Pencarian

Asmara Sang Pengemis 1

Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis Bagian 1


ASMARA SANG PENGEMIS oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Bondan Pramana
Serial Raja Petir
dalam episode: Asmara Sang Pengemis
128 hal. ; 12 x 18 cm.
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Untuk sesaat lamanya, jagat semesta terbalut hawa kesejukan. Matahari yang
biasanya bersinar garang, nampak malu-malu mengintip di balik awan. Dari arah
Timur, awan gelap nampak berarak perlahan.
Suasana alam yang sedemikian itu rupanya membuat hangat pembicaraan orang-orang
di dalam sebuah kedai, di Desa Soreang. Bukan saja dari kalangan penduduk Desa
Soreang yang ada. Rupanya orang luar yang kebetulan lewat di desa itu juga ikut
hadir. Dari sekian banyak orang yang sibuk membicarakan kelebihan seseorang, hanya dua
orang pemuda berusia sekitar dua puluh dan dua puluh tiga tahun yang tidak
tertarik pada pembicaraan yang semakin lama semakin hangat. Namun tak urung
telinga kedua pemuda berpakaian kuning keemasan dan biru putih mendengar juga.
Di-tilik dari potongan pakaiannya, mereka seperti dari golongan rimba
persilatan. "Kalau aku memang tidak memimpikan jadi pendampingnya. Namun aku juga punya
harapan untuk itu. Yah..., jodohkan di tangan Sang Pencipta. Barangkali saja
akulah laki-laki yang telah diciptakan untuk mendampingi Dewi Intan Baiduri,"
kala seorang lelaki yang memiliki jenggot
tak rata. Sekilas, matanya dikerjap-kerjapkan.
"Ha ha ha... Kalaupun ditakdirkan berjodoh dengan Dewi Intan Baiduri, seti-
daknya kau harus punya rasa malu hati, Subiran," timpal lelaki berpakaian dan
berkulit putih. Matanya sipit, mirip orang dari daratan Cina. "Antara kau dan
Dewi Intan Baiduri bagaikan langit dan bumi. Jauuuh..., sekali jaraknya."
Lelaki bernama Subiran hanya tersenyum-senyum melihat kelakuan temannya yang
bergaya seperti anggota topeng itu.
Karena sambil berkata, dia merentang-rentangkan tangannya.
"Kalau aku," selak seseorang yang berpakaian warna merah menyolok. "Aku tetap
berkeinginan melamar langsung Dewi Intan Baiduri. Hatiku rasanya sudah tak
sanggup menahan siksa asmara ini. Biar hartaku sedikit, aku tetap nekat untuk
melamarnya. Biar begini aku memiliki ilmu silat yang sedikit banyak dapat
melindun-gi Dewi Intan Baiduri dari godaan-godaan lelaki hidung belang macam
kamu." Lelaki berpakaian merah menyolok menunjuk orang yang duduknya tak jauh darinya.
Sedang lelaki berpakaian hitam berbelang putih yang ditunjuk, malah mendelik.
"Kau beraninya hanya denganku saja, Kirik!" bentak lelaki berpakaian putih
bergaris hitam. "Cobalah kalau kau bertemu tokoh sakti kejam, yang juga jatuh
cinta pada Dewi Intan Baiduri. Mana berani kau menyainginya. Bahkan kau pasti
akan lari terkencing-kencing. Ha ha ha...!"
"Brengsek!" maki lelaki bernama Kirik.
Pembicaraan mengenai Dewi Intan Baiduri yang memiliki kecantikan bagai bidadari
turun dari kahyangan terus berlanjut hangat. Sementara di luar kedai, tiga
lelaki kasar berpakaian kelabu tampak tengah berjalan menuju kedai yang hanya
menyisakan dua tempat duduk.
Dengan sikap jumawa, tiga lelaki berotot menonjol itu memasuki kedai sederhana.
Ki Somaka yang merupakan pemilik kedai bergegas menghampiri mereka.
"Silakan duduk, Tuan," ucap Ki Somaka penuh hormat. "Ah! Sebentar ku am-bilkan
satu kursi lagi."
"Tak usah!" sentak salah seorang dari ketiga lelaki kasar itu, mantap.
"Aku hanya ingin bertanya sebentar."
"Ah, apa yang ingin Tuan-tuan ta-nyakan?" tukas Ki Somaka hati-hati.
Lelaki yang bertubuh kekar dan berambut keriting tak terurus sekilas melayangkan
pandangan pada orang-orang di dalam kedai Ki Somaka.
"Siapa di antara kalian yang tahu
tempat tinggal Dewi Intan Baiduri?" tanya lelaki berambut keriting tak terurus,
kepada orang-orang di dalam kedai.
"Saya tidak tahu, Tuan," jawab Ki Somaka.
"Jangan menjawab kalau tidak tahu!"
bentak lelaki yang lain
Tubuh Ki Somaka seketika mengkeret ketakutan
Sementara itu, pemuda berpakaian kuning keemasan itu melayangkan pandangan ke
arah tiga lelaki yang baru datang. Namun, tidak begitu pada lelaki yang duduk di
dekatnya. Dia justru malah menatap wajah pemuda berpakaian kuning keemasan
lekat-lekat. Matanya terus bergerak, menye-lusuri tubuh pemuda itu.
Memang kalau diperhatikan, pemuda berpakaian kuning keemasan itu cukup menarik
perhatian. Pada pergelangan tangannya tampak sebuah senjata aneh. Hanya sebatang
bambu kecil, mirip sumpit. Dan rasanya hanya seorang pendekar yang memiliki
senjata seperti itu. Ya, dialah si Ra-ja Petir! Seorang pemuda tampan yang
mempunyai nama asli Jaka Sembada.
"Saya tahu, Tuan," tiba-tiba Kirik yang cukup berani menanggapi pertanyaan tiga
orang lelaki yang baru masuk kedai.
"Tapi jaraknya dari tempat ini terlalu jauh. Butuh setengah hari perjalanan."
"Ha ha ha.... Bagus! Tak sia-sia
aku bertanya di kedai ini," ujar lelaki berambut keriting tidak terurus.
"Tadinya aku akan membakar kedai ini kalau di antara kalian tidak ada yang tahu
rumah De-wi Intan Baiduri."
Kemudian jari telunjuk lelaki itu digerak-gerakkan, sebagai tanda menyuruh Kirik
menghampirinya.
Orang-orang yang berada dalam kedai milik Ki Somaka terkejut mendengar ucapan
lelaki bertubuh kekar yang rambutnya keriting tak terurus itu. Terlebih, Ki
Somaka. Jantungnya malah terasa ingin lepas mendengar ucapan yang tidak main-
main itu. Sedangkan di tempat duduknya, Jaka Sembada sedikit mengangkat alis
matanya, mendengar ucapan bernada angkuh itu.
Sementara itu, Kirik dengan langkah takut-takut mendatangi tiga lelaki kekar
yang baru masuk.
"Kau betul-betul tahu kediaman Dewi Intan Baiduri?" tanya lelaki berambut
keriting tak terurus.
"Ta..., ta..., tahu, Tuan," jawab Kirik, tersendat.
"Bagus! Sekarang juga ikut aku. Ji-ka aku dibawa pada tempat yang salah,
kepalamu akan kupenggal!"
Keras suara lelaki berambut keriting tak terurus itu. Tangannya yang bergerak
cepat, tahu-tahu sudah meloloskan golok besar yang terselip di pinggangnya.
"Tapi, Tuan..."
"Tidak ada tapi-tapian. Kau harus mengantarku!" bentak lelaki berambut keriting.
Bahkan golok besarnya hampir di-tempelkan ke leher Kirik.
Kirik tidak bisa berkata apa-apa lagi. Apalagi ketika tubuhnya ditarik paksa
oleh lelaki berambut panjang sebahu bersama lelaki berambut ikal.
"Jangan memaksa kalau dia tak mau, Kisanak," kata Jaka, pelan.
Namun ucapan yang pelan seperti itu justru sempal membuat tiga orang lelaki
kasar berpakaian warna kelabu terkejut.
Salah seorang di antara mereka cepat mem-balikkan badan.
"Monyet kecil! Berani benar kau menahan langkahku!" bentak lelaki yang berambut
keriting. Tangan kirinya nampak bertolak pinggang dan tangan kanannya menuding
wajah Jaka. "Aku tidak menahan langkahmu, Kisanak. Aku hanya memberi tahu kalau dia tidak
bersedia mengantarmu. Mungkin tempat tinggal Dewi Intan Baiduri terlalu jauh,
sementara lelaki itu punya urusan lain.
Kusarankan, carilah sendiri," ujar Jaka tenang dan tak bergerak dari tempat
duduknya. "Kalau begitu, kau harus mengantarkan kami!" dengus lelaki berambut keriting,
seraya menyambar tubuh Kirik dengan
kakinya. Plok! Pantat Kirik yang ditendang keras oleh lelaki berambut keriting karuan saja
membuat tubuhnya terdorong keras ke depan. Hampir saja Kirik membentur tubuh
Jaka. Untung saja, pemuda digdaya itu segera menahan laju tubuh Kirik.
"Kau duduk saja di sini. Biar aku yang mengantar tiga lelaki tak tahu sopan
santun itu!" ujar Jaka keras. Tubuhnya yang sudah berdiri, seketika menjejakkan
kakinya. Tubuh Jaka langsung melesat cepat, keluar dari dalam kedai milik Ki Somaka.
Semua mata orang yang berada di dalam kedai terbelalak kagum menyaksikan gerakan
pemuda berpakaian kuning keemasan itu.
Tiga lelaki kekar berpakaian kelabu dan masing-masing menyandang golok besar itu
seketika geram melihat tingkah Jaka.
Tak lama, tubuh mereka juga berkelebat keluar dari kedai milik Ki Somaka.
*** "Mau kuantar?" tanya Jaka, setelah ketiga lelaki bertubuh kekar itu menjejakkan
kaki di dekatnya.
"Tak kusangka, ternyata kau punya kebolehan juga, Monyet Kecil!" hardik lelaki
berambut sebahu.
"Kau mau kuantar?" tanya Jaka mengulangi pertanyaannya tanpa mempedulikan
hardikan lelaki di hadapannya.
"Monyet kecil! Kau jangan main-main dengan kami!" bentak lelaki yang berambut
ikal dan bertubuh agak padat berisi. "Aku tak segan-segan memisahkan kepala dari
badanmu!" "Kalian ini betul-betul manusia aneh," kata Jaka, berlagak orang bodoh.
"Aku ingin menolong, tapi justru kalian ingin memenggal kepalaku. Ah, itu kan
mustahil."
"Aku tidak butuh pertolonganmu!"
sentak lelaki berambut keriting tak terurus.
Suara orang itu terdengar menggelegar, bagai petir di siang hari bolong.
Bahkan tubuhnya langsung bergerak cepat.
Seketika tangannya yang terkepal tahu-tahu sudah di depan wajah Raja Petir.
"Uts!"
Jaka memiringkan kepala ketika pukulan keras yang dilancarkan lawan hampir
mendarat di wajahnya.
"Kau ini aneh, Kisanak," ledek Raja Petir sambil melompat menghindari sambaran
yang mengarah ke kaki.
"Uts!"
"Kurang ajar!"
Lelaki berambut keriting itu terus memaki-maki, manakala tak satu pun seran-
gannya mengenai sasaran. Lalu....
Srat! Dengan kegeraman yang amat sangat, lelaki berambut keriting itu mencabut
goloknya. "Kau harus mampus, Monyet!
Hiyaaa...!"
Bet! Bet! "Uts!"
Jaka terus melentingkan tubuhnya untuk menghindari sambaran-sambaran golok besar
yang dilancarkan lawan. Dan pada satu kesempatan, Raja Petir berhasil mendarat
manis di tanah, agak jauh dari lawannya. Sedangkan lelaki berambut keriting itu
terus menerjang sambil menyabet-nyabetkan goloknya secara menyilang dan
mendatar. Namun dengan kecepatan luar biasa, Jaka segera memapak pergelangan
tangan lawan. Plak! "Ugkh...!"
Lelaki berambut keriting itu mengeluh tertahan. Tangan kanannya yang memegang
golok besar kontan bergetar hebat, seperti tersengat ribuan lebah.
Melihat temannya tak berdaya, dua lelaki lain maju bersamaan. Golok masing-
masing dikibas-kibaskan ke arah kepala dan perut Jaka.
Bet! Bet! "Uts!"
Jaka cepat menghindar dengan me-
liuk-liukkan badannya, bagai penari yang diiringi tetabuhan.
"Awas!"
Dan ketika Raja Petir punya kesempatan untuk mengirim serangan balasan, kedua
lawannya pontang-panting menghindari. Padahal serangan Jaka tidak sungguh-
sungguh. Namun ketiga lelaki berpakaian kelabu itu memang keras kepala. Bahkan kini
mereka bertiga kembali merangsek maju dengan senjata teracung di udara.
"Hiaaa!"
"Hiya! Hiya...!"
Menyaksikan serangan ketiga lelaki itu betul-betul mengandung hawa membunuh,
Jaka tak segan-segan lagi memberi pelajaran. Tubuhnya yang tengah berdiri tegak,
seketika bergerak cepat. Kaki kanannya langsung menyambar diimbangi kepalan
tangan yang bergerak maju. Begitu cepat gerakannya, hingga ketiga lelaki kekar
berpakaian kelabu itu tak bisa menghindar.
Duk! Plak! Plak!
Tiga sosok tubuh sekaligus kontan roboh di tanah, begitu terkena tendangan dan
hantaman Raja Petir. Padahal, serangan Jaka tidak disertai tenaga dalam, namun
cukup membuat lawan-lawannya mengeluh kesakitan. Mereka meringis sambil meme-
gangi dada yang terasa sesak, akibat pukulan dan hantaman Raja Petir.
"Ughk...!"
"Kalian tetap minta diantar lelaki di dalam kedai itu?" tanya Jaka dengan jari
telunjuk teracung ke arah kedai.
Ketiga lelaki yang tengah merintih kesakitan itu tak menjawab pertanyaan pemuda
berpakaian warna kuning keemasan yang berjuluk Raja Petir.
"Huh!"
Agak sedikit mendongkol, akhirnya Jaka meninggalkan ketiga lelaki yang
tergeletak di tanah. Langkahnya cepat, ke arah kedai milik Ki Somaka.
"Di mana rumah Dewi Intan Baiduri itu, Kisanak?" tanya Jaka pada Kirik.
"Arah Selatan sana," jawab Kirik pelan.
Jaka kembali menatap ke arah tiga lelaki yang kini sudah mampu bangkit.
"Kalian cepatlah pergi ke arah Selatan sana!" bentak Jaka lantang. "Cepat!
Aku tak sudi lagi melihat kalian tetap di sini. Cepat pergi sebelum kesabaranku
hilang!" Sesungguhnya, hati kecil Raja Petir tertawa menyaksikan tiga lelaki bertubuh
kekar itu berjalan terbirit-birit.
"Terima kasih, Tuan! Kalau tidak ada Tuan, mungkin kedai saya ini sudah rata
dengan tanah," ucap Ki Somaka seraya menghampiri Jaka dengan menundukkan badan.
"Ah! Jangan bersikap kaku seperti itu, Ki," bantah Jaka. "Saling tolong menolong
itu hal yang biasa."
"Terima kasih, Tuan."
"Ah, ya. Berapa yang harus kubayar atas suguhanmu itu, Ki?" tanya Jaka sambil
merogoh saku pakaiannya.
"Eh, tidak. Tidak usahlah, Tuan.
Pertolongan Tuan barusan sudah lebih dari sekadar makanan itu," tolak Ki Somaka.
Jaka segera meraih tangan Ki Somaka.
"Jangan begitu, Ki. Tujuan Ki Somaka membuka kedai ini kan mencari uang."
Jaka meletakkan uang di telapak tangan Ki Somaka yang mau tak mau harus
menerimanya "Terima kasih, Tuan," ujar Ki Somaka
Setelah menganggukkan kepala, Raja Petir meninggalkan kedai Ki Somaka. Sepasang
mata lelaki berpakaian biru putih tampak mengikuti langkah-langkah kecil Jaka.
*** 2 "Kak! Kak! Tunggu...!"
Raja Petir menghentikan langkahnya ketika mendengar suara orang yang memanggil.
Dan dugaannya, suara itu ditujukan untuknya. Maka, segera saja Jaka menoleh.
Tampak, seorang lelaki berpakaian biru putih berlari-lari kecil ke arahnya.
"Tunggu sebentar, Kak," pinta orang itu.
"Ada apa?" tanya Jaka ketika lelaki berpakaian warna biru putih itu sudah
mendekat. Diperhatikannya lelaki itu.
"Kau seperti yang berada di dalam kedai Ki Somaka?"
"Benar. Namaku Somawiguna, Kak,"
kata lelaki itu, memperkenalkan diri.


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa lagi ke kedai Ki Somaka?"
"Eh! Tidak ada apa-apa, Kak," jawab lelaki berpakaian warna biru putih yang
mengaku bernama Somawiguna.
"Panggil saja Jaka, jangan kak. Dan kurasa, usiamu lebih tua sedikit dariku,"
pinta Jaka. "Baik, Kak.... Eh! Anu, Jaka."
Jaka tersenyum melihat kelakuan Somawiguna.
"Lalu, ada urusan apa kau mengejar-ngejarku, Soma?" tanya Jaka lagi.
"Anu..., aku hanya ingin minta ban-tuanmu, Jaka."
"Bantuan" Bantuan apa?" tanya Jaka sambil melangkah perlahan.
Somawiguna kemudian mengikuti langkah kaki Jaka.
"Aku kagum akan kehebatanmu barusan. Aku ingin kau menerimaku sebagai sahabat,"
pinta Somawiguna.
Jaka tersenyum lebar mendengar permintaan Somawiguna. Tanpa ragu-ragu, di-
rangkulnya bahu lelaki berpakaian biru putih itu.
"Hanya itu permintaanmu, Soma?"
Somawiguna menganggukkan kepala.
Kemudian, mereka berjalan beriringan.
*** Di atas sebatang pohon yang tumbang melintang, Jaka dan Somawiguna duduk san-tai
sambil berbincang-bincang. Kicau bu-rung yang berlompatan dari tangkai pohon ke
tangkai lainnya, membuat Jaka dan Somawiguna betah duduk berlama-lama. Apalagi
udara di sekitar tempat itu cukup sejuk, sehingga mereka enggan meninggalkan
tempat itu. "Menurut orang-orang, Dewi Intan Baiduri itu memiliki kecantikan yang tak ada
bandingannya. Malah ada yang bilang, kecantikannya mampu mengalahkan kecantikan
bidadari dari kahyangan," kata Somawiguna sambil mengorek-ngorek kulit pohon
yang didudukinya.
"Seperti yang lain, kau berminat juga melamar Dewi Intan Baiduri, Soma?"
selak Jaka. "Aku seorang lelaki, Jaka. Wajar saja kalau mempunyai perasaan seperti itu,"
jawab Somawiguna tanpa memandang wajah Jaka. "Tapi, yah.... Aku harus berpikir
sepuluh kali untuk dapat melamarnya."
"Kenapa harus berpikir sepuluh kali" Kalau mau melamar, yang lamar sa-ja," cetus
Jaka. "Yang menyukai Dewi Intan Baiduri bukan hanya aku seorang, Jaka. Banyak!
Yang lebih ganteng, yang lebih gagah, dan yang lebih kaya serta memiliki
kepandaian ilmu silat. Sedangkan aku...?" keluh Somawiguna sambil menunjuk
dadanya sendiri.
Jaka tentu saja tak bisa menyimpan tawa mendengar ucapan sahabat barunya.
"Jangan berkecil hati, Kawan."
"Aku tidak berkecil hati. Apa yang kukatakan barusan, hanya sekadar mawas diri
saja. Aku tak memiliki apa-apa se-lain modal tampang."
"Ha ha ha...," terlepas tawa Jaka mendengar ucapan Somawiguna. "Kau ingin aku
membantumu untuk mendapatkan Dewi Intan Baiduri?"
Somawiguna tentu saja terbelalak
kaget mendengar pertanyaan Jaka.
"Kau tidak bergurau, Jaka?" tandas Somawiguna, sambil menatap wajah Jaka lekat-
lekat. Seolah-olah dia meminta kepas-tian secepatnya.
"Kau bersungguh-sungguh mengingin-kannya?" Jaka balik bertanya.
"Kalau kau bersungguh-sungguh ingin membantuku, aku yakin dapat mendampingi Dewi
Intan Baiduri selamanya," yakin Somawiguna. Dan keyakinannya itu mengejutkan
Jaka. "Kenapa kau tiba-tiba begitu yakin?" tanya Jaka, ingin tahu.
"Karena kau membantuku."
"Hm...," gumam Jaka, menatap wajah Somawiguna.
"Jaka! Dari ciri-cirimu, dan yang pernah kudengar dari mulut ke mulut,
sepertinya kau adalah seorang pendekar mu-da. Dan julukanmu belakangan ini
menggem-parkan dunia persilatan," Somawiguna menghentikan ucapannya sesaat.
Kening Jaka kontan berkernyit. Ditatapnya Somawiguna dalam-dalam, seperti ingin
mengetahui kelanjutannya.
"Itulah sebabnya, aku mengejar-ngejar dan memintamu mengakui ku sebagai seorang
sahabat. Ah! Aku beruntung sekali hari ini mendapat seorang sahabat yang begitu
digdaya." "Kau bicara apa, Soma?" kejar Jaka, semakin bingung.
Somawiguna bangkit dari duduknya.
Sesaat, tubuhnya dibawa turun di hadapan Jaka. Sesaat kemudian, kepalanya
ditundukkan. "Terimalah salam hormatku, Raja Petir."
Tersedak kerongkongan Jaka mendengar ucapan terakhir Somawiguna.
"Jangan seperti itu, Soma. Apa bedanya kau dan aku?"
"Terima kasih. Kau memang seorang sahabat yang rendah hati."
Dan begitu Somawiguna selesai berkata seperti itu, tiba-tiba muncul orang-orang
bersenjata pedang dari arah yang berlawanan.
"Itu orangnya! Tangkap!" teriak salah seorang lelaki berpakaian coklat mu-da.
Seketika orang-orang yang menghunus pedang itu langsung merangsek maju.
Pedangnya yang berkilat tertimpa cahaya matahari teracung-acung di udara.
"Tunggu!" bentak Jaka menggelegar.
Matanya berkeliling menatap sepuluh lelaki yang berdiri di hadapannya dengan
pedang terhunus.
"Anak muda! Sebaiknya jangan ikut campur!" hardik seorang lelaki berumur sekitar
empat puluh lima tahun. Matanya tampak menatap Jaka dengan garang.
"Aku tak akan ikut campur bila kau
menjelaskan duduk perkaranya," kata Jaka, tenang.
"Dialah salah seorang yang telah membegal rumah majikan kami," tunjuk lelaki
berpakaian coklat berambut putih dan tersisir rapi. Dari tampangnya, terlihat
kalau dia bukan golongan orang jahat.
Somawiguna yang dirinya dituduh sebagai perampok, tentu saja marah bukan
kepalang. Namun, dicobanya untuk menurunkan kemarahannya. Apa-lagi, di sisinya
ada Jaka yang pasti bisa menangani kesa-lahpahaman ini.
"Yang kau maksudkan, sahabatku ini, Kisanak?" tanya Jaka sambil menyentuh ba-hu
Somawiguna. "Ya! Dia dan ketiga orang temannya, telah mengeruk harta majikan kami," jelas
lelaki yang kelihatannya sebagai pimpinan.
"Kapan dia mengeruk harta majikanmu?" selidik Jaka lagi.
"Baru saja," jawab lelaki itu sambil menudingkan pedangnya ke arah Somawiguna
yang sudah waspada.
"Baru?" suara Jaka mirip desisan.
"Ya! Baru. Ketika kami pergoki, keempat pembegal itu kabur. Dan salah satunya
lari ke sini."
Jaka tersenyum mendengar penjelasan lelaki berpakaian coklat yang rambutnya
tersisir rapi. "Kalau begitu kejadiannya, Kisanak telah salah menuduh orang," sanggah Jaka,
menengahi. "Sejak pagi tadi, sahabatku ini selalu bersamaku. Bahkan tak pernah
sekejap pun beranjak meninggalkan ku."
"Kau jangan membelanya, Anak Muda.
Aku tak akan segan-segan menghukum mu, karena telah membela orang bersalah!"
bentak lelaki yang rambutnya tersisir ra-pi.
"Kisanak! Sudah jelas-jelas kau salah menuduh orang, tetapi tetap tak mau
mengakui. Sekarang juga kupertaruhkan nyawaku untuk membela kebenaran sahabatku.
Aku yang berjuluk Raja Petir, pantang berbohong dan pantang membela orang yang
jelas-jelas salah!" gertak Jaka.
Sengaja pemuda itu menyebutkan julukannya, semata untuk memberikan gamba-ran
kalau yang di hadapan mereka bukanlah orang sembarangan.
"Raja Petir...?" desah lelaki berpakaian coklat, pelan. Matanya yang jalang,
ditatapkan kembali ke seluruh tubuh Jaka.
"Kau mengaku-ngaku berjuluk Raja Petir" Heh! Lucu sekali! Mana mungkin bo-cah
bau kencur sepertimu sudah memiliki julukan sehebat itu" Memang, ciri-cirimu
mirip orang-orang persilatan. Tetapi...."
"Terserah kau, Kisanak. Yang jelas, aku tak pernah memaksa agar kau bersedia
mengakui diriku sebagai Raja Petir. Dan yang jelas lagi, aku tak bermaksud
memamerkan julukan itu untuk membela kejaha-tan. Pantang bagiku melakukan itu,"
selak Jaka. "Baiklah. Aku perlu bukti, kalau kau memang betul-betul Raja Petir. Dan kalau
terbukti, tuduhan itu kucabut," putus lelaki berpakaian coklat itu dengan pedang
terhunus. "Lalu, apakah kau ingin menjajal kebolehan ku, Kisanak?" tanya Jaka.
"Terpaksa."
Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu kemudian maju selangkah.
Tangannya juga bergerak, memberi isyarat pada temannya untuk bergerak maju.
"Seraaang...!"
Seketika empat orang yang menghunus senjata pedang merangsek maju. Pedang mereka
ditebas-tebaskan, hingga mengeluarkan bunyi mengaung keras. Arahnya tentu saja
bagian-bagian tubuh Jaka yang mematikan.
Namun, Raja Petir mana mungkin sudi membiarkan serangan-serangan itu melukai
tubuhnya. Maka dengan gerakan cepat dan ringan, tubuhnya bergerak menghindari
tebasan yang bergelombang.
"Uts!"
Jaka kembali menundukkan kepala, menghindari tebasan pedang yang datang
dari belakang. Lalu, kaki kirinya bergerak cepat, membuat penyerang itu hanya
sekali saja melakukan serangan.
"Hih!"
Dengan tendangan setengah meling-kar, Jaka mampu menyingkirkan pembokong-nya.
Akibatnya, tubuh pembokong itu terpental beberapa tombak.
"Akh!"
Kembali sodokan yang tidak disertai pengerahan tenaga dalam mendarat telak di
dada lawan yang maju dengan pedang terarah ke leher Jaka.
"Sudah cukupkah, Kisanak?" kata Ja-ka pada lelaki berpakaian coklat yang
rambutnya tersisir rapi.
"Keluarkan kemampuanmu yang lain, biar aku yakin kalau kau betul-betul Raja
Petir," balas lelaki yang tidak ikut bertarung.
"Baik."
Jaka segera menghentakkan kedua kakinya ke tanah. Seketika saja, tubuhnya sudah
melenting jauh ke belakang.
"Hup!"
Ketika Raja Petir mendaratkan kakinya dengan ringan, tangan kanannya segera
meloloskan sabuk kuning yang meling-kar di pinggang. Sinar menyilaukan mata
seketika berpendar dari sabuk kuning yang sudah terlepas dari pinggang Raja
Petir. "Raja Petir...?" desah lelaki ber-
pakaian coklat, dari jarak beberapa tombak.
"Lihatlah, Kisanak! Aku akan mem-perlihatkan ciri khusus ku!"
Selesai berkata seperti itu, Jaka segera mengebutkan sabuk kuning yang ter-
genggam di tangan kanan. Seketika seber-kas sinar keperakan seperti petir keluar
dari sabuk yang terlecut cepat. Sinar itu terus melesat, hingga terhadang
sebatang pohon yang besarnya dua pelukan tangan lelaki dewasa.
Glarrr...! Ledakan dahsyat terdengar memekakkan telinga, seiring tumbangnya pohon besar
itu. Bunyi bergemuruh terdengar mengiringi jatuhnya pohon itu ke bumi.
Bummm...! "Cukupkah, Kisanak"!"
tanya Jaka dengan suara keras.
"Cukup! Kini aku percaya, kau memang berjuluk Raja Petir. Maafkan aku, Raja
Petir. Perkataanku yang barusan hanya untuk membuktikan dan menyaksikan
kehebatanmu secara langsung," ujar lelaki berpakaian coklat yang rambutnya
tersisir rapi. "Hm.... Jadi kau bersedia membe-baskan temanku dari tuduhan tadi?" tukas Raja
Petir. "Kalau dia betul-betul temanmu, itu berarti aku telah salah menuduh orang.
Untuk itu, aku mohon maaf. Selamat tinggal, Raja Petir...," ucap lelaki itu la-
gi. Tangannya seketika bergerak, memberikan isyarat agar orang-orangnya bergerak
mundur. Dan perintahnya itu memang diikuti.
Lelaki berpakaian coklat beserta orang-orangnya kemudian meninggalkan Jaka dan
Somawiguna dengan sikap penuh hormat.
"Maaf, Soma. Sebenarnya aku tidak ingin membanggakan julukanku. Apalagi
memamerkan kebolehan ku di mata mereka. Namun, sepertinya mereka tak mau
mengerti, tanpa aku melakukannya. Kau dengar sendiri ucapan lelaki berpakaian
coklat itu, kan?" ucap Jaka, setelah orang-orang yang menuduh Somawiguna sebagai
pencuri lenyap di ujung jalan.
"Menurutku, tindakan yang kau ambil itu benar, Jaka. Dengan nama besar, sesuatu
kejadian kadang akan lebih muda tera-tasi," sahut Somawiguna.
Mata pemuda berpakaian biru putih yang sedikit lebar, kembali menatap wajah Jaka
penuh kagum. Somawiguna kagum akan kerendahan hati pendekar muda yang digdaya
itu. "Kita ke mana sekarang, Soma?"
tanya Jaka seraya membalas tatapan Somawiguna yang berbinar.
"Sebaiknya aku menyelidiki orang-orang yang akan melamar Dewi Intan Baidu-
ri. Kurasa, orang-orang rimba persilatan golongan hitam pun akan tertarik pada
kecantikannya. Malah kalau boleh kutebak, akan terjadi keributan besar di antara
tokoh-tokoh yang menginginkan Dewi Intan Baiduri. Ah! Kasihan gadis cantik itu,
Jaka. Syukur-syukur orang bijaksana dan tampan yang tampil sebagai pemenang.
Tapi bila sebaliknya...?" kata Somawiguna, bernada mengeluh.
"Dugaanmu bisa saja terjadi, Soma,"
timpal Jaka. "Makanya, aku minta kesediaanmu membantuku. Tapi untuk sekarang ini, rasanya
belum waktunya. Biar aku dulu yang menyelidikinya."
"Begitu pun boleh, Soma," sahut Ja-ka, setuju.
"Kalau begitu, aku pergi sekarang,"
pamit Somawiguna.
Jaka tidak melarang. Maka, seketika itu juga Somawiguna melesat meninggalkan
Jaka sendirian. Rupanya, dia memiliki sedikit kepandaian juga. Buktinya,
tubuhnya cukup cepat menghilang.
Rumah kediaman Dewi Intan Baiduri nampak sepi-sepi saja. Rumah tua itu tampak
terawat baik, begitu sedap dipandang mata. Pekarangannya luas, ditumbuhi ber-
macam-macam tanaman bunga berwarna-warni.
Dewi Intan Baiduri memang seorang dara jelita yang menyukai bunga-bungaan. Apa-
lagi, yang berbau harum.
Di luar pintu pagar halaman, nampak duduk seorang lelaki berpakaian tak terurus
dan berwajah rusak menjijikkan. Dari pakaiannya yang penuh tambalan warna-warni,
bisa ditebak kalau dia adalah pengemis yang sedang berteduh di bawah pohon
rindang. Tak jauh dari pengemis yang sedang berteduh, nampak dua orang lelaki bertam-pang
bengis tengah berjalan menuju pintu pagar halaman rumah Dewi Intan Baiduri.
Tubuh mereka tinggi kekar, menampakkan otot-otot kuat, yang terbalut pakaian
ketat warna merah senja.
Pengemis yang tengah berteduh di bawah pohon berdaun rindang, dengan mata yang
dipicing-picingkan, terus mengikuti langkah-langkah kaki tegap milik dua orang
lelaki bertubuh tinggi kekar itu.
Tampak kehadiran mereka disambut dua orang lelaki penjaga rumah kediaman Dewi
Intan Baiduri. "Tuan-tuan ingin bertemu siapa?"
tanya seorang lelaki bertubuh tinggi kurus
"Majikanmu," jawab lelaki berpakaian merah senja, yang wajahnya penuh bintik-
bintik hitam. Lelaki tinggi kurus itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Majikan yang mana, Tuan?" tanya
lelaki tinggi kurus kemudian.
"Memang majikanmu ada berapa"!"
bentak lelaki bertubuh kekar yang wajahnya putih pucat, dengan mata terbelalak
lebar. Lelaki tinggi kurus yang berumur sekitar empat puluh tahun itu menjadi mengkeret
nyalinya. Apalagi, saat melihat wajah putih pucat dengan mata terbelalak garang.
Namun, tidak demikian halnya lelaki tinggi kurus yang berusia lima tahun lebih
muda. Dia tampaknya cukup tenang menjawab pertanyaan lelaki bertubuh kekar
dengan wajah putih pucat.
"Majikan kami Ki Wiryamanggala, dan anak gadisnya bernama Dewi Intan Baiduri,"
jelas lelaki tinggi kurus yang lebih muda.
"Hm...!"


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki berpakaian merah senja dengan wajah pulih pucat menggumam perlahan.
"Aku ingin bertemu dua-duanya."
"Kalau boleh kami tahu, Tuan berdua siapa?" tanya lelaki tinggi kurus yang lebih
muda, mulai berani.
"Heh! kau tak perlu tahu, Kacung!"
bentak lelaki berwajah bintik-bintik hitam.
Lelaki tinggi kurus yang lebih muda itu agak tersinggung disebut kacung.
Meskipun dirinya memang bekerja sebagai
pembantu di sini, tapi Ki Wiryamanggala dan putrinya tak pernah menyebutnya
kacung. Ingin sekali dihajarnya mulut usil lelaki berwajah bintik-bintik hitam
itu. Namun untuk melakukannya, dia harus berpikir dua kali. Apalagi melihat senjata
pedang besar yang tersandang di punggung kedua lelaki bertubuh kekar itu.
"Maaf, Tuan," agak kecut juga akhirnya hati lelaki tinggi kurus yang lebih muda
usianya itu. "Kami harus tahu, dikarenakan harus melaporkan kedatangan Tuan-tuan
pada majikan kami. Dan kalau kami ditanya, tentu tidak akan bisa menjawab."
Lelaki bertubuh kekar yang wajahnya putih pucat itu menatap lekat-lekat dua
penjaga rumah kediaman Dewi Intan Baiduri bergantian.
"Katakan, kami utusan Raksasa Tangan Hitam ingin bertemu," sahut lelaki berwajah
mirip mayat, pongah.
Sementara itu, lelaki pengemis yang sedang berteduh di bawah pohon, terkejut
mendengar pengakuan dua lelaki berpakaian warna merah senja. Walaupun jaraknya
cukup jauh, namun karena pendengarannya yang tajam, bukan mustahil kalau dia
bisa menangkap pembicaraan itu.
"Raksasa Tangan Hitam...?" ulang pengemis itu, dalam hati. "Sebuah julukan yang
cukup angker."
Mata pengemis itu mengerjap-
ngerjap, kemudian menatap lelaki penjaga rumah yang lebih tua. Dia tampak tengah
beranjak tergopoh-gopoh, masuk ke rumah majikannya. Dan belum lagi dia menemui
majikannya, seorang dara jelita tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah yang
beru-kir. Wajah dara jelita itu demikian cantik. Kulitnya yang putih bersih, bersinar
bagai bulan purnama. Hidungnya mancung, begitu pas dengan bola matanya yang
hitam jeli. Apalagi juga dihiasi serisan bulu mata lentik.
"Ah! Ada tamu rupanya," suara merdu seketika terdengar dari bibir tipis yang
bergerak indah. "Kenapa kalian tak mempersilakan masuk?"
Lelaki berwajah pucat dan lelaki berwajah berbintik-bintik hitam itu kontan
tercengang kagum menyaksikan kecantikan dara di depan mata mereka.
Dan di lain tempat, si pengemis ju-ga tampak tercengang. Bahkan dia sudah
bangkit dari duduknya. Dengan mata tak berkedip, ditatapnya wajah Dewi Intan
Baiduri dari kejauhan.
"Dewi...," batin pengemis yang pakaiannya dipenuhi tambalan warna-warni.
*** "Benar kalian utusan Raksasa Tangan Hitam?" tanya Dewi Intan Baiduri, lembut.
Dua lelaki yang mengaku utusan Raksasa Tangan Hitam tak lekas menjawab
pertanyaan dara jelita yang berdiri di de-pannya. Mereka tampaknya sibuk
memandangi kejelitaan paras Dewi Intan Baiduri.
"Benar kalian utusan Raksasa Tangan Hitam?" ulang Dewi Intan Baiduri sambil
mengembangkan seulas senyum manisnya.
"Eh.... Be..., benar!" tergagap jawaban yang keluar dari mulut lelaki berwajah
bintik-bintik hitam. "Kami memang utusan Raksasa Tangan Hitam, Dewi...."
"Silakan masuk kalau begitu," sahut Dewi Intan Baiduri sambil merentangkan
sebelah tangannya. Gerakannya begitu lembut dan gemulai.
Dua lelaki bertubuh kekar utusan Raksasa Tangan Hitam itu berjalan mendahului
Dewi Intan Baiduri. Sementara di luar pagar rumah nampak lelaki pengemis itu
mengikuti langkah Dewi Intan Baiduri dengan tatapan merembang seperti ingin
menangis. "Dewi...?" desah pengemis itu aneh.
*** "Apa keperluan kalian berdua, hingga datang menemuiku?" tanya Dewi Intan Baiduri
lembut. Di sebelahnya duduk te-
nang Ki Wiryamanggala, ayah kandungnya.
"Maaf, Dewi. Terlebih dahulu izin-kan kami memperkenalkan diri," sergah lelaki
berwajah bintik-bintik hitam.
"Silakan," ucap Dewi intan Baiduri.
"Namaku Bokara," kata lelaki berwajah bintik-bintik hitam. Tangannya yang kekar
dan kasar terulur ke arah Dewi Intan Baiduri
Sebentar Dewi Intan Baiduri menatap lekat wajah Bokara yang mengulurkan
tangannya, sebentar kemudian sudah memaklumi. Segera dibalasnya uluran tangan
lelaki bernama Bokara. Dan seketika itu juga, laki-laki itu menggenggam tangan
halus milik Dewi Intan Baiduri penuh perasaan.
Selesai Bokara memperkenalkan diri, lelaki yang berdiri di sebelahnya juga ikut
memperkenalkan diri. Bedanya, lelaki berwajah pucat itu tidak mengulurkan
tangannya. Dia hanya menundukkan kepala sambil menyebut namanya. "Namaku
Garajas, Dewi."
"Sekarang katakan, kalau kalian membawa pesan dari Raksasa Tangan Hitam,"
pinta Dewi Intan Baiduri pelan.
"Benar, Dewi. Kami memang membawa pesan dari junjungan kami, Raksasa Tangan
Hitam," jawab Bokara.
"Katakanlah. Barangkali, pesan junjunganmu bisa kumengerti."
"Pesan junjungan kami tak lain ada-
lah meminta kesediaan Dewi Intan Baiduri untuk tidak keluar rumah dalam beberapa
hari ini," jelas Garajas.
"Kenapa begitu, Garajas?" selak De-wi Intan Baiduri ingin tahu.
"Dalam beberapa hari ini, junjungan kami akan berkunjung ke rumahmu," jelas
Bokara kemudian.
"Untuk apa?" tanya Dewi Intan Baiduri, masih tetap dengan kelembutannya.
"Junjungan kami ingin datang memi-nangmu, Dewi," ungkap Garajas terus terang.
Sekilas, raut wajah Dewi Intan Baiduri mengalami perubahan. Wajahnya kini nampak
bersemu merah, karena terkejut mendengar penjelasan utusan Raksasa Tangan Hitam
itu. Namun, sebentar kemudian keterkejutannya sudah mampu ditutupi.
Ki Wiryamanggala, orangtua kandung Dewi Intan Baiduri yang merupakan tokoh
persilatan golongan putih, tersenyum-senyum mendengar keinginan Raksasa Tangan
Hitam yang tak masuk akal. Karena di matanya, tokoh sesat yang berjuluk Raksasa
Tangan Hitam lebih pantas menjadi orang tua Dewi Intan Baiduri daripada menjadi
suaminya. "Benar junjunganmu ingin datang me-minangku?" ulang Dewi Intan Baiduri, dengan
senyum terkembang penuh. Namun di dalam hati, dia menghardik keinginan gila
Raksasa Tangan Hitam yang tak tahu diri.
"Benar, Dewi," jawab Bokara tegas.
Dewi Intan Baiduri segera melempar tatapannya ke arah Ki Wiryamanggala yang
duduk di sebelahnya.
"Kalau aku, bagaimana ayahku saja, Bokara," desah Dewi Intan Baiduri
"Apa kedatangan junjunganmu tidak bisa dipastikan, Bokara?" berat suara yang
keluar melalui bibir Ki Wiryamanggala. Begitu sarat dengan kewibawaan.
"Tidak, Ki," sahut Bokara sambil menggelengkan kepala.
"Hm...."
Ki Wiryamanggala mengggumam perlahan. Matanya menerawang jauh, membayang-kan
wajah Raksasa Tangan Hitam yang kasar dengan cambang bauk tak terurus. Apalagi
wajah hitam yang di tengah-tengahnya mencuat hidung besar berlubang lebar, dan
berbulu panjang hampir keluar.
Sesungguhnya, hal itu membuat Ki Wiryamanggala berpikir seribu kali untuk
menerima lamaran Raksasa Tangan Hitam.
Akan tetapi untuk menolak, sama halnya mengundang malapetaka yang mengerikan.
Meskipun secara naluriah, Ki Wiryamanggala tak gentar menghadapi ilmu silat yang
dimiliki Raksasa Tangan Hitam.
"Sekarang begini saja, Bokara," putus Ki Wiryamanggala. "Kalian berdua pu-
langlah. Katakan kepada junjungan kalian,
kami di sini akan menunggu kedatangannya.
Kapan saja Raksasa Tangan Hitam sempat, silakan datang."
Dewi Intan Baiduri sedikit terkejut mendengar keputusan ayahnya. Namun men-
gingat kemampuan ayahnya yang tinggi dalam membaca setiap persoalan, membuatnya
tak mau membantah apa yang sudah diucapkan ayahnya.
"Ya! Itulah keputusan kami, Bokara, Garajas. Sekarang, kalian kembalilah dan
katakan kepada junjungan kalian," usir Dewi Intan Baiduri, halus.
Dua lelaki bertubuh kekar utusan Raksasa Tangan Hitam segera bangkit dari
duduknya. "Kami pergi, Dewi, Ki," ucap Bokara seraya berbalik.
Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala menganggukkan kepala seraya bangkit
mengantarkan kepergian dua utusan Raksasa Tangan Hitam sampai di ambang pintu.
Dua lelaki utusan Raksasa Tangan Hitam itu terus berjalan tanpa menoleh ke
belakang. Ketika tubuh mereka menghilang di ujung jalan, Dewi Intan Baiduri dan
Ki Wiryamanggala masuk ke dalam.
"Hhh !" Dewi Intan Baiduri membuang napas berat. "Ada-ada saja keinginan lelaki
tak tahu diri itu!"
3 Pagi sebentar lagi beralih menjadi siang. Matahari tampak bersinar tidak
seberapa keras. Di depan sebuah rumah ber-halaman cukup luas, di bawah pohon
berdaun rindang, terlihat seorang pengemis tengah berteduh. Pengemis berwajah
menjijikkan itu nampak tertidur. Terdengar dengkur napasnya yang halus,
menyiratkan kelelahannya. Sampai-sampai dia tak tahu ada empat pasang mata
memandanginya. "Hanya seorang jembel!" kata lelaki berambut panjang terkuncir sampai ke
pinggang. Sementara itu, berjalan paling depan adalah lelaki berpakaian warna kuning muda.
Senjatanya berupa pedang bertangkai warna merah, tersandang di punggung.
Wajahnya tampan, dengan pipi sebelah kanan ditumbuhi bulu-bulu hitam selebar
tangan bayi. Mirip sekali dengan bulu kambing.
Dia terus melangkah tenang menuju kediaman Dewi Intan Baiduri, diikuti tiga
lelaki yang bisa dipastikan sebagai pengawalnya. Para pengawal itu berjalan di
ki-ri dan kanan pimpinannya. Rata-rata mereka berpakaian hitam, dengan senjata
sebatang golok terselip di pinggang masing-masing.
Kedatangan empat lelaki itu disambut dua lelaki penjaga rumah kediaman De-
wi Intan Baiduri.
"Aku ingin bertemu Ki Wiryamanggala," kata lelaki tampan yang pipi sebelah
kanannya ditumbuhi bulu hitam pekat.
Karena lelaki itu berbicara cukup sopan, dua penjaga itu tak berbicara banyak.
Salah seorang di antaranya segera bergerak masuk untuk memberi tahu. Dan
sebentar kemudian, lelaki bertubuh sedang itu sudah kembali menghampiri empat
tamu majikannya.
"Tuan-tuan semua dipersilakan masuk," kata lelaki bertubuh sedang, sambil
merentangkan tangan kanannya.
Empat lelaki bersenjata pedang dan golok itu bergegas melangkah masuk. Sementara
seorang pengemis yang berada di bawah pohon, menatap keempat lelaki yang
bergerak mendekati pintu utama kediaman Dewi Intan Baiduri
"Ada urusan apa lagi mereka itu?"
kata batin si pengemis seraya duduk kembali.
*** "Oh! Kiranya kau yang datang, Raja Pedang Merah," sambut Ki Wiryamanggala
disertai senyum ramah ketika tubuh lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun
muncul di ambang pintu. "Senang sekali kau berkenan mengunjungi tempat tinggal-
ku." Lelaki berpakaian kuning muda yang ternyata berjuluk Raja Pedang Merah, tak
menimpali sambutan Ki Wiryamanggala. Matanya yang jalang bergerak mengitari
seluruh ruangan rumah ini. Sepertinya, dia tengah mencari sesuatu.
"Silakan duduk, Raja Pedang Merah,"
Ki Wiryamanggala mempersilakan tamunya.
Tanpa menjawab ucapan Ki Wiryamanggala, Raja Pedang Merah membawa turun
tubuhnya. Namun, matanya masih tetap bergerak-gerak mencari sesuatu.
"Apakah Dewi Intan Baiduri ada di tempat?" tanya Raja Pedang Merah dingin.
"Oh, oh! Rupanya kedatanganmu ke tempatku mencari putriku satu-satunya, Raja
Pedang Merah?" Ki Wiryamanggala malah balik bertanya. Tatapannya tak lepas pada
bola mata Raja Pedang Merah yang terus bergerak-gerak.
"Syukurlah kalau kau cepat tanggap, Ki Wiryamanggala," balas Raja Pedang Merah.
"Ada perlu apa kau mencari putriku, Raja Pedang Merah?" tanya Ki Wiryamanggala
kemudian. "Aku tertarik kecantikan anakmu yang tak ada duanya itu, Ki Wiryamanggala,"
jawab Raja Pedang Merah terang-terangan.
"Oh! Terima kasih sekali kalau me-
mang begitu keadaannya," sahut Ki Wiryamanggala merendah sekali. Padahal, sampai
sekarang dirinya masih diperhitungkan di kalangan orang-orang persilatan.
"Kedatanganku ke sini untuk meminta putrimu menjadi pendampingku, Ki
Wiryamanggala," tandas Raja Pedang Merah.
"Aku tak keberatan dengan keinginanmu itu, Raja Pedang Merah," sambut Ki
Wiryamanggala. "Namun, keputusan yang pasti ada di tangan Dewi Intan Baiduri."
"Di mana anakmu sekarang?"
"Ada di dalam."
"Suruh dia ke sini, Ki Wiryamanggala," pinta Raja Pedang Merah, bernada me-
merintah. Ki Wiryamanggala sebenarnya merasa tersinggung melihat kelakuan tamunya yang tak
tahu adat. Tapi, dia berusaha menya-barkan diri. Lelaki tua itu memang sudah tak
ingin lagi mengotori tangannya dengan darah.
"Tetapi...."
"Tetapi apa, Gagak Putih"!" sentak Raja Pedang Merah keras, dengan memanggil
julukan Ki Wiryamanggala yang sekarang ini sudah tak lagi meramaikan dunia
persilatan. "Anakku sudah dilamar seseorang,"
jawab Ki Wiryamanggala.
Seketika merah padam wajah Raja Pedang Merah. Tangannya pun sudah terkepal
keras. "Kurang ajar! Siapa lelaki yang telah berani mendahuluiku, Ki Wiryamanggala?"
"Raksasa Tangan Hitam," jelas Ki Wiryamanggala. "Kemarin, dua utusannya datang
ke sini." "Raksasa Tangan Hitam...," desah Raja Pedang Merah, mengulangi perkataan Ki
Wiryamanggala. Wajahnya tampak dipenuhi kegeraman. "Lelaki tua bangka tak tahu
diri! Kau sudah menerima lamarannya, Ki Wiryamanggala?"
Ki Wiryamanggala, lelaki berumur sekitar enam puluh tahun itu menggelengkan
kepala. "Bagus!" puji Raja Pedang Merah.
"Tetapi, Raksasa Tangan Hitam akan datang lagi ke sini untuk meminta kepas-
tianku," ujar Ki Wiryamanggada.
"Persetan dengan Raksasa Tangan Hitam!" geram Raja Pedang Merah. "Biar aku urus
dia. Akan segera kukirim Raksasa Tangan Hitam itu ke neraka!"
"Kalau itu memang keputusanmu, aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu sa-
ranku, hati-hatilah. Raksasa Tangan Hitam cukup berbahaya dan licik!" jelas Ki
Wiryamanggala, menatap wajah Raja Pedang Merah yang tampak semakin geram.
"Aku lebih bahaya daripada dia, Ki," jawab Raja Pedang Merah, jumawa.
"Akan kubuktikan kehebatan pedangku dan akan kupenggal batang lehernya."
Selesai Raja Pedang Merah berkata, dari dalam kamar Dewi Intan Baiduri muncul.
Senyum dara jelita itu langsung terkembang, melihat Raja Pedang Merah terbelalak
matanya dengan buah jakun turun naik.
"Rupanya ada tamu dari jauh, Ayah,"
kata Dewi Intan Baiduri, lembut. Dara jelita itu kini duduk di sisi ayahnya.
Raja Pedang Merah yang tengah me-nikmati kecantikan wajah Dewi Intan Baiduri
nampak termangu-mangu. Bahkan ucapan gadis di hadapannya tidak ditimpalinya.
"Luar biasa...!" gumam Raja Pedang Merah mirip desahan.
"Apanya yang luar biasa, Raja Pedang Merah?" tanya Dewi Intan Baiduri.
"Kecantikan dan kelembutanmu tentu saja, Dewi," jawab Raja Pedang Merah. Matanya
kini beralih menatap wajah Ki Wiryamanggala. "Kecantikan anakmu benar-benar
dapat menandingi kecantikan bidadari dari kahyangan Ki. Beruntung sekali kau
punya anak seperti dia."
"Ah! Kau terlalu berlebihan, Raja Pedang Merah," elak Dewi Intan Baiduri,
merendah. "Apa yang kumiliki, rasanya tak berbeda dengan dara-dara lain."
"Tidak, Dewi. Mata lelaki waras dapat membedakan, mana dara jelita yang
lembut, dan mana yang memuakkan. Kau sungguh lain dari dara-dara jelita yang
pernah kukenal, Dewi," puji Raja Pedang Merah.
Namun, raut wajah Dewi Intan Baiduri tak berubah sedikit pun mendengar pujian
Raja Pedang Merah. Dia tetap tenang, tanpa ada kebanggaan sedikit pun.
"Aku rela menyabung nyawa demi mendapatkan dirimu, Dewi," tegas Raja Pedang
Merah.

Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Srat! Terkejut Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala begitu melihat Raja Pedang
Merah menghunus pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Bahkan gadis itu
diam-diam mempersiapkan senjatanya yang berupa payung kecil, dari logam keras
dan berwarna merah muda. Tapi, tidak demikian halnya Ki Wiryamanggala. Lelaki
tua itu kembali tenang dalam sesaat.
"Aku akan memenggal leher Raksasa Tangan Hitam dengan pedang ini, Dewi. Ya-
kinlah kalau dia akan mampus di tanganku, sebelum cita-citanya untuk
mempersunting dirimu terwujud," mantap ucapan Raja Pedang Merah.
Ki Wiryamanggala yang mendengar penegasan lelaki berpakaian kuning muda itu
tidak membantah apa-apa. Ki Wiryamanggala tahu, siapa sesungguhnya Raja Pedang
Merah. Dia adalah seorang lelaki yang keras
hati. Tingkat kemampuan ilmu silatnya cukup tinggi. Bahkan senjata yang di
tangannya kini, merupakan perbawa menggiriskan dan membahayakan setiap lawan.
Kalau benar-benar Raja Pedang Merah melaksanakan niatnya untuk dapat memenggal
kepala Raksasa Tangan Hitam, rasanya tidak akan begitu mudah. Paling tidak
seluruh kemampuannya harus dikeluarkan untuk menandingi ketinggian ilmu silat
Raksasa Tangan Hitam.
"Dewi! Apakah kau akan menerima la-maranku jika aku mampu memenggal kepala
Raksasa Tangan Hitam?" tanya Raja Pedang Merah. Matanya menatap jalang seluruh
tubuh Dewi Intan Baiduri yang terbalut pakaian ketat, sehingga membentuk
tubuhnya yang indah menggairahkan.
Dewi Intan Baiduri membetulkan pakaiannya yang bersulam manik-manik warna merah
menyala. "Sesungguhnya, itu bukan syarat mutlak dariku, Raja Pedang Merah," papar Dewi
Intan Baiduri seadanya.
"Apa kau mempunyai persyaratan yang lain?" tanya Raja Pedang Merah, penasa-ran.
"Tidak ada, Raja Pedang Merah," jawab Dewi Intan Baiduri.
"Kalau begitu, keinginanku untuk memenggal batang leher Raksasa Tangan Hitam
hanya sebagai jalan untuk menyingkir-
kan sainganku saja, Dewi"!"
"Terserah kau saja, Raja Pedang Merah. Dalam hal ini, aku tak bisa disang-
kutpautkan. Itu urusanmu," ketegasan Dewi Intan Baiduri seketika muncul ke
permu-kaan. "Tentu saja, Dewi," balas Raja Pedang Merah sambil menganggukkan kepala.
"Raksasa Tangan Hitam adalah urusanku.
Begitu juga lelaki-lelaki lain yang datang ke sini untuk melamarmu. Mereka semua
jadi urusanku. Aku, si Raja Pedang Merah, akan memupuskan harapan-harapan
mereka." Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala hanya tersenyum tertahan mendengar
keyakinan Raja Pedang Merah yang ke-lewat berlebihan. Tidak disadari kalau
sesungguhnya di atas langit, masih ada langit. Dan ketinggian ilmu silat dan ke-
saktiannya, pasti ada yang melebihinya.
Lelaki yang bergelar Raja Pedang Merah itu memang terlalu sombong.
"Baiklah, Dewi, Ki Wiryamanggala, aku mohon diri sekarang. Percayalah, aku akan
membuat kalian berdua senang dengan menyingkirkan si buruk rupa Raksasa Tangan
Hitam dan laki-laki lain yang tak ta-hu diri."
Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala menganggukkan kepala, menyahuti izin
tamunya untuk meninggalkan kediaman
mereka. "Terima kasih atas sambutan kalian yang begitu ramah," ucap Raja Pedang Merah
lagi. "Terima kasih pula atas kunjunganmu ke rumahku," balas Ki Wiryamanggala ber-
basa-basi. Raja Pedang Merah segera berlalu dari ruangan utama rumah kediaman Dewi Intan
Baiduri dan Ki Wiryamanggala, tanpa diantar si tuan rumah.
*** Ketika Raja Pedang Merah dan ketiga pengawalnya melewati pintu pagar halaman,
kediaman Dewi Intan Baiduri, di bawah pohon berdaun rindang masih nampak lelaki
pengemis yang tertidur pulas.
"Pengemis edan! Mirip sekali dia dengan kerbau!" maki Raja Pedang Merah dalam
hati. Dia memang tak suka melihat lelaki yang buruk rupa seperti itu.
Siiing.... Sebuah kerikil yang sengaja ditendang Raja Pedang Merah, melayang cepat ke arah
pengemis yang sedang tertidur. Namun, kepala pengemis yang terlenggut,
membuatnya terhindar dari terjangan kerikil yang mengancam kepalanya.
Trak! Kerikil yang ditendang Raja Pedang
Merah membentur batang pohon. Dan seketika pohon itu menggugurkan daun-daunnya.
Namun, benturan keras pada batang pohon besar itu, rupanya tak juga membangunkan
pengemis dari tidurnya yang nyenyak.
"Edan!" maki Raja Pedang Merah geram.
Dia bermaksud menghampiri pengemis berpakaian tambalan warna-warni itu. Namun,
niatnya segera diurungkan ketika da-ri kejauhan Raja Pedang Merah melihat sebuah
tandu berwarna kuning keemasan yang digotong empat orang lelaki bertubuh besar
dan berotot. Di depan tandu itu berjalan dua lelaki berpakaian hijau yang
rambutnya tergerai lurus.
"Kedas, Karup, dan Mejan. Kalian lihat orang-orang itu! Mau apa mereka menuju ke
sini"!" dengus Raja Pedang Merah pada tiga lelaki pengikutnya.
"Mungkin mereka ingin juga meminang Dewi Intan Baiduri, Kakang Raja Pedang
Merah," jawab orang yang bernama Kedas menduga-duga.
"Hm...."
"Dan yang di dalam tandu itu, mungkin saja majikan mereka," timpal Karup.
"Kita hadang saja, Kakang Raja Pedang Merah," usul Mejan, dengan lagak pongah.
"Kau benar, Mejan. Mereka memang harus diberi pelajaran, agar tidak semba-
rangan menanam harapan. Kalian bertiga, hadanglah!" perintah Raja Pedang Merah.
Tiga lelaki berpakaian hitam itu langsung mematuhi perintah. Dengan golok
terhunus, mereka berlompatan menghadang dua orang lelaki berpakaian hijau dan
empat lelaki yang mengusung tandu.
"Berhenti!" bentak Kedas lantang.
Dua lelaki berpakaian hijau langsung menatap tiga wajah yang menghadang
perjalanan. "Kenapa Kisanak menghadang perjalanan kami" Bukankah di antara kita tak pernah
punya urusan?" tanya lelaki berambut panjang yang bagian tengahnya dikun-cir
rapi. "Mau punya urusan atau tidak, yang jelas aku melarang kalian melewati daerah
ini!" dengus Karup sambil menuding-nuding dua lelaki berpakaian hijau. "Kalian
pasti punya maksud-maksud tertentu terhadap Dewi Intan Baiduri."
"Hm.... Jadi kalian bertiga orang-orangnya Dewi Intan Baiduri?"
"Bukan! Aku adalah abdi setia Raja Pedang Merah yang telah datang lebih dahulu
melamar Dewi Intan Baiduri!"
"Hm.... Kita bersaing, jika begitu," putus lelaki yang berambut panjang
terkuncir di bagian tengahnya.
"Kurang ajar!"
Mejan yang memang memiliki watak
pemarah, segera saja melompat maju. Tangannya yang terkepal keras seketika saja
dilayangkan ke bagian muka salah seorang dari dua lelaki berpakaian hijau itu.
"Hih!"
Bet! "Uts...!"
Lelaki berambut terkuncir itu segera bergerak ringan, menghindari sodokan tangan
yang mengarah ke wajahnya. Melihat serangannya mudah dapat dielakkan, bukan main
geram hati Mejan. Maka kembali diterjangnya lawan dengan gerakan-gerakan yang
kecepatannya dua kali lipat.
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Lelaki berpakaian hijau yang rambutnya terkuncir itu tentu saja tidak berani
bermain-main. Sekali dua kali, serangan yang dilancarkan Mejan bisa dibalas.
Bahkan beberapa kali sodokan tangannya hampir mendarat di bagian tubuh Mejan
yang tak terlindung.
"Uts!"
Mejan kembali membawa mundur tubuhnya, manakala sodokan tangan lelaki berpakaian
hijau datang. Sodokan pertama yang dilakukan lawan memang berhasil di-atasi
Mejan. Akan tetapi pada sodokan tangan yang berikutnya, dia tak mampu berbuat
banyak. Dan untuk menghindari wajahnya dari
sodokan tangan lawan, Mejan merelakan ba-hunya.
Blugkh! "Aaa...!"
Mejan memekik tertahan begitu ba-hunya terkena tendangan keras lawan. Tubuhnya
limbung beberapa langkah ke kiri, dengan mulut meringis menahan sakit.
"Kurang ajar!" bentak Kedas dan Karup berbarengan. Mereka dengan senjata
terhunus segera maju menerjang.
"Hiaaa...!"
Para lelaki pengusung tandu yang melihat dua lelaki murid kesayangan gu-runya
diserang, segera meletakkan tandu yang diusung. Dan dengan gerakan cepat, mereka
membantu dua kawan mereka.
Keempat lelaki pengusung tandu itu langsung mengepung dua lawannya yang
menghunus golok. Maka, pertempuran sengit pun tak dapat dielakkan lagi. Mereka
masing-masing berusaha ingin menjatuhkan lawan secepatnya.
Sebenarnya dalam hal kepandaian, empat lelaki berotot yang mengusung tandu itu
bukanlah lawan berarti bagi pengikut Raja Pedang Merah. Ini bisa terlihat dari
gerakan-gerakan mereka yang kasar dan ka-ku. Tentu saja melihat keadaan ini,
bisa cepat dimanfaatkan tiga pengikut Raja Pedang Merah. Terutama, bagi orang
yang bernama Kedas.
Kedas melihat, salah seorang lawannya melayangkan sebuah tendangan yang
seadanya. Dan hanya dengan menunduk sedikit, tendangan itu berhasil dihindari.
Lalu dengan kecepatan dahsyat, Kedas mem-babatkan goloknya ke dada lawan yang
belum mempersiapkan diri lagi.
Bret! "Aaa...!"
Sambaran golok Kedas menemui sasa-rannya. Salah seorang pengusung tandu nampak
terhuyung-huyung, lalu ambruk di tanah. Bagian dadanya tampak sobek mengeluarkan
darah segar, karena terbabat golok Kedas. Lelaki berotot menonjol itu sebentar
meregang nyawa, dan sebentar kemudian diam tak berkutik lagi.
Menyaksikan kematian seorang temannya, tiga pengusung tandu yang lain kembali
menyerang ganas. Mereka juga bersenjata golok dan langsung membabat-babatkannya
ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dentang senjata beradu terdengar keras mengisi suasana yang hampir menje-lang
siang. Trang! Trang! Bunga api memercik ke sana kemari, akibat benturan dua senjata yang mengandung
kekuatan tenaga penuh. Pemilik senjata yang tenaga dalamnya rendah kontan
terhuyung-huyung ke belakang. Dan itu me-
nandakan kalau tingkatan tenaga dalam pa-ra pengusung tandu berbeda jauh.
Ctar! "Mundur kalian semua!"
Sebuah bentakan keras seketika terdengar. Dan tahu-tahu, seorang laki-laki sudah
berdiri di luar tandu. Pakaiannya hitam, berbintik-bintik putih. Di tangannya
tampak tercekal pecut yang hampir mirip buntut kuda.
"Kenapa hanya kalian bertiga yang menghadang perjalananku" Mana Raja Pedang
Merah"! Suruh dia menghadapku. Biar nyawanya kukirim ke neraka secepatnya!"
dengus lelaki berpakaian hitam bintik-bintik putih. Usianya tak lebih dari empat
puluh lima tahun. Dan kelihatannya, dia tak main-main dengan permintaannya.
"Terlalu bodoh kalau kau meminta aku yang langsung menghadangmu, Kuda Liar!"
ejek suara yang wujud pemiliknya tak kelihatan.
Lelaki berpakaian hitam berbintik-bintik putih yang dipanggil si Kuda Liar
sekilas menatap ke sekeliling. Begitu ju-ga anak buahnya yang kini tinggal lima
orang. "Raja Pedang Merah, keluarlah! Jangan bisanya hanya bersembunyi seperti maling
jemuran!" balas si Kuda Liar.
"Baik, Kuda Liar! Jangan menyesal kalau nyawamu lebih dulu pergi!"
Sebuah sosok tubuh berpakaian kuning muda seketika berkelebat cepat dan mendarat
manis di sisi kiri tiga lelaki berpakaian hitam.
"Rupanya kau punya selera tinggi juga, Raja Pedang Merah," sindir si Kuda Liar
datar. "Tentu saja, Kuda Liar. Aku masih muda. Sedangkan kau" Sebentar lagi nyawamu
dijemput malaikat maut. Kusarankan, cepat-cepatlah pergi dari sini. Urungkan
niatmu untuk mempersunting Dewi Intan Baiduri," balas Raja Pedang Merah keras.
"Kalau begitu, kita memang harus bertarung. Dapat kita tentukan, siapa di antara
kita yang pantas menjadi pendamping resmi Dewi Intan Baiduri!" tantang si Kuda
Liar sambil tersenyum.
"Asal kau tidak menyesal, Kuda Liar!" balas Raja Pedang Merah.
"Kurasa, kau yang akan menyesal, Raja Pedang Merah!" si Kuda Liar tak mau kalah.
Mendengar ucapan si Kuda Liar, segera saja Raja Pedang Merah merangsek ma-ju.
Tubuhnya berkelebat cepat, melepaskan pukulan mengandung hawa maut. Namun, si
Kuda Liar tentu saja tidak tinggal diam.
Dengan gerakan indah, tubuhnya meliuk.
Dan secara tak terduga, kakinya menendang ke arah belakang.
Raja Pedang Merah terkejut menyak-
sikan serangan tak terduga dari si Kuda Liar. Serangan yang memang mirip
tendangan kaki kuda itu datang begitu cepat!
"Uts!"
Raja Pedang Merah cepat-cepat melenting ke belakang, dan berputaran satu kali.
"Ha ha ha.... Baru menghadapi jurus
'Kuda Menendang Beban' saja sudah kewalahan, Raja Pedang Merah! Belum lagi
menghadapi jurus-jurus yang lain," ledek si Kuda Liar.
"Jangan bangga dulu, Kuda Liar! Aku belum menunjukkan kebolehan ku. Sekarang
terimalah...!"
Srat! Sinar berwarna merah seketika berpendar, begitu Raja Pedang Merah mencabut
pedangnya yang berwarna merah dari warangkanya. Dia tampak terkekeh menyaksikan
si Kuda Liar yang terkejut melihat kedahsyatan pedangnya.
"Ha ha ha.... Kau takut dengan senjataku ini, Kuda Liar"!"
"Hanya senjata mainan anak-anak.
Jangan dipamerkan di hadapanku...!" balas si Kuda Liar seraya mengacungkan pecut
ekor kudanya. "Kau lihat senjataku, Raja Pedang Merah. Senjataku ini segera akan
merejam tubuhmu!"
Ctar! Si Kuda Liar melecutkan pecut ekor
kudanya ke udara. Bunyi menggeletar seketika terdengar memekakkan telinga.
"Kita buktikan sekarang, Kuda Liar!" ucap Raja Pedang Merah.
Diiringi teriakan keras, Raja Pedang Merah merangsek maju dengan senjata
teracung di atas kepala.
"Hiyaaa...!"
Bret! Tebasan senjata Raja Pedang Merah terarah ke bagian lambung si Kuda Liar dengan
ganas. Sinar merah yang menimbulkan hawa panas bergulung seiring berpu-tarnya
pedangnya. Ctar! "Kau lihat senjataku, Raja Pedang Merah. Pecutku ini akan merejam tubuhmu!"
teriak si Kuda Liar sambil melecutkan pecutnya ke udara.
"Kita buktikan, Kuda Liar!" balas Raja Pedang Merah tidak kalah gertak.
Si Kuda Liar tentu saja tak membiarkan senjata lawan melukai tubuhnya.
Segera tubuhnya bergerak menjauhi tebasan Raja Pedang Merah. Namun, sebelumnya
pecut ekor kudanya sempat dilecutkan.
Ctar! Pertarungan sengit antara Raja Pedang Merah melawan si Kuda Liar berlanjut seru
dan mendebarkan. Sambaran-sambaran pedang dan lecutan-lecutan pecut silih
berganti dilancarkan. Semua itu mengundang kekaguman pengemis yang masih ada di
bawah pohon. "Luar biasa kedahsyatan senjata-senjata itu," ujar pengemis yang kini
bersembunyi di balik pohon besar dalam hati.
Pengemis itu terus mengikuti jalannya pertarungan sengit yang sudah mencapai
jurus ketiga puluh lima.
"Rasakan ini, Kuda Liar!"
Raja Pedang Merah kembali mengibaskan pedangnya ke bagian leher lawan.
Karuan saja si Kuda Liar terkejut menda-
pat serangan yang begitu cepat dan dahsyat. Sekuat tenaga dia berusaha
menjatuhkan tubuhnya. Kemudian, dia melompat dan melenting menjauhi serangan


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja Pedang Merah.
"Uts! Hip!"
Raja Pedang Merah kesal juga melihat serangannya membentur tempat kosong.
Maka dengan gerakan cepat, dikejarnya si Kuda Liar yang lari menjauh. Namun
gerakannya terpaksa berhenti di tengah jalan, karena tahu-tahu saja pecut ekor
kuda milik si Kuda Liar melilit pedangnya.
Raja Pedang Merah akan menarik pu-lang pedangnya. Namun tenaga si Kuda Liar yang
begitu kuat, menahan tarikannya. Ki-ni, terjadilah adu tarik-menarik yang
menggunakan tenaga dalam penuh.
Sementara si Kuda Liar menahan tarikan, pikiran Raja Pedang Merah seketika
bekerja. Pedang di tangannya diputar ke arah yang berlawanan dari pecut yang
melilit. Harapannya, lilitan itu akan terlepas. Namun, si Kuda Liar rupanya
dapat membaca apa yang akan dilakukan lawan.
Maka dengan kecepatan luar biasa, pecut ekor kudanya digerakkan, hingga pedang
milik Raja Pedang Merah kembali terlilit.
"Kurang ajar!" maki Raja Pedang Merah dalam hati.
Mata Raja Pedang Merah yang liar, seketika melihat batu sebesar kepalan
bayi. Dengan gerakan cepat, ditendangnya batu itu sekuat tenaga
Siinng...! Bunyi berdesing mengiringi terpen-talnya batu yang disepak Raja Pedang Merah.
Dan si Kuda Liar sama sekali tak menyangka kalau Raja Pedang Merah akan
melakukan hal itu. Untuk menghindari, maka pecutnya yang melilit pedang milik
Raja Pedang Merah segera diputar.
Lilitan pecut itu seketika terlepas. Sedangkan si Kuda Liar segera membuang
tubuhnya ke kanan. Maka terjangan batu yang ditendang Raja Pedang Merah berhasil
dihindari. Sementara itu, Raja Pedang Merah terhuyung ke belakang terdorong tarikan
tenaganya sendiri. Namun sesaat kemudian, dorongan kuat itu telah mampu
dijinakkan-nya.
"Hup!"
Raja Pedang Merah melenting, dan kemudian mendarat manis.
"Heh!"
Begitu pun dengan si Kuda Liar. Dia tampak sudah bangkit berdiri.
Sementara itu di pertarungan lain, nampak tiga orang anak buah Raja Pedang Merah
sudah berhasil menewaskan dua orang pengusung tandu. Golok di tangan Kedas,
Karup, dan Mejan memang menjadi lebih bahaya. Apalagi tingkat kemampuan
memainkan senjata yang dimiliki mereka cukup sempurna.
"Hiaaa...!"
Kembali golok Kedas yang mengacung di udara dibabatkan ke punggung lelaki
pengusung tandu.
Bret! "Aaa...!"
Lelaki pengusung tandu kontan terpekik kuat. Dan ternyata lengkingan kema-
tiannya cukup mengejutkan lelaki yang berjuluk si Kuda Liar. Maka, dia langsung
menggereng geram melihat pengusung tan-dunya tinggal seorang. Dan pikirannya
yang kalut, segera memutuskan untuk menyerang tiga anak buah Raja Pedang Merah.
"Hiyaaa...!"
Raja Pedang Merah tentu saja terkejut bukan main melihat kelakuan lawannya.
Maka dengan gerakan cepat, dihadangnya lesatan tubuh si Kuda Liar.
Trak! Benturan tangan yang teraliri kekuatan tenaga dalam seketika terjadi. Si Kuda
Liar memekik tertahan, dan tubuhnya terlempar satu tombak ke belakang. Begitu
juga yang dirasakan Raja Pedang Merah.
Hanya saja, dia tak mengeluarkan pekikan seperti si Kuda Liar yang tak tahan
menahan sengatan tenaga dalam lawan.
"Hih!"
Karena kegeraman yang sudah menca-
pai puncaknya, si Kuda Liar segera melempar senjata rahasianya yang berbentuk
tapal kuda. Maka senjata yang mengandung racun ganas itu meluncur cepat.
Raja Pedang Merah memang sudah cukup berpengalaman dalam bertarung cepat.
Tak heran kalau kelicikan si Kuda Liar dapat terbaca.
Maka segera pedangnya diputar sekuat tenaga, menampakkan sinar merah yang
bergulung-gulung di depan dada.
Trak! Trak! Trak!
Senjata rahasia si Kuda Liar ternyata mampu dibendung pedang merah milik Raja
Pedang Merah. Senjata-senjata rahasia itu berpentalan ke lain arah. Bahkan satu
di antaranya meluruk balik ke pemiliknya yang jadi terkejut bukan main.
Pada saat si Kuda Liar membuang dirinya ke kanan, maka saat itulah sebuah
bayangan berpakaian kuning muda melesat cepat. Sosok bayangan yang lain dari
Raja Pedang Merah! Pedangnya yang teracung di udara, diayunkan cepat ke bagian
tubuh si Kuda Liar yang berguling di tanah.
"Hiyaaa...!"
Crab! "Aaa...!"
Si Kuda Liar terpekik keras ketika merasakan punggungnya terbabat senjata lawan.
Darah kontan mengucur deras dari luka di punggungnya yang menganga lebar.
Namun meskipun dengan keadaan limbung, si Kuda Liar berusaha bangkit. Maka, Raja
Pedang Merah kembali menyusulinya dengan sebuah tendangan keras.
"Hiaaa...!"
4 Desss! "Aaa...!"
Tubuh si Kuda Liar terpental deras, dan melayang bagai daun terhembus angin.
Darah segar yang keluar dari mulut, ikut menyertai luncuran tubuhnya. Kemudian,
dia jatuh berdebum melanggar pohon besar.
Si Kuda Liar langsung meregang kaku, ma-ti!
Raja Pedang Merah tersenyum puas melihat tubuh lawannya yang sudah tidak
berkutik lagi. Sedangkan dua lelaki berpakaian hijau yang merupakan anak buah si
Kuda Liar nampak terkejut bukan main. Dan melihat junjungannya sudah tak
bernyawa lagi, nyali mereka seketika ciut. Mereka ingin menyudahi pertarungan
dan nampaknya ingin mengaku kalah. Akan tetapi, ketiga anak buah Raja Pedang
Merah nampaknya tak memberi kesempatan.
Kedas, Karup, dan Mejan terus melancarkan serangan ganas. Golok mereka
berkelebat cepat mengarah pada pertahanan lawan yang sudah semakin melemah,
karena semangat bertarungnya sudah merosot.
Hingga suatu kesempatan, golok yang berada di tangan Karup berkelebat cepat ke
arah perut lelaki berpakaian hijau yang berambut panjang terkuncir.
Bret! "Aaa...!"
Lengking kematian yang menggiriskan terdengar disertai ambruknya sosok tubuh
berpakaian hijau. Golok Karup telah membabat habis perutnya, sehingga lelaki
berkuncir itu tak berkutik lagi. Darah nampak mengucur deras dari perutnya yang
terluka. Melihat Karup berhasil menghabisi satu nyawa, ternyata Mejan pun tak mau
ketinggalan. Seorang lawannya yang juga berpakaian hijau tak tanggung-tanggung
dibabat pula mukanya. Darah kontan mengalir deras dari wajah lawan yang hampir
terbelah! Sementara itu, Kedas yang masih menyaksikan seorang pengusung tandu masih hidup,
langsung saja maju hendak mengha-bisinya. Namun langkahnya diurungkan setelah
Raja Pedang Merah melarang.
"Jangan teruskan, Kedas. Biarkan dia hidup agar bisa jadi saksi kehebatan-ku,"
ujar Raja Pedang Merah. Lalu, ditatapnya sisa anak buah si Kuda Liar. "Kau!
Pergilah cepat sebelum kesabaranku habis!"
Lelaki bertubuh kekar dan berotot menonjol itu segera mematuhi perintah Ra-ja
Pedang Merah. Tanpa menunggu lama la-gi, tubuhnya langsung melesat pergi diikuti
tatapan mata meleceh milik Raja Pedang Merah dan ketiga anak buahnya.
"Kita harus mencari penginapan yang lebih dekat dari rumah kediaman Dewi Intan
Baiduri, Kedas," ujar Raja Pedang Merah, setelah sosok lelaki anak buah si Kuda
Liar menghilang di balik pepohonan.
"Kurasa memang demikian, Kakang,"
sambut Kedas menyetujui. "Biar secepatnya kita dapat menghadang orang-orang yang
bermaksud melamar Dewi Intan Baiduri."
Raja Pedang Merah tersenyum mendengar ucapan Kedas.
"Kurasa hanya Kakang saja yang pantas mempersuntingnya," ujar Karup, tak mau
ketinggalan. Sehingga membuat Raja Pedang Merah semakin empot-empotan.
"Menurutmu, Mejan?" tanya Raja Pedang Merah pada pendamping setianya yang belum
angkat bicara. "Aku" Menurutku..., sama saja.
Hanya, Kakang seoranglah yang paling pas bersanding di pelaminan bersama Dewi
Intan Baiduri," jawab Mejan, jumawa.
Raja Pedang Merah seketika terbahak mendengar jawaban Mejan.
"Kalau begitu, sekarang juga kita cari penginapan yang terdekat. Dan kalian
bertiga, nantinya bakal bergiliran mengintai rumah dara jelita kekasih
pujaanku," putus Raja Pedang Merah sambil meninggalkan tempat pertarungannya
tadi. Sore mulai beranjak penuh. Langit di sebelah Timur sudah menampakkan warna
kemerahan, sebagai suatu pertanda kalau sang surya sebentar lagi akan kembali ke
peraduannya. Dewi Intan Baiduri dan Ki Wiryamanggala saat ini sedang berbincang-bincang di
ruangan dalam. Perbincangan itu tak lain mengenai tokoh-tokoh persilatan yang
datang melamar "Ah! Kita tak dapat mencegahnya, Dewi. Pertarungan memperebutkan dirimu masih
akan terus berlanjut seperti tadi siang. Sesungguhnya, hal semacam itu sama
sekali tak pernah kuinginkan. Tapi..., yah.... Siapa yang bisa melarang
keinginan mereka untuk bersaing" Aku" Aku tak memiliki kekuasaan untuk melarang
mereka. Begitu juga kau, Dewi. Apakah kau masih memikirkan lelaki yang pernah dijodohkan
mendiang ibumu?" hati-hati sekali pertanyaan yang diucapkan Ki Wiryamanggala.
"Terus terang pelupuk mataku selalu membayang," jawab Dewi Intan Baiduri.
"Ternyata, kau benar-benar mencin-tainya, Dewi."
"Entahlah, Ayah."
"Kalau memang begitu, kau berhak
menolak lamaran laki-laki lain. Kita akan hadapi mereka bersama-sama kalau
memang lelaki yang melamarmu tak bisa diajak mengerti. Termasuk, Raja Pedang
Merah dan Raksasa Tangan Hitam."
"Rasanya kita memang akan menghadapi hal seperti itu, Ayah. Sesungguhnya, hal
ini sama-sama kita benci. Namun, bukan berarti kita takut menghadapi sebuah
pertarungan," timpal Dewi Intan Baiduri.
"Kita lihat saja perkembangannya, Dewi. Kalau memang mereka saling bentrok, itu
berarti tugas kita menjadi lebih ringan," putus Ki Wiryamanggala.
"Apa tidak akan timbul tuduhan dari pihak lain, Ayah?" tanya Dewi Intan Baiduri
sedikit cemas. "Apa maksudmu, Dewi?" Ki Wiryamanggala mengerutkan dahinya.
"Pasti ada pihak-pihak lain yang melempar tuduhan kalau kita sengaja mengadu
domba mereka," Jelas Dewi Intan Baiduri.
Jawaban itu dirasakan Ki Wiryamanggala cukup masuk akal.
"Dugaanmu ada betulnya, Dewi. Tapi kan kita bisa menyangkal. Namun yang jelas,
kita tak pernah punya pikiran buruk seperti itu. Kita tak pernah memanasi mereka
untuk saling menyingkirkan saingan-nya. Mereka sendirilah yang merasa cita-
citanya telah dibayangi orang lain. Se-
perti Raja Pedang Merah yang berniat menyingkirkan setiap orang yang datang
melamarmu. Itu kan bukan keinginan atau permintaan kita, Dewi. Ah! Jangan
dengarkan kalau memang tuduhan itu ada. Mereka yang menuduh, pasti orang yang
berpikiran picik," sahut Ki Wiryamanggala.
Apa yang diucapkan Ki Wiryamanggala adalah merupakan jalan keluar yang ter-baik.
Namun, Dewi Intan Baiduri tetap berharap hari-hari selanjutnya adalah ha-ri yang
mampu mengikis ketegangan ini.
*** Harapan Dewi Intan Baiduri ternyata hanya sebuah keinginan semu. Sebelum
matahari tepat di atas kepala, kini di hadapan Ki Wiryamanggala dan Dewi Intan
Baiduri tampak berdiri dua orang lelaki berwajah tampan. Namun sayang,
ketampanan mereka terganggu oleh gigi yang mencuat ke luar. Rambut kepala mereka
juga tampak aneh. Setengah gundul, namun terdapat kunciran kelabang di bagian
belakang kepala mereka.
Kedua lelaki bertubuh sedang itu mengenakan pakaian serupa, berwarna coklat
kehitaman. Di bagian dada sebelah ki-ri, tampak tersemat sebuah lambang berupa
dua ekor kelabang.
Mereka kemudian menjelaskan keda-
tangannya, begitu dipersilakan masuk, dan duduk di ruang tamu. Sama seperti
tamu-tamu sebelumnya, mereka juga bermaksud melamar Dewi Intan Baiduri.
Dewi Intan Baiduri menatap kedua tamunya yang berpenampilan sama itu.
"Aku sudah dapat mengerti keinginan kalian yang telah disebutkan tadi, Sepasang
Pangeran Kelabang," kata Dewi Intan Baiduri, mendayu-dayu.
Dan itu sempat membuat dua lelaki yang berjuluk Sepasang Pangeran Kelabang
terkesima beberapa saat. Apalagi saat bibir tipis berwarna merah merekah itu
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 23 Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana Jodoh Si Mata Keranjang 3
^