Pencarian

Kitab Omong Kosong 7

Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma Bagian 7


Sayatan kepedihan melintas di dada Maneka. Sudahlah, biarkan saja dia, ujarnya sambil berlalu.
Pedati mereka berjalan kembali dan Satya melompat naik. Pasti ada se su atu yang mengganggunya, pikir Satya, bahkan me nyakitinya. Satya tidak ber tanya-tanya. Di kursi sais, Maneka memegang tali dengan wajah muram. Air matanya membasahi pipi.
kenangan mencabik luka lama seribu tahun seperti kemarin saja
Berdasarkan apakah Hanuman membagi Kitab Omong Kosong m enjadi lima" Pertama, jelas ia membaginya berdasarkan tema-tema kitab itu. Tapi, berdasarkan apakah maka Bagian Satu terdapat di Kendalisada dan Bagian Dua terdapat di Kuil Cahaya" Kalau ia bisa mengenali sistem yang dipakai Hanuman, akan sangat mudah menemukan tiga bagian yang lainnya. Satya tahu ia tidak bisa berharap mereka akan menemukannya lagi secara kebetulan. Penemuan secara kebetulan membuatnya harus percaya kepada suratan takdir, dan meski pemahamannya tentang dewa-dewa mengharuskannya percaya, Satya lebih suka menemukan bagian-bagian kitab itu atas usahanya sendiri.
Jika peta yang dibuat Hanuman menggunakan perhitung an-per hitungan manusia, ketiga tempat yang lain sudah jelas arahnya. Namun apabila Kenda lisada terletak dalam dimensi dongeng dan Kuil Cahaya berada di bumi ini, bagaimanakah seseorang bisa memastikan ketiga tempat lainnya" Sedangkan Bagian Satu dan Bagian Dua hanya bisa ditemukan secara kebetulan. Atau, apakah mereka harus siap dengan kebetulan ketiga"
Pedati telah berjalan selama tiga bulan dan selama itu Satya dan Maneka berdiskusi tentang berbagai paradoks dalam kehi dupan mereka.
Kita telah menemukan dua bagian Kitab Omong Kosong yang membe ri penghargaan sangat tinggi kepada penalaran, kita telah sampai kepada kesimpulan bahwa segala sesuatu di luar nalar tidak bisa diperhitungkan, dan bahwa manusia harus membebaskan dirinya dari misteri yang menguasainya.
Namun hidup kita penuh dengan misteri sekarang ini. Kita bertemu Hanuman, bahkan Walmiki, dan kita sudah dilepaskan dari suratan pengarang, bebas menentukan jalan hidup kita sendiri. Kita melihat Kuil Cahaya tujuh warna dan tidak bisa bercerita apa-apa tentang kenyataan sebenarnya.
Pada bulan keempat mereka bersepakat untuk menunda diskusi sampai menemukan Kitab Omong Kosong Bagian Tiga. Sementara di langit terlihat burung-burung gagak terbang me lingkar-lingkar.
Pasti ada yang sekarat, ujar Satya, begitu mati gagak-gagak itu akan turun melahapnya.
Mereka mengarahkan pedati itu ke tempat gagak itu terbang melingkar-lingkar, dan melihat seseorang dengan puluhan panah me nembus tubuhnya sedang merangkak. Ia belum mati. Satya turun. Pak, apa yang terjadi Pak"
Orang itu berbalik. Ia tampak seperti salah satu pengembara di sembarang tempat yang mereka lalui. Perkasa, bersenjata, dan hidup sendiri saja. Ia seperti tidak sempat membela diri. Seluruh senjatanya masih berada di tubuhnya, pedang panjang dan selusin pisau terbang.
Kitab Omong Kosong itu .... Ia berkata pelan. Kenapa dengan Kitab Omong Kosong" Mereka tidak ingin siapa pun memilikinya. Siapa mereka"
Orang itu ambruk. Dengan puluhan panah menembus tubuh seperti itu, seseorang tidak usah diharapkan akan bertahan hidup lama. Ia pasti disergap dengan mendadak. Panah-panah itu datang dari segala arah. Meng apa ia tidak sempat menggunakan senjatanya" Apakah panah-panah itu meluncur dengan serempak, ataukah ada seseorang yang begitu piawainya sehingga bisa melepaskan panah-panah itu dengan nyaris serempak dari segala arah"
Terlihat mulut orang itu ingin mengatakan sesuatu. Satya mendekatkan telinganya. Hanya terdengar suara-suara yang tidak jelas. Lantas orang itu mati.
Kitab Omong Kosong itu lagi, pikir Satya, apakah mereka tidak me nyadari betapa kitab ini tidak bicara tentang kekuasaan seperti mereka sangka"
Satya telah mempelajari salah sangka yang terjadi di segenap penjuru anak benua. Seolah-olah barangsiapa memiliki kitab itu akan memiliki kekuasaan sebagai satu-satunya penguasa pengetahuan. Sekali lagi memiliki dan bukan membacanya. Itulah yang membuat Satya ingin menulis kannya kembali dan menyebarlu as kannya. Ia ingin menyederhanakan perbin cangan kitab itu, agar pengetahuan tidak dikangkangi para pedagang pengetahuan. Sudah semestinya ilmu pengetahuan menjadi milik semua orang, dan tidak seorang pun berhak menguasainya hanya untuk dirinya sendiri saja, apalagi dengan tujuan memegang kendali kekuasaan atas dunia.
Mereka mengubur orang itu. Apakah ia telah menemukan salah satu ba gian Kitab Omong Kosong dan orang-orang itu merebutnya" Apakah kitab itu entah bagaimana caranya telah tidak berada di tempatnya"
Satya dan Maneka melanjutkan perjalanannya. Pedati yang ditarik sapi Benggala itu merayapi segenap sudut anak benua. Setelah menyusuri tepian Gurun har di sepanjang Sungai Indus, mereka berhenti sebentar di sekitar Kutch, kemudian menuju sebelah selatan Aravalli. Mereka teruskan perjalanan ke tenggara, menyeberangi Sungai Narmada, naik ke wilayah Satpura, lantas menyusuri tepian barat Ghats. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, mereka merayap ke selatan. Tanpa terasa sudah setahun lebih perjalanan mereka, bahkan nyaris memasuki tahun ketiga. Satya sudah bukan lagi pemuda ingusan 16 tahun, umurnya sudah 18 tahun sekarang. Maneka yang telah menjadi lancar membaca, tapi belum pandai menulis semahir Satya, kini berumur 22 tahun. Keduanya terlihat sebaya saja, meski Maneka sering menekankan perbedaan umur mereka, terutama bahwa dirinya lebih tua.
Betapapun aku lebih tua daripadamu, engkau harus bersikap seperti terhadap kakakmu.
Satya akan tersenyum saja mendengar kata-kata itu. Kata-kata dari mulut tercanggih tak bisa menutupi yang dikatakan mata. Satya sering
kecewa terhadap usaha Maneka mengingkari hatinya sendiri, tetapi ia pun tidak punya kemampuan meng ungkapkannya.
Mereka masih selalu tidur berpelukan di dalam pedati atau di rumah penginapan tetapi masih saja tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Satya mem bunuh seluruh nalurinya atas nama pengabdian dan kesegan an terhadap Maneka yang sangat dicintainya, sedangkan Maneka yang sebetulnya mengenal setiap cara membangkitkan gairah pria tak pernah berpikir apa pun tentang Satya. Kehidupannya yang begitu kelam di tempat pelacuran telah membunuh segenap kemungkinannya untuk mengenal cin ta, meskipun apabila cinta itu memang benar-benar hinggap padanya. Sekali peristiwa di Kendalisada itulah, ketika mereka berpelukan begitu lama dalam hujan, setelah untuk pertama kalinya berpisah agak lama, satu-satunya peristiwa yang menegaskan hubungan mereka. Tetapi mereka tidak pernah membicarakan hal itu, meski tidak pernah melupakannya. Keduanya yang begitu lan car berdebat tentang berbagai macam gagasan, begitu sulit mengungkap perasaan mereka sendiri. Meski selalu tidur saling berpelukan, bila sedang kedinginan.
Di sepanjang tepi barat anak benua ini, mereka sering mendengar debur suara laut. Ketika pertama kali mencapai pantai, dua minggu lamanya mereka tinggal di balik bukit pasir dan hidup seperti nelayan. Satya menjual tenaganya sebagai buruh le pas, mengikuti kapal-kapal penangkap ikan yang besar, dan melanjutkan perjalanan setelah mendapat cukup bekal. Namun penghasilan terbesar sebetulnya ia dapatkan dari bercerita. Satya tahu dirinya bukan tukang cerita yang baik. Tetapi di sepanjang pesisir ini kehadiran seorang tukang cerita yang kurang baik pun sudah lebih dari lumayan. Para pencerita yang baik sudah terbu nuh semasa Persembahan Kuda, dan buku-buku cerita sudah terbakar bersama gedung perpustakaan. Satya merasa bersalah sebetulnya, karena ia tidak merasa memberi apa-apa sebagaimana seharusnya tukang cerita yang piawai.
Aku hanya bercerita karena terpaksa, supaya kita mendapat bekal untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak usah merasa terlalu bersalah, Satya, ujar Maneka, kita bisa me ngembangkannya sebagai sesuatu yang menarik.
Apa itu" Kita bercerita berdua, dan kita bisa menggunakan boneka kalau perlu, mengubah-ubah suara kita.
Satya ternganga. Ya, tapi itu sangat memakan tenaga dan pikiran, tugas utama kita mencari Kitab Omong Kosong, bukan keliling sebagai pemain teater boneka.
Setidaknya ini akan mengurangi rasa bersalahmu. Kita benar-benar memberi hiburan kepada anak-anak.
Anak-anak" Penonton kita orang dewasa.
Kita akan memisahkannya. Cerita anak-anak untuk penonton anakanak. Cerita dewasa untuk penonton dewasa.
Cerita dewasa" Apa itu cerita dewasa" Kamu tidak tahu"
Tidak. Aku tahunya cerita-cerita untuk semua orang, dari anak kecil sampai orang tua.
Mengapa tidak kita ceritakan Kamasutra"
Satya terperanjat. Tentu ia mengenal ajaran itu, tapi tidak untuk meme ragakannya dengan teater boneka.
Maneka, kamu sungguh-sungguh" Maneka tersenyum, dan menggeleng. Tentu saja tidak.
Apa yang akan kamu ceritakan" Kisah sebuah pohon.
Pohon yang kita perdebatkan"
Ya, sebaiknya kita menyebarkan isi Kitab Omong Kosong mulai sekarang, karena kita tidak pernah tahu kamu akan menemukan semuanya secara lengkap. Itu cara terbaik untuk melawan kebodohan yang merajalela.
Satya terpana. Ia sungguh mengagumi Maneka, dan untuk kesekian kalinya bergetar karena cinta. <"
Kapimoda udah dua minggu kapal yang ditumpanginya tidak berlabuh di mana pun. Berjalan keliling kapal, tiada satu pu lau yang kelihatan. Saat itulah Walmiki melihat Perku tut Kapimoda, wanara tua yang masih perkasa, tapi memang kelihatan sudah tua.
Astaga, pikir Walmiki, apa yang dilakukan si tua itu di sini" Kapimoda berlari di atas air. Walmiki mengerti apa artinya. Kapimoda mempunyai tingkat kematangan batin yang sempurna, sehingga bisa membawa tubuhnya mengikuti pikirannya. Di kiri kanan Kapimoda terlihat sejumlah ikan lumba-lumba. Rupa-rupanya merekalah yang menunjukkan jalan kepada Kapimoda di lautan yang luas ini, di sebelah manakah Walmiki berada.
Walmiki, kata wanara tua itu, kamu lupa membunuhku. Tukang cerita keliling itu mengernyitkan dahi. Kapimoda memang jarang diceritakannya. Mungkin inilah peran yang ke munculannya paling sebentar di antara peran-peran bernama da lam Ramayana. Walmiki, meskipun ingat akan Kapimoda, lupa-lupa ingat akan perannya.
Sirep Indrajit, Kapimoda mengingatkan, seperti mengerti isi kepala Walmiki.
Walmiki melihat Kapimoda berlari-lari dengan ringan. Ia sudah pergi jauh sekali, pikirnya, apalagi sebagai wanara sudra tanpa kesaktian, tanpa kedudukan berarti dalam cerita, dan tanpa ketenaran. Begitulah, siapa yang mengenal Kapimoda" Bagaimana orang akan mengetahui keberadaan
Kapimoda di antara ratusan nama dalam Ramayana jika tidak sekadar iseng mencari-cari yang tidak ada, untuk menjadikannya ada" Walmiki mendeham dengan jengkel. Siapa yang telah membuat Kapimoda berada di hadapannya"
Sirep Indrajit! Ya, tentu saja sirep Indrajit, putra Rahwana, yang pada su atu malam melayang-layang di angkasa, membacakan rapal mantra-mantra penidur di atas Gunung Suwela, markas ba latentara Goa Kiskenda yang menyerbu Alengka. Malam itu Indrajit menyebarkan sirepnya, dan balatentara berjuta-juta wanara langsung tertidur, kecuali dua makhluk saja, yakni Wibi sana, karena mempunyai pusaka Gambar Lopian, dan Kapimoda, wanara biasa yang tidak mempunyai kesaktian apa-apa. Kapimoda adalah wanara sudra, wanara tak berbusana dalam pasukan Goa Kiskenda, yang usianya paling tua. Konon ia sudah ada sejak ma sa wanara yang pertama. Jadi memang sudah tua sekali, tapi tidak mati-mati. Artinya, ia tidak mempan dimakan sirep Indrajit yang membuat seluruh penghuni Gunung Suwela tertidur, termasuk semut dan cacing-cacing tanah, karena ia lebih tua dari ilmu sirep itu.
Ilmu hitam, pikir Walmiki, cara bekerjanya tidak pernah bisa kumengerti.
Tapi ia menuliskannya. Aji sirep Indrajit tidak mempan terhadap Kapimoda karena wanara itu lebih tua usianya dari si rep tersebut. Yang tidak di me ngerti Walmiki, bagaimanakah ilmu sirep itu lahir dan berusia" Apakah ilmu sirep itu semacam substansi yang tersusun dari berbagai unsur yang bisa bersenyawa dan setiap kali akan berfungsi jika unsur-unsur itu disenyawakan kapan dan di mana pun tempatnya" Dengan demikian ilmu sirep itu sekali dilahirkan tidak akan hilang lagi, kecuali tidak satu makhluk pun mengetahui mantranya. Tapi setidak-tidaknya mantra jahat semacam itu tercatat dalam kitab yang tersimpan di kuil-kuil setan. Walmiki bergidik membayangkan kehidupan para penganut ilmu hitam. Bertapa di antara mayat-mayat yang membusuk, menggali kuburan, atau membunuh bayi-bayi tak berdosa.
Bagaimanakah ilmu sirep semacam punya Indrajit itu bekerja" Walmiki tak pernah bisa membayangkan ilmu semacam itu diciptakan. Dari mana mantra-mantra itu ada" Bahasa-bahasa purba yang tak jelas! Bagaimana ia bisa begitu bertuah" Mantra yang bersenyawa dengan ruang, waktu, dan benda-benda sajen yang dikeramatkan bagaimana hal itu bisa membuat banyak orang tertidur" Tapi Kapimoda tidak tertidur. Ia merayap sepanjang Gunung Suwela membangunkan kawan-kawannya
yang tertidur, namun mereka tidak hanya tertidur, mereka ternyata sudah mati. Kapimoda merayap di Gunung Suwela dengan air mata bercucuran. Indrajit telah melepaskan Nagapasa, beribu-ribu naga keemasan melayang di langit malam, mengendap ke Gunung Suwela dan menyemburkan uap berbisa serta menggigit segenap balatentara Goa Kiskenda yang tertidur.
Semuanya tewas begitu saja. Seluruh balatentara dan para panglima: Hanggada, Hanila, Hamongga, Kapisraba, Harimenda, dan Cucakrawa. Begitu juga Sugriwa, bahkan Rama dan Laksmana. Adapun Hanuman me mang tertidur, namun ketika seekor Nagapasa yang bercahaya menyi laukan itu mendekatinya, ia melompat bangun, menghajar Nagapasa itu sampai menghilang, dan segera mengerahkan keempat ajiannya: Bayubajra, Bandawasa, Waringinsungsang, dan Singanabda. Jeritannya yang dahsyat merobek malam dan segera memusnahkan naga-naga emas yang beterbangan itu. Hanya tiga makhluk hidup di Gunung Suwela hari itu: Gunawan Wibisana, Hanuman, dan Kapimoda. Bagi Hanuman tidak aneh bahwa Kapimoda masih hidup. Meski hanya prajurit biasa, usia lanjut telah menyelamatkannya. Namun Walmiki sendiri lupa, bagaimana Kapimoda melawan Nagapasa. Tidak seperti Wibisana yang memiliki Gambar Lopian, atau seperti Hanuman yang sakti mandraguna, Kapimoda sungguh wanara sudra tanpa ajian istimewa kecuali mencakar dan menggigit seperti lain-lainnya.
Ternyata terlalu sedikit yang diketahui seorang pengarang tentang tokoh-tokohnya sendiri, pikir Walmiki.
Wibisana dan Hanuman mendekati jenazah Sri Rama. Titis an Wisnu itu tergeletak seperti orang tidur. Ketika Wibisana dan Hanuman tepekur, se olah-olah riwayat dunia sudah berakhir, Sri Rama membuka mata.
Hanuman, pergilah ke Gunung Maliawan, bawa pohon Latamaosandi kemari.
Hanuman terbang secepat kilat ke Gunung Maliawan, tapi ia lupa la gi di mana dan seperti apa wujud tanaman yang pernah diambilnya untuk menghidupkan Wibisana itu, setelah ksatria cendekia itu dibunuh Rahwana, kakaknya sendiri. Maka, de ngan kuku Pancanaka yang pindah tempat dari jari Sarpakenaka, dipotongnya gunung itu dan dibawanya terbang. Gunung itu jatuh berdebum di samping Gunung Suwela. Cepatlah, gosokkan daun Latamaosandi itu ke bekas luka gigitan naga. Aku sekadar memberi petunjuk, sebenarnya aku ini juga sudah mati ....
Lantas Sri Rama roboh. Tetapi Wibisana cepat menggosokkan daun itu ke bekas luka, sehingga ia hidup kembali. Mereka menghidupkan kembali semua panglima, Sugriwa, Laksmana, dan lain-lainnya. Dalam peristiwa inilah Kapimoda berperan penting, melarutkan dedaunan Latamaosandi ke dalam air, dan tinggal mencipratkan air itu ke seluruh balatentara yang mayatnya bertumpuk-tumpuk. Pada siang hari, Gunung Suwela sudah riuh dengan celoteh dan jeritan berjuta-juta wanara lagi. Hanuman menendang puncak gunung yang diirisnya, melayang kembali dan jatuh berdebum di tempat asalnya.
Kapimoda sudah pensiun ketika berlangsung Persembahan Kuda, dan kini ia ingin mati, karena merasa sudah hidup terlalu lama. Bunuhlah aku Walmiki, aku sudah bosan dengan dunia ini. Kapimoda, aku bukan pembunuh.
Ceritakan sesuatu yang mengakhiri riwayatku, aku akan berterima kasih untuk itu.
Walmiki menghela napas. Apakah semua tokoh akan minta diurus seperti itu" Seberapa jauh tokoh-tokoh tergantung kepada pengarangnya" Setiap kali tokoh terbentuk, ia sudah lepas dari pengarangnya, karena pendengar atau pembacanya akan menciptakan kembali tokoh-tokoh itu dalam penafsiran mereka. Setiap orang bisa menciptakan kembali tokoh-tokoh itu kalau mau, dan tokoh-tokoh itu juga bisa menuliskan riwayat mereka sendiri, le pas dari tujuan pengarangnya. Seorang pengarang ternyata, memang, tidak bisa menentukan segala-galanya. Setelah cerita yang ditulisnya selesai dan tokoh-tokohnya terbentuk, mereka terlempar ke belantara makna yang gelap. Tidak seorang pun akan tahu apa yang akan menjadi nasib seorang tokoh setelah itu. Cerita bisa berubah. Tokoh-tokoh bisa mati dan dihidupkan lagi. Oleh siapa pun yang menghendaki cerita seperti itu. Dunia adalah tempat makna-makna bertarung.
Jangan lupa Walmiki, tolong, selesaikan riwayatku. Sekali ini saja tolonglah, aku tidak pernah berbuat salah kepadamu.
Kapimoda memperlambat larinya, melambaikan tangan kepada Walmiki.
Selamat jalan Walmiki, semoga engkau bahagia.
Walmiki melihat ikan lumba-lumba itu semuanya ikut ber henti. Rupa-rupanya mereka semua memang membantu Ka pi moda. Sekarang mereka akan menunjukkan jalan kembali. Ke manakah Kapimoda pulang"
Di manakah Kapimoda tinggal" Apakah yang dilakukannya setelah pensiun sebagai prajurit Goa Kiskenda" Walmiki merasa bersalah, tapi tidak bisa menyesali nya. Bahkan seorang tukang cerita bisa saja tidak tahu kenapa ia selalu bercerita. Apakah ada suatu kuasa yang menentukan jalan hidupnya"
Lautan kosong dan sepi. Walmiki membayangkan sebuah cerita untuk Kapimoda.
mengail ikan dari atas mega, o tersangkut benang layang-layang mengira kail menyangkut ikan pancing disendal dapatnya bocah, o!
Kapimoda akhirnya berhenti di tengah laut. Debur ombak mengenangkannya kepada masa-masa indah pembangunan Tambak Situ Bandalayu. Tambak membelah lautan dari Pancawati ke Alengka. Ia berada di baris terdepan ketika tambak itu mencapai tengah lautan, dan di ujungnya muncul Shraba.
Makhluk itu sungguh luar biasa. Suatu raksasa berkepala seperti buaya, dan seluruh tubuhnya bersisik seperti ikan. Tu buh nya itu berwarna hijau tua, mengenakan kancut seperti manusia, muncul begitu saja seperti kemunculan anak gunung sembari menggeram.
Grrrhh! Kini Sri Rama menjadi makanan Shraba!
Tangannya meraih kereta kuda yang dikusiri Laksmana. Ke reta bersama kudanya terangkat dengan ringan seperti mainan, karena di tangan Shraba hanya sebesar genggaman. Kuda-kuda meringkik di angkasa, Shraba langsung menelannya, kereta hancur di dalam mulutnya. Namun sebelum Rama dan Laksmana ikut tertelan, sebuah cahaya putih menyambar kepalanya, dan Rama serta Laksmana lepas dari mangsa raksasa buaya itu.
Cahaya putih itu adalah Hanuman. Ia telah berada di angkasa ketika kereta kuda Rama dan Laksmana melaju mendahului para pengawalnya. Langsung menyambar ke bawah begitu terlihat bahaya mengancam. Kapimoda berada di baris terdepan saat itu, dan melihat semuanya. Shraba langsung menghilang ke dalam laut, meninggalkan buih yang menggelegak.
Peristiwa itu langsung dibahas para panglima. Rama mengatakan makhluk besar itu menyebut dirinya Shraba. Raja kera Sugriwa yang hanya mendengar selintas pintas bahwa Shraba berkepala buaya, langsung mengi-
ra pelakunya adalah Kapisraba, panglima Goa Kiskenda yang juga berkepala buaya, tapi jelas tubuhnya biasa saja seperti manusia. Tanpa bertanya lagi Sugriwa mencari Kapisraba, dan segera menghajarnya ketika bersua. Kapisraba yang sedang bersantai di bagian lain tambak, merenung-renung sendirian, tidak melawan Sugriwa. Balatentara Goa Kiskenda gempar. Apa yang telah terjadi"
Sugriwa menghadapkan Kapisraba yang tidak tahu apa ke salahannya. Sri Rama, ini dia Kapisraba, yang bermaksud memangsa Andika. Rama dan Laksmana kebingungan. Kepala mereka sama-sama berupa buaya, mungkinkah ini sejenis siluman yang bisa berganti-ganti rupa"
Kepalanya juga seperti buaya! Tidak ada makhluk berkepala buaya lain di dunia ini kecuali Kapisraba!
Lantas Sugriwa menendang Kapisraba.
Mengakulah engkau telah dibayar oleh Rahwana.
Semua orang memandang Kapisraba. Saat itulah Kapimoda maju ke depan.
Maafkan saya, Sang Raja, izinkanlah Kapimoda bicara. Barisan tersibak, Kapimoda menghadapi Rama, Laksmana, dan Sugriwa.
Ada apa Wanara Tua" Mengapa engkau mencampuri urus an panglima" Sugriwa merasa terganggu dengan wanara sudra tanpa busana itu.
Saya melihat dengan jelas perwujudan Shraba yang memangsa kereta berikut kuda-kudanya, sama sekali berbeda dengan Kapisraba.
Wanara Tua pintar bicara! Ia bisa saja beralih rupa! Apakah engkau juga bekerja untuk Rahwana"
Saat itu tibalah Wibisana, yang segera mengerti duduk persoalannya. Coba jelaskanlah kepadaku Perkutut Kapimoda, seperti apa Shraba yang kausaksikan itu.
Ia tinggi besar seperti anak gunung, berkepala buaya, tubuhnya bersisik warna hijau tua, berkancut seperti manusia.
Semua orang melihat Kapisraba, ia memang berkepala bu aya, tapi bermahkota, bertubuh manusia, dan berbusana seperti ksatria. Sungguh berbeda. Namun di dunia pewayangan, di ma na terdapat kemampuan berganti-ganti rupa dengan seketika perbedaan semacam itu memang tidak bisa dijadikan pegangan. Tapi Wibisana berbicara.
Saya tahu siapa dia, pasti Shrababuta anak Rahwana dari Dewi Banggawati, cucu Raja Kumbala, siluman buaya dari Rawa Kumbala di sebelah utara Alengka. Raja Kumbala telah dibunuh oleh Rahwana, dan sekarang Banggawati berkuasa di sana. Pasti Shraba ditugaskan ayahnya untuk merusak tambak, dia sangat berbahaya.
Siluman buaya" Rama bertanya.
Siluman buaya yang dikawini Rahwana, jadinya raksasa buaya yang mengerikan.
Apa yang harus kita lakukan"
Kapimoda teringat bagaimana Kapisraba menawarkan diri, dan Rama mengizinkannya.
Di dalam laut aku kebingungan mencari-cari Shraba, ujar Kapisraba kemudian, kepada Kapimoda.
Di dalam laut, Kapisraba sedang termangu-mangu ketika sebuah bayangan raksasa lewat di atasnya, tanpa mengetahui adanya Kapisraba yang menjadi tampak begitu kecil. Itulah Shrababuta, yang membuat dasar laut tiba-tiba menjadi gelap. Ia berenang seperti berjalan dan berjalan seperti berenang. Tanpa diketahui Shrababuta, Kapisraba melejit di antara ketiaknya sampai ke atas kepala. Lantas ditendangnya tengkuk siluman buaya itu.
Shrababuta meraung dan lautan bergolak. Kapisraba mela rikan diri, se ngaja memancingnya ke daratan. Di atas tambak, Shrababuta dikepung ribuan wanara yang ternganga. Raksasa bersisik dan berkepala buaya itu kulitnya keras sekali, para wana ra yang menggigitnya berpentalan sekali kibas. Tapi ke mudian datanglah Hanuman. Ia merobek mulut Shraba sampai siluman blas teran raksasa itu tewas.
Bencana yang sebenarnya baru datang kemudian. Di dalam istana batu yang lebih mirip gua dengan gerbang berupa mulut buaya menganga, Ratu Banggawati menjerit panjang mendengar kematian putranya. Gelombang suaranya bagaikan undangan bagi bangsa buaya untuk menghadap. Berjuta-juta buaya diperintahkannya untuk menghancurkan tambak. Sekali serbu hancurlah bagian tengah tambak itu, membuat beribu-ribu wanara yang sedang berbaris ditelan ombak. Laksmana melepaskan panah ke langit, yang turun kembali menjadi ribuan panah pembunuh buaya-bu aya itu. Namun kemudian bu aya-buaya pemusnah me nyerbu pada malam hari. Tambak selalu jebol dan tiada kepastian balatentara Rama ini bisa mencapai Alengka.
Tugas ini hanya bisa diselesaikan oleh Hanuman, ujar Wibisana. Hanuman segera tiba dan Wibisana menguraikan apa kata Gambar Lopian: Rawa Kumbala harus ditimbun dengan batu.
Begitulah Hanuman terbang seperti kilat menuju ke arah Rawa Kumbala. Ia mengerahkan segenap kekuatan dan kecepat annya untuk menimbun tempat itu. Mula-mula ia membelah gunung-gunung batu sehingga runtuh, lantas pecahannya yang berupa gundukan-gundukan batu sebesar bukit dilemparkannya ke atas Rawa Kumbala yang merupakan negeri buaya. Hanuman terbang mondar-mandir secepat angin, buaya-buaya itu ti dak sempat lari, batu-batu besar beterbangan menimbun rawa dengan cepat. Langit meledak-ledak karena Hanuman terbang melebihi kecepatan suara. Buaya-buaya yang kebingungan tidak bisa berbuat apa-apa, Hanuman menghabisi riwayat Kerajaan Siluman Rawa Kumbala. Suara gununggunung batu yang di pecahkannya begitu gemu ruh dan mengerikan. Istana batu tem pat tinggal Ratu Banggawati dirobohkannya tanpa ampun, menjadikan istri Rahwana yang bermahkota seperti mulut buaya itu berkubur di istananya sendiri. Amuk Hanuman ini berakibat ke Alengka. Seluruh bumi bagian utara yang bertetangga dengan Rawa Kumbala di negeri itu habis tersapu banjir besar. Bukit-bukit batu yang dipecah, diangkat dan dilemparkan ke laut di bagian utara Alengka itu telah mengakibatkan gelombang yang dahsyat. Bukan hanya istana Rawa Kumbala lenyap disapu gelombang, tetapi juga provinsi-provinsi di utara Alengka, raksasa-raksasa se tinggi 30 meter lenyap disapu gelombang mahadahsyat.
Hanuman menatap hasil pekerjaannya dari atas mega. Apalah yang bisa dikerjakan seorang prajurit selain menjalankan tugas-tugasnya"
Kapimoda menghela napas. Ia selalu hidup dengan kenang an-ke nangannya. Sedangkan Walmiki lupa mengakhiri riwayat nya. Di tengah lautan se perti ini, apakah yang bisa dilakukannya sekarang" Seekor lumba-lumba datang menegurnya.
Naiklah ke punggungku, barangkali nanti kautemukan akhir riwayatmu.
Di lautan bebas, seekor ikan lumba-lumba meluncur, dengan seekor wanara tua di atasnya. <"
hanuman di rumah Pemulung rayap merayap di dalam kitab, o menelan sejarah kemanusiaan huruf-huruf membentuk jagad terkubur debu-debu peradaban, o!
edati itu akhirnya memasuki wilayah Nilgiri, suatu wilayah berbukit-bukit di selatan anak benua. Sapi Benggala itu tanpa diperintah berhenti di depan sebuah toko kitab-kitab bekas di kota Chitradurga. Toko-toko seperti ini menjadi sangat penting setelah bencana Persembahan Kuda, karena tidak ada sesuatu pun yang bisa dibuat lagi. Pabrik-pabrik dibakar dan lumpuh, bahkan pengetahuan dan keterampilan ikut hilang karena para pakarnya sengaja dimusnahkan, menyisakan sebuah angkatan pemulung. Namun sebuah dunia yang terdiri dari para pemulung pun bukan tidak bisa berbuat apa-apa. Pengetahuan terkumpul di toko-toko kitab bekas yang menerima hampir apa saja yang diberikan para pemulung, selama itu mempunyai huruf, karena dari setiap huruf yang ditafsirkan kembali bisa terkuak sebuah dunia, yang dengan suatu cara akan mengembalikan ilmu pengetahuan yang hilang.
Satya dan Maneka memasuki toko kitab bekas itu. Mereka melihat betapa bertumpuk-tumpuk dan berjajar-jajar lembaran lepas dari berbagai macam keropak. Ada yang hanya terdapat bab pembukanya, ada yang hanya
terdapat bab penutupnya. Sebagian besar tak jelas berasal dari kitab apa. Ada juga kitab-kitab yang utuh dan terkumpul di pojok. Satya menutup hidung, toko kitab itu penuh sesak dengan keropak bekas yang berdebu. Terasa lembap dan sumpek. Namun pemandangan itu menyulut gairahnya untuk membaca. Ingin rasanya ia berkubang dan membaca segala hal yang bisa dibacanya.
Tentu saja tidak ada Kitab Omong Kosong di sini, katanya kepada Maneka.
Setelah membeli beberapa judul kitab yang utuh, mereka ke luar dari toko itu. Di luar, sapi Benggala itu melenguh, dan ke palanya seperti menunjuk ke suatu arah. Satya dan Maneka terpana. Di luar toko itu berderet-deret orang menjual kitab-kitab bekas, mereka menggelar tikar di atas tanah, dan menunggui kitab-kitab itu sambil membaca kitab yang lain atau meniup seruling.
Satya dan Maneka berjalan menyelusuri deretan para penjual itu, yang sebagian membaca dan sebagian meniup seruling. Kitab-kitab itu rupanya me mang diburu oleh para pencinta huruf. Orang-orang membutuhkan sebuah dunia lain. Bukan hanya du nia yang mereka lihat dan mereka dengar saja, du nia yang terbatas kepada kemampuan pancaindra untuk menyerapnya, tetapi dunia yang bisa mereka bayangkan meskipun tidak terlihat dan tidak terdengar. Sebuah dunia yang tidak hanya memun culkan diri lewat pencerapan indra manusia, tetapi sebuah dunia yang mengharukan karena sentuhannya kepada penalaran, mengejutkan karena penemuan-penemuan tak terduga, dan menakjubkan karena pesona yang tak kunjung bisa diterjemahkan meski tetap terbaca melalui tulisan. Huruf-huruf memberikan sebuah dunia nyata yang hanya bisa dijelajahi dalam pikiran pembacanya sendiri.
Orang-orang berkerumun pada hampir semua tempat pen jualan itu. Kitab-kitab utuh tentang aneka jenis masakan labu dan bagaimana membuat rumah atau bagaimana beternak kuda dicari-cari orang. Para penjual itu juga menerima pesanan penya linan. Satya merasa dunia sedang bangkit.
Tetapi jalan masih jauh tanpa Kitab Omong Kosong, pikirnya, karena segenap kitab yang ada di dunia hanyalah anak pikiran dari babonnya, dan Kitab Omong Kosong katanya merangkum sejarah pemikiran.
Mereka berjalan dalam iringan suara seruling. Para peniup seruling me nyuarakan lagu yang sama dengan cara bersahut-sahutan. Di sebuah sudut, ter dapat seorang penjual kitab bekas yang hanya menghadapi dua kitab. Satya dan Maneka tidak mem punyai perhatian kepada dua kitab itu, mereka melewatinya saja. Tetapi penjual kitab itu berkata.
Tuan dan Puan, kenapa Tuan dan Puan tidak berhenti untuk melihat kitab yang saya jual"
Satya ingin berjalan terus saja, tetapi Maneka menjawab. Kenapa kami harus berhenti di pasar kitab bekas" Kami berhenti di suatu tempat dan tidak berhenti di tempat lain.
Tapi Tuan dan Puan harus berhenti untuk kitab saya ini. Kenapa kami harus berhenti, jika kitab itu bukan kitab yang kami kehendaki"
Bagaimana Tuan dan Puan tahu ini bukan kitab yang kalian kehendaki, jika tidak menengok kemari"
O, penjual kitab bekas, kitab yang kami cari tidak akan ada di sini. Kenapa"
Karena kitab yang kami cari bukanlah sembarang kitab, sehingga kitab itu tidak akan ada di sembarang tempat.
Kitab apakah yang tentunya sekarang ini tidak berada di sembarang tempat, wahai Tuan dan Puan yang cerdik dan cen dekia"
Satya dan Maneka saling memandang, Satya memberi isya rat agar mereka berjalan terus, namun Maneka masih juga menjawabnya,
Apakah dikau mengetahui keberadaan Kitab Omong Kosong, wahai penjual kitab bekas"
Penjual itu menjawab dengan pertanyaan pula.
Apakah Tuan dan Puan menganggap tempat saya ini adalah tempat sembarangan"
Maneka tertegun. Satya mendekat.
Lihatlah kitab bekas yang saya jual, saya tidak akan memaksa Tuan dan Puan untuk membelinya, tapi saya tahu kitab ini bukan sembarang kitab.
Satya melangkah maju. Apakah dikau sudah membacanya, penjual kitab bekas" Penjual itu tersenyum, memperlihatkan giginya yang ompong.
Oh, saya tidak cendekia seperti Tuan dan Puan, saya tidak bisa membaca.
Maneka tersenyum, pada masa itu tidak terlalu aneh jika seseorang tidak bisa membaca, termasuk para penjual kitab bekas. Tidak banyak orang membaca, banyak orang lebih suka mende ngar tukang cerita membacakannya untuk mereka.
Jadi bagaimana dikau mengetahui kitab ini bukan kitab sembarangan"
Penjual tertawa lebar. Karena yang menjualnya kepadaku adalah Hanuman. Satya membuka kitab itu. Bagian judulnya sudah hilang, tetapi judul itu diulang kembali di manggala pembuka:
Avighnam Astu. Berikut ini disampaikan
Bagian Ketiga dari Kitab Omong Kosong yang mulia: Dunia yang Tidak Ada.
Mereka berdua tercengang. Kehidupan belum berhenti memberi kejut an. Satya bertanya dengan terbata-bata. Ia merasa sangat malu telah bersikap melecehkan penjual kitab bekas itu. Betapa mudahnya manusia dijatuhkan oleh soal-soal sepele, pikirnya, hampir saja ia menggagalkan sendiri tujuan perjalanannya.
Kitab ini dijual oleh Hanuman" kata Satya masih setengah percaya. Ya, Hanuman sendiri yang mendatangiku pada suatu malam berhujan ....
Hujan masih terus menderas di kota Chitradurga, ketika San jay masuk ke gubuknya dengan pakaian basah kuyup. Istri nya, Sabana, masih menyusui bayi mereka yang sakit-sakitan. Ia memandang Sanjay dengan tajam, dan Sanjay menggelengkan kepala.
Apa lagi yang akan kita makan hari ini" Apa kita akan makan kanji lagi"
Mereka begitu miskin, sehingga mereka tidak bisa membeli apa pun untuk dimakan. Sudah beberapa hari keluarga itu hanya makan kanji
yang digunakan untuk mencuci pakaian. Sanjay men cari makan sebagai pemulung kitab bekas, sedangkan Sabana menerima upah cuci pakaian.
Mengapa kamu tidak bisa mencari kerja lain selain mencari dan menjual kitab-kitab bekas"
Kerja apa" Kamu bisa jadi kuli di pasar, atau penjaga malam di gudang beras. Lebih ada kepastian penghasilan.
Pasar sudah dikuasai centeng yang memeras para kuli, lo wongan untuk penjaga malam sudah penuh, apalagi aku tidak ada potongan, tubuh kurus kering seperti ini.
Kerja apa sajalah, yang tidak membuat kita makan kanji. Hujan membenamkan segala suara. Rumah mereka hanya gubuk berdin ding bambu yang tidak meredam suara apa pun, sehingga suara hujan membuat mereka harus berbicara keras-keras. Sanjay berdoa agar hujan cepat berhenti, karena hujan yang agak lama sedikit saja akan mengakibatkan banjir, dan mereka sudah sangat bosan dengan banjir yang sama sekali tidak berbahaya tetapi sangat menjijikkan. Pernah ada mayat seorang perempuan hamil ter apung-apung di lorong depan rumah mereka.
Kamu harus membiarkan aku melacur lagi, kata Sabana, aku tidak bisa membiarkan Apu juga makan kanji.
Apu, bayi itu, batuk-batuk, seperti membenarkan.
Sanjay tertunduk lesu. Ia juga tidak mengerti kenapa orang tidak membeli kitab bekas kepadanya. Orang membeli kitab-kitab bekas kepada siapa pun, tapi tidak kepada dirinya. Berjam-jam ia duduk di depan kitab-kitab yang ha nya dipinjamnya dari pen jual lain, agar ia mendapat sedikit keuntungan jika terjual, namun agaknya peruntungan Sanjay tidaklah berada dalam penjualan kitab-kitab bekas itu. Serpihan-serpihan kitab bekas yang berserakan telah semakin sedikit, terkumpul di pusat perdagangan kitab-kitab bekas di sepanjang jalan tersebut.
Aku tidak bisa membiarkan kamu melacur, katanya, aku mengawinimu supaya kamu tidak jadi pelacur lagi, bagaimana aku bisa membiarkan hal itu terjadi"
Tapi kita harus makan. Kita akan bisa makan.
Sudah ratusan kali kamu katakan itu, kita tetap saja makan kanji.
Sanjay tepekur. Lama sekali. Sementara bayi Apu itu terde ngar tangisnya di antara hujan. Ia teringat pertemuannya dengan Sabana di lorong-lorong kumuh Chitradurga.
Saat itulah pintu diketuk. Mereka heran. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan dicari oleh siapa pun dalam hidup ini.
Siapa" Bukalah dulu, jangan takut, biarkan aku masuk.
Sanjay memandang Sabana, yang maju mengintip, dan wa jahnya menjadi pucat.
Sanjay, lihat! Sanjay mengintip, dan melihat wanara setinggi manusia de ngan bulu putih keperak-perakan bersarung kotak-kotak hitam putih, basah kuyup karena hujan.
Ia langsung membuka pintu. Hanuman"
Diyakinkannya bahwa wajah itu bukan topeng. Meskipun tidak bisa membaca, Sanjay selalu mendengar tukang cerita mendongeng sampai berhari-hari. Di antaranya ada yang bercerita tentang Ramayana. Orang-orang sa ngat senang mendengarkan cerita Ramayana yang seru itu, dan semua orang kagum dengan Hanuman, panglima Rama yang perkasa. Mereka sering bertanya ke manakah Hanuman sekarang, dalam umurnya yang panjang, selain bertapa di Kendalisada. Apakah ia terus-menerus bertapa, ataukah ia masih terus memerangi penjelmaan Gelembung Rahwana di mana-mana"
Entahlah, kata para tukang cerita, kami hanya menceritakan ulang tu lisan Walmiki, hanya dia yang tahu nasib tokoh-tokohnya, itu pun kalau tidak lupa.
Dan di manakah Walmiki sekarang" Entahlah, sudah lama dia menghilang. Hanuman sekarang berada di hadapannya.
Ya, aku Hanuman, jangan takut. Aku ingin minta bantuanmu. Sanjay ternganga. Ia tidak bisa menyilakan Hanuman duduk, karena tidak ada kursi di gubuk reyot itu, dan lantainya hanya tanah, yang kini basah.
Apa yang bisa dilakukan orang semiskin aku untukmu, Hanuman"
Belilah kitabku ini, dengan harga kitab bekas.
Beli" Aku tidak punya uang, Hanuman, bahkan setiap hari kami makan kanji.
Hanuman tertunduk lesu. Kitab ini harus dibeli, itulah syaratnya, supaya sahih memasuki peradaban kembali. Apakah engkau tidak punya uang barang satu sen" Tidak ada Hanuman, nasib kami memang malang.
Jangan menyerah kepada nasib, Sanjay, berjuanglah untuk membeli kitab ini.
Kitab apakah itu Hanuman"
Kitab ini penting untuk kita semua, kalau engkau membeli dan menjualnya kembali, engkau akan sangat berjasa.
Tentang apakah isi kitab itu"
Isinya adalah sejarah pemikiran. Tentang apa"
Tentang manusia dan dunia.
Tentu itu penting sekali, Hanuman, tidak ada kitab seperti itu di pasaran buku bekas. Apakah judulnya"
Kitab Omong Kosong. Kitab Omong Kosong" Apakah isinya memang omong kosong" Hanuman menghela napas. Hujan makin deras.
Sanjay, aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya ke padamu, seseorang harus menghabiskan waktu bertahun-tahun menekuni kitab itu. Segeralah kau beli kitab ini, karena ke sempatan kitab ini berpindah dimensi hanyalah saat ini. Jika tidak ia akan kembali ke dimensi dongeng dan tidak akan ada kesempatan lain lagi.
Sanjay kebingungan. Sabana bertanya. Apakah kitab itu harus dibayar dengan uang" Dengan apa saja, asal dibeli.
Kalau begitu aku bisa berikan diriku. Hanuman tidak mengerti. Sanjay menjelaskan.
Dia seorang pelacur, kalau engkau tidur dengannya Hanuman, itu bisa dianggap bayaran. Tapi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Pikiran gila!
Sabana menukas. Sanjay, kita tidak punya uang, ambil kitab itu, kita bisa menjualnya dengan mahal. Aku sudah bosan makan kanji.
Hanuman menggelengkan kepala.
Sanjay benar, wahai Sabana, lagi pula aku seorang pendeta. Aku hidup berselibat.
Kalau begitu kami tidak bisa menolong kamu, Hanuman, kata Sabana dengan marah, apalah artinya orang miskin seperti kami. Kembalilah ke dunia dongeng, engkau hanya memberi harapan yang kaumusnahkan lagi.
Tapi, kitab ini .... Kami tidak peduli dengan kitab itu. Apakah kitab itu akan membuat kehidupan kami berubah" Aku rasa tidak. Pergilah. Kembalilah. Biarlah do ngeng tetap menjadi dongeng.
Hujan tidak juga mereda. Apu menangis. Masalah itu se olah-olah tidak terpecahkan. Apakah Sanjay harus membiarkan Sabana tidur dengan Hanuman" Apakah Hanuman harus membatalkan sumpah selibatnya demi kepentingan yang lebih besar"
Satya memegang kitab itu.
Jadi bagaimana kitab ini akhirnya bisa ada di sini" Sanjay menggeleng.
Biarlah itu menjadi rahasia kami Tuan, tapi secara sah kami telah membelinya dari Hanuman. Berapakah Tuan akan mem bayar untuk kitab ini"
Satya mengambil batangan emas dari balik bajunya, meletakkannya di tangan Sanjay, dan mengajak Maneka pergi. Ia membeli juga kitab satu lagi yang dijual Sanjay, sehingga seluruh dagang an Sanjay yang hanya dua kitab bekas hari itu ludas. Dengan batangan emas di tangannya, Sanjay bisa memperbaiki nasibnya.
Mereka meninggalkan Sanjay yang terpesona memegang batangan emas itu. Pedati berjalan ke luar kota lagi. Di luar tembok kota, keduanya berhenti untuk makan.
Aneh sekali cara kita menemukan kitab-kitab ini, ujar Satya. Mungkinkah Hanuman tahu kita akan lewat di sini" Mungkin juga dia tidak tahu apa-apa.
Kenapa harus Sanjay yang jadi perantara kitab itu"
Kita tidak akan pernah tahu pasti, namun barangkali bukan Sanjay yang jadi masalah di sini.
Siapa" Sabana. Apa hubungannya" Entahlah, ini hanya dugaanku saja, tapi apakah engkau tidak berpikir bagaimana caranya Sanjay akhirnya mendapat kitab itu" Maneka sampai berhenti makan.
Apakah Hanuman tidur dengan Sabana"
Entahlah Maneka. Kurasa kita tidak akan pernah tahu. Aku hanya bertanya-tanya.
Pasti ada yang kamu pikirkan.
Satya tidak menjawab Maneka. Ia hanya memikirkan seandainya, seandainya, ada benih Hanuman di dalam perut Sabana. Seandainya.
Ayolah selesaikan makanmu, ujarnya, aku ingin kita segera pergi da ri kota Chitradurga ini. Aku merasa bayang-bayang Batari Durga selalu mengikuti kita.
Pada senja hari, di bawah langit yang semburat keemasan, sebuah pedati terlihat merayapi cakrawala. Sapi Benggala itu me langkah pelan tapi pasti, seperti berputarnya bumi. <"
tokoh-tokoh mencari Walmiki
almiki mencoba membuat daftar tokoh-tokoh yang hanya menjadi pelengkap penderita. Tokoh-tokoh yang hanya muncul untuk mati. Seperti misalnya su ami-suami Sarpakenaka. Perempuan raksasa itu mempunyai ba nyak suami, dan sebagian besar mati, bahkan ada yang oleh ta ngan Rahwana sendiri, yakni Katakili, yang tugasnya sebagai mata-mata ke pergok oleh Hanuman. Ia mengubah wujudnya sebagai salah satu wanara dan menyusup ke salah satu barisan dalam pasukan Goa Kiskenda atas perintah Rahwana. Namun mata Hanuman yang bisa membedakan mana wanara asli dan wanara jadi-jadian membuat ia tertangkap. Ketika Rama meme rintahkannya naik pohon, caranya memanjat tidak seperti monyet. Turunnya saja dengan kepala di bawah, langsung meluncur jatuh ke bumi. Dengan sekali tendang, Hanuman telah mengubah ujud wanara itu menjadi Katakili yang tingginya 30 meter.
Kubunuh kamu, mata-mata Alengka! Hanuman menggasak dengan ganas.
Katakili, salah satu suami Sarpakenaka, bukan lawan Hanuman. Ia sudah tewas jika Wibisana tidak mencegahnya. Ia dihadapkan Sri Rama, diberi ampun, bahkan keberaniannya dipuji. Ketika pulang, ia diberi sejumlah hadiah, antara lain sebuah keris. Dengan lugu ia menceritakan pengalamannya kepada Rahwana, sembari memuji-muji Sri Rama. Perbuatan bodoh itu mengakibatkan kematiannya. Rahwana sendiri membunuhnya dengan keris hadiah Sri Rama.
Walmiki mengusap jenggotnya yang putih.
Apakah tokoh seperti Katakili juga akan melepaskan diri dari cerita, dan untuk itu dia harus pamit"
Daratan! terdengar peneropong di tiang utama.
Walmiki sedang berada di geladak. Layar terkembang membuat kapal melaju. Mereka seperti sedang mendekati daratan. Orang tua yang mencari nafkah dengan bercerita itu terkesiap. Ia akan turun di sebuah negeri yang bahasanya maupun adat isti adatnya tak ia mengerti.
gedung-gedung batu dan jalan aspal udara dingin dan orang-orang asing bahasa baru, kulit putih, mata biru dekapkan tanganmu di dadaku manis Walmiki berkata sendiri:
Tiada lagi cerita, sayang, tiada lagi cerita ... o!
Walmiki turun dari kapal. Ia membawa tongkat dengan ikatan kain buntalan pakaian. Pelabuhan itu begitu ramai dengan segala macam manusia. Orang kulit putih, kulit hitam, kulit ku ning, kulit merah, maupun kulit sawo matang. Segala macam bahasa lalu lalang di sekitarnya, segala macam nada dan bunyi yang tak pernah dikenalnya. Walmiki berjalan di antara keramaian. Gerobak barang mondar-mandir dihela para kuli, gajah-gajah menyeret beban dan memindahkan ke kapal dengan belalai, orang-orang berjualan segala macam hal, serta orang datang dan pergi menciptakan pusaran arus yang tidak pernah berhenti.
Peti-peti dan karung-karung bertumpuk. Walmiki mencoba membaca, tapi sia-sia. Tak satu huruf dikuasainya. Ia bergerak keluar pelabuhan. Di pintu gerbang ia menunjukkan pas jalan yang dibawanya, dan dipersilakan melewati nya setelah pas itu dicap. Di luar pelabuhan, deretan toko-toko, kedai, dan orang berjualan di kaki lima memanjang. Walmiki merasakan dirinya begitu terasing, siapakah yang mengerti dirinya di tempat seperti ini" Siapakah yang mengerti bahasanya" Bagaimanakah caranya ia akan bisa memahami segala sesuatu"
Walmiki masih terus berjalan dengan perasaan bumi bergo yang karena baru turun dari kapal. Ia sadar berada di tempat yang sangat jauh. Dimasuki nya sebuah penginapan yang penuh dengan para pelaut dan pelacur. Dengan meletakkan sekeping uang emas, pemilik penginapan itu terbungkuk-bungkuk meng antarkan melewati sebuah teras panjang di lantai atas dengan ka mar-kamar yang menghadap ke jalan raya. Para pelacur berdiri di pagar menanti pemesan, tapi Walmiki melewatinya saja. Dari jalan raya di bawah orang-orang melihat pelacur itu, dan siapa yang tertarik akan masuk dan naik ke lantai dua.
Aduh, ternyata ini rumah bordil, pikir Walmiki, apakah pemilik penginapan mengira aku mencari seorang pelacur"
Benar juga. Dengan sekeping uang emas itu, Walmiki di per kenalkan ke pada seorang perempuan kulit putih bermata hitam dengan alis tebal yang cantik. Namun orang tua yang mencari nafkah dengan bercerita itu memberi isyarat menolak dan pergi. Ia bermaksud meminta kembali uangnya tetapi pemilik peng inapan itu, seorang muda bermata sipit dan licik, menolaknya. Ia mengeluarkan kata-kata yang tidak diketahuinya dengan mata menyala-nyala. Walmiki merasa lebih baik pergi saja, dan mere lakan uang emasnya.
Ia berada di jalan kembali ketika melihat sebuah kios tempat orangorang menukarkan uang. Ia meletakkan satu keping uang emas dan mendapatkan dua puluh keping perak serta lima puluh keping perunggu. Dilihatnya di kaki lima itu, seseorang bisa membeli sebuah tikar anyaman bambu dengan lima keping perunggu. Jadi ia bisa makan banyak dengan sekeping perunggu. Ia me masuki sebuah kedai, dan duduk. Pelayan mendekatinya dan mengucapkan sesuatu, dan Walmiki menunjuk perutnya serta memberi isyarat ingin makan. Pelayan itu bertepuk dan da lam sekejap mejanya sudah penuh aneka macam roti dan selai.
Walmiki mengambil roti dan mengoleskan selai dengan pengoles kayu. Sambil makan ia memerhatikan orang-orang di sekitarnya yang saling bicara riuh rendah. Ia tidak melihat seorang pun membawa senjata. Busana mereka sungguh berbeda-beda dan bahasa mereka bermacam-macam. Walmiki mencoba mende ngar-dengarkan, dan mengenal satu di antara bahasa-bahasa itu. Ketika ia masih menjadi seorang cantrik di sebuah pa depokan, Walmiki pernah mendapat pelajaran bahasa antarbangsa,
namun yang kemudian tidak pernah dipakainya, karena ia belum pernah keluar dari batas anak benua. Tepatnya ia belum pernah berlayar ke negeri orang. Walmiki kemudian merasa bodoh dirinya itu. Terkungkung dalam sengketa anak benua yang menumpahkan da rah, mengembara ke sana kemari sampai tua, berkisah tentang Ramayana di pasar-pasar dan kaki lima, sia-sia menularkan gagasan kesetiaan dan cinta.
Sambil makan, menatap manusia berbagai bahasa, Walmiki semakin menyadari betapa luasnya dunia.
Seseorang tinggal naik kapal dan berangkat, pikirnya, maka ia sudah menemukan dunia yang berbeda.
Terbayangkan olehnya sekarang kehancuran anak benua yang parah, ke tika manusia hanya bicara dengan bahasa senjata, dan peradaban dibangun kembali dari puing-puing tersisa.
Aku pun tak bisa menahan laju Persembahan Kuda, pikirnya. Ia minum air perasan jeruk. Saat itu seseorang berdiri di ha dapannya. Engkau tak akan bisa lari, Walmiki.
Walmiki mendongak. Ia tak merasa mengenalnya. Orang itu bicara kepadanya dengan bahasa antarbangsa.
Siapakah engkau" Bahkan engkau lupa tokoh ciptaanmu sendiri, wahai Walmiki. Orang tua itu mencoba mengingat-ingat, tapi ia tak berhasil. Maaf saya sudah terlalu tua, katanya, dalam bahasa antarbangsa yang terbata-bata, dari lakon manakah engkau berasal"
Tentu saja Ramayana, apakah engkau menulis yang lain selain Ramayana"
Tidak, aku hanya menulis Ramayana, tapi Ramayana itu banyak perca bangannya, dan adalah orang-orang lain yang me nuliskannya. Tokoh yang belum jelas itu menghela napas.
Itulah masalahnya, Walmiki, riwayatku berubah-ubah dari satu pe nulis ke penulis lain. Mereka menafsirkanku dengan cara yang berbeda-beda sama sekali, kadang-kadang dengan sangat bertolak belakang. Aku merasa terpontang-panting dari watak satu ke watak lain. Siapakah kamu"
Itulah dia, dari waktu ke waktu aku ditafsirkan dan ditulis kembali de ngan cara yang berlain-lainan, sehingga tidak ada lagi diriku semula yang
tersisa. Aku ini sudah habis, menjadi tokoh tanpa ciri-ciri pribadi. Bahkan sekarang aku tak tahu lagi siapa diriku. Bukankah itu keterlaluan" Tapi dirimu sekarang ini siapa"
Sungguh mati aku tak tahu, ciri-ciriku hilang, dan pribadiku menguap.
Paling tidak kamu tahu siapa namamu.
Itulah masalahnya, setelah pribadiku tak jelas, aku tak berperan apa pun, para pengarang tidak pernah peduli lagi kepadaku, aku menjadi telantar. Setelah berubah-ubah begitu rupa, aku menjadi bukan siapa-siapa. Padahal aku ini tetap ada. Siapakah aku, wahai pengarangku, engkau harus membereskan aku.
Walmiki menghabiskan makanannya, membayar, dan pergi. Orang itu mengikutinya.
Apa yang harus kulakukan, pikirnya, aku tak ingat siapa dia, dan dia tak tahu siapa dirinya sendiri.
Mereka berjalan di tengah kerumunan yang sangat ramai. Udara sejuk dan nyaman, namun Walmiki yang baru turun dari kapal merasa sangat galau.
Apakah kamu tidak bisa mengingat-ingat sedikit jua dari peranmu


Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu" Semua itu hanya samar-samar, Walmiki.
Setidak-tidaknya kamu tahu berada di pihak Rahwana atau Rama. Itulah masalahnya, semuanya samar-samar.
Seperti apa samar-samar itu"
Di antara keramaian yang makin membingungkan. Orang-orang bertopeng melakukan pawai, dan tukang obat bertebaran, Walmiki mencoba menyimak.
Aku hanya ingat suara hiruk pikuk, ingar bingar, dan cipratan darah. Selebihnya hanya kabut.
Wajah-wajah yang kamu lihat"
Wajah-wajah monyet, wajah-wajah raksasa, wajah-wajah ksatria, wajah-wajah cantik jelita.
Lelaki yang mencari nafkah sebagai tukang cerita itu pusing. Keterangan itu tidak menjelaskan apa-apa. Ia perhatikan sosok di sebelahnya. Ia bahkan tak tahu dia laki-laki atau perempuan.
Tulislah ceritamu sendiri, maka engkau akan menjadi sebuah pribadi, katanya.
Aku tidak bisa menulis. Walmiki menjadi sangat jengkel.
Kalau begitu engkau sial! Sudahlah! Pergilah! Lantas bagaimana nasibku"
Pergilah! Aku tidak peduli kepadamu! Aku pergi jauh bukan untuk me nemui masa laluku!
Engkau tidak boleh menghindar, Walmiki.
Aku tidak menghindar, nasibmu bukan tanggung jawabku. Tulislah aku! Tulislah aku kembali!
Walmiki menghentikan langkahnya.
Mengapa engkau tidak pamit saja seperti yang lain-lain" Mereka mene ruskan riwayat mereka sendiri!
Kamu sudah tahu masalahku, mereka bisa meneruskan riwayat karena ciri-ciri dan kepribadian mereka jelas. Diriku sama sekali ti dak jelas, tidak mungkin maju, tidak mungkin menjadi apa-apa.
Aku tidak punya waktu untuk menulismu.
Engkau seorang empu, engkau pasti bisa menuliskan aku kembali. Tapi aku pun tidak tahu siapa dirimu, wahai pribadi yang tidak jelas. Orang itu terduduk di tengah pasar. Menangis. Kemudian ia raib begitu saja, kembali ke dunia dongeng.
kehidupan ini seperti mimpi kupu-kupu mati hanyut di kali
Akhirnya Walmiki menemukan penginapan yang bukan ru mah bordil. Ia mendapat kamar seharga satu keping perunggu per hari dengan jendela besar yang menghadap ke laut. Dari jendela itu ia bisa memandang kapalkapal layar datang dan pergi keluar masuk pelabuhan. Kapal-kapal dengan bendera berbagai negara muncul dari cakrawala, memberinya begitu banyak gagasan. Namun untuk menulis dia perlu biaya untuk menyewa kamar. Apakah dia bisa mencari nafkah dengan bercerita di negeri ini" Setidaknya dia harus mendo ngeng dengan bahasa antarbangsa. Berapa orang mengu-
asai bahasa antarbangsa di negeri ini, sehingga bersedia membayar setelah mendengarkannya bercerita"
Ketika berjalan-jalan, Walmiki melihat sebuah toko kitab. Ia masuk ke sana, dan dilihatnya banyak pula kitab-kitab yang ditulis dengan bahasa antarbangsa. Melihat-lihat deretan kitab itu, menengok dan membacanya di sana sini, membuat Walmiki merasa sedih teringat nasib bangsa-bangsa yang hidup di anak benua. Betapa mengenaskannya hidup tanpa ilmu pengetahuan dan hanya hidup saling menjarah setiap hari. Sekali-kalinya diketahui ada Kitab Omong Kosong yang akan menjadi kunci pengetahuan, kitab itu meninggalkan jejak berdarah di mana-mana.
Ia mengambil sebuah kitab dari rak, dan terkejut karena menemukan terjemahan suatu bab dari Ramayana. Ia membacanya. Ternyata catatan Dewi Tara yang ditulis dengan bahasa antarbangsa.
Mengapa Walmiki menulis seperti itu" Menempatkan perempuan bidadari seperti bola permainan dunia lelaki" Lembusora dan Maesasura menculikku. Subali menempur mereka hingga tewas. Kepala kedua penguasa Goa Kiskenda itu dibenturkannya, sehingga mengalir darah merah bercampur warna putih keluar goa. Ini yang membuat Sugriwa mengira Subali yang berdarah putih itu tewas, dan menutup pintu goa dengan batu besar, serta mengawiniku. Su bali yang salah paham menghancurkan batu itu, menundukkan Sugriwa dalam pertarungan dan merampas serta menguasaiku. Tapi kemudian Sri Rama membunuh Subali, dan aku kembali menjadi istri Sugriwa.
Mengapa Walmiki menulis seperti itu" Aku tidak keberatan diperistri wa nara, karena perempuan utama tidak mementingkan perwujudan duniawi. Subali adalah seorang resi dan Sugriwa wanara yang perkasa, tapi mengapa ke hendakku tidak menjadi pilihan pertama" Aku bidadari putri Batara Indra, mem punyai kehendak dan kecerdasan seorang manusia, mengapa perasaanku tidak pernah diperhitungkan" Aku diculik oleh Lembusora dan Maesasura, tapi setelah dibebaskan lantas dihadiahkan kepada pembebasku, tanpa ditanya aku ini akan suka atau tidak kepada Sugriwa atau Subali. Setelah itu, ternyata aku masih dilempar ke sana kemari. Semula istri Sugriwa, lantas dirampas Subali sampai mengandung Hanggada, lantas jadi istri Sugriwa lagi. Sebetulnya aku ini tidak pernah dibebaskan.
Mengapa Walmiki menulis seperti itu" Aku ini perempuan yang bebas atau boneka permainan dunia lelaki"
Di dalam toko kitab, Walmiki tertegun. Benarkah ia pernah menggambarkan Dewi Tara seperti itu"
Ya, kenapa kamu menulis seperti itu"
Walmiki menoleh. Ternyata Dewi Tara. Perempuan itu ber kerudung pu tih, menutupi kepala dan seluruh badannya. Apakah ia juga akan pamit dari Ramayana karena merasa diperlakukan tidak adil"
Aku memang menunggumu di sini Walmiki, berpuluh-puluh tahun se telah kamu menuliskan ceritamu itu aku menunggumu di sini. Aku toh tidak pernah disebut-sebut lagi setelah kisah Sugriwa-Subali itu, dan hanya disebut kembali dalam kilas balik cerita Sugriwa untuk menyadarkan Hanggada ketika dia mabuk dan mengamuk karena akal bulus Rahwana.
Walmiki ternganga. Ia hanya menulis, dan membacakannya, tidak menggambar. Sehingga perwujudan Dewi Tara pun tidak terlalu jelas bagi nya. Namun penampilan perempuan itu sangat mengesankannya. Para tokoh diciptakan, lantas mengurus dirinya sendiri. Pernyataan perempuan itu bahkan membuat Walmiki merasa malu. Sebegitu rendahnyakah ia telah memandang pe rempuan"
Tapi aku tidak pernah menulis soal Maesasura dan Lembusora itu. Jadi yang menulis siapa"
Entahlah. Aku hanya menuliskan betapa Subali merampas Tara istri Sugriwa, dan karena itu kekebalan tubuhnya musnah karena panah Rama. Dewi Tara mendekat. Mengambil kitab itu dari tangan Walmiki. Baiklah kuberi tahu, wahai Walmiki, soal Maesasura dan Lembusora ada lah tambahan dari Javadvipa, tapi itu tidak menghin darkan dirimu dari tuntutan, wahai Empu, mengapa pikiran dan perasaanku tidak pernah dipertimbangkan, ketika diletakkan begitu saja berpindah-pindah dari ranjang ke ranjang dua wanara"
Walmiki tidak tahu harus menjawab apa. Ia teringat daftar nya. Masih banyak nama, belum termasuk yang tak bisa lagi diingatnya.
Aku juga akan pamit darimu Walmiki, karena aku berhak mencari kebahagiaanku.
Ia memasukkan kitab itu ke sebuah kantong.
Aku akan membeli kitab ini dan membakarnya. Inilah satu-satunya bab Catatan Dewi Tara yang masih tertinggal. Aku telah mengembara ke seluruh dunia mencari riwayatku dalam berbagai bahasa. Inilah kitab
terakhir yang di tulis dengan bahasa antarbangsa dan aku akan memusnahkannya. Riwayatku akan hilang dan aku akan menuliskan ceritaku sendiri. Selamat tinggal, Walmiki.
Dewi Tara yang berkerudung putih sampai menyentuh tanah membawa kitab itu ke kasir dan membayar. Walmiki menyusul ia keluar, tetapi perempuan itu menghilang ditelan keramaian dunia. <"
Dunia yang tidak ada atya mulai mempelajari Kitab Omong Kosong Bagian Tiga: Dunia yang Tidak Ada. Kitab ini mengulas kembali Bagian Satu: Dunia Seperti Adanya Dunia dan juga Bagian Dua: Dunia dalam Pandangan Manusia.
Dalam Bagian Satu diuraikan bahwa keberadaan segala sesuatu ditentukan oleh segala sesuatu dari dirinya sendiri: bahwa pohon itu terdiri dari batang, daun, dahan, akar, ranting, dan ke seluruhannya membuat pohon menjadi po hon. Batang bisa dilihat, daun bisa didengar, akar bisa diraba, dan ranting bisa di sentuh. Pohon memang ada. Dunia itu ada. Tidak ada lagi yang bisa membantahnya. Danau ada karena ada danau yang permukaannya tak bergerak seperti cermin dan hanya bergoyang ketika seekor rusa minum di tepiannya. Danau ada seperti adanya danau itu. Dunia ada seperti adanya dunia itu, dengan atau tanpa adanya manusia.
Dalam Bagian Dua diuraikan bahwa keberadaan segala se suatu ditentukan oleh pandangan manusia: bahwa manusia me ngatakan langit itu biru ketika ia melihatnya biru, bahwa langit itu keemas-emasan ketika ia melihatnya ke emas-emasan, dan bahwa langit kemerah-merahan ketika ia melihatnya keme rah-merahan. Kemudian ia akan tahu bahwa tanpa udara yang mereka hirup di bawah atap langit, ternyata langit tidak berwarna, bahkan ko song dan hampa. Kenyataan ini mereka ketahui karena langit diselidiki sampai keluar angkasa. Adanya dunia seperti adanya dunia ditentukan oleh pandangan manusia.
Bagian Tiga mengulas, Bagian Satu dan Bagian Dua ma sing-masing me rumuskan suatu pendapat bertentangan yang tidak akan bisa diselesaikan, karena manusia memang tidak bisa melihat dunia tanpa dirinya sendiri, dan dengan itu juga sekaligus tidak bisa membuktikan tidak adanya dunia tanpa dirinya. Dengan demikian sengketa tidak terselesaikan, dan diatasi oleh Bagian Tiga dengan cara lain.
Menurut Kitab Omong Kosong Bagian Tiga: Dunia yang Tidak Ada, Bagian Satu dan Bagian Dua sama-sama mempersoalkan ada tidaknya dunia dengan mengandaikan adanya satu kebenaran tunggal atas adanya dunia, yang mana oleh Bagian Tiga sudah ditolak kemungkinan untuk mengetahuinya. Dunia ini tidak per nah tampil seutuhnya dengan cara yang sama bagi setiap orang. Sehingga, yang tersisa dari kemungkinan mengetahui adanya dunia adalah dengan memeriksa ketepatan dari cara-cara dunia mengada. Dunia tidak ada, yang ada adalah cara-cara tampilnya dunia kepada manusia. Jadi, manusia ha nya berurusan dengan gambaran-gambaran mengenai dunia dan bukan dunia itu sendiri.
Dunia yang kita kenal dan kita ketahui adalah gambaran kita sendiri tentang dunia, pikir Satya, dunia itu sendiri selalu memberikan cakrawala yang tidak terlampaui. Dunia tidak pernah ada sebagai dunia yang sebenarnya kalau itu ada. Dunia tidak ada, yang ada adalah gambaran-gambaran tentang dunia.
Rasanya dunia ini runtuh, kata Maneka, ketika Satya me nyampaikan apa yang ditemukannya.
Maneka membayangkan sebuah istana pasir yang lenyap ka rena pasirnya berguguran tertiup angin, atau istana es yang men cair karena panas udara, atau sebuah gambar istana yang me mudar meninggalkan kanvas kosong.
Butuh berapa lama bagi manusia untuk menghancurkan pikir anpikirannya sendiri" ia bertanya dalam hatinya.
Apakah semuanya lantas tidak berguna" ia bertanya kepada Satya. Tidak, kita hanya mengubah cara pemahaman kita tentang dunia, ten tang cara-cara inilah manusia bisa berbicara, dan bukan tentang dunia itu sendiri, karena dunia tidak bisa dibicarakan jika tidak ada.
Maneka tertawa geli. Pedati mereka menjelajah bumi, tapi bumi tidak ada.
Apakah ini tidak nyata"
Maneka berdiri di atas pedati, mengangkat kedua tangannya. Seperti mau menangkap angin. Angin membungkus tubuhnya, tapi apakah sudah bi sa disebut nyata ketika ia bisa merasakannya" Mungkinkah perasaannya itu se betulnya semu saja, kenyataan itu hanya seperti dirasakannya, tapi kenyataan itu sendiri lebih dari yang sekadar dirasakannya, untuk tidak mengatakannya lain sama sekali"
Satya teringat rumus-rumus dan angka-angka yang pernah disalinnya dari Kitab Peredaran Semesta. Seluruh gerak langit terwakili seluruhnya dalam rumus-rumus dan angka-angka itu, namun itu juga hanyalah sebuah cara peng gambaran kembali per edaran semesta, dan tentu saja bukan peredaran semesta itu sendiri. Peredaran semesta itu sendiri, hanya bisa dicerap pan caindra manusia dengan sangat terbatas. Rumus-rumus dan angka-angka itu adalah penalaran atas seluruh gerak semesta, yang tidak akan pernah terbukti benar atau salah karena semesta selalu bercakrawala bagi manusia dan cara bekerja rumus-rumus itulah yang bisa diperdebatkan, cara penalarannya, sehingga rumus-rumus itu bisa disepakati bersama, sampai suatu ketika bisa dibuktikan keliru. Maka, gambaran tentang dunia belum menjadi istilah memadai. Usaha penggambaran dunia jauh lebih santun. Dunia yang sebenarnya ternyata tidak pernah ada bagi manusia.
Pedati mereka merayap dengan santai. Memandang cakrawala, dan satu dua pohon yang berada di sana, membuat semangat Satya bangkit. Kehausan nya akan pengetahuan dan penemuan menjadi-jadi. Begitu berhenti dan menyala kan api, ia membaca lagi.
Angin malam bertiup dalam kegelapan seperti naga siluman menggeleser. Maneka menjauh dari api dan memasuki kegelapan. Dari jauh terlihat Satya menekuni kitabnya. Maneka sudah semakin lancar membaca dan mulai te rampil menulis pula. Dengan pengutik ia sudah menggoreskan huruf-huruf, dan huruf-huruf itu menjadi kata yang menerjemahkan tanggapan Maneka ter hadap dunia. Namun pemikiran Maneka sebetulnya berkembang lebih cepat daripada sekadar kemampuannya menulis dan membaca. Pemahaman Satya atas pemikiran rumit dalam Kitab Omong Kosong sangat terbantu oleh perbincangannya dengan Maneka. Akan tetapi Maneka tidak hanya menggauli kitab, ia membaca kegelapan malam, cahaya rembulan, dan desir angin yang berembus perlahan. Dari jauh dilihatnya Satya, sedang membaca dalam cahaya api unggun.
Maneka membaca alam sebagai kitab yang terbuka dan kini ia membaca kegelapan malam. Betapa malam adalah kegelapan sepanjang padang. Kegelap an malam adalah sebuah ruang yang dalam tempat siapa pun bisa menyelam dan siapa pun yang me ngembara dalam malam berpeluang menemukan ti tik-titik terang. Titik-titik itu bagaikan huruf yang tersusun menjadi kata, dan de mikianlah nama-nama menjadi titik terang dalam kegelapan. Manusia purba menatap langit malam, dan pada suatu hari lahir istilah bintang. Manusia purba saling bertatapan dan pada suatu hari terucapkan cinta.
Malam sunyi tapi tidak tanpa bunyi ketika udara dirambati suara bi natang-binatang malam, bahkan cahaya seolah-olah bersuara ketika samar-samar seperti terdengar bunyi denting karena bintik-bintik cahaya yang seperti tiba-tiba saja ada.
Mungkinkah semua ini tidak ada"
Maneka tersenyum dalam hati. Untunglah penalaran manusia bukan segala-galanya. Penalaran memang memikat dan membuka jalan untuk menyingkap dunia, namun kesetiaan ke pada penalaran terkadang membuat hidup menjadi dingin. Padahal manusia selalu mencari kehangatan dan selalu terpesona oleh keajaiban. Penalaran sendiri merupakan perilaku manusia yang memesona, namun penalaran sekaligus juga menggugurkan pesona. Bagaimanakah caranya manusia menjaga agar bisa tetap hidup di dunia yang penuh pesona" Dunia boleh saja tidak ada, dan karena itu harus diadakan kembali. Maneka tersenyum lagi. Ia telah berpikir lebih cepat dari Satya.
Didengarnya Satya berbicara sendiri dari kejauhan.
Kalau pohon tidak bernama pohon dan apa pun namanya bukanlah pohon itu bagaimana kita menyebut sesuatu yang sekarang disebut pohon itu"
Sudah berjam-jam Satya duduk membaca. Kalau membaca ia bisa tak bergerak seperti patung.
Dunia ini tidak ada, katanya lagi, yang ada hanyalah sebuah nama. Kemudian Satya memejamkan matanya, merebahkan diri di atas rumput yang tebal. Ketika membuka mata, terlihat bintang-bintang di langit, tetapi cahaya dari api unggun mengganggunya, sehingga ia memejamkan mata kembali.
Dalam keterpejaman mata segalanya seperti kembali sebagai sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang pernah dilihatnya muncul kembali bagaikan
sebuah perjalanan ke masa lalu. Ia teringat candi pemujaan di pesanggrahan di puncak bukit di dekat desanya, tempat orang-orang melakukan olah kebatinan melalui jalan pernapasan. Ia teringat relief candi itu, dan baru memerhatikan pernik-pernik kecil sekarang seolah-olah candi itu ada di hadapannya. Dahulu ia memerhatikan patung para dewa, tetapi sekarang ia terpesona oleh relief dedaunan pada pintu, atau gambar ayam dan sapi di tempat-tempat yang se pertinya tidak penting, bukan pusat perhatian seperti patung dewa dan dewi yang diberi sajen.
Betapapun terletak di sudut yang akan selalu berlumut, relief daun dari tanaman yang menjalar itu dikerjakan sama sungguh-sungguhnya dengan pa tung dewa dan dewi yang semulus pualam. Mereka memandang daun itu, memerhatikannya, mungkin membicarakannya, sebelum di putuskan bahwa daun dari tanaman yang menjalar itulah yang akan menghiasi gerbang bukan demi kehiasan itu sendiri, melainkan karena tanaman menjalar itu mempunyai makna bagi para pembangun candi, pikir Satya yang masih memejamkan mata.
Ia teringat sudut-sudut berlumut yang masih juga menyisa kan ruang untuk ukiran. Orang-orang itu berusaha memindahkan dunia mereka sebagai sebuah candi, pikirnya, dan candi itu menerjemahkan kembali dunia dengan suatu cara. Berhadapan dengan candi seseorang menghadapi sebuah dunia, tetapi dunia yang tidak ada, dan justru itulah dibangun candi agar dunia itu bisa tetap ada. Candi yang didatangi dan dihayati seperti sesuatu yang me nyimpan semesta.
Dalam keterpejamannya Satya tidak hanya melihat candi, tapi segala se suatu yang telah menjadi kenangannya. Coretan anak-anak kecil dengan arang di tembok, lagu-lagu permainan, dongeng nenek, dan puisi-puisi yang dicoretkan di dangau. Ia teringat suka duduk menyendiri di tangga candi, ketika tidak ada seorang pun berziarah. Ia suka duduk dan menatap matahari tenggelam ke balik bukit. Namun tidak setiap saat matahari terlihat tenggelam ke balik bukit, ada kalanya langit begitu gelap dan kabut menyergap dari balik hutan. Apabila candi sungguh-sungguh kosong, entah ke mana juru kuncinya, Satya sangat sering merasa begitu sendiri ketika kabut menjadi begitu pekat. Sebegitu jauh, tidak pernah ada candi yang menghilang. Tetapi kabut memang sering begitu pekat sehingga ia tidak bisa melihat tangannya sendiri. Pada saat semacam itu ia merasa begitu sendiri.
Ia membuka mata, dilihatnya lentik api unggun seperti kunangkunang dalam kegelapan. Ia menutup mata lagi, mengingat betapa banyak hal berlalu tanpa sempat direnungkannya. Setiap orang mempunyai dunia, pikirnya, manusia hidup bersama tetapi dengan dunia masing-masing di kepalanya. Dunia yang ada ternyata dunia yang tidak ada. Ia teringat dunia yang sangat dicintai nya. Kambing, kerbau, sungai, angin, pohon, dan dedaunan yang berguguran. Bukankah ia pernah mengejar daun melayang yang tak kunjung jatuh sampai ke puncak bukit dan turun lagi ke lembah lantas kesasar ke sebuah gua" Waktu itu ia berada di sana, sampai ayahnya yang menjadi jagabaya menjemputnya. Orang-orang sudah mengira ia hilang, seperti setiap anak yang kesasar ke sana, tetapi Satya masih ada. Sampai sekarang Satya tidak pernah bercerita tentang apa yang dilihatnya ketika itu. Sekarang ia berpikir akan menceritakannya kepada Maneka.
Maneka memerhatikan Satya yang memejamkan mata. Setiap orang mempunyai dunia, pikirnya juga, tetapi dunia yang tidak ada. Dunia di luar mata itu belum semuanya ketika dipandang dari dunia di dalam mata itu. Setiap orang berada dalam dunia yang tergambarkan oleh kepalanya sendiri, tidak ada seorang pun bisa mengambil jarak dari gambar dunia itu, bahkan dirinya adalah bagian dari gambar dunia itu. Sehingga, bagaimana mungkin manusia akan pernah tahu dunia dalam arti yang sebenarnya"
Kitab Omong Kosong Bagian Tiga menyatakan bahwa dunia yang oleh manusia diandaikan ada hanyalah suatu gambaran, sehingga dikatakan bahwa dunia tidak ada. Apakah yang akan dikatakan oleh Kitab Omong Kosong Bagian Empat" Maneka berpikir bagaimana jika seseorang menemukan Bagian Empat atau bahkan Bagian Lima, dan membacanya tanpa pernah menekuni Bagian Satu, Dua, atau Tiga. Betapa akan sangat berbahaya. Di suatu kedai ia pernah melihat orang-orang berdebat dan menghujat, akhirnya saling berbunuh-bunuhan. Padahal semuanya berdebat atas dasar yang lemah, sehingga tidak tahu bahwa antara mereka sebetulnya tidak ada perbedaan pendapat, hanya perbedaan selera. Maneka sering melihat banyak orang berpura-pura pintar untuk menutupi kebodohannya, atau sebaliknya berpura-pura bodoh untuk menutupi kepintarannya. Ada kalanya memang, berpura-pura pintar adalah berbahaya, ketika semua orang mengira yang berpura-pura pintar itu betul-betul pintar.
Para pengadu pikiran, mengembara dari kedai ke kedai, men cari lawan debat untuk menyempurnakan pemikiran mereka. Dari kedai ke
kedai, Satya dan Maneka melihat orang berdebat dalam tingkat yang jika disesuaikan de ngan Kitab Omong Kosong masih berada di Bagian Satu atau Dua, yakni selalu mengandaikan bahwa dunia ini mungkin diketahui keberadaannya, dunia ini mungkin saja ada, hanya sekarang belum tahu saja. Setelah sampai di Bagian Tiga, mereka hampir selalu tertawa dengan debat yang tampak menjadi sia-sia. Tetapi mereka tentu saja tidak berani tertawa, karena hal itu akan berarti mereka jumawa. Jika dunia memang tidak ada, tentu tidak ada pula dunia mereka. Satya dan Maneka juga tidak merasa pantas tertawa, karena belum tahu lagi isi kitab Bagian Empat, dan tentu saja mereka sangat penasaran.
Maneka memandang Satya yang memejamkan mata. Ia membayangkan seandainya, seandainya, ia berada dalam dunia Satya, apakah yang akan dilihatnya" Kemudian ia membayangkan pula, seandainya, seandainya, seandainya, Satya berada dalam dunianya, apakah yang akan terjadi" Tetap saja ia membawa pikirannya sendiri, pikir Maneka. Malam mengelam. Segalanya teredam. Kegelapan membentang. Maneka mendekati api unggun, duduk di dekat Satya, yang ternyata sudah tertidur. Napasnya halus seperti bayi. Maneka mengelus rambut pemuda itu, yang sudah tiga tahun selalu ada bersamanya. Sudah begitu dikenalnya ia, tetapi tak akan pernah tahu dia akan isi kepalanya.
Apakah ia sedang bermimpi" Maneka bertanya-tanya dalam hatinya, mimpi apa"
Terdengar lolongan serigala di kejauhan. Seperti memanggil-manggil rembulan.
Katakan padaku, wahai Walmiki, Maneka berdesah sendiri, semua ini tidak kamu rencanakan.
Apalah artinya makna kehidupan manusia, pikirnya, kalau segalanya su dah ditentukan. Maneka memandang rembulan dan teringat Walmiki. Ia se nang sudah melepaskan diri dari cerita yang dibuatnya. Tapi, siapakah yang sedang menulis dirinya sekarang" Benarkah ia benar-benar sudah menjadi manusia bebas"
Maneka menatap kegelapan. Menatap dunia yang tidak ada.
mencari gambar di atas kolam terlihat langit berjalan-jalan, o!
Walmiki dan tukang Pijat almiki tidur tengkurap dengan seorang tukang pijat di atasnya. Malam itu ia merasa tubuhnya begitu kaku, dan ia meminta pemilik penginapan itu memanggil seorang tukang pijat. Laki-laki atau perempuan" tanya pemilik penginapan itu dengan dingin.
Apa saja, asal yang buta.
Maka datanglah seorang pemijat tunanetra. Sambil dipijat, Walmiki bertanya dalam bahasa antarbangsa.
Apakah engkau buta sejak lahir"
Ya, saya buta sejak lahir. Tuan datang dari mana"
Aku dari anak benua, apakah sejak dulu tinggal di kota pelabuhan
ini" Ya, saya anak yang dibuang ke tong sampah oleh ibu saya. Seorang petugas kebersihan kota menemukan saya menangis di dalam tong sampah, lantas menyerahkan saya ke rumah yatim piatu. Baru kemudian diketahui kalau saya ini ternyata buta. Mula-mula saya dilatih supaya bisa membuat keset, atau sapu ijuk, kemudian juga memijat. Begitulah akhirnya saya jadi tukang pijat. Setiap malam menyelusuri jalanan dan lorong-lorong sepanjang kota. Mencari sesuap nasi sekadar supaya bisa bertahan hidup. Jadi setiap malam kamu menyusuri kota ini dalam kegelapan" Seandainya siang pun saya hanya melihat kegelapan.
Hmm. Walmiki melamun. Seseorang ada kalanya tak bisa memilih peran hidupnya di dunia, seperti orang buta ini, yang tidak bisa menolak jadi bayi yang dibuang ke tong sampah.
Wahai tukang pijat, katakanlah padaku bagaimana caranya kamu melihat dunia"
Sebetulnya kami tidak tahu bagaimana cara melihat kami bisa berbeda dengan cara mereka yang disebut tidak buta melihat dunia, karena kami yang disebut buta sejak lahir hanya tahu cara melihat kami ini. Bahkan kami yang bertanya-tanya bagaimana caranya mereka yang disebut tidak buta itu melihat dunia. Bagi kami dunia adalah seperti yang kami rasakan, tidak ada yang aneh dengan keadaan kami, dan kami tidak merasa kurang sama sekali dibanding mereka yang dikatakan bisa melihat dunia. Kami bisa melihat dan mengalami dunia ini sebagai orang buta, tidak ada kekurangan apa-apa. Bagi orang buta kegelapan adalah air bagi ikan, bukan suatu halangan yang menyengsarakan.
Orang buta itu masih memijit.
Astaga, sungguh kurus badan Tuan, apakah pekerjaan Tuan" Oh, aku seorang tukang cerita sahaja.
Tukang cerita" Jadi Tuan sangat pandai membual" Membual" Hehehehe! Hati-hati untuk mengatakan tukang cerita itu pandai membual.
Tapi, bukankah Tuan memang membual" Walmiki tertawa lagi, sampai terpingkal-pingkal.
Saya juga suka mendengarkan mereka bercerita, memang luar biasa me reka itu, karena cara mereka menggambarkan sungguh-sungguh meyakinkan. Tapi bagi orang buta seperti saya, penggambaran itu kadang-kadang tidak bermakna, karena mereka terlalu sering bercerita tentang hal-hal yang tampak di mata saja ....
Ah, mereka juga bercerita tentang suara-suara, berceritanya saja dengan suara.
Maksud saya, Tuan, mereka tidak bercerita tentang sesuatu di balik gam baran-gambaran itu, terlalu banyak tukang cerita be tul-betul hanya membual, padahal pendengar juga menginginkan makna, bukan sekadar bualan.
Apakah semua tukang cerita yang kamu dengar seperti itu" Hampir semua begitu, apalagi tukang cerita yang satu itu. Siapa"
Wah, saya lupa namanya Tuan, tapi ia bercerita sambil meniup seruling.
Walmiki berbalik. Dia menceritakan apa"
Bualan juga. Kalau tidak salah ingat seperti Ramayana begitu. Walmiki duduk, menyisihkan tangan yang masih memijatnya. Kamu masih ingat suaranya"
Ingat sekali Tuan, ia bisa menirukan suara monyet, suara la ut, dan suara pertempuran yang hiruk pikuk, sampai saya me rasa berada di tengah balatentara monyet itu. Heran. Betah se kali orang mengikuti cerita itu, sampai tiga hari baru tamat. Wah, banyak uang dia. Begitu pundi-pundinya penuh langsung menghilang, padahal saya tahu ceritanya belum selesai. Maksudmu, kamu tahu cerita Ramayana itu seperti apa" Oh, tidak, saya tidak perlu tahu cerita bohong seperti Ramayana itu, tapi itu kan soal akal sehat saja Tuan.
Maksudnya cerita itu tidak masuk akal"
Saya sih sedikit-sedikit juga tahu soal perlambangan, Tuan, hanya saja aneh kalau Rama dan Sinta tidak digambarkan pertemuannya. Lho, mereka itu memang sebetulnya terpisah.
Wah, Tuan tahu juga" Jadi Tuan tahu betapa tidak masuk akalnya cerita itu. Rama adalah titisan Wisnu, sedangkan Sinta titisan Laksmi. Bagaimana me reka bisa bertengkar seperti itu" Baiklah kita bilang itu hanya peranan mereka di dunia, tapi bagaimana nasib Wisnu dan Laksmi selanjutnya" Masih banyak tanda tanya dalam cerita itu. Apakah sebuah cerita harus menjawab semuanya"
Entahlah. Saya hanya bertanya-tanya, jika memang Rama-Sinta itu titisan Wisnu-Laksmi, bagaimana mungkin terjadi perselisihan yang mengakibatkan bencana Persembahan Kuda" Mengapa mereka bisa berubah dan lupa diri me reka itu siapa, apakah ketika para dewa menitis menjadi manusia, lantas mereka berpura-pura menjadi manusia yang penuh dengan kesalahan" Padahal, bukankah maksudnya dewa menitis itu untuk menyelamatkan umat manusia dari cengkeraman Rahwana, mengapa
jadinya meneruskan perbuatan Rahwana, dengan menyebarkan bencana" Sudahkah pijatnya Tuan"
Walmiki tidak menjawab, melainkan bertanya.
Siapakah yang menceritakan Ramayana itu, wahai tukang pijat. Saya sudah bilang, Tuan, saya lupa namanya, saya hanya tahu ia pandai meniup seruling. Mungkin karena namanya asing, jadi saya susah meng ingatnya.
Tukang pijat, coba tolong kau ingat-ingat suaranya, engkau peka ter hadap suara bukan"
Ya, tentu saja, saya masih ingat bunyi serulingnya. Walmiki mengambil seruling dan meniupnya. Tukang pijat itu terpe ranjat.
Tuan, pandai benar Tuan menirukannya, apakah Tuan juga pernah mendengar ia bercerita"
Tukang cerita yang telah menulis Ramayana itu memberi tukang pijat tersebut sekeping uang emas, lantas mempersilakannya pergi. Malam sudah larut, dan suara tongkat pertanda orang butanya bergema sepanjang lorong. Walmiki kemudian juga keluar, dan melihat kedai kecil yang menjual bandrek. Masuklah ia ke sana.
Beri aku bandrek, satu, katanya.
Kedai itu memang sangat kecil, diisi sepuluh orang saja sudah penuh. Sembari minum bandrek panas pelan-pelan, Walmiki masih memikirkan tu kang pijat tadi. Siapakah dia yang mengaku tidak tahu siapa Walmiki tapi mampu menggugat Ramayana" Walmiki pun tahu bagaimana sebuah cerita bisa disebarkan dari mulut ke mulut tanpa tahu lagi siapa pengarangnya se mula. Cerita itu bisa saja selalu mengalami penafsiran sehingga berubah sama sekali. Kenapa tidak"
Walmiki teringat si buta, namun lebih penasaran lagi dengan tukang ce rita yang telah mendahuluinya itu, yang terlalu mirip dengan dirinya. Banyak tukang cerita meniru gayanya, tapi hanya satu orang bisa meniup seruling seperti yang telah dilakukannya, yakni dirinya sendiri. Ia nyaris percaya, dan be tapapun harus mempertimbangkan, bahwa tukang cerita yang didengar pemijat buta itu adalah dirinya. Tetapi karena mustahil dirinya menggandakan tubuhnya, maka terjadi tanda tanya besar. Siapakah kiranya tukang cerita itu, yang begitu piawainya berkisah tentang
Rama yana sehingga begitu mirip tiada beda" Apakah yang disebut waktu itu begitu berlapis-lapisnya, sehingga dirinya pernah datang kemari dan kelak pun dirinya datang lagi" Kalau begitu, apakah yang bisa dipastikan dalam dunia yang ajaib ini" Masalahnya, kalau bukan dirinya, siapakah Walmiki yang lain itu"
Jelas ada orang lain yang telah tiba di tempat asing ini, dan ia menceritakan Ramayana juga. Apa salahnya" Memang tak ada salahnya, pikir Walmiki, siapa pun bisa menceritakan kembali Ramayana semaunya. Ke napa tidak" Maka ia bayangkan bagaimana Walmiki Dua itu tiba, dan mulai meniup seruling serta diseling memukul tambur di kaki lima. Setelah orang-orang berkumpul, mulai bercerita dengan bahasa antarbangsa.
Semua ini dimulai dari kekuatan jahat nan angkara, ketika Begawan Wisrawa ahli bertapa, ahli kebatinan, ahli olah jiwa yang ternama, tergoda oleh cinta duniawi untuk mengawini Dewi Sukesi. Hasrat yang bergolak serta tubuh yang meminta bagaikan api yang menyala-nyala meraih angkasa. Tiada yang lebih menggoda selain pandangan penuh cinta yang mengharap, tiada yang lebih memabukkan selain pandangan belas karena pesona cinta, sehingga Sang Begawan menyerah dalam dambaan Sukesi, perempuan yang didambakan Danapati putranya sendiri.
Tiada yang lebih mengecoh selain cinta yang melupakan, tiada yang lebih menyakitkan selain cinta yang berubah menjadi dendam, dan itulah saat Danapati mencegat Sang Begawan dan istrinya yang muda ketika kembali dari sungai di pertapaan me reka di tepi hutan itu. Alkisah berkhotbahlah Danapati kepada ayahnya, betapa hina dina seorang resi merebut calon menantunya sen diri. Segala kata-kata atas nama moralitas dikeluarkannya, ber keranjang kata-kata untuk merendahkan ayahnya, sampai Sukesi bicara.
Danapati berhentilah bicara. Engkau memaki-maki ayah mu seperti me maki pembunuh ibu sendiri. Engkau ingin menga wini aku, wahai Danapati, tetapi apakah engkau peduli padaku. Raja Lokapala yang mulia, apakah Dikau mengerti cinta" Begawan Wisrawa mewakili Dikau untuk membabarkan ilmu kehidupan Sastrajendrahayuningrat, dan itu bukanlah dirimu. Aku, Dewi Sukesi, hanya ingin menikah dengan lelaki yang mampu menjawab pertanyaanku: apakah makna kehidupan itu, dan Begawan Wisrawa memberi jawaban yang memuaskan, aku ingin menikah dengannya,
dan ia bersedia. Apakah yang salah dengan semua itu, wahai Danaraja yang sakti, pergunakanlah akal sehatmu.
Tetapi bukanlah akal sehat yang kiranya meruap, melainkan kemurkaan bercampur cemburu tiada terkira. Kebanggaannya kepada sang ayah menjadi dengki dan iri hati meruyak, dan ke tangkasan bicara Dewi Sukesi yang menga gumkan menimbulkan rasa pedih menyakitkan mengingat keindahan itu bukan miliknya. Soal cinta yang tidak keruan, siapa lagikah yang bisa bicara tentang akal sehat" Dengan sebat Danapati mencabut keris pertempuran, dan membunuh pasangan yang tidak memberi perlawanan itu. Ilmu kehidupan Sastrajendrahayuningrat menyebutkan: kekerasan tidak bisa diatasi dengan ke kerasan, karena setiap kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Mereka berdua terkapar di tepi hutan. Hanya terdengar suara burung gagak berkaok. Gerombolan gagak yang biasa mematuki mayat tidak satu pun mendekat. Begawan Wisrama tengkurap memeluk tanah, sedangkan ke pala Dewi Sukesi terbaring di atas punggungnya, seperti keduanya sedang ber istirahat. Dari perut sang dewi mengalir darah berbuncah-buncah. Danapati yang kalap telah menghabisinya. Dalam kesunyian hutan darah mengalir perlahan-lahan. Tiada yang akan pernah mengira betapa mengalirnya darah itu akan menggandakan sebuah kekuatan jahat yang membanjiri dunia. Dewi Sukesi telah mengandung be nih segala hasrat Begawan Wisrawa, hasrat manusia yang me nyimpan kebaikan dan kejahat an dalam dirinya. Sang Begawan telah meredam unsur duniawi dengan puluhan tahun bertapa, menyerahkan dirinya ke dalam gua-gua ilahi. Namun Dewi Sukesi telah membumikan Sang Begawan, yang menyerahkan nafsu menggelegak di tubuhnya ke rahim sang perempuan: gumpalan darah hitam nafsu angkara murka, gumpalan darah merah nafsu berahi kepayang, gumpalan darah putih pancaran kesucian, dan gumpalan darah hijau pancaran kebijaksanaan.
Danapati telah pergi dengan badan lesu dan hati penuh sesal. Ia seorang raja yang bijak, tetapi siapa bisa menghindar ketika api cinta sudah membakar" Dengan hati yang kacau ia pergi, seperti lari dari kenyataan tak terperi. Hutan sunyi dan lengang. Tanpa ada satu makhluk yang menatapnya, jenazah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi muksa, pertanda kemanusiaannya bu kan suatu dosa. Namun gumpalan-gumpalan darah itu tetap di sana, menjelma empat insan tak bernama: gumpalan darah hi tam menjadi
raksasa jantan; gumpalan darah putih menjadi raksasanya para raksasa, yang dengan tiga langkah saja sudah mengelilingi dunia; gumpalan darah merah menjadi raksasa betina; gumpalan darah hijau menjadi seorang ksatria.
Gumpalan darah hitam itulah yang menjadi makhluk luar biasa, se perti selalu ingin menelan dunia. Mereka menjelma langsung dewasa, mengembara ke seluruh dunia mencari nama. Namun mereka hidup di hutan tanpa manusia dan tanpa aksara, sehingga mereka hanya bisa memandang langit, dari mana mereka mengira segala sesuatu datang dari sana. Mereka mempunyai keinginan, tetapi tidak mempunyai bahasa, bagaimana caranya bicara" Maka mereka pun mengikuti laku makhluk-makhluk di sekitarnya. Singa meraung bila lapar, ayam berkokok melihat cahaya merah yang pertama, ikan paus menyanyi jika bersedih, dan ulat bertapa ketika ingin menjadi kupu-kupu.
Empat pasang mata memandang langit sampai tabir langit bergetar-getar, menggeletar, dan tembus menyebarkan cahaya berbinar-binar. Ke hendak tanpa nama menggoyang gerak semesta.
Celaka! Celaka, Adik Guru! Ketiwasan, Adik Guru! Kehendak tanpa nama meluncur sesuai dengan kehendak asalnya, bersih tanpa bahasa, murni me nembus dimensi yang fana! Berbuatlah sesuatu, Adik Guru! Beri mereka nama dan bahasa, agar segala kehendaknya bisa dibaca, sehingga kita bisa mengatasinya!
Begitulah Narada mengeluh, ketika persemayaman para dewa bergelimang dengan kila-kila. Meluncurlah Batara Guru, maharaja dewa, sang ma ha dewa yang bertangan empat, menem bus dimensi menuju ke bumi yang ber selimut hutan belukar. Batara Guru meluncur .... Walmiki!
Lamunannya terganggu. Seseorang menyapanya di jalan, lantas berbicara dalam bahasa antarbangsa.
Akulah yang bercerita dan didengar oleh tukang pijat itu. Engkau ja ngan khawatir, aku bercerita persis seperti kamu, karena aku adalah dirimu.
Walmiki memang melihat dirinya sendiri. Ia mengusap matanya. Ia tak mungkin mabuk oleh segelas bandrek.
Kita selalu mempunyai diri kita yang lain Walmiki, dan engkau tidak bisa menamakan aku Walmiki Dua, karena tidak ada yang lebih asli di antara kita.
Jadi inilah temannya bercakap-cakap dalam hati, yang me wujudkan diri. Ia bisa menerimanya.
Mari minum, katanya, mengapa engkau memotong lamunanku" Engkau membayangkan aku bercerita, kapan habisnya" Le bih baik per gunakan waktumu untuk bercerita.
Aku bosan bercerita, aku ingin mendengarkan cerita. Itu bagus sekali. Tukang cerita yang tidak mau mendengar cerita orang lain adalah tukang cerita yang kerdil, tukang cerita kelas kambing.
Aku mendengar cerita bukan karena ingin menjadi empu, aku memang senang saja mendengarnya.
Kenapa" Karena itulah terjemahan dunia.
Hmm. Pendapat kita tidak mungkin berbeda bukan" Sudah ketemu tukang pijit itu"
Walmiki menghabiskan bandreknya, sementara Walmiki yang lain itu menjauh lagi ditelan kegelapan malam.
Sudah, kenapa" Dia bukan sembarang tukang pijit. Siapa dia" Malaikat"
Bukan. Dia Batara Dharma, dewa kebijaksanaan yang se dang menguji kamu.
Walmiki menghilang. Mungkin kembali kepada diriku lagi, pikir Walmiki di kedai bandrek itu, kalau tidak, dia ke mana"
Malam semakin larut, Walmiki memutuskan untuk melanjutkan perja lanannya. Mungkin besok ia akan naik kapal lain, menuju negeri lain, atau mem beli seekor kuda dan pergi dari ko ta itu. Usia nya sudah 71 tahun, namun semangatnya seperti remaja 17 tahun.
malam sunyi memberi gagasan perjalanan manusia pergi jauh menuju dirinya sendiri
Setelah Walmiki pergi, tukang bandrek itulah yang menceritakan kembali kisah Sukesi. Bagaikan semua orang telah menjadi tukang cerita.
Sumali muncul ke dunia manusia Dialah saudara mahasura, lepas dari tangan Kesawa Tertarik melihat Waisrawana yang bertubuh sempurna Putra Wisrawa yang gagah dan berbudi mulia
Mengapa tak bermenantu pendeta, pikir sang raja
Agar berputra seperti Waisrawana, pelindung keluarga maharaksasa Sukeca Berguna melawan Sanghyang Kesawa
Putri Sumali bernama Dyah Kaikasi Raksasi yang berubah wujud jadi dewi Lebih cantik dari peri, siapa pun akan peduli
Setuju saja dengan tugasnya di bumi Bagaimana caranya Wisrawa memperistri
Wisrawa pendeta mahabijaksana Sang dewi hanya butuh putra pembela
Datang ketika ia sedang memuja Dyah Kaikasi pun mendapatkan putranya Rahwana yang mengaum seperti singa Dengan kepala sepuluh banyaknya
Tangan dua puluh banyaknya Melambai korban seperti belalai pemangsa
Adik Rahwana adalah Kumbakarna Telinganya seperti belanga besarnya Besar dan tinggi bagai gunung layaknya Bola matanya matahari sempurna Lantas menyusul putri maharaksasi Sejak bayi sudah merintih mabuk berahi Kukunya panjang runcing menyergap lelaki Itulah Sarpakenaka yang banyak suami
22 Tentang masalah ini, periksa Supomo Surjohusodo, Sastra Djen dra: Ngelmu yang Timbul Karena Kakografi (1964). Teks cerita tu kang bandrek adalah modifikasi pengarang atas Zoetmulder (1958: 18) dalam artikel itu juga.
Meski bertubuh dewi, Kaikasi tetap melahirkan raksasa Beri aku yang seperti dirimu sang resi, putra pendeta penjelmaan dewa di dunia. Maka menjawablah Wisrawa: Om
Om Om Yang bungsu sama denganku Sabar tak terburu nafsu
Wibisana Putraku yang berjiwa brahmana
Ke mana perginya Sastrajendrahayuningrat itu" Seseorang bertanya. Tukang bandrek itu menjawab pula.
Seharusnya memang tidak ada. 22
Di langit malam, rembulan berenang-renang. <" h
Lelaki beserban dan ular Kobra
e manakah mencari Kitab Omong Kosong Bagian Em pat" Setelah menemukan ketiga bagian sebelumnya, se muanya secara kebetulan, hampir-hampir Satya merasa tidak perlu mencarinya saja. Kitab itu sepertinya memang untuk kita, ujarnya, tidak perlu dicari, nanti akan datang sendiri.
Maneka tidak setuju, itu seperti melecehkan ajaran Kitab Omong Kosong.
Kata-katamu tidak berdasar, katanya, engkau tidak meng gunakan penalaran. Untuk apa kamu mempelajari Kitab Omong Kosong"
Satya tersadar, Kitab Omong Kosong masih hanya menempel di kepala nya, tidak memengaruhi sikap hidupnya sehari-hari.
Alangkah keringnya hidup ini jika segala sesuatu harus dinalar tanpa kecuali, pikirnya, apakah rembulan masih rembulan jika segala sesuatunya kita ketahui"
Satya telah semakin terbiasa dengan peta dan arus pemikiran dalam Kitab Omong Kosong, sehingga ia tidak lagi memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengunyah Bagian Tiga. Setelah tinggal beberapa minggu di bawah pohon itu, mereka berangkat kembali. Sapi Benggala itu melangkah kembali menyeret pedati itu mengarungi berbagai belahan bumi. Dari padang rumput yang luas, memasuki lembah sunyi, berkelok-kelok di tepi jurang, dan muncul kembali di tepi sebuah pantai. Mereka sebenarnya tidak tahu lagi cara yang pasti untuk menemukan Kitab Omong Kosong
Bagian Empat, setelah tiga bagian sebelumnya mereka temukan di luar perhitungan sama sekali.
Yang benar adalah mencarinya, ujar Maneka, bagaimanapun caranya.
Satya mengerti bahwa Maneka tidak keliru, tapi caranya bagaimana" Itulah gunanya kepala. Bagaimana"
Pedati merayap dari kota ke kota dengan bunyi kluntang-kluntung dari leher sapi Benggala mereka yang membuat me reka selalu mengantuk. Kadang-kadang mereka berdua tidur saja di dalam pedati itu, karena sapi Benggala itu pun seolah-olah sudah mengerti saja betapa Satya dan Maneka sebetulnya tidak mempunyai tempat tujuan yang pasti. Ibarat kata mereka meng ikut saja ke mana angin bertiup. Udara sedang sangat panas, matahari terik, dan pohon-pohon meranggas. Setelah beberapa minggu perjalanan menyusuri lembah-lembah di antara bukit ke arah timur, pedati itu pada suatu malam memasuki kota Sri Kalahasti. Di kota itu sedang berlangsung pesta yang meriah.
Di mana-mana terlihat orang menari dan tarian mereka sungguh-sungguh memukau. Selalu ada seorang penari utama di atas pentas, dan di bawah pentas orang-orang menari serempak dengan gembira. Ma neka melompat dari atas pedati dan bergabung dengan mereka. Ia menjadi bagian dari tarian yang serba rampak itu. Satya berdiri pada pedati. Suasana sangat meriah. Pesta apa ini" Satya bertanya kepada seseorang.
Pesta Bulan Merah. Dilihatnya rembulan, memang merah seperti semangka. Dalam cahaya obor menyala-nyala, kostum para penari utama itu semuanya merah. Ternyata semua orang berbaju merah dan barulah Satya sadar, seluruh kota ini berwarna merah. Ketika mereka tiba, hari sudah malam dan keserbamerahan itu tidak terlalu kentara. Hanya karena Satya di atas pedati itu selalu berpikir dengan cara menggolong-golongkan dan memilah-milah, maka segera dilihatnya kenyataan yang luar biasa itu. Segalanya serba merah dan mereka berpesta dengan meriah. Dicarinya Maneka dan dilihatnya betapa kebahagiaan Maneka merekah.
awan di langit berarak-arak, o! kubah semesta terang benderang
Ketika pesta usai di pagi hari, segala sesuatu terserak di ja lan an begitu saja. Maneka yang kelelahan tertidur dalam pedati dengan keringat berleleran, tetapi angin kering yang tetap saja dingin di pagi itu bertiup membasuhnya.
Satya, mengapa engkau tidak ikut menari, Satya"
Satya menoleh dan tersenyum, karena Maneka sudah tertidur. Ia mengen dalikan sapi Benggala itu ke luar kota, menyusuri jalan ke Nayudupeta, dan terus menuju ke tepi laut.
Di sanalah terlihat seorang peniup seruling yang mempermainkan seekor ular kobra. Satya merasa mengenal peniup seruling itu, tetapi tidak pernah bisa mengingat-ingatnya. Lelaki peniup seruling itu beserban dan meniup terus tanpa peduli sekelilingnya.
Ular kobra itu keluar dari keranjang dan menari berlenggak-lenggok. Satya menangkap nada yang pilu pada suara seruling itu, sepertinya riang tapi sebetulnya sendu, seperti bertanya-tanya untuk apa orang menari jika hanya melupakan duka sebentar saja.
Suara seruling itu membangunkan Maneka, yang ketika bangkit, langsung terpaku bagaikan orang tersihir menatapnya. Satya mula-mula mengira Maneka tersihir seperti ular kobra, tapi kemudian ia tahu terdapat lain perkara. Maneka turun dari pedati dan mendekat. Ia tidak peduli kepada ular kobra, melainkan kepada sang lelaki beserban.
Bagaimana mungkin ia melupakan lelaki beserban itu, yang telah mem ba wanya lari dari kota terkutuk yang seluruh warganya telah begitu tega me mer ko sanya" Mengapa ia bisa sampai ada di sini" Bukankah ia sudah mati" Ma neka teringat kembali kepada pagi yang mengerikan itu, ketika batang pohon tempat ia berpegangan dihanyutkan arus, dan penolongnya itu telah menjadi mayat.
Sebatang anak panah telah menembus punggungnya entah dari mana. Mungkin dari para pengejarnya. Sepanjang pagi itu ia tertelungkup dengan anak panah di punggungnya, bahkan orang-orang dalam perahu yang berpapasan melewatinya sudah berteriak-teriak tentang korban itu, meski tidak ada yang sekadar peduli kepadanya.
Satya pun tentu masih ingat, karena setidaknya sempat me lihat meski hanya sekelebatan saja, karena harus menolong Maneka yang tidak bisa berenang.
Satya! Kamu masih ingat" Satya masih mengingat-ingat.
Waktu kamu menolongku di sungai itu, dan kamu bilang dia sudah mati!
Sekarang Satya ingat. Jadi dulu orang itu belum mati. Tapi siapakah kiranya akan mengira, seseorang yang tengkurap dengan punggung tertembus panah sementara darahnya telah mengering seperti itu ternyata masih hidup"
Mereka berdua mendekat dan duduk di dekatnya. Hanya ada mereka di tempat itu. Apakah lelaki beserban itu seorang pengamen" Dulu ia berdagang kayu api, tapi yang kemudian keranjangnya diisi Sarita dan Maneka. Sarita, sahabatnya itu, tewas dalam pengejaran. Demikian juga sebetulnya lelaki beserban ini. Tapi jelas sekarang ia masih hidup.
Apakah orang itu masih mengenalnya" Mata orang itu menatapnya, tapi Maneka tidak yakin bahwa orang itu masih teringat bagaimana nyawa mereka berdua terancam bersama-sama. Meskipun saat itu mereka ter benam dalam kegelapan malam, saat-saat yang mendebarkan seperti itu pantas membuat mere ka masing-masing mengira bahwa seharusnya mereka masih ingat. Namun Maneka merasa orang itu tidak mengenalnya. Atau apakah dia orang lain" Tidak mungkin, pikir Maneka lagi, kejadian itu membuat aku akan teringat seter ingat-teringatnya. Seolah-olah nyawanya tergantung kepada lelaki beserban itu dan ia memang telah menolong jiwanya. Maneka membayangkan seandainya saat itu ia tertangkap, pasti akan dihukum picis dan rajam sebagai pelacur yang lari dari sekapan rumah bordil, dan akan mati dengan penuh penderitaan.
Setelah permainan sulingnya selesai, ular kobra itu turun lagi ke ke ranjangnya. Lelaki beserban itu menutupnya, dan ke mudian bersikap menunggu. Maneka memperingatkan Satya dengan matanya.
Oh, maaf, kata Satya, lantas melempar koin perunggu ke sebuah wadah.
Lelaki beserban itu memungut koin tersebut, membenahi keranjangnya, lantas beranjak pergi. Ia memang seperti tidak peduli dengan Maneka. Ia melangkah sepanjang jalan memanjang yang sejajar dengan pantai sampai berkilo-kilo jauhnya.
Maneka mengejarnya. Tuan, maafkan saya Tuan, bisakah Tuan berhenti sebentar" Lelaki itu berbalik dan langsung bicara.
Kenapa" Engkau mengenali aku" Mau mengucapkan terima kasih dan bertanya-tanya kenapa aku masih hidup" Sudahlah. Pergilah. Aku me lakukannya hanya karena kewajiban. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pergilah.
Maneka ternganga. Jadi siapakah dia kiranya" Utusan dewa atau malaikat"
Api Di Bukit Menoreh 28 Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong Istana Pulau Es 22
^