Mustika Gaib 2

Mustika Gaib Karya Buyung Hok Bagian 2


Pikirnya, "Apakah rumah makan ini memasang merek "Kalong Putih" Aih, pelayan itu terlalu tolol, tokh aku tidak menanyakan nama kedai ini." Ternyata Siong In sudah salah tentang tentang lukisan Kalong Putih yang terpan?cang di atas kusen pintu itu.
Ia telah me?nyangka kalau kedai itu bermerek "Kalong Putih", sesuai dengan gambar lukisan.
Ia tidak tahu kalau lukisan itulah yang me?rupakan setan dari penduduk kampung Sip-lie-ho, dan mereka telah menyangka kalau Siong In ini adalah salah seorang komplotan dari golongan Kalong Putih.
Setelah memperhatikan lukisan di atas pintu itu, Siong In kembali masuk, ia duduk di kursinya.
Pelayan rumah makan masih duduk di sana.
Ia memperhatikan langkah kaki si nona baju merah yang cantik itu.
Hatinya diliputi rasa takut yang luar biasa.
"Hmmn, apa kedai ini bermerek Kalong Putih?" tanya Siong In.
Pelayan tadi tampak kebingungan, ia menggeleng- geleng kepala.
"Jadi bagaimana ini?" seru Siong In mulai jengkel.
"Ayo bicara yang terang!" Pelayan tadi tambah gemetaran, ia bukan menjawab pertanyaan Siong In, malah saking takutnya mulainya jadi bungkam.
"Heh, kampung aneh," gerutu Siong In menyaksikan sikap pelayan tadi.
Ia bangkit berdiri, mengeluarkan uang recehan dile?takkan di atas meja.
Katanya, "Apa cukup." Pelayan tadi melirik uang di atas meja, kemudian uang itu diraupnya, lalu disodor?kan ke depan Siong In.
Siong In jadi bingung, tanyanya, "Apa kurang banyak?" Pelayan tadi men geleng kepala.
Ia menyodorkan uang itu ketangan Siong In, kalanya gemetaran, "Jangan bayar!" "Eh, manusia ajaib............." pikir Siong In.
Ia tidak menerima angsuran uang itu melangkah keluar.
Baru tiga tindak Siong In maju, menda?dak di luar rumah makan terdengar suara tertawa dingin.
Tak lama kemudian masuk dua orang berseragam hitam, muka mereka terbungkus oleh selubung hitam, di dada kiri setiap orang terpeta itu lukisan Kalong Putih.
Melihat munculnya dua orarg itu, Siong In merandek, ia mundur kembali ke mejanya menarik bangku duduk di sana.
"Eh, apa mereka ini pemilik rumah makan?" tanya Siong In pada pelayan kurus tadi.
Tapi ketika Siong In menoleh ke arah pelayan tadi, ternyata pelawan sudah tidak ada di sana.
Dan para tamu dalam rumah makan itu sudah bangkit berdiri dengan badan gemetaran.
Dua orang seragam hitam berselubung hitam itu masuk ke dalam rumah makan, mereka melempar-lempar kursi dan meja, hingga di dalam kedai itu terjadi keributan, Beberapa orang tamu lari keluar.
Dan be?berapa lagi mendapat luka-luka akibat terkena lemparan kursi dan bangku.
"Heheeeeehheheheheheeeeee .
?"" dua orang itu tertawa terkekeh, begitu mereka tiba di depan Siong In, salah seorang di sebelah kiri berkata, "Nona manis baju merah.
Kau orang asing di sini. Eh, apa agamamu?" "Aiyaaaaaaa .......ia bawa pedang di punggungnya," seru orang seragam hitam di samping kanannya.
Melihat tingkah laku kasar kedua orang seragam hitam itu, Siong In jadi sengit, lebih-lebih keadaan si nona waktu itu tidak beda seperti anak kerbau yang baru lahir, tidak takut macan.
Maka sambil menarik pedang di punggungnya ia berkata, "Nonamu memang bawa pedang.'* Berbarengan dengan ucapannya pedang si nona dibantingkan di atas meja hingga mengeluarkan suara berisik.
Sedang Siong In sendiri lalu berdiri, kakinya sebelah kiri diangkat ditaruh di atas bangku menghadapi kedua orang seragam hitam itu.
Melihat sikap Siong lu yang tidak me?mandang mata pada mereka, kedua orang itu saling pandang.
Kemudian mereka mendengus, "Hei sundel!" bentak salah seorang seragam hitam di sebelah kiri.
"Jawab kau agama apa?" "Apa urusanmu dengan agamaku.
Inilah anak cucunya dewi Kwan In, kau sudah lihat belum." Seru Siong In menepuk dada.
"Nggg." dengus si seragam hitam, di sebelah kanan.
"Kalau begitu, nyawamu masih bisa diselamatkan, tapi, kau sudah ber?laku begitu sombong di depan kami maka kau harus menghibur kami." "Bagus," kata Siong In.
"Aku akan se?gera menghibur kalian.
Nah dekatlah ke mari." Siong In masih berdiri dengan posisi kaki diletakkan di atas bangku.
Kedua orang itu mendengar kalau si nona menyu?ruh mereka datang mendekat, mereka su?dah jadi girang, dengan cepat mereka berlomba mendekati si nona manis baju merah.
Satu dari sebelah kanan, dan satu dari sebelah kiri.
Hingga keadaan mereka dipisahkan oleh kaki Siong In yang berada di atas bangku.
Begitu menampak kedua laki-laki tadi berebutan mendekat, kedua tangan Siong In di pentang lebar, sikapnya seperti orang yang hendak merangkul kedua orang tadi.
Kedua orang seragam hitam itu melihat kalau tangan si nona terbuka lebar menyambut kedatangan mereka, mereka sangatlah girangnya, semangat mereka seperti sudah terbang ke langit yang ketujuh.
Siong In tersenyum, senyum itu amatlah manisnya, hingga kedua orang yang menubruk datang itu, menyedot napas menikmat senyumnya si nona.
Selagi kedua orang seragam hitam itu menyedot napas menikmati senyum manisnya si nona, mendadak kedua tangan si nona yang dipentang lebar bergerak laksana kilat, membentur kepala kedua orang itu.
Dua orang itu sudah mabok kepayang, begitu kedua tapak tangan si nona masing-masing membentur kepalanya, mereka baru kaget tapi kekagetan mereka sudah terlambat, karena sang kepala sudah membentur kepala kawan sendiri.
Terasa ruangan di dalam kedai itu berputar di dalam rongga otak kepala mereka yang baru saja dibentur tangan halusnya si nona.
Tubuh mereka berputaran kemudian sempoyongan jatuh di lantai Begitu kedua orang seragam hitam itu roboh terjengkang di lantai, mendadak saja salah seorang dari tamu rumah makan berteriak keras.
Sejak munculnya kedua orang seragam hitam itu, ia duduk bersandar di dinding, kini kening mengucurkan darah akibat terkena lemparan meja yang dilakukan oleh kedua orang seragam hitam ketika mereka baru memasuki kedai tadi, orang itu dengan sinar mata buas bangkit berdiri.
Ia mengambil sebuah bangku diangkatnya tinggi- tinggi lalu mendatangi ke arah meja Siong In.
Siong In kaget menyaksikan kelakuan orang itu, pikirnya, "Kalau kau berani main gila di hadapanku, kau akan merasakan bagian seperti mereka." Siong In siap-siap menghadapi serangan orang tadi.
Tapi rupanya arah sasaran kemarahan orang itu bukan pada Siong In, karena laki-laki berdarah di kening tadi begitu tiba ia segera mengayun bangku menghajar kepala kedua orang seragam hitam bergantian.
Hingga kepala mereka bocor mengeluarkan darah.
Dua orang seragam hitam itu yang jatuh terjengkang akibat beradunya kepala mereka rupanya sudah jadi semaput, hingga ketika pukulan kursi mampir di kepala mereka, mereka hanya bisa mengeluarkan suara keluhan.
Orang tadi memukul kepala kedua orang seragam hitam itu sampai bocor, terus menerus menggebuki badan kedua orang itu.
Siong In yang menyaksikan perbuatan nekad orang itu, mendadak saja berkata, "Tahan!" Orang tadi jadi kaget, ia menahan ayunan bangku di atas kepalanya, kemudian memandang ke arah Siong In.
"Mundur! Lihat, tubuh mereka berubah biru," seru Siong Ia menunjuk ke arah ke dua orang seragam hitam tadi.
Dengan masih memegangi bangku, orang itu mundur dua tindak, ia memperhatikan keadaan dua orang seragam hitam yang menggeletak di lantai, dari bagian wajah yang tak tertutup kain selubung hitamnya tampak muka orang itu membiru, kemudian kaki dan tangannya berubah biru matang.
Dan tak lama kemudian, daging- daging biru itu mulai mengeluarkan cairan biru.
Siong In baru pertama kali itu melihat kejadian aneh, matanya terbelalak lebar, ia heran bagaimana mayat ini bisa berubah mencair jadi biru.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, daging-daging orang itu mulai mencair.
Cairan biru menggenangi lantai rumah makan tadi.
Orang terluka pada kening menyaksikan kejadian itu, mendadak saja ia tertawa berkakakan, bangku yang dipegangnya dilem?par ke samping, kemudian ia berteriak-teriak, "Saudara-saudara lihatlah manusia kejam ini mampus menerima kutukan dewa.
Ayo saksikan ramai-ramai".." Orang-orang dalam kedai itu menyaksikan ke dua orang seragam bitam tadi mati dengan mencair, mereka melongokkan kepala me?mandang dari jauh.
Mereka tidak berani mendekat, sedang itu cairan biru dari da?ging dan tulang kedua orang seragam biru sudah menggenangi lantai.
Sementara itu orang berkening terluka dengan masih tertawa-tawa ia berteriak jalan mondar mandi, "Kutukan dewa, kutukan dewa"..." Entah dendam apa yang tertanam atas diri orang kening terluka itu, hingga ia berteriak-teriak demikian seperti merasa puas melihat cara kematian kedua orang seragam hitam tadi.
Karena gerakkannya yang mondar mandir di dekat mayat tadi, maka tanpa disadarinya cairan biru dari mayat kedua orang seragam hitam itu, terinjak oleh kakinya.
Kaki orang tadi mengenakan sepatu bu?tut, begitu ia merasakan menginjak cairan biru mayat tadi, mendadak saja ia tertawa berkakakan, kaki bersepatu itu diinjak-injakkannya pada lantai yang sudah digenangi cairan biru.
Sambil tertawa puas. Siong In menyaksikan kelakuan orang tua itu mundur lagi setindak keningnya berkerut.
Dan tiba-tiba saja hati si nona baju merah jadi kaget, karena mendadak orang tua yang tertawa berkakakan sambil menginjak-injak cairan biru dari mayat kedua orang seragam hitam itu, mendadak saja tubuhnya jadi kaku mengejang, suara tawanya sirap seketika, lalu tubuhnya jatuh ambruk di lantai.
Siong In kembali lompat mundur.
"Eh. Aneh," pikir si nona.
Badan orang itu kejang di atas lantai, matanya mendelik keluar, sedang mulutnya yang tadi tertawa berkakakan terbuka lebar.
Dari kaki bersepatu butut tadi, mulai menjalar warna biru.
Menjalar terus ke seluruh tubuhnya.
Kemudian perlahan-lahan tubuh tua itu mencair biru.
Siong In terheran-heran kini di depannya, tampak tiga gumpalan benda hitam, itulah tiga gumpalan rambut dari tiga orang korban kematian misterius.
******0dwkz0lynx0mukhdan0******** JILID 3 SEJAK HARI ITU kedai nasi tadi tak digunakan orang lagi, tak seorangpun berani masuk dan menggunakan kedai tersebut.
Mereka takut terkena kutukan dewa, mati mendadak mencair membiru.
Siong In pun pernah mendapat didikan ilmu silat dari suhu anehnya di atas puncak gunung Hong- san ia juga diherankan atas kematian orang itu yang demikian rupa anehnya, sete!ah terjadinya peristiwa itu, si nona kembali dibuat jadi kebingungan karena mendadak saja penduduk kampung yang sejak pertama kali ia muncul di sana pada lari menjauh, kini mereka berubah memberi pujian-pujian dan mengucapkan perasaan kagum mereka atas kelihaiannya si nona baiu merah yang gagah berani telah membunuh dua orang seragam hitam yang selama belakangan ini menjadi momok bagi penduduk desa.
Siang itu Siong In hendak meneruskan perjalanannya, tapi seluruh penduduk kampung mengharapkan agar si nona bisa tetap tinggal dalam kampung halamannya.
Agar dapat setiap waktu menjaga keamanan kampung dari gangguan orang misterius tadi.
Tapi Siong In mengelak, mana bisa mesti berdiam di sana terus menerus, tugasnya mencari sang ayah yang lenyap sejak sepuluh tahun tiada kabar berita juga belum didapatkan, ia juga menanyakan kepada para penduduk kampung itu apakah pernah bertemu dengan seorang tua she Lo nama Siauw Houw asal dari Hong-san.
Tapi semua penduduk kampung mengatakan belum pernah mendengar nama itu.
"Liehiap," seru salah seorang laki-laki pertengahan umur, ketika Siong In akan meninggalkan pintu perkampungan.
"Turun tangan jangan kepalang tanggung.
Kalau Liehiap bertindak kepalang tanggung, maka yang akan jadi korban adalah kami penduduk kampong yang lemah ini.
Mereka akan mengganas membabi buta membunuh kami semua." "Hmmm." Siong In mengerutkan kening pikirnya.
"Jejak ayah memang belum diketahui," pikirnya.
"Tapi, dalam perjalanan ini tidak salahnya aku membuang sedikit tempo untuk membasmi golongan seragam berselubung hitam yang ternyata bukan orang baik" Suhu pernah berkata, dalam hidup aku mesti menyumbangkan tenaga berbuat kebaikan, menghancurkan kejahatan.
Apa salahnya kalau aku sekalian menyatroni sarang mereka." Setelah berpikir demikian Siong In berta nya pada si orang setengah umur di hadapan pintu perkampungan, "Dimana sarang mereka?" "Mereka selalu membawa gadis-gadis yang akan dijadikan korban perkosaan ke seberang sungai.
Dan diwaktu malam hari dari gerombolan pohon di seberang sungai sana, sering tertampak sinar merah yang terang benderang, aku kira itulah sarang mereka, karena sejak mereka muncul di kampung ini.
Sinar merah itu sering tampak di seberang sungai, dan tak seorangpun yang berani pergi ke sana, barang siapa yang coba-coba mendekati tempat itu pastilah, ia tidak akan pulang ke rumah." "Bagus, siapa sanggup menyeberangkan aku," tanya Siong In.
"Hamba dulu tukang perahu." Sela salah teorang di belakang si nona.
Siong In membalikkan badan, menengok pada orang di belakangnya.
Orang itu seorang muda, usianya baru ditaksir dua puluhan tahun.
Begitu ia melihat wajah Siong In yang cantik.
Ia jadi gugup. "Kau tukang perahu?" Tanya si nona baju merah.
"Ya, ya," jawab si pemuda.
"Tapi sejak munculnya orang jahat itu, aku tak berani menyeberang ke sana.
Karena.....Karena . . ., . Di seberang sana sudah menjadi daerah terlarang." "Kau berani bawa aku ke seberang?"' Tanya Siong In.
"Berani!" Jawab si tukang perahu muda.
"Tapi hanya sampai di tepi sungai, selanjutnya....." Siong In tersenyum, katanya, "Kau tak perlu mengantar sampai ke tepi, cukup dalam jarak lompatan, kau boleh balik kembali kemari." Si tukang perahu muda itu jadi kegirangan, tanyanya, "Kapan nona mau berangkat?" "Sekarang.
Mau tunggu apa?" Kata Siong In.
"Ah . . . Bagusnya tunggu sampai petang dan akupun harus mencari seorang kawan untuk membantu mendayung agar cepat sampai." ******0dwkz0lynx0mukhdan0******** Matahari sudah doyong ke barat, hari mulai sore, sebentar lagi senja mendatang.
Di dalam perahu yang diombang ambingkan ombak sungai Hoangho, sinar mata si nona baju merah memandang jauh ke seberang sana.
Dua orang tukang perahu muda, mendayung perahu itu dengan penuh semangat, menerjang gelombang-gelombang sungai! Angin sore bertiup, menambah goyangnya perahu.
Beberapa ekor ikan berlarian menjauhi perahu yang laksana membelah sungai.
Begitu terdengar deburan air rungai Hoang ho mcndampar pantai, Siong In, memerintahkan tukang perahu balik kembali ke kampung mereka.
Kedua tukang perahu itu saling pandang salah seorang berkata, "Lie hiap, jara pantai dengan perahu ini masih jauh, bagaimana mesti kembali ke kampung?" "Kalian balik saja ke kampung, beri aku satu dayung." Jawab Siong In.
Tukang perahu tidak mengerti, salah seorang memberi satu dayung persediaan, dan si nona segera menerima dayung itu kemudian dayung tadi dilemparnya ke depan lalu jatukan ke atas gelombang sungai.
Berbarengan dengan jatuhnya dayung tali di atas air, tubuh Siong In melejit ke udara ia lompat ke arah dayung yang mengambang dimainkan ombak.
Begitu kaki si nona menotol dayung, dayung itu kembali meluncur ke muka dan badan si nona baju merah kembali melambung ke udara melompati gelombang air, lalu menotol lagi dayung itu yang timbul tenggelam di atas air.
Di atas perahunya kedua tukang psrahu itu melompongkan mulut memandang kepandaian Siong In yang luar biasa, mereka tak menyangka kalau si nona baju merah bisa berlompat-lompatan di atas air.
Dan salah seorang berkata, "Lihiap itu sungguh aneh, kalau ia bisa berbuat demikian di atas air mengapa mesti menggunakan perahu?" Seorang lain menggeleng kepala, lalu katanya, "Kini aku tahu, gerakan orang-orang seragam hitam itu berlompatan di atas air, bukan karena mereka memiliki ilmu setan, atau ilmu gaib, tapi mereka menggunakan bantuan sepotong papan, seperti apa yang dilakukan lie hiap baju merah tadi.
Aih, selama ini kita orang-orang kampung, telah dibuat ketakutan demikian rupa oleh mereka, kita menyangka me?reka memiliki ilmu gaib bisa berjalan di atas air, ternyata itu semua hasil dari latihan yang luar biasa!" "Hmmm.
Ayo kita balik ke kampung, beritahukan ini pada kawan-kawan," kata salah seorang pendayung, setelah mereka tak tampak bayangan Siong In.
DI TEPI SUNGAI Siong In menerobos lebatnya rumput alang-alang setinggi badan, haripun mulai gelap.
Suara binatang malam mulai berdendang jangkrik ramai memecahkan kesunyian malam.
Dimana langkah kaki si nona menerobos semak- semak, di situ suara jangkrik-jangkrik sirap seketika.
Jalan terus mendaki ke atas perbukitan, suasana di sekitar itu gelap pekat, bintang satu-satu mulai berkelap kelip.
Mendadak saja dari kegelapan malam dari dalam gerombolan rumput alang-alang tampak meluncur keluar segumpalan cahaya merah, memecah angkasa naik ke udara, gumpalan merah tadi begitu berada di atas udara buyar menjadi percikan api, Medan di tepi sungai terang benderang.
Sejenak si nona baju merah Siong In kaget ia mendekamkan badannya ke dalam rumput alang- alang.
Begitu sinar terang itu sirip, keadaan jadi gelap kembali, ia berdiri lagi hatinya berkata, "Huh, kembang api seperti itukah yang membuat takut orang-orang kampung?" Sambil berkata dalam hatinya, Siong In menerobos maju menyelusup ke dalam rumput, tujuan kakinya diarahkan dari mana keluarnya itu gumpalan sinar merah.
Benar saja, tidak jauh di depannya terdapat sebuah bangunan hitam, sekitar bangunan tadi dikelilingi rumput alang-alang tinggi, hingga dari jauh tak tampak bangunan tersebut.
Dari sela-sela ketinggian rumput alang-alang Siong In memperhatikan bangunan tadi, mata si nona dapat melihat menyorotnya sinar pelita dari salah satu lubang jendela.
Dengan hati-hati, Siong In melangkah maju.
Rupanya bangunan tadi adalah sebuah rumah terbuat dari kayu, terdiri dari dua wuwungan.
Diantara kedua wuwungan bangunan rumah itu dipisahkan oleh sebuah jalan berbatu putih.
Sinar pelita menyorot dari sela-sela lubang jendela rumah bagian belakang.
Mendengar suara percakapan orang di dalam kamar dari wuwungan belakang.
Ia mendekati jendela dimana menyorot sinar pelita, dari kertas lubang jendela ia mengintip ke dalam.
Ternyata itu adalah sebuah kamar tidur.
Di dalam kamar terdapat empat pembaringan.
Selain itu tak tampak benda lainnya, ia heran.
Bukankah tadi ia mendengar suara percakapan di dalam kamar ini" Selagi Siong In terheran-heran memperhatikan keadaan kamar itu, mendadak pintu kamar dibuka orang, dari sana masuk seorang seragam berselubung muka hitam, memayang seorang perempuan muda, usia perempuan itu tidak lebih dari dua puluh tahunan, wajahnya tampak cantik, rambutnya ikal terurai, hanya malam itu wajah cantik perempuan tadi kelihatan memucat, sinar matanya redup.
Orang seragam hitam tadi membawa sang perempuan itu ke salah satu tempat tidur di bagian ujung, lalu didudukkan di atas pembaringan.
Perempuan cantik itu seperti mayat hidup, ia menurut saja diperlakukan demikian rupa.
Baru saja seragam hitam tadi mendudukkan perempuan itu, dari pintu kamar kembali masuk berturut-turut tiga orang, juga mengenakan pakaian seragam hitam, masing-masing memayang seorang perempuan muda cantik, wajah perempuan itu keadaannya sama seperti wanita yang pertama dibawa masuk ke dalam kamar, wajahnya pucat, sinar matanya redup.
Perempuan itu, mereka dudukkan di atas pembaringan.
Dan saat ini empat pembaringan telah diduduki oleh empat perempuan.
Siong In menyaksikan orang-orang aneh itu, hatinya heran, pertama cara bagaimana mereka selalu mengenakan seragam dan selubung mukanya sampaipun di dalam kamar bersama orang perempuan.
Keheranan kedua, bagaimana pula perempuan-perempuan ini seperti mayat hidup, mereka duduk mematung, dengan mata mendelong sayu.
Empat orang seragam hitam tadi mendudukkan perempuan bawaan mereka masing-masing, kemudian saling tersenyum, seperti sudah sepakat, dengan perlahan-lahan mereka merebahkan keempat perempuan itu di atas pembaringan.
Berbarengan pula mereka mempereteli pakaian perempuan bawaan masing-masing.
"Heheeee . . . Kita bikin perlombaan," kata seorang seragam hitam di ujung, "Siapa yang lebih tahan lama." "Heeeh, aku baru makan obat Jinsom, mana bisa kalian menandingi kekuatanku." Song In yang mengintip dari lubang kertas jendela, ia heran, perlombaan apakah yang segera akan berlangsung dalam kamar ini" Karena rasa ingin tahunya Siong In terus mengintip kelakuan keempat orang seragam hitam berselubung muka itu.
Sementara mereka sambil berbicara terus mempereteli seluruh pakaian sang korban.
Keempat perempuan tadi seperti mayat hidup, mereka mandah diperlakukan demikian rupa.
Sebenarnya waktu itu Siong In sudah siap menerjang masuk, tapi ia masih menunggu.
Menunggu sampai keempat orang itu membuka selubung muka warna hitamnya, si nona baju merah ingin melihat bagaimana wajah mereka.
Menyaksikan keadaan empat perempuan yang tertelentang terbaring sudah tak berpakaian, bagi Siong In bukan merupakan hal yang aneh, karena ia sendiri seorang perempuan, hanya ia sedikit malu menyaksikan bentuk tubuh sejenisnya dalam keadaan sedemikian rupa dipandangi oleh empat orang seragam hitam.
Maka dari rusa malu itu timbul marahnya.
Tangan Siong In meraba saku bajunya, ia sudah siap dengan senjata Kim chi-hui-piauw, tapi mendadak saja ia ingat, bukankah keadaan orang- orang ini sangat aneh dan saat ini mereka berada di pinggir ranjang, kalau saja, ia menggunakan piauw menyerang dan mereka roboh jatuh di atas ranjang, tentulah mereka segera mampus mencair, dan cairan daging itu mungkin bisa mengenai pada perempuan-perempuan yang tak berdosa.
Maka mengingat hal itu, ia memasukkan kembali piauw ke dalam saku.
Begitu Siong In memasukkan kembali piauw- piauwnya ke dalam saku, keempat orang seragam hitam tadi telah pada meloloskan pakaiannya.
Tapi aneh, mereka hanya meloloskan pakaian bawah, sedang selubung dan mantel hitamnya tetap melekat pada badan mereka.
Berbarengan celana-celana hitam orang-orang itu pada merosot turun, hati Siong In bergidik, ia sudah tidak bisa menahan sabar lagi, mendadak saja hawa amarahnya meluap, bukankah perempuan-perempuan yang akan jadi korban perlombaan gila itu kawan sejenis?nya, dan melihat dari keadaan perempuan-perempuan tadi mereka seperti terkena pengaruh obat pelupa diri.
Dan sebagai gadis suci mana kesudian ia memandang bagian badan laki di bawah pusar itu.
Sambil menggeram pedang dicabut dari serangka kemudian diputar mendobrak daun jendela, berbarengan mana tubuh Siong In melompat masuk ke dalam kamar.
Suara dobrakan daun jendela terdengar oleh para seragam hitam yang baru saja melorotkan celana, mereka tersentak kaget, memandang ke arah jendela, di sana tampak berkelebat ujung pedang menghancurkan jendela, disusul menerobosnya bayangan merah.
Tahu-tahu seorang sudah berada di dalam kamar.
Keempat setagam hitam berselubung hitam itu jadi kebingungan, dengan meme?gangi celana hitamnya yang kedodoran, mereka pada lompat membuat posisi me?ngurung.
Mengurung Siong In di tengah-tengah.
Menyaksikan kejadian itu, Siong In ter?tawa, pedangnya di ayun-ayunkannya di depan ke empat orang seragam hitam itu, katanya, "Ayo, kalian mau bikin perlombaan, nah, mari, berlomba dengan aku, siapa yang lebih dulu mampus di tempat ini." Berbarengan dengin akhir ucapannya Siong In menyabetkan pedang ke kanan, dimana berdiri seorang seragam hitam yang masih memegangi celananya yang kedo?doran.
Begitu ujung pedang si nona menyambar muka orang tadi, dengan memegangi celananya ia lompat mundur mengelakkan sa?betan ujung pedang.
Tapi gerakan pedang si nona sangat cepat, sedangkan orang tadi dalam mundur mengelak ia masih memegangi celananya hingga gerakannya tidak leluasa, dan ujung pedang tadi berhasil merobek selubung muka orang tadi, darah mengucur keluar.
Siong In memang sengaja melakukan se?rangan demikian, ia ingin melihat bagaimana wajah muka orang di balik selubung hitam ini, begitu ujung pedangnya berhasil menyentuh tutup kerudung muka itu.
Ia sudah jadi girang, pedangnya diayun lagi menya?bet ke arah muka orang tadi.
Mendapat serangan demikian rupa, orang tadi menundukkan kepala, kemudian tubuhnya berputar dan ambruk jatuh di lantai.
Siong In heran, bagaimana lawan tiba-tiba bisa ambruk demikian rupa.
Apakah itu gerak dari jurus silat mereka.
Tapi keheranan itu tidak lama, karena sinar mata si nona dapat melihat kalau daging daging orang itu sudah mulai berubah biru.
"Hmmm. Manusia-manusia aneh!" Seru Siong In.
Ia tahu kalau orang tadi telah binasa.
Kini ujung pedang si nona bergerak menyabet ke arah tiga orang seragam hitam yang masih berdiri memegangi celananya, mereka seperti kesima memandang si nona baju merah yang cantik itu bisa muncul di sana dengan tiba-tiba, dan dengan sekali gebrak saja berhasil membuat luka sang kawan.
Begitu pedang si nona menyambar ke arah mereka, tiga orang tadi mengeluh kaget, dan berbarengan dengan suara keluhannya, tubuh mereka melambung ke atas, menerobos langit- langit rumah tadi.
Kemudian bayangannya lenyap.
Suara berisik dari atap rumah yang bobol dan suara bergedubrakannya potongan-potongan kayu jatuh ke dalam kamar.
Siong In memang sengaja tidak membu?nuh mereka, dengan berbuat demikian ia bisa menguntit dan menyelidiki mereka itu dari golongan mana, karena kalau melihat dari ilmu kepaniaian yang dimiliki oleh orang-orang seragam hitam ini, mereka tidak memiliki kepandaian silat tinggi, ilmu silat mereka hanyalah ilmu silat pasaran.
Tentu di balik semua itu masih ada tokoh aneh yang mempergunakan orang-orang ini untuk mengacau rimba persilatan.
Bagi orang-orang kampung yang lemah, tentulah mereka itu dianggap komplotan iblis yang menakutkan, tapi bagi jago betina baju merah Siong In, mereka itu tidak lain dari pada gentong- gentong nasi.
Siong In mendongakkan kepala meman?dang lubang atap rumah yang sudah bobol, di atas sana hanya tampak kegelapan ma?lam, beberapa bintang tampak berkelak-kelik.
Setelah memperhatikan lubang atap ru?mah, ia menghampiri keempat perempuan di atas pembaringan, satu persatu didudukkannya.
Sambil menggeleng kepala Siong In berkata, "Semua telah dicekok oleh obat pemu?nah ingatan." Setetah berkata demikian, ia berjalan keluar, meninggalkan keempat perempuan tadi, tak lama si nona baju merah sudah kembali membawa seember air dingin, de?ngan itu, ia membasahi muka setiap perempuan tadi.
Empat perempuan tadi begitu, mukanya tersiram air dingin, mendadak mereka pada tersentak kaget, kemudian mereka pada memandang diri sendiri yang telah tak mengenakan pakaian, lalu memandang si nona baju merah.
"Aaaaa....." Teriak berbareng empat orang perempuan itu, mereka cepat mengenakan pakaian masing-masing.
"Kalian cepatlah keluar!" seru Siong In, "Rumah ini akan kubakar." Empat gadis tadi telah disadarkan, cepat-cepat mengenakan pakaian mereka lalu pada lari keluar rumah.
Siong In membawa pelita di atas meja, diluar ia melempar pelita tadi ke atas atap rumah itu, dan sebentar saja di sana terjadi kebakaran.
Api melanda rumah itu, keadaan malam menjadi terang benderang.
"Lie-enghiong," tiba-tiba salah seorang perempuan bertanya.
"Mereka masih berada di sini, bagaimana kami bisa pulang?" "Hmmm, Kalian jangan kuatir, aku akan usir tiga orang itu dari sini.
Kalian boleh kembali ke rumah masing-masing!" Belum lagi ucapan Siong In selesai, ia telah melejit ke arah utara, dimana ketiga seragam hitam tadi masih pada berdiri memandang markas mereka yang dimakan api.
Tiga orang seragam hitam itu menampak berkelebatnya sinar merah ke arah mereka, mereka pada lari kabur.
Siong In yang sengaja hendak menguntit jejak mereka, memperlambat gerakannya, ia tidak mengejar terus.
Tapi matanya selalu memperhatikan gerak gerik keempat bayangan hitam itu.
Mulai dari tempat itulah si nona baju merah Siong In mengikuti jejak mereka, dan ketika tiba di kota Kun-san, ia memesan pada tukang besi untuk dibuatkan beberapa piauw besi yang bentuknya serupa dengan piauw yang dimilikinya, piauw- piauw tersebut dipesannya agar dibuat berwarna hitam.
Tindakan Siong In itu berdasar dua pertimbangan.
Pertama, karena ia merasa sa?yang menggunakan piauw pemberian suhunya yang terbuat dari emas, untuk menye?rang orang-orang seperti mereka, bukankah bilamana piauw tadi telah menembusi badan orang maka piauw tersebut akan terkena cairan biru dari mayat mereka.
Hal itu tidak diharapkan Siong In.
Pertimbangan kedua dengan menggunakan piauw besi ber?warna hitam, ia bisa melakukan serangan tanpa diketahui lawan.
Meskipun pertimbangan kedua ini sedikit curang.
Boleh dikata si nona ingin menggunakan senjata gelap untuk menyerang lawan.
Empat hari telah dilewatinya, ia masih terus menguntit, gerak-gerik keempat orang seragam hitam itu dan akhirnya pada malam bulan sabit, di dalam rimba Siong In menampak lagi sinar merah, yang pecah di udara bagaikan kembang api.
Melihat itu si nona cepat lari mengejar, lalu ia lompat ke atas dahan pohon memperhatikan kelakuan orang-orang seragam hitam.
Begitu pula tiga orang seragam hitam, mereka menampak tanda api di udara telah pada berkumpul.
Waktu itu, kawanan seragam hitam berselubung yang melepas tanda api ke udara mereka sedang mengurung si pemuda Kang Hoo, saat-saat kematian Kang Hoo telah di ambang pintu.
Dan ketika Kang Hoo berteriak menyebutkan kebesaran nama Tuhannya, Siong In di atas dahan mendengar suara itu, ia tidak mengerti apa arti ucapan pemuda tadi tapi mengingat pihak pengurung terdiri dari orang-orang seragam hitam yang ia tahu adalah komplotan jahat, maka mendadak saja ia lompat turun dan berteriak menyebut nama Budha.
Lalu berdiri di pihak Kang Hoo.
Walaupun baru pertama kali ini Siong In melihat Kang Hoo, tapi keadaan si pemuda yang sudah mandi darah tahulah ia kalau pemuda tadi dalam keadaan berbahaya di bawah pengeroyokan orang-orang berseragam hitam, yang ia ketahui mereka ada?lah orang-orang jahat.
Selanjutnya Siong In telah menolong Kang Hoo melarikan diri ketika rembulan sabit tertutup awan.
Dengan menggunakan senjata piauwnya, ia berhasil merobohkan beberapa orang seragam hitam.
Dan begitu rembulan kembali memancarkan sinarnya bayangan Kang Hoo sudah lenyap.
Sebagaimana kita telah ikuti di bagian depan, begitu awan beriring kembali menutupi rembulan sabit, orang-orang seragam hitam yang takut menghadapi senjata gelap si nona baju merah pada lompat bersembunyi di balik batang pohon.
Dan ketika itu digunakan oleh si nona baju merah Siong In kabur meninggalkan mereka.
Kaburnya Siong In dari dalam kurungan orang- orang itu, bukanlah dikarenakan ia takut menghadapi keroyokan mereka, tapi ia merasa kuatir atas diri pemuda yang telah terluka parah, mana mungkin pemuda itu bisa lari jauh.
Sementara itu para seragam hitam yang menyaksikan si nona gagah Siong In melesat kabur, mereka pada bernapas lega.
Dan secara diam-diam mereka melakukan gerakan penguntitan.
Kemanakah kaburnya Kang Hoo, maka mari kita ikuti kejadian-pada bab berikutt.
KANG HOO mengucap "Bismillah..........." lari kabur menerobos semak-semak belukar dalam rimba itu di bawah sinarnya rembulan sabit.
Meskipun ia melarikan diri dari kepungan orang- orang seragam berselubung muka hitam itu, bukanlah berarti ia seorang pemuda pengecut, sebenarnya sebelum munculnya si nona baju merah dari aliran Budha itu, ia telah nekad untuk adu jiwa dengan musuh-musuhnya, tapi entah bagaimana mendengar suara halus nyaring bernada bambu pecah dari bibir mungilnya si nona baju merah, hati Kang Hoo jadi lemah, dan seperti ia kena hipnotis menurut saja apa yang diucapkan nona baju merah tadi.
Ia lari kabur me?ninggalkan mereka.
Dalam melarikan diri di dalam semak belukar itu, hati kecil Kang Hoo yakin ka?lau nona baju merah dari aliran Budha itu dapat mengatasi keroyokan orang-orang seragam hitam, mengingat kalau ilmu silat nona itu memang lebih tinggi beberapa kali lipat dari dirinya sendiri, dengan matanya sendiri ia menyaksikan hanya dalam beberapa gerakan tangan saja nona itu berhasil merobohkan lawan.
Kang Hoo tidak mengerti, dengan senjata apakah nona itu merobohkan lawan.
Dalam hatinya juga menuji kecerdikan otak nona baju merah.
Sambil lari itu otak Kang Hoo, berputar terus mengenang peristiwa-peristiwa yang menimpa diri dan keluarganya.
Di samping itu ia juga merasakan betapa seluruh tubuhnya dirasa sakit.
Dan napasnya juga mulai tersengal sengal.
Akhirnya, ketika ia memasuki gerombolan rumput alang-alang, langkah larinya tak secepat semula, ia sudah seperti orang mabuk, sempoyongan diantara tingginya rumput alang-alang.
Kemudian dirinya ambruk di tanah.
Meskipun keadaan jasmaniahnya sudah begitu lemah, tapi otak si pemuda masih bisa berpikir, ia harus bisa menyembunyi?kan dirinya dari kejaran lawan.
Dengan menggulingkan dirinya, ia berusaha menyesapkan badannya di bawah alang-alang yang tumbuh lebat di tengah hutan itu.
Dan tak lama kemudian Kang Hoo pingsan karena lelahnya.
Haripun berganti pagi, sinarnya sang surya menguning keemas-emasan di ufuk timur, siliran angin basah berembun me?nyegarkan badan.
Embun-embun masih terotolan di atas batang- batang rumput alang-alang digoyang angin.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Kang Hoo menggeletak di dalam semak- semak alang-alang.
Sinar matahari pagi dan angin basah sejuk berbareng menerpa wajah si pemuda dalam timbunan batang alang-alang.
Mendapat siraman sinarnya matahari pagi dan hembusan angin basah pada wajahnya mendadak Kang Hoo membuka matanya, ia sadar dari pingsannya, tapi keadaan tubuh itu masih lemah.
Belum bisa digerakkan. Begitu sepasang mata si pemuda terbuka, ia belum bisa melihat apa-apa, karena keadaan sekelilingnya tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi, tapi sepasang telinganya mendadak mendengar suara gerengan-gerengan bina-tang buas, dan suara mendesisnya binatang berbisa, mengurung tempat dimana ia menggeletak rebah.
"Ya Allah, mati aku...." keluh Kang Hoo.
Rupanya nasib sial selalu membawa diri Kang Hoo, baru saja malam tadi ia berhasil lari dari kepungan orang-orang seragam hitam, kini mendadak di sekitar hutan itu sudah dipenuhi oleh suara gerengan bina?tang buas dan binatang-binatang berbisa.
Meskipun keadaan dirinya masih sangat lemah, ia berusaha bangkit duduk, untuk melihat dari arah mana munculnya suara gerengan binatang buas itu.
Begitu ia berhasil duduk di dalam tim?bunan rumput alang-alang itu, matanya melihat tetesan darah beku berceceran di tanah itu?lah darah beku yang semalam keluar dari luka-luka di badannya.
Melihat darah tadi, kembali ia merasakan betapa perihnya bekas luka-luka bacokan pedang lawan, bahkan pundak tangan kanan tampak mulai mem?bengkak, tangan itu sudah tak bisa di?gerakkan.
Setelah memperhatikan di sekitar rimba alang- alang itu, ternyata di sana tak tampak seekorpun binatang buas.
Tapi suara binatang itu masih terdengar menggereng-gereng di telinganya.
Kang Hoo menengadahkan kepala ke atas, di sana tampak lima ekor burung besar, sayapnya selebar beberapa tombak terpentang-lebar, burung-burung itu terbang berputaran, seekor tampak kecil bagaikan tilik hitam di atas langit.
Melihat pemandangan itu hatinya tambah heran.
Selagi ia terheran-heran, mendadak Kang Hoo mendengar suara bentakan-bentakan diantara suara gerengan binatang buas itu.
Suara tadi ternyata datangnya dari arah belakang.
Maka cepat ia menoleh ke belakang, dan di belakang sana merupakan bukit pegunungan.
Di lereng bukit itu tampak bergerak beberapa bayangan berseragam hitam, bayangan-bayangan tadi laksana berlompatan, mereka rupanya sedang melakukan pertempuran.
Entah mereka sedang bertempur dengan siapa" "Gila .
. ." pikir Kang Hoo "Dimana-mana selalu ada itu manusia-manusia berseragam dan berselubung hitam.
Apakah isi dunia ini sudah dihuni oleh manusia-manusia biadab?" Kang Hoo berusaha bangkit bangun ia ingin melihat apa yang sedang dikerjakan oleh orang- orang seragam hitam berselubung muka itu.
Tapi begitu badan Kang Hoo berhasil berdiri dengan lemahnya, menda?dak ia jatuh kembali duduk di atas semak belukar.
Matanya terbelalak lebar, badan?nya jadi gemeteran.
"Aneh mengapa hutan ini mendadak penuh binatang buas dan binatang berbisa?" pikir Kang Hoo, "Bukankah malam tadi aku datang ke tempat ini tak tampak seekorpun binatang buas.
Tapi bagaimana pagi ini di sekitar gerombolan rumput alang-alang penuh dengan binatang buas" Dan itu ga?dis baju merah, yang semalam menolong diriku juga sedang menghadapi tiga orang seragam hitam berselubung muka.
Melihat gerakan ilmu silat tiga orang seragam hitam tadi, mereka rupanya memiliki ke?pandaian lebih tinggi dari kawan-awan mereka semalam.
Dan aneh, mengapa di dada kiri mereka mengenakan lukisan Kalong Kuning, mengapa tidak mengenakan lukisan Ka-long Putih" Apakah di sini telah muncul lain golongan." Ternyata begitu Kang Hoo berdiri, ia menampak sekeliling gerombolan rumput alang-alang dimana ia mendekam, sudah dikurung oleh binatang- binatang buas, dan diluar kurungan binatang- binatang buas, di sana terjadi satu pertempuran antara si nona baju merah dengan tiga orang seragam hitam berlambang Kalong Kuning.
Rupanya ketika malam tadi Kang Hoo lari menerobos hutan, ia tidak sempat memperhatikan medan sekelilingnya lebih-lebih keadaan badannya yang sudah penuh luka, hingga ketika ia memasuki gerombolan rumput alang-alang, ia tidak mengetahui kalau rumput alang-alang itu, hanya seluas beberapa tombak saja, karena diluar gerombolan rumput alang-alang itu merupakan dataran rumput hijau.
Di sana tumbuh beberapa batang pohon kayu.
Sedang di sebelah utara terdapat itu bukit pegunungan, dimana beberapa orang seragam hitam berlompatan melakukan gerak-gerak serangan.
Sedang di bawah bukit, si nona baju merah menghadapi ke?royokan tiga orang Kalong Kuning.
Lama Kang Hoo duduk terpekur, kemudian ia kembali menengadahkan kepala memandang ke atas, di atas udara sana, lima ekor burung-burung besar masih berputar mela?yang layang.
Mata Kang Hoo yang sayu itu terus memandang burung- burung yang ber?putaran di atas kepalanya, saat itu menda?dak saja dari arah atas bukit dimana orang orang berseragam hitam berlompatan, terdengar suara halus merdu, "Ui-jie, kau bawa orang itu!" Kang Hoo mendengar jelas suara tadi, lagi-lagi suara seorang perempuan, tapi nada suara itu berbeda dengan suara gadis baju merah yang sedang bertempur dengan tiga orang seragam hitam.
Entah kini jago perempuan dari mana lagi yang muncul" Kang Hoo membalik badan memandang ke arah bukit lereng gunung dari mana suara perempuan tadi datang.
Di sana tampak orang-orang berseragam hitam sedang mengeroyok seorang gadis.
Itulah seorang gadis berkulit hitam manis.
Selagi Kang Hoo memandang heran atas munculnya gadis yang sedang menempur orang- orang berselubung hitam itu, mendadak terdengar suara bentakan dari salah seorang Kalong Putih yang membentak si gadis hitam manis tadi, "Perempuan Biauw, jangan kau turut campur urusan ini!" "Hmmm.
Kalian minggirlah, aku ingin membawa anak itu, ia telah mengganggu usahaku.
Akan kubawa dirinya ke perkampungan suku bangsa Biauw." Seru si gadis hitam manis yang rupanya gadis dari suku bangsa Biauw.
Terdengar lagi suara teriakan si gadis Biauw, "Ui-jie, cepat bawa anak itu!" Kang Hoo bisa melihat dan mendengar pembicaraan tadi, tapi tidak mengarti apa yang dimaksud dengan kata Ui-jie, (kuning).
Ia jadi heran. Selagi Kang Hoo terheran-heran, mendadak saja, dari sebelah kirinya mendatangi seekor orang hutan berbulu kuning, tubuh orang hutan itu hampir setinggi dirinya, penuh bulu, matanya bersinar kuning, dengan lenggang lenggok menghampirinya.
Kang Hoo kebingungan, ia menyelusup mundur masuk ke dalam rumput alang-alang, tapi di belakangnya terdengar suara ular mendesis.
Dalam keadaan demikian rupa, maju menghadapi binatang hutan, di belakang bertemu ular berbisa, Kang Hoo jadi timbul nekadnya, beberapa hari ini ia selalu mengalami penderitaan dan gangguan- gangguan dari manusia, kini binatang-binatang ini hendak berbuat apa terhadap dirinya.
Maka dengan nekat, ia mengempos seluruh sisa tenaganya bangkit menerjang si orang hutan.
Orang hutan bulu kuning tadi mengetahui kalau orang di depannya datang menyerbu, ia merentangkan kedua kaki depannya, dan sekali pukul saja tubuh Kang Hoo yang sudah kehilangan tenaga itu, roboh terguling, dan jatuh pingsan.
Setelah orang hutan merobohkan Kang Hoo dengan tangannya yang penuh bulu mengangkat tubuh si pemuda, lalu dipanggulnya pergi.
Binatang-binatang buas yang mengurung gerombolan rumput alang-alang, sejak tadi mengerang-erang, begitu mereka melihat si orang hutan berbulu kuning memondong Kang Hoo, mereka pada seliweran meninggalkan tempat itu, lari ke arah orang hutan bulu kuning, dengan sikap melindungi orang hutan bulu kuning, mereka pada berlalu dari tempat itu.
Berbarengan mana lima burung-burung besar yang terbang di atas udara melayang meninggalkan udara dimana tadi Kang Hoo bersembunyi, burung-burung itu melayang ke arah lereng gunung.
Dan salah seekor menukik ke bawah, menghampiri si perempuan Biauw.
Sedang yang lainnya dengan cekatan melakukan serangan udara pada orang-orang berseragam hitam berselubung muka tadi.
Si perempuan Biauw menunggu burung besar itu menukik ke arahnya, ia mengenjot badannya dan lompat ke atas, kemudian duduk di atas punggung burung besar itu, lalu sang burung kembali terbang naik ke atas, melayang terbang ke arah rombongan binatang-binatang buas yang mengurung melindungi orang hutan bulu kuning.
******0dwkz0lynx0mukhdan0******** SIONG IN sedang menghadapi keroyokan tiga orang seragam hitam, orang-orang itu berselubung muka dan berlambang Kalong Kuning di dada, merasa kewalahan menghadapi mereka, kenyataan orang-orang ini memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka yang mengenakan lambang Kalong Patih.
Ketika Siong In mendengar suara teriakan dari perempuan Biauw memerintahkan orang hutan bulu kuningnya untuk membawa Kang Hoo, hati si nona lebih bingung lagi, ia coba lompat untuk menerjang barisan binatang-binatang buas yang mengurung Kang Hoo, tapi gerakan Siong In tidak leluasa, karena di depannya ia mesti menghadapi keroyokan tiga orang berlambang Kalong kuning dan juga ia mesti menghadapi barisan kurungan binatang-binatang buas.
Waktu itu dilain bagian pertempuran antara si perempuan Biauw dengan enam orang seragam hitam berselubung muka masih berlangsung, perempuan Biauw itu mendapat keroyokan dari mereka yang mengenakan lukisan kalong Hitam dan Kalong Kuning, Dan ketika seekor burung raksasa meluncur datang mengangkat terbang perempuan Biauw tadi.
Mereka pada melempar pedang ke atas untuk membunuh burung tadi, tapi senjata-senjata pedang itu tak dapat mendekati sang burung, karena angin kipasan sayap burung yang besar itu berhasil membuat pedang-pedang tadi kembali jatuh ke tanah.
Di atas punggung burung raksasanya di tengah udara, gadis Biauw bersiul panjang.
Berbarengan dengan suara siulannya dari atas udara, melayang satu titik hitam mendatangi, ternyata itulah seekor burung aneh yang turun meluncur ke bawah, burung tadi turun mendapatkan oraug hutan bulu kuning yang sedang memondong Kang Hoo.
Menampk seekor burung aneh mendatangi, si orang hutan mendongakkan kepala ke atas, kemudian mengeluarkan suara jeritan.
Burung aneh itu memiliki bulu berwana hijau biru, berbuntut panjang, lebar sayapnya beberapa tombak, kedua sinar matanya memancarkan warna kuning emas meluncur terus merendah.
Begitu terkena sambaran angin dari bulu burung aneh itu, rumput alang-alang bergoyang-goyang keras, sedang itu binatang orang hutan bulu kuning yang membawa Kang Hoo merundukkan kepala, seperti tak tahan menerima sambaran angin bulu burung tadi.
Begitu burung aneh tadi tiba di atas kepala si orang hutan bulu kuning, sepasang kakinya bagaikan capitan besi, diluruskan kebawah, ke arah kepala si orang hutan bulu kuning, sambil mengeluarkan suara pekikan.
Orang hutan bulu kunng terus menunduk ke bawah, sepasang tangannya yang penuh bulu mengangkat tubuh Kang Hoo ke atas.
Rupanya ia mengerti kalau gadis Biauw, memerintahkan burung tadi mengambil tubuh Kang Hoo, kini tangannya berbulu itu ia menyerahkan Kang Hoo pada sang burung.
Burung tadi melongok ke bawah, matanya bermain memperhatikan keadaan Kang Hoo, kemudian sepasang kakinya mencapit tubuh Kang Hoo, lalu meluncur ke atas.
Setelah sang burung aneh warna hijau biru meluncur ke atas, baru orang hutan bulu kuning berani berdiri tegak, ia mendongakkan kepala.
Saat itu kembali terdengar suara siulan dari atas udara, maka seluruh binatang buas mundur dan meninggalkan tempat tadi.
Orang-orang seragam hitam berselubung muka, berdiri melongo, memandang berlalunya si gadis Biauw yang telah membawa kabur Kang Hoo.
Sementara itu Siong In yang menghadapi serangan tiga orang berlambang Kalong Kuning, ia masih berkutet.
Menggerakkan pedangnya. Diiringi berkelebatnya sinar-sinar hitam menyerang jalan darah orang-orang seragam hitam tadi.
Tapi mereka ternyata dengan mudah dapat mengelakkan serangangan senjata piauw si nona.
Siong In semakin penasaran, ia mempergencar serangannya, sekali-sekali mata si nona juga mendongak ke atas, melihat lenyapnya bayangan burung yang membawa Kang Hoo.
Pertempuran telah berlangsung empat puluh jurus, belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah dan menang.
Waktu itu, orang-orang seragam hitam yang tadi bertempur di atas bukit menghadapi si gadis Biauw, sudah pada berlari ke arah pertempuran antara Siong In, dan tiga kawan mereka yang mengenakan lukisan Kalong Kuning, tapi mereka tidak berani turun tangan, dengan sikap mengurung memperhatikan jalannya pertempuran tersebut.
Sampai matahari naik tinggi pertempuran belum juga berakhir.
Bagaimanapun tingginya ilmu silat si nona baju merah, tapi ia masih kurang pengalaman tempur.
Saat itu napasnya sudah tersengal- sengal, sedang senjata piauw besinya sudah habis terbuang tanpa mengenai sasaran, kini masih tinggal piauw-piauw pemberian suhunya itulah piauw emas Kim chi-hui- piauw, tapi ia merasa sayang untuk menggunakan piauw itu.
Kalao tidak terpaksa si nona tidak akan menggunakan senjata tadi.
Selagi Siong In kewalahan menghadapi keroyokan tiga orang tadi, mendadak di tengah udara terdengar suara batuk-batuk serak.
Tiga orang seragam hitam yang berlambang Kalong Kuning masih menempur Siong In, begitu mereka mendengar suara batuk-batuk, mereka lompat mundur menarik serangan, me?mandang ke arah datangnya suara batuk tadi.
Begitu pula orang-orang seragam hitam berlambang Kalong Putih mereka juga pada lompat mundur mengikuti gerakkan kawan-kawan mereka, memandang pada orang yang datang.
Siong In mulai kewalahan, begitu serangan tiga orang lawannya mengendur dan mereka lalu pada lompat mundur ia juga memperhatikan ke arah datangnya suara batuk-batuk tadi.
Dan begitu ia melihat orang yang mengeluarkan suara batuk- batuk serak itu, ia berdiri melengak mulutnya menganga, lalu Siong In lari memburu dan berteriak, "Ayah .
. . Ayah ....!" Orang tadi masih terus terbatuk-batuk, usianya empat puluh lima tahunan, rambutnya sudah banyak yang putih.
Wajahnya klimis tak selembar rambutpun tumbuh di sana.
Siong In terus berlari ke arah orang tua itu, sedang si orang tua dengan langkah kalem menyambut datangnya Siong In.
"Oh...... Ayah ..... Ayah.....!" Seru Siong In menubruk sang ayah.
Orang tua tadi dipeluknya erat-erat, ia menangis sesenggukan.
"Ayah.....! Kemana saja kau selama ini .
. . Ibu . . . Ibu ..... Menunggu di rumah . . ." Orang tua itu terbatuk-batuk kemudian katanya serak, "Anak ...
Aiii....." Hanya itulah yang keluar dari mulut si orang tua.
Tangan orang tua itu terus mengelus-elus rambut Siong In.
"Ayah, mari pulang ....
Ibu menunggu di rumah, ia kesunyian .
. ." Kata Siong In sedih.
"Anak...... Anak . . ." seru si orang tua tadi.
Air mata si nona meleleh membasahi kedua pipinya, ia menangis sedih, perpisahan sepuluh tahun itu membuat hati si nona begitu sedihnya.
Keadaan orang tua itupun tak ubahnya seperti keadaan Siong In, tampak kedua matanya menggenang air mata.
Tapi ia berusaha menahan jatuhnya air mata itu, katanya, "Anak .
. . Kau sudah besar . . . Waktu ayah meninggalkan rumah kau masih kecil, itu waktu kau masih ingusan .
. . Hari ini sepuluh tahun sudah lewat, kau sudah menjadi seorang gadis cantik jelita lagi gagah, eh, kau sudah mewarisi ilmu silat ibumu, tak kusangka kau sanggup menghadapi mereka." Begitu mendengar ucapan sang ayah yang terakhir itu, hati si nona jadi kaget, ia melepaskan pelukannya, kemudian membalik badan, pedangnya siap di depan dada.
Tapi begitu ia melihat ke tempat mana tadi terjadi pertempuran, di sana sudah tak tampak lagi seorangpun seragam hitam.
Mata Siong In masih basah digenangi air mata, pipinya licin mengkilap digenangi lelehan air mata itu, biji mata si nona membelalak, ia jadi heran, kemana perginya orang-orang seragam hitam tadi" Setelah menggosok wajahnya dengan lengan baju, Siong In bertanya pada sang ayah, "Ayah, apakah melihat mereka tadi?" Sang ayah mengangguk, katanya, "Bukan saja aku lihat, tapi juga sudah menyaksikan bagaimana tadi kau menempur keroyokan mereka!" "Eh, aneh, bagaimana mereka takut kepadamu?" Seru Siong In.
"Anak ...." Seru si orang tua menghela napas.
"Kau jangan campuri urusan mereka.
Lebih-lebih tentang anak muda itu.
Jangan sekali-kali kau mau tahu urusannya, dan ingat jangan sampai kau jatuh cinta padanya...!" "Ayah!'' potong Siong In.
"Mengapa" Pemuda itu tokh tidak berbuat jahat padaku, juga itu orang- orang seragam hitam bukan orang baik.
Aku telah melihat sendri, perbuatan terkutuk mereka!" "Diam!!!" Bentak sang ayah.
Mendapat bentakan tadi Siong In kaget ia lompat mundur, matanya memandang wajah si orang tua, kembali air mata menetes turun di pipinya.
Kesedihan itu datang bertambah, mengapa sang ayah setelah sepuluh tahun tidak bertemu, kini berubah sikap terhadap dirinya, bukankah tempo dulu belum pernah ayahnya membentak demikian rupa.
Ia sangat dimanja oleh ibu dan ayah itu, tapi setelah sepuluh tahun tidak jumpa dan pada perjumpaan pertama kali dalam sepuluh tahun itu, sang ayah telah membentaknya.
Orang tua itu, yang menampak keadaan putrinya demikian sedihnya, ia menghela napas, katanya, "Anak, kau jangan salah mengerti, ayahmu sangat sayang padamu, karena memikir keselamatan dirimu maka aku larang kau mencampuri urusan mereka!" "Ayah .
. . Tapi . . ." "Sudahlah, sudahlah, mereka tokh telah berlalu.
Jangan bicarakan lagi." Seru sang ayah sambil berjalan maju menghampiri Siang In.
Kedua tangan orang tua tadi, diletakkan di atas pundak Siong In, katanya, "Kau sudah besar, nah, pulanglah, beritahukan pada ibu, aku masih hidup, tidak kurang suatu apa, waktu ini aku belum bisa pulang ke rumah ...." "Ayah, mengapa?" Tanya Siong In.
"Apa tidak bisa ayah pulang sebentar, menengok ibu?" "Anak, sampaikan pesanku padanya, tenang tenanglah ia, suatu hari pasti aku akan segera pulang," jawab sang ayah.
"Tapi.. . . Sebaiknya ayah pulang dulu," kata Siang In.
"Bukankah ayah tadi mendapat serangan penyakit batuk-batuk?" Orang tua itu mendadak seperti kaget, serunya, "Eh .
. . Akh ... Ya..." Katanya sambil terbatuk- batuk.
"Batuk ini tidak berbahaya, ayahmu bisa mencari obat untuk menyembuhkannya." Setelah berkata begitu sang ayah batuk-batuk terus menerus.
Siong In yang melihat ayahnya mendadak kumat penyakit batuknya, ia jadi menyesal mengucapkan kata-kata tadi, bukankah dengan ucapannya itu telah membuat sang ayah teringat akan penyakit batuknya" Hingga si orang tua mesti terbatuk- batuk terus.
"Ayah, maafkan anakmu," kata Siong In sedih.
"Seharusnya aku tidak mengingatkan ayah tentang penyakit batuk itu." Sang ayah teras batuk-batuk serak katanya, "Penyakit ini memang aneh, kalau sekali batuk, terus-terusan saja, tapi kalau ia berhenti maka lama tak akan kumat.
Kau jangan kuatir, nah pulanglah, beritahu ibumu kalau aku dalam keadaan sehat walafiat." Siong Ia jadi bingung, mengapa sang ayah ini bersikap begini aneh, maka dengan manjanya ia bertanya, "Ayah sebenarnya sedang menghadapi urusan apa?" "Anak tidak ada urusan apa-apa yang mesti dikuatirkan, beritahukan saja pada ibumu, ia akan mengerti.
Dan dalam perjalanan pulang kau jangan bertindak sembarangan.
Sebaiknya jangan mencampuri urusan orang lain!" "Tapi .
, . Bagaimana kalau orang-orang seragam hitam itu mengejar dirku, memusuhi aku." Tanya Siong In.
Orang tua tadi terbatuk-batuk, kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam saku baju, dari sana mengeluarkan sebuah benda, katanya sambil menunjukkan benda itu pada Siong In, "Kau pakailah benda ini di dadamu.
Dan selanjutnya kau tidak perlu kuatir terhadap orang- orang seragam hitam." Mata Siong In terbelalak, memperhatikan benda di tangan sang syah.
Itulah sebuah perhiasan emas berbentuk buah Tho, di atas buah itu terdapat dua lembar daun.
Selagi Siong In memperhatikan dengan terheran- heran benda tadi, tangan sang ayah telah menusukkan benda tadi di baju dada kiri Siong In.
Siong In membiarkan saja ayahnya menyematkan benda tadi, matanya memperhatikan bagaimana tangan sang ayah memasukkan peniti emas ke bajunya.
"Nah, perhiasan ini banyak gunanya," kata sang ayah setelah selesai menyematkan benda tadi.
"Kau pulanglah, ayahmu tak bisa lama-lama di sini." Setelah berkata begitu, orang tua tadi membalikkan badan, tanpa menambah ucapannya ngeloyor pergi.
Siong In bengong terlongong-longong menyaksikan sikap aneh sang ayah itu.
Mulutnya ingin berteriak memanggil, hatinya ingin mengejar berlalunya sang ayah, tapi sang mulut dan sang kaki tidak menurut perintah hatinya.
Ia berdiri di situ terbengong-bengong, melihat belakang tubuh sang ayah, yang lenyap di balik lebatnya gerombolan pohon.
Begitu orang tua itu telah lenyap di balik pohon, mendadak saja badan Siong In melejit, ia lari mengejar ke arah lenyapnya sang ayah.
Di dalam gerombolan pohon, si nona mencari bayangan ayah itu, tapi di sana sudah tak terdapat bayangan orang tua tadi.
Siong Io terus ubek-ubekan mencari di dalam rimba.
Tapi tetap saja ia tak menemukan jejak ayahnya "Heran!" Pikir Siong In.
"Bagaimana ayah bisa bergerak begitu cepat" Bukankah gerakannya tadi sangat lemah" Ia seperti tidak bertenaga, tapi bagaimana kini bisa lenyap mendadak?" Di dalam hutan itu Siong In dibuat heran atas lenyapnya sang ayah.
Ia tidak mengerti bagaimana ayahnya bisa bergerak begitu cepat.
Dan saat itu mendadak saja ia teringat pada orang-orang seragam hitam berselubung muka.
Ketika orang-orang itu mendengar suara batuk- batuk sang ayah, mendadak mereka pada tersentak kaget, menghentikan serangan.
Dan meninggalkan Siong In yang menubruk ayahnya.
Kejadian-kejadian itu membuat hati si nona tambah bingung.
Manusia-manusia yang ia temui semua serba misterius.
Kini kemana harus mengejar ayah itu, apakah ia harus kembali ke kampungnya memberitahukan pada sang ibu, kalau ayah itu masih hidup, dan pernah ia jumpai di dalam rimba ini.
Tapi bagaimana ia mesti menceritakan pada ibunya tentang sikap ayahnya yang berubah misteri itu" Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya Siong In mengambil keputusan.
Katanya dalam hati, "Dalam dunia ini ternyata banyak sekali orang- orang aneh, baru saja belum lama aku mengembara dalam rimba persilatan, telah menemukan tiga macam keganjilan, yang pertama, munculnya pemuda aneh yang mengucapkan kata-kata yang aku tidak mengerti apa maksudnya, ketika ia melarikan diri dari keroyokan orang-orang seragam hitam dimalam kemarin.
Kedua dari hasil penguntitan terhadap orang-orang berseragam hitam lambang Kalong itu, aku mendapat kesimpulan, rupanya mereka terdiri dari dua tingkatan, tingkatan yang rendah itulah mereka yang mengenakan lambang Kalong Putih, ilmu kepandaian mereka tidak ada artinya.
Dan tingkatan yang lebih tinggi mereka yang pada pagi ini kuhadapi, mereka cukup tangguh, di dada mereka terlukis lambang Kalong warna Kuning, selanjutnya, itu perempuan Biauw mau apa lagi dengan membawa lari pemuda itu.
Ia juga memiliki kepandaian sangat aneh, binatang- binatang buas dan binatang-binatang berbisa begitu pula burung-burung aneh, mengapa bisa tunduk dibawah siulannya" Ilmu kepandaian yang sangat luar biasa!" Setelah hatinya berkata begitu, Siong In, meraba itu perhiasan buah Tho terbuat dari emas yang disematkan di dada kirinya oleh sang ayah, kemudian, katanya lagi, "Ini lagi .
. . urusan ayah, mengapa aneh begitu, aku disuruh pulang memberi tahu pada ibu, dan dilarang mencampuri urusan orang.
Apa maksud benda emas ini" Apakah ini pemberian ibu" Kalau begini, sebaiknya aku pulang dulu ke gunung Hong-san memberi tahu sama ibu.
Baru kemudian dengan diam-diam aku menyelidiki kemisteriusan ayah." Setelah berpikir demikian, ia masukkan pedang ke dalam serangka.
Lalu melesat dari gerombolan pohon.
Tapi baru berlari beberapa tombak, mendadak pikiran si nona berubah lagi, pikirnya, "Aku tokh janji pada ibu paling lama setengah tahun, sedang aku meninggalkan rumah belum cukup dua bulan.
Baiknya aku me?nyelidiki itu perempuan Biauw, apa maksudnya membawa lari pemuda aneh itu?" Pikiran nona baju merah Siong In jadi kacau tidak keruan, ia dibingungkan dengan keanehan- keanehan yang baru saja dihadapinya.
Berdiri mematung di antara lebatnya pohon dalam hutan tadi Sementara kita tinggalkan dulu keadaan, si nona baju merah Siong In yang kebingungan, maka marilah kita mengikuti pengalaman Kang Hoo yang dibawa terbang oleh burung aneh mengikuti si perempuan Biauw.
HARI MULAI GELAP, lima ekor burung aneh meluncur menembusi kegelapan awan.
Ratusan binatang buas dan binatang berbisa saling menggereng dan men?desis, berlompatan maju ke muka, mengikuti arah meluncurnya lima ekor burung menembusi awan.
Kang Hoo yang tercapit di kedua kaki bu?rung warna hijau biru bermata emas, masih belum sadarkan diri, angin langit menderu-deru membawa hawa dingin, mengibar-ngibarkan bajunya yang sudah pada robek.
Beberapa tetesan darah masih jatuh menetes.
Lambat laun haripun menjadi gelap.
Tak tampak lagi kegiatan di atas dunia.
Begitu pula kelima burung aneh di langitpun tak kelihatan bayangan tertelan oleh kegelapannya suasana.
Suara gerengan binatang buaspun lenyap tiada terdengar.
Begitu sang surya kembali memancarkan sinarnya di timur, di atas alam raya terjadi keramaian, burung-burung bernyanyi menari berterbangan kian kemari.
Binatang-binatang hutan berlompatan kian kemari mencari makan.
Terotolan embun di atas daun menguap tersedot hangatnya sang surya pagi.
Di bawah kaki gunung, di dalam rimba belantara, di dalam sebuah goa, menggeletak sesosok tubuh berdarah.
Wajahnya pucat pasi, pakaiannya merah dinodai darah, tubuhnya penuh luka-luka bacokan.
Tubuh berdarah itu seorang pemuda, bukan lain Kang Hoo adanya, keningnya yang lebar mengkilat ditimpa sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam goa.
Diantara kesiuran angin gunung dan suara keresekannya daun pohon bergoyang keras, terdengar langkah kaki ringan memasuki goa.
Itulah langkah kaki seorang gadis berkulit hitam manis.
Di tangan kiri gadis tadi membawa sebuah timba kayu, di tangan lainnya membawa bermacam-macam dedaunan.
Gadis hitam manis itu melangkah tenang memasuki goa, mendatangi Kang Hoo yang masih rebah pingsan di atas kasur rumput di lantai goa.
Begitu berada di samping pemuda tadi, gadis itu meletakkan timba kayu yang berisi air, disamping begitu pula bermacam-macam warna daun di tangan lainnya diletakkan di samping timba.
Dengan bantuannya sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam goa itu, gadis hitam manis memeriksa keadaan luka-luka Kang Hoo.
"Delapan luka ringan, satu luka berat," gumam gadis hitam manis tadi setelah memeriksa keadaan Kang Hoo.
Setelah bergumam begitu, ia mengambil itu tumpukan daun-daun berwarna warni, lalu dipilihnya batu persatu, yang tidak perlu disingkirkan, kemudian kumpulan daun-daun yang telah dipilih tadi, dibasahi dengan air dalam timba kayu, setelah mana daun-daun tadi diremas- remasnya dengan kedua tangan hingga menjadi hancur dan mengeluarkan busa.
Kalau melihat dari cara meremas daun-daun tadi nyatalah gadis hitam itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, karena beberapa daun masih terdapat duri- duri pada rantingnya, tapi gadis tadi seperti tidak mendapat gangguan dari duri-duri itu, ia terus menggilas daun-daun hingga hancur mengeluarkan busa.
Busa-busa yang keluar dari remasan gilingan campuran daun itu, diolesinya pada luka-luka di tubuh Kang Hoo, hingga semua luka tadi tertutup rata oleh busa-busa itu.
Luka terberat yang diderita Kang Hoo, di bagian punggung kanan, hingga tangan kanannya lumpuh tak dapat digerakkan, pada bagian luka itu, gadis tadi seteliti memeras daun-daun itu, busa-busanya diteteskan pada luka tadi, kemudian luka itu ditutupi oleh ampas daun-daun remasan.
Setelah selesai mengobati luka Kang Hoo dengan daun-daun itu.
Kembali ia melakukan pilihan pada daun-daun yang tadi dipisahkan, daun itu terdiri dari tiga warna, kemudian dimasukkan ke dalam timba kayu, di sana daun-daun tadi dihancurkannya.
Daun-daun yang sudah dihancurkan dalam timba kayu tadi, dibawanya keluar goa, di luar goa itu, ia menuangkan air timba yang sudah bercampur dengan ramuan daun-daun itu ke dalam kuali tanah, yang terletak di atas dua buah batu.
Setelah menuang air ramuan daun ke dalam kuali tanah, ia menjejalkan ranting-ranting kering ke dalam dapur batu tadi, lalu, menggosokkan dua ranting kayu, tak lama kemudian kedua ranting kayu kering yang digosok itu mengeluarkan api.
Di dalam dapur itulah gadis hitam manis itu menggodok daun-daun ramuannya.
Tak lama berselang air dalam kuali tadi mendidih, dari sana keluar bau wangi ramuan daun-daun itu.
Hidung si nona hitam kembang kempis menyedot- nyedot bau wangi godokan tadi.
Setelah sekian lama hidungnya kembang kempis, ia lalu mengangkat kuali tanah, isinya dituang ke dalam timba kayu lalu dibawanya kembali ke dalam goa.
Di dalam goa itu Kang Hoo masih rebah, ia belum sadarkan diri.
Gadis tadi meletakkan timba kayu, kemudian ia memeriksa denyut-denyut nadi tangan Kang Hoo.
Setelah memeriksa denyut-denyut nadi Kang Hoo, gadis itu menggeleng kepala.
Lalu mengambil selembar daun, daun tadi digosok-gosoknya sebentar pada bajunya, lalu dengan daun tadi, ia menyendok air godokan ramuan dari dalam timba kayu.
Lalu ditiup-tiupnya beberapa kali agar air itu menjadi dingin.
Dengan menggunakan daun itu, tetes demi tetes air godokan ramuannya dimasukkah ke dalam mulut Kang Hoo.
Karena mulut Kang Hoo tertutup rapat tetesan- tetesan ramuan tadi, meleleh di bibir si pemuda mengalir ke pipinya dan jatuh ke atas kasur rumput.
Gadis hitam manis itu kembali menyendok air godokan dalam timba kayu, ia mengulangi perbuatannya.
Hasilnya kembali seperti apa yang semula ia kerjakan.
Nihil. Air obat godokan itu meleleh ke atas tanah.
"Hmmm....." Gadis itu kembali menyedok air obat dalam timba kayu, tapi kali ini tangan kirinya menjepit kedua rahang si pemuda, hingga mulut Kang Hoo terbuka bibirnya sedikit menganga.
Setelah itu baru ia meneteskan cairan godokan ramuan itu ke dalam mulut Kang Hoo.
Berulang ulang ia melakukan demikian, hingga dalam mulut Kang Hoo sudah dipenuhi oleh cairan obat itu, sampai luber ke bibirnya.
Tapi Kang Hoo masih juga belum siuman.
Jangankan siuman, air obat itu rupanva belum bisa masuk ke dalam perut si pemuda.
Seakan di dalam tenggorokan si pemuda terdapat benda yang menyumbat.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si gadis jadi heran, pikirnya, "Bukankah, air dalam mulut bisa masuk dalam perut, tapi mengapa ini bisa tertahan lama tidak mau masuk" Apakah kau sudah mau mampus?" Setelah berpikir begitu gadis hitam manis tadi, menepuk-nepuk pipi Kang Hoo, tapi air dalam mulut tidak mau turun juga ke dalam perut si pemuda.
"Harus kutiup ke dalam." Pikir gadis hitam manis tadi.
Setelah berpikir demikian, kemudian ia menundukkan kepalanya ke muka Kang Hoo lalu menempelkan kedua bibirnya di bibir si pemuda.
Ia meniup mulut Kang Hoo mendorong air obat itu masuk ke dalam perut.
Begitu ia meniup mulut Kang Hoo, mendadak saja air godokan dalam mulut si pemuda kembali nyemprot keluar, dibarengi dengan suara batuk- batuk si pemuda.
Gadis hitam yang mendadak mendapat semprotan jadi kaget, mengangkat mukanya, wajah hitam manisnya basah dengan cairan obat godokannya sendiri yang menyembur wajah manis itu.
Dengan menggunakan tangannya, ia mengusap cairan yang memenuhi wajahnya.
Sepasang mata gadis itu memperhatikan wajah Kang Hoo.
Kang Hoo masih diam tertelentang, matanya tetap meram, hanya dadanya tampak bergerak lebih keras dari semula.
Menyaksikan perobahan itu, perempuan hitam manis tadi tersenyum.
Lalu kembali ia memasukkan cairan obat sodokannya ke dalam mulut Kang Hoo tetes demi tetes.
Kali ini usaha si gadis berhasil, karena begitu tetesan air godok dedaunan itu masuk ke dalam mulut Kang Hoo tampak tenggorokan si pemuda bergerak, seakan ia menelan cairan yang masuk ke dalam mulutnya.
Setelah beberapa kali gadis itu meminumkan obat godokannya, tampak bulu-bulu mata Kang Hoo mulai bergerak-gerak, kemudian sepasang mata itu perlahan-lahan terbuka.
Berbarengan terbukanya mata Kang Hoo, mulut si pemuda berkata, "Ya Allah.
. . ." Gadis hitam manis itu kembali jadi kaget, ia tidak mengerti apa yang diucapkan Kang Hoo, bahasa apakah itu" Seumur hidup gadis itu belum pernah mendengar.
"Apakah ini anak gila?" Pikir si gadis akhirnya.
Setelah berpikir demikian gadis hitam manis itu dibikin kaget lagi.
Karena Kang Hoo, kembali sudah jatuh pingsan lagi.
Cepat-cepat gadis hitam manis itu memeriksa jalan nadi si pemuda.
"Kau memang banyak mengeluarkan darah." Gumam si gadis hitam manis.
"Mungkin karena banyak mengeluarkan darah itu otakmu jadi rusak, hingga kau berkata yang bukan-bukan.
Ramuan daun ini berkhasiat luar biasa, ia bisa mengembalikan tenaga dan menambah darah, tapi kalau kau terus-terusan pingsan begitu, bagaimana aku bisa mencekok kau dengan jamu ramuanku.
Inilah ramuan obat mujarab orang Biauw.
Dan sebagai gadis Biauw aku telah menyentuh bibirmu, ini berarti aku telah jadi istrimu.
Kalau tidak, aku tidak ada muka untuk hidup di atas dunia ini.
Aku juga tidak mau jadi janda kembang aku harus menyembuhkanmu." Setelah berguman begitu, kembali si gadis Biauw memasukkan cairan godokan obat ke dalam mulut Kang Hoa, karena ia ingin cepat menyadarkan si pemuda, maka dengan mulutnya gadis Biauw tadi kembali menempelkan bibirnya di bibir si pemuda ia meniup mulut Kang Hoo.
Tapi cepat ia mengangkat mukanya dari sana kuatir kalau Kang Hoo batuk lagi dan menyemburkan godokan obat ke wajah hitam manisnya.
Tapi kali ini Kang Hoo tidak menyemburkan godokan tadi.
Air ramuan tadi berhasil didorong masuk ke dalam perut si pemuda.
Mengetahui kalau usahanya berhasil kembali, ia memasukkan air godokan ke dalam mulut si pemuda dan membantu mendorong dengan tiupan mulutnya.
Karena mengetahui kalau Kang Hoo tidak lagi menyemburkan godokan tadi, si gadis Biauw tidak segera menarik mukanya dengan menempelkan bibirnya di bibir si pemuda perlahan-lahan ia meniup.
Selagi bibir gadis Biauw hitam manis tadi masih menempel d bibir si pemuda, mendorong ramuan obat ke dalam tenggorokan pemuda itu dengan perlahan-lahan, mendadak saja ia merasakan bibir Kang Hoo bergerak, terasa bagaimana bibir itu menyedot, membantu menelan godokan obat ke dalam tenggorokannya.
Si gadis Biauw merasakan sedotan bibir Kang Hoo, ia kaget, matanya terbelalak ke atas menatap mata Kang Hoo, tapi mata si pemuda masih meram, sedotan bibir Kang Hoo terasa lembut menyedot-nyedot bibir si gadis, mendapat sedotan demikian rupa gadis tadi menghentikan meniupnya, ia menarik bibirnya dari bibir Kang Hoo, tapi tiba-tiba saja entah bagaimana, mendadak ia juga menyedot bibir Kang Hoo, melakukan satu kecupan.
Berbarengan kecupan gadis tadi, mata Kang Hoo terbuka, dan si gadis Biauw jadi merah wajahnya, cepat ia menarik mukanya dari atas wajah Kang Hoo.
Kang Hoo terbelalak kaget, seluruh badannya dirasa sakit, lengan kanannya masih belum bisa digerakkan, ia memperhatikan sekujur tubuhnya, tubuh itu penuh diolesi ramuan terasa luka pada badannya berdenyut-denyut menerima pengaruh ramuan yang melekat pada tubuhnya.
Lebih-lebih keadaan pada luka di bahu kanan, luka mana terasa berdenyut keras.
Mulut dan tenggorokannya terasa sepat-sepat manis asam, rasa itulah tadi yang membuat Kang Hoo menggerakkan kedua bibir menyedot rasa asam manis sepat tadi, begitu ramuan obat itu didorong oleh tiupan si gadis Biauw.
"Eh ..... . Kau...... Siapa?" Tanya Kang Hoo lemah.
"Mengapa berbuat begitu?" Dengan wajah merah gadis Biauw itu, menyendok lagi ramuan dalam timba kayu, kemudian dimasukkan ke dalam mulut Kang Hoo.
Kang Hoo mengelak, ia memiringkan kepala ke kiri.
"Minumlah!" Seru si gadis Biauw.
"Inilah ramuan obat guna mempercepat penyembuhan luka- lukatmu." Mendengar kata-kata tadi, mata Kang Hoo memandangi wajah gadis hitam manis yang duduk di sampingnya, katanya, "Kau" Apa maksudmu?" Si gadis Biauw tidak menjawab, ia menjejalkan itu ramuan godokan ke dalam mulut Kang Hoo.
Kang Hoa merasakan bagaimana cairan ramuan tadi menyentuh bibirnya, terasa asam sepat manis.
Mengetahui kalau ramuan itulah yang tadi ia rasakan dalam tenggorokkannya, maka ia membiarkan gadis Biauw itu mencekok dirinya dengan obat godokannya.
"Cukup!" Seru Kang Hoo.
"Hmmm. Lukamu belum sembuh. Kau jangan bergerak dulu " Kata gadis Biauw.
Tapi Kang Hoo mana mau mengerti, perlahan- lahan ia bangkit duduk.
Rupanya luka-luka pada badannya sudah mulai sembuh, hanya luka pada pundak kanannya yang agak parah itu, masih terasa sakit luar biasa.
Setelah berhasil duduk, ia mencoba menggerakkan tangan kanannya perlahan-lahan.
Tampak wajah si pemuda meringis menahan sakit.
Tapi ia sudah bisa menggerakkan tangan kanan itu.
Gadis Biauw itu menyaksikan gerakan Kang Hoo, ia memandangi dengan penuh perhatian, ketika si pemuda menggerakkan tangannya dengan meringis, gadis tadi berkata, "Luka pada punggungmu tidak ringan, memerlukan waktu dua hari untuk menyembuhkannya, baru kau bisa leluasa bergerak."
SETELAH berkata demikian, si gadis Biauw berjalan keluar pintu goa, di sana ia bersiul.
Kemudian terdengar berkata, "Ui-jie, kau bawa makanan kemari." Setelah berkata begitu, kembali si gadis Biauw menghampiri Kang Hoo, dan ber?kata, "Aku sudah perintahkan Ui-jie untuk mencari makanan untukmu." "Ui-jie" Siapa Ui-jie" dan kau siapa, di mana ini?" tanya Kang Hoo keheranan memperhatikan sekeliling ruangan goa.
Kemudian memandang si gadis.
"Tempat ini daerah Thiat-gan-tong, tidak jauh di belakang bukit terdapat perkampungan Biauw." jawab si gadis.
"Hmmm. Jadi kau gadis Biauw?" tanya Kang Hoo.
Si gadis mengangguk, ia menyendok lagi godokan ramuan di dalam timba kayu, diserahkan pada Kang Hoo, katanya, "Kau minumlah ramuan ini, kugodok dari berbagai tumbuh-tumbuhan yang banyak mengandung khasiat bisa menyembuhkan luka dan menambah darah." Kang Hoo merasakan bagaimana keadaan lukanya yang begitu berat sudah hampir sembuh sebagian, ia percaya akan ucapan gadis Biauw tadi, tanpa banyak tanya lagi, ia menerima sodoran daun yang terisi air obat itu, lalu ditenggaknya sekaligus.
Baru saja Kang Hoo meminum air obat yang terasa sepat asam manis, dari pintu goa, berjalan masuk seekor orang hutan berbulu kuning.
Melihat orang hutan berbulu kuning tadi, Kang Hoo kaget, ia menggeser badannya ke belakang.
Gadis Biauw menoleh ke arah pintu goa, katanya, "Dia adalah Ui-jie , nah kau jangan takut." "Ui-jie ...
. Ui-jie ..... Ui-jie . . ." gerutu Kang Hoo. Orang hutan berbulu kuning mendengar disebut namanya be-ulang-ulang oleh Kang Hoo menggaruk-garuk pinggangnya.
"Ui-jie, mana makanannya?" tanya gadis Biauw pada si orang hutan bulu kuning.
Orang hutan tadi melempar sebuah benda ke depan gadis Biauw.
Luncuran benda itu disambut oleh gadis tadi, kemudian diserahkan pada Kang Hoo.
Kang Hoo masih bengong, memandangi orang hutan bulu kuning itu, otaknya mengingat beberapa hari yang lalu, ketika ia sudah terluka parah, mendadak saja di sekitarnya dikurung oleh puluhan binatang buas.
Dan bagaimana orang- orang berseragam hitam bertempur dengan si gadis baju merah, dilain bagi?an di atas bukit juga terdapat kelompok pertempuran yang terjadi antara orang-orang seragam hitam dengan gadis hitam manis.
Kini gadis hitam manis itu berada di samping dirinya, ia juga ingat, bagaimana gadis itu ber?teriak "Ui jie, cepat bawa anak itu," dan kemudian muncullah ini binatang orang hutan bulu kuning, tapi setelah itu ia tak ingat lagi.
"Hei, ini, makanlah," seru si gadis Biauw.
Kang Hoo tersentak kaget, ia menerima pemberian buah tadi, tanyanya, "Apakah, kau yang memerintahkan orang hutan ini" Dan bagaimana membawa aku kemari." Gadis Biauw tersenyum, katanya, "Namaku Goat Khouw, orang-kampungku menyebut aku dengan sebutan putri binatang, itulah disebabkan karena kepandaianku me?nundukkan binatang-binatang buas.
Waktu kau di?kejar oleh orang-orang berselubung muka, malam itu, aku kebetulan sedang menunggu munculnya seekor binatang aneh, yang jarang sekali terdapat di muka bumi ini, kami orang-orang Biauw percaya binatang itu mengandung khasiat luar biasa, siapa yang bisa meminum darah dan memakan nyali binatang itu, ia akan menjadi awet muda, dan memiliki tenaga besar.
Tempat dimana binatang itu akan muncul tidak jauh dari tempat kau mendapat keroyokan, karena waktu itu kau lari lewat dimana binatang aneh itu akan keluar, hingga kau telah menyebabkan binatang itu jadi terkejut.
Maka gagallah cita-cita ku itu.
Tapi aku masih tetap menunggu munculnya binatang tadi!" "Binatang apa?" tanya Kang Hoo memotong pembicaraan Goat Khouw.
"Kuya bumi!" kata Goat Khouw, "Karena gerakanmu membuat berisik hutan alang-alang itu hingga mengejutkan binatang tadi, dan selanjutnya ia tak mau muncul lagi.
Semula aku hendak membunuhmu.
Dan ketika aku hendak turun tangan membunuhmu, menda?dak datang itu perempuan baju merah ia mencegah gerakanku.
Maka terjadi pertempuran aku dengan ia hanya dalam beberapa jurus, aku tidak mengenal perempuan baju merah itu, ia juga tidak mengenal diriku, kami bertempur dengan berlainan tujuan, ia mempertahankan kau agar kau lolos dari kematian di tanganku, dan aku akan menghabiskan nyawamu.
Selagi kami bertempur, muncul itu orang-orang seragam hitam, begitu mereka muncul mereka sudah mengeluarkan kata-kata kotor, membuat hatiku panas.
Dan kami berbalik menyerang mereka.
Pertem?puran berlangsung sampai fajar, dan kami memencar menjadi dua kelompok pertempuran, sedang binatang-binatang buasku kuperintahkan untuk menjaga dirimu, karena aku masih penasaran dan ingin membetot nyawamu dengan tanganku sendiri......
. . . ." "Mengapa kau tidak bunuh aku?" potong Kang Hoo.
Goat Khow memandang wajah Kang, Hoo, lalu katanya, "Umurku sudah tujuh belas tahun, sudah waktunya aku menikah, maka ....
. mengingat itu aku telah memilih dirimu untuk calon suamiku, dengan adanya pikiran itu, aku batal membunuhmu dan kau kubawa ke tempat ini, kurawat dan kuobati dengan obat-obat ramuan bangsa kami." Mendengar keterangan gadis Biauw hitam manis itu, hati Kang Hoo jadi berdebaran.
Wajahnya merah matang. "Hmmm. Kau malu." seru Goat Khouw, "Gadis- gadis Biauw, memiliki sifat polos dan terus terang, dan ia boleh mencari jodohnya sendiri, kini pilihan jodohku terhadap dirimu, meskipun kau seorang pemuda Han, tapi mengingat kalau aku telah melepas budi padamu, apakah kau bisa menolak kehendak hatiku?" "Aku tidak menolak," seru Kang Hoo, "Tapi mana mungkin, aku nikah denganmu." "Jangan banyak putar lidah!" seru si gadis Biauw, "Kalau kau bersedia, jawab yang tegas.
Kalau tidak itu berarti dagingmu akan kuserahkan pada binatang-binatang buas." "Soal kawin bisa diurus belakangan," kata Kang Hoo, "Aku masih punya banyak urusan, ayahku dibunuh orang, dan aku di kejar-kejar golongan pembunuh-pembunuh itu.
Lagi pula aku harus mencari isteri yang seagama dengan diriku." "Agama?" tanya Goat Khouw membela?lakkan mata.
"Apapun agamamu aku tidak perduli yang penting kau harus bersedia kawin denganku." "Tidak mungkin!" sela Kang Hoo, "Seorang perempuan yang menjadi isteriku harus seagama denganku.
Kalau tidak mana mungkin." "Kalau begitu, aku bersedia menganut agamamu." kata Goat Khouw tegas.
Mendengar kesediaan si gadis Biauw, hati Kang Hoo dibuat kebingungan, bagaimana seseorang bisa dengan mudah memeluk agama yang dipeluknya.
Maka katanya, "Itu juga tidak gampang." "Kalau begitu kau memang memilih jalan kematian, dikoyak binatang buas," seru Goat Khouw marah.
"Jika Tuhan menghendaki aku binasa di tempat ini, tak seorangpun bisa menghalangi.
Begitu pula sebaliknya, bila Ia menghendaki aku berumur panjang, apa artinya segala macam binatang buas, kau boleh suruh binatang-binatang buasmu itu membunuh diriku, aku ingin lihat apa yang mereka bisa kerja?kan." Mendengar kalau Kang Hoo berkeras hati pada pendiriannya.
Biauw Kouw mengkerut kening, kemudian katanya, "Kau memiliki hati keras.
Lebih keras dari pada batu.
Tapi mau atau tidak kau mesti jadi suamiku." "Perempuan setan! Kau gila!" seru Kang Hoo, "Bagaimana seorang perempuan memaksa laki- laki menjadi suaminya?" Goat Khouw tertawa cekikikan, "Hatiku telah memilih kau menjadi suamiku, hidup atau mati," katanya.
"Tentang cara untuk menundukkanmu, itu bukan urusan susah, tunggu sampai luka- lukamu sembuh benar, baru kau akan tahu bagaimana kau merayap mencariku......" Mendengar ucapan itu, sebenarnya Kang Hoo ingin memaki gadis liar bangsa Biauw ini, tapi mendadak otaknya berpikir.
Tidak guna ia panjang lebar tarik urat di tempat itu tunggu setelah luka- lukanya sembuh, ia akan segera mencari daya untuk dapat lolos dari cengkeraman gadis Biauw liar ini.
Mendapat pikiran begitu, Kang Hoo ter?senyum katanya, "Seseorang yang menjadi isteri dari golongan agamaku, ia juga mesti menganut agama yang kuanut.
Pertama ia harus melakukan upacara khitanan.
Kemudian mempelajari ayat demi ayat ajaran agama.
Mentaati Hukum dan Rukun agama....." "Aku bersedia," potong Goat Khouw, "Kau tunjukkan saja bagaimana harus mempelajari agamamu, upacara khitanan atau apa saja aku sanggup menjalankannya....." "Tidak begitu gampang," seru Kang Hoo "Lebih- lebih, untuk mengkhitankanmu ....
itu ......" Kang Hoo tidak bisa meneruskan ucapannya, ia menahan rasa geli yang mendadak timbul di hatinya.
"Hei, kenapa?" tanya Goat Khouw, "Kau boleh segera khitan aku." "Gila .
. . ." seru Kang Hoo, "Tabiblah yang melakukannya!" "Kau bilang saja, apa itu khitan" nanti aku bisa cari tabib bangsa Biauw, menyuruh mengkhitankan diriku!" Kang Hoo jadi gelagapan mendengar ucapan gadis itu, bagaimana ia menerangkan bagian anggota tubuh si gadis yang mesti dikhitan.
Ia jadi melongo memandangi wajah ketololan gadis Biauw yang liar.
. "Bagaimana?" tanya Goat Khouw, "Apa kau juga sudah menjalani upacara itu?" "Tentu," jawab singkat Kang Hoo.
"Bisa kau tunjukkan." pinta Goat Kouw.
Kang Hoo tersenyum, bagian tubuh yang dikhitankan itu adalah anggota rahasianya yang amat vital.
Bagaimana ia mesti menunjukkannya di depan gadis ini, sambil menggeleng kepala ia berkata, "Mana bisa, mana bisa, urusan bisa jadi lebih berabe lagi." "Bilang saja kau tidak menerima kehen?dakku!" bentak gadis Biauw, "Jangan lagi banyak bicara bertele-tele.
Huh! Macam agama apa yang kau anut itu?" "Nggg....." dengus Kang Hoo.
"Kau dengar baik-baik aku menganut ajaran Islam!" Mendengar disebutnya agama tadi, wajah Goat Khouw sedikit mengkerut, seumur hidupnya baru pertama kali ini ia mendengar nama aliran agama itu.
Setelah sekian saat memandang Kang Hoo iapun bertanya, "Dari mana kau dapatkan ajaran agama itu?" "Ayahku, almarhum berikan aku ajaran agama tersebut." jawab Kang Hoo.
"Dan ayahmu, mendapat darimana?" tanya lagi Goat Khouw.
"Eh, untuk apa kau banyak bertanya tidak keruan, kalau kau hendak menganut agamaku, aku bisa memberikan kau pelajaran tapi......" "Tapi apa pemuda Islam?" seru Goat Khouw.
"Sudahlah, kau jangan banyak bicara tentang urusan agama, karena aliran agama ini kemungkinan besar yang menyebabkan ter?jadinya teror terhadap ayahku.
Ada suatu golongan melakukan teror!!!" "Siapa menteror kalian?" tanya gadis Biauw.
"Orang-orang seragam berselubung hitam,"' jawab pemuda Islam Kang Hoo.
"Mereka juga manusia-manusia aneh," gerutu Goat Khouw, lalu ia bangkit keluar goa meninggalkan Kang-Hoo.
Kang Hoo memandangi belakang tubuh Goat Khouw, berlenggak-lenggok keluar goa, bibirnya tersungging senyum.
Entah apa yang dipikirkan si pemuda.
TANPA DIRASA dua hari telah dilewati.
Luka di punggung Kang Hoo sudah sem?buh, tangan kanannyapun sudah bisa digerakkan dengan leluasa.
Hanya pakaiannya masih itu juga, pakaian robek-robek penuh noda darah.
Selama dua hari itu dalam rawatan gadis liar bangsa Biauw, ia merasakan bagaimana gadis tadi begitu telaten dan telitinya men?jaga dirinya.
Hingga bagaimanapun kuatnya hati seorang pemuda, mendapat pelayanan demikian rupa, maka goyanglah pendiriannya.
Ia tidak bisa menolak dengan ketus permintaan gadis Biauw itu untuk menjadi suaminya, juga ia tidak bisa menerima begitu saja lamaran yang diajukan gadis tersebut.
Teringat bagaimana dirinya sampai berada di dalam goa dalam daerah perkampungan suku bangsa Biauw, Kang Hoo terkenang pada gadis baju merah yang pertama kali ia temui, dan gadis itupun pernah melepas budi menolong dirinya dari cengkeraman orang-orang seragam hitam.
Dua orang gadis sekaligus membayang dalam otaknya, ia membanding-bandingkan kecantikan kedua gadis itu.
Mereka hampir memiliki perawakan dan potongan tubuh yang sama, berkepandaian silat sama tinggi, mereka hanya beda dari asal keturunan, satu dari suku bangsa Biauw, berkulit hitam manis dan masih liar, dan satu keturunan bangsa Han berkulit putih kekuningan.
Ke?cantikan kedua gadis itu boleh dibilang masing-masing punya kelebihan dan punya kekurangan.
Tapi keduanya cukup menarik dan membuat hati Kang Hoo terkenang dan ter?bayang-bayang.
Begitu kenangan wajah kedua gadis tadi berlalu dari rongga otaknya, Kang Hoo meneteskan airmata, ia terkenang akan ayah tercinta, tewas di bawah keganasan orang-orang berseragam hitam berselubung muka misterius.
Dan yang lebih mengenaskan, kematian ayahnya mengalami proses pelumeran daging, akibat terkena cairan mayat seragam orang seragam hitam yang berhasil dibu?nuh sang guru.
Teringat akan suhunya Beng Cie sianseng yang selama sepuluh tahun lebih mengajarkan ia ilmu surat dan juga memberikan pelajaran ilmu silat secara diam-diam pada dirinya, Kang Hoo jadi menghela napas.
Ka?rena tak disangkanya suhunya itu seorang jago rimba persilatan yang menyembunyikan diri.
Dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana ia melihat gerakan suhunya memainkan tongkat bambu tujuh ruas menghadapi orang seragam hitam, bahkan de?ngan bengis sang suhu menyuruh ia membunuh orang berseragam hitam, yang telah membunuh ayahnya.
Kemanakah suhunya itu, siapakah sebenarnya Beng Cie Sian?seng" Pertanyaan itu berkecamuk dalam rongga otak Kang Hoo.
Karena terlalu memikirkan keadaan dirinya, Kang Hoo lupa ia sedang berada di tempat apa, ia melangkah keluar goa, ter?nyata hari sudah mulai sore.
Di luar sana, Goat Khouw dan binatang buas berbulu kuning itu tidak kelihatan di sana, suasana sore di depan goa sangat su?nyi, hanya daun-daun pohon yang terus ber?goyang tiada hentinya ditiup angin.
Kang Hoo maju ke depan dan berada di depan goa ia memperhatikan keadaan medan di sana, itulah sebuah hutan di bawah kaki gunung yang sunyi disaaa sini hanya tumbuhan lebat.
Lereng gunung ditumbuhi pohon-pohon lebat, jauh di atas puncak gunung, tampak kepul?an awan mengambang memotong tengah-tengah gunung, hingga tak tampak sampai dimana tingginya puncak gunung itu, di utara dan timur masih terdapat puncak gunung yang menjulang tinggi.
Tanpa disadari, Kang Hoo melangkah mendaki lereng gunung, tubuhnya menerobos rimbunnya ranting-ranting pohon.
Selagi ia mendaki lereng gunung tanpa arah tujuan itu, mendadak di belakangnya terdengar suara orang memanggil, "Kang Hoo....!" Kang Hoo terkejut, ia menoleh ke belakang, suara itu sudah ia kenal, bagi telinganya suara tadi tidak asing lagi.
"Suhu ........" teriak Kang Hoo berlari datang.
Orang yang berteriak memanggil ternyata adalah si orang tua Beng Cie Sianseng, di punggungnya tersembul ujung bambu tujuh ruasnya.
Ia cepat menghampiri Kang Hoo serunya, "Ayo berangkat! Gadis liar itu sedang mengadakan persiapan pesta besar di kampung Biauw." "Aaaaah......jadi, ia benar-benar ingin melaksanakan niatnya?" tanya Kang Hoo.
"Ayo berangkat! Jangan banyak tanya lagi!" seru Beng Cie sianseng.
"Belum waktunya kau mengurusi perempuan!" "Suhu....." seru Kang Hoo, sambil jalan terus ke atas lereng gunung, "Gadis itu meskipun liar, tapi ia telah melepas budi menolong diriku." "Aku tahu! Ia juga cukup cantik!" kata Beng Cie sianseng, menarik tangan Kang Hoo, mempercepat jalannya, "Berhari-hari aku mencari jejakmu, beruntung di tengah jalan aku bertemu dengan gadis baju merah, ia menceritakan bagaimana kau di bawa terbang oleh perempuan Biauw, maka dari keterangannya, aku menyusul ke daerah ini." "Suhu pernah berjumpa dengannya?" tanya Kang Hoo sambil mempercepat langkah kakinya.
"Nggg ..... apa benar, ia pernah menolong dirimu dari kurungan orang-orang seragam hitam"!" tanya sang suhu.
"Benar. Dia penganut ajaran Budha." jawab Kang Hoo.
"Jangan bicara soal Budha atau apapun, kau lupakan semua itu, yang perlu selamatkanlah dirimu." kata Beng Cie sianseng dengan suara agak marah, "Selama ini aku hanya menurunkan ilmu silat kosong, tiada artinya untuk menghadapi manusia-manusia kukuai rimba persilatan.
Itu karena aku menghormati ayahmu, yang tidak menghendaki kau mempelajari ilmu silat.
Bila kita berhasil keluar dari tempat ini, maka kau harus memperdalam ilmu silatmu.
Dan kau juga harus berusaha membasmi perkumpulan Kalong itu guna membalas sakit hati ayahmu." Sambil lari menerobos semak-semak belukar mereka bicara perlahan.
"Suhu, tapi agama melarang aku membunuh!" kata Kang Hoo setelah ia mendengar perkataan suhunya agar membalas dendam.
"Anak tolol. Dalam agama yang kau anut itu, memang dilarang membunuh, tapi untuk melakukan Darul dan mempertahankan serta menegakkan agama kalau perlu melakukan perang." "Perang?" tanya Kang Hoo kaget.
"Dari mana suhu tahu." "Lama aku mengikuti jejak ayahmu, aku juga pernah mendengar ketika ayahmu mendapat pelajaran agama itu dari seorang tua bersorban, ketika itu usiamu masih tiga tahun.
Orang tua itu bercita-cita untuk melakukan Darul Islam!" "Jadi suhu sudah lama mengenal ayah," tanya Kang Hoo.
"Dan apa itu Darul Islam?" "Mengembangkan agama.
Kalau perlu dengan perang!" jawab Beng Cie sianseng "Seberarnya ayahmu seorang pembesar negeri yang bijaksana.
Aku senang dengan dirinya.
Dan aku bersedia menjadi budak?nya." "Hmm kemana kita?" tanya Kang Hoo sambil terus lari menerobos ranting-ranting pohon.
"Meninggalkan daerah ini sejauh mungkin," jawab sang suhu sambil menoleh ke belakang, "Gadis liar itu telah melepas budi padamu, dan bilamana kehendaknya tidak kau penuhi, ia bisa membunuh kau.
Dari kalau sampai terjadi demikian itulah kejadian yang sangat membingungkan, kita tidak bisa melukai dirinya, lebih-lebih membunuhnya, orang yang telah melepas budi, kita harus ingat atas budi itu." Tanpa dirasa mereka menyusuri bukit-bukit pegunungan penuh gerombolan pohon itu, hari pun sudah mulai gelap.
Sambil lari menerobos hutan Kang Hoc berkata, "Sebentar lagi malam tiba." "Dalam keadaan gelap, menguntungkan kita." jawab Beng Cie Sianseng.
Angin malam berhembus, hawa udara yang mulai dingin, bertambah dingin lagi, lebih-lebih keadaan Kang Hoo yang sebagian besar bajunya telah robek akibat serangan pedang orang-orang seragam hitam, siliran angin tadi menusuk-nusuk bekas luka-lukanya.
Dalam cekaman hawa dingin tadi, mendadak saja terdengar suara tetabuhan alat musik sayup terdengar mengumandang ke seluruh lereng gunung.
Beng Cie sianseng mendengar suara tetabuhan alat musik itu, ia jadi melengak, begitu pula Kang Hoo, ia menatap wajah sang suhu.
"Eh, suara musik apa?" Tanya Kang Hoo.
"Gadis liar tadi rupanya telah menyiapkan pesta kawin untukmu.
Ia sudah kem?bali ke goa untuk menyambut pengantin laki-laki, Kau lihatlah, di bawah sana bukan?kah di depan goa dimana kau tinggal, itu nyala-nyala api obor menerangi keadaan.
Kau kira betapa marahnya gadis itu, begi?tu melihat kau tak ada di dalam goa!" Hoo tertawa, "Dia liar tapi lucu sekali.
Bagaimana membikin pesta kawin tanpa menunggu perse?tujuan laki-laki." "Kau jangan banyak bicara! Cepat ja?lan!" bentak Beng Cie sianseng.
Sementara itu, rombongan musik yang telah disiapkan oleh Goat Khouw untuk menyambut pengantin laki telah berbondong-bondong datang ke depan goa.
Obor-obor membuat keadaan gelap di depan goa jadi terang benderang.
Empat orang laki-laki Biauw berwajah hitam menggotong sebuah joli yang terhias bunga-bunga serta lukisan khas suku bangsa Biauw, di belakang penggotong tandu berbaris rombongan seni musik.
Di belakang barisan rombongan alat mu?sik, tampak berlerot barisan binatang-binatang buas peliharaannya Goat Khouw.
Di depan pintu goa, Goat Khouw sudah dandan demikian rupa, ia memerintahkan beberapa orang pelayan laki-laki membawa satu perangkat pakaian kemantin baru.
Agar mereka menggantikan pakaian Kang Hoo di dalam goa.
Sementara itu, Goat Khouw dan rombongannya menunggu berdiri di depan pintu goa.
Tiga orang laki Biauw memasuki goa, mereka membawa sebuah obor, tugas me?reka menggantikan pakaian Kang Hoo yang sudah robek-robek itu, dan meriasi si pemuda menjadi kemantin laki-laki kemudian membawa si pemuda keluar lalu dengan tandu ia akan dibawa ke perkampungan Biauw untuk me-lakukan pesta perkawinan.
Lama Goat Khouw menunggu di luar, hatinya sudah gelisah benar.
Ingin lekas memandang wajah sang kekasih yang sudah dandan rapi.
Suara musik tetabuhan bangsa Biauw terus mengumandang dimalam hari, rembu?lan yang mulai bundar sudah nongolkan dirinya, mengintip peristiwa malam di atas dunia.
Tak lama tiga orang laki-laki Biauw sudah jalan keluar, salah seorang membawa obor, wajah mereka agak cemas.
Dan dua orang lainnya, dengan masih membawa buntalan pakaian lari mendekati Goat Khouw, kata?nya perlahan, "Di sana tak ada orang!" "Hah!" Goat Khouw kaget, ia lari mengambil sebuah obor, lalu memasuki goa.
Begitu berada di dalam goa mendadak saja ia membanting-banting kaki, gerutunya, "Laki-laki terkutuk! Dengan baik hati aku merawatmu.
Kini kau kabur meninggalkan aku hmmm.
Rupanya kau telah terpincuk dengan perempuan baju merah itu.
Biar kelak akan kubunuh ia agar kau bisa tahu siapa aku!" Goat Khouw yang mendapatkan goa su?dah kosong, ia jadi marah tidak kepalang, karena kemarahannya itu, telah terbetik rasa cemburunya, bukankah di dalam hutan rumput alang-alang itu, si nona baju merah Siong In juga berusaha untuk menolong diri Kang Hoo dari tangan maut.
Maka berpi?kir begitu kemendongkolannya merembet diri Siong In.
Setelah menggerutu di dalam goa, Goat Khouw lari keluar, ia melempar obor di dalam goa.
"Kalian balik ke perkampungan." Teriak Goat Khouw pada rombongannya, "Pesta dibatalkan." Semua orang-orang laki perempuan jadi terheran- heran mendengar perintah si nona, mereka melompongkan mulutnya, suara musikpun sirap seketika.
Goat Khouw tidak memperdulikan rom?bongan kesenian itu, dengan wajah merah penuh kemarahan ia bersiul.
Suara siulan si nona liar mengumandang angkasa malam.
Dan tak lama di atas udara di bawah sinar rembulan, tampak meluncur lima titik bayangan hitam menukik ke bawah, lima titik bayangan hitam tadi kian lama kian jelas bentuknya itulah lima ekor burung aneh.
Mereka berterbangan di atas kepala Goat Khouw.
Goat Khouw mendongak kepala ke atas kemudian, ia bersiul lagi, suara siulan itu panjang pendek seperti suara burung.
Lima ekor burung aneh, mendengar suara siulan itu mereka terbang berpencaran ke setiap pelosok rimba.
Setelah memerintahkan kelima burung-burungnya, Goat Khouw bersiul lagi, suara siulannya disusul dengan terdengarnya suara gerengan-gerengan binatang buas, memenuhi hutan di depan goa.
"Ui-jie," seru Goat Khouw begitu ia menampak binaiang orang hutan bulu kuning jalan menghampiri.
"Kau panggil Toa sian-seng." Mendengar perintah si nona, orang hutan bulu kuning mengeluarkan suara pekikan, lalu ia lompat lari memasuki hutan.
Dan tak lama kemudian sudah balik kembali dengan seekor orang hutan hitam berbadan besar, tubuh orang hutan itu dua kali lebih tinggi dan lebih besar dari pada orang hutan bu?lu kuning.
Ternyata yang dimaksud dengan Toa sian-seng adalah itu orang hutan hitam besar.
Di depan si nona Biauw, orang hutan be?sar Toa sianseng mulutnya cengar cengir, kepalanya miring ke kiri ke kanan meman?dang Goat Khouw.
"Kurang ajar, kau jangan cengar cengir!" bentak Goat Khouw, "Ayo ikut aku, kalian harus bekuk itu laki-laki Han.
Kalau ia tidak mau kawin denganku, biar kuserahkan padamu.
Rupanya ia lebih suka memilih kau dari pada menikah dengan aku." Toa sianseng yang baru datang mende?ngar ocehan Goat Khouw lompat kegirangan, mulutnya mengeluarkan suara pekik-pekikan.
"Jalan!" bentak Goat Khouw.
Maka kedua orang hutan itu tak berani membantah perintah majikan perempuannya, mereka pada jalan mendaki lereng gu?nung.
Rupanya si toa sianseng itu adalah orang hutan betina, ia jadi girang mendengar akan diberi seorang laki-laki untuk menghiburi dirinya.
Sebenarnya sifat orang hutan perempuan besar itu sangat buas, ia tidak boleh melihat laki-laki cakep, pasti laki-laki itu diterkam.
Maka jika tidak perlu betul menggunakan tenaga orang hutan yang diberi nama Toa sianseng itu, ia jarang mengajaknya bepergian.
Karena diantara sekalian binatang-binatang, Toa siansenglah yang paling susah diatur.
DENGAN menarik tangan Kang Hoo, menerobos gerombolan-gerombolan pohon di lereng gunung itu Beng Cie sian-seng berkata, "Cepat perempuan itu sudah mengetahui kau tidak berada di dalam goa." Kang Hoo yang lari terseret-seret oleh suhunya, berkata, "Suhu, jarak yang telah kita lalui cukup jauh, dalam keadaan malam begini kukira tak mungkin dengan mudah ia menemui jejak kita.
Untuk apa mesti menyeret-nyeret diriku.
Duri-duri semak belukar telah melukai tubuhku.
Jangan-jangan aku bisa mengalami luka bernanah." "Kau mana tahu, jarak dan waktu untuk gadis liar itu tidak ada artinya, Kau lihat di atas sana.
Kau lihat dengan teliti." Kang Hoo menengadah ke atas, meman?dang langit yang bening bercahayakan sinar rembulan.
"Bintang bertebaran!" seru Kang Hoo.
"Tolol." bentak Bersg Cie sianseng.
"Aku bukan suruh kau lihat bintang! Itu binatang yang terbang di atas kepalamu," "Aaa, burung itu." seru Kang Hoo.
"Anak tolol." kata Beng Cie siansent, "Itulah sejenis burung aneh, diwaktu malam matanya dapat melihat apapun dengan jelas.
Itulah tentunya piaraannya gadis liar bangsa Biauw.


Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia diperintah mencari jejak kita!" Mendengar keterangan suhunya, Kang Hoo jadi kaget, ia mendongak terus ke atas memperhatikan burung yang terbang di angkasa, tampak burung tadi terbang berputaran di atas kepala mereka.
"Eh, suhu, melihat gerakan terbang burung sial itu, ia sudah tahu kita berada di sini." "Hmmm .
. ." gumam Beng Cie sian?seng, "Nah kau lihat ia menukik rendah." Berbarengan dengan ucapannya, Beng Cie sianseng, memotong sebatang ranting pohon dijadikan tiga potong, lalu menunggu burung tadi menukik rendah, ia melempar ketika potongan ranting pohon itu ke udara menyambar burung yang sedang terbang menukik.
Di bawah sinarnya rembulan, tampak tiga batang warna hitam meluncur ke atas, menuju burung aneh yang sedang menukik terbang turun.
Kang Hoo terus memandang ke atas, ia bisa melihat bagaimana tiga batang ranting kayu yang dilempar oleh suhunya itu me?luncur ke atas, sedang dari atas udara, tampak itu burung hitam meluncur ke bawah.
Dan buah benda luncuran itu saling mendatangi.
Burung tadi seperti tidak melihat adanya serangan yang datang dari bawah, ia masih terus terbang menukik turun, sedang tiga batang potongan kayu yang dilempar ke udara oleh Beng Cie sianseng seperti tiga buah titik hitam yang meluncur ke atas me?nuju satu titik sasaran.
Tampak jelas ba?gaimana semakin tinggi tiga potongan kayu itu seakan bergerak melancip mengarah pada burung aneh.
"Heheheheheeee . . .... burung itu segera mampus," kata Kang Hoo, "Badannya segera akan ditembus tiga potong ranting pohon," Berbarengan dengan akhir ucapan Kang Hoo, terdengar suara pekik burung di atas langit.
Burung tadi kembali mencelat ke udara, kemudian terbang miring, mengelakkan datangnya serangan tiga ranting pohon.
Kang Hoo jadi melengak kaget, tiada disangka, kalau burung tadi berhasil meng?elakkan sambaran tiga potong ranting kayu.
"Huhhh!" seru Beng Cie sianseng, "Ayo cepat lari.
Burung itu pasti balik memberitahukan majikannya, Kalau saja ia berhasil mengejar jejakmu, itulah membuat kepalaku pusing tidak keruan macam." "Mengapa harus pusing-pusing?" kata Kang Hoo.
"Anak tolol! Kau kira perempuan liar itu mau mengerti begitu saja atas kaburnya kau dari goa tadi.
Pastilah ia akan mem?balas dendam sakit hatinya.
Entah rencana apa yang telah ia siapkan untuk menyiksa dirimu.
Kalau saja ia belum pernah meno?long dirimu, itu bukan persoalan.
Tapi gadis liar itu bukankah pernah memberikan rawatan dan pengobatan.
Kita mesti ber?tindak bagaimana menghadapi sifat-sifat aneh gadis liar itu, juga kau harus tahu suhunya ....
suhunya .... aih .... urusanmu ini mengapa begitu banyak keruwetan .
. ." "Suhu jangan kuatir," kata Kang Hoo, "Serahkan aku untuk menyelesaikan urusan ini dengan gadis liar itu.
Atau suhunya." "Hmmm.
Suhunya lebih gila lagi." kata Beng Cie Sianseng.
"Nah, di atas sana ada sebuah goa, sebaiknya kita tunggu keda?tangan mereka di dalam goa itu." Kang Hoo mengikuti arah yang ditunjuk sang suhu, di atas lamping batu terdapat sebuah goa kemudian katanya, "Kita lari saja terus." "Mana mungkin, burung itu akan mem?bawa gadis liar itu ke tempat kita, ia akan terus mengejar, dan dalam kejar mengejar ini, pastilah akan banyak menghabiskan tenaga, sedang ia sendiri, di belakang gadis itu masih banyak terdapat binatang-binatang buas.
Bagaimana kau kira untuk menghadapi mereka setelah kita kehabisan tenaga.
Maka lebih baik kita menunggu saja kedatangan mereka di dalam goa itu.
Dengan begitu kita tidak membuang tenaga percuma.
Juga keadaan goa sangat menguntungkan, mereka bisa menyerang dari depan, tapi tak bisa melakukan serangan bokongan dari be-lakang." Mendengar keterangan sang suhu, Kang Hoo diam- diam memuji kecerdikan gurunya, langkah kakinya dipercepat merambat naik ke atas lamping batu di mana terdapat lubang goa.
Baru saja mereka tiba di atas lamping batu di depan lubang goa, mendadak dimalam rembulan itu terdengar sayup-sayup suara seru?ling.
Di depan lubang goa Beng Cie sianseng menahan langkah, ia memegang lengan Kang Hoo, katanya, "Kau dengar suara seruling itu?" Kang Hoo mengangguk.
"Suara itu datangnya dari atas puncak gunung," guman Beng Cie sianseng "Entah manusia aneh mana lagi yang muncul di tempat begini sunyi." Setelah bergumam begitu, ia menarik ujung tongkat bambu yang tersembul di belakang gegernya.
"Eh," Kang Hoo heran melihat tongkat bambu itu, karena kini suhunya bukan memegang sebuah tongkat bambu tujuh ruas seperti ia pernah lihat.
Itulah sebilah pedang. Gagang pedang terbuat dari ruas bambu.
Sedang sarung pedang terbuat dari kulit.
"Kau minggir!" seru Beng Cie sianseng menarik pedang dari serangkanya.
Kang Hoo melangkah mundur, menyaksikan sang suhu, dengan pedang terhunus memasuki lubang goa.
Dan tak lama kemudian terdengar dari dalam goa sang suhu berteriak memanggil.
"Masuklah!" Kang Hoo melangkah masuk, ternyata goa tadi sempit, karena sinar bulan tak dapat memasuki lubang goa, maka dalam goa itu sangat gelap.
Berbarengan dengan masuknya Kang Hoo ke dalam goa, di tengah udara terdengar suara pekikan burung memecahkan suara irama seruling.
Mendengar suara pekikan itu Kang Hoo menoleh ke arah sang suhu, kemudian ia jalan ke mulut lubang goa, mendongakkan kepala ke atas.
Di tengah udara melayang lima ekor bu?rung besar, di bawah sinarnya bulan, bulu-bulu burung yang lebar, berkilauan memantulkan cahaya bulan.
Berputaran terus di atas udara di depan lubang goa dimana Kang Hoo dan suhunya ngelepot di dalamnya.
"Aneh, mengapa ia tidak segera turun," kata Kang Hoo "Bukankah burung kecil itu sudah mengetahui kita berada di sini." Beng Cie sianseng memegang pedangnya, memandangi ke atas angkasa, dari kelima burung tadi, tampak seekor yang terbesar, di atas punggung burung itu duduk seorang gadis.
Itulah Goat Khouw dengan rambutnya yang riap-riapan ditiup angin.
"Suhu, dia mau tunggu apa lagi." tanya Kang Hoo "Eh, suara seruling itu masih terus mengumandang!" "Lihat saja, permainan apa yang diperli?hatkan perempuan Biauw itu." kata Beng Cie sianseng.
Kang Hoo terus memandang ke angkasa di mana burung-burung itu beterbangan terus, dan mendadak saja terdengar suara teriakan dari gadis Biauw di atas punggung burung yang melayang berputaran.
"Pemuda dungu! Dengar! Kau mengkhia?natiku.
Kau tidak suka kawin denganku.
Nah, binatang- binatang buasku akan segera mem?buat kau menjadi pengantin dari seekor orang hutan perempuan!" Kang Hoo mengenali suara itu, itulah suaranya Goat Khouw.
Ia memandang sang suhu. Tapi suhu itu hanya menggeleng ke?pala saja.
Tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Dari atas angkasa, terdengar suara tertawa cekikikan gadis Biauw, disusul dengan ucapannya, "Hai, mengapa kalian terlambat.
Ayo, tangkap orang itu, bikin upacara perkawinan.
Hai Toa sianseng......" Berbarengan dengan suara ucapan dari angkasa, di bawah lereng gunung terdengar suara gerengan- gerengan binatang buas, sedang di atas angkasa suara suling masih terdengar terus.
Mendengar suara gerengan-gerengan binatang buas itu, Beng Cie sianseng, menoleh ke arah Kang Hoo, katanya, "Kau tunggu di dalam!" Belum lagi Kang Hoo mengerti maksud kata-kata suhunya, sang suhu sudah lompat turun ke bawah tebing memasuki semak belukar.
Dari atas lobang goa Kang Hoo memandangi kepergian suhunya itu.
Ia menunggu selama awan beriring menutupi rembulan, begitu sinar rembulan memancar kembali, sang suhu sudah lari datang, di tangan kirinya membawa dua batang kayu.
"Kau gunakan pedang ini." kata Beng Cie sianseng ia lompat naik masuk dalam lubang goa.
"Bunuh saja setiap binatang yang coba menerjang masuk." Setelah berkata begitu, orang tua tadi, menggunakaa dua potong kayu di tangan kanan dan kiri sebagai senjata Baru saja Kang Hoo menerima pemberian pedang bergagang bambu itu, dari dalam gerombolan pohon di bawah lubang goa keluar dua sosok tubuh orang hutan, satu berbulu kuning.
Itulah orang hutan yang bernama Ui-jie.
Dan satu lagi berbulu hitam, badannya tinggi besar, dua kali lebih besar dari orang hutan bulu kuning.
Pada kedua dadanya tampak mendoyot dua buah susunya.
Di belakang kedua orang hutan tadi terdengar suara gerengan-gerengan binatang- binatang buas yang terus menggereng, membuat suasana malam dalam rimba itu jadi berisik, mereka seperti me?ngurung medan di bawah lamping batu di depan lubang goa.
Sedang itu dua binatang orang hutan dengan lenggak lenggok, jalan mendatangi.
Inilah gaya Toa sianseng yang khas! Kang Hoo melihat kedua orang hutan itu, hatinya sudah bergidik, meskipun tangannya mencekal pedang, mengingat kekuatan terjangan seekor orang hutan bulu kuning saja ia sudah tak sanggup hadapi.
Apalagi kini mesti menerima serangan dari dua orang hutan.
"Kau hadapi yang kuning." seru Beng Cie Sianseng, "Dan yang betina ini serahkan padaku." Baru saja, Beng Cie sianseng berkata sampai di situ, mendadak saja, dari atas udara meluncur tiga batang sinar emas menyerang ke arah dadanya.
Beng Ce sianseng kaget, ia tidak tahu dari mana munculnya tiga batang sinar emas itu, panjangnya hanya sejengkal meluncur ke arah dada.
Berbarengan dengan luncuran tiga sinar emas menyerang dada Beng Cie sianseng, dari atas angkasa terdengar suara tertawa cekikikannya gadis Biauw di atas punggung burungnya, disusul dengan suara kata-katanya, "Tua bangka, kau turut campur urusanku hehihihiheeee........" "Perempuan liar." gerutu Beng Cie sianseng sambil mengelakkan datangnya se?rangan tiga batang sinar keemasan itu.
Kalau saja gerakan Beng Cie sianseng kurang cepat, pastilah ketiga serangan ba?tang sinar emas tadi akan membentur dadanya.
Tapi dengan ringannya ia telah berhasil mengelakkan datangnya serangan luncuran sinar emas itu dengan memiringkan badannya ke samping.
Berbarengan mana batang kayu di tangannya diayun membentur ketiga batang sinar emas itu.
Tapi benturan kayu itu tidak mengenai sasaran.
Karena ketiga sinar emas itu su?dah meluncur lewat, dan membentur din?ding batu belakang goa.
Sementara itu dua ekor orang hutan yang juga melihat adanya serangan sinar emas tadi mereka tak meneruskan langkahnya.
Berdiri di bawah pohon menyaksikan gerakan ketiga batang sinar emas itu.
Tampaknya mereka seperti takut menghadapi tiga batang sinar emas tadi.
Tampak dari keadaan diri mereka yang pada merengket di bawah pohon.
Kang Hoo juga melihat adanya itu se?rangan tiga batang sinar emas.
Semula ia ingin berteriak memperingatkan sang suhu, tapi gerakan suhunya lebih cepat, meng?elakkan datangnya serangan tadi.
Ketika ia melihat ke arah kedua orang hutan di bawah sinar bulan, kedua orang hutan itu seperti merengket.
Ketakutan di bawah pohon.
Hingga mereka tidak berani maju mende?kati.
Sementara itu, Beng Cie Sianseng baru berhasil mengelakan serangan tiga batang sinar emas ke arah dadanya.
Dan ketika serangan batang kayunya tidak berhasil membentur tiga batang sinar emas itu.
Ia jadi tersentak kaget. Di dalam goa itu keadaannya gelap, sedang sinarnya rembulan tidak dapat menembusi ruangan goa itu, tapi senjata sinar emas yang membentur batu goa dinding itu begitu membentur lantas melekat, tampak sinar emas tadi seperti hidup, bergerak perlahan.
Beng Cie sianseng melihat kejadian itu, melangkah mundur setindak, serunya, "Ular mas!!!!" "Suhu, biar kubunuh binatang melata itu." seru Kang Hoo melangkah maju.
"Diam! Jangan bergerak!" kata Beng Cie sianseng mendorong mundur badan Kang Hoo dengan tongkat kayu.
"Tiga binatang ini sangat berbisa.
Tinggalkan goa." Berbareng dengan ucapan Beng Cie sian?seng, tubuhnyapun sudah lompat turun ke?luar goa.
Diikuti lompatan Kang Hoo.
Begitu mereka lompat keluar, dua orang hutan yang sejak tadi merengket di bawah pohon, mendadak mengeluarkan pekikkan, seekor orang hutan besar bersusu lari ke arah Kang Hoo, dan yang berbulu kuning menerkam Beng C e Sianseng.
Beng Cie sianseng telah siap dengan dua potong kayu pohon itu, ia segera menyambut dengan kemplangan kedatangan orang hutan bulu kuning.
Tapi orang hutan bulu kuning juga cerdik, ia tidak mau kepalanya terkena kemplangan orang.
Sambil meme?kik lompat mundur.
Sementara itu, si orang hutan raksaksa dengan cengar cengir memandangi Kang Hoo.
Di tangan si pemuda mencekal pedang ia menuding-nuding orang hutan itu dengan ujung pedang.
Dari atas angkasa kembali terdengar suara tertawa gadis Biauw di atas punggung burungnya, disusul dengan ucapannya, "Hai! Pemuda, percuma pedangmu menghadapi orang hutan betina itu, tangan-tangan berbulunya keras bagaikan baja, beruntung ia begitu melihat wajahmu sudah jatuh cinta, heeeeeheheeeeeee....
bukankah ia saat ini sedang memandangmu sambil ter?senyum girang.
Nah kau nikmatilah kemantin perempuan itu.
Heeeheee....." Mendengar suara si gadis Biauw, hati Kang Hoo mendongkol, teriaknya, "Gadis liar.
Hmmm....." Tapi hanya itulah yang bisa keluar dari mulut Kang Hoo, karena mendadak saja ia melihat mulut orang hutan besar itu sedang cengar cengir mendatanginya, dan kedua tangan orang hutan perempuan itu menggaruk-garuk selangkangannya.
"Kang Hoo!" seru Beng Cie sianseng yang terus menempur orang hutan bulu kuning, "Gunakan pedang itu, tusuk matanya dan kau lari kabur!" Mendengar teriakan sang suhu, Kang Hoo sadar, ia tidak boleh bertindak ayal, kalau tidak tentunya keadaannya akan lebih runyam lagi.
Lebih-lebih melihat bagaimana orang hutan besar bersusu itu, tidak henti-hentinya cengar cengir terus sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang penuh bulu lompat-lompatan di depan dia, rupanya si orang hutan perempuan tidak pandang mata de?ngan pedang yang diarahkan pada dirinya, ia lebih tertarik dengan ketampanan wajah Kang Hoo, hingga sifat nafsu binatangnya telah memuncak ke otak sampai ia tak henti-henti terus menggaruk-garuk selangkangan.
Entah benda yang digaruk-garuk itu terasa gatal ataukah bagaimana Kang Hoo tidak mengerti.
Yang mengerti hanyalah si orang hutan perempuan itu sendiri yang nafsu sexnya sudah mengalir dalam darah binatangnya.
Begitu Kang Hoo mendapat teguran sang suhu pedangnya cepat ditusukkan ke arah biji mata si orang hutan yang mengkilat berputaran.
Orang hutan itu mendapat serangan tu?sukan ujung pedang, ia tidak mengelak dengan tangannya.
Tangan itu masih terus menggaruk- garuk, ia hanya memiringkan kepala ke samping, lalu lompat maju ke depan.
Dengan gerakan itu orang hutan tadi berhasil mengelakkan tusukan ujung pedang.
Serangan tusukan pedang begitu dapat dielakan oleh orang hutan perempuan itu, Kang Hoo menarik pedangnya, ia hendak mengulang serangannya, tapi mendadak saja, orang hutan yang baru saja berhasil me-ngelakkan serangan pedang, menubruk maju ke arah batang pedang, lalu dengan dagunya ia menjepit batang pedang itu, kemudian badannya lompat ke atas.
Kang Hoo jadi kaget, ia membetot pedang tadi, tapi jepitan leher orang hutan betina itu sangat keras, belum lagi ia berhasil menarik pedangnya, mendadak saja orang hutan tadi sudah lompat ke atas.
Sebuah Kota Banyak Cerita 8 Goosebumps - Topeng Hantu 2 Naga Sasra Dan Sabuk Inten 10
^