Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 23

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 23


"Ki Jayaraga Ki Sanak. Bukankah kau mengenalnya ?"
"Dimana sekarang Ki Jayaraga itu ?"
Ki Lurah Agung Sedayu berpaling, ia masih melihat keadaan Ki Jayaraga yang lemah. Karena itu, maka iapun menjawab, "Ki Jayaraga sedang membenahi diri, Raden."
"Bawa orang itu kemari. Aku tidak yakin bahwa orang itu berhasil mengalahkan aku. Tentu ada orang yang dengan curang membantunya, menyerang aku dengan diam-diam."
"Tidak ada yang membantunya. Ki Jayaraga berjuang sendiri, ia memang seorang yang berilmu sangat tinggi."
"Aku telah menempa diri bertahun-tahun setelah Macan Ireng itu mengalahkan aku beberapa tahun yang lalu. Akulah yang seharusnya membunuhnya."
"Sudahlah, Jangan banyak bergerak. Aku akan berusaha membantu Raden Mahambara dengan sejenis obat yang mungkin dapat memperingan keadaan Raden sebelum Raden mendapatkan obat yang sebenarnya."
"Apa " Kau akan memberikan obat kepadaku " Kalian semuanya curang, licik dan tidak tahu malu. Kau tentu akan meracuni aku."
"Kau harus melihat kepada dirimu sendiri. Raden. Jika aku ingin membunuhmu, kenapa aku harus berbuat curang dengan memberikan racun kepadamu. Jika kami ingin membunuh sekarang, maka aku tinggal memijit hidungmu dan menyumbat mulutmu. Maka kau akan mati dengan sendirinya. Jika aku akan memberikan obat yang dapat membantumu untuk sementara itu, karena kami ingin kau tetap hidup."
"Persetan kau Lurah prajurit," Raden Mahambara itu berteriak keras sekali. Tiba-tiba saja ia berusaha untuk bangkit.
Namun demikian Raden Mahambara itu duduk dan mencoba berdiri, iapun telah terjatuh lagi.
Dengan cepat Agung Sedayu menyambar tubuh yang roboh itu. Perrlahan-lahan Ki Lurah Agung Sedayu membaringkan tubuh itu di tanah. Namun demikian tubuh itu menjelujur dibawah sebatang pohon, maka tarikan nafasnyapun telah berhenti.
Raden Mahambarapun telah meninggal pula.
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang, iapun kemudian bangkit berdiri dan memberi tahukan kepada para prajuritnya untuk merawat Raden Mahambara.
"Kumpulkan diantara mereka yang telah terbunuh di pertempuran ini."
Pertempuranpun telah benar-benar berhenti. Para perampok itupun telah menyerahkan diri. Mereka harus memberikan korban cukup banyak. Yang terluka, banyak diantaranya parah, dan yang terbunuh di pertempuran yang sengit itu. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi mereka untuk melarikan diri dari kepungan yang sangat rapat oleh para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Para prajurit dan orang-orang yang tertawan itu masih saja sibuk mengumpulkan para prajurit yang terluka dan yang gugur di pertempuran. Sementara itu, para pengikut Raden Mahambara itu, dibawah pengawal para prajurit, harus mengumpulkan pula kawan-kawan mereka yang terluka parah serta yang terbunuh di medan pertempuran.
Para pengikut Raden Mahambara itu telah menjadi jauh menyusut.
Meskipun mereka cukup berpengalaman, ternyata mereka terkejut juga menghadapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu, sehingga banyak diantara mereka yang tidak dapat menghindarkan diri dari ujung senjata para prajurit itu.
Ketika langit menjadi gelap, kesibukan di padang perdu diurung hutan itu masih belum selesai. Beberapa buah oborpun telah dinyalakan dimana-mana.
Baru sedikit lewat tengah malam, maka para prajurit dan para lawanan itu sempat beristirahat.
Di perkemahan para prajurit Mataram, perapian masih menyala terus. Mereka harus menyediakan makan bagi para prajurit dan bagi para tawanan.
Di hari berikutnya, maka para tawananpun telah menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh. Sementara mi, beberapa orang prajurit yang gugur telah dibawa ke padukuhan diseberang susukan dan dimakamkan di kuburan yang berada di ujung padukuhan.
Ampat orang prajurit harus ditinggalkan di makam itu. Sementara lebih dari tiga belas prajurit yang terluka. Tiga diantaranya sangat parah.
Hari itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah membawa pasukannya ke padukuhan induk Kademangan Prancak. Mereka membawa para tawanan ditempatkan di banjar padukuhan.
Dengan demikian Ki Lurah Agung Sedayu telah berhasil menghancurkan sebuah gerombolan perampok yang mampu bertahan bertahun-tahun. Luput dari tangan-tangan kekuasaan di Jipang, Pajang dan Mataram. Mampu pula berada di celah-celah kuasa perguruan Kedung Jati yang berusaha untuk bangkit kembali dan bahkan menghimpun kekuatan untuk menandingi kekuatan di Mataram.
"Kami akan membawa mereka ke Mataram," berkata Agung Sedayu kepada Ki Demang di Prancak.
"Silahkan Ki Lurah."
"Namun sebelum kami meninggalkan Prancak, maka kami ingin melihat penyelesaian yang tuntas di kademangan ini."
"Terima kasih atas perhatian Ki Lurah. Mudah-mudahan kademangan Prancak akan segera menjadi tenang kembali."
"Malam nanti aku akan menemui Nyi Demang yang muda serta anaknya laki-lakinya yang kedudukan resminya adalah Bekel di Babadan."
Ki Demang Prancak itupun mengangguk-angguk. Dengan nada yang berat Ki Demang itupun berkata, "Terima kasih atas kepedulian Ki Lurah terhadap kademangan Prancak. Selama ini kami memang selalu dibayangi oleh kecemasan, apakah kami akan berhasil mengatasi kesulitan yang kami hadapi karena keterlibatan para perampok yang bersarang di ujung hutan. Tetapi sekarang kami yakin, bahwa kami akan dapat menegakkan paugeran di kademangan ini, karena kekuatan perampok yang ada di ujung hutan itu sudah Ki Lurah patahkan."
"Itu adalah kewajiban kami," jawab Ki Lurah Agung Sedayu. "Jika Ki Lurah malam nanti akan pergi ke Babadan, apakah kami harus ikut serta?"
"Untuk sementara biarlah kami sajalah yang pergi. Kami akan merintis pembicaraan dengan Ki Bekel di Babadan. Baru kemudian, kalian dapat bertemu."
"Baiklah, Ki Lurah. Kami akan patuh."
"Kalian kelak akan memecahkan persoalan kalian. Segala sesuatunya tergantung kepada kalian, kepada tatanan yang berlaku di Prancak. Kami hanya sekedar menjadi saksi."
"Segala sesuatunya akan berjalan dengan baik setelah para perampok itu dimusnahkan. Merekalah yang selama ini telah menghembuskan perpecahan diantara kami, orang-orang Prancak. Campur tangan mereka dilambari dengan kekuatan, akan sangat menentukan. Tatanan dan paugeran tidak akan dapat ditrapkan dengan wajar."
"Mereka akan kami bawa ke Mataram, Ki Demang. Mereka akan diadili sesuai dengan beban dosa yang telah mereka lakukan. Bukan saja karena mereka perampok yang ganas, tetapi mereka telah menimbulkan perpecahan yang gawat di kademangan Prancak ini."
"Segala sesuatunya kami serahkan kepada kebijaksanaan Ki Lurah."
Demikianlah, seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka ketika langit menjadi suram, maka Ki Lurahpun sudah bersiap-siap untuk pergi ke Babadan bersama dengan Sekar Mirah.
Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Lurah Agung Sedayu telah menitipkan Ki Jayaraga yang lemah karena luka-luka dibagian dalam tubuhnya kepada Ki Demang. Sementara itu, sekelompok prajurit Mataram yang ditempatkan di banjar kademangan, sebagian bertugas di rumah Ki Bekel yang antara lain ikut menjaga Ki Jayaraga yang harus berbaring di pembaringan karena luka-luka dalamnya.
Ketika Ki Lurah Agung Sedayu minta diri kepada Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itupun berpesan, "Hati-hatilah. Kau berhadapan dengan orang yang sangat licik. Nyi Demang yang muda itu adalah seorang perempuan yang mensahkan segala cara untuk mencapai tujuannya."
"Baik Ki Jayaraga. Kami akan berhati hati."
Menjelang senja, Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah pergi ke Babadan. Sekelompok prajurit ikut bersama mereka. Namun mereka akan berhenti di luar padukuhan Babadan. Tetapi mereka harus tetap bersiaga. Mungkin masih ada beberapa orang perampok yang tetap berada di Babadan ketika terjadi pertempuran di ujung hutan.
"Agaknya Ki Jagabaya Babadan, yang sebenarnya juga salah seorang dari para perampok di ujung hutan itu masih berada di Babadan," berkata Glagah Putih.
"Agaknya Babadan masih belum benar-benar bersih," sahut Ki Lurah Agung Sedayu.
Mendahului Ki Lurah Agung Sedayu, dua orang prajurit, dengan pertanda keprajuritan telah mendahului pergi ke Babadan untuk memberitahukan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang bertugas menghancurkan para perampok di ujung hutan akan datang menemui Ki Bekel di Babadan.
Ki Bekel di Babadan itu menjadi sangat gelisah. Kedatangan Ki Lurah itu tentu bukannya sekedar kunjungan biasa. Tentu ada hubungannya dengan tugasnya, menghancurkan gerombolan perampok di ujung hutan serta kemelut yang telah terjadi di kademangan Prancak.
"Apakah Ki Lurah akan membawa pasukannya kemari?" bertanya ibu Ki Bekel di Babadan itu.
"Tidak, ibu. Ki Lurah akan datang kemari bersama dengan tiga orang prajurit."
"Berempat ?" "Ya, ibu." "Siapkan kekuatan yang ada."
"Untuk apa " Kekuatan di ujung hutan itu sudah dihancurkan. Ibu tahu, bahwa paman Raden Panengah sudah terbunuh. Demikian pula eyang Raden Mahambara. Lalu kekuatan yang mana lagi yang harus aku himpun ?"
"Kekuatan yang tersisa di padukuhan Babadan. Sepasukan prajurit mempunyai kebiasaan buruk. Jika pemimpinnya sudah terbunuh, maka para prajuritnya tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Mereka akan segera ditarik dan kembali ke Mataram."
"Apakah kita akan membunuh ampat orang yang bakal datang kemari itu ?"
"Ya. Bukankah yang akan datang itu Ki Lurah Agung Sedayu sendiri bersama tiga orang prajurit ?"
"Ya. Apakah kita akan mengepungnya dan membunuhnya" Mereka tentu orang-orang berilmu tinggi, ibu. Mungkin kita tidak akan dapat melakukannya."
"Anak yang dungu," sahut ibunya, "para pemimpin prajurit apalagi dari pasukan khusus tentu orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Pamanmu Panengah dan eyangmu Mahambara dapat mereka bunuh."
"Jadi bagaimana" Aku tidak mengerti maksud ibu."
"Kita akan membunuh mereka. Kita harus membalas dendam atas kematian Raden Panengah dan Raden Mahambara, maka kitapun akan membuat para prajurit menjadi ketakutan setelah pemimpin mereka mati."
"Tetapi bagimana caranya membunuh mereka " Menurut ibu, sendiri, mereka adalah orang-orang sakti yang tidak dapat dikalahkan."
"Kita akan menerima dengan baik. Kita hormati mereka dan kitapun harus menyatakan tunduk sepenuhnya kepada mereka. Tetapi kita akan meracuni mereka. Kita akan membunuh mereka dengan racun yang kita taburkan di minuman yang kita hidangkan kepada mereka."
"Apakah dengan demikian para prajuritnya tidak akan menjadi marah dan menjadikan padukuhan ini menjadi karang abang ?"
"Kita akan melawan mereka dengan kekuatan yang ada. Tanpa pemimpin mereka yang berilmu sangat tinggi, maka mereka tidak ubahnya seperti kita disini. Disini masih ada beberapa orang dari ujung hutan yang akan dapat memimpin orang-orang Babadan menghadapi prajurit yang sudah kehilangan pemimpinnya itu."
Ki Bekel merasa ragu-ragu. Tetapi Ki Jagabaya Babadan itu berkata, "Apa yang dikatakan oleh ibu Ki Bekel itu benar. Kita racun keempat orang pemimpin mereka yang datang. Kita siapkan kekuatan yang dapat kita himpun. Kita akan melawan mereka jika para prajurit itu marah dan datang menyerang. Tetapi kebiasaan sepasukan prajurit, jika pemimpinnya sudah terbunuh, maka mereka merasa tidak berdaya lagi."
"Tetapi jika perhitungan kita itu keliru dan para prajurit itu benar-benar membakar seluruh padukuhan ini ?"
"Itu merupakan akibat buruk yang harus kita terima. Satu perjuangan itu mempunyai dua kemungkinan. Mukti atau mati. Kita harus berani menerima salah satu dari keduanya."
Ki Bekel Babadan itu menarik nafas panjang.
"Nah, kaupun harus berani menerima salah satu kemungkinan itu. Jika kau gagal menguasai Prancak dan harus mati di tangan prajurit Mataram, apaboleh buat. Kau tidak boleh lari dari kenyataan itu."
"Baik ibu. Aku akan melakukannya. Tetapi bagaimana kita meracun para pemimpin prajurit itu ?"
"Serahkan kepadaku."
Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Jagabaya yang sebelumnya adalah salah seorang dari para perampok yang bersarang di ujung hutan itu berkata, "Aku akan menyiapkan kekuatan yang mungkin dihimpun."
Sebenarnyalah Nyi Demang yang muda itupun telah mempersiapkan racun yang akan ditaburkan di minuman tamu-tamunya. Sementara Ki Jagabaya telah menghimpun kekuatan yang ada di Babadan serta padukuhan sebelah yang mempunyai pendirian yang sama dengan Babadan. Para perampok yang tersisa di padukuhan padukuhan itupun telah dikumpulkannya seadanya. Menurut perhitungan Ki Jagabaya sebagaimana perhitungan Nyi Demang yang muda, setelah para pemimpinnya terbunuh, maka para prajurit Mataram itu tidak akan berdaya lagi.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun masih berada dalam perjalanan. Namun ada sesuatu yang terasa kurang mapan di hati Ki Lurah. Menurut Ki Demang di Prancak, ibu tirinya itu adalah seorang perempuan yang sangat licik, yang mempunyai keinginan berkuasa dan bahkan mensahkan segala cara untuk mencapai maksudnya. Ki Lurahpun telah memperhitungkan bahwa kematian Raden Panengah yang mempunyai hubungan khusus dengan Nyi Demang yang muda itu, akan dapat menumbuhkan dendam yang mendalam di hatinya. Bertimbun dengan nafsunya untuk berkuasa di Prancak. Keinginannya untuk menjadikan anaknya laki-laki menjadi Demang di Prancak lelah membuatnya menempuh banyak cara bahkan yang nista sekalipun.
Ki Lurah Agung Sedayupun tidak melupakan pesan Ki Jayaraga pada saat ia minta diri, agar Ki Lurah itu berhati-hati.
Sebenarnyalah Ki Lurah itupun menjadi sangat berhati-hati. Bahkan Ki Lurahpun mulai membayangkan sambutan yang akan diterimanya di padukuhan Babadan.
"Mereka akan menerima kita dengan setengah hati," berkata Agung Sedayu kepada Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Ya," sahut Glagah Putih, "bahkan mungkin Nyi Demang yang muda itu tidak akan mau menemui kita."
"Tidak apa-apa. Asal Ki Bekel dapat menemui kita. Jika Ki Bekel tidak mau menemui kita, kita akan mencarinya dan memaksanya. Jika perlu dengan kekerasan."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Ketika mereka mendekati padukuhan Babadan, maka mereka telah meninggalkan sekelompok prajurit yang menyertai mereka. Berempat saja mereka meneruskan perjalanan, memasuki gerbang padukuhan Babadan.
Ketika mereka berempat sampai di rumah Ki Bekel, maka sambutan yang mereka terima ternyata di luar dugaan. Nyi Demang yang muda, anaknya yang berkedudukan sebagai Bekel di Babadan serta para bebahu telah turun ke halaman untuk menyongsong mereka.
Dengan sangat ramah mereka dipersilahkan untuk naik ke pendapa. Nyi Demang yang muda itu sendirilah yang telah mempersilahkan keempat orang itu naik.
"Terima kasih," Ki Lurah Agung Sedayupun mengangguk hormat. Demikian pula ketiga orang yang lain yang menyertainya.
Namun keramah tamahan mereka justru terasa berlebihan. Justru karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu selalu ingat kepada pesan Ki Jayaraga, agar ia menjadi sangat berhati-hati, karena yang dihadapinya bukan lagi kemampuan dan ketrampilan olah kanuragan. Tetapi mungkin mereka harus mempertimbangkan kelicikan dan kecurangan.
Beberapa saat kemudian, maka keempat orang itu sudah duduk di pringgitan rumah Ki Bekel yang terhitung besar dan baik. Agaknya Ki Bekel terhitung orang yang sangat berkecukupan.
"Apakah aku berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu ?" bertanya Nyi Demang yang muda itu.
"Akulah yang disebut Agung Sedayu," jawab Ki Lurah, "perempuan ini adalah istriku, sedang kedua orang ini adalah saudara sepupuku dan isterinya."
Nyi Demang yang muda itupun mengangguk-angguk. Sambil tertawa-tawa iapun memperkenalkan anak laki lakinya, Ki Bekel di Babadan. Kemudian diperkenalkannya juga para bebahu.
"Aku sendiri adalah ibu Ki Bekel di Babadan ini Ki Lurah," berkata Nyi Demang yang muda itu.
Ki Lurah Agung Sedayu itupun mengangguk-angguk. Sementara Nyi Demang itupun berkata, "Menurut utusan yang Ki Lurah kirim menjelang kedatangan Ki Lurah, Ki Lurah akan datang bersama tiga orang prajurit."
"O. Jika demikian, penghubungku itu salah mengatakan pesan. Aku hanya berpesan bahwa aku akan datang bersama tiga orang. Aku tidak menyebut, bahwa tiga orang itu adalah prajurit Mataram."
"Tidak ada bedanya," sahut Nyi Demang
"Nyi Demang," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, "mungkin Nyi Demang dan Ki Bekel sudah mengetahui maksud kedatanganku kemari."
"Ya, ya. Ki Lurah. Utusan Ki Lurah sudah menyinggungnya. Tetapi bukankah kita mempunyai banyak waktu" Aku sudah mempersiapkan hidangan yang dapat kami suguhkan bagi Ki Lurah, Nyi Lurah serta kedua sepupu Ki Lurah dan istrinya. Karena itu, sebaiknya kita bicarakan persoalan itu nanti saja sambil minum minuman hangat serta barangkali makanan seadanya."
Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, "Kedatangan kami jangan merepotkan Nyi Lurah serta keluarga di sini."
"Tidak. Tidak Ki Lurah. Kami sudah terbiasa menyambut tamu-tamu kami dengan hidangan seadanya."
Nyi Lurah itupun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Silahkan duduk Ki Lurah. Aku akan pergi ke dapur sebentar. Apa yang kami hidangkan, jangan membuat tamu-tamu kami kecewa."
"Silahkan. Nyi Silahkan."
Namun demikian, ada sesuatu yang seakan-akan menyentuh-nyentuh dasar jantung Ki Lurah. Ki Lurah memang merasa agak heran terhadap sambutan yang rasa-rasanya berlebihan. Sementara itu Ki Bekel sendiri serta para bebahu justru lebih banyak berdiam diri.
Perasaan heran Ki Lurah itupun kemudian justru menjadi perasaan curiga Ki Lurah itu seakan-akan melihat apa yang sedang dilakukan oleh Nyi Demang itu di dapur. Ki Lurah itu seakan-akan melihat Nyi Demang itu menaburkan racun di minuman yang akan dihidangkan.
Diam-diam Ki Lurah mengambil butiran reramuan untuk penawar racun dari kantong bajunya di bagian dalam. Dengan diam-diam pula ia memberikan sebutir reramuan itu kepada Sekar Mirah sambil berdesis perlahan, "Telanlah."
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun ia tidak bertanya lebih lanjut. Sementara Ki Lurahpun berbisik lagi, "berikan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan."
Sekar Mirah menerima lagi dua butir reramuan obat itu. Dengan gerak yang tidak menarik perhatian, maka Sekar Mirahpun telah memberikannya pula kepada Glagah putih dan Rara Wulan.
Merekapun segera tanggap. Mereka yakin bahwa Ki Lurah Agung Sedayu telah berbuat yang terbaik bagi mereka.
Sejenak kemudian, maka hidanganpun segera disuguhkan oleh dua orang perempuan. Masing-masing membawa nampan berisi makanan. Sedangkan minuman untuk keempat orang tamu itu telah dibawa sendiri oleh Nyi Demang.
"Seadanya Ki Lurah. Di desa kecil seperti Babadan ini, tentu tidak akan ada suguhan yang pantas sebagaimana di Mataram. Sebuah kota yang besar dan memiliki seribu macam gebyar yang pantas dikagumi."
"Kami tidak tinggal di Mataram, Nyi."
"Jadi?" "Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Barak Pasukan Khusus yang aku pimpin ini berada di Tanah Perdikan Menoreh."
"O," Nyi Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian perempuan yang lain telah membawa hidangan minuman hangat bagi orang-orang Babadan yang ikut menemui para tamu itu.
Baru kemudian, Nyi Demang dengan sangat ramah sambil tersenyum-senyum mempersilahkan keempat orang tamunya itu minum.
"Terima kasih. Nyi," berkata Ki Lurah Agung Sedayu yang memberi isyarat agar ketiga orang yang menyertainya minum pula.
Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera meneguk minuman hangat itu.
"Silahkan Ki Lurah," Nyi Demangpun kemudian menyodorkan wajik serta jenang alot.
"Aku membuatnya sendiri, Ki Lurah."
"O," Ki Lurah mengangguk-angguk. Sementara itu Nyi Demangpun berkata, "Marilah, Ki Lurah. Silahkan minum mumpung masih hangat."
Ki Lurah Agung Sedayu kembali mengangkat mangkuknya dan menghirup beberapa teguk lagi. Demikian pula Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan.
Keempat orang itu tidak membicarakan lebih dahulu apa yang akan mereka lakukan seandainya di dalam minuman atau makanan yang dihidangkan itu mengandung racun atau sejenisnya.
Tetapi ketika mereka melihat sikap Ki Lurah Agung Sedayu, maka merekapun segera tanggap pula. Merekapun harus berbuat sebagaimana Ki Lurah Agung Sedayu.
Setelah minum beberapa teguk, serta makan makanan yang belum habis sepotong, maka Ki Lurah Agung Sedayupun menjadi seperti orang mabuk. Bahkan ia telah berusaha untuk bangkit berdiri sambil berkata, "Apa yang telah aku minum ?"
"Kenapa Ki Lurah. Kenapa ?"
Ki Lurah masih berusaha menjawab, "Kalian berikan reramuan apa didalam minuman yang kausuguhkan kepadaku. Nyi Demang. Mataku menjadi kabur dan rasa-rasanya aku telah menelan api. Tenggorokanku serasa terbakar dan darahku bagaikan mendidih."
Nyi Demang masih juga bertanya, "Ada apa, Ki Lurah. Apa yang telah terjadi ?"
"Akulah yang justru harus bertanya kepadamu. Apa yang telah kau lakukan terhadap kami ?"
Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun dapat mengenali sesuatu yang terasa asing didalam minuman mereka. Ketajaman penggraita mereka, maka mereka sudah menduga, bahwa didalam minuman merekapun telah diberikan racun oleh Nyi Demang.
Ternyata mereka bertigapun telah menirukan, apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Merekapun segera beringsut mencari sandaran. Glagah Putihpun segera bersandar tiang, sementara Rara Wulan dan Sekar Mirahpun bersandar dinding.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Nyi Demang yang melihat keadaan keempat tamunya itupun tertawa berkepanjangan. Dengan lantang iapun berkata, "Itulah pembalasanku. Kalian telah membuat kami sakit hati serta mendendam. Kalian telah menghancurkan lingkungan hidup di ujung hutan itu. Kalian lelah membunuh orang-orang yang sangat kami butuhkan. Kalian telah membunuh Raden Panengah dan Raden Mahambara disamping para pemimpin yang lain. Dengan demikian, maka kalian telah membunuh pula harapan anakku, Bekel Babadan untuk mengambil alih pemerintahan di kademangan Prancak. Nah, kematian yang sudah kalian taburkan itu, harus kalian tuai pula. Kedua orang perempuan inipun tentu ikut pula membunuh di ujung hutan. Jika tidak, maka mereka tentu tidak akan berada disini sekarang."
Agung Sedayu terduduk dengan lemahnya. Iapun kemudian bersandar dinding seperti Sekar Mirah dan Rara Wulan.
"Tidak ada penawar yang dapat menawarkan racun yang aku taburkan didalam minuman kalian. Kalian akan mati. Para prajurit Mataram yang kehilangan pemimpinnya tidak akan berani berbuat apa-apa lagi di Babadan."
"Kau salah, Nyi." suara Ki Lurah Agung Sedayu menjadi sangat dalam, "para prajurit itu akan datang dan menghancurkan padukuhan ini."
"Omong kosong. Sekelompok prajurit akan kehilangan keberaniannya untuk berbuat sesuatu jika pemimpinnya sudah terbunuh."
"Itu menurut kemauanmu. Tetapi prajuritku tidak. Jika mereka tahu bahwa kami mengalami kesulitan disini, maka mereka tentu akan datang kemari. Selain aku, masih ada seorang Lurah prajurit yang memimpin pasukanku. Seorang Lurah prajurit yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi."
"Kau sudah mulai mengigau menjelang saat kemauanmu, Ki Lurah. Sebaiknya kalian berempat berdoa saja bagi diri kalian masing-masing, agar kalian mendapat jalan yang terang. Kalian tidak usah memikirkan apa-apa tentang dunia yang akan kalian tinggalkan ini. Kalian tidak usah memikirkan padukuhan Babadan serta kademangan Prancak. Kalian tidak usah memikirkan di mana kalian akan dikuburkan. Kami berjanji, bahwa kami akan menguburkan mayat kalian sebagaimana seharusnya."
Ki Lurah Agung Sedayu yang bersandar dinding itu masih menjawab, "Kau akan menyesal Nyi Demang. Segala sesuatunya tidak berlangsung sebagaimana kau kehendaki."
Nyi Demang itu tertawa berkepanjangan. Sementara itu Ki Bekelpun bertanya, "Bagaimana dengan mereka ibu ?"
"Mereka akan mati. Kau lihat, bahwa mereka sudah tidak berdaya lagi. Racun yang aku taburkan di minuman mereka adalah racun yang tidak terlawan oleh penawar yang manapun juga."
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih menjawab, "Kematian seseorang berada di tangan Yang Maha Agung, Nyi. Kau tidak akan dapat menentukan kematian seseorang."
"Tetapi yang aku katakan itu akan terbukti. Kalian akan mau karena racunku."
"Meskipun racunmu sangat kuat, tetapi jika Yang Maha Agung masih menghendaki kami tetap hidup, maka racunmu tidak akan menghentikan detak jantung kami."
Nyi Demang yang muda itu tertawa semakin keras. Bahkan Ki Bekelpun tertawa pula.
"Kau mulai menjadi putus-asa," berkata Nyi Demang, "kau mencoba mencari sandaran. Tetapi itu udak akan berarti apa-apa. Kau akan mati."
Ki Bekelpun kemudian berkata lantang pula, "Kalian semuanya akan mati."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun berdesis, dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Yang Maha Agung akan menyelamatkan kami dengan seribu macam cara yang sulit dimengerti oleh banyak orang."
"Sudahlah," potong Nyi Demang, "sekarang pergunakan waktumu yang tinggal sedikit itu untuk berdoa. Untuk mohon ampun, agar kau mendapat jalan terang di akhirat."
"Aku memang selalu berdoa. Tidak saja dalam keadaan yang gawat. Tetapi dalam segala keadaan. Dalam susah dan senang, dalam duka dan suka."
"Cukup. Diamlah. Bersiaplah untuk menghadapi kematian. kenapa kau masih saja mengigau seperti orang yang sedang kesurupan demit?"
"Aku tidak mengigau. Aku berkata dengan sadar. Jika Yang Maha Agung berkehendak lain, maka kau akan dipermalukan di hadapan banyak orang. Dihadapan kami dan dihadapan orang-orangmu sendiri."
"Diam. Diam. Matilah. Kau harus segera mati."
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih saja menjawab, "Sudah aku katakan. Bukan kau yang menentukan kematian sesamamu. Jika yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung justru Nyi Demang, maka sekarang Nyi Demangpun akan dapat diambil-Nya."
"Matilah. Seharusnya kau sudah mati. Kenapa kau masih juga belum mati."
Nyi Demang. Ki Bekel dan para bebahu padukuhan Babadan yang ada di pringgitan itupun menjadi tegang. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu serta tiga orang yang menyertainya itu masih belum mati. Bahkan yang dilakukan oleh Glagah Putih kemudian sangat mengejutkan mereka.
Glagah Putih yang duduk bersandar tiang itupun tiba-tiba beringsut. Dipungutlah sepotong wajik yang kemudian dimakannya sambil beringsut kembali bersandar tiang.
Wajah Nyi Demang menjadi merah. Apalagi ketika ia melihat Rara Wulan tersenyum melihat tingkah Glagah Putih.
Ki Bekel Babadan melihat kegagalan rencana ibunya membunuh keempat orang itu dengan racun. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu masih juga belum mati. Kedua orang perempuan yang menyertainya itu masih juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang lagi justru telah makan sepotong wajik.
Hampir diluar sadarnya Ki Bekel itupun bertanya kepada ibunya, "Ibu. Apa yang terjadi dengan mereka ?"
Wajah Nyi Demangpun terasa menjadi panas. Ternyata keempat orang itu tidak segera mati. Bahkan ternyata bahwa keempatnya agaknya tidak terpengaruh oleh racun yang ditaburkannya di minuman mereka.
"Kenapa kalian tidak mati, he " Racunku adalah racun yang paling ganas."
Ki Lurah Agung Sedayu yang masih duduk bersandar dinding itulah yang menjawab, "Nyi Demang. Ternyata kau tidak mempunyai pengetahuan tentang racun. Seorang yang memiliki pengetahuan yang sangat tinggi tentang racun, gagal membunuhku dengan racunnya, karena Yang Maha Agung masih belum menghendaki kematianku. Sekarang Nyi Demanglah yang mencoba membunuhku dengan racun."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Lalu katanya pula, "Racunmu tidak berarti apa-apa bagi kami, Nyi Demang."
"Setan, iblis, laknat kau Ki Lurah." teriak Nyi Demang.
"Kau tidak usah mengumpat-umpat. Sikapmu itu tidak akan membantu menyelesaikan persoalan anakmu dengan Ki Demang di Prancak."
"Tidak. Kami harus membunuhmu Ki Lurah. Jika racunku gagal, maka orang-orangkulah yang akan membunuhmu."
Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Sudahlah. Jangan memaksakan kehendakmu. Nyi Demang. Apapun yang kau lakukan tidak akan ada artinya. Kami berempat tidak akan menyerah jika kau ingin mempergunakan kekerasan. Bahkan mungkin benar-benar akan jatuh korban diantara orang-orangmu."
Kemarahan Nyi Demang sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja Nyi Demang itu telah berkata kepada seorang bebahu.
"Panggil Ki Jagabaya. Apakah orang-orang yang siap untuk menangkap orang yang mengaku seorang Lurah prajurit yang memimpin sekelompok prajurit Mataram ini sudah ada di padukuhan induk."
"Jika sudah ?" bertanya bebahu itu.
"Edan kau Ki Kebayan. Buat apa kau menemui Ki Jagabaya jika kau tidak tahu, apakah yang harus mereka lakukan."
"Ya, apa?" "Kau seharusnya sudah tahu sejak semula, katakan kepada Ki Jagabaya, agar mereka datang ke banjar ini dengan semua peralatan perang yang dapat mereka bawa, serta semua orang yang berada di belakang barisan kita."
"Nyi Demang," bertanya Ki Kebayan, "tetapi bukankah kita tidak akan pergi kemana-mana ?"
"Kebayan dungu, bodoh. Kita memang tidak akan pergi kemana-mana. Kita akan bertempur disini."
Ki Kebayan itu masih saja nampak ragu-ragu. Apakah cara yang akan ditempuh Nyi Demang itu akan berhasil.
Tetapi Ki Kebayan itu tidak berani berkata sebenarnya sesuai dengan pikirannya. Kebingungannya itu justru membuatnya seperti orang yang sangat bodoh di hadapan Nyi Demang.
Dalam keragu-raguan ia mendengar Nyi Demang membentaknya, "Cepat. Apalagi yang kau pikirkan ?"
Ki Kebayan itupun segera bangkit berdiri. Iapun kemudian melangkah turun dari pendapa.
Tetapi ketika ia sudah hampir sampai di regol halaman, Ki Kebayan itupun segera berbalik. Demikian ia berdiri di tangga pendapa, iapun bertanya, "Ki Jagabaya sekarang berada di mana?"
"Kenapa kau menjadi sebodoh kerbau, Ki Kebayan. Cari di banjar atau di mana saja dapat kau ketemukan."
Ki Kebayan itupun mengangguk. Kemudian iapun segera melangkah ke regol halaman.
Demikian Ki Kebayan itu pergi, Ki Lurah Agung Sedayu berkata, "Nyi Demang. Seharusnya Nyi Demang tidak usah memaksa diri untuk menyelesaikan persoalan antara anak Nyi Demang yang sekarang sudah menjabat sebagai Bekel di Babadan dengan kakaknya, Ki Demang di Prancak dengan cara ini."
"Itu urusan kami. Ki Lurah tidak usah ikut campur."
"Baik. Seandainya aku tidak ikut mencampuri persoalan Ki Bekel di Babadan dengan Ki Demang di Prancak, namun aku tetap mempunyai persoalan dengan Nyi Demang."
"Persoalan apa ?"
"Nyi Demang sudah mencoba meracuni aku serta tiga orang yang datang bersamaku. Dengan demikian maka Nyi Demang sudah berusaha membunuh, setidak-tidaknya ampat orang. Bahkan seorang diantaranya adalah seorang prajurit yang sedang mengemban tugas yang dibebankan oleh Mataram kepada prajurit itu."
Wajah Nyi Demang menjadi semakin tegang. Namun Nyi Demang sudah terlanjur basah, sehingga rasa-rasanya sudah tidak ada lagi jalan kembali.
"Ki Lurah. Apapun yang akan kalian lakukan, namun kalian tidak akan sempat keluar dari halaman rumah ini."
"Kau bermimpi Nyi Demang. Jika sekarang aku keluar dari halaman rumah ini, siapakah yang akan dapat menghalangi" Ki Bekel dan beberapa orang bebahu ini ?"
"Ya. Mereka akan menghalangi jalan keluar."
"Apakah mereka mempunyai nyawa rangkap sehingga mereka berani menghalangi kami?"
Nyi Demang menjadi bingung. Sementara itu Ki Bekel dan para bebahu itupun menjadi sangat gelisah.
Namun kemudian dengan suara yang bergetar Nyi Demang itupun berkata, "Sebentar lagi, Ki Jagabaya akan datang dengan pasukannya. Kalian berempat tidak akan dapat melepaskan diri dari tangannya."
Jilid 369 KI LURAH Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Apakah Nyi Demang akan memaksa kami menunggu kedatangan mereka?"
"Ya. Kami akan memaksa Ki Lurah menunggu mereka datang."
"Jika sebelum mereka datang kami sudah pergi."
"Tidak. Tidak. Kalian tidak boleh pergi sekarang."
Ki Lurah Agung Sedayu melihat, bahwa Nyi Demang itu sudah menjadi sangat kebingungan. Sejak racunnya gagal membunuh keempat orang yang datang ke rumah Ki Bekel itu, maka Nyi Demang itu sudah mulai kehilangan arah, sehingga apa yang dilakukannya kemudian tidak lagi diperhitungkan sama sekali.
Namun Ki Lurah Agung Sedayu itupun ternyata menjawab, "Baiklah. Kami tidak akan pergi sebelum Ki Jagabaya datang. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan para bebahu, termasuk Ki Jagabaya."
Ki Bekelpun menjadi sangat gelisah. Agaknya segala sesuatu yang dilakukannya selama ini sangat tergantung kepada ibunya.
Karena itu, ketika ibunya menjadi kebingungan, maka Ki Bekelpun menjadi sangat bingung pula. Kegelisahan yang sangat telah membayang di wajahnya. Bahkan Ki Bekel itupun selalu memandang kepada ibunya yang juga nampak gelisah dan cemas.
Bahkan Ki Bekel itupun kemudian bertanya, "Ibu, apa yang harus kita lakukan."
"Kita menunggu Ki Jagabaya yang telah dipanggil oleh Ki Kebayan."
"Tetapi kenapa Ki Jagabaya itu lama sekali belum datang."
"Diamlah. Diam sajalah. Nanti semuanya akan selesai dengan baik."
Ki Lurah Agung Sedayulah yang menyahut, "Jangan gelisah, Ki Bekel. Ibumu telah gagal. Nantipun ibumu akan gagal. Baru kemudian aku akan berbicara dengan kau, dengan para bebahu termasuk Ki Jagabaya."
"Ibu," berkata Ki Bekel, "mereka tidak takut kepada Ki Jagabaya. Kenapa mereka justru menunggu. Kenapa mereka tidak ibu biarkan melarikan diri."
"Kau juga bodoh seperti Ki Kebayan. Mereka tidak boleh lari. Mereka harus mati di sini. Mereka tidak boleh bertemu lagi dengan prajurit-prajuritnya."
"Tetapi kenapa mereka nampaknya sama sekali tidak menjadi ketakutan meskipun ibu telah mengancamnya untuk membunuh mereka."
"Diam. Diam sajalah anak manja. Kau harus belajar berjuang untuk mencapai satu cita-cita."
Ki Bekel itu terdiam. Tetapi ia menjadi sangat gelisah. Duduknya menjadi tidak tenang. Ia selalu saja beringsut. Keringatnya telah membasahi seluruh pakaiannya. Sementara itu, Nyi Demangpun telah berdiri dan berjalan hilir mudik di pendapa. Sementara para bebahu yang lain pun tidak tahu lagi, apa yang harus mereka lakukan.
Dalam keadaan yang demikian, Ki Lurah Agung Sedayulah yang berbicara, "Tenang sajalah Ki Sanak. Tidak akan terjadi apa-apa atas diri kalian jika kalian tetap duduk di pringgitan. Tetapi jika kalian melibatkan diri dengan kegiatan Ki Jagabaya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diri kalian. Ki Jagabaya adalah orang yang berpengalaman di berbagai macam medan pertempuran karena ia seorang perampok yang bengis. Demikian pula beberapa orang yang terselip di sini. Mereka luput dari tangan para prajurit karena mereka tidak ikut pergi ke sarang mereka di ujung hutan itu."
Ki Bekel dan para bebahu itu terdiam. Tetapi mereka justru menjadi semakin gelisah. Beberapa orang yang semula tidak setuju dengan sikap Ki Bekel atas dorongan Nyi Demang dan Raden Panengah untuk mengambil alih kepemimpinan di Prancak, menjadi semakin menyesal.
Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang dihadapan mereka duduk seorang Lurah Prajurit yang membawa pasukan yang telah menghancurkan sarang perampok di ujung hutan. Sarang dari orang-orang yang menjadi landasan kekuatan Nyi Demang untuk merebut kedudukan anak tirinya dan akan diserahkannya kepada anaknya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja duduk dengan tenang. Bahkan mereka sudah tidak lagi duduk bersandar dinding atau tiang pringgitan. Wajah mereka tidak menjadi pucat serta tangan mereka tidak menjadi gemetar.
Dalam pada itu, Ki Kebayanpun berlari-lari memasuki regol halaman rumah Ki Bekel di Babadan.
Nyi Demang yang melihat kedatangannyapun telah menyongsongnya turun ke halaman.
"Bagaimana dengan Ki Jagabaya ?"
"Ki Jagabaya sudah berada di perjalanan ke rumah ini."
"Di mana ia sekarang ?"
"Tinggal beberapa puluh langkah lagi."
"Bagus. Berapa orang yang datang bersama Ki Jagabaya?"
"Banyak sekali."
"Berapa, dungu."
"Aku tidak sempat menghitung."
"Kira-kira saja. Kira-kira."
Ki Kebayan itu nampak berpikir. Kemudian iapun menjawab, "Lebih dari sepuluh orang."
"Sepuluh orang " Hanya sepuluh orang."
"Lebih-lebih. Para perampok saja jumlahnya sudah enam orang."
"Jangan sebut perampok. Aku potong lidahmu," geram Nyi Demang.
"Bukan. Mereka bukan perampok. Tetapi mereka justru orang-orang yang telah membantu kita. Bukankah begitu, Nyi."
"Ya. Mereka adalah orang-orang yang telah memberikan pengharapan bagi masa depan kita."
"Ya, ya. Nyi." "Jadi berapa orang jumlah mereka yang datang bersama Ki Jagabaya selain enam orang itu?"
"Lebih dari dari sepuluh, eh lebih dari dua puluh orang."
"Hanya dua puluh ?"
"Lebih, Nyi. Lebih. Pokoknya banyak sekali. Mereka datang dalam iring-iringan yang panjang. Mereka akan memenuhi halaman banjar ini."
Nyi Demang itupun menarik nafas panjang. Iapun kemudian berbalik naik ke pendapa. Dengan lantang Nyi Demang itupun berkata kepada orang-orang yang duduk di pringgitan, "Nah, kalian mendengar sendiri, bahwa akan datang banyak orang memasuki halaman ini. Betapapun tinggi para prajurit Mataram, namun rakyat Babadan yang setia kepada pemimpinnya akan menggilas mereka menjadi ndeg pangamunamun."
"Sukurlah jika mereka sudah datang, sehingga kami tidak menunggu terlalu lama."
"Kalian akan mati. Mereka akan membunuh kalian."
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu serta ketiga orang yang menyertainya itu tetap tenang-tenang saja. Namun Ki Lurah itupun berkata kepada Glagah Putih, "Kita akan menyelesaikannya sendiri. Kita tidak usah memberi isyarat kepada para prajurit."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, "Jika kita berempat akan memusuhi mereka, apakah kita dapat menghindari kematian di antara mereka. Mereka terlalu banyak."
"Kita harus berusaha menghindari korban yang jatuh. Kita harus menghindari kematian. Tetapi jika ternyata itu terjadi, apableh buat."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Tetapi kita akan berusaha," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, sebuah iring-iringan memasuki halaman banjar. Memang benar yang dikatakan oleh Ki Kebayan. Ternyata Ki Jagabaya berhasil mengumpulkan lebih dari dua puluh lima orang.
Ki Bekel di Babadan masih saja nampak cemas. Tetapi ibunya yang berdiri di ujung pendapa sambil bertolak pinggang berkata, "Ki Lurah. Nasibmu memang buruk. Aku memang gagal membunuh kalian dengan racun. Tetapi orang-orangku yang setia kepada cita-cita mereka, untuk mengambil alih kekuasaan Ki Demang Prancak yang sama sekali tidak dikehendaki oleh rakyatnya itu telah siap membantai kalian. Sebenarnya bagi kalian, mati karena racunku itu akan berlangsung lebih baik daripada kalian harus mati dicincang oleh rakyatku."
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih juga tertawa sambil menjawab, "Kalian tidak berhak menentukan kematian kami dengan cara apapun juga. Bahkan seandainya kami mati disini, itu bukan karena kemampuan kalian. Tetapi batas waktu kami memang sudah tiba. Karena itu, kami sama sekali tidak menjadi cemas, karena kami yakin bahwa bukan kalian yang menemukan kematian kami."
"Persetan," teriak Nyi Demang, "sekarang bangkitlah agar kami tidak perlu menyeret kalian dari pringgitan dan membantai kalian di halaman."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Lurah Agung Sedayupun segera bangkit berdiri. Demikian pula Sekar Mirah, Glagah Putih dan Para Wulan. Mereka melangkah perlahan-lahan mendekati Nyi Demang. Namun Nyi Demangpun segera melangkah surut dan berdiri di tangga pendapa.
Sementara itu Ki Bekelpun menjadi bimbang. Apa yang harus dilakukannya, sehingga ibunya berteriak, "Ki Bekel. Kenapa kau diam saja. Bangkit dan kemarilah. Bergabunglah dengan rakyatmu yang setia untuk membunuh keempat orang itu."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun segera mengajak para bebahu yang masih berada di pringgitan untuk turun ke halaman, bergabung dengan Ki Jagabaya, beberapa perampok yang masih tersisa di padukuhan Babadan, serta sekelompok orang yang berada di halaman.
"Kita akan menentukan kemenangan kita hari ini," berkata Nyi Demang, "kita akan membunuh pemimpin prajurit Mataram yang telah membunuh sahabat-sahabat kita yang tinggal di ujung hutan. Tanpa pemimpinnya maka prajurit Mataram akan menjadi seperti seorang yang lumpuh, yang tidak mampu berbuat apa-apa. Karena itu, jangan sampai lolos. Ki Lurah Agung Sedayu serta ketiga orang yang menyertainya itu harus mati disini."
Tiba-tiba Ki Jagabaya itupun berteriak, "Bunuh mereka secepatnya. Kita tidak mempunyai banyak waktu."
Namun Glagah Putihlah yang menyahut, "Ki Jagabaya. Bukankah kita pernah ketemu" Apakah Ki Jagabaya sudah lupa ?"
Wajah Ki Jagabaya menjadi tegang. Ia memang pernah bertemu dengan orang itu bersama isterinya yang sekarang juga berdiri di sebelahnya.
Namun sekarang Ki Jagabaya mempunyai banyak kawan. Karena itu, maka Ki Jagabaya itupun berkata, "Sekarang, kau tidak akan dapat luput dari tanganku. Kesombonganmu akan menjerumuskanmu kedalam petaka. Bahkan akan melepaskan nyawamu dari tubuhmu."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun iapun berdesis kepada Ki Lurah Agung Sedayu, "Kita akan memilih lawan. Kita akan menangkap kawan-kawan Ki Jagabaya yang agaknya berasal dari ujung hutan."
"Ya," Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Iapun segera menggamit Sekar Mirah dan Rara Wulan, "amati orang-orang yang kita duga berasal dari ujung hutan."
Dalam pada itu, terdengar Ki Jagabaya berteriak lebih keras, "Bunuh orang-orang itu."
Sekelompok orang yang berada di halaman itu mulai bergerak. Bahkan kemudian diantara mereka terdapat Ki Bekel dan para bebahu.
Demikian mereka mulai bergerak, Nyi Demangpun berteriak, "Bagus Ki Bekel. Kau bukan lagi anak manja yang hanya pandai merajuk. Kini kau telah menjadi seorang pahlawan yang akan memperjuangkan cita-cita."
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah turun ke halaman. Merekapun langsung berada dalam kepungan.
"Bunuh mereka," teriak Ki Jagabaya yang disambut oleh Nyi Demang, "Ya. Bunuh mereka."
Namun suara Nyi Demang bagaikan tertelan ketika tiba-tiba saja, tanpa diketahui bagaimana terjadinya, Rara Wulan sudah berdiri di hadapannya.
"Bagaimana kalau aku bunuh kau?"
Nyi Demang yang terkejut itu menjadi pucat. Tiba-tiba saja iapun berlari berlindung di belakang Ki Jagabaya sambil berteriak, "Tolong, tolong aku Ki Jagabaya."
Rara Wulan tertawa. Tetapi ia tidak mengejarnya. Dengan nada tinggi iapun berkata, "Kau akan melindunginya Ki Jagabaya."
Nada suara Rara Wulan terdengar sebagai ancaman bagi Ki Jagabaya. Tiba-tiba saja Ki Jagabayapun berteriak pula, "Jaga perempuan itu agar tidak melarikan diri."
"Aku tidak akan melarikan diri," berkata Rara Wulan, "aku senang melihat Nyi Demang menjadi pucat seperti kapuk," lalu katanya, "nah, Ki Bekel. Itulah ibumu. Ia hanya pandai berteriak-teriak serta memaksamu untuk menjadi pahlawan. Tetapi ibumu sendiri ternyata seorang pengecut. Ia berlari terbirit-birit ketika aku mendekatinya. Sudah tentu bahwa perempuan seperti itu tidak akan dapat mendidik anaknya menjadi seorang pahlawan meskipun perempuan itu sangat menginginkannya."
Namun setelah Nyi Demang berdiri di belakang Ki Jagabaya serta merasa aman, iapun berteriak lagi, "Kau jangan terlalu sombong perempuan binal. Kaulah yang telah menyalahi kodrat seorang perempuan. Seorang perempuan tidak harus turun ke medan perang. Mereka sudah mempunyai tugas sendiri dengan mempertaruhkan nyawanya. Perempuan mempunyai kewajiban melahirkan anaknya dengan kemungkinan paling pahit, karena seorang yang melahirkan dapat mati sebagaimana seorang laki-laki yang turun di medan perang."
"O, jadi menurut pendapatmu, seorang perempuan itu tugasnya hanya melahirkan sedangkan laki-laki turun ke medan perang."
"Ya. Dan itulah yang terjadi. Karena itu, jika ada perempuan yang turun ke medan pertempuran, maka ia telah menyalahi kodratnya."
"Aku akan melakukan kedua-duanya, Nyi Demang." jawab Rara Wulan, "Aku akan melahirkan sementara sebelum itu, aku akan turun ke medan pertempuran."
"Bunuh perempuan iblis itu Ki Jagabaya."
Ki Jagabaya itupun sekali lagi berteriak, "bunuh mereka." Ternyata kata-kata Ki Demang itu sama sekali tidak menusuk perasaan Rara Wulan. Yang terasa seperti tersengat lebah justru perasaan Sekar Mirah. Ternyata bahwa Sekar Mirah tidak dapat memenuhi kewajiban seorang perempuan untuk melahirkan seorang anak. Tetapi ia justru berada di medan pertempuran sebagaimana laki-laki.
Kata-kata Nyi Demang itu justru telah membuat Sekar Mirah termangu-mangu sesaat. Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah itupun menggeram. Sebelum pertempuran itu dimulai, tiba-tiba saja Sekar Mirah telah menarik tongkat baja putihnya yang berada di dalam bungkus kulitnya yang tersangkut di punggungnya.
Dengan geram Sekar Mirah itupun berkata dengan suara yang bergetar, "Aku bunuh kau Nyi Demang. Jika Ki Jagabaya mencoba menghalangiku, maka kau akan mati lebih dahulu."
Rara Wulan dan Glagah Putih justru terkejut. Rara Wulan yang berniat mempermainkan Nyi Demang itu tidak mengira bahwa Sekar Mirah merasa tersinggung karenanya.
Namun Ki Lurah Agung Sedayu tanggap akan perasaan isterinya yang tidak sempat melahirkan seorang anakpun. Karena itu, maka Ki Lurahpun segera meloncat ke sampingnya. Didekapnya Sekar Mirah sambil berdesis, "Sabarlah, Mirah. Jangan terbelit oleh gejolak perasaanmu, sehingga kau kehilangan kesabaran. Bukan waktunya untuk merasa kecewa. Jika kau ledakkan kemarahanmu disini, maka perbuatanmu itu akan dapat berarti bahwa kau telah menggugat Yang Maha Agung, karena sebenarnya apa yang terjadi atas diri kita itu semata-mata tergantung kepada kehendak-Nya."
"Aku tidak menggugat siapa-siapa. Tetapi aku akan mengoyak mulut perempuan itu."
"Mirah. Jangan lakukan itu karena kemarahan yang bergejolak di dadamu. Kita sedang menghadapi satu permainan yang menarik. Seharusnya kau lupakan barang sejenak, perasaanmu yang pahit itu."
Sementara itu Rara Wulanpun telah bergeser mendekati Sekar Mirah. Iapun akhirnya mengetahui, apa yang sedang bergejolak di jantung Sekar Mirah. Karena itu, maka iapun berkata, "Mbokayu. Maafkan aku. Tetapi bersabarlah. Seperti yang dikatakan oleh kakang Agung Sedayu, kita sedang menghadapi permainan yang menarik. Jika kau bertempur dengan kemarahan yang bergejolak di dalam dada, maka mbokayu akan dapat membayangkan sendiri akibatnya."
"Mirah," desis Agung Sedayu, "kita tidak berhadapan dengan orang-orang berilmu yang pantas kau hadapi dengan kemarahanmu."
Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Terdengar perempuan itu berdesis, "Kakang."
"Sudalah," sahut Agung Sedayu, "kau lihat orang-orang itu sudah mengepung kita."
Sekar Mirah mengangkat wajahnya memandang berkeliling. Sementara itu Rara Wulan melihat titik-titik bening di mata Sekar Mirah.
Ki Jagabaya dan Nyi Demang yang melihat sikap keempat orang yang berada di dalam kepungan itu menjadi heran, sehingga mereka yang sudah mulai bergerak itupun tertegun sejenak.
Namun akhirnya merekapun menyadari, bahwa mereka sudah siap untuk menyerang keempat orang itu. Bahkan Ki Jagabaya seolah-olah melihat kesempatan selagi keempat orang itu bersikap aneh dan tidak dapat dimengertinya
"Persetan dengan persoalan mereka," geram Ki Jagabaya, "sekerang bunuh mereka. Jangan ragu-ragu lagi. Yang mereka lakukan itu hanyalah sekedar mengulur waktu. Mungkin mereka menunggu prajurit-prajuritnya yang akan datang jika dalam waktu tertentu mereka berempat tidak kembali. Tetapi jika mereka datang, serta pemimpin mereka sudah mereka dapatkan terbunuh disini, maka mereka tidak akan berani berbuat apa-apa."
"Ki Jababaya benar. Mereka telah memainkan peran mereka dengan baik sekali untuk mengulur waktu. Karena itu, maka bunuh mereka sebelum prajurit-prajurit mereka datang."
Orang-orang dari ujung hutan yang tersisa di Babadan itulah yang memancing gerakan orang-orang Babadan. Demikian mereka mulai menyerang, maka orang-orang Babadan itupun telah bergerak pula. Bahkan halaman banjar itu semakin lama menjadi semakin banyak orang yang bedatangan. Mereka adalah orang-orang Babadan yang merasa bahwa mereka sedang memperjuangkan kebenaran.
Ketika Sekar Mirah niutai beringsut, maka Ki Lurah Agung Sedayupun berbisik, "Hati-hatilah dengan senjatamu, Mirah. Senjatamu adalah senjata yang jarang ada duanya. Setiap sentuhannya akan dapat berarti kematian. Bukankah kita tidak menginginkannya."
Sekar Mirah mengangguk. "Bagus. Sekarang, marilah kita mulai dengan permainan kita. Kita akan dapat mengenali orang-orang yang berasal dari ujung hutan. Kita memang tidak perlu membunuh mereka, tetapi kita akan berusaha membuat agar mereka tidak dapat lari lagi. Mungkin kita akan membuat mereka pingsan atau kesakitan atau terluka sehingga mereka tidak dapat meninggalkan arena ini."
Dalam pada itu, Ki Jagabaya serta orang-orang yang tersisa dari ujung hutan itu diikuti oleh rakyat Babadan telah bergerak serentak.
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri pada jarak yang tidak terlalu jauh, sehingga kepungan itupun menjadi semakin kecil. Dengan demikian, maka orang-orang yang ingin bertempur bersama-sama melawan keempat orang itupun menjadi saling berdesakan sehingga menjadi tidak leluasa menggerakkan senjata mereka.
Ternyata yang berdiri di paling depan adalah orang-orang yang nampaknya agak berbeda dengan orang-orang Babadan kebanyakan. Wajah-wajah merekapun nampak garang. Mata mereka liar sementara mereka bertempur dengan keras dan kasar.
Tetapi yang mereka hadapi adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian, maka merekapun tidak segera dapat berhasil. Bahkan bergantian mereka seolah-olah telah dilemparkan dari arena pertempuran menimpa orang-orang Babadan yang berdiri di belakangnya.
Pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Nyi Demang telah menyingkir dan naik ke pendapa. Ia ingin melihat, bagaimana keempat orang itu mati di tangan orang-orang yang setia kepadanya.
Nyi Demang memang tidak pandai menilai dengan tepat keseimbangan pertempuran. Yang dilihat oleh Nyi Demang itu adalah, bahwa keempat orang itu sudah terkepung sangat rapat.
"Kau akan lari kemana tikus-tikus liar," geram Nyi Demang.
Tetapi dari atas pendapa ia sempat melihat orang-orangnya setiap kali terlempar dari arena menimpa kawan-kawannya.
Keempat orang yang bertempur melawan orang sehalaman rumah Ki Bekel yang luas itu ternyata tidak banyak mengalami kesulitan. Bahkan ketika Ki Jagabaya sendiri melibatkan diri, maka Glagah Putih-pun mentertawakannya sambil berkata, "Marilah Ki Jagabaya. Aku sudah siap untuk melayanimu lagi."
Ki Jagabaya tidak mau direndahkan di hadapan kawan-kawannya dari ujung hutan. Ia sudah mendapat kepercayaan dari Raden Panengah untuk menjadi Jagabaya di Babadan. Karena itu, maka iapun harus dapat membuktikan kesanggupannya menjalankan kewajiban sebagai seorang Jagabaya.
Tetapi bagaimanapun juga, kemampuan Ki Jagabaya itu memang tidak seimbang dengan kemampuan Glagah Putih. Karena itu, beberapa kali Ki Jagabaya itu terpelanting dengan kerasnya.
Ki Jagabaya itupun kemudian tidak dapat ingkar, bahwa ia memang tidak akan dapat berbuat banyak. Karena itu, maka iapun selalu berteriak-teriak lantang, bahkan isyarat agar kawan-kawannya membantunya.
Namun mereka memang tidak berdaya. Ki Lurah Agung Sedayu bersama ketiga orang yang menyertainya telah memilih orang-orang yang pantas mereka anggap sebagai bagian yang tersisa dari orang-orang yang tinggal di ujung hutan untuk menghentikan perlawanan mereka. Seorang di antara mereka yang terpelanting menimpa senjata kawannya sendiri, telah terluka parah di punggungnya. Beberapa orang Babadan-pun telah diperintahkan untuk membawa orang itu menepi. Namun ketika orang-orang Babadan itu kembali ke arena, maka seorang lagi telah diusung menepi pula. Orang itu telah tersentuh tongkat baja putih Sekar Mirah di bahunya, sehingga tulangnya menjadi retak.
Beberapa saat kemudian, seorang lagi nafasnya bagaikan tersumbat karena kaki Glagah Putih menyentuh dadanya. Sementara seorang yang gemuk, menjadi pingsan karena tangan Rara Wulan menyambar keningnya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu melihat orang-orang Babadan yang sudah terpengaruh oleh Nyi Demang serta Raden Panengah itu rasa-rasanya telah kehilangan penalaran mereka, sehingga mereka bagaikan wayang saja yang digerakkan oleh dalangnya.
"Mereka menjadi seperti orang mabuk tuak," berkata Glagah Putih kepada Ki Lurah Agung Sedayu.
"Sulit untuk menghentikan mereka. Sementara itu rakyat Babadan masih saja mengalir ke halaman padukuhan ini."
Glagah Putih tidak sempat menjawab. Seorang telah melontarkan tombaknya ke arah dadanya. Namun Glagah Putih itu sempat mengelak sehingga tombak yang meluncur itu justru mengenai paha kawannya yang berdiri berseberangan dan berada di garis serangan itu.
Terdengar orang itu berteriak mengumpat. Namun iapun segera roboh karena tombak yang menancap di pahanya itu.
"Apakah kita akan bertempur terus sampai orang yang terakhir tidak mampu melawan lagi?" bertanya Glagah Putih.
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang.
Dalam pada itu, maka keempat orang yang harus bertempur melawan banyak orang itu sudah menghentikan perlawanan beberapa orang yang mereka duga orang-orang yang berasal dari ujung hutan itu. Bahkan Ki Jagabaya sendiri akhirnya terpelanting membentur dinding halaman rumah Ki Bekel di Babadan itu.
Kepalanya menjadi pening sedangkan tulang-tulangnya serasa menjadi retak di mana-mana.
Karena itulah maka tubuhnyapun terkulai lemah.
Meskipun demikian, orang-orang Babadan yang sudah terpengaruh oleh harapan-harapan yang muluk menggapai langit yang sering dilontarkan oleh Nyi Demang dan anak laki-lakinya, Ki Bekel di Babadan, serta Raden Panengah yang pandai berbicara dengan gaya yang sangat menarik, seakan-akan telah kehilangan kepribadian mereka. Meskipun mereka melihat orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan itu sudah tidak berdaya, namun mereka sama sekali tidak melangkah surut.
"Glagah Putih," desis Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, "kita harus berusaha menghentikan mereka. Jadi mereka menjadi seperti orang mabuk yang kehilangan nalarnya, maka mungkin sekali akan jatuh beberapa orang korban meskipun kita tidak sengaja melakukannya."
"Maksud kakang ?"
"Kita robohkan regol halaman banjar yang nampaknya tidak begitu kokoh itu, meskipun agaknya belum lama di buat."
"Bagus kakang."
"Kau menyerang uger-uger pintu disebelah kiri, aku disebelah kanan. Kemudian kau runtuhkan atapnya disisi kiri, aku akan berusaha untuk meruntuhkan sisi kanannya."
"Baik, kakang. Mudah-mudahan cara ini dapat menghentikan orang-orang Babadan yang menjadi seperti kesurupan."
Untuk beberapa saat, Glagah Putih dan Ki Lurah Agung Sedayu masih saja bertempur melawan orang-orang Babadan yang jumlahnya menjadi semakin banyak. Orang-orang yang tidak lagi dapat berpikir bening. Mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah satu perjuangan untuk membangun masa depan mereka bagi anak cucu mereka. Kesejahteraan yang tinggi seria kedudukan yang paling terhormat di seluruh kademangan Prancak.
Namun beberapa saat kemudian, maka Ki Lurahpun berkata kepada Glagah Putih, "Sekarang, Glagah Putih. Naiklah ke tangga pendapa."
Glagah Putihpun segera meloncat ke tangga pendapa. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu.
Bersamaan mereka telah meluncurkan ilmu puncak mereka. Dari tangan Glagah Putih seakan-akan telah meluncur sinar yang berwarna kehijau-hijauan. Sementara itu, sinar mata Ki Lurah yang bagaikan bara api itu telah memancar pula ilmunya yang jarang ada duanya.
Demikianlah kedua kekuatan yang sangat besar itu telah meluncur, menghantam uger-uger pintu rcgol halaman rumah Ki Bekel. Dengan demikian, maka pintu regol halaman rumah Ki Bekel itupun telah terguncang oleh kekuatan yang sangat besar. Sedangkan sesaat kemudian, maka Glagah Putih dan Ki Lurah Agung Sedayu lelah menghantam atap regol yang tidak begitu kokoh itu dengan ilmu puncak mereka pula.
Regol halaman rumah Ki Bekel itu bagaikan telah meledak.
Sekejap kemudian, maka regol halaman rumah Ki Bekel itupun telah runtuh.
Orang-orang yang berada di halaman itupun terkejut. Sekar Mirah dan Rara Wulanpun sempat terkejut pula. Namun merekapun segera mengerti, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih ingin segera menyelesaikan pertempuran itu tanpa harus mengorbankan nyawa seseorang.
Sebenarnyalah, orang-orang Babadan itupun menjadi gentar. Merekapun kemudian berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang berdiri di tangga pendapa.
"Kalian lihat, apa yang terjadi ?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu dengan lantang.
Pertempuranpun telah berhenti. Orang-orang yang berdiri di halaman itupun saling bepandangan sejenak. Mereka mula-mula merasa heran, atas apa yang terjadi. Namun kemudian merekapun menjadi sangat ngeri. Serangan serupa dapat saja ditujukan kepada mereka, sehingga dengan demikian, maka korbanpun akan berjatuhan dan mayat akan terkapar terbujur lintang di halaman.
Ki Bekel yang masih saja belum turun ke medan pertempuran menjadi gemetar. Demikian pula Nyi Demang. Rasa-rasanya nyawanya telah melayang bersama dengan runtuhnya regol halaman rumah Ki Bekel itu.
"Nah," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "bukan niatku menyombongkan diri. Tetapi kami dan bahkan kedua orang perempuan yang datang bersama kami berdua itupun mampu melakukannya. Jika kalian tidak menghentikan tindakan kalian yang bodoh itu, maka aku akan melakukannya dengan sasaran yang berbeda. Kalianlah yang akan menjadi sasaran. Aku tidak peduli berapa orang yang akan mati. Adalah hak kami untuk membela diri. Apalagi saat ini aku adalah seorang prajurit yang sedang mengemban tugas."
Orang-orang yang berada di halaman itupun berdiri diam bagaikan membeku. Mereka melihat beberapa orang kawan mereka terkapar di halaman. Bahkan beberapa orang menjadi pingsan atau sudah terlanjur kehilangan nyawa mereka.
Dalam pada itu, terdengar Ki Lurah itupun berkata selanjutnya, "Nah, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Apakah kalian masih ingin bertempur terus, atau kalian akan menghentikan perlawanan dan mendengarkan kata-kataku."
Orang-orang yang masih berada di halaman itu berdiri termangu-mangu.
"Cepat, ambil keputusan atau kami akan kehilangan kesabaran. Jika kalian menghentikan perlawanan, maka kami akan mempunyai kesempatan untuk berbicara. Tetapi jika kalian tetap pada niat kalian untuk melawan kami, maka kami akan membunuh kalian semuanya tanpa ampun. Kami akan mengosongkan padukuhan Babadan untuk beberapa lama. Kemudian, kami akan menempatkan orang-orang baru untuk tinggal di sini. Kalian semuanya yang tersisa akan melihat, bahwa Babadan akan menjadi baru sama sekali. Para penghuni, para bebahu dan pemilikan atas Tanah di padukuhan ini akan berubah sama sekali. Semuanya akan menjadi baru. Babadan yang lama telah lebur. Yang kemudian akan menjadi bagian dari kademangan Prancak adalah Babadan yang baru."
Orang-orang yang berada di halaman sambil memegang senjata mereka seadanya itupun masih tetap diam mematung.
"Baiklah. Kita tidak boleh berlarut-larut dalam teka-teki ini. Sekarang kalian harus menjawabnya. Jika kalia ingin menyelesaikan persoalan kalian dengan baik, maka bawa Nyi Demang dan Ki Bekel itu kemari. Bawa mereka naik ke pendapa. Demikian pula Ki Jagabaya yang terkulai itu serta para bebahu yang lain. Tetapi jika kalian tidak melakukannya, maka kami berempat akan menyerang kalian dengan ilmu pamungkas kami. Kalian akan menjadi sasaran sebagaimana regol halaman rumah Ki Bekel ini."
Suasanapun menjadi sangat tegang. Orang-orang yang berada di halaman itu tidak segera dapat mengambil keputusan. Namun Ki Lurah Agung Sedayu itupun berkata, "Aku akan menghitung sampai sepuluh. Kami berempat akan berdiri berjajar di sini. Jika sampai hitungan kesepuluh kalian belum membawa Nyi Demang dan Ki Bekel kemari, maka kami akan membunuh kalian semuanya. Kemudian kami akan menghancurkan Babadan lama ini menjadi abu. Di alasnya nanli akan dibangun Babadan baru dengan orang-orang baru."
Rara Wulan dan Sekar Mirahpun tanggap akan maksud Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka merekapun segera naik ke tangga pendapa itu pula.
Orang-orang yang berada di halaman menjadi sangat gelisah. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayupun mulai menghitung, "Satu, dua, tiga......"
Ternyata orang-orang di halaman itupun menjadi gentar. Mereka melihat Ki Lurah Agung sedayu serta ketiga orang yang lain bagaikan algojo-algojo yang siap menebas leher mereka sehingga kepala mereka terpenggal.
Ketika Ki Lurah Agung sedayu sampai hitungan ke lima, maka orang-orang Babadan itu menjadi sangat gelisah. Akhirnya seorang di antara merekapun berteriak, "Kita bawa Nyi Demang dan Ki Bekel ke pendapa."
Seorang yang Iainpun menyahut, "Ya. Kita bawa mereka ke pendapa."
Ternyata pernyataan itu telah menggerakkan beberapa orang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang kemampuan keempat orang yang berdiri di tangga pendapa itu. Jika mereka benar-benar melontarkan ilmu pamungkasnya ke arah mereka yang berdiri di halaman itu, maka seperti yang mereka katakan, mereka yang berada di halaman itupun akan mati sampai orang yang terakhir.
Karena itu, maka beberapa orangpun segera menangkap Nyi Demang serta Ki Bekel Babadan dan menarik mereka ke pendapa.
"Jangan, jangan." Nyi Demang berteriak-teriak, "Ki Jagabaya, tolong aku."
Tetapi Ki Jagabaya masih terkulai dengan lemahnya. Meskipun ia mencoba untuk bangkit, tetapi ia sudah tidak berdaya sama sekali.
Sementara itu Nyi Demang masih saja berteriak-teriak, "Jangan. Lepaskan aku. Lepaskan."
Tetapi orang-orang Babadan itu tidak menghiraukannya. Mereka telah menyeret Nyi Demang dan Ki Bekel ke pendapa.
"Bawa perempuan itu naik," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.
Meskipun Nyi Demang meronta-ronta, namun ia tidak berhasil melepaskan dirinya dari tangan beberapa orang laki laki yang menyeretnya ke pendapa.
Ki Bekelpun tidak dapat berbuat lain. Ia tidak meronta dan berteriak seperti ibunya. Tetapi Ki Bekel itu menurut saja ketika ia dibawa naik ke pendapa.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian berbicara kepada orang-orang Babadan yang berada di halaman, "Nah. Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan pulang dahulu, atau kalian akan menunggui pembicaraan di antara kami. Kami masih menunggu Ki Jagabaya dan para bebahu. Namun jika kalian akan pergi, rawat kawan-kawan kalian. Mudah-mudahan tidak ada di antara mereka yang mati. Tetapi aku minta orang-orang yang datang dari ujung hutan itu untuk diikat pada pepohonan, kecuali Ki Jagabaya yang harus kalian bawa kemari."
Ternyata orang-orang padukuhan Babadan melakukan perintah Ki Lurah Agung Sedayu karena mereka tidak ingin mati di halaman rumah Ki Bekel itu.
Dalam pada itu, Nyi Demang, Ki Bekel, Ki Jagabaya yang masih lemah serta para bebahu lelah dibawa naik ke pendapa.
Sejenak kemudian, maka orang-orang Babadan itupun menjadi sibuk. Mereka mengumpulkan sanak kadang, tetangga-tetangga serta kawan-kawan mereka yang terkapar di halaman. Beruntunglah bahwa tidak ada di antara mereka yang terbunuh. Tetapi ada beberapa orang yang terluka cukup parah. Sedangkan ada pula yang lain yang menjadi pingsan.
Seperti yang diperintahkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka beberapa orang yang berasal dari sarang mereka di ujung hutan, telah diikat pada batang-batang pohon di halaman. Orang-orang Babadan itu mengenal benar, siapakah di antara mereka yang berasal dari ujung hutan itu.
Di pringgilan, Ki Bekel, Nyi Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu duduk dengan kepala tunduk menghadap Ki Lurah Agung Sedayu. Sedangkan orang-orang tua dan orang-orang terkemuka di Babadan telah naik ke pendapa pula, serta duduk agak terpisah dari mereka yang dihadapkan kepada Ki Lurah. Mereka ingin mengetahui apa saja yang akan dibicarakan oleh Nyi Demang, Ki Bekel serta para bebahu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayulah yang mula-mula berbicara, "Ki Bekel. Kenapa Ki Bekel berniat memgambil alih jabatan Ki Demang di Prancak sehingga Ki Bekel kemudian menjadi Demang di Prancak atau kademangan apapun juga namanya nanti, tetapi yang wilayahnya adalah wilayah kademangan Prancak ?"
Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ibunya dengan wajah yang tegang.
"Ampun Ki Lurah," Nyi Demanglah yang menyahut. Namun dengan cepat Ki Lurah Agung Sedayu berkata, "Bukan kau Nyi. Aku bertanya kepada Ki Bekel."
"Aku mengerti, Ki Lurah. Akupun akan menjawab atas nama Ki Bekel."
"Sekali lagi aku katakan, aku bertanya kepada Ki Bekel. Jangan paksa aku membentak dan memaksa Nyi Demang untuk diam."
Nyi Demang terdiam. Ia melihat wajah Ki Lurah yang menjadi kemerah-merahan. Agaknya Ki Lurah Agung Sedayu itu benar-benar menjadi marah.
"Nah, jawablah Ki Bekel."
Ki Bekel itu masih saja ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa menjawab dengan suara yang sendat, "Aku menurut saja apa yang dimaui oleh ibu."
"Jadi, yang mempengaruhimu agar kau melawan kakakmu adalah ibumu?"
"Bukan maksudku untuk melawan Ki Demang di Prancak, Ki Lurah."
"Kalau Nyi Demang masih saja menjawab, aku akan memerintahkan untuk menyumbat mulutmu."
Nyi Demang terdiam lagi. Tetapi kegelisahan yang sangat membayang di wajah dan sikapnya. Beberapa kali ia beringsut. Namun ia tidak berani berkata apa-apa lagi.
"Ki Bekel," berkata Ki Lurah kemudian, "Jadi yang mempengaruhi agar kau melawan Ki Demang adalah ibumu ?"
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab, "Ya, Ki Lurah."
Nyi Demang beringsut pula setapak. Tetapi Ki Lurah mendahuluinya, "Jangan bicara apa-apa."
Selanjutnya Ki Lurah itupun bertanya, "Selain ibumu, apakah ada orang lain yang mempengaruhimu ?"
Wajah Ki Bekel menjadi sangat tegang. Sementara itu Ki Lurah pun berkata, "Aku dapat mempergunakan banyak cara untuk memaksamu berbicara. Karena itu, aku tidak mempergunakan cara yang terburuk."
Keringat dingin membasahi pakaian Ki Bekel. Dengan gagap iapun menjawab, "Ada Ki Lurah."
"Siapa?" Ki Bekel semakin menjadi bingung. Wajahnya menjadi sangat tegang dan pucat. Sekali-sekali ia berpaling kepada ibunya yang juga menjadi sangat tegang.
Namun Ki Bekel itupun menjawab dengan penuh kebimbangan, "Raden Panengah."
"Raden Panengah pemimpin gerombolan perampok yang bersarang di ujung hutan itu ?"
Ki Bekel tidak mempunyai jawaban lain. Karena itu, maka iapun menjawab, "Ya, Ki Lurah."
"Kapan kau mulai mengenal orang yang bernama Raden Panengah itu ?"
"Sudah agak lama, Ki Lurah."
"Siapakah yang memperkenalkan kau dengan Raden Panengah?"
Sekali lagi Ki Bekel menjadi sangat bimbang. Namun akhirnya iapun menjawab, "Ibu, Ki Lurah."
"Jika demikian, siapakah yang memulainya. Nyi Demang yang berniat melawan Ki Demang kemudian minta tolong kepada Raden Panengah, atau Raden Panengah yang ingin memanfaatkan keadaan di Babadan ini bagi kepentingannya, sehingga ia mempengaruhi Nyi Demang agar membujuk Ki Bekel untuk melawan kakaknya. Jika Ki Bekel berhasil, maka Babadan dan seluruh kademangan ini akan menjadi sarang gerombolan yang dipimpin oleh Raden Panengah itu. Meskipun ujudnya Ki Bekel yang menjadi Demang di kademangan ini, tetapi ia tidak mempunyai kuasa apa-apa. Bahkan Nyi Bekelpun akan disisihkan pula, sehingga kekuasaan yang sebenarnya akan berada di tangan Raden Panengah."
Ki Bekel tidak menjawab. Tetapi kepalanya menjadi semakin menunduk, sementara Nyi Demang yang muda itupun menjadi gemetar.
"Ki Bekel," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "sebenarnyalah aku tidak ingin mencampuri persoalan yang timbul di kademangan ini. Tetapi akupun tidak mau ada orang lain yang melakukannya. Selama ini orang-orang yang bersarang di ujung hutan itu telah mencampuri langsung persoalan yang timbul atau sengaja di timbulkan di Kademangan ini. Dengan kekuatan mereka berusaha memaksakan kehendak mereka. Sementara itu. Ki Bekel di Babadan adalah orang yang hatinya sangat lemah, sehingga ia bersedia melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Ia tidak berdiri sebagai seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan. Tetapi Ki Bekel justru menjadi semacam golek yang dipermainkan oleh orang-orang di ujung hutan. Sementara Nyi Demang adalah seorang yang tamak, yang mabuk kekuasaan dan lebih dari itu, hatinya telah tertambat pula kepada orang yang menyebut dirinya Raden Panengah. Maka lengkaplah kesalahan yang telah dilakukan oleh Nyi Demang. Sehingga ia rela mengorbankan apa saja untuk dapat mencapai maksudnya. Disahkannya segala cara tanpa menghiraukan tatanan, paugeran dan kehormatan bagi dirinya."
Nyi Demang itupun tiba-tiba telah terisak, Ki Bekel yang melihat ibunya menangis, telah mengusap air matanya pula.
Namun tidak seoran pun tahu, makna dari tangis Nyi Demang. Bahkan Ki Lurah Agung Sedayupun berkata, "Kita hanya dapat melihat kesan-kesan lahiriahnya saja atas kalian, para pemimpin padukuhan Babadan. Tetapi kita tidak dapat melihat, apa yang sebenarnya bergejolak didalam hati mereka. Jika kita melihat Nyi Demang menagis, kita tidak tahu apa yang ditangisinya" Apakah Nyi Demang menangis untuk menyesali kesalahan yang pernah dilakukannya" Apakah Nyi Dentang menyesal karena tidak dapat mencapai maksudnya sehingga menjadi sangat kecewa dan bahkan pendendam. Atau sekedar dilakukannya agar terasa pantas bahwa Nyi Demang itu seharusnya memang menangis" Atau karena alasan-alasan yang lain"
Tangis Nyi Demang itu semakin menjadi-jadi. Dengan suara yang patah-patah iapun berkata, "Aku menyesali kesalahanku, Ki Lurah. Aku sangat menyesal, bahwa karena perbuatanku itu, kademangan Prancak mengalami benturan-benturan diantara keluarga sendiri."
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukannya. Bahkan Ki Lurah itupun berkata, "Untuk selanjutnya, biarlah Ki Demang berbicara langsung dengan Ki Bekel di Babadan. Keduanya adalah kakak beradik. Keduanya mempunyai ikatan darah yang sangat erat. Karena itu, aku yakin bahwa keduanya akan dapat menemukan kesimpulan yang memuaskan segala pihak. Sementara itu aku akan menyingkirkan orang-orang yang berasal dari ujung hutan. Mereka adalah tawanan yang akan aku bawa ke Mataram. Namun dalam pada itu, aku juga terpaksa membawa Nyi Demang bersama kami."
"Ki Lurah," Nyi Demang itu menjerit, "jangan bawa aku pergi dari padukuhan ini."
"Untuk sementara Nyi Demang harus menyingkir dari Babadan, Nyi Demang tidak boleh mempengaruhi pembicaraan antara Ki Demang dan Ki Bekel. Antara dua orang bersaudara yang sedang bersengketa itu. Persengketaan itu timbul antara lain karena sikap Nyi Demang."
"Tetapi aku sudah mengakui kesalahanku, Ki Lurah aku mohon ampun."
"Selain Nyi Demang sudah membuat kademangan Prancak resah. Nyi Demang juga sudah mencoba meracun kami. Aku peringatkan, bahwa mangkuk-mangkuk yang dipergunakan untuk menghidangkan minuman bagi kami itu telah tercemar oleh racun yang keras."
"Aku mohon ampun, Ki Lurah."
"Itu akan kita bicarakan kemudian setelah pembicaraan antara Ki Demang dan Ki Bekel selesai."
Nyi Demang itupun menangis semakin keras. Tetapi keputusan Ki Lurah Agung Sedayu tetap. Nyi Demang akan dibawanya ke padukuhan induk. Sebelum persoalannya selesai, Nyi Demang masih harus berada didalam tahanan.
Demikianlah, sesaat kemudian, Ki Lurah Agung Sedayupun minta diri. Beberapa orang dari ujung hutan yang berada di Babadan telah dibawa serta ke padukuhan induk. Demikian pula Nyi Demang, betapapun ia menangis dan minta ampun.
Sebenarnyalah Sekar Mirah dan Rara Wulan merasa iba pula mendengar tangis Nyi Demang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Merekapun tahu, bahwa Nyi Demang itu adalah seorang yang sangat berbahaya. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.
Dalam pada itu, orang-orang Babadan ternyata semakin menyadari, apakah yang telah terjadi di padukuhan mereka. Ki Bekel yang matanya menjadi berkaca-kaca ketika ibunya dibawa oleh Ki Lurah Agung Sedayu, menjadi gemetar menghadapi para bebahu dan rakyatnya di padukuhan Babadan. Mata mereka bagaikan menyala memandanginya. Berpuluh pasang mata. Sementara itu, Ki Jagabaya dan orang-orang yang selama ini melindunginya telah dibawa oleh Ki Lurah. Bahkan ibunya yang mengatur segala-galanya, telah pergi pula.
Seorang yang rambutnya sudah ubanan datang mendekatinya. Sambil duduk di sebelahnya orang itupun berkata, "Jadikan peristiwa ini pengalaman yang sangat berharga Ki Bekel."
Ki Bekel mengusap matanya yang basah. Sementara itu seorang yang lain telah mendekatinya sambil berkata, "Bukankah sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa Ki Bekel harus berhati-hati berhubungan dengan orang-orang dari ujung hutan itu."
Ki Bekel masih saja menunduk.
Sedangkan seorang lagi datang kepadanya. Bahkan sambil menunjuk hidungnya orang itu berkata dengan kasar, "Kita semua telah ditenggelamkan kedalam kubangan nafsu ibumu yang terjerat oleh laki-laki dari ujung hutan itu. Sekarang, apa tanggungjawabmu ?"
Sedangkan orang yang bertubuh tinggi, berdada bidang yang ditumbuhi rambutnya yang lebat, yang nampak dari sela-sela bajunya yang terbuka di belahan dadanya, berkumis melintang dan bermata tajam seperti mata burung hantu membentaknya, "He cengeng. Kau jangan hanya dapat menangis. Apa yang terjadi di padukuhan ini adalah tanggung-jawabmu, anak manja. Sekarang ibumu sudah ditangkap dan dibawa oleh prajurit Mataram. Yang tinggal hanyalah kau saja. Lalu apa katamu ?"
Ki Bekel itu tiba-tiba menggeram. Ia mengepalkan tangannya. Matanya memang masih basah. Tetapi mata itu kemudian menjadi bagaikan membara.
Ki Bekel itu menghentakkan tangannya. Dengan serta-merta iapun bangkit berdiri. Dengan suara yang parau Ki Bekel itupun berteriak, "He, penjilat-penjilat yang tidak tahu diri. Apa yang kau lakukan selama ini, he " Ketika ibuku masih berdiri dengan kokoh meskipun bersandar kepada orang-orang dari ujung hutan, kalian datang berjongkok dihadapannya sambil menyembah. Kalian berebut mendapat perhatiannya agar kalian mendapat keuntungan dari sikap ibuku. Bahkan jika aku berjalan lewat jalan utama padukuhan ini, kalian datang berpapasan dengan aku mengangguk hormat sampai wajah kalian mencium lulut. Kalian bahkan menganggap aku tidak sekedar seorang Bekel, atau seorang Demang. Lebih dari itu. Kalian menyembah aku seperti menyembah seorang Adipati. Kalian bersumpah untuk tetap setia sampai akhir hayat kalian serta mendukung langkah-langkah yang diambil oleh ibuku atas namaku." Ki Bekel itu berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang datang untuk menyalahkannya dan menyalahkan ibunya. Lalu katanya pula, "Apa yang ada di otak kalian waktu itu, he " Dan apa pula yang berkecamuk di otak kalian sekarang ?"
Tiba-tiba pula orang-orang yang merubung Ki Bekel itu bergeser surut. Mereka termangu-mangu sejenak. Kemudian kepala-kepala itupun tertunduk dalam-dalam. Sedangkan Ki Bekel masih berkata selanjutnya, "Kalian yang pada waktu itu berlutut untuk menjilat kakiku, sekarang, ketika keadaan berubah, kalian menudingku sebagai seorang yang tidak bertanggung-jawab. Bahkan sebagai seorang pengkhianat. Kenapa tudingan seperti mi tidak kalian lakukan sebelumnya. Kenapa pada waktu itu tidak seorangpun datang kepadaku untuk memberi peringatan kepadaku. Kalikan kalian semua justru mendukungnya" Kenapa" Bahkan kalian lelah bersumpah setia untuk memperjuangkan keinginan kita bersama mengambil alih kepemimpinan kedemangan Prancak itu sampai titik darah yang penghabisan" Darah yang mana" Darah siapa" Siapa?" suara Ki bekel itupun terdengar menggelegar seakan-akan telah mengguncang tiang-tiang pendapa rumahnya yang kokoh itu.
Orang-orang yang ada disekitarnya itupun menundukkan wajahnya semakin dalam.
Sementara Ki Bekel itu masih berkata selanjutnya, "Kalian yang bersumpah setia untuk berjuang merebut kepemimpinan kademangan Prancak itu sekarang justru menuduh aku tidak bertanggung jawab. Ketika kalian melihat bahaya itu datang, maka tiba-tiba saja kalian yang pernah bersumpah setia itu telah menangkap ibuku dan aku, menyeret naik ke pendapa ini. Itupun ungkapan dari sumpah setia kalian" Nah, jika sekarang kalian menuntut aku untuk bertanggung-jawab, baik. Aku akan bertanggung-jawab. Apa ujud dari pertanggung-jawaban itu menurut kalian" Apakah aku harus mati malam ini" Atau aku harus pergi ke padukuhan induk kademangan Prancak untuk mengamuk seorang diri sampai mati dikrocok senjata oleh orang-orang Prancak dan para prajurit Mataram yang sekarang berada di Prancak" Atau apa" Katakan. Apa yang harus aku lakukan. Aku akan melakukannya. Atau aku harus membunuh diri di pendapa ini?"
Tidak seorangpun yang menjawab. Ketika Ki Bekel itu melangkah maju mendekati orang yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan membentak-bentaknya itu, maka orang itupun telah melangkah surut. Namun Ki Bekel itupun kemudian mencengkam baju orang yang lebih tinggi dan lebih besar dari dirinya itu sambil membentak.
Orang itu tidak menjawab. Bahkan ketika Ki Bekel itu mengguncang bajunya, orang itu tetap saja diam sambil menunduk semakin dalam.
Ki Bekel melepaskan baju orang itu. Iapun melangkah mendekati orang-orang yang lain sambil berkata, "Kalianlah cucurut-cucurut yang pengecut itu. Kalian berteriak-teriak dengan suara yang menggelegar bagaikan meruntuhkan gunung untuk mendukung perjuanganku. Kalianlah yang sebenarnya telah menjerumuskan aku ke dalam kesulitan ini. Justru pada saat-saat yang genting, kalian benar-benar bersikap seperti seorang pengecut. Kalianlah yang sebenarnya telah mengkhianati aku dan ibuku. Kalianlah yang sebenarnya pengkhianat itu."
Orang-orang Babadan itu bagaikan membeku di tempatnya. Dengan suara yang merendah, Ki Bekel itupun berkata, "Pergilah. Pulanglah. Nikmatilah keselamatan kalian dari kemarahan orang-orang berilmu tinggi dari Mataram itu. Berbangga pulalah bahwa kalian telah dapat menudingku sebagai seorang pengkhianat. Dengar. Aku memang tidak akan ingkar. Aku akan menemui kakang Demang untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanku selama ini. Jika kakang Demang memutuskan untuk menggantungku di halaman banjar, datanglah untuk menonton tubuhku yang bergayut di tali gantungan. Mungkin aku akan digantung bersama ibu. Mungkin juga Ki Jagabaya dan siapa lagi. Bersoraklah kalian karena kematianku itu akan berarti keselamatan kalian."
Pendapa itupun telah dicengkam oleh kesenyapan yang sangat tegang. Namun tiba-tiba saja Ki Bekel itu berteriak, "Pergi. Pergi. Semuanya pergi."
Beberapa orangpun segera beringsut dan turun dari pendapa. Ketika masih ada dua tiga orang yang duduk di pringgitan, Ki Bekel itu tiba-tiba saja menarik kerisnya sambil berteriak lebih keras lagi, "Pergi. Kau juga pergi. Atau aku bunuh kau di sini."
Orang-orang yang berada di pringgitan itupun telah beringsut pula dan turun ke halaman. Mereka merasa tidak akan mungkin dapat meredakan kemarahan Ki Bekel yang bagaikan membakar ubun-ubunnya itu.
Namun sebelum mereka sampai ke regol halaman yang roboh itu, terdengar Ki Bekel itu tertawa. Tertawa semakin lama semakin keras.
Orang-orang yang akan meninggalkan halaman itu sempat tertegun. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ki Bekel itu masuk ke dalam rumahnya. Namun suara tertawanya itu masih saja terdengar bagaikan menggetarkan atap rumahnya.
Orang-orang yang kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel itu memang sempat merenungi sikap mereka. Merekapun sempat mengingat apa yang mereka lakukan sebelum orang-orang Mataram itu datang. Mereka memang pernah menyatakan kesetiaan mereka. Mereka mendukung niat Ki Bekel untuk mengambil alih kepemimpinan kademangan Prancak. Mereka telah mendorong Ki Bekel untuk bertindak lebih jauh dengan dukungan orang-orang dari ujung hutan itu.
Tetapi pada saat Ki Bekel mengalami kesulitan, pada saat tangan-tangan pemerintah Mataram menggapai Ki Bekel untuk meluruskan kesalahan yang telah dilakukannya, maka mereka justru telah menindih Ki Bekel itu dengan berbagai macam tudingan dan umpatan.
Ki Bekel memang bersalah. Tetapi memang tidak adil jika kesalahan itu hanya ditimpakan kepada Ki Bekel dan ibunya saja. Kesalahan yang dilakukan oleh Nyi Demang yang muda serta anaknya, didukung oleh para perampok dan penyamun yang bersarang di ujung hutan itu, telah menjalar ke seluruh padukuhan Babadan serta padukuhan terdekat.
Sementara itu, Ki Bekel Babadan yang tertawa berkepanjangan di dalam rumahnya, akhirnya berhenti juga. Ia tertunduk di amben bambu panjang di ruang dalam. Pakaiannya telah menjadi basah kuyup oleh keringatnya yang mengalir seperti di peras dari dalam tubuhnya.
Ketika jantung Ki Bekel itu terasa berdegup semakin keras, sehingga seakan-akan hendak meledak, maka Ki Bekel itu tertegun. Ia melihat seorang tua berdiri di pintu samping ruang dalam yang menuju ke serambi.
Orang tua yang nampak dari ujudnya sangat sederhana. Dengan pakaian yang tua yang kusut.
"Kakek," desis Ki Bekel.
Orang tua itu melangkah mendekat. Sementara itu, Ki Bekel tiba-tiba saja bangkit berdiri dan cepat-cepat mendapatkannya. Tiba-tiba saja Ki Bekel itu berjongkok di hadapan orang tua itu.
"Bangkitlah cucuku," berkata orang yang sudah nampak tua itu. Meskipun ia masih juga berdiri tegak serta ingatannya masih tetap utuh.
"Aku minta ampun kek. Aku minta ampun. Selama ini aku tidak pernah mendengarkan nasehat kakek. Tetapi ibulah yang mengajari aku berbuat seperti itu."
"Sudahlah. Aku tidak menyalahkan kau. Aku juga tidak menyalahkan ibumu. Ibumu sejak kecil memang seorang yang manja, agak serakah dan ingin lebih dari yang lain. Aku dan nenekmu almarhum memang agak kewalahan menghadapinya."
"Tetapi taruhannya terlalu besar, kek. Taruhannya bukan sekedar uang, tetapi taruhannya adalah jabatanku dan bahkan nyawaku. Mungkin saja Mataram akan memutuskan aku bersalah, memberontak karena ibu sudah mencoba membunuh pemimpin prajurit yang sedang menjalankan tugasnya. Bagaimanapun juga, apapun yang dilakukan ibu, harus aku pertanggung-jawabkan."
"Kita berdoa saja ngger. Semoga Yang Maha Agung mengampunimu serta memberikan penyelesaian yang baik semua pihak."
"Jika saja aku dan ibu mendengarkan nasehat kakek pada waktu itu."
"Itu sudah lampau, ngger."
"Kakek sudah berniat baik. Tetapi tanggapan ibu sangat buruk terhadap petunjuk kakek. Akupun telah berbuat seperti ibu pula, sehingga kakek seakan-akan tidak pernah ada di rumah ini."
"Masih ada kesempatan ngger. Jika kakakmu Demang Prancak itu datang menemuimu atau memanggilmu, kau harus berani mengakui semua kesalahan. Kau minta ampun kepadanya."
Ki bekel itu mengangguk sambil menjawab, "Ya, kek. Aku akan menyerahkan nasibku kepadanya. Bahkan seandainya kakang Demang tidak mau memaafkan aku."
Orang tua itu menarik nafas panjang. Dibimbingnya cucunya itu dan dibawanya duduk di amben panjang. Katanya, "Aku mengenal kakakmu itu, angger. Meskipun ia bukan cucuku sendiri, karena ibunya bukan anakku sebagaimana kau. Tetapi sejak kecil aku bergaul dengan anak itu. Ia anak baik. Ia bukan pendendam."
"Kalau kakang sudah berubah?"
"Mudah-mudahan ia tidak berubah, ngger. Mudah-mudahan ia masih tetap anak yang manis seperti dahulu. Anak yang sabar, tetapi teguh akan sikap dan pendiriannya. Ia anak yang baik."
"Ya, kek. Aku juga menganggap ia seorang kakak yang baik."
"Nah, karena itu, jangan berprasangka buruk. Serahkan dirimu kepada kakakmu. Aku yakin ia akan memaafkanmu. Bahkan mungkin kakakmu juga akan memaafkan ibumu. Tetapi aku tidak tahu sikap para prajurit Mataram. Ibumu telah mencoba membunuh mereka dengan racun."
"Ya, kek. Aku yakin bahwa kakang Demang akan memaafkan aku dan ibu. Tetapi mungkin prajurit Mataram tidak akan memaafkan terutama karena ibu sudah mencoba membunuh pemimpin mereka."
"Sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Tenangkan hatimu."
"Terima kasih, kek. Tetapi seharusnya aku dan ibu lebih dahulu harus mohon maaf kepada kakek. Selama ini kami tidak pernah mendengarkan nasehat kakek. Bahkan kami telah dengan sengaja memisahkan kakek sehingga kakek seakan-akan tidak berada di rumah ini. Kami tidak lagi pernah menghiraukan kakek, apalagi mendengarkan nasehat kakek. Sekarang, baru kami tahu, bahwa seharusnya kami menurut petunjuk kakek itu."
"Sudahlah. Sudah aku katakan, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Yang penting, marilah kita melihat masa depan. Kita berdoa semoga Yang Maha Agung membuka jalan bagi kita untuk dapat keluar dari kesulitan ini."
"Ya, kek." "Nah, akupun akan beristirahat pula."
"Kakek mau kemana?"
"Aku akan pergi ke bilikku."
"Kakek disini saja. Jangan pergi ke bilik kakek di sebelah dapur itu lagi. Tempat itu tidak pantas bagi kakek."
"Bukankah sudah lama aku menempati bilik itu?"
"Itulah antara lain kesalahan kami diantara kesalahan kami yang banyak sekali kepada kakek."
Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, "Aku merasa tenang berada di bilik itu. Aku senang karena udaranya terasa hangat karena bilik itu berada di dekat dapur. Setiap kali aku dapat mencium bahu yang sedap jika ada orang yang sedang masak di dapur itu."
"Kek, maafkan kami, kek."
Orang tua itu tidak menghiraukan lagi Ki Bekel yang mencoba mencegahnya. Katanya sambil melangkah, "Beristirahatlah. Aku juga akan beristirahat."
Ki Bekel yang bangkit pula pada saat kakeknya berdiri dan melangkah meninggalkannya itu telah terduduk kembali. Berbagai perasaan bergulat didalam hatinya. Penyesalan, kebimbangan dan bahkan kecemasan yang sangat.
Tetapi seperti yang dikatakan kakeknya, biarlah ia pasrah apa yang akan terjadi atas dirinya.
Dihari berikutnya, dua orang bebahu kademangan telah mendatanginya. Dua orang bebahu itu tidak lagi merasa takut memasuki padukuhan Babadan yang telah dibersihkan oleh para prajurit Mataram.
Meskipun demikian, ketika ia melewati gerbang padukuhan dan berpapasan dengan orang Babadan, maka rasa-rasanya kulitnya masih meremang.
"Marilah Ki Jagabaya dan Ki Kebayan," Ki Bekelpun mempersilahkannya meskipun jantungnya terasa berdegup semakin keras.
Kedua orang bebahu kademangan itu tidak terlalu lama berada di rumah Ki Bekel. Merekapun segera menyampaikan pesan Ki Demang Prancak bagi Ki Bekel di Babadan.
"Nanti sore Ki Bekel diminta datang ke rumah Ki Demang di Prancak."
"Aku?" "Ya." "Siapa lagi?" "Ki Demang tidak memerintahkan orang lain untuk menghadapnya. Perintah Ki Demang hanya ditujukan kepada Ki Bekel."
"Baik. Nanti sore aku akan datang menemui kakang Demang di Prancak," jawab Ki Bekel dengan suara yang bergetar.
Kedua orang bebahu itupun segera minta diri.
Sepeninggal kedua orang bebahu kademangan Prancak itu, Ki Bekel segera mencari kakeknya dan memberitahukan, bahwa kakaknya sudah memerintahkan dua orang bebahunya untuk memanggilnya menghadap."
"Kapan ?" bertanya kakeknya.
"Nanti sore, kek."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan pergi bersamamu."
"Kakek akan pergi ?"
"Ya." "Tetapi kakang Demang hanya memanggil aku sendiri."
Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya, "Tetapi aku bukan orang lain, ngger. Aku adalah kakeknya. Ia adalah cucuku sebagaimana engkau. Meskipun ia bukan cucuku yang sebenarnya, tetapi aku menganggapnya ia adalah cucuku sendiri dan menurut rasaku, Ki Demang itupun telah menganggap aku sebagai kakeknya sendiri. Sebagai kakeknya yang memperanakan ibu kandungnya."
Ki Bekel itupun termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Baik, baiklah kek. Kita akan pergi bersama-sama. Aku akan dapat menyandarkan keselamatanku kepada kakek."
Orang tua itu menepuk bahu cucunya sambil berkata, "berdoalah. Aku juga akan berdoa untukmu."
Ki Bekel mengangguk sambil berdesis, "Ya, kek. Aku akan berdoa."
Ki Bekel itupun berusaha untuk menenangkan hatinya. Tetapi setiap kali terasa seakan-akan jantungnya tergores welat pering wulung yang tajam.
Ki Bekel itupun mengisi waktunya dengan berbagai macam kesibukan. Diturunkannya sangkar-sangkar burungnya dari gantungan. Diberinya semua burungnya makan dan digantinya minumnya dengan yang baru. Kemudian digantungkannya lagi sangkar-sangkar burung itu.
Demikian ia selesai dengan burung-burungnya yang berjumlah dua puluh tiga sangkar itu, maka Ki Bekelpun kemudian telah pergi ke belumbang. Tiba-tiba saja Ki Bekel itu terjun ke dalam air dan berusaha menangkap beberapa ekor gurameh di belumbangnya itu dengan jaring.
"Kalau bibi masih ada, bibi tentu senang sekali mendapatkan ikan gurameh sebesar ini," desis Ki Bekel ketika ia berhasil menangkap seekor gurameh yang cukup besar.
Meskipun Ki Bekel sudah menyibukkan diri, namun rasa-rasanya matahari bergerak lambat sekali. Sementara itu kegelisahannya masih saja menghentak-hentak di dadanya.
Namun akhirnya mataharipun turun pula di sisi Barat langit. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Ki Bekelpun menemui kakeknya sambil berkata, "Kita pergi sekarang saja, kek."
"Aku kira kita akan pergi menjelang senja."
"Sekarang saja kek. Aku tidak sabar lagi menunggu. Apa yang akan terjadi, biarlah segera terjadi. Jika kakang ingin meng-ganiungku di banjar kademangan Prancak, biarlah ia segera menggantungku sebelum matahari terbenam."
"Jangan begitu. Kau masih saja tidak yakin, bahwa kakakmu itu seorang yang sabar dan pemaaf."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kek." "Baiklah. Marilah kita pergi."
"Bukankah kakek akan berganti pakaian dahulu?"
"Berganti pakaian?"
"Ya, kek. Bukankah kita akan bepergian?"
Orang tua itu menarik nafas panjang. Katanya, "Aku sudah tua ngger. Biarlah aku berpakaian sederhana seperti ini saja."
"Tetapi kakek akan pergi ke rumah kakang Demang."
"Bukankah tidak apa-apa jika aku mengenakan pakaian ini?"
"Bukankah kiia juga harus menghormati orang yang ingin kita kunjungi."
"Ngger. Sudahlah. Jangan pikirkan pakaianku."
"Sebaiknya kakek berganti pakaian. Bukankah hanya berselisiah waktu sebentar saja."
Kakek Ki Bekel itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Bukankah sudah lama aku tidak mempunyai pakaian yang lebih baik dari pakaian yang aku pakai ini?"
"Kek" " dahi Ki Bekelpun berkerut.
"Jangan pikirkan itu."
"Jadi selama ini ibu tidak pernah memikirkan pakaian kakek sama sekali. Mungkin ibu terlalu sibuk dengan keinginannya itu, kek."
"Baru berapa lama ibumu disibukkan oleh keserakahannya itu. Tetapi bahwa ibumu tidak pernah memikirkan aku, bukankah sudah berbilang tahun" Tetapi sekali lagi aku katakan kepadamu, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Mungkin aku memang sudah tidak berarti sama sekali dalam hidupnya."
"Tetapi kakeklah yang telah membesarkan ibu. Kakek adalah ayah dari ibuku itu. Seharusnya ibu dapat menghargai susah-payah kakek membesarkan ibu."
"Sudahlah." "Ibu harus membalas kebaikan kakek. Kasih sayang kakek."
"Bagi ibumu, apa yang aku lakukan itu bukan satu kebaikan. Jika aku bekerja keras untuk mencari nafkah bagi anak-anakku. Jika aku dimalam hari mendukungnya pada saat ia menangis. Jika aku membawanya pergi ke pasar untuk membeli baju baru serta kain panjang yang baru, jika aku membeli perhiasan dengan uang labunganku, maka semuanya itu bukan kebaikan. Bukan pertanda kasih sayang, tetapi menurut ibumu, semuanya itu adalah kewajiban."
"Sekedar kewajiban" Jadi apa yang kakek lakukan itu sama sekali tidak dianggapnya sebagai nilai-nilai kasih sayang seorang ayah kepada anaknya?"
"Jika ibumu menganggap bahwa apa yang aku lakukan itu adalah ungkapan kasih sayang seorang ayah, maka adalah menjadi kewajiban seorang ayah mengasihi anaknya."
"Lalu, apa kewajiban seorang anak terhadap orang tuanya?"
"Menurut ibumu, tidak ada. Kewajiban ibumu adalah membesarkanmu."
Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Dengan nada berat ia bertanya, "Apakah kakek sependapat dengan ibu?"
Orang tua itu menggeleng. Katanya, "Bukan maksudku untuk menuntut kepada ibumu. Tetapi aku nasehatkan kepadamu, bahwa kau jangan pernah melupakan ayah ibumu. Jangan pernah melupakan kasih sayangnya. Pengorbanan mereka kepada anak-anaknya. Apapun yang pernah mereka lakukan atasmu, tetapi mereka adalah ayah dan ibumu. Orang-orang yang sangat khusus bagimu."
Ki Bekel itupun mengangguk sambil berdesis, "Ya, kek."
"Nah, sekarang, marilah kita pergi ke padukuhan induk kademangan Prancak untuk menemui kakakmu. Biarlah aku mengenakan pakaianku ini. Tidak apa-apa. Kakakmu tidak akan merasa bahwa aku tidak menghormatinya."
Ki Bekel, itu menarik nafas panjang. Katanya, "Pakailah pakaianku kek. Kakek dapat memilih yang paling sesuai dengan kakek."
"Badanmu jauh lebih besar dari badanku. Bayangkan jika aku memaki bajumu."
"Kain panjangnya saja kek."
Ki Bekel tidak menjawab lagi. Meskipun sebenarnya ia ingin kakeknya tidak mengenakan pakaiannya yang sangat sederhana itu, tetapi ia tidak dapat memaksa kakeknya berganti pakaian."
Demikianlah maka merekapun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel Babadan. Mereka menyusuri jalan utama menunju ke padukuhan induk kademangan Prancak.
Ketika mereka memasuki gerbang padukuhan induk kademangan prancak, maka orang-orang yang berpapasan dengan mereka, telah berhenu sejenak. Memandangi keduanya seperti orang yang baru pertama kali melihatnya.
Tetapi ada pula di antara orang-orang padukuhan induk Prancak yang sempat mengangguk hormat serta bertanya satu dua patah kata.
"Ki Bekel di Babadan," desis seorang laki-laki yang sedang berdiri di regol halaman rumahnya.
"Ya, paman," sahut Ki Bekel dengan suara yang dalam.
"Selamat datang di padukuhan induk ini, Ki Bekel."
"Terima kasih, paman."
Tetapi laki-laki itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya memandanginya saja Ki Bekel dan kakeknya yang berjalan menuju ke rumah Ki Demang di Prancak.
Namun ada juga anak-anak muda yang ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Ki Bekel itu. Bahkan seorang di antara mereka yang bertemu di simpang empat bertanya, "Ki Bekel akan pergi ke mana?"
"Aku akan menemui, kakang Demang," Jawab Ki Bekel.
Ada kecurigaan di sorot mata anak muda itu, sehingga Ki Bekel itupun berkata, "Kakang Demang memanggilku menghadap sore ini."
"O," anak muda itu mengangguk-angguk.
Ketika Ki Bekel itu sampai di regol halaman rumah Ki Demang, maka jantungnyapun terasa berdegup semakin cepat. Kebimbangan yang dalam telah mencekamnya, sehingga Ki Bekel itupun berhenti di depan rcgol halaman yang terbuka itu.
"Kenapa berhenti?" bertanya kakeknya.
"Aku menjadi ragu-ragu, kek."
"Apalagi yang kau ragukan " Kau sudah mengambil keputusan untuk datang memenuhi panggilan kakakmu. Apalagi ?"
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Ki Bekel itupun melangkah menginjakkan kakinya pada tangga regol halaman Ki Demang di Prancak.
Seorang yang sedang membersihkan halaman rumah K i Demang melihat, Ki Bekel Babadan memasuki rcgol halaman rumah itu. Karena itu, maka iapun segera menyongsongnya dan mempersilakannya naik ke pendapa.
"Ki Demang dan beberapa orang bebahu sudah berada di pringgitan," berkata orang itu.
Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dari tempatnya berdiri, ia tidak dapat melihat jelas, siapa-siapa yang berada di pringgitan. Namun Ki Bekel itu melihat sekitar empat orang sudah berada di pringgitan.
Ki Bekel yang sudah berada di tangga pendapa itu segera surut beberapa langkah ketika ia melihat orang-orang yang berada di pendapa itu bangkit berdiri.
Ki Demanglah yang kemudian tergopoh-gopoh menyongsongnya. Ketika Ki Demang turun dari pendapa, maka para bebahupun segera turun pula.
"Marilah Bekele," Ki Demang itupun mempersilahkan, "naiklah. Kami sudah menunggu. Kami tahu bahwa aku tentu tidak menunggu senja."
"Ya kakang," jawab Ki Bekel.
"Marilah. Naiklah. Marilah kek. Silahkan. Sudah lama kita tidak bertemu."
"Terima kasih ngger. Aku memang sudah agak lama tidak mengunjungimu sejak suasana dan hubungan antara Prancak dan Babadan menjadi muram."
"Bukan maksudku. Tetapi agaknya kita didorong oleh keadaan yang sama-sama tidak kita kehendaki. Marilah, silahkan."
Keduanyapun kemudian segera naik ke pendapa. Ki Demang dan para bebahu kademangan Prancakpun segera naik ke pendapa pula.
"Silahkan duduk, kek."
Orang tua itu mengangguk-angguk, "Terima kasih, ngger."
Ki Bekel di Babadanpun kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya. Ternyata apa yang dibayangkan sebelumnya dan bahkan sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk kademangan Prancak, berbeda sekali dengan apa yang dihadapinya setelah ia berada di rumah Ki Demang.
Ki Bekel itu membayangkan, bahwa demikian ia memasuki halaman rumah Ki Demang, maka beberapa orang prajurit Mataram akan menyambalnya dengan ujung-ujung tombak yang merunduk. Kemudian dengan kasar ia didorong naik ke pendapa. Bahkan iapun membayangkan bahwa kakaknya akan menyambutnya dengan bentakkan-bentakkan kasar oleh kemarahan yang bagaikan meledakkan dadanya.
Tetapi yang terjadi sama sekali tidak demikian. Kakaknya tetap saja berwajah cerah. Tidak ada tanda-tanda kemarahan di sorot matanya. Kakaknya masih saja tersenyum seperti yang selalu dilihatnya sebelum terjadi persoalan antara Prancak dan Babadan sehingga terbentang jarak antara dirinya dan kakaknya.
Sejenak kemudian, maka Ki Bekel di Babadan, kakeknya serta beberapa orang bebahu kademangan Prancak itu lelah duduk kembali di pringgitan.
"Bukankah kakek selama ini baik-baik saja ?" bertanya Ki Demang di Prancak.
"Ya, ngger. Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kau dan para bebahu kademangan Prancak ?"
"Baik kek. Kami baik-baik saja."
"Sokurlah. Beberapa saat aku merasa terpisah dari kademangan ini. Sokurlah bahwa akhirnya aku telah merasa menjadi satu lagi."
"Mudah-mudahan kek. Hal itu juga tergantung kepada Bekele Babadan. Justru untuk itulah aku memanggilnya datang kemari."
Kakek Ki Bekel Babadan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Silahkan berbicara dengan Bekele Babadan."
Ki Demang itu menarik nafas panjang. Baru kemudian iapun berkata, "Adi. Adi tentu sudah tahu, untuk apa adi aku panggil kemari."
Ki Bekel itu masih saja menunduk. Menurut penglihatannya wajah kakaknya masih tetap terang. Tetapi Ki Bekel itu masih saja merasa cemas. Mungkin kemarahan kakaknya itu masih diselubunginya. Namun mungkin saja kemarahan itu akan meledak.
"Kenapa orang-orang Mataram itu tidak berada disini ?" bertanya Ki Bekel didalam hatinya.
"Adi," berkata Ki Demang, "selama ini telah terjadi masalah diantara kita. Pernyataanmu bahwa kaulah yang berhak menjadi Demang di Prancak telah menimbulkan goncangan yang besar di kademangan ini. Keberadaan para perampok yang di hutan telah memasuki kehidupan kita di kademangan Prancak. Mereka bukan saja mencampuri persoalan di antara kita, tetapi mereka telah membuat rencana yang menguntungkan bagi mereka. Keterlibatan hubungan antara bibi dengan Raden Panengah telah membuat persoalan di antara kita menjadi semakin rumit, karena Raden Panengah telah meniupkan tembang-tembang ngerangin di telinga bibi. Sehingga akhirnya bibi terbius oleh rencana Raden Panengah. Kaulah yang telah dijadikan alat bibi dan Raden Panengah untuk mencapai maksudnya."
Ki Bekel itupun semakin menundukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam iapun berkata, "Kakang. Aku mohon ampun. Aku telah melakukan satu kesalahan yang besar. Tetapi aku memang tidak mampu menolak kemauan ibu."
"Keterlibatan gerombolan di luar lingkungan kita, telah membuat persatuan kita terbelah. Apalagi jika gerombolan itu mempunyai kekuatan yang cukup seperti gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu. Maka pengaruhnya terasa sangat besar bagi kita. Tentu saja pengaruh yang buruk itu."
"Semua itu salahku, kakang. Aku minta ampun." Namun sebagaimana dikatakan oleh kakeknya, maka Ki Bekel itu dengan jantung yang berdegupan mendengar kakaknya berkata, "Baiklah adi. Marilah kita lupakan peristiwa itu. Sebagai seorang Demang, aku maafkan kesalahanmu. Kesalahan seorang Bekel yang memerintah di salah satu padukuhan di wilayah kademanganku. Sedangkan sebagai seorang kakak, aku merasa sangat kasihan kepadamu, adi. Aku tahu bahwa kau berada di bawah tekanan bibi. Ibumu yang mempunyai keinginan tanpa batas. Ketika di belakangnya berdiri satu kekuatan yang memadai, maka bibi menjadi lupa segala-galanya. Keinginannya yang tanpa batas itulah yang menjorok ke depan, sehingga bibi lupa kepada sanak kadang. Dan yang paling parah, bibi lupa pada tatanan dan paugeran."
"Ya, kakang. Aku juga mohon ampun bagi ibu. Ibu memang seorang yang serakah. Sesuai dengan keterangan kakek tentang ibu sejak masa kecilnya. Ibu selalu ingin lebih dari apa yang dimilikinya atau yang seharusnya dimilikinya. Sedangkan aku tidak mempunyai keberanian untuk mencegahnya. Bahkan aku telah hanyut pula kedalamnya. Bahkan aku sama sekali tidak menaruh keberatan pada hubungan ibu dengan Raden Panengah yang tidak pantas itu."
"Kau sudah dibius pula dengan mimpi-mimpi burukmu. Mimpi untuk menjadi seorang Demang di kademangan Prancak."
"Ya, kakang." "Nah, bukankah yang terjadi itu satu pengalaman yang pantas untuk menjadi pelajaran yang mahal harganya ?"
Bekel Babadan itu mengangguk sambil menjawab perlahan, "Ya, kakang."
"Baiklah, di. Jangan lupakan pelajaran yang sangat mahal ini. Bahkan sudah ada nyawa yang dikorbankan. Justru orang-orang yang tidak bersalah. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu telah membunuh beberapa orang yang dituduhkannya mata-mata, meskipun ia tidak dapat membuktikan. Nah, apakah kau dapat menyebut harga sebuah nyawa. Bahkan beberapa ?"
Ki Bekel di Babadan itu tidak dapat menjawab. Mulutnya bahkan terkatub rapat, sementara kepalanya menjadi semakin menunduk dalam-dalam.
"Baiklah, adi. Kita akan berusaha melupakan perselisihan yang tidak akan menguntungkan siapa-siapa kecuali para perampok di ujung hutan itu. Jika saja para prajurit Mataram itu tidak datang ke kademangan ini, maka perselisihan diantara kita akan menjadi semakin dalam. Campur tangan pihak lain akan semakin mencengkam dan bahkan menentukan. Kita, orang-orang kademangan Prancak akan menjadi ayam aduan yang harus mengalami luka parah di arena. Sementara menang atau kalah, ayam aduan itu tidak akan mendapatkan apa. Sedangkan yang mendapat keuntungan berlipat adalah mereka yang menang dalam pertaruhan."
Ki Bekel mengangguk-angguk.
Sedangkan Ki Demang berkata selanjutnya, "Kita berusaha melupakan persoalannya. Tetapi sebagai satu pengalaman, kita justru harus selalu mengingatnya. Sudah aku katakan, bahwa aku memaafkan kau Ki Bekel."
"Terima kasih, kakang Demang. Ternyata apa yang dikatakan oleh kakek itu benar. Kakang akan memaafkan aku."
"Tetapi kau jangan mengulangi kesalahanmu. Sekali berbuat salah, itu sudah cukup."
"Ya, kakang," suara Ki Bekel merendah, "tetapi, tetapi bagaimana dengan ibu ?"
"Bibi mempunyai persoalan sendiri dengan orang-orang Mataram. Demikian pula orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan yang tidak lain adalah salah seorang yang sengaja ditanam oleh Raden Panengah, yang pada suatu saat akan mengusirmu. Bahkan mungkin menyingkirkanmu untuk selama-lamanya."
"Kakang." "Kau hanya berguna sekarang. Pada saat kau tidak diperlukan lagi, maka kau harus pergi dan tidak boleh kembali."
Jantung Ki Bekel itupun bergejolak semakin keras, ia mulai menyadari, betapa lemah penalarannya sehingga itu dapat menjadi mainan Raden Panengah.
"Karena persoalannya dengan orang-orang Mataram itulah, adi, maka bibi sekarang berada di dalam tahanan orang-orang Mataram. Aku tidak tahu, keputusan apakah yang akan diambil oleh orang-orang Mataram itu karena menurut pemimpin prajurit Mataram itu, bibi sudah mencoba meracunnya."
Jantung Ki Bekel itupun terasa berdegup semakin keras. Tetapi ia tidak dapat ingkar. Iapun tahu, bahwa ibunya berusaha untuk meracun pemimpin prajurit Mataram yang dalang ke rumahnya itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Kakang. Seandainya ibu tidak dapat luput dari hukuman, apakah kakang dapat mohon keringanan atas hukuman yang bakal dijatuhkan oleh orang-orang Mataram ?"
Ratu Dari Kegelapan 2 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 6
^