Pencarian

Istana Emas 2

Istana Emas Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


Waktu Tante mendengar kau menikah dengan orang kaya, kubayangkan hidupmu pasti serba-enak tanpa kekurangan apa pun. Tetapi tak terbayangkan oleh Tante bahwa kekayaan suamimu jauh lebih hebat dari yang Tante bayangkan, kata Tante Yulia begitu masuk ke istana emas ini.
Aryanti hanya tertawa saja. Diturutinya para kerabatnya yang ingin melihat-lihat istana emasnya ini. Sesekali ia menjelaskan apa yang ingin diketahui oleh mereka.
t . c Pajangan yang langka ini dibeli Mas Yoyok ketika ia pergi ke Kairo. Dan yang ini dibelinya di China. Lalu yang itu ia beli lewat temannya ketika ke Amerika. Kemudian yang itu dibeli dari keluarga kerajaan yang butuh uang dan hanya mau menyerahkannya kepada Mas Yoyok karena tahu dia selalu merawat koleksinya. Kami memang menyukai benda-benda yang ekslusif, begitu antara lain yang dikatakannya di hadapan tamu-tamunya.
Ketika salah seorang tamunya menimang-nimang patung porselin dari Belanda, ia langsung memberi tanggapan.
Kalau suka, ambillah, Mbak. Mas Yoyok sering ke Belanda kok.
Aku hanya menjadi pendengar dan pemerhati saja menyaksikan sikap Aryanti yang tidak seperti biasanya. Tapi ketika tak berapa lama kemudian terdengar klakson mobil Mas Yoyok yang mungkin terhalang mobil tamu Aryanti, sikap superioritas Aryanti sebagai istri bos tibatiba melempem, bagai kerupuk mengisap udara.
Tolong, Mbak, mobilnya diparkir agak di sudut halaman saja. Mobil Mas Yoyok mau masuk garasi, katanya dengan tergesa.
Aku masih tetap sebagai pemerhati, bahkan sebagai pengawas, ketika Mas Yoyok yang baru datang dari kantor, langsung ikut bergabung. Tetapi sekarang dengan pemahaman baru, bahwa inilah bagian dari sandiwara yang diperankan oleh sahabatku itu. Ketika jam menunjuk setengah tujuh kurang, perempuan itu berdiri dan menatap ke arah sang suami.
t . c Aku akan menyiapkan makan malam dulu, katanya. Mas mau langsung makan atau mandi dulu"
Aku sudah mandi di kantor sebelum pulang tadi. Siapkan saja makan malamnya. Tamu-tamu kita harus dijamu. Ini sudah saatnya makan malam, jawab Mas Yoyok. Mandi di kantor bukan hal aneh buat Mas Yoyok. Di sebelah ruang kerjanya terdapat kamar dengan tempat tidur single dan lemari pakaian. Dan di sebelah ruang tersebut terdapat kamar mandi yang serbalengkap.
Aku mengetahui hal tersebut karena kemarin aku diajak Aryanti menengok kantor Mas Yoyok. Katanya, suaminya itu ingin memperlihatkan kantornya kepadaku. Di sana aku sempat terkagum-kagum melihat ruang kerjanya yang berukuran seluas rumah. Ada ruang tamu, ruang makan, ruang rapat khusus untuk petinggi-petinggi perusahaan, dilengkapi pula dengan dapur kecil serta ruang tidur berikut kamar mandi seperti yang sudah kuceritakan tadi.
Untuk tambahan lauk, buka saja rendang yang ada di lemari es dan panaskan sebentar, Mas Yoyok berkata lagi, merenggutku dari lamunan. Kemarin kami menerima kiriman rendang asli dari Padang.
Ya, maksudku juga begitu, kata Aryanti. Kemudian menoleh ke arah kerabatnya. Mbak Din, Tante Yulia, Mas Hardi, dan Mbak Pipit, silakan mengobrol dulu dengan Mas Yoyok dan Retno ya.
Jangan repot-repot, Yanti. Kami sudah mau pulang kok, sela Tante Yulia.
Tidak ada yang repot di sini, Mas Yoyok menyela
t . c dengan suaranya yang tegas dan sikapnya yang sulit dibantah. Tukang masak kami pernah bekerja di sebuah rumah makan terkenal. Jadi silakan nanti mencicipi hasil masakannya.
Baiklah kalau memang tidak merepotkan, kata Tante Yulia lagi. Tidak enak dia menolak kemauan tuan rumah.
Saya siapkan dulu ya, Tante.
Tak sampai sepuluh menit kemudian Aryanti sudah kembali ke tempat kami dan mengatakan bahwa makan malam telah siap. Perempuan itu menampilkan sosok nyonya rumah dan istri yang nyaris sempurna. Ia melayani kami masing-masing dengan cara yang menyenangkan.
Mau tambah tongsengnya" Ini tongseng sapi kok, bukan kambing. Dijamin aman untuk darah tinggi, katanya. Atau: Kok sudah, makannya" Ayo ah, jangan sungkan-sungkan.
Begitulah acara makan malam kami hari itu. Ketika kerabat Aryanti sudah pulang, kami bertiga dudukduduk di ruang tengah, menonton televisi. Meskipun layarnya sangat lebar dan ilmnya bagus, pikiranku tidak ke situ. Hatiku masih tersentuh rasa iba melihat sandiwara yang dimainkan sahabatku tadi. Di hadapan banyak orang, dia ingin menunjukkan diri sebagai istri yang baik dan sebagai perempuan yang berbahagia demi menjaga nama suaminya. Tetapi sekarang di dekat Mas Yoyok, Aryanti lebih banyak berdiam diri. Sungguh tidak mudah baginya menjalani kehidupan seperti itu.
t . c Nah, bagaimana hasil jalan-jalan kalian" Tiba-tiba Mas Yoyok mengeluarkan pertanyaan yang kelihatannya sudah sejak tadi ingin diutarakannya tetapi karena ada tamu, baru sekarang ditanyakannya. Senang"
Ya, Mas. Senang. Aryanti yang menjawab pertanyaan sang suami. Ada keresahan hati yang tertangkap oleh pendengaranku. Cuma sayangnya, Mas, Retno tidak mau menerima hadiahmu& .
Mendengar perkataan Aryanti, Mas Yoyok langsung menatap mataku dengan pandangan bertanya sehingga aku buru-buru memberi penjelasan agar keresahan hati Aryanti berkurang.
Penolakanku itu tidak lepas dari rasa terima kasih yang tak terhingga atas perhatian Mas Yoyok dan Aryanti kepadaku. Tetapi maafkanlah, aku tidak terbiasa menerima hadiah orang yang bukan keluarga intiku. Kecuali, kalau ada event tertentu. Ulang tahun, misalnya. Canggung rasanya menerima hadiah tanpa ada alasan yang khusus. Apa yang kukatakan itu memang ada benarnya. Tetapi dalam hal ini penolakanku lebih dikarenakan sikap Mas Yoyok yang mau menang sendiri. Aku tak mau didikte.
Mas Yoyok menatapku lagi, seakan ingin mencari kebenaran di balik perkataanku. Aku tak mau membalas pandang matanya. Tetapi tampaknya ia masih belum mau menyerah.
Kalau memang tidak terbiasa, mulai sekarang biasakanlah supaya tidak canggung lagi menerima hadiah dari seseorang yang bukan keluarga inti, katanya kemudian. Ada kebiasaan-kebiasaan kami yang baik juga
t . c untuk diikuti, Retno. Paling tidak, selama kau berada di rumah ini.
Tetapi& Kurasa pembicaraan mengenai hadiah, kita sudahi sampai di sini saja. Tidak penting untuk dibahas. Apalagi malam-malam begini Mas Yoyok memotong perkataanku. Dan kemudian sebelum aku bereaksi lagi, dia mengubah pembicaraan. Nah, bagaimana kalau kita nonton ilm malam ini"
Aryanti langsung mengiyakan. Kuperhatikan, perempuan itu sedang menetralkan keadaan. Dengan matanya ia memberi isyarat kepadaku untuk mengikuti saja apa kemauan Mas Yoyok. Tetapi aku diam saja sehingga Mas Yoyok mengulangi lagi pertanyaannya tadi.
Bagaimana, Retno, kita menonton pertunjukan yang terakhir malam ini ya" Kedengarannya, Mas Yoyok minta persetujuanku tetapi sebenarnya ia memintaku untuk menuruti kemauannya.
Kalau cuma mau menonton ilm saja, di rumah kan bisa. Ada banyak VCD, ada TV kabel. Tinggal memilih, aku masih mencoba menolak kemauan Mas Yoyok.
Tetapi suasananya kan lain, Retno. Ayo, kita cari yang tak terlalu jauh dari rumah.
Kalau tidak melihat air muka Aryanti yang penuh imbauan, aku pasti akan tetap ngotot tidak ingin pergi.
Filmnya apa sih" Aku mulai menyerah, demi sahabatku.
t . c Kita lihat di koran saja, Retno. Nanti kuambilkan&
Tidak usah, Mas Yoyok memotong perkataan Aryanti. Aku lebih suka melihat langsung ke tempatnya dan memilih ilm di sana.
Suara Mas Yoyok terdengar kalem tetapi siapa pun dapat menangkap ketegaran dan kerasnya hati yang sulit digeser barang sedikit pun. Menyebalkan sekali. Sambil mengganti pakaian di kamarku, kutenangkan perasaan dongkolku terhadap Mas Yoyok. Semakin kupahami sekarang mengapa Aryanti merasa tidak bahagia bersuamikan laki-laki seperti itu. Kasihan sahabatku itu, berada dalam situasi yang serba kontradiktif. Pada dasarnya, Aryanti adalah perempuan yang periang, senang berdiskusi, dan menyukai kemajuan. Tetapi ibunya yang bangsawan keraton Solo itu telah mendidik anak-anak perempuannya dalam asuhan budaya patriaki dan memegang nilai-nilai feodal. Salah satunya, kedudukan seorang istri hendaknya berada di bawah dominasi suami. Seorang istri harus patuh terhadap suami dan menomorsatukannya. Termasuk kemauannya. Keinginan bahkan cita-cita diri sendiri harus dinomorsekiankan. Karenanya adu argumentasi termasuk yang ditabukan. Lupa, bahwa Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dengan harkat martabat yang sederajat.
Kurasa dua hal yang bertolak belakang dalam dirinya itu telah menyebabkan Aryanti sering mengalami konlik batin dengan pelbagai kompensasinya yang tercuat melalui sikap, perilaku, dan bicaranya. Dengan perkataan lain, sikapnya yang merendah, sabar, tenang
t . c dan mengiyakan apa pun kata suaminya, bisa bertolak belakang jika ia berada di antara orang lain. Hanya kepadaku saja perempuan itu menampilkan Aryanti yang sebenarnya.
Kalau saja Aryanti tidak mengeluh dan mencurahkan sebagian isi hatinya kepadaku, aku tidak akan ikut campur urusannya dengan sang suami. Apalagi kalau perempuan itu bisa melalui kehidupannya dengan ikhlas dan bersikap kompromis dengan realita yang ada di hadapannya. Tetapi tidak. Aku tahu betul bahwa Aryanti sering kali merasa tertekan. Apa lagi keberadaan Mas Yoyok di mana pun selalu membawa pengaruh yang sulit dijelaskan ke dalam kata-kata dan hanya bisa dirasakan saja, yaitu hilangnya rasa nyaman dan tercuilnya kebebasan.
Memang kuakui, meskipun kaya-raya, Mas Yoyok tidak termasuk orang yang sombong. Malahan ia selalu ramah-tamah terhadap siapa pun. Tetapi aku tahu, dan kurasa semua orang juga tahu, bahwa di dalam keramahtamahannya, laki-laki itu tidak bisa didekati, dalam arti menjalin keakraban yang mendalam dengan dirinya. Selalu saja ada jarak bahkan dinding tebal yang tak terlihat oleh mata namun terasakan. Setelah hampir satu minggu lamanya tinggal di bawah atap yang sama, aku melihat laki-laki itu lebih banyak bicara dengan rasionya daripada dengan hatinya. Keramahannya hanyalah didasari oleh perintah dari otaknya di rumahnya bahwa sebagai seorang manusia yang hidup bersama orang lain ia harus bersikap ramah. Dan khusus terhadapku, pastilah rasionya mengatakan bahwa ia
t . c harus ramah kepada tamu yang menginap di rumahnya ini karena aku adalah sahabat karib Aryanti. Namun karena hati Mas Yoyok tertutup, maka kedekatan hati antara diriku dengan laki-laki itu jadi terhambat.
Mas Yoyok memang berbeda sekali dengan kebanyakan laki-laki yang kukenal. Iwan, teman sekantorku, misalnya. Laki-laki itu enak diajak bicara, asyik dibawa berdiskusi maupun untuk bersama-sama memecahkan masalah. Kami sering saling berbagi saran jika menghadapi hal-hal yang perlu pendapat orang lain sebagai opini kedua. Jadi ketika Iwan mengeluh istrinya sangat cemburuan ketika baru mulai hamil, aku memberinya saran-saran yang diturutinya dengan senang hati. Berhasil atau tidak itu nomor dua, karena yang paling utama adalah bagaimana Iwan berusaha untuk mengerti perubahan isik dan kejiwaan seorang perempuan yang baru pertama kali hamil. Hal-hal semacam itulah yang tak mungkin kujalin bersama Mas Yoyok kendati dia suami sahabatku yang paling akrab dan paling terkarib. Ironis, memang.
Maka ketika kami bertiga menonton ilm yang seharusnya bisa mencairkan suasana, keadaannya tetap saja kaku karena sikap Mas Yoyok yang tidak santai, mengambil jarak, dan bersikap sebagai pemimpin. Karena hatiku kesal, konsentrasiku untuk menyimak cerita yang tersaji di layar lebar, jadi goyah. Padahal para pemainnya bintang-bintang top Holywood yang pernah mendapat piala Oscar. Oleh sebab itu aku merasa lega ketika pertunjukan telah berakhir.
Di dalam mobil menuju pulang, sambil menikmati
t . c makanan kecil yang kami beli di kantin bioskop, Mas Yoyok sempat bertanya kepadaku mengenai apa yang baru saja kami tonton tadi. Bukan sekadar basa-basi tetapi terasa jelas bagaimana ia ingin mengetahui pendapatku. Sialnya, aku tadi tidak menyimak sepenuhnya gara-gara merasa jengkel kepadanya.
Apa pendapatmu mengenai ilm yang kita tonton tadi, Retno" begitu ia bertanya. Pandang matanya bertemu dengan mataku melalui kaca spion.
Bagus, Mas, aku menjawab sekenanya. Apanya yang bagus" Pandang mata kami bertemu lewat kaca spion.
Semuanya. Ceritanya, pemainnya yang cantikcantik dan ganteng, akting mereka yang prima dan juga penataan suara dan musiknya, lagi-lagi aku menjawab sekenanya. Bukan substansinya yang kubahas. Tetapi biar sajalah. Aku sedang malas berpanjang-panjang kata dengannya.
Ketika pandang mata kami bertemu lagi lewat kaca spion, aku melihat kerut di matanya.
Kedengarannya bukan penilaian yang mendalam. Kenapa, Retno" Tadi mengantuk atau tidak menyukai ceritanya"
Sial. Ternyata dia mempunyai pengamatan yang tajam. Kalau aku membantahnya, pasti pembicaraan kami jadi panjang. Jadi aku mengambil jalan pintas.
Jujur, aku tadi tidak menyimak sepenuhnya. Aku memang mengantuk, sahutku berdalih. Semalam aku membaca novel sampai larut malam.
Kenapa tadi tidak bilang terus terang kalau Retno
t . c mengantuk" Kalau bilang kan kita bisa menonton besok atau lusa. Filmnya bagus lho, kata Mas Yoyok.
Yah, aku kan sedang belajar membiasakan diri untuk bisa memenuhi keinginan orang atau menerima kebaikan mereka yang bermaksud baik, sahutku, menyindirnya.
Jawabanku menyebabkan pandang mata kami kembali bersirobok di kaca spion. Kali itu bola mataku kulumuri dengan sikap menantang. Bukankah itu yang dimauinya" Sekarang aku ingin memberinya pelajaran bahwa tidak semua maksud baik, hasilnya akan baik. Memberi hadiah orang pun harus dipikirkan juga apa dampaknya. Jangan mengukur orang dengan ukuran kita sendiri. Mudah-mudahan dia tahu maksud tatapan mataku itu.
Aku yakin Aryanti yang duduk di samping Mas Yoyok sedang menahan napas. Takut sang suami tersinggung disindir sahabat karibnya. Tetapi ternyata tidak. Mas Yoyok malah mengalihkan pembicaraan sehingga situasi tegang yang sudah ada di ujung tanduk, mencair kembali. Kukira laki-laki itu tak peka menangkap sindiranku. Atau paling tidak, dia enggan berbantah denganku. Namun perkiraanku itu ternyata salah. Mas Yoyok tidak membiarkan aku menang di atas angin. Hari berikutnya sepulangnya dari kantor dan setelah kami bertiga selesai makan malam, tiba-tiba laki-laki itu mengeluarkan dua kotak kecil berlapis beludru merah, yang langsung diberikan kepada Aryanti dan kepadaku, masing-masing satu kotak. Awal dari sesuatu yang bisa menjadi kebiasaan
t . c baik, katanya sambil menatap tajam ke arahku. Sementara bibirnya membentuk satu garis yang kaku, bagaikan terbuat dari batu karang. Harus kuakui, laki-laki itu memang mempunyai kemampuan untuk menaklukkan orang. Jadi inilah lanjutan perang dingin kami semalam. Maka daripada keras ketemu keras dan lalu melukai hati sahabatku, aku mengalah saja
Apa ini, Mas" Kudengar Aryanti menanyakan apa yang sudah ada di ujung lidahku.
Buka sajalah. Kutunggu Aryanti membuka kotak bagiannya sampai kudengar ia berseru gembira. Entah apakah itu kegembiraan sejati ataukah cuma sandiwara belaka, hanya Tuhan yang tahu. Kotaknya berisi seuntai kalung emas putih dengan liontin berbentuk bunga dengan tiga butir berlian di tengah kelopaknya. Mungil, cantik, dan tampak berkilauan dilatarbelakangi beludru merah. Suatu kombinasi yang menawan.
Ini indah sekali, Aryanti bergumam pelan. Kemudian kepalanya berputar ke arahku. Bukalah kotakmu, Retno.
Dengan perasaan enggan, aku terpaksa membukanya. Sama seperti isi kotak Aryanti, kotakku juga berisi kalung emas putih. Perbedaannya pada bentuk liontinnya. Hadiah yang untukku berbentuk tiga bunga leli kecil-kecil dengan masing-masing sebutir berlian di tengahnya. Juga indah dan tampak berkilauan dilatarbelakangi beludru hitam.
Ini berlian asli" tanyaku bingung. Belum pernah aku mendapat hadiah seindah ini.
t . c Kau yang menjawab pertanyaan Retno, Yanti, Mas Yoyok berkata kepada sang istri, tetapi matanya menatapku. Entah aku salah lihat, ada tawa tersirat di matanya.
Mas Yoyok tidak pernah membeli perhiasan yang tidak asli, Retno, Aryanti menjawab dengan agak tersipu. Pasti tidak enak dia menjawab seperti itu padaku. Takut dibilang sombong. Padahal aku tidak berpikir seperti itu. Yang kupikirkan justru tawa yang tersirat dari bola mata Mas Yoyok. Aku merasa tersinggung. Laki-laki itu telah menertawakan ketidakpekaanku mengenai kelasnya , bahwa tak mungkin orang seperti dia membeli perhiasan yang tidak asli. Karenanya aku ingin memberi pengertian padanya bahwa tak mungkin aku mau menerima hadiah yang bisa dinilai atau diukur dengan sejumlah uang. Bagiku, palsu atau asli berlian tidak masuk hitungan, sebab ada nilai-nilai lain yang lebih berharga.
Kalau begitu, aku tidak mau menerima hadiah ini. Terlalu mewah untukku kalau itu dinilai dengan sejumlah uang. Terlalu sempit maknanya kalau itu diukur dengan nilai bendanya, kataku kemudian sambil meletakkan kotak berisi kalung itu ke atas meja. Seharusnya Mas Yoyok tidak perlu menghadiahiku barang semahal ini. Kalau Mas mau menunjukkan adanya perhatian pada sahabat karib istrimu, ada banyak cara yang lebih baik dan lebih bisa diterima dengan senang dan tulus hati. Tidak harus melimpahi dengan hadiahhadiah bersifat material. Apalagi yang mahal seperti ini. Jadi maaf, aku tak bisa menerimanya. Namun aku sangat berterima kasih atas niat baik ini.
t . c Mas Yoyok tidak memberi komentar. Tangannya mulai sibuk menyalakan rokok tanpa minta maaf seperti biasanya kepada orang-orang yang ada di dekatnya. Sedangkan kotak yang semula diberikannya kepadaku dibiarkannya tetap berada di atas meja. Aku tahu, dia sedang marah. Tetapi aku tidak tahu seberapa besar kemarahan yang ditujukan kepadaku atas penolakan dan kritikanku karena dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi menenggelamkan diri di dalam asap rokok dan acara berita luar negeri yang tersaji lewat layar kaca lebar di hadapan kami. Bahkan tetap diam seribu bahasa sampai acara berita itu selesai. Baru kemudian dia berdiri.
Aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu, katanya memberi penjelasan entah kepada siapa. Selamat tidur semuanya.
Selamat tidur, aku menjawab pendek.
Sepeninggal Mas Yoyok, buru-buru Aryanti menoleh ke arahku.
Wah, berani betul kau menentang kemauannya, komentarnya.
Kenapa tidak berani kalau apa yang kulakukan itu bukan suatu kesalahan" Coba kau jadi diriku, tidak enak kan dihadiahi barang semewah dan semahal itu. Dari sudut pandang Mas Yoyok, memang barang itu tidak berarti jika dinilai dengan uang karena dari sanalah sudut pandangnya berasal. Buat dia tidak ada artinya uang yang dikeluarkannya untuk membeli kalung seperti ini. Tetapi aku tidak bisa berpikir lain kecuali pemberian itu membuatku terbebani justru karena terlalu mahal bagi ukuranku. Wajar, kan"
t . c Ya& . Aryanti mengangguk.
Kalau begitu kenapa kau seperti memandang diriku aneh seolah aku telah melakukan suatu kesalahan yang menggemparkan"
Bukan begitu, Retno. Kau belum mengenal Mas Yoyok dengan baik sih. Dia tidak suka hadiahnya ditolak. Meskipun tidak mengatakan apa-apa tetapi aku tahu dia marah besar kepadamu. Sikapmu pasti membuatnya tak habis pikir kenapa ada orang yang tidak sepaham dengannya dan menolak mentah-mentah kebaikannya.
Yanti, aku menyangkal pendapat sahabatku. Kurasa kau terlalu berlebihan menempatkan dirinya. Apa salahnya menentang pendapat orang yang tidak sesuai dengan pendapat kita. Ini kan bukan sesuatu yang menyangkut ideologi dan prinsip-prinsip moral yang perlu dipertahankan mati-matian. Apalagi aku tadi kan telah menjelaskan kepadanya, kalau dia ingin menunjukkan perhatiannya kepadaku, masih ada banyak cara lain. Tidak harus dengan materi.
Ya, memang. Waktu belum lama menjadi istrinya, kami pernah bertengkar karena perbedaan pendapat. Dia mengadu pada Ibu sehingga aku dimarahi. Selama beberapa waktu, sikapnya amat dingin dan memandangku seperti aku ini penyakit menular yang berbahaya. Sejak itu aku memilih jalan yang aman, membiarkan apa pun pendapat dan kemauannya, kata Aryanti dengan suara agak bergetar. Kedengarannya aku pengecut dan tidak punya prinsip. Tetapi apa boleh buat, Retno. Kalau terus-menerus kulawan, aku capek. Bukan hanya
t . c mentalku, tetapi juga isikku. Seperti yang sudah kukatakan kepadamu, belakangan ini aku lekas merasa lelah. Aku melihat ada kilauan air di matanya sehingga kuurungkan niatku untuk mengajaknya bersikap kritis seperti rencanaku semula. Pikirku, Mas Yoyok harus diberi pelajaran. Atau paling tidak, pengertian bahwa di dunia ini ada banyak kepala dengan berbagai macam isi. Bukan seragam. Tetapi demi menenggang perasaan Aryanti, apa boleh buat, aku harus melupakan niatku itu.
Bersabarlah, kataku menghiburnya. Pasti di suatu ketika nanti akan ada jalan yang lebih baik di mana kalian bisa menemukan titik-titik penyesuaian. Seperti yang sudah kukatakan, tahun-tahun pertama perkawinan adalah merupakan tahun-tahun penyesuaian. Dan itu memang bisa menguras energi kita, isik maupun mental. Tetapi mudah-mudahan kalian berdua bisa segera mengatasi perbedaan yang ada. Ingat, di dunia ini tak ada orang yang persis sama segalanya. Saudara kembar pun mempunyai pandangan hidup sendirisendiri. Jadi janganlah membiarkan diri tenggelam dalam masalah yang diakibatkan oleh perbedaan, karena tidak akan pernah ada habisnya.
Aryanti tersenyum sekilas.
Kalau kau sudah menikah, barangkali pendapatmu itu bisa kupercaya, katanya kemudian.
Tetapi biarpun belum menikah, setidaknya sebagai orang yang berada di luar pagar aku bisa lebih jelas menatap apa yang tampak olehku namun tak tampak olehmu.
t . c Aryanti tidak segera menanggapi perkataanku, tetapi sekonyong-konyong dia mengganti topik pembicaraan.
Kau tak pernah bercerita secara detail mengenai putusnya hubunganmu dengan Aditya. Kau hanya bilang dia selingkuh, katanya. Apa yang dilakukan oleh laki-laki goblok itu!
Aku tertawa melihat kemarahannya karena sudah terlambat untuk marah-marah. Perasaanku terhadap Aditya toh sudah hilang.
Tak perlu aku bercerita secara mendetail, Yanti. Karena dengan mata kepalaku sendiri aku melihatnya sedang mencumbu model lukisannya. Jelas dan gamblang betapa penuh nafsunya kedua orang itu sampai tidak mendengar kehadiranku, sahutku kemudian.
Kurang ajar sekali. Semula aku menyangka kau akan segera menyusulku memasuki pernikahan. Kalian berdua tampak sangat serasi. Sama-sama romantis, sama-sama berjiwa seni, sama-sama memiliki kehangatan dan sama-sama pula menyukai jalan-jalan melihat dunia. Tak kusangka akan begini jadinya, kata Aryanti. Laki-laki itu pasti menyesal, sekarang. Dasar laki-laki goblok.
Ya, memang. Beberapa hari setelah kejadian itu dia datang ke rumah dan menyembah-nyembah di bawah kakiku, minta supaya aku mau memaafkan dia dan kembali kepadanya. Katanya, dia tidak punya perasaan apa-apa terhadap modelnya itu. Tetapi apa pun alasannya, tekadku telah bulat. Bahwa masa depanku tidak bersama dia, sahutku. Ah, sudahlah jangan membahas
t . c masa lalu. Kita hidup di masa kini dan menuju ke masa mendatang.
Oke. Tetapi kau juga jangan lalu kapok. Sudah saatnya kau menjalin hubungan baru yang lebih matang dan lebih mantap.
Aku masih ingin mengembangkan karierku dulu. Ingat usia lho, Ret.
Aku tahu. Sepupu Mas Yoyok yang bernama Purnomo& Jangan jadi mak comblang! aku memotong perkataan Aryanti yang belum selesai itu sambil tertawa. Jangan-jangan laki-laki bernama Purnomo itu sama seperti Mas Yoyok. Aku tak mau cari penyakit, Yanti.
Dia berbeda, Retno. Dia benar-benar menarik, hangat, dan penuh perhatian. Laki-laki itu bisa membuat perempuan merasa istimewa jika berdekatan dengan dirinya. Sudah begitu, orangnya juga ganteng, gagah dan&
Yanti! aku memotong sambil tertawa. Iklanmu berlebihan. Jangan-jangan&
Hush. Jangan mengada-ada& . Rona merah melintasi pipi Aryanti. Tetapi andaikata aku kenal dia lebih dulu& mungkin memang lain ceritanya. Kalau begitu, realistislah. Jangan berandai-andai. Memang begitu. Maka ingin kujodohkan denganmu.
Stop. Kita bicara lainnya saja. Perlu kauketahui, aku masih senang menikmati kesendirianku. Bahkan sedang memikirkan untuk melanjutkan studiku ke jen-
t . c jang yang lebih tinggi. Perjodohan adalah prioritas yang kesekian.
Aku jadi iri padamu, Retno. Kau bebas melakukan apa yang kauinginkan. Bebas menentukan dirimu sendiri. Bebas pula dari keharusan-keharusan yang dipasungkan pada seorang istri!
Aku tertegun. Semakin jelas padaku, Aryanti memang tidak bahagia. Bahkan aku menangkap adanya kekecewaan dalam dirinya. Ah, aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
Yanti, kau tidak boleh berpikir seperti itu karena bisa menyusahkan dirimu sendiri, kataku buru-buru. Bahwa kau tak bahagia, kau sudah menyiratkannya berulang kali padaku. Aku juga telah memberimu saran untuk bersabar dan bersikap kompromis terhadap realita. Jadi sekali lagi, jangan pernah menganggap perkawinan sebagai belenggu.
Tetapi aku& menyesal telah mengambil keputusan untuk menikah ketika hatiku masih sakit karena putus cinta. Saat itu rasioku juga masih labil untuk bisa diajak berpikir. Padahal kau sudah mengingatkan aku untuk berpikir lebih panjang dulu.
Sudah& sudah... jangan dibahas lagi hal-hal yang telah lalu itu, kataku memenggal perkataan Aryanti. Seperti yang sudah berulang kali kukatakan, kehidupan ini berjalan maju. Bukan mundur. Jadi, lebih baik mengusahakan bagaimana mengatasi hal-hal yang tak sesuai dengan cita-cita dan harapanmu. Mungkin ada baiknya kalau kau mencari kesibukan yang bermanfaat. Mengembangkan bakat-bakatmu, misalnya.
t . c Sudah kuusahakan, Retno. Bahkan aku telah belajar bahasa Prancis dan Jerman di samping memperdalam bahasa Inggris-ku yang masih berlepotan. Apalagi Mas Yoyok ingin agar aku memiliki kefasihan berbahasa asing sehingga kalau ada tamu-tamu dari luar negeri, tidak memalukan.
Tetapi..." Aku yakin ada tetapi di balik perkataannya itu.
Tetapi aku tetap saja merasa kesepian. Mungkin karena keinginanku belajar bahasa itu ditumpangi oleh kemauan Mas Yoyok agar aku bisa tampil sebagai istri yang patut dibanggakan.
Bagaimana dengan membaca atau belajar merangkai bunga atau musik, misalnya"
Nanti akan kucoba. Tetapi rasanya kok& bukan itu yang kucari, gumam Aryanti.
Kalau begitu segeralah kalian mempunyai anak. Mungkin dengan adanya anak, hidupmu menjadi lebih berarti.
Aku tidak ingin mempunyai anak kalau tujuannya seperti itu. Anak harus lahir dalam suasana yang bahagia. Bukan sebagai sarana untuk mencari kebahagiaan.
Aku terdiam. Aryanti benar. Lalu apa yang bisa kusarankan pada Aryanti kalau begitu. Belajar melukis" Masuk suatu organisasi dan menjadi anggota aktif di situ"
Tiba-tiba Aryanti melanjutkan bicaranya tadi. Mungkin waktunya juga belum tepat bagiku untuk hamil dan punya anak. Kondisi isikku sedang kurang prima .
t . c Kurang prima bagaimana"
Sebulan yang lalu aku pergi ke dokter karena suhu tubuhku agak tinggi dan badanku lemah sekali. Selain memberi obat, dokter menyarankan supaya aku kembali ke sana lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut, jawab Aryanti. Tetapi karena setelah diberi obat dan vitamin kondisi isikku mulai pulih, aku tidak ke sana lagi. Mas Yoyok tahu"
Tahu. Dia tidak menyuruhmu supaya kembali ke dokter sebagaimana yang disarankan oleh dokter itu"
Tidak. Aku juga menganggap tidak perlu harus kembali ke dokter lagi karena aku tidak sakit kok.
Tetapi menurutku, kau harus ke dokter lagi, kalau begitu. Apalagi kau bilang belakangan ini sering cepat merasa lelah. Kalau perlu periksa darah.
Baik, saranmu akan kuturuti, Aryanti menanggapi perkataanku sambil tertawa. Orang cepat merasa capek, kan biasa.
Memang. Tetapi karena aku mempunyai dugaan bahwa kelelahanmu itu berkaitan dengan masalah psikis, maka menurutku kau perlu pertolongan dokter. Kalau semua hasil pemeriksaan oke, baru ke dokter ahli jiwa.
Iya, iya, aku akan ke sana! Aryanti tertawa kesal. Kau seperti ibuku saja sih. Nyinyir.
Aku memang nyinyir. Maka semakin cepat kau pergi ke dokter, akan semakin baik bagimu. Istri Mas Bayu kan dokter. Dia pernah mengatakan kepadaku kalau kita sering merasa lesu atau lekas capek, ada
t . c kemungkinan mengalami kekurangan darah atau anemia. Tetapi juga mungkin disebabkan karena masalah psikologis.
Aryanti mengangguk sambil nyengir. Iya, aku akan ke dokter!
Bagus! t . c A KU disambut oleh teriknya sinar matahari begitu
keluar dari Bandara Adi Sucipto, seolah cuaca yang cerah itu merupakan sambutan atas kedatanganku kembali ke Yogya, kotaku tercinta.
Taksi" seseorang menegurku. Ya. Pakai argo lho.
Baik. Tetapi nanti diberi lebihan sedikit ya, Mbak"
Baik, sedikit lho. Antar saya ke Jalan Kaliurang kilometer tujuh, kusebut alamat rumah orangtuaku dengan perasaan senang. Telah dua minggu lamanya aku tidak berada di tengah-tengah keluarga.
Memakai kesempatan ketika sopir taksi sedang memasukkan koperku ke bagasi, mataku kulayangkan ke arah penumpang-penumpang yang selama kuranglebih satu jam lamanya tadi berada dalam perjalanan bersamaku dari Jakarta. Tetapi tidak kulihat sosok tubuh Mas Yoyok di antara mereka. Laki-laki itu se-
Lima t . c perti telah hilang dari pandangan mataku. Seolah apa yang terjadi selama hampir dua minggu lamanya, bagaikan mimpi belaka. Tetapi tidak. Aku masih teringat jelas apa yang terjadi hampir dua jam yang lalu di Bandara Sukarno-Hatta ketika aku pamit dan mencium Aryanti sebelum masuk ke ruang calon penumpang yang memisahkan diriku dengan Aryanti, yang mengantarkan aku sampai ke bandara.
Tulislah surat sesering mungkin, ya Retno, katanya sebelum aku melangkah pergi.
Wah, apa gunanya telepon dan internet" Aku tertawa.
Telepon ya tetap berfungsi dong. Internet, boleh juga. Tetapi surat juga harus ditulis. Ada seni tersendiri membaca surat melalui pos. Bisa dibaca sambil berbaring di atas tempat tidur. Aryanti juga tertawa. Bisa disimpan juga. Jadi, suratmu kutunggu lho ya.
Baik. Kuanggukkan kepalaku. Yanti, rumah di Jalan Kaliurang masih tetap terbuka untukmu. Kalau bosan di Jakarta, berliburlah ke rumah kami.
Mata Aryanti menerawang sesaat, kemudian mengangguk.
Mudah-mudahan aku bisa ke Yogya lagi di suatu ketika nanti, sahutnya kemudian. Aku rindu kepada seluruh keluargamu dan juga kepada kota yang menyimpan pelbagai kenangan itu.
Mereka juga rindu kepadamu, Yanti. Aryanti menghela napas panjang.
Aku berat berpisah denganmu, Retno. Di Jakarta& tak ada sahabat yang seperti dirimu.
t . c Seperti aku mau pergi jauh saja, kataku sambil tertawa. Jakarta-Yogya bukan jarak yang jauh jika diarungi dengan pesawat.
Ya, memang. Tetapi hatiku benar-benar terasa berat kautinggalkan, sahut Aryanti perlahan. Aku tertegun. Kubelai sesaat pipinya.
Jangan jadi sentimental ah. Seperti saranku padamu kemarin dan kemarinnya lagi, carilah kesibukan yang bermanfaat. Dan cari teman yang banyak. Jangan hanya tinggal di rumah saja.
Akan kucoba. Nah, hati-hati ya menjaga diri.
Kau yang harus hati-hati menjaga diri. Segeralah memikirkan pengganti Aditya.
Aku tertawa lagi. Akan kucari di jalan nanti, gurauku. Sudahlah, jangan memikirkan diriku. Pokoknya seperti janjiku kemarin, aku siap membantumu apa saja yang bisa kuberikan padamu. Tetapi yang penting, sikap kompromis terhadap realitas harus tetap kau jaga. Kau harus sadar bahwa dirimu bukan milik siapa-siapa, tetapi milikmu sendiri. Jadi jagalah itu.
Pasti& Nah, selamat tinggal. Sekali lagi kami berpelukan dan mencium pipi masing-masing.
Selamat jalan. Sering-seringlah ke Jakarta, Retno. Aryanti melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang menetes ke pipinya.
Ya, aku akan sering mengunjungimu. Jadi tidak
t . c perlu kau meneteskan air mata. Aku bukan mau pergi ke Kutub Utara kok, sahutku sambil tertawa lagi. Aku ingin menormalkan suasana haru yang tercipta oleh air mata Aryanti. Kemudian kulambaikan tanganku ke arahnya dengan penuh perasaan. Perempuan itu benarbenar kesepian. Aku tahu, temannya di Jakarta tidak banyak karena sejak duduk di SMA hingga meraih gelar sarjana, dia berada di Yogya. Pertemanan di kota kami memang terasa lebih akrab, lebih hangat, dan lebih banyak orangnya karena kotanya yang tidak terlalu besar. Kalau kami jalan-jalan ke Malioboro atau ke Mirota Kampus misalnya, selalu saja ada perjumpaan dengan teman.
Sedang aku berjalan dan menunggu waktu boarding, seseorang mulai melangkah menjajariku.
Melihat perpisahan kalian dari kejauhan, baru kumengerti betapa erat dan tulusnya persahabatan kalian, katanya. Itu suara Mas Yoyok. Entah di mana dia tadi ketika aku dan istrinya menghabiskan menit-menit terakhir sebelum kami berpisah.
Yah, begitulah, kutanggapi komentarnya dengan pendek. Aku tidak ingin berandai-andai dengannya. Perpisahanku dengan Aryanti membuatku merasa kesal kepada Mas Yoyok. Karena dialah maka sahabatku kehilangan keceriaannya.
Begitu juga di sepanjang perjalanan di udara itu, aku tidak banyak bercakap-cakap dengan Mas Yoyok kendati kami duduk bersisian. Perhatianku kucurahkan pada majalah yang ada dalam tanganku. Tetapi ketika pengumuman awak pesawat mengatakan bahwa se-
t . c bentar lagi kami akan landing di Bandara Adisucipto, laki-laki itu berkata kepadaku.
Kalau kemarin Yanti tidak mengeluarkan air mata, apakah kau tetap ingin naik kereta api, Retno"
Ya, karena aku tidak suka dibiayai orang, apalagi orang yang selama dua minggu sudah kutumpangi tidur dan makan.
Kau datang ke rumah kami bukan atas kemauanmu sendiri, Retno. Tetapi kami yang memintamu. Maka kami pula yang harus menanggung segalanya.
Apa pun itu, aku lebih suka jalan darat entah naik kereta api entah naik mobil. Banyak pemandangannya. Banyak yang dilihat. Dan tentu saja jauh lebih hemat.
Tetapi makan waktu yang lama. Menghabiskan waktu dan tenaga pula.
Perkataan Mas Yoyok tak kuhiraukan. Aku tidak mau memperpanjang pembicaraan kami. Menurut rencanaku, kemarin malam aku akan pulang dengan kereta api Taksaka. Tetapi Aryanti tidak setuju. Mati-matian dia mempertahankan kemauannya, agar aku tidak pulang dengan kereta api.
Mas Yoyok ada urusan ke Yogya, Retno. Jadi pergilah besok siang bersamanya. Dengan demikian kita masih mempunyai waktu bersama-sama pada sore hari, malam, dan pagi hari berikutnya, katanya dengan suara memaksa.
Kapan-kapan aku kan bisa ke sini lagi, Yanti. Ah, masih lama. Turutilah keinginanku ini, Retno. Pulanglah ke Yogya dengan pesawat udara bersama Mas Yoyok.
t . c Tidak. Aku ingin naik kereta api.
Sayangnya perkataan yang kuucapkan dengan nada tegas itu mengungkit air mata Aryanti sehingga dengan terpaksa aku menuruti kemauannya sehingga kami masih punya sedikit kesempatan bersama-sama.
Sekarang di Bandara Adisucipto setelah mengucap terima kasih kepada Mas Yoyok dan menolak keinginannya untuk mengantarkan aku sampai ke rumah dengan mobil jemputannya, buru-buru aku masuk ke dalam taksi. Entah di mana laki-laki itu sekarang, aku tak tahu. Tetapi masih terpeta di mataku, air mukanya tadi tampak mengeras karena penolakanku untuk tidak ikut mobil bersamanya.
Maka dengan berakhirnya kebersamaan di dalam perjalanan ini dan semakin dekatnya aku ke rumah orangtuaku yang hangat dan menyenangkan, berakhir pulalah cuti dan acara liburanku. Hal-hal tidak wajar dalam kehidupan Mas Yoyok bersama Aryanti yang menurutku tidak semestinya terjadi, segera saja tersingkirkan dari pikiranku.
Esok hari aku sudah sibuk kembali dengan rutinitasku di kantor. Tetapi aku masih menyempatkan diri menulis surat kepada Aryanti dan menceritakan perjumpaanku dengan Tina, kawan kuliah kami di suatu supermarket.
Dia sekarang gemuk lho, Yan. Anaknya sudah dua. Senang sekali dia bertemu denganku karena katanya, sudah lama dia mencari-cari kesempatan bertemu denganku untuk mengajak kita bergabung dalam reuni angkatan kita dan angkatan di atas kita. Bagaimana
t . c pendapatmu mengenai rencana teman-teman kita itu, Yanti" Begitu antara lain yang kutulis di dalam surat itu.
Suratku dibalas Aryanti dengan telepon. Suaranya terdengar antusias sekali.
Aku sangat setuju adanya rencana untuk menggelar reuni. Segera sajalah acara itu direalisasikan. Bentuk panitianya, rencanakan kapan waktunya, di mana acaranya nanti, bagaimana teknisnya, bicarakanlah secepatnya. Aku akan menyumbang. Mas Yoyok akan kuminta untuk menyumbang juga.
Wah, terima kasih kalau begitu. Tetapi untuk tahap pertama, kami sedang berbagi tugas untuk mencari alamat teman-teman kita yang sudah tersebar di mana-mana. Kudengar banyak juga yang sudah berkarier di Jakarta, sahutku gembira. Kalau kau punya kesempatan untuk melacak teman-teman yang ada di Jakarta, dan ada hasilnya, sampaikan beritanya kepada kami ya"
Sebaliknya kirimi aku surat dan beritahu perkembangan apa yang telah dicapai. Aku menunggu berita darimu lho.
Baik. Seminggu setelah pembicaraan lewat telepon itu, aku mengirim surat kepadanya menceritakan bahwa kami, yaitu aku, Tina dan beberapa teman lain telah berhasil mengumpulkan sekitar lima puluh orang. Kebanyakan memang ada di Yogya, Solo, Semarang dan Jakarta. Tetapi juga ada yang di Surabaya, Bandung dan bahkan di luar Jawa seperti Medan, Palembang dan Batam.
t . c Aku yakin, Aryanti pasti akan langsung membalas suratku melalui telepon genggam saking senangnya mendengar kemajuan yang kami capai. Tetapi, tidak. Baru dua minggu kemudian dia meneleponku saat aku sedang sibuk di kantor.
Aku sakit, Retno. Suhu tubuhku tinggi sekali. Persis seperti yang pernah kualami hampir dua bulan yang lalu. Seperti waktu itu, aku disuruh menjalani serangkaian pemeriksaan. Sekarang sedang menunggu hasilnya. Doakan aku sehat-sehat saja ya, Retno. Aku ingin menghadiri reuni.
Sudah pasti aku akan berdoa untukmu. Usai pembicaraan melalui telepon itu aku segera minta ibuku untuk membuatkan kue-kue kesukaan Aryanti, kue jahe dan spekulas. Begitu jadi, kedua macam kue yang kumasukkan ke dalam stoples itu langsung kukirim ke Jakarta. Dia pasti akan teringat bagaimana kami berdua pernah belajar bersama di bawah pohon mangga di halaman belakang rumahku sambil makan kue-kue itu. Kuharap, kegembiraan hatinya akan mempercepat kesembuhannya. Perempuan yang kesepian dan hidup dalam tekanan batin, perlu mendapat perhatian lebih besar.
Dua hari kemudian, Aryanti menelepon ibuku. Dia menceritakan bagaimana senang dan terharunya menerima kue-kue buatan ibuku sampai menitikkan air mata begitu membuka kue kirimanku. Sesudah pembicaraan telepon tersebut, tiga hari kemudian Aryanti menelepon lagi. Kali ini kepadaku. Kok belum ada berita baru yang kausampaikan
t . c kepadaku, Retno. Waktu terus berlalu lho. Sudah sampai di mana sih perkembangannya" Bagaimana tanggapan teman-teman ketika acara reuni ditawarkan kepada mereka" Begitu antara lain pertanyaan-pertanyaan Aryanti yang memperlihatkan antusiasme yang amat kentara. Aku senang, dia sudah sehat kembali.
Terus terang aku dan Tina sama-sama sedang terjerat kesibukan di kantor. Kalau sudah mendekati akhir tahun buku begini, aduh, repot sekali, kataku menjawab teleponnya. Jadi kami baru mendapat tambahan beberapa nama saja. Tetapi semuanya menyambut gembira rencana diadakannya reuni. Maka kami bermaksud memasang iklan di koran-koran nasional dan mengimbau teman-teman seangkatan kita dan angkatan kakak kelas kita untuk menghubungi kami sambil memberikan nama-nama teman-teman yang belum terlacak.
Aryanti senang mendengar ceritaku. Bahkan dia bermaksud melakukan hal sama dengan memasang iklan di koran-koran Ibukota. Seminggu kemudian aku ganti yang meneleponnya untuk menceritakan hasil pemasangan iklan. Ada tambahan sekitar dua puluh orang lagi. Di antaranya ada yang bekerja di luar negeri tetapi akan mengambil cuti untuk menghadiri reuni kalau nanti acara itu digelar.
Aryanti menjawab teleponku dengan suara yang kurang bersemangat.
Aku...saat ini sedang dirawat di rumah sakit, Retno. Hati dan limpaku agak membengkak. Aku kaget mendengar berita itu. Kuminta dia
t . c untuk bersabar dan beristirahat baik-baik dengan mengikuti apa pun saran para dokter yang merawatnya. Dan kemudian tanpa membuang waktu, diam-diam aku menelepon Mas Yoyok di rumahnya.
Belakangan ini Yanti kok sering sakit sih, Mas" begitu aku bertanya kepada suami sahabatku itu. Apa yang terjadi"
Dia menderita sakit cukup parah, Retno. Sakit apa" Tak sabar aku menunggu jawaban Mas Yoyok. Telepon genggamku menempel erat-erat ke telingaku.
Leukemia. Aryanti menderita kanker darah! Saking kagetnya, lidahku menjadi kelu dengan tiba-tiba.
Se...seberapa parah" tanyaku terbata-bata. Mataku mulai buram, penuh air mata.
Cukup parah. Masih ada harapan" Hanya separo.
Mas, beri dia perhatian dan kasih sayang. Beri dia kehangatan dan kebahagiaan. Turuti apa yang ia inginkan sejauh itu masih dalam batas wajar. Tanpa sadar aku melontarkan perkataan yang pasti tidak enak didengar oleh yang bersangkutan, seolah dia bukan suami yang baik meskipun menurutku kenyataannya memang demikian.
Apakah Yanti pernah bercerita padamu bahwa dia tidak bahagia" Dalam suaranya terdengar tuntutan agar aku menjawab pertanyaannya dengan jujur. Tetapi
t . c aku sadar, kalau aku berkata terlalu terus terang, nanti Mas Yoyok akan tersinggung dan lalu memengaruhi sikapnya terhadap Aryanti. Jadi aku harus hati-hati.
Dia tidak mengatakan begitu, jawabku kemudian. Tetapi sebagai sahabatnya, aku melihat dengan jelas bahwa dia kurang bahagia. Keceriaan dan kelincahannya semasa kami masih bersama-sama dulu, nyaris tidak ada lagi. Bahkan aku juga menangkap adanya kesepian di dalam sanubarinya.
Itu analisismu, kan" Ya.
Kalau begitu, terima kasih atas kecermatan dan kejelianmu yang luar biasa mengenai dirinya. Dua minggu bersama-sama dengan Aryanti, sudah bisa menyimpulkan sesuatu yang aku suaminya sendiri tidak tahu. Padahal hampir satu tahun lamanya aku bersamasama dengan dia. Usai berkata seperti itu, Mas Yoyok langsung membanting gagang telepon sampai telingaku terasa sakit.
Aku termangu. Wah, Mas Yoyok marah sekali, rupanya. Meski sudah berhati-hati tetapi ternyata yang keluar dari mulutku masih saja merupakan apa yang tersirat dari hatiku. Bijaksanakah aku tadi telah berbicara seperti itu kepada Mas Yoyok" Ah, entahlah. Namun terlepas dari masalah itu kepada Aryanti sendiri aku bersikap pura-pura tidak tahu apa penyakitnya. Dan secara rutin, paling sedikit satu kali sehari, aku menelepon ke ponselnya. Dan selalu aku bercerita mengenai hal-hal yang sekiranya bisa menggembirakan hatinya untuk memberinya semangat. Kadang-kadang
t . c pula aku mengarang cerita lucu-lucu tentang orangorang di kantor yang sebetulnya tidak pernah terjadi. Tetapi mendengar tawanya, aku merasa senang. Apakah sikapku yang pura-pura tidak mengetahui apa penyakitnya itu merupakan sikap yang bijak atau tidak, aku tak tahu. Tetapi ketika dua hari teleponku mendapat jawaban pending di layar HP-ku, aku tidak tahan untuk tidak menelepon Mas Yoyok lagi. Perasaanku sangat tidak enak.
Bagaimana keadaan Yanti, Mas" Teleponku untuknya, tidak dibalas, begitu aku bertanya kepada laki-laki itu.
Kondisinya tambah merosot, Retno. Kemarin dia mengalami pendarahan melalui hidungnya. Kudengar nada prihatin di dalam suaranya. Hatiku tersentuh karenanya.
Tetapi harapan yang separo itu masih ada, kan" harap-harap cemas aku bertanya lagi kepada Mas Yoyok.
Jika ada keajaiban yang terjadi.
Mendengar itu perutku langsung terasa mual. Dan jantungku berdegup tak beraturan. Rasanya hampir tak kupercaya, sahabatku yang pernah tertawa bersama, jalan-jalan bersama, belajar bersama dan menangis bersama saat dia dikhianati kekasihnya, kini terbaring lemah, bergulat dengan maut.
Tetapi ilmu kedokteran sekarang kan sudah maju, Mas, kataku terbata-bata.
Ya. Tetapi jenis penyakitnya termasuk yang ganas dan langka.


Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

t . c Mendengar itu perutku semakin mual dan jantungku semakin tak beraturan denyutnya. Sampai kepalaku seperti berputar rasanya.
Bagaimana kalau dibawa ke luar negeri" Ke China atau Belanda misalnya" aku mengusulkan dengan napas terengah.
Aku sudah berpikir ke sana, Retno. Tetapi dokter mengatakan kondisinya yang lemah akan membuatnya semakin menderita jika dibawa pergi jauh dan makan waktu lama dalam perjalanan. Lagi pula pengobatan dan perawatan di sana juga tidak berbeda jauh dengan di sini. Jadi sebagai imbangannya, ada beberapa obat yang atas saran dokter kubeli di luar negeri karena di sini sulit didapat.
Kasihan Yanti. Aku mulai tersedu-sedu. Mendengar tangisku, Mas Yoyok mengambil alih pembicaraan.
Percayalah, Retno, aku sudah berusaha semampuku untuk memberinya perhatian, kasih sayang, dan kehangatan seperti yang kausarankan& , katanya. Ini bukan Mas Yoyok seperti yang biasanya. Rupanya keadaan istrinya yang sakit parah itu telah menyebabkannya lebih manusiawi. Kemarahannya padaku ketika aku mengatakan ketidakbahagiaan Aryanti, terhapus.
Aku merasa lega mendengarnya. Setelah mengucapkan terima kasih, pembicaraan segera kututup karena aku tidak tahan memikirkan keadaan Aryanti. Hari berikutnya aku menelepon Mas Yoyok lagi untuk menanyakan apakah Yanti bisa menerima teleponku. Dicoba saja, Retno. Hari ini keadaannya tampak
t . c lebih baik setelah ditransfusi darah dan mendapat obat penahan sakit.
Mendengar itu aku langsung menelepon Aryanti. Dia senang mendengar suaraku lagi.
Hari aku merasa lebih baik, Retno. Mudah-mudahan besok akan semakin membaik, katanya, membuat perasaanku malah sedih. Dia tidak tahu parahnya kondisi kesehatannya.
Bagus, Yanti. Kami selalu berdoa untukmu. Kau tahu, Retno, Mas Yoyok sekarang sangat memerhatikanku. Lembut, sabar, dan telaten. Aku senang sekali.
Syukurlah. Tangisku mulai naik ke leher. Mudahmudahan Aryanti tidak mengetahui bahwa aku ada di balik perubahan sikap suaminya itu.
Retno, apakah aku bisa menyaksikan reuni kita ya" Andaikata acara reuninya di Jakarta, mudah-mudahan saja kalau kesehatanku membaik aku bisa hadir meskipun cuma sebentar.
Aku menitikkan air mata mendengar harapan Aryanti yang tertangkap olehku. Apa yang bisa kulakukan untuk sedikit memenuhi harapannya itu" Sampai lama sesudah pembicaraan telepon berakhir, pikiranku terus saja berkisar di seputar diri Aryanti sampai akhirnya muncul suatu ide. Aku akan mengajak sebagian teman-teman untuk datang ke Jakarta menjenguknya dan mengatakan kepada Yanti bahwa itu adalah awal dari reuni yang sedang kami rintis perealisasiannya. Begitu pikiran itu hinggap di kepadaku, aku segera menelepon Mas Yoyok, membeberkan rencana itu
t . c untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan perealisasiannya.
Kira-kira mengganggu kesehatannya atau tidak ya, Mas" Apakah dokter membolehkannya" begitu aku mengakhiri paparan rencanaku.
Nanti akan kutanyakan secepatnya.
Dua jam kemudian Mas Yoyok ganti meneleponku. Dokter mengizinkan. Melihat keadaan Yanti yang menurutku semakin merosot, aku punya irasat bahwa izin dokter itu hanya demi memberi kesenangan terakhir pada si sakit. Suara Mas Yoyok terdengar sedih.
Jadi..." Air mataku langsung merebak. Datanglah bersama teman-teman kalian yang mau bergabung bersamamu, Retno. Tetapi jangan terlalu banyak supaya tidak membuat Yanti merasa lelah. Sekitar lima belas orang, kira-kira. Bisa"
Pasti bisa. Nanti Mas akan kukabari lebih lanjut. Kalau hanya sekitar lima belas orang, menginap sajalah di rumahku. Nanti bisa diatur penempatannya. Dan kalau boleh, izinkan aku yang membayari ongkos pesawatnya. Kali ini suara Mas Yoyok yang tegas dan bossy itu terdengar lagi oleh telingaku. Tolong, jangan ditolak. Ini untuk kepentingan kami.
Juga kepentingan untuk kami lho, Mas. Temanteman menyayangi Aryanti dan dengan ikhlas mau datang tanpa memikirkan biaya yang akan dikeluarkan.
Pokoknya, aku yang akan membiayainya, Retno. Titik. Jangan kaubantah. Kalau tidak mengingat keada-
t . c an Aryanti, aku pasti akan menolaknya lagi. Jadi apa boleh buat, demi Aryanti yang sedang terbaring sakit, aku tidak boleh mempertentangkan hal-hal yang bukan prinsip.
Sore harinya aku mulai mengumpulkan beberapa teman untuk membicarakan rencana tersebut. Dalam waktu singkat sudah ada dua belas orang yang positif akan pergi ke Jakarta. Kupikir itu sudah cukup. Yang tiga atau empat orang lain sebaiknya orang-orang yang tinggal di Jakarta supaya lebih mudah mengurusnya. Kebetulan aku mendapatkan beberapa nomor HP teman-teman yang ada di Jakarta dari teman yang sudah menyatakan kepastiannya untuk pergi ke Jakarta bersamaku. Mereka langsung kuhubungi. Syukurlah, ternyata tanpa kesulitan aku mendapat tambahan sekitar empat orang teman kami. Kebetulan mereka termasuk yang akrab denganku maupun dengan Aryanti. Maka hasil dari pembicaraan kami itu kusampaikan kepada Mas Yoyok keesokan harinya.
Jadi yang positif menginap di rumah Mas Yoyok sepuluh orang, termasuk aku, Mas. Dua orang menginap di rumah saudaranya. Lalu empat orang berasal dari Jakarta sendiri sehingga tidak sulit untuk diberitahu kapan kami akan berkumpul di rumah sakit.
Baik, aku senang mendengarnya. Terima kasih atas kesetiaan kalian kepada Yanti.
Demikianlah dua hari kemudian rombongan kami tiba di depan rumah sakit tempat Aryanti dirawat. Surprise juga aku ketika ternyata jumlah kami ber-
t . c tambah menjadi dua puluh orang karena teman-teman di Jakarta berhasil menambah jumlah rombongan sehingga aku semakin optimis bahwa reuni yang sebenarnya akan terealisasi secepatnya. Tetapi entah apakah Aryanti bisa menghadirinya.
Setelah semua komplet hadir, kami segera naik ke atas. Ruang tempat Aryanti dirawat adalah ruang VVIP yang kalau dilihat sepintas, seperti hotel. Ukurannya luas. Ada ruang tamunya, ruang makan berikut lemari es, tempat tidur untuk yang menunggu, teve besar dan lain sebagainya.
Tetapi perhatianku hanya tertuju kepada si sakit. Hatiku perih sekali melihat keadaannya. Aku sudah membayangkan bahwa Aryanti dalam kondisi lemah. Tetapi bahwa keadaannya lebih buruk dari yang kubayangkan, aku tak menyangkanya. Tubuhnya kurus, wajahnya sembap, dan perutnya agak membesar. Aku hampir-hampir tak mengenalinya.
Ketika aku dan teman-teman masuk ke kamarnya, Aryanti dalam keadaan tidur. Ada slang infus dan layar monitor terletak di samping tempat tidur. Kulihat Mas Yoyok berada di dekat kepala si sakit. Dengan memberi isyarat, kuminta teman-teman untuk bersikap tenang dan duduk dengan manis dulu. Kemudian pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara, kutarik tirai yang membatasi tempat tidur Aryanti dengan ruang lainnya agar dia tidak melihat teman-teman jika terbangun nanti.
Nanti saja kalau kalian mau salaman dengan Mas Yoyok. Jadi biar aku dulu. Kalau nanti Yanti bangun,
t . c aku akan memberi isyarat pada kalian, kataku berbisik kepada mereka. Teman-teman mengangguk, tahu bahwa saat itu suara atau gerakan mereka bisa membangunkan si sakit. Maka begitulah, kusalami Mas Yoyok dan mengatakan kepadanya bahwa kami tadi mampir ke rumah dulu untuk menurunkan barang-barang bawaan kami. Laki-laki itu mengangguk.
Hati-hati aku mendekati Aryanti. Perih hatiku melihat keadaannya. Perempuan itu terbaring lemah dengan napas berat dan pendek-pendek. Barangkali karena merasa ada seseorang di dekatnya, tiba-tiba ia membuka matanya dan menatapku..
Firasatku selalu benar. Semalam aku bermimpi kau datang... menjengukku, Retno. Matanya yang berlinangan tampak berbinar saat melihatku berada di samping tempat tidurnya. Terima kasih, Tuhan...
Halo, Sayang& . Kucium kedua belah pipinya dan kutahan agar air mataku jangan sampai ikut mewarnai perjumpaan kami. Cukup air mata Yanti saja.
Yanti, aku membawa teman-teman... sebanyak dua puluh orang. Mereka ingin mengadakan reuni di sini bersamamu, bisikku. Boleh atau tidak"
Wajah Aryanti tampak berseri-seri ketika mendengar perkataanku.
Tentu saja boleh. Sekarang di mana mereka" tanyanya dengan suara bergetar karena rasa senangnya.
Mereka ada di balik tirai ini. Kutunjuk tirai yang mengelilingi tempat tidurnya. Nah, kusingkap tirainya sekarang"
t . c Mendengar pertanyaanku, mata Aryanti meredup dengan seketika. Ia menatapku dengan bimbang.
Aku...aku malu, bisiknya. Mereka pasti pangling melihatku seperti ini. Sekarang wajahku jelek sekali.
Wajahmu masih tetap tampak cantik dan bersih..., dustaku. Memang kau tampak agak kurus, tetapi cahaya kecantikanmu masih jelas kelihatan. Sungguh"
Tentu saja. dustaku lagi. Lagi pula mereka datang ke sini bukan untuk melihat apakah kau masih cantik atau tidak. Mereka datang karena ingin merasakan lagi kebersamaan kita dulu dan untuk saling berbagi rasa kangen.
Kalau begitu, tolong wajahku kaurapikan dulu. Kuanggukkan kepalaku. Berdekatan dengan Aryanti yang berbeda daripada yang kukenal selama ini menyebabkan aku ingin menangis keras-keras. Rambutnya yang menipis amat rapuh sehingga aku harus berhatihati menyisirnya agar tidak rontok. Bibirnya yang pucat itu tampak kering dan pecah-pecah. Atas permintaannya, kusapu bibirnya dengan lipstik tipis-tipis saja.
Nah, kau sudah tampak cantik, kataku dengan hati perih. Siap menerima mereka yang sudah sangat kangen kepadamu"
Aryanti mengangguk. Maka kusingkapkan kembali tirai pembatas tadi ke pinggir. Kemudian aku memberi isyarat kepada teman-teman untuk satu per satu menyalami Mas Yoyok kemudian menyalami bahkan mencium si sakit. Kepada Tina dan dua temanku yang lain, aku berbisik dengan diam-diam, menyuruh mereka
t . c mengatakan bahwa Yanti masih cantik seperti dulu. Seperti yang kuharapkan, Aryanti tampak gembira. Teman-teman kami memang patut kuacungi jempol karena mereka mampu bersikap wajar dan bisa menutupi rasa iba mereka sehingga pertemuan itu mengalir dengan lancar.
Wah ini benar-benar reuni, kata Aryanti berulang-ulang dengan perasaan senang yang memancar dari mata dan air mukanya. Lebih-lebih ketika tak berapa lama kemudian masuk dua orang suruhan Mas Yoyok membawa tumpukan kotak karton berisi makanan. Harum masakannya tersiar dari sela-sela kotakkotak itu.
Melihat logo di atas tutupnya aku tahu makanan itu dipesan dari rumah makan yang terkenal lezat masakannya. Oleh kedua orang suruhan itu, kotakkotak itu ditata di atas meja makan. Setelah itu mereka keluar, tetapi tak berapa lama kemudian yang seorang masuk kembali dengan membawa sekeranjang jeruk.
Ini memang reuni. Jadi silakan mengambil santap siang dan mari kita nikmati bersama, kata Mas Yoyok sambil membuka lemari es. Dari dalamnya ia mengeluarkan macam-macam jenis minuman kalengan. Ayo, silakan lho.
Keburu dingin lho, Aryanti menyambung perkataan suaminya dengan mata bercahaya. Berulang kali dia melemparkan senyum. Terutama ketika kami semua mulai mengobrol macam-macam. Di luar tadi kami memang sudah bersepakat untuk mengambil sikap yang sesuai dengan keadaan. Kalau si sakit tampak ber-
t . c semangat, kami akan bersikap biasa atau wajar-wajar saja sebagaimana kalau sedang berkumpul bersama. Tetapi kalau keadaan si sakit tampak lemah, kami akan bersikap hati-hati dan menjaga situasi agar tidak menyebabkan si sakit merasa lelah atau bertambah sakit.
Singkat kata ideku untuk mengajak teman-teman mengunjungi Aryanti, merupakan ide yang bagus untuknya. Ada semangat yang terlihat pada dirinya. Maka demikianlah, lebih dari satu jam lamanya kami bercengkerama bersama. Tetapi ketika kemudian aku melihat Aryanti mulai terdiam, kudekati dia. Kenapa, Yanti" bisikku di dekat telinganya. Aku lelah... luar biasa.
Kalau begitu, beristirahatlah. Teman-teman biar pulang dulu. Besok mereka akan datang sebagian demi sebagian ke sini lagi supaya orang-orang di rumah sakit ini tidak mengira ada gerombolan perusuh, gurauku. Tetapi aku akan tinggal menemanimu di sini sampai besok. Biar Mas Yoyok istirahat di rumah.
Aku senang. Aryanti tersenyum kemudian memejamkan matanya.
Kuberi isyarat kepada teman-teman agar mereka pulang dulu. Mereka menurut. Tanpa menimbulkan suara, satu per satu mereka keluar dari kamar si sakit setelah pamit. Tetapi Tina memilih untuk tinggal di rumah sakit bersamaku. Melihat itu Mas Yoyok berbicara kepada kami berdua.
Karena ada kalian berdua, apakah aku boleh menyelesaikan urusan pekerjaan sekitar dua atau tiga jam" tanyanya.
t . c Silakan saja, Mas. Aku dan Tina akan menjaga Yanti. Bahkan kami sudah punya rencana, malam ini kami akan tidur di sini.
Terima kasih. Sepeninggal Mas Yoyok, orang suruhannya yang tadi membawa makanan, masuk lagi dengan membawa kantong sampah. Melihat itu aku dan Tina segera membantunya membersihkan ruangan agar bersih kembali. Kini ruang tempat Aryanti terbaring itu tampak bersih, tenang dan sunyi. Aku dan Tina menatap si sakit yang mulai tertidur kembali dengan perasaan iba. Tak terasa air mata kami menetes. Meskipun tidak mengatakannya tetapi kami berdua sama-sama tahu bahwa harapan kesembuhan bagi Aryanti, amat tipis.
Mudah-mudahan ada mukjizat ya, Tin" bisikku kepada Tina.
Ya. Aku akan berdoa untuknya. Sambil menghapus air matanya, ia mengeluarkan buku doa dari tasnya kemudian menyingkir ke kursi tamu yang semula dipenuhi teman-teman kami.
Begitulah malam itu aku dan Tina menginap di rumah sakit menggantikan tugas Mas Yoyok. Kulihat, laki-laki itu tampak lelah dan tegang. Kehadiranku di rumah sakit ini sungguh tepat pada waktunya. Suami sahabatku itu membutuhkan istirahat.
Tidurlah di rumah, Mas. Istirahat dan jaga kesehatan baik-baik. Kita tidak tahu sampai kapan keadaan tak menentu ini berlangsung. Jadi jagalah agar jangan sampai Mas Yoyok jatuh sakit karena kelelahan, kataku kepadanya.
t . c Kau dan Tina tidak keberatan menginap di sini" Sama sekali tidak. Aku yakin Yanti akan melakukan hal sama kalau aku yang sakit, sahutku. Tulus dan ikhlas.
Laki-laki itu mengangguk. Tidak ada ucapan terima kasih dari bibirnya, tetapi tatap matanya yang menyapu mataku, tampak bercahaya. Di situ aku mulai melihat hikmah yang didapat dari sakitnya Aryanti. Aku mulai melihat sisi-sisi yang lain dari Mas Yoyok. Karenanya hal itu kusyukuri. Di saat-saat Aryanti membutuhkan sosok suami yang hangat dan penuh perhatian, laki-laki itu bisa memenuhinya.
t . c P AGI harinya sesudah Aryanti diseka perawat dan
aku berhasil menyuapinya sebanyak sepertiga isi piringnya, perempuan itu minta punggungnya diganjal bantal.
Semua tulang-tulangku terasa ngilu dan sakit, Retno, katanya dengan suara lemah. Sudah tiga kali dia mengeluhkan hal sama. Tidak enak berbaring terus.
Tetapi meskipun posisi tubuhnya sudah kubuat sedemikian rupa supaya lebih enak, Aryanti masih saja merasa tubuhnya terasa sakit semua. Setengah jam kemudian karena rasa sakitnya tidak berkurang, aku memijit bel untuk memanggil perawat.
Suster, tubuhnya, terutama tulang-tulangnya, terasa sakit dan ngilu semua. Obatnya apa ya" kataku kepada perawat yang langsung datang memenuhi panggilanku.
Sebentar lagi dokter akan datang, kata perawat itu menjelaskan. Dan sudah ada di lantai ini. Tinggal dua
Enam t . c pasien yang dikunjunginya. Biar nanti beliau yang memutuskan.
Ketika dokter baru saja masuk ke kamar Aryanti, Mas Yoyok datang. Dia tampak lebih segar daripada kemarin. Melihat sudah ada yang mendampingi si sakit, aku dan Tina keluar. Kami berdua menunggu di lorong rumah sakit. Sekitar setengah jam berdiri di tempat itu, aku melihat ibu Aryanti dan adik lelakinya datang tergopoh-gopoh. Melihat keberadaanku, beliau langsung menubrukku dan menangis di bahuku.
Kenapa bukan Tante saja yang sakit, Retno. Kenapa mesti dia, katanya di antara sedu sedannya. Dia belum banyak menikmati manisnya kehidupan.
Sabarlah, Tante. Kuatkan hati. Jangan sampai Yanti melihat kesedihan Tante. Berat, baginya, kataku sambil memeluk perempuan separo baya itu.
Kami sedang dalam perjalanan ke sini, Mas Yoyok menelepon. Katanya, keadaan Mbak Yanti... merosot. Yanto, adik laki-laki Yanti menyambung perkataan sang ibu dengan suara menahan tangis. Bagaimana keadaannya sekarang, Mbak"
Tadi pagi sih baik-baik saja meskipun dia mengatakan badannya sakit semua. Tetapi kira-kira satu jam yang lalu sakitnya semakin tidak tertahankan. Kebetulan dokternya sedang melakukan kunjungan ke pasienpasiennya, sahutku menjelaskan. Jadi sekarang beliau sedang menangani Yanti. Mudah-mudahan keadaannya akan lebih baik.
Ketika kami melihat dokter sudah keluar, ibu Aryanti cepat-cepat menghapus pipinya yang basah.
t . c Bersama-sama kami masuk ke kamar si sakit. Kulihat Mas Yoyok sedang tertunduk dengan wajah muram sehingga cepat-cepat aku mendekat ke arah tempat tidur. Wajah Aryanti tampak pucat dan napasnya pendek-pendek. Kuhampiri dia dan kugenggam tangannya. Ibunya menggenggam tangan satunya.
Kau harus kuat ya, Nduk, lawan penyakitmu, kata sang ibu dengan suara serak.
Aryanti tersenyum sekilas sambil mengangguk lemah. Aku meremas lembut tangannya, tidak tahu harus mengatakan apa kecuali doa yang kulambungkan ke hadapan Allah. Pedih hatiku melihat matanya tampak berkabut menatap wajah-wajah di sekitarnya. Apa kata dokter" bisikku ke arah Mas Yoyok. Kepala lelaki itu menggeleng lambat.
Memburuk, jawabnya kemudian. Kemarin dulu juga begini. Kesadarannya menurun tetapi setelah diberi obat dan penahan sakit, keadaannya menjadi lebih baik. Tetapi& kelihatannya kali ini terjadi yang terburuk. Usaha dokter hampir-hampir tidak ada hasilnya.
Tetapi tadi kusuapi mau lho, meskipun tidak banyak.
Memang begitu. Kondisinya sering naik-turun. Jadi rupanya hari ini merupakan hari yang terburuk. Lebih-lebih tak berapa lama setelah kami masuk ke kamarnya, kesadaran Aryanti semakin menurun. Kalau tadi ia masih mengenali aku dan ibunya, kini sudah tidak seorang pun yang dikenalinya, bahkan kemudian kesadarannya mulai menghilang. Ditambah
t . c lagi terjadinya pendarahan dari hidungnya sehingga dokter dipanggil lagi. Untung beliau belum keluar dari rumah sakit. Melihat kehadirannya kembali bersama dua orang perawat, aku dan Tina keluar dari kamar agar tidak mengganggu pekerjaan mereka. Waktu berjalan terasa amat lambat sehingga dengan tak sabar aku masuk lagi dan duduk di sofa. Kuremas-remas kedua belah tanganku sendiri dengan perasaan amat gundah. Kelihatannya, dokter dan kedua perawat itu sedang menolong si sakit menghadapi saat-saat kritis yang sedang dialaminya. Situasi saat itu sungguh terasa amat mencekam, bagiku. Pikiranku melayang-layang tak keruan.
Ketika tiba-tiba kudengar suara sedih Mas Yoyok mengucapkan selamat jalan kepada sang istri dan suara tangis keras ibu mertuanya menyusup ke telingaku, aku terempas di kursi. Tak ingat apa pun lagi. Entah sejak kapan Tina sudah duduk di sampingku, aku tidak menyadarinya. Tahu-tahu saja aku mendengar suara tangisnya. Aku seperti berada entah di dunia mana yang aku sendiri tak tahu. Sulit sekali aku menerima kenyataan ini. Sambil menekap dadaku yang terasa sesak karena tak bisa menangis, akhirnya aku menguatkan kakiku untuk lari keluar. Di ujung lorong rumah sakit, dahiku kusandarkan ke jendela kaca yang menghadirkan lalu lintas yang sibuk di bawah sana. Sementara di atas, awan-awan menggantung dan menyembunyikan matahari di baliknya, seakan ikut merasakan kesedihanku. Sungguh tak percaya aku, Aryanti sudah pergi menghadap Sang Pencipta. Perempuan itu masih muda,
t . c masih banyak yang bisa diraihnya, tetapi kehendak Tuhan mengatakan lain. Ia harus kembali ke pangkuan- Nya.
Untunglah ada Tina yang mengikuti seluruh proses perginya Aryanti sehingga ketika melihat keadaanku yang seperti layang-layang putus itu, ia berinisiatif memberitahu tentang meninggalnya sahabat kami itu kepada teman-teman serombongan kami, maupun mereka yang tinggal di Jakarta. Kemudian menyusun rencana untuk membantu apa saja yang bisa kami bantu.
Untuk pertama kalinya tatkala aku pulang bersama Mas Yoyok, kurasakan keakraban yang terjalin tipis di antara kami berdua. Sepanjang lorong rumah sakit yang dingin setelah kami mengantar jasad Aryanti ke kamar jenazah, Mas Yoyok melingkarkan lengannya ke bahuku yang sesekali masih berguncang karena tangis. Kesamaan rasa kehilangan menyebabkan kami merasa lebih dekat.
Sementara itu ibu Aryanti naik mobilnya sendiri bersama Yanto. Sedangkan Tina tidak ikut bersama kami karena dijemput teman-teman yang akan membeli bunga, makanan, dan minuman untuk para pelayat dengan uang mereka. Semula Mas Yoyok merasa keberatan karena katanya semua itu sudah ada yang mengurus. Tetapi teman-teman tetap memaksa.
Izinkan kami melakukan sesuatu bagi sahabat kami meskipun itu hanya berbentuk bunga dan makanan yang mungkin tidak ada artinya buat Mas Yoyok, kata mereka sehingga hati Mas Yoyok meleleh oleh kesetiaan para sahabat Aryanti itu.
t . c Sesampai di rumah setelah di sepanjang perjalanan tadi kami lebih banyak berdiam diri tenggelam dalam pikiran dan perasaan masing-msing, Mas Yoyok memanggilku saat aku akan masuk ke kamar tidur. Retno&
Ya..." Cobalah istirahat barang satu atau dua jam. Hari ini sampai besok kita semua pasti sibuk sekali, katanya.
Ya. Aku mau mandi dulu biar agak segar, jawabku dengan suara masih bergelombang. Oh ya, Mas, aku ikut berdukacita atas meninggalnya Yanti.
Tanpa pernyataan seperti itu aku sudah tahu, sahut Mas Yoyok. Aku sungguh menghargai rasa kesetiakawanan dan ketulusan hatimu maupun teman-teman Aryanti yang datang jauh-jauh dari Yogya.
Karena perkataan itu diucapkan oleh Mas Yoyok dengan ketulusan hati yang begitu kentara dan mata yang agak memerah, dan itu sesuatu yang baru sekarang kusaksikan, aku merasa agak canggung.
Sudahlah& kita semua sama-sama mencintai Yanti dan karenanya kita semua juga sama-sama merasa kehilangan, kataku dengan agak tersipu.
Terima kasih. Kuanggukkan kepalaku, kemudian melanjutkan niatku untuk mandi dan beristirahat sebentar. Sekitar tiga jam kemudian jenazah Aryanti tiba di rumah yang mulai dipenuhi para pelayat. Teman-teman kami yang kemarin datang ke rumah sakit untuk bereuni
t . c dengan Aryanti, lengkap hadir semua. Bahkan ada teman-teman lain juga. Mungkin mereka diberitahu oleh teman-teman kami yang bertempat tinggal di Jakarta.
Berada di sekitar jenazah bersama keluarga Aryanti, aku, Yuli. dan Sandra. teman yang datang bersamasama dari Yogya, duduk bersisian. Tina dan yang lain sibuk di belakang mengurus rangkaian bunga dan konsumsi bersama sanak saudara tuan rumah. Aryanti yang malang, bisik Sandra. Ya, sahutku.
Dia tidak malang lagi, Yuli membantah. Kurasa itulah yang terbaik baginya. Kalau tidak, dia masih terbaring dengan alat-alat bantu dan bergantung pada obat-obat pengurang rasa sakit. Napasnya pendek-pendek dan tersiksa oleh rasa sakit yang luar biasa. Sudah begitu beberapa bagian di dalam tubuhnya tidak begitu berfungsi seperti lever, limpa dan ginjalnya.
Yah, Yuli memang benar. Sekarang Aryanti sudah terbebas dari penderitaannya dan kembali kepada kesempurnaan roh. Justru kami-kami yang masih tinggal di dunia ini masih harus berjuang menghadapi pelbagai hal yang ada di seputar kehidupan kami masing-masing yang terkadang terasa berat dan melelahkan.
Begitulah sehari itu kami semua tenggelam dalam kesedihan dan kesibukan yang rasanya menguras seluruh tenaga, pikiran, dan perasaan. Tamu-tamu datang silih-berganti ke istana emas itu dan kiriman bunga tak henti-hentinya mengalir. Bahkan rekan bisnis Mas Yoyok mengirim makanan dari salah satu katering ter-
t . c baik di Jakarta berikut para petugas yang melayani sehingga tamu-tamu yang ingin ikut ke pemakaman, bisa mengisi perut lebih dulu. Sesekali mataku kulayangkan ke arah Mas Yoyok yang sibuk menerima ucapan bela sungkawa dari kerabat, kenalan, dan rekanrekan bisnisnya. Sungguh, aku tidak tahu seberapa dalam rasa kehilangan dan kesedihan yang dirasakannya atas kepergian Aryanti dari sisinya, tetapi Sandra yang duduk di sampingku memberi komentar.
Kau kenal baik dengan Mas Yoyok" tanyanya kepadaku.
Lumayan. Kenapa" Sejak kemarin aku ingin bilang kepadamu, laki-laki itu kok ekspresi wajahnya dingin dan sikapnya kaku... seperti robot.
Tetapi dia suami sahabat kita lho. Aku menyikut lengannya, kemudian memancingnya. Tetapi bukankah dia ganteng, gagah, dan selalu tampil rapi"
Iya sih& . Sandra tersenyum. Tetapi aku masih lebih suka tipe Edwin. Kau ingat dia, kan"
Karena di tengah orang banyak, aku menyembunyikan senyum yang nyaris terkuak di bibirku. Edwin adalah pemuda yang dulu sering kami sebut underserved of attention, karena dianggap tak masuk hitungan untuk mendapat perhatian. Wajahnya jauh dari apa yang disebut ganteng. Rambutnya jabrik, giginya besarbesar dan pipinya penuh jerawat. Tentu saja kami para gadis waktu itu masih belum begitu matang untuk menilai seseorang bahwa yang penting adalah isinya. Bukan penampilannya. Lagi pula meski kami para gadis
t . c menilainya kurang, tetapi sebenarnya hati Edwin baik, orangnya pandai bergaul dan lucu karena memiliki rasa humor yang tinggi. Cerdas pula. Nyatanya dia sekarang sudah meraih gelar master dan sedang melanjutkan ke tingkat berikutnya, mengambil gelar doktor.
Aku heran Yanti kok mau menikah dengan laki-laki seperti itu, Yuli menyambung sambil tertawa mengikik di punggungku agar tidak terlihat orang lain. Benar kata Sandra, mending bergaul bahkan menikah dengan Edwin yang meskipun begitu tetapi sifatnya terbuka dan enak diajak mengobrol. Bercinta dengan laki-laki seperti Mas Yoyok, wah, malas aku. Apa senangnya"
Ssst. Jangan membicarakan suami sahabat kita yang sudah terbaring tenang ini, kataku menyela. Kalian usil betul sih.
Aku tidak bermaksud apa-apa. Yanti pasti mau memaafkan aku kalau mendengar perkataanku ini. Aku cuma mau bilang bahwa laki-laki seperti Mas Yoyok tidak masuk hitungan buatku.
Jelas, bisikku menyela. Kalau tidak masa kau memilih suami yang bukan main romantisnya. Dua tahun menikah sudah ada dua anak, itu kan hebat. Rajin sekali kalian.
Yuli mencubitku keras-keras tetapi aku tak berani memekikkan rasa sakit yang diakibatkan oleh cubitan perempuan itu.
Sshh, jangan sibuk sendiri, kata Sandra menyela. Ada yang ingin kutanyakan kepada kalian dan lalu tolong sampaikan kepada teman-teman yang kebetulan ada di dekat kita.
t . c Ada apa sih" Aku baru saja mendapat bisikan, besok pagi pemuda-pemuda kita mengajak mencari oleh-oleh untuk orang rumah, supaya sorenya kalau kita berangkat ke bandara sudah tidak memikirkan apa-apa lagi, jawab Sandra.
Aku menahan senyum mendengar Sandra menyebut teman-teman pria kami dengan sebutan pemudapemuda kita seperti di zaman kuliah dulu. Yah, di selasela perasaan duka, bisa sedikit mengungkit kenangan indah masa lalu cukup mengurangi kepedihan hatiku. Kebersamaan dan keakraban memang merupakan obat yang mujarab. Begitupun ketika menjelang sore jenazah Aryanti kami antar ke pemakaman, kulihat beberapa pemuda-pemuda kita ikut mengusung jenazah dan kami yang lain membawa keranjang-keranjang berisi bunga tabur dan rangkaian bunga yang dibeli Tina tadi pagi. Memang tidak berarti jika dibanding dengan karangan bunga besar-besar kiriman kenalan Mas Yoyok. Tetapi itulah tanda kasih kami kepada Aryanti.
Ketika akhirnya rangkaian upacara pemakaman berakhir dan kulihat rangkaian bunga menggunung di pusara sahabatku, aku tercenung dengan hati pedih. Inilah akhir hidup seorang manusia, jasadnya terbaring sendirian di pangkuan bumi pertiwi dalam kegelapan. Namun, ke manakah jiwanya menuju, tak seorang pun tahu. Di mana letak surga, di mana letak alam baka, otak manusia terlalu kerdil untuk mampu menemukan rahasia yang satu itu sebab di dalamnya terdapat kuasa Tuhan sebagai Sang Mahatahu.
t . c Pagi berikutnya ketika teman-teman pergi mencari oleh-oleh, aku dan Tina memilih tinggal untuk membantu ibu Aryanti meletakkan kembali perabot-perabot kecil dan pajangan-pajangan yang kemarin disingkirkan dari ruang tengah. Sementara perabot-perabot yang besar-besar ditata kembali oleh orang-orang suruhan Mas Yoyok. Sambil bekerja, sesekali kulirik ibu Aryanti mengusap pipinya yang basah sehingga hatiku menjadi iba. Maka kupeluk lembut bahunya.
Tante, Yanti sudah berbahagia di alam sana. Penderitaannya sudah berakhir. Jangan ditangisi terus karena langkah kakinya akan terasa berat, bisikku kepadanya. Kalau Tante merasa kehilangan anak perempuan, anggaplah saya sebagai pengganti Yanti.
Ibu Aryanti langsung ganti memelukku begitu mendengar perkataanku. Tangisnya meledak.
Sejak dulu kau selalu bisa menghibur hati kami. Ketika Yanti mengalami patah hati, kau juga yang menghibur kami, katanya disela isak tangisnya. Kau benar-benar sahabat sejati.
Kami berpelukan dengan disaksikan Tina yang pipinya juga basah oleh air mata. Sementara itu dari tempatku, kulihat Mas Yoyok ada di teras belakang, jauh dari kami sedang duduk melamun. Entah apa yang tengah dipikirkan, aku tak tahu. Seberapa dalam kesedihan hatinya ditinggal sang istri, aku juga tidak bisa menduganya. Seperti biasa, laki-laki itu seakan berada jauh di seberang dan masih tetap merupakan sosok yang misterius bagiku kendati kemarin sempat ada jalinan keakraban yang melintas sekilas di antara kami.
t . c Sore harinya ketika aku dan teman-temanku pamit, ibu Aryanti berdiri di dekat Mas Yoyok mengantarkan keberangkatan kami hingga di teras depan. Yanto sudah pulang pagi tadi, sementara sang ibu masih akan menginap di rumah Mas Yoyok. Menurut rencana, beliau akan menginap sampai selamatan tujuh hari meninggalnya Aryanti.
Di halaman depan ada dua mobil mewah yang siap membawa kami ke Bandara Sukarno-Hatta. Ketika teman-teman semua sudah naik, sekali lagi aku memeluk ibu Aryanti.
Hubungan kita tidak akan putus, Tante. Kalau Tante pergi ke Yogya, menginaplah di rumah kami meskipun ada saudara Tante yang tinggal di sana. Ibu Aryanti mengangguk.
Sebaliknya, kalau kau ingin berlibur di Jakarta, menginaplah di rumah kami, katanya. Tante sudah tak punya anak perempuan lagi. Jadilah pengganti Yanti, Retno.
Dengan senang hati, Tante. Kucium pipi ibu Aryanti dengan perasaan haru.
Menginap di sini juga boleh, Retno. Ajaklah teman kalau sungkan menginap sendirian, Mas Yoyok menyela.
Ya, terima kasih, Mas. Tetapi yang pasti, hubungan persahabatan kita jangan berhenti karena meninggalnya Yanti. Dia pasti tidak menginginkannya, sahutku menanggapi tawarannya. Nah, aku pulang dulu.
Setelah aku duduk di dalam mobil bersama yang lain dan sopir perlahan-lahan membawa kami me-
t . c ninggalkan halaman istana emas yang luas itu, mataku menjadi buram dengan seketika. Rasanya belum lama aku dan Yanti duduk di teras menunggu bakwan atau asinan lewat meskipun sahabatku itu sudah meminta penjaga pintu depan untuk memanggil pedagang keliling yang kami inginkan. Sebab katanya, mendengar sendiri penjaja makanan meneriakkan dagangannya dan kami memanggilnya, terasa lebih mengasyikkan. Dengan mata berbinar, ia mengatakan kepadaku bahwa kebebasan seperti ini baru ia alami lagi bersamaku.
Selama hampir setahun ini, aku tidak pernah duduk di teras menunggu pedagang makanan lewat sebab menurut Mas Yoyok, itu tidak pantas dilakukan istri seorang pemilik perusahaan. Tetapi dengan adanya dirimu, dia pasti tidak enak untuk melarangku karena yang ingin kamu makan bakwan, begitu kata Yanti ketika aku berlibur di istana emas beberapa bulan yang lalu.
Bukannya kau yang ingin bakwan" aku menggodanya sehingga dia tertawa.
Ya, kita berdua sama-sama menginginkan bakwan dan bahkan siomay yang menurutku rasanya lebih enak daripada buatan rumah makan, jawab Yanti sambil menyatukan tawanya dengan tawaku.
Sekarang apa yang pernah kami lakukan berdua seperti waktu itu tidak akan pernah terulang lagi. Sedih sekali rasanya. Tetapi aku merasa puas karena di akhir hidupnya aku masih sempat memberinya kesenangan dan kehangatan. Namun dengan tiadanya Yanti di dalam istana emas itu, aku tidak tahu apakah
t . c masih ada kesempatan bagiku untuk masuk lagi di dalamnya. Sebab meski Mas Yoyok menawariku, tetapi aku merasa tidak yakin bisa memenuhinya. Cutiku sudah habis. Dan tahun depan kalau aku mengambil cuti lagi, bukan ke Jakarta tujuan yang kuangankan. Tetapi ke Bali. Maka seandainya ada kesempatan berikutnya lagi, mungkin saja di dalam istana emas ini sudah ada istri lain di sisi Mas Yoyok. Tak mungkin aku mau menginap di rumah yang megah, mewah, besar dan angker berwibawa itu. Jadi kutatap sekali lagi istana emas yang akan kutinggalkan itu sebelum mobil yang membawa aku dan teman-temanku keluar halaman.
Selamat tinggal, istana emas, gumamku pelan. Tina dan Yuli yang duduk di dekatku menoleh ke arahku hampir bersamaan.
Apa yang kaukatakan" tanya Tina. Aku tersenyum sambil menggeleng.
Tidak ada yang kukatakan, sahutku kemudian. Yah, aku tidak ingin ada orang yang tahu bahwa rumah besar di belakang kami itu kunamakan istana emas. Biarlah itu hanya ada di hatiku sebagai kenangan manisku bersama Aryanti.
Namun betapapun besarnya rasa kehilangan yang kurasakan atas kepergian Aryanti, aku harus mengakui bahwa kematiannya telah menguntai kembali keakraban di antara teman-teman sekuliah kami dulu. Terutama ketika kami menyiapkan reuni yang sesungguhnya. Sebab setelah melihat jumlah nama yang terdaftar sudah hampir mencapai seratus orang banyaknya, perealisasian
t . c reuni mulai dibahas dengan lebih intensif. Tempatnya sudah pasti di Yogya karena kebanyakan di antara mereka yang mendaftar menginginkan acara tersebut diadakan di Yogya.
Supaya kenangan masa lalu bisa lebih tuntas, begitu alasan mereka yang tinggal di kota lain. Tetapi sebaiknya kita menunggu seratus hari meninggalnya Yanti, untuk menghormatinya.
Setuju. Tetapi untuk langkah pertama, sebaiknya segera dibentuk panitianya. Dan jangan lupa, seksi acaranya harus orang yang bisa membuat pertemuan kita nanti meriah dan berkesan, kataku yang disetujui oleh teman-teman.
Selama menyiapkan reuni, aku jadi tahu bahwa kebanyakan teman-teman perempuanku sudah menikah, bahkan sudah mempunyai anak, dan hanya beberapa orang saja yang masih single. Di antaranya aku. Akibatnya telinga dan hati ini harus betul-betul kuat karena hampir di setiap perjumpaan kami, mereka menggodaku.
Jangan pilih-pilih, nanti terperosok, begitulah goda mereka.
Ada sebagian teman pria kita yang masih jomblo lho, Ret. Beri lampu hijau pada mereka dan pilihlah salah seorang di antaranya, goda teman yang lain.
Atau, Jangan keenakan membina karier, Retno. Nanti kebablasan dan lupa berumah-tangga lho.
Atau pula, Retno, kutunggu undangan pernikahanmu lho.
Tetapi meskipun seribu satu macam godaan dan
t . c sindiran teman-teman atas status jombloku itu, aku mengerti maksud baik mereka. Tetapi mana mereka tahu bahwa aku masih belum menemukan seseorang yang bisa menggugah perasaan cintaku.
Menjelang reuni yang sudah ditentukan tanggalnya, aku benar-benar tenggelam dalam kesibukan karena teman-teman memilihku menjadi ketua panitia. Wakilku, Alex Siregar. Tetapi laki-laki Batak yang sudah puluhan tahun tinggal di Yogya itu tak banyak membantuku karena waktunya sudah tersita oleh tugastugas kantornya. Sudah begitu anak-anaknya masih kecil sehingga waktu yang tersisa tidak banyak. Maka apa boleh buat, pekerjaanku jadi menumpuk. Untungnya teman-teman panitia lainnya bisa bekerja sama bahu-membahu dalam menggalang dana, mencari gedung, menyusun acara, mencari katering, menulis surat undangan, mengumpulkan door prize, dan lain sebagainya.
Akibatnya, aku sering pulang agak malam sehingga ibuku merasa khawatir. Malam itu, aku ditegurnya.
Apakah hanya karena menyiapkan reuni saja kau harus mengabaikan kesehatanmu, Retno" Bercerminlah, kau tampak kurus, begitu katanya. Yah, aku juga merasa bobot tubuhku memang berkurang karena lelah dan kurang tidur. Kalau sudah terlalu capek selera makanku jadi hilang. Kini ditegur oleh Ibu, aku harus mengindahkannya.
Sabar, Bu. Mulai besok aku sudah tidak terlalu repot lagi kok. Semuanya sudah hampir selesai urusannya. Hanya dananya saja yang masih kurang. Gedung-
t . c nya juga sudah dapat dan sudah diberi uang tanda jadi.
Syukurlah, kalau begitu. Sekarang mandilah dengan air panas, lalu makanlah. Yang lain sudah makan sejak tadi-tadi. Tetapi untukmu Ibu sisihkan pepes ikan bandeng kesukaanmu.
Masukkan ke lemari es saja, Bu. Aku sudah makan.
Kalau begitu, Ibu buatkan teh manis hangat ya" Kuanggukkan kepalaku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku segera mandi dan tak lama kemudian aku sudah duduk di ruang makan menikmati teh hangat buatan Ibu. Di dekat cangkirku, ada sepiring serabi Solo.
Mbak Diah ke Solo lagi ya, Bu"
Ya. Serabi Solo itu oleh-oleh kakakmu, jawab Ibu. Dia tahu kesukaanku.
Oh ya, Retno, ada surat untukmu. Hampir saja Ibu lupa. Ibu berdiri lagi. Kemudian dari rak buku beliau mengulurkan surat yang dikatakannya tadi kepadaku. Dari Nak Yoyok.
Aku tertegun, menatap Ibu dengan dahi berkerut. Mas Yoyok, suami Yanti"
Ya. Melalui pos" Dititipkan orang. Mungkin, temannya. Pakaiannya rapi dan berdasi. Dengan mobil bagus pula. Tetapi kok tumben"
t . c Kurasa isinya undangan untuk menghadiri seratus hari Yanti, sahut Ibu. Sebentar lagi kan harinya"
Ya, memang sebentar lagi. Jadi mungkin ini memang surat undangan. Surat itu kuletakkan ke atas meja. Perhatianku lebih tertuju pada kue serabi. Tetapi Ibu masih melanjutkan bicaranya tadi.
Sebaiknya kau hadir, Retno. Ketika empat puluh harinya, kau tidak ke sana, kan"
Membolos" Ah, tidak, Bu.
Kalau jatuhnya pada akhir Minggu, kan bisa ke sana. Coba Ibu lihat kalender dulu. Sambil berkata seperti itu Ibu mendekati kalender dinding di dekat pintu. Ya betul. Ini malah sudah kautandai. Seratus hari meninggalnya Yanti jatuh pada hari Sabtu. Oh ya, aku lupa.
Nah, kamu bisa berangkat pada Jumat sore, lalu pulang pada hari Minggu sore atau Senin pagi-pagi sekali, langsung ke kantor, saran Ibu. Kasihan ibunya lho. Dia pasti senang sekali melihatmu datang. Naik pesawat kan tidak menyita waktu.
Ya, nanti kupikirkan. Terus terang aku enggan datang ke istana emas itu lagi. Sulit bagiku menerima kenyataan, tempat itu masih ada namun orang yang seharusnya berada di sana, sudah pergi untuk selamanya.
Di kamar, surat dari Mas Yoyok kubuka. Tepat seperti dugaan Ibu, surat itu memang surat undangan agar aku datang ke Jakarta untuk menghadiri seratus hari meninggalnya Aryanti. Isi suratnya pendek tetapi terasa tegas dan sulit untuk ditolak.
Aku tidak akan mengundangmu datang kalau hari-
t . c nya tidak bertepatan dengan libur akhir pekan. Demi Yanti, demi persahabatan kalian dan demi ibunya Yanti, penuhilah undangan ini. Besok akan ada kurir datang membawa titipan untukmu, begitu antara lain yang ditulisnya. Pintar juga dia, mengundangku melalui surat dan bukannya melalui telepon. Rupanya dia sudah mulai mengenali sifatku yang tidak suka diatur-atur.
Esok harinya ketika aku baru bersiap-siap ke kantor, kurir seperti yang dikatakan oleh Mas Yoyok itu datang. Kelihatannya sudah diatur supaya titipannya datang di saat aku tidak bisa menolak karena harus segera berangkat ke kantor. Apalagi begitu titipan itu sampai ke tanganku, orang suruhan yang membawa titipan itu langsung pamit dan pergi meninggalkan rumahku dengan cepat.
Titipan Mas Yoyok terdiri dari dua buah amplop. Satu amplop berisi uang sumbangan untuk malam reuni dengan jumlah yang cukup besar. Dan satunya lagi berisi tiket pesawat udara pulang pergi Yogya- Jakarta. Berangkat Jumat sore dan kembali ke Yogya Senin pagi. Di dalam amplop isi uang, Mas Yoyok menulis sesuatu yang tak bisa kutolak: Ini titipan Yanti. Dua minggu sebelum meninggal ia pernah mengatakan kepadaku, ingin menyumbang uang untuk reuni yang sedang kalian siapkan. Jadi terimalah dengan baik. Mudah-mudahan bermanfaat.
Aku ingat, ketika dua bulan yang lalu Mas Yoyok meneleponku agar datang ke Jakarta untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya Aryanti dan aku mengatakan tidak bisa mengambil cuti lagi, ia sempat
t . c bertanya tentang reuni yang sedang kami siapkan. Aku menjawab apa adanya, bahwa reuni akan diadakan setelah seratus hari meninggalnya Yanti. Rupanya pertanyaan itu berkaitan dengan maksudnya untuk menyumbang uang.
Tiga hari menjelang hari-H tiba-tiba Mas Yoyok meneleponku.
Retno, kau nanti akan dijemput sopirku. Ingat kan orangnya"
Ya, aku ingat. Namanya Pak Musa, kan" Ya. Kalau begitu, sampai bertemu Jumat malam nanti. Sebelum aku sempat berkata apa pun, Mas Yoyok memutuskan pembicaraan. Meski jengkel diaturatur begitu, kutahan diriku untuk tidak menelepon kembali. Padahal aku ingin menegur sikap arogannya itu. Masih merasa jengkel seperti itu ibunya Yanti ganti menelepon.
Retno, kedatanganmu kami tunggu lho. Tante kangen padamu. Nanti kita mengunjungi makam Yanti ya" Kudengar nada mendesak dalam suara perempuan paro baya itu. Tante akan menginap di rumah Nak Yoyok. Kita tidur sekamar, mau ya" kata ibu Aryanti lagi.
Lagi-lagi kudengar perkataan yang membuatku sulit untuk menolak undangan mareka. Tampaknya semua sudah diatur sedemikian rupa. Jadi apa boleh buat, demi Aryanti aku akan datang.
Hari Jumat pagi ketika aku baru saja sampai ke kantor, Mas Yoyok meneleponku lagi.
Retno, nanti kuberi nomor telepon Pak Musa,
t . c katanya. Jadi nanti malam begitu mendarat teleponlah dia agar kalian tidak cari-carian, katanya. Kemudian cepat-cepat ia menutup pembicaraan, seakan khawatir aku mengatakan tidak jadi berangkat.
Seperti beberapa hari lalu, setelah Mas Yoyok memutus pembicaraan sepihak itu, ibu Aryanti ganti meneleponku.
Retno, apakah Tante bisa minta bantuanmu" Begitu ia langsung bertanya sesudah mendengar suaraku.
Bantuan apa, Tante" Bawakan Tante bakpia, ya" jawab ibu Aryanti. Di Bandara Adi Sucipto ada yang jual kok. Jadi tidak terlalu merepotkanmu, kan" Tante ingin bakpia. Satu dus saja. Tidak usah banyak-banyak. Selain itu, besok pagi kau bantu Tante menyiapkan keperluan untuk peringatan yang akan diadakan petang harinya ya" Baik, Tante.
Apa yang telah diatur oleh Mas Yoyok dan apa pun permintaan ibu Aryanti, aku merasa mereka sedang bersekongkol agar tidak bisa tidak aku harus berangkat ke Jakarta. Tetapi entah apa maksudnya, aku tidak tahu. Kalau hanya untuk memperingati seratus hari meninggalnya Aryanti saja, kenapa sedemikian hebohnya. Bahkan aku tak yakin apakah ibu Aryanti benarbenar ingin makan bakpia. Apakah itu bukan cara untuk memastikan kedatanganku ke Jakarta"
t . c M ENAPAKKAN kaki kembali ke istana emas dan
disambut oleh ibu Aryanti di teras dengan menciumi pipiku sambil berlinangan air mata, membuat perasaanku jadi tidak nyaman. Terutama karena ingatanku langsung terbang ke peristiwa sama, ketika aku juga baru tiba di teras istana emas ini enam bulan yang lalu. Saat itu aku juga disambut oleh Aryanti dengan peluk cium yang sama.
Tante senang sekali bertemu kembali denganmu, Retno, kudengar ibu Aryanti berkata masih sambil sesekali menciumi pipiku.
Saya juga senang sekali bertemu Tante lagi, jawabku. Sambutan ibu Aryanti agak berlebihan, menurutku. Apa sebenarnya yang terjadi padanya" Kenapa air matanya berderaian seperti itu"
Pertanyaan itu terus saja timbul-tenggelam di dalam batinku karena di sepanjang pertemuan kami kembali itu sikapnya kepadaku terasa berbeda. Aku merasakan adanya kekhawatiran kalau-kalau aku tidak lagi me-
Tujuh t . c nyayanginya karena Aryanti yang menjadi jembatan di antara kami telah tiada. Karena merasa tak nyaman, aku mencoba untuk melupakan prasangka yang belum tentu benar itu. Untungnya di sepanjang hari Sabtu itu kami disibukkan oleh persiapan acara peringatan seratus hari meninggalnya Aryanti sehingga aku tidak sempat memikirkannya lebih jauh.
Setelah acara usai dan segala sesuatunya telah dirapikan kembali berama-sama, aku pergi ke ruang makan untuk mengambil air minum. Kulihat Mas Yoyok juga masuk ke tempat yang sama.
Sudah makan" tanyanya kepadaku. Tumben memakai basa-basi. Bukankah dia tadi ada di dekatku waktu aku sedang mengambil makanan yang disediakan katering. Aku yakin sekali, dia melihatku.
Sudah, aku menjawab pendek.
Sekarang Retno mau apa" ia bertanya lagi. Tumben dalam waktu semenit saja dia sudah dua kali berbasa-basi. Padahal biasanya dia acuh tak acuh terhadap apa pun yang bukan urusannya. Ibu Aryanti juga berbeda daripada biasanya. Ada apa sebenarnya" Mau istirahat di kamar.
Jam delapan lebih sedikit, sudah mau tidur" Aku tidak menjawab. Kutatap mata laki-laki itu. Sebetulnya Mas Yoyok ingin aku bagaimana" tanyaku kemudian dengan sedikit ketus.
Kami ingin berbicara denganmu, Retno, ibu Aryanti menyela pembicaraan kami. Entah sejak kapan dia berdiri di sudut ruang makan ini.
t . c Kelihatannya penting& , aku bertanya sambil melemparkan pandang mataku ke arah ibu Aryanti untuk kemudian berpindah ke wajah Mas Yoyok. Rasanya memang betul, mereka berdua mempunyai persoalan. Dan aku akan dilibatkan di dalamnya padahal aku orang luar. Ataukah karena aku ini sahabat sejati Aryanti"
Ya. Bahkan sangat penting, Retno, Mas Yoyok menjawab pertanyaanku tadi. Kalau tidak, kami tak akan memintamu datang ke Jakarta dengan setengah memaksa begini. Aku yakin kau sudah merasakan adanya paksaan terselubung dari kami berdua. Ya, kan"


Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, aku memang merasakan itu. Tetapi demi Aryanti, aku tidak ingin mempersoalkannya, jawabku.
Tetapi apa yang ingin kami bicarakan ini juga menyangkut dirimu, Retno. Sekarang ibu Aryanti ganti bicara. Ada surat peninggalannya yang kami temukan di dalam lemari pakaiannya. Di dalam surat itu ada amanahnya yang harus kami penuhi. Dan itu berkaitan dengan dirimu.
Kukerutkan dahiku dalam-dalam. Aku teringat pada pembicaraan antara diriku dengan Yanti waktu berlibur di sini enam bulan yang lalu. Karena tahu bahwa aku ingin melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi, ia pernah bertanya kepadaku mengapa aku tidak segera mengurus studiku.
Katamu ingin sekali mengambil S-3, Retno. Kok tidak segera kauurus" Tahun ajaran baru sudah ada di hadapan kita kan" begitu ia bertanya kepadaku.
t . c Waktu itu aku tertawa karena dia tidak memahami keadaanku.
Kaupikir murah" Untuk itu aku masih harus mengumpulkan uang lebih dulu, Yanti. Jangan sampai memberatkan orangtua, sahutku kemudian. Kulihat, Aryanti langsung terdiam begitu mendengar pengakuanku itu. Air mukanya tampak prihatin.
Biaya pendidikan di Indonesia memang termasuk yang mahal ya& , gumamnya. Banyak orang pandai tidak bisa melanjutkan studinya. Sayang sekali.
Teringat obrolan kami waktu itu, perasaanku jadi tidak enak. Jangan-jangan apa yang mau dibicarakan oleh Mas Yoyok dan ibu Aryanti bersamaku itu menyangkut peninggalan uang guna biaya studiku. Kalau ya, apa yang harus kulakukan" Menolak amanah orang yang sudah meninggal" Aduh, padahal aku pasti akan menolak pemberian yang sangat pribadi sifatnya itu. Tetapi ah, belum tentu itu yang akan dibicarakan. Sebaiknya aku segera menanyakannya supaya bisa menyusun strategi untuk menentukan posisiku.
Masalah apa" tanyaku setelah pikiran itu masuk ke benakku. Atau jangan-jangan Aryanti ingin mewariskan sebagian perhiasannya kepadaku karena dia tidak punya saudara perempuan. Aduh, perutku jadi kaku memikirkan itu. Aku tidak ingin ada ikatan yang berkaitan dengan materi di antara diriku dengan Aryanti kendati dia telah meninggal dunia. Kalaupun dia ingin memberiku kenangan, cukuplah satu atau dua barang yang tidak begitu mahal harganya.
Untuk membahas masalah yang Retno tanyakan,
t . c sebaiknya kita bertiga bicara di ruang perpustakaan saja agar bisa leluasa bicara, kata Mas Yoyok menjawab pertanyaanku tadi. Nanti di sana semuanya akan menjadi jelas.
Di ruang perpustakaan yang didominasi warna cokelat, aku duduk di atas sofa berdampingan dengan ibu Aryanti. Ruang itu penuh buku dengan rak-rak besar yang terletak dari dinding ke dinding dan teratur sangat rapi. Dengan kursi besar bersandaran tinggi yang juga berwarna cokelat gelap di mana Mas Yoyok memilih duduk di situ, keangkeran dan kewibawaan ruang perpustakaan itu sangat terasakan. Sampaisampai aku tidak berani bersuara.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana hening di ruang itu terasa mencekam perasaan sehingga aku kehilangan rasa sabar.
Aku sudah siap, kataku memecah keheningan itu. Katakan saja apa yang Mas Yoyok ingin sampaikan kepadaku supaya urusannya cepat selesai dan kita bisa segera beristirahat.
Retno betul, Nak Yoyok. Mulai sajalah bicara, ibu Aryanti menyambung perkataanku.
Baik, kulihat Mas Yoyok menganggukkan kepalanya. Begini, seperti sudah sedikit disinggung tadi, Ibu menemukan tiga buah amplop di lemari pakaian Yanti. Satu ditujukan kepadaku. Satunya lagi diperuntukkan bagi ibunya. Dan yang satu lagi, untukmu. Oh ya..." Lalu..."
Surat yang untukku sudah kubaca berulang kali, jawab Mas Yoyok lagi. Begitupun surat yang ditujukan
t . c pada Ibu sudah dibaca oleh Ibu sampai berkali-kali. Begitu kan, Bu"
Ya. Sedangkan surat untukmu, masih utuh. Kami tidak berhak membukanya.
Lalu, apa kaitannya dengan diriku"
Aku mau menceritakan isi surat Yanti yang untukku, Retno. Di antara sekian pesannya, ada satu hal yang membuat perasaanku terganggu. Dia tidak ingin aku menduda terlalu lama& Mas Yoyok menghentikan bicaranya. Kulihat sikapnya menjadi canggung dengan tiba-tiba dan pancaran matanya tampak gugup. Baru sekali itulah aku melihat laki-laki yang biasanya tampak angker dan terlalu percaya diri itu tampak kehilangan ketenangan. Kemudian dengan sikap ragu yang juga baru sekali itu kusaksikan padanya, ia menoleh ke arah ibu mertuanya. Saya rasa... Ibu saja yang menerangkan selanjutnya& .
Ibu Aryanti menganggukkan kepalanya. Sebutir air mata yang tiba-tiba meluncur ke pipinya, dibiarkannya jatuh ke atas dadanya.
Retno, sebelum Tante melanjutkan perlu kau ketahui bahwa ketiga amplop surat itu kutemukan kirakita sepuluh hari setelah meninggalnya Yanti, saat Tante membereskan lemari pakaiannya. Ketiganya dimasukkan ke dalam amplop cokelat dan diberi tulisan besar-besar, berisi permintaan untuk tidak membuka amplop di dalamnya sebelum dua setengah bulan berlalu sejak kematiannya, kata ibu Aryanti dengan air muka serius. Nah, dua minggu yang lalu, surat untuk Nak Yoyok dan surat yang untuk Tante, kami buka bersama.
t . c Kalau boleh tahu, apa isinya, Tante"
Justru kau harus mengetahuinya, Retno. Seperti yang tadi sudah disinggung, Yanti ingin agar Nak Yoyok segera berumah tangga kembali. Anehnya& nah, inilah yang masih menjadi teka-teki bagi kami berdua, ia berharap agar Retno sudi dan bersedia menggantikan tempatnya sebagai istri Nak Yoyok.... Suara ibu Aryanti semakin lama semakin pelan. Terus terang, kami jadi bingung....
Aku tersentak kaget. Mataku yang langsung membesar menatap ke arah dua orang di dekatku itu dengan perasaan kacau-balau.
Apa...apakah...itu tidak salah& " tanyaku kemudian dengan tergagap-gagap.
Sayangnya tidak, Retno. Mas Yoyok ganti bersuara lagi. Isi surat yang untuk Ibu, nadanya persis sama. Kurasa surat yang ditujukan untukmu pun tidak berbeda isinya.
Usai bicara seperti itu ia menyerahkan sebuah amplop untukku. Kemudian ia melanjutkan bicaranya lagi.
Harap surat ini dibaca dengan tenang, pikiran jernih dan emosi yang terkontrol, katanya lagi. Begitupun unsur subjektif jangan terlalu dibiarkan. Sadarilah, yang berbicara kepada kita melalui surat itu adalah orang yang sama-sama kita cintai namun yang oleh kehendak Tuhan, ia dipanggil menghadap kepadaNya lebih dulu.
Diingatkan seperti itu dadaku terasa sesak dengan tiba-tiba. Apa pun alasannya, katakanlah itu demi
t . c kebaikan, dia toh tahu betul Mas Yoyok bukan tipe lelaki yang bisa membuatku jatuh cinta. Begitupun sebaliknya. Mas Yoyok pasti tidak akan cocok hidup bersama perempuan yang keras kepala dan mempunyai prinsip hidup kuat seperti diriku. Mas Yoyok lebih cocok hidup bersama perempuan yang sabar, lembut, penurut dan manis. Dan itu jelas bukan aku.
Baik nanti akan kubaca dengan perasaan dan pikiran bening di kamar, sahutku kemudian sambil menyimpan surat yang diulurkannya kepadaku ke saku pakaianku. Tetapi terus terang, aku mempunyai kesimpulan bahwa saat-saat menyadari penyakitnya tidak akan sembuh& pikiran Yanti...tidak lagi begitu jernih sehingga mempunyai keinginan yang bukan-bukan.
Kami pun mula-mula berkesimpulan yang sama, Retno. Tetapi setelah aku dan Ibu bersama-sama mengkaji tulisan dan bahasa serta alur bicaranya yang tertuang secara runtut dan tertata, kami yakin bahwa tidak ada unsur-unsur seperti yang kita duga, sahut Mas Yoyok.
Itu benar, Retno. Tubuhnya memang lemah dan sakit-sakitan, tetapi pikirannya tetap jernih, ibu Aryanti menyambung. Lebih-lebih kalau Tante baca lebih mendalam, ada kesan yang Tante dapatkan bahwa yang ia pikirkan dalam hal ini bukan kehendak pribadinya melainkan keinginannya untuk melihat kebahagiaan orang lain. Dalam hal ini kebahagiaan Nak Yoyok dan kebahagiaan Retno. Setidaknya, itulah yang dipikirkannya mengenai kalian.
Aku terpana. Gawat, pikirku. Lidahku bahkan mulai
t . c terasa kelu dan tidak lagi bisa dipakai untuk bicara apa pun. Kulihat, Mas Yoyok sedang memerhatikan air mukaku. Melihat pandang matanya, aku merasa dia telah menangkap apa yang saat itu sedang kurasakan.
Karena urusan ini urusan yang cukup menyita pikiran dan perasaan, sebaiknya pembicaraan ini kita sudahi saja untuk malam ini, katanya kemudian setelah menarik napas panjang. Sekarang kita semua masih dalam kondisi capek karena seharian ini kurang istirahat. Besok saja pembicaraan ini kita lanjutkan lagi. Bagaimana"
Ya, Ibu setuju. Surat Yanti memang membutuhkan pemikiran dan pertimbangan yang panjang. Kurasa mengapa Yanti meminta surat-surat ini dibaca setelah lebih dari dua bulan meninggalnya, itu karena dia ingin memberi kesempatan kepada kita semua agar tidak bertindak secara impulsif.
Maksudnya" tanyaku, mulai dapat bicara lagi. Yah, dia tahu betul bahwa kita semua sangat menyayanginya sehingga kepergiannya menimbulkan rasa kehilangan mendalam.... Suara ibu Aryanti terdengar menggeletar. Maka seandainya surat itu kita baca di saat hati masih sangat sedih, bisa-bisa kita semua akan bertindak tanpa berpikir mendalam lebih dulu. Dan dia tidak mau itu terjadi. Tante kenal dia sangat baik.
Saya juga berpikir yang sama, Bu. Mas Yoyok menanggapi perkataan ibu mertuanya, baru kemudian menoleh ke arahku. Jadi, Retno, kau tidak usah merasa terbebani oleh surat Yanti. Aku yakin, dia tidak akan memaksakan kehendaknya sendiri meskipun menurut
t . c pemikirannya, keinginannya itu sangat baik. Masih banyak waktu buat kita semua untuk berpikir dan merenungkannya. Begitu"
Kuanggukkan kepalaku. Lidahku masih belum terurai dari kekeluan yang kurasakan. Masih kaku untuk dipakai bicara.
Lagi pula Retno masih belum membaca surat yang ditujukan Yanti untuknya, sambung Mas Yoyok. Jadi mari kita lanjutkan besok sore saja. Masih ada waktu semalam dan sehari besok untuk menata pikiran dan perasaan kita masing-masing.
Begitulah akhirnya pembicaraan malam itu kami hentikan dulu. Kemudian bersama-sama kami bertiga keluar dari perpustakaan. Tetapi di ruang tengah, ibu Aryanti berbicara kepadaku.
Retno, malam ini Tante akan pulang ke rumah dulu. Ada urusan di rumah yang harus kuselesaikan. katanya. Jadi Tante tidak bisa menemanimu malam ini. Tetapi besok menjelang siang Tante sudah ada di sini lagi.
Nanti saya antar, Bu, Mas Yoyok menawarkan jasanya. Sopir memang telah pulang tadi sesudah acara peringatan meninggalnya Aryanti selesai.
Tidak usah, Nak. Yanto sudah berjanji akan menjemput Ibu.
Aku yakin, ibu Aryanti memang sudah sejak awal mula berencana untuk pulang malam ini. Ia ingin memberiku kesempatan agar bisa membaca surat Aryanti sendirian saja. Kuakui, aku memang membutuhkan ketenangan. Jadi kepergiannya tidak kutahan.
t . c Ketika kemudian Yanto datang menjemput ibunya, aku dan Mas Yoyok mengantarkan mereka sampai di teras. Setelah penjaga rumah menutup pintu gerbang, kami berdua masuk kembali ke rumah. Tiba-tiba saja perasaanku jadi tidak enak karena kami hanya tinggal berdua saja. Oleh sebab itu aku ingin segera masuk ke kamarku.
Aku mau istirahat sekarang, Mas, kataku agak terburu-buru. Selamat tidur.
Tunggu dulu, Retno. Ya& " Kuhentikan langkah kakiku.
Aku cuma mau mengatakan bahwa kau tidak perlu merasa terlalu terbebani oleh keinginan Yanti. Dia hanya melihat dari sisi kepentinganku bahwa sebaiknya aku jangan menduda terlalu lama karena dia tahu betul bagaimana aku membutuhkan istri sebagai pendamping. Ada banyak hal yang sebaiknya dilakukan oleh seorang istri daripada oleh seorang sekretaris. Memenuhi undangan jamuan makan malam, misalnya.
Tetapi seorang istri bukan hanya menjadi pendamping suami saja lho, Mas. Apalagi menjadi pajangan atau boneka cantik yang harus terus--menerus tersenyum dan membuat suami merasa bangga, kataku, melampiaskan kekesalan hatiku atas dominasi laki-laki itu terhadap kehidupan pribadi Aryanti di masa hidupnya.
Memang bukan, tetapi lebih dari itu! Mas Yoyok menukas perkataanku dengan suara tajam. Apalagi aku termasuk orang yang banyak meminta dari istriku.
Jadi itu yang Mas Yoyok tuntut dari Yanti" aku bertanya dengan sengit.
t . c Ya. Sebagai rasa terima kasihku padanya, aku menimbuninya dengan banyak hal, jawab Mas Yoyok. Bahkan dia bebas melakukan apa saja di luar tugasnya sebagai pendampingku. Kurasa dia bahagia dengan keadaan seperti ini.
Mas Yoyok yakin dia bahagia"
Ya, dia mengatakan demikian ketika kutanyai. Mas Yoyok yakin dia menjawab pertanyaan itu dengan jujur"
Memangnya apa yang kauketahui sehingga bertanya seperti itu kepadaku" Bukannya menjawab pertanyaanku, laki-laki itu malah membalikkan pertanyaan. Matanya menatapku dengan tajam.
Aku tidak ingin menceritakan keluhan orang yang sudah meninggal dunia. Tak relevan lagi. Asal kau tahu, Mas, dia seorang perempuan yang setia, sabar, dan ikhlas menerima keadaan.
Aku tahu itu. Lalu kenapa"
Tetapi apakah kau juga tahu, Mas, betapa bahagianya dia ketika aku datang ke sini berbulan-bulan yang lalu itu" aku ganti membalikkan pertanyaan. Tahu.
Tetapi tidak tahu kenapa, kan" Yanti bahagia karena bisa melakukan banyak hal bersamaku. Banyak hal yang kumaksud di sini adalah jajan di pinggir jalan di bawah tenda-tenda, lalu menunggu pedagang makanan keliling di teras, naik sepeda tandem keliling Ancol, berteriak keras-keras waktu naik jet coaster, memancing di tempat pemancingan dengan celana pendek berblus kaos longgar, dan lain sebagainya&
t . c Kalian melakukan hal-hal seperti itu ketika jalanjalan tanpa aku" Dahi Mas Yoyok berkerut.
Ya. Dan dia sangat gembira. Luar biasa. Oleh sebab itu ketika aku pamit pulang, dia sedih sekali.
Mas Yoyok tidak mau menanggapi perkataanku. Dengan wajah yang tampak serius ia mengangkat pergelangan tangannya.
Sudah malam, gumamnya kemudian. Sebaiknya kita beristirahat sekarang. Nah, selamat tidur.
Aku mengangguk. Diam-diam sambil melanjutkan langkah kakiku menuju ke kamar tidurku, aku menertawakan laki-laki itu. Pasti dia tidak berani melanjutkan pembicaraan, takut semakin shock mengetahui istrinya telah salah bergaul denganku. Aku jadi penasaran oleh sikapnya itu. Maka sebelum berbelok masuk, aku menoleh ke arah laki-laki itu.
Mas Yoyok, tadi aku cuma mau mengatakan kepadamu bahwa kehadiranku selama menghabiskan cuti bersama Yanti waktu itu telah membuatnya merasa bahagia karena dapat hadir sebagai dirinya sendiri. Bukan sebagai Nyonya Hardoyo Irawan, kataku, dan kemudian agar laki-laki itu tidak mempunyai kesempatan untuk membalas perkataanku, lekas-lekas aku mengucapkan selamat tidur dan langsung masuk ke kamarku. Setelah itu cepat-cepat aku menutup pintunya.
Meskipun demikian, aku masih sempat melirik wajahnya saat pintu kamarku belum tertutup rapat. Entah aku salah lihat atau mungkin cuma ilusiku saja, sepertinya aku melihat ada senyum tertahan di bibir laki-laki
t . c itu. Kalau benar apa yang kulihat, orang itu benarbenar membuatku bingung.
Di kamar, setelah mengganti pakaianku dengan gaun tidur, kubuka surat Aryanti. Seperti yang telah kuduga, inti surat itu sama seperti isi surat yang ditujukannya kepada Mas Yoyok maupun ibunya. Tetapi tentang yang khusus-khusus, pasti hanya terdapat di dalam suratku. Seperti misalnya tentang bagaimana dia ingin aku bersedia membuka peluang bagi Mas Yoyok dan menjalin hubungan manis dengannya, sebab siapa tahu ternyata ada yang nyambung di antara kami berdua. Suratnya cukup panjang dan membuat air mataku bercucuran, sebab membaca susunan kata dan kalimatkalimatnya, membuatku seperti sedang berbicara dengan sahabat tersayangku itu. Antara lain isi suratnya berbunyi demikian:
& janganlah kau menyangka aku memaksakan kehendakku sendiri, Retno. Jauh dari itu. Oleh karena itu aku mengharapkan pengertianmu dan tentu saja pemberian maafmu atas apa yang kuutarakan di atas tadi. Aku tahu kau gadis yang penuh semangat, energik, romantis, dan hangat. Aku juga tahu bahwa kau gadis yang kadangkadang sangat emosional, bahkan seperti petasan banting. Tetapi aku juga tahu hatimu amat lembut, peka, dan mudah jatuh iba terhadap kesulitan orang. Dan darah seni yang mengalir deras dalam tubuhmu pasti juga memberi warna sendiri dalam caramu berperasaan. Tawamu misalnya,
t . c bisa begitu lepas seperti lonceng gemerincing dan membuat orang-orang di sekitarmu ikut terbawa suasana. Begitupun tangismu, bisa terdengar seperti terompet rusak&
Sampai di situ aku menghentikan apa yang sedang kubaca karena mataku kabur oleh air mata. Yanti betulbetul sangat mengenal diriku dan caranya bicara membuatku merasa amat rindu pada dirinya. Setelah menghapus air mata, aku melanjutkan membaca surat itu.
Retno, kurasa semua yang kaumiliki itu terlalu banyak untukmu. Bagikanlah itu pada Mas Yoyok agar ketegaran, kekerasan, kekakuan, dan sikapnya yang bossy dapat mencair sehingga bisa tampil lebih menusiawi, lebih peka, dan lebih mampu berempati pada perasaan orang lain. Jadi kalau dia memberi hadiah pada seseorang misalnya, itu timbul dari hatinya yang terdalam, karena ia ingin berbagi kasih dan berbagi rezeki. Bukan karena alasan lain, seperti misalnya bagaikan bos yang ingin menghadiahi bawahannya atau yang semacam itu. Jadi, hendaknya hadiah yang diberikannya itu memang merupakan kebutuhan orang tersebut dan yang bersangkutan merasa diperhatikan karenanya.
Retno, selama ini aku tidak tahu apakah dia mencintai aku atau tidak. Tetapi ketika waktu terus bergulir, aku tidak lagi peduli tentang hal itu karena kalau ditanya secara jujur apakah aku men-
t . c cintainya, jawabanku juga pasti mengambang. Lebih-lebih belakangan ini ketika penyakitku semakin berat dan kami lebih banyak bersama-sama. Ada cinta atau tidak di antara kami, tak lagi penting bagiku. Perhatian besar yang diberikannya kepadaku, sudah lebih dari cukup. Melihat kesabaran dan merasakan ketelatenannya, kasihku kepadanya mulai muncul sedikit demi sedikit kendati itu bukan kasih asmara yang menggebu-gebu seperti apa yang dulu pernah kurasakan terhadap kekasihku.
Nah, aku akan bercerita sedikit mengenai latar belakang Mas Yoyok yang selama ini pasti belum pernah kaudengar. Begini, Retno, dalam kondisi sakit begini, aku memberanikan diri agar Mas Yoyok mau menceritakan masa kecilnya dan seperti apa pengalaman hidupnya di masa lalu. Semula dia merasa enggan sekali untuk menceritakannya, tetapi ketika kemudian mulai berbicara, dengan lancar ia mau bercerita mengenai kisah hidupnya. Rupanya di bawah sadar, sebenarnya ia ingin melepaskan kepenuhan hatinya, tetapi menurut konsep diri yang terbentuk dalam dirinya, laki-laki pantang menunjukkan kelemahan hatinya. Di situ aku baru melihat isi Mas Yoyok yang sebenarnya, bahwa sebetulnya dia itu seorang lakilaki yang baik. Didikan ayahnya yang amat keras, otoriter, terlalu disiplin dan tidak membolehkan ada celah-celah yang memperlihatkan ketidaksempurnaan telah membuatnya menjadi laki-laki yang tegar, keras, terlalu rasional, lebih mengandalkan
Panji Sakti 2 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung Antara Benci Dan Rindu 1
^