Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 23

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 23


induk pasukan mereka terpancing keluar tanpa seorang
pemimpin yang pantas untuk melawan Ki Tambak Wedi, Ki Peda
Sura, Sidanti, Argajaya, dan yang lain-lain. Maka pasukan
Argapati akan tamat sampai malam ini."
"Kenapa aku tidak pernah mendapat kesempatan, guru?"
desak Gupala. "Bukan begitu, Gupala. Kecuali keberanian, tugas ini
memerlukan kesabaran. Nah, kesabaran itulah yang kadangkadang
tidak dapat kau kuasai. Kau, seperti ketika aku muda,
mempunyai darah yang agak panas. Kau masih sering tergerak
oleh perasaan sebelum kau pertimbangkan masak-masak,
sehingga kadang-kadang kau akan terjerumus ke dalam suatu
persoalan yang tidak kita kehendaki."
"Tetapi aku akan selalu ingat, Guru, bahwa aku akan
bersabar." Gurunya yang tua itu menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu,
ia tidak segera mengambil keputusan. Namun waktu yang
sejenak itu agaknya telah merubah segala-galanya, karena tibatiba
orang tua mengangkat wajahnya.
"Terlambat," desisnya, "Aku mendengar derap kuda di
kejauhan." "Oh," hampir saja kedua muridnya itu meloncat bersama
seandainya gurunya tidak menahannya.
"Sst, hathatilah. Ki Tambak Wedi berada di depan kita."
"Lalu apakah yang akan kita kerjakan?" bertanya kedua
muridnya hampir bersamaan.
"Tak ada jalan lain untuk menyelamatkan mereka. Aku akan
menahan orang-orang berkuda itu, dan menyuruh mereka
kembali apabila mereka bersedia. Sudah tentu Ki Tambak Wedi
melihat aku meskipun aku mengharap, ia tidak segera dapat
mengenal. Dengan demikian aku akan memancingnya. Kau
coba mengusir orang-orangnya yang tertinggal sampai aku
memanggil kalian dengan isyarat. Kalian harus segera
meninggalkan mereka dan menghilang, kemudian kembali
pulang. Aku akan membayangi Ki Tambak Wedi. Tetapi ingat,
jangan memakai cambuk."
Gupita dan Gupala ternyata tidak sempat bertanya lagi.
Sejenak kemudian gurunya telah meloncat dan menghilang di
dalam kegelapan tanpa menimbulkan gemerisik pada dedaunan.
"Bagaimana dengan kita?" bertanya Gupala.
"Hathati," jawab Gupita, "di depan kita ada Ki Tambak Wedi.
Kita tidak akan dapat mendekatinya seperti Guru."
Tiba-tiba keduanya diam ketika mereka mendengar suara
seseorang dengan lantang "He, aku dengar derap kuda itu."
"Kenapa orang itu berteriak-teriak?" bertanya Gupala.
"Mereka tidak menyangka ada seorang pun yang
mendengarnya." "Semua bersiap," terdengar suara yang lain. Kemudian
beberapa patah kata yang tidak dapat ditangkap dengan jelas.
"Marilah kita mendekat. Perhatian mereka pasti sudah
tercurah kepada derap kuda itu. Tetapi kita harus berhathati."
Keduanya kemudian merangkak dengan sangat hathati
mendekat ke tepi jalan. Namun kemudian terdengar seseorang
berdesis, "Sst, jangan berteriak-teriak lagi. Mereka sudah
mendekat. Kalau mereka mendengar atau mengetahui kehadiran
kita, mereka akan kembali masuk ke dalam sarang mereka."
Suara itu berhenti, kemudian, "Nah, kita harus yakin bahwa
keterangan petugas-petugas sandi kita benar. Orang-orang
berkuda itu adalah mereka. Soalnya, apakah benar di antara
mereka ada orang-orang yang bersenjata cambuk. Bukan
sembarang cambuk." Dada Gupita dan Gupala berdesir. Namun seluruh perhatian
orang-orang itu benar-benar telah tercurah kepada derap kuda
yang sudah menjadi semakin lama semakin dekat.
"Aku akan menghentikan mereka," berkata Tambak Wedi.
"Kalian tahu apa yang kalian lakukan. Kepung. Aku ingin
menangkap orang bercambuk itu dan meyakinkan apakah aku
tidak tertipu selama ini."
Suasana menjadi hening sejenak. Suara derap kakkaki kuda
itu pun menjadi semakin lama semakin jelas dan semakin dekat.
Gupita dan Gupala tanpa sesadarnya beringsut semakin dekat.
Agaknya perhatian orang-orang yang diintainya benar-benar
telah terikat oleh derap kuda yang mendatang itu.
Ternyata bahwa Gupita dan Gupala pun menjadi kehilangan
pertimbangan. Mereka merayap semakin dekat lagi, sehingga
pada suatu saat ia dapat melihat bayangan orang-orang yang
menunggu pasukan berkuda itu. Mereka telah bersiap di balik
dedaunan di pinggir jalan, sedang Ki Tambak Wedi sendiri
berdiri bertolak pinggang.
Gupala yang semakin bernafsu untuk dapat melihat lebih
jelas, terdorong semakin maju, dan bahkan tiba-tiba kakinya
menginjak sepotong kayu kering, sehingga menimbulkan suara
gemerisik di sela-sela derap kakkaki kuda yang semakin dekat.
Gupita cepat-cepat menggamitnya dan memberinya isyarat.
Namun agaknya sudah terlambat. Tiba-tiba orang yang bertolak
pinggamg di pinggir jalan itu berpaling dan bergumam, "Ada
orang lain di belakang kita."
Dada kedua anak-anak muda itu berdesir. Mereka segera
mengerti, bahwa mereka berdualah yang dimaksud.
Sejenak mereka saling berpandangan, Namun mata Gupala
yang berkilat-kilat seolah-olah berkata, "Apa boleh buat. Kalau
tidak ada pilihan lain, kita akan berkelahi."
Sementara itu seseorang dari orang-orang Ki Tambak Wedi
itu bertanya, "Siapa yang Kiai maksud?"
"Di belakang kita ada orang yang sengaja mengintai kita. Kita
tunggu sampai orang-orang berkuda itu datang. Satu atau dua
orang bertugas menangkap orang yang bersembunyi itu."
"Kenapa tidak sekarang."
"Jangan bikin ribut, supaya orang-orang berkuda itu tidak
mengetahui kehadiran kita. Orang-orang itu lebih penting bagiku
dari pada petugas-petugas sandi yang mengintai kita itu."
"Bagaimana kalau ia lari?"
"Aku akan menangkap sendiri."
Gupita dan Gupala menjadi berdebar-debar. Memang tidak
baik untuk melarikan diri. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi
itu akan dapat memecahkan tengkuk mereka. Karena itu, maka
yang paling baik adalah mencari tempat yang terlindung oleh
pepohonan. "Untuk melawan iblis itu, aku terpaksa mempergunakan
cambukku," berkata Gupala di dalam hatinya. "Terpaksa. Dan
bahkan mungkin akan dapat memanggil guru untuk datang."
Tetapi untuk sesaat Ki Tambak Wedi masih berdiri tegak di
tempatnya. Ia tidak mau merusak rencananya, menangkap
orang-orang berkuda yang semakin mendekat.
Tiba-tiba iblis tua itu berdesis, "Bersiaplah kalian."
Orang-oranguya telah menggenggam senjata ditangan
masing-masing. Mereka telah siap untuk meloncat dan
mengepung orang-orang berkuda itu. Beberapa orang merayap
melebar. Sementara Ki Tambak Wedi bergumam, "Kalau aku
menghentikan mereka dan yang lain mengepungnya. Jangan
lupa tikus di belakang kita. Dua orang harus menangkapnya."
Sementara itu, pasukan berkuda yang keluar dari padukuhan
yang menjadi pusat pertahanan para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh sama sekali tidak menyangka, bahwa di hadapannya
telah menunggu seorang iblis yang menggetarkan setiap orang
yang mendengar namanya. Karena itu, tanpa prasangka apa
pun mereka berpacu untuk melakukan tugas mereka seperti
biasanya. Mereka akan mengelilingi beberapa tempat di Tanah
Perdikan Menoreh. Membuat kesan seolah-olah orang-orang
bercambuk telah ikut campur dalam persoalan Tanah Perdikan
ini dan berdiri di pihak Ki Argapati.
Namun tiba-tiba pemimpin mereka, yang berpacu di paling
depan terkejut ketika tiba-tiba ia melihat seseorang meloncat di
hadapannya sambil mengangkat tangannya.
"Berhenti," teriak orang itu.
Orang itu benar-benar telah mengejutkan setiap orang di
dalam pasukan berkuda itu, sehingga dengan serta-merta
mereka menarik kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu
meringkik berkepanjangan.
"Siapa kau?" bertanya pemimpin pasukan berkuda itu.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku," jawab orang yang berdiri
di tengah jalan itu. "Kalau kalian ingin selamat dari bencana yang
paling mengerikan yang akan terjadi atas pasukan kalian dan
seluruh pasukan Menoreh, kembalilah."
"Apa maksudmu?"
"Besok kau akan tahu, sekarang cepat pergi. Cepat sebelum
orang pertama menjadi korban."
Pemimpin pasukan berkuda itu ragu-ragu. Mereka bukan
penakut yang mudah menjadi gemetar karena bertemu dengan
lawan yang bagaimana pun juga. Karena itu, maka mereka
bahkan mendesak maju. Seorang anak muda yang berkumis
kecil berkata, "Minggir, atau kau akan terinjak kakkaki kuda
kami." "Aku berkata sebenarnya. Cepat. Waktu terlampau sempit."
"Jangan mencoba menakut-nakuti kami."
"Aku tidak menakut-nakuti kalian."
"Minggir," sekali lagi pemimpin pasukan itu berkata lantang.
Namun orang yang berdiri di tengah jalan itu tak sempat
menjawab. Terdengar beberapa puluh langkah di belakangnya
seseorang bertanya "He, siapa berdiri di situ?"
"Itulah suara iblis itu," desis orang yang menghentikan
pasukan berkuda itu. Pemimpin pasukan berkuda itu menjadi semakin ragu-ragu.
Dan ia mendengar suara itu pula "He siapa yang berada di situ?"
"Cepat," desis orang yang berdiri di tengah jalan, "sebentar
lagi kalian akan terkepung. Pasukan Sidanti telah bersiap.
Jangan terlambat." "Kami bukan pengecut," jawab pemimpin pasukan itu.
"Benar kalian bukan pengecut, tetapi juga bukan pemimpin
pasukan yang bodoh. Kau tidak sekedar bertanggung jawab atas
jiwamu sendiri, tetapi jiwa seluruh pasukanmu. Kalau mereka
mati dengan menggenggam arti bagi perjuangan kalian, kalian
adalah pahlawan. Tetapi bukan orang-orang bodoh yang
membunuh dirinya tanpa guna."
Pemimpin pasukan berkuda itu masih saja dicengkam oleh
keragu-raguan. Karena itu ia tidak segera dapat mengambil
sikap. Bahkan ia tidak mengerti, apakah ia dapat mempercayai
kata-kata orang yang belum dikenalnya itu atau tidak.
Sementara itu, Ki Tambak Wedi pun terkejut bukan kepalang
ketika tiba-tiba saja ada orang yang meloncat ke tengah jalan
dan merusakkan rencananya.
Karena itu maka ia pun tanpa sesadarnya berteriak-teriak
bertanya siapakah orang yang telah berbuat gila itu. Namun
orang itu sama sekali tidak menjawab.
Dengan demikian, maka dada Ki Tambak Wedi serasa telah
terbakar oleh kemarahan yang memuncak. Dengan lantang ia
memberikan perintah kepada orang-orangnya, "Bersiaplah
kalian. Kita tidak akan menunggu lagi. Kita akan segera
mengepung mereka, selagi mereka belum sempat lari."
Tetapi Ki Tambak Wedi itu mendengar orang yang berdiri di
tengah jalan itu berkata, "Cepat, pergilah. Kau dengar perintah
itu" Perintah untuk mengepung kalian."
Namun pemimpin pengawal itu sekali lagi berteriak, "Kami
bukan pengecut." "Kau dapat membuat pertimbangan nanti, apakah tindakan itu
suatu tindakan pengecut."
Yang tidak dapat menahan hatinya adalah Ki Tambak Wedi.
Tiba-tiba tangannya bergetar, dan sebuah gelang-gelang besi
telah meluncur menyambar bayangan yang berdiri di tengah
jalan menghentikan orang-orang berkuda itu.
Tetapi sekali lagi Ki Tambak Wedi terkejut. Ternyata orang
yang berdiri di tengah jalan itu mampu meloncat secepat
sambaran gelang-gelang besinya. Dengan satu langkah yang
cepat gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur secengkang
di muka dadanya. Namun malanglah. Tiba-tiba seekor kuda melengking tinggi.
Kemudian terjatuh karena kaki depannya tersentuh gelanggelang
besi Ki Tambak Wedi. Penunggangnya pun terlempar dan terguling di tanah.
Sementara orang yang menghentikan mereka berkata, "Lihat,
iblis itu sudah mulai. Setiap gelang besi akan mampu membunuh
seorang dari kalian, belum lagi pasukannya yang bersembunyi di
balik semak-semak. Karena itu, cepat, sebelum terlambat."
Peristiwa yang terjadi itu agaknya dapat memberikan suatu
keyakinan kepada pemimpin pasukan berkuda itu, bahwa
sebenarnyalah mereka akan berhadapan dengan Ki Tambak
Wedi. Karena itu, maka desakan orang yang menghentikannya
itu menjadi pertimbangannya.
Ki Tambak Wedi, yang gagal mengenai orang yang
membuatnya terlampau marah itu, menjadi heran. Di atas Tanah
Perdikan ini, selain Argapati yang terluka, masih juga ada orang
yang mampu menghindari serangannya. Sayang, bahwa
keremangan malam tidak memberinya kesempatan melihat
wajah orang itu dengan jelas dalam jarak yang belum terlampau
dekat. "Mungkin sesuatu kebetulan ia berhasil menghindar," ia
menggeram. Dan berbareng dengan itu, sekali lagi tangannya
bergetar. Ia ingin meyakinkan, apakah orang itu benar-benar
mampu menghindari serangannya.
"Iblis manakah yang telah mencampuri persoalanku," Ki
Tampak Wedi mengumpat. Sekali lagi ia melihat orang itu
meloncat dengan lincahnya menghindari gelang-gelang besinya.
Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian ketika
seseorang berteriak dan jatuh dari punggung kudanya. Sekali ia
menggeliat, kemudian ia tidak bernafas lagi,
"Jangan kau biarkan korban berjatuhan. Cepat, pergi."
Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak, "Ayo, kepung
mereka sekarang!" Dalam keragu-raguan pemimpin pasukan berkuda itu terkejut
ketika tiba-tiba saja kudanya melonjak karena terkejut. Ternyata
orang yang berdiri di tengah jalan itu telah melemparnya dengan
kerikil. Dengan demikian maka pemimpin pengawal itu tidak
dapat berbuat lain, kecuali menarik kekang kudanya dan
berputar kembali ke arah pemusatan pasukannya.
"Kita kembali," perintahnya.
Beberapa orang masih juga ragu-ragu. Tetapi mereka pun
segera memutar kuda masing-masing dan berpacu kembali.
Seorang pengawal yang telah kehilangan kudanya meloncat ke
punggung kuda seorang kawannya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tepat pada saatnya, beberapa orang berlarlari meloncat
parit di pinggir jalan. Diam-diam mereka merayap di dalam
pategalan mendekati orang-orang berkuda itu. Tetapi pada saat
yang bersamaan, pada saat mereka berada pada jarak yang
diperlukan, pasukan berkuda itu telah berputar arah.
Satu dua orang masih sempat menghadang di tengah jalan.
Tetapi mereka terpaksa berloncatan menepi ketika kakkaki
kuda berderap kearah mereka. Sekalsekali terdengar ledakan
cambuk dari antara orang-orang berkuda itu.
"Setan!" teriak Ki Tambak Wedi. "Kejar mereka!"
Tetapi tidak seorang pun yang dapat berlari secepat langkah
kakkaki kuda. Sementara itu orang yang telah menghentikan
orang-orang berkuda itu pun segera meloncati parit yang kering
di pinggir jalan dan berlari sekencang-kencangnya menyusup ke
dalam pategalan di sisi jalan itu, justru tempat yang baru saja
ditinggalkan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang berloncatan
ke tengah jalan. "Tangkap orang itu," teriak Ki Tambak Wedi.
Tetapi tidak seorang pun yang mampu melakukannya.
Gerakannya terlampau cepat dan tidak dduga-duga.
Ki Tambak Wedi tidak dapat menaham hatinya lagi. Segera ia
pun meloncat dan berusaha mengejar orang yang telah
merusakkan rencananya itu. Namun orang yang dikejarnya
mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghilang. Karena
itu, maka dengan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya Ki
Tambak Wedi berputar di dalam pategalan yang kering itu untuk
mencari orang yang telah membuat darahnya mendidih.
"Tidak masuk akal," berteriak-teriak untuk melepaskan
kemarahan yang menyesakkan dadanya. Lalu, "Ayo, bantu aku
mencarinya. Kepung tempat ini rapat-rapat. Jangan sampai ada
seekor bilalang yang dapat keluar."
Ternyata perhatian Ki Tambak Wedi telah tertumpah
sepenuhnya kepada orang yang telah merusak rencananya itu.
Ia tidak memperhatikan lagi orang-orang berkuda yang menjadi
semakin jauh. Ia tidak berusaha untuk melepaskan gelanggelang
besi sebanyak-banyaknya, menyerang orang-orang
berkuda yang sedang menarik diri, mundur masuk ke dalam
pusat pertahanannya. Sementara itu, dua orang dari pasukan kecil Ki Tambak Wedi
itu, seperti yang diperintahkan, berusaha menangkap orangorang
yang mengintai mereka. Dengan pedang terhunus mereka
meloncat menyerang, ketika mereka melihat bayangan hitam
tersembul di balik pepohonan. Bayangan itu adalah Gupala yang
dengan sengaja menampakkan diri, ketika ia mengetahui, bahwa
hanya dua orang yang tinggal untuk menangkapnya bersama
kakak seperguruannya. Tetapi salah seorang di antaranya terperanjat bukan
kepalang. Ia tidak menyangka bahwa orang yang diserangnya itu
justru meloncat maju dan langsung menerkam pinggangnya di
bawah ayunan senjatanya. Ternyata dorongan terkaman Gupala telah membuat
keduanya jatuh berguling-guling. Namun dalam pada itu, sejenak
kemudian hanya Gupala sajalah yang bangkit dan berdiri di
samping lawannya yang diam terbaring di tanah.
"He, kau apakan orang itu?" desis Gupita.
"Aku tidak sengaja. Tetapi ia terlampau lemah. Mudahmudahan
ia tidak mati." Kawamnya yang seorang lagi berdiri dengan mulut
ternganga. Ia tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat terjadi.
Sehingga karena itu, untuk sesaat ia berdiri saja dengan pedang
di tangan tanpa berbuat sesuatu.
Ketika ia menyadari dirinya, maka segera ia merasa, bahwa ia
pun tidak akan dapat berbuat apa-apa melawan kedua bayangan
hitam yang telah menegakkan bulu-bulunya.
"Apakah aku telah bertemu dengan bayangan iblis yang
paling laknat di bumi Menoreh?" pertanyaan itu telah membuat
orang itu menjadi gemetar.
"Lari," demikianlah keputusan yang diambilnya, "Biarlah Ki
Tambak Wedi menyelesaikan persoalannya dengan iblis-iblis
ini." Tetapi ketika ia mulai melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia telah
membentur sesuatu. Ketika ia sempat memandangnya, ternyata
yang dibenturnya adalah salah seorang dari kedua bayangan
hitam yang menakutkan itu.
"Jangan lari," bayangan itu berdesis.
Orang itu menjadi semakin menggigil. Dengan membabi buta
diayunkannya pedangnya. Tetapi ayunan itu sama sekali tidak
menyentuh sesuatu. "Pergi, pergi kau iblis," geram orang itu,
"Kita tidak akan pergi. Aku tidak, kau pun tidak," desis Gupala.
Sekali lagi orang itu mengayunkan pedangnya. Namun sekali
lagi pedangnya menyambar angin.
"Jangan menjadi gila," desis Gupala pula. "Aku tidak apa-apa.
Aku bukan sejenis hantu peminum darah."
Tetapi orang itu justru menjadi semakin takut. Keringat
dinginnya telah mengalir membasahi seluruh tubuhnya.
Sementara itu Gupita menyaksikan semuanya itu dengan
dada yang berdebar-debar. Kemudian kepalanya tergeleng
lemah sambil berdesis di dalam hatinya, "Anak bengal itu sukar
untuk mengendalikan diri."
Tetapi Gupita tidak dapat mencegahnya supaya tidak
membuat anak itu semakin bernafsu.
Ternyata orang yang menggenggam pedang itu semakin
lama menjadi semakin takut karena Gupala belum juga berbuat
sesuatu kecuali selalu berdiri di mukanya. Kalau orang itu
berusaha beringsut ke samping, Gupala ikut beringsut pula.
Apabila orang itu berusaha melangkah ke arah lain Gupala
meloncat dan berdiri di depannya sambil menyeringai. Setiap kali
orang itu menebaskan pedangnya, Gupala meloncat selangkah
surut, namun kemudian ia meloncat kembali ke tempatnya.
Orang itu benar-benar menjadi ketakutan, dan bahkan hampir
menjadi kehilangan akal. Matanya nanar memandang keadaan
di sekitarnya. Setiap kali ia melihat bayangan yang masih saja
berdiri di depannya dengan gemetar. Apalagi kalau ia melihat
bayangan yang lain, yang berdiri saja seolah-olah membeku di
antara dedaunan. " Pergi, pergi," orang itu berdesis.
"He, jangan berteriak," gumam Gupala seperti kepada anakanak
yang takut melihat ular merambat di kakinya, "Tenangtenang
sajalah. Aku tidak apa-apa."
"Pergi, pergi," suara orang itu menjadi semakin keras.
"Kalau kau berteriak, maka aku akan membungkammu untuk
selama-lamanya," desis Gupala.
Orang itu terdiam sejenak. Tetapi ia selalu bergeser surut
apabila Gupala melangkah maju.
Yang tidak sabar kemudian justru Gupita. Ketika Gupala
masih saja bermain-main, maka ia pun berkata, "Marilah, kita
akan kehabisan waktu."
"Kita sudah tidak mempunyai kerja lagi bukan?" jawab
Gupala. "Aku tidak mau kehilangan permainan ini."
Tetapi tiba-tiba Gupala meloncat menyentuh mulut orang itu,
sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata orang itu
terpaksa mengurungkan niatnya untuk berteriak. Yang
dikerjakan adalah mengayun-ayunkan pedangnya seperti orang
yang telah benar-benar menjadi gila. Tetapi pedangnya justru
menyentuh pepohonan perdu dan mematahkan rantingrantingnya.
"Iblis," ia mengumpat. Dan Gupala pun tertawa, "Dengar,"
berkata Gupala, "yang sebenarnya iblis adalah Ki Tambak Wedi.
Kau tahu. Karena kau termasuk salah seorang pengikutnya,
maka kau pun termasuk setan atau gendruwo kecil-kecilan."
Orang itu tidak segera menjawab karena jantungnya menjadi
semakin berdentangan. Yang terdengar kemudian adalah katakata
Gupita, "Marilah. Aku sudah jemu."
"Jadi, aku apakan sebaiknya orang ini, Kakang."
Gupita tidak segera menjawab. Dipandangimya Gupala dan
orang itu bergantganti. Gupala yang berdiri dengan garangnya,
dan orang yang ketakutan itu meskipun ia berpedang.
Tiba-tiba Gupita menggelengkan kepalanya. Tumbuhlah
ibanya kepada orang itu. Ketakutan adalah perasaan yang
sangat mengerikan. Ia pernah merasakan, betapa seseorang
dikejar-kejar oleh rasa takut. Seorang prajurit akan memilih
kematian yang langsung daripada ia harus mengalami
ketakutan. Demikian juga agaknya orang itu. Seandainya
lehernya langsung dipatahkan, maka itu akan lebih baik baginya.
Tetapi kematian itu pun tidak perlu bagi prajurit Tambak Wedi
itu. Karena itu maka katanya, "Gupala, serahkan yang seorang
ini kepadaku." "He, aku memerlukannya."
"Kau sudah menyelesaikan yang seorang. Mudah-mudahan
ia tidak mati." "Akan kau apakan orang yang satu ini."
"Serahkanlah kepadaku."
Orang yang memegang pedang itu berdiri termangu-mangu.
Dadanya menjadi semakin berdentangan. Apalagi ketika sejenak
kemudian ia melihat bayangan yang seorang lagi maju
mendekatinya. "Terserahlah kepadamu," desis Gupala kemudian.
Gupita tidak menjawab. Ia langsung maju mendekati orang itu
sehingga orang itu pun melangkah surut. Seperti ketika Gupala
mengganggunya, maka dengan gila ia memutar pedangnya.
Namun sejenak kemudian, di belakang ayunan pedang orang
itu, Gupita meloncat dengan kecepatan yang tidak dimengerti
oleh lawannya. Tangan kanannya menangkap pergelangan
tangan, sedang tangan kirinya mencengkam tengkuk.
Semuanya itu hanya berlangsung beberapa kejapan mata.
Kemudian perlahan-lahan Gupita meletakkan orang itu berbaring
di tanah dan merampas pedangnya.
"Biarlah ia tidur sampai Ki Tambak Wedi membangunkannya."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia
melangkah mendekati yang seorang lagi. Sambil meraba-raba
dadanya ia berdesis, "Orang ini pun belum mati."
"Marilah kita tinggalkan mereka. Kita segera pulang sebelum
kita bertemu dengan Ki Tambak Wedi. Bawalah senjata orang
itu. Kita masing-masing mempunyai sebuah pedang."
"Untuk apa?" bertanya Gupala.
"Mungkin kita memerlukannya. Kalau tidak, kita memerlukan
untuk mencari kayu."
Gupala tidak menjawab. Diambilnya senjata orang yang
masih terkapar di tanah itu. Dan sejenak kemudian maka mereka
pun meninggalkan lawan-lawan mereka yang sudah tidak
berdaya. (***) Buku 41 SEMENTARA itu, Ki Tambak Wedi masih saja sibuk mencari
orang yang telah mengganggunya. Tetapi seperti hantu, orang
itu menghilang tanpa meninggalkan bekas apa pun.
"Pasti bukan orang kebanyakan," desisnya. Dan tiba-tiba saja
diingatnya orang yang telah mengintainya, ketika ia menunggu
orang-orang berkuda itu. "Kalau orang ini yang mengintai itu, maka apakah yang dapat
dilakukan oleh kedua orang-orangku yang akan mencoba
menangkapnya?" gumam Tambak Wedi itu pula.
"Aku akan melihatnya," orang itu tiba-tiba menggeram. Tanpa
berkata apa pun juga kepada orang-orangnya, maka ia pun
segera meloncat kembali ke tempatnya menunggu orang-orang
berkuda itu. Beberapa pengikutnya yang melihatnya, segera
berlarlari mengikutinya, dengan berbagai macam pertanyaan di
dalam hati. Ki Tambak Wedi itu hampir saja menginjak salah seorang
yang sedang terbaring diam. Dengan serta-merta iblis tua itu
berjongkok dan meraba dada orang yang terbaring itu.
"Ia masih hidup," desisnya.
"Siapakah itu Kiai?" bertanya salah seorang pengikutnya.
"Buka matamu, siapa orang ini."
Orang yang bertanya itu mengerutkan keningnya. Kemudian
digeretakkannya giginya ketika ia mengetahui bahwa yang
terbaring itu adalah kawannya.
"Yang seorang ada di sini!" tiba-tiba seorang yang lain
berteriak. Ki Tambak Wedlah yang kemudian menggeretakkan giginya
pula. "Bawa kemari," katanya.
Kemudian keduanya pun dibaringkan berjajar di atas
rerumputan yang kering. Dengan teliti Ki Tambak Wedi mencoba
melihat, kenapa keduanya menjadi pingsan.
Dengan pengetahuan yang ada padanya, Ki Tambak Wedi
memijit-mijit di bagian-bagian yang dianggapnya penting. Di
punggung, kemudian ditelusurnya sampai ke bagian lehernya.
Ketika Ki Tambak Wedi menyentuh di bawah ketiak salah
seorang dari keduanya, maka orang itu menggeliat.
Perlahan-lahan orang itu membuka matanya. Sejenak ia
masih belum dapat bangkit karena dunia ini rasanya seperti
berputar. "He, bangkitlah. Katakan apa yang telah terjadi dengan kau
dan kawanmu itu." "Kepalaku seperti berputar," desisnya perlahan-lahan.
Ki Tambak Wedi menggeram. Sekali lagi ditelusurinya
punggung orang itu. Ketika tersentuh simpul keseimbangannya,
maka orang itu pun terlonjak.
"Bagaimana?" bertanya Ki Tambak Wedi.
"Ya, sudah jauh berkurang. Tetapi perutku menjadi mual."
"Persetan dengan perutmu!" bentak Ki Tambak Wedi.
"Katakan, siapa yang telah membuatmu pingsan."
"Aku tidak tahu. Aku hanya melihat dua sosok bayangan
hitam." "Dua?" "Ya. Yang seorang telah membuat kawanku itu pingsan tanpa
aku ketahui sebabnya. Bayangan itu langsung menerkam dan
membantingnya jatuh. Keduanya berguling sejenak. Tetapi yang
bangkit kemudian hanyalah bayangan yang kehitam-hitaman
itu." "Gila kau. Dalam gelap semuanya tampak hitam. Tetapi
bagaimana dengan kau."
"Bayangan yang satu lagi, telah membuat aku pingsan pula.
Ia menyusup di bawah ayunan pedangku. Kemudian terasa
tanganku seperti terlepas dan tengkukku serasa tebal. Aku
kemudian tidak tahu apa-apa lagi."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ceritera orang itu
sangat menarik perhatiannya. Ternyata selain orang yang
mencegat pasukan berkuda itu, masih juga ada orang lain yang
bukan orang kebanyakan.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu bertanya, "Dua orang
kau bilang?" "Ya Kiai, dua orang."
"Katakan, bagaimana bentuk kedua orang itu."
Orang itu mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia
berkata, "Aku tidak dapat mengatakannya Kiai. Terlampau gelap
untuk mengenal wajah-wajah mereka."
"Aku tidak bertanya tentang wajahnya. Katakan, apakah
mereka masih muda, tinggi atau pendek, atau kurus, gemuk dan
apa lagi yang dapat kau sebutkan."
Sekali lagi orang itu merenung. Kemudian menggeleng, "Aku
tidak dapat menyebutkan Kiai. Aku tidak melihatnya dengan
jelas." "Gila. Kau sudah menjadi gila. Apakah kau juga tidak dapat
menyebutkan jenis senjata yang mereka pakai."
"Mereka sama sekali tidak bersenjata."
"O, kau memang sudah gila. Kau memang sudah gila." Ki
Tambak Wedi menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Sambil menggeretakkan giginya ia
menghentakkan kakinya. Orang-orangnya sama sekali tidak ada yang berani
mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya menundukkan
kepalanya. Tidak seorang pun yang bergerak, meskipun sekedar
ujung jari kakinya. "Kita menggabungkan diri dengan pasukan Sidanti," geram Ki
Tambak Wedi. "Aku akan berbicara dengan anak itu."
Ki Tambak Wedi tidak menunggu jawaban apa pun.
Diayunkannya langkahnya ke luar dari rimbunnya dedaunan.
Sambil berjalan ia berkata, "Bawa orang yang pingsan itu keduaduanya
kembali. Mereka hanya akan mengganggu saja."
"Baik Kiai," jawab salah seorang dari mereka.
Maka beberapa orang kemudian mendapat tugas mengantar
kedua orang itu kembali ke induk kademangan yang telah
diduduki Sidanti. Meskipun yang seorang telah dapat berjalan
sendiri, tetapi ia masih memerlukan bantuan dua orang kawankawannya.
Sementara itu, malam pun menjadi kian gelap pula. Ki
Tambak Wedi menarik nafas ketika ia melihat beberapa buah
obor telah berada di depan mulut regol desa, tempat pemusatan
pasukan Argapati, meskipun tidak terlampau dekat. Seperti
biasanya, pasukan Ki Tambak Wedi itu memperlihatkan dirinya.
Ternyata usaha itu sedikit demi sedikit berpengaruh pula.
Beberapa orang yang berada di dalam lingkungan pering ori itu
sudah mulai bertanya-tanya, "Apakah sampai akhir hidupku, aku
tidak akan sempat keluar dari tempat ini" Siang malam kami
selalu diburu oleh kecemasan. Mungkin pada suatu saat
pasukan itu tidak hanya akan sekedar mengepung kami. Suatu
ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan ini dengan
dahsyatnya. Mungkin pada suatu saat pasukan itu tidak hanya
akan sekedar mengepung kami. Suatu ketika pasukan itu akan
menerkam pertahanan ini dengan dahsyatnya. Mungkin mereka
akan berusaha membakar pering-pering ori ini dan
menghanguskan segala isinya."
Dan yang lain bergumam dalam hati, "Apakah sebenarnya
yang harus kami pertahankan ini" Ternyata sama sekali bukan
Menoreh, tetapi Ki Argapati. Dan karena itu, maka setiap malam
kita harus berhadapan dengan kecemasan dan ketakutan.
Sedangkan kita tidak tahu pasti, apakah perbedaan yang akan
kita lihat, apabila kita berada di bawah kekuasaan Ki Argapati
dan kekuasaan Sidanti. Bahkan mungkin anak muda itu dapat
memberikan suasana yang baru bagi tanah ini."
Agaknya pikiran-pikiran itu tidak hanya menghinggapi satu
dua orang. Tetapi mereka masih tetap menyimpan di dalam
hatinya, meskipun dari hari ke hari, mereka mengalami suasana
yang penuh ketegangan, kecemasan, dan kemudian kejemuan.
Tampaknya permusuhan ini tidak akan segera berakhir,
meskipun persediaan makan mereka menjadi semakin tipis.
Namun sebagian lagi berpendirian lain, meskipun berpijak
pada kejemuan pula. Beberapa pengawal muda berkata satu
sama lain, "Apakah untungnya kita menunggu. Lebih baik kita
keluar dari penjara ini. Apa pun yang akan terjadi. Kita serang
saja pusat pertahanan Sidanti. Kalau kita menang, menanglah
kita. Kalau kita hancur segeralah kita binasa daripada menunggu
tanpa batas seperti sekarang ini."
"Kita menunggu Ki Argapati sembuh," desis yang lain.
"Ya, aku tahu. Tetapi kapan Ki Argapati itu akan sembuh?"
"Tanpa Ki Argapati, siapakah yang akan berhadapan dengan
Ki Tambak Wedi?" "Meskipun ia bersenjata petir dan berperisai gunung
sekalipun namun tenaganya pasti terbatas juga. Kita lawan
orang tua itu bersama-sama. Maka ia pun pada saatnya akan
mati." "Demikianlah kalau kita, seluruh pasukan itu, bertempur
melawan Ki Tambak Wedi seorang diri. Tetapi ternyata kita
berperang melawan sejumlah orang yang seimbang dengan
jumlah orang di pasukan kita."
Lawannya berbicara terdiam sejenak. Namun sepasang mata
nya memancarkan kejemuannya yang hampir tidak
tertanggungkan. Malam ini mereka dihadapkan lagi pada sepasukan orangorang
Sidanti yang mengepung padesan tempat pemusatan
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Seperti di saatsaat
yang lewat, beberapa obor terpancang beberapa patok dari
desa, melengkung, di hadapan mulut gerbang. Satu-satu obor
yang lain agaknya melingkar di seputar padesan itu pula.
Yang sibuk dibicarakan saat itu adalah pasukan berkuda yang
terpaksa masuk kembali ke dalam regol. Beberapa orang telah
menghadap Samekta, Wrahasta, dan beberapa orang pemimpin
yang lain. "Tidak seorang pun tahu, siapakah orang itu," berkata
pemimpin pasukan berkuda itu.
Samekta mengerutkan keningnya.
"Seorang dari kami, telah dikenai oleh Ki Tambak Wedi, kami
tidak sempat membawanya kembali. Mungkin besok siang, aku
akan mengambilnya." Wrahasta menggeram. Katanya, "Kenapa kau percaya
kepada orang itu?" "Kata-katanya meyakinkan. Dan sebenarnya bahwa kami
tidak akan dapat berbuat terlampau banyak bila kami benarTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
benar berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Dalam jarak yang
cukup jauh, seorang kawan kami telah gugur, dan seekor kuda
kami mati pula terkena lemparan besi itu."
Wrahasta terdiam. Tetapi ia masih saja menggeram menahan
kemarahan. Tetapi para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh, tidak dapat menyalahkan pemimpin pasukan berkuda
itu. Ternyata bahwa salah seorang dari mereka memang telah
gugur, dan seekor kuda telah mati.
Beberapa orang dari anggauta pasukan berkuda itu pun
mengatakan bahwa mereka tidak dapat melihat, betapa
cepatnya semua itu terjadi. Yang mereka ketahui kemudian,
korban-korban itu telah jatuh.
"Dengan demikian," berkata Samekta kemudian, "apakah Ki
Tambak Wedi masih juga memperhitungkan lagi ceritera tentang
orang-orang bercambuk di dalam pasukan berkuda itu?"
Wrahasta menundukkan wajahnya. Tetapi ia menggeram,
"Kita tidak perlu menggantungkan diri kita kepada siapa pun."
"Bukan itu maksudku," jawab Samekta. "Selama ini agaknya
Ki Tambak Wedi memperhitungkan gerakan pasukan berkuda
itu. Mungkin pengaruh dari gerakan itulah yang menunda kenapa
Ki Tambak Wedi masih belum berbuat sesuatu selain
mempengaruhi kebulatan tekad kami dengan obor-obor itu
hampir di setiap malam. Namun kini agaknya ia telah yakin. Ia
memerlukan mengetahui, siapakah sebenarnya yang berada di
dalam pasukan berkuda itu."
Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Ternyata cambuk-cambuk itu telah memanggil Ki Tambak Wedi.
Bukan orang-orang bercambuk itu."
"Tetapi orang bercambuk itu pun telah datang. Kami
mengharap besok mereka akan memasuki padesan ini."
"Apa yang dapat kita harapkan dari mereka?"
"Setidak-tidaknya pengobatan atas Ki Argapati."
Wrahasta menggelengkan kepalanya, "Tidak banyak
gunanya. Orang bercambuk itu tidak dapat membuat Ki Argapati
sembuh dalam waktu satu malam. Bagaimana kalau besok atau
lusa Ki Tambak Wedi menyarang?"
"Tetapi usaha itu harus dilakukan," sahut Samekta.
Wrahasta tidak menjawab lagi. Tetapi wajahnya sama sekali
tidak menunjukkan kesan yang baik buat orang orang
bercambuk itu. Bahkan kemudian ia berkata, "Ki Argapati harus
segera tahu. Aku akan menghadap."
"Baiklah," jawab Samekta, "sampaikan laporan ini. Atau bawa
sajalah pemimpin pasukan berkuda itu."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Akan aku
bawa anak itu." Wrahasta pun kemudian pergi bersama pemimpin pasukan
berkuda menghadap Ki Argapati, sedangkan Samekta pergi ke
regol desa, menemui para peronda. Samekta memperingatkan
mereka, agar mereka menjadi semakin berhathati. Agaknya
dalam waktu yang singkat, keadaan akan menjadi semakin
panas. Semua senjata harus dipersiapkan. Jebakan-jebakan dan
senjata-senjata jarak jauh. Alat-alat pelontar lembing dan busurbusur.
Sementara itu Ki Tambak Wedi duduk di antara para
pemimpin pasukannya. Sidanti, Argajaya, dan dua orang dukundukun
yang selalu beserta dengan mereka, Ki Wasi dan Ki Muni,
yang tidak saja pandai mengobati luka-luka, tetapi mereka pun
membawa senjata di lambung mereka. Mereka agaknya siap
pula untuk bertempur. Ki Wasi membawa sepasang trisula
bertangkai pendek, sedang Ki Muni bersenjata sebilah pedang
yang lengkung. Pedang yang didapatnya dari seorang perantau
asing yang mengembara. Suatu ketika Ki Muni pernah berguru
kepadanya tentang ilmu obat-obatan dan bahkan tentang olah
kanuragan. Pedang itu diterimanya dari gurunya itu, meskipun ia
belum berhasil mempelajari ilmunya dengan sempurna. Itulah
sebabnya maka pedang itu dianggapnya sebagai pedang yang
keramat. "Tak ada duanya di seluruh daerah Pajang dan bahkan
seluruh kerajaan Demak lama," katanya dengan bangga.
"Pedang ini datang dari suatu negara yang sangat jauh. Negara
di seberang lautan. Lautan air dan lautan pasir."
Ki Tambak Wedi selalu mengumpat di dalam hatinya apabila
ia mendengarnya. Sebagai seorang yang jauh menyimpan
pengalaman dan pengetahuan, maka sudah tentu ia terlampau
muak mendengar kebanggaan yang berlebih-lebihan itu. Di
pesisir terutama, ia pernah melihat pedang serupa itu lebih dari
segerobag. Orang-orang asing kadang-kadang menukarkan
senjata-senjata serupa itu dengan senjata-senjata orang Demak.
Sekedar untuk kenang-kenangan.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak pernah ingin
mempersoalkannya. Apalagi kini, ia mempunyai masalah yang
cukup penting untuk dibicarakan.
"Apakah Guru tidak dapat mengenalnya?" bertanya Sidanti.
"Jarak itu tidak terlampau dekat. Apalagi di malam hari. Aku
seolah-olah hanya melihat sesosok bayangan yang kehitamhitaman."
"Bukankah Guru mendengar suaranya" Suara itu mungkin
pernah guru dengar sebelumnya."
Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, katanya, "Suara
itu adalah suara yang parau meskipun bernada tinggi."
Sidanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian Argajaya
bertanya, "Lalu bagaimana dengan yang dua orang itu?"
"Tak ada gambaran sama sekali. Orang-orang yang dibuatnya
pingsan hanya dapat melihatnya sebagai bayangan yang hitam."
"Ya, Kiai. Mungkin tidak ada petunjuk-petunjuk yang dapat
dipakai sebagai landasan untuk menyebut keduanya. Tetapi
jumlah mereka menimbulkan kecurigaanku."
"Kenapa dengan jumlah itu?" bertanya Sidanti.
"Seorang guru dan dua orang murid."
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri "Aku memang sudah
menduga meskipun pada saat orang-orang berkuda itu
melarikan diri, aku masih mendengar ledakan-ledakan cambuk di
antara mereka." "Apakah maksud Guru mengatakan bahwa orang-orang
bercambuk itu ada di antara pasukan berkuda, dan yang dua
orang itu orang lain lagi?" bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi menggeleng, "Tidak begitu. Namun aku
belum menemukan keyakinan. Tetapi aku condong pada pikiran
itu. Bahwa yang menghentikan pasukan berkuda itu adalah
gurunya dan yang dua orang itu adalah murid-muridnya yang
sama gilanya dengan gurunya."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
segera berkata apa pun. Angan-angannya baru dipenuhi oleh
berbagai macam dugaan dan pertimbangan.
Yang tidak segera mengerti pembicaraan itu adalah Ki Wasi
dan Ki Muni. Sejenak kemudian mereka mengerutkan
keningnya. Ki Muni, yang tidak dapat menahan hati lagi, segera bertanya,
"Siapakah yang kalian bicarakan itu?"
Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Mula-mula ia
ingin berkata terus terang. Tetapi apabila ceritera tentang orangorang
bercambuk itu meluas, dan seolah-olah Ki Tambak Wedi
sendiri sudah membenarkan, maka hal itu pasti akan
mempengaruhi keberanian orang-orangnya. Karena itu, maka
kemudian ia menjawab, "Mereka pasti orang-orang yang ingin
mengail ikan di air yang sedang keruh."
"Tetapi menilik ceritera Kiai, seolah-olah mereka adalah
orang-orang yang harus disegani."
"Aku tidak dapat mengenal mereka dengan jelas. Dan
apa yang terjadi itu pun bukan ukuran yang sebenarnya.
Pada suatu ketika aku ingin bertemu langsung dengan mereka,
untuk mengetahui apakah aku pantas menundukkan kepala,
atau semuanya itu hanya sekedar sebuah permainan yang licik
dari Argapati." Meskipun jawaban itu tidak memberinya kepuasan, tetapi ia
tidak mendesak lagi. Namun ia bergumam seperti kepada diri
sendiri, "Apakah kita akan menunggu sampai Argapati sembuh?"
"Apakah Argapati itu tidak jadi mati?" Sidanti memotong.
Ki Muni membelalakkan matanya. Sindiran itu sangat
menyakitkan hatinya. Seolah-olah Sidanti mengejeknya, bahwa
perhitungannya sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang melihat bahwa Argapati masih hidup?" ia
membantah. "Mungkin Argapati memang sudah mati. Tetapi
karena orang-orang Menoreh yang berpihak kepadanya cukup
licik, sehingga mereka dapat melindungi rahasia itu serapatrapatnya."
"Kita tidak boleh mimpi. Kita harus berani menghadapi
kenyataan." "Siapa yang mengingkari kenyataan?" Ki Muni menjadi
tegang, dan bahkan hampir-hampir ia berteriak seandainya Ki
Tambak Wedi tidak menengahi, "Kenapa kita ribut" Ada atau
tidak ada Argapati, kita tidak boleh cemas. Argapati hanya
seorang diri. Sejauh-jauh yang dapat dilakukan tentu sangat
terbatas. Orang kedua adalah Pandan Wangi. Sedang yang
lainnya, sama sekali tidak banyak berarti."
"Apakah Ki Tambak Wedi telah melupakan ceritera Ki Peda
Sura tentang dirinya?"
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Terlintas dalam
kepalanya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi,
apabila ia menunda waktu terlampau lama. Tetapi untuk
bergerak sekarang, ia tidak dapat membuat perbandingan yang
setepat-tepatnya. Tidak seorang pun dari petugas sandinya yang
tahu pasti tentang keadaan Ki Argapati. Tidak seorang pun yang
dapat mengatakan, siapakah sebenarnya orang-orang
bercambuk di dalam lingkungan pasukan berkuda itu dan siapa
pula yang telah berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi
kesimpulan Ki Tambak Wedi, yang paling mungkin adalah
permainan Argapati, sedang orang-orang bercambuk yang
sebenarnya justru bukan yang berada dalam pasukan berkuda
itu. Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi menjawab, Sidanti telah
mendahului, "Kenapa kita tidak berbuat sekarang juga, Guru?"
"Nah," tiba-tiba Ki Muni memotong, "bukankah kau juga
membenarkan pendapatku" Apalagi yang kita tunggu?"
"Omong kosong," wajah Sidanti pun menjadi merah. "Aku
selalu berpendirian demikian. Sama sekali bukan membenarkan
pendapatmu." "Kau terlampau sombong, Anak Muda. Kenapa kau tidak mau
mengakui, bahwa sebenarnya akulah yang pertama-tama
berpendapat demikian."
"Tidak," tiba-tiba Sidanti menggeram.
Namun segera gurunya berkata, "Kejemuan telah membuat
kalian menjadi gila. Aku tahu, bahwa bukan hanya kalian berdua
saja yang berpendapat demikian, tetapi kita seluruhnya
menghendakinya." Sidanti menggeretakkan giginya. Sedang Ki Muni kemudian
berjalan hilir-mudik sambil bergeramang tidak menentu.
"Kalau memang begitu," Argajaya-lah yang berkata, "Kenapa
kita menunggu lebih lama lagi" Bukankah sekarang kita sudah
berdiri di ambang pintu."
"Itu tidak mungkin," sahut Ki Tambak Wedi, "Kita tidak bersiap
untuk melakukan penyerangan. Kekuatan kita hanya kita siapkan
untuk melakukan pengepungan seperti biasa. Beberapa bagian
untuk menjebak apabila pasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang masih setia kepada Argapati itu berusaha
menolong pasukan berkudanya. Tetapi semua rencana itu telah
rusak. Dan kita tidak dapat merubah rencana itu dengan tibatiba.
Sebab yang kita hadapi adalah kekuatan. Kekuatan yang
masih menjadi teka-teki. Dalam peperangan kita harus
mempunyai perhitungan yang pasti. Bukan sekedar untunguntungan."
Argajaya mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya.
Kemudian perlahan-lahan ia berkata, "Kita tidak boleh menunggu
sampai orang-orang kita diterkam oleh kejemuan yang tidak
terkendali." Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Sejenak ia
merenung. Dan sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agaknya sesuatu telah berkembang di kepalanya.
Tiba-tiba orang tua itu berkata, "Baik. Baik. Aku akan
melakukannya sekarang."
"Apa, Guru?" bertanya Sidanti dengan serta-merta.
"Kita akan menyerang."
"Sekarang?" "Ya sekarang." Kini Sidanti, Argajaya, Ki Wasi, dan Ki Munlah yang menjadi
heran atas keputusan yang tiba-tiba itu. Bahkan menurut Ki
Tambak Wedi sendiri, pasukanmya tidak bersiap untuk
melakukannya. Namun tiba-tiba orang tua itu berubah pendirian.
"Apakah hal itu dilakukan sekedar melepaskan
kejengkelannya saja," pertanyaan itu mengganggu pikiran
Sidanti. "Jika demikian kita akan terlibat dalam suatu perbuatan
yang dapat membahayakan kita sendiri."
Tetapi Sidanti tidak segera menyatakan pikirannya itu.
Dipandanginya saja gurunya yang kemudian menengadahkan
kepalanya. Silir angin malam telah menggerakkan juntai
rambutnya yang sudah keputih-putihan di bawah ikat kepalanya.
Dengan nada yang berat ia berkata, "Sidanti kita akan
menyerang malam ini."
Wajah Sidanti menjadi tegang.
"Bukankah kau ingin berbuat demikian seperti orang-orang
lain menginginkannya pula?"
Dengan dada berdebar-debar Sidanti menjawab, "Tidak,
Guru, kalau itu hanya sekedar menuruti perasaan tanpa
perhitungan." "Bagus," sahut gurunya. "Tetapi marilah kita membuat
perhitungan yang lain."
Sidanti mengerutkan keningnya.
"Kalau kita menyerang malam ini, mungkin kita akan dapat
memancing keterangan tentang kekuatan yang ada didalam
lindungan pering ori itu. Yang penting, apakah orang-orang yang
aneh, yang aku jumpai pada saat aku mencegat orang-orang
berkuda itu, akan hadir juga. Aku kira sampai saat ini mereka
berada di luar benteng ori."
"Tetapi apakah kekuatan kita siap untuk menghadapinya?"
"Kenapa tidak" Kita sumbat mulut desa itu keempatnya. Kita
tidak bersungguh-sungguh untuk merebutnya malam ini. Apakah
kau mengerti?" Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu maksud
gurunya. Gerakan ini adalah sekedar pameran kekuatan dan
memancing keterangan tentang orang-orang bercambuk itu.
Argajaya yang dapat menangkap juga maksud Ki Tambak
Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia
masih tetap ragu-ragu, apakah mereka akan dapat berhasil.
"Permainan Kiai mengandung bahaya yang cukup besar,"
desis Argajaya. "Memang. Tetapi seandainya mereka benar-benar keluar dari
benteng mereka itu pun, kita akan menghancurkannya. Karena
itu kita harus siap menunggui setiap mulut desa itu di empat
penjuru. Sebagian terbesar akan datang dari sebelah kiri."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita akan mundur pada saat kita yakin bahwa keterangan
yang kita perlukan sudah kita dapatkan."
Sekali lagi Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah kita coba. Tetapi setiap pemimpin kelompok harus tahu
benar rencana ini supaya mereka tidak membuat kesalahan."
"Tentu," sahut Ki Tambak Wedi. "Sekarang kumpulkan
mereka." "Baiklah," sahut Argajaya, yang kemudian bersama-sama
dengan Sidanti memanggil semua pemimpin kelompok didalam
pasukannya. Mereka mendapat petunjuk-petunjuk dengan singkat, apa
saja yang harus mereka lakukan. Mendekati desa itu, dan
menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh. Menjaga setiap
regol, dan apabila para pengawal keluar juga, perintah Ki
Tambak Wedi adalah, menghancurkan mereka.
"Tetapi kita tidak akan merebut kedudukan mereka sekarang."
"Kenapa?" potong Ki Muni, "Apabila mungkin, hal itu baik juga
kita lakukan. Kita rebut pemusatan pasukan mereka dan kita
akan mengerti, apakah Argapati memang masih hidup atau
sudah mati." "Tidak mungkin dalam keadaan kita saat ini. Kita tidak cukup
banyak membawa senjata untuk kepentingan itu. Kita harus
dapat melawan para pengawal yang bersarang di atas ranting
pering ori, dengan alat-alat pelempar lembing dan bahkan
pelempar batu itu." "Kalau kita mendekat, mereka akan menyerang kita dengan
cara yang sama." Ki Tambak Wedi menjadi jengkel mendengar kata-kata Ki
Muni itu, tetapi ia masih mencoba menahannya. Dan dicobanya
untuk memberikan penjelasan , "Ki Muni, serangan-serangan
yang demikian memang sebagian ditujukan keluar regol. Tetapi
ujung-ujung lembing, panah dan batu-batu itu terutama
diarahkan ke mulut regol. Begitu kita membuka regol, dan
pasukan kita berusaha menerobos masuk, maka terjadilah hujan
lembing, panah dan batu di seberang pintu itu."
Ki Muni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang bersiaplah. Kita akan segera mulai. Tetapi
ingat, aku akan memberikan tanda, agar kita dapat bersamasama
menarik diri. Sidanti dan Argajaya selain mengawasi
pasukan ini, juga berusaha melihat, apakah orang-orang gila itu
mendekati medan. Apabila mereka benar-benar datang, kedua
anak-anak gila itu adalah lawan kalian. Serahkan yang tua
kepadaku. Kita harus menyelesaikan mereka saat ini juga. Kita
akan mendapat bantuan dari beberapa orang di dalam pasukan
kita. Antara lain Ki Wasi dan Ki Muni. Sudah tentu kita akan
membinasakannya. Sesudah itu, maka kita tidak akan bertekateki
lagi." Sidanti dan Argajaya mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Sedang Ki Wasi yang tidak mengerti apa yang
dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu bertanya, "Siapakah yang
Kiai maksudkan dengan mereka itu?"
"Kita sedang ingin melihat, apakah mereka benar-benar
orang-orang yang disebut orang-orang bercambuk itu."
Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia bergumam, "Aku dapat mengerti cara yang Kiai tempuh.
Mudah-mudahan kita berhasil. Kita akan segera sampai pada
babak seterusnya dari peperangan ini. Semakin cepat kita
selesai pasti akan semakin baik."
"Kenapa?" bertanya Ki Muni. "Lalu kau akan diangkat menjadi
senapati" Atau dukun pribadi Sidanti?"
"Ah," Ki Wasi berdesah, "bukan itu. Semakin cepat, maka
korban akan menjadi semakin sedikit. Kekejaman-kekejaman
yang terjadi akan segera berakhir, dan ketakutan pun tidak akan
berkepanjangan." "He?" Ki Muni menarik keningnya, kemudian terdengar ia
tertawa, "Kau benar-benar seorang pengabdi kemanusiaan yang
paling baik Ki Wasi, tetapi tanpa kekejaman dan kekerasan kita
tidak akan berarti apa-apa lagi. Tidak ada lagi orang yang sakit
parah yang memerlukan pertolonganmu dan pertolonganku."
"Pikiranmu telah benar-benar terbalik," sahut Ki Wasi, yang
terpotong oleh kata-kata Ki Tambak Wedi, "Sudahlah, apa pun
titik pandangan kalian. Sekarang kita siapkan diri kita masingmasing.
Untuk membuat kegaduhan di pihak mereka, lontarkan
obor-obor itu kepada mereka. Kalau mungkin ke sarang-sarang
pasukan yang berada di ranting-ranting pering ori itu, bahkan
apabila mungkin kita bakar saja regol desa itu."
Ki Wasi mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Ki
Tambak Wedi, dan sejenak kemudian Ki Muni. Tetapi ia tidak
lagi mengucapkan sepatah kata pun.
Sementara itu, Sidanti dan Argajaya yang menjadi muak
mendengar setiap kata-kata Ki Muni telah mempersiapkan diri.
Pesan-pesan terakhir telah diberikannya dan para pemimpin
kelompok pun telah memahami apa yang harus mereka lakukan.
"Kita menghangatkan suasana. Kita tidak boleh terlampau
lama tertidur. Serangan kali ini akan mematangkan sikap kita
dan akan segera membawa kita ke pertempuran yang
sebenarnya," berkata Sidanti kepada para pemimpin kelompok
itu. Kemudian, "Sekarang kembalilah kepada orang-orang kalian
masing-masing. Kita akan segera mulai."
Para pemimpin kelompok itu pun segera, menyampaikan
perintah itu kepada kelompok masing-masing. Berbagai
tanggapan terbayang di wajah mereka. Apalagi mereka yang
datang ke Tanah ini dengan berbagai macam pamrih pribadi.
"Ki Tambak Wedi ternyata bukan seorang yang cukup cakap
memimpin peperangan," salah seorang berdesis. "Kenapa kita
harus menunda lagi seandainya hari ini kita dapat memasuki
padesan itu?" "Korban terlampau banyak," jawab yang lain, "Kita tidak
bersiap sepenuhnya untuk melakukan itu."
"Kalau kita tidak bersiap kenapa hal ini kita lakukan?"
"Sudah dikatakan, Ki Tambak Wedi ingin mengetahui
perbandingan kekuatan yang sebenarnya di antara kedua
pasukan yang berhadapan ini."
"Orang tua itu terlampau banyak pertimbangan. Apa salahnya
kita memasuki sarang lawan itu meskipun terlampau banyak
korban" Semakin banyak korban akan menjadi semakin baik
bagi kita. Kekayaan yang tersimpan di dalamnya akan kita bagi,
menjadi bagian-bagian yang lebih sedikit."
"Ah," yang lain berdesah, sedang orang yang pertama
tersenyum aneh. Senyum yang mempunyai berbagai macam
arti. Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi telah bersiap. Dengan
dada tengadah ia berdiri memandangi pintu regol di kejauhan.
Lampu minyak yang redup tergantung pada teritis regol yang
tertutup itu, meskipun ada satu dua orang yang berjaga-jaga di
luar. "Kita lakukan sekarang," geram Ki Tambak Wedi. Kepada
Sidanti dan Argajaya ia berkata, "Jangan lengah. Awasi seluruh
medan, kalau kelinckelinci itu tampak hadir. Hanya kalianlah
yang tahu, apakah mereka ikut campur atau tidak."
Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi itu pun melontarkan
tanda, bahwa pasukannya harus bergerak. Tiga orang telah
melontarkan panah berapi bersama-sama.
Penjaga di muka regol desa melihat api itu pula. Dengan
dada berdebar-debar mereka memandang api yang seolah-olah
terbang ke kebiruan langit. Ketika api itu meluncur dan jatuh di
atas tanah persawahan yang kering, maka sadarlah mereka,
bahwa sesuatu akan terjadi.
"Kita harus memberikan laporan."
Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya
terbelalak ketika ia melihat obor-obor telah mulai bergerak.
"Lihat, mereka mulai maju mendekat."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang lain pun menjadi tegang pula. Katanya, "Cepat.
laporkan gerakan itu. Aku akan mengawasinya."
Kawannya tidak menjawab lagi. Segera ia menyelinap masuk
kedalam regol dan lari menghambur menemui pimpinannya.
"Apakah kau tidak sedang bermimpi?" bertanya pemimpinnya.
"Aku berkata sebenarnya."
Pemimpinnya pun segera meloncat dan berlari keluar regol.
Yang dilihatnya kemudian seakan-akan menghentikan
jantungnya. Barisan obor yang bergerak semakin lama semakin
dekat. Jauh lebih banyak dari yang biasa dilihatnya. Karena
sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah memerintahkan
semua obor, obor-obor cadangan yang disediakan untuk
menyambung obor-obor yang telah kehabisan minyak, dan
semuanya, harus dinyalakan.
"Cepat, sampaikan kepada Ki Samekta dan Wrahasta."
Seorang penghubung segera berlari menemui Samekta,
sedang pemimpin pengawal yang sedang bertugas itu berdiri
dengan tangan gemetar di luar regol. Tanpa sesadarnya
tangannya telah meraba hulu pedangnya.
Sejenak kemudian Samekta sendiri telah berdiri dimuka pintu
regol bersama Wrahasta dan beberapa pemimpin pengawal
yang lain. Dengan wajah yang tegang ia mengawasi gerakan
sepasukan obor yang merayap mendekati pertahanannya.
"Siapkan semua pasukan," perintahnya. "Semua laklaki yang
masih mungkin memegang senjata harus bersiap pula. Agaknya
mereka memusatkan serangan mereka ke regol ini. Karena itu,
berikan beberapa kelompok kecil sebagai pengawas saja di
regol-regol yang lain. Tetapi mereka harus berhathati. Jangan
sampai mereka terjebak. Regol-regol harus tetap tertutup rapat.
Tidak seorang pun dari pasukan pengawal yang dibenarkan
keluar dari lingkungan ini. Lawan agaknya cukup banyak. Kalau
kita terpancing keluar, maka kita akan dihancurkan seluruhnya
tanpa dapat berbuat apa pun." Samekta berhenti sejenak,
kemudian, "Semua pengawal yang melayani alat-alat pelontar
senjata jarak jauh harus bersiap di tempatnya. Kalau mereka
mencoba memecah pintu regol, maka semua kekuatan yang ada
harus dikerahkan. Mereka harus dihancurkan sebanyakbanyaknya
begitu mereka berdesak-desakan masuk. Para
pengawal harus menjaga sisa dari mereka yang dapat lolos dari
patukan senjata-senjata jarak jauh itu."
Semua orang yang mendengar perintah itu menganggukkan
kepala mereka. Meskipun tidak sepatah kata yang keluar dari
mulut, namun mereka telah menyatakan kesediaan mereka di
dalam hati. Justru mereka yang ragu-ragu selama ini menjadi
mantap kembali. Apalagi anak-anak muda yang hampir saja
diterkam oleh kejemuan, maka kedatangan lawan mereka itu
seolah-olah telah memberikan udara baru bagi mereka.
Sejenak kemudian maka para pemimpin kelompok telah siap
untuk menjalankan tugas masing-masing. Sebelum mereka
meninggalkan regol, mereka masih mendengar Samekta
berpesan, "Belum perlu membunyikan tanda apa pun. Masih ada
waktu untuk mencapai segala sudut desa ini. Khusus untuk Ki
Kerti, kita akan mengirim kabar dengan panah sendaren."
Wrahasta yang berdiri di samping Samekta mengerutkan
dahinya. Setelah para pemimpin kelompok itu pergi ke
kelompoknya masing-masing, serta menyiapkan diri untuk
melakukan perintah Samekta, maka kini masih ada satu soal
yang menyangkut di hati pemimpin pasukan pengawal itu.
Dengan ragu-ragu Wrahasta berdesis, "Apakah yang akan
kita katakan kepada Ki Argapati yang sedang terluka itu?"
Samekta tidak segera menjawab. Tetapi tampak
kebimbangan yang dalam membayang di wajahnya. Kalau hal ini
diberitahukan kepada Ki Argapati, maka Samekta yang sudah
mengenal watak Kepala Daerah Perdikannya itu, pasti tidak
akan dapat mencegahnya lagi, apabila Ki Argapati itu sendiri
akan turun ke medan perang. Tetapi apabila Ki Argapati itu tidak
diberitahukannya, maka apabila ia gagal mempertahankan desa
ini, segala kesalahan pasti akan ditimpakannya kepadanya. Ki
Argapati pasti tidak akan dapat memaafkannya, kenapa ia tidak
menyampaikan persoalan yang penting sekali ini kepada Kepala
Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu telah diamuk
oleh keragu-raguan yang tidak segera dapat dipecahkannya.
"Bagaimana pendapatmu, Wrahasta?"
Wrahasta menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu,
apakah yang sebaiknya kita lakukan. Aku merasa bahwa apa
pun yang kita lakukan adalah salah."
"Masalah ini tidak kita persoalkan sebelumnya. Kini kita
langsung menghadapi persoalan yang tidak dapat
dipertimbangkan terlampau lama."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia
memandang obor-obor yang masih saja bergerak maju, seperti
sejuta kunang yang sedang merayap di atas padang ilalang, ia
menarik nafas panjang-panjang. Katanya, "Mereka menjadi
semakin dekat." Tanpa sesadarnya Samekta berpaling. Ditatapnya pering ori
yang kehitam-hitaman di dalam gelapnya malam. Tetapi ia tahu,
bahwa di belakang carangnya yang rimbun itu, tersembunyi para
pengawal dengan alat-alat pelontar lembing, busur-busur yang
besar dan bahkan pelontar batu-batu.
"Kita tidak dapat berdiam di sini untuk seterusnya," desis
Wrahasta. "Kita harus berada di dalam regol, dan pintu regol itu
akan kita tutup dan kita selarak kuat-kuat."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, kita akan
segera masuk. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati."
Wrahasta termenung sejenak. Tetapi ia kemudian
menggelengkan kepalanya, "Kesalahan kita adalah, kita
menunggu sampai serangan itu benar-benar datang. Selama ini
kita seakan-akan dibius oleh dugaan, bahwa Ki Tambak Wedi
tidak akan melakukan serangan itu segera dalam gelar yang
serupa itu." Samekta mengerutkan keningnya. Katanya, "Gelar yang
dipakainya kini pun agaknya masih kurang menguntungkan.
Kalau aku, maka gelar yang lebih baik akan aku pergunakan."
Wrahasta tidak menjawab. Dipandanginya saja obor-obor
yang semakin lama menjadi semakin dekat itu.
"Kita berbicara dengan Angger Pandan Wangi," tiba-tiba
Samekta bergumam. "Kita akan mendapat bahan tentang Ki
Gede Menoreh. Kita akan dapat mempertimbangkannya, apakah
kita akan melaporkannya atau tidak."
"Ya, kita menemui gadis itu. Tetapi waktu kita tidak terlalu
banyak." Samekta dan Wrahasta pun segera masuk ke dalam sambil
berkata kepada para penjaga, "Pintu regol ini pun harus segera
ditutup. Kalian pun harus masuk pula. Tidak seorang pun boleh
di luar regol." "Baik," jawab pemimpin pengawal yang sedang bertugas,
"pada saatnya kami pun akan segera masuk."
Samekta dan Wrahasta dengan tergesa-gesa segera
berusaha menemui Pandan Wangi. Mereka tidak dapat
menunda lagi karena obor-obor di luar lingkungan pering ori
telah menjadi semakin dekat.
"Bagaimana dengan Ki Argapati?" bertanya Samekta.
"Ayah telah menjadi semakin baik. Setelah obatnya
diperbaharui maka Ayah menjadi semakin ringan. Beberapa kali
ia bangun dan bahkan berjalan-jalan beberapa langkah di
seputar biliknya." Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Apa pun yang akan
mereka lakukan terhadap Ki Argapati, namun Pandan Wangi
sendiri harus mengetahuinya apa yang telah terjadi di luar regol
padesan ini. Karena itu, maka Samekta itu pun kemudian
berceritera tentang obor-obor yang telah mulai bergerak
mendekati regol. Wajah Pandan Wangi segera menjadi tegang dan
kemerahan. Sejenak ia terdiam. Kemudian terdengar ia
menggeram, "Kakang Sidanti telah benar-benar lupa diri. Lalu,
"Baiklah, aku akan pergi ke regol desa."
"Bukan itu yang penting Pandan Wangi. Tetapi bagaimana
dengan Ki Argapati."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Wajahnya yang
tegang menjadi semakin tegang. Sejenak kemudian ia berkata,
"Biarlah ayah beristirahat. Kalau keadaan menjadi terlampau
parah, kita akan memberitahutkannya. Kalau tidak, kita tidak
perlu membuatnya gelisah."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertimbangan
Pandan Wangi itu cukup bijaksana. Karena itu, maka katanya,
"Beritahukan para pengawal itu Pandan Wangi, agar mereka
tidak membuat kesalahan."
"Baiklah, aku akan melarang mereka untuk menyampaikan
semua berita tentang lawan kepada Ayah," sahut Pandan Wangi.
Setelah semua pengawal rumah itu dipesannya, maka
Pandan Wangi pun kemudian minta diri kepada ayahnya.
"Apakah kau harus pergi, Wangi."
"Sebentar, Ayah. Aku ingin melihat keadaan sejenak."
"Apakah kau mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi?"
Dada Pandan Wangi berdesir. Tetapi ia menjawab, "Tidak,
Ayah. Tidak ada apa-apa, selain suatu keinginan yang wajar
untuk keluar sejenak dan melihat keadaan para pengawal."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menjawab, "Pergilah, tetapi jangan terlampau lama."
"Terima kasih, Ayah. Aku ingin menemui para pemimpin
pengawal di tempat mereka."
Sejenak kemudian Pandan Wangi itu pun telah menghambur
ke halaman menemui Samekta dan Wrahasta. Mereka kemudian
bersama-sama pergi ke regol desa yang kini telah tertutup rapatrapat.
*** Pemimpin penjaga yang berada di depan pintu regol di bagian
dalam segera melaporkan kepada Samekta bahwa lawan telah
berada beberapa langkah saja di depan regol itu.
"Aku akan melihatnya," desis Samekta.
Maka pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu pun segera
pergi ke samping regol diikuti oleh Wrahasta dan Pandan Wangi.
Dengan sebuah tangga pendek mereka memanjat ke atas, dan
di atas sebuah anjang-anjang bambu mereka dapat melihat
gerakan pasukan Sidanti yang menjadi semakin dekat.
"Semua bersiap," Samekta memberikan aba-aba.
Maka semua orang pun bersiap di tempat masing-masing.
Semua alat pelontar, baik yang ditempatkan di atas carangcarang
ori, maupun yang berada di balik-balik dinding halaman,
semua telah tertuju ke mulut regol yang kini masih tertutup rapat.
Sedang sebagian yang ada di sisi regol, mengarah ke mulut
bagian luar dari regol itu.
Di belakang alat-alat pelontar itu, pasukan pengawal tanah
perdikan sudah siap dengan senjata masing-masing. Sebagian
berada di balik dinding-dinding batu, namun ada di antara
mereka yang duduk di atas cabang-cabang pohon dengan busur
di tangan mereka. Pandan Wangi dan Wrahasta pun telah berada di atas
anjang-anjang bambu itu pula. Sekalsekali terdengar mereka
menggeram. Wajah Pandan Wangi menjadi merah seperti
terbakar. Kedua tangannya telah hinggap di hulu sepasang
pedangnya. Sejenak kemudian maka pasukan Sidanti pun telah berada di
depan mulut regol menebar dalam gelar yang tidak terlampau
luas. Beberapa orang yang berdiri di paling depan tampak
seolah-olah seekor harimau yang sedang merunduk mangsanya,
perlahan-lahan mereka maju, namun pasti.
Dada Samekta menjadi berdebar-debar. Ia masih belum
dapat melihat, siapakah yang berdiri di pusat paruh pasukan
lawannya. Beberapa langkah dari pintu regol pasukan lawan itu berhenti.
Kemudian seseorang yang berwajah keras seperti batu-batu
padas, berkumis dan berjanggut, berhidung lengkung seperti
paruh burung betet, maju ke depan. Itulah Ki Tambak Wedi,
pemimpin dari seluruh pasukan lawan yang kini berada di mulut
regol. Sejenak kemudian orang tua itu terhenti. Dipandanginya pintu
regol yang tertutup rapat-rapat. Kemudian lampu yang masih
menyala di luar. Lalu dilayangkannya pandangan matanya ke
kegelapan di samping regol.
Seandainya bukan Ki Tambak Wedi, dan seandainya
matanya tidak setajam mata burung hantu, ia tidak akan melihat
apa pun di balik carang ori dalam kegelapan itu. Tetapi agaknya
Ki Tambak Wedi tidak dapat dikelabuhi lagi. Sambil menunjuk ke
arah para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh ia
berkata, "He, siapakah yang memegang pimpinan kali ini?"
Dada Samekta berdesir. Namun ia tidak yakin bahwa Ki
Tambak Wedi dapat melihatnya dengan jelas.
"He, siapa yang memegang pimpinan?"
Debar di dada Samekta masih belum mereda. Ia bukan
seorang yang merasa dirinya kurang bernilai untuk memimpin
pasukan pengawal tanah perdikan. Sebagai seorang yang telah
memiliki pengalaman yang berpuluh tahun, ia yakin, bahwa ia
mampu memegang pimpinan dalam keadaan yang
bagaimanapun juga. Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, terasa
sesuatu bergetar di dalam dadanya.
Namun agaknya bukan hanya Samekta sendiri yang
dihinggapi oleh perasaan yang aneh. Setiap pengawal yang
berada di atas cabang-cabang pering ori, yang melihat orang tua
itu berdiri dengan kaki merenggang di luar regol yang tertutup
rapat itu, hati mereka pun berdesir. Serasa mereka melihat hantu
yang datang dari lereng Gunung Merapi, siap untuk
menyebarkan maut. Apalagi ketika mereka melihat di tangan
hantu tua itu tergenggam sebuah nenggala yang mengerikan.
"He, apakah kalian tuli?" teriak Ki Tambak Wedi, "atau bisu,
atau mati ketakutan?"
Samekta menggeram. Ia tidak dapat berdiam diri untuk
seterusnya. Karena itu, ia melangkah setapak maju sambil
menggeretakkan giginya, seakan-akan mencari sandaran
kekuatan untuk menjawab pertanyaan Ki Tambak Wedi itu.
Tetapi terasa darahnya tiba-tiba saja berhenti mengalir.
Bukan saja Samekta, namun juga Wrahasta, Pandan Wangi, dan
bahkan semua orang yang kemudian mendengar suara tertawa
perlahan-lahan. Dalam kegelapan mereka kemudian melihat
sebuah bayangan yang meloncat dari belakang rimbunnya
carang ori di sisi regol yang lain ke atas bubungan atap.
Kemudian bayangan itu berhenti tepat di tengah-tengah
bubungan regol itu.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hampir tidak percaya setiap pengawal tanah perdikan
menyaksikan bayangan yang berdiri dengan teguhnya sambil
menggenggam sebuah tombak pendek.
Di sela-sela detak jantumg para pemimpin dan para
pengawal, mereka mendengar bayangan itu berkata, "Sudah
tentu, akulah yang memimpin pasukanku, Ki Tambak Wedi."
Sejenak suasana dicengkam oleh kesenyapan yang
menegangkan. Semua mata kini hinggap pada bayangan yang
berdiri di bubungan atap dengan tombak pendek di tangannya.
Seperti orang yang mengigau terdengar suara Pandan Wangi
lambat, "Ayah. Kenapa ayah berada di situ?"
Samekta yang masih belum dapat menenangkan dirinya
berpaling. Dengan telapak tangannya ia menekan dadanya
sambil berdesis, "Agaknya Ki Argapati mengetahui apa yang
telah terjadi." "Tetapi," gumam Wrahasta, "bagaimana dengan lukanya itu?"
Tidak seorang pun yang dapat menjawab semua pertanyaan
itu, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi,
"He, kau Argapati. Apakah luka-lukamu sudah sembuh"
Ternyata kau benar-benar seorang yang mempunyai nyawa
rangkap, atau kau menyimpan seorang dukun yang tidak ada
duanya di muka bumi?"
Terdengar Ki Argapati tertawa perlahan-lahan. Jawabnya,
"Tidak ada yang mustahil terjadi di muka bumi ini apabila Tuhan
berkenan, Tambak Wedi. Aku masih mendapat kurnia umur
beberapa waktu lagi. Apa pun caranya, namun aku telah
mendapat kesembuhan daripada-Nya."
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi kehadiran Ki Argapati itu
ternyata telah mempengaruhinya. Bukan saja dirinya sendiri,
tetapi Sidanti, Argajaya, Ki Wasi dan apalagi Ki Muni, menjadi
membatu di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesosok
hantu yang berdiri di atas bubungan atap regol.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun sangat
terpengaruh pula oleh kehadiran Kepala Tanah Perdikannya itu.
Apabila semula mereka menjadi kecut melihat Ki Tambak Wedi
yang berdiri tegak dengan nenggala di tangannya di muka regol
desa itu sambil memanggil-manggil pimpinan pasukan
pengawal, maka dada mereka kini serasa tersiram embun.
Sehingga kecemasan, keragu-raguan apalagi ketakutan telah
terusir. Di samping Ki Argapati, semua anggauta pasukan
pengawal, bahkan setiap laklaki yang dengan suka rela telah
menyatakan diri ikut berperang, tidak lagi akan mengenal takut,
meskipun ujung senjata lawan akan membelah dada mereka.
"Ki Argapati," terdengar suara Ki Tambak Wedi, "apabila
benar kau telah berhasil mengatasi lukamu, maka sebaiknya kau
membuat pertimbangan-pertimbangan yang wajar untuk
selanjutnya. Apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada
tindakan bodoh seperti yang kau lakukan kali ini" Apa artinya
beberapa buah desa kecil yang kau duduki sekarang" Kalau kita
mengepungmu siang dan malam, maka kalian akan mati
kelaparan. Tetapi kami masih dapat berpikir bening, bahwa
orang-orang yang terperosok ke dalam kedunguan karena
kesetiaannya yang mati kepadamu itulah, maka kami masih
tetap memberi kesempatan kepada kalian untuk merampas
bahan makanan dari desa-desa di sekitar sarangmu ini. Karena
itu, apakah kau tidak pernah berpikir untuk mengakhiri tindakan
yang bodoh ini" Aku menjamin bahwa kau akan tetap
diperlakukan dengan baik dan dihormati. Kami tidak akan
melakukan tindakan apa pun terhadap orang-orang yang kini
tetap setia kepadamu. Sehingga dengan demikian, penyelesaian
akan segera dapat dicapai."
Ki Argapati tidak segera menjawab. Tetapi ia tertawa.
"Kenapa kau tertawa?"
"Kalau bukan kau yang mengatakannya, Ki Tambak Wedi,
mungkin aku akan percaya. Tetapi karena kau yang
mengucapkannya, maka ceriteramu itu tidak lebih dari kata-kata
banyolan dalam pertunjukan tari topeng."
Jawaban itu telah membakar dada Ki Tambak Wedi. Tetapi ia
masih berusaha menguasai perasaannya. "Kalau begitu, Ki
Argapati, apakah aku harus mempergunakan kekerasan?"
"Kenapa kau bertanya kepadaku?"
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah," geramnya. Orang tua itu pun kemudian mengangkat
tangannya. Digerakkannya tangan itu melingkar sekali,
kemudian diayunkannya tangannya maju ke depan.
Sesaat kemudian maka obor-obor pun mulai bergerak pula
perlahan-lahan. Yang memimpin pasukan itu adalah Ki Wasi dan
Ki Muni. Sidanti dan Argajaya, meskipun ikut di dalam pasukan
itu, tetapi mereka tidak berdiri di ujung barisan. Kecuali mereka
tidak merasa perlu untuk menampakkan diri, mereka masih
mempunyai tugas untuk mengawasi seandainya orang-orang
yang sedang mereka cari itu benar-benar hadir di dalam
peperangan. Ki Argapati yang melihat obor-obor itu telah mulai bergerak,
menarik nafas dalam. Sesaat kemudian ia berpaling, seakanakan
ingin melihat apakah orang-orangnya telah siap pula
menyambut kedatangan lawan.
"Kita tidak akan menunggu lagi bukan, Ki Argapati?" bertanya
Ki Tambak Wedi. Lalu, "Kecuali apabila kau merubah
pendirianmu." "Memang," jawab Ki Argapati, "kita tidak perlu menunggu
siapa pun. Kita akan segera mulai."
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian
melangkah surut menyongsong pasukannya yang bergerak
semakin maju. Ki Argapati pun kemudian meninggalkan tempatnya pula.
Tetapi ia tidak kembali ke tempat darimana ia meloncat ke
bubungan atap regol itu. Tetapi ia kemudian pergi mendapatkan
Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan para pemimpin yang
lain. "Apakah kalian telah siap?" bertanya Ki Argapati.
"Maaf Ki Gede. Bukan maksud kami meninggalkan Ki Gede.
Tetapi kami tidak sampai hati mengganggu Ki Gede yang masih
belum sehat benar." "Aku tahu maksudmu. Karena itu, kita tidak perlu
mempersoalkannya lagi."
"Tetapi dari mana Ayah mengetahui hal ini?" bertanya
Pandan Wangi. "Aku menaruh curiga atas kepergianmu yang tiba-tiba.
Kemudian aku keluar halaman dan bertanya kepada orangorang
yang sibuk hilir-mudik di sepanjang jalan."
Pandan Wangi menarik nafas. Yang dipesannya hanyalah
para pengawal yang menjaga rumah itu, tetapi sudah tentu ia
tidak akan dapat berpesan kepada setiap orang.
"Sekarang," berkata Ki Argapati, "kita akan mulai. Kita tidak
boleh kehilangan kesempatan untuk melawan kali ini, dan
mempertahankan tempat ini. Kalau kita terusir dari tempat ini,
maka kehancuran sudah berada di ambang pintu."
Samekta menganggukkan kepalanya. Kemudian diberikannya
isyarat kepada setiap kelompok. Beberapa penghubung telah
tersebar, membawa perintah pemimpin pasukan pengawal itu.
Namun sementara itu, Pandan Wangi terkejut ketika ia
melihat ayahnya menyeringai sambil memegangi dadanya.
Dengan cemas ia mendekat dan bertanya terbata-bata, "Kenapa
dengan luka itu, Ayah?"
"Tidak apa-apa."
"Seharusnya Ayah masih beristirahat. Dan kami memang
ingin mempersilahkan Ayah beristirahat."
"Aku harus ada di sini Pandan Wangi," jawab ayahnya,
"meskipun aku belum sehat benar." Orang tua itu berhenti
sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya.
Ketika tidak dilihatnya orang lain kecuali Samekta dan Wrahasta,
yang berada di dekatnya, maka ia berkata lirih, "Aku harus ada di
peperangan ini meskipun aku belum cukup kuat untuk
bertempur. Aku tidak dapat membiarkan para pengawal menjadi
ketakutan melihat Ki Tambak Wedi. Kehadiranku akan
memperbesar hati mereka dan memperkuat perlawanan
mereka." Ki Argapati berhenti sejenak. Sekali lagi ia menyeringai
menahan sakit yang mulai menyentuh lukanya kembali.
Pandan Wangi, Samekta, dan Wrahasta menjadi cemas
melihat keadaan Ki Argapati. Namun di dalam hati mereka
menjadi semakin menundukkan kepala mereka. Ki Gede
Menoreh sama sekali tidak menghiraukan keadaannya sendiri.
Tetapi ia lebih memelihara ketahanan hati para pengawal. Sebab
ia yakin, bahwa kehadirannya akan sangat berpengaruh pada
perasaan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun demikian, tetapi Ki Argapati tidak akan dapat
dibiarkan menjadi korban, selama hal itu masih dapat
dihindarinya. "Pandan Wangi," berkata Ki Argapati, "sebentar lagi kedua
pasukan yang berhadapan ini akan berbenturan. Aku akan turun.
Aku akan menunggu di bawah, di dalam regol. Kalau Ki Tambak
Wedi berkeras akan memecahkan regol itu, dan memasuki
padesan ini, apa boleh buat. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat
bertempur sendiri. Aku memerlukan beberapa orang kawan
untuk menghadapi Ki Tambak Wedi."
"Aku akan berkelahi di samping Ayah," jawab Pandan Wangi.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik, Wangi.
Tetapi sekedar dengan kau, kita masih belum akan dapat
mengatasinya." "Kita buat sekelompok kecil pengawal pilihan buat
melawannya, Ayah." "Kita harus segera mempersiapkan. Aku melihat Ki Wasi dan
Ki Muni di barisan lawan. Adalah tugasmu Samekta dan
Wrahasta, meskipun aku perlu memperingatkan, bahwa kalian
masing-masing tidak akan dapat melawan seorang lawan
seorang." "Ya, Ki Gede," sahut keduanya hampir bersamaan.
"Mudah-mudahan mereka tidak akan memasuki desa ini. Aku
melihat gelar mereka kurang lengkap untuk melawan alat-alat
pelontar yang telah siap di depan regol itu."
"Mudah-mudahan, Ki Gede."
"Baiklah, aku akan turun bersama Pandan Wangi. Awasi
keadaan dan kaulah yang akan memberikan perintah-perintah
berikutnya. Aku telah cukup berusaha. Ki Tambak Wedi harus
membuat pertimbangan-pertimbangan baru setelah ia melihat
aku. Demikian juga orang-orangnya. Aku berusaha sejauh-jauh
dapat aku lakukan, membuat kesan bahwa lukaku sudah tidak
berbahaya lagi." "Silahkan, Ki Gede," sahut Wrahasta, "kami akan berusaha
sejauh mungkin." Ki Argapati dan Pandan Wangipun segera turun dari
tempatnya. Mereka mengambil tempat di pinggir jalan beberapa
puluh langkah dari regol, di belakang para pengawal yang telah
siap dengan alat-alat pelontar dan busur-busur.
Sejenak kemudian pasukan Ki Tambak Wedi pun menjadi
semakin dekat. Obor-obor mereka menjadi semakin jelas
menerangi wajah-wajah yang tegang. Ketika kemudian Ki
Tambak Wedi memberikan isyarat dengan tangannya dan
disambut oleh setiap pemimpin di dalam pasukannya, maka
kemudian terdengar mereka bersorak gegap gempita. Langkah
mereka menjadi semakin cepat dan obor mereka pun terangkat
tinggtinggi sambil mengacung-acungkan senjata pula.
Mereka yang berperisai segera mengambil tempat di depan
untuk melindungi lontaran-lontaran senjata jarak jauh. Kemudian
diikuti oleh mereka yang bersenjatakan pedang dan tombak.
Samekta menjadi berdebar-debar melihat arus pasukan Ki
Tambak Wedi. Pasukan itu memusatkan serangannya pada
regol desa, dan sedikit menebar sebelah-menyebelah sebagai
sayap pasukannya. Agaknya mereka merasa bahwa mereka
tidak akan dapat menerobos masuk lewat pagar pering ori. Satusatunya
jalan bagi mereka adalah regol-regol desa.
Ketika pasukan itu telah berada dalam jarak jangkau alat-alat
pelontar lembing, maka Samekta segera melepaskan perintah.
Sejenak kemudian, maka dari sela-sela carang-carang ori itu
meluncurlah berpuluh-puluh lembing menghujani pasukan Ki
Tambak Wedi. Ki Tambak Wedi memang sudah menduga, bahwa mereka
pada saatnya harus melawan senjata-senjata itu. Karena itu,
maka mereka yang membawa perisai segera mengambil tempat
dan berusaha menangkis serangan-serangan itu. Tetapi lembing
itu meluncur terlampau keras, sehingga kadang-kadang
beberapa orang yang kurang kuat, tergetar dan terdorong surut
beberapa langkah ketika perisaperisai mereka membentur
lembing yang meluncur dengan derasnya.
Tetapi arus pasukan itu ternyata cukup deras. Meskipun satusatu
korban berjatuhan, namun mereka sama sekali tidak dapat
ditahan lagi. Apalagi ketika pasukan panah Ki Tambak Wedi
telah mengambil tempatnya dan membalas serangan-serangan
itu dengan anak-anak panah mereka. Meskipun para pengawal
berperisai carang ori yang rimbun, namun satu dua di antara
anak-anak panah itu berhasil menembus dan melukai para
pengawal. "Pecah pintu itu," teriak Ki Tambak Wedi yang memimpin
langsung pasukannya. Beberapa orang kemudian berlarlari semakin dekat ke arah
pintu regol. Bersama-sama mereka berusaha memecah pintu itu.
Mereka mendorong sekuat-kuat tenaga mereka bersama-sama.
Sementara kawan-kawan mereka melindungi mereka dengan
serangan anak-anak panah kepada para pengawal.
Tetapi pintu regol itu adalah pintu yang sangat kuat, sehinga
usaha itu pun tidak segera dapat berhasil.
"Cepat, pecahkan pintu," perintah Ki Tambak Wedi.
Ki Wasi dan Ki Muni yang telah berdiri di muka pintu, itu
menggelengkan kepalanya, "Terlampau sulit," katanya, "pintu ini
terlampau kuat." Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Sementara itu
anak-anak panah meluncur terus dari kedua belah pihak.
Bahkan kemudian beberapa orang telah mulai melontarkan obor
mereka ke dalam pagar rumpun bambu ori.
"Bakar regol itu," teriak Ki Tambak Wedi kemudian.
Ki Wasi mengerutkan keningnya. Namun perintah itu telah
menjalar dari setiap mulut, "Bakar, bakar."
Beberapa orang yang berusaha memecahkan pintu itu pun
segera meloncat surut. Yang kemudian melangkah maju adalah
mereka yang membawa obor di tangan mereka. Sambil
berteriak-teriak mereka melemparkan obor-obor mereka ke pintu
regol. Minyak yang ada di dalam obor-obor itu pun kemudian
tumpah dan mengalir membasahi tlundak pintu. Sedang oborobor
itu pun saling membakar satu sama lain.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan cepatnya maka api pun segera berkobar. Yang mulamula
terbakar adalah bumbung-bumbung bambu tangkai obor
yang telah basah oleh minyak. Namun kemudian tlundak pintu
yang sudah diperciki oleh minyak itu pun mulai terbakar pula.
Sedikit demi sedikit, api merambat tanpa dicegah sama sekali.
Para pengawal yang melihat api mulai menjilat regol mereka
segera bergerak. Tetapi Ki Gede Menoreh mencegah mereka
sambil berkata, "Jangan mendekat. Kalian akan terpancing.
Kalau kalian berusaha memadamkan api itu, maka kalian tidak
akan dapat melihat api itu padam, karena leher kalian akan
terpenggal." Para pengawal pun segera mengurungkan niatnya. Sekalisekali
mereka memandang Samekta dan Wrahasta di
tempatnya. Tetapi agaknya mereka pun sependapat dengan Ki
Gede Menoreh meskipun mereka belum membicarakannya.
Ternyata bahwa Samekta pun sama sekali tidak memberikan
perintah apa pun. Sejenak kemudian maka api pun segera berkobar semakin
tinggi. Pintu regol itu sedikit demi sedikit termakan oleh api yang
melonjak sampai ke bubungan. Dan sejenak kemudian maka
regol desa itu telah menjadi seonggok api yang berkobar-kobar
seolah-olah akan menjilat langit.
Cahaya merah yang seram telah memancar ke sekitar.
Onggokan api itu menyentuh wajah-wajah yang tegang di dalam
dan di luar regol. Pasukan kedua belah pihak seolah-olah
membatu di tempat masing-masing.
Namun Samekta dan Wrahasta beserta beberapa orang
pengawal yang bertengger di atas anjang-anjang dengan alatalat
pelontar mereka, sebelah-menyebelah regol itu, tidak dapat
menahan panas api itu lagi. Mereka terpaksa beringsut dan
menjauh. "Panggil Samekta," perintah Ki Gede.
Seorang pengawal pun kemudian menemui Samekta yang
basah oleh keringatnya yang seakan-akan terperas dari dalam
tubuhnya. Dengan tergesa-gesa ia pergi menghadap Ki Argapati.
"Pimpinan pasukanmu dari tempat ini. Aku akan
mendampingimu," berkata Ki Argapati.
"Tetapi apakah Ki Gede tidak beristirahat saja dahulu."
Ki Argapati menggeleng. Justru nyala api itu seakan-akan
telah menyingkirkan segala perasaan sakitnya. Bagaimanapun
juga, maka ia harus menyiapkan diri, dalam keadaannya itu,
untuk mempertahankan pemusatan pasukannya.
Samekta dan Wrahasta pun kemudian berdiri sebelah
menyebelah Ki Argapati dan Pandan Wangi. Di tangan mereka
telah tergenggam senjata masing-masing yang telanjang.
Sekilas Samekta melihat para pengawal yang kepanasan
berdiri berlindung di balik pagar-pagar batu. Namun mereka
tetap berada di tempat. Mereka tidak mau meninggalkan alat-alat
pelontar lembing dan busur besar mereka. Apabila api itu nanti
mereda, dan pasukan lawan akan menerobos masuk, maka
adalah menjadi kuwajiban mereka untuk menahan arus itu.
Apabila mereka gagal mengurangi derasnya arus lawan, maka
para pengawal yang telah siap menunggu, setengah lingkaran di
dalam regol itu pun pasti akan pecah, seperti pecahnya
bendungan oleh banjir bandang. Karena itu, maka mereka
merasa bertanggung jawab untuk menahan mereka sekuat-kuat
tenaga. Selama api itu masih berkobar, maka tidak akan ada seorang
pun yang dapat melampauinya. Baik memasuki maupun keluar
dari desa ini. Karena itu, selama api masih berkobar, mereka di
kedua pihak hanya dapat menunggu. Sekalsekali masih juga
ada lontaran-lontaran lembing dari para pengawal di sebelahmenyebelah
regol, namun jarak mereka menjadi terlampau jauh
karena mereka tidak tahan lagi terhadap panasnya api.
"Jangan terpancing keluar," desis Ki Argapati.
"Aku sudah mengeluarkan perintah itu," sahut Samekta.
"Bagus. Apabila kita terpancing keluar dan menghalangi
setiap alat pelontar itu, maka kita akan dibinasakan."
"Ya," Samekta mengangguk. Tetapi tatapan matanya tidak
berkisar dari api yang seolah-olah menarnari dalam buaian
angin yang silir. Sejenak kemudian, api pun mulai mereda. Karena itu, maka
setiap orang di dalam regol segera mempersiapkan diri. Mereka
harus mempergunakan setiap kekuatan untuk menahan arus
pasukan Tambak Wedi. Mereka harus mengurangi jumlah
mereka sebanyak-banyaknya.
Namun baik Ki Argapati, maupun Samekta dan para
pemimpin yang lain tidak mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi pun
telah mengeluarkan perintah agar pasukannya pun jangan
melampaui regol yang sedang terbakar itu.
"Terlampau berbahaya. Kita akan terlampau banyak
memberikan korban, karena kita tidak mempersiapkan peralatan
untuk itu." Ki Muni mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak membantah.
Dalam keadaan serupa itu, Ki Tambak Wedi pasti tidak akan
dapat diajaknya untuk bergurau. Orang tua itu pasti akan segera
menjadi muak mendengar ia membual.
Tetapi meskipun demikian, ia bertanya, "Lalu apakah yang
akan kita lakukan sesudah api itu padam?"
"Kita mengharap Argapati membawa pasukannya keluar."
Ki Muni mengerutkan keningnya. Tetapi ia terdiam sambil
mengawasi api yang semakin susut.
Ketika mereka telah dapat memandang melangkahi nyala api
yang sudah menjadi semakin kecil, maka dalam keremangan
cahaya kemerah-merahan, dalam jarak beberapa puluh langkah
di luar dan di dalam regol, kedua pasukan itu saling dapat
melihat, siapakah yang berdiri memegang pimpinan.
Ki Tambak Wedi menggeram ketika ia melihat samara-samar
Ki Argapati berdiri tegak di samping puterinya yang telah
menggenggam sepasang pedangnya. Kemudian pemimpin
pasukan pengawal, Samekta dan Wrahasta.
"Tidak seorang pun yang dapat dibanggakan di dalam
pasukan Argapati itu selain ia sendiri," tanpa sesadarnya Ki
Tambak Wedi menggeram. "Nah, kenapa kita tidak akan memasuki regol?"
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian dengan
agak keras ia menyahut, "Kita bukan orang-orang yang paling
bodoh di medan peperangan. Sudah aku katakan, korban akan
terlampau banyak. Aku yakin bahwa aku akan dapat hidup,
tetapi belum tentu dengan kau."
Wajah Ki Muni yang kemerah-merahan karena sentuhan sinar
api, menjadi semakin merah membara. Seandainya yang
berkata demikian itu bukan Ki Tambak Wedi, maka ia pasti tidak
akan membiarkan dirinya terhina. Tetapi terhadap Ki Tambak
Wedi ia harus berpikir untuk kesekian kalinya sebelum ia berbuat
sesuatu. Karena itu, maka yang terdengar adalah gemeretak giginya.
Namun ia tidak menjawab lagi. Kini matanya yang tajam
memandang api yang semakin lama semakin surut, dan lamatlamat
dilihatnya pula Argapati berdiri tegak dengan tombok
pendeknya di samping puterinya yang cantik Pandan Wangi.
Namun Pandan Wangi itu seakan-akan sama sekali bukan
seorang gadis lagi. Dengan sepasang pedang di tangannya,
Pandan Wangi itu bagaikan bunga pandan yang dikitari oleh
seonggok durduri yang tajam.
Di samping ayah beranak itu, berdirilah para pemimpin
pasukan pengawal Tanah Perdikan. Hampir semuanya sudah
dikenal oleh Ki Muni, Samekta, Wrahasta, dan yang lain lagi.
Mereka bukannya orang-orang yang berhati seringkih batang
ilalang. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berpendirian
teguh. Ki Argapati yang berdiri di dalam regol pun melihat, siapa
yang berada di pasukan lawan. Ia melihat pula betapa Ki
Tambak Wedi dengan tegang memandang api yang semakin
surut. Di sebelah-menyebelah berdiri kedua orang yang
dikenalnya dengan baik pula, Ki Wasi dan Ki Muni.
Sebagai seorang yang memiliki pengamatan yang tajam,
maka Ki Argapati melihat, bahwa agaknya Ki Tambak Wedi
sama sekali tidak berhasrat untuk memasuki pedesan itu setelah
api mereda. Karena itu, maka ia menjadi ragu-ragu di dalam hati,
apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh iblis dari lereng
Gunung Merapi itu. Meskipun demikian Ki Argapati tidak dapat lengah. Ia harus
tetap berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Mungkin Ki
Tambak Wedi sengaja membuat gelar yang meragukan
lawannya, tetapi kemudian dengan tiba-tiba memukul tanpa
ampun. Bahwa Sidanti dan Argajaya tidak tampak di dalam pasukan
itu pun membuatnya agak bercuriga. Sehingga perlahan-lahan ia
bertanya kepada Samekta, "Bagaimana dengan regol-regol
samping yang lain." "Aku telah menempatkan pengawasan yang cukup Ki Gede.
Kalau terjadi sesuatu di sana, mereka pasti akan memberikan
isyarat." Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, "Aku
tidak melihat Sidanti dan Argajaya di ujung barisan mereka."
"Mungkin mereka masing-masing memimpin sayap pasukan
itu." Ki Argapati mengangguk-angukkan kepalanya. Tetapi terasa
hatinya menjadi terlampau pedih. Jauh lebih pedih dari luka
badaniah di dadanya. Adiknya sendiri ternyata telah melawannya
pula. Bahkan anak yang sejak kecil dipeliharanya, betapapun ia
menghadapi kenyataan yang paling pahit. Kini, seperti
memelihara anak-anak harimau, ia harus berhadapan sebagai
lawan, setelah harimau itu menjadi besar dan kuat.
Sementara itu, agak jauh dari nyala api regol yang telah
susut, tiga orang berdiri termangu-mangu di tempatnya. Seakanakan
tanpa berkedip mereka memandangi keadaan yang sedang
berkembang di sebelah menyebelah regol yang sedang dimakan
api itu. Dengan tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berkata,
"Apalagi yang kita tunggu?"
Seorang tua yang ada di antara mereka berpaling. Dengan
ragu-ragu ia bertanya, "Apa yang akan kau lakukan?"
"Guru," sahut orang yang pertama, seorang anak muda yang
gemuk, "buat apa Guru memanggil aku dan berlarlari kemari"
Aku kira lebih baik berbaring di gubug itu daripada berdiri di sini
tanpa berbuat sesuatu."
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
"Kita melihat keadaan. Kalau kita tergesa-gesa berbuat sesuatu,
mungkin kita akan melakukan kesalahan. Karena itu, kita harus
memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Apakah tindakan kita itu menguntungkan atau justru sebaliknya."
"Tetapi sebentar lagi api itu akan padam. Pasukan Tambak
Wedi akan segera menghambur masuk ke dalam desa itu dan
memecahkan pertahanan Argapati. Betapapun juga Ki Argapati
masih dalam keadaan luka. Sudah tentu ia tidak akan dapat
berhadapan dengan Ki Tambak Wedi."
"Tambak Wedi bukan iblis Gupala," jawab orang tua itu, "ia
adalah manusia biasa seperti kita. Ujung lembing yang
dilontarkan dari alat-alat pelontar itu, apabila mengenainya, akan
menyobek kulitnya pula. Meskipun ia mempunyai beberapa
kelebihan dari orang kebanyakan karena ia mesu diri, namun
pada suatu batas tertentu, ia pun akan dapat dilumpuhkan."
"Meskipun demikian, Guru," sahut Gupala, "ia mempunyai
pasukan pula. Pasukannyalah yang akan dijadikannya perisai
dari serangan-serangan lembing dan anak panah."
"Kau benar. Tetapi aku kira Tambak Wedi bukan seorang
yang terlampau bodoh untuk mengorbankan terlampau banyak
orang-orangnya. Aku tidak melihat persiapan yang cukup untuk
memasuki regol itu." Orang tua itu berhenti sejenak, lalu
"Seandainya demikian, Tambak Wedi masih memerlukan waktu.
Seandainya api itu padam, maka Tambak Wedi masih harus
menunggu lagi. Orang-orangnya tidak akan dapat berjalan di
atas bara sementara alat-alat pelontar dari dalam regol
menyerang mereka seperti hujan. Kalau memang itu yang
dikehendakinya aku tidak tahu."
Gupala menarik keningnya. Ia tidak berani membantah lagi.
Betapapun hatinya bergolak, namun ia berdiri saja dengan
gelisahnya. Sekalsekali dirabanya cambuknya yang melingkar
di lambung. Namun kemudian ditimang-timangnya sehelai
pedang yang didapatkannya dari lawannya.
"Seandainya Ki Tambak Wedi memang merencanakan untuk
masuk ke dalam lingkungan bambu ori itu, maka pasukannya
pasti dilengkapi dengan perisai jauh lebih banyak dari yang ada
sekarang." Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang anak
muda yang seorang lagi berdiri saja seolah-olah membeku.
Namun hatinya dicengkam oleh kecemasan dan kegelisahan.
Meskipun ia tidak berkata sepatah kata pun, namun sebenarnya
perasaannya tidak jauh berbeda dengan adik seperguruannya.
Tetapi ia masih dapat menahan diri tanpa menyatakan
perasaannya itu. Sejenak mereka bertiga terdiam sambil menahan nafas. Api
yang menelan regol desa itu sudah menjadi semakin surut.
Namun belum ada tanda-tanda, bahwa Ki Tambak Wedi akan
menyerang memasuki pusat pertahanan para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh itu. "Aku hampir pasti bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan
memasuki regol," berkata orang tua itu tiba-tiba.
Kedua anak-anak muda yang berdiri di sisinya
menganggukkan kepala mereka. Mereka pun tidak melihat
tanda-tanda itu. Namun mereka tidak menyahut.
Dalam pada itu, baik orang-orang di dalam pasukan Ki
Tambak Wedi maupun Ki Argapati, dengan susah payah
menahan diri masing-masing untuk tidak terdorong oleh
perasaan mereka. Tangan-tangan mereka telah gemetar dan
dada mereka pun telah bergelora. Tetapi masing-masing tidak
akan dapat melanggar perintah dari pemimpin tertinggi mereka,
bahwa masing-masing tidak boleh melangkahi regol yang kini
telah menjadi bara. Kedua belah pihak berdiri termangu-mangu menunggu
perkembangan keadaan. Ki Tambak Wedi mengharap para
pengawal itu terpancing keluar. Apabila demikian, maka mereka
akan dapat dibinasakan, karena kekuatan Ki Tambak Wedi tidak
akan berkurang karena serangan-serangan alat-alat pelontar
yang cukup berbahaya itu.
Sedangkan Ki Argapati mengharap pasukan Ki Tambak Wedi
itu memasuki pertahanannya. Selama mereka meloncat-loncat


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindari bara yang akan menyengat kaki mereka, maka alatalat
pelontar lembing, busur-busur dan bahkan bandil-bandil
besar akan dapat mengurangi kekuatan lawan.
Tetapi hingga api menjadi semakin surut, dan bahkan hampir
padam kedua belah pihak sama sekali tidak bergerak. Mereka
berdiri di tempat masing-masing dalam kesiagaan penuh.
Sekalkali terdengar beberapa dari mereka menggeram.
Tangan-tangan mereka menjadi gemetar dan kakkaki mereka
seakan-akan tidak dapat mereka tahankan lagi untuk meloncat
menyergap lawan yang telah berada di depan hidung mereka.
"Argapati," tiba-tiba terdengar suara Ki Tambak Wedi
melengking. "Kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada saat kami
membakar regol pertahananmu" Apakah regol itu memang
sudah tidak kau perlukan lagi atau kau sama sekali tidak
mempunyai kemampuan untuk mencegahnya?"
Yang terdengar adalah geram Wrahasta dan para pengawal
yang lain. Namun Ki Argapati sendiri tersenyum sambil
menjawab keras-keras, "Masuklah Ki Tambak Wedi. Pintu kami
telah terbuka. Apa yang kau tunggu lagi" Bukankah kau ingin
merebut kedudukan kami yang terakhir ini" Ayolah, jangan
segan-segan kalau kau memang merasa cukup mampu."
"Persetan!" jawab Ki Tambak Wedi. "Kau sangka aku tidak
dapat merebutnya dalam sekejap?"
"Kenapa tidak kau lakukan" Apakah kau belum
mempersiapkan perisai yang cukup untuk menerobos pasukan
pelontar lembing kami" Atau kau merasa bahwa sampai
orangmu yang terakhir pasti akan terhenti di regol yang telah
menjadi abu itu?" Ki Tambak Wedi menggeram. Kemudian terdengar ia
berteriak, "He. Apakah lukamu masih belum sembuh benar?"
"Kenapa kau bertanya tentang lukaku" Ki Tambak Wedi, aku
sudah siap menyambutmu. Marilah, aku persilahkan kalian
masuk." Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Namun dicobanya
untuk melihat wajah-wajah di sekitar Ki Argapati pada sisa-sisa
cahaya api yang telah memusnahkan regol desa itu. Tetapi ia
tidak menemukan orang yang dicarinya.
Karena itu, setelah ia yakin, bahwa yang dicarinya tidak ada,
maka ia tidak merasa perlu untuk berada di tempat itu terlampau
lama. Ia telah memberikan kejutan yang pasti akan berpengaruh
pada para pengawal. Karena itu, maka orang tua itu pun
kemudian berkata lantang, "Tidak Argapati. Kali ini aku tidak
akan singgah di desa yang sunyi dan mati ini. Aku hanya ingin
menunjukkan kepadamu bahwa kami adalah orang-orang yang
mempunyai rasa perikemanusiaan yang tebal. Kami datang
sekedar memberi kau peringatan. Tetapi kalau kau masih juga
berlaku bodoh, maka aku tidak akan memaafkanmu lagi. Karena
itu, dengarlah Argapati. Malam ini aku merasa perlu untuk
mengasihani kau dan orang-orangmu yang tidak tahu-menahu
alasan apakah yang kau pegang sampai saat ini, sehingga kau
masih tetap berkepala batu. Tetapi aku tidak akan berbuat
demikian untuk seterusnya. Aku akan mengepung tempat ini
rapat-rapat dalam dua hari dua malam. Kalau kau tidak berubah
pendirianmu, maka pada hari yang ketiga, bukan saja regolmu
yang kami bakar, tetapi kami akan membakar seluruh rumpun
pering ori ini. Memang sulit untuk membakar rumpun bambu
yang masih berdiri. Tetapi kami yakin bahwa kami mampu
melakukannya. Seterusnya, desa yang sunyi dan mati ini akan
menjadi kuburan yang luas bagi kalian yang dungu."
Wrahasta, yang darahnya masih terlampau cepat mendidih,
tidak dapat bersikap terlampau tenang seperti Ki Argapati. Tetapi
ketika ia bergerak maju, tangan Ki Argapati menggamitnya.
Dengan wajah yang tegang Wrahasta memandang Ki Argapati
yang masih saja tersenyum. Ia tidak mengerti kenapa hinaan itu
ditanggapinya acuh tak acuh saja.
"Tenanglah," desis Ki Argapati. Kemudian kepada Ki Tambak
Wedi ia berkata, "Apa pun yang kau katakan, Ki Tambak Wedi.
Tetapi kami tahu apakah yang sebenarnya telah menahanmu.
Meskipun demikian, terserahlah kepadamu. Kalau kau ingin
kembali dahulu, mempersiapkan dirimu, silahkanlah. Aku akan
menunggu. Sehari, dua hari, atau hari yang ketiga seperti yang
kau katakan." Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia mempunyai cukup
pengalaman, sehingga ia tidak mudah lagi dibakar oleh
perasaannya, seperti juga Ki Argapati. Karena itu, maka
jawabnya, "Baiklah. Aku akan kembali. Di hari ketiga, aku akan
datang. Mudah-mudahan kau sudah sembuh. Sehingga kau
tidak akan mengecewakan aku."
Ki Argapati tidak menjawab. Dengan tajamnya diawasinya
segala macam gerak gerik iblis dari lereng Gunung Merapi itu.
Namun agaknya Ki Tambak Wedi benar-benar menarik
pasukannya. Selangkah demi selangkah mereka mundur.
Semakin lama semakin jauh dari mulut lorong yang sudah tidak
beregol lagi. Sementara itu Ki Muni mendekatinya sambil berkata, "Kenapa
kita harus menunggu tiga hari lagi" Itu sikap yang sangat
bodoh." Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Justru kepalanya
tertunduk seolah-olah sedang menghitung langkah kakinya.
Namun agaknya ia sedang berpikir tentang pasukannya dan
pasukan Argapati. Dengan cermat ia mencoba menilai
keseimbangan kedua pasukan itu.
"Ki Tambak Wedi," Ki Muni yang masih mengikutinya
bertanya lagi, "kenapa kita menunggu tiga hari lagi" Telah di
dayung jaring dilepaskan. Belum tentu kalau kelak akan
menetas." Ki Tambak Wedi berpaling, tetapi ia tidak segera menjawab.
"Bukankah semudah meremas ranti?" berkata Ki Muni pula.
"Sekarang kita melepaskannya dan memberitahukan untuk
datang lagi pada hari yang ketiga. O, alangkah bodohnya. Kita
sendirilah yang meminta kepada mereka untuk menggali lubang
kubur kita." "Cukup!" tiba-tiba Ki Tambak Wedi menggeram. "Aku kira kau
mampu berpikir Ki Muni, ternyata kau lebih bodoh dari orangorang
Menoreh itu. Apa kau sangka aku sudah gila, dengan
melakukan kebodohan itu" Aku tidak akan menunggu sampai
tiga hari seperti yang aku katakan. Hanya kerbaulah yang
menyerahkan hidungnya untuk dicocok,"
"Jadi?" "Aku akan segera mempersiapkan pasukan. Begitu aku siap,
aku akan kembali. Besok atau selambat-lambatnya lusa. Tetapi
sebelum hari ketiga. Aku harap Argapati benar-benar bodoh
sehingga menunggu sampai hari yang aku katakan."
Ki Muni mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menganggukanggukkan
kepalanya sambil bergumam, "O, akulah yang
bodoh." "Tetapi," tiba-tiba Ki Wasi memotong, "itu bukan kebodohan.
Ki Argapati adalah seorang laklaki yang jujur. Ia tidak pernah
bertindak licik. Karena itu, maka orang seperti Ki Argapati
terlampau mudah ditipu dan dijebak."
Ki Tambak Wedi tertegun sejenak, sementara Ki Wasi
melanjutkan, "Seperti saat-saat yang telah ditentukan di bawah
Pucang Kembar." "Itu bukan suatu kelicikan," bantah Ki Tambak Wedi, "dalam
peperangan kita dapat bersiasat. Kita tidak harus bertempur
seorang lawan seorang sampai orang yang terakhir. Itu
terlampau bodoh. Dalam peperangan kita dapat saja membunuh
siapa saja dalam barisan lawan. Mungkin aku akan membunuh
seorang pengawal yang tidak berarti, atau Pandan Wangi harus
berkelahi perpasangan melawan Ki Peda Sura. Apakah itu licik"
Pengecut dan tidak jantan" Soal pribadi adalah lain dengan soal
peperangan. Di peperangan tidak ada pantangan untuk
membuat siasat dengan cara apa pun."
Ki Wasi tidak menyahut. Ia takut kalau kemudian dapat
menimbulkan salah paham. Karena itu, maka ia pun berdiam diri
sambil melangkah menjauhi regol yang kini telah menjadi abu.
Beberapa langkah kemudian, Sidanti dan Argajaya telah
menunggu. Tanpa ditanya lagi Sidanti segera berkata, "Aku tidak
melihat seorang pun mendekati medan."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku kira semua itu adalah sekedar permainan Ki
Argapati saja dengan membuat beberapa orang bercambuk
untuk mengecilkan hati kami. Kini aku yakin, tidak ada orang
bercambuk di tlatah Menoreh. Orang yang menghentikan
pasukan berkuda dan yang berhasil menghindari gelang-gelang
besiku pasti Ki Argapati yang menyamar menjadi orang yang
tidak dikenal." Sidanti tidak menyahut. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke
arah Ki Argajaya. Tetapi Ki Argajaya pun tidak mengucapkan
sepatah kata pun. "Nah, kalau begitu," berkata Ki Tambak Wedi, "kita sudah
pasti. Kita akan menghancurkan mereka di dalam sarangnya.
Begitu kita sampai di induk kademangan, kita harus segera
menyiapkan diri. Kita akan segera kembali dengan kelengkapan
yang matang untuk memasuki pertahanan mereka, menembus
jaring-jaring alat-alat pelontar yang mereka pasang di sebelahmenyebelah
pintu masuk." Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menyahut. "Sekarang kita kembali. Tidak ada waktu untuk beristirahat
lagi. Sejak malam ini kita harus mempersiapkan semua alat-alat
yang pasti akan kita perlukan. Kalau mungkin besok malam kita
pergi, atau selambat-lambatnya lusa. Kita akan memilih saat
yang sebaik-baiknya."
Tidak ada seorang pun lagi yang menjawab. Semua berjalan
dengan kepala tunduk sambil menahan kecewa di hati masingmasing.
Apalagi beberapa yang sudah membayangkan,
kemungkinan memecah pertahanan itu, dan menemukan harta
benda yang tidak ternilai harganya, yang dikumpulkan oleh
orang-orang Menoreh yang sedang mengungsi.
Sementara itu, Gupala, Gupita, dan gurunya masih berdiri
saja di tempatnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
gurunya berkata, "Bukankah dugaan kita tepat. Ki Tambak Wedi
tidak akan memasuki regol itu malam ini. Tetapi dengan
demikian ia sudah mendapat gambaran tentang kekuatan kedua
belah pihak. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi. Ki Argapati
sudah mengerahkan semua kekuatannya di hadapan regol yang
terbakar itu. Agaknya usahanya itu berhasil, dan dengan
demikian, Ki Tambak Wedi tinggal menghitung orang-orangnya,
apakah ia merasa mampu untuk memecah pertahanan lawannya
itu." Gupala dan Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi kita tidak tahu, kapan Tambak Wedi akan kembali,"
gumam Gupita kemudian. "Pasti secepatnya," jawab gurunya. "Tetapi kita memang tidak
tahu, kapankah secepatnya itu."
Gupala yang sejak tadi berdiam diri saja sambil mengawasi
bara yang sudah hampir padam, tiba-tiba menguap. Katanya,
"Aku benar-benar sudah mengantuk. Perang gagal itu membuat
aku serasa sakit dada. Untunglah aku tidak ada di antara
mereka. Kalau aku ada di antara mereka mungkin aku sudah
pingsan." "Nah, bukankah kau sudah mengaku sendiri?" sahut gurunya.
"Itulah sebabnya, aku kurang memberimu kesempatan. Kau
mudah sekali menjadi pingsan. Apalagi kalau kau melihat bukan
sekedar perang gagal."
"Apa itu guru?" bertanya Gupala.
"Yang lain. Tentu yang bukan sejenis peperangan. Puteri
Kepala Tanah Perdikan itu barangkali."
Sekali lagi Gupala menguap. Diusap-usapnya keningnya
sambil berkata, "Gadis itu pasti dipingit."
Gurunya tidak menyahut, tetapi ia tersenyum. Dipandanginya
wajah muridnya yang gemuk itu. Namun agaknya Gupala tidak
banyak menaruh perhatian.
"Gadis itu membawa sepasang pedang," desis Gupita.
Gupala berpaling. "Kenapa dengan sepasang pedang?"
"Kalau gadis itu dipingit di dalam bilik buat apa kira-kira
sepasang pedang itu?"
*** Gupala mengerinyitkan alisnya. Namun kemudian ia
tersenyum sambil menjawab, "Ya. Gadis itu tentu tidak dipingit."
Gupita pun tertawa pula. Sekilas terbayang wajah gadis itu.
"Lalu, apakah yang akan kita kerjakan sekarang?" tiba-tiba
saja Gupala bertanya. "Kembali," jawab gurunya.
Gupala menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, "Lebih
baik tidur di rumah daripada digigit nyamuk di sini."
"Tetapi di rumah kita tidak dapat melihat regol desa itu
terbakar," sahut Gupita.
"Aku juga dapat membakar regol," jawab Gupala.
Gupita tidak menjawab lagi. Gurunya ternyata telah
melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke gubug mereka.
Kedua muridnya itu pun kemudian mengikutinya pula.
Sementara itu, yang berada di dalam lingkaran pering ori,
ternyata dicengkam oleh kekecewaan pula. Mereka mengharap
Ki Tambak Wedi memasuki desanya, kemudian pasukannya
akan dihujani dengan alat-alat pelontar lembing dan busur-busur
besar yang telah mereka persiapkan. Tetapi ternyata pasukan Ki
Tambak Wedi itu ditarik mundur.
Tetapi dalam pada itu, ketika Ki Tambak Wedi dan
pasukannya telah hilang di dalam kegelapan, terasa dada Ki
Argapati seakan-akan retak. Terasa pedih dan nyeri menyayat
sampai ke pusat jantung, sehingga sejenak ia memejamkan
matanya sambil berdesis. Kedua tangannya memegang dadanya
yang sakit itu setelah menyerahkan tombaknya kepada
puterinya. "Ayah, kenapa Ayah?"
"Dadaku," sahut Ayahnya perlahan-lahan sekali. Dengan
sekuat tenaga Ki Argapati bertahan supaya tidak menimbulkan
kesan yang kurang baik pada orang-orangnya.
"Bagaimana dengan luka Ayah."
Ki Argapati menggeleng. Katanya, "Aku akan beristirahat
supaya pada saatnya aku dapat menghadapi Tambak Wedi."
Dengan gelisah Pandan Wangi kemudian mengikuti ayahnya
yang berjalan lambat sekali kembali ke rumah tempat ia
menumpang. Tetapi Ki Argapati tidak mau menimbulkan kesan,
bahwa ia tidak mampu untuk berjalan sendiri sampai ke rumah
Huru Hara Di Watu Kambang 2 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Senopati Pamungkas 4
^