Pencarian

Gajah Kencana 28

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 28


berkuda bersama Dipa. Rombongan Windu Janur menuju ke
barat. Seolah berpacu dengan Surya yang mulai hendak
menyilam ke balik gunug. Menjelang rembang petang, tibalah rombongan itu di kaki
sebuah gunung. Kemudian mereka mulai mendaki ke atas.
Jalanan makin lama makin sukar penuh dengan semak belukar
dan onak. Terpaksa mereka turun dari kuda dan lepaskan
kuda mereka di sebuah gerumbul rumput.
Kemudian mereka melanjutkan pula dengan berjalan kaki.
Sepengunyah sirih lamanya, tiba-tiba beberapa anakbuah
Windu Janur mencabut pedang dan parang lalu berhamburan
melingkari Anuraga. dan Dipa rapat-rapat.
"Celaka, mereka hendak membunuh aku" diam-diam
Anuraga mengeluh. Demikianpun Dipa. Tetapi terlambatlah
mereka menyadari hal itu. Karena ujung pedang dan parang
sudah melekat di tubuh keduanya.
"Windu Janur, engkau bohong ...." teriak Anuraga tetapi
secepat itu Segatra membentak, "Diam! Jangan bergerak"
tiba-tiba ia menyelubungi kepala Anuraga dengan selubung
kain hitam yang menutupi dari kepala sampai ke leher. Dalam
pada itu salah seorang anak buah Windu Janur yang lainpun
segera melakukan hal serupa itu kepada Dipa. Kini Anuraga
dan Dipa tak dapat melihat apa2 karena kepala dan mukanya
terselubung kain hitam. "Jalan" seru Segatra sembari mendorong tubuh kedua
orang itu. Ia menyodorkan sebatang tongkat suruh Anuraga
memegang ujungnya dan ikut berjalan. Sedang Dipa disuruh
berjalan di belakang Anuraga sambil berpegang pada baju
brahmana itu. Saat itu barulah Anuraga menyadari bahwa rombongan
Windu Janur tak menghendaki orang tawanannya tahu jalan
ke arah sarang mereka. Anuraga dan Dipa berjalan seperti
seorang buta yang menurut saja ke mana orang hendak
membawanya. Tak berapa lama mereka mendengar suara riuh
air mencurah ke bawah macam air terjun. Kemudian seperti
berjalan di atas tanah padas yang basah dan lembab lalu
masuk ke dalam semacam terowongan yang gelap, membiluk
beberapa kali lalu berada di sebuah tanah yang datar. Tibatiba kain kerudung Anuraga dan Dipa dibuka orang.
"Ah, sebuah ruang yang luas dan bersih" diam-diam
Anuraga menimang dalam hati. Ia kerlingkan mata
memandang ke sekeliling dan dapatkan dinding maupun lantai
ruangan itu terbuat daripada batu padas. "Ah, apakah sebuah
guha?" pikirnya. Anuraga dan Dipa mendapatkan dirinya berdiri di tengah
ruang. Di sebelah kanan dan kiri tegak berjajar dua buah
rombongan lelaki-lelaki muda, tak memakai baju sehingga
tampak tubuh mereka yang padat dan kekar. Memandang ke
muka, Anuraga melihat sebuah pemandangan yang ganjil.
Seorang yang memakai jubah warna hitam, kepala dan
mukanya tertutup selubung kain hitam, duduk menghadapi
sebuah meja batu. Di sampingnya tegak dua lelaki berkumis
lebat, bercambang bauk dan mencekal tombak. Sedang di
hadapan lelaki berselubung muka kain hitam itu, Windu Janur
berdiri dengan sikap menghormat.
Dengan diam-diam Anuraga telah menghitung jumlah orang
yang berada di situ. Jumlahnya tak kurang dari dua puluh
orang. "Bapak, kami telah menangkap dua arang tawanan" Windu
Janur mulai melapor "yang seorang adalah seorang brahmana
dan yang seorang lagi pemuda kawannya"
"Windu Janur" seru orang itu dalam nada agak parau
namun memiliki kumandang yang keras dan berwibawa
"mengapa engkau menangkap seorang brahmana?"
"Dia sebenarnya putera dari adipati Tuban yang termasyhur
pada masa pemerintahan raden Wijaya"
"Siapa" Rangga Lawe?" tanya orang itu.
"Benar" "Lalu apakah maksudmu menangkapnya?"
"Putera Rangga Lawe ini bernama Kuda Anjampiani, dia
menyaru jadi seorang brahmana tetapi sebenarnya dia
anggauta Gajah Kencana!"
"Apakah kedudukannya dalam Gajah Kencana?" seru orang
aneh itu pula. Windu Janur terkesiap, serunya "Aku belum jelas. Baiklah
bapak menanyai sendiri"
Selama terjadi percakapan itu, Anuraga memperhatikan
gerak gerik orang yang disebut bapak oleh Windu Janur itu. Ia
menarik kesimpulan. Menilik nadanya yang parau, orang itu
tentu sudah tua atau setidak-tidaknya tentu sudah setengah
baya umurnya. Tetapi ia tak dapat melanjutkan penilaiannya
lebih jauh karena orang itu memerintahkan Windu Janur
supaya membawa ke hadapannya.
"Benarkah engkau seorang brahmana ?" tegur orang itu
ketika Anuraga dan Dipa sudah dibawa maju ke hadapannya.
"Benar" sahut Anuraga agak hati2.
"Siapa namamu ?"
"Anuraga" "Dari golongan asrama manakah engkau" Berahmacari,
Gerhasta, Wanaprasta atau Biksuka ?"
"Dari asrama kebudaan Wipularama"
"Siapa kepala asrama ?"
"Pandita Sujanottarna"
"Benarkah engkau putera adipati Rangga Lawe yang
bernama Kuda Anjampiani ?" tegur orang yang berkerudung
muka itu pula. Beberapa anakbuah gerombolan terutama Windu Janur
amat bersukacita mendengar pertanyaan yang diajukan oleh
pemimpinnya. Dengan pertanyaan itu pastilah Anuraga akan
tersudut. Tetapi di luar dugaan Anuraga menyahut lapang "Benar,
aku memang putera rama Rangga Lawe"
"Aneh, mengapa seorang
brahmana?" gumam orang itu.
putera adipati menjadi Anuraga tertawa. "Yang aneh adalah orang yang
mengatakan hal itu aneh. Bukankah brahmana itu menduduki
kasta yang tertinggi " Mengapa seorang putera adipati, harus
malu menjadi brahmana ?"
Orang berkerudung kain hitam itu terkesiap. Hampir setiap
pertanyaan di jawab oleh Anuraga dengan tepat. Ia tertawa
mengejek. "Ha, itupun kalau engkau memang sungguh2 ingin
mensucikan diri sebagai brahmana. Tetapi jelas bahwa engkau
mempunyai lain tujuan."
"Maksudmu aku mencampuri urusan kerajaan dan orangorang yang hendak mengganggu ketenteraman kerajaan?"
"Seharusnya engkau merasa sendiri soal itu" kata orang
berkerudung muka "karena engkau telah mewarnai dirimu
dalam golongan Gajah Kencana."
Anuraga tak tampak gugup ataupun kehilangan jawab
"seorang brahmana bukanlah patung ataupun dewa2 yang
bersemayam di kahyangan. Tetapi seorang manusia biasa. Dia
disebut brahmana karena laku budinya yang luhur, dharma
perbuatannya yang rela dan tulus. Aku peribadi mencitacitakan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat, ketenangan
dalam menjalankan agama. Dan kupandang bahwa kerajaan
Majapahit telah mampu mengayomi kepada segenap
brahmana, pandita, dan seluruh kawula yang beragama. Aku
menolak peperangan, huru hara yang menumpah darah.
Akupun tak menginginkan kehidupan para pandita dan
brahmana akan menderita seperti dimasa kerajaan Daha oleh
prabu Dandang Gendis. Untuk kesemuanya itu, tidaklah cukup
kurasa hanya tinggal di candi atau diasrama, memanjatkan
doa mendambakan mantra. Tetapi harus berbuat. Dan akupun
telah berusaha ke arah terlaksananya hal itu. Apabila tindakan
itu diserupakan dengan himpunan Gajah Kencana, itupun
benar. Karena tujuan Gajah Kencana juga menjaga dan
menegakkan kesejahteraan negara Majapahit."
"Hm, tajam benar kata-katamu, besar benar nyalimu" seru
orang itu "tahukah engkau sekarang ini berada di lingkungan
apa?" "Putera-putera Daha yang berjuang untuk mengembalikan
kerajaan Daha" sahut Anuraga tangkas.
"Adakah engkau tak merasa sebagai seekor burung gagak
di tengah kawanan burung merpati?"
"Ya" sahut Anuraga "perasaanku saat ini memang begitu.
Tetapi bukan sebagai burung gagak di tengah kawanan
merpati, melainkan seekor burung merpati putih di tengah
kawanan gagak hitam"
Orang itu mendengus. "Banyak liku yang engkau
lingkarkan, banyak pula ragam warna yang engkau lingkupkan
tetapi kesemuanya itu tidaklah mengubah warna yang
melingkari dirimu. Kuda Anjampiani" tiba-tiba orang itu
berganti nada keras, "kutahu engkau adalah seorang warga
dari himpunan rahasia Gajah Kencana. Kutahu pula bahwa ke
berahmanaanmu itu hanya sekedar penyelimut dirimu agar
engkau bebas bergerak. Dan kutahu juga bahwa selama ini
Gajah Kencana selalu berada pada seberang berlawanan
dengan Wukir Polaman. Maka keputusan yang harus engkau
pilih hanyalah dua. Engkau tetap menjadi lawan atau menjadi
kawan putera-putera Daha yang tergabung pada Wukir
Polaman!" "Bagaimana kalau aku menjadi lawan dan bagaimana kalau
jadi kawan?" "Hm" dengus orang itu "kalau tetap menjadi lawan, saat ini
juga engkau akan kami hancurkan. Kalau menjadi kawan,
engkau harus menyatakan dengan sumpah masuk menjadi
anggauta kami." Anuraga tertawa lantang. "Aha, dapatkah aku diterima
menjadi anggauta Wukir Polaman?"
"Mengapa tidak " Asal engkau menyatakan sumpah
kesetyaanmu, kami tentu akan menyambut dengan gembira"
"Culas!" sambut Anuraga "jika Wukir Polaman mau
menerima diriku menjadi warga, perhimpunan Wukir Polaman
itu gagal!" Orang aneh itu kerutkan dahi.
"Aku adalah putera adipati Tuban. Dan adipati Tuban itu
adalah senopati Majapahit. Padahal Wukir Polaman itu sebuah
himpunan putera-putera Daha yang akan menuntut
kembalinya kejayaan Daha dan menentang Majapahit.
Tidaklah Wukir Polaman akan ternoda apabila menerima diriku
" Bukankah orang akan menarik kesan bahwa putera-putera
Daha itu tak mampu untuk mengembalikan kejayaan bumi
kelahirannya sendiri sehingga perlu memaksa tenaga lain
orang. Baik, apabila kalian tak malu dengan keadaan itu, aku
Kuda Anjampiani putera senopati Majapahit akan masuk
menjadi warga Wukir Polaman agar perjuangan putera-putera
Daha berhasil!" "Tutup mulutmu Anjampiani" tiba-tiba Windu Janur
berteriak geram. Demikian diikuti oleh lain-lain kawannya.
Mereka benar-benar tersinggung oleh kata-kata tajam dari
Anuraga, "putera-putera Daha sanggup berjuang sendiri tanpa
bantuanmu. Kami tak memerlukan engkau!"
Teriakan menyerempak dari segenap anggautanya telah
menyebabkan orang berkerudung kain hitam itu terkesiap. Ia
merasa tersudut oleh balasan kata-kata Anuraga. Ucapannya
untuk memberi kesempatan Anuraga masuk menjadi warga
Wukir Polaman telah ditentang keras oleh seluruh
anggautanya. "Baik, kuhargakan sikap kalian" seru Anuraga pula "dengan
demikian jelas tak mungkin aku menjadi kawan ...."
Rupanya rencana pemimpin Wukir Polaman untuk menarik
Anuraga menjadi anggauta, telah dihapus seketika. Maka
cepat ia menyambut "Dan karenanya, engkau kuanggap
sebagai lawan!" "Apakah tidak ada jalan ketiga, bukan kawan tetapipun
bukan lawan?" tanya Anuraga.
"Memang dapat" sahut orang berkerudung muka serentak
"tetapi setelah kami jadikan engkau seorang penderita cacad"
"Bagaimana bentuk pencacadan itu ?"
"Engkau boleh pilih. Kedua mata buta,
lenganmu hilang atau kedua kakimu buntung!"
atau kedua Anuraga tertawa datar "Aku akan menerimanya apabila
harus menerima. Namun masih kuragukan apakah kalian
mampu melakukan hal itu kepadaku?"
Terdengar gemuruh kumandang mulut menggeram dari
kawanan pemuda-pemuda Daha itu. Mereka panas sekali
hatinya melihat sikap Anuraga yang sedemikian angkuh.
"Hm, garang benar ucapanmu, Anjampiani" seru orang
berkerudung itu "asal kuangkat tanganku, engkau pasti segera
kami kuasai dan menerima hukuman itu."
"Siapa yang engkau maksudkan dengan kata-kata kami
itu?" seru Anuraga. "Sudah tentu anggauta-anggauta kami!"
"Jadi sekian banyak pemuda-pemuda Daha yang akan
meringkus aku?" seru Anuraga pula "tak mengherankan kalau
hal itu pasti terlaksana. Tetapi kuminta hendaknya kalian
jangan menepuk dada sebagai ksatrya Daha lagi. Lebih tepat
kalau berganti sebutan gerombolan pengacau Daha!"
Plak ....... tiba-tiba tangan Windu Janur melayang ke muka
Anuraga. Rupanya ia sudah tak kuat lagi menahan dendam
kemarahannya melihat sikap brahmana itu. Dan tampaknya
Anuraga tak mau menghindar dari tamparan itu sehingga
sebelah pipinya menjadi merah.
"Hai, orang Daha, jangan engkau sekurang ajar terhadap
pamanku brahmana ini" cepat Dipa melangkah dan menuding
Windu Janur dengan marah.
"Uh, engkau berani kepadaku?" Windu Janur nyalangkan
mata seolah hendak menelan pemuda tanggung itu.
"Jika engkau memang seorang ksatrya, marilah kita
bertempur secara ksatrya. Tetapi kalau engkau memang
kawanan raksasa, silahkan maju serempak semua!" sambut
Dipa. Dia benar-benar tak rela melihat Anuraga menderita
tamparan. "Dipa, biarlah aku sendiri yang menghadapi mereka" buruburu Anuraga mencegah. Karena belum mengetahui sampai di
mana kemajuan ilmu kanuragan yang dicapai Dipa, ia
mencemaskan anak itu. Tanpa menghiraukan kepada Windu Janur, Anuraga
menghadapkan arah pandang matanya kepada orang


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkerudung. "Ki sanak, kuanggap engkau pemimpin dari
himpunan Wukir Polaman. Dan sekarang akupun bicara
sebagai wakil dari himpunan Gajah Kencana"
"Suatu pengakuan ksatrya" sambut orang itu "silahkan
bicara" "Aku mempunyai usul, entah dapat engkau terima atau
tidak" kata Anuraga "aku menghendaki suatu penyelesaian
secara ksatrya, sebagai seorang wakil Gajah Kencana terhadap
wakil Wukir Polaman. Apabila aku kalah, Gajah Kencana
sanggup membubarkan diri. Tetapi kalau aku menang, aku tak
menuntut apa-apa kecuali kebebasan diriku dan anak ini."
Belum orang berkerudung muka itu memberi jawaban maka
Dipapun menyelutuk, "Ki sanak, apakah engkau benar
menawan seorang kakek dan seorang lelaki kawannya?"
"Engkau maksudkan demang Suryanata dan pengalasan
dari ra Kuti ?" seru orang itu.
"Benar" Orang itu mengangguk "Ya, mereka berdua memang kami
tawan" "Apa kesalahan mereka?"tanya Dipa pula.
"Mereka berani membangkang perintahku untuk jangan
melanjutkan perjalanan ke Lodaya"
"Kalau begitu, akupun hendak mengajukan usul" seru Dipa.
"Apa ?" "Adulah aku dengan salah seorang kawanmu di sini. Kalau
aku kalah, bunuhlah aku. Tetapi kalau aku menang,
bebaskanlah demang dan kawannya itu !"
Orang berkerudung itu rupanya telah menerima laporan
dari Windu Janur bahwa Anuraga itu memiliki ilmu kanuragan
yang tinggi. Diam-diam timbullah hasratnya untuk menguji
brahmana muda itu. "Windu Janur" segera orang itu berseru "akulah yang akan
menghadapi brahmana muda itu. Dan terserah engkau
memilih siapa untuk memberi hajaran kepada pemuda kecil
itu" "Ah, bapak" sanggah Windu Janur "janganlah hendaknya
bapak mempertaruhkan keharuman nama Wukir Polaman.
Biarlah aku saja yang menghadapi anak Rangga Lawe itu. Dan
untuk menghadapi anak itu cukuplah adi Bugel Kamali"
"Windu Janur ..."
"Bila aku kalah hanya Windu Janur yang tercela namanya,
bukan Wukir Polaman ataupun bapak"
"Ha, engkau meremehkan seorang tua, Windu" kata orang
berkerudung muka itu. Agak tersipu-sipu juga Windu Janur menyusuli kata "Sama
sekali tidak. Tetapi harap bapak percaya kepadaku. Tentang
kedigdayaan brahmana itu, aku sudah cukup tahu karena
dahulu pernah berkelahi".
Orang aneh itu terhening sejenak. Mengunyah ucapan
pemuda itu dan menemukan sesuatu itikad baik di dalamnya.
Maka iapun mengangguk agak sarat.
Melihat persetujuan itu, Windu Janur pun serentak
berpaling, melangkah maju ke hadapan Anuraga "Kuda
Anjampiani, putera Daha menyambut tantanganmu"
"Baiklah" sahut Anuraga tenang "silahkan memulai lebih
dahulu" Ketenangan sikap dan nada Anuraga memberi getar-getar
rasa kejut kepada sekalian pemuda Daha. Terutama Windu
Janur sendiri. Orang aneh yang menyelubungi mukanya
dengan kain hitam, pun menumpah pandangan ke arah
brahmana itu. "Baik" sahut Windu Janur lalu bersiap dan pada lain kejab
segera bergerak dalam sebuah anjakan tubuh bersama
songsongan tinju ke muka, tepat mengarah dada. Sedang
tangan kiri siap menyusul bilamana lawan menghindar ke
samping. Tetapi rencana Windu Janur itu digagalkan Anuraga yang
tidak mau menghindar ke samping melainkan menyurut
mundur selangkah. Bahkan dua kali Anuraga menghindar dengan gerak
menyurut langkah sehingga menimbulkan keheranan sekalian
orang dan membangkit suatu tafsiran tersendiri dalam
penimbangan Windu Janur. "Mungkinkah dia jeri beradu
pukulan dengan aku ?" timbang Windu Janur.
Serentak terlintas dalam benak orang Daha itu akan
peristiwa ketika ia bertempur dengan Anuraga dalam hutan
dahulu. Anuraga memang hampir binasa tetapi kemenangannya itu bukan karena dengan pukulan tangan
melainkan karena ilmu permainan senjata trisula-berantai.
Maka heranlah ia mengapa Anuraga jera menghadapi
pukulannya. "Ah, mungkin dia hendak melakukan siasat,
mungkin memang sungguh takut. Tetapi akan kutunjukkan
kepadanya bahwa aku sesungguhnya mampu untuk
mengalahkannya dengan ilmu pukulan" pikirnya,
Ah, ternyata untuk yang ketiga kalinya, Anuraga tetap
menyurut mundur pula. Dan hal itu makin menumbuhkan
keyakinan Windu Janur bahwa lawan memang tak berani adu
pukulan dengannya. Memandang rendah lawan, akan menimbulkan kelengahan
dan mengundang kekalahan. Demikian pula yang terjadi pada
saat itu. Mengira lawan sungguh-sungguh takut, Windu Janur
pun kerahkan tenaga lalu dengan gaya harimau menerkam, ia
memukul pula, Tetapi tidaklah pernah terbetik dalam
benaknya bahwa Anuraga akan mendahului bergerak maju
merapat. Karena gerakan brahmana itu sedemikian cepat
maka tak sempatlah Windu Janur untuk melayangkan tinjunya
yang tengah diangkat itu.
"Hm, jangan seganas itu, Windu Janur!" seru Anuraga
mengiring gerakan tangannya yang mendorong bahu orang,
Windu Janur terkejut sekali. Semangatnya serasa terbang
ketika melihat tangan brahmana itu menyongsong laju ke
bahunya. Seketika timbullah kenekadan dalam hatinya. Tadi ia
telah menyatakan kesanggupannya untuk mengalahkan
brahmana itu kepada ketua Wukir Polaman. Apabila dalam
waktu yang singkat ia dikalahkan, bukankah ia akan
kehilangan muka.. Daripada mendapat malu lebih baik ia mati.
Mati bersama lawan. Penilaian itu berlangsung cepat dan cepat pula
keputusannya segera dilaksanakan. Dengan segenap tenaga ia
lanjutkan layang tinjunya kebawah, dess.....
Terdengar angin menderu keras dari tinju Windu Janur
yang menghantam itu tetapi tubuhnya segera terdorong
mundur selangkah sedang Anuraga pun sudah loncat mundur
.... Sekalian kawan-kawan Windu Janur menghela napas
longgar walaupun Wmdu Janur sendiri tampak merah
wajahnya. Diam-diam mereka memuji ketangkasan Windu
Janur yang dapat melepaskan ancaman tinju Anuraga, yang
hendak menghunjam dadanya itu. Hanya seorang, yang tahu
apa yang terjadi. Dan orang itu yalah orang aneh yang
mukanya berkerudung kain hitam.
"Hm, Windu Janur harus berterima kasih kepada brahmana
itu. Karena kalau brahmana itu bertindak ganas, Windu Janur
tentu sudah terpukul dadanya. Untung brahmana itu hanya
merobah pukulannya menjadi gerak mendorong tubuh Windu
Janur ke belakang" kata orang aneh itu dalam hati.
Windu Janur sendiripun tahu akan hal itu. Itulah sebabnya
maka mukanya memancar warna merah. Diam-diam iapun
menyesali dirinya yang lengah karena memandang rendah
lawan. Kini Windu Janur melancarkan serangan dengan lebih hatihati dan cermat. Dan ternyata ilmu kanuragan yang dimilikinya
itu memang hebat sehingga Anuraga harus mengerahkan
perhatian benar-benar untuk mengimbangi permainan lawan.
Namun ternyata ilmu tata-kelahi dengan pukulan dari
Windu Janur itu tidaklah sehebat dengan ilmu permainan
senjata trisula-berantai. D alam ilmu pukulan tangan kosong, ia
kalah setingkat dengan brahmana Anuraga. Tetapi dalam ilmu
permainan trisula berantai, ia memiliki kelebihan dari
brahmana itu. Adalah karena tempat tak memenuhi syarat,
terpaksa Windu Janur tak dapat menantang pertempuran
bersenjata. Untunglah Anuraga mempunyai pertimbangan lain. Ia
menyadari bahwa dirinya dan Dipa saat itu berada di tengah
lingkungan pemuda-pemuda Daha. Mereka bukanlah pemuda
biasa melainkan putera-putera bekas senopati Daha yang
gugur melawan pasukan raden Wijaya. Dan iapun percaya
bahwa putera-putera senopati yang tergabung dalam
himpunan Wukir Polaman itu, tentu memiliki ilmu kanuragan
yang hebat dan kesaktian yang tinggi. Apabila ia dapat
mengalahkan Windu Janur, ia masih meragukan apakah
mereka mau membebaskan dirinya. Apabila kekalahan Windu
Janur itu akan menimbulkan kemarahan para pemuda itu,
bukankah ia akan terancam lebih hebat.
Namun suatu kekalahan yang diterimanya, akan lebih hebat
lagi akibatnya daripada ia menderita kerubutan dari anggautaanggauta Wukir Polaman. Bukankah ia berjanji hendak
membubarkan Gajah Kencana. Kemungkinan fihak Wukir
Polaman akan ingkar janji dalam membebaskan dirinya. Tetapi
bagaimanakah ia dapat ikut merendahkan martabatnya
sebagai seorang brahmana yang tak pegang janji"
Pemikiran yang membayang dalam benak Anuraga itu agak
mengganggu pemusatan pikirannya dalam menghadapi lawan.
Tiba-tiba terbanglah semangatnya ketika tangan Windu Janur
menyusup masuk hendak membentur dadanya. Dalam kejut,
Anuraga cepat menelungkupkan kedua siku lengannya untuk
menjepit tangan lawan. Tak pernah disangka-sangka oleh Anuraga bahwa Windu
Janur yang selalu melakukan serangan keras ternyata saat itu
telah memasang sebuah siasat yang bagus. Pada saat lengan
Anuraga mengatup, tangan Windu Janur pun sudah ditarik ke
belakang lalu secepat kilat menghantam muka lawan. Duk ....
Anuraga terkejut ketika mukanya terancam pukulan. Karena
tak sempat menghindar, ia paksakan sebuah gerak meliukkan
tubuh ke samping. Dengan gerak itu dapat menyelamatkan
mukanya tetapi bahu lengan kirinya tak terhindar dari tinju
lawan. Anuraga. tergetar dan tersurut selangkah ke belakang.
Melihat serangannya berhasil, Windu Janur tak mau
memberi kesempatan pada lawan untuk berkemas
mempersiapkan diri lagi. Pada saat Anuraga masih belum
berdiri tegak, Windu Janur pun sudah melepas sebuah
tendangan keras. Jarak yang dekat dan kedudukan diri yang belum berdiri
tegak, amat menyulitkan Anuraga untuk menghindar. Dalam
keadaan yang amat terdesak itu Anuraga masih berusaha
untuk menyambar kaki lawan. Plak.......... buk ....... terdengar
dua buah suara keras susul menyusul. Dan terkejutlah
sekalian orang ketika melihat Anuraga terlempar beberapa
langkah tetapi Windu Janur pun jatuh terbanting duduk di
tanah. Memang sambaran tangan Anuraga itu kalah dulu tibanya
dengan ujung kaki Windu Janur. Tetapi gerakan itupun tidak
sia-sia. Karena serempak pada saat tubuhnya terpental ke
belakang, ia masih dapat menyiakkan kaki Windu Janur ke
atas. Itulah sebabnya maka Windu Janur seperti diangkat
keatas lalu dibanting ke tanah .......
Windu Janur cepat melenting bangun lalu hendak membuka
serangan lagi. Tetapi sekonyong-konyong Dipa loncat ke
tengah, menghadangnya, "Berhenti" serunya keras.
Windu Janur terkejut. Demikianpun dengan para anggauta
Wukir Polaman. Entah bagaimana teriakan pemuda itu
memiliki kewibawaan memerintah yang mengharuskan orang
tunduk. "Mau apa engkau!" bentak Windu Janur.
"Menghentikan pertempuran yang sia2 ini" seru Dipa.
Windu Janur membelalak "Apa maksudmu?"
"Kukatakan pertempuran ini akan sia2. Memakan waktu
panjang sampai petang hari" seru Dipa.
Windu Janur memberingas. "Pertempuran ini menyangkut
jiwaku, jiwamu, jiwanya dan jiwa yang lain2. Bukan sebuah
permainan ataupun tontonan. Enyahlah, jangan ikut campur."
"Ho, engkau aneh" sahut Dipa.
"Aneh?" Windu Janur menyalangkan mata.
"Ya, aneh" jawab Dipa pula "engkau mengatakan
pertempuran itu menyangkut jiwaku juga. Mengapa aku tak
boleh ikut campur?" "Uh, rupanya engkau ingin cari gara2, bukan?" teriak Windu
Janur makin menyalang. "Bukan" sahut Dipa "melainkan hendak memperingatkan
bahwa akupun mempunyai kepentingan dengan engkau
mengenai eyang demang Surya"
Windu Janur mendengus. "Karena sampai sekian lama belum juga kalian selesai maka
baiklah kalian beristirahat dahulu. Akulah yang akan
mengganti maju, silahkan engkau memilih kawanmu"
Windu Janur hendak menghardik tetapi orang aneh
berkerudung muka kain hitam segera berseru "Hm, rupanya
engkau sangat bernafsu sekali hendak memperlihatkan
kepandaianmu. Baiklah, Windu Janur, beristirahatlah dulu,
biarlah pemuda itu yang bertanding lawan Bugel Kamali"
Windu Janur menggeram namun ia tak berani membantah
perintah pimpinan. Anuraga diam-diam memuji ketajaman
mata orang berkerudung itu. Dalam pada itu iapun heran
mengapa Dipa begitu bernafsu hendak menghentikan
pertempuran itu. Namun tak sempat pula ia menitikan pikiran
karena saat itu, Dipa sudah berhadapan dengan seorang
lawan yang disebut-sebut bernama Bugel Kamali, putera
Bango Dolok, seorang bekel prajurit Daha yang juga gugur
dalam medan peperangan. Hampir ada persamaan pada perawakan kedua anakmuda
yang saling berhadapan itu. Keduanya tidak begitu tinggi,
bertubuh padat kekar dan bertenaga besar. Hanya Bugel
Kamali lebih tua dari Dipa.
Memang Bugel Kamali terkenal memiliki tenaga kuat dan
berani. Sayang dia sedikit bodoh.
Karena merasa lebih besar tubuhnya, lebih tua umurnya,
Bugel Kamali terus ulurkan kedua tangan hendak merangkul


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

leher Dipa. "Hayo, kita adu kekuatan dengan gulat"
Dipa menyurut mundur. Tetapi belum sempat ia bicara,
Bugel Kamali pun sudah mengejar pula dan hendak
mencengkam pinggang Dipa.
Dipa terkejut berhadapan dengan lawan semacam itu.
Tetapi diam-diam iapun heran mengapa ia selalu tak sempat
membuka mulut. Tampaknya gerakan Bugel Kamali itu lamban
dan kaku tetapi Dipa selalu hampir tak mendapat kesempatan
untuk mengambil napas. Akhirnya timbul suatu siasat dalam hati Dipa. Dan untuk
cengkaman tangan Bugel Kamali pada pinggang, Dipa
membiarkan saja. Terjadilah adu tenaga yang berlangsung
seru antara Dipa lawan Bugel Kamali. Bugel Kamali hendak
menganglat tubuh Dipa ke atas. Maksudnya terus hendak
dibanting. Tetapi Dipa telah mengerahkan seluruh tenaganya
untuk bertahan. Heran sekalian orang menyaksikan pertandingan itu.
Padahal di kalangan warga Wukir Polaman, Bugel Kamali itu
termasyhur bertenaga besar, dapat mengangkat tubuh seekor
lembu, menyeberangi sungai. Tetapi mengapa tak mampu
mengangkat tubuh seorang pemuda yang lebih kecil
tubuhnya" Melihat itu, diam-diam Anuraga pun heran-heran girang. Ia
tak tahu betapa kekuatan Bugel Kamali. Namun
memperhatikan kerut wajah sekalian orang-orang Wukir
Polaman dapatlah Anuraga menarik kesan bahwa apa yang
diunjukkan Dipa itu, sesuatu yang tak mereka sangka-sangka.
Dengan demikian Dipa itu dianggap dapat mengimbangi
seorang jago pilihan dari himpunan Wukir Polaman. Kesan itu
berlabuh pada kesimpulan, bahwa Dipa telah mencapai
kemajuan dalam latihan-latihan ilmu kanuragan maupun ilmu
prana. Bahwa nyata-nyata anak itu tak pernah melalaikan
latihannya. Namun dibalik daripada kesan menggirangkan itu, pikiran
Anuraga pun tak lepas dari cengkaman keresahan. Bagaimana
ia nanti akan terlepas dari lingkungan orang-orang muda itu.
Ia masih sangsi, adakah kemenangannya dan kemenangan
Dipa itu akan dapat membebaskan dirinya dan Dipa dari
cengkeraman pemuda-pemuda itu.
Sesungguhnya apa yang dikatakan Dipa tadi memang
benar. Pertempuran antara Anuraga dan Windu Janur itu
memang akan berlangsung lama. Rupanya Dipa dapat menilai
bahwa Anuraga itu jelas tak berkelahi dengan sungguh2.
Banyak luang2 kelemahan musuh yang tak digunakan untuk
merubuhkannya. Itulah sebabnya mengapa ketika Dipa loncat
ke tengah gelanggang dan menghentikan pertempuran itu,
Anuraga pun tak berkeberatan. Memang ia telah memutuskan
untuk menjalankan siasat memeras tenaga dan napas lawan
agar tanpa suatu gerakan pukulan atau sepakan, Windu Janur
sudah terkulai sendiri karena kehabisan tenaga.
Hanya dengan siasat itulah, demikian Anuraga menimbang,
ia dapat merebut kemenangan yang berhasil. Pemuda-pemuda
Daha itu tentu tak menganggap kemenangan itu sebagai
suatu hinaan dari keunggulan Gajah Kencana terhadap Wukir
Polaman. Tetapi kekalahan yang timbul karena napas dan
tenaga Windu Janur yang tak mengidinkan sendiri.
Tetapi rencananya itu telah digagalkan Dipa. Anak itu amat
bernafsu untuk membebaskan demang Suryanata. Sekalipun
demikian, Anuraga pun tak keberatan. Ia menyadari beda
penilaian orang-orang Wukir Polaman pada dirinya dan pada
Dipa. Dipa yang menang, beda halnya dengan ia yang
menang. Dipa dianggap sebagai pemuda desa yang tak
terkenal. Sedang pemuda-pemuda Wukir Polaman itu
memandang Anuraga sebagai seorang tokoh Gajah Kencana
yang penting. Demikian kelanjutan dari pemikiran yang melalu-lalang
dalam benak Anuraga di saat menyaksikan pertempuran
antara Dipa dengan Bugel Kamali masih berltangsung seru.
Pemikiran yang belum juga menemui penyelesaiannya.
Tiba-tiba Anuraga bagaikan tersengat kala, beranjak dari
lamunan dan memberingas pandang ketika menyaksikan
adegan yang berlangsung di depan mata.
Setelah berlangsung hentak menghentak, cengkam mencengkam, banting membanting dan cekak mencekak, tiba-tiba
Dipa berhasil mematahkan tenaga lawan dan dengan tenaganya yang kuat, ia mengangkat tubuh Bugel Kamali tinggi2 ke atas lalu
diputar-putar Dipa dengan
derasnya. "Hai .... ! Ah ......."
terdengar gemuruh pekik tertahan di kerongkongan,
ketika menyaksikan adegan
yang mendebarkan itu. Betapa tidak. Sekali Dipa lepaskan tangannya, tentulah Bugel
Kamali akan terlempar dan membentur dinding karang .... ,
Dipa benar2 seperti dimabuk suatu perasaan dari masa
yang lampau. Yalah ketika ia masih di desa dan mengangkat
patung Dewa Ganesya atau yang oleh anak-anak desa lazim
disebut Dewa Gajah. Namun tubuh Bugel Kamali ini jauh lebih
ringan dari patung itu maka ia-pun segera membawanya
berputar-putar, makin lama makin deras.
"Dipa, berhentilah!" cepat Anuraga berteriak memberi
perintah. Ia cepat dapat mengamati kerut wajah orang-orang
Wukir Polaman. Betapa gelisah dan resah, tegang dan regang
mereka. Bahkan diperhatikannya, ada seorang dua orang yang
tangannya sudah mencekal tangkai pedang yang terselip pada
pinggangnya. Dapat dimaklumi, apa yang akan terjadi apabila
Dipa benar-benar melepaskan orang itu meluncur ke arah
dinding karang. Dipa pasti akan diserbu dan dicincang mereka!
Dipa mentaati perintah Anuraga. Ia hentikan perputaran
tubuhnya. "Dipa, lepaskan" seru Anuraga pula.
Dipapun menurut. Namun ketika diletakkan di lantai, Bugel
Kamalipun sudah tak dapat bangun.
Tiga pemuda bertubuh kekar, serempak maju menghampiri
Dipa dengan wajah memberingas. Bagaskara putera senopati
Bowong, Anjak Ladang putera senopati Pencok Sahang dan
Sawung Baya. Demikian ketiga pemuda tegap itu.
"Matikah dia?" seru Bagaskara kepada Dipa.
Belum Dipa menyahut Anuraga yang sudah memperhitungkan gelagat, cepat berseru "Kawanmu tidak
mati, hanya pingsan. Dia ketakutan kalau dilempar oleh lawan
maka dia pingsan ..."
Sawung Baya yang bertubuh agak tinggi segera maju
menghampiri ke tempat Bugel Kamali, berjongkok merabah
dadanya. Dada Bugel Kamali memang masih berombak.
Sawung Baya mengangkatnya lalu membawa ke luar. Tak
berapa lama muncullah Sawung Baya membawa dua orang
lelaki. Demi melihat siapa kedua orang itu, Dipapun berteriak
girang "Eyang ......." ia terus hendak lari menyongsong.
Tetapi tiba-tiba Bagaskara lintangkan menghadang, "Jangan terburu-buru dulu!"
lengannya Dipa terkesiap, "Maksudmu?"
"Dengarkan dahulu keputusan dari pemimpin kami" sahut
Bagaskara. Dipa terpaksa menahan kesabaran.
"Anakmuda" tiba-tiba orang berkerubung muka itu berseru,
"engkau telah menang. Bawalah kakek tua dan lelaki itu pergi"
Dipa terkesiap tetapi pada lain kejab ia berseri girang "Baik,
terima kasih" Dipa terus menghampiri ke tempat demang Surya.
Keduanya berpelukan mesra. Tak ubah seperti seorang kakek
dengan cucu. Sesaat! kemudian Dipa mengajak demang Surya
dan Kalkasa keluar. Tetapi ketika tiba di pintu, dua orang
pemuda gagah menghadang. "Tidak mudah akan keluar dari sini" seru ke dua pemuda itu
dengan lintangkan pedang.
"Mengapa?" Dipa terbeliak "bukankah pemimpinmu sudah
memberi idin?" "Ya, bapak memang mengidinkan engkau keluar tetapi tak
memberi idin engkau meninggalkan peraturan di sini."
"Peraturan apa?"
"Bahwa setiap orang yang datang dan ke luar dari tempat
ini harus ditutup kedua matanya"
Dipa terkejut "O," desuhnya "setiap orang?"
"Benar" "Para anggauta perhimpunanmu juga ?"
"Tak ada pengecualian. Merekapun juga" sahut pemuda itu.
Dipa meminta keterangan bagaimana setelah ditutup
matanya. Anakmuda dari Wukir Polaman itu berkata, "Akan
ada kawan kami yang membawa kalian keluar dan disuatu
tempat tertentu akan dilepas"
Dipa terkejut tetapi diam-diam ia memuji akan ketelitian
orang-orang Wukir Polaman merahasiakan markas tempat
pemimpin mereka. Bahkan timbul pertanyaan dalam hatinya,
adalah anggauta-anggauta Wukir Polaman itu pernah melihat
betapa wajah pemimpinnya yang selalu mengenakan kain
kerudung muka itu. Ingin ia hendak bertanya tetapi anakmuda
itu segera membentak "Lekas, pejamkan mata!"
Cepat mereka segera menutup mata demang Surya dan
Kalkasa dengan kain penutup warna hitam. Ketika Dipa
hendak diselubungi kain penutup mata, tiba-tiba ia teringat
sesuatu dan menyurut mundur "Tunggu" katanya "mengapa
aku tak melihat brahmana muda itu ikut ke luar ?"
"Dia masih di dalam" sahut orang Wukir Polaman.
"Mengapa?" Dipa terbeliak kaget "bukankah kita sudah
dibebaskan semua?" "Itu bukan urusanku, tanyakan saja kepada pemimpin
kami" seru orang itu seraya hendak menyelubungi mata Dipa
pula. Dipa menyurut mundur lagi terus melangkah masuk
kembali. Langsung ia menghampiri Anuraga "Paman, mengapa
paman tak ikut ke luar?"
"Hm" tiba-tiba Windu Janur mendengus "garang benar
sikapmu, anakmuda. Siapa yang memberi hak kepadamu
untuk mengajaknya keluar?"
Dipa terkejut "Tetapi bukankah telah kalian setujui tadi?"
Windu Janur deliki mata "Siapa yang memberi persetujuan"
Kami hanya menyetujui kebebasan kakek tua dan kawannya
tadi?" "O, dan paman brahmana ini?" seru Dipa.
"Apakah engkau pernah mengutarakan dirinya dalam
janjimu tadi?" balas Windu Janur.
Dipa tertegun. Memang tadi ia tak menyebut-nyebut diri
brahmana Anuraga "Kalau begitu, aku juga termasuk tak boleh
meninggalkan tempat ini?"
"Engkau lain" sahut Windu Janur "kami tak memerlukan
menawan seorang pemuda seperti dirimu. Pergilah!"
"Tidak!" diluar dugaan Dipa menolak "aku tak mau pergi
dari tempat ini jika tak bersama paman brahmana ini"
"Kalau engkau ingin menemaninya mati di sini, pun boleh
saja. Bagi kami hanya tambah sedikit kesibukan untuk
menggali sebuah lobang lagi" kata Windu Janur setengahnya
mengolok. "Hm,"... katakan dengan syarat bagaimana kalian dapat
membebaskan kami?" seru Dipa.
"Cara yang lazim ditempuh seorang ksatrya"
"Baik" sambut Dipa dengan suara bergelora "aku sanggup
untuk memenuhi syaratmu itu. Ajukanlah siapa di antara
kawanmu yang akan bertanding dengan aku."
Seperti yang telah dikatakan Windu Janur, kehadiran Dipa
ditempat situ tidaklah berarti bagi mereka. Namun karena
melihat sikap dan bicara pemuda itu dianggapnya amat
congkak, timbullah kepanasan hati beberapa anakmuda Wukir
Polaman. Mereka tak puas karena kawan mereka, Bugel
Kamali, dikalahkan. "Bapak, idinkanlah aku bermain-main dengan pemuda
pendek ini" Bagaskara tampil ke muka dan meminta idin
kepada orang berkerudung kain hitam.
Diam-diam orang berkerudung itu memang mengagumi
tenaga Dipa. Seketika timbul pikirannya untuk mencoba
betapakah kedigdayaan anakbuahnya sendiri. Maka iapun
memberi persetujuan. Bagaskara segera bersiap-siap di hadapan Dipa.
"Sabar" seru Dipa "belum jelas kita bicarakan bagaimana
buah keputusan dari pertempuran ini"
Bagaskara terkesiap. Ia memang tak tahu apa yang akan
dijanjikan pada pertempuran itu. Segera ia palingkan pandang
ke arah orang berkerudung.
Rupanya orang berkerudung itu lak memandang mata pada
persoalan Dipa. Ia hanya mengangkat bahu dan
menggerakkan dagunya ke arah Windu Janur.
"Kakang Janur" seru Bagaskara menanggapi isyarat dari
pemimpinnya. "Terserah dia mau minta apalah" sahut Windu Janur agak
segan juga. Memang dalam pandangan anakbuah Wukir
Polaman, Dipa tak mendapat perhatian yang layak di hati
mereka. "Nah, engkau dengar?" seru Bagaskara kepada Dipa
"engkau katakan saja apa yang menjadi kehendakmu"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sederhana" sahut Dipa "kebebasan paman Anuraga dan
diriku" "Kalau engkau kalah?" ulang Bagaskara.
"Terserah apa yang hendak engkau jatuhkan kepada diriku"
sahut Dipa serentak. "Hm" dengus Bagaskara "baiklah, nanti kami tentukan lagi
hukumanmu. Sekarang bersiaplah dan mulailah engkau
menyerang" Dipa tahu bahwa baik Bagaskara maupun lain-lain
anakbuah Wukir Polaman meremehkan dirinya. Ia tak perlu
marah kepada mereka karena yang penting bukanlah sanjung
atau makian, melainkan kenyataan jualah yang akan membuat
mereka tertawa atau meringis.
"Walaupun lebih muda, tetapi aku seorang tetamu, wajiblah
tuan rumah yang memulai lebih dulu" ia berseru.
"Tidak" Bagaskara menolak "engkau yang menantang"
Dipapun tak mau adu lidah. Segera ia memulai berkemas
lalu maju mengirim pukulan.
"Sambutlah" Dipa pelahan sekali melayangkan tinjunya. Maksudnya agar
lawan bergerak menangkis atau menyambar. Apabila
demikian, iapun cepat akan menarik kembali tinjunya dan
berganti dengan gaya serangan lain. Tetapi ternyata
Bagaskara tenang-tenang saja melihat layang tinju itu. Bahkan
setelah hampir tiba barulah ia berkisar ke kanan untuk
menghindar. Dipa terkejut namun ia tak putus asa. Seiring dengan
mengisarkan kaki dan tangan, serentak tangan kirinya pun
menyelonong ke lambung orang. Krak .... kali ini tiba-tiba
Bagaskara menyiak dengan tangan kanan. Setelah tangan
Dipa tersiak ke samping, secepat kilat tangan Bagaskara itu
meluncur maju, merangsang dada. Jarak keduanya hampir
merapat dan dada Dipa, karena tangannya tersiak ke samping,
menjadi terbuka dari lindungan. Tetapi alangkah kejut
Bagaskara ketika tinjunya yang menurut perhitungannya pasti
akan menghunjam dada lawan, ternyata tak dapat hinggap
pada sasarannya. Masih terpaut sekilan dari dada lawan.
Bagaskara hampir tak percaya pada penglihatannya. Maka
diulanginya pula dengan tangan kiri sesaat ia ajukan langkah
maju merapat ke muka Dipa. Uh ....... kembali mulut
Bagaskara mendesuh kejut ketika ujung tinjunya itu tetap tak
dapat hinggap pada sasarannya.
"Gila" gumam Bagaskara dalam hati "mengapa tinjuku
selalu kurang beberapa jari dari tubuhnya?"
Bagaskara mulai penasaran. Ia tak percaya pada yang
dialami dan disaksikannya. Kali ini kedua tinjunya serempak
maju. Tangan kiri menusuk lambung, tangan kanan menerjang
dada. Bahkan untuk menyempurnakan serangan berantai itu,
kakinya pun menyusuli sebuah tendangan ke perut.
Dipa bergeliatan kian kemari dan berhamburan desah dan
desuh mulut Bagaskara mengeluh keheranan dan kejut. Ia
makin heran dan makin penasaran. "Tata gerak atau ilmu
kanuragan apakah yang dilakukan Dipa?"
Para anakmuda anggauta Wukir Polaman, yang
menyaksikan cara Dipa menghadapi Bagaskara, pun terbeliak
heran. Setiap kali tubuh Dipa hanya bergetar dan bergeliat
tetapi pukulan gencar dari Bagaskara itupun tak menemui
sasarannya. Juga brahmana Anuraga tak lepas dari rasa kejut. Hanya
kejut brahmana itu adalah kejut girang. Ia tahu bahwa ilmu
tata gerak yang dimainkan Dipa itu disebut Lembu sekilan. Ia
merasa tak pernah mengajar kan ilmu itu kepada Dipa.
Mengapa anak itu mengerti ilmu bela diri semacam itu "
Demikian berlangsunglah suatu pertempuran yang agak
ganjil. Selama itu Dipa hanya bergeliatan menghindar tak
pernah balas menyerang. Serangan boleh dikatakan dilakukan
oleh Bagaskara semua. Dan di kalangan anak-anak muda
anggauta Wukir Polaman, Bagaskara itu terkenal lincah dan
gesit dalam ilmu pukulan.
Kini terbukalah mata sekalian anggauta Wukir Polaman.
Bahkan orang aneh yang mengenakan kerudung kain hitam
itupun mulai mencurahkan perhatian kepada gerak gerik Dipa
"Bagaskara, hantam saja kepalanya biar pecah!"
"Bagaskara, jangan memberinya kesempatan menghindar!
Arahkanlah pukulanmu yang tepat!"
Demikian beberapa lawan Bagaskara memberi anjuran dan
dorongan scmangat tetapi kesemuanya itu hanya menambah
merahnya muka Bagaskara. Dadanya tampak berombak keras,
dengus napasnya makin keras dan mulutnya berbuih.....
Orang berkerudung itu terkejut. Ia tahu ilmu apa yang
dilakukan Dipa untuk menghadapi Bagaskara itu. Dan kejutnya
itu makin meningkat besar manakala ia memperhatikan betapa
belia umur Dipa dengan ilmu Lembu-sekilan yang dikuasainya.
Bahkan mata pemimpin Wukir Polaman itu makin menyalang
lebar-lebar, ketika perhatiannya makin tertarik akan sinar
wajah anak itu. Siapakah dia"
Serentak timbul bayang-bayang dalam pikiran orang
berkerudung itu untuk mengetahui lebih jelas diri Dipa. Suatu
reka berkelanjutan pula pada pemikiran orang itu. Betapa
akan lebih kuatnya barisan putera-putera Wukir Polaman
apabila mendapat tambahan seorang tenaga seperti Dipa. Dan
keinginan tahu makin bertambah keras manakala ia
membayangkan Dipa itu seorang anak kelahiran telatah Daha,
tentulah akan mudah untuk diajaknya masuk dalam
perjuangan putera Daha. Saat itu dilihatnya Bagaskara makin kalap tetapi pun makin
payah. Banyak tenaganya yang dihambur-hamburkan sia2
hanya sekedar menurutkan nafsu kemarahannya. Tidak lagi
pemuda itu menyerang menurut tata kanuragan yang teratur
melainkan lebih banyak menyerang asal menyerang,
memukul, menerkam, menendang dan meacengkeram
sekenanya. Kebalikannya lawannya, kini bergerak-gerak dalam
tata langkah yang teratur, lincah dan gesit. Ah, pertempuran
itu harus dihentikan. Pikir orang itu. Tetapi sesaat ia hendak
membuka mulut, terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan.
Suatu peristiwa yang sebenarnya sudah dapat diduga namun
tak pernah disangkanya akan terjadi pada saat itu juga.
Rupanya teriakan dari anak-anak muda yang memberi
dorongan kepada Bagaskara, meningkat menjadi suatu ejekan
bahkan makian kepada Dipa. Dan kemudian bahkan pula
meningkat menjadi kata-kata yang bersifat mengancam.
Betapapun halnya, Dipa itu masih seorang pemuda yang
muda belia. Hatinya pun masih panas. Memang karena
lingkungan kehidupan, ia lebih masak pikirannya sehingga
sikap dan ucapannya pun lebih tua dari umurnya. Tetapi ada
kalanya pula, seperti pada saat yang dialaminya detik itu,
timbullah rasa amarahnya. Ia menghadapi Bagaskara dengan
menggunakan tata langkah yang diajarkan brahmana Anuraga
dahulu. Dan untuk menghadapi hujan pukulan lawan, ia
menggunakan aji Lembu-sekilan ajaran pandita sakti
Padapaduka. Dengan cara itu ia bermaksud hendak
menghabiskan tenaga Bagaskara agar lawan itu akan rubuh
sendiri tanpa dipukul. Tetapi karena selalu dimaki, diejek dan
diancam oleh beberapa anakmuda kawan Bagaskara, Dipa pun
tergoda hatinya. "Hm, ada kalanya pemuda-pemuda itu harus menderita
pengalaman yang pahit. Baiklah" segera ia menyimpulkan
suatu keputusan. Pada saat itu Bagaskarapun loncat dengan merentang
kedua tangannya hendak menerkam kepala. Di luar sangka
Bagaskara, Dipa tidak lagi menggunakan aji Lembu sekilan
tetapi hanya berkisar kesamping, menyelinap ke belakang,
mencengkeram tengkuk Bagaskara, mengangkatnya ke atas
lalu..... "Bagaskara, berhentilah ......" tiba-tiba orang aneh yang
mengenakan kerudung muka itu berseru menghentikan
Bagaskara. Tetapi terlambat. Saat itu Dipa sudah terlanjur
melempar tubuh Bagaskara ke arah kawanan anak-anak
muda. "Nih, terimalah kawanmu ....... !" serunya.
Anuraga terkejut. Tetapi beberapa anakmuda dari Wukir
Polaman lebih terkejut pula ketika sesosok tubuh melayang ke
arah mereka. Bergegas dua orang pemuda menyanggapi
tubuh Bagaskara. Tetapi Munggingkara dan Anjak Ladang
yang menyambuti tubuh Bagaskara itu terkejut karena tenaga
lontaran Dipa itu sedemikian kuatnya.
Munggingkara dan Anjak Ladang, dua tiang andalan dari
himpunan Wukir Polaman, terkejut dan tergempur kuda-kuda
kakinya ketika menyambuti lontaran tubuh Bagaskara. Kedua
anakmuda itu tak kuasa menahan keseimbangan tubuh dan
terpaksa harus menyurut dua langkah ke belakang sebelum
mampu berdiri tegak. Gemparlah sekalian anak-anak Wukir Polaman menyaksikan
tenaga seorang pemuda yang sebelumnya tak mendapat
perhatian di hati mereka. Mereka dapat membayangkan
betapa akibat yang akan terjadi pada tubuh Bagaskara andai
Dipa melemparkannya ke arah dinding karang!
Dipa telah lupa diri. Saat itu ia teringat dan merasa seperti
kala dahulu di desa Madan Teda telah mengangkat patung
dewa Ganesya. Ia kerahkan seluruh tenaganya dan berhasil
mengangkatnya. Namun nalurinya cepat tertikam sesuatu
yang beda. Jika dahulu di Madan Teda ia meaerima tampik
sorak dari anak-amak kawannya bermain. Adalah saat itu ia
menerima desuh menggeram dari anak-anak muda Daha. Dan
serentak ia menyadari apa yang telah terjadi.
Dalam benak orang berkerudung muka itupun timbul suatu
pertentangan pertimbangan. Bertitik tolak pada kenyataan
bahwa Dipa itu memang seorang anak yang luar biasa maka
timbullah pertimbangan bersimpang. Apabila dibiarkan anak
itu ikut pada A nuraga, kemungkinan besar tentu akan masuk
dalam himpunan Gajah Kencana. Jelas merupakan bahaya
besar bagi gerakan Wukir Potagnan. Maka sebelum bahaya itu
akan tumbuh dikelak kemudian hari, betapakah tidak
dilenyapkan pada saat itu juga!
Pertimbangan kedua bersifat lebih lunak. Tenaga sehebat
yang dimiliki Dipa itu, sayang kalau terbuang sia2. Dan lebih
sayang pula apabila jatuh ke tangan fihak yang berlawanan
tujuan dengan Wukir Polaman. Maka baiklah dilakukan suatu
usaha untuk meraih anak itu ke dalam lingkungan Wukir
Polaman. Demikian setelah agak beberapa saat, melingkari lekuk liku
pertimbangan dan kepentingan, akhirnya ia mengemasi
sebuah keputusan. "Bagus, anakmuda" serunya kepada Dipa yang masih tegak
termangu-mangu seperti kehilangan sesuatu yang tak
diketahuinya "engkau menang"
"Dan apakah tuan akan menetapi janji?" tanya Dipa penuh
harap. "Segera setelah engkau melengkapi keterangan yang
kuperlukan, kebebasanmu akan terlaksana" sahut orang itu.
Dipa kerutkan alis "Soal apa yang tuan hendak tanyakan
kepadaku?" "Bukan soal aneh, bukan pula soal yang penting" kata
orang itu "hanya akan mengetahui tentang asal usulmu, tanah
kelahiranmu dan keluargamu"
"Mengapa harus mengetahui soal itu?"
"Ketahuilah" kata orang berkerudung muka "bahwa
tindakanmu dapat mengalahkan dua orang anakbuah Wukir
Polaman, benar-benar sebuah karya yang akan tercatat dalam
sanubari setiap anggauta kami. Mereka tentu takkan pernah
melupakan namamu" "Adakah mereka hendak mencari balas kepadaku?" tanya
Dipa. Orang itu tertawa semu "Hal itu tergantung pada sikapmu
sendiri. Mereka hanya menilai dan bertindak"
"Ah, sesungguhnya anakbuah tuan itu memang digdaya"
kata Dipa dengan rendah hati "mereka takkan mengalami
kekalahan apabila mereka tak memandang rendah pada
lawan." Orang itupun tertawa pula "Itulah suatu pelajaran yang
betapapun pahit tetapi berguna bagi mereka. Tetapi lepas dari
pada mereka lengah atau tidak, engkau memang sakti dan
amat kuat seperti seekor gajah"
"Itu memang namaku" seru Dipa "dan binatang itu memang
binatang pujaanku" "O" desuh orang itu "jadi namamu Gajah ?"
"Begitulah dahulu orang-orang di desaku menyebut diriku"
"Lalu dari desa manakah tempat kelahiranmu ?"
"Nenekku tinggal di desa Mada, mungkin aku pun dilahirkan
di situ" Orang itu kerutkan dahi "Ah, mengapa mungkin. Tidakkah
kedua orangtuamu menerangkan tentang desa kelahiranmu?"
"Aku sudah tiada orangtua dan sejak kecil hidup dengan
nenekku" Orang itu mengangguk. Diam-diam ia girang dalam hati
"Desa Mada" Tahukah engkau masuk telatah manakah desa
itu?" "Entah" sahut Dipa "desa itu terletak di sepanjang perairan
sungai Brantas daerah Singasari. Mungkin dalam kawasan
lembah gunung Kawi sebelah barat"
"Salah" tiba-tiba orang itu berseru "desa Mada itu masuk
telatah Daha timur. Dengan begitu jelas engkau ini rakyat
Daha" "Salah" tiba-tiba pula brahmana Anuraga berseru "bukan
telatah Singasari, pun bukan Daha tetapi telatah Majapahit"
Orang itu berpaling memandang ke arah Anuraga dengan
kilatan mata yang tajam penuh geram. "Brahmana, engkau
orang Tuban, jangan campur mulut dengan orang Daha dan
Singasari" Brahmana Anuraga tersenyum tenang "Tuban, Daha dan
Singasari, sudah dipersatukan di bawah naungan Majapahit.
Mengapa aku tak ...."
"Jangan bicara!" bentak orang itu "aku tak bertanya
kepadamu!" kemudian ia menghadap pandang ke arah Dipa
pula "jika engkau tak percaya akan kusuruh anakbuahku untuk
membuktikan daerah yang menguasai desamu itu"
"Ah, tak perlu" sahut Dipa "dan mengapa tuan bersitegang
mengenai telatah mana desa Mada itu termasuk dalam
kekuasaannya?" "Itu penting bagi kita" sahut orang itu "bagimu hal itu akan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka pandanganmu, bahwa seharusnya engkau ikut
berjuang dengan para anakmuda Daha untuk mengembalikan
kejayaan kerajaan Daha. Bagi kami, setelah jelas akan asal
dirimu, tidaklah akan berbuat kesalahan untuk memusuhi
engkau" "O" Dipa mendesuh "tetapi aku hanya anak desa dan
mereka yang menjadi anakbuah Wukir Polaman itu terdiri dari
putera-putera senopati dan mentri kerajaan Daha yang lalu"
"Gajah" kata orang itu dengan nada makin ramah,
"perjuangan mengembalikan kejayaan Daha itu adalah
perjuangan milik seluruh putera-putera dan kawula Daha.
Bukan milik segolongan putera-putera senopati dan mentri
kerajaan belaka. Perjuangan itu tak mendambakan soal
golongan dan kasta tetapi memerlukan jiwa dan semangat
juang yang besar dari mereka, siapapun juga, yang cinta akan
tanah kelahirannya dan merindukan akan kejayaan buminya.
Wukir Polaman tidak membedakan asal keturunan dan kasta,
melainkan pada sikap dan Semangat juang orang itu"
"Mengapa tuan2 hendak berjuang mengembalikan kejayaan
kerajaan Daha yang telah runtuh ?" tanya Dipa pula.
"Pertanyaan yang bagus sekali. Mudah-mudahan engkau
akan bertemu dengan jawaban yang akan membuka mata
hatimu" kata orang aneh itu. "Jauh sebelum Majapahit timbul
dan Singasari tampil, Dahalah yang lebih dahulu berdiri
sebagai kerajaan. Karena itu Daha harus bangkit kembali"
"Hanya itu ?" Dipa menegas.
"Kami putera-putera para senopati dan menttri kerajaan
Daha dari prabu Jayakatwang, amat mendendam sakithati
kepada raden Wijaya yang telah berhianat kepada sang prabu
dan telah menewaskan berpuluh jiwa senopati dan mentri
ayah pemuda-pemuda anggauta Wukir Polaman"
Dipa bertanya pelahan. "Sudahkah itu ?"
"Ya" "Idinkan aku bicara" kata Dipa "soal Daha pernah menjadi
kerajaan besar sebelum Majapahit dan Singasari berdiri, itu
memang suatu kenyataan. Tetapi bahwasanya Daha runtuh,
Singasari bangun dan yang terakhir Majapahit berdiri, itupun
suatu kenyataan. Dan kenyataan itu memang berasal dari
suatu kenyataan kodrat prakitri. Mengapa harus merindukan
masa yang lampau, masa yang tak mungkin akan kembali lagi
" Bukankah kita saat ini hidup pada masa sekarang " Mengapa
tak memikirkan yang sekarang " A dakah yang ada sekarang ini
lebih jelek dari yang telah lalu " Mengapa tuan hendak
mencegah kemati-matian agar sang Surya jangan tenggelam
dibalik gunung" Bukankah keesokannya, surya pasti akan
terbit pula" Dan bukankah surya pagi itu jauh lebih indah,
lebih menggairahkan semangat dan lebih mencerahkan
kehidupan daripada mentari senjakala yang lemah kekuningkuningan warnanya itu ?"
Orang aneh itu terbeliak. Tak pernah disangkanya bahwa
anakmuda yang masih begitu muda dan tampaknya seperti
pemuda desa, ternyata dapat melantangkan pembicaraan
yang tepat dan tajam. "Kemudian soal kedua, yakni soal sakithati kepada raden
Wijaya yang menghianati raja Daha dan membunuh berpuluh
senopati dan mentri Daha" kata Dipa pula "Itupun bukan lain
hanya sekedar melakukan balas kepada apa yang raja Daha
lakukan terhadap baginda Kertanagara, ayahanda mentua
raden Wijaya. Bukankah tak kurang-kurang prabu Kertanagara
melimpahkan kebaikan kepada raja Jayakatwang bahkan
sampai putera raja Jayakatwang yang bernama raden Ardaraja
itupun diambil menantu oleh baginda Kertanegara. Tetapi raja
Jayakatwang tetap menyerang Singasari dan membunuh
baginda. Alasan raja Jayakatwang karena baginda Kertanagara
juga menyerang Daha. Jadi kesemua peristiwa itu hanyalah
merupakan lingkaran akibat yang berkait dengan sebab ...",
"Tentang tewasnya berpuluh senopati dan mentri Daha, itu
memang sudah jamak terjadi dalam peperangan. Karena
bukankah para senopati raden Wijaya pasti dibunuh oleh
senopati Daha apabila mereka diam saja" Perang berarti
membunuh atau dibunuh. Dan perang adalah akibat dari suatu
peristiwa negara, bukan peribadi sehingga tak ada dendam
peribadi" Dipa melanjutkan pula "oleh karena itu aku tak dapat
menerima alasan yang tuan kemukakan"
Agak kemerah-merahan wajah orang aneh itu dikala
mendengar jawaban Dipa. Untunglah karena kepala dan
mukanya tertutup oleh. selubung kain hitam, tak dapatlah
kelihatan bagaimana perobahan air mukanya.
"Ketahuilah hai anakmuda yang bernama Gajah" seru orang
itu dengan nada getar "yang penting tujuan kami yalah akan
mengembalikan kejayaan kerajaan Daha. Memang tak layak
apabila aku berusaha mencegah silamnya surya senja karena
esok hari surya itu akan terbit pula. Dan menurut katamu,
surya yang terbit esok hari, lebih indah dan gemilang dari
surya senja itu. Tetapi surya senja yang silam itu, juga surya
esok hari yang akan terbit. Beda dengan Daha. Daha
tenggelam, mengapa yang timbul Majapahit, bukan Daha pula.
Yang kukehendaki, yang timbul itu Daha pula sesuai dengan
surya esok hari itu"
Dipa tak mau kalah, serunya "Sesungguhnya tiada bedanya
tamsil surya dengan kerajaan itu. Surya satu, demikianpun
kerajaan. Hanya satu yalah kerajaan Jawadwipa. Adakah
kerajaan itu masanya berada di Daha atau Singasari atau
Majapahit, tidaklah banyak bedanya dengan surya pagi,
tengah hari dan petang"
"Hah, pandai juga engkau bersilat lidah, Gajah. Tampaknya
memang samalah kerajaan itu yakni sebuah kerajaan
Jawadwipa. Tetapi kenyataan memang beda antara Daha,
Singasari dan Majapahit itu. Memang kita ini manusia semua,
sama hitam rambut kita, tetapi tak samalah pendirian dan
pikiran kita" "Oleh karena itu, haruslah ketidak persamaan itu
dipersamakan. Untuk mempersamakan suatu kesatuan maka
timbullah kerajaan Majapahit"
"Jangan banyak bicara lagi, anakmuda" seru orang aneh itu
geram "pendirian Wukir Polaman sudah jelas. Siapa yang
bukan kawan, dia itulah lawan"
"Kutolak pendirian semacam itu" seru Dipa pantang
mengalah "pendirianku bukan didasarkan lawan atau kawan
tetapi pada kebenaran. Kawan sekalipun kalau salah, tetap
salah. Tetapi sekalipun lawan, kalau memang benar, kita harus
menghormatinya" Pada dua buah lubang kain kerudung yang diperuntukkan
bagian mata dari orang aneh itu tampak berkilat-kilat
memancarkan api. Rupanya orang itu memang marah.
"Jangan banyak bicara, engkau memilih menjadi kawan atau
lawan Wukir Polaman"
"Tidak semuanya" sahut Dipa.
"Pendirian Wukir Polaman sudah tegas. Bukan kawan
berarti lawan. Tak ada pilihan yang ketiga. Pendirian semacam
yang engkau katakan itu, kami golongkan pada lawan"
Dipa menghela napas, "Ah, aku tak mengandung anggapan
begitu. Namun kalau tuan menganggap begitu, akupun tak
dapat berbuat apa-apa"
"Tangkap pemuda itu" seru orang aneh kepada anak-anak
muda anggauta Wukir Polaman. Serempak beberapa anak
muda menyerbu Dipa dengan senjata mengacung.
"Aku minta supaya pertempuranku dengan Windu Janur
yang belum selesai tadi supaya dilanjutkan. Sebagai syarat
apabila aku menang, kuminta kebebasan anakmuda kawanku
itu" Tetapi orang aneh itu tertawa jemu "Tidak, tiada lagi
pertempuran, kecuali apabila kalian hendak coba melawan
anak buah Wukir Polaman yang menangkap kalian"
Sekonyong-konyong masuklah seorang anakmuda pendatang baru, langsung menghadap di hadapan orang aneh
"Bapak, kami akan menyampaikan surat dari kawan2 kita di
Daha" Setelah selesai membaca, wajah orang itu mengerut kejut.
Ia merenung dan beberapa saat kemudian memberi isyarat
supaya Windu Janur datang ke hadapannya. Setelah Windu
Janur berada di hadapannya, orang aneh itu lalu membisiki
beberapa patah kata kepada anakmuda itu. Tampak wajah
Windu Janur pun mengerut ketegangan. Orang aneh itu
membisikinya pula dan Windu Janur tampak menganggukkan
kepala. "Ketahuilah wahai Kuda Anjampiani dan Gijah" kata Windu
Janur "bapak pimpinan Wukir Polaman memutuskan untuk
menepati janji kepada anakmuda yang menyebut dirinya
bernama Gajah. Kalian berdua boleh bebas tinggalkan tempat
ini. Tetapi harus dengan syarat kepala kalian diselubungi kain
hitam dan diantar sampai di luar."
Tampak orang aneh itu membisiki beberapa patah kata ke
dekat telinga Windu Janur. Sesaat kemudian Windu Janur pun
berseru pula kepada Anuraga "Tetapi ingatlah, apabila engkau
jatuh ke tangan kami lagi, janganlah engkau mengharapkan
pengampunan pula!" Demikian di bawah kekuasaan sekian banyak anggauta
Wukir Polaman, Anuraga dan Dipa terpaksa merelakan kedua
matanya ditutup dengan kain hitam lalu diselubungi pula
dengan kain hitam, dari kepala sampai menutup mukanya.
Baik Anuraga maupun Dipa, gagal untuk memperhatikan
lorong yang dilaluinya. Pada waktu masuk, Anuraga dan Dipa
merasa seperti mendengar gemuruh air terjun menumpah.
Begitu pula tanah yang dilaluinya teraba lembab. Tetapi pada
perjalanan keluar itu, sama sekali mereka tak pernah
mendengar suara air tumpah dan tanah lembab.
Anakbuah Wukir Polaman yang diperintah mengantar kedua
orang itu ke luar dari guha markas mereka pun tak pernah
bercakap cakap. Anuraga dan Dipa benar-benar seperti
berjalan di sebuah kuburan yang sunyi dan gelap gulita.
Sepengunyah sirih lamanya, Anuraga dan Dipa seperti merasa
berada di tempat yang agak terang dan terbuka.
"Kami hanya dapat mengantar sampai di sini. Selanjutnya
terserah kepada nasib kalian ..."
Anuraga dan Dipa terkejut heran mendengar ucapan yang
aneh dari anakbuah Wukir Polaman itu. Mungkinkah mereka
hendak dilepas dalam keadaan begitu saja"
Belum berapa lanjut Anuraga dan Dipa menimang-nimang
sekonyong konyong tengkuk keduanya telah dihantam dengan
sepotong gada kayu galih pohon kamal atau asam. Hantaman
itu tak tersangka-sangka dan dilakukan dengan tenaga kuat.
Seketika Anuraga dan Dipa menggelepar jatuh ke tanah tak
ingat diri lagi. "Jangan, Bagaskara" tiba-tiba salah seorang pengantar
mencegah kawannya, Bagaskara, yang hendak menabas
dengan pedang. "Mengapa kakang Munggingkara" Bukankah lebih baik
kedua orang ini dilenyapkan saja agar jangan mereka sempat
untuk mengobrol membanggakan diri karena dapat
mengalahkan anakbuah Wukir Polaman?" tanya Bagaskara.
"Tetapi bapak tidak memberi perintah untuk membunuh
melainkan untuk mengantar"
"Ah, masakan bapak tahu kalau kita bunuh mereka?"
bantah Bagaskara yang rupanya masih marah sekali atas
kekalahan yang dideritanya.
"Ah, janganlah Bagaskara" kata Munggingkara "berat
akibatnya apabila perbuatan kita ini diketahui bapak"
"Ah, akulah yang bertanggung jawab, kakang" Bagaskara
masih tetap ngotot. Rupanya tak pernah ia melupakan
kekalahannya dari Dipa. "Jangan Bagaskara" cegah
Munggingkara "jika hendak
menganiayanya, cukuplah dengan lain cara. Ikat tubuh
mereka pada dua ekor kuda
dan lepaskan kuda itu ke dua arah. Kalau bernasib baik, mereka tentu tertolong
tetapi kalau memang jelek
nasib, mereka tentu akan terjerumus ke dalam jurang"
Bagaskara setuju. Yang penting asal dapat mencelakai Dipa. Cara apapun bukan soal.
Demikian mereka segera melaksanakan rencana itu.
Disiapkannya dua ekor kuda. Anuraga dinaikkan dan diikat
pada seekor kuda dan Dipa pada seekor kuda lain. Mereka
direbahkan menelungkupi punggung kuda, kedua tangan dan
kaki diikat dengan perut kuda. Brahmana Anuraga dilepaskan
ke arah selatan dan Dipa ke arah barat.
Demikianlah apabila dendam berkecamuk dalam dada
orang. Terutama anakmuda yang masih panas darahnya.
Mereka dapat melakukan penganiayaan dalam cara yang
kejam. Dendam sering menghanyutkan kesadaran pikiran dari
sifat2 keksatryaan dan keutamaan..
Maka brahmana Anuraga yang terkatung-katung di atas
punggung seekor kuda hitam, pun masih tak sadarkan diri.
Dan kuda yang membawanya itupun mencongklang tanpa
terkendali. Binatang itu lari menyusur sepanjang jalan yang
merentang jauh ke selatan dan tak lama lenyap ditelan
kegelapan. Demikian pula dengan Dipa yang menuju ke barat.
Sesungguhnya, walaupun nadanya lebih banyak cenderung
berselubung maksud buruk, namun apa yang dikatakan
Munggingkara tadi memang benar. Dalam keadaan pingsan,
diikat pada punggung seekor kuda yang lari, memang
berbahaya sekali. Apabila bisa selamat, karena ditolong orang
atau karena kuda itu berhenti, itu memang menandakan suatu
lambang nasib yang baik. )o-dw,kz-mch-o( II Adakah hal itu memang sudah garis hidupnya ataukah
hanya secara kebetulan ataupun suatu keajaiban ataupun apa
saja namanya. Namun yang nyata pada saat kuda hitam yang
membawa tubuh Anuraga membiluk sebuah tikung jalan, dua


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sosok tubuh berhamburan loncat dari balik segunduk batu
menyambar tali kendali kuda itu dan menghentikannya. Kuda
meringkik dan melonjak-lonjak tetapi orang itu amat kuat
sehingga kuda tak mampu meronta-ronta.
"Hai, seorang brahmana" seru salah seorang yang
menghampiri sosok tubuh di atas punggung kuda itu. Cepat ia
membuka tali ikatan brahmana dan membawanya ke tepi
jalan. Setelah diberi pertolongan, Anuraga pun sadar. Ia
terkejut melihat dua orang pemuda berada di sekelilingnya.
Bergegas-gegas ia bangun.
"Ki brahmana" kata salah seorang dari kedua orang muda
itu "harap jangan banyak bergerak dahulu. Tuan menderita
luka" Cepat Anuraga menyadari apa yang telah dialami. Dan kata
kedua anakmuda yang bernada bersahabat itu, cepat pula
memberi kesan bahwa merekalah yang menolongnya. "O"
segera ia memberi hormat "terima kasih atas pertolongan
andika berdua" Kedua anak muda itupun mendapat kesan baik terhadap
brahmana yang dihadapinya. Wajahnya yang cakap dan
terang, nadanya yang lembut dan tenang, menimbulkan rasa
perindahan. "Ah" jawab salah seorang yang berkulit kuning
langsap, "sudah jamak adat hidup itu tolong menolong. Tetapi
bagaimana ki brahmana sampai terikat di atas punggung kuda
itu?" Anuraga tak lekas menjawab melainkan memandang kedua
anakmuda itu. Kemudian ia pejamkan mata merenung. Apabila
ia menceritakan apa yang dialaminya, tentu akan berlarut
larutlah cerita itu. Siapa kedua anakmuda itu, ia belum-kenal
sehingga kuranglah perlu untuk menceritakan hal itu. "Ketika
berjalan melalui sebuah hutan, aku telah disergap oleh
segerombolan penjahat. Setelah mendapat siksaan kemudian
aku dipukul sampai pingsan"
"O" pemuda berkulit kuning langsap itu men-dcsuh, "aneh,
bukankah mereka tahu bahwa tuan seorang brahmana "
Mengapa sampai juga hati mereka untuk menganiaya tuan?"
"Ya, karena aku hendak menolong seseorang yang menjadi
korban mereka. Mereka marah dan memukul aku"
"Hm, rupanya di perbatasan Daha, Singasari dan Majapahit,
masih banyak gerombolan-gerombolan liar yang berkeliaran"
kata pemuda yang memelihara kumis.
"Adakah tuan berdua tadi hanya menolong diriku seorang"
Artinya, apakah tiada lain orang lagi yang berada di atas
punggung kuda itu?" tiba-tiba Anuraga teringat akan Dipa dan
menanyakannya. , Kedua anakmuda itu gelengkan kepala "Hanya tuan sendiri.
Adakah tuan berkawan"
"Ya, seorang anakmuda" sahut Anuraga lalu tiba-tiba
kerutkan dahi. Adakah Dipa masih ditawan mereka" Atau
apakah Dipa juga. mengalami perlakuan seperti dirinya" Ketika
membayangkan kemungkinan orang-orang Wukir Polaman
lebih membenci Dipa karena Dipa telah mengalahkan dua
orang anggauta mereka, seketika memberingaslah wajah
Anuraga. "Hai, hendak ke manakah tuan?" kedua pemuda itu terkejut
ketika melihat Anuraga melenting berdiri terus loncat lari ke
arah utara. Kedua anakmuda itu berusaha untuk menghadang.
Anuraga bingung dan cemas. Belum pernah ia segugup
seperti saat itu. Sambil bergerak menyelinap ke samping,
cepat ia melalui kedua anakmuda itu lalu lari sekencangkencangnya.
"Hai, ki brahmana, tunggulah dulu!" kedua anakmuda itu
makin heran dan terkejut melihat ulah Anuraga yang
mengherankan itu. Mereka menduga brahmana itu tentu
hendak mencari kawannya. Maka merekapun mengikuti di
belakangnya. Bahkan berusaha untuk menyusul lari brahmana
itu. Tetapi alangkah kejut mereka ketika mereka tak mampu
menyusul. Betapapun sudah dikerahkannya seluruh tenaga
untuk mengencangkan larinya, namua masih tertinggal di
belakang brahmana. Bahkan makin lama makin jauh tertinggal
di belakang. "Bagaimana kakang Hesthi" kata pemuda yang memelihara
kumis "apakah kita tetap mengejarnya?"
Pemuda kuning langsat yang disebut Hesthi itupun
menyahut "Agaknya ada suatu rahasia aneh pada diri
brahmana itu. Baiklah, kita ikuti dia"
Beberapa saat kemudian keduanya melihat brahmana itu
berhenti di tepi sebuah hutan, berdiri tegak memandang ke
sekeliling dengan penuh perhatian.
Kedua pemuda itu segera menghampiri tetapi mereka tak
mau mengganggu brahmana itu dan melainkan berdiri
beberapa langkah dari tempat brahmana.
"Aneh" beberapa saat kemudian Anuraga berkata seorang
diri "mengapa tak tampak suatu jejak dari tempat mereka?"
Tampak wajah Anuraga mengerut tegang. Ia mulai berjalan
hilir mudik di sekeliling tempat itu seperti mencari sesuatu.
Akhirnya ia hentikan langkah dan menghela napas. "Aneh,
sungguh aneh ...." Rupanya karena melihat brahmana itu seperti orang yang
putus asa maka pemuda kuning langsat yang disebut Hesthi
tadi, melantang kata, "Ki brahmana, apakah yang tuan cari "
Dapatkah kami membantu tuan?"
Anuraga berpaling, "O, kalian menyusul juga" tiba-tiba ia
kerutkan dahi, katanya pula, "aku merasa heran mengapa
kalian tak melihat kawanku yang seorang itu. Padahal jelas dia
bersama-sama dengan aku."
"Ki brahmana" kata Hesthi "mengapa tuan tak mengatakan
berterus terang kepada kami" Darimanakah tuan dan
mengapa sampai terikat di atas punggung kuda?"
Anuraga sebenarnya mempunyai kesan baik terhadap
kedua anakmuda itu. Tetapi saat itu pikirannya sedang
diselubungi oleh kecemasan akan diri Dipa. Sedemikian besar
rasa cemas itu menghantui benaknya sehingga mudahlah ia
tersinggung rasa prasangka. Ucapan Hesthi yang menyatakan
keinginan hati untuk mengetahui peristiwa yang menimpah diri
Anuraga, telah ditafsirkan salah oleh brahmana itu. Dan
penafsiran itu lebih banyak dipengaruhi oleh rasa cemas dan
gelisah. "Ki sanak" katanya "kalianpun agaknya tak mau berterus
terang kepadaku ...."
"Dalam soal apa, tuan?" Hesthi terbeliak.
"Soal pemuda yang bersama aku itu" Tak mungkin kalian
tak melihatnya" kata Anuraga.
"Benar, tuan brahmana, kami memang tak melihat lain
orang kecuali tuan seorang" kata Hesthi.
"Cobalah kalian katakan, siapakah kalian berdua ini" Dari
mana dan hendak menuju ke mana ?" Anuraga mulai
mengajukan pertanyaan yang makin lanjut.
Hesthi menjawab "Kami berdua dari desa hendak menuju
ke pura kerajaan" "Dengan tujuan?"
"Ah, hanya sekedar melihat-lihat keadaan pura Wilwatikta
yang ramai" Anuraga tertawa "Hm, mungkin keteranganmu itu benar.
Tetapi kebenaran itu terbentur dengan kenyataan yang
meragukan. Pertama, melihat wajah dan dandanan kalian
berdua, mustahil orang dapat menerima keterangan bahwa
kalian ini pemuda dari desa. Kedua, kalau hendak melihat-lihat
keramaian pura kerajaan, mengapa kalian membekal senjata
tajam" Dan ketiga, dengan dapat menyusul lariku tadi, jelas
kalian tentu memiliki ilmu kepandaian yang bagus"
"O, ki brahmana tak percaya kepada keteranganku?" Hesthi
menegas. "Harap jangan memaksakan kepercayaan pada orang" kata
Anuraga. Tiba-tiba pemuda yang memelihara kumis menyelutuk, "Ki
brahmana, apa yang telah dikatakan kakang Hesthi itu
memang benar. Kalau engkau tak percaya, silahkan tuan
hendak bertindak bagaimana kepada kami!"
"Parandiman" seru Hesthi ketika mendengar kawannya
mengucapkan kata-kata yang bernada tantangan kepada
brahmana itu, "jangan bersikap kasar terhadap seorang
brahmana" "Kakang Hesthi" sahut pemuda yang bernama Parandiman
itu "memang kita wajib menghormati kepada seorang
brahmana. Tetapi kita lebih wajib harus menghormat kepada
kebenaran. Terus terang, aku makin mencurigai tingkah laku
brahmana ini, kakang"
"Parandiman ...."
"Bagus, anakmuda, engkau tampaknya lebih jujur dan lebih
berani" Anuraga cepat merebut kata-kata yang hendak
diucapkan Hesthi "coba, katakanlah siapa diri kalian ini!"
"Tidak perlu kuulang, tadi telah diterangkan oleh kakangku"
sahut Parandiman "siapakah sebenarnya tuan ini?"
Dalam keadaan pikiran jernih, tentu takkan Anuraga akan
sekeras itu nadanya. Tetapi karena ia sibuk memikirkan diri
Dipa yang tak berketentuan rimbanya itu, perasaannya pun
cepat tersinggung akan kata-kata dan sikap Parandiman
"Silahkan pergi, jangan menganggu aku !"
Parandiman tertawa, "Justeru karena tuan berkata itu,
maka kamipun makin tertarik untuk mengetahui diri tuan.
Memang benar tuan brahmana, bahwa kami membekal
senjata dan bahwa kamipun hendak menuju ke pura kerajaan.
Senjata yang kami bekal itu, bukan melainkan untuk membela
diri dari gangguan penjahat tetapi pun untuk memberantas
setiap peristiwa dan manusia yang kami anggap berbuat tak
benar" "Engkau anggap aku kurang benar ?" Anuraga menegas.
"Sikap dan tingkah laku tuan mendorong kami kepada
tebing dugaan Semacam itu" sahut Parandiman....
Merah wajah Anuraga. Ia makin tegang. Belum berhasil
mencari jejak Dipa, saat itu ia diganggu pula oleh dua orang
anikmuda. "Wahai anakmuda, rupanya tulangmu amat keras
sehingga engkau enggan memandang layak pada orang.
Marilah kita lemaskan urat dan kencangkan tulang2"
"Ho, brahmana" seru Parandiman "memang melihat caramu
berlari tadi kami menarik kesimpulan bahwa engkau bukan
seorang brahmana biasa. Dan menyaksikan betapa hebat
engkau mengatakan dirimu, makin menambah kuat dugaan
kami bahwa engkau seorang brahmana yang tak wajar. Baik,
mari kita bermain-main dengan tangan kosong"
Demikian kesudahan akibat ketegangan dari pembicaraan
yang timbul dari kedua orang yang mempunyai pikiran
berbeda-beda, bahkan berselisih. Sebenarnya Hesthi hendak
mencegah tetapi demi mendengar brahmana itu juga
mengucapkan kata-kata tantangan, terpaksa ia membiarkannya saja. Nanti apabila pertempuran itu meningkat
pada suasana yang berbahaya, barulah ia bertindak
menghentikannya. Parandiman benar-benar tak puas melihat ulah brahmana
muda itu. Maka segera ia memasang suatu sikap dalam gaya
Sela-penangkep, kedua tangan setengah direntang, mata
mencurah pada gerak lawan. Selekas lawan bergerak, segera
akan didahuluinya untuk menerkam dan mengunci tangan
lawan. Anuraga tahu apa yang ditunggu anakmuda itu. Pikirannya
sibuk mengarah kepada diri Dipa. Maka ia memutuskan takkan
menghamburkan waktu terlibat pertempuran lama dengan
anakmuda itu. Ia harus lekas menyelesaikan pertempuran itu
dan segera mencari jejak Dipa.
Sebuah tinju tangan kanan sengaja di layangkan ke muka
untuk menumbuk dada Parandiman. Parandiman pun segera
lancarkan gerak penangkapnya. Laksana sepasang daun pintu
menutup maka kedua tangan pemuda itupun segera menjepit
tangan Anuraga dan serempak dengan itu, ia kerahkan
tenaganya untuk mengunci lengan brahmana itu sekeraskerasnya. "Hayo, berjongkoklah engkau di hadapanku ...."
Cara Parandiman menerkam lengan Anuraga memang
hebat juga. Tangan kiri mencengkeram siku lengan dan
tangan kanan mencekal pergelangan tangan lalu ditekuknya
ke bawah. Dan tampaknya Anuraga seperti benar-benar
terjebak dalam terkaman orang. Tetapi sekonyong-konyong
tangan kiri brahmana itu menyambar siku lengan kanan
Parandiman lalu dipijatnya keras-keras.
Parandiman terkejut sekali. Belum sempat ia menekuk
pergelangan tangan lawan ke bawah, siku lengannya telah
dijepit oleh tangan brahmana yang laksana besi kerasnya.
Seketika tangan kanannya terasa linu dan lunglai sehingga tak
kuasa lagi mencekal pergelangan tangan lawan. Setelah
terlepas dari cengkeraman tangan Parandiman, secepat kilat
Anuragapun menekuk sikunya ke bawah dan sekonyongkonyong disongsongkan ke muka mencengkeram leher
Parandiman. "Uh ...." Parandiman mendesuh kejut ketika lehernya telah
tercengkeram oleh tangan Anuraga, sedang tangan kanannya
pun telah dikuasai brahmana itu. Dan pada lain kejab, tampak
wajah pemuda itu makin pucat ketika lehernya terasa
mengencang sehingga pernapasannya tersekat sekat. Apabila
Anuraga sedikit memperkencang cekikannya, putuslah sudah
napas Parandiman. Pada saat Anuraga tertumbuk pandang pada wajah
Parandiman yang sepucat kapur, tiba-tiba tersentaklah pikiran
Anuraga dari suatu kegelapan. Kegelapan batin yang
dirangsang oleh nafsu amarah. Ia marah karena merasa
terganggu oleh pemuda itu yang menghambat waktunya
untuk mencari Dipa. Hanya karena sibuk dalam kecemasan
memikirkan diri Dipa lah maka ia sampai hampir melakukan
sesuatu yang tak disadarinya. Tetapi untunglah wajah dan
mata Parandiman yang memancarkan dendam penasaran itu
telah menembus dinding sanubari Anuraga dan menyibak
serabut halus dari hati nuraninya. Hati nurani seorang manusia
dan seorang brahmana. Ketukan nurani itu telah membukakan pintu kesadaran dan
mengendapkan ketegangan nafsu amarahnya. Tangan pun
mulai naengendor. Tetapi belum sempat ia melepaskan
cekikannya, tiba-tiba bahunya telah dicekal oleh sebuah
tangan dan disentakkan sekuat-kuatnya ke-belakang.
"Brahmana, jangan membunuh kawanku ....!"
Jarak waktu antara timbulnya kesadaran pikiran Anuraga


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan terkaman orang dari belakang itu, hanya terpisah
sekejab mata. Pada saat Anuraga mengendorkan tenaganya
itulah maka bahunya telah disentakkan ke belakang sehingga
ia tak sempat mengerahkan tenaga untuk bertahan diri dan
harus terlempar, terhuyung-huyung hingga beberapa langkah
ke belakang dan hampir pula kepalanya tertumbuk pada
batang pohon. Untunglah ia dapat menguasai diri.
Anuraga cepat berkemas menegakkan keseimbangan diri
lalu memandang kemuka. Tampak dihadapannya pemuda
Hesthi menghunus pedang dan memandangnya dengan mata
berapi-api. "Brahmana, jelas engkau bukan seorang brahmana
sejati. Siapa engkau !" teriak pemuda itu sambil menudingkan
ujung pedang. Agak merah wajah Anuraga menerima dampratan itu. Ia
malu pada dirinya sendiri karena hampir saja membunuh
seorang anakmuda yang tak dikenalnya. Padahal kesalahan
anakmuda itu belumlah setimpal dengan sebuah pembunuhan.
"Ya, maafkan kekhilafanku, anakmuda" secara ksatrya,
Anuraga mengajukan permintaan maaf.
Kini Hesthi menolak anggapannya semula bahwa terhadap
seorang brahmana harus bersikap menghormat. Ia merasa
kecewa dengan ulah brahmana yang dihadapinya itn.
"Tidak perlu meminta maaf, brahmana" serunya dengan
nada getas "karena belum tentu engkau dapat membunuh
kawanku. Sekarang sudah terlambat untuk menolak kenyataan
bahwa engkau seorang brahmana yang menyimpang dari
sifat2 keberahmanaanmu. Oleh karena itu, engkau harus
berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu"
"Ah, mengapa engkau hendak memaksa aku mengulang
kesalahanku tadi?" seru Anuraga.
"Janganlah seekor harimau mencoba berselimutkan kulit
kambing. Karena suaranya tetap harimau jua. Wahai harimau,
betapapun engkau mengenakan jubah ke berahmannan,
namun ulahmu itu tetap menyatakan sifatmu yang aseli" seru
Hesthi. Anuraga menghela napas. Dan makin beratlah rasa hatinya
manakala pandang matanya tertumbuk akan kehadiran
Parandiman di sisi Hesthi. Pun pemuda Parandiman itu telah
siap dengan sebatang pedang kang-kam di tangannya.
Diam-diam Anuraga mengeluh dalam hati karena melihat
sikap kedua anakmuda itu. Ia menyadari bahwa tindakannya
tadi memang mudah membangkitkan amarah dari anakmuda
yang masih berdarah panas. Untuk menjelaskan dan meminta
maaf, tentulah mereka akan menolak. Dan apabila ia melayani
tindakan kedua anak muda itu, tentulah akan timbul suatu
pertempuran. Pertempuran dengan menggunakan senjata
tajam, mudah melahirkan peristiwa berdarah.
"Ah" desuhnya lalu diam merenung. Sesaat kemudian ia
mengambil keputusan. "Ki sanak berdua, sudahlah, jangan
kalian menarik panjang peristiwa ini. Aku bersedia
menghaturkan maaf atas kekhilafanku tadi" serunya dalam
usaha yang terakhir. Parandiman mendahului dengan sebuah tertawa panjang.
"Ha, ha, mengapa secepat itu engkau kehilangan
kegagahanmu, brahmana" Hayo, tunjukkanlah keksatryaanmu
lagi, kami senang sekali berhadapan dengan seorang
brahmana yang digdaya"
"Ah, anak muda....."
"Brahmana" tukas Parandiman "sudahlah, tak perlu engkau
merengek dan melelapkan hati kami dengan rangkaian katakata lembut. Bersiaplah dengan senjatamu agar engkau
jangan mati dengan sia-sia!"
Namun Anuraga hanya menghela napas dan menggelengkan kepala. "Tidak, anakmuda. Kita sebelumnya
tak kenal mengenal dan tak mengikat dendam permusuhan
suatu apa. Bahkan kalian telah menolong diriku. Bagaimana
aku sampai hati untuk berkelahi dengan kalian lagi?"
"Hm" dengus Hesthi "apabila aku tak keburu bertindak, adi
Parandiman ini tentu sudah engkau cekik mati":
Mendengar kata-kata itu, malulah Parandiman. Rasa malu
telah menimbulkan kemarahannya. Serentak ia loncat
mengayunkan pedangnya "Brahmana, sambutlah pedangku
ini....." Anuraga terkejut karena seiring kata Parandiman bergema,
sepercik kilat putih pun telah menyambar mukanya. Orang dan
pedang telah mencurah pada saat kata-katanya masih
berkumandang. Walaupun harus memuji ketangkasan lawan
namun Anuragapun harus cepat2 loncat ke samping.
Anuraga telah menetapkan suatu keputusan. Ia tak kan
melayani kemarahan kedua anakmuda itu. Maka secepat
kakinya menginjak bumi, kakinya tak berhenti melainkan lanjut
menginjak tanah untuk mengayunkan tubuh melayang
beberapa langkah jauhnya lagi. Loncatan ketigapun sudah
segera akan diayun manakala saat itu tak ada suatu perintang.
Sesosok tubuh dengan gerak loncatan setangkas belalang
melenting, menghardik. "Brahmana, jangan lari!"
Sebuah tabasan pedang yang menghamburkan deru
sambaran angin keras telah membabat kaki Anuraga.
Brahmana itu terkejut dan melambung ke atas. Tetapi lebih
terkejut pula ketika tiba-tiba pedang yang menyapu angin
kosong itu dibalikkan membelah punggungnya. Dalam
keadaan melambung di udara, sukarlah bagi Anuraga untuk
berputar tubuh. Keringat pun berderai-derai menggenangi
tubuhnya ...." Ancaman pedang maut itu benar-benar menghanyutkan
semangat Anuraga. Belum pernah sepanjang pertempuran
yang pernah dilakukan, ia menghadapi bahaya maut seperti
saat itu. Hampir ia sudah putus asa dan menyerahkan diri
pada maut manakala secara tiba-tiba benaknya tak terkilas
oleh lintasan bayang-bayang Dipa. Serentak tergugahlah
pikirannya bahwa ia harus hidup demi menolong anak itu.
Saat itu juga baru ia menyadari betapa penting arti hidup
baginya. Ia harus menolong Dipa, ia harus melaksanakan
pesan eyang Patiraga, ia harus menjaga tegaknya kerajaan
Majapahit, ia harus membangun kesejahteraan hidup rakyat.
Ia harus menunaikan tugas-tugas yang masih belum
terselesaikan .... Berbagai keharusan itu telah mengharuskan pikiran
Anuraga untuk menjaga keharusan hidupnya. Dan
mengembanglah kesadaran pikirannya untuk berusaha
menyelamatkan diri dari tabasan pedang Hesthi.
Brettt..... Dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya, Anuraga
segera menggeliatkan tubuh, meliuk ke samping. Dan
berhasillah ia terhindar dari maut yang mengerikan, menjadi
sesosok mayat yang terbelah dua. Namun usahanya itu
tidaklah seluruhnya berhasil, karena betapapun diusahakan,
tetap ia tak dapat membawa kakinya serempak mengiringkan
gerak tubuhnya. Pedang telah memapas celananya hingga
robek. Sekelumit daging pahanya pun ikut terkupas, diiring
cucuran darah yang memerah celananya.
Anuraga melayang turun ke bumi. Ia hampir tak sempat
untuk memeriksa luka pada pahanya itu karena saat itu pula
pemuda Hesthi pun sudah maju membolang balingkan pedang
dengan deras sekali. Sedang Parandiman pun juga sudah
menyusul dengan wajah memberingas buas.
Anuraga menggemeretuk geraham untuk menahan rasa
nyeri pada pahanya. Ia menyadari bahwa tak mungkin dengan
luka di paha itu dapat meloloskan diri. Dan disadarinya pula
bahwa kedua anakmuda itu sudah tak mau menerima
penjelasan apa-apa lagi kecuali ingin menyaksikan ia
bergelimpangan sebagai mayat dalam kubangan darah.
Seketika meluaplah kemarahannya yang telah mengendap
tadi. Melihat brahmana itu termenung, makin menggeloralah
semangat Hesthi dan Parandiman. Mereka menyangka
brahmana itu telah menderita luka yang membuat tenaganya
lemah, semangatnya runtuh. Dan majulah keduanya laksana
pemburu yang hendak menangkap korbannya. Masih kurang
dua langkah dari tempat Anuraga, Hesthi dan Parandiman
telah mengangkat pedang untuk mencari sasaran pada bagian
tubuh brahmana yang dianggapnya dapat mempercepat
kehancuran brahmana itu. Selangkah lagi, tibalah mereka di hadapan sang brahmana
dan pedangpun segera akan ditabaskan. Seluruh tenagapun
telah dikerahkan ke arah tangan kanannya jangan sampai
gagal. Tepat pada saat pedang kedua anakmuda itu hendak
berayun, sekonyong konyong brahmana Anuaraga gerakkan
kedua tangannya, tangan kanan diangkat ke atas kepala dan
tangan kiri ditekuk disongsongkan ke muka dada dan
dessss..... "Rajah Kalacakra .... !" serempak Hesthi dan Parandiman
memekik kaget. Sedemikian hebat rasa kejut yang menegang
di hati kedua anakmuda itu sehingga mereka seperti terkena
pesona. Tegak mematung dan pedangnya pun berhenti di
tengah udara. Tring ....... tring ....... terdengar lengking setajam besi
ditempa palu dan terlemparlah kedua pedang anakmuda itu ke
udara lalu meluncur turun ke belakang dan jatuh ke dalam
semak belukar. Sedang Hesthi dan Parandiman bagai layang2
putus tali, terlempar beberapa belas langkah dan jatuh
terjerembab. Anuraga terkejut. Bergegas gegas ia lari menghampiri
kedua anakmuda itu. Mulut keduanya mengumur darah dan
mata memejim. Mereka pingsan. Anuraga segera memberi
pertolongan dan tak berapa lama kedua anakmada itupun
tersadar. Demi melihat brahmana muda berjongkok di
hadapannya, Hesthi dan Parandimin serta merta menelungkupi
kaki Anuraga dan menciumnya. "Duh, sang brahmana,
ampunilah kesalahan kami ...."
Anuraga terbeliak. Ia tak menyangka bahwa kedua
anakmuda yang begitu bengis hendak membunuhnya, tibatiba telah memberi sembah dengan permohonan maaf.
Anuraga mengira kedua anakmuda itu tentu jeri melihat
kesaktian ilmu pukulan Rajah Kalacakra yang dilancarkan tadi
sehingga mereka meratap ampun.
"Jangan takut, anakmuda" kata Anuraga dengan nada sabar
"aku bukan seorang pembunuh. Bangunlah agar kita dapat
bicara dengan tenang"
"Tidak, ki brahmana" Hesthi makin memperkencang
pelukannya pada kaki Anuraga "manakala engkau tak mau
memberi maaf, akupun tetap menelungkup ke tanah ......."
"Baiklah, anakmuda. Aku takkan
kepadamu. Kumaafkan perbuatanmu."
membalas dendam Diluar dugaan Hesthi menolak "Bukan itu yang kami mohon,
ki brahmana. Balaslah, bunuhlah sekalipun, aku takkan
membalas. Aku rela menerima hukuman apapun yang hendak
engkau jatuhkan asal engkau suka memberi maaf"
Anuraga kerutkan dahi "Bukankah telah kuberirnu maaf?"
"Tetapi bukan maaf yang kukehendaki melainkan maaf atas
perbuatanku menyerangmu tadi"
"O" keriput dahi Anuraga makin meliuk dalam, "lalu maaf
apakah yang kalian kehendaki dari aku"
"Apakah tuan tak merasa?"
"Bilanglah, anakmuda. Aku bersedia mendengarkan" sahut
Anuraga. "Mengapa ki brahmana tak mau menyatakan siapa diri tuan
sehingga kami telah melanggar kesalahan?" kedengaran
Hesthi setengah menyesali apa yang telah terjadi tadi.
"Mengatakan bagaimana, anakmuda?"
"Aji Rajah Kalacakra, menyatakan siapa diri tuan ....."
"Hai ....... engkau .... engkau ...." belum Anuraga
menyelesaikan kata-katanya. Hesthi pun cepat menyambung
"Ya, ki brahmana, kami berdua adalah warga Gajah
Kencana......" "Oh ..." serta merta Anuraga segera memeluk kedua
anakmuda itu dengan mesra. Setitik pun tak pernah
disangkanya bahwa kedua anakmuda itu adalah kawan
seperjuangan dengan dia, "adi berdua, kumaafkan kalian,
walaupun sesungguhnya bukan salah kalian melainkan
kesalahanku karena merahasiakan diriku"
"Ki brahmana tak salah" sahut Hesthi "memang seharusnya
demikianlah kita menjaga rahasia itu"
Kemudian mereka bertiga duduk di bawah sebatang pohon
untuk melanjutkan percakapan, "adi, namaku Anuraga"
"Aku Hesthidono dan ini" kata pemuda berkulit kuning
"Parandiman" "Adi" kata Anuraga pula "menilik wajah adi berdua,
timbullah keraguan hatiku bahwa adi berdua ini berasal dari
desa." Hesthidono tertawa "Maaf, ki brahmana. Sudah tentu
keterangan itu hanyalah suatu selubung belaka. Sesungguhnya memang tidak demikian. Kami berasal dari
pura kerajaan juga."
Anuraga terkesiap. Dan rupanya perobahan kerut wajah
brahmana itu diperhatikan oleh Hesthidono. "Ki brahmana,
sesungguhnya tak ingin kami menyebutkan keadaan keluarga
kami. Tetapi kami percaya ki brahmana tentu bersedia
melindungi rahasia itu"
"Baiklah, adi" kata Anuraga "demi kehormatanku, aku
berjanji takkan membocorkan rahasia adi berdua"
"Terima kasih" kata Hesthidono "aku, Hesthidono ini
sesungguhnya adalah putera dari Mahesa Pawagal. Dan adi
Parandiman ini putera rakryan Pamandana ..."
"Oh" tiba-tiba Anuraga mendekap kedua pemuda itu
dengan pelukan yang mesra. Hatinya terharu sekali sehingga
airmatanya berlinang linang. Hesthidono dan Parandiman
heran atas sikap brahmana itu. Namun mereka membiarkan
saja apa yang dilakukan brahmana itu "akhirnya para puteraputera dari senopati2 yang bersahabat, telah bertemu dalam


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naungan sebuah wadah. Rupanya Hyang Batara Agung telah
menggariskan hidup kepada kita untuk melanjutkan
perjuangan dari ayah kita yang tiada ...."
Hesthidono dan Parandiman terkejut mendengar ucapan
yang terakhir dari brahmana itu "Ki brahmana, adakah andika
ini ...." Anuraga mengangguk "Benar, adi. Sesungguhnya aku ini
putera Rangga Lawe dari Tuban"
"Oh" kedua pemuda itupun mendesuh kejut.
"Namaku Kuda Anjampiani" kata Anuraga pula "dan
selanjutnya sebutlah aku dengan panggilan kakang Anjampiani
atau kakang brahmana"
Kedua pemuda itupun serta merta mengiakan.
"Paman Mahesa Pawagal dan paman Pamandana adalah
kawan seperjuangan dari mendiang ramaku. Ayah-ayah kita
itu adalah tiang-tiang yang menjadi sokoguru dari keraton
Tikta-Sripala" Hesthidono menghela napas "Ah .... tetapi paman Rangga
Lawe telah menerima anugerah yang sedemikian mengenaskan." "Tak mengherankan, adi" sambut Anuraga serentak
"memang sudah jamaklah terjadi pada orang yang
berkedudukan tinggi. Mudah tergoda oleh angin prahara. Dan
memang perangai rama itu keras. Rela berkalang tanah
daripada berkisar dari pendirian"
"Keras tetapi jujur dan bertanggung jawab" seru Histhidono
"apabila paman Rangga Lawe masih hidup, tak mungkin
kawanan durna2 mampu berkembang biak seperti sekarang
ini" Anuraga tertawa hambar "Itulah adi. Rupanya Hyang Batara
Agung menghendaki kita untuk tampil. Dan kiranya adi berdua
tentu takkan ingkar dari kewajiban luhur itu, bukan ?"
"Kakang brahmana" tiba-tiba Parandiman berkata
"perjuangan kita ini bukanlah perjuangan menuntut balas,
bukan pula perjuangan meluhurkan nama keluarga ataupun
memburu kedudukan. Tetapi suatu perjuangan yang
mempunyai landasan juang yang wajar. Bahwa negara
Majapahit harus tegak sepanjang masa. Andai ayah kita tak
gugur dalam kemelut berdirinya kerajaan Majapahit, pun kita
tetap akan berjuang menurut panggilan tanah air kita"
"Bagus adi Parandiman" seru Anuraga "selama Majapahit
masih memiliki putera-putera seperti adi berdua, takkanlah
Wilwatikta lenyap dari permukaan bumi. Memang demikianlah
hakiki perjuangan itu, adi. Perjuangan adalah suatu keyakinan.
Bukan suatu pamrih, bukan pula suatu tuntutan."
Demikian telah terjalin ikatan bathin yang mesra dalam
menghayati arti perjuangan yang ketiga anakmuda itu sedang
melaksanakannya. "Tetapi adi Hesthi dan Parandiman" tiba-tiba Anuraga
berkata "bagaimana keadaan paman Mahesa Pawagal dan
paman Pamandana" Bukankah kedua beliau itu menyertai
rakryan Nambi ke Lumajang?"
Hesthidono dan Parandiman tertegun. Wajah mereka
berkabut selaput awan kedukaan.
"Adakah paman Mahesa Pawagal dan Pamandana ....."
"Kedua rama kami menyertai rakryan Nambi ke alam yang
kekal" tukas Hesthidono dengan kepala menegak dan nada
semarak "beliau2 telah berpuluh tahun mengabdi kepada
Majapahit. Biarlah mereka menikmati kemenangan di alam
sonya runyi" "Oh" Anuraga menundukkan kepala, pejamkan mata
memanjatkan doa akan arwah kedua mentri setya dari
Majapahit yang telah gugur dalam peperangan di Lumajang.
Peperangan yang mengharukan dan menyayat hati karena
harus berperang melawan sri nata Jayanagara, junjungan
mereka sendiri, "semoga pengorbanan beliau-beliau itu akan
menjadi tumbal bagi tegaknya kerajaan Majapahit, adi."
Kemudian atas pertanyaan Anuraga maka Hesthidono
menerangkan. "Setelah jelas baginda Jayanagara hendak
menyerang Lumajang, maka diam-diam rama telah mengirim
pengalasan untuk memberitahu kami, agar lekas2 berkemas
tinggalkan pura kerajaan. Suatu perjalanan yang cukup berat
dikala kami harus membawa ibu dan keluarga, lolos dari pura.
Untunglah beberapa kawan membantu dengan sekuat keselamatan keluarga kami.
peristiwa itu, benar seperti lolos
dari Gajah Kencana telah tenaga untuk melindungi Ah, kalau mengenangkan dari lubang jarum....."
"Adakah semua keluarga dari para mentri dan senopati
yang menyertai mahapatih Nambi di Lumajang, dapat
meloloskan diri dari hukuman kerajaan?" tanya Anuraga.
Hesthidono menghela napas, "Hampir saja, kakang
brahmana, darah akan bergenangan di rumah kediaman para
mentri narapraja yang dituduh memberontak di Lumajang itu.
Untunglah pimpinan Gajah Kencana telah bertindak tegas dan
berani. Kawan2 kita diperintahkan untuk mengadakan tekanan
kepada Dharmaputera yang di kepalai rakryan Kuti, agar
baginda berkenan memberi pengampunan kepada keluarga
mentri2 yang dituduh memberontak itu. Mereka hanya diusir
dari pura kerajaan tetapi tidak diganggu jiwanya"
"Rakryan Kuti dan Dharmaputera amat berpengaruh dan
besar kekuasaannya. Bagaimana mungkin anak-anak Gajah
Kencana dapat melakukan tekanan kepada mereka?" masih
Anuraga belum yakin akan keterangan itu.
"Kawan2 kita, memang tepat seperti yang dikatakan oleh
lawan. Bahwasanya Gajah Kencana itu bagaikan sosok
bayangan. Bila orang bergerak, bayangan itu timbul. Bila
orang berhenti, bayangan itupun lenyap. Dipandang ada,
tetapi tak ada. Dianggap tak ada tetapi ada."
"Suatu tamsil yang bagus sekali, adi Hesthi" seru Anuraga
tertawa "walaupun agak berkelebihan jua"
Hesthidono dan Parandiman tertawa.
"Sepanjang pendengaran yang kutangkap" Hesthidono
melanjutkan pula "kawan-kawan kita telah mengadakan
gerakan serempak dan nekad. Ketujuh anggauta Dharmaputera telah dibayangi dengan ketat untuk diculik.
Tetapi ternyata penjagaan para anggauta Dharmaputera
terlampau kuat sehingga mereka tak berhasil melaksanakan
rencananya. Namun akhirnya mereka berhasil juga untuk mencapai
maksudnya karena dapat menangkap ra Semi. Ra Semi
semula, ikut dalam rombongan patih amangkubumi Nambi ke
Lumajang. Tetapi setelah Lumajang diserang pasukan
Majapahit, banyak mentri dan senopati yang gugur. Ra Semi
dapat meloloskan diri. Dari ra Semi dapatlah anak-anak Gajah Kencana itu
memperoleh keterangan yang banyak tentang sebab musabab
dari peperangan di Lumajang. Ternyata mahapatih Nambi
telah menderita fitnah dari patih Aluyuda sehingga dituduh
baginda hendak memberontak lalu digempur.
Walaupun miang jelatang dari peperangan di Lumajang itu
adalah patih Aluyuda namun beradanya ra Semi dalam
rombongan mahapatih Nambi, tak dapat menghapus kesan
bahwa fihak Dharmaputerapun ikut mendalangi peristiwa itu.
Ra Semi telah ditangkap dan dijadikan sandera untuk
memberi tekanan kepada ra Kuti dan Dharmaputera agar
baginda berkenan memberi ampun kepada keluarga para
mentri senopati yang ikut pada mahapatih Nambi. Apabila ra
Kuti menolak tuntutan itu, bukan saja ra Semi akan dibunuh,
pun keterangan2 rahasia dari ra Semi tentang peranan
Dharmaputera di belakang layar dalam pemberontakan di
Lumajang itu, akan diungkapkan ke hadapan baginda.
Ra Kuti terpaksa menuruti tuntutan anak-anak Gajah
Kencana. Dengan dalih bahwa keluarga dari mentri dan
senopati yang ikut pada Nambi itu sesungguhnya tak tahu
menahu tentang pemberontakan itu maka dapatlah baginda
dilunakkan hatinya dan hanya mengusir keluarga2 itu ke luar
dari pura kerajaan. Demikian Heithidono mengakhiri penuturannya.
"Lalu mengapa adi berdua hendak masuk ke dalam pura
pula?" tanya Anuraga.
"Kami akan masuk dengan menyamar" menerangkan
Hesthidono "untuk mengawasi gerak gerik Dharmaputera,
patih Aluyuda dan fihak-fihak yang hendak merongrong
kewibawaan kerajaan"
Parandiman menambah keterangan "Ada dua kepentingan
yang seiring tujuan. Gajah Kencana bertujuan menyelamatkan
keluarga para mentri senopati di Lumajang yang masih
tertinggal dalam pura kerajaan. Pun Dharmaputera bertujuan
hendak mengenyahkan pengaruh dan kekuatan Gajah
Kencana dalam pura kerajaan. Karena ra Kuti tentu
mengetahui bahwa banyaklah putera-putera senopati dan
mentri-mentri itu yang ikut dalam Gajah Kencana. Apabila
putera-putera itu ikut menyingkir bersama keluarganya,
tentulah kekuatan Gajah Kencana dalam pura kerajaan
menjadi berkurang" Anuraga mengangguk dan membenarkan.
"Apakah adi berdua tak merasa menderita atau sekurang
kurangnya merasa canggung karena harus meninggalkan
kemuliaan hidup dalam lingkungan keluarga mentri dan
senopati kerajaan lalu hidup di alam bebas yang penuh derita
dan terjunkan diri dalam kancah perjuangan yang penuh
bahaya dan derita itu ?"
Hesthidono dan Parandiman tertawa.
"Rama tak pernah memanjakan diriku" sahut Hesthidono
"sekalipun aku putera seorang senopati namun aku diharuskan
menerima peraturan2 yang berlaku pada para kawula. Artinya
kalau bersalah, akupun harus dihukum menurut undangundang yang berlaku."
"Itulah seorang ayah sejati yang mencintai puteranya dalam
arti yang sesungguhnya," Anuraga memuji "karena pada
umumnya putera-putera senopati atau mentri kerajaan yang
tinggi pangkatnya tentu menuntut perlakuan istimewa. Dan
sering pula mengandalkan kekuasaan ayahnya untuk bertindak
sewenang-wenang melanggar hukum. Hal-hal yang sedemikian itu patut disayangkan karena pada hakekatnya
akan menurunkan martabat mentri atau senopati itu sendiri di
mata para kawula." "Ramaku lebih keras lagi" Parandiman putera rakryan
Pamandana menyusul kata "sejak kecil aku sudah disuruh
belajar ilmu pada seorang pertapa di gunung. Sehingga
tidaklah terasa canggung apabila saat ini aku hidup dalam
pengembaraan" Anuraga mengangguk "Berbahagialah adi berdua karena
mempunyai rama yang dapat memberi gemblengan jiwa
keksatryanan pada puteranya"
Sejenak hening. Tiba-tiba Hesthidono teringat untuk
menanyakan tentang apa yang hendak dicari Anuraga tadi.
"Kakang brahmana" katanya "maaf apabila aku lancang
bertanya. Apakah kiranya yang membuat kakang brahmana
tadi sedemikian gelisah itu?"
Rupanya Anuraga teringat pula akan Dipa. Sejenak ia
keliarkan pandang ke sekeliling penjuru seolah-olah hendak
mengulang penyelidikannya yang belum berhasil tadi. Setelah
tak tampak suatu apa, barulah ia memberi keterangan. Ia
menceritakan semua peristiwa yang dialami bersama Dipa
ketika ditawan oleh orang Wukir Polaman.
"Setelah keluar, tiba-tiba tengkukku dipukul dengan gada
sehingga aku rubuh pingsan dan tahu2 adi berdua telah
menghentikan kuda yang membawa diriku" Anuraga menutup
penuturannya. "Hm, curang benar orang-orang Daha itu" gumam
Parandiman "mereka tentu sakit hati karena menderita
kekalahan dari Dipa"
Mendengar nama Dipa disebut, Anuraga tampak gelisah.
"Ah" desuhnya lunglai "adakah kawanan anak muda Daha itu
membunuh Dipa ?" Hesthidono dan Parandimanpun ikut tegang. Apa yang
dicemaskan brahmana itu memang bukan mustahil. Namun
untuk mengiakan, kedua anakmuda itu tak sampai hati karena
menyadari hal itu akan menambah kegelisahan Anuraga.
"Mungkin mereka tak berani membunuhnya karena takut akan
perintah pemimpin Wukir Polaman itu" Heithidono berusaha
untuk meredakan kecemasan hati A nuraga.
Anuraga merenung. Katanya sesaat kemudian "Sayang
sarang mereka itu tak dapat kuketemukan. Apabila dapat
menangkap seorang anggauta mereka, tentulah kita dapat
mengetahui keadaan Dipa. Apabila anak itu sampai dibunuh,
kita dapat memaksa orang itu untuk membawa kita kepada
markas mereka. Disitu nanti aku akan menuntut
pertanggungan jawab mereka. Tetapi apabila Dipa masih
hidup dapatlah kita gunakan orang itu sebagai sandera untuk
penukar kebebasan Dipa"
"Kakang brahmana" tiba-tiba Hesthidono berbangkit, "mari
kita cari lagi markas rahasia mereka itu"
Merekapun segera menyusup jauh ke daerah dalam namun
tak menemukan suatu jejak apapun juga. Bahkan sampai juga
mereka di tempat air terjun, memeriksa dengan teliti dan
mendapatkan sebuah terowongan besar di balik air terjun itu.
Merekapun masuk tetapi setelah beberapa belas langkah,
ternyata terowongan semacam guha itu buntu tak ada jalan
tembusannya. Akhirnya Anuraga hentikan penyelidikannya, "Ah, tetap siasia" katanya "baiklah sekarang kita mencari jejak Dipa saja"
Hesthidono mengusulkan supaya mencari ke pura kerajaan.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Parandiman menyarankan lebih baik mencari ke Daha.
"Begini adi" kata Anuraga "Dipa bekerja sebagai prajurit di
Kahuripan. Maka setelah kita tak menemukan di pura
Majapahit, baiklah kita ke Kahuripan mencari keterangan
adakah Dipa sudah kembali atau belum"
Hesthidono menambahkan pendapat "Bila di pura
Wilwatikta tak dapat menemukan Dipa, baiklah kita membagi
tugas. Kakang brahmana mencari ke Kahuripan dan kami
berdua akan menyelidiki ke Daha"
Anuraga setuju dengan usul itu. Merekapun segera
lanjutkan perjalanan ke pura Wilwatikta. Pura yang menjadi
pusat pemerintahan kerajaan Majapahit dan suar yang
memancarkan kejayaan kerajaan Jawadwipa.
Memasuki pura Wilwatikta, merupakan kenangan yang tak
mudah dilupakan bagi Hesthdono dan Parandiman. Karena di
dalam lingkungan pura itulah dahulu mereka melewatkan
kehidupan masa kanak-anak. Sehingga terjadilah musibah
yang menimpali keluarga kedua putera mentri kerajaan itu.
Setahun yang lalu, mereka terpaksa harus meloloskan diri dari
kemurkaan baginda. Apabila dahulu Hesthidono dan
Parandiman sering ke luar pesiar berkeliling pura dengan
berseri wajah. Adalah saat itu mereka masuk ke dalam pura
dengan wajah tegang hati berdebar. Apabila dahulu angguk
hormat dan tegur sapa dari para kawula yang mereka terima,
adalah sekarang mereka harus menyembunyikan diri jangan
sampai terketahui oleh rakyat. Apabila dahulu kedua pemuda
putera priagung itu selalu menjadi sasaran pandang mata dari
para dara2 dan putera-putera orang-orang berpangkat dan
berada, adalah kini keduanya harus menyelimpat bagaikan
pencuri kesiangan. Hesthidono dan Parandiman mengantarkan langkah kakinya
dengan helaan napas. Dan apabila mereka merundukkan
kepala memandang busana yang dikenakan saat itu sebagai
seorang sudra, napas merekapun berhamburan mendesus
panjang. Rupanya gerak gerik kedua pemuda itu tak lepas dari
perhatian Anuraga "Adi, mengapa kalian menghela napas?"
tegurnya. Hesthidono dan Parandiman tersentak, "Ah, tak apa2,
kakang brahmana" Namun Anuraga hanya tersenyum, ujarnya "Itulah yang
kuharapkan dari kalian, adi. Karena sesesungguhnya, apa-apa
itu hanya sesuatu menurut perasaan kita sendiri. Pada hal,
hakekatnya dari apa yang kita rasakan itu, tetap seperti
keadaannya" Hesthidono dan Parandiman terdiam.
"Misalnya, keraton Tikta Sripala yang menjulang megah itu"
kata Anuraga sembari menunjuk ke puncak bangunan ketaton
yang tinggi "tetap seperti itulah keadaannya, pada saat adi
berdua masih berdiam di pura maupun setelah meninggalkan
pura. Hanya perasaan adi berdua yang mengalami perobahan
sendiri" Hesthidono mengangkat muka, memandang Anuraga lalu
hendak menghela napas tetapi ditahannya.
Anuraga mengangguk pelahan. Rupanya ia dapat
menyelami arti pandang pemuda itu. "Tiada yang kekal dalam
mayapada ini, adi. Roda Kalacakra akan berputar seiring
dengan perputaran bumi, perobahan jaman, peredaran masa
dan pergantian musim. Dahulu rakryan Nambi, adalah patih
Amangkubumi kerajaan Majapahit yang diagungkan dan
dihormati. Tetapi sekarang dituduh sebagai pemberontak dan
dibasmi. Dahulu adi berdua adalah putera-putera priagung
yang dihormati para kawula tetapi saat ini seorang penyamar
yang takut ketahuan dirinya ..."
Anuraga terhenti sejenak lalu melanjutkan pula "Apakah
salah rakryan Nambi" Apakah salah adi berdua" Rakryan
Nambi tak salah, demikianpun adi berdua. Yang salah adalah
keadaan. Tetapi sesungguhnya keadaan itupun tak bersalah
karena berjalan -menurut sang Kalacakra atau perputaran
masa" "Aku merasa kurang memahami uraianmu, kakang
brahmana" tiba-tiba Parandiman menyelutuk "yang jelas
rakryan Nambi dan lain-lain mentri senapati di Lumajang itu
telah difitnah oleh patih Aluyuda. Dialah yang bersalah."
Anuraga mengangguk "Benar, memang patih Aluyuda
bersalah. Tetapi apabila kita menyelami, merenungkan dan
meneliti semua kejadian itu, tidaklah kita akan segera
terlempar ke dalam sebuah lautan kabut yang memekat
pandang. Semua peristiwa yang terjadi dalam dunia ini
memang sudah menjadi kodrat Prakitri yang telah digariskan
oleh Hyang Widdhi. Dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan peristiwa itu takkan lepas dari lingkaran Sebab dan
Akibat. Patih Aluyuda hanya sebagai suatu sarana untuk
melaksanakan apa yang telah menjadi kodrat Prakitri itu....."
"O," desus Parandiman agak bernada sindi. "jika demikian
patih Aluyuda itu seorang duta masakala yang berjasa ?"
"Demikianlah kita namakan dia" kata Anuraga tenang
"tetapi janganlah adi lupa bahwa setiap gerak itu tentu
menimbulkan akibat. Demikianpun setiap perbuatan, baik atau
buruk. Tentu akan datang masanya Aluyuda akan
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya itu. Ini sudah
pasti seperti surya tentu terbit dari ufuk timur dan silam ke
ufuk barat ...." "Tetapi kakang brahmana" rupanya Parandiman masih
belum menemukan jawaban yang memuaskan selera hatinya
"adakah kita akan menggantungkan pada tibanya masa itu?"
"Tidak, adi" sahut Anuraga tegas "manusia tidak dibenarkan
untuk memiliki sifat ketergantungan, kecuali kepada Hyang
Widdhi. Wajibnya manusia hidup adalah berusaha. Berpijak
pada landasan inilah maka Gajah Kencana tak pernah berhenti
dalam gerak usaha dan derap perjuangannya untuk
menyelamatkan kerajaan Majapahit. Dalam rangka itu, kita
harus berani menghadapi semua tantangan dari fihak
manapun yang hendak merongrong kewibawaan Majapahit,
termasuk patih Aluyuda."
Parandiman mengangguk. Dalam pada itu mereka pun telah
masuk ke dalam pura. Langsung mereka menuju ke rumah
kediaman bekel Asadha. Parandiman bersahabat baik dengan
bekel prajurit pura Wilwatikta itu.
Bekel Asadha agak terkejut menerima kedatangan puteraputera rakryan Pamandana dan senopati Mahesa Pawagal
serta seorang brahmana muda. Namun setelah mendengar
Pendekar Kembar 5 Sapta Siaga 10 Misteri Biola Kuno Tiga Naga Sakti 4
^