Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 4

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 4


pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud jahat
kepadanya. Maka Sedayupun segera melangkah maju sambil
berkata "Benarkah kau Kiai Gringsing yang diBulak Dawa itu?"
Kiai Gringsing mengangguk,
jawabnya "Tentu, tak ada dua tiga
Kiai Gringsing" Tiba-tiba Sedayu itupun teringat kepada orang yang
pernah menamakan diri Kiai
Gringsing pula di dukuh Pakuwon.
Maka katanya "Tidak. Yang sudah
aku ketahui, ada dua Kiai
Gringsing. Yang lain adalah
seorang yang sudah sangat tua
dan bongkok" Kiai Gringsing menggeleng,
katanya "Jangan bergurau.
Teruskan saja pekerjaanmu. Aku
tidak akan mengganggu. Muridmu itu perlu segera mendapat
tuntunan yang lebih berat. Agaknya ia murid yang cukup baik"
"Ah" desah Agung Sedayu. "Jangan berkata begitu. Itu
adalah pamanku. Dan justru pamanku itu sedang mengajari
aku, supaya aku mempunyai bekal dihari-hari mendatang"
Kiai Gringsing itupun tertawa berkepanjangan. Katanya
"Kau benar-benar seperti almarhum ayahmu. Tetapi kau
jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali-sekali kau perlu
juga menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki Sadewa"
"Itu adalah pamanku" Agung Sedayu mengulangi. Tetapi
ketika ia akan meneruskan kata-katanya, terdengar Kiai
Gringsing memotong "Aku sudah tahu. Orang itu adalah
pamanmu. Bukankah ia bernama Widura" Dan bukankah ia
adik ibumu" Apa salahnya kalau kau ajari orang itu satu dua
unsur-unsur gerak keturunan dari Ki Sadewa" Menurut
pengamatanku, Widura itupun pernah juga belajar selangkah
dua langkah. Karena itu adalah menjadi kewajibanmu untuk
menyempurnakan" Mendengar kata-kata itu, telinga Agung Sedayu menjadi
merah. Ia takut kalau pamannya tersinggung karenanya. Maka
katanya "Kiai, hidup matiku disini tergantung kepada paman.
Jangan mempersulit keadaanku"
Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga
tubuhnya seakan-akan berguncang-guncang.
Widura masih tegak seperti patung. Ia mendengar semua
percakapan itu. Meskipun ia terkejut dan heran, karena
namanyapun telah diketahui pula, bahkan hubungan
keluarganya, tetapi ia masih berdiam diri. Meskipun demikian,
namun otaknya sedang bekerja dengan riuhnya. Dicobanya
sekali lagi mengingat-ingat apa yang pernah dilihatnya di
dukuh Pakuwon. Ketiga kuda yang diikutinya berjalan dari
rumah Ki Tanu Metir kejurusan yang sama. Tiba-tiba Widura
menemukan sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia
berkata "Baiklah Kiai Gringsing, aku tidak keberatan, apa saja
yang kau katakan tentang kami berdua. Meskipun demikian,
aku ingin bertanya kepadamu, dimanakah Untara dam Ki Tanu
Metir" Agaknya kau benar-benar orang yang berpengetahuan
luas. Kau kenal kemenakanku Agung Sedayu, kau sebutsebut
nama kakak iparku, dan akhirnya kau kenal namaku.
Dengan demikian, adalah suatu kemungkinan pula, bahwa
kau mengetahui dimana kemenakanku yang seorang itu"
Orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu
mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa
pendek. Jawabnya "Tentu. Tentu aku tahu semuanya. Untara
kini menjadi salah seorang tamtama Pajang sedang yang kau
maksud dengan Ki Tanu Metir itu adalah seorang tukang obat
dari dukuh Pakuwon?"
"Jangan berpura-pura" potong Widura , "Kau tahu bahwa
bukan itulah jawabnya".
"He" Kiai Gringsing terkejut. "Aku adalah seseorang yang
tahu semuanya. Apakah jawabku salah?"
"Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak seperti
Agung Sedayu " Sahut Widura . Tetapi Kiai Gringsing itu
malahan tertawa berkepanjangan. Katanya "Hem, tentu. Baru
beberapa hari kau menjadi murid Agung Sedayu" Kau tentu
tak akan dapat dipersamakannya"
Semakin lama Widura menjadi semakin jengkel karenanya.
Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya
bertanya pula "Kiai, katakanlah kepada kami, dimana Untara
sekarang?" "Kalau jawabku salah, maka aku tak tahu, dimana ia
sekarang" "Jangan bohong" potong Widura, "Pada malam Untara
hilang kau berada dirumah Ki Tanu Metir"
"He" Kiai Gringsing terkejut, dan Agung Sedayupun
terkejut. Dari mana pamannya tahu, bahwa pada malam itu
Kiai Gringsing berada dirumah Ki Tanu Metir. Dan ternyata
Kiai Gringsing pun bertanya "Siapa yang berkata demikian?"
"Aku" jawab Widura.
"Kau menyangka yang bukan-bukan. Atau barangkali kau
berangan-angan terlalu jauh"
"Tidak. Bukankah kau telah memberi Agung Sedayu seekor
kuda?" "Ya" "Dari mana kau dapat kuda itu?"
"Kudaku sendiri. Kenapa" Apakah kudamu hilang?"
"Dengar Kiai. Aku telah mencoba mengikuti jejak kuda yang
datang dan yang pergi. Tiga ekor kuda telah meninggalkan
halaman rumah Ki Tanu Metir. Dan ketiga-tiganya menuju
Sangkal Putung. Disepanjang jalan tak ada telapak kuda yang
meninggalkan jalan itu pula. Tiga Kiai. Hitunglah, yang
pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda
Alap-alap Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang
kemudian dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu, yang keluar dari
kandang kuda Ki Tanu Metir."
Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya "Kau senang
mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata pengamatanmu kurang
baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang
kau lampaui. Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu
dengan melompati pagar, atau muncul dari regol-regol
halaman sepanjang jalan?"
Widura menarik nafas "Memang mungkin" sahutnya "Tetapi
itu tidak akan kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku minta
tunjukkan anak itu."
"Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya kau benar-benar
menjadi seorang pemimpin yang sakti. Biarlah aku melihat dan
tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak
tahu." Berkata Kiai Gringsing.
Widura adalah seorang perwira tamtama. Karena itu maka
adalah menjadi kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap
persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah
mendengar perkataan Kiai Gringsing yang melingkar-lingkar
itu. Katanya "Kiai, jangan bergurau seperti anak-anak. Dimana
Untara itu" Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat,
siapakah kau sebenarnya".
"He" kembali Kiai Gringsing terkejut. Sedayupun menjadi
terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat pamannya itu maju
selangkah dengan wajah yang tegang.
"Kenapa kau akan menangkap aku?" bertanya Kiai
Gringsing. "Apakah hakmu?"
"Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk
keselamatan Pajang."
"Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?"
"Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama
Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya,
Kemudian pada Sedayu ia berkata "Sedayu, apakah kau
dapat mencegah muridmu itu?"
Agung Sedayu manjadi bingung. Namun ia sebenarnya
menjadi sangat takut kalau pamannya benar-benar akan
menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia tidak dapat berkata apaapa.
Yang terdengar kemudian adalah geram Widura
"Minggirlah Sedayu, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin
ada banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya,
dan dengan demikian wajahnya akan segera kita kenal."
"Sedayu" berkata Kiai Gringsing dengan nada kecemasan
"Apakah kau dapat mencegah muridmu itu?"
Tetapi Widura tidak memperdulikannya lagi. Cepat ia
melompat untuk menangkap lengan Kiai Gringsing. Tetapi Kiai
Gringsing itupun melangkah surut, sehingga Widura tidak
berhasil menangkapnya. Tetapi Widura tidak membiarkannya
lari, karena itu segera Kiai Gringsing dikejarnya. Kiai Gringsing
itupun berlari berputar-putar diantara batang-batang ilalang.
Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon
kelapa sawit. "Kenapa kau kejar-kejar aku?"
Widura benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak
"Kiai Gringsing, aku dengar kau pernah bertempur dengan
Alap-alap Jalatunda. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti
keledai yang bodoh."
"Jangan tangkap aku" katanya.
"Kiai, nama seorang bertopeng dan berkain Gringsing mulai
terkenal di daerah ini, nah pertahankan nama itu. Aku tidak
akan mengejarmu lagi, tetapi aku akan menyerangmu."
"Paman" potong Agung Sedayu yang menjadi semakin
cemas. Tetapi pamannya tak mendengarnya. Kini ia tidak mengejar
lagi, dengan satu loncatan panjang Widura langsung
menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing itupun kini tidak
berlari-lari lagi. Ketika Widura langsung menyerangnya, segera ia
mengelakkan diri sambil berkata "Aku tidak pernah merasa
mempunyai persoalan dengan kau Widura. Tetapi kenapa kau
menyerang aku?" Widura tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali
dengan garangnya. Kiai Gringsing masih saja mengelak dan menghindar.
Kemudian terdengar ia berkata pula "Widura, kalau kau
marah, maka aku tak akan mengganggumu, baiklah aku minta
maaf. Aku akan pergi. Tetapi jangan menangkap aku."
Widura masih tidak mau mendengarnya. Ia benar-benar
ingin menangkap orang bertopeng itu. Sebab menurut
perhitungannya, Kiai Gringsing benar-benar mengetahui
dimana Untara dan Ki Tanu Metir. Apabila tidak, setidaktidaknya
maka ia akan dapat mengenali siapakah sebenarnya
orang yang bertopeng itu.
Agung Sedayu, yang melihat pamannya benar-benar
menyerang Kiai Gringsing, menjadi semakin cemas. Diamdiam
ia berdoa didalam hatinya, mudah-mudahan pamannya
tidak dapat menangkap orang bertopeng itu. Ia sendiri tidak
mengetahuinya, kenapa tiba-tiba saja mencemaskan nasib
orang yang tidak dikenalnya itu.
Widura yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu,
ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya.
Setiap kali Kiai Gringsing menghindar, maka menyusullah
serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian
gerakan Widura itu menjadi semakin berat melingkar serta
seperti angin pusaran ia melibat Kiai Gringsing.
Akhirnya Kiai Gringsingpun menjadi semakin sulit. Ia tidak
dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika serangan
Widura manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi
semakin berat. Karena itu sekali lagi ia berkata " Widura,
apakah kau betul-betul akan menangkap aku?"
"Sudah aku katakan" jawab Widura.
"Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu" minta Kiai
Gringsing. Tetapi Widura sama sekali tidak mau mendengar
permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran
ilmunya yang semakin tinggi.
"Hem" terdengar kemudian Kiai Gringsing menggeram
"Baiklah. Kau ingin mengertahui siapakah Kiai Gringsing itu
seperti Agung Sedayu juga, ingin mengetahui unsur-unsur
gerak yang akan aku pergunakan, sehingga ia memaksaku
untuk bertempur melawan Alap-alap Jalatunda."
Widura tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan
semakin membadai. Namun kini agaknya Kiai Gringsing tidak
hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan
dengan suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar
diudara. Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya punggung
Widura. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan
yang sangat kuat, sehingga Widura terhuyung-huyung
beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Widura adalah
seorang perwira yang telah mengalami berpuluh-puluh
pertempuran. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil
menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium
batang-batang ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang
sempit itu. Namun meskipun demikian, betapa Widura menjadi sangat
terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang menamakan
dirinya Kiai Gringsing itu mampu bergerak sedemikian
cepatnya. Lebih dari itu, terasa, bahwa kekuatan Kiai
Gringsing itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun
demikian, Widura, seorang prajurit dalam tugas-tugas
keprajuritannya, tidak segera bercemas hati. Ia memang
merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak
mengurungkan niatnya. Bahkan Widura itu kini telah
mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya ia
menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi seranganserangannya,
apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuhpun
tidak. Kiai Gringsing benar-benar mampu bergerak secepat
geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan
bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya.
Ketika kemudian Kiai Gringsing itu mempertahankan dirinya
dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang
bertopeng itu benar-benar aneh.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin
lama semakin cepat. Widura kini telah benar-benar
mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya.
Karena itu, maka geraknyapun menjadi semakin garang dan
cepat. Kedua tangannya bergerak-gerak menyerang
kesegenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya yang
kokoh itu sekali dipergunakannya untuk meloncat-loncat


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun tiba-tiba tumitnya manyambar lambung.
Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa
apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya tidak akan
selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat
membunuh lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan
kemudian melemahkan perlawanannya. Ketika mereka
menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Widura melangkah
surut, dan tiba-tiba pula ditangannya telah tergenggam
pedangnya. Pedang yang besar dan tak begitu tajam, namun
runcing ujungnya malampui ujung jarum.
Kiai Gringsing terkejut melihat pedang itu, karena itu iapun
meloncat mundur. Bahkan Agung Sedayu yang mengikuti
perkelahian itu dengan ketegangan didalamnya terkejut pula.
Apakah pamannya benar-benar akan bertempur mati-matian"
Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing
"Widura, apakah kau akan membunuh aku?"
"Tidak" sahut Widura. "Sudah aku katakan, aku ingin
menangkapmu" "Kenapa dengan pedang?"
"Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu
bergerak selincah sikatan. Karena itu, sebaiknya kau tidak
usah melawan, supaya aku tidak melukaimu"
"Hem" Kiai Gringsing menarik nafas. "Jangan main-main
dengan senjata Widura, senjata adalah lambang dari
kematian. Kematian lawan atau kematian diri sendiri. Karena
itu, sarungkan senjatamu. Kita bermain-main kembali. Apakah
kau sudah lelah?" Widura mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa
kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas
Kiai Gringsing itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya
untuk pertama kalinya. "Gila" umpat Widura didalam hatinya. "Apakah orang ini
mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angin
didalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu"
Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap
orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki didalam
dirinya. Karena itu Widura tidak menyarungkan pedangnya.
Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya
kedada Kiai Gringsing. Katanya "Kiai, jangan memaksa aku
mempergunakan pedangku. Ikutlah aku, dan tanggalkan
topengmu itu supaya aku dapat mengenal wajahmu"
Kiai Gringsing masih tegak ditempatnya, seakan-akan
kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya
Widura dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi
dadanya. Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Agung
Sedayu. Katanya sambil tertawa "Sedayu, apakah orang ini
sudah kauajari memegang senjata?"
Dada Agung Sedayu berdesir, dan jantung Widura pun
berguncang. Ia tidak menyangka bahwa Kiai Gringsing itu
memandangnya seperti kanak-kanak yang sedang merajuk.
Karena itu Widura itupun menggeram "Kiai, aku sependapat
dengan kau bahwa senjata adalah lambang dari kematian.
Karena itu, jangan mempersulit keadaan. Aku ingin
menangkapmu hidup-hidup sebab aku inginkan beberapa
keterangan darimu. Tetapi kalau kau mati karena pokalmu
yang aneh-aneh itu, jangan menyesal"
Hem" Kiai Gringsing menarik nafas "Kau benar-benar
marah Widura?" Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Dan akhirnya
Widura pun menjadi bingung memandang kedirinya sendiri.
Apakah ia sedang marah atau karena sekedar didorong oleh
keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk segera
memecahkan teka-teki tentang hilangnya Untara. Tetapi ketika
ia melihat topeng Kiai Gringsing yang pucat seperti mayat itu,
tiba-tiba saja ia menggeleng "Tidak" jawabnya. "Aku tidak
sedang marah. Tetapi aku sedang mengemban kewajiban.
Sekarang aku sedang berusaha untuk menangkapmu, karena
itu adalah salah satu dari kewajibanku pula"
"Baik" sahut Kiai Gringsing "Aku senang bahwa kau tidak
sedang marah. Adalah berbahaya sekali senjata ditangan
orang yang sedang marah. Kalau kau mau bertempur,
marilah. Tetapi kita bertempur tanpa kemarahan dihati. Kata
orang, kemarahan akan mempersempit otak kita. Dan senjata
ditangan kita akan menjadi kabur kegunaannya"
Widura mengerutkan keningnya. Katanya "Hem. Kau takut
kalau karena kemarahanku, aku membunuhmu"
Kiai Gringsing tertawa. Dan jawabnya mengherankan
Widura "Mungkin. Aku memang takut mati. Mati tanpa arti.
Tetapi kalau kau yang mati, maka kau mati dalam pelukan
kewajiban. Nah, apakah tidak lebih baik, kau saja yang mati
supaya kau disebut pahlawan"
"Jangan mengigau, bersiaplah!" bentak Widura.
"Aku sudah siap. Aku dapat bertempur sambil tersenyum.
Apakah orang yang sedang bertempur pasti harus berwajah
tegang seperti tambang" Bukan kita bertempur tanpa
kemarahan dihati?" Widura tidak menunggu kata-kata Kiai Gringsing itu
berakhir., tiba-tiba saja menggerakkan pedangnya mengarah
kedada lawannya. Namun sekali lagi ia terkejut. Kiai Gringsing
itu sama sekali tidak bergerak, sehingga pedang itu benarbenar
akan menghunjam kedadanya. Tetapi justru karena itu,
Widura segera menarik serangannya dan berteriak "Hei Kiai.
Apakah kau sedang membunuh diri?"
Kiai Gringsing menggeleng, "Tidak" jawabnya. "Aku hanya
ingin tahu, apakah kau akan membunuh orang yang tidak
bersenjata?" "Oh" Widura tersadar dari ketergesa-gesaannya. Ia adalah
seorang perwira tamtama yang biasa bertempur dalam
kelompok yang besar, yang tidak pernah bertanya apakah
lawannya bersenjata atau tidak. Tetapi dalam perkelahian
seorang lawan seorang adalah wajar apabila keadaannya
harus berimbang. Dengan demikian, masing-masing tidak
meninggalkan kejantanan dan kejujuran.
"Ambillah senjatamu" teriak Widura jengkel.
"Bagus" jawab Kiai Gringsing. Kedua tangannyapun segera
bergerak, mengambil sesuatu dari balik kain gringsingnya.
Cambuk kuda. "Gila" geram Widura. "Adakah itu senjatamu?"
"Kenapa" Ini adalah senjataku. Dengan senjata ini pula aku
bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Ayo, mulailah"
Widura menjadi semakin tidak mengerti menghadapi orang
aneh ini. Meskipun demikian ia bersiap pula. Tetapi kini
nafsunya untuk bertempur telah jauh berkurang. Bahkan tibatiba
ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hatinya.
"Widura" berkata Kiai Gringsing pula "Aku akan
mempergunakan senjataku pada ujung dan pangkalnya. Aku
memegangnya ditengah-tengah. Awas, lawanlah dengan
pedangmu" Sekarang Kiai Gringsinglah yang mendahului menyerang.
Widura terkejut. Ia mengelak kesamping dan dengan gerak
naluriah, pedangnyapun berputar dan membalas serangan itu
dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan
cepatnya. Kiai Gringsing itu mempergunakan senjata anehnya
dengan cara yang aneh pula. Tiba-tiba orang bertopeng itu
berteriak nyaring "Nah, kau dapat aku kenai Widura"
Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang
mengenai itu ternyata hanya ujung cambuk kuda, namun
sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura itu melontar surut.
"Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku
ini berujung runcing seruncing senjatamu atau seruncing
Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi"
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Nenggala
pemberian Ki Tambak Wedi adalah senjata Sidanti. "Ah"
gumamnya "Ia hanya ingin mencari persamaan" pikirnya.
"Tetapi" katanya pula didalam hatinya, "Kenapa ia sengaja
memegang senjatanya dengan cara yang aneh itu?"
Tetapi Widura tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab
Kiai Gringsing itu telah menyerangnya pula sambil berteriak
"Sedayu, awasi muridmu, supaya kau tahu kesalahannya"
Sedayu yang sudah bingung menjadi bertambah bingung.
Tetapi ia memperhatikan pula pertempuran itu. Kiai Gringsing
dengan cambuk kuda ditangan, dan pamannya dengan
sebuah pedang yang menakutkan.
Pertempuran itu semakin lama mejadi semakin seru.
Cambuk Kiai Gringsing bergerak dengan cepatnya,
menyambar dari segala arah. Ujung dan pangkalnya sekalisekali
mematuk tubuh Widura tanpa dapat dihindari. Semakin
lama menjadi semakin sering. Meskipun Widura berusaha
sepenuh tenaga. Karena itu, maka getar didalam dada Widurapun semakin
lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau terbelengu oleh
perasaan yang tak dimengertinya. Ia tidak memperdulikan lagi
apakah ia sedang marah, atau ia hanya sekedar terdorong
oleh keinginannya untuk mengetahui dimana Untara berada.
Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur matimatian
kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh
karenanya, maka pedangnyapun bergerak semakin cepat,
secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga.
Sedayu melihat pertempuran itu dengan jantung yang
berdentang-dentang. Mula-mula mencemaskan nasib orang
bertopeng itu. Namun dalam pengamatannya kemudian, Kiai
Gringsing itu ternyata mampu mempertahankan dirinya,
bahkan beberapa kali ia berhasil mendesak Widura sehingga
pamannya itu meloncat surut. Bahkan kemudian pertempuran
itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia
memperhatikan setiap gerak dari mereka berdua. Ia
mengagumi ketangkasan pamannya, namun ia heran melihat
kelincahan Kiai Gringsing. Cambuk kuda yang tampaknya
sama sekali tak berarti itu ternyata merupakan senjata yang
berbahaya. Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik
ketitik yang lain. Namun Sedayupun ikut berkisa-kisar pula.
Sekali ia terpaksa menahan napas apabila pedang Widura
menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar
mangsanya. Namun wajahnyapun menjadi tegang, apabila ia
melihat pamannya menyeringai kesakitan apabila cemeti kuda
orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.
"Hem" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. "Kalau
saja aku mampu berbuat seperti mereka itu" gumamnya
didalam hati. Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat
pamannya melontar mundur. Sekali, dua kali dan Kiai
Gringsing itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan
tidak disangka-sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil
menyambar pergelangan tangan Widura sehingga pedangnya
tergetar. Hampir saja pedang itu meluncur dari tangannya.
Gigi Widura gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena
itu tandangnyapun menjadi semakin garang. Gerak
pedangnyapun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak
kemudian seakan-akan kabut putih yang bergulung-guliung
melanda orang bertopeng itu.
Kini Widuralah yang mendesak maju. Kiai Gringsing
terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu
tiba-tiba tersandar pada pohon kelapa sawit dibelakangnya.
Widura tidak membuang waktu lebih lama lagi. Pedangnya
cepat meluncur kearah Kiai Gringsing. Widura yang merasa
dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat
tenaganya, meskipun pedangnya tidak mengarah dada.
Namun apabila Kiai Gringsing tidak mampu menghindari kali
ini, maka pundaknya pasti akan tersobek.
Melihat peristiwa itu, Agung Sedayu terkejut sehingga iapun
meloncat beberapa langkah maju. Namun ia tak akan dapat
berbuat apapun. Yang dilihatnya pedang pamannya yang
runcing itu mematuk dengan garangnya.Tetapi mata Agung
Sedayu itupun terbeliak. Dengan mulut yang ternganga ia
melihat, betapa Kiai Gringsing itu kemudian berdiri tegak
sambil tertawa berkepanjangan. Katanya "Ah, tenagamu
memang luar biasa Widura. Tetapi kau sekarang pasti akan
menemui kesulitan untuk mencabut pedangmu itu"
*** "Setan" terdengar Widura mengumpat. Dengan sekuat
tenaga ia berusaha mencabut pedangnya yang tertancap
pada pohon kelapa sawit itu.
Ternyata Kiai Gringsing mampu
mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang
Widura yang mematuknya itu
langsung mengenai pohon yang
disandarinya. "Jangan main-main kiai"
geram Widura dengan wajah
yang membara "Aku dapat bertempur tanpa pedang"
"Jangan" jawab Kiai Gringsing "Cabutlah pedangmu. Aku
menunggu" Widura masih berusaha sekuat tenaga mencabut
pedangnya. Namun ia masih mengumpat didalam hatinya.
Ternyata pedang yang runcing itu telah membenam dalam
sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk
menusukkan pedang itu. Karena itu, maka sekarang, betapa
sukarnya untuk mencabutnya.
Beberapa kali Widura menggeram. Tetapi kemudian Kiai
Gringsing itu berkata "Minggirlah, coba apakah aku mampu
mencabutnya" Widura sendiri tidak menyadari, kenapa tiba-tiba ia
melangkah kesamping dan memberi kesempatan kepada
orang bertopeng itu untuk mencabut pedangnya. Betapa
Widura menjadi heran, apalagi Agung Sedayu. Dengan
sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing berhasil menyentakkan
pedang itu dari batang kelapa sawit, meskipun ia sendiri
terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Bahkann
hampir saja ia tergelincir jatuh.
"Hem" orang bertopeng itu menarik nafas "Pedang yang
aneh. Besar, tumpul namun runcing seruncing jarum. Kenapa
kau membuat pedang seaneh ini?"
Widura tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar
giginya gemeretak. Namun ia masih tegak ditempatnya.
"Widura, kita akhiri pertempuran ini. Aku kembalikan
pedangmu. Nah, berlatihlah terus" Kemudian kepada Agung
Sedayu Kiai Gringsing itu berkata "Sedayu, kau harus bekerja


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih berat supaya muridmu ini menjadi lekas masak.
Ketahuilah, bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari
gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat mengunjunginya.
Bukankah muridmu itu pimpinan laskar Pajang disini" Apabila
Sidanti kelak melampauinya, maka wibawanya akan
berkurang" Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Demikian juga
Sedayu. Apakah Sidanti benar-benar berlatih terus" Tetapi
Kiai Gringsing tidak memberi mereka kesempatan untuk
bertanya. Bahkan sekali lagi ia berkata "Setiap hari aku akan
melihat kalian berlatih disini. Aku tidak akan mengganggu.
Nah Widura, ini pedangmu"
Sebelum Widura menjawab, meluncurlah pedang Widura
dari tangan Kiai Gringsing. Dengan gerak naluriah Widura
meloncat untuk menangkap pedangnya itu. Kemudian mereka
berdua, Widura dan Agung Sedayu melihat, orang bertopeng
itu berjalan seenaknya meninggalkan mereka. Lewat puntuk
kecil itu, dan kemudian hilang dibalik batang-batang ilalang
yang tumbuh dengan liarnya.
Widura sesaat berdiri saja mematung. Pertemuannya
dengan Kiai Gringsing itu benar-benar berkesan dihatinya
"Orang aneh" gumamnya.
Widura terkejut ketika ia mendengar Agung Sedayu
mengulangi kata-katanya "Orang aneh. Ya, memang orang itu
orang yang aneh" Widura menarik nafas panjang. Katanya "Orang itu
tampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi aku
menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar kepadanya. Ah,
mula-mula aku merasa ia menghinaku" Widura berhenti
sejenak, kemudian ia meneruskan "Namun agaknya ada
sesuatu maksud tersimpan dibalik sikapnya yang seakan-akan
tidak bersungguh-sungguh itu"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
didengarnya pamannya berkata "Bukankah Kiai Gringsing
mengatakan bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari
gurunya yang dahsyat itu?"
"Ya" Agung Sedayu mengangguk.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka
masih memandang kearah Kiai Gringsing lenyap dibalik
batang-batang ilalang. "Sedayu" berkata Widura kemudian. "Kita akhiri latihan ini.
Marilah kita kembali. Ternyata bukan kau yang mendapat
kesempatan untuk berlatih, tetapi aku sendiri. Meskipun
demikian setiap malam kita datang ketempat ini"
Agung Sedayu mengangguk. Dan diikutinya pamannya
meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan
berurutan diatas pematang, kemudian setelah melangkahi
parit mereka berjalan menyusur jalan desa menuju
kademangan Sangkal Putung.
Hampir disepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap.
Masing-masing sedang dihanyutkan oleh angan-angannya.
Widura masih dirisaukan oleh kata-kata Kiai Gringsing "Sidanti
berlatih terus" "Mudah-mudahan anak itu mempunyai itikad yang baik"
katanya didalam hati. "Semoga ia berlatih untuk menghadapi
Macan Kepatihan". Namun Widura itu beragu. Sikap anak
muda itu memang kurang menyenangkannya. Apalagi
sikapnya terhadap Agung Sedayu.
Tanpa disengajanya, Widura berpaling kepada
kemenakannya yang berjalan menunduk disampingnya
"Sayang" gumamnya didalam hati. "Anak itu benar-benar
penakut. Kalau anak-anak Sangkal Putung tahu, apalagi
Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang yang paling
memuakkan dikademangan ini. "Tetapi aneh" berkata Widura
seterusnya didalam hati "Kenapa agaknya Kiai Gringsing
menaruh perhatian atasnya. Anak itu telah dilindunginya dari
Alap-alap Jalatunda dan kini ia hadir pula dilapangan sempit
itu" Sedangkan Agung Sedayu sibuk dengan dirinya sendiri.
Timbullah didalam angan-angannya keinginan yang besar
untuk setidak-tidaknya dapat berbuat seperti pamannya,
seperti kakaknya apalagi seperti Kiai Gringsing yang mampu
bergerak selincah burung sikatan. "Aku akan berlatih terus.
Setiap malam" janjinya didalam hati.
Awan dilangit semakin lama menjadi semakin kelam. Satusatu
guruh dilangit meledak seperti hendak meruntuhkan
gunung. Widura dan Agung Sedayu mempercepat langkah mereka.
Mereka lebih senang tidur dipringgitan kademangan Sangkal
Putung daripada basah kuyup dijalanan.
Diregol halaman kademangan, Widura melihat Ki Demang
tidur diatas anyaman daun kelapa, sedang disampingnya
mendengkur anak laki-lakinya, Swandaru.
Widura tersenyum melihat mereka. Meskipun umur demang
Sangkal Putung itu sudah melewati setengah abad, namun ia
merasakan benar bahwa adalah menjadi tanggung jawabnya,
hidup atau mati dari kademangannya. Ia tidak saja menerima
jabatannya dalam saat-saat menyenangkan, bukan sekedar
suatu keinginan untuk menerima pelungguh sawah dan
kehormatan sebagai seorang demang, namun ia menyadari,
bahwa disamping hak yang diterimanya itu, maka iapun harus
mengemban kewajiban yang diperoleh sebagai keseimbangan
dari hak-hak itu. Bahkan lebih dari itu, kampung halamannya
adalah tanah yang harus dipertahankan. Sebagai demang
atau bukan. Beberapa orang penjaga yang duduk diregol halaman
disamping Ki Demang itupun berdiri ketika mereka melihat
Widura memasuki pintu regol "Selamat malam tuan" sapa
salah seorang penjaga. Widura menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan
menjawab, dilihatnya Ki Demang menggeliat sambil
bergumam "Apakah adi Widura baru datang?"
"Ya kakang" jawab Widura.
"Silakan, aku lebih senang tidur disini. Udara terlalu panas"
berkata ki demang itu pula.
"Langit kelam kakang" sahut Widura. "Agaknya sebentar
lagi hujan akan turun"
"Agaknya demikian" jawab Ki Demang "Nah,
beristirahatlah" Widura itupun kemudian berjalan bersama-sama dengan
Agung Sedayu naik kependapa. Ketika mereka melihat
pembaringan Sidanti, mereka terkejut. Pembaringan itu
kosong. Dan senjata didinding diatas pembaringannya itupun
tidak ada pula. Sedang disampingnya masih berjajar beberapa
orang tidur dengan nyenyaknya. Tetapi Widura tidak
menanyakannya kepada siapapun. Bersama Agung Sedayu
mereka langsung kepringgitan.
"Kau lelah Sedayu" berkata pamannya kemudian "Tidurlah"
Sebenarnya Agung Sedayu itu lelah sekali. Tidak saja
tubuhnya, tetapi juga angan-angannya. Karena itu, segera ia
membaringkan dirinya, diatas tikar pandan disamping
pembaringan pamannya. Tetapi pamannya tidak segera tidur. Setelah diteguknya
beberapa teguk air dari gendi digelodog bambu, iapun duduk
sambil mengamati tubuhnya. Tampaklah beberapa goresangoresan
merah biru dan noda-noda yang kehitaman hampir
disegenap bagian tubuhnya. Ujung dan pangkal cambuk Kiai
Gringsing benar-benar mengagumkan.
Widura itu kemudian terkejut, ketika ia mendengar langkah
menaiki pendapa. Perlahan-lahan dan kemudian kemudian
hilang . Ketika ia memperhatikan keadaan dan memusatkan
pendengarannya, ia mendengar beberapa suara gemerisik.
Hanya sebentar, kemudian diam kembali.
Widura mengangkat alisnya. Tetapi ia diam saja. Ia masih
menunggu beberapa saat. Baru kemudian ia berdiri perlahanlahan
dan dengan hati-hati melangkah keluar pringgitan.
Ketika ia sampai dipendapa dilihatnya Sidanti telah berbaring
ditempatnya, seakan-akan tidak terjadi apapun.
"Sidanti" panggil Widura perlahan-lahan.
Sidanti menggeliat. Kemudian dengan segan ia menjawab
"Ya kakang" "Adakah kau yang baru saja naik kependapa?" bertanya
Widura pula. Sesaat Sidanti terdiam. Ia ragu-ragu untuk
menjawab. Namun ketika Widura memandangnya dengan
seksama, seakan-akan ingin melihat debar dijantungnya,
maka Sidanti itupun menjawab "Ya kakang"
"Dari manakah kau?" bertanya Widura seterusnya.
"Dari belakang kakang. Kenapa?" sahut Sidanti.
"Tidak apa-apa. Sejak tadi aku mencarimu"
Sidanti kemudian bangkit dan duduk dengan malasnya
"Adalah sesuatu yang sangat perlu?"
"Tidak sedemikian penting. Tetapi kemarilah"
"Aku sudah kantuk sekali. Tidakkah dapat ditunda sampai
besok?" "Tentu. Tetapi aku mengharapmu sekarang"
Widura tidak menunggu Sidanti menjawab. Dengah
langkah yang tetap ia berjalan memasuki pringgitan kembali.
Sidanti mengumpat dihatinya "Apa pula yang akan
dikatakannya" Ketika Sidanti sudah duduk dihadapannya, Widura berkata
"Sidanti. Persoalan ini memang tidak begitu penting. Tetapi
aku perlu menyampaikannya kepadamu" Widura diam
sejenak. Diamat-amatinya baju Sidanti. Basah oleh peluh yang
seakan-akan terperas dari tubuhnya. Tiba-tiba ia bertanya
"Darimana kau Sidanti?"
Sidanti menjadi agak gugup. Namun sesaat ia telah tenang
kembali. Jawabnya "Dari belakang"
"Bajumu basah oleh keringat" sahut Widura.
Kembali Sidanti menjadi agak gugup. Jawabnya kemudian
"Aku mencoba melatih diri supaya aku kelak dapat
mengimbangi Macan Kepatihan"
"Sendiri?" desak Widura.
"Ya" "Sidanti. Aku berbangga akan ketekunanmu. Namun kau
harus memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Apalagi
mereka yang sedang bertugas, supaya tak terjadi salah
mengerti. Dalam keadaan serupa ini, setiap orang akan dapat
dicurigai. Sampai saat ini aku belum pernah dapat laporan,
bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk berlatih
diri" "Apa salahnya?" potong Sidanti "Apakah kakang Widura
ingin kami semua ini menjadi orang-orang yang tidak pernah
menemukan tingkat yang lebih baik dari tingkat yang kita miliki
sekarang?" "Tidak Sidanti. Aku tidak bermaksud demikian. Bahkan aku
senang kau melakukannya. Tetapi kenapa dengan diam-diam.
Apakah kau tak ingin misalnya, beberapa orang ikut serta, dan
apakah dengan demikian, ketahanan dan pertahanan kita
akan tambah kuat" "Tentu" jawab Sidanti "Bukankah telah kita lakukan setiap
hari" Dan apa salahnya kalau aku mempergunakan waktu
khusus untuk aku sendiri?"
"Aku tidak keberatan. Tetapi kau sering meninggalkan
kademangan ini tanpa seorangpun juga mengetahuinya"
Widura mencoba untuk mengetahui, apakah yang dikatakan
Kiai Gringsing tentang Sidanti benar-benar terjadi.
Sidanti untuk sesaat tidak menjawab. Dipandanginya wajah
Widura dengan tajamnya. Tetapi ketika pandangan mata
mereka bertemu, Sidanti itupun menundukkan wajahnya.
Namun dadanya masih juga berdebar-debar.
Widura tidak segera mendesaknya. Ia menunggu apakah
yang akan dikatakan oleh Sidanti. Hanya tarikan nafas mereka
terdengar berkejar-kejaran. Baru beberapa saat kemudian
Sidanti menjawab "Aku pergi atas tanggung jawabku sendiri
kakang. Aku kadang-kadang memerlukan tempat yang baik
yang tidak aku temui dihalaman kademangan ini. Juga karena
aku tidak ingin diganggu oleh siapapun juga"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia yakin
akan kebenaran cerita Kiai Gringsing. Namun ia masih
mengharap semoga Sidanti benar-benar akan mengamalkan
ilmunya untuk kemenangan bersama. Meskipun demikian
Widura itupun berkata "Sidanti, aku berbangga. Benar-benar
berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi aku ingin
memberimu peringatan. Jangan terlalu berani meninggalkan
kademangan ini seorang diri. Macan Kepatihan bukan anakanak
yang ketakutan karena kekalahan-kekalahan kecil.
Setiap saat ia dapat datang kembali. Mungkin seorang diri,
dan menyergapmu tanpa seorangpun yang dapat melihat apa
yang akan terjadi" "Sudah aku katakan" jawab Sidanti "Kalau aku terbunuh
olehnya selama aku melatih diri, adalah tanggung jawabku
sendiri. Tak seorangpun perlu menangisi mayatku"
"Jangan berkata demikian" sahut Widura. Kata-katanya
tenang dan berat. Kata-kata seorang tua kepada anaknya
yang nakal. "Kalau kau hilang dari antara kami, maka kami
semua akan merasa kehilangan. Kita tidak tahu, sampai
kapan kita dalam keadaan yang tidak menentu ini. Karena itu,
kau adalah lawan Tohpati yang dapat kita banggakan. Ilmumu
masih akan berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati. Namun
kau memiliki kemenangan daripadanya. Gurumu masih ada"
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak senang atas
peringatan itu. Dirasakannya seakan-akan kebebasannya
terganggu. "Apapun yang aku lakukan adalah hakku" katanya
didalam hatinya. "Apakah gurumu tak pernah mengunjungimu?" tiba-tiba
Widura bertanya. Dan pertanyaan itu benar-benar
membingungkan Sidanti. Ia tidak tahu bagaimana harus
menjawab. Sebenarnya ia sendiri tidak pernah merasa
keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa gurunya
sering datang mengunjunginya. Namun gurunyalah yang
melarangnya. Selalu teringat olehnya gurunya itu berkata
"Sidanti, kemenangan terakhir haruslah kemenanganmu.
Bukan kemenangan orang lain. Juga bukan kemenangan
kelompokmu, apalagi pimpinanmu"
Karena ingatannya itu, maka Sidanti kemudian menggeleng
"Tidak. Guru tidak pernah datang"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia
pasti, bahwa guru Sidanti itu dengan diam-diam selalu datang
dan menempa muridnya dengan tekunnya. Sedang didalam
kepala Sidanti itu terngiang kata-kata gurunya pula "Karena itu


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sidanti, aku tak mau seorangpun tahu, bahwa kau sedang
menempa dirimu. Aku tak mau seorangpun dapat meneguk
ilmu Tambak Wedi meskipun hanya setetes. Sebab, pada
suatu saat kau harus menjadi orang pertama di Pajang
sesudah Hadiwijaya sendiri"
Kembali suasana di pringgitan itu tenggelam dalam
kesepian. Sidanti kemudian menundukkan wajahnya pula.
Tubuhnya benar-benar merasa lelah setelah ia memeras
tenaganya, menerima ilmu-ilmu penyempurnaan dari gurunya.
"Kau lelah sekali Sidanti" berkata Widura.
"Ya" sahut Sidanti pendek.
"Tidurlah" Sidanti tidak menunggu perintah itu diulang untuk kedua
kalinya. Segera ia berdiri dan berjalan keluar. Dimuka pintu ia
berpaling. Ketika dilihatnya Widura masih mengawasinya,
segera ia melemparkan pandangan matanya kearah lain.
Kini Widura duduk kembali seorang diri diatas
pembaringannya. Angan-angannya terbang kian kemari.
Banyak persoalan yang dihadapinya. Dan banyak persoalan
yang perlu dipecahkannya. Namun sebagai manusia Widura
berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan
memberinya jalan terang. Widura pun ternyata lelah pula. Sejenak kemudian iapun
berbaring dan tertidur pula dengan lelapnya.
Ketika cahaya fajar telah membayang dipunggung bukit,
maka Agung Sedayupun telah bangun dari tidurnya.
Dikejauhan masih didengarnya satu-satu ayang jantan
berkokok menyambut pagi. Sekali Agung Sedayu menggeliat,
kemudian perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar.
Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari.
Dipendapa beberapa orang pun telah bangun. Seorang dua
orang telah turun kehalaman, sedang yang lain lagi
bersembahyang subuh. Agung Sedayu pun segera pergi
kepadasan. Baru setelah ia selesai sembahyang subuh, dilihatnya
pamannya bangkit. Dengan tersenyum ia menyapa "Ah, kau
bangun lebih dahulu Sedayu"
"Ya paman" sahutnya "Aku tidur lebih dahulu pula"
Pamannya tersenyum. Dan Agung Sedayu pun kemudian
meninggalkan ruangan itu. Ia ingin menikmati cerahnya fajar.
Satu-satu dilangit masih tersangkut bintang-bintang yang
dengan segannya memandang halaman kademangan
Sangkal Putung yang baru saja terbangun dari lelapnya
malam. Sangkal Putung itu ternyata benar-benar telah terbangun.
Dijalan-jalan telah mulai tampak satu dua orang yang lewat
tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan
mereka disudut desa. Sebab mereka masih belum berani
berjalan terlampau jauh. Disudut desa itu telah menjadi agak
ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan tukarmenukar
banyak pula terjadi. Tiba-tiba timbullah keinginan Agung Sedayu untuk berjalanjalan
menyusur jalan dimuka kademangan itu. Dimuka regol
beberapa orang penjaga mengangguk kepadanya.
"Akan kemana ngger?" bertanya salah seorang
daripadanya. "Berjalan-jalan paman" jawab Agung Sedayu
Orang itu mengangguk. Sahutnya "Silakan. Barangkali
udara pagi di Sangkal Putung dapat menyejukkan hati angger"
Agung Sedayu tersenyum. Dan diayunkannya kakinya
melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk
mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Agung Sedayu
tidak ingin berjalan seorang diri terlalu jauh dari kademangan,
meskipun disiang hari yang cerah sekalipun.
Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika didengarnya sapa
halus disampingnya. Katanya "Akan pergi kemanakah tuan
sepagi ini?" Ketika Agung Sedayu menoleh dilihatnya seorang gadis
yang kemarin ditemuinya dikademangan muncul dari sebuah
jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengannguk ia
menjawab pendek "Berjalan-jalan"
Gadis itu, yang tak lain adalah Sekar Mirah, mengerutkan
keningnya. Jawaban yang terlalu pendek. Meskipun demikian
ia memberanikan dirinya untuk bertanya "Apakah tuan akan
pergi kewarung disudut desa?"
Agung Sedayu menggeleng "Tidak" jawabnya.
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Tetapi justru karena itu,
maka kesannya atas Agung Sedayu menjadi semakin dalam.
Anak muda pendiam yang sombong. Tetapi Sekar Mirah
berkata pula "Kalau tidak, akan kemanakah tuan?"
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu, akan
kemanakah ia sebenarnya. Maka jawabnya sekenanya "Aku
hanya berjalan-jalan saja"
"Oh" sahut Sekar Mirah. "Kalau begitu, apakah tuan ingin
melihat warung itu. Barangkali tuan ingin membeli sesuatu.
Buah-buahan, kain atau apa" Warung itu menjadi ramai sejak
daerah ini tidak aman. Sebab mereka tidak berani pergi terlalu
jauh. Bahkan orang-orang dari desa yang lainpun datang
kemari. Sebab disini ada laskar paman Widura, sehingga
mereka merasa mendapatkan perlindungan daripadanya.
Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Ia sama sekali
tidak memiliki uang seduitpun. Tetapi sebelum ia menolak
gadis itu telah berkata pula "Marilah tuan. Tuan akan
mendapat kesan yang lengkap dari daerah ini"
Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya.
Sekar Mirah berjalan kembali kewarung disudut desa. Ia
senang bahwa Agung Sedayu mengikutinya.
"Kedatangan tuan pasti akan menggembirakan para
pedagang diwarung itu" berkata Sekar Mirah kemudian.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Bukankah tuan telah menyelamatkan Sangkal Putung?"
jawab Sekar Mirah. Terasa dada Sedayu berdesir. Meskipun demikian, iapun
tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu. Pujian
yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah.
Sekar Mirah adalah gadis yang lincah. Banyak persoalan
yang ingin diketahuinya, dan banyak persoalan yang
dipikirkannya. Meskipun ia seorang gadis, namun ingin juga ia
mengerti banyak hal tentang keadaan didaerahnya. Sebagai
seorang anak demang, Sekar Mirah selalu melihat dan
mendengar ayahnya mempersoalkan daerah dan orang-orang
didaerah Sangkal Putung. Karena itu, maka lambat laun
hatinyapun tertarik pada persoalan-persoalan daerah dan
orang-orang didaerahnya. Karena itu pula maka disepanjang jalan itupun, Sekar Mirah
selalu berusaha untuk mengerti akan beberapa persoalan.
Maka dengan hati-hati ia bertanya "Tuan, apakah tuan adik
dari seorang yang bernama Untara?"
Agung Sedayu mengangguk. "Ya" jawabnya.
"Ah. Semua orang di Sangkal Putung mengagumi tuan.
Bukankah tuan telah menyelamatkan kademangan ini. Semua
orang yang bertemu dengan tuan, pasti akan menundukkan
kepalanya dalam-dalam dengan penuh rasa hormat dan
terima kasih" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
didalam hati "Ya, seandainya demikian. Tetapi aku akan
berlatih terus. Aku ingin untuk benar-benar menjadi orang
yang berhak mendapat penghormatan yang demikian."
"Tuan" Sekar Mirah itu berkata lagi "Untuk mencapai tingkat
yang seperti tuan, berapa lama waktu yang tuan perlukan?"
Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu.
Pertanyaan yang tak diduga-duganya. Apalagi dari seorang
gadis. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab. Sehingga
Sekar Mirah itu berkata pula "Kakang Swandarupun selalu
berusaha untuk melatih diri. Namun apa yang dicapainya itu
sama sekali tak berarti. Orang-orang di Sangkal Putung
sampai saat ini, yang paling dibanggakan oleh paman Widura
adalah Sidanti" Dada Agung Sedayu berdesir mendengar nama itu.
Dilihatnya didalam rongga matanya Sidanti yang tinggi hati itu
memandanginya dengan tajam dan penuh prasangka. Tibatiba
bulu-bulu Agung Sedayu meremang. Namun ia tidak
menjawab. Sebab, tiba-tiba saja timbullah disudut hatinya
suatu keinginan yang tak dimengertinya sendiri. Terhadap
gadis itu, ia ingin mempertahankan nama yang telah
dicapainya. "Kenapa demikian", timbul pula pertanyaan
didalam dirinya. Tetapi ia menjawab "Aku melatih diri sejak
kanak-kanak" "Oh" Sekar Mirah menjadi bertambah kagum. "Pantaslah
tuan dapat melakukan semua itu. Aku mendengar seseorang
mengatakan bahwa tuan berhasil mengalahkan Alap-alap
Jalatunda." Agung Sedayu berdebar-debar. Namun ia menjawab "Alapalap
Jalatunda tidak segarang Tohpati" Tiba-tiba hatinya
bergetar ketika ia menyebut nama itu. Meskipun demikian, ia
berusaha untuk tetap tersenyum.
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
bangganya. Agung Sedayu itu telah dapat diajaknya bicara.
Maka katanya seterusnya "Berapa lamakah tuan akan tinggal
di Sangkal Putung?" "Aku tidak tahu" jawab Sedayu "Kalau kakang Untara sudah
ditemukan, aku akan segera kembali ke Jati Anom, dan
kakang Untara akan kembali ke Pajang"
Sekar Mirah kecewa mendengar jawaban itu. Dan ia
mengharap, semoga Untara tidak segera dapat diketemukan.
Demikianlah mereka berjalan sambil bercakap-cakap.
Sekar Mirah menjadi gembira dan Agung Sedayu pun
berbangga karenanya. Tanpa disadarinya Agung Sedayu telah
banyak bercerita tentang kademangan-kademangan yang
pernah dicapainya dalam perjalanannya dari Jati Anom.
Diceritakannya tentang si Pande Besi dan tiga kawannya yang
terbunuh, dan Alap-alap Jalatunda yang mencegatnya di
Bulak Dawa. Namun setiap kata diucapkan, terasa sebuah
goresan yang pahit didalam dadanya. Ingin ia mengatakan
apa yang sebenarnya, namun ia tidak mempunyai keberanian,
dan bahkan akhirnya ia sengaja menyombongkan dirinya
untuk menyembunyikan kekerdilannya. Seakan-akan ia benarbenar
pahlawan Sangkal Putung. Ketika mereka sampai diwarung ujung desa, maka apa
yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar-benar terjadi. Para
pedagang dan orang yang berada diwarung itu
mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang
terpesona. Berdesakan mereka mengitari Agung Sedayu
untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu
orang-orang diwarung itu memberikan salamnya, dan satu
demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Agung
Sedayu disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah
senyuman. Namun tak seorangpun diantara mereka yang
mengetahuinya, bahwa didalam dada anak muda itu
bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.
Sekar Mirah yang memperkenalkan Agung Sedayu itupun
ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya ia bercerita
seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang
bernama Agung Sedayu itu, seolah-olah ia melihat sendiri
peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya. Namun beberapa
gadis yang iri hati kepadanya bergumam didalam hatinya "Ah
Mirah. Dahulu kau selalu berdua dengan Sidanti. Sekarang,
ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti, kau
tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti itu"
Tetapi tak seorangpun yang berani mengucapkannya.
Sebab Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung.
**** Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang
Sangkal Putung itu, maka Sekar Mirah dan Sedayupun segera
kembali ke kademangan. Juga disepanjang jalan pulang,
Sekar Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun
kini Agung Sedayu sendang mendengarnya.
Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi
menemui pamannya dipringgitan, dimana Agung Sedayu
sehari-hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul
dengan orang-orang lain. Hanya kadang-kadang saja ia
bercakap-cakap dengan mereka dipendapa. Sedang Sekar
Mirah dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat
dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti
menggamitnya "Mirah" katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya
"Kenapa?" "Dari mana kau?"
"Warung" jawab Sekar Mirah pendek.
Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya
"Dengan Agung Sedayu?"
Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya.
Jawabnya "Ya. Apa salahnya?"
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia
tersenyum. Katanya "Mirah, jangan marah, meskipun aku
senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin
memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan
anak muda yang belum kau ketahui keadaannya"
Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah
tidak tegang pula. Jawabnya "Aku hanya bertemu dengan
Sedayu dijalan, dan aku antarkan ia kewarung diujung desa"
Sidantipun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian
ia masih curiga berkata "Ingat-ingatlah Mirah. Jangan terlalu
rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang
melihatnya" Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang "Apakah
hakmu?" Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia
berjalan saja kebelakang rumah dan lenyap dibalik pepohonan
yang rapat. Sekar Mirah masih berdiri ditempatnya. Ia menjadi kesal
pada anak muda itu. Tetapi kemudian timbul juga ibanya
kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama,
dan anak muda itupun tak pernah menyakiti hatinya.
Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur.
Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan
pagi. "Kami tunggu kau, Mirah" kata ibunya.
"Oh" Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya
kepada ibunya. "Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya.
Terlambat" desah ibunya.
"Kadang-kadang saja" sahut Sekar Mirah. "Bukankah tidak
setiap hari aku terlambat?"
"Aku jemu mendengar mereka menggerutu" berkata orang
yang gemuk, yang duduk dimuka api.
"Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi
kebiasaan mereka menggerutu. Apapun tidak menyenangkan
mereka" "Tetapi mulut orang yang jangkung dan berkumis tipis itu
sangat tajam. Aku pernah dikata-katainya karena termakan
cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang
untuknya. Oh, orang itu benar-benar tidak melihat
punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk berlagak
dihadapanku" Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya
"Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?"
"Oh, oh" orang yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun
akhirnya ia menjawab "Aku tidak pernah minta kepadanya. Ia
sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini"
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia masih tertawa.
Tetapi tawanya itu patah ketika ia mendengar orang
membentaknya "Kau baru datang Mirah?"
Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak
pinggang dipintu dapur. "He, kau baru datang?" desak
kakaknya. Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan
bibirnya. "Kenapa terlambat?" kakaknya membentak.
Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga
kemudian Swandaru itupun pergi dengan sendirinya.
Dapur kademangan itu kemudian tenggelam dalam
kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa.
Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadangkadang
ia duduk termenung memandangi api yang menjilatjilat
diperapian. Sedang ditangannya masih tergenggam pisau
dapur dan daging yang sedang dipotongnya.
Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya.
Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya
sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak
muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan
Agung Sedayu itupun berkesan pula dihatinya. Namun selalu
diingatnya, senyum Sidanti beberapa saat berselang. "Mirah"
katanya "Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda
yang belum kau ketahui keadaannya itu"
Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan
bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam
hati "Bukankah aku mengagumi Agung Sedayu seperti juga
orang-orang lain mengaguminya?" Tetapi terdengar pula dari
sudut hatinya "Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena
Sidanti adalah orang yang paling mengagumkan di Sangkal
Putung. Apa katamu kalau kelak datang Untara yang lebih
sakti dari adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula
berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?"
"Oh" Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba
dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi
kebiliknya. "Mirah" panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan
anaknya itu. "Kenapa kau?"
"Kepalaku pening" jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya
kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya "Tidak panas
Mirah" Sekar Mirah berbaring dipembaringannya sambil
menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya,
maka katanya "Hanya pening sedikit bu. Mungkin semalam
aku kurang tidur" Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah
sendiri didalam biliknya. Pesannya "Beristirahatlah Mirah.
Mungkin kau terlalu lelah"
Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika ibunya telah
meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak.
Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya.
Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena itu,
maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal didalam biliknya. Tak
seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia
remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak
dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri,
sekali kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil
bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya
dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila
datang saatnya makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih
daripada Sekar Mirah sedang pening.
Matahari dilangit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan
telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan itu setiap
hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam dibalik bukitbukit,
maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari
langit, menyelubungi wajah bumi.
Demikian lah kembali Sangkal Putung terbenam dalam
lelap malam. Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi,
maka Widura dan Agung Sedayupun berangkat pula
berkeliling kademangan. Dan kemudian mereka berdua itupun
pergi kepuntuk kecil yang bernama gunung Gowok.
Kini Agung Sedayu semakin gairah menghadapi latihanlatihannya.
Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu sudah
menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tibatiba
saja terloncat pertanyaannya "Sedayu, darimana kau
dapatkan ilmumu itu?"
"Kakang Untara" jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hem"
gumamnya. "Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-alap
Jalatunda" Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri
mampu mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat
mempertahankan dirimu sendiri sehingga Untara tidak usah
terluka karenanya." Sedayu menundukkan wajahnya. Memang terasa juga
dihatinya, setiap kali ai melihat perkelahian, timbul juga katakata
dihatinya "Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat
melakukannya". Tetapi ia sediri belum pernah berbuat seperti
yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya.
Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam
latihan-latihan Untara dan kini Widura.
"Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini"
berkata Widura. "Apakah kau pernah juga berlatih dengan
pedang?" Sedayu mengangguk. "Pernah" jawabnya. "Ayah pernah
memberi aku beberapa petunjuk, dan kakang Untarapun
pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai
dan tombak" "Aneh. Aneh" gumam Widura.
"Apa yang aneh paman?" bertanya Sedayu.
"Kau" jawab pamannya. "Hampir aku kehilangan akal
karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima kasih karena
kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan
menerkam kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang
hampir tak tertanggungkan"
Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia
merasakan pula, betapa sulit keadaan pamannya karena
kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah
menjerumuskannya keneraka ini"
"Sedayu" berkata pamannya pula. "Baiklah aku berterus
terang. Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan keadaanku.
Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil.
Namun kau simpan didalam dirimu, karena terbalut oleh
kekerdilan jiwamu. Cobalah, pecahkan dinding yang
membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia ketakutan.
Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara
ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak
yang dilambari oleh keberanian, maka kau merupakan anak
muda yang benar-benar mengagumkan. Sampai saat ini
ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang
tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan,
dibumbui oleh pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan
kalah melawan Alap-alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap
menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal Putung. Kau tidak
akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya apapun".
Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali didengarnya.
Kakaknya pernah juga berkata demikian. Dan hatinya
sendiripun berkata demikian pula. Namun bagaimana"
Apabila bahaya itu benar-benar datang, maka hatinya berkerut
sekecil biji sawi. "Hem" Sedayu menarik nafas. Katanya
didalam hati "Kenapa manusia didunia ini harus berkelahi satu
sama lain?" Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan,
bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu
memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusiamanusia
yang ingkar kepada sumbernya yang memberi
manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama
manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari
sumber hidupnya, maka selama itu masih akan ada
bentrokan-bentrokan diantara sesama. Kebebasan yang setia
pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan
kesimpang-siuran hidup manusia seorang-seorang, namun
penuh dengan keserasian dalam ujud keseluruhannya. Yang
satu sama lain tidak saling berbenturan dan bertentangan.
Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada
hakekatnya, sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang
Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan kedamaian.
Lahir dan batin. Tetapi ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi
kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat
dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan
kebebasan itu telah dipakainya untuk mengaburkan arti dalam
hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah keserasian hidup
antara manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana,
peperangan dan pembunuhan. Perkosaan terhadap
peradaban manusia itu sendiri.
Demikianlah Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu.
Apakah ia harus menelan keharusan yang dipaksakan orang
lain atasnya" Keharusan yang bertentangan dengan haknya"
Tetapi betapa ia menyadari keadaannya, namun dinding yang
membatasi dunianya itu tak mampu dipecahkannya. Dinding
yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran.
Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah
semakin besar mengetuk dadanya. Karena itu, iapun berlatih
semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan
kemampuan-kemampuan yang tersimpan didalam dirinya.
Sehingga dengan demikian Widura menjadi bergembira
karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari
Agung Sedayu yang dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas
dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil
membingungkannya karena kecepatannya.
Tetapi apabila teringat oleh pamannya itu, betapa kecil hati
kemenakannya, maka iapun menjadi kecewa karenanya.
Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeraskerasnya.
Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap
kemampuan yang ada pada kemenakannya itu.
"Suatu ketika" katanya didalam hati "Apabila ia dihadapkan
pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah
mampu untuk menyelamatkan diri"
Demikianlah, latihan itu berjalan dengan cepatnya.
Semakin lama semakin cepat. Widura berusaha untuk
memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayupun
berusaha untuk mengimbanginya.
Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup
tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi
kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat
bergerak secepat bayangan. Namun sekali-sekali mencoba
juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata kekuatan
Agung Sedayu pun mengherankan pula. Ketika serangan
Widura membentur dinding pertahanan kemenakannya itu, ia
terkejut. Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu
terdorong beberapa langkah pula.
"Luar biasa" desis pamannya. "Kekuatanmupun luar biasa"
Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu.
Jawabnya "Bukankah bibi dahulu selalu memberiku pekerjaan
itu?" "He" pamannya mengerutkan keningnya. "Pekerjaan yang
mana?" ia bertanya. "Membelah kayu" jawab Sedayu.
"Ah" desah Widura. "Bukan itu. Pasti ada yang lain"
"Setiap pagi kakang Untara mengajari aku bermain-main
berjalan diatas tangan dengan kaki diatas. Kemudian bermainmain
dengan pasir ditepian"
"Permainan apakah itu?"
"Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang
batang-batang pohon dengan jari"
"Oh" Widura terkejut. Untara telah memberikan latihanlatihan
itu. Meskipun Sedayu tidak menyadarinya, namun
latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna
baginya. Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya.
Namun sekali lagi Widura mengeluh "Jiwanya. Jiwanya yang
terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya.
Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya
mengenal dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan
perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam
Untara telah memeberinya bekal"
Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula
hadir orang bertopeng yang menamakan dirinya Kiai
Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara
tertawanya. Tinggi dan nyaring. Namun Widura dan Agung
Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah menduga
bahwa orang itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan
kemudian Widura menyapanya "Selamat malam Kiai"
"Oh" jawabnya "Selamat malam. Apakah kau masih akan
menangkap aku Widura?"
"Tidak Kiai" jawab Widura. Ia berusaha pula untuk
menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. Karena itu katanya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun
aku masih belum dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku
berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah mencoba
mempercepat latihan-latihanku"
Orang bertopeng itupun tertawa. Tetapi nadanya tidak
setinggi semula. Katanya kemudian "Bagus. Agung Sedayu
harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah.
Tangkap aku. Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah
ilmumu" "Bagus" sahut Widura. "Jangan berlari-lari. Aku akan
mencoba sekali lagi"
Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan
dengan garangnya ia langsung menyerang.
"He" teriak Kiai Gringsing. "Aku belum siap"
Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia tahu benar,
bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang tak
memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia
sama sekali tak menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing
itupun tak mau dadanya berlubang. Tepat pada saat pedang
Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya.
"Luar biasa" katanya nyaring "Seranganmu bertambah cepat"
Widura tidak menjawab. Ketika serangannya gagal, maka
cepat ia memutar tubuhnya, dan mengalirlah serangan demi
serangan melanda Kiai Gringsing.
Widura bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan
pengetahuannya telah cukup. Karena itu, ia menyadari benarbenar
keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah
memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi atasnya. Sebagai seorang pemimpin dalam satu
rombongan prajurit, meskipun masih banyak yang gelap
baginya, namun firasatnya berkata "Kiai Gringsing ini benarbenar
seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap
Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir"
Karena itu Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa,
Kiai Gringsing sengaja meningkatkan ilmunya, sebab
Sidantipun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura
pun melakukan perkelahian itu dengan tekad "Aku sedang
berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan menuntunku"
Demikianlah mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat
dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan
mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil
mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya.
Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja bertempur, namun ia
banyak berbicara pula. Disebutnya kesalahan-kesalahan yang
dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang seharusnya
dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh.
Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya
sekali dua kali. Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan hampir
setiap malam pula Kiai Gringsing hadir diantara mereka.
Bahkan apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan
Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya.
Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang terjadi setiap
malam digunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh anak-anak
Widura di Sangkal Putung setiap haripun adalah latihan dan
latihan. Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan
itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka lakukan. Mereka
belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada keadaan
yang masih tak menentu itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan
karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Sekar Mirah
menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang
bertemu, namun setiap pertemuan diantara mereka, ternyata
berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan setiap Agung
Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak didadanya.
Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk mengenal
perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah
dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada
didekat gadis itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidantipun selalu
berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari gadis itu.
Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat
mengganggu perasaannya. "Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda
yang kesaktiannya melampaui orang lain?" pikir Sidanti.
"Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali
perlu juga aku mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku
tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda bukan ukuran.
Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya
dalam setiap pertempuranpun tergantung pada banyak
persoalan. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan
gentar" Demikianlah kemarahan Sidanti itu selalu merayap-rayap
didalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus
perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak
mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak
apabila ia melihat Sekar Mirah duduk dihalaman bersama
dengan Agung Sedayu. Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula sikap yang
aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah kecemasan
didalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani
membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang
mampu melawan Tohpati itu nanti marah kepadanya. Maka
betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya
dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi
Sekar Mirah tidak melihat kecemasan yang mencengkam
perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila Agung Sedayu
tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirahlah yang pergi
mencarinya. Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia
melihat persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat
betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu.
Dan ia melihat Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila
suatu saat Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.
Dengan demikian, maka Widurapun telah berusaha untuk
mencagah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah
bebannya. "Sedayu" berkata pamannya kepada kemenakannya itu
"Kau harus dapat memperhitungkan segenap perbuatanmu
disini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah
kalau kau berani menangung setiap akibat yang terjadi. Kalau
tidak, jangan membuat persoalan-persoalan baru yang bagiku
tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja
berkeliaran disana-sini"
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya.
Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk menjadi seorang
yang berhati jantan, apapun yag akan terjadi. Bukankah ia
mampu pula menggenggam pedang" Namun kekerdilan
jiwanya telah menjeratnya dalam sifat-sifatnya yang penakut.
Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin
menyekap dirinya dipringgitan.
Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari
pringgitan itu. Kebelakang, kepadasan, untuk mengambil air
wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah
yang dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.
"Tuan" panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan
menyusur dinding-dinding dibelakang rumah "Dari manakah
tuan?" "Dari sumur Mirah"
"Ah" jawab gadis itu "Tuan tak usah bersusah payah
menimba air. Bukankah laskar paman Widura itu cukup
banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman
tuan itu" "Tidak baik Mirah. Aku disini sama sekali bukan seorang
pemimpin. Bukan sebagai laskar paman Widura itupun bukan.
Aku disini seorang diri"
Sekar Mirah tertawa. Jawabnya "Tuan seorang diri dan
paman tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih bernilai
bagi kami, penduduk Sangkal Putung?"
Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah
memujinya. Dan ia senang mendengar pujian itu. Namun kali
ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya "Jangan
memperkecil arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah
berhasil mengusir laskar Tohpati."
"Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?"
"Sendiri tentu tidak" jawab Sedayu. Namun dihatinya
terdengar kata-katanya sambil meneruskan "Apalagi seorang
diri. Sepasukanpun tidak mungkin" namun kata-kata itu
disekapnya jauh-jauh disudut dadanya.
Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian katakatanya
mengalir seperti banjir. Tak habis-habisnya. Tak
putus-putusnya. "Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan kewarung
kembali?" bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. "Lain kali Mirah"
"Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah"
Gurame yang dipelihara oleh kakang Swandaru kini telah
sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?"
Agung Sedayu menggeleng kembali. "Lain kali saja Mirah"
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang iapun
merasakan bahwa sikap Agung Sedayu pada saat-saat
terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar
Mirah menjadi cemas, apakah sikapnya terlalu menjemukan"
Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah
tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika mereka menoleh
betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya
sendiri, terasa lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang
datang adalah Sidanti. **** Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas.
Disapanya anak muda itu sambil tersenyum "Marilah kakang
Sidanti" Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin tegang.
Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia berhenti. Ditatapnya
wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada
Sekar Mirah ia berkata "Mirah, sudah berapa kali aku
memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat dengan
anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya"
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang
menghadap Sidanti. Katanya lantang "Sudah berapa kali, aku
menjawab apakah hakmu?"
Sidanti tidak senang mendengar jawaban itu. Maka
matanya yang bulat itu seakan-akan memancarkan bara
kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata "apakah
kepadamu aku harus memberi peringatan?"
Kata-katanya itu tergores didada Agung Sedayu seperti
goresan pisau yang setajam pisau penukur. Namun gelora
didadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi
ketika dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya
menjadi semakin kecut. Namun dicobanya juga berjuang
sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk
bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh
kecemasan dan kekhawatiran. "Jangan lekas marah kakang
Sidanti" suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia
berhasil mengucapkannya. "Hem" Sidanti menarik nafas untuk mencoba
mengendalikan perasaannya. "Ingat, aku tidak senang melihat
pergaulan kalian" Sedayu tidak segera menjawab. ia masih berjuang untuk
tetap menyadari keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang
menjawab lantang "Kau tidak berhak berkata demikian
kakang. Aku bebas berbuat apapun dihalaman rumahku
sendiri. Apa keberatanmu?"
Sidanti menggigit bibirnya. Nyala dimatanya menjadi
semakin menyala. Dan ketakutan Sedayupun menjadi
semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang
dibuat-buatnya ia berkata "Sudahlah Mirah, biarlah ia
mengatakan apa yang akan dikatakannya"
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan
heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan
kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian.
Karena itu katanya "Jangan tuan. Jangan biarkan Sidanti
berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini
halamanku" Sidanti kini terdengar menggeram. Kemarahannya telah
sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha untuk
tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena
itulah kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu.
Katanya "Sedayu. Aku dengar kau adalah seorang anak muda
yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan"
Hati Agung Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil
hati anak ayam melihat elang. Tetapi dihadapan Sekar Mirah
ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang
pernah dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali
hanya sebuah dongengan belaka. Karena itu masih dengan
ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab "Sidanti. Apakah
keuntungan kita berbuat demikian?"
"Jangan bicara tentang untung dan rugi" teriak Sidanti.
Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan
dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin heran
melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja
dipukulnya sampai setengah mati"
Suasana kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti
berdiri dengan kaki renggang, siap untuk mlancarkan
serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun
Agung Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang.
Ketenangan yang gelisah. Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti.
Betapapun orang bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah
sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan.
Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus
"Kakang Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik
terhadap laskar paman Widura. Pertentangan kita sama sekali
tidak menguntungkan siapapun juga, selain laskar Tohpati"
Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan
kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena itu maka ia berdiam
diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang
itu menjadi diam. Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh
sebuah suara nyaring disudut rumah "Siapa yang ribut?"
Dan muncullah seorang anak muda yang gemuk pendek.
Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya Sidanti dalam
kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dan adiknya Sekar Mirah.
"Apa yang terjadi Mirah?" bertanya anak itu.
"Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti
kehendaknya" jawabnya. Sidanti terkejut mendengar jawaban
itu. Sedayupun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu
meneruskan "Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul
dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti sendiri"
"Mirah" potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus "Ia
mengancamku. Nah, apakah haknya?"
Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah
lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap anak
muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh "Jangan
hiraukan Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam.
Gemerisik dan lenyap bersama embun pagi"
Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas.
Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan hatinya. Karena itu
tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru
seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia
tidak mampu untuk menghindar. Terasa sebuah sengatan
yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun
Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan
tubuhnya, sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan
pekik adiknya Sekar Mirah. "Kakang Swandaru!" teriaknya.
Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan
susah payah ia duduk. Dirasakannya kepalanya pening dan
ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi
merah. Darah. Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang
hantu. Betapa gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya
bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah "Kau
setan, Sidanti" Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang
yang sedang terkantuk-kantuk dipendapa. Beberapa orang
berlari-larian kebelakang rumah. Mereka tertegun ketika
melihat Swandaru masih duduk ditanah dan dari mulutnya
mengalir darah, diantara mereka berdiri dengan dada yang
bergolak pepmimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura.
Dengan tajam Widura memandang satu demi satu setiap
orang yang berdiri dibelakang rumah itu. Sidanti, Sedayu dan
Swandaru. Katanya didalam hati "Celaka. Swandaru terlibat
pula" Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kainya yang
kokoh seakan-akan jauh menghunjam kedalam bumi. Dengan
wajah yang tegang ia berdiri menunggu apapun yang akan
terjadi. Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya.
Dengan demikian segala akibat
yang akan imbul pasti akan
dihadapinya. Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram "Apakah yang
terjadi disini Sidanti?"
Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan
kemudian Sekar Mirah. Beberapa orang yang berdiri memagari merekapun segera
dapat menebak, apa yang sudah terjadi. Hudaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan
matanya, sedang Citra Gati dengan penuh perhatian menatap
wajah Sidanti. Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka
kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu "Apa
yang terjadi Sedayu?"
Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnyapun
seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu juga tidak mampu
menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah
kata-katanya Swandaru "Yang aku ketahui paman, mulutku
berdarah dan kepalaku serasa hampir terlepas"
Widura berpaling kearah Swandaru yang masih terduduk
ditanah "Berdirilah Swandaru" berkata Widura.
Dengan susah- payah anak muda itu berdiri. Beberapa
orang berusaha untuk menolongnya dan menghapus darah
yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru
telah berdiri meskipun belum tegak benar, ia mencoba
memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Namun
ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus
"Tangan kakang Sidanti benar-benar seberat timah"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kembali ditatapnya mata Sidanti, sehingga dengan nanar
Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.
"Kenapa kau sakiti dia Sidanti?"
"Anak itu mendahului kakang" sahut Sidanti
"Ah" Widura berdesah "Benarkah demikian?" katanya
kepada Swandaru. "Hem" Swandaru menarik nafas. "Ada dua orang saksi
disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu"
Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi
berdebar-debar. Dan didengarnya kembali Widura bertanya
"Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?"
Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai
alasan yang berbelit-belit. Maka jawabnya dengan dada
tengadah "Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi
Agung Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu
sama sekali tidak bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang
di Sangkal Putung" Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh
siapapun. Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini diluar
campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widurapun
menjadi berdebar-debar pula. Katanya "Aku adalah pemimpin
laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku akan bertanggung
jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi disini. Apalagi
diantara anak buahku sendiri"
"Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan
kelaskaran" bantah Sidanti. "Persoalanku adalah persoalan
seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan
kepemimpinan kakang disini"
Dahi Widurapun menjadi berkerut karenanya. Perlahanlahan
ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia adalah
seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa
atas anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya "Lalu
apakah kehendakmu?" "Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai lakilaki"
jawabnya. Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung
Sedayu. Dengan sudut matanya ia memandang wajah
pamannya. Namun kemudian wajahnya itupun
ditundukkannya kembali. Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia
berkata "Ada hakku untuk berbuat atas kalian. Terutama atas
Agung Sedayu. Dia tamuku disini, dan kedua ia adalah
keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran disini"
Terasa sesuatu berdesir didada Agung Sedayu. Ia sadar
bahwa pamannya berusaha membebaskannya dari
pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya,
namun hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama
Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri disamping Citra Gati
berbisik "Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang
sombong itu, sehingga kemenakannya sendiri
dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali Sidanti itu
dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik.
Lihatlah betapa kecewa angger Sedayu mendengar keputusan
pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga
keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan diterimanya
juga" Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya
menancarlah perasaan muaknya melihat kesombongan
Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia telah berani
membantah. Sedang Swandaru dengan wajah yang masam
memandang Widura dari ujung kaki keujung kepalanya.
Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti
dibiarkannya begitu saja. Ia memang berharap, Sedayu turun
tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila
Sidanti marah, maka Agung Sedayupun akan marah pula.
Namun tiba-tiba pamannya mengambil keputusan yang tak
diharapkan. Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan.
Bukan saja orang-orang disekitar Sidanti menjadi kecewa,
namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai
seorang anak muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti
benar-benar ingin memperlihatkan kemampuannya. Ia yakin,
bahwa betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan
dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena
itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia akan menyatakan
sesalnya, didengarnya Widura berkata "Aku perintahkan kalian
kembali kependapa" Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah.
Katanya "Biarlah aku disini"
"Kau dengar perintahku" ulang Widura.
Sidanti masih berdiri ditempatnya. Beberapa orang yang
sudah mulai bergerakpun tiba-tiba berhenti dan memandang
anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar
kembali Widura berkata "Sidanti, aku perintahkan kau kembali
kependapa" "Aku disini" jawabnya.
Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa
Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah bertambah-tambah
karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura
adalah pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu,
selangkah ia maju sambil berkata lantang "Sidanti, untuk
terkhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak,
maka aku akan melakukan kekuasaan yang ada padaku.
Tinggalkan tempat ini, dan pergi kependapa"
Tubuh Sidantipun bergetar karena marah. Ia tahu benar
bahwa Widura tidak lebih dari padanya, sehingga apabila
Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak
akan melawannya. "Setidak-tidaknya aku akan dapat
menyamainya. Bahkan mungkin melampauinya" katanya
didalam hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah
yang keras dan kasar berdiri disekitarnya, Hudaya, Citra Gati,
Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata satu, Sonya yang
mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan
beberapa orang lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar
berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun
kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk
menangkapnya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan.
Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata Widura yang
menyala, Sidantipun kemudian perlahan-lahan menggerakkan
kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan sekali,
ia meninggalkan tempat itu pergi kependapa.
Keteganganpun kemudian mereda. Sekali lagi Widura
memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Kemudian
terdengar kembali perintahnya "Kembali kependapa"
Setiap orang yang berada ditempat itupun kemudian
berangsur-angsur pergi. Terdengarlah gumam yang simpang
siur diantara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah
Sedayu, Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura
meraba pipi swandaru, diamat-amatinya noda yang merah
kebiru-biruan dipipi itu "Tangan anak itu benar-benar luar
biasa" katanya didalam hati.
"Masuklah Swandaru" berkata Widura. "Katakanlah
kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf
kepadanya" Swandaru tersenyum meskipun masam "Kenapa paman
minta maaf kepada ayah?"
"Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang
seharusnya melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan telah
menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anakanak
muda disini" Karena itu maka aku harus minta maaf
kepada rakyat Sangkal Putung lewat ayahmu" sahut Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa
sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh hanya oleh permintaan
maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian,
dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu.
Swandaru dan Sekar Mirahpun kemudian masuk
kerumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa.
Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan
yang telah dua kali dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia
menggeram didalam hatinya "Awas Sidanti, suatu ketika aku
harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi
Swandaru, Swandaru Geni, adalah sorang anak jantan"
Sedayupun kemudian mengikuti pamannya kepringgitan.
Dipringgitan ia duduk saja sambil menekurkan kepalanya.
ketika pamannya kemudian duduk dihadapannya, hatinya
menjadi berdebar-debar. "Sedayu" berkata pamannya "Nah, peristiwa itu sekarang
sudah terjadi. Apa katamu?"
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya.
Apalagi ketika pamannya itu berkata pula "Bukankah aku
pernah memberimu peringatan?"
"Aku sudah mencoba melakukannya paman" sahut Sedayu
perlahan-lahan. "Tetapi apabila aku pergi kesumur atau
kebelakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih
berjumpa dengan gadis itu"
"Aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan Sedayu,
asalkan kau dapat mempertanggung-jawabkannya. Aku
berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap
malam. Aku berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang
kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih sekerdil itu
pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu,
kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri persoalanmu.
Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu
sendiri" Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia
menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia kini telah benarbenar
kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum
diketemukan, dan pamannya seolah-olah tak mau lagi


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melindunginya. "Oh" Sedayu mengeluh didalam hati.
"Sedayu" berkata pamannya "Bagaimanakah kalau kau aku
antar saja pulang ke Jati Anom?"
Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang
diri disana "Atau ke Banyu Asri?" kata pamannya pula.
Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali tidak
menyenangkan. Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat
saja menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang
berkeliaran itu, misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini
sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu lagi,
sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang
mengerikan itu. "Biarlah aku disini paman. Aku berjanji tidak akan keluar
dari pringgitan sebelum malam"
"Oh" Widura mengeluh. "Terlalu, terlalu" gumamnya. Ia
telah benar-benar menjadi jengkel. Dan karena itu, maka
mulutnya malahan terbungkam karenanya.
Dipendapa Sidanti masih duduk disudut diatas tikar
pembaringannya. Hatinya menyala oleh kemarahan yang
memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang
mengerikan. Beberapa orang yang melihatnya menjadi
berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula, mereka
duduk-duduk disamping senjata masing-masing.
Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah
keluar, ia berdiri pula. diletakkannya senjatanya, dan dengan
tergesa-gesa ia menyusulnya.
"Kakang" panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu iapun
segera berhenti. Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya
Sidanti dengan tergesa-gesa pergi mendapatkannya. Bukan
saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang
yang melihatnyapun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri
tegak ditempat masing-masing.
Sidantipun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini
dapat diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam
lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama
sekali tidak berkecil hati.
Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah
dihadapannya, Widura bertanya "Apakah ada sesuatu yang
penting?" "Ya kakang" jawab Sidanti. "Aku ingin mengatakan sesuatu
kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun"
"Katakanlah" sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya
beredar kesegala sudut halaman dan pendapa rumah
kademangan itu. "Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan
mendengar" berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah
ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh bagi Widura.
"Kakang" berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah
mendekati Widura. "Aku ingin mengatakan sesuatu. Tetapi
tidak disini." "Berkatalah sekarang" sahut Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang
berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat beberapa orang
berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang diantaranya duduk
dengan gelisah. Diregolpun dilihatnya beberapa orang
penjaga dengan tombak ditangan mereka.
"Baiklah kakang" berkata Sidanti "Aku hanya akan minta ijin
kakang untuk menyelesaikan persoalanku dengan Agung
Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut
dan menjadi semakin dalam menghunjam didalam dadaku"
Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata
Sindanti sama sekali tidak dapat menekan perasaannya.
Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab.
Bahkan Sidanti sempat berkata terus "Aku bersedia memenuhi
syarat apapun yang akan diberikan kepada kami berdua.
Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata"
Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia
menggeram, kemudian katanya "Tidak. Aku tidak memberimu
ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan"
Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus
"Kakang, agaknya kurang bijaksana. Apakah kakang ingin
dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga
kelak apabila terdapat kesempatan, maka kami akan
bertempur tanpa pengendalian diri" Kini kami masih cukup
sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah
perkelahian antara kita. Hanya karena persoalan pribadi.
Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri
kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita dihadapan
laskar Jipang" Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas "Tidak.
Perkelahian diantara kita sama sekali tak akan
menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah
kemenakanku. Dan aku tidak mau melihat salah seorang
dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan"
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara.
Kemarahannya kini menjalar kembali didadanya. Kata-kata
Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya.
Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan didadanya itu
kini terungkat seluruhnya. Betapa ia memandang Widura tidak
lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa
persoalan yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan
kelaskaran, tetapi persoalan pribadi. Karena itu kini Sidanti
tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun
demikian ia masih berkata perlahan-lahan namun penuh
dengan tekanan "Kakang, apakah sebenarnya kakang sedang
melindungi anak itu?"
Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan
itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya ingin menghina Agung
Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka
Widura hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Meskipun demikian ia berkata "Jangan mengigau Sidanti.
Kalau suatu ketika terjadi perkelahian diantara kalin, maka
kalian berdua akan terpaksa mengalami hukuman"
Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan
hati. Katanya "Hem, kakang Widura. Sebagai seorang
bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang
mempunyai kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku
tidak dapat menerimanya"
Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi
merah pula karena marah. Meskipun demikian ia masih
mencoba untuk menenangkan dirinya.
Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan
menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang tegang.
Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyumsenyum
seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu
mereka menebak-nebak apakah yang mereka bicarakan.
Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura"
Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata
"Aku mempunyai kekuasaan disini Sidanti"
Sidanti masih tersenyum. Katanya "Kakang Widura ternyata
telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan
pribadi" Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia
harus mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang
pemimpin. Maka katanya "Tanpa kekuasaanpun aku dapat
memaksamu Sidanti" Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun berkata
"Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorangpun yang melihat"
"Bagus" berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap
tantangan itu. Karena itu ia harus menerimanya apabila ia
masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya
seterusnya "Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorangpun
yang melihat pertemuan itu"
Dada Sidantipun bergetar semakin cepat. Ia sudah
menjerumuskan diri kedalam persoalan yang lebih berat.
Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua
persoalan itu. Maka kemudian Sidanti itupun mengangguk hormat, lalu
pergi meninggalkan Widura yang masih tegak dengan
tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan
dirinya itu, berjalan kependapa, kemudian naik dengan
langkah yang tetap. Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dipandanginya keadaan disekitarnya. Dilihatnya anak buahnya
berdiri berjajar disamping pendapa, sedang diregol halaman
dilihatnya beberapa orang yang sedang bertugas tegak
dengan tombak ditangan. "Apapun yang terjadi" katanya didalam hati "Mereka harus
menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang berani
menghadapi setiap keadaan dibawah kekuasaanku. Kalau aku
hindari tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan
kepercayaan, dan aku akan kehilangan kewibawaan"
"Tetapi" terdengar pula suara yang lain "Bagaimanakah
kalau aku dapat dikalahkan?"
"Menang atau kalah bukan soal" jawabnya sendiri "Aku
harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan
prajurit" Sesaat kemudian Widura itupun melangkah kembali
keregol halaman. Kemudian kepada para penjaga ia bertanya
"Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?"
"Belum tuan" jawab salah seorang dari mereka. "Malahan
Swandaru juga keluar halaman"
"Kemana?" "Tak dikatakan kepada kami"
*** Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin
menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan antara
Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf
kepadanya. Kalau Swandaru sendiri yang mengatakannya,
maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham. Apalagi
kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah.
Maka akibatnya akan menyulitkannya.
Tetapi disamping itu tantangan Sidanti juga
menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun,
namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung
jawab yang luas. Bahkan kemudian Widura itu mengumpat didalam hatinya.
"Alangkah bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat
Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil
menyelamatkannya. Kalau anak itu bukan saja seorang
pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya"
Ketika Widura melangkah kembali kependapa, terasa
seseorang menggamitnya. Orang itu adalah Citra Gati.
Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik "Apakah
yang dikatakan Sidanti itu kakang?"
Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun
kemudian ia tersenyum "Tidak apa-apa" jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya "Aku melihat sesuatu yang
tidak wajar kakang. Jangan biarkan kami menebak-nebak,
supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak
Wedi yang sombong itu"
"Tenaganya kita perlukan disini" sahut Widura.
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu benar. Namun
apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk
berbuat sesuka hatinya" Karena itu ia bertanya "Tetapi
kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin
tidak menyenangkan" "Aku akan mencoba untuk mengatasinya" jawab Widura
"Mudah-mudahan kakang berhasil" gumam Citra Gati
"Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan kami. Bukankah itu
juga termasuk kewajiban kami?"
Widura mengerutkan keningnya. Katanya "Jangan. Dengan
demikian dendam diantara kalian akan semakin menyala.
Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada dimuka
hidung kita. Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang
berkeliaran didaerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin masih
banyak lagi orang-orang yang bersembunyi disana-sini. Suatu
ketika mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang
berat" Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada
anak muda yang bernama Sidanti itu, namun ia membencinya.
Meskipun didalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan
seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir
dapat mencapai tataran Macan Kepatihan, namun ia tidak
senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.
"Kakang" tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula
"Kenapa kakang tidak membiarkan angger Agung Sedayu
sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?"
Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya "Aku
benci melihat perkelahian karena perempuan"
"Oh" Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak
dapat berkata apapun lagi. Itu adalah persoalan antara paman
dan kemenakannya. Karena itu maka iapun kemudian kembali
kependapa dan duduk disamping Sonya dan Sendawa.
"Apa katanya kakang Gati?" bertanya Sendawa setelah
Citra Gati duduk disampingnya.
"Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang
Widura" jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu menganggukanggukkan
kepalanya. Tangannya masih sibuk menggosokgosok
senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal,
sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Anganangan
mereka masing-masing terbang bersama awan dilangit.
Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar diudara,
mencari mangsanya. Namun induk-induk ayang dengan bulubulunya
yang tebal, segera menyelimuti anak-anaknya yang
ketakutan. Widura pun kemudian kembali kepringgitan. Dilihatnya
Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-tiba saja timbullah
perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah
kemenakannya. Dan ia datang untuk keselamatannya. Karena
itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah
mengumpat-umpat saja di dalam hati.
Mataharipun semakin lama semakin condong kebarat. Dan
Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai
dinyalakan lampu, Widura melihat Demang Sangkal Putung
masuk kedalamnya. "Silakan kakang" sambut Widura.
Ki Demang dengan lelahnya duduk disamping Agung
Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal ia menggeser diri,
dan terdengar ia berkata lirih "Marilah bapak Demang"
"Silakan, silakan ngger" jawab demang Sangkal Putung itu.
"Ah, aku baru saja melihat-lihat apakah sawah kita masih
sempat ditanami" "Oh " sahut Widura sambil duduk pula "Bagaimana
keadaannya?" "Baik" jawab ki Demang.
"Aku mencari ki Demang sejak siang tadi" berkata Widura.
"Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar
pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal"
"Kami harus minta maaf kepada kakang" berkata Widura.
"Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku" Anak itu
memang seharusnya mendapat peringatan"
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali
tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu.
Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan "Dan itu
sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal yang tak diharapkan
ini tidak terulang kembali"
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah
demang Sangkal Putung itu sudah cukup usianya untuk dapat
memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu,
maka keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah lagi.
"Mudah-mudahan" berkata Widura kemudian. "Mudahmudahan
aku akan berhasil menguasai anak buahku"
Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata "Ah
sudahlah, aku ingin bicara masalah lain"
"Apakah itu?" bertanya Widura.
"Aku melihat kejemuan diantara anak-anak kita. Bukankah
begitu?" Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya" jawabnya.
"Terasa benar kejemuan itu. Dan karena itu pulalah maka
sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anakanak
itu kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang
kadang-kadang berbahaya"
"Tepat" sahut ki Demang. "Jangankan anak-anak adi
Widura, anak-anak muda Sangkal Putung yang hidup diatara
keluarganyapun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku
ada pendapat, kalau adi menyetujui"
"Bagaimana?" Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan
perlombaan ketangkasan"
"Bagus" sahut Widura dengan serta-merta. "Ketegangan
mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga
mengadakannya" Ki Demang tersenyum. "Nah, kita tinggal membicarakan
kapan dan perlombaan apa?"
"Baik kakang" jawab Widura. "Biarlah nanti anak-anak
menentukan sendiri" Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana
itu adalah rencana yang baik sekali baginya. Tidak saja untuk
menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terusmenerus,
namun juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk
bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk lebih maju dalam
olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian
The Diversion 3 Dewa Arak 83 Irama Maut Pendekar Pemanah Rajawali 18
^