Pencarian

Panah Kekasih 19

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 19


Siapa sangka Ui Hau justru mendapat bantuan Siau Ong-sun secara diam diam, dengan ilmu coan-im-jip-pit tiada hentinya dia memberi petunjuk jurus serangan, sehingga berulang kali dia berhasil merebut posisi diatas angin.
Dalam kaget dan gusarnya, tiba tiba Hong San-hoa melancarkan serangan mematikan, serangkaian serangan berantai memaksa Ui Hau mundur ke sudut mematikan, saking cepatnya dia berganti jurus hingga Siau Ong-sun tak sempat memberi petunjuk.
Tapi perempuan itu tidak tahu kalau Siau Ong-sun sedang bersembunyi dibalik kegelapan .
. . . .. Terdengar Ui Hau berkata: "Perempuan gila itu mendesak aku ke sudut bukit yang sempit, melihat wajahnya ditengah kegelapan malam, dia benar benar menyerupai setan perempuan.
"Waktu itu sebetulnya aku merasa sedikit terperanjat, melihat sepasang tangannya menyodok tiba, sedang akupun sudah tak mungkin bersembunyi lagi, terpaksa dengan keraskan kepala kusambut datangnya serangan itu.
Siapa tahu disaat tanganku menyentuh telapak tangannya, tiba tiba dari belakang tubuhku muncul pula sebuah tangan yang segera menempel punggungku.
"Menyusul kemudian dari balik tanganku muncul satu gulung kekuatan yang besar, akupun tak tahu dari mana munculnya kekuatan itu, tahu tahu nenek sihir itu sudah terpental hingga mencelat ke belakang.
Hahaha, dia sangka kekuatannya masih mengungguli diriku, maka dia sengaja mengajak aku beradu kekerasan, siapa sangka di belakangku ada orang yang mendukung." Tian Mong-pek tahu, sudah pasti Siau Ong-sun telah menggunakan ilmu khikang sebangsa Li-san-ta-gou (memukul kerbau dari balik bukit) untuk menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangan Ui Hau, lalu meminjam tangan Ui Hau untuk mengalahkan Hong San-hoa.
Terdengar Ui Hau berkata lebih lanjut sambil tertawa: "Dalam keadaan linglung dan tak habis mengerti aku telah mengalahkan dia, saat itulah Siau locianpwee suruh aku menggusurnya datang kemari, setiba II disini, akupun melihat kau dan .
. . . . . .. II "Kejadian selanjutnya aku sudah tahu, dan kau .
. . . .. ucap Tian Mong-pek sambil tertawa.
Ui Hau segera tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, dan aku tak perlu cerita lagi." Kokcu lembah kaisar ikut tertawa tergelak, ujarnya: "Dua bersaudara keluarga Hong bukan manusia sembarangan, sedang pemilik panah kekasih pun susah dihadapi, kali ini aku memang sengaja mengkompori Hong Ji-siong agar mau berseberangan dengan dia, paling tidak bisa menambah musuh tangguh bagi lawan, aku rasa tindakan seperti inilah yang paling tepat, menghadapi racun dengan racun, kalau tidak .
. . . ..aaak, sampai kapan rahasia ini baru terbongkar masih sukar diramalkan, kedatanganku turun gunung kali inipun berniat untuk menemukan kunci dari rahasia besar itu, siapa sangka.....aaai!" "Kenapa?" tak tahan Tian Mong-pek bertanya.
Siau Ong-sun tertawa getir, ujarnya: "Begitu turun gunung, akupun berhasil menemukan satu petunjuk, tentu saja aku tak mau melepaskan begitu saja, siapa tahu setelah dilacak sampai sumbernya, ternyata tempat itu adalah tempat tinggalmu di Hangciu." "Haah" Tapi .
. . . . . .." Tian Mong-pek berseru tertahan.
Dengan cepat Siau Ong-sun menukas: "Aku berhasil menemukan sebuah rumah, ternyata banyak sekali orang yang mengawal dan melindungi keluarga itu, apa mau dibilang ternyata para pengawal itu hanya golongan rendah, akupun menotok jalan darah mereka satu per satu, betul saja, didalam bangunan itu kutemukan berapa buah ruang rahasia .
. . . . .." Sebagaimana diketahui, Siau Ong-sun sangat menguasahi ilmu pat-kwa serta ahli dalam ilmu perangkap, perduli bangunan seperti apapun, asal disana terdapat ruang rahasia atau alat rahasia, tak satupun yang bisa mengelabuhi matanya.
Terdengar dia berkata lebih lanjut: "Dalam ruang rahasia itu, kutemukan banyak sekali buku transaksi rahasia, ternyata semua transaksi itu berhubungan dengan jual beli panah kekasih, hanya saja aku tidak menemukan jejak pemilik rumah." "Tapi kawanan pengawal yang melindungi bangunan itu .
. . . .." teriak Ui Hau. Kembali Siau Ong-sun tertawa.
"Betul, akupun menginterogasi para pengawal itu, siapa sangka mereka semua tak ada yang tahu kejadian sebenarnya, malahan diantara mereka terdapat anggota perguruan panji kain." Tian Mong-pek jadi teringat dengan kemampuan Siau Ong-sun untuk mendiktesi kebohongan, dia tahu asal orang itu sudah diinterogasi, jangan harap ada rahasia yang bisa disimpan.
Diapun teringat kembali dengan kejadian di pesisir telaga Tay-ou, ketika bersama Siau Hui-uh dan ikan hiu besar menghadapi serbuan para jago dari perguruan panji kain.
Sewaktu mengetahui kalau raja naga dari telaga See-ou Lu Tiang-kiat masuk menjadi anggota perguruan panji kain, hatinya sudah merasa keheranan, sekarang dia baru tahu, rupanya Lu Tiang-kiat telah menjadi begundalnya Chin Siu-ang, sedang Chin Siu-ang lah yang secara diam diam membeli orang orang panji kain dengan niat menguasahi wilayah telaga Tay-ou dan memperkokoh posisi panah kekasih.
Ditinjau dari sini bisa disimpulkan, walaupun Chin Siu-ang bukan pemilik panah kekasih, dia pasti mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pemilik panah kekasih .
. . . . .. Ketika melihat pemuda itu mulai termenung, Siau Ong-sun segera bertanya: "Apakah kau tahu, siapa pemilik rumah itu?" "Chin Siu-ang!" jawab Tian Mong-pek tanpa pikir panjang.
Sejak awal dia memang sudah menduga, hanya selama ini tidak yakin, setelah ketambahan bukti dari Siau Ong-sun, dia yakin dugaannya tak mungkin meleset.
"Ooh, ternyata kaupun sudah tahu, sayang....
aaai, dia sudah mati!" "Kematian orang ini kelewat aneh," ujar Tian Mong-pek dengan kening berkerut, "bayangkan saja, dia adalah tokoh penting didalam organisasi panah kekasih, kenapa justru mati terkena panah kekasih?" Siau Ong-sun segera tersenyum.
"Sudah sewajarnya begitu," katanya, "andaikata dia tidak mati karena panah kekasih, hal mana justru terasa janggal, sudah kau pahami teori ini?" Tian Mong-pek berpikir berapa saat, tak lama kemudian ia berseru tertahan: "Aah, betul! Bisa jadi karena rahasianya sudah ditemukan cianpwee, tentu saja pemilik asli panah kekasih tak bisa membiarkan dia tetap hidup." "Dengan kematiannya, bukan saja seluruh petunjuk yang kita temukan selama ini jadi terputus, yang membuat orang jadi semakin tak habis mengerti adalah kenapa dia mati oleh panah kekasih.
siasat melenyapkan saksi yang mereka lakukan betul betul keji dan sempurna." Teringat kalau musuh besarnya ternyata adalah gembong iblis yang buas, keji dan licik, Tian Mong-pek merasa semakin masgul, tanpa terasa paras mukanya ikut berubah.
Kembali Siau Ong-sun berkata: "Karena harus mengejar Chin Siu-ang, maka akupun menyusul sampai disini, bergabung dalam orang banyak, biarpun kalian tidak melihat aku, aku justru dapat menyaksikan kalian." Dengan senyum tak senyum dia menambahkan: "Aku lihat Hui-uh si bocah itu makin lama semakin latah, meski hatiku risau, tapi setelah melihat kungfu mu maju semakin pesat, hatiku pun ikut gembira." "Kalau bukan kehadiran cianpwee tadi, mungkin aku sudah tewas ditangan Il orang.
Kata Tian Mong-pek sambil tertawa.
"Tiga jurus cun-hong-jut-tong yang dia gunakan memang luar biasa sekali, jangankan kau, akupun belum tentu mampu mematahkan, apalagi dengan usiamu sekarang ternyata sanggup melawan pemimpin dari tujuh manusia kenamaan, kemampuan ini pantas digembirakan, pantas diberi selamat." Sambil berkata, orang tua ini memandang Tian Mong-pek sambil tersenyum penuh arti, buru buru pemuda itu menundukkan kepala dengan tersipu.
Menyaksikan adegan ini, tanpa terasa Ui Hau jadi teringat dengan perkataan "mertua memandang menantu, makin dipandang semakin seru", tak tahan dia pun tertawa terbahak bahak.
Sambil tertawa Siau Ong-sun segera menegur: "Kau jangan tahunya hanya tertawa disini, cepat tengok tiga bersaudara Ho, mereka sangat setia kawan, ketika melihat kau hilang dan tidak ditemukan, sudah pasti akan gelisah setengah mati." "Tapi bagaimana dengan me.....
toako ku?" Hampir saja dia menyebut "menantumu", masih untung ucapan itu berhasil ditahan, kendatipun gelak tertawanya semakin menjadi, siapapun tak tahu apa yang sedang dia tertawakan.
Melihat suara tertawanya aneh, tanpa terasa Siau Ong-sun ikut tertawa, katanya: "Toako mu masih harus ikut aku nonton keramaian, tapi sudah tak bakal membahayakan, pergi saja dengan hati tenang!" Ditengah gelak tertawa, Ui Hau sama sekali tak mendengar apa yang dikatakan, dia hanya tahu beranjak pergi sambil tertawa.
"Keramaian apa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Aku masih ingat, bukankah kau paling senang melihat jago lihay sedang bertarung?" Tergerak hati Tian Mong-pek, serunya: "Maksudnya Tu locianpwee melawan Kim locianpwee?" Siau Ong-sun tertawa sambil manggut manggut.
"Betul, begitu mereka berdua bertarung, walaupun tidak seramai pertarunganku melawan Lan Thian-jui, namun jauh lebih ganas dan berbahaya." Tiba tiba ia menghentikan tertawanya dan melanjutkan: "Kepergianku kali ini bukan Cuma nonton keramaian, kaupun bertanggung jawab untuk memisahkan mereka berdua, jangan biar kan kedua orang itu benar benar bertarung sampai salah satu terluka, sementara aku.....
aaai, sejujurnya aku tak ingin bertemu Kim Hui, karena itu dalam kejadian ini aku tak boleh tampil, semuanya tergantung bagaimana kamu nanti." Ternyata bayangan manusia yang memancing Lam-yan serta Siau Hui-uh tadi tak lain adalah orang tua ini, kalau tidak, siapa yang memiliki ilmu meringankan tubuh setangguh itu.
Mengetahui bahwa semua tingkah laku orang orang itu tak bisa mengelabuhi orang tua ini, Tian Mong-pek merasa sangat kagum, pikirnya: "Kepandaian orang tua ini memang luar biasa dan sukar dilampaui siapa II pun.
Maka mereka berduapun bergerak cepat menuju ke arena pertarungan antara Kim Hui melawan Tu Hun-thian.
Tiba tiba Tian Mong-pek teringat akan tabiat serta dendam kesumat yang terjalin antara kedua orang itu, dengan kening berkerut katanya: "Sekarang, kedua orang cianpwee itu sudah bertempur, bagaimana caraku untuk memisahkan?" "Orang lain tak mungkin bisa memisahkan, tapi asal kau mengucapkan sepatah kata, mereka segera akan berpisah." Jawab Siau Ong-sun.
"Berkata apa?" "Kau cukup bertanya kepada Kim Hui, inginkah dia bertemu dengan putri kandungnya?" "Aaah betul," Tian Mong-pek menghela napas kagum, "setelah mendengar pertanyaan ini, Kim locianpwee pasti tak akan bertarung lagi, tentu saja dia tak ingin keburu mati sebelum berjumpa dengan putri kandungnya." Siau Ong-sun tertawa, lanjutnya: "Selanjutnya kau bertanya kepada Tu Hun-thian, tanya dia, apakah ingin kesadaran putrinya pulih kembali" Bila ingin, tak usah melanjutkan pertarungan dan segera berangkat menuju telaga Tong-ting, aku akan mencarinya ditengah jalan nanti dan merundingkan persoalan ini." Tian Mong-pek segera bertepuk tangan kegirangan.
"Betul, betul sekali, bila didunia ini masih ada urusan yang bisa membujuk si panah yang lepas dari busur, mungkin hanya urusan ini saja.
Tapi..... tapi bagaimana dengan putri Kim locianpwee .
. . . . ..?" "Hoa Hui dan Siau Man-hong berada tak jauh dari sini, sepanjang jalan mereka berdua masih suka menarik perhatian orang, tak sampai separuh hari, jejak mereka pasti akan ketahuan.
Tak lama tibalah mereka didepan sebuah hutan yang lebat dan gelap, ujar Siau Ong-sun kemudian: "Saat ini, mereka berdua pasti sedang bertarung sengit dalam hutan, pergilah cepat, akupun harus pergi dari sini." "Cianpwee hendak ke mana?" dengan perasaan berat tanya pemuda itu.
"Hahaha, ujung langit tepi samudra, kemana pun aku akan pergi, tapi setiap saat kitapun dapat berjumpa lagi, bila bertemu Hui-uh nanti.....
II uhuukk, aaai . . . . . .. Tiba tiba dia mengebaskan ujung jubahnya lalu berkelebat pergi dari sana.
Kembali Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Sepak terjang orang tua ini benar benar bagaikan naga sakti di langit, II bikin orang tak bisa menduga duga .
. . . .. Tapi sayang, walaupun Siau Ong-sun berpengetahuan luas, namun dia tak bisa meramalkan kejadian masa mendatang, seandainya dia mengetahui perkembangan selanjutnya dari peristiwa ini, mungkin dia tak akan pergi dengan terburu buru.
Angin malam berhembus kencang, taburan bintang dilangit sudah mulai redup, malam yang panjang sudah berada diujung jalan.
Begitu memasuki hutan lebar, Tian Mong-pek segera tahu bahwa perhitungan Siau Ong-sun meski bagus, namun tetap ada sedikit keteledoran.
Andaikata Tu Hun-thian dan Kim Hui masih tetap bertarung sengit, maka berapa patah kata dari Tian Mong-pek mungkin bisa menghentikan kedua orang itu.
Tapi sekarang, telapak tangan Tu Hun-thian dan Kim Hui telah saling menempel satu dengan lainnya, mereka berdua sama sama telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bertarung, dalam keadaan begini, ibarat mereka sudah lupa diri, lupa keadaan, sudah tak mungkin lagi bisa membujuk mereka untuk sudahi pertempuran.
Apalagi jika benar benar ada orang yang tergerak hatinya, bukan saja segera akan mengalami cau-hui-jip-mo, salah salah tubuhnya akan segera terhantam oleh pukulan lawan dan menemui ajalnya.
Tian Mong-pek cukup menguasahi rahasia tenaga dalam, diapun sangat paham dengan situasi saat ini, setelah menyaksikan pemandangan itu, mana mungkin dia bisa berteriak" Untuk berapa saat, pemuda itu hanya bisa berdiri tertegun.
Dia tak tahu mengapa bisa begitu .
. . . .. mungkin hal ini dikarenakan jaraknya dengan hari keberhasilan sudah semakin dekat, nyawanya jadi begitu berharga .
. . . .. ia sadar, dirinya belum siap untuk mati.
Ia tak berani membuka matanya, tapi hawa dingin semakin kental, kelopak matanya makin lama semakin berat .
. . . . .. Pada saat itulah, dari luar hutan meluncur datang sesosok bayangan manusia, bergerak bagai sukma gentayangan, sama sekali tidak menimbulkan suara, sepasang matanya yang tajam sedang mengawasi noda darah di tubuh pemuda itu.
Tian Mong-pek tidak merasa apa apa, selang sesaat terlihat sebuah tangan yang putih diulurkan ke depan, mengarah keatas kepalanya.
Dari ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu, jelas dia adalah seorang jago lihay, padahal waktu itu Tian Mong-pek sudah terluka parah, bila pukulan itu sampai dilanjutkan, mana mungkin dia bisa hidup terus" Siapa tahu, tangan itu hanya berputar satu lingkaran diatas kepala Tian Mong-pek, hanya diturunkan secara perlahan lalu membelai rambutnya yang kusut.
Dengan perasaan kaget Tian Mong-pek membalikkan badan, terlihat sesosok bayangan manusia berdiri dibawah pohon, kabut putih yang kental seolah telah menyatu dengan pakaiannya, dengan rambutnya.
Walaupun saat ini dia sudah tak mampu melihat dengan jelas, namun dia tak pernah akan melupakan sepasang mata orang itu yang besar dan bening, tak tahan tegurnya: "Uh-ji, mau apa datang kemari?" Bayangan manusia itu tak lain adalah Siau Hui-uh, terlihat dia menutup matanya dengan lembut, dengan wajah senyum tak senyum, bisiknya: "Uh-ji.....
Uh-ji . . . . .. panggillah sekali lagi." Tian Mong-pek menarik muka, menggunakan sisa kekuatan yang dimiliki teriaknya: "Siau Hui-uh, kenapa kau kemari" Kau perempuan yang tak tahu malu, buat apa kau mengikuti aku terus?" Dia cukup mengerti tabiat Siau Hui-uh, dalam anggapannya, dampratan itu pasti akan membuatnya berang dan pergi, dengan begitu meski akhirnya dia harus tewas disini, gadis itu tak perlu merasa sedih.
Siapa tahu, Siau Hui-uh malah menghela napas sedih, katanya lembut: "Kalau ingin memaki, makilah, tapi mau maki seperti apapun, aku tak bakalan pergi." Tian Mong-pek termangu, dia berusaha meronta bangun, teriaknya: "Kalau kau tak pergi, biarlah aku yang pergi." "Kalau kau pergi, aku akan mengikuti dibelakangmu." "Kau! Kau!" Tian Mong-pek berusaha merangkak bangun, sayang dia memang sudah tak sanggup menahan diri, sepasang kakinya jadi lemas, tubuhnya kembali roboh ke tanah.
Sambil tertawa pedih ujar Siau Hui-uh: "Kau tak usah memaksakan diri lagi, semua masalah telah kuketahui dengan jelas .
. . . .. kau . . . . .. perasaan hati mu pun aku tahu." "Kau tahu apa?" berubah paras muka Tian Mong-pek.
"Kau takut aku sedih, tak ingin aku tahu kalau kau terluka parah, maka sengaja bersikap dingin kepadaku, paksa aku tinggalkan dirimu, tapi.....
tapi....." Tiba tiba ia jadi sesenggukan: "Tapi luka itu .
. . . .. harus kau rasakan gara gara aku, mana mungkin aku...
aku . . . . .." Terlihat sekujur badannya gemetar keras, kata berikut tak sanggup dilanjutkan.
Tian Mong-pek merasa hawa panas menggelora dihatinya, tanpa pedulikan apa pun, tiba tiba dia genggam tangan Siau Hui-uh yang putih.
Siau Hui-uh mendesis manja, diapun jatuhkan diri ke dalam pelukannya.
Selama ini mereka berdua belum pernah memperlihatkan perasaan masing masing, begitu saling berpelukan, semuanya sudah tak terbendung lagi.
Kedua orang itu saling berpelukan dengan hangat, air mata dingin yang membasahi pipi, hati yang membara bagai api, kedua orang itu seolah lupa waktu, lupa keadaan, lupa diri.....
Suasana amat hening, kabut putih semakin menebal, entah berapa lama sudah lewat.....
Akhirnya terdengar Siau Hui-uh berkata: "Setelah kupikir pikir, kau bukanlah manusia semacam itu, terlepas bagaimana jalan pemikiran orang lain, tapi selama aku belum bertanya hingga jelas, aku belum merasa puas." Setelah tertawa merdu, lanjutnya: "Oleh karena itulah, peduli apa yang kau pikirkan, aku tetap menyusul kemari, asal dapat mendengar kau menyebutku Uh-ji, peduli amat dengan omongan orang lain." Kembali berapa saat lewat, bisiknya lagi: Il "Tian....
Tian . . . . . .. Gadis itu bingung, dia tak tahu bagaimana harus menyebut pujaan hati yang berada dalam pelukannya kini, maka setelah tertawa lanjutnya: "Aku tak peduli apa yang mau kupakai untuk memanggilku, bagiku, asal kau mau memanggilku Uh-ji.....
ooh alangkah bahagia hatiku.
Eei, kenapa kau tak bicara?" Perlahan dia angkat kepalanya, tapi tiba tiba gadis itu menjerit kaget.
Diremangnya cuaca pagi, terlihat paras muka Tian Mong-pek pucat bagai mayat, sepasang matanya terpejam rapat, rupanya anak muda itu sudah jatuh tak sadarkan diri.
Buru buru dia periksa napasnya, terasa dengus napasnya sudah berubah sangat lemah.
Tak terlukiskan rasa kaget Siau Hui-uh saat ini, dia mencoba memanggil berulang kali, namun Tian Mong-pek tidak menjawab.
Air mata pun tak terbendung lagi, berderai membasahi pipinya.
Tak sempat lagi menyeka air matanya, dia bopong tubuh Tian Mong-pek, tergesa gesa lari keluar dari hutan, dia hanya berharap bisa secepatnya tiba di gedung keluarga Tong dan mencari orang untuk selamatkan jiwa Tian Mong-pek.
Siapa sangka kabut tebal di pagi itu luar biasa pekatnya, didalam gugup dan paniknya, gadis itu mulai tersesat, bukannya menuju ke arah gedung keluarga Tong, sebaliknya makin berjalan semakin menjauh.
Semakin gadis itu gugup, semakin kalut pikiran dan perasaannya, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Tiba tiba dari balik kepekatan kabut, terdengar suara langkah yang berat, kemudian terdengar suara seorang kakek sedang berseru: "Anak It, anak It, kau harus pertahankan diri, bangkitkan semangatmu." Begitu tahu kalau suara itu berasal dari Hong Sin yang licik dan kejam, Siau Hui-uh merasa tercekat, pikirnya: "Kedua orang ayah dan anak ini sudah membenci Tian Mong-pek hingga merasuk tulang sumsum, sekalipun aku tidak takut menghadapinya, tapi lebih baik keadaanku tak sampai ketahuan mereka." Padahal terhadap orang tua yang licik ini, dia masih menaruh prasangka jelek dan kewaspadaan tinggi, biarpun diwaktu biasa dia tak takut menghadapinya, tapi kini, Tian Mong-pek sedang menderita luka parah, yang terpenting sekarang adalah secepatnya mendapatkan pertolongan.
Kalau sampai waktunya terbuang untuk mencari pengobatan, bukankah dia akan menyesal sepanjang waktu" Berpikir sampai disitu, dia tidak ragu lagi, diam diam mundur berapa langkah dari sana.
Ketika tubuhnya sudah mundur sejauh berapa puluh kaki dari posisi semula, mendadak terdengar lagi suara langkah kaki manusia.
Dari balik tebalnya kabut, kembali terdengar suara seseorang berkata sambil tertawa: "Sun-heng, sungguh tak disangka Langit membantu kita dengan memberi kabut yang begini tebal, hal ini akan membuat gerak gerik kita semakin bertambah leluasa." Suara itu seperti suara wanita, tapi nadanya justru membawa hawa aneh yang menggidikkan, tapi begitu masuk ke telinga Siau Hui-uh, jantungnya kontan berdebar keras.
"Aaah, Liu Tan-yan!" Sekalipun terhadap manusia laki bukan perempuanpun tidak ini dia menaruh dendam yang merasuk tulang, namun dalam keadaan begini, diapun tak berani mencari gara gara, maka sambil menghimpun tenaga murni, lagi lagi dia berjalan menuju ke arah lain.
Dalam posisi terjepit oleh dua pihak yang tak ingin dijumpai, gadis itu tak lagi bisa mengenali arah dan jalanan, yang diharapkan sekarang hanyalah tidak bersua dengan kawanan iblis keji itu, tak heran diapun berlarian tanpa tujuan yang pasti.
Setelah berjalan lebih kurang seperminum teh, dari arah depan secara lamat lamat terlihat muncul bangunan rumah, ketika semakin dekat, segera terlihat kalau tempat itu adalah sebuah kelenteng kecil, didepan pintu tertera papan nama dengan tulisan yang besar: "Rumah abu keluarga Tong" Diam diam Siau Hui-uh menghembuskan napas lega, akhirnya ditemukan juga satu tempat untuk bersembunyi, biarpun jarak dari gedung keluarga Tong cukup jauh, namun masih berada dalam lingkaran kekuasaan keluarga besar itu.
Cepat dia lari masuk, tapi baru saja kakinya melangkah ke pintu rumah abu, lagi lagi perasaan hatinya tercekat.
Dibalik tebalnya kabut, didepan rumah abu, diatas undakan batu, membujur kaku dua sosok mayat, kalau ditinjau dari dandanan mayat itu, ternyata mereka adalah anak murid perguruan keluarga Tong.
Biarpun Siau Hui-uh bukanlah gadis yang sangat teliti, namun berhubung saat ini dia sedang menggendong Tian Mong-pek, ia tak berani bertindak gegabah, cepat gadis itu menghindari pintu utama dan menerobos masuk melalui jendela samping.
Ilmu meringankan tubuh dari Lembah kaisar memang luar biasa, sekalipun dia sedang membopong seseorang, namun gerakan tubuhnya sama sekali tidak menimbulkan suara.
Daun jendela dirumah abu itu sangat besar dan kuat dan terlapis kertas berwarna putih, menggunakan kukunya gadis itu membuat satu lubang lalu mengintip ke dalam.
Rumah abu keluarga Tong memang lain daripada yang lain, ruang pemujaan tertata apik dan rapi, semua meja abu terbuat dari kayu cendana yang kelihatan masih baru, jelas tempat itu baru saja direnovasi.
Didepan meja altar, dibawah lampu lentera, duduk mematung seseorang, pakaiannya kusut, rambutnya tak karuan, seolah sudah lama tak pernah mandi, wajahnya kusut dan layu, keningnya berkerut, mukanya sangat murung.
sebuah buli arak yang besar tergeletak disisi tubuhnya, dia sedang memandang kearah kejauhan dengan mendelong, sedang mulutnya komat kamit bergumam tiada hentinya: "Bagus, bagus, kau sudah dinikahkan .
. . . .. sudah dinikahkan....." Kembali orang itu angkat buli araknya dan meneguk dengan lahap.
Dari tingkah lakunya, meskipun orang ini kelihatan kusut bagai gelandangan, namun dari mimik mukanya Siau Hui-uh dapat menduga kalau dimasa lampau dia adalah seorang yang romantis, tampaknya saat ini dia sedang dirudung duka karena kekasihnya dinikahkan dengan orang lain.
Untuk sesaat gadis itu tak bisa menduga siapa gerangan orang ini dan apa yang harus dilakukan.
Pada saat itulah, Tian Mong-pek yang berada dalam pelukannya mulai merintih.
Dalam terperanjatnya Siau Hui-uh tak sempat perhatikan lagi gerak gerik didalam ruangan, cepat ia tundukkan kepala sambil memeriksa keadaan luka pemuda itu.
Siapa sangka disaat itulah, "Kreeek!" daun jendela dihadapannya tiba tiba terbuka lebar.
Lelaki dekil tadi tahu tahu sudah berdiri tegak didepan jendela, wajahnya masih tampak linglung.
Dengan kaget Siau Hui-uh mundur selangkah, bentaknya: "Siapa kau?" "Siapa pula dirimu?" balas orang itu ketus, tapi ketika melirik orang dalam pelukan si nona, tiba tiba wajahnya berubah, serunya tertahan: "Tian Mong-pek!" "Kau kenal dia?" tak tahan Siau Hui-uh bertanya kaget.
Orang itu tidak menjawab, tiba tiba mimik mukanya kelihatan gugup dan agak panik, setelah melirik sekeliling tempat itu sekejap, ujarnya dengan suara dalam: "Nona, cepat bopong masuk saudara Tian." "Tapi .
. . . . .." Siau Hui-uh kelihatan ragu.
II "Aku adalah sahabat lama saudara Tian, ujar orang itu panik, "sama sekali tak berniat jahat, nona, masuklah dengan hati lega, cepat! Cepat! Kalau terlambat urusan bisa gawat." Dari mimik wajahnya, Siau Hui-uh tahu kalau orang itu tak bermaksud jahat, cepat dia melompat masuk.
Siapa tahu tiba tiba orang itu memegang lengannya, dengan marah tegur Siau Hui-uh: "Mau apa kau?" "Silahkan nona .
. . . . .." Baru perkataan itu diucapkan, dari luar rumah abu sudah terdengar lagi suara gelak tertawa, suara itu dingin tapi genit, tak lain berasal dari manusia siluman Liu Tan-yan.
Kembali paras muka orang itu berubah, cepat bisiknya: "Cepat ikuti aku bersembunyi." Lagi lagi Siau Hui-uh merasa terkesiap, dalam waktu yang singkat inilah satu ingatan melintas dalam benaknya: "Sebenarnya siapakah orang ini" Dia musuh atau teman" Kalau satu golongan dengan Liu Tan-yan, kenapa dia kelihatan begitu takut" Kenapa pula dia mau membantu aku" Kalau bukan satu golongan dengan Liu Tan-yan, darimana dia bisa tahu kalau orang itu bakal datang kemari?" Tapi situasi dan kondisi tidak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir, karena tak punya pilihan lain, terpaksa dia biarkan lengannya ditarik orang itu lari menuju ke dalam.
Setelah berlarian ke depan meja altar, dia singkap kain diatas meja altar sambil berbisik: "Nona cepat masuk, aku akan duduk didepan meja untuk melindungi." Sambil menggigit bibir Siau Hui-uh menerobos masuk ke bawah meja altar, tiba tiba ia merasa tangannya dijejali sebuah benda.
"Obat itu obat mujarab untuk mengobati luka....." bisik orang itu lagi.
Kain altar segera diturunkan.
"Obat itu obat mujarab untuk mengobati luka....." bisik orang itu lagi.
Kain altar segera diturunkan.
Siau Hui-uh segera merasa pandangan matanya jadi gelap, saat itulah suara langkah manusia telah tiba didepan rumah abu.
Liu Tan-yan masih menyanggul rambutnya tinggi keatas, gaun panjangnya menyentuh tanah, ketika berjalan pinggulnya berlengg ak lenggok, mukanya dihiasi senyuman jalang, sulit bagi orang luar untuk membedakan dia itu lelaki atau wanita.
Disampingnya adalah seorang lelaki berjubah panjang, mukanya putih bersih tanpa jenggot, dipunggungnya menggotong sebuah buntalan besar yang tampaknya cukup berat, senyuman selalu menghiasi bibirnya, dia tak lain adalah Sun Giok-hud.
Lelaki bertubuh dekil itu masih tetap duduk di depan altar bagaikan patung, tangannya menggenggam buli arak, sewaktu bertemu kedua orang itu, dia berlagak seolah tidak melihat, bahkan melanjutkan minum arak.
Sambil tertawa genit Liu Tan-yan berjalan menuju ke depannya, lalu sapanya seraya tertawa: "Saudara Lim, kau tampak begitu santai, minum arak seorang diri, II waah.....
benar benar antik..... benar benar indah..... Tiba tiba dia rampas buli arak itu, paras mukanya seketika berubah sedingin salju, terusnya: "Tapi aku minta kau datang kemari, memangnya hanya bermaksud mengundang kau minum arak?" Lelaki dekil itu tertawa ewa, tidak menjawab.
"Jangan lagi yang lain," ujar Liu Tan-yan lagi, "bukankah sudah berulang kali aku berpesan, kenapa hingga kini kedua sosok mayat di undakan itu belum juga dikubur" Meskipun dalam dua hari ini keluarga Tong sedang menyelenggarakan pesta kawin sehingga tempat ini agak kendor penjagaannya, tapi bila kau paparkan kedua mayat itu di depan pintu, memangnya disangka orang lain sudah buta semua" Lim Luan-hong wahai Lim Luan-hong, kelihatannya kau memang tak pernah pandang sebelah mata kepadaku." Ternyata lelaki dekil itu tak lain adalah Lim Luan-hong, tapi jago kenamaan dari Kanglam ini sama sekali tidak bicara maupun bergerak walau dihina dan dicemooh orang, dia seakan sudah tertegun hingga jadi bodoh.
Sun Giok-hud yang berada disampingnya cepat melerai, katanya: "Gara gara perkawinan nona Chin, selama berapa hari ini saudara Lim sudah dibuat makan tak enak, tidur tak nyenyak, buat apa saudara Liu menyalahkan dia." Berputar biji mata Liu Tan-yan, sahutnya sambil tertawa terkekeh: "Hahaha, siapa yang menyalahkan dia, aku hanya men gajaknya bergurau, bayangkan saja Chin Siu-ang si tua bangka pikun itu, bukannya ambil saudara Lim sebagai menantu, dia justru berikan putrinya kepada orang luar, bukan begitu saudara Lim"' Berubah paras muka Lim Luan-hong, namun dia tetap bersabar, justru karena cinta kasihnya kepada Chin Ki, selama ini dia bersedia meninggalkan segala sesuatu dan bersusah payah untuk Chin Siu-ang.
Sementara itu Sun Giok-hud telah meletakkan buntalan besar itu ke lantai, ketika Liu Tan-yan memberi kerdipan mata kearahnya, tiba tiba Sun Giok-hud berkata sambil tertawa: "Tapi saudara Lim tak usah sedih, coba kau lihat apakah ini?" Perlahan-lahan dia membuka buntalan itu, tak tahan Lim Luan-hong ikut melirik.
Ternyata isi buntalan itu adalah pengantin wanita yang berbaju pengantin dan bekopiah indah, saat itu sepasang matanya terpejam rapat, mukanya merah, tampaknya dia dalam keadaan tak sadarkan diri.
Kalau bukan Chin Ki, lantas siapa lagi" Dalam waktu singkat, ia merasa hatinya bergetar keras, tak tahan lagi tubuhnya melompat bangun sambil menjerit kaget.
Melihat itu, Liu Tan-yan serta Sun Giok-hud segera tertawa terbahak bahak.
"Saudara Lim," ujar Sun Giok-hud sambil tertawa, "coba lihat, bukankah kami bersaudara sangat setia kawan" Tahu kalau kau mencintai nona Chin, maka tak segan kami menyerempet bahaya dengan menculiknya dari dalam kamar pengantin." Lim Luan-hong berdiri terperangah, mulutnya melongo, matanya terbelalak, untuk berapa saat dia awasi berapa orang itu tanpa mampu berbicara, dia tak tahu apa yang dilihatnya sekarang merupakan kenyataan atau hanya fatamorgana.
"Sungguh..... sungguhkah semuanya ini?" tanyanya gemetar.
u ? "Siapa bilang bukan sungguh?" sahut Liu Tan-yan sambil tertawa, Sl wanita cantik sudah membujur disini, bila saudara Lim tak percaya, mari, mari mari, coba rabalah badannya." Dengan gemetar Lim Luan-hong ulurkan tangannya, tak baru diulur setengah jalan, cepat dia telah menariknya kembali.
"Aduh mak, takut apa?" ejek Liu Tan-yan sambil tertawa, "kalau kau takut Il meraba, biar aku yang meraba .
.

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . .. Diiringi gelak tertawa, dia langsung meraba tubuh Chin Ki.
Berubah paras muka Lim Luan-hong, tiba tiba sepasang kepalannya mengepal kencang.
Siau Hui-uh yang berada dibawah meja altar, meski berada dalam kondisi berbahaya, namun dengan wataknya yang tidak takut langit tidak takut bumi, diam diam dia mengintip dari bawah altar, apa yang dilihatnya membuat gadis itu heran bercampur kaget.
Ketika melihat Lim Luan-hong mengepalkan sepasang tinjunya kencang kencang, dia jadi kegirangan, gadis ini berharap lelaki itu bisa menyerang secara tiba tiba dan membinasakan liutanyang.
Siapa tahu pada saat itulah mendadak terdengar suara jeritan ngeri yang berkumandang datang secara lamat lamat, suara itu makin lama semakin mendekat.
"Ada orang datang." Dengan wajah berubah seru Sun Giok-hud.
Liu Tan-yan segera membungkus kembali buntalan itu, serunya: "Mayat diluar .
. . . . .." Belum selesai bicara, Lim Luan-hong dan Sun Giok-hud sudah melompat keluar dari rumah abu.
Mereka berdua seorang satu membopong masuk mayat itu.
"Sembunyikan dibawah meja altar .
. . . .." seru Sun Giok-hud.
Baru Siau Hui-uh merasa terperanjat, sambil tertawa dingin Lim Luan-hong sudah berkata: "Memang kau sangka tempat itu bisa dipakai untuk sembunyikan benda?" Sun Giok-hud melongo, katanya: II "Meskipun bukan tempat persembunyian yang baik, tapi.....
"Ikut aku!" potong Lim Luan-hong.
Dia langsung menuju ke ruang belakang dan sembunyikan mayat itu dibelakang pintu.
Benar saja, Sun Giok-hud segera mengikuti dibelakangnya.
Melihat itu, Lim Luan-hong menghembuskan napas lega, peluh dingin tanpa terasa membasahi tangannya.
Siau Hui-uh yang menyaksikan semuanya itu sebentar merasa girang, lalu murung, kemudian kaget dan diikuti merasa gugup, biar begitu matanya tak tahan untuk tetap mengintip keluar.
Saat itulah terlihat ada tiga orang berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar.
Hong Sin berjalan didepan sambil membopong putranya Hong It, sementara Hui-hong-hong mengikuti dari belakang.
Terlihat Hong It merintih dan menjerit kesakitan, jelas walau berada dalam keadaan tak sadar, dia masih tak tahan dengan rasa sakit yang luar biasa.
Paras muka Hong Sin hijau membesi, begitu masuk segera teriaknya lantang: "Berikan tempat ini, kami ada orang sedang sakit." Orang ini memang terbiasa berbuat jahat, apalagi dia anggap tempat seperti ini tak mungkin ada jago silat, karena itu sikapnya langsung jumawa dan garang.
Liu Tan-yan bertiga sama sekali tak bergerak, bahkan seolah tidak melihat kehadirannya.
Dengan mata melotot bentak Hong Sin penuh amarah: "Hei keparat, kau tidak mendengar?" Dengan langkah lebar dia maju menghampiri kemudian langsung menendang tubuh Sun Giok-hud.
Sambil tersenyum Sun Giok-hud berkelit ke samping.
Hong Sin baru kaget setelah melihat gerakan tubuh lawan sangat gesit dan cepat, belum sempat bereaksi, tiba tiba sikutnya terasa kesemutan, jalan darah Ci-ti-hiat dilengannya tahu tahu sudah dicengkeram orang.
Terendus bau harum semerbak menusuk penciuman, ternyata orang yang mencengkeram lengannya adalah seorang wanita.
Biarpun dia tak sempat berkelit gara gara sedang membopong orang, namun kecepatan gerak wanita ini sungguh mengejutkan.
Biarpun dia adalah jago kawakan yang luas pengetahuannya, hingga detik terakhir ia tak sempat melihat dengan jelas, jurus apa yang telah digunakan perempuan itu.
Tentu saja sang permpuan tak lain adalah Liu Tan-yan.
Saat itu sambil tertawa ringan ejeknya: "Empek tua, apa yang kau katakan tadi" Bisa diulang sekali lagi?" Karena tertotok jalan darahnya, pecah nyali Hong Sin, sahutnya tergagap: "Tii.....
tidak apa apa....." "Aduh mak, ada orang sakit" Minta aku minggir dari sini?" ejek liutanyang lagi.
"Tii..... tidak perlu," jawab Hong Sin sambil tertawa paksa, "biar lohan pakai sudut ruangan saja." Sambil tertawa terkekeh Liu Tan-yan melepaskan cengkeramannya.
Dengan sempoyongan Hong Sin mundur berapa langkah, lalu dengan gemas melotot sekejap kearah Tong Hong, jelas dia jengkel kenapa gadis itu tidak turun tangan membantu.
Tapi paras muka Tong Hong tanpa ekspresi, dia seakan akan tidak menyaksikan apapun.
Waktu itu Hong It kembali jatuh pingsan karena kesakitan, Hong Sin yang sayang anak buru buru membubuhkan obat di lukanya.
Tong Hong duduk tanpa bergerak, meski masih sekelompok namun ia duduk sedikit jauh dari kedua orang itu.
Lim Luan-hong duduk dimuka altar sambil mengawasi buntalan itu dengan termangu.
Tiba tiba Sun Giok-hud membisik Liu Tan-yan: "Tahukah kau siapa ke tiga orang itu?" Sambil tersenyum Liu Tan-yan manggut manggut, sahutnya: "Lihat saja nanti, akan kupermainkan budak jelek itu." Terdengar suara rintihan kembali berkumandang, Hong It tersadar kembali dari pingsannya.
Dengan air mata bercucuran kata Hong Sin: "Anak baik, anak sayang .
. . . .. tak usah menjerit lagi, sebentar lagi kau tak akan merasa sakit." "Aaduh.....
aduh . . . . .. mana perempuan jelek itu?" jerit Hong It.
"Dia berada disana.....
aaaai, bedebah, bedebah .
. . . .." Sambil meronta dan mencakar sana sini, umpat Hong It kalang kabut: "Perempuan jelek, perempuan sialan, suamimu bakal mampus, kenapa kau tidak datang menengok" Mampus dimana kau?" Tong Hong sama sekali tak bicara maupun bergerak, dia seakan jadi dungu.
Kembali Hong It mengumpat: "Hanya tua bangka setan busuk macam dia yang bisa melahirkan perempuan jelek macam kau.....
aduh..... perempuan busuk." Berkilat sorot mata Liu Tan-yan, tiba tiba dia berjalan menghampiri, tegurnya: "Bisa lebih tenang?" "Manusia busuk macam apa dirimu, kau .
. . . .." belum selesai Hong It mengumpat, mulutnya sudah ditutup tangan ayahnya.
"Nona jangan gusar," buru buru Hong Sin minta maaf sambil tertawa, "dia sedang kesakitan." Liu Tan-yan tertawa dingin.
"Kalau dia ribut sekali lagi, sudah tahu apa akibatnya?" "Tahu, tahu .
. . . . . .." Cepat Hong Sin membungkuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Hong It, biarpun tak terdengar apa yang dikatakan, bisa diduga ia sedang membujuk anaknya agar tak bersuara.
Liu Tan-yan segera berjalan menuju ke depan Tong Hong, katanya sambil tertawa: "Enci Tong, bagaimana kalau kutemani kau mengobrol?" Walaupun Tong Hong enggan menggubris, tapi melihat ia sudah membantu dirinya, wajah pun cantik dan senyumannya lembut, tanpa terasa timbul rasa simpatiknya.
"Darimana kau tahu kalau aku bermarga Tong?" tanyanya.
Melihat pertanyaannya ditanggapi, buru buru Liu Tan-yan duduk disampingnya, katanya sambil tertawa: "Enci Tong adalah pendekar wanita yang tiada dua nya dikolong langit, bukan saja aku sudah lama mendengar namamu, bahkan merasa kagum sekali." Ucapan ini digunakan sangat pas, kontan Tong Hong merasa senang sekali.
Tapi begitu terbayang semua kegagahan dan keglamorannya dimasa lalu, kini tinggal kenangan, tak tahan kembali dia menghela napas panjang.
Menggunakan kesempatan itu Liu Tan-yan duduk lebih dekat, katanya sambil menghela napas: "Enci Tong, kau tak perlu berkeluh kesah, orang selalu bilang: gadis cantik bernasib jelek.
Hanya perempuan yang dungu dan jelek yang bernasib bagus.
Padahal paras enci Tong begitu cantik bak bidadari dari 'I' n kahyangan .
. . . .. aaai Sambil menghela napas panjang, dia mulai merangkul Tong Hong.
Beberapa patah kata itu semakin menusuk perasaan Tong Hong, ia merasa hatinya kecut, rasa sedih makin meluap.
"Gadis cantik bernasib jelek .
. . . .. " kata kata ini diucap berulang kali, tiba tiba serunya dengan air mata bercucuran: "Adik, aku .
. . . . . . . ." Dia malah menubruk ke dalam pelukan Liu Tan-yan.
Cepat cepat Liu Tan-yan memeluk tubuhnya semakin kencang, sembari membelai rambutnya, diam diam dia melirik kearah Sun Giok-hud sambil membuat muka setan.
Sun Giok-hud segera mengacungkan jempolnya sambil tertawa.
Tangis punya tangis, tiba tiba Tong Hong merasa tubuhnya yang berada dalam pelukan perempuan cantik itu makin lama terasa makin lemas, dia
Tangis punya tangis, tiba tiba Tong Hong merasa tubuhnya yang berada dalam pelukan perempuan cantik itu makin lama terasa makin lemas, dia merasa seolah ada banyak semut sedang merangkak disekujur badannya, merah padam selembar wajahnya.
Dia kaget, malu tapi nyamannya tak terkirakan, dia merasa tak tega untuk menampik rabaan tangan lawan, isak tangis pun entah sejak kapan telah berubah jadi rintihan lirih: II "Adikku.....
kau..... aaai..... kau . . . . .. kau . . . . .. Siau Hui-uh yang bersembunyi dibawah altar merasa malu bercampur gusar setelah menyaksikan adegan ini, tanpa terasa dia terbayang kembali sewaktu dirinya dipermainkan manusia siluman itu dulu, kalau bisa, dia ingin sekali menghajar banci itu hingga mampus.
Kalau bukannya saat ini ada Tian Mong-pek, mungkin sedari tadi dia sudah menerjang keluar .
. . . .. di dunia ini, hanya ada satu alasan yang bisa membuat Siau Hui-uh tak kuasa mengendalikan hawa amarahnya.
Waktu itu Liu Tan-yan sedang merasa bangga bercampur geli, ia jumpai tubuh Tong Hong sedang menggeliat sambil tiada hentinya beringsut ke sudut ruangan, sikapnya yang berkelit dengan malu malu, kulit tubuhnya yang putih bersih membuat birahinya mulai timbul.
Tanpa terasa dia ikut bergeser, bisiknya lirih: "Enci Tong, aku amat menyukaimu, kenapa ku begitu cantik, adikku .
. . . .." Tiba tiba matanya melihat sesuatu, seketika dia menghentikan ucapannya.
Ternyata dari bawah meja altar muncul sebuah alas sepatu yang kecil, sudah jelas sepatu seorang gadis.
Dibawah altar ternyata ada yang bersembunyi, kenyataan ini jauh diluar dugaannya.
Namun dia sama sekali tidak menunjukkan sesuatu reaksi, sambil mulutnya tetap mengumbar kata kata jorok, tubuhnya seakan tak sengaja mulai bergeser kearah meja altar.
Tiba tiba kaki kanannya bergerak, secepat kilat menendang alas sepatu itu.
Sekalipun terhalang alas sepatu, namun ketepatannya mengincar jalan darah sungguh luar biasa, tendangan itu dengan telak menghajar jalan darah Pek-swan-hiat di telapak kaki Siau Hui-uh.
Begitu jalan darahnya terkena, Siau Hui-uh menjerit kaget.
Liu Tan-yan segera melompat bangun, menjungkir balikkan meja altar, begitu melihat siapa yang berada disitu, dia jadi tertegun, tapi kemudian serunya sambil tertawa keras: "Hahaha, ternyata kau!" Perubahan ini sungguh diluar dugaan siapa pun, ketika Hong Sin ayah beranak, Tong Hong dan Sun Giok-hud melihat Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh bersembunyi dibawah meja, mereka merasa terkejut bercampur girang.
Sebaliknya Lim Luan-hong ketakutan sampai wajahnya berubah jadi pucat pasi, untuk sesaat dia hanya duduk tertegun.
Terdengar Liu Tan-yan berkata lagi sambil tertawa terkekeh: "Nona Siau, ternyata kita memang berjodoh, banyak hari tak bertemu, aku benar benar rindu kepadamu." Biarpun separuh badan Siau Hui-uh tak mampu bergerak, namun dia tetap mengumpat dengan gusar: "Bajingan tengik, laki bangsat, banci busuk .
. . . . . .." Nona ini memang tak pandai memaki, umpatan tersebut bukan saja membuat Liu Tan-yan tak jadi marah, dia malah tertawa makin keras.
Serunya sambil bertepuk tangan: II "Hore, bagus amat makianmu, ayoh maki lagi .
. . . .. Sun Giok-hud sendiripun merasa geli dengan makian gadis itu, dia ikut tertawa tergelak.
Siau Hui-uh benar benar sangat gusar, mendadak teriaknya lantang: "Tong Hong, hati hati, dia itu lelaki." Bergetar tubuh Tong Hong, sambil menuding serunya: "Kau....
kau . . . . . .." Teringat apa yang baru saja dilakukan kedua orang itu, Hong It jadi bertambah gusar, makinya: "Bagus sekali! Perempuan busuk, rupanya kau ingin mengenakan topi hijau untuk suamimu." Merah padam selembar wajah Tong Hong, sambil melompat bangun, dia lepaskan satu pukulan ke tubuh Liu Tan-yan.
"Aduh mak!" jerit Liu Tan-yan sambil berkelit, "enci Tong, baru saja kita bermesraan, masa sekarang sudah memusuhi aku!" Dengan enteng dia berkelebat ke samping.
Dengan kepandaian yang dimiliki Tong Hong, mana mungkin dia bisa menjawil ujung baju lawan, dalam cemas dan gusar, tangannya segera merogoh ke kantung senjata rahasia, dia lupa kalau kantung itu sudah dirambas balik oleh Tong Lojin.
Hong Sin memandang sekejap situasi diseputar sana, tiba tiba dia melompat bangun dan menangkap pergelangan tangan Tong Hong.
Gadis itu sama sekali tak mengira kalau mertua nya bakal turun tangan kepadanya, tak sempat berkelit, tangannya sudah kena dicengkeram.
Terdengar Hong Sin berkata sambil tertawa: "Budak bodoh, toh orang lain tidak merugikan seujung rambutmu, kenapa musti jadi sewot" Ayoh duduk!" "Kau.....
kau . . . . . .." Dihari biasa, dia selalu menganggap diri sendiri banyak akal dan cerdas, tapi setelah menjumpai masalah sekarang, gadis ini baru sadar kalau dia sama sekali tak berdaya.
Tong Hong benar benar penurut dan segera duduk, dia hanya bisa menangis tersedu sedu.
Sayangnya, sekeras apapun isak tangisnya, sudah tak ada orang yang menggubrisnya lagi.
Hong Sin segera memberi hormat kepada Liu Tan-yan, katanya sambil tertawa paksa: "No.....
aah, hengtai, sekarang kau berhasil menangkap dua orang itu, boleh tahu akan diapakan mereka?" "Wah soal inipun tak bisa kuputuskan sendiri." Jawab Liu Tan-yan sambil tertawa.
"Kenapa?" "Saudara Lim yang sembunyikan kedua orang itu, jadi mau diapakan, kita harus mendengarkan keputusannya .
. . . .. bukan begitu saudara Lim?" Bergidik hati Lim Luan-hong, dengan wajah berubah katanya tergagap: "Soal ini .
. . . . .. soal ini . . . . . .." Seakan tak sengaja, Liu Tan-yan berjalan menuju kesamping buntalan itu, tangannya sambil menekan diatasnya, ia berkata sambil tertawa: "Bila saudara Lim bilang lepaskan kedua orang itu, aku segera akan membebaskannya." Lim Luan-hong tahu, asal tekanan tangannya disertai dengan tenaga, niscaya Chin Ki yang berada dalam buntalan akan segera menemui ajalnya.
Mulutnya jadi tergagap, sudah pasti dia tak berani mengatakan "bebaskan".
Mendadak Liu Tan-yan menarik muka, katanya lagi: "Sebaliknya bila saudara Lim mengatakan tidak dibebaskan, siaute segera akan membunuh mereka berdua." sekujur tubuh Lim Luan-hong gemetar keras, namun dia tetap tak mampu memberi jawaban.
Melihat itu, sambil bertepuk tangan seru Hong Sin: "Bagus, bagus sekali, memang sepantasnya dibunuh, tapi setelah kedua orang itu terbunuh, jangan biarkan siapapun tahu kalau kita yang habisi nyawa mereka, kalau tidak, kokcu lembah kaisar .
. . . .." "Kalau ingin membunuh, silahkan saja bunuh, buat apa cerewet terus?" bentak Siau Hui-uh.
Liu Tan-yan kembali tertawa terkekeh.
"Hahaha, masa segampang itu" Mana aku tega secepat itu membunuhmu .
. . . . . .." Kembali dia ulur tangannya untuk meraba tubuh Siau Hui-uh.
Tampaknya kali ini sudah tak ada orang yang bisa mencegah ulahnya lagi.
Siau Hui-uh merasa gelisah bercampur gusar, dia mulai mencaci maki.
Tiba tiba . . . . .. dari luar rumah abu kembali terdengar suara langkah kaki manusia.
Terdengar seseorang dengan suara yang melengking dan aneh berkata: "Budak cilik itu benar benar mirip watakku, sekalipun hendak mencari 'I' u bocah she-Tian, sepantasnya kalau beritahu kami terlebih dulu Begitu mendengar suara itu, Siau Hui-uh jadi kegirangan, tapi belum sempat berteriak, tangan Liu Tan-yan yang sedianya akan meraba tubuhnya, tahu tahu sudah menotok tiga buah jalan darah di bawah bahu serta iga kirinya, membuat gadis itu tak sanggup bersuara lagi.
"Makhluk tua itu . . . . .." bisik Hong Sin dengan wajah berubah.
"Kim Hui!" seru Sun Giok-hud pula dengan wajah berubah.
"Darimana kau bisa tahu kalau dia?" tanya Liu Tan-yan.
"Asal suara itu pernah kudengar satu kali, selama hidup tak pernah akan kulupakan lagi.
Semenjak berhasil meloloskan diri dari gunung Kun-lun, setiap kali bertemu Kim Hui, dia ibarat bertemu ular berbisa.
Liu Tan-yan segera berkerut kening, cepat dia sembunyikan Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek ke bawah meja altar, ketika berpaling lagi, ternyata Sun Giok-hud sudah kabur melalui jendela.
"Ooh, dasar budak penakut!" umpatnya dihati.
Setelah memandang sekejap seputar tempat itu, dia segera duduk diatas buntalan dan katanya sambil tertawa dingin: "Jika ada yang datang, saudara Lim harus keluar untuk menghadapinya!" Melihat banci itu duduk diatas badan Chin Ki, biarpun dihati kecilnya Lim Luan-hong merasa jengkel, namun dia tak berani membangkang.
Hong Sin sambil terbatuk batuk segera duduk di belakang Tong Hong, tangannya menekan jalan darah Thian-leng-hiat ditubuhnya.
Orang ini memang licik dan jahat, dia kuatir Tong Hong tiba tiba berubah pikiran dengan menunjukkan tempat persembunyian Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek, maka dia turun tangan menguasahinya terlebih dulu, agar gadis itu tak berani buka suara secara sembarangan.
Menyaksikan hal ini, Liu Tan-yan segera tersenyum, dasar dua orang licik yang sama sama busuk hatinya, merasa tindakannya mencocoki selera, kedua orang itupun segera saling memuji.
Terdengar hembusan angin, Kim Hui sambil menarik Lam-yan sudah berjalan masuk, teriaknya: "Hei, apakah kalian yang berada disini punya mata?" Melihat telapak tangan Liu Tan-yan tiada hentinya bergeser diatas buntalan, terpaksa Lim Luan-hong maju menyambut, jawabnya sambil tertawa paksa: "Lapor orang tua, orang disini punya mata semua." "Kalau punya mata, apakah tadi melihat ada nona berusia delapan, sembilan belas tahun yang mengenakan baju lelaki lewat dari sini?" bentak Kim Hui.
"Tiii..... tidak ada." Dengan kecewa Lam-yan menghela napas.
Kembali Kim Hui berpaling kearah Hong Sin ayah beranak serta Tong Hong, teriaknya lagi: "Apakah kalian bertiga pun tidak melihat dia?" Hong Sin memperkencang cengkeraman tangannya, setelah itu baru sahutnya sambil tertawa: "Bila melihat nanti, pasti akan kuberitahukan kepada kau orang tua!" Tong Hong hanya terduduk sambil tundukkan kepala, dia seperti orang bodoh, padahal biar Hong Sin tidak mencengkeram lebih kuat pun, dia juga belum tentu akan buka suara.
Siau Hui-uh yang berada dibawah meja altar tak bisa membayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang, khususnya setelah mendengar ucapan dari Kim Hui suami istri, dia sadar, asal dirinya bersuara sedikit saja, niscaya jiwanya akan tertolong.
Apa mau dikata keempat buah jalan darahnya sudah tertotok, sekarang keadaannya ibarat orang mati, sedang Tian Mong-pek masih tak sadarkan diri, kalau tadi dia berharap pemuda itu jangan mendusin atau merintih, maka sekarang dia justru berharap pemuda itu segera sadar kembali.
Sayang Tian Mong-pek tidak mau menuruti keinginannya.
Untuk sesaat rasa gelisahnya tak dapat dilukiskan dengan perkataan.
Biarpun dimulut dia berkata ingin mati secepatnya, hati kecilnya justru rada takut mati, khususnya saat ini, cinta kasihnya terhadap Tian Mong-pek terlihat baru saja mencapai titik puncak, dia betul betul tak rela bila harus mati sekarang.
Namun saat inilah Kim Hui telah berkata lagi sambil menghela napas: "Mari kita pergi, bila anak Uh berada disini, aku yakin mereka tak mungkin berani berbohont." Menyusul kemudian terdengar hembusan angin berlalu, agaknya mereka sudah beranjak pergi.
Dalam posisi begini, kecuali menunggu mati, apa lagi yang bisa dilakukan Siau Hui-uh.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat Kim Hui sudah pergi jauh, Hong Sin baru meninggalkan Tong Hong dan berjalan menuju ke hadapan Liu Tan-yan, karena situasi berbahaya sudah lewat, kedua orang itu merasa amat bangga hingga tanpa terasa saling berpandangan sambil tertawa terbahak bahak.
Dengan mulut membungkam Lim Luan-hong membalikkan badan, ia merasa tubuhnya limbung, pikirannya kosong, dia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba tiba ia saksikan Tong Hong menggunakan kesempatan disaat semua orang tidak menaruh perhatian menerobos masuk ke bawah meja altar.
Saat ini hanya Lim Luan-hong seorang yang mengetahui perbuatannya ini, tergerak hatinya, tapi dia tak bicara apapun.
Lewat berapa saat kemudian, dari bawah meja altar kembali terdengar suara gemerutuk.
Tampaknya Liu Tan-yan masih belum merasakan, sambil menatap Lim Luan-hong, ujarnya seraya tertawa: "Sungguh tak nyana kepandaian saudara Lim dalam berbohong luar biasa, sudah menipu aku, berhasil pula menipu Kim Hui, tapi saudara Lim, II sebenarnya saat ini .
. . . .. "Kraaak!" kembali terdengar suara aneh dari bawah me ja altar.
Sekarang Liu Tan-yan dan Hong Sin baru merasakan akan hal ini, ketika berpaling, Tong Hong sudah lenyap tak berbekas.
Berubah paras muka kedua orang itu, cepat mereka membalik meja altar, namun dibawah meja tidak terlihat siapapun, Tian Mong-pek, Siau Hui-uh maupun Tong Hong sudah lenyap begitu saja.
Dengan adanya kejadian ini, bukan saja Liu Tan-yan dan Hong Sin jadi sangat terkejut, Lim Luan-hong sendiripun merasa tercengang, tak habis mengerti.
Memangnya ke tiga orang itu punya sayap, bisa terbang ke langit, atau menerobos masuk ke dalam tanah" Kalau dilihat dewa persembahan yang ada diatas meja altar, jelas terbuat dari batu granit yang lebih keras dan baja, biar dibacok dengan senjata mustika pun, tampaknya benda itu belum tentu bisa rusak.
Liu Tan-yan dan Hong Sin saling bertukar pandangan, mereka merasa terkejut bercampur gusar.
Lewat berapa saat kemudian, tiba tiba Hong Sin berseru sambil bertepuk tangan: "Aah betul, orang keluarga Tong memang paling suka berlagak sok misterius, tempat ini adalah rumah abu keluarga Tong, sudah pasti disini dilengkapi pintu rahasia." "Dugaanmu betul sekali." sahut Liu Tan-yan dingin.
"Tombol rahasia menuju ke lorong bawah tanah itu tentu berada dibawah situ, berarti bunyi "krak" tadi berasal dari pintu rahasia yang mereka buka." Liu Tan-yan tertawa dingin, jengeknya: "Hmm, kalau tak ada menantumu, si budak bermarga Tong, bagaimana mungkin Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh bisa tahu letak tombol rahasia menuju lorong bawah tanah." Menyaksikan hawa membunuh yang melapisi wajahnya, Hong Sin segera sadar kalau orang ini sedang melimpahkan amarah kepadanya, buru buru katanya sambil tertawa paksa: "Perkataan hengtai memang betul sekali, sebagai anggota keluarga Tong, sudah pasti budak itu mengetahui tombol rahasia di tempat ini.
Bila kutemukan nanti, lohan pasti akan serahkan kepada hengtai biar hengtai jatuhkan hukuman yang setimpal kepadanya." "Hmm!" Liu Tan-yan mendengus, "bagaimana caramu untuk menemukannya?" "Tombol rahasia itu pasti berada disekeling tempat ini, lohan tak percaya kalau tak bisa menemukannya." Dia tak berani lagi memandang kearah Liu Tan-yan, tapi segera sibuk melakukan pencarian.
Terkejut juga Lim Luan-hong menyaksikan kemampuan Hong Sin menganalisa peristiwa itu, seolah dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri, namun dalam hati dia berharap pencarian itu tidak membuahkan hasil.
Perlahan-lahan dia mulai bergeser mendekati buntalan itu.
Liu Tan-yan ikut melakukan pencarian, tiba tiba ujarnya sambil tertawa dingin: "Bila ada yang ingin menggunakan kesempatan ini kabur sambil membawa buntalan, aku jamin dia tak akan mampu berlari sejauh sepuluh langkah." Tercekat hati Lim Luan-hong, tubuhnya yang sedang bergeser mendekati buntalan itu seketika dihentikan, dengan termangu dia hanya bisa mengawasi buntalan itu dari kejauhan, perasaan yang sedih membuat dia ingin sekali menangis tersedu.
Bab 44. Pertarungan naga melawan harimau.
Pada saat itulah, dari tengah halaman kembali terdengar suara langkah manusia, berapa orang lelaki kekar berbaju biru yang membawa keranjang bambu langsung masuk ke dalam.
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, teriaknya: "Apakah rumah abu ini ada pemiliknya?" Liu Tan-yan serta Hong Sin tidak berniat menjawab, hanya Lim Luan-hong yang menggeleng dengan bingung: "Tidak ada." "Kalau kalianpun hanya menggunakan tempat ini sebagai tempat beristirahat, aku rasa sekarangpun sudah beristirahat cukup, silahkan 'I, u keluar semua Biarpun perkataan itu disampaikan secara sopan, tapi mimik mukanya menunjukkan keangkuhan.
Waktu itu, Hong Sin serta Liu Tan-yan sedang berusaha menemukan tombol rahasia, sudah jelas mereka enggan diusir pergi begitu saja hanya karena berapa patah kata, khususnya Liu Tan-yan, saat itu hawa amarahnya butuh tempat pelampiasan.
Tiba tiba ia membalikkan tubuh, sambil tertawa dingin berjalan menuju ke hadapan lelaki berbaju biru itu, kemudian sambil bertolak pinggang bentaknya: "Kau yang menggelinding pergi dari sini!" Lelaki berbaju biru itu jadi tertegun melihat kegalakan "perempuan" itu.
Menggunakan kesempatan disaat lelaki itu masih tertegun, tiba tiba Liu Tan-yan mencengkeram pergelangan tangannya lalu dilontarkan keluar.
Tak kuasa tubuh lelaki berbaju biru itu berputar mengikuti ayunan tangannya.
Saat itulah Liu Tan-yan kembali mencengkeram ikat pinggangnya seraya membentak: "Kalau kusuruh kau menggelinding, lebih baik segeralah menggelinding." Sepasang tangannya mengangkat lalu melempar, tubuh lelaki seberat ratusan kati itu seketika terangkat dan terlempar keluar.
Tiga orang lelaki berbaju biru lainnya jadi gempar.
Sambil tertawa dingin kembali ucap Liu Tan-yan: II "Kenapa kalian masih .
. . . . . . . .. Siapa sangka, belum selesai dia bicara, tubuh lelaki itu sudah melayang balik ke posisi semula.
Kali ini Liu Tan-yan dibuat tertegun, dia sangka kepandaian silat orang itu sangat hebat sehingga begitu dilempar keluar, segera mental balik.
Namun sesudah diamati lebih cermat, baru diketahui kalau tubuh lelaki itu sudah dibopong oleh seorang kakek berjenggot lebat dan menghantarnya kembali.
Orang tua itu berbadan bungkuk, empat anggota badannya panjang lagi besar, jenggotnya kaku bagai kawat baja, wajahnya keren penuh wibawa, dengan matanya yang galak bagai mata harimau, orang tua itu melotot ke arah Liu Tan-yan sambil berteriak keras: "Kau yang barusan turun tangan?" Suara orang ini keras bagai geledek, membuat kendang telinga terasa sakit.
Begitu melihat kemunculan orang tua itu, paras muka Hong Sin seketika berubah, tanpa bicara dan mencari kesempatan lagi, dia langsung membopong tubuh Hong It lalu diam diam kabur dari dalam ruangan.
Liu Tan-yan sendiri, meski menduga kalau orang tua ini punya asal usul yang hebat, namun dia tidak masukkan dihati, jawabnya sambil tertawa dingin: "Tentu saja aku, kalau tak percaya, akan kubuktikan dengan melempar satu orang lagi." Kakek bungkuk itu segera rentangkan sepasang lengan, rambutnya berdiri semua bagai landak, kesepuluh jari elangnya direntangkan siap mencakar ke depan.
Namun tiba tiba dia tarik kembali serangannya, dengan garang bentaknya: "Enyah, enyah, memandang kau hanya seorang wanita, lohu tak akan menyerangmu." Belum sempat Liu Tan-yan menjawab, tiba tiba Lim Luan-hong berpaling dan berkata sambil tertawa: "Siapa bilang saudara Liu adalah wanita, dia tak lebih hanya lelaki yang menyamar jadi perempuan." "Sungguh?" seru kakek bungkuk itu agak tertegun.
Liu Tan-yan tahu kalau Lim Luan-hong berniat menggunakan siasat untuk mengadu mereka berdua, segera sahutnya sambil tertawa dingin: "Orang itu sudah hampir mampus, tentu saja perkataannya benar." Mendengar perkataannya penuh mengandung rasa benci dan dendam, Lim Luan-hong merasa hatinya terkesiap.
Sementara itu kakek bungkuk tadi sudah mendongakkan kepalanya tertawa keras, katanya: "Hahaha, bocah keparat, kau memang hebat." Telapak tangan bajanya selebar kipas, secepat kilat mencengkeram ke depan.
Dengan cekatan Liu Tan-yan berkelit, jari tangannya yang lentik balas mengancam urat nadi orang tua itu.
Tampaknya orang tua itu tak sempat mengubah gerakan, dia tak mampu menghindari ancaman tersebut.
Liu Tan-yan jadi girang, bentaknya: "Lebih baik kaupun menggelinding pergi dari sini!" Telapak tangannya dibalik, dari kibasan berubah jadi cengkeraman, dia ancam urat nadi lawan, lalu sepasang lengannya mengayun, dia berniat melempar orang tua itu ke luar ruangan.
Dengan tenaga dalamnya yang sempurna, bisa dibayangkan kekuatan daya lemparnya mencapai ratusan kati.
Siapa tahu tubuh kakek itu masih tetap berdiri ditempat semula, sepasang kakinya seolah tumbuh akar baja, biarpun Liu Tan-yan telah mengerahkan segenap kekuatan, ibarat capung angkat tonggak kayu, sama sekali tak bergerak.
Dalam terperanjatnya, dia baru sadar telah bertemu musuh tangguh.
Sambil tertawa keras, kakek itu berseru: "Kau yang menggelinding dari sini!" Sepasang lengannya digetar, tahu tahu ukuran tubuhnya telah membesar berapa kali lipat.
Liu Tan-yan merasa pergelangan tangan lawan tiba tiba membesar satu kali lipat, pembesaran yang membuat dia tak mampu lagi menggenggamnya, baru saja akan lepas tangan untuk berganti jurus, tahu tahu satu kekuatan yang maha dahsyat telah mengalir keluar dari balik tangan lawan.
Kekuatan yang muncul ibarat gulungan ombak samudra yang sedang dilanda topan, dahsyatnya bukan kepalang.
Baru saja Liu Tan-yan menjerit kaget, tahu tahu tubuhnya sudah tergulung oleh kekuatan maha dahsyat itu sehingga tak ampun badannya terlempar keluar dari jendela.
"Blaaam!" ia terjatuh sejauh belasan kaki dari posisi semula, begitu keras bantingan itu membuat seluruh tulang belulangnya terasa sakit seperti retak.
Didalam kaget dan gusarnya, dia merogoh ke dalam saku siap menyerang dengan senjata rahasia, namun ketika melihat mimik muka si kakek yang sedang tertawa keras itu mirip malaikat dari langit, tiba tiba ia teringat akan seseorang.
Dengan hati tercekat ia semakin tak berani mencari masalah, sambil menggertak gigi dia merangkak bangun, lalu dengan terhuyung huyung kabur dari situ.
Kakek bungkuk itu segera berpaling kearah Lim Luan-hong, tegurnya: "Dia sudah pergi, kenapa kau belum pergi?" Terkejut bercampur gembira ujar Lim Luan-hong: "Aku segera .
. . . . .." Mendadak pandangan matanya jadi gelap, sesosok bayangan manusia yang tinggi besar melangkah masuk ke dalam ruangan, menghadang cahaya sang surya yang memancar dari luar pintu.
Dia mengucak matanya sambil memperhatikan lebih seksama, terlihat bayangan manusia itu mengenakan jubah biru yang terbuat dari kain kasar, wajahnya senyum tak senyum tapi sinar matanya tajam dan penuh wibawa.
Biarpun bayangan manusia ini hanya sekali dijumpai, namun selama hidup tak pernah akan terlupakan, tak kuasa lagi dengan perasaan kaget bercampur girang dia jatuhkan diri berlutut, serunya gembira: "Lan Toa-sianseng .
. . . . . .." Baru nama itu disebut, bayangan manusia yang tinggi besar itu sudah tiba didepan mata dan membangunkannya.
"Hahaha, sahabat lama bertemu, buat apa musti banyak adat." Katanya.
Lim Luan-hong tak berani membangkang, sambil bangkit berdiri katanya lagi: "Berpisah banyak tahun, tak disangka kegagahan kau orang tua masih seperti sedia kala, sungguh salut, sungguh menggembirakan." "Hahaha," Lan Toa-sianseng tertawa tergelak, "biarpun banyak tahun tak bersua, lohu belum melupakan ruang Kanglam-bu-su-tong yang kau bangun dibalik tanaman liar, Thiat loji, tempat itu sangat bagus, kau pernah ke sana?" Kakek bungkuk itu tak lain adalah si bungkuk baja.
Saat itulah dia baru tertawa keras sambil berkata: "Ternyata kalian berdua saling mengenal, hampir saja lohu melukai orang sendiri." "Thiat loji," kata Lan Toa-sianseng lagi sambil menunjuk Lim Luan-hong, "tak disangka ternyata kau adalah manusia kasar, masa tidak kenal dengan pemilik gedung Kanglam Bu-su-tong yang paling indah di seantero Kanglam.: "Hahaha, apakah Kanglam Busu-tong yang terkenal karena pasangan lian nya yang berbunyi: Pedang kenamaan mengikuti jago, mengunjungi pendekar naik ke loteng ini" biarpun lohu belum pernah ke sana, namun pernah kudengar orang membicarakan soal ini." "Hahaha, dasar orang udik, kau hanya tahunya lian kuno, padahal sudah muncul hasil karya baru." "Karya baru apa?" "Banyak tahun berselang, ketika lohu naik ke loteng itu dalam keadaan mabuk, lagi lagi aku diloloh tuan rumah dengan tujuh kati arak tua.
Dalam mabukku, akupun menulis sepasang maha karya yang luar biasa." "Kalau begitu coba kau bacakan." Dengan wajah serius kata Lan Toa-sianseng: "Dengarkan baik baik, waktu itu aku menulis begini: kalau ingin berkelahi silahkan pergi, kau ingin minum arak naik ke loteng ini." Mula mula si bungkuk baja tertegun, tapi kemudian tak tahan ia tertawa terbahak bahak, serunya sambil menggeleng: "Tulisan semacam itupun dianggap lian" Hahaha, mungkin tulisan bocah berusia tiga tahun jauh lebih bagus daripada tulisanmu itu!" Lan Toa-sianseng bertepuk tangan sambil tertawa keras, serunya: "Dibilang kau orang udik, ternyata kau memang udik, padahal tulisan lian itu sesuai dengan keadaan dan tertulis sangat jelas, apa yang jelek" Daripada tulisan yang susah dibaca, sepuluh orang yang membaca, ada sembilan yang tak paham dengan arti tulisan itu." Mendengar pembicaraan kedua orang itu, Lim Luan-hong merasa semua kemasgulannya ikut tersapu bersih, tanpa terasa dia ikut tertawa tergelak.
Dalam pada itu kawanan lelaki berbaju biru itu telah mengeluarkan sayur dan hidangan dari dalam keranjang lalu menatanya dengan rapi.
Si bungkuk baja segera gelengkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa: "Aku ogah berdebat dengan kau si tua bangka, mumpung disini tak ada orang, cepat makan daging dan arak, setelah itu kita baru bertarung dengan puas." Tanpa buang waktu, dia segera duduk dan mulai makan minum dengan lahap.
"Bertarung apa"' tanya Lim Luan-hong tertegun.
"Dimasa lalu, si tua bangka ini punya sedikit masalah denganku, selalu ingin menang dari diriku, sepanjang jalan aku direngeki terus sampai tak bisa istirahat dengan baik, aaai, sudah harus menempuh perjalanan, sepanjang jalan harus melayaninya bertarung, coba bayangkan, apa tidak susah." Kata Lan Toa-sianseng sambil tertawa.
Sambil meneruskan daharnya, kata si kakek bungkuk sambil tertawa: "Kalau bukan karena sudah bikin janji dengan saudara cilik Tian, kita tak perlu melakukan perjalanan, cari satu tempat, bertarung sampai puas, baru pergi setelah menang kalah ketahuan." Begitu mendengar kata "Saudara cilik Tian", tergerak hati Lim Luan-hong, tapi belum sempat berbicara, kembali Lan Toa-sianseng sudah berkata sambil tertawa nyaring: "Tentukan menang kalah apa" Biarpun aku takut kau jengkel, tak ingin membuat kau sekali lagi menderita kalah, tapi jangan harap kau bisa menangkan aku." "Apa kau bilang?" teriak kakek bungkuk itu gusar, "jadi kau sengaja mengalah, tak ingin mengungguli aku?" Lan Toa-sianseng hanya tertawa terbahak bahak, dia makan minum dengan lahapnya dan tidak menjawab lagi.
"Tua bangka jahat," bentak si bungkuk baja marah, "bila tak bisa ditentukan siapa menang siapa kalah, hari ini siapapun tak boleh pergi dari sini." Pergelangan tangannya digetar, sekerat tulang ayam yang berada digenggamannya segera disambit ke depan.
Jangan dilihat hanya sekerat tulang ayam, tapi berada ditangannya, kekuatan yang terpancar sungguh menakutkan.
Terdengar desingan angin tajam membelah bumi, Lan Toa-sianseng berkelit ke samping, tulang ayam itu segra menghantam diatas dinding hingga menimbulkan percikan bunga api.
Menyaksikan hal ini, Lim Luan-hong merasa sangat terperanjat, untuk sesaat dia hanya bisa melongo.
Sementara itu si bungkuk baja telah pentang lengannya dan melancarkan serangan bertubi tubi, dalam waktu singkat cawan dan poci hancur berantakan, arak dan daging berserakan.
Kalau Lim Luan-hong merasa terkejut, sebaliknya kawanan lelaki berbaju biru itu tampaknya sudah terbiasa dengan kondisi begini, mereka terlihat tenang tenang saja.
Tadinya, Lim Luan-hong berencana untuk mengatakan kalau baru saja Tian Mong-pek berada disitu, namun begitu si bungkuk baja dan Lan Toa-sianseng mulai bertempur, diapun kehilangan peluang untuk buka suara.
Terdengar seluruh ruangan dipenuhi angin yang mendesing, Lim Luan-hong merasa tubuhnya seolah terjebak ditengah hujan badai, bukan Cuma pakaiannya yang tergulung, sekujur tubuh pun ikut gemetar.
Biarpun dia sendiri gila silat, sepanjang hidup selalu terbuai oleh ilmu silat, namun selama hidup belum pernah ia saksikan pertarungan sesengit ini, adu kepandaian sebagus ini.
Akhirnya dia mulai mabuk oleh situasi yang terpampang, bukan saja sudah lupa kalau ingin membicarakan soal Tian Mong-pek, bahkan Chin Ki yang terbungkus dalam buntalan pun sudah terlupakan.
Oo0oo Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh masih berada di liang bawah tanah, seharusnya mereka dapat menyaksikan keadaan diluar sana dengan jelas.
Sejak melihat kemunculan Lan Toa-sianseng dan si Bungkuk baja, mereka berdua segera tahu kalau keadaan berbahaya sudah lewat, sewajarnya mereka segera tampilkan diri, lalu mengapa hingga sekarang belum juga melakukan satu tindakan" Ternyata ketika Siau Hui-uh mendengar Kim Hui sudah pergi jauh, dia tahu nasibnya tinggal tunggu mati, untuk sesaat dia merasa amat sedih.
Namun ketika mendengar suara napas Tian Mong-pek yang begitu lirih, meski dalam hidup mereka tak bisa bersatu, namun paling tidak mereka bisa mati bersama, hati kecilnya merasa sedikit terhibur.
Disaat pikirannya sedang diombang ambingkan keadaan itulah, tiba tiba dibawah meja menyusup masuk seseorang, dia tak lain adalah Tong Hong.
Disaat pikirannya sedang diombang ambingkan keadaan itulah, tiba tiba dibawah meja menyusup masuk seseorang, dia tak lain adalah Tong Hong.
Menyaksikan hal ini, dia jadi keheranan, pikirnya: "Mau apa budak ini menyusup kemari?" Semenjak tahu kalau Tong Hong pernah paksa Tian Mong-pek untuk menikah dengannya, dalam hati kecil gadis ini selalu menaruh kesan jelek terhadapnya, istilah "Budak jelek" pun tanpa sadar melekat dihati kecilnya, Cuma tak sampai diutarakan keluar.
Siapa tahu belum habis ingatan itu melintas, terlihat Tong Hong menekan beberapa kali di atas batu diseputar altar, lalu secara tiba tiba muncul sebuah liang bawah tanah yang gelap.
Baru saja Siau Hui-uh merasa kaget, Tong Hong sudah menarik kedua orang itu untuk sama sama menggelinding masuk ke dalam liang rahasia itu.
Ternyata didalam liang beralaskan lempengan baja.
Waktu itu Siau Hui-uh belum bisa bergerak, begitu terguling ke bawah, dia segera merasakan badannya linu dan sakit, bersamaan itu lubang batu dilantai atas sudah menutup kembali.
Gua itu gelap gulita hingga susah melihat jari tangan sendiri, Siau Hui-uh terkejut bercampur girang, hanya saja badannya terasa sakit, coba kalau bukan jalan darahnya sudah tertotok, mungkin dia sudah mengaduh sedari tadi.
Lewat berapa saat lagi terdengar suara "Craaat!" tiba tiba muncul cahaya terang, rupanya Tong Hong sudah menyulut korek api.
Cepat Siau Hui-uh menyapu sekejap sekeliling tempat itu, ternyata mereka telah berada disebuah ruang bawah tanah yang tertata rapi, empat dinding terbuat dari batu granis, diatas dinding tergantung sebuah lentera tembaga.
Tong Hong dengan tangan kiri memegang korek api, tangan kanan memeluk kencang tubuh Tian Mong-pek.
Melihat itu Tian Mong-pek jadi jengkel, batinnya: "Bagus sekali, dasar budak jelek, tahunya hanya peluk dia, tidak peduli aku sudah jatuh dan sakitnya setengah mati." Tapi bila teringat nyawanya baru saja ditolong gadis itu, amarahnya seketika padam, sorot mata yang menatap Tong Hong pun mulai disisipi senyuman.
Tong Hong sama sekali tidak menatapnya, dia baringkan Tian Mong-pek ke lantai kemudian menyulut lentera yang lain, setelah itu baru membalikkan tubuh dan melepaskan berapa tendangan untuk membebaskan jalan darah Siau Hui-uh yang tertotok.
Biarpun jalan darah Siau Hui-uh sudah terbebas, namun tubuhnya yang ditendang terasa sakit sekali, maka begitu melompat bangun, umpatnya dengan marah: "Budak jelek, memangnya kau tak punya tangan?" Umpatan "budak jelek" sangat menyakiti hati Tong Hong, selama ini dia menganggap dirinya cantik dan paling benci disebut "Jelek", saking gusarnya tiba tiba saja dia melelehkan air mata.
Siau Hui-uh tertegun, amarahnya segera mereda, buru buru katanya lagi sambil tertawa paksa: "Aku yang salah, kau sudah menolong aku, membebaskan jalan darahku, seharusnya aku berterima kasih kepadamu, tolong jangan marah." Tong Hong tidak menggubris, dengan mata melotot diawasinya wajah lawan, makin dilihat dia merasa kecantikan lawan sepuluh kali lipat melebihi dirinya, air mata pun meleleh keluar makin deras.
"Benar, aku memang budak jelek." Katanya.
Selama hidup, baru pertama kali ini dia merasa wajahnya jelek, kata "budak jelek" pun baru sekali ini meluncur dari mulutnya, bisa dibayangkan betapa sedih dan terhinanya gadis itu.
Sekarang Siau Hui-uh baru sadar kalau umpatannya telah menyakiti hati gadis itu, sambil tertawa paksa katanya lagi: "Tadi aku hanya bergurau saja padamu, padahal kau sama sekali tidak jelek.....
aaai, coba lihat, ayahku pun sering memaki aku budak bau, padahal badanku harum, kapan pernah bau, nona baik, perkataan ku tadi ll bukan sungguhan .
. . . . .. Namun bagaimana pun dia memberi penjelasan, Tong Hong hanya melotot tanpa berkedip, dia bahkan tidak menggubris perkataannya.
Tiba tiba terdengar Tian Mong-pek merintih, dalam keadaan apa boleh buat, Siau Hui-uh pun sangat menguatirkan keadaan luka Tian Mong-pek, akhirnya sambil menghela napas dia menengok anak muda itu.
Terlihat ia gigit bibir dengan wajah pucat pias.
Siau Hui-uh merasa kecut hatinya, mendadak ia teringat dengan obat pemberian Lim Luan-hong, karena disitu tak ada air, setelah ragu sejenak akhirnya gadis itu berkata: "Nona Tong, tolong jangan mentertawakan aku." Cepat dia masukkan obat itu ke dalam mulut dan mengunyahnya, setelah itu suap demi suap dia masukkan ke mulut Tian Mong-pek.
Masih mending kalau dia tidak memanggil tadi, begitu dipanggil, Tong Hong pun berpaling, otomatis diapun menyaksikan sikapnya yang begitu mesra.
Dibawah cahaya lentera, terlihat wajahnya penuh air mata, jelas gadis itu merasa sangat kuatir, pada dasarnya dia memang cantik, terbias oleh cahaya lentera saat ini, wajah Siau Hui-uh terlihat semakin menawan hati.
Kesemuanya ini membuat Tong Hong semakin tak percaya diri, semakin malu, rasa malu pun berubah jadi dengki, tiba tiba serunya sambil gigit bibir: "Mumpung kalian masih hidup, cepatlah bermesraan dulu!" Siau Hui-uh tertegun, walaupun air mata masih meleleh, ucapnya sambil tertawa paksa: "Nona baik, tolong jangan marah, setelah keluar dari sini nanti, kami pasti akan berterima kasih kepadamu.' Tong Hong tertawa dingin.
"Kita.... hmm, siapa pun jangan harap bisa keluar dari sini." Katanya.
"Apa.... apa kau bilang?" tanya Siau Hui-uh kaget.
Kembali Tong Hong tertawa dingin.
"Ditempat ini tak ada rangsum, tiada air, jangan harap bisa hidup lewat setengah bulan, kita akan mati bersama sama!" "Kau....
masa kau tak tahu cara untuk keluar dari sini?"\ Dengan sorot mata penuh kebencian sahut Tong Hong sepatah demi sepatah kata: "Betul, akupun tak tahu bagaimana cara keluar dari sini.
Dinding batu itu tebalnya setengah meter, siapapun jangan harap bisa membukanya." Setelah kaget berapa saat, Siau Hui-uh melompat bangun, mencengkeram bahunya dan menjerit: "Kau tahu.....
kau pasti tahu." Cengkeram dibahu Tong Hong itu menimbulkan rasa sakit hingga merasuk tulang, tapi perempuan itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, betul, aku memang tahu bagaimana cara keluar dari sini, tapi sengaja tidak beritahu kepadamu." "Kee....
kenapa kau begitu kejam" Kau ingin mencelakai aku, mencelakai Tian Mong-pek, masa kau sendiripun sudah tak ingin hidup?" Tong Hong tertawa semakin kalap.
"Hahaha, buat apa aku tetap hidup" Sudah sejak lama aku ingin mati, kalau tak bisa kawin dengan Tian Mong-pek, kau pun jangan harap bisa mengawininya, lebih baik kita bertiga mati bersama sama!" Dari ucapan dan suara tertawanya yang menyerupiai orang gila, Siau Hui-uh sadar kalau ancaman itu bukan gertak sambal saja, tak urung bergidik juga hatinya.
"Kalau tidak kau katakan, akan kusuruh kau rasakan dulu siksaan hidup." Akhirnya dia membentak gusar.
Sambil mengangancam dia perkencang cengkeramannya.
Semakin merasakan rasa sakit yang menyayat hati, suara tertawaq Tong Hong semakin nyaring.
Terdengar ia berseru sambil tertawa seram: "Bagus, bagus sekali, ayoh lebih bertenaga .
. . . . .. hahaha, salah aku kenapa kelewat bodoh, kenapa tadi tidak meninggalkan dirimu diluar II saja .
. . . . . . .. Teriakan itu membuat Siau Hui-uh tertegun, tanpa terasa cengkeramannya mengendor.
"Ayoh turun tangan!" tantang Tong Hong setengah menjerit, "kenapa tidak segera turun tangan?" Dengan gemas Siau Hui-uh menghentakkan kakinya berulang kali, terpaksa dia lepaskan perempuan itu dan berjalan menuju ke depan dinding batu.
Tiba tiba ia jumpai ada dua lembar batu kristal tertempel diatas dinding, batu kristal itu mirip sekali dengan tombol rahasia.
Dalam girangnya dia pegang batu kristal itu lalu memutarnya, namun kedua lembar batu tadi sama sekali tak bergerak, ketika mencoba melongok ke dalam, pemandangan diatas ruang rumah abu pun terpampang dengan jelas didepan mata.
Ternyata orang yang membangun ruang bawah itu telah membuang banyak pikiran dan tenaga dimasa lalu untuk memasang dua pipa tembaga diatas dinding batu itu, dibagian atas, tengah dan bawah pipa masing masing dipasang batu kristal berbentuk cekung dan cembung yang dipakainya untuk memantulkan cahaya.
Dari pantulan sinar inilah, orang yang berada diruang bawah dapat menyaksikan keadaan diluar dengan amat jelas.
Dalam kaget dan girangnya, Siau Hui-uh tidak mengalihkan lagi pandangan matanya dari atas lempengan batu kristal itu.
Waktu mengintip, saat itu si bungkuk baja sedang melempar keluar tubuh Liu Tan-yan, menyaksikan hal ini Siau Hui-uh jadi kegirangan, dia sangka tuan penolong telah datang, maka dia pun mulai berteriak.
Asal jeritan itu berhasil terdengar diluar sana, si bungkuk baja pasti akan menggunakan segala cara untuk selamatkan dirinya.
Sayang ruang batu itu berada dibawah tanah, dinding batu pun tebal dan kuat, biar Siau Hui-uh menjerit sampai habis tenaga pun, orang yang berada diatas sama sekali tidak mendengar apa apa.
Dalam kondisi begini, biar dia gelisah dan cemas pun sama sekali tak ada gunanya.
Sambil tertawa terkekeh Tong Hong segera mengejek: "Hahaha.
Menjeritlah, ayoh menjeritlah sekuat tenaga, sayangnya, biar tenggorokanmu sampai jebol pun tak bakal ada yang datang menolongmu, lebih baik duduk tenang saja sambil menunggu kematian." Dengan perasaan bergidik, Siau Hui-uh jatuh terduduk, tapi saat ini dia masih mempunyai secerca harapan, dia berharap Lim Luan-hong mau memberitahukan jejaknya, sudah pasti si bungkuk baja akan berusaha untuk menolong mereka.
Waktu itu, dari luar rumah abu kembali muncul dua sosok manusia.
Kedua orang itu mengenakan jubah hijau, bercelana sebatas lutut, mengenakan kaus kaki putih dan membawa tongkat yang panjangnya mencapai delapan depa, berwarna hitam pekat dan kelihatan sangat berat, tidak jelas benda itu terbuat dari apa.
Biarpun kedua orang itu berperawakan tinggi besar, namun tongkat yang mereka bawa panjangnya satu kali lipat dari tubuh mereka berdua.
Punggung mereka berdua menggembol buntalan, kepalanya mengenakan topi caping bambu, topi ini bentuknya sangat aneh, sepintas mirip keranjang yang menutupi wajah asli mereka berdua.
"Tok, tok," dengan berpegangan pada tongkat mereka berjalan mendekat, empat mata mereka yang berada dibalik topi bambu berkilauan tajam, langkahnya kuat dan gesit, jelas merupakan jago persilatan.
Suara pertarungan yang berlangsung dalam rumah abu, lamat lamat bergema mengikuti hembusan angin.
Begitu mendengar suara itu, kedua orang itu saling bertukar pandangan.
Salah seorang diantaranya segera berkata: "Didalam sana ada orang berkelahi?" Suara orang ini kasar, tapi tampaknya berusia tidak terlalu tua.
Rekannya ikut pasang telinga, sesaat kemudian sahutnya: "Orang yang sedang berkelahi memiliki ilmu silat yang tangguh, mari kita tengok ke dalam." Orang ini suaranya lebih tua, dari suara pertarungan ia sudah dapat menilai tinggi rendahnya kungfu seseorang, jelas pengetahuannya sangat luas.
Tanpa banyak bicara lagi kedua orang itu berjalan memasuki ruang rumah abu.
Bagi orang yang belajar silat, biasanya mereka akan sangat kegirangan bila melihat ada orang sedang bertarung, apalagi Lan Toa-sianseng maupun si bungkuk baja sedang bertarung habis habisan.
Begitu menyaksikan jalannya pertarungan, kedua orang itu merasa berat hati untuk meninggalkan tempat itu, mereka segera mundur ke sudut ruangan dan mengikuti jalannya pertarungan seksama.
Waktu itu semua konsentrasi sedang tertuju ke arena pertarungan, sehingga tak seorangpun yang memperhatikan kehadiran kedua orang ini.
Terlebih Lim Luan-hong, dia mengepal tinjunya kuat kuat, tontonan ini membuat dia seolah lupa daratan.
Tampak jurus serangan yang dilancarkan bungkuk baja cepat dan gencar, setiap jurus disertai kekuatan yang mampu membelah bukit, serangan demi serangan dilancarkan cepat dan berantai.
Sebaliknya jurus serangan dari Lan Toa-sianseng lebih mengutamakan kekuatan, dia lebih banyak bertahan daripada menyerang, siapa pun tahu kalau jagoan ini belum mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki.
Si bungkuk baja bukan jago sembarangan, tentu saja dia tahu akan hal ini, sambil menyerang, umpatnya berulang kali: "Hidung kerbau gadungan, kalau ingin berkelahi, ayoh tarung sepuasnya, kalau menyisihkan sebagian tenaga, kau bukan manusia." Lan Toa-sianseng segera tertawa terbahak bahak.
"Hahaha.... kalau mampu paksa aku mengerahkan segenap tenaga, itu baru punya kemampuan.
Apa gunanya mulutmu berkoar koar terus?" "Baik!" seru si bungkuk baja gusar.
Sepasang kepalan yang dilontarkan lurus ke depan, begitu tiba ditengah jalan tiba tiba tangan kiri ditarik, tangan kanan dilontarkan, ukuran lengannya tiga inci lebih panjang dari ukuran biasa.
Jurus ini disebut Ci-siau-pi-tiang (satu naik satu turun) yang merupakan jurus ampuh dari ilmu thong-pit-kun andalannya.
Pihak lawan jelas melihat kalau serangan itu tak akan menggapai sasaran karena kurang panjang, tahu tahu pukulan sudah mendarat dengan telak, bikin orang susah menduga dan susah menghindar, apalagi kepalan dari si bungkuk baja ini bertambah panjang tiga inci.
Biarpun kungfu Lan Toa-sianseng sangat tangguh, tak urung dia kaget juga, cepat tubuhnya mundur tiga langkah.
Terdengar angin tajam bagai sayatan pisau menyambar ujung bajunya, dari
Biarpun kungfu Lan Toa-sianseng sangat tangguh, tak urung dia kaget juga, cepat tubuhnya mundur tiga langkah.
Terdengar angin tajam bagai sayatan pisau menyambar ujung bajunya, dari sini bis diketahui betapa cepat dan gelisahnya sewaktu mundur.
"Mundur yang bagus," bentak si bungkuk baja, "coba lihat yang ini." Sepasang kepalannya melancarkan tiga serangan berantai, kepalannya sebentar panjang sebentar pendek, hampir semua ancamannya diluar dugaan.
Lim Luan-hong sekalian berubah wajah saking cemasnya, diam diam mereka menguatirkan keselamatan Lan Toa-sianseng.
Siapa tahu diiringi gelak tertawa keras, kembali Lan Toa-sianseng berhasil menghindari ke tiga jurus serangan itu.
Manusia berjubah hijau itu tampak gatal tangan, tiada hentinya dia mengetukkan toyanya dilantai sambil bersorak, sebagai orang yang berilmu, dia merasa kesepian ketika melihat ada jago lihay sedang bertarung di hadapannya.
Tiba tiba si bungkuk baja berjumpalitan di udara dan meluncur dihadapannya, dengan marah bentaknya: "Kami berdua sedang berkelahi disini, kenapa kau mengacau dengan ketukan tongkatmu?" Orang berjubah hijau itu mendengus dingin, katanya: "Kalau sudah kalah, jangan lampiaskan kejengkelanmu kepada orang lain, lebih baik mundur saja, biar aku mewakilimu untuk berkelahi." Melihat orang itu begitu berani bicara demikian meski sudah mengetahui kalau ilmu silat yang dimiliki Lan Toa-sianseng dan si bungkuk baja sangat hebat, Lim Luan-hong sekalian jadi tercengang, mereka anggap orang ini sudah bosan hidup.
Si bungkuk baja pun tertegun, tapi segera teriaknya gusar: "Ternyata kaupun gatal tangan dan pengen berkelahi" Lohu tak boleh menyia-nyiakan harapanmu." Lan Toa-sianseng segera menyela sambil tertawa: "Hei, pertarungan kita belum usai, buat apa kau mencari gara gara dengan orang lain?" "Tidak masalah," kata orang berjubah hijau itu sambil tertawa, "kau sudah mengalah, tapi dia tak sadar, biar aku beri pelajaran kepadanya." Sepasang lengannya digetarkan, lalu membuang buntalan dipunggungnya ke tanah.
Rekannya cepat mencegah: "Suhu, buat apa kau orang tua .
. . . . . .." Dia kuatir gurunya kalah, apalagi kalah tanpa alasan yang jelas, bukankah hal ini bisa menimbulkan penasaran" Orang berbaju hijau itu tertawa terbahak-bahak.
"Sudah puluhan tahun aku belum pernah bertemu musuh tangguh, kalau bisa bertarung hingga puas pada hari ini, menang kalah bukanlah masalah." "Keparat, kemarilah!" bentak si bungkuk baja marah.
Baru saja dia akan melepaskan satu pukulan, tiba tiba terdengar desingan angin lewat dari sisinya, ternyata Lan Toa-sianseng sudah menyerobot ke depan.
Manusia berjubah hijau itu tertawa keras.
"Hahaha, bagiku yang penting bisa berkelahi, mau dengan siapa sama saja." Kakinya mundur selangkah, tiba tiba tongkat panjangnya menghantam dada Lan Toa-sianseng.
Pukulan tongkat itu sangat cepat, sekalipun gerakan ular berbisa keluar dari sarang pun tak bisa dibandingkan dengan gerakan ini.
Orang bilang: sekali seorang ahli turun tangan, orang segera akan tahu dia berisi atau tidak.
Dari permainan toyanya, semua orang tahu kalau orang ini mempunyai asal usul yang luar biasa.
"Hei hidung kerbau gadungan, cepat mundur." Bentak si bungkuk baja samking cemasnya.
Kembali Lan Toa-sianseng tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.... sudah jelas dia mau mewakilimu menantang aku berkelahi, terus apa urusannya dengan kau?" Padahal dia kuatir si bungkuk baja kalah ditangan orang, maka dia berebut untuk maju duluan.
Dia tak bisa meraba apakah jurus serangan lawan tipuan atau bukan, dia tak berani gegabah, dalam waktu singkat kedua kepalannya melancarkan tiga jurus serangan, ke tiga jurus serangan ini lebih banyak tipuan daripada serangan nyata, dia memang berniat menjajaki kemampuan musuh.
Tampak manusia berjubah hijau itu memutar toyanya sedemikian rupa sehingga tongkat yang panjang itu tercipta puluhan kuntum bunga serangan.
Jurus Boan-thian-hoa-yu (seluruh angkasa hujan bunga) yang ia gunakan semakin membuktikan kalau orang berjubah hijau itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
"Serangan bagus!" bentak Lan Toa-sianseng, dia merangsek maju dan berusaha menyerang duluan.
Begitu tahu kalau lawannya adalah seorang musuh tangguh yang jarang dijumpai dalam hidupnya, dia merasa semangatnya bangkit, jiwa melawan pun tumbuh, tampak kepalannya ibarat harimau yang lepas dari sangkar melepaskan pukulan bertubi tubi.
Kakek berjubah hijau itu tak mau kalah, toyanya dimainkan ibarat naga sakti mengubek samudra, dalam sekejap mata mereka bertarung seimbang.
Tak sabar menyaksikan pertarungan itu, tiba tiba si bungkuk baja membentak: "Mau mundur tidak kau?" Sambil melompat maju, dia langsung melepaskan satu pukulan tinju ke tubuh Lan Toa-sianseng, sementara sepasang kakinya menendang manusia berjubah hijau itu.
Baik Lan Toa-sianseng maupun manusia berjubah hijau itu sama sama terperanjat, masing masing balas melepaskan satu pukulan.
Dalam sekejap mata, ke tiga orang jago tangguh itu terlibat dalam pertarungan sengit.
Manusia berbaju hijau itu dengan andalkan toyanya, si bungkuk baja dengan andalkan sepasang kepalannya saling menyerang satu sama lain, bahkan terkadang mengancam Lan Toa-sianseng, hal ini menyebabkan pertarungan yang melibatkan ke tiga orang itu jadi makin seru.
Lim Luan-hong sekalian merasa terkejut bercampur girang, girang karena dia merasa dapet rejeki karena bisa menyaksikan pertarungan naga dan harimau yang teramat seru ini.
Yang mengejutkan adalah kepandaian yang dimiliki manusia berjubah hijau itu ternyata sebanding dengan Lan Toa-sianseng, kalau dilihat dari gerak geriknya yang penuh misterius, namun enggan memperlihatkan wajah asli, sementara ilmu toyanya ganas dan telengas, nyaris semuanya merupakan jurus mematikan, biar Lim Luan-hong berpengetahuan luas pun, untuk sesaat dia tak bisa menebak siapa gerangan orang ini.
Terdengar manusia berjubah hijau itu tertawa terbahak-bahak, katanya: "Hahaha, bagus, bagus, pertarungan hari ini benar benar membuat hatiku puas." Pergelangan tangannya digetarkan, ia segera ciptakan bunga toya yang memenuhi angkasa.
"Betul, bertarung tiga orang jauh lebih menarik daripada bertarung dua orang." Imbuh si bungkuk baja.
Sedang Lan Toa-sianseng berkata sambil tertawa lantang: "Menarik, menarik, benar benar menarik, tapi .
. . . .. Thiat loji, apakah sekarang kau sudah berhasil menebak, siapa gerangan sobat yang ikut membuat keramaian ini?" "Asal bisa bertarung, peduli amat siapa dia." sahut si bungkuk baja.
"Hahaha.... percuma kau berkelana selama ini, masa siapakah sobat inipun belum bisa kau tebak" Memang matamu sudah dipatuk burung?" "Kalau memang sudah tahu, kenapa tidak kau sebut." Teriak si bungkuk baja gusar.
"Baik, akan kuberitahu, dia adalah .
. . . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

.." Mendadak manusia berjubah hijau itu tertawa keras, tukasnya: "Tak gampang bertemu dengan kalian hari ini, lebih baik kita bertarung sampai puas, seusai bertarung, masing masing jalan ke tujuan sendiri, apa gunanya menyebut nama?" "Betul juga perkataanmu." sahut Lan Toa-sianseng sambil tertawa.
Setelah melancarkan dua serangan, kembali katanya: "Sudah lama kudengar kalau ilmu kerasmu sangat hebat, setelah bertemu hari ini, paling tidak kau harus tinggalkan berapa jurus ilmu sejati mu, agar mereka dari angkatan muda bisa terbuka matanya." Sementara berbicara, jurus serangan yang digunakan sudah semakin dahsyat.
"Betul sekali." Sahut orang berjubah hijau itu, serangan toya nya tampak makin tajam.
Si bungkuk baja jadi gusar, bentaknya: "Kenapa kalian berdua main tebak umpet terus, hmm, kalau tidak kau sebut, Il lohu akan mulai memaki .
. . . .. Belum lagi ucapannya selesai, mendadak dari luar pintu berlari masuk dua orang manusia.
Mereka adalah seorang lelaki seorang wanita, mereka bergandengan masuk dengan wajah gugup dan panik, mereka semakin terkejut ketika menjumpai dalam ruangan ada orang sedang bertarung.
Namun setelah ragu sejenak, akhirnya mereka tetap beringsut masuk ke dalam, jelas hal ini dikarenakan jalan mundurnya sudah terputus, sehingga meski melihat ada jago lihay sedang bertarung, mereka bersikeras tetap masuk ke dalam.
Lan Toa-sianseng, manusia berjubah hijau dan si Bungkuk baja sedang bertarung sengit, mereka sama sekali tidak menghentikan pertarungan.
Sebaliknya Lim Luan-hong yang menjumpai kehadiran kedua orang itu segera menegur: "Saudara Li, kenapa kaupun sampai disini?" Tak terkirakan rasa girang kedua orang itu setelah berjumpa Lim Luan-hong, cepat mereka lari masuk.
Sang pria segera menggenggam tangan Lim Luan-hong sambil memohon dengan napas tersengkal: "Saudara Lim, selamatkan aku." Ternyata kedua orang ini adalah Li Koan-eng dan Beng Li-si, untuk menghindari kejaran Go Jit, selama ini mereka kabur kesana kemari menyelamatkan diri.
Kalau pada awalnya, dengan kecerdasan mereka berhasil mempermainkan Go Jit, tapi Go Jit bukanlah tokoh silat sembarangan, semakin dikejar jarak mereka semakin dekat, semakin lama pengejaran pun makin ketat.
Dalam keadaan begini, Li Koan-eng jadi gelagapan, begitu mendengar keluarga Tong di propinsi Suchuan sedang selenggarakan pesta perkawinan, mereka berdua pun langsung kabur ke Siok-tiong dengan harapan menyelinap ditengah orang banyak bisa lolos dari pengejaran.
Siapa tahu, sebelum mereka berdua mencapai gedung keluarga Tong, Go Jit sudah tiba di belakang mereka.
Dalam gugupnya, kedua orang itupun melarikan diri tanpa memilih arah, akhirnya tibalah mereka ditempat itu dan tak disangka bertemu dengan Lim Luan-hong.
Ketika di kota Hangciu, dia sudah kenal dengan Lim Luan-hong, maka sewaktu melihat kegugupan rekannya, diapun bangkit sambil berkata: "Silahkan saudara Li istirahat sejenak, kalau prajurit datang kita bendung, takut apa?" Li Koan-eng menghentakkan kakinya berulang kali seraya berkata: "Kita tak mampu membendung orang ini, saudara Lim, cepat carikan aku tempat, biar siaute bersembunyi dulu, kalau tidak, siaute bakal .
. . . . . .." Pada saat yang bersamaan itulah mendadak terdengar suara gelak tertawa yang keras, bagaikan gulungan angin puyuh tahu tahu Go Jit sudah menerobos masuk ke dalam ruangan.
sekujur tubuh Li Koan-eng gemetar keras, paras mukanya pucat pias bagai mayat, sementara Beng Li-si ketakutan sampai bibirnya membiru, peluh dingin membasahi seluruh tubuh mereka.
Siapa sangka, pada saat itulah, ketika gelak tertawa latah Go Jit belum usai, tiba tiba dari sisi samping muncul sebuah toya panjang yang langsung menghantam bahunya.
Pukulan toya itu ganas dan cepat, baru saja Go Jit mendengar desingan suara, toya panjang itu sudah berada didepan mata.
Cepat dia berkelit sambil bentaknya gusar: "Siapa yang berani mencari gara gara dengan aku?" Ternyata orang yang melancarkan serangan itu adalah murid orang berjubah hijau itu.
Menyaksikan perubahan yang tak terduga ini, semua orang berteriak kaget, sementara Li Koan-eng dan Beng Li-si merasa terkejut bercampur girang.
Tampak orang itu memegang toya sambil berdiri menghadang didepan Go Jit, mendadak dia ungkit topi bambunya dengan ujung toya, lalu bentaknya: "Coba lihat siapakah aku?" Go Jit melihat orang itu berusia muda, bermata besar, beralis tebal tapi memancarkan sinar kebencian, seakan dia punya dendam yang dalam dengan dirinya, namun dia sendiri sama sekali tak kenal siapakah orang itu.
Sebaliknya Lim Luan-hong dan Li Koan-eng yang menjumpai wajah orang itu kontan kegirangan setengah mati, serunya tanpa sadar: "Saudara Yo, ternyata kau!" Rupanya orang ini adalah si Tombak baja Yo Seng.
Terdengar si tombak baja Yo Seng membentak dengan nyaring: "Kenapa" sudah tidak kenal dengan aku" Sewaktu berada di rumah Chin Siu-ang tdi kota Hangciu waktu itu, pukulanmu nyaris membuat aku kehilangan nyawa, hari ini aku akan membalas dendam." Go Jit agak tertegun, tiba tiba ia mendongakkan kepala dan tertawa keras: "Hahaha, sepanjang hidup, aku Go Jit sudah banyak melukai orang, mana mungkin kuingat manusia tanpa nama macam kau .
. . . . .." Setelah menghentikan tertawanya, dia membentak lebih jauh: "Mengingat kau berani mencari balas terhadap si golok tanpa sarung, lohu akan mengalah tiga jurus untukmu, silahkan maju!" "Siapa yang kesudian," bentak si tombak baja Yo Seng nyaring, "serahkan nyawamu." Toya panjangnya digetar, dengan cepat tercipta puluhan bunga toya yang segera mengurung seluruh tubuh Go Jit.
II "Bagus, ejek Go Jit sambil tertawa dingin, "ternyata kungfu mu sudah mengalami kemajuan." Dengan cekatan dia menghindar ke samping, sementara sinar matanya dengan benci melotot kearah Li Koan-eng serta Beng Li-si.
Li Koan-eng sadar, biarpun saat ini dia sedang bertempur melawan orang lain, namun asalkan dia menggerakkan badan, niscaya Go Jit akan menubruk kearahnya tanpa peduli resiko apapun, maka saking takutnya dia malah tak berani sembarangan bergerak.
Dalam waktu singkat Yo Seng telah melancarkan tiga jurus serangan, meskipun ilmu silatnva sudah maju pesat, namun dia masih bukan tandingan
Dalam waktu singkat Yo Seng telah melancarkan tiga jurus serangan, meskipun ilmu silatnya sudah maju pesat, namun dia masih bukan tandingan dari salah satu anggota Tujuh manusia paling ternama ini.
Go Jit sendiri ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan ini, agar dia bisa segera membuat perhitungan dengan Li Koan-eng serta Beng Li-si, melihat tiga jurus serangan lawan sudah lewat, serunya sambil tertawa kerasw: 'I' n "Bocah keparat, enyah kau Sepasang tangannya langsung menerobos pertahanan toya lawan dan menghantam keras.
Dalam serangan ini, dia sudah sertakan kekuatan penuh, tentu saja Yo Seng tak berani menyambut dengan kekerasan, cepat dia tarik kembali toyanya sambil berkelit.
"Mau kabur ke mana kau?" bentak Go Jit.
Pergelangan tangannya dibalik, dia cengkeram ujung toya lawan, membentotnya kuat kuat dan setelah itu dia berniat menghabisi nyawa Yo Seng.
Siapa sangka belum sempat tenaganya dikerahkan, dari iga sebelah kanan sudah menyambar datang sesosok bayangan toya, bukan saja angin serangannya kuat, jurus serangan yang digunakan pun sangat tepat.
Dalam posisi begini, Go Jit harus selamatkan diri sehingga tak sempat lagi melanjutkan niatnya untuk melukai lawan, tubuhnya melejit ke udara lalu berjumpalitan, meski berhasil lolos dari ancaman toya, tak urung hatinya terkejut juga, dia tak menyangka kalau disana hadir jagoan tangguh.
Ketika berpaling, terlihat seorang lelaki berjubah hijau yang mengenakan topi caping bambu, berdiri menghadang didepan Yo Seng.
Disudut lain, terlihat ada dua orang masih bertempur tiada hentinya, namun karena gerakan tubuh mereka sangat cepat sehingga dia tak sempat melihat wajah aslinya.
Go Jit jadi kaget setengah mati, dia tak mengira didalam ruang rumah abu itu bisa berkumpul begitu banyak jago tangguh.
Setelah menghimpun tenaga, bentaknya: "Siapa kau, apakah datang untuk mencari balas?" Orang berjubah hijau itu tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, aku tak punya dendam sakit hati denganmu, hanya pepatah bilang, guru murid sehati, karena kau berhasil mengungguli muridku, terpaksa yang jadi guru harus tampilkan diri." Dalam waktu singkat dia telah lancarkan tiga serangan toya, serangan atas menggunakan jurus Soat-hoa-kay-teng (bunga salju melapisi atap), serangan tengah menggunakan jurus Giok-tay-heng-yau (sabut kumala melintang dipinggang), sedang serangan bawah menggunakan jurus Ku-siu-boan-keng (pohon layu akar melingkar).
Meskipun hanya terdiri dari jurus serangan biasa, namun sewaktu digunakan orang berbaju hijau itu, kehebatannya menjadi berlipat ganda.
Terlihat bayangan toya menggulung tiada hentinya, tongkat sepanjang dua meter itu tiba tiba berubah seperti sabuk angkin sepanjang ratusan kaki yang melingkar dan menggulung Go Jit dengan ketatnya.
Dipihak lain, saat itu si bungkuk baja sedang bertarung dengan asyiknya ketika tiba tiba orang berbaju hijau itu keluar dari arena, serta merta jurus serangan dari Lan Toa-sianseng ikut mengendor.
Maka setelah bertarung berapa jurus kemudian, si bungkuk baja kehilangan selera.
Sambil tertawa ujar Lan Toa-sianseng: "Lebih baik kita sudahi dulu pertarungan diantara kita berdua, ayoh kita tengok ke sana, coba lihat ilmu silat si golok tanpa sarung lebih canggih atau ilmu silat si Tombak tanpa bayangan yang lebih hebat." "Aaah, betul, betul," si bungkuk baja berseru tertahan, "dia adalah si Tombak tanpa bayangan Yo Hui, tak heran kalau jurus serangan yang dia gunakan hampir semuanya merupakan jurus ilmu tombak, meski yang digunakan adalah toya panjang." Melihat dirinya telah salah bicara hingga buka rahasia orang, Lan Toa-sianseng ikut tertawa geli, katanya: "Jika dia bepergian dengan membawa tombaknya yang sepanjang dua meter, bukankah sama artinya pasang merek ditubuh sendiri" Manusia mana di dunia persilatan yang tidak kenal dia" Coba kalau dia tidak membawa toya dan berlagak seperti pendeta perantauan, orang pasti akan menebak identitasnya dengan gampang." II "Bagus, bagus sekali, gumam si bungkuk baja kemudian, "golok tanpa sarung, tombak tanpa bayangan, dua dari tujuh manusia ternama sudah muncul disini, tampaknya hari ini aku bakal merasa puas sekali .
. . . .." Mendadak dia berjumpalitan dan maju ke depan.
Dipihak lain, paras muka Go Jit segera berubah hebat setelah manusia berjubah hijau itu melancarkan berapa jurus serangan, serunya sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, aku kira siapa, ternyata saudara Yo, sejak kapan kau ganti memakai toya?" Sebagaimana diketahui, ketika memperebutkan urutan nama tujuh manusia tersohor tempo hari, mereka berdua pernah bertempur sengit selama berapa hari di gunung Hoa-san, tak heran kalau Go Jit segera dapat menebak asal usulnya setelah bertarung berapa jurus.
Si Tombak tanpa bayangan Yo Hui ikut tertawa tergelak, katanya: "Hahaha, sudah kuduga, tak bakal bisa mengelabuhi dirimu." Go Jit tahu, pertarungan yang bakal berlangsung berikut sudah jauh berbeda dengan tadi, karena kuatir Li Koan-eng dan Beng Li-si menggunakan kesempatan itu melarikan diri, segera katanya sambil tertawa terkekeh: "Saudara Yo, sudah lama kita tak bersua, masa begitu bertemu langsung bertarung habis habisan" Jangan sampai membuat kaum muda yang melihat mentertawakan kesempitan pikiran kita berdua." "Hahaha," Yo Hui balas tertawa keras, "sebetulnya aku enggan ribut dengan kau, siapa suruh kau menghajar muridku, jadi paling tidak akupun harus membalas dua tiga pentungan, dengan begitu aku baru bisa memberi pertanggungan jawab kepada sang murid." Waktu itu Go Jit sedang mengeluh karena gagal meloloskan diri dari cengkeraman lawan, siapa tahu pada saat itulah tiba tiba muncul lagi seseorang dari tengah udara.
Dia sangka orang itu adalah pembantu Yo Hui, hatinya makin tercekat.
Tak disangka orang itu melancarkan serangan secara bertubi tubi, bukan saja ditujukan kepadanya, serangan itupun diarahkan ke tubuh Yo Hui.
Dalam gusar dan kagetnya, bentak Go Jit penuh amarah: "Darimana datangnya orang edan, sudah bosan hidup?" Si bungkuk baja tertawa tergelak.
"Hahaha, lohu datang untuk ikut meramaikan suasana, Yo Hui, daripada bertarung satu lawan satu, bukankah lebih menarik jika empat orang berlibat pertarungan bersama?" Tiba tiba dia balik tubuh sambil mengirim satu pukulan ke arah Lan Toa-sianseng.
"Hahaha, menarik, menarik," Yo Hui tertawa tergelak, "mari kita berempat tarung bersama, agar angkatan muda terbuka matanya." Sambil berkata dia membalik toyanya, melepaskan serangan pula ke tubuh Lan Toa-sianseng.
Menghadapi serangan dua orang jago lihay sekaligus, biar Lan Toa-sianseng tak ingin bertarungpun, kini dia tak bisa menghindar, sahutnya kemudian: "Hahaha, kalau ingin bertarung, ayoh tarung sampai puas!" Dengan cepat diapun terlibat dalam pergumulan.
Hati Yang Terberkahi 15 Eldest Seri 2 Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Sandra Brown Sepasang Ular Naga 32
^