Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 20

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 20


Di lingkaran pertempuran y ang kedua, seorang saudara
Miyatsangka juga sudah memiliki kemampuan dasar ilmu itu.
Meskipun masih terlalu muda, namun ilmu itu sudah sempat
menggetarkan lawan-lawan mereka.
Ketika satu dua orang saudara seperguruan Miyatsangka
mulai terluka, maka sebenarnyalah telah terjadi kegelisahan di
antara mereka. Namun justru karena itu, m aka mereka pun
telah mengerahkan segenap kemampuan y ang ada untuk
mempertahankan diri mereka.
Beberapa orang lawan mereka memang menjadi heran
melihat pertempuran di lingkaran ketiga. Kawan-kawan
mereka ternyata terlalu cepat susut. Dalam waktu yang
pendek, beberapa orang telah merangkak menjauhi arena dan
terkapar tidak berday a dibawah tangga pendapa atau di bawah
sebatang pohon y ang tumbuh di pinggir halaman.
"Setan," geram pemimpin mereka, "apa y ang telah
terjadi di lingkaran pertempuran itu?"
Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
bertahan untuk terus bertempur dalam lingkaran tersendiri.
Mereka melihat kesulitan yang terjadi di kedua lingkaran yang
lain. Seandainya mereka bertahan, maka mereka memang
akan dapat menghisap lawan. Tetapi apakah kemenangan
mereka itu akan terjadi lebih cepat dari kekalahan di kedua
lingkaran yang lain. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sepakat untuk berbagi. Mereka masing-masing akan
memasuki lingkaran y ang berbeda, sementara Mahisa Semu
akan bersama dengan Mahisa Pukat.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti t elah melenting
keluar dari lingkaran pertempuran yang ketiga, yang menjadi
semakin tipis karena lawan-lawan mereka telah banyak yang
kehilangan kekuatan dan kemampuan.
Namun dalam pada itu, kedua lingkaran yang lain,
Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya mengalami
kesulitan. Mahisa Murti yang telah meninggalkan lingkaran
pertempurannya telah meloncat secepatnya ke lingkaran
kedua y ang nampaknya menjadi sangat berat menghadapi
tekanan dari orang-orang yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Kepungan menjadi semakin rapat dan ujung-ujung senjata
hampir menggapai tubuh-tubuh orang y ang ada di dalam
kepungan itu. Dengan tangkasnya Mahisa Murti telah meny erang
kepungan yang semakin rapat itu. Namun Mahisa Murti tidak
mulai dengan mempergunakan senjatanya. Tetapi dengan
sentuhan-sentuhan tubuhnya atas tubuh lawannya untuk
menghisap kekuatannya. Dengan tangkasnya Mahisa Murti telah menangkap
tengkuk dua orang di antara mereka y ang mengepung
saudara-saudara seperguruan Miyatsangka itu. Keduanya
telah ditarik keluar dari kepungan.
Keduanya memang terkejut. Betapa kemarahan telah
bergejolak di dalam dada mereka. Dengan serta merta
keduanya telah menghentakkan diri melepaskan pegangan
tangan Mahisa Murti. Mahisa Murti memang melepaskan mereka. Dengan
garangnya keduanya telah m enyerang Mahisa Murti. Namun
ketika senjata mereka terayun, terasa tenaga mereka tiba-tiba
sa ja telah jauh susut. Mahisa Murti telah menarik lagi
senjatanya yang disarungkannya. Dua kali ia menangkis
serangan kedua orang itu. Tiba-tiba saja keduanya telah
menjadi sangat lemah dan tidak berdaya lagi untuk melawan.
Demikianlah, kedatangan Mahisa Murti y ang telah
menyibak kepungan itu dan bergabung dengan saudarasaudara
seperguruan Miyatsangka telah merubah
keseimbangan pertempuran.
Tekanan y ang sangat berat itu telah menjadi sedikit
ringan. Ilmu pedang Mahisa Murti ternyata sangat baik
dibandingkan dengan siapa pun di lingkaran pertempuran itu.
Karena itu, maka orang-orang yang mengepung saudarasaudara
seperguruan Miyatsangka pada lingkaran kedua itu
harus menjadi lebih berhati-hati menghadapi orang baru di
lingkaran pertempuran itu, yang telah berhasil meny ibak
kepungan dan masuk ke dalamnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
masuk ke dalam lingkaran pertempuran pertama.
Sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti, maka Mahisa
Pukat pun telah memasuki lingkaran pertempuran dengan
menyibak kepungan bersama Mahisa Semu.
Demikian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu ada di
dalamnya, maka perubahan pun segera terjadi pula.
Namun yang terjadi adalah sangat mengherankan orangorang
yang datang meny erang itu. Bukan saja ilmu pedang
kedua anak muda itu yang menggetarkan jantung mereka,
tetapi ternyata beberapa orang y ang bertempur itu merasakan
kelainan pada tenaga dan kemampuan mereka.
Semakin lama pertempuran itu berlangsung, maka
keadaan y ang tidak mereka ketahui sebabnya itu pun menjadi
semakin ny ata. Seperti yang telah t erjadi pada lingkaran
ketiga, maka satu dua orang benar -benar telah terlempar dari
arena. Mereka y ang hampir kehilangan kekuatan dan ilmu
mereka, sama sekali tidak mampu lagi menangkis atau
menghindari ujung senjata yang mengarah ke tubuh mereka.
Berbeda dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu, maka saudara-saudara seperguruan
Miyatsangka tidak dapat m engekang senjata mereka. Apalagi
ketika mereka menyadari, bahwa satu dua orang saudarasaudara
seperguruan mereka telah terluka.
Karena itu, maka satu, dua, tiga, empat orang telah
terkapar di luar lingkaran pertempuran. Kawan-kawan mereka
telah menarik mereka dan membawanya menepi.
Orang-orang yang datang itu masih merasa jumlah
mereka lebih banyak. Karena itu, maka m ereka tidak m erasa
berputus a sa. Mereka masih berharap untuk dapat membunuh
semua orang y ang ada di halaman itu.
Tetapi keinginan itu semakin lama menjadi semakin
jauh dari kemungkinan dapat berhasil. Ketika korban jatuh
semakin banyak, maka akhirnya pemimpin dari orang-orang
yang meny erang perguruan itu tidak dapat menghindari
keny ataan. Karena itu, maka mereka merasa tidak akan mampu
berbuat lebih banyak lagi selain mengorbankan kawan-kawan
mereka. "Ada yang aneh dalam pertempuran itu," berkata
pemimpin itu di dalam hatinya. Tetapi ia tidak tahu, apa yang
aneh itu. Karena itu, maka ketika harapan sama sekali sudah tidak
ada lagi, maka pemimpin dari orang-orang y ang datang
menyerang itu telah meneriakkan aba-aba yang tidak pernah
dipikirkan akan diteriakkannya.
Aba-aba itu ternyata memang telah ditunggu oleh orangorangnya.
Karena itu, demikian aba-aba itu terdengar, m aka
orang-orangnya telah berebut berlari -larian. Namun ada di
antara mereka yang ternyata tidak mampu lagi meloncati
dinding halaman rumah itu, meskipun hal itu dilakukannya
dengan mudah saat mereka datang.
Kilatan pedang pun menjadi sangat mengerikan. Namun
kemudian terdengar suara Mahisa Murti y ang mencegah
orang-orang y ang marah itu kehilangan nalar budi.
Miyatsangka yang m endengar Mahisa Murti berteriak,
telah meneriakkan aba-aba yang sama. Dipanggilnya semua
saudara-saudaranya untuk tidak usah mengejar lawan mereka.
Saudara-saudara seperguruan Miy atsangka memang
mematuhi perintah itu. Tetapi beberapa orang telah bertanya
kepadanya, "Kenapa?"
Miyatsangka termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun menjawab, "Seperti y ang selalu kita dengar
pesan guru. Kita tidak boleh m enganiaya orang y ang sudah
tidak berdaya." "Mereka bukannya tidak berdaya," berkata salah
seorang dari mereka, "tetapi mereka ingin melarikan diri. Lain
kali mereka akan datang lagi untuk membunuh kami."
"Lihat," berkata Miy atsangka sambil m enunjuk seorang
yang demikian ketakutan sehingga ia tidak menyadari apa
yang sebenarnya terjadi. Orang itu masih saja berusaha untuk
memanjat dan meloncati dinding. Tetapi ia selalu gagal.
" Ia berada dalam ketakutan yang sangat," berkata
Mahisa Murti, "karena itu, maka ia termasuk orang yang
pantas dikasihani." Sebenarnyalah beberapa orang telah kehilangan
kepribadiannya. Pertempuran y ang baru saja terjadi, membuat
mereka kehilangan kesempatan untuk mempergunakan nalar
mereka. Mereka tidak tahu dengan pasti, apakah yang
sebenarnya telah terjadi dengan diri mereka.
Dalam pada itu, maka seorang di antara saudara-saudara
Miyatsangka itu bertanya, "Lalu apa y ang sebaiknya kita
lakukan sekarang." Miyatsangka termangu -mangu sejenak. Lalu katanya,
"Pertempuran telah berakhir. Kita tahu, apa y ang harus kita
lakukan." Saudara-saudara seperguruan mengangguk-angguk.
Mereka memang tahu apa yang harus mereka lakukan.
Karena itu, maka mereka pun mulai membenahi
keadaan. Mereka mulai mengumpulkan orang -orang yang
terluka dan menjadi korban. Mereka harus menghitung,
berapa orang saudara seperguruan mereka yang tidak ada
sehingga mereka harus mencarinya sampai mereka ketemu
dengan jumlah yang genap.
Ternyata korban y ang jatuh memang lebih banyak dari
pertempuran y ang terjadi sebelumnya. Bukan saja saudarasaudara
seperguruan Miy atsangka, tetapi korban di antara
lawan mereka ternyata menjadi berlipat. Bahkan ada di antara
mereka yang sama sekali tidak terluka, tetapi tidak m ampu
meninggalkan halaman rumah itu lagi.
Miyatsangka dan beberapa orang saudaranya pernah
menyaksikan bagaimana anak-anak muda itu melawan paman
guru mereka. Miyatsangka tahu apa y ang telah terjadi dengan
lawan-lawan mereka yang menjadi lemah dan kehilangan
tenaga. Karena itu, disamping beberapa sosok mayat lawan,
mereka y ang terluka, Miyatsangka juga harus m engumpulkan
orang-orang yang meskipun tidak terluka, tetapi tidak lagi
mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu.
Ketika Miyatsangka duduk di pendapa dengan orangorang
yang menjadi kepercayaan bersama tiga orang anak
muda y ang meny ebut diri mereka sebagai pengembara itu,
maka salah seorang di antara saudara seperguruannya
memang bertanya, "Apakah pada suatu saat mereka tidak akan
kembali?" Yang menjawab adalah Mahisa Murti, "Aku kira mereka
tidak akan kembali. Apalagi jika pada saatnya kalian lepaskan
orang-orang y ang kalian tawan itu. Yang telah mengalami
ketakutan y ang amat sangat. Mereka tentu akan berceritera
apa yang telah mereka alami. Perasaan apakah y ang pernah
mencengkam jantung mereka. Sehingga dengan demikian,
maka orang-orang lain tentu akan berpikir berulang kali, jika
mereka ingin mencoba untuk memasuki halaman rumah ini
kembali." Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya
mengangguk-angguk. Bahkan salah seorang dari kedua
saudara kandungnya itu pun menyahut, "Aku sependapat
dengan Ki Sanak." Miyatsangka mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan
nada datar, "Ya. Aku pun sependapat. Mereka tidak akan
datang lagi dengan kekalahan mereka kali ini. Kemudian
disusul dengan ceritera orang-orang y ang akan kita bebaskan
jika keadaan mereka bertambah baik. Satu sikap dengan
keyakinan yang sangat tinggi."
Yang lain pun mengangguk-angguk. Akhirnya mereka
telah ber sepakat untuk melepaskan orang-orang yang mereka
tawan, meskipun mereka tidak akan meluapkan saudarasaudara
mereka yang terbunuh dalam pertempuran itu.
Namun, dengan penjelasan y ang panjang, akhirnya
saudara-saudara seperguruan Miyatsangka y ang lain pun
bersedia melepaskan m ereka yang tertawan dan mengalami
ketakutan y ang luar biasa. Mereka yang dengan tidak berdaya
berusaha untuk keluar dari halaman itu.
Tetapi Miyatsangka harus merawat mereka sampai
mereka mampu berjalan keluar dari reg ol halaman dengan
tegak. Namun hari itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu tidak dapat meninggalkan tempat itu. Miyatsangka dan
saudara-saudara seperguruannya bahkan saudara-saudara
kandungnya mengharap mereka berada di rumah itu setidaktidaknya
sampai hari berikutnya. "Kita akan melihat, apakah yang terjadi besok saat fajar
menyingsing," berkata Miyatsangka.
Ketiga orang anak muda itu mengangguk k ecil. Mereka
mengerti, bagaimanapun juga masih ada perasaan cemas di
hati Miy atsangka tentang orang-orang y ang telah m eny erang
mereka dengan kekuatan y ang sangat besar.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah.
Meskipun sebenarnya kami ingin segera sampai ketujuan,
tetapi kami akan memaksa diri untuk tinggal hari ini."
"Besok kita akan menyelenggarakan korban-korban
yang telah jatuh," berkata Miy atsangka.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka memang
merasa wajib untuk tinggal sampai hari berikutnya, untuk
tidak merasa bersalah jika terjadi sesuatu.
Namun ternyata bahwa tidak terjadi sesuatu atas
perguruan y ang masih terguncang-guncang itu. Ketika
matahari terbit, terjadi ketegangan sebagaimana hari
berikutnya. Namun tidak seorang pun yang datang memasuki
halaman rumah itu. Dengan demikian maka nampaknya sebagaimana
dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa orang-orang y ang datang
menyerang halaman rumah itu tidak akan pernah kembali.
Kekuatan mereka telah jauh susut. Beberapa orang di antara
mereka telah terbunuh.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang lain luka-luka dan y ang lain lagi tertawan karena
kehilangan kekuatan dan kemampuannya.
Karena itu, maka akhirnya ketiga orang anak muda itu
telah minta diri. Tetapi mereka sadar, bahwa sebaiknya orangorang
yang tertawan, yang t erluka dan yang kehilangan
kekuatan dan kemampuan mereka tidak mengetahui bahwa
ketiga orang anak m uda itu telah meninggalkan rumah itu,
karena dengan demikian mereka akan tahu bahwa kekuatan di
rumah itu akan jauh susut.
"Aku akan meninggalkan rumah ini lewat pintu butulan
sa ja," berkata Mahisa Murti.
Setelah minta diri kepada orang tua y ang tinggal di
rumah kecil di belakang rumah induk, maka ketiga orang anak
muda itu meninggalkan rumah Miyatsangka dan saudarasaudaranya
untuk meneruskan perjalanan pulang ke sebuah
padepokan kecil. Demikian mereka memasuki bulak panjang, maka
Mahisa Murti pun berkata, "Mudah-mudahan kita tidak harus
berhenti lagi." "Mudah-mudahan," berkata Mahisa Pukat.
"Semalam aku ragu-ragu ketika kita menyampaikan
keperluan kita singgah. Namun nampaknya Miy atsangka
justru merasa senang," berkata Mahisa Pukat.
"Ya," jawab Mahisa Murti, "nampaknya ia benar-benar
akan melakukan sebagaimana kita katakan terhadap orangorang
y ang merasa dirinya berkuasa di penginapan itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Jika ia
sempat, ia tentu akan datang ke tempat itu."
"Tetapi bagaimana dengan perguruannya y ang
nampaknya masih selalu diguncang-guncang itu?" bertanya
Mahisa Semu. "Tentu tidak lagi," sahut Mahisa Murti, "kita y akin."
Mahisa Semu m engangguk-angguk. Tetapi ia pun telah
mencoba meyakinkan dirinya, bahwa tidak akan terjadi
sesuatu atas Miyatsangka dan saudara-saudaranya.
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu telah
melanjutkan perjalanan mereka. Mereka berusaha untuk tidak
salah arah, kembali ke padepokan kecil y ang mereka beri
nama Bajra Seta. Tetapi mereka sadar, bahwa mereka telah berjalan cukup
jauh. Sehingga mereka memerlukan waktu y ang panjang
untuk sampai ke padepokan kembali. Dengan demikian
mereka harus bermalam beberapa malam di perjalanan.
Satu dua hari di perjalanan kembali, mereka m emang
tidak terhambat oleh apa pun juga. Meskipun mereka tidak
sempat bermalam di tempat yang lebih baik dari sebuah
pategalan y ang terbuka. Di malam ketiga mereka berniat untuk mohon kepada
para bebahu padukuhan y ang mereka lewati untuk dapat
bermalam di banjar. Agar mereka dapat beristirahat lebih baik
dari dua malam sebelumnya.
Demikian mereka bertiga diterima oleh beberapa orang
yang ada di banjar, termasuk beberapa bebahu padukuhan,
sebenarnyalah mereka sudah merasakan sesuatu y ang agak
mendebarkan. Namun ternyata kemudian bahwa orang-orang
itu memutuskan untuk menerima mereka bermalam di banjar
itu. Malam itu ketiga orang anak muda itu bermalam di
sebuah banjar padukuhan. Mereka mendapat tempat sebuah
bilik yang ada di serambi belakang.
Menj elang saatnya sepi uwong, mereka masih mendapat
makan dan minuman panas bersama-sama dengan para
peronda y ang ada di banjar itu. Seorang petugas yang
kemudian menyingkirkan mangkuk-mangkuknya, berkata,
"Silahkan beristirahat Ki Sanak."
"Terima kasih atas kebaikan para bebahu padukuhan
ini," sahut Mahisa Murti.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, malam pun
menjadi semakin sepi. Yang masih terdengar dikejauhan,
kadang-kadang suara tertawa orang-orang y ang meronda.
Mereka berusaha untuk mengusir kantuk yang kadang-kadang
terasa sangat mencengkam.
Ketiga orang anak muda yang ada di dalam b iliknya, di
serambi belakang itu pun telah mengatur waktu. Dua di antara
mereka telah tidur ny enyak, sementara Mahisa Semu
mendapat giliran yang pertama karena m enurut perhitungan
mereka, tugas itu adalah tugas yang paling ringan.
Lewat tengah malam, maka Mahisa Semu telah
membangunkan Mahisa Pukat yang mendapat giliran kedua.
Sambil menguap Mahisa Pukat berdesis, "Tidurlah. Aku
akan menggantikanmu."
Mahisa Semu pun kemudian telah berbaring di sebelah
Mahisa Murti dan kantuknya rasa-rasanya memang telah
membuatnya tidak sempat untuk menguap. Dalam waktu yang
singkat, maka nafasnya pun telah mengalir dengan lancar
lewat lubang hidungnya. Mahisa Pukat lah y ang kemudian duduk sendiri
bersandar dinding. Sekali-sekali ia pun merasa mengantuk
juga. Tetapi ia pun telah terbiasa melakukan tugas-tugas
seperti y ang dilakukannya itu, sehingga ia pun mampu
mengatasinya. Orang-orang yang berdiri didekat dinding halaman
menjadi berdebar-debar melihat ketiga orang anak m uda itu
mendekati mereka. Seorang y ang mewakili orang-orang itu telah maju
selangkah mendapatkan ketiga orang anak-anak muda itu.
Bahkan dengan senjata yang telah siap terayun.
"Apa y ang telah terjadi?" bertanya Mahisa Murti.
Orang y ang mewakili orang-orang padukuhan itu pun
berkata, "Kau tidak perlu bertanya lagi. Kau harus menyadari,
bahwa permainan kalian akan berakhir disini."
"Permainan apa" Kami tidak pernah merasa berbuat
sesuatu y ang tidak pantas bagi padukuhan ini," berkata
Mahisa Murti. "Memang tidak bagi padukuhan ini," jawab orang itu.
"T olong Ki Sanak. Katakan kepada kami, apakah salah
kami?" berkata Mahisa Murti.
-ooodwoooHIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 71 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 071 Bagian awal dari jilid ini dipindahkan/dis is ipkan ke Jilid 69
TETAPI nampaknya orang-orang itu benar-benar telah
menuduh mereka bertiga. Orang y ang mewakili kawankawannya
itu berkata, "Kesabaran kami sudah habis."
"Tidak. Aku tidak mau melakukan kesalahan dalam
kesalah pahaman ini," berkata Mahisa Murti, "kalian perlu
menjelaskannya." Tetapi orang itu justru m emberi isyarat kepada kawankawannya
untuk mengepung ketiga orang anak muda itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
tinggi ia bertanya, "Untuk apa kalian menerima kami
bermalam di banjar ini" Sengaja merupakan satu jebakan"
Kami kalian biarkan bermalam disini untuk sekedar menerima
tuduhan kalian y ang keji itu" Jika kalian belum dapat
menemukan orang-orang jahat y ang kalian cari, kalian jangan
menjebak siapa saja untuk kalian jadikan sasaran kebingungan
kalian." "Cukup, cukup," teriak orang itu, "kalian datang
sebagaimana kalian lakukan di padukuhan lain. Kemudian di
malam hari kalian ambil anak itu."
"Persetan," geram Mahisa Pukat yang kehilangan
kesabaran. "Ingat, aku dapat membunuh kalian."
Orang-orang y ang m engepung ketiga orang anak muda
itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Sementara orang yang
bertubuh tinggi tegap itu berkata, "Kau dapat melakukannya di
padukuhan-padukuhan lain. Tetapi tidak disini."
"Bukankah kami tidak melakukan sesuatu" " Mahisa
Pukat hampir berteriak. " Itu karena kalian tahu, kami telah mengepung kalian."
jawab orang bertubuh tinggi tegap itu.
"Kenapa hal itu kalian lakukan" Bukankah itu satu
kesengajaan untuk menyudutkan kami" Seharusny a kalian
tidak melakukannya dan menyaksikan apakah yang kami
lakukan dengan diam-diam sehingga kalian tidak m empunyai
alasan untuk dengan tidak bertanggung jawab menuduh kami.
Seolah-olah kami tidak melakukannya karena kalian telah
mengepung kami," berkata Mahisa Pukat y ang mulai marah,
"nah, siapakah y ang merencanakan semua ini" Orang itu
pantas dicurigai, bahwa orang itu sebenarnya mengetahui
tentang orang-orang y ang kalian cari sebenarnya."
Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu berkata, "jangan
mengada-ada. Meny erah sajalah."
Mahisa Pukat hampir saja tidak dapat mencegah
kemarahannya meledak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti
berkata, "Baiklah. Kami menyerah. Bawa kami menghadap Ki
Buyut. Tetapi dengan syarat, bahwa kami tidak perlu diikat."
"Kami akan mengikat kalian." geram orang bertubuh
tinggi tegap itu. " Jika kalian mengikat kaki kami, bagaimana kami dapat
berjalan?" bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun sebelum
ia berbicara Mahisa Murti berbisik, "Dengan cara ini, kami
akan bertemu dengan Ki Buyut."
Tetapi nampaknya Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak
senang tangannya menjadi terikat. Namun Mahisa Murti tidak
memperhatikannya. Dalam pada itu, orang -orang y ang mewakili kawankawannya
itu pun membentak, "Jika demikian, cepat berlutut,
acungkan tanganmu dan kami akan mengikatnya."
Mahisa Murti pun segera melakukannya, sementara
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu m enjadi ragu-ragu. Namun
betapa pun segannya akhirnya keduanya telah m elakukannya
sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti.
Ketiga orang anak muda itu telah berlutut sambil
mengacungkan tangannya ke depan. Orang-orang itu pun
telah mengikat tangan ketiganya dengan tali sabut kelapa yang
kuat. "Kita membawa mereka menghadap Ki Buyut." berkata
orang y ang mewakili kawan-kawannya itu.
Tetapi orang yang bertubuh tinggi tegap dan beberapa
orang y ang lain telah menolaknya. Bahkan beberapa orang
telah berusaha maju sambil berteriak, "jangan serahkan
kepada Ki Buyut." "Kenapa?" bertanya orang y ang mewakili kawankawannya.
"Kita putuskan sendiri, hukuman apa y ang pantas bagi
mereka bertiga." berkata seorang yang bertubuh gemuk.
" Jangan," berkata orang y ang mewakili kawan-awannya
itu, "kita tidak boleh berbuat demikian. Apalagi kita tidak
melihat sendiri apakah mereka benar-benar telah bersalah.
Karena itu, maka sebaiknya kita serahkan saja mereka kepada
Ki Buyut. Dengan demikian kita tidak akan dibebani tanggung
jawab jika terjadi kekeliruan."
"Tidak ada yang keliru. Kita telah menangkap orang
yang bersalah. Karena itu, kita berhak mengadilinya." berkata
orang y ang bertubuh tinggi kekurusan.
"Hak dari mana?" bertanya y ang mewakili kawankawannya
itu. "Kita tidak peduli hak darimana. Orang-orang ini pantas
diadili. Kita akan mengikat mereka pada patok-patok di
halaman banjar. Kita akan m enghukum mereka dengan cara
yang paling meny enangkan bagi kita. Setiap orang dibenarkan
untuk melakukan apa saja atas mereka." geram orang yang
bertubuh tinggi tegap. Ternyata bahwa perdebatan itu tidak berkesudahan.
Selain orang y ang mewakili kawan-kawannya itu, memang ada
beberapa orang y ang menganggap bahwa meny erahkan
ketiganya kepada Ki Buyut adalah cara yang paling baik.
Tetapi ternyata sebagian besar dari orang-orang itu ingin
mengadili ketiga orang anak muda itu sendiri.
Mahisa Pukat yang masih saja berlutut itu menjadi muak
mendengar perdebatan itu. Tetapi ia sempat mengamati
dengan sungguh-sungguh, siapakah di antara orang-orang itu
yang tidak ingin m elakukan penganiayaan itu dan siapakah
yang paling bernafsu untuk mengambil sikap yang kasar itu.
Dalam pada itu, m aka orang-orang y ang berniat untuk
langsung m enghukum ketiga orang itu ternyata lebih banyak,
sehingga beberapa orang justru nampak tersisih.
"Aku tidak bertanggungjawab atas t ingkah laku kalian.
Bukankah sejak semula kita sudah sepakat untuk menangkap
mereka dan meny erahkannya kepada Ki Buyut."
"Tetapi sikap kasar mereka membuat kita marah
bukan"," sahut orang bertubuh tinggi tegap itu. Sementara
orang lain m enyahut " Ya. Mereka tidak langsung meny erah.
Karena itu, maka m ereka memang pantas dihukum. Mereka
telah membuat kita menjadi sakit hati dan kehilangan
kesabaran." Orang yang mewakili kawan-kawannya itu pun berkata,
"Apa pun yang akan kalian lakukan, aku tidak tahu menahu.
Aku sudah berusaha untuk mengambil jalan terbaik. Tetapi
kalian terlalu bernafsu untuk menyakiti sesama."
Tetapi ternyata bahwa kata-katanya tidak didengar lagi
oleh kawan-kawannya yang semula menganggapnya sebagai


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang y ang paling berpengaruh di antara mereka. Namun
didesak oleh keinginan untuk memuaskan nafsu kebengisan
dan kekejian mereka, maka mereka telah melupakannya.
Dalam pada itu Mahisa Murti mencoba untuk
mengingatkan mereka, "Ki Sanak. Aku bersedia untuk
menyerah karena kalian berjanji untuk membawa kami
kepada Ki Buyut. Bukan untuk kalian adili sendiri."
Tetapi tanggapan orang-orang itu telah mengejutkan
ketiga anak muda itu. Tiba-tiba saja orang y ang bertubuh
tinggi tegap itu telah menendang wajah Mahisa Murti sehingga
Mahisa Murti telah terdorong dan jatuh berguling di tanah.
Yang lebih menyakitkan hatinya adalah bahwa orangorang
y ang menyaksikan hal itu telah tertawa berkepanjangan.
Mahisa Murti masih terbaring di tanah, ia sengaja untuk
tidak segera bangkit berdiri. Bahkan kemudian ia berusaha
untuk duduk dan m embungkuk dalam-dalam seolah-olah ia
berada dalam kesakitan y ang sangat.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Mahisa Murti
yang marah itu telah mengetrapkan kekuatannya menjadi
berlipat ganda. Tali y ang melingkar dipergelangan tangannya ternyata
tidak mampu mengikatnya. Tangan Mahisa Murti yang marah
itu seakan-akan telah berubah menjadi bara, sehingga tali itu
bagaikan telah terbakar. Dengan kekuatannya y ang berlipat
Mahisa Murti telah menghentakkan tali itu, sehingga terputus
sama sekali. Adalah diluar persetujuan di antara mereka, jika Mahisa
Pukat pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun telah
memutuskan tali yang mengikat pergelangan tangannya di
saat orang-orang yang ada di sekitarnya sedang
memperhatikan Mahisa Murti y ang mereka kira menjadi
sangat kesakitan sehingga ia duduk terbungkuk-bungkuk.
" Jangan menangis," berkata salah seorang di antara
orang-orang yang ingin mengadili ketiga orang anak muda itu.
Lalu katanya, "Kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatan kalian." Mahisa Murti masih saja dalam sikapnya. Namun
jantungnya hampir meledak ketika dirasakannya kaki
seseorang telah menginjak tengkuknya. Bahkan kemudian
ditekannya keras-keras sehingga dahi Mahisa Murti hampir
sa ja membentur tanah. Tetapi Mahisa Murti masih t etap berdiam diri. Ia
memang menunggu agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
bersiap menghadapi keadaan.
Sebenarnyalah perhatian terbesar telah ditujukan
kepada Mahisa Murti. Beberapa orang telah mengerumuninya
untuk menghinakannya. Ada y ang mulai menendangnya. Ada
pula y ang meludahinya. Kesempatan itu juga tidak disia-siakan oleh Mahisa
Pukat. Ia telah dengan diam-diam berusaha melepaskan
ikatan tangan Mahisa Semu m eskipun nampaknya keduanya
menjadi sangat ketakutan.
Mahisa Murti memang merasa bahwa waktu y ang
diberikan sudah cukup bagi Mahisa Pukat jika ia tanggap.
Seandainya tidak, maka ia akan mempunyai kesempatan
untuk berbuat sesuatu sebelum Mahisa Pukat menyadari
keadaannya. Sementara itu mulai terdengar orang-orang berteriak,
" Ikat pada tiang itu. Beri kami kesempatan."
"Ya. Ikat mereka pada tiang itu." teriak y ang lain, yang
disahut oleh beberapa buah mulut y ang lain.
Tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah merenggut
rambut Mahisa Murti dan menariknya tanpa segan-segan,
sehingga wajah Mahisa Murti tengadah. Adalah diluar
kehendaknya jika tangannya telah terbuka.
Mula-mula orang menarik rambutnya tidak begitu
memperhatikannya. Namun tiba -tiba saja seorang di antara
mereka berteriak, "Tali pengikat tangannya putus."
Orang-orang y ang lain pun telah memperhatikan tali
yang sudah t erkulai di tanah, sementara pergelangan tangan
Mahisa Murti sudah terbuka.
Beberapa orang telah bergeser mundur. Orang y ang
menarik rambutnya pun telah bergeser surut pula.
Mahisa Murti pun kemudian b erdiri tegak dengan kaki
renggang. Sambil bertolak pinggang ia memandang
berkeliling. Orang -orang y ang mengepungnya pun bergeser
semakin menjauhinya. Sementara itu, Mahisa Murti sempat memberi isy arat
agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mendekatinya.
Orang-orang yang mengepung anak-anak muda itu
menjadi semakin heran, tetapi juga berdebar-debar. Ketiga
anak muda itu telah terlepas dari ikatan pada pergelangan
tangannya. Bahkan Mahisa Murti yang marah itu berkata
lantang, "Siapa y ang akan mengikat kami pada tonggaktonggak
di halaman banjar ini" Siapa?"
Orang-orang yang mengepung ketiga anak muda itu
memang menjadi bingung. Bagaimana mungkin mereka
bersama-sama dapat melepaskan diri dari ikatan y ang kuat itu.
"Kenapa kalian tidak menjawab?" Mahisa Murti
berbicara semakin keras. Orang yang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu.
Bahkan satu dua orang mulai m encari orang y ang semula dianggap
mewakili mereka, namun yang tidak lagi mereka
dengar kata-katanya. Ternyata orang itu berdiri di pendapa banjar. Dengan
sak sama ia memperhatikan ketiga orang anak muda itu
bersama beberapa orang y ang mempunyai sikap dan pendirian
seperti dirinya. Orang itu memang sudah menduga bahwa satu
keajaiban akan terjadi. Meskipun demikian orang itu pun menjadi heran, bahwa
ketiga orang anak muda itu mampu melepaskan ikatan di
pergelangan tangan m ereka pada saat-saat anak-anak muda
itu tertutup oleh kesibukan orang-orang y ang mengepung
mereka, menghinakan Mahisa Murti dan bahkan
menyakitinya. Orang-orang y ang berada di pendapa itu termangumangu
ketika beberapa orang minta mereka melakukan
sesuatu. "Anak-anak muda itu mampu melepaskan ikatan pada
pergelangan tangannya." berkata salah seorang dari mereka.
"Aku sudah melihatnya." jawab orang y ang mewakili
mereka sebelumnya, namun yang kemudian tidak didengar
kata-katanya itu. "Kami mohon kau dapat berbuat sesuatu untuk
mengatasi keadaan ini." berkata orang yang menemuinya.
"Apa yang dapat aku lakukan" Aku bukan apa-apa lagi.
Ketiga anak muda itu sudah melepaskan ikatan itu dengan
cara yang tidak kita ketahui. Karena itu, aku tidak berani lagi
mendekati mereka. Bukankah dengan demikian menunjukkan
bahwa mereka memiliki sesuatu y ang berada kemampuan kita
semuanya." berkata orang itu.
"Aku tidak tahu apa yang akan m ereka lakukan. Aku
akan tetap berada di pendapa ini." berkata orang yang
mewakili kawan-kawan mereka itu.
Beberapa orang itu tidak berhasil melibatkan orang y ang
semula menjadi wakil m ereka, namun yang kemudian tidak
lagi mereka perlukan. Nampaknya orang itu telah menjadi
marah dan sangat tersinggung sehingga ia tidak lagi mau tahu
apa y ang akan terjadi. Namun dalam pada itu, orang-orang y ang sudah
terlanjur memperlakukan ketiga orang anak muda itu dengan
kasar, memang tidak akan dapat mengingkari tanggung jawab.
Terutama orang yang bertubuh tinggi tegap, y ang telah
menghinakan anak-anak muda itu.
Karena itu, maka ia pun telah berkata, "jangan
terpengaruh oleh permainan sihir anak-anak muda itu.
Jumlah kita terlalu banyak bagi mereka. Siapa pun mereka,
mereka tidak akan dapat melawan kita semuanya. Jika mereka
tidak mau meny erah, maka kita akan dapat memaksanya,
bahkan membunuh mereka pun kita tidak akan diper salahkan
orang." Orang-orang yang kecemasan itu tiba-tiba telah bangkit
kembali. Mereka tiba-tiba telah mengacukan senjata mereka.
Seorang di antara orang-orang itu pun berteriak lantang,
"Meny erah sajalah."
"Tidak ada gunanya kami meny erah," jawab Mahisa
Murti. "Kalian tidak mempunyai tali y ang cukup kuat untuk
mengikat kami. Tali ijuk sekalipun tidak akan berarti apa -apa.
Karena itu, kalian sajalah yang meny erah. Aku tidak akan
menghukum kalian semua. Aku hanya akan menghukum
orang-orang y ang bersalah."
"Kau tidak berhak menghukum kami." teriak orang y ang
bertubuh tinggi tegap itu.
"Hakku sama dengan hakmu. Jika kau berhak
menghukum kami, maka kami pun berhak menghukum kalian.
Di sini nampaknya kekuasaan Ki Buyut sama sekali tidak
diperlukan. Bahkan bebahu padukuhan ini pun t idak. Kalian
berbuat sesuka hati di banjar padukuhan ini. Kalian sama
sekali tidak menghormati paugeran y ang berlaku."
"Tutup mulutmu," teriak orang y ang bertubuh tinggi
tegap, "kau sengaja memperpanjang kesempatan untuk
menunggu kedatangan bebahu padukuhan ini. Mereka tidak
akan datang karena tidak ada seorang pun yang
memberitahukan kepada mereka."
"Aku tidak m engulur waktu," jawab Mahisa Pukat yang
marah, "justru aku ingin cepat -cepat kalian meny erah. Aku
ingin mengikat kalian semuanya pada patok-patok di halaman
atau di pepohonan di kebun belakang. Kami akan menghukum
kalian dengan cara sebagaimana akan kalian lakukan atas
kami." Orang y ang bertubuh tinggi tegap itu pun tidak
menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia berteriak k epada
orang-orang padukuhan itu, "Sekarang. Bunuh mereka jika
melawan. Jika tidak, maka mereka akan benar-benar
berbahaya bagi kita."
Orang-orang padukuhan itu pun mulai bergerak. Mereka
benar-benar m engacukan senjata m ereka ke arah ketiga anak
muda itu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sudah
benar-benar marah kepada orang -orang itu. Karena itu, maka
mereka bertiga pun telah mempersiapkan diri sepenuhnya
untuk melakukan perlawanan.
Adalah satu kesalahan bagi orang-orang padukuhan itu,
bahwa mereka terlalu percaya pada tali pengikat tangan ketiga
orang anak muda itu sehingga pedang-pedang mereka tidak
diambilnya. Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah
menggenggam senjata mereka pula. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mengerahkan tenaga cadangan mereka, sementara
Mahisa Semu pun telah berada pada puncak kemampuan ilmu
pedang yang pernah dipelajarinya.
Karena itu, demikian seorang di antara lawan bergerak,
Mahisa Semu telah meloncat sambil memutar pedangnya.
Dengan cepat sekali ia m eny entuh pedang lawan y ang mulai
bergerak itu dan dengan satu putaran yang cepat, pedang itu
bagaikan telah dibelit oleh kekuatan y ang sangat besar. Tibatiba
saja pedang itu telah terlontar tinggi-tinggi di udara.
Selagi orang y ang kehilangan pedangnya itu terheranheran,
maka ujung pedang Mahisa Semu yang marah itu telah
menggores lambungnya. Terdengar keluh kesakitan. Orang itu pun langsung jatuh
di tanah. Beberapa orang telah terkejut. Namun mereka tidak
sempat berbuat apa pun juga karena pedang Mahisa Semu
justru telah menyambar-nyambar.
Pertempuran ternyata memang tidak dapat dihindari.
Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
memang terlalu garang bagi orang-orang padukuhan itu.
Kemarahan y ang sangat agaknya telah membuat mereka
kehilangan pengendalian diri sehingga dalam waktu yang
pendek, beberapa orang telah terkapar dan terluka parah.
Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu telah
menjadi sangat negeri m elihat kemarahan ketiga orang anak
muda itu. Mereka sama sekali tidak m enduga, bahwa mereka
akan bertemu dengan anak-anak muda y ang demikian garang.
Dalam keadaan yang demikian, orang y ang dianggap
wakil dari orang-orang padukuhan itu tidak dapat tinggal
diam. Ia pun kemudian telah turun dari pendapa dan
mendapatkan ketiga orang anak muda y ang marah itu. Bahkan
tanpa ragu-ragu orang itu telah memasuki arena pertempuran
sambil berkata, "Anak-anak muda. Akulah yang bertanggung
jawab. Karena itu, jika kalian benar-benar marah dan ingin
melakukan pembalasan, lakukanlah atas aku dan barangkali
untuk memuaskan kalian, beberapa orang y ang mempunyai
pendirian seperti aku, bersedia pula menjadi banten."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
tertegun. Suara orang itu benar-benar telah menyentuh hati
mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian
berkata, "Hentikan. Kita akan menilai kembali, apa y ang telah
kita lakukan." Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun telah meloncat
surut. Meskipun senjata m ereka masih teracu, tetapi m ereka
tidak lagi berloncatan menyerang.
"Apa yang kalian kehendaki?" bertanya Mahisa Murti,
"mengikat tangan kami kembali" Menendang wajah kami dan
menarik rambut kami" Meludahi dan mengumpat-umpat serta
memaki dengan kata-kata kotor" Kemudian berniat untuk
mengikat kami di patok-patok itu dan membiarkan kami
mendapat hukuman picis sementara kami tidak pernah
merasa bersalah" Kenapa kau mencoba menipu kami dengan
mengatakan, bahwa kami akan dihadapkan kepada Ki Buyut?"
"Akulah y ang bersalah. Sudah aku katakan, aku
bertanggungjawab. Karena itu, jika kau ingin mendapat
kepuasan dengan membunuh oleh kemarahan y ang tidak
terbendung lagi, bunuhlah kami." berkata orang itu.
Beberapa orang yang mempunyai pendirian seperti wakil
orang-orang padukuhan itu berdiri di belakangnya.
Nampaknya mereka memang pasrah. Tidak seorang pun di
antara mereka y ang bersenjata y ang menunjukkan sikap


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlawanan. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak dapat melawan kalian yang tanpa senjata. Kenapa
kalian tidak mencari senjata dan bersama-sama dengan
kawan-kawan kalian mengepung dan mengeroy ok kami?"
Orang itu menggeleng. Katanya, "Sejak semula kami
memang tidak menghendakinya. Kami, sekelompok kecil ini
berpendirian, bahwa sepantasny a kalian dibawa menghadap
Ki Buyut. Tetapi saudara-saudara kami bersikap lain. Namun
karena akulah y ang telah mengikat tangan kalian, maka
biarlah kemarahan kalian, kalian tumpahkan kepadaku dan
beberapa orang saudaraku ini."
Mahisa Murti termangu-mangu. Hampir diluar sadarnya
ia - pun telah menyarungkan senjatanya. Demikian pula
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
Ketika mereka bertiga sempat melihat keadaan di
sekitarnya, maka mereka melihat beberapa orang telah terluka
parah oleh kemarahan mereka y ang tidak terkendali.
Tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, "Mereka telah
memperlakukan kami dengan sangat kasar. Bahkan t erlalu
kasar." "Kami mengerti," jawab orang itu, "perlakuan yang tidak
sewajarnya. Tetapi itu bukan watak orang-orang padukuhan
ini." "Bagaimana kau dapat berkata begitu. Ternyata mereka
telah melakukannya." jawab Mahisa Murti.
"Mereka pada da sarnya adalah orang-orang y ang tidak
terlalu kasar. Tetapi m ereka adalah orang -orang y ang t erlalu
pendek berpikir. Mereka dengan mudah telah dipengaruhi
oleh orang-orang yang memang kasar dan berhati kelam."
berkata orang itu. "Siapakah yang kau maksud itu?" bertanya Mahisa
Murti. Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Kau dapat menerkanya sendiri."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Hampir diluar
sa darnya ia memandang orang y ang bertubuh tinggi tegap
yang sedang menyeringai kesakitan, karena dadanya terluka
meskipun tidak terlalu dalam. Namun luka di bawah
lambungnya telah membuatnya tidak dapat meninggalkan
medan dan melarikan diri.
Ketika Mahisa Murti berpaling kembali kepada orang
yang merasa bertanggung jawab itu, maka orang itu pun
mengangguk. Mahisa Murti telah mengangguk-angguk pula. Dengan
nada rendah ia berkata, "Lalu apa yang akan kalian lakukan
sekarang" Semuanya telah terjadi. Apakah kau tidak
mempunyai sikap lain kecuali berkata bahwa kau yang
bertanggung jawab?" "Aku tidak dapat berbuat apa -apa Ki Sanak." berkata
orang itu. " Jadi kau juga tidak mampu merawat saudarasaudaramu
itu?" bertanya Mahisa Murti pula.
Orang itulah yang kemudian menarik nafas dalamdalam.
Katanya, "Jika Ki Sanak mengijinkan."
"Lakukanlah. Tetapi aku menjadi ingin tahu, apa y ang
telah terjadi sebenarnya di padukuhan ini, sehingga kalian
telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang yang minta
perlindungan dan bermalam di sini." jawab Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
orang-orang padukuhan yang ada di sekitarnya dengan wajah
yang tegang. Keringatnya y ang membasahi tengkuk dan
punggungnya. "Kau dengar saudara-saudaraku. Kami diperbolehkan
merawat saudara-saudara kita yang terluka." berkata orang
itu. Namun Mahisa Murti masih juga berkata, "Tetapi
siapakah di antara kalian yang tidak mau menerima keadaan
ini" Siapakah yang masih tetap berpendirian untuk
menangkap kami dan menghukum mati dengan hukuman
yang paling biadab y ang kita kenal sekarang, yaitu hukum
picis?" Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara Mahisa
Murti telah berteriak pula, "Siapa" Siapa?"
Orang y ang mewakili kawan-kawannya itu berkata sareh,
"Tidak ada Ki Sanak."
" Jika tidak ada, kenapa kalian masih bersenjata"
Lemparkan senjata kalian, atau aku harus menarik senjataku
kembali?" bertanya Mahisa Murti.
Jantung orang-orang padukuhan itu m enjadi berdebardebar.
Namun kemudian oleh kengerian yang sangat, m aka
mereka pun telah melemparkan senjata-senjata mereka.
Orang yang mewakili mereka pun kemudian berkata,
"Nah bukankah anak-anak muda percaya?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Sekarang terserah kepada kalian. Tetapi aku masih akan
mengusut apa y ang telah terjadi disini."
"Baiklah anak-anak muda. Kami ingin mempersilahkan
anak-anak muda untuk beristirahat di pendapa. Kami akan
mengurusi saudara -saudara kami y ang terluka. Sementara itu
kami akan mengirimkan dua orang di antara kami untuk
memberikan laporan kepada Ki Buyut. Syukurlah jika Ki Buyut
bersedia untuk datang ke banjar ini."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
dipersilahkan untuk naik ke pendapa. Sementara itu, orangorang
padukuhan itu telah sibuk merawat saudara-saudara
mereka y ang terluka. Dan meletakkannya di gandok banjar.
Sikap orang-orang padepokan itu terhadap ketiga orang
anak muda itu telah berubah sama sekali. Ketiga orang anak
muda itu ternyata m emiliki kemampuan y ang sangat tinggi.
Mereka dengan garang telah dapat mengoy ak kepungan orangorang
sepadukuhan y ang jumlahnya jauh lebih banyak dari
hanya tiga orang anak muda itu. Bahkan beberapa orang telah
terkapar dengan luka y ang parah. Bahkan ternyata seorang di
antara y ang terluka itu telah tidak dapat lagi ditolong.
"Mereka telah membunuh saudara kami," berkata salah
seorang di antara mereka yang menunggui seorang di antara
mereka y ang telah menghembuskan nafasnya yang terakhir
karena luka-lukanya y ang parah serta darahnya yang mengalir
deras. Tetapi saudaranya yang lain m enggelengkan kepalanya
sambil berkata, "Saudara kita itulah yang membunuh diri,
sebagaimana y ang kita lakukan. Tetapi usaha kita membunuh
diri telah gagal karena kita telah melemparkan senjata -senjata
kita." Orang yang pertama menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang menjadi sangat ngeri
itu mulai dapat memikirkan apa y ang telah terjadi di halaman
banjar mereka. Agaknya mereka telah kehilangan akal
sehingga mereka telah memasuki kembali satu peradaban
yang l iar sehingga m ereka hampir saja telah melakukan satu
kekejaman y ang luar biasa dengan menjatuhkan hukum picis
kepada ketiga orang anak muda itu.
Tidak seorang pun dapat menyalahkan ketiga orang anak
muda itu atas kematian seorang di antara mereka, dan
beberapa orang y ang telah terluka. Semua orang mulai
menyadari, betapa perlakuan kasar telah dialami oleh ketiga
orang anak muda itu. Kekasaran itu ternyata harus ditebus
dengan jiwa oleh orang-orang padukuhan itu.
Beberapa saat kemudian, ternyata Ki Buyut telah datang.
Bagi ketiga anak muda itu, sikapnya masih m enjadi teka-teki.
Ketiga orang anak muda itu tidak tahu, apakah Ki Buyut akan
dapat m engerti, bahwa ketiga anak muda itu dengan terpaksa
sekali telah berbuat sesuatu y ang akibatnya sangat parah.
Bahkan telah merenggut jiwa seseorang.
Ternyata Ki Buyut bukan seorang y ang mudah
kehilangan penalaran. Wajahnya memang menjadi tegang
ketika ia mengetahui bahwa seorang di antara penghuni
Kabuyutannya telah terbunuh.
Tetapi Ki Buyut itu dengan teliti telah menelusuri
apakah sebabnya hal itu telah terjadi.
Orang yang bertubuh tinggi tegap y ang juga terluka itu
telah berusaha untuk dapat berbicara dengan Ki Buyut
langsung. Namun orang y ang mewakili saudara-saudaranya
saat menghadapi ketiga orang anak muda itu telah
mendampingi Ki Buyut itu.
Karena itu, ketika orang bertubuh tinggi tegap y ang
terluka cukup parah itu mengatakan yang tidak sebenarnya,
maka orang yang mewakili kawan-kawannya itu telah
memberikan penjela san. Ki Buyut mengangguk-angguk. Pikirannya y ang bening
dapat m enyaring laporan-laporan y ang bersimpang siur itu.
Sementara itu maka katanya, "Aku ingin berbicara dengan
ketiga orang anak muda itu."
Ki Buyut pun kemudian telah duduk di pendapa bersama
beberapa orang bebahu, orang yang mewakili saudarasaudaranya
itu dan ketiga orang anak muda yang telah
menimbulkan per soalan di banjar padukuhan itu.
"Kau telah membunuh disini anak-anak muda." berkata
Ki Buyut. "Ya," jawab Mahisa Murti tegas, "Jika kami tidak
membunuh dan melukai beberapa orang, maka kami akan
mengalami hukuman picis."
Ki Buyut termangu -mangu. Tetapi nampak wajahnya
tergerak oleh perasaan yang terkejut mendengar jawaban
Mahisa Murti itu. Karena itu, maka ia pun bertanya,
"Hukuman apa" Siapakah y ang telah menghukum kalian?"
Mahisa Murti termangu-mangu. Katanya, "Apakah tidak
ada orang y ang memberikan laporan dengan lengkap?"
"Laporan itu m emang m engatakan bahwa telah terjadi
perselisihan dan beberapa orang terluka, sehingga aku datang
kemari." jawab Ki Buyut.
Mahisa Murti lah y ang kemudian memberikan
penjelasan tentang apa y ang telah terjadi di banjar itu. Dan
akhirnya ia pun berkata, "Itu bukan sekedar perselisihan.
Kami tidak mempunyai persoalan. Yang kami lakukan adalah
membela diri." Orang y ang mewakili kawan-kawannya itu pun
kemudian berkata, "Bukankah sebagian dari persoalan yang
sebenarnya telah kami laporkan pula?"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Aku ingin
menyesuaikan laporan dari semua pihak. Aku harus dapat
mencari kebenaran dari berbagai macam laporan yang
simpang siur." Mahisa Murti termangu -mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Anak-anak muda," berkata Ki Buyut, "dengan laporan
kalian, maka kami menjadi y akin tentang apa yang telah
terjadi. Aku sangat kecewa karena kalian telah membunuh dan
melukai orang-orangku, tetapi aku pun merasa kecewa pula
atas tindakan orang-orangku atas kalian. Karena itu, aku
memang harus mengikhlaskan orangku y ang terbunuh."
"Terima ka sih Ki Buyut," berkata Mahisa Murti. Namun
kemudian ia pun bertanya, "tetapi apakah yang sebenarnya
telah terjadi di Kabuyutan ini sehingga orang-orang
padukuhan ini seakan-akan telah menjadi ka sar dan buas."
"Memang sesuatu telah terjadi." berkata Ki Buyut.
" Itulah yang ingin kami ketahui." jawab Mahisa Murti.
Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Sementara ketiga
anak m uda itu merasa semakin yakin jika Ki Buyut sendiri
yang telah mengatakannya.
Dalam pada itu, Ki Buyut pun b erkata, "Sudah ada dua
orang bay i y ang hilang di Kabuyutan ini."
"Anak siapakah mereka" Anak seorang yang memiliki
kekay aan yang memungkinkan akan terjadi pemerasan, atau
kemungkinan-kemungkinan y ang lain?" bertanya Mahisa
Murti. "Bukan," jawab Ki Bekel. Lalu katanya pula, "Keduanya
anak orang-orang biasa. Tidak ada kelebihan apa -apa. Tidak
terlalu kaya. Ada beberapa orang y ang lebih kaya daripada
mereka. Tetapi bay i-bay i merekalah y ang hilang."
"Apakah tidak ada tanda-tanda atau dugaan-dugaan,
dalam hubungan apakah anak-anak itu hilang?"
"Tidak." jawab Ki Bekel.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tanpa petunjuk apa
pun juga sangat sulit baginya untuk mengetahui dan
memecahkan persoalan itu. Apalagi menemukan bay i-bay i
yang hilang itu. Namun dalam pada itu, orang yang mewakili saudarasaudaranya
sepedukuhan itu berkata, "Kedua bay i itu m asih
mempunyai hubungan darah. Keduanya saudara sepupu.
Keduanya lahir dari ay ah dan ibu y ang baru mempunyai
seorang anak itu." "Sepupu?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya," jawab orang itu, "jarak waktunya bay i itu hilang
tidak terlalu jauh. Kurang dari dua pekan."
Mahisa Murti dan kedua saudaranya termangu-mangu.
Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, "Apakah masih ada
orang lain y ang m asih m empunyai hubungan darah dengan
mereka?" "Ada," jawab Ki Buyut, "kakak mereka y ang tertua.
Orang itu tidak m empunyai anak. Kemudian yang kedua dan
yang ketiga mempunyai masing-masing seorang anak yang
hilang itu. Yang keempat adalah orang yang terlibat dalam
pertempuran yang baru saja terjadi. Dendamnya kepada
orang-orang y ang menculik kemanakannya itu sampai ke
ubun-ubun. Karena itu, maka ia pun telah dengan mudah
terbakar hatinya." "Yang mana?" bertanya Mahisa Murti.
"Orang bertubuh tinggi tegap." jawab Ki Buyut.
"Yang terluka itu?" bertanya Mahisa Pukat tiba -tiba.
"Ya. Ia begitu benci kepada orang-orang yang dapat
disangka menculik kemenakan-kemenakannya itu. Karena itu,
ia tidak dapat menahan dirinya dan dengan mudah melakukan
tindakan y ang tidak terpuji itu."
"Apakah orang itu m empunyai anak?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Anaknya ada tiga." jawab Ki Buyut.
Namun orang y ang mewakili kawan-kawannya itu
berkata, "Yang masih mempunyai hubungan darah dengan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang Ki Buyut katakan itu bukan orang yang
bertubuh tinggi tegap itu sendiri. Tetapi saudara keempat dari
mereka itu adalah isterinya."
Ki Buyut m engangguk-angguk. Katanya, "Ya, kau benar.
Isterinyalah yang masih m empunyai pertalian darah dengan
ketiga orang y ang lebih tua itu."
"Menarik sekali untuk diselidiki Ki Buyut," berkata
Mahisa Murti, "Aku akan tinggal di Kabuyutan ini selamalamanya
sepekan, sehingga jika sepekan aku gagal, maka aku
akan pergi." "Kalian akan membantu kami mencari penculikpenculik
itu?" bertanya Ki Buyut.
"Ya. Aku akan membantu Ki Buyut untuk sepekan.
Berhasil atau tidak berhasil." jawab Mahisa Murti.
"Terima kasih anak-anak muda. Setidak-tidaknya kita
sudah berusaha. Jika tidak berhasil, m aka itu adalah di luar
kehendak kita." desis Ki Buyut.
Keterangan itu memang sangat menarik. Laki-laki y ang
bertubuh tinggi tegap itu nampaknya tidak begitu baik bagi
saudara-saudara isterinya.
Namun dengan ragu-ragu Mahisa Murti pun kemudian
bertanya, "Maaf Ki Sanak. Bukan maksudku mengetahui
persoalan y ang sangat pribadi. Tetapi pertanyaan kami ini
berhubungan dengan hilangnya dua orang kemanakan Ki
Sanak." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan. Jika
aku mungkin menjawabnya, aku akan menjawabnya."
Mahisa Murti memang ragu-ragu. Tetapi ia akhirnya
mengucapkannya juga, "Ki Sanak. Menurut penglihatan kami,
Ki Sanak adalah seorang y ang kaya sekali. Sementara itu, Ki
Sanak tidak mempunyai anak."
"Ya. Aku memang tidak dapat mengelak bahwa aku
memang mendapat kurnia yang barangkali melebihi orang
lain. Aku sangat berterima kasih. Menurut pendapatku, aku
bukan seorang yang sangat pelit, sehingga aku sempat serba
sedikit memberikan bantuan kepada orang-orang yang
memerlukan di sekitarku ini. Juga bagi padukuhan dan bagi
Kabuyutan." berkata orang itu.
"Aku percaya Ki Sanak," berkata Mahisa Murti. "Namun
yang ingin aku tanyakan, sesuai dengan paugeran y ang berlaku
di sini, jika saatnya datang, siapakah y ang akan mewarisi
kekay aan Ki Sanak yang banyak ini?"
"Ah," desis orang itu. Namun dengan serta merta
Mahisa Murti berkata, "Bukan maksudku untuk memacu Ki
Sanak berpikir tentang masa -masa y ang tidak menarik itu.
Tetapi aku ingin m engetahuinya dalam hubungannya dengan
persoalan anak-anak y ang hilang itu."
"Baiklah Ki Sanak," jawab orang itu, "aku percaya
kepada Ki Sanak. Tetapi jangan diartikan bahwa aku ingin
meny ombongkan diri dengan kekayaanku."
"Tentu tidak. Kita bersama-sama sedang berusaha
memecahkan persoalan yang rumit, y ang hampir saja
menghancurkan martabat penghuni Kabuyutan ini serta
hampir saja merenggut nyawa orang yang tidak bersalah."
berkata Mahisa Murti. "Menurut paugeran, jika sepasang suami isteri tidak
mempunyai anak, maka harta benda yang dimilikinya,
termasuk tanah, sawah dan pategalan, akan jatuh ke tangan
saudara-saudaranya." jawab orang itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sesuatu tergetar di
jantungnya, sebagaimana Mahisa Pukat juga merasakannya.
Untuk sementara ketiga anak muda itu merasa cukup.
Mereka pun kemudian telah kembali ke serambi banjar.
"Nampaknya kita akan menemukan orang itu." berkata
Mahisa Murti. "Ya," jawab Mahisa Pukat, "persoalannya semakin
jelas." "Apa y ang jela s?" bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Cobalah berpikir
sedikit. Tarik garis dari ujung."
"Mak sudmu?" bertanya Mahisa Semu pula.
"Kau malas berpikir. Nampaknya kau lebih senang
bertanya saja. Nampaknya itu lebih mudah dan tidak usah
membuang-buang tenaga." berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia bergeramang, "Yang tertua itu kaya sekali. Jika ia
meninggal, maka harta bendanya akan jatuh kepada tiga orang
saudaranya. Yang kedua dan ketiga juga tidak mempunyai
anak, karena anaknya hilang. Kalau mereka mati, maka harta
bendanya akan jatuh kepada saudaranya," Mahisa Semu
berhenti sejenak, lalu katanya, "Jadi kalian menduga, bahwa
hal ini telah direncanakan oleh saudara y ang paling muda itu?"
"Bukan," jawab Mahisa Pukat, "tetapi suaminya."
"Tidak. Tidak ada gunanya. Bagaimana jika y ang
termuda itu mati lebih dahulu, atau orang yang kehilangan
anak-anaknya itu akan mempunyai anak lagi?" bertanya
Mahisa Semu. "Rencana itu berkelanjutan." jawab Mahisa Pukat.
Wajah Mahisa Semu menjadi tegang. Sambil bangkit
berdiri ia berkata, "begitu kejamkah orang itu?"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, sementara
Mahisa Semu berkata, "jadi menurut dugaanmu, orang itu
akan dapat membunuh pula kedua orang saudara isterinya
itu" Atau barangkali membunuh setiap anak yang akan
dilahirkan kelak?" Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kau tahu, bagaimana orang yang bertubuh tinggi tegap itu
begitu bernafsu untuk menghukum kita" Bahkan mungkin
membiarkan kita terbunuh di patok-patok y ang terdapat di
halaman banjar setelah ia membakar hati orang-orang
padukuhan ini." "Ya." jawab Mahisa Semu.
"Kau lihat cahaya matanya" Begitu garangnya. Tidak
mustahil bahwa ia akan membunuh dua tiga orang atau
bahkan lebih lagi." jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Bukankah orang itu terluka?"
"Ya," jawab Mahisa Pukat, "kita memang tidak dapat
menuduh begitu saja. Setidak-tidaknya harus ada saksi yang
dapat membantu memecahkan persoalan ini."
" Itulah yang sedang aku pikirkan," berkata Mahisa
Murti, "kita harus dapat memancingnya."
"Malam nanti kita mempunyai kesempatan." berkata
Mahisa Pukat. "Apakah kita akan meninggalkan setelah sepekan kita di
sini" Jika demikian besok adalah hari terakhir. Apakah
mungkin kita meny elesaikan tugas ini" Sementara itu, apakah
kita akan sampai hati meninggalkan pekerjaan y ang sudah
hampir selesai ini?" bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "Aku memang berniat untuk
meninggalkan tempat ini setelah sepekan kita disini. Berhasil
atau tidak berhasil. Tetapi nampaknya keadaannya akan
berbeda. Kita akan disini sampai persoalan ini tuntas kita
selesaikan." "Apakah kita akan memberitahukan kepada Ki Buyut?"
bertanya Mahisa Semu pula.
"Belum," jawab Mahisa Murti, "jika kita sudah
mendapat kepastian dan saksi atau bukti, barulah kita
berbicara dengan Ki Buyut."
"Tetapi waktu y ang kita perlukan tentu lama," berkata
Mahisa Pukat, "Orang itu terluka, termasuk agak parah.
Apakah kita akan menunggu orang itu sembuh" Orang itu
tentu akan mengambil langkah-langkah setelah ia dapat
berbuat sesuatu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia
menjawab, "Mungkin kita memerlukan waktu yang lama."
Mahisa Pukat lah y ang tersenyum kemudian. Katanya,
"Kau tidak tergesa -gesa lagi?"
Tetapi jawabnya, "Kita sedang tapa ngrame. Kita harus
menolong setiap orang yang memerlukan pert olongan kita.
Bukankah itu m erupakan satu laku bertapa yang paling baik
menurut penilaian kita, karena laku itu secara ny ata telah
menolong sesama." Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil ter senyum.
Tetapi ia tidak menjawab.
Beberapa saat mereka beristirahat, maka seperti biasa
penunggu banjar itu pun telah menyajikan makan dan minum
bagi mereka. Ketika Mahisa Semu sedang pergi ke pakiwan, maka
diluar sadar, Mahisa Pukat telah memungut sepotong lauk dan
dimakannya. Namun tiba -tiba sepotong ikan air tawar yang
dikunyahnya itu telah dimuntahkannya kembali.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Lihatlah." desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti pun kemudian meny entuhnya. Dengan
kemampuannya y ang tinggi, serta penangkal bisa dan racun
yang dimilikinya, sebagaimana dimiliki oleh Mahisa Pukat,
mereka dapat mengerti bahwa makanan y ang diberikan
kepada mereka itu beracun.
"Kita amati Mahisa Semu," berkata Mahisa Murti,
"jangan sampai ia memakannya. Anak itu tidak memiliki
penangkal racun." "Siapakah y ang memberikan racun itu pada m akanan
itu?" bertanya Mahisa Pukat, "orang y ang menghidangkan itu,
atau orang yang memasaknya, atau orang lain diluar
pengetahuan mereka?"
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun akhirnya ia
berkata, "Aku akan pergi ke rumah Ki Buyut sebentar."
"Untuk memberikan laporan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku berharap Ki Buyut bersedia datang kemari," jawab
Mahisa Murti sambil melangkah ke pintu. Tetapi ia masih
berpesan, "Hati-hatilah dengan Mahisa Semu."
Mahisa Pukat mengangguk sambil berdesis, "Aku akan
memberitahukan kepadanya."
Sepeninggal Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat telah
melihat seluruh makanan y ang dihidangkan itu. Ternyata
sebagian besar dari nasi, lauk pauk dan sayurnya telah
diracuni. Racun yang dapat membunuh orang yang makan dan
bahkan menelannya sedikit saja dari antara y ang dihidangkan
itu. Ternyata beberapa saat kemudian, Mahisa Semu telah
masuk ke dalam bilik di serambi itu. Dengan cepat, Mahisa
Pukat memberikan peringatan tentang racun itu kepadanya.
Bahkan Mahisa Pukat minta agar Mahisa Semu pergi ke
pakiwan lagi untuk mencuci kain panjang.
"Ulurlah waktu sampai Ki Buyut datang kemari." desis
Mahisa Pukat. Mahisa Semu masih belum tahu pasti m aksud Mahisa
Pukat. Namun ia telah kembali k e pakiwan dan m encuci kain
panjangnya. Ia telah memenuhi pesan Mahisa Pukat untuk
mengulur waktu sampai saat Ki Buyut datang bersama Mahisa
Murti. "Mudah-mudahan Ki Buyut ada di rumah." desis Mahisa
Semu yang masih berendam air di pakiwan meskipun hari
menjadi semakin buram. Beberapa saat kemudian, ternyata orang yang telah
menghidangkan makanan itu telah masuk kembali untuk
menyingkirkan sisa-sisa makanan. Namun ternyata makanan
itu masih belum dimakan. "O," orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
nampak terkejut bahwa Mahisa Pukat masih duduk di amben
bambu. "Apakah kalian belum makan?" orang itu pun kemudian
telah bertanya. "Belum," jawab Mahisa Pukat, "aku masih menunggu
saudara-saudaraku. Yang satu baru pergi ke sungai dan yang
lain masih mencuci di pakiwan."
Orang itu tidak memberikan kesan apapun. Katanya,
"Baiklah. Nanti saja aku datang lagi untuk mengambilnya."
Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah pergi.
Mahisa Pukat menjadi termangu-mangu. Melihat
sikapnya, tentu bukan orang itu y ang telah memberikan racun
pada makanan yang dihidangkannya.
Beberapa saat kemudian, ternyata Ki Buyut telah datang
dengan diam-diam, sehingga orang yang berada di pendapa
banjar pun tidak tahu, bahwa Ki Buyut telah berada di serambi
belakang. "Hati-hati Ki Buyut." minta Mahisa Murti.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mempunyai kemampuan untuk mengetahui, bahwa di dalam
makanan itu ada racunnya.
Ketika seekor kucing masuk ke dalam ruangan itu
Mahisa Murti telah melemparkan sepotong ikan air tawar yang
segera dimakan oleh kucing itu. Namun sejenak kemudian,
kucing yang malang itu telah menjadi beku.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
kucing yang mati itu dengan jantung y ang berdebaran. Jika
yang menelan makanan dan minuman itu seseorang, maka
seseorang itu pun akan mengalami nasib yang sama seperti
kucing itu. Sementara itu Mahisa Semu lah y ang kemudian
berjongkok di sebelah kucing y ang telah mati itu. Dengan nada
rendah ia berdesah, "Kasihan. Jika kakang telah m engetahui
bahwa makanan itu beracun, kenapa kakang berikan juga
kepada kucing ini?" Mahisa Murti menyahut perlahan, "Sudahlah.
Nampaknya kucing itu memang harus berkorban untuk
membuktikan bahwa makanan itu memang beracun."
"Kucing itu tidak mati sia -sia." berkata Mahisa Pukat.
"Akulah yang berterima kasih karenanya," berkata Ki
Buyut, "dengan demikian aku m enjadi y akin bahwa makanan
ini memang beracun. Setidak-tidaknya lauknya."
"Bukan hanya lauknya Ki Buyut," berkata Mahisa Murti,
"nasi dan sayurnya juga beracun."
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan nada keras ia
bertanya, "Siapakah menurut dugaan kalian, yang telah
melakukannya?" Mahisa Murti m enggeleng. Katanya, "Aku belum tahu.
Masih harus dicari, siapakah yang melakukannya. Orang yang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghidangkan, yang masak atau orang lain."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian
berdesis, "Caranya?"
" Itulah y ang masih belum kami ketemukan." jawab
Mahisa Murti. Sejenak mereka duduk termangu-mangu. Semuanya
memikirkan kemungkinan yang paling baik untuk menjebak
orang y ang telah meracuni makanan itu.
Tiba-tiba saja Mahisa Semu pun berkata, "Kita
beritahukan k epada orang yang telah m emasak makanan itu.
Kita akan makan bersama Ki Buyut disini. Bagaimana
tanggapannya. Mungkin kita akan dapat melihat sekila s."
Mahisa Murti tiba-t iba telah bangkit sambil berdesis,
"Bagus. Ternyata pikiranmu cerah."
Mahisa Pukat pun berkata, "Nanti, jika orang y ang akan
menyingkirkan sisa makanan itu datang, aku akan m enemui
orang yang meny iapkan makanan itu, atau y ang telah
memasaknya. Kalian berbicara dengan orang yang telah
menghidangkan m akanan itu, sementara aku akan berbicara
dengan mereka yang ada di belakang."
Beberapa pembicaraan singkat telah terjadi. Namun
mereka- pun terdiam ketika seseorang memasuki bilik serambi
itu. Demikian orang itu masuk, maka Mahisa Pukat pun telah
menyelinap pula keluar. "Apakah kalian sudah selesai m akan?" bertanya orang
itu. "Tentu belum," jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, "Ki
Sanak. Sebagaimana kau lihat, Ki Buyut ternyata datang
kemari. Apakah pantas jika aku dan saudara -saudaraku makan
sendiri" Tolong, ambilkan sebuah mangkuk saja. Nasi dan lauk
pauk yang tersedia cukup banyak, sehingga tidak perlu
ditambah lagi." Orang itu mengangguk-angguk. Tidak ada kesan apa pun
di wajahnya. Bahkan katanya, "Baiklah. Aku akan mengambil
mangkuk lagi." "Bukan hanya m angkuk, tetapi juga minuman bagi Ki
Buyut," berkata Mahisa Murti untuk memperpanjang
kesempatan Mahisa Pukat berbicara dengan orang y ang masak
atau y ang meny ediakan makan dan minum itu.
"Baik Ki Sanak." berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Murti masih menahannya, "Tunggu Ki
Sanak." Orang itu termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti
telah bertanya kepada Ki Buyut, "Apakah kebia saan minuman
Ki Buyut" Kami disini selalu m enikmati wedang jahe panas
dengan gula kelapa."
Orang itu m engangguk-angguk sambil memandangi Ki
Buyut yang justru berpikir. Namun ia pun kemudian tanggap.
Karena itu maka ia pun bertanya kepada orang itu, "Minuman
apakah y ang ada sekarang" Aku tidak perlu m embuat kalian
menjadi sibuk. Apa saja y ang ada" Wedang jahe" Wedang sere
atau air dingin dalam gendi atau apa saja."
"Kami mempunyai air putih dalam gendi Ki Buyut,
tetapi juga mempunyai wedang jahe. Tetapi seandainya Ki
Buyut menghendaki wedang jahe, kami pun dengan cepat
dapat membuatnya karena kami kebetulan sedang merebus
air." berkata orang itu.
"Tidak usah," jawab Ki Buyut, "ambilkan saja aku
wedang jahe itu." Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
bergeser keluar dari bilik itu tanpa memberikan kesan apa pun
juga. Namun orang itu terkejut ketika ia m eny entuh dengan
kakinya tubuh kucing yang telah mati.
"Kucing mati disini" " katanya gagap.
"Ya." jawab Mahisa Murti.
"Kenapa?" bertanya orang itu.
"Entahlah. Tiba-tiba saja kucing itu mati." jawab Mahisa
Murti. "Apakah bangkai kucing ini dapat aku buang ke sungai?"
bertanya orang itu. " Nanti saja. Sekarang, buatkan minuman bagi Ki Buyut
dan sebuah mangkok." minta Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
bergeser meninggalkan bilik itu.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah masuk
ke dalam bilik itu sambil berdesis, "Bukan orang yang
memasak makanan dan minuman itu."
"Kalau begitu tentu ada orang lain," sahut Mahisa Murti.
"orang y ang menghidangkan makanan itu nampaknya juga
tidak tahu menahu tentang racun y ang ada di dalam makanan
dan minuman itu." Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun nampak bahwa
kegelisahan telah mengguncang jantungnya.
Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, "Ketika aku
mengatakan, bahwa Ki Buyut akan makan disini, orang yang
berada di dapur itu sama sekali tidak m enjadi t egang karena
kemungkinan buruk. Mereka justru menjadi sibuk karena
ingin mempersiapkan tambahan lauk pauk."
Tetapi Mahisa Pukat telah mencegah mereka.
Karena itulah maka orang-orang yang ada di dalam bilik
itu berkesimpulan bahwa ada orang lain y ang memasukkan
racun itu ke dalam lauk dan sayur, bahkan nasi yang
dihidangkan. "Kita harus berbicara dengan orang-orang itu." berkata
Ki Buyut. "Agaknya itu adalah satu-satunya cara." desis Mahisa
Murti. "Baiklah," berkata Mahisa Pukat, "aku akan memanggil
mereka. Biarkan saja kucing itu ada di situ."
Sejenak kemudian, tiga orang telah berkumpul di dalam
bilik y ang sempit itu selain ketiga orang anak-anak muda itu
bersama Ki Buyut. Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Mereka
menjadi sangat berdebar-debar karena Ki Buyut telah
memanggil mereka. "Duduklah dan tenanglah," berkata Ki Buyut, "jawab
pertanyaan-pertanyaan kami dengan baik, dengan jujur dan
benar." Ketiga orang itu menjadi semakin pucat.
"Kau lihat kucing mati itu?" bertanya Ki Buyut.
Ketiga orang itu berpaling kepada bangkai kucing itu.
Dengan gagap orang yang m enghidangkan makanan itu
berkata, "Aku tidak tahu tentang kucing itu. Aku sudah
menyatakan untuk membuangnya."
"Kau tahu siapa y ang membunuhnya?" bertanya Ki
Buyut. "Tidak." jawab orang itu.
"Yang lain?" bertanya Ki Buyut semakin keras.
"Tidak. Tidak." jawab y ang lain.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika
kalian memang tidak mengetahuinya. Biarlah aku
memberitahukan kepada kalian, bahwa kucing itu mati karena
racun." "Racun" Siapakah yang meracunnya?" bertanya mereka
hampir berbareng. " Itulah yang harus kita cari." berkata Ki Buyut.
Namun seorang di antara mereka tiba -tiba saja bertanya,
"Apakah kucing itu kucing Ki Buyut."
"Bukan," jawab Ki Buyut, "aku datang kemari tidak
membawa kucing. Kucing itu masuk sendiri ke dalam bilik ini.
Nampaknya kucing itu telah mencuri ikan y ang disajikan
disini. Ternyata kucing itu mati dengan tanda -tanda
keracunan." Ketiga orang itu menjadi tegang. Seorang di antara
mereka bertanya, "Maksud Ki Buyut, makanan yang disajikan
itu mengandung racun?"
"Ya." jawab Ki Buyut.
Wajah ketiga orang itu menjadi pucat. Tiba-tiba saja
mereka menjadi gemetar. Seorang di antara m ereka mencoba
untuk menjelaskan, "Tetapi, tetapi yang kami makan di dapur
juga sisa nasi, lauk dan say ur yang kami hidangkan ini.
Ternyata kami tidak mati keracunan."
"Kau mau mencoba makan makanan y ang kalian
hidangkan ini?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak. Tidak." orang-orang itu menggeleng. Bahkan
mereka telah beringsut surut.
"Aku tidak ingin membunuh kucing lagi untuk
membuktikan bahwa m akanan itu beracun. Terserah kalian
mau percaya atau tidak." berkata Mahisa Murti.
Ketiga orang itu m emang m enjadi bingung. Sementara
itu, Ki Buyut telah bertanya, "Selain kalian, apakah ada orang
lain y ang bekerja di dapur?"
"Tidak," jawab orang yang memasak makanan itu, "kami
bertiga saja yang mengerjakannya."
"Orang lain y ang masuk ke dalam dapur untuk satu
keperluan barangkali?" bertanya Ki Buyut mendesak.
Ketiga orang itu mulai mengingat-ingat. Tetapi t ernyata
mereka tidak teringat seorang pun y ang masuk ke dapur untuk
keperluan apapun. Ketiganya tidak pernah meninggalkan
dapur bersama-sama. Salah seorang di antara mereka tentu
ada di dapur untuk menunggui makanan agar tidak dicuri
kucing. "Baiklah," berkata Ki Buyut, "Jika m emang tidak ada
seorang pun y ang masuk ke dalam dapur, maka tentu satu
orang di antara kalian bertiga, atau kalian bertiga bersamasama
telah bersepakat untuk melakukan kejahatan itu."
"Tidak." jawab mereka serentak.
Seorang di antara mereka berkata selanjutnya, "aku
benar-benar tidak tahu menahu."
" Jika demikian, maka kalian bertiga harus makan
makanan ini. Yang tidak bersalah tidak akan terkena
racunnya. Hanya y ang bersalah sajalah yang akan mati."
berkata Ki Buyut. Ketiga orang itu termangu-mangu.
"Cepat." Ki Buyut menggeram.
"Tetapi Ki Buyut bertanggung jawab, bahwa yang tidak
bersalah tidak akan m ati?" bertanya salah seorang di antara
mereka. "Ya." jawab Ki Buyut.
"Baik," berkata orang yang menghidangkan makanan
itu, "Aku akan melakukannya, karena aku tidak bersalah."
Kedua orang y ang lain pun ternyata telah menyatakan
kesediaannya pula untuk m akan, asal Ki Buyut bertanggung
jawab. "Aku tidak merasa bersalah sama sekali." berkata orang
yang ada di dapur. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
lah yang menjadi cemas. Salah atau tidak bersalah, maka
mereka akan mati jika m akan sepotong saja m akanan yang
tersedia itu, karena makanan itu meny impan racun yang
sangat tajam. Karena itu, maka Mahisa Murti pun dengan tergesa -gesa
telah mencegahnya, "Baiklah. Kalian tidak usah makan
makanan itu, aku percaya kalian tidak bersalah."
"Tetapi Ki Buyut bertanggung jawab." berkata salah
seorang di antara mereka.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya. Aku
juga hanya ingin mey akinkan. Namun mereka harus dapat
memberikan keterangan, tentu ada orang lain y ang telah
masuk ke dapur atau berpapasan saat mereka menghidangkan
makanan itu. Jika mereka tidak dapat meny ebutkan, maka
mereka benar-benar harus makan makanan y ang telah mereka
hidangkan bagi kalian."
Ketiga orang itu menjadi bingung. Namun tiba -tiba salah
seorang di antara mereka berkata, "He, aku ingat sekarang.
Bukankah selagi kita sibuk ada seorang mencari api di dapur?"
"Ah, perempuan tua itu," desis yang lain. "Ia tidak akan
dapat berbuat apa -apa. Bahkan untuk menyalakan lampu yang
dibawanya saja hampir saja ia gagal."
"Siapakah perempuan tua itu?" bertanya Ki Buyut.
Barulah ketiga orang itu m enyadari kebodohan mereka.
Ternyata mereka belum mengenal perempuan tua itu.
"Apakah kalian tidak bertanya, siapakah orang y ang
belum kalian kenal yang tiba-tiba saja memasuki dapur banjar
padukuhan ini untuk mencari api, karena di rumahnya
perempuan tua itu kehabisan api dan tidak m ampu membuat
api sendiri?" bertanya Ki Buyut, "bukankah itu aneh sekali?"
"Kami memang bertanya kepadanya," jawab salah
seorang dari m ereka, "tetapi kami terlalu bodoh untuk begitu
sa ja percaya, bahwa perempuan tua itu tamu di rumah sebelah
banjar ini. Ia datang dari padukuhan di luar Kabuyutan ini.
Orang y ang tinggal di rumah sebelah adalah saudaranya."
"Dan kau percaya bahwa ia tinggal di rumah sebelah
meskipun sekedar menengok sanak kadangnya y ang tinggal di
rumah sebelah itu." bertanya Ki Buyut.
"Semula aku percaya," jawab orang itu, "tetapi sekarang
aku tidak percaya." "Aku akan pergi ke rumah sebelah." berkata salah
seorang di antara mereka pula.
"Tidak ada gunanya," jawab Ki Buyut, "perempuan tua
itu tentu bukan orang yang sedang menjadi tamu di rumah
itu." Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murti pun berkata, "Mungkin kita akan kehilangan
jejak kali ini. Tetapi selama mereka bermain dengan racun,
mudah-mudahan kami akan dapat mengatasinya."
"Tetapi jika kalian lengah sedikit saja, maka
kemungkinan y ang sangat buruk akan dapat terjadi." berkata
Ki Buyut. Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak.
Namun kemudian Ki Buyut pun berkata, " Baiklah. Aku kira,
kali ini kita masih harus menunggu kesempatan lain. Mudahmudahan
ketiga orang itu tidak terlalu bodoh untuk
melakukan kesalahan y ang sama sehingga kita akan
kehilangan jejak lagi."
"Kami akan berusaha sebaik-baiknya Ki Buyut." berkata
salah seorang di antara ketiga orang itu.
" Ingat, kalian jangan membuka rahasia ini. Jika besok
atau lusa atau kapan saja, ternyata ada orang yang
mendengarnya, maka kalian bertiga akan mempertanggungjawabkannya."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

geram Ki Buyut. Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun mereka tidak
menjawab meskipun di dalam hati mereka bertanya,
"Bagaimana jika orang lain y ang meny ebarkan berita itu"
Misalnya ketiga orang anak muda itu, atau perempuan tua
yang minta api di dapur itu."
Ki Buyut pun kemudian telah m inta diri. Dengan diamdiam
ia telah keluar lewat pintu butulan, diantar oleh ketiga
orang anak muda itu sambil melihat keadaan di Kabuyutan.
Namun mereka tidak menemukan sesuatu y ang menarik
perhatian mereka. Mereka pun tidak bertemu dengan seorang
perempuan tua atau orang lain yang pantas dicurigai.
Di banjar, Mahisa Murti minta kepada ketiga orang itu
untuk memasukkan makanan beracun itu ke dalam lubang
dan kemudian ditimbun kembali, sehingga tidak akan
merusakkan atau memungkinkan orang lain keracunan.
Sejak itu, m aka ketiga orang y ang bekerja di dapur itu
justru m enjadi ketakutan untuk makan bagi mereka sendiri.
Setiap kali mereka harus memanggil Mahisa Murti atau
Mahisa Pukat untuk melihat apakah makanan y ang akan
mereka makan itu beracun.
Dalam pada itu, di hari berikutnya tidak terjadi sesuatu.
Namun justru karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu telah sepakat untuk tidak meninggalkan
padukuhan itu meskipun hari kelima telah lewat. Mereka
ternyata justru telah terikat oleh per soalan yang sedang
mereka tangani. Dimalam ke tujuh, ketiga orang anak muda itu tidak
keluar dari dalam bilik mereka. Sejak lampu dipasang di dalam
bilik, m ereka bertiga selalu berada di dalam. Bahkan ketiga
orang yang dibayangi oleh ketakutan itu telah makan di dalam
bilik itu juga. " Jika kalian merasa gelisah, tidur saja disini." berkata
Mahisa Murti. Ketiga orang itu termangu-mangu. Ra sa-rasanya sesuatu
akan terjadi. Namun mereka merasa lebih baik pulang ke
rumah m asing-masing daripada terlibat terlalu jauh dengan
persoalan yang sedang dihadapi oleh k etiga orang anak muda
itu. Karena itu, m aka sebelum saat sepi wong ketika orang
itu telah minta diri untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Hati-hatilah di jalan." pesan Mahisa Pukat.
Ketiganya mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah
mereka merasa berdebar-debar.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah keluar
dari regol banjar. Orang y ang kebetulan ronda di banjar masih
sempat bertanya, "Kemana malam-malam?"
"Pulang." jawab salah seorang dari ketiga orang itu.
"Kenapa tidak tidur disini saja?" bertanya orang y ang
sedang meronda itu. "Kau yang senang," jawab orang yang sering m asak di
dapur itu, "kawanmu ronda menjadi bertambah banyak."
Orang yang meronda itu tertawa. Katanya, "Apa
salahnya?" Ketiga orang itu tidak m enjawab. Mereka berjalan terus
memasuki kegelapan menuju ke arah y ang sama. Adalah
kebetulan bahwa rumah mereka berdekatan. Dua orang di
antara mereka rumahnya bersebelahan, sementara yang
seorang lagi terletak hanya di seberang jalan.
Namun terasa, tiba -tiba saja tengkuk mereka meremang
ketika mereka berjalan di tikungan, di bawah sebatang pohon
benda yang besar dan berdaun lebat.
Sudah berapa ratus kali mereka melewati jalan itu. Siang
atau malam. Tidak pernah mereka merasa betapa tengkuk
mereka meremang. Namun malam itu rasa-rasanya pohon
benda itu menjadi semakin seram. Apalagi angin bertiup
sedikit keras, sehingga daun benda y ang bergoy ang itu seperti
tangan-tangan y ang ingin menggapai kepala mereka.
Ketika mereka tepat berada di bawah pohon benda itu,
hampir saja ketiganya berteriak. Mereka sangat terkejut ketika
tiba -tiba saja seorang y ang tidak m ereka ketahui dari mana
datangnya telah meloncat di tengah jalan di bawah pohon
benda itu. Mereka semakin ngeri ketika mereka melihat bahwa
orang itu adalah seorang perempuan tua.
Hampir diluar sadarnya, maka seorang di antara mereka
berkata, "Perempuan tua y ang minta api itu."
Perempuan itu tertawa. Tidak terlalu keras. Tetapi
suaranya terdengar sangat mengerikan. Dalam keremangan
malam y ang semakin gelap, wajah orang itu nampak
mengerikan. Lampu obor di reg ol sebelah tikungan itu
menggapai jantung ketiga orang itu.
"Kalian masih mengenali aku?" bertanya perempuan tua
itu. "Ujudmu," jawab orang yang meny ebutnya sebagai
perempuan tua y ang m inta api itu, "caramu berpakaian dan
barangkali juga pakaianmu y ang tidak berganti berhari -hari
sejak itu." Perempuan itu t ertawa semakin keras. Namun tiba -tiba
sa ja suara tertawanya terputus. Katanya, "Aku tidak mau
mengejutkan orang y ang sudah tidur ny enyak."
" Di reg ol banjar para peronda masih berkelakar,"
berkata salah seorang di antara mereka untuk mengusir
kengerian y ang telah meraba jantungnya. Meskipun
dihadapannya berdiri seorang perempuan tua, namun rasarasanya
bahaya tengah mengancamnya.
Perempuan itu mengerutkan dahinya yang berkeriput.
Namun sambil t ertawa ia bertanya, "Kenapa dengan para
peronda itu" Apakah kau tiba-tiba saja merasa ngeri?"
Ketiga orang itu justru terbungkam. Namun kakinya
mulai menjadi gemetar. "Dengar orang-orang dungu," berkata perempuan tua
itu, "aku ingin bertanya, kenapa anak-anak muda y ang ada di
banjar itu masih tetap hidup?"
Ketiga orang itu mulai menjadi y akin bahwa perempuan
tua itulah yang telah menaburkan racun di dalam makanan
yang telah dihidangkan kepada ketiga orang anak muda itu.
Karena itu, m aka salah seorang di antara mereka bertanya,
"Jadi kaukah yang telah menaburkan racun itu?"
"Ya, akulah yang m elakukannya. Tetapi kalian terlalu
dungu sehingga kalian tidak berhasil membunuh mereka.
Kal ian tentu terlambat menghidangkannya atau kelengahan
yang lain." berkata perempuan itu.
" Justru kami m erasa beruntung. Ketiga anak muda itu
ternyata mengetahui bahwa makanan itu beracun. Seekor
kucing telah mencuri sepotong ikan dan mati segera." berkata
orang y ang menghidangkan makanan.
"Kucing itu tentu iblis terkutuk," geram perempuan itu.
"tetapi kalian pun anak-anak setan alas. Kalian harus menebus
kebodohan kalian itu. Nampaknya kalian tentu telah
mengatakan kepada mereka, seorang perempuan tua yang
mencari api di dapur banjar."
"Ya," jawab salah seorang dari ketiga orang itu, "kami
memang telah mengatakan."
"Kedunguan y ang tidak dapat diampuni," berkata
perempuan tua itu, "karena itu, untuk menggantikan kematian
ketiga orang anak m uda itu, maka kalian bertiga pun harus
mati. Kemudian mayat kalian akan aku gantung pada cabang
pohon benda ini." Ketiga orang itu menjadi heran. Dengan ragu-ragu
seorang di antara mereka berkata, "Apa y ang akan kau lakukan
perempuan tua?" Perempuan tua tertawa. Katanya, "Kau menganggap
bahwa aku tidak mampu membunuh kalian bertiga?"
Tantangan itu memang telah m embuat ketiga orang itu
berkeringat. Nampaknya perempuan itu bersungguh-sungguh.
Tetapi harga diri ketiga orang itu ternyata masih belum
runtuh seluruhnya. Karena itu, maka ketiga orang itu pun
telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun
mereka bukan orang-orang yang berilmu dalam olah
kanuragan, namun mereka adalah laki-laki yang belum setua
perempuan itu. Karena itu, maka bagaimanapun juga, mereka
tidak boleh menyerah. Perempuan tua itu tertawa mengerikan m eskipun tidak
terlalu keras. Ternyata perempuan tua itu memang tidak ingin
mengejutkan orang -orang yang sedang tertidur lelap.
Bahkan dengan nada tinggi ia bertanya, "Nah, siapa y ang
akan berteriak" Masih ada kesempatan untuk berteriak keraskeras
agar orang-orang terdekat terbangun dari mimpi
mereka. Tetapi nampaknya kalian akan sia -sia. Aku sudah
menebarkan ilmu sirep yang akan dapat membuat mereka
semakin lelap tidur. Tetapi kalian memang aku bebaskan dari
pengaruh ilmu sirepku, agar kalian tidak tertidur dan sempat
menyadari, bahwa kalian telah aku gantung di pohon benda.
Kal ian akan mengalami kesakitan di saat kalian menjelang
maut." "Kau tidak akan dapat melakukannya," geram salah
seorang dari ketiga orang laki -laki y ang justru telah
melampaui puncak ketakutannya.
Perempuan itu tertawa. Katanya, "Aku dapat
membuatmu tidak berday a. Tetapi belum mati. Nah, dalam
keadaan demikian aku akan menggantungmu. Kakimu akan
menyentuh tanah. Demikian tali pengikat lehermu menegang,
maka kau akan aku beba skan dari ketidak berdayaan itu,
sehingga kau akan meloncat-loncat untuk mempertahankan
hidupmu. Lucu sekali. " Ketiga orang itu benar-benar telah
bersiap. Mereka memang menjadi putus a sa. Karena itu, maka
mereka tidak lagi dapat berpikir.
Sejenak kemudian, justru ketiga orang itulah y ang telah
menyerang perempuan itu. Perkelahian memang telah terjadi.
Tetapi hanya beberapa saat. Seperti dikatakan oleh perempuan
itu, maka ketiga orang itu telah terdorong jatuh di tanah.
Mereka seakan-akan memang sudah tidak berdaya.
Perempuan itu t ertawa berkepanjangan. Di sela-sela
suara tertawa yang mengerikan ia berkata, "Nah, aku akan
menggantung kalian. Tetapi aku hanya mempunyai sebuah
tali. Karena itu, aku harus melakukannya bergantian."
Perempuan itu tertawa semakin menggetarkan jantung.
Sementara itu ia berkata selanjutnya, "Sebelum mati, baiklah
kau ketahui, bahwa aku adalah orang yang telah mendapat
kepercayaan dari ipar ay ah yang kehilangan anak-anaknya itu.
Aku harus membunuh siapa saja y ang perlu aku bunuh.
Termasuk kalian. Karena kalian akan dapat mengganggu
tugas-tugasku kelak. Apalagi kalian ternyata adalah orangorang
yang sangat dungu, sehingga kalian memang tidak
berguna sama sekali."
Ketiga orang itu memang tidak berhasil untuk bangkit
berdiri apalagi melarikan diri. Mereka hanya dapat berangsur
menjauh sehingga akhirnya mereka telah duduk melekat
dinding kebun kosong di seberang sebatang pohon benda itu.
Orang itu masih saja t ertawa. Katanya, "Kalian tidak
akan dapat lari ke mana -mana."
Ketiga orang itu benar-benar menjadi putus asa, ketika
perempuan itu kemudian telah mengurai seutas tali yang
diambil dari antara setagennya y ang panjang, yang melilit
lambungnya. Dengan tingkahnya y ang menimbulkan kesan seakanakan
perempuan tua itu bukan manusia sewajarnya,
perempuan itu telah melontarkan pangkal talinya ke dahan
benda y ang terendah. Kemudian menggapainya dengan
mengolonginya. "Permainan y ang m engasy ikkan," katanya, "Siapa y ang
akan mati lebih dahulu" Agaknya lebih m eny enangkan mati
lebih dahulu, karena kalian tidak perlu menyaksikan
bagaimana kawan kalian menggeliat dan kesakitan di tali
gantungan." Tidak seorang pun y ang menjawab. Namun keringat
dingin telah membasahi seluruh tubuh ketiga orang itu.
"Baik, baik," berkata perempuan tua itu, "jika tidak,
maka akulah y ang akan memilih."
Namun perempuan tua itu terkejut ketika ada suara lain
yang menjawab. Justru dari sebatang pohon benda y ang besar
itu. "Kenapa kau tidak memilih aku saja nek." suara itu
bagaikan bergulung-gulung di antara daun-daun benda yang
bergoyang ditiup angin itu.
Perempuan itu dengan tegang memandang ke arah suara
itu. Dari dalam gelap telah muncul seorang anak muda.
Mahisa Murti. "Kau anak iblis." geram perempuan itu.
Mahisa Murti lah yang tertawa. Katanya, "Aku
mendengar apa yang telah kau katakan. Semuanya menjadi
jelas. Jika kau adalah orang y ang bekerja untuk ipar orang
yang kehilangan anaknya itu, agaknya telah kami duga.
Agaknya kau telah diupahnya untuk membunuh kami dengan
menebarkan racun pada makanan y ang diberikan kepada
kami. Tetapi kau tidak usah mengumpat jika Yang Maha
Agung belum berniat mengambil ny awa kami, karena bukan
kau yang menentukan batas umur kami."
"Baiklah," geram perempuan tua itu, "jika kau sudah
mendengar, maka itu lebih baik. Kau datang mengantarkan
nyawamu sekarang. Dimana kedua kawanmu itu?"
"Mereka adalah saudara-saudaraku." jawab Mahisa
Murti. "Panggil mereka, agar aku dapat membunuh kalian
bertiga sekaligus." geram nenek tua itu.
Mahisa Murti tertawa. Katanya dengan nada tinggi,
"Nenek tua. Kau tentu sudah mendengar tentang kami bertiga.
Karena itu, kau tidak usah berpura-pura, apalagi berusaha
menakut-nakuti aku. Lebih baik kau m eny erah sehingga kau
akan terlepas dari pertanggungan jawab atas tingkah lakumu.
Kau sebaiknya mengaku saja dihadapan Ki Buyut, bahwa kau
adalah sekedar orang upahan. Yang bertanggung jawab adalah
orang y ang telah mengupahmu."
Nenek tua itu tiba -tiba saja telah mengumpat dengan
kata-kata yang kasar bahkan kotor.
"Kau kira aku gentar mendengar orang-orang
padukuhan ini mengigau tentang kemampuanmu?" geram
nenek tua itu kemudian. "Nek," berkata Mahisa Murti, "aku kira lebih baik k ita


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak usah mempergunakan kekerasan. Kita bersama-sama
menghadap Ki Buyut. Aku akan berusaha untuk mengusulkan
agar kau dibebaskan dari segala tuduhan terlibat dalam
persoalan ini, karena belum terbukti kau melakukan
kejahatan. Meskipun saat kau meracuni aku di banjar ju stru
pada saat Ki Buyut akan makan bersama kami, namun Ki
Buyut tentu akan bersedia mengampunimu."
"Anak iblis," nenek tua itu berteriak, "aku akan
membunuhmu. Membunuh saudara-saudaramu dan akhirnya
juga membunuh Ki Buyut y ang gila itu."
" Jangan kehilangan akal. Yang kau lakukan itu adalah
langkah-langkah orang y ang berputus-a sa. Karena itu, selagi
belum terlanjur, kau sepantasny alah melihat kenyataan."
berkata Mahisa Murti. " Jangan banyak bicara. Kau masih terlalu kanak-kanak
untuk mengetahui isi dunia ini selengkapnya. Kau memang
berhasil menghancurkan harga diri orang-orang sepadukuhan
Tetapi kau tidak akan dapat melakukannya atas aku. Aku
memang hanya orang upahan. Tetapi aku adalah orang
upahan yang mempunyai harga diri y ang masih utuh. Aku
harus dapat m eny elesaikan kesanggupanku. Sebagai seorang
pembunuh upahan, aku mempunyai pertanggungjawaban
yang seimbang dengan upah yang aku t erima. Jika aku gagal
membunuh kalian b ertiga, maka aku m emilih mati," berkata
nenek itu. "Harga diri yang sesat. Kau kira nilai ny awamu dapat
dibeli dengan uang berapa pun banyaknya" Aku masih lebih
menghargai ny awamu, ny awa seseorang daripada uang betapa
pun banyaknya. Karena itu, menyerahlah. Biarlah kau tetap
hidup meskipun kau tidak akan menerima upah itu." berkata
Mahisa Murti. "Cukup," bentak perempuan tua itu, "aku sudah
melakukan pekerjaanku ini bertahun-tahun. Aku adalah
pembunuh upahan yang paling ditakuti disini. Orang yang
ingin membunuhmu, y ang ternyata sudah kau lukai itu
memang sudah berceritera tentang kemampuan kalian bertiga.
Tetapi itu tidak berarti apa-apa bagiku. Sekarang, kau telah
melakukan kesalahan yang paling besar, bahwa kau datang
seorang diri. Bertiga mungkin kalian akan dapat bertahan atau
setidak-tidaknya berusaha melarikan diri. Tetapi sendiri kau
akan segera m ati. Nanti setelah m embunuh tiga tikus clurut
itu, aku akan m encari kedua saudaramu. Mereka pun akan
mati malam ini." "Nek, cukuplah kau mengigau. Seorang pembunuh
upahan memang tidak akan pernah merasa gentar dan
menyesal setelah membunuh korban-korbannya. Tetapi kali
ini kau merasakan lain dari kebia saan itu. Karen itu, kau telah
berusaha untuk menutupi kegelisahanmu itu dengan berbicara
apa saja," jawab Mahisa Murti.
"Cukup," geram perempuan tua itu, "bersiaplah untuk
mati." Mahisa Murti t ertawa. Katanya, "Baiklah. Aku sudah
bersiap. Jika kau ingin mengenal aku sesungguhnya, aku juga
seorang pembunuh upahan. Namun agaknya aku bersikap
lebih kesatria dari kau nenek tua. Aku hanya mau m enerima
upah dari orang y ang mengalami kesulitan justru dalam
usahanya mempertahankan kebenaran, keadilan atau
semacamnya." "Bersiaplah," perempuan tua itu hampir menjerit. Ia
yakin jika ilmu sirepny a tentu sudah mencengkam orangorang
di sekitarnya sehingga ia tidak lagi takut
membangunkan mereka. Mahisa Murti pun segera bersiap. Namun ia masih
bertanya, "Di mana bay i-bay i yang hilang itu nenek tua?"
Perempuan tua itu tidak menjawab. Dengan serta merta
ia telah meloncat meny erang. Geraknya yang cepat dan keras
itu sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya. Bahkan ketika
ia tertawa, suaranya bagaikan ringkik hantu yang baru keluar
dari kubur. Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam
pertempuran yang semakin sengit. Keduanya bergerak dengan
cepat, berloncatan saling menyerang dan menghindar dibawah
pohon benda. Ketiga orang y ang hampir kehilangan segenap
kekuatannya itu berusaha untuk menepi. Mereka bergeser
semakin menjauh. Ketiganya merasa cemas, bahwa
kemarahan perempuan tua itu akan dapat tertuang kepada
mereka y ang tidak berdaya itu.
Namun perempuan tua y ang m engaku sebagai seorang
pembunuh upahan itu ternyata telah membentur kemampuan
lawannya yang tinggi. Ia tidak dapat dengan serta merta
melakukan pembunuhan atas lawannya y ang juga menjadi
salah seorang sasaran pembunuhan yang harus dilakukan
sebagai seorang pembunuh upahan.
Karena itu, maka perempuan itu pun segera
meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Tetapi ternyata
bahwa Mahisa Marti pun telah melakukannya pula.
Ketika sekali-sekali terjadi benturan kekuatan, maka
perempuan tua itu memang menjadi berdebar-debar. Ternyata
anak muda itu mampu mengimbangi kekuatannya yang
dianggapnya jarang ada bandingnya. Sebagai seorang
pembunuh upahan, maka biasanya ia tidak terlalu banyak
mengalami kesulitan. Tetapi anak muda itu ternyata bukan
orang kebanyakan. Karena itu, maka perempuan itu harus m enilai kembali
keterangan y ang pernah didengarnya tentang anak muda itu.
Bertiga mereka mampu melawan orang sepadukuhan. Bahkan
melukai mereka dan seorang telah membunuh. Apalagi
ketiganya telah mampu melepaskan tali pengikat pergelangan
tangan mereka. "Anak ini memang berilmu tinggi." berkata nenek tua
itu di dalam hatinya. Karena itu, maka perempuan tua itu telah mengerahkan
segenap kekuatan dan tenaga cadangannya.
Tetapi ia tetap tidak berhasil m engalahkan anak muda
itu. Bahkan anak muda itu seakan-akan telah bergerak lebih
cepat lagi. Beberapa kali t erjadi benturan kekuatan yang
menyakitkan kulitnya. Kulit tuanya yang sudah berkeriput,
tetapi masih dialiri kekuatan dan kemampuan y ang tinggi.
Perempuan tua itu terdengar menggeram sambil
berloncatan dibawah pohon benda itu. Tangannya bergerak
dengan cepat, seakan-akan menggapai-gapai tubuh lawannya,
sementara jari -jarinya telah mengembang dan sekila s Mahisa
Murti melihat kuku perempuan itu y ang runcing dan tajam.
Mahisa Murti y ang jauh lebih muda itu, ternyata telah
memiliki bekal y ang tidak kalah dari lawannya. Bahkan
kemudaannya telah memberikan lebih banyak kelebihan
padanya daripada lawannya yang tua, yang bagaimana juga,
dukungan wadag-nya mulai menjadi susut dimakan umurnya.
Tetapi Mahisa Murti t etap berhati-hati. Perempuan tua
itu tentu masih mempunyai kemampuan yang tersimpan.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak boleh lengah. Ia harus
menghadapi kekuatan puncak perempuan itu dengan mantap
jika ia tidak mau digantung di cabang pohon benda itu,
sebagaimana akar dilakukan atas ketiga orang yang tidak
berday a itu. Ternyata perempuan tua itu semakin lama menjadi
semakin kasar. Bahkan kemudian, y ang terdengar bukan saja
suara tertawanya y ang m engerikan, tetapi ia mulai berteriak
melengking, "lengking. Suaranya menggetarkan bukan saja
udara, tetapi batang benda yang besar itu pun bagaikan
bergetar. Daunnya y ang kuning telah berguguran
berhamburan di tikungan jalan padukuhan itu.
Mahisa Murti mulai merasakan serangan ilmu
perempuan tua itu. Agaknya orang itu mempunyai bekal yang
cukup untuk berani dirinya dengan terbuka sebagai seorang
pembunuh upahan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus melawan ilmu
yang mulai dikembangkan oleh lawannya itu.
Tetapi Mahisa Murti tidak ingin m enghancurkan orang
itu. Perempuan itu akan sangat berarti jika ia berhasil
menangkapnya. Sebaikny a perempuan itu dihadapkan kepada
Ki Buyut agar Ki Buyut dapat menyadap beberapa hal yang
diketahui oleh perempuan itu untuk mengambil keputusan
atas peristiwa y ang telah menggemparkan Kabuyutan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mempergunakan
ilmunya yang dapat membunuh lawannya. Tetapi Mahisa
Murti telah mempergunakan ilmunya yang mampu menghisap
kekuatan lawannya dan kemudian melumpuhkannya.
Namun dalam pada itu, nampaknya perempuan itu tidak
ingin membenturkan kekuatannya pada kekuatan lawannya.
Bukan karena ia mengetahui ilmu y ang telah ditrapkan oleh
Mahisa Murti, tetapi karena ternyata anak muda itu mampu
mengimbangi kekuatannya. Yang kemudian dilakukan oleh perempuan itu adalah
berusaha untuk menerkam Mahisa Murti dengan kukunya,
mengoy ak kulitnya. Mahisa Murti memang sudah menduga,
bahwa karena perempuan itu telah bermain-main dengan
racun, maka ia tentu memiliki ilmu y ang dapat menguasai
racun. Sebenarnyalah, akhirnya dalam keremangan cahaya
obor yang jatuh ke jari-jari perempuan tua itu, Mahisa Murti
melihat, bahwa kuku -kuku yang panjang di jari-jari
perempuan itu adalah bukan kuku a slinya. Tetapi semacam
senjata yang dapat ditrapkan pada jari-jarinya dan mampu
mengoy akkan kulit daging lawannya.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Mahisa Murti pun harus menjadi
sangat berhati-hati. Jika ia tidak mendapat k esempatan yang
tepat, maka yang terjadi bukan benturan kekuatan, tetapi
justru kulitnyalah yang akan terkoy ak. Sementara itu, Mahisa
Murti masih juga berusaha untuk dapat menangkap
perempuan itu hidup-hidup.
Beberapa saat kemudian, keduanya masih saja
bertempur dengan sengitnya. Keduanya berloncatan
berputaran. Seandainya saja Mahisa Murti tidak ingin
menangkapnya hidup-hidup, maka ia akan dengan mudah
dapat segera mengakhiri pertempuran itu dengan melontarkan
serangan ilmunya apalagi dilambari ilmu yang diwarisinya
dari ay ahnya. Tetapi dengan demikian, Mahisa Murti tidak yakin,
bahwa perempuan itu akan dapat bertahan untuk tetap hidup.
Karena itu, maka keduanya masih saja bertempur
dengan garangnya. Semakin lama semakin cepat. Sementara
itu, teriakan-teriakan nyaring y ang terlontar dari mulut
perempuan itu memang membuat jantung Mahisa Murti
berdebaran. Sementara itu, ketiga orang yang tidak berdaya itu pun
hanya sempat melihat apa yang terjadi. Tetapi mereka sama
sekali tidak dapat memperhitungkan, siapakah di antara kedua
orang y ang bertempur itu akan dapat keluar dari medan
dengan selamat. Namun, justru karena Mahisa Murti berusaha untuk
tidak membunuh Lawannya, maka justru ia sendirilah yang
kadang-kadang mengalami kesulitan. Kadang-kadang ia
memang terdesak beberapa langkah surut.
Perempuan itu tidak menyadari sepenuhnya rencana
lawannya untuk menangkapnya hidup-hidup. Karena itu, ia
merasakan satu keseimbangan yang menguntungkan baginya
dalam pertempuran itu. Berkali-kali Mahisa Murti harus
berloncatan surut. Namun betapa pun nenek tua itu mampu
mendesaknya, tetapi kukunya tidak dapat m engoy akkan kulit
daging Mahisa Murti. Bahkan ketika beberapa kali, Mahisa Murti mencoba
dengan meningkatkan kecepatan geraknya, maka ia pun mulai
dapat menembus kelemahan pertahanan nenek tua itu.
Karena itu, maka serangan-serangan Mahisa Murti
mulai mengenai sasaran meskipun tidak terlalu keras.
Namun sentuhan tangannya itu ternyata telah membuat
nenek tua itu tersinggung. Sehingga ia pun semakin
mengerahkan kekuatan dan kemampuan yang ada padanya.
Tangannya pun semakin cepat berputaran. Menggapai,
menyambar dan kadang-kadang jari-jarinya yang merapat
dengan ujung-ujung kuku buatannya bagaikan menikam ke
arah ulu hati. Mahisa Murti setelah mempelajari beberapa saat
kemungkinan-kemungkinan pada ilmu lawannya itu, kekuatan
serta kelemahannya, m aka m ulailah ia berusaha menangkis
serangan itu sebanyak-banyaknya, meskipun mengandung
kemungkinan y ang buruk. Sebenarnyalah, Mahisa Murti ternyata mulai berhasil.
Beberapa kali ia berhasil menangkis serangan lawannya
dengan sentuhan-sentuhan kecil dan bahkan sekali-sekali
dengan benturan yang keras. Namun nenek tua itu masih saja
menyerangnya dengan garang.
Bahkan ternyata kecepatan geraknya masih mampu
mengelabui Mahisa Murti, sehingga ternyata kuku y ang tajam
itu suatu saat berhasil meny entuh lengan.
Mahisa Murti meloncat surut. Sentuhan itu tidak terlalu
parah meskipun beberapa gores luka melekat di lengannya.
Tetapi nenek tua itu tidak memburunya. Tiba-tiba saja ia
berhenti meny erang dan tertawa berkepanjangan.
"Sebenarnya aku say ang melihat kemudaanmu,
ketangkasanmu dan wajahmu yang bersih itu anak muda.
Tetapi apa boleh buat. Aku tidak sempat bertanya kepadamu,
apakah kau bersedia menjadi anak angkatku, karena aku tidak
mempunyai anak. Dengan kemampuanmu y ang tinggi itu,
maka kita akan dapat m enjadi pasangan pembunuh upahan
yang disegani di seluruh lingkungan ini " perempuan itu
berhenti berbicara. Suara tertawanya sajalah yang bergema
bagaikan melingkar-lingkar menyusuri cabang-cabang dan
ranting-ranting pohon benda itu. Lalu katanya kemudian,
"Tetapi say ang bahwa aku telah melukaimu. Ujung-ujung
kukuku itu adalah senjata yang beracun tajam. Karena itu,
bersiaplah untuk mati. Kau tidak akan mungkin dapat hidup
lebih lama dari sepenginang. Karena itu, barangkali kau ingin
menyampaikan pesan, katakanlah. Aku akan meny isakan
seorang dari ketiga tikus-tikus clurut itu untuk tetap hidup dan
menjadi saksi kematianmu yang pahit kali ini. Pada
kesempatan lain, maka kedua saudaramu itulah y ang akan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera mati pula sebagaimana kau alami."
Ketiga orang y ang tidak berdaya itu menjadi berdebardebar.
Mereka tidak tahu, siapakah di antara mereka yang
akan dibiarkan untuk tetap hidup oleh iblis betina itu.
Karena itu, maka ketegangan telah mencengkam suasana
di bawah pohon benda itu.
Namun y ang terdengar kemudian adalah suara tertawa
Mahisa Murti. Bahkan ternyata dengan kekuatan ilmunya,
Mahisa Murti pun mampu mengguncang pohon benda itu
dengan suara tertawanya. "Nenek tua," berkata Mahisa Murti, "jangan m eny esali
diri bahwa kali ini kau bertemu dengan aku. Kita adalah samasama
orang y ang sedang bermain dengan racun. Karena itu,
maka goresan kukumu di lenganku tidak akan mempengaruhi
perlawananku. Racun tidak akan dapat mengusik jalur
darahku yang akan tetap segar."
"Persetan kau," geram perempuan tua y ang menjadi
tegang itu. Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya
kemudian " Yang menolak racun di makanan itu
sebenarnyalah bukan seekor kucing y ang kebetulan m encuri
ikan air tawar y ang dihidangkan. Tetapi lidah kamilah yang
mengetahui bahwa makanan itu memang beracun. Sementara
itu, kepada Ki Buyut telah kami tunjukkan racun itu dengan
memberikan ikan sepotong kepada seekor kucing yang
malang." "Anak iblis. Darimana kau mendapatkan penangkal
racun seperti itu?" bertanya nenek tua itu.
"Sudahlah nek. Sekarang kau menyerah sajalah. Kita
menghadap Ki Buyut selagi belum terlambat. Jika
kesabaranku habis, maka akibatnya akan sangat berlainan.
Jangan dikira bahwa aku tidak dapat membunuh. Sudah aku
katakan, bahwa aku pun pembunuh upahan seperti kau
dengan tataran sedikit lebih tinggi. Bukan saja karena aku
masih memilih sasaran ke-matian. Sementara kau tidak. Kau
membunuh siapa saja atas permintaan orang yang
mengupahmu. Aku tidak." berkata Mahisa Murti.
" Jangan terlalu sombong. Mungkin kau memang
mempunyai penangkal racun. Tetapi ketajaman kuku -kukuku
itu akan dapat mengelupas seluruh kulit dagingmu." geram
perempuan itu. "Aku pun masih mampu melawan ilmumu dengan
kemampuan ilmuku pula. Karena itu, m aka kau tidak akan
mempunyai kesempatan lagi." jawab Mahisa Murti.
Perempuan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tibatiba
saja ia pun telah meloncat meny erang Mahisa Murti
dengan dahsyatnya. Pertempuran pun telah berkobar kembali dengan
sengitnya. Mahisa Murti y ang telah m empelajari unsur-unsur
gerak lawannya itu telah berusaha untuk setiap kali menangkis
serangan lawan tanpa m engoyakkan kulit dagingnya. Bahkan
sekali-sekali serangannya mampu meny entuh tubuh nenek tua
itu. Namun Mahisa Murti t idak mau dianggap sebagai
seorang laki -laki y ang lemah, y ang dengan licik mengalahkan
perempuan tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah
mengerahkan kekuatan dan kemampuan ilmunya. Tiba-tiba
sa ja Mahisa Murti telah melontarkan ilmunya yang dahsyat itu
menghantam pokok dahan y ang besar dari batang benda di
pinggir jalan itu. Terdengar ledakan y ang keras. Kemudian disusul derak
dahan itu patah. Gemerasak daunnya memang membuat
perempuan tua itu tergetar jantungnya.
Dahan itu pun telah patah dan jatuh di tanah dengan
seluruh ranting-ranting dan daunnya.
"Kau lihat nenek tua," geram Mahisa Murti, "kau kira
dengan kemampuan ilmu itu aku tidak dapat membunuhmu"
Tubuhmu akan lumat berpatahan seperti dahan benda itu.
Apakah kau ingin mencobanya."
Sejenak perempuan tua itu termangu -mangu. Namun
kemudian dengan nada rendah ia berkata, "Ternyata kau
memang luar biasa anak muda. Kau mampu mematahkan
dahan sebesar itu tanpa menyentuhnya. Aku tidak akan
ingkar. Seandainya kau lontarkan ilmumu seperti itu ke arah
tubuhku, maka tubuh tuaku ini tentu akan menjadi lumat.
Tetapi agaknya hal itu akan lebih baik bagiku. Aku t idak akan
melihat kekalahanku yang getir ini."
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "tidak ada seorangpun
yang tidak akan terkalahkan pada suatu saat. Kekalahan
bukanlah satu kehinaan. Seorang akan dapat dihargai ju stru
karena ia mengaku kalah."
"Kau benar. Tetapi itu tidak akan berlaku atasku. Jika
aku mengaku kalah, berarti aku akan ditangkap diarak ke
rumah Ki Buyut sambil dilempari batu. Kemudian diperas
keteranganku untuk menelusuri bay i-bay i y ang hilang,
padahal aku tidak tahu sama sekali tentang bay i-bay i yang
telah dicuri itu." berkata nenek tua itu.
"Sudah aku katakan. Aku akan menanggungmu
sehingga kau tidak akan diperlakukan buruk." berkata Mahisa
Murti. "Kau dapat mencabut kesediaanmu itu setiap saat,
karena kau menganggap bahwa janji terhadap seorang
pembunuh upahan itu tidak perlu ditepati." berkata
perempuan itu. "Aku mempunyai tanggung jawab atas kata-kataku.
Apalagi janji." berkata Mahisa Murti.
Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya, "Aku
memang mengaku kalah. Tetapi tidak untuk ditangkap."
"Nek." Mahisa Murti berteriak.
Tetapi ia terlambat. Betapa pun lemahnya perempuan
tua itu, namun ia masih mampu menggoreskan ujung-ujung
kuku beracunnya pada tubuhnya sendiri.
"Aku akan mati oleh racunku sendiri." berkata
perempuan itu. Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 1 Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak Sang Pembunuh 2
^