Pencarian

Jalan Bandungan 5

Jalan Bandungan Karya Nh Dini Bagian 5


Dan untuk pertama kalinya sejak lama sekali, aku sangat bingung menentukan pakaian yang akan kubawa. Di telepon, Ganik menasihatiku agar membawa lebih banyak celana panjang. Bawa payung, tambahnya pula. Yu Kartini sudah diberitahu supaya meminjamiku baju tidur. Dengan demikian aku tidak perlu terlalu banyak membawa pakaian. Tetapi aku ingin Handoko melihatku sepantas dan serapi mungkin.
Dua hari sebelum tanggal yang ditentukan, aku berangkat ke Arnhem untuk tinggal bersama kenalan baikku sejak aku datang di negeri ini. Dia wanita Belanda yang tidak kawin, pekerja sosial di sebuah yayasan buat anak-anak bisu-tuli. Orangtuanya adalah pencinta Indonesia yang pernah tinggal puluhan tahun di sebuah perkebunan dekat Pasuruan. Anneke, teman baruku itu lahir di kota Jawa Timur tersebut. Sudah beberapa kali aku diundang makan bersama keluarganya. Kawanku itu menyewa {#3}at di dalam kota, sementara menunggu giliran mendapat rumah angsuran tidak jauh dari tempat tinggal orangtuanya. Pada waktu bersama mereka, percakapan lebih berkisar mengenai Indonesia
254 karena ingin membandingkan keadaan yang dikenalnya di masa pemerintahan Hindia Belanda. Dengan senang hati aku melayani pembicaraan. Mereka bertiga memimpikan kunjungan ke Indonesia untuk bernostalgia.
Tiba hari kencanku, aku diantar ke stasiun.
Kereta api pagi yang menuju ke mana pun selalu sarat oleh penumpang yang akan bekerja maupun bersekolah. Kereta yang ke Rosendaal begitu pula. Aku beruntung mendapat tempat duduk di gerbong di mana orang tidak merokok. Inilah lagi salah satu kenyamanan berada di Eropa: ada tempat-tempat aman terhadap polusi asap rokok. Bersiap-siaplah jika kereta sudah berhenti di stasiun Breda, begitu kata Anneke kepadaku ketika menciumku sebelum kereta berangkat. Kota Rosendaal adalah perhentian sesudah Breda. Karena kereta tidak berhenti lama di setiap stasiun, aku harus siaga dengan bawaanku sebegitu kereta meninggalkan Breda. Koporku cukup berat. Agar tidak tergesa-gesa, aku harus menariknya di dekat pintu sebelum kereta berhenti lagi. Di stasiun itu aku harus berganti peron untuk kereta yang menuju ke Paris, Gare du Nord.
Ya, aku sedang dalam perjalanan ke Paris, kota keindahan, kota yang sejak masa mudaku disebut sebagai pusat mode dan kebudayaan oleh ayah-ibu kami. Aku sudah minta tolong kepada Ganik supaya menelepon Sri. Kuminta agar ibuku diberitahu bahwa aku dibayari liburan ke Paris oleh Ganik. Aku ingin ibuku mengetahui, bahwa anak sulungnya mengenal kota Paris yang selalu disanjung dan diutamakannya dalam pembicaraan teladannya. Kuingat, ketika perang telah selesai dan kami kembali ke kota, sebegitu ada waktu terluang, Ibu membongkar rak buku. Dia membersihkan majalah-majalahnya berbahasa Belanda. Isi-
255 sep masakan. Seni memasak Prancis disebut ayahku sebagai satu dari tiga masakan utama yang ada di dunia. Bagi ayah kami, hanya ada makanan Jawa, Tionghoa, dan Prancis. Ayahku menganggap bahwa makanan bangsa-bangsa lain hanya mirip-mirip saja dengan ketiga jenis masakan utama tersebut.
Sambil memandangi kawasan perindustrian yang dilewati kereta, aku menikmati menit-menit renunganku. Dan mau atau tidak pikiranku terisi oleh nama Handoko. Dia tidak meneleponku sejak perpisahan kami di depan stasiun pekan lalu. Tidak ada berita berarti rencana berlaku sebagaimana telah kami sepakati. Seandainya dia tidak muncul di Rosendaal pun, aku tetap berangkat ke Paris. Tiba-tiba kemungkinan ini menyelinapkan kegugupan yang menyesakkan napasku. Tapi mengapa aku mengkhawatirkan hal itu"
Untuk ke sekian kalinya aku ingin mengingkari bahwa rencana pertemuan dan bepergian bersama Handoko, hari-hari terakhir itu, memenuhi segenap perhatian dan pemusatan pikiranku. Pemilihan pakaian yang kubawa, tujuan-tujuan wisata yang kubaca di buku petunjuk. Bahkan kubikin kering tempe yang kubawa ke Paris. Semua itu berhubungan dengan Handoko. Dia menyukai aku memakai pakaian berwarna kuning kecokelatan. Maka dua baju yang berwarna demikian masuk ke dalam koporku. Kuingat dia sering membicarakan seniman-seniman terkenal. Di kota Paris terdapat banyak rumah yang pernah menjadi tempat kediaman para pencipta lagu, pelukis, dan pujangga besar. Aku sudah mencatat semua alamat itu. Hari terakhir sebelum berangkat ke Arnhem, aku masih berbelanja dan memasak kering tempe manis tanpa kacang, karena katanya dia suka sekali tahu dimasak apa
256 tetapi tanpa kacang. Aku belum bisa menekan kegelisahanku ketika kereta sampai di Rosendaal. Sambil menenteng kopor, menuruni tangga, aku mencari tanda di mana kereta yang akan masuk dan menuju ke Paris ditempatkan. Dari jauh tampak tulisan besar: Paris Gare du Nord, peron tujuh. Koporku terasa berat dibawa naik-turun tangga. Beberapa stasiun sudah dilengkapi dengan eskalator, tangga listrik yang memudahkan para penumpang. Tetapi di Rosendaal semuanya masih serba jalan kaki. Tiba di peron jaringan internasional, tempatnya lebih lebar. Aku mencari kereta dorong untuk bagasi. Karena udara dingin, aku masuk ke kamar tunggu.
Waktu yang lebih dari tiga perempat jam harus kuisi sedapat mungkin. Aku mulai dengan membaca buku pinjaman Anneke, novel H.G. Wells, The Story of Mr. Polly. Setelah mataku mulai capek, aku berdiri. Kereta dengan bagasi kutinggal, aku keluar ke hall tempat penumpang masuk dan membeli karcis. Berbagai mesin otomatik berderet di sepanjang dinding. Pintu-pintu kacanya menunjukkan aneka benda dan makanan yang bisa dibeli dengan memasukkan mata uang dan menekan tombol. Gula-gula, biskuit, makanan basah manis atau asin, termasuk kroket, lemper, atau bolu kukus pun dapat diambil dari mesin di sana. Bermacammacam air wangi penyegar, dimulai dari merek biasa yang murah sampai yang terkenal seperti Dior atau Chanel. Minuman yang dingin atau panas juga disediakan di dalam mesin tersendiri. Bahkan berkas-berkas bunga segar pun bisa diambil. Aku melihat foto bunga yang dipancangkan di pintu mesin, masing-masing jenis tertempel di tombol yang berbeda. Tergelitik hatiku ingin mencoba membelinya. Namun delapan gulden Belanda meru-
257 watir setiba di Paris, bunga itu tidak akan segar lagi.
Dari hall aku keluar ke arah jalan di depan stasiun. Petak taman berbentuk segitiga membagi arah jalan. Pagi itu matahari yang kuning memberi sinar kemilau pada kumpulan bunga dan perdu yang tahan terpaan udara maupun salju. Seperti biasanya pemandangan di lain kota, rapi dan menarik. Aku menelusuri trotoar di sepanjang bangunan stasiun, lalu masuk kembali ke hall melewati pintu lain. Setiba di kamar tunggu, aku mengisi teka-teki silang. Beberapa menit kemudian aku mengira bahwa saatnya sudah cukup dekat dengan kedatangan kereta dari Rotterdam. Kereta dorong kuambil dan aku keluar. Kucari tandatanda yang menentukan perhentian setiap nomor gerbong. Di ujung peron tampak petugas mengatur barang-barang yang akan dikirim. Aku mencari tempat duduk di dekat sana, karena kuperkirakan gerbongku akan berhenti di situ. Kalaupun meleset, setidak-tidaknya aku hanya harus berjalan sedikit. Di seberang, petak-petak tanah di sana-sini juga diatur rapi terisi tanaman dan bunga. Tak satu mawar pun kelihatan. Rosendaal berarti lembah bunga mawar . Barangkali di musim semi atau permulaan musim gugurlah petak-petak itu diisi dengan mawar liar. Sekurangkurangnya sebagai bukti bahwa di zaman dulu, di sana banyak jenis bunga itu. Di zaman sekarang, bunga mawar bisa tumbuh dan berkembang pada musim apa pun, sama dengan jenis lain yang dipelihara di rumah-rumah kaca.
Pengeras suara mengumumkan kedatangan kereta internasional di peron tujuh, dan akan berangkat ke Paris Gare du Nord dalam waktu sepuluh menit. Penumpang-penumpang lain keluar dari kamar tunggu. Kutinggalkan bangku tempat dudukku. Kereta bagasi kusorong ke bagian tengah supaya bisa melihat nomor-
258 kejauhan, dan segera lewat di depanku. Walaupun kecepatan telah dikurangi, angin yang disebabkannya cukup keras dan dingin. Agak sukar aku mengikuti dan membaca nomor-nomor gerbong yang berlaluan. Ternyata yang harus kutempati berada di depan. Aku berjalan menuruti kepanjangan kereta.
Aku belum mencapai pintu gerbong, kereta sudah berhenti. Kulihat Handoko turun dan cepat menuju ke arahku. Dia langsung mengambil pegangan kereta bagasiku lalu selintas mencium pipiku sebelah. Katanya sambil berjalan mendahuluiku, Gerbong kita ada di depan. Bagus, karena mudah jika kita ingin makan di restoran. Juga di Gare du Nord, karena dekat dengan pintu keluar.
Aku tidak menanggapinya, tergesa-gesa mengikuti langkahnya. Dia naik ke gerbong dengan membawa koporku. Tanpa mengindahkan aku menuju ke tempat duduknya. Sebentar aku melihatnya menaikkan kopor ke atas rak bagasi. Kemudian aku sibuk sendiri, meletakkan tas di bangku. Lalu perlahan membuka mantelku. Kulipat rapi memanjang, bagian dalam di luar. Ketika mengangkat muka, barulah aku sadar bahwa Handoko memperhatikanku. Dia tersenyum. Jas dia ambil dari tanganku, dia buka kembali dan digantung pada kaitan di dekat jendela tempat duduk depan.
Tidak ada yang duduk di situ" tanyaku.
Sampai sekarang tidak. Nanti jika perlu, dipindah, sahutnya, lalu dia menunggu. Aku juga. Kami sama-sama masih berdiri.
Mau duduk di sebelah mana" Dekat jendela atau di sini" akhirnya dia bertanya.
Yang mana sajalah, jawabku. Tetapi aku memperhatikan umur. Karena dia lebih muda, aku memilih duduk di sebelah
259 diri, menarik pullover di pinggang, di bagian belakang, samping dan depan, Handoko mengambil sesuatu dari rak bagasi. Sebuah kotak panjang bertalikan pita merah.
Apa ini" tanyaku keheranan sambil melihatkan ulurannya. Bukan apa-apa, sahutnya. Hanya sebagai tanda bahwa kita sudah berkencan bersama di Lembah Bunga Mawar.
Lalu dia duduk di sisiku. Kotak yang telah kusambut kuletakkan di pangkuan. Dari kertas kaca di atasnya terlihat beberapa tangkai kembang mawar. Dan sebegitu tutup kubuka, kuntum yang merah setengah merekah itu berkilauan menangkap kuningnya cahaya musim dingin. Aku tidak suka warna merah. Tetapi untuk bunga, warna apa pun selalu meluluhkan hati sekaligus menggairahkan jiwa. Yang ada di pangkuanku itu malahan mendebarkan jantungku.
Tergagap aku berterima kasih, menoleh memandanginya. Dia menundukkan kepala karena mengira akan kucium. Selintas kutempelkan pipiku ke wajahnya. Sejak beberapa menit itu sudah dua kali kami bersentuhan muka. Hal yang mungkin sulit diterima oleh lingkungan Indonesia, di luar keluargaku. Orangtua mendidik kami dengan cara amat terbuka. Kami dibiasakan mengutarakan maksud, pendapat, dan perasaan sesederhana namun selangsung mungkin tanpa meninggalkan kesusilaan. Kami bersaudara sering berselisih paham, bertengkar adu kalimat. Bahkan kami diberi hak mengatakan tidak menyetujui pengarahan orangtua kami, tetapi kami harus mengajukan alasan kuat mengapa demikian. Setelah dibicarakan bersama, kami diberitahu pula dasardasar pemikiran bapak-ibu kami. Biasanya selalu mereka yang menang karena memang kami anak-anak belum mengetahui pahit getirnya kehidupan. Dalam suasana gembira, kami juga
260 umur belasan tahun dan kemudian Bapak meninggal dunia, kami sekeluarga merupakan kekompakan baik dipandang dari luar maupun menurut perasaanku dan tafsiran sahabat-sahabatku. Ciuman, rangkulan, belaian kesayangan menjadi unsur penting yang diteguhkan oleh pujian dan kata-kata manis yang paling sederhana pun. Ketiga adikku lelaki dibiasakan keluar-masuk bebas ke dalam kamarku hingga kami dewasa. Tiduran bersama di dipan atau ranjang juga tidak pernah dipersoalkan. Hal yang sangat mengganggu pandang maupun sikap hidup suamiku. Oleh karena dialah maka aku jadi berubah. Aku menjadi kaku dan bersikap kurang akrab menurut anggapan keluargaku. Kemudian, setelah aku kembali hidup bersendiri dan mengenal keluarga suamiku di Klaten, ternyata cara mereka menafsirkan kedekatan juga sama seperti orangtuaku. Ketika aku pertama kali datang mengunjungi mereka, kami hanya bersalaman. Tetapi sewaktu kami akan pulang, serta-merta ibu dan ayah mertuaku mencium kedua pipiku. Dan dengan cara itulah untuk seterusnya mereka selalu menyambut kedatangan kami.
Kereta meluncur dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu kurang lebih enam jam kami akan tiba di Paris. Pada setengah jam pertama, aku menceritakan apa yang terjadi di Arnhem. Handoko di pihaknya, sejak perpisahan kami di depan stasiun, meneruskan kesibukan mencari pekerjaan. Aku ingat bahwa dulu dia pernah menyebut adanya iklan sebuah perusahaan patungan Amerika Latin Jerman Barat.
Sudah mendapat informasi mengenai Amerika Selatan" Sudah, jawabnya. Tapi kelihatannya kurang menarik. Mengapa" Dulu anda katakan gajinya bagus dan pekerjaannya juga menyenangkan.
261 ngan tempatnya yang jauh dari Eropa. Lebih-lebih dari Indonesia.
Jadi" Jadi saya berpikir-pikir dulu, sambil terus mengupas iklan dan mendengarkan di sana-sini kalau-kalau ada yang lebih menarik. Apa akan mudah mendapatkan yang lain"
Tergantung. Dikatakan sukar, ya bisa. Mudah, juga bisa. Nyatanya hingga sekarang saya sudah punya pilihan dua yang dengan mudah dapat saya ambil, lalu berangkat dengan gaji di tangan. Tapi saya sudah dipanggil untuk lainnya, suaranya enak didengar. Selain nada rendah yang mengelus kuping, percaya dirinya pulalah yang membikin aku selalu terpikat untuk selalu senang mendengarkan omongannya.
Betul" Ya, betul. Saya sudah diundang untuk wawancara. Bagus sekali, kataku bersemangat. Untuk tugas di mana" Eropa atau luar"
Di Eropa. Kalau jadi, sistemnya kontrak. Kalau pekerjaan pembangunan selesai, ya berhenti.
Apakah itu tidak mengesalkan" Setiap kali harus mencari pekerjaan lain"
Tidak, karena kalau kita bekerja baik, perusahaan pengontrak pasti tahu menghargai kita. Ada rekomendasi atau surat pengalaman kerja dari mereka. Mudah mendapatkan tugas lain. Dan bagi saya yang belum mempunyai tanggungan, lebih luwes. Lebih menguntungkan.
Dia memang benar. Selagi masih bujangan, lebih baik hidup menuruti kesenangan sendiri.
Di mana itu" 262 patnya dingin sekali. Jelas kalau utara ya dingin, kataku lagi. Tapi di mana" Di mana, ya" kata Handoko mengulang pertanyaanku. Di Eropa, utara, dingin. Matahari hanya bersinar selama beberapa bulan. Sisanya, kehidupan berlangsung di malam hari. Islandia"
Bukan. Rusia" Norwegia"
Coba teruskan cari, Bu Guru! Lama-lama pasti ketemu. Kotak berisi bunga masih terletak di pangkuanku. Aku tidak benar-benar berpikir, hanya memandangi keindahan kelopakkelopak setiap kuntum yang terlipat dalam susunan rapi namun beragam bentuk serta lebarnya.
Kalau berdiskusi begitu mahir, kalau mengulas bahasan sedemikian tepat! Tetapi ilmu buminya jelek sekali! suara Handoko terdengar dalam nada gurauannya.
Aku baru sadar bahwa dia menggodaku.
Ah, saya tidak benar-benar memikirkan di mana anda akan bekerja. Yang penting bagi saya, anda menyukai pekerjaan itu dan mendapat banyak manfaat, uang, maupun pengalaman, akhirnya aku mengalah.
Di Swedia, katanya sambil mengambil kotak dari atas lututku. Perlahan dia tutup, lalu bangkit untuk menaruhnya di rak bagasi.
Oh ya! Swedia yang belum saya sebut! kataku sambil tertawa.
Kalau ketahuan murid-murid anda bahwa ilmu bumi yang sebegitu sederhana saja anda lupa, apa tidak malu"
Aku menengadah melihatnya masih berdiri. Dia turut tertawa.
263 Oleh murid-murid atau orang lain. Tertawa bersama Handoko alangkah nyamannya.
Dia kembali duduk, tetapi di bangku yang berhadapan dengan tempat kami.
Mengapa pindah" tanyaku sambil meneruskan tersenyum, menahan sisa-sisa tertawaku.
Tidak enak di situ. Tidak bisa melihat Mbak Mur dengan jelas, katanya. Sikap dan suaranya biasa saja. Tapi matanya yang cokelat kelam meredup dan menghanyutkanku.
Aku tidak ingin tersipu-sipu, menahan sekuat tenaga agar bersikap biasa pula. Rasa panas menyeluruhi mukaku. Untuk menyembunyikan pengucapan wajahku, aku bertanya, Bagaimana informasinya mengenai pekerjaan itu"
Handoko bercerita. Pekerjaannya di pelabuhan, turut mengecek mesin bersama montir kapal-kapal yang singgah. Gaji, perumahan, kemudahan-kemudahan, pendek kata semua kutanyakan. Dan semuanya dia jawab tanpa keraguan seolah-olah pembicaraan itu merupakan kebiasaan bagi kami berdua. Seakanakan apa yang dia rencanakan atau yang menjadi masa depannya adalah juga menjadi kepentinganku.
Entah berapa lama kami memperbincangkan hal itu. Tiba-tiba aku terdiam. Selintas ada kesadaran yang menerkamku: mengapa aku berbuat seperti ini" Aku terlalu menunjukkan keingintahuanku mengenai nasib adik iparku. Kesadaran yang mendadak menelusupi hatiku itulah yang mengejutkanku sehingga membungkamku selama beberapa saat. Dan supaya mataku tidak terbentur pada mata Handoko, aku meneliti penumpang-penumpang yang duduk di sebelah-menyebelah. Seperti kereta-kereta jaringan internasional lain di Eropa, gerbong kami besar dan lapang. Bangku di
264 sekatan depan, ada anak-anak muda. Mereka kedengaran ramai berbicara bahasa Prancis. Di sekatan belakang kami terdengar percakapan dalam bahasa Flamand, logat yang mirip bahasa Prancis campur Belanda. Tentulah mereka berasal dari Belgia.
Lalu petugas gerbong restoran datang menawarkan tempat untuk makan siang. Handoko memesan dua buat kami. Sambil menunggu lima belas menit saat pembukaan pelayanan makanan, kami berbicara mengenai ini dan itu. Kemudian barang-barang kami tinggal. Kami melewati pintu penghubung, menyeberang ke gerbong tempat makanan disajikan. Pemilihan menu tidak sukar, karena Negeri Belanda sudah sangat biasa dengan masakan Indonesia. Nasi goreng dan mi goreng adalah makanan yang paling umum, di samping yang disebut menu rijsttafel, ialah nasi putih yang dihidangkan dengan berbagai lauk.
Sambil makan, kuceritakan sedikit mengenai anggapan orangtuaku mengenai kota Paris. Handoko menanyakan berita terakhir dari keluargaku. Dulu pernah kusebutkan kesukaranku dengan Eko. Sekalian kujelaskan pengertianku bahwa anak laki-laki yang tumbuh tanpa ditunggui bapaknya sering mendapatkan kesulitan, karena perkembangan jiwanya dalam menanggapi kehidupan dan pergaulan mungkin bertolakan. Dan karena aku tahu bahwa Handoko agak dekat dengan Irawan, kukatakan kegembiraanku mengenai hubungan yang mudah di antara Eko dengan pamannya itu.
Mbak Mur tidak ingin kawin lagi"
Kepalaku bagaikan kejatuhan benda keras. Dalam keterkejutanku, mataku jelas melihat Handoko tertunduk menyuapkan suapan di sendoknya. Meskipun pertanyaan itu telah berkali-kali ditujukan kepadaku, tapi adik ipar di hadapanku ini tidak pernah
265 sendirianku, semua yang bersangkutan dengan masa berduaku dengan kakaknya, tidak pernah menjadi bahan perbincangan kami. Aku merasa bahwa dia menanggapi dan mengerti kemauanku untuk melepaskan diri dari masa lalu. Namun sekarang, selagi kami ancang-ancang akan berlibur berduaan lagi, sengajakah dia mengorek lubuk hatiku"
Selama beberapa detik aku terdiam. Dan terentang lebih lama. Aku membiarkan waktu berlalu. Aku juga tidak melihat ke arahnya ketika terdengar dia mengulangi pertanyaannya, Mbak Mur tidak ingin kawin lagi"
Ulangan pertanyaan itu menunjukkan bahwa dia memang sengaja. Dia ingin mengetahui. Seandainya dia orang lain, jawabanku pasti: tidak. Pada awal pertemuan kami, ketika kami berkesempatan berduaan, pernah kukatakan bahwa kakaknya sangat mengecewakanku. Kusambung sekalian bahwa aku tidak akan mempercayainya lagi sebagai teman hidup. Bahwa pengiriman berita dan lain-lain sudah tidak kutangani sendiri, melainkan kubebankan kepada anak-anak dan ibuku. Aku sudah memapankan diri sebagai pengamat saja, begitu kataku. Kewajibanku kupusatkan kepada pencarian nafkah demi kelangsungan hidup anak-anak dan aku sendiri.
Maka, pertanyaan yang kedua kalinya itu pun tidak segera kujawab. Tapi di samping itu, aku sadar dan mengerti bahwa bagaimanapun juga, memang aku harus membicarakan hal itu bersama Handoko. Kalaupun tidak sekarang, tentulah di waktuwaktu mendatang. Jadi lebih baik sekarang.
Kawin membawa anak-anak remaja, siapa mau" Dan sebegitu kalimat itu terucapkan, barulah aku sadar bahwa itu bukan
266 sal karena dia menanyakan hal itu.
Pasti ada istri-istri tahanan Pulau Buru yang kawin lagi, kata Handoko.
Memang ada, sahutku. Kuteruskan sambil menatap pandang adik iparku, Bahkan di lingkungan saya, lebih dari tiga yang kawin lagi. Setiap kali kami istri-istri bertemu, berangsur-angsur kurang satu, kurang satu lagi. Kalau tidak karena memang tidak bisa datang, ya karena pindah, atau sudah mendapatkan pasangan baru.
Tentu di antaranya juga ada yang membawa anak-anak besar seperti Mbak Mur.
Aku tidak menyahut sambil berpikir siapa-siapa dari kenalanku yang berkasus demikian.
Handoko meneruskan lagi, Atau barangkali Mas Wid tidak mau cerai.
Kalimat itu diucapkan dalam nada yang tetap biasa, mendatar. Tetapi bagiku cukup lantang menyobek telinga.
Apa urusan saya"! tiba-tiba aku tidak bisa menahan, kejengkelanku meluap lagi. Kalau saya mau, cukup hanya dengan menyerahkan surat permintaan cerai ke Lembaga Hukum, dan semuanya akan menjadi beres. Berapa tahun dia tidak memberi kami makan"!
Nafkah lahir dan batin. Itu merupakan syarat mutlak dalam perkawinan. Lalu, keinginanku untuk membikin tuntas persoalan itu tiba-tiba mendesak-desak dalam dada. Kutambahkan dengan suara lebih tenang, Anda tidak bisa membayangkan bahwa yang sesungguhnya bukanlah hanya makanan yang menjadi satusatunya masalah bagi saya, bagi istri-istri seperti saya. Siksaan berat kami juga berupa tekanan batin yang sangat menyakitkan.
267 pula. Menjadi lingkungan terdekat tahanan Pulau Buru selalu dijauhi orang. Seolah-olah kami mengidap penyakit menular. Harus dihindari. Kalau tidak karena pertolongan orang-orang tertentu, mana mungkin saya berhasil mendapatkan kesempatan seperti yang saya punyai sekarang! Mana mungkin saya di sini, di depan anda!
Kami saling memandang. Handoko tidak tersenyum, tetapi aku menafsirkan ucapan simpati yang terpancar ke arahku. Garisgaris wajahnya melembut, bibirnya hampir membentuk bujukan.
Tidak, kuteruskan, bicaraku perlahan, memilih kata-kata. Soal bercerai sangat mudah jika hanya tergantung pada saya sendiri. Seorang teman dekat saya mempunyai saudara berpengaruh. Dialah yang selama ini selalu membantu jika diperlukan surat-surat tanggungan atau izin istimewa.
Selama mengucapkan kalimat-kalimat itu aku menghindari tatapan matanya. Dan kini, karena agak lama dia tidak bersuara, aku mengangkat pandang melihat kepadanya. Dia masih memandangiku. Dia bahkan tersenyum. Sejenak aku tetap pada sikapku, berpikir keras apakah aku juga harus tersenyum atau tidak.
Mbak Mur sendiri, secara pribadi, apakah masih ingin kawin" Hidup terikat" Berkeluarga menyendiri tanpa Ibu"
Pertanyaan itu jelas dan tidak. Aku tidak begitu mengerti maksudnya. Apakah cerai dulu lalu kawin lagi dengan orang lain" Ataukah tetap sebagai istri Mas Wid seperti sekarang"
Dalam keadaan saya seperti sekarang, apa pun yang saya kerjakan, saya tetap terikat. Itulah ketidakadilan. Atau anggaplah sebagai tambahan ketidaksamaan nasib perempuan dan lelaki. Laki-laki kawin, berkeluarga. Walaupun demikian, kalau bercerai, dia bisa membebaskan diri, tidak terikat. Karena kebanyakan kali
268 biaya hidup untuk meneruskan masa pertumbuhan anak-anak. Sebaliknya, si istri tidak mungkin merasa diri bebas. Dia selalu terikat terhadap anak-anaknya. Seorang wanita, satu kali kawin dan berkeluarga, seumur hidup akan terus-menerus merasa terikat. Saya sendiri, meskipun tinggal di luar negeri begini, saya tidak pernah merasa bebas seratus persen. Pertanyaan bagaimana di rumah, apakah Ibu bisa merentangpanjangkan gaji yang saya tinggal hingga anak-anak bisa terpenuhi kebutuhannya" Saya prihatin terus.
Sekali lagi aku mengangkat muka, menentang pandang Handoko.
Untuk jelasnya, rasa terikat itu sudah mendarah daging dalam diri saya. Masalahnya sekarang ialah, seandainya saya harus kembali hidup terkurung di rumah, mempunyai pendamping lagi, apakah akan bisa" Terus terang saya tidak memikirkan bagaimana hidup saya bersama Mas Wid jika dia kembali. Saya tidak akan bisa menerima perlakuannya yang pelit, yang sok mau benar sendiri. Maunya jadi pengayom, jadi pelindung. Padahal sekarang sayalah yang mencari makan.
Maksud saya, kalau Mbak Mur masih punya keinginan kawin lagi, tapi dengan orang lain. Bukan mengulang hidup bersama dengan Mas Wid.
Ya, itu satu kemungkinan yang masih saya pikirkan. Saya memang masih ingin memulai lagi dari permulaan dengan laki-laki lain. Tapi ya itulah. Saya tidak benar-benar mencari. Barangkali juga, saya khawatir. Saya terlalu banyak mempunyai syarat sehingga tidak mungkin ada seorang lelaki yang cocok dengan saya. Umpamanya apa syarat itu"
Tentu saja yang nomor satu kaitan hati. Harus ada spontanitas,
269 tresna jalaran saka kulina atau cinta datangnya karena biasa bergaul. Lalu, syarat lain, anak-anak. Komunikasi tidak hanya antara saya dan orang itu, tetapi juga terhadap anak-anak. Ditambah satu lagi, ini sangat penting juga: uang. Dikatakan bahwa uang atau kekayaan tidak mengambil tempat penting dalam cinta atau perkawinan. Barangkali itu benar dalam hal orang lain. Biasanya orang yang tergila-gila oleh cinta yang demikian. Saya tidak mungkin. Karena saya sudah merasakan hidup serba kekurangan. Saya bosan hidup dirongrong oleh kebutuhan rumah tangga yang tidak mencukupi. Sejak bersendiri, dengan ditolong Ibu, malahan segalanya lebih santai meskipun dalam beberapa hal kami tetap prihatin dan hati-hati. Kesimpulan saya, buat apa kawin kalau memang bisa mencari makan sendiri dan hidup santai bersama keluarga"
Apa boleh buat! Sekarang Handoko tahu semua, atau setidaktidaknya sebagian besar uneg-uneg dalam hatiku. Kami tinggal di gerbong restoran lebih lama dari penumpang-penumpang lainnya. Handoko juga melihat hal ini, lalu segera membayar makanan kami. Kami kembali ke tempat semula.
Di luar, udara mulai gelap. Musim dingin mempunyai harihari terang yang pendek. Jika pagi cerah, menjelang jam tiga atau setengah empat sore, malam mulai bersiap-siap melemparkan selubungnya. Bangku di hadapan kami tetap kosong. Handoko kembali mendudukinya. Aku minta izin merentangkan kaki di sana. Dia meniruku. Kedua kakinya yang berkaus diselonjorkan di sampingku. Sambil bersiap-siap akan membaca, dia berkata tanpa memandang kepadaku, Mbak Mur marah ketika saya tanyakan soal ingin kawin lagi atau tidak"
270 apa anda menanyakannya. Mengapa"
Dia betul. Mengapa" Aku sendiri tidak tahu pasti mengapa. Tapi aku langsung menjawab lagi, Karena selama kita bepergian bersama, saya perhatikan seolah-olah anda sudah mengetahui bahwa saya tidak suka berbicara mengenai masa hidup yang lalu dengan kakak anda. Itu sudah lewat. Dan saya tidak mempunyai kenangan yang bagus darinya. Sekarang ini, terang-terangan saya katakan kepada anda sebagai adiknya.
Kebanyakan kali kita belajar dari masa lewat itu, katanya. Dia santai bersandar, memandangiku.
Betul. Saya memang banyak belajar dari masa itu sehingga memutuskan untuk tidak mengulanginya lagi. Mengingatinya pun membangkitkan rasa pahit bagi saya.
Kami sama-sama terdiam. Kemudian aku sadar bahwa sejak tadi kami hanya membicarakan masalahku, soal kehidupanku. Baik di masa bersama kakaknya maupun jenis kehidupan lain yang kuinginkan. Soal dia" Perempuan yang dia kehendaki sebagai calon istri"
Anda sendiri bagaimana" Ada pacar di Jerman" Kok saya saja yang bercerita mengenai diri saya.
Kulihat Handoko tersenyum setengah-setengah. Menghindari pandangku, menenggelamkan muka ke bukunya. Katanya, Tidak.
Bertahun-tahun di Eropa tidak mempunyai pacar" Bagi seorang lelaki, mustahil, kataku mendesak.
Tidak ada yang berbicara. Waktu yang sekilas itu kupergunakan untuk mengamatinya lebih teliti. Umurnya yang jauh lebih muda dariku itu nyata tidak menunjukkan kecengengannya. Ram-
271 sendiri lebar, memanjang. Konon menandakan kebijakan. Yang membikin tampan wajah itu ialah tulang rahangnya. Rapi bergaris sepadan, dengan lekuk pipi terus ke dagu hingga leher. Berpenampilan ramping, kesemuanya merupakan daya tarik bagi wanita mana pun. Apalagi warna kulit cokelat. Perempuan Eropa pastilah tergila-gila.
Dulu memang ada. Sekarang, dua tahun ini, tidak ada pacar dalam arti yang tetap. Saya seperti Mbak Mur. Sukar. Terlalu banyak menentukan persyaratan kalau cari teman. Apalagi pasangan.
Apa umpamanya syarat itu" ganti aku yang bertanya. Handoko tidak menyahut.
Aku segera mendahului, Harus berkulit putih tetapi yang mau dibawa hidup di Indonesia"
Ah tidak, sahutnya cepat. Dia mengangkat mukanya ke arahku. Itu dulu. Sewaktu saya masih muda memang menyukai wanita Eropa. Dengan tambahnya umur, saya sudah mengendap kok, sambil mengakhiri kalimat itu, dia tersenyum.
Bagus, kataku, dan aku senang karena dia benar-benar terasa berbicara dengan ketulusan hati.
Sebenarnya tidak ada keinginan untuk cepat-cepat kawin, katanya lagi. Seandainya, ini seandainya ya, saya kawin, saya malahan ingin dengan orang kita. Kalau bisa orang Jawa.
Aku tidak bisa menahan keherananku. Tapi terdiam. Sesaat kemudian baru berkata, Kalau sudah cukup berpengalaman kerja di Eropa, kan bisa pulang. Cari istri di Jawa. Saya bantu kelak.
Selintas kami berpandangan. Kesungguhan terbayang di mukanya.
Saya mendapat informasi bahwa di Indonesia dibangun ga-
272 asing. Untuk pembangunan jalan dan jembatan juga kontrak dengan orang asing. Kalau di sana ada sistem kerja kontrakan seperti yang akan saya lakukan di Swedia itu, tentu mereka mau menerima tenaga ahli. Konstruksi bangunan berat amat cocok buat saya. Saya lebih suka kerja di luar, tidak di antara dinding kantor.
Bagus sekali, kataku kembali bersemangat. Memang sesungguhnyalah aku gembira. Bapak Klaten sudah tampak sepuh. Sejak sembuh dari sakitnya yang paling akhir, khabarnya tidak banyak lagi mau menangani sendiri urusan kebun. Kalau anda pulang, tentu akan bisa memberi pancaran hidup baru. Keluarga pasti akan senang.
Kalau saya pulang, berarti ke Indonesia. Tidak harus pulang ke Klaten, suaranya tiba-tiba berubah. Dan tambahnya lagi, Kalau saya kembali ke Tanah Air, bukan karena keluarga.
Sekali lagi aku terheran-heran. Aku tahu bahwa suamiku dulu juga tidak mau berkunjung, menengok orangtuanya. Tapi aku tidak pernah tahu bahwa Handoko yang sering disebut-sebut oleh mertuaku, juga mempunyai ganjalan terhadap orangtuanya. Katakatanya itu menyebabkan aku terdiam. Aku takut salah bicara. Apa yang mesti kukatakan" Setelah pengeluaran perasaanku yang sebenarnya sejak kami bersama tadi, aku tidak ingin Handoko bersikap kaku dan menjauh dariku. Maka yang paling baik ialah diam.
Barangkali rasa terkejutku begitu kelihatan sehingga Handoko merasa perlu menjelaskan. Dia meneruskan berbicara, matanya diarahkan ke luar jendela. Kabut meremang ditembusi titik-titik cahaya lampu yang telah dinyalakan di beberapa tempat. Saya tidak pernah menyukai cara hidup di rumah. Sebab itu
273 cara yang saya sukai. Ke luar negeri pun tanpa bantuan siapasiapa. Memang Mas Ir turut memperhatikan saya sejak dia sering mendapat tugas ke luar. Kalau kami tidak bisa bertemu di Jerman, kiriman uangnya yang datang. Atau saling menelepon. Saya sangat berterima kasih kepadanya. Tapi saya tidak pernah meminta sesuatu pun.
Dia berhenti. Menoleh kepadaku sebentar, lalu menelengkan kepala, kembali memandang ke luar.
Sebenarnya saya tidak bermaksud kembali ke Tanah Air setelah selesai sekolah. Rencana itu tidak pernah ada. Tetapi akhir-akhir ini, baru sebulan dua bulan ini saja, saya memikirkan kemungkinan-kemungkinan mendapatkan pekerjaan di sana. Mbak Mur yang mengingatkan. Jadi kalau saya ke Indonesia, bukan karena saya hendak berurusan lagi dengan keluarga di Klaten.
Apakah sebenarnya yang terjadi" Bagaimana mertuaku mendidik dan mengawasi anak-anaknya ketika mereka kecil sehingga dua dari anaknya yang kukenal nyata-nyata tidak memiliki rasa kedekatan terhadap mereka. Tapi bagaimana halnya dengan Irawan" Aku juga kenal dia. Kelihatannya biasa saja. Meskipun demikian, bisa dikatakan, aku juga baru saja mengenal mereka semua. Keakraban yang kudapatkan dari kedua mertuaku dan dari Irawan, bahkan dari Handoko di bulan-bulan belakangan itu, barangkali merupakan satu hal yang baru. Mungkin sikap mereka dulu tidak begitu.
Handoko menoleh lagi, memandangku. Tenang dan diam keadaan kami. Kucoba mencari apa yang tersirat dalam tatapan matanya. Lalu aku memutuskan. Lebih baik aku katakan sekaligus saat itu juga apa yang menjadi ganjalan dalam hatiku. Tadi aku
274 dangan dan kekecewaanku terhadap kakaknya yang menjadi suamiku. Sekarang mengapa aku tidak membuka sekalian isi hatiku mengenai kekakuan hubungannya, hubungan suamiku dengan orangtua mereka"
Saya tidak hendak mencampuri urusan yang bukan urusan saya. Tapi maafkan saya jika memiliki rasa ingin tahu yang sangat mengganggu. Sejak perkawinan saya, Mas Wid tidak pernah mau membawa saya sowan ke Klaten. Saya mengerti mulai dari waktu itu bahwa hubungannya dengan Bapak-Ibu di sana tidak baik. Tapi anehnya, ketika dia masuk tahanan, katanya dia menitipkan anak-anak dan saya kepada orangtuanya. Sekarang, saya baru mendengar kata-kata anda yang berisi kira-kira sama seperti sikap Mas Wid. Padahal, setiap kali saya ke Klaten, mereka jelas sekali membanggakan anda dan Irawan.
Handoko menunduk, menancapkan matanya ke bukunya. Tapi aku tahu bahwa dia tidak membaca.
Aku meneruskan, suaraku kubuat halus dan perlahan, Bukannya saya menginginkan penjelasan, jangan anda mengira berkewajiban memberikannya kepada saya. Tidak, aku berhenti sebentar, lalu, hanya, saya pikir, kok sayang, karena sekarang mereka sudah tua, anda sendiri tadi juga mengatakan bertambah umur. Rasa-rasanya semua yang telah lalu, seperti yang juga anda katakan tadi ketika kita berbicara tentang masa lalu saya, bisa memberi kita pelajaran. Hanya sampai di situ. Jangan selalu diingat kalau memang itu membikin kita sakit. Tapi kan kita tidak bisa melepaskan diri darinya" Setidak-tidaknya, biarlah masa lewat itu kita jadikan semacam landasan penguat jiwa kita. Tidak apa-apa kalau anda pulang karena untuk bekerja. Tentu saja anak
275 menengok saja kan bisa. Nanti saya temani ke Klaten.
Tanpa kusangka-sangka, dia menarik kedua kakinya, lalu membungkuk ke depan sambil mengambil kedua tanganku. Digenggamnya, dan matanya mengait pandangku. Katanya, Mbak Mur memang pintar. Memang itu tadi kata-kata saya sendiri. Baiklah. Saya mengalah.
Jangan mengalah kalau memang tidak rela. Saya tidak ingin anda berbuat karena terpaksa.
Dia tidak menyahut. Tanganku masih digenggamnya. Lagi pula belum tentu anda akan pulang ke Tanah Air. Tujuh tahun anda tidak ke sana" Selama itu banyak yang terjadi, banyak perubahan di sana. Tapi di samping itu, hal-hal remeh yang mengesalkan, yang menjengkelkan, juga masih ada. Masih terjadi. Jangan-jangan anda kecewa ....
Itu soal nanti, Handoko memotong kalimatku. Dia menegakkan diri kembali, merentangkan kaki di bangkuku. Lalu meneruskan, Yang penting, saya harus mencari pengalaman kerja dulu di sini beberapa bulan. Di Indonesia, soal lain-lainnya, lebih baik dipikir kelak. Kan ada Mbak Mur. Mau membantu, bukan" Tentu saja, sahutku ringan.
Nah, itu sudah cukup bagi saya. Sekarang tidak perlu dipikirkan. Kita akan ke Paris, berlibur. Selama beberapa hari kita akan makan masakan besar seperti yang dikatakan bapak anda. Kita akan menikmati bangunan dan tata kotanya. Yang lain-lain kita ke sampingkan dulu. Setuju"
Kali itu dia tidak membungkuk untuk menyentuh tanganku. Tapi pandang matanya jelas mewakili kata hatinya. Sesaat kulihat
276 sana. Namun aku tidak berani menerka sesuatu pun. Dengan gugup aku tersenyum menahan tatapan pandangnya.
*** Yu Kartini mengambil cuti beberapa hari. Selama tiga hari dia membawaku ke luar kota mengunjungi beberapa kastil dengan lingkungan pemandangan musim dingin yang sedih tetapi mengesankan. Dan ketika dia harus kembali bekerja, Handoko mengambil alih, menemaniku berpariwisata di dalam kota Paris.
Alangkah mudahnya semua itu. Aku benar-benar merasa santai, hampir-hampir bahagia. Perkataan hampir itu disebabkan karena ingatanku yang sering melayang kepada ibuku. Anakanakku masih muda. Menurut pendapatku, pada zaman sekarang, siapa pun pemuda yang kreatif dan mampu mencapai prestasi, pasti mempunyai kesempatan untuk pergi ke luar negeri. Sedangkan ibuku, rasa-rasanya tidak mungkin dia mendapat anugerah mengenal kota Paris seperti yang kualami waktu itu. Setiap kali aku teringat kepadanya, hatiku iba sekali. Aku hanya bisa mengirim kartupos bergambar kepadanya sebagai tanda ingat.
Berduaan bersama Handoko ternyata juga membikinku selalu terkagum-kagum. Kami mengunjungi museum lukisan, benda kuno maupun modern, seni murni maupun arsitektur dan mesin berat, semuanya dia kenal bagaikan kamus hidup. Ketika dia mengantarkan aku bersama teman-temannya, memang dia mengatakan menaruh minat terhadap bangunan berat, teristimewa konstruksi jembatan dan jalan. Tetapi tidak kukira yang dikatakan minat itu merupakan pengetahuan mendalam hingga mendetail. Masuk ke museum kelautan, dia juga mengenali bentuk-bentuk
277 tiang tengahnya. Ketika kukatakan keherananku karena dia juga mengetahui hal perkapalan, dia bercerita memang mendesain kapal itulah semula cita-citanya. Sebab itu, dia juga menyukai jembatan, karena kerangka dan keindahannya dapat disamakan. Dia masuk ke bagian mesin karena mengira itulah yang sesuai dengan zamannya. Meskipun dalam waktu dekat semuanya pasti akan diganti lagi dengan komputer. Mengenai bangunan jalan dan lainnya yang bersifat beton, pendeknya bangunan berat, semula dia hanya ikut-ikutan. Di waktu libur dia mencari tambahan uang dengan menjadi tukang cat kapal atau bangunan, atau sebagai pengemudi katrol. Lalu dia berkenalan dengan seorang insinyur yang mengetahui tempat pendidikan tukang batu, tukang besi, yang dipersiapkan guna menjadi pemborong bangunan. Handoko turut belajar di sana sebagai anak buah insinyur tersebut. Kini, dengan ijazah insinyur mesin kapal dan kertas tanda lulus kursus atau magang tukang batu serta tukang besi, dia yakin dibutuhkan oleh para pemborong bangunan maupun galangan kapal.
Sekali lagi rasa percaya diri yang terpancar dari setiap kalimatnya membikin aku tidak khawatir mengenai kepulangannya ke Indonesia. Hanya saja semua harus dirintis. Di mana pun dibutuhkan relasi dan informasi yang selengkap-lengkapnya. Dengan kepandaian seperti yang dia miliki, dengan pertolongan beberapa orang, dia pasti bisa segera mendapat kontrak. Apalagi Handoko luwes. Dia bisa melayani, menyesuaikan dengan suasana. Dulu sebelum berangkat ke Paris, dia katakan tidak bisa berbahasa Prancis. Tetapi kenyataannya dia mengerti dan berbicara sedikit dengan pelayan-pelayan di kafe atau dengan penjual makanan. Dia mengetahui nama kue dan makanan yang disuguhkan. Ketika kami masuk ke kebun binatang dan akuarium, dia juga mengenali
278 tanya, pengetahuan itu dia dapatkan berkat pergaulannya dengan teman-teman dari bidang biologi. Benar-benar aku beruntung mempunyai penunjuk wisata yang mumpuni seperti dia.
Waktu itu sehari lagi kami akan berpisah. Dia akan kembali ke Jerman bersama seorang temannya yang juga masih tinggal di Prancis, aku ke Rosendaal terus ke Amersfoort sendirian. Hari itu kami pulang ke rumah Yu Kartini sekitar jam enam petang.
Kami temui yang punya rumah membukakan.pintu. Hal ini tidak lazim, karena aku juga membawa kunci sendiri, supaya bisa masuk ke apartemen sewaktu-waktu. Setelah menutup pintu kembali, Yu Kartini mengabarkan bahwa ayah dan ibu Ganik meninggal dunia. Pesawat udara yang mereka tumpangi jatuh di dekat Karachi. Ganik sudah berangkat ke Jakarta untuk mengurus jenazah yang dikirim oleh perusahaan penerbangan yang bersangkutan.
Aku terduduk tidak bisa mengucapkan sesuatu kata pun. Dua hari sebelumnya kami melihat berita jatuhnya pesawat itu di laut dekat Karachi. Kami tidak mengira bahwa Dokter Liantoro dan istrinya pulang ke Indonesia dengan pesawat tersebut. Kudengarkan suara Yu Kartini menjawab pertanyaan-pertanyaan Handoko. Ganik tidak menelepon sendiri ke Paris. Yu Kartini hanya menerima berita dari Kedutaan Indonesia di Kopenhagen.
Kalau Jeng Mur mau menelepon ke Jakarta, berbicara dengan Ganik, silakan. Biar lebih jelas.
Aku tidak menjawab ataupun berterima kasih atas tawaran yang dermawan itu. Kepalaku kosong. Aku tidak bisa berpikir apa pun.
Menurut saya, mereka dimakamkan di Semarang. Atau setidak-tidaknya di Jawa Tengah. Dokter Liantoro berasal dari Jawa
279 saya anaknya, saya memutuskan di sanalah tempat pemakaman yang layak bagi mereka.
Aku membenarkan Handoko. Jenazah tentu tidak berhenti di Jakarta. Kalau aku telepon, aku harus berbicara dengan Sri. Atau langsung ke rumah orangtua Ganik. Dalam hal yang kedua itu, aku tidak yakin akan bisa berbicara. Tanpa kusadari, dengan memikirkan semua itu, air mata mengaliri pipiku. Ganik, sahabatku. Ayah-ibunya begitu memperhatikan aku. Mereka adalah waliku, yang memberangkatkan aku ke luar negeri. Kalau tidak karena campur tangannya, mana mungkin pilihan Kedutaan Belanda jatuh ke namaku. Mereka telah menyiapkan aku sedemikian baiknya sehingga aku bisa menampilkan diskusi dan pertemuan secara rapi. Manusia mati jika Tuhan memutuskan bahwa tugasnya telah selesai di dunia ini, demikian kata Dokter Liantoro. Siapa tahu telah disediakan tugas lain di tempat yang lain pula, tambahnya lagi waktu itu. Hatiku pedih. Tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya supaya penderitaan Ganik menjadi lebih ringan.
Malam itu juga aku berbicara dengan Sri. Dia belum mendengar kabar duka itu. Katanya, tentu saja dia akan melepaskan semua urusan dan akan mendampingi Ganik. Barangkali akan mencoba menghubungi Mur di Kalimantan malam itu juga. Segera setelah semua selesai, dia akan meneleponku. Kuberitahu bahwa aku akan kembali ke Amersfoort, sekalian kuberikan jadwalku selama beberapa hari itu. Kalau pertemuan dengan para dosen bisa diajukan, aku akan pulang lebih cepat. Tapi aku minta Sri tidak memberitahukan hal ini kepada Ganik.
Hari terakhir di Paris, aku tidak bisa lagi sepenuhnya menikmati kesantaian. Dan ketika waktu berangkat tiba, Handoko ingin
280 landa. Tapi aku menolak. Aku merasa perlu bersendiri. Selain untuk merenungkan semua yang baru kulihat dan mengenang segala kebahagiaan kedekatanku dengan orangtua Ganik, aku juga semakin sadar betapa Handoko merasuk menguasai angananganku. Aku khawatir menjadi terlalu cengeng oleh harapanharapan yang kuanggap tidak mungkin terlaksanakan. Sebelum pengaruh kehadirannya terlalu menunjam menguasaiku, aku harus mengibaskan harapan gila itu.
Dan ternyata memang aku merasa lebih tenang bepergian sendirian menuju pondokanku di Amersfoort. Meskipun aku memerlukan waktu lebih dari sehari guna mengembalikan sifat dan sikap kemandirian dan keteguhan jiwaku. Aku harus tidak menjadi manja oleh perhatian laki-laki. Kucoba mencari-cari alasan mengapa Handoko sedemikian memperhatikanku. Aku juga mencoba tetap menanggapi semua yang telah dilakukan pemuda itu dengan keringanan hati. Yang paling penting sekarang ialah mengerjakan kertas yang akan kuajukan sebagai rangkuman apa yang telah kuterima selama mengikuti kuliah, ditambah pengalamanku di lapangan pengajaran. Baru setelah kertas itu selesai, tugasku di negeri orang selesai. Maka aku akan mempercepat kepulanganku ke Indonesia.
Ketenangan hatiku hampir rontok lagi ketika dua malam setibaku kembali di Amersfoort, Handoko menelepon dari Jerman. Percakapan biasa, menanyakan bagaimana aku, bagaimana perjalananku, apakah sudah ada kepastian tanggal kapan pertemuan dengan para profesor. Kami baru berpisah tiga hari yang lewat. Dia tentu bisa memperkirakan bahwa aku belum menghubungi dosen waliku. Tapi aku menafsirkan kelakuannya itu sebagai basabasi. Seolah-olah alasan percakapan apa pun jadilah asal bisa
281 aku berusaha tenang. Tetap memperhatikan sikap tanpa antusias mendengar panggilan teleponnya. Padahal yang sesungguhnya, jantungku melonjak sebegitu tahu bahwa suaranyalah yang kukenali.
Anneke meminjamkan mesin tulisnya. Hampir sebulan penuh aku tidak keluar, kecuali dua kali ke Perpustakaan atau berbelanja di sekitar tempat tinggalku. Kertas yang kusiapkan bukan berupa tesis. Itu hanya sebagai penyajian makalah, begitulah anggapan Dokter Liantoro yang juga kuanut serta kusetujui. Tetapi apa pun bentuk atau nama hasil karya tulis itu, siapkanlah dengan bahan yang sepadat mungkin. Jangan terlalu menyinggung hal yang tidak perlu. Itulah pengarahan ayah Ganik. Teori memang bagus, tetapi hendaklah teori yang bisa dipergunakan di Indonesia. Menurut bapak sahabatku itu, secara moral, profesor-profesor Belanda selalu membikin lulus para siswa Indonesia. Masalahnya yang penting ialah penilaian atau catatan yang menyertai tanda selesainya kuliah tersebut. Ini tergantung pada ketepatan dan kesigapan si siswa dalam menyajikan kertasnya. Kalau disertai diskusi, juga dilihat bagaimana siswa mempertahankan tulisan serta teori yang mendasari keseluruhan karyanya. Aku tidak hendak mencapai gelar apa pun karena hanya mengikuti tambahan kuliah. Meskipun demikian, aku tetap mempunyai ambisi meraih catatan terbaik yang bisa diberikan kepada siswa asing. Aku berangkat ke luar negeri atas usulan Dokter Liantoro. Sekarang aku ingin Ganik bangga melihat hasilku. Dia adalah ukuran keberhasilanku. Kalau dia puas dengan apa yang kukerjakan, tentulah lingkungan dekatku lainnya demikian pula.
Selama mengerjakan kertas tersebut, hatiku cukup tenang. Berita dari Tanah Air datang dari Sri yang menceritakan pema-
282 dari Kalimantan bisa datang. Dia tinggal di rumah Ganik, lalu berangkat bersama ke Jakarta setelah selamatan tujuh hari. Mur kembali ke Kalimantan, Ganik ke Kopenhagen. Kemudian disusul surat panjang dari ibuku yang menceritakan semuanya dengan serba mendetail. Setelah menerima surat itu, aku baru melihat segalanya lebih jelas. Aku memutuskan akan menulis panjang kepada sahabatku itu di Kopenhagen. Lama aku mengganti dan merombak surat tersebut. Aku tahu Ganik mempunyai jiwa yang perkasa. Tetapi di samping itu kepekaannya juga melebihi, jauh melebihi kami berempat. Kekuatan jiwa dan kehalusan perasaannya apakah dapat berteguh oleh kehilangannya kali ini" Dia baru sembuh dari operasinya. Sekuat apa pun jiwa manusia, aku khawatir pada saat-saat tertentu mengalami kemunduran daya tahan. Suratku harus berisi sesuatu yang tidak terlalu menyedihkan. Ganik senantiasa hadir dalam semua masa kehidupanku. Dia berada di tempat jauh pun kami terus berhubungan. Pada waktuwaktu dia tidak menyurat langsung, melalui orangtuanya, aku selalu menerima berita maupun uluran tangannya. Dalam suratku kali ini, aku mengingatkan kata-kata bapaknya sendiri mengenai kehendak dan keputusan Tuhan. Mengenai tugas masing-masing yang telah digariskan sampai di mana batas masing-masing. Kuingatkan pula bahwa Ganik mempunyai kami yang selalu siap mendampinginya. Di dalamnya kusebutkan bagaimana anggapan kedekatanku terhadap ayah-ibunya.
Kupikir lebih baik perhatian Ganik juga kupusatkan pada kesibukanku dalam menulis kertas kerja yang harus kusajikan pada tanggal tertentu. Lalu kuceritakan liburanku di Paris. Tidak lupa, demi kesenangan hatiku sendiri, aku mencantumkan kesediaan Handoko yang segera mengambil-alih sebagai guide sebegitu Yu
283 tanggal-tanggal aku akan menghadap para profesorku. Setelah penulisan selesai, aku tinggal membeli map-map yang cukup rapi. Atau kalau pengetikan kembali beserta pembendelannya tidak terlalu mahal, aku akan menyerahkan kerja tersebut kepada orang luar. Mudah-mudahan tanggal pertemuan tidak diundurkan, sehingga aku akan dapat pulang setidak-tidaknya sebelum akhir bulan Februari. Kepada Ganik juga kukatakan bahwa sebenarnya aku ingin pulang lebih cepat supaya bisa bertemu dengan dia di Jakarta. Tetapi aku mendapat kabar dari Sri dan Ibu bahwa Ganik segera meninggalkan Indonesia. Kutanyakan apakah rencananya dalam waktu yang dekat"
Pada akhirnya surat baru kukirim bersamaan dengan penyerahan kertas kerjaku. Udara semakin dingin. Untuk ke kantor pos saja aku kurang bersemangat. Sebab itu kutunggu sampai ada tugas lain sehingga dapat kugabung, sekalian keluar dari rumah untuk berbagai keperluan. Orang Eropa yang kukenal mengatakan bahwa bulan Februari adalah jantungnya musim dingin. Di waktu itulah kekerasannya memuncak. Waktuku selanjutnya banyak kuhabiskan untuk mengurus ini dan itu yang berhubungan dengan keberangkatanku pulang ke Tanah Air. Aku mulai pamit di yayasan-yayasan dan sekolah-sekolah. Banyak undangan kenalan orang Belanda yang kutolak karena aku tidak begitu suka keluar malam di musim dingin. Hari Minggu pun kuhemat, karena aku menikmati waktuku meneruskan berkemas dan memilihi barang yang akan kubawa sendiri atau yang kukirim melalui pos. Perpisahan yang hendak diadakan oleh kelompok mahasiswa Indonesia lain pun tidak kulayani. Selama masa tinggalku di negeri itu, lelaki atau wanita dari bangsa sendiri tidak banyak yang mendekat. Beberapa kali mereka mencoba datang
284 lama kelamaan barangkali mereka bosan terhadapku. Hal ini mempermudah tugasku. Aku terlalu ingin mengisi waktuku dengan hal-hal yang lebih positif. Dokter Liantoro sudah memberi peringatan sedari semula, agar aku waspada. Jangan terlalu banyak kumpul-kumpul antara siswa dan bangsa sendiri. Seperlunya saja. Karena satu kali terjerat di dalamnya, Nak Mur akan sukar melepaskan diri. Pergunakan waktu yang enam bulan itu buat lainnya. Jangan ikut-ikutan menggerombol, ketemu hanya untuk makan-makan. Hari Minggu sekalipun dapat anda gunakan untuk lainnya daripada mengunjungi atau menerima teman sebangsa. Ayahnya Ganik memang benar. Satu kali aku mencoba mendatangi undangan seorang dari siswa yang telah lama berada di sana, yang dibicarakan adalah masalah nihil tak berguna. Sedangkan jika aku berakhir pekan bersama Anneke dan keluarganya, aku kembali ke pondokanku dengan perasaan lebih kaya oleh pengetahuan kebiasaan dan bahasa Belanda.
Sejak kembali dari Paris, Handoko menelepon paling sedikit dua kali seminggu. Di satu pihak aku senang ia menyatakan perhatiannya yang lebih dari waktu-waktu lampau. Tapi segala sesuatu selalu ada kebalikannya. Rasa khawatir tetap terselip di hatiku. Ketika mendengar suaranya yang berat dan dekat di telepon, aku merasa dimanjakan oleh terpenuhinya harapanku yang seketika itu juga mampu mengusir berbagai ketidaktenangan pikiran. Namun sebegitu pembicaraan selesai, kegelisahan lain menyelinap. Kekhawatiran yang semula, kembali mengambil tempatnya dalam diriku. Semua kalimat Handoko sederhana dan nalar. Tidak ada yang menyimpang dari keakraban persaudaraan. Tapi nada suaranya, ah, kutafsirkan berbeda dari masa permulaan pertemuan kami. Nanti saya menelepon lagi, itulah caranya
285 komunikasi itu berada, aku sadar bahwa penungguan telah mulai di pihakku. Kesadaran ini sangat menyiksa. Setengah dari diriku ingin berlarut-larut menikmati gejolak rasa yang telah lama kulupakan. Sedangkan setengah diriku lainnya mengingati kenyataan: apakah laki-laki yang berpengalaman namun masih muda seperti Handoko ingin mendekatiku sebagai perempuan" Jika memang betul demikian, untuk apa" Untuk menghiburku" Seandainya dalam percakapannya dia membayangkan atau menyebut sedikit saja perihal kedekatannya dengan kakaknya, barangkali aku akan membenarkan prasangka lain, ialah dia bermaksud memperbaiki apa yang telah dirusak oleh kakaknya, suamiku. Mungkin dia ingin membayar kesalahan Mas Wid yang meninggalkan aku demi partainya. Tapi tak sekilas pun Handoko menyebut pertalian ataupun keeratannya terhadap kakaknya itu. Ataukah untuk sekadar menambah pengalaman" Dia berkata sendiri bahwa dirinya sudah mengendap.
Itu adalah pengakuan bahwa dia adalah lelaki yang sudah mengecap berbagai jenis kehidupan petualangan. Ataukah semua kelakuan kebaikannya itu biasa saja" Dan akulah yang terlalu berimajinasi" Atau terlalu merasa didekati sebagai perempuan" Sebagai aku Muryati"
Aku berkencan dengan Anneke untuk membawa barangbarang milikku yang telah kukemas. Tambahan hadiah kecil-kecil tetapi khas berasal dari Belanda ternyata masih terus kuterima. Kenalan-kenalan yang mengundangku makan ke rumah mereka tetapi kutolak, akhirnya memberiku porselen dari Delft yang biru khas, tempat alat-alat tulis dari kayu cemara, kerajinan tangan lain yang khas dari Negeri Kincir Angin. Sebenarnya tidak umum orang Belanda mau mengundang orang lain ke rumah mereka.
286 mereka mengundang, berarti benar-benar memang menganggap orang yang diundang itu telah masuk ke lingkungan akrabnya. Maka sebagai ganti tanda mata, aku membagikan taplak-taplak meja batik dari kota Lasem. Corak dan warnanya juga khas dari Jawa Tengah pesisiran.
Setelah barang-barang kukirim di stasiun kereta api, hatiku lebih tenang. Tanggunganku menjadi kurang. Kalau memang harus tambah kiriman lagi, masih ada waktu menyiapkannya.
Pertemuan berlangsung seperti yang kuharapkan. Aku tidak pernah gugup di waktu ujian. Apalagi hari itu bukan ujian. Aku selalu percaya bahwa usahaku sudah mencapai puncaknya. Jadi tidak mungkin tidak akan berhasil. Hari itu aku juga mendapatkan kepuasan: seorang dari profesorku mengatakan bahwa kertasku excellent. Dengan perkataan lain, itulah yang akan dicantumkan di atas kertas tanda selesainya kuliah tambahanku di Negeri Belanda. Aku bangga memberitahu para profesor itu bahwa sebelum menjadi murid mereka, aku adalah murid Dokter Liantoro. Dialah yang mengawasi pertumbuhan kecerdasanku. Aku tinggal mengikutinya. Semua pesan dan pengarahannya kuturuti atas dasar penerimaan nalarku. Wawasanku juga wawasan yang menjelajah kesemestaan, universal, demi kemanusiaan. Sama seperti ayah sahabatku itu.
Masa belajarku di negeri itu telah selesai. Aku akan membawa kertas buktinya yang bercatatan bagus sekali untuk institut almamaterku. Masa belajarku di negeri itu kurasa memang ada gunanya.
Malam itu juga Ganik meneleponku. Dia adalah orang pertama yang kuberitahu. Suaranya gembira dan renyah. Lalu dia
287 dengan melalui Kopenhagen.
Aku ingin ketemu kau. Tapi aku tidak bisa meninggalkan kantor. Lebih baik kamu yang datang. Kita bisa bersama-sama satu minggu. Atau lebih, semaumu. Harga tiket harus ditambah. Aku akan memberitahu Konsul di Kedutaan supaya membayarinya dulu, kata sahabatku.
Dan pagi keesokannya, aku baru akan berangkat ke Kedutaan ketika Handoko menelepon. Dia adalah orang kedua yang mengetahui sebutan excellent yang kuterima. Lebih dari Ganik, dia langsung memuji prestasiku. Kuberitahukan pula rencana yang diusulkan Ganik supaya aku ke Denmark sebelum ke Indonesia. Handoko mensyukuri prakarsa tersebut.
Bagus. Mbak Ganik perlu dorongan agar merasa tetap didampingi. Saya senang Mbak Mur menemuinya. Lalu dia minta nomor telepon Sri di Semarang, telepon Ganik di Kopenhagen. Kami berjanji akan bertemu sebelum keberangkatanku.
Hari-hari selanjutnya habis dengan cepat. Ke Kedutaan, mengurus tiket, berpamitan, makan siang di kantin bersama beberapa rekan di perpustakaan maupun yayasan. Pada hari yang telah ditentukan, Handoko datang seperti yang telah kami sepakati. Kami berbelanja bersama-sama. Di telepon dia mengatakan ingin mengirim sesuatu kepada anak-anakku sebagai tanda perkenalan. Barang yang berguna lama dan pasti disukai, katanya. Aku tahu bahwa jaket buat Eko, sepatu untuk Wido, dan tas sekolah untuk Seto adalah benda-benda yang sangat mereka inginkan dan tentu berguna lama. Tapi kalau mencari yang bagus, pasti juga mahal. Kukatakan ini kepada Handoko.
Tidak apa-apa, tanpa ragu-ragu Handoko menanggapiku.
288 luan-keperluan yang istimewa pula.
Beberapa toko sudah mulai mengadakan penjualan akhir musim dengan harga-harga bantingan jika dibanding dengan barang lain di toko lain. Kami meninggalkan mobil di tempat parkir, lalu memasuki daerah perbelanjaan. Sepagian kami mengupas lorong-lorong dan toko-toko. Jaket akhirnya bisa dibeli, sesuai dengan yang kumaksudkan. Sepatu tidak bisa dibeli dengan harga obralan. Sedangkan untuk Seto, pilihan tas sangat mudah dan cepat dilakukan. Kami bisa singgah di toko buku mencari tambahan benda-benda kecil. Siang itu kami makan di pondokanku. Setelah minum kopi, kami berangkat ke Arnhem. Aku berjanji akan pamitan ke rumah orangtua Anneke. Karena salju turun sejak pagi, meskipun tidak lebat, jalanan bisa tertutup cepat oleh lapisan putih. Handoko berkata lebih baik berangkat siang-siang. Sekalian santai tanpa tergesa-gesa.
Keluarga Anneke telah menyediakan makanan cukup mengenyangkan, sehingga itu bisa kami anggap sebagai makan malam. Berbincang dengan mereka bagiku sangat berguna, karena aku mendapatkan banyak masukan. Handoko mengerti percakapan kami, karena bahasa Jerman agak mirip dengan bahasa Belanda. Sedangkan Anneke berbicara bahasa Inggris dengan baiknya. Sebelum jam delapan kami sudah pamit. Udara lebih kering, tanpa salju yang turun. Walaupun begitu, Handoko tidak mau melaju cepat.
Handoko menonton acara terakhir di televisi, sementara aku mengemasi kopor dan tasku. Amat sukar bagiku untuk berbuat santai, sebiasa mungkin. Keesokannya kami akan berpisah. Entah untuk berapa lama. Barangkali tidak akan bertemu lagi. Ada semacam kelegaan di dadaku. Biarlah hanya sampai di situ
289 mastikan bahwa keresahanku yang disebabkan oleh keduaan kami malam itu sangat menekan. Aku bukan Sri dan bukan Ganik. Kebimbangan banyak menguasai pikiranku. Seandainya Handoko bergerak selangkah maju ke arah kedekatan kami berdua, bagaimana aku harus menanggapinya" Benar aku amat mengharapkan laki-laki seperti Handoko sebagai kawan, kekasih, dan pelindungku. Tetapi di samping itu aku tetap terusik oleh pikiran bahwa dia adik iparku. Seandainya aku sudah bercerai dari kakaknya, tidak akan aku mempunyai keraguan. Malahan mungkin aku akan berani bertindak seperti Ganik, seperti Sri, dengan memperlihatkan perhatianku yang lebih besar terhadapnya.
Malam itu setelah selesai berkemas, aku duduk sebentar di ruang tamu. Dengan kaku aku mencari pokok pembicaraan agar terhindar dari keseriusan keduaan kami. Kemudian aku berdalih kelelahan, masuk ke kamar untuk tidur.
Paginya kami sarapan dengan tenang. Sebelum berangkat, aku pamit untuk terakhir kalinya kepada si pemilik rumah. Handoko sudah turun membawa barang-barangku. Ketika mobil akan melewati lengkung bangunan gedung, aku mendongak ke atas, ke pintu dan balkon yang selama enam bulan menjadi tempat tinggalku.
Handoko mengantarku ke Schipholl.
Mbak Mur akan sibuk sebegitu kembali di rumah, katanya di tengah perjalanan. Itu bukan pertanyaan. Suaranya datar.
Ya, pasti begitu. Yang penting, saya harus lapor dulu bahwa sudah pulang. Lalu saya mau minta izin cuti seminggu. Biar dapat membenahi barang dan bersama keluarga di rumah.
Sebentar tidak ada yang berbicara. Handoko yang meneruskan, Saya senang sekali bertemu dengan Mbak Mur, sambil
290 mendapat hadiah besar sekali karena telah lulus sekolah lalu anda datang. Saya bisa mengantarkan anda berjalan-jalan. Kita malahan ke Paris segala!
Ya. Saya amat berterima kasih kepada Ganik dan kepada anda. Kalau Ganik tidak menolongku, kalau anda tidak mengantar, tentu perjalanan saya berlainan jadinya.
Selama ini saya menghargai Mbak Mur sebagai manusia. Semua yang saya kerjakan bukan disebabkan karena Mbak Mur istri kakak saya. Sama sekali bukan karena itu. Seandainya pada pertemuan pertama saya melihat bahwa kita tidak akan cocok, saya tidak mau menemani anda ke Amsterdam, dia berhenti, sekali lagi menoleh kepadaku. Lalu, Tidak mudah menggaet saya! Aku melirik ke arahnya, melihatnya tersenyum menggoda. Saya tahu, sahutku. Walaupun anda jauh lebih muda dari saya, tapi anda adalah laki-laki yang berpengalaman. Tentu pilihpilih.
Ah, saya tidak jauh lebih muda dari anda. Hanya sembilan tahun.
Sembilan tahun itu banyak sekali! protesku.
Dalam sejarah, sembilan tahun itu bukan apa-apa. Tidak berarti.
Handoko selalu bisa menemukan kata-kata yang membikinku terdiam. Aku mengalah. Sebentar tak ada yang berbicara. Mengapa anda katakan saya laki-laki yang berpengalaman" Dalam kereta ke Paris anda pernah mengatakan sendiri bahwa anda sekarang sudah mengendap. Nah, kalau sekarang mengendap, berarti dulu sudah pernah menjalani kehidupan sepenuhpenuhnya, kan"
291 Puas. Mbak Mur ingat, ya" Ya dong! Saya ingat semua, sahutku sambil melihat kepadanya. Dia masih tersenyum seorang diri.
Kalau begitu, Mbak Mur senang selama bepergian dengan saya. Nadanya kali itu juga bukan pertanyaan, melainkan sebuah konirmasi.
Tentu saja. Kalau tidak senang, pasti saya menolak ketika anda mengatakan ingin menemani saya naik kereta. Anda bisa berbuat begitu"
Begitu bagaimana" Menolak jika memang anda merasa tidak suka" Tegas" Sebentar aku berpikir. Dia benar juga. Barangkali waktu itu, seandainya aku tidak menyukainya, masih juga terikat oleh kesungkanan, khawatir menyinggung perasaannya jika aku menolak. Rupanya dia sudah mulai mengenal sifatku. Tapi aku berkata, Dalam hal itu, ya. Bayangkan! Enam jam duduk bersama seseorang yang tidak disukai! Rasanya sebal di hati!
Kulihat dia tidak tersenyum lagi. Aku berkata lagi, Nyatanya, dari Paris ke Holland, saya tidak mau anda temani. Dia tetap pada sikapnya semula.
Saya harap, penerimaan Mbak Mur terhadap diri saya selama ini tidak disebabkan karena anda tahu bahwa saya adik Mas Wid.
Tentu saja tidak, jawabku cepat sekali meloncat dari bibirku. Sebelum berangkat ke negeri ini, ibu saya menyuruh saya menulis surat kepada anda. Katanya, biar ada kenalan yang datang menjemput. Meskipun tinggal di negeri lain, tapi siapa tahu, kalau ada saudara akan datang, bisa menyisihkan waktu buat menemui.
292 kalau memang harus ketemu ya nanti ketemu di sana.
Dia tidak langsung menanggapiku. Tiba-tiba kulihat dia melepaskan kemudi. Tangan kanannya memegang tanganku.
Saya harap kita berteman karena kita ingin berteman. Karena kita cocok. Tidak karena dasar pemikiran saudara ipar atau kewajiban-kewajiban lain.
Saya setuju, jawabku. Jantungku berpacuan. Ingin aku membuka tanganku, lalu kutekankan dalam genggamannya. Tapi aku diam saja.


Jalan Bandungan Karya Nh Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nanti, pada waktu Mbak Mur memberikan oleh-oleh kepada anak-anak, tolong katakan bahwa itu berasal dari teman anda. Bukan dari saya sebagai paman mereka, dia berhenti, menoleh kepadaku. Kami berpandangan sebentar. Lalu dia meneruskan, kembali melihat ke arah depan, Saya sudah berpikir-pikir. Saya akan pulang sehabis musim panas nanti. Dan saya tegaskan lagi, saya pulang bukan berarti ke Klaten.
Kalau ke Jawa Tengah, anda bisa ke rumah kami, sahutku terlalu cepat. Lalu untuk menutupi kelancangan yang mencolok itu, aku meneruskan, Sesudah musim panas, berarti Oktober" November"
Lebih baik katakanlah November, karena kontrak saya dengan perusahaan Swedia itu sampai akhir Oktober.
Dia melepaskan tanganku, dan katanya lagi, Sementara itu, kalau Mbak Mur mengambil keputusan apa saja, saya minta diberitahu.
Aku tidak begitu mengerti maksudnya. Ataukah mengerti tetapi ingin supaya dia lebih tegas lagi"
Keputusan apa" tanyaku dengan berdebar-debar. Apa saja, sahutnya. Pokoknya, kita akan terus berhubungan.
293 senang dan berusaha membalas. Tapi ada telepon, bukan"
Aku ingin menangkis bahwa aku tidak punya telepon. Tetapi aku ingat bahwa dia sudah mencatat nomor-nomor telepon Sri maupun Ganik di Kopenhagen. Kalau memang dia kehendaki, dia bisa meninggalkan pesan buat berkencan berbicara pada suatu hari dan jam tertentu.
Kalau anda pulang, dalam arti buat seterusnya" tanyaku. Belum tahu. Barangkali saya perlu mengadakan penjajakan dulu. Tinggal di sana sebulan atau dua. Dulu anda bilang bahwa sudah lama saya tidak pulang, mungkin saya akan kecewa menemukan kehidupan di Tanah Air. Sebab itu saya pikir, memang ada baiknya saya berlibur ke sana sebentar. Katakanlah itu sebagai percobaan.
Jadi dia juga ingat kata-kataku. Senyumku sebentar kutahan karena kurang menerima maksudnya pulang sebagai percobaan . Sedih juga hati ini mendengarnya.
Mengapa" tanyanya. Rupanya dia melihat perubahan air mukaku. Mau tersenyum kok ditahan-tahan.
Ah, tidak apa-apa. Saya hanya senang karena anda juga ingat apa yang saya katakan. Tapi kesenangan itu dibayangi kesedihan juga karena anda bilang sebagai percobaan . Berarti belum pasti anda akan tinggal seterusnya di Indonesia. Lalu ilmu yang anda dapatkan di luar selama ini buat siapa" Itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang sini. Padahal yang sebenarnya memerlukan adalah negeri kita.
Ya, memang saya ingat kata-kata Mbak Mur. Tidak hanya berhenti mengingati saja. Saya juga memikirkannya. Sebab itulah saya menjadi tertarik lagi untuk menengok Tanah Air. Saya sudah merasa tidak mempunyai ikatan yang menarik ke sana dulu.
294 saja nanti. Terus terang, memang saya tidak berani menentukan sesuatu pun dari sekarang. Kita manusia selalu khawatir terhadap hal-hal yang belum kita ketahui. Hidup di Indonesia sudah tujuh tahun saya tinggalkan. Saya bukan manusia yang luar biasa. Jadi saya juga memerlukan waktu untuk beradaptasi. Tapi itu tidak berarti bahwa saya tidak bisa. Anda mengatakan akan membantu saya. Saya harap kesediaan itu tidak anda tarik kembali, dia menoleh lagi sambil tersenyum.
Aku terpaku memandanginya.
Dia meneruskan, Bagaimanapun juga, kita akan terus saling menghubungi. Tolong beritahu saya semua keputusan anda. Dalam hal semuanya. Karier, anak-anak ... kalimatnya mengambang. Untuk kesekian kalinya dia menoleh, tersenyum. Sebentar tangan kanannya melepaskan setir untuk memberi tekanan hangat di tanganku.
Aku memandangi wajahnya yang bergaris kuat melembut, dipenuhi senyumnya. Kami akan berpisah sebentar lagi. Dia tampak santai saja. Sedangkan dadaku berat, pilu.
Ada rasa iri yang tiba-tiba menelusup, menambah penderitaan itu.
***** 295 ?"?" embali di Tanah Air, aku memerlukan waktu untuk
beradaptasi lagi. Tanpa menyadari, badanku mulai biasa dengan keadaan udara yang dingin di Negeri Belanda. Padahal, ketika tinggal di sana, aku merasa kedinginan. Dan sebegitu pulang di negeri beriklim tropis, selama beberapa hari aku sukar tertidur hanya disebabkan karena kepanasan. Enam bulan ruparupanya cukup bagi tubuh manusia untuk membiasakan diri menyerap keadaan lingkungannya sehingga menjadikannya bagian dari dirinya. Itulah kesukaran pertama yang kudapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya memang hal yang sepele, remeh. Tapi ini membikinku sangat lelah dan tubuhku lemas. Untunglah hari-hari pertama, seperti yang kurencanakan, aku hanya lapor ke tempatku mengajar serta almamater yang merupakan lembaga hubungan dengan Kedutaan Belanda. Keluargaku baikbaik. Anakku tumbuh meninggi ketiganya. Eko menjadi seorang pemuda yang tampan, hampir mempunyai kumis. Suaranya sedang dalam taraf perubahan remaja ke dewasa. Badannya hitam, karena setiap Minggu mendapat tugas dari Sri mengawasi anakanak temanku itu di kolam renang. Widowati lebih suka bermain voli di halaman rumah Sri bersama teman-teman kencannya. Rambutnya hampir sama dengan kulit badannya, tembaga panas. Seto, menurut laporan kakak-kakaknya, takut masuk ke air,
296 lalu bersama neneknya, atau main domino atau dam jika dibawa ke rumah Bu Sri. Ibuku bertambah tua. Meskipun ada Sri, barangkali dia menyangga tanggung jawabnya sebagai pengawas anak-anakku agak keterlaluan. Bersamaan waktunya dengan kecelakaan yang menimpa orangtua Ganik, ibuku kehilangan satu-satunya saudaranya lelaki di Purworejo. Wajah ibuku tetap bersinar dengan pijaran semangat hidup. Tapi rambutnya yang selama itu awet hitam, dalam waktu enam bulan kutinggalkan telah memutih. Warna kelabu yang kadangkala berkilauan kini memahkotai kepalanya.
Dalam pekerjaanku, aku tidak menemukan kesulitan. Di sekolah pagi aku tetap memegang kelas lima. Di sekolah laboratorium di mana aku mengajar bahasa Inggris, aku memegang kelas lima dan enam. Sudah diadakan pertemuan dengan para rekan dan kepala sekolah bersama institut almamaterku. Di situ aku membaca semacam laporan singkat. Lalu aku diserahi membikin rencana pengajaran yang diminta lebih aktif. Kalau disetujui, barangkali akan dicoba untuk tahun ajaran mendatang. Dengan senang hati aku menerima tugas tersebut.
Sambutan rekan-rekan dan atasanku kelihatan tidak ada celanya. Tapi bagaimanapun juga aku terlanjur dingin terhadap tanggapan lingkungan itu. Aku merasa diri harus tetap waspada karena tidak ingin menemukan kesakitan hati yang berkelanjutan. Lapangan pengajaran tidak lebih dan tidak kurang sama lingkungannya dengan bidang kerja atau profesi apa pun lainnya. Karena yang pokok adalah manusianya. Dikatakan, di dunia intelek seperti para guru dan sarjana tentulah pergaulan lebih mulus karena setiap orang mendasari cara hidupnya dengan keunggulan pertimbangannya yang pintar. Namun yang
297 andalkan. Karena kecerdasan dan kesarjanaan sebagai bukti keintelekan menjadi hampa jika tidak dikuatkan oleh amal keimanan dan kemanusiaan.
Tetap saja aku bergaul dengan lingkungan profesiku secara rekanan. Sri, Siswi, dan Mas Gun yang masing-masing mempunyai keluarga, sudah amat mencukupi rengkuhannya terhadap aku dan keluargaku. Lapangan kerja tempatku mencari nafkah merupakan beberapa rekan saja. Kepada beberapa orang itulah aku merasa mempunyai kewajiban keramahan. Aku sudah terlalu biasa membatasi semua kata dan gerak keakraban di luar lingkungan dekatku. Tidak karena aku baru kembali dari luar negeri maka aku harus berubah. Kepada beberapa rekan dengan siapa aku berhubungan langsung itu aku memberikan oleh-oleh benda kecil. Tidak lupa kukatakan, bahwa uang saku yang diberikan pemerintah Belanda hanya pas-pasan buat hidup di sana. Dan nama Ganik beserta keluarga kusebut pula sebagai pendukung moril serta materiel selama belajarku di negeri orang. Hal itu perlu kutekankan di hadapan para rekan tersebut. Karena aku yakin, bahwa soal oleholeh pun akan bisa dijadikan alasan pergunjingan untuk membicarakan aku di antara mereka. Soal iri dan jahil tidak memilih bidang. Pegawai negeri atau karyawan perusahaan swasta, dosen atau guru maupun pegawai administratif. Semua kembali pada pokok, ialah manusianya. Karena ketika berangkat aku telah mengalami kerandatan yang disebabkan oleh jegalan tertentu, maka waktu kembali pun aku mengingati tempatku. Aku kembali berbicara dan berbuat seperlunya dan secukupnya saja jika tidak menerima perintah dari atasan. Cita-citaku, seperti yang juga disarankan oleh Dokter Liantoro, mendirikan Taman Kanak- Kanak dengan pemberian dasar percakapan bahasa Inggris tetap
298 modal, baik tempat maupun peralatan. Yang kuharapkan ialah yayasan di mana Winar menjadi ketuanya di cabang kota kami. Perkumpulan guru tentu mempunyai langkah lebih panjang untuk melaksanakan gagasan atau ide. Semua hanya menunggu waktunya yang tepat, kata Winar kepadaku ketika menanggapi buah pikiranku itu.
Ketika aku belum pulang, Pengadilan Agama sudah memutuskan perceraian Sri. Anak-anak turut ibunya. Kawanku juga telah menjalin hubungan dagang dengan seorang wanita dekoratris bangsa Australia. Sri belajar kimia dan membikin percobaanpercobaan warna serta tekstur penenunan kain dari benang kapas tanpa campuran. Bekerjasama dengan seorang eksportir, hasil pabrik temanku dilempar ke pasaran Negeri Belanda dan Belgia.
Siswi dan Winar sama seperti dulu. Langgeng dengan kecerewetan dan perhatiannya yang padat terhadapku. Winar baru mendapat rezeki, karena rapel lemburannya yang bertahun-tahun ketika mengajar di Pekalongan baru saja keluar. Kebetulan waktu itu ada pemilik kebun jambu di Jrakah yang memerlukan uang. Winar membeli tanah di sana dengan harga yang sangat lumayan murahnya. Pada hari libur, mereka mengundang teman-teman dan keluarga berpiknik ke sana. Sejak aku pulang sudah satu kali dibawa Sri, turut makan siang di tempat yang dulu di zaman kami muda sangat rimbun serta menyenangkan. Bagian yang menjadi milik temanku masih terdapat beberapa pohon jambunya. Tetapi kelihatan sekali betapa lingkungannya telah berbeda, gersang dan penuh bangunan baru.
Mas Gun menyukai semua barang yang kuberikan sebagai oleh-oleh. Dia tahu bahwa beasiswa di Negeri Belanda sangat kecil, karena dia juga pernah tinggal di sana tiga bulan. Untuk
299 hiasan dari kaca untuk keperluan pentas. Dia adalah seorang gadis yang lemah gemulai, pandai menari. Aku spesial memilih kalung bermata kaca gemerlapan di rangkaian depannya. Terkena lampu yang terang, pastilah akan menjadi amat indah. Itu pantas buat penari yang lembut. Dia juga kubelikan tas untuk membawa perlengkapan latihan tari.
Ketika aku pulang, sejak sebulan Sri mengurus kertas-kertas untuk perjalanan ke luar negeri. Rekanannya di Belgia mengundang temanku supaya melihat-lihat pabrik mereka. Setelah semua tersedia, dia akan berangkat ke Jakarta, ada telepon dari kedutaan di Kopenhagen. Ganik masuk rumah sakit. Untuk selanjutnya aku tidak mengikuti perkembangan berita tersebut secara teratur. Lalu, sopir yang setiap hari datang membawa mobil Sri berkata, bahwa ibunya Sri yang menunggui rumah Puspowarno mendapat kabar mengenai keberangkatan Sri ke Kopenhagen. Jadi temanku tidak langsung ke Brussel. Hari-hari berikutnya aku mencoba hidup dengan lebih tenang karena mengetahui bahwa Sri sudah berada di sisi Ganik. Semua serba penungguan bagiku. Setiap pagi sopir datang, aku langsung bertanya apakah ada kabar baru. Sampai pada suatu siang, dia menyampaikan pesan ibunya Sri. Aku harus ke Puspowarno sore nanti. Sri akan menelepon. Telah lebih dari sepekan temanku itu berangkat.
Sorenya aku berbicara dengan sahabatku. Dia menunda pertemuan dengan rekanannya di Belgia karena hendak mengurus Ganik dulu. Setelah bertemu dan berunding, mereka berdua memutuskan Ganik pindah ke rumah sakit di Amsterdam. Selain di sana ada teman baik Dokter Liantoro, juga tidak jauh dari Brussel. Sri bisa menelepon setiap hari. Barang-barang Ganik dikemas,
300 Negeri Belanda, Ganik akan dibawa pulang bersama Sri. Bagaimana Ganik" tanyaku.
Sri tidak langsung menjawab.
Sudah dirawat, katanya perlahan. Kau tahu, aku tahu, dan dia sendiri juga tahu bahwa kanker itu pembunuh seperti penyakit lain-lainnya. Kalaupun nanti dia membaik, akan memburuk lagi. Sebab itu lebih baik kubawa pulang sebegitu urusanku selesai. Apakah di luar negeri tidak lebih baik"
Untuk perawatan barangkali ya. Tapi di sana tidak ada rengkuhan seperti yang bisa kita berikan di sini.
Sri benar. Temanku meneruskan, Aku sudah menulis kepada Mur-dokter. Kusarankan supaya dia mengambil cuti tanpa dibayar. Kalau dia ada, setidak-tidaknya Ganik lebih tenang. Aku beritahu ibuku agar mengirim uang buat Mur di alamat Jakarta. Biar semua diurus Mur, sehingga sebegitu kami datang, Ganik langsung bisa masuk ke rumah sakit pusat di sana. Mengapa di Jakarta" aku terkejut.
Ganik tidak yakin di Semarang akan ada perawatan yang sudah dimiliki rumah sakit Jakarta. Tidak apa-apa. Kita pikirkan nanti kalau sudah kumpul semua.
Kaukira Mur bisa datang"
Bisa. Waktu bertemu terakhir, ketika Dokter Liantoro meninggal, dia rasanan ingin cuti panjang, temanku berhenti. Lalu menambahkan, Tolong tanyakan kepada Mas Gun atau Winar apakah punya hubungan yang bisa menolong di rumah sakit Jakarta.
Kedengarannya semua sudah diatur baik. Sri tidak goyah. Berada di luar negeri seperti sama saja cara kerjanya. Dia memberi alamatnya di Jakarta, di Pejompongan.
301 ku yang pindah ke Bandung. Hanya ditunggui pembantu. Besar. Kalau kau dan Siswi datang, juga tinggal di situ.
Seminggu kemudian, datang surat Ganik. Dia mondok di rumah sakit yang dulu, dikelilingi para ahli rekan dan teman ayahnya. Sri bisa tenang menyelesaikan urusannya. Ganik malahan mengusulkan, supaya Sri juga menerima undangan ke negeri Swiss. Harus dimanfaatkan selagi di Eropa. Sejak berpisah, Sri sudah menelepon berkali-kali. Hari Sabtu depan akan datang sampai Senin pagi.
Aku cepat-cepat membalas surat temanku. Sakit tanpa ada yang menunggui, di negeri orang, pastilah sepi walaupun suratnya tetap mengesankan optimismenya. Kuceritakan kesibukanku, anak-anakku, rumahnya di Jalan Bandungan yang tetap dijaga para pembantu kepercayaan orangtuanya. Bergantian kami sering menengok, mengobrol sebentar dengan mereka. Karena Sri pergi, urusan belanja dan gaji mereka diserahkan kepadaku. Kukatakan pula bahwa aku sedang menyusun rencana pengajaran yang lebih aktif. Siapa tahu akan bisa terpakai. Apakah Ganik mempunyai usulan gagasan" Dan untuk mengakhiri surat, aku katakan keinginanku minta cerai dari suamiku. Teman-teman di Semarang sudah tahu, Ibu juga. Tetapi anak-anak belum. Lalu surat kututup dengan janji akan segera kirim kabar lagi meskipun Ganik tidak menulis.
Ya, benar, memang aku sudah diberi pengarahan oleh Sri, kertas-kertas apa saja yang kuperlukan buat urusan perceraian. Aku tidak akan meminta jasa Lembaga Hukum, melainkan mengirim berkasku langsung kepada saudara Winar yang telah kuanggap sebagai pelindungku sejak masa-masa permulaan. Kurasa telah tiba waktunya aku mengambil ketegasan mengenai kejandaan yang
302 kemampuan semaksimum yang dapat kucapai. Baik di masa sebelum aku pergi, maupun selama aku berada di luar negeri. Aku ingin lebih bebas bergerak dan berbicara dalam berkarier dan dalam berbuat sebagai warga negara wanita intelek. Memang aku belum berbicara dengan anak-anak mengenai maksudku itu. Meskipun sebenarnya Sri telah merintis kemudahan jalanku. Terbukti dari perkataan Wido atau Eko, bahkan Seto, yang kadang-kadang mengulangi cerita Bu Sri: Katanya dulu Bapak begini, begitu dan sebagainya. Temanku telah mengungkapkan ulah kelakuan suamiku yang pelit, yang tidak suka berbicara terus terang, yang mengusulkan ibuku menutup warung; padahal setelah dia masuk penjara, berkat Ibulah maka dia terus menerima kiriman. Sri dengan sengaja atau tidak membukakan mata anak-anakku siapa sebenarnya ayah mereka. Hal yang tidak akan bisa kulakukan karena aku tidak sampai hati merusak bayangan kebaikan anak terhadap ayah. Eko dan Wido barangkali mulai melihat kenyataan meskipun Sri tidak bercerita. Tetapi anak-anak tetap harus diingatkan sekali-sekali. Dan dengan tindakan temanku itu, aku bersyukur dan berharap supaya tidak menjumpai kesulitan dalam menjelaskan sikapku ingin berpisah dengan ayah mereka.
Tidak perlu khawatir! kata Winar. Tambahnya lagi menyenangkan hatiku, Dipandang secara hukum mana pun, kau berada di jalan yang benar. Tinggal menunggu. Pasti tidak lama!
Aku tidak tergesa-gesa. Tetapi secepatnya menerima keputusan, akan memberiku ketenangan yang lebih lagi. Sementara itu aku sempat bersurat-suratan dua kali dengan Ganik sebelum berita terakhir mengatakan bahwa kedua sahabatku sudah sampai di Jakarta. Lalu Sri menelepon dari sana. Secara singkat menceritakan perjalanannya di Eropa. Dia juga meminta nomor telepon
303 seandainya datang ke Ibukota. Kami berdua merundingkan kapan Siswi dan aku bisa ke Jakarta. Digabung dengan hari Sabtu dan Minggu, kami sepakat untuk minta cuti dua atau tiga hari.
Bersama Siswi, aku naik bis malam. Sri menjemput di Terminal Pulogadung dan membawa kami ke Pejompongan. Setelah beristirahat sebentar, kami sarapan sebelum ke rumah sakit. Sri mengulangi ceritanya ketika berada di Eropa.
Sampai sebulan kamu di sana. Ganik kautinggal begitu lama di Amsterdam, suara Siswi menyesali Sri.
Dia yang menyuruhku menerima undangan orang Swiss. Katanya, kalau aku sudah sampai di Swiss, lebih baik terus ke Italia dan kembali ke Brussel lewat Prancis. Dialah yang malahan menyusun jadwal perjalananku. Sementara itu dicoba perawatan baru padanya. Dengan sinar yang lebih keras. Tidak ada gunanya jika aku menungguinya.
Lagi pula kan kau tahu bagaimana Ganik! kataku kepada Siswi. Kalau dia punya kemauan, lebih baik kita turuti. Memang bagus kalau Sri menjelajah Eropa. Sekalian! Kapan lagi dia akan pergi ke sana" Belum tentu tahun depan.
Aku ketemu Handoko di rumah sakit, kata Sri sambil melihat ke arahku.
Seandainya ada geledek di siang hari pun rasa terkejutku tidak akan sehebat ketika aku mendengar berita tersebut. Dan barangkali oleh kekagetanku yang keterlaluan kelihatan itu, maka aku jadi terbungkam.
Kawanku melanjutkan, Dia telepon ke Kopenhagen, lalu tahu bahwa Ganik sakit. Dia menyempatkan satu akhir pekan buat menengok.
Siapa Handoko" Siswi bertanya.
304 kami bersama. Adiknya Widodo, suami Mur, sahut Sri, mukanya ditelengkan untuk menunjuk kepadaku. Lalu seolah-olah hendak mencari reaksiku, dia meneruskan sambil menatap wajahku, Pintar. Dan ganteng lagi! Pakai kumis.
Untuk kedua kalinya aku terkejut amat sangat. Kumis" Tapi aku bisa menahan diri. Untuk menghindari terlihatnya pengucapan yang mengkhianatiku, aku berkata, Baik dia, kok menengok sampai di Amsterdam!
Benar. Ganik juga terharu ketika ditengok. Pakai kumis dia"
Ya, juga jenggot sampai ke surinya di depan kuping. Ganteng pendeknya!
Masih di Swedia dia"
Masih. Kau mestinya juga tahu. Katanya, dia sudah kirim surat kepadamu.
Rahasiaku terbuka. Sedikit. Jadi percakapan mereka sampai membicarakan diriku"
Oktober nanti selesai kontraknya. Dia ingin ke Indonesia. Aku sedang carikan hubungan. Kelihatannya dia gesit. Baik orangnya" Siswi bertanya lagi.
Baik. Aku senang dia. Lebih baik dari Widodo. Kau salah pilih dulu, Mur.
Ada-ada saja kamu ini! kataku cepat. Ketika aku ketemu Widodo, kan Handoko masih bayi!
Sri terkikih-kikih. Nyata puas karena pancingannya mengenai sasaran. Siswi dan aku memakinya.
Dari dulu kamu ini suka menggoda. Lagi pula, kata Siswi,
305 Mur" Itu benar, dan lagi, seperti kataku, Handoko jauh berada di bawah kita. Masih muda sekali.
Ah, umur! Sisihkan itu jauh-jauh, komentar Sri. Apalagi Handoko tidak tampak begitu muda lho. Wajahnya matang. Dan kelihatan sekali bahwa dia suka kepadamu! lalu meneruskan tersenyum-senyum memandangiku.
Aku hanya diam, tetapi membuang pandang. Entah bagaimana ekspresi mukaku, aku mencoba menenangkan hati. Kalaupun terlihat perasaan hatiku, dengan teman-temanku sendiri, mau apa lagi!
*** Ganik kurus dan pucat. Mur yang tidur di rumah sakit malam itu, tinggal sebentar menemui kami. Dia, Sri, dan seorang pembantu bergilir bermalam di kamar teman kami. Mur sedang menyisir rambut Ganik yang meskipun sudah dipotong pendek, tetapi kelihatan semakin tipis.
Aku bilang supaya rambut ini dicukur saja, kata Mur, tapi Ganik tidak mau. Bagaimana pendapatmu Siswi, Mur"
Gundul pun, Ganik tetap cantik bagiku, sahut Siswi. Siapa tahu malahan jadi simpatik seperti Kojak polisi New York itu!
Itulah! kata Sri menopangi. Apalagi sudah kubelikan wig bagus di Negeri Belanda. Itu di laci sebelah!
Dicukur gundul saja, Ganik, aku turut bicara. Memang lebih rapi pakai rambut palsu.
Kusembunyikan iba yang terselip di hatiku. Pembicaraan me-
306 olah teman kami itu mengidap penyakit yang biasa pula.
Kupikir, tunggu sampai rambutku tinggal enam puluh helai. Kalau gigiku rontok juga, lalu tinggal dua biji, aku akan ganti nama Si Enam Puluh Dua.
Kalau maumu memang begitu, ya terserah, kata Siswi. Yang namanya Sewidak Loro dalam cerita itu, setelah penderitaannya selesai, berganti rupa, kembali sebagai Dewi Sekartaji. Kamu kelak kalau sembuh juga kembali seperti rupamu sediakala.
Teman-temanku tertawa. Bahkan Ganik. Dengan terpaksa aku mengikuti suasana. Mereka bisa menyembunyikan kecemasan. Kulihat Siswi menunduk, mencium dahi Ganik dan mengelus sisa-sisa rambut yang melapisi kepalanya. Katanya, memang lebih baik dicukur saja. Mur menambahkan, kalau mau, biar dia sendiri yang mengerjakannya.
Kedatangan Irawan memungkinkan kami mendapat informasi lengkap mengenai kapasitas perawatan terhadap kanker di rumah sakit kota kami. Dan ketika keadaan Ganik cukup kuat, dia dibawa ke Semarang, pulang ke Jalan Bandungan. Aku pindah, tinggal di sana menemani sahabatku. Rumah sudah diatur. Ganik menempati kamarnya sendiri, aku tidur di kamar almarhum orangtuanya. Dua kali seminggu, Sri mengantar sahabat kami menerima perawatan semestinya. Anak-anakku tetap bersama Ibu. Sejak aku pulang, Eko menerima kendaraan roda dua dari Sri sebagai imbalan jasanya mengawasi anak-anak yang lebih muda di kolam renang. Dengan demikian, anak sulungku kelihatan lebih bertanggung jawab. Untuk keperluan-keperluan mendadak, dia siap jalan keluar. Hubungan antara Ibu, anak-anakku, dan aku tidak terputus.
Menunggu sampai Ganik mapan benar, Mur belum pulang ke
307 baru tahu bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki. Umurnya kurang lebih tujuh tahun. Waktu itu ditinggal di Kalimantan, ditunggui ibunya Mur yang telah diboyong ke sana sejak bayi itu akan lahir.
Mur tidak tampak murung. Dia bahkan puas dengan kehidupannya. Tanggung jawabnya ketika dia baru datang meliputi pelosok Kabupaten Tanah Laut. Pada suatu hari, di Banjarmasin, dia bertemu dengan seorang laki-laki asli daerah tersebut. Dari pertemuan pertama itu, Mur mengetahui bahwa mereka akan menjalin hubungan yang istimewa. Katanya: Sebegitu melihatnya, seperti aku sudah mengenalnya. Entah di mana. Mungkin dalam kehidupan yang dahulu" Anehnya, dia juga bertanya, Apakah kita sudah pernah bertemu" Anda punya saudara yang mirip dengan anda" Tidak lama kemudian, laki-laki itu menyusulnya ke pelosok. Mur sedang keliling. Laki-laki itu menunggu empat hari di pondok Mur. Dan kau tahu, Mur, ketika aku pulang, melihat dia di ujung tangga, memakai sarung, seolah-olah sudah biasalah aku menemukan pemandangan itu. Jadi aku tidak terkejut. Dan begitu saja, dengan sederhana, setelah aku mandi, kami minum teh, tiba-tiba aku sudah berada di pelukannya. Ibuku sendiri yang semula tidak menyukainya karena adatnya yang berbeda dari kita orang Jawa, akhirnya mengakui bahwa dia memang hebat.
Cerita Mur merupakan kejutan bagiku. Tidak kukira orang terpelajar seperti dia bisa dan mau menerima hidup berkeluarga dengan cara demikian. Berbagi suami dengan perempuan lain. Kau tidak mengerti karena kau tidak mengalaminya sendiri. Dari pihakku, aku mempunyai laki-laki yang hanya datang kadangkala, ternyata menyenangkan. Aku selalu sibuk. Sering pergi berharihari keliling. Tiga tahun kemudian, ketika aku merasa siap, aku
308 dinikah oleh orang itu. Sebetulnya, tidak usah kawin pun tidak apa-apa bagiku. Aku mempunyai cara hidup yang penuh, berguna buat orang lain. Lingkunganku masa bodoh karena mereka tahu membutuhkan aku. Kalaupun ada suara ini-itu, aku tidak peduli. Kalau ada orang yang jatuh sakit, ya panggil aku. Kata ibuku, demi bayi yang akan lahir, aku harus mau kawin. Aku menjadi istri kedua. Waktu itu gampang saja kawin tanpa urusan ini-itu dengan istri pertama. Jangan kau kecewa karena aku menjadi istri kedua, Mur. Yang pokok, aku mencintai laki-laki itu. Dia milikku. Kalau dia juga punya perempuan lain, itu bukan urusanku. Asal dia tidak tidur dengan perempuan itu di depan mataku.
Berhari-hari aku memikirkan sikap Mur itu. Demikian wajar bagi dia. Begitu praktis segalanya tanpa rengekan maupun protes ini dan itu. Ketika di Sekolah Rakyat, berhitungnya kuat. Kemudian di SMP dan SMA pengetahuan eksaktanya hebat. Semuanya serba nalar. Buat apa aku ribut-ribut memikirkan dia jika dia sendiri puas dan bahagia dengan kehidupannya" Apalagi jika kelihatannya dia tidak mengganggu kesejahteraan keluarga lain.
*** Mur sudah pulang ke Kalimantan. Bagi dia, itulah tanahnya. Dia ke Jawa untuk berkunjung. Meskipun jatah yang menjadi miliknya dilahap api yang membakar hutan Kalimantan hingga setahun tanpa bisa dipadamkan, Mur tidak berkecil hati. Tapi dia harus pulang. Dan pulang baginya adalah ke Kabupaten Tanah Laut. Orang di sana sudah menjadi saudaranya. Anaknya akan dia didik bukan sebagai orang Jawa yang tinggal di sana, melainkan sebagai orang yang bertanah air Tanah Laut.
309 kuat bangkit dan memotongi daun-daun yang kering di tepi beranda. Kemudian dua atau tiga hari tergeletak, tanpa kemampuan mendudukkan diri jika tidak ditolong. Menyusul hari-hari di mana dia bahkan turut kami pergi ke rumah Ibu. Kami membiarkan dan menuruti semua kehendaknya. Irawan dan dokternya menasihatkan demikian. Ingin makan apa saja kami berikan. Tidak ada lagi diet atau keharusan mengurangi ini maupun itu. Ganik mengetahui bahwa dengan kekenduran peraturan itu, umurnya tidak akan panjang lagi. Kami semua mencoba memberikan kelegaan semaksimum mungkin.
Dua bulan berada di rumah Ganik, aku sudah menerima telepon tiga kali dari Handoko. Di samping surat pendek-pendek, atau kartupos bergambar dari Swedia. Ganik selalu tahu jika ada telepon dari Handoko. Dari cara bicaraku, dia menerka bahwa aku mencintainya. Aku tidak mengelak. Sekalian untuk membikin temanku itu tidak memusatkan perhatian pada keadaan dirinya, kuceritakan semua yang kualami bersama pemuda itu. Kuberikan pula kesimpulanku mengenai hubungan kami hingga saat itu, ialah Handoko tidak mau melibatkan diri dengan tegas. Barangkali dia mempunyai pertimbangan-pertimbangan sendiri. Apalagi dia sudah biasa hidup bersendiri. Takut menjadi terikat. Di samping itu, tidak ingin kehilangan aku. Tapi pikiranku ini pun mungkin hanya keterlaluan saja. Belum tentu Handoko sungguh-sungguh menghendaki aku sebagai wanita kekasih. Barangkali hanya sebagai teman baik, dekat sekali.
Ganik melihat argumentasiku dan mengerti. Memang, kalau dia kawin, tentu ingin membangun keluarga benar-benar. Punya anak, rumah, hidup mapan. Dengan wanita setengah janda seperti aku, yang berkarier pula, agak susah citra tradisionalnya.
310 menonjol padaku. Kamu bodoh, itulah cacian Ganik. Kamu hanya mengenal laki-laki Indonesia yang serba mau diladeni, dilayani, dan yang berpegang pada pikiran bahwa kalau istri itu harus gadis, harus lebih muda. Handoko bukan laki-laki begitu. Dia sudah setengah Eropa dan intelek. Kalau kamu memang mencintainya, perjuangkan supaya perhatian yang ternyata sudah amat berlebihan terhadapmu itu menjadi jaring yang akan menyatukan kalian berdua. Belum tentu dia ingin punya anak. Kalau melihat caranya hidup, dia berpikiran semesta, universal. Seperti bapakku. Sudah terlalu banyak anak di dunia ini! temanku berhenti memandangiku. Lalu menambahkan, Telepon jarak jauh begitu mahal. Dia tidak pernah menelepon Irawan. Tapi malahan berbicara dengan kamu.
Aku diam saja karena dia memang benar. Handoko tidak pernah menelepon kakaknya. Tiga kali berbicara jarak jauh denganku ya hanya itu-itu saja: Bagaimana, Mbak Mur" Surat yang cerita mengenai itu sudah sampai. Sayang, selalu pendek. Kalau saya baca berulang-ulang cepat habis. Saya sampai hafal. Masih terus giat"
Hubungan telepon dengan Swedia cukup jelas. Tiga kali terima, hanya satu kali pembicaraan kami terganggu oleh suara krek...krek yang terseling di sana-sini. Aku tidak mengelak bahwa aku senang menerima panggilannya. Ini juga kukatakan kepada Handoko. Dia menanggapinya dengan sederhana saja. Katanya dia juga senang berbicara dengan aku. Sebab itu jauh-jauh pun menelepon. Pada kali ketiga kami berbicara, kukatakan bahwa aku sudah memulai proses permintaan cerai. Ada sedikit harapan dariku, barangkali dia akan lebih berani melangkah mendekatiku.
311 menunjukkan ketegasan. Anak-anak sudah tahu"
Pada suatu hari Minggu, Ibu dan anak-anak dijemput untuk makan siang di rumah Sri. Siang ketika pulang, ibuku diantar dulu, sedangkan anak-anak dibawa ke rumah Jalan Bandungan. Mereka tinggal bersama kami hingga petang. Pada waktu itulah Ganik memulai pembicaraan mengenai perceraianku.
Ibu kalian sudah cukup lama hidup bersendiri tetapi justru terikat. Sekarang kalian sudah besar, dia harus berkarier sepenuhnya. Menjadi istri tahanan Pulau Buru tidak mudah menembus ke mana-mana.
Sesederhana mungkin aku bentangkan maksudku. Kukatakan sekalian bahwa aku minta cerai tidak karena aku tergesa-gesa akan kawin lagi. Meskipun kemungkinan kawin juga tetap ada. Tapi yang penting bagiku adalah bercerai dulu.
Eko dan Wido tentu tahu, bahwa dengan ideologi bapak kalian, aku sudah tidak mungkin bisa hidup bersama dia seandainya dia dikeluarkan.
Apa Bapak tidak akan berubah" tanya Eko.
Tidak mungkin, sahutku tegas. Barangkali kelihatan berubah. Tapi sebenarnya itu hanya lapisan luar. Kepercayaan kepada partai seperti kepada agama. Itu menunjam dan mengakar. Ibu tidak mencintai Bapak lagi"
Aku hampir merasa terpojok, tidak segera menjawab pertanyaan Eko.
Ganik menopangi, Apakah pendapatmu mengenai cinta, Eko" Apa itu cinta"
Ganti anakku tidak cepat menyahut.
Di sekolah, di antara teman, kamu tentu sudah sering membicarakan apa cinta itu, temanku Ganik menyambung.
312 Kira-kira begitu, kata Ganik. Kalau orang bertambah umur, pikirannya berkembang. Pendapatnya bisa berubah. Tapi pendapatmu itu bisa dijadikan pegangan. Kalau tidak ada cinta, kasih, sayang, sukar sekali untuk hidup bersama. Ibumu sudah delapan tahun mempertahankan perkawinannya. Kamu tahu sendiri, dia tidak janda, tapi semua tindakannya tetap dibatasi karena lebihlebih dia istri tahanan politik. Kamu sendiri tentu juga sudah mengalami bagaimana tidak enaknya mempunyai bapak ditahan di Pulau Buru.
Aku tidak akan sampai hati mengatakan kalimat terakhir itu kepada anakku. Padahal kuakui ada perlunya guna mempertahankan sikapku.
Wido bagaimana" Kok diam saja" Seto"
Kalau bercerai, kalau Bapak dikeluarkan, lalu tinggal di mana" ini Seto yang bertanya.
Belum tahu. Semau bapak kalian. Dia tidak tinggal bersama kita lagi"
Bapak tentu ke Klaten, ke rumah Embah di sana, kata Wido sambil memandang adiknya.
Ya, itu satu kemungkinan, kata Ganik. Tapi Wido harus ingat, bahwa dulu bapak kalian tidak suka sowan ke Embah Klaten. Ibumu selalu minta dibawa ke sana, tapi tidak pemah diantarkan. Apakah Embah mau menerima, itu soal lain. Dia tentu punya kawan-kawannya sendiri. Bekas tahanan yang sudah dikeluarkan. Mereka biasa membentuk perkumpulan. Apalagi partai semacam itu. Sukar terhapus.
Hal itu pun, tak mungkin aku bisa mengatakannya. Untunglah ada Ganik.
Pembicaraan hari itu cukup menegangkan bagiku. Tetapi
313 Tentu saja berkat campur tangan Ganik, dan rintisan yang telah dilancarkan Sri selama aku berada di luar negeri.
*** Di rumah Jalan Bandungan aku sudah mapan benar. Semula aku membawa pakaian dan keperluanku sehari-hari hanya sedikit. Berangsur-angsur, Ganik menyuruh menambah dan mengurangi isi kamar yang kutempati, dan mengatakan seharusnya aku memindahkan semua barang yang kubutuhkan ke rumah itu.
Ini rumahmu. Kamu harus kerasan, mapan di sini. Terserah kamu hendak mengerjakan rencana mengajarmu di ruang makan, atau di beranda. Meja banyak. Asal jangan di kamar terus-terusan karena aku tidak melihatmu lagi, kata temanku.
Memang ada pilihan buat menulis. Semua meja bagus, berkilat. Hanya yang dari marmer berkaki empat kecil yang agak membikin aku khawatir. Lain-lainnya selalu kokoh, berdaun tebal. Kayu jati kuno yang selalu dirawat. Ketika Ganik mulai merasa enak badan, dia membeli televisi berwarna. Mebel di ruang duduk bergeser lagi. Televisi lama diberikan kepada Ibu. Kata sahabatku, biar Eko tahan tinggal di rumah di waktu petang. Tapi aku kurang mempercayai ibuku. Karena sebenarnya Wido dan Seto harus diawasi supaya tidak menjadi terlalu pasif, terus-menerus duduk di depan layar putih mini itu.
Untuk beberapa waktu, aku bahagia menemani sahabatku. Kebiasaan rutin juga mapan, di mana Sri membawa Ganik ke rumah sakit, di mana pada hari-hari libur kami berkumpul di rumah Sri. Ibuku kelihatan menjadi sesepuh yang dicintai dan dihormati oleh kami semua, termasuk keluarga Mas Gun dan Winar. Berkumpul
314 makanan berlimpahan, juga karena halamannya yang luas penuh dengan aneka alat bergerak secara sehat. Ada waktu-waktu di mana bahkan Ganik pun turut bermain tenis meja. Kami yang duduk di serambi merasa sangat bahagia mendengar teriaknya karena gembira atau kecewa.
Di hari-hari lain, selalu ada yang menjenguk Jalan Bandungan. Yang paling sering adalah Eko. Dia datang sepulang dari sekolah. Atau singgah karena ada pelajaran kosong. Kalau dia lihat lauk siang itu dia sukai, dia makan sambil ditunggui Ganik. Kalau tidak, dia duduk saja di kamar buku, memilihi kaset yang akan dia pinjam. Yang lain-lain, Mas Gun, Siswi atau Winar, atau salah satu bekas rekan Dokter Liantoro, kadangkadang juga menjenguk. Waktunya tidak pernah teratur, karena diambil kesempatan masing-masing yang ada. Tanpa bermaksud mengganggu, kalau Ganik sedang kelihatan sehat, mereka tinggal untuk ngobrol. Kalau tidak, mereka hanya meninggalkan pesan. Keadaan semacam itu berlangsung kurang lebih sebulan. Aku sudah senang dan tenang melihat penderitaan Ganik yang kadangkala terseling keringanan. Lalu mendadak suasana berubah lagi.
Dimulai dengan malam-malam gelisah. Ganik tidak bisa tidur. Aku bergiliran dengan pembantu dan Eko, berjaga di sisinya. Ganik sukar bergerak karena rasa sakitnya, meskipun pikirannya tetap jernih dan cekatan. Hingga akhirnya dokter memutuskan untuk membawa sahabat kami mondok di rumah sakit. Ganik minta waktu beberapa hari lagi. Dia menyuruh Sri menelepon dan memanggil notarisnya.
Pagi itu udara pengap dan menekan. Permulaan bulan Oktober seharusnya sudah membawa hujan. Tetapi yang hadir adalah
315 dengan kursi roda kudorong ke ruang tamu. Di situ dia duduk bersandar di dipan yang cukup santai. Lalu ahli hukum teman serta kepercayaan Dokter Liantoro datang bersama sekretarisnya. Dia membawa berkas dokumen yang selama itu menjadi tanggung jawabnya.
Hampir satu jam Ganik membaca catatan tulisan tangannya. Kadang-kadang mencocokkan data-data dengan Notaris. Ahli hukum ini melihat kertas di dalam mapnya, memberikan apa yang tertulis di situ. Sri dan aku menunggu, duduk agak terpisah. Kemudian Ganik menandatangani kertas yang baru dia baca, memberikannya kepada Notaris. Yang ini juga membubuhkan kesaksiannya, di sebelah kiri bawah.
Misteri Kucing Siam 1 Pendekar Rajawali Sakti 10 Pengantin Berdarah Kisah Si Bangau Putih 16
^