Api Di Bukit Menoreh 19
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 19
"Ya. Kami lihat. Itu adalah ciri kebesaran Macan Kepatihan."
"Kalian salah," sahut Sumangkar, "ini bukan tongkat Angger
Tohpati." Semuanya terdiam mendengar kata-kata itu. Serentak mereka
memandangi tongkat itu tajam-tajam. Akhirnya mereka
menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat Macan
Kepatihan baik-baik seperti ia mengenal orangnya, tongkat ini
agak lebih kecil dari tongkat Raden Tohpati. Karena itu
timbullah keheranan di dalam hati mereka. Apakah
Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala
tengkorak yang kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan"
Apakah ia memilikinya juga"
Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka berhadapan dengan
juru masak yang malas. Mereka sama sekali bukan
berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun
meskipun demikian, mereka menunggu dengan tidak sabar.
Apakah yang akan dikatakannya tentang pasan terakhir itu.
Tetapi merekapun menjadi heran, kenapa Sanakeling, Alapalap
Jalatunda, tiba-tiba saja memberi kesempatan kepada
orang tua itu untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang
tidak sengaja mereka adakan itu"
Dalam kebimbangan dan keheranan itulah maka Sumangkar
akan sampai pada tingkat terakhir dari permainannya.
Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup
mempunyai wibawa atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya
setingkat dengan wibawa yang dimiliki oleh Sanakeling.
Karena itu, Sumangkar itu maju beberapa langkah. Kini ia
berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang Jipang
yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka
yang membawa obor-obor di tangan; sedang ke dalam ia
melihat Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa
pemimpin yang lain berdiri tegang kaku seperti patung.
Namun, baik wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para
pemimpinnya membayangkan ketidak-sabaran, mereka
menunggu kata-kata Sumangkar tentang pesan terakhir
Macan Kepatihan. Terdengar Sumangkar kemudian berkata, "Nah, jadi adakah
kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger Tohpati" "
"Ya kami lihat," sahut mereka. Namun Sanakeling, Alapalap
Jalatunda dan para pemimpin yang lain tampak seolah-olah
berdiri saja membeku. Meskipun sebagian dari mereka
mengerti bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah sekedar
juru masak namun tongkat baja putih itu benar-benar
mengejutkan mereka. Mereka sama sekali belum pernah
melihat, bahwa Sumangkar pun memiliki tongkat semacam itu.
Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di pusat
pemerintahan Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan
Sumangkar, meskipun ia tahu bahwa Sumangkar adalah
seorang sakti yang berada di dalam lingkungan istana
kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan
Sumangkar berada di medan yang berbeda.
"Itulah yang menyedihkan aku," berkata Sumangkar. "Aku
tidak berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan
kembali. Aku tidak dapat mengambilnya dari medan setelah
Angger Macan Kepatihan terbunuh." Sumangkar berhenti
sesaat. Kemudian katanya melanjutkan, "Tongkat ini adalah
tongkatku." Sumangkar melihat berpasang-pasang mata terbelalak
karenanya. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata
Sumangkar seterusnya, "Aku adalah paman guru dari Angger
Macan Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya maka
Angger Macan Kepatihan mempercayakan pesannya
kepadaku, sebab aku adalah saudara seperguruan Patih
Mantahun." Gubug itu menjadi sunyi senyap di dalam dan di luarnya.
Sesepi tanah pekuburan, orang-orang yang berdiri tegak di
halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak
batang kamboja yang membeku.
Pengakuan Sumangkar terdengar oleh sebagian besar dari
mereka seperti suara guruh yang meledak di langit. Orangorang
Jipang itu benar-benar terkejut. Sumangkar, yang
mereka kenal sebagal seorang juru masak yang malas,
ternyata adalah seorang yang sakti. Saudara seperguruan
Patih Mantahun. Tetapi beberapa orang sudah tidak terkejut lagi. Sanakeling
juga tidak terkejut. Siapapun Sumangkar itu, bagi Sanakeling
tidak ada bedanya. Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa
Sumangkar adalah seorang yang sakti.
Kecuali Sanakeling dan beberapa pemimpin yang lain, di
antara para prajurit Jipang yang berkumpul di luar pintu itu,
terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan Sumangkar.
Sambil senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepada orang yang berdiri di sampingnya ia berkata, "Aku
sudah tahu lebih dahulu dari kalian semuanya."
Kawannya mengerinyitkan alisnya sambil bertanya, "Darimana
kau tahu ?" "Apakah kau sudah bertemu dengan Tundun?"
"Belum." "Anak itu belum berceritera kepadamu tentang Ki Tambak
Wedi dan Sidanti yang datang ke perkemahan ini ketika kalian
sedang pergi berperang?"
"Aku belum bertemu dengan Tundun. Bagaimana ia bisa
berceritera kepadaku?"
"Mungkin Ki Lurah Sanakeling pun belum sempat mendengar
laporan Tundun," berkata Bajang. "Tambak Wedi yang
mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak
ada juru masak yang malas itu, entahlah apa yang terjadi.
Kami bertempur bersama-sama dengan semua orang yang
ada di sini. Tetapi melawan muridnya, Sidanti pun kami tidak
mampu. Apalagi Ki Tambak Wedi."
"Dan Sumangkar mengalahkannya?"
"Ya, Sumangkar telah mengusirnya."
Orang yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Pantas. Pantas," gumamnya.
Ketika mereka kemudian memandangi pintu gubug itu,
kembali mereka melihat Sumangkar berdiri tegak seperti batu
karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah
orang yang berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang
mereka kenal sehari-hari.
Wajah Sumangkar kini seolah-olah memancarkan
kewibawaan yang mengejutkan hati mereka. Tongkat baja
putih itu benar-benar mirip tongkat Tohpati. Dan tongkat itu
adalah milik Sumangkar. Dalam pada itu terdengar Sumangkar meneruskan, "Meskipun
aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Tohpati, namun
aku telah memiliki tongkat yang serupa. Tongkat yang akan
mampu melakukan apa saja seperti yang dapat dilakukan oleh
tongkat Angger Macan Kepatihan.
Semua orang masih terdiam. Namun mereka mulai dirayapi
oleh kepercayaan bahwa sebenarnya Sumangkar mampu
berbuat seperti Macan Kepatihan.
Namun Sanakeling yang mendengar kata-kata itu
mengerutkan dahinya. Ia belum tahu pasti arah kata-kata
Sumangkar seterusnya. Tetapi sebagai orang kedua sesudah
Tohpati, Sanakeling merasa berhak untuk memimpin prajuritprajurit
Jipang itu sepeninggal Macan kepatihan, sehingga
dadanya mulai berdebar-debar melihat Sumangkar
mengangkat tongkat baja putihnya.
"Apakah Sumangkar akan langsung mengambil alih pimpinan
dari Raden Tohpati," berkata Sanakeling di dalam hatinya.
Dan terdengarlah Sumangkar berkata terus, "Nah, sekarang
apakah kalian dapat mempercayai kata-kataku?"
Kembali mereka terlempar dalam kesepian. Sesaat tak
seorangpun yang menyahut, sehingga Sumangkar menjadi
ragu-ragu. Kalau mereka tidak percaya, maka untuk
menekankan pesan-pesan Tohpati, apakah ia perlu
menunjukkan beberapa macam permainan sehingga ia tidak
lagi dianggap hanya sekedar omong kosong"
Tetapi tiba-tiba terdengar di belakang seseorang berteriak,
"Aku telah melihat sendiri Ki Sumangkar mengalahkan Ki
Tambak Wedi." Semua orang berpaling ke arah suara itu. Tetapi mereka tidak
segera melihat siapakah yang telah berteriak-teriak itu. Namun
kemudian terdengar kembali orang itu berkata, "Kami yang
tinggal di perkemahan pada saat kalian berperang telah
melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Ki Sumangkar."
Beberapa orang segera mengenal bahwa suara itu adalah
suara Bajang, seorang juru masak yang masih muda, kawan
Sumangkar. Beberapa orang menjadi justru bercuriga, apakah
Bajang tidak sekedar mengangkat nama kawan
sepekerjaannya. Namun tiba-tiba dari beberapa sudut
terdengar orang-orang lain menyambut. "Ya kamipun
menyaksikan. Kami telah menyaksikan sendiri."
Sumangkar kemudian memandang berkeliling. Dan sekali lagi
ia berkata, "Siapakah yang dapat mempercayai kata-kataku?"
Tiba-tiba menggeloralah jawaban, "Kami percaya, kami
percaya." Sanakeling masih berdiri di tempatnya dengan wajah yang
tegang. Seharusnya dirinyalah yang wajib berdiri di hadapan
para prajurit Jipang itu sebagai penggganti Macan Kepatihan.
Tiba-tiba tanpa disadarinya, orang lain telah mendahului.
Meskipun demikian, ia masih mampu menahan dirinya.
Mungkin Sumangkar akan menguntungkannya. Mampu
membakar hati para prajurit itu, untuk dibawanya membalas
sakit hatinya atas hilangnya pemimpin yang mereka segani.
"Terima kasih," berkata Sumangkar kemudian. "Kalau
demikian kalau kalian percaya akan kata-kataku, maka biarlah
aku menyampaikan pesan terakhir Angger Tohpati. Namun
seperti kataku tadi, pesan itu terlampau berat bagi kita
sekalian. Sebab pesan itu sama sekali berada di luar anganangan
kita selama ini." Sekali lagi terdengar para prajurit Jipang itu berteriak, "Kami
akan melakukan apa saja yang dipesankan oleh Raden
Tohpati. Biar masuk ke dalam api sekalipun, kami akan
mematuhinya." Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya seperti kepada
diri sendiri, namun karena diucapkannya keras-keras, maka
semua orang mendengarnya, "Aku kurang yakin, apakah kami
mampu melakukannya."
Orang-orang Jipang menjadi hampir tidak sabar lagi. Karena
itu mereka berteriak-teriak, "Kami bersumpah, kami
bersumpah." Bagian 3 Sanakeling pun menjadi tidak sabar pula. Beberapa langkah ia
maju mendekati Sumangkar sambil berkata, "Berkatalah,
jangan melingkar-lingkar. Apakah pesan terakhir itu. Kami
akan melakukannya. Aku adalah pemimpin laskar Jipang
sepeninggal Macan Kepatihan. Dan aku sanggup untuk
memimpin pasukan ini berbuat apa saja. Meskipun aku harus
membakar istana Pajang sekalipun dan merampas
permaisurinya." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya,
"Baik. Baik. Akan segera aku katakan." Namun di dalam hati
Sumangkar bergumam, "Kalau kau mampu Sanakeling, kau
tidak akan berkeliaran di dalam hutan seperti sekarang.
Apalagi kau, sedang Arya Penangsang dan Patih Mantahun
pun tidak mampu melawan Ki Gede Pemanahan, Penjawi, dan
anak muda Ngabehi Loring Pasar, di samping Adiwijaja
sendiri." Tetapi kemudian yang dikatakan adalah pesan terakhir Macan
Kepatihan. Sambil melangkah maju, Sumangkar
menengadahkan wajahnya. Gubug itu kemudian menjadi
sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah deru nafas orangorang
Jipang itu memburu lewat lubang-lubang hidung mereka
yang mengembang. Mereka ingin mendengar kata demi kata,
pesan dari pemimpin mereka yang mereka segani.
"Dengarlah," berkata Sumangkar, "sudah aku katakan bahwa
pesan itu terlampau berat bagi kami, sebab pesan itu
berbunyi," Sumangkar berhenti sesaat. Ditatapnya setiap
wajah yang seolah-olah menyalakan tekad di dalam dada
mereka. Sesaat kemudian Sumangkar meneruskan, dan katakatanya
terdengar seperti suara guntur dan guruh bersamasama,
beruntun susul-menyusul. "Pada saat nafas Angger Tohpati telah satu-satu meluncur, ia
berkata "Kematianku adalah akhir daripada bencana yang
menimpa rakjat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari Senapati
yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang.
Sepeninggalku aku meng-harap bahwa mereka akan
membuat perhitungan-perhitungan. Bukankah begitu paman
Sumangkar?" Kemudian diteruskannya pada kesempatan lain
di mana nafasnya menjadi semakin lemah, berkata Macam
Kepatihan itu, "Mudah-mudahn kematianku menjadi pertanda
bahwa tak ada gunanya perselisihan ini akah berlangsung
terus." Dan Sumangkar itupun berhenti sesaat. Dengan
tajamnya ia memandangi orang-orang yang berdiri di
sekitarnya. Setiap orang yang mendengar kata-kata Sumangkar itu,
darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Pesan itu sama
sekali bukan pesan untuk membunuh Untara, Widura atau
Adiwijaya sekali. Bukan perintah untuk membakar istana
Pajang dan melakukan serangkaian pembunuhan sebagai
pembalasan. Tetapi pesan itu seolah-olah pesan yang sama
sekali bertentangan dengan dugaan mereka.
Suasana yang sepi bertambah sepi. Mulut-mulut yang
meskipun ternganga namun serasa terbungkam. Hati-hati
yang membara seolah-olah meledak justru karena tersiram air
dengan tiba-tiba. Tetapi mereka semua benar-benar
tenggelam dalam perasaan yang aneh. Bingung dan
kehilangan dasar tanggapan seterusnya.
Sumangkar membiarkan suasana itu berlangsung beberapa
lama. Dibiarkannya setiap orang berada dalam pergolakan
perasaan. Dibiarkannya mereka sampai pada kesimpulan
masing-masing apabila mereka telah menemukan
keseimbangan dan sempat mempertimbangkan.
Namun suasana yang sepi itu tiba-tiba dipecahkan oleh
teriakan Sanakeling melengking menghentak setiap jantung.
"Paman Sumangkar. Apakah arti daripada pesan itu. Apakah
dengan demikian Kakang Macan Kepatihan mengharap kita
semua bertekuk lutut di bawah kaki Untara" He?"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sumangkar tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia sudah
menduga sebelumnya, bahkan hampir pasti, bahwa
Sanakeling adalah orang yang pertama menolak pesan itu.
Karena itu dengan tenang ia menjawab, "Ya Ngger.
Demikianlah kira-kira pesan itu. Namun agaknya
pertimbangan Angger Macan Kepatihan telah cukup masak
untuk mengucapkan pesan-pesan itu."
"Jadi haruskah kami merangkak-rangkak di bawah kaki Untara
seperti anjing kudisan?" teriak Sanakeling.
"Kata-kata itu terlampau tajam."
"Tidak. Kata-kata itu tepat seperti yang akan terjadi apabila
kita menuruti pesan itu. Dan kita akan dijerat leher kita, diseret
di sepanjang jalan antara Sangkal Putung dan Pajang.
Dipertontonkan kepada setiap orang sebelum kita digantung di
alun-alun Pajang. Berderet-deret seperti jemuran yang tidak
kering-keringnya." Sumangkar mendengar kata-kata itu diucapkan dengan penuh
nafsu. Bahkan Sumangkar pun kemudian melihat wajah-wajah
yang seakan-akan membeku di hadapannya, mulai
menegang. Kata-kata Sanakeling agaknya telah menggugah
hati mereka. Menggugah hati keprajuritan mereka.
Karena itu segera Sumangkar berkata, "Angger Sanakeling
benar. Tetapi tidak tepat sebab aku belum mengatakan
rangkaian dari pesan itu. Pesan itu diucapkan oleh Angger
Tohpati di hadapan Untara yang menungguinya pula pada
saat-saat terakhir. Menungguinya tidak seperti dua orang yang
sedang bermusuhan. Agaknya mereka di saat-saat terakhir itu
telah mengenangkan masa-masa lampau. Masa-masa Demak
masih diikat oleh tali persatuan yang erat. Keduanya adalah
sahabat yang baik dari dua daerah Kadipaten. Angger Macan
Kepatihan dari Kadipaten Jipang dan Angger Untara dari
Kadipaten Pajang. Pertentangan antara Jipang dan Pajang
telah mempertentangkan mereka pula. Namun kebesaran jiwa
dari keduanya telah menemukan kembali persahabatan itu di
saat-saat Angger Macan Kepatihan menghadapi maut.
Meskipun maut itu beralatkan tangan Untara sendiri."
Kembali mereka diterkam oleh kesenyapan. Terasa setiap
kata, baik yang diucapkan oleh Sumangkar maupun yang
diucapkan Sanakeling benar belaka. Meskipun makna dari
keduanya berlainan bahkan bertentangan. Karena itu, setiap
jantung yang berdegup di dalam dada menjadi bingung
siapakah yang akan dianut" Sumangkar melihat hari depan
yang tenang, hari depan yang damai. Mereka tidak akan lagi
berlari-larian sepanjang hutan. Mereka tidak perlu lagi selalu
dikejar-kejar oleh kegelisahan. Mereka akan dapat hidup
seperti manusia biasa. Meskipun mungkin sebulan dua bulan
mereka tidak dapat bebas berbuat karena hukuman yang akan
diterimamja. Namun setelah itu, tidak ada lagi persoalan yang
selalu menghantuinya siang dan malam. Seluruh negeri akan
menjadi aman. Pasar-pasar akan kembali mengumandang,
dan di malam hari kembali akan terdengar tembang. Seruling
gembala di padang-padang dan anak-anak bermain di
halaman. Orang-orang tua akan menikmati bunyi burung
perkutut dengan tenang. Tetapi gambaran-gambaran yang damai dan tenteram itu tibatiba
telah digoyahkan oleh pendirian Sanakeling. Pendirian
seorang prajurit yang tidak dapat ditundukkan oleh peristiwaperistiwa
yang bagaimanapun dahsyatnya. Mereka akan
menjadi orang tangkapan dan diarak sebagai tawanan apabila
mereka menyerah. Hilanglah kejantanan mereka, dan harga
diri mereka akan terkorbankan. Lebih baik mengorbankan
nyawa daripada harga diri bagi seorang prajurit sejati. Apabila
mereka harus berlari-lari ke hutan, bersembunyi di antara
semak-semak dan gerumbul, di antara padang-padang dan
lereng-lereng gunung, adalah akibat dari perjuangan mereka.
Akibat dari keteguhan hati seorang prajurit yang tidak miyur.
Demikianlah setiap wajah kemudian memancarkan
kebimbangan hati yang tiada ujung pangkal. Keduanya benar
bagi mereka. Keduanya mapan, dan keduanya wajib diturut.
Pesan terakhir pemimpin mereka yang mereka segani lewat
paman gurunya yang perkasa, dan yang lain adalah pendapat
senapati yang seharusnya langsung memimpin mereka
sepeninggal Macan Kepatihan.
Dalam kebimbangan itu terdengar kemudian suara Sanakeling
seperti membelah langit, "Paman Sumangkar. Aku adalah
seorang prajurit. Prajurit hanya mengenal dua arti dalam
perjuangannya. Menang atau mati. Selain itu, adalah nista
sekali untuk dijalani. Apalagi menyerahkan dan di bawah
injakan kaki lawan. Apakah paman Sumangkar ini telah bukan
lagi seorang pradajurit yang baik?"
Sumangkar memandangi wajah Sanakeling sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
"Aku hanya menyampaikan pesan terakhir Angger Macan
Kepatihan." Kemudian kepada para prajurit Jipang Sumangkar
berkata, "Pesan itu adalah pesan Macan Kepatihan yang
sampai saat terakhir telah mengorbankan jiwa raganya
sebagai seorang prajurit jantan. Sebagai seorang pemimpin
sejati ia telah berusaha melindungi kalian. Nah, katakanlah,
apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan, Hai, orangorang
Jipang. Sebutlah pemimpinmu itu, apakah ia seorang
prajurit yang baik atau bukan" Ayo, katakanlah, apakah
Macan Kepatihan seorang prajurit yang baik atau se-orang
pengecut?" Terdengarlah jawaban menggemuruh, "Ia adalah seorang
prajurit yang baik. Seorang laki-laki jantan. Seorang senapati
yang tiada taranya."
"Bagus," sahut Sumangkar. "Pesan itu keluar dari mulutnya.
Keluar dari mulut seorang senapati jantan, keluar dari mulut
seorang prajurit yang baik."
"Bohong!" potong sanakeling dengan nada yang tinggi.
"Senapati yang baik, prajurit jantan tidak akan mengeluarkan
perintah serupa itu. Itu pasti akal-akalmu sendiri, Paman
Sumangkar. Itu pasti caramu untuk melepaskan kejemuanmu
sendiri." Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar
Sanakeling berbicara terus, "Aku tidak percaya kalau Kakang
Tohpati telah mengeluarkan pesan itu."
Sumangkar tidak mau kahilangan kesempatan. Karena itu
segera ia menyahut, "Itulah bedanya. Seorang yang berjiwa
besar dan orang lain yang tidak dapat mengikuti kebesaran
jiwanya. Kalian dapat berpikir untuk terlalu mementingkan diri
sendiri. Kalian dapat berpijak pada harga diri yang berlebihlebihan.
Harga diri seorang prajurit yang pantang menyerah.
Tetapi itu adalah pikiran yang sempit. Prajurit tidak akan
menyerah apabila ia berjuang untuk suatu cita-cita yang tegas,
suatu cita-cita yang diyakini kebenarannya. Tetapi apakah
kalian berbuat demikian" Apakah kalian yakin, bahwa kalian
telah berjuang dalam suatu pengabdian sebagai seorang
prajurit. Coba katakan, apakah yang kalian capai dengan
peperangan yang tiada ujung dan pangkal ini?"
"Kau telah berputus asa, paman Sumangkar," teriak
Sanakeling. "Kau telah kehilangan akal. Perjuangan Arya
Penangsang adalah perjuangan atas hak dan waris atas tahta.
Ini adalah perjuangan jantan. Perjuangan yang luhur."
"Bukankah perjuangan itu telah berpijak atas kepentingan diri"
Warisan atas tahta-tahta. Bukan perjuangan atas dasar yang
luas bagi seluruh rakyat Demak untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka" Perjuangan itu adalah
perjuangan yang sempit. Warisan memang dapat membuat
sanak dan kadang sendiri saling bertengkar. Tetapi jangan
rakyat dikorbankan dalam pertengkaran itu. Bagi rakyat yang
penting bukan siapa ahli waris yang paling berhak atas tahta.
Tetapi bagi rakyat, siapakah yang paling baik bagi mereka,
yang paling banyak berpikir dan berbuat untuk mereka. Tidak
untuk sendiri. Tidak untuk seorang atau beberapa orang
pemimpin. Tidak untuk Arya Penangsang atau Adiwijaya.
Tidak. Tetapi bagi rakyat, siapakah paling langsung berbuat
banyak untuk kepentingan mereka, ialah yang paling berhak
atas pimpinan negara. Orang itulah ahli waris yang sah atas
tahta." Kata-kata Sumangkar itu mencengkam setiap hati. Namun
kata-kata Sanakeling telah membakar setiap jantung dan
mendidihkan darah yang mengalir di dalam jaringan-jaringan
urat darah. Keduanya beralasan dan keduanya dapat mereka
mengerti. Karena itulah maka setiap orang menjadi semakin
bimbang, siapakah di antara mereka yang harus mereka turuti.
Mendengar penjelasan Sumangkar, Sanakeling menggeram
marah. Kemudian kepada prajurit-prajurit Jipang ia berteriak,
"Akulah pemimpin kalian sepeninggal Macan Kepatihan.
Semua perintahku sama nilainya dengan perintah Kakang
Tohpati." Semua mata kemudian berpaling ke arahnya. Sanakeling
itupun kini telah berdiri di ambang pintu di samping
Sumangkar. Wajahnya yang keras dan penuh ditandai oleh
dendam dan kebencian telah menyala seperti nyala api
neraka. Tetapi Sumangkar masih tetap tenang. Ia tidak
menyahut dan memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya
Sanakeling berbicara pula, "Kita telah kehilangan pemimpin
kita. Sekarang orang tua ini menganjurkan kita merangkak di
bawah kaki Untara. Tidak! Dengar perintahku, Kobarkan
dendam di segala penjuru. Setiap orang Jipang harus
mendengar bahwa Macan Kepatihan mati dengan luka arang
kranjang karena kebiadaban orang-orang Pajang seperti pada
saat Plasa Ireng terbunuh dengan dada dan punggung
terbelah. Macan Kepatihan itu sama nilainya dengan seribu
orang Pajang dan setiap nyawa di antara kita bernilai seratus
orang Pajang. Timbulkan kengerian di mana-mana. Setiap
orang Pajang bertanggung jawab atas kematian Macan
Kepatihan, sehingga kepada mereka dendam kita dapat kita
tumpahkan." Bulu-bulu kuduk Sumangkar meremang mendengar perintah
itu. Perintah itu telah diduganya akan terjadi seandainya
orang-orang Jipang itu tidak mendapat keseimbangan.
Perintah itu berarti pembunuhan yang semena-mena atas
semua orang yang akan ditemui oleh Sanakeling. Semua
orang Pajang diperlakukan sama. Karena itu maka segera ia
berkata, "Bagus. Apabila Angger Sanakeling bertekad
demikian. Aku tidak akan menghalang-halangi, sebab aku
tidak mempunyai pendirian tersendiri."
Sanakeling yang segera akan memotong kata-kata
Sumangkar tertegun mendengarnya. Karena itu niatnya
diurungkan. Terasa bahwa Sumangkar telah mundur setapak
dari pendiriannya. Dan terdengar kata-kata Sumangkar itu, "Apa yang aku
katakan hanyalah sekedar pesan. Pesan Angger Tohpati yang
telah terbunuh karena melindungi nyawa kita. Seandainya
Macan Kepatihan itu tidak mengorbankan nyawanya, maka
kitalah yang akan mati terlebih dahulu. Dan kitalah yang akan
mengucapkan pesan-pesan itu kepada orang terakhir yang
kita temui. Dan dalam pesan-pesan yang terakhir itulah
sebenarnya kita akan menunjukkan nilai dan kebesaran jiwa
kita. Namun apabila kini dikehendaki lain oleh seseorang yang
berwenang, aku akan menundukkan kepala. Memenuhi
perintah yang akan dijatuhkan. Tetapi kitapun akan segera
mendengar perintah yang serupa keluar dari mulut Untara.
Bahkan mungkin dari mulut Ki Gede Pemanahan atau
Adiwijaya sendiri. Perintah itu akan berbunyi serupa,
"Bunuhlah setiap orang Jipang siapapun sebab mereka
semuanya turut bertanggung jawab atas kerusuhan-kerusuhan
yang terjadi". Dan orang-orang Pajang akan melakukan
perintah itu sebaik-baiknya. Apalagi mereka, yang sanak
kadangnya akan menjadi korban perintah Angger Sanakeling.
Malah mereka akan dapat mengamuk seperti orang mabuk.
Anak-anak kita, isteri, ayah bunda dan saudara-saudara kita
yang sekarang selalu berada di dalam kegelisahan karena
mereka menunggu kita pulang ke rumah. Namun yang sampai
sekarang mereka masih dibiarkan hidup dan menetap di
rumah-rumah mereka sendiri. Tetapi apabila kita melakukan
perintah Angger Sanakeling itu, akan dapat berarti menekan
mereka ke dalam lembah kehancuran. Bukan orang-orang
Pajang saja, tetapi orang-orang Jipang. Semua akan musnah.
Dan rakyat Demak akan menjadi punah. Hancur lebur. Bunuh
membunuh tiada habis-habisnya. Demak akan lenyap dibakar
oleh dendam yang tiada akan dapat dipadamkan lagi."
Terdengar gigi Sanakeling menggeretak mendengar kata-kata
itu. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut. Kata-kata itu
meresap ke dalam dadanya seperti meresapnya berpuluhpuluh
bahkan beratus-ratus ujung jarum ke dalam jantungnya.
Tetapi ia dapat mengerti dan mengakui bahwa hal yang
sedemikian itu mungkin terjadi.
Kembali gubuk dan sekitarnya itu ditelan oleh kesenyapan.
Dalam keheningan itu maka orang-orang Jipang sempat
berpikir. Menimbang yang baik dan yang buruk. Menilai makna
dari setiap kata kedua orang pemimpin yang telah
membingungkan hati mereka.
Kembali mereka berdiri di persimpangan jalan. Mereka dapat
mengerti sepenuhnya kata-kata Sumangkar, namun mereka
sependapat pula dengan Sanakeling bahwa mereka harus
mempertahankan harga diri mereka sebagai seorang prajurit.
Tetapi merekapun menjadi ngeri ketika mereka mendengar
uraian Sumangkar yang terakhir setelah darah mereka dibakar
oleh perintah Sanakeling. Semula perintah itu telah
menggelegak di dalam dada mereka. Semua orang Pajang
harus dimusnahkan. Tetapi bagaimana kalau berlaku pula
perintah yang serupa yang dikatakan Sumangkar. Bagaimana
dengan anak-anak, isteri, dan sanak kadang mereka yang
tidak tahu-menahu tentang perbuatan mereka"
Perlahan-lahan maka setiap orang telah terdorong dalam satu
pilihan di antara keduanya. Tetapi sayang, bahwa tidak semua
dada berisi jantung dan hati yang serupa. Tanpa diketahui,
maka pendirian orang-orang Jipang itu terbelah seperti
pendirian pemimpinnya. Sebagian dari mereka terdorong ke
dalam pendirian Sumangkar, dan sebagian lagi terseret oleh
api kemarahan Sanakeling.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang dilanda oleh
arus kebimbangan, terdengarlah suara tertawa di belakang
mereka, di belakang orang-orang Jipang itu. Suara tertawa
yang tinggi melengking menyakitkan telinga mereka yang
mendengarnya. Seperti digerakkan oleh
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga ajaib, serentak mereka semuanya yang berada di tempat itu berpaling. Mereka serentak mencari sumber suara itu. Namun mereka tidak segera dapat melihat. Tabir yang hitam pekat seakan-akan telah menyekat pandangan mata mereka. Sementara itu, suara tertawa itu masih terdengar. Bahkan semakin lama semakin keras.
Sanakeling yang mendengar pula suara tertawa itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menjadi muak, dan tibatiba
pula ia berteriak keras-keras, "Cukup! Jangan membuat
jantungku pecah. Siapakah yang tertawa itu?"
Suara tertawa itu masih terdengar. Namun kini menjadi
semakin perlahan-lahan. Di antara derai tertawa itu terdengar
jawaban, "Aku angger Sanakeling."
"Aku siapa?" teriak Sanakeling. "Setiap orang menyebut
dirinya dengan sebutan serupa. Aku."
Suara tertawa itu kemudian berhenti. Tetapi mereka tidak
segera mendengar jawaban. Sejenak mereka menunggu, dan
terasa malam yang sepi menjadi semakin sepi.
"Siapa kau, he?" sapa Sanakeling semakin keras. "Siapa yang
telah berani memasuki perkemahan prajurit Jipang" Apakah
sudah jemu melihat matahari besok pagi?"
"Jangan lekas marah," jawaban itu semakin mengejutkn.
Terdengar Suara itu kini sudah menjadi semakin dekat.
Namun gelap malam masih melindunginya, sehingga belum
seorangpun yang dapat melihatnya. Tetapi orang-orang
Jipang itu merasa, Sanakeling dan Sumangkar merasa,
bahwa orang itu pasti dapat melihat mereka dengan jelas
karena cahaya-cahaya obor di dekat mereka.
Tetapi orang itu tidak, berusaha bersembunyi terlalu lama.
Sesaat kemudian orang-orang Jipang itu menjadi tegang
ketika mereka melihat bayangan yang bergerak-gerak di
bawah pepohonan. Bayangan yang semakin lama menjadi
semakin jelas. Ketika kemudian cahaya obor yang lemah
dapat mencapainya, maka terbersitlah hati setiap orang yang
melihatnya. Orang itu adalah seorang tua, bermata tajam dan
berhidung lengkung seperti paruh burung hantu.
Beberapa orang yang telah mengenalnya mendjadi berdebardebar
karenanya. Sementara itu terdengar Sumangkar
berdesis, "Ki Tambak Wedi."
Orang yang datang itu adalah Ki Tambak Wedi. Ketika ia telah
bendiri beberapa langkah dari para prajurit Jipang yang
berkerumun itu, kembali orang tua itu tertawa. Tetapi suara
tertawanya kini tidak lagi terlalu keras.
Sanakeling yang mendengar Sumangkar menyebut namanya
mengerutkan keningnya. Inikah orang yang bernama Ki
Tambak Wedi, guru Sidanti" Tiba-tiba dada Sanakeling itu
bergolak. Tanpa dikehendakinya sendiri terdengar Sanakeling
itu berteriak, "He, adakah kau yang disebut orang Ki Tambak
Wedi dari lereng Gunung Merapi?"
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya.
Mereka yang sudi menyebut namaku, demikianlah."
Sanakeling mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya
menjadi semakin tegang dan kembali tanpa dikehendakinya
sendiri tangannya meraba hulu pedangnya.
"Apakah maksudmu datang kemari?" bertanya Sanakeling itu
pula. Ki Tambak Wedi tersenyum. Wajahnya yang keras itu menjadi
kemerah-merahan oleh sinar obor yang mengusapnya.
Jawabnya, "Aku tidak akan berbuat apa-apa Ngger. Jangan
berprasangka. Aku hanya ingin sekedar mendengarkan,
apakah yang akan dikatakan oleh pepunden para prajurit
Jipang." Sanakeling mengerutkan keningnya. "Pepunden?" ulangnya.
"Ya. Bukankah Adi Sumangkar itu seorang pepunden bagi
para prajurit Jipang?"
"Siapa yang mengatakannya?"
"Adi Sumangkar sendiri."
"Bohong!" teriak Sanakeling.
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak saja
berhadapan dengan Sanakeling yang ternyata berbeda
pendirian dengan dirinya. Namun tiba-tiba datang Ki Tambak
Wedi yang licik itu. Dengan sebutannya yang pertama-tama
diucapkan, segera Sumangkar tahu maksud kedatangan
hantu lereng Merapi itu. Dan lebih celaka lagi tanggapan yang
pertama-tama diucapkan oleh Sanakeling adalah sangat
menguntungkan hantu itu. Meskipun demikian Sumangkar
tidak segera menyahut. Dicobanya untuk menilai keadaan
dengan seksama. Namun ia belum menemukan pertimbangan
yang tepat, sebab ia belum tahu tanggapan para prajurit
Jipang itu, atas pendiriannya dan pendirian Sanakeling.
Mendengar teriakan Sanakeling yang serta merta itu, Ki
Tambak Wedi tersenyum. Kemudian katanya lebih lanjut, "Ah.
Jangan menyia-nyiakan orang tua itu Angger. Bukankah Ki
Sumangkar itu adik seperguruan Patih Mantahun. Bukankah
Adi Sumangkar itu paman guru dari pemimpinmu yang kau
segani, Macan Kepatihan?"
"Aku hormati Patih Mantahun yang sakti itu. Aku hormati
Kakang Raden Tohpati yang perkasa. Tetapi Paman
Sumangkar dalam kedudukannya adalah seorang juru masak.
Tidak lebih dan tidak kurang."
Bagian 4 Terasa dada Sumangkar berdesir. Apalagi ketika ia
mendengar jawaban Ki Tambak Wedi, "Tetapi ia mendapat
pesan langsung dari Angger Tohpati. Angger Tohpati yang
perkasa itu berpesan kepada Adi Sumangkar agar membawa
segenap anak buahnya untuk menyerahkan dirinya, tanpa
syarat." "Bohong! Bohong!" teriak Sanakeling. "Aku didak percaya."
"Kenapa kau tidak percaya" Bukankah Adi Sumangkar adalah
satu-satunya orang dari antara kalian yang menunggui saatsaat
terakhir dari Raden Tohpati, selain Untara, Widura, dan
orang-orang Pajang. Sudah tentu Adi Sumangkar berkata
dengan jujur. Pasti bukan karena bujukan Untara atau janjijanji
daripadanya untuk Adi Sumangkar pribadi."
Sekali lagi dada Sumangkar berdesir. Kali ini lebih keras.
Kata-kata Ki Tambak Wedi yang seakan-akan memihaknya itu
adalah suatu pancingan yang berbahaya. Berbahaya baginya
dan berbahaya bagi pesan Tohpati itu sendiri.
Ternyata kecemasannya itu beralasan. Dengan serta merta
Sanakeling menegakkan lehernya. Ia mencoba memandangi
Ki Tambak Wedi dengan saksama. Namun kemudian
Sanakeling itu pun berpaling kepada Sumangkar. Matanya kini
seakan-akan menyala memancarkan kemarahan hatinya.
Dengan suara yang keras parau ia berkata, "He, Paman
Sumangkar, kenapa kau sempat menunggui saat-sat terakhir
Kakang Macan Kepatihan?"
Sumangkar tidak segera menjawab. Ditatapnya mata
Sanakeling yang menyala itu, langsung ke pusatnya. Seakanakan
Sumangkar ingin menjajagi betapa panasnya nyala yang
memancar dari padanya. Tiba-tiba Sanakeling itu melemparkan pandangan matanya.
Terasa betapa dalam perbawa orang itu. Juru masak yang
malas. Namun ketika disadarinya, bahwa matanya yang
menghujam ke wajah Sumangkar itu tergeser, timbullah
kegelisahan yang sangat di dalam dadanya. Sehingga untuk
menutupinya maka Sanakeling itu berteriak keras-keras,
kepada orang-orang Jipang, "He, orang-orang Jipang, apakah
kau percaya bahwa Paman Sumangkar mendapat pesan itu
dari Kakang Tohpati" Apakah bukan karena Paman
Sumangkar sebenarnya berpihak kepada Pajang dan ditanam
dalam perkemahan kita?"
Kembali suana menjadi sepi. Sepi sesepi kuburan. Namun di
dalam setiap dada bergolak berbagai macam tanggapan.
Untuk memuaskan hatinya maka Sanakeling berkata terus,
"Itulah, sebabnya, maka setiap serangan yang kita lancarkan
pasti sudah diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung.
Bahkan tidak mustahil bahwa orang tua inilah yang telah,
memperlemah tekad perjuangan yang menyala di dalam
setiap dada anak-anak Jipang." Kemudian kepada Sumangkar
ia berkata, "Nah Paman Sumangkar, katakanlah kepadaku
kenapa kau dapat mendekati Kakang Macan Kepatihan pada
saat-saat terakhirnya" Kenapa kau tidak dikeroyok seperti
rampogan macan di alun-alun, sehingga betapa saktinya kau,
maka kaupun pasti akan terbunuh pula dengan luka arang
kranjang. Tetapi kau malahan dapat membawa mayat Kakang
Tohpati itu kemari dan mempergunakannya untuk
mempengaruhi tekad anak-anak Jipang yang telah membaja
di dalam dada mereka" He?"
Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Pertanyaan itu
memang memerlukan pembuktian. Tetapi tak ada seorang
saksi pun yang melihat, bahwa apa yang dikatakan itu
bukanlah suatu ceritera yang telah dikarangnya sendiri. Bukan
suatu mimpi yang didapatnya pada saat-saat ia tertidur di
siang hari. Tetapi semuanya adalah sebenarnya demikian.
Karena Sumangkar tidak segera dapat mendjawab, maka
terdengar Ki Tambak Wedi berkata, "Bagaimana Adi
Sumangkar" Angger Sanakeling telah mengajukan beberapa
pertanyaan. Kenapa tidak segera dapat kau jawab" Apakah
pertanyaan itu tepat seperti yang terjadi sebenarnya?"
Sumangkar menggeretakkan giginya. Pertanyaan Ki Tambak
Wedi itu lebih mendorongnya ke sudut yang sangat sulit.
Namun Sumangkar masih berdiri tegak dengan tenangnya.
Betapa hatinya bergelora namun ia sama sekali tidak goreh di
tempatnya, seolah-olah sepasang kakinya telah jauh
menghunjam seperti akar yang kukuh berpegangan pada batu
karang yang teguh. Dan sikapnya itulah yang telah
menyelamatkan wibawanya atas orang-orang Jipang.
Namun yang terdengar kemudian adalah suara Sanakeling
yang gelisah, "He, bagaimana Paman Sumangkar" Apakah
kau masih akan ingkar lagi?"
Tiba-tiba Sanakeling itu menggeram ketika ia melihat
Sumangkar tersenyum. Orang tua itu seakan-akan sama
sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia masih
sempat tersenyum. Di antara senyumnya terdengar Sumangkar berkata, "Baiklah
aku mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi." Sumangkar
berhenti sesaat. Dicarinya kata-kata yang sebaik-baiknya.
Karena ia tidak segera menemukan, maka yang pertama-tama
dikatakan adalah, "Namun sebelumnya, biarlah aku
mengucapkan selamat datang kepada Kakang Tambak Wedi
yang bijaksana." Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya
mengumpat melihat ketenangan Sumangkar.
Kemudian berkata Sumangkar, "Aku akan menolak segala
tuduhan bahwa seolah-olah aku adalah orang yang diselipkan
di antara kalian orang-orang Jipang oleh Pajang. Sayang,
bahwa tidak banyak yang mengenal siapakah Sumangkar"
Sebenarnya Angger Sanakeling pun tidak. Sebab kami, aku
dan Angger Sanakeling selalu berada di medan yang berbeda.
Tetapi kalau ada yang telah mengenal Sumangkar baik-baik,
bertanyalah kepada mereka siapakah yang telah
menyelamatkan tanda-tanda kebesaran Jipang" Rontek,
tunggul, dan umbul-umbul bahkan panji-panji kebesaran"
Semuanya itu telah kalian bawa hari ini ke medan
peperangan. Kalian telah menjadi berbesar hati dan
bertambah berani, karena di atas gelar perang berkibar segala
macam tanda-tanda kebesaran itu. Nah, katakanlah siapakah
yang paling banyak berbuat untuk Jipang pada saat Jipang
runtuh. Pada saat Arya Jipang terbunuh dan kemudian Patih
Mantahun" Semuanya pada saat itu hannya dapat bercerai
berai, semuanya hanya dapat mengungsikan diri sendiri. Nah,
Angger Sanakeling, apakah yang dapat kau lakukan saat itu"
Timbanglah apa yang dilakukan oleh Sumangkar yang tua ini."
Kembali mereka terlempar ke dalam cengkaman kesenyapan.
Kembali orang-orang Jipang terseret ke dalam pertentangan
tanggapan atas pemimpin mereka.
Kini Sanakeling-lah yang terbungkam. Semuanya itu memang
benar telah terjadi. Namun di antara kesepian, itu
menyelusuplah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Katanya, "Ini
adalah suatu ceritera yang telah terjadi atas seorang
Sumangkar. Betapa besar jasa-jasanya atas Jipang, namun
akhirnya dikhianatinya para prajurit yang telah mengorbankan
hampir segala miliknya itu."
Dada Sumangkar seolah-olah tertimpa Gunung Merapi yang
runtuh saat itu. Terasa betapa licik dan licin lidah iblis yang
bernama Tambak Wedi. Namun betapa jantungnya menjadi
gemetar, tetapi Sumangkar tidak mau kehilangan kejernihan
pikiran. Ia berhadapan tidak saja dengan seorang yang sakti;
tetapi juga seorang yang lidahnya mengandung bisa.
Kata-kata Tambak Wedi itu ternyata telah menolong
Sanakeling untuk menjawab pertanyaan Sumangkar. Katanya,
"Nah, Paman Sumangkar. Apa yang terjadi terdahulu
bukanlah ukuran dari apa yang terjadi sekarang. Suatu saat
Sumangkar adalah seorang pahlawan, namun di saat ini
Sumangkar adalah seorang pengkhianat."
Alangkah panas hati Sanakeling ketika ia masih melihat
Sumangkar tersenyum. "Benar Ngger," sahut Sumangkar.
Namun jantungnya serasa akan meledak. Hanya karena
hatinya yang mengendap, maka ia masih dapat bertahan
dalam ketenangan. "Kau Benar. Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari
apa yang terjadi sekarang. Kalau dahulu setiap hidung dari
para prajurit Jipang menghormati Macan Kepatihan, sekarang
Macan Kepatihan tidak lebih dari sesosok mayat. Kalau
dahulu Sanakeling berjuang untuk suatu tujuan, kini
Sanakeling tidak lebih dari seorang prajurit yang dalam
keputus-asaannya berbuat di luar batas perikemanusiaan.
Betapapun kabur dan sempitnya tujuan perjuangan itu dahulu,
namun masih juga ada kemungkinan untuk mencapainya.
Tetapi sekarang yang terjadi, tidak lebih dari menjajakan
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dendam di mana-mana."
"Cukup!" teriak Sanakeling penuh kemarahan. Wajahnya yang
merah menjadi semakin marah. Matanya yang liar menjadi
semakin liar. Hampir saja ia meloncat dan menerkam wajah
Sumangkar. Tetapi ketika kemudian terpandang olehnya
sebatang tongkat baja putih berkepala tengkorak kekuningkuningan,
maka ia tertegun diam. Hanya giginya sajalah yang
terdengar gemeretak. Dalam pada itu Sumangkar masih saja tersenyum dan
berkata, kali ini kepada orang-orang Jipang, "Nah, timbanglah
di hatimu. Kalian telah mendengar apa yang aku katakan dan
apa yang dikatakan oleh Sanakeling. Aku tidak
menyalahkannya, pendiriannya adalah pendirian seorang
prajurit yang tertempa dalam perjuangan yang berat. Tetapi
pendirian itu bukanlah satu-satunya pendirian yang terbentang
di hadapan kita. Taraf perjuangan kalian kini telah sampai
pada suatu titik yang berbeda dengan pada saat kalian baru
mulai." Tetapi kata-kata Sumangkar terputus oleh kata-kata Ki
Tambak Wedi di antara derai tertawanya. "Bagus. Kau
memang benar-benar licik Adi. Kau mampu, memutar balikkan
keadaan dan, memutar balikkan penilaian atas sesuatu
persoalan. Aku bukan orang Jipang. Aku sejak semula adalah
penghuni lereng Merapi. Sejak Demak berkuasa, aku seakanakan
terlepas dari kekuasaan itu. Apalagi sekarang. Namun
aku menaruh hormat pada perjuangan Angger Sanakeling.
Aku kecewa melihat seorang Sumangkar dengan mudahnya
mengingkari dan mengkhianati perjuangan yang telah dirintis,
bahkan dikorbani dengan nyawa dari orang-orang sebesar
Adipati Jipang sendiri, Patih Mantahun, dan yang terakhir
adalah Angger Macan Kepatihan."
Ki Tambak Wedi belum selesai dengan kata-katanya. Namun
Sumangkar kini yang memotongnya. "Ki Tambak Wedi adalah
penghuni lereng Merapi sejak semula. Karena itu Ki Tambak
Wedi tidak banyak mengetahui apa yang terjadi di Jipang, di
Pajang dan di perkemahan ini. Karena itu, apa yang dikatakan
adalah semata-mata suatu cara untuk melumpuhkan kita.
Dengar, apakah kata-katanya bukan sekedar usaha untuk
memecah pendirian kita" Antara aku dan Angger Sanakeling.
Ternyata usahanya hampir terjadi seperti pada saat ia
membakar hati Tundun dan kawan-kawannya di perkemahan
ini siang tadi. Usaha itupun hampir berhasil. Untunglah
Sumangkar masih mampu mengusirnya. Sekarang kau
kembali lagi dengan bisa di mulutmu. Sayang Ki Tambak
Wedi." Kata-kata Sumagkar benar-benar menikam jantung Tambak
Wedi. Kini ialah yang dibakar oleh kata-kata itu sehingga
darahnya tersirap sampai ke kepala. Dengan serta merta ia
menyawab lantang, "Kau bena-benar licik. Tetapi kau di sini
berdiri seorang diri. Kalau Angger Sanakeling bersedia aku
ingin berdiri di pihaknya. Mungkin tak seorangpun dari kalian
yang mampu melawan Sumangkar. Tetapi bagi Tambak Wedi,
Sumangkar bukan seorang yang menyilaukan."
Sanakeling yang hatinya telah terbakar lebih dahulu tidak
dapat menimbang lagi mana yang buruk, mana yang baik.
Hatinya telah dibutakan oleh ketamakannya atas pimpinan
sepeninggal Macan Kepatihan, atas harga dirinya sebagai
seorang prajurit pilihan, atas dendam yang membara di
dadanya. Itulah sebabnya tiba-tiba ia berteriak, "Jangan
banyak bicara setan tua. Ayo, selama darah prajurit masih
mengalir di dalam dada kalian, kalian akan tetap dalam
pendirian kalian yang telah kalian letakkan sejak semula. Kini
apabila kalian masih tetap dalam sumpah kalian sebagai
prajurit Jipang, dengar perintahku. Tangkap orangg tua ini!"
Teriakan Sanakeling itu menggelegar menembus gelap
pekatnya hutan, memukul pepohonan dan bergema berulangulang.
Susul menyusul seperti gelombang yang menghentakhentak
pantai. Sumangkar yang mendengar perintah itu tiba-tiba mundur
selangkah. Tanpa sesadarnya ia membelai tongkat baja
putihnya. Bahkan tiba-tiba pula ia berkata lantang, "Ayo! Inilah
Sumangkar. Siapa yang ingin mcnangkap Sumangkar,
tangkaplah! Aku sudah tua. Sudah banyak yang aku alami dan
sudah banyak yang aku lakukan. Tetapi kalau masih ada
sepercik sinar di dalam hatimu, hati seorang manusia yang
berdiri di atas kemanusiaannya, dengarlah kata-kataku.
Mungkin kata-kataku terakhir. Kalau aku tidak sempat
melakukan, kuburkanlah mayat Angger Macan Kepatihan
baik-baik. Ia adalah seorang yang berhati jantan, tetapi ia
adalah seorang yang berhati lembut, selembut hati seorang
ibu. Pada saat terakhirnya, ia berkorban untuk kalian, namun
ia juga memikirkan hari-hari depan kalian. Hari-hari yang
masih panjang, buat anak cucu kalian dan hari yang masih
panjang buat Demak. Ayo! Sekarang aku sudah bersiap.
Siapa yang pertama-tama" Sanakeling atau Tambak Wedi?"
Suara Sumangkar yang tua itupun terasa seakan-akan
menusuk langsung ke setiap dada. Orang-orang Jipang yang
mendengar suaranya seakan-akan darahnya menyadi beku.
Mereka melihat orang tua itu menggenggam tongkatnya eraterat,
siap untuk terayun dengan derasnya.
Tetapi bukan hanya suara Sumangkar itu yang mempengaruhi
hati setiap orang Jipang, makna dari kata-kata itupun telah
menyentuh hati sebagian mereka pula.
Namun Sanakeling telah bena-benar bermata gelap. Dengan
serta merta ia menarik pedangnya. Dan sekali lagi suaranya
menggelegar memenuhi hutan. "Ayo, tangkap orang tua ini.
Orang tua yang telah mengkhianati perjuangan kalian. Bahkan
sampai hati untuk merendahkan diri mencium kaki orangorang
Pajang." Tiba-tiba orang-orang Jipang yang berdiri di muka gubug
itupun seakan-akan bergetar. Beberapa orang menjadi saling
berdesakan. Dan beberapa di antara merekapun tiba-tiba
menarik pedangnya pula sambil berteriak menyambut perintah
Sanakeling. "Kita telah siap Ki Lurah. Kita siap menangkap
orang tua itu." Sumangkar memandang orang-orang Jipang itu dengan sudut
matanya. Ia melihat beberapa orang bena-benar telah
mengacungkan pedang-pedang mereka. Dan karena itulah
maka hatinya bena-benar menyadi gelisah. Bukan karena ia
takut mati. Tetapi apakah ia sampai hati urtuk menebaskan
tongkatnya kepada orang-orang yang tidak menyadari apa
yang akan dilakukannya itu" Karena itu ketika ia melihat
beberapa orang di antara mereka berdesakan maju, maka
kegelisahannya menyadi semakin menyekat hati.
Apalagi ketika di kejauhan terdengar suara Tambak Wedi,
"Bagus. Kalian telah bertindak tepat. Kalau tidak ada di antara
kalian yang dapat melakukannya, maka aku bersedia
menolong kalian menangkap orang tua itu."
Sumangkar berdesis. Kemarahannya kini telah memuncak
pula. Tetapi kepada Ki Tambak Wedi. Bukan kepada orangorang
Jipang itu. Sehingga ketika ia melihat Sanakeling maju
selangkah maka Sumangkar itu mundur setapak.
"Jangan mencoba lagi!" bentak Sanakeling.
Sumangkar menggeram. Namun tiba-tiba, sekali lagi ia
terkejut. Kini ia melihat orang-orang Jipang itu seakan-akan
terbagi. Beberapa orang yang telah menarik senjata mereka,
seakan telah berkumpul di bagian depan dari orang-orang
Jipang yang berkerumun itu. Tetapi sebagian yang lain masih
tetap berdiri tegak di tempat mereka. Bahkan kemudian
terjadilah suatu hal yang tidak terduga-duga. Tiba-tiba di
antara mereka yang masih berdiri di tempatnya itu terdengar
sebuah teriakan nyaring. "Jangan sentuh orang tua itu. Kami
berdiri di pihaknya."
Setiap orang berpaling ke arah suara itu. Sanakeling dan
Sumangkar pun berpaling pula. Sebelum mereka melihat
siapa yang berteriak itu, terdengar orang lain menyambut,
"Kami berada di pihak Ki Sumangkar."
Tanpa disangka-sangka pula, suara itu segera menjalar
kesegala arah. Dengan suara yang melengking-lengking
terdengar orang-orang Jipang itu berteriak-teriak, "Kami
berada di pihak Ki Sumangkar."
Setiap darah akan tersirap ketika mereka kemudian melihat
senjata berkilauan. Kini bukan saja orang-orang yang berdiri di
pihak Sanakeling menarik senjata-senjata mereka. Namun
orang-orang yang berdiri di pihak Sumangkar pun telah
menggenggam senjata-senjata mereka yang telanjang.
Yang paling nyaring dari antara mereka adalah suara Tundun,
yang pada siang harinya hampir berusaha membunuh
Sumangkar. Kini dengan sepenuh hati ia berteriak meskipun
tangannya masih agak sakit. "Ki Sumangkar telah
menyelamatkan kami siang tadi dari keganasan Ki Tambak
Wedi. Aku telah dihidupinya meskipun aku berusaha untuk
membunuhnya. Ternyata Ki Sumangkar adalah orang yang
sebaik-baiknya dan sesakti-saktinya dalam perkemahan ini."
"Tutup mulutmu!" bentak seorang yang lain, yang berdiri di
pihak Sanakeling. "Kalau kau ingin mati bersamanya, ayo,
matilah kau lebih dahulu."
"Bagus," teriak Tundun. "Siapa kau?"
Tundun melihat seseorang meloncat dari antara orang-orang
Jipang yang memihak Sanakeling. Tetapi Tundun pun segera
meloncat menyongsongnya. Bahkan bukan saja Tundun.
Tetapi seorang yang bertubuh kecil dan bernama Bajang
datang pula mendekatinya. Meskipun lukanya belum sembuh
benar. "Hem," Bajang itu menggeram, "serahkan orang ini kepadaku.
Aku setiap hari hanya mendapat pekerjaan memotong leher
binatang-binatang. Kini aku akan mencoba memotong leher
orang." Namun kawan-kawan orang itupun segera berloncatan pula.
Mereka tidak akan melepaskan orang itu bertempur seorang
diri. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah
berhadapan dalam kelompok dan pihak masing-masing.
Melihat peristiwa itu, alangkah sakitnya hati Sumangkar.
Alangkah pedihnya. Karena itu ketika kedua belah pihak telah
siap untuk bertempur, terdengarlah Sumangkar itu berteriak,
"Berhenti! Berhenti! Apakah kalian, sudah menjadi gila"
Bukankah kalian sedang berhadapan dengan kawan sendiri,
yang selama ini telah bersama-sama menanggung segala
macam derita dan kesulitan" Bukankah kalian selama ini telah
terumbang-ambing dalam biduk yang sama. Tenggelam
bersama dan mengambang bersama. Bila badai menempuh
biduk itu, kalian bersama-sama dibuai dengan dahsyatnya,
namun bila angin silir, kalian bersama-sama dibelai oleh
kesegaran. Kini kalian telah siap berhadapan dengan senjata
telanjang. Apakah kalian benar-benar telah menjadi gila?"
Orang-orang Jipang itupun tertegun diam. Masing-masing
seakan-akan telah dipukau oleh suatu pesona mendengar
kata-kata itu. Bahkan Sanakeling pun hanya berdiri saja
mematung untuk sesaat. Tetapi ketika kemudian Sanakeling
menyadari, bahwa sebagian dari orang-orang Jipang itu tidak
mematuhi perintahnya, maka kembali darahnya bergelora
dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.
Sanakeling merasa bahwa sebagian dari laskar Jipang itu
telah terpengaruh oleh Sumangkar untuk berkhianat
kepadanya. Ya. Kepadanya. Kepada Sanakeling. Sehingga
dengan nyaringnya ia berkata, "He. Siapa yang berpihak
kepada Sumangkar adalah pengkhianat. Orang-orang itu
harus dibinasakan pula bersama Sumangkar."
Tetapi Sumangkar menyahut, "Dengarlah olehmu sekalian.
Apapun yang kau dengar, baik dari mulutku, maupun dari
mulut Angger Sanakeling adalah demi keselamatan kalian.
Pesan Angger Tohpati berisi petunjuk supaya kalian dapat
menemukan kedamaian hati dan kemungkinan yang terang di
hari depan. Sedang perintah Angger Sanakeling mengandung
makna, supaya kalian tetap dalam kejantanan jiwa seorang
prajurit. Kalau kalian kemudian bertempur satu sama lain,
maka kedua pesan itu sama sekali tak berarti. Kalian akan
musnah, bukan sebagai prajurit-prajurit yang sedang
mempertahankan harga diri seperti yang dimaksud oleh
Angger Sanakeling. Bukan dalam kebesaran jiwa Jipang yang
berjuang sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai prajurit
yang saling bunuh-membunuh berebut kebenaran, yang tidak
berpangkal dan berujung. Juga kalian tidak akan dapat
memenuhi pesan Angger Tohpati yang kalian segani, sebab
kalian tidak akan sempat menemukan kedamaian hati dan hari
depan yang baik. Kalian akan mati karena pedang kawan
sendiri, dan kalian akan mati tertimbun bangkai sesama."
Kembali orang-orang Jipang itu mematung. Sanakeling yang
sudah meluap itupun kembali mematung pula.
Namun sayang, bahwa di antara mereka, berdiri seorang
Tambak Wedi yang selalu meniup-niupkan bisa dari mulutnya.
Ketika ia melihat keragu-raguan di antara mereka, kembali ia
tertawa dan berkata, "Alangkah liciknya cara Sumangkar yang
perkasa itu menyelamatkan diri. Bagi seorang prajurit,
kebenaran adalah mutlak. Tidak pandang siapakah yang
berdiri di hadapannya. Jangankan kawan seperjuangan.
Bahkan sanak kadang, ayah kandung sendiri, kalau ia
berkhianat, maka pedang kita akan menusuk ulu hatinya.
Lebih baik berkawan sepuluh duapuluh orang yang setia
daripada seratus dua ratus pengkhianat. Itulah pilihan Angger
Sanakeling." "Tepat," teriak Sanakeling, "tepat seperti kata-kata Ki Tambak
Wedi. Ayo jangan ragu-ragu. Pedang kalian telah tertarik dari
sarungnya." "Yang kalian anggap pengkhianat adalah Sumangkar," teriak
Sumangkar. "Kalau ada yang berpihak kepadaku adalah
karena mereka terpengaruh kata-kataku. Nah, ayo. Kalau
kalian ingin bertindak, bertindaklah terhadap Sumangkar.
Kepada para prajurit Jipang yang mendengarkan pesan-pesan
Tohpati lewat mulutku, aku minta kalian tidak perlu membela
Sumangkar. Biarlah Sumangkar mati memeluk kewajiban
yang dibebankan oleh pemimpinnya pada saat-saat terakhir,
menyampaikan pesan itu kepada kalian. Lepaskan
Sumangkar dan kalian dapat meninggalkan tempat ini
menempuh jalan yang kalian kehendaki itu. Sekarang ayo,
siapa yang akan membunuh Sumangkar?"
Sanakeling menggeram. Namun ia masih belum beranjak dari
tempatnya. Ia tahu benar siapakah Sumangkar itu. Ia
mengharap semua prajurit Jipang bersama-sama
menangkapnya. Betapapun saktinya Sumangkar, namun ia
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti tidak akan dapat melawan semua orang yang berada di
tempat itu. Tetapi tiba-tiba orang-orang Jipang itu terbelah.
Hampir terbelah dua, yang masing-masing akan dapat
bertempur dengan pemimpin saja mampu menangkap
Sumangkar. Ketika ia berpaling dilihatnya Alap-alap Jalatunda.
Anak muda itu berdiri dengan tegangnya. Namun wajahnya
tidak meyakinkan Sanakeling, kepada siapa ia akan berpihak.
Sedang beberapa orang yang lainpun sangat meragukannya.
Demikianlah maka setiap wajah kini dicengkam oleh keraguraguan.
Meskipun pedang Sanakeling telah bergetar namun
kakinya sama sekali belum bergerak.
Dalam keragu-raguan itu terdengar kembali suara Ki Tambak
Wedi, "Kenapa kau ragu-ragu Angger Sanakeling" Setidaktidaknya
yang sependapat dengan pendirianmu adalah
separo. Serahkan mereka menyelesaikan pendirian masngmasing.
Jangan hiraukan alasan-alasan cengeng yang keluar
dan mulut Sumangkar. Sekarang Angger Sanakeling dapat
menangkap dan sekaligus menghukum mati Sumangkar itu.
Kalau Angger tidak sanggup karena kesaktian Sumangkar,
biarlah Tambak Wedi membantumu."
Mata Sanakeling yang liar menjadi bertambah liar. Tawaran itu
menggembirakannya, sehingga ia menjawab, "Terima kasih Ki
Tambak Wedi. Orang ini memang perlu mendapat sedikit
peringatan. Peringatan atas kelicikannya membawa sebagian
dari kita untuk berkhianat."
"Tambak Wedi," potong Sumangkar. "Kau bukanlah seorang
dari antara kita. Tetapi mulutmu yang berbisa itu seakan-akan
menentukan apa yang harus kita lakukan. Kau telah berhasil
menghancurkan pasukan Jipang tanpa membawa seorang
prajuritpun. Sehingga dengan demikian kau berhak
mengenakan tanda jasa yang setingi-tingginya dari Pajang."
Sekali lagi Tambak Wedi menggeram. Sumangkar masih
mampu menangkis usahanya yang terakhir. Sesaat ia
kehilangan kesempatan untuk mendororong Sanakeling
bertindak lebih jauh. Apalagi ketika kemudian ia melihat
Sanakeling menjadi ragu-ragu. Karena itu maka ia langsung
sampai pada tujuannnya, katanya, "Hem. Sekali lagi kau
menunjukkan kelicikanmu Sumangkar. Baiklah aku berterus
terang. Muridku telah disisihkan oleh Untara setelah ia gagal
berusaha membunuh senapati Pajang yang sombong itu. Ia
hanya berhasil melukainya dengan parah. Tetapi Untara itu
dapat sembuh dari sakitnya. Kini muridku datang untuk
menawarkan diri kepada Angger Sanakeling. Bekerja
bersama. Mungkin kita belum menemukan titik persamaan
pendirian. Namun hal itu dapat dibicarakan kemudian."
Darah Sanakeling tersirap mendengar tawaran itu. Alangkah
baiknya. Selagi ia kehilangan seorang pemimpin yang kuat,
tiba-tiba ia akan mendapat kawan dalam meneruskan
perjuangan, meskipun perjuangan itu tidak lebih dari
menyebarkan dendam di mana-mana.
Bagian 5 Maka dalam kegelapan pikiran, tawaran Ki Tambak Wedi itu
bagi Sanakeling bagaikan sepercik sinar yang langsung
menyorot hatinya. Apalagi pada saat itu Sanakeling tidak
sempat untuk banyak membuat pertimbangan. Yang
menyumbat otaknya adalah pengkhianatan Sumangkar dan
beberapa orang prajurit kepadanya. Karena itu maka
teriaknya, "Bagus! Tawaran itu bagus sekali Kiai. Mungkin kita
dapat menemukan titik-titik persamaan yang dapat kita pakai
sebagai dasar perjuangan bersama untuk membinasakan
Untara. Nah, sekarang orang tua inilah yang harus kita
binasakan lebih dahulu."
Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, "Namun dalam beberapa
hal aku sependapat dengan Adi Sumangkar. Para prajurit
Jipang ini tidak perlu saling membunuh. Mereka kini hanya
diwajibkan untuk menonton pertunjukan yang pasti akan
mengasyikkan kalian."
Para prajurit Jipang itu masih tegak dengan senjata di tangan
masing-masing. Wajah-wajah mereka masih dicengkam oleh
ketegangan dan ujung senjata-senjata mereka masih
bergetaran. "Nah, Adi Sumangkar. Apakah kau sudah bersedia untuk
mati?" Sumangkar mengerutkan keningnya. Betapa umurnya yang
telah melampaui pertengahan abad itu, telah membantunya
untuk melihat jauh ke dalam hati orang-orang yang berada di
sekitarnya. Sanakeling, Tambak Wedi, dan para prajurit yang
kebingungan itu. Juga kata-kata Tambak Wedi itu baginya
sama sekali tidak diucapkan dengan jujur. Karena itu maka
jawabnya, "Kakang Tambak Wedi, Sumangkar sudah siap
sejak semula. Namun sekali lagi aku ingin berpesan. Bagi
mereka yang ingin memenuhi pesan Angger Tohpati lewat
mulutku. Janganlah nonton seperti nonton adu ayam. Kalian
berada dalam bahaya. Selama aku masih hidup, mungkin Ki
Tambak Wedi dan beberapa orang terpenting dari pasukan ini
masih memerlukan menangkap dan membunuhku. Tetapi
sepeninggalku, maka akan datang giliran buat kalian. Apa
yang akan dapat kalian lakukan apabila Sanakeling dan
Tambak Wedi ikut serta dalam barisan yang ingin
membinasakan kalian" Nah, karena itu, sebelum aku binasa,
aku masih akan dapat mengikat perhatian Tambak Wedi dan
Sanakeling. Karena itu, berusahalah meninggalkan tempat ini.
Pergilah langsung ke Sangkal Putung. Katakan apa yang
kalian lihat di sini. Katakan bahwa kalian mendengar pesan
Tohpati dari mulut Sumangkar, yang barangkali pada saatsaat
itu telah terbunuh di sini. Jangan ragu-ragu. Pesan itu
telah didengar pula oleh Untara dan Untara telah
mengucapkan jaminan untuk kalian. Sebagai seorang
senapati yang berhati jantan, pasti ia tidak akan ingkar. Aku
mengharap orang yang bernama Kiai Gringsing akan
membantu kalian apabila Angger Untara melupakan janjinya.
Aku percaya kepada orang itu. Aku percaya kepada muridnya
yang bernama Agung Sedayu, adik Untara. Mereka adalah
manusia-manusia yang baik bagi kemanusiaan. Jangan
mencoba bertempur di sini. Tak akan ada gunanya. Nah,
apakah kalian dengar?"
"Sebuah jebakan yang manis," teriak Ki Tambak Wedi. "Kalian
benar-benar akan menjadi seperti ikan masuk ke dalam wuwu.
Kalian, akan masuk Sangkal Putung dengan mudahnya.
Tetapi demikian senjata-senjata kalian dikumpulkan, maka
tangan kalian akan segera terikat. Kalian, akan menjadi
bandan seumur hidup kalian atau bahkan akan diseret
sepanjang jalan dalam hukuman picis. Betapa nyamannya
kulit kalian akan disobek segores demi segores, dan
dipercikan air asam pada luka-luka itu."
Namun Sumangkar sempat menyahut, "Adalah suatu
khayalan yang mengerikan. Kalau aku hanya sekedar ingin
membunuh kalian, para prajurit Jipang, aku tidak akan
bersusah payah mempertahankan pendirian ini dengan
berperisai nyawa. Aku akan dapat berbuat dengan mudahnya,
meneteskan beberapa tetes getah racun ke dalam
masakanku, maka kalian akan binasa bersama-sama. Tetapi
aku tidak berbuat demikian. Kalian bukan anak-anak yang
bodoh. Kalian kini sudah cukup dewasa untuk berpikir dan
berbuat. Nah, silahkanlah. Jangan terlalu lama." Kemudian
kepada Ki Tambak Wedi, Sumangkar berkata, "Ayo. Kau
sudah mulai menjemukan bagiku. Berbuatlah sesuatu. Jangan
selalu berbicara saja dengan mulutmu yang berbisa. Memang
mungkin mulutmu itu lebih tajam dari senjatamu. Tetapi
tongkat baja putih, ciri perguruan Kedung Jati ini akan dapat
menutup mulutmu itu untuk selama-lamanya."
Tambak Wedi menggeram, Kemarahannya telah benar-benar
membakar dadanya. Tiba-tiba di atas kepala orang-orang
Jipang itu terdengar suara berdesing. Seperti desing anak
panah raksasa yang meluncur dengan cepatnya. Orang-orang
Jipang itu terkejut. Serentak mereka menengadahkan wajahwajah
mereka. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
Namun Sumangkar adalah lain dari mereka. Sumangkar
mempunyai beberapa kelebihan dari para prajurit itu. Betapa
lemahnya cahaya obor di sekitarnya, namun matanya yang
tajam masih dapat menangkap seleret benda yang berlari
kencang, sekencang tatit, menyambarnya. Tetapi Sumangkar
adalah murid kedua dari perguruan Kedung Jati. Itulah
sebabnya, maka ia mampu bergerak menyamai kecepatan
benda yang meluncur itu. Dengan lincahnya ia bergeser surut
setapak, dan dalam pada itu tongkatnya menyambar sebuah
benda yang meluncur ke arah kepalanya. Sesaat kemudian
terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Kedua benda itu
beradu. Demikian dahsyatnya sehingga suaranya berdentang
memekakkan telinga, sedang dari benturan itu memercik
bunga-bunga api yang gemerlapan.
Tetapi Sumangkar tidak sekedar memukul benda itu.
Demikian tangkas gerak tongkatnya, sehingga benda itu
terpukul ke samping. Untunglah Sanakeling bukan sekedar
patung batu. Orang itu mampu menangkap keadaan. Ketika ia
melihat Sumangkar memukul benda itu ke arahnya, ia telah
menyiapkan pedangnya. Tetapi demikian pedangnya berhasil
menangkis benda yang terpantul ke arahnya itu, maka
tergetarlah tangannya dan pedangnyapun terlontar jatuh.
Sanakeling itu sesaat terpaku diam di tempatnya. Terasa
tangannya menjadi pedih, tetapi terasa dadanya seakan-akan
menyala dibakar oleh kemarahannya yang meluap-luap.
Ketegangan dan kesenyapan memuncak di sekitar gubug itu.
Semua orang seperti terbungkam mulutnya oleh tangantangan
iblis yang mengerikan. Darah mereka bahkan terasa
seolah-olah berhenti mengalir.
Namun, selain Sanakeling yang dadanya seolah-olah menyala
maka Ki Tambak Wedi yang ternyata kini telah berdiri di atas
sebongkah batu padas itupun mengumpat sejadi-jadinya.
Sumangkar, juru masak yang malas itu telah berhasil
menghindarkan serangan pertamanya. Dengan serangan
yang dilontarkannya dari dalam gelap, ia ingin sekaligus
membunuh Sumangkar dengan gelang-gelang besinya. Tetapi
ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu benarbenar
tangkas. Dan ternyata pula tongkat baja putih itu-pun
bukan sekedar senjata biasa. Tongkat itu mampu menahan
arus yang dahsyat dan kekuatan Ki Tambak Wedi lewat
gelang-gelang besinya. Bahkan serangan itu hampir saja
mengenai Sanakeling pula. Meskipun kemudian Sanakeling
berhasil pula menangkis pantulan besi itu, namun senjatanya
terlepas dari tangannya. Dengan demikian dapat diduga,
betapa dahsyatnya kekuatan Ki Tambak Wedi, dan betapa
dahsyatnya kekuatan Sumangkar serta tongkat baja putihnya.
Semua yang terjadi itu hampir tak masuk di akal para prajurit
Jipang yang melihat peristiwa itu dengan mata yang
terbelalak. Mereka selama ini sepeninggal Adipati Jipang dan
Patih Mantahun, tidak mengenal orang sakti selain Macan
Kepatihan. Bahkan mereka menyangka bahwa tak ada
seorangpun yang akan mengalahkan pemimpinnya itu.Tetapi
ternyata Raden Tohpati itu terbunuh. Selama ini mereka
menyangka, bahwa apabila tidak dikirim Ki Gede Pemanahan,
atau Mas Ngabehi Loring Pasar, maka Tohpati tidak akan
dapat dibinasakan. Tetapi mereka terpaksa melihat
kenyataan, bahwa Untara telah berhasil membunuhnya. Dan
kini di antara mereka sendiri, mereka dapat melihat
kemampuan dan kesaktian yang melampaui kemampuan dan
kesaktian Macan Kepatihan. Juru masak yang malas itu
ternyata adalah seorang yang telah memukau jantung mereka.
Peristiwa ini sekaligus telah mengetok hati para prajurit Jipang
itu, bahwa kesaktian itu tersimpan di mana-mana. Kadangkadang
di tempat-tempat yang sama sekali tak terduga-duga.
Yang dikagumi masih ada yang melampauinya, dan yang
melampaui itupun bukanlah seorang yang tak terkalahkan.
Beberapa orang yang berotak cair segera dapat mengambil
pelajaran dari peristiwa ini. Tak seorangpun yang dapat
menyebut dirinya tak terkalahkan. Tak seorangpun yang akan
dapat dianggap sebagai seorang yang maha sakti. Seperti apa
yang telah terjadi atas Jipang yang merasa diri mereka tak
terkalahkan, setidak-tidaknya mereka menganggap bahwa
pemimpin-pemimpin mereka adalah orang-orang yang tak
terkalahkan, maka akhirnya Jipang terpaksa jatuh tersungkur,
terbenam dalam kehancuran yang dahsyat, sehingga sulitlah
untuk dapat bangkit kembali. Arya Jipang yang disangka tak
akan dapat terbunuh kalau tidak oleh senjata pusakanya
sendiri itupun akhirnya terbunuh juga, hanya oleh seorang
anak muda yang sama sekali tak pernah disebut namanya.
Apalagi dalam deretan nama para sakti.
Anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring Pasar yang
juga disebut Sutawijaya itu ternyata mendapat cara untuk
menggoreskan keris Arya Penangsang sendiri, yang
disebutnya Setan Kober, pada ususnya yang telah mencuat
keluar dari luka di lambungnya. Luka karena tusukan tombak
Kiai Plered di dalam genggaman anak muda yang bernama
Sutawijaya itu. Bagi mereka yang berotak cair, melihat semua peristiwa itu
dengan debar di dalam dadanya. Mereka seolah-olah melihat
semuanya itu terjadi kembali. Juga tidak masuk di akalnya.
Namun semua peristiwa itu telah menuntun mereka untuk
mengenangkan, bahwa ada kekuasaan di luar kekuasaan
manusia. Kalau kekuasaan itu akan berlaku, berlakulah. Di
mana dan kapan saja. Semua yang tidak mungkin, akan
terjadi pula. Bahkan yang tak masuk akal sekalipun.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang akan menggilas semua
ketamakan, kesombongan, dan kebanggaan manusia atas
dirinya sendiri. Tetapi tidak semua orang melihat sinar yang betapapun
terangnya. Seseorang yang berdiri di dalam gelap sekalipun.
Kadang-kadang mereka lebih senang tenggelam dalam
dunianya yang gelap, yang akan dapat melindunginya untuk
berbuat apa saja sekehendak hatinya.
Prajurit-prajurit Jipang itupun tetap terbagi dalam pendirian
yang barbeda. Mereka masih tetap berpijak pada sikap
masing-masing. Sebagian dari mereka berkata di dalam
hatinya, "Alangkah dahsyatnya Ki Sumangkar. Ia mampu
melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba, serangan
yang licik itu." Namun orang-orang yang lain berkata di dalam
hatinya, "Alangkah dahsyatnya lontaran tangan Ki Tambak
Wedi. Dengan bermain-main gelang itu, hampir-hampir
Sumangkar dapat dibunuhnya. Apalagi kalau ia nanti
bersungguh-sungguh menyerang Sumangkar untuk
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuhnya." Di antara mereka, yang tak beringsut dari pendiriannya, dan
bahkan menjadi semakin berkobar di dalam dadanya adalah
Sanakeling. Bahwa pedangnya lepas dari tangannya, adalah
suatu peristiwa yang sangat memalukan. Sumangkar dapat
menahan gelang-gelang yang langsung meluncur dari tangan
Ki Tambak Wedi, sedang pedangnya terloncat dari
genggamannya hanya karena pantulan benda itu.
Sejenak kemudian kesenyapan itu dipecahkan oleh suara Ki
Tambak Wedi, "Gila kau Sumangkar. Tetapi jangan kau
sangka bahwa kau akan dapat melepaskan diri dari tangan Ki
Tambak Wedi." Kemudian kepada Sanakeling ia berkata,
"Biarkan para prajurit Jipang membuat keputusan sendiri di
antara mereka. Namun marilah, sumber dari pengkhianatan itu
kita lenyapkan." Sumangkar sama sekali tidak menyahut. Perlahan-lahan
tangannya membelai senjatanya, seolah-olah ia berkata,
"Marilah kita berbuat sesuatu untuk yang terakhir kalinya."
Tetapi ternyata Sumangkar tidak berdiri sendiri. Ketika Para
prajurit yang berpihak kepadanya melihat, bahwa Sumangkar
telah bersiap untuk menyongsong segala kemungkinan, maka
orang-orang Jipang yang berpihak kepadanyapun bersiap
pula. Ki Tambak Wedi yang seakan-akan dadanya meledak karena
goncangan kemarahannya, kemudian berteriak nyaring untuk
menekan keberanian orang-orang Jipang yang berpihak
kepada Sumangkar. "He Sumangkar, di tanganmu
tergenggam ciri perguruan Kedung Jati. Sebuah tongkat baja
putih yang terkenal. Tetapi perguruan di kaki Gunung Merapi
mempunyai cirinya sendiri. Bukan sekedar gelang-gelang
permainan kanak-kanak, tetapi kau sudah cukup mengenal ciri
itu. Marilah kita Iihat, manakah yang lebih sempurna, ciri
Kedung Jati dan ciri Lereng Merapi."
Semua orang berpaling ke arah Ki Tambak Wedi berdiri. Dan
semua orang melihat orang tua itu berdiri di atas segumpal
batu padas dengan sebuah senjata yang dahsyat di tangan.
Sebuah Nenggala yang runcing pada ujung dan pangkalnya.
Sebuah Nenggala yang berbentuk dua ekor ular yang saling
mem belit berlawanan arah. Lidah-lidah ular itu terjulur dalam
bentuk tempaan ujung tombak. Mengerikan. Itu adalah tanda
dan senjata yang terpercaya dari perguruan Tambak Wedi.
Dan senjata itu kini telah ditarik dari selubung dan
wrangkanya. Sumangkar pun melihat senjata itu pula dalam keremangan
cahaya obor yang kemerah-merahan. Terasa debar
jantungnya bertambah cepat. Tambak Wedi memang terkenal
sebagai seorang yang sangat sakti seakan-akan mampu
menangkap angin. Namun perguruan Kedung Jati pernah pula
terkenal, seolah-olah mampu menyimpan nyawa rangkap di
dalam tubuhnya. Kini mereka berha-dapan dengan ciri
kebesaran perguruan masing-masing. Ciri yang tersimpan
rapat-rapat dan jarang-jarang dipergunakan apabila keadaan
tidak sangat gawat bagi mereka masing-masing.
Namun Sumangkar benar-benar sudah pasrah diri. Ia tidak
melihat kemungkinan lain daripada mati. Melawan Ki Tambak
Wedi seorang diri, ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya.
Apalagi Ki Tambak Wedi masih juga bergabung dengan
orang-orang seperti Sanakeling dan mungkin para pemimpin
Jipang yang lain. Meskipun mereka agaknya ragu-ragu,
namun apabila Sanakeling telah bertindak bersama-sama
Tambak Wedi, maka sebagian dari merekapun akan berbuat
pula serupa. Sumangkar menggeram perlahan-lahan. Ia pernah bertempur
melawan Tambak Wedi. Tetapi waktu itu ia tidak
mempergunakan senjatanya, dan Tambak Wedi pun hanya
sekedar mempergunakan gelang-gelang untuk melindungi
tangannya. Tetapi kini, keduanya telah bersiap dengan senjata
masing-masing. Sanakeling yang masih berdiri di hadapan Sumangkar hampirhampir
tak dapat lagi menahan dirinya. Kemarahannya telah
membakar darahnya sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia tidak
segera berbuat sesuatu. Ia tidak dapat melangkah mengambil
senjatanya sebab dengan demikian Sumangkar dapat
menyerangnya dengan tiba-tiba dan memukul tengkuknya
dengan tongkat baja itu. Karena itu maka satu-satunya
kemungkinan baginya adalah menunggu Tambak Wedi
bertindak lebih dabulu. Sumangkar pun tidak mau memulai perkelahian itu. Apabila
setapak ia maju mendekati Sanakeling dan mengabaikan
Tambak Wedi, maka pasti akan terbang lagi gelang-gelang
serupa menyambarnya. Karena itu maka perhatiannya justru
sebagian besar tertuju ke arah Ki Tambak Wedi daripada
Sanakeling yang berdiri beberapa langkah saja daripadanya.
Beberapa orang lain, menurut pertimbangan Sumangkar tidak
akan memulai pula. Mereka masih berdiri dalam keraguraguan.
Sebagian dari mereka pasti hanya akan menunggu
perkembangan keadaan. Siapa yang menang itulah yang akan
menentukan, kepada siapa ia akan berpihak.
Tetapi agaknya Tambak Wedi-lah yang akan memulai
memecahkan sikap-sikap itu. Ternyata dengan tangannya ia
meloncat turun dan berjalan menyibak orang-orang Jipang ke
arah Sumangkar berdiri. Ternyata Tambak Wedi itupun
memperhitungkan semua kemungkinan yang dihadapinya. Ia
menjinjing senjatanya di tangan kiri, dan menggenggam
gelang-gelang di tangan kanan siap dilontarkan apabila pada
saat ia berjalan mendekat itu Sumangkar mulai menyerang
Sanakeling yang tidak bersenjata.
Setiap langkah Ki Tambak Wedi terasa seakan-akan derap
seorang raksasa yang berjalan di dalam dada setiap orang
yang menyaksikannya. Setiap langkah telah meningkatkan
ketegangan menjadi semakin memuncak, seakan-akan
sebuah tanggul yang telah penuh dengan air. Setiap saat akan
pecah. Setiap saat banjir akan dapat melanda dengan
dahsyatnya. Sumangkar memandang langkah Tambak Wedi itu tanpa
berkedip. Semakin dekat hantu Lereng Gunung Merapi itu,
semakin erat ia menggenggam tongkat baja putihnya. Sekalisekali
dipandanginya beberapa orang Jipang yang berdiri
saling berhadapan seperti dua gelar perang yang siap
berbenturan. Sesaat hatinya menjadi sedih. Ia dapat
membayangkan bahwa apabila perkelahian itu terjadi, maka
akan tumpaslah segenap pasukan itu. Sumangkar dapat
menduga bahwa para prajurit itu seakan-akan benar-benar
terbelah di tengah. Masing-masing pihak yang semula
tercampur-baur itu, kini benar-benar telah bersibak menurut
pilihan masing-masing. Dan Tambak Wedi, yang garang itu
berjalan di tengah-tengah, di garis pemisah antara kedua
pihak yang berselisih pendapat itu.
Namun dada setiap orang yang berdiri di tempat itu benarbenar
akan pecah oleh peristiwa yang menyongsong
kemudian. Peristiwa yang benar-benar telah meledak tanpa
dapat mereka mengerti. Ketika semua orang sedang dipukau
oleh ketegangan langkah Ki Tambak Wedi, tiba-tiba mereka
mendengar suara tertawa pula. Tidak sekeras suara Ki
Tambak Wedi. Namun suara itu telah menarik segenap
perhatian dari semua orang yang berada di tempat itu.
Termasuk Ki Tambak Wedi sendiri. Dan yang lebih
menggemparkan dada mereka adalah pada saat semua orang
melihat sebuah bayangan berdiri di atas sebongkah batu
padas, tempat Ki Tambak Wedi tadi berdiri, dengan sebuah
Nenggala di tangannya. Nenggala ciri kebesaran perguruan
Tambak Wedi yang telah ditarik dari selubung dan
wrangkanya. Betapa terkejut orang-orang yang melihat bayangan itu, tidak
seorangpun yang menyamai Ki Tambak Wedi sendiri. Dalam
kegelapan ia melihat seolah-olah seseorang dari perguruan
Tambak Wedi berdiri di atas sebongkah batu padas dengan
gagahnya. Bahkan seperti ia melihat sendiri berdiri di situ,
seperti pada saat ia melemparkan gelang-gelang besinya ke
arah Sumangkar. Selain Tambak Wedi, Sumangkar pun terkejut bukan buatan.
Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapakah yang berdiri agak
jauh di belakang orang-orang Jipang yang sudah siap saling
membunuh sesama mereka. Ia tidak dapat mengatakan,
bahwa Ki Tambak Wedi yang baru saja melontarkan gelang
besinya meloncat kembali ke atas batu padas itu, sebab Ki
Tambak Wedi kini masih tegak berdiri di antara kedua belah
pihak orang-orang Jipang yang berbeda pendapat. Namun
menilik senjata yang dibawanya, berujung runcing di pangkal
dan ujungnya, ternyata pula dari cara orang itu memegang
tangkainya, tepat di tengah-tengah, maka orang itu mirip
benar dengan Ki Tambak Wedi sendiri.
Terdengar kemudian Ki Tambak Wedi menggeram. Dengan
lantang ia berkata, "He, setan manakah kau ini" Dari mana
mendapat senjata yang mirip dengan senjata Tambak Wedi?"
Ketika orang itu menjawab, maka dada Sumangkar dan Ki
Tambak Wedi berdesir seperti tersentuh ujung senjata itu
sendiri. Berkata orang itu, "Kenapa kau heran Ki Tambak
Wedi. Apakah hanya Tambak Wedi yang memiliki jenis
senjata macam ini?" Dalam keremangan cahaya obor yang lemah, tampaklah
wajah Sumangkar sekan-akan menjadi terang. Perlahan-lahan
ketegangan di wajahnya terurai, dan perlahan-lahan pula
tampak bibirnya tersenyum. Katanya, "Selamat malam Kiai
Gringsing. Aku tidak menyangka bahwa Kiai akan datang
secepat ini. Tetapi senjata di tanganmu benar-benar
mengejutkan kami. Dalam gelap kami tidak segera mengenal
Kiai, tetapi suara Kiai tidak dapat mengelabui kami lagi."
Kiai Gringsing tertawa. Orang itu sebenarnya adalah Kiai
Gringsing. Namun Ki Tambak Wedi-lah yang mengumpat,
"Setan tua. Kenapa kau coba menandingi jenis senjata
Tambak Wedi. Betapa saktinya Kiai Gringsing, namun senjata
ciri perguruan Tambak Wedi jauh lebih berpengalaman
mempergunakannya dan jenis senjatanyapun akan jauh lebih
bernilai dari senjata-senjata serupa di seluruh kulit bumi."
Kiai Gringsing masih tertawa, dijawabnya, "Apakah kau sudah
tidak dapat mengenali jenis-jenis senjata perguruanmu sendiri
Kiai" Senjata inipun adalah senjata ciri kebesaran perguruan
Tambak Wedi. Bukan sekedar senjata buatan pandai besi,
apalagi buatan almarhum pande besi Sendang Gabus. Sama
sekali bukan. Apakah kau tidak segera mengenal pamor ujung
senjata ini" Sungguh dahsyat menurut penilaianku sebab
senjata Lereng Merapi memang dahsyat, sedahsyat
orangnya." "Gila!" seru Ki Tambak Wedi sekeras petir. "Jangan membual.
Ayo katakan, kenapa kau di sini?"
"Jangan marah Kiai" sahut Kiai Gringsing. "Apakah kau tidak
ingin tahu dari mana aku mendapatkan senjata ini?"
"Tidak," jawab Ki Tambak Wedi. "Aku sudah tahu, itu pasti
senjata Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung."
Kiai Gringsing tertawa semakin keras. Kemudian katanya,
"Nah tepat. Kau belum melupakan senjata ini. Tetapi adalah
aneh sekali bahwa senjata ciri kebesaran suatu perguruan
sampai tertinggal di suatu tampat, kenapa Kiai?"
"Jangan banyak bicara, ayo katakan, apa maumu?"
"Kenapa yang bertanya kepadaku bukan Adi Sumangkar, atau
Angger Sanakeling" Kenapa yang bertanya justru Ki Tambak
Wedi dari perguruan Lereng Merapi" Menurut hematku,
tempat ini adalah perkemahan prajurit Jipang, bukan
perkemahan laskar Tambak Wedi dan Sidanti yang telah
memberontak terhadap pimpinannya itu?"
"Tutup mulutmu!"
"Sulit Kiai. Aku memang senang berkicau seperti burung yang
bebas di dahan-dahan. Tak seorangpun mampu melarang.
Kau juga tidak." Tambak Wedi yang sedang marah itupun menjadi bertambah
marah. Wajahnya yang membara itupun bertambah merah.
Tetapi Kiai Gringsing berkata terus, "Ki Tambak Wedi,
bukankah kau sedang sibuk mencari kawan untuk melawan
Untara" Di sini kau menemukan beberapa orang yang dapat
kau peralat untuk keperluan itu. Itulah sebabnya aku datang.
Aku adalah utusan Angger Untara, langsung untuk
menyaksikan sendiri siapakah di antara orang-orang Jipang
yang menyadari keadaannya, menyadari masa depannya dan
masa depan Demak. Aku adalah utusan senopati yang
mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama
di Pajang. Karena itu maka kata-kata yang aku ucapkan
adalah kata-kata Panglima Wira Tamtama itu sendiri Ki Gede
Pemanahan, bahwa Pajang yang akan membuat penilaian
yang seadil-adilnya bagi mereka yang menyadari keadaannya
sesuai dengan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan,
senopati besar yang selama ini kau banggakan."
Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba
tangan kanannya bergetar, dan dari tangan itu meluncurlah
sebuah benda langsung mengarah ke dada Kiai Gringsing.
Sepotong besi yang dibentuk seperti sebuah gelang yang
besar. Tetapi Kiai Gringsing itupun tidak sedang berbicara sambil
bermimpi. Ia sudah menduga bahwa Ki Tambak Wedi akan
langsung menyerangnya dengan jenis senjatanya itu.
Karena itu, dengan lincahnya
ia merendahkan dirinya menghindari sambaran gelanggelang
besi itu. Betapa bulu-bulu kuduk orangorang
Jipang itu kemudian menjadi tegak ketika mereka
mendengar bunyi gemerasak
dari gelang-gelang besi yang
tidak mengenai sasarannya,
tetapi langsung memukul dahan-dahan dan rantingranting
kayu. Suaranya seperti arus prahara yang
mematahkan cabang-cabang pepohonan hutan.
Tetapi suara gemeresak yang dahsyat sedahsyat suara
prahara itu bagi Ki Tambak Wedi, seolah-olah mengamuk di
dalam dadanya sendiri. Kemarahannya yang meluap-luap
serasa telah menghanguskan jantungnya. Namun ia tidak
segera dapat berbuat apa-apa. Bahkan dilihatnya Kiai
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gringsing tertawa sambil berkata, "Huh, hampi-hampir dadaku
pecah karenanya. Kalau aku memegang senjata ciri
perguruan Kiai Gringsing, maka aku akan menggenggam
senjata perguruan Ki Tambak Wedi sendiri. Aku tidak yakin
apakah senjata ini cukup kuat untuk menangkis. Adi
Sumangkar berani melakukannya karena ia yakin akan
kekuatan senjatanya. Sebab senjata itu adalah senjatanya
sendiri." "Jangan banyak cakap," potong Ki Tambak Wedi. "Aku kira
kita sudah sampai waktunya untuk menyelesaikan persoalan
kita yang selama ini terperam di dalam hati."
"Aku tidak berkeberatan," sahut Kiai Gringsing dengan tenang.
"Adalah menjadi kewajibanku untuk melayanimu. Memang
sebaiknya kau mengurus persoalanmu sendiri, persoalanmu
dengan Kiai Gringsing misalnya, daripada kamu mengurus
soal orang lain. Biarkan Adi Sumangkar dan Angger
Sanakeling menyelesaikan persoalan mereka, sementara itu,
marilah kita tinggalkan tempat ini, kita selesaikan persoalan
kita sendiri." Keringat dingin telah mengalir membasahi seluruh tubuh Ki
Tambak Wedi yang garang itu. Betapa ia mengumpat di dalam
hatinya. Ternyata sekali lagi Kiai Gringsing telah menghalanghalanginya.
Dengan suara parau penuh kemarahan ia berkata,
"Kiai Gringsing. Kalau kau ingin membuat perhitungan dengan
Ki Tambak Wedi, tunggulah aku di sisi hutan ini. Setelah aku
menyelesaikan urusanku di sini, maka aku akan segera
datang." "Apakah kepentinganmu di sini itu" Kau adalah orang asing di
sini, seperti aku. Kalau kau berhak turut campur di sini, maka
aku akan turut campur pula."
"Setan!" geram Ki Tambak Wedi, "Kau selalu menggangguku."
"Kau juga selalu mengganggu orang lain."
"Sekarang menjadi jelas bagiku," berkata Tambak Wedi itu
keras-keras, "Ternyata Sumangkar dan Kiai Gringsing telah
sependapat untuk bersama-sama menjerumuskan Jipang ke
dalam bencana." "Jangan mengigau. Kalau kami, Pajang, benar-benar ingin
menghancurkan laskar Jipang, sekarang adalah saatnya. Aku
bisa membawa seluruh kekuatan Pajang itu kemari.
Mengepung kalian dan menumpas kalian habis-habisan."
Darah Sanakeling tersirap mendengar kata-kata itu. Benarbenar
suatu penghinaan bagi pasukan Jipang. Bukan saja
Sanakeling, tetapi terasa sesuatu berdesir pula di dalam dada
Sumangkar. Namun Kiai Gringsing itu berkata terus, "Tetapi
penjelasan yang demikian adalah penjelasan yang kurang
bijaksana. Korban dari pihak Pajang pun pasti tidak akan
terhitung lagi, bahkan mungkin separo dari kami tidak akan
pernah dapat meninggalkan hutan ini. Dalam penjelasan yang
demikian itu, maka dendam akan tertanam dalam-dalam di
hati kita masing-masing, sehingga setiap saat akan
terungkapkan kembali. Tetapi Ki Gede Pemanahan akan
mencoba mencari jalan yang lebih baik. Kecuali bagi mereka
yang membangkang. Mereka akan benar-benar dihancurkan,
hancur dalam arti lahir dan batinnya."
Tiba-tiba kata-kata terpotong oleh ledakan hati Sanakeling
yang sudah tak tertahankan lagi. Katanya berteriak, "Jangan
berkicau seperti orang gila. Jangan kau sangka, kami orangorang
Jipang adalah kelinci-kelinci yang tidak berdaya. Ayo,
kerahkan seluruh prajurit Wira Tamtama Pajang. Datangkan
orang yang bernama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Juru
Martani, Ngabehi Loring Pasar, bahkan Karebet itu sendiri."
"Tidak Ngger," sahut Kiai Gringsing. Nada suaranya masih
setenang semula. "Itu hanyalah sekedar gambaran yang
dahsyat dan mengerikan. Sebaiknya semuanya itu tidak usah
terjadi. Aku hormati pendirian Angger Raden Tohpati dan Adi
Sumangkar." Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Sanakeling
dan geram Ki Tambak Wedi. Namun mereka berdua masih
tegak di tempatnya. Dalam keadaan yang demikian itulah
maka ketegangan menjadi semakin memuncak.
Perdebatan itu seolah-olah justru memperkuat pendirian
setiap orang di dalam pasukan yang terbagi itu. Karena itu
maka mereka menjadi semakin kukuh atas pilihan masingmasing.
Dalam pada itu Sumangkar sempat membuat penilaian atas
keadaan itu. Seandainya saat ini ia mulai, maka keadaan
Sanakeling sudah sedemikian lemahnya. Ki Tambak Wedi
pasti sudah tidak akan membantu Sanakeling lagi, karena
kehadiran Kiai Gringsing. Namun ketika orang tua itu
berpaling, melihat orang-orang Jipang di halaman gubug itu
berdiri dengan tegangnya, maka hatinya berdesir. Ia tidak
akan sampai hati melihat mereka saling berkelahi, saling
membunuh setelah mereka sehari penuh berperang bersamasama
di bawah kibaran satu panji-panji. Karena itu Sumangkar
kini masih saja berdiri dalam keragu-raguan.
Tak seorangpun yang segera dapat mengambil keputusan,
apakah yang sebaiknya dilakukan. Sanakeling pun tidak. Ia
adalah seorang prajurit yang biasa membuat penilaian atas
kawan dan lawan. Kali inipun demikian pula. Ia menyadari
bahwa dengan kehadiran Kiai Gringsing, maka ia tidak akan
segera berhasil menangkap apalagi membinasakan
Sumangkar. Bagian 6 Dalam pada itu, Sumangkar ternyata jauh lebih mengendap
dari Sanakeling. Mencoba membuat pemecahan sementara
atas persoalan yang dihadapinya. Karena ia tidak sampai hati
melihat benturan di antara mereka yang selama ini telah
bersama-sama hidup dalam satu lingkungan, maka katanya,
"Angger Sanakeling. Kalau pendirian kita sudah tidak dapat
bertemu, maka baiklah kita memilih jalan kita masing-masing.
Dengan demikian, kita akan menghindari pertumpahan darah
di antara kita. Seterusnya, biarlah kita serahkan pada
perkembangan keadaan. Sanakeling menggeram mendengar kata-kata Sumangkar itu.
Ia mengerti benar maksudnya. Meskipun dengan demikian ia
tidak harus bertempur melawan orang tua itu; namun hatinya
sakit bukan kepalang. Sebenarnya ia ingin menangkap
Sumangkar; menyumbat mulutnya dengan tangkai pedang;
dan memukul kepalanya dengan tongkatnya itu sendiri. Tetapi
ia menyadarinya; bahwa hal itu tak akan dapat dilakukannya.
Apalagi setelah setan tua yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing yang menurut pengamatan Sanakeling, sikap dan
tanggapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah
meyakinkannya tentang orang itu, hadir pula di tempat itu.
Karena itu, sesaat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Ki Tambak
Wedi pun tidak berkata sesuatu. Hantu Lereng Merapi itupun
sedang sibuk mempertimbangkan keadaan. Namun kehadiran
Kiai Gringsing benar-benar telah merusak rencananya.
Maka satu-satunya kemungkinan yang saat itu paling baik
adalah menerima tawaran Sumangkar. Meskipun hal itu
berarti kekuatan orang-orang Jipang itu kira-kira tinggal
separo, namun yang separo itu masih tetap utuh. Kalau
mereka bertempur pada saat itu, maka yang separo itupun
telah jauh berkurang lagi.
Sanakeling yang saat itu merasa memegang pimpinan atas
orang-orang Jipang itu segera berkata lantang memecah
kesenyapan. "He orang-orang Jipang yang setia. Kali ini aku
terpaksa tidak dapat menangkap dan mernbunuh pengkhianat
ini. Aku akan memberinya waktu beberapa minggu. Kalau ia
beserta beberapa pengikutnya tidak segera menyadari
keadaannya, maka dosanya akan kami persamakam dengan
orang-orang Pajang. Setiap kali kita bertemu, di mana dan
kapan saja, maka mereka pasti akan kami penggal kepala
mereka itu." Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa
di samping dendam yang telah ada, maka Sanakeling pasti
akan menyebarkan bibit-bibit dendam yang baru. Dan bibitbibit
yang demikian itu pasti akan cepat tumbuh dan
berkembang. Jauh lebih cepat dari setiap bibit kebaikan dan
kebajikan. Seperta bibit alang-alang, maka bibit dendam itu
segera menjadi rimbun, sedang bibit kebajikan akan tumbuh
dan berkembang sangat lambat seperti pohon anggrek.
Namun apabila keduanya kelak berbunga, maka alangkah
indahnya bunga anggrek itu dan alangkah tidak berharga
bunga rumput alang-alang. Setiap orang akan menghindarinya
dan apabila tak ada jalan lain, maka bunga rumput alangalang
akan terinjak-injak kaki.
Tetapi ia tidak mencegah saat itu. Kalau ia mempergunakan
kekerasan maka korbannya akan terlampau banyak. Ia
mengharap bahwa orang-orang yang berpihak kepada
Sanakeling pun kelak akan menyadari dirinya, dan datang
kepadanya dengan penyesalan dan kesadaran.
Demikianlah Sumangkar kemudian melihat Sanakeling
melangkah dan membungkuk mengambil pedangnya. Sesaat
kemudian dipandanginya para pemimpin Jipang yang lain.
Sesaat mereka menjadi ragu-ragu, namun kemudian
terdengar Sanakeling berkata kepada mereka, "Akulah kini
pemimpinmu. Siapa yang setia pada sumpahnya sebagai
seorang prajurit, ikutlah aku. Aku perintahkan kepadamu
sekalian, ikuti aku dan para prajurit yang sadar akan harga
dirinya." Sumangkar sama sekali tidak memotong kata-kata
Sanakeling. Dibiarkannya para pemimpin itu memilih pihak.
Namun sesaat mereka masih tetap berdiri di tempat mereka
masing-masing. Sanakeling menggeretakkan giginya melihat keragu-raguan
itu. Dengan kerasnya ia berteriak, "Ikuti aku!"
Tiba-tiba dari antara para pemimpin itu terdengar Alap-alap
Jalatunda bertanya, "Ke mana?"
Sanakeling terdiam sesaat. Ia menjadi bingung ke mana" Ya,
kemana ia akan pergi" Tetapi menurut perhitungannya,
memang seharusnya mereka meninggalkan tempat itu.
Tempat itu telah diketahui oleh Kiai Gringsing yang nyataTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
nyata memihak kepada Pajang bahkan utusan senapati muda
yang bernama Untara. Tampat itu telah dikenal baik-baik
segala sudut-sudutnya oleh Sumangkar yang menurut
penilaian Sanakeling telah berkhianat. Tetapi ke mana"
Dalam kebimbangan itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata
dengan suara parau penuh kebencian. "Mari Ngger. Kita pergi
bersama-sama. Padepokan Tambak Wedi akan cukup luas
menampung kalian. Jangan cemas, bahwa kekuatan kalian
benkurang. Kekuatan kalian segera akan pulih kembali setelah
Tambak Wedi dan Sidanti berbuat sesuatu."
Kata-kata Tambak Wedi yang diucapkan pada saat
Sanakeling sedang diliputi oleh kebimbangan itu, merupakan
satu-satunya kemungkinan baginya. Karena itu tanpa berpikir
panjang segera ia menyahut, "Baik. Aku akan pergi bersama
Kiai." kemudian kepada para pemimpin Jipang ia berkata,
"Tinggallah bersama pengkhianat ini siapa yang akan
berkhianat." Sanakeling itu kemudian tidak berkata sepatah katapun lagi.
Segera ia melampui tlundak pintu dan berjalan ke arah Ki
Tambak Wedi di antara kedua laskarnya yang terbelah.
Dengan langkah yang tetap ia berjalan seperti seorang
senapati yang berangkat ke medan perang.
Ki Tambak Wedi pun kemudian berjalan pula di samping
Sanakeling itu. Sekali-sekali ia berpaling melihat orang-orang
yang akan pergi mengikutinya.
Sesaat para prajurit itu tidak ada yang bergerak dari
tempatnya. Masing-masing dicengkam oleh perasaan yang
sangat aneh. Tiba-tiba terasa betapa beratnya berpisah di
antara mereka setelah bertahun-tahun mereka berada dalam
satu lingkungan, dan setelah sekian lama mereka mengalami
nasib yang bersama pula. Ketika mereka meninggalkan
Jipang, masuk ke dalam hutan belukar dan berjalan dari satu
tempat ke tempat yang lain, bertempur, merampok, dan
bahkan berbuat seribu macam kejahatan, mereka seolah-olah
merasa bahwa tak akan ada kekuatan satupun yang
memisahkan mereka kecuali maut. Namun perpisahan itu kini
terjadi. Pendirian mereka ternyata pecah di jalan.
Yang pertama-tama bergerak adalah Alap-alap Jalatunda.
Betapa keragu-raguan mencengkam dadanya, namun ia tidak
dapat datang ke Sangkal Putung dan menyerahkan dirinya
kepada Agung Sedayu. Meskipun secara pribadi ia belum pernah mengenal anak
muda itu, tetapi pertemuannya yang pertama di Macanan di
sekitar tikungan Randu Alas dan kemudian dalam
pertempuran di sebelah barat Sangkal Putung, telah
membentuk dendam yang dalam di dalam hati Alap-alap yang
masih muda, semuda Agung Sedayu itu sendiri.
Kekeliruannya menilai Agung Sedayu telah rmembakar
dadanya, sehingga seakan-akan ia berjanji kepada dirinya
sendiri, bahwa pada suatu ketika ia harus menemukan
kekuatan yang akan dapat melampaui kekuatan Agung
Sedayu. Tetapi kepada sidanti, Alap-alap Jalatunda pun sama sekali
tidak menaruh hormat. Bahkan betapa kebencian menyala di
dalam dadanya, sejak ia mendengar cara Sidanti membunuh
Plasa Ireng. Bagaimanapun juga, terasa kebuasan Sidanti
atas Plasa Ireng saat itu seolah-olah telah menggores kulitnya
sendiri. Kini ia harus datang kepada anak muda yang telah
dengan kejamnya membunuh salah seorang kepercayaan
prajurit Jipang. Tetapi ia tidak punya pilihan lain. Kedua-duanya tidak
menyenangkan. Kedua-duanya bagi Alap-alap Jalatunda
mempunyai keberatannya masing-masing. Tetapi Sidanti
masih lebih asing lagi baginya. Karena itu, maka dipilihnya
berpihak kepada Sanakeling yang akan membawanya ke
padepokan Tambak Wedi. Menurut tangkapan perasaannya,
di sana para prajurit Jipang ini akan bergabung dengan orangTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
orang Ki Tambak Wedi, atau semacam laskar yang akan
dibentuknya. Tetapi apabila kedua pasukan itu kemudian
digabungkan, siapakah pemimpin tertinggi dari pasukan itu"
Sanakeling atau Sidanti"
Menurut penilaian Alap-alap Jalatunda, Sidanti dan
Sanakeling memiliki kekuatan yang seimbang. Keduanya
setingkat di bawah Macan Kepatihan dan hanya sedikit sekali
di atas Plasa Ireng. Namun di dalam lingkungan yang baru itu
kemudian ada Ki Tambak Wedi yang langsung turut campur
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke dalam lingkungan kelaskaran. Bukan sekedar seorang juru
masak seperti Sumangkar. Demikianlah, dalam keragu-raguan itu Alap-alap Jalatunda
berjalan terus. Namun langkahnya tidak setetap Sanakeling.
Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu menundukkan wajahnya,
dan sekali-sekali terbayang masa-masa yang pernah
dialaminya, selama ia menjadi prajurit Jipang. Belum lama ia
diterima sebagai wira tamtama khusus dari Jipang. Tiba-tiba
Jipang pecah, dan ia harus ikut serta bersama pasukannya
menghilang dari kota, masuk-keluar hutan dan desa-desa,
turun-naik jurang dan lereng-lereng pegunungan. Kini ia akan
terdampar ke lereng Gunung Merapi, ke padepokan Ki
Tambak Wedi yang masih asing baginya. Bekerja bersama
dengan seorang anak muda yang bernama Sidanti.
"Hem," Alap-alap Jalatunda menarik nafas.
Namun ketika orang-orang yang masih berdiri termangumangu
melihat Alap-alap itu berjalan mengikuti Sanakeling
maka mereka yang sejak semula berketetapan hati untuk
tetap dalam petualangan sambil berbangga diri sekedar
karena mereka mempertahankan harga diri menurut penilaian
yang sempit, segera mengikutinya. Beberapa orang pemimpin
segera berloncatan sambil berpaling, memandang dengan
penuh kebencian kepada kawan-kawan mereka yang masih
tegak di tempatnya. Para prajurit pun segera melangkah pula
di belakang pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang
prajurit yang mempunyai simpanan-simpanan berharga di
dalam kemah-kemah mereka, segera berloncatan singgah
kedalam kemah, mengambil yang mereka rasa perlu untuk
dibawa. Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak lagi
menghiraukan beberapa lembar kain yang tertinggal di dalam
kemah-kemah mereka, asal senjata-senjata mereka telah di
tangan. Lembaran-lembaran kain dan baju akan mereka dapatkan di
sepanjang jalan yang akan mereka Ialui. Setiap rumah pasti
akan membuka pintu lebar-lebar bagi mereka. Setiap rumah
akan menyediakan apa yang mereka perlukan. Makan, minum
bahkan pakaian. Tetapi apa yang mereka sediakan itu sama sekali bukan
karena mereka pendukung-pendukung yang setia dari orangorang
Jipang itu, bukan mereka serahkan dengan ikhlas.
namun karena di hadapan hidung mereka berkilat-kilat ujungujung
pedang dan tombak. Tetapi bagi orang-orang yang sedang berpetualang itu, sama
sekali tak ada bedanya. Apakah semunya itu diserahkan
dengan ikhlas, atau tidak, namun apa yang mereka terima
akan dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Maka sesaat kemudian, orang-orang Jipang itu seolah-olah
mengalir meninggalkan halaman yang kotor dari gubug
pimpinan perkemahan itu. Semakin lama semakin panjang. Di
ujung barisan berjalan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi
seperti sepasang pahlawan yang sedang diarak menuju ke
medan perang. Kemudian di belakangnya berjalan Alap-alap
Jalatunda yang dikejar-kejar oleh kebimbangan. Kemudian
beberapa pemimpin yang lain dan para prajurit yang merasa
dirinya seolah-olah pejuang-pejuang yang segan berkhianat
atas perjuangannya. Tetapi mereka sama sekali tidak berpijak
pada dunia kenyataan yang sedang mereka hadapi serta
perkembangan keadaan di sekitar tempat mereka
bersembunyi. Akhirnya orang-orang Jipang itu semakin lama menjadi
semakin sedikit. Separo dari mereka telah meninggalkan
mereka di tengah-tengah hutan yang gelap pekat. Yang
tampak kemudian hanyalah sinar-sinar obor di kejauhan di
antara kepadatan pohon-pohon raksasa dan gerumbulgerumbul
perdu. Ketika obor-obor itu telah hilang di balik dedaunan, serta
debar jantung setiap orang yang tinggal di tempat itu telah
merada, maka berkatalah Sumangkar kepada orang-orang
Jipang yang masih tinggal, "Tenangkan hati kalian. Aku dapat
merasakan, peristiwa merupakan suatu goncangan yang
dahsyat di dalam setiap dada kalian masing-masing. Baik
yang pergi maupun yang ditinggalkan. Tetapi penalaian kita
jelas telah bersimpangan. Karen itu adalah baik kita berpisah
jalan daripada kemudian kita akan menemui kesulitankesulitan
yang terus-menerus."
Sumangkar terdiam sesaat. Ketika diawasinya setiap wajah
para pemimpin yang masih tinggal, Sumangkar masih melihat
keragu-raguan membayang di wajah-wajah mereka.
Tetapi keragu-raguan di dalam setiap dada para pemimpin
Jipang itu adalah wajar. Baru saja mereka terlibat dalam
perang gelar yang dahsyat, dengan korban yang cukup
banyak di kedua belah pihak. Apakah mereka akan segera
dapat menghilangkan segala kesan dari permusuhan mereka
itu" Apakah benar orang-orang Pajang tidak mendedamnya
dan kemudian mengikat mereka di belakang kereta yang
dipacu secepat angin" Benarkah mereka akan dihadapkan
pada suatu penilaian yang tidak dipengaruhi oleh demdam
dan benci" Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata, "Marilah kita
mencoba menenteramkan hati kita. Marilah kita tidak
berprasangka. Aku mendengar berita pengampunan itu dari
Angger Untara sendiri pada saat Angger Macan Kepatihan
menghembuskan nafas terakhir. Aku harap Kiai Gringsing
menjadi saksi atas kata-kata yang keluar dari mulut senapati
Pajang yang dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan, yang justru
pesan itu datang dari ki Gede Pemanahan sendiri."
Namun Sumangkar masih melihat wajah-wajah yang penuh
kebimbangan. Bagaimanapun juga mereka adalah prajuritprajurit
yang senjata-senjata mereka telah pernah dibasahi
oleh darah orang-orang Pajang. Bagaimanapun juga hati
mereka sendiri selalu berkata kepada mereka, bahwa
permusuhan itu pernah terjadi dengan dahsyatnya.
Sumangkar yang merasa tidak segera dapat memberi
keyakinan yang pasti kepada para pemimpin Jipang itu
kemudian berkata, "Malam ini aku akan pergi ke Sangkal
Putung bersama Kiai Gringsing untuk mendapatkan jaminan,
bahwa segala sesuatu akan berlangsung dengan baik."
Para pemimpin Jipang dan pada prajurit itu menganggukanggukkan
kepala mereka. Mereka sependapat dengan
Sumangkar bahwa salah seorang dari mereka harus
menemukan jalan yang datar sebelum semuanya
berlangsung, supaya mereka tidak menyesal kelak apabila
ada persoalan-persoalan yang tumbuh tanpa mereka
kehendaki. "Apakah kalian sependapat?" bertanya Sumangkar.
"Baik Kiai," sahut salah seorang dari mereka. "Kami
sependapat, bahwa Kiai akan mencari jalan yang sebaikbaiknya
bagi kami semuanya. Kami percaya kepada Kiai."
"Terima kasih," berkata Sumangkar dengan dada berdebardebar.
la terharu bahwa dalam saat yang pendek ia berhasil
mendapatkan kepercayaan dari orang-orang Jipang itu.
Selama ini sebagian besar dari mereka mengenal Sumangkar
tidak lebih dari seorang juru masak yang tua yang hampirTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
hampir tidak mampu lagi melakukan tugasnya, bahkan ada
yang menyangkanya sebagai seorang juru masak yang malas.
Namun sebelum Sumangkar itu berangkat meninggalkan
perkemahan itu, maka ia berpesan, "Tetapi meskipun kalian
mengharap bahwa kalian akan meninggalkan petualangan
yang dipenuhi dengan noda-noda darah dan air mata di antara
rakyat yang tidak berdosa, namun kalian masih berhak untuk
mempertahankan diri kalian dalam saat-saat yang pendek ini.
Kalian masih akan menghadapi kemungkinan yang tidak
kalian duga-duga. Sepeninggalku jangan lengah. Isilah setiap
gardu-gardu peronda. Kalian harus mampu menyelamatkan
diri menghadapi setiap bahaya. Apabila bahaya itu sangat
besar dan jauh dari kemampuan daya tahan kalian, maka
kalian dapat menyelamatkan diri kalian di antara gelapnya
malam. Aku pasti sudah kembali sebelum fajar."
Para pemimpin Jipang yang tinggal itu menganggukanggukkan
kepala mereka. Mereka merasa bahwa malam ini
justru bahaya dapat datang dari setiap penjuru. Apabila Untara
ingkar janji, apalagi bahwa pernyataannya itu hanya sekedar
pancingan saja, maka malam itu juga, selambat-lambatnya
besok pagi-pagi, mereka pasti akan dilanda oleh arus yang
dahsyat dari laskar Pajang. Untara pasti tidak akan menunggu
mereka datang menyerahkan diri, supaya ia mendapat alasan
untuk berbuat menurut seleranya. Tak ada seorangpun yang
akan mencoba mencari jawab, atas sebab-sebab dari
kematian seseorang yang sedang berperang. Orang-orang
Pajang dapat membunuh lawannya seperti menebas hutan
alang-alang. Tetapi apabila orang-orang Jipang itu datang
menyerah, maka persoalannya akan berbeda. Tanpa janji
pengampunanpun, maka perlakuan atas orang-orang yang
sudah menyerah akan berbeda dari mereka yang ditemukan
dalam medan, selagi pedang masih terhunus dan tali busur
masih merentang. Sedang dari sisi lain, mereka masih harus memperhatikan
kemarahan Sanakeling atas mereka. Sanakeling adalah
seorang prajurit yang seakan-akan tidak bekerja dengan
otaknya. Ia kurang mampu berpikir dan memperhitungkan
masalah-masalah di luar masalah-masalah keprajuritan. Itulah
sebabnya ia tidak dapat diajak untuk berbicara dalam
masalah-masalah yang lain. Kemungkinan-kemungkinan yang
dapat ditempuh. Penyelesaian yang tidak usah
mempergunakan tajam senjata. Persoalan manusia dan
kemanusiaan. Ia tidak dapat mendengar tangis seorang isteri
yang kehilangan suaminya di medan peperangan. Baginya
adalah hina bagi seorang prajurit yang tertegun hanya karena
tangis seorang bayi yang terlepas dari pelukan ibunya yang
ketakutan mendengar dentang senjata beradu.
Tetapi para prajurit Jipang yang tinggal itu percaya kepada
Sumangkar. Percaya kepada harapan yang dijanjikan. Karena
itu, maka mereka akan melakukan segala perintahnya.
Sebelum Sumangkar itu meninggalkan mereka, maka ia masih
memerlukan berpesan kepada orang-orang Jipang itu,
"Peliharalah jenazah Angger Tohpati sebaik-baiknya. Besok
apabila aku telah kembali di antara kalian, maka akan kita
selenggarakan pemakamannya." "Baik Kiai," jawab salah seorang
dari mereka. "Terima kasih," sekali lagi
Sumangkar menjadi terharu.
Apabila kemudian malam bertambah malam, maka Sumangkar dan Kiai Gringsing
berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan perkemahan itu
menuju ke Sangkal Putung.
Mereka mengharap bahwa mereka akan segera menemukn
cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah
orang-orang Jipang yang ingin meninggalkan cara bidup yang
selama ini ditempuhnya. Pada saat-saat orang-orang Jipang disibukkan oleh
pertentangan pendirian, maka pada saat itu orang-orang
Pajang disibukkan oleh mereka yang terluka di medan
pertempuran. Orang yang terluka itu baik kawan maupun
lawan, telah diangkut ke Banjar Desa Sangkal Putung.
Pengawasan atas orang-orang yang luka itu dilakukan oleh
Untara dan Widura sendiri. Mereka melihat wajah-wajah yang
dendam pada anak buah mereka sendiri. Mereka yang
kehilangan saudaranya, yang berada bersama-sama dalam
lingkungan keprajuritan Pajang, dan mereka yang merasa,
Bola Bola Iblis 2 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Pedang Darah Bunga Iblis 11
"Ya. Kami lihat. Itu adalah ciri kebesaran Macan Kepatihan."
"Kalian salah," sahut Sumangkar, "ini bukan tongkat Angger
Tohpati." Semuanya terdiam mendengar kata-kata itu. Serentak mereka
memandangi tongkat itu tajam-tajam. Akhirnya mereka
menemukan perbedaan itu. Mereka mengenal tongkat Macan
Kepatihan baik-baik seperti ia mengenal orangnya, tongkat ini
agak lebih kecil dari tongkat Raden Tohpati. Karena itu
timbullah keheranan di dalam hati mereka. Apakah
Sumangkar juga mempunyai tongkat baja putih berkepala
tengkorak yang kekuning-kuningan seperti Macan Kepatihan"
Apakah ia memilikinya juga"
Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka berhadapan dengan
juru masak yang malas. Mereka sama sekali bukan
berhadapan dengan seorang pemimpin mereka. Namun
meskipun demikian, mereka menunggu dengan tidak sabar.
Apakah yang akan dikatakannya tentang pasan terakhir itu.
Tetapi merekapun menjadi heran, kenapa Sanakeling, Alapalap
Jalatunda, tiba-tiba saja memberi kesempatan kepada
orang tua itu untuk seakan-akan memimpin pertemuan yang
tidak sengaja mereka adakan itu"
Dalam kebimbangan dan keheranan itulah maka Sumangkar
akan sampai pada tingkat terakhir dari permainannya.
Sebelum ia mengatakan pesan Tohpati, ia harus cukup
mempunyai wibawa atas orang Jipang itu. Setidak-tidaknya
setingkat dengan wibawa yang dimiliki oleh Sanakeling.
Karena itu, Sumangkar itu maju beberapa langkah. Kini ia
berdiri di muka pintu keluar. Ia melihat orang-orang Jipang
yang berdiri berdesak-desakan, bahkan ada di antara mereka
yang membawa obor-obor di tangan; sedang ke dalam ia
melihat Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa
pemimpin yang lain berdiri tegang kaku seperti patung.
Namun, baik wajah-wajah orang-orang Jipang maupun para
pemimpinnya membayangkan ketidak-sabaran, mereka
menunggu kata-kata Sumangkar tentang pesan terakhir
Macan Kepatihan. Terdengar Sumangkar kemudian berkata, "Nah, jadi adakah
kalian lihat bahwa tongkat ini bukan tongkat Angger Tohpati" "
"Ya kami lihat," sahut mereka. Namun Sanakeling, Alapalap
Jalatunda dan para pemimpin yang lain tampak seolah-olah
berdiri saja membeku. Meskipun sebagian dari mereka
mengerti bahwa sebenarnya Sumangkar bukanlah sekedar
juru masak namun tongkat baja putih itu benar-benar
mengejutkan mereka. Mereka sama sekali belum pernah
melihat, bahwa Sumangkar pun memiliki tongkat semacam itu.
Apalagi Sanakeling yang jarang sekali berada di pusat
pemerintahan Jipang, dan jarang sekali bertemu dengan
Sumangkar, meskipun ia tahu bahwa Sumangkar adalah
seorang sakti yang berada di dalam lingkungan istana
kepatihan. Tetapi sampai pecahnya Jipang, Sanakeling dan
Sumangkar berada di medan yang berbeda.
"Itulah yang menyedihkan aku," berkata Sumangkar. "Aku
tidak berhasil membawa tongkat Angger Macan Kepatihan
kembali. Aku tidak dapat mengambilnya dari medan setelah
Angger Macan Kepatihan terbunuh." Sumangkar berhenti
sesaat. Kemudian katanya melanjutkan, "Tongkat ini adalah
tongkatku." Sumangkar melihat berpasang-pasang mata terbelalak
karenanya. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata
Sumangkar seterusnya, "Aku adalah paman guru dari Angger
Macan Kepatihan. Nah, itulah aku. Dan itulah sebabnya maka
Angger Macan Kepatihan mempercayakan pesannya
kepadaku, sebab aku adalah saudara seperguruan Patih
Mantahun." Gubug itu menjadi sunyi senyap di dalam dan di luarnya.
Sesepi tanah pekuburan, orang-orang yang berdiri tegak di
halaman dan di dalam gubug itu seperti tonggak-tonggak
batang kamboja yang membeku.
Pengakuan Sumangkar terdengar oleh sebagian besar dari
mereka seperti suara guruh yang meledak di langit. Orangorang
Jipang itu benar-benar terkejut. Sumangkar, yang
mereka kenal sebagal seorang juru masak yang malas,
ternyata adalah seorang yang sakti. Saudara seperguruan
Patih Mantahun. Tetapi beberapa orang sudah tidak terkejut lagi. Sanakeling
juga tidak terkejut. Siapapun Sumangkar itu, bagi Sanakeling
tidak ada bedanya. Sebab ia sudah tahu sebelumnya, bahwa
Sumangkar adalah seorang yang sakti.
Kecuali Sanakeling dan beberapa pemimpin yang lain, di
antara para prajurit Jipang yang berkumpul di luar pintu itu,
terdapat Bajang, juru masak kawan sepekerjaan Sumangkar.
Sambil senyum ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kepada orang yang berdiri di sampingnya ia berkata, "Aku
sudah tahu lebih dahulu dari kalian semuanya."
Kawannya mengerinyitkan alisnya sambil bertanya, "Darimana
kau tahu ?" "Apakah kau sudah bertemu dengan Tundun?"
"Belum." "Anak itu belum berceritera kepadamu tentang Ki Tambak
Wedi dan Sidanti yang datang ke perkemahan ini ketika kalian
sedang pergi berperang?"
"Aku belum bertemu dengan Tundun. Bagaimana ia bisa
berceritera kepadaku?"
"Mungkin Ki Lurah Sanakeling pun belum sempat mendengar
laporan Tundun," berkata Bajang. "Tambak Wedi yang
mengerikan itu datang bersama muridnya Sidanti. Kalau tidak
ada juru masak yang malas itu, entahlah apa yang terjadi.
Kami bertempur bersama-sama dengan semua orang yang
ada di sini. Tetapi melawan muridnya, Sidanti pun kami tidak
mampu. Apalagi Ki Tambak Wedi."
"Dan Sumangkar mengalahkannya?"
"Ya, Sumangkar telah mengusirnya."
Orang yang mendengar ceritera itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Pantas. Pantas," gumamnya.
Ketika mereka kemudian memandangi pintu gubug itu,
kembali mereka melihat Sumangkar berdiri tegak seperti batu
karang pinggir pantai. Tiba-tiba mereka melihat seolah-olah
orang yang berdiri itu bukan lagi seorang juru masak yang
mereka kenal sehari-hari.
Wajah Sumangkar kini seolah-olah memancarkan
kewibawaan yang mengejutkan hati mereka. Tongkat baja
putih itu benar-benar mirip tongkat Tohpati. Dan tongkat itu
adalah milik Sumangkar. Dalam pada itu terdengar Sumangkar meneruskan, "Meskipun
aku tidak berhasil membawa tongkat Angger Tohpati, namun
aku telah memiliki tongkat yang serupa. Tongkat yang akan
mampu melakukan apa saja seperti yang dapat dilakukan oleh
tongkat Angger Macan Kepatihan.
Semua orang masih terdiam. Namun mereka mulai dirayapi
oleh kepercayaan bahwa sebenarnya Sumangkar mampu
berbuat seperti Macan Kepatihan.
Namun Sanakeling yang mendengar kata-kata itu
mengerutkan dahinya. Ia belum tahu pasti arah kata-kata
Sumangkar seterusnya. Tetapi sebagai orang kedua sesudah
Tohpati, Sanakeling merasa berhak untuk memimpin prajuritprajurit
Jipang itu sepeninggal Macan kepatihan, sehingga
dadanya mulai berdebar-debar melihat Sumangkar
mengangkat tongkat baja putihnya.
"Apakah Sumangkar akan langsung mengambil alih pimpinan
dari Raden Tohpati," berkata Sanakeling di dalam hatinya.
Dan terdengarlah Sumangkar berkata terus, "Nah, sekarang
apakah kalian dapat mempercayai kata-kataku?"
Kembali mereka terlempar dalam kesepian. Sesaat tak
seorangpun yang menyahut, sehingga Sumangkar menjadi
ragu-ragu. Kalau mereka tidak percaya, maka untuk
menekankan pesan-pesan Tohpati, apakah ia perlu
menunjukkan beberapa macam permainan sehingga ia tidak
lagi dianggap hanya sekedar omong kosong"
Tetapi tiba-tiba terdengar di belakang seseorang berteriak,
"Aku telah melihat sendiri Ki Sumangkar mengalahkan Ki
Tambak Wedi." Semua orang berpaling ke arah suara itu. Tetapi mereka tidak
segera melihat siapakah yang telah berteriak-teriak itu. Namun
kemudian terdengar kembali orang itu berkata, "Kami yang
tinggal di perkemahan pada saat kalian berperang telah
melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Ki Sumangkar."
Beberapa orang segera mengenal bahwa suara itu adalah
suara Bajang, seorang juru masak yang masih muda, kawan
Sumangkar. Beberapa orang menjadi justru bercuriga, apakah
Bajang tidak sekedar mengangkat nama kawan
sepekerjaannya. Namun tiba-tiba dari beberapa sudut
terdengar orang-orang lain menyambut. "Ya kamipun
menyaksikan. Kami telah menyaksikan sendiri."
Sumangkar kemudian memandang berkeliling. Dan sekali lagi
ia berkata, "Siapakah yang dapat mempercayai kata-kataku?"
Tiba-tiba menggeloralah jawaban, "Kami percaya, kami
percaya." Sanakeling masih berdiri di tempatnya dengan wajah yang
tegang. Seharusnya dirinyalah yang wajib berdiri di hadapan
para prajurit Jipang itu sebagai penggganti Macan Kepatihan.
Tiba-tiba tanpa disadarinya, orang lain telah mendahului.
Meskipun demikian, ia masih mampu menahan dirinya.
Mungkin Sumangkar akan menguntungkannya. Mampu
membakar hati para prajurit itu, untuk dibawanya membalas
sakit hatinya atas hilangnya pemimpin yang mereka segani.
"Terima kasih," berkata Sumangkar kemudian. "Kalau
demikian kalau kalian percaya akan kata-kataku, maka biarlah
aku menyampaikan pesan terakhir Angger Tohpati. Namun
seperti kataku tadi, pesan itu terlampau berat bagi kita
sekalian. Sebab pesan itu sama sekali berada di luar anganangan
kita selama ini." Sekali lagi terdengar para prajurit Jipang itu berteriak, "Kami
akan melakukan apa saja yang dipesankan oleh Raden
Tohpati. Biar masuk ke dalam api sekalipun, kami akan
mematuhinya." Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya seperti kepada
diri sendiri, namun karena diucapkannya keras-keras, maka
semua orang mendengarnya, "Aku kurang yakin, apakah kami
mampu melakukannya."
Orang-orang Jipang menjadi hampir tidak sabar lagi. Karena
itu mereka berteriak-teriak, "Kami bersumpah, kami
bersumpah." Bagian 3 Sanakeling pun menjadi tidak sabar pula. Beberapa langkah ia
maju mendekati Sumangkar sambil berkata, "Berkatalah,
jangan melingkar-lingkar. Apakah pesan terakhir itu. Kami
akan melakukannya. Aku adalah pemimpin laskar Jipang
sepeninggal Macan Kepatihan. Dan aku sanggup untuk
memimpin pasukan ini berbuat apa saja. Meskipun aku harus
membakar istana Pajang sekalipun dan merampas
permaisurinya." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya,
"Baik. Baik. Akan segera aku katakan." Namun di dalam hati
Sumangkar bergumam, "Kalau kau mampu Sanakeling, kau
tidak akan berkeliaran di dalam hutan seperti sekarang.
Apalagi kau, sedang Arya Penangsang dan Patih Mantahun
pun tidak mampu melawan Ki Gede Pemanahan, Penjawi, dan
anak muda Ngabehi Loring Pasar, di samping Adiwijaja
sendiri." Tetapi kemudian yang dikatakan adalah pesan terakhir Macan
Kepatihan. Sambil melangkah maju, Sumangkar
menengadahkan wajahnya. Gubug itu kemudian menjadi
sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah deru nafas orangorang
Jipang itu memburu lewat lubang-lubang hidung mereka
yang mengembang. Mereka ingin mendengar kata demi kata,
pesan dari pemimpin mereka yang mereka segani.
"Dengarlah," berkata Sumangkar, "sudah aku katakan bahwa
pesan itu terlampau berat bagi kami, sebab pesan itu
berbunyi," Sumangkar berhenti sesaat. Ditatapnya setiap
wajah yang seolah-olah menyalakan tekad di dalam dada
mereka. Sesaat kemudian Sumangkar meneruskan, dan katakatanya
terdengar seperti suara guntur dan guruh bersamasama,
beruntun susul-menyusul. "Pada saat nafas Angger Tohpati telah satu-satu meluncur, ia
berkata "Kematianku adalah akhir daripada bencana yang
menimpa rakjat Demak. Aku adalah sisa terakhir dari Senapati
yang mendapat kepercayaan para prajurit Jipang.
Sepeninggalku aku meng-harap bahwa mereka akan
membuat perhitungan-perhitungan. Bukankah begitu paman
Sumangkar?" Kemudian diteruskannya pada kesempatan lain
di mana nafasnya menjadi semakin lemah, berkata Macam
Kepatihan itu, "Mudah-mudahn kematianku menjadi pertanda
bahwa tak ada gunanya perselisihan ini akah berlangsung
terus." Dan Sumangkar itupun berhenti sesaat. Dengan
tajamnya ia memandangi orang-orang yang berdiri di
sekitarnya. Setiap orang yang mendengar kata-kata Sumangkar itu,
darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Pesan itu sama
sekali bukan pesan untuk membunuh Untara, Widura atau
Adiwijaya sekali. Bukan perintah untuk membakar istana
Pajang dan melakukan serangkaian pembunuhan sebagai
pembalasan. Tetapi pesan itu seolah-olah pesan yang sama
sekali bertentangan dengan dugaan mereka.
Suasana yang sepi bertambah sepi. Mulut-mulut yang
meskipun ternganga namun serasa terbungkam. Hati-hati
yang membara seolah-olah meledak justru karena tersiram air
dengan tiba-tiba. Tetapi mereka semua benar-benar
tenggelam dalam perasaan yang aneh. Bingung dan
kehilangan dasar tanggapan seterusnya.
Sumangkar membiarkan suasana itu berlangsung beberapa
lama. Dibiarkannya setiap orang berada dalam pergolakan
perasaan. Dibiarkannya mereka sampai pada kesimpulan
masing-masing apabila mereka telah menemukan
keseimbangan dan sempat mempertimbangkan.
Namun suasana yang sepi itu tiba-tiba dipecahkan oleh
teriakan Sanakeling melengking menghentak setiap jantung.
"Paman Sumangkar. Apakah arti daripada pesan itu. Apakah
dengan demikian Kakang Macan Kepatihan mengharap kita
semua bertekuk lutut di bawah kaki Untara" He?"
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sumangkar tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia sudah
menduga sebelumnya, bahkan hampir pasti, bahwa
Sanakeling adalah orang yang pertama menolak pesan itu.
Karena itu dengan tenang ia menjawab, "Ya Ngger.
Demikianlah kira-kira pesan itu. Namun agaknya
pertimbangan Angger Macan Kepatihan telah cukup masak
untuk mengucapkan pesan-pesan itu."
"Jadi haruskah kami merangkak-rangkak di bawah kaki Untara
seperti anjing kudisan?" teriak Sanakeling.
"Kata-kata itu terlampau tajam."
"Tidak. Kata-kata itu tepat seperti yang akan terjadi apabila
kita menuruti pesan itu. Dan kita akan dijerat leher kita, diseret
di sepanjang jalan antara Sangkal Putung dan Pajang.
Dipertontonkan kepada setiap orang sebelum kita digantung di
alun-alun Pajang. Berderet-deret seperti jemuran yang tidak
kering-keringnya." Sumangkar mendengar kata-kata itu diucapkan dengan penuh
nafsu. Bahkan Sumangkar pun kemudian melihat wajah-wajah
yang seakan-akan membeku di hadapannya, mulai
menegang. Kata-kata Sanakeling agaknya telah menggugah
hati mereka. Menggugah hati keprajuritan mereka.
Karena itu segera Sumangkar berkata, "Angger Sanakeling
benar. Tetapi tidak tepat sebab aku belum mengatakan
rangkaian dari pesan itu. Pesan itu diucapkan oleh Angger
Tohpati di hadapan Untara yang menungguinya pula pada
saat-saat terakhir. Menungguinya tidak seperti dua orang yang
sedang bermusuhan. Agaknya mereka di saat-saat terakhir itu
telah mengenangkan masa-masa lampau. Masa-masa Demak
masih diikat oleh tali persatuan yang erat. Keduanya adalah
sahabat yang baik dari dua daerah Kadipaten. Angger Macan
Kepatihan dari Kadipaten Jipang dan Angger Untara dari
Kadipaten Pajang. Pertentangan antara Jipang dan Pajang
telah mempertentangkan mereka pula. Namun kebesaran jiwa
dari keduanya telah menemukan kembali persahabatan itu di
saat-saat Angger Macan Kepatihan menghadapi maut.
Meskipun maut itu beralatkan tangan Untara sendiri."
Kembali mereka diterkam oleh kesenyapan. Terasa setiap
kata, baik yang diucapkan oleh Sumangkar maupun yang
diucapkan Sanakeling benar belaka. Meskipun makna dari
keduanya berlainan bahkan bertentangan. Karena itu, setiap
jantung yang berdegup di dalam dada menjadi bingung
siapakah yang akan dianut" Sumangkar melihat hari depan
yang tenang, hari depan yang damai. Mereka tidak akan lagi
berlari-larian sepanjang hutan. Mereka tidak perlu lagi selalu
dikejar-kejar oleh kegelisahan. Mereka akan dapat hidup
seperti manusia biasa. Meskipun mungkin sebulan dua bulan
mereka tidak dapat bebas berbuat karena hukuman yang akan
diterimamja. Namun setelah itu, tidak ada lagi persoalan yang
selalu menghantuinya siang dan malam. Seluruh negeri akan
menjadi aman. Pasar-pasar akan kembali mengumandang,
dan di malam hari kembali akan terdengar tembang. Seruling
gembala di padang-padang dan anak-anak bermain di
halaman. Orang-orang tua akan menikmati bunyi burung
perkutut dengan tenang. Tetapi gambaran-gambaran yang damai dan tenteram itu tibatiba
telah digoyahkan oleh pendirian Sanakeling. Pendirian
seorang prajurit yang tidak dapat ditundukkan oleh peristiwaperistiwa
yang bagaimanapun dahsyatnya. Mereka akan
menjadi orang tangkapan dan diarak sebagai tawanan apabila
mereka menyerah. Hilanglah kejantanan mereka, dan harga
diri mereka akan terkorbankan. Lebih baik mengorbankan
nyawa daripada harga diri bagi seorang prajurit sejati. Apabila
mereka harus berlari-lari ke hutan, bersembunyi di antara
semak-semak dan gerumbul, di antara padang-padang dan
lereng-lereng gunung, adalah akibat dari perjuangan mereka.
Akibat dari keteguhan hati seorang prajurit yang tidak miyur.
Demikianlah setiap wajah kemudian memancarkan
kebimbangan hati yang tiada ujung pangkal. Keduanya benar
bagi mereka. Keduanya mapan, dan keduanya wajib diturut.
Pesan terakhir pemimpin mereka yang mereka segani lewat
paman gurunya yang perkasa, dan yang lain adalah pendapat
senapati yang seharusnya langsung memimpin mereka
sepeninggal Macan Kepatihan.
Dalam kebimbangan itu terdengar kemudian suara Sanakeling
seperti membelah langit, "Paman Sumangkar. Aku adalah
seorang prajurit. Prajurit hanya mengenal dua arti dalam
perjuangannya. Menang atau mati. Selain itu, adalah nista
sekali untuk dijalani. Apalagi menyerahkan dan di bawah
injakan kaki lawan. Apakah paman Sumangkar ini telah bukan
lagi seorang pradajurit yang baik?"
Sumangkar memandangi wajah Sanakeling sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
"Aku hanya menyampaikan pesan terakhir Angger Macan
Kepatihan." Kemudian kepada para prajurit Jipang Sumangkar
berkata, "Pesan itu adalah pesan Macan Kepatihan yang
sampai saat terakhir telah mengorbankan jiwa raganya
sebagai seorang prajurit jantan. Sebagai seorang pemimpin
sejati ia telah berusaha melindungi kalian. Nah, katakanlah,
apakah ia seorang prajurit yang baik atau bukan, Hai, orangorang
Jipang. Sebutlah pemimpinmu itu, apakah ia seorang
prajurit yang baik atau bukan" Ayo, katakanlah, apakah
Macan Kepatihan seorang prajurit yang baik atau se-orang
pengecut?" Terdengarlah jawaban menggemuruh, "Ia adalah seorang
prajurit yang baik. Seorang laki-laki jantan. Seorang senapati
yang tiada taranya."
"Bagus," sahut Sumangkar. "Pesan itu keluar dari mulutnya.
Keluar dari mulut seorang senapati jantan, keluar dari mulut
seorang prajurit yang baik."
"Bohong!" potong sanakeling dengan nada yang tinggi.
"Senapati yang baik, prajurit jantan tidak akan mengeluarkan
perintah serupa itu. Itu pasti akal-akalmu sendiri, Paman
Sumangkar. Itu pasti caramu untuk melepaskan kejemuanmu
sendiri." Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar
Sanakeling berbicara terus, "Aku tidak percaya kalau Kakang
Tohpati telah mengeluarkan pesan itu."
Sumangkar tidak mau kahilangan kesempatan. Karena itu
segera ia menyahut, "Itulah bedanya. Seorang yang berjiwa
besar dan orang lain yang tidak dapat mengikuti kebesaran
jiwanya. Kalian dapat berpikir untuk terlalu mementingkan diri
sendiri. Kalian dapat berpijak pada harga diri yang berlebihlebihan.
Harga diri seorang prajurit yang pantang menyerah.
Tetapi itu adalah pikiran yang sempit. Prajurit tidak akan
menyerah apabila ia berjuang untuk suatu cita-cita yang tegas,
suatu cita-cita yang diyakini kebenarannya. Tetapi apakah
kalian berbuat demikian" Apakah kalian yakin, bahwa kalian
telah berjuang dalam suatu pengabdian sebagai seorang
prajurit. Coba katakan, apakah yang kalian capai dengan
peperangan yang tiada ujung dan pangkal ini?"
"Kau telah berputus asa, paman Sumangkar," teriak
Sanakeling. "Kau telah kehilangan akal. Perjuangan Arya
Penangsang adalah perjuangan atas hak dan waris atas tahta.
Ini adalah perjuangan jantan. Perjuangan yang luhur."
"Bukankah perjuangan itu telah berpijak atas kepentingan diri"
Warisan atas tahta-tahta. Bukan perjuangan atas dasar yang
luas bagi seluruh rakyat Demak untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka" Perjuangan itu adalah
perjuangan yang sempit. Warisan memang dapat membuat
sanak dan kadang sendiri saling bertengkar. Tetapi jangan
rakyat dikorbankan dalam pertengkaran itu. Bagi rakyat yang
penting bukan siapa ahli waris yang paling berhak atas tahta.
Tetapi bagi rakyat, siapakah yang paling baik bagi mereka,
yang paling banyak berpikir dan berbuat untuk mereka. Tidak
untuk sendiri. Tidak untuk seorang atau beberapa orang
pemimpin. Tidak untuk Arya Penangsang atau Adiwijaya.
Tidak. Tetapi bagi rakyat, siapakah paling langsung berbuat
banyak untuk kepentingan mereka, ialah yang paling berhak
atas pimpinan negara. Orang itulah ahli waris yang sah atas
tahta." Kata-kata Sumangkar itu mencengkam setiap hati. Namun
kata-kata Sanakeling telah membakar setiap jantung dan
mendidihkan darah yang mengalir di dalam jaringan-jaringan
urat darah. Keduanya beralasan dan keduanya dapat mereka
mengerti. Karena itulah maka setiap orang menjadi semakin
bimbang, siapakah di antara mereka yang harus mereka turuti.
Mendengar penjelasan Sumangkar, Sanakeling menggeram
marah. Kemudian kepada prajurit-prajurit Jipang ia berteriak,
"Akulah pemimpin kalian sepeninggal Macan Kepatihan.
Semua perintahku sama nilainya dengan perintah Kakang
Tohpati." Semua mata kemudian berpaling ke arahnya. Sanakeling
itupun kini telah berdiri di ambang pintu di samping
Sumangkar. Wajahnya yang keras dan penuh ditandai oleh
dendam dan kebencian telah menyala seperti nyala api
neraka. Tetapi Sumangkar masih tetap tenang. Ia tidak
menyahut dan memotong kata-kata Sanakeling. Dibiarkannya
Sanakeling berbicara pula, "Kita telah kehilangan pemimpin
kita. Sekarang orang tua ini menganjurkan kita merangkak di
bawah kaki Untara. Tidak! Dengar perintahku, Kobarkan
dendam di segala penjuru. Setiap orang Jipang harus
mendengar bahwa Macan Kepatihan mati dengan luka arang
kranjang karena kebiadaban orang-orang Pajang seperti pada
saat Plasa Ireng terbunuh dengan dada dan punggung
terbelah. Macan Kepatihan itu sama nilainya dengan seribu
orang Pajang dan setiap nyawa di antara kita bernilai seratus
orang Pajang. Timbulkan kengerian di mana-mana. Setiap
orang Pajang bertanggung jawab atas kematian Macan
Kepatihan, sehingga kepada mereka dendam kita dapat kita
tumpahkan." Bulu-bulu kuduk Sumangkar meremang mendengar perintah
itu. Perintah itu telah diduganya akan terjadi seandainya
orang-orang Jipang itu tidak mendapat keseimbangan.
Perintah itu berarti pembunuhan yang semena-mena atas
semua orang yang akan ditemui oleh Sanakeling. Semua
orang Pajang diperlakukan sama. Karena itu maka segera ia
berkata, "Bagus. Apabila Angger Sanakeling bertekad
demikian. Aku tidak akan menghalang-halangi, sebab aku
tidak mempunyai pendirian tersendiri."
Sanakeling yang segera akan memotong kata-kata
Sumangkar tertegun mendengarnya. Karena itu niatnya
diurungkan. Terasa bahwa Sumangkar telah mundur setapak
dari pendiriannya. Dan terdengar kata-kata Sumangkar itu, "Apa yang aku
katakan hanyalah sekedar pesan. Pesan Angger Tohpati yang
telah terbunuh karena melindungi nyawa kita. Seandainya
Macan Kepatihan itu tidak mengorbankan nyawanya, maka
kitalah yang akan mati terlebih dahulu. Dan kitalah yang akan
mengucapkan pesan-pesan itu kepada orang terakhir yang
kita temui. Dan dalam pesan-pesan yang terakhir itulah
sebenarnya kita akan menunjukkan nilai dan kebesaran jiwa
kita. Namun apabila kini dikehendaki lain oleh seseorang yang
berwenang, aku akan menundukkan kepala. Memenuhi
perintah yang akan dijatuhkan. Tetapi kitapun akan segera
mendengar perintah yang serupa keluar dari mulut Untara.
Bahkan mungkin dari mulut Ki Gede Pemanahan atau
Adiwijaya sendiri. Perintah itu akan berbunyi serupa,
"Bunuhlah setiap orang Jipang siapapun sebab mereka
semuanya turut bertanggung jawab atas kerusuhan-kerusuhan
yang terjadi". Dan orang-orang Pajang akan melakukan
perintah itu sebaik-baiknya. Apalagi mereka, yang sanak
kadangnya akan menjadi korban perintah Angger Sanakeling.
Malah mereka akan dapat mengamuk seperti orang mabuk.
Anak-anak kita, isteri, ayah bunda dan saudara-saudara kita
yang sekarang selalu berada di dalam kegelisahan karena
mereka menunggu kita pulang ke rumah. Namun yang sampai
sekarang mereka masih dibiarkan hidup dan menetap di
rumah-rumah mereka sendiri. Tetapi apabila kita melakukan
perintah Angger Sanakeling itu, akan dapat berarti menekan
mereka ke dalam lembah kehancuran. Bukan orang-orang
Pajang saja, tetapi orang-orang Jipang. Semua akan musnah.
Dan rakyat Demak akan menjadi punah. Hancur lebur. Bunuh
membunuh tiada habis-habisnya. Demak akan lenyap dibakar
oleh dendam yang tiada akan dapat dipadamkan lagi."
Terdengar gigi Sanakeling menggeretak mendengar kata-kata
itu. Tetapi ia tidak segera dapat menyahut. Kata-kata itu
meresap ke dalam dadanya seperti meresapnya berpuluhpuluh
bahkan beratus-ratus ujung jarum ke dalam jantungnya.
Tetapi ia dapat mengerti dan mengakui bahwa hal yang
sedemikian itu mungkin terjadi.
Kembali gubuk dan sekitarnya itu ditelan oleh kesenyapan.
Dalam keheningan itu maka orang-orang Jipang sempat
berpikir. Menimbang yang baik dan yang buruk. Menilai makna
dari setiap kata kedua orang pemimpin yang telah
membingungkan hati mereka.
Kembali mereka berdiri di persimpangan jalan. Mereka dapat
mengerti sepenuhnya kata-kata Sumangkar, namun mereka
sependapat pula dengan Sanakeling bahwa mereka harus
mempertahankan harga diri mereka sebagai seorang prajurit.
Tetapi merekapun menjadi ngeri ketika mereka mendengar
uraian Sumangkar yang terakhir setelah darah mereka dibakar
oleh perintah Sanakeling. Semula perintah itu telah
menggelegak di dalam dada mereka. Semua orang Pajang
harus dimusnahkan. Tetapi bagaimana kalau berlaku pula
perintah yang serupa yang dikatakan Sumangkar. Bagaimana
dengan anak-anak, isteri, dan sanak kadang mereka yang
tidak tahu-menahu tentang perbuatan mereka"
Perlahan-lahan maka setiap orang telah terdorong dalam satu
pilihan di antara keduanya. Tetapi sayang, bahwa tidak semua
dada berisi jantung dan hati yang serupa. Tanpa diketahui,
maka pendirian orang-orang Jipang itu terbelah seperti
pendirian pemimpinnya. Sebagian dari mereka terdorong ke
dalam pendirian Sumangkar, dan sebagian lagi terseret oleh
api kemarahan Sanakeling.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sedang dilanda oleh
arus kebimbangan, terdengarlah suara tertawa di belakang
mereka, di belakang orang-orang Jipang itu. Suara tertawa
yang tinggi melengking menyakitkan telinga mereka yang
mendengarnya. Seperti digerakkan oleh
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga ajaib, serentak mereka semuanya yang berada di tempat itu berpaling. Mereka serentak mencari sumber suara itu. Namun mereka tidak segera dapat melihat. Tabir yang hitam pekat seakan-akan telah menyekat pandangan mata mereka. Sementara itu, suara tertawa itu masih terdengar. Bahkan semakin lama semakin keras.
Sanakeling yang mendengar pula suara tertawa itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menjadi muak, dan tibatiba
pula ia berteriak keras-keras, "Cukup! Jangan membuat
jantungku pecah. Siapakah yang tertawa itu?"
Suara tertawa itu masih terdengar. Namun kini menjadi
semakin perlahan-lahan. Di antara derai tertawa itu terdengar
jawaban, "Aku angger Sanakeling."
"Aku siapa?" teriak Sanakeling. "Setiap orang menyebut
dirinya dengan sebutan serupa. Aku."
Suara tertawa itu kemudian berhenti. Tetapi mereka tidak
segera mendengar jawaban. Sejenak mereka menunggu, dan
terasa malam yang sepi menjadi semakin sepi.
"Siapa kau, he?" sapa Sanakeling semakin keras. "Siapa yang
telah berani memasuki perkemahan prajurit Jipang" Apakah
sudah jemu melihat matahari besok pagi?"
"Jangan lekas marah," jawaban itu semakin mengejutkn.
Terdengar Suara itu kini sudah menjadi semakin dekat.
Namun gelap malam masih melindunginya, sehingga belum
seorangpun yang dapat melihatnya. Tetapi orang-orang
Jipang itu merasa, Sanakeling dan Sumangkar merasa,
bahwa orang itu pasti dapat melihat mereka dengan jelas
karena cahaya-cahaya obor di dekat mereka.
Tetapi orang itu tidak, berusaha bersembunyi terlalu lama.
Sesaat kemudian orang-orang Jipang itu menjadi tegang
ketika mereka melihat bayangan yang bergerak-gerak di
bawah pepohonan. Bayangan yang semakin lama menjadi
semakin jelas. Ketika kemudian cahaya obor yang lemah
dapat mencapainya, maka terbersitlah hati setiap orang yang
melihatnya. Orang itu adalah seorang tua, bermata tajam dan
berhidung lengkung seperti paruh burung hantu.
Beberapa orang yang telah mengenalnya mendjadi berdebardebar
karenanya. Sementara itu terdengar Sumangkar
berdesis, "Ki Tambak Wedi."
Orang yang datang itu adalah Ki Tambak Wedi. Ketika ia telah
bendiri beberapa langkah dari para prajurit Jipang yang
berkerumun itu, kembali orang tua itu tertawa. Tetapi suara
tertawanya kini tidak lagi terlalu keras.
Sanakeling yang mendengar Sumangkar menyebut namanya
mengerutkan keningnya. Inikah orang yang bernama Ki
Tambak Wedi, guru Sidanti" Tiba-tiba dada Sanakeling itu
bergolak. Tanpa dikehendakinya sendiri terdengar Sanakeling
itu berteriak, "He, adakah kau yang disebut orang Ki Tambak
Wedi dari lereng Gunung Merapi?"
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya.
Mereka yang sudi menyebut namaku, demikianlah."
Sanakeling mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya
menjadi semakin tegang dan kembali tanpa dikehendakinya
sendiri tangannya meraba hulu pedangnya.
"Apakah maksudmu datang kemari?" bertanya Sanakeling itu
pula. Ki Tambak Wedi tersenyum. Wajahnya yang keras itu menjadi
kemerah-merahan oleh sinar obor yang mengusapnya.
Jawabnya, "Aku tidak akan berbuat apa-apa Ngger. Jangan
berprasangka. Aku hanya ingin sekedar mendengarkan,
apakah yang akan dikatakan oleh pepunden para prajurit
Jipang." Sanakeling mengerutkan keningnya. "Pepunden?" ulangnya.
"Ya. Bukankah Adi Sumangkar itu seorang pepunden bagi
para prajurit Jipang?"
"Siapa yang mengatakannya?"
"Adi Sumangkar sendiri."
"Bohong!" teriak Sanakeling.
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak saja
berhadapan dengan Sanakeling yang ternyata berbeda
pendirian dengan dirinya. Namun tiba-tiba datang Ki Tambak
Wedi yang licik itu. Dengan sebutannya yang pertama-tama
diucapkan, segera Sumangkar tahu maksud kedatangan
hantu lereng Merapi itu. Dan lebih celaka lagi tanggapan yang
pertama-tama diucapkan oleh Sanakeling adalah sangat
menguntungkan hantu itu. Meskipun demikian Sumangkar
tidak segera menyahut. Dicobanya untuk menilai keadaan
dengan seksama. Namun ia belum menemukan pertimbangan
yang tepat, sebab ia belum tahu tanggapan para prajurit
Jipang itu, atas pendiriannya dan pendirian Sanakeling.
Mendengar teriakan Sanakeling yang serta merta itu, Ki
Tambak Wedi tersenyum. Kemudian katanya lebih lanjut, "Ah.
Jangan menyia-nyiakan orang tua itu Angger. Bukankah Ki
Sumangkar itu adik seperguruan Patih Mantahun. Bukankah
Adi Sumangkar itu paman guru dari pemimpinmu yang kau
segani, Macan Kepatihan?"
"Aku hormati Patih Mantahun yang sakti itu. Aku hormati
Kakang Raden Tohpati yang perkasa. Tetapi Paman
Sumangkar dalam kedudukannya adalah seorang juru masak.
Tidak lebih dan tidak kurang."
Bagian 4 Terasa dada Sumangkar berdesir. Apalagi ketika ia
mendengar jawaban Ki Tambak Wedi, "Tetapi ia mendapat
pesan langsung dari Angger Tohpati. Angger Tohpati yang
perkasa itu berpesan kepada Adi Sumangkar agar membawa
segenap anak buahnya untuk menyerahkan dirinya, tanpa
syarat." "Bohong! Bohong!" teriak Sanakeling. "Aku didak percaya."
"Kenapa kau tidak percaya" Bukankah Adi Sumangkar adalah
satu-satunya orang dari antara kalian yang menunggui saatsaat
terakhir dari Raden Tohpati, selain Untara, Widura, dan
orang-orang Pajang. Sudah tentu Adi Sumangkar berkata
dengan jujur. Pasti bukan karena bujukan Untara atau janjijanji
daripadanya untuk Adi Sumangkar pribadi."
Sekali lagi dada Sumangkar berdesir. Kali ini lebih keras.
Kata-kata Ki Tambak Wedi yang seakan-akan memihaknya itu
adalah suatu pancingan yang berbahaya. Berbahaya baginya
dan berbahaya bagi pesan Tohpati itu sendiri.
Ternyata kecemasannya itu beralasan. Dengan serta merta
Sanakeling menegakkan lehernya. Ia mencoba memandangi
Ki Tambak Wedi dengan saksama. Namun kemudian
Sanakeling itu pun berpaling kepada Sumangkar. Matanya kini
seakan-akan menyala memancarkan kemarahan hatinya.
Dengan suara yang keras parau ia berkata, "He, Paman
Sumangkar, kenapa kau sempat menunggui saat-sat terakhir
Kakang Macan Kepatihan?"
Sumangkar tidak segera menjawab. Ditatapnya mata
Sanakeling yang menyala itu, langsung ke pusatnya. Seakanakan
Sumangkar ingin menjajagi betapa panasnya nyala yang
memancar dari padanya. Tiba-tiba Sanakeling itu melemparkan pandangan matanya.
Terasa betapa dalam perbawa orang itu. Juru masak yang
malas. Namun ketika disadarinya, bahwa matanya yang
menghujam ke wajah Sumangkar itu tergeser, timbullah
kegelisahan yang sangat di dalam dadanya. Sehingga untuk
menutupinya maka Sanakeling itu berteriak keras-keras,
kepada orang-orang Jipang, "He, orang-orang Jipang, apakah
kau percaya bahwa Paman Sumangkar mendapat pesan itu
dari Kakang Tohpati" Apakah bukan karena Paman
Sumangkar sebenarnya berpihak kepada Pajang dan ditanam
dalam perkemahan kita?"
Kembali suana menjadi sepi. Sepi sesepi kuburan. Namun di
dalam setiap dada bergolak berbagai macam tanggapan.
Untuk memuaskan hatinya maka Sanakeling berkata terus,
"Itulah, sebabnya, maka setiap serangan yang kita lancarkan
pasti sudah diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung.
Bahkan tidak mustahil bahwa orang tua inilah yang telah,
memperlemah tekad perjuangan yang menyala di dalam
setiap dada anak-anak Jipang." Kemudian kepada Sumangkar
ia berkata, "Nah Paman Sumangkar, katakanlah kepadaku
kenapa kau dapat mendekati Kakang Macan Kepatihan pada
saat-saat terakhirnya" Kenapa kau tidak dikeroyok seperti
rampogan macan di alun-alun, sehingga betapa saktinya kau,
maka kaupun pasti akan terbunuh pula dengan luka arang
kranjang. Tetapi kau malahan dapat membawa mayat Kakang
Tohpati itu kemari dan mempergunakannya untuk
mempengaruhi tekad anak-anak Jipang yang telah membaja
di dalam dada mereka" He?"
Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Pertanyaan itu
memang memerlukan pembuktian. Tetapi tak ada seorang
saksi pun yang melihat, bahwa apa yang dikatakan itu
bukanlah suatu ceritera yang telah dikarangnya sendiri. Bukan
suatu mimpi yang didapatnya pada saat-saat ia tertidur di
siang hari. Tetapi semuanya adalah sebenarnya demikian.
Karena Sumangkar tidak segera dapat mendjawab, maka
terdengar Ki Tambak Wedi berkata, "Bagaimana Adi
Sumangkar" Angger Sanakeling telah mengajukan beberapa
pertanyaan. Kenapa tidak segera dapat kau jawab" Apakah
pertanyaan itu tepat seperti yang terjadi sebenarnya?"
Sumangkar menggeretakkan giginya. Pertanyaan Ki Tambak
Wedi itu lebih mendorongnya ke sudut yang sangat sulit.
Namun Sumangkar masih berdiri tegak dengan tenangnya.
Betapa hatinya bergelora namun ia sama sekali tidak goreh di
tempatnya, seolah-olah sepasang kakinya telah jauh
menghunjam seperti akar yang kukuh berpegangan pada batu
karang yang teguh. Dan sikapnya itulah yang telah
menyelamatkan wibawanya atas orang-orang Jipang.
Namun yang terdengar kemudian adalah suara Sanakeling
yang gelisah, "He, bagaimana Paman Sumangkar" Apakah
kau masih akan ingkar lagi?"
Tiba-tiba Sanakeling itu menggeram ketika ia melihat
Sumangkar tersenyum. Orang tua itu seakan-akan sama
sekali tidak menjadi cemas dan takut. Bahkan ia masih
sempat tersenyum. Di antara senyumnya terdengar Sumangkar berkata, "Baiklah
aku mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi." Sumangkar
berhenti sesaat. Dicarinya kata-kata yang sebaik-baiknya.
Karena ia tidak segera menemukan, maka yang pertama-tama
dikatakan adalah, "Namun sebelumnya, biarlah aku
mengucapkan selamat datang kepada Kakang Tambak Wedi
yang bijaksana." Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya
mengumpat melihat ketenangan Sumangkar.
Kemudian berkata Sumangkar, "Aku akan menolak segala
tuduhan bahwa seolah-olah aku adalah orang yang diselipkan
di antara kalian orang-orang Jipang oleh Pajang. Sayang,
bahwa tidak banyak yang mengenal siapakah Sumangkar"
Sebenarnya Angger Sanakeling pun tidak. Sebab kami, aku
dan Angger Sanakeling selalu berada di medan yang berbeda.
Tetapi kalau ada yang telah mengenal Sumangkar baik-baik,
bertanyalah kepada mereka siapakah yang telah
menyelamatkan tanda-tanda kebesaran Jipang" Rontek,
tunggul, dan umbul-umbul bahkan panji-panji kebesaran"
Semuanya itu telah kalian bawa hari ini ke medan
peperangan. Kalian telah menjadi berbesar hati dan
bertambah berani, karena di atas gelar perang berkibar segala
macam tanda-tanda kebesaran itu. Nah, katakanlah siapakah
yang paling banyak berbuat untuk Jipang pada saat Jipang
runtuh. Pada saat Arya Jipang terbunuh dan kemudian Patih
Mantahun" Semuanya pada saat itu hannya dapat bercerai
berai, semuanya hanya dapat mengungsikan diri sendiri. Nah,
Angger Sanakeling, apakah yang dapat kau lakukan saat itu"
Timbanglah apa yang dilakukan oleh Sumangkar yang tua ini."
Kembali mereka terlempar ke dalam cengkaman kesenyapan.
Kembali orang-orang Jipang terseret ke dalam pertentangan
tanggapan atas pemimpin mereka.
Kini Sanakeling-lah yang terbungkam. Semuanya itu memang
benar telah terjadi. Namun di antara kesepian, itu
menyelusuplah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Katanya, "Ini
adalah suatu ceritera yang telah terjadi atas seorang
Sumangkar. Betapa besar jasa-jasanya atas Jipang, namun
akhirnya dikhianatinya para prajurit yang telah mengorbankan
hampir segala miliknya itu."
Dada Sumangkar seolah-olah tertimpa Gunung Merapi yang
runtuh saat itu. Terasa betapa licik dan licin lidah iblis yang
bernama Tambak Wedi. Namun betapa jantungnya menjadi
gemetar, tetapi Sumangkar tidak mau kehilangan kejernihan
pikiran. Ia berhadapan tidak saja dengan seorang yang sakti;
tetapi juga seorang yang lidahnya mengandung bisa.
Kata-kata Tambak Wedi itu ternyata telah menolong
Sanakeling untuk menjawab pertanyaan Sumangkar. Katanya,
"Nah, Paman Sumangkar. Apa yang terjadi terdahulu
bukanlah ukuran dari apa yang terjadi sekarang. Suatu saat
Sumangkar adalah seorang pahlawan, namun di saat ini
Sumangkar adalah seorang pengkhianat."
Alangkah panas hati Sanakeling ketika ia masih melihat
Sumangkar tersenyum. "Benar Ngger," sahut Sumangkar.
Namun jantungnya serasa akan meledak. Hanya karena
hatinya yang mengendap, maka ia masih dapat bertahan
dalam ketenangan. "Kau Benar. Apa yang terjadi terdahulu bukanlah ukuran dari
apa yang terjadi sekarang. Kalau dahulu setiap hidung dari
para prajurit Jipang menghormati Macan Kepatihan, sekarang
Macan Kepatihan tidak lebih dari sesosok mayat. Kalau
dahulu Sanakeling berjuang untuk suatu tujuan, kini
Sanakeling tidak lebih dari seorang prajurit yang dalam
keputus-asaannya berbuat di luar batas perikemanusiaan.
Betapapun kabur dan sempitnya tujuan perjuangan itu dahulu,
namun masih juga ada kemungkinan untuk mencapainya.
Tetapi sekarang yang terjadi, tidak lebih dari menjajakan
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dendam di mana-mana."
"Cukup!" teriak Sanakeling penuh kemarahan. Wajahnya yang
merah menjadi semakin marah. Matanya yang liar menjadi
semakin liar. Hampir saja ia meloncat dan menerkam wajah
Sumangkar. Tetapi ketika kemudian terpandang olehnya
sebatang tongkat baja putih berkepala tengkorak kekuningkuningan,
maka ia tertegun diam. Hanya giginya sajalah yang
terdengar gemeretak. Dalam pada itu Sumangkar masih saja tersenyum dan
berkata, kali ini kepada orang-orang Jipang, "Nah, timbanglah
di hatimu. Kalian telah mendengar apa yang aku katakan dan
apa yang dikatakan oleh Sanakeling. Aku tidak
menyalahkannya, pendiriannya adalah pendirian seorang
prajurit yang tertempa dalam perjuangan yang berat. Tetapi
pendirian itu bukanlah satu-satunya pendirian yang terbentang
di hadapan kita. Taraf perjuangan kalian kini telah sampai
pada suatu titik yang berbeda dengan pada saat kalian baru
mulai." Tetapi kata-kata Sumangkar terputus oleh kata-kata Ki
Tambak Wedi di antara derai tertawanya. "Bagus. Kau
memang benar-benar licik Adi. Kau mampu, memutar balikkan
keadaan dan, memutar balikkan penilaian atas sesuatu
persoalan. Aku bukan orang Jipang. Aku sejak semula adalah
penghuni lereng Merapi. Sejak Demak berkuasa, aku seakanakan
terlepas dari kekuasaan itu. Apalagi sekarang. Namun
aku menaruh hormat pada perjuangan Angger Sanakeling.
Aku kecewa melihat seorang Sumangkar dengan mudahnya
mengingkari dan mengkhianati perjuangan yang telah dirintis,
bahkan dikorbani dengan nyawa dari orang-orang sebesar
Adipati Jipang sendiri, Patih Mantahun, dan yang terakhir
adalah Angger Macan Kepatihan."
Ki Tambak Wedi belum selesai dengan kata-katanya. Namun
Sumangkar kini yang memotongnya. "Ki Tambak Wedi adalah
penghuni lereng Merapi sejak semula. Karena itu Ki Tambak
Wedi tidak banyak mengetahui apa yang terjadi di Jipang, di
Pajang dan di perkemahan ini. Karena itu, apa yang dikatakan
adalah semata-mata suatu cara untuk melumpuhkan kita.
Dengar, apakah kata-katanya bukan sekedar usaha untuk
memecah pendirian kita" Antara aku dan Angger Sanakeling.
Ternyata usahanya hampir terjadi seperti pada saat ia
membakar hati Tundun dan kawan-kawannya di perkemahan
ini siang tadi. Usaha itupun hampir berhasil. Untunglah
Sumangkar masih mampu mengusirnya. Sekarang kau
kembali lagi dengan bisa di mulutmu. Sayang Ki Tambak
Wedi." Kata-kata Sumagkar benar-benar menikam jantung Tambak
Wedi. Kini ialah yang dibakar oleh kata-kata itu sehingga
darahnya tersirap sampai ke kepala. Dengan serta merta ia
menyawab lantang, "Kau bena-benar licik. Tetapi kau di sini
berdiri seorang diri. Kalau Angger Sanakeling bersedia aku
ingin berdiri di pihaknya. Mungkin tak seorangpun dari kalian
yang mampu melawan Sumangkar. Tetapi bagi Tambak Wedi,
Sumangkar bukan seorang yang menyilaukan."
Sanakeling yang hatinya telah terbakar lebih dahulu tidak
dapat menimbang lagi mana yang buruk, mana yang baik.
Hatinya telah dibutakan oleh ketamakannya atas pimpinan
sepeninggal Macan Kepatihan, atas harga dirinya sebagai
seorang prajurit pilihan, atas dendam yang membara di
dadanya. Itulah sebabnya tiba-tiba ia berteriak, "Jangan
banyak bicara setan tua. Ayo, selama darah prajurit masih
mengalir di dalam dada kalian, kalian akan tetap dalam
pendirian kalian yang telah kalian letakkan sejak semula. Kini
apabila kalian masih tetap dalam sumpah kalian sebagai
prajurit Jipang, dengar perintahku. Tangkap orangg tua ini!"
Teriakan Sanakeling itu menggelegar menembus gelap
pekatnya hutan, memukul pepohonan dan bergema berulangulang.
Susul menyusul seperti gelombang yang menghentakhentak
pantai. Sumangkar yang mendengar perintah itu tiba-tiba mundur
selangkah. Tanpa sesadarnya ia membelai tongkat baja
putihnya. Bahkan tiba-tiba pula ia berkata lantang, "Ayo! Inilah
Sumangkar. Siapa yang ingin mcnangkap Sumangkar,
tangkaplah! Aku sudah tua. Sudah banyak yang aku alami dan
sudah banyak yang aku lakukan. Tetapi kalau masih ada
sepercik sinar di dalam hatimu, hati seorang manusia yang
berdiri di atas kemanusiaannya, dengarlah kata-kataku.
Mungkin kata-kataku terakhir. Kalau aku tidak sempat
melakukan, kuburkanlah mayat Angger Macan Kepatihan
baik-baik. Ia adalah seorang yang berhati jantan, tetapi ia
adalah seorang yang berhati lembut, selembut hati seorang
ibu. Pada saat terakhirnya, ia berkorban untuk kalian, namun
ia juga memikirkan hari-hari depan kalian. Hari-hari yang
masih panjang, buat anak cucu kalian dan hari yang masih
panjang buat Demak. Ayo! Sekarang aku sudah bersiap.
Siapa yang pertama-tama" Sanakeling atau Tambak Wedi?"
Suara Sumangkar yang tua itupun terasa seakan-akan
menusuk langsung ke setiap dada. Orang-orang Jipang yang
mendengar suaranya seakan-akan darahnya menyadi beku.
Mereka melihat orang tua itu menggenggam tongkatnya eraterat,
siap untuk terayun dengan derasnya.
Tetapi bukan hanya suara Sumangkar itu yang mempengaruhi
hati setiap orang Jipang, makna dari kata-kata itupun telah
menyentuh hati sebagian mereka pula.
Namun Sanakeling telah bena-benar bermata gelap. Dengan
serta merta ia menarik pedangnya. Dan sekali lagi suaranya
menggelegar memenuhi hutan. "Ayo, tangkap orang tua ini.
Orang tua yang telah mengkhianati perjuangan kalian. Bahkan
sampai hati untuk merendahkan diri mencium kaki orangorang
Pajang." Tiba-tiba orang-orang Jipang yang berdiri di muka gubug
itupun seakan-akan bergetar. Beberapa orang menjadi saling
berdesakan. Dan beberapa di antara merekapun tiba-tiba
menarik pedangnya pula sambil berteriak menyambut perintah
Sanakeling. "Kita telah siap Ki Lurah. Kita siap menangkap
orang tua itu." Sumangkar memandang orang-orang Jipang itu dengan sudut
matanya. Ia melihat beberapa orang bena-benar telah
mengacungkan pedang-pedang mereka. Dan karena itulah
maka hatinya bena-benar menyadi gelisah. Bukan karena ia
takut mati. Tetapi apakah ia sampai hati urtuk menebaskan
tongkatnya kepada orang-orang yang tidak menyadari apa
yang akan dilakukannya itu" Karena itu ketika ia melihat
beberapa orang di antara mereka berdesakan maju, maka
kegelisahannya menyadi semakin menyekat hati.
Apalagi ketika di kejauhan terdengar suara Tambak Wedi,
"Bagus. Kalian telah bertindak tepat. Kalau tidak ada di antara
kalian yang dapat melakukannya, maka aku bersedia
menolong kalian menangkap orang tua itu."
Sumangkar berdesis. Kemarahannya kini telah memuncak
pula. Tetapi kepada Ki Tambak Wedi. Bukan kepada orangorang
Jipang itu. Sehingga ketika ia melihat Sanakeling maju
selangkah maka Sumangkar itu mundur setapak.
"Jangan mencoba lagi!" bentak Sanakeling.
Sumangkar menggeram. Namun tiba-tiba, sekali lagi ia
terkejut. Kini ia melihat orang-orang Jipang itu seakan-akan
terbagi. Beberapa orang yang telah menarik senjata mereka,
seakan telah berkumpul di bagian depan dari orang-orang
Jipang yang berkerumun itu. Tetapi sebagian yang lain masih
tetap berdiri tegak di tempat mereka. Bahkan kemudian
terjadilah suatu hal yang tidak terduga-duga. Tiba-tiba di
antara mereka yang masih berdiri di tempatnya itu terdengar
sebuah teriakan nyaring. "Jangan sentuh orang tua itu. Kami
berdiri di pihaknya."
Setiap orang berpaling ke arah suara itu. Sanakeling dan
Sumangkar pun berpaling pula. Sebelum mereka melihat
siapa yang berteriak itu, terdengar orang lain menyambut,
"Kami berada di pihak Ki Sumangkar."
Tanpa disangka-sangka pula, suara itu segera menjalar
kesegala arah. Dengan suara yang melengking-lengking
terdengar orang-orang Jipang itu berteriak-teriak, "Kami
berada di pihak Ki Sumangkar."
Setiap darah akan tersirap ketika mereka kemudian melihat
senjata berkilauan. Kini bukan saja orang-orang yang berdiri di
pihak Sanakeling menarik senjata-senjata mereka. Namun
orang-orang yang berdiri di pihak Sumangkar pun telah
menggenggam senjata-senjata mereka yang telanjang.
Yang paling nyaring dari antara mereka adalah suara Tundun,
yang pada siang harinya hampir berusaha membunuh
Sumangkar. Kini dengan sepenuh hati ia berteriak meskipun
tangannya masih agak sakit. "Ki Sumangkar telah
menyelamatkan kami siang tadi dari keganasan Ki Tambak
Wedi. Aku telah dihidupinya meskipun aku berusaha untuk
membunuhnya. Ternyata Ki Sumangkar adalah orang yang
sebaik-baiknya dan sesakti-saktinya dalam perkemahan ini."
"Tutup mulutmu!" bentak seorang yang lain, yang berdiri di
pihak Sanakeling. "Kalau kau ingin mati bersamanya, ayo,
matilah kau lebih dahulu."
"Bagus," teriak Tundun. "Siapa kau?"
Tundun melihat seseorang meloncat dari antara orang-orang
Jipang yang memihak Sanakeling. Tetapi Tundun pun segera
meloncat menyongsongnya. Bahkan bukan saja Tundun.
Tetapi seorang yang bertubuh kecil dan bernama Bajang
datang pula mendekatinya. Meskipun lukanya belum sembuh
benar. "Hem," Bajang itu menggeram, "serahkan orang ini kepadaku.
Aku setiap hari hanya mendapat pekerjaan memotong leher
binatang-binatang. Kini aku akan mencoba memotong leher
orang." Namun kawan-kawan orang itupun segera berloncatan pula.
Mereka tidak akan melepaskan orang itu bertempur seorang
diri. Dengan demikian maka kedua belah pihak telah
berhadapan dalam kelompok dan pihak masing-masing.
Melihat peristiwa itu, alangkah sakitnya hati Sumangkar.
Alangkah pedihnya. Karena itu ketika kedua belah pihak telah
siap untuk bertempur, terdengarlah Sumangkar itu berteriak,
"Berhenti! Berhenti! Apakah kalian, sudah menjadi gila"
Bukankah kalian sedang berhadapan dengan kawan sendiri,
yang selama ini telah bersama-sama menanggung segala
macam derita dan kesulitan" Bukankah kalian selama ini telah
terumbang-ambing dalam biduk yang sama. Tenggelam
bersama dan mengambang bersama. Bila badai menempuh
biduk itu, kalian bersama-sama dibuai dengan dahsyatnya,
namun bila angin silir, kalian bersama-sama dibelai oleh
kesegaran. Kini kalian telah siap berhadapan dengan senjata
telanjang. Apakah kalian benar-benar telah menjadi gila?"
Orang-orang Jipang itupun tertegun diam. Masing-masing
seakan-akan telah dipukau oleh suatu pesona mendengar
kata-kata itu. Bahkan Sanakeling pun hanya berdiri saja
mematung untuk sesaat. Tetapi ketika kemudian Sanakeling
menyadari, bahwa sebagian dari orang-orang Jipang itu tidak
mematuhi perintahnya, maka kembali darahnya bergelora
dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap.
Sanakeling merasa bahwa sebagian dari laskar Jipang itu
telah terpengaruh oleh Sumangkar untuk berkhianat
kepadanya. Ya. Kepadanya. Kepada Sanakeling. Sehingga
dengan nyaringnya ia berkata, "He. Siapa yang berpihak
kepada Sumangkar adalah pengkhianat. Orang-orang itu
harus dibinasakan pula bersama Sumangkar."
Tetapi Sumangkar menyahut, "Dengarlah olehmu sekalian.
Apapun yang kau dengar, baik dari mulutku, maupun dari
mulut Angger Sanakeling adalah demi keselamatan kalian.
Pesan Angger Tohpati berisi petunjuk supaya kalian dapat
menemukan kedamaian hati dan kemungkinan yang terang di
hari depan. Sedang perintah Angger Sanakeling mengandung
makna, supaya kalian tetap dalam kejantanan jiwa seorang
prajurit. Kalau kalian kemudian bertempur satu sama lain,
maka kedua pesan itu sama sekali tak berarti. Kalian akan
musnah, bukan sebagai prajurit-prajurit yang sedang
mempertahankan harga diri seperti yang dimaksud oleh
Angger Sanakeling. Bukan dalam kebesaran jiwa Jipang yang
berjuang sampai tetes darah terakhir. Tetapi sebagai prajurit
yang saling bunuh-membunuh berebut kebenaran, yang tidak
berpangkal dan berujung. Juga kalian tidak akan dapat
memenuhi pesan Angger Tohpati yang kalian segani, sebab
kalian tidak akan sempat menemukan kedamaian hati dan hari
depan yang baik. Kalian akan mati karena pedang kawan
sendiri, dan kalian akan mati tertimbun bangkai sesama."
Kembali orang-orang Jipang itu mematung. Sanakeling yang
sudah meluap itupun kembali mematung pula.
Namun sayang, bahwa di antara mereka, berdiri seorang
Tambak Wedi yang selalu meniup-niupkan bisa dari mulutnya.
Ketika ia melihat keragu-raguan di antara mereka, kembali ia
tertawa dan berkata, "Alangkah liciknya cara Sumangkar yang
perkasa itu menyelamatkan diri. Bagi seorang prajurit,
kebenaran adalah mutlak. Tidak pandang siapakah yang
berdiri di hadapannya. Jangankan kawan seperjuangan.
Bahkan sanak kadang, ayah kandung sendiri, kalau ia
berkhianat, maka pedang kita akan menusuk ulu hatinya.
Lebih baik berkawan sepuluh duapuluh orang yang setia
daripada seratus dua ratus pengkhianat. Itulah pilihan Angger
Sanakeling." "Tepat," teriak Sanakeling, "tepat seperti kata-kata Ki Tambak
Wedi. Ayo jangan ragu-ragu. Pedang kalian telah tertarik dari
sarungnya." "Yang kalian anggap pengkhianat adalah Sumangkar," teriak
Sumangkar. "Kalau ada yang berpihak kepadaku adalah
karena mereka terpengaruh kata-kataku. Nah, ayo. Kalau
kalian ingin bertindak, bertindaklah terhadap Sumangkar.
Kepada para prajurit Jipang yang mendengarkan pesan-pesan
Tohpati lewat mulutku, aku minta kalian tidak perlu membela
Sumangkar. Biarlah Sumangkar mati memeluk kewajiban
yang dibebankan oleh pemimpinnya pada saat-saat terakhir,
menyampaikan pesan itu kepada kalian. Lepaskan
Sumangkar dan kalian dapat meninggalkan tempat ini
menempuh jalan yang kalian kehendaki itu. Sekarang ayo,
siapa yang akan membunuh Sumangkar?"
Sanakeling menggeram. Namun ia masih belum beranjak dari
tempatnya. Ia tahu benar siapakah Sumangkar itu. Ia
mengharap semua prajurit Jipang bersama-sama
menangkapnya. Betapapun saktinya Sumangkar, namun ia
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti tidak akan dapat melawan semua orang yang berada di
tempat itu. Tetapi tiba-tiba orang-orang Jipang itu terbelah.
Hampir terbelah dua, yang masing-masing akan dapat
bertempur dengan pemimpin saja mampu menangkap
Sumangkar. Ketika ia berpaling dilihatnya Alap-alap Jalatunda.
Anak muda itu berdiri dengan tegangnya. Namun wajahnya
tidak meyakinkan Sanakeling, kepada siapa ia akan berpihak.
Sedang beberapa orang yang lainpun sangat meragukannya.
Demikianlah maka setiap wajah kini dicengkam oleh keraguraguan.
Meskipun pedang Sanakeling telah bergetar namun
kakinya sama sekali belum bergerak.
Dalam keragu-raguan itu terdengar kembali suara Ki Tambak
Wedi, "Kenapa kau ragu-ragu Angger Sanakeling" Setidaktidaknya
yang sependapat dengan pendirianmu adalah
separo. Serahkan mereka menyelesaikan pendirian masngmasing.
Jangan hiraukan alasan-alasan cengeng yang keluar
dan mulut Sumangkar. Sekarang Angger Sanakeling dapat
menangkap dan sekaligus menghukum mati Sumangkar itu.
Kalau Angger tidak sanggup karena kesaktian Sumangkar,
biarlah Tambak Wedi membantumu."
Mata Sanakeling yang liar menjadi bertambah liar. Tawaran itu
menggembirakannya, sehingga ia menjawab, "Terima kasih Ki
Tambak Wedi. Orang ini memang perlu mendapat sedikit
peringatan. Peringatan atas kelicikannya membawa sebagian
dari kita untuk berkhianat."
"Tambak Wedi," potong Sumangkar. "Kau bukanlah seorang
dari antara kita. Tetapi mulutmu yang berbisa itu seakan-akan
menentukan apa yang harus kita lakukan. Kau telah berhasil
menghancurkan pasukan Jipang tanpa membawa seorang
prajuritpun. Sehingga dengan demikian kau berhak
mengenakan tanda jasa yang setingi-tingginya dari Pajang."
Sekali lagi Tambak Wedi menggeram. Sumangkar masih
mampu menangkis usahanya yang terakhir. Sesaat ia
kehilangan kesempatan untuk mendororong Sanakeling
bertindak lebih jauh. Apalagi ketika kemudian ia melihat
Sanakeling menjadi ragu-ragu. Karena itu maka ia langsung
sampai pada tujuannnya, katanya, "Hem. Sekali lagi kau
menunjukkan kelicikanmu Sumangkar. Baiklah aku berterus
terang. Muridku telah disisihkan oleh Untara setelah ia gagal
berusaha membunuh senapati Pajang yang sombong itu. Ia
hanya berhasil melukainya dengan parah. Tetapi Untara itu
dapat sembuh dari sakitnya. Kini muridku datang untuk
menawarkan diri kepada Angger Sanakeling. Bekerja
bersama. Mungkin kita belum menemukan titik persamaan
pendirian. Namun hal itu dapat dibicarakan kemudian."
Darah Sanakeling tersirap mendengar tawaran itu. Alangkah
baiknya. Selagi ia kehilangan seorang pemimpin yang kuat,
tiba-tiba ia akan mendapat kawan dalam meneruskan
perjuangan, meskipun perjuangan itu tidak lebih dari
menyebarkan dendam di mana-mana.
Bagian 5 Maka dalam kegelapan pikiran, tawaran Ki Tambak Wedi itu
bagi Sanakeling bagaikan sepercik sinar yang langsung
menyorot hatinya. Apalagi pada saat itu Sanakeling tidak
sempat untuk banyak membuat pertimbangan. Yang
menyumbat otaknya adalah pengkhianatan Sumangkar dan
beberapa orang prajurit kepadanya. Karena itu maka
teriaknya, "Bagus! Tawaran itu bagus sekali Kiai. Mungkin kita
dapat menemukan titik-titik persamaan yang dapat kita pakai
sebagai dasar perjuangan bersama untuk membinasakan
Untara. Nah, sekarang orang tua inilah yang harus kita
binasakan lebih dahulu."
Ki Tambak Wedi tertawa. Katanya, "Namun dalam beberapa
hal aku sependapat dengan Adi Sumangkar. Para prajurit
Jipang ini tidak perlu saling membunuh. Mereka kini hanya
diwajibkan untuk menonton pertunjukan yang pasti akan
mengasyikkan kalian."
Para prajurit Jipang itu masih tegak dengan senjata di tangan
masing-masing. Wajah-wajah mereka masih dicengkam oleh
ketegangan dan ujung senjata-senjata mereka masih
bergetaran. "Nah, Adi Sumangkar. Apakah kau sudah bersedia untuk
mati?" Sumangkar mengerutkan keningnya. Betapa umurnya yang
telah melampaui pertengahan abad itu, telah membantunya
untuk melihat jauh ke dalam hati orang-orang yang berada di
sekitarnya. Sanakeling, Tambak Wedi, dan para prajurit yang
kebingungan itu. Juga kata-kata Tambak Wedi itu baginya
sama sekali tidak diucapkan dengan jujur. Karena itu maka
jawabnya, "Kakang Tambak Wedi, Sumangkar sudah siap
sejak semula. Namun sekali lagi aku ingin berpesan. Bagi
mereka yang ingin memenuhi pesan Angger Tohpati lewat
mulutku. Janganlah nonton seperti nonton adu ayam. Kalian
berada dalam bahaya. Selama aku masih hidup, mungkin Ki
Tambak Wedi dan beberapa orang terpenting dari pasukan ini
masih memerlukan menangkap dan membunuhku. Tetapi
sepeninggalku, maka akan datang giliran buat kalian. Apa
yang akan dapat kalian lakukan apabila Sanakeling dan
Tambak Wedi ikut serta dalam barisan yang ingin
membinasakan kalian" Nah, karena itu, sebelum aku binasa,
aku masih akan dapat mengikat perhatian Tambak Wedi dan
Sanakeling. Karena itu, berusahalah meninggalkan tempat ini.
Pergilah langsung ke Sangkal Putung. Katakan apa yang
kalian lihat di sini. Katakan bahwa kalian mendengar pesan
Tohpati dari mulut Sumangkar, yang barangkali pada saatsaat
itu telah terbunuh di sini. Jangan ragu-ragu. Pesan itu
telah didengar pula oleh Untara dan Untara telah
mengucapkan jaminan untuk kalian. Sebagai seorang
senapati yang berhati jantan, pasti ia tidak akan ingkar. Aku
mengharap orang yang bernama Kiai Gringsing akan
membantu kalian apabila Angger Untara melupakan janjinya.
Aku percaya kepada orang itu. Aku percaya kepada muridnya
yang bernama Agung Sedayu, adik Untara. Mereka adalah
manusia-manusia yang baik bagi kemanusiaan. Jangan
mencoba bertempur di sini. Tak akan ada gunanya. Nah,
apakah kalian dengar?"
"Sebuah jebakan yang manis," teriak Ki Tambak Wedi. "Kalian
benar-benar akan menjadi seperti ikan masuk ke dalam wuwu.
Kalian, akan masuk Sangkal Putung dengan mudahnya.
Tetapi demikian senjata-senjata kalian dikumpulkan, maka
tangan kalian akan segera terikat. Kalian, akan menjadi
bandan seumur hidup kalian atau bahkan akan diseret
sepanjang jalan dalam hukuman picis. Betapa nyamannya
kulit kalian akan disobek segores demi segores, dan
dipercikan air asam pada luka-luka itu."
Namun Sumangkar sempat menyahut, "Adalah suatu
khayalan yang mengerikan. Kalau aku hanya sekedar ingin
membunuh kalian, para prajurit Jipang, aku tidak akan
bersusah payah mempertahankan pendirian ini dengan
berperisai nyawa. Aku akan dapat berbuat dengan mudahnya,
meneteskan beberapa tetes getah racun ke dalam
masakanku, maka kalian akan binasa bersama-sama. Tetapi
aku tidak berbuat demikian. Kalian bukan anak-anak yang
bodoh. Kalian kini sudah cukup dewasa untuk berpikir dan
berbuat. Nah, silahkanlah. Jangan terlalu lama." Kemudian
kepada Ki Tambak Wedi, Sumangkar berkata, "Ayo. Kau
sudah mulai menjemukan bagiku. Berbuatlah sesuatu. Jangan
selalu berbicara saja dengan mulutmu yang berbisa. Memang
mungkin mulutmu itu lebih tajam dari senjatamu. Tetapi
tongkat baja putih, ciri perguruan Kedung Jati ini akan dapat
menutup mulutmu itu untuk selama-lamanya."
Tambak Wedi menggeram, Kemarahannya telah benar-benar
membakar dadanya. Tiba-tiba di atas kepala orang-orang
Jipang itu terdengar suara berdesing. Seperti desing anak
panah raksasa yang meluncur dengan cepatnya. Orang-orang
Jipang itu terkejut. Serentak mereka menengadahkan wajahwajah
mereka. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
Namun Sumangkar adalah lain dari mereka. Sumangkar
mempunyai beberapa kelebihan dari para prajurit itu. Betapa
lemahnya cahaya obor di sekitarnya, namun matanya yang
tajam masih dapat menangkap seleret benda yang berlari
kencang, sekencang tatit, menyambarnya. Tetapi Sumangkar
adalah murid kedua dari perguruan Kedung Jati. Itulah
sebabnya, maka ia mampu bergerak menyamai kecepatan
benda yang meluncur itu. Dengan lincahnya ia bergeser surut
setapak, dan dalam pada itu tongkatnya menyambar sebuah
benda yang meluncur ke arah kepalanya. Sesaat kemudian
terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Kedua benda itu
beradu. Demikian dahsyatnya sehingga suaranya berdentang
memekakkan telinga, sedang dari benturan itu memercik
bunga-bunga api yang gemerlapan.
Tetapi Sumangkar tidak sekedar memukul benda itu.
Demikian tangkas gerak tongkatnya, sehingga benda itu
terpukul ke samping. Untunglah Sanakeling bukan sekedar
patung batu. Orang itu mampu menangkap keadaan. Ketika ia
melihat Sumangkar memukul benda itu ke arahnya, ia telah
menyiapkan pedangnya. Tetapi demikian pedangnya berhasil
menangkis benda yang terpantul ke arahnya itu, maka
tergetarlah tangannya dan pedangnyapun terlontar jatuh.
Sanakeling itu sesaat terpaku diam di tempatnya. Terasa
tangannya menjadi pedih, tetapi terasa dadanya seakan-akan
menyala dibakar oleh kemarahannya yang meluap-luap.
Ketegangan dan kesenyapan memuncak di sekitar gubug itu.
Semua orang seperti terbungkam mulutnya oleh tangantangan
iblis yang mengerikan. Darah mereka bahkan terasa
seolah-olah berhenti mengalir.
Namun, selain Sanakeling yang dadanya seolah-olah menyala
maka Ki Tambak Wedi yang ternyata kini telah berdiri di atas
sebongkah batu padas itupun mengumpat sejadi-jadinya.
Sumangkar, juru masak yang malas itu telah berhasil
menghindarkan serangan pertamanya. Dengan serangan
yang dilontarkannya dari dalam gelap, ia ingin sekaligus
membunuh Sumangkar dengan gelang-gelang besinya. Tetapi
ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu benarbenar
tangkas. Dan ternyata pula tongkat baja putih itu-pun
bukan sekedar senjata biasa. Tongkat itu mampu menahan
arus yang dahsyat dan kekuatan Ki Tambak Wedi lewat
gelang-gelang besinya. Bahkan serangan itu hampir saja
mengenai Sanakeling pula. Meskipun kemudian Sanakeling
berhasil pula menangkis pantulan besi itu, namun senjatanya
terlepas dari tangannya. Dengan demikian dapat diduga,
betapa dahsyatnya kekuatan Ki Tambak Wedi, dan betapa
dahsyatnya kekuatan Sumangkar serta tongkat baja putihnya.
Semua yang terjadi itu hampir tak masuk di akal para prajurit
Jipang yang melihat peristiwa itu dengan mata yang
terbelalak. Mereka selama ini sepeninggal Adipati Jipang dan
Patih Mantahun, tidak mengenal orang sakti selain Macan
Kepatihan. Bahkan mereka menyangka bahwa tak ada
seorangpun yang akan mengalahkan pemimpinnya itu.Tetapi
ternyata Raden Tohpati itu terbunuh. Selama ini mereka
menyangka, bahwa apabila tidak dikirim Ki Gede Pemanahan,
atau Mas Ngabehi Loring Pasar, maka Tohpati tidak akan
dapat dibinasakan. Tetapi mereka terpaksa melihat
kenyataan, bahwa Untara telah berhasil membunuhnya. Dan
kini di antara mereka sendiri, mereka dapat melihat
kemampuan dan kesaktian yang melampaui kemampuan dan
kesaktian Macan Kepatihan. Juru masak yang malas itu
ternyata adalah seorang yang telah memukau jantung mereka.
Peristiwa ini sekaligus telah mengetok hati para prajurit Jipang
itu, bahwa kesaktian itu tersimpan di mana-mana. Kadangkadang
di tempat-tempat yang sama sekali tak terduga-duga.
Yang dikagumi masih ada yang melampauinya, dan yang
melampaui itupun bukanlah seorang yang tak terkalahkan.
Beberapa orang yang berotak cair segera dapat mengambil
pelajaran dari peristiwa ini. Tak seorangpun yang dapat
menyebut dirinya tak terkalahkan. Tak seorangpun yang akan
dapat dianggap sebagai seorang yang maha sakti. Seperti apa
yang telah terjadi atas Jipang yang merasa diri mereka tak
terkalahkan, setidak-tidaknya mereka menganggap bahwa
pemimpin-pemimpin mereka adalah orang-orang yang tak
terkalahkan, maka akhirnya Jipang terpaksa jatuh tersungkur,
terbenam dalam kehancuran yang dahsyat, sehingga sulitlah
untuk dapat bangkit kembali. Arya Jipang yang disangka tak
akan dapat terbunuh kalau tidak oleh senjata pusakanya
sendiri itupun akhirnya terbunuh juga, hanya oleh seorang
anak muda yang sama sekali tak pernah disebut namanya.
Apalagi dalam deretan nama para sakti.
Anak muda yang bernama Mas Ngabehi Loring Pasar yang
juga disebut Sutawijaya itu ternyata mendapat cara untuk
menggoreskan keris Arya Penangsang sendiri, yang
disebutnya Setan Kober, pada ususnya yang telah mencuat
keluar dari luka di lambungnya. Luka karena tusukan tombak
Kiai Plered di dalam genggaman anak muda yang bernama
Sutawijaya itu. Bagi mereka yang berotak cair, melihat semua peristiwa itu
dengan debar di dalam dadanya. Mereka seolah-olah melihat
semuanya itu terjadi kembali. Juga tidak masuk di akalnya.
Namun semua peristiwa itu telah menuntun mereka untuk
mengenangkan, bahwa ada kekuasaan di luar kekuasaan
manusia. Kalau kekuasaan itu akan berlaku, berlakulah. Di
mana dan kapan saja. Semua yang tidak mungkin, akan
terjadi pula. Bahkan yang tak masuk akal sekalipun.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang akan menggilas semua
ketamakan, kesombongan, dan kebanggaan manusia atas
dirinya sendiri. Tetapi tidak semua orang melihat sinar yang betapapun
terangnya. Seseorang yang berdiri di dalam gelap sekalipun.
Kadang-kadang mereka lebih senang tenggelam dalam
dunianya yang gelap, yang akan dapat melindunginya untuk
berbuat apa saja sekehendak hatinya.
Prajurit-prajurit Jipang itupun tetap terbagi dalam pendirian
yang barbeda. Mereka masih tetap berpijak pada sikap
masing-masing. Sebagian dari mereka berkata di dalam
hatinya, "Alangkah dahsyatnya Ki Sumangkar. Ia mampu
melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba, serangan
yang licik itu." Namun orang-orang yang lain berkata di dalam
hatinya, "Alangkah dahsyatnya lontaran tangan Ki Tambak
Wedi. Dengan bermain-main gelang itu, hampir-hampir
Sumangkar dapat dibunuhnya. Apalagi kalau ia nanti
bersungguh-sungguh menyerang Sumangkar untuk
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuhnya." Di antara mereka, yang tak beringsut dari pendiriannya, dan
bahkan menjadi semakin berkobar di dalam dadanya adalah
Sanakeling. Bahwa pedangnya lepas dari tangannya, adalah
suatu peristiwa yang sangat memalukan. Sumangkar dapat
menahan gelang-gelang yang langsung meluncur dari tangan
Ki Tambak Wedi, sedang pedangnya terloncat dari
genggamannya hanya karena pantulan benda itu.
Sejenak kemudian kesenyapan itu dipecahkan oleh suara Ki
Tambak Wedi, "Gila kau Sumangkar. Tetapi jangan kau
sangka bahwa kau akan dapat melepaskan diri dari tangan Ki
Tambak Wedi." Kemudian kepada Sanakeling ia berkata,
"Biarkan para prajurit Jipang membuat keputusan sendiri di
antara mereka. Namun marilah, sumber dari pengkhianatan itu
kita lenyapkan." Sumangkar sama sekali tidak menyahut. Perlahan-lahan
tangannya membelai senjatanya, seolah-olah ia berkata,
"Marilah kita berbuat sesuatu untuk yang terakhir kalinya."
Tetapi ternyata Sumangkar tidak berdiri sendiri. Ketika Para
prajurit yang berpihak kepadanya melihat, bahwa Sumangkar
telah bersiap untuk menyongsong segala kemungkinan, maka
orang-orang Jipang yang berpihak kepadanyapun bersiap
pula. Ki Tambak Wedi yang seakan-akan dadanya meledak karena
goncangan kemarahannya, kemudian berteriak nyaring untuk
menekan keberanian orang-orang Jipang yang berpihak
kepada Sumangkar. "He Sumangkar, di tanganmu
tergenggam ciri perguruan Kedung Jati. Sebuah tongkat baja
putih yang terkenal. Tetapi perguruan di kaki Gunung Merapi
mempunyai cirinya sendiri. Bukan sekedar gelang-gelang
permainan kanak-kanak, tetapi kau sudah cukup mengenal ciri
itu. Marilah kita Iihat, manakah yang lebih sempurna, ciri
Kedung Jati dan ciri Lereng Merapi."
Semua orang berpaling ke arah Ki Tambak Wedi berdiri. Dan
semua orang melihat orang tua itu berdiri di atas segumpal
batu padas dengan sebuah senjata yang dahsyat di tangan.
Sebuah Nenggala yang runcing pada ujung dan pangkalnya.
Sebuah Nenggala yang berbentuk dua ekor ular yang saling
mem belit berlawanan arah. Lidah-lidah ular itu terjulur dalam
bentuk tempaan ujung tombak. Mengerikan. Itu adalah tanda
dan senjata yang terpercaya dari perguruan Tambak Wedi.
Dan senjata itu kini telah ditarik dari selubung dan
wrangkanya. Sumangkar pun melihat senjata itu pula dalam keremangan
cahaya obor yang kemerah-merahan. Terasa debar
jantungnya bertambah cepat. Tambak Wedi memang terkenal
sebagai seorang yang sangat sakti seakan-akan mampu
menangkap angin. Namun perguruan Kedung Jati pernah pula
terkenal, seolah-olah mampu menyimpan nyawa rangkap di
dalam tubuhnya. Kini mereka berha-dapan dengan ciri
kebesaran perguruan masing-masing. Ciri yang tersimpan
rapat-rapat dan jarang-jarang dipergunakan apabila keadaan
tidak sangat gawat bagi mereka masing-masing.
Namun Sumangkar benar-benar sudah pasrah diri. Ia tidak
melihat kemungkinan lain daripada mati. Melawan Ki Tambak
Wedi seorang diri, ia pasti tidak akan dapat mengalahkannya.
Apalagi Ki Tambak Wedi masih juga bergabung dengan
orang-orang seperti Sanakeling dan mungkin para pemimpin
Jipang yang lain. Meskipun mereka agaknya ragu-ragu,
namun apabila Sanakeling telah bertindak bersama-sama
Tambak Wedi, maka sebagian dari merekapun akan berbuat
pula serupa. Sumangkar menggeram perlahan-lahan. Ia pernah bertempur
melawan Tambak Wedi. Tetapi waktu itu ia tidak
mempergunakan senjatanya, dan Tambak Wedi pun hanya
sekedar mempergunakan gelang-gelang untuk melindungi
tangannya. Tetapi kini, keduanya telah bersiap dengan senjata
masing-masing. Sanakeling yang masih berdiri di hadapan Sumangkar hampirhampir
tak dapat lagi menahan dirinya. Kemarahannya telah
membakar darahnya sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia tidak
segera berbuat sesuatu. Ia tidak dapat melangkah mengambil
senjatanya sebab dengan demikian Sumangkar dapat
menyerangnya dengan tiba-tiba dan memukul tengkuknya
dengan tongkat baja itu. Karena itu maka satu-satunya
kemungkinan baginya adalah menunggu Tambak Wedi
bertindak lebih dabulu. Sumangkar pun tidak mau memulai perkelahian itu. Apabila
setapak ia maju mendekati Sanakeling dan mengabaikan
Tambak Wedi, maka pasti akan terbang lagi gelang-gelang
serupa menyambarnya. Karena itu maka perhatiannya justru
sebagian besar tertuju ke arah Ki Tambak Wedi daripada
Sanakeling yang berdiri beberapa langkah saja daripadanya.
Beberapa orang lain, menurut pertimbangan Sumangkar tidak
akan memulai pula. Mereka masih berdiri dalam keraguraguan.
Sebagian dari mereka pasti hanya akan menunggu
perkembangan keadaan. Siapa yang menang itulah yang akan
menentukan, kepada siapa ia akan berpihak.
Tetapi agaknya Tambak Wedi-lah yang akan memulai
memecahkan sikap-sikap itu. Ternyata dengan tangannya ia
meloncat turun dan berjalan menyibak orang-orang Jipang ke
arah Sumangkar berdiri. Ternyata Tambak Wedi itupun
memperhitungkan semua kemungkinan yang dihadapinya. Ia
menjinjing senjatanya di tangan kiri, dan menggenggam
gelang-gelang di tangan kanan siap dilontarkan apabila pada
saat ia berjalan mendekat itu Sumangkar mulai menyerang
Sanakeling yang tidak bersenjata.
Setiap langkah Ki Tambak Wedi terasa seakan-akan derap
seorang raksasa yang berjalan di dalam dada setiap orang
yang menyaksikannya. Setiap langkah telah meningkatkan
ketegangan menjadi semakin memuncak, seakan-akan
sebuah tanggul yang telah penuh dengan air. Setiap saat akan
pecah. Setiap saat banjir akan dapat melanda dengan
dahsyatnya. Sumangkar memandang langkah Tambak Wedi itu tanpa
berkedip. Semakin dekat hantu Lereng Gunung Merapi itu,
semakin erat ia menggenggam tongkat baja putihnya. Sekalisekali
dipandanginya beberapa orang Jipang yang berdiri
saling berhadapan seperti dua gelar perang yang siap
berbenturan. Sesaat hatinya menjadi sedih. Ia dapat
membayangkan bahwa apabila perkelahian itu terjadi, maka
akan tumpaslah segenap pasukan itu. Sumangkar dapat
menduga bahwa para prajurit itu seakan-akan benar-benar
terbelah di tengah. Masing-masing pihak yang semula
tercampur-baur itu, kini benar-benar telah bersibak menurut
pilihan masing-masing. Dan Tambak Wedi, yang garang itu
berjalan di tengah-tengah, di garis pemisah antara kedua
pihak yang berselisih pendapat itu.
Namun dada setiap orang yang berdiri di tempat itu benarbenar
akan pecah oleh peristiwa yang menyongsong
kemudian. Peristiwa yang benar-benar telah meledak tanpa
dapat mereka mengerti. Ketika semua orang sedang dipukau
oleh ketegangan langkah Ki Tambak Wedi, tiba-tiba mereka
mendengar suara tertawa pula. Tidak sekeras suara Ki
Tambak Wedi. Namun suara itu telah menarik segenap
perhatian dari semua orang yang berada di tempat itu.
Termasuk Ki Tambak Wedi sendiri. Dan yang lebih
menggemparkan dada mereka adalah pada saat semua orang
melihat sebuah bayangan berdiri di atas sebongkah batu
padas, tempat Ki Tambak Wedi tadi berdiri, dengan sebuah
Nenggala di tangannya. Nenggala ciri kebesaran perguruan
Tambak Wedi yang telah ditarik dari selubung dan
wrangkanya. Betapa terkejut orang-orang yang melihat bayangan itu, tidak
seorangpun yang menyamai Ki Tambak Wedi sendiri. Dalam
kegelapan ia melihat seolah-olah seseorang dari perguruan
Tambak Wedi berdiri di atas sebongkah batu padas dengan
gagahnya. Bahkan seperti ia melihat sendiri berdiri di situ,
seperti pada saat ia melemparkan gelang-gelang besinya ke
arah Sumangkar. Selain Tambak Wedi, Sumangkar pun terkejut bukan buatan.
Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapakah yang berdiri agak
jauh di belakang orang-orang Jipang yang sudah siap saling
membunuh sesama mereka. Ia tidak dapat mengatakan,
bahwa Ki Tambak Wedi yang baru saja melontarkan gelang
besinya meloncat kembali ke atas batu padas itu, sebab Ki
Tambak Wedi kini masih tegak berdiri di antara kedua belah
pihak orang-orang Jipang yang berbeda pendapat. Namun
menilik senjata yang dibawanya, berujung runcing di pangkal
dan ujungnya, ternyata pula dari cara orang itu memegang
tangkainya, tepat di tengah-tengah, maka orang itu mirip
benar dengan Ki Tambak Wedi sendiri.
Terdengar kemudian Ki Tambak Wedi menggeram. Dengan
lantang ia berkata, "He, setan manakah kau ini" Dari mana
mendapat senjata yang mirip dengan senjata Tambak Wedi?"
Ketika orang itu menjawab, maka dada Sumangkar dan Ki
Tambak Wedi berdesir seperti tersentuh ujung senjata itu
sendiri. Berkata orang itu, "Kenapa kau heran Ki Tambak
Wedi. Apakah hanya Tambak Wedi yang memiliki jenis
senjata macam ini?" Dalam keremangan cahaya obor yang lemah, tampaklah
wajah Sumangkar sekan-akan menjadi terang. Perlahan-lahan
ketegangan di wajahnya terurai, dan perlahan-lahan pula
tampak bibirnya tersenyum. Katanya, "Selamat malam Kiai
Gringsing. Aku tidak menyangka bahwa Kiai akan datang
secepat ini. Tetapi senjata di tanganmu benar-benar
mengejutkan kami. Dalam gelap kami tidak segera mengenal
Kiai, tetapi suara Kiai tidak dapat mengelabui kami lagi."
Kiai Gringsing tertawa. Orang itu sebenarnya adalah Kiai
Gringsing. Namun Ki Tambak Wedi-lah yang mengumpat,
"Setan tua. Kenapa kau coba menandingi jenis senjata
Tambak Wedi. Betapa saktinya Kiai Gringsing, namun senjata
ciri perguruan Tambak Wedi jauh lebih berpengalaman
mempergunakannya dan jenis senjatanyapun akan jauh lebih
bernilai dari senjata-senjata serupa di seluruh kulit bumi."
Kiai Gringsing masih tertawa, dijawabnya, "Apakah kau sudah
tidak dapat mengenali jenis-jenis senjata perguruanmu sendiri
Kiai" Senjata inipun adalah senjata ciri kebesaran perguruan
Tambak Wedi. Bukan sekedar senjata buatan pandai besi,
apalagi buatan almarhum pande besi Sendang Gabus. Sama
sekali bukan. Apakah kau tidak segera mengenal pamor ujung
senjata ini" Sungguh dahsyat menurut penilaianku sebab
senjata Lereng Merapi memang dahsyat, sedahsyat
orangnya." "Gila!" seru Ki Tambak Wedi sekeras petir. "Jangan membual.
Ayo katakan, kenapa kau di sini?"
"Jangan marah Kiai" sahut Kiai Gringsing. "Apakah kau tidak
ingin tahu dari mana aku mendapatkan senjata ini?"
"Tidak," jawab Ki Tambak Wedi. "Aku sudah tahu, itu pasti
senjata Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung."
Kiai Gringsing tertawa semakin keras. Kemudian katanya,
"Nah tepat. Kau belum melupakan senjata ini. Tetapi adalah
aneh sekali bahwa senjata ciri kebesaran suatu perguruan
sampai tertinggal di suatu tampat, kenapa Kiai?"
"Jangan banyak bicara, ayo katakan, apa maumu?"
"Kenapa yang bertanya kepadaku bukan Adi Sumangkar, atau
Angger Sanakeling" Kenapa yang bertanya justru Ki Tambak
Wedi dari perguruan Lereng Merapi" Menurut hematku,
tempat ini adalah perkemahan prajurit Jipang, bukan
perkemahan laskar Tambak Wedi dan Sidanti yang telah
memberontak terhadap pimpinannya itu?"
"Tutup mulutmu!"
"Sulit Kiai. Aku memang senang berkicau seperti burung yang
bebas di dahan-dahan. Tak seorangpun mampu melarang.
Kau juga tidak." Tambak Wedi yang sedang marah itupun menjadi bertambah
marah. Wajahnya yang membara itupun bertambah merah.
Tetapi Kiai Gringsing berkata terus, "Ki Tambak Wedi,
bukankah kau sedang sibuk mencari kawan untuk melawan
Untara" Di sini kau menemukan beberapa orang yang dapat
kau peralat untuk keperluan itu. Itulah sebabnya aku datang.
Aku adalah utusan Angger Untara, langsung untuk
menyaksikan sendiri siapakah di antara orang-orang Jipang
yang menyadari keadaannya, menyadari masa depannya dan
masa depan Demak. Aku adalah utusan senopati yang
mendapat kekuasaan langsung dari Panglima Wira Tamtama
di Pajang. Karena itu maka kata-kata yang aku ucapkan
adalah kata-kata Panglima Wira Tamtama itu sendiri Ki Gede
Pemanahan, bahwa Pajang yang akan membuat penilaian
yang seadil-adilnya bagi mereka yang menyadari keadaannya
sesuai dengan pesan terakhir Angger Macan Kepatihan,
senopati besar yang selama ini kau banggakan."
Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba
tangan kanannya bergetar, dan dari tangan itu meluncurlah
sebuah benda langsung mengarah ke dada Kiai Gringsing.
Sepotong besi yang dibentuk seperti sebuah gelang yang
besar. Tetapi Kiai Gringsing itupun tidak sedang berbicara sambil
bermimpi. Ia sudah menduga bahwa Ki Tambak Wedi akan
langsung menyerangnya dengan jenis senjatanya itu.
Karena itu, dengan lincahnya
ia merendahkan dirinya menghindari sambaran gelanggelang
besi itu. Betapa bulu-bulu kuduk orangorang
Jipang itu kemudian menjadi tegak ketika mereka
mendengar bunyi gemerasak
dari gelang-gelang besi yang
tidak mengenai sasarannya,
tetapi langsung memukul dahan-dahan dan rantingranting
kayu. Suaranya seperti arus prahara yang
mematahkan cabang-cabang pepohonan hutan.
Tetapi suara gemeresak yang dahsyat sedahsyat suara
prahara itu bagi Ki Tambak Wedi, seolah-olah mengamuk di
dalam dadanya sendiri. Kemarahannya yang meluap-luap
serasa telah menghanguskan jantungnya. Namun ia tidak
segera dapat berbuat apa-apa. Bahkan dilihatnya Kiai
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gringsing tertawa sambil berkata, "Huh, hampi-hampir dadaku
pecah karenanya. Kalau aku memegang senjata ciri
perguruan Kiai Gringsing, maka aku akan menggenggam
senjata perguruan Ki Tambak Wedi sendiri. Aku tidak yakin
apakah senjata ini cukup kuat untuk menangkis. Adi
Sumangkar berani melakukannya karena ia yakin akan
kekuatan senjatanya. Sebab senjata itu adalah senjatanya
sendiri." "Jangan banyak cakap," potong Ki Tambak Wedi. "Aku kira
kita sudah sampai waktunya untuk menyelesaikan persoalan
kita yang selama ini terperam di dalam hati."
"Aku tidak berkeberatan," sahut Kiai Gringsing dengan tenang.
"Adalah menjadi kewajibanku untuk melayanimu. Memang
sebaiknya kau mengurus persoalanmu sendiri, persoalanmu
dengan Kiai Gringsing misalnya, daripada kamu mengurus
soal orang lain. Biarkan Adi Sumangkar dan Angger
Sanakeling menyelesaikan persoalan mereka, sementara itu,
marilah kita tinggalkan tempat ini, kita selesaikan persoalan
kita sendiri." Keringat dingin telah mengalir membasahi seluruh tubuh Ki
Tambak Wedi yang garang itu. Betapa ia mengumpat di dalam
hatinya. Ternyata sekali lagi Kiai Gringsing telah menghalanghalanginya.
Dengan suara parau penuh kemarahan ia berkata,
"Kiai Gringsing. Kalau kau ingin membuat perhitungan dengan
Ki Tambak Wedi, tunggulah aku di sisi hutan ini. Setelah aku
menyelesaikan urusanku di sini, maka aku akan segera
datang." "Apakah kepentinganmu di sini itu" Kau adalah orang asing di
sini, seperti aku. Kalau kau berhak turut campur di sini, maka
aku akan turut campur pula."
"Setan!" geram Ki Tambak Wedi, "Kau selalu menggangguku."
"Kau juga selalu mengganggu orang lain."
"Sekarang menjadi jelas bagiku," berkata Tambak Wedi itu
keras-keras, "Ternyata Sumangkar dan Kiai Gringsing telah
sependapat untuk bersama-sama menjerumuskan Jipang ke
dalam bencana." "Jangan mengigau. Kalau kami, Pajang, benar-benar ingin
menghancurkan laskar Jipang, sekarang adalah saatnya. Aku
bisa membawa seluruh kekuatan Pajang itu kemari.
Mengepung kalian dan menumpas kalian habis-habisan."
Darah Sanakeling tersirap mendengar kata-kata itu. Benarbenar
suatu penghinaan bagi pasukan Jipang. Bukan saja
Sanakeling, tetapi terasa sesuatu berdesir pula di dalam dada
Sumangkar. Namun Kiai Gringsing itu berkata terus, "Tetapi
penjelasan yang demikian adalah penjelasan yang kurang
bijaksana. Korban dari pihak Pajang pun pasti tidak akan
terhitung lagi, bahkan mungkin separo dari kami tidak akan
pernah dapat meninggalkan hutan ini. Dalam penjelasan yang
demikian itu, maka dendam akan tertanam dalam-dalam di
hati kita masing-masing, sehingga setiap saat akan
terungkapkan kembali. Tetapi Ki Gede Pemanahan akan
mencoba mencari jalan yang lebih baik. Kecuali bagi mereka
yang membangkang. Mereka akan benar-benar dihancurkan,
hancur dalam arti lahir dan batinnya."
Tiba-tiba kata-kata terpotong oleh ledakan hati Sanakeling
yang sudah tak tertahankan lagi. Katanya berteriak, "Jangan
berkicau seperti orang gila. Jangan kau sangka, kami orangorang
Jipang adalah kelinci-kelinci yang tidak berdaya. Ayo,
kerahkan seluruh prajurit Wira Tamtama Pajang. Datangkan
orang yang bernama Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Juru
Martani, Ngabehi Loring Pasar, bahkan Karebet itu sendiri."
"Tidak Ngger," sahut Kiai Gringsing. Nada suaranya masih
setenang semula. "Itu hanyalah sekedar gambaran yang
dahsyat dan mengerikan. Sebaiknya semuanya itu tidak usah
terjadi. Aku hormati pendirian Angger Raden Tohpati dan Adi
Sumangkar." Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Sanakeling
dan geram Ki Tambak Wedi. Namun mereka berdua masih
tegak di tempatnya. Dalam keadaan yang demikian itulah
maka ketegangan menjadi semakin memuncak.
Perdebatan itu seolah-olah justru memperkuat pendirian
setiap orang di dalam pasukan yang terbagi itu. Karena itu
maka mereka menjadi semakin kukuh atas pilihan masingmasing.
Dalam pada itu Sumangkar sempat membuat penilaian atas
keadaan itu. Seandainya saat ini ia mulai, maka keadaan
Sanakeling sudah sedemikian lemahnya. Ki Tambak Wedi
pasti sudah tidak akan membantu Sanakeling lagi, karena
kehadiran Kiai Gringsing. Namun ketika orang tua itu
berpaling, melihat orang-orang Jipang di halaman gubug itu
berdiri dengan tegangnya, maka hatinya berdesir. Ia tidak
akan sampai hati melihat mereka saling berkelahi, saling
membunuh setelah mereka sehari penuh berperang bersamasama
di bawah kibaran satu panji-panji. Karena itu Sumangkar
kini masih saja berdiri dalam keragu-raguan.
Tak seorangpun yang segera dapat mengambil keputusan,
apakah yang sebaiknya dilakukan. Sanakeling pun tidak. Ia
adalah seorang prajurit yang biasa membuat penilaian atas
kawan dan lawan. Kali inipun demikian pula. Ia menyadari
bahwa dengan kehadiran Kiai Gringsing, maka ia tidak akan
segera berhasil menangkap apalagi membinasakan
Sumangkar. Bagian 6 Dalam pada itu, Sumangkar ternyata jauh lebih mengendap
dari Sanakeling. Mencoba membuat pemecahan sementara
atas persoalan yang dihadapinya. Karena ia tidak sampai hati
melihat benturan di antara mereka yang selama ini telah
bersama-sama hidup dalam satu lingkungan, maka katanya,
"Angger Sanakeling. Kalau pendirian kita sudah tidak dapat
bertemu, maka baiklah kita memilih jalan kita masing-masing.
Dengan demikian, kita akan menghindari pertumpahan darah
di antara kita. Seterusnya, biarlah kita serahkan pada
perkembangan keadaan. Sanakeling menggeram mendengar kata-kata Sumangkar itu.
Ia mengerti benar maksudnya. Meskipun dengan demikian ia
tidak harus bertempur melawan orang tua itu; namun hatinya
sakit bukan kepalang. Sebenarnya ia ingin menangkap
Sumangkar; menyumbat mulutnya dengan tangkai pedang;
dan memukul kepalanya dengan tongkatnya itu sendiri. Tetapi
ia menyadarinya; bahwa hal itu tak akan dapat dilakukannya.
Apalagi setelah setan tua yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing yang menurut pengamatan Sanakeling, sikap dan
tanggapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah
meyakinkannya tentang orang itu, hadir pula di tempat itu.
Karena itu, sesaat Sanakeling menjadi ragu-ragu. Ki Tambak
Wedi pun tidak berkata sesuatu. Hantu Lereng Merapi itupun
sedang sibuk mempertimbangkan keadaan. Namun kehadiran
Kiai Gringsing benar-benar telah merusak rencananya.
Maka satu-satunya kemungkinan yang saat itu paling baik
adalah menerima tawaran Sumangkar. Meskipun hal itu
berarti kekuatan orang-orang Jipang itu kira-kira tinggal
separo, namun yang separo itu masih tetap utuh. Kalau
mereka bertempur pada saat itu, maka yang separo itupun
telah jauh berkurang lagi.
Sanakeling yang saat itu merasa memegang pimpinan atas
orang-orang Jipang itu segera berkata lantang memecah
kesenyapan. "He orang-orang Jipang yang setia. Kali ini aku
terpaksa tidak dapat menangkap dan mernbunuh pengkhianat
ini. Aku akan memberinya waktu beberapa minggu. Kalau ia
beserta beberapa pengikutnya tidak segera menyadari
keadaannya, maka dosanya akan kami persamakam dengan
orang-orang Pajang. Setiap kali kita bertemu, di mana dan
kapan saja, maka mereka pasti akan kami penggal kepala
mereka itu." Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa
di samping dendam yang telah ada, maka Sanakeling pasti
akan menyebarkan bibit-bibit dendam yang baru. Dan bibitbibit
yang demikian itu pasti akan cepat tumbuh dan
berkembang. Jauh lebih cepat dari setiap bibit kebaikan dan
kebajikan. Seperta bibit alang-alang, maka bibit dendam itu
segera menjadi rimbun, sedang bibit kebajikan akan tumbuh
dan berkembang sangat lambat seperti pohon anggrek.
Namun apabila keduanya kelak berbunga, maka alangkah
indahnya bunga anggrek itu dan alangkah tidak berharga
bunga rumput alang-alang. Setiap orang akan menghindarinya
dan apabila tak ada jalan lain, maka bunga rumput alangalang
akan terinjak-injak kaki.
Tetapi ia tidak mencegah saat itu. Kalau ia mempergunakan
kekerasan maka korbannya akan terlampau banyak. Ia
mengharap bahwa orang-orang yang berpihak kepada
Sanakeling pun kelak akan menyadari dirinya, dan datang
kepadanya dengan penyesalan dan kesadaran.
Demikianlah Sumangkar kemudian melihat Sanakeling
melangkah dan membungkuk mengambil pedangnya. Sesaat
kemudian dipandanginya para pemimpin Jipang yang lain.
Sesaat mereka menjadi ragu-ragu, namun kemudian
terdengar Sanakeling berkata kepada mereka, "Akulah kini
pemimpinmu. Siapa yang setia pada sumpahnya sebagai
seorang prajurit, ikutlah aku. Aku perintahkan kepadamu
sekalian, ikuti aku dan para prajurit yang sadar akan harga
dirinya." Sumangkar sama sekali tidak memotong kata-kata
Sanakeling. Dibiarkannya para pemimpin itu memilih pihak.
Namun sesaat mereka masih tetap berdiri di tempat mereka
masing-masing. Sanakeling menggeretakkan giginya melihat keragu-raguan
itu. Dengan kerasnya ia berteriak, "Ikuti aku!"
Tiba-tiba dari antara para pemimpin itu terdengar Alap-alap
Jalatunda bertanya, "Ke mana?"
Sanakeling terdiam sesaat. Ia menjadi bingung ke mana" Ya,
kemana ia akan pergi" Tetapi menurut perhitungannya,
memang seharusnya mereka meninggalkan tempat itu.
Tempat itu telah diketahui oleh Kiai Gringsing yang nyataTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
nyata memihak kepada Pajang bahkan utusan senapati muda
yang bernama Untara. Tampat itu telah dikenal baik-baik
segala sudut-sudutnya oleh Sumangkar yang menurut
penilaian Sanakeling telah berkhianat. Tetapi ke mana"
Dalam kebimbangan itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata
dengan suara parau penuh kebencian. "Mari Ngger. Kita pergi
bersama-sama. Padepokan Tambak Wedi akan cukup luas
menampung kalian. Jangan cemas, bahwa kekuatan kalian
benkurang. Kekuatan kalian segera akan pulih kembali setelah
Tambak Wedi dan Sidanti berbuat sesuatu."
Kata-kata Tambak Wedi yang diucapkan pada saat
Sanakeling sedang diliputi oleh kebimbangan itu, merupakan
satu-satunya kemungkinan baginya. Karena itu tanpa berpikir
panjang segera ia menyahut, "Baik. Aku akan pergi bersama
Kiai." kemudian kepada para pemimpin Jipang ia berkata,
"Tinggallah bersama pengkhianat ini siapa yang akan
berkhianat." Sanakeling itu kemudian tidak berkata sepatah katapun lagi.
Segera ia melampui tlundak pintu dan berjalan ke arah Ki
Tambak Wedi di antara kedua laskarnya yang terbelah.
Dengan langkah yang tetap ia berjalan seperti seorang
senapati yang berangkat ke medan perang.
Ki Tambak Wedi pun kemudian berjalan pula di samping
Sanakeling itu. Sekali-sekali ia berpaling melihat orang-orang
yang akan pergi mengikutinya.
Sesaat para prajurit itu tidak ada yang bergerak dari
tempatnya. Masing-masing dicengkam oleh perasaan yang
sangat aneh. Tiba-tiba terasa betapa beratnya berpisah di
antara mereka setelah bertahun-tahun mereka berada dalam
satu lingkungan, dan setelah sekian lama mereka mengalami
nasib yang bersama pula. Ketika mereka meninggalkan
Jipang, masuk ke dalam hutan belukar dan berjalan dari satu
tempat ke tempat yang lain, bertempur, merampok, dan
bahkan berbuat seribu macam kejahatan, mereka seolah-olah
merasa bahwa tak akan ada kekuatan satupun yang
memisahkan mereka kecuali maut. Namun perpisahan itu kini
terjadi. Pendirian mereka ternyata pecah di jalan.
Yang pertama-tama bergerak adalah Alap-alap Jalatunda.
Betapa keragu-raguan mencengkam dadanya, namun ia tidak
dapat datang ke Sangkal Putung dan menyerahkan dirinya
kepada Agung Sedayu. Meskipun secara pribadi ia belum pernah mengenal anak
muda itu, tetapi pertemuannya yang pertama di Macanan di
sekitar tikungan Randu Alas dan kemudian dalam
pertempuran di sebelah barat Sangkal Putung, telah
membentuk dendam yang dalam di dalam hati Alap-alap yang
masih muda, semuda Agung Sedayu itu sendiri.
Kekeliruannya menilai Agung Sedayu telah rmembakar
dadanya, sehingga seakan-akan ia berjanji kepada dirinya
sendiri, bahwa pada suatu ketika ia harus menemukan
kekuatan yang akan dapat melampaui kekuatan Agung
Sedayu. Tetapi kepada sidanti, Alap-alap Jalatunda pun sama sekali
tidak menaruh hormat. Bahkan betapa kebencian menyala di
dalam dadanya, sejak ia mendengar cara Sidanti membunuh
Plasa Ireng. Bagaimanapun juga, terasa kebuasan Sidanti
atas Plasa Ireng saat itu seolah-olah telah menggores kulitnya
sendiri. Kini ia harus datang kepada anak muda yang telah
dengan kejamnya membunuh salah seorang kepercayaan
prajurit Jipang. Tetapi ia tidak punya pilihan lain. Kedua-duanya tidak
menyenangkan. Kedua-duanya bagi Alap-alap Jalatunda
mempunyai keberatannya masing-masing. Tetapi Sidanti
masih lebih asing lagi baginya. Karena itu, maka dipilihnya
berpihak kepada Sanakeling yang akan membawanya ke
padepokan Tambak Wedi. Menurut tangkapan perasaannya,
di sana para prajurit Jipang ini akan bergabung dengan orangTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
orang Ki Tambak Wedi, atau semacam laskar yang akan
dibentuknya. Tetapi apabila kedua pasukan itu kemudian
digabungkan, siapakah pemimpin tertinggi dari pasukan itu"
Sanakeling atau Sidanti"
Menurut penilaian Alap-alap Jalatunda, Sidanti dan
Sanakeling memiliki kekuatan yang seimbang. Keduanya
setingkat di bawah Macan Kepatihan dan hanya sedikit sekali
di atas Plasa Ireng. Namun di dalam lingkungan yang baru itu
kemudian ada Ki Tambak Wedi yang langsung turut campur
01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke dalam lingkungan kelaskaran. Bukan sekedar seorang juru
masak seperti Sumangkar. Demikianlah, dalam keragu-raguan itu Alap-alap Jalatunda
berjalan terus. Namun langkahnya tidak setetap Sanakeling.
Sekali-sekali Alap-alap Jalatunda itu menundukkan wajahnya,
dan sekali-sekali terbayang masa-masa yang pernah
dialaminya, selama ia menjadi prajurit Jipang. Belum lama ia
diterima sebagai wira tamtama khusus dari Jipang. Tiba-tiba
Jipang pecah, dan ia harus ikut serta bersama pasukannya
menghilang dari kota, masuk-keluar hutan dan desa-desa,
turun-naik jurang dan lereng-lereng pegunungan. Kini ia akan
terdampar ke lereng Gunung Merapi, ke padepokan Ki
Tambak Wedi yang masih asing baginya. Bekerja bersama
dengan seorang anak muda yang bernama Sidanti.
"Hem," Alap-alap Jalatunda menarik nafas.
Namun ketika orang-orang yang masih berdiri termangumangu
melihat Alap-alap itu berjalan mengikuti Sanakeling
maka mereka yang sejak semula berketetapan hati untuk
tetap dalam petualangan sambil berbangga diri sekedar
karena mereka mempertahankan harga diri menurut penilaian
yang sempit, segera mengikutinya. Beberapa orang pemimpin
segera berloncatan sambil berpaling, memandang dengan
penuh kebencian kepada kawan-kawan mereka yang masih
tegak di tempatnya. Para prajurit pun segera melangkah pula
di belakang pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang
prajurit yang mempunyai simpanan-simpanan berharga di
dalam kemah-kemah mereka, segera berloncatan singgah
kedalam kemah, mengambil yang mereka rasa perlu untuk
dibawa. Tetapi sebagian dari mereka sama sekali tidak lagi
menghiraukan beberapa lembar kain yang tertinggal di dalam
kemah-kemah mereka, asal senjata-senjata mereka telah di
tangan. Lembaran-lembaran kain dan baju akan mereka dapatkan di
sepanjang jalan yang akan mereka Ialui. Setiap rumah pasti
akan membuka pintu lebar-lebar bagi mereka. Setiap rumah
akan menyediakan apa yang mereka perlukan. Makan, minum
bahkan pakaian. Tetapi apa yang mereka sediakan itu sama sekali bukan
karena mereka pendukung-pendukung yang setia dari orangorang
Jipang itu, bukan mereka serahkan dengan ikhlas.
namun karena di hadapan hidung mereka berkilat-kilat ujungujung
pedang dan tombak. Tetapi bagi orang-orang yang sedang berpetualang itu, sama
sekali tak ada bedanya. Apakah semunya itu diserahkan
dengan ikhlas, atau tidak, namun apa yang mereka terima
akan dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Maka sesaat kemudian, orang-orang Jipang itu seolah-olah
mengalir meninggalkan halaman yang kotor dari gubug
pimpinan perkemahan itu. Semakin lama semakin panjang. Di
ujung barisan berjalan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi
seperti sepasang pahlawan yang sedang diarak menuju ke
medan perang. Kemudian di belakangnya berjalan Alap-alap
Jalatunda yang dikejar-kejar oleh kebimbangan. Kemudian
beberapa pemimpin yang lain dan para prajurit yang merasa
dirinya seolah-olah pejuang-pejuang yang segan berkhianat
atas perjuangannya. Tetapi mereka sama sekali tidak berpijak
pada dunia kenyataan yang sedang mereka hadapi serta
perkembangan keadaan di sekitar tempat mereka
bersembunyi. Akhirnya orang-orang Jipang itu semakin lama menjadi
semakin sedikit. Separo dari mereka telah meninggalkan
mereka di tengah-tengah hutan yang gelap pekat. Yang
tampak kemudian hanyalah sinar-sinar obor di kejauhan di
antara kepadatan pohon-pohon raksasa dan gerumbulgerumbul
perdu. Ketika obor-obor itu telah hilang di balik dedaunan, serta
debar jantung setiap orang yang tinggal di tempat itu telah
merada, maka berkatalah Sumangkar kepada orang-orang
Jipang yang masih tinggal, "Tenangkan hati kalian. Aku dapat
merasakan, peristiwa merupakan suatu goncangan yang
dahsyat di dalam setiap dada kalian masing-masing. Baik
yang pergi maupun yang ditinggalkan. Tetapi penalaian kita
jelas telah bersimpangan. Karen itu adalah baik kita berpisah
jalan daripada kemudian kita akan menemui kesulitankesulitan
yang terus-menerus."
Sumangkar terdiam sesaat. Ketika diawasinya setiap wajah
para pemimpin yang masih tinggal, Sumangkar masih melihat
keragu-raguan membayang di wajah-wajah mereka.
Tetapi keragu-raguan di dalam setiap dada para pemimpin
Jipang itu adalah wajar. Baru saja mereka terlibat dalam
perang gelar yang dahsyat, dengan korban yang cukup
banyak di kedua belah pihak. Apakah mereka akan segera
dapat menghilangkan segala kesan dari permusuhan mereka
itu" Apakah benar orang-orang Pajang tidak mendedamnya
dan kemudian mengikat mereka di belakang kereta yang
dipacu secepat angin" Benarkah mereka akan dihadapkan
pada suatu penilaian yang tidak dipengaruhi oleh demdam
dan benci" Dalam pada itu terdengar Sumangkar berkata, "Marilah kita
mencoba menenteramkan hati kita. Marilah kita tidak
berprasangka. Aku mendengar berita pengampunan itu dari
Angger Untara sendiri pada saat Angger Macan Kepatihan
menghembuskan nafas terakhir. Aku harap Kiai Gringsing
menjadi saksi atas kata-kata yang keluar dari mulut senapati
Pajang yang dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan, yang justru
pesan itu datang dari ki Gede Pemanahan sendiri."
Namun Sumangkar masih melihat wajah-wajah yang penuh
kebimbangan. Bagaimanapun juga mereka adalah prajuritprajurit
yang senjata-senjata mereka telah pernah dibasahi
oleh darah orang-orang Pajang. Bagaimanapun juga hati
mereka sendiri selalu berkata kepada mereka, bahwa
permusuhan itu pernah terjadi dengan dahsyatnya.
Sumangkar yang merasa tidak segera dapat memberi
keyakinan yang pasti kepada para pemimpin Jipang itu
kemudian berkata, "Malam ini aku akan pergi ke Sangkal
Putung bersama Kiai Gringsing untuk mendapatkan jaminan,
bahwa segala sesuatu akan berlangsung dengan baik."
Para pemimpin Jipang dan pada prajurit itu menganggukanggukkan
kepala mereka. Mereka sependapat dengan
Sumangkar bahwa salah seorang dari mereka harus
menemukan jalan yang datar sebelum semuanya
berlangsung, supaya mereka tidak menyesal kelak apabila
ada persoalan-persoalan yang tumbuh tanpa mereka
kehendaki. "Apakah kalian sependapat?" bertanya Sumangkar.
"Baik Kiai," sahut salah seorang dari mereka. "Kami
sependapat, bahwa Kiai akan mencari jalan yang sebaikbaiknya
bagi kami semuanya. Kami percaya kepada Kiai."
"Terima kasih," berkata Sumangkar dengan dada berdebardebar.
la terharu bahwa dalam saat yang pendek ia berhasil
mendapatkan kepercayaan dari orang-orang Jipang itu.
Selama ini sebagian besar dari mereka mengenal Sumangkar
tidak lebih dari seorang juru masak yang tua yang hampirTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
hampir tidak mampu lagi melakukan tugasnya, bahkan ada
yang menyangkanya sebagai seorang juru masak yang malas.
Namun sebelum Sumangkar itu berangkat meninggalkan
perkemahan itu, maka ia berpesan, "Tetapi meskipun kalian
mengharap bahwa kalian akan meninggalkan petualangan
yang dipenuhi dengan noda-noda darah dan air mata di antara
rakyat yang tidak berdosa, namun kalian masih berhak untuk
mempertahankan diri kalian dalam saat-saat yang pendek ini.
Kalian masih akan menghadapi kemungkinan yang tidak
kalian duga-duga. Sepeninggalku jangan lengah. Isilah setiap
gardu-gardu peronda. Kalian harus mampu menyelamatkan
diri menghadapi setiap bahaya. Apabila bahaya itu sangat
besar dan jauh dari kemampuan daya tahan kalian, maka
kalian dapat menyelamatkan diri kalian di antara gelapnya
malam. Aku pasti sudah kembali sebelum fajar."
Para pemimpin Jipang yang tinggal itu menganggukanggukkan
kepala mereka. Mereka merasa bahwa malam ini
justru bahaya dapat datang dari setiap penjuru. Apabila Untara
ingkar janji, apalagi bahwa pernyataannya itu hanya sekedar
pancingan saja, maka malam itu juga, selambat-lambatnya
besok pagi-pagi, mereka pasti akan dilanda oleh arus yang
dahsyat dari laskar Pajang. Untara pasti tidak akan menunggu
mereka datang menyerahkan diri, supaya ia mendapat alasan
untuk berbuat menurut seleranya. Tak ada seorangpun yang
akan mencoba mencari jawab, atas sebab-sebab dari
kematian seseorang yang sedang berperang. Orang-orang
Pajang dapat membunuh lawannya seperti menebas hutan
alang-alang. Tetapi apabila orang-orang Jipang itu datang
menyerah, maka persoalannya akan berbeda. Tanpa janji
pengampunanpun, maka perlakuan atas orang-orang yang
sudah menyerah akan berbeda dari mereka yang ditemukan
dalam medan, selagi pedang masih terhunus dan tali busur
masih merentang. Sedang dari sisi lain, mereka masih harus memperhatikan
kemarahan Sanakeling atas mereka. Sanakeling adalah
seorang prajurit yang seakan-akan tidak bekerja dengan
otaknya. Ia kurang mampu berpikir dan memperhitungkan
masalah-masalah di luar masalah-masalah keprajuritan. Itulah
sebabnya ia tidak dapat diajak untuk berbicara dalam
masalah-masalah yang lain. Kemungkinan-kemungkinan yang
dapat ditempuh. Penyelesaian yang tidak usah
mempergunakan tajam senjata. Persoalan manusia dan
kemanusiaan. Ia tidak dapat mendengar tangis seorang isteri
yang kehilangan suaminya di medan peperangan. Baginya
adalah hina bagi seorang prajurit yang tertegun hanya karena
tangis seorang bayi yang terlepas dari pelukan ibunya yang
ketakutan mendengar dentang senjata beradu.
Tetapi para prajurit Jipang yang tinggal itu percaya kepada
Sumangkar. Percaya kepada harapan yang dijanjikan. Karena
itu, maka mereka akan melakukan segala perintahnya.
Sebelum Sumangkar itu meninggalkan mereka, maka ia masih
memerlukan berpesan kepada orang-orang Jipang itu,
"Peliharalah jenazah Angger Tohpati sebaik-baiknya. Besok
apabila aku telah kembali di antara kalian, maka akan kita
selenggarakan pemakamannya." "Baik Kiai," jawab salah seorang
dari mereka. "Terima kasih," sekali lagi
Sumangkar menjadi terharu.
Apabila kemudian malam bertambah malam, maka Sumangkar dan Kiai Gringsing
berjalan dengan tergesa-gesa
meninggalkan perkemahan itu
menuju ke Sangkal Putung.
Mereka mengharap bahwa mereka akan segera menemukn
cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah
orang-orang Jipang yang ingin meninggalkan cara bidup yang
selama ini ditempuhnya. Pada saat-saat orang-orang Jipang disibukkan oleh
pertentangan pendirian, maka pada saat itu orang-orang
Pajang disibukkan oleh mereka yang terluka di medan
pertempuran. Orang yang terluka itu baik kawan maupun
lawan, telah diangkut ke Banjar Desa Sangkal Putung.
Pengawasan atas orang-orang yang luka itu dilakukan oleh
Untara dan Widura sendiri. Mereka melihat wajah-wajah yang
dendam pada anak buah mereka sendiri. Mereka yang
kehilangan saudaranya, yang berada bersama-sama dalam
lingkungan keprajuritan Pajang, dan mereka yang merasa,
Bola Bola Iblis 2 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Pedang Darah Bunga Iblis 11