Pencarian

Kelelawar Tanpa Sayap 7

Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying Bagian 7


Tang-shia terkunci diluar, perubahan ke empat membabat ke bawah, perubahan ke lima
berputar kencang lalu pedang itu pun menusuk ke dalam perut perempuan itu.
Semua perubahan berlangsung dengan kecepatan luar biasa, sebab bila Siau Jit tidak
menggunakan gerakan ke tujuh dari ilmu pedang pemutus ususnya, dia pasti akan tewas
tertembus tusukan pedang Suma Tang-shia yang mengarah tenggorokannya.
Dan begitu serangan dilancarkan, maka tiada peluang lagi baginya untuk membatalkan.
Bahkan dia sendiripun tak sanggup mengendalikan perubahan dari gerak serangannya.
"Triiiingl" pedang dalam genggaman Suma Tang-shia terjatuh ke tanah, kemudian sepasang
tangannya digunakan untuk memegangi perut sendiri.
Serangan telah berhenti, pedang pemutus usus telah dicabut keluar dari perut Suma
Tang-shia, semburan darah segar pun berhamburan dari balik mulut luka.
Ketika tetesan darah pertama belum jatuh ke tanah, Siau Jit telah menancapkan pedangnya
ditanah, dia gunakan sepasang tangannya untuk merangkul tubuh Suma Tang-shia sambil
jeritnya: "Toaci . . . . . . .."
"Ubah panggilanmu!"
"Tak mungkin bisa dirubah!" dengan cepat Siau Jit menotok berapa buah jalan darah penting
ditubuh perempuan itu. Suma Tang-shia tertawa sedih, ujarnya:
"Tahukah kau, semuanya itu tak berguna, orang pintar macam kau, kenapa harus melakukan
perbuatan sebodoh ini?"
Siau Jit tak sanggup berkata kata lagi.
Setelah menghela napas ujar Suma Tang-shia:
"Aku tahu, tujuh jurus ilmu pedang pemutus usus mu pasti dapat mematahkan tiga jurus ilmu
pedang pengejar nyawa dari keluarga Suma, sungguh tak kusangka perubahan pedangmu ternyata
begitu banyak dan tak terhingga"
Nada suaranya telah berubah sedikit parau.
Siau Jit menghela napas panjang, bisiknya:
"Toaci . . . . . .. "Sudah berulang kali kusaksikan ilmu pedang pemutus usus mu, dalam perkiraanku semula, aku
telah berhasil menguasahi semua perubahan yang kau lakukan, ternyata..... kau memang
jagoan masa depan, aku tak mampu menandingimu!"
"Kepandaian toaci pun tak kalah hebatnya"
Suma Tang-shia menggeleng, ujarnya:
"Kalau bukan aku pernah melihat jurus pedangmu, ilmu pedang pengejar nyawa dari keluarga
Suma paling banter hanya mampu menyambut lima jurus seranganmu"
Setelah tertawa lanjutnya:
"Nama besar ilmu pedang pemutus usus ternyata memang bukan nama kosong, Siau kecil,
kepandaianmu luar biasa"
Senyumannya kelihatan begitu sendu dan pedih, membuat Siau Jit merasakan hatinya hancur
lebur, keluhnya: "Toaci, sejujurnya aku tak ingin membunuhmu"
"Sayang kau sama sekali tak mampu mengendalikan perubahan dari gerak seranganmu, dan
sungguh beruntung kau tak mampu mengendalikan, kalau tidak bukan aku yang mati, melainkan
kau!" Setelah tertawa merdu, tambahnya:
"Sejak awal aku sudah pengen mati diujung pedangmu, sekarang harapanku sudah terkabulkan,
apa lagi yang harus kukatakan"
Senyuman itu kelihatan begitu manja dan menawan, namun dalam pandangan Siau Jit justru
terasa begitu memedihkan, begitu memilukan hati.
Sambil tertawa bisik Suma Tang-shia:
"Siau kecil, kau harus baik baik jaga diri . . . . . . . .."
Belum selesai berkata, kepalanya sudah roboh ke samping, dengan senyuman masih dibibir ia
menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Siau Jit.
Ketika matanya terpejam, tiba tiba air mata meleleh keluar membasahi pipinya.
Siau Jit tidak bergerak, diapun tak bersuara, hanya berdiam diri disitu bagai patung.
Menyaksikan hal itu, Han Seng dan Lui Sin merasa ikut bersedih hati, untuk berapa saat
mereka ikut berdiri termangu.
Angin berhembus masuk lewat jendela, cuaca diluar kamar tampak semakin hitam pekat,
biarpun malam belum mencapai ujungnya namun jaraknya dengan fajar masih amat jauh.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Siau Jit menghembuskan napas dan menggunakan
tangannya untuk mengusap air mata di wayah Suma Tang-shia.
Air mata belum mengering, tapi sudah berubah jadi dingin karena tiupan angin malam.
Kulit badan Suma Tang-shia mulai berubah jadi dingin dan kaku, tanpa mengucapkan sepatah
kata pun Siau Jit membopong jenasah Suma Tang-shia, bergeser ke depan pembaringan dan
membaringkannya disana. Dia menarik selimut yang ada dipembaringan dan ditutupkan ke tubuh Suma Tang-shia, sesudah
menurunkan kelambu baru mundur dari situ.
Kini pakaian berwarna putih yang dia kenakan telah berpelepotan darah, itulah pakaian yang
dijahit Suma Tang-shia untuk dirinya, bahkan perempuan itu pula yang membantunya untuk
kenakan, tapi sekarang telah dinodai oleh darah dari Suma Tang-shia.
Kalau dibilang inilah kehendak takdir, rasanya kelewat ironis, kelewat memedihkan hati.
Siau Jit berjalan menghampiri pedangnya, mencabut keluar pedang pemutus usus itu dari
tanah, tiada noda darah barang setetespun yang membasahi senjatanya.
Setelah menghela napas panjang, katanya:
"Mari kita pergi!"
"Pergi ke mana?" tanya Lui Sin seolah baru mendusin dari impian buruk.
"Thian-liong-ku-sat!"
Kembali Lui Sin tertegun.
"Mau apa pergi ke kuil Thian-liong-ku-sat?"
"Mencari Kelelawar"
"Kelelawar gadungan?"
"Mungkin saja yang asli pun berada disana"
"Mana mungkin mereka akan pergi ke kuil Thian-liong-ku-sat?" tanya Han Seng keheranan.
"Tentu saja, karena mereka sedang mencari harta karun milik Kelelawar"
Ia berbicara dengan nada yakin, membuat Han Seng dan Lui Sin yang mendengar jadi
tercengang, belum sempat bertanya, Siau Jit telah berkata lagi:
"Ciu Kick bukan tewas ditangan Suma Tang-shia"
"Tadi, Suma Tang-shia sudah mengakui" sahut Han Seng.
"Tak diragukan lagi, sang pembunuh adalah si Kelelawar . . . . .. Kelelawar tanpa sayap
gadungan" "Seharusnya begitu"
"Setelah membunuh Lau Ci-he dan merampas golok Kelelawar milik gadis itu, seharusnya dia
mendahului kita dengan pergi mencari Hek Botan dan Pek Hu-yung, tapi nyatanya dia malah
terburu buru balik kemari, hal ini hanya menjelaskan akan satu hal"
Tergerak hati Han Seng. "Apakah dengan mendapat tambahan golok Kelelawar milik Lau Ci-he, ia telah menemukan
rahasia yang berada dalam golok golok tersebut?"
Siau Jit mengangguk. "Padahal sarang Kelelawar yang terdekat adalah kuil Thian-liong-ku-sat"
"Rasanya apa yang kau katakan sangat beralasan"
"Kalau dilihat sepintas seakan tak ada apa apanya disana, karena Kelelawar gadungan pasti
tak akan melepaskan setiap jengkal tempat yang berada dalam kuil Thian-liong-ku-sat"
"Rasanya begitu"
"Tapi manusia sepintar Kelelawar, bila dia ingin menyimpan sebuah rahasia, sudah pasti
akan dicarikan sebuah cara yang sama sekali diluar dugaan dan amat susah ditemukan"
"Sebenarnya rahasia apa yang ada disana?"
"Mungkin saja harta karun milik Kelelawar yang tak terhitung jumlahnya, mungkin juga kitab
pusaka ilmu silatnya yang menakutkan, tapi yang pasti barang barang itu sudah tentu bukan
patung pahatan yang kita temukan"
"Patung pahatan itu . . . . . . .." Han Seng tertegun.
"Itulah karya seni yang dibuat dan dikumpulkan si Kelelawar sepanjang hidupnya, mungkin
dalam pandangan orang lain, barang barang itu hanya sampah, sama sekali tak ada harganya,
tapi bagi Kelelawar pribadi, mungkin tiada benda lain yang bisa ditandingkan dengan karya
karya seninya itu" "Bila dalam kenyataan harta karun yang dimaksud hanyalah karya seni itu, setelah tahu
duduk perkara yang sebenarnya, mungkin Kelelawar gadungan bisa mati saking jengkelnya"
"Kemungkinan seperti itu kecil sekali, kalau hanya barang seni, kenapa Kelelawar musti
menyimpan rahasianya dalam tiga belas bilah golok Kelelawar" Padahal tidak susah untuk
menemukan ruang rahasia dalam kuil Thian-liong-ku-sat"
Han Seng termenung sebentar, katanya kemudian:
"Kelelawar meninggalkan pula rahasia itu untuk orang awam, padahal dimata orang awam,
tiada benda lain yang lebih menarik daripada harta karun dalam jumlah banyak"
"Konon Kelelawar memiliki kekayaan melebihi sebuah negeri, disaat dia lenyap, setahuku
banyak orang persilatan yang mulai melacak dan mencari jejak harta peninggalannya, oleh
karena itu rahasia yang dimaksud sudah pasti rahasia harta karun"
"Menurut dugaan kalian, siapakah Kelelawar gadungan itu?" tiba tiba Han Seng bertanya.
"Suma Tionggoan, dan hanya Suma Tionggoan yang bisa memaksa Suma Tang-shia untuk bersikap
begitu" Siau Jit menghela napas panjang, katanya:
"Tadi, walaupun toaci tidak menjelaskan, namun dari nada pembicaraannya, dia sudah
mengakui akan hal itu"
"Betul" "Tapi persoalannya sekarang adalah Suma Tionggoan pun seseorang yang kaya raya, buat apa
lagi dia mencari uang sebanyak itu?"
Mendadak Lui Sin mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
Han Seng tidak habis mengerti, diamatinya saudara tuanya itu dengan tertegun.
Setelah tertawa keras, ujar Lui Sin:
"Itulah sebabnya saudaraku, kau tak pernah berhasil menjadi seorang pedagang sukses, masa
persoalan sekecil inipun tidak kau pahami?"
"Silahkan toako jelaskan"
"Kapan kau pernah mendengar ada orang menampik punya uang banyak?"
"Benar juga" sahut Han Seng setelah termenung.
"Semakin kaya seseorang semakin suka dia dengan uang, kalau dia tak suka uang, tak mungkin
dia akan jadi orang berduit, semakin suka uang tentu saja makin banyak dia semakin senang"
"Aaai, aku rasa inilah alasannya mengapa ia berbuat begitu" Han Seng menghela napas.
Lui Sin berpaling dan memandang jenasah Suma Tang-shia sekejap, katanya kemudian:
"Aku rasa nona Suma benar benar kelewat bodoh"
Siau Jit ikut menghela napas, ujarnya:
"Selama ini aku selalu tak habis mengerti kenapa ia hidup uring uringan dan tak pernah
gembira, lelaki macam apa pun tak pernah dipandang sebelah mata olehnya, tapi sekarang,
akhirnya aku tahu juga jawabannya"
"Kelelawar terkutuk, entah berapa banyak anak gadis yang dicelakai olehnya" sumpah Lui
Sin. II "Suma Tionggoan pun pantas mampus kata Han Seng pula, "sudah tahu anak gadisnya jadi
korban kebrutalan Kelelawar, kenapa ia justru menyaru jadi Kelelawar dengan mencelakai
anak gadis lain" "Mungkin dia sudah mendekati edan"
"Harta karun memang gampang membuat orang jadi edan, demi mendapatkan rahasia dari
Kelelawar, mungkin dia telah menggunakan segala cara, oleh karena tidak berhasil maka pada
akhirnya dia menempuh cara ini, menyamar jadi Kelelawar tanpa sayap"
"Aku tetap masih belum mengerti" ujar Lui Sin.
"Kelelawar telah menjadi orang idiot" kata Siau Jit, "bila ingin dia mengungkap
rahasianya, aku percaya hanya ada satu cara..... yakni memulihkan kembali daya
ingatannya!" "Ooh?" "Untuk bisa mencapai tujuan tersebut, dia harus memberikan rangsangan yang besar kepada
Kelelawar, tentu saja aku tak bisa menjelaskan apa alasannya, tapi yang pasti ketika
seorang yang kehilangan ingatan melihat seseorang yang hampir mirip dengan dirinya dan
menyaksikan dia melakukan pelbagai perbuatan yang pernah dia lakukan dimasa lalu, aku
percaya perlahan lahan daya ingatnya pasti akan pulih kembali"
"Seharusnya begitu" teriak Han Seng sambil bertepuk tangan, "kenapa selama ini kita tak
pernah memikirkannya?"
"Hal ini dikarenakan selama ini kita tak tahu kalau terdapat dua orang Kelelawar tanpa
sayap" "Yaa, siapa yang menduga?" gumam Lui Sin sambil tertawa getir.
"Mengenai apakah Kelelawar tanpa sayap gadungan benar Suma Tionggoan atau bukan, meski
sampai sekarang belum dapat dipastikan, tapi untuk membuktikan kebenarannya, kita masih
harus mendapatkan bukti"
"Jika dugaanmu tak salah, seharusnya masalah ini segera akan jadi terang benderang"
Siau Jit mengangguk, tanpa bicara lagi ia berjalan meninggalkan ruang kamar itu.
Kegelapan malam masih mencekam seluruh jagad, meski fajar sudah hampir tiba, namun masih
selisih jangka waktu yang cukup lama.
Bab 20. Kelelawar, Kelelawar.
Malam semakin kelam, angin berhembus makin kencang.
Rerumputan ilalang bergoyang menimbulkan suara gemerisik, seakan ada begitu banyak sukma
penasaran yang bergerak kian kemari, bergerak tiada hentinya.
Cahaya rembulan terasa begitu redup, bayangan hitam dibalik bangunan yang bobrok tampak
bagai setan gentayangan yang sedang bersembunyi disana.
Sesungguhnya kuil kuno Thian-liong-ku-sat memang sebuah tempat yang menyeramkan, khususnya
ditengah malam buta seperti ini, pada hakekatnya tidak mirip dengan bangunan di dunia.
Namun pada saat itulah terlihat ada dua orang manusia sedang berjalan ditengah semak,
dibalik kuil. Kedua orang itu memiliki perawakan tubuh yang hampir sama, dengan dandanan yang sama,
bahkan raut muka mereka pun sama satu dengan lainnya.
Baju berwarna hitam pekat dengan raut muka pucat pasi, warna semacam itu boleh dibilang
merupakan warna dari kematian, warna mendekati maut.
Rambut mereka yang terurai panjang berkibar terhembus angin malam, suasana mengerikan yang
tak terlukis dengan kata, menyelimuti sekeliling tempat itu, dengan munculnya kedua orang
tadi, suasana disitu pun terasa makin dingin menggidikkan.
Semak belukar yang semula tak berkabut, tiba tiba kini diselimuti kabut tebal.
Kabut malam yang dingin seakan terbawa oleh hembusan angin, seolah pula memancar keluar
dari tubuh kedua orang itu.
Bila hal ini merupakan kenyataan, maka asap putih itu bukanlah kabut malam, melainkan hawa
setan. Meskipun kedua orang itu mirip dengan setan gentayangan, namun bila dilihat lebih cermat,
rasanya sama sekali tak mirip.
Menurut cerita, setan tak punya bayangan, tapi kedua orang itu punya.
Dibawah sinar rembulan, bayangan mereka bergeser mengikuti langkah kaki, melayang ditengah
semak, melambung diatas dinding bangunan.
Hembusan angin menggoyangkan rerumputan membuat semak belukar seakan dibelah dengan golok,
membuat bayangan mereka terbelah jadi ribuan keping, namun tatkala bayangan mereka
bergeser keatas dinding, bayangan itu menyatu dan utuh kembali.
Ada banyak orang mempunyai pengalaman seperti itu, tapi jarang ada bayangan seaneh
bayangan mereka. Gerak gerik orang yang berada didepan jauh tampak normal, tapi orang yang berada
dibelakang pada hakekatnya seperti patung, gerak geriknya begitu kaku, seolah setiap organ
badannya dibelenggu dengan tali yang kuat.
Tali yang kuat itu seakan dipegang dan dikendalikan orang yang berjalan dimuka, sehingga
setiap gerakan yang dilakukan orang dibelakang pada hakekatnya hanya menirukan setiap
gerakan orang didepannya.
Cahaya rembulan menyinari pula wajah mereka, siapa pun yang kebetulan menyaksikan mereka
berdua saat itu, dapat dipastikan bakal terperanjat, terkesiap.
Walaupun raut muka mereka tidak begitu buruk, namun memancarkan sinar menyeramkan yang tak
terlukis dengan perkataan.
Yang lebih aneh lagi adalah raut muka kedua orang itu sama satu dengan lainnya, ibarat
pinang dibelah dua. Orang yang berjalan didepan adalah si Kelelawar, sedang orang yang mengikuti dibelakangnya
juga si Kelelawar. Kelelawar tanpa sayap! Rumput ilalang gemetar ditengah hembusan angin malam, lalu patah terinjak kaki ke dua
Kelelawar. Setelah menembusi halaman belakang, mereka tiba diserambi panjang, didepan lamu batu.
Kelelawar yang berada didepan menghentikan langkahnya, memperhatikan sekejap lampu itu
kemudian membungkukkan badan dan menggeser lampu batu itu ke samping.
Sebuah lorong rahasia pun muncul didepan mata.
"Turun!" Kelelawar itu berkata.
Kelelawar yang berada dibelakang selalu menirukan gerak gerik Kelelawar didepannya, dia
ikut menjerit: "Turun . . . . . .."
Gerak geriknya yang semula kaku pun berubah lebih lincah dan hidup, diiringi suara tertawa
yang aneh, selangkah demi selangkah dia berjalan masuk ke dalam lorong, menuruni undak
undakan batu. Kelelawar yang menggeser lampu batu itu ikut masuk ke dalam lorong, kemudian menggeser
balik lampu batu itu ke posisi semula.
Ke dua orang Kelelawar itupun lenyap dengan begitu saja dibawah permukaan tanah.
Meski mereka sudah lenyap, suasana menyeramkan yang mencekam tempat itu tidak berubah
karenanya.

Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tempat itu sesungguhnya memang sebuah tempat yang menyeramkan.
Oo0oo Angin malam berhembus kencang di jalan raya.
Dahan dan ranting yang bergoyang karena hembusan, menimbulkan suara yang riuh, riuh bagai
tangisan setan gentayangan. Malam ini, suasana di jalan raya itupun terasa ikut
mengerikan, menggidikkan hati.
Dalam suasana seperti inilah tiga ekor kuda tampak berlarian kencang ditengah jalan raya.
Siau Jit berada dipaling depan, wajahnya sama sekali tak nampak letih, dibalik tampangnya
yang ganteng justru terselip perasaan sedih dan murung yang sangat dalam.
Lui Sin dan Han Seng mengikuti dibelakangnya, walaupun mereka tak dapat menyaksikan paras
Siau Jit, namun tahu bagaimana perasaan hati anak muda itu sekarang.
Karenanya mereka pun tidak bersuara.
Setelah berbelok satu tikungan, tibalah mereka didepan warung teh.
Warung yang roboh masih berserakan ditepi jalan, sekalipun mayat disana telah diangkut
semua, noda darah masih berceceran diseluruh lantai, kendatipun waktu itu sudah mengering.
Ditengah udara, tiada terendus lagi bau anyirnya darah.
Tapi Lui Sin seolah mengendus lagi anyirnya darah, tanpa terasa ia teringat kembali dengan
saudara saudaranya yang telah tewas, cairan darah yang mengalir dalam tubuh tiba tiba saja
mendidih, bergelora. Kalau boleh, dia ingin sekali berteriak keras:
"Sekarang juga aku berangkat untuk balaskan dendam kematian kalian!"
Han Seng sendiripun merasakan gejolak itu.
Belum sempat mereka berteriak, kuda tunggangan mereka justru berteriak lebih dulu,
berteriak secara mendadak bahkan sangat mengerikan.
Tidak terkecuali kuda yang ditunggangi Siau Jit.
Ditengah ringkikan panjang, ke tiga ekor kuda itu mengangkat kaki depannya tinggi tinggi
dan tak mau bergerak maju lagi, mereka seakan merasakan rasa kaget dan takut yang luar
biasa. Tak ada bayangan manusia didepan sana, lalu mengapa kawanan kuda itu gugup dan ketakutan"
Sambil berusaha mengendalikan kuda tunggangannya, Han Seng dan Lui Sin saling bertukar
pandangan, saling memandang dengan perasaan kaget bercamur tercengang.
"Hati hati!" tiba tiba terdengar Siau Jit membentak nyaring.
Baru selesai dia membentak, "buuuk, buukkk....." suara gaduh berkumandang dari emat
penjuru, disusul munculnya sekelompok Kelelawar dari balik hutan, terbang cepat di angkasa
langsung menyerang ke tiga kuda tunggangan itu.
Ringkikan kuda makin kencang, rontaan mereka makin kuat, hampir saja ke tiga orang itu tak
sanggup mengendalikan diri.
Golok emas pedang perak serentak dicabut keluar dari sarungnya, pedang pemutus usus pun
sudah tergenggam ditangan, ketiga orang itu dengan tatapan tajam mengawasi bangunan warung
teh itu tanpa berkedip. Dalam waktu singkat kawanan Kelelawar itu mulai menyerang, mulai menerkam dengan ganasnya.
Golok emas berkelebat lewat, diantara kilatan cahaya tajam kawanan Kelelawar itu satu demi
satu terbabat kutung dan berguguran ke tanah.
Han Seng tak berani mengayal, cahaya pedang berkilat, kawanan Kelelawar itu kembali
tersambar hingga hancur berkeping.
Hanya Siau Jit yang tidak bergerak, sementara kawanan Kelelawar itu pun tak ada yang
langsung menerjang tubuhnya, begitu tiba disekelilingnya langsung buyar ke arah lain.
Rupanya meski pedang tidak dicabut keluar, namun hawa pedang telah memancar diseputar
sana. Sekalipun hawa pedang itu tak dapat melukai orang, namun cukup membuat rontoknya nyali.
Begitu pula keadaannya ketika digunakan untuk menghadapi serangan Kelelawar, apakah
kawanan Kelelawar itupun dapat merasakan pekatnya hawa pedang"
Lui Sin dengan golok emasnya tidak berhenti menyerang, secara beruntun dia sudah menusuk
belasan ekor Kelelawar yang datang menyergap, begitu melihat pedang Siau Jit masih dalam
sarung dan kawanan Kelelawar itu seakan hendak menerjang kearahnya, tanpa sadar ia
berteriak keras: "Saudara Siau, hati hati!"
Gara gara sedikit berayal, seekor Kelelawar terbang masuk menembusi jaring goloknya,
nyaris menubruk pipinya. Dengan kaget Lui Sin mengebaskan ujung bajunya, "Plaaak!" Kelelawar itu mencelat ke
samping, ditengah kilatan cahaya golok, lagi lagi dia membabat binatang itu hingga
terpotong jadi dua bagian.
"Kawanan Kelelawar itu hanya menakut nakuti kita, tak bisa membunuh orang!" terdengar Siau
Jit menyahut. Sementara pembicaraan berlangsung, tatapan matanya masih terarah ke sebelah depan, ucapan
itu seolah tertuju untuk Lui Sin, tapi seakan bukan.
"Ooh!" Lui Sin segera menarik kembali senjatanya, dia amat mempercayai Siau Jit, seperti
dia amat mempercayai goloknya.
Pada saat bersamaan Han Seng menarik pula senjatanya.
Dikedua sisi kuda tunggangan mereka telah berserakan puluhan ekor Kelelawar, bau anyir
darah segera merambah seluruh udara.
Kawanan Kelelawar itu masih saja datang menerkam, bahkan ada berapa ekor yang menempel
ditubuh kedua orang itu. Selama hidup belum pernah Han Seng dan Lui Sin mengalami kejadian seperti malam ini, tanpa
terasa timbul perasaan ngeri dan seram dihati kecilnya, namun kedua orang itu tidak sampai
menjerit. Hanya berapa saat berapa ekor Kelelawar itu menempel ditubuh mereka berdua, kemudian
kawanan binatang itu kembali terbang melayang ke udara.
Lalu mereka pun terbang menari disekeliling tubuh ke tiga orang tersebut.
Kuda kuda tunggangan mereka meringkik ketakutan sambil berusaha meronta, untung ketiga
orang jagoan itu berhasil mengendalikan, kawanan kuda yang lambat laun mulai terbiasa
menghadapi kawanan Kelelawar yang beterbangan pun mulai bisa menenangkan diri dan berhenti
meringkik dan meronta. Tatapan mata Siau Jit sama sekali tidak berubah, saat itulah dia baru berseru lagi:
"Sudah saatnya anda menampakkan diri!"
Suara tertawa dingin segera bergema dari arah depan sana, diikuti munculnya seseorang dari
balik pepohonan. Orang itu berbaju hitam, berwajah pucat dan berambut kusut tak rapi.
Kelelawar tanpa sayap! Kelelawar tanpa sayap ke tiga!
Tentu saja Siau Jit bertiga tidak tahu kalau dalam kuil Thian-liong-ku-sat telah muncul
dua orang Kelelawar tanpa sayap, disaat kemunculan Kelelawar itu, mereka bertiga hanya
terpikirkan satu hal. Kelelawar yang menampakkan diri ini gadungan atau yang asli"
Disekeliling Kelelawar itupun tampak kawanan Kelelawar yang terbang mengiringi, mereka
tidak menukik, pun tidak menempel, seakan kawanan dayang, kawanan menteri yang sedang
mengiringi raja nya. Langkah kaki Kelelawar itu sangat lambat, ia berhenti kurang lebih satu meter diluar
hutan, membiarkan seluruh tubuhnya terbungkus dibalik bayang bayang kegelapan.
Siau Jit masih menatap Kelelawar itu tanpa berkedip, ia belum menegur maupun melakukan
sesuatu tindakan, Lui Sin dan Han Seng yang berada disamingnya tak kuasa menahan diri
lagi, tiba tiba mereka berteriak keras:
"Sebetulnya kau si Kelelawar asli atau gadungan?"
Si Kelelawar tidak menjawab, sepasang lengannya digetarkan sambil berpekik nyaring,
kawanan Kelelawar yang sedang beterbangan di angkasa pun seketika menukik ke bawah dan
menyerang secara membabi buta.
Bersamaan itu, tubuhnya yang ceking turut melambung ke tengah udara.
Cahaya berkilauan ditengah udara, ditangan kanan si Kelelawar tahu tahu sudah bertambah
dengan sebilah pedang. Pedang sepanjang satu meter itu secepat kilat menusuk ke arah kuda tunggangan dari Siau
Jit. Serbuan kawanan Kelelawar itu telah mengalutkan pikiran Siau Jit, seharusnya dapat
mengalutkan pula pandangan matanya.
Kecepatan maupun sudut serangan yang dilancarkan pedang itu lebih lebih diluar dugaan
siapa pun. Sejak awal Lui Sin dan Han Seng sudah berjaga jaga bila Kelelawar melancarkan serangan
secara tiba tiba, begitu melihat pihak lawan bergerak, serentak mereka tinggalkan kuda
masing masing dan menyongsong kedatangannya dari kiri dan kanan.
Sekalipun begitu, ternyata mereka gagal mengejar kecepatan dari serangan tersebut, belum
lagi bacokan golok dan pedang mereka mendekati sasaran, tusukan pedang si Kelelawar telah
tiba duluan didepan dada Siau Jit.
"Triiing!" suara dentingan nyaring segera berkumandang.
Pada detik terakhir sebelum serangan musuh tiba, Siau Jit telah mencabut pedangnya dan
menangkis serangan itu hingga terpental ke saming.
Dengan satu lompatan cepat ia tinggalkan kuda tunggangannya, meminjam tenaga getaran yang
terjadi ia bersalto berulang kali di udara lalu melayang turun di belakang Kelelawar.
Gagal dengan tusukan mautnya si Kelelawar segera merendahkan badan sambil memutar separuh
badan, kembali tiga tusukan berantai dilancarkan.
Pada tusukan yang pertama, dia masih selisih setengah meter dari posisi Siau Jit, tapi
pada tusukan kedua dan ketiga, ujung pedangnya sudah cukup jarak untuk menghabisi nyawa
lawan. Kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki orang ini jelas masih berada diatas kemampuan Suma
Tang-shia. Ternyata jurus pedang yang dia pergunakan adalah ilmu pedang Tui-mia-kiam-hoat dari
keluarga Suma. Jangan jangan dia adalah Suma Tionggoan"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, tiga serangan maut dari si Kelelawar telah
dilancarkan, tiga jurus menyatu jadi satu, cepat, kilat dan amat lincah.
Hanya dalam satu malaman, untuk kedua kalinya Siau Jit harus berhadapan dengan Tui-mia-
sam-kiam, bahkan kali yang satu lebih dahsyat daripada kali berikutnya.
Cahaya pedang bergerak bagai sambaran petir, ditengah malam seperti ini, kilatan tersebut
masih terasa amat menyilaukan mata.
Serangan ini sedikit pun tidak lebih jelek daripada serangan dari Suma Tang-shia.
Tak diragukan lagi, hal ini sama sekali tak ada hubungannya dengan bentuk pedang, hanya
saja ilmu pedang serta tenaga dalam yang dimiliki orang ini masih jauh melebihi kemampuan
Suma Tang-shia. Dalam pada itu Lui Sin dan Han Seng telah menyusul tiba, namun sulit bagi mereka untuk
menembusi jala pedang yang terbentuk.
Tujuh jurus ilmu pedang pemutus usus dari Siau Jit telah dilancarkan serentak.
Dua bilah pedang segera saling beradu ditengah udara, "Criiing, criiing, . . . . .."
percikan bunga api pun berhamburan ke empat penjuru.
Tubuh kedua orang itu bergerak cepat, bayangan mereka seolah telah menyatu jadi satu
bayangan, dua bilah pedang yang saling menyerang pun seolah menyatu jadi sebilah pedang
saja. Bayangan pedang memenuhi angkasa, selapis jala pedang yang rapat dan kuat pun terbentang
di tengah udara, dihiasi kilauan cahaya yang memancar ke empat penjuru.
Lui Sin serta Han Seng hanya bisa berdiri tertegun, walaupun mereka dapat menyaksikan
butiran keringat sebesar kacang kedele telah membasahi wajah mereka berdua, namun kedua
orang itu hanya bisa menonton dengan perasaan panik bercampur gundah.
Sesungguhnya mereka ingin sekali membantu Siau Jit, namun sayang kekuatan mereka tak mampu
untuk turut campur, tentu mereka pun sadar, membantu tanpa mengetahui keadaan yang
sebenarnya bukan saja tak akan membantu, bahkan bisa jadi malah akan mencelakakan Siau
Jit. Mereka cukup mengerti akan kelihayan ke tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa dari
keluarga Suma. Dengan kemampuan yang dimiliki sekarang, merekapun tahu kalau belum mampu menghadapi ke
tiga jurus serangan dari Suma Tang-shia, sedang Siau Jit pasti dapat melayaninya, namun
dia pun terdesak dalam posisi yang amat berbahaya.
Dan sekarang mereka pun dapat melihat bahwa kepandaian silat yang dimiliki si Kelelawar
masih jauh diatas kemampuan Suma Tang-shia.
Walaupun sadar akan kelihayan lawan dan posisi berbahaya dari Siau Jit, apa mau dikata
mereka pun tak tahu bagaimana harus terjunkan diri ikut dalam pertarungan itu.
Perubahan maupun gerak serangan pedang Siau Jit dan Kelelawar kelewat cepat, kelewat rapat
hingga sama sekali tak meninggalkan peluang bagi mereka untuk masuk.
Tujuh jurus ilmu pedang pemutus usus cepat, tepat, telengas, begitu pula dengan tiga jurus
ilmu pedang keluarga Suma, tak diragukan lagi mati hidup mereka segera akan ditentukan
dalam sekejap mata. Tangan Lui Sin dan Han Seng yang menggenggam senjata telah meradang, otot hijau pada
menonjol keluar, bila dalam penentuan mati hidup nanti Siau Jit lah yang roboh, maka tanpa
ragu mereka segera akan menerkam maju dan menyerang habis habisan.
Biarpun golok emas pedang perak masih belum mampu mengungguli kemamuan Siau Jit, namun
serangan total yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga seharusnya masih mampu untuk
menghabisi nyawa si Kelelawar.
Sebab menurut perkiraan mereka, sekalipun Siau Jit roboh, namun kondisi si Kelelawar pun
pasti tak jauh berbeda, biar tidak sampai mati pun tentu menderita luka parah.
Terhadap ilmu pedang pemutus usus milik Siau Jit, mereka menaruh kepercayaan yang sangat
tinggi. Golok dan pedang sudah siap melancarkan serangan, ketegangan mereka pun ibarat anak panah
yang sudah ditarik diatas gendawa.
Peluh dingin makin deras membasahi badan.
"Criiing, criiiing!" tiba tiba terdengar suara dentingan nyaring, bayangan pedang lenyap,
dua sosok bayangan manusia saling melintas lewat.
Siau Jit meluncur kearah kanan sejauh satu tombak setengah, pedangnya menghadap ke bawah,
tetesan darah mengalir dari ujung pedang, peluh sebesar kacang membasahi pula wajahnya.
Hanya tetesan keringat! Sebaliknya si Kelelawar meluncur kearah kiri, tangan kirinya meraih dan berpelukan disisi
sebatang pohon, pedangnya menancap ke atas tanah.
Darah segar menyembur keluar dari perutnya, membasahi seluruh permukaan tanah, akhirnya
dia buka suara: "Ternyata pedang pemutus usus memang bukan bernama kosong!"
Ternyata suara seorang wanita.
Siau Jit tertegun, begitu pula Lui Sin dan Han Seng, untuk sesaat mereka berdiri mematung.
Dengan sorot mata yang sayu dan mulai redup, si Kelelawar memandang sekejap kegelapan
langit, lalu gumamnya lagi:
"Kau jangan salahkan aku, sesungguhnya aku telah berusaha dengan sepenuh tenaga . . . . . . .."
Belum selesai ia berkata, badannya yang memeluk batang pohon sudah roboh, "Braaaam!" ia
roboh ke tanah, pedang yang menancap ditanah pun ikut patah jadi dua bagian.
Kulit wajahnya yang tergesek kulit pohon seketika mengelupas, ternyata dibalik kulit
wajahnya masih tersisip kulit wajah lain, wajah seorang wanita.
Wajah perempuan itu tidak terlampau asing bagi pandangan Siau Jit bertiga.
"Sim Ngo-nio!" teriak Lui Sin kaget.
Ternyata perempuan itu tak lain adalah adik seperguruan Suma Tionggoan yang rela jadi
budak, Sim Ngo-nio yang selama ini melayani kebutuhan Suma Tang-shia.
"Kenapa bisa dia?" seru Han Seng sambil maju dua langkah.
"Aku tahu, nenek ini pasti sedang berusaha untuk menghalangi kepergian kita ke kuil Thian-
liong-ku-sat" ujar Lui Sin dengan kening berkerut.
"Ini berarti Suma Tionggoan pasti berada dalam kuil Thian-liong-ku-sat" Han Seng
menambahkan. "Pasti!" jawab Lui Sin yakin, saat itulah ia baru teringat akan Siau Jit, buru buru
dihampirinya sambil menegur:
"Saudara Siau . . . . . . .."
"Aku tidak apa-apa" jawab Siau Jit sambil menggeleng.
Sembari membesut keringat yang membasahi jidat, Lui Sin tertawa keras.
"Hahaha, sudah kuduga, ilmu pedang pemutus usus mu memang tiada tandingan dikolong langit"
Siau Jit tertawa getir. "Andaikata aku tidak bertarung lebih dulu melawan toaci sehingga mengetahui perubahannya,
yang roboh terkapar saat ini meski bukan aku, paling tidak separuh nyawa ku sudah lenyap"
"Begitu lihaykah si nenek itu?"
"Toaci sama sekali tidak membohongi kita, tak diragukan dia memang adik seperguruan Suma
Tionggoan" "Kenapa . . . . . ..
"Sebetulnya gampang untuk dijelaskan" tukas Han Seng, "toako, masa tidak dapat kau duga?"
Lui Sin tertegun, serunya kemudian:
"Maksudmu, secara diam diam ia mencintai Suma Tionggoan?"
"Kalau bukan begitu, dengan kepandaian silat yang dimilikinya, kenapa dia rela jadi
seorang pembantu dalam keluarga Suma?"
II "Ehmm, rasanya memang ada kemungkinan begitu kata Lui Sin kemudian setelah berpikir
sebentar, "andaikata begitulah kenyataannya, aku rasa Suma Tionggoan sedikit kelewat
kejam" "Urusan cinta dan perasaan adalah suatu hal yang tidak bisa dipaksakan, bila Suma
Tionggoan menyukai dia, tak nanti akan biarkan dia menunggu sampai sekarang"
"Aaai, betul juga" Lui Sin menghela napas panjang, ia pun berpaling kearah Siau Jit, lalu
ujarnya: "Saudara Siau, sekarang tampaknya kita harus segera berangkat menuju kuil Thian-liong-
ku-sat" "Aaai, betul juga Lui Sin menghela napas panjang, ia pun berpaling kearah Siau Jit, lalu
ujarnya: "Saudara Siau, sekarang tampaknya kita harus segera berangkat menuju kuil Thian-liong-


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku-sat" "Aku percaya tak secepat itu Suma Tionggoan tinggalkan tempat ini" Siau Jit mengangguk,
"tapi untuk berjaga terhadap segala kemungkinan, memang lebih baik kita segera berangkat"
Selesai berkata, dia segera melompat naik keatas kuda tunggangannya.
Buru buru Han Seng dan Lui Sin melompat naik ke kuda masing masing, ditengah bentakan
nyaring, berangkatlah mereka bertiga meninggalkan tempat itu.
Jarak dari tempat itu menuju ke kuil Thian-liong-ku-sat sudah tidak terlampau jauh.
Oo0oo Dari balik kegelapan tiba tiba muncul segumal cahaya.
Cahaya itu berwarna hijau dan berasal dari sebuah lampu kristal, lampu yang tergantung
diatas langit langit ruangan.
Biarpun sinar yang terpancar tidak terlampau terang, namun sudah lebih dari cukup.
Kegelapan hilang lenyap ditengah pancaran cahaya, patung patung kepala, payudara, kaki,
pinggul, pantat dari ukiran wanita pun segera muncul didepan mata.
Setiap pahatan tamak begitu rapi dan sempurna, hanya sebagian patung payudara yang tampak
rusak dan hancur. Itulah hasil bacokan golok Lui Sin ketika Siau Jit sekalian hendak meninggalkan tempat
itu. Dibalik dinding penuh pahatan payudara itulah terletak pintu keluar lorong rahasia.
Kini pintu rahasia sudah terbuka, Kelelawar sedang berdiri diluar pintu tersebut.
Cahaya lentera menerangi wajahnya, waj ah itu dihiasi senyuman, senyuman dari seorang
idiot. Tak diragukan lagi si Kelelawar itu adalah Kelelawar yang berjalan dibelakang ketika
melewati semak belukar, tapi masuk terlebih dulu ketika menembusi lorong bawah tanah.
Biarpun tingkah lakunya sudah tidak sekaku tadi, namun tetap memancarkan keanehan yang
sukar dilukiskan dengan kata, ia berjalan masuk ke dalam ruang rahasia sambil tertawa
bodoh. Kemudian ia merapatkan kembali pintu rahasia itu.
Gerakan semacam ini sudah dilakukan dan diulang banyak kali sehingga ia dapat melakukannya
dengan hapal, kemudian tangannya mulai meraba payudara payudara itu.
Yang terpegang saat ini adalah payudara yang tinggal sebelah, karena sebelah yang lain
telah terpapas hilang. Tampaknya si Kelelawar baru menyadari setelah tangannya menyentuh payudara itu, untuk
sesaat tampak jelas kalau ia tertegun.
Dengan cepat sepasang tangannya mulai meraba payudara lainnya, disana ia temukan ada
payudara yang masih utuh, tapi ada pula yang sudah terpapas hancur.
Segera terjadi perubahan besar pada mimik wajahnya, setiap inci setiap bagian kulit
mukanya mulai gemetar, mulai berkerut seram.
Itulah penampilan rasa sedih bercampur gusar yang telah mencapai puncaknya, tapi merupakan
juga satu penampilan orang normal, orang yang waras otak, sebab seorang idiot tak mungkin
akan memperlihatkan mimik muka semacam ini.
Kini sepasang tangannya mulai gemetar, mulai menggigil keras, tapi dia masih meraba, masih
menggerayang terus. Sejak awal hingga akhir dia hanya meraba dan menggerayang menggunakan sepasang tangannya,
hal ini semakin memperjelas bahwa dia memang orang buta.
Ini berarti dialah Kelelawar tanpa sayap sesungguhnya, Kelelawar tulen.
Akhirnya rabaan tangannya menyentuh dinding yang jebol, menyentuh lubang besar, kemudian
diapun menjerit keras. Apa yang dia teriakkan pun sangat aneh, mendadak serunya:
"Keliru, keliru besar, bukan disebelah sana, tak usah kau hancurkan mereka!"
Suara lain segera menimpali:
"Kalau bukan disebelah sana, lantas apa yang harus dilakukan?"
Suara itu muncul dari balik dinding berlubang itu.
Diluar dinding yang jebol berdiri Kelelawar kedua, sepasang tangannya telah menekan diatas
gagang goloknya. Golok Kelelawar! Dipinggang Kelelawar itu semuanya tergantung tiga bilah golok Kelelawar, tak diragukan,
dialah Kelelawar yang telah membunuh Ong Bu-shia, menggorok Ciu Kiok.
Kelelawar tanpa sayap gadungan.
Perasaan gugup dan panik melintas diwajah Kelelawar asli, serunya berulang kali:
"Harus..... harus . . . . . .."
Mendadak dia membalikkan tubuh dan lari menuju ke dinding dimana patung berbentuk kepala
wanita berada. Ternyata ruang rahasia yang aneh ini tempat ia menyimpan seluruh hasil karyanya, semua
ukiran dan pahatan yang tersimpan disana, tak satu pun yang dibuat secara sembarangan.
Oleh sebab itulah ruang rahasia yang aneh ini seharusnya meninggalkan kesan yang sangat
mendalam dihati kecilnya.
Pertarungan sengit di lembah Hui-jin-gan telah membuatnya terluka parah, bahkan kehilangan
ingatan dan menjadi orang idiot, namun setelah beristirahat selama sepuluh tahun, ditambah
lagi mendapat bimbingan dari Suma Tionggoan, lambat laun daya ingatannya mulai pulih
kembali, banyak kejadian penting pun sedikit demi sedikit dapat diingatnya kembali.
Itulah sebabnya disaat sedang memahat tubuh bugil Lui Hong, dia sanggup menyebutkan nama
Hek Botan, Pek Hu-yung serta Lau Ci-he.
Karena itu pula dikala sepasang tangannya menyentuh pahatan payudara nya yang hancur
berantakan, suatu perasaan pedih yang tak terlukiskan dengan kata menyusup keluar dari
dasar sanubarinya yang paling dalam.
Dalam waktu sekejap, ia mulai teringat kembali akan banyak urusan.
"Aku tahu apa tujuan kalian menghancurkan semua barang kesayanganku, tapi barang yang
kalian kehendaki tidak berada dibalik dinding payudara itu, jangan dirusak, jangan
dihancurkan, biar aku beritahu kepada kalian!"
Ketika ingatan tersebut melintas dalam benaknya, ia mulai menjerit keras, berteriak
lantang. Ia lebih suka mempersembahkan semua harta karunnya yang tak ternilai daripada membiarkan
hasil karya seninya dihancur orang.
Reaksi yang aneh dan sama sekali diluar dugaan ini sama sekali diluar dugaan si Kelelawar
gadungan sekalipun, dia tidak menyangka kalau kerusakan yang timbul pada hasil karyanya
justru malah merangsang kembalinya kesadaran si Kelelawar.
Harta karun milik si Kelelawar yang tak terhitung jumlahnya, ternyata benar benar
tersimpan dalam ruang rahasia ini, kenyataan tersebut pun sama sekali diluar dugaan.
Tujuh tahun berselang ia sudah pernah membongkar ruang rahasia ini, selama tujuh tahun dia
telah memeriksa dan meneliti setiap jengkal tanah yang berada disana.
Akan tetapi ia tak pernah menemukan sesuatu apapun.
Saat ini dia sama sekali tidak merasakan gembira atau puas karena hal ini, sebaliknya
justru merasakan rasa pedih yang aneh, diikuti meledaknya perasaan gusar.
Kelelawar sialan, sebenarnya kau sembunyikan dimana harta karun itu"
Si Kelelawar langsung berlarian menuju ke depan dinding ruang yang dipenuhi batok kepala
manusia, disaat tangannya menyentuh salah satu kepala itu, dia segera menghentikan
langkahnya, kemudian dengan sepasang tangannya dia pegang kepala peremuan itu lalu
mengelus dan membelainya dengan penuh kasih sayang.
Setelah itu dia mulai menggoyang kepala itu ke kiri, memutar ke kanan dan..... "Kraaakl"
diiringi suara aneh, batok kepala perempuan itu sudah dicabutnya dari atas dinding.
Kembali dia putar batok kepala itu kian kemari, sekali lagi "Kraaak!" batok kepala itu
terbelah jadi dua dan seuntai benda yang berkilauan terjatuh dari dalam.
Ternyata dibalik batok kepala itu terdapat ruang kosong.
Dengan santainya si Kelelawar mengayunkan tangannya, dan ia sambar untaian benda yang
berkilauan itu. "Noh" serunya sambil tertawa, "semuanya berada didalam batok kepala itu!"
Baru selesai ia berkata, Kelelawar gadungan itu sudah tiba dihadapannya, sementara
sepasang tangannya menggenggam golok Kelelawar.
Mungkinkah semua ingatan dan kesadaran si Kelelawar telah pulih kembali" Mungkinkah dia
bakal melancarkan serangan secara tiba tiba" Bahkan dia sendiripun tak yakin.
Namun bila si Kelelawar melakukan suatu gerakan yang mencurigakan, maka tak ragu dia akan
menghujamkan golok Kelelawar yang berada dalam genggaman ke tubuh orang itu, dia yakin dan
percaya kalau kemampuannya masih sanggup membantai Kelelawar dalam waktu singkat.
Dia memang seseorang yang sangat hati hati, itulah sebabnya dia bisa hidup hingga kini.
Si Kelelawar sama sekali bergeming terhadap semua gerak gerik yang dilakukan si Kelelawar
gadungan, dia masih tertawa bodoh, tertawa seperti orang idiot.
Dia perlihatkan untaian benda yang berkilauan itu sambil serunya lagi:
"Inilah untaian mutiara . . . . . .."
Benda yang dipegang memang untaian mutiara, setiap butir besarnya melebihi buah
kelengkeng, dua puluh empat butir mutiara yang acak rata dijadikan satu menjadi seuntai
kalung yang indah. Biarpun cahaya lentera sangat redup, namun untaian kalung mutiara itu tetap memantulkan
cahaya yang lembut tapi mempersona.
Bisa diduga untaian kalung mutiara semacam ini nilainya pasti tak terhingga.
Berkilat mata kanan Kelelawar gadungan setelah menyaksikan kalung itu, bentaknya tiba
tiba: "Bawa kemari!" Dengan sepasang tangannya si Kelelawar mempersembahkan untaian kalung mutiara itu.
Dua kilatan cahaya golok seketika muncul di depan mata, tahu tahu Kelelawar gadungan telah
mencabut keluar sepasang goloknya sambil diayunkan ke depan.
Seakan sadar akan datangnya mara bahaya, cepat si Kelelawar menarik kembali tangannya,
sayang gerakan tersebut tidak terlalu cepat untuk berkelit, dibawah babatan maut Kelelawar
gadungan, sulit rasanya bagi dia untuk menyelamatkan diri.
Diantara kilauan cahaya tajam, semburan darah segar memancar ke empat penjuru, sepasang
tangan Kelelawar terbabat kutung dan mencelat ke udara berikut kalung mutiara itu.
Ia menjerit kesakitan sambil melompat mundur, punggungnya segera menumbuk diatas dinding
membuat ia jatuh terjungkal dan roboh terguling di tanah.
Kembali Kelelawar gadungan memutar sambil memilin goloknya, bagaikan sebuah gunting, ia
gunting batok kepala si Kelelawar yang masih berguling.
Jeritan ngeri kembali berkumandang, batok kepala si Kelelawar segera terpisah dari
tubuhnya dan mencelat ke tengah udara.
Sementara itu tubuhnya yang tanpa kepala tampak merenggang nyawa sebelum akhirnya roboh
tak bergerak lagi. Dengan satu gerakan cepat Kelelawar gadungan menancapkan sepasang goloknya ke tanah, lalu
tangannya bergerak ke atas menyambar untaian kalung mutiara yang sedang meluncur ke bawah.
Makin bersinar mata kanan Kelelawar gadungan itu, pujinya sambil menghela napas:
"Indah nian untaian kalung mutiara ini!"
Setelah dilihat dan diperiksa berulang kali, ia baru masukkan kalung mutiara itu ke dalam
sakunya, kemudian ia memperhatikan kembali kutungan tangan yang tergeletak di lantai.
II "Itu mah bukan sayap, tapi sepasang cakar katanya sambil tertawa, setelah memandang batok
kepala si Kelelawar yang menggelinding, kembali tambahnya, "mau cakar, mau sayap, peduli
amat. Tanpa sayap masih membuatmu tetap hidup, apa yang bisa kau lakukan bila tanpa
kepala" Hahaha . . . . .."
Tentu saja si Kelelawar tak dapat menjawab.
Kelelawar gadungan tidak banyak bicara lagi, dia ambil kepala kedua lalu seperti yang
dilakukan Kelelawar tadi, ia putar kepala itu kekiri dan ke kanan.
"Kraaakl" benar saja, batok kepala itu segera terbelah jadi dua, dari dalam batok kepala
itu segera memancar sekilas cahaya hijau yang amat menyilaukan mata.
Ternyata benda yang berada dalam kepala itu adalah sebuah ukiran naga terbuat dari batu
kumala yang sedang menyemburkan sebutir mutiara.
Bukan saja ukiran naga itu indah bahkan sangat detil, setiap sisik naga tertera jelas
sekali, sedangkan mutiara yang berada dimulut ukiran naga itu tak lain adalah sebutir
mutiara Ya-beng-cu. Karena mutiara ya-beng-cu itu terjepit diantara dua misai naga yang memanjang, hal ini
menyebabkan cahaya hijau yang memancar ke empat penjuru membuat seluruh tubuh ukiran naga
itu bersinar terang. Sebuah batu kemala yang tembus pandang pun sudah terhitung barang langka, apalagi ditambah
mutiara ya-beng-cu, pada hakekatnya nilai benda seni ini sangat mengerikan.
Padahal kepala perempuan yang bergantungkan disepanjang dinding itu mencapai ratusan biji,
andaikata didalam setiap kepala itu tersimpan semacam benda mustika, tak bisa dibayangkan
berapa nilai dari seluruh harta karun itu.
Menurut cerita yang beredar, Kelelawar memiliki kekayaan melebihi sebuah negeri, kalau
dilihat sekarang, rasanya cerita itu merupakan kenyataan.
Dengan hati hati sekali Kelelawar gadungan meletakkan ukiran naga kumala itu keatas
lantai, kemudian baru bangkit berdiri.
Kini sinar matanya telah dialihkan kembali ke arah batok kepala wanita yang berada diatas
dinding, untuk sesaat ia jadi bingung, tak tahu harus dimulai dari mana.
Setelah menengok ke kiri memandang ke kanan, akhirnya dia menghela napas sambil menyumah:
"Sialan si Kelelawar, maknya bener, darimana ia dapatkan harta karun sebanyak ini?"
Kemudian ia berdiri tertegun disana, terperangah.
Dalam hati ia sedang mempertimbangkan, bagaimana harus mengambil dan menyimpan kembali
seluruh harta karun itu. Walaupun tidak ditindak lanjuti dengan suatu perbuatan, namun terlihat jelas sorot mata
tunggalnya yang berkilauan, mendadak ia mendongakkan kepala dan tertawa keras.
Ia tertawa dengan sangat gembira, tertawa puas.
Hanya sejenak ia tertawa nyaring, mendadak ia tutup mulut sambil membalikkan badan,
memutar tubuhnya ke arah dinding yang dipenuhi pahatan payudara.
Pintu rahasia disebelah sana telah hancur berserakan, pintu yang semula kecil pun sudah
terbelah jadi berapa ratus lembar kepingan.
Dari balik pintu yang ternganga lebar itulah tamak tiga sosok bayangan manusia berjalan
masuk ke dalam ruangan. Siau Jit berjalan ditengah dengan diapit Lui Sin disisi kiri dan Han Seng disebelah kanan.
Paras muka Siau Jit dingin bagai salju, sementara paras muka Lui Sin dan Han Seng hijau
membesi, pancaran sinar mata yang berapi api seolah hendak membakar seluruh bangunan
ruangan itu. Tatkala sorot mata mereka saling bertemu, seluruh ruang rahasia itu seketika berubah jadi
tegang, hawa pembunuhan yang tak terlukiskan dengan kata menyelimuti seluruh sudut
ruangan. Akhirnya Kelelawar gadungan buka suara lebih dulu, sapanya:
"Siau Jit!" Sebelum Siau Jit sempat menjawab, Lui Sin telah berebut membentak lebih dulu:
"Suma Tionggoan!"
"Memangnya kau tahu kalau aku adalah Suma Tionggoan?" ejek Kelelawar gadungan sambil
tertawa dingin. "Tak ada lagi orang kedua" jawab Lui Sin cepat, "jelek jelek kaupun terhitung seorang jago
kenamaan, buat apa hingga sekarang masih kau kenakan topeng Kelelawar untuk mengelabuhi
kami?" Kembali Kelelawar gadungan tertawa dingin, tiba tiba ia merobek kulit topeng manusia yang
dikenakan. Dibalik topeng itu tampil sebuah raut muka yang tua tapi tampak gagah, bila ditinjau dari
penampilannya, mungkin jarang ada orang yang percaya kalau dia bukan seorang baik baik.
Karena kakek itu tampil gagah dan saleh, mimik mukanya menampilkan welas kasih, hanya
warna kulitnya sedikit rada pucat.
Siau Jit sama sekali tak kenal dengan kakek itu, begitu pula Han Seng dan Lui Sin, mereka
merasa sangat asing. Namun secara lamat lamat mereka dapat merasakan kalau wajah orang tua ini agak mirip
dengan wajah Suma Tang-shia.
"Betul, akulah Suma Tionggoan!" kembali kakek itu berkata.
"Sebetulnya kau adalah seorang pendekar kenamaan" kata Lui Sin kemudian.
"Pendekar kenamaan pun tetap manusia!"
"Hanya dikarenakan ingin mendapatkan harta karun dari Kelelawar, kau tega menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan!"
"Aku rasa banyak orang akan berbuat yang sama!"
"Dalam pertarungan di lembah Hui-jin-gan, apakah cianpwee bertempur lantaran toaci?" sela
Siau Jit tiba tiba. "Kau masih tetap memanggil Tong-shia sebagai toaci?"
"Sebutan itu tak mungkin bisa berubah"
"Betul" Suma Tionggoan manggut manggut, "aku memang bertempur demi Tong-shia, Kelelawar
telah mendatangkan rasa malu dan hina bagi Tang-shia, membuat ia hidup dalam penyesalan,
kalau tidak membunuh Kelelawar, aku memang tak mungkin bisa menerima semua kenyataan ini!"
"Begitu pula dengan yang lain?"
"Betull Sebenarnya kami berniat membunuh si Kelelawar saat itu juga, tapi setelah ia jadi
manusia idiot, kami pun berubah pikiran"
"Apakah mereka yang hidup sependapat denganmu?"
"Benar, mereka sependapat!"
"Dimana mereka sekarang?"
"Sudah mati semua, mati ditanganku, harta karun yang tak ternilai jumlahnya itu lebih
nikmat dicicipi seorang diri daripada harus dibagi rata dengan orang lain, bukan begitu?"
"Bagimu, tentu saja benar" seru Siau Jit.
"Tang-shia pun tidak keberatan, menurut rencana bila harta karun itu sudah kami dapatkan,
maka dia akan melakukan satu pekerjaan maha besar, aku percaya kau pasti mengerti bukan
dengan perasaan hatinya itu?"
Tanpa bicara Siau Jit mengangguk.
"Ketika Kelelawar memperlakukan putrimu dengan tak senonoh, aku rasa kau pasti mengerti
bukan bagaimana perasaan dan keadaan putrimu setelah itu" kata Lui Sin, "kenapa kaupun
menggunakan cara yang sama untuk menyiksa perempuan lain?"
"Kau maksudkan putrimu, Lui Hong?"
"Betull" sahut Lui Sin sambil menggigit bibir menahan diri.


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selama hampir sepuluh tahun lamanya, aku selalu berusaha untuk memulihkan kembali daya
ingatan Kelelawar, aku berharap dia mau menunjukkan tempat harta karunnya disimpan, paling
tidak bisa memberikan sedikit petunjuk yang berharga. Akhirnya semua usahaku sia sia,
karena itu pada akhirnya aku pun menggunakan cara yang sama ketika dia menculik Tang-shia
untuk menculik gadis lain, aku berharap hal tersebut bisa merangsang otaknya untuk
memulihkan kembali semua ingatannya. Aku mengakui, cara ini memang merupakan cara yang
terpaksa, rencana tersebut sebetulnya sudah muncul sejak banyak tahun berselang, sampai
pada akhirnya, karena terpaksa aku baru melakukan hal tersebut"
"Hmm, terpaksa?"" Lui Sin tertawa dingin.
"Apa yang kau katakan hanya sebuah alasan" sambung Han Seng pula, "alasan apa pun yang kau
kemukakan, tak berarti kau bisa melepaskan diri dari tanggung jawab"
"Betul sekali!" seru Lui Sin lagi.
"Bukan aku yang membunuh Lui Hong!" tegas Suma Tionggoan.
"Apakah kau ingin melimpahkan semua tanggung jawab ini kepada orang lain, kepada
Kelelawar?" teriak Lui Sin gusar.
"Memang perbuatan dari si Kelelawar!"
"Orang mati tak bisa jadi saksi, enak benar kau ingin cuci tangan dari peristiwa ini"
"Jadi kau anggap ada kepentingan bagi ku untuk berbuat demikian?"
Lui Sin tertegun. Siau Jit segera bertanya:
"Lantas apa yang sebenarnya telah terjadi?"
"Ketika Kelelawar selesai memahat patung tubuh Lui Hong, ia teringat kembali akan Lau
Ci-he, Hek Botan dan Pek Hu-yung, mendengar itu aku jadi panik dan segera menggertaknya
dengan segala pancingan pertanyaan, maksudku agar dia bisa teringat kembali dengan masa
lalunya" Siau Jit tidak mengerti dengan apa yang diucapkan orang tua itu.
Tampaknya Suma Tionggoan tahu akan hal ini, segera dia menjelaskan:
"Saat itu aku tampil sebagai roh nya Kelelawar, dia percaya kalau dirinya sudah tak bisa
mengingat kembali kejadian lalu karena roh nya sudah tinggalkan raganya, karena panik, dia
semakin mirip orang gila!"
Setelah berhenti sebentar lanjutnya:
"Saat itulah Lui Hong meronta bangun, jangan dilihat Kelelawar sedang gila dan seperti
orang kehilangan sukma, ketajaman pendengarannya tetap luar biasa, begitu Lui Hong
bergerak, diapun mengayunkan goloknya secara kalap, mencincang tubuhnya jadi berapa
bagian. Baginya, mencincang bagian tubuh adalah satu pekerjaan yang sangat dikuasahi.
Terus terang, aku sendiripun tidak menyangka kalau dia akan bertindak sinting, ketika
ingin memberi pertolongan, keadaan sudah terlambat"
"Jadi begitu kejadiannya?" seru Lui Sin penuh dendam.
"Sejujurnya, aku merasa menyesal sekali dengan kejadian itu, nurani ku pun tak bisa
menerima hal tersebut"
"Kau masih punya nurani?" dengus Lui Sin sambil tertawa dingin.
"Terlepas mau percaya atau tidak, aku tak ambil peduli. Tapi bagaimana pun, peristiwa ini
terjadi lantaran ulahku, tentu saja aku harus bertanggung jawab"
"Kalau memang begitu, seharusnya kau tak perlu membohongi kami" ucap Siau Jit.
"Ketika masalah sudah berkembang jadi begini, mau bicara jujur atau bohong, hasilnya sama
saja, jadi buat apa musti banyak pikir"
Kembali Siau Jit bertanya:
"Kalau memang begitu, seharusnya kau tak perlu membohongi kami" ucap Siau Jit.
"Ketika masalah sudah berkembang jadi begini, mau bicara jujur atau bohong, hasilnya sama
saja, jadi buat apa musti banyak pikir"
Kembali Siau Jit bertanya:
"Kematian rombongan Tin-wan piaukiok, keluarga Lau Ci-he dan Ciu Kiok tentu merupakan
ulahmu semua bukan" Kau yang telah melakukan pembantaian itu?"
Suma Tionggoan mengangguk berulang kali.
"Betul, rahasiaku tak boleh bocor keluar, jadi terpaksa aku harus menghilangkan saksi
hidup. Sedang mengenai Lau Ci-he, tentu saja dia harus mati, karena dia sudah tahu kalau
aku gadungan" Dengan tangan kirinya dia tekan kelopak mata kiri hingga biji matanya melompat keluar,
sambil dijepit dengan ibu jari dan jari telunjuk, ujarnya:
"Mata kiriku ini hancur ditangan Kelelawar, tapi mata kananku masih tetap normal, Lau
Ci-he telah mengetahui rahasiaku ini, sebab ketika aku paksa dia untuk mengaku dimana
golok Kelelawar miliknya disimpan, wajahku berada kelewat dekat dengan wajahnya"
Siau Jit menghela napas panjang.
"Dia merupakan salah satu korban kebiadaban Kelelawar, tentu saja kesannya terhadap iblis
itu sangat mendalam"
Tiba tiba Suma Tionggoan bertanya:
"Kau sudah tahu kalau Ciu Kiok telah tewas, berarti kau telah berkunjung ke perkampungan
Suma-san-ceng?" "Kami memang pergi mencari toaci untuk menanyakan hal ini"
"Kenapa kalian bisa mempunyai ingatan semacam itu?"
"Karena tiga patah kata palsu yang diucapkan Ong Bu-shia menjelang ajalnya!"
"Sialan! Tahu begitu, seharusnya kugorok lehernya sampai putus!" sumpah Suma Tionggoan.
"Selama hidup Ong Bu-shia sudah kelewat banyak berbuat kejahatan, tapi akhirnya dia
melakukan juga sebuah kebajikan"
"Kemauan takdir!" gumam Suma Tionggoan sambil mendepak kakinya dan menghela napas.
"Jaring hukum langit memang tak akan membiarkan orang berdosa berbuat semena mena"
II "Mungkin saja begitu kembali Suma Tionggoan bertanya, "bagaimana dengan Tang-shia?"
"Dia sudah tewas oleh pedang pemutus ususku!" jawab Siau Jit sedih.
Berubah paras muka Suma Tionggoan.
"Siau Jit, bedebah kau! Kejam betul hatimu!"
Kembali Siau Jit menghela napas panjang.
"Diantara mati dan hidup, aku tak punya pilihan lain!" sahutnya.
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan:
"Selain itu masih ada Sim Ngo-nio, dia berada dijalan raya, mungkin niatnya untuk
menghalangi kami datang kemari"
Suma Tionggoan membungkam.
Ujar Siau Jit lebih lanjut:
"Menjelang ajalnya dia sempat mengucapkan sesuatu . . . . .. katanya jangan salahkan dia,
karena ia sudah berusaha dengan segala kemampuan yang dimiliki!"
Suma Tionggoan semakin terbungkam, paras mukanya berubah makin tak sedap dipandang.
"Kesemua ini adalah kenyataan!" imbuh Siau Jit.
Dengan sorot mata tajam Suma Tionggoan awasi wajah Siau Jit berapa saat, kemudian katanya:
"Selama ini Tang-shia selalu mengatakan kalau kau sangat cerdas, kenyataan membuktikan
bahwa apa yang dia duga tak keliru, sebaliknya justru akulah yang telah salah menilai
tentang dirimu. Semua usahaku akhirnya rusak ditanganmu seorang, jadi kalau terpaksa aku
bertindak kejam, jangan kau salahkan orang lain!"
"Aaai, toaci pun seorang yang cerdas" Siau Jit ikut menghela napas, "seandainya bukan dia
berbelas kasihan, mungkin kami semua sudah tewas ditengah hutan bambu"
"Itulah kelemahan paling utama Tang-shia, hatinya kelewat lembek, tak tega, bukan saja
akibatnya urusan besar tak mampu dia lakukan bahkan malah merusak segala rencana"
Setelah berhenti sejenak, berkilat mata tunggalnya:
"Aku dengar tujuh jurus ilmu pedang pemutus usus mu telah berhasil mencapai sepuluh bagian
kesempurnaan Bu Cing-cu?"
"Dibandingkan suhu, ilmu silatku masih ketinggalan jauh, mungkin delapan puluh persen pun
tak samai" "Kau tak perlu merendahkan diri lagi dihadapanku, apa pun yang terjadi, dalam pertarungan
nanti kalau bukan kau yang mati, aku lah yang tewas!"
"Jangan lupa masih ada kami berdua . . . . . .." teriak Lui Sin lantang.
"Hahaha, terhitung manusia macam apa kalian itu?" tukas Suma Tionggoan sinis.
Saat itu Lui Sin sudah meloloskan goloknya, begitu mendengar ejekan tersebut, kontan
senjatanya digetarkan berulang kali hingga bunyi kencang, sementara Han Seng telah
menyiapkan pula pedang peraknya, siap menyerang Suma Tionggoan.
Kedua orang ini benar benar sudah habis kesabarannya, mereka siap berduel untuk menentukan
mati hidup. Sambil tertawa kembali Suma Tionggoan berkata:
"Tapi kalau kalian memang ingin cepat cepat mampus, aku pun tak masalah, pasti akan
kupenuhi keinginan kalian itu!"
"Tak usah banyak cincong!" bentak Lui Sin meradang.
"Masih ada sepatah kata"
"Cepat katakan!"
"Kalian bermaksud main kerubut atau maju satu per satu?"
"Untuk menghadapi manusia biadab macam kau, buat apa musti membicarakan soal peraturan
persilatan!" "Hahaha, bagus!" seru Suma Tionggoan sambil tertawa tergelak.
Belum habis ia tertawa, Lui Sin telah mengayun goloknya sambil menyerbu maju, secara
beruntun dia lancarkan delapan belas bacokan berantai.
Han Seng tak mau kalah, pedang peraknya bagai selapis bianglala langsung menerkam Suma
Tionggoan. Siau Jit pun ikut bertindak, biarpun ia menyerang belakangan namun serangannya tiba
duluan, pedang pemutus ususnya langsung menusuk ke dada lawan.
"Bagusl" seru Suma Tionggoan, ia cabut sepasang goloknya lalu menyambut datangnya serangan
dua pedang satu golok itu sekaligus.
"Triiing, traang, triiing, traaang!" suara benturan logam bergema tiada hentinya, dengan
satu langkah lebar Suma Tionggoan menghindari posisi tengah bergeser ke samping, dengan
golok kanan dia tangkis pedang pemutus usus, golok kiri menyambut datangnya golok emas dan
pedang perak. "Traaang!" ternyata bacokan goloknya berhasil dicongkel pedang perak milik Han Seng hingga
mencelat ke samping. Keberhasilan ini kontan membuat Han Seng tertegun, dia sendiri sama sekali tak menyangka
kalau congkelan pedangnya menghasilkan kekuatan sebesar itu.
"Hati hati!" saat itulah Siau Jit membentak nyaring.
Belum habis teriakan itu, Suma Tionggoan sudah menyodokkan tangan kirinya melalui
pertahanan yang terbuka, langsung menghantam dada Han Seng.
"Duuukkl" Han Seng berteriak kesakitan, tubuhnya terpental ke belakang, darah segar
menyembur keluar dari mulutnya membentuk selapis bianglala terbang.
Pakaian yang dikenakan tiba tiba saja hancur dan robek tak karuan, sebuah bekas cap
telapak tangan muncul diatas dadanya.
"Haah, ilmu pukulan Mi-tiong tay-jiu-eng!" teriak Siau Jit terkesiap.
Dalam waktu singkat dia telah melancarkan tujuh kali tujuh, empat puluh sembilan tusukan,
tapi semua serangannya itu berhasil dibendung golok Kelelawar milik Suma Tionggoan.
Begitu menarik kembali telapak kirinya, dengan cepat Suma Tionggoan mencabut keluar golok
Kelelawar yang ke tiga, kemudian mengayunkan kembali sepasang senjatanya untuk menyerang.
Han Seng mencelat sejauh hampir dua tombak dari posisi semula dan roboh terkapar ditanah,
ketika berusaha bangkit, wajahnya berubah jadi merah membara, lagi lagi dia muntahkan
darah segar. Meskipun dia masih bisa bernapas, namun lantaran sudah menderita luka parah, Han Seng
sudah tak mampu lagi untuk bertempur.
Menyaksikan hal itu, Lui Sin gusar bercampur panik, serangan goloknya semakin gencar
dilancarkan, bacokan bertubi tubi ditujukan ke tubuh lawan.
Siau Jit tak mau kalah, dia pun ikut menyerang dengan pedang pemutus usus andalannya.
Sambil melayani serangan gencar lawannya, ejek Suma Tionggoan sambil tertawa:
"Bertarung melawan dua orang jauh lebih gamang daripada bertempur menghadapi tiga orang!"
"Hmm, melukai orang dengan akal busuk, kau bukan terhitung seorang hohan!" umpat Lui Sin
gusar. Suma Tionggoan tertawa tergelak.
"Hahahaha, dalam peperangan tak tabu menggunakan siasat, masa kau tak mengerti maksud
ini!" Sambil meraung penuh amarah Lui Sin mengobat abitkan goloknya melepaskan seratus empat
belas buah bacokan, kekuatan yang ditimbulkan ibarat ambruknya gunung yang menguruk
samudra. Dengan gesit dan cekatan Suma Tionggoan menggerakkan goloknya menangkis kiri kanan,
seratus gebrakan kemudian ia telah berhasil meloloskan diri dari kepungan pedang pemutus
usus, sekarang sepasang goloknya bersama sama digunakan untuk menghajar Lui Sin.
Walaupun menghadapi serangan brutal, Lui Sin enggan mundur, goloknya sekuat tenaga
diayunkan menghadapi ancaman lawan.
Dalam waktu singkat Siau Jit kembali telah menyusul tiba.
Dengan cepat Suma Tionggoan menarik kembali salah satu dari sepasang goloknya yang dipakai
untuk melawan Lui Sin. Lalu tangannya digetarkan, tahu tahu mata golok terlepas dari
gagangnya dan bagai anak panah yang terlepas dari busur, langsung menyambar ke tubuh orang
she-Lui itu. Apa yang dia lakukan sungguh diluar dugaan, apalagi dalam jarak yang begitu dekat, sulit
bagi Lui Sin untuk menghindarkan diri, belum selesai jeritan kagetnya, ujung golok telah
menghujam di dada. Sungguh dahsyat kekuatan daya timpuknya, mata golok langsung menembusi dada hingga jebol
di punggung, tubuh Lui Sin terlempar mundur sejauh setengah tombak lalu roboh terkapar ke
tanah, tewas sambil masih memeluk goloknya.
Sambil tertawa Suma Tionggoan berkata:
"Entah sudah berapa kali golok Kelelawar itu rusak gagangnya hingga mata golok sering
terlepas, tak disangka ketika kugunakan sebagai senjata rahasia, malah mampu mencabut
selembar nyawa!" Gagal selamatkan nyawa rekannya, merah membara sepasang mata Siau Jit, ilmu pedang pemutut
usus segera dilancarkan jurus demi jurus.
Dengan santai Suma Tionggoan menyambut datangnya serangan itu, kembali ujarnya:
"Untuk menghadapi satu orang, tentu jauh lebih gampang daripada menghadapi dua orang!"
Sambil bicara dia melancarkan serangkaian bacokan, dengan golok memainkan jurus pedang,
semua gerakan dapat ia lakukan dengan lincah dan cekatan.
Siau Jit menghadapi dengan serius.
Bicara soal tenaga dalam, kemampuan Suma Tionggoan masih jauh diatas Siau Jit,
kecepatannya berganti jurus pun melebihi anak muda itu, kini dengan melancarkan serangan
kilat, selangkah demi selangkah dia mendesak terus.
Untungnya dalam kelincahan dan kegesitan, Siau Jit masih jauh mengungguli Suma Tionggoan.
Dalam deretan ilmu pedang kenamaan pun, tujuh jurus ilmu pedang pemutus usus dari
Bu-cing-cu berada pada urutan pertama, sedang tiga jurus pengejar nyawa dari keluarga Suma
hanya menempati urutan ke tiga.
Namun usia Siau Jit masih muda, kurang pengalaman, jauh ketinggalan bila dibandingkan Suma
Tionggoan yang merupakan jago kawanan dan sangat berpengalaman.
Setelah bertarung berapa gebrakan, Suma Tionggoan segera dapat meraba situasi yang sedang
dihadapi, sekuat tenaga dia berusaha memanfaatkan kelebihannya dengan memeras habis tenaga
dalam yang dimiliki Siau Jit.
Bagi Siau Jit sendiri, diapun dapat melihat maksud tujuan Suma Tionggoan yang sebenarnya,
enggan terjebak dalam perangkap musuh, beruntun dia mundur sejauh satu tombak lebih, kini
punggungnya sudah menempel diatas dinding.
Dinding dimana ia berdiri sekarang merupakan dinding dengan tumpukan pahatan pantat.
Kini punggungnya sudah bersandar diatas pantat, sayang pantat itu terbuat dari kayu yang
keras hingga terasa tidak nyaman.
Suma Tionggoan sama sekali tidak mengendorkan serangannya, walau musuh sudah terdesak, ia
tetap melancarkan serangkaian bacokan dan tusukan maut.
Secara beruntun Siau Jit menerima lima belas bacokan lawan, mendadak ia membentak nyaring:
"Putus l" Jurus ke dua dari tujuh jurus ilmu pedang pemutus ususnya segera dilancarkan.
Gerakan pertama ia gunakan untuk menangkis golok Kelelawar dari Suma Tionggoan, disusul
gerakan kedua balas menusuk lambung musuh.
"Tak bakalan putus!" sahut Suma Tionggoan sambil menangkis serangan musuh dan melepaskan
tiga jurus ilmu pedang pengejar nyawa.
Segumpal cahaya dingin memancar keluar dari tubuhnya, ia beserta golok melambung ke udara
lalu membacok ke bawah. Malam ini merupakan kali ke tiga Siau Jit menghadapi serangan ilmu pedang pengejar nyawa
dari keluarga Suma, seperti yang dikatakan orang, makin sering mengemudi semakin hapal,
walaupun tusukan maut dari Suma Tionggoan amat ganas, namun lantaran dia gunakan golok
sebagai pengganti pedang, daya kemam puan yang terpancar pun jauh berkurang kehebatannya .
Siau Jit masih tetap menggunakan jurus pertama dari ilmu pedang pemutus ususnya untuk
mematahkan jurus pertama dari ilmu pedang pengejar nyawa Suma Tionggoan.
Jaring golok kembali berlanjut mengurung angkasa, inilah jurus ke dua dari Tui-mia-kiam.
Siau Jit dengan tiga gebrakan, mematahkan satu gerakan musuh.
Ketika jurus serangan ke tiga menyambar datang, Siau Jit yang sudah punya pengalaman
sebelumnya buru buru mendongkel pedangnya keatas, melindungi bagian mematikan di
tenggorokannya. "Triiing", betul saja, golok itu langsung membabat tenggorokannya, tapi segera terbendung
oleh tangkisan pedangnya, memanfaatkan kesempatan ini Siau Jit segera melancarkan serangan
dengan jurus terakhir dari ilmu pedang pemutus usus.
Siapa tahu pada saat itulah gerakan golok Suma Tionggoan yang semula terhenti tahu tahu
kembali berubah. Kali ini goloknya berubah jadi tujuh tusukan yang membabat tiba dari tujuh arah yang
berbeda, jurus ketiga dari Siau Jit hanya berhasil mematahkan enam bacokan pertama,
tersisa satu bacokan yang langsung masuk ke lubang pertahanannya.
"Breeet!" satu bacokan memanjang membuat dada Siau Jit hingga ke arah tenggorokannya
terluka hingga berdarah, walaupun lukanya tidak terlalu dalam, namun bila sampai mengenai
lehernya, niscaya tenggorokan Siau Jit bakal bersayat putus.
Sungguh hebat Siau Jit, dalam keadaan kritis cepat ia keluarkan jurus jembatan baja untuk


Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindarkan diri dari ancaman kearah tenggorokan.
Tidak berhenti sampai disitu, secara beruntun kembali Suma Tionggoan melancarkan tiga
bacokan. Padahal saat itu tubuh Siau Jit sudah terlanjur membuang ke belakang dalam posisi jembatan
gantung, sulit baginya untuk meloloskan diri, tak ampun bahu serta pinggangnya kembali
terbacok hingga berdarah.
Kontan Suma Tionggoan tertawa tergelak, serunya:
"Hahaha, pada sepuluh tahun berselang, ilmu pedang Tui-mia-kiam dari keluarga Suma memang
hanya terdiri dari tiga jurus, tapi sekarang telah kutambah dua jurus lagi hingga genap
lima jurus. Tang-shia belum kuajari dua jurus tambahan itu, ini dikarenakan aku tak ada
waktu untuk melakukannya, tak disangka hal ini justru malah mendatangkan kebaikan untukku"
Sementara pembicaraan berlangsung, dia sama sekali tidak mendesak lagi.
Namun Siau Jit tetap mundur selangkah.
"Tadi adalah jurus ke empat" ujar Suma Tionggoan lebih jauh, "kalau tak berhasil mencabut
nyawamu, itu dikarenakan kau memang berilmu, jika dalam jurus ke lima nanti aku tetap
gagal membunuhmu, saat itulah aku orang she-Suma benar benar akan merasa takluk!"
Bicara sampai disitu, dia angkat golok Kelelawar dan menuding tenggorokan Siau Jit dengan
ujung golok. Dalam pada itu ujung pedang Siau Jit menunjuk ke permukaan tanah, jurus terakhir dari ilmu
pedang pemutus usus siap dilancarkan.
Senyuman yang semula menghiasi wajah Suma Tionggoan, kini hilang lenyap tak berbekas,
ditengah bentakan nyaring, goloknya langsung dibacokkan ke depan.
Sewaktu melancarkan bacokan, dia hanya melakukannya satu kali, tapi ketika tiba ditengah
jalan, satu bacokan telah berubah jadi empat belas bacokan.
Siau Jit tak dapat menebak arah mana ditubuhnya yang menjadi incaran, namun sekarang ia
sudah terpojok dan tak mungkin bisa mundur lagi, mau tak mau terpaksa dia harus sambut
datangnya ancaman itu. Dengan pedang dilintangkan, ia songsong datangnya serangan itu.
Deruan angin golok yang kencang memaksa dia susah bernapas, pandangan matanya ikut kalut
karena silau oleh cahaya golok.
Namun serangan pedangnya hanya ada jalan keluar, tak ada jalan balik.
Ditengah suasana yang kritis dan lapisan golok yang kental itulah, tiba tiba semuanya
rontok dan longsor, lalu terdengar Suma Tionggoan menjerit kaget.
Dalam pandangan matanya hanya ada Siau Jit, semua pikiran dan konsentrasinya hanya tertuju
ingin membantai pemuda itu, mimpi pun dia tidak menyangka kalau Han Seng yang terkapar
ditanah tiba tiba menggelinding ke samping tubuhnya, lalu memeluk sepasang kakinya kuat
kuat. Waktu itu Suma Tionggoan sedang melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, tenaga dalam
yang disertakan pun sudah mencapai puncaknya, akibat dari pelukan itu, kontan tulang
belulang disekujur badan Han Seng hancur berantakan, selembar jiwanya pun ikut melayang.
Tapi dengan adanya kejadian ini, serangan maut dari Suma Tionggoan pun ikut hancur
berantakan, menggunakan kesempatan itu Siau Jit segera melepaskan satu tusukan maut.
Suma Tionggoan hanya melihat datangnya cahaya pedang, ingin sekali dia menghindar, sayang
tubuhnya enggan turuti perintah, tahu tahu perutnya terasa sakit sekali.
Ia tundukkan kepala, melihat darah segar menyembur keluar dari perutnya.
Walaupun tak nampak jelas, dia tahu usus dalam perutnya sudah hancur dan putus.
Dalam waktu singkat sisa tenaga yang dimiliki pun hilang lenyap tak berbekas.
"Bagusl Pedang pemutus usus!" bisiknya dengan suara parau.
Darah masih menetes diujung pedang Siau Jit, katanya:
"Walaupun aku berhasil menyarangkan tusukan pedang ini ke perutmu, namun mau tak mau harus
kuakui bahwa aku tak mampu menerima jurus ke lima dari ilmu pedang pengejar nyawa mu!"
"Tentu saja" jawab Suma Tionggoan tetap angkuh.
Siau Jit menghela napas panjang, katanya:
"Padahal kau adalah seorang pendekar kenamaan, seorang jagoan luar biasa didalam dunia
persilatan . . . . . .."
"Hahaha.... apa gunanya membicarakan segala omong kosong pada saat sekarang!" tukas Suma
Tionggoan sambil tertawa keras.
Ditengah gelak tertawa, darah segar meleleh keluar membasahi ujung bibirnya, dia mulai
gontai, tubuhnya mulai semoyongan, namun lanjutnya:
"Untung sebelum mati, aku telah mencari dua orang teman, hitung hitung tidak terlalu rugi"
Siau Jit tidak bicara. Kembali Suma Tionggoan melanjutkan:
"Yang menjengkelkan justru tempat penyimpanan harta karun itu, sudah tujuh tahun aku
menggeledah ruang iblis ini namun gagal menemukan rahasia tersebut, tak tahunya jauh
diujung langit, dekat di depan mata"
Lalu sumpahnya: "Dasar Kelelawar laknat, sialan, kalau bertemu di neraka nanti, aku pasti akan membuat
perhitungan lagi denganmu!"
Siau Jit hanya menghela napas sambil menggeleng, dia tak menyangka orang itu begitu
kemaruk harta, kalau dilihat dari keserakahannya, jelas dia sudah berada dalam tahap tak
bisa diobati lagi. Terdengar Suma Tionggoan berkata lagi:
"Kenapa kalian tidak datang sedikit lebih lambat" Paling tidak berilah kesempatan kepadaku
untuk menyaksikan seluruh harta karun yang dimiliki Kelelawar!"
Nada suaranya makin lama semakin bertambah lemah dan parau, keluhnya:
"Inilah satu satunya kejadian yang paling kusesalkan . . . . . .."
Kata terakhir sudah tidak kedengaran lagi, karena diiringi suara keras, tubuhnya roboh
terjungkal ke atas tanah.
Darah segar masih mengucur deras.
Noda darah diujung pedang Siau Jit telah mengering, tiba tiba saja ia menghela napas
panjang. Walaupun pada akhirnya ia berhasil membongkar rahasia Kelelawar tanpa sayap, tapi
sahabatnya satu per satu tewas dihadapannya.
Bagaimana pun juga inilah penyelesaian yang sangat tragis.
Dia benar benar tak ingin menjumpai lagi peristiwa tragis semacam ini, karena satu
kejadian pun sudah lebih dari cukup.
Pedang telah disarungkan, akhirnya dia merasa amat penat.
Semacam kepenatan yang tumbuh dari hati kecilnya, yang menjalar dan menyebar cepat seperti
terkena obat beracun. Tanpa bicara ia duduk bersila, dia hanya ingin memikirkan satu persoalan.
Fajar akhirnya menyingsing.
Tak namak cahaya dalam ruang itu, karena disana tak ada bedanya antara siang dan malam.
Diluar gedung, meski kabut sangat tebal namun secerca sinar fajar mulai muncul di ufuk
timur. Akhirnya malam yang panjang telah berlalu.
Sampai disini pula cerita Kelelawar tanpa sayap.
T A M A T The Chronos Sapphire Iii 4 Taking Her Boss Karya Alegra Verde Api Di Bukit Menoreh 5
^