Perhitungan Terakhir Nyi Peri 2
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri Bagian 2
"Oh, jangan berkata begitu, Nduk! Perhiasan ini
kuberikan sebagai untaian rasa kasihku ke padamu!"
Ronahyatun menghela nafas berat. Ia sungguh
tidak mengerti kenapa lelaki yang sudah mempunyai
lima orang istri, tiga belas anak, dan selikur cucu masih saja merayu orang
lain. Tak dapat ia membayang-
kan bagaimana kalau semua lelaki seperti itu.
Akan tetapi Raden Bei memang sepertinya tak
pernah mau perdulikan perasaan orang lain. Meskipun
wajah Ronah tampak memancarkan rasa tidak senang,
ia tetap saja merayu dengan bahasa yang puitis.
"Cobalah dengar detak jantung ku wahai pu-
jaan hati. Siang dan malam aku mendambakan dirimu.
Oh, dewiku. Betapa syahdunya tatapan matamu..."
Sambil berkata demikian, Raden Bei mendongakkan
wajah sedangkan kedua tangan dilipatkan di dada.
Kadang-kadang ia memejamkan mata.
Sikapnya yang kelihatan sangat lucu itu mem-
buat Ronahyatun tersenyum, seperti sedang melihat
orang sinting sedang melucu.
Namun senyum gadis itu malahan ditanggapi
Raden Bei sebagai ungkapan rasa kagum. Ia pun se-
makin bersemangat meneruskan rayuan gombalnya.
"Oh, senyum mu sangat menawan hati. Lesung
pipi mu membuat hatiku terbuai bak terbang di
awang-awang sorgaloka. Wajahmu yang rupawan ba-
gaikan bulan purnama. Oh, pujaan hati. Ulurkanlah
tanganmu yang halus dan lembut itu. Dekatkanlah pi-
pimu yang mulus itu...."
Ronahyatun merasa makin geli hingga tertawa
cekikikan. "Dekatkanlah ke mari, dewiku. Akan ku kecup
mesra dengan sepenuh jiwaku..."
Lalu tanpa diduga-duga, Raden Bei mengulur-
kan kedua tangannya, mengelus kedua belah pipi Ro-
nah. Secara perlahan, ditariknya wajah gadis itu se-
mentara wajahnyapun didekatkan, sehingga seperti
saling menyongsong.
"Dekat... dekat..." kata Raden Bei setengah ber-bisik. Ronahyatun terkejut bukan
main. Wajah Raden
Bei hampir merapat ke wajahnya.
Tetapi entah karena apa, ia tidak bisa berontak.
Sekujur tubuhnya terasa kaku, tak bertenaga sedikit-
pun juga. "Dekatlah, sayang. Oh..." Raden Bei mengelus leher Ronahyatun yang mulus. Lalu
perlahan, tangannya merayap turun dan bergerak liar. Ronah makin ke-
takutan! Semakin ia mencoba berontak, ia merasa se-
makin tak berdaya. Sedangkan barisan gigi Raden Bei
yang mirip kampak itu sudah mulai pula menyentuh
kulit lehernya. Ronah ingin berteriak, tetapi kerong-
kongannya pun terasa tersumbat. Ia hanya memaki-
maki dalam hati sambil berharap agar ada seseorang
datang untuk menyelamatkannya.
Tiba-tiba Raden Bei menjerit kesakitan, karena
ujung hidungnya dihantam sebuah benda yang sangat
halus yang di sambitkan dari luar.
"Aduh, hidungku!" teriaknya sambil memegangi ujung hidungnya yang sangat nyeri
dan terlihat merah
membenjol. Kebetulan seekor tawon terbang melayang tak
jauh dari tempat itu, suaranya berdengung-dengung,
seolah-olah sedang mengejek Raden Bei.
"Uh, sialan! Tawon itu rupanya yang menyengat
hidungku!"
Setelah hidungnya tidak terlalu nyeri lagi, Ra-
den Bei kembali menghampiri Ronahyatun, yang saat
itu masih terpaku di tempatnya, tak bisa bergerak ser-
ta mengeluarkan suara. Raden Bei semakin kegiran-
gan, karena terbukti sekarang obat mujarab yang dibe-
rikan Nyi Peri sangat ampuh. Ronah betul-betul tidak
bisa memberikan perlawanan sedikitpun juga.
"Rayuan ku memang betul-betul maut, mek.
Ronahyatun sudah terkesima. Kesempatan ini tidak ku
sia-siakan!" Raden Bei memeluk tubuh Ronahyatun,
lalu membaringkannya ke lantai. Hanya beberapa saat
kemudian, Raden Bei sudah menindih gadis itu.
Akan tetapi mendadak sebuah tangan mengge-
tok kepala Raden Bei dari arah belakang dengan keras
sehingga terdengar suara "Plak!" disusul teriakan kesakitan Raden Bei. Sambil
menahan rasa sakit di kepa-
lanya, laki-laki itu berpaling ke belakang. Maka tam-
paklah olehnya wanita penjual pecel yang baru saja
lewat di rumah Ronah.
Ternyata orang yang sejak tadi mengintip dari
luar adalah gadis itu sendiri. Dan ketika melihat Raden Bei menindih tubuh
Ronahyatun, ia menyambitkan
sebuah batu kecil dan dengan tepat menghantam hi-
dung lelaki itu. Tidak sembarang orang yang bisa me-
lakukan kehebatan seperti itu, karena selain harus
memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi, juga harus
menggunakan perhitungan cermat sehingga bidikan
bisa dengan tepat mengenai sasaran.
"Si... siapa kau?" seru Raden Bei terkejut.
"Jangan sentuh dia! Cepat tinggalkan tempat
ini!" bentak wanita penjual pecel itu. "Kau...?"
"Bangsat, cepat kau enyah dari sini. Atau kepa-
lamu akan ku potong!"
Bukan main geramnya hati Raden Bei dibentak-
bentak seperti itu, apalagi di hadapan Ronahyatun.
Tadi ia sudah hampir dapat melaksanakan niat bu-
suknya, merenggut kehormatan Ronah. Sebab kalau
itu misalnya sudah terjadi, Ronah sudah hampir dapat
dipastikan akan menjadi istrinya. Jika orang tua Ro-
nah marah, itu adalah urusan kedua. Dalam urusan
yang demikian, siapa yang berani menentangnya" Atau
kalau pun misalnya ada yang berani toh dengan mu-
dah dapat dibereskan tukang-tukang pukulnya.
Sekarang rencananya jadi gagal total. Gara-gara
wanita sialan itu. Ingin rasanya Raden Bei menginjak-
injak kepala dan merobek-robek mulut wanita itu. Te-
tapi karena pada dasarnya ia hanyalah lelaki pengecut, ia tak berani. Maka
timbullah niat busuk dalam benaknya untuk membalas perbuatan wanita itu.
Ketika penjual pecel itu membentaknya agar
segera keluar, Raden Bei mengangguk-angguk. Ia ber-
jalan sambil membungkuk-bungkuk dari hadapan si
penjual pecel. Akan tetapi secara mendadak ia memu-
kul perut lawan. Gerakan Raden Bei cukup cepat juga
dan karena dilancarkan secara tidak terduga-duga pu-
la, maka tampaknya akan sulitlah bagi wanita itu me-
nyelamatkan diri.
"Ciaat!" Dengan gerakan yang hampir tak bisa terlihat, wanita penjual pecel itu
berkelit hingga pukulan Raden Bei hanya menerpa angin beberapa sentime-
ter dari tubuhnya. Bersamaan dengan itu, kakinya
bergerak cepat bagaikan kilat mengait kaki Raden Bei
disusul pukulan ke arah dada.
"Buk! Augh...!" Pukulan wanita itu mendarat telak di dada Raden Bei. Tanpa ampun
lagi, tubuhnya terpental kemudian terbanting keras ke lantai diiringi suara jeritan kesakitan.
"Bangsat, pengecut! Rupanya kau berani juga
main-main dengan aku. Kau akan ku telanjangi saat
ini juga, biar tahu rasa dulu kau! Heh, monyet! Berdiri kau!" bentak penjual
pecel itu. "Jangan! Jangan bunuh aku!" "Huh, dasar pria pengecut! Tapi baiklah, kali ini
aku masih memaaf-kanmu. Sekarang, pergilah! Cepat tinggalkan tempat
ini. Jika kau masih berani macam-macam, kau tidak
akan kuampuni lagi!"
"Ya, ya!" sahut Raden Bei dengan suara geme-
tar, lalu melangkah ke luar pendopo rumah Pak Cokro.
Wanita penjual pecel menatap Ronahyatun
yang masih terpengaruh obat mujarab Raden Bei.
"Ronahyatun, bangunlah!" kata wanita itu sambil mengerahkan tenaga batinnya,
sehingga Ronah ter-
sadar. "Oh, apa yang telah terjadi?" seru gadis itu terkejut. "Tak ada sesuatu
yang terjadi. Tenanglah. Kau tidak apa-apa."
"Oh, kau Mbakyu pecel itu" Kenapa kau ada di
sini?" tanya Ronah setelah menyadari bahwa wanita yang menolongnya itu adalah
wanita penjual pecel.
"Ng... anu den ayu. Tetampah saya ketinggalan
tadi. Jadi saya datang lagi mengambilnya ke sini."
"Tetampah ketinggalan" Lalu... lalu orang
tua itu ke mana perginya?"
"Saya sudah menyuruhnya pulang."
"Aku... ah, aku..." Ronahyatun tidak mene-
ruskan ucapannya. Ia secara samar-samar masih ingat
ketika Raden Bei memeluknya tetapi ia sendiri tidak
bisa memberontak. Ia diam saja, seolah-olah kejadian
itu menyenangkan hatinya. Jangan-jangan penjual pe-
cel ini menganggapku wanita murahan, pikir Ronahya-
tun dengan perasaan tidak enak.
"Sudahlah, kau tak perlu memikirkannya. Ti-
dak ada apa-apa. Percayalah." "Terimakasih atas pertolonganmu."
* * * 6 Sementara itu, Raden Bei rupanya tidak lang-
sung meninggalkan tempat itu. Ia masih mengintip da-
ri balik pagar, ingin melihat lebih jelas wajah wanita yang baru saja
memperlakukannya. Namun ia sama
sekali tidak mengenalnya. Hanya wajahnya saja yang
terlihat sangat cantik, cuma lebih tua dari Ronahya-
tun. Setan wedok, kurang ajar. Kalau tak ada dia, si
Ronah pasti sudah beres, kata hati Raden Bei sambil
memaki-maki sendiri dan berjanji dalam hati akan
membalaskan perbuatan wanita itu.
Tetapi rupanya telinga penjual pecel itu sangat
tajam, sehingga dapat menangkap suara desah nafas
Raden Bei. Ia lalu melangkah ke dekat pagar, kemu-
dian memukul kepada Raden Bei dengan tetampah di
tangannya. "Cicak hidung belang ini masih mengintip-
ngintip saja!"
Raden Bei terkejut, lalu menunduk lebih rapat
lagi ke tanah, sambil mengharap wanita galak itu sege-
ra pergi. "Dasar tidak tahu malu. Sudah diusir masih ju-
ga mengendus-endus di sini. Apa pelajaran tadi belum
cukup bagimu" Kau ingin ku samakan dengan anjing,
ya?" Dengan sangat geramnya, wanita itu menarik
daun telinga Raden Bei kuat-kuat, hingga sangat nyeri
dan terasa bagaikan hendak putus.
"Wadouw, kuping ku! teriaknya kesakitan.
Rupanya wanita itu sudah mulai kehilangan
kesabaran. Setelah melepaskan kuping Raden Bei, ia
langsung menendang pantatnya kuat-kuat hingga tu-
buh lelaki kate itu terlempar beberapa meter.
"Aduh, pantat ku!" teriaknya sambil mengelus-elus pantatnya yang terasa sangat
pedih. Tampaknya
tak ada lagi harapan baginya untuk melaksanakan
niat hatinya yang telah tertunda tadi. Wanita asing itu, biar-
pun cantik ternyata galak bukan main. Maka Raden
Bei pun segera melangkah terpincang-pincang pulang
ke rumahnya. "Hi-hi-hi, orang sinting!" wanita penjual pecel tertawa cekikikan. Lalu kepada
Ronahyatun ia berkata
dengan ramah: "Nah, dia sudah pergi sekarang. Lari terbirit-birit ketakutan."
"Terimakasih, Mbak. Tanpa bantuanmu entah
apa yang akan terjadi padaku. Sekali lagi terimakasih!"
"Ah, hanya karena kebetulan saja. Seperti yang
kukatakan tadi tetampah ku ketinggalan. Namun se-
waktu mengambilnya, aku melihatnya hendak berbuat
kurang ajar padamu."
"Aneh, wanita hebat seperti engkau mau jadi
tukang penjual pecel."
"Siapa pun bisa jadi penjual pecel, sebab semua
orang butuh makan, bukan?"
"Ya. Tapi mungkin tak ada yang menyangka
engkau sehebat itu."
"Ah, sudahlah. Sekarang aku mau pergi dulu."
"Tunggu dulu, Mbak. Bolehkan aku tahu nama
mu" Aku ingin bersahabat denganmu."
"Saat ini sebaiknya namaku tak perlu kau ke-
tahui. Tapi percayalah, suatu saat kelak engkau akan
mengenal diriku," Tanpa menunggu lebih lama lagi, wanita itu segera pergi dan
hanya sekejap saja tubuhnya sudah lenyap dari pandangan Ronahyatun.
Sementara itu Raden Bei semakin jauh mening-
galkan rumah Pak Cokro. Pantatnya masih terasa sa-
kit, tetapi hatinya jauh lebih sakit lagi. Seumur hidupnya belum pernah ada
wanita yang berani memperla-
kukannya seperti itu. Ia sendiri pun sebenarnya heran, karena kedatangan perempuan tadi
secara tiba-tiba,
entah dari mana datangnya mendadak saja sudah be-
rada di pendopo Pak Cokro.
Raden Bei sangat kesal, tetapi ia pun harus
mengaku bahwa wanita itu sangat cantik dan bahenol
pula. Kalau misalnya dia tidak cantik, sudah sejak tadi kubikin mampus. Kalau
bukan di tanganku, akan
beres pula oleh Wirobakul atau Wirobrewok begitu wa-
nita itu tadi keluar rumah si Cokro tua, kata hati Ra-
den Bei sambil mempercepat langkahnya.
Sekarang ia memutar-mutar otaknya yang pe-
nuh akal busuk itu. Ia baru saja gagal menikmati ke-
mulusan dan kemontokan tubuh Ronahyatun. Tetapi
bukan Raden Bei Kiduling Pasar lagi namanya kalau
hanya gara-gara persoalan seperti itu langsung menye-
rah. Tidak! Apapun kesulitannya, ia pasti berhasil! Ia tentu akan dapat menggaet
Ronah. Dan perempuan
penjual pecel itu akan dikerjai, akan dijadikan santa-
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pan iseng. Setibanya di halaman rumah, beberapa anak
buah Raden Bei menyambut kedatangan juragan me-
reka dengan cara menundukkan kepala penuh hormat.
Beberapa di antaranya mengucapkan selamat malam,
dan yang lainnya berbasa basi Raden Bei dari mana.
Akan tetapi semuanya tidak dijawab Raden Bei.
"Ndoro Bei kok diam saja?" tanya salah seorang anak buah lelaki kaya itu.
"Ssst! Ndoro Bei lagi aneh!" bisik temannya.
"Ada yang perlu kami bantu, Ndoro Bei?"
"Huh!" Raden Bei mendengus bagaikan kerbau
kelaparan. Lalu ia melangkah masuk ke rumahnya, di-
iringi tatapan heran para anak buahnya.
Malam pun terus merangkak. Daerah gunung
Muria dan sekitarnya telah sunyi senyap. Tak terden-
gar lagi suara anak-anak bermain penuh keceriaan,
tak terdengar pula nyanyian para remaja menden-
dangkan lagu asmara. Hanya sesekali terdengar suara
burung malam yang kadang-kadang diselingi lolongan
anjing dari kejauhan.
Keheningan malam yang penuh kebisuan itu te-
rasa membawa suasana kedamaian. Tak terdengar su-
ara dentang senjata beradu memperebutkan patung
Ratu Shima. Tetapi bukan berarti persoalan selesai
hanya sampai di situ saja. Sebab saat ini, beberapa
bayangan bergerak bagaikan kilat di tengah-tengah
kebisuan malam. Mungkin hanya rembulan di atas
yang menyaksikannya dan sebentar lagi menjadi saksi
bisu atas sebuah peristiwa yang sangat menegangkan.
Di tengah hamparan ladang jagung, terdapat
sebuah gubuk kecil serta sederhana. Ukurannya hanya
sekitar dua kali tiga meter. Atapnya terbuat dari daun nipah yang dijalin
sedemikian rupa hingga bisa menahan air hujan hingga dalam pondok tidak basah.
Tiang-tiangnya terbuat dari bambu dan kayu bulat dan
hanya beralaskan tanah yang ditutupi jerami kering.
Dari dalam gubuk itu terdengar suara desah
nafas halus orang yang sedang tidur lelap. Siapakah
gerangan orang itu" Apakah pemilik ladang jagung
sendiri" Siapa tahu ia takut buah jagungnya yang ke-
betulan sudah mulai matang dicuri orang atau dima-
kan binatang liar.
Tetapi tidak! Wanita yang tidur di dalam gubuk
itu adalah seorang pengembara. Tidak mengenakan
pakaian sama sekali, tetapi sekujur tubuhnya yang tak
tertutup sehelai benang pun dihiasi tatoo bergaris-
garis. Ia tidur berbantalkan kedua tangannya sendiri
dengan posisi telentang dan kedua belah pahanya ter-
buka lebar. Dewi Tatoo! Ya, dialah Dewi Tatoo yang nama
aslinya sebenarnya adalah Setyatun. Agaknya ia cukup
kelelahan sehari ini hingga tidurnya sangat pulas. Te-
tapi bukan lelah karena bertarung atau bekerja di sa-
wah, melainkan berjalan-jalan sambil menggendong
bakul pecelnya.
Ya, wanita penjual pecel itu sebenarnya adalah
Setyatun sendiri. Ia sengaja mengenakan pakaian se-
perti halnya wanita lainnya sehingga tak seorang pun
mengenalnya. Rupanya selama ini Dewi Tatoo cukup banyak
mengetahui kehidupan Jaka, termasuk hubungannya
dengan Ronahyatun yang terancam oleh kerakusan
Raden Bei. Selain karena Jaka mirip dengan almarhum
kekasihnya Prawiro yang tanpa sadar menimbulkan
perasaan tersendiri dalam hatinya, ia juga merasa ber-
hutang budi terhadap pemuda itu karena pada waktu
lalu mau mengorbankan patung kayunya untuk men-
ciptakan patung Ratu Shima palsu. Selama ini ada do-
rongan kuat yang seolah-olah memaksa dirinya untuk
melihat Jaka ke tempat kerjanya di rumah Pak Cokro.
Tetapi tentu saja tak mungkin baginya datang terang-
terangan dalam keadaan telanjang. Itulah sebabnya ia
mengenakan pakaian dan menyamar seperti tukang
pecel. Demikianlah hati gadis itu langsung tergerak
setelah mengetahui Ronahyatun, kekasih Jaka dalam
kesulitan. Ia segera memberikan pertolongan, sehingga
selamatlah gadis itu dari cengkeraman Raden Bei. Ada
perasaan bahagia mengalir ke sanubari Dewi Tatoo ka-
rena dapat memberikan pertolongan terhadap Jaka.
Ya, sekalipun sebetulnya pemuda itu tidak mengeta-
huinya. Tidak apalah. Itu malah lebih baik.
Dalam keadaan tertidur pulas, tiba-tiba terden-
garlah suara bisikan gaib menyuruhnya bangun. En-
tah dari mana asalnya suara itu, Dewi Tatoo tidak da-
pat memastikan. Namun karena suara itu, ia menjadi
terbangun. Diperhatikannya keadaan di sekelilingnya,
tak ada sesuatu yang mencurigakan. Maka sadarlah ia
bahwa bisikan itu bukanlah suara manusia biasa, me-
lainkan bisikan batin yang entah siapa pengirimnya.
"Dengarlah, ambil patung yang kau sembunyi-
kan itu dan kembalikan ke tempat asalnya!"
Hei, siapa yang berkata melalui pendengaran
batin ku" Tanya hati Setyatun sembari mengerutkan
kening. "Aku si Tolol. Sebelum fajar kau harus menggali tanah di kaki gunung
Muria dan kembalikanlah patung itu ke dalam petinya yang masih di dalam tanah."
"Tidak! Patung itu akan kumusnahkan dalam
api abadi. Aku akan memusnahkannya!" teriak hati Setyatun. Diam-diam ia terkejut
juga setelah mengetahui
yang bicara melalui pendengaran batinnya adalah si
Tolol sendiri. "Kau jangan membantah, Setyatun!"
"Tapi jika aku kembalikan, mereka akan mem-
perebutkannya kembali. Aku tidak suka itu. Mereka ti-
dak segan-segan membunuh hanya untuk merebut pa-
tung itu."
"Aku sendiri pernah jadi korban, dikubur hi-
dup-hidup oleh almarhum kekasihmu Prawiro di da-
lam lubang itu. Tetapi kemudian aku menyelamatkan
diri. Tetapi sekarang kau tidak boleh membantah. Ini
perintah dari Ratu Shima sendiri dengan perantaraan
diriku untuk mengatakannya padamu. Karena besok
ada seorang profesor Belanda, yang akan mencari pa-
tung itu dengan tujuan baik!"
"Baiklah kalau begitu. Aku akan melaksana-
kannya." "Terimakasih. Sampai jumpa nanti."
Setelah suara itu tidak terdengar lagi, Setyatun
duduk termenung sendiri. Ia teringat lagi tekadnya
tempo hari untuk memusnahkan patung Ratu Shima
dalam api abadi di dalam gua puncak gunung Muria.
Di dalam gua itulah dia bersama Jaka pada
waktu lalu membuat patung Ratu Shima tiruan, se-
mentara si Tolol saat itu masih tertidur pulas dengan
suara dengkurnya yang mirip dengkur kerbau. Patung
tiruan diberikan kepada si Tolol, sedangkan yang asli
dibawa oleh Dewi Tatoo. Patung tiruan itulah yang ke-
mudian diperebutkan para tokoh persilatan dan kini
berada di tangan nenek tua Nyi Peri. Namun sebelum
melaksanakan niat hatinya, terdengar perintah yang
mengatakan patung asli harus dikembalikan ke tempat
semula. Saat itu juga, Setyatun memutuskan akan me-
nuruti perintah itu. Mengembalikan patung Ratu Shi-
ma ke tempatnya semula dan melihat apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Pada saat yang bersamaan, beberapa bayangan
hitam tampak berkelebat dari sela-sela pepohonan,
kemudian mengurung istana Nyi Peri yang tampak
angker di tengah malam itu. Ternyata pada saat ber-
samaan para pendekar mengetahui bahwa patung Ra-
tu Shima sekarang berada di tangan nenek tua keriput
itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, satu per satu to-
koh persilatan itu melesat menuju rumah Nyi Peri dan
tiba pada waktu yang hampir bersamaan pula.
Patung itulah yang beberapa hari lalu dibeli
Raden Bei Kiduling Pasar dari Jaka dengan harga yang
sangat mahal. Juragan kaya itu sama sekali tidak
mengetahui bahwa patung itu hanyalah tiruan. Ter-
nyata Nyi Peri yang memiliki kesaktian yang sangat
tinggi juga bisa tertipu.
Sekarang wanita tua itu sedang memperhatikan
patung emas itu di kamarnya. Diamatinya patung itu
dengan seksama. Ternyata permata intan yang tersu-
sun menghiasi patung itu tidak ada lagi, membuat Nyi
Peri mengerutkan kening pertanda curiga. Tetapi ke-
mudian ia merasa yakin bahwa itu adalah perbuatan
Raden Bei yang mata duitan. Ia tahu betul perangai ju-
ragan kaya itu, selalu memanfaatkan kesempatan apa
saja untuk memperkaya diri sendiri. Atau besar ke-
mungkinan Raden Bei mencongkel permata-permata
itu untuk mas kawin buat Ronahyatun. Demikianlah
dugaan Nyi Peri, sehingga tidak menyadari bahwa pa-
tung di tangannya adalah tiruan.
Biarlah si Bei gila itu mengambil permata pa-
tung ini. Yang penting bagiku adalah isi patung, surat wasiat Ratu Kalingga
tentang rahasia kecantikannya,
kata hati Nyi Peri sambil tertawa cekikikan dengan su-
ara mirip kuntilanak. Di goyang-goyangnya patung itu.
Terdengar suara benda-benda halus di dalam rongga
patung. Tentulah itu daun lontar berisikan surat wa-
siat. Aku akan awet muda dan cantik jelita kembali,
lalu bisa kawin dengan perjaka-perjaka, bisik wanita
tua itu semakin girang. Ia sudah memutuskan mem-
buka penutup di bagian kaki patung itu untuk men-
gambil isinya. Tetapi terlebih dulu ia harus memasang
pertahanan atau pelindung, berupa Boneka Pundut
Nyawa, karena ia sadar setiap saat tokoh-tokoh persi-
latan bisa datang ke rumahnya untuk merebut patung
itu. Boneka Pundut Nyawa itu adalah boneka-
boneka yang terbuat dari kain dengan bentuk orang-
orang tertentu dari musuh-musuh Nyi Peri. Dengan
agak tergesa-gesa, Nyi Peri menempelkan boneka-
boneka di setiap pilar istananya yang misterius. Den-
gan boneka-boneka ini aku akan aman dari incaran
musuh-musuhku, pikir wanita tua itu.
Benda-benda itu ditempelkan dengan menggu-
nakan paku kayu jati dan dalam waktu singkat semu-
anya sudah dianggap beres.
Setelah itu, Nyi Peri duduk bersila untuk ber-
semedi. Bibirnya yang sudah keriputan komat kamit.
"Hamba memohon pertolongan paduka Calon
Arang untuk memusnahkan musuh-musuh hamba!"
bisik wanita tua itu.
Sungguh ajaib, dari paku kayu jati yang me-
nancap ke tubuh boneka itu tiba-tiba keluar asap
mengepul disertai suara mendesis-desis. Nyi Peri
menghentikan semedinya, lalu tertawa cekikikan kare-
na ia sudah yakin bahwa dirinya telah aman. Dan mu-
suh-musuhnya pun kini pasti sekarat oleh ilmu gaib-
nya. Pengaruh ilmu Boneka Pundut Nyawa itu me-
mang luar biasa! Para pendekar yang mengepung ru-
mah Nyi Peri dan yang boneka dirinya tertancap di pi-
lar-pilar istana Nyi Peri, secara tiba-tiba merasa perutnya perih, melilit-
lilit, seolah-olah ada seekor binatang buas yang sedang meronta-ronta di dalam
ususnya. Pendekar Betawi Mat Caplang yang berada di
samping kamar Nyi Peri mengaduh-aduh sambil me-
megangi perutnya yang terasa sangat sakit, bahkan
jauh lebih sakit dari rasa sakit yang pernah dirasa-
kannya. "Aduh, perutku! Kenapa tiba-tiba jadi perih be-
gini?" kata Mat Caplang tanpa sadar.
Pendekar Irak Husein pun mengalami hal yang
sama. Saking sakitnya, ia malah sempat berguling-
guling di tanah. Ia merasa mau muntah, tetapi tak ada
yang bisa di muntahkan. Sementara seisi perutnya
semakin melilit-lilit.
Sepasang pendekar berusia muda dari daratan
Tiongkok, Hong Lie dan adiknya Giok Nio secara tiba-
tiba juga merasa sakit perut. Keduanya mencoba ber-
tahan hingga mengeluarkan keringat dingin, namun
makin lama terasa sakit.
"U-uh! Perutku sakit!" rintih Giok Nio.
"Ekh! Aku juga, Giok Nio. Sakit sekali!"
"Apa kita salah makan" Atau mungkin keracu-
nan...." Hong Lie menghela nafas dalam-dalam. Sebagai pendekar yang sudah
memiliki kesaktian tinggi dan telah mengetahui banyak ilmu aneh atau ilmu-ilmu
hi- tam, ia segera dapat menyadari bahwa sakit perut yang
dialaminya sekarang bukan penyakit biasa. Jika sean-
dainya ia salah makan atau keracunan seperti yang
diduga Giok Nio, ia akan segera mengetahuinya. Tidak
mungkin! Mereka pasti terkena pengaruh ilmu hitam
seseorang. "Giok Nio, cobalah bertahan! Kita tidak mung-
kin keracunan. Ini adalah pengaruh ilmu hitam nenek
tua penghuni istana ini!" kata Hong Lie.
"Tapi sakit sekali!" ujar Giok Nio meringis.
"Pusatkan perhatian! Lalu salurkan tenaga da-
lammu ke dalam lambung!"
"Ilmu sialan!" maki Giok Nio kesal. Dara jelita itu segera menuruti saran Hong
Lie. Ia dan kakaknya
segera duduk bersila untuk membuyarkan pengaruh
ilmu hitam Nyi Peri.
Mat Caplang pun rupanya sudah terlebih dulu
menyadari bahwa sakit perut itu adalah ulah si nenek
tua Nyi Peri. Ia pun sudah duduk bersila sambil men-
gerahkan ilmunya yang tinggi melawan pengaruh ilmu
hitam lawan. "Lu nggak bakalan bisa ngelawan gua!" kata
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendekar Betawi itu geram. Terjadilah pertarungan ja-
rak jauh menggunakan ilmu hitam antara dua tokoh
silat yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi itu.
Tubuh Mat Caplang bergetar hebat dan kadang-kadang
terlihat terdorong mundur hingga hendak terpental.
Tetapi ia terus bertahan sekuat tenaga, lalu mengerah-
kan tenaga melakukan serangan balik.
Nyi Peri segera mengetahui bahwa ilmunya se-
dang menghadapi perlawanan hebat dari musuh. Maka
ia pun kembali bersemedi memperkuat pertahanan.
Namun karena semua lawan memberikan serangan ba-
lik cukup kuat, wanita tua itu akhirnya menjadi kewa-
lahan. Paku kayu jati yang menancap di boneka Mat
Caplang terlepas meloncat ke luar.
"Kurang ajar! Si kumis panjang itu rupanya da-
pat mengatasi ilmuku!" bentak Nyi Peri geram.
Tiba-tiba terdengar teriak dahsyat hingga seke-
liling tempat itu terasa bergetar. Tubuh Mat Caplang
yang tadi duduk bersemedi mencelat menerjang tem-
bok rumah Nyi Peri, dengan mengerahkan segala tena-
ga dalamnya. "Brusss!" Tembok itu jebol diterjang Mat Caplang. Debu dan batu bata beterbangan
ke arah Nyi Pe-
ri. Wanita tua itu menjadi terkejut. Namun sebelum
sempat berbuat apa-apa kilatan senjata lawan sudah
menyambar ke arah lehernya.
"Bangsat!" Nyi Peri memaki lalu segera meloncat tinggi hingga serangan lawan
hanya mengenai an-
gin. Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuh Nyi
Peri mendarat dengan sangat ringan agak jauh di ha-
dapan Mat Caplang.
"Kurang ajar! Rupanya kau mampu juga meng-
hadapi ilmu Pundut Nyawaku," bentak Nyi Peri meng-ketok-ketok lantai dengan
tongkat bengkoknya. Sambil
berkata begitu tadi, sepasang matanya mencorong ta-
jam dan merah bagaikan memancarkan api. Bibirnya
yang sudah keriputan terkatup rapat, sedangkan jema-
ri tangannya dengan erat mencekal tongkatnya. Karena
wanita itu berdiri tegak tanpa bergerak-gerak, kecuali gerak bahunya sewaktu
bernafas, ia terlihat bagaikan
sebuah patung yang sengaja diciptakan untuk meng-
gambarkan kemurkaan setan atau iblis. Dari sinar ma-
tanya terpancar hawa nafsu membunuh yang tiada
terbendung lagi.
* * * 7 Diam-diam Mat Caplang agak terpengaruh juga
menyaksikan sikap Nyi Peri. Tetapi seperti yang sering dikatakannya, ia mungkin
tak akan menginjakkan kakinya di daerah gunung Muria kalau hanya melihat
penampilan lawan yang seram sudah ketakutan. Ia
pun bisa menatap Nyi Peri dengan mata melotot tak
berkedip. "He-he-he, nenek tua peot dan jelek kayak mo-
nyet. Kau pikir ilmu seperti itu ada artinya bagiku" Il-mu seperti itu hanya
bisa nakut-nakutin anak kecil.
Dasar nenek jelek lu! Kayak setan!" Mat Caplang memaki-maki.
Dihina dirinya perempuan tua yang sangat je-
lek, perasaan Nyi Peri jadi sangat tersinggung. Dalam
masalah yang satu ini, perasaannya memang sangat
peka. Itu sebabnya selama ini ia mau mati-matian me-
rebut wasiat Ratu Shima tentang kecantikan. Karena
ia begitu berambisi supaya dapat cantik dan awet mu-
da kembali agar dapat kawin dengan perjaka-perjaka.
Sekarang seorang lelaki yang merupakan musuh-nya
pula menghina dirinya jelek dan peot. Hinaan seperti
itu tidak akan pernah di maafkan Nyi Peri. Maka seba-
gai tebusannya adalah nyawa Mat Caplang sendiri.
"Kau telah begitu lancang menghinaku, bede-
bah! Untuk itu, kau harus menebusnya dengan nya-
wamu sendiri!"
"Ha-ha-ha, jadi gue apa harus bilang lu cewek
cakep. Lucu! Monyet saja belum tentu mau bilang lu
cakep, nenek peot!"
"Bangsat! Mampus kowe!" Nyi Peri berteriak
nyaring sambil meloncat menerjang Mat Caplang. Tu-
buhnya melayang bagaikan terbang dan tongkatnya
diputar cepat sekali menimbulkan sinar kehitam-
hitaman bergulung-gulung disertai suara menderu-
deru. Sewaktu tubuhnya meluncur turun, ujung
tongkatnya meluncur ke arah ubun-ubun Mat Cap-
lang. Melihat serangan itu sangat berbahaya, Mat Cap-
lang segera meloncat mundur. Tetapi tongkat Nyi Peri
seperti mempunyai mata saja. Setelah serangan per-
tama lolos, langsung menyambar ke arah dada lawan
bagaikan seekor ular mematuk mangsa.
Secepat kilat Mat Caplang mengayunkan golok-
nya untuk menangkis serangan itu. Terdengar suara
berdetak ketika kedua senjata itu beradu keras. Dan
Mat Caplang menjadi terkejut mana kala tangannya te-
rasa gemetar hebat. Sadarlah ia bahwa tenaga nenek
tua peot itu masih sangat kuat, bahkan mungkin lebih
kuat dari tenaganya sendiri.
Belum sempat mengatur kuda-kuda, ujung
tongkat Nyi Peri sudah menyambar lagi. Kali ini men-
gincar selangkangan Mat Caplang dengan kecepatan
penuh. Mat Caplang berkelit ke samping, lalu menya-
betkan goloknya ke arah dada lawan. Tetapi rupanya
serangan Nyi Peri tadi hanya pancingan belaka. Karena
begitu Mat Caplang mengelak, tongkat itu sudah me-
nyambar ke arah pinggang.
"Buk!" Dengan telak tongkat itu menghantam
pinggang Mat Caplang, sehingga membuat tubuh lelaki
itu terlempar beberapa meter. Wajahnya sebentar pu-
cat dan sebentar merah padam. Seisi perutnya terasa
berguncang hebat, sehingga kakinya lemas dan hen-
dak muntah-muntah.
Mat Caplang segera menyalurkan tenaga da-
lamnya ke arah pinggang untuk menekan rasa sakit
yang luar biasa. Setelah itu, ia segera meloncat bangun sambil menatap Nyi Peri
dengan mata mencorong tajam. "He-he-he, hanya begitukah kepandaian mu,
kambing congek" Tak kusangka kumis mu yang pan-
jang melengkung itu hanya bisa menakut-nakuti anak
kecil," ejek Nyi Peri sambil terkekeh-kekeh.
"Sialan lu, nenek peot. Lu jangan kirain gue
udeh kalah. Gue masih sanggup mampusin lu orang!"
"Masih banyak ngomong lagi nih, monyet!
Mampus kowe!" Nyi Peri kembali menerjang Mat Cap-
lang dengan dahsyat. Tubuhnya bagaikan kapas saja
melayang ke arah lawan. Sedangkan tongkat bengkok-
nya menukik tajam ke arah ulu hati Mat Caplang.
Pendekar Betawi itu segera memutar senjatanya
untuk melindungi diri. Kembali terdengar suara berde-
tak, dua senjata beradu keras. Beberapa saat kemu-
dian, tangan kiri Nyi Peri menyambar dahsyat ke dada
lawan. Sangat cepat serangannya, sehingga tak ada pi-
lihan lain bagi Mat Caplang selain menangkis pukulan
lawan. "Duk!" Kedua lengan yang kekar dan kurus itu beradu. Tetapi segera
terlihat walaupun lengan Nyi Peri sangat kecil, tenaganya malah lebih unggul.
Tubuh Mat Caplang terdorong mundur dengan tangan yang
terasa perih dan kesemutan.
Sebelum sempat menguasai keseimbangan tu-
buh, ujung tongkat Nyi Peri sudah menyambar lagi ke
arah leher Mat Caplang. Tak terkatakan betapa terke-
jutnya hati Mat Caplang. Secepat yang bisa ia lakukan, ia membantingkan tubuh ke
belakang, hingga selamatlah dirinya dari hantaman tongkat lawan.
Akan tetapi secara tidak terduga-duga, dari
tangan Nyi Peri meluncur tiga buah senjata rahasia be-
rupa konde kecil dan runcing. Serangan itu sangat di
luar dugaan, sehingga Mat Caplang tidak sempat lagi
mengelak. Ketiga senjata rahasia itu dengan telak ter-
tancap di dadanya.
"Akh...!" Mat Caplang menjerit kesakitan. Pandangan matanya seketika berkunang-
kunang dan se- kujur tubuhnya tidak berdaya sama sekali. Ia mencoba
bangun dengan memaksakan diri, namun hanya
mampu mengangkat kepala beberapa saat, lalu terku-
lai lagi. Rupanya senjata rahasia nenek tua itu men-
gandung racun yang sangat berbahaya, dan dalam
waktu singkat menjalar ke seluruh tubuh Mat Cap-
lang. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, seku-
jur tubuh lelaki itu segera membiru kehitam-hitaman.
Sadarlah pendekar Betawi itu bahwa dirinya sekarang
sedang terancam bahaya maut. Sebagai pendekar yang
memiliki kesaktian tinggi dan telah berpengalaman pu-
la, ia menyadari jika tidak secepatnya mendapatkan
pertolongan, ia akan segera kehilangan nyawa. Maka ia
kembali bangkit, namun tetap tak mampu, bahkan te-
rasa semakin lemas dan kesakitan.
"Selamat bersenang-senang, kawan! Percayalah,
sebentar lagi maut akan segera menjemput mu."
"Bedebah kau!"
"Teruskan makianmu, biar kau puas. Tidak pe-
nasaran meninggalkan dunia ini!"
"Diam lu, bangsat! Kubunuh kau...."
"Kalau begitu berdirilah! Jangan hanya mulut-
mu saja yang mengoceh kayak pantat ayam hendak
bertelor!" Nyi Peri tertawa panjang, sehingga mirip suara ringkikan makhluk
halus di tengah malam. Lalu ia
kembali menatap Mat Caplang dengan sinar mata
mengejek. "Kenapa kau diam saja, monyet kurapan"
Kau tentunya sangat kesakitan sekarang, bukan?"
"Diam!" Mat Caplang berteriak dengan sisa-sisa tenaganya.
"Bagus! Bagus! Dalam keadaan sekarat kau
masih berani memaki-maki aku. Sekarang bersujudlah
di hadapanku dan mohon ampunan. Aku akan men-
gampunimu dan memberikan obat penawar racun itu."
"Bedebah! Lebih baik mati!"
"Kau memang sudah mau mati. Dengar, hanya
beberapa saat lagi. Kau tidak akan merasakan apa-apa
lagi. Ya, engkau akan merasa damai dan tenteram."
"Sundel! Kampret lu!" teriak Mat Caplang. Tetapi setelah itu, ia merasa dirinya
bagaikan melayang-
layang. Rasa sakit yang dideritanya sudah mencapai
puncaknya, Lalu perlahan-lahan, ia tidak merasa apa-
apa lagi. Matanya mendelik, hingga yang kelihatan
hanya Bagian putihnya saja. Ia memaksakan diri men-
gangkat kepala hendak mengucapkan kata-kata ma-
kian. Tetapi suaranya hanya sampai di kerongkongan.
Kepalanya terkulai lemas dengan mata yang masih
mendelik, tetapi nyawanya sudah terbang meninggal-
kan raga. "Begitulah nasib semua orang yang berani me-
nantang dan menghina Nyi Peri!" kata nenek tua itu sambil menyeringai buas. Ia
hendak melangkah ke mejanya kembali untuk memeriksa patung emas. Namun
mendadak terdengar bentakan nyaring disertai suara
gebrakan membobol atap rumah.
"Serahkan patung itu padaku! Atau kau akan
mampus di tanganku nenek peot!" bentak Husein. Sejak tadi pendekar Irak itu
mengintai dari atap, dan
membiarkan Mat Caplang terdesak. Sebab ia pun
mengharapkan pendekar Betawi itu tewas di tangan
Nyi Peri. Dengan demikian, musuhnya akan
berkurang. Karena tak mengira masih ada pendekar lain di
sekitar rumah itu, Husein segera meloncat turun den-
gan cara membobol atap rumah. Sambil meluncur tu-
run, lembaran permadaninya diayun-ayunkan dengan
kecepatan luar biasa hingga membentuk gulungan si-
nar merah disertai suara menderu-deru bagaikan an-
gin puting beliung.
"Sundel!" teriak Nyi Peri geram. Lalu ia segera meloncat jauh hingga serangan
lawan lolos. Husein
mendarat di lantai dengan sangat ringan hingga ham-
pir tak menimbulkan suara.
"Wah, si Bulbul ini lagi yang muncul. Apa kau
tidak takut mampus di tanganku" Lihat, monyet itu
pun sudah tidur dengan tenang!"
"Ha-ha-ha, tentu saja dia akan tidur karena ia
memang tidak dapat berbuat apa-apa. Jangan sama-
kan dia dengan diriku. Kau boleh merasa bangga kare-
na berhasil merobohkannya. Tetapi jangan mengira
kau bisa melakukannya terhadap diriku. Kau tentunya
masih ingat pertemuan kita da-hulu. Sekaranglah
saatnya untuk membuktikan siapa di antara kita yang
lebih kuat!" kata Husein.
Beberapa waktu lalu, kedua tokoh persilatan
itu memang sudah pernah bertarung. Namun saat itu
pertarungan mereka tidak lebih dari tiga puluh jurus
dan boleh dikatakan berlangsung imbang, sehingga
sampai sekarang belum bisa dipastikan siapa di antara
keduanya yang paling hebat. Agaknya tanpa dapat di-
elakkan lagi, sekarang mereka akan membuktikannya.
"Betul-betul lelaki tak tahu diri kau! Saat itu
aku sengaja bermurah hati. Dan kau seharusnya ber-
terima kasih lalu sujud di hadapanku, karena saat itu
aku masih memberimu waktu untuk hidup lebih lama
lagi." "Kenapa tidak kau lakukan saja, nenek peot"
Tidak sadarkah kau bahwa dirimu sangat beruntung
dan terhormat bisa berhadapan dengan aku" Kau se-
harusnya tinggal di hutan bersama monyet-monyet ka-
rena tampangmu memang mirip hewan itu."
"Sumpah di samber petir, akan ku copot jan-
tungmu berani berkata selancang itu pada Nyi Peri."
"Aku tahu kau ingin mendapatkan rahasia ke-
cantikan Ratu Shima supaya kau awet muda dan can-
tik sekali, lalu kawin dengan perjaka-perjaka. Bukan-
kah itu memang kebiasaan mu, wanita peot" Kau tak
sadar bahwa jangankan manusia, kelinci saja mungkin
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah jijik melihat tampangmu!"
"Bangsat! Mampus kau!" Nyi Peri membentak
geram. Lalu secara tiba-tiba menerjang Husein. Tong-
katnya diputar cepat sekali dan setiap saat siap me-
nyambar tubuh lawan dari segala arah. Agaknya wani-
ta tua itu sudah memutuskan akan membunuh la-
wannya secepat mungkin. Ia segera mengeluarkan ju-
rus-jurus mautnya. Dan ketika lawan mundur, ia
kembali menyambitkan senjata rahasianya ke arah da-
da Husein. Akan tetapi dengan gerakan yang tidak kalah
cepatnya, Husein melindungi dirinya dengan permada-
ni, hingga senjata rahasia berupa tusuk konde itu ter-
pental ke dinding. Tadi sewaktu Nyi Peri bertarung
dengan Mat Caplang, Husein diam-diam memperhati-
kan cara Nyi Peri menyerang dan melindungi diri. Den-
gan demikian, setelah mengetahui kelebihan dan kele-
mahan Nyi Peri, Husein dapat lebih berhati-hati meng-
hadapi serangan lawan dan berusaha sebaik mungkin
memanfaatkan kelemahan lawan untuk bisa meraih
kemenangan. Sepuluh, dua puluh dan tiga puluh jurus telah
berlalu. Belum ada tanda-tanda siapa yang akan me-
menangkan pertarungan sengit itu. Keduanya silih
berganti menyerang dan menghindar. Nyi Peri jadi pe-
nasaran. Sekaligus sadarlah dirinya bahwa dalam
menghadapi Husein ia harus merubah gaya berta-
rungnya, karena tampaknya lawan sudah bisa memba-
ca gerakannya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya kemudian
terlihat serampangan dan tidak beraturan. Namun di
balik itu tersimpan serangan yang sangat berbahaya.
Gerakannya selain cepat dan kuat, juga mengandung
perkembangan yang sangat tidak terduga serta penuh
tipu daya. Kadang-kadang wanita tua itu sengaja mem-
biarkan tubuhnya di serang. Tetapi secepat kilat ia
mengelak lalu menyerang dengan dahsyat. Di sinilah
terlihat bahwa walaupun sudah tua, gerakan Nyi Peri
masih sangat cepat. Secara perlahan-lahan ia
dapat mendesak Husein, hingga akhirnya
hanya bisa bertahan tanpa sempat lagi memberikan
serangan balasan.
"Kau akan segera mampus di tanganku, bede-
bah!" bentak Nyi Peri semakin bersemangat melihat lawannya mulai keteter.
"Kaulah yang mampus!" teriak Husein sekedar
untuk menutupi rasa gentar di hatinya.
Nyi Peri semakin memperkuat tekanannya. Dan
setiap kali Husein kerepotan, ia melontarkan senjata-
senjata rahasianya. Makin lama makin terdesaklah ja-
goan dari negeri Irak itu. Suatu ketika, Nyi Peri memukul lutut Husein, sehingga
lelaki itu terpaksa harus
meloncat tinggi untuk menghindar. Namun sewaktu
tubuhnya masih melayang di udara, tongkat Nyi Peri
yang diputar cepat sehingga tampak berubah jadi ba-
nyak sekali sudah menyambar- nyambar. Husein me-
mutar permadaninya, tetapi ujung tongkat lawan tetap
saja masih bisa menembus pertahanannya.
Saat itulah Nyi Peri melemparkan senjata raha-
sianya dari sebelah kiri, kanan, atas dan bawah, se-
hingga Husein tidak
mungkin lagi mengelak kecuali menangkis den-
gan permadani di tangannya. Ia berhasil memukul
jauh semua senjata rahasia itu. Namun tongkat Nyi
Peri telah meluncur bagaikan kilat ke arah jantungnya.
"Bless!" Ujung tongkat itu dengan telak me-
nembus dada Husein hingga tembus sampai ke pung-
gung. Tubuh pendekar Irak itu pun terjerembab diirin-
gi jeritan panjang memenuhi ruangan rumah Nyi Peri.
Darah segar segera memancar dari luka tertembus itu,
membasahi pakaian Husein serta lantai istana Nyi Peri.
Sekali lagi, Husein menjerit panjang ketika Nyi
Peri mencabut tongkatnya sambil menyeringai buas.
"Mampus kau, bangsat!" bentak wanita tua itu, tampak sangat puas melihat
musuhnya berkelojotan di
lantai. "Kau... kau..." Husein merangkak sejenak sambil menunjuk Nyi Peri dengan
tangan gemetar. Ia ingin
mengucapkan sesuatu, tetapi sebelum sempat berkata,
tubuhnya sudah jatuh lunglai. Kedua tangan dan ka-
kinya bergerak-gerak lemah, lalu diam. Nyawanya te-
lah melayang meninggalkan raga!
"Sudah kubilang, siapa pun yang berani me-
nantang dan menghina Nyi Peri, pasti akan mengalami
nasib seperti itu," kata wanita tua itu sambil tertawa tergelak-gelak.
Akan tetapi tiba-tiba hidung Nyi Peri kembang
kempis. Matanya menatap liar ke sekelilingnya, karena
telinganya yang tajam mendengar suara mencurigakan
di luar. Rupanya masih ada orang lain yang mencoba
bermain-main denganku, pikir wanita tua itu sambil
mempersiapkan tongkatnya menghadapi lawan beri-
kutnya. "Hei, kalau kau tidak pengecut, keluarlah! Hadapi aku! Kalau tidak
berani, segera tinggalkan tempat ini. Demi arwah dua anjing ini, aku akan
mengampunimu!" teriak Nyi Peri.
Tiba-tiba dua bayangan berkelebat masuk ke
dalam ruangan itu. Dan tampaklah sepasang pendekar
muda belia berdiri di hadapan Nyi Peri dengan senjata
pedang siap di tangan. Keduanya adalah Hong Lie dan
Giok Nio. Kedua pendekar dari daratan Tiongkok itu
sejak tadi juga mengintai pertarungan seru di dalam
rumah Nyi Peri. Diam-diam, kedua pendekar itu harus
mengakui kehebatan Nyi Peri, karena walaupun sudah
tua namun gerakan dan tenaganya masih sangat hebat
dan kuat. Setelah Mat Caplang dan Husein tewas, Hong
Lie dan Giok Nio segera meloncat masuk. Keduanya
sama-sama yakin akan dapat mengalahkan Nyi Peri
dengan berbagai pertimbangan. Pertama mereka sudah
cukup lama mempelajari jurus-jurus nenek tua itu.
Dan kedua tenaga Nyi Peri tentulah sudah mulai ter-
kuras setelah bertarung dengan dua lawan yang san-
gat tangguh. Maka rasanya sangat tipislah harapan
wanita keriput itu menang melawan Hong Lie dan Giok
Nio. "Wah! Sepasang pendekar asing. Yang perem-
puan cantik jelita. Yang laki-laki tampan perkasa. Luar biasa! Dari manakah
gerangan asal kalian dan sudah
berapa lama belajar silat hingga berani menantang
aku" Apakah kalian berdua belum melihat nasib kedua
orang ini?" kata Nyi Peri dengan nada sangat meren-dahkan Hong Lie dan Giok Nio.
"Bangsat! Kau jangan menghina, nenek iblis!"
bentak Giok Nio geram.
"Ha-ha-ha, gadis cantik tapi tidak tahu diri!"
Hong Lie segera menarik tangan adiknya sambil
mengisyaratkan agar adiknya itu bersikap lebih te-
nang. Setelah itu, Hong Lie melangkah ke hadapan Nyi
Peri, lalu memberikan salam hormat dengan cara
mempertemukan kedua telapak tangan di depan dada.
"Maafkan adik saya. Dia masih sangat muda
hingga tidak menyadari siapa sebenarnya engkau. Ka-
mi berdua datang dari negeri Tiongkok. Dan mengenai
berapa lama kami belajar, saya rasa bukanlah hal yang
terlalu penting. Sebab lamanya belajar tidaklah meru-
pakan jaminan utama bahwa kami sudah memiliki il-
mu tinggi."
"Bagus! Bagus! Bicaramu halus dan sopan, tapi
mengandung bisa yang sangat berbahaya. Siapakah
namamu, pemuda tampan?"
"Kwan Hong Lie dan adik saya Kwan Giok Nio."
"Bagus. Kali ini engkau menerima kehormatan
dariku untuk mengetahui namaku. Akulah Nyi Peri,
pendekar nomor satu di daerah ini."
"Sungguh merupakan kehormatan yang tak
ternilai harganya kami dapat bertemu dengan orang
hebat seperti engkau. Sayang, pertemuan kita kali ini
bukanlah sebagai sahabat melainkan sebagai musuh."
"Aku sudah tahu! Kalian pun tentunya ingin
merebut patung itu bukan" Aku sarankan sebaiknya
kalian berdua tinggalkan tempat ini. Sayang kalau
pendekar berusia muda seperti kalian mati dengan sia-
sia." "Bedebah! Nenek peot! Nenek iblis! Kubunuh
kau!" teriak Giok Nio dengan amarah yang meledak-
ledak. Agaknya dara jelita itu tak dapat lagi menguasai perasaan. Walaupun
kakaknya masih memintanya
bersikap tenang, ia tidak mau perduli lagi. Ia segera
menerjang Nyi Peri sambil berteriak nyaring.
Pedang di tangan gadis itu diputar cepat sekali
sehingga terlihat seolah-olah berubah jadi puluhan pe-
dang, menyambar-nyambar ke arah tubuh Nyi Peri.
Sebelum bergerak, Nyi Peri masih sempat tersenyum
sinis. Ia sangat marah mendengar gadis itu menghi-
nanya wanita peot yang sangat jelek. Tongkatnya pun
diputar melindungi diri, lalu balas menyambar tubuh
Giok Nio. Hong Lie menyadari bahwa adiknya tidak akan
mungkin mampu mengimbangi Nyi Peri. Maka ia pun
segera meloncat membantu Giok Nio menghadapi wa-
nita tua itu. Maka terjadilah pertarungan yang lebih
seru lagi. Pedang Hong Lie dan Giok Nio membentuk
gulungan sinar keperak-perakan, terlihat sangat kom-
pak, saling melindungi dan membuka pertahanan la-
wan. Pasangan pendekar Tiongkok itu memang me-
miliki Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah
mencapai ke tingkat kesempurnaan. Gerakan mereka
sangat cepat serta kuat, sehingga sadarlah Nyi Peri
bahwa kedua lawannya sekarang jauh lebih berbahaya
daripada Mat Caplang maupun Husein. Apalagi karena
bagaimanapun juga, tenaga Nyi Peri sudah cepat ter-
kuras karena sudah tua. Menghadapi sepasang pende-
kar berusia muda yang tenaga dan semangatnya tentu
masih sangat tinggi mengandung resiko yang sangat
berat. Tidak mustahil malah dirinya yang akan celaka.
Maka sambil mengeluarkan ilmu silat yang
sangat baik untuk bertahan, wanita tua itu sesekali
melancarkan serangan maut. Angin dahsyat pun ber-
seliweran di ruangan itu. Bangku-bangku dan meja be-
rantakan, bahkan kadang-kadang terbang menghan-
tam dinding rumah saking kuatnya tenaga dalam ke-
dua belah pihak yang sedang bertarung.
Tidak percuma Hong Lie dan Giok Nio selama
belasan tahun mempelajari ilmu silat kelas tinggi di
negeri asalnya. Tenaga Ginkang mereka luar biasa.
Hebatnya lagi, tenaga dalam kedua pendekar itu ka-
dang-kadang mengandung hawa dingin bagaikan es,
tetapi ada kalanya pula panas bagaikan api. Di sinilah terlihat kekompakan
sepasang tokoh silat Tiongkok itu, jika Hong Lie menyerang dengan mengerahkan
tenaga dalam hawa panas, Giok Nio sebaliknya.
* * * Demikianlah berganti-ganti, sehingga Nyi Peri
menjadi kewalahan juga. Untunglah tingkat kesaktian-
nya sudah mencapai kesempurnaan ditambah penga-
laman bertarung yang cukup banyak karena sudah
berpuluh-puluh tahun melanglang buana di dunia per-
silatan. Sedangkan Hong Lie dan Giok Nio sendiri, se-
kalipun kuat tetapi dari segi pengalaman bertarung
masih kalah jauh.
Makin lama, pertarungan yang berlangsung di
tengah malam itu makin menegangkan. Kedua belah
pihak saling bersikeras untuk memenangkan perta-
rungan, karena selain untuk mempertahankan nyawa
sendiri, jika menang maka kesempatan untuk memiliki
patung Ratu Shima akan terbuka lebar. Tak ada lagi
pendekar lain yang ingin merebutnya sekarang.
Tanpa terasa, pertarungan itu sudah berlang-
sung lebih dari lima puluh jurus. Belum ada tanda-
tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Na-
mun mulailah terlihat bahwa tenaga mereka sudah
mulai terkuras habis, karena pertarungan itu selalu
memaksa mereka untuk bergerak dengan mengerah-
kan tenaga sekuat-kuatnya.
Diam-diam Nyi Peri mulai khawatir, karena ka-
lau keadaan itu masih bertahan sampai lima puluh ju-
rus lagi atau lebih, akan tipislah harapannya untuk
menang. Tenaganya pasti makin terkuras, sementara
kedua lawannya karena masih muda tentu bisa berta-
han lebih lama. Maka sambil bertarung, ia mulai ber-
pikir mencari jalan terbaik baginya mengakhiri perta-
rungan itu. Sementara itu, Dewi Tatoo sudah meninggalkan
gubuk di tengah ladang jagung. Patung Ratu Shima di-
genggamnya erat-erat, lalu berlari sekencang-
kencangnya, sehingga tubuhnya berkelebatan di ma-
lam yang sepi itu.
Wanita itu sudah memutuskan akan menuruti
perintah Ratu Shima yang disampaikan si Tolol melalui
pendengaran batinnya. Biarlah ia mengembalikan pa-
tung itu ke tempat asalnya semula dan mengurungkan
niatnya, karena tampaknya itulah jalan yang terbaik.
Padahal tadinya, Setyatun sudah bertekad memus-
nahkan patung itu untuk menghapuskan kenangan
buruk dan mencegah terjadinya pertumpahan darah.
Dalam waktu singkat, sampailah gadis itu ke
jalan desa. Sejenak ia menghentikan larinya. Alisnya
berkerut dan entah mengapa dadanya terasa berdebar
tidak karuan. Nalurinya seperti membisikkan ia men-
gurungkan niatnya dulu ke lereng gunung dan sebaik-
nya terlebih dulu ke desa. Tetapi mau apa dia ke desa
malam-malam seperti itu"
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak boleh ke sana! Kata hati gadis itu,
sambil berusaha menekan perasaan tak enak di ha-
tinya. Dengan ragu-ragu, ia melangkah masuk jalan
menuju lereng gunung Muria. Tetapi baru sekitar se-
puluh langkah, ia berhenti lagi. Rasanya ia memang
harus ke desa sekarang. Mungkin ada sesuatu yang
sangat penting atau sedang terjadi peristiwa yang ha-
rus diketahuinya. Perasaan dan nalurinya tak bi-
asanya seperti itu.
Akhirnya Setyatun memutuskan masuk desa
terlebih dulu, ingin mengetahui ada apa sebenarnya
hingga nalurinya sepertinya mengharuskan dirinya ke
sana. Biarlah ia mengurungkan niatnya sebentar, dan
kalau tidak terjadi sesuatu ia akan segera ke lereng
gunung melaksanakan niat hatinya. Maka ia pun ber-
lari sekencang-kencangnya masuk desa.
Pertarungan Nyi Peri dengan dua pendekar
Tiongkok itu masih berlangsung seru. Namun kini cara
bertarung wanita tua itu mulai berubah, karena ia mu-
lai tampak lebih nekad. Pertahanan dirinya agak ter-
buka, tetapi tetap setiap serangan yang di lancarkan-
nya benar-benar mengandung maut bagi lawan.
Hong Lie dan Giok Nio pun sudah sangat pena-
saran, karena sampai selama itu belum juga mampu
merobohkan Nyi Peri. Apalagi Giok Nio yang memiliki
sifat lebih cepat naik darah dibandingkan kakaknya.
"Bangsat! Mampus kau!" bentak gadis itu sam-
bil meloncat menerjang Nyi Peri. Tubuhnya melayang,
lalu menukik bagaikan burung rajawali menyambar
mangsa. Serangannya benar-benar cepat bisa berkem-
bang secara tidak terduga-duga. Namun rupanya Nyi
Peri sudah bersiap-siap menunggu serangan seperti
itu. Tanpa diduga-duga, wanita tua itu melempar-
kan senjata rahasia ke arah tubuh Giok Nio, sehingga
terpaksa dara jelita itu memutar pedang melindungi di-
ri. Saat itulah ujung tongkat Nyi Peri menyambar ulu
hati Giok Nio dan tampaknya tidak ada lagi kesempa-
tan baginya untuk menghindar.
Melihat keadaan yang sangat berbahaya itu,
Hong Lie menjadi terkejut. Secepat kilat ia meloncat
untuk menangkis tongkat Nyi Peri. Akan tetapi di sini-
lah terlihat kehebatan serta kenekatan nenek tua itu.
Melihat Hong Lie hendak menangkis serangannya, ia
pun memutar tongkatnya secara sangat mendadak,
menyambar ke arah perut pemuda itu.
"Bless!" Tanpa sempat dielakkan lagi, tongkat itu menghunjam perut Hong Lie
hingga tembus ke
punggung. Giok Nio menjerit melihat pemandangan
yang sangat mengerikan itu. Dengan amarah yang me-
luap hingga ke ubun-ubun, ia menusukkan pedangnya
ke dada Nyi Peri tanpa perduli lagi akan keselamatan-
nya sendiri. Dalam posisi yang sangat terdesak, Nyi Peri
berputar sambil mencopot tongkatnya dari tubuh Hong
Lie, lalu memapaki serangan Giok Nio. Nenek tua itu
tak sempat lagi menghindar, tetapi ia pun tak mau ma-
ti sendirian. Ia sengaja tidak mengelak, melainkan
memberikan serangan yang tak kalah berbahaya. Giok
Nio yang saat itu sudah gelap mata karena Hong Lie
tak mungkin terselamatkan lagi, juga tidak terlalu
memperdulikan serangan lawan, sebab yang ia pikir-
kan sekarang adalah bagaimana membunuh nenek ib-
lis itu secepat mungkin. Maka kedua senjata itu pun
sama-sama meluncur dengan kecepatan yang luar bi-
asa. "Aaakh!" Giok Nio dan Nyi Peri sama-sama
menjerit panjang. Ujung pedang dara jelita itu dengan
telak menembus punggung Nyi Peri hingga tembus ke
dada. Sedangkan tongkat Nyi Peri juga menembus da-
da lawan sampai tembus ke punggung.
Tubuh Giok Nio ambruk tak jauh dari Hong Lie.
Darah segar memancar deras dari luka di tubuhnya.
Karena senjata lawan tepat sekali menghunjam di jan-
tungnya, ia hanya dapat bertahan beberapa saat, lalu
menemui ajalnya menyusul Hong Lie.
Lain halnya dengan Nyi Peri, di samping memi-
liki daya tahan luar biasa, senjata lawan hanya me-
nembus bagian perutnya, sehingga ia masih bisa
bangkit berdiri, lalu melangkah tertatih-tatih menuju
mejanya di sudut ruangan. Pedang Giok Nio masih
menempel di perutnya dan mengucurkan darah
segar. "He-he-he..." Wanita tua itu tertawa aneh sambil mengulurkan tangan
meraih patung Ratu Shima.
"Kini tidak ada penghalang lagi. Mereka sudah mampus semua," katanya dengan
suara parau. Tanpa menghentikan suara tawanya, nenek tua
itu mengambil patung emas dan menggenggamnya pe-
nuh perasaan bangga, "Kini tiba saatnya untuk membuka rumus kecantikan. Dan
aku... aku akan cantik
seperti Ratu Shima.
Dengan tangan bergetar, Nyi Peri membuka ba-
gian bawah kaki patung itu dan dari dalamnya dikelu-
arkannya beberapa helai daun kelapa berisi tulisan-
tulisan. "Hah" Isinya cuma begini" Sial! Pekerjaan sia-sia!" jerit wanita tua
itu sambil membantingkan lembaran-lembaran daun kering itu ke lantai.
Rasa kesal dan kecewa membuat Nyi Peri se-
makin lemas. Ia baru sadar bahwa dirinya dalam kea-
daan luka berat. Dicobanya bertahan sekuat tenaga,
namun ia tak kuat lagi. Kedua lututnya gemetar dan
pandangan matanya berkunang-kunang. Sam-
bil menjerit panjang, tubuhnya ambruk dan memun-
tahkan darah segar.
Dalam keadaan terkapar bersimbah darah, Nyi
Peri masih sempat melirik isi tulisan di dalam daun-
daun kering itu. Matanya mendelik seakan-akan tak
percaya akan isi surat wasiat itu. Tetapi Nyi Peri masih mencoba membacanya :
"Rahasia kecantikan: Kecantikan mutlak adalah
pancaran dari hati nurani yang suci bersih."
Lalu di lembaran berikutnya tertulis kalimat:
"Kelanggengan tahta: Kita adalah sebagian kecil
dari masyarakat. Maka kita harus mendengar apa yang
masyarakat katakan."
Nyi Peri menahan nafas, tak terkatakan sakit
penderitaannya sekarang. Ada penyesalan menyelinap
ke dalam hatinya. Tetapi tampaknya semuanya sudah
terlambat. Ia hanya bisa pasrah pada nasib.
Saat itulah Setyatun tiba di rumah Nyi Peri.
Wanita itu menatap Nyi Peri dengan mata berkaca-
kaca. Lalu dengan suara gemetar, ia berkata:
"Ibu, semoga kau puas dengan hasil segala se-
pak terjang mu selama ini."
Nyi Peri tersentak dan seperti mendapat kekua-
tan baru lagi untuk menegakkan kepala menatap Dewi
Tatoo. Ia tampak sangat terkejut melihat sekujur tu-
buh wanita di hadapannya penuh rajahan. Dan dalam
sinar matanya yang nanar, ia merasa kenal wajah itu.
Tetapi ia belum dapat memastikannya.
"Heh! Siapa kau" Kau... pasti kau yang mem-
bunuh Prawiro..." kata Nyi Peri tersendat-sendat,
"Ya, memang akulah yang membunuh kekasih-
ku sendiri Prawiro. Itu adalah keputusan yang paling
baik bagiku. Pada keyakinanku aku bukan membunuh
Prawiro kekasihku, tetapi membunuh Prawiro yang
sudah kotor jiwanya karena pengaruh kejahatan Ibu."
Nyi Peri tersentak bukan main. Ditatapnya De-
wi Tatoo dari kepala hingga ke ujung kaki, hingga ak-
hirnya yakin dirinya bahwa wanita bertatoo itu bukan-
lah orang asing baginya.
"Hah" Jadi... kau adalah... Setyatun?" "Betul, Bu! Pada detik-detik terakhir
dari seluruh petualangan Ibu masih bisa mengenalku dalam wujud ku yang sekarang.
Memang akulah gadis Setyatun, anak angkat-
mu sendiri yang lima tahun lalu meninggalkan istana
terkutuk ini karena patah hati kekasih direbut Ibu
angkat yang sangat kuhormati," kata Dewi Tatoo sambil mengucurkan air mata.
"Oh, Setyatun anakku..." desis Nyi Peri hampir tak terdengar. Terbayang di
benaknya petualangannya
selama ini yang demikian tergila-gila kepada para jeja-ka tampan. Saat itu
Setyatun yang sejak usia remaja
dipungutnya menjadi anak angkat dan sangat dis-
ayanginya seperti anak kandung sendiri dan hidup
tenteram di istananya.
Putrinya yang cantik jelita itu kemudian menja-
lin hubungan cinta dengan Prawiro, seorang jejaka
tampan dan perkasa. Namun pada suatu hari, Nyi Peri
yang ternyata memiliki kelainan jiwa selalu haus seks
itu tidak dapat menahan diri. Ia seperti melupakan
bahwa Prawiro adalah kekasih Setyatun. Maka berba-
gai cara pun ia tempuh untuk menundukkan Prawiro
hingga pada suatu saat keduanya pun terlanjur mela-
kukan hubungan yang sebenarnya tidak pan-tas. Se-
suatu yang sangat ajaib!
Sejak hari itu pula, keduanya pun semakin ser-
ing melakukannya bahkan sudah merasa terbiasa. Te-
tapi akhirnya Setyatun mengetahuinya. Tak terkatakan
betapa hancurnya perasaan gadis itu. Ia tidak dapat
menerima kenyataan pahit seperti itu. Maka ia pun se-
gera melarikan diri dan baru sekarang, setelah lima
tahun berselang gadis itu muncul di hadapan Nyi Peri.
"Aku tak bisa menolongmu dari kematian ini,
Bu. Dan mati adalah jalan yang paling baik bagimu.
Selama kau masih hidup di atas bumi ini, akan banyak
Prawiro-Prawiro baru yang muncul sebagai gula-gula
bagimu. Dan akan semakin banyak pula gadis yang
patah hati karena perbuatanmu seperti diriku. Anak
angkatmu sendiri kau perlakukan seperti itu, apalagi
orang lain...."
"Oh, Setyatun..." bisik Nyi Peri dengan nafas yang tinggal satu-satu.
"Tapi ketahuilah, Bu. Karena ambisi mu untuk
awet muda dan cantik kembali, kau telah melakukan
kejahatan, pembunuhan yang sangat kejam. Padahal
patung itu bukanlah patung Ratu Shima asli melain-
kan tiruan. Aku sendirilah yang membuatnya...."
Mata Nyi Peri mendelik, lalu terpejam. Kepa-
lanya terkulai lemas. Terdengar oleh Setyatun nafas
ibu angkatnya itu tiba-tiba hilang.
Perlahan-lahan, Dewi Tatoo mengambil selem-
bar kain putih dari dalam kamar. Lalu sambil menutu-
pi jenazah Nyi Peri dengan kain itu, ia berkata:
"Bukan aku, tapi Tuhanlah yang berhak meng-
hukum mu di alam baka nanti, Bu. Aku hanya bisa
mengucapkan selamat jalan. Tidak seorang pun dapat
meringankan tanggung jawab manusia di hadapan Tu-
han, selain dirinya sendiri. Aku tak tahu kenapa perjalanan hidup kita harus
jadi begini. Sangat pahit,
Bu...." Sebelum meninggalkan rumah itu, Setyatun
masih sempat mengusap wajah Nyi Peri, dengan air
mata yang masih tetap bercucuran membasahi pipi,
"Sekarang aku harus pergi, Bu. Selamat tinggal! Semoga kenyataan pahit ini hanya
tinggal kenangan bagi-
ku." Setelah itu, Dewi Tatoo melangkah keluar, lalu melesat bagaikan anak panah
menuju lereng gunung
Muria. Malam terus meluncur diiringi turunnya embun
membasahi daun-daunan. Dari kejauhan, istana Nyi
Peri tampak semakin angker dalam suasana sepinya
malam. TAMAT Ebook by Abu Keisel Bangau Sakti 15 Naga Beracun Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 14
"Oh, jangan berkata begitu, Nduk! Perhiasan ini
kuberikan sebagai untaian rasa kasihku ke padamu!"
Ronahyatun menghela nafas berat. Ia sungguh
tidak mengerti kenapa lelaki yang sudah mempunyai
lima orang istri, tiga belas anak, dan selikur cucu masih saja merayu orang
lain. Tak dapat ia membayang-
kan bagaimana kalau semua lelaki seperti itu.
Akan tetapi Raden Bei memang sepertinya tak
pernah mau perdulikan perasaan orang lain. Meskipun
wajah Ronah tampak memancarkan rasa tidak senang,
ia tetap saja merayu dengan bahasa yang puitis.
"Cobalah dengar detak jantung ku wahai pu-
jaan hati. Siang dan malam aku mendambakan dirimu.
Oh, dewiku. Betapa syahdunya tatapan matamu..."
Sambil berkata demikian, Raden Bei mendongakkan
wajah sedangkan kedua tangan dilipatkan di dada.
Kadang-kadang ia memejamkan mata.
Sikapnya yang kelihatan sangat lucu itu mem-
buat Ronahyatun tersenyum, seperti sedang melihat
orang sinting sedang melucu.
Namun senyum gadis itu malahan ditanggapi
Raden Bei sebagai ungkapan rasa kagum. Ia pun se-
makin bersemangat meneruskan rayuan gombalnya.
"Oh, senyum mu sangat menawan hati. Lesung
pipi mu membuat hatiku terbuai bak terbang di
awang-awang sorgaloka. Wajahmu yang rupawan ba-
gaikan bulan purnama. Oh, pujaan hati. Ulurkanlah
tanganmu yang halus dan lembut itu. Dekatkanlah pi-
pimu yang mulus itu...."
Ronahyatun merasa makin geli hingga tertawa
cekikikan. "Dekatkanlah ke mari, dewiku. Akan ku kecup
mesra dengan sepenuh jiwaku..."
Lalu tanpa diduga-duga, Raden Bei mengulur-
kan kedua tangannya, mengelus kedua belah pipi Ro-
nah. Secara perlahan, ditariknya wajah gadis itu se-
mentara wajahnyapun didekatkan, sehingga seperti
saling menyongsong.
"Dekat... dekat..." kata Raden Bei setengah ber-bisik. Ronahyatun terkejut bukan
main. Wajah Raden
Bei hampir merapat ke wajahnya.
Tetapi entah karena apa, ia tidak bisa berontak.
Sekujur tubuhnya terasa kaku, tak bertenaga sedikit-
pun juga. "Dekatlah, sayang. Oh..." Raden Bei mengelus leher Ronahyatun yang mulus. Lalu
perlahan, tangannya merayap turun dan bergerak liar. Ronah makin ke-
takutan! Semakin ia mencoba berontak, ia merasa se-
makin tak berdaya. Sedangkan barisan gigi Raden Bei
yang mirip kampak itu sudah mulai pula menyentuh
kulit lehernya. Ronah ingin berteriak, tetapi kerong-
kongannya pun terasa tersumbat. Ia hanya memaki-
maki dalam hati sambil berharap agar ada seseorang
datang untuk menyelamatkannya.
Tiba-tiba Raden Bei menjerit kesakitan, karena
ujung hidungnya dihantam sebuah benda yang sangat
halus yang di sambitkan dari luar.
"Aduh, hidungku!" teriaknya sambil memegangi ujung hidungnya yang sangat nyeri
dan terlihat merah
membenjol. Kebetulan seekor tawon terbang melayang tak
jauh dari tempat itu, suaranya berdengung-dengung,
seolah-olah sedang mengejek Raden Bei.
"Uh, sialan! Tawon itu rupanya yang menyengat
hidungku!"
Setelah hidungnya tidak terlalu nyeri lagi, Ra-
den Bei kembali menghampiri Ronahyatun, yang saat
itu masih terpaku di tempatnya, tak bisa bergerak ser-
ta mengeluarkan suara. Raden Bei semakin kegiran-
gan, karena terbukti sekarang obat mujarab yang dibe-
rikan Nyi Peri sangat ampuh. Ronah betul-betul tidak
bisa memberikan perlawanan sedikitpun juga.
"Rayuan ku memang betul-betul maut, mek.
Ronahyatun sudah terkesima. Kesempatan ini tidak ku
sia-siakan!" Raden Bei memeluk tubuh Ronahyatun,
lalu membaringkannya ke lantai. Hanya beberapa saat
kemudian, Raden Bei sudah menindih gadis itu.
Akan tetapi mendadak sebuah tangan mengge-
tok kepala Raden Bei dari arah belakang dengan keras
sehingga terdengar suara "Plak!" disusul teriakan kesakitan Raden Bei. Sambil
menahan rasa sakit di kepa-
lanya, laki-laki itu berpaling ke belakang. Maka tam-
paklah olehnya wanita penjual pecel yang baru saja
lewat di rumah Ronah.
Ternyata orang yang sejak tadi mengintip dari
luar adalah gadis itu sendiri. Dan ketika melihat Raden Bei menindih tubuh
Ronahyatun, ia menyambitkan
sebuah batu kecil dan dengan tepat menghantam hi-
dung lelaki itu. Tidak sembarang orang yang bisa me-
lakukan kehebatan seperti itu, karena selain harus
memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi, juga harus
menggunakan perhitungan cermat sehingga bidikan
bisa dengan tepat mengenai sasaran.
"Si... siapa kau?" seru Raden Bei terkejut.
"Jangan sentuh dia! Cepat tinggalkan tempat
ini!" bentak wanita penjual pecel itu. "Kau...?"
"Bangsat, cepat kau enyah dari sini. Atau kepa-
lamu akan ku potong!"
Bukan main geramnya hati Raden Bei dibentak-
bentak seperti itu, apalagi di hadapan Ronahyatun.
Tadi ia sudah hampir dapat melaksanakan niat bu-
suknya, merenggut kehormatan Ronah. Sebab kalau
itu misalnya sudah terjadi, Ronah sudah hampir dapat
dipastikan akan menjadi istrinya. Jika orang tua Ro-
nah marah, itu adalah urusan kedua. Dalam urusan
yang demikian, siapa yang berani menentangnya" Atau
kalau pun misalnya ada yang berani toh dengan mu-
dah dapat dibereskan tukang-tukang pukulnya.
Sekarang rencananya jadi gagal total. Gara-gara
wanita sialan itu. Ingin rasanya Raden Bei menginjak-
injak kepala dan merobek-robek mulut wanita itu. Te-
tapi karena pada dasarnya ia hanyalah lelaki pengecut, ia tak berani. Maka
timbullah niat busuk dalam benaknya untuk membalas perbuatan wanita itu.
Ketika penjual pecel itu membentaknya agar
segera keluar, Raden Bei mengangguk-angguk. Ia ber-
jalan sambil membungkuk-bungkuk dari hadapan si
penjual pecel. Akan tetapi secara mendadak ia memu-
kul perut lawan. Gerakan Raden Bei cukup cepat juga
dan karena dilancarkan secara tidak terduga-duga pu-
la, maka tampaknya akan sulitlah bagi wanita itu me-
nyelamatkan diri.
"Ciaat!" Dengan gerakan yang hampir tak bisa terlihat, wanita penjual pecel itu
berkelit hingga pukulan Raden Bei hanya menerpa angin beberapa sentime-
ter dari tubuhnya. Bersamaan dengan itu, kakinya
bergerak cepat bagaikan kilat mengait kaki Raden Bei
disusul pukulan ke arah dada.
"Buk! Augh...!" Pukulan wanita itu mendarat telak di dada Raden Bei. Tanpa ampun
lagi, tubuhnya terpental kemudian terbanting keras ke lantai diiringi suara jeritan kesakitan.
"Bangsat, pengecut! Rupanya kau berani juga
main-main dengan aku. Kau akan ku telanjangi saat
ini juga, biar tahu rasa dulu kau! Heh, monyet! Berdiri kau!" bentak penjual
pecel itu. "Jangan! Jangan bunuh aku!" "Huh, dasar pria pengecut! Tapi baiklah, kali ini
aku masih memaaf-kanmu. Sekarang, pergilah! Cepat tinggalkan tempat
ini. Jika kau masih berani macam-macam, kau tidak
akan kuampuni lagi!"
"Ya, ya!" sahut Raden Bei dengan suara geme-
tar, lalu melangkah ke luar pendopo rumah Pak Cokro.
Wanita penjual pecel menatap Ronahyatun
yang masih terpengaruh obat mujarab Raden Bei.
"Ronahyatun, bangunlah!" kata wanita itu sambil mengerahkan tenaga batinnya,
sehingga Ronah ter-
sadar. "Oh, apa yang telah terjadi?" seru gadis itu terkejut. "Tak ada sesuatu
yang terjadi. Tenanglah. Kau tidak apa-apa."
"Oh, kau Mbakyu pecel itu" Kenapa kau ada di
sini?" tanya Ronah setelah menyadari bahwa wanita yang menolongnya itu adalah
wanita penjual pecel.
"Ng... anu den ayu. Tetampah saya ketinggalan
tadi. Jadi saya datang lagi mengambilnya ke sini."
"Tetampah ketinggalan" Lalu... lalu orang
tua itu ke mana perginya?"
"Saya sudah menyuruhnya pulang."
"Aku... ah, aku..." Ronahyatun tidak mene-
ruskan ucapannya. Ia secara samar-samar masih ingat
ketika Raden Bei memeluknya tetapi ia sendiri tidak
bisa memberontak. Ia diam saja, seolah-olah kejadian
itu menyenangkan hatinya. Jangan-jangan penjual pe-
cel ini menganggapku wanita murahan, pikir Ronahya-
tun dengan perasaan tidak enak.
"Sudahlah, kau tak perlu memikirkannya. Ti-
dak ada apa-apa. Percayalah." "Terimakasih atas pertolonganmu."
* * * 6 Sementara itu, Raden Bei rupanya tidak lang-
sung meninggalkan tempat itu. Ia masih mengintip da-
ri balik pagar, ingin melihat lebih jelas wajah wanita yang baru saja
memperlakukannya. Namun ia sama
sekali tidak mengenalnya. Hanya wajahnya saja yang
terlihat sangat cantik, cuma lebih tua dari Ronahya-
tun. Setan wedok, kurang ajar. Kalau tak ada dia, si
Ronah pasti sudah beres, kata hati Raden Bei sambil
memaki-maki sendiri dan berjanji dalam hati akan
membalaskan perbuatan wanita itu.
Tetapi rupanya telinga penjual pecel itu sangat
tajam, sehingga dapat menangkap suara desah nafas
Raden Bei. Ia lalu melangkah ke dekat pagar, kemu-
dian memukul kepada Raden Bei dengan tetampah di
tangannya. "Cicak hidung belang ini masih mengintip-
ngintip saja!"
Raden Bei terkejut, lalu menunduk lebih rapat
lagi ke tanah, sambil mengharap wanita galak itu sege-
ra pergi. "Dasar tidak tahu malu. Sudah diusir masih ju-
ga mengendus-endus di sini. Apa pelajaran tadi belum
cukup bagimu" Kau ingin ku samakan dengan anjing,
ya?" Dengan sangat geramnya, wanita itu menarik
daun telinga Raden Bei kuat-kuat, hingga sangat nyeri
dan terasa bagaikan hendak putus.
"Wadouw, kuping ku! teriaknya kesakitan.
Rupanya wanita itu sudah mulai kehilangan
kesabaran. Setelah melepaskan kuping Raden Bei, ia
langsung menendang pantatnya kuat-kuat hingga tu-
buh lelaki kate itu terlempar beberapa meter.
"Aduh, pantat ku!" teriaknya sambil mengelus-elus pantatnya yang terasa sangat
pedih. Tampaknya
tak ada lagi harapan baginya untuk melaksanakan
niat hatinya yang telah tertunda tadi. Wanita asing itu, biar-
pun cantik ternyata galak bukan main. Maka Raden
Bei pun segera melangkah terpincang-pincang pulang
ke rumahnya. "Hi-hi-hi, orang sinting!" wanita penjual pecel tertawa cekikikan. Lalu kepada
Ronahyatun ia berkata
dengan ramah: "Nah, dia sudah pergi sekarang. Lari terbirit-birit ketakutan."
"Terimakasih, Mbak. Tanpa bantuanmu entah
apa yang akan terjadi padaku. Sekali lagi terimakasih!"
"Ah, hanya karena kebetulan saja. Seperti yang
kukatakan tadi tetampah ku ketinggalan. Namun se-
waktu mengambilnya, aku melihatnya hendak berbuat
kurang ajar padamu."
"Aneh, wanita hebat seperti engkau mau jadi
tukang penjual pecel."
"Siapa pun bisa jadi penjual pecel, sebab semua
orang butuh makan, bukan?"
"Ya. Tapi mungkin tak ada yang menyangka
engkau sehebat itu."
"Ah, sudahlah. Sekarang aku mau pergi dulu."
"Tunggu dulu, Mbak. Bolehkan aku tahu nama
mu" Aku ingin bersahabat denganmu."
"Saat ini sebaiknya namaku tak perlu kau ke-
tahui. Tapi percayalah, suatu saat kelak engkau akan
mengenal diriku," Tanpa menunggu lebih lama lagi, wanita itu segera pergi dan
hanya sekejap saja tubuhnya sudah lenyap dari pandangan Ronahyatun.
Sementara itu Raden Bei semakin jauh mening-
galkan rumah Pak Cokro. Pantatnya masih terasa sa-
kit, tetapi hatinya jauh lebih sakit lagi. Seumur hidupnya belum pernah ada
wanita yang berani memperla-
kukannya seperti itu. Ia sendiri pun sebenarnya heran, karena kedatangan perempuan tadi
secara tiba-tiba,
entah dari mana datangnya mendadak saja sudah be-
rada di pendopo Pak Cokro.
Raden Bei sangat kesal, tetapi ia pun harus
mengaku bahwa wanita itu sangat cantik dan bahenol
pula. Kalau misalnya dia tidak cantik, sudah sejak tadi kubikin mampus. Kalau
bukan di tanganku, akan
beres pula oleh Wirobakul atau Wirobrewok begitu wa-
nita itu tadi keluar rumah si Cokro tua, kata hati Ra-
den Bei sambil mempercepat langkahnya.
Sekarang ia memutar-mutar otaknya yang pe-
nuh akal busuk itu. Ia baru saja gagal menikmati ke-
mulusan dan kemontokan tubuh Ronahyatun. Tetapi
bukan Raden Bei Kiduling Pasar lagi namanya kalau
hanya gara-gara persoalan seperti itu langsung menye-
rah. Tidak! Apapun kesulitannya, ia pasti berhasil! Ia tentu akan dapat menggaet
Ronah. Dan perempuan
penjual pecel itu akan dikerjai, akan dijadikan santa-
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pan iseng. Setibanya di halaman rumah, beberapa anak
buah Raden Bei menyambut kedatangan juragan me-
reka dengan cara menundukkan kepala penuh hormat.
Beberapa di antaranya mengucapkan selamat malam,
dan yang lainnya berbasa basi Raden Bei dari mana.
Akan tetapi semuanya tidak dijawab Raden Bei.
"Ndoro Bei kok diam saja?" tanya salah seorang anak buah lelaki kaya itu.
"Ssst! Ndoro Bei lagi aneh!" bisik temannya.
"Ada yang perlu kami bantu, Ndoro Bei?"
"Huh!" Raden Bei mendengus bagaikan kerbau
kelaparan. Lalu ia melangkah masuk ke rumahnya, di-
iringi tatapan heran para anak buahnya.
Malam pun terus merangkak. Daerah gunung
Muria dan sekitarnya telah sunyi senyap. Tak terden-
gar lagi suara anak-anak bermain penuh keceriaan,
tak terdengar pula nyanyian para remaja menden-
dangkan lagu asmara. Hanya sesekali terdengar suara
burung malam yang kadang-kadang diselingi lolongan
anjing dari kejauhan.
Keheningan malam yang penuh kebisuan itu te-
rasa membawa suasana kedamaian. Tak terdengar su-
ara dentang senjata beradu memperebutkan patung
Ratu Shima. Tetapi bukan berarti persoalan selesai
hanya sampai di situ saja. Sebab saat ini, beberapa
bayangan bergerak bagaikan kilat di tengah-tengah
kebisuan malam. Mungkin hanya rembulan di atas
yang menyaksikannya dan sebentar lagi menjadi saksi
bisu atas sebuah peristiwa yang sangat menegangkan.
Di tengah hamparan ladang jagung, terdapat
sebuah gubuk kecil serta sederhana. Ukurannya hanya
sekitar dua kali tiga meter. Atapnya terbuat dari daun nipah yang dijalin
sedemikian rupa hingga bisa menahan air hujan hingga dalam pondok tidak basah.
Tiang-tiangnya terbuat dari bambu dan kayu bulat dan
hanya beralaskan tanah yang ditutupi jerami kering.
Dari dalam gubuk itu terdengar suara desah
nafas halus orang yang sedang tidur lelap. Siapakah
gerangan orang itu" Apakah pemilik ladang jagung
sendiri" Siapa tahu ia takut buah jagungnya yang ke-
betulan sudah mulai matang dicuri orang atau dima-
kan binatang liar.
Tetapi tidak! Wanita yang tidur di dalam gubuk
itu adalah seorang pengembara. Tidak mengenakan
pakaian sama sekali, tetapi sekujur tubuhnya yang tak
tertutup sehelai benang pun dihiasi tatoo bergaris-
garis. Ia tidur berbantalkan kedua tangannya sendiri
dengan posisi telentang dan kedua belah pahanya ter-
buka lebar. Dewi Tatoo! Ya, dialah Dewi Tatoo yang nama
aslinya sebenarnya adalah Setyatun. Agaknya ia cukup
kelelahan sehari ini hingga tidurnya sangat pulas. Te-
tapi bukan lelah karena bertarung atau bekerja di sa-
wah, melainkan berjalan-jalan sambil menggendong
bakul pecelnya.
Ya, wanita penjual pecel itu sebenarnya adalah
Setyatun sendiri. Ia sengaja mengenakan pakaian se-
perti halnya wanita lainnya sehingga tak seorang pun
mengenalnya. Rupanya selama ini Dewi Tatoo cukup banyak
mengetahui kehidupan Jaka, termasuk hubungannya
dengan Ronahyatun yang terancam oleh kerakusan
Raden Bei. Selain karena Jaka mirip dengan almarhum
kekasihnya Prawiro yang tanpa sadar menimbulkan
perasaan tersendiri dalam hatinya, ia juga merasa ber-
hutang budi terhadap pemuda itu karena pada waktu
lalu mau mengorbankan patung kayunya untuk men-
ciptakan patung Ratu Shima palsu. Selama ini ada do-
rongan kuat yang seolah-olah memaksa dirinya untuk
melihat Jaka ke tempat kerjanya di rumah Pak Cokro.
Tetapi tentu saja tak mungkin baginya datang terang-
terangan dalam keadaan telanjang. Itulah sebabnya ia
mengenakan pakaian dan menyamar seperti tukang
pecel. Demikianlah hati gadis itu langsung tergerak
setelah mengetahui Ronahyatun, kekasih Jaka dalam
kesulitan. Ia segera memberikan pertolongan, sehingga
selamatlah gadis itu dari cengkeraman Raden Bei. Ada
perasaan bahagia mengalir ke sanubari Dewi Tatoo ka-
rena dapat memberikan pertolongan terhadap Jaka.
Ya, sekalipun sebetulnya pemuda itu tidak mengeta-
huinya. Tidak apalah. Itu malah lebih baik.
Dalam keadaan tertidur pulas, tiba-tiba terden-
garlah suara bisikan gaib menyuruhnya bangun. En-
tah dari mana asalnya suara itu, Dewi Tatoo tidak da-
pat memastikan. Namun karena suara itu, ia menjadi
terbangun. Diperhatikannya keadaan di sekelilingnya,
tak ada sesuatu yang mencurigakan. Maka sadarlah ia
bahwa bisikan itu bukanlah suara manusia biasa, me-
lainkan bisikan batin yang entah siapa pengirimnya.
"Dengarlah, ambil patung yang kau sembunyi-
kan itu dan kembalikan ke tempat asalnya!"
Hei, siapa yang berkata melalui pendengaran
batin ku" Tanya hati Setyatun sembari mengerutkan
kening. "Aku si Tolol. Sebelum fajar kau harus menggali tanah di kaki gunung
Muria dan kembalikanlah patung itu ke dalam petinya yang masih di dalam tanah."
"Tidak! Patung itu akan kumusnahkan dalam
api abadi. Aku akan memusnahkannya!" teriak hati Setyatun. Diam-diam ia terkejut
juga setelah mengetahui
yang bicara melalui pendengaran batinnya adalah si
Tolol sendiri. "Kau jangan membantah, Setyatun!"
"Tapi jika aku kembalikan, mereka akan mem-
perebutkannya kembali. Aku tidak suka itu. Mereka ti-
dak segan-segan membunuh hanya untuk merebut pa-
tung itu."
"Aku sendiri pernah jadi korban, dikubur hi-
dup-hidup oleh almarhum kekasihmu Prawiro di da-
lam lubang itu. Tetapi kemudian aku menyelamatkan
diri. Tetapi sekarang kau tidak boleh membantah. Ini
perintah dari Ratu Shima sendiri dengan perantaraan
diriku untuk mengatakannya padamu. Karena besok
ada seorang profesor Belanda, yang akan mencari pa-
tung itu dengan tujuan baik!"
"Baiklah kalau begitu. Aku akan melaksana-
kannya." "Terimakasih. Sampai jumpa nanti."
Setelah suara itu tidak terdengar lagi, Setyatun
duduk termenung sendiri. Ia teringat lagi tekadnya
tempo hari untuk memusnahkan patung Ratu Shima
dalam api abadi di dalam gua puncak gunung Muria.
Di dalam gua itulah dia bersama Jaka pada
waktu lalu membuat patung Ratu Shima tiruan, se-
mentara si Tolol saat itu masih tertidur pulas dengan
suara dengkurnya yang mirip dengkur kerbau. Patung
tiruan diberikan kepada si Tolol, sedangkan yang asli
dibawa oleh Dewi Tatoo. Patung tiruan itulah yang ke-
mudian diperebutkan para tokoh persilatan dan kini
berada di tangan nenek tua Nyi Peri. Namun sebelum
melaksanakan niat hatinya, terdengar perintah yang
mengatakan patung asli harus dikembalikan ke tempat
semula. Saat itu juga, Setyatun memutuskan akan me-
nuruti perintah itu. Mengembalikan patung Ratu Shi-
ma ke tempatnya semula dan melihat apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Pada saat yang bersamaan, beberapa bayangan
hitam tampak berkelebat dari sela-sela pepohonan,
kemudian mengurung istana Nyi Peri yang tampak
angker di tengah malam itu. Ternyata pada saat ber-
samaan para pendekar mengetahui bahwa patung Ra-
tu Shima sekarang berada di tangan nenek tua keriput
itu. Tanpa menunggu lebih lama lagi, satu per satu to-
koh persilatan itu melesat menuju rumah Nyi Peri dan
tiba pada waktu yang hampir bersamaan pula.
Patung itulah yang beberapa hari lalu dibeli
Raden Bei Kiduling Pasar dari Jaka dengan harga yang
sangat mahal. Juragan kaya itu sama sekali tidak
mengetahui bahwa patung itu hanyalah tiruan. Ter-
nyata Nyi Peri yang memiliki kesaktian yang sangat
tinggi juga bisa tertipu.
Sekarang wanita tua itu sedang memperhatikan
patung emas itu di kamarnya. Diamatinya patung itu
dengan seksama. Ternyata permata intan yang tersu-
sun menghiasi patung itu tidak ada lagi, membuat Nyi
Peri mengerutkan kening pertanda curiga. Tetapi ke-
mudian ia merasa yakin bahwa itu adalah perbuatan
Raden Bei yang mata duitan. Ia tahu betul perangai ju-
ragan kaya itu, selalu memanfaatkan kesempatan apa
saja untuk memperkaya diri sendiri. Atau besar ke-
mungkinan Raden Bei mencongkel permata-permata
itu untuk mas kawin buat Ronahyatun. Demikianlah
dugaan Nyi Peri, sehingga tidak menyadari bahwa pa-
tung di tangannya adalah tiruan.
Biarlah si Bei gila itu mengambil permata pa-
tung ini. Yang penting bagiku adalah isi patung, surat wasiat Ratu Kalingga
tentang rahasia kecantikannya,
kata hati Nyi Peri sambil tertawa cekikikan dengan su-
ara mirip kuntilanak. Di goyang-goyangnya patung itu.
Terdengar suara benda-benda halus di dalam rongga
patung. Tentulah itu daun lontar berisikan surat wa-
siat. Aku akan awet muda dan cantik jelita kembali,
lalu bisa kawin dengan perjaka-perjaka, bisik wanita
tua itu semakin girang. Ia sudah memutuskan mem-
buka penutup di bagian kaki patung itu untuk men-
gambil isinya. Tetapi terlebih dulu ia harus memasang
pertahanan atau pelindung, berupa Boneka Pundut
Nyawa, karena ia sadar setiap saat tokoh-tokoh persi-
latan bisa datang ke rumahnya untuk merebut patung
itu. Boneka Pundut Nyawa itu adalah boneka-
boneka yang terbuat dari kain dengan bentuk orang-
orang tertentu dari musuh-musuh Nyi Peri. Dengan
agak tergesa-gesa, Nyi Peri menempelkan boneka-
boneka di setiap pilar istananya yang misterius. Den-
gan boneka-boneka ini aku akan aman dari incaran
musuh-musuhku, pikir wanita tua itu.
Benda-benda itu ditempelkan dengan menggu-
nakan paku kayu jati dan dalam waktu singkat semu-
anya sudah dianggap beres.
Setelah itu, Nyi Peri duduk bersila untuk ber-
semedi. Bibirnya yang sudah keriputan komat kamit.
"Hamba memohon pertolongan paduka Calon
Arang untuk memusnahkan musuh-musuh hamba!"
bisik wanita tua itu.
Sungguh ajaib, dari paku kayu jati yang me-
nancap ke tubuh boneka itu tiba-tiba keluar asap
mengepul disertai suara mendesis-desis. Nyi Peri
menghentikan semedinya, lalu tertawa cekikikan kare-
na ia sudah yakin bahwa dirinya telah aman. Dan mu-
suh-musuhnya pun kini pasti sekarat oleh ilmu gaib-
nya. Pengaruh ilmu Boneka Pundut Nyawa itu me-
mang luar biasa! Para pendekar yang mengepung ru-
mah Nyi Peri dan yang boneka dirinya tertancap di pi-
lar-pilar istana Nyi Peri, secara tiba-tiba merasa perutnya perih, melilit-
lilit, seolah-olah ada seekor binatang buas yang sedang meronta-ronta di dalam
ususnya. Pendekar Betawi Mat Caplang yang berada di
samping kamar Nyi Peri mengaduh-aduh sambil me-
megangi perutnya yang terasa sangat sakit, bahkan
jauh lebih sakit dari rasa sakit yang pernah dirasa-
kannya. "Aduh, perutku! Kenapa tiba-tiba jadi perih be-
gini?" kata Mat Caplang tanpa sadar.
Pendekar Irak Husein pun mengalami hal yang
sama. Saking sakitnya, ia malah sempat berguling-
guling di tanah. Ia merasa mau muntah, tetapi tak ada
yang bisa di muntahkan. Sementara seisi perutnya
semakin melilit-lilit.
Sepasang pendekar berusia muda dari daratan
Tiongkok, Hong Lie dan adiknya Giok Nio secara tiba-
tiba juga merasa sakit perut. Keduanya mencoba ber-
tahan hingga mengeluarkan keringat dingin, namun
makin lama terasa sakit.
"U-uh! Perutku sakit!" rintih Giok Nio.
"Ekh! Aku juga, Giok Nio. Sakit sekali!"
"Apa kita salah makan" Atau mungkin keracu-
nan...." Hong Lie menghela nafas dalam-dalam. Sebagai pendekar yang sudah
memiliki kesaktian tinggi dan telah mengetahui banyak ilmu aneh atau ilmu-ilmu
hi- tam, ia segera dapat menyadari bahwa sakit perut yang
dialaminya sekarang bukan penyakit biasa. Jika sean-
dainya ia salah makan atau keracunan seperti yang
diduga Giok Nio, ia akan segera mengetahuinya. Tidak
mungkin! Mereka pasti terkena pengaruh ilmu hitam
seseorang. "Giok Nio, cobalah bertahan! Kita tidak mung-
kin keracunan. Ini adalah pengaruh ilmu hitam nenek
tua penghuni istana ini!" kata Hong Lie.
"Tapi sakit sekali!" ujar Giok Nio meringis.
"Pusatkan perhatian! Lalu salurkan tenaga da-
lammu ke dalam lambung!"
"Ilmu sialan!" maki Giok Nio kesal. Dara jelita itu segera menuruti saran Hong
Lie. Ia dan kakaknya
segera duduk bersila untuk membuyarkan pengaruh
ilmu hitam Nyi Peri.
Mat Caplang pun rupanya sudah terlebih dulu
menyadari bahwa sakit perut itu adalah ulah si nenek
tua Nyi Peri. Ia pun sudah duduk bersila sambil men-
gerahkan ilmunya yang tinggi melawan pengaruh ilmu
hitam lawan. "Lu nggak bakalan bisa ngelawan gua!" kata
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendekar Betawi itu geram. Terjadilah pertarungan ja-
rak jauh menggunakan ilmu hitam antara dua tokoh
silat yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi itu.
Tubuh Mat Caplang bergetar hebat dan kadang-kadang
terlihat terdorong mundur hingga hendak terpental.
Tetapi ia terus bertahan sekuat tenaga, lalu mengerah-
kan tenaga melakukan serangan balik.
Nyi Peri segera mengetahui bahwa ilmunya se-
dang menghadapi perlawanan hebat dari musuh. Maka
ia pun kembali bersemedi memperkuat pertahanan.
Namun karena semua lawan memberikan serangan ba-
lik cukup kuat, wanita tua itu akhirnya menjadi kewa-
lahan. Paku kayu jati yang menancap di boneka Mat
Caplang terlepas meloncat ke luar.
"Kurang ajar! Si kumis panjang itu rupanya da-
pat mengatasi ilmuku!" bentak Nyi Peri geram.
Tiba-tiba terdengar teriak dahsyat hingga seke-
liling tempat itu terasa bergetar. Tubuh Mat Caplang
yang tadi duduk bersemedi mencelat menerjang tem-
bok rumah Nyi Peri, dengan mengerahkan segala tena-
ga dalamnya. "Brusss!" Tembok itu jebol diterjang Mat Caplang. Debu dan batu bata beterbangan
ke arah Nyi Pe-
ri. Wanita tua itu menjadi terkejut. Namun sebelum
sempat berbuat apa-apa kilatan senjata lawan sudah
menyambar ke arah lehernya.
"Bangsat!" Nyi Peri memaki lalu segera meloncat tinggi hingga serangan lawan
hanya mengenai an-
gin. Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuh Nyi
Peri mendarat dengan sangat ringan agak jauh di ha-
dapan Mat Caplang.
"Kurang ajar! Rupanya kau mampu juga meng-
hadapi ilmu Pundut Nyawaku," bentak Nyi Peri meng-ketok-ketok lantai dengan
tongkat bengkoknya. Sambil
berkata begitu tadi, sepasang matanya mencorong ta-
jam dan merah bagaikan memancarkan api. Bibirnya
yang sudah keriputan terkatup rapat, sedangkan jema-
ri tangannya dengan erat mencekal tongkatnya. Karena
wanita itu berdiri tegak tanpa bergerak-gerak, kecuali gerak bahunya sewaktu
bernafas, ia terlihat bagaikan
sebuah patung yang sengaja diciptakan untuk meng-
gambarkan kemurkaan setan atau iblis. Dari sinar ma-
tanya terpancar hawa nafsu membunuh yang tiada
terbendung lagi.
* * * 7 Diam-diam Mat Caplang agak terpengaruh juga
menyaksikan sikap Nyi Peri. Tetapi seperti yang sering dikatakannya, ia mungkin
tak akan menginjakkan kakinya di daerah gunung Muria kalau hanya melihat
penampilan lawan yang seram sudah ketakutan. Ia
pun bisa menatap Nyi Peri dengan mata melotot tak
berkedip. "He-he-he, nenek tua peot dan jelek kayak mo-
nyet. Kau pikir ilmu seperti itu ada artinya bagiku" Il-mu seperti itu hanya
bisa nakut-nakutin anak kecil.
Dasar nenek jelek lu! Kayak setan!" Mat Caplang memaki-maki.
Dihina dirinya perempuan tua yang sangat je-
lek, perasaan Nyi Peri jadi sangat tersinggung. Dalam
masalah yang satu ini, perasaannya memang sangat
peka. Itu sebabnya selama ini ia mau mati-matian me-
rebut wasiat Ratu Shima tentang kecantikan. Karena
ia begitu berambisi supaya dapat cantik dan awet mu-
da kembali agar dapat kawin dengan perjaka-perjaka.
Sekarang seorang lelaki yang merupakan musuh-nya
pula menghina dirinya jelek dan peot. Hinaan seperti
itu tidak akan pernah di maafkan Nyi Peri. Maka seba-
gai tebusannya adalah nyawa Mat Caplang sendiri.
"Kau telah begitu lancang menghinaku, bede-
bah! Untuk itu, kau harus menebusnya dengan nya-
wamu sendiri!"
"Ha-ha-ha, jadi gue apa harus bilang lu cewek
cakep. Lucu! Monyet saja belum tentu mau bilang lu
cakep, nenek peot!"
"Bangsat! Mampus kowe!" Nyi Peri berteriak
nyaring sambil meloncat menerjang Mat Caplang. Tu-
buhnya melayang bagaikan terbang dan tongkatnya
diputar cepat sekali menimbulkan sinar kehitam-
hitaman bergulung-gulung disertai suara menderu-
deru. Sewaktu tubuhnya meluncur turun, ujung
tongkatnya meluncur ke arah ubun-ubun Mat Cap-
lang. Melihat serangan itu sangat berbahaya, Mat Cap-
lang segera meloncat mundur. Tetapi tongkat Nyi Peri
seperti mempunyai mata saja. Setelah serangan per-
tama lolos, langsung menyambar ke arah dada lawan
bagaikan seekor ular mematuk mangsa.
Secepat kilat Mat Caplang mengayunkan golok-
nya untuk menangkis serangan itu. Terdengar suara
berdetak ketika kedua senjata itu beradu keras. Dan
Mat Caplang menjadi terkejut mana kala tangannya te-
rasa gemetar hebat. Sadarlah ia bahwa tenaga nenek
tua peot itu masih sangat kuat, bahkan mungkin lebih
kuat dari tenaganya sendiri.
Belum sempat mengatur kuda-kuda, ujung
tongkat Nyi Peri sudah menyambar lagi. Kali ini men-
gincar selangkangan Mat Caplang dengan kecepatan
penuh. Mat Caplang berkelit ke samping, lalu menya-
betkan goloknya ke arah dada lawan. Tetapi rupanya
serangan Nyi Peri tadi hanya pancingan belaka. Karena
begitu Mat Caplang mengelak, tongkat itu sudah me-
nyambar ke arah pinggang.
"Buk!" Dengan telak tongkat itu menghantam
pinggang Mat Caplang, sehingga membuat tubuh lelaki
itu terlempar beberapa meter. Wajahnya sebentar pu-
cat dan sebentar merah padam. Seisi perutnya terasa
berguncang hebat, sehingga kakinya lemas dan hen-
dak muntah-muntah.
Mat Caplang segera menyalurkan tenaga da-
lamnya ke arah pinggang untuk menekan rasa sakit
yang luar biasa. Setelah itu, ia segera meloncat bangun sambil menatap Nyi Peri
dengan mata mencorong tajam. "He-he-he, hanya begitukah kepandaian mu,
kambing congek" Tak kusangka kumis mu yang pan-
jang melengkung itu hanya bisa menakut-nakuti anak
kecil," ejek Nyi Peri sambil terkekeh-kekeh.
"Sialan lu, nenek peot. Lu jangan kirain gue
udeh kalah. Gue masih sanggup mampusin lu orang!"
"Masih banyak ngomong lagi nih, monyet!
Mampus kowe!" Nyi Peri kembali menerjang Mat Cap-
lang dengan dahsyat. Tubuhnya bagaikan kapas saja
melayang ke arah lawan. Sedangkan tongkat bengkok-
nya menukik tajam ke arah ulu hati Mat Caplang.
Pendekar Betawi itu segera memutar senjatanya
untuk melindungi diri. Kembali terdengar suara berde-
tak, dua senjata beradu keras. Beberapa saat kemu-
dian, tangan kiri Nyi Peri menyambar dahsyat ke dada
lawan. Sangat cepat serangannya, sehingga tak ada pi-
lihan lain bagi Mat Caplang selain menangkis pukulan
lawan. "Duk!" Kedua lengan yang kekar dan kurus itu beradu. Tetapi segera
terlihat walaupun lengan Nyi Peri sangat kecil, tenaganya malah lebih unggul.
Tubuh Mat Caplang terdorong mundur dengan tangan yang
terasa perih dan kesemutan.
Sebelum sempat menguasai keseimbangan tu-
buh, ujung tongkat Nyi Peri sudah menyambar lagi ke
arah leher Mat Caplang. Tak terkatakan betapa terke-
jutnya hati Mat Caplang. Secepat yang bisa ia lakukan, ia membantingkan tubuh ke
belakang, hingga selamatlah dirinya dari hantaman tongkat lawan.
Akan tetapi secara tidak terduga-duga, dari
tangan Nyi Peri meluncur tiga buah senjata rahasia be-
rupa konde kecil dan runcing. Serangan itu sangat di
luar dugaan, sehingga Mat Caplang tidak sempat lagi
mengelak. Ketiga senjata rahasia itu dengan telak ter-
tancap di dadanya.
"Akh...!" Mat Caplang menjerit kesakitan. Pandangan matanya seketika berkunang-
kunang dan se- kujur tubuhnya tidak berdaya sama sekali. Ia mencoba
bangun dengan memaksakan diri, namun hanya
mampu mengangkat kepala beberapa saat, lalu terku-
lai lagi. Rupanya senjata rahasia nenek tua itu men-
gandung racun yang sangat berbahaya, dan dalam
waktu singkat menjalar ke seluruh tubuh Mat Cap-
lang. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, seku-
jur tubuh lelaki itu segera membiru kehitam-hitaman.
Sadarlah pendekar Betawi itu bahwa dirinya sekarang
sedang terancam bahaya maut. Sebagai pendekar yang
memiliki kesaktian tinggi dan telah berpengalaman pu-
la, ia menyadari jika tidak secepatnya mendapatkan
pertolongan, ia akan segera kehilangan nyawa. Maka ia
kembali bangkit, namun tetap tak mampu, bahkan te-
rasa semakin lemas dan kesakitan.
"Selamat bersenang-senang, kawan! Percayalah,
sebentar lagi maut akan segera menjemput mu."
"Bedebah kau!"
"Teruskan makianmu, biar kau puas. Tidak pe-
nasaran meninggalkan dunia ini!"
"Diam lu, bangsat! Kubunuh kau...."
"Kalau begitu berdirilah! Jangan hanya mulut-
mu saja yang mengoceh kayak pantat ayam hendak
bertelor!" Nyi Peri tertawa panjang, sehingga mirip suara ringkikan makhluk
halus di tengah malam. Lalu ia
kembali menatap Mat Caplang dengan sinar mata
mengejek. "Kenapa kau diam saja, monyet kurapan"
Kau tentunya sangat kesakitan sekarang, bukan?"
"Diam!" Mat Caplang berteriak dengan sisa-sisa tenaganya.
"Bagus! Bagus! Dalam keadaan sekarat kau
masih berani memaki-maki aku. Sekarang bersujudlah
di hadapanku dan mohon ampunan. Aku akan men-
gampunimu dan memberikan obat penawar racun itu."
"Bedebah! Lebih baik mati!"
"Kau memang sudah mau mati. Dengar, hanya
beberapa saat lagi. Kau tidak akan merasakan apa-apa
lagi. Ya, engkau akan merasa damai dan tenteram."
"Sundel! Kampret lu!" teriak Mat Caplang. Tetapi setelah itu, ia merasa dirinya
bagaikan melayang-
layang. Rasa sakit yang dideritanya sudah mencapai
puncaknya, Lalu perlahan-lahan, ia tidak merasa apa-
apa lagi. Matanya mendelik, hingga yang kelihatan
hanya Bagian putihnya saja. Ia memaksakan diri men-
gangkat kepala hendak mengucapkan kata-kata ma-
kian. Tetapi suaranya hanya sampai di kerongkongan.
Kepalanya terkulai lemas dengan mata yang masih
mendelik, tetapi nyawanya sudah terbang meninggal-
kan raga. "Begitulah nasib semua orang yang berani me-
nantang dan menghina Nyi Peri!" kata nenek tua itu sambil menyeringai buas. Ia
hendak melangkah ke mejanya kembali untuk memeriksa patung emas. Namun
mendadak terdengar bentakan nyaring disertai suara
gebrakan membobol atap rumah.
"Serahkan patung itu padaku! Atau kau akan
mampus di tanganku nenek peot!" bentak Husein. Sejak tadi pendekar Irak itu
mengintai dari atap, dan
membiarkan Mat Caplang terdesak. Sebab ia pun
mengharapkan pendekar Betawi itu tewas di tangan
Nyi Peri. Dengan demikian, musuhnya akan
berkurang. Karena tak mengira masih ada pendekar lain di
sekitar rumah itu, Husein segera meloncat turun den-
gan cara membobol atap rumah. Sambil meluncur tu-
run, lembaran permadaninya diayun-ayunkan dengan
kecepatan luar biasa hingga membentuk gulungan si-
nar merah disertai suara menderu-deru bagaikan an-
gin puting beliung.
"Sundel!" teriak Nyi Peri geram. Lalu ia segera meloncat jauh hingga serangan
lawan lolos. Husein
mendarat di lantai dengan sangat ringan hingga ham-
pir tak menimbulkan suara.
"Wah, si Bulbul ini lagi yang muncul. Apa kau
tidak takut mampus di tanganku" Lihat, monyet itu
pun sudah tidur dengan tenang!"
"Ha-ha-ha, tentu saja dia akan tidur karena ia
memang tidak dapat berbuat apa-apa. Jangan sama-
kan dia dengan diriku. Kau boleh merasa bangga kare-
na berhasil merobohkannya. Tetapi jangan mengira
kau bisa melakukannya terhadap diriku. Kau tentunya
masih ingat pertemuan kita da-hulu. Sekaranglah
saatnya untuk membuktikan siapa di antara kita yang
lebih kuat!" kata Husein.
Beberapa waktu lalu, kedua tokoh persilatan
itu memang sudah pernah bertarung. Namun saat itu
pertarungan mereka tidak lebih dari tiga puluh jurus
dan boleh dikatakan berlangsung imbang, sehingga
sampai sekarang belum bisa dipastikan siapa di antara
keduanya yang paling hebat. Agaknya tanpa dapat di-
elakkan lagi, sekarang mereka akan membuktikannya.
"Betul-betul lelaki tak tahu diri kau! Saat itu
aku sengaja bermurah hati. Dan kau seharusnya ber-
terima kasih lalu sujud di hadapanku, karena saat itu
aku masih memberimu waktu untuk hidup lebih lama
lagi." "Kenapa tidak kau lakukan saja, nenek peot"
Tidak sadarkah kau bahwa dirimu sangat beruntung
dan terhormat bisa berhadapan dengan aku" Kau se-
harusnya tinggal di hutan bersama monyet-monyet ka-
rena tampangmu memang mirip hewan itu."
"Sumpah di samber petir, akan ku copot jan-
tungmu berani berkata selancang itu pada Nyi Peri."
"Aku tahu kau ingin mendapatkan rahasia ke-
cantikan Ratu Shima supaya kau awet muda dan can-
tik sekali, lalu kawin dengan perjaka-perjaka. Bukan-
kah itu memang kebiasaan mu, wanita peot" Kau tak
sadar bahwa jangankan manusia, kelinci saja mungkin
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah jijik melihat tampangmu!"
"Bangsat! Mampus kau!" Nyi Peri membentak
geram. Lalu secara tiba-tiba menerjang Husein. Tong-
katnya diputar cepat sekali dan setiap saat siap me-
nyambar tubuh lawan dari segala arah. Agaknya wani-
ta tua itu sudah memutuskan akan membunuh la-
wannya secepat mungkin. Ia segera mengeluarkan ju-
rus-jurus mautnya. Dan ketika lawan mundur, ia
kembali menyambitkan senjata rahasianya ke arah da-
da Husein. Akan tetapi dengan gerakan yang tidak kalah
cepatnya, Husein melindungi dirinya dengan permada-
ni, hingga senjata rahasia berupa tusuk konde itu ter-
pental ke dinding. Tadi sewaktu Nyi Peri bertarung
dengan Mat Caplang, Husein diam-diam memperhati-
kan cara Nyi Peri menyerang dan melindungi diri. Den-
gan demikian, setelah mengetahui kelebihan dan kele-
mahan Nyi Peri, Husein dapat lebih berhati-hati meng-
hadapi serangan lawan dan berusaha sebaik mungkin
memanfaatkan kelemahan lawan untuk bisa meraih
kemenangan. Sepuluh, dua puluh dan tiga puluh jurus telah
berlalu. Belum ada tanda-tanda siapa yang akan me-
menangkan pertarungan sengit itu. Keduanya silih
berganti menyerang dan menghindar. Nyi Peri jadi pe-
nasaran. Sekaligus sadarlah dirinya bahwa dalam
menghadapi Husein ia harus merubah gaya berta-
rungnya, karena tampaknya lawan sudah bisa memba-
ca gerakannya. Jurus-jurus yang dikeluarkannya kemudian
terlihat serampangan dan tidak beraturan. Namun di
balik itu tersimpan serangan yang sangat berbahaya.
Gerakannya selain cepat dan kuat, juga mengandung
perkembangan yang sangat tidak terduga serta penuh
tipu daya. Kadang-kadang wanita tua itu sengaja mem-
biarkan tubuhnya di serang. Tetapi secepat kilat ia
mengelak lalu menyerang dengan dahsyat. Di sinilah
terlihat bahwa walaupun sudah tua, gerakan Nyi Peri
masih sangat cepat. Secara perlahan-lahan ia
dapat mendesak Husein, hingga akhirnya
hanya bisa bertahan tanpa sempat lagi memberikan
serangan balasan.
"Kau akan segera mampus di tanganku, bede-
bah!" bentak Nyi Peri semakin bersemangat melihat lawannya mulai keteter.
"Kaulah yang mampus!" teriak Husein sekedar
untuk menutupi rasa gentar di hatinya.
Nyi Peri semakin memperkuat tekanannya. Dan
setiap kali Husein kerepotan, ia melontarkan senjata-
senjata rahasianya. Makin lama makin terdesaklah ja-
goan dari negeri Irak itu. Suatu ketika, Nyi Peri memukul lutut Husein, sehingga
lelaki itu terpaksa harus
meloncat tinggi untuk menghindar. Namun sewaktu
tubuhnya masih melayang di udara, tongkat Nyi Peri
yang diputar cepat sehingga tampak berubah jadi ba-
nyak sekali sudah menyambar- nyambar. Husein me-
mutar permadaninya, tetapi ujung tongkat lawan tetap
saja masih bisa menembus pertahanannya.
Saat itulah Nyi Peri melemparkan senjata raha-
sianya dari sebelah kiri, kanan, atas dan bawah, se-
hingga Husein tidak
mungkin lagi mengelak kecuali menangkis den-
gan permadani di tangannya. Ia berhasil memukul
jauh semua senjata rahasia itu. Namun tongkat Nyi
Peri telah meluncur bagaikan kilat ke arah jantungnya.
"Bless!" Ujung tongkat itu dengan telak me-
nembus dada Husein hingga tembus sampai ke pung-
gung. Tubuh pendekar Irak itu pun terjerembab diirin-
gi jeritan panjang memenuhi ruangan rumah Nyi Peri.
Darah segar segera memancar dari luka tertembus itu,
membasahi pakaian Husein serta lantai istana Nyi Peri.
Sekali lagi, Husein menjerit panjang ketika Nyi
Peri mencabut tongkatnya sambil menyeringai buas.
"Mampus kau, bangsat!" bentak wanita tua itu, tampak sangat puas melihat
musuhnya berkelojotan di
lantai. "Kau... kau..." Husein merangkak sejenak sambil menunjuk Nyi Peri dengan
tangan gemetar. Ia ingin
mengucapkan sesuatu, tetapi sebelum sempat berkata,
tubuhnya sudah jatuh lunglai. Kedua tangan dan ka-
kinya bergerak-gerak lemah, lalu diam. Nyawanya te-
lah melayang meninggalkan raga!
"Sudah kubilang, siapa pun yang berani me-
nantang dan menghina Nyi Peri, pasti akan mengalami
nasib seperti itu," kata wanita tua itu sambil tertawa tergelak-gelak.
Akan tetapi tiba-tiba hidung Nyi Peri kembang
kempis. Matanya menatap liar ke sekelilingnya, karena
telinganya yang tajam mendengar suara mencurigakan
di luar. Rupanya masih ada orang lain yang mencoba
bermain-main denganku, pikir wanita tua itu sambil
mempersiapkan tongkatnya menghadapi lawan beri-
kutnya. "Hei, kalau kau tidak pengecut, keluarlah! Hadapi aku! Kalau tidak
berani, segera tinggalkan tempat ini. Demi arwah dua anjing ini, aku akan
mengampunimu!" teriak Nyi Peri.
Tiba-tiba dua bayangan berkelebat masuk ke
dalam ruangan itu. Dan tampaklah sepasang pendekar
muda belia berdiri di hadapan Nyi Peri dengan senjata
pedang siap di tangan. Keduanya adalah Hong Lie dan
Giok Nio. Kedua pendekar dari daratan Tiongkok itu
sejak tadi juga mengintai pertarungan seru di dalam
rumah Nyi Peri. Diam-diam, kedua pendekar itu harus
mengakui kehebatan Nyi Peri, karena walaupun sudah
tua namun gerakan dan tenaganya masih sangat hebat
dan kuat. Setelah Mat Caplang dan Husein tewas, Hong
Lie dan Giok Nio segera meloncat masuk. Keduanya
sama-sama yakin akan dapat mengalahkan Nyi Peri
dengan berbagai pertimbangan. Pertama mereka sudah
cukup lama mempelajari jurus-jurus nenek tua itu.
Dan kedua tenaga Nyi Peri tentulah sudah mulai ter-
kuras setelah bertarung dengan dua lawan yang san-
gat tangguh. Maka rasanya sangat tipislah harapan
wanita keriput itu menang melawan Hong Lie dan Giok
Nio. "Wah! Sepasang pendekar asing. Yang perem-
puan cantik jelita. Yang laki-laki tampan perkasa. Luar biasa! Dari manakah
gerangan asal kalian dan sudah
berapa lama belajar silat hingga berani menantang
aku" Apakah kalian berdua belum melihat nasib kedua
orang ini?" kata Nyi Peri dengan nada sangat meren-dahkan Hong Lie dan Giok Nio.
"Bangsat! Kau jangan menghina, nenek iblis!"
bentak Giok Nio geram.
"Ha-ha-ha, gadis cantik tapi tidak tahu diri!"
Hong Lie segera menarik tangan adiknya sambil
mengisyaratkan agar adiknya itu bersikap lebih te-
nang. Setelah itu, Hong Lie melangkah ke hadapan Nyi
Peri, lalu memberikan salam hormat dengan cara
mempertemukan kedua telapak tangan di depan dada.
"Maafkan adik saya. Dia masih sangat muda
hingga tidak menyadari siapa sebenarnya engkau. Ka-
mi berdua datang dari negeri Tiongkok. Dan mengenai
berapa lama kami belajar, saya rasa bukanlah hal yang
terlalu penting. Sebab lamanya belajar tidaklah meru-
pakan jaminan utama bahwa kami sudah memiliki il-
mu tinggi."
"Bagus! Bagus! Bicaramu halus dan sopan, tapi
mengandung bisa yang sangat berbahaya. Siapakah
namamu, pemuda tampan?"
"Kwan Hong Lie dan adik saya Kwan Giok Nio."
"Bagus. Kali ini engkau menerima kehormatan
dariku untuk mengetahui namaku. Akulah Nyi Peri,
pendekar nomor satu di daerah ini."
"Sungguh merupakan kehormatan yang tak
ternilai harganya kami dapat bertemu dengan orang
hebat seperti engkau. Sayang, pertemuan kita kali ini
bukanlah sebagai sahabat melainkan sebagai musuh."
"Aku sudah tahu! Kalian pun tentunya ingin
merebut patung itu bukan" Aku sarankan sebaiknya
kalian berdua tinggalkan tempat ini. Sayang kalau
pendekar berusia muda seperti kalian mati dengan sia-
sia." "Bedebah! Nenek peot! Nenek iblis! Kubunuh
kau!" teriak Giok Nio dengan amarah yang meledak-
ledak. Agaknya dara jelita itu tak dapat lagi menguasai perasaan. Walaupun
kakaknya masih memintanya
bersikap tenang, ia tidak mau perduli lagi. Ia segera
menerjang Nyi Peri sambil berteriak nyaring.
Pedang di tangan gadis itu diputar cepat sekali
sehingga terlihat seolah-olah berubah jadi puluhan pe-
dang, menyambar-nyambar ke arah tubuh Nyi Peri.
Sebelum bergerak, Nyi Peri masih sempat tersenyum
sinis. Ia sangat marah mendengar gadis itu menghi-
nanya wanita peot yang sangat jelek. Tongkatnya pun
diputar melindungi diri, lalu balas menyambar tubuh
Giok Nio. Hong Lie menyadari bahwa adiknya tidak akan
mungkin mampu mengimbangi Nyi Peri. Maka ia pun
segera meloncat membantu Giok Nio menghadapi wa-
nita tua itu. Maka terjadilah pertarungan yang lebih
seru lagi. Pedang Hong Lie dan Giok Nio membentuk
gulungan sinar keperak-perakan, terlihat sangat kom-
pak, saling melindungi dan membuka pertahanan la-
wan. Pasangan pendekar Tiongkok itu memang me-
miliki Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah
mencapai ke tingkat kesempurnaan. Gerakan mereka
sangat cepat serta kuat, sehingga sadarlah Nyi Peri
bahwa kedua lawannya sekarang jauh lebih berbahaya
daripada Mat Caplang maupun Husein. Apalagi karena
bagaimanapun juga, tenaga Nyi Peri sudah cepat ter-
kuras karena sudah tua. Menghadapi sepasang pende-
kar berusia muda yang tenaga dan semangatnya tentu
masih sangat tinggi mengandung resiko yang sangat
berat. Tidak mustahil malah dirinya yang akan celaka.
Maka sambil mengeluarkan ilmu silat yang
sangat baik untuk bertahan, wanita tua itu sesekali
melancarkan serangan maut. Angin dahsyat pun ber-
seliweran di ruangan itu. Bangku-bangku dan meja be-
rantakan, bahkan kadang-kadang terbang menghan-
tam dinding rumah saking kuatnya tenaga dalam ke-
dua belah pihak yang sedang bertarung.
Tidak percuma Hong Lie dan Giok Nio selama
belasan tahun mempelajari ilmu silat kelas tinggi di
negeri asalnya. Tenaga Ginkang mereka luar biasa.
Hebatnya lagi, tenaga dalam kedua pendekar itu ka-
dang-kadang mengandung hawa dingin bagaikan es,
tetapi ada kalanya pula panas bagaikan api. Di sinilah terlihat kekompakan
sepasang tokoh silat Tiongkok itu, jika Hong Lie menyerang dengan mengerahkan
tenaga dalam hawa panas, Giok Nio sebaliknya.
* * * Demikianlah berganti-ganti, sehingga Nyi Peri
menjadi kewalahan juga. Untunglah tingkat kesaktian-
nya sudah mencapai kesempurnaan ditambah penga-
laman bertarung yang cukup banyak karena sudah
berpuluh-puluh tahun melanglang buana di dunia per-
silatan. Sedangkan Hong Lie dan Giok Nio sendiri, se-
kalipun kuat tetapi dari segi pengalaman bertarung
masih kalah jauh.
Makin lama, pertarungan yang berlangsung di
tengah malam itu makin menegangkan. Kedua belah
pihak saling bersikeras untuk memenangkan perta-
rungan, karena selain untuk mempertahankan nyawa
sendiri, jika menang maka kesempatan untuk memiliki
patung Ratu Shima akan terbuka lebar. Tak ada lagi
pendekar lain yang ingin merebutnya sekarang.
Tanpa terasa, pertarungan itu sudah berlang-
sung lebih dari lima puluh jurus. Belum ada tanda-
tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Na-
mun mulailah terlihat bahwa tenaga mereka sudah
mulai terkuras habis, karena pertarungan itu selalu
memaksa mereka untuk bergerak dengan mengerah-
kan tenaga sekuat-kuatnya.
Diam-diam Nyi Peri mulai khawatir, karena ka-
lau keadaan itu masih bertahan sampai lima puluh ju-
rus lagi atau lebih, akan tipislah harapannya untuk
menang. Tenaganya pasti makin terkuras, sementara
kedua lawannya karena masih muda tentu bisa berta-
han lebih lama. Maka sambil bertarung, ia mulai ber-
pikir mencari jalan terbaik baginya mengakhiri perta-
rungan itu. Sementara itu, Dewi Tatoo sudah meninggalkan
gubuk di tengah ladang jagung. Patung Ratu Shima di-
genggamnya erat-erat, lalu berlari sekencang-
kencangnya, sehingga tubuhnya berkelebatan di ma-
lam yang sepi itu.
Wanita itu sudah memutuskan akan menuruti
perintah Ratu Shima yang disampaikan si Tolol melalui
pendengaran batinnya. Biarlah ia mengembalikan pa-
tung itu ke tempat asalnya semula dan mengurungkan
niatnya, karena tampaknya itulah jalan yang terbaik.
Padahal tadinya, Setyatun sudah bertekad memus-
nahkan patung itu untuk menghapuskan kenangan
buruk dan mencegah terjadinya pertumpahan darah.
Dalam waktu singkat, sampailah gadis itu ke
jalan desa. Sejenak ia menghentikan larinya. Alisnya
berkerut dan entah mengapa dadanya terasa berdebar
tidak karuan. Nalurinya seperti membisikkan ia men-
gurungkan niatnya dulu ke lereng gunung dan sebaik-
nya terlebih dulu ke desa. Tetapi mau apa dia ke desa
malam-malam seperti itu"
Si Tolol 6 Perhitungan Terakhir Bagi Nyi Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak boleh ke sana! Kata hati gadis itu,
sambil berusaha menekan perasaan tak enak di ha-
tinya. Dengan ragu-ragu, ia melangkah masuk jalan
menuju lereng gunung Muria. Tetapi baru sekitar se-
puluh langkah, ia berhenti lagi. Rasanya ia memang
harus ke desa sekarang. Mungkin ada sesuatu yang
sangat penting atau sedang terjadi peristiwa yang ha-
rus diketahuinya. Perasaan dan nalurinya tak bi-
asanya seperti itu.
Akhirnya Setyatun memutuskan masuk desa
terlebih dulu, ingin mengetahui ada apa sebenarnya
hingga nalurinya sepertinya mengharuskan dirinya ke
sana. Biarlah ia mengurungkan niatnya sebentar, dan
kalau tidak terjadi sesuatu ia akan segera ke lereng
gunung melaksanakan niat hatinya. Maka ia pun ber-
lari sekencang-kencangnya masuk desa.
Pertarungan Nyi Peri dengan dua pendekar
Tiongkok itu masih berlangsung seru. Namun kini cara
bertarung wanita tua itu mulai berubah, karena ia mu-
lai tampak lebih nekad. Pertahanan dirinya agak ter-
buka, tetapi tetap setiap serangan yang di lancarkan-
nya benar-benar mengandung maut bagi lawan.
Hong Lie dan Giok Nio pun sudah sangat pena-
saran, karena sampai selama itu belum juga mampu
merobohkan Nyi Peri. Apalagi Giok Nio yang memiliki
sifat lebih cepat naik darah dibandingkan kakaknya.
"Bangsat! Mampus kau!" bentak gadis itu sam-
bil meloncat menerjang Nyi Peri. Tubuhnya melayang,
lalu menukik bagaikan burung rajawali menyambar
mangsa. Serangannya benar-benar cepat bisa berkem-
bang secara tidak terduga-duga. Namun rupanya Nyi
Peri sudah bersiap-siap menunggu serangan seperti
itu. Tanpa diduga-duga, wanita tua itu melempar-
kan senjata rahasia ke arah tubuh Giok Nio, sehingga
terpaksa dara jelita itu memutar pedang melindungi di-
ri. Saat itulah ujung tongkat Nyi Peri menyambar ulu
hati Giok Nio dan tampaknya tidak ada lagi kesempa-
tan baginya untuk menghindar.
Melihat keadaan yang sangat berbahaya itu,
Hong Lie menjadi terkejut. Secepat kilat ia meloncat
untuk menangkis tongkat Nyi Peri. Akan tetapi di sini-
lah terlihat kehebatan serta kenekatan nenek tua itu.
Melihat Hong Lie hendak menangkis serangannya, ia
pun memutar tongkatnya secara sangat mendadak,
menyambar ke arah perut pemuda itu.
"Bless!" Tanpa sempat dielakkan lagi, tongkat itu menghunjam perut Hong Lie
hingga tembus ke
punggung. Giok Nio menjerit melihat pemandangan
yang sangat mengerikan itu. Dengan amarah yang me-
luap hingga ke ubun-ubun, ia menusukkan pedangnya
ke dada Nyi Peri tanpa perduli lagi akan keselamatan-
nya sendiri. Dalam posisi yang sangat terdesak, Nyi Peri
berputar sambil mencopot tongkatnya dari tubuh Hong
Lie, lalu memapaki serangan Giok Nio. Nenek tua itu
tak sempat lagi menghindar, tetapi ia pun tak mau ma-
ti sendirian. Ia sengaja tidak mengelak, melainkan
memberikan serangan yang tak kalah berbahaya. Giok
Nio yang saat itu sudah gelap mata karena Hong Lie
tak mungkin terselamatkan lagi, juga tidak terlalu
memperdulikan serangan lawan, sebab yang ia pikir-
kan sekarang adalah bagaimana membunuh nenek ib-
lis itu secepat mungkin. Maka kedua senjata itu pun
sama-sama meluncur dengan kecepatan yang luar bi-
asa. "Aaakh!" Giok Nio dan Nyi Peri sama-sama
menjerit panjang. Ujung pedang dara jelita itu dengan
telak menembus punggung Nyi Peri hingga tembus ke
dada. Sedangkan tongkat Nyi Peri juga menembus da-
da lawan sampai tembus ke punggung.
Tubuh Giok Nio ambruk tak jauh dari Hong Lie.
Darah segar memancar deras dari luka di tubuhnya.
Karena senjata lawan tepat sekali menghunjam di jan-
tungnya, ia hanya dapat bertahan beberapa saat, lalu
menemui ajalnya menyusul Hong Lie.
Lain halnya dengan Nyi Peri, di samping memi-
liki daya tahan luar biasa, senjata lawan hanya me-
nembus bagian perutnya, sehingga ia masih bisa
bangkit berdiri, lalu melangkah tertatih-tatih menuju
mejanya di sudut ruangan. Pedang Giok Nio masih
menempel di perutnya dan mengucurkan darah
segar. "He-he-he..." Wanita tua itu tertawa aneh sambil mengulurkan tangan
meraih patung Ratu Shima.
"Kini tidak ada penghalang lagi. Mereka sudah mampus semua," katanya dengan
suara parau. Tanpa menghentikan suara tawanya, nenek tua
itu mengambil patung emas dan menggenggamnya pe-
nuh perasaan bangga, "Kini tiba saatnya untuk membuka rumus kecantikan. Dan
aku... aku akan cantik
seperti Ratu Shima.
Dengan tangan bergetar, Nyi Peri membuka ba-
gian bawah kaki patung itu dan dari dalamnya dikelu-
arkannya beberapa helai daun kelapa berisi tulisan-
tulisan. "Hah" Isinya cuma begini" Sial! Pekerjaan sia-sia!" jerit wanita tua
itu sambil membantingkan lembaran-lembaran daun kering itu ke lantai.
Rasa kesal dan kecewa membuat Nyi Peri se-
makin lemas. Ia baru sadar bahwa dirinya dalam kea-
daan luka berat. Dicobanya bertahan sekuat tenaga,
namun ia tak kuat lagi. Kedua lututnya gemetar dan
pandangan matanya berkunang-kunang. Sam-
bil menjerit panjang, tubuhnya ambruk dan memun-
tahkan darah segar.
Dalam keadaan terkapar bersimbah darah, Nyi
Peri masih sempat melirik isi tulisan di dalam daun-
daun kering itu. Matanya mendelik seakan-akan tak
percaya akan isi surat wasiat itu. Tetapi Nyi Peri masih mencoba membacanya :
"Rahasia kecantikan: Kecantikan mutlak adalah
pancaran dari hati nurani yang suci bersih."
Lalu di lembaran berikutnya tertulis kalimat:
"Kelanggengan tahta: Kita adalah sebagian kecil
dari masyarakat. Maka kita harus mendengar apa yang
masyarakat katakan."
Nyi Peri menahan nafas, tak terkatakan sakit
penderitaannya sekarang. Ada penyesalan menyelinap
ke dalam hatinya. Tetapi tampaknya semuanya sudah
terlambat. Ia hanya bisa pasrah pada nasib.
Saat itulah Setyatun tiba di rumah Nyi Peri.
Wanita itu menatap Nyi Peri dengan mata berkaca-
kaca. Lalu dengan suara gemetar, ia berkata:
"Ibu, semoga kau puas dengan hasil segala se-
pak terjang mu selama ini."
Nyi Peri tersentak dan seperti mendapat kekua-
tan baru lagi untuk menegakkan kepala menatap Dewi
Tatoo. Ia tampak sangat terkejut melihat sekujur tu-
buh wanita di hadapannya penuh rajahan. Dan dalam
sinar matanya yang nanar, ia merasa kenal wajah itu.
Tetapi ia belum dapat memastikannya.
"Heh! Siapa kau" Kau... pasti kau yang mem-
bunuh Prawiro..." kata Nyi Peri tersendat-sendat,
"Ya, memang akulah yang membunuh kekasih-
ku sendiri Prawiro. Itu adalah keputusan yang paling
baik bagiku. Pada keyakinanku aku bukan membunuh
Prawiro kekasihku, tetapi membunuh Prawiro yang
sudah kotor jiwanya karena pengaruh kejahatan Ibu."
Nyi Peri tersentak bukan main. Ditatapnya De-
wi Tatoo dari kepala hingga ke ujung kaki, hingga ak-
hirnya yakin dirinya bahwa wanita bertatoo itu bukan-
lah orang asing baginya.
"Hah" Jadi... kau adalah... Setyatun?" "Betul, Bu! Pada detik-detik terakhir
dari seluruh petualangan Ibu masih bisa mengenalku dalam wujud ku yang sekarang.
Memang akulah gadis Setyatun, anak angkat-
mu sendiri yang lima tahun lalu meninggalkan istana
terkutuk ini karena patah hati kekasih direbut Ibu
angkat yang sangat kuhormati," kata Dewi Tatoo sambil mengucurkan air mata.
"Oh, Setyatun anakku..." desis Nyi Peri hampir tak terdengar. Terbayang di
benaknya petualangannya
selama ini yang demikian tergila-gila kepada para jeja-ka tampan. Saat itu
Setyatun yang sejak usia remaja
dipungutnya menjadi anak angkat dan sangat dis-
ayanginya seperti anak kandung sendiri dan hidup
tenteram di istananya.
Putrinya yang cantik jelita itu kemudian menja-
lin hubungan cinta dengan Prawiro, seorang jejaka
tampan dan perkasa. Namun pada suatu hari, Nyi Peri
yang ternyata memiliki kelainan jiwa selalu haus seks
itu tidak dapat menahan diri. Ia seperti melupakan
bahwa Prawiro adalah kekasih Setyatun. Maka berba-
gai cara pun ia tempuh untuk menundukkan Prawiro
hingga pada suatu saat keduanya pun terlanjur mela-
kukan hubungan yang sebenarnya tidak pan-tas. Se-
suatu yang sangat ajaib!
Sejak hari itu pula, keduanya pun semakin ser-
ing melakukannya bahkan sudah merasa terbiasa. Te-
tapi akhirnya Setyatun mengetahuinya. Tak terkatakan
betapa hancurnya perasaan gadis itu. Ia tidak dapat
menerima kenyataan pahit seperti itu. Maka ia pun se-
gera melarikan diri dan baru sekarang, setelah lima
tahun berselang gadis itu muncul di hadapan Nyi Peri.
"Aku tak bisa menolongmu dari kematian ini,
Bu. Dan mati adalah jalan yang paling baik bagimu.
Selama kau masih hidup di atas bumi ini, akan banyak
Prawiro-Prawiro baru yang muncul sebagai gula-gula
bagimu. Dan akan semakin banyak pula gadis yang
patah hati karena perbuatanmu seperti diriku. Anak
angkatmu sendiri kau perlakukan seperti itu, apalagi
orang lain...."
"Oh, Setyatun..." bisik Nyi Peri dengan nafas yang tinggal satu-satu.
"Tapi ketahuilah, Bu. Karena ambisi mu untuk
awet muda dan cantik kembali, kau telah melakukan
kejahatan, pembunuhan yang sangat kejam. Padahal
patung itu bukanlah patung Ratu Shima asli melain-
kan tiruan. Aku sendirilah yang membuatnya...."
Mata Nyi Peri mendelik, lalu terpejam. Kepa-
lanya terkulai lemas. Terdengar oleh Setyatun nafas
ibu angkatnya itu tiba-tiba hilang.
Perlahan-lahan, Dewi Tatoo mengambil selem-
bar kain putih dari dalam kamar. Lalu sambil menutu-
pi jenazah Nyi Peri dengan kain itu, ia berkata:
"Bukan aku, tapi Tuhanlah yang berhak meng-
hukum mu di alam baka nanti, Bu. Aku hanya bisa
mengucapkan selamat jalan. Tidak seorang pun dapat
meringankan tanggung jawab manusia di hadapan Tu-
han, selain dirinya sendiri. Aku tak tahu kenapa perjalanan hidup kita harus
jadi begini. Sangat pahit,
Bu...." Sebelum meninggalkan rumah itu, Setyatun
masih sempat mengusap wajah Nyi Peri, dengan air
mata yang masih tetap bercucuran membasahi pipi,
"Sekarang aku harus pergi, Bu. Selamat tinggal! Semoga kenyataan pahit ini hanya
tinggal kenangan bagi-
ku." Setelah itu, Dewi Tatoo melangkah keluar, lalu melesat bagaikan anak panah
menuju lereng gunung
Muria. Malam terus meluncur diiringi turunnya embun
membasahi daun-daunan. Dari kejauhan, istana Nyi
Peri tampak semakin angker dalam suasana sepinya
malam. TAMAT Ebook by Abu Keisel Bangau Sakti 15 Naga Beracun Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 14