Pencarian

Kelelawar Tanpa Sayap 5

Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying Bagian 5


sayap benar benar bisa terbang keluar dari hutan bambu ini?"
"Tapi Kelelawar yang kami jumpai pagi tadi memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat bagus" "Dengan ilmu meringankan tubuh sebagus apa pun, jangan harap bisa tinggalkan hutan bambu
ini dengan mudah" kata Sim Ngo-nio dengan suara berat.
Bukannya tidak percaya dengan perkataan Sim Ngo-nio, namun tak tahan Siau Jit bertanya
juga: "Lantas kemana perginya si Kelelawar?"
Sim Ngo-nio tak mampu menjawab.
Pada saat itulah mereka menangkap suara gaduh yang aneh, suara itu meski tidak terlalu
nyaring, namun mana mungkin bisa lolos dari pendengaran mereka"
Serentak para jago menengadah, tapi apa yang kemudian terlihat seketika membuat mereka
bergidik, merinding ngeri.
"Kelelawar?" seru Sim Ngo-nio tak tahan.
Ternyata mereka telah melihat Kelelawar, bukan Kelelawar tanpa sayap tapi Kelelawar
sesungguhnya. Ternyata diatas tiang belandar ruangan, khususnya disudut gelap dan remang, penuh
bergelantungan Kelelawar hitam.
Satu diantara Kelelawar yang tak bersayap, saat itu sedang bergetar dan menggelepar.
"Dari mana datangnya begitu banyak Kelelawar?" seru Sim Ngo-nio lagi dengan nada
tercengang. "Kelelawar!" mendadak terdengar seseorang menjerit keras, suara dari Ciu Kiok!
Siau Jit dan Sim Ngo-nio saling bertukar pandangan sekejap kemudian bergerak cepat, Sim
Ngo-nio menuju ke arah loteng sedang Siau Jit melesat keluar dari ruangan, menutul
wuwungan rumah kemudian secepat gangsingan dia menyelinap ke bawah loteng.
Hampir pada saat bersamaan Sim Ngo-nio telah menerjang turun pula dari tangga loteng.
Mereka tidak menjumpai Kelelawar tanpa sayap, hanya melihat ada dua ekor Kelelawar mamus,
Kelelawar sungguhan. Seekor terbelah jadi dua bagian, tergeletak dibawah kaki Lui Sin, sementara yang lain mati
tertembus tusukan pedang Han Seng, bangkainya masih tertusuk ditangkai pedang peraknya.
Biarpun sudah mati, Kelelawar hitam yang luar biasa besarnya itu tampak sangat menakutkan.
Dengan wajah terkejut bercampur keheranan semua orang kembali mendongak ke atas ruangan.
Dibalik kegelapan dan remang remangnya cuaca, tampak ada berapa ekor Kelelawar masih
bergelantungan disana. Saat itulah Sim Ngo-nio baru menghembuskan napas lega, ujarnya sambil tertawa getir:
"Tadi aku masih mengira si Kelelawar tanpa sayap membokong kalian semua"
"Si Kelelawar tak ada diatas loteng?" Suma Tang-shia balik bertanya.
"Tidak ada" Sim Ngo-nio menggeleng, "tapi disini justru bergelantungan Kelelawar
sungguhan" "Darimana datangnya begitu banyak Kelelawar?"
Sim Ngo-nio tak bisa menjawab, dia hanya menggeleng.
Sementara itu Han Seng telah mengalihkan pandangan matanya mengawasi tongkat bambu itu,
serunya: II "Saudara Siau, tongkat ditanganmu . . . . . . ..
"Tongkat bambu ini diletakkan diatas sebuah meja batu diatas loteng, bila aku tak salah
melihat, tongkat inilah yang pernah kita jumpai pagi tadi"
Han Seng menggetarkan pedangnya, bangkai Kelelawar yang tertembus segera mencelat keluar
dari bangunan loteng. Dia maju ke depan, menerima tongkat bambu itu lalu serunya cepat:
"Saudara Siau, dugaanmu tidak salah"
II "Benar kata Lui Sin pula, "aku pun dapat mengenali"
"Tapi kita semua tak ada yang mengenali orang didalam kurungan loteng ini"
tiba tiba. "Mungkin saja lantaran jaraknya terlalu jauh hingga tidak terlihat jelas" ujar Lui Sin,
kata Han Seng "atau mungkin juga dia tak ingin orang lain tahu kalau dia sudah pulih kembali jadi
normal, atau mungkin masih ada rencana busuk lainnya, maka untuk sementara waktu tak ingin
tampil dulu dengan wajah aslinya"
"Maksud toako, dia pandai ilmu merubah wajah?" tanya Han Seng.
"Bagi manusia macam dia, rasanya tidak sulit untuk mempelajari ilmu sesat semacam itu"
Han Seng termenung, untuk sesaat dia tak mampu bicara.
Kembali Lui Sin berkata: "Untuk sementara waktu lebih baik kita tak usah gubris masalah ini dulu, yang paling
penting bagi kita saat ini adalah menemukan dahulu dimana si Kelelawar berada"
"Benar" Suma Tang-shia mengangguk tanda setuju, "asal orangnya berhasil ditemukan,
bukankah semua urusan jadi jelas?"
Kepada Sim Ngo-nio tanyanya:
"Apakah si Kelelawar tidak membawa pergi ke dua tabung bambu berisi makanan itu?"
"Dia hanya membawa pergi tabung berisi air bersih"
Mendengar sampai disitu, mendadak Han Seng berteriak:
"Bukankah disamping ranjang batu terdapat genangan air?"
Mengikuti arah yang ditunjuk semua orang berpaling, benar saja disamping ranjang batu itu
terlihat genangan air. l! "Tadi aku sangka genangan air itu adalah........... walaupun ucapan Han Seng tidak
dilanjutkan, namun semua orang tahu apa yang dimaksudkan.
II "Aku pun sudah melihat genangan air itu sejak tadi kata Lui Sin pula, "hanya tidak
kuperhatikan, tapi . . . . . . .."
"Bagaimana pun, lebih baik kita bongkar dulu ranjang batu itu" tukas Siau Jit.
"Baikl" seru Lui Sin, dia yang menerjang maju pertama kali, golok emasnya dibacokkan ke
bawah, "Sreeet!" ranjang batu yang keras itupun terbelah jadi dua bagian.
Kaki kanannya kembali menendang, dia lempar belahan ranjang itu hingga mencelat ke
samping, sementara disisi lain, Han Seng melancarkan pula sebuah tendangan.
Dasar ranjang sebetulnya terdapat setumpuk kain selimut dan pakaian dekil, tapi dengan
mencelatnya ranjang batu itu, kini muncullah sebuah lubang yang amat besar.
"Lorong bawah tanah!" jerit Suma Tang-shia dengan wajah berubah hebat.
Paras muka semua orang ikut berubah.
Sebuah anak tangga terlihat membentang dari mulut lorong menuju ke bawah, tangga itu
kelihatan kasar sekali, tapi bisa dipastikan kalau lorong tersebut bukan dibuat secara
terburu buru. Oleh karena mulut lorong tertutup oleh ranjang batu, tentu saja hasil karya itu tidak akan
terlihat dari atas panggung batu diluar hutan bambu.
Kelicikan si Kelelawar benar benar diluar dugaan siapa pun.
Perasaan yang dialami semua jago saat itu bukan bisa dilukiskan dengan kata terperangah
saja. Diatas tangga pertama dekat mulut lorong, tertancap sebatang tongkat bambu, diujung
tongkat terlihat selembar kertas putih.
Kertas itu ternyata berisikan tulisan yang berbunyi begini:
"Oleh karena rahasiaku sudah terbongkar, terpaksa aku kabur lewat lorong rahasia, kali ini
akulah yang kabur, tapi lain kali giliran kalian yang melarikan diri"
Kertas putih dengan tulisan tinta hitam, meski hanya berapa kalimat namun cukup
menggetarkan hati orang. Angin masih berhembus kencang, namun tak dapat membuyarkan perasaan seram yang berkecamuk
dalam hati para jago. Suasana menyeramkan yang menyelimuti bangunan loteng ditengah hutan bambu pun terasa makin
mengental. Suma Tang-shia mengawasi kertas putih itu dengan termangu, entah berapa saat kemudian,
tiba tiba tubuhnya gemetar keras, ujarnya dengan hati bergidik:
"Tak bisa disangkal lagi, kematian nona Lui merupakan hasil karya si Kelelawar"
"Bedebah benar si Kelelawar itu" kata Siau Jit pula, "coba kita tidak masuk kemari, tak
bakalan tahu kalau dia sudah menggali lorong bawah tanah dan bisa masuk keluar dari hutan
bambu ini dengan bebas merdeka"
"Aku benar benar tak habis mengerti, kenapa . . . . . . . . .."
Siau Jit tidak membiarkan Suma Tang-shia menyelesaikan perkataannya, dia menukas:
"Kenapa dia masih tetap berdiam ditemat seperti ini?"
"Menurut kau, mengapa?"
"Mungkin dia anggap tempat ini cukup aman"
"Jagad raya begitu luas, bukan urusan sulit baginya untuk mencari tempat persembunyian"
"Tapi manusia macam dia, cepat atau lambat pasti akan membuat onar dan bencana, begitu
bencana terjadi, terpaksa dia harus kabur balik kesini, karena tempat inilah yang dia
anggap paling aman" Setelah berhenti sejenak, lanjut Siau Jit:
"Mungkin karena alasan itu pula, setelah berhasil memancing Lui Hong, dia harus melakukan
pembunuhan untuk menghilangkan saksi, hal ini mungkin disebabkan ilmu silatnya belum pulih
seratus persen, atau mungkin juga karena untuk sementara waktu dia tak ingin membuka
rahasianya ini" Suma Tang-shia mengangguk berulang kali.
Kembali Siau Jit berkata:
"Walaupun dimasa lalu dia bukan termasuk manusia semacam ini, namun setelah mengalami
pengalaman pahit atas pengeroyokan terhadap dirinya, dia mulai belajar bagaimana
menghindari yang berat untuk keselamatan sendiri"
Suma Tang-shia memandang sekejap sekeliling tempat itu, katanya setelah tertawa getir:
"Dia sama sekali tak ambil peduli dengan semua perlengkapan yang telah disiapkan ditemat
ini, secara nalar, hal ini sama sekali tak masuk akal"
"Kalau masalah itu mah tidak susah untuk dijelaskan, dari gelak tertawanya tadi, aku yakin
kalau kesadaran otak orang ini belum seratus persen normal, bagi seseorang yang
kesadarannya kurang normal, tempat seperti apa pun baginya sama saja, karena orang sinting
tak pernah kenal arti takut"
"Ehmn, betul juga" Suma Tang-shia manggut manggut.
"Sekarang, aku hanya kurang jelas akan satu hal"
"Soal apa?" "Dia pasti tahu kalau dari atas panggung batu diluar hutan bambu sering muncul pengawas
yang memeriksa gerak geriknya, kenapa ia tidak sembunyikan tongkat bambunya?"
"Betul" kata Lui Sin pula, "asal dia sembunyikan tongkat bambu itu, kita yang berada di
panggung batu pun tak akan mencurigai dirinya, kita pun tak bakal datang memeriksa, aku
percaya lorong rahasianya tak mungkin akan terbongkar pula"
"Dua alasan" sahut Suma Tang-shia setelah berpikir sejenak.
Tanpa terasa sorot mata semua orang pun bersama-sama dialihkan ke wajah perempuan itu.
Kembali Suma Tang-shia melanjutkan:
"Seperti apa yang Siau kecil katakan, kesadaran otaknya belum seratus persen normal.
Lui Sin manggut manggut. "Bagi seseorang yang belum normal kesadaran otaknya, kita tak boleh menilai semua
perbuatan yang dia lakukan dengan norma pada umumnya"
"Betul" setelah berhenti sejenak lanjut Suma Tang-shia, "alasan kedua adalah dia sudah
tahu kalau Ciu Kiok belum mati, tahu kalau kita besar kemungkinan akan datang kemari, maka
dia pun bersiap sedia untuk tinggalkan tempat ini, apa yang telah kita saksikan dari
panggung batu tadi tak lebih hanya ulahnya untuk menarik perhatian kita, memancing kita
agar mau datang dan masuk ke sana"
"Ehmm, alasan ini cukup masuk akal" Siau Jit manggut manggut.
"Aku masih belum mengerti" ujar Lui Sin.
"Kelelawar adalah seorang manusia cerdas"
"Kalau cerdas lantas kenapa?"
"Orang cerdas biasanya banyak curiga, dia pasti mulai curiga apa yang berhasil kita
temukan, setelah tiba disana apa yang akan kita lakukan terhadap dirinya" Sudah pasti
banyak dugaan yang muncul dalam benaknya, otomatis banyak pula cara penanggulangan yang
dia pikirkan, tapi cara terbaik untuk menghadapi kesemuanya ini adalah kabur, karena bagi
orang cerdas macam dia, kabur akan menyelesaikan banyak masalah, menghindari banyak
kesulitan" "Selain itu ada pula sebuah keuntungan lain baginya" sambung Siau Jit.
"Keuntungan apa?"
"Mulai sekarang, mau tak mau kita harus selalu waspada, selalu berhati hati menantikan
saat balas dendam darinya"
Berubah paras muka Lui Sin, untuk sesaat dia termenung dan bungkam.
"Menurut pendapatku, dia seharusnya tetap tinggal disini" sela Han Seng.
"Kenapa?" "Kita toh sama sekali tak tahu kalau ditempat ini terdapat sebuah lorong rahasia, bilamana
perlu, dia masih tetap bisa kabur lewat lorong bawah tanah. Sebaliknya bila kita tidak
temukan lorong tersebut, sepeninggal kita dari sini, dia pun masih bisa keluar lewat
lorong rahasia lalu menyergap kita secara tiba tiba dan balas dendam, aku rasa dengan
kepandaian silat yang dia miliki, tidak sulit bila ingin menghabis nyawa kita semua"
"Benar juga perkataanmu itu" sambil mendengarkan, Lui Sin mengangguk berulang kali.
Bab l3. Kabur. Angin barat berhembus kencang, suasana musim gugur dalam hutan bambu tidak terlalu kental,
warna musim gugur pun mulai tawar dan menipis.
Tapi perasaan hati semua orang justru makin dingin dan membeku, perasaan dingin itu bukan
dikarenakan saat itu sudah berada dipenghujung musim gugur, bukan pula karena hawa yang
membeku. Tentu saja mereka tahu kenapa hati mereka jadi dingin, jadi membeku.
Suma Tang-shia merasakan sekujur badannya menggigil, dia sandarkan tubuhnya makin rapat
dibahu Siau Jit. Sementara Siau Jit pun sangat memahami perasaan hatinya saat itu.
Walaupun secara resmi si Kelelawar masih tersekap dalam ruang loteng, namun secara diam
diam ia telah menggali lorong bawah tanah dan mendapatkan kembali kebebasannya, dalam hal
ini ternyata perempuan itu sama sekali tak tahu.
Itu berarti andaikata si Kelelawar hendak berbuat sesuatu terhadap dirinya, ia sama sekali
tak bisa menghindarkan diri.
Memang benar kesadaran Kelelawar belum seratus persen pulih, namun hal ini bisa diartikan
suatu ketika ia normal juga, kalau bukan begitu, darimana bisa tahu untuk bisa lolos dari
kepungan hutan bambu, dia harus menggali lorong bawah tanah"
Disaat pikirannya menjadi normal kembali, mungkinkah dia akan teringat dengan dendam
kesumat nya" Mungkinkah dia akan teringat dengan dendamnya terhadap Suma Tionggoan"
Mungkinkah di a teringat akan balas dendam"
Dapat dipastikan si Kelelawar akan berpikir ke situ, hanya saja kenapa hingga sekarang
belum dia lakukan" Mungkin hanya dia pribadi yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Bisa jadi ia telah menyiapkan sebuah rencana besar untuk balas dendam, dan rencana
tersebut akan dia laksakan dalam waktu singkat.
Bagaimana pun, masih untung rahasia ini segera terbongkar, untung mereka datang tepat
waktu. Karena itu selain kaget dan ngeri, diam diam dia pun bersyukur.
Dalam waktu singkat Suma Tang-shia berhasil mengendalikan diri, lambat laun paras muka pun
menjadi tenang kembali. Apa yang dibicarakan Han Seng dan Lui Sin pun dapat ia dengar dengan jelas, maka setelah
termenung sesaat sahutnya:
"Mungkin kalian berdua masih belum tahu dengan jelas tabiat dari manusia yang bernama
Kelelawar ini" "Bagaimana pula dengan wataknya?" tanya Lui Sin.
"Terlalu percaya diri, sebelum pertarungan maut di lembah Hui-jin-gan, dia selalu berkata
sesumbar kalau tak seorang jagopun dalam dunia persilatan yang merupakan tandingannya,
dalam kenyataan, dia pun tidak pernah membokong orang dari belakang"
"Tapi bagaimana penjelasanmu tentang diculiknya putriku?" Lui Sin tertawa dingin,
"bagaimana pula penjelasanmu tentang anak buahku yang mati keracunan dalam warung teh?"
"Diracuninya anak buahmu dalam warung teh, menurut aku hal ini disebabkan Kelelawar sama
sekali tak menganggap mereka sebagai musuhnya"
"Maksudmu dia menganggap mereka tidak pantas menjadi musuhnya?"
"Mungkin saja hal ini ada sangkut pautnya dengan rencana dia untuk menjebak putrimu, dia
tidak berharap putrimu mengalami luka atau cedera karena itu"
Lui Sin berkerut kening, ia tidak berbicara lagi.
Kembali Suma Tang-shia berkata:
"Orang ini masih mempunyai sebuah watak aneh, yakni suka bergurau"
"Suka bergurau?" Siau Jit tertegun.
Suma Tang-shia manggut-manggut.
"Hanya saja gurauannya itu kecuali dia sendiri, mungkin orang lain tak akan tertarik"
Siau Jit tertawa getir, baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu, tiba tiba gelak tertawa
yang sangat menakutkan berkumandang membelah keheningan.
Bersamaan itu pula berhembus angin yang sangat kencang, lalu tampak dahan bambu bergoyang
kencang. Tampaknya hembusan angin kencang itu timbul karena getaran suara tertawa yang amat keras
itu, ditengah goncangan dahan bambu, suara tertawa itu kedengaran makin menakutkan.
Begitu suara tertawa bergema, nyaris paras muka semua orang berubah hebat.
Suara tertawa semacam ini tidak terlalu asing bagi me reka, khususnya bagi Suma Tang-shia,
Sim Ngo-nio serta kedua orang dayangnya.
Inilah suara tertawa dari Kelelawar tanpa sayap!
Suara tertawa itu bergema dari arah timur, begitu semua orang berpaling, bayangan
Kelelawar pun kembali terlihat.
Si Kelelawar masih berada diluar hutan bambu, diluar dinding tembok tinggi.
Ternyata ia berdiri tegak diatas panggung batu sebelah timur, berdiri sambil tertawa


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbahak-bahak, tertawa dengan bangganya.
Sekali lagi paras muka Suma Tang-shia berubah, katanya:
"Pintu keluar lorong rahasia itu kalau berada diluar dinding tinggi, sekalipun berada
diluar barisan bunga, letaknya pasti tak jauh dari barisan tersebut, kalau tidak, mustahil
dia bisa mencapai panggung batu itu sedemikian cepatnya"
"Moga moga saja masih berada diantara barisan bunga dengan dinding tinggi" kata Siau Jit.
Suma Tang-shia manggut-manggut.
"Kalau tidak..... Kelelawar pasti akan menembusi barisan bunga itu sebelum tiba diatas
panggung batu, bila dia sanggup melewati barisan bunga, ini berarti dia bukan saja tidak
idiot bahkan kepintarannya sangat menakutkan"
"Mungkin saja dia pun mempunyai kemampuan dalam ilmu barisan, tapi bagaimana pun juga,
untuk bisa menembusi barisan bunga, paling tidak otaknya harus berada dalam keadaan
jernih" "Berarti dia pun sudah tahu bagaimana cara untuk menghadapi kita semua"
Tiba tiba Siau Jit menarik napas panjang, katanya:
"Toaci, adakah jalan ke dua yang bisa meninggalkan hutan bambu ini dalam waktu singkat?"
"Tidak ada, bila harus melewati hutan bambu, berarti harus lewat jalanan yang pernah kita
tempuh" "Itu berarti butuh waktu banyak, lagipula sulit untuk meloloskan diri dari pengawasan si
Kelelawar" "Sama seperti kita awasi gerak geriknya tadi, sekarang dia berada ditempat yang tinggi,
semua gerak gerik kita pasti tak akan mampu lolos dari pengamatannya"
"Kalau begitu terpaksa kita harus menunggu sampai dia bertindak lebih dulu, dari apa yang
dia lakukan, kita baru bisa pastikan bagaimana harus bersikap"
"Kecuali dia tak mempunyai niat jahat, kalau tidak, aku berani memastikan, jangan harap
kita bisa mundur dari sini melalui jalanan semula"
Mau tak mau Siau Jit harus mengangguk.
Saat itu, suara gelak tertawa masih bergema tiada habisnya.
Angin berhembus makin kencang, gemerisik daun bambu tambah ramai, seluruh langit dan bumi
seakan tambah gelap, suara tertawa pun kedengaran makin menyeramkan.
Berkilat mata Siau Jit, katanya:
"Setelah mendengar gelak tertawanya itu, bila orang masih bilang dia bukan edan, benar
benar sebuah pernyataan yang tak bisa dipercaya"
"Sekarang, kita justru berharap dia benar benar edan, benar benar idiot, sebab bagaimana
pun, orang idiot jauh lebih gampang dihadapi daripada orang normal"
"Betull" "Tampaknya kalian berdua kuatir kalau sampai bangsat itu menggunakan alat perangkap yang
ada dalam hutan bambu untuk menghadapi kita?" sela Han Seng.
"Tepatl" "Biarpun dia tahu akan kelihayan alat jebakan ditempat ini, toh belum tahu bagaimana cara
menggunakannya" ujar Lui Sin.
Suma Tang-shia tertawa getir.
"Bukankah sudah kukatakan sedari tadi, semua alat perangkap itu telah dijalankan sejak
awal" katanya. "Kalau bukan begitu, kenapa kita musti masuk dengan sangat hati hati" Siau Jit
menambahkan. Han Seng menghela napas panjang.
"Aaai, kelihatannya sekarang kita hanya berharap, semoga bangsat itu benar benar sinting,
benar benar idiot dan kehilangan akal sehat"
Dengan cepat Lui Sin memegang gagang goloknya sambil berteriak nyaring:
"Daripada disini menunggu mati, lebih baik kita terjang saja hutan bambu itu!"
Sementara Han Seng menarik tangan saudaranya, sambil melangkah maju kata Siau Jit:
"Aku rasa jauh lebih aman bila kita tetap tinggal didalam loteng itu, bukankah alat
perangkap yang terpasang dalam hutan bambu bertujuan untuk mencegah si Kelelawar
meninggalkan tempat ini"
"Keliru!" sahut Suma Tang-shia.
Baru saja ia selesai bicara, suara tertawa si Kelelawar yang menyeramkan ikut berhenti
pula. Semacam perasaan ngeri yang sukar dilukiskan dengan kata segera timbul dalam hati semua
orang, disamping muncul pula perasaan bimbang dan ragu.
Perasaan itu seperti orang yang sedang berjalan tiba tiba menginjak tempat kosong dan
terperosok ke bawah. Selama Kelelawar masih tertawa, mungkin keadaan masih aman, tapi begitu berhenti tertawa,
bisa diartikan dia segera akan turun tangan.
Sinar mata dan perhatian semua orang pun serentak dialihkan ke arah Kelelawar.
Mendadak tubuh jangkung Kelelawar tampak melambung ke udara dan bersalto berapa kali, tahu
tahu dalam genggaman tangan kanannya telah bertambah dengan sebilah golok, golok lengkung.
Golok lengkung itu mirip bulan sabit, gagang pedangnya berupa seekor Kelelawar yang sedang
mementang sayap, amat menyilaukan mata.
Ciu Kiok yang melihat senjata itu kontan menjerit keras:
"Golok Kelelawar!"
"Darimana dia dapatkan golok Kelelawar yang pernah digunakan dulu?" rintih Suma Tang-shia
pula. "Konon dia memiliki tiga belas bilah golok semacam ini" kata Ciu Kiok, "dua belas bilah
diantaranya telah diberikan kepada orang lain"
"Dihadiahkan untuk dua belas orang perempuan yang paling dia sukai!" Suma Tang-shia
menambahkan. "Lantas ke mana perginya sebilah yang lain?" tanya Siau Jit.
"Ada dirumahku" jawab Suma Tang-shia, tapi segera terangnya, "setelah Kelelawar berhasil
dirobohkan, manusia berikut goloknya dihantar kemari, golok tersebut disimpan ayahku dalam
sebuah ruang rahasia di ruang bacanya"
"Itu berarti kalau golok yang berada dalam genggamannya bukan golok tersebut, nyawa salah
satu dari ke dua belas perempuan tersebut jadi masalah besar"
"Tapi dia menyukai ke dua belas orang perempuan itu"
"Mungkin saja dia menyukai mereka, tapi apakah ke dua belas orang perempuan itu menyukai
dirinya pula?" kata Siau Jit, "selain itu, benarkah Kelelawar yang kita jumpai hari ini
adalah Kelelawar dimasa lampau?"
Suma Tang-shia termenung sambil berpikir sejenak, kemudian katanya:
"Memang harus diakui, Kelelawar yang dulu belum pernah membunuh perempuan mana pun"
"Berita yang tersiar dalam dunia persilatan memang begitu"
"Tapi yang kita ketahui sekarang adalah dia telah membunuh nona Lui, bahkan mencincang
tubuhnya" Setelah tertawa getir, terusnya:
"Terlepas dari mana dia peroleh golok Kelelawar itu, lebih baik sekarang kita bikin
persiapan terlebih dahulu untuk menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan"
"Siaute telah berhati hati"
Padahal bukan hanya dia, sorot mata semua orang pun tak ada yang bergeser dari tubuh si
Kelelawar. Waktu itu si Kelelawar telah mengangkat goloknya keatas dan meletakkan diatas ubun
ubunnya. Dipandang dari kejauhan, cahaya terang yang memancar dari golok lengkung itu pada
hakekatnya tidak mirip sebilah golok, tapi seolah dari atas kepala si Kelelawar muncul
sekilas bianglala berwarna perak.
Tiba tiba bianglala itu berputar, dari melintang berubah jadi tegak lurus, lurus dibawah
alis mata si Kelelawar, tiba tiba saja suasana jadi hening.
Mata golok menghadap keluar, gagang golok menindih diatas ujung hidung hingga ke ujung
alis mata Kelelawar, cahaya golok pun berubah jadi satu garis, semakin mencolok mata.
Dalam pandangan mata Siau Jit, disaat golok lengkung itu berhenti diatas wajah Kelelawar,
tiba tiba saja wajah itu seakan terbelah jadi dua bagian.
Mata golok seolah menghujam ke dalam wajah Kelelawar dan membelahnya jadi dua.
Apa yang sebenarnya hendak dilakukan Kelelawar itu"
Tanpa sadar ingatan tersebut melintas dalam benak semua orang, dan saat itu pula cahaya
golok kembali terjadi perubahan.
Cahaya golok yang membentuk satu garis itu secepat petir meluncur keluar dari wajah sang
Kelelawar, berputar, membalik lalu mencongkel, pagar kayu diseputar panggung batu pun
terbabat kutung jadi berapa bagian, kutungan yang kena congkelan langsung beterbangan di
angkasa. Para jago yang berada dalam loteng dapat menyaksikan semua kejadian itu dengan jelas, Lui
Sin segera berseru: "Apa gerangan yang sedang dilakukan bangsat itu?"
Siau Jit seperti ingin mengucapkan sesuatu namun kembali diurungkan, paras mukanya serius,
dari perubahan mimik mukanya, dia seolah tahu kalau si Kelelawar sedang mempersiapkan diri
untuk melakukan sesuatu gerakan.
Paras muka Suma Tang-shia jauh lebih serius daripada Siau Jit, tampaknya dia pun telah
berpikir sampai ke situ. Belum lagi kutungan pagar kayu berjatuhan, golok Kelelawar telah disarungkan kembali.
Tampak ia memutar sepasang tangannya, menyambut kutungan batok kayu pagar lalu kembali
tertawa. Suara tertawanya kedengaran begitu bangga dan puas.
Tiba tiba ia berseru: "Kalian semua adalah orang orang pintar!"
Tentu saja perkataan itu mengandung banyak arti, Siau Jit dan Suma Tang-shia saling
bertukar pandangan sekejap, baru akan menjawab, Lui Sin dengan suara bagaikan geledek
telah membentak nyaring: "Kelelawar" "Hahaha, aku berada disini" jawab Kelelawar sambil tertawa aneh, "boleh tahu Lui toaya ada
urusan apa?" Saat ini Lui Sin sudah merasa sangat yakin kalau Kelelawar yang berada di panggung batu
tak lain adalah Kelelawar yang mereka jumpai pagi tadi, ia cabut keluar golok emasnya,
kemudian sambil menuding Kelelawar itu bentaknya:
"Jadi kau benar benar adalah si Kelelawar?"
"Kelelawar memang hanya ada satu!" tiba tiba tubuhnya berputar kencang.
Disaat wajahnya berpaling lagi, ternyata dia telah merubah tampangnya menjadi orang kedua,
tanyanya kemudian: "Tahukah kalian apa sebabnya bisa begini?"
"Ilmu merubah wajah!" teriak Suma Tang-shia tanpa sadar.
Biarpun teriakan itu tidak begitu keras, ternyata si Kelelawar dapat mendengar dengan
jelas sekali, kembali ia tertawa tergelak.
"Hahaha, bagaimana pun orang pintar tetap orang pintar"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Orang pintar macam kalian seharusnya tahu bukan tindakan apa yang hendak kulakukan, tentu
tahu juga bagaimana harus menghadapinya"
Begitu selesai bicara, mendadak potongan pagar yang berada dalam genggamannya telah
dilempar ke luar, meluncur ke tengah hutan bambu.
Berubah paras muka Suma Tang-shia ketika melihat hal itu, jeritnya tertahan:
"Aduh celaka!" "Potongan pagar itu tidak dilempar kearah kita . . . . . .." kata Ciu Kiok.
"Apa bedanya dengan seseorang yang menerjang masuk ke dalam hutan bambu?" tanya Suma
Tang-shia sambil tertawa getir.
Sementara pembicaraan berlangsung, "Blaaam!" dari tengah hutan bambu telah terdengar suara
ledakan keras diikuti bergetarnya seluruh permukaan tanah.
Dapat dibuktikan betapa kuat dan dahsyatnya tenaga timpukan yang dilakukan si Kelelawar.
Serentetan suara aneh kembali berkumandang dari balik hutan bambu, suara yang memekakkan
telinga itu membuat paras muka Suma Tang-shia berubah jadi makin tak sedap dipandang.
Pada saat itulah paras muka Ciu Kiok ikut berubah.   Suara tertawa aneh dari si Kelelawar kembali berkumandang, ditengah gelak tertawa,
tubuhnya yang jangkung ceking lagi lagi melambung ke tengah udara, kedua belah ujung
bajunya dikembangkan, seluruh tubuh pun berubah seakan seekor Kelelawar hitam raksasa yang
terbang ke angkasa. Setelah berjumpalitan berapa kali, badannya meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.
Kali ini dia tidak melayang turun diatas panggung batu, dalam sekejap mata bayangan
tubuhnya hilang lenyap. Sementara suara aneh dari balik hutan bambu berkumandang makin nyaring.
Paras muka Suma Tang-shia berubah semakin tak sedap dilihat, gumamnya:
"Semua alat rahasia dalam hutan bambu mulai bekerja!"
"Lantas kita sekarang . . . . . .." tanya Siau Jit.
"Kalau ingin menerjang keluar dalam keadaan begini, sama artinya mencari mati"
Berkilat sepasang mata Siau Jit, ia termenung dan tidak bicara lagi.
"Masa kita harus berdiam dalam bangunan loteng itu?" tanya Han Seng.
"Ayahku telah memperhitungkan dengan pasti, setelah alat jebakan mulai bekerja, bisa jadi
si Kelelawar akan mundur balik ke dalam bangunan loteng ini"
Han Seng makin tercekat. "Jadi maksudmu bersamaan dengan hancurnya hutan bambu, loteng ini pun . . . . . . . .."
\\ "Betul, loteng inipun akan ikut hancur" nada suara Suma Tang-shia terdengar berat, aah
sekarang alat jebakan ke lima dan ke enam sudah mulai bekerja"
Sekali lagi berkilat sinar mata Siau Jit, tiba tiba ujarnya:
"Memangnya kita tak boleh menggunakan lorong bawah tanah yang digali si Kelelawar untuk
meninggalkan tempat ini?"
Agaknya Suma Tang-shia pun telah mempertimbangkan hal tersebut, segera jawabnya:
"Rasanya hanya itu satu satunya jalan hidup kita, moga moga saja si Kelelawar tidak
memasang alat perangkap atau jebakan dalam lorong bawah tanahnya"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Tapi setelah berada dalam keadaan begini, rasanya kita tak perlu banyak berpikir lagi!"
Sorot matanya segera dialihkan ke wajah Sim Ngo-nio, tapi belum sampai ia buka suara, Sim
Ngo-nio sudah berkata duluan:
"Kalau begitu biar aku berjalan duluan!"
Habis berkata, ia segera meloncat turun ke dalam lorong bawah tanah.
Tentu saja semua orang tahu bahwa persoalannya bukan karena dia takut mati atau tidak,
andaikata didalam lorong rahasia terdapat jebakan, maka dialah orang pertama yang bakal
celaka. Begitu bayangan tubuh Sim Ngo-nio lenyap dibalik lorong, Suma Tang-shia segera menitahkan
kedua orang dayangnya: "Cepat kalian berdua membimbing Ciu Kiok dan masuk duluan!"
Kedua orang dayang itu tak berani berayal, cepat mereka memayang tubuh Ciu Kiok dan
menerobos masuk ke dalam lorong rahasia.
Saat itulah Suma Tang-shia baru berpaling sambil berkata:
"Lui, Han lo-enghiong . . . . . . .."
"Silahkan nona masuk duluan" sahut Lui Sin cepat, "biar kami berdua berada dibarisan
paling belakang!" "Sekarang bukan saatnya untuk bersungkan-sungkan" tukas Suma Tang-shia sambil menggeleng,
"aku jauh lebih jelas mengetahui keadaan disini daripada kalian berdua!"
Belum habis ia berkata, gelombang dahsyat telah terjadi ditengah hutan bambu, batang pohon
bambu tampak beterbangan dan meluncur ke tengah udara.
"Alat perangkap ke sembilan telah mulai bekerja!" seru Suma Tang-shia kemudian, kepada Lui
Sin dan Han Seng katanya pula, "apa lagi yang hendak kalian berdua nantikan?"
Bagaimana pun Lui Sin dan Han Seng adalah orang yang berjiwa terbuka, mereka tidak banyak
bicara lagi dan tergopoh gopoh masuk ke lorong rahasia.
"Siau kecil, pedangmu!" kembali Suma Tang-shia berbisik.
Cepat Siau Jit meloloskan pedangnya.
"Sreeet, sreeet, sreeet" suara desingan tajam seketika bergema dari empat penjuru, beratus
batang senjata rahasia memancar keluar dari balik hutan bambu dan menerjang bangunan
loteng itu dari empat arah delapan penjuru.
Tak diragukan semua senjata rahasia itu jelas terlepas dari alat jebakan yang terpasang
dalam hutan bambu, kecepatan dan kehebatannya luar biasa.
Cepat Suma Tang-shia mengebaskan bajunya menggulung ranjang batu yang kemudian dipakai
untuk menahan sebagian serangan senjata rahasia, sedang tangan kanannya digetar keras,
sebuah pedang lembek telah diloloskan untuk menyongsong datangnya ancaman.
Bersamaan waktu Siau Jit menggerakkan pula pedang pemutus ususnya untuk merontokkan
datangnya ancaman. Seolah sudah ada kontak batin diantara kedua orang itu, pada saat yang bersamaan mereka
membalik badan dengan punggung menempel punggung, sepasang pedang diputar berbareng
melindungi diri dari serangan senjata rahasia, lalu perlahan-lahan bergeser masuk ke dalam
Seolah sudah ada kontak batin diantara kedua orang itu, pada saat yang bersamaan mereka
membalik badan dengan punggung menempel punggung, sepasang pedang diputar berbareng
melindungi diri dari serangan senjata rahasia, lalu perlahan-lahan bergeser masuk ke dalam
&n bsp; lorong rahasia.
"Triiing, triiing" hampir sebagian besar senjata rahasia yang berhasil dirontokkan kedua
orang itu berupa panah panah tanpa bulu.
Ada diantara anak panah itu yang menembusi permukaan tanah, ada pula yang menembusi batang
tiang penyangga bangunan, tapi rata rata tembus hingga satu inci lebih.
Coba kalau menghujam dibadan, coba kalau menembusi bagian yang mematikan, hanya cukup
sebatang anak panah sudah mampu menghant ar kau pulang kampung!
Sungguh beruntung mereka berada dalam ruang loteng yang lebih cocok menggunakan pedang,
dengan kungfu yang dimiliki Siau Jit berdua, mereka masih sanggup menghadapi serangan yang
datang. Coba kalau berada ditengah hutan bambu, pada hekekatnya sulit untuk menggunakan pedang
ditengah malang melintangnya bambu, otomatis semakin sulit bagi mereka untuk mengatasi
keadaan. Tampaknya Siau Jit memahami akan hal itu, tanpa terasa serunya:
"Untung sekali kita tidak berada dalam hutan bambu"


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ehm" Baru saja Suma Tang-shia akan mengucapkan sesuatu, tiba tiba terdengar ledakan dahsyat
bergema memecahkan keheningan diikuti menyemburnya cahaya api dari balik hutan bambu.
"Obat peledak!" teriak Siau Jit kaget.
"Jadi kau sangka toaci sedang bohong?" tanya Suma Tang-shia sambil tertawa.
Siau Jit hanya tertawa getir.
Saat itulah ledakan dahsyat kembali menggelegar membelah angkasa, dengan wajah makin
berubah teriak Suma Tang-shia:
"Cepat kabur!" "Lebih baik toaci duluan!" sahut Siau Jit sambil merangkul bahu Suma Tang-shia dan
mendorongnya masuk ke dalam lorong rahasia.
Kali ini Suma Tang-shia tidak menampik, cepat dia lari turun ke dalam lorong bawah tanah
diikuti Siau Jit. Sementara dia berlarian menuruni anak tangga, ledaka n dahsyat kembali menggelegar dari ke
e mpat tiang pancang yang ada dalam ruang loteng dan menghancurkan ruangan itu menjadi
berk eping. Tampaknya didalam tiang bangunan pun telah tertanam obat peledak dalam jumlah banyak.
Begitu bahan musiu meledak, tiang penyangga bangunan pun hancur berantakan, tak ampun
seluruh bangunan loteng ikut ambruk ke tanah.
Suara robohnya bangunan ini jauh lebih nyaring daripada suara ledakan, begitu keras hingga
memekikkan telinga. Biarpun Siau Jit sudah berada dalam lorong bawah tanah, tak urung telinganya sakit juga
karena kerasnya getaran. Tanpa pedulikan debu dan pasir yang mengotori badannya, cepat pemuda itu bergerak maju ke
depan. Kini suasana dalam lorong gelap gulita, berapa kali badannya menumbuk diatas dinding,
dalam perasaannya, lorong bawah tanah itu sama sekali tak berbentuk lurus.
Cepat dia merogoh ke dalam saku ambil keluar obor, baru akan disulut, tiba tiba badannya
menumbuk ditubuh seseorang.
Tubuh yang lembut, halus dan menyiarkan bau harum semerbak, bentuk tubuh yang sudah amat
dikenalnya. Biarpun tidak melihat, Siau Jit tahu kalau dia adalah Suma Tang-shia.
"Toaci, aku!" cepat Siau Jit berseru sambil menyulur obor.
"Siau kecil?" Cahaya api mengusir kegelapan, sinar terang menerangi lorong bawah tanah, menyinari pula
wajah kedua orang itu. Dengan wajah penuh rasa kuatir, Suma Tang-shia menarik lengan Siau Jit sambil serunya:
"Coba bukan kau, bertemu dengan siapa pun, mungkin saat ini aku sudah jatuh pingsan"
"Bukankah nyali toaci selama ini besar sekali?"
Kontan Suma Tang-shia tertawa cekikikan.
"Untung saja hanya kau seorang yang membuntut dibelakangku, andaikata ada orang kedua,
sudah pasti dia bukan manusia tapi setan"
"Untuk tempat semacam ini, biar ada setan yang muncul pun tidak aneh" kata Siau Jit
tertawa. Mendengar perkataan itu Suma Tang-shia bergidik dan tak sanggup tertawa lagi.
Saat itulah Siau Jit baru dapat melihat jelas bentuk lorong rahasia itu, ternyata
permukaannya tidak rata dan dindingnya penuh dengan bagian yang cekung maupun cembung.
"Pernah menjumpai lorong semacam ini?" tanya Suma Tang-shia.
"Aku rasa lorong ini dibuat secara tergesa gesa"
"Tidak mungkin"
Suma Tang-shia menggeleng, "coba kau periksa undak undakan didepan sana,
bukankah dibuat sangat rapi?"
"Bila Kelelawar sanggup membuat undak undakan sebagus itu, tiada alasan ia tak bisa
meratakan permukaan lorong ini"
"Tadi, justru gara gara undakan batu itu rata dan rapi, kusangka permukaan lorong bawah
tanah pun pasti datar dan rata, akibatnya berulang kali aku musti menumbuk dinding hingga
nyaris jatuh terjerembab"
"Jangan jangan si Kelelawar memang sengaja membuat permukaan lorong seperti ini?"
"Kuatirnya memang begitu" setelah termenung, lanjut perempuan itu, "terlepas bentuk apapun
yang mau dibuat, padahal tak banyak pengaruh baginya"
"Benar, karena dia memang buta"
"Tapi kalau lorong bawah tanah ini digali untuk persiapan diri sendiri, semestinya dibuat
lebih baik, dari sini bisa disimpulkan kalau ia sudah menduga bakal terjadi peristiwa
seperti hari ini" Siau Jit termenung sambil berpikir sejenak, kemudian katanya:
"Sekalipun Kelelawar lebih banyak berada dalam keadaan tak waras, disaat ia sedang waras,
aku yakin kemampuannya tak beda jauh dengan kemampuannya dimasa lalu. Toaci, sekarang
siaute mulai mandi keringat dingin"
Suma Tang-shia sendiripun bergidik, terasa bulu roma pada bangun berdiri.
Sementara pembicaraan berlangsung, mereka melanjutkan perjalanan ke depan.
Terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga masih bergema dari mulut lorong, begitu
nyaring dan kencang ibarat binatang aneh yang sedang meraung.
Begitu kalut dan kacaunya suara gemuruh itu hingga susah untuk membedakan mana suara
bangunan yang ambruk dan mana suara ledakan mesiu.
Permukaan lorong dimana mereka berjalan lewat terasa mulai bergetar dan berguguran, seakan
seluruh bumi bergoncang, seolah setiap saat tempat itu bakal ikut roboh.
Suma Tang-shia berlarian cepat, paras mukanya makin lama berubah makin pucat.
Air muka Siau Jit pun berubah sangat tak sedap, tiba tiba teriaknya keras:
"Cepat lari, kemungkinan besar lorong bawah tanah ini bakal ambruk!"
Belum habis ia menjerit, lorong bagian belakang meledak lalu longsor ke bawah.
Suma Tang-shia menjerit kaget, cepat dia bersembunyi dalam pelukan Siau Jit.
"Cepat kita lari!" teriak Siau Jit sambil merangkul tubuh perempuan itu dan berlari
kencang. "Siau kecil, kau mulai takut?" tiba tiba Suma Tang-shia bertanya.
"Memangnya toaci tidak takut?"
Suma Tang-shia menggeleng.
"Mungkin karena berada disisimu" sahutnya.
"Sayang aku pun hanya seorang manusia, bila lorong ini longsor, kita semua bakal mati"
Suma Tang-shia menghela napas sedih.
"Aaai, bisa mati dalam pelukanmu, apa lagi yang musti kusesalkan?" bisiknya.
Siau Jit tidak menjawab, dia hanya tertawa getir.
Kembali Suma Tang-shia berkata:
"Walaupun aku sudah bosan hidup, tapi kau masih muda, sayang kalau harus mati dalam
kondisi seperti ini, maka dari itu terlepas nasib kita baik atau buruk, yang penting kita
harus lari dengan sekuat tenaga!"
"Sejak kapan toaci jadi begitu melankolis?" tanya Siau Jit sambil menghela napas.
"Mungkin inila h sifat asli toaci, hingga disaat menghadapi ancaman ji wa, watak aslinya
muncul" Siau Jit termenung tanpa menjawab.
"Blaaam . . . . ..!" lagi-lagi terjadi ledakan dahsyat, selapis lorong sebelah belakang longsor
dengan hebatnya, bahkan merembet lorong disekelilingnya.
Berubah hebat paras muka Siau Jit, jeritnya:
"Toaci, cepat lari!" sambil berkata ia langsung mendorong tubuh perempuan itu.
Sadar akan bahaya yang mengancam, Suma Tang-shia kabur ke depan sambil berteriak:
"Hati hati saudaraku!"
Tentu saja dia pun tahu, bila harus begitu terus, disamping harus menjaga keselamatannya,
Siau Jit harus menghadapi longsoran lorong akibatnya mereka berdua bakal mati bersama.
Belum sempat Siau Jit menjawab, tanah liat diatas kepalanya kembali sudah longsor jatuh.
Sambil membentak, tubuhnya lari ke depan, sementara pedangnya menusuk ke atas.
Tusukan itu disertai desingan angin tajam, seketika bongkahan tanah yang longsor tertahan
oleh tusukan pedangnya. Ketika bongkahan tanah itu gugur ke bawah, tubuh Siau Jit sudah melesat maju sejauh satu
tombak. Ternyata dugaan mereka tak salah, lorong bawah tanah mulai longsor dengan hebatnya
diiringi suara ledakan yang memekikkan telinga.
Siau Jit melancarkan tusukan berulang kali, menggunakan saat pedangnya menahan bongkahan
tanah yang longsor, dia melompat ke depan sambil menyelamatkan diri.
Tubuhnya ibarat anak panah yang dibidikkan, pakaian serta kulit luar tubuhnya mulai
tersayat dan mengucurkan darah.
Tentu saja pemuda ini tak ambil peduli dengan luka luar yang dideritanya.
Saat itu obor telah padam, tapi dengan longsornya lorong, cahaya matahari pun ikut
menyorot masuk ke dalam, ditengah debu dan pasir yang beter bangan, mengandalkan ketajaman
matan ya Siau Jit kabur terus ke depan.
Siau Jit tak bisa membayangkan bagaimana bentuk lorong rahasia itu, dia pun tak bisa
membayangkan bagaimana bentuk permukaan tanah waktu itu.
Tiga belas jebakan maut betul betul sangat menakutkan, sekalipun tidak ia saksikan satu
per satu, namun dari kenyataan yang terpampang didepan mata, bisa dibayangkan apa jadinya
jika mereka terjebak dalam hutan bambu itu.
Tiga belas lapis alat perangkap yang membuang begitu banyak pikiran, tenaga dan uang,
ternyata tujuannya hanya untuk mengurung seorang manusia idiot.
Berhargakah kesemuanya itu"
Sekarang Siau Jit mulai sangsi, mulai curiga, apakah otak Suma Tionggoan sekalian yang ada
masalah. Ledakan dan longsoran akhirnya berhenti, tapi Siau Jit sama sekali tidak menghentikan
langkahnya, dia masih kabur terus ke arah depan.
Setelah kabur lagi sejauh tujuh tombak, sinar matahari terlihat mulai memancar masuk ke
dalam lorong, kemudian tampak undak undakan batu menuju ke atas permukaan.
Suma Tang-shia sedang menanti dibawah undak undakan dengan wajah tegang, begitu melihat
kemunculan Siau Jit, ia baru menghembuskan napas lega.
Sambil menghembuskan napas panjang, Siau Jit menyarungkan kembali pedangnya, kemudian
dalam dua tiga langkah sudah tiba dihadapan Suma Tang-shia.
Dengan penuh kehangatan Suma Tang-shia menggenggam tangan Siau Jit, sekujur badannya
gemetar keras, sampai lama kemudian ia baru berbisik:
"Mari kita naik ke atas"
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Kami tidak apa apa" suara dari Lui Sin menyahut, lalu sambil melongok tanyanya pula,
"bagaimana dengan kalian berdua?"
"Aku sangat baik, tapi Siau kecil terluka"
"Hahaha, hanya luka lecet" sambung Siau Jit sambil tert awa.
"Hahaha, melihat kau masih bisa tertawa, kami pun merasa sangat lega" ucap Lui Sin sambil
tertawa tergelak. Ditengah gelak tertawa, Suma Tang-shia dan Siau Jit sudah naik keatas permukaan tanah.
Ternyata mulut keluar dari lorong bawah tanah itu terletak ditengah barisan bunga, padahal
sesungguhnya sudah berada ditepi barisan, karena tak perlu berjalan sejauh dua tombak,
mereka sudah keluar dari kepungan barisan tersebut.
Jarak sejauh dua tombak tanpa persimpangan jalan, hal ini menunjukkan kalau tempat itu
berada diluar barisan. Begitu keluar dari lorong bawah tanah dan periksa sekejap sekeliling tempat itu, tiba tiba
Suma Tang-shia menghela napas, katanya:
"Sekarang, kalau ada orang bilang Kelelawar adalah manusia idiot, akulah orang pertama
yang tidak percaya" "Akupun tidak percaya kalau bilang dia adalah manusia buta" Siau Jit menambahkan sambil
menghela napas. "Tapi semuanya ini adalah kenyataan"
"Apakah toaci benar benar yakin?"
"Padahal sudah menjadi rahasia umum, banyak cianpwee yang tahu hal ini dengan jelas"
"Tapi letak lorong bawah tanah ini benar benar sudah diperhitungkan secara teliti" kata
Siau Jit setelah tertegun sejenak.
"Siapa bilang tidak" sambung Lui Sin, "seorang buta ternyata sanggup menggali sebuah
lorong bawah tanah secanggih ini, kejadian inipun sudah aneh dan tidak masuk akal"
"Semua hasil karyanya sepanjang hidup memang membuat orang lain sukar percaya, hanya aku
rasa pintu keluar lorong itu kelewat kebetulan bila berada disini"
"Hal ini bukannya tidak mungkin, tapi memang rasanya kelewat kebetulan" gumam Han Seng.
"Anehnya" Lui Sin menambahkan, "kenapa dia tidak menyerang kita di pintu keluar lorong
bawah tanah ini" Dengan kepandaian silat yang kita miliki rasanya . . . . . . .."
Dia tidak melanjutkan perkataannya, tapi dengan ilmu silat yang dimiliki si Kelelawar,
siapa pun bisa membayangkan bagaimana akibatnya bila dia melancarkan serangan bokongan di
mulut lorong rahasia itu.
Siau Jit menghela napas panjang.
"Sepak terjang orang ini memang jauh diluar dugaan siapa pun, tapi rasanya mustahil kalau
dia kehilangan kewarasannya lagi gara gara dibuat kaget oleh suara ledakan yang maha
dahsyat tadi, sehingga lupa berjaga jaga di pintu keluar lorong rahasia"
" kata Suma Tang-shia, "tapi bagaimana pun
"Mungkin saja apa yang kau duga memang benar
ceritanya, yang penting kita semua telah berhasil lolos dari bencana besar ini, dan
kejadian ini patut kita rayakan"
"Selanjutnya apa yang harus kita lakukan?" tanya Lui Sin, "kemana kita harus mencari jejak
si Kelelawar?" "Bila terkaanku tak salah, mungkin saat ini dia sudah jauh meninggalkan tempat ini" kata
Suma Tang-shia. Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Biarpun perkampungan Suma-san-ceng luas, namun tidak banyak tempat yang bisa digunakan
untuk bersembunyi, kecuali otaknya kembali tak waras, kalau tidak seharusnya diapun dapat
menduga kalau kita bakal mencari jejaknya"
"Mungkinkah seputar hutan bambu dipakai untuk bersembunyi?"
"Aku kuatir daerah seputar hutan bambu sudah rata dengan tanah"
Sembari bicara, perempuan itu melompat naik keatas sebatang pohon bunga dan menengok ke
arah hutan bambu. Siau Jit ikut melompat naik pula keatas sebatang pohon.
Tapi begitu melihat, paras muka Siau Jit berubah hebat, sementara Suma Tang-shia sendiri,
meski sudah mempersiapkan diri secara baik, tak urung wajahnya berubah juga dengan
hebatnya. Ternyata pepohonan yang berada tiga tombak dihadapan mereka, kini sudah hancur berantakan
dan rata dengan tanah, dinding pagar tinggi diluar barisan telah roboh, asap dan hancuran
dinding berserakan dimana mana, sementara kobaran api masih menyala dengan hebatnya
didalam hutan bambu. Kendatipun jarak mereka dengan tempat itu cukup jauh, namun hawa panas yang menyengat
terasa sampai disitu. Tak tahan lagi Siau Jit menghembuskan napas dingin, ujarnya:
"Toaci, aku rasa kobaran api yang sedang membara saat ini tak mungkin bisa dipadamkan
dengan kekuatan manusia"
Tanpa bicara Suma Tang-shia mengangguk.
Kembali Siau Jit melanjutkan:
"Untung saja ada selapis dinding pagar tinggi yang menghadang sehingga jilatan api tak
akan merambat sampai disini"
Suma Tang-shia mengangguk.
"Menurut dugaanku, memang inilah tujuan ayahku mendirikan pagar dinding tinggi"
"Tapi siaute benar benar tak habis mengerti" ujar Siau Jit sambil menggeleng.
"Tidak mengerti kenapa harus membuang begitu banyak uang dan tenaga hanya untuk menyekap
seorang manusia idiot?"
Siau Jit tertawa getir. "Benarkah para jago dan para cianpwee itu begitu kolot dan keras kepala?"
Suma Tang-shia tidak menjawab.
Dalam pada itu secara beruntun Lui Sin dan Han Seng telah melompat naik keatas pohon,
setelah menyaksikan perubahan yang terpampang didepan mata, paras muka mereka ikut
berubah. "Hari ini, boleh dibilang kita baru lolos dari kematian" kata Siau Jit kemudian sambil
berpaling kearah kedua orang itu.
Mula-mula Lui Sin tertegun, kemudian sahutnya:
"Selamat dari bencana besar, dikemudian hari pasti banyak rejeki, seharusnya kejadian ini
merupakan sesuatu yang patut digembirakan"
"Hahaha, betul juga perkataanmu!" kata Suma Tang-shi a sambil tertawa, kemudian ia melayang
t urun dari atas pohon. "Toaci, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Siau Jit sambil ikut melompat turun dari atas
pohon. "Kau takut si Kelelawar masih berada diseputar sini hingga jiwaku terancam?"
"Apa boleh buat, mau tak mau aku harus kuatir"
Suma Tang-shia tertawa. "Seandainya dia mengincarku, sejak tadi dia pasti sudah bertindak sesuatu" katanya.
"Tapi sekarang keadaan sudah berubah, rahasianya sudah terbongkar, jadi dia bisa saja
menyerang secara terbuka"
"Jadi menurut pendapatmu?"
Belum sempat Siau Jit menjawab, kembali Suma Tang-shia bertanya:
"Menurut pendapatmu, tempat mana yang kau anggap paling aman?"
Siau Jit hanya termenung, tidak menjawab.
"Gagal menemukannya?" desak Suma Tang-shia lagi.
Siau Jit tertawa getir. Maka Suma Tang-shia melanjutkan kembali perkataann ya:
"Sesungguhnya sama sekali tak ada, justru dalam perkampungan Suma-san-ceng seharusnya
masih terdapat sebuah tempat yang aman sekali"


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Jit tertegun. Sambil tertawa tanya perempuan itu:
"Ayahku bisa merancang sebuah tempat sempurna untuk mengurung orang, menurut pendapatmu,
mungkinkah dia membangun pula sebuah tempat perlindungan lain yang jauh lebih kokoh?"
"Tentu saja bisa"
"Pada umumnya, setiap perkampungan pasti memiliki sebidang bangunan yang dibuat secara
kokoh dan kuat untuk persiapan bilamana diperlukan, tidak terkecuali perkampungan
Suma-san-ceng" "Ehm" "Sekalipun tak ada tempat yang seratus persen aman, paling tidak, bukan satu pekerjaan
yang mudah bagi si Kelelawar bila ingin menyerbu ke dalam tempat tersebut"
"Dia tak akan memiliki begitu banyak waktu, lagipula sejak hari ini, kita pasti akan
mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk melacak dan menemukan jejaknya"
"sepantasnya aku pergi bersama kalian, tapi, tentunya kaupun tahu dengan jelas bukan,
manusia macam apakah diri toaci"
" Siau ?"Toaci tak pernah suka berkelana ke mana mana, dalam hal ini aku tahu dengan jelas
Jit mengangguk. "Walaupun aku tidak ikut serta, namun setiap saat kalian harus tetap menjalin kontak
denganku, agar setiap saat aku bisa menyusul dan bergabung dengan kalian dalam menghadapi
si Kelelawar" "Toaci tak usah kuatir"
Suma Tang-shia mengangguk, katanya lagi:
"Biarpun ilmu pedangmu tangguh, tapi hati hati, sebab selain harus menghadapi si
Kelelawar, kau pun harus berhati hati menghadapi Ong Bu-shia, aaai, bayangkan saja, mana
mungkin toaci tidak kuatir?"
"Mati hidup sudah kemauan takdir, siaute janji akan berusaha untuk lebih berhati-hati"
Perlahan Suma Tang-shia berpaling kearah Lui Sin dan Han Seng, lalu katanya pula:
"Bila kalian berdua tidak keberatan, aku ingin menahan Ciu Kiok bersamaku"
Lui Sin segera mengangguk.
"Kami harus menjelajahi banyak tempat untuk melacak jejak si Kelelawar, memang kurang
leluasa bila Ciu Kiok bersama kami"
katanya, "bagaimana pun, perkampungan Suma-san-ceng
jauh lebih aman daripada perusahaan piaukiok kami. Bila nona bersedia merawatnya, kami pun
semakin tenang" "Siaute pun tidak punya pendapat lain" kata Han Seng.
Bagi Ciu Kiok sendiri, tentu saja dia terlebih tak punya pendapat lain.
Bab 15. Ci-he si pendekar wanita.
Dibawah cahaya api yang terang benderang, kecuali Lui Sin dan Han Seng tidak ambil peduli,
kalau tidak, tak sulit untuk membaca berapa huruf yang terukir diatas panggung.
Sekalipun tulisan itu tidak jelas, lagipula guratannya cetek, namun secara dipaksakan
masih bisa dikenali. II "Hek Botan, Pek Huyong, Lau Ci . . . . . . . . .. kontan Lui Sin berkerut kening, "apa pula maksud
tulisan itu?" Hanya delapan huruf yang tertera, sementara dibawah huruf Ci baru muncul satu guratan dan
diatas guratan itu masih tersisa kuku yang berdarah.
"Mungkin ke delapan huruf itu mewakili nama dari tiga orang" ujar Siau Jit kemudian, "Hek
n Botan . . . . . . . . .. Tiba tiba Han Seng menukas:
"Hek Botan dari Shantung, Pek Huyung dari Hopak!"
"Bukankah kedua orang bocah perempuan itu sudah lama mengundurkan diri dari dunia
persilatan?" tanya Lui Sin dengan sinar mata berkilat.
"Siapakah mereka itu?" tanya Siau Jit.
"Mereka adalah dua orang perempuan tersohor dari dunia persilatan banyak tahun berselang,
konon ilmu silat mereka bagus, berwajah cantik rupawan, ada suatu masa, nama besar mereka
berkibar dimana-mana, tapi kemudian mengundurkan diri dari keramaian dunia, konon dinikahi
orang" "Kapan peristiwa itu terjadinya?" tanya Siau Jit lagi.
"Mungkin sudah belasan tahun" sahut Lui Sin, setelah termenung sejenak, lanjutnya, "aku
pernah bertemu Hek Botan, betul, dia memang cantik jelita, tapi kurang jelas sampai dimana
kehebatan ilmu silatnya"
Kembali Siau Jit termenung tanpa bicara.
Tiba tiba Han Seng berseru:
"Jangan jangan yang dimaksud Lau Ci . . . . . . . .. mungkinkah Lau Ci-he dari See-hoa-kiam-pay?"
"Mungkin saja orang itu" Lui Sin mengangguk berulang kali, "mereka memang tokoh tokoh
terkenal dari masa yang hampir bersamaan"
Siau Jit segera mencabut keluar potongan kuku yang tertancap diatas panggung, lalu
ujarnya: "Tidak diragukan lagi berapa huruf ini digurat oleh si pemilik kuku, bukankah kuku ibu
jari tangan kanan nona Hong terlepas dan hilang?"
"Betull" sahut Lui Sin dengan wajah berubah, dia sambut potongan kuku itu dari tangan Siau
Jit, setelah diamati sejenak, katanya lagi:
"Seharusnya kuku ini berasal dari ibu jari, karena kita sudah yakin Hong-ji menemui
ajalnya ditempat ini, aku rasa hal ini tak perlu diragukan lagi . . . . . .."
"Mungkin nona Hong tahu kalau nyawanya bakal melayang, maka dia sengaja mengukir berapa
huruf itu dengan harapan kita bisa menemukannya" ujar Siau Jit, "sayang ketika akan
mengukir huruf He, tiba tiba si Kelelawar turun tangan membunuhnya, lantaran dia orang
buta, tentu saja tidak tahu kalau nona Hong telah meninggalkan petunjuk diatas lantai
panggung . . . . . . .. "Petunjuk?" Lui Sin berkerut kening.
Il "Apakah saudara Siau curiga kalau Hek Botan, Pek Huyung sekalian merupakan komplotan dari
si Kelelawar?" tanya Han Seng.
"Kalian jangan lupa, sewaktu berada diwarung teh, bukankah si Kelelawar pernah beritahu
kepada Ciu Kiok sekalian bahwa dia semuanya memiliki tiga belas bilah golok Kelelawar,
dimana dua belas bilah diantaranya telah diserahkan kepada dua belas orang wanita yang
paling disukainya?" Tentu saja Lui Sin maupun Han Seng tidak melupakan akan hal ini.
Kembali Siau Jit berkata lebih jauh:
"Kemungkinan besar Hek Botan, Pek Huyung, Lau Ci-he merupakan tiga diantara dua belas
orang wanita itu" Setelah menyapu seluruh ruangan itu sekejap, lanjutnya:
"Ditinjau dari hasil pahatan yang ada disekeliling ruangan ini, bisa disimpulkan bahwa
semua pahatan yang ada telah melalui seleksi dan pemilihan yang ketat dari si Kelelawar,
bahkan hanya meninggalkan bagian yang terbaik dan tercantik ditempat ini"
Lui Sin maupun Han Seng mengangguk berulang kali.
Kembali Siau Jit berkata:
"Kelelawar adalah orang buta, walaupun dia memiliki sepasang tangan yang cekatan, toh
mustahil bisa meraba setiap wanita yang dijumpai untuk memilih sasaran yang paling cocok
untuk dijadikan contoh pahatan"
"Itu berarti dia mengandalkan . . . . . . .."
"Telinga!" sela Siau Jit cepat, setelah termenung ujarnya, "bila analisaku tak salah, dia
pasti memilih sasarannya berdasarkan pembicaraan orang banyak, sama seperti ketika dia
II memilih Hek Botan, Pek Huyong.....
"Dan Lau Ci-he . . . . .." sela Han Seng.
"Nama besar bocah perempuan ini jauh diatas nama Hek Botan maupun Pek Huyung" ujar Lui
Sin, "bila beritaku tidak keliru, seharusnya perempuan ini masih berkeliaran dalam dunia
persilatan" "Dalam sepuluh tahun terakhir, dalam dunia persilatan telah muncul seorang wanita pembunuh
tanpa nama" kata Han Seng, "dia membunuh bukan lantaran uang, dia pun tak bisa diundang
oleh siapa pun" "Dia membunuh bila ada orang menyalahi dirinya" Lui Sin menyambung, "barangsiapa menyalahi
dirinya, biar kau kabur sejauh ribuan bahkan puluhan ribu li pun, dia tetap akan mengejar,
mengejar untuk memenggal batok kepalanya"
Siau Jit tidak bicara, dia hanya mendengarkan dengan seksama.
Terdengar Lui Sin berkata lebih jauh:
"Ada orang bilang, dia adalah jago pedang wanita dari See-hoa-pay yang bernama Lau Ci-he,
menurut apa yang kutahu, banyak orang telah membuktikan kenyataan itu"
"Aku kenal dengan orang ini" ujar Siau Jit.
Dengan pandangan keheranan Lui Sin menatap wajah Siau Jit.
"Dia adalah seorang wanita yang sepanjang tahun mengenakan baju berwarna putih, berambut
panjang sebahu dan membawa sebilah pedang dengan gagang penuh batu permata" Siau Jit
menerangkan. "Aah, rupanya dia, darimana kau bisa mengenalnya?"
"Kalau dibicarakan kembali, sesungguhnya peristiwa itu merupakan peristiwa lama yang sudah
terjadi dua tahun berselang, waktu itu dia terkena jebakan yang disiapkan Tui-hun-
cap-ji-sat di mulut lembah Sat-hau-ko hingga terluka parah, disaat dia masih bertempur
habis habisan, kebetulan aku lewat disana"
"Dan kau telah selamatkan jiwanya?"
"Manusia macam apakah Tui-hun-cap-ji-sat, semestinya locianpwee tahu juga bukan?"
"Hahaha, aku pun tahu dengan jelas kalau kau adalah seorang pendekar sejati"
"Setelah kejadian itu, dia jatuh pingsan karena lukanya yang parah, sebelum jatuh tak
sadarkan diri ia sempat memberitahukan alamat rumahnya . . . . ..
"Dan kau menghantarnya pulang ke rumah"
"Tempat itu adalah sebuah perkampungan kecil, selain dia, hanya ada seorang nenek ditambah
dua orang dayang kecil. Konon nenek itu adalah inang pengasuhnya"
Setelah termenung sebentar, tambahnya:
"Hanya itu saja yang kuketahui, dia termasuk orang yang tidak begitu suka bicara dengan
orang lain, diapun tak pernah menyinggung masa lalu. Secara beruntun aku berdiam selama
tiga hari disana, ketika melihat kondisi lukanya telah membaik, aku pun berpamitan"
"Apa pula yang kemudian ia katakan?" tanya Han Seng.
"Dia bilang, suatu saat pasti akan membalas budi ini, sebab dia paling tak suka berhutang
budi kepada orang lain, bila aku membutuhkan, asal sepatah kata saja, terlepas persoalan
apa pun, dia bersama pedangnya pasti akan segera datang"
"Bisa membedakan mana budi mana dendam, perempuan ini sesungguhnya bukan orang jahat" puji
Han Seng. "Aku rasa, dimasa lampau mungkin ia pernah mengalami pukulan batin yang amat besar,
sehingga sifatnya berubah dan sangat membenci orang lain"
"Seharusnya perempuan semacam ini tak mungkin akan jalan bersama si Kelelawar"
"Bila permasalahan ini tak ada sangkut paut dengan dirinya, aku rasa persoalan jadi
semakin rumit" Han Seng manggut manggut.
-n "Mustahil Hong-ji kenal dengan perempuan ini katanya, "bisa jadi dia tinggalkan nama
tersebut diatas panggung karena pernah mendengar si Kelelawar menyinggungnya"
"Jangan jangan setelah peristiwa ini, rencana berikut si Kelelawar adalah pergi mencari
mereka dan membunuhnya?" tanya Lui Sin.
"Aku rasa kemungkinan ini besar sekali" seru Siau Jit dengan wajah berubah.
"Lau Ci-he tinggal dimana?" tanya Lui Sin.
"Diseputar sini, paling setengah hari perjalanan"
"Ooh!" "Karena itu gampang sekali bila kita ingin bertanya kepadanya" ujar Siau Jit, setelah
berhenti sejenak, dengan wajah berubah tambahnya, "bila Kelelawar ingin membunuhnya, tentu
saja hal ini mudah sekali untuk dia lakukan"
"Kalau begitu kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini" sambil berkata Lui Sin mulai
mengawasi tabung logam darimana mereka terperosok tadi.
Han Seng ikut memandangnya sekejap, kemudian ujarnya:
"Aku rasa tidak gampang untuk tinggalkan tempat ini melalui tabung logam itu"
Setelah memandang sekejap sekeliling ruangan, ia menambahkan:
"Aku yakin didalam ruang rahasia ini pasti terdapat jalan keluar kedua"
Waktu itu api yang berada ditangan mereka bertiga, ada dua telah padam, obor ditangan Lui
Sin pun sudah mulai redup.
Cepat Siau Jit merogoh ke dalam sakunya, ambil keluar sebuah obor lagi, yakni obor
terakhir yang dibawa. Ia dekatkan cahaya api dengan permukaan lantai, lalu ikut pula berjongkok.
ll "Saudara cilik . . . . . . .. seru Lui Sin keheranan.
"Diatas lantai terdapat bekas kaki, asal mengikuti arah bekas kaki itu, siapa tahu kita
bisa temukan pintu keluar" Siau Jit menerangkan.
Seperti menyadari akan sesuatu, Lui Sin berseru:
"Aaah betul, tidak mungkin si Kelelawar ikut terperosok dari atas sana"
Bekas kaki dilantai sangat kalut, namun secara lamat masih terlihat dengan nyata kalau
menuju ke arah dinding dimana bertumpuk aneka jenis payudara.
Siau Jit bergerak cepat, ia melompat ke arah sana.
Dipandang dari jauh masih tidak terasa apa apa, tapi begitu mendekat, kontan Siau Jit
merasa kepalanya pusing matanya berkunang kunang, perasaan itu seratus persen dapat
dipastikan karena pengaruh dari aneka jenis payudara itu.
Walaupun semua payudara itu terbuat dari kayu, namun warnanya hampir tak berbeda dengan
warna kulit pada umumnya, bukan saja akurat pahatannya, bahkan tak jauh berbeda dengan
bentuk aslinya. Dipandang sekilas, pada hakekatnya seperti ada ratusan orang gadis yang sama-sama
menanggalkan bajunya dan maju menyongsong kehadiran mereka.
Saat itu kendatipun gerakan tubuh Siau Jit tidak terlalu cepat, namun ia merasa pandangan
matanya kabur. Lui Sin serta Han Seng memunyai perasaan yang sama, ketika bergerak mengintil dibelakang
Siau Jit, nyaris Han Seng menumbuk diatas dinding ruangan.
Menyaksikan kenyataan itu, sambil menghela napas gumamnya:
"Kelelawar betul betul bukan manusia"
"Jika ada yang mengatakan dia bukan orang sinting, akulah orang pertama yang protes" gumam
Lui Sin pula. Siau Jit tertawa getir. "Andaikata tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dipukul sampai mampus pun aku tak
akan percaya kalau dikolong langit ternyata terdapat tempat semacam ini"
"Rasanya bukan hanya kau yang berpendapat begitu" kata Han Seng sambil menyulut obor
kedua. Pada saat yang bersamaan Lui Sin menyulut pula sebuah obor.
Pandangan mata mereka mulai bergerak diantara tumpukan payudara itu.
Dibawah cahaya api, bayangan bergerak mengikuti pergeseran tubuh mereka, "gerakan" semacam
ini membuat setiap pahatan payudara itu berubah semakin nyata.
Lui Sin dan Han Seng adalah jago jago kawakan, semasa muda dulu mereka pun pernah
menjalani kehidupan mogor, tapi sejujurnya, kedua orang itu belum pernah menyaksikan
payudara dalam jumlah sebanyak itu.
Jangan lagi Siau Jit, pemuda kemarin sore.
Setiap payudara yang ada disana tampak begitu indah, begitu memukau, membetot sukma, sulit
bagi Siau Jit untuk tidak melotot berapa kejap lebih lama.
Bagaimanapun juga dia tetap seorang manusia biasa, begitu pula dengan Lui Sin serta Han
Seng, oleh sebab itu pandangan mata mereka bergerak tidak terlampau cepat.
Tiba tiba sinar mata Siau Jit membeku, serunya:
"Disini terdapat sebuah rongga!" sambil berkata, ia mendekatkan obornya diatas dinding.
Dibawah cahaya api, mereka bertiga dapat melihat dengan nyata bahwa rongga itu memanjang
lurus ke atas. Makin dekat api obor itu dengan rongga didinding, makin keras goncangan lidah api karena
terhembus angin. Pada saat bersamaan, Siau Jit pun merasakan datangnya hembusan angin dari balik rongga
itu, serunya kemudian: "Pintu rahasia berada disini!"
Ia pun mulai mengetuk sepasang payudara yang tertempel diatas dinding itu.
Betul saja, terdengar suara pantulan yang membuktikan dugaannya tak salah, dia mencoba
mendorong sepenuh tenaga, namun dinding itu sama sekali tak bergerak.
"Aku yakin pintu rahasia ini tak mungkin bisa dibuka secara gampang" kata Lui Sin.
II "Mungkin sudah disantek dari luar kata Han Seng, "bagaimana sekarang loko?"
"?ancurkanl" perintah Lui Sin tegas, sambil berkata dia loloskan golok emasnya dan
langsung dibacok ke depan.
Dimana cahaya golok berkelebat, berapa buah payudara terbabat hingga terbelah jadi berapa
bagian. Lui Sin segera membuang obornya ke tanah, lalu dengan sepasang tangan menggenggam golok,
dia mulai membacok kian kemari.
Siau Jit maupun Han Seng tidak tinggal diam, mereka cabut pedang dan membantu Lui Sin
membabat bagian disekelilingnya.
Diantara ayunan golok dan pedang, payudara berguguran ke tanah menjadi hancuran serbuk
kayu, permukaan dinding pun mulai merekah dan muncul sebuah lubang besar, dari sana terasa
angin dingin berhembus masuk ke dalam.
Lui Sin membentak nyaring, ayunan goloknya semakin cepat.
Ditengah bentakan, lubang diatas dinding semakin membesar, dalam waktu singkat lebarnya
sudah mencukupi seseorang untuk berjalan lewat.
"Sudah cukup!" seru Siau Jit.


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lui Sin menyahut sambil menarik kembali goloknya, sedang Siau Jit langsung melangkah maju
menerobos masuk ke balik lubang.
Suasana diluar lubang gua itu gelap gulita, dibawah cahaya api, lamat lamat terlihat ada
sebuah lorong bawah tanah yang membe ntang jauh ke depan, disana tak nampak seorang man usia
pun. Menyusul kemudian Lui Sin dan Han Seng ikut menerobos masuk, tanya Han Seng:
"Apakah ada orang disana?"
"Tidak ada" "Tempat apakah itu?"
"Naik saja keatas, semua akan jelas dengan sendirinya"
Didepan pemuda itu terdapat sebuah undak undakan batu, dia pun melangkah naik ke atas.
Buru buru Lui Sin dan Han Seng mengintil dibelakangnya.
Undak undakan batu itu tidak terlalu panjang, diujungnya terdapat sebuah lapisan batu.
Siau Jit berhenti didepan lapisan batu itu, membuang obor lalu sambil membentak nyaring
dia lancarkan sebuah pukulan ke depan.
"Blaaaam!" lapisan batu itu mencelat ke depan, sedang Siau Jit berikut pedangnya meluncur
keluar. Disaat bersamaan, pedangnya sudah dilintangkan didepan dada untuk melindungi seluruh
bagian tubuhnya. Tubuhnya melambung setinggi satu tombak lebih, ketika meluncur ke luar, Siau Jit dapat
melihat dengan jelas bahwa pintu keluar dari ruang rahasia itu terletak disisi serambi
ruangan, menjadi satu dengan sebuah lampu batu, sekeliling sana pun tak nampak manusia.
Lui Sin menyusul ikut melompat keluar, setelah menyapu sekejap tempat itu, serunya:
"Pintu rahasia ini dibuat amat sempurna"
"Betul" sambung Han Seng yang baru melompat keluar, "sekalipun kita sudah berulang kali
melewati serambi ini, ternyata tak pernah menaruh curiga dengan lamu batu itu"
"Tentu saja kita tak menaruh perhatian, karena memang tak ada kebutuhan untuk menggeser
lampu itu" Sembari menggeser kembali lampu batu itu ke posisi semula, ujar Siau Jit:
"Lebih baik kita tutup kembali pintu keluar ini, siapa tahu suatu hari kita masih
membutuhkannya" Lui Sin mengangguk. "Si Kelelawar telah membuang banyak waktu, tenaga, pikiran dan beaya untuk membangun ruang
bawah tanah, memang tidak mungkin dia tinggalkan dengan begitu saja, setelah periksa
keadaan Lau Ci-he, lebih baik kita balik lagi kemari untuk memeriksa lebih seksama, bila
beruntung, siapa tahu bisa bertemu dengan si Kelelawar!"
Siau Jit mengiakan dan segera tinggalkan tempat itu.
Lui Sin dan Han Seng mengintil dibelakangnya dengan ketat.
Ketika mereka bertiga balik kembali ke ruang utama kuil Thian-liong-ku-sat, apa yang
terlihat didepan mata membuat paras muka mereka sekali lagi berubah.
Tadi, mereka tinggalkan kuda tunggangan ditengah semak dalam halaman luar bangunan kuil,
kini, walaupun binatang tunggangan itu tidak pergi jauh, namun semuanya sudah roboh
terkapar. Ke tiga ekor kuda itu tidak terkecuali, semuanya muntah darah, tergeletak ditengah semak
dan sama sekali tak bergerak.
Dengan sekali lompatan Siau Jit menghampiri kuda tunggangannya, ketika diperiksa, ia
jumpai sebuah bekas telapak tangan berwarna ungu kehitam hitaman tertera diatas tengkuk
kuda. Keadaan dari kuda tunggangan Lui Sin maupun Han Seng tidak jauh berbeda.
Setelah memeriksa sejenak, sambil menarik napas dingin gumam Siau Jit:
"Sebuah pukulan yang amat jahat dan keji!"
"Aku lihat mirip sekali dengan ilmu pukulan Tay-jiu-eng-kang dari aliran Mit-oong?" kata
Lui Sin dengan kening berkerut.
"Yaa, memang mirip sekali"
"Mungkinkah si Kelelawar yang melancarkan serangan mematikan ini?"
"Bila perbuatan Kelelawar, tak diragukan lagi tujuannya adalah untuk memperlambat
kedatangan kita di kediaman Lau Ci-he"
"Jangan jangan selama ini dia bersembunyi terus disekitar sini dan mendengar pembicaraan
kita dalam ruang rahasia tadi?"
"Bila begitu, orang ini amat berbahaya, bukan saja teliti dalam bertindak bahkan amat
licik" "Maksud saudara Siau, dia bahkan sudah mempertimbangkan petunjuk apa yang mungkin bisa
kita temukan dalam ruangan itu, dan menduga mungkin kita akan mencari Lau Ci-he untuk
mengorek keterangan?"
"Tapi orang ini pernah jadi orang idiot" seru Lui Sin.
"Siapa pula yang dapat memastikan sekarang dia telah berubah jadi bagaimana?"
"Lantas kita . . . . . . .."
"Segera berangkat" tukas Siau Jit, "sepanjang perjalanan nanti, bila bertemu kuda, mau
pinjam, mau beli bahkan bila perlu dirampas pun, kita harus dapatkan kuda tunggangan
dengan segera, bila tak menemukan, terpaksa ia lanjutkan perjalanan dengan berlari"
Lui Sin periksa sejenak keadaan cuaca, kemudian serunya:
"Dengan menunggang kuda tercepat pun, tengah malam nanti kita baru akan tiba ditempat
tujuan, moga moga saja kedatangan kita belum terlambat!"
Belum selesai ia bicara, Siau Jit telah melesat ke muka dengan kecepatan tinggi, Lui Sin
dan Han Seng segera menyusul dari belakang.
Mereka bertiga bagaikan tiga panah yang terlepas dari busur, melesat ke depan dengan
cepatnya. OoOoo Malam tidak terlalu kelam.
Angin musim gugur berhembus kencang, rembulan yang redup tergantung jauh diatas awan.
Suasana ditengah perkampungan sangat hening, dari empat orang yang ada, tiga diantaranya
sudah terlelap tidur, terkecuali Lau Ci-he.
Perkampungan itu terletak ditengah lembah, walaupun jarak dari kota terdekat tidak
terlampau jauh, namun tempat tersebut merupakan sebuah tempat yang sepi, terpencil dan
hening. Ayah Lau Ci-he adalah seorang pertapa, dialah yang membangun perkampungan ini, namun ia
tak pernah punya niatan untuk membiarkan putrinya berdiam terus disana.
Dia hanya memiliki seorang putri yakni Lau Ci-he, tak heran kalau sejak kecil sudah
memanjakan dirinya, kuatir putrinya diusik orang, maka sejak masih usia muda telah dilatih
kepandaian silat yang tangguh.
Dulunya dia adalah seorang jago pedang kenamaan dari perguruan See-hoa-kiam-pay, meski tak
suka mencari nama, namun lantaran hatinya yang luhur dan kungfunya yang lihay, dalam
deretan perguruan See-hoa-kiam-pay, ia termasuk tiga besar.
Lau Ci-he pun merupakan seorang peremuan berbakat bagus, ketika menginjak usia delapan
belas, dia telah mewarisi tujuh puluh persen ilmu silat ayahnya.
Karena itulah sang ayah dengan perasaan lega membiarkan dia berkelana dalam dunia
persilatan seorang diri. Apa mau dikata, kelananya dalam dunia persilatan bukan saja menghasilkan nama besar,
bahkan mendatangkan pula sebuah musibah yang amat besar.
Kalau dia tidak terlalu kesohor, tak mungkin si Kelelawar akan datang mencarinya.
Kalau sang Kelelawar tidak penuju kepadanya, ayahnya yang lihay pun tak bakal mati
ditangan Kelelawar. Akhirnya si Kelelawar memahat sebuah patung kayu yang persis dengan tubuhnya, tapi
meninggalkan sebilah golok Kelelawar untuk kenangan.
Dia merupakan satu diantara dua belas orang wanita yang paling disayang dan paling menarik
perhatian si Kelelawar. Mungkin ada sementara orang menganggap hal ini merupakan sebuah kebanggaan.
Tapi baginya, peristiwa ini merupakan satu aib yang sangat besar, satu penghinaan yang
sangat memalukan. Maka wataknya berubah jadi keji, tidak manusiawi, tindak tanduk dan sepak terjangnya keji,
telengas, tak kenal ampun.
Dan karena itu pula dia tak pernah lagi menggunakan Lau Ci-he sebagai namanya.
Hingga kini, dia tak pernah melupakan aib serta penghinaan ini, selama hampir sepuluh
tahun, meski banyak orang merasa keheranan dan tak bisa menebak siapa gerangan dirinya,
namun ia tak pernah bisa membohongi diri sendiri.
Lau Ci-he tak lebih hanya sebuah nama, sekalipun tidak digunakan, sesungguhnya bagi dia
sendiri tak jauh berbeda.
Manusia tetap manusia yang dulu, bukan karena tidak menggunakan lagi nama tersebut maka
semua aib dan penghinaan itu bisa tercuci bersih dan lenyap tak berbekas.
Mengingat serta mengenang suatu kejadian adalah sesuatu yang mudah, namun untuk melupakan
satu peristiwa, jelas bukan suatu hal yang gampang, kecuali dia berubah menjadi seorang
idiot. Tentu saja Lau Ci-he bukan orang idiot.
OoOoo Malam musim gugur yang sama, cahaya rembulan yang tak berbeda.
Ditengah malam seperti inilah, dulu ia bertemu Kelelawar, selama belasan tahun, setiap
bertemu musim gugur yang diterangi cahaya rembulan, perasaan ngeri, perasaan seram
bercampur gusar selalu muncul dan menyelimuti perasaan hatinya.
Dalam keadaan seperti ini, Lau Ci-he akan bersembunyi didalam kamarnya, menutup rapat
pintu dan jendela dan berusaha mengen dalikan perasaan ngeri, seram dan takutnya yang telah
mengakar. Tidak terkecuali pada malam ini.
Cahaya lentera yang menerangi ruangan, lembut bagai kedele, Lau Ci-he meski sudah
berbaring diatas ranjang namun belum terlelap tidur.
Dia mementang lebar matanya sambil memandang ujung kelambu, pikirannya kosong, dibawah
redupnya cahaya, ia tampak masih cantik bak bidadari, meski diantara jidatnya telah muncul
berapa kerutan. Dia tamak jauh lebih tua daripada usia sesungguhnya.
Perasaan takut atau gusar memang sangat gamang menggeroti usia, membuat seseorang lebih
cepat tumbuh tua. Begitu pula perasaan murung dan kesal.
Tapi ada berapa banyak manusia yang dapat melepaskan diri dari kesemuanya itu"
Oo0oo Kertas diatas daun jendela tampak putih pucat tertimpa cahaya rembulan, "Brrruk!" tiba
tiba muncul bayangan seekor Kelelawar diatas kertas yang pucat.
Spontan Lau Ci-he melompat bangun dari atas ranjang, menggerakkan tangan kirinya,
menyingkap kelambu didepan pembaringan.
Dalam waktu singkat diatas kertas jendela telah bertambah dengan begitu banyak bayangan
Kelelawar, "Brukk, bruuk....!" bunyi benturan bergema silih berganti.
Pucat pias wajah Lau Ci-he setelah menyaksikan kejadian itu, serta merta tangannya meraih
pedang yang selalu diletakkan disamping bantal.
Sarung pedang penuh bertaburkan batu permata, dari sarungnya saja sudah diketahui kalau
pedang andalannya adalah sebilah pedang kenamaan.
Bersamaan waktu tangan kanannya telah menggenggam diatas gagang pedangnya.
"Bruuk, brukkk....!" suara benturan masih bergema tiada hentinya, kemudian . . . . .. "Kraaak!"
tiba tiba saja daun jendela terbuka lebar, angin dingin segera berhembus masuk ke dalam
ruangan. Berapa ekor Kelelawar berbadan besar ikut terbang masuk melalui jendela yang terbuka.
Lau Ci-he mulai bergidik, mulai merinding, bulu kuduknya bangun berdiri, "sreeeet!" dengan
cepat ia cabut keluar pedangnya.
Mata pedang bening bagai air telaga, membiaskan cahaya tajam dibawah sinar lentera.
Dalam waktu singkat berapa ekor Kelelawar telah menerkam ke hadapannya.
Cepat perempuan itu menggerakkan pedang, melepaskan serangkaian babatan, cahaya pedang
yang berlapis membias diangkasa, dalam waktu singkat berapa ekor Kelelawar terbabat hingga
terbelah jadi dua bagian.
Kembali berapa ekor Kelelawar menerjang masuk lewat jendela yang terbuka, suara pekikan
aneh menggema dari empat penjuru, menggidikkan perasaan siapa pun yang mendengar.
Lau Ci-he membentak nyaring, tubuhnya melambung ke tengah udara, "Braaaaakl" ia terjang
atap rumah hingga jebol, tubuhnya langsung meluncur keluar dari ruangan.
Bagai anak panah yang terlepas dari busur dia melesat keluar, cahaya pedang berputar
melindungi badan, setelah bersalto di udara dan bergulingan diatas atap, dengan cepat ia
melejit sambil melompat bangun.
Suara tertawa yang menakutkan segera berkumandang dari samping tubuhnya.
Dengan cekatan Lau Ci-he berpaling, dan dia pun melihat si Kelelawar!
Kelelawar tanpa sayap! Saat itu sang Kelelawar berada dipuncak bangunan, bajunya yang berwarna putih berkibar
terhembus angin, rambutnya yang beruban ikut berkibar dimainkan angin malam.
Rembulan tepat bersinar dari belakang tubuhnya, dipandang sekilas, dia seolah hendak
terbang ke udara, meluncur ke dalam rembulan.
Dengan geram Lau Ci-he menatap Kelelawar, sambil menuding orang tua itu jeritnya:
"Kau, ternyata benar-benar kau!"
Kelelawar tertawa terkekeh.
"Lama tak bersua, apakah tubuhmu tetap langsing padat berisi seperti dahulu?"
Lau Ci-he tidak menjawab, namun tubuhnya yang terhembus angin tampak gemetar keras.
Kembali si Kelelawar berkata sambil tertawa:
"Kau tak usah takut, kedatanganku malam ini bukan untuk melucuti lagi pakaianmu . . . . . . . .."
"Tutup mulut!" hardik Lau Ci-he.
Suaranya yang merdu kini berubah seakan bukan suaranya lagi, suara itu berubah karena
terkejut bercampur marah yang membara, dia bahkan seolah telah berubah menjadi orang
kedua. Dari balik pupil matanya terpancar amarah yang membara, namun terselip pula perasaan
takut, ngeri yang luar biasa.
"Sudah begitu lama kita tak bersua, tentunya harus berbicara secara baik baik bukan?" ucap
Kelelawar. "Apakah kau belum cukup mencelakai aku" Mau apa lagi kau datang mencari aku?" teriak Lau
Ci-he keras. Si Kelelawar menggeleng. II "Kau keliru besar katanya, "bukan saja aku tidak mencelakaimu, bahkan telah kubuatkan
sebuah patung yang indah sebagai kenangan, kau seharusnya berterima kasih kepadaku!"
Saking gusarnya Lau Ci-he tertawa keras.
"Terima kasih, aku memang amat berterima kasih, sayang selama ini aku tak punya kesempatan
untuk menyampaikan rasa terima kasihku padamu, karenanya aku selalu merasa menyesal"
"Dengan cara apa kau hendak berterima kasih padaku?" tanya Kelelawar sambil tertawa,
"apakah hendak membacok batok kepalaku dengan pedangmu itu?"
"Kalau hanya membacok batok kepalamu, bagaimana mungkin bisa menyatakan rasa terima
kasihku?" Lau Ci-he tertawa dingin.
"Lantas apa yang hendak kau lakukan?"
"Akan kucincang tubuhmu hingga hancur berkeping, kemudian membakar tulangmu hingga hancur
menjadi abu!" sumpah Lau Ci-he sambil menggigit bibir.
Kelelawar segera menghela napas panjang.
"Aaai, ternyata kau begitu membenciku, untung selama ini aku mempunyai tempat yang aman
untuk bersembunyi" "Perkamungan Suma-san-ceng?"
"Hahaha, ternyata tidak sedikit urusan yang kau ketahui"
"Bukankah kau telah menjadi orang idiot?" tanya Lau Ci-he sambil menatap tajam wajahnya.
"Justru karena itulah aku dapat hidup hin gga sekarang, jago berhati pendekar macam suma
Tionggoan tak bakal turun tangan keji terhadap seorang manusia idiot"
"Padahal kau sama sekali tidak idiot"
Kelelawar tertawa seram. "Mereka adalah orang orang lihay, kalau tidak berlagak idiot, mana mungkin bisa
mengelabuhi orang orang itu?"
"Maksudmu, dalam keadaan terluka parah, kau hanya sementara waktu berubah jadi manusia
idiot, ketika lukamu telah sembuh, dengan cepat pikiranmu pulih kembali jadi normal?"
"Padahal proses berjalan tidak terlalu cepat!"
Lau Ci-he tertawa dingin.
"Sejak awal aku sudah berkata, Suma Tionggoan hatinya kelewat lembut, persis seperti
pikiran wanita" "Sayangnya mereka para cianpwee enghiong hohan selalu menganggap tinggi pendapat dan
pandangannya, tak bakal akan menaruh perhatian atas pandangan kaum muda"
"Sayang dia mati kelewat cepat, kalau tidak biar tahu apa akibatnya bila punya pikiran
kelewat lembek seperti pikiran wanita"
"Yaa, memang patut disayangkan"
-n "Sayangnya lagi, aku sama sekali tak tahu kalau pikiranmu telah normal kembali lanjut Lau
Ci-he, "kalau tidak, akulah orang pertama yang akan menyerbu masuk ke dalam perkampungan
Suma-san-ceng dan menghabisi nyawamu"
"Betul, betul sekali" si Kelelawar mengangguk, "memang hal ini patut disayangkan"
"Manusia laknat berhati iblis macam kau ternyata mempunyai nasib sebagus itu, bila Thian
punya mata, aku benar benar tak percaya dengan kenyataan ini" keluh Lau Ci-he pedih.
Kontan saja si Kelelawar tertawa tergelak.
"Hahaha, bila Thian punya mata, Dia tak nanti akan membiarkan manusia macam aku lahir di
dunia ini" "Thian memang tak punya mata, masih dibilang jaring langit tersebar diseantero jagad,
ll manusia dosa tak akan luput dari hukuman..... makin bicara, Lau Ci-he merasa makin geram.
"Kau tak usah mengutuk langit, bila tiada manusia jahat macam diriku, darimana kalian bisa
tahu betapa menarik dan indahnya manusia manusia baik?"
Lau Ci-he terbungkam. Kembali Kelelawar berkata:


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena ada jahat, kebaikan baru terlihat keindahannya, sekalipun kemauan takdir memang
tak adil, sesungguhnya mengandung arti, makna dan tujuan yang mendalam"
Lau Ci-he semakin tak mampu bicara.
Kembali si Kelelawar berkata:
"Aku sadar, bila kau tahu kalau aku berada dalam perkampungan Suma-san-ceng, sudah pasti
timbul keinginanmu untuk datang membunuhku"
"Sayang aku tak bisa masuk ke sana"
"Ilmu barisan yang dimiliki Suma Tionggoan memang sangat hebat, dia patut diacungi jemol"
"Dalam kenyataan kau berhasil melarikan diri, aku percaya dalam alam baka pun dia tak bisa
beristirahat dengan mata meram"
"Sudah seharusnya dia tahu kalau manusia semacam aku tak gampang untuk diselesaikan dengan
begitu saja" Lau Ci-he menghela napas panjang.
"Menurut aku, Suma Tionggoan lah manusia idiot sesungguhnya!"
Mendengar itu, si Kelelawar tertawa tergelak.
Sambil menarik muka, sepatah demi sepatah ujar Lau Ci-he:
"Sejak awal aku sudah berniat untuk membuat perhitungan denganmu, kebetulan sekali kau
datang hari ini, dengan begitu keinginanku dapat terkabulkan"
"Kau masih bukan tandinganku" ejek Kelelawar sambil tertawa.
"Bukan tandingan atau tidak, hingga sekarang masih merupakan sebuah tanda tanya besar"
"Wah, kelihatannya selama banyak tahun terakhir, kau telah membuang banyak pikiran dan
tenaga untuk memperdalam ilmu silatmu"
"Dan malam ini, aku pun tidak meneguk arak iblis Kelelawar mu"
"Sekalipun begitu, kau tetap masih bukan tandinganku"
Lau Ci-he tertawa dingin.
Kelelawar termenung berapa saat, katanya kemudian:
"Aku sama sekali tak berniat membunuhmu, kalau tidak, pada pertemuan pertama aku telah
menghabisi nyawamu" Mau tak mau Lau Ci-he harus mengakui bahwa apa yang ia katakan memang merupakan satu
kenyataan. "Kau pun seharusnya tahu bahwa aku termasuk seoran g lelaki yang mengerti bagaimana
mengasihi dan menyayangi wanita cantik" si Kelelawar menambahkan.
"Lantas mau apa malam ini kau datang kemari?" hardik Lau Ci-he.
"Datang untuk minta kembali semacam benda"
"Golok Kelelawar?" seru Lau Ci-he tanpa sadar.
"Betul, golok Kelelawar, golok Kelelawar yang pernah kuhadiahkan kepadamu waktu itu"
Lau Ci-he keheranan, ia sampai terperangah.
Tedengar si Kelelawar berkata lebih jauh:
"Golok itu telah kuhadiahkan kepadamu, sesungguhnya tidak pantas bila kuminta kembali"
Lau Ci-he hanya tertawa dingin, sama sekali tidak menanggapi.
Kembali si Kelelawar berkata:
"Tapi sekarang, mau tak mau aku harus minta kembali golok Kelelawar itu"
"Kenapa?" tanya Lau Ci-he tanpa sadar.
"Aku tak bisa menjawab, itu rahasiaku"
Kontan Lau Ci-he tertawa dingin.
"Bukankah kau amat membenciku" Muak padaku" Dendam padaku" Seharusnya kau tak ambil peduli
dengan golok Kelelawar itu bukan?" lanjut si Kelelawar sambil tertawa.
"Apa maksudmu?"
"Seharusnya kau tak peduli bila menyerahkan kembali golok itu kepadaku"
"Kau seakan sudah melupakan semua perkataan yang pernah diucapkan waktu itu" jengek Lau
Ci-he sambil tertawa dingin.
"Tidak, aku pernah berkata, golok Kelelawar itu terkait dengan sejumlah harta karun yang
tak ternilai jumlahnya, aku menghadiahkan golok itu untuk perempuan yang paling kucintai
karena aku ingin menggunakan benda itu untuk membayar semua kerugian yang telah mereka
derita" "Kau memang mengatakan begitu waktu itu"
"Aku bahkan pernah berkata, hanya perempuan pintar yang bisa mengetahui rahasia dibalik
kesemuanya itu, dan bila ia masih mendendam maka ia bisa menggunakan harta karun tersebut
untuk menciptakan sebuah bencana besar yang amat menakutkan"
"Aku percaya inilah tujuan utama mu!"
Si Kelelawar menghela napas.
"Aaai, tapi sepuluh tahun sudah lewat dan kalian tak ada yang berhasil mengetahui rahasia
itu, maka pada akhirnya aku putuskan untuk menarik kembali semua golok Kelelawar yang ada"
Nada suaranya berat dan serius, bahkan terselip perasaan terpaksa dan apa boleh buat.
"Hanya disebabkan alasan itu?" tanya Lau Ci-he sambil menatap dingin wajah Kelelawar.
"Waktu selama sepuluh tahun sudah lebih dari cukup, tapi terbukti kalian tak pernah
berhasil menemukan rahasia yang terkandung, hal ini kalau bukan disebabkan kalian kelewat
bodoh, berarti kalian memang tak punya rejeki untuk menikmati harta karun yang telah
kutinggalkan" Lau Ci-he kembali tertawa dingin.
"Kau yang membuat golok itu, kenapa pula harus menarik kembali golok tersebut" Memangnya
kau sudah lupa dimana harta karun itu kau pendam?"
"Mana mungkin aku lupa" si Kelelawar menggeleng, "golok tersebut harus kuminta kembali
karena benda itulah merupakan anak kunci untuk membuka pintu gerbang ruang harta"
"Ooh....." "Ada orang berkata, perempuan yang pintar jarang berparas cantik, perempuan yang berparas
cantik jarang berotak encer, kalau dipikirkan kembali sekarang, rasanya ucapan itu memang
sangat masuk diakal"
"Lelaki pun sama saja"
balas Lau Ci-he tertawa dingin, "contohnya makhluk tua jelek busuk
macam kau, kalau sudah bertampang sejelek inipun masih tak berotak, hahaha, benar benar
kelewat tragis dan menyedihkan"
Ternyata si Kelelawar tidak naik darah, emosi pun tidak.
Kembali Lau Ci-he berkata:
"Kejadian ini sudah lewat sepuluh tahun, aneh dan luar biasa bila kau si mata buta masih
mampu menarik kembali semua golok yang pernah dihadiahkan kepada orang lain"
Si Kelelawar tertawa seram.
"Ketika akan menghadiahkan golok itu kepada orang lainpun, aku telah menghabiskan banyak
waktu dan pikiran, tidak gampang untuk menemukan seorang wanita cantik, apalagi berjumlah
dua belas orang, toh pada akhirnya tujuanku tercapai juga. Jadi sekarang, meski agak sulit
untuk menarik kembali golok golok itu, pada akhirnya aku yakin tetap akan berhasil"
Dia berbicara dengan nada yang begitu yakin, memang tidak gampang bagi seorang buta untuk
memiliki keyakinan sedemian besar.
Kembali Lau Ci-he tertawa dingin.
"Aneh jika malam ini kau masih bisa tinggalkan tempat ini dalam keadaan bernyawa" ejeknya.
"Sepuluh tahun tak bersua, seharusnya ilmu silat yang kau miliki sudah bertambah maju?"
II "Tidak sulit bila kau ingin tahu dengus Lau Ci-he sambil memutar pedangnya.
"Betul, memang gamang sekali" setelah bertepuk tangan dan tertawa, lanjut si Kelelawar,
"tapi sayangnya, sepuluh tahun berselang kau sudah bukan tandinganku, percaya saat inipun
sama saja" "Kau seperti lupa, dengan cara apa kau membekukku pada sepuluh tahun berselang" seru Lau
Ci-he sambil mendengus. "Hahaha, karena kuatir merusak dan melukai tubuhmu yang cantik dan menawan, aku memang
telah menggunakan arak Kelelawar"
"Atau dengan perkataan lain, sejak waktu itu kau sudah tak yakin mampu menaklukkan aku
dengan ilmu silat" "Oleh karena dibatasi oleh rasa takut rusak dan terluka, tentu saja aku tak bisa bertarung
seenaknya, tapi keadaan sekarang jauh berbeda, apa pun yang bakal menimpa dirimu, itu
bukan urusanku lagi, aku tak ambil peduli"
"Bila terpaksa kau ingin membunuhku?"
"Oleh sebab itu lebih baik kau serahkan kembali golok itu, akupun dengan senang hati akan
mengampuni selembar jiwamu"
"Golok itu sudah kubuang!"
"Tidak mungkin" si Kelelawar menggeleng, "tak seorang manusia pun yang bisa tahan
menghadapi godaan harta karun dalam jumlah besar, paling tidak hingga sekarang aku belum
pernah bertemu dengan seorang manusia macam ini"
"Sekarang kau telah bertemu seorang diantaranya"
Si Kelelawar hanya tertawa, tiba tiba ia menggetarkan tangannya, seekor Kelelawar segera
terbang keluar dari balik sakunya dan langsung menerkam Lau Ci-he.
Cahaya tajam berkelebat, Lau Ci-he telah membabat tubuh Kelelawar itu hingga terbelah jadi
dua bagian. Si Kelelawar mendengarkan dengan seksama, kemudian pujinya sambil tertawa:
"Ilmu pedang bagus, sayang kalau dibandingkan aku, kepandaian mu masih ketinggalan jauh"
Lau Ci-he hanya tertawa dingin tanpa menjawab.
Saat itulaah dari tengah halaman dibawah atap rumah telah muncul tiga sosok tubuh manusia,
seorang nenek berwajah penuh keriput dengan rambut berubah serta dua orang dayang kecil.
Mereka semua sudah lama mengikuti Lau Ci-he, kepandaian silat yang dimiliki pun terhitung
hebat, sementara si nenek adalah inang pengasuh dari Lau Ci-he, dia terhitung seorang
cianpwee dalam partai See-hoa-kiam-pay dan merupakan seorang jago pedang.
Mengapa seorang cianpwee berilmu tinggi rela menjadi orang bawahan" Mungkin hanya dia
sendiri yang dapat menjawab pertanyaan itu.
Ketika Lau Ci-he menjebol atap rumah untuk keluar dari ruangan tadi, ke tiga orang itu
segera terbangun dari tidurnya karena kaget dan tergopoh gopoh menyusul ke situ.
Kini pedang telah diloloskan dari sarung, setiap saat satu pertarungan sengit segera akan
berkobar. Terlebih si nenek itu, dia ibarat anak panah yang terpasang di gendawa, setiap saat bakal
melesat ke luar.


Tampaknya si Kelelawar sama sekali tak ambil peduli dengan kehadiran ketiga orang itu,
bukan saja tidak menggubris, bahkan masih mengajak bicara Lau Ci-he dengan santainya.
Tampak ia menghela napas dan berkata lagi:
"Golok itu sejak semula adalah barang milikku, lebih baik kembalikan saja, buat apa kau
musti menyerempet bahaya?"
Lau Ci-he tertawa dingin.
"Kalau dilihat tamangmu, rasanya kau tak mirip orang idiot, kenapa caramu berbicara
justru lebih mirip orang idiot"
"Aku memahami maksud hatimu"
II "Saat seperti ini sudah lama kunantikan kata Lau Ci-he sambil menyentil pedangnya.
"Aku rasa persoalan ini adalah persoalan pribadimu"
"Tentu saja" "Kalau begitu lebih baik kau suruh ke tiga orang yang berada ditengah halaman itu untuk
menyingkir dari sini"
"Tanpa perintahku, mereka tak akan berani turun tangan" sahut Lau Ci-he dengan perasaan
tercekat. "Benarkah begitu?" tanya si Kelelawar sambil tertawa.
"Apa maksudmu?"
"Masa kau tidak merasakan hawa pembunuhan yang terpancar dari tubuh mereka?" kemudian
sambil berpaling ke arah si nenek yang sedang berdiri dengan mata berapi api, lanjutnya,
"aku percaya ilmu silat yang dimiliki orang ini sama sekali tidak berada dibawah
kemampuanmu" Berkilat sepasang mata Lau Ci-he, segera bentaknya:
"Lolo, kau dan mereka segera mundur dari sini!"
"Siocia, terhadap manusia semacam ini, buat apa kau musti mentaati peraturan dunia
persilatan" teriak nenek itu.
"Dia hanya tak ingin menyaksikan kalian menghantar nyawa dengan percuma" tukas si
Kelelawar. "Beruntung sekali, aku memang sudah bosan hidup" jengek si nenek sambil tertawa dingin.
"Kalau memang sudah bosan hidup, itu mah kebenaran, kemari, biar kubantu kau untuk
memenuhi keinginan itu!"
Si nenek tertawa dingin, tubuhnya melesat keatas genting dengan kecepatan tinggi, sebuah
tusukan maut langsung dilontarkan ke tubuh si Kelelawar.
Tampak cahaya pedang berkelebat bagai halilintas, jangan lihat usia nenek itu sudah
lanjut, ternyata gerak geriknya masih lincah dan cekatan.
Begitu mendengar suara desingan tajam, sang Kelelawar segera mementangkan sepasang
bajunya, bagai seekor Kelelawar yang sedang pentang sayap, dia terbang ke tengah udara.
Merasa kehilangan jejak, nenek itu segera menjejakkan kembali kakinya diatas wuwungan
rumah, "Sreeet, sreeet, sreeeet . . . . . .. secara beruntun dia lancarkan sebelas buah
tusukan. Tusukan yang dilancarkan makin lama semakin cepat, hampir semuanya ditujukan untuk
merenggut nyawa lawan. Si Kelelawar mengebaskan ujung bajunya berulang kali, tubuhnya yang berada ditengah udara
berapa kali berganti posisi, ternyata secara mudah sekali dia berhasil menghindarkan diri
dari ke sebelas tusukan maut itu.
"Hebat kamu hei si buta!" teriak nenek itu, badannya berputar bagai gangsingan, tubuhnya
yang menyatu dengan pedang melancarkan satu tusukan bagai bianglala terbang.
Tusukan itu melesat lewat persis dari atas kepala si Kelelawar, namun kembali ancaman itu
berhasil dihindari. "Siapa kau?" hardik si Kelelawar sambil melayang turun.
"Bukan urusanmu!" selama mengucapkan perkataan itu, kembali si nenek melancarkan tiga
puluh enam buah tusukan. Si Kelelawar berputar kencang menghindarkan diri, serunya:
"Lagi lagi ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat!"
"Kalau benar lantas kenapa?" serangan yang dilancarkan nenek itu semakin gencar.
Sambil tertawa Kelelawar itu melanjutkan:
"Ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat memang bagus dan hebat, tapi sayang bukannya tanpa titik
kelemahan!" Begitu meluncur ke bawah, tubuhnya berputar kencang, ibu jari tangan kanannya menyentil ke
depan, "Traaangl"
dengan telak dia sentil punggung pedang lawan, membuat gerak serangan
nenek itu segera melenceng ke samping.
Berubah hebat paras muka nenek itu.
"Aku tak percaya kalau kau benar benar buta" teriaknya.
"Semua orang tahu kalau aku buta, buat apa kau musti menanyakan lagi hal tersebut?"
"Sambut lagi ke tiga buah seranganku ini!" bentak si nenek gusar.
Pedangnya ditarik sejajar dada, begitu serangan pertama dilancarkan, ia miringkan badan
sambil melancarkan serangan kedua dengan jurus "Lei-hi-to-ceng-po" (ikan lei menembus
ombak), setelah itu pergelangan tangannya ditarik ke bawah, dari sisi ketiak dia lepaskan
tusukan ke tiga. Tusukan yang satu lebih hebat dari tusukan sebelumnya, sudut dan posisi yang digunakan pun
merapat satu dengan lainnya, kecepatan dan kelincahannya sama sekali tak seimbang dengan
usianya. Si Kelelawar kontan tertawa tergelak.
"Hahaha.... rupanya inti sari dari ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat terhimpun didalam ke tiga
buah serangan itu" Ditengah gelak tertawa, ia mengguling ke samping sambil berputar bagai roda kereta, dengan
cekatan lagi lagi ia berhasil menghindarkan diri dari ke tiga serangan itu.
Tampaknya dia sangat memahami akan seluk beluk ilmu pedang See-hoa-kiam-hoat, bukan saja
dapat bergerak santai bahkan cara berkelit pun tepat sasaran.
Paras muka si nenek berubah makin hebat, begitu pula dengan Lau Ci-he yang mengikuti
jalannya pertarungan, dengan wajah berubah memucat, tanpa ragu lagi dia membentak nyaring,
satu serangan segera dilancarkan.
Gerak serangan yang ia pergunakan jauh lebih ganas, kejam dan telengas daripada serangan
nenek itu. Kalau si nenek dalam serangan mengandung pertahanan, dibalik pertahanan terselip serangan,
maka serangan yang dilancarkan Lau Ci-he sangat mematikan, pada hakekatnya dia hanya tahu
membunuh musuh tanpa pedulikan keselamatan sendiri.
Dengan begitu pertahanan seluruh tubuhnya jadi terbuka, bila orang lain berniat
menusuknya, mungkin sulit baginya untuk meloloskan diri dari serangan itu.
Dalam sepuluh tahun terakhir, dengan sistim pertarungan semacam inilah ia berhasil merebut
sebutan sebagai pembunuh wanita, tapi ketika digunakan untuk menghadapi si Kelelawar, ilmu
pedang adu nyawa semacam ini pada hakekatnya sama sekali tak berguna.
Ditengah kepungan cahaya pedang, ia mencelat ke tengah udara, sekilas cahaya setengah
lingkaran pun muncul secara tiba tiba membelah angkasa.
Akhirnya dia mencabut keluar golok Kelelawar miliknya.
Serentak kedua orang dayang cilik itu maju meluruk, melihat itu buru buru Lau Ci-he
menghardik: "Mundur kalian!"
Belum selesai dia membentak, si Kelelawar sudah melayang turun diantara kedua orang dayang
tadi. Diiringi bentakan nyaring, kedua orang dayang itu memutar pedangnya melancarkan tusukan.
Tiba tiba si Kelelawar menghela napas panjang.
Baru saja suara helaan napas itu bergema, cahaya lengkung tampak berkelebat, pedang yang
berada ditangan seorang dayang terpapas kutung jadi dua, diikuti tenggorokan gadis itu
tersayat sabetan golok, darah segar pun menyembur keluar membasahi permukaan tanah.
Buru buru Lau Ci-he dan nenek itu maju menolong, belum lagi serangan mereka berdua tiba
disasaran, pedang milik dayang kedua itu sudah terpapas kutung, satu sabetan golok yang
persis membelah alis matanya membuat dayang cilik itu menjerit kesakitan lalu roboh
terkapar. Kembali golok Kelelawar ditarik balik untuk menyongsong datangnya serangan pedang dari Lau


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ci-he, dengan langkah tujuh bintang ia mengigos dari ancaman ke tiga belas tusukan maut si
nenek, tiba tiba badannya berputar satu lingkaran, "Wessss!" ditengah kilauan cahaya
golok, hancuran baju beterbangan di angkasa.
Si Kelelawar kembali melambung sambil memutar pinggang, "Cring!" ia hindari tusukan pedang
lawan, sementara tangan kirinya menyodok masuk, tahu tahu dia sudah cengkeram urat nadi
pada pergelangan tangan kanan si nenek yang menggenggam pedang.
Tak ampun pedang itu terlepas dari cekalan, belum sempat si nenek menjerit kaget, golok
Kelelawar sudah ditemelkan diatas tengkuknya.
"Berhenti!" hardik si Kelelawar sambil membalik tubuh.
Tidak sempat memberikan pertolongan, terpaksa Lau Ci-he menghentikan serangannya.
"Serahkan golok itu, aku tukar dengan nyawa orang ini!" ujar si Kelelawar cepat.
Belum sempat Lau Ci-he menjawab, mendadak nenek itu berteriak keras:
"Jangan mimpi!"
Tengkuknya disodokkan kearah mata golok, percikan darah segera menyembur ke empat penjuru,
ternyata ia telah bunuh diri diujung golok Kelelawar.
Untuk sesaat si Kelelawar berdiri tertegun, memanfaatkan kesempatan itu Lau Ci-he
melancarkan sebuah tusukan kilat ke dep an.
Tampaknya sulit bagi si Kelelawar untuk menghindari tusukan itu, siapa sangka disaat yang
kritis, tiba tiba ia betot tubuh nenek itu dan dihadangkan dihadapannya.
"Creett!" ujung pedang langsung menghujam diatas dada nenek itu hingga tembus ke
punggungnya. Lau Ci-he menjerit kaget sambil mencabut pedangnya, sayang si Kelelawar bertindak lebih
cepat, ia telah menjepit ujung pedang itu kuat kuat.
Perubahan yang terjadi berlangsung dalam kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata,
namun didalam kenyataan, si Kelelawar telah melakukannya.
Seorang lelaki buta ternyata mampu melakukan hal yang mustahil, benar benar sebuah
kejadian yang sukar diterima dengan akal sehat.
Gerakan tubuh si Kelelawar tidak berhenti sampai disitu, kembali ia membetot sambil
berputar, tak tahan tubuh Lau Ci-he ikut berputar bersama mayat nenek itu.
Kembali si Kelelawar menyentilkan jari tangannya, langsung menyentil diatas urat nadi
ditangan kanan gadis itu.
Mau tak mau Lau Ci-he harus lepas tangan, cakar burung si Kelelawar pun segera berputar
cepat, mencengkeram tengkuk si nona.
Lima jari tangannya yang dingin kaku, bagaikan lima ekor ular berbisa, tahu tahu
mencengkeram lehernya. Lau Ci-he betul betul terkesiap, ia merinding, bergidik, bulu kuduknya pada berdiri.
Pendekar Bayangan Malaikat 1 Rajawali Emas 54 Tengkorak Berbisa Api Di Bukit Menoreh 14
^