Begitu yang kudengar dari banyak orang. Sampai ke hal yang sekecil-kecilnya dan sampai ke detail-detailnya, dia sendiri yang merancang dan mengurusnya. Aku masuk ke rumah ini sudah sempurna begini. Hebat.
Uang, kedudukan, kekuasaan& apa sih yang tidak
t . c bisa membuat sesuatu menjadi hebat" Aryanti bergumam. Aku tak mau menanggapi sinismenya. Maka kukembalikan pembicaraan pada pokoknya. Dia suka ya kalau dipuji-puji"
Bukan begitu. Ia senang kalau orang menghargai apa yang dilakukannya. Atau setidaknya memberi perhatian pada hasil karya. Hm, aku mulai mengerti mengapa Aryanti ingin agar aku memuji hasil karya Mas Yoyok. Dia ingin agar Mas Yoyok menyukai kehadiranku. Tetapi huh, basa-basi memuji orang hanya untuk meraih hatinya bukanlah sifatku. Mas Yoyok mau menyukaiku atau malah membenciku, tidak masalah buatku. Tetapi kelihatannya Aryanti ingin suaminya bisa menjalin persahabatan denganku juga. Karenanya aku tidak boleh mengecewakan perasaan sahabat baikku itu.
Baiklah, sahutku kemudian mulai mengalah. Tetapi aku ingin tahu lebih dulu, apakah setelah kau masuk ke rumah ini ada yang kautambahi atau kurangi, Yanti"
Karena semua yang kulihat di rumah ini sudah tepat pada tempatnya masing-masing, aku tidak ingin mengubahnya. Lagi pula, aku tidak tertarik melakukan sesuatu terhadap rumah ini.
Yah, aku bisa memahami pikiran Aryanti, sebab mungkin saja aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisinya. Segala sesuatu yang ada di rumah ini toh sudah berada pada tempat yang tepat dan dengan keindahannya masing-masing, jadi kenapa harus diubah" Dengan pemikiran seperti itulah, meski-
t . c pun aku tidak suka berbasa-basi, apa yang ada di benakku kukatakan kepada Hardoyo sewaktu kami sedang sarapan bertiga di teras belakang rumahnya esok paginya.
Rumah ini bagus sekali, Mas, kataku mengambil jalan tengah. Berbasa-basi tetapi tidak mengada-ada hanya demi menyenangkan hati sang tuan rumah. Semuanya tertata dan terletak pada tempatnya yang pas dan tampak harmonis. Desain Mas sendiri"
Mendengar perkataanku, Mas Yoyok tersenyum samar. Matanya menatapku dengan tajam.
Ya. Kemarin kau mengatakan bahwa bangunan rumah ini tampak serbasempurna dan telah dirancang dengan cermat, katanya kemudian, masih dengan senyum samarnya itu. Apakah baru sekarang kau menangkap keindahan rumah yang detail-detailnya telah kurancang untuk tampak serasi di mata siapa pun yang masuk ke dalam rumah ini dan merasa nyaman serta santai"
Wah, rupanya dia masih ingat pembicaraan kami kemarin mengenai rumahnya ini, padahal aku telah melupakannya karena memang bagiku rumah ini tidak memiliki kesan khusus. Kemarin aku memang telah sedikit mengikis kebanggaannya dengan hanya memuji bangunan isiknya saja. Pantaslah dia teringat akan hal itu. Karenanya aku harus lebih hati-hati bicara.
Sudah kukatakan tempat ini sangat megah. Pasti telah dirancang sedemikian rupa saat akan membangunnya hingga ke detail-detailnya agar menjadi bangunan yang seperti istana ini. Dan perancangnya pasti tahu
t . c betul tentang bagaimana memadukan keindahan dengan kemewahan, sehingga orang yang hanya tahu keindahan saja atau hanya tahu tentang kemewahan dan kemegahan saja, menyukai tempat ini. Ah, mudah-mudahan Aryanti merasa senang mendengar pujianku terhadap suaminya itu. Tetapi aku juga ingin Mas Yoyok mengerti bahwa seperti kemarin, penilaianku masih belum bergeser jauh. Bahwa pujianku terhadap rumah yang seperti istana ini masih tertuju pada bentuk bangunan isiknya berikut benda-benda yang ada di dalamnya.
Jangan berlebihan, Retno, kata Aryanti menyela bicaraku. Wah, dia pasti mengira aku terlalu banyak memuji, alias terlalu banyak berbasa-basi terhadap suaminya.
Aku memberi penilaian yang sebenarnya, Yanti, bantahku. Kurasa Mas Yoyok tak sependapat denganmu. Ya kan, Mas"
Tetapi aku juga merasa Retno agak berlebihan. Sebagai orang yang bergerak di bidang real estate atau properti, membangun rumah seperti ini bukan sesuatu yang sangat hebat
Aku tetap menganggap penilaianku tak berlebihan. Kalau Mas Yoyok melihat rumah orangtuaku di Yogya, pasti bisa memahami penilaianku itu. Kuno dan sederhana. Bahkan kadang-kadang agak berantakan dan kurang serasi karena ada saja di antara kami sekeluarga yang bertindak semaunya, misalnya meletakkan gunting atau apa saja di tempat yang bukan semestinya. Tetapi kalau ada yang mempersoalkannya, tidak seorang pun mau mengaku.... Aku tertawa geli, teringat apa yang
t . c sering terjadi di rumah orangtuaku. Namun begitu, itulah rumah kami dengan pelbagai romantikanya. Penuh dengan kehangatan dan keakraban yang kadangkadang menyebabkan kami jadi punya anggapan bahwa melanggar kesemestian tidak apa-apa kalau itu bisa menambah kemesraan masing-masing penghuninya.
Misalnya" Mas Yoyok menyela. Aku yakin, dia tahu apa yang kumaksud. Kalau tersinggung, itu urusannya.
Misalnya kalau ada alasan kuat, kami tidak harus makan malam di meja makan, tetapi bisa saja di ruang keluarga sambil mengobrol dan mengomentari acara televisi kesukaan kami.
Ayah Retno tidak membolehkan anak-anaknya membeli televisi untuk kamar mereka, Aryanti menyela.
Ya. Kata Bapak, bisa mengurangi kehangatan dan keakraban keluarga kalau masing-masing menonton di kamarnya, kataku.
Alasan yang tepat. Nah, kembali ke soal semula, apakah kau menyukai rumah yang menurutmu seperti istana ini, Retno" Rasa ingin tahu itu masih tertangkap dari getar suara Mas Yoyok.
Menyukai dalam hal melihat dan mampir, ya. Saya suka. Tetapi kalau untuk tinggal, rasanya kok tidak. Maaf atas keterusteranganku ini, sahutku apa adanya. Lho, kenapa"
Aku tidak bisa mengatakannya& . Wah, aku telah keceplosan tadi. Mudah-mudahan pembicaraan ini tidak berlanjut.
t . c Tetapi harapanku sia-sia. Laki-laki itu ingin tahu betul apa yang ada di batinku.
Katakan saja, aku tidak akan tersinggung kok. Baik. Aku tidak suka tinggal dan menetap di rumah seperti ini karena& aku tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Tak sesuai dengan jiwaku. Lagi pula menurutku yang namanya rumah ya tempat di mana aku bisa tinggal dengan nyaman, hangat, dan bisa tampil apa adanya dengan bebas. Mungkin itu karena sejak kecil aku tinggal di rumah yang sederhana, Mas. Jadi maaf kalau aku bicara begini....
Kulirik, Aryanti sedang memperhatikan Mas Yoyok dengan penuh rasa ingin tahu sehingga aku yakin, baru aku yang berani bicara seperti itu kepada suaminya.
Yah& aku mengerti, gumamnya kemudian. Tetapi aku tak yakin karena di sepanjang kehidupannya ia hanya mengenal pelbagai kelebihan yang dimiliki keluarganya dan yang sekarang juga miliki tanpa harus bersusah payah. Dan benar, beberapa waktu kemudian dia bertanya lagi kepadaku. Bisa tampil apa adanya, maksudnya bagaimana, Retno"
Maksudnya, di rumah orangtuaku tidak ada kepura-puraan. Mau memakai celana pendek dan blus kaos longgar yang enak dipakai misalnya, ya silakan saja. Mau bernyanyi keras-keras, silakan. Kalau ada yang keberatan, silakan adu argumentasi.& Apakah di sini ada kepura-puraan" Aku tidak mengatakan begitu.
Boleh aku tahu seperti apa rumah orangtuamu di Yogya" Mas Yoyok bertanya lagi.
t . c Rumah orangtuaku biasa-biasa saja kok, Mas. Model kuno karena dibangun oleh kakek buyutku. Model joglo dengan pendopo yang melebar. Di belakang pendopo terdapat ruang tamu, lalu ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan. Jumlah kamar tidur di rumah itu ada tiga. Satu untuk kedua orangtuaku. Satu untuk aku dan Mbak Diah kakak perempuanku. Satu lagi untuk Mas Bayu, kakak lelakiku, dan Nino adik bungsuku. Tidak seperti di rumahmu ini, Mas, di rumah kami kalau ada yang menguap atau bersin, semua mendengar. Lalu yang lain segera bereaksi. Menyuruh tidur atau menyuruh minum vitamin C, aku menjawab sambil tertawa.
Kulirik, Aryanti tersenyum tertahan. Dia sudah kenal betul keadaan rumahku maupun keadaan keluargaku. Misalnya bagaimana aku dan Nino berebut remote televisi karena masing-masing ingin menonton acara yang disukai. Memang sekarang setelah aku dewasa, Bapak sudah membolehkan aku membeli televisi sendiri, yang kuletakkan di kamar yang sekarang menjadi milikku sepenuhnya karena Mbak Diah sudah menikah. Tetapi rebutan semacam itu meninggalkan kenangan manis yang tak bisa kulupakan karena aku hampir selalu kalah berebut dengan Nino yang gesit. Jadi aku sering pergi ke rumah sebelah, ke tempat kos Aryanti, dan kami pun menonton bersama-sama. Di sana aku sering digoda teman-teman kos Aryanti karena kalah dengan anak kecil. Usiaku dengan Nino terpaut hampir sepuluh tahun, tetapi adik bungsuku itu lebih gesit dan cekatan.
t . c Tetapi apakah kalian tidak kehilangan privacy" Mas Yoyok bertanya lagi.
Yah, kadang-kadang memang begitu. Terutama kalau ingin menyimpan milik pribadi seperti misalnya kenangan dari& pacar. Aku tersipu malu. Padahal kedua orangtua kami mengharuskan sikap menghargai orang dan privacy-nya tanpa pandang bulu. Misalnya, kami tak boleh membuka, apalagi membaca surat yang bukan miliknya.
Kecuali kalau ada yang bandel..., tiba-tiba Aryanti menyela sambil tertawa. Aku pernah memergoki Retno mencuri lihat buku harian Mbak Diah, dan ibunya tahu itu. Dengan bijak ibunya menyimpan rahasia itu agar tidak timbul pertengkaran. Tetapi untuk membuat Retno kapok, buku hariannya ditaruh di atas meja belajar Mbak Diah, seolah Retno lupa menyimpannya.
Aku juga tertawa, teringat peristiwa itu. Mbak Diah ternyata ingin tahu apa isi buku harianku. Diam-diam dia membaca bukuku itu. Tetapi sesudah itu hubungan kami malah menjadi semakin akrab karena masingmasing bisa jadi tempat curhat dan berbagi cerita.
Aku tidak mempunyai saudara kandung, Retno. Apakah berbagi kamar itu enak"
Oh& banyak enaknya, Mas. Aku dan Mbak Diah biasa mengobrol dan bercanda macam-macam sampai pintu kamar diketuk Ibu, meminta kami agar tidak gaduh. Pokoknya ada-ada saja yang terjadi di rumah kami yang tidak besar itu, sehingga seperti kataku tadi, ada yang batuk, semua tahu.
t . c Tidak mengalami masalah" Pertengkaran, misalnya.
Tentu saja negatifnya juga ada, sahutku. Karena tinggal di kamar yang sama, konlik juga lebih mudah terjadi. Tetapi karena rumah kami tidak besar, Ibu atau Bapak langsung tahu kalau ada di antara kami sedang bersitegang. Maka mereka mengharuskan kami segera menyelesaikan masalah yang menyebabkan pertengkaran itu dan menyuruh kami berdamai.
Air muka Mas Yoyok memperlihatkan rasa tertarik pada ceritaku. Hal itu bisa kumengerti. Laki-laki itu tidak memiliki saudara kandung dan rumah keluarganya besar sehingga tidak pernah mengalami apa yang kualami bersama saudara-saudaraku.
Masalah lainnya" Aku tertawa. Banyak. Misalnya Mbak Diah sakit perut karena kebanyakan makan rujak. Dia itu suka sekali makan pedas. Wah, aku harus sering membuka jendela kamar karena bau gas yang dikeluarkannya. Atau kalau aku kena lu, pasti Mbak Diah orang yang pertama ketularan. Maka begitu aku baru mulai bersin-bersin, dia sudah mengangkut selimutnya dan tidur di sofa ruang tengah.
Aku melihat sudut bibir Mas Yoyok agak mencuat ketika mendengar ceritaku itu. Pasti dia merasa geli membayangkannya. Melihat itu, aku jadi bersemangat untuk melanjutkan ceritaku.
Begitu juga kalau musim ujian semester dan jadwal ujian kami tidak sama. Aku sering kesal karena Mbak
t . c Diah kalau belajar tidak bisa diam. Keluar-masuk kamar membawa kacang, membawa camilan lain dengan suara berisik, padahal aku sudah mengantuk. Sebaliknya kalau aku yang belajar, dia juga sering mengomel karena aku suka belajar sambil mendengar musik sampai jauh malam. Singkat kata, Mas, penuh romantika kehidupan. Sekarang setelah Mbak Diah dan Mas Bayu punya rumah sendiri dan meskipun aku jadi bebas memiliki kamar itu, tetapi sering kali aku merasa kesepian dan kehilangan rasa hangat. Tidak ada yang bisa kuajak bercanda malam-malam. Tidak ada tempatku melampiaskan marah karena kalah rebutan majalah, misalnya.
Begitulah aku bercerita di sepanjang waktu sarapan. Maka pagi itu pun berlalu dengan lebih santai dibanding ketika makan malam kemarin. Setelah Mas Yoyok berangkat ke kantornya, diam-diam aku berharap suasana akrab pagi ini akan berlanjut seterusnya. Tetapi ternyata, perkiraanku salah. Setelah selesai makan malam hari itu dan melanjutkan obrolan kami pagi tadi, suasananya sudah berbeda. Mas Yoyok kembali memperlihatkan sikapnya yang seperti bos dan menguasai pembicaraan dengan menempatkan diri sebagai pusat perhatian.
Retno bekerja di mana kalau aku boleh tahu" Begitu antara lain ia bertanya, bagai calon majikan ingin mengetahui latar belakang dan kualitas orang yang melamar pekerjaan padanya.
Aku bekerja di bank asing. Setelah mendengar jawabanku, dia bertanya lagi tentang hal-hal yang
t . c berkaitan dengan perekonomian dan perbankan. Yang membuatku jengkel, Mas Yoyok lebih banyak bertanya dan lalu memberi komentar daripada mengobrol ringan. Gaya bicaranya seperti calon majikan sedang mewawancara pelamar kerja yang bodoh. Apalagi kalau mengemukakan pendapat. Panjang-lebar ia menjelaskan argumentasinya sehingga predikatnya yang ada di benakku, bertambah lagi: dia seperti dosen otoriter sedang menguji mahasiswa. Apa pun pendapatku selalu dipatahkan. Kurasa kebiasaannya itu tertanam karena seringnya dia dimenangkan dan diiyakan oleh para anak buah dan pegawainya. Pasti begitu juga sikap keluarga besarnya.
Tampaknya sudah menjadi kebiasaan, kebanyakan orang yang menduduki jabatan lebih rendah, mereka sering mengalah dan membenarkan saja pendapat orang yang memiliki kedudukan atau jabatan yang lebih tinggi, meskipun pendapatnya sendiri bertolak belakang dengan pendapat orang itu. Bahkan juga andaikata pendapat si pemegang otoritas itu keliru. Sebaliknya mereka yang kebetulan menduduki tempat sebagai bos, cenderung menganggap diri paling benar. Pendapat orang lain sering dipandang dengan sebelah mata dan bahkan dianggap kurang bermutu.
Tetapi aku tidak bisa diperlakukan demikian oleh Mas Yoyok, karena aku juga mempunyai pendapat dan argumentasi sendiri yang sudah kupikir dengan matang. Bukan asal bicara. Maka kami pun sering terlibat dalam perdebatan dan pembicaraan yang alot. Tetapi lama-lama aku merasa bosan. Lebih-lebih ketika sadar bahwa Aryanti semakin lama semakin tidak ikut ambil
t . c bagian di dalam obrolan kami. Rasanya obrolan kami sudah tidak sehat lagi. Tentu saja juga sudah tidak menyenangkan. Oleh sebab itu ketika ingin menguap, aku tidak menyembunyikannya.
Maaf..., kataku berbasa-basi. Padahal aku merasa senang bisa memperlihatkan rasa jemu yang kurasakan ini.
Kalau sudah mengantuk, tidurlah, Retno. Aryanti memakai kesempatan itu untuk mengakhiri obrolan kami. Aku yakin, dia pasti tahu aku sudah bosan setengah mati.
Hari memang sudah malam, sela Mas Yoyok. Beristirahatlah, Retno. Besok obrolan kita bisa dilanjutkan lagi.
Aku mengiyakan, merasa lega dapat terbebas dari dominasi Mas Yoyok atas pembicaraan kami malam ini.
Baiklah. Aku memang sudah mengantuk, kataku. Selamat tidur, Mas Yoyok. Selamat tidur, Yanti. Selamat tidur, Retno.
Setelah mengucapkan perkataan itu, aku langsung masuk ke kamar dan menikmati kesendirianku dengan menonton televisi yang ada di kamar ini. Kamar tidur yang kutempati ini sungguh mewah dan indah. Kamar mandinya juga serba lengkap dan mewah. Tetapi ternyata ketika aku berkesempatan masuk ke kamar Aryanti, kamar yang kutempati itu bukan apa-apa dibanding kamar sahabatku itu. Seluruh perabotan di sana merupakan perpaduan antara keindahan, kemewahan, dan juga kenyamanan. Tirainya yang senada dengan
t . c warna dinding benar-benar cantik dan ditata dengan pas. Artinya, tidak berlebihan dan tidak latah meniru tirai-tirai kerajaan Eropa yang malah menyebabkan orang-orang seperti diriku enggan menempatinya. Dan tampak rapi dan bersih dari macam-macam pernakpernik yang tak perlu. Dari seluruh bangunan istana emas ini, tempat yang kuanggap menyenangkan dan nyaman adalah kamar tidurku dan kamar tidur tuan dan nyonya rumah ini.
Ternyata Mas Yoyok masih memberimu kebebasan untuk tidak memperlihatkan dominasinya hingga ke kamar tidur kalian. Kamar ini benar-benar cantik dan feminin, komentarku terus terang. Saat itu Mas Yoyok sudah berangkat ke kantornya dan aku sedang menjemput Aryanti di kamarnya. Akan kuajak dia berenang.
Kau keliru, Retno. Mas Yoyok tidak tidur di sini. Kamarnya ada di sebelah kamar ini, jawab Aryanti. Jawaban yang mengagetkan diriku. Tak sesirat pikiran pun aku membayangkan akan mendengar jawaban seperti itu.&
Sejak kapan kalian pisah ranjang" tanyaku dengan perasaan prihatin yang mendalam. Belum satu tahun mereka menikah, sudah pisah ranjang. Sungguh keterlaluan.
Pipi Aryanti merona merah mendengar pertanyaanku. Mungkin bicaraku terlalu ceplas-ceplos untuk hal-hal pribadi seperti itu. Tetapi biarlah. Aku ingin mengetahui keadaan sebenarnya dan jika mungkin aku ingin meluruskan yang melenceng-melenceng karena ingin
t . c melihat sahabat karibku hidup berbahagia, sebagai penebus runtuhnya cita-cita yang pernah dibangunnya bersama mantan kekasihnya dulu. Perempuan sebaik Aryanti tidak boleh hidup dalam kekecewaan dan kesedihan lagi.
Sejak awal pernikahan kami& . Lagi-lagi jawaban Aryanti mengagetkan aku.
Apa" Tanpa sadar aku menjinjitkan alisku. Tak percaya aku pada pendengaranku sendiri. Jadi sudah sejak awal pernikahan mereka, hubungan mereka kurang harmonis. Apa yang sebenarnya terjadi" Jadi sejak awal pernikahan, kalian tidak tidur di satu kamar"
Ya. Sejak awal pernikahan, kami tidak tidur di satu kamar. Tetapi kau salah kalau mengira kami pisah ranjang. Yang benar, kami mempunyai kamar sendirisendiri, Aryanti melanjutkan penjelasannya.
Mataku terbelalak menatap wajah Aryanti yang masih merona merah itu. Perkawinan macam apa ini"
Jadi& kalian& " Aku yakin Aryanti tahu apa yang kumaksud dengan pertanyaan itu. Dan memang benar.
Kan ada pintu tembus di antara kamar tidur kami, Retno, perempuan itu menjawab malu-malu. Mas Yoyok tidak bisa tidur bersama orang lain meskipun itu istrinya sendiri. Ia mengatakan bahwa tidur bersama siapa pun membuatnya tidak nyaman, tidak bebas dan menyebabkannya sulit tidur.
Hm... begitu rupanya& , aku bergumam pelan. Sekarang aku mulai mengerti mengapa kemarin Mas Yoyok begitu tertarik mendengar ceritaku mengenai bagaimana aku harus berbagi kamar dengan
t . c Mbak Diah sebelum kakak perempuanku itu menikah. Kini setelah mengetahui bagaimana Mas Yoyok tidak bisa berbagi kamar dengan siapa pun, termasuk dengan istrinya, aku semakin merasa yakin laki-laki itu menyimpan masalah di lubuk hatinya yang terdalam. Entah itu disadari atau tidak, aku tak tahu. Tetapi analisisku mengatakan, laki-laki itu mempunyai masalah berkaitan dengan afeksi. Tampaknya ia tidak berani memasuki keintiman rasa dengan siapa pun. Termasuk dengan istrinya sendiri. Entah bagaimana hubungannya dengan kedua orang tuanya, terutama dengan ibunya, aku tidak tahu. Membayangkannya saja pun aku tak mampu. Laki-laki itu agak misterius bagiku. Sulit ditebak karena hatinya yang tidak pernah ia buka lebar.
Perasaanku kini semakin tidak nyaman saja berada di istana emas ini. Tidak ada kehangatan. Tidak ada keterbukaan. Tidak ada keharmonisan. Dan terutama tidak ada perasaan nyaman yang membuat orang bisa merasa menjadi bagian di dalamnya. Sudah begitu, tidak ada keromantisannya sama sekali pula. Lalu, apa lagi yang masih tinggal, kalau begitu"
Ada satu hal yang mulai tersingkap. Aku sekarang mengerti mengapa Aryanti merasa kesepian dan pasti juga merasa tidak bahagia. Hidup bersama suami seperti Mas Yoyok memang tidak mudah. Untung dia termasuk orang yang sabar. Kalau aku" Wah, pasti setiap hari terjadi perang tanding yang tak ada habishabisnya. Mana mau aku mengalah tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat.
t . c H ARI itu Aryanti mengajakku jalan-jalan ke salah
satu plaza atau mal yang banyak bertebaran di Jakarta. Kulihat wajahnya tampak cerah begitu keluar dari kamar. Kemanisan dan gayanya yang menarik, memancar keluar dari seluruh dirinya. Gaun paginya yang berlatar putih dengan bunga-bunga yang didominasi warna biru membuatnya secerah pagi ini dan tampak menawan.
Wow, kau benar-benar seperti nyonya besar, komentarku. Anggun, serbasempurna dan cantik.
Hush& jangan berlebihan, katanya dengan agak tersipu. Ayo, kita berangkat sekarang. Mumpung masih pagi. Siap, kan"
Siap. Kau tidak malu jalan bersamaku, kan" Aku tertawa menggodanya. Saat itu aku memakai celana jins berwarna krem dan kaus cokelat berlengan tiga perempat. Rambutku kuikat ekor kuda. Santai sekali. Sepatuku sepatu sandal yang nyaman untuk dipakai jalan-jalan. Berbeda sekali dengan penampilan Aryanti yang serbasempurna.
Empat t . c Jangan berkata seperti itu lagi kepadaku, Retno. Aryanti marah mendengar gurauanku tadi. Aku juga ingin tampil seperti dirimu, tahu" Santai, segar, bebas, dan tampak ceria. Tetapi demi suami yang ingin istrinya tampil wah, aku terpaksa tidak memilih pakaian yang sebetulnya kusukai. Memangnya enak jalan-jalan dengan sepatu tinggi begini"
Oke& oke... Aku tertawa.
Kelihatannya kau lupa pernah menjadi salah satu mahasiswi yang dinilai berpakaian terbaik di kampus kita bertahun-tahun yang lalu, Aryanti masih mengomel. Sedangkan aku justru tidak terlalu memedulikan mode.
Ah, itu kan penilaian jadul, jaman dulu. Aku tertawa. Lagi pula satu di antara sepuluh yang terbaik di kampus bukanlah sesuatu yang istimewa. Masa-masa itu kan para mahasiswi lebih memikirkan studi daripada mode. Jadi apa hebatnya"
Pokoknya sampai hari ini kau masih tetap termasuk yang terbaik dan modis. Jelita, menawan, ceria, menggemaskan. Dan istimewanya, semua itu bukan karena balutan pakaian yang mewah, mahal, dan keluaran dari butik terkenal. Jadi diamlah, jangan kaubantah kata-kataku ini. Aryanti bersungut-sungut sambil meraih tasnya. Ayo, kita berangkat sekarang sambil mengingat kembali bahwa kau itu juga pernah menjadi bunga kampus. Jadi jangan memujiku karena apa yang tampak wah. Ini kan karena bungkusnya yang hebat. Jadi siapa pun akan tampak oke kalau memakai balutan sehebat ini.
t . c Aku tertawa tetapi tak berani memberi komentar apa pun karena memahami perasaannya. Tidak bisa bebas tampil seperti yang diinginkan memang tidak menyenangkan.
Dengan mobil mewah dan sopir yang begitu hormat sampai membuatku merasa risi, aku dan Aryanti tiba di pertokoan yang megah dan luas di bilangan Jakarta Utara. Dibawanya aku ke toko pakaian yang menjual berbagai macam pakaian perempuan. Di beberapa sudut penjualan di tempat itu aku melihat beberapa nama perancang Indonesia yang namanya sudah berkibar-kibar.
Pilihlah tiga atau empat potong pakaian yang kausukai, Retno. Aku ingin berbagi kesenangan denganmu. Setelah kau memilih nanti, aku juga akan mengambil beberapa potong untukku sendiri, katanya sambil menghela aku ke bagian pakaian rancangan seorang desainer kondang.
Maksudmu..." Mas Yoyok menyuruhku membelikan hadiah untukmu, katanya.
Tentu saja aku langsung menolaknya mentahmentah. Kalau Aryanti yang ingin menghadiahiku pakaian, barangkali saja aku masih mau menerimanya. Dulu, kami berdua sering sekali saling berbagi hadiah kalau mendapat rezeki. Bahkan tak jarang kami membeli pakaian yang sama. Tetapi karena sekarang nama Mas Yoyok berada di belakang Aryanti, aku tidak mau menerimanya. Padahal aku tertarik pada setelan rok dan blus sportif cantik yang warnanya kalem itu. Pasti pantas sekali untuk kupakai ke kantor.
t . c Mendengar penolakanku, Aryanti merasa kesal. Aduh, Ret, jangan begitu kenes kenapa sih" Pilihlah mana yang kausukai, katanya. Aku ingin membelikanmu pakaian karena ingin berbagi kesenangan seperti yang pernah kita lakukan dulu. Jadi bukan hanya karena disuruh Mas Yoyok. Lagi pula aku juga perlu beberapa potong pakaian. Ada pertemuan dengan istriistri teman bisnisnya.
Meskipun didesak-desak, aku tetap bertahan pada pendirianku, tidak ingin dibelikan pakaian yang uangnya dari Mas Yoyok. Karena kesal melihat kerasnya aku bertahan, Aryanti hanya mengambil dua helai pakaian saja untuk dirinya.
Kau telah membuat selera belanjaku patah, begitu ia mengomel lagi.
Ya, dia benar. Oleh sebab itu aku segera mengambil sehelai blus dan cepat-cepat kubayar dengan uangku sendiri.
Aku senang kok kauajak belanja. Jakarta adalah surganya orang berbelanja, kataku, mencoba menampilkan kegembiraan. Jadi ayo tunjukkan padaku di mana aku bisa membeli sepatu yang enak dipakai untuk mondar-mandir di kantor.
Pancinganku berhasil, Aryanti tampak mulai ceria lagi. Sambil bercanda dan membicarakan masa lalu kami yang manis dulu, kami berbelanja macam-macam barang. Di antaranya lipstik, bedak, tas, sepatu, dan pernak-pernik perhiasan dari batu-batuan yang cantik. Meskipun Aryanti ingin sekali membayari apa pun barang yang kubeli, aku tetap bersikukuh untuk mem-
t . c bayar sendiri. Tetapi ketika melihat Aryanti kecewa, aku membiarkan dia membayar bros berbentuk bunga tulip, yang terbuat dari kristal dengan dua helai daunnya yang berlapis emas. Harganya cukup mahal bukan hanya karena kelas atau kualitasnya saja, tetapi juga karena mereknya.
Begitulah dengan gembira kami keluar-masuk toko dan membahas barang-barang yang menarik dengan penuh keakraban. Bukan belanjanya yang membuat kami gembira, tetapi kegiatan yang bisa kami lakukan bersama lagi itulah yang membuat acara ini terasa begitu menyenangkan. Kulihat sahabatku itu tampak sangat gembira dan amat lincah. Tawanya juga terdengar lepas.
Lihat, Retno, warna pakaian itu cantik sekali. Sayang modelnya begitu tra la la. Kalau aku yang memakainya, pasti kelihatan seperti penyanyi kafe kesiangan, begitu komentarnya sambil tertawa renyah. Atau: Wah, kacamata penahan matahari itu mengingatkan aku pada capung bermata besar yang pernah kita tangkap di tepi sawah orangtua Santi. Ingat kan waktu kita berlibur di rumah orangtuanya di kaki gunung"
Pendek kata hari itu aku melihat lagi Aryanti yang lincah dan ceria. Bukan Aryanti yang duduk dengan manis berjam-jam lamanya di dekat Mas Yoyok, yang sepertinya selalu siap untuk berdiri dan melemparkan pertanyaan: Tehnya ditambah, Mas" Atau: Hidangan makan malam sudah disiapkan, Mas. Mau makan sekarang"
Hatiku sedih menyaksikan keadaan Aryanti. Ber-
t . c sama Mas Yoyok, dia hidup dalam dunia yang bukan dunianya. Di sini bersamaku, dia tampak bebas dan pandang matanya tampak hidup. Tawa dan candanya bertebaran di setiap langkah kakinya. Dan itulah Aryanti yang sesungguhnya. Aryanti yang kukenal dengan baik. Bukan Aryanti yang bersikap seperti seorang istri yang patuh dan selalu siap melayani suaminya, karena kedua orangtuanya selalu mengingatkannya untuk bersikap baik demi persahabatan di antara dua keluarga mereka. Kehidupannya bersama Mas Yoyok telah menyebabkan ia tampil bukan sebagaimana dirinya sendiri. Dan aku tahu pasti, dia merasa tertekan karenanya.
Sepanjang yang kukenal, dia lebih mirip ayahnya yang menyukai kemajuan dan tak pernah mau berhenti di tempat. Sebaliknya, ibunya termasuk perempuan yang konservatif dengan sikap yang patuh, berbakti, dan menganggap citra perempuan ada di dalam rumah tangganya dan menjadi istri yang setia. Celakanya, Aryanti menikah dengan laki-laki yang meskipun usianya masih muda tetapi memiliki orientasi pada budaya feodal dan bertata aturan budaya patriarki. Dan lebih celaka lagi, dia tidak ingin orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan dialaminya. Semua hal yang menyebabkan semangatnya runtuh, disimpannya sendiri. Hanya kepadaku sajalah ia mau membuka diri kendati aku merasa bahwa ia masih belum seterbuka dulu.
Tak heran jika Aryanti tampak begitu penuh semangat dan lincah ketika jalan bersamaku di sepanjang pagi hingga siang itu. Bahkan ketika kami makan siang
t . c
Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun, kulihat dia masih diselimuti kegembiraan. Tetapi begitu kami masuk kembali ke dalam mobilnya yang mewah, keceriaan, kelincahan, dan semangat itu ditinggalkannya di pertokoan yang kami kunjungi tadi. Air mukanya kembali serius.
Capek ya" aku bertanya sambil menyandarkan punggungku ke jok mobil. Suatu pertanyaan pancingan.
Pergi bersamamu mana aku merasa capek sih" Aryanti tersenyum sekilas. Kau telah membuat kenangan manis kita yang lalu seperti datang lagi sampai aku tadi lupa kalau sudah menikah.
Jadi kenapa wajahmu tak lagi seceria tadi" aku bertanya langsung pada apa yang ingin kuketahui.
Aku khawatir Mas Yoyok tersinggung karena hadiahnya kautolak. Lagi pula itu tadi kan kesempatan baik untuk memilih sendiri apa yang kita maui. Biasanya tiba-tiba saja dia sudah membawa hadiah ini atau itu yang belum tentu merupakan selera kita. Dia biasa memberi hadiah pada orang" Ya. Salah satu hobinya memang menghadiahi sesuatu kepada teman-teman atau keluarganya. Dan dia pantang ditolak.
Tetapi penolakanku itu sama sekali tidak ada maksud meremehkannya, namun karena aku tidak suka diberi hadiah yang sifatnya pribadi. Pakaian itu kan termasuk hal yang pribadi sifatnya. Lain hal kalau hadiah itu bersifat umum seperti misalnya buku-buku, makanan, atau yang semacam itu.
Aku kenal dirimu, Retno. Tak usah kaujelaskan
t . c pun aku sudah mengerti. Tetapi bagaimana aku nanti harus mengatakan kepadanya tentang penolakanmu itu"
Biar nanti aku yang mengatakannya. Kau tidak perlu khawatir, kataku kepada Aryanti.
Aryanti tidak menanggapi perkatanku. Semakin dekat ke rumah, pembicaraan kami semakin terdengar tak menentu. Maka ketika tiba, kubantu dia membawa barang-barang yang dibelinya ke kamarnya. Barang belanjaanku sendiri tidak banyak sehingga mudah membawanya.
Dia menahankuku untuk tetap berada di kamarnya ketika satu-persatu barang-barang itu ia buka dan dibebernya di atas tempat tidur.
Sebenarnya aku tak mengerti untuk apa pakaian sebanyak ini Lihatlah, Ret, koleksi pakaianku, katanya sambil mengajakku ke lemari pakaiannya yang memanjang dari dinding ke dinding seberangnya. Lemari itu penuh dengan pakaian yang digantung dengan rapi. Kata Aryanti, lebih dari separo pakaian itu buatan luar negeri. Kemudian dia mengambil belasan kotak perhiasan yang disimpannya di laci teratas. Setiap kotak, berisi berbagai jenis perhiasan dan kebanyakan merupakan setelan yang terdiri atas anting, kalung, gelang, dan cincin. Bahkan juga ada yang dilengkapi bros dan arloji. Hampir semuanya bertatahkan berlian. Melihat namanama merek yang tertera pada kotaknya, aku tahu perhiasan itu juga dibeli di luar negeri.
Wah, kau pasti sering keluar negeri ya" komentar-
ku. t . c Aryanti menatap mataku dengan serius. Belum sekali pun, Retno. Selama perkawinan yang kami yang sepuluh bulan ini, Mas Yoyok memang sering sekali ke luar negeri. Tetapi dia bukan bersenangsenang, melainkan untuk urusan bisnis. Jadi aku tidak diajaknya.
Tetapi apa salahnya kalau sekali-sekali ikut dengannya seperti yang Mbak Diah lakukan. Kalau suaminya sedang dinas ke luar negeri, Mbak Diah mengambil cuti dan ikut dengan biaya sendiri. Di sana dia mengikuti tur keliling kota sementara suaminya menunaikan tugas kantornya.
Ah, sudahlah. Aku juga tidak suka pergi ke luar negeri kalau hatiku tidak sepenuhnya merasa senang. Nah, kembali ke soal pakaian dan perhiasan ini, aku sering merasa bingung untuk memakainya. Kenapa sih harus sebanyak ini" Bayangkan, di luar sana jangankan orang berpikir ingin membeli perhiasan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja pun mereka tidak tahu harus dengan apa membiayainya. Semua yang kumiliki ini betul-betul mubazir, pemborosan belaka. Apa lagi tujuan Mas Yoyok membeli ini semua kan untuk simbol keberhasilan dan kesuksesannya. Suara Aryanti terdengar sinis.
Jangan dilihat negatifnya saja, Yanti. Kau harus melihat juga segi positifnya, keberuntunganmu. Sangat jarang di negara kita ini seorang istri bisa menikmati kekayaan suaminya yang seakan tanpa batas ini, kataku sambil mengagumi koleksi perhiasannya.
Beruntung dalam hal apa" Kebanyakan orang kita
t . c kok memandang keherhasilan dan kesuksesan seseorang dari kekayaan yang berhasil dikumpulkan. Padahal menurut kriteria yang objektif, keberhasilan seseorang itu tidak melulu pada kekayaan atau materi yang berhasil dicapainya, tetapi pada nilai-nilai yang membuat orang itu memiliki kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan uang dan semacamnya. Hal itu yang aku tidak bisa mengungkapkannya dengan terus terang padanya. Retno, hidupku ini nyaris penuh sandiwara.
Aku tertegun. Terutama karena aku mendengar nada letih dalam suara Aryanti. Seperti apa sandiwara yang dimaksudkannya, aku tidak tahu. Tetapi ketika sore harinya beberapa kerabatnya yang sudah lama tak bertemu tiba-tiba datang menjenguknya, aku baru mengerti apa yang ia maksudkan. Kulihat ia mengikuti arus situasi yang terarah kepadanya. Sanjungan, pujian, dan kekaguman para tamunya atas apa yang ia miliki, diterimanya dengan senyum dan tawa. Seolah ia menikmati segalanya. Bahkan menurutku, ia sedang membius dan mensugesti dirinya sendiri bahwa ia memang beruntung dan bahagia.
Rahasia Peti Wasiat 4 Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon Terminal Cinta Terakhir 1
Satu S EJAK awal melihatnya, rumah besar berhalaman
luas itu sudah memberikan kesan angker kepadaku. Angker yang kumaksud bukan dalam arti mengandung misteri atau ada makhluk halus yang ikut menghuni rumah itu, melainkan keangkeran dalam arti memiliki wibawa yang menyebabkan orang merasa segan. Bahkan juga takut untuk berbuat sesuka hati di dalam rumah itu. Dan sudah sejak awal pula ketika pertama kali melihat rumah besar itu aku mengalami kesulitan untuk menganggapnya sebagai rumah yang sebenar-benarnya rumah, yaitu tempat tinggal di mana orang merasa nyaman hidup di dalamnya. Oleh karena itu dengan diam-diam rumah besar berhalaman luas yang mewah itu kunamakan istana emas . Istana yang cuma sebagai pajangan dan kebanggaan belaka. Bahkan hanya sebagai pemberi prestise atau gengsi bagi pemiliknya. Tak lebih dari itu.
Yah, rasanya memang cocok kalau rumah itu ku-
t . c sebut istana emas. Besar, megah, mewah, serba gemerlap bagaikan istana raja-raja. Setidaknya menurut pandanganku, suatu tinjauan berlatar belakang kehidupanku yang sederhana bersama orangtua dan saudarasaudara kandungku. Kami memang hidup di bawah atap rumah yang sedang-sedang saja besarnya. Ayahku pegawai pemerintah tingkat madya yang bersahaja, lugu, dan terlalu jujur. Beliau tidak bisa mengisi rumah kami dengan pelbagai perabot mewah. Satu-satunya kemewahan, itu pun kalau bisa disebut mewah adalah piano tua warisan kakekku untuk Ibu. Namun meski rumah kami dan seluruh isinya tidak memperlihatkan sesuatu yang mewah, rumah itu benar-benar terasa seperti tempat tinggal yang nyaman dan memberi kehangatan pada masing-masing penghuninya. Jadi memang sangat berbeda dengan istana emas yang kuceritakan tadi, sebab ketika aku masuk ke rumah besar dan mewah itu, apa yang pernah kualami di rumah orangtuaku, tidak sesentuh pun kurasakan di situ. Yang ada di hatiku hanyalah hawa yang angker. Tak nyaman, rasanya. Mau meneriakkan kegembiraan saja pun aku tidak berani.
Kalau bukan karena Aryanti sahabat karibku, barangkali aku tidak akan pernah melihat, apalagi masuk ke rumah yang sebesar, sebagus, semewah, seanggun, dan serapi itu hingga ke sudut-sudutnya. Aku berada di rumah itu karena desakan Aryanti. Sahabatku itu telah memintaku untuk menghabiskan cutiku tahun ini di kota tempatnya tinggal, di istana emasnya itu, di kota Jakarta.
t . c Aku sangat kesepian, Retno, begitu antara lain yang dikatakannya kepadaku melalui telepon genggamnya, beberapa minggu yang lalu. Datang dan berliburlah di rumahku. Aku merindukanmu dan ingin merasakan lagi kedekatan yang kita jalin sejak kita SMA dan kuliah, bertahun-tahun yang lalu.
Terus terang aku merasakan sesuatu yang kurang beres dari nada suara maupun perkataan yang diucapkan Aryanti kepadaku. Aku kenal sahabatku itu dengan amat baik. Ia tergolong orang yang periang. Jadi kedengarannya agak mustahil dia bisa mengalami kesepian. Terutama kalau mengingat usia perkawinannya yang masih termasuk pengantin baru itu. Lebih-lebih lagi karena dia menikah bukan karena terpaksa dan menurutku hidupnya pasti akan senang bersama lakilaki yang bisa memenuhi segala kebutuhannya. Suami Aryanti kaya-raya. Apa saja yang diinginkannya bisa dibeli dengan seketika, dan pergi ke mana pun yang dimauinya, bisa terlaksana. Hardoyo, suaminya, bukan hanya sukses dalam bisnisnya saja, tetapi juga merupakan ahli waris satu-satunya dari seorang pengusaha real estate. Kakak satu-satunya meninggal dunia ketika masih kanak-kanak.
Seperti yang sudah kukatakan, pernikahan Aryanti dengan Hardoyo bukan perkawinan yang dilandasi oleh keterpaksaan. Meskipun begitu, perjodohan mereka memang sudah lama dirintis oleh kedua belah pihak keluarga masing-masing ketika keduanya masih samasama remaja. Kukatakan dirintis, karena kedua belah pihak keluarga sudah bersahabat karib sejak lama.
t . c Suatu persahabatan sejati yang tidak pernah mempersoalkan latar belakang masin-masing. Keluarga Hardoyo jelas merupakan keluarga yang kaya-raya, sedangkan keluarga Aryanti termasuk keluarga biasa. Ayah Aryanti seorang tentara perwira menengah berpangkat kolonel yang jujur dan apa adanya. Sama seperti ayahku. Kedua keluarga itu sama-sama ingin merekatkan persahabatan sejati di antara mereka melalui perkawinan Aryanti dan Hardoyo yang biasa dipanggil Yoyok.
Semula, Aryanti tidak menyetujui niat baik itu. Dia sudah punya kekasih. Begitupun dari pihak Hardoyo juga tidak ada lampu hijau. Laki-laki muda itu lebih banyak berkutat dengan bisnis dan studinya di luar negeri. Entah sudah punya kekasih atau belum, Aryanti tidak pernah peduli. Karena tinggal di kota yang berjauhan, hubungan mereka berdua memang kurang akrab. Sejak SMA dan kemudian kuliah, Aryanti yang berasal dari Jakarta, berada di Yogya, kota tempat tinggalku. Aku dan Aryanti bersahabat sejak awal dia tinggal di Yogya karena kami duduk di kelas yang sama. Kami mendaftar di perguruan tinggi yang sama, dan sama-sama lulus seleksi dan diterima sebagai mahasiswa di sana. Maka persahabatan kami terus berlangsung.
Setelah diterima di perguruan tinggi tersebut, Aryanti memintaku untuk mencarikan tempat kos yang lingkungannya kondusif bagi para pencari ilmu. Alasannya, tinggal di rumah adik ayahnya, ia tidak bisa leluasa belajar.
t . c Kalau tanteku sedang repot, tidak mungkin kan aku diam saja, padahal aku harus belajar untuk ujian keesokan harinya, begitu alasan yang diberikannya kepadaku.
Kebetulan tetangga sebelah rumahku sudah belasan tahun menyewakan kamar-kamarnya untuk mahasiswi dari luar kota. Pada saat Aryanti memintaku untuk mencarikan tempat kos, salah satu kamar sewaan di rumah tetanggaku itu ada yang kosong. Penghuninya baru saja pulang ke Sumatera setelah menyelesaikan studinya. Maka pindahlah Aryanti ke situ.
Sejak Aryanti tinggal di rumah sebelah, persahabatanku dengannya semakin mendalam. Apalagi Aryanti tidak kembali ke Jakarta. Setelah kuliahnya selesai ia mendapat pekerjaan di Yogya. Oleh sebab itu aku tahu kisah cintanya bersama seorang pemuda asal Kalimantan sejak awal hubungan mereka berdua. Dengan demikian harapan keluarganya dan keluarga Hardoyo untuk bisa berbesanan, semakin hari semakin mengabur. Kedua orangtua masing-masing memang tidak ingin memaksakan kehendak mereka.
Namun ketika kekasih Aryanti selingkuh dan menghamili temannya sendiri, hubungan sepasang kekasih itu pun hancur berantakan. Sejak itu Aryanti tidak lagi peduli terhadap kehidupan pribadinya. Maka ketika orangtuanya dan orangtua Hardoyo menyampaikan keinginan lama mereka untuk berbesanan, gadis itu menyerahkan segala sesuatunya kepada pengaturan mereka.
Aku bukan gadis romantis sepertimu, Retno.
t . c Dengan air mata berlinang, Aryanti memberi alasan penyerahannya itu kepadaku. Jadi biar sajalah perkawinanku diatur orangtua. Mencari sendiri malah menyebabkan hatiku tercabik-cabik begini. Sampai detik ini, sakitnya masih terasakan sampai ke ulu hati.
Kedengarannya kok seperti orang putus asa sih, tegurku waktu itu. Jangan karena kekasih selingkuh, kau lalu mau saja menikah dengan laki-laki yang tidak kaucintai, Yanti.
Aku sudah tidak lagi memercayai cinta, Retno. Jadi yang penting bagiku asal calon suamiku laki-laki yang baik, tulus hati, dan bertanggung jawab, cukuplah. Mas Yoyok bahkan lebih dari itu. Ia laki-laki yang sangat matang melebihi usianya. Pembawaannya penuh perhitungan. Sudah begitu, ganteng pula. Kurasa tidak terlalu sulit bagiku untuk nantinya jatuh cinta kepadanya, begitu ia menjawab perkataanku. Jadi aku akan pulang ke Jakarta dan mulai meniti hidupku dari nol lagi, di sana.
Sepengenalanku terhadap Hardoyo yang baru sekali kulihat, memang tampaknya laki-laki itu termasuk orang baik. Tidak banyak bicara dan air mukanya jernih. Jadi akhirnya aku tidak mau ikut campur lagi meskipun cuma mengemukakan pendapat. Lebih-lebih ketika Aryanti menceritakan kisah percintaan teman kami yang selama bertahun-tahun bagaikan percintaan Romeo dan Yuliet namun tiba-tiba saja putus karena masuknya orang ketiga. Kemanisan demi kemanisan yang mereka untai bersama dan pernah membuat
t . c teman-teman merasa iri, hancur lebur tanpa makna. Menyaksikan kenyataan yang tidak pernah kami sangka itu, aku dan Aryanti sampai tertegun-tegun.
Itulah kenyataan yang sering terjadi. Maka aku mau yang realistis sajalah, Retno. Memimpikan percintaan yang bagaikan Ratih dan Kamajaya hanya akan menimbulkan kekecewaan di belakang hari. Apalagi aku bukan gadis yang romantis. Jadi biarlah hidupku bagaikan air. Aku mengikuti saja alirannya, kata Retno.
Jadi begitulah, sepuluh bulan yang lalu Aryanti menikah dengan Hardoyo atau Mas Yoyok. Aku sengaja terbang ke Jakarta dan beberapa hari menginap di rumah kakakku untuk menghadiri perkawinan mereka yang luar biasa meriah. Setelah menikah, Aryanti melepaskan pekerjaannya karena sang suami menginginkan ia menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.
Kalau aku ingin berkarier, Mas Yoyok tidak keberatan asalkan di salah satu perusahaannya, begitu Aryanti pernah bercerita kepadaku melalui HP-nya. Tetapi nanti-nanti sajalah. Sekarang aku ingin berkarier sebagai ibu rumah tangga dulu seperti yang diinginkannya. Bukankah sebagai istri aku harus menuruti keinginan suami"
Aku tidak sependapat dengan Aryanti. Menurutku, suami dan istri harus saling berbagi dalam suka dan duka. Suami-istri tidak boleh saling mengekang kebebasan untuk berekspresi dan merealisasikan potensi masing-masing sejauh itu tidak merugikan pihak yang lain. Yah, dalam banyak hal Aryanti memang berbeda
t . c dengan diriku. Tetapi di situlah kami bisa saling berbagi, saling mengisi, dan saling melengkapi sehingga persahabatan kami bisa berlangsung sampai lebih dari dua belas tahun lamanya. Tetapi aku tidak menyukai kehidupan seperti yang dijalani Aryanti, karena menurutku sangat tidak menarik. Tidak ada tantangannya. Di kota kelahiranku, aku punya pekerjaan yang menarik dan aku senang menggelutinya. Seperti penilaian Aryanti mengenai diriku, boleh dikata aku ini termasuk gadis romantis. Aku berpacaran dengan Aditya, seorang dosen perguruan tinggi seni di Yogya. Laki-laki itu seniman yang mulai naik daun. Lukisannya laku keras, terutama diminati oleh orang asing. Gaya lukisannya memang memiliki kekhasan yang disukai mereka. Dari sekitar empat lukisan saja dia sudah bisa membeli mobil baru yang bagus. Tetapi bukan karena hal itu aku mengaguminya. Melainkan karena sifatnya yang hangat, terbuka, periang, dan tentu saja sangat romantis. Telah tiga kali aku menjadi model lukisannya. Dan di sepanjang proses penyelesaian lukisannya, laki-laki itu bersikap luar biasa hangat terhadapku sampai aku harus sering mengingatkannya.
Jangan berlebihan, Adit. Kau sedang kasmaran padaku sebagai model. Bukan sebagai kekasihmu, kataku sambil memijit hidungnya. Saat itu hampir saja aku terlena oleh cumbuan-cumbuan Aditya yang luar biasa memabukkan. Untungnya aku lekas sadar bahwa hubungan kami masih sebagai sepasang kekasih. Bertunangan saja pun belum. Rencana Aditya untuk membawa keluarganya melamarku ke rumah, baru bulan
t . c depan akan dilaksanakan. Jadi aku tidak ingin terjerat api asmaranya, kendati kewarasan otakku nyaris terbang entah ke mana saat laki-laki itu memesraiku dan karenanya sempat kutepis tangan nakalnya yang nyaris meluncur ke dadaku.
Ketika itu Aditya hanya tertawa saja. Setelah mencium bibirku lama sekali, tangannya segera meraih kembali kuas yang tadi sempat diletakkannya ke atas meja. Tetapi sorot matanya yang menatapku masih saja diselimuti api asmara, berpendar-pendar bagai cahaya dipermainkan angin sehingga aliran darahku mengalir lebih cepat saat dipandang olehnya.
Kau membuatku tergila-gila, Retno. Dengan bahu telanjang dan rambut hitam tebal panjang seperti itu, kau benar-benar bagaikan dewi, katanya setengah mendesah. Bangga juga hatiku dikagumi sedemikian rupa oleh kekasihku. Tetapi aku tak mau terlena.
Jangan berlebihan, Adit. Kau sedang kasmaran. Emosi dan darah senimu sedang bergejolak saat melukisku. Lanjutkan saja lukisanmu itu, sahutku, menenangkan perasaanku yang melambung. Kalau tidak ingat apa-apa lagi, ingin sekali aku merebahkan tubuhku ke dalam pelukannya. Luar biasa romantis kekasihku itu.
Sebelum kulanjutkan, aku boleh menciummu sekali lagi, kan" pinta lelaki itu. Kalau tidak, konsentrasiku bisa buyar.
Aku ingin mengatakan tidak, tetapi darahku sudah telanjur bergelora. Jadi kuanggukkan kepalaku. Tetapi sebentar saja lho ya....
t . c Oke. Aditya segera meletakkan kembali kuasnya dan mendekati aku yang sedang duduk di sofa. Tangannya merengkuh tubuhku dan dengan mendesah diciuminya bahuku yang telanjang.
Mm, lembut dan halus sekali kulitmu. Laki-laki itu menatapku mesra untuk kemudian meluncurkan wajahnya ke bahuku lagi. Kini sambil menyingkirkan kain Bali yang melilit dadaku sehingga apa yang sejak tadi kusembunyikan rapat-rapat, tampak menyembul. Dengan mendesah, Aditya bermaksud menciumi ujungnya, tetapi aku segera beringsut menjauh sambil membetulkan lilitan kainku.
Katamu tadi cuma mau menciumku sebentar saja, kataku mengingatkan. Awas lho, jangan biarkan kepala kita dijerat setan.
Retno, biarkan aku mencumbumu, sedikit saja& tak perlu sampai tuntas& Aditya mencoba mendekatiku lagi. Tetapi otakku sudah normal kembali. Jadi kudorong laki-laki itu.
Sudahlah, Mas, jangan macam-macam. Belum waktunya! kataku mengingatkan. Suaraku tegas. Kalau kau tetap memaksaku juga, aku pulang sekarang. Oke... oke..., sahut Aditya. Jangan marah. Untunglah selama kami berpacaran, aku memang tidak pernah tersulut api asmara sampai sedemikian rupa. Akal sehatku masih bisa kuajak berpikir secara lurus dan benar kendati Aditya penuh dengan gelora asmara& Oleh sebab itulah ketika di suatu hari aku menemukan laki-laki itu sedang mencumbu modelnya yang lain di studionya, aku mampu bersikap terkendali
t . c kendati darahku memanas sampai ke ubun-ubun di kepalaku. Kupahami, laki-laki itu sedang kasmaran terhadap model lukisannya sendiri. Dia masih belum bisa menguasai diri dan tak mampu memisahkan antara kenyataan dan dunia maya yang dihadirkannya melalui lukisannya. Setidaknya, itulah yang kupikirkan saat memergokinya tengah bergelut mesra dengan Sari, model lukisannya. Namun meskipun aku cukup memahami situasinya, detik itu juga aku memutuskan hubunganku dengan Aditya. Apa pun protesnya dan apa pun yang dikatakannya sehubungan dengan rencana keluarganya yang akan segera melamarku, pendirianku tetap teguh tak tergoyahkan. Aku tidak ingin lagi berhubungan dengan laki-laki itu. Cukup sampai sekian saja keterikatan kami. Titik.
Begitulah, aku sedang dalam keadaan menjomblo alias kosong saat mengurus cutiku guna memenuhi permintaan Aryanti untuk berlibur di rumahnya. Kedua orangtuaku yang mengetahui penyebab putusnya hubunganku dengan Aditya merasa senang aku mau menghabiskan cutiku bersama Aryanti di Jakarta.
Sudah saatnya kau mencari suasana lain, Retno. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kepahitan, begitu ibuku berkata.
Ya. Di dunia ini bukan cuma Aditya saja satu-satunya lelaki, Bu, jawabku dengan gagah. Lagi pula kebahagiaan dan masa depanku tidak ditentukan oleh keberadaan laki-laki seperti Aditya.
Kau betul, nduk. Ibu setuju pada pendapatmu, katanya. Masa depanmu ada di tanganmu sendiri kok.
t . c Sama seperti manusia di mana-mana, laki-laki ataupun perempuan, aku juga seorang pribadi otonom yang mempunyai hak untuk menentukan diriku sendiri dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Keberadaanku sebagai individu tidak tergantung pada siapa pun. Itulah yang selalu kusadari. Aku sangat tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa perempuan atau istri berada di bawah superioritas laki-laki. Aku juga tidak setuju pada ajaran yang mengatakan bahwa istri harus menempati posisi subordinat sehingga menyang swargo nunut, menyang neroko katut . Seolah perempuan sangat tergantung pada laki-laki dan tidak punya kekuatan untuk melakukan sesuatu atas nama dirinya sendiri. Suami ke surga, istri hanya ikut saja dan kalau sang suami masuk neraka, maka sang istri terbawa. Memangnya barang"
Ya, Bu, begitu kutanggapi perkataan ibuku tadi. Masa depanku ada di tanganku sendiri.
Jadi, pergilah ke Jakarta dan nikmati liburanmu di rumah Yanti. Penuhi keinginannya untuk bersama-sama denganmu lagi seperti di masa lalu, kata ibuku lagi.
Maka begitulah hari pertama cutiku aku langsung terbang ke Jakarta. Yanti memaksa untuk membiayai perjalananku.
Naik kereta api terlalu lama, Retno. Aku ingin segera bertemu denganmu.
Aku kenal betul siapa Aryanti. Dalam hal-hal tertentu, dia sukar dibantah. Tetapi bukan karena itu aku mau memenuhi segala kemauannya, melainkan karena aku mendengar lagi nada kesepian itu dari mulutnya.
t . c Bagiku, hal itu agak aneh. Jakarta adalah tempat kelahirannya. Di kota itu kedua orangtua dan saudarasaudaranya tinggal. Di kota itu pula teman-teman lamanya berada. Dan terutama di sanalah ia tinggal bersama suaminya.
Namun apa pun pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku, aku hanya menyimpannya sendiri. Bahkan aku tak mau memikirkannya terlalu jauh, sebab mungkin saja aku keliru mengartikan kerinduannya untuk bertemu denganku. Lebih-lebih kalau diingat aku dan Aryanti telah bersahabat karib selama dua belas tahun dengan keakraban yang berkualitas. Hubungan kami harmonis dan berada dalam situasi ketersalingan yang memperkaya masing-masing pihak. Jadi mungkin saja selama hampir satu tahun ini Aryanti merasa kehilangan seseorang yang selama ini sehati dan sejiwa dengannya.
Karena pikiran itulah ketika turun dari mobil Aryanti yang menjemputku di bandara, perasaanku terganggu oleh apa yang kusaksikan saat kedua belah kakiku menapaki halaman rumah besarnya itu. Di teras depan istana emas yang luas, teduh, dan tampak cantik dengan pot-pot besar berisi macam-macam tanaman, di antaranya gelombang cinta yang tingginya nyaris mencapai atap, aku melihat Aryanti berdiri di depan pintu, menungguku. Wajahnya tampak berseri-seri saat melihat kedatanganku.
Retno& Ia menyebut namaku dengan hangat, menyiratkan kerinduannya.
Untuk beberapa detik lamanya aku tertegun, tidak
t . c segera berlari menghambur ke pelukannya seperti yang kubayangkan selama perjalanan dari bandara tadi. Aryanti yang kulihat sekarang berbeda dengan Aryanti yang selama ini kukenal. Wajahnya memang tampak lebih cantik. Tetapi bukan itu yang menyebabkan perasaanku terganggu. Rambutnya terlalu rapi untuk dia yang biasa membiarkan rambutnya diburai angin nakal. Rias wajahnya membuat kulit mukanya tampak halus dan ranum. Tentu saja itu karena make up-nya yang sempurna. Pakaiannya bagus, terbuat dari bahan berkualitas. Pasti mahal kendati potongannya sederhana. Dan pada pergelangan tangannya terlilit gelang emas bertatah berlian, sama seperti perhiasan yang ada di sepasang telinganya. Sementara itu kakinya bertumpu pada selop tinggi dengan model yang mempercantik kakinya yang berbentuk indah. Pendek kata, semua yang ada pada diri Aryanti tampak serba pas dan sempurna.
Namun seperti yang sudah kukatakan tadi, perasaanku justru terganggu oleh apa yang tertangkap pandang mataku, sebab yang kulihat itu bukan Aryanti seperti yang kukenal selama ini. Aryanti yang kusaksikan sekarang adalah perempuan muda cantik, yang jika dilihat sepintas lalu saja orang akan mengerti bahwa dia orang kaya yang tahu menempatkan semua yang melekat pada tubuhnya secara pas. Tidak kurang tidak lebih. Bagus. Sangat bagus, malah. Cocok dengan istana emas tempatnya tinggal.
Tetapi sekali lagi, bukan seperti itulah Aryanti yang kukenal. Sebab sama seperti diriku, dia juga suka me-
t . c makai pakaian yang biasa-biasa saja tetapi enak dipakai dan enak dilihat, membuat orang tidak merasa segan untuk berpapasan dengan kami jika berjalan di tempat yang ramai. Mereka tidak perlu merasa khawatir akan mengusutkan pakaian kami. Oleh karena itulah aku pangling melihat penampilan Aryanti yang tidak seperti biasanya itu.
Retno..., kudengar lagi bibir Aryanti mendesahkan namaku.
Mendengar suara itu lagi, batinku langsung terketuk. Maka kubuang jauh-jauh rasa asing yang sempat menyelinap di hatiku dan aku segera terbang ke arahnya. Kami pun berpelukan.
Kalau ada yang menyaksikan kami berdua sedang berpelukan seperti itu, aku yakin dia akan melihat dua perempuan muda yang serba bertolak belakang sedang melepas kerinduan dengan penuh keakraban. Bagaimana tidak" Saat itu rambutku yang agak berantakan setelah dipermainkan angin ketika turun dari pesawat tadi kubiarkan saja tanpa kusisir lagi. Pakaianku serba santai. Kukenakan celana jins ketat dengan atasan kaus yang mencetak tubuh. Di belakangku tergantung tas punggung kecil sebagai ganti tas tangan, sementara sepatu yang kukenakan juga bukan sepatu lady sehingga keseluruhan diriku mengesankan serbasantai dan sederhana. Sangat berbeda dengan penampilan Aryanti yang serba wah dan sempurna itu.
Kau pasti pangling melihatku ya& " Aryanti berbisik di sisi telingaku, merenggutku dari pengembaraan lamunanku. Hm, rupanya dia mengetahui perasaanku.
t . c Tidak. Kau tetap secantik yang kubayangkan, Yanti. Bahkan lebih cantik...
Jangan menjawab pertanyaan yang tidak kutanyakan, Aryanti memotong perkataanku sambil melepas tubuhnya dari pelukanku, kemudian tertawa lembut menatapku. Kau pasti tahu maksud pertanyaanku tadi. Jadi ayolah, hatiku masih seperti yang dulu. Kau boleh bicara apa saja dan berterus terang apa pun seperti biasanya....
Yah, kau memang tampak lain...
Sehingga membuatmu agak tertegun-tegun saat melihatku tadi, kan" Aryanti menyela bicaraku lagi. Mengaku sajalah, Retno.
Iya sih. Aku tersipu, mengakui apa yang dikatakannya itu.
Pasti ada alasannya. Katakan saja. Toh aku sudah tahu apa yang ada di hatimu. Aryanti tertawa lagi. Yah, kau& kau seperti...
Boneka Barbie ya" Atau boneka yang ada di etalase butik" lagi-lagi Aryanti memotong bicaraku. Dan lagilagi pula dia tertawa.
Seharusnya aku merasa lega melihatnya berulang kali tertawa. Prasangka burukku tidak terbukti dan Aryanti tampak bahagia. Tidak mengalami kesepian seperti yang kusangka. Tetapi, tidak. Aku masih lebih memercayai intuisiku daripada apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Senyum perempuan itu tidak menembus ke lubuk hatinya yang terdalam. Aku yakin itu. Namun kali ini aku tidak ingin masuk ke dalam pembicaraan yang serius. Belum saatnya.
t . c Ya, boneka Barbie yang cantik, kataku mengikuti arah angin yang diembuskan Aryanti tadi. Tetapi bukan itu masalahnya. Aku cuma merasa heran, kau bisa tampil beda dengan kebiasaanmu selama ini. Aku kenal betul siapa dirimu, Yanti. Meskipun kita berbeda dalam banyak hal, tetapi dalam hal penampilan dan berpakaian, kita sama. Tak suka terlalu modis kalau tidak sangat perlu. Ribet dan tak bebas. Ya, kan"
Ya, memang.... Senyum Aryanti lenyap dengan seketika. Tetapi Mas Yoyok ingin aku selalu tampak rapi dan enak dipandang mata. Alasannya, kalau ada tamu atau anak buahnya datang ke rumah, aku bisa tampil sebagaimana layaknya istri bos.
Itu bukan masalah, Yanti. Asalkan hatimu merasa senang dan ikhlas demi suami, cukuplah.
Aryanti menatapku beberapa saat lamanya baru kemudian menanggapi perkataanku.
Susahnya, Retno, hatiku tidak senang. Capek aku kalau harus mengikuti kemauan Mas Yoyok, katanya kemudian. Suaranya terdengar lelah. Aku sudah mengikuti sarannya untuk kursus ini dan kursus itu. Di antaranya kursus keluwesan dan kursus merias wajah. Sulit mengelak dari apa yang dimauinya itu. Tetapi yah, demi suami aku menuruti saja apa maunya meskipun aku tidak suka.
Tambah pengalaman dan pengetahuan apa pun isinya, pasti menyenangkan. Ya, kan"
Tetapi apa senangnya sih menjadi boneka Barbie" Otonomi pribadiku seakan terpasung oleh kehendak di luar diriku.
t . c Aku menahan napas. Belum lagi seperempat jam aku bertemu dengan sahabatku ini, tetapi ia sudah menumpahkan ganjalan perasaannya. Namun dengan begitu, aku semakin yakin bahwa prasangkaku memang benar. Aryanti merasa tak nyaman menjadi pendamping seorang bos. Kebebasannya terpasung. Aku tahu betul sifat Aryanti. Sama seperti diriku, dia juga tidak suka dirinya diatur-atur hanya untuk hal-hal yang bukan prinsip.
Tetapi aku tidak mau menambah beban perasaannya. Maka sambil berjalan masuk ke rumah yang kunamakan istana emas itu kuajak dia untuk berpikir netral dan objektif. Sementara itu seorang pembantu rumah tangga yang keluar dari pintu samping, langsung mendorong koper dan bawaanku yang lain masuk ke dalam rumah melalui pintu tempat dia keluar tadi. Dia pasti sudah tahu mana kamar yang akan kutempati selama menginap di sini.
Jangan terlalu berlebihan menilai sesuatu, Yanti. Pasti Mas Yoyok tidak bermaksud mengendalikan dirimu. Aku yakin itu, kataku, mengalihkan kembali perhatianku kepada Aryanti. Dia hanya ingin melihat istrinya selalu tampak oke di mata orang banyak. Terutama di kalangan pergaulannya. Kurasa itu wajar. Kan demi untukmu juga. Bagi teman-teman Mas Yoyok, kau pasti memiliki citra tersendiri.
Ya, citra yang bukan citra diriku yang paling mendasar. Alias, citra tempelen belaka. Aryanti mendengus. Air mukanya tampak keras.
Sudah kukatakan tadi, jangan memandang sesuatu
t . c secara berlebihan. Biarkan sajalah semua itu mengalir seperti apa adanya. Ikuti saja alirannya. Dalam kehidupan bersama orang lain, acapkali kita memang harus bisa menurunkan idealisme yang ada di ubun-ubun kita agar bisa bersekutu dengan realitas yang ada di hadapan mata. Cari saja hikmah yang ada di baliknya. Pasti ada .
Yah& mungkin kata-katamu itu ada benarnya, Retno. Suara Aryanti mulai terdengar pelan. Air mukanya juga tampak melembut.
Ada benarnya atau tidak, yang penting kau harus bisa bersikap lebih kompromis. Kalau tidak, kau sendiri yang akan terbentur-bentur saat menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan kata hatimu.
Aryanti mengangguk. Akan kucoba. Ia mendesah pelan. Kemudian diam. Kesempatan itu kupakai untuk mengalihkan pembicaraan. Tak enak rasanya, baru datang sudah membicarakan hal-hal yang sensitif.
Yanti, tebaklah, aku bawa oleh-oleh apa untukmu"
Bakpia" Ya, oleh-oleh khas Yogya itu pasti ada. Tetapi ada yang lebih khusus lagi. Apa, hayo"
Wajik Magelang kesukaanku. Ah, aku jadi ingat masa lalu. Kulihat mata Aryanti mulai berseri-seri. Hatiku tersentuh melihatnya.
Seperti diriku, ada sebersit kenangan manis yang singgah di benak kami tentang apa yang pernah kami untai bersama dulu. Setiap kali libur semester, kami
t . c berdua selalu mencari oleh-oleh buat keluarganya di Jakarta. Apa pun oleh-oleh yang dipilih Aryanti, selalu merupakan kesukaannya, sehingga sering kugoda dia, mau membeli oleh-oleh untuk keluarganya atau untuk dirinya sendiri.
Wajik Nyonya Week juga kubawa meskipun aku membelinya di Yogya. Aku tertawa, teringat masa lalu. Aku memang membawa beberapa makanan kesukaan Aryanti untuk menyenangkan hatinya. Masih ada dua lagi oleh-olehku yang belum kausebut. Tebaklah. Geplak"
Bukan. Kau kan tidak begitu menyukainya. Aryanti menelengkan kepalanya, menatap mataku sesaat lamanya. Kemudian tertawa.
Aku tahu, kau membawa serundeng pedas. Aduh, aku kangen sekali ketan urap serundeng pedas, serunya. Ya, kan"
Ya, betul. Aku tersenyum.
Nanti akan kusuruh Popon membeli ketan yang bagus, yang pulen, Aryanti berkata dengan penuh semangat. Aku suka ketan.
Aku juga suka. Sore-sore habis mandi, makan ketan urap serundeng pedas, pasti nikmat rasanya. Minumnya serbat wangi.
Ada serbat wangi" Ada dong. Aku bawa juga. Jadi sudah empat macam oleh-oleh yang kaubawakan untukku. Semuanya serba-asyik. Aryanti tertawa lagi. Senang hatiku bisa membuatnya tertawa lepas. Seperti dulu.
t . c Serbat wangi sih bukan oleh-oleh. Aku cuma mengangkutnya dari simpanan Ibu. Dari tempat itu, aku juga mengambil permen tape ketan milik Ibu. Tetapi bukan itu oleh-oleh yang sengaja kubeli untukmu. Ayo tebak, apa"
Apa, ya" Gudeg"
Salah. Kau tidak suka gudeg Yogya yang manis, kan" Lidah Jakarta-mu lebih suka gudeg yang dibuat di sini karena tak terlalu manis. Jadi tentu saja aku tidak membawa gudeg untukmu.
Ah, aku menyerah. Apa sih yang kaubawa" Aryanti menatapku dengan tidak sabar.
Sejak tadi yang kaupikirkan cuma makanan sih, jadi kau tidak bisa menebaknya, sahutku sambil nyengir. Padahal yang kubawa adalah blus batik. Kau pasti menyukainya. Aku tahu seleramu. Sutra, lho. Aduh, itu kan mahal.
Masih lebih mahal tiket pesawat pulang-pergi yang kaubelikan untukku, Yanti.
Wah, kok jadi hitung-hitungan begitu sih! Habis kau yang mulai lebih dulu. Aku cuma mau menyenangkan hati sahabatku yang hampir setahun tak bertemu, sahutku tulus.
Lagi-lagi Aryanti tertawa. Tetapi kali ini disertai ciuman sayang di pipiku.
Aku benar-benar kangen padamu, katanya kemudian sambil mengembuskan napas senang. Puas sekali hatiku, kau mau menghabiskan cutimu bersamaku di sini.
Aku juga senang bisa bersamamu lagi.
t . c Kalau begitu sering-sering ke sini, Ret. Tidak usah menunggu cuti. Kalau ada libur yang berdekatan dengan hari Minggu, datanglah ke sini. Aku yang akan membayari tiketmu.
Oke. Tetapi biarkan aku sendiri yang membayar tiketnya.
Karena aku yang memintamu datang, maka aku yang harus membayar tiketmu. Titik. Aryanti menatap mataku dengan serius. Jangan membantah untuk urusan kecil begini, Retno.
Baiklah. Kalau hal itu membuat Aryanti merasa senang. ya sudah. Uangnya yang banyak pasti tidak akan terasa berkurang kalau hanya untuk membeli tiket pesawat terbang pulang-pergi bagiku.
Begitulah aku dan Aryanti mengobrol berlama-lama untuk memuaskan kerinduan kami berdua. Bahkan usai makan siang, dia masuk ke kamar tidur yang disediakan untukku dan kami melanjutkan mengobrol sambil tiduran. Ada-ada saja yang kami bicarakan dan ada-ada saja yang kami tertawakan. Tetapi ketika jam menunjuk pukul lima lebih, tiba-tiba suasana mulai berubah. Wajah Aryanti berubah menjadi lebih serius.
Aku harus mandi sekarang, Retno. Sebentar lagi Mas Yoyok datang. Istirahatlah dulu. Mudah-mudahan ketannya sudah matang. Habis mandi, kita bisa makan ketan urap serundeng pedas di teras belakang, kata Aryanti sambil turun dari tempat tidur. Setuju" Oke, sahutku.
Kutatap punggung Aryanti yang sedang berjalan menuju pintu dengan perasaan yang mulai terganggu
t . c lagi. Entah, seperti apa kehidupannya sekarang, aku tidak tahu. Tetapi rasa-rasanya seperti ada yang kurang beres. Aku harus bisa mengetahui apa yang tidak beres itu. Aku tak bermaksud apa-apa selain membantu Aryanti agar ia mampu menjalani kehidupannya dengan hati yang damai.
t . c S ORE-SORE setelah mandi aku dan Aryanti duduk
berdua lagi. Kali ini kami berada di teras belakang rumahnya. Teras yang lebar dan teduh dengan seperangkat kursi rotan halus yang nyaman diduduki karena joknya didesain sedemikian rupa untuk duduk bersantai. Kami duduk menghadap ke halaman luas yang tertata dengan indah dan terasa asri. Di atas meja, terdapat sepiring ketan urap serundeng pedas dan dua cangkir serbat wangi panas yang aromanya mengambang di sekitar kami.
Di ujung halaman, di balik perdu dan pilar-pilar yang disandari tanaman hias berbunga-bunga ungu dan pink yang terlihat dari tempat dudukku, terdapat anak tangga menuju ke halaman lain yang lebih rendah. Di sana terdapat kolam renang berikut fasilitasnya. Siang tadi waktu berkeliling rumah bersama Aryanti sambil mengobrol, aku sempat melihat kursi-kursi malas untuk berbaring bagi mereka yang ingin beristirahat sesudah
Dua t . c berenang. Aku juga melihat semacam pendopo luas dengan meja bar di sudutnya, berikut lemari pendingin berisi berbagai macam minuman ringan serta beberapa perangkat kursi. Kelihatannya, tempat itu biasa dipakai untuk pesta taman karena aku melihat pemanggang barbecue berukuran besar di situ. Kemudian juga kulihat kamar mandi mewah di sudut halaman untuk mereka yang ingin membilas tubuh sesudah berenang. Sungguh, rumah ini layak disebut sebagai istana emas. Serba ada dan serba mewah.
Kau sering berenang di situ, Yanti" aku bertanya hanya sekadar mengisi pembicaraan saja. Setelah mandi sore dan memakai pakaian yang rapi dan make up yang memperjelas kecantikannya, Aryanti tampak tak seriang tadi ketika kami mengobrol di kamarku. Isi pembicaraan kami juga terasa lebih serius. Nyaris tidak ada canda dan tawa seperti tadi lagi.
Hanya sesekali saja aku berenang di situ. Itu pun untuk menemani istri teman-teman bisnis Mas Yoyok yang datang ke sini, jawab Aryanti atas pertanyaanku tadi.
Mereka sering membicarakan bisnis di sini" Kuajukan pertanyaan itu untuk mengetahui apa saja kesibukan Aryanti setelah menjadi istri seorang pengusaha sukses seperti Mas Hardoyo.
Tidak terlalu sering. Kau menyukai kehidupan seperti itu, Yanti" Mendengar pertanyaanku Aryanti menatapku sekilas, kemudian tersenyum. Senyum yang terasa hambar.
t . c Kira-kira bagaimana, menurutmu" Bukannya bertanya, Aryanti malah membalikkan pertanyaan kepadaku.
Wah, mana kutahu" aku mencoba mengelak. Tetapi setidaknya pasti ada sesuatu yang muncul di hatimu. Kalau tidak, tak mungkin kau bertanya seperti itu kepadaku. Aku kenal dirimu dengan baik, Retno. Jadi..."
Jadi katakan saja apa yang kaulihat, kaudengar, dan kaupikirkan mengenai kehidupanku.
Aku tidak ingin segera menjawab pertanyaan Aryanti. Maka kubiarkan saja pertanyaannya mengambang di udara. Tetapi sahabatku rupanya tidak puas oleh sikapku. Ia mendesakku lagi.
Retno, aku ingin tahu apa pendapatmu! Suaranya terdengar mengandung tuntutan.
Jangan mendesakku, Yanti.
Aku tidak mendesakmu, Retno. Aku hanya ingin mendengar kejujuranmu. Aryanti mengerucutkan bibirnya ke arahku. Kebiasaan lamanya sebagai gadis manja, muncul.
Yanti, aku baru saja datang hari ini, jadi belum melihat dan mendengar banyak mengenai bagaimana kehidupanmu sehari-hari. Kalau kau memang ingin mengetahui pendapatku, tunggulah dalam sehari dua hari ini..., aku masih mencoba mengelak.
Aku justru ingin mengetahui pendapat dan kesan pertama yang kaudapat dari yang sedikit itu, Retno. Ayolah, jangan pelit-pelit. Aku tidak apa-apa kok. Cuma sekadar ingin tahu saja.
t . c Aku melihat ke arah Aryanti sejenak, baru kemudian menjawab pertanyaannya.
Baiklah, sahutku, terpaksa. Secara sepintas aku melihat kau masih berada dalam proses penyesuaian diri dengan kehidupan barumu yang serba wah. Maaf, kalau aku salah.
Kenapa mesti minta maaf sih. Apalagi yang kaukatakan itu benar, sahut Aryanti. Cuma saja kau tidak mengatakan dengan terus terang tentang lamanya proses adaptasi yang belum selesai kulalui, padahal hampir sepuluh bulan lamanya pernikahanku dengan Mas Yoyok berjalan. Aku berani taruhan, kau pasti memikirkan hal itu. Mengaku sajalah.
Ya, kuakui itu. Tetapi sebagai sahabatmu, aku bisa memahami dirimu kenapa proses itu berjalan lambat. Kenapa menurutmu"
Karena kau belum pasrah, Yanti.
Ya... memang begitu. Aku bahkan sering merasa tertekan. Tidak mudah bagiku memasuki dunia gemerlap yang selama ini berada jauh dari kehidupanku. Kau tahu kan, aku tidak menyukai cara pandang dengan sentral dan tolok ukur pada kemewahan, harta, uang, kedudukan, jabatan, dan kesuksesan. Tetapi itulah tolok ukur di lingkup pergaulan Mas Yoyok, dan sekarang menjadi lingkup pergaulanku juga. Orang yang dinilai sukses adalah orang yang berhasil mengumpulkan harta, dan seterusnya. Kan itu tidak tepat. Kadangkadang& aku merasa telah salah melangkah masuk ke dunia yang bukan duniaku.
Kalau kau sadar mengenai hal itu, gampang
t . c mengatasinya. Bersahabatlah dengan realita yang ada, jangan menentangnya, kataku. Memasuki suatu dunia yang bukan dunia kita, tidak harus dengan penolakan bahwa kita tak bisa menyatu di sana. Paling tidak, pahami sajalah agar kau tidak merasa tertekan.
Baiklah, Retno, saranmu akan kucoba. Aryanti mendesah pelan. Terima kasih.
Kuusap lengannya dengan lembut.
Kau pasti bisa, kataku kemudian. Ingatlah bahwa tidak semua yang kita inginkan atau kita cita-citakan, bisa tergapai. Aku tahu seperti apa impianmu tentang kehidupan perkawinan. Bahwa sekarang seperti ini yang kauhadapi, terimalah itu dengan ikhlas. Kalau tidak, kau sendiri yang akan terbentur-bentur. Lagi pula, bukankah tidak ada orang yang memaksamu untuk memasuki kehidupan seperti ini" Kau sendiri yang telah memilihnya.
Ya, kau benar. Suara Aryanti terhenti oleh suara langkah kaki dari arah dalam rumah. Kepalaku dan kepala Aryanti secara serentak menoleh ke arah asal suara. Dari dalam, Mas Yoyok muncul dan mulai menapaki teras, melangkah menuju ke tempat aku dan Aryanti sedang berbincangbincang.
Lho, sudah pulang tho, Mas. Aku tidak mendengar suara kedatanganmu, kata Aryanti, menyambut sang suami. Tumben pulang cepat.
Kan di rumah ada tamu dari jauh, sahut Mas Yoyok sambil mendekat ke arahku dan mengulurkan tangannya padaku. Apa kabar, Jeng Retno"
t . c Baik, Mas. Tetapi tolong, panggil namaku saja. Tidak usah pakai jeng-jeng-an segala. Seperti orang tua, sahutku sambil tertawa. Kusambut jabat tangannya. Genggamannya terasa tegas dan pasti.
Aku bertemu Mas Yoyok baru beberapa kali. Seingatku, laki-laki itu termasuk laki-laki yang gagah, tinggi, cukup ganteng, dan selalu tampil prima. Tetapi sekarang aku menangkap air muka yang terlalu serius dan tampak lebih tua daripada usianya. Dari pengalamanku bergaul dengan banyak orang, laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun lebih pantas memakai pakaian yang ringan, kecuali kalau sedang dalam pertemuan resmi. Tidak seperti Mas Yoyok dengan pakaian beratnya, setelan jas berwarna gelap dan bersepatu kulit. Apalagi air mukanya tegang. Orang-orang seperti dia bisa kehilangan keceriaan masa muda kalau terlalu lama berada dalam situasi serius saat melayari kehidupannya.
Jika dilihat secara sepintas, Mas Yoyok tidak ada bedanya dengan laki-laki sukses lainnya, terutama yang umurnya di atas usianya. Tidak ada yang istimewa padanya. Kerapihan, ketampanan, dan pakaiannya yang rapi dan terbuat dari bahan pilihan itu bukan monopoli dirinya saja. Ada banyak eksekutif muda berpenampilan seperti dia. Namun menurut pandang mataku yang cukup jeli, aku sempat melihat perbedaannya dari yang lain. Pertama, Mas Yoyok tampak lebih tua daripada umurnya. Kedua, aku menangkap sorot mata yang tajam memancar, yang menurut pengalaman menunjukkan otak yang cerdas dan keseriusan dalam menangani
t . c pekerjaan. Ketiga, jabat tangannya yang tegas, kuat, dan tanpa sikap canggung barang secuil pun itu menyebarkan kesan bahwa ia orang yang mampu menguasai keadaan, tahu bagaimana memimpin, dan berani mengambil keputusan keputusan besar. Keempat, Mas Yoyok termasuk orang yang terlalu serius menghadapi segala hal yang ada di hadapannya sehingga penampilannya kurang sesuai dengan usianya yang masih muda. Seperti sekarang ketika menghadapi diriku, misalnya, aku menganggapnya kurang santai, kurang familiar, dan sikapnya terlalu formal untuk sahabat karib istrinya sendiri. Bukankah ini di dalam rumahnya sendiri, bukan di kantor atau di ruang-ruang publik yang mungkin saja mengharuskannya bersikap tertentu.
Oke, kalau Retno maunya begitu, aku akan memanggilmu dengan nama saja, begitu Mas Yoyok menanggapi perkataanku tadi tanpa basa-basi. Yah, seperti genggaman tangannya, bicaranya pun sama tegas dan jelasnya. Bagaimana keadaan orangtuamu di Yogya" Mereka baik-baik juga. Terima kasih. Jam berapa tadi tiba di rumah ini" Sambil bertanya seperti itu, Mas Yoyok mulai duduk di dekat pilar.
Sekitar jam sepuluh, Mas.
Berarti sudah setengah harian lebih berada di sini. Bagaimana perasaan Retno" Senang"
Tentu saja senang. Hampir satu tahun aku tidak berjumpa dengan Yanti. Padahal dulu ketika masih sama-sama tinggal di Yogya, setiap saat kami bertemu. Waktu masih SMA, kami sering belajar bersama.
t . c Begitupun ketika kuliah, kami juga sering belajar dan jalan sama-sama. Mencari camilan di Malioboro, misalnya. Tetapi sekarang, tempat tinggal kami berjauhan sehingga sama-sama merasa kehilangan. Tentu saja perjumpaan ini sangat menyenangkan, Mas.
Begitu, rupanya. Tetapi bagaimana dengan rumah ini" Senang berada di sini" Kudengar ada nada bangga tersirat dalam suaranya. Aku menangkap suara anak muda di dalam pertanyaan Mas Yoyok. Dengan perkataan lain, betapa pun penampilan tua yang diperlihatkan Mas Yoyok, tetapi sifat kekanakan yang ada di bawah sadarnya tersingkap juga lewat pertanyaannya. Dia ingin mengetahui tanggapanku mengenai rumahnya, rumah yang ia bangun dengan hasil keringatnya sejak masih usia muda. Sebenarnya hal yang wajar jika seorang anak muda merasa bangga atas hasil besar yang dicapainya.
Sayangnya aku tidak bisa menjawab pertanyaan Mas Yoyok itu dengan terus terang. Tak mungkin kujawab bahwa aku tidak suka tinggal di rumah yang telah menyebabkan sahabat karibku merasa tertekan. Jadi aku memilih jawaban yang umum saja.
Tentu saja aku senang berada di rumah ini sebab ada Yanti di dalamnya! aku menjawab diplomatis. Aku tidak mau membuatnya merasa bangga dengan istananya yang mewah dan bagus tetapi yang terlalu angker dan tua untuk penghuninya yang masih muda-muda itu. Namun aku juga tidak ingin sang tuan rumah merasa kecewa. Jadi kujawab saja secara diplomatis meskipun aku ingin mengatakan bahwa istana emas ini tidak
t . c memiliki kehangatan seperti rumah keluargaku dan karenanya aku tidak suka berada di dalamnya. Bahwa sekarang aku ada di sini, itu semata-mata karena sahabat karibku tinggal di sini.
Tiba-tiba aku tersentak sendiri saat kata hangat itu menyelinap di benakku. Aku mulai sadar, mengapa sampai sekarang Aryanti masih belum juga merasa menjadi bagian dari rumah ini bahkan merasa masih berada dalam proses adaptasi yang belum juga usai. Rupanya, masih belum ada kehangatan di dalam hatinya. Aku yakin, kalau kehangatan ada di dalam rumah ini, orang akan mudah merasa kerasan tinggal di dalamnya. Oleh sebab itu menurutku, rumah sebagus apa pun kalau kurang kehangatan di dalamnya, belum layak dinamakan rumah, tetapi lebih tepat disebut bangunan. Dan menurutku pula, rumah ini hanyalah istana emas belaka. Dengan perkataan lain, kalau rumah ini tidak ada Aryanti di dalamnya, aku pasti tidak akan suka tinggal di sini meskipun hanya semalam saja. Kuharap Mas Yoyok menangkap apa yang tersirat dari jawabanku tadi.
Mudah-mudahan Retno senang berlibur di sini, kudengar Mas Yoyok berkata lagi. Suaranya terdengar hambar. Hmm, apakah dia menangkap maksud yang tersirat dari jawabanku tadi"
Ya, mudah-mudahan sajalah, sahutku. Aku merasa Aryanti melirikku dengan tajam. Pasti jawaban-jawabanku atas pertanyaan suaminya tadi kurang disetujuinya. Barangkali saja dia ingin supaya aku memuji-muji rumahnya biar laki-laki itu merasa senang
t . c mempunyai tamu seperti diriku. Tetapi tidak. Aku mau bersikap jujur. Aku tak mau bersikap munaik kendati maksudnya baik. Menurutku, laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun seperti Mas Yoyok, betapapun sukses dan hebatnya dia, mestinya tampil dengan keceriaan dan kebebasan anak muda. Kalaupun harus tampil berwibawa sesuai dengan jabatan dan kedudukannya sebagai pemimpin, biarlah itu ditinggal di kantor saja. Tidak usah dibawa-bawa ke mana-mana. Apalagi sampai ke rumah.
Tetapi tampaknya Aryanti merasa tidak nyaman mendengar obrolanku dengan sang suami. Dia tahu aku tidak menyukai suaminya. Nyatanya cepat-cepat ia memotong pembicaraan dan melemparkan pertanyaan pada Mas Yoyok.
Mas Yok mau minum serbat wangi juga" tanyanya. Ini salah satu oleh-oleh Retno.
Ya. Mas Yoyok mengangguk. Tetapi aku mau mandi dulu.
Aryanti menoleh ke arahku kemudian bangkit dari tempat duduknya.
Sebentar ya, Ret, aku melayani Mas Yoyok dulu, katanya dengan suara pelan.
Aku mengangguk. Kucoba untuk tidak menampilkan wajah tak setuju meskipun hatiku berontak. Lakilaki semuda Mas Yoyok tidak perlu dilayani, menurut pendapatku. Dia masih kuat untuk mengambil sendiri handuknya, menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya, membuat minuman serbat wangi, dan seterusnya lagi. Dia bukan anak kecil. Dia juga bukan orangtua
t . c yang sudah jompo. Dan sekarang ini zamannya orang harus sadar bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam segala hal. Termasuk harkat dan martabat. Seorang istri tidak harus melayani suaminya sampai sedemikian rupa. Kalaupun demikian, harus ada keseimbangan di dalamnya. Suami juga harus bisa melayani istrinya. Keduanya harus sama-sama berusaha saling membahagiakan, saling mendukung, saling berbagi dalam segala hal. Tetapi tampaknya tidak demikian yang terjadi dalam kehidupan perkawinan Aryanti dan Mas Yoyok.
Sepeninggal istrinya, Mas Yoyok juga mulai bangkit dari tempat duduknya, berniat pergi meninggalkan teras belakang yang cantik ini. Tetapi sebelum kakinya melangkah pergi, ia menoleh kepadaku.
Retno sudah berkeliling di rumah ini" tanyanya kemudian.
Sudah. Kudengar dari Yanti, Retno memiliki jiwa seni yang tinggi. Nah, bagaimana pendapatmu mengenai rumah ini" Sudah cukup bagus seperti ini ataukah ada yang harus ditambah atau dikurangi"
Lagi-lagi aku tidak bisa segera menjawab karena tidak enak kalau harus menjawab dengan terus terang dan apa adanya. Melihatku terdiam, Mas Yoyok tidak jadi melangkah pergi. Ia memandangku dengan tatapan tajam.
Sepertinya ada yang kurang menurut penilaian Retno, tetapi sungkan untuk mengatakannya dengan terus terang, katanya kemudian. Betul, kan"
t . c Aku hanya tidak ingin mengecewakan perasaan orang. Lagi pula, Mas Yoyok harus ingat bahwa masalah selera, tiap-tiap orang bisa berbeda satu sama lain, sahutku berdalih.
Tetapi toh ada ciri-ciri kesamaan yang lebih umum sifatnya.
Iya sih& . Jadi secara umum, bagaimana pendapat Retno mengenai rumah ini" dia bertanya lagi.
Wah, kelihatannya Mas Yoyok benar-benar ingin tahu apa pendapatku mengenai istana emas yang berhasil dibangunnya ini. Baiklah, aku akan menjawab apa adanya seperti yang dimauinya& .
Secara umum, tempat ini nyaris sempurna, jawabku kemudian dengan perasaan terpaksa. Serba-ada dan segala sesuatu yang terdapat di sini berada pada tempatnya yang tepat.
Mendengar penilaianku, Mas Yoyok tersenyum senang. Melihat itu aku malah merasa kesal sebab jawabanku itu tidak untuk menyenangkan hatinya, karena memang aku tidak bermaksud demikian. Tetapi tampaknya laki-laki itu tidak menangkap maksudku sebenarnya. Padahal aku ingin agar dia sadar bahwa yang kukatakan nyaris sempurna itu hanya bentuk bangunan isiknya belaka. Bukan rohnya . Jadi kuulangi lagi jawabanku tadi dengan penekanan pada bangunannya.
Tampaknya bangunan ini memang dirancang dengan teliti dan cermat sampai hal yang sekecil-kecilnya. Ya kan, Mas" Dan kelihatan betul bahan-bahan yang dipakai sangat berkualitas dan disesuaikan dengan
t . c kebutuhan dan kegunaannya. Kulihat, bangunan ini bukan hanya tampak indah dan bagus saja hingga sampai ke sudut-sudutnya, tetapi juga merupakan bangunan yang kokoh, kuat, dan meyakinkan, kataku lagi. Disempurnakan pula oleh penataan taman yang asri dan sedap dipandang mata.
Tampaknya Mas Yoyok mulai menyadari adanya udang di balik batu dari jawaban-jawabanku tadi.
Retno hanya menjawab tentang bangunan rumah ini secara isik, padahal yang kutanyakan adalah keseluruhan rumah ini, termasuk berbagai perlengkapan dan perabotannya.
Semua serba-oke kok, Mas. Kalau semua itu merupakan pilihan Mas Yoyok, itu artinya Mas juga mempunyai jiwa seni yang tinggi. Tetapi kalau semua itu merupakan hasil sentuhan ahli-ahli terkait, termasuk penata halaman dan taman, Mas Yoyok telah melakukannya dengan benar karena meminta bantuan kepada orang yang tepat. Apalagi sedikit atau banyak pasti Mas Yoyok punya andil dalam pilihan-pilihan perlengkapannya.
Ya, memang. Tetapi... Alis mata Mas Yoyok terjungkit ke atas. Matanya menatapku lagi dengan tajam. Katakan sajalah. Aku yakin masih ada kalimat dengan awal kata tetapi yang masih belum terucapkan. Penilaianmu belum tuntas terungkap semua, kan"
Jujur, memang ada. Tetapi tidak akan kukatakan sekarang karena aku kan baru setengah hari lebih di sini. Besok-besok saja ya kalau Mas Yoyok ingin mengetahui pendapatku, sahutku mengelak.
t . c Pasti penilaian itu bukan positif sifatnya.... Aku tersenyum sekilas.
Tidak usah dibahas sekarang, Mas. Kesan pertama kan bisa saja keliru. Makanya aku tidak akan mengatakannya sekarang, sahutku. Nah, silakan lho, Mas, kalau mau mandi atau beristirahat.
Baiklah. Aku mandi dulu. Silakan.
Beberapa jam kemudian setelah selesai makan malam, kami bertiga duduk di ruang keluarga menonton televisi sambil mengobrol macam-macam. Selama mengobrol, aku mencoba mencermati sikap pasangan suami-istri itu. Terus terang aku cukup terkejut melihat sikap Aryanti yang tiba-tiba tampil sebagai perempuan yang asing bagiku. Aneh rasanya karena kelincahan, canda ria, dan ceplas-ceplos bicaranya yang dulu ada padanya, bahkan yang juga mewarnai obrolan kami berdua di sepanjang siang hingga sore tadi, petang ini nyaris tak tampak lagi. Ada kehatihatian yang kutangkap dari sikap dan bicaranya. Kebebasannya seperti terpasung, entah oleh apa dan mengapa demikian, aku tidak tahu. Aryanti seperti memakai topeng dan tabir yang selama ini tidak pernah kulihat, terutama jika sedang bersamaku. Sulit sekali aku menerima keadaan seperti itu Asing rasanya. Di manakah Aryanti-ku yang selama dua belas tahun kukenal dengan baik itu"
Namun di atas semua itu, hal yang paling tidak kusukai, bahkan membuatku jadi merasa prihatin, adalah sikap Aryanti yang kadang-kadang dibuat-buat dan
t . c tampaknya hanya demi menyenangkan suaminya. Ada apa sebenarnya" Lalu seperti apa sesungguhnya perkawinan mereka" Sampai umurku dua puluh tujuh tahun begini, aku selalu menyaksikan kehidupan perkawinan yang harmonis di sekitarku. Baik itu di dalam rumah tangga kedua orangtuaku, di rumah tangga pamanku, dan sekarang juga di dalam rumah tangga Mbak Diah, kakak perempuanku, maupun di dalam rumah tangga Mas Bayu, kakak lelakiku. Memang, kadang-kadang Mbak Diah mengomel di depan suaminya kalau sedang jengkel. Lalu kadang-kadang ganti suaminya yang mengomel di depan Mbak Diah. Namun dalam waktu yang tidak lama berselang keduanya sudah tertawa-tawa lagi. Sebaliknya, yang kusaksikan di antara Mas Yoyok dan Aryanti tampak rukunrukun dan damai-damai saja. Keduanya bahkan sama-sama saling mengendalikan diri demi menghargai masing-masing pihak di hadapan tamu. Terutama Aryanti. Tetapi aku menangkap kedamaian dan kerukunan mereka itu merupakan kedamaian dan kerukunan yang gersang. Entah di mana letak ketidakharmonisannya, aku belum melihatnya.
Betapapun eratnya hubunganku dengan Aryanti, seharusnya aku tidak berhak mencampuri urusan rumah tangganya bersama Mas Yoyok. Aku hanya orang luar. Pada dasarnya aku juga tidak suka memasuki wilayah yang menyangkut kehidupan pribadi seseorang biarpun dia keluargaku sendiri. Kecuali kalau aku dimintai pendapat. Namun karena melihat hubungan Aryanti dengan suaminya tampak kurang harmonis,
t . c bahkan ada ketidakbahagian yang tersirat dari pancaran wajah dan sikap sahabatku itu, aku ingin campur tangan untuk meluruskannya demi kebahagiaan mereka. Aku tidak akan membiarkan ketidakberesan itu tetap mengambang di antara mereka berdua. Apalagi kalau kuingat sifat-sifat Aryanti yang sudah kukenal baik selama ini, manja dan periang. Juga masih kuingat betul bagaimana mesra dan manjanya Aryanti terhadap kekasihnya dulu. Tetapi mengapa terhadap Mas Yoyok, laki-laki yang telah menjadi suaminya itu, kemesraan dan kemanjaan sifatnya itu tidak tampak barang sedikit pun" Ataukah karena sikap Mas Yoyok yang kurang santai, kurang hangat, dan lebih bersikap seperti bos daripada sebagai suami" Entah apa pun penyebabnya, aku semakin merasa tidak suka pada Mas Yoyok. Menurutku, karena sikap laki-laki itulah maka kebiasaan dan sifat Aryanti jadi berubah. Dan bagiku, itu suatu kesalahan besar.
Namun terhadapku sebagai tamu mereka, Mas Yoyok berusaha menunjukkan keramahannya dan menjadikan dirinya sebagai tuan rumah yang baik. Misalnya, dia mengeluarkan sendiri sekotak cokelat dan kue yang rasanya enak sekali.
Cicipilah, Retno, cokelat Valrhona ini enak sekali. Legit, gurih, dan terasa betul cokelatnya. Aku bawa dari Prancis, begitu antara lain yang dikatakannya. Atau, Kalau kau suka membaca, aku punya satu ruang perpustakaan yang isinya penuh dengan berbagai macam jenis buku. Di ruang itu ada meja dan kursi untuk membaca. Bahkan juga sofa untuk membaca
t . c dengan santai. Jangan khawatir ada kutu atau yang semacam itu di ruang perpustakaanku. Secara berkala aku selalu memanggil orang untuk membersihkan dan melakukan perawatan terhadap buku-buku itu. Suhu sejuk dari alat pendingin ikut menjaga agar buku-buku koleksiku itu bisa awet.
Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku suka membaca, Mas. Pasti aku akan menyelinap ke ruang perpustakaan kalau sudah mendapat izin darimu. Apakah buku-buku sastra juga ada di sana" aku menanggapi apa adanya karena aku memang doyan membaca.
Banyak, Retno. Ada karya sastrawan Inggris, Jepang, Cina, India, Prancis, dan lain sebagainya. Tentu saja buah karya bangsa kita juga ada. Suka" Suka sekali.
Silakan kalau mau membaca-baca di sana. Malam hari pun kalau mau, masuk saja.
Aku memang mencoba untuk mengimbangi keramahan Mas Yoyok, tetapi bukan berarti aku mau saja mengiyakan apa pun pendapatnya hanya demi menyenangkan hatinya. Terutama kalau yang kami bicarakan itu menyangkut nilai-nilai kehidupan. Jadi apabila dia mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan kata hatiku, aku langsung saja membantahnya sehingga kami sering bersitegang dan beradu argumentasi. Memang, ada perbedaan di antara kami, seperti misalnya mengenai aturan-aturan ataupun undang-undang yang dianggapnya baku. Menurut Mas Yoyok, peraturan dibuat untuk dipatuhi. Kuakui itu memang benar, karena hukum dibuat untuk manusia. Tetapi salah, jika terjadi
t . c yang sebaliknya, hanya bertumpu pada hukum semata, karena bisa tidak manusiawi lagi.
Peraturan kan dibuat dengan tujuan demi kebaikan manusia. Oleh sebab itu tidaklah pada tempatnya jika dalam peraturan hukum yang berlaku ada hal-hal yang tidak adil, seperti misalnya undang-undang yang tak berpihak pada kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan sehingga tidak mampu menjadi payung yang melindungi kaum perempuan. Dan itu harus direvisi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hukum tidak bisa diubah, begitu kataku membantah pendapatnya. Jika sudah begitu, adu argumentasi pun menjadi bagian dari pembicaraan kami.
Namun selama kami bertiga mengobrol macammacam, Aryanti tidak banyak mengambil bagian. Dia lebih suka berdiam diri dan menjadi pendengar. Sesekali juga tersenyum, tetapi aku tidak melihat ketulusan dari lekukan di bibirnya itu. Mungkin saja dia merasa tidak nyaman mendengar obrolanku dengan suaminya. Obrolan kami memang kurang menyenangkan. Komentar atau argumentasi Mas Yoyok terhadap apa pun pendapatku, seperti cara seorang bos sedang berbicara dengan bawahannya. Kalau tidak menyadari bahwa obrolan itu hanya sebagai sarana Mas Yoyok yang ingin menampilkan diri sebagai tuan rumah yang ramah, aku pasti akan membalasnya dengan sikap arogan yang sama. Bukan hanya dia saja yang bisa berpendapat dan berargumentasi.
Kurasa, Aryanti yang sudah tahu merah-hijaunya diriku merasa khawatir kalau-kalau aku membalas sikap
t . c Mas Yoyok. Untungnya aku bisa menahan diri untuk tidak merusak suasana.Tetapi kesabaran itu hampir saja tergelincir ketika mendengar bisikan Aryanti kepadaku saat suaminya sedang menerima telepon.
Retno, sejak tadi kau belum mengucapkan terima kasih pada Mas Yoyok atas undangannya berlibur di sini lho, bisiknya di samping telingaku.
Mula-mula aku tertegun mendengar permintaan Aryanti, tetapi ketika aku sadar bahwa menurutnya apa yang diusulkan itu demi kebaikan diriku, minimal agar Mas Yoyok menyukai diriku, aku mengiyakannya saja, padahal aku tidak peduli apakah dia menyukaiku atau tidak. Maka ketika ada kesempatan untuk mengatakannya, aku langsung mengucapkan terima kasihku kepadanya sebagaimana yang diinginkan Aryanti, dan itu hanya demi menyenangkan hati sahabatku. Membuatnya merasa kurang nyaman, harus kuhindari sedapat-dapatnya. Aku merasa kasihan terhadapnya.
Mas Yoyok, aku belum mengucapkan terima kasih kepadamu, begitu aku berkata, mengambil kesempatan yang ada.
Terima kasih untuk apa"
Atas undangan Mas Yoyok dan Yanti agar aku berlibur di sini. Terlebih atas penerimaan Mas Yoyok yang ramah dan hangat, sahutku. Huh, seperti main sinetron saja. Apanya yang hangat"
Oh, itu. Kami juga mengucapkan terima kasih atas kesediaan Retno berlibur di sini bersama kami, terutama dengan Yanti, dan melewatkan begitu saja waktu-waktu
t . c berharga yang semestinya bisa dimanfaatkan di tempat lain.
Usai berkata seperti itu, cepat-cepat Mas Yoyok mengubah isi pembicaraan dengan meminta maaf kepadaku.
Ada sesuatu yang harus saya kerjakan, begitu katanya sambil berdiri. Jadi aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu mengobrol. Mudah-mudahan besok malam aku ada waktu untuk itu.
Silakan saja lho, Mas. Jangan merasa sungkan kalau tidak bisa menemani kami. Aku orang yang tidak suka basa-basi. Jadi kalau Mas Yoyok mau bekerja atau mau tidur atau mau apa pun itu, lakukan saja dengan perasaan enak. Aku tidak mau Mas Yoyok jadi repot karena keberadaanku di rumah ini. Toh yang penting bagiku adalah bisa kangen-kangenan dengan Yanti.
Baiklah. Aku akan bersikap apa adanya, seolah tidak ada tamu di sini. Jadi kita sama-sama enak. Seperti yang sudah mulai kukenal pada diri Mas Yoyok, laki-laki itu suka bicara apa adanya tanpa basa-basi, langsung pada apa yang mau dikatakannya. Bagiku, itu lebih baik. Kami jadi sama-sama bebas untuk tidak terikat pada tata aturan yang bisa menyebabkan timbulnya rasa tak enak dan rasa sungkan.
Terima kasih, Mas. Mas Yoyok mengangguk kemudian beranjak pergi. Aryanti juga bangkit dari tempat duduknya dan mengekor di belakang suami setelah sebelumnya sempat berbisik kepadaku.
Retno, tunggu sebentar ya. Aku ingin menyiapkan
t . c apa-apa yang mungkin dibutuhkan Mas Yoyok, katanya menjelaskan. Nanti kita sambung lagi obrolan kita.
Oke, sahutku dengan suara mengambang. Enak betul Mas Yoyok mempunyai istri seperti Aryanti, yang begitu memperhatikan dia sampai sedemikian rupa.
Kemudian aku mencoba mengalihkan perhatianku pada layar televisi dan menonton apa saja yang tersaji di sana tanpa memilah ataupun memilih. Mudah-mudahan saja ada yang menarik hatiku. Tetapi ternyata pikiranku masih saja tersangkut pada Aryanti. Berbagai macam pertanyaan datang silih berganti menyerbu batinku dengan suatu keprihatinan yang timbul-tenggalam di dalamnya. Sampai sahabatku itu datang kembali, pikiranku masih saja berkutat di seputar kehidupannya.
Untuk melupakan pikiranku yang penuh itu kuperhatikan Aryanti yang sedang sibuk di dekatku. Di tangannya ada satu stoples berisi kacang kulit dan sepiring pisang rebus yang dibawanya dari dalam.
Ini makanan kesukaanmu, katanya sambil tersenyum. Sengaja aku membelinya sendiri ke supermarket, memilih merek kacang kulit kesukaanmu dan mencari pisang kepok yang pas untuk direbus. Tidak terlalu matang dan tidak terlalu mentah. Nah, makanlah selagi masih hangat.
Aku tertawa. Aku sering sekali menikmati makanan seperti ini di Yogya, juga yang pas begini. Tetapi dibeli di Jakarta dan dimakan bersamamu, selalu lain rasanya, kataku.
Untung saja kita sama-sama tahu bahwa kita bukan termasuk golongan perempuan lesbian. Mesra
t . c betul kita ini. Aryanti tertawa mengikik yang menyebabkan aku merasa senang karena selama ada Mas Yoyok di dekatnya, tawa yang kukenal ini nyaris hilang darinya.
Itu karena kita sama-sama merasa senang dapat memuaskan rasa kangen kita. Aku tertawa. Ditambah makanan-makanan kesukaan yang tersaji di depan kita pula .
Eh, omong-omoing nih, Retno, bagaimana pendapatmu mengenai Mas Yoyok" Sekonyong-konyong Aryanti mengubah topik pembicaraan kami. Sialnya aku tidak menyukai pertanyaan itu.
Oleh sebab itu aku terdiam seribu bahasa dengan perasaan bimbang. Harus kujawab dengan terus terang ataukah hanya mengatakan hal yang baik-baik saja mengenai suaminya itu" Tetapi rupanya Aryanti tahu apa yang sedang bergejolak di dalam pikiranku. Dia menolah ke arahku.
Retno, jawablah pertanyaanku dengan penilaian yang sungguh berasal dari hatimu. Jangan mengada-ada meskipun maksudmu baik. Aku tidak akan tersinggung andaikata penilaianmu tentang Mas Yoyok serba minus, sebab yang kuinginkan hanyalah pendapat atau pandanganmu yang sebenar-benarnya terhadap dia, katanya. Kau satu-satunya sahabat sejatiku, Retno. Jadi katakan terus terang kepadaku.
Yah, terpaksalah aku bicara jujur. Aryanti sudah tahu siapa diriku. Jadi percuma saja aku menyembuyikan sesuatu dari dia.
Baiklah, sahutku dengan perasaan enggan yang
t . c kusembunyikan. Menurut pandanganku, karena Mas Yoyok selalu berada di pucuk pimpinan dan menempati posisi teratas, entah itu di kantor atau di perkumpulanperkumpulan lainnya, maka di dalam rumah tangganya pun ia terbiasa bersikap seperti bos. Antara lain terlihat dari sikap dan cara bicaranya yang terkontrol dengan baik, namun di dalamnya termuat kehendak untuk dipatuhi. Dan sikapnya sering mengambil jarak. Tidak mau atau tidak ingin menebar kehangatan dan keakraban yang menurutnya mungkin akan mengurangi wibawanya, sahutku. Mungkin lho ya.
Tetapi kau benar kok. Di dalam keluarga besarnya pun Mas Yoyok juga dianggap sebagai pemimpin mereka. Mungkin karena itu sikapnya menjadi serba-hatihati, agak kaku dan mau mengatur apa saja karena terkondisikan begitu. Meskipun tujuannya baik, tetapi kan tidak semua orang bisa menerima. Tiga sepupunya yang kuliah di Jakarta dan pernah tinggal bersama kami, pergi satu per satu, pindah ke tempat lain. Kecuali Purnomo. Laki-laki itu termasuk orang yang tahan banting. Ia bisa bersikap acuh tak acuh menghadapi Mas Yoyok yang sering otoriter. Dia juga bisa mengikuti arah angin yang ditiupkan oleh Mas Yoyok. Mungkin itu karena pembawaannya yang periang dan suka humor.
Jadi selain kalian berdua, sepupu Mas Yoyok juga ada yang tinggal di rumah ini"
Ya. Sekarang ini dia sedang pergi, disuruh Mas Yoyok menyelesaikan suatu urusan di Jepang, jawab Yanti. Kau pasti menyukainya.
t . c Karena" Karena sifatnya hampir sama seperti dirimu. Tidak suka dipasung dengan berbagai aturan yang berlebihan, seperti yang sering dilakukan oleh Mas Yoyok. Orangnya enak diajak bicara apa saja, santai dan akrab. Mana keren dan ganteng pula, jawab Aryanti sambil tersenyum. Bener!
Ah, kau. Aku tertawa lagi. Tetapi terlepas dari masalah itu, aku memang menghargai orang-orang yang mandiri dan berani mengatakan tidak kalau memang harus menjawab demikian.
Aku bercerita tentang sikap Purnomo itu supaya kau juga bisa menerima dengan lapang dada kalau ada sikap atau perkataan Mas Yoyok yang tidak sejalan dengan pola pikirmu, kata Aryanti lagi. Apalagi sikapnya yang seperti itu tidak hanya ditujukan kepadamu saja.
Tentu saja, Yanti. Jangan khawatir. Seperti biasanya, aku selalu siap untuk bisa mengerti orang, sahutku, mencoba menenangkan perasaannya Nah, kembali ke soal Purnomo tadi, kenapa dia tinggal di sini bersama kalian"
Mas Purnomo berasal dari Surabaya. Ibunya adalah adik ibu Mas Yoyok. Orangtuanya tinggal di sana. Tetapi sejak dia mendapat pekerjaan di Jakarta, dia tinggal di sini bersama kami.
Dia bekerja di perusahaan Mas Yoyok" Ya. Tetapi dia melamar pekerjaan lewat prosedur resmi. Dalam hal-hal seperti itu Mas Yoyok tidak mau tahu karena sudah ada bagian lain yang mengurusnya. Jadi tidak ada istilah sahabat, saudara, atau yang se-
t . c macam itu dalam penerimaan karyawan di perusahaan Mas Yoyok. Yang penting memiliki kemampuan dan kapasitas sesuai SDM yang dibutuhkan perusahaan.
Bagus sekali, itu. Aku angkat jempol untuk suamimu. Meskipun ada banyak hal yang tidak sejalan di antara kami, tetapi dalam hal-hal tertentu seperti yang kaukatakan tadi, aku sangat setuju.
Setidaknya masih ada penilaianmu yang positif mengenai dia, sahut Aryanti sambil tertawa p"lan. Nah, apa lagi penilaianmu terhadap Mas Yoyok"
Untuk sementara segitu dululah, Yanti. Aku masih belum banyak bergaul dengannya dan belum banyak pula kesan yang kutangkap mengenai dirinya, kataku, mengelak. Kenapa sih kau begitu ingin tahu pendapatku"
Karena aku ingin menguji penilaianku terhadap dirinya. Selama ini kita berdua kan mempunyai pandangan yang hampir sama. Jadi aku ingin tahu apakah penilaian kita terhadap Mas Yoyok juga sama.
Aku tidak memberi tanggapan sehingga perempuan itu menoleh ke arahku.
Kok diam" tanyanya kemudian. Sepertinya kau tidak setuju.
Aku cuma merasa ada yang berubah dalam dirimu sehingga tentu saja juga ada cara pandang dan cara menilai yang tidak lagi searah denganku.
Mungkin kau betul. Jadi tolong katakan apa yang berbeda dalam diriku sekarang ini, Aryanti berkata lagi. Kini tersirat tuntutan untuk mendengar jawabanku dari suaranya.
t . c Yah, aku melihat kau sangat mengabdi dan menjunjung Mas Yoyok. Bahkan menurutku, kau begitu mengabdikan diri kepadanya. Sepanjang yang kuketahui, kau bukan tipe perempuan seperti itu. Entah kalau selama ini aku salah menilaimu.
Pipi Aryanti langsung merona merah mendengar komentarku.
t . c K UPEJAMKAN mataku sesaat lamanya. Sekali lagi
dengan terus terang aku melontarkan apa yang ada di benakku.
Aku tidak mengira kau bisa memainkan peranmu sebagai seorang istri dengan baik, kataku memancing.
Itu karena aku diberi pelajaran oleh Ibu sebelum memasuki pernikahan. Katanya, seorang istri harus mendahulukan suami dalam banyak hal. Meskipun kedudukan suami-istri sejajar, tetapi dalam banyak hal seorang istri harus patuh terhadap suami karena dia adalah kepala keluarga. Kerajaan yang dipegang oleh dua raja tidak baik jadinya, kan" Begitupun dua nakhoda di dalam satu kapal bisa menyebabkan hambatan terhadap laju perjalanan. Meskipun ajaran ibuku itu terdengar konservatif tetapi hasilnya memang nyata kualami, Retno.
Misalnya" Kami selalu rukun-rukun saja dan dalam suasana
Tiga t . c yang damai dan tenang. Mas Yoyok sangat menghargai apa pun yang kulakukan untuknya, jawab Aryanti.
Hmm damai yang gersang, menurutku. Kurasa Aryanti pun mengakuinya di dalam hati. Nyatanya, apa yang kupikirkan itu terungkap juga dari bibirnya, seakan hendak mengatakan persetujuan terhadap pendapatku bahwa damai yang dialaminya adalah damai yang memang terasa gersang.
Memang, Mas Yoyok itu termasuk orang yang sulit dipahami, Dan seperti katamu, ia sering mengambil jarak dengan orang lain. Bahkan juga dengan diriku, sehingga aku sering merasa seperti berhadapan dengan orang asing. Bukan dengan suamiku. Terkadang, aku merasa lelah dan kesepian karena sifat dan sikapnya itu, Aryanti melanjutkan jawabannya tadi. Tetapi karena aku selalu berusaha untuk menerima apa pun yang dimauinya dan apa pun yang dilakukannya tanpa banyak komentar, yah& semuanya jadi berjalan dengan baik. Bagiku yang penting adalah kedamaian dan ketenangan meskipun aku sadar kedamaian dan ketenangan itu nyaris semu karena aku sering gelisah sendiri tanpa tahu jelas apa penyebabnya.
Ini sudah merupakan keluhan, pikirku prihatin. Bukan lagi jawaban atas pertanyaanku tadi. Oleh sebab itu sekali lagi aku mengajukan pertanyaan kepadanya sambil menatap wajahnya, ingin tahu apa yang tersirat dari sana.
Tetapi kalian saling mencintai, kan" tanyaku. Mungkin& . Aryanti mengelakkan tatapan mataku.
t . c Entah aku salah lihat, rasanya ia sedang menyembunyikan air mata dari pandanganku.
Kok mungkin" Karena ingin tahu, kukejar dia dengan pertanyaan lagi.
Kau masih ingat pendapatku mengenai cinta setelah aku dikhianati Deddy hampir dua tahun yang lalu, kan" Bukannya menjawab, Aryanti malah melontarkan pertanyaan kepadaku.
Ya, sahutku. Kaukatakan bahwa mengagungkan perasaan cinta itu bukan sikap yang bijaksana karena bisa kecewa berat. Jadi untuk memasuki penikahan tidak perlu ada cinta lebih dulu, karena perasaan itu bisa datang perlahan-lahan dengan berjalannya waktu. Lagi pula kau lebih menggarisbawahi hidup yang tenang, tentram dan damai meskipun tanpa cinta. Begitu juga kan katamu ketika aku memintamu untuk berpikir panjang-lebar lebih dulu sebelum mengambil keputusan menikah dengan Mas Yoyok.
Syukurlah kau masih ingat, suara Aryanti terdengar pelan. Tetapi, Retno, kenyataan sering kali berbeda dari yang kita bayangkan. Sampai hari ini, sepuluh bulan lebih setelah kami menikah, aku& masih belum mampu mencintainya. Ada sesuatu yang menyebabkan perasaan itu tidak segera hadir di antara kami. Tetapi bagiku itu bukan masalah selama kehidupan kami berada dalam suasana yang tenang dan damai, apa pun sifat tenang dan damai itu....
Kau bilang ada sesuatu yang menyebabkan perasaan cinta belum juga hadir di antara kalian. Nah, apa itu"
t . c Seperti yang sudah kukatakan kepadamu tadi, sampai sekarang aku masih belum bisa memahami Mas Yoyok. Laki-laki itu terlalu tinggi untuk bisa kuraih, dan terlalu jauh untuk bisa kuajak berjalan seiring sejalan denganku. Oleh sebab itu di sini, di rumah yang penuh dengan pelbagai macam barang-barang pilihan yang semestinya bisa menyenangkan hati, aku merasakan kehampaan, kekosongan di rongga dadaku. Itulah sesuatu yang kumaksud& .
Perasaanku langsung terusik begitu mendengar curahan hati Aryanti. Ah, aku harus menolongnya. Dia tidak boleh pesimis.
Yanti, kau harus sabar menghadapi keadaan ini. Ingat, cukup banyak para ahli perkawinan mengatakan bahwa tahun-tahun pertama pernikahan merupakan tahun penyesuaian dalam banyak hal. Bahwa di dalam penyesesuaian itu terdapat banyak kerikil, itu wajar. Suami-istri kan datang dari keluarga yang berbeda. Kebiasaan-kebiasaannya, cara pandangnya, budayanya, status sosialnya, dan lain sebagainya, kataku mengingatkannya.
Ya& aku tahu itu. Tetapi bahwa ternyata realitas yang kuhadapi ini jauh dari yang kubayangkan, aku baru menyadarinya belakangan ini. Dan itu menyiksaku.
Kau tidak boleh putus asa, Yanti. Pernikahan sepasang insan yang dilandasi cinta, bahkan yang cintanya menggebu-gebu sekalipun, di dalam perjalanannya nanti belum tentu bisa seiring dan sejalan, sahutku menghiburnya. Apalagi mereka yang menikah tanpa cinta,
t . c kan" Adaptasi dan proses penyesuaiannya pasti membutuhkan waktu lebih lama. Jadi bersabarlah. Sekarang ini kalian memang masih belum menemukan landasan yang sama, tetapi siapa tahu besok atau lusa akan terjadi yang sebaliknya. Kalian masih punya waktu yang panjang.
Yah& kau betul, Retno.
Kalau begitu, biarkan kehidupan ini mengalir. Memang kalimat klise, tetapi masih tetap relevan untuk dijalankan dalam kasusmu. Artinya, masalah yang kauhadapi itu jangan ditentang atau dilawan. Aku yakin, lama-lama Mas Yoyok akan merasa capek dan lalu menyadari bahwa hidup ini jangan selalu dibawa serius. Dan bahwa rumah itu bukan hanya sebagai bangunan yang indah saja, tetapi terutama merupakan tempat kita tinggal dengan perasaan nyaman, aman, tenang, dan senang.
Syukurlah kalau kau bisa memahamiku sehingga kalau kau menyaksikan ada hal-hal yang menurutmu kurang masuk akal atau tidak wajar di dalam hubunganku dengan Mas Yoyok, kau bisa memakluminya.
Tentu saja aku akan memahami dan memakluminya, Yanti. Jangan khawatir. Aku masih sahabat sejatimu. Seperti dulu aku selalu siap untuk mengerti keadaanmu.
Terima kasih, Retno. Aku benar-benar merasa amat beruntung kau mau datang ke Jakarta dan menghabiskan cutimu bersamaku, kata Aryanti lagi. Suaranya terdengar melembut.
Begitulah malam itu aku dan Aryanti berbicara
t . c lama mengenai banyak hal di seputar kehidupan kami masing-masing. Seperti aku memprihatinkan dirinya, dia juga memprihatinkan keadaan diriku. Mengenai putusnya hubunganku dengan Aditya baru sekarang aku ceritakan kepadanya. Ketika kuceritakan bahwa Aditya selingkuh, ia amat marah kepada mantan kekasihku itu.
Dia itu laki-laki yang amat tolol, Retno. Matanya buta, tidak melihat betapa banyaknya kelebihan dirimu. Apa yang dilihat pada pacar selingkuhannya itu sih" Aku yakin, dia pasti sangat menyesal kehilangan dirimu, katanya berapi-api.
Yanti, kau tak perlu marah-marah begitu. Membuang-buang energi saja. Bahwa Mas Adit selingkuh, pasti ada yang tidak bisa dia dapatkan dariku, kataku sambil tertawa. Lagi pula, dia masa laluku. Kemarahanku sudah sampai di titik nol dan perasaanku kepadanya sudah kemarin-kemarin lenyap tak berbekas. Lagi pula kehidupan ini kan berjalan ke depan. Bukan mundur.
Begitulah kami berbicara dan berbicara. Ketika jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, aku menghentikan pembicaraan kami. Kurasa sudah waktunya Aryanti masuk ke kamar tidurnya. Mungkin saja suaminya sedang menantikan kehadirannya. Hari sudah larut malam.
Tidurlah, Yanti. Siapa tahu kau ditunggu Mas Yoyok, kataku.
Aku yakin dia masih berada di depan komputernya, jawab Aryanti. Tetapi memang sebaiknya aku
t . c beristirahat. Belakangan ini tubuhku cepat sekali merasa lelah.
Jangan-jangan kau mulai hamil.
Baru kemarin aku selesai haid. Jadi tak mungkin aku hamil. Aryanti tersenyum hambar.
Ya sudah, beristirahatlah sana. Aku juga sudah mengantuk.
Bersamaan kami berdiri dari tempat duduk masingmasing. Tetapi ketika kakiku sudah mulai melangkah, Aryanti memanggilku. Aku menoleh.
Retno, sahut Aryanti, setengah berbisik. Besok kalau sarapan bersama, katakan pada Mas Yoyok bahwa kau mengagumi pengaturan rumah ini.
Aku tertegun sejenak. Itu artinya aku harus main sinetron lagi dan masuk acara basa-basi yang membuatku merasa kehilangan rasa nyaman. Tetapi biarlah, demi menjaga perasaan Aryanti aku harus mengikuti arus yang ada dan selama berada di rumah ini sedapatdapatnya aku harus bisa menenggang perasaan Aryanti. Kulihat, dia tidak bahagia. Kasihan.
Memangnya yang mengatur rumah dan seluruh isinya ini Mas Yoyok sendiri" tanyaku menegaskan.
Ya, seluruhnya. Bahkan dia juga yang membeli sendiri pernak-pernik yang mempercantik rumah ini. Begitu yang kudengar dari banyak orang. Sampai ke hal yang sekecil-kecilnya dan sampai ke detail-detailnya, dia sendiri yang merancang dan mengurusnya. Aku masuk ke rumah ini sudah sempurna begini. Hebat.
Uang, kedudukan, kekuasaan& apa sih yang tidak
t . c bisa membuat sesuatu menjadi hebat" Aryanti bergumam. Aku tak mau menanggapi sinismenya. Maka kukembalikan pembicaraan pada pokoknya. Dia suka ya kalau dipuji-puji"
Bukan begitu. Ia senang kalau orang menghargai apa yang dilakukannya. Atau setidaknya memberi perhatian pada hasil karya. Hm, aku mulai mengerti mengapa Aryanti ingin agar aku memuji hasil karya Mas Yoyok. Dia ingin agar Mas Yoyok menyukai kehadiranku. Tetapi huh, basa-basi memuji orang hanya untuk meraih hatinya bukanlah sifatku. Mas Yoyok mau menyukaiku atau malah membenciku, tidak masalah buatku. Tetapi kelihatannya Aryanti ingin suaminya bisa menjalin persahabatan denganku juga. Karenanya aku tidak boleh mengecewakan perasaan sahabat baikku itu.
Baiklah, sahutku kemudian mulai mengalah. Tetapi aku ingin tahu lebih dulu, apakah setelah kau masuk ke rumah ini ada yang kautambahi atau kurangi, Yanti"
Karena semua yang kulihat di rumah ini sudah tepat pada tempatnya masing-masing, aku tidak ingin mengubahnya. Lagi pula, aku tidak tertarik melakukan sesuatu terhadap rumah ini.
Yah, aku bisa memahami pikiran Aryanti, sebab mungkin saja aku juga akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisinya. Segala sesuatu yang ada di rumah ini toh sudah berada pada tempat yang tepat dan dengan keindahannya masing-masing, jadi kenapa harus diubah" Dengan pemikiran seperti itulah, meski-
t . c pun aku tidak suka berbasa-basi, apa yang ada di benakku kukatakan kepada Hardoyo sewaktu kami sedang sarapan bertiga di teras belakang rumahnya esok paginya.
Rumah ini bagus sekali, Mas, kataku mengambil jalan tengah. Berbasa-basi tetapi tidak mengada-ada hanya demi menyenangkan hati sang tuan rumah. Semuanya tertata dan terletak pada tempatnya yang pas dan tampak harmonis. Desain Mas sendiri"
Mendengar perkataanku, Mas Yoyok tersenyum samar. Matanya menatapku dengan tajam.
Ya. Kemarin kau mengatakan bahwa bangunan rumah ini tampak serbasempurna dan telah dirancang dengan cermat, katanya kemudian, masih dengan senyum samarnya itu. Apakah baru sekarang kau menangkap keindahan rumah yang detail-detailnya telah kurancang untuk tampak serasi di mata siapa pun yang masuk ke dalam rumah ini dan merasa nyaman serta santai"
Wah, rupanya dia masih ingat pembicaraan kami kemarin mengenai rumahnya ini, padahal aku telah melupakannya karena memang bagiku rumah ini tidak memiliki kesan khusus. Kemarin aku memang telah sedikit mengikis kebanggaannya dengan hanya memuji bangunan isiknya saja. Pantaslah dia teringat akan hal itu. Karenanya aku harus lebih hati-hati bicara.
Sudah kukatakan tempat ini sangat megah. Pasti telah dirancang sedemikian rupa saat akan membangunnya hingga ke detail-detailnya agar menjadi bangunan yang seperti istana ini. Dan perancangnya pasti tahu
t . c betul tentang bagaimana memadukan keindahan dengan kemewahan, sehingga orang yang hanya tahu keindahan saja atau hanya tahu tentang kemewahan dan kemegahan saja, menyukai tempat ini. Ah, mudah-mudahan Aryanti merasa senang mendengar pujianku terhadap suaminya itu. Tetapi aku juga ingin Mas Yoyok mengerti bahwa seperti kemarin, penilaianku masih belum bergeser jauh. Bahwa pujianku terhadap rumah yang seperti istana ini masih tertuju pada bentuk bangunan isiknya berikut benda-benda yang ada di dalamnya.
Jangan berlebihan, Retno, kata Aryanti menyela bicaraku. Wah, dia pasti mengira aku terlalu banyak memuji, alias terlalu banyak berbasa-basi terhadap suaminya.
Aku memberi penilaian yang sebenarnya, Yanti, bantahku. Kurasa Mas Yoyok tak sependapat denganmu. Ya kan, Mas"
Tetapi aku juga merasa Retno agak berlebihan. Sebagai orang yang bergerak di bidang real estate atau properti, membangun rumah seperti ini bukan sesuatu yang sangat hebat
Aku tetap menganggap penilaianku tak berlebihan. Kalau Mas Yoyok melihat rumah orangtuaku di Yogya, pasti bisa memahami penilaianku itu. Kuno dan sederhana. Bahkan kadang-kadang agak berantakan dan kurang serasi karena ada saja di antara kami sekeluarga yang bertindak semaunya, misalnya meletakkan gunting atau apa saja di tempat yang bukan semestinya. Tetapi kalau ada yang mempersoalkannya, tidak seorang pun mau mengaku.... Aku tertawa geli, teringat apa yang
t . c sering terjadi di rumah orangtuaku. Namun begitu, itulah rumah kami dengan pelbagai romantikanya. Penuh dengan kehangatan dan keakraban yang kadangkadang menyebabkan kami jadi punya anggapan bahwa melanggar kesemestian tidak apa-apa kalau itu bisa menambah kemesraan masing-masing penghuninya.
Misalnya" Mas Yoyok menyela. Aku yakin, dia tahu apa yang kumaksud. Kalau tersinggung, itu urusannya.
Misalnya kalau ada alasan kuat, kami tidak harus makan malam di meja makan, tetapi bisa saja di ruang keluarga sambil mengobrol dan mengomentari acara televisi kesukaan kami.
Ayah Retno tidak membolehkan anak-anaknya membeli televisi untuk kamar mereka, Aryanti menyela.
Ya. Kata Bapak, bisa mengurangi kehangatan dan keakraban keluarga kalau masing-masing menonton di kamarnya, kataku.
Alasan yang tepat. Nah, kembali ke soal semula, apakah kau menyukai rumah yang menurutmu seperti istana ini, Retno" Rasa ingin tahu itu masih tertangkap dari getar suara Mas Yoyok.
Menyukai dalam hal melihat dan mampir, ya. Saya suka. Tetapi kalau untuk tinggal, rasanya kok tidak. Maaf atas keterusteranganku ini, sahutku apa adanya. Lho, kenapa"
Aku tidak bisa mengatakannya& . Wah, aku telah keceplosan tadi. Mudah-mudahan pembicaraan ini tidak berlanjut.
t . c Tetapi harapanku sia-sia. Laki-laki itu ingin tahu betul apa yang ada di batinku.
Katakan saja, aku tidak akan tersinggung kok. Baik. Aku tidak suka tinggal dan menetap di rumah seperti ini karena& aku tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Tak sesuai dengan jiwaku. Lagi pula menurutku yang namanya rumah ya tempat di mana aku bisa tinggal dengan nyaman, hangat, dan bisa tampil apa adanya dengan bebas. Mungkin itu karena sejak kecil aku tinggal di rumah yang sederhana, Mas. Jadi maaf kalau aku bicara begini....
Kulirik, Aryanti sedang memperhatikan Mas Yoyok dengan penuh rasa ingin tahu sehingga aku yakin, baru aku yang berani bicara seperti itu kepada suaminya.
Yah& aku mengerti, gumamnya kemudian. Tetapi aku tak yakin karena di sepanjang kehidupannya ia hanya mengenal pelbagai kelebihan yang dimiliki keluarganya dan yang sekarang juga miliki tanpa harus bersusah payah. Dan benar, beberapa waktu kemudian dia bertanya lagi kepadaku. Bisa tampil apa adanya, maksudnya bagaimana, Retno"
Maksudnya, di rumah orangtuaku tidak ada kepura-puraan. Mau memakai celana pendek dan blus kaos longgar yang enak dipakai misalnya, ya silakan saja. Mau bernyanyi keras-keras, silakan. Kalau ada yang keberatan, silakan adu argumentasi.& Apakah di sini ada kepura-puraan" Aku tidak mengatakan begitu.
Boleh aku tahu seperti apa rumah orangtuamu di Yogya" Mas Yoyok bertanya lagi.
t . c Rumah orangtuaku biasa-biasa saja kok, Mas. Model kuno karena dibangun oleh kakek buyutku. Model joglo dengan pendopo yang melebar. Di belakang pendopo terdapat ruang tamu, lalu ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan. Jumlah kamar tidur di rumah itu ada tiga. Satu untuk kedua orangtuaku. Satu untuk aku dan Mbak Diah kakak perempuanku. Satu lagi untuk Mas Bayu, kakak lelakiku, dan Nino adik bungsuku. Tidak seperti di rumahmu ini, Mas, di rumah kami kalau ada yang menguap atau bersin, semua mendengar. Lalu yang lain segera bereaksi. Menyuruh tidur atau menyuruh minum vitamin C, aku menjawab sambil tertawa.
Kulirik, Aryanti tersenyum tertahan. Dia sudah kenal betul keadaan rumahku maupun keadaan keluargaku. Misalnya bagaimana aku dan Nino berebut remote televisi karena masing-masing ingin menonton acara yang disukai. Memang sekarang setelah aku dewasa, Bapak sudah membolehkan aku membeli televisi sendiri, yang kuletakkan di kamar yang sekarang menjadi milikku sepenuhnya karena Mbak Diah sudah menikah. Tetapi rebutan semacam itu meninggalkan kenangan manis yang tak bisa kulupakan karena aku hampir selalu kalah berebut dengan Nino yang gesit. Jadi aku sering pergi ke rumah sebelah, ke tempat kos Aryanti, dan kami pun menonton bersama-sama. Di sana aku sering digoda teman-teman kos Aryanti karena kalah dengan anak kecil. Usiaku dengan Nino terpaut hampir sepuluh tahun, tetapi adik bungsuku itu lebih gesit dan cekatan.
t . c Tetapi apakah kalian tidak kehilangan privacy" Mas Yoyok bertanya lagi.
Yah, kadang-kadang memang begitu. Terutama kalau ingin menyimpan milik pribadi seperti misalnya kenangan dari& pacar. Aku tersipu malu. Padahal kedua orangtua kami mengharuskan sikap menghargai orang dan privacy-nya tanpa pandang bulu. Misalnya, kami tak boleh membuka, apalagi membaca surat yang bukan miliknya.
Kecuali kalau ada yang bandel..., tiba-tiba Aryanti menyela sambil tertawa. Aku pernah memergoki Retno mencuri lihat buku harian Mbak Diah, dan ibunya tahu itu. Dengan bijak ibunya menyimpan rahasia itu agar tidak timbul pertengkaran. Tetapi untuk membuat Retno kapok, buku hariannya ditaruh di atas meja belajar Mbak Diah, seolah Retno lupa menyimpannya.
Aku juga tertawa, teringat peristiwa itu. Mbak Diah ternyata ingin tahu apa isi buku harianku. Diam-diam dia membaca bukuku itu. Tetapi sesudah itu hubungan kami malah menjadi semakin akrab karena masingmasing bisa jadi tempat curhat dan berbagi cerita.
Aku tidak mempunyai saudara kandung, Retno. Apakah berbagi kamar itu enak"
Oh& banyak enaknya, Mas. Aku dan Mbak Diah biasa mengobrol dan bercanda macam-macam sampai pintu kamar diketuk Ibu, meminta kami agar tidak gaduh. Pokoknya ada-ada saja yang terjadi di rumah kami yang tidak besar itu, sehingga seperti kataku tadi, ada yang batuk, semua tahu.
t . c Tidak mengalami masalah" Pertengkaran, misalnya.
Tentu saja negatifnya juga ada, sahutku. Karena tinggal di kamar yang sama, konlik juga lebih mudah terjadi. Tetapi karena rumah kami tidak besar, Ibu atau Bapak langsung tahu kalau ada di antara kami sedang bersitegang. Maka mereka mengharuskan kami segera menyelesaikan masalah yang menyebabkan pertengkaran itu dan menyuruh kami berdamai.
Air muka Mas Yoyok memperlihatkan rasa tertarik pada ceritaku. Hal itu bisa kumengerti. Laki-laki itu tidak memiliki saudara kandung dan rumah keluarganya besar sehingga tidak pernah mengalami apa yang kualami bersama saudara-saudaraku.
Masalah lainnya" Aku tertawa. Banyak. Misalnya Mbak Diah sakit perut karena kebanyakan makan rujak. Dia itu suka sekali makan pedas. Wah, aku harus sering membuka jendela kamar karena bau gas yang dikeluarkannya. Atau kalau aku kena lu, pasti Mbak Diah orang yang pertama ketularan. Maka begitu aku baru mulai bersin-bersin, dia sudah mengangkut selimutnya dan tidur di sofa ruang tengah.
Aku melihat sudut bibir Mas Yoyok agak mencuat ketika mendengar ceritaku itu. Pasti dia merasa geli membayangkannya. Melihat itu, aku jadi bersemangat untuk melanjutkan ceritaku.
Begitu juga kalau musim ujian semester dan jadwal ujian kami tidak sama. Aku sering kesal karena Mbak
t . c Diah kalau belajar tidak bisa diam. Keluar-masuk kamar membawa kacang, membawa camilan lain dengan suara berisik, padahal aku sudah mengantuk. Sebaliknya kalau aku yang belajar, dia juga sering mengomel karena aku suka belajar sambil mendengar musik sampai jauh malam. Singkat kata, Mas, penuh romantika kehidupan. Sekarang setelah Mbak Diah dan Mas Bayu punya rumah sendiri dan meskipun aku jadi bebas memiliki kamar itu, tetapi sering kali aku merasa kesepian dan kehilangan rasa hangat. Tidak ada yang bisa kuajak bercanda malam-malam. Tidak ada tempatku melampiaskan marah karena kalah rebutan majalah, misalnya.
Begitulah aku bercerita di sepanjang waktu sarapan. Maka pagi itu pun berlalu dengan lebih santai dibanding ketika makan malam kemarin. Setelah Mas Yoyok berangkat ke kantornya, diam-diam aku berharap suasana akrab pagi ini akan berlanjut seterusnya. Tetapi ternyata, perkiraanku salah. Setelah selesai makan malam hari itu dan melanjutkan obrolan kami pagi tadi, suasananya sudah berbeda. Mas Yoyok kembali memperlihatkan sikapnya yang seperti bos dan menguasai pembicaraan dengan menempatkan diri sebagai pusat perhatian.
Retno bekerja di mana kalau aku boleh tahu" Begitu antara lain ia bertanya, bagai calon majikan ingin mengetahui latar belakang dan kualitas orang yang melamar pekerjaan padanya.
Aku bekerja di bank asing. Setelah mendengar jawabanku, dia bertanya lagi tentang hal-hal yang
t . c berkaitan dengan perekonomian dan perbankan. Yang membuatku jengkel, Mas Yoyok lebih banyak bertanya dan lalu memberi komentar daripada mengobrol ringan. Gaya bicaranya seperti calon majikan sedang mewawancara pelamar kerja yang bodoh. Apalagi kalau mengemukakan pendapat. Panjang-lebar ia menjelaskan argumentasinya sehingga predikatnya yang ada di benakku, bertambah lagi: dia seperti dosen otoriter sedang menguji mahasiswa. Apa pun pendapatku selalu dipatahkan. Kurasa kebiasaannya itu tertanam karena seringnya dia dimenangkan dan diiyakan oleh para anak buah dan pegawainya. Pasti begitu juga sikap keluarga besarnya.
Tampaknya sudah menjadi kebiasaan, kebanyakan orang yang menduduki jabatan lebih rendah, mereka sering mengalah dan membenarkan saja pendapat orang yang memiliki kedudukan atau jabatan yang lebih tinggi, meskipun pendapatnya sendiri bertolak belakang dengan pendapat orang itu. Bahkan juga andaikata pendapat si pemegang otoritas itu keliru. Sebaliknya mereka yang kebetulan menduduki tempat sebagai bos, cenderung menganggap diri paling benar. Pendapat orang lain sering dipandang dengan sebelah mata dan bahkan dianggap kurang bermutu.
Tetapi aku tidak bisa diperlakukan demikian oleh Mas Yoyok, karena aku juga mempunyai pendapat dan argumentasi sendiri yang sudah kupikir dengan matang. Bukan asal bicara. Maka kami pun sering terlibat dalam perdebatan dan pembicaraan yang alot. Tetapi lama-lama aku merasa bosan. Lebih-lebih ketika sadar bahwa Aryanti semakin lama semakin tidak ikut ambil
t . c bagian di dalam obrolan kami. Rasanya obrolan kami sudah tidak sehat lagi. Tentu saja juga sudah tidak menyenangkan. Oleh sebab itu ketika ingin menguap, aku tidak menyembunyikannya.
Maaf..., kataku berbasa-basi. Padahal aku merasa senang bisa memperlihatkan rasa jemu yang kurasakan ini.
Kalau sudah mengantuk, tidurlah, Retno. Aryanti memakai kesempatan itu untuk mengakhiri obrolan kami. Aku yakin, dia pasti tahu aku sudah bosan setengah mati.
Hari memang sudah malam, sela Mas Yoyok. Beristirahatlah, Retno. Besok obrolan kita bisa dilanjutkan lagi.
Aku mengiyakan, merasa lega dapat terbebas dari dominasi Mas Yoyok atas pembicaraan kami malam ini.
Baiklah. Aku memang sudah mengantuk, kataku. Selamat tidur, Mas Yoyok. Selamat tidur, Yanti. Selamat tidur, Retno.
Setelah mengucapkan perkataan itu, aku langsung masuk ke kamar dan menikmati kesendirianku dengan menonton televisi yang ada di kamar ini. Kamar tidur yang kutempati ini sungguh mewah dan indah. Kamar mandinya juga serba lengkap dan mewah. Tetapi ternyata ketika aku berkesempatan masuk ke kamar Aryanti, kamar yang kutempati itu bukan apa-apa dibanding kamar sahabatku itu. Seluruh perabotan di sana merupakan perpaduan antara keindahan, kemewahan, dan juga kenyamanan. Tirainya yang senada dengan
t . c warna dinding benar-benar cantik dan ditata dengan pas. Artinya, tidak berlebihan dan tidak latah meniru tirai-tirai kerajaan Eropa yang malah menyebabkan orang-orang seperti diriku enggan menempatinya. Dan tampak rapi dan bersih dari macam-macam pernakpernik yang tak perlu. Dari seluruh bangunan istana emas ini, tempat yang kuanggap menyenangkan dan nyaman adalah kamar tidurku dan kamar tidur tuan dan nyonya rumah ini.
Ternyata Mas Yoyok masih memberimu kebebasan untuk tidak memperlihatkan dominasinya hingga ke kamar tidur kalian. Kamar ini benar-benar cantik dan feminin, komentarku terus terang. Saat itu Mas Yoyok sudah berangkat ke kantornya dan aku sedang menjemput Aryanti di kamarnya. Akan kuajak dia berenang.
Kau keliru, Retno. Mas Yoyok tidak tidur di sini. Kamarnya ada di sebelah kamar ini, jawab Aryanti. Jawaban yang mengagetkan diriku. Tak sesirat pikiran pun aku membayangkan akan mendengar jawaban seperti itu.&
Sejak kapan kalian pisah ranjang" tanyaku dengan perasaan prihatin yang mendalam. Belum satu tahun mereka menikah, sudah pisah ranjang. Sungguh keterlaluan.
Pipi Aryanti merona merah mendengar pertanyaanku. Mungkin bicaraku terlalu ceplas-ceplos untuk hal-hal pribadi seperti itu. Tetapi biarlah. Aku ingin mengetahui keadaan sebenarnya dan jika mungkin aku ingin meluruskan yang melenceng-melenceng karena ingin
t . c melihat sahabat karibku hidup berbahagia, sebagai penebus runtuhnya cita-cita yang pernah dibangunnya bersama mantan kekasihnya dulu. Perempuan sebaik Aryanti tidak boleh hidup dalam kekecewaan dan kesedihan lagi.
Sejak awal pernikahan kami& . Lagi-lagi jawaban Aryanti mengagetkan aku.
Apa" Tanpa sadar aku menjinjitkan alisku. Tak percaya aku pada pendengaranku sendiri. Jadi sudah sejak awal pernikahan mereka, hubungan mereka kurang harmonis. Apa yang sebenarnya terjadi" Jadi sejak awal pernikahan, kalian tidak tidur di satu kamar"
Ya. Sejak awal pernikahan, kami tidak tidur di satu kamar. Tetapi kau salah kalau mengira kami pisah ranjang. Yang benar, kami mempunyai kamar sendirisendiri, Aryanti melanjutkan penjelasannya.
Mataku terbelalak menatap wajah Aryanti yang masih merona merah itu. Perkawinan macam apa ini"
Jadi& kalian& " Aku yakin Aryanti tahu apa yang kumaksud dengan pertanyaan itu. Dan memang benar.
Kan ada pintu tembus di antara kamar tidur kami, Retno, perempuan itu menjawab malu-malu. Mas Yoyok tidak bisa tidur bersama orang lain meskipun itu istrinya sendiri. Ia mengatakan bahwa tidur bersama siapa pun membuatnya tidak nyaman, tidak bebas dan menyebabkannya sulit tidur.
Hm... begitu rupanya& , aku bergumam pelan. Sekarang aku mulai mengerti mengapa kemarin Mas Yoyok begitu tertarik mendengar ceritaku mengenai bagaimana aku harus berbagi kamar dengan
t . c Mbak Diah sebelum kakak perempuanku itu menikah. Kini setelah mengetahui bagaimana Mas Yoyok tidak bisa berbagi kamar dengan siapa pun, termasuk dengan istrinya, aku semakin merasa yakin laki-laki itu menyimpan masalah di lubuk hatinya yang terdalam. Entah itu disadari atau tidak, aku tak tahu. Tetapi analisisku mengatakan, laki-laki itu mempunyai masalah berkaitan dengan afeksi. Tampaknya ia tidak berani memasuki keintiman rasa dengan siapa pun. Termasuk dengan istrinya sendiri. Entah bagaimana hubungannya dengan kedua orang tuanya, terutama dengan ibunya, aku tidak tahu. Membayangkannya saja pun aku tak mampu. Laki-laki itu agak misterius bagiku. Sulit ditebak karena hatinya yang tidak pernah ia buka lebar.
Perasaanku kini semakin tidak nyaman saja berada di istana emas ini. Tidak ada kehangatan. Tidak ada keterbukaan. Tidak ada keharmonisan. Dan terutama tidak ada perasaan nyaman yang membuat orang bisa merasa menjadi bagian di dalamnya. Sudah begitu, tidak ada keromantisannya sama sekali pula. Lalu, apa lagi yang masih tinggal, kalau begitu"
Ada satu hal yang mulai tersingkap. Aku sekarang mengerti mengapa Aryanti merasa kesepian dan pasti juga merasa tidak bahagia. Hidup bersama suami seperti Mas Yoyok memang tidak mudah. Untung dia termasuk orang yang sabar. Kalau aku" Wah, pasti setiap hari terjadi perang tanding yang tak ada habishabisnya. Mana mau aku mengalah tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat.
t . c H ARI itu Aryanti mengajakku jalan-jalan ke salah
satu plaza atau mal yang banyak bertebaran di Jakarta. Kulihat wajahnya tampak cerah begitu keluar dari kamar. Kemanisan dan gayanya yang menarik, memancar keluar dari seluruh dirinya. Gaun paginya yang berlatar putih dengan bunga-bunga yang didominasi warna biru membuatnya secerah pagi ini dan tampak menawan.
Wow, kau benar-benar seperti nyonya besar, komentarku. Anggun, serbasempurna dan cantik.
Hush& jangan berlebihan, katanya dengan agak tersipu. Ayo, kita berangkat sekarang. Mumpung masih pagi. Siap, kan"
Siap. Kau tidak malu jalan bersamaku, kan" Aku tertawa menggodanya. Saat itu aku memakai celana jins berwarna krem dan kaus cokelat berlengan tiga perempat. Rambutku kuikat ekor kuda. Santai sekali. Sepatuku sepatu sandal yang nyaman untuk dipakai jalan-jalan. Berbeda sekali dengan penampilan Aryanti yang serbasempurna.
Empat t . c Jangan berkata seperti itu lagi kepadaku, Retno. Aryanti marah mendengar gurauanku tadi. Aku juga ingin tampil seperti dirimu, tahu" Santai, segar, bebas, dan tampak ceria. Tetapi demi suami yang ingin istrinya tampil wah, aku terpaksa tidak memilih pakaian yang sebetulnya kusukai. Memangnya enak jalan-jalan dengan sepatu tinggi begini"
Oke& oke... Aku tertawa.
Kelihatannya kau lupa pernah menjadi salah satu mahasiswi yang dinilai berpakaian terbaik di kampus kita bertahun-tahun yang lalu, Aryanti masih mengomel. Sedangkan aku justru tidak terlalu memedulikan mode.
Ah, itu kan penilaian jadul, jaman dulu. Aku tertawa. Lagi pula satu di antara sepuluh yang terbaik di kampus bukanlah sesuatu yang istimewa. Masa-masa itu kan para mahasiswi lebih memikirkan studi daripada mode. Jadi apa hebatnya"
Pokoknya sampai hari ini kau masih tetap termasuk yang terbaik dan modis. Jelita, menawan, ceria, menggemaskan. Dan istimewanya, semua itu bukan karena balutan pakaian yang mewah, mahal, dan keluaran dari butik terkenal. Jadi diamlah, jangan kaubantah kata-kataku ini. Aryanti bersungut-sungut sambil meraih tasnya. Ayo, kita berangkat sekarang sambil mengingat kembali bahwa kau itu juga pernah menjadi bunga kampus. Jadi jangan memujiku karena apa yang tampak wah. Ini kan karena bungkusnya yang hebat. Jadi siapa pun akan tampak oke kalau memakai balutan sehebat ini.
t . c Aku tertawa tetapi tak berani memberi komentar apa pun karena memahami perasaannya. Tidak bisa bebas tampil seperti yang diinginkan memang tidak menyenangkan.
Dengan mobil mewah dan sopir yang begitu hormat sampai membuatku merasa risi, aku dan Aryanti tiba di pertokoan yang megah dan luas di bilangan Jakarta Utara. Dibawanya aku ke toko pakaian yang menjual berbagai macam pakaian perempuan. Di beberapa sudut penjualan di tempat itu aku melihat beberapa nama perancang Indonesia yang namanya sudah berkibar-kibar.
Pilihlah tiga atau empat potong pakaian yang kausukai, Retno. Aku ingin berbagi kesenangan denganmu. Setelah kau memilih nanti, aku juga akan mengambil beberapa potong untukku sendiri, katanya sambil menghela aku ke bagian pakaian rancangan seorang desainer kondang.
Maksudmu..." Mas Yoyok menyuruhku membelikan hadiah untukmu, katanya.
Tentu saja aku langsung menolaknya mentahmentah. Kalau Aryanti yang ingin menghadiahiku pakaian, barangkali saja aku masih mau menerimanya. Dulu, kami berdua sering sekali saling berbagi hadiah kalau mendapat rezeki. Bahkan tak jarang kami membeli pakaian yang sama. Tetapi karena sekarang nama Mas Yoyok berada di belakang Aryanti, aku tidak mau menerimanya. Padahal aku tertarik pada setelan rok dan blus sportif cantik yang warnanya kalem itu. Pasti pantas sekali untuk kupakai ke kantor.
t . c Mendengar penolakanku, Aryanti merasa kesal. Aduh, Ret, jangan begitu kenes kenapa sih" Pilihlah mana yang kausukai, katanya. Aku ingin membelikanmu pakaian karena ingin berbagi kesenangan seperti yang pernah kita lakukan dulu. Jadi bukan hanya karena disuruh Mas Yoyok. Lagi pula aku juga perlu beberapa potong pakaian. Ada pertemuan dengan istriistri teman bisnisnya.
Meskipun didesak-desak, aku tetap bertahan pada pendirianku, tidak ingin dibelikan pakaian yang uangnya dari Mas Yoyok. Karena kesal melihat kerasnya aku bertahan, Aryanti hanya mengambil dua helai pakaian saja untuk dirinya.
Kau telah membuat selera belanjaku patah, begitu ia mengomel lagi.
Ya, dia benar. Oleh sebab itu aku segera mengambil sehelai blus dan cepat-cepat kubayar dengan uangku sendiri.
Aku senang kok kauajak belanja. Jakarta adalah surganya orang berbelanja, kataku, mencoba menampilkan kegembiraan. Jadi ayo tunjukkan padaku di mana aku bisa membeli sepatu yang enak dipakai untuk mondar-mandir di kantor.
Pancinganku berhasil, Aryanti tampak mulai ceria lagi. Sambil bercanda dan membicarakan masa lalu kami yang manis dulu, kami berbelanja macam-macam barang. Di antaranya lipstik, bedak, tas, sepatu, dan pernak-pernik perhiasan dari batu-batuan yang cantik. Meskipun Aryanti ingin sekali membayari apa pun barang yang kubeli, aku tetap bersikukuh untuk mem-
t . c bayar sendiri. Tetapi ketika melihat Aryanti kecewa, aku membiarkan dia membayar bros berbentuk bunga tulip, yang terbuat dari kristal dengan dua helai daunnya yang berlapis emas. Harganya cukup mahal bukan hanya karena kelas atau kualitasnya saja, tetapi juga karena mereknya.
Begitulah dengan gembira kami keluar-masuk toko dan membahas barang-barang yang menarik dengan penuh keakraban. Bukan belanjanya yang membuat kami gembira, tetapi kegiatan yang bisa kami lakukan bersama lagi itulah yang membuat acara ini terasa begitu menyenangkan. Kulihat sahabatku itu tampak sangat gembira dan amat lincah. Tawanya juga terdengar lepas.
Lihat, Retno, warna pakaian itu cantik sekali. Sayang modelnya begitu tra la la. Kalau aku yang memakainya, pasti kelihatan seperti penyanyi kafe kesiangan, begitu komentarnya sambil tertawa renyah. Atau: Wah, kacamata penahan matahari itu mengingatkan aku pada capung bermata besar yang pernah kita tangkap di tepi sawah orangtua Santi. Ingat kan waktu kita berlibur di rumah orangtuanya di kaki gunung"
Pendek kata hari itu aku melihat lagi Aryanti yang lincah dan ceria. Bukan Aryanti yang duduk dengan manis berjam-jam lamanya di dekat Mas Yoyok, yang sepertinya selalu siap untuk berdiri dan melemparkan pertanyaan: Tehnya ditambah, Mas" Atau: Hidangan makan malam sudah disiapkan, Mas. Mau makan sekarang"
Hatiku sedih menyaksikan keadaan Aryanti. Ber-
t . c sama Mas Yoyok, dia hidup dalam dunia yang bukan dunianya. Di sini bersamaku, dia tampak bebas dan pandang matanya tampak hidup. Tawa dan candanya bertebaran di setiap langkah kakinya. Dan itulah Aryanti yang sesungguhnya. Aryanti yang kukenal dengan baik. Bukan Aryanti yang bersikap seperti seorang istri yang patuh dan selalu siap melayani suaminya, karena kedua orangtuanya selalu mengingatkannya untuk bersikap baik demi persahabatan di antara dua keluarga mereka. Kehidupannya bersama Mas Yoyok telah menyebabkan ia tampil bukan sebagaimana dirinya sendiri. Dan aku tahu pasti, dia merasa tertekan karenanya.
Sepanjang yang kukenal, dia lebih mirip ayahnya yang menyukai kemajuan dan tak pernah mau berhenti di tempat. Sebaliknya, ibunya termasuk perempuan yang konservatif dengan sikap yang patuh, berbakti, dan menganggap citra perempuan ada di dalam rumah tangganya dan menjadi istri yang setia. Celakanya, Aryanti menikah dengan laki-laki yang meskipun usianya masih muda tetapi memiliki orientasi pada budaya feodal dan bertata aturan budaya patriarki. Dan lebih celaka lagi, dia tidak ingin orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan dialaminya. Semua hal yang menyebabkan semangatnya runtuh, disimpannya sendiri. Hanya kepadaku sajalah ia mau membuka diri kendati aku merasa bahwa ia masih belum seterbuka dulu.
Tak heran jika Aryanti tampak begitu penuh semangat dan lincah ketika jalan bersamaku di sepanjang pagi hingga siang itu. Bahkan ketika kami makan siang
t . c
Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun, kulihat dia masih diselimuti kegembiraan. Tetapi begitu kami masuk kembali ke dalam mobilnya yang mewah, keceriaan, kelincahan, dan semangat itu ditinggalkannya di pertokoan yang kami kunjungi tadi. Air mukanya kembali serius.
Capek ya" aku bertanya sambil menyandarkan punggungku ke jok mobil. Suatu pertanyaan pancingan.
Pergi bersamamu mana aku merasa capek sih" Aryanti tersenyum sekilas. Kau telah membuat kenangan manis kita yang lalu seperti datang lagi sampai aku tadi lupa kalau sudah menikah.
Jadi kenapa wajahmu tak lagi seceria tadi" aku bertanya langsung pada apa yang ingin kuketahui.
Aku khawatir Mas Yoyok tersinggung karena hadiahnya kautolak. Lagi pula itu tadi kan kesempatan baik untuk memilih sendiri apa yang kita maui. Biasanya tiba-tiba saja dia sudah membawa hadiah ini atau itu yang belum tentu merupakan selera kita. Dia biasa memberi hadiah pada orang" Ya. Salah satu hobinya memang menghadiahi sesuatu kepada teman-teman atau keluarganya. Dan dia pantang ditolak.
Tetapi penolakanku itu sama sekali tidak ada maksud meremehkannya, namun karena aku tidak suka diberi hadiah yang sifatnya pribadi. Pakaian itu kan termasuk hal yang pribadi sifatnya. Lain hal kalau hadiah itu bersifat umum seperti misalnya buku-buku, makanan, atau yang semacam itu.
Aku kenal dirimu, Retno. Tak usah kaujelaskan
t . c pun aku sudah mengerti. Tetapi bagaimana aku nanti harus mengatakan kepadanya tentang penolakanmu itu"
Biar nanti aku yang mengatakannya. Kau tidak perlu khawatir, kataku kepada Aryanti.
Aryanti tidak menanggapi perkatanku. Semakin dekat ke rumah, pembicaraan kami semakin terdengar tak menentu. Maka ketika tiba, kubantu dia membawa barang-barang yang dibelinya ke kamarnya. Barang belanjaanku sendiri tidak banyak sehingga mudah membawanya.
Dia menahankuku untuk tetap berada di kamarnya ketika satu-persatu barang-barang itu ia buka dan dibebernya di atas tempat tidur.
Sebenarnya aku tak mengerti untuk apa pakaian sebanyak ini Lihatlah, Ret, koleksi pakaianku, katanya sambil mengajakku ke lemari pakaiannya yang memanjang dari dinding ke dinding seberangnya. Lemari itu penuh dengan pakaian yang digantung dengan rapi. Kata Aryanti, lebih dari separo pakaian itu buatan luar negeri. Kemudian dia mengambil belasan kotak perhiasan yang disimpannya di laci teratas. Setiap kotak, berisi berbagai jenis perhiasan dan kebanyakan merupakan setelan yang terdiri atas anting, kalung, gelang, dan cincin. Bahkan juga ada yang dilengkapi bros dan arloji. Hampir semuanya bertatahkan berlian. Melihat namanama merek yang tertera pada kotaknya, aku tahu perhiasan itu juga dibeli di luar negeri.
Wah, kau pasti sering keluar negeri ya" komentar-
ku. t . c Aryanti menatap mataku dengan serius. Belum sekali pun, Retno. Selama perkawinan yang kami yang sepuluh bulan ini, Mas Yoyok memang sering sekali ke luar negeri. Tetapi dia bukan bersenangsenang, melainkan untuk urusan bisnis. Jadi aku tidak diajaknya.
Tetapi apa salahnya kalau sekali-sekali ikut dengannya seperti yang Mbak Diah lakukan. Kalau suaminya sedang dinas ke luar negeri, Mbak Diah mengambil cuti dan ikut dengan biaya sendiri. Di sana dia mengikuti tur keliling kota sementara suaminya menunaikan tugas kantornya.
Ah, sudahlah. Aku juga tidak suka pergi ke luar negeri kalau hatiku tidak sepenuhnya merasa senang. Nah, kembali ke soal pakaian dan perhiasan ini, aku sering merasa bingung untuk memakainya. Kenapa sih harus sebanyak ini" Bayangkan, di luar sana jangankan orang berpikir ingin membeli perhiasan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja pun mereka tidak tahu harus dengan apa membiayainya. Semua yang kumiliki ini betul-betul mubazir, pemborosan belaka. Apa lagi tujuan Mas Yoyok membeli ini semua kan untuk simbol keberhasilan dan kesuksesannya. Suara Aryanti terdengar sinis.
Jangan dilihat negatifnya saja, Yanti. Kau harus melihat juga segi positifnya, keberuntunganmu. Sangat jarang di negara kita ini seorang istri bisa menikmati kekayaan suaminya yang seakan tanpa batas ini, kataku sambil mengagumi koleksi perhiasannya.
Beruntung dalam hal apa" Kebanyakan orang kita
t . c kok memandang keherhasilan dan kesuksesan seseorang dari kekayaan yang berhasil dikumpulkan. Padahal menurut kriteria yang objektif, keberhasilan seseorang itu tidak melulu pada kekayaan atau materi yang berhasil dicapainya, tetapi pada nilai-nilai yang membuat orang itu memiliki kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan uang dan semacamnya. Hal itu yang aku tidak bisa mengungkapkannya dengan terus terang padanya. Retno, hidupku ini nyaris penuh sandiwara.
Aku tertegun. Terutama karena aku mendengar nada letih dalam suara Aryanti. Seperti apa sandiwara yang dimaksudkannya, aku tidak tahu. Tetapi ketika sore harinya beberapa kerabatnya yang sudah lama tak bertemu tiba-tiba datang menjenguknya, aku baru mengerti apa yang ia maksudkan. Kulihat ia mengikuti arus situasi yang terarah kepadanya. Sanjungan, pujian, dan kekaguman para tamunya atas apa yang ia miliki, diterimanya dengan senyum dan tawa. Seolah ia menikmati segalanya. Bahkan menurutku, ia sedang membius dan mensugesti dirinya sendiri bahwa ia memang beruntung dan bahagia.
Rahasia Peti Wasiat 4 Rencana Paling Sempurna The Best Laid Plans Karya Shidney Sheldon Terminal Cinta Terakhir 1