Pencarian

Panah Kekasih 4

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 4


Kobaran api diluar gedung membara semakin besar, tiba tiba Hoa Hui menyambar tubuh seorang bocah lalu didorong ke ujung pedang Kiong Gim-bit.
Terdengar bocah itu menjerit kesakitan, sebuah tusukan pedang menembusi dadanya.
Menggunakan kesempatan itu Hoa Hui melontarkan pula sebuah tusukan yang dilancarkan dari bawah ketiak si bocah, Kiong Gim-bit tidak melihat datangnya tusukan itu, tampaknya diapun tidak menyangka akan datangnya bokongan, untuk menghindar sudah tak sempat, tak ampun dadanya terbabat hingga muncul luka memanjang.
Dalam keadaan terluka parah, bukannya mundur kakek buta itu malah merangsek makin ke depan, sambil meraung kalap dia lepaskan sebuah tusukan lagi.
Pecah nyali Hoa Hui, buru buru dia angkat mayat dalam cekalannya dan digunakan sebagai tameng untuk membendung datangnya tusukan itu.
Gerakan pedang Kiong Gim-bit cepat bagaikan hembusan angin, secara beruntun dia lancarkan tujuh buah serangan berantai.
Ternyata Hoa Hui gunakan mayat bocah itu sebagai tameng, secara beruntun diapun menangkis datangnya ke tujuh buah serangan tersebut.
Kasihan bocah itu, entah dosa apa yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan yang lalu, setelah mati, mayatnya tercincang hingga tak karuan bentuknya.
Melihat kejadian itu, seorang bocah yang lain segera melarikan diri, sayang kakinya keburu lemas, tak ampun tubuhnya roboh terjungkal ke tanah, dengan setengah merangkak bercampur bergulingan cepat dia menjauh dari situ.
Hoa Hui mulai takut bercampur ngeri setelah dilihatnya Kiong Gim-bit hanya mengincar dia seorang, ia sadar keinginannya untuk melarikan diri jauh lebih susah daripada mendaki ke langit, tak tahan diapun mulai mencaci maki dengan kata kata kotor, penampilannya yang semula anggun dan terhormat pun kini hilang tak berbekas.
Kiong Gim-bit sama sekali tak ambil perduli dengan luka didadanya, dia biarkan darah mengucur terus membasahi badannya.
"Tua bangka sialan" umpat Hoa Hui, "kenapa darahmu tidak segera mengering" Akan kupenggal kepalamu untuk dipersembahkan didepan kuburan ayah ibuku .
. . . . . . . . .." Mendadak bahu kanannya terasa dingin, sebuah tusukan dari Kiong Gim-bit melukai lengannya, membuat hancuran mayat yang masih tergenggam pun ikut terlepas dari cekalan.
"Biar mati sepuluh kali lagi pun Hoa Peng suami istri pantas mendapat ganjarannya" sahut Kiong Gim-bit geram, "sungguh menyesal waktu itu lohu biarkan mereka mati secara gampang"
Sementara pembicaraan berlangsung, pedangnya kembali berkelebat dari atas menuju bawah menggunakan jurus Lip-pi-hoa-san (membelah bukit Hoa-san), biarpun jurus serangan ini sederhana dan biasa, namun daya kekuatan yang terpancar dari balik tangannya sungguh luar biasa.
Hoa Hui berusaha dengan pelbagai cara untuk mematahkan serangan itu, apa daya serangan kakek buta itu kelewat cepat, terpaksa sambil mengerahkan segenap tenaga ia sambut datangnya ancaman tersebut.
"Traaaang!" sepasang pedang saling beradu, tubuh Hoa Hui seketika terpental mundur berapa langkah, namun ujung pedang Kiong Gim-bit ikut terpapas kutung sebagian.
Tiba tiba terdengar rintihan lirih berkumandang dari belakang tubuhnya, biarpun rintihan itu lemah, namun dengan ketajaman pendengaran Kiong Gim-bit yang luar biasa, ia segera dapat mengenali sebagai suara cucu perempuannya.
Sambil berteriak keras dia segera membalikkan badan dan menubruk ke arah cucunya.
Sebenarnya waktu itu Hoa Hui sudah dibuat bergelora hawa darah dalam dadanya bahkan mundur dengan sempoyongan, andaikata menggunakan kesempatan itu Kiong Gim-bit menambahi lagi dengan sebuah bacokan, niscaya pemuda itu akan mati sekarat.
"Yaa sudahlah!" pekik Hoa Hui didalam hati sambil menghela napas, ia pejamkan mata siap menantikan datangnya kematian.
Siapa tahu Kiong Gim-bit meninggalkan dirinya dengan begitu saja, setelah tertegun sejenak, dengan perasaan girang cepat dia membalikan badan dan kabur lewat jendela.
Tian Mong-pek menghela napas panjang, akhirnya drama yang amat tragis itu selesai sudah, kini semua orang hidup telah kabur, tapi dia masih belum mampu berkutik, bagaikan sebuah patung, tubuhnya tergeletak diantara tumpukan mayat.
Terlihat Kiong Gim-bit telah membuang pedangnya, kini dia memeluk tubuh Ling Ling dan merabanya berapa saat, akhirnya dia sebentar tertawa, sebentar menghela napas, semua masalah seolah telah terlupakan, bila ada orang membokongnya waktu itu, dapat dipastikan kakek itu tak sanggup menghindarkan diri.
Rupanya Kiong Ling-ling belum mati, namun denyut nadinya sudah sangat lemah, dengus napasnya sebentar ada sebentar menghilang, keadaannya sangat kritis.
Tanpa berpikir panjang, Kiong Gim-bit segera tempelkan sepasang telapak tangannya didada nona cilik itu dan menyalurkan tenaga dalamnya, dia berharap dengan mengorbankan tenaga murni hasil latihannya selama puluhan tahun, dapat selamatkan selembar nyawa cucu perempuannya.
Dengan cepat dua gulung aliran panas menembusi urat nadi Kiong Ling-ling.
Sudah cukup lama tanah perbukitan itu dilanda kekeringan, bangunan kuil itupun sudah lama tak dipugar, bahan bangunan kayu yang tersisa hampir semuanya sudah lapuk dan kering, begitu tersulut api, maka terjadilah kebakaran besar diseluruh bangunan.
Jilatan api mulai merangkak dari rumput kering di lapangan, merambat naik ke jendela, dalam waktu sekejap seluruh ruang utama telah terjilat api.
Kebakaran berkobar makin dahsyat, namun ditengah ruang utama tersisa tiga orang, seorang tak sadar karena terluka parah, seorang lagi tak perduli dengan kebakaran yang terjadi dan seorang lain tertotok jalan darahnya hingga tak berkutik, ia hanya bisa saksikan kobaran api yang makin lama semakin membesar.
Hembusan angin malam semakin kencang, angin membantu kobaran api makin membara, jilatan api menyebar dimana mana, nyaris membakar pula tubuh Tian Mong-pek.
Anak muda itu merasakan tubuhnya seolah berada diatas panggangan, bibirnya mulai mengering, peluh membasahi seluruh tubuhnya, hingga terakhir keringat pun nyaris terpanggang hingga mengering.
Selama ini, Kiong Gim-bit tetap menempelkan sepasang tangannya diatas jalan darah Kiong Ling-ling, sekalipun lidah api sudah menggulung dihadapannya, namun ia sama sekali tak bergerak.
Lambat laun Kiong Ling-ling mulai terdengar dengus napasnya, tapi jika ia tarik kembali hawa murninya dalam keadaan begini, niscaya denyut nadi nona cilik itu akan terhenti dan jiwanya bakal tak tertolong.
Sadar akan hal ini, kakek buta itu rela dirinya mati terbakar daripada melepaskan setiap kesempatan untuk selamatkan nyawa cucu perempuannya, walau begitu, lamat-lamat dia sudah mulai merasakan ngerinya ancaman kematian.
"Blaaaammm!" sebatang kayu yang terbakar, jatuh persis disamping Tian Mong-pek.
Lidah api kini mulai merambat bangku pendek yang berada disisi Tian Mong-pek, "Blaaam!" lagi lagi sebatang kayu menimpa meja pendek dihadapannya, seluruh bangunan mulai terbakar hebat, seluruh bumi seolah ikut bergoncang keras.
Tian Mong-pek sudah berada ditengah kepungan api, keadaannya bagaikan sesaji hidup dijaman kuno yang dibakar hidup hidup, dalam waktu yang amat singkat inilah tiba tiba ia teringat dengan ayahnya yang telah meninggal, kawan kawannya yang masih hidup, dendam kesumat, pelbagai tugas dan tanggung jawab, hampir semuanya mengalir lewat, membuat air matanya mengambang lalu meleleh keluar.
Sesaat kemudian, diapun teringat dengan semua penghinaan, cemoohan dan fitnahan yang dideritanya selama ini, bila dia mati sekarang, bukan saja semua penghinaan tak terbalas, semua dendam tak terbalas bahkan fitnahan yang menempel pada dirinya pun tak dapat dicuci bersih, nama baiknya tak mungkin bisa direhabilitasi.
Terbayang sampai disitu, segera pikirnya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, selama hidup kau jujur dan terbuka, mengapa Thian begitu tak adil terhadap dirimu?" Ia merasakan kesedihan dan kemarahan yang luar biasa menembus naik ke benaknya, tekanan bara api dari dalam hati serta bara api dari luar yang menghimpit membuat pemuda itu tiba tiba membentak keras lalu melompat bangun.
Kejadian ini kembali membuat pemuda itu termangu, setelah termenung sejenak, ia baru tahu kalau totokan jalan darahnya tanpa sengaja telah bebas, ia tak tahu kejadian ini hanya merupakan satu kebetulan atau memang diatur Thian, diapun tak tahu harus sedih atau gembira.
Begitu tersadar kembali dari lamunan, tanpa sadar dia lari keluar dari kepungan api, namun ingatan lain segera membuatnya membatalkan kembali niat itu.
Kini kobaran api telah membungkus seluruh ruangan, tak lama kemudian, tiang penyanggah ikut patah dan seluruh ruangan pun berubah jadi kubangan api yang menakutkan.
Biarpun dia sadar akan ancaman besar yang bakal dihadapi, namun pemuda ini tak bisa berpeluk tangan membiarkan Kiong Gim-bit berdua mati terbakar, buru buru dia berbalik masuk lalu mengambil bangku yang belum terbakar dan dipakai untuk memadamkan jilatan api disekeliling dua orang itu.
Dalam waktu singkat tiba tiba ia merasakan tenaga dalamnya pulih sebagian besar, rupanya karena terpanggang oleh bara api dan ditekan api amarah dari dalam tubuhnya, dia telah membebaskan pula totokan jalan darah yang dilakukan Hong Sin.
Tian Mong-pek tahu, dalam kondisi begini Kiong Gim-bit tak dapat diganggu, dia hanya berharap kakek itu secepatnya menyelesaikan tugasnya.
Jilatan api menggulung tiba bagaikan amukan gelombang ditengah samudra, biarpun Tian Mong-pek telah mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki, dia gagal untuk membendung datangnya kobaran tersebut, yang bisa dia lakukan sekarang hanya menjaga agar api tidak membakar tubuh Kiong Gim-bit berdua, sementara pakaian yang dikenakan sendiri mulai terbakar api disana sini.
Guguran kayu arang bagai hujan deras, sambil menggigit bibir Tian Mong-pek bersumpah akan melindungi Kiong Gim-bit berdua hingga detik terakhir.
Padahal antara dia dengan kedua orang itu tak punya ikatan apa apa, tapi setiap kali melihat nyawa seseorang terancam bahaya, pemuda ini selalu tampil dengan gagah berani untuk memberikan perlindungan, demi selamatkan nyawa orang lain, diapun tak segan mengorbankan jiwa sendiri setiap saat.
Sampai akhirnya berapa bagian tubuhnya mulai terluka bakar, begitu pula dengan berapa bagian tubuh Kiong Gim-bit, padahal saat itu dia bisa saja tinggalkan tempat tersebut, tapi entah kenapa, anak muda itu justru tetap bertahan, sambil menguatirkan keselamatan Ling Ling, dia pun menguatirkan api yang semakin membara.
Akhirnya tampak Kiong Ling-ling membuka kembali matanya, disusul kemudian Kiong Gim-bit menghembuskan napas panjang.
"Locianpwee, sudah selesai?" tegur Tian Mong-pek kegirangan.
Siapa tahu tubuh Kiong Gim-bit mendadak roboh terjengkang, setelah kehilangan banyak darah tadi, sekarang diapun mengorbankan seluruh kekuatan yang dimiliki, kondisi badannya jadi sangat lemah dan tak sanggup mempertahankan diri.
Dalam terkejutnya buru buru Tian Mong-pek membopong tubuh Kiong Ling-ling dan menyambar tubuh Kiong Gim-bit lalu diiringi bentakan nyaring, ia menerjang keluar dari kepungan api.
"Blukkk!" bahunya terasa sakit, tampaknya sebatang kayu arang menimpa tubuhnya, pemuda itu tak ambil perduli, sekuat tenaga dia lari terus meninggalkan kobaran api, lari naik ke atas perbukitan, disanalah ia baringkan Kiong Ling-ling diatas batu dan membaringkan Kiong Gim-bit dibawah pohon, setelah itu dia sendiri ikut roboh terguling diatas tanah.
Sampai lama kemudian Tian Mong-pek baru menghembuskan napas panjang, dia merasa luka bakar disekujur tubuhnya mulai terasa sakit, terutama sewaktu menggerakkan bahunya, semua tulang terasa sakitnya bukan kepalang.
Dalam keadaan begini dia mencoba berpaling, tampak kobaran api dibawah bukit telah menjulang ke angkasa, terbayang kembali situasi kritis yang baru saja dialami, tanpa terasa peluh dingin membasahi tubuhnya.
Terdengar Kiong Gim-bit menghela napas panjang.
"Lotiong, kau telah mendusin?" tegur Tian Mong-pek sambil melompat bangun.
"Apa kau bilang?" teriak Kiong Gim-bit, begitu keras suaranya membuat orang jadi terkejut.
Tian Mong-pek melengak, tiba tiba paras muka Kiong Gim-bit kembali berubah.
Perlu diketahui, selama ini pendengaran kakek itu lebih tajam dari orang biasa, tapi sekarang dia justru tak sanggup mendengar perkataan orang lain, padahal dalam kondisi buta matanya, selama ini dia mengandalkan pendengaran untuk menghadapi musuh.
Siapa sangka dalam menghadapi keadaan yang amat kritis tadi, ketajaman telinga nya pun ikut lenyap, tak heran kalau kakek itu jadi terkesiap dan tak punya keberanian lagi untuk melanjutkan hidup.
Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, kembali teriaknya: "Cayhe Tian Mong-pek, apakah lotiong bisa mendengar?" Tanpa bicara Kiong Gim-bit mengangguk, lega juga perasaan Tian Mong-pek melihat kakek itu tidak tuli sama sekali, dibopongnya Ling Ling lalu dibaringkan dalam pelukan kakek itu.
Dengan lembut Kiong Gim-bit membelai tubuh cucu perempuannya, melihat dengus napas serta kehangatan tubuhnya telah normal kembali, sekulum senyuman segera menghiasi bibirnya, bagaimana pun juga pengorbanan yang dia lakukan telah membuahkan hasil.
Tak tahan ujarnya setelah menghela napas: "Selama hidup belum pernah aku menerima budi kebaikan orang lain, tak II disangka .
. . . . . .. "Persoalan ini merupakan urusan pribadi cayhe, harap lotiong tak usah masukkan ke dalam hati" Kiong Gim-bit menggeleng.
"Keadaanku sudah parah, ibarat sebentar lagi akan masuk liang kubur, mana boleh tidak kubalas budi kebaikanmu itu" Tampaknya kaupun seseorang yang belajar silat, aku harus wariskan ilmu pedangku padamu, sebagai tanda rasa terima kasihku" Sebetulnya tawaran ini merupakan sesuatu yang luar biasa, tawaran yang diimpikan hampir oleh semua umat persilatan, siapa tahu dengan serius tampik Tian Mong-pek: "Apa maksud perkataan lotiong" Biarpun Tian Mong-pek bukan manusia baik, akupun bukan orang yang mengharapkan balas budi dari orang lain, keputusan lotiong sama artinya memandang diriku sebagai hewan, bagaimana pun Tian Mong-pek tak bisa menerimanya" Agak tertegun Kiong Gim-bit mendengar jawaban itu, serunya: "Tahukah kau, sedikit saja langkahmu kurang cepat tadi, jiwamu bisa ikut melayang" "Sejak tadi cayhe telah melupakan urusan mati hidup" "Lantas mengapa kau pertaruhkan nyawa untuk selamatkan nyawa kami berdua?" Dari nada pertanyaan itu, bisa disimpulkan kalau kakek ini merasa amat keheranan.
"Masa selamatkan nyawa orang pun perlu alasan?" Perlu diketahui, dalam pembicaraan antara dua orang, bila salah seorang diantaranya mempunyai pendengaran yang kurang baik, niscaya nada suara yang digunakan sewaktu berbicara akan sangat keras.
Tian Mong-pek kuatir Kiong Gim-bit tidak jelas mendengar percakapannya, maka diapun berbicara dengan suara keras, sebaliknya Kiong Gim-bit yang tidak bagus pendengarannya, secara otomatis berbicara pula dengan setengah berteriak, akibatnya, biarpun mereka hanya bercakap cakap biasa, namun kedengarannya seperti orang sedang bertengkar.
Kiong Gim-bit termenung berapa saat, akhirnya dia menghela napas panjang.
"Aaai, sepanjang hidup sudah banyak jenis manusia yang pernah lohu jumpai, namun belum pernah kutemui pemuda macam dirimu, semakin kau enggan menerima, aku semakin berminat mewariskan ilmu pedang ini kepadamu, dengan memperoleh ahli waris semacam kau, biar matipun lohu bisa pejamkan mata rapat rapat" "Aku berharap lotiong jangan kelewat memaksakan kehendak, bila kuterima tawaranmu itu, bukankah sama artinya aku tak berniat sungguh sungguh untuk menolong kalian" Bukankah aku hanya hewan yang mencari kesempatan?" orang lain ingin mewariskan ilmu silatnya, pemuda itu justru naik darah, padahal sepanjang hidup, entah berapa banyak orang yang berharap Kiong Gim-bit mau mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.
Dia tak menyangka kalau dikolong langit, ternyata masih ada orang yang menampik tawarannya, menyaksikan tabiat Tian Mong-pek, kakek buta itu semakin menaruh simpatik.
Sambil mengeluarkan sejilid kitab dari sakunya, dia berkata: "Kini aku tuli lagi buta, jarak menuju kematian sudah semakin dekat, biar aku sudah hidup cukup, namun ada dua persoalan yang tetap mengganjal hatiku" Setelah berhenti sejenak dan menghela napas, lanjutnya: "Pertama, cucu perempuanku masih muda, kedua ilmu silatku belum mendapat pewaris.
Kini kuserahkan kedua persoalan ini kepadamu, kitab ini berisikan intisari dari seluruh ilmu silatku sepanjang hidup, ambillah!" Dari nada pembicaraan itu, dia seolah segera akan mati.
Harus diketahui, bagi seorang jagoan persilatan, perubahan yang menimpa kakek ini merupakan sebuah pukulan batin yang sangat berat, dari seorang sakti, secara tiba tiba berubah jadi orang tuli lagi buta, yang mana sudah pasti mustahil lagi baginya untuk bertarung melawan siapa pun, bisa dibayangkan betapa tertekannya perasaan orang itu.
"Lotiong" ujar Tian Mong-pek kemudian, "karena kau percaya kepadaku, tentu saja cayhe tak bisa menampik lagi, akan tetapi kitab pusaka ilmu pedang tersebut tak bisa kuterima, biar kusimpankan saja untuk sementara II waktu .
. . . . . . .. Belum selesai dia berkata, tiba tiba dari bawah bukit meluncur datang sesosok bayangan manusia, pedang ditangan kanannya langsung dihujamkan ke dada Kiong Gim-bit sementara tangan kirinya merebut kitab pusaka itu.
Dibalik kegelapan malam, tampak orang itu tak lain adalah satu satunya bocah anak buah Hoa Hui yang berhasil melarikan diri tadi.
Ternyata setelah tergelinding jatuh ke bawah bukit tadi dalam usahanya untuk melarikan diri, dia berbaring dibalik rerumputan sambil menyembunyikan diri, tempat itu sangat tertutup dan aman, maka disitulah bocah tadi beristirahat.
Ketika suara gaduh sudah mulai mereda, saking lelah dan takutnya, tanpa terasa bocah itu terlelap tidur.
Sampai Tian Mong-pek dan Kiong Gim-bit berbicara setengah berteriak, dia baru tersadar dari tidurnya, begitu mendengar pembicaraan antara kedua orang itu, si bocah jadi amat kegirangan, gumamnya seorang diri: "Hoa Giok wahai Hoa Giok, kau berhasil kabur namun tak bisa pulang lagi, kini kau menjadi manusia tak punya rumah, bila kau ingin mencari nama dalam dunia persilatan dikemudian hari, inilah kesempatan baik bagimu, sekarang si tua Kiong sudah buta lagi tuli, dia tak pantas ditakuti lagi, asal kitab pusaka itu berhasil kau rampas, tak sulit lagi bagimu untuk menguasahi ilmu pedang itu" Biarpun perasaan hatinya agak takut, akhirnya sambil menggigit bibir diapun menerjang keluar.
Tusukan pedang itu dilakukan sekuat tenaga dan langsung menghujam ke ulu hati lawan, tak sempat mengeluarkan suara, Kiong Gim-bit tewas seketika.
Sambil membentak gusar, Tian Mong-pek melompat bangun, rupanya Hoa Giok ketakutan, buru buru dia cabut kembali pedangnya, siapa tahu pedangnya yang menghujam didada Kiong Gim-bit tak dapat dicabut kembali.
Peluh dingin membasahi seluruh badan Hoa Giok, tanpa perdulikan pedangnya lagi dia kabur turun bukit.
Tian Mong-pek mencoba mengejar, sayang luka bakar memenuhi seluruh badannya, ditambah lagi berapa kerat tulangnya retak dan lagi sudah kehabisan tenaga sejak tadi, baru mengejar berapa langkah ia sudah roboh terjungkal.
Menyaksikan sang pembunuh melarikan diri tanpa mampu dikejar, amarah yang meluap membuat anak muda itu jatuh tak sadarkan diri.
Walaupun saat itu mendekati fajar, namun langit justru sangat gelap, angin gunung berhembus kencang, menggoyangkan rambut Kiong Gim-bit, mengibarkan pula pita merah diujung gagang pedang.
Jago pedang yang pernah merajai dunia persilatan, pernah melukai begitu banyak nyawa manusia, siapa sangka pada akhirnya harus mati ditangan seorang asing.
Tujuh dari delapan bocah anak buah Hoa Hui berhasil dibantai, siapa sangka pada akhirnya dia sendiri harus kehilangan nyawa ditangan bocah terakhir yang tersisa.
Taburan bintang dilangit telah buyar.
Kabut tipis mulai menyelimuti permukaan jagad, dari balik lamat lamatnya suasana ditengah hutan, terdengar suara seruling yang berbunyi nyaring.
Menggunakan pedang yang ditinggalkan bocah itu tadi, Tian Mong-pek mencari sebuah tempat yang agak tersembunyi, menggali liang dan mengubur jenasah Kiong Gim-bit.
Kejadian di dunia memang begitu aneh, siapa yang menyangka seorang pemuda tanpa nama tanpa pengalaman, ternyata tak sampai sebulan harus menyaksikan dua dari tujuh tokoh persilatan, tewas dihadapannya, bahkan dia pula yang menguburkan jenasah mereka, sementara dia sendiri meski harus menghadapi banyak siksaan, penderitaan dan penghinaan, pada akhirnya tetap bisa mempertahankan hidupnya.
Saat ini, perasaan hatinya bercampur aduk, antara sedih dan marah, ia menyesal kenapa ilmu silat yang dimiliki kelewat lemah sehingga bukan saja tak bisa melindungi keselamatan si kakek yang buta lagi tuli, bahkan membekuk sang pembunuh pun tak mampu.
Biarpun beberapa kali ia mendapat kesempatan untuk belajar ilmu silat tangguh, tapi ia justru sembunyikan kitab pusak dari Po-kie-bun, menampik Le-hian-cian Tu Hun-thian dan menampik tawaran ilmu pedang seribu mata yang ganas dan telengas.
Bodohkah keputusan yang telah dia ambil" Anak muda itu tak tahu, dia hanya merasa cara itulah yang bisa membuat hatinya tenteram, tidak menipu langit, tidak membuat malu bumi.
Dia tak pernah menyesal, tak pernah mengeluh, perasaan hatinya hanya hambar, tawar dan kosong.
Atau mungkin, beginilah kehidupan dari seorang jagoan" Disamping kuburan baru, dia mencoba pejamkan matanya, berharap bisa peroleh ketenangan sesaat, sementara disisi tubuhnya tergeletak sebilah pedang tanpa sarung dan sebuah seruling bambu.
Pedang tanpa sarung dengan cahaya yang menyilaukan mata, dia memang sengaja menyimpan senjata tersebut untuk Kiong Ling-ling, agar dia selalu teringat dengan dendam kesumat hari ini.
Sementara seruling bambu itu berbentuk sederhana, terbuat dari bambu hijau yang saat ini mulai menguning, dia sengaja menyimpannya agar dia sendiri dapat selalu teringat akan kejadian hari ini, dia tak tahu sudah berapa ribu kali Kiong Gim-bit meraba benda itu, tak tahu berapa banyak usapan sayang orang tua itu terhadap benda tersebut, dia tak tega untuk membuangnya, dia sengaja menyimpannya antara lain karena ingin mempertahankan kenangannya atas kematian yang tragis dari orang tua itu, untuk mengenang pula kegagahannya semasa masih hidup.
Diatas rumput disamping kuburan, berbaring tubuh Kiong Ling-ling, walaupun luka dalamnya telah sembuh, luka luarnya justru cukup parah, Tian Mong-pek telah menotok jalan darah tidurnya, agar dia melewatkan suasana yang amat sedih ini dalam tidur yang nyenyak, dia tak ingin nona cilik itu turut menyaksikan mayat si kakek yang mati tragis serta kuburan yang dingin menyendiri.
Namun, bagi seorang pemuda yang sekujur tubuhnya penuh luka bakar, seluruh perasaan hatinya penuh luka derita serta seorang nona cilik yang baru lolos dari kematian, seberapa jauh mereka dapat berjalan" Seberapa cerah masa depan yang menghadang dihadapan mereka" Akhirnya langit mulai terang, sambil membopong Kiong Ling-ling, Tian Mong-pek mulai menuruni bukit, berjalan menelusuri jalan raya.
Sepanjang jalan orang yang berlalu lalang selalu berusaha menghindar jauh jauh, Tian Mong-pek tak ambil peduli, dia meneruskan langkahnya dengan cepat, semakin rendah pandangan orang lain terhadap dirinya, dia semakin tak pandang sebelah mata terhadap orang orang itu.
Akhirnya tibalah mereka di kota Mo-sik, Tian Mong-pek mencari sebuah losmen terkecil dan terjelek untuk tinggal, dari kedai obat diapun membeli obat luka luar dan membubuhkan diseputar luka ditubuh Kiong Ling-ling.
Jangan dilihat pakaian yang dikenakan dekil lagi compang camping, ketika meninggalkan rumah pemuda ini sempat membawa emas dan perhiasan yang cukup sehingga untuk beaya penghidupan, ia tak perlu meminta minta, bahkan obat luar yang dibelipun merupakan bahan obat berkwalitas nomor satu, tak heran kalau luka yang diderita Kiong Ling-ling dengan cepat sembuh kembali.
Bocah perempuan ini sejak dilahirkan telah kehilangan kedua orang tuanya, selama ini dia selalu hidup bersama kakeknya yang jujur tapi keras kepala, disaat anak lain masih sering merengek orang tuanya untuk dibelikan gula gula, dia justru sudah ikut kakeknya hidup mengembara dalam dunia persilatan.
Ketika dia mencapai usia lima tahun, kakeknya menjadi buta, maka penghidupan nona inipun jadi makin sengsara.
Sebagian besar umurnya telah dia lewatkan dalam suasana penghidupan semacam ini, namun nona cilik itu tak pernah mengeluh, biarpun usianya masih sedikit, namun ia telah pandai menahan diri.
Perjalanan waktu yang penuh penderitaan, menciptakan perangai aneh pada dirinya, penderitaan dan kesedihan yang kelewat banyak dalam lembar kehidupannya, membuat nona ini tak pernah berani berharap datangnya kebahagiaan.
Disaat pertama kali tersadar dari tidurnya, ia hanya be rtanya sepatah kata: "Mana yaya ku?" Tian Mong-pek tak tega untuk menceritakan keadaan sesungguhnya, dia hanya mengatakan kalau kakeknya akan balik dua hari kemudian.
Kiong Ling-ling kembali bertanya satu hal lagi: "Apakah yaya marah denganku?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek menggeleng, padahal perasaan kecut dan sedih yang sukar dilukiskan dengan ucapan menyelimuti hatinya.
Selama ini si nona hampir tak pernah menyinggung tentang keadaan luka yang dideritanya, bagi dirinya, asal sang kakek tidak marah dan menyalahkan dirinya, ia sudah merasa amat puas.
Setelah itu, diapun tak pernah berbicara lagi, nona kecil itu hanya berbaring sambil mementang matanya lebar lebar memandang langit langit ruangan.
Menyaksikan keadaan tersebut, Tian Mong-pek merasa lebih sedih dan lebih sayang kepadanya, ia berjanji sebelum nona itu sembuh total, dirinya tak akan pergi meninggalkan dirinya.
Tampaknya nona itu tahu kalau Tian Mong-pek begitu sayang kepadanya, tapi ia tak pernah mengucapkan terima kasih, kecuali panc aran sinar matanya yang penuh dengan perasaan terharu.
Setiap pagi, dia hanya menanyakan satu hal: "Apakah yaya telah datang?" Hari ini dia tidak bersuara lagi.
Dua hari berlalu dengan cepat, untuk mengisi waktu yang senggang, sepanjang hari Tian Mong-pek hanya meneguk arak.
Pada mulanya pemilik kedai kuatir ia tak mampu membayar, sampai pemuda itu mengeluarkan sekeping uang perak, mereka baru memberikan semua yang dipesan dengan perasaan lega.
Menyaksikan kesemuanya ini, diam diam Tian Mong-pek tertawa dingin, sudah kelewat jemu dia saksikan kemunafikan di dunia nyata.
Siapa sangka biarpun obat luka luar yang dibeli mahal dan berkwalitas nomor satu, kemanjurannya tak bisa diandalkan, dua hari kemudian secara tiba tiba luka ditubuh Kiong Ling-ling kambuh lagi, sekujur tubuhnya panas tinggi, biarpun nona kecil itu menggigit bibir dan enggan merintih, toh tak dapat menutup penderitaan yang terpancar dari balik matanya.
Menyaksikan hal itu Tian Mong-pek merasa gelisah bercampur sedih, apalagi sewaktu membayangkan sikapnya yang teguh sewaktu berada dalam ruang utama waktu itu, ia merasa lebih sedih lagi.
Dia segera mencari tahu tabib paling terkenal yang ada dikota Mo-sik, saat itu sang tabib masih tertidur nyenyak, melihat dandanan Tian Mong-pek yang dekil dan miskil, orang itu segera menampik: "Saat ini sudah tengah malam, silahkan mencari ke tempat lain!" Sikap angkuh sang tabib membuat Tian Mong-pek naik pitam, teriaknya: "Saat ini keselamatan jiwanya terancam, mau berangkat tidak?" Sambil mengancam, "Blaaam!" dia hajar meja disisinya hingga hancur.
Melihat kelihayan anak muda itu, tentu saja sang tabib tak berani menampik, sambil diam diam mengumpat terpaksa dia pun ikut berangkat ke rumah penginapan.
Setelah memeriksa keadaan luka Kiong Ling-ling, keningnya berkerut makin kencang, ujarnya kemudian: "Tiga inci saja dari posisi luka sekarang, nadinya bakal .
. . . . . .." "Asal tidak melukai nadinya, berarti dia bisa tertolong" tukas Tian Mong-pek kegirangan.
"Justru kalau nadinya terluka, dia tak perlu banyak menderita" II "Jadi kalau begitu dia.....
dia . . . . . .. "Maaf kalau kepandaianku tak tinggi sehingga tak sanggup mengobatinya, maaf, maaf....." seru tabib itu sambil buru buru memberi hormat.
Menyaksikan tingkah laku tabib ini, tanpa terasa Tian Mong-pek jadi teringat dengan Chin Siu-ang yang memuakkan, rasa sedih bercampur gusar kembali menyelimuti hatinya.
Tabib itu tak berani banyak bicara, cepat cepat dia ambil peti obatnya dan kabur dari situ.
Dengan sedih Tian Mong-pek berusaha mengundang berapa orang tabib lagi, tapi hampir semuanya segera pergi tanpa meninggalkan resep.
Menyaksikan kenyataan ini, biarpun Tian Mong-pek berusaha mengubur nona cilik itu, namun tanpa terasa air mata bercucuran membasahi pipinya.
Tiba tiba Kiong Ling-ling menggenggam pergelangan tangannya dan berkata pedih: "Paman, kau tak usah sedih, nasibku memang jelek, mungkin umurku tak bakal panjang" Biarpun masih kecil usianya, namun ia sanggup mengucapkan perkataan semacam itu, Tian Mong-pek merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris, apalagi sebutan paman kepadanya, membuat ia tambah terharu.
Buru buru ia seka air matanya lalu sambil tertawa paksa ujarnya: "Siapa bilang nasibmu jelek" Siapa bilang umurmu pendek" Thian pasti akan melindungi bocah pintar semacam dirimu" Cepat Kiong Ling-ling menggeleng, "Paman, kau tak usah menghiburku" katanya, "padahal aku sama sekali tak sedih, hanya sedikit heran, kenapa yaya belum juga muncul disini?"
Belum selesai bicara, tiba tiba dia membalikkan tubuhnya, Tian Mong-pek menyaksikan bahunya bergetar kencang, ia tahu nona itu tak ingin melelehkan air mata dihadapannya, dia tak pernah memikirkan keselamatan sendiri, tapi diapun tak ingin orang lain bersedih hati karena dirinya.
Kontan Tian Mong-pek merasakan hawa panas bergelora dalam dadanya, dengan suara keras teriaknya: "Ling-ling, kau tak bakal mati, bila paman tak dapat selamatkan jiwamu, paman pun tak ingin hidup" Dengan langkah lebar dia beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Malam sudah kelam, seorang diri Tian Mong-pek berjalan mondar mandir ditengah jalan, biarpun dia seorang jagoan, biarpun dia memiliki keberanian yang luar biasa, namun saat ini dia tak berani menatap sepasang mata si nona yang basah oleh air mata, sebab dia sendiripun tak tahu harus menggunakan cara apa untuk selamatkan nyawa nona kecil yang menawan itu, merebutnya dari cengkeraman malaikat elmaut.
Angin malam sudah lewat, bintang pun telah berguguran, secerca cahaya putih kembali muncul diufuk timur, lambat laun mulai tampak manusia yang berlalu lalang dijalan raya, menyaksikan tingkah laku Tian Mong-pek, hampir semua orang menyangka dia adalah orang tak waras, semakin tak ada yang berani menghampirinya.
Tiba tiba terdengar suara teriakan keras memecebu dalam ruang kamar, dengan lembut bisik Tian Mong-pek: "Ling-ling, apakah kau merasa lebih sehat .
. . . . . . .." Tiba tiba ia tertegun, pembaringan tampak kacau tak karuan, daun jendela terbuka lebar, sementara bayangan tubuh Kiong Ling-ling sudah lenyap tak berbekas.
Tak terlukiskan rasa kaget Tian Mong-pek menghadapi kejadian ini, sementara hatinya panik, tiba tiba terlihat selembar kertas diletakkan dibawah tindihan poci teh, diatas kertas tadi tertera dua baris tulisan yang kelihatan ditinggalkan secara terburu buru.
Cepat Tian Mong-pek menyambar kertas itu dan membaca tulisan yang tertera: "Paman, selama berapa hari aku telah merepotkan dirimu, kini aku pergi mencari yaya, aku tahu, kemungkinan besar aku tak pernah akan bisa bertemu lagi dengan dia orang tua, tapi aku berharap bisa mencari sebuah tempat yang tenang untuk mati, aku percaya, mau dibumi atau di langit, suatu saat nanti aku pasti dapat bertemu dengan dia orang tua, bukankah begitu paman?" Gaya tulisannya sangat kekanak-kanakan, jelas muncul dari tangan seorang bocah yang belum dewasa, namun nadanya begitu berat penuh kepedihan, jauh lebih berat dari nada seorang dewasa.
Tian Mong-pek merasakan tangannya gemetar keras, hatinya pedih bagai diiris iris, ke empat anggota badannya lemas tak bertenaga, akhirnya ia jatuh terduduk di bangku.
Mendadak terdengar gelak tertawa berkumandang dari luar pintu, seorang lelaki tinggi kekar berwajahbelah kanan telah berkata sambil tertawa: "Saudara Seebun, lelaki itu seperti orang kehilangan ingatan, mana mungkin kau bisa mengenalnya" Salah orang mungkin?" Lelaki disebelah kiri itu kembali menggeleng.
"Biasanya hanya manusia luar biasa yang memiliki ketajaman mata seperti itu, aaai, padahal aku yakin pernah bertemu orang ini, apa mau dibilang untuk sesaat aku tak bisa mengingat ingat siapa gerangan dirinya" Orang ini berwajah merah, berperawakan tinggi tegap dan tampak penuh wibawa, namun pakaian yang dikenakan terlihat mewah dan indah, tingkah lakunya seperti seorang kongcu berduit yang sedang berpesiar.
Dengan termangu Tian Mong-pek mengawasi bayangan punggung kedua orang itu semakin menjauh, sementara suara teriakan keras kembali bergema membelah keheningan.
"Wi . . . . . . . .. Ceng . . . . . .. Pat . . . . . .. Hong" seru lelaki yang bertubuh pendek.
Sementara lelaki bertubuh tinggi segera menyambung: "Singa selatan Seebun, singa utara Tonghong, sepasang singa dunia persilatan, menggetarkan delapan penjuru .
. . . . . . . . . .." Diam diam Tian Mong-pek menghela napas, ditengah teriakan nyaring, dia menyelinap masuk ke dalam losmen dan kembali ke dalam kamarnya.
Cahaya fajar mulai menyusup masuk lewat jendela, menerangi lapisan dnapas panjang: "Kenapa tidak kau katakan sedari tadi .
. . . .. aaai! Kalau urusan sudah jadi begini, apa lagi yang bisa diucapkan" Masih untung dia hanya seorang bocah perempuan, apalagi sebatang kara, rasanya tak akan pergi terlalu jauh.
Keponakan Tian, lebih baik kau pulang bersamaku, nanti biar kuperintahkan anak buah untuk melacak jejaknya, aku yakin pasti akan ditemukan" Dengan perasaan bimbang Tian Mong-pek mengangguk dan beranjak keluar dari kamar, sesungguhnya dia memang tak pandai menolak niat baik orang, apalagi saat ini sedang letih, lelah, lesu dan pedih, pada hakekatnya dia kehilangan rasa percaya diri.
Perusahaan ekspedisi Ang-say-piaukiok memang sebuah perusahaan yang besar dan megah, belum masuk ke pintu, Seebun Say telah perintahkan orang untuk siapkan perjamuan.
Sudah cukup lama Tian Mong-pek hidup sengsara penuh fitnah, keramah tamahan orang itu seketika membuatnya sangat terharu.
Setelah meneguk berapa cawan arak, Seebun Say baru berkata: "Sesudah menghantar barang ke wilayah Wan-lam kali ini, aku memang berencana untuk tidak menerima pengawalan dulu, bagaimana kalau kutemani keponakan Tian untuk beristirahat selama berapa hari lebih dulu, ll kemudian .
. . . . . . .. "Apakah jisiok berhenti bertransaksi karena masalah panah kekasih?" tanya Tian Mong-pek.
Kembali paras muka Seebun Say berubah, kemudian sahutnya sambil menghela napas panjang: "Betul .
. . . .. hari itu, aku bertemu Lau-san-sam-gan ditengah jalan, dari mulut Ho bersaudara lah aku baru mendapat tahu kalau ayahmu telah tertimpa musibah.
Aaai! Hujan angin merontokkan banyak daun dan bunga, yang tua pun sudah pada berangkat pulang.
Dunia persilatan dimasa mendatang tampaknya harus tergantung pada jago jago muda macam keponakan Tian" Pucat pasi paras muka Tian Mong-pek, baru saja akan bicara, terlihat seorang piausu berjalan masuk ke dalam ruangan lalu membisikkan sesuatu disisi telinga Seebun Say.
Dengan mata mendelik Seebun Say menghardik: "Sejak kapan dia tiba disini" Atas persetujuan siapa dia diijinkan tinggal disini?" "Jiya tiba kemarin malam, katanya mau tinggal disini, tak seorang pun anggota piaukiok yang berani menentangnya" Seebun Say mendengus dingin.
"Apakah sekarang ia sudah bangun?" tanyanya.
Demi menjamu Tian Mong-pek, sejak tiba dirumah, orang ini belum kembali ke ruang belakang untuk membersihkan badan, sementara piausu yang pulang bersamanya justru sudah tampil bersih dan rapi.
Baru selesai pertanyaan itu diucapkan, dari serambi samping terdengar seseorang menyahut: "Ketika siaute mendengar toako telah kembali dan sedang minum arak, sengaja aku menyusul kemari, sekalian ingin kuperkenalkan seorang sahabat kepada toako" Suara orang itu tajam, melengking dan tertawanya menyeramkan, begitu mendengar suara tersebut, paras muka Tian Mong-pek berubah hebat.
Tirai pintu disingkap orang dan muncullah dua orang manusia, yang seorang berperawakan tinggi, berwajah kuning keemas emasan seperti orang yang berpenyakitan, sedangkan seorang lagi berperawakan pendek, bermata licik dan berpipi kempot.
Ternyata mereka tak lain adalah Kim-bin-thian-ong Li Koan-eng serta Pit-sang-seng-hoa Seebun Ho.
Biarpun menunjukkan wajah tak senang hati, Seebun Say bangkit berdiri juga sambil berkata: "Rasanya tak perlu diperkenalkan lagi, aku kenal juga dengan saudara Li, hanya tidak kusangka kenapa kau bisa sejalan dengan saudara Li?" Seebun Ho tertawa terkekeh.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahahaha.... Li-heng, tak kusangka ternyata kaupun kenal dengan toako ku, itulah toako ku, selalu baik dengan siapa pun kecuali terhadap adik sendiri .
. . . . . .." Tiba tiba ia saksikan paras muka Li Koan-eng berubah hebat, tanpa terasa dia ikut menengok ke belakang tubuh Seebun Say, begitu melihat sepasang mata Tian Mong-pek yang tajam, perasaan hatinya bergetar keras, tanpa terasa jeritnya: "Tian Mong-pek, kau.....
ternyata kau belum mati?" Tian Mong-pek tertawa dingin tanpa bergerak dari tempat duduknya.
Dengan tubuh gemetar keras teriak Li Koan-eng: "Bangsat she-Tian, kau....
kau bawa kemana dirinya?" Sambil berkata dia langsung menerjang ke hadapan anak muda itu.
Sambil menarik muka, Seebun Say menghadang jalan perginya.
"Li-heng" tegurnya, "kelihatannya kau sudah lupa berada dimana dirimu sekarang" Merah membara paras muka Li Koan-eng, teriaknya: "Bagus, bagus .
. . . . . .. bangsat she-Tian, kalau punya nyali, ayoh keluar!" Sebetulnya dia sedang mencari jejak Tan Cia-li, siapa pun tak mengira kalau perempuan jalang itu telah mampus ditengah hutan, tertotok jalan darah kematiannya oleh Sun Giok-hud.
Sepanjang perjalanan dari Hangciu hingga kota Mo-sik, tak heran kalau emosinya langsung meluap begitu melihat kehadiran Tian Mong-pek disitu.
Sambil tertawa dingin teriak Seebun Ho pula: "Tempo hari kau berhasil kabur, akan kulihat kali ini kau bisa kabur lagi tidak?" Kedua orang itu bergerak cepat, satu dari kiri yang lain dari kanan, langsung merangsek ke hadapan Tian Mong-pek.
"Tahan!" hardik Seebun Say sambil menggebrak meja.
Il "Toako, kau . . . . .. "Siapa toakomu" Aku Seebun Say masih belum pantas mempunyai saudara macam kau.
Kalau berani kurangajar lagi, silahkan keluar dari tempat ini!" "Hmm, setelah berpisah banyak tahun, tak kusangka toako telah bersekongkol dengan seorang bajingan cabul .
. . . . .." ejek Seebun Ho sambil tertawa dingin.
Tiba tiba Tian Mong-pek bangkit berdiri lalu berjalan keluar dengan langkah lebar, diikuti Li Koan-eng dibelakangnya.
Hijau membesi paras muka Seebun Say, cepat dia melompat ke depan ikut berjalan keluar menuju halaman luar.
"Seebun-heng, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan ini!" bentak Li Koan-eng.
"Mau apa kau?" tegur Seebun Say gusar.
Dengan langkah lebar Li Koan-eng berjalan keluar dari pintu piaukiok, tiba diluar, ujarnya sambil berpaling: "Bangsat she-Tian, berani kau keluar dari sana?" "Keponakan Tian, tunggu dulu .
. . . . . .." cegah Seebun Say.
Tian Mong-pek tidak menggubris, dengan cepat dia berjalan keluar dari pintu gerbang.
Li Koan-eng segera merentangkan lengannya melancarkan serangkaian pukulan gencar, melihat itu Seebun Say segera menghadang sambil menangkis, berkobarlah pertarungan sengit diantara mereka berdua.
ah toako ku, selalu baik dengan siapa pun kecuali terhadap adik sendiri .
. . . . . .." Tiba tiba ia saksikan paras muka Li Koan-eng berubah hebat, tanpa terasa dia ikut menengok ke belakang tubuh Seebun Say, begitu melihat sepasang mata Tian Mong-pek yang tajam, perasaan hatinya bergetar keras, tanpa terasa jeritnya: "Tian Mong-pek, kau.....
ternyata kau belum mati?" Tian Mong-pek tertawa dingin tanpa bergerak dari tempat duduknya.
Dengan tubuh gemetar keras teriak Li Koan-eng: "Bangsat she-Tian, kau....
kau bawa kemana dirinya?" Sambil berkata dia langsung menerjang ke hadapan anak muda itu.
Sambil menarik muka, Seebun Say menghadang jalan perginya.
"Li-heng" tegurnya, "kelihatannya kau sudah lupa berada dimana dirimu sekarang" Merah membara paras muka Li Koan-eng, teriaknya: "Bagus, bagus .
. . . . . .. bangsat she-Tian, kalau punya nyali, ayoh keluar!" Sebetulnya dia sedang mencari jejak Tan Cia-li, siapa pun tak mengira kalau perempuan jalang itu telah mampus ditengah hutan, tertotok jalan darah kematiannya oleh Sun Giok-hud.
Sepanjang perjalanan dari Hangciu hingga kota Mo-sik, tak heran kalau emosinya langsung meluap begitu melihat kehadiran Tian Mong-pek disitu.
Sambil tertawa dingin teriak Seebun Ho pula: "Tempo hari kau berhasil kabur, akan kulihat kali ini kau bisa kabur lagi tidak?" Kedua orang itu bergerak cepat, satu dari kiri yang lain dari kanan, langsung merangsek ke hadapan Tian Mong-pek.
"Tahan!" hardik Seebun Say sambil menggebrak meja.
Il "Toako, kau . . . . .. "Siapa toakomu" Aku Seebun Say masih belum pantas mempunyai saudara macam kau.
Kalau berani kurangajar lagi, silahkan keluar dari tempat ini!" "Hmm, setelah berpisah banyak tahun, tak kusangka toako telah bersekongkol dengan seorang bajingan cabul .
. . . . .." ejek Seebun Ho sambil tertawa dingin.
Tiba tiba Tian Mong-pek bangkit berdiri lalu berjalan keluar dengan langkah lebar, diikuti Li Koan-eng dibelakangnya.
Hijau membesi paras muka Seebun Say, cepat dia melompat ke depan ikut berjalan keluar menuju halaman luar.
"Seebun-heng, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan ini!" bentak Li Koan-eng.
"Mau apa kau?" tegur Seebun Say gusar.
Dengan langkah lebar Li Koan-eng berjalan keluar dari pintu piaukiok, tiba diluar, ujarnya sambil berpaling: "Bangsat she-Tian, berani kau keluar dari sana?" "Keponakan Tian, tunggu dulu .
. . . . . .." cegah Seebun Say.
Tian Mong-pek tidak menggubris, dengan cepat dia berjalan keluar dari pintu gerbang.
Li Koan-eng segera merentangkan lengannya melancarkan serangkaian pukulan gencar, melihat itu Seebun Say segera menghadang sambil menangkis, berkobarlah pertarungan sengit diantara mereka berdua.
Bab 8. Bunga cantik bunga latah.
Li Koan-eng segera mempergencar serangannya, dengan penuh amarah bentaknya: "Seebun Say, aku telah memberi muka kepadamu dengan meninggalkan kantor piaukiok, kenapa kau masih banyak urusan?" Sementara berbicara, dia menghindari Seebun Say dan menerjang ke hadapan Tian Mong-pek.
Tanpa bersuara maupun berbicara, sambil menggigit bibir Tian Mong-pek berkelit ke samping menghindarkan diri dari ancaman itu.
Seebun Say membentak gusar, mendadak....
"Tringg!" d ari belakang tubuhnya berkumandang suara dentingan, Seebun Ho dengan sepasang senjata pit nya telah merangsek hingga ke belakang tubuhnya, terdengar jagoan itu menegur ketus: "Toako, lebih baik jangan mencampuri urusan kami! Tian Mong-pek bajingan II cabul ini .
. . . . .. "Kentut, kaulah bajingan cabul!" tukas Seebun Say gusar, sebuah tendangan langsung dilontarkan ke tubuh Li Koan-eng, sedang kepalannya menghantam Seebun Ho.
"Bagus, kalau kau bersikeras ingin turut campur dalam urusan ini, II terpaksa siaute bersikap kurangajar kata Seebun Ho, senjata pit kirinya menotok Tian Mong-pek sementara pit kanannya menutul urat nadi Seebun Say.
Dalam waktu singkat berkobarlah pertarungan sengit antara ke empat orang ini, begitu ramainya pertempuran itu sehingga mengundang kemunculan anggota perusahaan lainnya, namun kawanan piausu itu hanya bisa berdiri melengak tanpa tahu harus membantu pihak yang mana.
Sekonyong-konyong terdengar suara derap kaki kuda yang ramai bergema tiba dari ujung jalan, seekor kereta mewah yang dihela delapan ekor kuda muncul dari balik gulungan debu, di belakang kereta itu mengintil pula delapan ekor kuda.
sebagai kusir kereta adalah seorang lelaki berpakaian ringkas, walaupun ia melihat terjadinya pertempuran ditengah jalan, bukan saja lari kereta tidak dihentikan, sebaliknya dia malah mengayunkan cambuknya menghajar ke empat ekor kuda yang berada didepan.
Lari kereta pun bertambah kencang, bagaikan kilatan cahaya petir langsung menerjang ke tengah arena pertempuran.
"Hei kusir, sudah buta kau?" jerit kawanan lelaki yang berdiri di depan pintu kantor piaukiok dengan perasaan kaget.
Saat itu posisi Li Koan-eng serta Seebun Ho sudah berada dibawah angin, ketika Seebun Ho melihat pukulan yang dilancarkan Tian Mong-pek begitu dahsyat dan susah dihadapi, baru saja dia akan menghindar, kereta kuda telah menerjang tiba dengan kecepatan tinggi.
Dalam terkejutnya dia melompat ke udara lalu hinggap dipunggung kuda penghela kereta.
"Kurangajar, kau mencari mati?" umpat sang kusir gusa r, cambuknya langsung diayunkan ke muka.
Cepat Seebun Ho menangkis dengan senjata pit nya kemudian berusaha menggulung cambuk itu dan merebutnya.
Kereta kuda berlari tanpa berhenti, dalam waktu singkat ia telah berada berapa kaki dari posisi semula.
Seebun Say dan Tian Mong-pek membentak gusar, dengan cepat mereka melesat ke depan melakukan pengejaran, sementara para piausu yang menonton disamping arena ikut berebut keluar, suasana dijalan raya pun berubah jadi kalut.
Seebun Ho membentak keras, dia tarik sang kusir hingga terjatuh dari tempat duduknya, kusir itu melepaskan tali les dan jatuh terguling diatas tanah.
Dengan sekali lompatan Seebun Say naik ke tempat duduk kusir lalu menarik tali les kuda kuat kuat, sementara Tian Mong-pek segera mencengkeram roda kereta dan menahannya.
Diiringi ringkikan panjang ke delapan ekor kuda itu segera menghentikan larinya.
"Cari mampus!" umpat lelaki kusir itu gusar, dia mengayunkan tangannya membabat pergelangan tangan Tian Mong-pek.
Baru saja anak muda itu hendak membalik pergelangan tangan untuk balas mencengkeram, saat itulah lelaki tadi telah melihat jelas paras muka Tian Mong-pek, mendadak dia batalkan serangannya sambil menjerit: "Ternyata kau!" "Aaah, rupanya kau!" teriak Tian Mong-pek pula, untuk sesaat kedua orang itu berdiri tertegun, rupanya lelaki tersebut tak lain adalah Hong Ku-bok.
Delapan orang lelaki kekar yang menunggang delapan ekor kuda dibelakang kereta, kini sudah berlompatan turun, ada yang langsung bertarung melawan piausu, ada pula yang tetap duduk diatas kuda sambil mencambuki siapa pun yang dijumpai, sementara sang kusir yang terjatuh masih tergeletak di tanah dengan wajah bengkak, untuk sesaat dia tak sanggup berdiri kembali.
Setelah berhasil menghentikan layu kereta, dengan gusar kembali Seebun Say menghardik: "Kawanan manusia buas dari mana yang berani membuat keonaran didepan ang-say piaukiok!" Tiba tiba terdengar bentakan bergema dari balik kereta, menyusul terbukanya pintu, muncul seorang pemuda berwajah putih, berbaju sutera halus dan mengenakan sebuah ikat pinggang berwarna merah membara.
Saat itu dia bersandar dipintu kereta dengan membiarkan kaki sebelah tetap menginjak di lantai kereta, ujung bajunya digulung tinggi, pada ibu jari tangan kirinya mengenakan sebuah cincin jamrud sementara tangan kanannya memegang sebuah huncwe yang terbuat dari batu kumala hijau.
Begitu melihat kemunculan pemuda perlente itu, ke delapan lelaki kekar itu serentak berdiri serius dengan kepala tertunduk dan tidak berani bergerak lagi.
Sambil menuding wajah Seebun Say dengan huncwee kumala hijaunya, pemuda perlente itu menegur: "Jadi kau yang menghadang perjalanan kereta ku?" "Betul" jawab Seebun Say dengan hati panas, "mau apa kau?" II "Hahahaha,.....
bagus, ternyata kau bernyali besar kata pemuda itu sambil tertawa tergelak, dia segera melangkah turun dari kereta dan maju dengan langkah lebar.
Kalau dilihat dari dandanannya, orang ini mirip sekali dengan anak pembesar yang suka bertindak sewenang-wenang, tapi begitu berbicara, suaranya lembut dan halus seperti perempuan, apalagi dibalik kerlingan matanya, terselip kegenitan kaum hawa.
Ketika dia lewat dihadapan Tian Mong-pek, dengan kening berkerut segera serunya: "Cepat singkirkan tanganmu, jangan bikin kotor kereta milikku" Tian Mong-pek berang, sepasang alis matanya berkerut.
Belum sempat mengucapkan sesuatu, pemuda perlente itu sudah berpaling sambil menegur lagi: "Hong Ku-bok, kau kenal dengan orang ini?" Il "Hamba mengenalinya sebagai .
. . . . . . . .. sahut Hong Ku-bok dengan tangan lurus ke bawah.
"Sudah dia singkirkan tangannya?" tukas pemuda itu lagi.
II "Dia adalah putra sam hujin .
. . . . . .. "Apa?" pemuda perlente itu berseru keheranan, kembali dia amati Tian Mong-pek berapa kejap, kemudian gumamnya lagi, "heran, sungguh heran, setahuku, sam Ah-ie (bibi ke tiga) senang kebersihan, kenapa kau begitu kotor?" II "Apa urusan dengan dirimu .
. . . . . .. seru Tian Mong-pek gusar.
"Hong Ku-bok" teriak pemuda perlente itu keras, "carikan dua stel baju dan serahkan kepadanya, setiba dirumah nanti ada persoalan yang akan kutanyakan kepadanya" Kelihatannya orang ini tak pernah mau mendengarkan pembicaraan orang hingga selesai, setiap kali orang baju bicara separuh jalan, dia langsung menukasnya.
Seebun Say jadi keheranan sewaktu melihat pemuda itu seolah menganggap Tian Mong-pek sebagai familinya, sambil menahan kobaran emosi, ujarnya dengan suara berat: II "Cayhe Seebun Say adalah .
. . . . .. "Tak perlu kau lanjutkan" potong pemuda itu sambil mengayukan huncwee nya, "sebetulnya aku ingin minta kalian untuk bersujud dihadapanku, tapi lantaran dia adalah putra Sam Ah-ie, baiklah, anggap saja kalian sedang beruntung" Kemudian sambil menoleh teriaknya: "Beri dia seekor kuda, kita segera berangkat" Perintahnya selalu disampaikan dengan cepat dan tergesa-gesa, pada hakekatnya tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk bicara, dia seolah menganggap orang lain sebagai hambanya.
Berkerut jidat Seebun Say, ujarnya: "Hmm, kebetulan aku pun sebenarnya ingin suruh kau bersujud minta maaf, tapi karena kau kenal dengan keponakan Tian, terpaksa aku pun ampuni dirimu" "Apa kau bilang?" teriak pemuda itu gusar.
"Apa yang kau katakan, itu pula yang kukatakan!" Pemuda perlente itu mengernyitkan alis matanya, tiba tiba huncwee kumala hijaunya disertai cahaya hijau yang menyilaukan mata, bagai malaikat langit yang terjun ke bumi, langsung dihantamkan keatas kepala Seebun Say.
Agak kaget Seebun Say mengigos ke samping lalu mundur sejauh berapa langkah.
Pemuda perlente itu tertawa terbahak-bahak, ejeknya: "Hahahaha, .
. . . .. biarpun nyalimu besar, sayang kungfu mu amat cetek, padahal dalam seranganku tadi sengaja kuperlihatkan empat titik kelemahan, asal kau bisa melihat satu saja, sebetulnya cukup untuk mengalahkan aku.
Huuh, kalau hanya mengandalkan ilmu silat semacam itu mah belum pantas untuk bertarung melawanku" Tanpa berpaling lagi ke arah Seebun Say, dia tepuk bahu Tian Mong-pek dan katanya lagi sambil tertawa: "Cepat naik kuda, mari kita pergi!" Belum lagi selesai berbicara, Li Koan-eng sambil membentak keras telah menerjang maju, teriaknya: "Biar kubunuh orang itu lebih dahulu, kau boleh bawa pergi batok kepalanya" "Memang kau anggap kungfu mu lebih hebat dari manusia bermuka merah itu?" ejek Hong Ku-bok.
"Aku mempunyai dendam sedalam lautan dengan bangsat she-Tian itu, biar kungfu mu sepuluh kali lebih hebat pun, aku tetap akan beradu nyawa denganmu" II "Hahahaha....
sungguh bodoh orang ini kata pemuda perlente itu sambil tertawa terbahak, "kalau kungfumu sepuluh kali lebih hebat dari kepandaian orang, buat apa musti beradu nyawa" Tangannya digetarkan, lagi lagi selapis cahaya hijau memancar keluar dari huncwee kumala hijau itu, Li Koan-eng melihat ada berapa titik kelemahan muncul dari balik lapisan cahaya tersebut, sambil memaku kakinya ditanah, dia pentang ke lima jari tangannya dan berusaha mencengkeram senjata lawan.
"Goblok, kau tertipu!" seru pemuda itu sambil tertawa tergelak.
Tangannya dibalik, dengan ujung huncwee nya dia ketuk jalan darah Kian-cing-hiat dibahu lawan, seketika itu juga Li Koan-eng tertotok kaku dan tak mampu berkutik lagi.
"Ilmu totokan ku ini sangat khas dan tiada orang yang mampu membebaskannya, lebih baik berdirilah tenang disitu selama berapa jam" ujar pemuda perlente itu lagi, "bila ada yang mencoba membebaskan pengaruh totokannya hingga mengakibatkan ia luka dalam, jangan salahkan aku tidak menjelaskan lebih dulu" Kemudian sambil menaik ke punggung kudanya, tiba tiba ia berpaling sambil menegur lagi: "Kenapa kau belum naik kuda?" "Kau suruh aku naik kuda dan mengikutimu?" tanya Tian Mong-pek.
"Betul sekali, setelah kau berganti pakaian bersih, ada banyak persoalan yang ingin kutanyakan kepadamu" Tian Mong-pek segera mendongakkan kepalanya tertawa keras.
"Hahaha..... kau anggap aku kotor" Padahal aku justru menganggap kau lebih kotor, kalau ingin menanyakan sesuatu, lebih baik lepas dulu pakaianmu, biar kuendus apakah badanmu berbau atau tidak?" Karena merasa pemuda itu kelewat jumawa dan tekebur, tanpa terasa semua hawa amarahnya dilampiaskan keluar, tanpa sadar ucapan yang dilontarkan pun sangat melecehkan lawannya.
Berubah hebat paras muka Hong Ku-bok, serunya gugup: "Tian kongcu, ji-kiongcu hanya bermaksud baik kepadamu, kenapa kau begitu tak tahu sopan?" Gelak tertawa Tian Mong-pek terhenti seketika, tanyanya tercengang: "Kiongcu" Jadi dia.....
dia seorang wanita?" Kawanan jago lainnya merasa lebih tercengang, biarpun tak banyak jago persilatan yang menggunakan pipa huncwee sebagai senjata penotok jalan darah, namun belum pernah ada seorang wanita pun yang memakai senjata semacam ini.
"Benar!" terdengar Hong Ku-bok menyahut dengan nada serius.
Sorot mata semua orang serentak dialihkan kembali ke wajah "Ji kiongcu".
Bukannya marah, pemuda perlente itu malah tertawa terbahak bahak, katanya: "Tadinya aku masih belum percaya kalau kau adalah putra Sam Ah-ie, tapi setelah melihat tabiatmu sekarang, aku yakin kalau dugaan itu benar, wataknya sama sekali tak berbeda dengan watak Sam Ah-ie, sini, sini, sini, akan kubiarkan kau mengendus badanku, coba dibuktikan badanku bau tidak?" Tian Mong-pek termangu, tanpa terasa paras mukanya berubah jadi merah padam.
Sambil tertawa, kembali Ji-kiongcu berkata: "Kalau tak berani mengendus, lebih baik ikutlah aku, kalau menampik lagi, kelihatan kalau kau tak berjiwa seorang lelaki" Selama hidup belum pernah Tian Mong-pek menjumpai perempuan yang begitu tak acuh, untuk sesaat dia malah melengak dan tak mampu berkata kata.
Dalam pada itu Seebun Say diliputi perasaan heran be rcampur tak habis mengerti, sebagai jago kawakan, dia dapat melihat kalau antara Tian Mong-pek dengan perempuan itu pasti memiliki hubungan yang luar biasa.
Maka setelah berpikir berapa saat, ujarnya: "Keponakan Tian, bila kutemukan bocah perempuan itu, akan kutahan disini sambil menunggu kedatanganmu" Piausu lainnya yang berada disekitar tempat itu buru buru ikut menimbrung: "Betul, betul, Tian kongcu tak usah kuatir.....
silahkan pergi bersama Kiongcu itu" Sesudah tertegun berapa saat, akhirnya tanpa menguca pkan sepatah kata pun dia melompat naik ke atas punggung kuda siap berlalu dari situ.
Li Koan-eng yang tertotok jalan darahnya hanya bisa mendelik dengan peluh membasahi tubuhnya, dia sama sekali tak mampu bergerak.
Seebun Ho yang sadar akan kelihayan ilmu silat perempuan itupun tak berani banyak bicara, dia hanya membungkam sambil berdiri tak bergerak.
"Brakkkk!" tampak perempuan itu menutup pintu keretanya, sang kusir yang terbanting tadi, kini sudah merangkak bangun dan naik ke tempat duduknya, maka sambil melarikan kudanya, diam diam ia mengumpat: "Dasar budak budak pengawal barang, tak seorang pun manusia baik baik" Memandang hingga bayangan kereta lenyap diujung jalan, Seebun Ho segera meludah sambil menyumpah: "Laki tidak, perempuan tidak, dasar siluman!" Sambil membopong tubuh Li Koan-eng, dia siap masuk kembali ke dalam gedung perusahaan piaukiok.
Sambil menarik wajahnya bentak Seebun Say: "Hubungan persaudaraan kita sudah putus, bila kau berani melangkah masuk ke dalam gedungku, jangan salahkan kalau aku bunuh dirimu" Seebun Ho berpaling, ia jumpai para piausu yang berada disekeliling sana sedang memandang kearahnya dengan pandangan muak, maka sahutnya kemudian sambil tertawa dingin: "Pergi yaa pergi, jangan sampai besok kau merasa menyesal" "Enyah!" bentak Seebun Say gusar, satu tonjokkan dilontarkan ke muka.
Buru buru Seebun Ho mundur berapa langkah, sambil kabur serunya diiringi suara tertawa dingin: "Satu jurus serangan orang lain saja tak bisa menemukan titik kelemahannya, apa guna bergaya sok terhadap adik sendiri .
. . . .." Melihat Seebun Say maju mengejar, ia tak berani melanjutkan lagi kata katanya, dengan cepat kabur dari situ.
Jalanan itu sangat sepi, tapi begitu belok satu gang, suasana berubah jadi ramai sekali.
Sambil membopong Li Koan-eng, Seebun Ho menghela napas berulang kali, keluhnya: "Coba lihat saudara Li, dia bersikap begitu tega terhadap saudara kandung sendiri, padahal sikap siaute terhadapmu jauh lebih baik.
Coba bukan lantaran kau adalah sahabat sehidup sematiku, tak nanti siaute akan mengalami kejadian seperti hari ini, aku berharap dikemudian hari kau...." Sambil bergumam, dia berjalan masuk ke dalam sebuah losmen, mendadak terlihat seorang kakek berbaju hijau sedang melangkah keluar dari balik pintu, begitu bertatapan muka, dia segera mengenalinya sebagai Tu Hun-thian.
Kontan saja dia menghentikan perkataannya sambil berusaha menghindar.
Agak berubah paras muka Tu Hun-thian setelah mengetahui siapa ke dua orang itu, bentaknya gusar: "Kemari kalian!" Walaupun Seebun Ho tidak tahu kalau Sun Giok-hud telah menuduhnya sebagai lelaki yang selingkuh dengan Tan Cia-li, bagaimana pun dia keder juga karena dalam hati kecilnya memang tersimpan rencana lain, kuatir tak bisa meloloskan diri, cepat dia letakkan Li Koan-eng ke lantai kemudian melarikan diri terbirit birit.
Sungguh sebuah ironi, belum lama dia mengatakan kalau dirinya adalah sahabat sehidup semati, siapa tahu saat ini dia justru kabur terlebih dulu tanpa pedulikan nasib temannya.
Menanti Tu Hun-thian menyusul keluar pintu, bayangan tubuh Seebun Ho sudah lenyap dibalik keramaian orang, tentu saja ditengah hari bolong begini, tak leluasa baginya untuk melakukan pengejaran.
Balik ke samping Li Koan-eng, umpatnya sambil tertawa dingin: "Goblok, dungu, kau menganggap lelaki cabul sebagai sahabat karib, bahkan menfitnah orang lain tanpa bukti, coba bukan lantaran kau sudah cukup menderita, lohu tak bakal mengampunimu" Sembari berkata, dia lepaskan satu tendangan ke tubuh Li Koan-eng.
Sebetulnya tendangan itu bermaksud akan membebaskan Li Koan-eng dari pengaruh totokan, siapa tahu orang itu sudah tertotok oleh ilmu khas dari lembah Tee-ong-kok (Lembah kaisar), meski tak mampu berkutik, namun Li Koan-eng dapat mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas.
Begitu tahu apa yang terjadi, Li Koan-eng merasa terkejut bercampur gusar, pikirnya: "Goblok.....
dungu..... benarkah aku memang goblok?" tiba tiba ia merasakan tubuhnya bergetar keras, peredaran darahnya mengalir terbalik dan seketika itu juga jatuh tak sadarkan diri.
Setelah melepaskan satu tendangan dan melihat Li Koan-eng tetap tak bergerak, Tu Hun-thian merasa sangat keheranan, kembali bentaknya gusar: "Kau berlagak mampus?" Mendadak terlihat seorang pelayan berlarian mendekat sambil berteriak cemas: "Aduh celaka, loya, putrimu telah menentang pintu dan terbang keatas atap" "Dia.....
dia . . . . . . .." dengan kaget Tu Hun-thian mendepakkan kakinya berulang kali, tanpa melanjutkan kata katanya, ia segera lari menuju ke halaman belakang.
Perlu diketahui, selama ini Tu Kuan berada dalam keadaan tak sadar, bagi seorang gadis muda yang tak sadar ingatan, memang terlalu berbahaya bila dibiarkan luntang lantung seorang diri di luaran.
Li Koan-eng yang tergeletak tak sadarkan diri, sampai lama belum juga mendusin, keadaan ini membuat para pelayan losmen jadi panik seperti semut dalam kuali panas, akhirnya sang ciangkwee berkata: "Bagaimana jadinya kalau orang ini sampai mati di sini?" "Lebih baik kita gotong keluar dan buang ditempat lain" usul pelayan, "bagaimana pun juga .
. . . . .." Sang ciangkwee segera menyetujui usul itu, buru buru dia perintahkan dua orang pelayan untuk menggotongnya keluar.
Saat itulah tiba tiba muncul seorang gadis berwajah cantik melangkah masuk ke dalam losmen, setelah memandang sekejap tempat itu, tegurnya: "Apa yang sedang kalian lakukan?" Para pelayan yang merasa telah melakukan kesalahan pada bungkam tak menjawab.
Kembali gadis itu melirik Li Koan-eng sekejap, setelah memeriksa denyut nadinya, ia berkata: "Cepat bawa masuk ke dalam kamar" II "Tapi....
tapi . . . . .. "Orang ini belum mati, apakah kalian ingin melenyapkan jiwanya?" kembali nona itu membentak.
Melihat nona itu meski masih muda namun pakaiannya indah dan penampilannya gagah, pelayan itu tak berani membangkang lagi, terpaksa mereka hantar Li Koan-eng masuk ke dalam kamar.
Lewat dua jam kemudian, jalan darah Li Koan-eng terbebas dengan sendirinya, perlahan diapun siuman kembali.
Bagaikan baru mendusin dari impian buruk, betapa terperanjatnya ketika melihat ada seorang gadis cantik sedang duduk disampingnya.
Dalam sekilas pandang Li Koan-eng segera mengenali nona cantik itu sebagai istri muda kesayangan Mo-siau-to Go Jit, mereka pernah bersua ketika nona itu dikirim kepada Chin Siu-ang untuk diobati.
I "Go hujin' langsung jeritnya, "kenapa kau pun berada disini?" Mula mula nona cantik itu tertegun, kemudian balik tanyanya sambil tertawa: "Jadi kau kenal denganku?" "Berada dimana Go locianpwee sekarang?" tanya Li Koan-eng gugup.
"Dia mau berada dimana, apa urusannya denganku" Aku harap sejak sekarang jangan kau sebut lagi nama si tua bangka itu!" "Go hujin, kau.....
kau . . . . . .." Li Koan-eng keheranan.
"Aku bernama Beng Li-si, siapa bilang aku adalah istri si tua bangka itu?" kata gadis cantik itu sambil mengambil secawan teh panas dan dihantarkan ke sisi mulut Li Koan-eng.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal seingat Li Koan-eng, waktu itu Mo-siau-to Go Jit menaruh perhatian yang begitu besar terhadap gadis itu, bahkan melebihi nyawa sendiri, sama sekali tak disangka, hari ini, gadis tersebut justru memandangnya begitu hina.
Tanpa terasa dia membayangkan kembali kisah tragis yang dialaminya selama ini, bukankah diapun amat perhatian dan sayang kepa da Tan Cia-li" Tapi apa imbalan yang diperoleh" Penghianatan! Berpikir sampai disitu, timbul rasa gusar dan bencinya yang luar biasa, dia pun merasa penasaran untuk nasib yang dialami Go Jit.
Maka sambil menampik cawan teh itu, bentaknya gusar: "Nona, antara laki dan wanita ada batas-batasannya, harap kau sedikit menjauh" Mula mula Beng Li-si tertegun, tiba tiba sahutnya sambil tertawa: "Kalau sedang terluka dalam, lebih baik jangan marah" Gadis ini mempunyai wajah yang putih halus bagai kumala, kerlingan matanya bening bagai air, terutama sewaktu tertawa, keayuannya sungguh memikat, bila orang lain yang sedang duduk berhadapan dengannya, senyuman semacam ini tentu akan membuat lelaki mana pun tak sanggup mengendalikan diri.
Tapi bagi Li Koan-eng, senyuman jalang semacam ini justru mengingatkan dia dengan istri cabulnya, api amarah yang membara semakin berkobar, teriaknya lagi gusar: "Keluar, keluar, biar mati pun kau tak usah ikut campur, kalau tidak segera pergi dari sini, aku akan turun dari ranjang dan mengusirmu!" Suaranya kasar dan keras, sama sekali tidak memberi muka kepada nona itu.
Siapa sangka bukannya marah Beng Li-si malah tertawa makin manis, bujuknya: "Kalau ingin bicara, minumlah dulu air teh ini" Dia segera mengulurkan tangannya ke muka, memperlihatkan tangannya yang putih, halus dan mulus.
Dia turun tangan menolong Li Koan-eng sebetulnya hanya terdorong oleh rasa iba dan simpatik, tapi sikap Li Koan-eng yang seolah sama sekali tak tertarik oleh kecantikan wajahnya, justru membangkitk an rasa heran dan ingin tahunya.
Sebagaimana diketahui, ia sudah terbiasa dimanja Mo-siau-to, dalam anggapannya, semua lelaki dikolong langit akan menjadi hewan yang patut dikasihani setelah melihat kecantikan wajahny, hal ini menyebabkan sikap Mo-siau-to yang semakin baik kepadanya, ia justru merasa semakin muak.
Tak heran kalau perasaan hatinya jadi tergoyah setelah Li Koan-eng bersikap kasar, bahkan mencaci maki dirinya.
Dengan tangan sebelah dia rangkul tengkuk Li Koan-eng, sementara tangan yang lain memegang cawan teh, siapa tahu tiba tiba saja Li Koan-eng meronta bangun, sambil mendorong cawan itu kembali umpatnya: "Go locianpwee begitu gagah dan menyayangi mu, tak pernah menyakiti hatimu, kenapa kau justru bersikap begini" Kalau sampai perbuatanmu ketahuan dia, apakah kau masih punya muka jadi manusia?" "Memangnya kenapa kalau bertemu dia?" sahut Beng Li-si sambil tertawa, "usianya sudah pantas menjadi kakek ku, kalau bukan kabur secara diam-diam, memangnya aku musti ikuti dia sepanjang hidup!" Semakin berkobar hawa amarah Li Koan-eng, khususnya setelah tahu kalau perempuan itu sedang melarikan diri, sambil menuding wajahnya, ia memaki: "Kau.....
kau..... tak tahu malu! Benar-benar tak tahu malu!" "Jadi kau sedang memaki ku?" "Tentu saja sedang memakimu, kalau bukan kau yang kumaki, memang anjing yang sedang kumaki?" "Coba makilah berapa kata lagi .
. . . .. aaai! Selama hidup belum pernah kudengar orang lain memakiku, dalam hati kecil aku selalu membayangkan, betapa enaknya kalau dimaki orang" Hampir jatuh pingsan Li Koan-eng saking mendongkolnya, untuk sesaat dia sampai tak mampu berkata-kata.
Terdengar Beng Li-si berkata lagi: "Kini kau terluka, seorang diri pula, biarlah kutemani dirimu, paling tidak bisa menghilangkan kesepianmu, merawat luka mu, apa salahnya aku berbuat begitu" Memang aku kelewat jelek" Tak pantas mendampingimu?" Dengan memendam dendam pikir Li Koan-eng: "Orang lain telah menodai biniku, apa salahnya kalau kubalas menodai bini orang?" Berpikir sampai disitu, ujarnya kemudian sambil tertawa seram: "Jadi kau benar-benar ingin mengikuti aku?" Ketika menyaksikan wajahnya yang sedang gusar dengan sorot mata yang berkilat sungguh mencerminkan seorang lelaki, apalagi dibandingkan kelembutan dan perhatian yang berlebihan dari Mo-siau-to ternyata sama sekali bertolak belakang, dengan cepat Beng Li-si manggut manggut.
"Sudah terlalu banyak kujumpai perempuan jalang macam kau" ujar Li Koan-eng lagi, "jika ingin mengikuti aku, ingat, setiap saat mungkin aku bakal memakimu, setiap saat aku bisa meninggalkan dirimu, tapi kau sendiri tak boleh menipuku, berbohong sepatah kata pun tidak boleh, kalau tak mau, silahkan cepat menggelinding pergi dari sini" "Mana mungkin aku bakal menipumu?" sahut Beng Li-si sambil tertawa genit, II "yang kuinginkan hanya bisa merawat dan melayani kebutuhanmu .
. . . . . . . .. Semakin kasar Li Koan-eng mengumpat, perempuan ini merasa semakin kesemsem dengan kekasaran lelaki tersebut, betul saja, dia benar benar merawat dan melayani semua kebutuhan Li Koan-eng dengan baik.
Hampir setiap hari setiap waktu Li Koan-eng mencaci maki dirinya, seluruh rasa benci dan dendamnya terhadap Tan Cia-li boleh dibilang dilampiaskan semua ke tubuh perempuan jalang tapi bodoh ini.
Harus diketahui, hanya ada dua jenis perempuan jalang di dunia ini, kalau bukan teramat licik, biasanya orang itu pasti teramat bodoh.
Jadi lelaki yang pintar, selamanya tak pernah akan melupakan ke dua hal tersebut.
Oo0oo Kereta kuda berlari kencang, delapan orang lelaki menunggang enam ekor kuda, Hong Ku-bok pun telah naik kuda, jalan beriring dengan Tian Mong-pek.
Il II "Tian kongcu bisiknya ditengah jalan, "waktu itu .
. . . . . . .. Sebetulnya dia ingin sekali mencari tahu kabar berita dari si pedang bermata seribu, sayang Tian Mong-pek hanya mendengus tanpa bicara.
Kena batunya, terpaksa Hong Ku-bok berkata lagi sambil tertawa: "Sungguh aneh sekali, semenjak kejadian hari itu, majikanku Hun-ho juga pergi entah ke mana, beruntung sekali aku menjumpai Kiongcu, kalau tidak, mungkin akupun bakal ikut terlantar dalam dunia persilatan" Tian Mong-pek tetap bungkam tanpa menjawab, karena kehabisan daya, akhirnya Hong Ku-bok tidak berbicara lagi.
Setelah keluar kota, rombongan kereta kuda itu berjalan makin cepat, begitu terburu buru seolah sedang mengejar waktu.
Melihat itu Tian Mong-pek keheranan, sebetulnya dia ingin menanyakan hal ini kepada Hong Ku-bok, namun teringat baru saja ia membuat orang itu kebentur batunya, maka ia merasa kurang leluasa untuk mengajukan pertanyaan tersebut.
Lambat laun matahari mulai condong ke barat, setelah melewati seharian penuh tanpa makan apa pun, kini dia merasa lapar sekali, rasa lapar yang susah ditahan.
Tiba tiba terasa angin sejuk berhembus lewat, ketika mendongak, ia saksikan hamparan air bersambungan dengan kaki langit, ternyata mereka telah tiba disisi telaga Thay-ou.
Dikejauhan sana terlihat sampan dengan layar yang lebar sedang bergerak melawan arus, pemandangan alam yang terhampar sungguh indah menawan.
Sayang Tian Mong-pek sedang dipenuhi dengan berbagai masalah, dalam keadaan begini, mana mungkin dia punya minat untuk menikmatinya" Kembali rombongan kereta mengitari telaga berapa saat, tiba tiba Ji kiongcu menongolkan kepalanya dari balik kereta dan berseru sambil menuding ke depan: "Berhenti, sudah sampai!" Tian Mong-pek saksikan pepohonan nan hijau terbentang didepan mata, ternyata mereka telah tiba didepan sebuah kebun murbei yang amat luas, terlihat berapa orang gadis pemetik murbei sedang bekerja sambil tertawa.
Gadis gadis Kanglam memang tersohor karena kemolekan wajahnya, tapi kawanan gadis pemetik murbei itu tampak lebih cantik dan menawan.
Setelah turun dari kudanya dan menarik napas dalam dalam, ujar Ji-kiongcu: "Aku rasa disinilah tempatnya" Kemudian sambil berpaling, tegurnya: "Hei, siapa namamu?" Tian Mong-pek mendongak memandang angkasa, dia berlagak seolah tidak mendengar.
Hong Ku-bok yang berada disampingnya buru buru menjawab: "Kelihatannya nama lengkap Tian kongcu adalah Tian Mong-pek, Mong dari kata mimpi dan Pek dari kata putih" "Tian Mong-pek" Hahaha.....
apakah dalam mimpi mu, seringkali kau bertemu Li Pek?" ejek ji kiongcu sambil tertawa, "namamu sangat menarik" Tiba tiba Tian Mong-pek balik bertanya dengan suara keras: "Hei, siapa pula namamu?" Sembari berkata, dia melotot gemas ke arah Hong Ku-bok.
Kembali Ji kiongcu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... tidak perlu dijawab olehnya, biar aku beritahu sendiri namaku, aku bernama Siau Hui-uh, ingat baik baik namaku ini!" "Hmm, hujan pun dapat terbang?" ejek Tian Mong-pek ketus, "huhh, lucu, menarik!" II "Betul, menarik sekali, menarik sekali kata Siau Hui-uh tertawa, "kalau kau pergi menjumpai temanku dengan dandanan seperti ini, sudah pasti hilang daya tarikmu" "Siapa bilang aku akan menjumpai temanmu" Kalau ingin ajukan pertanyaan, tanyakan sekarang, kalau tak ada pertanyaan, aku segera akan pergi dari sini" "Karena kau putra Sam Ah-ik ku, sudah sewajarnya kurawat dirimu baik baik, masa membiarkan kau hidup miskin macam kere, bikin malu keluarga bibi ke tiga saja" "Jadi hanya itu yang ingin kau sampaikan?" sambil tertawa dingin Tian Mong-pek melompat turun dari kudanya, "selamat tinggal!" Dia menjura lalu siap beranjak pergi dari situ.
"Huh, seorang lelaki sejati selalu bertindak tegas, berbicara tegas dan pegang janji.
Kalau memang tak berani mengendus badanku, lebih baik ikuti aku saja pulang ke rumah, memang kenapa kau hendak kabur sekarang" Ooh, takut padaku" Lelaki macam kau memang tak akan menangkan seorang wanita" Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Aku pun tidak pernah bertemu perempuan macam kau" sahutnya sambil menghentikan langkah.
Siau Hui-uh tergelak nyaring.
Tanpa menghindar maupun berkelit, dia sambut datangnya serangan itu dengan sepasang kepalannya.
"Ayoh, keluarkan semua jurus pamungkasmu" ejek Siau Hui-uh, sambil miringkan badan, dia sapu urat nadi disisi telapak tangan lawan.
Siapa sangka, belum selesai dia melepaskan serangannya, Tian Mong-pek telah mendengus tertahan sambil roboh terjungkal, dari balik pepohonan terlihat bayangan manusia melintas, Liu Tan-yan dengan langkah genit telah munculkan diri.
"Kau . . . . . . .." seru Siau Hui-uh kaget.
"Aku takut cici mengotori tangan sendiri karena menyentuh tubuh budak itu, maka aku terpaksa menotok jalan darahnya lewat sebatang ranting, menghadapi manusia macam begini .
. . . . . . .." Berubah paras muka Siau Hui-uh, tukasnya: "Bebaskan jalan darahnya" "Aku.....
aku salah?" Liu Tan-yan melongo.
Nadanya lembut dan genit, membuat orang terasa iba.
Siau Hui-uh tak tega, katanya lagi sambil menghela napas: "Bagaimanapun juga, kau tidak seharusnya mencelakai orang dengan serangan bokongan!" "Aah, bagaimanapun dia masih bukan tandingan cici, apa yang kulakukan hanya membantu cici agar lebih hemat tenaga, masa dibilang membokong?" "Ketika dua orang sedang bertarung, bukan menang kalah yang diutamakan Il tapi satu pertarungan yang adil .
. . . . .. ucap Siau Hui-uh serius. Belum selesai ucapan itu, mendadak dari balik hutan bunga tho berkumandang suara nyanyian yang amat merdu, dari balik langit bertaburkan bintang, bau harum terbawa angin, suara nyanyian itu terdengar begitu lembut dan menawan.
Untuk sesaat Siau Hui-uh jadi termangu, akhirnya setelah menghela napas sedih katanya: "Sama sekali tak kusangka para dayangmu pandai melantunkan lagu semerdu ini" "Nyanyian semacam itu mah tidak mirip nyanyian dayang" tukas Liu Tan-yan.
Siau Hui-uh kembali tertegun, sementara suara nyanyia n itu bergema semakin dekat, suaranya bagai seruan seorang ibu yang menghibur putranya, seperti juga suara seorang gadis yang sedang memanggil kekasihnya.
Tampaknya Siau Hui-uh betul-betul terbuai, kelembutan seorang gadis tanpa terasa muncul diantara kerutan dahinya, perlahan ia berkata: "Perduli siapa pun yang sedang menyanyi, persilahkan orang itu datang kemari" Liu Tan-yan kontan tertawa, katanya: "Aku sendiripun paling senang dengan anak gadis yang pandai dan berjiwa seni, tak usah cici bilang, aku memang berniat mengundangnya kemari" Akhirnya suara nyanyian itu terhenti, disusul kemudian terdengar suara merdu seorang gadis berkata: "Anak baik, merdu bukan lagu nyanyian ini" Coba lihat, bintang begitu cemerlang, bunga tho begitu indah, asal kita berdua hidup bersama, bukankah kehidupan ini terasa in .
. . . . . .. indah?" Ketika mengucapkan kata "terasa indah", tiba tiba saja gadis itu menangis tersedu.
"Bocah bodoh" gumam Siau Hui-uh, "kalau kehidupan terasa indah, kenapa harus menangis?" Sementara bergumam, titik air mata tampak merambah keluar dari balik matanya.
Ada sejenis orang tak akan melelehkan air mata disaat sedih, tapi dia justru mengucurkan air mata ketika menyaksikan satu kejadian yang paling indah,.
Dia seakan tak ingin orang lain melihat air matanya, cepat tadis itu berpaling, tampak seorang gadis bertubuh semampai berjalan mendekat dari balik kegelapan, dalam rangkulannya tampak seorang bocah berusia dua-tiga belas tahunan.
Ia memiliki sepasang mata yang jeli bagai cahaya bint ang, tapi suara tangisannya mirip deraian hujan ditengah malam buta.
Siau Hui-uh mengerdipkan matanya berulang kali lalu berteriak keras: "Adikku, kemarilah, persoalan apa yang sedang kau hadapi" Katakanlah, biar kami bantu menyelesaikannya" Dengan tatapan bodoh gadis itu berjalan mendekat, sementara bocah yang bersandar dibahunya batuk tiada hentinya.
Sejak mendengar suara nyanyian tadi, perasaan Tian Mong-pek sudah tergetar keras, hatinya makin tercekat setelah menyaksikan bayangan tubuhnya.
Terdengar Liu Tan-yan berseru: "Oh, seorang gadis yang amat cantik, siapa namamu, kenapa ditengah malam buta masih berkeliaran" Tidak kuatir masuk angin?" Gadis itu menyeka matanya lalu bergumam: II "Aku....
aku bernama . . . . .. aku bernama . . . . . .. Tiba tiba dia tepuk si bocah yang berada dalam pelukannya seraya bertanya: "Anak sayang, siapa nama ibumu?" Bocah itu berpaling, dibalik matanya yang besar sama sekali tak terlintas sedikit cahaya pun, paras mukanya pucat pasi bagai kertas.
"Anak manis" Siau Hui-uh menjerit kaget, "apakah kau terluka?" Baru selesai dia berteriak, terdengar bocah itu menjerit kaget lalu sambil meronta dari pelukan, terhuyung dia berjalan ke hadapan Tian Mong-pek, lalu sambil jatuhkan diri berlutut serunya gemetar: "Paman.....
paman..... kee..... kenapa kau?" Ternyata bocah itu tak lain adalah Kiong Ling-ling, sedangkan gadis bersuara merdu itu tak lain adalah Tu Kuan.
Tian Mong-pek berdiri terbelalak, untuk sesaat dia tak tahu harus merasa terkejut atau girang atau lega.
Dalam sekilas pandang, Kiong Ling-ling sudah melihat kalau pemuda itu sudah tertotok jalan darahnya, cepat dia gunakan tangannya yang kecil berusaha untuk menepuk bebas pengaruh totokan itu, sayang lukanya yang parah membuat gadis cilik itu kontan terbatuk betuk.
Melihat itu, Tian Mong-pek merasa hatinya sakit bagaikan diiris, dia peluk tubuhnya yang kecil dan bisiknya: "Anak baik, mengapa kau kabur tanpa beritahu aku" Tahukah kau, betapa rindu paman kepadamu" Dalam pada itu Tu Kuan sedang mengawasi pemuda itu dengan tertegun, sekonyong-konyong dia tertawa terkekeh, lalu sambil menuding Tian Mong-pek serunya sinting: II "Kau! Rupanya kau, ternyata kau .
. . . . . . .. Tiba tiba ia jatuhkan diri terduduk dilantai dan menangis tersedu-sedu, teriaknya lebih jauh: II "Kau telah merampas hatiku, sekarang kaupun ingin merampas anakku .
. . . .. Sebetulnya saat itu Siau Hui-uh sedang berdiri dengan wajah terkejut bercampur keheranan, kini dengan penuh amarah teriaknya: "Bagus sekali! Tian Mong-pek, kusangka kau adalah seorang lelaki sejati, tak tahunya kau hanya lelaki tega yang tak tahu cinta, kenapa kau siksa gadis secantik ini jadi begitu rupa" Ayoh katakan, apa yang telah kau lakukan" Lalu setelah berjongkok, ujarnya lagi: "Adikku, kau tak usah takut, biar cici yang menyelesaikan persoalan ini, katakan saja, apa benar bocah itu adalah anakmu bersama dia?" Tu Kuan tidak menjawab, dia hanya menangis makin sedih.
Siau Hui-uh jadi makin gusar, sambil tuding anak muda itu teriaknya: "Orang she-Tian, kau tak pantas disebut manusia, anak pun sudah sebesar itu, kenapa kau masih bersikap kasar terhadapnya?" Tian Mong-pek betul betul panik bercampur gusar, untuk sesaat dia jadi tak tahu mesti tertawa atau menangis, teriaknya lantang: "Apa urusannya bocah ini sudah besar atau tidak .
. . . . .." "Apa" Kau masih mengatakan tak ada urusannya" teriak Siau Hui-uh makin gusar, "biar kuhajar kau sampai mampus!" Kali ini dia melancarkan pukulan dalam keadaan marah, tenaga yang disertakan pun sangat dahsyat.
"Lelaki macam begitu memang paling pantas dibikin mampus" kompor Liu Tan-yan sambil tertawa dingin.
Dalam terperanjatnya, Kiong Ling-ling langsung peluk tengkuk Tian Mong-pek, ternyata dia gunakan tubuhnya yang masih lemah karena terluka parah untuk mewakili anak muda itu menerima pukulan.
Siau Hui-uh tak sempat menarik kembali pukulannya, satu hantaman langsung meluncur keluar.
II "Kau..... kau berani . . . . . .. jerit Tian Mong-pek. Siapa tahu pukulan Siau Hui-uh ini sama sekali tak bertenaga ketika mencapai tubuh Kiong Ling-ling, serangan yang dahsyat berubah menjadi satu tepukan ringan, keluhnya sambil menghela napas: "Aaai, anak pintar, ayahmu tak punya liangsim, buat apa kau belai dirinya?" "Dia....
dia pamanku" sahut Kiong Ling-ling pilu.
Sementara Siau Hui-uh masih melongo, tiba tiba terdengar desingan angin tajam menyambar dari arah belakang, tahu tahu Tu Kuan telah melepaskan satu pukulan sambil berteriak: "Kalau kau membunuhnya, aku akan membunuhmu" Sepasang tangannya berputar kencang, secara beruntun dia lepaskan serangkaian serangan gencar, bayangan pukulan bagai bunga yang berguguran, angin pukulan yang kuat membuat putik bunga tho bergetar dan beterbangan.
Kini Siau Hui-uh betul-betul dibuat menangis tak bisa tertawapun susah, dia enggan membalas, tapi ilmu silat yang dimiliki Tu Kuan kelewat tangguh, serangannya memaksa dia harus mundur berulang kali.
Lama kelamaan ia jadi naik pitam, tegurnya: II "Aku justru turun tangan karena kau disia-siakan .
. . . .. "Siapa yang disia-siakan" Kau sendiri yang disia-siakan!" teriak Tu Kuan.
"Kentut!" dengan penuh amarah Siau Hui-uh melepaskan serangan balasan.
Tian Mong-pek sendiri meski dibakar api amarah dan tercekam oleh kebingungan, tak urung merasa geli juga setelah menyaksikan kejadian ini, buru buru bentaknya: "Tahan nona Siau" "Tidak masalah" kata Tu Kuan, "biarkan saja dia bunuh aku, toh dalam kehidupan kali ini kau tak mungkin mencintaiku lagi, apakah dalam penitisan nanti kau tetap tak akan mencintaiku?" Sementara itu Kiong Ling-ling sudah merangkak bangun, katanya: "Bibi, biar aku....
aku membantumu . . . . . .." Sayang tubuhnya yang baru saja merangkak bangun lagi lagi roboh terjungkal.
Setelah bertarung dua gebrakan, lambat laun Siau Hui-uh menjadi sadar apa yang telah terjadi, serunya: "Tahan!" "Siapa suruh kau berhenti" Ayoh bunuh, bunuh aku" "Siapa yang ingin membunuhmu" Siau Hui-uh makin dibuat serba salah.
"Hajarlah aku" jerit Tu Kuan, "ayoh, hajar aku" Sementara itu Hong Ku-bok sekalian sudah muncul karena kegaduhan yang terjadi, menyaksikan keadaan itu,semua orang jadi kaget bercampur tak habis mengerti.
Waktu itu Tian Mong-pek sudah tak ambil peduli dengan kejadian yang berlangsung, dia segera menghampiri Kiong Ling-ling, tapi begitu gadis cilik itu melihat kemunculan Hong Ku-bok, cepat jeritnya: "Dia, dialah yang telah menipu yaya" Berubah hebat paras muka Hong Ku-bok, katanya: "Nona Kiong, mana yaya mu .
. . . . ..?" tanpa sadar ia mundur berulang kali.
Sambil menangis tersedu teriak Kiong Ling-ling: "Kalian telah membohongi yaya, kalian yang menipunya sehingga pergi bersamamu, kembalikan yaya ku .
. . . .. kembalikan yaya ku . . . . . . . .." Teriakan itu sungguh memilukan hati, Siau Hui-uh makin tercengang dibuatnya, apa mau dikata Tu Kuan masih merecokinya terus, akhirnya dengan gusar ia berteriak: "Hei, kau edan rupanya .
. . . .. kau sudah edan?" Kemudian serunya lagi: "Hong Ku-bok, jawab, siapa yang telah menipu yaya bocah itu?" Hong Ku-bok berdiri menjublak, kaku mematung, untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti dilakukan.
Suasana dalam hutan tho saat itu kacau tak karuan, guguran bunga tho berserakan ditanah membuat keadaan makin kacau, diam diam Liu Tan-yan hanya bisa menggerutu, namun diapun tak dapat berbuat apa apa.
Terdengar suara isak tangis Kiong Ling-ling makin lama makin lemah, ternyata ia sudah jatuh tak sadarkan diri diatas bahu Tian Mong-pek.
"Tahan!" terkejut bercampur gusar, bentak anak muda itu.
Suara bentakannya ibarat guntur membelah bumi, Tu Kuan tertegun seketika dan segera menghentikan serangannya, kemudian ia jatuhkan diri dan menangis tersedu-sedu.
Dengan satu gerakan cepat Siau Hui-uh melompat ke hadapan Hong Ku-bok, tegurnya: "Cepat jawab, siapa yang telah membohongi yaya bocah itu?" II C I C C C C C I C C C Sekali ayunan tangan, Siau Hui-uh menghadiahkan sebuah tempelengan ke wajah Hong Ku-bok, bentaknya lagi: "Cepat jawab! " "Dia...
dia adalah Hoa toaya" akhirnya Hong Ku-bok menjawab terbata bata.
"Hoa Hui?" Siau Hui-uh tertegun, "lantas siapakah yaya bocah ini" Kenapa Hoa Hui harus membohonginya" Dia menipunya pergi ke mana?" Hong Ku-bok makin terpojok, untuk sesaat dia tak mampu menjawab.
Dengan lantang Tian Mong-pek segera berseru: "Yaya nya adalah Jian-hong-kiam (pedang berujung seribu) Kiong Gim-bit, dia orang tua sudah tewas dicelakai Hoa Hui" semua orang menjerit kaget dan berdiri termangu, sebagaimana diketahui nama besar Kiong Gim-bit dalam dunia persilatan sangat tersohor dan disegani orang.
"Be..... benarkah itu?" tanya Siau Hui-uh sambil mendepakkan kakinya berulang kali.
sekonyong-konyong dari luar hutan tho berkumandang suara bentakan nyaring, bentakan itu sepuluh kali lebih keras dan nyaring daripada suara bentakan Tian Mong-pek tadi.
semua orang merasakan kendang telinga jadi sakit sekali, ibarat suara gelegar guntur yang membelah bumi, membuat daun dan bunga tho bergetar, berguguran ke tanah.
Bab 9. Hawa pedang mengacau bunga tho.
"Siapa?" dengan wajah berubah hardik Liu Tan-yan.
"Siapa yang sedang menangis .
. . . .. siapa yang sedang menangis .
. . . .." teriakan nyaring itu kembali bergema.
Menyusul kemudian terlihat sesosok bayangan tubuh yang tinggi besar menerobos keluar dari balik hutan.
Diiringi deruan angin kencang, kembali orang itu berteriak: "Sisi, kaukah yang sedang menangis?" Ternyata orang itu bertubuh tinggi besar, berewokan dan mempunyai mata yang cekung, saat itu dengan wajah cemas bercampur panik sedang mengawasi wajah Tu Kuan.
Tapi begitu dipandang sekejap, dengan gusar teriaknya: "Kau bukan Sisi .
. . . . .." sekali tolak, dia dorong Tu Kuan hingga roboh terjungkal.
Kontan Tu Kuan menangis keras.
"Ayah, mereka semua jahat padaku.....
mereka menganiaya aku...." sambil melompat bangun dan menjerit, dia lari menuju ke dalam hutan.
"Nona Tu!" teriak Tian Mong-pek kaget, cepat dia mengejar.
II "Jangan pergi . . . . . .. seru Siau Hui-uh sambil menghadang.
Siapa sangka kakek berewok itu bergerak lebih cepat, sambil rentangkan tangannya menghadang, tegurnya: "Ke mana perginya Sisi ku" Apakah kalian melihatnya?" "Dasar edan" umpat Siau Hui-uh gusar, "siapa tahu Sisi itu ada dimana" Diam diam ia menyumpah, entah kenapa, orang yang dijumpainya hari ini hampir rata rata adalah orang tak waras.
Akhirnya sorot mata kakek berewok itu berhenti diwajah Tian Mong-pek, bentaknya gusar: "Keparat busuk, ternyata kaupun berada disini, sudah pasti kau yang telah menipu Sisi" "Mo-siau-to!" seru Tian Mong-pek mendongkol, "walaupun aku selalu menghormatimu sebagai seorang cianpwee, tapi kalau kau menfitnahku terus menerus, jangan salahkan kalau aku mulai mengumpatmu dengan kata kasar" "Mo-siau-to?" sepasang mata Siau Hui-uh terbelalak lebar, "jadi kau adalah si golok tanpa sarung Go Jit?" "Betul, akulah Go Jit.
Bajingan itu adalah Tian Mong-pek, tahukah kau siapa bangsat ini" Dialah orang yang telah melarikan bini Kim-bin- thian-ong Li Koan-eng!" "Kau.....
kau . . . . . . .." saking marahnya Tian Mong-pek sampai tak sanggup meneruskan kata-katanya.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa" Masih mau menyangkal?" jengek go Jit, "coba kalau bukan lantaran sedang mencari Sisi, akupun tak bakal tahu kejadian ini.
Cepat jawab, kau telah larikan Sisi ke mana?" Gemetar keras sekujur tubuh Tian Mong-pek, matanya beringas memancarkan sinar merah.
Melihat mimik muka anak muda itu, timbul keraguan dihati kecil Siau Hui-uh, tegurnya: "Sejak kapan dia melarikan Sisi mu?" "Kalau bukan dia yang membawa kabur biniku, lantas siapa lagi" Pokoknya hari ini juga lohu akan mewakili Li Koan-eng untuk memusnahkan bajingan cabul ini" Darimana dia tahu kalau Sisi kesayangannya justru sedang bermesraan dengan Li Koan-eng saat itu, coba tahu, mungkin dia bakal berlutut minta ampun kepada anak muda itu.
Tian Mong-pek berpekik keras, seolah dia hendak melampiaskan semua kekesalan hatinya, sambil tertawa latah serunya: "Betul, memang akulah yang telah melarikan semua perempuan jalang didunia ini.
Mo-siau-to, kalau ingin turun tangan, ayoh seranglah aku!" Suara tertawanya amat memilukan, seakan jeritan monyet yang kehilangan anak.
"Turunkan dulu bocah dalam gendonganmu itu" seru Go Jit.
Tian Mong-pek membalik badan dan meletakkan tubuh Kiong Ling-ling dibawah pohon tho, mengawasi paras muka si bocah yang pucat pias, pikirnya: "Nah, walaupun nasibmu jelek, tapi pamanmu jauh lebih jelek lagi, hidup hanya dihina, difitnah dan dicemooh orang, daripada batin tersiksa, lebih baik aku pergi mati saja.
Aaai... sayang paman tak bisa lagi menyaksikan kau tumbuh dewasa .
. . . . . .." Berpikir sampai disitu, tak tahan butiran air mata meleleh keluar.
Kebetulan tetesan air mata itu jatuh diwajah Kiong Ling-ling, baru saja Tian Mong-pek membesut air matanya siap berlalu, tiba tiba Kiong Ling-ling tersadar kembali sambil memanggil: "Paman .
. . . .. kau jangan pergi" "Nak, berbaringlah dengan tenang" sahut Tian Mong-pek sambil tertawa sedih, "Paman....
paman akan pergi..... pergi mencari yaya mu" II "Ling-ling ikut .
. . . . . . .. seru Kiong Ling-ling sambil merentangkan tangannya minta dibopong.
"Tempat itu jauh sekali, selain jauh, dinginnya luar biasa....
anak kecil . . . . . .. anak sekecil kau tak boleh ikut ke situ" Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak meleleh keluar.
"Ling-ling tidak takut, Ling-ling ingin ikut paman .
. . . .. paman, kenapa kau menangis" Jangan menangis .
. . . .. Ling-ling jadi pengen ikut II menangis .
. . . .. Dia peluk sepasang lutut anak muda itu dan menangis tersedu, begitu sedihnya ia menangis membuat para dayang kecil yang berada di seputar sana cepat berpaling, tak tega memandangnya lebih jauh.
"Kalau ingin mampus, pergilah cepat" ejek Liu Tan-yan tiba tiba sambil tertawa dingin, "biar aku yang merawat bocah itu" Sementara Siau Hui-uh hanya berdiri mematung dengan mata terbelalak lebar.
"Tidak perlu berlagak lagi" seru Go Jit pula sinis, "jangan harap aku bakal berbelas kasian" Tian Mong-pek berteriak keras, sambil memutar badan dia kirim satu pukulan dahsyat.
"Serangan hebat!" seru Go Jit, dia pentang ke lima jari tangannya langsung cengkeram pergelangan tangan lawan.
Terdengar Kiong Ling-ling berteriak sedih: "Paman adalah orang baik, kenapa kalian semua ingin mencelakainya?" dia mencoba meronta untuk bangkit, kemudian menubruk ke arah Go Jit.
Dengan cekatan lelaki berewok itu berkelit ke samping, bentaknya gusar: "Setan cilik, kau ingin mampus?" "Kalau kau ingin membunuh paman, bunuhlah aku lebih dulu" teriak Kiong Ling-ling keras.
Biarpun sedang terluka parah namun dengan gagah berani bocah itu meronta maju, bahkan menghadang dihadapan Tian Mong-pek.
Tampaknya bocah perempuan ini ingin pertaruhkan sisa hidupnya untuk melindungi keselamatan pemuda itu.
Tian Mong-pek mengepal kencang tinjunya, dengan perasaan terharu bisiknya: "Ling-ling .
. . . .. kau . . . . . . . .." "Cepat perintahkan setan cilik ini menyingkir" bentak Go Jit gusar, "kalau tidak .
. . . . . . .." "Minggir kamu!" mendadak Siau Hui-uh membentak keras, dia lompat ke hadapan Go Jit lalu serunya lagi, "terlepas orang she-Tian ini bajingan cabul atau bukan, perduli dia telah melarikan Sisi atau tidak, mulai hari ini enyah kau dari hadapanku, gelinding pergi untuk selamanya .
. . . . . .." Belum selesai bicara, butiran air mata telah membasahi pipinya.
Go Jit agak tertegun, tapi segera teriaknya gusar: "Manusia macam apa dirimu itu" Berani amat bersikap kurangajar terhadap lohu" Dia sama sekali tak menyangka kalau di dunia saat ini masih ada orang yang berani kurangajar terhadapnya, untuk sesaat dia malah lupa turun tangan.
Cepat Liu Yan-yan menarik ujung baju Siau Hui-uh sambil berbisik: "Enci Siau, buat apa kau campuri urusan ini?" Il "Tapi si bocah .
. . . . . .. Sambil tersenyum Liu Tan-yan menghampiri Kiong Ling-ling dan katanya: "Anak manis, tak usah campuri urusan orang lain, ayoh pergi bersama bibi" Dengan perasaan terkejut bercampur gusar Kiong Ling-ling mendongakkan kepalanya, siapa tahu begitu Liu Tan-yan mengusapkan tangannya ke wajah gadis cilik itu, perasaan kaget dan marahnya seketika berubah jadi perasaan bingung, bukan saja tidak lagi menengok ke arah Tian Mong-pek, bahkan tanpa bicara sepatah kata pun langsung beranjak pergi mengintil di belakang Liu Tan-yan.
"Ling-ling!" teriak Tian Mong-pek.
Tapi gadis cilik itu seakan tidak mendengar.
Untuk berapa saat pemuda itu berdiri tertegun, ternyata Kiong Ling-ling pun telah menghianatinya.
Dalam keadaan seperti ini, dia merasa seolah hidup sebatang kara, yang tersisa hanya tuduhan, fitnahan yang menggemaskan, dia merasa begitu kesepian, sendiri, marah, getir, sedih .
. . . . .. Akhirnya setelah tertawa kalap, serunya: "Baik, baiklah!" seperti orang hilang ingatan, dia lancarkan satu pukulan maut ke tubuh Go Jit.
Berkerut alis mata Go Jit yang tebal, ejeknya: "Baguslah, kalau memang ingin mampus, biar lohu kabulkan permintaanmu itu tangannya dibalik, langsung babat urat nadi pada pergelangan tangan lawan.
Paras muka Siau Hui-uh hijau kepucat pucatan, saat itu dia mencoba bertanya diri sendiri: "Haruskah kutolong orang ini?" Dari perubahan wajah nona itu, Liu Tan-yan segera bisa menduga apa yang sedang dipikirkan, cepat selanya: "Orang semacam dia paling pantas cepat mampus, daripada perempuan baik baik hidup tak tenang" Sebetulnya Siau Hui-uh sudah melangkah maju, dia segera urungkan niatnya begitu mendengar bisikan tadi.
Sementara dia masih ragu, Tian Mong-pek sudah tak sanggup menahan diri lagi.
Mendadak dari balik hutan tho terdengar seseorang membentak nyaring: "Tahan!" "Siapa yang berani mencegah niat lohu?" umpat Mo-si au-to gusar, "kalau sengaja kubunuh orang ini, mau apa kamu?" Satu pukulan yang amat dahsyat seketika menerobos masuk dan langsung mencekal pergelangan tangan anak muda itu.
Kontan Tian Mong-pek merasakan lengan kanannya jadi kaku, tapi ia enggan menyerah kalah, sebuah pukulan dengan sepenuh tenaga lagi lagi dilontarkan dengan kepalan kiri.
Dengan cekatan Go Jit berkelit sambil balas menyerang, dengan mudahnya ia berhasil menangkap pergelangan kiri lawan, ejeknya sambil tertawa seram: "Orang she-Tian, kepandaian apa lagi yang kau miliki .
. . . . . .." Tapi belum selesai ia bicara, tiba tiba dari belakang tubuhnya terdengar seseorang berkata dengan lembut: "Engkoh sayangku, ce .
. . . .. cepat hentikan seranganmu" Seorang lelaki tinggi berwajah kuning emas, dengan ujung goloknya menempel di punggung seorang nona berbaju hijau yang dicengkeram pergelangan tangannya, perlahan munculkan diri dari balik hutan bunga tho.
Ternyata mereka adalah Kim-bin-thian-ong Li Koan-eng serta Beng Li-si, bini kesayangan Go Jit.
Tak terlukiskan rasa pedih Go Jit melihat kondisi bininya, ia merasa hatinya bagaikan diiris dengan pisau, jeritnya: II "Sisi .
. . . . . .. sambil rentangkan tangan, ia siap menubruk ke muka.
"Hmm!" ancam Li Koan-eng dengan wajah sedingin es, "bila menginginkan nyawa Beng Li-si, baik baik berdiri disana, jangan mencoba untuk bergerak" "Kurangajar, kau berani perintah lohu" umpat Go Jit marah, walau begitu, ia benar-benar tak berani berkutik, terusnya, "Li Koan-eng, cepat bebaskan Sisi .
. . . . . .." "Tidak sulit bila menginginkan kebebasannya, tapi kau harus bersumpah lebih dulu, sejak hari ini tak akan mencelakai Tian kongcu lagi, bahkan harus minta maaf kepadanya" Ungkapan tersebut segera membuat semua orang melengak, terheran-heran.
Begitu pula dengan Tian Mong-pek, dengan wajah tertegun pikirnya: "Baru berapa hari berselang dia ingin membunuhku, bahkan bersumpah akan mencincangku, kenapa hari ini sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat?" "Hei orang she-Li, kau sudah edan?" umpat Go Jit marah, "bukankah Tian Mong-pek telah berselingkuh dengan binimu, kenapa kau malah .
. . . . .." "Kentut!" tukas Li Koan-eng, "kau sangka manusia macam apa Tian kongcu itu" Hmm, biar perempuan sialan itu berniat merecoki dirinya pun, belum tentu Tian kongcu sudi mengabulkan keinginannya.
Aku Li Koan-eng punya mata tak berbiji, menjalin teman dengan manusia busuk sehingga tempo hari salah menuduh Tian Kongcu, perbuatanku waktu itu sungguh memalukan, itulah sebabnya hari ini aku khusus datang untuk minta maaf kepadanya" "Betulkah begitu?" tanya Go Jit kemudian setelah termangu berapa saat.
"Tentu saja sungguh, cepat menyembah dan minta maaf kepada Tian kongcu!" "Apa" Kau minta lohu menyembah kepadanya?" dengan wajah berubah Mo-siau-to tertawa kalap.
"Betul!" sambil menyahut, Li Koan-eng menekan ujung goloknya ke depan dan mulai menusuk tubuh Beng Li-si.
"Koko..... kabulkan permintaannya!" jerit Beng Li-si pilu, "apakah kau tega membiarkan aku mati konyol?" Suaranya begitu pedih dan memilukan hati, membuat Mo-siau-to begitu sedih, begitu sakit hati.
"Sisi . . . . .. Sisi . . . . . . . .." keluhnya, tiba tiba dia angkat muka dan teriaknya, "jika kukabulkan permintaanmu, apakah kau segera akan membebaskan dia?" "Ucapan seorang kuncu, ibarat satu cambukan dipunggung kuda jempolan!" Pucat kelabu paras muka Go Jit.
"Baiklah!" tiba tiba ia berpaling, "Tian.....
Tian kongcu, aku..... aku minta maaf kepadamu" Tian Mong-pek jadi tak tega melihat keadaan itu, buru buru dia membangunkan, gunakan kesempatan tersebut Go Jit segera bangkit berdiri dan tidak benar benar berlutut.
Kembali Li Koan-eng berkata: "Hari ini kau memang sudah minta maaf kepada Tian kongcu, namun tidak menjamin lain hari akan mencari gara gara lagi dengannya, oleh sebab itu kau pun harus .
. . . . .." "Bila dikemudian hari Go Jit masih berniat mencelakai Tian kongcu, biar aku mati tak wajar" sumpah Go Jit sambil gigit bibir, selesai bicara dia
"Bila dikemudian hari Go Jit masih berniat mencelakai Tian kongcu, biar aku mati tak wajar" sumpah Go Jit sambil gigit bibir, selesai bicara dia langsung menghampiri Beng Li-si.
Il "Tunggu dulu hardik Li Koan-eng.
"Jadi kau enggan bebaskan dia?" berubah paras muka Go Jit.
Li Koan-eng tertawa dingin.
"Sekarang, kau pasti membenci aku hingga ke tulang sumsum, jika perempuan ini kubebaskan dengan begitu saja, bukankah nyawaku bakal mampus ditanganmu?" "Jadi menurutmu, apa yang harus kulakukan?" "Berdiri disitu, jangan bergerak, setelah aku pergi jauh nanti, pasti akan kubebaskan dia untuk menjumpaimu.
Tapi awas, kalau mencoba melakukan pengejaran, dia pasti bakal mampus" Go Jit menghela napas panjang, ditatapnya Beng Li-si sekejap lalu dengan sedih mengangguk.
Sepanjang hidup belum pernah ia diperlakukan orang dengan begitu mengenaskan, tapi hari ini, demi perempuan kesayangannya, orang tua ini seakan sudah kehilangan semua kegagahannya, ia rela bertekuk lutut oleh ancaman lawan.
Melihat kejadian itu, berapa orang dayang yang berada diseputar sana mulai berpikir: "Coba kalau ada orang bersikap begitu baik terhadapku, biar dia tua atau Il jelek pun tak jadi masalah, aku tetap akan merasa gembira dan puas .
. . . .. Dalam pada itu Li Koan-eng sudah mundur dari situ, selangkah demi selangkah menuju ke balik hutan.
II "Sisi..... seru Go Jit gemetar, "bila ia bebaskan dirimu nanti, cepatlah lari kemari, sudah lama kunantikan kemunculanmu, tak akan kubiarkan kau pergi lagi dari sisiku" Beng Li-si dengan air mata bercucuran, mengangguk berulang kali.
"Aku tahu . . . . . .. aku tahu . . . . . . . . . . .." Mendadak tubuhnya meronta, melepaskan diri dari cengkeraman Li Koan-eng.
Dengan penuh kegirangan Go Jit berteriak keras, menyongsong ke depan dan memeluk tubuh Beng Li-si kuat kuat.
Tian Mong-pek sendiripun merasa terkejut bercampur girang, girang karena kedua orang itu akhirnya saling berjumpa, terkejut karena kuatir Li Koan-eng tak berhasil lolos dari serangan maut Mo-siau-to, bagaimana pun peristiwa ini terjadi gara gara ingin selamatkan dirinya.
Siapa tahu begitu berada dalam pelukan Go Jit, dengan gerakan cepat Beng Li-si turun tangan menotok belasan jalan darah penting ditubuh Go Jit.
II "Sisi, kau . . . . . . . .. jerit Mo-siau-to Go Jit kaget, belum selesai berteriak, tubuhnya sudah gontai, mundur terhuyung lalu roboh terjungkal.
Kejadian ini sama sekali diluar dugaan siapa pun, terlebih bagi Mo-siau-to Go Jit, mimpi pun dia tak mengira kalau Beng Li-si bakal menghianatinya dan melancarkan serangan, justru karena tak siaga, semua pertahanan tubuhnya terbuka, kalau bukan begitu, mana mungkin seorang jagoan tangguh bisa tertotok jalan darahnya semudah itu.
Sementara itu Beng Li-si sudah mengerling sekejap kesekitar sana dengan genitnya, lalu sambil tertawa cekikikan berseru: "Bagaimana sandiwaraku" Hebat bukan adik adikku?" Lalu setelah menendang tubuh Go Jit keras keras, lanjutnya: "Orang she-Go, kau selalu ingin aku memanggilmu koko karena kau ingin selalu dianggap masih muda bukan" Baiklah, akan kusuruh kau menjadi lebih muda, hingga nanti aku memanggilmu sebagai cucuku .
Setan Pedang Perak 1 Pendekar Rajawali Sakti 206 Pangeran Impian Api Di Bukit Menoreh 23
^