Pencarian

Serigala Berbulu Domba 1

Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba Bagian 1


SERIGALA BERBULU DOMBA Oleh Djair Warni
? Penerbit Rosita, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apa-
pun tanpa ijin tertulis dari penerbit
1 Entah berapa lama sang Raden bersungut-
sungut sendirian di atas kursi goyang itu. Keringatnya tampak semakin deras
membasahi sekujur tubuhnya.
Dan Wangsa yang sedang uring-uringan, bagai
bayi kehilangan dot itu tiba-tiba terhentak dari lamu-nannya. Ia segera bangkit
dari kursi itu dan langsung berdiri di dekat jendela sambil mengetuk-ngetuk
bing-kai jendela dengan ujung jarinya seakan-akan sedang
mengalunkan sebuah lagu.
Wajah Den Wangsa yang sebelumnya cemberut,
kini berubah menjadi cerah. Rupanya sang ilham telah
masuk ke otaknya.
Hmmm... Tak salah lagi. Pasti ada orang lain
yang mendahuluinya. Aku yakin, bukan Si Picek itu
yang mengerjakan, tetapi ada orang lain yang lebih du-lu mengosongkan peti itu.
Gumamnya sambil mang-
gut-manggut. Otak yang cukup brilian itu dengan cepat dipu-
tar bagai sebuah komputer. Ia terus mengingat-ingat
kejadian-kejadian sebelumnya untuk memperoleh ja-
waban yang tepat dari kegagalan yang telah diala-
minya. "Ya...! Ini memang salahku sendiri. Mengapa otak itu kubiarkan terus
melekat pada tubuh si anak
bego' itu. Kalau tidak, tentu tak ada seorang pun yang bisa mendahuluinya.
Eh...! Hmmm... tapi jangan-jangan si Tolol sendiri yang mengerjakannya. Ya...
bisa juga si Tolol yang berbuat sehingga si Picek kalah cepat. Apakah si Tolol
mampu berbuat semacam itu"
Adakah orang lain di belakangnya" Ah... tidak!
Mungkin saja si Tolol hanya berlagak blo'on untuk
menyembunyikan kecerdasannya, padahal telah jauh-
jauh hari ia membuat rencana untuk memiliki harta
itu. Kini harta itu telah berada di tangannya!" gumam Wangsa yang terus menduga-
duga di dalam hati,
"Hmmmh. Rupanya dia pun belum kenal siapa
Wangsa!" Dalam soal ngakal-mengakali persiapan ku lebih dari segudang. Tunggu
saja. Sebentar lagi aku
akan membuktikannya, gumamnya lagi sambil terse-
nyum. Jalan pikiran Den Wangsa tiba-tiba terhenti
dengan timbulnya suara gaduh dari ruang belakang.
Suara-suara itu ternyata datangnya dari ruang
dapur. Di ruang itu tampak Den Tompel, putra sulung
Den Surya sedang marah-marah. Hampir semua pera-
botan dapur yang terdiri dari barang pecah belah be-
rantakan ke sana-ke mari terutama piring dan mang-
kuk-mangkuk. Encum telah berusaha mencegahnya, tapi apa
daya, kemampuan gadis kecil ini terbatas sekali, ak-
hirnya ia hanya bisa duduk tersipu sambil menangis
menyaksikan apa yang dilakukan oleh majikannya.
Tetapi ketika melihat sang juragan itu men-
gambil sebuah kampak yang biasa digunakan untuk
membelah kayu, Encum spontan berteriak dengan ke-
ras hingga suaranya terdengar hingga ke ruang depan.
"Ya... Allah! Jangan dipecahkan semua perabo-
tan dapur ini, Gan...!" teriak Encum untuk mencegah atau menghindari kerusakan
yang lebih parah lagi.
"Diam kau!" bentak sang majikan dengan keras.
"Ada apa sebenarnya Agan ini" Kenapa semua
perabotan dapur yang menjadi sasaran"!" sela Encum yang mencoba memberanikan
diri sambil menarik gagang kapak itu dari tangan majikannya.
"He, anak perempuan bau kencur! Tak usah
kau campuri urusanku! Ini urusan majikanmu! Men-
gerti kau"!" balas Tompel dengan nada mengancam.
"Tapi Gan, kenapa perabotan itu yang menjadi
sasaran" Sekarang Agan pun akan menghancurkan
meja ini. Kenapa Gan, kenapaaaaaa...?" tanya Encum yang berusaha mencoba merebut
benda yang masih
digenggam oleh Den Tompel.
Den Tompel yang datang dalam keadaan ma-
buk itu, sulit untuk mendapat nasehat maupun saran.
Segala kehendaknya harus terlaksana dan tak ada
yang boleh mencegahnya. Ini terbukti pada diri gadis
kecil ini, tanpa merasa kasihan lagi sang majikan langsung melemparkannya.
Untung saja Encum tidak ja-
tuh ke dalam air yang masih mendidih atau ke peca-
han keramik-keramik yang berserakan di lantai.
"Ku ingatkan sekali lagi padamu. Tutup mulut
dan jangan banyak omong lagi. Kalau kudengar kau
masih buka mulut, tahu sendiri akibatnya. Ku tempe-
leng kau habis-habisan. Mengerti?" ancam Den Tompel sambil menjambak rambut
pembantunya. Sebelum melaksanakan niatnya Tompel segera
mengambil pundi yang berisi tuak, kemudian ia mi-
num tuak tersebut hingga benar-benar kering. Semen-
tara itu kampak besar masih tetap berada di tangan-
nya. Encum kini tak berani lagi berbuat apa-apa, se-
bab ia takut sekali dengan ancaman sang juragan yang
semua orang umumnya tahu, bahwa Den Tompel
mempunyai watak yang keras dan setiap tindakannya
selalu tanpa pikir panjang lagi.
Ketika Den Tompel sedang menghabisi sisa mi-
numan yang ada di dalam botol itu, tiba-tiba datang
Den Wangsa menemuinya. Ia langsung menepuk bahu
kemenakannya sambil tersenyum.
"Tak usah khawatir, Tompel...! Paman masih
menyimpannya. Di kamar paman masih ada satu pun-
di lagi, kau mau bukan"!" sapa sang paman yang tetap masih mengelus-elus bahu
kemenakannya seakan-akan terkesan penuh kasih sayang.
"Oh...!" lenguh Tompel sambil bersendawa.
"Paman memang sengaja menyimpannya un-
tukmu. Mari kita ambil."
Sang paman yang sudah mempunyai rencana
ini, langsung mengajak Den Tompel ke kamarnya.
"Ada apa rupanya yang menyebabkan kau men-
jadi kalut begini, Nak?" tanya Den Wangsa dalam perjalanan menuju ke kamarnya.
"Aku kalah lagi, Paman!" jawab Tompel tak
acuh. "Ooo... cuma itu" Kalau cuma begitu sih tak usah khawatir." balas sang
Paman. "Maksud Paman"!" tanya Den Tompel dengan
mata mendelik memandangi Wangsa yang masih ter-
tawa lebar. "Kenapa musti repot-repot" Paman kan masih
ada. Dan selalu bersedia memberikan bantuan untuk-
mu, di mana dan kapan saja kau perlukan," kata
Wangsa dengan senyum yang tambah dibuat-buat.
"Benarkah itu, Paman"!" ucap Tompel dengan
mata yang tambah mendelik lagi dan semakin penuh
perhatiannya kepada sang Paman itu.
"Apakah selama ini paman suka berbohong pa-
damu" Hmmm... sudahlah. Mari kita masuk dulu, kita
minum dan sambil ngobrol-ngobrol di dalam!" ujarnya lagi setelah membuka pintu
kamarnya yang sebelumnya terkunci rapat.
Dengan keramahan yang dibuat-buat Den
Wangsa mengajak Den Tompel masuk ke kamarnya.
Setelah Den Tompel duduk ia pun langsung menyedia-
kan minuman yang ia janjikan sebelumnya.
"Ayolah minum, Nak...!" ujar Den Wangsa sambil menyodorkan minuman keras
tersebut. "Terima kasih, Paman!" ucap Den Tompel setelah menerima minuman dari pamannya.
Kemudian ba- gaikan orang yang kehausan Den Tompel langsung
menenggak minuman tersebut tanpa putus-putus dan
dalam waktu singkat keringlah isi pundi yang baru di-
letakkan oleh Den Wangsa.
"Nih...! Terimalah! Terserah kau, kapan saja
gantinya. Seandainya kau belum ada dan masih mem-
butuhkan lagi. Jangan segan-segan, Pamanmu selalu
siap membantu," ucap Den Wangsa sambil meletakkan beberapa uang logam di atas
meja tak jauh dari pundi
yang telah habis isinya.
"Terima kasih, Paman," sambut Den Tompel kegirangan dan dengan cepat ia bangkit
dari kursi. Setelah meraup uang yang ada di meja. Tompel permisi ke-
pada pamannya untuk pergi.
"Mau ke mana kau, Tompel?" tanya Den Wang-
sa dengan penuh perhatian.
"Aku mau nebus kekalahan ku!" jawab Tompel
singkat. "Tunggu...! Duduklah dulu!" pinta pamannya.
"Ada apa lagi, Paman?" tanya Tompel yang tampaknya sudah bernafsu sekali untuk
kembali berjudi.
"Ketahuilah, Nak...! Kelakuanmu itu belum se-
berapa apabila kau bandingkan dengan harta milikmu
yang kini kau belum peroleh. Boleh dibilang tak ada
seujung kuku. He... he... heh!" bisik Den Wangsa mulai memanas-manasi
keponakannya. Den Tompel yang rencananya akan berangkat
dari tempat itu, terpaksa mengurungkan niatnya, ka-
rena apa yang didengarnya barusan sangat menarik
perhatiannya. Sang paman pun cukup cerdik dalam menyu-
supkan hasutannya kepada Den Tompel, ia sengaja
menyampaikannya sedikit demi sedikit agar si kepona-
kan itu menjadi penasaran.
"Sebenarnya, apa yang paman maksudkan?"
tanya Den Tompel yang tanpa disadari ia telah terpaku beberapa saat.
"Ah... tidak... tidak apa-apa! Sebenarnya ini
sangat rahasia, aku takut menyampaikannya," jelas sang paman kembali seakan-akan
menguji, apakah
Tompel mulai terpengaruh atau tidak.
Ternyata Den Tompel tampaknya sangat serius
sekali dengan cerita itu, ia mohon kepada pamannya
untuk menjelaskan maksud dari ucapan pamannya
tadi. "Cepatlah katakan, Paman. Apa sebenarnya
yang telah terjadi di rumah ini. Tadi Paman menyebut-
nyebut masalah harta. Harta itu kepunyaan siapa dan
di mana adanya...?" ujar Den Tompel dengan sungguh-sungguh.
"Sudah kukatakan tadi, bahwa ini adalah san-
gat rahasia. Tapi apabila kau berjanji tidak akan men-ceritakannya kepada siapa-
siapa dan tak membuka
dari mana sumbernya, tentu aku akan menjelaskan-
nya kepadamu. Sebab ini adalah harta warisan yaitu
tentang ketidakadilan dalam pembagian harta warisan
oleh ayahmu kepada kalian, terutama kau anak yang
paling tua," jelasnya dengan lembut namun sebenarnya adalah racun yang berbahaya
apabila telah mera-
suk ke dalam jiwa orang yang dipengaruhinya.
"Baik, Paman...! Sungguh aku berjanji tak akan
menceritakan kepada siapapun juga, termasuk ketiga
saudara-saudaraku!" jawab Tompel yang semakin serius.
"Nah, kalau begitu baiklah. Sekarang kau den-
garkan! Sebenarnya dalam pembagian harta ada keti-
dakadilan!" ucap Den Wangsa.
"Oh...! Mengapa bisa begitu"!" sahut Den Tompel yang terus melotot seakan enggan
berkedip, dalam
menyimak pembicaraan tersebut.
"Yah... inilah yang sebenarnya yang aku akan
sampaikan kepadamu. Sebab biar sampai kapan pun
kau tak akan mengetahuinya, kalau aku tak menje-
laskannya. Ada sejumlah harta yang sangat besar ni-
lainya, yaitu berupa emas permata sengaja tak ditu-
liskan oleh Juru Tulis Tirta atas pesan ayahmu."
"Benarkah itu"!" sela Tompel kembali sambil menggaruk-garuk kepalanya, namun
pandangannya tetap mengarah kepada pamannya.
"Terserah bagaimana tanggapanmu. Aku hanya
sekedar menyampaikan saja, sebab aku merasa sangat
prihatin atas perlakuan Mas Suryakanta terhadap ka-
lian bertiga."
"Ya... ya! Teruskan, Paman, teruskan!" seru Tompel yang kelihatan sudah tidak
sabar lagi. "Harta yang begitu besar nilainya, kini sudah
diberikan kepada si Tolol seorang!" bisik Wangsa ke telinga Tompel.
"Gila!" suara Tompel tiba-tiba meledak sambil memukul meja yang ada di dekatnya
dengan keras sekali, sehingga apa yang ada di atas meja itu jatuh be-rantakan.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Paman"!" teriak Tompel kembali.
"Sebenarnya aku ingin mengatasi masalah ini.
Tapi kau harus mengerti, aku tak punya hak apa-apa
dalam mencampuri urusan warisan kalian," ucap
Wangsa sepertinya seorang yang penuh bijaksana, pa-
dahal dialah biang keroknya.
Den Tompel yang masih terpengaruh minuman
keras ditambah lagi dengan datangnya hasutan sema-
cam itu, tampak semakin beringas. Duduknya pun tak
bisa tenang, bagai ada jarum di atas kursi yang ia duduki. Sebentar-sebentar ia
bangun, kemudian duduk
kembali, begitulah seterusnya. Yang terakhir ini ia
berdiri tegap dengan kaki yang sebelah kanan dinaik-
kan ke atas kursi dan golok yang Sejak tadi sudah di-
keluarkan dari sarung, masih tetap digenggamnya.
"Cepat katakan, Paman. Apa yang harus aku
lakukan sekarang. Aku tidak terima perlakuan sema-
cam ini! Huh! Tak kusangka anak bego' macam dia le-
bih dihargai ayah dari pada kami bertiga! Terlalu!"
ucap Tompel dengan mata yang mulai memerah.
"Tenanglah Tompel, tenanglah dulu! Masih ada
jalan keluar kalau kalian mau. Mudah sekali cara
mengatasinya," ucap Wangsa yang berusaha terus
memancing kemarahan Tompel hingga sampai pada ti-
tik puncaknya. "Lalu, bagaimana caranya, Paman?" tanya
Tompel dengan antusias.


Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa susah-susah. Temui saja si Tolol," sahut Wangsa sambil menghisap pipa
yang baru saja disulutnya. "Lalu. Apa yang musti kuperbuat setelah itu?"
tanya Tompel lagi dengan nada gemas sekali.
"Mintalah harta itu, kemudian kalian bagi men-
jadi empat bagian. Masalah pengaturannya terserah
kaulah, apakah kalian mau bagi sama rata atau kau
yang merasa lebih tua harus mendapatkan lebih ba-
nyak," ujar Wangsa yang terus menerus membakar perasaan Tompel.
"Bagaimana kalau dia tak mengaku?" tanya
Tompel sambil menggebrak meja untuk kesekian ka-
linya. "Kau ini benar-benar tolol sekali. Masa' mengatasi persoalan macam begitu
harus minta diajari juga.
Atasilah dengan caramu sendiri. Mana ada sih maling
yang mau mengaku?"
Lidah beracun dari si Wangsa ini sangat jitu
sekali. Kata demi kata yang begitu manis dan keluar
dari mulut busuknya telah benar-benar meresap ke
tubuh Tompel dari mulai ujung kaki sampai ke ubun-
ubun. Kekalahan judi dan minuman sudah tak terin-
gat lagi di dalam benaknya. Kini yang tersirat hanyalah harta yang mempunyai
nilai besar. Itulah sebabnya ia
berkali-kali mengerutkan alisnya yang disertai desahan nafas yang memburu.
Melihat keadaan tersebut si Goreng Patut
Wangsa, cukup kecut juga hatinya. Jangan-jangan bu-
kan hanya meja dan kursi yang patah, tetapi tulang-
tulangnya pun bakal remuk kalau sampai Tompel
mengamuk di kamarnya. Untuk mencegah hal tersebut
ia buru-buru membujuk anak yang sudah kalap itu.
"Sudahlah! Cepat kau selesaikan masalah ini.
Jangan sampai pihak Kota praja mengesahkan pemba-
gian waris yang kini sedang digarap oleh Juru Tulis
Tirta," ucap Wangsa sambil memandang keadaan di
luar melalui jendela kamarnya.
"Huuh! Di mana dia sekarang, Paman?" tanya
Tompel kepada Wangsa yang masih tetap dengan posi-
sinya, membelakangi Tompel.
"Entahlah! Cari sendiri! Selama ini memang dia
jarang di rumah. Kelihatan sekali kelicikannya, bu-
kan"!" jawab Wangsa tanpa menoleh sedikitpun juga,
"Rupanya dia berusaha menghindari diri dari kalian bertiga. Tapi kau pun harus
waspada pula. Tak mungkin ia bekerja sendiri, pasti ada orang lain di bela-
kangnya." "Siapa orang itu, Paman?" tanya Tompel semakin penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Memang selama ini
ia tampaknya lemah tak berdaya, kita suruh apa saja
dia mau mengerjakannya, diberi atau tidak upahnya
dia menerima saja. Ternyata orang yang kita kasihani
itu punya tujuan tertentu di dalam rumah ini. Pantas
saja ia sangat dekat sekali dengan si Tolol, aku baru tahu sekarang."
Istilah sekali mendayung dua buah pulau ter-
lampui, mulai digunakan Wangsa, tapi istilah yang di-
buat untuk tujuan baik, baginya digunakan untuk tu-
juan memperlancar tujuan jahatnya.
"Kau sudah dapat menerka, siapa orang itu,
bukan?" tanya Wangsa kepada Tompel.
Tompel yang saat itu masih mengingat-ingat
orang yang dimaksud oleh pamannya diam sejenak.
"Ya! Aku sudah tahu!" ucap Tompel setelah dapat mengetahui orang yang dimaksud
pamannya. "Siapa?" tanya pamannya kembali.
"Siapa lagi kalau bukan si Tua Bangka itu!" jawab Tompel yang tak bosan-bosan
menggebrak meja.
Untuk kali ini bukan dengan tangan, tetapi dengan go-
lok yang dibacokkan ke meja Den Wangsa hingga tem-
bus ke bawah. "Ya... ya, carilah mereka. Dan yang lebih utama
kau harus cari si Tolol itu!" sambut Den Wangsa sambil meringis dengan mata yang
terus melirik ke meja
ukiran kesayangannya yang rusak akibat bacokan ta-
di. "Paman! Di Babakan Sumedang ini semua su-
dah tahu, bahwa aku tak bisa dibikin sembarangan.
Kurang ajar betul mereka itu. Hmmmmh...! Biar. Kalau
ketemu akan kutebas batang lehernya."
"Ya...ya. Aku tahu itu! Cepatlah kau urus harta
mu itu!" pinta Wangsa dengan harapan agar kemenakannya yang berangasan itu
cepat-cepat angkat kaki.
Setelah Den Tompel beranjak dari tempat terse-
but, hati Den Wangsa terasa 'plong' sekali. Sekarang ia dapat tenang berdiri
sambil tersenyum penuh keme-nangan dan ia pun sudah membayangkan apa yang
bakal terjadi di antara mereka. Suasana kamar yang
acak-acakan tak dihiraukan dan dibiarkan begitu saja, karena ada suatu hal yang
penting lagi baginya, yaitu menyusun skenario baru untuk korban lainnya.
Rupanya si Goreng Patut sudah mendapat ide
lagi, sebab wajahnya nampak berubah cerah. Setelah
merapikan rambut dan blangkon, Wangsa kemudian
merebahkan diri di kursi goyang.
Semut di seberang laut dapat terlihat, gajah di
depan mata tak dilihatnya, ini terjadi pada diri si Manusia Tamak alias Wangsa.
Yang ia pikirkan hanya ha-
sutan supaya Tompel dan saudara-saudara lainnya
saling tuding sehingga timbul pertengkaran yang ber-
bahaya, sedang kursi goyang yang didudukinya itu pa-
da akhirnya terdapat bekas bacokan golok waktu Den
Tompel marah. Ini tak disadarinya. Kemudian begitu ia menggoyangkan kursi
tersebut, tanpa ampun lagi,
"Bruaaaaaak!" Suara kursi yang ambrol itu dengan keras sekali.
"Huuuk...! Hh... hh... Toloooooooong! To-
loooooooooong!" teriak Wangsa yang terjepit di antara patahan kayu.
Setelah berkali-kali berteriak tak ada yang me-
nanggapinya, akhirnya si Wangsa sadar juga bahwa di
dalam rumah tersebut memang kosong, yang ada cu-
ma dia seorang.
Dengan susah payah Wangsa berusaha bang-
kit, sama halnya seperti Den Tompel yang terperosok
di tepi kali dalam usaha mencari si Tolol. Pada saat itu Den Tompel pun baru
saja bangun setelah jatuh waktu
melewati batu-batu yang licin di dekat pancuran.
Cukup lama si Tompel mencari adiknya, namun
belum juga berhasil dijumpai. Beberapa tempat yang
biasanya si Tolol gunakan untuk bermain dan beristi-
rahat sudah di cari, begitu pula dekat warung tempat
Tompel mangkal, tetap nggak ketemu juga.
"Sial! Ke mana perginya tuh anak, biasanya ada
di sekitar ini! Biar...! Kalau ketemu akan kuhajar habis-habisan anak kurang
ajar itu! Tak kusangka anak
sebego' itu bisa menipuku. Huh! Benar-benar terlalu!"
gumam Tompel tak habis-habisnya.
Setelah berjam-jam mencari si Tolol tak juga
berhasil, akhirnya Den Tompel menghentikan lang-
kahnya di suatu tempat yang teduh dengan tujuan un-
tuk beristirahat. Ia membaringkan badannya di bawah
pohon yang sebelumnya telah ia beri alas dengan bebe-
rapa pelepah pisang.
Rasa penasaran masih tampak di kerut wajah-
nya, sepertinya kebencian terhadap si Tolol benar-
benar mendalam sekali. Ini semua akibat ulah si
Wangsa yang tamak dan serakah itu. Dalam mengejar
tujuannya tak segan-segan ia mengorbankan kemena-
kannya sendiri. Tompel yang terkenal pemarah dan
nekad, telah menjadi sasaran empuk baginya. Hasutan
beracun yang keluar dari mulut Wangsa yang busuk
itu benar-benar telah merasuk ke dalam jiwa putra su-
lung Raden Suryakanta ini. Oleh sebab itulah ia ber-
nafsu sekali untuk mencari adiknya yang bungsu dan
entahlah apa yang terjadi apabila ia telah menda-
patkannya. Di saat Tompel sedang melepaskan lelah, tak
ada salahnya apabila kita menengok sejenak apa yang
sedang dilakukan Raden Wangsa yang gila harta itu.
Rupanya ia sedang asyik santai di pembaringan sambil
memandang ke langit-langit dan sekali-sekali tampak
ia tersenyum simpul sendirian. Rupanya ia sedang
membayangkan sesuatu yang telah terjadi terhadap
Tompel dan adiknya.
"Mmmh! Inilah yang kuinginkan. Kalau si Tolol
sudah tamat riwayatnya, termasuk pesuruh tua bang-
ka itu. Bakal kubuat lagi persoalan baru, supaya pe-
mabuk itu berurusan dengan si Kasep tukang adu
ayam. Kalau tidak demikian, mana mungkin ku dapat
mengalahkan mereka. Disamping mereka masih muda
dan kekar, ilmunya pun cukup lumayan. Apabila si
Tompel yang memiliki beberapa anak buah, mana
mungkin bisa kuhadapi. Yang paling kuharapkan di
antara Tompel dan Kasep ini dapat saling bertikai. Inilah yang paling seru!"
ucap Wangsa yang berbicara sendirian, kemudian ia pun merogoh saku bajunya untuk
mengambil jam kantongnya, "Hmmmh. Sebentar
lagi Si Kasep pulang. Aku harus menyambut kedatan-
gannya mulai dari sekarang." ucapnya lagi.
Rupanya Wangsa sudah menyusun acara baru
untuk menghasut Den Kasep. Entah apa lagi hasutan
yang akan diberikan olehnya untuk putra Den Surya-
kanta yang kedua ini. Kalau sampai hal.ini terjadi, be-rantakanlah keluarga
almarhum Raden Ageng Surya-
kanta. *** 2 Kini kita beralih sejenak untuk melihat si Tolol.
Anak yang sedang dalam pengejaran kakaknya ini, se-
benarnya berada tak jauh dari tempat Den Tompel be-
rada. Sejak pagi hari Tolol telah berada di tempat itu untuk memancing ikan, ia
duduk dengan tekun di atas
batu sambil mengamati pancingnya yang tak pernah
disenggol ikan. Sudah berkali-kali ditukar umpannya,
namun tetap saja ikan tak ada yang mau memakan-
nya. Saking kesalnya sisa getuk bekas ia makan di ta-
ruhnya di ujung kail, mungkin itulah cara yang terbaik menurutnya. Inilah yang
sekarang sedang ditunggu
hasilnya. "Wah...! Benar-benar berengsek, nih! Tidak ada
yang mau makan sama sekali. Padahal sudah kuberi
makanan yang baru, tapi tetap saja tak ada yang mau
makan. Apa di dalam air sedang ada undangan ma-
kan-makan sehingga mereka kenyang semuanya..."!"
gumam si Tolol dengan kesal, "Ah. Kalau begitu aku mau pulang aja, ah. Biarin
pancingnya kutinggal di si-ni, siapa tahu kalau kuangkat besok, sudah ada ikan
yang menyangkut!" gumamnya lagi.
Setelah menggeliat beberapa kali, si Tolol ban-
gun dari duduknya, kelihatannya ia akan meninggal-
kan tempat itu.
"Besok aku ke sini lagi! Pokoknya pancing ku
besok harus dapat ikan yang gede...! Tapi... eh, sekarang pun... oh... ada yang
makan! Horeeeee...! Pancing ku dimakan!" teriak Tolol kegirangan, kemudian ia
langsung menarik pancingnya perlahan-lahan, setelah
dirasakan pas maka digentaknya keras-keras," Ho-
reeee... dapaaaaaat .!" teriaknya semakin keras lagi.
Saking girangnya, si Tolol langsung menubruk
hasil tangkapannya. Apa yang terjadi" Begitu ia tu-
bruk, langsung ia berteriak dengan sekuat tenaga. Te-
riakan kali ini, bukan karena gembira tetapi karena
kesakitan akibat japitan kepiting. Rupanya bukan ikan yang ia dapatkan melainkan
hanya seekor anak kepiting.
"Wadoooouuuw...! Tolooooooooong, to-
looooooong!" jerit si Tolol dengan keras sambil mengibas-ngibas tangannya.
Walaupun kepiting tersebut sudah lama jatuh
ke tanah, tapi si Tolol masih tetap saja berjingkrak-
jingkrak ketakutan. Ia masih menganggap kepiting ter-
sebut masih menggigit tangannya.
Si Tompel yang sejak tadi berada di dekat si To-
lol, baru mengetahui bahwa adiknya berada di balik
semak-semak dan rimbunan pepohonan itu dan begitu
mendengar suara si Tolol menjerit, ia langsung melom-
pat menghampiri adik kandung yang sejak tadi dica-
rinya. Melihat kedatangan kakaknya, si Tolol bukan
main girangnya, sebab kedatangan Tompel ke situ pas-
ti untuk menolongnya. Oleh karena itulah sifat man-
janya timbul dan tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Waaaaa...!! Uuuwaaaaaaa...! Kang Tompel...!
Tolongin Kang, tolongin Tolol, Kang...!! Aduuuuuh sa-
kitnya bukan main, kang... Kenapa Akang diam saja,
ayo dooong tolongiiiiin...! Biarin deh Tolol nggak kasih jajan, yang penting
tolongin Tolol. Tolol di japit kepiting nakal nih!" teriak si Tolol yang terus
meratap tanpa henti-hentinya.
"Hmmmmh...!" gumam kakaknya dengan mata
yang beringas. Kedatangan Tompel yang disangka untuk me-
nolongnya, ternyata jauh di luar dugaannya. Tompel
langsung menjambret baju adiknya dan kemudian
mengangkatnya tinggi-tinggi!
"Katakan cepat. Di mana kau sembuyikan peti
harta itu"!"
"Peti apa, Kang"!"
"Jangan berpura-pura! Ayo berikan padaku!"
"Sungguh, Kang. Tolol nggak tahu! Aduuuh sa-
kit, nih. Lepaskan Kang. Aduuuuh...!"
"Lepaskan monyong lu! Kau dengar tidak, hah"!
Di mana kau sembunyikan harta itu! Ayo ja-
waaaaaab...!"
"Tolol enggak tahuuuu...!! Wa... aaa...!"
"Jangan berlagak tolol kau, hah"!"
Tompel yang sudah terpengaruh tuak atau mi-
numan keras dan disertai hasutan dari pamannya se-
makin beringas kelihatannya. Begitu berkali-kali ber-
tanya tetap tak mendapat jawaban, ia langsung me-
lemparkan tubuh adiknya ke batu-batu cadas. Malang
benar nasib si Tolol saat itu, dari kepalanya yang botak itu tampak mengeluarkan
darah akibat terbentur batu.
"Uuu...! Kang Tompel jahat! Kang Tompel jahat!


Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lihat nih, kepala Tolol sakiiiiiit. Tuh... berdarah... lagi!"
"Ayo jawaaaaab!"
"Jawab apaan dooooong! Uuuu... uuu... uu!"
"E... eh. Masih tak mau menjawab juga"! Biar.
Ku gusur kau sampai mampus!"
"Aduuuuh.. ampuuuuuun! Kang... sakit, Kang!"
teriak si Tolol memelas.
"Selama kau tidak mau menjawab, akan kuse-
ret terus sampai mampus!"
"Ampuuuun...! Sungguh, Kang. Tolol tidak ta-
hu! Tolol tak pernah melihatnya! Aduuuuuuh sakiiiiit!"
"Bohong!" bentak Tompel dengan sengitnya.
Luka si Tolol semakin banyak, begitu pun da-
rah yang keluar dari tubuhnya karena banyak terben-
tur batu. Namun sang kakak yang sedang kerasukan
iblis tetap saja menyeretnya tanpa betas kasihan ter-
hadap saudara kandung sendiri. Jerit tangis dan rata-
pan yang sangat memilukan, sedikit pun tak membuat
hatinya bergeming.
Entah seberapa jauh si Tolol diseret oleh kakak
kandungnya sendiri, tak dapat diperkirakan secara
pasti, namun yang jelas si Tompel telah menyeretnya
sampai ke daerah perladangan yang sangat jauh dari
kali. Secara kebetulan pada saat itu Pak Kohar se-
dang berada di kebun untuk mengambil rumput untuk
ternak. Bukan main terkejutnya pesuruh tua ini ketika melihat perlakuan sang
majikan terhadap saudara
kandungnya sendiri.
"Ya... Allah...! Dosa apakah yang membuat Den
Tolol disiksa sampai begitu, Den...! Hentikan Den. Kasihanilah saudaramu. Dia
kan adik kandungmu sendi-
ri. Seharusnya kaulah satu-satunya anak tertua yang
harus membimbingnya!" teriak Pak Kohar sambil berlari ke arah Tompel.
Sementara itu raungan dan tangis Tolol yang
kesakitan masih tetap terdengar dan sangat memilu-
kan. Melihat keadaan itu Pak Kohar berusaha merebut
si Tolol dari tangan kakaknya yang kemasukan iblis.
Tapi si Tompel yang kesetanan ini tak perduli lagi sia-pa yang datang, sehingga
pesuruh tua yang telah men-
gabdi selama puluhan tahun turut menjadi korban ke-
biadabannya. Golok yang dipegang si Tompel dengan
cepat berayun dan langsung merobek perut orang tua
yang sangat kurus dan lanjut usia ini.
Tubuh yang tua renta itu pun ambruk sebelum
berhasil melaksanakan niatnya.
"Cuiiih! Tua bangka sok tahu! Makanya jangan
sok mencampuri urusan orang lain. Rasakan akibat-
nya!" umpat si Tompel sambil menggulirkan tubuh Pak Kohar dengan kakinya.
Si Tolol menjerit keras sekali ketika melihat
pembantu kesayangannya menjadi korban keganasan
kakaknya. Tapi apa daya, ia sendiri di dalam keadaan
tak berdaya. Nafsu iblis masih juga belum pindah dari tu-
buhnya. Kini Tompel kembali menyeret tubuh adiknya
ke sebuah kolam yang cukup dalam airnya. Setelah
sampai di tempat tersebut tubuh si Tolol dilemparkan
tanpa belas kasihan.
"Di sinilah kuburanmu, anak mas yang tak ta-
hu diuntung! Sebentar lagi kau akan menyusul si tua
itu ke akherat!" ucap si Tompel sambil mencabut kembali goloknya.
"Ampun Kang...! Ampuuuuun...! Tolol minta
ampuuuun! Aduuuuh. Pedih sekali...! Ayaaaah...
Ibuuuuu... tolooooooooooong...! Auff... auf... uuf...!" teriak si Tolol dengan
suara yang mulai melemah, akibat terlalu banyaknya siksaan yang ia terima.
"Aku tak akan membiarkan mu hidup, selama
kau belum juga mengatakan di mana harta itu kau
simpan. Ayo katakan di mana peti harta itu...! Ce-
paaaaaat!" teriak Tompel sambil mengancam si Tolol dengan golok yang ditempelkan
di leher anak itu.
"Tidak tahu! Tidak tahu! Tolol tidak punya har-
ta. Sungguh biar mati, Kang. Biar disambar gledek To-
lol berani sumpah! Tolol tidak bohong!"
"Bandel benar kau ini, hah" lebih baik mampus
saja! Hiiikh! Mampus kau! Hhh! H... hhh!"
Tindakan yang lebih kejam dilakukan lagi oleh
Tompel kepada adiknya. Dengan cengkraman sangat
kuat, ia menekan tubuh Tolol ke dalam air. Tubuh
anak itu pun menggelepar beberapa saat dalam mela-
wan maut. Setelah tak berdaya barulah dia lepaskan
dan membiarkan adiknya mengambang begitu saja.
Kemudian Tompel melangkah meninggalkan tempat
itu, nafasnya tampak tersengal-sengal dan keringat deras mengucur dari dahinya.
Inilah rupanya yang diha-
rapkan Wangsa, Si Manusia Rakus itu.
Den Tompel kembali ke tempat di mana ia be-
ristirahat tadi. Di situ ia duduk termenung meman-
dangi derasnya air yang sedang mengalir di sungai itu.
Baru beberapa saat ia berada di situ, tiba-tiba
datang seorang laki-laki menghampirinya. Laki-laki itu tak lain adalah Den
Kasep, saudara kandungnya juga.
"Bangun kau keparat!" bentak Kasep sambil
menendang Tompel dengan keras.
Dalam keadaan tidak siap, tentu saja membuat
Den Tompel terjungkir ke dalam air.
"Bangsat! Apa-apaan kau ini, Hah"!" teriak Den Tompel yang langsung melesat
kembali ke tepi sungai.
"Jangan coba-coba kau mengangkangi harta
itu. Selama aku masih ada! Paman bilang, kau hendak
menyerahkan harta milik Ibu yang berada di dalam pe-
ti itu, bukan"! Dia juga mengatakan bahwa kau akan
membunuh adikmu satu persatu. Ini sudah terbukti.
Sekarang kau telah membunuh Tolol, adik kita. Tetapi
kau tak akan bisa melakukannya terhadapku, bang-
sat!" teriak Den Kasep yang tampak beringas sekali.
Rupanya Den Kasep pun sudah termakan ha-
sutan yang diberikan oleh pamannya. Mulut busuk be-
racun itu sungguh luar biasa, kini satu lagi seorang
putra Den Surya yang menjadi korbannya.
"Sebelum kau bunuh kami yang masih tersisa,
lebih baik kau yang harus kubikin mampus. Lihatlah
golok ini! Golokmu yang kau tinggalkan tak jauh dari
tempat penyiksaan si Tolol. Sekarang kau dapat rasa-
kan bagaimana golok ini memangsa tuannya sendiri!"
Den Kasep dengan cepat menyerang kakaknya
dengan golok yang didapatkan dari pinggir kolam. Se-
rangan yang begitu keras berusaha dihindari walau-
pun tangan kirinya harus menerima goresan senjata
tajam tersebut.
"Bangsat!" teriak Tompel sambil memegang lengan kirinya yang tampak mulai
mengeluarkan darah,
"Kau ingin menyusul si Tolol rupanya, hah"!" bentak-nya lagi sambil mengeluarkan
sebuah pisau raut dari
balik bajunya. "Kaulah yang akan menyusulnya. Mana mung-
kin manusia pemabukan seperti kau dapat melawan
orang macamku! Si Tolol dan Pak Kohar memang mu-
dah kau bunuh, karena keduanya tak mungkin mela-
wan walau diapakan juga."
"Diam kau bangsat! Baru memiliki ilmu silat
yang tanggung saja sudah mulai berlagak macam pen-
dekar. Padahal membunuh seekor kadal pun tak
mampu!" "Ya! Tapi untuk membunuh manusia serakah
macam kau, sangat mudah kulakukan, mengerti!?"
Kedua kakak beradik itu kembali bertarung
mati-matian. Seluruh kemampuannya kali ini mereka
keluarkan agar bisa memenangkan pertarungan. Ber-
kali-kali Den Kasep terkena hantaman dari kakaknya,
sehingga tidak sedikit luka yang terdapat di sekujur
badan. Begitu pula Den Tompel, banyak pula sabetan
golok dari adiknya yang mendarat di badannya.
Pertarungan kedua saudara ini semakin lama
semakin lamban, mungkin disebabkan oleh banyaknya
luka yang terdapat di tubuh masing-masing, atau
mungkin juga karena mereka telah bertanding dengan
waktu yang begitu lama. Biarpun begitu, keduanya te-
tap berupaya untuk memenangkan pertandingan, se-
hingga di suatu saat, sebuah pisau milik si Tompel
menghunjam tepat di ulu hati adiknya.
Gerakan reflek Den Kasep sangat fatal bagi
Tompel yang kurang cepat menghindar. Dengan meng-
himpun sisa tenaganya yang ada. Den Kasep langsung
menghunjamkan pula golok yang tergenggam kedua
belah tangannya itu tepat di belakang tubuh Den Tom-
pel. Maka ambruklah kedua saudara itu ke dalam air.
Den Kasep benar-benar ambruk tak berkutik
lagi, sedangkan Den Tompel masih sempat merayap ke
tepi, kemudian berjalan terhuyung-huyung ia berusa-
ha pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang itu,
berkali-kali ia jatuh bangun, namun ia tetap berusaha pulang agar bisa bertemu
dengan pamannya, si Goreng
Patut itu. "Pamaaaan...! Pamaaaaan...!" ucap Den Tompel lemah sambil mendorong pintu
halaman rumahnya, di
dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia terus mema-
suki rumah tersebut sambil memanggil-manggil pa-
mannya, "Pamaaaaan...! Berikan harta itu semua padaku. Hhh... hhh... hhh... hhh!
Sekarang aku akan
menjadi orang kaya, ya, Paman... sebab semua harta
milik Tolol dan Kasep sudah jatuh ke tanganku. Ayo
cepat. Paman...! Berikan juga bagian Lungguh buatku.
Jangan khawatir. Aku akan segera membereskan bo-
cah itu secepatnya...!"
Den Tompel yang semakin tak berdaya terus
merayap menuju ke kamar pamannya. Bayangan harta
yang berlimpah di kelopak matanya telah membuat di-
rinya bertahan. Padahal pandangannya sudah semakin
tak jelas, kadang-kadang kabur sama sekali.
"Paman...! Di mana kau...! Ke marilah lekaaaas!
Sekarang akulah yang paling berkuasa di rumah ini!
Semua sudah kubereskan. Kau dengar itu. Paman?"
ucapnya lagi dengan suara terputus-putus.
"Ya! Aku telah mendengarnya!" sahut sang paman yang baru saja keluar dari balik
pintu. "Bagus. Kau memang manusia yang paling tolol
dan gampang dipengaruhi, apalagi dengan harta, se-
hingga kau sanggup membunuh adik-adikmu sendiri.
Ha... ha... ha...! Kaulah sebenarnya yang paling tolol bila di banding dengan
adikmu yang tolol itu. Hah...
hah... hah... hah! Apakah kau kira dengan hasil jerih payahmu kau akan berhasil
mendapatkan harta yang
kau ingini" Puiih! Lihat ini, goblok!" ujar Wangsa sambil melambaikan selembar
kertas. "Kau tentu bisa membacanya! Ini adalah surat segel yang syah dari Ko-
tapraja. Di sini tertulis bahwa semua harta kekayaan
ayahmu telah diberikan kepadaku!"
"Tidak...! Tidak bisa! Semua adalah milikku!
Rupanya kau pun ingin kucincang seperti mereka.
Hah"!" "He... he... heh! Ingat, Tompel! Kau ini sedang sekarat. Berdiri saja pun
tak bisa! Tapi sebelum kau mampus, perlu juga ku sam-
paikan bahwa kau tak lebih dari seorang budak dan
sebagai alat untuk mencapai tujuanku. He... he... heh!"
Wangsa yang masih terus berbicara dengan
pandangan mengarah ke jendela tak sadar bahwa tu-
buh Tompel telah lunglai tersungkur akibat banyaknya
darah yang keluar. Nyawanya melayang.
"Sial! Kalau ku tahu, tak mungkin aku bicara
terus!" ucap Den Wangsa ketika memalingkan muka ke arah Tompel, "Huh! Sial!
Bikin repot saja!" ucapnya lagi
sambil melangkah ke luar untuk memanggil para pem-
bantu setianya.
Tak berapa lama kemudian enam orang anak
buahnya muncul bersama Den Wangsa memasuki ru-
mah tersebut. Setelah mereka berada di dalam. Den
Wangsa pun segera membagikan tugas.
"Hanya itu tugas kalian. Yang penting sekarang
urus mayat Den Tompel ini baik-baik, kemudian cari
korban lainnya supaya dapat dimakamkan berdekatan
dengan orang tuanya."
"Bagaimana kalau urusan mencari Den Lung-
guh, diserahkan padaku?" tanya salah seorang anak buahnya.
"Ada apa rupanya..." Kau kelihatan berminat
sekali"!"
"Sebab aku ingin membalas kematian saha-
batku, Den Tompel! Baru kali ini ada orang yang tega
membunuh kakak kandungnya.
Baru kali ini aku menyaksikan pembunuhan
yang dilakukan oleh adik kandungnya sendiri."
"Sudahlah... yang penting laksanakan tugas ka-
lian masing-masing. Itu urusanku!"
"Tapi... di mana kira-kira tempat kejadian itu,
sebab tak mungkin kita dapat mencari di malam begi-
ni, kalau tempatnya jauh sekali."
"Kurasa tak jauh dari tempat Pak Kohar, pesu-
ruh tua yang kalian temukan."
"Ya... ya...! Aku mengerti sekarang!"
"Laksanakanlah! Makin cepat kalian selesaikan.
Makin cepat pula kita mengadakan pesta. Lihatlah
pundi-pundi tuak itu. Semuanya sudah ku siapkan
untuk kalian semua."
"Baiklah, Gan. Kami berangkat dulu! Ayo kita
bawa angkat Den Tompel ini ke kamarnya. Biar nanti
ku panggilkan orang yang biasa mengurus jenazah."
Keenam orang itu dengan hati-hati mengangkat
tubuh Den Tompel, karena mereka semua sangat de-
kat dengannya, terutama di meja judi. Setelah mayat
itu dibaringkan di kamar, maka mereka langsung ke-
luar untuk melaksanakan tugas berikutnya.
Dalam hal ini Den Wangsa pun telah menjejali
hasutan-hasutan yang telah membakar nafsu amarah


Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada diri mereka masing-masing. Sebab kematian Den
Tompel menurut versi sang juragan gendut tersebut
adalah hasil perbuatan dari Den Lungguh, termasuk
kematian Pak Kohar, Den Kasep dan si Tolol. Jadi di
samping melaksanakan tugas, mereka pun mempu-
nyai rasa dendam terhadap Den Lungguh. Untunglah
beberapa hari ini Den Lungguh sendiri jarang pulang,
sang Play-Boy Kampung itu masih asyik melaksanakan
operasinya di kampung-kampung yang belum banyak
mengenal dirinya lebih dekat.
Sang Raden yang sering mengobral rayuan
gombal ini, sejak kematian ayahnya.
jarang sekali pulang ke rumah. Ia menginap di
mana saja, seperti pada saat itu, ia sedang berada di pelosok kampung yang jauh
sekali letaknya dari tempat tinggalnya. Tentu sudah dapat diterka. setiap ia
mau tinggal di situ pasti ada yang diharapkan.
*** 3 Suasana pagi di daerah sekitar Babakan Sume-
dang terasa dingin sekali. Tetapi para penduduk kam-
pung yang telah terbiasa dengan udara seperti itu te-
tap menjalankan kegiatan sehari-hari. Di saat mataha-
ri terbit di ufuk Timur, para petani telah berada di sawah. Mereka bekerja
dengan giat demi kebutuhan hi-
dup anak dan istri. Begitu pula para pedagang sejak
pagi buta mereka telah berkumpul di pasar, padahal
perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu ber-
jam-jam dengan berjalan kaki.
Hal yang sama dilaksanakan pula oleh sang
Raden yang perlente ini. Den Lungguh di pagi itu su-
dah mempersiapkan diri untuk meninggalkan rumah
kenalan barunya. Setelah menyisir rambut dan mera-
pikan belangkon, ia pun mengenakan pakaian kebesa-
rannya. "Mau ke mana, Raden...?" tanya seorang dara yang masih terbaring di atas
ranjangnya dengan suasana yang awut-awutan.
"Pagi ini aku ada urusan penting sekali, Geu-
lis...!" ucap Den Lungguh yang tetap masih berdiri di hadapan cermin.
"Kenapa harus pagi-pagi sekali?" tanya dara itu kembali.
"Aku tak mau rugi untuk kedua kalinya. Kalau
sampai aku terlambat berarti aku harus menderita ke-
rugian yang besar." sahut Den Lungguh sambil menoleh ke arah wanita muda yang
masih tetap berbaring
dan berselimut kain untuk menutupi tubuhnya. Yang
bugil. "Urusan dagang, Den?" tanya dara itu semakin penasaran.
"Apa lagi, kalau bukan urusan dagang. Untuk
apa aku jauh-jauh datang ke sini kalau bukan untuk
berniaga," sahut Den Lungguh yang kini telah duduk di tepi pembaringan sambil
memegangi jemari sang da-ra itu dengan lembut, "Percayalah, Geulis, setelah uru-
sanku selesai, aku akan datang ke sini lagi untuk
menjemput mu."
"Benarkah itu, Den...?" sela wanita muda itu gembira dan langsung memeluk Den
Lungguh. "Ya...! Percayalah!" sahut Den Lungguh sambil bangkit dari duduknya setelah
melepaskan kedua tangan wanita itu.
"Ku do'akan semoga kau cepat-cepat berhasil,
Den...!" Den Lungguh segera meninggalkan rumah itu dengan wajah yang sangat
cerah. Sementara itu si wanita yang jadi korban rayuan gombalnya memandang
kepergiannya dengan penuh harap. Sedangkan orang
yang diharapkannya akan pergi entah ke mana, mung-
kin mencari korban yang lainnya.
Di pagi yang tampak semakin cerah itu, suasa-
na kampung yang tak jauh dari tempat Den Lungguh
menginap, tak berbeda dengan suasana di kampung-
kampung lainnya.
Selain banyaknya orang-orang yang turun ke
sawah dan ladang, para ibu-ibu rumah tangga dan pa-
ra remaja puteri pun turut juga menyibukkan diri den-
gan melaksanakan tugasnya sehari-hari.
Di tepi sungai yang begitu jernih airnya walau-
pun alirannya deras dan berbatu, tampak banyak para
ibu rumah tangga dan gadis-gadis remaja yang tengah
sibuk mencuci pakaian di tepinya. Mereka ada yang se-
jak pagi-pagi sekali telah melaksanakan pekerjaannya
di situ, ada pula yang datang setelah matahari bersinar terang seperti halnya
Iyoh, si kembang desa ini.
"Wah. Kesiangan rupanya kau, Yoh?" tanya
Surti kepada Iyoh yang baru turun ke kali.
"Iya, nih!" sahut Iyoh dengan senyumnya yang manis.
"Rupanya Kang Ujang sampai malam bertamu
di rumahmu, ya?" sindir Surti sambil bercanda.
"Hiiih...! Ngapain dia datang"!" balas Iyoh yang spontan berubah dari senyum ke
cemberut. Tapi yang
namanya bibir bak delima merekah, biar pun cemberut
tetap enak dipandang.
"He, Yoh" Ada apa kau rupanya dengan Kang
Ujang?" tanya temannya itu agak penasaran.
"Ah, tidak, aku tidak ada apa-apa kok...!" jawab Iyoh tak acuh.
"Yang bener, nih...?" tanya Surti memancing.
"Sungguh, deh. Sekarang dia mau datang, mau
enggak, terserah!"
"Tuh... kan! Berarti kau sudah menaruh hati
sama yang lain, ya?" pancing Surti kembali.
"Iya dong...!" balas Iyoh sambil menoleh dengan wajah kembali cerah.
"Lalu bagaimana dengan Ujang mu?" tanya temannya yang selalu ingin tahu.
"Aku kan sama dia belum ada ikatan apa-apa,
orang tuaku pun belum tahu!" jelas Iyoh mulai mem-banggakan kenalan barunya.
"Kalau yang sekarang?" desak Surti.
"Dia benar-benar seorang ksatria. Dia langsung
datang kepada orang tuaku. Baru kali ini aku bertemu
seorang pemuda macam dia. Orangnya gagah dan ber-
wibawa, lagi." ucap Iyoh dengan rasa bangga.
"Siapa nama pacarmu yang baru itu.
Yoh?" tanya Surti yang tak habis-habisnya.
"Raden Lungguh," jawab Iyoh singkat.
"Wah... hebat sekali kau ini, Yoh...!" puji temannya sambil membereskan
cuciannya. "Tapi kau
pun harus hati-hati, Yoh...! Di jaman seperti ini ba-
nyak sekali serigala-serigala berbulu domba, dari luar-
nya saja kelihatan baik, tak tahunya..."
"Ah, sudahlah. Kau ini menakut-nakuti aku sa-
ja!" sela Iyoh sambil mencripratkan air ke muka Surti.
Surti pun yang menjadi basah akibat cipratan
air dari Iyoh langsung membalasnya. Akhirnya kedua
remaja itu saling bercanda di air dengan penuh tawa
ria. Surti sudah naik lebih dahulu dan kini sedang
menyalin seluruh pakaiannya yang basah dengan pa-
kaian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan
Iyoh masih tetap berada di air. Ia rupanya belum selesai membersihkan tubuhnya
di balik batu yang besar
itu. "Yoh...! Aku pulang duluan, ya..."!" teriak Surti dari tepi sungai.
"Ya...! Aku belakangan saja!" balas Iyoh dari balik batu.
Tak lama setelah Surti pergi. Iyoh pun naik
kembali ke tepi sungai untuk segera menyalin pa-
kaiannya. Sambil bersenandung merdu, Iyoh menyalin
seluruh pakaiannya yang basah dengan yang kering,
sebab ia merasa bahwa di tempat tersebut tak ada
orang lain selain dirinya. Padahal, sejak tadi sepasang mata tanpa berkedip
sedang mengintainya.
Sepasang mata, yang sudah pasti mata lelaki,
walaupun sudah lama di situ tetap tidak mengadakan
reaksi, bahkan ia menunggu hingga Iyoh tuntas men-
genakan busananya.
Iyoh sama sekali tak mengetahui bahwa ada
orang yang memperhatikannya langsung mengambil
bakul yang berisi cucian untuk membawanya pulang.
Barulah di saat itu si lelaki muncul.
"Iyoh...! Jangan pergi dulu, sayang...!" sapa lelaki itu dengan lembut.
"Ngapain kau di sini, rupanya kau sejak tadi
bersembunyi, ya, di sini"!" bentak Iyoh dengan nada marah. "Tidak... Iyoh. Aku
baru saja datang," sahut lelaki itu, walaupun sebenarnya ingin mengatakan ya,
tapi malu. Jawaban yang diberikan pria itu seakan-akan
tak ditanggapinya, Iyoh tetap berjalan tanpa memper-
dulikan ucapan tersebut.
"Iyoh... tunggu dulu, aku mau bicara," ucap pria itu kembali sambil mempercepat
langkahnya karena tertinggal jauh. "Iyoh, selama ini kau selalu berusaha
menjauhi ku, mengapa"!" tanya anak muda itu kembali sambil berusaha menghentikan
langkah gadis tersebut. "Sudahlah Ujang... mengapa kau ribut-ribut di
jalan. Apakah kau tak malu kalau dilihat orang?" sela Iyoh tanpa menoleh sama
sekali. "Aku ini bertanya, Yoh... mengapa kau tak mau
menjawabnya" Apa salah dan dosaku sehingga kau tak
acuh begini..." Ingatlah pada janji kita tempo hari di bawah pohon sawo itu"
Kita telah sepakat akan menikah sehabis panen nanti dan kau pun telah rela untuk
hidup bersama nanti, walaupun kita hidup melarat...!
Masih segar dalam ingatanmu, bukan?"
Iyoh tetap bungkam seribu basa, tak ada kata
yang keluar dari mulutnya, walaupun pemuda yang
bernama Ujang itu terus berbicara. Rupanya benar apa
yang diucapkan gadis ini kepada temannya ketika me-
reka sedang mencuci pakaian, ia benar-benar telah ja-
tuh hati kepada pria lain dan akan meninggalkan pria
yang selama ini dicintainya. Sungguh kasihan sekali
nasibnya, orang yang mencintainya dengan setulus ha-
ti, ditolak mentah-mentah. Padahal ia sendiri belum
mengenal pribadi laki-laki yang baru dikenalnya itu,
apalagi yang disebut tadi adalah Raden Lungguh yang
terkenal dengan pacar barunya, tentu fatal akibatnya
untuk si kembang desa ini.
"Ujang... berilah aku jalan. Aku mau pulang!"
perintah Iyoh kepada Ujang yang mash tetap berdiri di hadapannya bagaikan
patung. "Jadi kau sudah tak ingat lagi, ketika kau ber-
sandar di bahu ku, ku belai-belai rambutmu yang hi-
tam mayang dan kau pun pada waktu itu mengenakan
baju yang kau pakai saat ini. Jawablah... apakah kau
menyesal dengan janjimu" Jawablah sayang... menga-
pa kau tiba-tiba berubah menjadi sedingin ini?" ucap Ujang sambil berlinang air
mata. "Sudahlah Ujang, aku sudah terlalu siang,
nih...! Nanti aku bisa dimarahi oleh orang tuaku! Ayo...
berilah aku jalan."
"Ya! Baiklah...! Rupanya aku harus bersabar
menanti jawabanmu, asal kau tidak bermaksud mem-
buang ku, sayang...!" ucap Ujang sambil melangkah untuk memberikan gadis
pujaannya lewat.
Tapi sang gadis pujaannya yang kini telah dis-
elimuti oleh rayuan gombal dari pacar barunya, lang-
sung melangkah cepat meninggalkan Ujang sendirian.
Ujang pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali diam
terpaku di tempat tersebut.
Sementara itu di rumah Iyoh sudah menunggu
seorang pria ganteng dan berwajah tampan serta ber-
pakaian sangat necis untuk ukuran di sekitar desa itu.
Dia tak lain adalah Raden Lungguh, pria yang disebut-
sebut oleh Iyoh tadi.
Den Lungguh dengan tenang menunggu Iyoh
kembali dari sungai, dan kedatangannya pun sudah
dirancang dengan matang, sebab di saat itu sudah
pasti kedua orang tuanya sedang turun di sawah.
"Oh... sudah lama menunggu, Den?" sapa Iyoh ketika pria pujaannya telah berada
di rumahnya. "Ah... tidak, baru saja! Mana Ayah dan Ibumu"
Kok kelihatan sepi-sepi saja." tanya Den Lungguh berpura-pura.
"Biasa, Den, mereka sedang ke sawah. Kalau
tak sering lihat bisa padinya habis semua dimakan ti-
kus. Den...!" jawab Iyoh dengan senyum penuh kelem-butan. "Sawah sendiri?" tanya
Den Lungguh kembali.
"Bukan, Den..." jawab Iyoh polos. "Hmm... sudahlah. Nanti kalau aku telah
selesai urusan kita, aku akan belikan orang tuamu sawah yang bagus letaknya,
supaya tidak kekurangan air. Jadi kedua orang tuamu
tidak mengurus sawah orang lagi, tetapi mengurus sa-
wahnya sendiri," ujar Den Lungguh sambil mengelus-elus rambut Iyoh. Belaian
lembut dari sang raden itu
telah membuat Iyoh terlena dan tanpa terasa ia telah
berada di dalam pelukan Den Lungguh.
"Kita akan segera menikah, geulis! Kau tentu
akan kuberikan mas kawin yang cukup berharga. Se-
bagian besar harta warisan dari orang tuaku sudah
kudapatkan, tapi masih ada satu bagian lagi yang
musti kuurus. Bagian itulah yang akan kugunakan
untuk membahagiakan kedua orang tuamu. Sebab se-
telah kita nikah nanti kau akan ku boyong ke rumah-
ku di Babakan dan kita akan hidup bahagia di sana."
rayu Den Lungguh dengan penuh kemesraan.
"Oh... sungguhkah itu, Den" Ah, rasanya seper-
ti mimpi aku saat ini. Aku sangat bahagia sekali! Ka-
pankah Aden akan melamar ku?" ujar Iyoh yang makin terlena dengan rayuan maut
dari sang raden.
"Segera, Geulis...! Kalau urusanku sudah sele-
sai! Apakah kedua orang tuamu tidak menolak kalau
aku datang bersama saudara-saudaraku untuk memi-
nang mu" Sebelum itu adakah syarat-syarat yang ha-
rus ku penuhi?" balas Den Lungguh yang tampaknya seperti bersungguh-sungguh.
"Tidak, Den... kedua orang tuaku tak mempu-
nyai persyaratan apa-apa, yang penting dapat terlak-
sana dengan baik, walaupun hanya sederhana," sambut Iyoh yang semakin merapatkan
kepalanya di dada
Lungguh. "Itulah yang kuharapkan. Aku sangat kagum
sekali dengan ketulusan hati mereka. Kalau begitu ma-
rilah kita merayakannya, Geulis, kita beristirahat sejenak sambil menunggu
kedatangan mereka," ucap Den Lungguh sejenak sambil merebahkan badan-nya di
kursi panjang, setelah melepaskan pelukannya.
"Jangan di situ, Den. Tentu itu kotor sekali.
Tunggulah sebentar, aku mau rapikan dulu kamarku.


Si Tolol 2 Serigala-serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi jangan dicela' ya... sebab kamarku jelek, tidak seperti kamar di rumah
raden." Den Lungguh tak menjawab sama sekali, ia
hanya tersenyum sambil memandang lekuk tubuh Iyoh
yang berjalan sambil lenggak-lenggok menuju ke ka-
marnya. Tak berapa lama setelah Iyoh masuk, Lung-
guh segera menyusulnya.
"Sudahlah, buat apa repot-repot. Bukankah
hanya untuk kita berdua. Ayolah... aku ingin menik-
mati suasana tenang tanpa ada yang mengusik, su-
paya kemesraan ini mempunyai kenangan yang abadi,"
ujar Lungguh sambil memegang bahu Iyoh yang se-
dang mabuk kepayang.
Sementara itu si Ujang yang masih penasaran
dengan cintanya yang ditolak secara dramatis, kini berada di sekitar rumah Iyoh.
Ia ingin sekali mengetahui
secara pasti. Untuk itulah ia mencoba memberanikan
diri datang ke rumahnya, agar dapat bertemu dengan
kedua orang tuanya.
"Kelihatannya masih sepi. Jangan-jangan Iyoh
menyusul orang tuanya ke sawah," gumam Ujang setelah tiba di depan rumah
tersebut. "Biarlah, kalau begitu aku tunggu di sini saja, tak mungkin mereka ke
sa- wah hingga larut malam."
Pemuda yang nekad ini berjalan menuju pos
ronda, setelah tiba di situ, Ujang segera merebahkan
badannya di bangku panjang, tapi mata Ujang tetap
memandang rumah Iyoh yang kelihatannya sepi itu.
"Aneh sekali tuh anak. Kenapa cuciannya tidak
dijemur dulu dan dibiarkan begitu saja. Ah, kurasa
alangkah baiknya kalau ku tolong jemurkan, mum-
pung nggak ada yang lihat."
Ujang tak jadi beristirahat. Ia kembali berjalan
menuju ke samping rumah Iyoh. Setelah berada di si-
tu, ia mengambil cucian yang basah dari dalam bakul
satu-persatu untuk dijemur. Baru sebagian cucian
yang berhasil dijemur, tiba-tiba telinga Ujang menangkap desah suara yang cukup
membuat bulunya berki-
dik. "Hmmmh...! Jangan-jangan..." ucapnya dalam hati tanpa diteruskan
kalimatnya, karena ia langsung melepaskan cucian basah yang dipegangnya dan
lang- sung berlari lewat pintu dapur yang kebetulan tak terkunci. Di dapur Ujang
menjambret golok yang ada di
atas tumpukan kayu bakar dan tanpa pikir panjang
lagi ia masuk ke dalam.
Setelah mendobrak pintu kamar, Ujang terke-
jutnya bukan main, karena ia telah menyaksikan se-
suatu yang paling menyakitkan. Tanpa harus menung-
gu waktu lagi, ia langsung menyerang Den Lungguh
yang pada waktu itu berusaha meraih pakaiannya
yang sudah ditanggalkan. Tapi penyerang yang diba-
rengi kekalutan pikiran serta emosi, dengan mudah di-
tangkis oleh pihak lawan. Beberapa kali sabetan golok Ujang lolos tidak mengenai
sasaran. Den Lungguh
yang sejak penyerang datang ke arahnya tadi hanya
menghindari diri, kini mulai beraksi, begitu serangan berikutnya datang, Lungguh
secara reflek menangkis
dengan cepat dan tangannya tepat berada di pergelan-
gan tangan lawan. Pada detik berikutnya, terdengar teriakan keras yang keluar
dari mulut Ujang, karena tak kuat menahan sakit akibat pukulan keras yang
mengenai pergelangan tangannya.
Ujang yang kelihatan kalap dan bagai orang
kemasukan setan ini, tak memperhitungkan lagi ke-
mampuan lawan yang ia hadapi. Keadaan ini sebenar-
nya sangat merugikan dirinya, apalagi senjata yang berada di tangannya telah
terpental entah ke mana. Se-
mentara itu. Den Lungguh yang sudah membaca ke-
mampuan Ujang, kini tampak semakin serius dan ke-
lihatan sudah bersiap-siap mengadakan serangan ba-
lik. Sementara itu Iyoh menjerit-jerit dengan cemas
sambil mengemasi tubuhnya yang sudah telanjang bu-
lat. "Hei. Anak Muda! Ini peringatan terakhir buat-
mu sebelum kau menyesal! Lebih baik kau pulang dan
jangan injak lagi tempat ini! Tapi apabila kau masih tetap membangkang,
kupatahkan batang lehermu, men-
gerti"! Ayo! Menyingkirlah cepat, sebelum habis kesa-
baran-kesabaranku!" ancam Den Lungguh kepada
Ujang. "Fuiiih! Aku tidak akan menyerah! Iblis keparat macam kau harus enyah
dari muka bumi ini! Kalau
kau dibiarkan hidup, entah berapa banyak lagi korban
yang akan kau ambil demi memuaskan nafsu setan-
mu! Sekarang kau boleh pergi, dengan syarat kau ha-
rus melangkahi dulu mayatku!" tantang si Ujang yang sudah semakin memuncak
amarahnya. "Kang Ujang... hentikan, Kang! Hentikan! Ini
aku, Kang, aku Iyoh mu," teriak Iyoh setelah melihat keadaan yang tampaknya
semakin gawat. Tubuh Ujang
dipeluknya rapat-rapat supaya tak terjadi pertumpa-
han darah di antara mereka namun si Ujang masih te-
tap meronta-ronta dan kelihatannya sangat bernafsu
sekali untuk menghabisi lawan yang ada di hadapan-
nya. "Kang Ujang...! Ingat dong Kang...! Jangan kau teruskan lagi Kang!" pinta
gadis itu kepada tunangannya. "Lepaskan dia! Lepaskan bocah kurang ajar itu.
Dia harus kuberi pelajaran supaya kapok dan tak mau
mengoceh lagi kepada sembarang orang!" bentak Den Lungguh sambil melangkah dan
menarik tangan Iyoh
sehingga terdorong jauh ke belakang. "Ayo! Sekarang apa maumu?" bentak Lungguh
kembali. "Kau harus mampus!" bentak Ujang tak mau
kalah. "Ha... ha... ha! Jangan mimpi di siang bolong, anak muda!" Tidakkah kau
mengukur dulu kemampuan untuk melawan orang macam aku. Hah"! Sepu-
luh lagi macam kau masih mampu kuhadapi, apa lagi
hanya kau seorang diri. Ha... ha... ha...!"ejek Den Lungguh yang terus melangkah
semakin dekat dengan
Ujang dan tanpa diduga sebuah pukulan keras dari
Ujang mendarat ke mukanya. Pukulan keras itu cukup
membuat mata Den Lungguh agak berkunang-kunang,
mulutnya pun sedikit mengeluarkan darah.
Ujang mengambil kesempatan dengan membe-
rikan serangan untuk kedua kalinya, tapi sayang, Den
Lungguh masih sempat mengelak, walaupun keadaan-
nya agak sempoyongan. Setelah serangannya berkali-
kali gagal. Ujang langsung mengubah taktik serangan-
nya. Ia kali ini banyak mengandalkan kaki, tendan-
gan-tendangannya yang begitu gencar terus menghajar
Den Lungguh sehingga sang raden ini terpaksa mun-
dur beberapa langkah ke belakang.
Kesempatan untuk membalas serangan akhir-
nya terlaksana juga. Ini adalah akibat kurang cermat-
nya Ujang dalam mengontrol gerakan lawan, ketika ia
sedang melakukan tendangan untuk tujuan menyam-
bar paha bagian dalam agar lawannya jatuh. Tiba-tiba, tangan Den Lungguh dengan
cepat menangkap kakinya dan langsung melemparkan tubuh Ujang sehing-
ga membentur pilar rumah. Di sinilah Den Lungguh
mulai mengadakan serangan balik yang bertubi-tubi.
Ujang tampak kewalahan sekali dan ia kelihatannya
hanya mampu bertahan, tak ubahnya seperti seorang
petinju yang mendapat pukulan telak dan terpojok di
sudut ring, begitulah dengan keadaan Ujang, ia hanya
terdiam menyandar di pilar rumah tersebut.
Untuk kedua kalinya Iyoh memberanikan diri
memisahkan kedua laki-laki yang sedang bertarung. Ia
langsung memeluk tubuh Ujang yang sudah kelihatan
babak belur, namun masih tetap bersemangat untuk
menyerang kembali.
"Hentikan, Den...! Hentikan!" pinta Iyoh sambil menangis.
"Hmmh! Anak bau kencur macam begini sudah
mau menantang, sekarang kau rasakan sendiri aki-
batnya." bentak Den Lungguh sambil mengibas-ngibas pakaiannya yang berdebu.
"Biarkan kalau dia masih mau unjuk gigi! Lepaskanlah. Nanti akan kuhabisi
nyawanya sekalian!" ancam Den Lungguh dengan se-
rius. "Jangan... Den. Ku mohon jangan... kasihanilah
dia, kasihanilah juga aku ini. Den...!" pinta Iyoh kembali sambil membersihkan
darah yang semakin banyak
keluar dari mulut tunangannya.
Ujang hanya memiliki semangat yang tinggi, se-
benarnya kondisinya sudah lemah dan tak berdaya,
sebab berkali-kali ia mengeluarkan darah segar dari
mulutnya. Rupanya ia banyak sekali menerima puku-
lan pada bagian dada, sedangkan pukulan tangan Den
Lungguh memang sangat keras karena sering berlatih.
"Baiklah kalau begitu aku mohon pamit kepada
kalian berdua. Tak usah khawatir, luka itu bisa cepat sembuh kalau cepat kalian
obati, sedangkan di tubuhnya hanya me mar saja! Kau masih mencintainya, bu-
kan" Nah, biarlah aku yang mengalah, aku akan men-
gundurkan diri!" ucap Den Lungguh dengan tenang
dan tak mempunyai perasaan bersalah sama sekali.
Tapi bagi Iyoh, sepertinya serasa disambar petir
mendengar ucapan yang keluar dari mulut Den Lung-
guh tadi, banyak sebenarnya yang ingin ia ucapkan
tapi sulit untuk dikeluarkan.
"A... aku sudah bukan gadis yang suci lagi se-
karang. Den. Kau telah menodai ku! Haruskah aku
kembali padanya?" ucapnya dengan terbata-bata dan bola mata berlinang.
Den Lungguh hanya tersenyum sinis menden-
gar ucapan tersebut, sebab dengan adanya peristiwa
tersebut, ia telah mempunyai alasan yang kuat untuk
meninggalkan Kembang Desa yang baru saja dipetik-
nya. "Suci atau tidak, bukanlah persoalan buat cinta suci kalian. Tak usah
khawatir. Tunangan mu pasti
mau menerimamu. Aku yakin sekali, karena ia benar-
benar mencintaimu. Ia telah buktikan kesetiaannya
padamu walaupun harus babak belur seperti itu." jelas Lungguh tanpa
memperdulikan tangis Iyoh yang makin menjadi-jadi, "Sebenarnya aku sangat iri
pada kalian. Yah... tak apalah! Mudah-mudahan saja kalian
dapat rukun dan bahagia." "Tapi... Den?"
"Sudahlah! Tak ada tapi-tapian! Nih. Terimalah
uang untuk biaya perawatan. Sisanya boleh kalian gu-
nakan untuk biaya pernikahan. Kurasa uang tersebut
lebih dari cukup, apabila kalian pakai dengan sebaik-
baiknya," lanjut Den Lungguh sambil melemparkan
sekantong uang logam ke pangkuan Iyoh yang masih
duduk bersimpuh sambil menangis di samping Ujang.
Kemudian tanpa menoleh sedikit pun, Den
Lungguh melangkah meninggalkan Iyoh yang masih
menangis menyesali nasibnya.
"Kiranya iblis itulah yang merusak iman mu...!"
ucap Ujang dengan terbata-bata dan berusaha bangkit.
"Maafkanlah, aku Kang Ujang... maafkanlah
aku...! Aku telah tertipu! Oh... Tuhan, ampunilah
aku...!" ratap Iyoh.
Pelukan Iyoh semakin lama semakin lemah, tu-
buhnya mulai terasa dingin disertai keringat yang te-
rus bercucuran membasahi seluruh badan. Mukanya
pun tampak semakin pucat. Akhirnya ia pun jatuh
terkulai tak sadarkan diri. Melihat gadis pujaannya
tergeletak, Ujang berusaha bangkit dan memberikan
pertolongan semampunya.
"lyoooh...! Bangunlah Geulis...! Ini akang,
sayang...! Iyoh...!" bisik Ujang sambil mengusap keringat di wajah dan leher
kekasihnya. Kita tinggalkan dulu tragedi yang dialami oleh
si kembang desa dari kampung Dadap ini. Kini kita be-
ralih dulu pandangan kita ke sebuah tempat lain.
*** 4 Daerah yang kita tuju adalah pinggiran kam-
pung, antara kampung Waru dan kampung Dadap
yang letaknya lebih kurang lima kilo meter dari tempat peristiwa tadi. Di daerah
perbatasan kampung terdapat sebuah warung kecil yang banyak didatangi pengun-
jung pada sore hingga malam hari, tapi kalau siang,
keadaannya sepi-sepi saja. Namun pada saat itu di wa-
Pedang Kilat Membasmi Iblis 1 Dewi Ular Gadis Penunggu Jenazah Raja Naga 7 Bintang 3
^