Pencarian

Salad Days 1

Salad Days Karya Shelly Salfatira Bagian 1


?"Part 1 # G reta*
Dengan tangan kiri menopang dagu di meja, jemari tanganku mengetuk-ngetuk meja kayu yang kokoh. Sekali lagi ku periksa waktu yang ditunjukkan jam tangan kesayanganku. Kurang tiga menit sebelum bel masuk berbunyi. Hannah kemana sih" Gak biasa dia telat.
Aku yakin Hannah gak masuk, mengingat dia selalu datang lima belas menit sebelum bel. Namun aku masih berharap sahabatku itu datang terlambat. Apalagi memang gak ada kabar darinya. Kalo absen, dia pasti kabar-kabari dulu.
Huh... kalau ingat tadi pagi, rasanya dingin sekali. Aku malas beranjak dari kenyamanan dan kehangatan tempat tidur berikut bantal, guling, dan selimut, seandainya Mama gak melengkingkan suaranya.
Ternyata di sekolah pun masih terasa dingin. Cuaca seperti hari itu memang rawan, bikin orang kebelet pipis. Dan aku korbannya.
Semenit lagi bel masuk berbunyi dan jam pertama bahasa inggris, Mr. Harto seharusnya bisa memaklumi keterlambatanku nanti, mengingat kebelet pipis sangat krusial. Aku selalu inget kata-kata Mama saat aku masih kecil, supaya jangan menahan pipis. Bisa kencing batu, katanya.
*** Benar saja aku terlambat masuk kelas. Sudah lewat empat menit sejak bel masuk berbunyi. Koridor sudah senyap, berbeda 180 derajat dibandingkan saat aku berlari menuju toilet-sampai harus tabrak sana-sini. Sekarang" Amat lengang.
Aku tinggal sepuluh meter dari kelas. Tumben, gak terdengar suara berisik. Maklum, kelasku terkenal dengan murid-muridnya yang ceriwis. Untungnya predikat itu diimbangi dengan murid-muridnya yang cerdas dan kritis. Cewek maupun cowok, semuany rival yang gak bisa diremehkan.
Oh, rupanya ada anak baru. Dari kaca jendela ku lihat ada cowok asing berdiri di depan kelas dengan tas merah di punggung. Tinggi juga posturnya. Sekali lihat, siapa pun bisa menilai dia pasti pecinta olahraga. Badannya bukti tanpa penjelasan. Aku tersenyum sendiri.
"I'm so sorry, Sir, I had go to toilet. It was crucial. Emergency," jelasku pada Mr. Harto yang berdiri menyandar di meja guru.
"It's ok." Tuh kan. Mr. Harto gak mungkin marah.
Aku segera kembali ke bangku dan menahan kecewa karena gak menemukan Hamnah yang duduk di sebelahku. Padahal ada jam kosong saat matematika karena Bu Lala sedang cuti ke Banjarmasin.
Apakah Hannah sakit" Sepertinya sampai kemarin sore ketika kami nonton, semua baik-baik aja. Aku segera mengecek ponsel, berharap ada pesan dari Hannah. Berharap semoga aku gak menghabiskan jam kosong sendirian.
Eta, aduh, sorry, gw gak masuk.
Mules nih. Ada kabar apa aja" Ntar kabarin ya. Xoxo
Keningku berkerut samar. Mules" Ooh, mungkin saja. Kemarin setelah nonton, kami makan bakso Solo karena Hannah merengek-rengek. Mengingat lima sendok sambal superpedas di mangkuknya, sepertinya memang itu penyebab absennya Hannah. Huh.
"Permisi." Aku mendongak ketika ada suara mengejutkanku. Eh" Cowok baru itu berada di sebelahku, duduk di bangku Hannah.
"Eh" Sorry, disini udah ada yang nempatin." "Kosong kok."
"Iya, tapi ini bangku Hannah, sahabatku. Dia absen hari ini." "Mr. Harto asked me."
Lalu cowok itu mengalihkan pandangannya ke depan. Sombong banget sih! "Greta, any problem?"
Mr. Harto menyadari ada sesuatu yang tidak beres, apalagi ku menoleh ke arahnya dengan ekspresi jengkel.
"This young man is sitting on my best friend's seat." "Really" Oh, but that's the onlu empty seat."
Aku melongo, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Ada dua bangku kosong di deret oaling kanan. Aku segera teringat bahwa Lion duduk di sana, dan sekarang dia sendirian setelah seminggu lalu Bima pindah ke luar kota.
"With all respect, Sir, there are two seats on my right." "I want him to sit with you."
Great. Percuma mendebat. Aku melirik sinis ke cowok tengil di sebelahku. Huh. Awas aja ya. Padahal tadinya aku sempat berpikir bisa akrab dengannya karena hobby olahraganya. Hilang sudah keinginan itu. Apalagi gayanya sok. Anak baru gayanya selangit. Emang cakep sih, tapi gak ngaruh lah. Sekali nyebelin tetap nyebelin.
*** # D irga* Gue cukup puas dengan pilihan sekolah Nyokap-Bokap. Setidaknya, ketika gue dateng tadi pagi, suasananya cukup menyenangkan dan menenangkan. Tadi gue sempet diajak keliling oleh kepsek.
Sekolah itu memiliki banyak tanaman, suasananya sejuk. Nggak urung udara dingin dan kerindangan tanaman-tanaman itu membuat gue semakin merapatkan jaket. Hal yang paling pengin gue temuin adalah lapangan basket. Ternyata sekolah baru gue punya dua: outdoor dan indoor. Perfect! Gue diperkenalkan kepada Pak Yon, wali kelas gue. Basa-basi singkat, lalu gue menuju kelas bersama Mr. Harto yang punya jadwal mengajar jam pertama di kelas.
Koridor ramai dan berisik. Untung bel masuk berbunyi. Saat itu lah gue melihat seorang cewek dengan rambut panjang yabg dikucir kuda tinggi berlari dan menabrak beberapa murid. Gue mencoba menghindar, tapi tetap aja gubraaak!... bahu kiri gue ketabrak. Gue gak ngerti kenapa sepagi ini tuh cewek semangat banget berlari, padahal dia pake seragam putih abu-abu seperti gue, bukan seragam olahraga.
Ruang kelas sekolah baru gue bagus. Bersih. Gue suka. Ada sekitar tiga puluh penghuni kelas, dengan perbandingan jumlah cowok dan cewek berimbang. Di sekolah gue dulu, cewek-cewek jadi penguasa. Kami kaum cowok jadi minoritas, seperti kucing di tengah burung dara. Bener gak" Yah, kira-kira seperti itulah.
Ternyata ada empat bangku kosong. Eh, gak bener-benar kosong sih. Ada satu bangku yang cuma diisi tas tanpa ada penghuninya. Tasnya merah juga, seperti punya gue.
Kami berdoa sebelum memulai pelajaran, lalu Mr. Harto mempersilahkan gue memperkenalkan diri secara singkat. As usual, as always.
"Saya Dirga. Mohon bantuannya."
Singkat aja. Gak perlu banyak omong. Apalagi gue bukan tipe yang suka basabasi.
Tahu-tahu pintu kelas terbuka. Seorang cewek masuk dan menghampiri Mr. Harto, mengemukakan alasannya terlambat. Ya ampun! Dia kan cewek yang nabrak gue tadi. Gue masih inget jelas. Tapi sepertinya dia gak ingat. Atai mungkin dia gak sadar udah menabrak beberapa orang, termasuk gue" Eh, apa katanya barusan" Habis dari toilet" Tadi pasti dia kebelet banget. Pantes aja. Tapi itu bukan alasan untuk gak minta maaf sama korbannya, kan" Lagian, jujur aja, bahu gue masih terasa sakit.
Gue masih memperhatikan cewek itu. Ah, ternyata dia si pemilik tas merah. Sekarang dia dengan cuek dan santainya mengeluarkan ponsel dari tas, seperti gak sadar bahwa di depan ada guru dan gue, anak baru.
Mr. Harto menyilakan gue duduk, setelah merekomendasikan bangku di sebelah cewek itu.
"Permisi." Ternyata reaksi cewek itu benar-benar di luar perkiraan gue. Untung Mr. Harto bisa membungkam cewek itu, meski gue yakin dia gak ikhlas. Terserah deh. Masa bodoh.
*** #Greta Istirahat ada rapat ekskul basket. Hah. Aku jadi gak bisa menikmati dengan santai semangkuk mi pangsit yang begitu enak dan teh botol yang menyegarkan. Padahal tadi aku belum sarapan.
"Nanti sore kita latihan bareng anak-anak kelas sepuluh. Latihan perdana semester ini. Berhubung peminat tahun ini banyak banget, gue minta kerja sama kalian," kata Patrick berwibawa.
Aku bersendawa kecil. Beberapa teman menoleh ke arahku, sementara aku hanya nyengir. Yah, manusiawi. Manusia boleh bersendawa kan" "Oh iya, belum ada kabar resmi sih, tapi karena acara tahunan, sekitar dua bulan lagi ada turnamen. Gue harap kita bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin mulai sekarang. Ta, belum ada edaran ke sekolah, kan?" Eh" Aku kaget saat Patrick menanyaiku. Turnamen" Oh, turnamen pelajar seprovinsi itu. "Belum. Paling cepat kabarnya sebulan sebelum turnamen." "Oke. Jadi nanti sore kita latihan seperti biasa. Sekian dari gue. Ada yang mau nambahin, mungkin?"
Boy yang nyempil di antara anak-anak cowok mengacung. Boy tingginya cuma 168 cm, lima senti lebih pendek daripadaku, sementara anggota tim cowok lainnya tinggi-tinggi. Bahkan si Chris tingginya 194 cm. Meski begitu, Boy playmaker yang hebat dan cerdas plus gesit. Skill-nya luar biasa. Siapapun yang melihat permainannya pasti kagum.
"Pat, tadi gue liat ada anak baru di kelas IPA 3. Kayaknya cocok deh kalo dia gabung."
Sebelah alisku terangkat. IPA 3" Itu kan kelasku dan aku satu-satunya dari sekian banyak anggota tim yang berasal dari jelas IPA 3.
"IPA 3" Kelasnya Greta, kan?" celetuk entah siapa. "Eh iya, Az," kata Boy yang kayaknya baru nyadar.
Boy satu-satunya yang memanggilku "Az" karen nama lengkapku Azmarie Greta. Berapa kali pun aku meminta dia untuk memanggilku "Greta", dia bersikukuh.
"Temen sekelas lo, kan" Nah, kebetulan dong, lo ajakin aja doi. Kayaknya makin sip nih ntar tim kita."
Ogah! Cowok nyebelin gitu! protesku dalam hati. "Buat apa sih" Kayak tim kita kekurangan orang aja." Itu yang keluar dari mulutku dan didengar temanteman.
"Bukannya gitu, Az. Bagus aja kalo kita kemasukan pemain baru yang memang istimewa. Mumpung masih kelas dua. Kita bakal makin banyak turnamen. This is our time."
"Emang dia bisa main basket" Jangan ketipu penampilan deh," aku menyanggah. Padahal penilaian pertamaku saat melihat anak baru itu sama seperti yang diucapkan Boy barusan.
"Feeling gue kuat banget, Az. Udah, lo ajakin ajan" "Nggak!"
"Kenapa gak?" "Udah deh, gini aja. Ntar lo coba tanyain dulu, Ta. Kan gak ada salahnya kita punya tambahan anggot istimewa," Patrick ikut membela si Baby Boy. ***
# P atrick* Aku dan Greta ke kantin setelah rapat selesai. Ketika aku menawari Greta untuk memesankan semangkuk pangsit favoritnya, dia menolak. Katanya, sudah menyantapnya sebelum rapat. Pantas aja dia datang terlambat. Greta gadis yang menarik. Untuk ukuran cewek, dia jangkung. Secara fisik, di good looking. Kepribadiannya juga menyenangkan. Bukan tipe cewek yang menghabiskan waktu dengan bergosip, berdandan, dan sekadar belanja menuruti hawa nafsu. Sebagian besar temannya cowok. Hanya satu cewek yang menjadi sahabatnya, Hannah.
Pertama kali aku ketemu Greta adalah ketika MOS setahun lalu. Posturnya yang menjulang sangat mencolok perhatian. Interaksi pertama kami terjadi ketika latihan basket pertama karena kami memang gak pernah sekelas. Greta bermain baik, bahkan jauh lebih baik dibandingkab senior. Yang mengejutkan, katanya dia baru mengenal basket pas kelas 3 SMP, meski saat itu masih menekuni atletik. Dan pada tahun pertamanya di SMA, ketika baru dua bulan bergabung dengan tim SMA, dia langsung terpilih untuk mengikuti kejuaraan basket tahunan seprovinsi. Gak mengherankan, sebab semua orang tahu betapa menakjubkannya permainan yang dia suguhkan. Aku tahu di luar latihan ekskul, di sering ikut bermain dengan para cowok. Itu berpengaruh besar bagi kemajuan permainannya.
"Lo gak masuk, Pat" Udah bel lho," kata Greta sambil menenggak air mineral. "Bu Sapti lagi keluar, tadi dikasih tugas. Lo?"
"Wah, kebetulan. Gue juga lagi kosong. Bu Lala ke Banjarmasin." "Mmm..."
Greta cantik apa adanya. Dia gak pernah bersikap munafik atau naif. Dia selalu bicara terus terang, apa adanya. Apa yang ada di pikrannya, dia ungkapkan. Tentu dengan melihat situasi dan kondisi. Dia memilih diam jika situasinya kurang pas untuk berbicara.
"Oi, Bos!" dari jauh Boy berteriak dan melambai padaku. Sambil berjalan menghampiriku dengan wajah cerianya seperti biasa. Di belakangnya memgekor seorang cowok tinggi tegap yang belum pernah kulihat. Ini anak baru yang tadi kami bicarakan"
Greta ikut menoleh ke arah sumber suara dan mendesah sambil menggeleng. Aku baru mau bertanya, namun Boy sudah sampai di meja kami. "Ini dia yang tadi gue bilang. Namanya Dirga. And as I told you, he plays basketball too."
Cowok yan diperkenalkan sebagai Dirga mengulurkan tangan. Aku menjabatnya, lalu menyilakan kedua orang di depanku untuk duduk bergabung dengan kami.
"Lo kemana aja sih, Az" Lama banget ngajak Dirga gabung. Sampe gue sendiri yang samperin," cerocos Boy tanpa basa-basi.
"Aduh, Baby, kenapa harus terburu-buru sih" Gue belum sempat ke kelas. Habis rapat langsung ke sini. Lo terlalu nafsu deh."
Baby. Itu panggilan khusus Greta untuk Boy. Greta bilang karena postur tubuh Boy yang paling pendek di antara kami, seperti anak kecil. Baby Boy. Sementara Boy memanggil Greta juga dengan sapaan istimewa, Az. Kependekan dari Azmarie.
"Halah, alasan aja lo," Boy menyerobot botol air mineral yang dipegang Greta dan menenggaknya hingga tersisa seperempat, "keburu diambil klub voli atau yang lain."
"Memangnya kenapa sih" Anggota kita kekurangan orang, gitu" Lagian kan dia juga punya hak, mau ikutan ekskul apa. Ini juga baru hari pertama dia ada di sini. Baru dia observasi dulu lah."
"Tapi..." "Udah, udah. Gak usah diperpanjang," gue menengahi. Boy dan Greta memang susah mengalah.
"Dirga, gue ketua ekskul basket sekolah. Tadi si Boy udah bilang apa aja ke lo soal basket?"
Cowok itu mengendikkan bahu. "Gak banyak. Yah, intinya dia bilang, ada turnamen sebentar lagi dan latihan nanti sore."
"Cool. So?" Sekali lagi, cowok itu mengendikkan bahu. Kali ini sambil tersenyum tipis. "I'm in." ***
#Dirga Saat jam istirahat, tiba-tiba gue didatengi cowok agak pendek dengan senyuman sumringah.
"Hai, halo! Boy." Cowok itu langsung mengulurkan tangan. Gue menjabatnya. "Dirga."
"Dirga" Oke. Jadi gini. Ini memang hari pertama lo di sini, lo udah nentuin mau ikutan ekskul apa?"
Gue mengendikkan bahu. "Belum tau ada ekskul apa aja di sini. Mungkin gue pilih olahraga."
"Sepak bola?" "Kemungkinan besar basket."
"Great!" Gue berani sumpah mata Boy berbinar-binar bahagia ketika mengucapkan itu. Ekspresif sekali, membuat gue sedikit bergidik. Boy bercerita tentang kegiatan basket sekolah, termasuk turnamen besar sekitar dua bulan mendatang. Latihan perdana bakal diadakan sore ini, berbarengan dengan anak kelas sepuluh, untuk menyeleksi anggota tim baru. Gue gak kaget karena kemarin Bokap-Nyokap cerita soal ekskul basket di sekolah baru gue gak mengecewakan. Gue mendengar langsung dari Boy bahwa mereka sudah beberapa kali memenangi turnamen bergengsi dari berbagai skala. Gue diem aja. Namanya juga Boy lagi mencari anggota, wajar aja dia melebih-lebihkan kehebatannya, kan"
However, bila Boy gak ngedatengi gue dan sampe berbuat seperti itu pun gue bakal tetap milih ekskul basket. I know I've loved basketball since I was just a little boy.
*** Boy mengajak gue ke kantin untuk menemui ketua ekskul basket yang bernama Patrick. Gue sebenarnya mikir, kenapa urgen banget sih gue harus menemui Patrick, padahal beberapa saat lagi sudah mau bel. Sesuai jadwal, sebentar lagi jam matematika. Berstatus anak baru, jelas gue gak mau memberikan kesan buruk pada setiap guru.
Kantin masih cukup ramai dan pengap.
"Oi, Bos!" Boy dengan lantang berteriak dan melambai pada seorang cowok tinggi yang tengah berhadapan dengan cewek yang memunggungi gue. Mungkin ceweknya. Gue merasa gak enak mengganggu mereka, meski sadar seharusnya Boy lah yang merasa gak enak.
Cewek yang memunggungi gue menoleh dan dia sama terkejutnya dengan gue. Greta.
Greta kembali memalingkan wajah. Oh! Jadi Greta pacar Patrick" Gue bersalaman dengan Patrick, lalu dia menggeser duduknya supaya gue bisa duduk di sebelahnya, sementara Boy menggeser paksa Greta dari kenyamanannya.
"Lo kemana aja sih, Az" Lama banget ngajak Dirga gabung. Sampe gue sendiri yang nyamperin." Boy terdengar kesal saat berbicara dengan Greta. "Aduh, Baby, kenapa terburu-buru sih" Gue belum sempat ke kelas. Habis rapat langsung ke sini. Lo terlalu nafsu deh."
Apa dia bilang" Baby" Az" Gue melihat Patrick dengan pandangan... biasa aja. Gue jadi bingung. Sebenarnya teman sebangku gue ini pacar Patrick atau Boy sih"
Greta dan Boy berdebat, dan langsung ditengahi Patrick dengan bijak. Cowok berpotongan rambut seperti tentara, yang terlihat sangat cocok untuknya, menawari gue bergabung di ekskul basket persis dengan penawaran Boy di kelas tadi.
"I'm in." Saat itu gue menangkap ekspresi kesal di wajah Greta, yang dilanjutkan dengan dengusan. Mungkin dia masih kesal gara-gara bangku, tapi gue gak mau ambil pusing. Gue ikutan basket karena dasarnya gue jatuh cinta dan merelakan apa aja untuk basket, bukan lantaran ada Greta dan gue pengin ngebuat dia kesal, apalagi menyelidiki hubungannya dengan Patrick serta Boy.
Meski gue emang penasaran.
Part 2 # D irga* Gue bersemangat ke sekolah pagi itu setelah sesorean kemarin latihan bareng anak-anak basket. Gue tahu Boy gak bohong soal prestasi mereka. Gue benerbener salut sama permainan Boy. Empat jempol yang gue punya, gue ancungi semua buat dia. Dia emang partner yang pas. Gue bener-bener merasa klop. Dan... ehm! Greta ternyata bermain cukup bagus. Oke, koreksi, sangat bagus. Badannya lentur banget. Dia bisa main dengan baik di semua posisi, meski posisi utamanya point guard, sama seperti gue. Dia gesit dan lincah. Sama seperti Boy, Greta juga jago memanfaatkan celah sekecil apapun yang diberi lawan, lalu menggunakannya sebaik mungkin. Biarpun tim cewek secara keseluruhan oke banget, selalu ada satu pemain yang menonjol. Dan itu Greta. Setelah menghabiskan sepiring nasi goreng komplet plus telur setengah matang makanan favorit gue, gue terpaksa mengendarai CRV, karena CBR kesayangan gue lagi dipake abang gue tanpa permisi. Gue sebenarnya malas banget bawa mobil, kecuali pada sikon tertentu, karena gak bisa secepat naik motor.
See" Gue terjebak macet. Ini sudah lima belas menit, waktu yang gue siapkan buat perjalanan ke sekolah. Yah, gue benar-benar berharap bisa sampai tepat waktu.
Di tengah kemacetan, dari kaca spion gue melihat seorang cewek naik sepeda dengan mudahnya melintasi celah di antara kendaraan yang stuck di tengah traffic jam. Gue menyipit, berusaha menangkap sosok di sepeda itu. Greta"
Belum bisa dipastikan, karena cewek itu mengenakan jaket, pelindung tangan dn siku, helm, masker, dan kaca mata hitam.
Cewek itu dengan santainya melintasi mobil gue. Tapi ransel merah yang menempel di punggung serta jaket merahnya sama seperti yang gue lihat kemarin. Juga kuciran tinggi rambutnya. Sekarang gue yakin itu emang Greta. Gue masih memikirkn hal itu, meski Greta udah gak keliatan lagi, sampaisampai gue diklaksoni mobil di belakang.
*** Terima kasih Tuhan, gue masih disisain satu setengah menit untuk hadir di sekolah sebelum pintu gerbang ditutup. SMA gue punya disiplin yang tinggi banget. Bagus sih. Meski mungkin ketika gue gak beruntung, disiplin seperti itu menyebalkan.
Koridor sekolah ramai seperti kemarin, gue berharap gak ada makhluk seperti Greta yang main seruduk sana-sini hingga menimbulkan sakit di beberapa bagian tubuh.
Kelas gue juga ramai. Beberapa murid masih ada di luar kelas, karena beberoa bangku masih kosong, hanya berisi tas.
Kok ada yang beda dengan teman sebangku gue kemarin ya" Dia menunduk, rambut panjangnya terurai sehingga gue gak melihat dengan jelas wajahnya. Tapi dari postur tubuhnya, sepertinya itu bukan Greta. Kulitnya juga putih, bukan cokelay seperti Greta.
Sengaja memperlambat, gue jalan menuju singgasana dan meletakkan tas di meja, membuat cewek itu mendongak, lalu menatap gue.
Tunggu. Sepertinya gue tau pemilik mata itun "Dirga?"
"Hannah?" Cewek itu tersenyum lebar. Matanya menyiratkan kegembiraan yang gak bisa dibohongi. "Lo masih ingat gue?"
"Hannah... Victoria Hannah?"
Senyum cewek itu tidak memudar, justru sebaliknya. "Prasetya Dirgantara; apa kabar?"
*** # G reta* Jam pertama hari itu matematika, masih Bu Lala, dn masih jam kosong. Aku memutuskan gak berada di kelas sampai berakhirnya jam matematika. Perpustakaan jadi tempat yang oke buat mengasingkan diri. Eh, sebenarnya aku udah janjian ama si Boy semalem. Doi lagi gak mood ikut pelajaran sejarah pagi-pagi. Dan dia yang mengusulkan untuk ketemu di perpustakaan. Aku sendiri juga males ke kelas karena gak ada Hannah. Kemarin kami teleponan. Katanya, dia masih lemes, gak tau hari ini bakal masuk atau gak. Aku mengambil kemungkinan terburuk bahwa dia gak masuk. Semalem aku cerita ke Hannah soal cowok baru nan tengil di kelas. Hannah ketawa mendengar ceritaku. Katanya, aku kekanakan. Dia heran aku meributkan hal remeh seperti itu. Toh tempat duduk memang bisa pindahpindah. Aku cuma merengut.
"Pagi, Pak," sapaku ke Pak Yudi, petugas perpustakaan. Orangnya masih muda, sekitar dua puluhan. Ramah dan baik, aku suka. Dan lagi, beliau hapal aku. "Pagi, Greta. Kenapa gak masuk kelas?"
"Jam Bu Lala, Pak. Ke Banjarmasin," jelasku sambil mengisi daftar absensi. Perpustakaan masih sepi. Sempurna. Yang ada di ruangan hanya kami berdua. "Biasan kan dikasih tugas. Gak ngerjain?"
"Kemarin udah dikasih, Pak, langsung dobel, sekalian buat yabg hari ini juga. Punya saya udah selesai," kataku jujur. Semalam setelah menelepon Hannah, aku langsung mengerjakan tugas tersebut. Tinggal nanti ku kumpulkan ke Ghaza selaku ketua kelas.
Gak lama kemudian pintu perpustakaan terbuka dan muncul sosok Boy dengan rambut yang masih basah. Pasti habis keramas. Dia nyengir ke arahku, dan menyapa sopan Pak Yudi, lalu duduk di sebelahku. Samar-samar aroma parfumnya yang cowok banget itu menguar. Wangi yang kusuka. Wangi yang hanya dimiliki Boy. Yang sudah kuhafal.
"Jam sejarah Bu Tessa. Mentang-mentang udah tua dan pikun, lo absenin gitu aja" Dosanya dobel lo, ngibulin orang begitu."
"Aduh, Az, jangan bikin gue merasa guilty gitu dong. Yah; daripada gue hadir terus malah tidur, gimana coba" Pasti Bu Tessa merasa gak dihargai." "Yah, jangan sampe tidur dong!"
Boy menarik ujung hidungku yang bangir. Ganti aku yang menyentil telinganya, membuatnya tersentak dan meringis. Hahaha.. Satu sama.
Aku dan Boy cukup dekat, meski gak sedekat hubunganku dengan Hannah. Kami sekelas tahun lalu. Sebenarnya sejak awal, hanya dengan melihat sosoknya, aku sudah bisa memprediksi bahwa dia bukan tipe orang yang bisa diam. Pecicilan. And I was totally right. Justru itu yang membuatku nyaman bersamanya. Kami sama-sama susah diam, jail, selalu berusaha jujur, dan juga penyuka olahraga.
Selain basket, Boy juga suka renang, plus penyantap makanan yang sehat dan bergizi. Kedua orang tua dan kakaknya tinggi. Aku jadi berpikir-pikir, kenapa si Baby gak ngikutin mereka" Aku menyimpulkan... yah, dia mendapat gen resesif. Wajar tubuhnya cuma segitu.
*** Sepertinya ponsel Boy bergetar, karena ia segera merogoh saku celana dan mengeluarkan gadgetnya. Aku tersadar bahwa aku meninggalkan ponsel di meja belajar rumah. Ah.
Sebuah pesan membuat Boy tersenyum simpul dan segera membalas, lalu meletakkan HP di meja.
"Kenapa?" "Patrick, nanyain gue dimana. Hahaha... Kayaknya dia garing sendirian jam sejarah. Hahaha... Mampus deh lu, makan tuh ceramah era purba! Hahaha.." "Ih, jahatnya! Lo kali, yang harusnya niru Patrick. Lo malah kelayapan." "Biarin. Wek! Pqlingan juga bentar lagi Patrick, Ilham, Navid, Yoel, sama Chris bakal kesini."
"Navid dan Chris kok ikutan" Kan kalian gak sekelas." "Aaah, kayak gak tau kami aja. Hhehe..."
"Nakalnya Baby satu inu yaa." Aku mencubit lengan Boy yang sudah terbentuk otot-ototnya karena rajin dilatih.
Boy masih terkekeh. Betul saja. Gak lama, lima cowok, yang aku gak tau gimana ceritanya bisa berhasil kabur dari kelas tanpa ketahuan guru, muncul di depan kami. Postur mereka sangat gak memungkinkan but diajak mengendap-endap hingga lolis dari pandangan guru. Atau mungkin mereka pura-pura izin kemana, lalu berbelok, dan memilih menetap di perpustakaan" I really have no idea. "Ckckck... Ternyata lo semua nakal, ya"
Aku bahkan sama sekali gak menyangka seorang Avicenna Patrick bisa ikutan kabur seperti ini. Ternyata memang kalimat "don't judge a book by its cover" gak lekang oleh waktu. Oh, well.
*** * # H annah* Nikmatnya menyantap bakso Solo dengan sambal extra pedas hingga menimbulkan desahan-desahan khas memang gak ada bandingannya. Itu juga yang ku lakukan setelah nonton dengan sahabatku yang paling baik sedunia, Greta, yang biasa kupanggil Eta. Padahal Eta sudah mengingatkanku. Eta sebenarnya pecinta sambal, bahkan dukunya dia gak bisa menyantap makanan tanpa sambal. Tapi sejak menderita infeksi usus dan lambung beberapa waktu lalu, dia berhenti.
Akhirnya aku sendiri yang menanggung akibatnya karena meremehkan peringatan Eta. Sejak subuh perutku mulai menimbulkan gejala-gejala gak enak. Benar-benar menyiksa, menahan sakit di perut dan bolak-balik ke kamar mandi. Mama juga ikut mengomeliku. Uuuh. Akibatnya aku gak masuk sekolah, terpaksa tinggal di rumah. Membunuh rasa bosan dan mencoba mengalihkan perhatian dari rasa sakit, aku memutuskan menonton DVD.
Eta baru menghubungiku sekitar pukul setengah tujuh malam. Kami bercerita banyak hal, termasuk kehadiran anak baru di kelas kami yang membuatnya kesal setengah mati. Katanya, cowok itu duduk di bangkuku, dan Eta gak bisa terima. Manis sekali, ya"
Aku tersenyum saat Eta menceritakannya padaku. Aku bisa membayangkan mimiknya saat kesal, bibirnya pasti manyun. Aku mencoba bijak dan bersikap dewasa, dengan mengatakan bahwa seharusnya kejadian seperti itu gak diributin. Tapi bukan Azmarie Greta namanya kalau mengalah begitu saja. Aku menanyakan nama anak baru itu.
"Dirga." Seketika jantungku berdebar lebih cepat. Dirga"
Ketika aku menanyakan nama lengkapnya, jawaban Eta benar-benar mengecewakan. "Gak tau deh. Gue gak ada di kelas waktu dia perkenalan, lagi ke toilet. Yang gue dengar cuma Dirga. Kenapa?"
"Gak ada apa-apa sih. Cuma mau tau."
Aku berbohong. Nama itu membuatku berharap lebih.
Dan pagi itu aku berangkat ke sekolah dengan sejuta perasaan dan harapan yang membuncah. Saking semangatnya, aku sampai datang terlalu pagi, bahkan di kelas baru ada Uni, Resi, Lola, dan tiga teman lain. Eta gak mungkin datang sepagi ini. Akhirnya aku membaca novel yang baru kubeli bersama Eta kemarin.
Aku pasti sangat konsentrasi dan terhanyut sampai gak menyadari kelas sudah ramai. Akhirnya seseorang datang dan meletakkan tasnya di meja sebelahku, membuatku mendongak. Aku baru mau menyebut nama Eta ketika menyadari itu cowok.
Cowok itu menatapku. Hatiku berdesir menatap wajahnya. Persis seperti yang sering kuimpikan. "Hannah... Victoria Hannah?"
Aku semakin gembira. Seketika perasaan hangat menjalari tubuhku saat mendengar dia mengucapkan namaku dengan benar. Ternyata dia masih ingat. "Ptasetya Dirgantara apa kabar?" Aku menanyakannya tanpa ragu. Dan aku benar-benar serius dengan pertanyaanku yang terdengar sepele ketika menanyakan kabarnya. Aku memang ingin mengetahui kabarnya setelah delapan tahun berpisah.
*** #Greta Dua jam pelajaran sudah berlalu dan aku segera harus kembali ke kelas. Pengajar selanjutnya Pak Romi, yang sangat disiplin. Setahun lagi Pak Romi pensiun, dan itu membuat beliau semakin gentar menanamkan disiplin tingkat dewa ke diri kami.
Aku berjalan bersama Chris, Patrick, Boy, Ilham, Navid, dan Yoel. Rasanya seperti tuan putri saja. Hihihi... Seperti di kisah roman ala remaja. Tapi gak kok. Mereka sudah seperti saudaraku sendiri dan aku bersyukur bisa bersama mereka. Sejujurnya, aku memang lebih suka berkawan dengan cowok. Bukan berarti aku mengidap kelainan atau antipasti terhadap kaumku sendiri. Ada beberapa hal yang membuatku nyaman berada di lingkungan cowok. Apalagi jika aku menjadi satu-satunya makhluk berkromosom X di antara mereka. Setelah menaiki anak tangga terakhir, kami berpencar. Aku berbelok ke kiri, sementara mereka ke kanan. Sayup-sayup kudengar suara keras Vio dan keributan kelas. Sudah tentu Pak Romi belum datang. Kalau Pak Romi sudah datang, bersin saja rasanya susah setengah mati.
Aku memasuki kelas yang ditutup.
Lho, Hannah masuk" Aku sama sekali gak tahu bahwa Hannah masuk. Dan...
dia duduk di bangku bersama Dirga. Keduanya asyik mengobrol, seperti gak menyadari kehadiranku. Mereka terlihat begitu akrab. Pemandangan yang cukup aneh, mengingat itu baru pertama kali mereka bertemu, dan setahuku, Hannah pemalu.
"Dari mana, Ta?" tanya Uni ketika aku melewatinya. "Oh" Dari perpus doang. Bu Lala gak masuk, kan?" "Gak sih. Tugasnya dikumpulin ke Ary tuh. Gak lupa, kan?" Aku tersenyum kaku. "Gak kok. Udah selesai punya gue. Pak Romi mana?" "Gak tau juga deh. Gak ada pemberitahuan sama sekali."
Aku jadi salah tingkah. Apakah aku harus bersikukuh mendatangi Hannah dan Dirga, atau duduk bersama Lion" Mmm... lebih baik duduk bersama Lion aja. Toh aku cukup akrab dengannya.
"Oi." Lion yang asyik mengobrol dengan Edmund dan Evan menyapaku sambil berhigh five ria. Aku terhibur dengan sambutannya.
"Dari mana aja lo" Baru dateng ya?"
"Enak aja. Dari perpus gue. Males di kelas gak ada pelajaran." "Enak baget lo, Ta. Ah, lain kali gue ikutin lo aja deh. Nganggur doang dari tadi. Liat deh, kelas jadi kacau begini," Evan mendramatisir.
"Trus, sekarang Pak Romi kemana?"
"Kayaknya kita bakal jadi pengangguran kayak kemarin deh. Tadi gue denger di ruang guru, Pak Romi lagi menghadiri wisuda anaknya yang keempat." Aku mendesah. Duh! Segera ku keluarkan tugas matematika dan beranjak. "Ya udah deh, gue cabit dulu lagi ya."
"Weits. Mau kemana lagi lo?"
"Cari keringet," kataku sambil melambai. Sebelum meninggalkan kelas, aku menyerahkan bukus tugas matematika ke Ary.
"Eta!" Teriakan Hannah membuatku menoleh. Aku yakin ekspresiku gak menunjukkan raut senang.
"Sini!" Hannah melambai.
Dengan ragu dan malas, aku menghampiri Hannah. Dirga juga menatapku tanpa berbicara apa-apa.
"Dari mana aja" Gue hubungi gak ada balasan sama sekali," protes Hannah sedikit merajuk.
"Sorry, gue gak bawa ponsel. Ketinggalan." "Ooh. Tadi dari mana aja" Kok gak masuk kelas?" "Perpus."
Oke, intonasiku sama sekali gak bersahabat. Dan Hannah menyadarinya. "Lo kenapa, Ta?"
"Gak papa. Udah ya. Gue cabut dulu." "Etaaa, mau kemana?"
Aku lagi-lagi hanya melambai. Sekilas kulihat Dirga masih menatapku dalam diam. Hah. Peduli amat.
*** Lapangan indoor tampak begitu lengang. Dengan tangan kanan memegang sebotol air mineral yang ku beli di kantin sebelum menuju tempat ini, tangan kiriku men-dribble bola basket sambil memasuki my favorite place. Rumah keduaku.
Jujur saja, aku gak paham perasaanku. Aku jelas kesal melihat Hannah akrab bersama Dirga tadi. Jangan berpikir yang gak gak. Aku cuma merasa tersisihkan. Seharusnya aku yang berada di tempat itu, bukan Dirga. Tapi yang membuatku benar-benar marah adalah karena Hannah sendiri sepertinya gak masalah dengan ketidakhadiranku. Saat ku masuk kelas aja, dia gak sadar. Dan itu semua gara-gara Dirga.
Aku meletakkan botol di sisi kiri lapangan, lalu membuk sabuk. Kukeluarkan blus seragam, mulai berlari kecil sambil men-dribble. Seragamku akan basah keringat, tapi aku gak peduli.
Tembakan pertama. Three point. Sempurna. Perasaanku membaik, mengingat biasanya memasukkan bola dengan penuh emosi dan nafsu akan gagal. Aku mulai bersemangat untuk membuat kali itu menjado lebih dari sekadar menuangkan emosi. Latihan memperbaiki tekhnik jauh lebih baik. Aku pasti sangat berkonsentrasi melatih tembakan dan dribble, karena ketika bolaku terlepas dan menggelinding ke sisi tribun selatan, aku melihat Dirg tengah mengamatiku sambil menyandar di bawah ring yang berjauhan dari sisi lapangan yang ku gunakan. Dirga menghentikan laju bola dengan kakinya, lalu mengambilnya.
"Jadi lo disini," kata Dirga sambil tersenyum tipia dan mengangguk-angguk.
"Bola." "Kenapa gak ngajak-ngajak?" "Bola."
Aku gak menanggapi perkataan Dirga. Mood ku yang sudah membaik kini kembali goyah.
"Jutek banget. Kenapa sendirian di sini" Kenapa di sini?" "Bukan urusan lo. Sekali lagi gue bilang sama lo, balikin bolanya." Namun Dirga memilih mengabaikan permintaanku. Dia justru menghampiriku, men-dribble sambil menarik ujung kanan bibirnya.
"One on one." Aku memutar bola mata dan mendengus. Sok banget sih orang satu ini. Menyadari seragamku sudah basah keringat, ditambah dengan keringat yang masih mengucur di seluruh badanku, aku pasti sudah latihan lama. Jadi lebih baik aku meninggalkan tempat itu. Silahkan aja kalau Dirga mau berlatih. Aku kembali untuk mengambil air mineral yang tinggal seperempat botol, lalu segera meninggalkan lapangan. Tapi dengan cepat Dirga menahan lengan kananku yang bebas.
"Apaan sih?" Aku mengibaskan tangan, tapi cengkeraman Dirga lebih kuat daripada dugaanku.
"Mau ke mana?" "Balik!"
"Kenapa gak lanjut?" "Karena ada lo."
"Kenapa kalo ada gue?"
Keterlaluan. Aku mengentak tanganku keras-keras. Berhasil. Gak perlu menunggu lebih lama, aku melangkah lebar-lebar.
Part 3 # H annah* Aku dan Eta mengempaskan diri ke sofa, melepas lah setelah keliling mall. Eta butuh sepatu basket yang baru, sementara aku yang awalnya hanya berniat menemani justru pulang dengan membawa kantong belanjaan lebih banyak daripada Eta.
"Eh iya, tugas kelompok kimia dikumpulin sebulan lagi ya" Gue belum koordinasi sama temen-temen sekelompok nih."
Ah, iya. Tugas kelompok kimia. Aku sekelompok dengan siapa saja ya" Aku, Evan, Lola, Ika, dan Fahmi. Ya ampun, kami belum membicarakan hal itu sama sekali.
"Lo sekelompok ama siapa aja, Ta" Sama Dirga juga, kan?" "Aduuh, udah deh, jangan sebut-sebut namanya. Males banget," Eta mendadak jutek.
Ini yang bikin aku heran. Memangnya ada masalah apa sih antar Eta dan Dirga" Aku melihat sikap Eta yang anti-Dirga tidak wajar. Memangnya Dirga pernah berbuat apa" Sesuatu yang sangat fatal, mungkin"
Sudah lebih dari dua minggu sejak kehadiran Dirga dan selama itu aku selalu merasa ada yang aneh di antara mereka. Aku dan Eta masih duduk bersama, meski sempat selama empat hari aku duduk bersama Dirga. Akhirnya Dirga memilih duduk bersama Lion. Aku sama sekali gak mempermasalahkanhal itu. "Lo ada masalah apa sih ama Dirga" Kenapa bawaannya jutek melulu kalo menyangkut dia?"
"Gak ada masalah." "Lalu?"
"Gak ada lalu."
Oke, aku tahu keadaannya sekarang. Kalau sudah seperti ini, jangan sekali pun memaksa Greta untuk berbicara, or she's gonna blow up.
"Gue mau tidur dulu ya di atas. Lo masih pulang ntar sore, kan" Kalo mau apaapa, lo tau tempatnya."
Aku memang sudah hafal seluk-beluk rumah besar ini, bahkan beberapa kali menginap. Aku menghela napas. Sepertinya bukan waktu yang pas untuk bercerita kepada Eta tentang Dirga. Dan aku. Yah, semua bisa menunggu. ***
* # P atrick* Aku, Chris, dan Boy sedang menunggu pesanan datang setelah berenang. Seharusnya Greta ikut, seandainya dia gak terlalu bersemangat mencari sepatu baru. Katanya, seminggu lalu dia melihat sepatu keluaran terbaru dan takut kehabisan kalau gak segera membelinya.
Greta dan aku bukan sahabat dekat, kami hanya berteman. Berteman pun buka dalam kadar seperti Boy. Hanya berteman biasa, meskipun harus kuakui, aku ingin menaikkan status teman biasa itu.
Tunggu dulu. Jangan disalahartikan. Greta teman yang sangat menyenangkan. Dia memiliki kepribadian yang benar-benar baik, di samping secara fisik sangat mendukung. Sebagai cowok, aku bisa mengerti pikiran dan keinginan sebagian besar cowok soal Greta. Gak sedikit kok yang diam-diam menaruh perasaan dan harapan. Aku salah satunya. Tapi bukan sebagai pacar. Atau mungkin, aku yang belum siap untuk itu. ***
#Hannah Karena Eta masih tertidur pulas dan gak ad siapapun lagi di rumah selain Bi Rahmi, aku berpamitan pada Bi Rahmi di dapur. Dengan membawa beberapa kantong belanjaan di tangan, aku kesusahan membuka pintu. Untung Bi Rahmi sigap membantu.
Seulas senyum tersungging di bibirku. CRV hitam itu sudah menunggu di depan pagar, masih dengan mesin menyala. Seseorang dibalik kemudi itu lalu membuka pintu, juga melepas kacamata.
"Saya pulang dulu ya, Bi. Makasih," kataku kepada Bi Rahmi, "Oh, iya, salam buat Eta yang masih tidur."
"Iya, Mbak. Hati-hati ya." "Iya, Bi," aku mengangguk.
Dirg yang menjemputku berpamitan juga kepada Bi Rahmi. Setelah itu mobil perlahan melaju, meninggalkan kawasan elite tersebut."
"Jadi, ini rumah si Greta?" tanya Dirga sambil tetap menatap ke depan. "Iya."
Tadi pagi aku naik taksi ke rumah Eta, lalu kami berkeliling dengan kendaraan umum campur jalan kaki. Greta gak terlalu suka naik kendaraan bermotor yang bikin polusi, kecuali pada saat benar-benar butuh. Seberapapun jauhnya, Greta tetap berpegang pada prinsipnya. Bahkan ke sekolah dia memilih naik sepeda, meski jarak rumahnya ke sekolah sekitar dua kilometer.
"Gue gak mau nambah-nambahin kemacetan dan polusi. Dan karena suatu hari gue akan tinggal di Amerika, Jepang, dan Eropa, jadi gue mulai membiasakan diri jalan kaki di sini," kata Eta sewaktu aku menanyakan alasan dia memilih jalan kaki.
Aku salut. Keluarga Eta tidak kekurangan. Sebaliknya, mereka termasuk kaum jetset. Kedua orangtuanya berpendidikan tinggi, dan kakak laki-lakinya pernah menjuarai olimpiade fisika tingkat internasional, dan kini kuliah di MIT. Tapi Eta sama sekali gak manja dan bermalas-malasan dengan semua kemewahan yang dia dapatkan.
Dan tadi saat aku membaca majalah di sebelah Eta yang tertidur pulas, Dirga menghubungiku, menanyakan keberadaanku dan rencanaku sore itu. Dia menawarkan untuk sekalian menjemputku. Jelas aku gak mungkin mengatakan "gak".
Sepertinya ini takdir. Aku dan Dirga yang terpisah selama delapan tahun tanpa kabar apapun, kinu bertemu kembali dalam keadaan yang cukup dewasa. Padahal terakhir kali aku melihatnya, Dirga masih dalam balutan seragam putih merah-sama sepertiku karena kami seumuran-lengkap dengan topi yang tidak menutupi kepalanya secara keseluruhan dan kaus kaki nyaris setinggi lutut, dengan tas ransel bergambar Power Rangers. Dirga selalu menjagaku, sekalipun dari kejauhan saat dia sedang bersama teman-temannya. Dirga selalu ada kapanpun kubutuhkan.
Dan sepertinya, mulai saat ini kami bisa mengulang kembali kenangan indah itu.
"Dari mana aja tadi?"
"Niat awalnya sih nemenin Eta nyari sepatu. Ternyata justru aku yang kebablasan. Hhehe..."
Dirga tersenyum kecil. "Dasar. Lapar mata ya?"
Aku mencubit lengan Dirga. "Ih, wajar kali. Kan gak sering kayak begini." Kami berhenti di pom bensin. Dirga keluar dari mobil dan berdiri di sebelah petugas. Tanpa diduga, mobil di sebelah kiri ternyata adalah mobil Patrick. Patrick gak sendirian, ada Boy juga Chris. Mereka berbincang sebentar, lalu Dirga kembali masuk ke mobil. Ia menoleh dan tersenyum kepadaku, sebelum melanjutkan perjalanan. ***
# G reta* Libur sekolah selama dua hari ditambah hari minggu, benar-benar long weekend yang menyenangkan. Aku sudah berencana menghabiskan waktu dengan berolahrahga sepuasnya, tanpa dibayang-bayangi tugas sekolah. Pagi itu, hari pertama libur, aku siap berlari delapan kilometer. Sejak pukul empat subuh, aku sudah bangun. Aku lebih suka berlari saat langit masih gelap. Ya, setiao orang punya kesukaan masing-masing.
Aku meninggalkan rumah jam lima lewat sepuluh menit. Bi Rahmi sibuk di belakang, Mama dan Papa sudah bangun. Ah, segarnya. Aku mengucap syukur karena masih diberi kesempatan menikmati berkah Tuhan.
Aku mulai menyusuri jalan dengan iPhone di lengan kiriku. Mmm... kemarin magrib saat aku bangun, Hannah sudah pulang dan kata Bi Rahmi, seorang cowok menjemputnya. Aku bertanya-tanya. Cowok" Siapa" Gak mungkin cowok itu ayah Hannah. Lagi pula Bi Rahmi tau kedua orangtua Hannah kok. Cowok... cowok... hmmm... Pacar Hannah" Tapi aku menyangsikan dugaanku barusan. Hannah selalu cerita padaku soal apapun. Masa saat punya kekasih dia gak bilang" Yah, mungkin saja itu sepupu atau saudaranya. Mari berpikir positif.
Eee... tapi mungkin saja sih yang kemarun itu pacar Hannah. "Wah, orangnya gagah, tinggi, kulitnya bersih, cakep, sopan lagi," papar Bi Rahmi menggebu saat kudesak untuk mendeskripsikan sosok cowok misterius itu.
Hannah cantik, mungil, kulitnya putih mulus dan bersih, perangainya baik, dan feminim banget. Apalagi rambutnya. Aku saja yang terkesan cuek seperti ini diam-diam memendam perasaan iri. Kok bisa ya dia punya rambut sebagus itu" Tapi melihat Tanymte Ira, mama Hannah, aku jadi tahu alasannya. Yah, like mother like daughter. No wonder.
Jadi, jelas saja siapapun yang menjadi kekasih Hannah, minimal secara fisik dia harus good looking. Selain punya sifat dan sikap baik, penampilan oke gak bisa disingkirkan begitu saja.
Sebenarnya aku dan Hannah baru bertemu awal SMA lalu. Hannah sendiri sudah sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena mengikuti pekerjaan ayahnya. Hannah anak tunggal, sedangkan aku dua bersaudara, dan sekarang abangku satu-satunya meneruskan studi di MIT. Aku dan Hannah berusaha saling mengerti .dan melengkapi. Dalam waktu singkat kami menjadi sepasang sahabat.
Sebenarnya kami sudah seperti saudara. Secara fisik, aku terlihat lebih mirip sebagai kakak Hannah. Yah, dengan tinggi 173 cm, sementara Hannah hanya 158 cm, terkadang kami terlihat timpang ketika berjalan bersama. Bukannya gak mau mengalah, tapi aku memang suka menggunakan sepatu berhak tinggi, aku tetap menjulang. Kali soal kedewasaan, Hannah lebih sering bersikap dewasa dibanding aku. Toh Hannah emang lebih tua sebelas bulan daripadaku. Ah, sudahlah. Keringat juga sudah mengalir dari kepala sampai kaki dan aku tinggal menyelesaikan dua kilometer lagi, sesuai target. Setelah itu, masih ada latihan lain begitu sampai di rumah. Dan ada semangkuk oatmeal dan susu nonfat yang jadi siap menjadi asupan penyuplai energi.
*** # D irga* Gue memutuskan pergi ke toko buku untuk mengisi waktu. Gak ada rencana pergi ke luar kota long weekend ini. Lagi pula, tim basket ada latihan. Baguslah. Gue gak akan terkurung dalam kebosanan.
Bagian komik selalu menjadi tujuan utama gue. Lumayan, gak terlalu banyak pengunjung. Gue mulai mencari-cari komik terbaru yang bisa menghibur. "Mandaa!!"
Gue tersentak dan langsung menoleh ke sumber suara. Seorang ibu tengah histeris karena anaknya yang masih balita tersungkur dengan kepala membentur rak buku. Mungkin si anak berlari dan karena lantai licin, tergelincir.
Gue hanya bergeming saat melihat seorang cewek tinggi yang dengan sigap menghampiri si anak, langsung menggendongnya. Dia mengusap-usap kening anak tersebut sambil membujuknya agar berhenti menangis. Si ibu dengan tergesa dan panik menghampiri cewek itu dan membawa anaknya dalam gendongan sambil mengucapkan terima kasih. Cewek itu tersenyum dan mengelus kepala si bocah, kemudian berlalu.
Komik yang tadinya berhasil menguasai pikiran gue kini tergeletak begitu saja. Gue jadi seperti stalker-memperhatikan cewek itu diam-diam dengan menjaga jarak supaya gak ketahuan. Cewek itu sepertinya udah mendapatkan buku yang dicarinya karena beranjak ke kasir. Gue melongok untuk mencari tahu buku apa saja yang dibelinya. Novel, novel, novel, latihan soal, latihan soal, chicken soup, latihan soal, novel, komik.
Cewek itu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet, menerima uang kembalian dan belanjaan, lalu mengambil tas yang dititipkan. Dengan santai dia menuju parkiran dan memakai jaket, helm, pelindung siku dan lutut. Dirogohnya saku jeans, menyerahkan selembar uang dan menolak kembaliannya sambil tersenyum. Ia memakai masker dan kacamata hitam, kemudian berlalu.
Greta meninggalkan gue dengan sejuta perasaan dan pikiran. ***
#Greta

Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sore itu cerah. Aku sampai di sekolah tiga puluh menit sebelum latihan dimulai. Seharian aku berolahraga yang menguras keringat dan kalori, pergi ke toko buku, lalu sekarang kembali bersiap membakar kalori. Jangan ditanya betapa bahagia perasaanku. Banyak kegiatan, apalagi yang berhubungan dengan olahraga, selalu membawa kebahagiaan tersendiri. Hormon endorfin sejauh ini selalu bekerja baik.
Ternyata udah banyak anggota ekskul basket yang datang. Hari itu kami latihan di outdoor. Sebenarnya gak ada waktu khusus kapan kami berlatih di indoor atau outdoor, tetapi memang seringnya di indoor karena bertubrukan ekskul lain yang memakai lapangan. Lagi pula, keseringan bermain di outdoor meresahkan. Sepatu jadi tipis. Dan otomatis berdampak pada dompet yang semakin tipis juga.
Aku menyalami semua yang hadir. Meli, Cia, Ivonne, Desti, Navid, dan Dirga belum datang. Kali itu hanya murid kelas sebelas yang latihan. Aku duduk di lingkaran tim cewek yang menggosipkan salah seorang senior kami. Aku ikut tertawa mendengar komentar-komentar yang dilontarkan, apalagi komentar Naima. Dia anggot tim yang paling sering membuat banyolan yang sanggup mengocok perut hingga sakit.
"Aduh!" Aku spontab nemegangi kepalaku yang nyut-nyutan terkena bola. Sakitnya! Aku segera mengambil bola yang menggelinding di sebelahku dan menoleh ke sumber malapetaka. Oh yeah, Boy cengar cengir sambil meminta bola kembali. Huh. Enak aja. Baby Boy mengibarkan bendera perang rupanya. Aku bangkit dan men-dribble bola menujunya.
"Three point. Sepuluh kesempatan. Kalah traktir apa pun yang diminta pemenang."
"Galak amat, Az," kata Boy sambil menggaruk rambutnya. "Deal."
Aku memulai. Tembakan pertama, mulus. Anak-anak lain di pinggir lapangan menyoraki. Tembakan kedua, ketiga, keempat, dan.kelima pun masuk dengan cantik. Sayang, tembakan keenam dan ketujuh gagal. Aku menatap Boy yang meletakkan tangan di belakang kepala. Dengan penuh percaya diri, kembali kulanjutkan tiga kesempatan yang tersisa. Dan gak mengecewakan. "Delapan dari sepuluh. Your turn," kataku sambil memberikan chest pass kepada Boy.
Cowok itu mengambil posisi dan mulai menembak. Dari lima tembakan, baru dua yang masuk. Aku baru akan meneriakinya saat tiba-tiba coach muncul, entah dari mana, sambil meniup peluit.
"Hhehe... Coach udah dateng tuh. Latihan yang bener aja ya," Boy berusaha mengelak sambil terkekeh.
"Grrr... Baby Boooyy!!" Aku berlari mengejar Boy yang supergesit, seperti adegan kartun favorit sepanjang masa, Tom and Jerry.
*** #Patrick Latihan sore itu berjalan memuaskan. Dua bulan berganti menjadi dua minggu sebelum turnamen dimulai. Kami benar-benar bersiap mengawinkan kembali gelar juara putra dan putri seperti yang sudah diraih tahun lalu. "Belum pulang, Pat?"
Greta yang sedang menenggak air berada di sebelahku. "Baru ganti baju. Lo sendiri belum pulang?"
"Hhehe... baru ganti juga. Mau pulang, kan" Bareng yuk ke depan!" Samar-samar aku mencium aroma bayi dari gadis di sebelahku. Wangi khas Greta. Memang mustahil rasanya ada wangi yang tersisa dari orang yang sudah berkeringat. Mungkin dari kaus yang baru saja dipakainya. Tapi harus ku akui, biarpun berkeringat, aku belum pernah mencium aroma gak enak dari Greta. Entah apa rahasianya. Tapi jangan bandingkan dengan kami, kaum pria. "Gue duluan ya, Pat. Ntar lo ati-ati pas balik," pamit Greta sambil mengambil sepeda.
"Siap." Aku tersenyum sambil mengancungkan ibu jari.
"Dia selalu naik sepeda, ya?" Aku kaget mengetahui Dirga, yang entah sejak kapan berada di dekatku.
" Ngagetin aja lo. Siapa" Greta" Iya." Bukannya rumahnya jauh?"
"Menurut gue sih lumayan. Tapi katanya cum dua kilo." Aku memperhatikan Dirga yang terdiam.
"Ya udah deh. Gue duluan, bro," Dirga menepuk pundakku. "Sip. Ati-ati."
*** #Hannah Aku membawa nampan berisikan banana cheesecake dan segelas cokelat hangat ke ruang tamu. Sesiang aku sibuk berkutat di dapur dan berdoa supaya usahaku berhasil. Bukan untuk konsumsi publik, tetapi lagi-lagi, entah bagaimana, sepertinya keadaan selalu mempertemukan kami. Senyuman di wajah Dirga menyapaku begitu aku kembali ke ruang tamu. Mmm... Lagi-lagi aroma tubuhnya yang wangi membuatku selalu ingin menghirup napas dalam-dalam.
"Dimakan deh," kataku menyilakan. "Bikin sendiri nih?"
Aku mengangguk antusias. "Yakin semua resepnya bener" Jangan-jangan pake bahan-bahan kimia berbahaya nih," goda Dirga.
"Iiih, ya gak lah. Udah deh. Yuk buruan dicicipin."
Dirga tersenyum menatapku sebelum mencicipi hasil karyaku. Dadaku berdebar kencang. Menunggu komentarnya... dan karena tatapan serta senyuman itu.
"Well done," kata Dirga setelah menelan kunyahan kue di mulutnya. Aku bernapas lega.
"Memangnya gak pernah keluar gitu, kalo malam Minggu?" Tiba-tiba Dirga mengalihkan topik.
"Kadang keluar sama Eta, kadang nginep di rumah Eta, kadang di rumah aja. Gak pasti sih."
Dirga terdiam sebentar. Dekat banget ya sama Greta?"
"Iya dong. Dia orang pertama yang ngajak gue kenalan pas awal SMA. Padahal dia temennya banyak, tapi masih mau peduliin aku. Orangnya juga pengertian, meski kadang kekanak-kanakan. Konyol, ceria, ceplas-ceplos, apa adanya. Yang paling penting dia baik banget. She"s absolutely the best," paparku panjang lebar. Dan aku ngomong apa adanya. Aku selalu tersenyum mengingat awal pertemananku dengan Eta.
"Trus, sekarang Greta kemana" Kenapa gak sama Greta?" "Biasa, kalo menjelang pertandingan dia semakin sering latihan. Malem minggu gini pasti dia lagi 3 on 3."
Sebelah alis Dirga terangkat. "Baru sore tadi kami latihan. Sekarang dia main lagi?"
Aku tertawa melihat kekagetan Dirga. "Bukan Eta namanya kalo capek. Padi tadi dia lari delaoan kilo malah."
Aku tertawa melihat Dirga melongo.
Part 4 # D irga* Gue bener-bener mengakui kehebatan Greta. Tim cewek memastikan diri masuk ke semifinal setelah mengalahkan lawan dengan skor fantastis, 94-21. Seluruh anggota tim bermain dengan baik dan kompak. Gue yakin selama pertandingan, perhatian penonton se-GOR terpusat pad Greta. Hebat. Dia dapetin 43 poin, 7 steal, dan 12 assist. Dan 0 foul. Spektakuler! Yang paling gue suka dari Greta adalah dia gak ambisius. Ya, koreksi, mungkin dia berambisi menang, tapi gak diliatin itu ke penonton. Dia benar-benar menyuguhkan permainan apik, sekaligus menikmatinya
"Yoooo!" Tim cewek berjalan sambil tos kepada kami, tim cowok, di tribun. Bisa kulihat keceriaan di wajah mereka, tapi cewek di barisan ketiga di belakang hanya tersenyum lebar tanpa memperlihatkab gigi seperti kawankawannya.
Boy yang duduk di belakang gue mengulurkan tangan dan Greta menyambutnya lemah. Mereka ngobrol sebentar, lalu Greta duduk di kursi bawah gue.
Gue denger Greta mengaduh. Kalau diinget-inget, mungkin akibat jatuh di kuarter pertama tadi. Tapi selama pertandingan, gue sama sekali gak kiat gerakan Greta yang menyiratkan kesakitan. Apa sebegitu hebatnya dia sampai bisa menyembunyikan rasa sakit"
"Parah, Ta?" Patrick yang baru datang dari toilet langsung bertanya ketika melihat Greta meringis memegangi kakinya.
"Harus cepetan nih, Pat. Lusa mereka main lagi," Boy yang baru saja menghampiri Greta menjawab. Dia membungkuk, memegang kaki Greta. Gue sama sekali gak tahu Greta kenapa. Dari tadi gue cuma nyolong dengar percakapan, gak terlibat langsung.
"Greta kenapa sih?" Akhirnya gue nanya juga. Penasaran. "Ankle," jawab Boy singkat.
"Ankle" Gara-gara di kuarter pertama tadi" Kok lo masih bisa bertahan sampai kuarter akhir?"
Gue bener-bener heran dengan mata kepala gue sendiri, gue menyaksikan Greta dengan gila menghajar lawan. Tapi dia.... dalam keadaan kesakitan" "Menangnya kalo sakit harus woro-woro biar seluruh rakyat tau?" jawab Greta sekenanya.
Gue baru aja mau membalas perkataan Greta saat Patrick memegang bahu gue. "Yah, bukan Greta kalo gak seperti itu."
Gue mencoba menenangkan diri. Gue sampe sekarang heran, sekesel apa sih Greta ama gue" Gue pernah berbuat salah apa" Padahal kalo sama orang lain, dia gaj seperti itu. Bahkan sakit lagi kesakitan seperti itu dia tetep berkeras untuk gak ramah. Nyolot banget.
"Besok gue anterin pijit ya," kata Boy manis banget. Gue melihat mereka berdua seperti... apa ya" Mesra banget.
Ini pertama kalinya gue melihat Greta diam dan tampak lemah. Dia duduk di sebelah Boy dengan merebahkan kepala di pundak kiri Boy, sementara lengan Boy melingkari bahu Greta dari belakang, berusaha menenangkan. Sejujurnya, gue yang melihat adegan itu jadi salah tingkah.
"Halo" Iya, lanjut lusa... Kenapa" Gak kok. Lo masih di Yogya" Oh, oke. Iya, trims. Take care..."
"Siapa?" "Hannah." "Dia gak dateng ya. Baru sadar gue." "Lagi ke Yogya, ke rumah eyangnya."
Lagi-lagi gue cuma mendengar percakapan dua insan di depan gue tanpa melihat wajah mereka.
*** # G reta* Berhubung tadi aku berangkat ke GOR bareng Meli naik motor dan ternyata sekarang keadaanku gak memungkinkan naik motor, terpaksa aku berada dalam mobil yang disopiri Dirga, bersama Boy dan Navid.
Kalo boleh dan bisa memilih, aku lebih suka bersama Patrick, meski berdesakan dengan teman lain. Tapi, yah, apa daya.
Setelah pertandingan tim cewek, tim cowok juga merebut tiket semifinal. Dan dewi fortuna memberkahi kami untuk kembali berjuang mempertahankan gelar juara seperti tahun lalu.
Ternyata Navid mau nginap di rumah Boy, sehingga tinggal aku berdua Dirga di mobil.
"Besok jam delapan kita berangkat. Sekarang jangan banyak bergerak. Gue yakin lusa lo gak mau jadi cadangan mati," tegas Boy sebelum turun. Aku hanya mengangguk.
"Yuk, Boy, Vid," pamit Dirga.
Aku hanya memperhatikan dari kursi belakang.
Suasana jadi semakin canggung karena kami sama sekali gak membuka mulut dan Dirga gak menyetel radio atau lagu apapun yang bisa menghidupkan suasana. Aku berdehem pelan untuk menenangkan diri.
"Ada masalah di antara kita?"
Aku yang sedang memperhatikan jalan terkejut saat Dirga berbicara. Kok dia langsung ngomobg seperti itu"
"Mmm..." "Ada masalah di antara kita?" ulang Dirga, "apa gue pernh bikin salah fatal sampe bikin lo segitu bencinya ama gue?"
Aku menghela napas. Aku tahu kenapa Dirga bertanya seperti itu. Aku yakin dia menyadari sikapku selama ini berbeda saat berhadapan dengan dirinya. "Gak."
Dirga menatapku melalui spion. Keningnya berkerut. "Lalu?" "Gak ada lalu."
"Kenapa lo bersikap seolah-olah gue musuh lo" Selalu menghindar saat ada gue. Kalopun gue ngomong sama lo, pasti lo jawabnya jutek. Dan tatapan mata lo, penuh kebencian dan siap membunuh."
Aku mendesah. Yah, mungkin ini kesempatan baik untuk bicara yang sebenarnya. Mumpung situasinya mendukung. Lagi pula, Dirga yang pengin membahas masalah ino duluan.
"Harus lo tau, biarpun gue bukan tipe yang susah berteman, tapi Hannah satusatunya sahabat cewek gue. She's just like my own sister. Lalu lo datang, dan... yah lo tau." Aku gak melanjutkan kata-kataku. Kalau Dirga peka, dia tau yang kuutarakan.
"Gue kenapa" Mencuri Hannah dari lo" Dia bukan barang, Ta." "Dia memang bukan barang, justru orang yang berarti buat gue, Ga! Lo gak ngerti sih"!"
Emosiku mulai naik. Oh, demi Tuhan. Sedikit tekanan lagi, aku pasti menangis. "Gue gak pernah mencuri Hannah dari lo, Ta. Toh lo masih sebangku ama dia, lo juga masih sering pergi bareng dia. Jadi kenapa merasa gue merebut dia dari lo?"
"Gue masih sebangku, sometimes juga keluar bareng, tapi selain itu" Di sekolah" Gue meleng sedikit aja, kalian langsung barengan lagi. Gue gak tau ada hubungan apa diantra kalian, tapi yang jelas, kehadiran lo berpotensi memecah persahabatan kami."
"Ta, gue rasa mind set lo salah. Kenapa lo bersikap protektif banget ama Hannah" Dia juga punya kehidupan dan hak sendiri. Lo gak bisa mengatur dia. Lagi pula, lo cuma sahabatnya. Orangtuanya juga gak ngelarang dia berteman dengan siapapun. Jadi, kenapa lo harus repotrepot. Lo posesif banget." Aku terenyak mendengar kata-kata Dirga. Posesif" Aku" "Gue yakin lo masih mencintai cowok."
"Maksud lo?" spontan aku bertanya. Apa sih maksud Dirga. "Yaaa... lo bukan lesbi, kan" Makanya jangan terlalu posesif ama Hannah." Spontan aku mencubit pundak Dirga. Enak aja.
Dirga terkekeh. "Gue minta maaf kalo kesan yang lo tangkap seperti itu, tapi sama sekali gak ada niat gitu."
Aku terdiam. Yah, mungkin ada benarnya juga kata-kata Dirga tadi. Sekalipun Hannah satu-satunya sahabat cewekku, aku gak seharusnya bersikap "memiliki" dia.
"Lho, Ga?" Aku baru tersadar saat mobil Dirga memasuki kompleks perumahanku. Rasa-rasanya ini pertama kalinya aku diantarnya. Dirga belum pernah main ke rumahku. Dari mana dia tahu"
"Kenapa?" "Lo tahu rumah gue?"
Dirga cuma tersenyum, yang membuatku semakin penasaran. Dan gak lama, kami sudah tiba di depan rumahku. Dirga segra keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku, lalu membungkukkan setengah badannya, siap menggendongku.
"Eh, apa-apaan?"
"Lho" Lo kan gak bisa jalan! Masa iya gue setega itu" Biarpun lo jahat ama gue, gue gak dendam."
Aku mengerjap. Oh. Manis juga, ya. "Nggg... gue bisa kok. Gue bisa."
Dirga menatapku sangsi. Yah, aku sendiri juga agak sangsi sebenarnya. Melihat kakiku yang membengkak dan sakit setengah mati, aku gak bisa membayangkan caranya bisa sampai di kamar dengan menaiki tangga. Aku meraih tas, lalu dengan sangat pelan dan diiringi doa dalam hati, bergerak ke luar mobil. Lagi-lagi aku dibuat kaget. Dengan sigap Dirga memapahku, bahkan sebelum aku benar-benar sadar dengan apa yang terjadi. Oh, yang benar saja. Ini seperti cerita sinetron kacangan. Aku gak akan terbawa suasana. Sekalipun Dirga menatapku dengan tatapan yang nyaris membuatku lumpuh.
Dirga memencet bel dan gak lama Mang Karmin datang, terkejut melihat keadaanku. Untung saja Mama dan Papa sedang di Surabaya, jadi mereka gak melihat keadaanku seperti itu. Kalau tahu, mereka pasti akan kembali menyuruhku berhenti basket, mengingat ini bukan pertama kalinya aku cedera seperti itu.
"Ya udah deh, Ga, trims banyak ya. Seenggaknya lo kasoh liat ke gue bahwa... yah, bahwa lo gak sejahat yang gue kira," kataku dengan usaha ekstra memperhalus kata-kata "sebrengsek" menjadi sejahat. Oh, well. "Mungkin seharusnya dari dulu gue nanya ama lo, jadi kita gak perlu salah paham untuk waktu yang lumayan lama."
Aku tersenyum mendengar pendapat Dirga. Hahaha... ternyata seorang seperti Dirga bisa berpikiran seperti itu juga.
"Ya udah deh, Ta, lo istirahat aja dulu. Atau dikompres juga barangkali" Apapun itu lo harus cepat sembuh. Lusa lo mau main lagi dan seluruh rakyat mengharapkan kehadiran lo."
"Sip. Once again, thanks a lot." "Kamar lo dimana, Ta"'
Eh" "Di atas. Kenapa?" "Lo bisa?"
"Lo mau ngantar gue gitu?" kataku setengah bercanda. "Iya. Ayo!"
Aku terkesiap. Sama sekali gak ada tanda-tanda Dirga bercanda. "Eh, gak usah. Gue sama Mang Karmin aja."
Setelah perdebatan yang cukup alot, akhirnya Dirga mengalah. Aku bernapas lega. Lumayan keras kepala dan keras hati juga cowok ini. Dirga lalu berpamitan kepadaku dan Mang Karmin. Perlahan, CRV itu menjauh, kemudian menghilang dari pandanganku.
*** Aku gak berbohong bahwa semalam aku gak bisa tidur nyenyak. Harus berhatihati dengan posisi kaki, takut makin parah karena salah posisi. Pagi itu berdoa, semoga bisa lebih baik. Untuk langsung sembuh jelas gak mungkin. Jam setengah delapan aku sudah siap dan menunggu Boy. Yang ku sula daro Boy adalah dia selalu tepat waktu. Tipe yang menghargai waktu. Aku duduk di depan TV. Dari sekian banyak channel, gak ada satupun yang menarik perhatianku. Baru saja mengangkat bokongku dari sofa, seseorang masuk ke rumah sambil memanggilku dengan ceria.
"Azmarieee yuhuu!"
Sudah pasti Mang Karmin ada di depan dan membukakan pagar untuk Boy, karena yang ku tau Bi Rahmi masih mencuci baju.
"Yoo, gue disinii."
Boy keliatan fresh banget. Rambutnya masih setengah basah dengan polo shirt yang menempel sempurna di badannya yang bagus, membuatnya benar-benar keliatan... cakep. Semakin mendekatiku, aroma khas yang kusukai semakin menguar. Seperti biasa, wajahnya ceria dengan senyum lebar. "Feel better?"
Aku yang berdiri sambil menyandar di sofa tersenyum sedikit. "Yeah, a little bit. Sendirian?"
"Iyalah. Ngapain juga rame-rame?"
"Mmm... Udah sarapan" Ada roti bakar tuh. Ambil aja." Boy cowok yang paling sering datang ke rumah. Mama dan Papa sudah mengenalnya baik dan mereka selalu welcome dengan kehadiran Boy. Boy sendiri, meski keliatan agak urakan, hormat dan sopan pada orangtua. Dengan tertatih, aku menemani Boy menyantap roti bakar di meja makan. "Patrick sebenarnya mau kesini juga, tapi tadi katanya ada urusan mendadak, jadi gak bisa ikutan. Salam buat lo, katanya," ujar Boy setelah menelan gigitan roti yang dikunyahnya.
"Ngapain dia mau kesini" Ikut nganterin gitu, maksudnya?"
Boy mengangkat jempol, mengiyakan pertanyaanku karena mulutnya penuh. "Repot-repot amat. Ya udah deh, gue sekalian pamit ama Bi Rahmi di belakang. ***
* # P atrick* Sejak sejam lalu GOR sudah dipenuhi oleh suporter dari tiga sekolah yang bertanding di laga final hari itu. Ya, hanya tiga sekolah, bukan empat, karena sekolah kami berhasil melaju ke babak final, baik tim cewek maupun cowok. Banyak sekali yang mengkhawatirkan keadaan Greta. Walaupun tim cewek secara keseluruhan bagus dan bermain sangat baik, keberadaan Greta menjadi barometer penyemangat kawan-kawan.
Greta yang datang paling akhir bersama Boy disambut meriah. Tribun timur yang dipenuhi siswa-siswa dan beberapa guru sekolah kami bersorak dan berteriak. Grera berjalan sendiri tanpa dipapah Boy, dengan wajah seperti biasa, sama sekali gak menunjukkan kesakitan. Kalau diperhatikan secara teliti, cara jalan Greta agak beda daripada biasanya. Sesekali aku bisa melihatnya meringis, kemungkinan besar menahan sakit. Siapapun tahu, cedera ankle gak mungkin bisa sembuh total hanya dengan sekali pijat. Tapi itulah Greta. Dia gak akan menunjukkan sisi rapuhnya kepada orang lain.
"It's your day. You'll get through this perfectly," kataku sambil menepuk pundak Greta. Ia hanya tersenyum kecut.
"Gue gak akan main di kuarter awal." "Coach yang bilang?"
"Belum bilang. Tapi pasti. Lagi pula gue mau liat dulu kemampuan lawan. Jadi gue bisa persiapin diri dan strategi sesuai keadaan gue sekarang." "Gue percaya lo."
Greta balas menepuk pundak gue dan menunggu tim cewek yang menunggunya di depan.
*** #Dirga Gue dan seluruh suporter berteriak menyemangati tim cewek yang mulai beraksi di lapangan. Greta gak turun sebagai starter. Posisinya digantikan Farah. Sejak awal pertandingan gue bisa merasakan suasana penuh ketegangan di dua kubu.
Empat menit pertandingan, perolehan skor cukup ketat, 12-11 untuk keunggulan lawan. Gue gak bisa memastikan seandainya Greta turun sebagai starter bisa mengubah keadaan karena ternyata tim lawan lebih tangguh daripada lawan-lawan sebelum ini. Yang pasti, Farah gak main sebagus Greta dan sepertinya tim cewek kehilangan arah.
Sejauh ini, yang lumayan bagus Jenni. Sebagai center dengan postur yang lebih tinggi daripada Greta, dia cukup membantu dan menopang tim dengan mencetak poin selagi absennya Greta.
Dan kini Jenni berhadapan satu lawan satu, mencoba mengalangi lawan yang hendak mencuri kesempatan dari ketatnya pertahanan kami dan... ah, Jenni terkecoh. Lawan dengan nomor punggung 5 melalukan lay up dengan mudahnya... Yes! Gagal!
Jenni langsung tersadar dari kesalahannya dan dengan segera mengambil bola. Melihat Meli yang kosong di tengah sana, Jenni mengoper bola ke Meli dan Meli langsung melanjutkanya kw Ivonne yang sudah siap di bawah ring. Masuk! Passing cepat dan akurat barusan berhasil menaikkan mental dan semangat tim. Kuarter awal berakhir dengan skor 21-21.
Kuharap Greta bisa turun di kuarter kedua. Di bench, selama kuarter pertama Greta duduk bersandar persis di sebelah manajer dan bersedekap sambil meluruskan kedua kakinya. Sesekali ia meneriaki kawan-kawan seperjuangannya di lapangan. Wajahnya tetap tenang. "Itu hebatnya Greta. Just like a poker face," Boy terkekeh saat aku mengutarakan isi benakku. "Tenang aja. Greta gak mungkin hanya merasa degdegan. Dia lagi mengamati lawan."
Sayangnya harapan gue gak terkabul. Greta belum turun juga pada kuarter dua. Sekarang malah ia tertawa bersama manajer, padahal situasi menegangkan. Atau mungkin sebenarnya dalam hati dia waswas juga, dan bercanda sekedar tameng.
Yang baru gue sadari, gue sudah melewatkan seperuh kuarter dua dengan hanya memandangi cewek itu.
*** #Greta Harus kuakui, aku tegang menyaksilan teman-teman berjuang di lapangan. Lawan cukup kuat dan perolehan skor sama sekali gak bisa dibilang gampang. Bahkan pada akhir kuarter awal tadi skor sempat sama, 21-21.
Entah mengapa, aku merasa ada seseorang yang tengah memperhatikanku. Oke, mungkin kedengarannya terlalu percaya diri, tapi sering kali feeling ku tepat.
Aku menyipit, menyusuri tribun timur dengan pandanganku. Biasanya Hannah ada disana, menyemangati dan.meneriaki namaku. Tapi dia masih belum pulang, jadi sia-sia saja mengharapkan kehadirannya sekarang. Aku tersenyum saat menemukan sosok Boy yang ikut berteriak bersama teman lain. Saat itulah aku tercekat melihat Dirga, yang duduk di sebelah Boy, tengah menatapku lekat.
Gak terlalu jelas memang, tapi aku yakin Dirga menatapku di tengah serunya pertandingan di lapangan.
"Greta," panggil coach dengan nada rendah. Tatapan ku beralih ke lelaki paruh baya yang berdiri di hadapanku.
"Yes, Sir." *** #Dirga Gue kaget sebenarnya saat greta menangkap basah gue tengah memperhatikan dirinya. Untungnya hal itu gak berlangsung lama, karena Greta keburu keluar, menuju kamar ganti. Sama sekali gak mengerti apa yang akan dia lakukan, gue mencoba memusatkan perhatian ke tengah lapangan. Beberapa saat kemudian suara hiruk pikuk di sekitar gue jadi memekakkan telinga. Gue sampai harus menutup telinga saking berisiknya. Gue gak pengin pulang dari sini dalam keadaan terkena gangguan pendengaran yang mengharuskan gue periksa ke THT.
"Greta! Greta! Greta!"
Greta" Kenap... Oh, gue ngerti. Greta sudah berdiri di tengah lapangan, bersiap untuk pertukaran. Ketika wasit membunyikan peluit dan menyilakan Greta masuk menggantikan Farah, hampir seluruh penonton di GOR-minus suporter lawan, tentunya-bertepuk tangan meriah. Bahkan suporter tim cowok lawan kami sampai bersuit-suit.
"Jangan kaget. Hampir semua penonton disini tahu Greta dan permainannya," Boy menjelaskan.
Gue ternganga. Sampai segitunya"
"Adam, lawan kita nanti, nomor tujuh, dia ngejar-ngejar Greta dari dulu." Kalimat terakhir Boy barusan sukses membuat gue kaget. ***
#Patrick Waktu yang tersisa pada kuarter dua hanya tiga menit 47 detik saat Greta memasuki lapangan. Bisa kurasakan sendiri euforia di GOR meledak begitu bintang lapangan yang ditunggu beraksi. Seluruh GOR menggaungkan nama Greta. Bahkan di tribun seberang, aku melihat Adam ikut bersorak. Adam salah satu cowok yang ngejar-ngejar Greta, persisnya sejak setahun lalu. Aku sendiri kurang tahu pastinya gimana mereka bisa saling kenal. Bahkan rumor yang beredar mengatakan bahwa Adam dan Greta sempat pacaran. Entah benar atau gak, yang pasti hal itu membuatku bersemangat untuk merebut gelar tahun ini.
Sebenarnya tahun lalu kami juga bertemu di partai final. Menilai secara objectif, Adam emang pemain yang sangat baik. Pendukungnya juga banyak, apalagi dari.kalangan hawa, mengingat secara fisik dia tanpa ragu dikategorikan dalam kelas A plus plus.
Pertarungan tahun lalu sangat ketat, bahkan sampai over time. Ketika wasit meniupkan peluit akhir, kami langsung bersorak.untuk skor 94-90. Back to the court. Greta sudah siap dengan posisinya dalam keadaan defense. Wajahnya siap, tatapannya fokus dan tajam. Dengan kedua lutut yang ditekuk sempurna dan bergeser sesuai arah bola, siapapun pasti lupa dia sedang cedera ankle.
Greta merapati lawan bernomor punggung empat yang mencoba mencari celah di dekat ring. Ketika bola dioper ke arah nomor empat, dengan postur yang lebih tinggi dan gesit, Greta meng-cut laju bola dan segera mendribble. Greta melihat Debi yang sudah berlari di depan dan dalam keadaan bebas dan segera memberikan passing. Debi yang segera dikejar dan dihadang lawan mengoper balik ke Greta, yang dengan cepat sudah di bawah ring dan... masuk! Sorak sorai kembali bergemuruh. Tanpa banyak selebrasi, Greta kembali ke posisi defense.
Kehadiran Greta di lapangan sudah pasti memberikan semangat tersendiri bagi tim. Ekspresi ketegangan yang tadi sempat terpampang di wajah Warriorssebutan tim basket sekolah kami-kini berubah menjadi kelegaan dan semangat. Banyak kejutan yang dibuat Greta, meski sejauh itu dia hanya menyumbang enam poin dan lebih banyak melakukan assist dan steal. Kuarter kedua berakhir dengan skor 37-34, kali ini untuk keunggulan kami. ***
#Greta Jenni memelukku dari belakang ketika kami berjalan keluar lapangan usai kuarter kedua. Yah, bermain pada sisa waktu barusan membangkitkan gairahku. It makes me feel... alive. Apalagi atmosfer GOR yang benar-benar spektakuler, menyoraki kami tiada henti, benar-benar memberikan injeksi semangat yang luar biasa.
"Trims banget, Ta. Kalo tadi lo gak.masuk, anak-anqk bakal down," bisik Jenni. "Yah, gak gitu juga kali. Kalian udah main bagus kok. Lawannya emang tough. Gue sempat mengamati mereka selama satu setengah kuarter. Hikmah cedera, hhehe..."
Jenni mencubit pipiku dan segera mengambil minuman isotonik yang diberikan Lala. Aku mengikuti Jenni, minum.
*** #Dirga Memuaskan. Penampilan empat menit Greta cukup memberikan angin segar. Gue bilang cukup karena gue paham Greta bisa jauh lebih baik daripada barusan. Permainan di semifinal kemarin buktinya. Tapi gue maklum, mengingat keadaan fisiknya yang gak seratus persen fit.
Kini lapangan diisi cherleader. Gue dan Boy mengambil kesempatan untuk beli minuman.
"Gue mau pesen cheese burger sekalian. Lo mau gak?" Boy menawarkan. Gue menimbang-nimbang. Gue makan tiga setengah jam lalu dan masih belum lapar. But, it smells good. "Oke, Boy."
"Wah, mau main kenapa makan yang beginian lo berdua?" Begitu gue menoleh, ternyata Greta dan Jenni ada di belakang kami. "Lapar. Lo mau juga?" sahut Boy tenang.
"Nice game," puji gue tulus kepada Greta dan Jenni. "Masih ada dua kuarter lagi. Bantai aja."
"Siaap. Selama ada Greta, semua bakal lancar," goda Jenni sambil mencolek dagu Greta. Yang digoda tersenyum kecut.
"Beib, gue mau ngomong sebentar," kata Greta pada Boy. Mereka lalu menjauh. Gue memperhatikan keduanya yang keliatan berbicara serius dari jarak sekitar tujuh meter.
"Mereka pacaran, ya?"
"Hmm... siapa" Boy sama Greta?" Jenni balik bertanya. "Iya. Udah lama mereka pacaran?"
Jenni malah tertawa. Gue jadi bingung. Gue salah ngomong memangnya" Peradaan gue nanya, apakah Boy dan Greta pacaran. Apanya yang lucu"
"Wah, lo termasuk korban yang tertipu rupanya. Hhahah... Gak lah. Mereka gak pacaran."
Keningku berkerut. "Gak" Lalu..."
"Karena nama panggilan khusus" Karena kedekatan mereka" Karena sikap mereka" Hhaha... percaya gue deh, lo bukan orang pertama yang tertipu." "Yakin lo?"
"Ya iya lah. Emangny kenapa" Lo suka sama Greta, ya" Hayoo, ngaku aja deh lo." Jenni menggoda gue. Ngacok! Gue kan nanya doang. Masa cuma nanya begitu aja dituduh naksir"
"Apaan. Nanya doang gue." Untungnya saat itu pesanan cheese burger gue dan Boy udah selesai. Gue dan Jenni lalu menghampiri Boy dan Greta. ***
#Greta Kuartet tiga akan dimulai sebentar lagi. Aku gak banyak ngomong dan lebih memilih diam dan berdoa. Karena entah mengapa, perasaanku mendadak gak enak. Sempat terlintas di benakku bahwa akan terjadi sesuatu dengan ankle ku, namun cepat-cepat kutepis prasangka itu dan memilih untuk tetap berpikir positif.
Kini aku, Jenni, Debi, Intan, dan Ivonne sudah kembali ke tengah lapangan. Dukungan suporter gak berubah, malah semakin gencar. Aku mengedarkan pandanganku ke tribun pendukung Warriors, mendapati Dirga sedang berdiri sambil ikut berteriak. Aku tersenyum padanya dan merasa tenang. ***
#Dirga Kuarter tiga semakin memanas. Tim lawan mempersiapkan diri lebih baik, melebihi dua kuarter sebelumnya. Tahu Greta adalah motor tim, tim lawan memperketat penjagaan cewek bernomor punggung 13 itu dengan dua pemain.
Sadar dirinya mendapat penjagaan ekstraketat, Greta bermain cerdas dengan menarik dirinya agak jauh dari ring sehingga teman-temannya bisa menembus pertahanan lawan yang penjagaannya berkurang. Meski agak alot, Greta, dkk masih memimpin dengan skor 41-39.
Warriors dalam posisi bertahan. Lawan yang berhadapan dengan Greta mendribble bola sambil beradu pandang dengan Greta. Si nomor 8 paling gesit dan tembakannya lebih akurat dibanding kawan-kawan satu timnya. Dari 24 detik, kini tinggal 12 detik yang tersisa untuk menembak bola, tapi dia masih mendribble.
Kelihatannya si nomor 8 ingin duel dengan Greta. Gak ada tanda-tanda sedikit pun dari bahasa tubuhnya bahwa dia akan mengoper bola kepada rekannya. Bola masih dipantul-pantulkan... dan itu dia!
Steal yang dilakukan Greta tepat sasaran.
Dia gak membuang waktu lama untuk menyerang balik. Dengan speed yang luar biasa, Greta berlari ke ring lawan dan bersiap melakukan lay up. Ketika dia melayang di udara, si nomor 8 mengejar dengan ganas dan menabraknya sehingga Greta terjatuh dengan bunyi keras. Bersamaan dengan itu, bola yang sudah dilepas Greta masuk ke Ring. Sorak sorai langsung membahana, tetapi seketika itu juga langsung berubah sunyi.
Gue spontan berdiri karena melihat Greta tetap diam pada posisi jatuhnya. "Bhuuuuu!!!"
"Woi, apaan tu?" "Gretaaaa!!"
Berbagai macam teriakan terdengar, tapi gue gak peduli. Greta gak bergerak. Semua pemain yang berada di lapangan langsung mengelilingi Greta. Coach, manajer, dan tim medis segera menerobos kerumunan. Gue gak bisa melihat apa yang terjadi, hanya berharap semoga gak terjadi hal-hal mengerikan. Beberapa saat kemudian kerumunan bubar dan gue melihat Greta duduk sambil berbicara pada coach. Sepertinya dia menolak untuk dibopong dan diobati tim medis.
Menurut prediksi gue, coach meminta Greta kembali ke bench, tetapi cewek itu kekeuh bermain.
Coach menghela napas dan menepuk-nepuk pipi Greta, lalu berdiri dan mengulurkan tangan, membantu sang idola berdiri.
Sudah bisa ditebak suasana GOR kini. Tepuk tangan membahana. Greta, antara tersenyum dan meringis, bersiap untuk free throw. Mudah saja baginya menambah satu poin bagi timnya.
Ada yang aneh dari cara berlari Greta. Setelah insiden barusan, gue tau penyebabnya. Sembari menunggu lawan menyerang kembali, Greta berbisik kepada Jenni, yang dijawab dengan anggukan tegas Jenni.
*** #Patrick Gak bisa lagi kudeskripsikan dengan kata-kata perjuangan Greta pada babak final kali itu. Setelah terjadi kecelakaan yang membuat ankle ny bertambah parah, cewek itu ternyata gak lantas menyerah pada keadaan. Justru dia ingin membalas dengan menyabet kemenangan.
Aku sempat ragu melihat keadaan Greta yang gak memungkinkan bermain. Larinya saja pincang. Tapi, sorot matanya ampun deh. Ada tekad dan semangat hebat yang terpancar dari sana.
Yang lebih hebat lagi, dua pemain lawan yang setia menjaganya harus pontang-panting menghadapi permainan Greta. Dengan postur jangkung dan tembakan tiga angka yang akurat, Greta masih produktif dalam pertandingan. Dia gak membiarkan orang lain melihat dan menilai dirinya sebagai pemain yang gampang menyerah..
Aku gak melihat pertandingan kuarter empat karena harus bersiap untuk final. Berpengalaman melawan tim yang sama pada kesempatan serupa tahun lalu, kedua tim sama-sama mengetahui kelebihan dan kekuatan pihak lawan. Adam dan kawan-kawan pasti selama setahun mempersiapkan diri untuk balas dendam dan merebut gelar juara. Yang jelas, Warriors akan kembali mengawinkan gelar tahun ini, apa pun yang akan terjadi.
Secara pribadi aku gak membiarkan Adam mendapat gelar juara, yang pasti dijadikan modal untuk kembali mendekati Greta.
*** #Greta Kami berhasil meraih gelar tahun ini dengan skor akhir 87-64. Kuarter empat adalah kuarter penghabisan dan harus kuakui gak mudah melewatinya. Aku berkeras gak mau diganti hanya karena cedera. Toh setelah turnamen ini berakhir aku bisa istirahat dan memulihkan cederaku.
Kuarter empat penuh emosi. Lawan bernomor punggung 8 yang tahu cedera ankle ku terus menekan, dan sialnya dia selalu membuat foul hingga foul out, sementara pemain lain gak terlalu berbahaya, sama sekali bukan ancaman. Aku hanya berhasil menyumbangkan angka lewat tembakan tiga angka sebab agak khawatir jika harus menerobos masuk ke jantung pertahanan lawan. Bahagia" Sudah jelas. Bangga" Gak menampik. Aku bangga pada diriku sendiri. Seandainya pun gak ada penonton yang meneriakkan namaku, aku tetap puas dengan hasil yang kucapai. Upaya mati-matianku dalam mengabaikan rasa sakit, ditambah keyakinan dan semangat, membuahkan hasil memuaskan. Aku dan teman setim duduk di tribun untuk menyemangati tim cowok yang akan bertanding dengan lawan yang sama seperti tahun lalu. Lapangan masih diisi acara hiburan. Masih ada waktu untuk mencari pengganjal perut. Ugh! Aku memegangi perutku yang keroncongan sejak akhir kuarter empat tadi.
"Mel, mau kemana?" Aku menyetop Meli yang kebetulan lewat di depanku. "Mau cari makanan. Sumpah, gue lapar. Mau nitip?"
Aku tersenyum sumringah. Ini dia, pucuk dicinta ulam tiba. Aku mengambil dompet dan menyerahkan selembar uang kepada Meli. "Gue titip sebotol air mineral sama dua cup mie goreng instan ya."
"Dua?" Meli mengulangi pesananku dengan kaget.
Aku mengangguk pasti. Jenni yang duduk di sebelahku juga ikut memesan dua cup mie instan. Kami cekikikan. Pertandingan barusan benar-benar menguras tenaga karena.membakar kalori. Seragam yang kukenakan basah keringat. "Oh, Ta, tadi gue sempat salipan sama si Adam. Nitip salam buat lo, katanya," lapor jessi.
"Adam?" Aku mengulang nama yang barusan disebut Jessi. "Iya, Adam."
"Mmm... trims."
Adam salah satu pemain tim lawan. Kami bertemu dan berkenalan saat turnamen ini, setahun lalu. Entah dari mana, dia bisa mendapatkan penghabisan dan harus kuakui gak mudah melewatinya. Aku berkeras gak mau diganti hanya karena cedera. Toh setelah turnamen ini berakhir aku bisa istirahat dan memulihkan cederaku.
Kuarter empat penuh emosi. Lawan bernomor punggung 8 yang tahu cedera ankle ku terus menekan, dan sialnya dia selalu membuat foul hingga foul out, sementara pemain lain gak terlalu berbahaya, sama sekali bukan ancaman. Aku hanya berhasil menyumbangkan angka lewat tembakan tiga angka sebab agak khawatir jika harus menerobos masuk ke jantung pertahanan lawan. Bahagia" Sudah jelas. Bangga" Gak menampik. Aku bangga pada diriku sendiri. Seandainya pun gak ada penonton yang meneriakkan namaku, aku tetap puas dengan hasil yang kucapai. Upaya mati-matianku dalam mengabaikan rasa sakit, ditambah keyakinan dan semangat, membuahkan hasil memuaskan. Aku dan teman setim duduk di tribun untuk menyemangati tim cowok yang akan bertanding dengan lawan yang sama seperti tahun lalu. Lapangan masih diisi acara hiburan. Masih ada waktu untuk mencari pengganjal perut. Ugh! Aku memegangi perutku yang keroncongan sejak akhir kuarter empat tadi. "Mel, mau kemana?" Aku menyetop Meli yang kebetulan lewat di depanku. "Mau cari makanan. Sumpah, gue lapar. Mau nitip?"
Aku tersenyum sumringah. Ini dia, pucuk dicinta ulam tiba. Aku mengambil dompet dan menyerahkan selembar uang kepada Meli. "Gue titip sebotol air mineral sama dua cup mie goreng instan ya."
"Dua?" Meli mengulangi pesananku dengan kaget.
Aku mengangguk pasti. Jenni yang duduk di sebelahku juga ikut memesan dua cup mie instan. Kami cekikikan. Pertandingan barusan benar-benar menguras tenaga karena.membakar kalori. Seragam yang kukenakan basah keringat. "Oh, Ta, tadi gue sempat salipan sama si Adam. Nitip salam buat lo, katanya," lapor jessi.
"Adam?" Aku mengulang nama yang barusan disebut Jessi. "Iya, Adam."
"Mmm... trims."
Adam salah satu pemain tim lawan. Kami bertemu dan berkenalan saat turnamen ini, setahun lalu. Entah dari mana, dia bisa mendapatkan nomor ponselku dan alamat jejaring sosialku, padahal aku sama sekali gak pernah memberikannya ke sembarang orang. Setiap kutanya, dia gak memberikan jawaban memuaskan. Kami semakin sering bertemu seiring banyaknya turnamen basket yang kami ikuti.
Dia sempat menyatakan cinta padaku. Tiga kali, malah. Jawabanku selalu sama, gak. Tapi entah kenapa, cowok ini sepertinya bebal banget. Terus terang saja, aku menyadari dan mengakui bahwa dia sangat good looking. Soal prestasinya di sekolah aku gak tahu, tapi prestasinya di basket aku tahu. Cukup mengesankan.
Bukannya sok jual mahal dan menolak rezeki, tapi aku memang gak menyukai Adam. Pertama, dia merokok. Aku gak respek pada perokok aktif, apalagi perokok aktif usia muda. Yang kedua... penggemar ceweknya bejibun. Dan dia menyadari hal itu sehingga sering tebar pesona.
"Bego banget lo, Ta, nolak dia." Itu yang sering diucapkan teman-teman tim basketku ketika tahu aku menolak Adam. Yah, terserah orang lain mau bilang apa, kan aku yang menjalaninya. My life, my rules.
"Ya, gue juga kurang sreg sih kalo lo jadian sama dia. Gue tahu dia tipe gimana. Gue kan juga cowok." Itu pendapat Boy.
Aku penasaran dan mencoba mengorek.lebih dalam maksud ucapan Boy, tapi dengan sangat hebat dia menutupinya rapat-rapat.
Meli datang bertepatan dengan masuknya para pemain ke lapangan. Aku mengucapkan terima kasih dan langsung menenggak sedikit air, lalu mengaduk bumbu. Belum sempat menggulung mie untuk satu suapan, kami harus berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Suasananya khidmat sekali. Setelah itu kami kembali duduk dan lampu dimatikan. Benar-benar gelap, aku sampai harus meraba untuk mengambil mie yang kuletakkan di sebelahku. Lampu sorot menerangi pemain yang bersiap bertanding di pinggir lapangan. Berturut-turut nama Boy, Ilham, Patrick, Dirga, dan Chris dipanggil. Mereka berlari keluar dari lorong, lalu melakukan tos. Dari tim lawan, aku mendengar Gandi, Adam, Joseph, Arya, dan Nino. Dua tim berhadapan dan aku deg-degan. Aku menyuap mie dengan nikmat, tak mau melihat ke arah lapangan. Kalau makan sambil nonton bisa-bisa aku tersedak saking tegangnya. Baru setelah dua cup mie habis bersih, aku minum, dan mulai menikmati pertandingan. Boy selalu menjadi titik fokusku. Dia tampak tenang meski tak pernah kehilangan konsentrasi. Aku tersenyum sendiri. Jarang sekali aku melihat Boy emosi. Rasanya baru dua kali. Dengan cepat dia bisa menstabilkan emosinya karena sadar bermain dengan perasaan kacau hanya menguntungkan lawan. "Si Dirga bagus ya mainnya," komentar Jenni. "Hebat dia jadi starter." "Ah, iya. Aku baru menyadari kehadiran Dirga sebagai starter seharusnya menjadi pertanyaan. Dia menggantikan posisi Navid. Jujur, permainan Dirga memang lebih baik daripada Navid. Coach pasti sudah memikirkan masakmasak saat membuat keputusan itu.
Untungnya aku gak melihat dan mendeteksi adanya sinyal-sinyal kecemburuan dan kebencian Navid ke Dirga. Mereka tetap akrab.
Pertandingan berlangsung sangat seru, sama seperti tahun lalu. Perolehan angka cukup alot, kedua tim berimbang. Sebagai penonton, aku deg-degan setengah mati. Sepertinya Adam dan konco-konconya bermain lebih baik daripada tahun lalu. Wajar saja sih. Kemarin mereka hanya kalah pada langkah terakhir. Kini mereka bertarung melawan pemilik takhta. Kelebihan dan kelemahan tim pasti sudah diamati secara cermat.
Dua kuarter yang sangat menegangkan sudah berakhir, dengan skor 55-50 untuk keunggulan tim lawan. Boy meninggalkan lapangan dengan tertunduk, membuatku terkesiap. Boy hanya menunduk bila sudah sangat lelah dan pesimistis.
*** #Dirga Huh! Tim lawan benar-benar hebat. Kami kesulitan mencetak poin, apalagi memimpin. Gue yang sempat diganti pada pertengahan kuarter dua melihat dari pinggir lapangan betapa Boy berupaya optimal, sampai nyaris terjatuh beberapa kali.
Kuarter dua, tim lawan unggul dengan dua setengah bola. Secara kuantitas, dua setengah bola gampang sekali diraih, asalkan ada kesempatan. Nah, dalam pertandingan kali ini lawan sama sekali gak memberikan kesempatan kepada kami untuk mencetak poin. Kami hanya bisa mengandalkan tembakan tiga angka Ilham dan Boy, yang langsung memanfaatkan sedikit celah untuk menerobos.
"Yo...yo...yo... Semangat! Masih dua kuarter!!" Ilham bertepuk tangan, mencoba menyemangati tim. Suasana tim seperti ini baru pertama kali gue rasakan. Pesimistis. Suram. Gelap. Hah.
Sejak wal pertandingan kami bermain full power, namun minuman isotonik yang kami konsumsi gak banyak membantu. Coach memberikan kesempatan kepada kami untuk sedikit berelaksasi sebelum memberikan briefing. "Sssttt!!"
Mungkin Greta bermaksud memberi isyarat kepada seseorang di antara kami, tapi ternyata desisannya membuat kami semua menoleh. Dia hanya nyengir di balik pintu.
"Hhehe, sory ya. Gue ada perlu sama Baby sebentar," kat Greta cengengesan. Boy tersenyum geli dan segera menghampiri Greta. Mereka lalu berjalan menjauhi ruang ganti, membuat gue bertanya-tanya, ada hal penting apa yang membuat Greta sampai harus memanggil Boy yang sedang menghadapi situasi genting.
Part 5 * # D irga* Gue dan Greta sampai di depan rumah asri berpagar hitam pukul 11.43 malam. Kami pulang setelah acara pemberian hadiah selesai. Thanks, God, Warriors berhasil mengawinkan gelar lagi. Perjuangan yang benar-benar maksimal. Baik tim cewek maupun tim cowok, mengakui hari ini bukan hari yang gampang. "Lo bilang apa sama Boy tadi?" tanya gue dalam perjalanan pulang. Berhubung rumah Greta dan Boy bertolak arah, gue menawarkan diri untuk mengantar cewek ini pulang, meski harus melewati jalur rumah gue.
"Mmm... Cewek itu membulatkan mata, gak paham maksud gue. "Tadi kan di ruang ganti lo panggil Boy keluar. Lo ngomong apa sampe Boy bisa bersemangat kembali?"
Gue menunggu jawaban yang gak segera gue dengar. Ketika menoleh ke kursi di sebelah kiri, ternyata Greta hanya tersenyum.
"Ta?" "Mmm?" "Kok gak dijawab sih?"
"Gak kok, gak ngomong apa-apa."
Gue gak memaksa sebab gue tau bakal percuma aja. Yah, whatever she said to him, at least it worked. Kuarter tiga tadi, Boy benar-benar kembali jadi sosok Boy yang gue kenal, yang gak pernah pasang tampang tegang maupun pesimis. "Makasih ya, Ga. Eee... hhe, gak mampir dulu?"
"Trims buat basa basinya, gue tau ini udah nyaris tengah malam. Lain kali aja, gue pasti mampir."
Greta mengangguk, tersenyum, dan dengan hati-hati keluar dari mobil. Gue yang tersadar dia masih berjalan tertatih langsung keluar dari mobil dan segera membantunya keluar. Gue membimbing tangannya untuk melingkari bahu gue dan dengan perlahan memapahnya. Kaki kirinya bengkak.
"Kaki lo seperti itu dan lo masih sanggup berlari sampai kuarter empat?" "Ya iya. Masa gue berhenti di tengah jalan" Gue udah menunggu kesempatan ini dari tahun lalu. Kalo cedera seperti ini membuat gue gak bisa mewujudkan mimpi, pengorbanan gue sia-sia. Selama gue masih bisa berdiri, sekalipun terpincang, gue akan tetap berlari. Gue gak pernah setengah-setengah, Ga." Gue terdiam mendengar jawaban panjang lebar Greta. Gue gak pernah setengah-setengah, Ga. Gue gak pernah setengah-setengah. Mang Karmin membuka pagar dengan sarung menyelubungi tubuhnya, mungkin karena udara yang sangat dingin.
"Waduh, Mbak, jatuh lagi ya" Untung Bapak dan Ibu belum datang," kat Mang Karmin sambil mengambil lengan Greta dan melingkarkan di bahunya. "Hehe, ya, kecelakaan kecil lah. Yang penting menang."
Seperti malam kemarin, gue bertanya apakah Greta mampu menuju kamarnya, dan masih seperti malam sebelumnya, dia jawab "bisa". Gue gak memaksa dan segera pulang setelah berpamitan kepada keduanya.
*** # H annah* Tadi malam aku baru sampao di rumah. Ah, akhirnya. Sebenarnya aku berniat menghubungi Eta, tapi karena sudah pukul sebelas, kuurungkan. Mungkin dia sedang beristirahat, mengingat pertandingan final banyak menguras fisiknya. Apalagi setelah bertanding kemarin, dia menceritakan padaku bahwa cedera ankle nya sangat menyiksa. Eh, sebenarnya sebelum Eta membalas pesanku, Dirga sudah menceritakannya terlebih dahulu padaku.
Tim cowok juga menang. Aku bangga pada pejuangan dan prestasi kedua sahabatku, Eta dan Dirga.
Pagi ini aku berniat ke rumah Eta. Selain membawa oleh-oleh, sudah tentu aku rindu padanya. Lima hari tidak bertemu dan hanya bertukar kabar serta cerita via sms dan telepon, rasanya ada yang kurang. Dua kotak bakpia patok sudah kusiapkan. Baru saja memasukkan kedua kotak bakpia ke tas plastik, ponselku bergetar. Aku tersenyum melihat nama penelepon.
"Iya, kenapa, Dirga?"
"Ceria bener. Masih capek" Sudah mandi?" Aku tersenyum mendengar berondongan pertanyaan dari ujung sana.


Salad Days Karya Shelly Salfatira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Capek sih gak. Sudah dong. Kamu sendiri sudah mandi" Pasti belum, kan?" Aku mendengar tawa Dirga yang renyah. "Tau aja. Baru cuci motor nih. Bentar lagi juga mandi. Ada kegiatan apa hari ini?"
"Mmm... gak ada sih. Cuma mau ke rumah Eta. Kangen setengah mati." "Gak kangen sama aku?" goda Dirga.
Aku tertawa. "Kangen gak ya" Bulu mata kananmu ada yang jatuh gak" Kalo ada berarti aku kangen. Kalo gak ada berarti..."
"Wah, gak ada nih. Adanya kiri yang jatuh. Someone must hate me." Kami mengobrol sekitar lima menit. Begitu pembicaraan terputus, aku segera memasukkan ponsel ke tas, lalu bergegas menuju taksi yang datang tepat waktu.
Eta baru selesai mandi ketika aku datang. Rambutnya masih basah dan aku bisa mencium aroma kondisioner yang baru dipakainya. Aku agak ngeri melihat kakinya. Cara jalannya pincang sekali. Oom Hendra dan Tante Lis gak ada di rumah, masih di Surabaya. Begitu kutanya, Eta malah bersyukur orangtuanya gak tahu cedera yang dia alami itu.
Aku menyodorkan tas plastik berisi pia untuk Eta. Setiap aku ke Yogya, pesanan favoritnya selalu bakpia patok. Kalaupun aku menawari yang lain, dia pasti menganggapnya sebagai tambahan.
"Sayang ya, gue gak nonton pertandingan lo. Gue yakin lo.lebih hebat daripada tahun lalu," kataku teringat permainan spektakuler Eta setahun lalu. Padahal waktu itu saja serunya sudah habis-habisan, namun Eta bilang tahun ini jauh lebih seru lagi. Aku jadi benar-benar menyesal sudah melewatkan turnamen kali ini.
"Ampun, enhak bhanghet nih. Lo bhawa duha ya?" Eta berbicara dengan mulut penuh.
"Iya, bawa dua. Masih kurang?"
Eta menggeleng. Dia mengancungkan jempol kedua tangannya karena mulutnya terlalu penuh.
"Trus, trus, si Adam gimana" Pasti ketemu dong?" Aku mengingat cowok yang terang-terangan megejar Eta setahun ini. Mereka pasti bertemu di laga final kemarin.
"Kemarin gue seneng banget Boy sama yang lainnya bisa menang. Coba kalo tim Adam yang menang" Pasti dia makin besar kepala. Makin berasa kecakepan."
"Bukanny emang cakep?" godaku.
"Iya sih, cakep emang. Mana badannya bagus lagi. Eh, tapi gue gak minat lho. Gue hanya memberi penilaian objektif. Ih, udah deh, gak usah bawa-bawa dia lagi. Bersin-bersin kali tuh orang sekarang kita omongin. Ayo, sekarang giliran lo cerita selama di Yogya kemarin. Kemana aja" Gimana cowok-cowok sana"
Masih tetap sopan-sopan ya" Ada yang cakep gak" Dapat kenalan" Trus trus..." Eta langsung membombardirku dengan sejuta pertanyaan.
Saatnya aku yang diinterogasi.
*** # P atrick* Boy menjemputku pukul tiga sore. Sore itu aku, Boy, dan Navid pergi ke rumah Greta, sekaligus mengantarnya pijat. Ankle Boy juga bermasalah, tapi gak separah Greta. Kemarin sebelum pulang aku sempat melihat kaki Boy yang bengkak. Dia hanya meringis saat kutanya sakitnya. Memang gak terlalu parah. Buktinya dia mampu menyetir mobil.
"Langsung cabut nih?" tanyaku sambil melongok lewat jendela mobil yang dibuka.
"Yoi. Keburu kemalem nanti," jawab Boy.
Aku mengecek dompet dan ponsel dk saku celana, lalu menutup pagar. Aku duduk di sebelah Boy, sementara Navid sibuk dengan ponselnya di bangku belakang. Perlahan, Livina hitam Boy meluncur meninggalkan rumah Boy. "Vid, ngapain lo" Hati-hati mata lo jereng," kataku dari kaca spion. Navid yang baru tersadar cengengesan. "Apaan,Pat" Gak lah. Ini nih, gue dari tadi ngobrol sama anak-anak. Mau kumpul-kumpul, katanya." "Siapa aja?" Boy menyahut antusias.
"Yang oke baru Ilham, Dirga, Chris, Luki, dan Opal." "Dimana?"
"Belum pasti. Kita bakalan sampe jam berapa?"
"Bentar ya." Boy mengeluarkan ponsel, menyentuh beberapa tombol, lalu menempelkannya ke telinga dengan tangan kiri.
"Iya, gue udah di jalan... Vivid sama Paty doang... iya... Eh, ntar malem bisa gak" Kumpul-kumpul aja kayak biasa... Hahaha sip deh... Boleh... Mantap.. Oke, bentar lagi gue nyampe."
"Greta, Boy?" tanyaku langsung. Perasaanku yakin sekali. Itu pasti Greta. Pasti. "Yoi. Ntar malem kita kumpul di rumah dia aja, kayak biasa. Jadi ntar habis ngurusin kaki, kita langsung nongkrong disana."
"Serius, Boy" Wah asyik. Sip. Gue bilang ke yang lain deh." Navid kembali menunduk dan berkutat dengan ponsel.
Aku melihat pemandangan di luar, berusaha gak mendesah karena khawatir terdengar yang lain. Harus kuakui, betapapun aku mengerti kedekatan antara Greta dan Boy, tetap saja ada rasa cemburu yang menyergapku. Harus bagaimana" Menyatakan cinta langsung" Blak-blakan" Begitu, supaya lega" Memangnya sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk" Sepanjang perjalanan menuju rumah gadis yang kuidamkan, aku sibuk berkutat dengan pikiran yng semakin lama membuatku sakit kepala.
*** # G reta* "Yaaaa!!!" Aku berteriak dari atas begitu suara klakson yang familiar terdengar. Aku melongok dari balkon kamar untuk memastikan klakson tadi memang ditujukan padaku. Benar saja. Livina hitam berhenti tepat di depan pagar. Dengan segala kecepatan yang kukerahkan dengan langkah pincangku, aku bergegas menemui penjemputku.
Hannah pulang dari rumahku sekitar pukul dua tadi. Aku baru akan tidur siang saat tiba-tiba teringat bahwa Boy dan aku akan kembali ke tukang pijat dan kali itu Boy tidak hanya sebagai pengantar. Kemarin aku sempat melihatnya meringis di kuarter empat sambil memegangi kakinya ketika terdorong lawan. Aku berpamitan pada Bi Rahmi dan Mang Karmin yang sudah siaga di depan pagar
"Ah! Dasar nenek. Lama banget jalannya," ledek Boy.
"Gak ngerti gimana sakitna sih. Gue curiga lo beneran sakit apa gak. Kayaknya akting doang deh. Itu masih bisa bawa mobil," balasku. Tentu saja gak serius. "Enak aja. Gue biarpun sakit tetap bisa nahan," elak Boy. Aku segera memberi Boy hadiah cubitan di lengan kirinya. Aku duduk di belakang, di sebelah Navid. Mobil segera meninggalkan rumah.
Patrick duduk di sebelahku saat aku mulai meneteskan air mata ketika Koh Ahong memijat kakiku. Boy dan Navid melihatku dari kursi seberang. Boy mendapat giliran sebelumku. Karena gak terlalu parah, selain dipijatnya cuma sebentar, dia juga gak sampai berteriak, apalagi meneteskan air mata sepertiku.
Rasanya sakit sekali. Koh Ahong sempat kaget melihat kakiku bengkak sebesar itu. Koh Ahong sahabat coach Denny, pelatih kami. Setiap ada cedera serius, kami selalu pergi ke Koh Ahong. Selain sabar, dia juga suka bercanda, gak terlalu serius. Jadi kami yang datang kepadanya gak seperti merasa dalam proses pemulihan.
Aku meremas lengan baju Patrick erat-erat, menahan sakit. Patrick sendiri gak keberatan, dia bahkan sempat menenangkanku saat awal-awal tadi aku begitu histeris. Sesekali dia mengusap rambutku. Sudah lewat dua puluh menit, tetapi belum ada tanda-tanda Koh Ahong menyelesaikan tugasnya. Patrick menyodorkanku segelas air mineral. Aku menerimanya, masih dengan terisak. Pukul lima lewat sedikit kami baru selesai. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Koh Ahong. Walaupun masih terasa sakit, sudah berkurang jauh dari sebelumnya. Sedikit bengkak, tapi besok pasti mengempis. Jalanku masih pincang. Dengan dipapah Patrick, aku masuk ke mobil. Navid berganti posisi duduk di depan, sementara aku dan Patrick duduk di belakang. "Ta, gue baru ini ngeliat lo nangis sampe segitunya. Sakit banget, ya?" tanya Navid membuka pembicaraan.
"Biar gue bilang sedahsyat apapun sakitnya, lo gak bakal ngerti. Gue juga kaget setengah mati bisa sampe segitunya pas dipijat tadi. Aduh, Vid, parahlah pokoknya."
Boy gak meledekku lagi, meski sempat menirukan ekspresiku saat menangis. Jelek banget. Memangnya mukaku sejelek yang diperagakan Boy saat menangis tadi" Semoga aja gak.
"Eh, anak-anak mau ke rumah jam berapa" Gue lupa belum bilang Bi Rahmi tadi. Kayaknya stok lagi kosong deh."
"Gampanglah. Kan bisa cari di minimarket. Eh, tapi gue laper nih. Makan dulu yuk!" usul Boy. Tanpa menunggu persetujuan kami, dia lansung membelokkan mobil memasuki pelataran parkir McDonald's. Memangnya dia lupa ada kawannya yang susah berjalan"
*** #Patrick Aku dan Navid kembali ke mobil dengan membawa dua kantong plastik besar berisi beraneka macam camilan. Satu bungkus kacang kulit berukuran besar, empat bungkus keripik ukuran ekstrabesar, seplastik besar balado stick, empat bungkus Pillows party size kesukaan Greta, dan dua buah botol besar soft drink. Kurang dari lima menit lagi kami sampai di rumah Greta. Ternyata di sana udah ada Ilham dan Opal.
"Dari mana aja" Gue udah tungguin dari tadi. Ada setengah jam," gerutu Ilham begitu kami sampai di teras.
"Ini nih, Baby Boy satu ini. Urusan perut dia mah gak bisa kompromi," sahut Greta. Dia mengajak kami mengikutinya ke gazebo di halaman belakang rumahnya, tempat kami biasa berkumpul. Di kiri gazebo ada lapangan basket berukuran setengah lapangan yang dipagari kawat. Sementara gazebonya sendiri dikelilingi aneka macam tanaman. Asri sekali.
Greta kembali masuk ke rumah untuk mengganti baju, lalu bergabung dan duduk di antara Boy dan Opal. Sembari menunggu yang lain, Navid memperlihatkan video pertandingan final NBA game kelima kemarin. Satu per satu, Chris, Dirga, dan Luki akhirnya datang.
"Eh, Ta, gue pinjam kamar mandi dong," kata Dirga. "Oh, oke. Ikut gue."
Dirga mengekori Greta. Baru beberapa langkah, entah mengapa dan bagaimana, Greta kehilangan keseimbangan. Dia nyaris jatuh kalau Dirga gak tanggap dan langsung memegangnya.
Aku tahu, itu memang yang seharusnya dilakukan siapapun ketika ada kejadian seperti itu. Tapi sejujurnya, ada perasaan aneh yang menyelinap saat tahu bukan aku yang ad di sana. Bukan aku yang menolong Greta. Ilham, Navid, Chris, Luki, dan Opal sepertinya gak menyadari kejadian barusan, namun kedua mataku tetao menatap dua orang itu hingga hilang dari pandangan.
Part 6 * # D irga* Minggu pagi itu gue dan Greta pergi mencari kaca. Lebih tepatnya sih Greta yang nemenin gue nyari kaca untuk tugas kesenian. Turnamen kemarin, saat babak penyisihan kami dapat main jadwal siang, jadi terpaksa meninggalkan sekolah lebih awal, yang berarti absen pelajaran kesenian.
Sebetulnya kamis itu kami sudah diharuskan membawa kaca. Pak Sugeng sudah mengumumkan seminggu sebelumnya. Tapi, yah, apa daya, memang dasar gue malas dan memanfaatkan pertandingan untuk menunda mencari bahannya. Jadilah sekarang gue harus repot.
Greta udah bisa berjalan normal kembali, meski sudah tiga kali latihan dia gak ikut, hanya duduk di pinggir lapangan. Semua tahu dia gatel banget pengin ikutan. Makanya setiap aa kesempatan, dia selalu curi-curi berlatih sendirian di pinggir lapangan.
"Tebel berapa nih" Lima mili?" tanya gue ke Greta ketika memesan kepada si tukang kaca.
"Gila! Lo mau bikin kaca atau lukisan" Tiga mili aja." "Serius?"
"Curiga banget sih."
"Yang tiga mili, Pak," putus gue akhirnya.
Kami menunggu si Bapak memenuhi pesanan. Gue sebenarnya gak ada niat untuk memandangi cewek di sebelah gue yang tengah menatap jalan raya. Rambut panjangnya terurai begitu saja, kulitnya kecokelatan bersih mengilap, bulu matanya lentik-gue yakin itu tanpa maskara-hidungnya bangir, bibir tipis dengan lipstik berwarna nude, serta bedak yang gak terlalu tebel. Kaus putih lengan panjang bergambar Garfield dilengkapi suspender dan rok kotak-kotak merah-hitam, serta di atas lutut, serta converse merah sebagai alas kakinya. Kasual banget, dan dia bisa mengkombinasikannya dengan pas hingga membuatnya terlihat... sempurna. Cantik. Manis.
"Ini, Mas." Suara si tukang kaca mengagetkan gue. "Makasih, Pak," kata gue tersenyum sopan. "Udah selesai?"
"Udah. Yuk, buruan. Eh, punya lo udah selesai, Ta?"
"Tinggal seperempat lagi lah. Tinggal ngewarnain background. Lo bawa gambarnya gak?"
"Bawa lah. Ada di mobil."
"Ya udah, lo kerjain sekalian aja di rumah gue." Kami keluar dari toko.kaca, langsung menuju mobil. Gue baru sadar Greta belum ada di mobil saat gue selesai memasukkan kaca ke bangku belakang. Mengedarkan pandangan, ternyata Greta lagi jongkok di trotoar di dekat tukang pisang depan toko kaca. Emangnya Greta mau beli pisang" Gue segera menghampiri Greta dan benar aja. Dia lagi milih-milih pisang. Gue gak tau jenis pisang jadi hanya diem. Selesai memilih, Greta memberikan selembar uang 50.000 ke si kakek penjual, mengucapkan terima kasih, dan berdiri.
Si kakek memanggil Greta untuk memberikan kembalian. Gue gak menyangka Greta hanya tersenyum dan menolak kembaliannya, membuat si kakek mngucapkan terima kasih dan puji syukur berulang-ulang. Bahkan sempat mendoakan Greta.
"Ayo. Lo gak mau ngerjain tugas" Ngapain masih diam disitu?" Gue berasa jadi idiot yang gak tahu harus ngapain. Sambil menggaruk rambit yang gak gatal, gue.menyusul Greta ke mobil.
"Lo beli pisang buat apa" Itu bukan pisang... eh, bukan pisang susu, kan" Yang biasanya enak dimakan langsung itu," kata gue. Sedari tadi gue nunggu Greta untuk ngobrol, tapi sepertinya selama apapun gue menunggu, gue hanya mendapatkan... nothing.
"Ya, emang bukan pisang susu. Mau gue bikin molen nanti." "Lo suka beramal ya?" tana gue.
Di luar dugaan, Greta justru ketawa. Apanya yang lucu sih" Gue kan nanyanya betul. Gue juga jadi saksi mata saat Greta menolak kembalian. "Kok malah ketawa sih" Gue serius, Ta."
"Hahaha... lucu aja lo tiba-tiba bilang gitu. Hahaha..." "So?"
Greta terdiam. Gue berharap dia mau memberikan jawaban yang melegakan hati.
"Gue suka sama tipe pekerja keras seperti itu. Apalagi kakek tadi. Umurnya pasti udah lebih dari setengah abad. Tapi dia gak lantas menjadi malas dan sekadar meminta-minta. Dia masih berusaha. Padahal dengan usianya itu dia seharusnya udah gak perlu lagi kerja sekeras itu, apalagi lo.liat badannya. Kurus banget. Masih harus bawa pikulan lagi."
Gue gak komentar. Setiap kata yang keluar dari bibir Greta sangat mengena di hati gue.
"Gue gak merasa rugi sama sekali untuk ngasih ke orang-orang seperti itu. I never think it's something to regret, let alone something to lose. Gu berterima kasih sama Tuhan karena diberi kesempatan berbagi."
Hening. Gue baru kali ini nemuin cewek yang kelihatannya jutek dan berasal dari.keluarga yang amat sangat mapan, ternyata punya pemikiran dan perasaan seperti itu. Gue yakin Greta gak sedang berpura-pura. "Memangnya lo gak pengin menghabiskan atau seenggaknya mengeluarkan duit lo untuk kesenangan pribadi" Maksud gue, yah, lo tau, belanja ini-itu seperti teman lain?"
Greta tertawa kecil. "Lo pikir dengan beramal kepada mereka gak meberi gue kebahagiaan" Justru kegembiraan ketika kita berbagi gak ternilai harganya. Gue juga suka belanja kok. Cewek mana yang gak suka sepatu, tas, baju, dompet, aksesoris baru" Tapi buat gue, itu ada batesnya. Kadang itu bisa ditunda. Perusahaannya juga gak akan bangkrut mendadak kalo ue gak beli." "Memangnya lo dijatah masing-masing gitu, sama orang tua lo" Maksud gue, untuk sekolah sekian, untuk belanja sekian, untuk beramal juga sekian?" Gue gak kaget mendapati Greta kembali tertawa. Pertanyaan gue barusan juga konyol kok. Gue sadar. Gue sendiri juga heran kenapa tiba-tiba nanya seperti itu.
"Ngaco. Yah gak lah. Lo mau tau berapa jatah bulanan gue?" Gue menatapnya dengan alis terangkat.
"Lo sendiri berapa?" Gteta balik bertanya. Apa maksudnya sih" "Kok jadi gue?"
"Udah, jawab aja apa susahnya sih." "Satu setengah."
"Juta?" Gue mengangguk, Greta justru tersenyum. Gue gak tau ap yang dipikirkannya saat ini. Kalau bicara nominal, banyak kok anak lain yang uang bulanannya jauh di atas gue. Masyarakat juga tahu sekolah kami terkenal mahalnya. Lebih dari 90% murid-muridnya berasal dari golongan atas.
"Kenapa sih, Ta?"
Greta masih tersenyum menggeleng.
"Lo juga pasti gak jauh beda, kan" Sekarang yang nyata aja, sepatu basket lo. Tiga bulan sekali ganti dan semua tahu harga sepatu basket. Lo juga gak mungkin beli yang palsu.
"Jatah gue perbulan tiga ratus ribu."
Spontan gue menginjek rem dan mobil berhenti. Apa kata Greta barusan" Tiga ratis ribu" Tiga ratus ribu rupiah"
"Eh, Ga, aduh, kenapa sih lo" Kenapa ngerem mendadak" Untung kepala gue gak benjol."
Klakson kendaraan-kendaraan lain di belakang menyadarkan gue untuk segera kembali tancap gas.
"Gak mungkin. Udah, Ta, apa susahnya sih jujur sama gue" Lagian, memangnya ko setakut itu kalo gue tau" Buat apa?"
"Lho, kenapa gue takut sama lo" Gue udah bilang sejujurnya kok. Kenapa" Kaget ya, karena jauh dari.perkiraan lo?"
Tanpa menjawb pun, Greta tahu jawaban gue.
"Lalu lo dapat uang dari mana buat ini dan itu" Nambah jatah?" "Gue ngajar privat. Tiga kali seminggu. Kalo lo gak percaya, silahkan tanya ke orang rumah."
Sisa perjalanan ke rumah Greta dihabiskan dalam hening. Gue terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran gue sendiri soal perbincangan antara gue dan cewek di sebelah ini barusan.
*** # H annah* Hari itu sebetulnya aku berniat beres-beres kamar, tetapi begitu melihat botol cat kuku berwarna biru yang belum dibuka, aku memutuskan untuk menghias kuku. Dari kamar aku bisa mencium aroma masakan Mama yang sedap. Mmm... Bikin lapar. Sepertinya membereskan kamar bisa menunggu. Toh kamarku belum seperti kapal pecah.
"Hanaah!!! Ayo makan dulu!" panggil Mama dari bawah. "Iya, Maaa."
Aku berdiri sambil meniup kuku-kukuku yang belum kering. Aku baru akan keluar pintu ketika melihat kalender di bufet kamar. Sekarang tanggal 18... Ah! Persis sebulan lagi Dirga berulang tahun! Aku mulai memikirkan kado untuknya. Harus sesuatu yang unik. Sesuatu yang spesial. Sesuatu yang berarti. "Hannaaah!"
"Iyaaa!" Aku segera meninggalkqn kamar dengan pikiran soal kado yang sempurna. ***
#Dirga Butuh waktu sejam buat menggambar di kaca. Sementara gue mengerjakannya di gazebo, Greta sibuk di dapur. Gak lamadi datang ke gazebo sambil membawa piring besar dipenuhi pisang molen. Wanginya enak. Tanpa harus mencicipi pun gue yakin rasanya enak. Apalagi tampilannya menggoda mata. Satu hal lagi dari cewek ini yang baru gue tahu, dia bisa memasak. "Udah selesai, ya" Tinggal ngecat, kan" Bentar deh, gue ambil cat di kamar." Gue menangkap tangan Greta saat dia siap berbalik. "Eh, tunggu. Udah, gampanglah soal mewarnainya. Ntar atai besok juga bisa. Masih hari kamis. Mata gue capek ngeliatin kaca mulu."
"Lo sukanya nunda-nunda pekerjaan deh." "Mata gue sakit. Udah, sini aja. Mau kemana lo?"
Greta menurut. Dia melepas sandal, duduk bersila di sebelah gue. "Gue cobain ya?" Gue mencomot satu molen yang dari tadi nyolot banget minta segera dihabisin.
"Iya dong. Percuma dong gue bikin kalo gak dimakan. Enak gak?" Greta juga mengambil satu.
Enak. Gurih. Tebel. Beda daripada yang biasa gue beli di orang jualan. "Beneran lo yang bikin sendiri" Enak."
Greta tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Kami menghabiskan siang bersama dengan kelakar.
*** # G reta* Aku sampai di rumah pukul setengah delapan lewat sedikit. Minggu sore adalah jadwal mengajar privat, selain senin dan rabu.
Aku baru memasukkan sepeda ke garasi ketika mendengar suara memanggil namaku.
Mama sudah datang! Bergegas membuka sepatu, aku berlari masuk lewat pintu samping yang terhubung ke ruang keluarga dan menemui Mama yang berdiri sambil merentangkan kedua tangan. Aku segera menghambur ke pelukannya. Lebih dari seminggu kedua orangtuaku gak ada di rumah dan aku sama sekali gak malu bertingkah seperti anak kecil dengan langsung memeluk dan mencium Mama.
"Datang jam berapa, Ma" Papa mana?"
"Tadi jam lima sudah di rumah, kamu masih ngelesin. Papa lagi di kamar mandi."
Ternyata Papa dan Mama tahu soal cedera ankle. Saat ku tanya dari mana mereka tahu, ternyata Bi Rahmi sumbernya. Kata Mama, Bi Rahmi takut setengah mati saat melihatku terpincang selama beberapa hari kemarin. Mama memarahiku karena aku gak berterus terang.
"Ya, soalnya nanti pasti Mama dan Papa bakal nyuruh aku berhenti, seperti waktu itu. Mana bisa aku berhenti?" jawabku membela diri. "Itukan supaya kamu bisa lebih berhati-hati. Mana mungkin Mama dan Papa menyuruh kamu berhenti melakukan kegiatan yang kamu suka dan membawa banyak manfaat buatmu" Coba, misanya kalo kamu cedera, lalu Mama dan Papa gak tahu, dan ternyata ujung-ujungnya gak sembuh?"
Aku mengerti maksud sikap Mama dan Papa. Tapi, yah, I just was really afraid. Setelah mengobrol selama dua jam, aku baru sadar belum ganti pakaian. Ternyata sudah pukul setengah sepuluh. Besok hari Senin, upacara, sehingga aku berangkat lebih awal. Mana aku gak sempat tidur siang tadi. Mesti buruburu tidur nih.
Setelah mengecup pipi kedua orangtuaku, aku pergi ke dapur untuk meminum segelas air, lalu ke kamar.
Malam itu suasana tenang seperti biasa. Ada sedikit yang berbeda. Entahlah, rasanya hari ini aku lebih bahagia dibanding hari-hari lainnya. Hampir sama seperti kegembiraan saat memenangi turnamen kemarin. Kalau diingat-ingat, sejak siang tadi... Sejak aku dan Dirga bisa mengobrol seperti kawan lama, persitegangan antara kami sudah pupus.
Sebenarnya Dirga baik kok. Dia juga sopan, menghargai, menghormati. Sama seperti cowok lain yang seusianya. D bisa bersikap dewasa, tapi gak jarang menjadi sangat childish. Ya, aku juga begitu sih. Di samping itu, wawasannya juga lumayan luas.
Dia sedikit bercrita soal keluarganya, termasuk juga soal dirinya. Sedikit membuka diri kepadaku, membiarkanku mengetahui sebgian kecil kehidupannya.
Dia bisa memberikanku rasa nyaman, rasanya seperti ketika aku bersama Boy. Selama ini, selain Boy, belum ada satu cowok pun yang bisa membuatku nyaman. Dirga menjadi pengecualian.
Eee... Sudah deh. Ngapain juga mikirin makhlul satu itu" Sekarang berdoa dan segera memejam. Lalu bangun ketika alarm berbunyi esok pagi. Gak perlu mikir macem-macem. Gak perlu juga ngerasa macem-macem.
Seperti mulai berpikir... bahwa aku menyukai cowok itu.
Part 7 Sekarang sudah memasuki akhir April. Mei kami ulangan akhir semester. Saatnya mengencangkan ikat pinggang waktu bermain supaya gak ada nilai yang merosot, apalagi terlempar dari lima besar.
Aku menyadari persaingan semakin lama semakin ketat. Sekalipun kegiatanku seabrek, aku gak mau mengorbankan prestasi akademisku. Walaupun sering kalah jika harus memilih antara basket dan pelajaran sekolah, aku menyadari basket gak bisa kujadikan masa depanku.
Hari itu kami pulang lebih awal. Ini kesempatan yang jarang banget terjadi. Hanya empat jam mata pelajaran, lalu kami diperbolehkan kembali ke rumah. Aku gak terlalu peduli alasannya.
Sekalipun suka belajar, aku gak akan menghabiskan waktu dengan membuka buku tanpa guru. Lebih baik dipulangkan lebih awal daripada berada di sekolah dengan jam kosong.
Aku menuntun sepeda melewati pelataran parkir luas yang dipenuhi jajaran mobil mewah. Semua mengilat. Dari jaraj dua puluh meter, Pak Agus, satpam sekolah, memanggilku dengan tepukan tangan. Setengah berlari, sambil menuntun sepeda, aku menghampirinya. Gak ada apa-apa sih. Hanya mengobrol dan bercanda. Aku suka banget ngobrol di pos satpam dengan para karyawan sekolah yang biasa duduk disana saat mereka istirahat. Menyenangkan berada di tengah mereka sebab orang-orang seperti mereka gak munafik dan gak mau repot-repot pasang topeng.
Enak ya pulang cepat" Pak Agus meledekku.
Ya iya dong, Pak, masa mau mendekam disini. Enakan di rumah, bisa tidur. Hhehe..
Setelah berbasa-basi singkat, aku berpamitan pulang. Azzieee!!
Syuut. Aku spontan mengerem. Boy tengah berlari sambil melambai. Aku melepas kacamata.
Yo! Apaan" Ntar malem jangan lupa, ya" Gue niat nih. Hhehe&
Ntar malem" Oh. Ya, aku ingat. Boy mengajakku belajar bersama guna menghadapi ujian. Dipersiapkan sejak jauh hari lebih baik, katanya. Aku setuju. Kemarin saat aku menanyakan kenapa ia berubah, jawabannya sungguh bijak, lebih baik sedikit terlambat daripada gak sama sekali.
Boy memang tipe murid yang gak suka belajar dan alergi tugas, apalagi ulangan. Jadi perubahan alami seperti itu tentu mengejutkan. Sekaligus menggembirakan.
Semester lalu Boy masuk peringkat sepuluh besar kelas. Dengan jujur dia bilang, itu anugerah. Kebetulan. Dia mengaku bahwa ulangan dan ulangan umum kemarin dia hanya bergantung pada konsentrasinya saat guru menerangkan dan saat mengerjakan tugas di sekolah. Sesederhana itu. Oke, sip, Beib. Jadi ntar abis latihan basket kita langsung ke rumah gue, ya" Lo mandi di rumah gue aja sekalian.
Mantap. Ntar lo latihan gak usah bawa sepeda ya. Gue jemput. hahaha& bagus. Oke, duluan ya.
*** # H annah* Aku menunggu Dirga yang akan menjemput. Malam itu kami hanya akan mengobrol sambil makan cake. Dan aku tahu tempat yang tepat. Tadi aku sempat ragu karena sore ini ada latihan basket, tapi Dirga berkeras untuk tetap pergi.
Sekali aku mematut diri di depan cermin. Hmmm& . Hari ini kami akan naik motor, jadi aku mengenakan jeans. Gak nyaman kan, malem-malem naik motor pakai rok pendek" Aku tahu Dirga paling suka naik motor. Aku gak keberatan sama sekali.
Hannah, Dirga dataeng tuh, panggil Mama.
Aku mengambil sling bag beige di meja belajar yang sudah kusiapkan karena aku gak mau membuat Dirga menunggu kelamaan. Sekali lagi aku memandangi penampilanku di cermin, lalu buru-buru keluar kamar.
Ah, itu dia! Dirga sedang berbicara dengan Mama di ruang tamu. Kami lalu berpamitan dan seperti biasa, Mama memberikan wejangan khas ibu-ibu. CBR merah itu bertengger di depan rumah. Dirga mengenakan celana jeans dipadu kaus putih model V-neck, ditutupi jaket kulit pas body. Nih, pake dulu. Sedikit berkorban dengan rambut, Dirga menyodorkan helm. Aku naik ke boncengan. Ini pertama kali aku naik sepeda motor. Biasanya Mama dan Papa gak pernah memperbolehkan aku pergi dengan siapapun naik motor. Tapi entah mengapa, tadi Mama dengan mudahnya mengizinkanku. Kusyukuri karena aku juga pengin tahu rasanya menembus malam di boncengan motor.
Pertama kali, ya" Dirga seperti bisa membaca pikiranku, kalau takut pegangan saja.
Pipiku memanas. Untung saja tertutup helm dan Dirga sedang fokus berkendara. Kalau tidak, pasti dia bisa melihat wajahku yang memerah. Dengan agak ragu, aku melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Ah. Jadi seperti ini rasanya" Aku memeluk pinggang Dirga dan seketika merasa aman. Nyaman. Aku belum pernah sedekat ini secara fisik dengan cowok manapun. Aroma parfum maskulinnya menggodaku lembut. Dan entah bagaimana, aku merasa hangat.
Saat berhenti di lampu merah, aku baru tersadar. Tadi pagi aku berjanji ke rumah Eta mengambil flashdisk dan soft copy materi biologi. Aku melihat jam tangan di pergrlangan kiriku. Kalau harus menunggu sampai harus sepulang acara bisa-bisa kemalaman.
Dirga, bisa anterin aku dulu gak" Aku perlu sesuatu. Kemana"
Ke rumah Eta. Diam. Gak ada jawaban. Dirga gak mendengar atau& Kapan" Sekarang"
Iya, sekarang. Soalnya aku udah janji, gak enak sama Eta. Aku menggigit bibir. Bisa gak, ya" Jangan-jangan Dirga marah karena aku membuat janji dengan orang lain pada saat yang bersamaan dengan rencana kami.
Ya, udah. Aku lega mendengar jawaban Dirga. Lampu hijau menyala dan aku kembali memeluk pinggangnya. Kali ini lebih erat.
*** # D irga* Kemana" tanya gue saat Hannah bertanya apakah gue bisa mengantarnya ke tempat lain sebentar.
Ke rumah Eta. DEG! Entah kenapa, jantung gue langsung berdetak lebih keras. Ke rumah Greta"
Kapan" Sekarang" Tolong jangan malam ini!
Sayangnya harapan gue sia-sia. Kata Hannah, dia sudah janji dengan Greta dan merasa gak enak membatalkannya.
Gue gak bisa bilang ke Hannah bahwa gue gak mau Greta tahu gue dan Hannah keluar bersama. Gue tahu Greta udah gak marah lagi, sekalipun menyinggung soal pertemanan gue dan Hannah. Dia gak keberatan kalau di sekolah gue berdekatan dengan Hannah.
Cuma gue gak mau Greta berpikiran macam-macam soal gue dan Hannah yang keluar berdua malem-malem, apalagi kalau sampai dia tahu ini bukan yang pertama kali. Dan sejauh ini, Hannah gak pernah cerita juga ke Greta. Gue gak mau membuat Greta menarik diri dari gue. Karena sekarang gue udah nyaman berteman dengan dia.
Ta, udah. Gue mengiyakan. Gue bener-bener memohon supaya Tuhan mengabulkan permintaan hamba-Nya yang satu ini, just give me one miracle tonight.
Tuhan, bagaimanapun skenario nanti, tolong jangan sampai Greta melihat dan mengetahui gue pergi dengan Hannah.
Yuk. Hannah keluar dari rumah berpagar hitam sambil memakai helm. Gue yang menunggu di motor belum bisa bernapas lega.
Greta mana" Dia masih di kamar mandi. Mules, katanya. Hihihi& tadi yang ngasih Bi Rahmi, eh, ada Boy juga lho di dalem.
Gue tahu. Empat meter di hadapan gue ada Livina hitam yang gue hafal banget milik siapa. Itu yangt bikin gue mendadak khawatir.
Sempat ngobrol" Ya, bentar doang. Cuma say hi. Ditanyain juda tadi kesini sama siapa. DEG!
Terus kamu bilang apa"
Eee& aku bilang ada deh . Hihihi& , Hannah terkikik.
Kali ini aku bernpas lega. Terima kasih, Tuhan, gue mengucap syukur dalam hati. Terima kasih, terima kasih. Gak mau berlama-lama karena takut tertangkap basah, gue dan Hannah segera melaju.
*** # G reta* Hannah barusan dateng. Barangnya udah dikasihin sama BI Rahmi, Boy memberi laporan saat aku kembali. Gara-gara tadi siang aku makan gado-gado pedes, perutku jadi berontak. Sebelum ke kamar mandi, aku sempat menitipkan flashdisk pada BI Rahmi, karena feeling-ku yang kuat bahwa Hannah akan datang. And I was right.
Sama siapa tadi" tanyaku sambil memasukkan dua butir kacang ke mulutku. Gak tau deh. Tadi waktu gue nanya, dia gak jawab.
Mmm& Gak masalah. Sudah jam setengah delapan, tapi aku gak melihat tanda-tanda Boy bosan. Padahal setahuku, batas maksimal dia bisa berkonsentrasi dengan buku pelajaran hanya setengah jam. Sementara tadi kami mulai pukul enam.
Masih semangat" Masih dong!
Aku tersenyum. Tiba-tiba insyaf begini, kenapa lo"
Nyadar aja. Tahun depan kuliah. Gue gak bercita-cita menjadikan basket sebagai pekerjaan gue. Lagian..
Boy gak melanjutkan kata-katanya. Lagian apa" Apa"
Boy tampak salah tingkah. Ia menggeleng sambil cengengesan. Gak, gak ada apa-apa.
Hmmm& " Sebelah alisku terangkat, menuntut penjelasan. Yah, gue pengin membahagiakan orantua aja, biar mereka bisa liat anaknya gak melulu basket, tapi juga berprestasi di pelajaran. Dan membuktikan kepada seseorang, supaya dia bisa melihat keseriusan gue. Mataku membulat. Kalau dugaanku benar, Boy lagi punya rasa sama cewek. Tell me about that girl.
Tentu saja Boy langsung mengelak. Dia gak terbuka soal asmaranya. Lo berubah jadi wartawan infotainment" Berisik ah!
Oke, Boy berhasil membuatku penasaran. Tapi kali ini aku berhasil membuatnya terguling sampai wajahnya memerah menahan geli dengan jurus andalanku, menggelitikinya!
*** # P atrick* Malam itu jalanan sepi. Mama yang duduk di sebelahku mengobrol dengan Papa via telepon, sementara mataku menyusuri pemandangan di luar mobil. Aku memperlambat laju mobil buat berhenti di lampu merah, tepat di belakang motor merah. Melihat nomor polisinya, aku tertegun. Motor Dirga. Siapa cewek di boncengannya itu" Setahuku Dirga gak punya saudara kandung, jadi sudah pasti dia sendiri yang kini membonceng cewek.
Aku gak bisa menebak atau memprediksi cewek dengan kardigan hitam itu, sampai dia menoleh dan aku melihat wajahnya dari kaca bening helm. Lagi-lagi aku melihat Dirga pergi berdua dengan Hannah. Kali ini dengan pelukan erat di pinggangnya.
Memburu Manusia Harimau 1 Pendekar Rajawali Sakti 82 Selendang Sutera Emas Sayap Sayap Terkembang 36
^