Pencarian

Your Eyes 3

Your Eyes Karya Jaisii Q Bagian 3


Mbak Nessa udah pesen sama saya kalau pintu rumah nggak ada yang buka, saya boleh buka. Tapi serius, saya nggak ada maksud apa-apa. Apa perlu saya balik
lagi" Saya ketuk pintu lagi" Iya saya emang nggak sopan, Mas. Saya minta maaaf." Naura yang bicara panjang lebar, tidak digubris Brian. Lelaki itu hanya
terdiam datar tanpa ekspresi. Membuat Naura malu sendiri dan bingung entah harus berbuat apa. Dan sebenarnya ia sedang berusaha mengusir rasa gelisah ketika
harus dihadapi dengan Brian. Memantapkan dan memegang teguh dalam hati, cowok di depannya ini bukan Adrian, melainkan orang lain. Jadi Naura harus bersikap
biasa saja. Jangan bersikap bodoh dengan berharap bahwa Brian adalah Adrian. Dia sudah meninggal setahun yang lalu.
"Saya minta maaf. Saya cuma dengerin apa yang Mbak Nessa suruh. Beneran, sumpah." Naura melanjutkan dengan nada pelan. Mata Brian berkaca-kaca, sedikit
merah. Naura semakin kelimpungan. Reaksi yang diberikan Brian sungguh aneh dan membingungkan.
Dengan tiba-tiba Brian menarik tangan Naura, mendorongnya mendekati tembok, menghimpitnya di permukaan dinding. Naura membelalakan mata, kontan menelan
air liur. Seperti baru saja ditampaki sesesok hantu menyeramkan. Jantung Naura nyaris lompat ke luar. Sekarang, pandangan mereka begitu dekat. Brian menatap
tajam mata Naura dengan tatapan membunuh. Naura tidak menyangka, ia bisa merasakan betapa dekat dirinya dengan Adrian. Tatapan mata itu, wajah itu, bibur
itu. Atmosfer yang telah lama menghilang, kini terasa lagi, namun bukan dengan jiwa yang sama.
"Kamu..., siapa?" Brian bertanya intens. Suaranya sedikit serak.
"Saya...," napas Naura tercekat. Jantungnya benar-benar berdetak dua kali lipat lebih cepat. Rasa gerah melingkupi, karena tubuh Brian hanya berjarak sekitar
tiga centi dari badannya. Keringat dingin bercucuran di pelipis. "Saya Naura. Bukannya ... kemarin ... Mas liat saya" Bukannya kemarin ... kita udah sempet
kenalan?" ada gentar dalam suara Naura, kalimat yang dilontarkan terbata-bata tidak beraturan. Pasalnya, tidak seharusnya Brian melakukan ini. Bagaima
jika Nessa melihat" Tentu akan menimbulkan fitnah.
Brian memejamkan mata. Ya, semua itu memang benar. Tapi, bukan begitu yang Brian maksud. Bukan tentang nama dan status. Melainkan... siapa dia di hidupnya
ketika di masa lalu"
Untuk bergerak pun, rasanya sangat sulit Naura lakukan. Seperti robot yang tidak juga digerakan oleh si pemilik. Ditahan di depan jurang. Panik.
"Iya. Kemarin kita emang kenalan. Tapi sejak ketemu kamu, saya ngerasain hal yang beda. Jawab pertanyaan saya..., apa kita pernah ketemu sebelumnya?"
"Nggak. Kemarin untuk pertama kalinya."
"Nggak. Saya nggak percaya. Tolong jawab kamu siapa."
"Saya Naura, Mas! Temennya Mbak Nessa!" Naura menggigit bibir bawahnya, tidak paham atas tindakan Barian saat ini. Sangat-sangat kelewatan.
Saat melihat mata Naura, mendengarnya berbicara, cara dia menyampaikan, mengingatkan Brian pada seseorang hingga membuat dirinya sedih. Pada seseorang
yang wujudnya saja belum dikenali, masih samar-samar di kepala. Pada seseorang yang entah siapa dan berada di mana. Pada seseorang yang begitu berarti.
Pada seseorang yang mungkin hanya delusi semata. Brian ingin meminta kepastian, ketegasan, agar dia berhenti bertanya-tanya. Kemarin malam, Naura sukses
membuat Brian tidak bisa tidur.
Naura merasa sedang diinteriogasi, didesak, dan dipojoki. Napas mereka saling bersahutan di antara kesunyian, seluruh tubuh Naura gemetar. Pertanyaan Brian
sangat sulit untuk dijawab.
Bahkan, sampai sekarang, perasaan tidak keruan semakin memuncak. Telak! Gadis di depannya ini bukan orang lain.
"Jawab saya Naura. Kamu kenal saya?"
"Adrian." Tiba-tiba saja nama itu yang tercetus di bibir Naura.
Brian memutar bola mata. "Adrian...?" Bersambung. YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 16 - Hilang Akal.
*** "Abis dari mana kamu?"
Belinda langsung bertanya begitu Angga berjalan menuju kamar untuk bersiap pergi ke kantor.
"Biasalah, Ma. Joging."
"Joging" Sampai pulang jam setengah delapan. Joging sama siapa?"
Kini Belinda akan memperlakukan anaknya lebih tegas lagi. Ia tak ingin kehilangan anak untuk yang ketiga kalinya. Menyerahkan Adrian kepada perempuan yang
sangat ia cintai adalah kesalahan besar. Belinda tidak mau kejadian itu terulang.
"Sendiri, sama siapa lagi?" tanya balik Angga berkilah. Kalau ia menjawab lari pagi bersama Naura, bisa-bisa mamanya ngamuk, seperti macan yang kehilangan
akal. "Angga..." Belinda memegang keningnya, terlalu stess memikirkan masa depan anak satu-satunya. Ia akan mempertanyakan hal penting, hal yang selama ini menghantui
pikirannya. "Kamu kapan ajak pacar kamu itu" Kapan" Mama pengin kenalan, supaya Mama kenal sama dia. Mama pengin tau bibit bebet bobotnya, supaya nggak
salah pilih kayak adik kamu dulu. Dan sekarang, waktu yamata as untuk kamu menikah. Titik."
Angga mendesis, bosan mendengarkan pertanyaan yang sama secara berulang kali. "Aku udah bilang sama Mama, aku nggak punya pacar."
"Bagus kalau begitu."
"Katanya---" "Berarti Mama punya kesempatan banyak buat deketin kamu sama perempuan pilihan Mama." Belinda berkata lugas, tersenyum dengan lekukan terpaksa. "Kamu nggak
bisa nolak lagi Angga. Waktu kamu udah abis. Kamu nggak mau liat Mama bahagia?"
Angga menggaruk-garuk kepala, mendecakkan lidah. Di sini mamanya mendesak, sementara di sana Naura tidak mau menerima cintanya. Apa yang harus ia lakukan"
Mempertahankan cinta" Atau menyerah, mengikuti keinginan mamanya.
"Heey Angga. Malah ngelamun!"
"Kasih aku waktu seminggu lagi, Ma."
"Apa kamu bilang" Satu minggu" Apa kamu sejago itu narik hati perempuan" Katanya belum punya pacar. Tapi..."
"Lagi berusaha, Ma. Angga lagi ngejar dia." Angga memenggal dengan nada memelan. Mengejar" Mengejar Naura yang tak akan pernah berhenti berlari untuk menjauh"
"Apa" Cowok ganteng kayak kamu ngejar cewek?" tanya Belinda tak percaya. Anak terpintar dan terajinnya mengejar perempuan" Memang siapa perempuan itu.
"Kamu..." "Iya nanti Angga jelasin. Sekarang mending Mama mandi dulu. Tuh beleknya masih ada di deket mata, nanti nggak cantik looh. Malu sama Papa." Angga menggoda
untuk bisa kabur dari pertanyaan-pertanyaan Belinda. Tertawa jail. Ia pun berlari menaiki anak tangga. Belinda membelalakan mata, melirik Angga dengan
seribu kekesalan. Anak itu selalu saja menghindar.
*** Di tengah ketegangan, suara ponsel berbunyi, memecah hening. Brian melirik ke bawah untuk mengambil ponsel, memberi jarak lumayan luas, Naura mengambil
kesempatan ini untuk segera kabur. Ia berlari ke luar untuk menstabilkan napas yang sedari tadi tercekat. Brian harus mengangkat telepon yang masuk dari
Nessa, sejenak melirik kepergian Naura. Membagi konsentrasi, antara Naura dan Nessa.
Naura tiba di luar, ngos-ngosan sembari memegang dada. Adegan macam apa tadi" Apa maksud Brian" Dan mengapa jantungnya ikut-ikutan berdebar" Jelas dia
bukan Adrian. Tak lama kemudian, Brian keluar. Menghampiri Naura dengan ragu-ragu. Ia tahu, tindakannya sudah kelewatan.
"Maafin saya." Brian menyesali perbuatannya. Keingintahuan itu berhasil membuat Brian menjadi orang gila. Ia merasa bersalah, karena tadi Naura terlihat sangat ketakutan.
Naura bergeming tanpa menoleh. Mendengar suaranya, apalagi melihatnya, membuat Naura tidak tenang. Kalau dia bukan Adrian, berarti Naura telah jatuh cinta
kepada Brian sejak pertama kali bertemu. Karena ketika berada di dekatnya, melihat matanya, mendengar suaranya, menimbulkan rasa yang jika ditafsirkan
ternyata memiliki makna cinta. Dan tidak seharusnya itu terjadi. Kalau boleh meminta, Naura ingin berikan rasa ini kepada kak Angga, bukan Brian.
"Kata Nessa kita harus cepet-cepet ke tempat kerja. Sepeda kamu biar disimpen di sini. Kamu ikut naik mobil bareng saya. Kita pergi sama-sama."
Naura masih mengatup mulut.
*** Sepanjang perjalanan, tak ada satu pun yang membuka suara. Sejak kejadian beberapa jam ke belakang, membuat mereka tiba-tiba canggung. Seperti pasangan
kekasih yang baru saja memutuskan hubungan. Padahal, baru kemarin berkenalan. Naura hanya menyimpan pandangannya ke jendela, tangannya memijit tuas kaca
mobil, lalu jendela terbuka lebar, angin berembus menyapu wajah, menerbangkan anak-anak rambut Naura yang tak pernah dibiarkan tergerai. Sesekali Brian
melirik ke samping, untuk apa memerhatikan Naura lebih detail. Perempuan misterius yang berhasil menghipnotis hati untuk berdetak beriramakan cinta. Oke,
ini terdengar tidak wajar, begitu cepat mencintai seseorang. Padahal kepada Nessa, Brian sulit mengatakan kalau ia cinta. Keinginan untuk mencintainya
tak pernah terpenuhi. Berbeda dengan Naura, yang baru saja kenal, tanpa pendekatan, langsung jatuh tanpa mengenal waktu.
Untuk memenuhi peraturan sebagai seorang model, Naura harus mau didandan. Harus mau melepaskan ikatan pada rambut, dipolesi make-up lumayan tebal, mempercantik
rambut, juga high heels sebagai alas kaki. Pakaian mewah, beserta aksesoris lain. Naura hanya pasrah. Mulai hari ini dia harus membiasakan diri.
Dari kejauhan, Brian tampak sedang memotret Naura dengan kamera canon-nya di waktu sempit. Ini baru hari pertama kali kerja, tapi Naura sudah ikut berbaur
dengan yang lain, termasuk bersikap ramah kepada penata rias wajahnya. Brian menyukai senyumnya, binaran matanya. Bahkan, ia sempat memotret kedua mata
Naura dengan sudut pengambilan gambar extreme close up.
Naura hampir selesai, Brian bergegas untuk mengatur pencahayaan. Menyiapkan alat-alat bantu seperti Flash atau Blitz. Payung reflektor yang berwarna putih
dan perak, light stand, refkektor, soft box beserta barndoors-nya, dan lain-lain. Semua dipasang dengan sedemiakan rupa agar hasil foto bisa sempurna.
Selesai dirombak, Naura berdiri di tempat yang telah diberi background putih. Tema yang diambil adalah baju perempuan yang cocok untuk pekerja kantoran.
Sebagai fotografer, Brian harus mampu menjelaskan ekspresi yang harus dikeluarkan modelnya agar sesuai dengab tema baju. Tak lupa juga dengan gestur tubuhnya.
Berada di dekat Naura, Brian canggung. Naura benar-benar cantik. Rambut hitam tergerai yang bergelombang, wangi parfumnya. Brian nyaman. Sesekali Brian
membenarkan blazer batik yang terpakai di tubuh Naura agar lebih rapi. Dia cocok berdandan rapi seperti ini, mengingatkan Brian pada seseorang yang masih
begitu semu. Keduanya sama-sama gugup, tapi Naura berhasil mengkamuflasekan kegugupan itu dengan bersikap cuek.
Naura bergaya elegan, tersenyum memamerkan giginya yang rapi dengan gaya foto candid, dengan tas kerja putih yang berada di tangannya. Sesuai dengan warna
baju dan celana bahan yang dikenakan.
Blitz keluar dari camera, menyemburkan cahaya, foto terabadikan. Merasa masih ada kekurangan, Brian menginteruksi agar Naura berganti gestur. Berbagai
gerak dan baju yang berbeda telah berhasil dipotret. Ada gaya tersenyum, bibir dibiarkan seksi, dan tertawa menikmati baju yang dipakai. Naura memiliki
bakat tersendiri, layaknya model profesional. Naura tak kalah cantik dengan Nessa ---model sebelumnya yang Brian potret. Bahkan aura yang dimiliki Naura
lebih menonjol. Ada magnet tersendiri yang membuat Brian ingin terus memandangnya, bersemangat memoto, dan euforia menggebu.
Selama ini jika Brian memotret Nessa, ia tidak merasakan apa-apa. Bahkan seringkali Brian mempertanyakan suatu hal, apa di masa lalu dirinya sangat mencintai
Nessa" Berjam-jam Naura dan Brian menikmati kebersamaan. Berulang-ulang kali Brian memuji Naura sampai membuat pipi Naura bersemu. "Senyum kamu manis. Saya suka.
Gigi-gigi kamu rapi, saya suka. Mata kamu indah."
Naura hanya membalas dengan tersenyum. Kalau sedang memuji seperti itu, sosok Adrian lenyap dalam dirinya. Karena dulu, Adrian selalu mengejek, bukan memuji.
Tapi ejekannya selalu membuat Naura rindu. Jika saja lelaki yang memakai kamera itu Adrian, pasti Naura sangat bahagia.
Kini Brian dan Naura telah berada di mobil lagi, kembali menuju perjalanan pulang. Naura kembali ke penampilan semula. "Kamu nggak bakal ngajak saya ke
kedai es campur" Kemarin-kemarin, Nessa sempat ajak saya buat makan es campur di kedai yang ada pinggir jalan, dan katanya waktu itu dia diajak sama kamu.
Tapi sampai sekarang, dia belum juga ngajak saya pergi." Brian melirik-lirik ke samping kanan-kiri, berharap menemukan kedai yang dimaksud Nessa. Untuk
memperpanjang waktu bersama Naura. Karena ia masih begitu penasaran dengan sosoknya.
"Mas mau saya ajak ke sana?"
"Saya boleh minta sesuatu?"
"Apa?" "Jangan panggil saya pakek embel-embel 'Mas'. Panggil nama aja, lebih enak didenger, atau 'kamu'."
Brian tidak suka dengan panggilan Naura, terkesan terlalu formal.
Naura menoleh. "Nggak ah, Ma--"
"Jangan nolak. Itu kewajiban kamu. Kamu mau saya aduin ke Nessa gara-gara kerja kamu nggak bener?"
Naura terperangah lagi. "Jadi kerja saya barusan itu jelek, ya" Maaf. Saya soalnya nggak jago ngegaya, apalagi jadi model. Itu kerjaan yang nggak pernah
mampir di pikiran saya sebelum-sebelummya. Jadi..."
"Nggak, kok. Barusan cuma semacam ancaman. Kamu cantik dan cocok jadi model. Kamu harus percaya diri. Kalaupun hasilnya jelek, yang harus disalahin itu
fotografernya, bukan modelnya."
Naura tersenyum kecil. Ada-ada saja.
"Jadi kamu nggak mau ngajak saya ke kedai?"
"Ya udah kalau itu mau M--"
"Brian." Cowok itu melarat cepat---lebih kepada menegur. Naura tersenyum, lagi. Selanjutnya bingung, akan tetap memanggilnya 'Mas' atau 'Brian'. Kalau
langsung 'Brian', ia merasa tidak sopan dan kaku.
Setelah Naura menunjukkan kedai es campur di pinggir jalan, Brian menepikan mobil. Keduanya sama-sama keluar dari mobil, memilih tempat duduk. Mereka duduk
berhadapan, Naura memesan.
"Ini mbak Nessa nggak bakal marah kalau liat kamu sama saya di sini" Nanti kalau dia salah paham gimana?" Naura bertanya gamang.
"Nggak pa-pa. Nessa orangnya santai. Dia bukan tipe perempuan yang gampang cemburu. Dan sebenernya... saya juga nggak cinta sama dia." Entah apa yang membuat
Brian berkata jujur sejujur jujurnya. Dan hanya kepada Naura ia mengaku setelah sekian lama memendam sendiri. Brian tidak mau mengecewakan dan menyakiti
Nessa. Kontan Naura membeliak. Bahkan sekarang, ia melihat ekspresi Brian yang kalem. Seperti tidak mengatakan apa-apa, menganggap sepele dengan ucapannya.
"Maksud kamu?" "Iya nggak tau kenapa saya nggak bisa cinta sama dia, padahal saya udah berusaha keras."
"Kalau nggak cinta kenapa pacaran" Kamu jangan permainin mbak Nessa kayak gitu. Mbak Nessa itu orang yang baik, jadi jangan disakitin."
"Saya juga bingung."
Sejurus kemudian, pelayan tiba dengan dua mangkuk es campur di atas nampan, lalu diletakkannya di atas meja.
"Makasih, Mbak," kata Naura mendongkak, tersenyum.
"Sama-sama, Mbak."
Brian mulai mengaduk es campurnya. Ingin segera menikmati.
Sementara Naura, sebelum ia memakan es campur itu, ia menyempatkan diri untuk memandang wajah Brian, laki-laki yang begitu mirip dengan suaminya secara
detail. Mau dilihat dari sisi mana pun, dijungkir-balikan sekalipun, wajahnya tetap sama dengan Adrian, tak ada bedanya. Naura ingin memercayai kalau dia
adalah Adrian, sesuai dengan apa kata hati. Tapi di lain sisi, setahun yang lalu, Naura melihat sendiri jenazah Adrian, barang-barangnya, juga kalung indah
sebagai kejutan spesial, termasuk mimpi perpisahan yang dialami setelah Adrian meninggal.
Naura semakin terseret pada arus yang tak jelas ke mana harus menemukan titik jawaban.
Brian memuji-muji es campur yang dimakannya. Membuat suasana mencair, mereka akhirnya mengobrol. Kadang tertawa. Naura tidak pernah mengilangkan sifat
gampang kenalnya. Walaupun sebenarnya, Brian sedikit berbeda dengan yang lain. Dan pasti, karena ia sangat mirip sekali dengan Adrian.
Waktu terasa begitu cepat sebelum akhirnya Naura dan Brian tiba di rumah.
"Ya udah saya pulang, ya. Jangan lupa bilangin sama Mbak Nessa, saya seneeeng banget sama kerjaannya. Pokoknya bilangin, makasih." Naura tersenyum sebelum
naik ke atas sepeda. Kepala Brian sedikit berdenyut. Karena sejak tadi, ia berusaha mengembalikan ingatannya. Ia ingin mengingat siapa Naura. Tapi kepala ini selalu tidak berkrompomi.
Tidak mau dipaksa. Hal inilah yang membuat Brian tidak bisa ingat masa lalu. Ia yakin ada yang janggal, apalagi sejak keberadaan Naura.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Naura cemas ketika Brian meringis.
"Kepala saya pusing." Brian memicingkan mata, menggelengkan kepala. Memijit keningnya. Kalau terlalu memaksakan, Brian selalu seperti ini.
"Oh ya udah, saya anter ke dalem, ya."
Brian melangkah, berusaha mengusir rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. Naura berjalan di belakangnya, pelan-pelan.
"Saya boleh minta bantuan?" tanya Brian, menoleh ke belakang.
"Bisa." "Tolong ambilin air minum, antar ke kamar saya yang ada di sana." Brian menunjuk kamar yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Naura menganggukan kepala.
Brian tersenyum, lalu berjalan menuju kamar yang dimaksud.
Naura buru-buru pergi ke dapur untuk mengambilkan air putih.
"Naura... Naura... Naura..." Nama itu terus memenuhi kepala Brian. Menjadikan otaknya berputar. Brian memegang keningnya yang semakin nyeri. Kalau Naura
tidak mau mengaku, dia sendiri yang akan mengingatnya. Karena hati tak akan pernah bisa bohong. Hati adalah organ paling jujur. Untuk itu manusia dianjurkan
untuk memercayai apa kata hati.
Saat mencicikan air putih, Naura termenung selama beberapa detik. Sudah lama sekali tidak membuatkan kopi untuk Adrian, dan Naura merindukan hal itu.
Napas Brian tercekat, ia harus cepat-cepat meminum obat. Kecelakaan besar yang dialaminya tahun lalu telah membuatnya menjadi laki-laki yang lemah. Brian
membuka rak, mencari obat-obatan miliknya untuk menghilangkan rasa sakit. Sesekali mendesis.
Naura tiba, dengan segelas air putih di tangan.
"Kamu nyari apa?" tanya Naura, menyimpan gelasnya di atas nakas. Nada pertanyaannya penuh kekhawatiran.
Brian tidak menjawab. Begitu menemukan obat dalam laci, membuka tutup botol kecil yang isinya pil, langsung ditenelannya menuju kerongkongan, lalu meraih
gelas dan menenggak air. "Itu obat apa?"
"Cuma penenang rasa sakit. Saya emang suka gini."
"Oh ya udah. Saya pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, nanti saya hubungin mbak Nessa." Sebenarnya Naura tidak tega meninggalkan Brian dalam keadaan seperti
ini. Tapi mau bagaimana lagi, Naura tidak tenang jika terus berada di sini. Perlahan, rasa sakit di kepala Brian mulai menghilang. Naura memutar langkah.
"Tunggu." Brian beranjak dari ranjangnya. Langkah Naura terhenti di lawang pintu. Dan untuk kedua kalinya, Brian membuat Naura tidak bisa berkutik. Brian
menjegat Naura, membawanya untuk bersandar di permukaan dinding, bersebelahan dengan pintu. Dan dalam rumah itu, hanya ada mereka berdua. Naura mengerjap,
terlihat jelas bulu mata lentiknya di mata Brian.
"Sebelumnya saya mau ngucapin terima kasih."
"Sama-sama. Tapi kamu nggak usah giniin saya lagi. Nggak enak."
"Biarin. Supaya saya tahu jelas gimana reaksi mata kamu. Kamu kaget" Kamu takut sama saya" Mata kamu polos banget, ngingetin saya sama seseorang."
"Siapa?" "Seseorang yang saya juga nggak tahu."
"Lepasin. Saya mau keluar."
"Nggak boleh." "Brian." "Saya mau minta sesuatu."
"Saya nggak punya apa-apa."
"Kamu punya mata, senyuman, dan suara yang bikin semua organ saya hidup, terutama hati saya. Nggak salah kan kalau saya jatuh cinta pada pandangan pertama?"
"Ini nggak lucu."
"Kata siapa lucu" Orang saya ngomong apa adanya. Naura, sebenernya kamu siapa" Kenapa setiap ada di dekat kamu, saya selalu ngerasa nyaman. Saya orangnya
to the point, nggak mau nunggu. Kalau udah cinta ya udah, langsung ngungkapin. Kecuali emang sebelumnya kita pernah jatuh cinta."
Naura semakin tidak keruan. Perkiraan demi perkiraan kini berjatuhan di kepala.
Apa kamu Adrian" Naura menatap wajah Brian lekat-lekat. Terenyuh. 50 Persen Naura yakin kalau cowok ini Adrian, dan 50 persen lainnya, Naura yakin dia hanya orang lain.
Ketika bersitatap sedekat ini, Naura bisa melihat wajah Adrian yang sangat ia rindukan, dan rasanya ingin sekali menangis sesenggukan. Menangis di pelukannya.
Untuk sejenak, Naura melihat Brian sebagai Adrian, dagunya gemetar menahan tangis. Akhirnya bisa kembali melihat dia yang telah lama meninggalkan kita
pergi. "Apa boleh, saya cinta sama kamu?"
Naura tertegun. Pengakuan jenis apa yang dilontarkan pria yang masih begitu misterius ini"
Brian semakin memajukan wajahnya, Naura yang tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memejamkan mata. Berharap ini semua hanya mimpi. Brian tak akan melakukan
apa-apa. Tapi nyatanya, Naura merasakan bibirnya baru saja disentuh oleh sesuatu, dan itu adalah bibir Brian. Perasaan apa ini" Mengapa rasanya begitu
sulit untuk menolak" Dan air matanya malah jatuh menetes, mendarat di pipi. Naura pernah merasakan ciuman ini sebelumnya, bersama Adrian. Ciuman yang sama,
dengan sensasi yang sama. Naura teringat Adrian. Tapi bagaimana mungkin Brian itu Adrian" Siapakah mayat yang ia lihat setahun yang lalu" Dan, kecil kemungkinan
jika Brian itu Adrian, karena seharusnya dia mengenal Naura sejak pertama kali bertemu. Ciuman ini meluruh ke dalam hati, kepada bagian paling sensitif.
Hangat dirasa, damai dalam kalbu.
Tidak. Tidak. Tidak. Ini tidak boleh diteruskan. Kecupan ini harus segera berakhir. Cepat-cepat Naura mendorong dada Brian, tautan bibirnya terlepas. Brian
mengembuskan napas lewat mulut, pandanganya menohok mata bulat Naura yang berkaca-kaca. Naura sejenak menelan saliva untuk bersiap mengeluarkan cercaan.
"Kamu apa-apaan Brian." Bibir Naura gemetar. "Kita ini baru kenal. Kamu nggak bisa seenaknya cium saya. Ini terlalu frontal. Kamu bukan siapa-siapa saya,
kamu nggak berhak ngelakuin itu. Saya kecewa sama kamu." Naura membentak, kesal. Masih terlihat sisa air matanya. Brian tergemap tanpa bisa mengucapkan
sepatah kata pun, baru menyadari kebodohannya. Ia baru saja mengkhianati Nessa. Dan sebenarnya, Naura bukan marah kepada Brian, melainkan kepada dirinya
sendiri yang tidak mampu menghindar. Terlalu lemah hanya karena merindukan Adrian.
Naura menarik napas panjang, bergegas pergi dari hadapan Brian, berlari ke luar kamar. Meninggalkan Brian yang terkelu layu. Ia mengerti dengan kemarahan
Naura. Ya, itu hal yang wajar. Brian sudah seperti robot yang dikendalikan oleh tangan orang yang berbeda-beda.
Sesampainya di luar, Naura memutar kepala ke belakang selama beberapa detik, lalu memutar ke depan lagi. Menatap lurus. Tangannya terangkat, menyentuh
bibir yang baru saja dicium Brian. Ketika ciuman itu berlangsung, tidak seharusnya Naura merasa senang, tidak seharusnya Naura merasa nyaman. Ia merasa
berdosa, telah mengkianati dua orang; Adrian dan Nessa. Begitu bodoh dan tak berdaya.
"Mbak Nessaa," lirih Naura merasa bersalah, air mata turun lagi. Naura menyesal karena tidak bisa menghentikan aksi Brian, tidak seharusnya bibir ini disentuh
olehnya. Naura berlari lagi. Tidak tahan berada di tempat ini. Brian adalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya, menjelma sebagai Adrian,
dengan hati yang sama, tapi status dan ingatan berbeda. Dan tetap saja, Brian hanya orang lain.
Di dalam kamar, Brian masih berdiri di pijakan yang sama. Segampang itukah ia mencintai Naura sampai harus menciumnya" Brian tidak mengerti, hati ini seolah
ada yang mengendalikan tanpa arah.
"Sial..." Dipalingkannya wajah ke samping, melihat foto Nessa yang tersemat di atas nakas. Brian mengusap wajahnya frustrasi.
Bersambung. YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 17 - Brian yang dulu itu...
*** Saat berlari, Naura bertubrukan dengan tubuh Nessa hingga gadis itu terkejut. Cepat-cepat Naura menghapus jejak air matanya, jangan sampai air mata ini
terlihat. Nessa memandang Naura penuh tanya. Naura mengangkat kepala sedikit, "Maaf, Mbak. Saya buru-buru." Tanpa basa-basi, Naura melanjutkan langkah
lagi dengan cepat. Berjalan menuju sepedanya, lalu memutar balik sepeda.
Naura kenapa" Setelah melihat Naura menghilang dari pandangan, Nessa langsung masuk ke dalam rumah.
"Brian... Brian..."
Nessa memanggil di ruang tamu, suaranya yang lantang menggema. Ia harus bertanya kepada Brian, mengapa barusan Naura terlihat begitu sedih. Apa ada sangkut
pautnya dengan Brian"
Merasa teriakannya tidak mendapat jawaban, Nessa berinisiatif untuk datang langsung ke kamar Brian. Siapa tahu dia ada di dalam. Dan benar saja, begitu
kakinya tiba di lawang pintu, Nessa langsung bisa melihat keberadaan Brian yang sedang melamun di tepian ranjang.
Tanpa menunggu lama lagi, Nessa segera menghampiri Brian, berdiri di depannya. Brian yang sibuk dengan renungannya, tidak menyadari kehadiran Nessa.
"Bri, aku mau nanya. Tadi kenapa Naura keliatan sedih gitu" Aku liat tadi dia kayak yang abis nangis." Nessa bertanya dengan sejuta rasa penasaran.


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak tau," jawab Brian singkat.
"Kenapa nggak tahu" Kamu pasti tau. Orang dari tadi dia sama kamu." Nessa tidak puas dengab jawaban Brian.
"Kenapa kamu malah nanya ke aku" Aku sama Naura baru kenal kemarin. Nggak mungkin aku punya masalah sama dia sampai bikin dia nangis."
"Aku kan cuma nanya. Siapa tau aja ada hubungannya sama kamu." Lalu Nessa duduk di sebelah Brian.
"Aku nggak tau apa-apa. Mungkin Naura punya masalah sendiri," lanjut Brian. Ia terunduk, merasa bersalah karena telah berbohong.
"Ooh gitu. Oke besok bakal aku tanya apa masalahnya." Tidak sedikit pun Nessa mencurigai Brian. Brian itu orang yang jujur, jadi kecil kemungkinan dia
berbohong. Lagipula, Brian dan Naura memang tidak mempunyai hubungan apa-apa selain patner kerja.
"Tadi gimana" Sukses?" tanya Nessa memiringkan wajah "Kamu nyaman motret Naura" Hasilnya bagus" Aku nggak sabar nih liat hasilnya."
"Lumayan." Brian menganggukan kepala kecil. Terlalu jauh memikirkan Naura, membuatnya kurang menanggapi pertanyaan Nessa hingga jawaban yang dilontarkan
terkesan singkat. Nessa tersenyum mendengarnya, lalu mengangkat kepala. Memandang lurus. "Kamu kok keliatan aneh. Tiba-tiba pelit ngomong gitu. Kamu cuek, Bri." Nessa mengubah
mimik wajahnya. Brian memejamkan mata. Ia juga tidak mengerti. Semua usaha yang selama ini dibangun dan diasah sedemikian rupa, tiba-tiba binasa dalam sekejap. Gagal total,
tak ada yang bersisa. Hanya karena sosok Naura yang datang secara tiba-tiba, menggetarkan hati, mengubah semuanya. Menerbitkan keinginan baru tak berlogika.
Brian harus cepat-cepat sembuh dari amnesia, supaya masalah ini bisa cepat terselesaikan.
"Maafin aku. Cuma..., aku butuh sendiri. Kamu bisa keluar sekarang?" Brian bertanya dengan nada hati-hati. Takut kalau perkataannya menyinggung dan terkesan
seperti mengusir. Permintaan Brian sungguh menohok dada Nessa. Tapi ia tidak mampu menolak, termasuk bertanya tentang apa alasannya. Mungkin memang begitulah keinginan Brian.
Sejenak Nessa menarik napas, "Oke." Dibalik kata 'oke', Nessa menyimpan kekecewaan yang tak akan pernah diketahui Brian.
Nessa beranjak, lalu melangkah pergi menyisakan Brian yang masih terus memikirkan Nauea. Hari ini Nessa masih bersabar menghadapi sikap Brian yang kadang
memang selalu menyakiti hati. Tapi tak apa, suatu saat nanti Brian akan kembali. Kembali menjadi Brian yang semula. Brian yang romantis, Brian yang selalu
membuat dirinya tertawa, Brian yang tak pernah menyembunyikan masalahnya, Brian yang ramah nan hangat. Brian yang sangat mencintai dan menyayanginya dengan
sepenuh hati. Dipandangnya foto berukuran besar---foto yang sama dengan foto yang dulu tak sengaja dipecahkan Naura di ruang tamu, tersemat di dinding kamar Nessa yang
terletak di lantai dasar. Kamar yang jarang ia singgahi dan ditiduri. Hanya datang karena dibutuhkan. Di sini tempat Nessa mencurahkan isi hati. Menangis,
kecewa, dan keaal. Dalam kesunyian, Nessa terus menatap foto itu dalam-dalam. Rasanya ingin masuk ke sana, dan bermain bersama Brian, tertawa bersama. Ketika merindukan Brian,
ia akan datang ke sini. Ketika melihat fotonya, Nessa bisa melihat kembali sosoknya yang dulu. Foto berdimensi lumayan besar itu adalah foto kesukaan Nessa
ketika bersama Brian. Waktu itu Brian pernah bilang, foto ini adalah foto terjelek Nessa. Karena apa" Bukan Brian si fotografer yang memoto.
Tapi lain bagi Nessa, foto ini justru adalah foto paling bagus.
Aku rindu kamu Kalimat itu selalu terucap di dalam hati. Nessa memang masih memiliki raganya, tapi ia sendiri tidak mengenali sosok Brian yang sekarang.
Nessa tidak akan meminta banyak. Ia hanya ingin Brian, ia hanya ingin dia, ingin memiliki dia secara utuh. Sama seperti dulu.
Air mata menetes di pipi Nessa. Tetesannya mengartikan kerinduan terdalam.
"Aku janji bakal nikahin kamu secepatnya."
"Jangan cuma janji-janji. Harus ditepatin."
"Ya pastilah aku tepatin."
"Serius?" Brian mengangguk dengan segala keyakinan.
"Kalau gitu. Kamu sanggup gendong aku sampai rumah?"
"Oh iya sanggup dong demi kamu percaya."
Brian langsung mengubah posisi, berjongkok di depan Nessa, memberi kode yang langsung dimengerti oleh Nessa. Gadis itu tersenyum manis. Itu artinya, Brian
sanggup menggendong sampai rumah. Padahal mereka sedang berada di kantor, baru saja selesai pemotretan. Brian benar-benar menerima tantangannya. Okelah.
Segera Nessa mengalungkan tangan di leher Brian.
"Siap?" "Siaap." Brian berdiri, dengan punggung yang telah ditumpaki Nessa. Mulai berjalan dengan lamban karena tubuh Nessa memang sangat berat. Nessa tertawa.
Tenang, ia tak sekejam itu, mana mungkin ia menyiksa pacarnya sendiri" Ini hanya gurauan semata, dan hanya untuk kesenangan.
"Kapan kita kayak gitu lagi, Bri?" lirih Nessa pelan. Air mata jatuh untuk kesekian kali. "Aku kangen kamu."
*** Naura menenggelamkan pipinya di atas meja tempat ia menulis cerita. Pandangannya kosong dan datar. Di luar, terdengar suara jangkrik bersahutan, menemani
Naura dalam kegelisahan. Sejak insiden tadi sore, membuat Naura sering melamun, melupakan aktifitas-aktifitas di rumah. Ciuman itu masih terbayang dengan
begitu jelas. Hanya satu keinginannya, agar Nessa tak akan pernah tahu tentang ciuman Brian yang Naura rasa sama seperti ciuman Adrian.
"Bahkan, sampai kamu meninggal pun, kamu masih kasih aku permainan. Sebuah permainan teka-teki yang sulit aku temui rangkaian jawabannya. Tentang kamu
yang masih hidup, atau nggak. Tentang kamu yang sebenernya Brian, atau bukan."
Semua rangkaian perjalanan hidup orang adalah bagian dari takdir. Tak perlu mencari alasan dan kesalahan. Karena takdir adalah kunci jawabannya. Seperti
cerita yang ditulis oleh sang penulis novel, semua adegan dan konflik telah diatur sesuai keinginan si penulis, dan para tokoh fiksi tak bisa berbuat apa-apa,
mereka bermain dalam naungan author. Begitu pun dengan hidup, semua kejadian telah diatur oleh Tuhan.
Naura hanya bisa berpasrah pada-Nya. Ia yakin, suatu saat akan menemukan jawaban.
Sesi pemotretan berjalan mulus setiap harinya. Meski Naura dan Brian jarang terlibat dalam percakapan. Keduanya sama-sama kaku. Setelah Brian mengungkapkan
isi hatinya, Naura menjadi sedikit menjaga jarak, menjauh. Selalu menolak ketika Brian ingin mengajak berbicara. Naura tidak mau merusak pertemanan yang
baru dijalin dengan Nessa.
"Kamu keliatan keren, loh." Nessa memuji ketika sedang melihat-lihat majalah. Di antara model-model yang memakai baju produk perusahaannya, ada Naura yang
sangat menarik perhatian Nessa. Karena bagaimana pun, posisi Naura adalah sebagai pengganti dirinya.
Naura tersenyum kecil. Brian yang menyetir di depan sesekali mengamati Naura lewat kaca spion. Tak pelak Naura juga sering memergoki mata Brian di kaca
spion sedang menatap ke arahnya. Kefokusannya terbagi menjadi dua, mendengarkan pujian-pujian dan kritik Nessa, juga berusaha keras menghindar dari pandangan
Brian. "Saya emang nggak salah deh pilih kamu. Cuma nanti, kamu harus keliatan lebih gaya. Nggak usah sungkan-sungkan atau ragu-ragu. Saya yakin suatu saat nanti
kamu bakal terbiasa."
"Hmm makasih, Mbak."
"Eh, Bri!" Nessa memanggil Brian. Brian sedikit menoleh ke belakang.
"Kita jangan dulu pulang. Kita mampir aja dulu ke kedai es campur yang dulu pernah aku datengin sama Naura. Dulu kan aku pernah janji sama kamu mau ajak
kamu ke sana. Nah mungkin sekarang itu waktu yang pas."
Naura dan Brian tertegun secara bersamaan. Ingat, kalau dulu mereka pernah datang ke sana; berdua.
"Kok malah bengong?" pertanyaan Nessa meletupkan keheningan di dalam mobil. "Brian kamu nggak mau?"
"Mau, kok. Oke."
"Saya pulang aja, Mbak. Nggak enak. Nanti ganggu momen berdua kalian lagi."
"Nggak pa-pa. Anggap aja ini sebagai perayaan keberhasilan dan pertemanan kita. Ini bukan acara aku sama Brian, tapi acara kita bertiga."
"Nggak ah Mbak."
"Nauraa." Nessa menatap Naura dengan segala permohonan.
Alhasil Naura tak mampu untuk menolak. Bibirnya bergerak-gerak tak menentu. Berpikir bahwa bagaimana pun ia menolak, Nessa akan tetap memaksa. Naura pasrah.
Mereka bertiga telah berada di kedai es campur. Kedai yang sama dengan kedai yang dulu Naura dan Nessa datangi setelah kejadian pencopetan beberapa hari
yang lalu. "Kamu harus cobain, Bri. Aku yakin kamu bakalan suka," kata Nessa antusias. Karena sejak lama ia ingin sekali mengajak Brian ke sini, tapi selalu tak ada
waktu. Nessa selalu sibuk dengan pekerjaannya. "Ini emang tempat sederhana. Tapi semenjak Naura ngajak aku ke sini, aku suka. Ternyata minuman yang dijual
di kedai sederhana kayak gini jauh lebih enak."
Brian tersenyum mengiyakan. Ia pernah mencicipinya bersama dengan Naura. Dan kali ini, tak apa, ia akan mencicipinya dengan Nessa. Naura ikut tersenyum
melihat Nessa yang amat semangat.
Mata Brian terus tertuju pada Naura. Naura menjadi risi. Semenjak di mobil sampai sekarang pun Brian masih menatapnya seperti itu. Naura takut. Akibat
terlalu sering, Nessa pernah sekali melihat Brian yang sibuk memerhatikan Naura. Tapi Nessa hanya diam, ia tak akan berpikir hal-hal aneh. Seratus persen
ia memercayai Brian. Mereka mulai menikmati es campurnya masing-masing. Diselingi dengan percakapan.
"Kapan-kapan, kamu ngajak pacar kamu aja ke sini. Biar rame-rame," ucap Brian kepada Naura. Gerakan tangan Naura ketika memegang sendok berhenti. Tertegun
selama beberapa detik. "Kamu pasti punya pacar Naura. Itu sebabnya kamu marah waktu ada cowok yang nyoba cium kamu."
Kembali Naura kaget, jemarinya semakin menekan ujung sendok. Brian keterlaluan.
Nessa ikut andil dalam obrolan itu. Matanya bekedip-kedip. Ia kurang paham dengan ucapan Brian.
"Emang siapa cowok yang udah nyoba cium Naura" Kamu ngeliat" Naura pernah bilang kalau dia nggak punya pacar."
"Oh nggak punya pacar. Kirain punya."
Selera Naura untuk memakan kembali es campurnya menurun. Kalau dia Adrian, sudah Naura cakar-cakar mulutnya.
"Kamu udah akrab kan sama Naura?" tanya Nessa kepada Brian. "Aku harap sih kalian bisa cepet-cepet akrab." Nessa menyeruput air es campur dalam sendok.
"Udah. Naura orangnya cukup asyik," jawab Brian lugas. "Kamu pas pilih pengganti. Jadi aku nggak perlu repot-repot beradaptasi."
"Mbak saya pulang duluan, ya. Saya pulangnya biar naik taksi aja." Naura tidak tahan berada di posisi ini. Lebih baik pergi dan terlepas dari mata Brian.
"Saya anterin?" timpal Brian cepat. Kontan Naura dan Nessa memusatkan pandangan kepada Brian di waktu yang sama.
"Nggak usah," kata Naura tegas.
"Kenapa?" "Kalau kamu nganterin saya, nanti Mbak Nessa pulang sama siapa?" tanya Naura. Masih banyak alasan lain yang membuat Naura ingin sekali menolak tawaran
Brian. Tapi tak perlu disebutkan.
"Oh nggak pa-pa. Brian nganterin kamu aja. Biar saya yang naik taksi." Nessa mengimbuhi. "Nggak ada salahnya kan Brian nganterin kamu pulang sekali-kali.
Lagian saya udah biasa pulang-pergi sendirian. Udah Naura nggak usah nolak. Kamu mau ya dianter Brian?"
"Nggak usah, Mbak. Saya nggak mau, lebih baik saya yang naik taksi."
"Kamu takut sama saya?" Pertanyaan Brian membuat Naura tergemap.
"Nggak perlu takut kali Naura. Brian baik, kok." Nessa terkekeh pelan.
Bibir Naura komat-kamit. Kelimpungan sendiri. Iya, Naura takut kepada Brian.
"Ya udah sana. Saya mau pesen satu mangkok lagi. Kalian boleh pulang duluan," lanjut Nessa dengan sangat senang hati. Naura menarik napas. Sampai detik
ini, Naura tidak bisa menolak keinginan Nessa yang telah banyak membantu. Dia telah memberinya pekerjaan bagus dan memadai.
Sepi sejenak hingga akhirnya Naura mau menyetujui tawaran Brian dan Nessa.
Mobil melaju di jalanan kota Jakarta. Langit berubah oren, menandakan turunnya matahari meninggalkan cakrawala. Kendaraan berlalu-lalang dengan tenang.
Setengah perjalanan, Naura dan Brian tak kunjung mengeluarkan suara.
"Tolong berhenti di sini. Saya bisa pulang sendiri. Udah cukup," kata Naura menatap lurus ke depan. Ia masih marah kepada Brian karena telah berani membicarakan
tentang ciuman itu di depan Nessa. Brian tidak menggubris, dia tetap menyetir dengan santai. Sama sekali tidak memedulikan permintaan Naura. Berulang-ulang
kali Naura minta diberhentikan, Brian tetap diam.
"Brian tolong berhenti. Kalau kamu nggak juga injek rem, saya loncat dari sini."
"Emang kamu berani?" Bukannya menurunkan kecepatan mobil, Brian malah semakin ngebut. Naura naik pitam, hidungnya kembang-kempis. Telak. Hari ini Brian
benar-benar menguji emosinya. "Saya orangnya nekad, jadi saya nggak bakal takut. Kalau emang saya mati setelah ini, saya terima. Mungkin itu emang udah
takdir saya." Brian masih menganggap ucapan Naura sebagai lelucon garing. Ia hanya tersenyum sumbang. "Apa susahnya sih duduk manis di sana sampai saya selesai anterin
kamu dengan selamat sampai tujuan?"
Naura mendecakkan lidah. Kesal dalam intensitas tingkat tinggi.
"Kamu nggak percaya?" Naura segera mengambil tindakan. Dia mulai membuka kunci mobil. Brian menoleh dengan tatapan tak habis pikir. Naura memang nekad.
Baiklah dia kalah. Cepat-cepat Brian menepikan mobilnya ke pinggir jalan dan menginjak rem. Otomatis mobil berhenti bekerja. Naura mendesah keras.
"Makasih." Naura melepaskan sabuk pengaman dan bergegas keluar dari mobil. Brian ikut keluar, ia tak akan melepaskan Naura begitu saja. Disusulnya Naura
yang sudah berjalan sangat cepat. Brian meraih pergelangan tangan Naura sebelum terlambat.
"Tunggu Naura!"
"Lepasin!" tanpa ingin berbalik Naura berusaha melepaskan cengkeraman tangan Brian.
"Izinin saya bicara sesuatu."
"Lepasin!" "Nggak saya nggak bakal lepasin kamu. Sampai matahari ganti bulan pun, bulan ganti matahari pun saya bakalan tetep pegang tangan kamu."
Naura mendesis. Tak mampu menahan emosi, ia berbalik dan langsung menampar pipi Brian keras hingga cowok itu memalingkan muka.
"Saya itu nggak kenal sama kamu. Tapi kamu bersikap seolah-olah kamu itu kenal sama saya. Seolah-olah kita itu pernah deket. Seolah-olah saya juga kenal
sama kamu. Kamu kelewatan batas Brian. Waktu dulu kamu neken saya tanpa sebab, saya masih diem. Waktu dulu kamu cium saya, saya masih deim. Tapi kesabaran
saya ada batasnya juga. Kamu bikin saya nggak tenang. Apalagi tadi waktu kamu ngomongin soal ciuman di hadapan mbak Nessa sendiri. Apa kamu nggak punya
hati" Apa kamu nggak punya perasaan Tuan Brian?" Naura mencecar tiada jeda. Sementara Brian hanya bungkam tanpa kata.
"Seharusnya saya yang tanya sama kamu. Kamu itu siapa" Kamu siapa saya sampai berani cium bibir saya tanpa izin?"
"Dan kenapa saat itu saya liat kamu nangis" Kamu pasti ngerasain hal yang sama, kan" Kamu punya ikatan batin sama saya. Cuma kamu nggak mau ngaku."
"Kalau saya boleh milih. Saya lebih baik keluar dari kerjaan ini. Tapi saya bertahan cuma untuk mbak Nessa. Saya nggak mau kecewain dia yang udah maksa-maksa
buat kerja di sana. Jadi saya mohon, tolong jangan ganggu saya lagi. Saya mohon. Jangan bikin saya semakin nggak betah." Naura mengalihkan pembicaraan.
"Nggak bisa Naura. Saya bener-bener butuh kamu." Brian memaksa. "Kamu harus bantuin saya."
"Kamu butuh apa Brian" Saya nggak ngerti sama jalan pikiran kamu. Jangan khianatin kepercayaan mbak Nessa, jangan sakitin dia."
"Saya udah nggak mampu lagi pura-pura cinta sama dia."
"Itu risiko kamu. Jangan libatkan saya dalam problema cinta kamu. Saya ini cuma orang lain."
"Kamu orang yang saya kenal di masa lalu Naura. Saya yakin kamu itu dia."
"Maksudnya apa" Dia siapa?" Naura semakin kelabakan, nyaris kehilangan akal. Brian ini adalah laki-laki paling aneh yang pernah ia temui. Sekaligus laki-laki
yang membuatnya gila setengah mati. Naura mengusap dan menekan keningnya yang mengernyit. Raut wajahnya membersut.
"Sekarang saya lagi amnesia."
Naura terkejut bukan main, matanya tertuju kepada Brian. Deg!
"Sebenernya ingatan saya itu ilang. Dan saya yakin, saya pernah punya kehidupan lain di masa lalu. Kamu adalah salah satu orang yang bikin hati saya hidup.
Bukan Nessa orang yang saya mau. Saya yakin, di kehidupan sebelumnya, saya nggak kenal sama Nessa." Brian berkata sesuai apa kata hati. Dan hanya kepada
Naura Brian berkata jujur.
Begitu Brian menjelaskan, giliran Naura yang mengatup mulut. Jantungnya berdegup lebih kencang. Hilang ingatan" Brian sedang amnesia" Sebuah penyakit di
mana manusia yang mengalaminya kehilangan kepingan-kepingan ingatan yang pernah terjadi sebelum memorinya rusak. Di mana manusia tidak bisa mengenali orang-orang
yang dulu pernah berada dalam hidupnya.
"Saya lagi amnesia. Izinin saya terus ada di dekat kamu. Sampai suatu hari nanti, saya kenal kamu lagi..." kata Brian pelan. Matanya menyorotkan permohonan
terdalam. Naura terdiam, otaknya langsung berspekulasi.
Apa mungkin Brian ini Adrian"
"Saya mohon..."
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 18 - Cemburu. *** "Saya lagi amnesia. Izinin saya terus ada di dekat kamu. Sampai suatu hari nanti, saya kenal kamu lagi..." kata Brian pelan. Matanya menyorotkan permohonan
terdalam. Naura terdiam, otaknya langsung berspekulasi.
Apa mungkin Brian ini Adrian"
"Saya mohon..."
Mata Naura menyipit. Garis berlipat tercetak di keningnya. Kakinya melangkah kian mendekat seiring dengan menghilangnya kernyitan di dahi. Matanya menatap
mata Brian dalam. Berusaha mendapatkan sebuah jawaban. Ketika terbakar amarah, Naura selalu melihat mata Adrian, di sana ia akan menemukan jawaban; entah
Adrian sedang berbohong atau sedang jujur. Dan sekarang, lain halnya, Naura berharap agar bisa menemukan mata Adrian di manik mata Brian. Mata yang sama,
selalu mengisyaratkan keteduhan. Seakan melihat orang yang sama. Meski kadang wajah mirip, tapi kita tetap bisa membedakan satu sama lain. Barangkali lewat
bisikan hati, atau tatapan mata. Atau mungkin, lewat intuisi.
"Apa kamu inget kalung ini?" Naura bertanya, memegang kalung yang melingkar di dadanya, diangkatnya kalung itu agar terlihat oleh Brian. "Kamu inget barang
ini?" "Apa bener" Dulu kamu punya hubungan sama saya" Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita?" Brian malah balik bertanya. Seperti baru saja mendapatkan petunjuk
yang akan membawanya pada kebenaran.
"Saya tanya, apa kamu inget sama kalung ini?"
Brian terdiam, sama sekali tidak mengenal kalung yang dipamerkan Naura. Kalung itu sangat asing, ia tidak merasakan apa-apa terhadap benda itu.
"Dulu kamu kasih kalung ini ke saya. Kamu ninggalin saya gitu aja. Tanpa pamit dan penjelasan yang pasti. Kamu bikin saya sedih. Kamu bikin saya terpukul
sama kepergian kamu."
Kini Brian yang bungkam tanpa kata. Tidak mengerti tentang apa yang barusan Naura ungkapkan. Apa dia seburuk itu" Harus meninggalkannya pergi" Sampai sekarang
Naura tidak mau mengenalnya lagi dan memilih untuk tutup mulut. Membiarkan ia terbengkalai dalam amnesianya. Karena kepergiannya yang begitu saja, membuat
Naura marah. Lalu siapakah Nessa"
"Kalau kamu inget semua itu. Tolong temuin saya. Tapi kalau kamu nggak inget apa-apa, jangan harap saya mau ladenin semua kegilaan kamu," lanjut Naura
tegas. Gadis itu lekas berbalik, tapi lagi-lagi Brian mencekal tangannya. Naura menarik napas lewat mulutnya. Jika benar lelaki ini Adrian, lalu siapa
lelaki yang dulu ia lihat telah berwujud sebagai mayat tak bernyawa" Siapa yang datang ke dalam mimpinya" Ya Tuhan!
"Maka dari itu, kamu harus bantu saya buat inget semuanya! Saya yakin itu. Maafin saya kalau waktu itu saya ninggalin kamu. Tolong kasih saya satu kesempatan
lagi." Naura berusaha melepaskan tangan Brian yang terus menggenggamnya tanpa suara.
"Kamu siapa saya" Kamu pacar saya" Kamu sahabat saya?" tanya Brian di tengah kesibukannya saat berusaha mencegah kepergian Naura. "Naura!"
"Kamu suami saya," penggal Naura yang mempu melonggarkan cengkeraman tangan Brian. Naura memanfaatkan kesempatan itu untuk segera lepas dan berlari sekencang
mungkin. Terlalu syok, Brian terkelu. Bahkan tangannya masih menggantung di udara. Pandangannya datar. Lupa kalau ia harus mengejar Naura agar mendapatkan
penjelasan lebih rinci. Pria itu terpaku, seakan seluruh anggota tubuhnya dililit tanaman liar. Jiwanya serasa ditikam
Suami" Dia suami Naura"
Naura berhenti sejenak setelah yakin kalau Brian tidak mengejarnya, menyangga tangannya di batang pohon, mencoba berpikir keras. Matanya memicing, merutuki
kebodohan karena telah mengaku kalau Brian itu suaminya. Kata-kata itu keluar secara refleks, tak terkendali. Mengapa hatinya memaksa untuk memercayai
kalau Brian itu Adrian" Bagaimana kalau semua itu salah"
Rintik-rintik hujan berjatuhan di kepalanya. Naura mendongkak untuk memeriksa keadaan langit yang menggelap. Tak ada waktu lagi, Naura harus secepatnya
tiba di tempat tujuan; rumah Adrian. Naura berlari lagi di tengah gerimis, hari ini juga ia harus mendapatkan jawaban. Terlalu panik sampai tak berpikir
panjang untuk naik angkutan umum agar bisa lebih cepat tiba di sana. Tidak ada waktu untuk berpikir, Naura terus berlari, membiarkan rambut dan bajunya
basah. Yang ada dalam otaknya hanya Adrian dan Brian.
"Permisi!!!" Naura mengetuk pintu rumah keras-keras begitu sampai di teras. "Permisii!!!" suaranya nyaris berlomba dengan suara air hujan yang jatuh di
atas genting. Pintu terbuka dari dalam, dan Naura hanya menemukan sosok salah seorang pembantu yang bekerja di rumah ini, rumah yang pernah ia singgahi selama beberapa
bulan. Bahkan Naura masih mengenal setiap pembantu yang tinggal di sini, begitu pun dengan pembantu itu.
"Non---" "Izinin saya masuk, bapak sama ibunya ada di dalam, kan?" Naura bertanya tanpa menunggu.
Belum sempat pembantu itu menjawab, Naura sudah lebih dulu menerobos masuk ke dalam. Berlari menuju ruang TV, ia yakin keluarga Adrian sedang berkumpul
di sana. Ia akan segera bertanya kepada orangtua Adrian, apakah suaminya yang telah meninggal itu mempunyai saudara kembar" Mungkin saja mereka menyembunyikan
fakta tentang kembaran Adrian dari Angga.
Prang!!! Belinda menjatuhkan gelas yang berisi air putih di tangannya begitu melihat sosok Naura. Kontan Naura mengalihkan pandangannya ke samping, ada Belinda
yang sedang tertegun. "Mama..." Naura cepat-cepat menghampirinya dengan sekujur tubuh yang dipenuhi gelenyar.
"Kamu"! Berani-beraninya kamu..."
"Maaf nyonya, tadi non Naura tiba-tiba masuk, dan saya nggak bisa larang dia," kata pembantu yang barusan membukakan pintu untuk Naura. Kedua jemarinya
bertautan menahan takut, karena selama ini Belinda melarang anggota rumah ini untuk membukakan pintu saat Naura datang. Sebenarnya itu bukan perkara yang
sulit, karena Naura sendiri tidak pernah datang, dan ini untuk pertama kalinya Naura datang secara terang-terangan.
"Keluar kamu, jangan panggil saya Mama!" berang Belinda sinis.
"Tante izinin aku ngomong sesuatu sama tante, ini penting."
"Keluar!!" mata Belinda melotot, membuat Naura menelan air liurnya. Sebegitu bencikah mantan mertuanya ini kepada Naura" Bahkan sampai sekarang pun perempuan
yang telah melahirkan Adrian itu enggan bersikap ramah, masih saja sinis, dingin dan selalu murka.
Sentakannya mampu membuat Naura menyengap, bisu di tempat. Harapan untuk mendapatkan maaf telah pupus. Kilatan mata itu masih terlihat begitu kentara,
suaranya yang lantang nan menyakitkan bertalun di gendang telinga.
"Keluar kamu dari sini. Sekali lagi kamu injakan kaki kamu di rumah ini, saya nggak akan segan-segan untuk laporin kamu ke polisi. Karena gara-gara kamu
anak saya meninggal!" Kedatangan Naura membuat Belinda kembali menengok ke masa lalu. Waktu di mana ia kehilangan harta paling berharga yang tiada gantinya.
Sesuai dengan janjinya, ia tak akan pernah mau memaafkan dia.
Naura memejamkan mata. Ini kebodohan kedua kalinya yang ia lakukan. Untuk apa ia datang ke sini" Toh, ia tak akan mendapatkan informasi apa-apa. Yang ada,
Naura malah mendapatkan hujatan nyata. Naura sendiri tidak tahu apa yang membuatnya memantapkan hati untuk datang ke sini. Seperti orang gila yang kehilangan
akal, tak tahu arah jalan, tersesat di gua kebencian. Naura mendundukkan kepala, semua kata-kata yang terkumpul dalam lidah hilang dalam waktu tak kurang
dari satu detik. "Keluar dari rumah saya!"
Belinda langsung mengangkat tangan ketika Naura mengangkan kepala dan ingin bersuara. Hingga gadis itu kembali menutup mulut. Merasa tak mungkin mendapatkan
kesempatan berbicara, perlahan Naura mulai berbalik dengan langkah lamban, menahan air mata. Pasrah. Bukan karena menyesal gara-gara gagal mencari informasi,
melainkan sedih karena sampai sekarang Belinda masih menyimpan dendam. Iya, Naura yang telah menyebabkan bencana ini. Sebelum meninggalkan rumah mantan
mertuanya, Naura melihat foto Adrian yang terpajang jelas di dinding. Cowok itu tersenyum tanpa beban, sementara di sini Naura belingsatan sendirian. Naura
membayangkan kalau Adrian ada di sini, lelaki itu pasti akan menghapus air matanya, membela istrinya yang bodoh ini saat disentak mertuanya yang galak.
Sungguh Naura sangat merindukan saat-saat menakutkan dan indah itu.
Angga baru saja turun dari tangga, melihat sesosok perempuan yang baru saja menghilang di balik pintu. Pandangannya beralih pada mamanya yang hendak beranjak
dari pijakannya. Jelas, Angga mengenalinya.
"Naura?" "Anak itu bener-bener. Berani-beraninya dia dateng ke sini," umpat Belinda dongkol. Angga langsung mendekat untuk bertanya.
"Dia Naura, Ma?"


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya! Mama nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba dateng. Mama nggak mau liat dia lagi, Mama langsung usir dia."
Angga bergegas berlari untuk mengejar, untuk bertanya apa maksud dari kedatangannya. Lagipula di luar hujan turun dengan sangat deras. Tak baik untuk kesehatan
Naura. "Mau kemana kamu?"
"Ngejar Naura."
"Buat apa kamu ngejar dia" Jangan." Belinda melarang. Berdiri di depan Angga untuk menghalanginya. "Buat apa kamu ngejar dia, hm?" tanya Belinda penuh
selidik. Ia bisa melihat kegelisahan yang terpancar lewat mata hitam Angga. "Kamu masih inget sama perempuan itu" Jangan bilang kamu mau belain dia sama
kayak waktu itu?" "Kasianlah, Ma! Kasian di luar itu hujan. Mama kok tega banget sih ngusir Naura?" Angga bertanya untuk mengindari pertanyaan penuh penyelidikan yang disampaikan
Belinda. Memilih zona aman ketika diinterograsi. "Nggak seharusnya Mama ngusir Naura, siapa tau dia dateng karena ada kepentingan mendadak. Seharusnya
Mama "Siapa yang lebih tega" Dulu perempuan itu yang udah ngerenggut adik kamu, dan sekarang kamu nuduh Mama tega sama dia?" mamanya menyela dengan berbagai
tuduhan tak nyata. Tuduhan yang selama ini bercokol dalam jiwanya. Selalu menyalahkan Naura atas kepergian putra kesayangannya. Padahal, bukanlah seperti
itu realitanya. "Harus berapa kali Angga jelasin ke Mama" Kalau kematian Adrian itu murdi takdir, bukan karena Naura." Angga masih setia mengenyahkan segala pikiran buruk
tentang Naura dari benak mamanya yang keras kepala. Ia nyaris kehilangan akal, bagaimana cara menyadarkan Belinda.
"Dan mau sampai kapan kamu belain dia terus?"
"Sampai Angga mati."
Terpancinglah emosi Belinda, perempuan itu langsung menampar pipi Angga dengan spontan, suaranya mengejutkan pembantu yang sedang membersihkan pecahan
beling tak jauh dari mereka, ia terperanjat. Baru pertama kalinya menyaksikan Nyonya Belinda menampar keras putranya yang tinggal tersisa satu. "Jangan
pernah kamu ngucapin soal kemataian. Kamu mau bikin Mama gila" Mama udah kehilangan Adrian dan kamu jangan nambah-nambahin masalah lagi!" Nada suaranya
terdengar gemetar dan penuh intimidasi.
Angga masih melengos, merasakan pipinya yang panas akibat tamparan yang mendarat beberapa detik ke belakang. Bukan karena tamparan itu yang membuat Angga
bergeming, melainkan kata-kata yang barusan dilontarkan mamanya. Begitu menikam hati. Angga sendiri bisa merasakan betapa rapuhnya Belinda akibat kepergian
Adrian, tapi mamanya itu tak pernah tahu betapa sayangnya Angga kepada perempuan yang telah merawatnya sejak kecil hingga sebesar ini. Dia selalu menganggap
kalau anaknya ini tak pernah peduli, hanya memikirkan Naura yang jelas-jelas telah menjadi bibit dari semua masalah yang semakin lama semakin rumit.
"Kalau kamu masih tetep belain Naura, jangan harap Mama mau ngakuin kamu sebagai anak." Belinda berkata tegas dengan aksen ancaman. Lalu pergi meninggalkan
Angga yang masih terdiam kutu.
Pembantu yang masih berada di sana buru-buru berlari ke dapur untuk mengambil pengki dan sapu.
Hujan turun lumayan lebat, namun Naura tidak memedulikan air-air langit yang telah membasah kuyupkan seluruh tubuhnya. Terlampau dalam kesedihan dan kesesakan
dada. Dan tanpa terduga, Brian mengikuti Naura sejak tadi. Mobilnya terpakir tak jauh dari rumah yang baru saja disinggahi Naura. Rumah besar itu begitu
familier, tapi Brian tak mampu mengingat di mana dan kapan pernah melihat rumah semegah itu.Tidak, Brian harus terfokus kepada Naura yang kedinginan. Begitu
ingin menancap gas, ada satu pemandangan yang membuat Brian menyendat niat. Di sana, ada seorang laki-laki berdiri di belakang Naura, berbagi payung. Yang
mendapat teduhan menghentikan langkah.
Siapa lelaki itu" Naura berbalik, mendapati tubuh laki-laki yang berdiri begitu dekat. Tubuhnya tinggi, dan Naura hanya mempu melihat dadanya saja, namun ia begitu mengenalinya.
"Maafin Mama, Naura." Angga berkata pelan. Naura bisa mendengarnya walau suara air hujan belum juga mau mereda. Gadis itu melipatkan bibir, sekelebat kenangan
bermain dalam angan-angan. Walaupun dulu Naura memiliki rasa tidak suka terhadap Belinda, tapi jujur, dulu ia begitu menyayanginya. Dan sekarang ketika
mengetahui bahwa perempuan yang telah dianggap sebagai ibu kandung sendiri masih sangat membencinya. Sedikit saja
Angga membawa Naura ke dalam rengkuhannya. Suara penuh tekanan dan kesumat masih berdengung di telinga Naura, sangat menyakiti hati.
Di dalam mobil, Brian merapatkan pegangannya pada stir mobil, kian erat. Otot-otot dalam buku-buku jarinya mengeras. Naura jelas bukan siapa-siapanya,
tapi ketika melihat ia dipeluk lelaki lain, ada rasa cemburu yang membara secara tidak wajar, di luar daya. Dan yang lebih menyakitkan, matanya menyaksikan
bagaimana Naura membalas pelukan lelaki asing itu. Brian mengetatkan gerahamnya. Satu pertanyaan muncul dalam kepalanya.
Apa dia kekasih dari Naura"
"Mama Belinda masih benci banget sama aku, Kak. Aku nggak tau gimana caranya supaya aku bisa dapetin maaf dari dia. Aku masih anggap dia sebagai mertua
aku, meski aku tau, kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi." Naura mengeluarkan isakannya, beruntung ada air hujan yang mampu menutup air mata yang
jatuh di pelupuk mata. Ini kesempatan bagi Angga untuk memberikan pelukan hangat kepada Naura. Karena sejak dulu, Naura enggan menerima pelukannya.
Brian memutar balik mobil, tak kuat menahan gejolak api cemburu. Lelaki itu kesal bukan karena melihat pelukan Naura, melainkan kesal mengapa dirinya begitu
tidak merelakan Naura berhubungan dekat dengan laki-laki lain. Jika memang benar kalau dia adalah suami Naura, berarti wajar Brian merasakan cemburu ini.
Mobil Brian tiba di gerbang rumah, Brian berhenti sejenak. Bayang-bayang pelukan itu masih menghantui pikirannya, begitupula dengan kata-kata Naura yang
begitu membingungkan. Brian mengusap wajahnya. Berusaha menjernihkan pikiran. Pintu gerbang terbuka secara otomatis, mobil kembali melaju memasuki pekarangan
rumah. Di kamar, Nessa mengintip kedatangan Brian lewat jendela dengan pandangan datar tanpa ekspresi. Ini sudah larut malam, dan Brian baru tiba di rumah setelah
mengantarkan Naura pulang. Rasanya, wajar jika Nessa menyimpan curiga. Memang apa yang mereka lalukan di sana" Nessa menutup kembali gorden. Berbalik dan
melihat layar ponsel yang sedari tadi berada dalam genggamannya.
Tiga panggilan darinya tidak Brian jawab. Tapi... apakah Brian membaca SMS-nya"
Nessa melangkah, membuka pintu kamar. Kebetulan Brian sedang lewat. Seperti biasa, Nessa menyambut kedatangan Brian dengan senyuman. Agar aura kekariban
tetap terjalin. Meski sebenarnya Nessa sedang kecewa.
"Baru pulang, Bri?"
"Hmm." Brian tersenyum sebagai jawaban. Wajahnya terlihat lelah dan tak bersemangat.
"Pesenan aku mana?" Nessa menjulurkan tangan, seperti bos yang meminta jatah kepada bawahannya. Namun bedanya, aura yang dimiliki Nessa begitu berbeda,
terlihat sangat manis. Reaksi yang diluncurkan Brian membuat Nessa mengernyit. Karena Brian hanya diam, seumpama murid yang diberi pertanyaan rumit nan asing dari gurunya.
"Pesenan?" tanya balik Brian hati-hati.
"Kamu nggak baca SMS aku?"
"Maaf Nes, hp aku barusan lowbet. Jadi SMS kamu nggak kebaca," kilah Brian supaya cepat.
Brian adalah orang yang selalu dipercayai oleh Nessa. Tapi kali ini, jelas terlihat bahwa Brian sedang berbohong. Kalau hp-nya lowbet, mengapa ketika Nessa
menelepon, telepon Brian langsung tersambung. Dan sang operator mengatakan, 'nomor yang anda tuju tidak menjawab'. Apa yang membuat Brian menjadi bego
seperti ini" "Oh gitu, ya." "Sekali lagi aku minta maaf. Ya udah, aku ke kamar dulu. Ngantuk." Brian melangkah lagi, menggerakan kepalanya, mungkin Brian memang sedang lelah. Meninggalkan
Nessa dalam keheningan. Gadis itu memejamkan mata sembari menggeleng.
"Kamu jahat banget Bri sama aku," gumam Nessa dengan laun. Sosok Brian telah menghilang dari pandangannya. Menyisakan kecurigaan mendalam. Nessa masuk
kembali ke dalam kamar. Ruangan kembali lengang seperti tak berpenghuni.
Brian menutup pintu. Bersandar dengan bahu tak tegak. Besok ia harus bertemu lagi dengan Naura, dan setelahnya ia akan mencoba berbicara dengan Nessa tentang
masa lalunya. Semoga Nessa mau mengerti. Pernah sekali Brian bertanya tentang masa lalunya kepada Nessa. Dan berakhir dengan pertengkaran.
"Kamu itu pacar aku Brian! Kita hampir aja menikah sebelum kamu ngalamin kecelakaan satu tahun yang lalu. Kecelakaan itu ngerenggut semua ingatan kamu,
terutama kenangan tentang aku. Tentang cinta kita. Awalnya begitu manis, tapi setelah kamu sadar dari koma, kamu lupain aku. Dan kamu tau betapa sakitnya
hati aku waktu itu" Dan sekarang kamu ngeraguin aku" Kamu ngeraguin keberadaan aku" Kamu mikir kalau aku tuh orang lain yang ngaku-ngaku jadi orang paling
berharga di hidup kamu" Aku selalu sabar ngadepin setiap perlakuan cuek kamu, kurang apa aku Bri sama kamu. Aku undur tanggal pernikahan kita, demi kamu.
Demi keyakinan kamu. Tapi apa yang kamu bales" Kamu nanya..." Nessa menyimpan pandangannya ke bawah. "Apa dulu kita saling cinta" Apa cuma kamu yang aku
cintai" Nggak ada orang lain" Jujur..., aku ngerasa asing di dekat kamu." Nessa menatap Brian lagi. "Punya salah apa aku sama kamu" Kamu nggak percaya
sama bukti-bukti yang udah aku tunjukin?" mata Nessa menyalang, ada gelembung bening di kantung matanya. Warna putih di matanya sedikit merah.
Setelah itu Brian membawa Nessa ke dalam pelukannya. Sungguh ia sangat merasa bersalah dengan pertanyaan yang telah menyinggung Nessa dengan begitu telak.
Brian menyesal. Tidak seharusnya pertanyaan itu meluncur di mulut yang terlalu jahat ini. Nessa menangis sesenggukan di bahu Brian. "Percaya sama aku,
Bri. Tolong percaya sama aku." Brian mengelus rambut panjang Nessa.
Si satu sisi Brian ingin memercayai Nessa, tapi di sisi lain ada Naura yang telah menggetarkan hatinya hingga berani mencium bibirnya. Jadi mana yang harus
Brian percayai" Kepada hati, atau kepada realita"
Bersambung. "Your Eyes. By: Jaisii Quwatul. Chapter 19 - Aloe Vera. *** Cahaya matahari di langit berpendar menerangi bumi. Brian mengutuki diri karena bangun kesiangan. Hari ini adalah jadwal pemotretan bersama Naura, tentu
Brian harus memanfaatkan kesempatan ini untuk bertemu dengan Naura. Dan yang lebih menyebalkan, hampir 10 menit ia tak kunjung menemukan kunci mobilnya.
Padahal kemarin malam Brian simpan di atas nakas sebelah tempat tidur. Ke mana perginya kunci mobil itu" Dia tidak bernyawa, kan" Bagaimana mungkin bisa
berpindah tempat dengan sendirinya" Kecuali ada roh jail yang sengaja menciptakan lelucon.
Brian hampir mengira dirinya memiliki penyakit alzeimer. Atau mengira dirinya sudah tua gara-gara lupa menyimpan barang. Tidak, tidak. Itu tidak mungkin.
Jelas-jelas Brian ingat di mana ia simpan kunci mobilnya. Brian berada di ruang tengah, siapa tahu kunci itu tergeletak di atas laci atau sebelah TV. Tapi
nihil, barang yang dicari tidak juga ditemukan. Ini benar-benar menghambat waktu.
"Kamu cari ini?" suara elegan perempuan yang Brian kenal memecah keheningan. Brian langsung menghentikan aksi pencariannya, mengalihkan pandangan kepada
Nessa yang sedang bersandar santai di pilar, memamerkan kunci mobil yang sedari tadi Brian cari. Akhirnya. Cepat-cepat Brian melangkahkan kaki lebar untuk
mengambil kunci mobil dari tangan Nessa.
"Ngapain kamu ngumpetin kunci mobil aku?" tanya Brian, hendak mengambil alih barang yang menggantung di matanya. Tapi Nessa malah menjauhkan benda itu
dari jangkauan Brian. Menimbulkan kernyitan di keningnya.
"Kamu mau ke mana sih, Bri" Keliatan gelisah gitu. Santai aja kali. Kalau kamu telat, lagian aku kan bosnya. Jadi tenang aja, nggak usah cemas. Kamu nggak
bakal aku pecat, kok." Nessa berkata superkalem, diakhiri dengan senyum yang sulit dimengerti. Mengundang kernyitan lebih dalam di dahi Brian.
"Siapa yang takut telat sih, Nessa" Aku harus dateng tepat waktu. Nggak ada waktu buat main-main. Sini kunci mobilnya," pinta Brian berusaha sabar. Entah
mengapa semenjak kemarin malam mood-nya turun tanpa sebab. Malas menanggapi candaan Nessa. Menyadari waktu yang semakin menyempit sebagai menifestasi atas
ketidaksabarannya untuk segera bertemu dengan Naura.
"Nggak mau. Hari ini libur. Mending sekarang kita pergi jalan-jalan. Pergi shooping buat beli segala keperluan pernikahan kita nanti. Aku udah nggak sabar
bisa milikin kamu seutuhnya."
Mata Brian menyalang. Hah"
"Kok kamu kayak kaget gitu, sih" Aku bener, kan" Bukannya kita emang mau nikah" Kenapa kamu seolah-olah baru kali ini aku ajak nikah" Kita udah omongin
masalah pernikahan jauh-jauh hari, lho. Dan dalam waktu dekat ini, Papa aku bakalan pulang. Kamu jangan kecewain dia, ya. Dia pulang buat jadi wali di
pernikahan kita." Cetusan itu terdengar enteng tanpa beban di mulut Nessa. Tanpa menghargai kesepatan yang telah dibuat jauh-jauh hari.
Brian menyipitkan mata tidak mengerti. Omongan macam apa itu" Terlalu mendadak dan Nessa sendiri belum pernah mengungkit masalah pernikahan akhir-akhir
ini. Dan sekarang" Dia tiba-tiba mengajaknya menikah sampai harus melibatkan papanya yang sedang bekerja di luar negri" Tentu akan menyebabkan masalah
besar jika Brian menolak.
"Kok malah bengong" Ayo tunggu apa lagi" Kita berangkat sekarang."
"Maaf aku nggak bisa."
"Nggak bisa?" ritme suara Nessa terdengar penuh dengan kedamaian. Seperti menerima baik penolakan Brian, meminta alasan yang jelas. "Maksud kamu apanya
yang nggak bisa" Pergi belanja?" Nessa masih berpikir positif dengan suara lembutnya. Berpikir kalau Brian tak akan mungkin berani menyakitinya.
"Aku nggak bisa nikah sama kamu," jawab Brian setengah tak enak hati. Merunduk pasrah. Dengan berat hati dan penuh keberanian ia memutuskan. Siap menerima
risiko atas penolakannya yang pasti akan membuat Nessa kecewa sekaligus terluka. Tapi ini adalah jalan terbaik, supaya Nessa bisa berhenti berharap. Nessa
baru saja dijatuhkan ke dasar daratan yang dipenuhi bebatuan setelah sekian lama berada di atas langit. Pandangannya terpaku ke arah Brian. Tapi... tenang
saja, itu hanya khayalan Nessa semata. Karena pada kenyataannya, kejadian itu tak akan pernah terjadi. Ia akan berusaha mempertahankan kedudukannya.
Bukannya menunjukan kekecewaan, Nessa malah terkekeh ironi. Membuat Brian kembali mengangkat kepala dan tercenung. "Apa kamu bilang" Kamu nggak bisa nikah
sama aku" Jawaban konyol apa itu?" ia masih tertawa setengah meremehkan. Penuh dengan cemoohan dan merendahkan. "Inget Brian, kamu itu lagi amnesia. Kamu
bakal terima imbasnya setelah ingatan kamu pulih."
"Nggak seharusnya kita bicarain masalah ini sekarang. Aku harus cepet-cepat pergi, jadi berhenti bercanda. Kita bisa bicara nanti secara baik-baik. Aku
bakal kasih kamu kepastian sejelas-jelasnya. Kita akan ngomong panjang lebar. Sekarang, tolong balikin kunci mobil aku."
"Kamu nggak inget apa" Mobil kamu itu milik aku juga."
"Iya aku tau. Aku pinjem sebentar, bakal aku balikin, bahkan besok aku nggak bakalan pakai mobil itu lagi kalau kamu ngelarang."
"Kamu tau nggak, Bri" Tentang istilah orang baik. Orang baik itu kalau dibaikin sama orang lain dia bisa bersikap lebih baik ke mereka. Bahkan bisa jauuh
lebih baik berlipat-lipat ganda. Tapi sebaliknya, waktu orang baik dijahatin, mereka bakal ngerubah sosoknya, kayak macan yang siap makan mangsanya. Nggak
ada kata ampun buat mereka. Makannya, jangan coba-coba ngusik kenyamanan orang baik."
"Kamu ngomong apaan, sih?" tanya Brian mencoba mencari tahu inti dari tutur kata Nessa yang sulit dimengerti. Perlu dilakukan penelaahan lebih dalam. Karena
banyak menyimpan misteri. "Kita bisa bicara nanti. Aku butuh kunci mobil itu." Brian lebih mementingkan pertemuan penting dengan Naura.
"Buat apa" Bukannya aku bilang kalau kamu itu libur?" nada suara Nessa menajam.
Brian menarik napas sekuat mungkin. Nessa benar-benar telah membangunkan singa yang sedang tertidur pulas. Dia telah menyulut emosinya sampai ke ubun-ubun.
Tapi untung, Brian mampu meredamkan emosi itu dalam diam. Sekarang bukan waktunya untuk bertengkar, dan berakhir dengan guliran air mata di pipi Nessa.
"Aku nggak ngerti sama ucapan-ucapan kamu yang ngelantur dan nggak penting."
"Nggak penting kata kamu"!" Nessa sedikit meninggikan suaranya. Dan ini untuk pertama kalinya Nessa berseru seintens itu di depan Brian. Sikap lembutnya
sirna, tersapu oleh emosional yang entah apa penyababnya.
Brian langsung mengambil paksa kunci mobil yang berada di genggaman Nessa. Tak ada cara lain. Permohonan yang diungkapkan lewat mulut tak akan membuahkan
hasil. Sia-sia. Perempuan itu menyimpan tangannya ke belakang, enggan memberikan barang itu dan melangkah mundur. "Aku bilang nggak mau ya nggak mau!"
kakinya melangkah sedikit demi sedikit. Seolah benda yang disembunyikan sedemikan kuat itu adalah benda paling berhaga dan tak ternilai harganya. Dan Brian
adalah sosok penjahat yang berusaha merebutnya tanpa permisi. Tidak melalui prosedur.
"Balikin, Nes!" Brian terus berusaha mengambil alih kunci mobilnya, terpaksa harus mencengkeram tangan Nessa, memaksa dia agar mau membuka kepalan jarinya.
Walau terkesan kasar dan menyakiti Nessa, ia tidak peduli. Sampai akhirnya, Nessa mengalah, terpelantinglah kunci itu ke bawah, bersentuhan dengan lantai.
Gerakan mereka berhenti secepat kilat. Suasana hening mencekam. Nessa tidak memedulikan tatapan mata membunuh yang menguar dari kedua iris hitam Brian.
Lekas Brian memungut kunci yang mendarat di sebelah kaki Nessa dengan membungkuk. Brian menegakkan tubuhnya lagi, memandang wajah tanpa mimik milik Nessa
sekilas. Lima detik selanjutnya, Brian melangkah lagi. Terlihat jelas gurat kecewa yang tercetak di wajah Brian. Nessa mengepalkan kedua tangan dengan
rahang mengeras setelah mendengar suara hentakan pintu yang menggema di ruangan. Semua kesabaran, kebaikan, keyakinan, keteguhan, kelembutan, haruskah
dibayar dengan cara seperti ini" Ternyata kebebasaannya membuat Brian berpaling.
Orang baik adalah orang terlemah. Hingga tidak menyadari, orang terdekat mereka adalah para makhluk yang bisa kapan saja mengkhianati. Terlena oleh pikiran
positif. Tanpa memikirkan posisi.
"Aku tau kamu keluar cuma mau ketemu sama Naura," gumam Nessa menyimpan amarah yang dibiarkan menggumpal di dada. Ada rasa murka bercampur menyesal. Geram
tapi tak mampu berbuat apa-apa. Laksana orang gila yang tak bisa mengamuk mengeluarkan amarah yang berkecamuk di dada karena kakinya dipasung dan kedua
tangannya diborgol. Diliriknya foto dia ketika bersama Brian yang bertengger di atas laci. Nessa mengambil foto itu, memandangnya intens, lalu melemparnya
tanpa perasaan ke bawah, hingga foto penuh keakraban dan cinta itu keluar dari bingkainya. Pecahan kacanya berserakan ke mana-mana. Teringat saat dulu
pertama kali Naura datang ke rumah ini, memecahkan foto yang sama. Apa mungkin sejak saat itu Naura jatuh cinta kepada Brian" Satu tetes air mata jatuh
membasahi pipi Nessa yang memerah. Dikhianati seperti ini rasanya sangat sakit.
Brian tiba di lokasi. Lewat satu jam ia tidak menemukan Naura di sana. Apa mungkin Naura terlambat" Tidak mungkin. Atau mungkin lagi Naura pergi karena
lama menunggu" Berbagai terkaan berjatuhan di benak Brian. Sebenarnya ada model lain yang bisa Brian potret, tapi tujuan utama Brian adalah bertemu dengan
Naura. Lelaki itu segera meninggalkan tempat itu, mencoba menghubungi Naura. Semua pertanyaan yang mengganggu jiwanya hanya akan bergantung kepada jawaban
Naura. *** 'Kamu jangan kerja lagi di tempat saya. Mulai hari ini kamu saya pecat.'
Tangan Naura gemetaran begitu selesai membaca isi pesan yang dikirim dari Nessa. Ada apa" Mengapa Nessa mendadak memecatnya" Dan apa dia setega itu" Naura
menatap lurus ke depan. Langkahnya tersekat di ambang pintu, ekspresinya tak terbaca. Sebenarnya Naura bersyukur atas pemecatan ini, itu artinya ia tak
akan pernah bertemu dengan Brian lagi. Tapi yang menjadi pertanyaan dan mengganjal di otak adalah, tentang alasan mengapa Nessa tiba-tiba memecatnya dengan
kalimat sesinis dan sedingin itu. Tanpa memberikan penjelasan singkat apalagi gamblang. Naura ingin membalas pesannya 'Lho kenapa, mbak"' Tapi ia meragu.
Sepertinya percakapan tidak bisa dibicarakan lewat SMS, ia harus bertanya secara langsung.
Tiba-tiba Naura teringat sesuatu. Kemarin malam Angga menyuruh Naura untuk datang ke salah satu Kafe yang tak jauh dari kantor tempat ia bekerja. Ada satu
hal penting yang ingin ia bicarakan. Segera Naura mengirim pesan kepada Angga, ia bisa menemuinya sekarang. Itu pun jika Angga bisa. Jika tidak, Naura
akan setia menunggu. Sekaligus ingin menceritakan tentang Brian kepadanya, ia tidak bisa menanggung beban ini sendirian.
Naura bergegas meninggalkan rumah. Dikuncinya pintu karena ayahnya sudah berangkat bekerja.
Ponsel Naura bergetar ketika benda itu berada dalam tas mini yang diselendangkan Naura ketika mengayuh sepeda. Hingga Naura tidak sadar kalau beberapa
panggilan dari Brian masuk ke teleponnya. Perempuan itu sibuk mengayuh dengan mimik wajah tanpa beban. Padahal, masalah besar sedang menimpanya. Begitulah
Naura, selalu menghadapi masalah dengan tenang.
Brian mendecakkan lidah ketika menyetir, Naura tak kunjung mau mengangkat teleponya. Padahal ini penting. Ia harus meminta penjelasan atas pengucapan Naura
kemarin, saat dia menyebutkan bahwa dirinya adalah suaminya. Sungguh membingungkan bukan" Antara Nessa dan Naura, manakah yang harus ia percayai" Semua
terasa ambigu. Di saat seperti ini pula Nessa mengajaknya menikah, menarik kembali janji. Kepala Brian seakan ingin meledak.
Begitu masuk ke dalam kafe, Naura kira ia tak akan menemukan sosok yang dikenal. Semua orang pasti akan terlihat sangat asing dan sibuk dengan kegiatan
masing-masing. Tapi nyatanya, ada seorang pria berjas hitam yang bersedekap di kursi yang dikhususkan untuk dua orang. Kak Angga, ya, itu kak Angga. Dia
sedang menyendiri dalam kafe yang sepi nan tenang, dikarenakan ini bukan jam istirahat bagi para pekerja kantoran. Naura mengembangkan senyum. Tidak menyangka
kak Angga tidak mengizinkan Naura untuk menunggu. Laki-laki yang begitu menghormati perempuan. Dilangkahkannya kaki menuju meja tempat Angga duduk.
Tanpa melihat Angga yang tidak menyadari kedatangannya, Naura duduk di seberang meja. Dan saat itu, Angga sedang melamun, entah apa yang membuatnya sesulit
itu. Apa yang memenuhi penatnya" Ada masalah besar, kah" Atau mungkin ada sangkut pautnya dengan pertemuan ini"
"Kak Angga?" sapa Naura pelan. Menyisir setiap gurat gelisah di wajah Angga. Refleks Angga langsung tersadar dari lamunannya, matanya mengerjap. Tubuhnya
tampak menegang begitu sadar kalau Naura sudah berada di depannya dengan wajah berseri.
"Eh Naura. Kamu udah dateng." Hanya kalimat itu yang tercetus di bibir Angga. Ia mencoba mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak setelah sebelumnya
merosot. "Kak Angga kenapa" Ngelamunnya dalem banget. Apa yang sebenernya kakak lamunin?"
Angga terdiam seperti memikirkan jawaban tepat. Matanya mengisyaratkan kegetiran.
"Apa yang ada dalam pikiran kakak" Ada masalah?"
"Kamu." Jawaban Angga sukses membuat Naura tertegun. Angga tahu itu akan mengejutkan Naura, diangkatnya kepala, menatap mata bulat Naura yang kini kosong. "Izinin
kakak jadi Adrian ke dua di hidup kamu," lanjutnya penuh permohonan. Angga sudah memikirkan tindakan mendadak ini secara matang-matang. Pendar cahaya di
wajah Naura meredum. Angga sudah kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya. Langsung kepada inti mungkin lebih baik dan melegakan. Tangan kanan
Angga terangkat, menyentuh rambut bagian belakang Naura, dan melepaskan ikatan rambut yang mengikat seluruh helaian rambut Naura yang hitam dan lembut.
Selanjutnya, rambut panjang Naura pun tergerai, membingkai wajah Naura yang cantik alami. Naura sedikit terkesiap.
"Kamu cantik. Dan kamu cuma nunjukin kecantikan kamu ini untuk Adrian seorang. Kamu nggak bisa berbagi hal indah itu untuk aku?" Angga menyebut dirinya
'aku', bukan 'kakak' seperti biasa. Membuat Naura menelan air liur. Bukan pertemuan penuh kecanggungan dan itimidasi seperti ini yang ia mau. Ini sungguh
di luar keinginan. "Naura" Apa kamu mau terima cinta aku?" Untuk yang kali ini, Angga tidak siap untuk menerima penolakan.
Tubuh Naura menegang, ada gelenyar yang menimbulkan panas luar biasa. Wajah kaku melumuri romannya yang putih pucat. Kedua tangan yang berada di atas meja,
disentuh Angga, menyebabkan aliran tegangan listrik. Dan cepat-cepat Naura menyembunyikan tangannya ke bawah meja sebelum Angga menggenggamnya jauh lebih
dalam. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Rahang Naura bergetar.
"Kita ketemu bukan buat bicarain masalah itu. Ada... hal yang jauh lebih penting." Suara Naura patah-patah.
"Nggak ada hal yang jauh lebih penting dari ini. Aku cinta kamu Naura, dan sekarang aku ada di ambang keputus asaan. Hati aku cuma milih kamu sementara
Mama terus paksa aku cepet menikah. Aku bingung harus ngambil keputusan yang mana. Aku nggak mungkin nikah sama perempuan yang sama sekali nggak aku cintain.
Apa kamu mau bantu aku Naura" Terima cinta aku dan izinin aku buat bikin hati kamu luluh."
Akhirnya Angga bisa mengungkapkan semua keresahan yang selama ini bercokol dalam sanubarinya. Semua kepenatan yang mengganggu. Dan sekarang semua itu telah
disemburkan, berharap mendapat balasan berupa kelegaan dan sukacita.
"Aku bakal hadapin risikonya. Aku nggak perlu minta persetujuan Mama. Karena aku yakin, aku berhak bahagia. Yang bisa kamu lakuin cuma satu Naura. Biarin
aku ngungkapin semua perasaan cinta dan sayang aku, sampai kamu buka hati yang baru, belajar ngelupain Adrian." Yang bisa Angga tangkap dari mata Naura
adalah, hanya keraguan yang pasti kontra dengan keinginannya. "Aku janji bakal bahagiain kamu sebisa aku. Aku janji bakal jadi laki-laki yang paling sempurna
buat kamu." "Walaupun kakak ngekhianatin adik kakak sendiri?" tanya Naura tak disangka. Dan bagi Naura sendiri, pertanyaan barusan bukan berasal dari mulutnya. Angga
mengerutkan alis. Kenapa Naura harus melibatkan Adrian yang jelas sudah tidak ada" "Maksud kamu?" Angga balik bertanya.
"Emh nggak maksud aku..." bibir Naura berkempul-kempul. "Gimana kalau kenyataannya Adrian masih ada, dan kakak bakalan tetep maksa?"
"Sadar Naura! Adrian itu udah nggak ada. Dia udah meninggal setahun yang lalu. Berhenti berhalusinasi dan hapus angan-angan kamu buat ketemu lagi sama
Adrian!" Kata-kata yang diluncurka. Angga begitu menohok dada Naura. Seolah dia baru saja mengejek Naura yang gila gara-gara kehilangan orang yang sangat ia sayangi.
Angga sadar ucapannya telah menyakiti Naura, tapi memang itulah kenyataannya.
"Emm maaf..." "Aku emang kehilangan Adrian, laki-laki yang aku cintain sampai kapan pun. Tapi bukan berarti aku selalu berharap Adrian hidup lagi dan ngisi hidup aku
lagi dengan cinta manisnya. Aku emang belum ngelupain Adrian, tapi bukan bukan berarti aku kepengen dia bangkit dari kuburan. Aku emang selalu berharap
begitu, tapi bukan berarti kakak bisa nganggap aku orang yang selalu punya angan-angan tinggi yang mustahil untuk aku capai. Aku sadar, aku sadar sekarang
aku hidup sebagai seorang janda, yang kehilangan suami dan calon anaknya..."
"Dan izinin aku ngubah status kamu sebagai istri aku," sela Angga cepat.
Naura yang hampir terisak membeliak.
"Maafin atas semua kata-kata aku yang udah mukul kamu. Tapi apa kamu..."
"Maaf kak aku nggak bisa." Naura memotong dan menggeleng. "Kakak boleh benci sama aku tapi aku emang bener-bener nggak bisa." Naura mulai beranjak dari
kursinya. Ia berdiri tanpa ingin mengambil gelang karet yang berada di tangan Angga. "Dan aku nggak bakal balik benci kakak, kamu bakalan tetep jadi kakak
terbaik aku, sahabat aku."
Begitu Naura akan meninggalkan kafe ini dengan berat hati dan tetesan air mata di sudut mata, langkahnya berhenti. Jantungnya seolah melorot dari rongga
dadanya. Melihat Brian berdiri tepat di depan mata dengan ekspresi penuh perhitungan. Apakah adegan penuh ketegangan ini telah disusun rapi oleh Tuhan
sang pemilik skenario manusia" Naura sedikit melirik ke belakang, mendapati Angga yang masih menunduk, mungkin dia akan menangis karena rapuh. Tidak. Jangan
sampai Angga melihat Brian, jika sampai hal itu terjadi, kemungkinan buruk akan terjadi. Tentu akan menimbulkan kesalahpahaman yang berarti. Angga akan
menggunakan Brian sebagai alasan penolakan cintanya oleh Naura. Naura tidak mau Angga memiliki prasangka buruk. Untuk kali ini, Angga jangan dulu melihat
Brian. Tanpa berucap lagi, Naura langsung berlari melewati Brian. Keluar dari kafe dengan kemungkinan besar Brian yang tadi sempat membuka mulut akan mengejarnya.
Dan benar saja, Brian ikut berlari ke luar, Angga masih merunduk, ia belum sempat melihat keberadaan Brian--adiknya. Hingga di detik terakhir, Angga mengangkat
kepala dan melirik ke samping, punggung salah satu pengunjung baru saja keluar. Entah mengapa ada dorongan yang begitu kuat sehingga Angga harus menengok
ke sebelah pintu masuk. Hatinya seakan tersentil, merasakan kontak batin yang berlangsung selama beberapa detik.


Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beruntung, Brian berhasil mencekal tangan Naura sebelum ia lolos lagi.
"Lepasin! Lepasin!" ronta Naura kasar. Saat ini ia sedang ingin sendiri, tidak mau diganggu. Apalagi didesak oleh lelaki misterius seperti Brian. Lekaki
yang mengacaukan otaknya. Masih tersisa bekas air mata Naura yang berada di sekitar matanya yang selalu terlihat indah. Membuat Brian merasa khawatir yang
luar biasa. Instingnya mengatakan ia harus segera memeluk perempuan ini.
"Saya nggak bakal lepasin kamu," kata Brian tegas. "Saya susah-susah nyari kamu dan begitu ketemu, saya nggak bakal segampang itu ngelepasin kamu. Inget
Naura, kamu pernah bilang kalau saya ini suami kamu. Dan sampai kapan pun saya nggak bakal pernah ngelupain itu. Jangan pernah main-main sama ucapan kamu
itu Naura." "Saya juga pernah bilang. Kalau ingatan kamu udah kembali, dateng ke saya. Tapi kalau keadaan kamu masih sama, maaf saya nggak bisa bantu kamu," di tengah
pengucapannya, ia terus berusaha melepaskan tangan Brian yang kuat. "Lepasin!!" Dengan sekuat tenaga Naura menarik tangannya, tapi tangan Brian terlalu
kukuh untuk disingkirkan. Naura harus menggunakan cara lain.
"Kamu keras kepala Naura!" sambar Brian.
Naura langsung menginjak sepatu Brian sekeras mungkin, dan saat itulah cengkeraman Brian melonggar, lelaki itu memekik. Sebelum kesempatannya hilang, Naura
berlekas pergi. Merasa tidak sempat untuk naik ke atas sepeda, Naura nekat menerobos jalan raya agar terhindar segera dari Brian. Dengan rasa takut yang
membuncah, Naura tidak menyadari kalau sebuah truk besar melaju dengan kecepatan kencang.
Brian terkesiap menyadari adanya kegentingan, melupakan kakinya yang terasa nyeri dan langsung berlari menyusul Naura. Ia sadar Naura sedang berada dalam
ancaman besar. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Naura, ia berjanji tak akan memaafkan dirinya sendiri.
Secepat kilat, sebelum truk besar itu menghantam tubuh mungil Naura, Brian sudah lebih dulu memeluknya membawanya berputar keluar dari area jalan. Beruntung
jalan raya itu sedang lengang. Jantung Naura seakan lompat, menyadari bahwa nyawanya nyaris melayang ketika truk menyeramkan di atas aspal melewati mereka,
menimbulkan bayang, suara gemuruhnya memekakkan telinga. Naura bergeming dalam pelukan Brian begitu sinar matahari terang menderang datang lagi, dagunya
tertopang di bahu Brian, air liur tertelan begitu saja menahan takut yang menyeruak. Hening. Organnya dibungkus oleh kegentaran tanpa ampun. Angin menerpa
anak-anak rambutnya yang tumbuh di atas kening. Mulutnya sedikit terbuka, embusan napas keluar dari sana. Pelukan ini terasa nyaman, karena telah melindunginya
dari maut. Sorot matanya mengungkapkan rasa terima kasih yang terdalam. Jantung kedua anak manusia itu berdentam seirama. Mereka pasti merasakan yang sama.
Detak jantung yang mengingatkan mereka pada seseorang.
Sementara di balik punggung Naura, Brian hampir kehilangan kesadaran, mencengkeram kuat pagutan akan takut kehilangan, tenggelam dalam harumnya rambut
Naura yang begitu menggiurkan, mengantarkannya pada kejadian masa lampau. Yang membuat pening di kepala. Sekelebat kenangan berputar di benak dengan perwujudan
yang tidak jelas. Wangi rambut ini begitu familier di rongga hidung, dan Brian langsung menyukainya. Hingga ia terus menghirup aroma aloe vera yang berasal
dari rambut Naura, sampai lamat menemukan siapakah pemilik wangi rambut ini di masa lalu. Masih begitu samar sehingga sulit diingat. Naura masih bergeming
tanpa suara. Tanpa sepengetahuan Naura, Brian memejamkan mata. Kedua tangan yang memeluk punggung Naura melemas dan mengendur. Tak terdengar lagi embusan napasnya yang
tak teratur. Naura membeliak, lelaki itu pingsan.
*** Bersambung... "YOUR EYES. By : Jaisii Quwatul. Chapter 20 - Kalap. *** Derap langkah kaki dengan alas hak tinggi terdengar di sepanjang lorong rumah sakit. Dengan debaran jantung Nessa terus berjalan menuju ruang rawat Brian
setelah sebelumnya mendapatkan kabar dari Naura lewat jalur telepon. Begitu sampai, matanya langsung disambut oleh keberadaan Naura yang duduk termenung
di kursi. Ada emosi yang tiba-tiba melonjak naik ketika melihat Naura yang seolah tidak berdosa.
"Apa yang terjadi sama Brian?" tanya Nessa tiba di depan Naura tanpa ingin menatapnya. Naura mengerjap, mendongkakakkan kepala melihat keberadaan Nessa
yang sangat tinggi. Harum semerbak parfumnya begitu memesona.
"Brian baik-baik aja, Mbak. Tapi dia belum sadar. Besar kemungkinan kata dokter, otak Brian berinteraksi sama masa lalunya. Tadi nggak tau kenapa dia tiba-tiba
pingsan. Saya nggak tau kenapa itu terjadi. Mungkin Brian syok gara-gara nolongin saya yang hampir ketabrak." Naura menjawab seadanya, sesuai dengan fakta.
Sesuai hipotesisnya sendiri. Nessa menyilangkan tangan di bawah dada, berusaha menahan emosi yang sejak kemarin menggebu-gebu. Yang perlu dikhawatirkan
sekarang hanyalah Brian, lupakanlah sejenak masalahnya dengan Naura.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Nessa mengayunkan tungkainya lagi, masuk ke ruang rawat Brian. Tingkah dan sikap Nessa yang berubah drastis membuat
Naura bingung dan mencoba mencari tahu letak kesalahannya. Nessa itu perempuan yang hangat, ramah dan murah senyum. Tapi barusan" Dia berubah menjadi putri
es. Es yang begitu beku. Nessa memasuki ruang serba putih. Di atas brangkar sana, Brian sedang terbaring tak sadarkan diri. Saat kaki Nessa melangkah, benaknya terus memohon penuh
harapan. Harapan atas kembalinya Brian yang dulu. Semoga saja ini adalah tanda-tanda kembalinya memori-memori Brian yang hilang lalu menghancurkan segalanya.
Dan saat Brian membuka mata, ia akan meminta maaf kepada Nessa atas apa yang telah ia lakukan. Tanpa alasan, tanpa permintaan syarat, Nessa akan langsung
memaafkan Brian. Nessa tiba di sisi ranjang Brian. Matanya menatap wajah Brian yang sedang menutup mata. Senyum tipis tersirat di bibirnya. Kamar ini benar-benar hening,
yang terdengar hanya suara napas Brian yang begitu teratur. Keinginan untuk memiliki seutuhnya semakin bertambah. Setelah ini Nessa berjanji, tak akan
memberi celah bagi Brian untuk kabur dari takdirnya yang diciptakan hidup bahagia bersama Nessa. Lelaki ini hanya milik dirinya, bukan perempuan lain.
"Selamat datang..., Brian Adiwira..."
"Naura..." Cahaya di wajah Nessa berubah kelam. Betapa terkejutnya ia ketika nama 'Naura' yang malah keluar dari mulut Brian yang sedang tak sadarkan diri. Nessa
terperangah bukan main, matanya membesar tak percaya. Tega sekali Brian melakukan ini. Napas Nessa tersekat di tenggorokan.
"Naura..." Lagi dan lagi Brian menyebut nama perempuan itu. Napas Brian mulai tak keruan. Seakan begitu menginginkan keberadaan pemilik nama yang barusan
ia panggil. Amarah Nessa semakin merangkak naik ke level yang lebih tinggi. Tadinya ia tidak akan berurusan dengan Naura lagi, tapi sekarang begitu mendengar
Brian menyebutkan namanya di saat Nessa sedang menyimpan angan penuh, ia tak akan melepaskan Naura. Mengapa dia harus datang di kehidupannya yang semula
tenang" Kaki Nessa melangkah mundur, tanpa melepaskan pandangannya dari obyek sangat ia cintai. Gadis itu memutar badan, lalu keluar dari ruangan. Meninggalkan
Brian yang masih mengigaukan nama 'Naura'.
Naura yang merasa dirinya tak dibutuhan lagi, bergegas pergi. Sejenak ia memandang kamar yang di dalamnya ada Brian. Nanti kalau ada kesempatan untuk bertemu
lagi, Naura berjanji akan mengucapkan rasa terima kasihnya. Naura mulai melangkah, tapi tindakan itu terhenti ketika telinganya mendengar suara pintu yang
terbuka lalu menutup. Lalu ia merasakan tangannya dicekal dan ditarik paksa untuk berbalik. "Sini kamu Naura..."
Plak! Nessa berhasil menampar pipi Naura dengan begitu telak. Suara tamparan itu membahana di dalam lorong. Orang-orang yang berada di area lorong memusatkan
pandangan kepada kedua orang perempuan yang tampak memulai konfrontasi itu secara refleks. Naura menyimpan tangannya di pipi kanan tempat Nessa mencipratkan
rasa perih nan panas. "Saya benci sama kamu Naura! Saya nyesel udah seret kamu ke dalam kehidupan saya. Saya nyesel udah kasih kamu kerjaan enak. Dan yang paling bikin saya
nyesel adalah, saat saya ngebiarin kamu kenalan sama pacar saya, Brian!" ada tekanan dalam saat Nessa mengucapkan nama 'Brian' di dalam kalimat murkanya.
Naura mengangkat kepala, masih memegang pipinya yang perih.
"Kamu itu pengkhianat! Kamu pengkhianat Naura! Saya benci sama kamu!" Nessa mendorong sebelah bahu Naura keras. Membuat gadis itu melangkah mundur dengan
sempoyongan. "Ya Allah, Mbak. Apa maksud mbak Nessa" Apa salah saya Mbak sampai Mbak tega tampar saya?" tanya Naura serak karena mendapat serangan tiba-tiba. Matanya
memanas. Bukan karena tamparan di pipi, melainkan tentang siapakah orang yang melakukan penamparan itu. "Apa salah saya, Mbak?"
"Salah kamu itu fatal! Dan saya nggak akan pernah maafin kamu! Nggak akan pernah Naura!" teriak Nessa dengan intensitas kemarahan tinggi. Suaranya begitu
mengerikan melewati gendang telinga Naura. "Saya tau apa yang kamu lakuin sama Brian di belakang saya. Saya tau semuanya!"
Naura memutar bola mata spontan. Terserang de-javu.
"Waktu itu kamu ciuman di kamar Brian, dan sama siapa kamu ciuman" Sama Brian, calon suami saya."
Seluruh organ Naura seperti mati tak berfungsi. Ia menelan ludah. Ketika rahasia terbesar terbongkar, di situlah manusia terjangkit masalah besar. Semua
celah untuk menyangkal tertutup rapat. Tak ada kesempatan, semuanya sudah terlanjur. Dan itulah yang dirasakan Naura sekarang. Tanpa terasa air mata bergulir
di pipinya. Sorot mata Nessa berapi-api. "Saya kira kamu perempuan baik yang polos. Kamu layak untuk saya jadiin temen dan patner untuk Brian. Tapi ternyata saya salah,
kamu malah tega nusuk saya dari belakang. Apa kamu masih ngerasa kekurangan" Belun cukup saya kasih kamu kerjaan"! Belum cukup saya baikin kamu" Masih
beruntung saya belum sempet jadiin kamu sebagai sahabat saya. Saya bersumpah Naura, saya nggak akan pernah sudi kenal sama kamu lagi!" Amarah Nessa meluap-luap
tak terkendali. "Jadi... gara-gara ini Mbak mecat saya?" tanya Naura memberanikan diri.
"Kamu itu perusak hubungan orang. Gara-gara kamu, perhatian Brian berpaling. Dia udah nggak peduli sama saya lagi. Bahkan dia berani natap saya sama kemarahannya.
Dan asal kamu tau Naura, semenjak dia hilang ingatan, dia belum pernah mau cium bibir saya. Bahkan saat saya berusaha untuk cium dia, dia malah ngehindar.
Seolah-olah bibir saya ini adalah benda paling menjijikan..." ulu hati Ness terasa nyeri. Air mata bertumpahan, kehilangan upaya untuk tidak terlihat rapuh.
Ia meremas dadanya yang sesak. "Saya cuma bisa sabar ngadepin sikap dia yang kadang nyenengin saya dan yang kadang juga cuekin saya. Saya sabar sampai
suatu hari nanti dia bisa inget lagi sama saya. Tapi kamu dateng dan ngerusak segalanya!" aura kebencian semakin menyeruak, menguasai Nessa. Ada getir,
marah, frustrasi, dan kesumat yang melingkupi jiwanya.
Sementara Naura hanya bisa memandang Nessa nanar. Matanya ikut menangis penuh rasa sesal yang mengoyak hati. Merasa bersalah karena dulu tidak mampu menolak
ciuman Brian, dirinya terlalu lemah dan kalah oleh nafsu rindu. Seharusnya Naura tak pernah berharap kalau Brian itu Adrian. Rasa rindunya hanya akan menjadi
bomerang. "Pergi kamu dari sini! Pergi!"
Naura gamang. Teriakan itu sama persis seperti teriakan Belinda. Begitu menghantam dada.
"Saya minta maaf, Mbak..." lirih Naura sangat pelan.
"Naura!" Panggilan itu membuat Nessa dan Naura mengalihkan pandangan pada asal suara. Di sana, ada Brian yang sedang menatap kedua perempuan itu secara bergantian.
Sebelum Brian melangkah, Nessa sudah lebih dulu menghampirinya. Seolah tak memberikan izin bagi Brian untuk mendekati Naura lagi.
"Masuk Brian." "Aku denger barusan kamu ngusir Naura," ucap Brian menatap mata Nessa tajam. Tak mengerti akhir-akhir ini sikap Nessa berubah buruk. Begitu keras dan pemarah.
Penuh dengan teka-teki. "Kita bicara di dalem." Nessa mencengkeram pergelangan tangan Brian, memaksanya untuk masuk ke dalam. Tanpa bisa melakukan penolakannya, Brian dan Nessa
masuk dan terdengar hentakan pintu yang ditutup. Kedua sosok itu menghilang dari kedua mata Naura. Kesenyapan terasa.
Dengan membawa luka, penyesalan, kehampaan, Naura memutar langkah. Ditangkupkannya telapak tangan di wajahnya untuk menutupi kesedihan walau air mata sudah
terlanjur jatuh. Berjalan laun tanpa semangat. Entah karena kebencian dari Nessa, atau mungkin karena kenyataannya Brian bukanlah Adrian. Dia Brian, Brian
yang telah memiliki calon istri.
*** "Kamu cinta sama Naura?" tanya Nessa penuh interograsi. Matanya menyimpan penyelidikian dan intimidasi. Kalau saja orang yang menjawab pertanyaannya salah,
bersiaplah api amarah akan menyembur tanpa kekangan.
Ketika Brian diam tanpa suara, Nessa memicingkan mata. Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan tenang. Suasana seperti keadaan seorang Ibu yang
menanyai perbuatan anaknya yang nakal dan merugikan orang lain. "Sekali lagi aku tanya sama kamu... Apa kamu cinta sama Naura"... Sampai kamu berani cium
pipi dia?" kali ini suara Nessa merendah. Pertanyaan itu membuatnya tertarik ke ujung jurang, bersiap menerima risiko. Antara jatuh, atau tetap bertahan.
Perlu keberanian yang kuat untuk melontarkan pertanyaan yang berkelidan dengan soal hati.
Brian gamang, ia sendiri tidak mampu menjawab. Dan dari mana Nessa tahu kalau dirinya mencium Nessa"
"Kamu diem, berarti jawabannya 'iya', kan?" lanjut Nessa sebelum mendengar jawaban Brian. Karena ia tahu, diamnya seseorang ketika ditanya oleh pertanyaan
yang menimbulkan kejerian, ia akan memilih diam karena bingung.
"Aku punya salah apa sama kamu Brian"!" Nessa berubah bengis. Berteriak keras di hadapan Brian yang mati kutu. "Aku bahkan udah bersikap sabar ngadepin
kamu yang selalu nyakitin aku. Aku bahkan rela ngundur tanggal pernikahan kita, aku rela nunggu kamu sampai ingatan kamu pulih. Aku terima saat kamu nolak
untuk aku cium. Aku terima perlakuan dingin tanpa romantis dari kamu. Tapi kenapa kamu malah giniin aku Brian Adiwira"!"
Brian mencoba mendekat, namun Nessa sudah lebih dulu mendorong dadanya, pria itu mundur melewat satu ubin, menciptakan jarak. Saat ini Nessa benar-benar
kalap. Tak mau mendengarkan apa pun apalagi disentuh. Keberadaannya dianggap seperti sampah yang terenggok tak berguna.
"Kenapa kamu bisa cium bibir Naura sementara aku nggak bisa"!"
Brian mengernyit mendengar pertanyaan Nessa yang terakhir. 'Kamu tau dari mana"' Tulisan itu terbaca oleh Nessa. Tulisan yang berasal dari kening Brian
walau tak nampak dengan kentara.
"Kamu jahat, Bri! Kamu jahat!!" lanjut Nessa lagi, hampir mengamuk. "Aku udah bersikap baik tapi apa yang kamu bales"... Pengkhianatan?"
"Tunggu dulu. Kamu tau dari ma... na, kalau..."
Tanpa sepengetahuan Brian, ternyata Nessa menyimpan beberapa kamera CCTV di setiap sudut rumahnya, terutama kamar Brian. Dengan begitu, Nessa bisa lebih
leluasa melihat interaksi Brian di rumah. Awalnya biasa saja, semua berjalan dengan baik. Brian tidak melakukan apa pun yang mencurigakan. Tapi semenjak
melihat Brian bertemu dengan Naura, Nessa merasakan keanehan di antara mereka berdua. Interaksi mereka sungguh tidak dapat dibaca. Seperti sepasang dua
orang yang telah lama berpisah dan dipertemukan kembali. Nessa berusaha menjauhkan pikiran-pikiran buruknya. Ia rasa, itu hanya kebetulan dan tak perlu
dianggap serius. Sepulang dari kedai es campur, bersama dengan Brian dan Naura. Nessa berinisiatif untuk melihat rekaman CCTV. Entah mengapa ada suatu dorongan kuat yang
memaksa untuk melihat rekaman demi rekaman dalam rumahnya. Siapa tau saja ia menemukan hal menarik. Kebetulan Brian sedang mengantar Naura pulang.
Pertama-tama, tak ada yang menarik. Seperti biasa. Tapi, ketika ingin mengakhiri tontonannya, ia menemukan satu video yang menampakkan sosok Brian dan
Naura yang menganehkan sekaligus membuatnya penasaran sampai harus menyipitkan mata, menajamkan pengelihatan. Saat itu dengan gerakan cepat Brian menghimpit
Naura di dinding, dan mereka beradu pandang sangat dekat.
Kontan Nessa membelalakkan mata, jantungnya berpacu cepat. Ia melihat tanggal, hari, jam, menit yang tertera di layar. Begitu memergoki Brian melepaskan
Naura dari kurungannya, Nessa tersadar. Pasti saat itu Brian menerima telepon darinya. Sesuatu baru saja menoyor dada Nessa. Cepat-cepat ia beralih pada
hasil rekaman CCTV yang lain.
Nessa berhenti pada satu video lain. Yang ini terletak di kamar Brian. Hatinya kembali menimbulkan bilur-bilur luka. Tangan itu meremas ujung meja yang
terbuat dari kayu, tempat bertopangnya laptop putih miliknya. Tanpa seizinnya Brian mendaratkan bibir itu di bibir Naura. Adegan ciuman terputar di matanya.
Nessa yakin, mereka sedang berciuman meski tidak terlalu jelas. Apalagi air mata yang dikeluarkan Naura, Nessa sama sekali tidak melihatnya. Jemari Nessa
berubah menjadi kepalan. Menekan gerahamnya kuat-kuat. Matanya menghangat, air di dalamnya mendesak-desak dan meronta ingin keluar. Tangannya langsung
menutup laptop secara impulsif, sebelum hatinya hancur berkeping-keping. Semua dugaan itu..., ternyata benar.
*** "Kamu pasang CCTV di rumah buat ngawasin aku" Kamu kira aku apa" Tawanan kamu?" pernyataan itu keluar di mulut Brian. Di antara kelengangan setelah Nessa
bercerita panjang-lebar. "Keterlaluan."
"Karena aku selalu khawatir sama kamu. Wajar, kan" Aku selalu jarang ada di rumah. Aku bisa lebih gampang ngawasin kamu. Dan terbukti, alat itu berfungsi."
"Tapi nggak usah sampai segitu juga," aksen suaranya seperti mengisyaratkan ketidak sukaan, tak terbantahkan. "Aku nggak nyangka ternyata selama ini kamu
selalu ngawasin aku tanpa sepengetahuan aku. Apa kamu nggak mikir" Di dalam kamar aku, di sana, aku ngelakuin hal-hal yang dilarang untuk kamu lihat. Sama
aja, kamu udah ngerekam semua tindakan aku. Saat aku buka baju mungkin?" Brian berkata setengah berbisik namun menyimpan amarah yang disembunyikan. Takut
akan meledak-ledak. Tatapan matanya menusuk galak.
"Dan berkat itu, aku bisa tau kamu berkhianat sama aku!" seru Nessa lantang. "Dan bukan kamu yang ngomong 'keterlaluan', tapi aku, aku yang harus ngomong
gitu." "Jadi semuanya impas?"
Nessa menyalang, pertanyaan macam apa itu" Impas"
"Maafin aku," ucap Brian singkat. Lelaki itu menyingkir dari hadapan Nessa, menyambar jaket yang tersimpan di atas nakas. Lalu berjalan keluar dari ruangan
tanpa melirik Nessa lagi. Meninggalkan suara hantaman pintu yang keras.
Nessa tak akan tinggal diam, dalam kasus ini Brian-lah yang salah, bukan dirinya. Gadis itu lekas ikut keluar, berlari. Seharusnya Brian meminta maaf,
bukan malah memusuhinya. Brian berjalan di lorong rumah sakit dengan wajah muram. Kecewa pada dirinya sendiri, juga kecewa kepada Nessa. Ekspresinya bak seekor predator yang akan
segera menyerang mangsanya. Tak akan ada kata ampun bagi mereka yang lewat.
"Kamu jangan pergi Brian! Kamu harus inget, cuma rumah aku tempat kamu kembali. Kamu nggak punya siapa-siapa selain aku!" teriak Nessa penuh gertakan angkuh.
"Semua fasilitas kamu milik aku, kamu nggak berhak marah sama aku. Brian berhenti!" Namun itu semua sia-sia, Brian tetap melangkah dengan kedua bahu yang
naik-turun tanpa memasang kedua telinganya, menganggap suara Nessa sebagai angin lalu. Emosi Nessa semakin menyulut, membakar jiwanya. Baru pertama kalinya
diperlakukan semena-mena, tidak dihormati.
"Brian!... Brian!..."
Punggung Brian semakin menghilang dari jangkauan Nessa. Perempuan itu mendecak geram.
*** Tiba di halaman rumah, Naura melihat sepedanya terparkir manis di sana. Lalu, pandangannya beralih pada seseorang yang berdiri di teras rumah. Perawakannya
begitu terlihat tak asing lagi, lelaki itu sedang memandang Naura dengan sorot tak terbaca. Tak ada senyum, sapa, matanya sedikit menyipit. Pelan-pelan,
Naura melangkah, mendekati cowok yang ternyata adalah Angga. Tentu, mereka berdua belum melupakan peristiwa di kafe, hingga aura kecanggungan masih mengarungi.
Naura sangat membenci situasi ini, ketika tali persahabatan harus dibumbui dengan cinta. Begitu menyeramkan. Tapi ia harus tetap bersikap biasa.
"Hay kak Angga. Kakak... nganterin sepeda aku"..." Hening. Gadis itu tidak melihat Angga mengangguk, menggeleng, apalagi membuka mulut. "Makasih," lanjut
Naura pelan, sedikit kaku. Sedetik melirik sepedanya yang telah ia lupakan karena panik mengetahui Brian pingsan, dan itu pasti gara-gara dirinya.
"Makasih juga Naura," jawab Angga tak terduga. Membuat Naura agak ngeri. Tiga kata yang lumrah, tapi begitu menyimpan banyak misteri.
"Untuk...?" "Karena kamu udah berhasil patahin hati aku."
Naura melepaskan pandangannya dari Angga. Otaknya langsung merespons cepat tanpa berpikit lagi. Iya, dia sadar, dia telah menyakiti hati Angga dengan begitu
nyata. Menolak cinta tulusnya, menjatuhkan harapannya, menghancurkan batin, juga mematahkan hatinya seperti apa yang barusan Angga katakan. Tapi Naura
tidak menyangka, apa harus Angga datang ke sini hanya untuk mengatakan kalau dia sakit hati" Dia bukan seperti Angga yang Naura kenal.
"Kenapa Naura" Kamu risi aku susul ke sini" Kamu punya pikiran buruk tentang aku?"
"Kak Angga apaan, sih. Mending sekarang Kakak pulang. Aku capek butuh istirahat," elak Naura yang malas membangun pertengkaran pertama bersama Angga. Lagipula,
dari dulu mereka tidak pernah terlibat dalam pertikaian dingin. Tapi mungkin kini telah berubah, disebabkan oleh kata yang sedang semarak di kalangan remaja
dan melanglang buana di dunia, yaitu cinta. Lima huruf yang bisa merusak hati dan pikiran.
Naura hendak membuka pintu, namun gerakannya terhenti kala Angga mengatakan sesuatu.
"Tadi kamu pelukan sama siapa" Kenapa nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar" Dan kenapa juga kamu seolah nutup-nutupin cowok itu. Harusnya
setelah aku ngungkapin perasaan aku yang udah ganggu kamu, kamu ngaku kalau kamu udah ketemu sama pengganti Adrian. Jadi aku bisa berhenti berharap."
Naura memicingkan mata, menggigit bibir bagian dalamnya sekeras mungkin. Masih bergeming dan membelakangi Angga. Menyesal mengapa Angga harus melihat pelukan
itu. Saat Naura menyadari bahwa Brian pingsan karena tubuh Brian yang melemas dan terhuyung, di sana Naura merasa cemas luar biasa. Badan Naura tak mampu menahan
tubuh Brian yang ambruk ke bawah, hingga hanya mampu menopang kepala Brian di atas kakinya yang terlipat. Di saat yang bersamaan pula Naura berteriak meminta
tolong, wajahnya gelisah, orang-orang berdatangan untuk mengangkat tubuh Brian, kebetulan ada taksi yang lewat di jalur itu. Cepat-cepat Brian dimasukkan
ke dalam taksi dan Naura juga ikut naik.
Begitu taksi melaju, Brian yang pingsan menyandarkan kepalanya di bahu Naura. Jantung Naura berdetak tak keruan, namun ia berusaha terlihat tenang. Sunyi
senyap, sang sopir pun fokus menyetir. Berada di dekat Brian sedekat ini, serapat ini, seintim ini, membuatnya seperti robot tak bernyawa. Seluruh anggota
tubuh tak mampu digerakan, dialiri gelenyar aneh. Naura mencoba untuk melirik ke samping, tempat Brian meletakkan kepalanya. Rambut hitamnya mengingatkan
Naura pada Adrian. "Ian... Apa itu kamu?"
Tiba-tiba Naura mengulas kembali kenangannya bersama Adrian secara impulsif. Saat mereka bermain ke pasar malam, mamakan permen harum manis, memenangkan
permainan lempar gelang dan mendapatkan boneka beruang, menaiki wahana bianglala dengan posisi yang sama seperti sekarang. Namun bedanya, kali ini Naura
yang menjadi sandaran. Ingat pula percakapan menggelikan ketika berada di dalam kabin kincir angin. Naura nyaris melekukkan senyum, mengingat saat melihat
wajah takut Adrian ketika berada di ketinggian. Itulah karakter Adrian, dia takut ketinggian.
"Kalau kita lagi di atas, lebih baik kamu liat wajah aku. Kamu boleh ngumpet, seenggaknya kalaupun aku jelek, wajah aku nggak seserem ketinggian." Naura
tersenyum manis, lesung pipinya terlihat, matanya berbinar. Refleks Adrian ikut tersenyum, degupan jantungnya kembali normal. Hanya Naura yang mampu mengusir
kegelisahannya. Embusan angin menerbangkan anak-anak rambut Naura, kadar kecantikannya semakin terlihat. Meski Adrian sering mengatai Naura jelek, tapi
dalam lubuk hatinya, Naura adalah perempuan tercantik. Kedua senyuman mereka penuh cinta dan makna.
"Nanti suatu saat, bukan boneka ini yang bakal nemenin kita. Tapi sama kesepuluh anak kita," kata Naura. Mengangkat kepala, melihat wajah Adrian. "Emang
muat?" tanya Adrian polos.
"Ya muat, lah."
Kening Adrian berlipat. Penuturan Naura memang tidak masuk akal. Bagaimana bisa tempat sekecil ini bisa menampung sebanyak 12 orang"
"Kata siapa aku mau bikin 10" Aku cuma mau dua. Dua anak lebih baik," katanya dengan logat seperti di iklan-iklan. Mencolek hidung Adrian.
Api Di Bukit Menoreh 11 Sherlock Holmes - Pemain Belakang Yang Hilang Pendekar Pedang Sakti 2
^