Pencarian

Samurai Pengembara 3 1

Shugyosa Samurai Pengembara 3 Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Ketiga oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
Buku Ketiga LAHIRNYA SHUGYOSA
SABURO berdiri menghadapi segala kemungkinan. Wa-
jahnya menjadi tegang, sinar matanya menyorot tajam.
Dalam hati ia menyesalkan kecerobohan Yoshioka. Apabila anak itu mau mendengar
kata-katanya, mereka tidak akan berada dalam kesulitan seperti saat ini.
Tetapi semua sudah terlambat. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
Pintu rumah itu terbuka dengan suara berderit. La-
lu keluar tiga orang samurai bertampang ganas. Se-
orang di antaranya memegangi Yoshioka sambil me-
nempelkan pedang pendeknya di leher anak itu. Me-
reka tersenyum mengejek ketika melihat Saburo Mishi-ma berdiri di depan mereka
tanpa daya. Sepintas melihat ketiga musuhnya, Saburo menge-
tahui mereka bukanlah lawan yang ringan. Sorot mata ketiga orang tersebut, serta
sikap waspada mereka, telah menunjukkan bobot permainan pedang yang me-
reka kuasai. Menyimak dari pakaiannya, Saburo men-
duga mereka adalah samurai prajurit, tetapi karena tidak ada satu pun lambang
keprajuritan di kimono mereka, Saburo tidak berani memastikan. Tetapi yang jelas
bukan ronin. Pakaian mereka bersih dan dari bahan yang mahal. Demikian pula hulu
pedang serta sandal jerami yang dikenakan. Semua dari jenis mahal.
Dari cara mereka berdiri, Saburo tahu, ketiganya
terbiasa bertarung serempak. Posisi mereka menutup celah yang dapat dipakai
musuh untuk menyerang.
Saburo tahu ia bakal menghadapi lawan yang sulit.
Namun buat Saburo, ketiga orang tersebut tidak menjadi masalah besar. Kini, yang
menjadi persoalan adalah Yoshioka. Bagaimanapun, anak itu harus dibe-
baskan lebih dulu sebelum ia bertarung. Hanya de-
ngan cara itu ada jaminan keselamatan baginya.
Sesudah berpikir sejurus, Saburo Mishima berkata
lantang, "Siapa kalian dan kenapa mengganggu keten-teraman kami?"
Salah seorang samurai yang paling tua menjawab,
"Bukankah engkau Panglima Ashikaga, Saburo Mishi-
ma?" "Benar."
"Kalau begitu kami beruntung lewat hutan ini. Se-
cara kebetulan kami melihat batang-batang pisang
yang tertebas rapi di hutan. Rupanya selama bersembunyi, engkau tetap melatih
ilmu pedangmu dengan
baik." "Saya seorang samurai, saya mengikuti jalan pe-
dang dengan selalu berlatih. Sesungguhnya, tidak ada sesuatu yang istimewa."
Samurai yang termuda menyahut, "Yang istimewa
adalah kepalamu. Shogun Nobunaga memberimu har-
ga mahal. Karena itu kami mencarimu."
Jadi mereka memang menginginkan kepalaku. Tak
ada gunanya mengelak.
Saburo mencoba melepaskan Yoshioka, "Kalau ka-
lian menginginkan kepalaku, sebaiknya lepaskan anak itu. Dia tidak berarti apa-
apa buat kalian."
"Bukankah anak ini putra Ashikaga?"
"Salah! Dia anakku - Kojiro."
"Benarkah?"
"Kalian boleh mempercayai kata-kataku."
Samurai yang tertua mengamati wajah Yoshioka de-
ngan seksama, lalu berpaling pada Saburo, "Dia bukan Yoshioka-san?"
Saburo gembira taktiknya telah mengenai sasaran,
"Bukan. Putra Ashikaga terpisah dengan kami ketika pasukan Nobunaga mengepung di
bukit Atsura. Apakah mereka tidak berhasil memenggal kepalanya?"
"Konishiwa hanya membawa pulang kepala Takezo."
"Pandai besi itu?"
"Benar."
"Jadi Yoshioka-san tak berhasil mereka temukan?"
"Tidak. Satu kelompok dari kami memang menge-
pungnya, tetapi seorang pendeta Budha telah menye-
lamatkan anak itu."
"Syukurlah kalau begitu," kata Saburo dengan lega.
Ini pertama kali ia mengetahui bahwa Kojiro masih hidup. "Sekarang apa mau
kalian?" Saburo mendesak.
"Anak itu tidak ada artinya bagi kalian, sebaiknya dia kalian lepaskan."
"Dia termasuk bagian hadiah itu."
"Saya tahu. Tetapi memang akan tetap begitu. Apa-
bila kalian dapat membunuhku, anak itu pun akan kalian dapatkan. Jadi tidak ada
bedanya, apakah kalian sekap atau dilepaskan. Dia tidak dapat lari maupun
bersembunyi. Hutan ini bukan tempat persembunyian
yang baik baginya."
Samurai yang termuda berkata, "Ini adalah jaminan
kami untuk dapat memenggal kepalamu."
"Kalian ternyata samurai-samurai pengecut!" rutuk
Saburo dengan geram. Betapapun ia harus memancing
kemarahan mereka. Ini adalah satu-satunya cara. "Siapa guru kalian?"
Samurai tertua menjawab, "Kami dari Iwari, guru
kami adalah Imajima, orang yang menciptakan aliran Pedang Ryoken. Engkau tentu
pernah mendengarnya."
Saburo tersenyum mengejek. "Imajima adalah seo-
rang ksatria perang. Dia adalah guru ilmu pedang yang sangat saya kagumi. Dengan
menciptakan aliran Ryoken, beliau telah menempatkan diri sebagai pemain pedang
tangguh yang amat dihormati. Bagaimana mung-
kin beliau memiliki murid pengecut seperti kalian" Bila mengetahui bagaimana
kalian bersikap pengecut, beliau pasti akan sangat marah dan menyesal mengang-
kat kalian sebagai muridnya."
Samurai yang tertua tampak berpikir sejurus, lalu
lelaki itu mengambil keputusan yang menguntungkan
Saburo. "Lepaskan anak itu," katanya pada samurai
termuda. Samurai yang menyekap Yoshioka menatap heran,
"Bukankah...."
"Lepaskan dia," tukas samurai tertua. "Kurasa uca-
pannya benar. Lagi pula dia tidak akan ke mana-
mana. Kita pasti akan dapat memenggal kepalanya."
Dengan bingung, samurai termuda itu melepaskan
tawanannya. Yoshioka merentak, lalu berjalan men-
dekati Saburo Mishima dengan marah.
"Kojiro!" suara Saburo lantang. "Kau harus tetap di sini. Jangan pergi apa pun
yang terjadi. Bila aku terbunuh, kau akan mengikutiku. Mereka telah memper-
lihatkan sikap samurai sejati, kita pun akan menghadapi dengan sikap yang sama."
"Baik," jawab Yoshioka mantap. Dari nada suara
Saburo, Yoshioka menangkap keyakinan lelaki terse-
but bahwa dia dapat mengalahkan ketiga lawannya.
Karena itu tanpa keraguan sedikit pun, ia berdiri ke pinggir, membiarkan keempat
orang di depannya memiliki ruang untuk melaksanakan pertarungan.
Saburo Mishima segera berjalan ke tengah, siap
menghadapi musuh-musuhnya. Ketiga samurai itu se-
gera memecah posisi menjadi lebih lebar. Mereka melakukan pengepungan dalam
jarak hampir tiga meter.
Pengepungan ini sangat baik, karena tidak memberi
peluang sedikit pun bagi Saburo untuk menyerang. Serangan ke salah satu, pasti
akan disambut serangan dua samurai lainnya. Sementara jarak pengepungan
itu, tidak memberi kesempatan Saburo menerobos ke
dalam jarak tebasan tanpa membahayakan dirinya
sendiri. Dari cara mereka mengepung, Saburo mengetahui
lawannya merupakan pemain pedang yang tak dapat
diremehkan. Namun Saburo sempat menangkap, dari
ketiga orang tersebut, samurai termuda merupakan
musuh paling lemah. Jadi serangan harus dimulai dari sana.
Aku harus mencari jalan, kata Saburo dalam hati.
Sambil terus berhadapan, Saburo berpikir keras mencari strategi menghadapi
musuh-musuhnya. Sesudah
berpikir sejurus, tiba-tiba muncul gagasan jitu. Satu-satunya cara untuk
membuyarkan kepungan mereka adalah dengan menggunakan pohon-pohon pinus. Pohon-
pohon itu akan menjadi perisai yang sangat baik bagiku.
Suasana terasa tegang dan berbau darah. Keempat
samurai tersebut berhadapan dengan membisu. Hanya
mata mereka saling mengincar. Masing-masing menco-
ba mengukur jarak tebasan. Saburo tahu, aliran Pe-
dang Ryoken sangat berbahaya karena kekuatannya.
Namun ia lemah pada kecepatan. Cara terbaik untuk
menaklukkannya haruslah dengan memancing mereka
dalam pertarungan adu kecepatan.
Suasana sunyi mendadak pecah ketika Saburo me-
lihat mata samurai termuda di samping kanannya berkedip. Dalam kecepatan tak
terduga Saburo meng-
ayunkan pedangnya ke arah tubuh samurai itu, pada waktu bersamaan kedua samurai
lain menyerang Saburo. Terdengar suara pedang gemerincing dan desis angin
tebasan yang mengerikan. Samurai termuda itu terperangah, ia mundur, pedang
Saburo hanya satu
inci di depan wajahnya.
Seusai memecah kepungan tersebut, Saburo berlari
ke arah hutan pinus. Ia mendaki bukit itu kemudian mempergunakan pohon-pohon
pinus sebagai perisai
dirinya. Karena kini mereka berdiri di antara pohon pi-
nus, maka Saburo berhasil memecah-mecah kepungan
tersebut sehingga ia seperti berhadapan dengan lawan-lawan yang tidak
mengepungnya. Serangan musuh ti-
dak efektif lagi.
Mereka kembali berhadapan dengan sikap waspada.
Saling menatap sambil mengukur kekuatan lawan. Se-
detik berikutnya, seperti singa lapar Saburo kembali menyerang. Ia menebas ke
kanan ke kiri, sambil terus bergerak seperti angin. Ayunan pedangnya mendesis,
membuat ketiga samurai itu tak berani bersikap gega-bah. Mereka terus mengepung,
namun terjangan Sa-
buro telah mencerai-beraikan kepungan tersebut. Posisi mereka kini telah memberi
peluang. Meskipun ketiga samurai itu berusaha menutup ruang gerak Saburo,
namun pohon-pohon pinus telah menghalangi mereka.
Melihat musuhnya mengalami kesulitan menyerang se-
rentak, karena rintangan pohon pinus yang tumbuh
rapat, Saburo mulai merasakan kemenangannya. Ia
menjadi lebih berani menyerang.
Posisi samurai Ryoken termuda kini berada di le-
reng, persis di belakang Saburo, sementara dua samurai lainnya di samping kanan
dan kiri. Mereka menggeser kaki, setapak demi setapak, berusaha mengukur jarak.
Sedetik berikutnya, Saburo melompat menerjang ke samping kanan, kemudian
berbalik ke belakang
menebaskan pedang dengan jurus 'Membelah Awan'.
Terdengar jerit menyayat samurai termuda, tubuhnya melambung ke atas, lalu
ambruk ke tanah bersimbah
darah. Dua musuh berikutnya menerjang, namun ter-
lambat, Saburo telah berputar demikian cepat sambil menebas mendatar. Sekali
lagi terdengar lengking kematian yang mengerikan ketika tubuh kedua samurai
itu robek secara bersamaan. Hampir bersamaan pula, mereka roboh ke tanah dengan
darah menyembur dari
perutnya. Saburo menatap ketiga musuhnya dengan tegak, bi-
lah pedangnya meneteskan darah ke tanah. Lalu de-
ngan sekali kibas, darah yang membasahi bilah pedang itu muncrat ke tanah.
Pedang Saburo bersih kembali seperti tidak pernah bersimbah darah. Dengan
kecepatan yang mengagumkan pula, Saburo menyarungkan
kembali pedangnya.
Pada saat bersamaan. Yoshioka berlari mengham-
piri. "Sungguh luar biasa," kata Yoshioka sambil berde-
cak kagum. "Mereka ternyata samurai-samurai bodoh
yang mudah dikibuli."
Saburo segera berpaling. Ia tidak menduga Yoshioka akan berkomentar seperti itu.
"Kenapa kau mengatakan mereka bodoh?"
"Mereka terpancing dengan taktik Sensei berlari ke hutan pinus sehingga kepungan
mereka tidak lagi berbahaya."
"Syukurlah kau dapat belajar sesuatu," kata Saburo sambil tersenyum. Ia gembira
ternyata Yoshioka cukup cerdas menilai taktik pertarungan yang baru saja ia
lakukan. "Satu hal yang harus kau pahami," kata Sabu-ro sambil mengajak anak itu
meninggalkan hutan pi-
nus. "Keahlian bermain pedang saja tidak cukup. Seorang samurai sejati masih
membutuhkan taktik atau strategi. Dengan taktik inilah sesungguhnya setiap
pertarungan dapat dimenangkan. Kemampuan menemu-
kan taktik jitu yang membedakan samurai satu dengan yang lainnya."
"Saya percaya."
"Apalagi yang dapat kaupelajari dari pertarungan
tadi?" "Sensei memecah kekuatan mereka...."
"Itu benar," jawab Saburo dengan perasaan kagum.
Ia benar-benar mengagumi kecerdasan Yoshioka. Me-
nurut pemikirannya, anak itu menjanjikan masa de-
pan yang baik bagi Jepang dengan kemampuan otak-
nya. "Tetapi ada yang sangat penting yang harus kau-ketahui, yaitu alam di
sekitarmu."
"Maksud Sensei?"
"Hutan pinus. Di setiap pertarungan, kecuali kekuatan lawan, engkau harus
memperhitungkan tempat
kau bertarung. Kau harus memikirkan apa saja yang
dapat kaupergunakan untuk memperkuat posisimu.
Tadi aku akan mengalami kesulitan melawan mereka,
kalau saja aku tidak memanfaatkan pohon-pohon pi-
nus di sekitarku. Pohon itu telah menjadi perisai dalam memecah kepungan
mereka." "Saya juga sempat memikirkannya, kenapa Sensei
berlari ke hutan pinus."
"Ingat baik-baik, Yoshioka-san, alam di sekitarmu
bisa menjadi musuh atau sebaliknya bisa menjadi sekutu. Kemenanganmu sangat
ditentukan seberapa ke-
berhasilanmu bersekutu dengan alam."
Yoshioka mengangguk. Ia merasa bangga Saburo
menghargai pemikirannya. Dan dari pertarungan tadi, ia tahu gurunya seorang
pemain pedang yang hebat.
Tak salah ayahku mengangkatnya sebagai panglima perang. Ia benar-benar dapat
diandalkan. Burung gagak di atas hutan itu mulai berkaok-
kaok. Mereka terbang rendah karena telah mencium
bau bangkai. Enam ekor gagak terbang berputar-putar di atas hutan itu. Sayapnya
yang hitam terentang tak bergerak, membuat tubuhnya meluncur mirip layang-layang
berwarna hitam. Suaranya terdengar mengge-


Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tarkan, seakan isyarat bahwa mereka akan berpesta
pora. Saburo berhenti di depan rumah, kemudian men-
dongak ke atas. Lelaki itu memperhatikan keenam ekor burung gagak itu.
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini." kata
Saburo pada Yoshioka. "Burung-burung itu akan me-
rupakan isyarat bagi pasukan Nobunaga yang berada
di sekitar hutan ini untuk datang kemari. Kita harus menghindarinya."
"Kita akan ke mana?"
"Ke mana saja. Pokoknya kita harus menjauhi Ka-
makura." Yoshioka menatap Saburo. Anak itu seakan me-
minta penjelasan lebih lanjut. Sesudah diam sesaat, akhirnya Saburo berkata,
"Mulai hari ini tanggalkan nama Yoshioka. Aku akan memanggilmu Kojiro. Dan
jangan lagi kau memanggilku Sensei, tetapi anggap
aku adalah ayahmu. Ini harus kita lakukan, untuk
menghindari kesalahan yang mungkin bisa terjadi. Kita harus bersikap waspada,
karena bukan mustahil ratusan samurai saat ini tengah mencari kesempatan un-
tuk memenggal kepala kita. Sekarang kemasi barang-
barangmu, kita harus segera berangkat."
"Apakah kita tidak mempunyai tujuan?"
"Ya. Mulai hari ini kita akan menjadi shugyosa, samurai pengembara."
*** AWAL PERTENTANGAN BARU
KONISHIWA berdiri menatap tiga bangkai samurai
Ryoken yang telah dicabik-cabik burung gagak. Tubuh ketiga samurai itu tampak
menganga dan bersimbah
darah. Isi perut dan tulang-belulangnya menganga keluar, kulitnya terkelupas,
dan dagingnya berserpihan di tanah. Konishiwa tahu, sebuah pertarungan baru
saja terjadi, dan melihat sayatan luka di tubuh ketiga samurai tersebut, ia
mengetahui musuh mereka ada-
lah Saburo Mishima. Sebagai orang yang pernah me-
ngenal dekat lelaki itu, Konishiwa hafal gaya tebasan pedang Saburo.
"Rupanya mereka selama ini bersembunyi di sini,"
kata Konishiwa pada pengawalnya, Seichi Okawa. "Dan tampaknya Saburo telah
memperdalam ilmu pedangnya. Ia jauh lebih baik dibanding dulu. Kita harus
secepatnya menemukannya, kalau tidak, dia akan sema-
kin berbahaya."
"Kita pasti akan mendapatkannya."
"Ya, tetapi kapan" Kita tidak seharusnya selalu kembali membawa kegagalan. Lama
kelamaan aku merasa
malu berhadapan dengan Shogun Nobunaga. Matanya
akhir-akhir ini terasa lebih menikam. Kecuali itu, dia mulai menempatkan
Hosokawa sebagai orang keper-cayaannya. Laki-laki itu pun suatu saat dapat mem-
bahayakan kedudukanku."
Seichi Okawa hanya menghela napas panjang. Ia
dapat memahami perasaan Konishiwa. Sebelum me-
reka melanjutkan pembicaraan, seorang samurai ber-
jalan bergegas menjumpai Konishiwa.
"Mereka meninggalkan tempat ini tiga jam yang la-
lu," kata samurai itu. "Kelihatannya mereka menuju ke Suruga."
"Suruga?"
"Benar. Tetapi pasti mereka tidak melewati jalan
raya. Kalau kita mau menyusuri jejak mereka, saya
pastikan besok kita dapat menyusulnya."
"Apakah tidak dapat lebih cepat?"
"Sulit. Karena selain harus menyusuri jejak, kita tidak tahu apakah jalanan yang
mereka tempuh dapat
dilalui kuda. Menurut saya, Saburo tidak akan berbuat bodoh membiarkan dirinya
dengan mudah diikuti."
Konishiwa diam. Ia menyetujui jalan pikiran anak
buahnya. Kalau benar dugaan samurai pencari jejak
itu, keadaannya akan lebih sulit, karena Saburo akan memasuki wilayah di luar
kekuasaan Nobunaga. Bila
mereka telah sampai Suruga, tidak mungkin pengeja-
ran dilakukan secara terang-terangan. Ini akan mudah menyulut pertentangan
antara Nobunaga dan Imagawa, penguasa Suruga. Satu-satunya cara bila hal itu
terjadi, adalah menggunakan para samurai di luar pasukannya. Ini memang bisa.
Tetapi dalam hati, se-
sungguhnya Konishiwa ingin memenggal sendiri kepala Saburo untuk diserahkan pada
Nobunaga. Hanya cara
itu menurut pemikirannya yang dapat menebus kega-
galannya selama ini.
Konishiwa berkata pada Seichi Okawa, "Kalau begi-
tu, sebaiknya engkau pimpin dua puluh orang untuk
mengejar Saburo. Susuri langkahnya, dan tangkap lelaki jahanam itu atas namaku.
Aku akan kembali ke
Kamakura untuk melaporkan hal ini pada Tuanku No-
bunaga." "Baiklah," jawab Okawa. "Saya akan berusaha me-
nangkapnya sebelum dia memasuki wilayah Suruga."
"Lakukan sebaik-baiknya. Jangan sampai gagal."
"Saya akan berusaha sebaik-baiknya."
Seichi Okawa segera menuju kudanya. Beberapa
saat kemudian bersama dua puluh pasukannya, Oka-
wa bergegas mengejar Saburo Mishima. Konishiwa
naik ke punggung kuda, lalu menggebrak punggung-
nya menuju Kamakura.
*** Nobunaga menggeram marah, sehingga kumisnya
mencuat seperti ekor tikus yang kesakitan. Baru saja ia mendengar laporan
Konishiwa mengenai kemungkinan Saburo Mishima melarikan diri ke Suruga.
Di benak Nobunaga terbayang wajah Imagawa Yo-
shimoto, seorang laki-laki kurus seperti lidi, namun
memiliki ambisi seperti harimau. Sebagai penguasa
tunggal wilayah Suruga, Imagawa sejak dulu menjalin hubungan persahabatan dengan
keshogunan Ashikaga. Bahkan ketika Toyotomi menyerang Suruga, se-
hingga terjadi pertempuran hebat di padang Kajima, Shogun Ashikaga mengirimkan
bantuan sebanyak lima
ribu tentara untuk menggempur Toyotomi. Berkat bantuan Ashikaga inilah Imagawa
mampu mempertahan-
kan wilayah kekuasaannya. Persahabatan ini terus
berlanjut dengan cara saling kunjung mengunjungi.
Bahkan tak jarang mereka melakukan upacara minum
teh semata-mata untuk mempererat persahabatan.
Di samping perasaan hutang budi itu, Imagawa
sangat mengagumi puisi-puisi pendek yang ditulis Ashikaga. Hobi menulis puisi
dan merangkai bunga, tanpa disadari menjadi perekat persaudaraan mereka.
Kini tiba-tiba Saburo Mishima, bekas panglima pe-
rang Nobunaga, berniat mengunjungi Imagawa. Ini
sangat berbahaya. Apabila samurai itu berhasil menghasut, dapat dibayangkan
Nobunaga akan mempunyai
musuh tambahan. Bagi Nobunaga sendiri, sebenarnya
ia memiliki rencana menggempur propinsi Suruga, tetapi menurut pertimbangannya
belum saat ini. Ia masih ingin membersihkan wilayah kekuasaannya dari
perusuh-perusuh seperti Saburo dan Mitsunari. Sesudah itu, barulah ia akan
menghimpun kekuatan untuk menaklukkan Imagawa.
"Konishiwa-san!" terdengar suara Nobunaga meng-
guntur di ruang pertemuan itu. Ia duduk di atas futon (kasur tipis rangkap dua)
sambil membelai-belai burung elang pemburu kesayangannya. Burung itu ber-
tengger di atas lengan Nobunaga yang dilapisi kulit, sambil menoleh ke kiri dan
ke kanan, seakan tengah memamerkan keanggunannya.
"Ya, Tuanku," sahut Konishiwa sambil bersujud.
"Keadaan ini tidak dapat dibiarkan. Kegagalan me-
nangkap Saburo akan menjadi bahaya serius bagi ke-
kuasaanku. Lebih-lebih kalau dia berhasil menghasut Imagawa yang bodoh untuk
melawanku. Karena itu,
sebelum terlambat, kita harus lebih dulu menghubungi Imagawa untuk menjalin
persahabatan."
"Baik, Tuanku, apa yang harus saya lakukan?"
"Hari ini juga berangkatlah ke Suruga, bawalah ha-
diah keramik, tembikar, dan rangkaian bunga untuk
Imagawa. Sampaikan salamku padanya, dan sampai-
kan harapanku untuk suatu saat dapat bertemu dan
minum teh bersama."
"Baik."
Konishiwa membungkukkan badan hingga kepala-
nya menyentuh lantai, kemudian berjalan mundur. Sesudah kira-kira dua puluh
meter dari tempat duduk
Nobunaga, ia baru berdiri, lalu berjalan bergegas keluar.
Nobunaga menoleh pada Naoko yang duduk di sam-
pingnya. "Bagaimana menurut pikiranmu kalau aku meng-
undang Imagawa untuk minum teh?"
"Saya rasa tidak ada buruknya."
"Imagawa sangat tersohor karena kepandaiannya
menyeduh teh hijau, kudengar dia pernah belajar pada guru besar Izu, di kuil
Hozoin. Tatacaranya menyeduh teh demikian sempurna sehingga upacara itu sendiri
melipatgandakan kenikmatan teh yang disuguhkan."
"Bila dia dapat mengajarkan cara menyeduh teh pa-
da saya, tentu kita akan mempunyai permainan baru."
"Itulah yang kuinginkan. Mudah-mudahan dia ber-
sedia datang kemari untuk melakukan upacara persa-
habatan." "Kalau dia menolak?"
"Kaupikir apa yang akan kulakukan?"
"Mengirim sebanyak mungkin pasukan untuk me-
naklukkannya."
Nobunaga tersenyum menyeringai. Dia merasa sa-
ngat puas dengan jawaban itu. Dan jawaban seperti itu pula sesungguhnya yang
membuat ia sangat menya-yangi Naoko. Geisha tersebut sangat istimewa. Bukan saja
keahliannya bermain cinta, tetapi juga memiliki kecerdasan yang jauh lebih
tinggi dibanding wanita Jepang pada umumnya.
"Hosokawa-san." terdengar suara Nobunaga meng-
guntur. Hosokawa yang duduk bersimpuh sepuluh me-
ter di depannya segera membungkukkan badan. "Ba-
gaimana tentang pengejaran terhadap Ishida Mitsuna-ri?" Hosokawa bicara tanpa
mengangkat kepala. "Sampai detik ini saya belum mendengar berita apa pun
tentang iblis berkaki satu itu. Namun saya telah menyebar hampir seratus orang
untuk melacak tempat
persembunyiannya. Mudah-mudahan tidak sampai sa-
tu minggu sudah ada berita tentang jahanam itu."
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk dapat meludahi
wajahnya. Keberanian Ishida membakar rumah di de-
pan hidungku, benar-benar tak dapat diampuni. Ka-
rena itu merongrong kewibawaanku. Oleh sebab itu,
sangat kuharapkan pasukanmu segera menangkapnya
hidup atau mati."
"Benar, Tuanku."
Nobunaga menoleh pada burung elangnya, lalu
membelai-belai lehernya dengan penuh kasih sayang.
Ketika menatap mata burung itu, tiba-tiba muncul
keinginan berburu di benak Nobunaga. Suatu hobi
yang telah lama tak ia lakukan. Sejak ia memper-
siapkan penyerbuan ke Kamakura, tidak ada lagi wak-tu untuk berburu. Padahal
bila melihat elang kesayangannya mencabik-cabik seekor babi hutan, Nobunaga
selalu membayangkan burung tersebut tengah me-
robek-robek musuhnya. Dulu, setiap kali burung tersebut mencabik-cabik binatang
buruannya, Nobunaga
membayangkan tubuh Ashikaga yang dilumatkan bi-
natang tersebut. Dan sekarang, ia membayangkan bu-
rungnya mematuki Saburo Mishima atau Ishida Mit-
sunari. "Hosokawa-san."
"Baik, Tuanku."
"Siapkan dua puluh lima samurai terbaik, aku ingin berburu babi hutan. Dan kau
sebaiknya ikut denganku."
"Baik."
Nobunaga menoleh pada geisha kesayangannya.
"Bagaimana denganmu" Apakah engkau akan ikut de-
nganku berburu babi hutan?"
Naoko menjawab, "Tentu. Saya tak ingin berpisah
denganmu."
"Berburu buatku selalu menyenangkan, karena
memberi kepandaian menyusun siasat. Tanpa ke-
biasaanku untuk berburu, barangkali Istana Kama-
kura saat ini belum menjadi milik kita."
"Kapan kita akan berangkat?"
"Besok pagi."
"Baiklah. Saya akan mengatur segala sesuatunya
agar perjalanan itu jadi menyenangkan."
*** PEMBANTAIAN YOSHIOKA berjalan tanpa bicara. Wajah dan lehernya berkeringat. Burung-burung
gagak hitam yang dilihat-nya melayang-layang di langit membuatnya ngeri. Di
benaknya terbayang paruh-paruh yang runcing me-
lengkung itu mencabik-cabik ketiga samurai Ryoken.
Mereka telah jauh berjalan. Lewat hutan Kripto-
meria yang lebat mereka kini sampai di depan dataran yang melandai, berombak-
ombak menuju Bukit Asigura. Di sebelah kiri, tampak Gunung Harikasa menju-lang
tinggi. Di atas puncak gunung itu terlihat awan menggantung seperti caping
jerami. Di sepanjang jalan yang kini mereka lewati, tampak kuil-kuil kecil yang tampak
bersih. Di depan gerbang kuil itu, tampak buah-buahan dan roti sesaji. Karena
merasa lapar, Yoshioka menghampiri sesaji itu, lalu mengambil beberapa buah dan
roti. Ia berlari kembali di dekat Saburo sambil makan buah-buahan.
"Apa engkau mau?" ia bertanya pada Saburo.
"Tidak," jawab Saburo pendek.
"Kenapa" Ini enak."
"Aku percaya makanan yang dicuri dari kuil mem-
bawa kutukan. Aku takut terkutuk. Kalau kau nanti
terkutuk, jangan menyalahkan aku."
Serta-merta Yoshioka membuang buah-buahan dan
roti yang ada di tangannya. Saburo menoleh.
"Kenapa dibuang?"
Yoshioka menjawab, "Aku juga tak mau terkutuk."
Saburo tersenyum, lalu mulai memunguti buah-
buahan dan roti yang dibuang oleh Yoshioka. Kemu-
dian dengan tenang mulai memakannya.
"Hei, katanya engkau takut terkutuk?" kata Yo-
shioka heran melihat Saburo dengan tenang makan
buah-buahan itu.
"Tadi kan kukatakan aku takut terkutuk kalau
mengambil buah dan roti dari kuil," jawab Saburo
sambil tersenyum. "Buah dan roti ini kan kuambil dari jalanan."
"Sial!" Yoshioka merutuk. Sementara Saburo terta-
wa bergelak-gelak.
Mereka terus berjalan menuju Bukit Asigura. Data-
ran yang kini mereka lewati membentang luas, berombak-ombak seperti gelombang.
Di beberapa tempat terlihat semak belukar yang tidak subur. Di dahan-dahan pohon


Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kering yang tumbuh di situ terlihat sejumlah burung bulbul yang sedang
istirahat. Suaranya berisik, mirip ceriap anak-anak ayam.
"Kojiro!" Saburo memanggil Yoshioka. Sejak menjadi shugyosa, Saburo membiasakan
diri memanggil Yoshioka dengan Kojiro.
"Apa?"
"Rasanya menyenangkan berjalan di dataran seperti
ini. Sepertinya setiap langkah kita diiringi nyanyian burung bulbul."
"Burung bulbul?"
"Ya. Rupanya mereka senang bersarang di tempat
seperti ini."
Yoshioka tidak menjawab. Ia hanya memandangi
burung-burung bulbul yang beterbangan dari dahan
yang satu ke dahan lainnya. Binatang itu tampak gelisah. Dari tingkah burung
bulbul itu, sebenarnya Saburo menangkap suatu keanehan yang mencurigakan.
Tetapi ia tak ingin membuat Yoshioka panik. Hanya sa-ja, tangan kirinya segera
mendorong pedang sedikit keluar dari sarungnya. Ia tetap berjalan, namun kini
bersikap lebih waspada.
"Kojiro," Saburo memanggil.
"Ada apa?"
"Sebaiknya kau tetap di sampingku."
"Kenapa?"
"Burung-burung bulbul itu tampak gelisah, kurasa
ada yang membuatnya bertingkah seperti itu. Kecuali itu, tempat ini demikian
terbuka, sangat cocok untuk melakukan penyergapan."
Baru saja Saburo diam, dari balik semak belukar
berloncatan sejumlah samurai mengepungnya.
"Saburo!"
Saburo berhenti. Ia mengenali orang yang menyebut
namanya. Tak salah lagi, dia adalah Seichi Okawa,
pengawal Konishiwa. Rupanya samurai itu berhasil ju-ga mengikuti jejaknya,
bahkan dengan cara sebaik-
baiknya ia berhasil mendahului Saburo, kemudian
mencegatnya. Yoshioka akan mencabut pedangnya, tetapi Saburo
mencegahnya. "Kojiro! Masukkan kembali pedangmu."
"Kenapa?"
"Masukkan. Kau tidak membutuhkannya."
Saburo melangkah ke depan, menghadapi Okawa.
Sekilas ia dapat memperkirakan kekuatan musuh sekitar dua puluh orang. Mereka
terdiri para ronin yang diangkat menjadi pasukan istana. Dari cara mereka
menggenggam pedang pun, Saburo dapat mengukur
kemampuan musuhnya. Tak seorang pun yang benar-
benar pemain pedang sejati. Hanya Seichi Okawa yang cukup baik. Samurai yang
pakaiannya rapi dan Me-nyandang tiga bilah pedang itu seorang pemain pedang yang
mengagumkan. Dia dapat memainkan dua bilah
pedang sekaligus. Tangan kanan dan tangan kirinya
terlatih sama baiknya. Okawa berumur sekitar dua puluh tiga tahun. Masih muda
dan kurang pengalaman.
"Apakah anak yang bersamamu putra Ashikaga?"
Okawa bertanya.
"Bukan. Dia anakku - Kojiro."
"Kalau begitu di mana Yoshioka-san?"
"Kukira kalian telah membunuhnya."
"Sayang sekali aku gagal menangkapnya ketika itu.
Ada orang yang menyelamatkannya."
"Kalau begitu, biarkan aku meneruskan perja-
lanan," kata Saburo tanpa tekanan. "Bukankah yang
kaucari adalah Yoshioka?"
"Sebenarnya begitu. Tetapi kepalamu pun sama ber-
harganya dengan kepala Yoshioka-san."
"Kalau begitu kenapa engkau tidak segera mela-
kukannya?"
"Jangan takut," kata Seichi Okawa tajam. "Akan se-
gera kulakukan."
Kedua puluh samurai pengikut Okawa segera me-
nyusun posisi untuk menghadapi sebuah pertem-
puran. Mereka telah mencabut pedang sambil menge-
lilingi Saburo. Dengan langkah kaki mantap, Saburo segera berjalan ke tengah
kepungan untuk menjauh-kan Yoshioka dari perhatian musuh.
Semua ronin mempersiapkan serangan. Mata me-
reka bersinar-sinar, penuh nafsu membunuh. Seichi
Okawa telah mencabut kedua pedangnya, ia mengha-
dang Saburo langkah demi langkah, seakan-akan siap menerkam.
Cukup lama suasana sunyi berkecamuk menye-
sakkan. Kedua belah pihak menyadari semakin men-
dekatnya hawa kematian. Wajah Saburo menjadi pu-
cat. Sinar matanya menyorotkan sinar mata dewa ke-
matian, berkilat penuh nafsu membunuh. Ia terus bergeser, seperti seekor harimau
yang sedang memilih
korbannya. Saburo menyadari, dia harus menggebrak kepungan
itu, terutama untuk menekan musuh agar mereka me-
lupakan Yoshioka. Karena itu dengan kecepatan tidak terduga, Saburo meloncat
menerjang musuh-musuhnya. Ia seperti jago aduan, menebaskan pedang ke musuh yang
berada di belakangnya. Terdengar bunyi seperti letupan sumbat botol, dan tanah
pun memerah darah. Kemudian terdengar suara mengerikan, bukan
teriakan perang, tetapi lolongan yang membekukan darah. Tubuh samurai yang
menjadi korban pertama,
ambruk ke tanah dengan kepala terbelah.
Pedang Saburo mendesing ke kanan ke kiri, suara
tebasan serta ayunannya seperti desis angin. Kecepatan dan akurasi serangannya
tidak terduga, sehingga musuh-musuhnya berhasil digoyahkan keyakinannya.
Sesekali terdengar suara pedang gemerincing, darah dan otak berceceran di tanah.
Raung kematian seakan tidak terputus, seiring dengan tubuh-tubuh terjungkal di
tanah. Jari dan tangan beterbangan terkena tebasan, sementara nyawa melayang
diiringi raungan yang memilukan.
Seichi Okawa berusaha mencari celah di mana ia
dapat menyerang Saburo, namun peluang itu tak per-
nah didapat. Ia tersentak melihat di depannya terjadi penyembelihan besar-
besaran. Para samurai yang menyaksikan tubuh temannya bergelimpangan, kini mu-
lai kehilangan keyakinan. Ini dimanfaatkan oleh Saburo. Dengan buas ia
menebaskan pedang ke arah sa-
murai yang berada di dekatnya.
Saburo hampir tak menyadari apa yang sedang di-
lakukannya. Ia seperti kesurupan, dalam mimpi penuh pembunuhan, di mana tubuh
dan nyawanya terpusat
hanya pada pedangnya yang semeter panjangnya. Tak
pernah ia sadari, bahwa seluruh pengalaman hidupnya (sejak ia berlatih kendo
bersama ayahnya, pertarungan dengan murid-murid Perguruan Yagyu, kemampuannya
mengatur siasat sebagai panglima Ashikaga, dendam atas kematian istrinya, dan
disiplin yang ia jalani selama dalam persembunyian) semua kini berbaur
menjadi satu kekuatan mukjizat yang sangat mengerikan. Ia menjadi tiupan angin
pusaran yang menerjang kawanan ronin, yang karena ketakutan menjadi sasaran
empuk pedang Saburo. Tubuh mereka berteba-
ran dengan semburan darah dari luka yang menganga.
Pertarungan itu terjadi sangat cepat dan mengeri-
kan, sehingga beberapa kali Yoshioka terpaksa menutup mata menyaksikan tubuh
musuh yang terguling
dengan tubuh terkoyak.
Saburo kini berdiri di tengah mayat-mayat yang
bergelimpangan. Tubuhnya basah kuyup oleh darah
musuhnya. Beberapa ronin yang terluka tetapi masih hidup bermandikan darah
kental sambil mengerang-erang. Tanah, dan bahkan udara berbau darah. Kini
tinggal Seichi Okawa yang masih berdiri tegak. Se-
sungguhnya, orang yang melihat pembantaian seperti itu, pasti akan memilih
menyingkir menghindari pertarungan. Namun itu tak terjadi dengan Okawa. Sebagai
seorang samurai sejati, ia justru berdiri tegak siap menghadapi terjangan lawan.
Saburo menatap Okawa dengan tajam. Napasnya
naik turun dalam getaran irama yang tidak tetap. Ia menyadari kini menghadapi
pemain pedang aliran Kyoto, suatu aliran yang pada awalnya diciptakan seorang
pendeta Budha. Permainan pedang Okawa sangat
mengutamakan kecepatan dan kelincahan, karena itu
biasanya samurai aliran Kyoto bertubuh kurus.
Dengan memahami gaya pedang Okawa, Saburo se-
gera berlari keluar dari lingkaran tubuh-tubuh ronin yang bergelimpangan
bermandikan darah. Untuk menghadapi Okawa, ia membutuhkan ruang gerak yang le-
bih luas. Seichi Okawa berlari mengikuti Saburo. Kemudian seperti dua ekor
elang, mereka saling menerjang dengan sabetan pedang masing-masing, terdengar
suara gemerincing ketika pedang beradu. Saburo dengan cepat mencabut pedang
pendeknya untuk meng-
imbangi permainan pedang Okawa. Dan seperti yang
sudah dibayangkan, Okawa memang seorang pemain
pedang yang menakjubkan. Ia menyerang berputar-
putar seperti sedang menari. Tubuhnya ringan, seperti tidak pernah menyentuh
tanah. Setiap kali bergerak, ia
mengirimkan tikaman dan tebasan sekaligus. Sera-
ngannya berlangsung cepat dan bertubi-tubi, sehingga Saburo tak pernah memiliki
kesempatan menyerang. Ia terlalu sibuk menangkis dan mengelak.
Harus ada satu cara untuk menghentikannya, kata Saburo dalam hati. Harus ada.
Tak peduli bagaimana caranya.
Dengan kecepatan pikirannya, Saburo segera berlari ke lereng bukit pasir. Mereka
kini berdiri di lereng bukit itu dengan napas memburu. Strategi Saburo sekali
lagi terbukti jitu. Lereng pasir itu dapat meredam kelincahan musuhnya. Kecuali
miring, hamparan pasir
itu menenggelamkan kaki Seichi Okawa sehingga ia tidak segesit tadi. Kedua
kakinya yang mengenakan
sandal jerami, terbenam ke dalam pasir, sehingga mengurangi kecepatannya
bergerak. Saburo segera mengubah taktik. Kalau tadi ia men-
coba mengelakkan serangan Okawa, kini sebaliknya, ia mengambil inisiatif untuk
menyerang. Ia menggempur musuhnya dengan mengandalkan kekuatan. Saburo
berdiri sejajar dengan Okawa. Tangannya mencengke-
ram gagang pedang yang lengket oleh darah kental.
Campuran darah dan keringat di wajahnya agak me-
ngaburkan pandangannya, tetapi ia mulai meyakini,
kemenangan berada di pihaknya. Setelah mereka ber-
hadapan di lereng bukit pasir, Okawa tidak seganas tadi. Gerakannya menjadi
lambat, sehingga memberikan peluang untuk Saburo mengirim serangan.
Seichi Okawa sendiri mulai goyah. Ia menyadari di-
rinya terperangkap muslihat Saburo. Tetapi sekarang sudah terlambat. Keadaan ini
membuat ia bimbang.
Beberapa saat ia hanya bergeser ke kanan ke kiri sambil terus mengawasi Saburo.
Okawa belum pernah bertarung di atas hamparan pasir, dan ini ternyata
menimbulkan kesulitan baginya.
Di saat kebimbangan itu masih mengoyak pikiran-
nya, Saburo telah menerjang dengan jurus 'Membelah Rembulan'. Ayunan pedang itu
demikian kuat, sehingga ketika menangkis serangan itu, Okawa terdorong ke
belakang. Kaki kirinya terbenam di pasir kering hingga membuat keseimbangannya
berkurang. Dalam seper-sekian detik Saburo telah membabatkan pedangnya.
Terdengar suara berderak diikuti melayangnya lengan kanan Seichi Okawa. Laki-
laki itu menjerit ketika menyadari lengannya telah terpenggal. Darah mengucur
deras. Okawa mendekap lengannya dengan putus asa.
Ia menancapkan pedangnya di pasir, lalu memegangi
lengannya. Ketika lelaki tersebut menoleh, ia melihat Saburo telah menyarungkan
kembali pedangnya.
"Engkau seorang pemain pedang yang baik," kata
Saburo sambil menatap Seichi Okawa. "Tetapi alam
berpihak padaku."
"Kenapa kau tidak membunuhku, Saburo?"
"Tidak ada gunanya. Kuanggap kau sudah mati."
Saburo kemudian berjalan menuruni lereng bukit
menuju ke tempat Yoshioka menunggu.
"Aku akan terus mencarimu," kata Seichi Okawa de-
ngan suara bergetar. "Aku akan membalas kekalahan
ini." Saburo tidak mempedulikannya. Ia melihat Yoshi-
oka berjalan menyongsong dengan wajah keheranan.
"Kenapa engkau tidak membunuhnya?"
"Untuk apa?"
"Tetapi kudengar dia mengancam untuk membalas
dendam." "Dia memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun
untuk melaksanakan niatnya. Pada saat itu barangkali kita sudah mati."
Yoshioka berdiri termangu menatap Seichi Okawa
yang masih terduduk di pasir mencoba menghentikan
aliran darahnya. Sekilas mata mereka bertatapan, dan Yoshioka melihat api dendam
membara di matanya.
Api dendam yang tidak mungkin padam.
"Kojiro!"
Yoshioka berpaling. Ia melihat Saburo berdiri me-
nunggu. "Mari kita cepat pergi. Aku perlu mencari air untuk membersihkan diri."
Gagak-gagak sudah berkaok-kaok di langit ketika
Yoshioka berlari mengejar Saburo. Ia tahu sebentar la-gi di tempat itu akan
terjadi pesta pora. Dan anak itu merasa ngeri membayangkan tubuh-tubuh para
ronin itu dicabik-cabik burung gagak.
*** Mereka menemukan sebuah sungai yang mengalir di
balik Bukit Asigura. Sungai itu tidak besar, bahkan lebih cocok disebut anak
sungai, tetapi airnya jernih.
Kepiting dan ikan-ikan kecil yang berenang di dalam air, tampak jelas. Yoshioka
mengagumi pemandangan
itu. Sambil menunggu pakaian yang mereka cuci ke-
ring, anak itu bermain-main di dalam air. Ia mencoba menangkap ikan marabu yang
kelihatan jinak. Tetapi Yoshioka selalu gagal menangkap ikan tersebut karena
begitu ditangkap, ikan-ikan itu melesat seperti anak panah.
Bagi Yoshioka bermain-main di sungai sungguh me-
nyenangkan. Dulu ketika masih tinggal di istana, ia tak pernah memiliki
kesempatan bermain seperti itu.
Hari-harinya dipenuhi pelajaran kendo, menulis puisi, dan melukis.
Saburo Mishima membiarkan Yoshioka bermain se-
mentara ia berendam di sungai. Ia membiarkan arus
deras menerpa tubuhnya. Matahari yang bersinar ga-
nas membuat air tidak terasa dingin. Karena itu Sabu-
ro berendam sepuas-puasnya. Ia membersihkan perci-
kan darah di tubuhnya. Pakaiannya yang basah ia jemur di atas batu yang banyak
terdapat di tengah sungai. Pakaiannya tadi terpercik banyak darah, sehingga ia
terpaksa mencuci dengan buah jarak. Yoshioka heran menyaksikan Saburo
menghancurkan buah itu,
kemudian mulai mencuci. Buah tersebut meng-
hasilkan busa, seperti sabun.
"Buah apa itu?"
"Buah jarak."
"Bagaimana engkau tahu bahwa buah ini dapat di-
gunakan mencuci?"
"Dulu, sebelum aku menjadi pasukan Ashikaga,
aku tinggal di desa. Kami selalu mencuci pakaian dengan buah ini."


Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah buah ini tumbuh di seluruh Jepang?"
"Entahlah. Aku belum pernah berkeliling ke seluruh Jepang. Tetapi di tempat-
tempat yang pernah kukun-jungi, pohon ini tumbuh subur. Biasanya di tepi sungai.
Tetapi kau harus hati-hati untuk mengambilnya."
"Kenapa?"
"Selain getahnya tidak bisa hilang jika mengenai
pakaianmu, ular senang tinggal di bawah pohon jarak.
Mungkin karena daunnya lebar, sehingga pohon jarak sangat rindang."
Saburo berendam menikmati kesegaran air yang
menerpa tubuhnya. Sehabis pertarungan yang mele-
tihkan itu, dengan berendam di sungai, ia merasakan tubuhnya segar kembali.
Sambil tetap berendam ia
merenungkan peristiwa pencegatan yang dipimpin Seichi Okawa. Kejadian itu
menyadarkan Saburo tentang pengejaran yang dilakukan Nobunaga terhadapnya.
Dari jarak yang ditempuh Okawa, jelas pengejaran itu hampir sampai di wilayah
Suruga. Ini berarti Nobunaga bertekad dengan sungguh-sungguh menangkap di-
rinya. Dari pencegatan itu, Saburo menyimpulkan, Nobunaga berusaha menangkap
dirinya sebelum mema-
suki Suruga. Karena bila ia telah masuk ke wilayah kekuasaan Imagawa,
persoalannya akan menjadi lebih rumit bagi Nobunaga.
Kalau begitu lebih baik aku secepatnya memasuki Suruga, Saburo menyimpulkan.
Bila benar dugaanku, Suruga akan menjadi tempat yang aman bagi Yoshioka.
"Kojiro!"
"Apa?"
"Apa pakaian kita sudah kering?"
Yoshioka berjalan ke tempat mereka menjemur pa-
kaian. Ia memeriksa sebentar.
"Belum," katanya pada Saburo. "Sebentar lagi."
Ketika matahari mulai merayap tenggelam, mereka
sudah berjalan menyusuri anak sungai itu. Seperti biasa Saburo berjalan membisu.
Yoshioka melangkah
bergegas di sampingnya. Udara sore sangat cerah, burung-burung beterbangan
sambil berceriap di ranting-ranting pohon. Seekor ular melata di depan mereka,
menerobos ke semak belukar. Yoshioka hampir melompat karena kaget. Belum pernah
ia berhadapan dengan ular selama hidupnya. Tetapi karena ular itu juga
ketakutan, mereka meneruskan perjalanan.
Selagi mereka berjalan membisu, terdengar ada da-
han berderak terinjak kaki. Secara naluriah Saburo menghentikan langkah
Yoshioka, kemudian menariknya ke arah semak. Dengan tangan kirinya, Saburo
mendorong pedangnya keluar seinci, siap ditarik bila memang mereka menghadapi
bahaya. Yoshioka juga
ikut-ikutan menggenggam erat pedangnya.
Dugaan mereka keliru, karena di depan mereka
tampak seorang gadis berumur sekitar tiga belas tahun dengan mengenakan kimono
warna biru muda. Obi kecil yang membelit pinggangnya, walaupun di beberapa
tempat sudah bertambal, namun tampak jelas terbuat dari kain brokat. Di tengah
kesunyian itu, gadis tersebut jadi tampak seperti peri air yang ganjil.
Saburo dan Yoshioka bernapas lega. Mereka berdiri
pelan-pelan. Saat itu gadis tersebut tiba-tiba berpaling.
Ia tampak terkejut melihat orang lain di tempat itu. Sinar matanya yang
berbinar-binar menatap penuh ke-
curigaan. Beberapa saat mereka bertatapan, kemudian Sabu-
ro bertanya, "Siapa kamu?"
Gadis itu menatap curiga, berdiri, lalu berlari meninggalkan tempat itu.
"Berhenti!" seru Saburo. "Kami tidak bermaksud ja-
hat padamu. Berhentilah."
Tetapi gadis itu telah lenyap. Ia sudah berlari di antara rumpun bambu yang
tumbuh di tepi sungai. Obi
di kimono biru yang dikenakannya tampak seperti
sayap kupu-kupu yang terbang menjauh.
"Apakah dia hantu?" Yoshioka bertanya. Panda-
ngannya kosong ke arah lari gadis itu.
"Dia bukan hantu. Tadi kuperhatikan kakinya meng-
injak tanah. Kurasa dia gadis yang tinggal di dekat si-ni." "Kenapa dia lari?"
"Mungkin takut melihat kita."
Setelah berhenti sejenak, mereka kemudian berjalan terus menyusuri tepi sungai
itu. Di sebuah tikungan, mereka melihat sebuah kolam yang menghampar luas.
Di tepi kolam itu tampak sebuah rumah berpagar bam-bu yang lampunya telah
menyala. Saburo dan Yoshioka saling berpandangan. Kemu-
dian mereka berjalan mendekati rumah tersebut. Ru-
mah itu ternyata bukan rumah biasa. Dindingnya terbuat dari tembok tanah tebal.
Pintu gerbang pagarnya terbuat dari kayu ek warna coklat. Di belakang bangu-
nan utama, terdapat gudang dan kandang kuda yang
kosong. Di dekatnya tampak tempat minum kuda dan
tumpukan jerami kering. Dilihat dari bentuk bangunan itu, Saburo menduga,
setidaknya rumah tersebut milik seorang petani yang cukup kaya.
Saburo menyapukan pandangan ke sekeliling tem-
pat itu, mencoba memperhitungkan kemungkinan ada
penyergapan. Sesudah yakin semua aman, ia men-
dekati pintu, lalu mengetuk.
Tak ada jawaban. Rumah tersebut tetap sepi, se-
perti tak berpenghuni.
Sekali lagi Saburo mengetuk. Kini ia mendengar su-
ara berbisik-bisik di belakang pintu. Kemudian dengan suara berderit, pintu itu
terbuka. Seorang perempuan setengah baya tampak melongokkan kepala.
"Siapa kalian?" ia bertanya.
"Kami shugyosa. Samurai pengembara."
"Shugyosa" Pergilah dari sini. Saya tak ingin men-
dapat kesulitan gara-gara kalian."
"Kami tidak bermaksud menimbulkan kesulitan.
Kami hanya membutuhkan istirahat sebentar dan air
minum untuk bekal, setelah itu kami akan mene-
ruskan perjalanan."
Wanita tersebut menatap Saburo dengan penuh cu-
riga. Kemudian beralih pada Yoshioka yang menatap-
nya nanar. Dari tatapan polos anak itu, tumbuh sentuhan di hatinya. Ia teringat
anak lelakinya yang telah meninggal karena kolera. Kalau anaknya masih hidup
tentu sebesar anak shugyosa tersebut. Tanpa disadari wanita tersebut membuka
pintu. "Masuklah, kalau hanya sebentar," katanya sambil
membiarkan Saburo dan Yoshioka masuk. "Kalian dari mana?"
"Kami dari Kamakura."
"Mau pergi ke mana?"
"Secara pasti kami tidak mempunyai tujuan, tetapi
saat ini kami sedang menuju ke Suruga."
Yoshioka bertanya, "Apakah Suruga dari sini masih
jauh?" "Ya," jawab wanita itu. "Kira-kira sepuluh mil."
Yoshioka tampak menghela napas panjang. Ia mem-
bayangkan perjalanan sejauh sepuluh mil yang akan
membuat kakinya lecet.
Rumah tersebut tampak diatur dengan rapi. Biar-
pun tidak ada barang berharga di dalamnya, tetapi karena cara penataannya cukup
berselera, pemandangan di dalamnya terasa menyenangkan. Pada dinding
ruang tengah tampak tiga buah topeng digantung, persis di atas sebilah pedang
panjang. Karena melihat pedang tersebut, Saburo menduga suami wanita tersebut
tentulah seorang samurai.
Perempuan itu menarik zabuton, lalu meletakkan di depan Saburo.
"Ayako!" suara perempuan itu memecah keheni-
ngan. "Kemari, bawakan tamu kita air minum."
Dari balik pintu kemudian muncul gadis berkimono
biru itu. Sekilas ia memandang Saburo dan Yoshioka, lalu cepat-cepat menundukkan
kepala. Ia menghidang-kan air minum dalam cangkir tanpa mengangkat ke-
pala. "Dia anakku, namanya Ayako," kata wanita tersebut
memperkenalkan anaknya.
"Ibu sendiri?"
"Orang-orang memanggilku Yuriko-san."
Sambil minum, Saburo bertanya, "Apakah keadaan
di sini tidak aman sehingga Anda tadi tidak bersedia menerima kami?"
"Dapat dikatakan begitu. Semenjak Nobunaga ber-
kuasa, di sini selalu terjadi kerusuhan. Terutama soal pajak. Untuk membiayai
ribuan prajuritnya, Nobunaga
dan para daimyo menarik pajak dari rakyat secara se-wenang-wenang. Akibatnya
banyak orang seperti saya jatuh miskin. Saya dengar saat ini Nobunaga tengah
menghimpun kekuatan bersenjata yang sangat besar.
Entah untuk apa. Dari desas-desus yang kudengar,
katanya dia tengah mempersiapkan diri untuk menye-
rang Imagawa."
Saburo mengerutkan kening, "Nobunaga akan me-
nyerang Imagawa?"
"Entahlah. Saya hanya mendengar dari samurai-sa-
murai yang kebetulan lewat di sini."
"Apakah banyak samurai yang lewat sini?"
"Lebih banyak dari biasa."
"Ke mana tujuan mereka?"
"Mengejar Saburo Mishima dan Ishida Mitsunari."
Yoshioka tersedak. Air yang sedang diminum masuk
ke rongga hidungnya. Ia batuk-batuk sambil member-
sihkan air di wajahnya. Perempuan itu menatap anak itu dengan iba.
"Apakah kalian punya tujuan sama dengan me-
reka?" wanita tersebut bertanya.
"Tidak," jawab Saburo sembari menggelengkan ke-
pala. "Kami hanya pengembara biasa."
"Syukurlah. Jangan ikut-ikutan dengan mereka.
Kudengar sudah beberapa puluh samurai mencoba
menangkap Saburo Mishima, tetapi semua terbunuh.
Bahkan tidak seorang pun berhasil melukainya. Beberapa waktu lalu tiga samurai
ditemukan telah me-
ninggal di hutan pinus, katanya Saburo yang membu-
nuh mereka."
Saburo terpaksa hanya diam, mendengarkan kata-
kata wanita itu. Ia hanya sesekali berkomentar, itupun dilakukan dengan sangat
hati-hati. Pembicaraan itu tidak terasa sampai larut malam, sehingga Saburo
terpaksa minta izin untuk menginap. Pada mulanya wani-
ta itu bimbang, namun setelah diyakinkan bahwa me-
reka hanyalah samurai pengembara biasa, wanita tersebut mau menerima. Saburo dan
Yoshioka tidur di
ruang tengah. Yoshioka berbaring di atas zabuton, sedang Saburo menggunakan
tatami. Karena lelah, me-
reka terlelap. Menjelang pagi, Saburo terbangun ketika telinganya mendengar suara berisik di
samping rumah. Rumah
itu sepi. Tampaknya kedua penghuninya sedang pergi.
Saburo melihat Yoshioka sudah bangun. Anak itu berbaring sambil menatap Saburo.
Sinar matanya bersi-
nar-sinar waspada. Rupanya ia pun mendengar kega-
duhan di samping rumah.
"Apakah mereka dapat dipercaya?" Yoshioka ber-
tanya berbisik. "Bagaimana kalau mereka melaporkan kedatangan kita pada pasukan
Nobunaga?"
"Mudah-mudahan tidak. Tetapi apa pun yang terja-
di, kita harus mengucapkan terima kasih karena telah diberi tempat istirahat."
"Kalau begitu kita harus segera pergi."
"Tidak perlu tergesa-gesa. Kita masih punya banyak waktu untuk meneruskan
perjalanan. Kecuali itu, aku mempercayai cerita perempuan itu. Tampaknya dia
tidak berdusta."
"Kita dulu keliru menilai Takezo."
"Tidak. Aku tidak keliru. Hanya saja kita sangat terlambat bereaksi."
Dari samping rumah terdengar suara wanita itu
menjerit, lalu diikuti suara seorang laki-laki memaki-maki. Dari nada suaranya
yang menggeram, Saburo
dapat membayangkan bagaimana bentuk fisik lelaki
tersebut. Ia tentu tinggi, gemuk, dan kejam.
"Dasar sundal!" suara lelaki itu terdengar meleng-
king. "Sudah kukatakan kau harus segera mengirim
anakmu ke Kamakura. Dia akan hidup senang di sana.
Sebagai seorang penari, Ayako punya banyak kesem-
patan bertemu Tuanku Nobunaga. Siapa tahu di sana, Ayako akan dipilih menjadi
istrinya."
"Jangan mimpi!"
"Siapa yang mimpi" Aku justru sedang mengatakan
kebenaran. Anakmu tidak akan menjadi apa-apa di si-ni. Dia tak lebih penari
jalanan yang miskin. Tetapi dengan menari di Kamakura, aku yakin dia dapat meno-
long dirinya sendiri."
"Aku tidak akan pernah menyuruh anakku pergi ke
Kamakura."
"Sundal busuk!" raung laki-laki itu. Kemudian de-
ngan kemarahan berapi-api, ia mulai memukul dan
menjambak rambut wanita itu. "Kau perempuan sun-
dal tidak tahu diri. Kalau saja aku tidak mengeluarkan dirimu dari Asakusa, kau
akan terus jadi pelacur!"
Dari lubang jendela, Saburo melongok keluar, dan
ia melihat seorang laki-laki gemuk, persis dugaannya, tengah menghajar wanita
itu. Yuriko hanya mendekap wajahnya, berusaha melindungi diri dari serangan
lelaki itu. Namun lelaki itu seperti tak peduli. Ia terus saja memukul.
Saburo sesungguhnya merasa kasihan, bahkan ta-
ngannya sudah meraba hulu pedangnya. Namun ia te-
tap diam, karena tidak mengetahui sebab-sebab per-
tengkaran tersebut. Sesudah puas memukuli Yuriko,
lelaki bertubuh gempal itu terseok-seok pergi. Paginya Saburo tidak melihat
Yuriko di rumah. Rupanya sejak pagi wanita itu telah pergi. Di belakang rumah,
Saburo menjumpai Ayako sedang menjemur pakaian. Dengan
hati-hati ia mendekati gadis itu.
Sesudah berbasa-basi sejenak, Saburo bertanya,
"Semalam saya melihat seorang laki-laki memukuli
ibumu." "Itu sudah biasa terjadi."
"Siapakah laki-laki itu?"
"Namanya Denchiro, penguasa di wilayah ini."
"Kenapa dia memukuli ibumu?"
"Sudah sebulan dia membujuk ibuku agar mengirim
diriku ke Kamakura dalam rombongan penari Asakusa, tetapi ibu menolak. Akibatnya
Denchiro selalu memukuli ibuku."
"Kenapa dia memaksa dirimu ke Kamakura?"
"Sebelum tinggal di sini, saya seorang penari di Asakusa. Tetapi kehidupan
sebagai penari terpaksa saya tinggalkan sewaktu ayah meninggal. Dia seorang
samurai dan tewas dalam pertempuran ketika Shogun
Nobunaga menyerang Ashikaga. Ibu menginginkan
saya membantunya di sini. Tetapi kepulangan saya justru menimbulkan kesulitan
besar, karena Denchiro
mengetahui bahwa dalam pertempuran yang lalu ayah
berpihak pada Nobunaga. Denchiro menggunakan hal
itu untuk menekan dan memeras ibuku. Sesudah har-
ta benda kami terkuras, dia sekarang menginginkan
ibu menjual diriku pada Nobunaga."
"Apakah di daerah ini tidak ada yang berani mela-
wan lelaki itu?"


Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak seorang pun. Dia jago pedang yang sangat di-
takuti." Siang itu Saburo duduk di tepi kolam sambil berpi-
kir. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Sebagai seorang samurai, Saburo paling
benci pada lelaki yang menggunakan kedudukannya untuk memeras. Lebih-lebih yang
diperas adalah kaum wanita. Ia marah dan ingin melampiaskan kemarahan itu dengan
menantang Denchiro. Tetapi satu hal yang juga dipikirkan Saburo, dia harus melakukan hal
itu tanpa menimbulkan resiko bagi Yuriko maupun anaknya.
Yoshioka siang itu menunggui Ayako bekerja di de-
kat gudang. Gadis tersebut membelah daun pandan,
untuk dibuat tatami. Dengan tekun Ayako menganyam
daun itu. Yoshioka yang belum pernah menyaksikan
orang membuat tikar, kagum pada kecepatan Ayako
menganyam. Sesekali ia bertanya tentang pekerjaan
itu. "Berapa tikar yang bisa diselesaikan dalam waktu sebulan?" Yoshioka
bertanya. "Kira-kira dua puluh."
"Setelah itu dijual ke kota?"
"Ya. Ibuku yang menjual ke sana."
"Pantas sejak pagi ibumu tidak kulihat. Rupanya
dia berangkat pagi-pagi sekali."
"Benar. Kalau tidak pagi-pagi sekali, dia sampai ko-ta sudah tengah hari
sehingga semakin sulit menjual tatami."
"Kenapa engkau tidak meneruskan menjadi penari
saja?" "Ibuku membutuhkan bantuanku di sini. Sebenar-
nya saya lebih senang menjadi penari, tetapi kehi-
dupan penari selalu berpindah-pindah, tergantung di mana kota yang ramai untuk
disinggahi. Akibatnya ibu tidak tahu secara persis di mana saya sedang berada.
Karena itu dia memintaku keluar untuk membantunya
membuat tatami."
"Jadi ketika kami pertama kali melihatmu di tepi
sungai, kau sedang mengumpulkan daun pandan un-
tuk tatami?"
"Benar."
Setelah puas berbincang-bincang dengan Ayako, Yo-
shioka mencari Saburo. Dia melihat lelaki tersebut duduk di bawah pohon
kriptomeria sambil memandang
ke kejauhan. Tampak sedang memikirkan sesuatu. Yo-
shioka melepas sandal jeraminya, lalu menggunakan-
nya sebagai alas untuk duduk.
"Kenapa kita tidak meneruskan perjalanan?" ia ber-
tanya pada Saburo.
"Kita akan pergi besok," jawab Saburo.
"Kenapa mesti besok?"
"Malam ini ada yang harus kita lakukan."
*** Malamnya, udara dingin. Angin bertiup kencang me-
nerpa pepohonan. Desaunya mirip siulan iblis yang tidak kelihatan. Sejak sore
hari Saburo duduk diam. Ia mencoba memusatkan pikiran ke alam sekitarnya. Ia
menunggu kedatangan Denchiro. Tetapi sampai larut
malam, laki-laki yang dinantikan tidak juga muncul batang hidungnya. Akhirnya
lewat tengah malam, Saburo tertidur.
Saburo terbangun ketika pagi harinya mendengar ri-
but-ribut. Terdengar suara Yuriko meratap dan me-
raung. Samar-samar terdengar tangis Ayako yang memilukan. Saburo mencoba
mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi
berisi sekitar delapan gadis-gadis cilik. Satu di antaranya adalah Ayako. Di
dekat gerobak itu tampak empat orang samurai yang bertindak sebagai pengawal.
Ketika itu Yuriko tampak meratap sambil memegangi kaki Denchiro.
"Jangaan!" ratap Yuriko putus asa. "Jangan bawa
anakku! Biarkan dia tetap di sini!"
"Dasar sundal busuk!" bentak Denchiro geram. "Kau
tidak bisa memberi apa-apa lagi padaku. Tinggal anakmu!"
"Tetapi dia masih terlalu kecil...."
"Bukan kau yang berhak menilai," kata lelaki gem-
pal itu sambil mengibaskan kakinya. Yuriko terpelanting ke belakang. Tubuhnya
membentur pagar bambu
rumahnya. Saburo segera mengambil pedangnya, kemudian lari
menerobos keluar. Denchiro kaget ketika melihat seo-
rang samurai keluar dari rumah itu diikuti seorang anak kecil. Keempat
pengawalnya segera bergerak melindungi Denchiro.
"Oh, rupanya begundal ini yang membuatmu berani
melawanku," Denchiro berkata menyeringai pada Yuri-ko. "Apa kaupikir dapat
menakut-nakutiku dengan
seorang samurai jalanan?"
"Sebaiknya kaulepaskan anaknya," kata Saburo pa-
da Denchiro. "Kalau ibunya tidak merelakan anaknya pergi, kau tidak berhak
memaksanya."
"Bedebah! Siapa kamu hingga berani bersikap ku-
rang ajar pada Denchiro?"
"Saya hanya seorang shugyosa yang kebetulan lewat
di sini." "Kalau begitu jangan turut campur dengan urusan-
ku." "Saya hanya ingin membalas budi karena telah di-
beri tempat istirahat dan bermalam."
"Sekali lagi kuperingatkan, jangan mencampuri
urusanku. Tetapi kalau kau tidak bisa kuperingatkan, aku dengan senang hati
menebas tubuhmu."
Seusai berkata begitu, Denchiro memberikan isyarat pada anak buahnya untuk
mengepung Saburo. Keempat orang itu mencabut pedang sambil berteriak-teriak
mengancam. Dari cara mereka mengepung, Saburo ta-hu keempat orang itu bukan
lawannya. Mereka tak lebih ronin yang tidak berbahaya.
Ketegangan menyelimuti tempat itu. Cahaya mata-
hari menerobos di sela-sela rumpun bambu. Saburo
melangkah ke depan sambil mempersiapkan diri se-
baik-baiknya. Ia menggeser sarung pedangnya ke de-
pan, siap menantikan serangan. Suasana tegang itu
tak berlangsung lama, serentak keempat samurai itu menyerbu, dan pada detik
bersamaan Saburo merunduk sambil menebaskan pedangnya. Terdengar jerit
memanjang ketika keempat samurai itu merasakan tu-
buhnya tertebas. Kemudian satu per satu ambruk ke
tanah untuk selamanya.
Denchiro kaget. Ia tak menduga akan melihat ke-
nyataan itu. Lelaki di depannya ternyata tak selemah yang ia bayangkan. Dalam
sekali gebrak, lelaki tersebut berhasil menjatuhkan keempat anak buahnya. Je-
las dia bukan samurai sembarangan.
Dengan marah, Denchiro mencabut pedangnya, ke-
mudian mulai menyerang. Tubuhnya yang gempal
membuat terjangannya demikian hebat, sehingga Sa-
buro sempat terkejut memperoleh tekanannya. Dari
cara menebas dan mengayunkan pedangnya, dapat di-
ketahui kehebatan permainan Denchiro. Tubuhnya
yang gempal tidak membuat lelaki itu lamban. Justru sebaliknya, Denchiro
berhasil menggunakan kelebihan berat badannya untuk menghimpun kekuatan. Ia kini
menerjang bagai seekor banteng terluka. Ia terus mengejar ke mana pun Saburo
mengelak. Sebuah tiang rumah yang menyangga atap jerami
terpotong jadi dua oleh sabetan Denchiro. Saburo me-lompati pagar, tetapi
Denchiro terus menerjang. Bahkan seperti orang kalap, lelaki tersebut terus
memburu sambil menebaskan pedang seakan tidak sabar untuk
memenggal tubuh lawannya.
Gadis-gadis di dalam gerobak sudah turun. Seka-
rang mereka menyaksikan pertarungan itu dengan ke-
takutan. Yuriko memeluk anaknya. Tatapannya terus
mengikuti jalannya pertarungan. Yoshioka sekarang
bergabung dengan perempuan-perempuan itu menon-
ton Saburo bertarung.
Saburo sendiri tidak menduga Denchiro ternyata
sehebat itu. Laki-laki tersebut bergerak seperti seekor banteng, mengejar ke
mana pun ia menghindar. Debu
berkepul ke udara, juga pasir dan jerami bertebaran
terkena terjangan mereka. Sebuah tebasan menyilang hampir saja membelah kepala
Saburo, untung dia berhasil mengelak. Mata pedang Denchiro hanya setengah inci
dari kulit wajahnya.
Harus ada yang menghambat terjangannya, kata Saburo. Sesuatu yang akan
membuatnya lamban bergerak.
Saburo berlari ke arah kolam, kemudian ketika Den-
chiro menebas, ia menghindar dengan mencebur ke kolam. Tanpa berpikir panjang
Denchiro turut masuk ke kolam. Tubuhnya yang gempal melesak, kakinya terbenam di
lumpur sehingga mengurangi kemampuannya
bergerak. Mereka berdiri saling menatap, mengukur posisi, dan menakar jarak.
Saburo meletakkan pedangnya persis di depan hidung secara tegak lurus. Kakinya
bergeser ke kanan, bergerak mendekat ke arah lawan. Sementara Denchiro hanya
diam di tempat. Lumpur dan
air dingin kolam itu rupanya sangat berpengaruh pada dirinya. Diam-diam lelaki
tersebut menyadari, ia telah masuk ke dalam perangkap Saburo, tetapi semua sudah
terlambat. Tak ada lagi waktu untuk keluar dari kolam, kecuali ia memenangkan
pertarungan. Maka dengan raungan panjang, Denchiro menerjang
musuhnya. Tetapi air kolam itu telah menahan gera-
kannya. Di saat bersamaan, Saburo menerobos celah
pertahanannya. Terdengar suara berderak ketika pe-
dang Saburo menetak kepala lawan. Ayunan pedang
itu telah membelah tubuh Denchiro dari ubun-ubun
hingga ke dada. Tubuh gempal itu terjungkal di air kolam hingga menimbulkan
gelombang air bercampur
darah. Esoknya Saburo dan Yoshioka berangkat menuju
Suruga. Ketika akan berpisah, Ayako memberikan salah satu topeng miliknya pada
Yoshioka. Tentu saja anak itu bersorak kegirangan. Sejak menginap di rumah
Ayako, ia memang mengagumi topeng yang digantung di
dinding. Topeng itu, selain halus sekali buatannya, memancarkan daya hidup yang
sukar dipahami.
"Ini adalah topeng buatan ayahku," kata Ayako men-
jelaskan. "Dulu sebelum menjadi samurai, ayahku seorang pembuat topeng untuk
para penari no di Suruga."
"Oh, ya?"
"Dia dulu yang mengajarku menari."
"Apakah ayahmu seorang penari?"
"Karena dia membuat topeng, dia pun belajar me-
nari. Katanya sebuah topeng haruslah memantulkan
watak penarinya. Karena itu ayahku belajar menari ketika di Suruga muncul
penari-penari dalam pertunjukan No."
Yoshioka mengenakan topeng pemberian Ayako, ke-
mudian mulai berlagak sebagai penari. Saburo yang
sudah berdiri menunggu, berkata pada Yoshioka.
"Sebaiknya kau tak usah membawa topeng itu."
"Kenapa?"
"Nanti hanya akan menjadi beban."
"Tidak. Aku akan membawanya sendiri. Lagi pula
aku tidak mau mengecewakan orang yang memberi."
*** BEBAN SEBUAH NAMA
KOJIRO menaiki anak tangga yang menuju kuil itu.
Sebenarnya ia dapat berlari dengan mudah, tetapi karena hatinya sarat dengan
kegembiraan, ia menapaki selangkah demi selangkah, lambat-lambat seolah-olah
ingin menikmati tiap langkah yang ia lakukan.
Baru saja ia menyaksikan upacara toda-maru, upacara yang dilakukan para petani
sebelum musim pa-
nen tiba. Hari itu dilakukan arak-arakan menuju ke sawah, kemudian para petani
melakukan pesta makan
di tengah sawah. Pada peristiwa ini puluhan anak-
anak bergembira karena dapat makan enak. Bahkan
sejumlah ronin, pengemis, dan para pendeta ikut bergabung merayakan toda-maru.
Kojiro yang diberitahu Bapa Lao tentang upacara itu, segera berangkat. Sejak
kecil belum pernah ia turut dalam acara semacam itu.
Ketika arak-arakan berlangsung, suara musik dita-
buh riuh-rendah. Seorang pendeta memimpin jalannya upacara. Kojiro mengikuti
seluruh prosesi itu dengan takjub. Kaum wanita membagi-bagikan makanan dengan
senyum riang. Anak-anak berlari-larian saling berebut buah. Kojiro diberi
sebungkus nasi berisi telur dan daging ayam, juga buah-buahan yang segar. Ia
makan dengan lahap. Itulah saat pertama ia makan
enak sejak meninggalkan Kamakura.
"Kapan pesta seperti ini dilakukan lagi?" Kojiro me-nyempatkan bertanya pada
seorang anak perempuan
yang duduk di sampingnya.
"Enam bulan lagi."
"Lama amat?"
"Ya, kami mengadakannya setahun dua kali. Tetapi
kecuali toda-maru kami juga mengadakan upacara Na-ra dan Hatakena."
"Semua dengan makan-makan seperti ini?"
"Ya. Bahkan upacara hatakena selalu diselenggara-
kan secara besar-besaran. Kecuali dipakai sebagai upacara menutup tahun,
hatakena digunakan pula untuk
menyambut musim tanam padi."
"Kapan pesta itu diadakan?"
"Dua bulan yang akan datang."
"Aku akan datang."
"Siapa namamu?"
"Yoshioka. Natane Yoshioka."
"Kalau nanti pesta diselenggarakan, aku akan me-
ngatakan pada ayahku untuk mengundangmu."
"Terima kasih."
Sepanjang jalan menuju kuil, Kojiro membayangkan
pesta itu. Di benaknya terbayang makan enak tanpa
bayar. Betapa nikmatnya!
Selama berbulan-bulan Kojiro hidup kesepian di kuil.
Setiap hari dia hanya bekerja untuk Bapa Lao. Tiap pagi ia membersihkan kuil,
menyapu lantainya, memunguti daun-daunan yang mengotori kuil, dan turun ke air
terjun menemani Bapa Lao mandi. Pada saat
pendeta tersebut berendam di air, Kojiro disuruh mencuci dan mencari ikan untuk
lauk-pauk. Semua ber-
langsung terus, setiap hari, sehingga Kojiro merasakan kehidupan sangat
membosankan. Karena itu ketika ti-ba-tiba Bapa Lao menyuruh Kojiro turun ke
desa, me-nonton upacara, sambil mencari makanan, anak itu
gembira bukan main. Sekarang ia kembali sambil membawa sejumlah makanan serta
buah-buahan. Bagi Ko-
jiro hari ini menjadi sangat istimewa.
Alam bagaikan tersenyum padanya. Ketika ia tiba di ujung anak tangga, Kojiro
berbalik dan memandang ke arah desa tempat pesta toda-maru diadakan. Langit sore
ditaburi bintang, awan hanya tampak beberapa
potong melayang rendah. Karena Kojiro diliputi perasaan bahagia, ia bertepuk
tangan, gemanya terdengar menjauh dan meluas.
"Ada apa, Yoshioka?" terdengar suara Bapa Lao dari arah belakang.
Kojiro berbalik, lalu tersenyum, "Bapa Lao, saya
bawakan buah-buahan untukmu."


Shugyosa Samurai Pengembara 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih. Kelihatannya hari ini kau sangat bahagia. Habis pesta besar?"
"Ya. Dua bulan lagi juga akan ada pesta di sana.
Mereka juga mengundangku."
"Bersyukurlah kau bisa menikmati pesta seperti itu."
Kojiro memberikan buah-buahan yang ia bawa pada
Bapa Lao. Kemudian mereka duduk sambil makan
buah-buahan itu. Tetapi baru beberapa gigitan, tiba-tiba Bapa Lao memegang
tangan Kojiro untuk meng-
hentikan anak itu mengunyah apel.
"Ada apa?"
"Ada orang datang."
"Aku tidak mendengar apa-apa."
Bapa Lao memasang telinganya. Ia mendengarkan
dengan seksama. Kemudian berbisik pada Kojiro. "Rupanya ada tiga orang tamu.
Sebaiknya kita menyambut kedatangan mereka dengan sebaik-baiknya."
Di dalam keremangan cahaya matahari, tampak tiga
orang samurai muncul dari balik torri. Tampaknya mereka bukan ronin dan juga
bukan samurai pengemba-
ra. Dari pakaiannya yang bersih dan rapi, dapat dipas-tikan mereka adalah
anggota pasukan Nobunaga. Keti-ga orang itu melangkah dengan tegap mendekati
Bapa Lao dan Kojiro.
"Rupanya di sini kalian bersembunyi," kata salah
seorang samurai itu sambil menuding Bapa Lao de-
ngan marah. "Kau tidak mungkin bisa lari."
Bapa Lao menatap ketiga samurai itu, lalu berkata,
"Saya merasa tidak pernah bersembunyi. Sejak dulu
Peti Bertuah 3 Pendekar Rajawali Sakti 213 Gadis Serigala Bangau Sakti 20
^