Maling Tanpa Bayangan 2
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan Bagian 2
nuh Siluman Ular Putih, juga demi menguasai du-
nia persilatan, tak ada pilihan lain! Aku harus
mempelajari kitab ini!" lolong Maling Tanpa Bayangan seperti kerasukan setan.
Wajah yang tadi pucat pasi kini kemerah-
merahan. Sepasang matanya yang hijau berkilat-
kilat mengerikan. Lalu sepasang mata hijau itu
membaca huruf-huruf terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Ternyata huruf-
huruf terakhir itu hanya berisi beberapa kelema-
han ilmu yang akan dipelajari.
"Hm.... Biar lebih cepat, aku akan melaku-
kan cara yang kedua! Semadi tiga hari tiga ma-
lam!" Maling Tanpa Bayangan mengangguk-
angguk mantap. Kini bulat sudah tekadnya untuk
mempelajari pelajaran terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Apa pun akibatnya.
*** Puncak Gunung Perahu masih berselimut
kabut. Hawa dingin masih membungkus puncak-
nya. Dari ketinggian puncak gunung tampak ca-
haya merah tembaga berpendar-pendar di ufuk ti-
mur, membentuk bulatan samar-samar.
Meski matahari sudah mulai merayap ting-
gi, suasana pagi masih terasa benar. Kabut pagi
masih merayap. Embun bergelayutan di ranting-
ranting pohon, di dahan-dahan, juga di rerumpu-
tan. Dalam keadaan selimut dingin seperti ini,
tampak sesosok bayangan berpakaian hijau tua te-
rus berkelebat cepat menuju puncak Gunung Pe-
rahu, melewati lereng sebelah timur.
Menilik gerakannya yang ringan laksana
kapas tertiup angin, jelas sosok bayangan berpa-
kaian hijau tua itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi. Buktinya dalam waktu yang ti-
dak lama, sosok berpakaian hijau itu kini telah
berdiri di puncak gunung.
Sambil bertolak pinggang, sosok berpakaian
hijau tua itu sejenak memperhatikan puncak gu-
nung. Menilik perawakan tubuhnya yang tinggi
ramping dan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat
dengan kulit putih bersih, jelas kalau sosok berpakaian hijau tua itu adalah
seorang wanita. Usianya kira-kira tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik
berbentuk bulat telur. Rambutnya digelung ke
atas. Dari tubuhnya yang sintal dibalut pakaian
ketat warna hijau tua, membuat lekuk-lekuk
payudaranya terlihat jelas.
Siapakah sebenarnya wanita cantik berpa-
kaian hijau tua itu" Mau apa ia menyambangi Ta-
bib Agung yang tinggal di puncak Gunung Perahu
sepagi itu"
Agak aneh kedatangan wanita cantik satu
ini memang. Kelihatannya sehat-sehat saja. Tak
kurang satu apa pun. Lalu kenapa berada di sini"
Akan berobatkah dia"
Bisa jadi! Sosok wanita cantik berpakaian hijau tua
itu kini mulai gelisah. Segenap mata memandang
belum juga menemukan Tabib Agung. Satu-
satunya orang yang mungkin dapat menolong di-
rinya. "Tabib Agung! Keluarlah kau! Aku datang
ingin menemuimu!"
Akhirnya, suara merdu namun cukup lan-
tang meluncur dari mulut wanita cantik itu, me-
manggil orang yang dicari. Sekali dua kali berte-
riak, tak ada jawaban. Sehingga, membuat wanita
cantik itu jadi gusar sekali. Ia tidak tahu, di mana Tabib Agung bertapa. Yang
diketahuinya Tabib
Agung bertapa di puncak Gunung Perahu.
Untuk mengobati rasa penasarannya, tak
ada pilihan lain. Terpaksa wanita cantik itu harus mengulang teriakannya
berulang-ulang. Seperti teriakan sebelumnya, tetap saja orang yang dicari
tak didapati. "Tabib Agung! Keluar kau! Kalau sekali ini
tak sudi menunjukkan batang hidungmu, jangan
salahkan kalau aku mengobrak-abrik puncak Gu-
nung Perahu ini!" teriak wanita cantik itu sarat ancaman. "Hei he he...! Ada
apa" Dari tadi aku di sini, kenapa kau berteriak-teriak mirip kerbau mau di-
jagal, he?"
Mendadak terdengar sahutan dari belakang,
membuat si wanita cantik terkejut bukan main.
Betapa tidak" Ia memiliki kepandaian cukup lu-
mayan, tapi kedatangan orang di belakangnya tak
diketahuinya sama sekali. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh
orang di belakangnya jauh lebih tinggi.
Begitu si wanita berbalik, ternyata orang
yang tengah dicarinya kini tengah asyik duduk
ongkang-ongkang kaki di sebuah bongkahan batu.
Usianya kira-kira enam puluh tahun. Wajahnya ti-
rus. Rambutnya digelung ke atas. Sedang tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut jubah warna kuning.
Dialah Tabib Agung yang sedang dicari si wanita
cantik. "Keparat! Berani kau mempermainkan aku, he"! Kenapa tidak menyahut dari
tadi?" maki si wanita "Ah...! Siapa berani mempermainkanmu"
Dari tadi aku duduk di sini. Kau saja yang tak melihat. Apa barangkali matamu
lamur, ya?"
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas tak
mungkin matanya salah lihat. Tadi ia sudah mem-
perhatikan sekitar tempat itu. Tak mungkin tua
bangka itu datang begitu saja!
"Hm...! Rupanya kabar yang tersiar di dunia
persilatan memang benar. Tua bangka ini memiliki
kepandaian tinggi. Pantas saja ia dapat mengecoh-
ku," gumam wanita cantik itu dalam hati.
"Oooi...! Ditanya kok malah bengong! Tuli,
ya?" ledek si kakek renta yang lak lain Tabib Agung "Keparat! Jadi kaukah yang
bergelar Tabib Agung?"
" Ya. Kau sendiri siapa" Apakah kau..., yang bergelar Rondo Kasmaran?" tebak
Tabib Agung ji-tu.
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu ter-
sentak kaget. Sungguh tak disangka kalau Tabib
Agung mengenali julukannya.
"Matamu sungguh tajam, Tabib Agung. Ku-
akui, aku memang Rondo Kasmaran. Tapi, dari
mana kau bisa mengetahui gelarku?" tanya si wanita yang ternyata Rondo Kasmaran,
tak dapat menyembunyikan rasa penasaran.
Tabib Agung terkekeh senang. Kedua ka-
kinya yang saling bersilangan digoyangkan ke sana kemari.
"Jelas sekali aku mengenai julukanmu. Bu-
kankah kau orang yang sok jadi pahlawan sewaktu
ada pertemuan para pendekar di puncak Gunung
Kelud" Kau seolah-olah, orang yang paling disega-
ni di Kadipaten Pleret, sewaktu terjadi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Buktinya saja, kau
langsung marah-marah begitu digoda Raja Penyi-
hir. Kemudian, kau lari tunggang langgang men-
dahului para pendekar untuk melapor ke kadipa-
ten," sindir Tabib Agung.
"Tua bangka jelek! Jaga mulutmu! Aku pergi
ke Kadipaten Pleret dengan izin Ki Rombeng, ta-
hu"!" bentak Rondo Kasmaran.
"Huh...!" Tabib Agung menjebikkan bibir.
"Enak saja ngomong! Kau bukannya minta izin, tapi karena ngadat. Lalu kau pergi
begitu saja. Jangan mungkir, ah!"
Rondo Kasmaran kesal bukan main. Kare-
na, memang itulah kenyataannya. Waktu itu ha-
tinya kesal mendapat tanggapan sepele dari para
pendekar. Maka ia pun memutuskan melapor ke
Kadipaten Pleret seorang diri. (Untuk mengetahui kejadian ini, silakan baca
dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur")
"Kau.... Kau memang keparat, Tua Bangka
Jelek! Beraninya mempermainkanku demikian ru-
pa, he"!" bentak Rondo Kasmaran saking kesalnya.
Kedua telapak tangannya yang mendadak berubah
hijau tua siap dilontarkan ke arah Tabib Agung.
Tapi.... "Sabar! Sabar! Kuharap jangan lekas naik darah. Tak baik wanita
secantikmu marah-marah"
Ada apa sebenarnya kau datang kemari, he" Ten-
tunya tidak akan menantangku bertarung, kan?"
ujar Tabib Agung menyabarkan hati Rondo Kas-
maran. Mau tidak mau, kedua telapak tangan Ron-
do Kasmaran yang siap dihantamkan ke depan di-
turunkan kembali, begitu mendengar ucapan Ta-
bib Agung yang tidak bermaksud memusuhi.
Meski hatinya mengkelap, jelas tak mungkin nekat
menyerang Tabib Agung. Karena, ia memang se-
dang membutuhkan pertolongannya!
"Benar, aku datang kemari memang bukan
mengajakmu bertarung. Aku..., aku cuma.., ah!"
ragu-ragu Rondo Kasmaran ingin mengucapkan
maksudnya yang sebenarnya. Mendadak semburat
warna merah meronai kedua pipinya
Tabib Agung makin terkekeh senang. Seba-
gai tabib, jelas lelaki ini sudah biasa menghadapi tamu-tamunya yang akan
berobat. Kalau seorang
wanita sampai malu-malu untuk mengutarakan
penyakitnya, jelas itu pasti satu penyakit pribadi.
Dan mungkin hanya orang tertentu yang boleh
mengetahui. "Apa penyakitmu Rondo Kasmaran" Kenapa
kau malu-malu" Bukankah kau ingin berobat?"
desak Tabib Agung, halus.
"Iya. Tapi..., tapi penyakitku ini...."
"Sudahlah! Katakan saja kalau kau ingin
sembuh dari penyakitmu," ujar Tabib Agung.
"Baik!"
Rondo Kasmaran menggigit bibir bawahnya.
Sikapnya saat itu benar-benar lucu. Mirip anak
perawan di malam pertama. Malu-malu kucing!
"Lho" Kok, malah diam" Katanya mau bica-
ra?" desak Tabib Agung lagi.
"Aku..., aku sekarang tak ingat lagi dengan
Kakang Sungkono," sahut Rondo Kasmaran buru-
buru. Mau tak mau Tabib Agung wajib melongo
heran. "Aneh benar penyakit orang satu ini?"
"Bisakah kau menolongku, Tabib Agung?"
Belum tahu apa penyakit yang diderita
Rondo Kasmaran, sekarang Tabib Agung sudah di-
todong pertanyaan berikutnya. Bagaimana tidak
jadi heran" Tak henti-hentinya lelaki tua ini me-
longo. "Ah...! Bagaimana aku dapat menolongmu kalau belum tahu penyakitmu,"
tukas Tabib Agung, sarat keheranan.
' Ya, ampun! Jadi kau ini tabib macam apa,
he"!" bentak Rondo Kasmaran, menukas.
"Eh...!" Tabib Agung menarik mundur dadanya ke belakang. "Jangan sembarangan kau
menghina, Rondo Kasmaran! Namaku sudah ter-
kenal di delapan penjuru angin. Penyakit macam
apa pun, pasti dapat kuobati."
"Jadi" Kau dapat menolongku?"
"Ya, jelas. Tapi..., tapi apa penyakitmu?" bu-ru-buru Tabib Agung meralat
ucapannya. "Sekarang aku..., aku sepertinya tak men-
cintai Kakang Sungkono lagi," jelas Rondo Kasmaran malu-malu sembari
menyembunyikan wajah-
nya dalam-dalam. "Kuharap, kau jangan mengatakan aku mata keranjang, ya?"
"Ya sudah kalau kau tak mencintai keka-
sihmu itu. Lantas kenapa aku harus mengataimu
mata keranjang?"
"Tapi.... Tapi sekarang aku justru mencintai orang lain!" jelas Rondo Kasmaran
tanpa diminta. "Itu kan wajar. Kau masih muda. Kau ber-
hak jatuh cinta lagi. Kenapa minta pertolongan
padaku?" "Tapi aku harus meminta pertolonganmu,
Bib. Karena, pemuda yang kucintai tampaknya tak
membalas cintaku," ungkap Rondo Kasmaran.
"Bodoh benar pemuda itu. Apa matanya la-
mur" Kau cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan. Kenapa pemuda itu tak membalas cinta mu"
Siapa nama pemuda itu?" tanya Tabib Agung.
"Namanya aku tidak tahu, Bib. Tapi ia ter-
kenal sebagai Siluman Ular Putih," jawab Rondo Kasmaran malu-malu.
"Apa" Kau mencintai Siluman Ular Putih"
Dasar tolol!" Sentak Tabib Agung.
"Siapa yang tolol. Bib?" Rondo Kasmaran mendongakkan kepalanya. Berani. Hatinya
tersinggung sekali mendengar ucapan Tabib Agung,
"Kunyuk gondrong itu!"
"Ooo...!"
Rondo Kasmaran lega sekali. Tadi disang-
kanya Tabib Agung mengatakan tolol untuknya.
Untung saja hatinya masih berlaku sabar. Kalau
tidak, bukan mustahil bogem mentah sudah men-
darat di wajah Tabib Agung.
"Sekarang aku harus menolong apa?" tanya Tabib Agung, masih belum mengerti.
Rondo Kasmaran menundukkan kepala da-
lam-dalam. Bibirnya berkemik-kemik. Sulit sekali
rasanya mengutarakan maksud hatinya. Ia hanya
mengeluh berulang-ulang, sebelum akhirnya
membuka suara. Itu pun dengan tersendat-sendat.
"It..., itulah yang meresahkanku. Bib. Tapi
aku yakin, kau pasti dapat menolongku," tuturnya.
Rondo Kasmaran makin dalam saja menun-
dukkan kepala. Keluhan-keluhan kecilnya sesekali
masih terdengar. Kemudian tanpa diminta, ditu-
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turkannya pertemuan dengan Siluman Ular Putih.
Dari pertemuan pertama sampai pertemuan beri-
kut di Kadipaten Pleret. Semua diceritakan sejelas-jelasnya. (Untuk mengetahui
pertemuan Rondo
Kasmaran dengan Siluman Ular Putih, silakan ba-
ca dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur").
Tabib Agung menelan ludah berulang kali.
Lama mendengar cerita Rondo Kasmaran, maka
makin rajin pulalah menelan ludah. Lalu kepa-
lanya menggeleng-geleng sambil terus memperha-
tikan Rondo Kasmaran dengan pandang mata tak
mengerti. "Bagaimana, Bib" Sekarang kau mau kan
menolongku?" tutur Rondo Kasmaran memelas.
"Ya yaya...! Tentu aku mau menolongmu.
Hanya aku belum tahu, aku mesti berbuat apa?"
"Tolonglah, Bib! Aku.... Aku sangat mencin-
tai Siluman Ular Putih. Usahakanlah agar aku da-
pat memilikinya!" desah Rondo Kasmaran meme-
las. "Kau kan tahu, aku ini tabib. Jadi kalau kau meminta pertolongan ini,
kukira aku tak sanggup," sergah Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib. Usahakanlah agar aku da-
pat memiliki Siluman Ular Putih! Tolong aku. Den-
gan cara apa pun, kau harus menolongku. Kau
pasti bisa. Bib!"
"Maksudmu...?" Kening Tabib Agung makin
berkerut-kerut heran. Sama sekali belum tahu,
apa yang diinginkan wanita cantik di hadapannya.
"Maksudnya...," Rondo Kasmaran menelan
ludahnya sebentar. "Maksudku..., kalau perlu beri-lah aku mantera guna-guna agar
Siluman Ular Pu-
tih mencintaiku!"
"Apa"!"
5 Sebelum melakukan semadi, Maling Tanpa
Bayangan diwajibkan mandi jamas terlebih dulu
dengan tubuh dililit kain kafan. Dan di dalam gua di tepi Sungai Serayu-lah
Maling Tanpa Bayangan
mulai bersemadi. Semula, hatinya diliputi keragu-
raguan. Tapi akhirnya tekadnya makin mantap
untuk mempelajari ilmu yang terkandung dalam
Kitab Paguyuban Setan dengan bersemadi tiga hari
tiga malam. Bila gagal, ancamannya mati!
Malam pertama bersemadi, Maling Tanpa
Bayangan merasakan sekujur tubuhnya panas se-
perti dikepung dalam kubangan bara api. Hal ini
tentu saja membuat darah dalam tubuhnya meng-
gelegak bagai terbakar kekuatan gaib yang entah
dari mana datangnya. Hingga tanpa disadari seku-
jur tubuhnya dipenuhi keringat sebesar biji-biji ja-gung. Parasnya memerah,
seolah melepuh oleh
hawa panas dari dalam tubuh. Untung saja cobaan
itu bisa diatasinya.
Pada malam kedua, pertahanan Maling
Tanpa Bayangan mulai goyah. Sekujur tubuhnya
tetap seperti dibakar api. Sementara telinganya ju-ga mendengar suara-suara gaib
yang datang dari
delapan penjuru angin. Lama kelamaan suara-
suara gaib itu terdengar makin aneh. Bahkan tera-
sa makin menghentak-hentak gendang telinga.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya kuat-kuat.
"Aku harus kuat menghadapi semua cobaan
ini. Aku harus kuat! Kalau tidak, nyawakulah ta-
ruhannya!" tandas hatinya, tak henti.
Paras lelaki ini tampak makin memerah.
Bahkan mendekati gosong saking tidak tahannya
menerima rongrongan hawa panas luar biasa. Di
hari pertama Maling Tanpa Bayangan masih sang-
gup menghadapi rongrongan hawa panas itu. Na-
mun di hari kedua, segenap ketabahannya harus
dikerahkan. Apalagi kini ditambah suara-suara
aneh dari delapan penjuru angin yang tak kalah
hebatnya menyiksa.
Tidak ada kata menyerah dalam kamus hi-
dup Maling Tanpa Bayangan. Meski sekujur tu-
buhnya melepuh, lubang telinga, lubang hidung,
dan dari mulutnya mengeluarkan darah merah
kehitam-hitaman, pendiriannya tak berubah. Lela-
ki ini tidak ingin mati sebelum dapat mempelajari ilmu yang terkandung dalam
Kitab Paguyuban Setan. Entah mungkin karena nasib baik masih
berpihak pada Maling Tanpa Bayangan, akhirnya
semadi hari kedua dapat dilalui dengan baik. Dan
ketika pagi menjelang tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan sudah terasa lemas tak bertenaga. Masih da-
lam sikap bersemadi, akhirnya tubuh lelaki itu
terkapar di lantai. Sepasang matanya yang menco-
rong tampak demikian mengerikan. Melotot tak
berkedip sedikit pun. Mungkin karena masih me-
rasakan siksaan selama bersemadi semalam.
Maling Tanpa Bayangan saat ini tak lagi
menghiraukan sekujur tubuhnya yang melepuh.
Demikian pula rasa sakit di gendang telinganya
yang pecah akibat suara-suara gaib mengandung
kekuatan luar biasa. Suara-suara gaib itu tak
hanya menusuk-nusuk telinga, tapi juga menu-
suk-nusuk jiwanya. Seolah-olah kekuatan suara
gaib itu ingin membetot keluar nyawanya!
Kini saat-saat tegang masih menunggu di
depan mata. Menghadapi malam ketiga, bisa jadi
nyawa Maling Tanpa Bayangan akan melayang. Di
malam kedua saja, lelaki ini nyaris tidak tahan
menghadapi cobaan. Membayangkan itu semua,
diam-diam Maling Tanpa Bayangan jadi bergidik
ngeri. Sudah jelas, bila tak sanggup, nyawanya
akan melayang! Inilah taruhannya!
Menghadapi saat-saat yang paling memba-
hayakan bagi keselamatannya, diam-diam hati
Maling Tanpa Bayangan jadi tegang bukan main.
Meski saat-saat tegang itu belum dilalui, namun
sekujur tubuhnya telah dipenuhi keringat dingin.
Parasnya yang kemerahan kini tampak kehijauan,
saking ngerinya membayangkan kejadian nanti
malam. "Demi iblis! Kuatkanlah hatiku! Aku tak ingin mati merana seperti ini,"
tegasnya dalam hati.
Berulang-ulang Maling Tanpa Bayangan
menguatkan hatinya. Keadaannya saat ini benar-
benar sangat memprihatinkan. Sebenarnya, ter-
bersit pula niat untuk urung mempelajari ilmu
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Setan.
Namun berhubung sudah kepalang basah, terpak-
sa tekadnya tetap dibulatkan. Apalagi, ia juga merasa akan mendapat laknat dari
iblis-iblis di delapan penjuru mata angin bila niatnya dibatalkan.
Mau tidak mau, akhirnya Maling Tanpa
Bayangan harus menunggu sampai saat semadi
berakhir, meski tidak tahu akan nasibnya. Entah
mati merana, entah akan berhasil mendapatkan
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan. Sekarang hari mulai menjelang petang. Hati
Maling Tanpa Bayangan makin dibaluri ketegan-
gan. Cobaan apa yang akan kuhadapi nanti"
Maling Tanpa Bayangan terus menduga.
Hingga tak terasa malam makin merangkak. Se-
perti yang dialami di malam pertama dan kedua,
begitu malam merangkak, sekujur tubuhnya pun
mulai dibakar hawa panas dari dalam tubuh. Bah-
kan kini jauh lebih hebat dibanding malam-malam
sebelumnya. Maling Tanpa Bayangan melejang-lejang
hebat. Tubuhnya bergulingan ke sana ke mari,
Sementara gejolak hawa panas dalam tubuhnya
kian membara. Bersamaan itu, suara-suara gaib
yang semalam menghentak-hentak gendang telin-
ganya pun kembali terdengar.
Bukan main dahsyatnya siksaan yang di-
alami Maling Tanpa Bayangan. Keadaan ini terus
dialami sampai jauh malam. Nyaris Maling Tanpa
Bayangan tidak tahan dibuatnya. Sekujur tubuh-
nya terasa perih dan nyeri bukan main.
Untung saja, Maling Tanpa Bayangan tetap
bersikeras tak mau menyerah. Hingga pada tengah
malam, mendadak ia dikejutkan oleh makhluk-
makhluk aneh berkulit hitam legam entah dari
mana datangnya. Wujud makhluk-makhluk aneh
itu beraneka ragam dan sangat mengerikan. Se-
muanya lengkap di situ. Seolah-olah mereka tum-
pah ruah, mengelilingi Maling Tanpa Bayangan
yang terus bersemadi.
"Keak! Keakkk!"
Suara-suara riuh rendah makhluk-makhluk
halus itu terus mengusik ketabahan hati Maling
Tanpa Bayangan. Makin lama terdengar aneh dan
menggidikkan. Tanpa sadar, bulu kuduk Maling
Tanpa Bayangan pun berdiri!
Seperti tidak mengenal belas kasihan sedikit
pun, makhluk-makhluk halus itu terus menari-
nari memutari tubuh Maling Tanpa Bayangan
sambil terus memperdengarkan suara-suara gaib-
nya. Pada saat mereka bergerak memutari tubuh-
nya, Maling Tanpa Bayangan merasakan ada satu
kekuatan gaib yang luar biasa kuatnya. Seolah-
olah suara itu ingin membetot nyawanya! Bahkan
makin lama tenaga betotan itu terasa makin kuat
luar biasa. Maling Tanpa Bayangan menggerung se-
tinggi langit. Siksaan yang diterimanya kali ini benar-benar hebat! Tubuhnya
kembali bergulingan
ke sana kemari. Menghantam dinding gua yang sa-
tu, lalu menghantam dinding gua yang lainnya.
Semua dilakukan karena saking tidak tahan men-
galami siksaan itu. Dari semakin pedih dan tidak
tahan menerima siksaan, pandangan matanya jadi
gelap dan gelap....
Entah antara sadar atau tidak, pada saat
pandangan matanya gelap, mendadak Maling Tan-
pa Bayangan mendengar suara dinding-dinding
gua menggemuruh melemparkan bebatuan yang
ada di dalam! Bersamaan itu, terdengar kilat me-
nyambar-nyambar ganas di luar sana.
Maling Tanpa Bayangan tak peduli apa yang
tengah terjadi. Saat ini nyawanya benar-benar be-
rada di ujung tanduk. Namun pada saat yang pal-
ing genting bagi keselamatannya, mendadak terasa
ada sesuatu menyentuh tubuhnya,
"Bangunlah, wahai anak manusia!"
Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-
tiba Maling Tanpa Bayangan meloncat bangun.
Begitu kedua bola matanya membuka seketika itu
hatinya terkejut bukan kepalang. Di hadapannya
saat ini telah berdiri sesosok makhluk halus ber-
wajah amat mengerikan. Wajahnya besar. Sepa-
sang matanya berkilat-kilat mengerikan sebesar
mata kerbau. Namun anehnya, bentuk tubuhnya
amat kecil. Bahkan tulang-tulangnya pun tampak
bertonjolan di sana sini.
Maling Tanpa Bayangan yakin kalau mak-
hluk halus itulah yang tadi membangunkannya.
Kini berhadapan dengan sesosok makhluk halus
yang tampaknya sangat disegani di kalangan mak-
hluk-makhluk halus lainnya, mau tak mau hati le-
laki ini jadi tegang juga dibuatnya. Dilihatnya pu-luhan makhluk halus yang
sedari tadi menggang-
gu semadinya kini diam terpaku di tempat masing-
masing. Mereka hanya memperhatikan sosok
makhluk di hadapan Maling Tanpa Bayangan pe-
nuh hormat. "Dengarlah, wahai anak manusia! Sesung-
guhnya mulai saat ini kau telah menjadi sekutuku.
Kau tidak akan mati hanya karena dibunuh. Kau
akan langgeng hidup di dunia. Karena, kau kini
adalah biangnya dari segala biang iblis! Maka, kau wajib bersyukur menerima
karunia kami. Terima-lah karunia kami!"
Usai berkata begitu, mendadak kedua bola
mata sosok makhluk halus itu mencorong aneh
yang disusul keluarnya dua larik sinar hitam le-
gam, langsung bersemayam dalam tubuh Maling
Tanpa Bayangan.
Seketika tubuh Maling Tanpa Bayangan ter-
getar hebat. Namun hanya sebentar. Setelah itu,
sekujur tubuhnya terasa ringan sekali laksana ka-
pas. Di samping itu, luka melepuh di sekujur tu-
buhnya pun mendadak sirna. Kini tubuhnya segar
bugar seperti sediakala. Hanya yang sedikit aneh, entah kenapa kain kafan yang
membungkus tubuhnya kini menyatu dengan kulit tubuhnya!
Maling Tanpa Bayangan memperhatikan
keadaan dirinya dengan mata terbelalak. Seolah
tak percaya menghadapi kejadian aneh saat ini.
"Sekarang kau bebas, wahai anak manusia.
Dengan sendirinya dalam Kitab Paguyuban Setan
telah tergambar pukulan-pukulan ampuh. Pelajari-
lah. Dengan pukulan-pukulan itu, kau bebas
mengumbar segala nafsu yang mengeram dalam
tubuhmu. Karena kaulah nafsu itu. Laksanakan,
wahai anak manusia! Laksanakan apa yang men-
jadi keinginanmu!"
Darrr!! Begitu suara gaib sosok makhluk halus itu
usai, mendadak di luar sana terdengar kilat me-
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyambar ganas. Dinding-dinding gua tempat ber-
semadi Maling Tanpa Bayangan pun bergetar he-
bat! Maling Tanpa Bayangan tidak tahu, menga-
pa tiba-tiba saja sering terdengar bunyi kilat menyambar. Bumi tempatnya
berpijak pun seakan-
akan bergetar hebat!
Selang beberapa saat, baru Maling Tanpa
Bayangan menyadari kalau kilat yang menyambar-
nyambar dan bumi yang bergetar itu adalah isya-
rat bahwa kawanan makhluk halus itu telah me-
ninggalkan tempatnya. Buktinya, begitu suara ki-
lat dan guncangan bumi yang bergetar itu terhenti, kawanan makhluk halus itu
telah lenyap entah ke
mana." Maling Tanpa Bayangan segera mengambil Kitab Paguyuban Setan dari balik
jubahnya. Kembali dibukanya halaman terakhir kitab itu. Di situ tergambar jelas,
bagaimana menciptakan pukulan-pukulan dahsyat dalam waktu singkat.
Diam-diam Maling Tanpa Bayangan berso-
rak gembira. Kini ia tak perlu gentar lagi menghadapi Siluman Ular Putih maupun
tokoh-tokoh sak-
ti dunia persilatan lainnya. Ia yakin dapat mengalahkan mereka semua. Bahkan
bukan saja menga-
lahkan, tapi juga ingin membunuh siapa saja yang
berani menentang dirinya. Di samping itu sebe-
narnya ilmu Maling Tanpa Bayangan telah mampu
melebihi kepandaian Pengasuh Setan, karena Pen-
gasuh Setan sendiri belum sempat mempelajari il-
mu terakhir yang terkandung dalam Kitab Pa-
guyuban Setan. (Untuk lebih jelasnya mengenai
hal ini, silakan baca dalam episode: "Pengasuh Setan"). "Sekaranglah saatnya aku
membalas dendam...!"
*** "Ah...! Kau ini! Aku ini tabib! Bukan du-
kun!" kata Tabib Agung, ketika Rondo Kasmaran terus mendesaknya
"Tapi...."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa menolongmu,"
sahut Tabib Agung. Sebentar-sebentar kepalanya
berpaling ke samping. Entah ada apa.
Rondo Kasmaran memberengut. Kesal seka-
li hatinya tak dapat membujuk Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib! Aku benar-benar membu-
tuhkan pertolonganmu!" bujuk Rondo Kasmaran.
Tabib Agung rupanya tak begitu mendengar
ucapan Rondo Kasmaran. Saat itu, pendengaran-
nya asyik diarahkan ke samping. Lalu, keningnya
berkerut-kerut.
Tentu saja hal ini membuat Rondo Kasma-
ran curiga. Setelah menenteramkan hatinya, baru-
lah wanita cantik ini mendengar langkah-langkah
halus mendekati tempat itu.
Diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu se-
kali. Pipinya kontan memerah begitu teringat apa
yang dibicarakan tadi dengan Tabib Agung. Dia
berharap agar apa yang dibicarakan tadi tidak terdengar orang lain.
"Kalau mau datang berkunjung, kenapa
mesti sembunyi" Cepat tunjukkan batang hidung
kalian!" kata Tabib Agung tiba-tiba. Sepasang matanya yang tajam terus
memperhatikan tempat
yang dicurigainya.
Benar! Sejurus kemudian sepasang anak
muda tengah keluar dari balik sebuah batu besar.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Pemuda itu tengah memanggul
dua sosok tubuh yang terkulai lemas.
Sedang di sebelah si pemuda adalah seo-
rang gadis cantik. Namun berpenampilan amat
mengundang perhatiannya. Pakaiannya beraneka
warna, merah, kuning, dan hijau. Demikian juga
pita yang melilit di rambutnya yang dikuncir dua
ke belakang. Gadis itu juga tengah memondong sa-
tu sosok tubuh berpakaian bayi.
Bukan main terkejutnya hati Rondo Kasma-
ran melihat siapa yang datang. Seketika pipinya
kian merona merah. Jangan tanya lagi. Berbagai
macam perasaan bercampur aduk dalam hatinya.
Siapakah sebenarnya sepasang anak muda yang
dapat membuat hati Rondo Kasmaran jadi jengah
seperti itu" Mereka tak lain adalah Siluman Ular
Putih dan Putri Manja!
Dan diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu
hati, apalagi orang yang baru saja dibicarakan telah berdiri di hadapannya.
Bahkan ia curiga kalau Siluman Ular Putih mendengar apa yang tadi dibicarakan
dengan Tabib Agung.
"Permisi, Bib! Biasa. Ada rezeki buatmu,"
sapa Siluman Ular Putih sumringah. Matanya
sempat melirik Rondo Kasmaran sebentar. "Eh...!
Rupanya lagi kedatangan tamu, ya?"
Rondo Kasmaran kecewa berat. Entah ke-
napa ia jadi tak menyukai kedatangan Siluman
Ular Putih. Terutama setelah melihat kenyataan
kalau kedatangan si pemuda ditemani seorang ga-
dis cantik. Tentu saja hal ini membuat hatinya panas sekali. Seperti bisul mau
pecah. Mau tidak
mau Rondo Kasmaran jadi menatap penuh keben-
cian pada gadis cantik di samping Siluman Ular
Putih. Demikian juga Putri Manja sendiri. Apalagi, gadis ini tadi juga mendengar
percakapan Rondo
Kasmaran dengan Tabib Agung. Ia merasa wajib
untuk memelototi wanita di hadapannya. Soal
cemburu, jangan tanya lagi. Sudah pasti gadis
manja itu cemburu berat.
Kini, tanpa dapat dicegah jadilah mereka se-
teru. Walaupun belum secara terang-terangan.
Masalahnya ini menyangkut perasaan!
"Monyet Gondrong! Kalau mau datang ber-
kunjung, pakai permisi! Jangan nyelonong saja se-
perti maling!," tegur Tabib Agung yang sudah mengenal cukup akrab dengan Siluman
Ular Putih. Siluman Ular Putih menyeringai. Puas me-
nyeringai, lalu garuk-garuk kepala. Biasa, kumat!
Dalam keadaan senang, susah, malu, atau pera-
saan lainnya, selalu garuk-garuk kepala. Seper-
tinya, bisanya hanya itu.
Siluman Ular Putih tak menyahut teguran
Tabib Agung, alias terima salah. Namun bukan be-
rarti harus berdiri terus di tempatnya. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena
memanggul tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur. Maka sudah pasti hatinya me-
rasa kesal sekali. Apalagi orang yang sedang dito-longnya adalah Dewa Bogel,
Orang yang telah
mengejek dan menamparnya beberapa waktu yang
lalu. "Nih...! Ada oleh-oleh buatmu!"
Siluman Ular Putih meletakkan tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur ke hadapan Tabib Agung. Se-
pasang matanya yang tajam sempat melirik kesal
ke arah dua tokoh dari Hutan Pring Apus itu.
"Untung benar manusia-manusia kampret
ini. Sudah menghinaku habis-habisan, sekarang....
Ah, sudahlah!" gerutu Soma kesal, lalu ngeloyor seenaknya dan duduk di samping
Rondo Kasmaran. Tentu saja wajah Rondo Kasmaran yang di-
tekuk jadi berubah cerah. Senyumnya kontan ter-
kembang. Manis. Amat manis. Harus yang paling
manis kalau tidak ingin Siluman Ular Putih kabur.
Melihat gelagat Siluman Ular Putih, ganti
wajah. Putri Manja yang ditekuk berat. Matanya
sempat melirik Soma yang sedang bercakap-cakap
dengan Rondo Kasmaran. Kelihatannya amat
akrab, membuat si gadis makin rajin saja mene-
kuk wajahnya. Bibirnya dicibirkan sedemikian ru-
pa. Lalu dengan muka kecut segera diletakkannya
tubuh gurunya yang terluka parah ke hadapan
Tabib Agung. Sebenarnya, Tabib Agung ingin sekali
menggoda Rondo Kasmaran dan Putri Manja. Na-
mun begitu pandangannya tertuju pada tiga tubuh
di hadapannya, seketika sinar matanya jadi berbi-
nar. Ia seperti menemukan keasyikan lain daripa-
da sekadar menggoda orang. Apalagi dia tabib. Su-
dah pasti sebagai seorang tabib akan senang begi-
tu melihat penyakit-penyakit aneh terhidang di depan mata.
"Cukup aneh kelihatannya penyakit ketiga
orang ini. Sekali lihat aku jadi tertarik sekali," gumam Tabib Agung dalam hati.
Tangannya yang sudah gatal-gatal tak memeriksa orang segera me-
raba-raba tubuh ketiga orang itu. Cukup seksama
dan teliti, tanpa mempedulikan 'perang urat saraf'
dua orang wanita cantik di samping.
Putri Manja terus memberengut habis-
habisan. Naluri kewanitaannya tidak rela melihat
Soma berakrab-akrab dengan Rondo Kasmaran.
Apa pun yang terjadi, ia merasa lebih berhak di-
banding wanita itu. Dia lebih muda. Lebih cantik.
Lebih menggairahkan. Lebih segala-galanya!
Untuk mewujudkan pikirannya, tak ada pi-
lihan lain. Terpaksa Putri Manja harus nimbrung.
Meski tidak langsung membuka suara tapi dari
raut wajahnya yang masam jelas menyiratkan si-
kap perang terhadap Rondo Kasmaran. Maka ma-
kin parah saja kedua orang wanita itu saling melirik benci.
"Sudah tua, tak tahu malu. Beraninya men-
gumbar cinta. Pada seorang pemuda lagi. Memalu-
kan!" sindir Putri Manja.
Rondo Kasmaran kontan tersinggung berat.
Ia yang tengah bercakap-cakap dengan Siluman
Ular Putih jelas merasa terganggu! Maka ia pun
berhak marah. Berhak membalas sindiran Putri
Manja! "Soma...! Ah...! Enak sekali namamu sebenarnya," desah Rondo Kasmaran.
Suaranya dibuat semerdu mungkin. Tangannya pun lincah bermain
di lengan Siluman Ular Putih. Kelihatan sekali kalau sikapnya sangat dibuat-
buat. Rondo Kasmaran
tak peduli. Yang penting, dapat memanas-manasi
gadis cantik saingannya. "Ah...! Enak ya, kalau seandainya obrolan kita ini
terjadi di malam hari.
Apalagi waktu terang bulan. Hm...! Tak dapat ku-
bayangkan betapa enaknya. Kita dapat mengobrol
sesuka hati tanpa ada gangguan nyamuk!"
Panas sudah hati Putri Manja mendengar
sindiran Rondo Kasmaran yang jelas ditujukan ke-
padanya. Jelas harga dirinya tak sudi dikatakan
'nyamuk malam' yang hanya mengganggu kese-
nangan orang. Sebagai seorang gadis yang bi-
asanya dimanja gurunya, Putri Manja tak dapat
lagi menyembunyikan sikap aslinya.
"Eh.... Perempuan Sundal! Jaga mulutmu,
ya! Hati-hati kalau ngomong! Sembarangan saja
mengataiku 'nyamuk malam'. Apa kau pikir kau
sudah kecakepan, he"!" bentak Putri Manja, tanpa tedeng aling-aling.
"Eh.... Gadis Tengil! Tak ada hujan tak ada
angin, kenapa marah-marah padaku, he"! Bilang
saja cemburu. Begitu, kan?" balas Rondo Kasmaran tak kalah sengit.
"Perempuan keparat! Siapa yang cemburu"!
Beraninya kau menuduhku cemburu! Apa kau kira
aku tidak tahu apa yang kau bicarakan dengan
Tabib Agung, he"! Enak saja menuduh! Justru
kaulah yang tak tahu malu. Dasar Pengemis Cin-
ta!" sambung Putri Manja, galak
"Bacotmu sungguh lancang! Apa kau tak
pernah dididik sopan santun oleh gurumu, he"!"
"Jangan membawa-bawa nama Guru! Pe-
rempuan tak tahu malu macam kau, mana pantas
menyebut guruku"! Sekarang, enyahlah dari ha-
dapanku mumpung kesabaranku belum habis!"
"Jadi kau menantangku, Tengil?" desis
Rondo Kasmaran, penuh kemarahan.
"Kalau kau menginginkan itu, siapa takut"!"
sahut si gadis, tak kalah gertak.
"Eh..., tunggu! Ada apa ini" Kenapa kalian
jadi uring-uringan begini" Apa ada ayam kalian
yang dicolong maling?" lerai Soma setelah sebelumnya menatap penuh heran. Dan
pemuda ini jadi kaget bukan main melihat gelagat kedua orang temannya.
Tapi, mana sudi Putri Manja dan Rondo
Kasmaran menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih. Tanpa diperintah, kedua orang wanita cantik
itu kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan
mata saling menatap tajam. Kemudian entah siapa
yang lebih dahulu memulai, kedua wanita itu telah bertarung sengit.
Tentu saja Soma yang jadi kewalahan sendi-
ri. Pemuda ini sibuk melerai dua sahabatnya yang
tengah bertarung. Tapi, percuma saja. Rondo
Kasmaran dan Putri Manja malah makin hebat sa-
ja bertarung. "Eh eh eh...! Kenapa sih kalian jadi bertengkar begini" Seperti anak kecil saja.
Ayo, hentikan!"
bentak Soma, langsung berdiri di tengah-tengah
kedua wanita yang bertarung itu.
Kedua tangan Siluman Ular Putih memben-
tang lebar-lebar. Seolah ingin menghalangi gerak
dua orang wanita yang telah sama-sama menghen-
tikan pertarungan, walaupun masih saling tatap.
"Memalukan! Apa yang sebenarnya kalian
ributkan, he"!" bentak Siluman Ular Putih lagi, penuh wibawa. Putri Manja dan
Rondo Kasmaran te-
tap berdiri di tempat masing-masing dengan napas
memburu. Gigi-gigi geraham mereka saling berge-
meletakkan pertanda masih dikuasai hawa ama-
rah. "Aku tidak meributkan sesuatu. Tapi, gadis tengil itulah yang terlebih dulu
memulai!" tuding Rondo Kasmaran kesal.
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang memulai" Kaulah yang terlebih
dulu menantangku bertarung!" sambar Putri Man-ja sengit. Runyam sudah urusannya.
Siluman Ular Putih tak tahu harus berbuat apa. Ia bingung, ha-
rus menyalahkan siapa. Apalagi untuk menentu-
kan siapa yang salah dan siapa yang benar.
"Sudah-sudah! Kalian tidak boleh berta-
rung! Memalukan! Lekas kembali ke tempat mas-
ing-masing! Duduk!" bentak Siluman Ular Putih saking kesalnya.
Putri Manja dan Rondo Kasmaran saling
memberengut. Tak puas dengan keputusan Silu-
man Ular Putih.
Maka tak heran kalau kedua wanita itu ma-
sih tetap berdiri di tempat masing-masing.
"Tolol! Apa kalian tuli" Aku menyuruh ka-
lian duduk! Bukan saling pelotot begitu, he!"
Putri Manja dan Rondo Kasmaran tak ber-
geming dari tempatnya berdiri.
Soma jadi bingung bukan main. Kedua
orang wanita itu sama-sama ngotot ingin melan-
jutkan pertarungan. Bagaimana mungkin dapat di-
lerai" Namun si pemuda juga tidak ingin mereka
melanjutkan pertarungan.
Di saat Siluman Ular Putih tengah kebin-
gungan, tiba-tiba Tabib Agung yang merasa ter-
ganggu dengan percekcokan Rondo Kasmaran dan
Putri Manja sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Yang merasa tidak berkepentingan, baik-
nya tinggalkan saja tempat ini. Daripada membuat
onar di tempatku!"
Rupanya cukup manjur juga ucapan Tabib
Agung ini. Buktinya, Rondo Kasmaran jadi gelisah
sekali. Sebentar-sebentar matanya memandang ke
arah Putri Manja, sebentar beralih pada Siluman
Ular Putih. Dan terakhir ke arah Tabib Agung.
Seperti tak pernah menghiraukan kegelisa-
han Rondo Kasmaran, kakek penghuni puncak
Gunung Perahu itu kembali memeriksa tubuh ke-
tiga orang tamunya. Terkadang kening orang tua
itu terlihat berkerut-kerut. Lalu kepalanya terantuk-antuk seperti telah
menemukan sesuatu. Dan
kenyataannya memang demikian. Karena menda-
dak, Tabib Agung ke luar rumahnya, lalu berkele-
bat cepat ke barat. Entah mau apa. Mungkin hen-
dak mencari beberapa ramuan obat.
Rondo Kasmaran membantingkan kakinya
kesal. Kilatan sepasang matanya yang indah sem-
pat menyambar ke arah Putri Manja dan Siluman
Ular Putih, sebelum akhirnya berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa
kelebatan saja, sosoknya telah jauh dari tempat
ini. Siluman Ular Putih menggeleng-gelengkan
kepala, lalu disusul dengan gerutuannya yang tak
jelas.... 6 Rondo Kasmaran terus berkelebat cepat.
Tanpa arah tujuan. Ke mana saja kakinya melang-
kah, ke sanalah yang dituju. Isak tangisnya sejak turun dari puncak Gunung
Perahu terus menema-ni perjalanan. Dalam hati tak henti-hentinya mu-
lutnya mencaci Siluman Ular Putih dan Putri Man-
ja. Ia merasa kalau Siluman Ular Putih pilih kasih.
Buktinya pemuda itu tak mengejarnya sebagai
tanda kalau benar-benar mencintai. Inilah yang
sebenarnya mengusik hati Rondo Kasmaran!
Dari pandang mata. Rondo Kasmaran tahu
kalau Siluman Ular Putih memihak Putri Manja.
Meski tidak ditunjukkan secara nyata, namun se-
bagai wanita sudah berpengalaman dalam cinta.
Rondo Kasmaran jelas dapat merasakannya.
"Oh...! Kenapa nasibku buruk amat...?"
Rondo Kasmaran menjatuhkan tubuhnya di
tanah rerumputan. Sambil tengkurap isak tangis-
nya kembali diteruskan. Memelaskan sekali tam-
paknya. Bahunya bergerak-gerak. Isak tangisnya
pun terdengar amat menyayat hati.
"Oh...! Apakah ini karena salahku" Karena
aku tak mencintai Kakang Sungkono lagi...?"
Lagi-lagi Rondo Kasmaran menyebut men-
diang kekasihnya dulu. Teringat akan pendekar
muda yang dulu amat dicintainya, tangis Rondo
Kasmaran jadi makin memelaskan. Perasaannya
kalut bukan main. Hatinya hancur, oleh derita
yang haus akan kasih sayang.
"Maafkan aku, Kang! Kiranya cintaku pa-
damu sudah luntur. Karena kupikir, tak mungkin
aku selalu mencintaimu. Kau sudah enak-enakan
di alammu. Tinggal aku yang merana seperti ini.
Huh huh huh...."
Di tengah harunya Rondo Kasmaran, men-
dadak telinganya dikejutkan gerutuan seseorang
yang entah dari mana datangnya. Buru-buru Ron-
do Kasmaran meloncat bangun. Disekanya air ma-
ta dengan ujung lengan bajunya seraya mengamati
keadaan sekitarnya.
Dan tak jauh dari jalan setapak di hada-
pannya, tampak seorang kakek renta tengah me-
lenggang santai menuju ke tempat Rondo Kasma-
ran. Usianya sudah amat lanjut. Mungkin sudah
mencapai delapan puluh tahunan lebih. Tubuhnya
tinggi kurus mirip orang cacingan. Pakaiannya
tambal-tambalan, seperti pakaian pengemis. Wa-
jahnya tirus. Matanya sipit. Saking sipitnya, ma-
tanya harus mengerjap-ngerjap bila mengamati
keadaan sekitar. Bibirnya yang hitam pun tak hen-
ti-hentinya berkemik. Entah bersenandung apa"
Melihat siapa yang datang, jelas Rondo
Kasmaran kaget bukan main. Kakek tua yang
tampak tersuruk-suruk dengan tongkat di tangan
kanan tak lain adalah Raja Penyihir! Seorang to-
koh bangkotan dunia persilatan dari puncak Gu-
nung Tidar! (Mengenai Raja Penyihir, silakan baca dalam episode: "Manusia Rambut
Merah" dan
"Sengketa Takhta Leluhur").
Sesampainya di dekat Rondo Kasmaran, Ra-
ja Penyihir hanya memperhatikan wanita cantik
itu seketika. Kedua bibirnya terus berkemik-
kemik. Rondo Kasmaran mengira kalau Raja Penyi-
hir akan menyapa. Namun setelah ditunggu, ter-
nyata yang keluar bukanlah sapa ramah tua
bangka itu, melainkan gerutuannya yang tak jelas.
"Huh...! Ke mana aku harus mencari bocah
edan itu" Aku khawatir sekali. Dua hari lalu aku
mimpi buruk. Jangan-jangan bocah edan itu su-
dah tak bernyawa. Hm...."
Rondo Kasmaran kecewa berat. Dilihatnya
Raja Penyihir kembali melenggang santai. Tanpa
mempedulikannya sedikit pun.
"Maaf, Raja Penyihir! Kalau boleh tahu, se-
benarnya kau sedang mencari siapa?" sapa Rondo Kasmaran, akhirnya. Hatinya yang
panas rupanya masih dapat dikalahkan oleh mulutnya yang gatal.
Mendengar kata-kata Rondo Kasmaran, ter-
paksa Raja Penyihir menghentikan langkahnya.
Badannya berbalik sebentar. Diamatinya Rondo
Kasmaran tanpa berkedip. Keningnya berkerut-
kerut. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik.
"Aku sedang mencari bocah edan itu. Aku
khawatir, ia sedang dalam bahaya. Dua hari lalu,
aku mimpi buruk! Bocah edan itu seperti hendak
dilumat setan atau naga gondrong. Aku tak tahu.
Tapi yang jelas, ia dalam bahaya. Aku harus cepat mencarinya. Apakah kau tahu,
Cah Ayu?" papar Raja Penyihir panjang lebar.
"Maksudmu bocah edan siapa yang kau cari
itu, Raja Penyihir?" balik Rondo Kasmaran.
"Ya sudah pasti muridku! Pakai tanya lagi!"
sungut Raja Penyihir.
Rondo Kasmaran menelan ludahnya seben-
tar. "Sabar-sabar," ucapnya dalam hati seraya mengelus dada.
"Iya, tapi siapa namanya?"
"Oh oh oh...!" Raja Penyihir tergagap. "Ya ya ya...! kau benar. Muridku memang
punya nama. Tapi siapa, ya" Ah ah...! Namanya, Soma. Julu-
kannya Siluman Ular Putih. Apakah kau tahu di
mana bocah edan itu berada?"
Mau tidak mau hati Rondo Kasmaran men-
celos juga mendengar nama orang yang sangat di-
cintainya disebut. Bagaimana tidak" Dia baru saja mencaci maki sekaligus
meratapinya. Kini, tahu-tahu ada orang mencari Siluman Ular Putih. Su-
dah pasti Rondo Kasmaran tahu, di mana Siluman
Ular Putih berada. Cuma untuk menjawabnya.
Rondo Kasmaran agak keberatan.
"Aku tahu. Raja Penyihir. Tapi...," sengaja Rondo Kasmaran menggantung
kalimatnya sampai
di situ. "Tapi apa" Cepat katakan!" sambar Raja Penyihir. Rondo Kasmaran
tersenyum-senyum. Sen-
gaja senyumnya diumbar untuk memancing kepe-
nasaran Raja Penyihir.
"Jangan senyum-senyum! Kau pikir aku ter-
tarik dengan senyummu, he"!" bentak Raja Penyihir galak.
"Yah...! Barangkali saja! Siapa tahu tua-tua keladi?" tukas Rondo Kasmaran
seenaknya. Raja Penyihir jadi gemas bukan main. Na-
pasnya tiba-tiba memburu. Tak henti-hentinya
tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke
tanah. Seketika, tanah di sekitarnya berlubang besar terkena ketukan tongkatnya.
Rondo Kasmaran tersenyum samar. Diam-
diam hatinya kagum sekali melihat kehebatan Raja
Penyihir. Hanya menggerak-gerakkan tongkatnya
begitu saja, mampu membuat lubang sebesar itu!
"Jawab pertanyaanku tadi, Cah Ayu! Di
mana Siluman Ular Putih berada"!" bentak Raja Penyihir lagi, tak sabar.
"Ya ya ya...! Aku akan memberitahukan pa-
damu. Tapi, ada syaratnya!" sahut Rondo Kasmaran. "Semprul! Pakai syarat segala
macam!" maki Raja Penyihir.
"Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Su-
dah pasti aku menginginkan balasanmu. Raja Pe-
nyihir," jawab Rondo Kasmaran diiringi senyum kemenangan.
"Baik. Katakan, apa syaratmu, Cah Ayu"!"
sahut Raja Penyihir akhirnya. Namun menilik kila-
tan matanya, patut dicurigai apakah Raja Penyihir akan memenuhi syarat itu atau
tidak. "Nah, begitu baru adil namanya. Tapi, kau
tentu tidak akan mengecewakan aku, kan" Kau
pasti mau memenuhi syaratku, kan?" berondong.
Rondo Kasmaran khawatir juga kalau dikibuli.
"Iya."
"Benar?"
"Benar!"
"Baik. Kalau begitu, akan kukatakan sya-
ratku." "Katakan saja!"
"Baik," Rondo Kasmaran menelan ludahnya sebentar. "Terus terang, aku hanya punya
satu syarat saja. Raja Penyihir. Kuharap, kau tidak
akan mengecewakan aku. Kau harus membantu-
ku! Kau harus...."
"Iya, iya! Tapi, apa syaratnya" Cepat kata-
kan! Jangan plintat-plintut seperti pesinden ke-
siangan!" hardik Raja Penyihir.
"Ini aku mau bicara. Kau sendiri yang tidak
sabaran." "Mana aku bisa sabar melihat muridku da-
lam bahaya," gerutu Raja Penyihir.
"Mau tahu syaratnya tidak?" tukas Rondo Kasmaran.
"Iya. Cerewet amat, sih!" sungut Raja Penyihir. "Dengar, Raja Penyihir! Aku
ingin kau membantuku mendapatkan Siluman Ular Putih
secepatnya. Aku sangat mencintainya. Kau sang-
gup, Raja Penyihir?"
Raja Penyihir kontan tersentak kaget. Tak
disangka kalau syarat macam itu yang diajukan
Rondo Kasmaran. Namun buru-buru Raja Penyihir
menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hm...! Cuma segitu. Sudah pasti aku dapat
memenuhi syaratmu. Sekarang katakan, di mana
muridku berada!"
"Dia..., dia sedang berada di puncak Gu-
nung Perahu. Sedang berdua-duaan dengan seo-
rang gadis cantik," jawab Rondo Kasmaran ketus.
Manakala mengucapkan 'sedang berdua-duaan
dengan seorang gadis cantik', mendadak hatinya
nyeri sekali. Seperti ada sembilu yang menyayat
hatinya. "Bagus. Kalau begitu, sekarang juga aku
akan ke sana."
"Tunggu, Orang Tua!" teriak Rondo Kasmaran, menahan langkah Raja Penyihir.
"Ada apa lagi?" sahut Raja Penyihir seraya berbalik lagi.
"Ingat, Orang Tua! Kau harus dapat melu-
nakkan hati muridmu agar mau denganku!"
"Baik.., baik."
"Awas kalau kau mungkir!"
"Baik.... Tenang saja...."
*** Soma senang sekali melihat hasil pengoba-
tan Tabib Agung. Tak disangka orang tua sakti da-
ri Gunung Perahu itu mampu mengobati luka da-
lam Bayi Kawak, Dewa Bogel, dan Lamdaur sece-
pat itu. "Hebat! Kau memang hebat, Orang Tua! Tak sia-sia rupanya kau mendapat
gelar Tabib Agung!
Nanti kalau aku sakit, pasti aku akan kemari. Mu-
lai hari ini, kau jadi tabib langgananku. Asal ong-kosnya jangan mahal-mahal,
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ya?" seloroh Siluman Ular Putih.
Putri Manja sendiri begitu melihat gurunya
mulai duduk bersila dan bersemadi, tak luput dari rasa gembira. Namun bila
teringat akan keakraban
Rondo Kasmaran dengan Soma tadi, mendadak
senyumnya hilang berganti wajah masam.
"Eh...! Kenapa kau cemberut saja, Putri"
Masa' gurumu sembuh malah sedih" Aku sendiri
yang bukan murid kakek bau pesing itu senang.
Kenapa kau tidak?" tanya Soma, heran melihat sikap Putri Manja.
Putri Manja tak menyahut. Hanya kilatan
matanya saja sebagai jawaban.
"Lho, kok malah melotot" Senyum dong!" seloroh Soma.
"Bodo!" sungut Putri Manja, kesal.
"Lho" Kok, malah marah-marah" Ada apa?"
"Diam kau! Aku tak sudi lagi berteman den-
ganmu!" "Itu lagi! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata lain yang lebih enak didengar
telinga selain kata-kata itu?"
"Aku benci padamu, Mata Keranjang!" sembur Putri Manja kasar.
"Oh...! Jadi kau masih ingat kejadian tadi,
ya" Kau merasa sakit hati, ya" Atau..., jangan-
jangan kau tersinggung dengan kekasaranku tadi,
ya" Ah...! Jangan begitu, dong! Masa' begitu saja tersinggung. Memangnya tadi
aku ngomong apa"
Jangan begitu, ah! Kau sendiri juga salah, sih! Kenapa omonganku tadi dimasukkan
ke hidung. Eh, salah! Dimasukkan ke hati" Jadi, ya.... Kau ma-
nyun terus! Ha ha ha...!" goda Siluman Ular Putih yang diakhiri tawa berderai.
"Diam kau, Bocah Edan! Lekas, duduk di
sana!" bentak Tabib Agung tiba-tiba. "Kau pikir aku senang melihat tingkahmu
apa?" "Yah...! Kau sendiri malah ikut-ikutan ma-
nyun, Orang Tua! Harusnya kau senang dapat
menyembuhkan ketiga orang itu," tunjuk Siluman Ular Putih ke arah Dewa Bogel,
Bayi Kawak, dan
Lamdaur. "Harusnya! Harusnya...!" omel Tabib Agung.
"Kau sendiri harusnya berterima kasih padaku, karena ketiga orang kawanmu itu
telah kusem-buhkan! Eh..., malah bertingkah!"
"Lho lho lho..."! Mereka itu bukan kawanku.
Bukan apa-apanya aku," kilah Soma.
"Tapi bukan berarti kau tidak harus mengu-
capkan terima kasih padaku!" tukas Tabib Agung.
"Ya...!"
"Kau keberatan, Bocah?" Tabib Agung cepat meloncat bangun. Tangannya yang
terkepal siap mengemplang jidat Siluman Ular Putih.
"Baik-baik!" sahut Soma. "Terima kasih, ya!
Kau telah menyembuhkan luka dalam Bayi Kawak
dan kedua kakek itu,"
"Nah, begitu...," kata Tabib Agung latah seraya menoleh pada Dewa Bogel dan
Lamdaur. "Hai, Bogel! Dan kau, Lamdaur! Cepat kemari!"
"Ada apa kau memanggilku, Tabib Agung?"
sahut Dewa Bogel dan Lamdaur hampir bersa-
maan. "Kemari! Kalian pun harus mengucapkan
terima kasih pada bocah edan ini! Karena, dialah
yang membawa kalian kemari."
Dewa Bogel dan Lamdaur sejenak saling
berpandangan. Tampak sekali kalau dua orang to-
koh sakti dari Hutan Pring Apus itu merasa heran
sekali melihat Siluman Ular Putih yang telah diker-jainya dua hari lalu telah
berada di puncak Gu-
nung Perahu. Ditambah, pemuda itu pulalah yang
telah membawa mereka menemui Tabib Agung.
"Ya ya ya...! Aku memang patut mengu-
capkan terima kasihku padamu, Pendekar Muda.
Maaf, kalau dua hari lalu aku sempat mengerjai-
mu!" ucap Lamdaur kaku. Kurang enak didengar telinga, karena hatinya masih
merasa sungkan.
"Iya, Pendekar Muda. Untung saja ada kau.
Kalau tidak, tak tahulah apa jadinya nasib kami,"
timpal Dewa Bogel.
"Eh...! Kau juga harus mengucapkan terima
kasih padaku, Cah Edan!" sentak Tabib Agung ke-lupaan.
"Yah...! Tadi aku kan sudah mengucapkan
terima kasih," sungut Siluman Ular Putih tak senang. "Kapan?"
"Tadi"
"Aku tidak dengar."
"Salahmu sendiri. Punya telinga tak pernah
dibersihkan!" cemooh Soma.
"Eh...! Malah memaki! Ayo ulangi lagi!"
"Aduuuh...! Tadi aku kan sudah ngomong."
"Bodo! Pokoknya kau harus mengulangi.
Ayo, cepat!"
"Baik," sahut Soma malas-malasan. "Terima kasih ya. Kau telah menyelamatkan
Kakek Bogel dan Kakek Jangkung itu."
"Nah...! Itu baru enak didengar," sahut Tabib Agung seraya mengipas-ngipas
dengan tangan. "Maunya siih begitu!" cemooh Soma lagi seraya menjebikkan bibir.
"Apa kau bilang?"
"Eh..., tidak. Aku tidak ngomong apa-apa
kok," sahut Siluman Ular Putih celingukan.
Tabib Agung menggerutu kesal. Dan men-
dadak matanya jadi liar.
"Eh...! Kalian semua dengar, ya! Buka telin-
ga lebar-lebar! Luka dalam kalian bertiga telah ku-sembuhkan. Sekarang, sudah
waktunya angkat
kaki dari tempat kediamanku ini! Cepat!" usir Ta-
bib Agung yang memiliki watak aneh.
Siluman Ular Putih, dan semua yang berada
di puncak Gunung Perahu jadi saling berpandan-
gan. Tak mengerti dengan perubahan watak tuan
rumah. "Kenapa kalian malah bengong saja" Apa kalian semua tuli, he"! Cepat
tinggalkan tempatku ini!" "Apa termasuk aku juga, Orang Tua?" tanya Soma
memberanikan diri.
"Ya. Kalian semua. Cepat tinggalkan tempat
ini!" tegas Tabib Agung.
"Yah..., tega amat! Kenapa kau buru-buru
mengusirku, Orang Tua?"
"Bocah Edan! Lekas tinggalkan tempat ini!"
hardik Tabib Agung, galak.
"Baiklah...."
Soma garuk-garuk kepala. Mulutnya ma-
nyun berat. Selangkah demi selangkah Soma mu-
lai bergerak meninggalkan Tabib Agung. Namun
kepalanya sesekali masih dipalingkan ke belakang.
Ketika Tabib Agung tidak mempedulikannya, baru
Soma mempercepat langkahnya meninggalkan
tempat itu. 7 Begitu Maling Tanpa Bayangan keluar dari
gua tempatnya bertapa, entah dari mana selalu
ada kekuatan gaib yang selalu menyertai. Ke mana
kedua kakinya melangkah, seolah kekuatan gaib
itu pun menyertai. Dan Maling Tanpa Bayangan
sendiri tak mau melawan kekuatan gaib itu. Diiku-
tinya saja kekuatan gaib itu.
Tanpa terasa, Maling Tanpa Bayangan terus
dituntun menuju utara. Terus disusurinya hulu
Sungai Serayu. Dan akhirnya, sampailah lelaki se-
sat ini di suatu tempat terpencil yang diapit oleh bukit-bukti terjal. Di
sanalah langkahnya berhenti.
Sejenak Maling Tanpa Bayangan memper-
hatikan keadaan sekitarnya. Keningnya berkerut,
seolah tak mengerti kenapa dirinya 'dibawa' ke
tempat itu. Sebuah lembah kecil di tepian telaga.
Maling Tanpa Bayangan tahu, telaga di hadapan-
nya bernama Telaga Menjer. Sebuah telaga yang
konon menyimpan banyak kekuatan gaib pula.
"Heran" Kenapa aku sampai di sini" Kenapa
aku tidak mencoba melawan kekuatan gaib yang
menuntun langkahku" Bukankah aku mengingin-
kan nyawa Siluman Ular Putih, sekaligus juga in-
gin menguasai dunia persilatan. Tapi, kenapa aku
malah kemari?" gumam Maling Tanpa Bayangan
tak habis pikir. Makin dalam saja keningnya ber-
kerut-kerut. "Hm...! Sulit kumengerti. Kenapa kekuatan gaib itu menuntunku
kemari" Apa tidak
sebaiknya mulai sekarang saja aku melawan ke-
kuatan gaib yang menuntun setiap langkahku dan
segera mencari Siluman Ular Putih" Ah...! Kupikir, baiknya memang demikian!"
Maling Tanpa Bayangan siap menjejakkan
kakinya untuk berkelebat, tapi mendadak telin-
ganya mendengar langkah-langkah halus mende-
kati tempat itu. Kemudian disusul berkelebatnya
beberapa sosok bayangan yang tahu-tahu telah
mengepungnya. "Ada larangan bagi siapa saja yang berani
Iblis Dan Bidadari 3 Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Pendekar Pemetik Harpa 18
nuh Siluman Ular Putih, juga demi menguasai du-
nia persilatan, tak ada pilihan lain! Aku harus
mempelajari kitab ini!" lolong Maling Tanpa Bayangan seperti kerasukan setan.
Wajah yang tadi pucat pasi kini kemerah-
merahan. Sepasang matanya yang hijau berkilat-
kilat mengerikan. Lalu sepasang mata hijau itu
membaca huruf-huruf terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Ternyata huruf-
huruf terakhir itu hanya berisi beberapa kelema-
han ilmu yang akan dipelajari.
"Hm.... Biar lebih cepat, aku akan melaku-
kan cara yang kedua! Semadi tiga hari tiga ma-
lam!" Maling Tanpa Bayangan mengangguk-
angguk mantap. Kini bulat sudah tekadnya untuk
mempelajari pelajaran terakhir yang terkandung
dalam Kitab Paguyuban Setan. Apa pun akibatnya.
*** Puncak Gunung Perahu masih berselimut
kabut. Hawa dingin masih membungkus puncak-
nya. Dari ketinggian puncak gunung tampak ca-
haya merah tembaga berpendar-pendar di ufuk ti-
mur, membentuk bulatan samar-samar.
Meski matahari sudah mulai merayap ting-
gi, suasana pagi masih terasa benar. Kabut pagi
masih merayap. Embun bergelayutan di ranting-
ranting pohon, di dahan-dahan, juga di rerumpu-
tan. Dalam keadaan selimut dingin seperti ini,
tampak sesosok bayangan berpakaian hijau tua te-
rus berkelebat cepat menuju puncak Gunung Pe-
rahu, melewati lereng sebelah timur.
Menilik gerakannya yang ringan laksana
kapas tertiup angin, jelas sosok bayangan berpa-
kaian hijau tua itu memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi. Buktinya dalam waktu yang ti-
dak lama, sosok berpakaian hijau itu kini telah
berdiri di puncak gunung.
Sambil bertolak pinggang, sosok berpakaian
hijau tua itu sejenak memperhatikan puncak gu-
nung. Menilik perawakan tubuhnya yang tinggi
ramping dan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat
dengan kulit putih bersih, jelas kalau sosok berpakaian hijau tua itu adalah
seorang wanita. Usianya kira-kira tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik
berbentuk bulat telur. Rambutnya digelung ke
atas. Dari tubuhnya yang sintal dibalut pakaian
ketat warna hijau tua, membuat lekuk-lekuk
payudaranya terlihat jelas.
Siapakah sebenarnya wanita cantik berpa-
kaian hijau tua itu" Mau apa ia menyambangi Ta-
bib Agung yang tinggal di puncak Gunung Perahu
sepagi itu"
Agak aneh kedatangan wanita cantik satu
ini memang. Kelihatannya sehat-sehat saja. Tak
kurang satu apa pun. Lalu kenapa berada di sini"
Akan berobatkah dia"
Bisa jadi! Sosok wanita cantik berpakaian hijau tua
itu kini mulai gelisah. Segenap mata memandang
belum juga menemukan Tabib Agung. Satu-
satunya orang yang mungkin dapat menolong di-
rinya. "Tabib Agung! Keluarlah kau! Aku datang
ingin menemuimu!"
Akhirnya, suara merdu namun cukup lan-
tang meluncur dari mulut wanita cantik itu, me-
manggil orang yang dicari. Sekali dua kali berte-
riak, tak ada jawaban. Sehingga, membuat wanita
cantik itu jadi gusar sekali. Ia tidak tahu, di mana Tabib Agung bertapa. Yang
diketahuinya Tabib
Agung bertapa di puncak Gunung Perahu.
Untuk mengobati rasa penasarannya, tak
ada pilihan lain. Terpaksa wanita cantik itu harus mengulang teriakannya
berulang-ulang. Seperti teriakan sebelumnya, tetap saja orang yang dicari
tak didapati. "Tabib Agung! Keluar kau! Kalau sekali ini
tak sudi menunjukkan batang hidungmu, jangan
salahkan kalau aku mengobrak-abrik puncak Gu-
nung Perahu ini!" teriak wanita cantik itu sarat ancaman. "Hei he he...! Ada
apa" Dari tadi aku di sini, kenapa kau berteriak-teriak mirip kerbau mau di-
jagal, he?"
Mendadak terdengar sahutan dari belakang,
membuat si wanita cantik terkejut bukan main.
Betapa tidak" Ia memiliki kepandaian cukup lu-
mayan, tapi kedatangan orang di belakangnya tak
diketahuinya sama sekali. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa ilmu meringankan tubuh
orang di belakangnya jauh lebih tinggi.
Begitu si wanita berbalik, ternyata orang
yang tengah dicarinya kini tengah asyik duduk
ongkang-ongkang kaki di sebuah bongkahan batu.
Usianya kira-kira enam puluh tahun. Wajahnya ti-
rus. Rambutnya digelung ke atas. Sedang tubuh-
nya yang tinggi kurus dibalut jubah warna kuning.
Dialah Tabib Agung yang sedang dicari si wanita
cantik. "Keparat! Berani kau mempermainkan aku, he"! Kenapa tidak menyahut dari
tadi?" maki si wanita "Ah...! Siapa berani mempermainkanmu"
Dari tadi aku duduk di sini. Kau saja yang tak melihat. Apa barangkali matamu
lamur, ya?"
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jelas tak
mungkin matanya salah lihat. Tadi ia sudah mem-
perhatikan sekitar tempat itu. Tak mungkin tua
bangka itu datang begitu saja!
"Hm...! Rupanya kabar yang tersiar di dunia
persilatan memang benar. Tua bangka ini memiliki
kepandaian tinggi. Pantas saja ia dapat mengecoh-
ku," gumam wanita cantik itu dalam hati.
"Oooi...! Ditanya kok malah bengong! Tuli,
ya?" ledek si kakek renta yang lak lain Tabib Agung "Keparat! Jadi kaukah yang
bergelar Tabib Agung?"
" Ya. Kau sendiri siapa" Apakah kau..., yang bergelar Rondo Kasmaran?" tebak
Tabib Agung ji-tu.
Wanita cantik berpakaian hijau tua itu ter-
sentak kaget. Sungguh tak disangka kalau Tabib
Agung mengenali julukannya.
"Matamu sungguh tajam, Tabib Agung. Ku-
akui, aku memang Rondo Kasmaran. Tapi, dari
mana kau bisa mengetahui gelarku?" tanya si wanita yang ternyata Rondo Kasmaran,
tak dapat menyembunyikan rasa penasaran.
Tabib Agung terkekeh senang. Kedua ka-
kinya yang saling bersilangan digoyangkan ke sana kemari.
"Jelas sekali aku mengenai julukanmu. Bu-
kankah kau orang yang sok jadi pahlawan sewaktu
ada pertemuan para pendekar di puncak Gunung
Kelud" Kau seolah-olah, orang yang paling disega-
ni di Kadipaten Pleret, sewaktu terjadi pemberon-
takan Pangeran Pemimpin. Buktinya saja, kau
langsung marah-marah begitu digoda Raja Penyi-
hir. Kemudian, kau lari tunggang langgang men-
dahului para pendekar untuk melapor ke kadipa-
ten," sindir Tabib Agung.
"Tua bangka jelek! Jaga mulutmu! Aku pergi
ke Kadipaten Pleret dengan izin Ki Rombeng, ta-
hu"!" bentak Rondo Kasmaran.
"Huh...!" Tabib Agung menjebikkan bibir.
"Enak saja ngomong! Kau bukannya minta izin, tapi karena ngadat. Lalu kau pergi
begitu saja. Jangan mungkir, ah!"
Rondo Kasmaran kesal bukan main. Kare-
na, memang itulah kenyataannya. Waktu itu ha-
tinya kesal mendapat tanggapan sepele dari para
pendekar. Maka ia pun memutuskan melapor ke
Kadipaten Pleret seorang diri. (Untuk mengetahui kejadian ini, silakan baca
dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur")
"Kau.... Kau memang keparat, Tua Bangka
Jelek! Beraninya mempermainkanku demikian ru-
pa, he"!" bentak Rondo Kasmaran saking kesalnya.
Kedua telapak tangannya yang mendadak berubah
hijau tua siap dilontarkan ke arah Tabib Agung.
Tapi.... "Sabar! Sabar! Kuharap jangan lekas naik darah. Tak baik wanita
secantikmu marah-marah"
Ada apa sebenarnya kau datang kemari, he" Ten-
tunya tidak akan menantangku bertarung, kan?"
ujar Tabib Agung menyabarkan hati Rondo Kas-
maran. Mau tidak mau, kedua telapak tangan Ron-
do Kasmaran yang siap dihantamkan ke depan di-
turunkan kembali, begitu mendengar ucapan Ta-
bib Agung yang tidak bermaksud memusuhi.
Meski hatinya mengkelap, jelas tak mungkin nekat
menyerang Tabib Agung. Karena, ia memang se-
dang membutuhkan pertolongannya!
"Benar, aku datang kemari memang bukan
mengajakmu bertarung. Aku..., aku cuma.., ah!"
ragu-ragu Rondo Kasmaran ingin mengucapkan
maksudnya yang sebenarnya. Mendadak semburat
warna merah meronai kedua pipinya
Tabib Agung makin terkekeh senang. Seba-
gai tabib, jelas lelaki ini sudah biasa menghadapi tamu-tamunya yang akan
berobat. Kalau seorang
wanita sampai malu-malu untuk mengutarakan
penyakitnya, jelas itu pasti satu penyakit pribadi.
Dan mungkin hanya orang tertentu yang boleh
mengetahui. "Apa penyakitmu Rondo Kasmaran" Kenapa
kau malu-malu" Bukankah kau ingin berobat?"
desak Tabib Agung, halus.
"Iya. Tapi..., tapi penyakitku ini...."
"Sudahlah! Katakan saja kalau kau ingin
sembuh dari penyakitmu," ujar Tabib Agung.
"Baik!"
Rondo Kasmaran menggigit bibir bawahnya.
Sikapnya saat itu benar-benar lucu. Mirip anak
perawan di malam pertama. Malu-malu kucing!
"Lho" Kok, malah diam" Katanya mau bica-
ra?" desak Tabib Agung lagi.
"Aku..., aku sekarang tak ingat lagi dengan
Kakang Sungkono," sahut Rondo Kasmaran buru-
buru. Mau tak mau Tabib Agung wajib melongo
heran. "Aneh benar penyakit orang satu ini?"
"Bisakah kau menolongku, Tabib Agung?"
Belum tahu apa penyakit yang diderita
Rondo Kasmaran, sekarang Tabib Agung sudah di-
todong pertanyaan berikutnya. Bagaimana tidak
jadi heran" Tak henti-hentinya lelaki tua ini me-
longo. "Ah...! Bagaimana aku dapat menolongmu kalau belum tahu penyakitmu,"
tukas Tabib Agung, sarat keheranan.
' Ya, ampun! Jadi kau ini tabib macam apa,
he"!" bentak Rondo Kasmaran, menukas.
"Eh...!" Tabib Agung menarik mundur dadanya ke belakang. "Jangan sembarangan kau
menghina, Rondo Kasmaran! Namaku sudah ter-
kenal di delapan penjuru angin. Penyakit macam
apa pun, pasti dapat kuobati."
"Jadi" Kau dapat menolongku?"
"Ya, jelas. Tapi..., tapi apa penyakitmu?" bu-ru-buru Tabib Agung meralat
ucapannya. "Sekarang aku..., aku sepertinya tak men-
cintai Kakang Sungkono lagi," jelas Rondo Kasmaran malu-malu sembari
menyembunyikan wajah-
nya dalam-dalam. "Kuharap, kau jangan mengatakan aku mata keranjang, ya?"
"Ya sudah kalau kau tak mencintai keka-
sihmu itu. Lantas kenapa aku harus mengataimu
mata keranjang?"
"Tapi.... Tapi sekarang aku justru mencintai orang lain!" jelas Rondo Kasmaran
tanpa diminta. "Itu kan wajar. Kau masih muda. Kau ber-
hak jatuh cinta lagi. Kenapa minta pertolongan
padaku?" "Tapi aku harus meminta pertolonganmu,
Bib. Karena, pemuda yang kucintai tampaknya tak
membalas cintaku," ungkap Rondo Kasmaran.
"Bodoh benar pemuda itu. Apa matanya la-
mur" Kau cantik. Tubuhmu pun amat menggiur-
kan. Kenapa pemuda itu tak membalas cinta mu"
Siapa nama pemuda itu?" tanya Tabib Agung.
"Namanya aku tidak tahu, Bib. Tapi ia ter-
kenal sebagai Siluman Ular Putih," jawab Rondo Kasmaran malu-malu.
"Apa" Kau mencintai Siluman Ular Putih"
Dasar tolol!" Sentak Tabib Agung.
"Siapa yang tolol. Bib?" Rondo Kasmaran mendongakkan kepalanya. Berani. Hatinya
tersinggung sekali mendengar ucapan Tabib Agung,
"Kunyuk gondrong itu!"
"Ooo...!"
Rondo Kasmaran lega sekali. Tadi disang-
kanya Tabib Agung mengatakan tolol untuknya.
Untung saja hatinya masih berlaku sabar. Kalau
tidak, bukan mustahil bogem mentah sudah men-
darat di wajah Tabib Agung.
"Sekarang aku harus menolong apa?" tanya Tabib Agung, masih belum mengerti.
Rondo Kasmaran menundukkan kepala da-
lam-dalam. Bibirnya berkemik-kemik. Sulit sekali
rasanya mengutarakan maksud hatinya. Ia hanya
mengeluh berulang-ulang, sebelum akhirnya
membuka suara. Itu pun dengan tersendat-sendat.
"It..., itulah yang meresahkanku. Bib. Tapi
aku yakin, kau pasti dapat menolongku," tuturnya.
Rondo Kasmaran makin dalam saja menun-
dukkan kepala. Keluhan-keluhan kecilnya sesekali
masih terdengar. Kemudian tanpa diminta, ditu-
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
turkannya pertemuan dengan Siluman Ular Putih.
Dari pertemuan pertama sampai pertemuan beri-
kut di Kadipaten Pleret. Semua diceritakan sejelas-jelasnya. (Untuk mengetahui
pertemuan Rondo
Kasmaran dengan Siluman Ular Putih, silakan ba-
ca dalam episode: "Penguasa Alam" dan "Sengketa Takhta Leluhur").
Tabib Agung menelan ludah berulang kali.
Lama mendengar cerita Rondo Kasmaran, maka
makin rajin pulalah menelan ludah. Lalu kepa-
lanya menggeleng-geleng sambil terus memperha-
tikan Rondo Kasmaran dengan pandang mata tak
mengerti. "Bagaimana, Bib" Sekarang kau mau kan
menolongku?" tutur Rondo Kasmaran memelas.
"Ya yaya...! Tentu aku mau menolongmu.
Hanya aku belum tahu, aku mesti berbuat apa?"
"Tolonglah, Bib! Aku.... Aku sangat mencin-
tai Siluman Ular Putih. Usahakanlah agar aku da-
pat memilikinya!" desah Rondo Kasmaran meme-
las. "Kau kan tahu, aku ini tabib. Jadi kalau kau meminta pertolongan ini,
kukira aku tak sanggup," sergah Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib. Usahakanlah agar aku da-
pat memiliki Siluman Ular Putih! Tolong aku. Den-
gan cara apa pun, kau harus menolongku. Kau
pasti bisa. Bib!"
"Maksudmu...?" Kening Tabib Agung makin
berkerut-kerut heran. Sama sekali belum tahu,
apa yang diinginkan wanita cantik di hadapannya.
"Maksudnya...," Rondo Kasmaran menelan
ludahnya sebentar. "Maksudku..., kalau perlu beri-lah aku mantera guna-guna agar
Siluman Ular Pu-
tih mencintaiku!"
"Apa"!"
5 Sebelum melakukan semadi, Maling Tanpa
Bayangan diwajibkan mandi jamas terlebih dulu
dengan tubuh dililit kain kafan. Dan di dalam gua di tepi Sungai Serayu-lah
Maling Tanpa Bayangan
mulai bersemadi. Semula, hatinya diliputi keragu-
raguan. Tapi akhirnya tekadnya makin mantap
untuk mempelajari ilmu yang terkandung dalam
Kitab Paguyuban Setan dengan bersemadi tiga hari
tiga malam. Bila gagal, ancamannya mati!
Malam pertama bersemadi, Maling Tanpa
Bayangan merasakan sekujur tubuhnya panas se-
perti dikepung dalam kubangan bara api. Hal ini
tentu saja membuat darah dalam tubuhnya meng-
gelegak bagai terbakar kekuatan gaib yang entah
dari mana datangnya. Hingga tanpa disadari seku-
jur tubuhnya dipenuhi keringat sebesar biji-biji ja-gung. Parasnya memerah,
seolah melepuh oleh
hawa panas dari dalam tubuh. Untung saja cobaan
itu bisa diatasinya.
Pada malam kedua, pertahanan Maling
Tanpa Bayangan mulai goyah. Sekujur tubuhnya
tetap seperti dibakar api. Sementara telinganya ju-ga mendengar suara-suara gaib
yang datang dari
delapan penjuru angin. Lama kelamaan suara-
suara gaib itu terdengar makin aneh. Bahkan tera-
sa makin menghentak-hentak gendang telinga.
Maling Tanpa Bayangan menggeretakkan
gerahamnya kuat-kuat.
"Aku harus kuat menghadapi semua cobaan
ini. Aku harus kuat! Kalau tidak, nyawakulah ta-
ruhannya!" tandas hatinya, tak henti.
Paras lelaki ini tampak makin memerah.
Bahkan mendekati gosong saking tidak tahannya
menerima rongrongan hawa panas luar biasa. Di
hari pertama Maling Tanpa Bayangan masih sang-
gup menghadapi rongrongan hawa panas itu. Na-
mun di hari kedua, segenap ketabahannya harus
dikerahkan. Apalagi kini ditambah suara-suara
aneh dari delapan penjuru angin yang tak kalah
hebatnya menyiksa.
Tidak ada kata menyerah dalam kamus hi-
dup Maling Tanpa Bayangan. Meski sekujur tu-
buhnya melepuh, lubang telinga, lubang hidung,
dan dari mulutnya mengeluarkan darah merah
kehitam-hitaman, pendiriannya tak berubah. Lela-
ki ini tidak ingin mati sebelum dapat mempelajari ilmu yang terkandung dalam
Kitab Paguyuban Setan. Entah mungkin karena nasib baik masih
berpihak pada Maling Tanpa Bayangan, akhirnya
semadi hari kedua dapat dilalui dengan baik. Dan
ketika pagi menjelang tubuh Maling Tanpa Bayan-
gan sudah terasa lemas tak bertenaga. Masih da-
lam sikap bersemadi, akhirnya tubuh lelaki itu
terkapar di lantai. Sepasang matanya yang menco-
rong tampak demikian mengerikan. Melotot tak
berkedip sedikit pun. Mungkin karena masih me-
rasakan siksaan selama bersemadi semalam.
Maling Tanpa Bayangan saat ini tak lagi
menghiraukan sekujur tubuhnya yang melepuh.
Demikian pula rasa sakit di gendang telinganya
yang pecah akibat suara-suara gaib mengandung
kekuatan luar biasa. Suara-suara gaib itu tak
hanya menusuk-nusuk telinga, tapi juga menu-
suk-nusuk jiwanya. Seolah-olah kekuatan suara
gaib itu ingin membetot keluar nyawanya!
Kini saat-saat tegang masih menunggu di
depan mata. Menghadapi malam ketiga, bisa jadi
nyawa Maling Tanpa Bayangan akan melayang. Di
malam kedua saja, lelaki ini nyaris tidak tahan
menghadapi cobaan. Membayangkan itu semua,
diam-diam Maling Tanpa Bayangan jadi bergidik
ngeri. Sudah jelas, bila tak sanggup, nyawanya
akan melayang! Inilah taruhannya!
Menghadapi saat-saat yang paling memba-
hayakan bagi keselamatannya, diam-diam hati
Maling Tanpa Bayangan jadi tegang bukan main.
Meski saat-saat tegang itu belum dilalui, namun
sekujur tubuhnya telah dipenuhi keringat dingin.
Parasnya yang kemerahan kini tampak kehijauan,
saking ngerinya membayangkan kejadian nanti
malam. "Demi iblis! Kuatkanlah hatiku! Aku tak ingin mati merana seperti ini,"
tegasnya dalam hati.
Berulang-ulang Maling Tanpa Bayangan
menguatkan hatinya. Keadaannya saat ini benar-
benar sangat memprihatinkan. Sebenarnya, ter-
bersit pula niat untuk urung mempelajari ilmu
yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Setan.
Namun berhubung sudah kepalang basah, terpak-
sa tekadnya tetap dibulatkan. Apalagi, ia juga merasa akan mendapat laknat dari
iblis-iblis di delapan penjuru mata angin bila niatnya dibatalkan.
Mau tidak mau, akhirnya Maling Tanpa
Bayangan harus menunggu sampai saat semadi
berakhir, meski tidak tahu akan nasibnya. Entah
mati merana, entah akan berhasil mendapatkan
ilmu yang terkandung dalam Kitab Paguyuban Se-
tan. Sekarang hari mulai menjelang petang. Hati
Maling Tanpa Bayangan makin dibaluri ketegan-
gan. Cobaan apa yang akan kuhadapi nanti"
Maling Tanpa Bayangan terus menduga.
Hingga tak terasa malam makin merangkak. Se-
perti yang dialami di malam pertama dan kedua,
begitu malam merangkak, sekujur tubuhnya pun
mulai dibakar hawa panas dari dalam tubuh. Bah-
kan kini jauh lebih hebat dibanding malam-malam
sebelumnya. Maling Tanpa Bayangan melejang-lejang
hebat. Tubuhnya bergulingan ke sana ke mari,
Sementara gejolak hawa panas dalam tubuhnya
kian membara. Bersamaan itu, suara-suara gaib
yang semalam menghentak-hentak gendang telin-
ganya pun kembali terdengar.
Bukan main dahsyatnya siksaan yang di-
alami Maling Tanpa Bayangan. Keadaan ini terus
dialami sampai jauh malam. Nyaris Maling Tanpa
Bayangan tidak tahan dibuatnya. Sekujur tubuh-
nya terasa perih dan nyeri bukan main.
Untung saja, Maling Tanpa Bayangan tetap
bersikeras tak mau menyerah. Hingga pada tengah
malam, mendadak ia dikejutkan oleh makhluk-
makhluk aneh berkulit hitam legam entah dari
mana datangnya. Wujud makhluk-makhluk aneh
itu beraneka ragam dan sangat mengerikan. Se-
muanya lengkap di situ. Seolah-olah mereka tum-
pah ruah, mengelilingi Maling Tanpa Bayangan
yang terus bersemadi.
"Keak! Keakkk!"
Suara-suara riuh rendah makhluk-makhluk
halus itu terus mengusik ketabahan hati Maling
Tanpa Bayangan. Makin lama terdengar aneh dan
menggidikkan. Tanpa sadar, bulu kuduk Maling
Tanpa Bayangan pun berdiri!
Seperti tidak mengenal belas kasihan sedikit
pun, makhluk-makhluk halus itu terus menari-
nari memutari tubuh Maling Tanpa Bayangan
sambil terus memperdengarkan suara-suara gaib-
nya. Pada saat mereka bergerak memutari tubuh-
nya, Maling Tanpa Bayangan merasakan ada satu
kekuatan gaib yang luar biasa kuatnya. Seolah-
olah suara itu ingin membetot nyawanya! Bahkan
makin lama tenaga betotan itu terasa makin kuat
luar biasa. Maling Tanpa Bayangan menggerung se-
tinggi langit. Siksaan yang diterimanya kali ini benar-benar hebat! Tubuhnya
kembali bergulingan
ke sana kemari. Menghantam dinding gua yang sa-
tu, lalu menghantam dinding gua yang lainnya.
Semua dilakukan karena saking tidak tahan men-
galami siksaan itu. Dari semakin pedih dan tidak
tahan menerima siksaan, pandangan matanya jadi
gelap dan gelap....
Entah antara sadar atau tidak, pada saat
pandangan matanya gelap, mendadak Maling Tan-
pa Bayangan mendengar suara dinding-dinding
gua menggemuruh melemparkan bebatuan yang
ada di dalam! Bersamaan itu, terdengar kilat me-
nyambar-nyambar ganas di luar sana.
Maling Tanpa Bayangan tak peduli apa yang
tengah terjadi. Saat ini nyawanya benar-benar be-
rada di ujung tanduk. Namun pada saat yang pal-
ing genting bagi keselamatannya, mendadak terasa
ada sesuatu menyentuh tubuhnya,
"Bangunlah, wahai anak manusia!"
Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-
tiba Maling Tanpa Bayangan meloncat bangun.
Begitu kedua bola matanya membuka seketika itu
hatinya terkejut bukan kepalang. Di hadapannya
saat ini telah berdiri sesosok makhluk halus ber-
wajah amat mengerikan. Wajahnya besar. Sepa-
sang matanya berkilat-kilat mengerikan sebesar
mata kerbau. Namun anehnya, bentuk tubuhnya
amat kecil. Bahkan tulang-tulangnya pun tampak
bertonjolan di sana sini.
Maling Tanpa Bayangan yakin kalau mak-
hluk halus itulah yang tadi membangunkannya.
Kini berhadapan dengan sesosok makhluk halus
yang tampaknya sangat disegani di kalangan mak-
hluk-makhluk halus lainnya, mau tak mau hati le-
laki ini jadi tegang juga dibuatnya. Dilihatnya pu-luhan makhluk halus yang
sedari tadi menggang-
gu semadinya kini diam terpaku di tempat masing-
masing. Mereka hanya memperhatikan sosok
makhluk di hadapan Maling Tanpa Bayangan pe-
nuh hormat. "Dengarlah, wahai anak manusia! Sesung-
guhnya mulai saat ini kau telah menjadi sekutuku.
Kau tidak akan mati hanya karena dibunuh. Kau
akan langgeng hidup di dunia. Karena, kau kini
adalah biangnya dari segala biang iblis! Maka, kau wajib bersyukur menerima
karunia kami. Terima-lah karunia kami!"
Usai berkata begitu, mendadak kedua bola
mata sosok makhluk halus itu mencorong aneh
yang disusul keluarnya dua larik sinar hitam le-
gam, langsung bersemayam dalam tubuh Maling
Tanpa Bayangan.
Seketika tubuh Maling Tanpa Bayangan ter-
getar hebat. Namun hanya sebentar. Setelah itu,
sekujur tubuhnya terasa ringan sekali laksana ka-
pas. Di samping itu, luka melepuh di sekujur tu-
buhnya pun mendadak sirna. Kini tubuhnya segar
bugar seperti sediakala. Hanya yang sedikit aneh, entah kenapa kain kafan yang
membungkus tubuhnya kini menyatu dengan kulit tubuhnya!
Maling Tanpa Bayangan memperhatikan
keadaan dirinya dengan mata terbelalak. Seolah
tak percaya menghadapi kejadian aneh saat ini.
"Sekarang kau bebas, wahai anak manusia.
Dengan sendirinya dalam Kitab Paguyuban Setan
telah tergambar pukulan-pukulan ampuh. Pelajari-
lah. Dengan pukulan-pukulan itu, kau bebas
mengumbar segala nafsu yang mengeram dalam
tubuhmu. Karena kaulah nafsu itu. Laksanakan,
wahai anak manusia! Laksanakan apa yang men-
jadi keinginanmu!"
Darrr!! Begitu suara gaib sosok makhluk halus itu
usai, mendadak di luar sana terdengar kilat me-
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyambar ganas. Dinding-dinding gua tempat ber-
semadi Maling Tanpa Bayangan pun bergetar he-
bat! Maling Tanpa Bayangan tidak tahu, menga-
pa tiba-tiba saja sering terdengar bunyi kilat menyambar. Bumi tempatnya
berpijak pun seakan-
akan bergetar hebat!
Selang beberapa saat, baru Maling Tanpa
Bayangan menyadari kalau kilat yang menyambar-
nyambar dan bumi yang bergetar itu adalah isya-
rat bahwa kawanan makhluk halus itu telah me-
ninggalkan tempatnya. Buktinya, begitu suara ki-
lat dan guncangan bumi yang bergetar itu terhenti, kawanan makhluk halus itu
telah lenyap entah ke
mana." Maling Tanpa Bayangan segera mengambil Kitab Paguyuban Setan dari balik
jubahnya. Kembali dibukanya halaman terakhir kitab itu. Di situ tergambar jelas,
bagaimana menciptakan pukulan-pukulan dahsyat dalam waktu singkat.
Diam-diam Maling Tanpa Bayangan berso-
rak gembira. Kini ia tak perlu gentar lagi menghadapi Siluman Ular Putih maupun
tokoh-tokoh sak-
ti dunia persilatan lainnya. Ia yakin dapat mengalahkan mereka semua. Bahkan
bukan saja menga-
lahkan, tapi juga ingin membunuh siapa saja yang
berani menentang dirinya. Di samping itu sebe-
narnya ilmu Maling Tanpa Bayangan telah mampu
melebihi kepandaian Pengasuh Setan, karena Pen-
gasuh Setan sendiri belum sempat mempelajari il-
mu terakhir yang terkandung dalam Kitab Pa-
guyuban Setan. (Untuk lebih jelasnya mengenai
hal ini, silakan baca dalam episode: "Pengasuh Setan"). "Sekaranglah saatnya aku
membalas dendam...!"
*** "Ah...! Kau ini! Aku ini tabib! Bukan du-
kun!" kata Tabib Agung, ketika Rondo Kasmaran terus mendesaknya
"Tapi...."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa menolongmu,"
sahut Tabib Agung. Sebentar-sebentar kepalanya
berpaling ke samping. Entah ada apa.
Rondo Kasmaran memberengut. Kesal seka-
li hatinya tak dapat membujuk Tabib Agung.
"Tolonglah, Bib! Aku benar-benar membu-
tuhkan pertolonganmu!" bujuk Rondo Kasmaran.
Tabib Agung rupanya tak begitu mendengar
ucapan Rondo Kasmaran. Saat itu, pendengaran-
nya asyik diarahkan ke samping. Lalu, keningnya
berkerut-kerut.
Tentu saja hal ini membuat Rondo Kasma-
ran curiga. Setelah menenteramkan hatinya, baru-
lah wanita cantik ini mendengar langkah-langkah
halus mendekati tempat itu.
Diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu se-
kali. Pipinya kontan memerah begitu teringat apa
yang dibicarakan tadi dengan Tabib Agung. Dia
berharap agar apa yang dibicarakan tadi tidak terdengar orang lain.
"Kalau mau datang berkunjung, kenapa
mesti sembunyi" Cepat tunjukkan batang hidung
kalian!" kata Tabib Agung tiba-tiba. Sepasang matanya yang tajam terus
memperhatikan tempat
yang dicurigainya.
Benar! Sejurus kemudian sepasang anak
muda tengah keluar dari balik sebuah batu besar.
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan. Rambutnya gondrong tergerai di-
permainkan angin. Pemuda itu tengah memanggul
dua sosok tubuh yang terkulai lemas.
Sedang di sebelah si pemuda adalah seo-
rang gadis cantik. Namun berpenampilan amat
mengundang perhatiannya. Pakaiannya beraneka
warna, merah, kuning, dan hijau. Demikian juga
pita yang melilit di rambutnya yang dikuncir dua
ke belakang. Gadis itu juga tengah memondong sa-
tu sosok tubuh berpakaian bayi.
Bukan main terkejutnya hati Rondo Kasma-
ran melihat siapa yang datang. Seketika pipinya
kian merona merah. Jangan tanya lagi. Berbagai
macam perasaan bercampur aduk dalam hatinya.
Siapakah sebenarnya sepasang anak muda yang
dapat membuat hati Rondo Kasmaran jadi jengah
seperti itu" Mereka tak lain adalah Siluman Ular
Putih dan Putri Manja!
Dan diam-diam Rondo Kasmaran jadi malu
hati, apalagi orang yang baru saja dibicarakan telah berdiri di hadapannya.
Bahkan ia curiga kalau Siluman Ular Putih mendengar apa yang tadi dibicarakan
dengan Tabib Agung.
"Permisi, Bib! Biasa. Ada rezeki buatmu,"
sapa Siluman Ular Putih sumringah. Matanya
sempat melirik Rondo Kasmaran sebentar. "Eh...!
Rupanya lagi kedatangan tamu, ya?"
Rondo Kasmaran kecewa berat. Entah ke-
napa ia jadi tak menyukai kedatangan Siluman
Ular Putih. Terutama setelah melihat kenyataan
kalau kedatangan si pemuda ditemani seorang ga-
dis cantik. Tentu saja hal ini membuat hatinya panas sekali. Seperti bisul mau
pecah. Mau tidak
mau Rondo Kasmaran jadi menatap penuh keben-
cian pada gadis cantik di samping Siluman Ular
Putih. Demikian juga Putri Manja sendiri. Apalagi, gadis ini tadi juga mendengar
percakapan Rondo
Kasmaran dengan Tabib Agung. Ia merasa wajib
untuk memelototi wanita di hadapannya. Soal
cemburu, jangan tanya lagi. Sudah pasti gadis
manja itu cemburu berat.
Kini, tanpa dapat dicegah jadilah mereka se-
teru. Walaupun belum secara terang-terangan.
Masalahnya ini menyangkut perasaan!
"Monyet Gondrong! Kalau mau datang ber-
kunjung, pakai permisi! Jangan nyelonong saja se-
perti maling!," tegur Tabib Agung yang sudah mengenal cukup akrab dengan Siluman
Ular Putih. Siluman Ular Putih menyeringai. Puas me-
nyeringai, lalu garuk-garuk kepala. Biasa, kumat!
Dalam keadaan senang, susah, malu, atau pera-
saan lainnya, selalu garuk-garuk kepala. Seper-
tinya, bisanya hanya itu.
Siluman Ular Putih tak menyahut teguran
Tabib Agung, alias terima salah. Namun bukan be-
rarti harus berdiri terus di tempatnya. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena
memanggul tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur. Maka sudah pasti hatinya me-
rasa kesal sekali. Apalagi orang yang sedang dito-longnya adalah Dewa Bogel,
Orang yang telah
mengejek dan menamparnya beberapa waktu yang
lalu. "Nih...! Ada oleh-oleh buatmu!"
Siluman Ular Putih meletakkan tubuh Dewa
Bogel dan Lamdaur ke hadapan Tabib Agung. Se-
pasang matanya yang tajam sempat melirik kesal
ke arah dua tokoh dari Hutan Pring Apus itu.
"Untung benar manusia-manusia kampret
ini. Sudah menghinaku habis-habisan, sekarang....
Ah, sudahlah!" gerutu Soma kesal, lalu ngeloyor seenaknya dan duduk di samping
Rondo Kasmaran. Tentu saja wajah Rondo Kasmaran yang di-
tekuk jadi berubah cerah. Senyumnya kontan ter-
kembang. Manis. Amat manis. Harus yang paling
manis kalau tidak ingin Siluman Ular Putih kabur.
Melihat gelagat Siluman Ular Putih, ganti
wajah. Putri Manja yang ditekuk berat. Matanya
sempat melirik Soma yang sedang bercakap-cakap
dengan Rondo Kasmaran. Kelihatannya amat
akrab, membuat si gadis makin rajin saja mene-
kuk wajahnya. Bibirnya dicibirkan sedemikian ru-
pa. Lalu dengan muka kecut segera diletakkannya
tubuh gurunya yang terluka parah ke hadapan
Tabib Agung. Sebenarnya, Tabib Agung ingin sekali
menggoda Rondo Kasmaran dan Putri Manja. Na-
mun begitu pandangannya tertuju pada tiga tubuh
di hadapannya, seketika sinar matanya jadi berbi-
nar. Ia seperti menemukan keasyikan lain daripa-
da sekadar menggoda orang. Apalagi dia tabib. Su-
dah pasti sebagai seorang tabib akan senang begi-
tu melihat penyakit-penyakit aneh terhidang di depan mata.
"Cukup aneh kelihatannya penyakit ketiga
orang ini. Sekali lihat aku jadi tertarik sekali," gumam Tabib Agung dalam hati.
Tangannya yang sudah gatal-gatal tak memeriksa orang segera me-
raba-raba tubuh ketiga orang itu. Cukup seksama
dan teliti, tanpa mempedulikan 'perang urat saraf'
dua orang wanita cantik di samping.
Putri Manja terus memberengut habis-
habisan. Naluri kewanitaannya tidak rela melihat
Soma berakrab-akrab dengan Rondo Kasmaran.
Apa pun yang terjadi, ia merasa lebih berhak di-
banding wanita itu. Dia lebih muda. Lebih cantik.
Lebih menggairahkan. Lebih segala-galanya!
Untuk mewujudkan pikirannya, tak ada pi-
lihan lain. Terpaksa Putri Manja harus nimbrung.
Meski tidak langsung membuka suara tapi dari
raut wajahnya yang masam jelas menyiratkan si-
kap perang terhadap Rondo Kasmaran. Maka ma-
kin parah saja kedua orang wanita itu saling melirik benci.
"Sudah tua, tak tahu malu. Beraninya men-
gumbar cinta. Pada seorang pemuda lagi. Memalu-
kan!" sindir Putri Manja.
Rondo Kasmaran kontan tersinggung berat.
Ia yang tengah bercakap-cakap dengan Siluman
Ular Putih jelas merasa terganggu! Maka ia pun
berhak marah. Berhak membalas sindiran Putri
Manja! "Soma...! Ah...! Enak sekali namamu sebenarnya," desah Rondo Kasmaran.
Suaranya dibuat semerdu mungkin. Tangannya pun lincah bermain
di lengan Siluman Ular Putih. Kelihatan sekali kalau sikapnya sangat dibuat-
buat. Rondo Kasmaran
tak peduli. Yang penting, dapat memanas-manasi
gadis cantik saingannya. "Ah...! Enak ya, kalau seandainya obrolan kita ini
terjadi di malam hari.
Apalagi waktu terang bulan. Hm...! Tak dapat ku-
bayangkan betapa enaknya. Kita dapat mengobrol
sesuka hati tanpa ada gangguan nyamuk!"
Panas sudah hati Putri Manja mendengar
sindiran Rondo Kasmaran yang jelas ditujukan ke-
padanya. Jelas harga dirinya tak sudi dikatakan
'nyamuk malam' yang hanya mengganggu kese-
nangan orang. Sebagai seorang gadis yang bi-
asanya dimanja gurunya, Putri Manja tak dapat
lagi menyembunyikan sikap aslinya.
"Eh.... Perempuan Sundal! Jaga mulutmu,
ya! Hati-hati kalau ngomong! Sembarangan saja
mengataiku 'nyamuk malam'. Apa kau pikir kau
sudah kecakepan, he"!" bentak Putri Manja, tanpa tedeng aling-aling.
"Eh.... Gadis Tengil! Tak ada hujan tak ada
angin, kenapa marah-marah padaku, he"! Bilang
saja cemburu. Begitu, kan?" balas Rondo Kasmaran tak kalah sengit.
"Perempuan keparat! Siapa yang cemburu"!
Beraninya kau menuduhku cemburu! Apa kau kira
aku tidak tahu apa yang kau bicarakan dengan
Tabib Agung, he"! Enak saja menuduh! Justru
kaulah yang tak tahu malu. Dasar Pengemis Cin-
ta!" sambung Putri Manja, galak
"Bacotmu sungguh lancang! Apa kau tak
pernah dididik sopan santun oleh gurumu, he"!"
"Jangan membawa-bawa nama Guru! Pe-
rempuan tak tahu malu macam kau, mana pantas
menyebut guruku"! Sekarang, enyahlah dari ha-
dapanku mumpung kesabaranku belum habis!"
"Jadi kau menantangku, Tengil?" desis
Rondo Kasmaran, penuh kemarahan.
"Kalau kau menginginkan itu, siapa takut"!"
sahut si gadis, tak kalah gertak.
"Eh..., tunggu! Ada apa ini" Kenapa kalian
jadi uring-uringan begini" Apa ada ayam kalian
yang dicolong maling?" lerai Soma setelah sebelumnya menatap penuh heran. Dan
pemuda ini jadi kaget bukan main melihat gelagat kedua orang temannya.
Tapi, mana sudi Putri Manja dan Rondo
Kasmaran menggubris omongan Siluman Ular Pu-
tih. Tanpa diperintah, kedua orang wanita cantik
itu kini telah berdiri berhadap-hadapan dengan
mata saling menatap tajam. Kemudian entah siapa
yang lebih dahulu memulai, kedua wanita itu telah bertarung sengit.
Tentu saja Soma yang jadi kewalahan sendi-
ri. Pemuda ini sibuk melerai dua sahabatnya yang
tengah bertarung. Tapi, percuma saja. Rondo
Kasmaran dan Putri Manja malah makin hebat sa-
ja bertarung. "Eh eh eh...! Kenapa sih kalian jadi bertengkar begini" Seperti anak kecil saja.
Ayo, hentikan!"
bentak Soma, langsung berdiri di tengah-tengah
kedua wanita yang bertarung itu.
Kedua tangan Siluman Ular Putih memben-
tang lebar-lebar. Seolah ingin menghalangi gerak
dua orang wanita yang telah sama-sama menghen-
tikan pertarungan, walaupun masih saling tatap.
"Memalukan! Apa yang sebenarnya kalian
ributkan, he"!" bentak Siluman Ular Putih lagi, penuh wibawa. Putri Manja dan
Rondo Kasmaran te-
tap berdiri di tempat masing-masing dengan napas
memburu. Gigi-gigi geraham mereka saling berge-
meletakkan pertanda masih dikuasai hawa ama-
rah. "Aku tidak meributkan sesuatu. Tapi, gadis tengil itulah yang terlebih dulu
memulai!" tuding Rondo Kasmaran kesal.
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang memulai" Kaulah yang terlebih
dulu menantangku bertarung!" sambar Putri Man-ja sengit. Runyam sudah urusannya.
Siluman Ular Putih tak tahu harus berbuat apa. Ia bingung, ha-
rus menyalahkan siapa. Apalagi untuk menentu-
kan siapa yang salah dan siapa yang benar.
"Sudah-sudah! Kalian tidak boleh berta-
rung! Memalukan! Lekas kembali ke tempat mas-
ing-masing! Duduk!" bentak Siluman Ular Putih saking kesalnya.
Putri Manja dan Rondo Kasmaran saling
memberengut. Tak puas dengan keputusan Silu-
man Ular Putih.
Maka tak heran kalau kedua wanita itu ma-
sih tetap berdiri di tempat masing-masing.
"Tolol! Apa kalian tuli" Aku menyuruh ka-
lian duduk! Bukan saling pelotot begitu, he!"
Putri Manja dan Rondo Kasmaran tak ber-
geming dari tempatnya berdiri.
Soma jadi bingung bukan main. Kedua
orang wanita itu sama-sama ngotot ingin melan-
jutkan pertarungan. Bagaimana mungkin dapat di-
lerai" Namun si pemuda juga tidak ingin mereka
melanjutkan pertarungan.
Di saat Siluman Ular Putih tengah kebin-
gungan, tiba-tiba Tabib Agung yang merasa ter-
ganggu dengan percekcokan Rondo Kasmaran dan
Putri Manja sudah berdiri tak jauh dari situ.
"Yang merasa tidak berkepentingan, baik-
nya tinggalkan saja tempat ini. Daripada membuat
onar di tempatku!"
Rupanya cukup manjur juga ucapan Tabib
Agung ini. Buktinya, Rondo Kasmaran jadi gelisah
sekali. Sebentar-sebentar matanya memandang ke
arah Putri Manja, sebentar beralih pada Siluman
Ular Putih. Dan terakhir ke arah Tabib Agung.
Seperti tak pernah menghiraukan kegelisa-
han Rondo Kasmaran, kakek penghuni puncak
Gunung Perahu itu kembali memeriksa tubuh ke-
tiga orang tamunya. Terkadang kening orang tua
itu terlihat berkerut-kerut. Lalu kepalanya terantuk-antuk seperti telah
menemukan sesuatu. Dan
kenyataannya memang demikian. Karena menda-
dak, Tabib Agung ke luar rumahnya, lalu berkele-
bat cepat ke barat. Entah mau apa. Mungkin hen-
dak mencari beberapa ramuan obat.
Rondo Kasmaran membantingkan kakinya
kesal. Kilatan sepasang matanya yang indah sem-
pat menyambar ke arah Putri Manja dan Siluman
Ular Putih, sebelum akhirnya berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa
kelebatan saja, sosoknya telah jauh dari tempat
ini. Siluman Ular Putih menggeleng-gelengkan
kepala, lalu disusul dengan gerutuannya yang tak
jelas.... 6 Rondo Kasmaran terus berkelebat cepat.
Tanpa arah tujuan. Ke mana saja kakinya melang-
kah, ke sanalah yang dituju. Isak tangisnya sejak turun dari puncak Gunung
Perahu terus menema-ni perjalanan. Dalam hati tak henti-hentinya mu-
lutnya mencaci Siluman Ular Putih dan Putri Man-
ja. Ia merasa kalau Siluman Ular Putih pilih kasih.
Buktinya pemuda itu tak mengejarnya sebagai
tanda kalau benar-benar mencintai. Inilah yang
sebenarnya mengusik hati Rondo Kasmaran!
Dari pandang mata. Rondo Kasmaran tahu
kalau Siluman Ular Putih memihak Putri Manja.
Meski tidak ditunjukkan secara nyata, namun se-
bagai wanita sudah berpengalaman dalam cinta.
Rondo Kasmaran jelas dapat merasakannya.
"Oh...! Kenapa nasibku buruk amat...?"
Rondo Kasmaran menjatuhkan tubuhnya di
tanah rerumputan. Sambil tengkurap isak tangis-
nya kembali diteruskan. Memelaskan sekali tam-
paknya. Bahunya bergerak-gerak. Isak tangisnya
pun terdengar amat menyayat hati.
"Oh...! Apakah ini karena salahku" Karena
aku tak mencintai Kakang Sungkono lagi...?"
Lagi-lagi Rondo Kasmaran menyebut men-
diang kekasihnya dulu. Teringat akan pendekar
muda yang dulu amat dicintainya, tangis Rondo
Kasmaran jadi makin memelaskan. Perasaannya
kalut bukan main. Hatinya hancur, oleh derita
yang haus akan kasih sayang.
"Maafkan aku, Kang! Kiranya cintaku pa-
damu sudah luntur. Karena kupikir, tak mungkin
aku selalu mencintaimu. Kau sudah enak-enakan
di alammu. Tinggal aku yang merana seperti ini.
Huh huh huh...."
Di tengah harunya Rondo Kasmaran, men-
dadak telinganya dikejutkan gerutuan seseorang
yang entah dari mana datangnya. Buru-buru Ron-
do Kasmaran meloncat bangun. Disekanya air ma-
ta dengan ujung lengan bajunya seraya mengamati
keadaan sekitarnya.
Dan tak jauh dari jalan setapak di hada-
pannya, tampak seorang kakek renta tengah me-
lenggang santai menuju ke tempat Rondo Kasma-
ran. Usianya sudah amat lanjut. Mungkin sudah
mencapai delapan puluh tahunan lebih. Tubuhnya
tinggi kurus mirip orang cacingan. Pakaiannya
tambal-tambalan, seperti pakaian pengemis. Wa-
jahnya tirus. Matanya sipit. Saking sipitnya, ma-
tanya harus mengerjap-ngerjap bila mengamati
keadaan sekitar. Bibirnya yang hitam pun tak hen-
ti-hentinya berkemik. Entah bersenandung apa"
Melihat siapa yang datang, jelas Rondo
Kasmaran kaget bukan main. Kakek tua yang
tampak tersuruk-suruk dengan tongkat di tangan
kanan tak lain adalah Raja Penyihir! Seorang to-
koh bangkotan dunia persilatan dari puncak Gu-
nung Tidar! (Mengenai Raja Penyihir, silakan baca dalam episode: "Manusia Rambut
Merah" dan
"Sengketa Takhta Leluhur").
Sesampainya di dekat Rondo Kasmaran, Ra-
ja Penyihir hanya memperhatikan wanita cantik
itu seketika. Kedua bibirnya terus berkemik-
kemik. Rondo Kasmaran mengira kalau Raja Penyi-
hir akan menyapa. Namun setelah ditunggu, ter-
nyata yang keluar bukanlah sapa ramah tua
bangka itu, melainkan gerutuannya yang tak jelas.
"Huh...! Ke mana aku harus mencari bocah
edan itu" Aku khawatir sekali. Dua hari lalu aku
mimpi buruk. Jangan-jangan bocah edan itu su-
dah tak bernyawa. Hm...."
Rondo Kasmaran kecewa berat. Dilihatnya
Raja Penyihir kembali melenggang santai. Tanpa
mempedulikannya sedikit pun.
"Maaf, Raja Penyihir! Kalau boleh tahu, se-
benarnya kau sedang mencari siapa?" sapa Rondo Kasmaran, akhirnya. Hatinya yang
panas rupanya masih dapat dikalahkan oleh mulutnya yang gatal.
Mendengar kata-kata Rondo Kasmaran, ter-
paksa Raja Penyihir menghentikan langkahnya.
Badannya berbalik sebentar. Diamatinya Rondo
Kasmaran tanpa berkedip. Keningnya berkerut-
kerut. Kedua bibirnya terus berkemik-kemik.
"Aku sedang mencari bocah edan itu. Aku
khawatir, ia sedang dalam bahaya. Dua hari lalu,
aku mimpi buruk! Bocah edan itu seperti hendak
dilumat setan atau naga gondrong. Aku tak tahu.
Tapi yang jelas, ia dalam bahaya. Aku harus cepat mencarinya. Apakah kau tahu,
Cah Ayu?" papar Raja Penyihir panjang lebar.
"Maksudmu bocah edan siapa yang kau cari
itu, Raja Penyihir?" balik Rondo Kasmaran.
"Ya sudah pasti muridku! Pakai tanya lagi!"
sungut Raja Penyihir.
Rondo Kasmaran menelan ludahnya seben-
tar. "Sabar-sabar," ucapnya dalam hati seraya mengelus dada.
"Iya, tapi siapa namanya?"
"Oh oh oh...!" Raja Penyihir tergagap. "Ya ya ya...! kau benar. Muridku memang
punya nama. Tapi siapa, ya" Ah ah...! Namanya, Soma. Julu-
kannya Siluman Ular Putih. Apakah kau tahu di
mana bocah edan itu berada?"
Mau tidak mau hati Rondo Kasmaran men-
celos juga mendengar nama orang yang sangat di-
cintainya disebut. Bagaimana tidak" Dia baru saja mencaci maki sekaligus
meratapinya. Kini, tahu-tahu ada orang mencari Siluman Ular Putih. Su-
dah pasti Rondo Kasmaran tahu, di mana Siluman
Ular Putih berada. Cuma untuk menjawabnya.
Rondo Kasmaran agak keberatan.
"Aku tahu. Raja Penyihir. Tapi...," sengaja Rondo Kasmaran menggantung
kalimatnya sampai
di situ. "Tapi apa" Cepat katakan!" sambar Raja Penyihir. Rondo Kasmaran
tersenyum-senyum. Sen-
gaja senyumnya diumbar untuk memancing kepe-
nasaran Raja Penyihir.
"Jangan senyum-senyum! Kau pikir aku ter-
tarik dengan senyummu, he"!" bentak Raja Penyihir galak.
"Yah...! Barangkali saja! Siapa tahu tua-tua keladi?" tukas Rondo Kasmaran
seenaknya. Raja Penyihir jadi gemas bukan main. Na-
pasnya tiba-tiba memburu. Tak henti-hentinya
tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke
tanah. Seketika, tanah di sekitarnya berlubang besar terkena ketukan tongkatnya.
Rondo Kasmaran tersenyum samar. Diam-
diam hatinya kagum sekali melihat kehebatan Raja
Penyihir. Hanya menggerak-gerakkan tongkatnya
begitu saja, mampu membuat lubang sebesar itu!
"Jawab pertanyaanku tadi, Cah Ayu! Di
mana Siluman Ular Putih berada"!" bentak Raja Penyihir lagi, tak sabar.
"Ya ya ya...! Aku akan memberitahukan pa-
damu. Tapi, ada syaratnya!" sahut Rondo Kasmaran. "Semprul! Pakai syarat segala
macam!" maki Raja Penyihir.
"Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Su-
dah pasti aku menginginkan balasanmu. Raja Pe-
nyihir," jawab Rondo Kasmaran diiringi senyum kemenangan.
"Baik. Katakan, apa syaratmu, Cah Ayu"!"
sahut Raja Penyihir akhirnya. Namun menilik kila-
tan matanya, patut dicurigai apakah Raja Penyihir akan memenuhi syarat itu atau
tidak. "Nah, begitu baru adil namanya. Tapi, kau
tentu tidak akan mengecewakan aku, kan" Kau
pasti mau memenuhi syaratku, kan?" berondong.
Rondo Kasmaran khawatir juga kalau dikibuli.
"Iya."
"Benar?"
"Benar!"
"Baik. Kalau begitu, akan kukatakan sya-
ratku." "Katakan saja!"
"Baik," Rondo Kasmaran menelan ludahnya sebentar. "Terus terang, aku hanya punya
satu syarat saja. Raja Penyihir. Kuharap, kau tidak
akan mengecewakan aku. Kau harus membantu-
ku! Kau harus...."
"Iya, iya! Tapi, apa syaratnya" Cepat kata-
kan! Jangan plintat-plintut seperti pesinden ke-
siangan!" hardik Raja Penyihir.
"Ini aku mau bicara. Kau sendiri yang tidak
sabaran." "Mana aku bisa sabar melihat muridku da-
lam bahaya," gerutu Raja Penyihir.
"Mau tahu syaratnya tidak?" tukas Rondo Kasmaran.
"Iya. Cerewet amat, sih!" sungut Raja Penyihir. "Dengar, Raja Penyihir! Aku
ingin kau membantuku mendapatkan Siluman Ular Putih
secepatnya. Aku sangat mencintainya. Kau sang-
gup, Raja Penyihir?"
Raja Penyihir kontan tersentak kaget. Tak
disangka kalau syarat macam itu yang diajukan
Rondo Kasmaran. Namun buru-buru Raja Penyihir
menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hm...! Cuma segitu. Sudah pasti aku dapat
memenuhi syaratmu. Sekarang katakan, di mana
muridku berada!"
"Dia..., dia sedang berada di puncak Gu-
nung Perahu. Sedang berdua-duaan dengan seo-
rang gadis cantik," jawab Rondo Kasmaran ketus.
Manakala mengucapkan 'sedang berdua-duaan
dengan seorang gadis cantik', mendadak hatinya
nyeri sekali. Seperti ada sembilu yang menyayat
hatinya. "Bagus. Kalau begitu, sekarang juga aku
akan ke sana."
"Tunggu, Orang Tua!" teriak Rondo Kasmaran, menahan langkah Raja Penyihir.
"Ada apa lagi?" sahut Raja Penyihir seraya berbalik lagi.
"Ingat, Orang Tua! Kau harus dapat melu-
nakkan hati muridmu agar mau denganku!"
"Baik.., baik."
"Awas kalau kau mungkir!"
"Baik.... Tenang saja...."
*** Soma senang sekali melihat hasil pengoba-
tan Tabib Agung. Tak disangka orang tua sakti da-
ri Gunung Perahu itu mampu mengobati luka da-
lam Bayi Kawak, Dewa Bogel, dan Lamdaur sece-
pat itu. "Hebat! Kau memang hebat, Orang Tua! Tak sia-sia rupanya kau mendapat
gelar Tabib Agung!
Nanti kalau aku sakit, pasti aku akan kemari. Mu-
lai hari ini, kau jadi tabib langgananku. Asal ong-kosnya jangan mahal-mahal,
Siluman Ular Putih 17 Maling Tanpa Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ya?" seloroh Siluman Ular Putih.
Putri Manja sendiri begitu melihat gurunya
mulai duduk bersila dan bersemadi, tak luput dari rasa gembira. Namun bila
teringat akan keakraban
Rondo Kasmaran dengan Soma tadi, mendadak
senyumnya hilang berganti wajah masam.
"Eh...! Kenapa kau cemberut saja, Putri"
Masa' gurumu sembuh malah sedih" Aku sendiri
yang bukan murid kakek bau pesing itu senang.
Kenapa kau tidak?" tanya Soma, heran melihat sikap Putri Manja.
Putri Manja tak menyahut. Hanya kilatan
matanya saja sebagai jawaban.
"Lho, kok malah melotot" Senyum dong!" seloroh Soma.
"Bodo!" sungut Putri Manja, kesal.
"Lho" Kok, malah marah-marah" Ada apa?"
"Diam kau! Aku tak sudi lagi berteman den-
ganmu!" "Itu lagi! Itu lagi! Apa tidak ada kata-kata lain yang lebih enak didengar
telinga selain kata-kata itu?"
"Aku benci padamu, Mata Keranjang!" sembur Putri Manja kasar.
"Oh...! Jadi kau masih ingat kejadian tadi,
ya" Kau merasa sakit hati, ya" Atau..., jangan-
jangan kau tersinggung dengan kekasaranku tadi,
ya" Ah...! Jangan begitu, dong! Masa' begitu saja tersinggung. Memangnya tadi
aku ngomong apa"
Jangan begitu, ah! Kau sendiri juga salah, sih! Kenapa omonganku tadi dimasukkan
ke hidung. Eh, salah! Dimasukkan ke hati" Jadi, ya.... Kau ma-
nyun terus! Ha ha ha...!" goda Siluman Ular Putih yang diakhiri tawa berderai.
"Diam kau, Bocah Edan! Lekas, duduk di
sana!" bentak Tabib Agung tiba-tiba. "Kau pikir aku senang melihat tingkahmu
apa?" "Yah...! Kau sendiri malah ikut-ikutan ma-
nyun, Orang Tua! Harusnya kau senang dapat
menyembuhkan ketiga orang itu," tunjuk Siluman Ular Putih ke arah Dewa Bogel,
Bayi Kawak, dan
Lamdaur. "Harusnya! Harusnya...!" omel Tabib Agung.
"Kau sendiri harusnya berterima kasih padaku, karena ketiga orang kawanmu itu
telah kusem-buhkan! Eh..., malah bertingkah!"
"Lho lho lho..."! Mereka itu bukan kawanku.
Bukan apa-apanya aku," kilah Soma.
"Tapi bukan berarti kau tidak harus mengu-
capkan terima kasih padaku!" tukas Tabib Agung.
"Ya...!"
"Kau keberatan, Bocah?" Tabib Agung cepat meloncat bangun. Tangannya yang
terkepal siap mengemplang jidat Siluman Ular Putih.
"Baik-baik!" sahut Soma. "Terima kasih, ya!
Kau telah menyembuhkan luka dalam Bayi Kawak
dan kedua kakek itu,"
"Nah, begitu...," kata Tabib Agung latah seraya menoleh pada Dewa Bogel dan
Lamdaur. "Hai, Bogel! Dan kau, Lamdaur! Cepat kemari!"
"Ada apa kau memanggilku, Tabib Agung?"
sahut Dewa Bogel dan Lamdaur hampir bersa-
maan. "Kemari! Kalian pun harus mengucapkan
terima kasih pada bocah edan ini! Karena, dialah
yang membawa kalian kemari."
Dewa Bogel dan Lamdaur sejenak saling
berpandangan. Tampak sekali kalau dua orang to-
koh sakti dari Hutan Pring Apus itu merasa heran
sekali melihat Siluman Ular Putih yang telah diker-jainya dua hari lalu telah
berada di puncak Gu-
nung Perahu. Ditambah, pemuda itu pulalah yang
telah membawa mereka menemui Tabib Agung.
"Ya ya ya...! Aku memang patut mengu-
capkan terima kasihku padamu, Pendekar Muda.
Maaf, kalau dua hari lalu aku sempat mengerjai-
mu!" ucap Lamdaur kaku. Kurang enak didengar telinga, karena hatinya masih
merasa sungkan.
"Iya, Pendekar Muda. Untung saja ada kau.
Kalau tidak, tak tahulah apa jadinya nasib kami,"
timpal Dewa Bogel.
"Eh...! Kau juga harus mengucapkan terima
kasih padaku, Cah Edan!" sentak Tabib Agung ke-lupaan.
"Yah...! Tadi aku kan sudah mengucapkan
terima kasih," sungut Siluman Ular Putih tak senang. "Kapan?"
"Tadi"
"Aku tidak dengar."
"Salahmu sendiri. Punya telinga tak pernah
dibersihkan!" cemooh Soma.
"Eh...! Malah memaki! Ayo ulangi lagi!"
"Aduuuh...! Tadi aku kan sudah ngomong."
"Bodo! Pokoknya kau harus mengulangi.
Ayo, cepat!"
"Baik," sahut Soma malas-malasan. "Terima kasih ya. Kau telah menyelamatkan
Kakek Bogel dan Kakek Jangkung itu."
"Nah...! Itu baru enak didengar," sahut Tabib Agung seraya mengipas-ngipas
dengan tangan. "Maunya siih begitu!" cemooh Soma lagi seraya menjebikkan bibir.
"Apa kau bilang?"
"Eh..., tidak. Aku tidak ngomong apa-apa
kok," sahut Siluman Ular Putih celingukan.
Tabib Agung menggerutu kesal. Dan men-
dadak matanya jadi liar.
"Eh...! Kalian semua dengar, ya! Buka telin-
ga lebar-lebar! Luka dalam kalian bertiga telah ku-sembuhkan. Sekarang, sudah
waktunya angkat
kaki dari tempat kediamanku ini! Cepat!" usir Ta-
bib Agung yang memiliki watak aneh.
Siluman Ular Putih, dan semua yang berada
di puncak Gunung Perahu jadi saling berpandan-
gan. Tak mengerti dengan perubahan watak tuan
rumah. "Kenapa kalian malah bengong saja" Apa kalian semua tuli, he"! Cepat
tinggalkan tempatku ini!" "Apa termasuk aku juga, Orang Tua?" tanya Soma
memberanikan diri.
"Ya. Kalian semua. Cepat tinggalkan tempat
ini!" tegas Tabib Agung.
"Yah..., tega amat! Kenapa kau buru-buru
mengusirku, Orang Tua?"
"Bocah Edan! Lekas tinggalkan tempat ini!"
hardik Tabib Agung, galak.
"Baiklah...."
Soma garuk-garuk kepala. Mulutnya ma-
nyun berat. Selangkah demi selangkah Soma mu-
lai bergerak meninggalkan Tabib Agung. Namun
kepalanya sesekali masih dipalingkan ke belakang.
Ketika Tabib Agung tidak mempedulikannya, baru
Soma mempercepat langkahnya meninggalkan
tempat itu. 7 Begitu Maling Tanpa Bayangan keluar dari
gua tempatnya bertapa, entah dari mana selalu
ada kekuatan gaib yang selalu menyertai. Ke mana
kedua kakinya melangkah, seolah kekuatan gaib
itu pun menyertai. Dan Maling Tanpa Bayangan
sendiri tak mau melawan kekuatan gaib itu. Diiku-
tinya saja kekuatan gaib itu.
Tanpa terasa, Maling Tanpa Bayangan terus
dituntun menuju utara. Terus disusurinya hulu
Sungai Serayu. Dan akhirnya, sampailah lelaki se-
sat ini di suatu tempat terpencil yang diapit oleh bukit-bukti terjal. Di
sanalah langkahnya berhenti.
Sejenak Maling Tanpa Bayangan memper-
hatikan keadaan sekitarnya. Keningnya berkerut,
seolah tak mengerti kenapa dirinya 'dibawa' ke
tempat itu. Sebuah lembah kecil di tepian telaga.
Maling Tanpa Bayangan tahu, telaga di hadapan-
nya bernama Telaga Menjer. Sebuah telaga yang
konon menyimpan banyak kekuatan gaib pula.
"Heran" Kenapa aku sampai di sini" Kenapa
aku tidak mencoba melawan kekuatan gaib yang
menuntun langkahku" Bukankah aku mengingin-
kan nyawa Siluman Ular Putih, sekaligus juga in-
gin menguasai dunia persilatan. Tapi, kenapa aku
malah kemari?" gumam Maling Tanpa Bayangan
tak habis pikir. Makin dalam saja keningnya ber-
kerut-kerut. "Hm...! Sulit kumengerti. Kenapa kekuatan gaib itu menuntunku
kemari" Apa tidak
sebaiknya mulai sekarang saja aku melawan ke-
kuatan gaib yang menuntun setiap langkahku dan
segera mencari Siluman Ular Putih" Ah...! Kupikir, baiknya memang demikian!"
Maling Tanpa Bayangan siap menjejakkan
kakinya untuk berkelebat, tapi mendadak telin-
ganya mendengar langkah-langkah halus mende-
kati tempat itu. Kemudian disusul berkelebatnya
beberapa sosok bayangan yang tahu-tahu telah
mengepungnya. "Ada larangan bagi siapa saja yang berani
Iblis Dan Bidadari 3 Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Pendekar Pemetik Harpa 18