Pencarian

Bisikan Arwah 1

Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap Bagian 1


SELAGI ia berlari, sekujur tubuhnya terasa semakin
panas, membakar. Perlahan tetapi pasti kulitnya
berubah kesat, hitam legam, bersisik menjijikkan.
Sifat-sifat buas menjalari dirinya dengan kejam, dan
semacam naluri seksuil yang aneh mendorongnya
untuk melaksanakan pembalasan dendam ....
Bisikan arwah terkutuk itu kini jadi kenyataan. Dan
isterinya yang muda lagi cantik, tetap menunggu di
tempat tidur, merindukan kehangatan dan jamahan
mesranya. Kerinduan seorang pengantin baru yang
tidak sadar, teror mengerikan tengah melanda
kebahagiaan mereka! ebook DJVU http://hana-oki.blogspot.com
Convert dan edit txt oleh:
Careuh-Bulan Pengarang Abdullah Harahap BUMI menggeliat kepanasan digelitik terik matahari.
Pepohonan di sepanjang jalan setapak itu merasakan
kegersangan yang amat sangat Daun-daunnya
berguguran jatuh. Menggelepar beberapa saat ditiup
angin yang kering kerontang. Lalu tercelentang diam
di atas rerumputan yang layu. Kuning kecoklat-
coklatan. Tidak ada lagi burung-burung bernyanyi.
Bahkan awan putih perak yang belum lama berselang
bergulung-gulung di perut langit seperti enggan
menampakkan diri. Ranting-ranting kering gemeretak
diinjak sepasang kaki telanjang berlepotan tanah dan
debu. Sepasang kaki itu tiba-tiba berhenti.
"Panasnya. Ampun!" sebuah suara bergumam.
Lantas sebuah lengan yang kukuh dengan urat-urat
bertonjolan mendarat di wajah seorang lelaki. Wajah
yang keras. Sorot matanya tajam. Tetapi ketika itu
tampak lesu sekali. Dengan lengannya yang kecoklat-
coklatan itu ia seka keringat yang membanjir di dahi.
Ia pindahkan bahu kiri. "... kalau tak ingat mertua sedang sakit payah, maulah
rasanya hari ini pulang saja ke kota!" ia bergumam
lagi. Kaki-kakinya kembali melangkah. Enggan tetapi
pasti. Jalan setapak itu akan berakhir di mulut
kampung. Tinggal beberapa ratus meter. Namun
jaraknya seakan-akan telah bertambah panjang
sejauh berkilo-kilo meter. Terlalu benar. Tetapi ah!
Kenapa ia harus mengeluh. Inilah resiko kawin
dengan seorang anak petani. Petani yang kaya
memang. Akan tetapi mana pula ia pantas berdiam-
diam saja di rumah sepanjang hari. Makan tidur,
menyulut rokok seraya minum kopi tubruk. Bercanda
dengan isteri yang begitu muda dan cantik.
"Bercumbu di tengah udara sepanas ini?" ia geleng-
geleng kepala sendiri. "Mana ada selera!"
Sedang apa si Mira sekarang" Tidur-tiduran" Atau
menunggu dia di depan pintu seperti selama ini ia
lakukan bila Iwan datang ke rumah paman Mira di
kota" lwan biasanya langsung mendorong tubuh
langsing dan padat itu ke balik pintu. Ia tekan lutut ke
dinding. Ia betot dengan kedua lengannya yang
kukuh. Mira akan menggeliat. Dan membiarkan
bibirnya habis diremas bibir Iwan. Lalu berdesah.
Panjang. Itu di kota. Di sini" Biarpun ia dan Mira sudah
syah jadi suami isteri satu pekan yang lalu, tetap saja
ia harus bersabar menunggu Mira masuk ke kamar
tidur. Atau di pekarangan belakang. Di balik pohon-
pohon jambu. Kadang-kadang di kamar mandi, bila
ayah Mira sedang berjemur di depan rumah dan
ibunya pergi ke ladang. Itupun kalau adik-adik Mira
kebetulan bersamaan waktunya pergi ke sekolah
desa. Secepat mertuanya sembuh mereka kembali saja di
kota. Masa cuti kawin Iwan di kantor belum berakhir.
Dihabiskannya saja di kota. Kalau perlu berkemah di
pantai. Berkecimpung di lidah ombak. Berkejar-
kejaran di hamparan pasir lembut berkilau-kilauan.
Tak perlu lagi berkeluh kesah dalam rumah yang
senantiasa berisik oleh jerit dan tawa adik-adik Mira
atau duduk-duduk diam di hadapan ayah Mira yang
tak henti-hentinya berpetuah. Berlagak mengerti. Dan
menunggu semua orang tidur untuk bisa bergelut
dengan isteri sendiri. Tak perlu cemas oleh derit
ranjang besi yang sudah lama tidak di minyaki.
Iwan tersenyum kecut. Matanya menatap ke kejauhan. Bangunan rumah-
rumah di balik pepohonan kelapa dan beringin yang
daun-daunnya telah semakin banyak berguguran
tinggal s http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

ebatang sebatang rokok lagi jauhnya. Kalau
di kota ia akan minta Mira menyediakan es atau
minuman dingin. Tetapi di kampung sana, paling-
paling ia bisa meminta disediakan teh manis. Duduk-
duduk sebentar di halaman sebelum tiba waktunya
bersama seisi rumah berhadapan dengan meja
makan. Supaya dapat makan dengan nikmat ia akan
mandi lebih dulu dan ......
Dan Iwan tegak terpaku di tempatnya berdiri.
Sebentuk benda berwarna hitam legam terbujur
memotong jalan setapak yang akan ia lalui. Benda itu
bersisik. Besarnya sama dengan batang paha Iwan
sendiri. Dengan liar mata Iwan menatap benda
misterius itu. Tampaknya seperti diam. Akan tetapi
semak belukar di kedua sisi jalan setapak, bergerak
gelisah. Samar-samar di telinga Iwan terdengar suara
berdesis-desis yang kadang-kadang berupa siulan
yang lembut. Cepat sekali ingatan lwan bekerja.
Sehari sebelum ia asik ke jenjang pelaminan bersama
Mira, lwan telah bertemu untuk pertama kali dengan
benda bulat panjang dengan sisik berwarna hitam
legam ini. Waktu itu dia lama diam terpaku seperti sekarang.
Setelah ia sadar, benda itu telah lenyap di balik
semak belukar. Penasaran, ia ikuti arah benda yang ia
yakin pasti ular yang sangat besar. Dengan takjub ia
sadari, semak belukar yang tadi rebah dilalui ular
hitam, semua tegak seperti semula. Seolah-olah tidak
terjadi apa-apa, seakan-akan tidak ditimpa oleh
benda besar dan sangat berat.
Karena benda itu bergerak dengan bentuk garis lurus,
ia rambas semak belukar dengan arah yang sama. la
ingin tahu. Mengapa ekor ular itu tidak semakin
mengecil seperti biasa. Dan mengapa badannya
menjalar dengan gerakan lurus, tidak berbelok-belok.
la kemudian tiba di sebuah lapangan berumput, yang
konon tidak ada seorang penduduk pun mau
mengolahnya untuk dijadikan perumahan atau
ladang. Sekilas ia masih bisa melihat segaris
rerumputan yang sedang berusaha tegak dari
rebahnya. Langkah-langkah lwan bertambah panjang
mengikuti jejak-jejak ular yang aneh itu sebelum
rumput-rumput tadi berdiri semua. Dalam beberapa
loncatan, kemudian ia tiba di dekat sebidang tanah
berpasir. Jejak-jejak ular berakhir di situ. Mata lwan
mencari-cari. Kemudian iapun berjalan kesana kemari.
Mencari-cari dengan mata. Merambas semak belukar
dengan golok di tangan. Tetapi semua sia-sia. Sekarang, kepenasaran tidak akan ia buang begitu
saja. Sebelum ekor ular di depannya menghilang
dibalik semak belukar, lwan dengan berji ngkat-
jingkat, bergerak ke samping. Sejajar dengan arah
ular aneh itu menyelusup. Dengan berusaha agar
suara kakinya tidak menimbulkan berisik, lwan
kemudian mengikuti bayangan benda hitam lega itu
yang memanjang kearah daerah lapang berumput.
Tak ingin kehilangan jejak untuk kedua kalinya lwan
mempercepat langkah. Berusaha menjaga jarak agar
tidak terlalu dekat sehingga kehadirannya tidak
terdengar oleh buruannya. Kalau ia berhasil, ia akan
membunuh ular itu dan kulitnya akan ia bawa ke
kota. Kulitnya berwarna hitam legam seperti itu
jarang didapat. Pasti harganya akan sangat mahal
sekali! la lupa. Kalaupun ia ingat, ia tak akan perduli. Pertama
kali ia lihat ular itu dan kehilangan jejak, ia ceritakan
pada Mira. Isterinya menggigil. Tetapi tidak bisa
mengatakan apa-apa. "Aku tak tau itu ular apa. Tanyakan saja kepada
ayah." Ayah Mira mengernyitkan dahi.
"Hitam legam" Ekor sama besar dengan badan?" ia
balas bertanya, sambil terus berpikir. Dan tiba-tiba
orangtua itu menatap tajam ke mata lwan. Sesaat ia
menelan ludah. Kemudian: "Itu ular jin!"
"Jin?" Iwan tercengang.
"Ya. Jin!" "Jin!" ulang lwan pula. Lantas ia tertawa.
"Jangan anggap remeh, anakku," tegur ayah Mira.
Iwan masih ingin tertawa. Tetapi demi menghormati
mertuanya ia berusaha menahan rasa geli. Mana ada
ular berbentuk jin. Atau jin berbentuk ular. Bahkan jin.
Memang dalam agama ada disebut jin. Tetapi kok
ular. Terlihat pula lagi oleh mata. Mana ada jin yang
tertampak oleh mata manusia. K
arena itu Iwan tak membantah lagi waktu ayah Mira melanjutkan:
"Bila ular jin tampak di sebuah tempat, maka
malapetaka akan terjadi di sekitar tempat ia
menampakkan diri itu!"
Suara orangtua itu cemas. la kemudian malah ke luar
dari rumah dan pergi ke tetangga, Bersama tetangga
mereka kemudian menemui ajengan. Tetapi ajengan
sedang menjenguk anaknya yang bekerja di kota.
Mereka lalu bertemu dukun. Oleh dukun diperintahkan
agar penduduk desa menyediakan sesajian. Terdiri
dari pisang masak, bunga rampai, telor ayam putih
dan sejemput beras putih. Semua diletakkan diatas
talam, lalu disimpan di pintu rumah masing-masing.
Malapetaka itu memang tidak datang. Kecuali
kemarau yang rasanya terus membakar bumi Dan
ayah Mira nyeletuk pada menantunya:
"Hati-hati, nak. Kalau kau lihat ular jin itu kembali,
segeralah beritahu kami."
Tidak. Bukan ia tidak ingin memberitahu mertua atau
penduduk desa. Akan tetapi, sedetik ia terlambat, ular
itu akan hilang lenyap seperti beberapa hari yang lalu.
Sedangkan ia akan pulang ke kota tak lama lagi. Kulit
ular yang bisa dijual mahal akan bisa menambah
gajinya yang sudah mencukupi. Untuk membeli
hadiah buat Mira. Tentu kawan-kawan dan relasi
mereka akan kagum kalau datang bertamu.
Dengan lamunan itu lwan tiba di lapangan berumput.
Tak ada lagi semak belukar. Dari tempatnya berdiri, ia
lihai ular itu menjulur diatas rerumputan. Langsung
menuju bidang tanah berpasir ditengah-tengah
lapangan. Dalam pikiran lwan tentu ular itu akan
melewati tanah berpasir itu, terus ke lapangan
berumput di seberang dan kemudian menghilang
diantara semak belukar yang menuju... Tidak. Ular itu
tidak boleh sampai ke sungai. Kalau sampai disana
biarpun sungai sedang surut airnya, akan tetapi
demikian banyak semak belukar yang lebat dan
penuh lubang menganga di sana sini.
Ia baru saja berniat akan berlari ke arah dimana ia
perkirakan ular itu akan terjun ke pinggiran sungai,
ketika mata lwan menangkap sesuatu yang aneh.
Dari kejauhan, ia lihat bagaimana ular menyeret-
nyeret tubuhnya. Tidak meliuk-liuk. Kepalanya yang
besar dan lancip di depan terjulur dengan lidah
bercabang dengan warna kemerah-merahan
memancarkan liur. Menjelang tiba di tanah berpasir,
gerakan ular semakin lambat. Tampaknya ia teramat
susah payah menyeret badannya yang besar.
Mulut lwan ternganga memperhatikan bagaimana
kemudian kepala ular agak terungkit ke atas.
Bergerak kesana kemari. Bagai mencari-cari.
Iwan dengan cepat merebahkan badan.
Diam menunggu. Ular itu mudah-mudahan tidak melihat ada manusia
tergeletak diantara rerumputan. Seraya rebah, lwan
menyingkapkan rerumputan dan ilalang di depan
matanya. Kembali mulutnya melongo. Kepala ular ini
terhunjam ke tanah berpasir. Kemudian menggeliat,
keras sekali sehingga liuk tubuhnya melipat. lwan
menahan nafas setelah tau apa yang dilakukan si
ular. Benda hitam misterius itu tengah menggali tanah.
Pasir beterbangan kesana kemari. Tetapi tak ada
tanah yang bertaburan. Rupanya gerakan ular bukan
menggali. Melainkan membor. Kepalanya perlahan-
lahan hilang dalam lobang yang cuma sebesar
badannya. Menyusul badannya hitam legam,
menyelusup kedalam tanah berpasir.
"Celaka!" lwan setengah berseru. "la akan lenyap!"
Seketika, ia meloncat berdiri. Dan berlari kearah tanah
berpasir. Di sana ia berdiri kebingungan. Apa yang
akan ia lakukan untuk bisa membunuh ular itu
seketika, tanpa ia mendapat perlawanan. la pukul


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja ekornya dengan gagang pacul. Ular itu tentu
kesakitan. Bisa saja badannya keluar kembali
seluruhnya lantas menyerang manusia yang yang
menyakiti tubuhnya. Dalam keadaan demikian, lwan
harus terpaksa melakukan perlawanan. Dan itu
berarti, kulit ular rusak oleh hantaman mata pacul.
Dan itupun kalau lwan bisa ke luar sebagai
pemenang. Kalau ia kalah"
Sedang lwan berpikir-pikir, ular itu bergerak terus.
Kini, tinggal ekornya saja!
Otak lwan memutuskan. "Biar rusak-rusak kulitnya, apa boleh buat!"
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

Lantas, ia angkat gagang pacul ke udara. la sudah
siap menghantamkan pacul yang akan berganti fungsi
jadi pembunuh itu, ketika untuk kesekian kali, lwan
dibuat ta'jub. Ekor ular tadi telah hilang lenyap dalam
lobang. Begitu hilang, begitu lobang itu tertimbun.
Benar-benar tertutup. Oleh tanah yang perlahan-lahan
merapat dan bersatu dengan timbunan pasir.
Lama lwan terpesona menyaksikan peristiwa aneh
itu. Kemudian, semacam dorongan naluri yang kuat
mendorongnya untuk menggali lubang itu.
Tak ia sadari dengan perbuatan nekad itu berarti Iwan
telah memanggil terror mengerikan yang akan terus
membayang-bayangi kelanjutan hidupnya.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

SORE hari Iwan telah melakukan kesalahan yang
teramat fatal dalam hidupnya. Tanah berpasir
dibawah kakinya ia gali dengan bernafsu. Ular besar
berwarna hitam legam dengan bentuk aneh itu tidak
boleh hilang lenyap begitu saja. Bila saja lwan
berhasil membunuhnya, tidak saja ia akan
memperoleh kulit ular sebagai oleh-oleh mahal yang
bisa ia bawa pulang ke kota. Tetapi juga akan ia
buktikan pada penduduk desa, bahwa ular itu bukan
jin. Jin tak berwujud. Dan jin tidak bisa
mati oleh tangan manusia.
Seolah-olah untuk merangsang nafsu Iwan, tiap
paculnya berhasil membongkar sebongkah tanah, tiap
kali itu pula ia lihat bekas-bekas ular menghilang.
Semakin lama semakin dalam. Semakin lama pula
semakin membesar. Tenaga lwan yang hampir ludas
oleh terik matahari yang menyengat sewaktu ia
membetulkan tegalan kebun mertuanya di ladang,
bagaikan muncul kembali. Keringat kian banyak
membanjiri seluruh tubuhnya. Juga tanah. Dan pasir.
Tetapi ia tidak perduli. Lubang yang kian membesar
berarti pertanda liang ular telah semakin dekat.
Hidung Iwan mulai mencium bau hanyir yang
bertambah dalam ia menggali, bertambah tajam.
Kalau saja lwan berdiri di atas, di pinggir lubang maka
ia akan heran pada dirinya sendiri. Ia telah menggali
tanah sedalam hampir dua puluh meter ketika malam
telah mulai jatuh. Kekuatan gaib telah mendorong hati
lwan untuk tetap saja menggali tanpa berhenti.
Pekerjaan yang seharusnya baru bisa dilakukan oleh
beberapa orang laki-laki bertenaga luar biasa itu, ia
kerjakan sendirian tanpa sadar bagaimana kekuatan
gaib itu terus menyelusup merayapi sekujur pembuluh
darah dan urat syarafnya. Waktu malam terus
mendaki, lwan perlahan-lahan mulai merasakan
perubahan itu. Tidak lagi ia menggali karena ingin membuktikan
dugaan penduduk cuma sekedar omong kosong
belaka. Tidak pula karena ingin membawa oleh-oleh
menarik ke kota. Apa yang ada dibenak lwan
hanyalah satu tekad: melihat ular yang misterius itu.
Berhadapan dengannya. Keinginan yang sama-sekali
membuat Iwan berpikir keras, mengapa begitu kuat
dorongannya. Sampai-sampai tak berdaya untuk
menolong semacam keinginan lain yang sangat
bertentangan: menghentikan menggali dan pulang ke
rumah. Tidur disamping isterinya, Mira.
Sementara itu gumpalan-gumpalan tanah terus
berhamburan ke udara yang jaraknya semakin jauh
dari dasar lubang yang terus digali.
Dibawah sinar bulan purnama, tanah telah
bertumpuk-tumpuk di sekitar lubang. Semakin
membukit tumpukan itu, semakin membasahi
tanahnya. Dan ketika bercak-bercak air memerciki
sekujur tubuh lwan yang berkeringat, paculnya mulai
berhenti bekerja. Bagaimanapun Iwan adalah
menusia. Kekuatan gaib itu sampai juga batasnya.
lwan merasakan otot-otot tubuhnya perlahan-lahan
menegang, lama-lama kian membatu. Ia tak bisa
bertahan dengan berpegangan pada pangkal pacul.
Dan tanpa bisa ditahan, tubuh lwan yang tinggi tegap
itu jatuh melorot di atas tanah becek dan berair.
Percikan-percikan lumpur kembali membercaki wajah
lwan. Pada saat itulah, lubang hidung lwan mencium bau
hanyir yang sangat keras. la goyang-goyangkan
kepala. Tetapi bau hanyir itu semakin keras dan keras.
Rasa segumpal daging yang telah membusuk
disodorkan ke depan lobang hidungnya. la belalakan
mata. Tetapi ia tidak melihat apa-apa. Jilatan cahaya
bulan di langit kelam, hanya mencapai batas lima
meter ke dalam lubang. Dua puluh meter berikutnya
gelap dan pekat. Di kedalaman duapuluh lima meter
itulah lwan berhenti menggali, setelah ia ketahui
tanah yang ia gali di bagian depan ternyata kosong.
Ya.. Dari datangnya bau hanyir yang memualkan
perut itu, terdapat lubang lain. Lubang yang seketika
mengingatkan lwan pada liang kubur. Liang lahat.
"... lubang apa ini" Dan bau apa pula ini?" ia
bersungut-sungut. Nafasnya kembang kempis
Dan tiba-tiba ia dengar siulan halus.
Iwan jadi tegang. la sambar pacul didekatnya. Siap
menanti. "Ular itu!" tiba-tiba saja ingatannya kembali di kepala.
Matanya ki http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

an liar. Mencari. Tetapi yang ada hanya
kegelapan dan kegelapan belaka. Perasaan takut
mulai mendatangi lwan. Tubuhnya diam membeku.
Tetapi telinganya bekerja keras. la menanti adanya
gerakan. Atau suara gerakan. Dari bau hanyir dan
siulan halus barusan ia sadar kalau kini ia telah
berada di dekat ular besar berwarna hitam legam,
sehitam lubang yang dalam itu. Ular yang ia cari
malah mungkin kini tengah berada didepannya. Siap
untuk menyambar. Membelit. Mematahkan tulang
belulang lwan. Kemudian melahapnya. Dijadikan
santapan malam yang lezat.
Diam-diam lwan mulai menyesali dirinya. Mengapa ia
tekebur untuk terus menggali. Dadanya yang penuh
oleh ketegangan, tak juga merasakan sesuatu. Tidak
gerakan. Tidak siulan. Dengan cemas ia menoleh ke
atas. la lihat langit yang biru. Dalam sinaran bulan.
Hanya setelapak tangan. Bagaimana ia bisa menggali
sekian dalam" Dan bagaimana kini ia bisa keluar"
Mendadak sontak, tubuh Iwan mengejang lagi, waktu
ia dengar suara geseran yang lamban di depannya.
Waktu ia belalakan mata, tiba-tiba ia terkesima.
Dalam kegelapan di lubang yang telah ia gali itu,
membersit warna hijau yang terang dan tajam,
menusuk langsung ke mata lwan. Sinar hijau yang
muncul dari sebentuk kepala yang ia lihat semenjak
tadi siang, memukau tidak saja tubuh, akan tetapi
jiwa Iwan. Semakin terbiasa oleh kegelapan, dibantu
oleh cahaya hiiau itu, mata Iwan mulai menangkap
benda apa yang ada di hadapannya. Ular besar yang
hitam legam, kini bergulung didalam lubang. Leher
ular itu terangkat, kepalanya sejajar dengan kepala
Iwan. Sisa-sisa ingatan lwan berusaha bekerja. Ia raba pacul
di sebelahnya. Tetapi hanya sampai disitu. Tangannya lalu diam. Lesu.
Lumpuh! la coba berdiri. Tetapi sekujur tubuhnya juga lumpuh.
Ingin ia menjerit. Kerongkongannya kelu. Sadarlah Iwan. la benar-benar berhadapan dengan
ular jin, seperti yang dikatakan oleh ayah Mira.
".... kenapa-kau ikuti aku?" bisikan halus menerpa
telinga Iwan. Jantungnya berdenyut. Suara siapa itu"
"Kenapa?" suara itu lebih keras. setengah menghardik.
Suara seorang laki-laki yang kepayahan dan hatinya
sangat gusar. Suara itu datang dari kedua sinar hijau di depan.
Sedikit di bawahnya. Dari mulut ular!
Gagap, lwan bergumam: "Aku...aku..." "Aku tau! Kau mengikutiku. Kenapa?"
"Si ........ .. siapa......... kau?"
"Jangan bertanya! Tak akan kujawab. Kau yang harus
jawab pertanyaanku. Kau tau sinar hijau ini" Berasal
dari mataku. Dan telah merasuk ke dalam matamu.
Kini kau berada dibawah kekuasaanku. Kau akan
menurut segala keinginanku, mematuhi segala
perintahku, Kau akan jadi penggantiku di atas sana.
Telah lama kuinginkan membalaskan sakit hatiku.
Tetapi belum kesampaian. Kini kau datang. Untuk
apa?" "Membunuhmu." Terdengar suara berisur, diiringi tawa yang serak.
"Tak seorangpun bisa membunuhku. Tetapi kau bisa
membunuh banyak orang untukku ........"
"Tetapi.... tetapi....."
"Diamlah. Aku akan teruskan bicaraku. Camkan baik-
baik. Mulai detik ini jiwaku telah merasuk kedalam
jiwamu. Pada waktu wuktu tertentu, wujudku pun
akan menggantikan tubuhmu yang bagus, kulitku
yang bersisik akan menggantikan kulitmu yang halus.
Kau tak berdaya menolakku. Dan ingat! Kau tak boleh
ceritakan pertemuan kita terhadap siapa pun juga di
atas sana. Sekali kau bercerita, kau bukan lagi
manusia. Tetapi jin berbentuk ular seperti aku. Ular
jadi-jadian. Yang tersiksa sepanjang hidupnya.
Sekarang, pergilah."
"Ke ...... kemana?" tanya Iwan seperti orang bodoh.
"Pulang. Pergilah ke rumah isterimu."
"Tetapi...." lwan tengadah. Menatap ke atas.
Terdengar lagi siuran lembut. Lalu suara tertawa yang
serak. "Apa yang bisa kulakukan, kaupun bisa
melakukannya. Kekuatankulah yang membantumu
menggali lubang sebegini dalam. Kekuatanku akan
kualihkan ke tubuhmu. Setelah itu kau bisa memanjat
sendiri ke atas ..........."
lwan semakin bodoh. Dan tubuhnya mengigi
l waktu uap yang dingin menyerang tubuhnya, disertai dengan
lecutan-lecutan menyakitkan di sekujur pembuluh
darah. Giginya gemeletuk. Matanya berair. Tulang
belulang di tubuhnya seperti dicopot satu persatu. Ia
ingin melawan. Tetapi uap itu kian kuat menyerang.
Akhirnya ia terengah-engah sendirian. Letih. Lalu uap
itu perlahan-lahan menghilang.
"Naiklah!" Dengan susah payah, lwan mulai meman jat tanah
licin di dalam lubang. Begitu tangannya menyentuh, ia
rasakan kukunya menghunjam dalam. Tubuhnya
menjadi ringan. la tidak bergerak memanjat sebagai
manusia biasa. Melainkan merayap terus keatas. la
tidak tau apa yang terjadi pada dirinya. Dan ia tidak
perduli. Ia terus merayap seperti ular di sepanjang
tembok lubang yang sangat dalam itu. Langit semakin
lebar juga. Udara segar semakin banyak menerobos
ke lubang-lubang hidungnya. la mulai melihat bulan.
Dan bintang-bintang yang gemerlapan.
Dalam sekejap, ia telah berada di tepi lubang. la
gulingkan tubuhnya menjauh dari lubang itu.
Terhantar di atas tanah berumput. la ingin tidur. Tidur
yang nyenyak. Berharap apa yang ia alami hanyalah
sebuah impian yang buruk. Sangat buruk. Bila ia
bangun, ia tidak lagi melihat lubang yang menganga.
Ular besar hitam legam didalamnya. Sorot sepasang
mata berwarna hijau. Suara parau dan bau hanyir
yang memualkan isi perut.
Betapa kini perutnya terasa semakin mual. Iwan
terbungkuk-bungkuk. Perutnya memburai ke atas.
Lalu iapun muntah dengan hebat.
Ketika ia tanpa sengaja tertengadah menahan sakit,
ia lihat sesuatu di tengah-tengah gundukan tanah
yang membukit. Lidah yang bercabang itu seperti
ingin menjilat bulan. Mata yang hijau itu bagai tak
perduli pada cahaya bintang yang gemerlapan. Iwan
terpaksa oleh tatapan mata hijau itu. la dengar suara
bernada mengancam: "lngat! Sekali kau ceritakan pada orang lain, kau
binasa!" Lalu leher ular itu menjulur lebih ke atas. Dalam
sekejap, telah bergerak kesana kemari. Cepat dan
liar. Lalu suara gumpalan tanah dan pasir berguguran.
Dengan takut, lwan berusaha mundur. la balikkan
tubuhnya cepat-cepat. Rasa pusing menyerang
kepalanya. Rasa mual membongkar isi perutnya. la


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali muntah dan terus muntah sewaktu
merangkak menjauhi ular yang ia kira tengah
mengamuk itu. Di kejauhan ia dengar suara-suara berisik. Suara
orang-orang. la juga melihat nyala kuning kemerah-
merahan. Api! la ingin berlari. Tetapi justru tubuhnya kemudian
melorot, jatuh tanpa daya. la pingsan, tergeletak
diantara genangan muntahnya sendiri!
*cb***
"IWAN?" Susah payah ia buka matanya. Cahaya silau dari
jendela seakan membutakannya. la pejamkan lagi
mata. "lwan" Kau dengar suaraku sayang?"
Sebuah tangan yang lembut mengelus pipinya. Mesra.
"Ini aku. Mira ..........."
" ...... Mira?" mulutnya membuka. Lalu ke mudian juga
matanya. Samar-samar ia lihat siapa perempuan yang
berdiri di samping tempat tidur. Kemudian ia lihat juga
ayah, ibu serta adik-adik Mira.
Sekonyong-konyong tubuh Mira jatuh di atas tubuh
lwan. la peluk suaminya erat-erat dengan perasaan
yang masih tergoncang. Di dada yang bidang itu ia
tumpahkan airmatanya habis-habisan.
"Mengapa kau menangis, Mira?"
"O, lwan. Kami kira kau sudah mati. Oh!"
Dan Mira menangis lagi. Iwan menoleh pada yang lain-lain. Semua terdiam.
Tetapi mata mereka menampakkan kelegaan yang
tersembunyi. Waktu matanya beradu dengan mata
ayah Mira, ia dengar laki-laki setengah tua itu
bergumam: "Beberapa orang mengangkat tubuhmu dinihari tadi
dari lapang berumput. Kami mencarimu pakai obor.
Setelah kau tak pulang-pulang .............."
Jadi suara merekalah yang ia dengar. Dan obor
merekalah yang ia lihat. Lantas, apa pula yang
sebaliknya mereka lihat"
*
IWAN mengelus bahu Mira dengan lembut. Lalu
berusaha bangkit. Masih ia rasakan kelesuan yang
sangat. Tetapi ia bisa juga duduk di pinggir tempat
tidur. Dengan ekor matanya, ayah Mira menyuru
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

h anak-anaknya yang lain untuk ke luar dari kamar.
Isterinya kemudian menyusul setelah ayah Mira
berkata: "Siapkan makan siang."
Mendengar itu perut Iwan melilit. Bukan karena mual
seperti waktu ia berada dalam lubang bersama ular
yang aneh itu. Masih ia ingat apa saja yang dikatakan
oleh ular itu. la tidak tahu, apakah pembicaraan
mereka seperti halnya pembicaraan manusia biasa.
Ataukah dengan tiba-tiba Iwan telah bisa memahami
bahasa ular. Bahkan siapa tau ........... mimpi" Tetapi
tidak. Mereka bilang, tubuh lwan ditemukan di
lapangan berumput. Dinihari, menjelang subuh tadi.
"Ceritakanlah apa yang terjadi, sayang," pelan-pelan
ia dengar suara Mira. Iwan terdiam. Menceritakan" "Sekali kau ceritakan
pada orang lain, kau binasa!" terngiang-ngiang
ancaman sang ular. "Wujudmu akan berubah seperti
diriku. Ular jadi-jadian, yang tersiksa sepanjang
hidupnya ..............."
la tiba-tiba menggigil. "lwan. Mengapa kau?" isterinya cepat-cepat
memegang pergelangan tangannya.
"Tidak. Aku tidak apa-apa."
"Kau sakit?" Iwan menghela napas panjang. Ia pandangi
mertuanya. Tajam. "Jadi tubuhku ditemukan di lapang
berumput?" tanyanya.
Orangtua itu mengangguk. "Apalagi yang mereka temukan?"
Mata orangtua itu mengecil. Lalu:
"Tak satu pun!"
"Tak satupun?" Kini mata orangtua itu membesar. Dengan suara
bimbang ia mendesak: "Kau maksud ...... kau menemukan ........."
Iwan menggigil lagi. Ingat ancaman yang ditujukan
pada dirinya. "Tidak. Tidak kutemukan sesuatu apapun."
"Tetapi seluruh tubuh dan pakaianmu berlumpur.
Baunya memualkan ......."'
"Waktu itu aku baru pulang dari ladang."
"Ladang kita kering, nak!"
"Aku mau mandi ke sungai. Tetapi terpeleset ke
kubangan kerbau." "Tengah malam" Mengapa tidak ke rumah?"
Diserang begitu, Iwan tak bisa berkata apa-apa lagi.
la semakin gugup, waktu orangtua tadi kembali
mendesak: "Kau muntah di sana sini. Apa yang kau kerjakan di
tengah lapang" Tampak jejak-jejak kakimu diatas
tanah berpasir ........."
"Jejak-jejak?" lwan terperangah. Pucat.
"Ya. Jejak-jejak kakimu," ulang mertuanya.
"Jejak-jejak" Tak ada ........... lubang?"
"Lubang" Lubang apa, nak lwan?"
Lubang ular! Tidak. lwan tidak akan mengatakannya.
Ancaman itu mendera benaknya tanpa berhenti.
Ancaman dari seekor ...... Ah. Mungkinkah seekor ular
bisa mengancam seorang manusia" Dan mungkinkah
seorang manusia bisa berubah wujud menjadi seekor
ular" Mustahil. lwan telah terbawa oleh lamunan yang
tidak-tidak. Tetapi kalau semua itu hanya impian yang
buruk, mengapa ia mereka temukan di sana" Dan
mengapa mereka justru tidak menemukan lubang
dari mana ia sebelumnya merayap ......... merayap
seperti seekor binatang melata"
"Boleh aku mandi?" tanyanya resah.
Orangtua Mira menyingkir. Iwan turun dari tempat
tidur. Mira mengambilkan sehelai kain untuknya.
Malah dengan penuh kasih sayang menuntun lwan ke
kamar mandi. Di sana sudah tersedia bukan seember
air, atau bak yang penuh saja. Ia juga melihat ada
sebaskom air yang dingin sekali. Di dalam baskom
berisi air itu, ia temukan banyak sekali bunga mawar,
beberapa helai dedaunan lontar dan beberapa buah
jambu monyet yang masih mentah.
"Buat apa itu?" sungut lwan tak mengerti.
"Memandikanmu, sayang," jawab isterinya.
"Aku" Mandi ramu-ramuan" Apa-apaan ini?"
"Diamlah, kekasih. Berjongkoklah. Kau boleh
boleh mandi sendiri. Kami sudah mandikan kau begitu
ditemukan tadi malam. Tetapi kini aku sendiri yang
akan memandikanmu. Itu kata dukun."
"Dukun?" "Mengapa tak berjongkok" Atau perlukah kupanggil
dukun itu untuk memandikanmu?"
"Aku tak apa-apa. Aku tak percaya dukun.
Aku .............." Tetapi tangan Mira sudah membetot lengan lwan. la
kemudian terseret ke bawah. Lantas berjongkok
dengan enggan. Dalam sekejap, Mira telah
mengguyurkan air yang penuh dengan rempah-
rempah itu ke atas kepala Iwan.
Lak i-laki itu mengigil kedinginan. Namun ia segera
merasakan udara yang segar dan bau mawar yang
nyaman. la merasa enak, tetapi dalam hati ia tetap
tidak mempercayai ramuan, itu tidak bisa
menyelamatkan dirinya. Namun percaya pulakah ia
akan apa yang telah ia alami setelah sore hari
kemaren melihat ular hitam legam melintas di jalan
setapak, memotong jalan lwan"
Selesai mandi, Iwan masih harus bersabar menurut
perintah isterinya. Segelas air yang telah disisihkan
lebih dulu dari baskom itu harus pula diminum.
Rasanya agak sebal. Namun ketika ia berpakaian dan
melangkah ke ruang makan, tubuhnya ia rasakan
pulih kembali. Ia makan dengan lahap. Demikian
lahapnya, sehingga mata Mira membesar melihat
bagaimana suaminya makan tiga kali lebih banyak
dari biasa. Betapapun, hati Mira bersorak. Seorang
perempuan akan merasa bangga kalau masakannya
dinikmati dengan penuh selera oleh laki-laki yang ia
dambakan. "Kemana kau?" Mira bertanya cemas ketika selesai
makan ia lihat Iwan mau ke luar rumah.
"Berangin-angin," sahutnya.
"Kutemani ya?" "Aku ingin menyendiri, Mira."
Lantas Iwan pergi begitu saja dari rumah. Mula-mula
ia menuju ke sebelah utara. Seolah-olah ke mesjid.
Tetapi setiba di sana, ia memutar dari belakang
mesjid, menuju ke barat daya. Beberapa orang
penduduk yang ia kenal mengangguk padanya waktu
mereka berpapasan dengan Iwan di sepanjang jalan
tegalan. Ia kemudian tiba di pinggir sungai. Waktu
masih pacaran dengan Mira beberapa bulan yang lalu
mereka pernah berkunjung ke desa ini. Sungai itu
benar-benar menyenangkan untuk dilihat. Airnya
mengalir tenang dan beriak di sana-sini. Jernih sekali.
Beberapa anak kecil kejar-kejaran di tengah sungai.
Ada pula yang memandikan kerbau agak ke hilir. Juga
perempuan-perempuan berkemben tengah mencuci.
Tak perduli paha-paha mereka yang putih
gemerlapan, terjilat mata-mata yang lewat.
Tetapi kini sungai itu kering. Hanya sedikit air mengalir
di bagian yang paling dalam. Lebih mirip selokan.
Batu-batu sungai kelabu kemerah-merah an karena
lama tak disentuh air. lwan meloncat dari batu yang satu ke batu yang lain.
Kadang-kadang berjalan di atas selokan. Dengan
begitu ia bisa menghindari pandangan orang-orang
kampung ke arah mana ia menuju. Karena sungai itu
dilindungi oleh rimbunan bambu dan pepohonan, ia
langsung menuju ke arah selatan. Dan tak lama
kemudian, tiba di lapang berumput yang di tengah-
tengahnya terdapat bidang tanah berpasir itu.
Berdiri di dekat tanah berpasir, hati lwan berdenyut.
Apa yang ia lihat, adalah apa yang pernah ia lihat
sebelum mengikuti ular besar itu sampai ke sini.
Seperti juga apa yang dilihat oleh orang-orang
kampung ketika mencarinya tadi malam. Tanah
berpasir yang datar, sedikit bergumpal disana-sini.
Namun jelas, tanah itu seperti belum pernah diinjak
oleh kaki manusia. Apalagi digali. Tak ada tanah
galian. Bahkan tak ada bekas-bekas galian sama
sekali. Konbn pula lubang yang menganga yang
dalamnya dua pilih limameter. Lubang yang .............. ..
Ah, mungkinkah lwan bisa menggali lubang sekian
dalam, hanya sendirian dan dalam waktu cuma
beberapa jam" Tiba-tiba terdengar suara berbisik. Lalu:
"Sedang mengapa kau, lwan?"
la terkesiap. Menoleh ke belakang.
Disana, ia lihat isterinya menatap dengan mata yang
tajam sementara melangkah dari antara semak
belukar ke tanah berumput. Langkah langkah kakinya
ringan dan lembut. Tetapi jelas membekas diatas
rumput. Tidak seperti gelusuran badan ular yang
demikian berat dan besar ....... mestinya rerumputan
itu juga berebahan seperti waktu diinjak oleh Mira.
Mungkinkah" Mungkinkah apa yang ia alami semua
tadi malam" Atau cuma sekedar mimpi belaka" la
seorang laki-laki dari kota, yang meskipun tidak
begitu patuh melakukan perintah dan menjauhi
larangan Tuhan, tetapi yakin sepenuhnya akan
kebesaranNya, bisa percaya begitu saja kepada alam
tahayul yang selama ini baginya cuma dongeng
orang-orang pelamun semata"
Mira telah berdiri di s http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

isinya. Berkata dengan suara
setengah minta dimaafkan:
"Ketika kau pergi ke arah Mesjid, aku tau kau sedang
berpikir untuk pergi ke arah yang berlawanan. Dari
tadi aku menunggumu di balik semak......"
lwan jatuh terduduk. Lemas.
"Mengapa, sayang?" Mira menjadi cemas.
"Aku....... aku tak mengerti, Mira."
"Apa?" "Mengapa tadi malam aku berada disini" Dan itu........."
ia menunjuk ke arah cairan mengering di atas tanah.
"Itu bekas muntahanku."
Mira mengelus lengan suaminya, kemudian
mendekapnya. la rebahkan kepala di sana. Lalu
memandang kearah sungai. "Disana tak ada air
bukan, kekasih?" "Air" Di mana?"
"Di sungai," "Ada" "Tetapi tak cukup untuk mandi seperti pernah kita
lakukan waktu kita masih pacaran, bukan?"
lwan mengenang semua itu. Kemudian mengangguk.
Lesu. "Kau telah bekerja terlalu lelah selama di desa ini,


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lwan. Demikian lelahnya sehingga waktu berjalan
pulang kemaren siang, tiba-tiba kau berniat untuk
pergi mandi ke sungai. Tetapi kelelahan yang amat
sangat, dan terik matahari yang terlalu kering,
membuat kepalamu pusing. Kau jatuh di sini, muntah
akibat pusing yang teramat sangat. Lalu tertidur oleh
keletihan yang alang kepalang. Begitulah keadaanmu,
ketika mereka temukan........."
lwan memikirkan itu. Agak percaya, tetapi belum
yakin. Oleh karena itu ia bertanya hati-hati:
"Dan lumpur yang memenuhi tubuhku?"
"Ladang kita akan menjadi sawah dimusim lain. Air ke
sawah disalurkan dari sungai melalui selokan yang
kini pasti kering. Tapi dimulut selokan tak jauh dari
ladang, tempat air dialirkan ke seluruh sawah,
biasanya air mengendap. Anak-anak sering
membiarkan kerbau berkubang di sana. Kau telah
merasa pusing dan lelah ketika meninggalkan ladang.
Tiba dekat kubangan, kau pergi ke sungai .... .. Kukira
alternatip ini yang pailng tepat. Tiba di sini, kau jatuh,
muntah karena pusing dan seterusnya seperti
alternatip pertama."
"Matematikmu nilainya selalu bagus di sekolah, Mira.
Ternyata kini ada gunanya meskipun...?"
"Meskipun apa, sayangku?"
lwan mengulurkan kedua tangannya ke depan.
Telapak tangan ia kembangkan dua-duanya. "Coba
lihat. Perhatikan baik-baik, Mira."
"Aku tak melihat apa-apan...."
"Katakanlah apa yang kualami sebuah mimpi buruk,
ketika aku tertidur di sini. Lantas coba ingat-ingat.
Waktu kau mandikan aku tak kau bersihkan kuku-
kuku kakimu. Kini, lihatlah. Mengapa begitu banyak
lumpur di sela-sela kuku?"
"Bukankah kau jatuh ke kubangan dan ........"
"Lumpur kubangan hitam, Mira. Tetapi lumpur disela-
sela kuku ini, kecoklat-coklatan dan ............. apa ini?"
tiba-tiba ia tarik lipatan benda tipis kecil berwarna
kehitam-hitaman dari sela-sela salah satu kukunya. Ia
dekatkan ke mata. "Sisik ular!" ia bergumam kaget. Dan tiba-tiba ia
menjadi pucat pasi. Dengan tangan gemetar sisik ular itu dibuang Iwan
jauh-jauh. Gemetar pula, ia berdiri.
"Kita harus segera meninggalkan desa ini, Mira!" ia
bersungut-sungut. Isterinya terdiam. Patahlah analisa matematikanya
terhadap apa yang ia duga terjadi pada Iwan. Setelah
kini ia lihat sendiri sehelai sisik ular ada ditangan
suaminya itu. Semula ia akan membantah dengan
mengatakan itu sisik ikan. Tetapi ia belum pernah
melihat ikan bersisik sehitam legam dan kesat begitu.
Kalaupun ada, telah hampir seminggu tidak ada
hidangan ikan di atas meja makan.
Tak ia sadari, tubuhnya mengigil tiba-tiba.
"Cepat, Mira! Apa lagi yang kau tunggu?"
lwan telah berjalan di jalan setapak.
Bergegas Mira berlari-lari mengikuti Iwan.
SELAMA berada dalam bus sepanjang perjalanan
kembali ke kota, Iwan dan Mira lebih banyak berdiam
diri. Iwan terbenam dalam lamunan-lamunan yang
membuat pikirannya kacau balau, sesaat ia percaya
apa yang ia alami selama di desa hanyalah illusi dari
rasa lelah semata. Di saat lain ia gemetar
membayangkan semua itu benar-benar ia alami.
Hatinya berperang. Jiwanya tergoncang. Disebelahnya,
Mira sedih memikirkan harus kembali meninggalkan
orangtua dan adik-adiknya. Tetapi pun pikirannya
tidak lepas dari bayangan sisik ular yang melekat di
sela-sela kuku suaminya. Setengah mati ia
memikirkan berbagai kemungkinan mengapa itu bisa
terjadi. Karena tidak menemukan jawab, ia tak kuat untuk
tidak bertanya: " ....... kau bertemu ular jin itu lagi, Iwan?"
Suaminya menoleh. Lalu menatap dengan liar pada
penumpang-penumpang bus yang lain. Untung Mira
berbisik dekat telinganya. Dan sebagian penumpang
terkantuk-kantuk diayun-ayun bus. Dengan perasaan
tak enak lwan nyeletuk: "Sudah berulang-ulang itu kau tanyakan tadi malam,
Mira." "Tak sekalipun kau jawab."
"Sudah." "Sudah?" "Pagi tadi. Sebelum kita pamit pada keluargamu dan
kau terus mendesak."
"Itu bukan jawaban, lwan."
"Itu adalah jawabanku. Kuulangi lagi: jangan bertanya
lebih banyak. Lupakan semuanya, Mira!"
"Bagaimana mungkin, Iwan?"
"Kau harus!" "Tetapi ......."
"Akan jadi isteri pembangkangkah kau, Mira?" ucap
lwan dengan jengkel. Suaranya agak keras, sehingga
seorang penumpang di depan mereka menoleh ke
belakang. lwan tersipu-sipu. Lantas menyesal. Seraya
memandangi pegunungan dan sawah berlapis-lapis
lewat kaca bus, ia genggam tangan isterinya seraya
bergumam lemah: "Maafkan aku, sayang."
Isterinya tak menyahut. Melainkan balas
menggenggam jari-jemari si suami.
Tiba di kota mereka langsung menuju rumah kecil
yang telah dibelikan orangtua Mira sebagai hadiah
jauh sebelum hari pernikahan mereka. Mira tinggal
bersama pamannya Iwan di sebuah rumah
pemondokkan. Setelah rumah itu dibeli, Iwan mulai
tinggal di situ. Mira sering datang ke sana, bahkan
pernah tidur bersama. Hal itu sangat ditentang oleh
paman Mira, yang sekali waktu pernah memanggil
Iwan untuk bicara empat mata.
"Bukan aku tak setuju hubungan kalian. Iwan," kata
orangtua bermata tajam dan tak pernah lepas peci
dari kepalanya itu. "Tetapi tidur serumah belum
waktunya....." "Kami bisa menjaga diri, pak," jawab lwan cepat.
Orangtua itu mendehem. Lalu:
"Aku percaya. Tetapi apa kata tetangga-tetangga?"
Semenjak itu Mira tak lagi berani tidur bersama Iwan
di rumah yang telah menjadi milik mereka. Kalau ia
kemalaman bertamu, paman atau salah seorang anak
pamannya dengan cepat menjemput. Semingggu
sebelum mereka pulang ke kampung untuk
dinikahkan, malah Mira dipingit oleh pamannya. Ia
sama sekali tidak bisa ditemui. Ia baru bertemu Mira
dua hari sebelum gadis itu beserta pamannya akan
berangkat lebih dulu ke kampung.
"Kita berangkat sama-sama, yu?" ajak Mira waktu itu.
Ia ditemani anak pamannya, sehingga mereka berdua
tak bisa berbuat banyak. "Masih ada sedikit pekerjaan di kantor yang harus
kuselesaikan, Mira. Kau tau, aku akan cuti panjang.
Banyak yang harus kulakukan. Tetapi percayalah.
Esok sore aku sudah melapor pada orangtuamu,"
lantas mereka berdua tertawa, bergamitan tangan
lalu berpisah. Sekarang mereka berhak berbuat semau mereka di
rumah itu. Mereka telah syah menjadi suami isteri.
Dan itu berarti: tamu yang datang beruntun
mengucapkan selamat. Beberapa sahabat meminta
maaf tak bisa menghadiri pernikahan mereka di
kampung. Namun mereka membawa hadiah-hadiah
banyak dan menarik. Tetangga-tetangga baru
menjelang malam berhenti datang. Yang paling akhir
pulang adalah paman Mira.
"Nah, lwan dan Mira," ia jabat tangan kedua
pengantin baru itu. "Mulai sekarang tak akan kuusik-
usik lagi kalian." Orangtua itu mengerling pada lwan. Mula-mula lwan
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

tertawa saja. Senang dan bahagia seperti halnya Mira.
Tetapi ketika matanya beradu dengan mata
pamannya, jantung Iwan berdenyut. la tidak tau
mengapa. Tetapi ia tidak bisa melepaskan pandangan
matanya pada orangtua yang perlahan-lahan masuk
ke dalam mobil bersama isterinya itu, kemudian
meluncur ditelan kegelapan malam.
lwan masih diam terpaku di tempatnya, dengan
perasaan ganjil berkecamuk dalam hati, sampai
kemudian Mira menariknya ke dalam.
"Dingin sekali malam ini, sayangku. Tetapi di dalam
kumar tidur, tentunya akan hangat sekali, bukan?"
Lewat tengah malam baru mereka bisa tertidur.
Berdekapan. Tetapi tak lama. Dekapan lwan segera
lepas dari tubuh Mira yang masih setengah telanjang.
Ia menggeliat. Gelisah. Ia berada diantara tidur dan
bangun. Tetapi bagaimanapun ia merasa tak yakin,
apakah ia tengah tidur ataukah tengah bangun.
Berulang kali ia pejamkan mata. Sekuat-kuatnya.
Tetapi semacam bayangan yang mengerikan terasa
membuntuti tidak saja mata akan tetapi juga hatinya.
Dalam keresahan tidurnya, ia lihat bayangan Paman
Mira begitu jelas. Teramat jelas. Laki-laki tua itu
berteriak- teriak. Lantang:
"Bunuh saja dia. Bunuh!"
Sekelompok manusia yang ikut bersama paman Mira,
ikut-ikutan berteriak: "Bunuh! Cincang! Musnahkan manusia siluman itu!"
Lalu Iwan melihat bayangan seorang laki-laki
compang-camping diantara kelompok orang yang
berteriak riuh rendah itu. Lelaki itu sama sekali tidak
dikenal oleh Iwan, tetapi apa yang dialami lelaki itu
seolah-olah ia alami sendiri. Tubuhnya dipukuli dengan
tinju. Sepakan kaki. Hantaman palu. Kayu. Tusukan
bambu runcing. la terumbang-ambing kesana kemari.
Darah memencar dari luka-luka menganga di sekujur
tubuhnya. Wajahnya sudah tak berbentuk lagi. la
mengerang. Merintih, Minta tolong. Minta ampun.
Tetapi tak ada yang bersedia menolong. Juga tak ada
yang mengampuni. "Jangan biarkan ia hidup!" seru paman Mira lagi.
Begitu dekat ke tubuhnya. Begitu dekat ke wajahnya.
Sehingga mata orangtua yang tajam dan selama ini
tampak tenang berwibawa itu mendatangkan rasa
benci di dalam hatinya. Dari mulutnya yang pecah-
pecah berlumur darah, ia menceracau:
"Terkutuk kau. Terkutuk kau!"
Paman Mira bangkit. Tertawa bergelak. "Kalian
dengar?" ia berteriak lengking menyapu suara riuh
rendah itu. "Ia bilang aku terkutuk. Padahal ialah yang
terkutuk!" Semua orang tertawa. Dan mulai lagi memukul.
Wajah yang sudah rusak mengerikan itu mengerang-
erang, dan sekali waktu seperti terpandang oleh Iwan
dari suatu tempat yang tidak berbatas. Bagaikan
melampaui dunia lain, ia lihat sorot mata yang
ketakutan itu memandang dengan minta dibelas
kasihani. Tetapi suaranya. Suaranya yang serak dan
dingin bernada lain: "Bunuhlah dia! Bunuhlah dia!"
Tangan orang itu susah payah menunjuk pada
seseorang. Paman Mira, yang tegak bergelak. Ditunjuk
begitu, paman Mira menghantamkan sebuah batu
besar ke kepala laki-laki malang itu. Sebelum batu itu
jatuh, Iwan memejamkan matanya dengan jantung
berhenti berdenyut, dan telinganya menangkap suara
yang dingin itu kembali: "Bunuh dia! Balaskan dendamku! Balaskan, lwan!
Balaskan!" Lalu tangan yang teracung tadi mengepal kearah
lwan. Ia terpekik. Terpekik ditenggorokan. Matanya
terbuka lebar. Ketakutan.
Seperti basah oleh keringat yang membanjir di
tubuhnya. Suatu kekuatan gaib menarik tubuh lwan
dari tempat tidur. Ia berdiri. Gontai. Lalu melangkah.
Gontai. Langsung ke pintu. Tangan Iwan menggapai.
Dan ia terbelalak memandangi lengannya sendiri.
Merah. Merah sekali! Pintu ia buka. Perlahan, dengan kekuatan yang
hampir tak berdaya. Tersuruk-suruk lwan melangkah sepanjang ruang
tengah, terus ke ruang depan. Disana, ia buka pintu
dengan hati-hati. Gelap sekali di luar. Dan dingin alang
kepalang. Tetapi bisikan ditelinganya mendesis dan
terus mendesis: "Bunuh dia! Balaskan dendamku! Bunuh dia! Bunuh.....!"
Namun kesadaran Iwan sebagai seorang manusia
masih sempat hinggap sesaat. Tetapi hanya cukup
untuk menutupkan pintu rumah kembali. Setelah itu,
ia melangkah terseok-seok ke halaman terus ke jalan
yang gelap gulita. Di kejauhan ia melihat seberkas
sinar lampu neon di trotoir jalan. Cahaya itu agak
menyilaukan mata Iwan. la merunduk dan mulai
berjalan. Sebuah becak lewat, pengendaranya
bertanya: "Becak, Oom?" Iwan tak menyahut. Terus berjalan dengan kepala
merunduk. Semakin lama, jalannya semakin cepat. Ia


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian setengah berlari. Malah kemudian lagi,
benar-benar berlari. Demikian cepat, sehingga ia
merasa kakinya tidak menginjak trotoar lagi. la
seperti melayang di kegelapan malam, berusaha
menghindari cahaya lampu jalan. Selama itu,
peredaran darah lwan bekerja dengan ganas. Darah-
darah di sekujur tubuhnya berubah menjadi panas.
Sangat panas. la mengerang dan merintih. Ia
menggeliat dan mcronta-ronta. Perlahan tetapi pasti ia
rasakan juga gerakan tubuhnya melimbung, lalu
kulitnya mengesat. la pejamkan mata, terus berlari
dan meneruskan tujuannya dengan bantuan naluri.
*
Malam itu Sukarya selesai membaca sebuah buku.
Setelah ia simpan dalam rak perpustakaan, ia
beranjak menuju ke kamar tidur. Tetapi sebuah
gerakan halus di kaca jendela perpustakaan menarik
hatinya. Mula-mula ia sangka hembusan angin. Tetapi
tirai jendela tidak bergerak sama sekali. Mungkinkah
seorang pencuri" Dengan berjingkat-jingkat, orangtua itu beranjak ke
jenda. Hati-hati ia singkapkan tirai gordyn. Dan tiba-
tiba ia ternganga. Lewat jendela kaca ryban, ia ia lihat
sosok tubuh mengendap-endap di luar.
"Maling yang tak tahu diuntung!" ia bersungut-sungut
perlahan. Ia setengah membungkuk kearah meja. Lacinya ia
buka. Ketika ia berjingkat-jingkat ke luar dari ruangan
yang penuh dengan rak-rak itu, ditangannya telah
tergenggam sepucuk pistol kaliber tiga dua. la periksa
pelurunya. Masih berisi. Sesaat nafas ia hela. Lalu
membuka jendela samping. Kalau lewat pintu depan,
bayangan tubuhnya terlalu kentara. la akan pergi ke
jendela, merayap ke pekarangan samping yang gelap,
menunggu di sana. Bayangan yang mengendap-endap
tadi pasti melewatinya untuk sampai ke kamar
tidurnya yang tersendiri, dimana terdapat lemari berisi
banyak surat-surat dan uang kontan.
Bayangan itu segera terlihat.
Dalam jilatan cahaya bulan yang pucat Sukarya
mengangkat pistolnya. Pelatuk sudah siap ia tarik,
ketika bayangan itu dengan tiba-tiba berdiri di
hadapannya. Memang berbentuk tubuh manusia, akan
tetapi kulitnya demikian hitam dan legamnya
Selegam dan sehitam malam. Apa yang membuat
Sukarya terpukau adalah sorot mata kecil kehijau-
hijauan di wajah mahluk itu. Kalau pun boleh disebut
wajah. Kepala menekuk ke belakang. Bersisik.
Hidungnya cuma terdiri dari lubang-lubang diatas
mulut yang lancip, menganga lebar mengeluarkan
lidah yang bercabang-cabang.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

SEKETIKA lutut Sukarya menggeletar.
Dari lidah bercabang yang terjulur-julur keluar dengan
lendir berbau hanyir berlepotan ke luar terdengar
suara bersiur diiringi suara serak setengah mengejek:
"Terkejut pak Ukar?"
Sukarya jadi menyesal mengapa ia begitu berani
keluar dari rumah. Pestol kaliber tiga dua yang semula
ia kira bisa membanntu, kini hanya merupakan
sebuah benda mainan seorang anak kecil yang
sedang diserang demam yang menggigilkan. Lengan
Sukarya melorot jatuh, disusul bunyi lembut dari
senjatanya yang meluncur ke tanah. la ingin lari.
Keberaniannya telah lenyap seketika melihat mahluk
apa yang berada di depan mata.
Namun baru juga ia akan memutar tubuh, lengannya
telah disambar oleh sebuah lengan yang kesat
bersisik, kukuh bukan kepalang.
"Jangan!" Sukarya setengah berteriak me nahan kaget
dan takut. "Jangan apa, pak Ukar?"
"Kau....... kau ..........."
"Aku apa, pak Ukar" Setan" Hantu" Dedemit?" lantas
terdengar suara cekak yang lengkung diantara suara
bersiur seperti hembusan angin diantara batang-
batang bambu. Ngilu sampai ke sumsum Sukarya
yang telah tak berdaya dalam cengkeraman tangan
mahluk itu. Dengan panik ia sama sekali tak berdaya
ketika tubuhnya ditarik merapat ke tubuh mahluk
dihadapannya. Mata Sukarya melotot. Hampir
terloncat ke luar. Dari mulutnya keluar erangan:
"Aku ....... aku tak tahu ....... apa....... atau siapa kau"
Lepaskanlah aku, lepaskanlah. Aku tak akan
mengganggu kau lagi!"
"Tak akan" Memang tidak, pak Ukar. Memang tidak
akan pernah lagi. Tetapi....." sepasang sinar mata
kehijauan itu menusuk semakin dalam ke mata
Sukarya. "Masa kau tak kenal siapa aku?"
"Tid... tidak. Lepaskan ........"
"Benar-benar tidak?"
"Tidak........"
"Coba perhatikan betul-batil. Cobalah!" dan wajah
Sukarya ditarik mendekat. Ingin ia menjerit. Tetapi
hanya erang dan rintih yang lepas dari mulut
sementara jantungnya telah menciut dengan cepat
sekali. la dipaksa memandang ke mata yang hijau itu.
Ke wajah yang mengerikan itu. Tanpa kuasa untuk
menolak. ".... kau bukan manusia. Kau..........
" "Siapa aku, pak Ukar?" mulut yang lebar membelah
hampir seluruh kepala mahluk itu, menyeringai.
Taring-taring depannya yang tajam dan runcing-
runcing bagaikan pencapit-pencapit raksasa yang siap
menghunjam ke tubuh Sukarya. la berusaha menjauh,
tetapi betotan tangan di lengannya demikian kukuh,
Lama kelamaan tatap mata itu mulai memukau.....
dan sepasang mata Sukarya semakin membesar....
Lamat-lamat mulai menceracau:
"Kau mahluk ular.... kau...."
"Aku manusia seperti halnya kau, pak Ukar, yang
sangat baik dan lembut tetapi berhati buas seperti
binatang. Ingatkah, pak Ukar?" suara serak tiba-tiba
meninggi, mirip lengkingan kemenangan. "Kau dan
kawan-kawanmu pernah memperlakukan seorang
manusia seperti halnya binatang. Kalian gusur ke
tengah kampung. Diseret, diludahi seperti menyeret
dan meludahi bangkai anjing. Tubuhku habis kalian
siksa. Ingat, pak lurah" Ingat sekarang" Kau tau kini
siapa aku, ha?" "Kau......" Tak mungkin!"
"Mengapa tidak?"
"Parta sudah mati!"
"Mati" Siapa bilang?"
"Parta sudah mati. Tak mungkin ia bisa hidup
kembali." "Tetapi kini aku hidup. Kini aku berada didepanmu.
Kenapa tak kau pukul seperti dulu" Kenapa tak kau
bunuh" Ambil pestolmu. Ambillah!" dan tubuh Sukarya
dilontarkan begitu saja. Jatuh bergulingan diatas
tanah. "Ambil!" suara itu memberontak.
Gemetar, tangan Sukarya mencari-cari pestol diatas
tanah. Mahluk itu tegak, seperti menjulang ke langit
yang biru. Ubun-ubunnya bagaikan menutupi bulan
sabit yang pucat. Angker dan menakutkan , sehingga
waktu pestol telah berada dalam genggamannya,
Sukarya samasekali tak berdaya untuk mengangkat
apalagi menembakkan. "Tunggu apa lagi, pak Ukar?"
"Tidak........ aku bukan pembunuh. "
"Bukan" Lalu siapa yang paling lantang berteriak agar
aku dibunuh dan dimusnahkan saja dari muka bumi
ini hampir sewindu yang lalu" Siapa pak Ukar" Siapa?"
"Tetapi bukan aku saja. Mereka juga......."
"Benar. Mereka juga ikut menyiksaku. Mereka akan
mendapat gilirannya satu persatu. Mati mengerikan,
seperti apa yang pernah ingin kalian lakukan atas
diriku. Kau tau bagaimana, pak Ukar. Begini!" dan
bersamaan dengan ucapan itu, tubuh yang hitam
legam dengan sisik-sisik yang berbau pesing itu
terbungkuk ke depan. Kedua bahu Sukarya
dicengkeram. Kuat. Kuat sekali. Ia meringis kesakitan.
Dalam sekejap, tubuhnya telah terangkat berdiri. Mata
hijau itu. Mata yang memukau itu. Tanpa daya,
Sukarya membiarkan lehernya dijilati oleh lidah
bercabang-cabang dan berlepotan lendir yang
menjijikkan itu. Sukarya merasa isi perutnya
bertemperasan kesana kemari. la mengerang waktu
gigi-gigi taring yang tajam menghunjam di kuduknya.
Dalam, semakin dalam. Begitu gigitan itu lepas, Sukarya berteriak lengking. la
kemudian meronta-ronta. Mahluk itu melepaskan.
Sukarya berlari kesana kemari seraya terus berteriak-
teriak seperti orang gila. Tubuhnya melanda dinding,
tanaman bunga, pintu garasi dan berputar lagi ke arah
dinding tembok. Di sana, ia menggeliat, merasa darah
di sekujur tubuhnya bagai terbakar. Lidahnya terjulur
kepanasan, disusul oleh buih seperti busa minuman
keras. Dengan rintihan yang menyayatkan hati,
tubuhnya kemudian melorot perlahan-lahan,
kemudian tergeletak diam. Matanya yang terbuka
lebar, masih sempat melihat bulan. Betapa pucat. Ia
juga melihat langit. Betapa kelam. Kelam. Kelam.
Bertambah kelam. Lalu sepi. Diam. Mati!
Beberapa sosok tubuh berlari-larian dari dalam rumah.
Lampu-lampu dinyalakan di sama sini. Sekilas ibu
Sukarya melihat sesosok bayangan
meloncati pagar halaman, hilang di jalan. Kemudian ia
lihat suaminya. Sebuah teriakan yang menyayat
telinga, lepas dari mulut perempuan itu. Kesepian
malam terpecah seketika. Seekor anjing di
pekarangan rumah sebelah, tersentak kaget.
Sepotong awan tergantung di langit, terlonjak
memeluk bulan. Terang-benderang.
*
PAGI harinya Mira bangun dengan perasaan puas.
Menoleh kesamping, ia lihat Iwan masih tertidur.
Pulas. Senyum terulas di bibirnya. Tentu lwan juga
bermimpi indah seperti aku, pikir Mira dengan
perasaan berbahagia. la memeluk sedikit, mencium
bibir yang terseyum itu kemudian dengan hati-hati
meluncur turun dari ranjang. Ia bergerak dengan
berjingkat-jingkat ke arah pintu. la buka perlahan-
lahan. Sebelum ke luar, ia pandangi lagi tubuh
suaminya yang terbaring di tempat tidur. Tegap dan
tampan, dadanya bidang, bergelombang. Tenang.
"Nyenyak sekali kau sayangku," bisik Mira sendirian.
Lalu ia tutupkan pintu kamar tidur. Setelah
menggoyang-goyangkan kepala ke kiri-kanan
beberapa saat untuk melenyapkan sisa-sisa kantuk, ia
berjalan ke kamar mandi. Dari sela-sela ventilasi
menyelusup masuk cahaya matahari pagi. Hangat
sekali. Mira mencuci muka. Segar sekali. Setelah itu ke
luar. Dari seberang tembok, ia dengar burung-burung
bernyanyi di pepohonan. Merdu sekali. la terus ke
dapur. Menyalakan kompor. la jerangkan air minum,
kemudian mulai menanak nasi. Rasa puas dan
kebahagiaan yang meluap-luap membuat Mira
merasa lapar. lwan masih tidur waktu Mira siap-siap untuk menyapu
sekeliling rumah. Ia bereskan perabotan-perabotan
yang berantakan karena tamu yang tak kunjung
berhenti sepanjang hari dan malam kemaren. Ia buka
jendela. Udara pagi yang segar menerobos masuk ke
lubang hidung. la hirup dalam-dalam. Bunga anggrek
di taman kecil di samping rumah yang telah ia tanam
sebulan yang lalu, biarpun belum berbunga akan
tetapi daun-daunnya tampak begitu hijau dan hidup.
Dari ujung sehelai daun anggrek, menetes setitik
embun yang bersisa pagi hari itu.
"Betapa indah hidup ini, ya Tuhanku," ia bergumam.
Dan mulai menyapu. Kalau lwan bangun, semua harus
tampak bersih dan rapih, pikirnya. Aku bukan lagi
seorang kekasih yang ingin dicumbu dan dimanja.
Aku kini sudah menjadi seorang isteri. Seorang ibu
rumah http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

tangga yang harus tau tugasnya sehari-hari.
Dengan perasaan puas kotoran-kotoran dari dalam
rumah ia sapu ke arah pintu ke luar.
Dan tiba-tiba ia tertegun.
Pintu depan terbuka sedikit. Sedikir memang, tetapi
yang pasti pintu itu terbuka!
Mira sesaat menjadi kaget, kemudian berhasil
menguasai diri. Ia berlari-lari sekitar rumah. la periksa
laci-laci meja. Periksa lemari-lemari pakaian. Buffet. la
cek radio. Tape. Lukisan-lukisan dinding. Sampai ke
perabotan-perabotan di dapur. Tetapi semua lengkap
sebagaimana adanya. Tidak satupun yang telah hilang
dari tempatnya. Kembali berdiri di belakang pintu
yang agak terbuka tadi. Terpukau sesaat disana. Lalu
menyimpulkan dalam hati: "Tentulah aku atau Iwan menguncikan pintu setelah
mengantar paman pulang tadi malam!"
Dengan kesimpulan itu ia merasa puas. la teruskan
menyapu. Ia baru saja menginjak ubin teras, waktu
sebuah mobil melejit di jalan, lalu dengan suara
berdecit-decit di belokan dengan tajam memasuki
halaman rumah mereka.

Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mira terdongak. Siapa pula orang yang bertamu
sepagi ini" Tetapi ia segera mengenali mobil itu. Dan mengenali
pemuda belasan tahun yang keluar dari dalam. Mira
sudah siapkan seutas senyum penyambutan waktu ia
sadari pemuda itu turun tergopoh-gopoh dengan
wajah pucat pasi. Pakaiannya tidak teratur. Demikian
juga rambutnya. Kusut masai tak menentu. Setengah
berlari ia mendekati Mira. Masih di halaman ia sudah
berseru: "Kak Mira. Papa meninggal!"
Barulah Mira mengerti mengapa mata pemuda itu
tampak barut bekas menangis. Sesaat ia tidak
percaya apa yang ia dengar. Bukankah tadi malam
paman Sukarya masih sehat walafiat, tampak amat
gembira, serta sudah lama tidak pernah mengidap
penyakit yang berbahaya" Seperti orang bodoh ia
perhatikan bagaimana pemuda itu masuk kedalam
rumah. Duduk di sebuah kursi. Kemudian menangis
tersedu-sedu. ".......Joko. Apa kau bilang?" bingung, Mira bertanya.
Joko terisak. Diantara isak tangisnya ia menyahut:
"Papa meninggal. Tadi pagi."
Mira sandarkan tubuh yang seketika lemas ke tembok
ruang depan. Ia tekan dadanya yang berdenyut-
denyut dengan mempergunakan telapak tangan.
Tetapi denyut-denyut itu toh tetap mengencang,
menimbulkan rasa sakit yang alang kepalang.
Demikian sakit, sehingga butir-butir air bening
memercik dari sudut-sudut mata Mira. Namun, ia
belum percaya sepenuhnya. Tanyanya, gugup:
"Kau ......... kau tak main-main bukan, Joko?"
"Main-main?" Joko tengadah. Pipinya basah oleh air
mata. "Papa sudah mati. Kami temukan tubuhnya
tergeletak di halaman samping. Telentang. Matanya
terbuka lebar. Juga mulut yang ternganga. Mulut yang
ternganga itu bergumpal-gumpal busa putih
kekuningan. Dan ia sudah mati. O, kak Mira. Papa
sudah mati. Mati secara mengerikan!"
Mira menggigil. Ketika pintu kamar tidur terbuka, Mira menjerit lalu
berlari memeluk suaminya seraya meratap:
"Paman meninggal, Iwan. Paman meninggal!"
Iwan memeluk isterinya, memandang heran pada
Joko yang tersedu di kursi tamu. Ia geleng-gelengkan
kepala dengan susah. Susah pula lepas gumaman dari
bibirnya yang tiba-tiba berubah jadi kering:
"Apa" Pak Ukar mati?"
Dan Mira jatuh pingsan dalam pelukan Iwan.
IWAN merasa bimbang akan dirinya. Suara gaung
tangis yang campur aduk dengan suara orang berdo'a
membuat pikirannya terharu biru. Tiap kali ada tamu
yang melayat kemudian menyingkapkan kain
penutup wajah mayat yang terhampar di tengah-
tengah ruang depan rumah paman Mira, tiap kali pula
ekor matanya melirik. Seperti pelayat-pelayat itu, hati
Iwan pun menjadi kecut. Wajahnya pucat seketika.
Begitu dan begitu terus. Dokter yang memeriksa siang itu menegaskan:
"Jantungnya pecah. Rasa kaget yang tak kepalang
tanggung penyebabnya."
Dan Joko, anak almarhum berdesah serak:
"Terkutuklah sipencuri itu!"
Semua orang pun mengutuk bayangan yang sempat
dilihat oleh isteri almarhum sebelum menghilang
lenyap di pagar pekarangan. Polisi telah berusaha
menjejaki. Tetapi tanpa hasil. Penyelidikan itupun
dihentikan dengan sendirinya. Alasan polisi: pencuri
toh tidak berhasil meneruskan niatnya karena keburu
dipergoki almarhum. Bisikan-bisikan protes yang
mengatakan bagaimana mungkin pencuri bisa
selamat lari begitu saja padahal almarhum
bersenjatakan pestol, sampai juga ke telinga polisi.
Seorang diantara alat negara itu menjanjikan pada
keluarga almarhum: "Akan kami selidiki terus."
Namun nada suara petugas itu, di telinga Iwan
terdengar kurang yakin. la pun berpendapat, polisi
sudah pasti akan menghentikan segala kegiatannya
sampai di situ saja. Iwan benar-benar tidak mengerti.
Tetapi apa perdulinya" Toh, paman Mira telah mati.
Paman yang kadang-kadang keras sikapnya. Tetapi
begitu baik hati. Siapa sangka ia akan meninggal
dengan cara yang sedemikian rupa. Celentang di
tanah. Menatap langit. Mata melotot. Mulut berbusa.
Lagi-lagi telinga lwan yang tajam mendengar
gumaman dokter, seperti pada dirinya sendiri:
"Seolah-olah keracunan. Tetapi tak ada petunjuk!"
Lalu polisi menutup laporan dengan analisa: serangan
jantung. Iwan menggelatar. la turut memandikan jenazah
paman mertuanya. Masih ia dengar suara tangis
keluarga dari dalam. Juga gaung orang mendo'a. Lalu
suara ketukan-ketukan palu, gergaji dan papan di
satu-satukan. Peti mayat telah disiapkan. Jenazah
telah selesai dimandikan. lwan menggeletar untuk
kedua kalinya waktu matanya yang tajam
menangkap bintik-bintik kecil di tengkuk almarhum.
Hampir-hampir merupakan titik sekecil debu, tetapi
bisa dilihat lwan dengan sangat jelasnya.
Titik berwarna hitam kemerahan itu membuat darah
di sekujur tubuh lwan bergolak panas. la jilati bibirnya
yang kering. Berulang-ulang. Tadi malam ia bermimpi
buruk. Seorang laki-laki yang tubuh dan wajahnya
rusak berat oleh keroyokan massa di kampung
kelahiran Mira, meminta pertolongan lwan:
"Bunuh dia! Bunuh!"
Iwan kemudian merasa ia keluar dari rumah. Berlari
dalam kegelapan. Makin lama makin cepat, secepat
peredaran darah di tubuhnya, yang juga makin lama
bertambah panas. Ia merasakan perubahan yang
menta'jubkan pada dirinya. Kulitnya seperti terbakar
hangus. Di suatu tempat lwan berteriak kesakitan.
Dan lupa diri seketika. Namun di matanya ia melihat
paman Mira keluar dari rumahnya. Hanya itu yang
diingat oleh Iwan. Ketika paman Mira tergeletak di tanah, Iwan merasa
tubuhnya melayang meloncati pagar sebuah halaman
rumah. Halaman rumah paman Mira-kah itu" la tak
tau. Ia hanya berlari dan terus berlari.
Hari menjelang subuh. Dinginnya ampun. Menjelang
tiba ke rumah, ia merasakan perubahan yang kedua
kali pada dirinya. Darah yang menggelegak. Kulit yang
terbakar. la mengeluh menahan rasa sakit. Tiba di
rumah, ia langsung menuju ke kamar tidur. Mira
masih lelap di atas ranjang. Tak sadar bagaimana
Iwan naik ke sebelahnya, menggulung diri dalam
selimut. Perasaan lelah yang amat sangat
mendatangkan kantuk yang luar biasa. Sebuah
perasaan puas yang aneh menyelinap dalam diri
Iwan. Jenazah kemudian disembahyangkan di mesjid.
lwan tidak lepas dari sisi isterinya yang telah mulai
bisa menguasai diri kembali. "Tabahkan hatimu,"
berulang-ulang ia membujuk.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

Mira menghela nafas. "Pencuri itu," katanya. Gersang.
"Pencuri itu mengingatkan aku ke pintu rumah kita."
Ada kejutan dalam dada lwan. "Mengapa rupanya?"
"Ketika aku bangun dan membersihkan rumah,
kudapati pintu depan terbuka........"
"Oh ya?" dan lwan menggeleng-gelengkan kepala.
Susah. Ketika ia kembali ke rumah, ia demikian
kesakitan, lelah dan mengantuk sehingga tidak
sempat untuk menguncikan pintu sebagai mana
mestinya. Dengan suara parau lwan melanjutkan:
".... mungkin aku lupa menutupnya malam itu."
"Mungkin," Mira bergumam. Tubuhnya gemetar.
"Kuharap saja bukan ulah si pencuri. Melihat apa yang
terjadi pada diri paman, aku berpikir apakah si pencuri
seorang manusia yang bentuk tubuh atau wajahnya
mengerikan, sehingga paman mati seperti orang
penasaran.............."
Nafas berat lepas dari mulut Iwan. Dan nafas berat itu
lepas lagi ketika almarhum dimakamkan. Dalam
hatinya Iwan berpikir: "Akukah yang membunuh
paman Ukar?" Tetapi nuraninya menolak keras: "Tak
mungkin. Tak ada sebab mengapa kau harus
membunuhnya." Tak ada" Lalu impian yang buruk itu" Laki-laki terluka
parah yang susah payah menunjuk ke wajah paman
Ukar seraya memohon dengan suara ganas:
"Bunuhlah dia!" apa maksudnya" Mengapa ia seolah
melihat rumah paman Ukar malam itu" Dan melihat
orangtua itu keluar" Ah, mungkin karena aku masih
terpengaruh oleh impianku. Oleh alam di bawah
sadar. Alam di bawah sadar" Apa yang menekanku jatuh ke
sana" Apa" Dan mengapa"
Sebagai keluarga dekat almarhum, mereka menginap
di rumah ibu Sukarya sampai hari ke tujuh yang terus
menerus diisi oleh tahlilan. Dalam waktu senggang,
lwan menghabiskan kesempatannya dengan
memperbaiki apa saja yang bisa ia perbaiki di rumah
itu. Pintu garasi yang terbongkar oleh dorongan
sesuatu benda berat. Tembok dinding samping yang
terbongkar bagaikan dihantam teramat keras.
Sesekali ia ke kantor. Biarpun masa cutinya belum
habis, ia merasa senang diam di kantor, mengerjakan
tugasnya sebagaimana biasa. Setelah itu berkunjung
ke rumah teman-teman. Lalu pada waktunya pulang
lagi ke rumah bibinya. Suatu sore lwan membuka-buka lembaran album
besar di kamar perpustakaan paman Ukar.
Mata lwan tertegun pada sebuah potret. Mira yang
sedang asyik membukai album lain di sebelahnya,
terjengah oleh tanya Iwan:
"Siapa perempuan ini?"
Mira melihat ke potret yang ditunjuk suaminya.
"Eka. Mengapa?"
"Di mana rumahnya?"
"He-eh", sepasang mata Mira membesar.
"Pertanyaanmu kok yang lain-lain saja. Hati-hati lho.
Ia sudah punya suami. Mereka kaya. Hidup
berbahagia. Memang dimasa gadisnya Eka seorang
perempuan yang senang berganti lelaki, biarpun
kebiasaan itu tercela di mata orang kampung. Tetapi
kau toh tidak akan tergoda oleh......."
lwan tersenyum. la tatap mata isterinya. "Kok
cemburu!" "Habis sih yang kau tanya 'dia'."
"Lho. Bisa saja yang lainnya juga kutanya. Cuma
rasanya, kok aku seperti mengenal gadis ini......."
"Yang bener! la telah meninggalkan kampungku lima
tahun yang lalu. Pindah ke kota setelah kawin dengan
suaminya yang sekarang. Kau baru berkenalan
denganku belum juga setahun. Bagaimana kau bisa
melihat Eka ada di kampung?"
"Entahlah," Iwan berpikir-pikir. "Mungkin aku pernah
melihatnya di kota ini."
"Kalau begitu, kau yang lebih tau di mana rumahnya",
suara Mira bernada ganjil.
Lepas tawa cerah dari mulut Iwan.
"Kau ini! Dasar perempuan. Lebih banyak
menggunakan perasaan dari pada otak. Kau 'kan tau
baru kau gadis pertama yang kukenal, pada siapa aku
lantas jatuh cinta?"
Wajah Mira bersemu merah. Memang banyak teman-
teman gadis Mira yang tak kalah cantik-cantik di
fakultas. Beberapa diantaranya berminat pada asisten
dosen mereka, lwan. Dosen muda yang adem kalem
itu berlagak tidak perduli. Tidak, sebelum ia didekati
oleh Mira dan saling jatuh cinta pada pandang
pertama. Kecemburuan Mira pada teman-teman
gadisnya bisa diterima oleh Iwan. Ia kemudian
mencari kerja lain. Relasinya banyak. Sehingga
dengan mudah ia diterima bekerja di sebuah
perusahaan, dan mulai menabung setelah mereka
berdua merencanakan untuk segera menikah.
Percaya pada cinta suaminya, Mira lantas mengalah:
"Baiklah. Eka dulunya bintang di desa. Entah sekarang.
Setelah bersuami. Sudah lama aku tak pernah
bertemu. Kata bibi, ia sesekali berkunjung ke rumah
ini bersama suaminya. Maklum, masih termasuk
keluarga dekat bibi. Bika kau merasa pernah bertemu
dengannya, apa salahnya perasaan itu ditingkatkan.
Kita toh sesama keluarga. Ku ingin pula bertemu
dengannya. Rindu. Ia temanku bermain ketika anak-
anak. Kupanggilkan Joko, ya" Ia pasti tau dimana
rumahnya Eka sekarang..."
Joko memang tau. Dan lwan mencatat alamat itu
dibenaknya. BEBERAPA hari berikutnya, lwan kembali terumbang-
ambing diantara bangun dan tidur dikala malam
sudah tiba, dan Mira sudah terlelap disampingnya,
setelah lebih dulu tak lupa mengunci semua jendela
dan pintu rapat-rapat. Bayangan gadis cantik yang
tampaknya masih sangat muda tetapi bangun
tubuhnya telah lebih dulu dewasa bernama Eka itu,
senantiasa bermain di biji matanya.


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dimana ia pernah mengenalnya"
Seakan-akan untuk menjawab, si gadis ia lihat
berjalan pulang dari sekolah desa yang letaknya tak
jauh dari mulut kampung. Rumah keluarga Eka yang
miskin letaknya agak terpencil. Tak jauh dari sungai.
Untuk sampai ke rumah, ia harus melewati tegalan-
tegalan sawah, ilalang-ilalang di pinggir ladang dan
gembala-gembala kerbau yang sedang meniup siiling
di dekat kubangan. Salah seorang gembala sapi itu,
seorang anak kecil dan hidungnya berlepotan ingus
yang mengental kering, sering menggoda Eka:
"E, si cantik. Baru pulang?"
Eka menjawab bukan dengan kata-kata. Tetapi
melalui bibir yang dicibirkan. Atau lidah yang
dijulurkan. Malah terkadang membungkuk
membelakangi si lelaki dekil, seraya memperlihatkan
pantatnya. "Cis!" itulah kata-katanya yang paling-paling terdengar
dari mulut Eka. Ketika gadis itu beranjak dewasa, gembala sapi itu
semakin tergila-gila. Eka bertambah cantik saja di
mata. Tidak saja di mata si gembala tetapi juga di
mata banyak lelaki lainnya. Termasuk anak kepala
desa. Sering sekali si gembala melihat bagaimana Eka
main sembunyi-sembunyian di sungai, bahkan pernah
sekali waktu ia lihat tubuh mereka saling tindih.
Waktu keduanya sadar dipergoki orang lain, Eka
ambil sebuah batu, dilemparnya kearah si gembala
seraya mencaci maki: ".......... haram jadah kau, Parta!"
Parta akan lari terbirit-birit. Dengan hati yang sakit.
Tetapi ia segera terhibur, setelah anak kepala desa
suatu ketika menjauh dari Eka. Namun rasa senang
itu cuma sekejap. Eka telah digandeng oleh pemuda
lain. Anak petani terkaya di desa mereka. Kembali ia
lihat Eka bertindih-tindihan dengan lelaki itu di pinggir
sungai. Dan kembali Parta dilempar batu, diiringi caci
maki. Begitu berulang-ulang, setiap kali ia lihat Eka
berganti lelaki. Semua laki-laki anak orang berada.
Dan kemudian Parta berpikir: apakah kalau akupun
kaya, tubuh Eka yang molek itu boleh kutindihi"
Dengan pikiran itu, ia kemudian menyepi ke sebuah
gunung. *
EMPAT puluh hari empat puluh malam lamanya Parta
menyepi di lereng gunung yang jarang dijamah
manusia. Tak pernah kembali ke desa. Ia bersimpuh
atau berbaring tidur disebelah sebuah makam yang ia
ketahui tempatnya atas petunjuk seorang dukun.
"Itu makam nenekku!" kata dukun waktu itu. "Ingat.
Kalau kau berhasil jangan lupakan jasa-jasaku."
Setelah bersabar selama empat puluh hari empat
puluh malam, Parta mulai memperoleh hasil. Seorang
perempuan yang cantik bagaikan bidadari jauh lebih
cantik dari Eka, tau-tau saja telah berada di depan biji
mata Parta di suatu malam. Tak tau dari mana
datangnya. Menggigil, Parta menyembah ke telapak kaki
perempuan itu. "Apa maumu?" Apa yang terselip di benak Parta selama ini segera
terucap: "Kekayaan!" "Kau akan memperolehnya. Peluklah aku."
Bengong, Parta memandangi bidadari itu. Betapa
cantik dan molek tubuhnya. Eka saja telah mencaci
maki Parta, bagaimana mungkin bidadari yang
demikian mempesona meminta agar ia peluk.
"Peluklah. Kalau tidak, tak akan kau peroleh apa yang
kau inginkan." Bukan takut apa yang ia inginkan gagal berantakan
yang membuat Parta cepat menerkam tubuh
perempuan itu. Tetapi ia takut, tubuh perempuan itu
kemudian akan hilang lenyap seperti datangnya yang
tidak berketentuan. Padahal Parta sudah demikian
merindukan tubuh Eka. Merindukan tubuh perempuan.
la tak tau berapa lama ia bergelut dengan perempuan
itu. Ia merasakan keindahan bagaikan di syorga,
kenikmatan bagai di taman firdaus. Ia lelah,
berkeringat, tetapi perempuan itu terus menerus
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

meremas-remas tubuh Parta. Bahkan lama kelamaan
bagai membelit tubuhnya. Bersamaan dengan belitan
itu, hidung Parta mencium bau yang busuk. Kehalusan
tubuh si perempuan tau-tau telah berubah jadi warna
hitam legam bersisik kesat, dan wajah molek yang
tadi ia ciumi telah berganti rupa jadi kepala seekor
ular yang menakutkan. Parta jatuh pingsan seketika!
Ketika ia terbangun, ia ketahui dirinya telah berada
diluar hutan, tak jauh dari lereng gunung. Ketika ia
menoleh ke kejauhan, ia lihat desa mereka rasanya
tak jauh didepan mata. Parta bangkit. Berjalan
dengan tegap. Aneh, ia merasa ia lebih kuat dari
biasa. Malah wajahnya seolah-olah lebih tampan dari
lelaki manapun di desa mereka. Karena tak tau apa
yang akan ia kerjakan di desa mereka, ia kembali
menggembala setelah mengatakan pada orang-orang
desa, kemana ia pergi selama ini. Kemana lagi, kalau
bukan mengunjungi sanak saudarannya di lain
daerah. Ia cuma menjadi gembala selama seminggu.
Majikannya tiba-tiba jatuh sakit tanpa sesuatu sebab,
lalu mati. Sebagian kerbaunya diserahkan pada Parta,
untuk dimiliki sendiri. Kerbau itu kemudian beranak-
pinak. Beberapa ekor ia sewakan untuk membantu
pekerjaan di sawah. Tiap yang betina beranak, ia
berikan seekor pada dukun yang telah berjasa
padanya. Ia dan dukun itu segera menjadi kaya raya.
Parta menjual beberapa ekor kerbaunya ke kota.
Hasilnya, dijadikan membeli barang dagangan. Ia
membuka warung di desa. Usahanya maju pesat..
Apa saja yang dipegang oleh Parta, jadi. Mulai dari
kerbau yang terus beranak pinak. Warung yang kian
meluas usahanya sehingga ia menggaji orang untuk
membantu. Sawah yang berbulir dua kali setahun,
biarpun sawah orang lain sering terkena hama.
Bahkan perempuan! Eka seketika melepaskan laki-laki yang
menggandengnya satu persatu.
Suatu malam ia muncul di pintu rumah Parta.
"Boleh aku tidur bersama kau?" Eka berbisik.
Parta tentu saja tak menolak.
Malam itu, ia habisi benar-benar si Eka. Ia lumat dan
tandaskan sepuas hati, sampai Eka mengerang-erang
dan merintih tak berkeputusan. Akhirnya Eka minta
dikawin. Tetapi Parta teringat pesan pak dukun yang
hidup menyendiri sampai tua renta itu:
"Kau boleh meniduri perempuan. Tetapi tak boleh
kawin dengannya. Itulah syarat terakhir yang harus
kau penuhi." Lantas Parta menccmooh Eka:
"Buat apa menikah, kalau kita bisa hidup bercinta
sebagai suami isteri?"
Keluarga Eka mula-mula tak setuju. Apalagi penduduk
kampung. Tetapi dengan kiriman makanan dan
pakaian serta uang yang tak henti-hentinya ke alamat
rumah Eka, membuat orangtuanya menyerah tak
berdaya. Mereka pasrah apa maunya Eka dan Parta.
Penduduk pun lama-lama tidak perduli, biar pun
beberapa diantara mereka dengan suara jijik
bersungut-sungut: "Haram!" Dan suatu malam Eka menjerit:
"Haram! Baumu, harum benar, Parta!"
Lantas Ekas menjauhkan diri dari tubuh Parta.
Matanya terbelalak memandangi laki-laki yang
menggeliat di atas tempat tidur. Menggeliat bagai
cacing kepanasan, merintih kesakitan dengan lidah
yang panjang terjulur ke luar bersama buih yang
berbau busuk. Kulit Parta bagaikan dibakar oleh
panggangan api neraka. Seluruh tulang-tulangnya
bagaikan remuk. Ia menggeliat, dan kare na tak tahan
akhirnya jatuh pingsan. Esok paginya ia terbangun.
Mendapatkan kulit tubuhnya berlepasan seperti
secarik kain sutera yang tipis berwarna keputih-
putihan. la copoti satu persatu, dan menyadari kulit
tubuhnya telah menjadi baru. Ia merasakan
kesegaran yang menyenangkan, berlari-lari ke rumah
dukun dan bertanya apa yang telah menimpa dirinya.
"Seperti halnya ular yang kau sembah, pada waktu-
waktu tertentu dan berganti kulit, sebagaimana ular
berganti sisik!" Gemetar Parta mendengarnya.
Dan mengigil Eka setelah ia tau semuanya.
"Tak kusangka!" tangis perempuan cantik molek itu.
Dicengkeram Parta pundak Eka. Keras, sehingga
perempuan itu terpekik kesakitan.
"Awas, Eka. Hanya kita ber
dua saja yang boleh tau semua ini." Eka meringis: "Bagaimana aku bisa jaga mulut?"
"Kunci. Jahit rapat-rapat! Kalau tidak, aku akan
membunuhmu!" "Parta!" "Sungguh. Kubunuh kau begitu kau buka rahasia. Dan
ingat, aku tak boleh kau tinggalkan. Aku sangat cinta
padamu. Aku akan menderita kalau kau pergi ke
pelukan laki-laki lain!"
"Tidak. Tidak akan," jerit Eka ketakutan.
"Berjanjilah." "Aku berjanji!"
"Bersumpah!" "Aku bersumpah!"
"Tak bisa begitu saja!"
"Apakah harus kusebut nama Tuhan?" tanya Eka
putus asa. Parta gemetar mendengar nama Tuhan. Ia merasa
tubuhnya panas. Setelah dingin kembali, ia
memerintah: "Keluarkan lidahmu!"
Heran, Eka menurut. Ia keluarkan lidahnya. Merah dan
basah. Sebelum herannya habis, Parta telah pula
mengeluarkan lidahnya. Ia jilati lidah Eka. Dan tiba-
tiba, ia gigit. Eka terpekik. Gigitan Parta lepas. Lidah
Eka berdarah. Eka meronta melepaskan diri. Tetapi
Parta menjambak rambutnya, menarik wajahnya
dekat sekali ke wajah Eka.
"Keluarkan. Keluarkan lidahmu, cepat. Kalau tidak kau
mati kehabisan darah!"
Ketakutan, Eka menurut untuk kedua kalinya.
Lagi-lagi lidahnya oleh Parta.
Seketika, luka gigitan di lidah Eka lenyap. Darah
berhenti mengalir. Letih dan panik, Eka terbaring
dengan seluruh tubuh berkeringat. Kembali rok-nya
tersingkap. Parta melihat paha Eka yang putih
berkilau. Matanya bercahaya. Ia buka baju Eka,
kemudian bajunya sendiri. Dan udara siang itu yang
panas terik di luar, semakin membuat keringat
mereka lebih banyak membanjir ..............
Tetapi suatu malam, hujan sedang turun rintik-rintik
ketika Parta baru saja pulang menjualkan sapi ke
kota. Tubuhnya letih lesu setiba kembali di desa,
berharap Eka akan menyambutnya dengan pelukan
hangat dan kopi susu yang sama hangatnya. Namun
di pintu rumah, ia segera tertegun.
la lihat jendela samping terbuka sedikit. Dengan
berjingkat ia beranjak ke sana, jongkok dibawah
jendela dan diam mendengarkan.
Dari dalam kamar tidur Eka, ia dengar rintihan
perempuan itu: "Oh..... Bana, dekaplah lagi aku. Dekaplah lagi. Oh........
oh....... oh........."
Parta terlonjak berdiri. la sambar daun jendela. Merentak terbuka.
Di dalam kamar, Eka terlonjak bangun dan menjerit
kaget setelah melihat siapa yang berada diluar
jendela. Bana, anak guru sekolah desa, merangkak
ketakutan ke tempat di mana baju dan celananya
berserakan. la belum sempat mengenakannya waktu
tubuh Parta bagai terbang ke dalam kamar. Sebuah
sepakan kaki yang kuat, hinggap di dagu Bana.
Pemuda itu terdongak. Darah meleleh dari hidungnya.
Tak puas dengan kaki, Parta menghantam dengan
tinju. Bana mengaduh dan mengaduh, kemudian jatuh
terkapar di lantai. Kaki Parta sudah siap menyepak
dada pemuda malang itu untuk menghabisi
nyawanya seketika, waktu ia dengar Eka menjerit
lirih: "Jangan!" Parta membalik. Wajahnya merah padam. Berkeringat
bagai butir-butirjagung. "Kau...." sungutnya, "Kau, perempuan terkutuk.
Sumpahmu palsu!" "Aku........ oh, Parta. Aku tak bersumpah apa-apa
padamu." "Tidak" Lalu gigitan lidah itu?"
"Cuma rasa sakit. Yang lenyap setelah kau jilat


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali. Lalu untuk itu haruskah kau bunuh pemuda
baik seperti Bana?" Mendengar pujian Eka yang tertuju ke alamat Bana,
Parta berteriak lantang: "Haram jadah kau, Eka!"
Lantas ia menyerbu ke ranjang, ke dua tangannya
terkembang. Leher Eka tercekik seketika. Akan tetapi
begitu lidah Eka terjulur keluar oleh cekikan keras di
leher, sepasang mata Parta yang merah berapi-api
tiba-tiba jadi berkilau-kilauan. Tanpa kuasa ia
keluarkan lidahnya sendiri dan mulai menjilati lidah
Eka. Cekikan di leher perempuan itu perlahan
mengendur. Kini tangan Parta yang kukuh beralih ke
pinggang Eka. la renggut dengan keras, ia tekan
dengan kuat ke tubuhnya. Eka mengeluh. Keluhannya lenyap ditelan hunjaman
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

mulut Parta di bibirnya. Mulut laki-laki itu berbau alkohol. la telah
mabuk-mabukan di kota dan mungkin sepanjang
perjalanan ke desa. la pasti telah main judi seperti
biasa di sana. Walaupun selalu menang, tetapi Parta
tak pernah bisa melawan pengaruh minuman keras.
Mual oleh bau alkohol, Eka meronta dan menerjang-
nerjang dengan kedua kaki dan tangan.
"Lepaskan aku. Lepaskan aku."
Panik oleh apa yang barusan terjadi, dan mual oleh
kerakusan nafsu Parta, Eka berhasil meloloskan diri,
langsung berlari ke luar rumah. Parta mengejar, ia
berteriak: "Kembali! Eka kembali!"
"Tidak! Tidak!" Eka terus berlari.
Suara mereka yang hingar-bingar membangunkan
penduduk desa. Banyak orang berhamburan ke luar
melihat kedua orang yang mereka benci selama ini
saling kejar mengejar. Merasa malu oleh pandangan mata penduduk, Parta
mengancam: "Kembali Eka, atau kubunuh!"
Yang terlepas dari bibir Eka, membuat tubuh Parta
limpuh: "Tolongl Tolong! Laki-laki itu jelmaan ular. Tolooong!"
Berpuluh-puluh penduduk tegak terpaku. Kemudian
beberapa orang diantaranya bergerak maju. Parta
tiba-tiba merasa dirinya terkepung. la mulai takut.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

IWAN tersentak dari tidurnya yang resah.
Perasaan takut dalam hati Parta seolah-olah menjalari
dirinya. la tidak kenal siapa Parta itu, tetapi ia merasa
seolah-olah apa yang dialami dan diderita Parta
adalah apa yang juga ia alami dan derita. Badan Iwan
bagai dilecuti dengan tiba-tiba. Ia menggeliat. Sakit.
Dan dar mulutnya terdengar rintihan yang lirih:
"Eka. la menghianatiku!"
la turun dari tempat tidur. Perlahan sekali. Selintas ia
pandangi tubuh molek yang tergoler dibalik baju tidur
yang tipis. Mimpi apa Mira malam ini, sehingga
wajahnya sedemikian manis" Ia mungkin tidak
secantik Eka. Tetapi Mira begitu manis. Seorang isteri
yang setia dan begitu cinta pada suami. Seorang isteri
yang tak akan pernah mengkhianati dirinya. Tidak
seperti Eka. Perempuan itu telah berkhianat. Benar-
benar berkhianat. Bahkan menjerumuskan dirinya ke
lembah kesengsaraan yang tak kunjung berakhir.
Uap panas di tubuhnya membuat lwan gerah.
la berjalan keluar rumah. Hanya mengenakan piyama
tidur. Seperti beberapa malam sebelumnya ketika ia
berniat pergi ke rumah almarhum paman Ukar, lwan
juga berusaha menjauhi lampu-lampu neon di pinggir
jalan, menjauhi warung-warung kopi yang masih
buka. Sekali dua mobil dan motor melinta s di jalanan
yang sepi. Demikian sepi, sehingga mereka ngebut
dengan kecepatan tinggi. Tak perduli pada orang lain.
Apalagi pada seorang laki-laki yang berjalan terseok-
seok dengan tubuh terbungkuk-bungkuk hanya
mengenakan piyama tidur. Namun kembali mata tukang becak yang awas tak
bisa ia hindari. "Becak, Oom?" lwan tak perduli. Berjalan terus.
"Gila kali!" sungut abang becak.
lwan tetap tak ambil perduli. Apa yang ada dalam
pikirannya hanyalah bayangan Eka, yang harus
segera ia temui, Telah beberapa hari ia mengintai
rumah perempuan itu diam-diam. Dengan laki-laki
kaya. Seperti Partai di desa. Tetapi suaminya telah
tua. Parta saja masih muda tega ia hianati, apailagi
suaminya yang jauh lebih tua. Selagi suaminya tak
ada di rumah, Eka keluar mengendap-endap
mengendarai mobil suaminya di keramaian kota. la
selalu berhenti di sebuah rumah, keluar ke jalan
kembali dengan mobil yang meluncur kencang setelah
disamping tempat duduknya, bersiul-siul seorang
pemuda tampan berambut kribo. Mungkin anak
pemain band. "Eka benar-benar belum tobat." guman lwan. "la
perempuan maniak!" Kebencian kian bergumpal di di dada lwan. Seperti
darahnya. Juga bergumpal-gumpal. Kemudian
menggelegak, bagai terjerang di bara yang panas. Ia
kesakitan. Dan jalannya tersuruk-suruk menahan
sakit. Saking tak tahan, ia menggeliat-geliat dan mulai
berlari. Tubuhnya semakin panas juga. Dan
wajahnya.... bagai penuh kudis bernanah, berbau
pesing dan menimbulkan rasa perih yang tidak
tertanggungkan. Perubahan yang berjalan tanpa bisa
ia lawan itu terus mengembang selama ia berlari. Kian
cepat dan cepat, sehingga angin bersiur-siur kencang
melewati tubuhnya. Lama-lama kakinya tidak lagi
menginjak aspal....! Hanya dalam beberapa menit, rumah Eka yang dalam
keadaan biasa baru bisa ia capai dengan
berkendaraan motor selama satu jam, telah ia lihat di
depan mata. Ia tiba disana persis ketika sebuah
Datsun merah darah meluncur meninggalkan
pekarangan. Mata Iwan yang tajam segera mengenal
siapa yang duduk dibelakang setir.
"Hem. Si Eka bergadang lagi!"
Lantas ia berlari mengikuti mobil itu. Tak kalah
cepat............... *
EKA mematikan stop kontak mobil setelah ia parkir
diatas pasir basah, tak jauh dari lidah-lidah ombak
menjilati pantai dengan tidak mengenal lelah.
"Turun dong," ia mendesah. Tetapi pemuda yang
bergayut di sebelahnya tetap saja memel uk pinggang
bahkan kemudian sebelah paha Eka yang tersembul
dari shortnya yang hanya sebatas pertengahan paha.
"Hey. Nakal kau, Dik!"
"Persetan apapun kau bilang, Eka." lalu ciuman demi
ciuman mendarat di paha Eka.
"Geli, ah!" Lalu Eka menarik kepala laki-laki itu,
menyandarkannya ke jok, dan kem
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

udian tertawa. "Kau benar-benar tak sabaran."
Kribo di kepala si pemuda bergoyang sedikit. "Tidak"
Tentu saja. Aku takut kehilangan kau."
"Tak akan." "Aku bilang, aku takut, Eka. Suamimu mungkin sudah
mulai menduga hubungan kita..."
"la bisa kuhindari. Jangan takut. Kini ia tengah dinas
ke luar kota." "Tetapi laki-laki misterius itu?"
Eka angkat bahu. "Aku tak kenal dia."
"Tetapi suamimu mungkin kenal. Kalau tidak, tak akan
begitu sering ia terlihat di sekitar rumahku, sekaligus
juga di sekitar rumahmu. Mesti ada apa-apa..."
"Biarkan laki-laki itu memata-matai! Yang penting, toh
aku bisa selalu menghindari suamiku agar jangan
memergoki kita terang-terangan, Bukan" Aku telah
kapok, Dikky. Aku pernah dipergoki suami ....... ah,
seorang laki-laki yang menjadi suamiku tanpa
menikah dan..." Eka tiba-tiba menggigil. Heran. Mengapa setelah sekian tahun berlalu, ia tiba-
tiba teringat pada peristiwa yang mengerikan itu" la
sudah lama melupakannya. Tetapi malam ini ..............
Mata Eka menatap lurus ke permukaan laut. Betapa
biru kehitaman dibawah jilatan bulan purnama. Bulan
itu bermain-main dibawah permukaan air, sebentar
melebar, sebentar memencar, sebentar menggelepar.
Angin berhembus keras dari arah pepohonan kelapa
di sepanjang pinggiran pantai. Demikian kerasnya,
sehingga Eka menggigil keras.
"Tutupkan jendela mobil, Dik!" rungut Eka.
"He, bukankah kau tadi yang mau ngajak keluar"
Mengapa.... 0, aku tau!"' Dikky tersenyum nakal. "Kau
mau diatas jok ini. eh?"
Lantas, dengan tubuh tegang oleh berahi yang
melonjak, Dikky hendak hendak menutupkan jendela
mobil, namun tak jadi. Tangan Dikky tiba-tiba jadi
kaku. Matanya, apalagi. Melotot. Di luar jendela, ia
melihat sesosok tubuh yang mengerikan memandang
dengan menyeringai. Sepasang sorot mata kecil
kehijau-hijauan di atas mulut yang lebar lancip dan
mengeluarkan lidah bercabang-cabang, telah berada
disamping mobil. Dikky menyeka matanya. Tetapf yang ia lihat bukan hallusinasi. Yang tercium
hidungnya jelas bau pesing yang memuakkan.
"Ap ..........." Ucapan Dikky terputus sampai di situ.
Pintu telah dihentak terbuka dari luar, kemudian tubuh
Dikky ikut terseret oleh sebuah tangan yang kukuh,
legam hitam dan kesat bagaikan kulit badak. Bau
hanyir kian keras menyerang hidung Dikky yang
berusaha duduk di pasir seraya terus menyeka
matanya. la benar-benar tak percaya....
"Zinah. Kau zinahi isteri orang lain!" terdengar suara
parau. Suara yang disertai oleh bunyi siulan yang
lengking tetapi lembut seperti mendesis-desis.
Ingatan Dikky belum pulih sama sekali, sepasang
tangan yang kuat membantingkannya ke pasir,
kembali meluncur duri udara. Sekejap Dikky masih
melihat cahaya bulan di langit, kemudian berganti
dengan sinar hijau dari wajah mahluk diatasnya. la
kemudian tertegak berdiri secara paksa, berhadapan
muka dengan mahluk itu. Dikky samasekali tak
bersuara waktu wajah di depannya mendekat. Lidah
menjulur membasahi lehernya, terus ke bawah
telinga, lalu ke pundak. Pemuda yang ternyata sangat
penakut itu telah pingsan ketika gigi-gigi taring yang
tajam menghunjam dalam di kuduknya yang
meremang bulu-bulunya. Ketika tubuh Dikky dilepaskan, melorot begitu saja ke
atas pasir. Darah-darahnya yang seketika bagai
dibakar oleh racun yang sangat ampuh, membuat
pemuda itu tersadar. la menjerit dengan tiba-tiba,
melompat berdiri dan menggeliat-geliat sementara
berlari kesana kemari menahankan sakit dan panas
yang membara mendera ubun-ubun sampai jari
kakinya. Teriakannya akhirnya lenyap setelah tubuh
jatuh di lidah ombak. Tengkurap mencium pasir.
Mahluk itu kini mengalihkan perhatiannya pada Eka.
Perempuan yang senantiasa berdandan bagus itu
duduk terpaku di tempatnya, semenjak ia lihat Dikky
diseret secara kasar keluar mobil. Matanya melotot
ngeri. Lidahnya kelu, badannya lumpuh selama
memperhatikan bagaimana Dikky disentak berdiri,
digigit kuduknya bangun dari pingsan terus berlari
kearah laut. Eka sendiri pun ingin pingsan seketika,
seperti halnya Dikky. Akan tetapi ia sadar. Benar-
benar sadar. Di alam sadarnya ia lihat mahluk
pembunuh itu mendekat ke mobil, lantas duduk
disebelahnya. Bau hanyir yang pengap, segera menyerang hidung
Eka. Saat itulah, mulutnya gugup terbuka:
Si ......... apa kau?"
Berbeda dengan apa yang ia perbuat pada Dikky,
mahluk itu bersikap lembut pada Eka. Namun
perempuan itu tetap dicengkeram rasa takut dan
kelumpuhan yang mempesona.
"Lupakah kau. Eka-ku yang cantik?"
Suara itu dikenal Eka. Dan tiba-tiba ia terpekik:
"Parta!" "Ya. Aku Parta. Parta-mu yang tercinta."
Jadi itulah sebabnya mengapa malam menjelang
dinihari ini Eka sekonyong-konyong teringat ke masa
silam. Kengeriannya agak berkurang. la sudah pernah
mengalami situasi sama. Tetapi dulu ............ Parta. Dan
yang kini ada di depan biji matanya, sesosok tubuh
kekar dalam piyama tidur. Kulit bersisik, kepala
berbentuk ular dan ...........
"Benar, Eka. Tataplah lagi ke mataku. Tataplah..............."
Sinar hijau itu berusaha mempengaruhi Eka.
Tetapi bathin Eka ketika itu terpecah. Antara
keterpuakauan untuk menurut, dan keinginan untuk
melarikan diri. Tangannya diam-diam bergerak dalam


Bisikan Arwah Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegelapan mobil, menyentuh pelat lembut di dinding
pintu, memutarnya perlahan-lahan, kemudian dengan
sekali tendang pintu di sebelahnya. Terbuka lebar.
Bunga Abadi Gunung Kembaran 1 Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan Pertarungan Di Bukit Jagal 3
^