Geger Pusaka Matsuri 1
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri Bagian 1
GEGER PUSAKA MATSURI
Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
CetakanPertama Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Geger Pusaka Matsuri
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0291.50.12
l Suara itu mengaku dari Lembah Matsuri. Bergema dan cukup merindingkan bulu roma.
Arya Somar, pimpinan pasukan berkuda dari Kesultanan Praja, terpaksa membelalakkan
mata dan memandang liar ke sekelilingnya. Tak ada manusia seujung rambut pun
yang ada di situ. Tetapi, sudah dua kali Arya Somar merasa dihantam dadanya
hingga terasa perih. Bahkan yang terakhir, Arya Somar merasa ditendang dagunya
hingga bibirnya yang tebal itu berdarah. Sedangkan suara seorang perempuan masih
terdengar sesekali. Nada suara itu seperti milik seorang perempuan yang punya
kharisma tinggi.
"Kalau kau tidak mau bicara, maka kau akan mati!"
Nafas Arya Somar terengah-engah dalam ketegangan. Ia memang cepat menjadi tegang
jika mengalami sedikit keanehan yang membingungkan. Tetapi, seringkali ia mampu
menutup ketegangan itu dengan kepura-puraannya dalam bersikap tenang. Hanya
saja, kali ini, ia berhadapan dengan lawan yang tak diketahui bagaimana ujudnya.
Ia hanya mendengar nama lembah Matsuri, dan mendapat beberapa kali serangan yang
tak mampu ditangkis atau dielakkan. Arya Somar mencoba mendelikkan matanya untuk
melihat darimana arah datangnya serangan itu. Tetapi, ia tak pernah mampu
mengetahui datangnya serangan lawan. Tahu-tahu punggungnya bagai dihantam palu
godam yang berat, dan Arya Somar berguling-guling sambil memekik kesakitan.
Sebuah tendangan yang tak diketahui pemiliknya itu telah membuat Arya Somar
terguling beberapa kali. Lalu, sebuah suara perempuan terdengar lagi dengan nada
penuhwibawa: "Jangan menunggu kami tak sabar lagi. Lekas katakan, kau kah yang bernama Suro
Bodong" Atau mungkin orang lain yang bernama itu" Jika orang lain, yang mana dia Suro
Bodong" Orang yang mana"! Ayo, katakan sekarang juga!"
Arya Somar terpaksa bicara dengan suara tertahan, karena tendangan di
punggungnya bagai telah meremukkan tulang di bagian belakang tubuhnya itu.
"Suro Bodong bukanaku! Aku Arya Somar!"
"Jadi, di mana dan yang mana Suro Bodong itu?" suara tersebut semakin, bersifat
mendesak, dan Arya Somar masih tegang. Ia mengendalikan pernafasannya untuk
mengurangi rasa sakit yang diderita.
"Suro Bodong tidak ada di sini. ." katanya. "Suro Bodong sedang pergi!"
"Kau bohong, Arya Somar. Dan, aku paling benci dengan orang yang coba-coba
membohongiku. Hiiat. .!?"Aaaoow..!"
Arya Somar mengerang panjang dengan kepala mendongak ke atas, mulut ternganga
menyerukan erangan kesakitan itu. Sekali lagi, tahu-tahu ia seperti ditendang
dengan kaki yang kekar.
Dadanya bagai hendak jebol, dan nafasnya seperti tinggal seujung kuku lagi.
"Aku tahu, Suro Bodong berbadan besar dan berkumis tebal. Pasti kaulah yang
bernama Suro Bodong! Kaulah orangnya, bukan"! Kau mempunyai tubuh yang sama
dengan ciri-ciri yang kukatakan tadi. Hanya saja, mungkin kau menghilangkan
kumismu belum lama ini. Tetapi, aku.. Ira Lembayung, tidak mungkin bisa kau
kelabuhi dengan penampilanmu!"
"Aaahh. .!"
Arya Somar yang lemas jadi terpental sendiri sampai kepalanya membentur pohon
kecil yang ada di sudut taman. Malam yang gelap, sekali pun ada semburat sinar
yang membias dari lampu penerangan taman, tetapi tetap saja membuat lawan yang
mengaku bernama Ira Lembayung itu mampu menendang dengan tepat. Bahkan kali ini
sebuah pukulan yang tak diketahui asalnya telah berhasil membuat hidung Arya
Somar berdarah. Kemudian, sudut matanya pun merah karena pukulan yang
berikutnya. Malam yang sepi itu, sepertinya telah dibalut baja, hingga suara Arya Somar yang
beberapa kali terpekik sakit tidak dapat membangunkan penghuni Dalem Kesultanan
dan sekitarnya. Menyesal sekali Arya Somar keluar dari kamarnya untuk menengok
ke kandang kuda, sebab sudah beberapa kali ia mendengar suara kuda meringkik
gelisah. Kalau saja ia tidak keluar dari kamarnya, mungkin ia tidak akan
mendapat serangan aneh yang sukar dielakkan dan sukar ditangkis. Ujud penyerang
itu benar-benar tidak dapat dilihat oleh matanya, sekali pun ia sudah berusaha
membuka mata lebar-lebar.
"Aaaoow.. !"
Arya Somar mengerang lagi karena ia bagai mendapat pukulan telak di pelipisnya,
hingga menimbulkan memar yang amat menyakitkan. Arya Somar terhuyung sebentar,
kemudian jatuh lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Cukup. .! Kurasa dia memang bukan Suro Bodong."
"Sebaiknya kita geledah saja tempat ini."
"Tapiaku masih yakin kalau orang inilah yang bernama Suro Bodong."
"Bukan. Tentu bukan dia, Ira Lembayung."
Arya Somar menangkap suara perempuan yang diperkirakan lebih dari tiga orang. Ia
baru sadar bahwa sebenarnya ia dikerumuni beberapa perempuan. Hanya saja
pandangan matanya tak mampu menembus suatu dunia lain. Alam di mana perempuan-
perempuan itu berada, sepertinya dilapis kaca berkabut dan sukar dijamah. Arya
Somar tak mampu berpikir lagi lebih baik. Kepalanya pusing.
Pandangan matanya jadi semakin kabur. Beberapa pukulan dan tendangan membuat
nafasnya sesak dan penglihatannya suram.
Ia ditemukan oleh petugas perawat kuda pada keesokan harinya dalam keadaan
pingsan. Beberapa anak buahnya segera merawat Arya Somar yang bertubuh kekar kendati tak
sekekar Suro Bodong. Rasa kagetnya semakin menghentak jantung, karena ketika ia
siuman, ia mendengar suara ribut-ribut yang kedengarannya cukup kacau.
"Siapa yang menyerangmu?" tanya Ginan Sukma, orang yang menjadi wakil pimpinan
pasukan berkuda.
Dengansuara masih melemas, Arya Somar menjawab lirih:
"Perempuan yang bernama.. Ira. . Ira Lembayung..."
"Kau tahu ciri-cirinya?"
Arya Somar menggeleng. Lalu, katanya lagi:
"Ada lebih dari tiga orang yang menyerangku, tetapi semua perempuan itu tidak
bisa kusentuh."
"Kenapa?"
"Mereka tidak kelihatan. Seperti siluman di balik kaca."
Semua yang mengerumuni Arya Somar menjadi tegang. Mereka saling pandang. Mulut
mereka seakan ragu untuk melontarkan kata apa pun.
Arya Somar dihadapkan kepada Sultan Jurujagad yang kali ini berwajah lesu.
Murung tak terbendung. Namun demikian, Sultan Jurujagad masih sempat bertahan untuk menjaga
kewibawaan dan kesabarannya. Ada beberapa hal yang ditanyakan kepada Arya Somar,
dan sama halnya dengan yang lain, Sultan itu pun tertegun ketika Arya Somar
menjelaskan bahwa beberapa perempuan yang menyerangnya tadi malam sulit dilihat
oleh mata. "Mereka sepertisiluman, Kanjeng."
"Tak ada ciri-ciri yang bisa kau ingat?" tanya Patih Danupaksi.
"Tidak ada, kecuali nama Ira Lembayung dan nama tempat: Lembah Matsuri."
"Lembah Matsuri. ."!" Eyang Penembahan Purbadipa menggumam begitu mendengar nama
tempat yang disebutkan Arya Somar. Semua mata segera tertuju Eyang Penembahan.
Arya Somar sempat menyela kata: "Mereka mencari Suro Bodong. Bahkan aku
disangkanya Suro Bodong," Arya berpaling kepada Ginan Sukma yang bersila di
sampingya. Sementara itu, tujuh anak buah Arya Somar ikut hadir pula dalam
paseban itu. "Eyang tahu nama itu?" tanya Sultan Jurujagad dengan lesu, dan hal ini
membingungkan Arya Somar: mengapa Sultan sampaiselesu itu" Adakah hal lain yang
berkaitan dengan dirinya"
Eyang Panembahan, sebagai juru nasehat Sultan, dan sesepuh Kesultanan Praja itu,
kali ini bicara seperti sedang menggumam. Ia berdirisambil membelai-belai
jenggot putihnya yang panjang.
"Nama itu cukup aneh. Hemm. . Lembah Matsuri. Sepertinya cukup asing bagi
pendengaranku. Tapi, aku yakin. . Suro Bodong mampu mencari nama perempuan tersebut, dan mampu
menemukan di mana letak Lembah Matsuri."
"Di mana Suro Bodong?" tanya Sultan Jurujagad kepada putrinya yang menjadi istri
Suro Bodong."Sudah tiga hari ia tidak pulang, Rama. Tapi, menurut janjinya, ia
akan pulang sore ini dari Benteng Batu." Sendang Wangi berkata dengan nada
bicara seakan ikut larut dalam kegelisahan.
Arya Somar masih belum bisa mengerti, mengapa orang-orang menjadi cemas dan
gelisah semua. Bahkan Sultan Jurujagad kelihatan menyembunyikan kesedihan di balik
ketenangannya itu. Ada apa sebenarnya"
"Kalau Suro datang, suruh dia selekasnya pergi ke Lembah Matsuri itu," kata
Sultan. Arya Somar mohon izin untuk bicara, lalu ia diizinkan bicara kepada
Sultannya. "Mengapa Suro Bodong harus pergi ke Lembah Matsuri, Kanjeng" Bukankah perempuan-
perempuan yang menganiaya saya sudah pergi ke asalnya semua?"
"Ya. Tapi pusaka Tombak Jatayu dicuri oleh mereka!"
Terbelalak seketika mata Arya Somar demi mendengar kata-kata Sultannya.
"Jadi, perempuan-perempuan itu mencuri tombak kita"!" Arya Somar bicara kepada
Patih Danupaksi.
"Begitulah keadaannya, Somar. Pusaka itu dicuri oleh mereka, dan harus segera
kita rebut kembali. Kurasa, hanya Suro Bodong yang mampu melakukan hal itu."
Arya Somar memandang Patih Danupaksi dengan wajah tegang dan mulut luka yang
terbengong. Hilangnya tombak pusaka, membuat semua orang melayangkan pikirannya ke Lembah
Matsuri. Tombak itu adalah pusaka kejayaan Sultan Jurujagad, di mana negeri akan menjadi
tetap kuat, tak mampu diserang atau dihancurkan lawan jika Tombak Jatayu masih
berada di Dalem Kadipaten. Karena itu, pusaka Sang Sultan itu harus direbut
kembali demi menjaga kejayaan Kesultanan Praja. Tapi, di mana Lembah Matsuri
itu" Suro Bodong sendiri bingung.
"Kalau tombak pusaka itu sampai jatuh ke tangan golongan sesat, maka hancurlah
seluruh tanah Jawa ini. Bisa tenggelam ke dasar bumi karena penyalahgunaanTombak
Jatayu." Sultan Jurujagad berbicara di depan Suro Bodong, pada waktu Suro Bodong sudah
tiba kembali dari kepergiannya. Tubuhnya yang besar, tapi bukan gemuk dan bukan
gendut itu, disandarkan pada sebuah tiang berukir indah. Ia berdiri sambil
bersandar ketika mendengar keterangan dari Sultan, yang juga sebagai mertuanya
itu. Sikap tenang dan seenaknya, alias cuek, selalu menyertai penampilannya
walau ia berhadapan dengan kepala pemerintahan di Kesultanan Praja itu. Dan
Sultan Jurujagad serta pejabat lainnya tidak pernah memperdulikan sikap Suro
Bodong yang selalu tampil dalam pakaian celana biru, baju merah panjang yang tak
pernah dikancingkan, sehingga perutnya kelihatan sedikit menonjol bersama
pusernya. Ketika ia mendengar tombak pusaka Kesultanan, yang merupakan tombak keramat
leluhur istrinya itu dicuri orang, Suro Bodong sempat terperanjat sesaat. Kemudian
segera kembali bersikap tenang, sebab ia tidak menyukai kegugupan, sekali pun
sebenarnya ia sering pula terjebak dalam kegugupan, namun ia selalu berusaha
untuk menguasai diri.
Sultan Jurujagad berkata dengan nada dukanya:
"Tugasmu adalah merebut kembali tombak pusaka Jatayu, Suro. Pergilah ke Matsuri
dan rebut kembali tombak kejayaan kita."
Sambil sesekali garuk-garuk kumisnya yang tebal, Suro Bodong akhirnya tersenyum
sendiri dan berkata:"Tugasku inisebagaiSenopatiperang,atausebagai mandorjalan"!"
Eyang Panembahan, Patih Danupaksi, Demang Sabrangdalu, Sendang Wangi dan
beberapa orang lainnya sempat tertawa lirih sewaktu mendengar kata-kata Suro Bodong.
Sultan sendiri sempat tersenyum tipis disela dukanya. Suro Bodong melanjutkan
kata: "Dari dulu kok kerjaku hanya pergi-pergi terus. Barusaja datang sudah harus
pergi lagi."
Banyak juga kepala yang manggut-manggut membenarkan ucapan Suro Bodong. Tetapi,
Eyang Panembahansegera berkata dalam sifat menghibur Suro Bodong:
"Ini menyangkut soal jatuh bangunnya kejayaan Kesultanan kita, Suro. Memang,
seharusnya kau beristirahat dulu, paling tidak melepas kerinduan dengan istrimu.
Tetapi, tugas negara telah mendesak, bahkan menuntutmu untuk segera menunaikan
tugas; merebut tombak pusaka di Matsuri. Rasa-rasanya, orang secerdas kamu bisa
memaklumi keadaan seperti ini, kan?"
Suro Bodong hanya melirik istrinya.
Sendang Wangi mengedipkan mata dan berkata pelan:
"Pergilah, Kangmas. Aku memaklumi keadaanmu. Aku yakin, setelah tugas ini
selesai, kita bisa berlibur ke Puri Khayangan untuk melepas rindu.. "
"Rinduku sudah lepas sendiri begitu melihat kau dalam keadaan sehat-sehat saja,
Sendang Wangi."
Pengabdian Suro kepada pemerintahan mertuanya memang cukup besar. Ia merasa
tidak punya negeri, tidak punya tempat berteduh selain Kesultanan Praja itu.
Karenanya, Suro merasa perlu menuangkan segala pengabdian dan pembelaannya
kepada Kesultanan Praja, paling tidak demi kebahagiaan istrinya. Tombak pusaka
Jatayu bukan harus direbut demi kejayaan dan kedamaian Kesultanan Praja saja,
melainkan juga harus segera diselamatkan dari tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Apabila tombak pusaka itu disalah gunakan, maka Tanah Jawa
ini dapat hancur karena sewenang-wenang salah satu oknum yang menggunakan
kesaktian tombak pusaka tersebut.
Menurut keterangan, tombak Jatayu dapat berubah bentuk apa saja sesuai dengan
ucapan orang yang memegangnya. Tombak Jatayu dapat melayang, terbang sendiri
mencari nama mangsanya yang disebutkan oleh pemegangnya. Juga tombak itu dapat
menikam lawan seribu orang jumlahnya dalam satu kali lemparan. Banyak lagi
kesaktian dari tombak Jatayu itu yang dijelaskan oleh Sultan Jurujagad dan Eyang
Panembahan kepada Suro Bodong, sebelum tugas negara itu dikerjakan oleh Suro.
"Lalu di mana letaknya Lembah Matsuri itu?" tanya Suro kepada Eyang Panembahan.
"Tempat itu sulit dilacak. Bahkan indra ketujuhku pun tak mampu menembus tempat
itu. Agaknya Matsuri terletak di suatu tempat yang sangat rahasia. Dan orang-orang
Matsuri juga bukan orang-orang murahan. Tentunya mereka punya sesuatu yang perlu
kau perhitungkan sebelumnya."
Kepala Suro Bodong manggut-manggut. Kemudian ia garuk-garuk kumisnya yang tebal
sambil menikmati jagung bakar kesukaannya.
"Bawalah pasukan berkuda untuk keperluan di perjalanan," kata Sultan Jurujagad.
"Arya Somar pernah bertarung dengan perempuan Matsuri, tapi dia babak belur."
Eyang Panembahan menambahkan kata, "Arya Somar tahu, bagaimana tanda-tandanya
jika perempuan Matsuri itu sudah berada di sekeliling kita. Mereka memang tidak
bisa disentuh, tapi barangkali dengan satu cara yang ada padamu, kau bisa
menyentuh dan melihatnya, Suro."
Setelah beberapa saat mereka berembuk, akhirnya Suro menyetujui usulan untuk
membawa pasukan berkuda. Sebab tempat yang dinamakan Lembah Matsuri itu, mungkin cukup
jauh dari Kesultanan Praja, sehingga perlu ditempuh dengan menggunakan kendaraan
berkuda. Orang-orang yang siap mengikuti Suro Bodong adalah anak buah Arya Somar sendiri.
Mereka ada enam orang pilihan yang sudah cukup berpengalaman dalam hal melacak
lawan dan menembus perang. Mereka adalah: Ginan Sukma, ahli penakluk racun.
Baderi Darus, pemanah unggulan.
Emandanu, ahli dibidang senjata rahasia. Arya Somar, ahli strategi perang
berkuda. Dodot Pamasar, penjinak jebakan segala jenis. PambudiTulus, menguasai
segala macam bahasa hewan.
Genderang bertalu serempak mengiringi 7 pendekar berkuda yang keluar melalui
pintu gerbang Kesultanan. Sultan Praja dan beberapa punggawa negeri melepas
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepergian tujuh pendekar yang masing-masing mempunyai ilmu pedang dan tenaga
dalam cukup tinggi, terlebih pada diri Suro Bodong, sebagai pemimpin dari 7
pendekar yang siap merebut tombak pusaka di Lembah Matsuri.
Lambaian tangan massa, merupakan ucapan selamat jalan bagi 7 pendekar, seolah
rakyat pun turut mengucapkan selamat bertempur di Matsuri bagi mereka.
Derap kaki kuda mengepulkan debu jalanan. Suaranya bergemuruh bagai gunung
berapi bergolak. Mereka menuju ke arah Selatan, mencari keterangan dari siapa saja dan
apa saja tentang di mana letak Lembah Matsuri. Namun sampai setengah hari ini,
mereka belum menemukan tanda-tanda yang dapat membawa mereka ke Lembah Matsuri.
Menjelang sore, kuda-kuda itu terpaksa berhenti karena tangan kanan Suro Bodong
terangkat ke atas, tanda semua harus berhenti. Mata mereka menatap dua orang
yang tengah bertarung di lembah bukit yang tandus. Mereka adalahseorang lelaki
tua dengan perempuan berpakaianserba kuning.
"Barangkali perempuan itu salah satu dari orang Matsuri," ujar Ginan Sukma.
"Kalau begitu, mari kita serang dia," kata Dodot Pamasar dengan gerakan hendak
menarik tali kekang kuda. Tetapi, Suro Bodong segera berpaling ke arah Dodot dan
berkata dengan tegas:
"Jangan gegabah!Perempuan itu bukan orang Matsuri."
"Dari mana kau bisa tahu?" sela Emandanu.
"Aku kenal perempuan itu. Dan.. justru aku harus membantunya. Dia adalah Dewi
Gading. Perempuan itu pernah menolong nyawaku dari ancaman maut orang-orang kerajaan
Lesanmitra."
"Sepertinya aku pernah mendengar namanya: Dewi Gading." Pambudi Tulus menggumam
dan mengingat-ingat. Suro menjelaskan:
"Dewi Gading dan aku pernah sama-sama melawan orang-orang Lesanmitra, yaitu
merubuhkan Raden Puger dan Dandung Wungu. Dia yang menyembunyikanaku di Lereng
Sewu dan. ."
"Dan yang menjadikan kenangan indah bagi kalian berdua, begitu, kan?" Baderi
menyahut dengan tawa. Suro Bodong hanya tersenyum tipis.
Mereka masih berada di punggung kuda. Mata mereka masih memandang pertarungan
antara Dewi Gading dengan seorang lelaki tua berjubah putih. Suro Bodong menggumam
dalam hati, masa indah bersama Dewi Gading terkenang dan menggoda benaknya.
(dalam kisah: RACUN MADU
MAYAT). Lalu, Suro Bodong turun dari kudanya setelah Arya Somar berkata:
"Mungkin kita bisa bertanya kepada Dewi Gading tentang Lembah Matsuri. . "
Lelaki tua berjubah putih itu mengibaskan tongkatnya yang berbentuk kepala naga.
Dewi Gading yang berambut ikal itu segera merendahkan badan dan memukul perut
lawannya. Tetapi, gerakan tongkat begitu cepat menghantam tangan Dewi Gading,
sehingga perempuan bertubuh menggairahkan itu menyeringai kesakitan. Tangannya
didekap oleh tangan satunya, karena tulang tangan itu bagaikan patah terkena
pukulan tongkat lawan. Kesempatan tersebut digunakan oleh lelaki berjubah putih
untuk menghantam kepala Dewi Gading. Tongkatnya melesat dengan cepat. Dan..
sebuah batu sebesar genggaman telah lebih bulu menghantam tongkat itu, menahan
gerakan agar tidak sampai mengenai kepala Dewi Gading. Dengan cepat lelaki
berjubah putih mendelik ke arah Suro Bodong yang terlihat melemparkan batu
penahan tongkat itu.
"Bangsat! Apa urusanmu ikut campur urusan ini, hah"!"
Suro Bodong tidak bermaksud menyerang jubah putih. Ia berjalan mendekat dengan
langkah-langkah santai dan seulas senyum di bibir kepada Dewi Gading. Perempuan
berambut sepanjang bahu itu berseru kaget:
"Suro. ."!" Ia kegirangan.
Tetapi, lelaki berjubah putih itu segera menyerang Suro Bodong dengan satu
loncatan cepat.
"Hiaaaat. .!!"
Di luar dugaan, Emandanu melemparkan senjata rahasianya dari punggung kuda
berupa sebentuk bintang bersudut delapan. Zing. . ziing.. zing...! Tiga kali Emandanu
mengirimkan senjata rahasianya, karena ia khawatir kalau Suro Bodong sampai
diserang dalam keadaan tidak siap. Dua senjata memang bisa ditangkis dengan
kibasan tongkat, tetapi satu senjata yang terakhir tepat menancap mengenai leher
lelaki berjubah putih.
"Aaaaakhh.. !!"
Suro Bodong kaget sekali melihat lelaki itu rubuh dengan senjata rahasia
tertancap di leher. Ia segera berpaling kepada Emandanu, matanya memandang
garang, sementara Emandanu yang
tersenyum puas karena bisa menggagalkan seranganjubah putih kepada Suro, tiba-
tiba senyumannya itu pun pudar, berganti rasa was-was yang menggelisahkan.
"Ceroboh.. !!" bentak Suro Bodong. "Kenapa kau bertindak tanpa persetujuanku,
hah" Lihat.. !
Dia mati karena senjatamu, sedangkan kita tidak punya urusanapa-apa dengannya!
Goblok. .!!"
"Dia mau menyerangmu, Suro, dan kau kelihatannya tidak siap, maka. . ."
"Aku lebih siap daripada kau, Emandanu! Bahkan otakku pun sudah siap
memperhitungkan tindakan yang harus kulakukan. Tapi, bukan dengan cara harus
membunuhnya begini. Goblok tujuh turunan kau!!"
"Suro Bodong. .!" Dewi Gading berlari menghampirinya, dan Suro Bodong segera
menyusutkan kemarahannya.
"Syukurlah kau segera datang, Suro."
"Siapa lelaki berjubah putih ini"!"
"Dia bermaksud ingin memaksaku agar dibawa ke Pondok Lereng Sewu. Ia mengincar
beberapa pusaka mendiang guruku."
Suro Bodong menggumam pendek, kemudian menatap Dewi Gading. Sebaris ingatan
indah kembali menggoda benaknya. Ingatan indah itu adalah saat-saat Suro Bodong yang
berujud menjadi Tole, anak kecil, yang sempat menikmati masa khayalannya di
dalam Kamar Madu Mayat bersama Dewi Gading. Namun, demi tugasnya merebut tombak
pusaka, Suro Bodong segera membuang ingatan itu, yang dapat menjadi racun bagi
perjalanannya. "Dewi Gading.. aku punya masalah lain yang berbeda dengan masalahmu. Aku ingin
minta bantuan kau."
"Masalah apa" Perkawinan?"
Suro Bodong menggeleng, sekali pun Dewi Gading tersenyum nakal.
"Kau pernah mendengar Lembah Matsuri"!"
"Matsuri.. "!" Dewi Gading berkerut dahi dan sedikit memiringkan kepala saat
memandang Suro Bodong.
"Kau pernah mendengar nama itu tentunya," kata Suro.
Dewi Gading manggut-manggut dalam renungannya.
"Kau ingin ke sana, Suro?"
"Ya. Tapi aku tidak tahu di mana tempatnya."
"Aku juga tidak tahu tempatnya. Tetapi, kau bisa mencari seorang lelaki tua yang
tinggal di gunung Sembur. Namanya: Empu. . "
"Empu Segah.. "!" sahut Suro Bodong.
"O, kau telah mengenalnya?"
Suro mengangguk. "Dia pernah menolongku ketika aku menyerang Istana Awan," jawab
Suro (dalam kisah: TUMBAL MAHKOTA RATU).
"O, kalau begitu, kau bisa langsung bertanya kepadanya tentang letak Lembah
Matsuri. Tapi..
agaknya kau harus hati-hati ke sana."
"Kenapa?"
"Menurut kabar yang pernah kudengar, Lembah Matsuri adalah sebuah perguruan yang
mempunyai banyak orang berilmu tinggi. Orang-orang Matsuri sukar dijamah,
kecuali dengan cara tersendiri yang tentu saja mahal tebusannya."
"Kalau begitu, kami akan ke gunung Sembur sekarang juga," kata Suro Bodong.
Dengan mata memandang ke langit, melihat alam mulai redup.
"Kau akan kemalaman, Suro. Sebaiknya singgah dulu ke Pondok Lereng Sewu."
Suro Bodong menghela nafas. Ada kebimbangan yang sedang dipertimbangkan,
walauakhirnya ia berkata:
"Aku bersama enam anak buahku. Mereka tak mungkin kutinggalkan. Juga tak mungkin
harus singgah ke Lereng Sewu, tempatmu. Barangkali selesai acara ini aku bisa
singgah sebentar ke Pondokmu."
Dewi Gading juga menghela nafas, dan berkata, "Kalau begitu, selamat jalan.. !
Aku akan berdoa untuk keselamatanmu, supaya kau bisa benar-benar singgah ke
Pondok Lereng Sewu. Aku akan menunggu di sana, Suro. .!"
Setelah tangan Suro Bodong menjamah pipi Dewi Gading, Baderi terdengar batuk-
batuk kecil dan mendehem beberapa kali, suatu sindiran yang patut ditertawakan
dalam senyum. Lalu, perempuan berpakaianserba kuning itu segera melesat
meninggalkan rombongan tujuh pendekar KesultananPraja.
Suro Bodong memandangi beberapa saat kepergian Dewi Gading, kemudian segera naik
ke atas punggung kuda. Ia bicara kepada teman-temannya:
"Kita ke gunung Sembur, menemui Empu Segah, kenalanku. Menurut perempuan itu,
Empu Segah dapat menunjukkan di mana letak Lembah Matsuri."
"Lebih baik secepatnya kita ke sana," ujar Pambudi.
Dan kuda mereka pun terpacu dengan cepat bagai berlomba dengan malam.
Sebelum memasuki hutan di bawah kaki gunung Sembur, keadaan bumi sudah semakin
meremang. Arya Somar mengusulkan agar jangan meneruskan perjalanan diwaktu
malam. Separuh lebih mereka menyetujui untuk bermalam di kaki gunung, ditepian
hutan. Maka, mau tidak mau Suro Bodong berhenti memacu kuda mereka.
"Esok pagi kita menerobos masuk ke hutan, dan berhenti di suatu tempat yang
layak jadi perlindungan. Sementara aku dan Arya Somar naik ke pondok Empu
Segah," kata Suro di depan api unggun."Aku juga ikut naik!" kata Ginan Sukma.
"Mungkin ada beberapa hal yang bisa kuketahui maknanya."
"Baiklah. .!" kata Suro. "Jadi, empat orang menunggu di bawah, sambil menjaga
kuda-kuda kita."
Tetapi, suatu kejadian yang sangat di luar dugaan telah mengejutkan mereka.
Ketika fajar menyingsing, dan mereka terbangun, maka ricuhlah mereka karena
salah seorang dari mereka tidak diketemukan raganya.
Emandanu, ahli dibidang senjata rahasia, telah hilang tanpa jejak yang pasti.
Pakaian dan persenjataan Emandanu ditemukan oleh Arya Somar. Tetapi raga
Emandanu tidak ditemukan sekali pun sudah dicari ke mana-mana.
"Jangan sentuh pakaian itu!" teriak Suro Bodong dari tempat sedikit jauh. Semua
masih mencoba memeriksa keadaan sekeliling. Menggeledah hutan. Tetapi raga
Emandanu tidak ditemukan oleh siapa pun.
"Kurasa ada satu kekuatan yang mampu mengambil raga Emandanu," ujar Pambudi
Tulus. "Lihat saja posisi pakaian dan senjata Emandanu, seolah-olah masih dalam posisi
telentang dalam tidurnya. Ini berarti ada kekuatan yang mampu memusnahkan atau
mengambil lolos tubuh Emandanu dalam keadaan tanpa pakaian."
Baderi Darus menggeram dengan wajahnya yang berkumis menampakkan kemarahannya.
Sementara itu, Suro Bodong memanjat pohon dan menyelidiki hutan tersebut.
Tetapi, tetap saja tak ada tanda-tanda yang dapat dijadikan petunjuk, ke mana
perginya Emandanu.
"Aku harus segera naik, menemui Empu Segah. Kurasa Empu Segah dapat membantu
kesulitan kita," kata Suro Bodong.
"Sebaiknya kita naik bersama-sama," kata ' Ginan Sukma.
"Jangan," Arya Somar mencegah. "Kita mencari dan menyelidiki tempat ini seteliti
mungkin, sementara Suro Bodong biarkan naik menemui Empu Segah."
Kemudian, hal itu disepakati bersama, dan Suro Bodong melesat dalam satu
lompatan, meninggalkan teman-temannya. Gerakan Suro Bodong seperti kelinci dikejar
harimau, begitu cepat sehingga mirip sebatang ahak panah dilemparkan. Ia harus
segera menemui Empu Segah, sebab ia yakin bahwa Empu Segah akan dapat
menolongnya dalam hal menemukan Emandanu kembali. Paling tidak melalui Empu
Segah, Suro dapat mengetahui arah kepergian raga Emandanu, atau penyebab
hilangnya Emandanu.
"Empu Segah.. ! Aku datang! Aku Suro Bodong.. !!" teriak Suro ketika memasuki
halaman pondok yang terbuat dari kayu-kayu berjajar itu. Keadaan sepi adalah
wajar, karena memang demikianlah keadaan sehari-hari di rumah Empu Segah. Suro
pernah merasakan kesepian di rumah itu ketika ia diselamatkan oleh Empu Segah
dari ancaman racun Jarum Malaikat milik Laras Peri, (dalam kisah : TUMBAL
MAHKOTA RATU). "Empu Segaaah. .! " teriak Suro Bodong setelah tak mendapat jawaban. Ia nekad
memasuki pondok itu, dan matanya menjadi terbelalak ketika melihat Empu Segah
telah terbujur menjadi mayat berbau busuk.
Hampir Saja Suro Bodong kaget dalam hentakan rasa muntah ketika ia melihat
bangkai manusia dengan kepala yang terpisah dari lehernya. Empu Segah sudah
tidak lagi berujud seorang lelaki tua yang bersimpati kepada Suro Bodong. Wajah
pada kepala itu hancur, dan badannya pun telah mulai berbelatung di beberapa
tempat. Suro Bodong tak tahan, antara sedih dan ingin muntah. Segera ia melompat ke luar
dalam satu teriakan histeris yang menjadikan tanda pelampiasan rasa sedih dan
kemarahan. Lemas tubuh Suro Bodong melihat mayat Empu Segah. Siapa yang telah
melakukannya" Siapa yang membunuhnya" Suro nyaris tak dapat berpikirapa-apa
kecuali terkulai lemas di bawah pohon.
2 Sosok bayangan yang terlihat di balik semak, di samping rumah mendiang Empu
Segah itu sangat mencurigakan. Suro Bodong yang sedang jengkel atas kematian Empu Segah
segera melompat dengan kedua tangan menggenggam setengah terentang. Kemudian
kakinya menendang salah satu pohonseukuran pahanya yang dekat dengan semak dan
sosok manusia itu.
"Hiaaat. .!"
"Kraak. .! Bruuk.. !"
Pohon itu tumbang seketika. Patah pada bagian yang tepat terkena tendangan kaki
kanan Suro Bodong. Pohon itu sengaja ditendang agar rubuh menimpa sosok manusia
yang ada di balik rimbunan semak itu.
Bagai burung yang mengepaskan sayapnya dengan gagah, seorang berjubah biru
melesat dari semak belukar, melayang di udara dan bersalto beberapa kali ke arah
Suro Bodong. Kibasan jubahnya sempat mengenai pundak Suro Bodong. Kibasan kain
jubah biru itu seperti kibasan pohon roboh yang membuat Suro Bodong terpelanting
ke samping, nyaris jatuh ke lereng gunung.
Wow.. "! Alangkah hebatnya. Kibasan jubah itu mampu membuat tubuh Suro yang
besar jadi sempoyongan, apalagi pukulan dan tendangannya. Suro yakin, lelaki
botak berjubah biru itu pasti mempunyai ilmu silat yang tidak tanggung-tanggung
kehebatannya. Lelaki botak plontos berjubah biru itu hanya memegangi sebuah kalung menyerupai
tasbih. Manik-manik kalung itu tidak seperti manik-manik kalung biasanya. Ia mempunyai
manik-manik kalung yang besar, kira-kira seukuran bola bekel. Warnanya hitam
kecoklat-coklatan, dan agaknya terbuat dari jenis batuan langka.
"Kau tak akan mampu menyentuhku, anak muda. ." kata lelaki tua yang beralis
tebal dan berwarna putih. Ia memandang Suro Bodong dengan ringan. Wajahnya yang
tanpa kumis dan jenggot sedikit pun itu membuat Suro Bodong sedikit heran;
mengapa hanya ada alis mata yang tumbuh pada bagian kepalanya. Mengapa tidak ada
rambut lain yang umumnya di kepala manusia setua lelaki berjubah biru itu"
"Hiaaat. .!"ia membuang pikiran itu. Ia yakin, lelaki berjubah biru itulah yang
membunuh Empu Segah. Sebab itu, Suro Bodong tak mau memberi kesempatan kepada
orang botak plontos itu untuk melancarkan serangan ke arahnya, tetapi Suro lah
yang menyerangnya lebih dulu. Pukulan tangan kanannya menjurus ke wajah lelaki
botak. "Plak. . plak.. !"
Dua pukulan Suro Bodong dalam jarak dekat dapat ditangkis oleh lelaki berjubah
biru. Suro Bodong menggerakkan kakinya menekuk di depan perutnya, lalu
menghentak lurus ke depan, sasarannya dada lawannya. Tetapi, dengan mudah kaki
Suro Bodong itu dapat dielakkan dengan cara memiringkan badan ke samping dalam
keadaan melengkung ke belakang. Sebaliknya, kaki kanan lelaki berjubah biru
menghentak ke samping, dan sasarannya adalah perut Suro Bodong yang tak pernah
tertutup baju itu.
"Huuuugh...!" Mata Suro Bodong sempat mendelik, karena perutnya bagai terseruduk
banteng jantan yang sedang mengamuk. Sukar sekali Suro ingin bernafas. Buru-buru
ia menguasai keseimbangan nafasnya sambil berdiri sedikit membungkuk. Lelaki
botak itu tidak melanjutkan serangannya. Ia bagai menunggu kesanggupan Suro
untuk bernafas kembali.
"Percuma saja kau melawanku, anak muda. Kau akan mati dalam usia sepertiga dari
umurku.. "
kata lelaki botak. Tangannya memainkan kalung bermanik-manik besar. Suro Bodong
melirik dengan geram, penuh kemarahan yang menggemaskan.
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakek sombong. .!Pembunuh keji!Terimalah jurus-jurusku kali ini, hiaaat. .! "
Suro Bodong bergerak dengan cepat, bagai lompatan srigala lapar menerkam pisang
goreng. Kedua tangannya melesat terarah ke wajah lawan, kakinya lurus ke depan. Namun,
sebelum sempat ditangkis, Suro Bodong segera berkelit ke samping, langsung
berguling di tanah. Tiba-tiba ia menghentakkan tangan untuk membuat tubuhnya
berdiri. Lalu, dengan kecepatan yang tak dapat dilihat oleh mata manusia, kaki
kanan Suro Bodong menendang ke arah belakang.
"Hiaaat. .!"
"Uuh. .!"
Punggung kakek beralis tebal itu tersentak, karena menjadi sasaran tendangan
tersebut. Ia ingin berbalik mengibaskan kalungnya ke arah Suro Bodong, namun
jurus tendangan Ayam Kawin segera dilancarkan oleh Suro Bodong. Jurus tendangan
itu tidak sempat ditangkis atau dielakkan oleh lawan karena kecepatannya. Kaki
kanan Suro menendang dengan cepat, tujuh kali beruntun, kemudian disusul dengan
tendangan kaki kiri yang begitu cepat, juga tujuh kali beruntun. Baru setelah
lawan menjadi gelagapan, sebuah pukulan keras menghantam pipi orang itu tanpa
ampun lagi. Tubuh yang dihantam ternyata sukar untuk dijatuhkan. Tubuh tua
berjubah biru itu masih saja berdiri dalam posisi kaki merenggang dan sedikit
merendah ke bawah.
"Gila. ."!" Suro Bodong terheran-heran melihat ketangguhan berdiri lelaki tua
itu. Dua kali jurus tendangan Ayam Kawin yang biasanya membuat lawan tunggang
langgang serta jungkir balik, kali ini bagai tidak sanggup menggoyahkan tubuh
lelaki berjubah biru itu. Bahkan pukulan Suro yang keras juga tidak mampu
mengusik kesigapan berdirinya.
Suro Bodong segera membuka jurus Pukulan Babi Buta. Setelah kedua tangannya
terangkat ke atas dengan kaku, dan di tarik ke sisi dada dengan berotot kencang,
maka Pukulan Babi Buta pun segera dilancarkan. Tujuh kali dalam keadaan beruntun
kedua tangan itu saling bergantian memukul dengan cepat. Dada lelaki berjubah
biru menjadi sasaran telak. Tetapi, yang dipukul hanya diam saja, seakan membuka
dada, memberi kesempatan Suro untuk memukul sepuas hati. Dan hal itu dilakukan
Suro beberapa kali.
Kalau biasanya, Pukulan Babi Buta dapat membuat lawan terjengkang jauh dan
muntah darah. Pukulan itu begitu cepat, beruntun sampai tujuh kali bergantian, sukar ditangkis
atau dielakkan. Tetapi, kali ini agaknya Suro Bodong menghadapi lawan yang alot.
Cukup tangguh. Lelaki tua berjubah biru itu menyunggingkan senyum tipis ketika
Suro Bodong terbengong dengan nafas terengah-engah.
"Ini tembok baja! Bukan manusia. ." gerutu Suro yang merasa terheran-heran
melihat lelaki tua itu hanya tersenyum setelah menerima Pukulan Babi Buta. Ia
tetap berdiri tegak, kedua kaki sedikit merenggang dan kedua tangan lurus ke
bawah di samping kanan kiri.
"Bruuk. .!"
Lelaki berjubah biru itu tiba-tiba jatuh, rubuh. Dan, mata Suro Bodong pun
melotot kian lebar.
Kemudian hatinya tak dapat menahan geli melihat kenyataan di depannya.
Jubah biru ternyata sejak tadi bertahan diri untuk tetap tegak. Ia ingin
menampakkan kekuatannya menahan pukulan Suro Bodong dengan senyum tipis dan tenang. Berdiri
bagai tugu yang gagah serta kokoh. Tapi, nyatanya ia pun kini rubuh. Ternyata ia
tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Ia terpaksa melepas rasa malu untuk segera
rubuh karena pukulan dan tendangan Suro Bodong tadi.
Suro Bodong terkekeh-kekeh pelan. Ia berjongkok untuk memeriksa keadaan lelaki
tua itu. Ia sedikit mengkhawatirkan kalau lelaki itu mati tanpa diketahui siapa
namanya dan dari mana asalnya.
Suro ingin bertanya tentang mengapa lelaki tua itu membunuh Empu Segah. Apa
alasannya"
Tetapi, pada saat Suro Bodong merundukkan badan untuk berjongkok dan melongo,
tahu-tahu kaki kanan lelaki berjubah biru itu menendang keras ke atas.
"Huughh...! "
Suro Bodong terpental. Melayang bagai seonggok sampah dibuang ke udara.
Sedangkan lelaki berjubah biru itu telah meletikkan badan, lalu tubuhnya kembali
berdiri dengan sigap. Posisi kakinya merenggang dengan salah satu kaki ditekuk
rendah. Tubuhnya sedikit miring, seakan ia sedang mengambil ancang-ancang untuk
menyerang. Kedua tangannya mengeras. Yang kiri di depan dada, yang kanan
memegangi kalung dalam posisi terulur ke alas kepala. Kalung itu pun diputar-
putarnya dengan santai.
Tubuh Suro masih meringkuk di tanah. Ia mengerang tertahan karena perutnya
terasa sangat sakit. Seakan seisi perutnya ingin tertuang keluar lewat mulut dan
dubur. Suro Bodong meringis dan menggeliat beberapa saat. Kalau saja lelaki
berjubah biru itu mau menyerangnya, pasti Suro Bodong dapat mengalami luka yang
lebih parah lagi. Namun, tenyata lelaki itu justru menunggu Suro Bodong bangkit
dengan tegap, untuk, kemudian akan diserang lagi.
Suro berjuang menahan sakit. Ia berusaha untuk berdiri, walaupun pada
kenyataannya ia hanya mampu berdiri dengan kedua lutut-nya dengan sempoyongan.
Maka, lelaki berjubah pun mulai mengendorkan ketegangan tangannya yang siap
menyerang itu. Ia tersenyum tipis dan memandang Suro dengan matanya yang ciut.
"Jangan sangka dapat mudah merobohkan aku, anak muda. Mungkin kau memang bisa
membantai adikku, Empu Segah itu, dengan sekali gebrak, tapi aku. . kakak Segah,
adalah orang yang belum pernah jatuh dikalahkan lawan."
Suro Bodong memandang lelaki berjubah biru dengan sedikit sorot mata tercengang.
Kata-kata orang tua itu mulai membelai kemarahan Suro Bodong, meredakan
kebencian dan kedongkolan di hati Suro Bodong.
"Siapa kau sebenarnya, Kakek alot"!" kata Suro Bodong dengan suara bagai menahan
erangan kesakitan. Ia masih memegangi perut dengan menyeringai samar-samar.
Matanya menatap tajam-tajam pada lelaki berjubah biru yang berdiri di depannya
dengan keteguhan.
"Aku Bayanpati," jawab lelaki berjubah biru. "Orang memanggilku: Begawan
Bayanpati. Aku kakak Empu Segah yang kau bunuh dengan keji itu. Sudah sewajarnya
kalau aku menuntut balas atas kematian adikku itu, bukan?"
Dengan masih memegangi perut, Suro Bodong memaksakan diri untuk berdiri.
"Begawan Bayanpati.. " katanya sambil terbatuk sejenak. "Kalau begitu kita salah
anggapan."
"Salahanggapan itu menurutmu, tapi menurutku tidak!"
"Percayalah. Aku menyerangmu tadi, karena aku menyangka kau adalah pembunuh Empu
Segah, maka aku marah dan ingin melampiaskan kemarahanku."
Begawan Bayanpati masih mempermainkan kalung di samping perutnya. Ia mendekati
Suro Bodong sambil memandang penuhselidik. Beberapa saat kemudian, ia pun berkata:
"Jadi, kau mengira aku yang membunuh Segah?"
"Ya. Dan aku marah sekali karenanya. Sebab Empu Segah pernah menolongku. Kami
punya hubungan baik. Akrab dengan masalah kita. Justru aku ke sini juga ingin
meminta tolong kepada Empu Segah sahabatku. . tapi ternyata, dia sudah menjadi
bangkai!" Suro mengucapkan kata terakhir itu dengan nada penuh kesedihan dan
penyesalan. Di bawah pohon, ada batu memanjang. Dulu Suro sering menggunakan batu itu untuk
duduk bersama Empu Segah. Namun sekarang, ia duduk bersama kakak Empu Segah, yaitu
Begawan Bayanpati. "Sekali waktu aku pernah mendengar namamu, Suro Bodong. Segah yang menceritakan
padaku tentang kamu. Ia juga menceritakan kelegaannya dapat membantumu
memusnahkan Istana Awan (dalam kisah : TUMBAL MAHKOTA RATU). Dan. . kalau kutahu
namamu Suro Bodong, mungkin aku tidak akan menyerangmu. Ah.. sudahlah perluapa
kita bicarakan lagi hal itu. Aku lebih tertarik dengan apa yang kauceritakan,
yaitu mengenai perjalananmu ke Lembah Matsuri."
"Ya. Ada persoalan penting di sana yang harus kuselesaikan dengan teman-
temanku." "Dengan teman-temanmu" Maksudmu, kau tidak datang sendirian"!" Begawan Bayanpati
bersungut-sungut dan memandang ke sekeliling.
"Di bawah sana," Suro menuding ke lereng gunung. "Ada enam orang temanku yang
menungguku. Tapi. . yang satu hilang muspra. Baju dan pakaiannya, senjata-
senjatanya, ada semua, tetapi raganya hilang tak tahu arah."
Begawan Bayanpati yang beralis tebal tapi putih itu berkerut dahi. Kemudian, ia
manggut-manggut, entahapa maksudnya. Suro melanjutkan kata-katanya:
"Aku datang ke pondok Empu Segah hanya untuk bertanya: di mana letak Lembah
Matsuri sebenarnya. Tapisayang. . beliau telah tiada. Padahal aku berharap,
beliau tahu persis Lembah Matsuri."
Suro Bodong duduk dengan kedua sikunya berada di atas kedua lutut dan pahanya.
Badannya membungkuk ke depan, namun matanya memandang lurus ke bawah, seakan ia
sedang merenungkan kesialannya.
Begawan Bayanpati berdiri, melangkah ke depan membelakangi Suro Bodong. Kemudian
berbalik setelah bungkam sesaat, lalu berkata dengan suara tuanya yang khas:
"Tidak semua orang bisa mencapai Lembah Matsuri."
Kata-katanya diam sampai di situ. Ia memandang Suro Bodong, dan hal itu membuat
Suro Bodong menjadi tertarik. Suro mengangkat wajah, memandang Begawan Bayanpati.
"Segah danaku pernah mencoba ke sana, tapi gagal."
Suro Bodong masih terbungkam beberapa saat. Sepertinya ada keraguan di dalam
hatinya. Kemudian Begawan Bayanpati melanjutkan kata-katanya tanpa memandang Suro,
melainkan memandang pepohonan yang ada di samping kirinya.
"Tempat itu seperti dalam impian, atau seperti di ujung khayalan. Indah. Memang
indah tempat itu. Banyak kesejukan di Lembah Matsuri. Banyak kecantikan di sana,
tetapi tidak semua orang bisa menggapainya."
Setelah merenung sesaat, Suro pun bertanya:
"Di mana" Mengapa tidak bisa digapaisemua orang?"
Kepala lelaki tua itu berpaling memandang Suro. Diam beberapa lama. Kemudian ia
berjalan mendekati Suro, berhenti tepat di depan Suro Bodong, sehingga Suro
Bodong terpaksa menegakkan posisi duduknya sambil memandang ke atas. Ke wajah
Begawan Bayanpati yang tampak bersungguh-sungguh itu.
"Kau harus menuju ke Barat," ujar Begawan.
"Ke Barat" Apakahada kehidupananeh di Barat sana?"
"Banyak kehidupan aneh di sana. Salah satu diantaranya kehidupan di dalam Lembah
Matsuri." Suro Bodong menggumam. Ia merubah sikap duduknya. Kini salah satu kakinya
menumpang di salah satu pahanya. Ia bertanya dengan tanpa memandang Begawan
Bayanpati: "Apakah banyak penghalangnya" Apakah untuk menuju Lembah Matsuri harus melalui
berbagai rintangan?"
"Ya," jawab Begawan tegas. "Letaknya sendiri pun sukar dicapai, dan tidak setiap
waktu kau bisa menuju ke sana."
"Maksudnya?" Suro berkerut dahi, menatap tenang.
"Ada waktu khusus untuk datang, bahkan untuk melihat Lembah Matsuri itu kita
membutuhkan kesabaran. Menunggu sampai saat Lembah Matsuri tampak oleh
penglihatan kita. Jadi, ada waktu khusus bagi Matsuri untuk buka dan untuk
tutupnya pun punya waktu tersendiri."
Kumis yang tebal itu digaruk-garuknya lagi. Suro Bodong masih berkerut dahi
pertanda ia dalamera kebingungan yang menggelisahkan.
"Tolong berikan keterangan yang lebih lengkap, Begawan."
"Tekadmu cukup besar," Begawan Bayanpati tersenyum sinis, tapi sebenarnya bukan
senyum kebencianatau penghinaan.
"Aku memang harus ke sana. Ini tugas dari Sultanku. Tapi, aku tidak tahu, di
mana letak Lembah Matsuri yang sebenarnya."
"Letaknya ada diantara lengkung pelangi."
Kepala Suro Bodong miring-miring dengan dahi berkerut makin tajam. Kumisnya
digaruk lagi, karena benaknya bingung mengartikan kata-kata tadi.
"Letaknya di antara lengkung pelangi" Maksudnya, bagaimana itu?"
"Kau hanya bisa melihat Lembah Matsuri bersama kehidupan masyarakatnya, jika kau
melihat pelangi membias di langit Barat. Di tepi laut, kau akan dapat melihat
Lembah Matsuri dengan jelas pada saat sang Pelangi menampakkan diri. Lembah
Matsuri itu sesungguhnya suatu kehidupan di lengkung pelangi senja."
"Aku seperti mendengarsebuah dongeng. ."
"Yang menjadi kenyataan," sahut Begawan Bayanpati. Suro hanya diam, termenung
dalam kebimbangan. Begawan melanjutkan kata:
"Pergilah ke arah Barat, carilah pantai dan tunggulah di sana sampai terbit bias
pelangi senja. Lalu perhatikan di antara lengkung pelangi itu, maka kau akan melihat suatu
kehidupan di atas lengkung pelangi. Itulah kehidupan Lembah Matsuri dengan
perempuan-perempuan cantiknya yang sukar kau jamah, kecuali dengansyarat yang
cukup besar."
"Apa syaratnya?"
"Kesungguhan!"
Memang, hati Suro Bodong sepertinya merasa sedang ditipu oleh sebaris cerita
Begawan Bayanpati. Namun, kemudian ia segera bertanya dalam hati: untuk apa Begawan
Bayanpati menyebar dongeng bohong seperti itu" Bukankah sikapnya sendiri sudah
menampakkan bahwa ia segan berbicara tentang Matsuri" Bukankah ia telah
menampakkan kekecewaannya karena gagal datang ke Lembah Matsuri bersama Empu
Segah. Dan. Pantaslah kalau Dewi Gading mengatakan, bahwa Empu Segah pernah
mencoba untuk datang ke sana.
"Baiklah. Terima kasih atas keteranganmu, Begawan. Aku tetap akan mencobanya
untuk datang ke Lembah Matsuri," kata Suro Bodong sambil berdiri dari duduknya."
"Hati-hati dengan perempuan Matsuri."
"Kenapa?"
"Dia bisa menjeratmu dengan mudah, tapi kau belum tentu berhasil menjeratnya.
Mungkin menyentuhnya pun sukar."
"Apa saranmu?" Suro Bodong berhenti melangkah setelah ia termenung beberapa saat
dan ingin segera pergi.
"Kesungguhan dapat membuatmu sampai ke sana. Danjangan melupakan bisikan hati
nuranimu sendiri, sebab bisikan hati nuranimu sendiri itulah yang akan banyak
membantu kesungguhanmu. Buka semua indramu jika ke sana, supaya kau tidak mudah
jatuh dalam genggaman perempuan Matsuri."
Suro Bodong manggut-manggut dalam keadaan menerawang. Kemudian ia mengucapkan
kata 'selamat tinggal' kepada Begawan Bayanpati, lalu melangkah menuruni lereng
gunung. "Suro. .!" seru Begawan. "Temanmu yang hilang ituakan kau temukan lagi dalam
waktu dekat."
Suro berhenti melangkah, memandang ragu.
"Dari mana kau tahu, Begawan?"
"Pasti anak buahku. Muridku yang bertindak gegabah, karena mereka juga
kukerahkan untuk mencari pembunuh adikku. Akan kusuruh ia mengembalikan temanmu
itu. Maaf, kami salah comot. .!"
Begawan itu sempat menyerukansuara kekeh tawanya yang meggelikan.
Suro Bodong melambai seraya berkata, "Mudah-mudahan kau pun akan berhasil
menemukan pembunuh Empu Segah!".
"Saling berdoalah untuk persahabatan baru ini, Suro!" Begawan Bayanpati pun
melambaikan tangan. Langkah Suro Bodong masih kelihatan tegap. Rasa mual di
perut masih terasa sedikit. Samar-samar. Tetapi, di dalam hati Suro telah
tersimpan kelegaan. Ia telah memperoleh keterangan tentang Matsuri, juga telah
mempunyai harapan kembalinya Emandanu yang salah comot. Tentu saja ilmu yang
digunakan murid Begawan Bayanpati bukan ilmu kelas kambing. Mungkin ilmu kelas
macan. Ilmu tinggi, sampai-sampai bisa menculik Emandanu dalam keadaan raga
saja, tanpa mengikutsertakan barang-barang dan pakaiannya. Wow. . sungguh hebat
ilmu itu. Sayang, Begawan tidak menjelaskan ilmu apa yang digunakan itu. Kalau
ada kesempatan dan waktu luang, Suro mau belajar tentang ilmu semacam itu kepada
Begawan Bayanpati.
"Wess.. !"
Tiba-tiba sebatang dahan seukuran tiga jengkal melayang ke arah Suro Bodong.
Suro yang mempunyai kepekaan pada saat itu segera melengkungkan badan
kebelakang, dan dahan tiga jengkal itu melesat di depan hidungnya. Hampirsaja
merobek kulit wajahnya kalau Suro tidak cepat menghindar.
Maka, dengan sigap, Suro Bodong langsung berhenti dengan merenggangkan kaki,
sedikit merendah, badannya sedikit membungkuk dengan tangan ke samping, siap menangkis
atau menghadapi serangan berikutnya. Ternyata, kesigapannya itu cukup tajam.
Sebatang dahan lain di lemparkan dari arah semula, dan Suro Bodong memukul dahan
itu dengan satu kali hantaman. Pecahlah dahan tersebut.
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keluar kau, Bangsat.. !"
Suro berteriak ke arah rimbunan semak di bawan pohon, tempat datangnya lemparan
tadi. Kemudian dari arah semak belukar itu terdengarlah suara:
"Aku malu untuk ke luar.. !"
Suro Bodong mengernyitkan alis. Ia mengenal suara itu. Dengan hati-hati ia
mendekati rimbunan semak. Matanya bergerak-gerak liar, tangannya siap menangkis atau
menyerang jika keadaan memaksa.
"Keluar kau!" hardiknya setelah berada di seberang semak. Kemudian seseorang
menongolkan kepalanya dan cengar cengir di depan Suro, hampir saja Suro
menghantam wajah orang yang baru nongol dari rimbunnansemak itu.
"Untuk apa kau sembunyi di sini dan menyerangku, Emandanu?"
"Aku malu. ." Emandanu masih menyeringai. "Aku telanjang bulat tanpa pakaian."
Nafas Suro Bodong terhempas kesal. Ia melihat tanaman berdaun lebar sejenis
talas. Kemudian Suro berkata kepada Emandanu yang sempat geger dikabarkan hilang
tanpa raga itu.
"Ambil daun itu sebagai penutup, dansegera bergabung dengan teman-teman di bawah
sana!" "Baik, Senopati Agung..." kata Emandanu berkelakar.
Suro Bodong menggumam lirih saat Emandanu mengenakan pakaian darurat dari
selembar daun lebar. Dalam hati ia mengakui kesungguhan Begawan Bayanpati, bahwa Emandanu
akan segera dikembalikan dari tangan anak buahnya yang salah comot itu.
Nyatanya, Emandanu bahkan kini tengah berjalan seiring dengan Suro Bodong
menuruni lereng gunung.
Tak sempat Suro Bodong menceritakan kisah pertarungannya dengan Begawan
Bayanpati, sebab teman-temannya sudah dihinggapi rasa gembira akibat kembalinya
Emandanu dan keterangan tentang Lembah Matsuri. Namun, mendadak Emandanu
kebingungan dan gaduhsendiri. Ia garuk-garuk sekujur tubuhnya, terutama pada
bagian yang ditutupi dengan daun lebar itu. Ginan Sukma bertanya, "Kenapa
kau.. ?" "Daun ini gatalsekali di kulit, hhuuuh.. ! Celaka!"
Arya Somar menyahut, "Sudahlah.. garuk-garuknya nanti saja di Lembah Matsuri.
Sekarang kita berangkat ke Barat. .!"
3 Tujuh sosok kesatria penunggang kuda, masing-masing menyandang pedang di
punggung. Pedang keprajuritan. Hanya Suro Bodong yang kelihatan tidak membawa senjata apa
pun pada tubuhnya. Baderi Darus, selain pedang di punggung, ia juga membawa
busur dan beberapa anak panah dalam tempat khusus di punggung, menyilang dengan
pedangnya. Demikian juga Emandanu, selain pedang di punggung, ia juga
menyelipkan beberapa macam senjata rahasia di balik bajunya yang berwarna hijau
tebal, dan ikat kepalanya yang terbuat dari kulit beruang itu. Dodot Pamasar,
selain mempunyai senjata sebuah pedang, juga menyelipkan pisau dua buah di kedua
betis sampingnya.
Pambudi Tulus, selain pedang juga sebuah cambuk membelit di pinggangnya bagaikan
ikat pinggang dari tali kenyal. Sedangkan Ginan Sukma dan Arya Somar masing-
masing bersenjata pedang saja, namun pada Ginan Sukma ia mampu menebarkan racun
lewat sabetan pedangnya, dan Arya Somar mampu menyalurkan tenaga dalam berupa
suara yang memekakkan telinga dengan cara mengibaskan
pedangnya. Sementara itu, Suro Bodong melenggang. Berada di barisan paling depan. Tak
terlihat senjata sekecil jarumpun pada dirinya. Orang akan menyangka, ia adalah
prajurit tanpa senjata. Namun, sebenarnya justru Sure Bodonglah yang mempunyai
senjata perlu diperhitungkan. Sebuah pusaka yang bernama Pedang Urat Petir,
terselip di antara kulit dan daging lengan kirinya. Jika pusaka itu telah
dicabut, tak pernahada lawan yang mampu menandinginya.
Tiga hari perjalanan mereka, sampailah pada sebuah pesisir yang masih termasuk
wilayah pesisir Selatan. Suro Bodong memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
dengan menyusuri pantai.
Dengan melanjutkan perjalanan pantai, maka tempat yang dimaksud oleh Begawan
Bayanpati suatu saat akan ditemukan juga, di mana dari pantai tersebut mereka
dapat melihat Lembah Matsuri yang konon di antara lengkung pelangi.
"Kita harus mempertajam hati nurani. Itu menurut pesan Begawan Bayanpati," ujar
Suro Bodong dalam kesempatan mereka beristirahat.
"Itu berarti kita harus melatih kepekaan indra keenam," kata Arya Somar
menimpali. Mereka membentuk satu lingkaran mengelilingi api yang dipakai
membakar ikan hasil tangkapan di laut.
"Apa yang harus kita lakukan jika begitu?" Baderi bertanya sambil menikmati ikan
bakarnya. Suro Bodong pun menjawab tanpa memandang Baderi:
"Latihan pernafasan dan pemusatan pikiran."
"Kau bisa melatih kami, tentunya," kata Pambudi Tulus.
"Aku akan mencoba, sebab sudah lama aku tidak berlatih pernafasan dalam satu
pikiran." "Sebaiknya, waktu beristirahat jangan terlalu banyak disia-siakan," timpal Ginan
Sukma yang bertubuh pendek. Lebih pendek dari Arya Somar, namun kelihatan lebih
berotot dari yang lainnya.
Ketika mereka telah melepas lelah untuk beberapa saat, maka Suro Bodong pun
memandu teman-temannya untuk berlatih penguasaan nafas dan pemusatan pikiran. Mereka
berdiri dengan kedua kaki terbuka, renggang. Tubuh mereka merendah serendah-
rendahnya, tetapi telapak kaki tetap sejajar dengan tanah.
"Rentangkan tangan, lalu hiruplah udara sebanyak-banyaknya melalui hidung. Dalam
menghirup, tarik kedua tanganmu untuk menyatu di depan dada dalam keadaan lemas.
Tahan nafas sampai lama di rongga perut, lebih dekat dengan bagian pusarmu.
Tahan nafas di situ, baru lepaskan perlahan-lahan dengan gerakan kedua tangan
terbuka ke depan dan kembali menyamping," tutur Suro Bodong memandu teman-
temanya. Hal itu dilakukan oleh mereka berulang-ulang. Bahkan Suro Bodong juga melatihkan
beberapa gerakan pernafasan yang cukup aneh bagi keenam prajurit andalan itu.
Suro Bodong mengajarkan gerakan tanpa nafas yang cukup lemah. Lamban dalam
gerak, namun tajam dalam pemusatan pikiran.
Mereka bagai sedang membawakan sebuah tarian gemulai secara bersamaan. Otot-otot
mereka mengendur, mata mereka bergerak searah gerakan raut muka. Hentakan-
hentakan kecil dilakukan bagai tanpa tenaga, namun justru dengus nafas yang
terkendali itu mampu menghasilkan satu tenaga maha dahsyat. Itulah yang
dinamakan jurus pukulan Bidadari Pagi, yang pernah dipelajari Suro dari Eyang
Panembahan, dan pernah juga dipelajari secara diam-diam oleh perempuan anak
seorang Adipati yang bernama Puji Wardani, (dalam kisah: DENDAM PEREMPUAN SEPI).
Malam hari, puncak purnama mengintip di balik mega. Sinar kepucatan bagai perak
merona memancar ke permukaan pantai. Hal ini membuat suatu kebetulan bagi mereka
untuk bermalam tanpa api unggun. Hawa dingin tidak begitu meresap. Justru panas
badan makin mendidih, karena Suro melatih teman-temannya sampai malam menguasai
bumi. Pada hari berikutnya, latihan di tepi pantai berikutnya juga, malam yang
selanjutnya pula..
mereka berhasil menguasai bahasa naluri. Geming hati dalam berucap kata sempat
di dengar oleh telinga hati yang lainnya.
"Apa kau mendengaraku bicara"' kata Suro Bodong dalam hati.
Ginah Sukma dan Dodot Pamasar menjawab sama:
"Ya. Aku mendengar kata hatimu."
Sedangkan yang lain hanya menggunakan kepala sambil memandang Suro Bodong. Arya
Somar berbisik dalam hati kepada Suro Bodong.
"Aku jelas mendengar suaramu, entah kalau teman-teman yang lain."
Hati Baderi Darus menjawab, "Aku juga mendengar!"
Suro berkata dalam hati, "Kalau begitu, mari kita bicara tentang seorang janda
yang kesepian.. "
ternyata kata-kata itu di dengar oleh hati mereka, terbukti mereka jadi tertawa
serempak dalam suatu kebanggaan yang terselip. Mereka tak tahu bahwa Suro Bodong
banyak membantu dalam pelajaran ilmu Serap Hati itu. Tanpa bantuan khusus dari
tenaga dalam Suro Bodong, mustahil mereka dapat menguasai ilmu Serap Hati dalam
waktu latihan sesingkat itu.
"Aku mendengar suara kegaduhan," ujar Arya Somar dalam hati. Semua jadi memasang
telinga, mendengarkan suara gaduh dikejauhan.
"Ya. Sepertinya suara orang-orang dalam kepanikan," kata Baderi Darus dalam
hati. Pambudi Tulus memejamkan mata, lalu mulutnya berkata:
"Sepertisuara rumah kebakaran!"
Pambudi Tulus yang semakin tinggi ilmu pendengarannya itu memastikan adanya
rumah terbakar di bagian Barat mereka. Lalu, Suro Bodong memberi komando agar mereka
segera menuju ke sana. "Pastiada perkampungannelayan yansedangterbakar,"kata
Suro Bodong. Arya Somar memacu kudanya lebih dulu. Kemudian, disusul Baderi Darus dan Ginan
Sukma, lalu Dodot Pamasar dan Pambudi Tulus, Emandanu di belakang mereka, bahkan kini
mengejar Arya Somar hingga berjajar. Sedangkan Suro Bodong berada paling
belakang dari mereka.
Nyala api terlihat berkobar. Mereka semakin mempercepat derap kaki kuda. Makin
dekat makin terlihat jelas perkampungan yang terbakar, penduduk yang kalang
kabut dalam jeritan kepanikan dan..
oh, rupanya mereka bukan hanya panik karena api, melainkan juga panik karena
ketakutan. Arya Somar mengangkat tangan kanannya tanda semua temannya harus mengurangi
kecepatan kuda, dan berhenti sejenak. Arya Somar berkata kepada Baderi Darus yang sudah
berada di samping kanannya:
"Ada pengacau di sini!"
"Ya, aku melihat orang-orang berbadan besarsedang mengejar-ngejar para
perempuan. .!"
"Hei, lihat itu. .!" seru Emandanu. "Gila! Mereka melakukan pemerkosaan di depan
umum dan terang-terangan"!"
"Kau ingin nimbrung"!" gumam Ginan Sukma.
"Benar-benar orang bertubuh kekar dan hitam itu tak lebih dari binatang-binatang
buas. .!" geram Emandanu.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Mana Suro Bodong" Masih di belakang"!" Arya Somar bimbang menentukan sikap.
Tapi akhirnya ia mengambil inisiatip,
"Serbuuuu. .! " teriaknya sambil mengibaskan tangan.
Suatu kerusuhan dilakukan oleh orang-orang bertubuh kekar, besar bagai raksasa
manusia. Kulit mereka hitam dan hanya mengenakan cawat kulit dengan topi
berbentuk tanduk. Wajah-wajah mereka bengis-bengis, kasar dan menakutkan. Tinggi
tubuh mereka pada umumnya lebih dari dua meter.
Bahkan salah seorang dari mereka terlihat sedang menikmati biji mata manusia
yang digerogot begitu saja. Mereka benar-benar liar dan sangat ganas.
Ginan Sukma yang kecil segera memacu kudanya ke arah salah seorang dari mereka
yang sedang menyeret seorang perempuan ke tepi laut. Bersama kudanya itu, Ginan Sukma
menabrak orang bertopi tanduk. Kuda melompati, dan kaki belakang kuda menyepak
punggung lelaki hitam dengan keras. Pada saat itu Ginan Sukma segera mencabut
pedangnya dan menebaskan dengan cepat ke arah pilipis lawan kekarnya.
"Aaawww.. !!"
Lelaki itu menjerit mengerikan ketika pelipisnya somplak dibabat pedang Ginan
Sukma. Sementara itu, Pambudi Tulus juga mengendalikan kudanya dengan gerakan khusus.
Kuda itu mampu melompati dua orang besar yang hendak membabat punggung Arya
Somar dari belakang.
Kedua kaki depan kuda itu dapat dikendalikan oleh Pambudi Tulus, sehingga kaki
kuda itu mampu menendang dua arah sekali gus. Salah satu orang besar terluka
kepalanya, pecah pada bagian tengkuk kepala, sedangkan yang satu hanya
terhuyung-huyung ke depan. Tetapi dengan sigap, Arya Somar menyodokkan pedangnya
ke arah belakang dan tepat mengenai lawannya.
"Aaawww.. !!"
Jeritan itu amat mendirikan bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya. Arya Somar
segera melompat ke udara, dan bersalto sambil mengibaskan pedangnya pada saat
seseorang sedang meluncur dalam satu lompatan ke arah belakang Pambudi Tulus.
Kibasan pedang Arya Somar berhasil membelah kepala lawan, hingga orang itu roboh
tepat mengenai pantat kuda yang ditunggangi Pambudi Tulus.
Setelah menengok sebentar, Pambudi Tulus melajukan kuda ke arah lain, di mana
Baderi dan Dodot Pamasar kewalahan disergap tiga orang besar. Mereka memainkan
keahlian pedangnya, namun setiap tebasan pedang lawan yang besar itu mampu
membuat tubuh Baderi dan Dodot terpelanting.
"Tar.. !" Cambuk Pambudi Tulus bicara. Sekali lecut, merobek leher salah seorang
lawan yang mengeroyok Baderi dan Dodot. Dua orang yang masih menghadapi Baderi
dan Dodot Pamasar itu menjadi semakin berang.
"Haaaahhh. .!!"
Mereka berteriak dan melompat, hingga salah satu kaki mereka menjejak dagu
Baderi, sementara Dodot Pamasar pun terpelanting jatuh akibat tendangan salah
seorang lagj. Pedang besar berujung segitiga itu telah siap dihunjamkan ke
tenggorokan Dodot Pamasar. Tetapi, Emandanu segera mengibaskan tangan kanannya
dua kali. "Ziiing. ,! Ziiing...!"
Dua senjata rahasia berbentuk segitiga melesat dari kibasan tangan Emandanu.
Keduanya tepat menancap di kening orang yang hendak menikam Dodot Pamasar,
sedangkan yang satu lagi menancap pada dadanya dengan terbenam seluruhya. Orang
itu mendelik, masih berdiri dengan mulut ternganga tak mampu berteriak. Dodot
Pamasar menendang ulu hati orang itu dengan tendangan dari bawah ke atas.
Tendangan itu cukup kuat, namun tidak sampai membuat lawannya terpelanting jauh.
Hanya dua langkah dari tempatnya berdiri, lawan itu sempoyongan dan rubuh.
Sedangkan lawan yang sedang menghajar Baderi Darus itu tiba-tiba ikut memekik
keras. Posisi berdirinya jadi melengkung ke depan, karena dari belakang sebuah
pedang Arya Somar menikamnya dengan mantap dan tanpa ampun lagi. Pada saat itu,
Baderi Darus memukul alat vital lawannya dengan keras hingga lawannya terlonjak
ke atas. Lalu, ia pun rubuh dengan menggelapar-gelepar bagai sapi disembelih.
"Aaahk.. ! Aku kenaa, uuh.. !"
Emandanu memekik keras. Sebatang tombak bergagang pendek dengan ujung seperti
alat pemburu ikan itu menancap di pinggang kirinya. Ia pun rubuh dari atas punggung
kuda. "Emandanu kenaa. .!!" teriak Pambudi Tulus. Segara ia menyambar temannya itu dan
turun untuk menolongnya. Tetapi sebuah tendangan kasar membuat tubuh Pambudi
Tulus terpental menghantam perut kuda.
Sebuah pedang berujung segitiga mengibas, Pambudi Tulus hanya sempat menggeliat,
dan punggungnya terpaksa tergores pedang itu tanpa ampun lagi.
"Deri. . hantam dengan panahmu. Aku terluka. .!" kata Pambudi Tulus dalam hati
ketika ia merasa tak mampu lagi menghindari pedang lawannya.
"Juub.. !"
"Aaakhh.. !" Orang besar yang hendak m-nikamkan pedangnya dengan kedua tangan
terangkat ke atas, siap menghunjam ke tubuh Pambudi, segera terjengkang kaku.
Lehernya ditembus anak panah Baderi Darus. Kerongkongannya bagai gedebong pisang
yang dengan empuk sekali ditusuk panah Baderi hingga tembus ke belakang. Pambudi
Tulus berusaha sekuat tenaga untuk menggelinding ke samping. Tepat pada saat itu
lawannya rubuh ke depan, menjatuhi bekas tempat Pambudi terkulai.
Pedang yang sudah terlanjur diangkat oleh kedua tangan itu menancap di tanah dan
melesat hampir separoh panjangnya. AndaiPambudi tidak mengerahkan tenaga untuk
berguling ke samping, maka jelas tubuhnya yang akan kejatuhan ujung pedang itu.
"Hoo.. hooooh. . hoaah.. hoaah.. !!"
Suara itu bergema, datang dari perairan laut. Cahaya rembulan menampakkan
bayangan manusia-manusia bertubuh besar dan tinggi berdatangan ke pantai. Mereka hendak
membantu teman-temannya yang sedang bertempur di pantai. Mereka berlari
menyibak-kan riak ombak, senjata terhunus dan digenggam di tangan masing-masing.
Dua orang teman mereka masih hidup di pantai dan sedang dihajar oleh Ginan Sukma
serta Arya Somar. Dodot Pamasar kelabakan ketika melihat orang-orang bertopi
tanduk itu berdatangan dariarah laut dengan jumlah lebih dari 25 orang.
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dodot Pamasar segera melemparkan pisaunya yang sejak tadi terselip di betis.
"Wess. .!" Pisau itu tak lebih dari sejengkal panjangnya, dan dilemparkan dalam
gerakan setengah berputar. Pisau itu melayang melewati kepala Ginan Sukma dan
merobek leher lawan yang hendak menikamkan
pedangnya ke tubuh Ginan Sukma. Pisau itu bagai lewat begitu saja dan kembali ke
arah DodotPamasar.
Dengan melejitkan tubuh, Dodot Pamasar menangkap pisau tersebut. Lalu
melemparkan lagi dalam gerakan setengah lingkaran. Sementara itu, lawan Ginan
Sukma memegangi lehernya sambil mendelik, dan Ginan memanfaatkan untuk merobek
perut lawannya hingga berhamburan isi perut orang besar itu.
Sementara Ginan melompat menjauhi lawannya yang sekarat, Arya Somar melompat
menghindari tebasan pedang lawannya. Kakinya terangkat satu dan menjejak tepat
di wajah, hingga orang itu tersentak ke belakang. Pada waktu ia tersentak,
sebuah benda meleset menggores matanya.
Pisau Dodot Pamasar berhasil melayang dengan arah putar dan melukai mata lawan
Arya Somar. Pisau itu seperti tadi, membelok arah dan kembali ke tangan Dodot
Pamasar. Sedangkan Arya Somar segera menikamkan pedangnya ke arah tenggorokan
lawan, hingga lawan tak mampu berteriak kesakitan, melainkan rubuh dan
menggelepar-gelepar sesaat, untuk kemudian enggan bernafas lagi.
"Munduur...!!" teriak Arya Somar setelah mengetahui orang-orang kekar itu telah
berhamburan menjejakkan kaki di pasir pantai. Suara mereka seperti gaung sejuta
lebah, atau bagai gema gorila seribu berseru.
"Celaka. .! Semua orangnya Gupolo turun dari kapal. .!" teriak salah seorang
penduduk sambil lari tunggang langgang. Orang itu menabrak perut Suro Bodong
yang berdiri menyaksikan pertarungan sejak tadi dengan garuk-garuk kumis.
"Ampunn.. ampun, jangan bunuh saya Raden Gupolo. .!" penduduk itu ketakutan dan
menyembah-nyembah Suro Bodong.
"Hei, jangan ngacau.. ! Aku bukan Gupolo! Aku Suro Bodong! Enak saja merubah
nama orang sembarangan.. !" gerutu Suro Bodong. Lalu, ia ikut jongkok di depan
lelaki kurus yang ketakutan itu.
"Ada apa sebenarnya" Di mana asal mereka" Siapa pemimpinnya" Mengapa.. ."
"Aduuh... jangan banyak-banyak tuan memberi pertanyaan. Saya kebingungan.. "
kata orang itu dengan nafas ngos-ngosan.
"Siapa Gupolo itu?" Suro sedikit menenangkan kata.
"Setan laut! Dia penjaga dari seberang yang doyan makan daging manusia. .! Dia
dan rombongannya adalah pembajak nyawa manusia.. ! oh, saya takut. Mereka
datang. Mereka turun dari kapal. .! Permisi, Den. .!" orang itu buru-buru
berlari ketakutan ke arah kegelapan semak. Sementara itu, Suro Bodong berdiri
memandang kedatangan orang-orang Gupolo yang ganas-ganas itu.
Sambil garuk-garuk kumisnya dari kegelapan, Suro Bodong berkata dalam hati:
"Mundur semua, atur jarak. Masing-masing lima langkah dari jarak yang lain.
Biarkan mereka berpencar. Karena itu, jika mereka datang mendekat, berlarilah
menyebar."
Kata-kata itu jelas ditujukan kepada Arya Somar dan yang lainnya. Agaknya ilmu
Serap Hati yang dilatihkan beberapa waktu ini sa-ngat berguna untuk memberi
komando secara diam-diam. Dan Arya Somar pun mengikuti perintah Suro Bodong.
Mereka berjajar dalam jarak lima langkah dari masing-masingnya. Hanya Pambudi
Tulus yang tak mampu bergerak mengatur jarak. Namun, ia masih bisa berdiri
dengan lutut sambil memegangi cambuknya. Darah segar mengucur dari punggung
kirinya, dan kekuatan Pambudi Tulus mulai rapuh. Sementara, Emandanu diam tak
berkutik dengan lembing kanannya dihunjam tombak pendek berujung bengkok.
Pambudi Tulus melecutkan cambuknya ke udara tiga kali. Lima orang Gupolo
menerjangnya, namun terhenti ketika Pambudi Tulus mengibaskan cambuknya
berulang-ulang, bagai memagari tubuhnya dari serangan lawan yang ganas. Nyala
api memercik-mercik dari ujung cambuk, dan orang-orang Gupolo kebingungan untuk
menyerang, akhirnya mereka beraliharah menyerang Baderi Darus.
Sementara itu, Baderi Darus sibuk melepaskan beberapa anak panahnya. Namun, ia
terpaksa berhenti memanah, karena dari arah samping datang serangan dari lawan
yang bersenjata rantai bola berduri. "Heaaaah.. !!"
"Wuss. .!" Rantai bola berduri berkelebat di atas kepala Baderi Darus. Segera,
pedang Baderi bekerja dengan tangkas. Menebas ke depan sambil maju menyerang.
Busur panahnya dipakai untuk menangkis, sedang pedang digunakan untuk menikam
dan merobek lawan yang terdekat. Tapi, dadanya pun tak luput dari ujung pedang
lawan. Baderi Darus menjerit ketika ujung pedang lawan mampu merobek dadanya,
hingga rompi merah yang dikenakan robek sebagian. Ia segera melentikkan badan,
melayang dan bersalto ke salah satuatap rumah penduduk yang belum di bakar
Gupolo. Arya Somar dan Ginan Sukma mulai terteter diserang banyak lawan. Ginan melompat
ke salah satu pohon dan mengibaskan pedangnya ke arah lawan. Pedang itu
mengeluarkan serbuk bercahaya.
Berkelip-kelipwarna merah, dan menyebar ke arah lawannya.
"Aaaoohh. .! Haaaahhh.. !!"
Hina Kelana 17 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Matahari Esok Pagi 18
GEGER PUSAKA MATSURI
Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
CetakanPertama Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Suro Bodong
dalam kisah Geger Pusaka Matsuri
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0291.50.12
l Suara itu mengaku dari Lembah Matsuri. Bergema dan cukup merindingkan bulu roma.
Arya Somar, pimpinan pasukan berkuda dari Kesultanan Praja, terpaksa membelalakkan
mata dan memandang liar ke sekelilingnya. Tak ada manusia seujung rambut pun
yang ada di situ. Tetapi, sudah dua kali Arya Somar merasa dihantam dadanya
hingga terasa perih. Bahkan yang terakhir, Arya Somar merasa ditendang dagunya
hingga bibirnya yang tebal itu berdarah. Sedangkan suara seorang perempuan masih
terdengar sesekali. Nada suara itu seperti milik seorang perempuan yang punya
kharisma tinggi.
"Kalau kau tidak mau bicara, maka kau akan mati!"
Nafas Arya Somar terengah-engah dalam ketegangan. Ia memang cepat menjadi tegang
jika mengalami sedikit keanehan yang membingungkan. Tetapi, seringkali ia mampu
menutup ketegangan itu dengan kepura-puraannya dalam bersikap tenang. Hanya
saja, kali ini, ia berhadapan dengan lawan yang tak diketahui bagaimana ujudnya.
Ia hanya mendengar nama lembah Matsuri, dan mendapat beberapa kali serangan yang
tak mampu ditangkis atau dielakkan. Arya Somar mencoba mendelikkan matanya untuk
melihat darimana arah datangnya serangan itu. Tetapi, ia tak pernah mampu
mengetahui datangnya serangan lawan. Tahu-tahu punggungnya bagai dihantam palu
godam yang berat, dan Arya Somar berguling-guling sambil memekik kesakitan.
Sebuah tendangan yang tak diketahui pemiliknya itu telah membuat Arya Somar
terguling beberapa kali. Lalu, sebuah suara perempuan terdengar lagi dengan nada
penuhwibawa: "Jangan menunggu kami tak sabar lagi. Lekas katakan, kau kah yang bernama Suro
Bodong" Atau mungkin orang lain yang bernama itu" Jika orang lain, yang mana dia Suro
Bodong" Orang yang mana"! Ayo, katakan sekarang juga!"
Arya Somar terpaksa bicara dengan suara tertahan, karena tendangan di
punggungnya bagai telah meremukkan tulang di bagian belakang tubuhnya itu.
"Suro Bodong bukanaku! Aku Arya Somar!"
"Jadi, di mana dan yang mana Suro Bodong itu?" suara tersebut semakin, bersifat
mendesak, dan Arya Somar masih tegang. Ia mengendalikan pernafasannya untuk
mengurangi rasa sakit yang diderita.
"Suro Bodong tidak ada di sini. ." katanya. "Suro Bodong sedang pergi!"
"Kau bohong, Arya Somar. Dan, aku paling benci dengan orang yang coba-coba
membohongiku. Hiiat. .!?"Aaaoow..!"
Arya Somar mengerang panjang dengan kepala mendongak ke atas, mulut ternganga
menyerukan erangan kesakitan itu. Sekali lagi, tahu-tahu ia seperti ditendang
dengan kaki yang kekar.
Dadanya bagai hendak jebol, dan nafasnya seperti tinggal seujung kuku lagi.
"Aku tahu, Suro Bodong berbadan besar dan berkumis tebal. Pasti kaulah yang
bernama Suro Bodong! Kaulah orangnya, bukan"! Kau mempunyai tubuh yang sama
dengan ciri-ciri yang kukatakan tadi. Hanya saja, mungkin kau menghilangkan
kumismu belum lama ini. Tetapi, aku.. Ira Lembayung, tidak mungkin bisa kau
kelabuhi dengan penampilanmu!"
"Aaahh. .!"
Arya Somar yang lemas jadi terpental sendiri sampai kepalanya membentur pohon
kecil yang ada di sudut taman. Malam yang gelap, sekali pun ada semburat sinar
yang membias dari lampu penerangan taman, tetapi tetap saja membuat lawan yang
mengaku bernama Ira Lembayung itu mampu menendang dengan tepat. Bahkan kali ini
sebuah pukulan yang tak diketahui asalnya telah berhasil membuat hidung Arya
Somar berdarah. Kemudian, sudut matanya pun merah karena pukulan yang
berikutnya. Malam yang sepi itu, sepertinya telah dibalut baja, hingga suara Arya Somar yang
beberapa kali terpekik sakit tidak dapat membangunkan penghuni Dalem Kesultanan
dan sekitarnya. Menyesal sekali Arya Somar keluar dari kamarnya untuk menengok
ke kandang kuda, sebab sudah beberapa kali ia mendengar suara kuda meringkik
gelisah. Kalau saja ia tidak keluar dari kamarnya, mungkin ia tidak akan
mendapat serangan aneh yang sukar dielakkan dan sukar ditangkis. Ujud penyerang
itu benar-benar tidak dapat dilihat oleh matanya, sekali pun ia sudah berusaha
membuka mata lebar-lebar.
"Aaaoow.. !"
Arya Somar mengerang lagi karena ia bagai mendapat pukulan telak di pelipisnya,
hingga menimbulkan memar yang amat menyakitkan. Arya Somar terhuyung sebentar,
kemudian jatuh lagi untuk yang kesekian kalinya.
"Cukup. .! Kurasa dia memang bukan Suro Bodong."
"Sebaiknya kita geledah saja tempat ini."
"Tapiaku masih yakin kalau orang inilah yang bernama Suro Bodong."
"Bukan. Tentu bukan dia, Ira Lembayung."
Arya Somar menangkap suara perempuan yang diperkirakan lebih dari tiga orang. Ia
baru sadar bahwa sebenarnya ia dikerumuni beberapa perempuan. Hanya saja
pandangan matanya tak mampu menembus suatu dunia lain. Alam di mana perempuan-
perempuan itu berada, sepertinya dilapis kaca berkabut dan sukar dijamah. Arya
Somar tak mampu berpikir lagi lebih baik. Kepalanya pusing.
Pandangan matanya jadi semakin kabur. Beberapa pukulan dan tendangan membuat
nafasnya sesak dan penglihatannya suram.
Ia ditemukan oleh petugas perawat kuda pada keesokan harinya dalam keadaan
pingsan. Beberapa anak buahnya segera merawat Arya Somar yang bertubuh kekar kendati tak
sekekar Suro Bodong. Rasa kagetnya semakin menghentak jantung, karena ketika ia
siuman, ia mendengar suara ribut-ribut yang kedengarannya cukup kacau.
"Siapa yang menyerangmu?" tanya Ginan Sukma, orang yang menjadi wakil pimpinan
pasukan berkuda.
Dengansuara masih melemas, Arya Somar menjawab lirih:
"Perempuan yang bernama.. Ira. . Ira Lembayung..."
"Kau tahu ciri-cirinya?"
Arya Somar menggeleng. Lalu, katanya lagi:
"Ada lebih dari tiga orang yang menyerangku, tetapi semua perempuan itu tidak
bisa kusentuh."
"Kenapa?"
"Mereka tidak kelihatan. Seperti siluman di balik kaca."
Semua yang mengerumuni Arya Somar menjadi tegang. Mereka saling pandang. Mulut
mereka seakan ragu untuk melontarkan kata apa pun.
Arya Somar dihadapkan kepada Sultan Jurujagad yang kali ini berwajah lesu.
Murung tak terbendung. Namun demikian, Sultan Jurujagad masih sempat bertahan untuk menjaga
kewibawaan dan kesabarannya. Ada beberapa hal yang ditanyakan kepada Arya Somar,
dan sama halnya dengan yang lain, Sultan itu pun tertegun ketika Arya Somar
menjelaskan bahwa beberapa perempuan yang menyerangnya tadi malam sulit dilihat
oleh mata. "Mereka sepertisiluman, Kanjeng."
"Tak ada ciri-ciri yang bisa kau ingat?" tanya Patih Danupaksi.
"Tidak ada, kecuali nama Ira Lembayung dan nama tempat: Lembah Matsuri."
"Lembah Matsuri. ."!" Eyang Penembahan Purbadipa menggumam begitu mendengar nama
tempat yang disebutkan Arya Somar. Semua mata segera tertuju Eyang Penembahan.
Arya Somar sempat menyela kata: "Mereka mencari Suro Bodong. Bahkan aku
disangkanya Suro Bodong," Arya berpaling kepada Ginan Sukma yang bersila di
sampingya. Sementara itu, tujuh anak buah Arya Somar ikut hadir pula dalam
paseban itu. "Eyang tahu nama itu?" tanya Sultan Jurujagad dengan lesu, dan hal ini
membingungkan Arya Somar: mengapa Sultan sampaiselesu itu" Adakah hal lain yang
berkaitan dengan dirinya"
Eyang Panembahan, sebagai juru nasehat Sultan, dan sesepuh Kesultanan Praja itu,
kali ini bicara seperti sedang menggumam. Ia berdirisambil membelai-belai
jenggot putihnya yang panjang.
"Nama itu cukup aneh. Hemm. . Lembah Matsuri. Sepertinya cukup asing bagi
pendengaranku. Tapi, aku yakin. . Suro Bodong mampu mencari nama perempuan tersebut, dan mampu
menemukan di mana letak Lembah Matsuri."
"Di mana Suro Bodong?" tanya Sultan Jurujagad kepada putrinya yang menjadi istri
Suro Bodong."Sudah tiga hari ia tidak pulang, Rama. Tapi, menurut janjinya, ia
akan pulang sore ini dari Benteng Batu." Sendang Wangi berkata dengan nada
bicara seakan ikut larut dalam kegelisahan.
Arya Somar masih belum bisa mengerti, mengapa orang-orang menjadi cemas dan
gelisah semua. Bahkan Sultan Jurujagad kelihatan menyembunyikan kesedihan di balik
ketenangannya itu. Ada apa sebenarnya"
"Kalau Suro datang, suruh dia selekasnya pergi ke Lembah Matsuri itu," kata
Sultan. Arya Somar mohon izin untuk bicara, lalu ia diizinkan bicara kepada
Sultannya. "Mengapa Suro Bodong harus pergi ke Lembah Matsuri, Kanjeng" Bukankah perempuan-
perempuan yang menganiaya saya sudah pergi ke asalnya semua?"
"Ya. Tapi pusaka Tombak Jatayu dicuri oleh mereka!"
Terbelalak seketika mata Arya Somar demi mendengar kata-kata Sultannya.
"Jadi, perempuan-perempuan itu mencuri tombak kita"!" Arya Somar bicara kepada
Patih Danupaksi.
"Begitulah keadaannya, Somar. Pusaka itu dicuri oleh mereka, dan harus segera
kita rebut kembali. Kurasa, hanya Suro Bodong yang mampu melakukan hal itu."
Arya Somar memandang Patih Danupaksi dengan wajah tegang dan mulut luka yang
terbengong. Hilangnya tombak pusaka, membuat semua orang melayangkan pikirannya ke Lembah
Matsuri. Tombak itu adalah pusaka kejayaan Sultan Jurujagad, di mana negeri akan menjadi
tetap kuat, tak mampu diserang atau dihancurkan lawan jika Tombak Jatayu masih
berada di Dalem Kadipaten. Karena itu, pusaka Sang Sultan itu harus direbut
kembali demi menjaga kejayaan Kesultanan Praja. Tapi, di mana Lembah Matsuri
itu" Suro Bodong sendiri bingung.
"Kalau tombak pusaka itu sampai jatuh ke tangan golongan sesat, maka hancurlah
seluruh tanah Jawa ini. Bisa tenggelam ke dasar bumi karena penyalahgunaanTombak
Jatayu." Sultan Jurujagad berbicara di depan Suro Bodong, pada waktu Suro Bodong sudah
tiba kembali dari kepergiannya. Tubuhnya yang besar, tapi bukan gemuk dan bukan
gendut itu, disandarkan pada sebuah tiang berukir indah. Ia berdiri sambil
bersandar ketika mendengar keterangan dari Sultan, yang juga sebagai mertuanya
itu. Sikap tenang dan seenaknya, alias cuek, selalu menyertai penampilannya
walau ia berhadapan dengan kepala pemerintahan di Kesultanan Praja itu. Dan
Sultan Jurujagad serta pejabat lainnya tidak pernah memperdulikan sikap Suro
Bodong yang selalu tampil dalam pakaian celana biru, baju merah panjang yang tak
pernah dikancingkan, sehingga perutnya kelihatan sedikit menonjol bersama
pusernya. Ketika ia mendengar tombak pusaka Kesultanan, yang merupakan tombak keramat
leluhur istrinya itu dicuri orang, Suro Bodong sempat terperanjat sesaat. Kemudian
segera kembali bersikap tenang, sebab ia tidak menyukai kegugupan, sekali pun
sebenarnya ia sering pula terjebak dalam kegugupan, namun ia selalu berusaha
untuk menguasai diri.
Sultan Jurujagad berkata dengan nada dukanya:
"Tugasmu adalah merebut kembali tombak pusaka Jatayu, Suro. Pergilah ke Matsuri
dan rebut kembali tombak kejayaan kita."
Sambil sesekali garuk-garuk kumisnya yang tebal, Suro Bodong akhirnya tersenyum
sendiri dan berkata:"Tugasku inisebagaiSenopatiperang,atausebagai mandorjalan"!"
Eyang Panembahan, Patih Danupaksi, Demang Sabrangdalu, Sendang Wangi dan
beberapa orang lainnya sempat tertawa lirih sewaktu mendengar kata-kata Suro Bodong.
Sultan sendiri sempat tersenyum tipis disela dukanya. Suro Bodong melanjutkan
kata: "Dari dulu kok kerjaku hanya pergi-pergi terus. Barusaja datang sudah harus
pergi lagi."
Banyak juga kepala yang manggut-manggut membenarkan ucapan Suro Bodong. Tetapi,
Eyang Panembahansegera berkata dalam sifat menghibur Suro Bodong:
"Ini menyangkut soal jatuh bangunnya kejayaan Kesultanan kita, Suro. Memang,
seharusnya kau beristirahat dulu, paling tidak melepas kerinduan dengan istrimu.
Tetapi, tugas negara telah mendesak, bahkan menuntutmu untuk segera menunaikan
tugas; merebut tombak pusaka di Matsuri. Rasa-rasanya, orang secerdas kamu bisa
memaklumi keadaan seperti ini, kan?"
Suro Bodong hanya melirik istrinya.
Sendang Wangi mengedipkan mata dan berkata pelan:
"Pergilah, Kangmas. Aku memaklumi keadaanmu. Aku yakin, setelah tugas ini
selesai, kita bisa berlibur ke Puri Khayangan untuk melepas rindu.. "
"Rinduku sudah lepas sendiri begitu melihat kau dalam keadaan sehat-sehat saja,
Sendang Wangi."
Pengabdian Suro kepada pemerintahan mertuanya memang cukup besar. Ia merasa
tidak punya negeri, tidak punya tempat berteduh selain Kesultanan Praja itu.
Karenanya, Suro merasa perlu menuangkan segala pengabdian dan pembelaannya
kepada Kesultanan Praja, paling tidak demi kebahagiaan istrinya. Tombak pusaka
Jatayu bukan harus direbut demi kejayaan dan kedamaian Kesultanan Praja saja,
melainkan juga harus segera diselamatkan dari tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab. Apabila tombak pusaka itu disalah gunakan, maka Tanah Jawa
ini dapat hancur karena sewenang-wenang salah satu oknum yang menggunakan
kesaktian tombak pusaka tersebut.
Menurut keterangan, tombak Jatayu dapat berubah bentuk apa saja sesuai dengan
ucapan orang yang memegangnya. Tombak Jatayu dapat melayang, terbang sendiri
mencari nama mangsanya yang disebutkan oleh pemegangnya. Juga tombak itu dapat
menikam lawan seribu orang jumlahnya dalam satu kali lemparan. Banyak lagi
kesaktian dari tombak Jatayu itu yang dijelaskan oleh Sultan Jurujagad dan Eyang
Panembahan kepada Suro Bodong, sebelum tugas negara itu dikerjakan oleh Suro.
"Lalu di mana letaknya Lembah Matsuri itu?" tanya Suro kepada Eyang Panembahan.
"Tempat itu sulit dilacak. Bahkan indra ketujuhku pun tak mampu menembus tempat
itu. Agaknya Matsuri terletak di suatu tempat yang sangat rahasia. Dan orang-orang
Matsuri juga bukan orang-orang murahan. Tentunya mereka punya sesuatu yang perlu
kau perhitungkan sebelumnya."
Kepala Suro Bodong manggut-manggut. Kemudian ia garuk-garuk kumisnya yang tebal
sambil menikmati jagung bakar kesukaannya.
"Bawalah pasukan berkuda untuk keperluan di perjalanan," kata Sultan Jurujagad.
"Arya Somar pernah bertarung dengan perempuan Matsuri, tapi dia babak belur."
Eyang Panembahan menambahkan kata, "Arya Somar tahu, bagaimana tanda-tandanya
jika perempuan Matsuri itu sudah berada di sekeliling kita. Mereka memang tidak
bisa disentuh, tapi barangkali dengan satu cara yang ada padamu, kau bisa
menyentuh dan melihatnya, Suro."
Setelah beberapa saat mereka berembuk, akhirnya Suro menyetujui usulan untuk
membawa pasukan berkuda. Sebab tempat yang dinamakan Lembah Matsuri itu, mungkin cukup
jauh dari Kesultanan Praja, sehingga perlu ditempuh dengan menggunakan kendaraan
berkuda. Orang-orang yang siap mengikuti Suro Bodong adalah anak buah Arya Somar sendiri.
Mereka ada enam orang pilihan yang sudah cukup berpengalaman dalam hal melacak
lawan dan menembus perang. Mereka adalah: Ginan Sukma, ahli penakluk racun.
Baderi Darus, pemanah unggulan.
Emandanu, ahli dibidang senjata rahasia. Arya Somar, ahli strategi perang
berkuda. Dodot Pamasar, penjinak jebakan segala jenis. PambudiTulus, menguasai
segala macam bahasa hewan.
Genderang bertalu serempak mengiringi 7 pendekar berkuda yang keluar melalui
pintu gerbang Kesultanan. Sultan Praja dan beberapa punggawa negeri melepas
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepergian tujuh pendekar yang masing-masing mempunyai ilmu pedang dan tenaga
dalam cukup tinggi, terlebih pada diri Suro Bodong, sebagai pemimpin dari 7
pendekar yang siap merebut tombak pusaka di Lembah Matsuri.
Lambaian tangan massa, merupakan ucapan selamat jalan bagi 7 pendekar, seolah
rakyat pun turut mengucapkan selamat bertempur di Matsuri bagi mereka.
Derap kaki kuda mengepulkan debu jalanan. Suaranya bergemuruh bagai gunung
berapi bergolak. Mereka menuju ke arah Selatan, mencari keterangan dari siapa saja dan
apa saja tentang di mana letak Lembah Matsuri. Namun sampai setengah hari ini,
mereka belum menemukan tanda-tanda yang dapat membawa mereka ke Lembah Matsuri.
Menjelang sore, kuda-kuda itu terpaksa berhenti karena tangan kanan Suro Bodong
terangkat ke atas, tanda semua harus berhenti. Mata mereka menatap dua orang
yang tengah bertarung di lembah bukit yang tandus. Mereka adalahseorang lelaki
tua dengan perempuan berpakaianserba kuning.
"Barangkali perempuan itu salah satu dari orang Matsuri," ujar Ginan Sukma.
"Kalau begitu, mari kita serang dia," kata Dodot Pamasar dengan gerakan hendak
menarik tali kekang kuda. Tetapi, Suro Bodong segera berpaling ke arah Dodot dan
berkata dengan tegas:
"Jangan gegabah!Perempuan itu bukan orang Matsuri."
"Dari mana kau bisa tahu?" sela Emandanu.
"Aku kenal perempuan itu. Dan.. justru aku harus membantunya. Dia adalah Dewi
Gading. Perempuan itu pernah menolong nyawaku dari ancaman maut orang-orang kerajaan
Lesanmitra."
"Sepertinya aku pernah mendengar namanya: Dewi Gading." Pambudi Tulus menggumam
dan mengingat-ingat. Suro menjelaskan:
"Dewi Gading dan aku pernah sama-sama melawan orang-orang Lesanmitra, yaitu
merubuhkan Raden Puger dan Dandung Wungu. Dia yang menyembunyikanaku di Lereng
Sewu dan. ."
"Dan yang menjadikan kenangan indah bagi kalian berdua, begitu, kan?" Baderi
menyahut dengan tawa. Suro Bodong hanya tersenyum tipis.
Mereka masih berada di punggung kuda. Mata mereka masih memandang pertarungan
antara Dewi Gading dengan seorang lelaki tua berjubah putih. Suro Bodong menggumam
dalam hati, masa indah bersama Dewi Gading terkenang dan menggoda benaknya.
(dalam kisah: RACUN MADU
MAYAT). Lalu, Suro Bodong turun dari kudanya setelah Arya Somar berkata:
"Mungkin kita bisa bertanya kepada Dewi Gading tentang Lembah Matsuri. . "
Lelaki tua berjubah putih itu mengibaskan tongkatnya yang berbentuk kepala naga.
Dewi Gading yang berambut ikal itu segera merendahkan badan dan memukul perut
lawannya. Tetapi, gerakan tongkat begitu cepat menghantam tangan Dewi Gading,
sehingga perempuan bertubuh menggairahkan itu menyeringai kesakitan. Tangannya
didekap oleh tangan satunya, karena tulang tangan itu bagaikan patah terkena
pukulan tongkat lawan. Kesempatan tersebut digunakan oleh lelaki berjubah putih
untuk menghantam kepala Dewi Gading. Tongkatnya melesat dengan cepat. Dan..
sebuah batu sebesar genggaman telah lebih bulu menghantam tongkat itu, menahan
gerakan agar tidak sampai mengenai kepala Dewi Gading. Dengan cepat lelaki
berjubah putih mendelik ke arah Suro Bodong yang terlihat melemparkan batu
penahan tongkat itu.
"Bangsat! Apa urusanmu ikut campur urusan ini, hah"!"
Suro Bodong tidak bermaksud menyerang jubah putih. Ia berjalan mendekat dengan
langkah-langkah santai dan seulas senyum di bibir kepada Dewi Gading. Perempuan
berambut sepanjang bahu itu berseru kaget:
"Suro. ."!" Ia kegirangan.
Tetapi, lelaki berjubah putih itu segera menyerang Suro Bodong dengan satu
loncatan cepat.
"Hiaaaat. .!!"
Di luar dugaan, Emandanu melemparkan senjata rahasianya dari punggung kuda
berupa sebentuk bintang bersudut delapan. Zing. . ziing.. zing...! Tiga kali Emandanu
mengirimkan senjata rahasianya, karena ia khawatir kalau Suro Bodong sampai
diserang dalam keadaan tidak siap. Dua senjata memang bisa ditangkis dengan
kibasan tongkat, tetapi satu senjata yang terakhir tepat menancap mengenai leher
lelaki berjubah putih.
"Aaaaakhh.. !!"
Suro Bodong kaget sekali melihat lelaki itu rubuh dengan senjata rahasia
tertancap di leher. Ia segera berpaling kepada Emandanu, matanya memandang
garang, sementara Emandanu yang
tersenyum puas karena bisa menggagalkan seranganjubah putih kepada Suro, tiba-
tiba senyumannya itu pun pudar, berganti rasa was-was yang menggelisahkan.
"Ceroboh.. !!" bentak Suro Bodong. "Kenapa kau bertindak tanpa persetujuanku,
hah" Lihat.. !
Dia mati karena senjatamu, sedangkan kita tidak punya urusanapa-apa dengannya!
Goblok. .!!"
"Dia mau menyerangmu, Suro, dan kau kelihatannya tidak siap, maka. . ."
"Aku lebih siap daripada kau, Emandanu! Bahkan otakku pun sudah siap
memperhitungkan tindakan yang harus kulakukan. Tapi, bukan dengan cara harus
membunuhnya begini. Goblok tujuh turunan kau!!"
"Suro Bodong. .!" Dewi Gading berlari menghampirinya, dan Suro Bodong segera
menyusutkan kemarahannya.
"Syukurlah kau segera datang, Suro."
"Siapa lelaki berjubah putih ini"!"
"Dia bermaksud ingin memaksaku agar dibawa ke Pondok Lereng Sewu. Ia mengincar
beberapa pusaka mendiang guruku."
Suro Bodong menggumam pendek, kemudian menatap Dewi Gading. Sebaris ingatan
indah kembali menggoda benaknya. Ingatan indah itu adalah saat-saat Suro Bodong yang
berujud menjadi Tole, anak kecil, yang sempat menikmati masa khayalannya di
dalam Kamar Madu Mayat bersama Dewi Gading. Namun, demi tugasnya merebut tombak
pusaka, Suro Bodong segera membuang ingatan itu, yang dapat menjadi racun bagi
perjalanannya. "Dewi Gading.. aku punya masalah lain yang berbeda dengan masalahmu. Aku ingin
minta bantuan kau."
"Masalah apa" Perkawinan?"
Suro Bodong menggeleng, sekali pun Dewi Gading tersenyum nakal.
"Kau pernah mendengar Lembah Matsuri"!"
"Matsuri.. "!" Dewi Gading berkerut dahi dan sedikit memiringkan kepala saat
memandang Suro Bodong.
"Kau pernah mendengar nama itu tentunya," kata Suro.
Dewi Gading manggut-manggut dalam renungannya.
"Kau ingin ke sana, Suro?"
"Ya. Tapi aku tidak tahu di mana tempatnya."
"Aku juga tidak tahu tempatnya. Tetapi, kau bisa mencari seorang lelaki tua yang
tinggal di gunung Sembur. Namanya: Empu. . "
"Empu Segah.. "!" sahut Suro Bodong.
"O, kau telah mengenalnya?"
Suro mengangguk. "Dia pernah menolongku ketika aku menyerang Istana Awan," jawab
Suro (dalam kisah: TUMBAL MAHKOTA RATU).
"O, kalau begitu, kau bisa langsung bertanya kepadanya tentang letak Lembah
Matsuri. Tapi..
agaknya kau harus hati-hati ke sana."
"Kenapa?"
"Menurut kabar yang pernah kudengar, Lembah Matsuri adalah sebuah perguruan yang
mempunyai banyak orang berilmu tinggi. Orang-orang Matsuri sukar dijamah,
kecuali dengan cara tersendiri yang tentu saja mahal tebusannya."
"Kalau begitu, kami akan ke gunung Sembur sekarang juga," kata Suro Bodong.
Dengan mata memandang ke langit, melihat alam mulai redup.
"Kau akan kemalaman, Suro. Sebaiknya singgah dulu ke Pondok Lereng Sewu."
Suro Bodong menghela nafas. Ada kebimbangan yang sedang dipertimbangkan,
walauakhirnya ia berkata:
"Aku bersama enam anak buahku. Mereka tak mungkin kutinggalkan. Juga tak mungkin
harus singgah ke Lereng Sewu, tempatmu. Barangkali selesai acara ini aku bisa
singgah sebentar ke Pondokmu."
Dewi Gading juga menghela nafas, dan berkata, "Kalau begitu, selamat jalan.. !
Aku akan berdoa untuk keselamatanmu, supaya kau bisa benar-benar singgah ke
Pondok Lereng Sewu. Aku akan menunggu di sana, Suro. .!"
Setelah tangan Suro Bodong menjamah pipi Dewi Gading, Baderi terdengar batuk-
batuk kecil dan mendehem beberapa kali, suatu sindiran yang patut ditertawakan
dalam senyum. Lalu, perempuan berpakaianserba kuning itu segera melesat
meninggalkan rombongan tujuh pendekar KesultananPraja.
Suro Bodong memandangi beberapa saat kepergian Dewi Gading, kemudian segera naik
ke atas punggung kuda. Ia bicara kepada teman-temannya:
"Kita ke gunung Sembur, menemui Empu Segah, kenalanku. Menurut perempuan itu,
Empu Segah dapat menunjukkan di mana letak Lembah Matsuri."
"Lebih baik secepatnya kita ke sana," ujar Pambudi.
Dan kuda mereka pun terpacu dengan cepat bagai berlomba dengan malam.
Sebelum memasuki hutan di bawah kaki gunung Sembur, keadaan bumi sudah semakin
meremang. Arya Somar mengusulkan agar jangan meneruskan perjalanan diwaktu
malam. Separuh lebih mereka menyetujui untuk bermalam di kaki gunung, ditepian
hutan. Maka, mau tidak mau Suro Bodong berhenti memacu kuda mereka.
"Esok pagi kita menerobos masuk ke hutan, dan berhenti di suatu tempat yang
layak jadi perlindungan. Sementara aku dan Arya Somar naik ke pondok Empu
Segah," kata Suro di depan api unggun."Aku juga ikut naik!" kata Ginan Sukma.
"Mungkin ada beberapa hal yang bisa kuketahui maknanya."
"Baiklah. .!" kata Suro. "Jadi, empat orang menunggu di bawah, sambil menjaga
kuda-kuda kita."
Tetapi, suatu kejadian yang sangat di luar dugaan telah mengejutkan mereka.
Ketika fajar menyingsing, dan mereka terbangun, maka ricuhlah mereka karena
salah seorang dari mereka tidak diketemukan raganya.
Emandanu, ahli dibidang senjata rahasia, telah hilang tanpa jejak yang pasti.
Pakaian dan persenjataan Emandanu ditemukan oleh Arya Somar. Tetapi raga
Emandanu tidak ditemukan sekali pun sudah dicari ke mana-mana.
"Jangan sentuh pakaian itu!" teriak Suro Bodong dari tempat sedikit jauh. Semua
masih mencoba memeriksa keadaan sekeliling. Menggeledah hutan. Tetapi raga
Emandanu tidak ditemukan oleh siapa pun.
"Kurasa ada satu kekuatan yang mampu mengambil raga Emandanu," ujar Pambudi
Tulus. "Lihat saja posisi pakaian dan senjata Emandanu, seolah-olah masih dalam posisi
telentang dalam tidurnya. Ini berarti ada kekuatan yang mampu memusnahkan atau
mengambil lolos tubuh Emandanu dalam keadaan tanpa pakaian."
Baderi Darus menggeram dengan wajahnya yang berkumis menampakkan kemarahannya.
Sementara itu, Suro Bodong memanjat pohon dan menyelidiki hutan tersebut.
Tetapi, tetap saja tak ada tanda-tanda yang dapat dijadikan petunjuk, ke mana
perginya Emandanu.
"Aku harus segera naik, menemui Empu Segah. Kurasa Empu Segah dapat membantu
kesulitan kita," kata Suro Bodong.
"Sebaiknya kita naik bersama-sama," kata ' Ginan Sukma.
"Jangan," Arya Somar mencegah. "Kita mencari dan menyelidiki tempat ini seteliti
mungkin, sementara Suro Bodong biarkan naik menemui Empu Segah."
Kemudian, hal itu disepakati bersama, dan Suro Bodong melesat dalam satu
lompatan, meninggalkan teman-temannya. Gerakan Suro Bodong seperti kelinci dikejar
harimau, begitu cepat sehingga mirip sebatang ahak panah dilemparkan. Ia harus
segera menemui Empu Segah, sebab ia yakin bahwa Empu Segah akan dapat
menolongnya dalam hal menemukan Emandanu kembali. Paling tidak melalui Empu
Segah, Suro dapat mengetahui arah kepergian raga Emandanu, atau penyebab
hilangnya Emandanu.
"Empu Segah.. ! Aku datang! Aku Suro Bodong.. !!" teriak Suro ketika memasuki
halaman pondok yang terbuat dari kayu-kayu berjajar itu. Keadaan sepi adalah
wajar, karena memang demikianlah keadaan sehari-hari di rumah Empu Segah. Suro
pernah merasakan kesepian di rumah itu ketika ia diselamatkan oleh Empu Segah
dari ancaman racun Jarum Malaikat milik Laras Peri, (dalam kisah : TUMBAL
MAHKOTA RATU). "Empu Segaaah. .! " teriak Suro Bodong setelah tak mendapat jawaban. Ia nekad
memasuki pondok itu, dan matanya menjadi terbelalak ketika melihat Empu Segah
telah terbujur menjadi mayat berbau busuk.
Hampir Saja Suro Bodong kaget dalam hentakan rasa muntah ketika ia melihat
bangkai manusia dengan kepala yang terpisah dari lehernya. Empu Segah sudah
tidak lagi berujud seorang lelaki tua yang bersimpati kepada Suro Bodong. Wajah
pada kepala itu hancur, dan badannya pun telah mulai berbelatung di beberapa
tempat. Suro Bodong tak tahan, antara sedih dan ingin muntah. Segera ia melompat ke luar
dalam satu teriakan histeris yang menjadikan tanda pelampiasan rasa sedih dan
kemarahan. Lemas tubuh Suro Bodong melihat mayat Empu Segah. Siapa yang telah
melakukannya" Siapa yang membunuhnya" Suro nyaris tak dapat berpikirapa-apa
kecuali terkulai lemas di bawah pohon.
2 Sosok bayangan yang terlihat di balik semak, di samping rumah mendiang Empu
Segah itu sangat mencurigakan. Suro Bodong yang sedang jengkel atas kematian Empu Segah
segera melompat dengan kedua tangan menggenggam setengah terentang. Kemudian
kakinya menendang salah satu pohonseukuran pahanya yang dekat dengan semak dan
sosok manusia itu.
"Hiaaat. .!"
"Kraak. .! Bruuk.. !"
Pohon itu tumbang seketika. Patah pada bagian yang tepat terkena tendangan kaki
kanan Suro Bodong. Pohon itu sengaja ditendang agar rubuh menimpa sosok manusia
yang ada di balik rimbunan semak itu.
Bagai burung yang mengepaskan sayapnya dengan gagah, seorang berjubah biru
melesat dari semak belukar, melayang di udara dan bersalto beberapa kali ke arah
Suro Bodong. Kibasan jubahnya sempat mengenai pundak Suro Bodong. Kibasan kain
jubah biru itu seperti kibasan pohon roboh yang membuat Suro Bodong terpelanting
ke samping, nyaris jatuh ke lereng gunung.
Wow.. "! Alangkah hebatnya. Kibasan jubah itu mampu membuat tubuh Suro yang
besar jadi sempoyongan, apalagi pukulan dan tendangannya. Suro yakin, lelaki
botak berjubah biru itu pasti mempunyai ilmu silat yang tidak tanggung-tanggung
kehebatannya. Lelaki botak plontos berjubah biru itu hanya memegangi sebuah kalung menyerupai
tasbih. Manik-manik kalung itu tidak seperti manik-manik kalung biasanya. Ia mempunyai
manik-manik kalung yang besar, kira-kira seukuran bola bekel. Warnanya hitam
kecoklat-coklatan, dan agaknya terbuat dari jenis batuan langka.
"Kau tak akan mampu menyentuhku, anak muda. ." kata lelaki tua yang beralis
tebal dan berwarna putih. Ia memandang Suro Bodong dengan ringan. Wajahnya yang
tanpa kumis dan jenggot sedikit pun itu membuat Suro Bodong sedikit heran;
mengapa hanya ada alis mata yang tumbuh pada bagian kepalanya. Mengapa tidak ada
rambut lain yang umumnya di kepala manusia setua lelaki berjubah biru itu"
"Hiaaat. .!"ia membuang pikiran itu. Ia yakin, lelaki berjubah biru itulah yang
membunuh Empu Segah. Sebab itu, Suro Bodong tak mau memberi kesempatan kepada
orang botak plontos itu untuk melancarkan serangan ke arahnya, tetapi Suro lah
yang menyerangnya lebih dulu. Pukulan tangan kanannya menjurus ke wajah lelaki
botak. "Plak. . plak.. !"
Dua pukulan Suro Bodong dalam jarak dekat dapat ditangkis oleh lelaki berjubah
biru. Suro Bodong menggerakkan kakinya menekuk di depan perutnya, lalu
menghentak lurus ke depan, sasarannya dada lawannya. Tetapi, dengan mudah kaki
Suro Bodong itu dapat dielakkan dengan cara memiringkan badan ke samping dalam
keadaan melengkung ke belakang. Sebaliknya, kaki kanan lelaki berjubah biru
menghentak ke samping, dan sasarannya adalah perut Suro Bodong yang tak pernah
tertutup baju itu.
"Huuuugh...!" Mata Suro Bodong sempat mendelik, karena perutnya bagai terseruduk
banteng jantan yang sedang mengamuk. Sukar sekali Suro ingin bernafas. Buru-buru
ia menguasai keseimbangan nafasnya sambil berdiri sedikit membungkuk. Lelaki
botak itu tidak melanjutkan serangannya. Ia bagai menunggu kesanggupan Suro
untuk bernafas kembali.
"Percuma saja kau melawanku, anak muda. Kau akan mati dalam usia sepertiga dari
umurku.. "
kata lelaki botak. Tangannya memainkan kalung bermanik-manik besar. Suro Bodong
melirik dengan geram, penuh kemarahan yang menggemaskan.
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakek sombong. .!Pembunuh keji!Terimalah jurus-jurusku kali ini, hiaaat. .! "
Suro Bodong bergerak dengan cepat, bagai lompatan srigala lapar menerkam pisang
goreng. Kedua tangannya melesat terarah ke wajah lawan, kakinya lurus ke depan. Namun,
sebelum sempat ditangkis, Suro Bodong segera berkelit ke samping, langsung
berguling di tanah. Tiba-tiba ia menghentakkan tangan untuk membuat tubuhnya
berdiri. Lalu, dengan kecepatan yang tak dapat dilihat oleh mata manusia, kaki
kanan Suro Bodong menendang ke arah belakang.
"Hiaaat. .!"
"Uuh. .!"
Punggung kakek beralis tebal itu tersentak, karena menjadi sasaran tendangan
tersebut. Ia ingin berbalik mengibaskan kalungnya ke arah Suro Bodong, namun
jurus tendangan Ayam Kawin segera dilancarkan oleh Suro Bodong. Jurus tendangan
itu tidak sempat ditangkis atau dielakkan oleh lawan karena kecepatannya. Kaki
kanan Suro menendang dengan cepat, tujuh kali beruntun, kemudian disusul dengan
tendangan kaki kiri yang begitu cepat, juga tujuh kali beruntun. Baru setelah
lawan menjadi gelagapan, sebuah pukulan keras menghantam pipi orang itu tanpa
ampun lagi. Tubuh yang dihantam ternyata sukar untuk dijatuhkan. Tubuh tua
berjubah biru itu masih saja berdiri dalam posisi kaki merenggang dan sedikit
merendah ke bawah.
"Gila. ."!" Suro Bodong terheran-heran melihat ketangguhan berdiri lelaki tua
itu. Dua kali jurus tendangan Ayam Kawin yang biasanya membuat lawan tunggang
langgang serta jungkir balik, kali ini bagai tidak sanggup menggoyahkan tubuh
lelaki berjubah biru itu. Bahkan pukulan Suro yang keras juga tidak mampu
mengusik kesigapan berdirinya.
Suro Bodong segera membuka jurus Pukulan Babi Buta. Setelah kedua tangannya
terangkat ke atas dengan kaku, dan di tarik ke sisi dada dengan berotot kencang,
maka Pukulan Babi Buta pun segera dilancarkan. Tujuh kali dalam keadaan beruntun
kedua tangan itu saling bergantian memukul dengan cepat. Dada lelaki berjubah
biru menjadi sasaran telak. Tetapi, yang dipukul hanya diam saja, seakan membuka
dada, memberi kesempatan Suro untuk memukul sepuas hati. Dan hal itu dilakukan
Suro beberapa kali.
Kalau biasanya, Pukulan Babi Buta dapat membuat lawan terjengkang jauh dan
muntah darah. Pukulan itu begitu cepat, beruntun sampai tujuh kali bergantian, sukar ditangkis
atau dielakkan. Tetapi, kali ini agaknya Suro Bodong menghadapi lawan yang alot.
Cukup tangguh. Lelaki tua berjubah biru itu menyunggingkan senyum tipis ketika
Suro Bodong terbengong dengan nafas terengah-engah.
"Ini tembok baja! Bukan manusia. ." gerutu Suro yang merasa terheran-heran
melihat lelaki tua itu hanya tersenyum setelah menerima Pukulan Babi Buta. Ia
tetap berdiri tegak, kedua kaki sedikit merenggang dan kedua tangan lurus ke
bawah di samping kanan kiri.
"Bruuk. .!"
Lelaki berjubah biru itu tiba-tiba jatuh, rubuh. Dan, mata Suro Bodong pun
melotot kian lebar.
Kemudian hatinya tak dapat menahan geli melihat kenyataan di depannya.
Jubah biru ternyata sejak tadi bertahan diri untuk tetap tegak. Ia ingin
menampakkan kekuatannya menahan pukulan Suro Bodong dengan senyum tipis dan tenang. Berdiri
bagai tugu yang gagah serta kokoh. Tapi, nyatanya ia pun kini rubuh. Ternyata ia
tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Ia terpaksa melepas rasa malu untuk segera
rubuh karena pukulan dan tendangan Suro Bodong tadi.
Suro Bodong terkekeh-kekeh pelan. Ia berjongkok untuk memeriksa keadaan lelaki
tua itu. Ia sedikit mengkhawatirkan kalau lelaki itu mati tanpa diketahui siapa
namanya dan dari mana asalnya.
Suro ingin bertanya tentang mengapa lelaki tua itu membunuh Empu Segah. Apa
alasannya"
Tetapi, pada saat Suro Bodong merundukkan badan untuk berjongkok dan melongo,
tahu-tahu kaki kanan lelaki berjubah biru itu menendang keras ke atas.
"Huughh...! "
Suro Bodong terpental. Melayang bagai seonggok sampah dibuang ke udara.
Sedangkan lelaki berjubah biru itu telah meletikkan badan, lalu tubuhnya kembali
berdiri dengan sigap. Posisi kakinya merenggang dengan salah satu kaki ditekuk
rendah. Tubuhnya sedikit miring, seakan ia sedang mengambil ancang-ancang untuk
menyerang. Kedua tangannya mengeras. Yang kiri di depan dada, yang kanan
memegangi kalung dalam posisi terulur ke alas kepala. Kalung itu pun diputar-
putarnya dengan santai.
Tubuh Suro masih meringkuk di tanah. Ia mengerang tertahan karena perutnya
terasa sangat sakit. Seakan seisi perutnya ingin tertuang keluar lewat mulut dan
dubur. Suro Bodong meringis dan menggeliat beberapa saat. Kalau saja lelaki
berjubah biru itu mau menyerangnya, pasti Suro Bodong dapat mengalami luka yang
lebih parah lagi. Namun, tenyata lelaki itu justru menunggu Suro Bodong bangkit
dengan tegap, untuk, kemudian akan diserang lagi.
Suro berjuang menahan sakit. Ia berusaha untuk berdiri, walaupun pada
kenyataannya ia hanya mampu berdiri dengan kedua lutut-nya dengan sempoyongan.
Maka, lelaki berjubah pun mulai mengendorkan ketegangan tangannya yang siap
menyerang itu. Ia tersenyum tipis dan memandang Suro dengan matanya yang ciut.
"Jangan sangka dapat mudah merobohkan aku, anak muda. Mungkin kau memang bisa
membantai adikku, Empu Segah itu, dengan sekali gebrak, tapi aku. . kakak Segah,
adalah orang yang belum pernah jatuh dikalahkan lawan."
Suro Bodong memandang lelaki berjubah biru dengan sedikit sorot mata tercengang.
Kata-kata orang tua itu mulai membelai kemarahan Suro Bodong, meredakan
kebencian dan kedongkolan di hati Suro Bodong.
"Siapa kau sebenarnya, Kakek alot"!" kata Suro Bodong dengan suara bagai menahan
erangan kesakitan. Ia masih memegangi perut dengan menyeringai samar-samar.
Matanya menatap tajam-tajam pada lelaki berjubah biru yang berdiri di depannya
dengan keteguhan.
"Aku Bayanpati," jawab lelaki berjubah biru. "Orang memanggilku: Begawan
Bayanpati. Aku kakak Empu Segah yang kau bunuh dengan keji itu. Sudah sewajarnya
kalau aku menuntut balas atas kematian adikku itu, bukan?"
Dengan masih memegangi perut, Suro Bodong memaksakan diri untuk berdiri.
"Begawan Bayanpati.. " katanya sambil terbatuk sejenak. "Kalau begitu kita salah
anggapan."
"Salahanggapan itu menurutmu, tapi menurutku tidak!"
"Percayalah. Aku menyerangmu tadi, karena aku menyangka kau adalah pembunuh Empu
Segah, maka aku marah dan ingin melampiaskan kemarahanku."
Begawan Bayanpati masih mempermainkan kalung di samping perutnya. Ia mendekati
Suro Bodong sambil memandang penuhselidik. Beberapa saat kemudian, ia pun berkata:
"Jadi, kau mengira aku yang membunuh Segah?"
"Ya. Dan aku marah sekali karenanya. Sebab Empu Segah pernah menolongku. Kami
punya hubungan baik. Akrab dengan masalah kita. Justru aku ke sini juga ingin
meminta tolong kepada Empu Segah sahabatku. . tapi ternyata, dia sudah menjadi
bangkai!" Suro mengucapkan kata terakhir itu dengan nada penuh kesedihan dan
penyesalan. Di bawah pohon, ada batu memanjang. Dulu Suro sering menggunakan batu itu untuk
duduk bersama Empu Segah. Namun sekarang, ia duduk bersama kakak Empu Segah, yaitu
Begawan Bayanpati. "Sekali waktu aku pernah mendengar namamu, Suro Bodong. Segah yang menceritakan
padaku tentang kamu. Ia juga menceritakan kelegaannya dapat membantumu
memusnahkan Istana Awan (dalam kisah : TUMBAL MAHKOTA RATU). Dan. . kalau kutahu
namamu Suro Bodong, mungkin aku tidak akan menyerangmu. Ah.. sudahlah perluapa
kita bicarakan lagi hal itu. Aku lebih tertarik dengan apa yang kauceritakan,
yaitu mengenai perjalananmu ke Lembah Matsuri."
"Ya. Ada persoalan penting di sana yang harus kuselesaikan dengan teman-
temanku." "Dengan teman-temanmu" Maksudmu, kau tidak datang sendirian"!" Begawan Bayanpati
bersungut-sungut dan memandang ke sekeliling.
"Di bawah sana," Suro menuding ke lereng gunung. "Ada enam orang temanku yang
menungguku. Tapi. . yang satu hilang muspra. Baju dan pakaiannya, senjata-
senjatanya, ada semua, tetapi raganya hilang tak tahu arah."
Begawan Bayanpati yang beralis tebal tapi putih itu berkerut dahi. Kemudian, ia
manggut-manggut, entahapa maksudnya. Suro melanjutkan kata-katanya:
"Aku datang ke pondok Empu Segah hanya untuk bertanya: di mana letak Lembah
Matsuri sebenarnya. Tapisayang. . beliau telah tiada. Padahal aku berharap,
beliau tahu persis Lembah Matsuri."
Suro Bodong duduk dengan kedua sikunya berada di atas kedua lutut dan pahanya.
Badannya membungkuk ke depan, namun matanya memandang lurus ke bawah, seakan ia
sedang merenungkan kesialannya.
Begawan Bayanpati berdiri, melangkah ke depan membelakangi Suro Bodong. Kemudian
berbalik setelah bungkam sesaat, lalu berkata dengan suara tuanya yang khas:
"Tidak semua orang bisa mencapai Lembah Matsuri."
Kata-katanya diam sampai di situ. Ia memandang Suro Bodong, dan hal itu membuat
Suro Bodong menjadi tertarik. Suro mengangkat wajah, memandang Begawan Bayanpati.
"Segah danaku pernah mencoba ke sana, tapi gagal."
Suro Bodong masih terbungkam beberapa saat. Sepertinya ada keraguan di dalam
hatinya. Kemudian Begawan Bayanpati melanjutkan kata-katanya tanpa memandang Suro,
melainkan memandang pepohonan yang ada di samping kirinya.
"Tempat itu seperti dalam impian, atau seperti di ujung khayalan. Indah. Memang
indah tempat itu. Banyak kesejukan di Lembah Matsuri. Banyak kecantikan di sana,
tetapi tidak semua orang bisa menggapainya."
Setelah merenung sesaat, Suro pun bertanya:
"Di mana" Mengapa tidak bisa digapaisemua orang?"
Kepala lelaki tua itu berpaling memandang Suro. Diam beberapa lama. Kemudian ia
berjalan mendekati Suro, berhenti tepat di depan Suro Bodong, sehingga Suro
Bodong terpaksa menegakkan posisi duduknya sambil memandang ke atas. Ke wajah
Begawan Bayanpati yang tampak bersungguh-sungguh itu.
"Kau harus menuju ke Barat," ujar Begawan.
"Ke Barat" Apakahada kehidupananeh di Barat sana?"
"Banyak kehidupan aneh di sana. Salah satu diantaranya kehidupan di dalam Lembah
Matsuri." Suro Bodong menggumam. Ia merubah sikap duduknya. Kini salah satu kakinya
menumpang di salah satu pahanya. Ia bertanya dengan tanpa memandang Begawan
Bayanpati: "Apakah banyak penghalangnya" Apakah untuk menuju Lembah Matsuri harus melalui
berbagai rintangan?"
"Ya," jawab Begawan tegas. "Letaknya sendiri pun sukar dicapai, dan tidak setiap
waktu kau bisa menuju ke sana."
"Maksudnya?" Suro berkerut dahi, menatap tenang.
"Ada waktu khusus untuk datang, bahkan untuk melihat Lembah Matsuri itu kita
membutuhkan kesabaran. Menunggu sampai saat Lembah Matsuri tampak oleh
penglihatan kita. Jadi, ada waktu khusus bagi Matsuri untuk buka dan untuk
tutupnya pun punya waktu tersendiri."
Kumis yang tebal itu digaruk-garuknya lagi. Suro Bodong masih berkerut dahi
pertanda ia dalamera kebingungan yang menggelisahkan.
"Tolong berikan keterangan yang lebih lengkap, Begawan."
"Tekadmu cukup besar," Begawan Bayanpati tersenyum sinis, tapi sebenarnya bukan
senyum kebencianatau penghinaan.
"Aku memang harus ke sana. Ini tugas dari Sultanku. Tapi, aku tidak tahu, di
mana letak Lembah Matsuri yang sebenarnya."
"Letaknya ada diantara lengkung pelangi."
Kepala Suro Bodong miring-miring dengan dahi berkerut makin tajam. Kumisnya
digaruk lagi, karena benaknya bingung mengartikan kata-kata tadi.
"Letaknya di antara lengkung pelangi" Maksudnya, bagaimana itu?"
"Kau hanya bisa melihat Lembah Matsuri bersama kehidupan masyarakatnya, jika kau
melihat pelangi membias di langit Barat. Di tepi laut, kau akan dapat melihat
Lembah Matsuri dengan jelas pada saat sang Pelangi menampakkan diri. Lembah
Matsuri itu sesungguhnya suatu kehidupan di lengkung pelangi senja."
"Aku seperti mendengarsebuah dongeng. ."
"Yang menjadi kenyataan," sahut Begawan Bayanpati. Suro hanya diam, termenung
dalam kebimbangan. Begawan melanjutkan kata:
"Pergilah ke arah Barat, carilah pantai dan tunggulah di sana sampai terbit bias
pelangi senja. Lalu perhatikan di antara lengkung pelangi itu, maka kau akan melihat suatu
kehidupan di atas lengkung pelangi. Itulah kehidupan Lembah Matsuri dengan
perempuan-perempuan cantiknya yang sukar kau jamah, kecuali dengansyarat yang
cukup besar."
"Apa syaratnya?"
"Kesungguhan!"
Memang, hati Suro Bodong sepertinya merasa sedang ditipu oleh sebaris cerita
Begawan Bayanpati. Namun, kemudian ia segera bertanya dalam hati: untuk apa Begawan
Bayanpati menyebar dongeng bohong seperti itu" Bukankah sikapnya sendiri sudah
menampakkan bahwa ia segan berbicara tentang Matsuri" Bukankah ia telah
menampakkan kekecewaannya karena gagal datang ke Lembah Matsuri bersama Empu
Segah. Dan. Pantaslah kalau Dewi Gading mengatakan, bahwa Empu Segah pernah
mencoba untuk datang ke sana.
"Baiklah. Terima kasih atas keteranganmu, Begawan. Aku tetap akan mencobanya
untuk datang ke Lembah Matsuri," kata Suro Bodong sambil berdiri dari duduknya."
"Hati-hati dengan perempuan Matsuri."
"Kenapa?"
"Dia bisa menjeratmu dengan mudah, tapi kau belum tentu berhasil menjeratnya.
Mungkin menyentuhnya pun sukar."
"Apa saranmu?" Suro Bodong berhenti melangkah setelah ia termenung beberapa saat
dan ingin segera pergi.
"Kesungguhan dapat membuatmu sampai ke sana. Danjangan melupakan bisikan hati
nuranimu sendiri, sebab bisikan hati nuranimu sendiri itulah yang akan banyak
membantu kesungguhanmu. Buka semua indramu jika ke sana, supaya kau tidak mudah
jatuh dalam genggaman perempuan Matsuri."
Suro Bodong manggut-manggut dalam keadaan menerawang. Kemudian ia mengucapkan
kata 'selamat tinggal' kepada Begawan Bayanpati, lalu melangkah menuruni lereng
gunung. "Suro. .!" seru Begawan. "Temanmu yang hilang ituakan kau temukan lagi dalam
waktu dekat."
Suro berhenti melangkah, memandang ragu.
"Dari mana kau tahu, Begawan?"
"Pasti anak buahku. Muridku yang bertindak gegabah, karena mereka juga
kukerahkan untuk mencari pembunuh adikku. Akan kusuruh ia mengembalikan temanmu
itu. Maaf, kami salah comot. .!"
Begawan itu sempat menyerukansuara kekeh tawanya yang meggelikan.
Suro Bodong melambai seraya berkata, "Mudah-mudahan kau pun akan berhasil
menemukan pembunuh Empu Segah!".
"Saling berdoalah untuk persahabatan baru ini, Suro!" Begawan Bayanpati pun
melambaikan tangan. Langkah Suro Bodong masih kelihatan tegap. Rasa mual di
perut masih terasa sedikit. Samar-samar. Tetapi, di dalam hati Suro telah
tersimpan kelegaan. Ia telah memperoleh keterangan tentang Matsuri, juga telah
mempunyai harapan kembalinya Emandanu yang salah comot. Tentu saja ilmu yang
digunakan murid Begawan Bayanpati bukan ilmu kelas kambing. Mungkin ilmu kelas
macan. Ilmu tinggi, sampai-sampai bisa menculik Emandanu dalam keadaan raga
saja, tanpa mengikutsertakan barang-barang dan pakaiannya. Wow. . sungguh hebat
ilmu itu. Sayang, Begawan tidak menjelaskan ilmu apa yang digunakan itu. Kalau
ada kesempatan dan waktu luang, Suro mau belajar tentang ilmu semacam itu kepada
Begawan Bayanpati.
"Wess.. !"
Tiba-tiba sebatang dahan seukuran tiga jengkal melayang ke arah Suro Bodong.
Suro yang mempunyai kepekaan pada saat itu segera melengkungkan badan
kebelakang, dan dahan tiga jengkal itu melesat di depan hidungnya. Hampirsaja
merobek kulit wajahnya kalau Suro tidak cepat menghindar.
Maka, dengan sigap, Suro Bodong langsung berhenti dengan merenggangkan kaki,
sedikit merendah, badannya sedikit membungkuk dengan tangan ke samping, siap menangkis
atau menghadapi serangan berikutnya. Ternyata, kesigapannya itu cukup tajam.
Sebatang dahan lain di lemparkan dari arah semula, dan Suro Bodong memukul dahan
itu dengan satu kali hantaman. Pecahlah dahan tersebut.
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keluar kau, Bangsat.. !"
Suro berteriak ke arah rimbunan semak di bawan pohon, tempat datangnya lemparan
tadi. Kemudian dari arah semak belukar itu terdengarlah suara:
"Aku malu untuk ke luar.. !"
Suro Bodong mengernyitkan alis. Ia mengenal suara itu. Dengan hati-hati ia
mendekati rimbunan semak. Matanya bergerak-gerak liar, tangannya siap menangkis atau
menyerang jika keadaan memaksa.
"Keluar kau!" hardiknya setelah berada di seberang semak. Kemudian seseorang
menongolkan kepalanya dan cengar cengir di depan Suro, hampir saja Suro
menghantam wajah orang yang baru nongol dari rimbunnansemak itu.
"Untuk apa kau sembunyi di sini dan menyerangku, Emandanu?"
"Aku malu. ." Emandanu masih menyeringai. "Aku telanjang bulat tanpa pakaian."
Nafas Suro Bodong terhempas kesal. Ia melihat tanaman berdaun lebar sejenis
talas. Kemudian Suro berkata kepada Emandanu yang sempat geger dikabarkan hilang
tanpa raga itu.
"Ambil daun itu sebagai penutup, dansegera bergabung dengan teman-teman di bawah
sana!" "Baik, Senopati Agung..." kata Emandanu berkelakar.
Suro Bodong menggumam lirih saat Emandanu mengenakan pakaian darurat dari
selembar daun lebar. Dalam hati ia mengakui kesungguhan Begawan Bayanpati, bahwa Emandanu
akan segera dikembalikan dari tangan anak buahnya yang salah comot itu.
Nyatanya, Emandanu bahkan kini tengah berjalan seiring dengan Suro Bodong
menuruni lereng gunung.
Tak sempat Suro Bodong menceritakan kisah pertarungannya dengan Begawan
Bayanpati, sebab teman-temannya sudah dihinggapi rasa gembira akibat kembalinya
Emandanu dan keterangan tentang Lembah Matsuri. Namun, mendadak Emandanu
kebingungan dan gaduhsendiri. Ia garuk-garuk sekujur tubuhnya, terutama pada
bagian yang ditutupi dengan daun lebar itu. Ginan Sukma bertanya, "Kenapa
kau.. ?" "Daun ini gatalsekali di kulit, hhuuuh.. ! Celaka!"
Arya Somar menyahut, "Sudahlah.. garuk-garuknya nanti saja di Lembah Matsuri.
Sekarang kita berangkat ke Barat. .!"
3 Tujuh sosok kesatria penunggang kuda, masing-masing menyandang pedang di
punggung. Pedang keprajuritan. Hanya Suro Bodong yang kelihatan tidak membawa senjata apa
pun pada tubuhnya. Baderi Darus, selain pedang di punggung, ia juga membawa
busur dan beberapa anak panah dalam tempat khusus di punggung, menyilang dengan
pedangnya. Demikian juga Emandanu, selain pedang di punggung, ia juga
menyelipkan beberapa macam senjata rahasia di balik bajunya yang berwarna hijau
tebal, dan ikat kepalanya yang terbuat dari kulit beruang itu. Dodot Pamasar,
selain mempunyai senjata sebuah pedang, juga menyelipkan pisau dua buah di kedua
betis sampingnya.
Pambudi Tulus, selain pedang juga sebuah cambuk membelit di pinggangnya bagaikan
ikat pinggang dari tali kenyal. Sedangkan Ginan Sukma dan Arya Somar masing-
masing bersenjata pedang saja, namun pada Ginan Sukma ia mampu menebarkan racun
lewat sabetan pedangnya, dan Arya Somar mampu menyalurkan tenaga dalam berupa
suara yang memekakkan telinga dengan cara mengibaskan
pedangnya. Sementara itu, Suro Bodong melenggang. Berada di barisan paling depan. Tak
terlihat senjata sekecil jarumpun pada dirinya. Orang akan menyangka, ia adalah
prajurit tanpa senjata. Namun, sebenarnya justru Sure Bodonglah yang mempunyai
senjata perlu diperhitungkan. Sebuah pusaka yang bernama Pedang Urat Petir,
terselip di antara kulit dan daging lengan kirinya. Jika pusaka itu telah
dicabut, tak pernahada lawan yang mampu menandinginya.
Tiga hari perjalanan mereka, sampailah pada sebuah pesisir yang masih termasuk
wilayah pesisir Selatan. Suro Bodong memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
dengan menyusuri pantai.
Dengan melanjutkan perjalanan pantai, maka tempat yang dimaksud oleh Begawan
Bayanpati suatu saat akan ditemukan juga, di mana dari pantai tersebut mereka
dapat melihat Lembah Matsuri yang konon di antara lengkung pelangi.
"Kita harus mempertajam hati nurani. Itu menurut pesan Begawan Bayanpati," ujar
Suro Bodong dalam kesempatan mereka beristirahat.
"Itu berarti kita harus melatih kepekaan indra keenam," kata Arya Somar
menimpali. Mereka membentuk satu lingkaran mengelilingi api yang dipakai
membakar ikan hasil tangkapan di laut.
"Apa yang harus kita lakukan jika begitu?" Baderi bertanya sambil menikmati ikan
bakarnya. Suro Bodong pun menjawab tanpa memandang Baderi:
"Latihan pernafasan dan pemusatan pikiran."
"Kau bisa melatih kami, tentunya," kata Pambudi Tulus.
"Aku akan mencoba, sebab sudah lama aku tidak berlatih pernafasan dalam satu
pikiran." "Sebaiknya, waktu beristirahat jangan terlalu banyak disia-siakan," timpal Ginan
Sukma yang bertubuh pendek. Lebih pendek dari Arya Somar, namun kelihatan lebih
berotot dari yang lainnya.
Ketika mereka telah melepas lelah untuk beberapa saat, maka Suro Bodong pun
memandu teman-temannya untuk berlatih penguasaan nafas dan pemusatan pikiran. Mereka
berdiri dengan kedua kaki terbuka, renggang. Tubuh mereka merendah serendah-
rendahnya, tetapi telapak kaki tetap sejajar dengan tanah.
"Rentangkan tangan, lalu hiruplah udara sebanyak-banyaknya melalui hidung. Dalam
menghirup, tarik kedua tanganmu untuk menyatu di depan dada dalam keadaan lemas.
Tahan nafas sampai lama di rongga perut, lebih dekat dengan bagian pusarmu.
Tahan nafas di situ, baru lepaskan perlahan-lahan dengan gerakan kedua tangan
terbuka ke depan dan kembali menyamping," tutur Suro Bodong memandu teman-
temanya. Hal itu dilakukan oleh mereka berulang-ulang. Bahkan Suro Bodong juga melatihkan
beberapa gerakan pernafasan yang cukup aneh bagi keenam prajurit andalan itu.
Suro Bodong mengajarkan gerakan tanpa nafas yang cukup lemah. Lamban dalam
gerak, namun tajam dalam pemusatan pikiran.
Mereka bagai sedang membawakan sebuah tarian gemulai secara bersamaan. Otot-otot
mereka mengendur, mata mereka bergerak searah gerakan raut muka. Hentakan-
hentakan kecil dilakukan bagai tanpa tenaga, namun justru dengus nafas yang
terkendali itu mampu menghasilkan satu tenaga maha dahsyat. Itulah yang
dinamakan jurus pukulan Bidadari Pagi, yang pernah dipelajari Suro dari Eyang
Panembahan, dan pernah juga dipelajari secara diam-diam oleh perempuan anak
seorang Adipati yang bernama Puji Wardani, (dalam kisah: DENDAM PEREMPUAN SEPI).
Malam hari, puncak purnama mengintip di balik mega. Sinar kepucatan bagai perak
merona memancar ke permukaan pantai. Hal ini membuat suatu kebetulan bagi mereka
untuk bermalam tanpa api unggun. Hawa dingin tidak begitu meresap. Justru panas
badan makin mendidih, karena Suro melatih teman-temannya sampai malam menguasai
bumi. Pada hari berikutnya, latihan di tepi pantai berikutnya juga, malam yang
selanjutnya pula..
mereka berhasil menguasai bahasa naluri. Geming hati dalam berucap kata sempat
di dengar oleh telinga hati yang lainnya.
"Apa kau mendengaraku bicara"' kata Suro Bodong dalam hati.
Ginah Sukma dan Dodot Pamasar menjawab sama:
"Ya. Aku mendengar kata hatimu."
Sedangkan yang lain hanya menggunakan kepala sambil memandang Suro Bodong. Arya
Somar berbisik dalam hati kepada Suro Bodong.
"Aku jelas mendengar suaramu, entah kalau teman-teman yang lain."
Hati Baderi Darus menjawab, "Aku juga mendengar!"
Suro berkata dalam hati, "Kalau begitu, mari kita bicara tentang seorang janda
yang kesepian.. "
ternyata kata-kata itu di dengar oleh hati mereka, terbukti mereka jadi tertawa
serempak dalam suatu kebanggaan yang terselip. Mereka tak tahu bahwa Suro Bodong
banyak membantu dalam pelajaran ilmu Serap Hati itu. Tanpa bantuan khusus dari
tenaga dalam Suro Bodong, mustahil mereka dapat menguasai ilmu Serap Hati dalam
waktu latihan sesingkat itu.
"Aku mendengar suara kegaduhan," ujar Arya Somar dalam hati. Semua jadi memasang
telinga, mendengarkan suara gaduh dikejauhan.
"Ya. Sepertinya suara orang-orang dalam kepanikan," kata Baderi Darus dalam
hati. Pambudi Tulus memejamkan mata, lalu mulutnya berkata:
"Sepertisuara rumah kebakaran!"
Pambudi Tulus yang semakin tinggi ilmu pendengarannya itu memastikan adanya
rumah terbakar di bagian Barat mereka. Lalu, Suro Bodong memberi komando agar mereka
segera menuju ke sana. "Pastiada perkampungannelayan yansedangterbakar,"kata
Suro Bodong. Arya Somar memacu kudanya lebih dulu. Kemudian, disusul Baderi Darus dan Ginan
Sukma, lalu Dodot Pamasar dan Pambudi Tulus, Emandanu di belakang mereka, bahkan kini
mengejar Arya Somar hingga berjajar. Sedangkan Suro Bodong berada paling
belakang dari mereka.
Nyala api terlihat berkobar. Mereka semakin mempercepat derap kaki kuda. Makin
dekat makin terlihat jelas perkampungan yang terbakar, penduduk yang kalang
kabut dalam jeritan kepanikan dan..
oh, rupanya mereka bukan hanya panik karena api, melainkan juga panik karena
ketakutan. Arya Somar mengangkat tangan kanannya tanda semua temannya harus mengurangi
kecepatan kuda, dan berhenti sejenak. Arya Somar berkata kepada Baderi Darus yang sudah
berada di samping kanannya:
"Ada pengacau di sini!"
"Ya, aku melihat orang-orang berbadan besarsedang mengejar-ngejar para
perempuan. .!"
"Hei, lihat itu. .!" seru Emandanu. "Gila! Mereka melakukan pemerkosaan di depan
umum dan terang-terangan"!"
"Kau ingin nimbrung"!" gumam Ginan Sukma.
"Benar-benar orang bertubuh kekar dan hitam itu tak lebih dari binatang-binatang
buas. .!" geram Emandanu.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Mana Suro Bodong" Masih di belakang"!" Arya Somar bimbang menentukan sikap.
Tapi akhirnya ia mengambil inisiatip,
"Serbuuuu. .! " teriaknya sambil mengibaskan tangan.
Suatu kerusuhan dilakukan oleh orang-orang bertubuh kekar, besar bagai raksasa
manusia. Kulit mereka hitam dan hanya mengenakan cawat kulit dengan topi
berbentuk tanduk. Wajah-wajah mereka bengis-bengis, kasar dan menakutkan. Tinggi
tubuh mereka pada umumnya lebih dari dua meter.
Bahkan salah seorang dari mereka terlihat sedang menikmati biji mata manusia
yang digerogot begitu saja. Mereka benar-benar liar dan sangat ganas.
Ginan Sukma yang kecil segera memacu kudanya ke arah salah seorang dari mereka
yang sedang menyeret seorang perempuan ke tepi laut. Bersama kudanya itu, Ginan Sukma
menabrak orang bertopi tanduk. Kuda melompati, dan kaki belakang kuda menyepak
punggung lelaki hitam dengan keras. Pada saat itu Ginan Sukma segera mencabut
pedangnya dan menebaskan dengan cepat ke arah pilipis lawan kekarnya.
"Aaawww.. !!"
Lelaki itu menjerit mengerikan ketika pelipisnya somplak dibabat pedang Ginan
Sukma. Sementara itu, Pambudi Tulus juga mengendalikan kudanya dengan gerakan khusus.
Kuda itu mampu melompati dua orang besar yang hendak membabat punggung Arya
Somar dari belakang.
Kedua kaki depan kuda itu dapat dikendalikan oleh Pambudi Tulus, sehingga kaki
kuda itu mampu menendang dua arah sekali gus. Salah satu orang besar terluka
kepalanya, pecah pada bagian tengkuk kepala, sedangkan yang satu hanya
terhuyung-huyung ke depan. Tetapi dengan sigap, Arya Somar menyodokkan pedangnya
ke arah belakang dan tepat mengenai lawannya.
"Aaawww.. !!"
Jeritan itu amat mendirikan bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya. Arya Somar
segera melompat ke udara, dan bersalto sambil mengibaskan pedangnya pada saat
seseorang sedang meluncur dalam satu lompatan ke arah belakang Pambudi Tulus.
Kibasan pedang Arya Somar berhasil membelah kepala lawan, hingga orang itu roboh
tepat mengenai pantat kuda yang ditunggangi Pambudi Tulus.
Setelah menengok sebentar, Pambudi Tulus melajukan kuda ke arah lain, di mana
Baderi dan Dodot Pamasar kewalahan disergap tiga orang besar. Mereka memainkan
keahlian pedangnya, namun setiap tebasan pedang lawan yang besar itu mampu
membuat tubuh Baderi dan Dodot terpelanting.
"Tar.. !" Cambuk Pambudi Tulus bicara. Sekali lecut, merobek leher salah seorang
lawan yang mengeroyok Baderi dan Dodot. Dua orang yang masih menghadapi Baderi
dan Dodot Pamasar itu menjadi semakin berang.
"Haaaahhh. .!!"
Mereka berteriak dan melompat, hingga salah satu kaki mereka menjejak dagu
Baderi, sementara Dodot Pamasar pun terpelanting jatuh akibat tendangan salah
seorang lagj. Pedang besar berujung segitiga itu telah siap dihunjamkan ke
tenggorokan Dodot Pamasar. Tetapi, Emandanu segera mengibaskan tangan kanannya
dua kali. "Ziiing. ,! Ziiing...!"
Dua senjata rahasia berbentuk segitiga melesat dari kibasan tangan Emandanu.
Keduanya tepat menancap di kening orang yang hendak menikam Dodot Pamasar,
sedangkan yang satu lagi menancap pada dadanya dengan terbenam seluruhya. Orang
itu mendelik, masih berdiri dengan mulut ternganga tak mampu berteriak. Dodot
Pamasar menendang ulu hati orang itu dengan tendangan dari bawah ke atas.
Tendangan itu cukup kuat, namun tidak sampai membuat lawannya terpelanting jauh.
Hanya dua langkah dari tempatnya berdiri, lawan itu sempoyongan dan rubuh.
Sedangkan lawan yang sedang menghajar Baderi Darus itu tiba-tiba ikut memekik
keras. Posisi berdirinya jadi melengkung ke depan, karena dari belakang sebuah
pedang Arya Somar menikamnya dengan mantap dan tanpa ampun lagi. Pada saat itu,
Baderi Darus memukul alat vital lawannya dengan keras hingga lawannya terlonjak
ke atas. Lalu, ia pun rubuh dengan menggelapar-gelepar bagai sapi disembelih.
"Aaahk.. ! Aku kenaa, uuh.. !"
Emandanu memekik keras. Sebatang tombak bergagang pendek dengan ujung seperti
alat pemburu ikan itu menancap di pinggang kirinya. Ia pun rubuh dari atas punggung
kuda. "Emandanu kenaa. .!!" teriak Pambudi Tulus. Segara ia menyambar temannya itu dan
turun untuk menolongnya. Tetapi sebuah tendangan kasar membuat tubuh Pambudi
Tulus terpental menghantam perut kuda.
Sebuah pedang berujung segitiga mengibas, Pambudi Tulus hanya sempat menggeliat,
dan punggungnya terpaksa tergores pedang itu tanpa ampun lagi.
"Deri. . hantam dengan panahmu. Aku terluka. .!" kata Pambudi Tulus dalam hati
ketika ia merasa tak mampu lagi menghindari pedang lawannya.
"Juub.. !"
"Aaakhh.. !" Orang besar yang hendak m-nikamkan pedangnya dengan kedua tangan
terangkat ke atas, siap menghunjam ke tubuh Pambudi, segera terjengkang kaku.
Lehernya ditembus anak panah Baderi Darus. Kerongkongannya bagai gedebong pisang
yang dengan empuk sekali ditusuk panah Baderi hingga tembus ke belakang. Pambudi
Tulus berusaha sekuat tenaga untuk menggelinding ke samping. Tepat pada saat itu
lawannya rubuh ke depan, menjatuhi bekas tempat Pambudi terkulai.
Pedang yang sudah terlanjur diangkat oleh kedua tangan itu menancap di tanah dan
melesat hampir separoh panjangnya. AndaiPambudi tidak mengerahkan tenaga untuk
berguling ke samping, maka jelas tubuhnya yang akan kejatuhan ujung pedang itu.
"Hoo.. hooooh. . hoaah.. hoaah.. !!"
Suara itu bergema, datang dari perairan laut. Cahaya rembulan menampakkan
bayangan manusia-manusia bertubuh besar dan tinggi berdatangan ke pantai. Mereka hendak
membantu teman-temannya yang sedang bertempur di pantai. Mereka berlari
menyibak-kan riak ombak, senjata terhunus dan digenggam di tangan masing-masing.
Dua orang teman mereka masih hidup di pantai dan sedang dihajar oleh Ginan Sukma
serta Arya Somar. Dodot Pamasar kelabakan ketika melihat orang-orang bertopi
tanduk itu berdatangan dariarah laut dengan jumlah lebih dari 25 orang.
Suro Bodong 12 Geger Pusaka Matsuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dodot Pamasar segera melemparkan pisaunya yang sejak tadi terselip di betis.
"Wess. .!" Pisau itu tak lebih dari sejengkal panjangnya, dan dilemparkan dalam
gerakan setengah berputar. Pisau itu melayang melewati kepala Ginan Sukma dan
merobek leher lawan yang hendak menikamkan
pedangnya ke tubuh Ginan Sukma. Pisau itu bagai lewat begitu saja dan kembali ke
arah DodotPamasar.
Dengan melejitkan tubuh, Dodot Pamasar menangkap pisau tersebut. Lalu
melemparkan lagi dalam gerakan setengah lingkaran. Sementara itu, lawan Ginan
Sukma memegangi lehernya sambil mendelik, dan Ginan memanfaatkan untuk merobek
perut lawannya hingga berhamburan isi perut orang besar itu.
Sementara Ginan melompat menjauhi lawannya yang sekarat, Arya Somar melompat
menghindari tebasan pedang lawannya. Kakinya terangkat satu dan menjejak tepat
di wajah, hingga orang itu tersentak ke belakang. Pada waktu ia tersentak,
sebuah benda meleset menggores matanya.
Pisau Dodot Pamasar berhasil melayang dengan arah putar dan melukai mata lawan
Arya Somar. Pisau itu seperti tadi, membelok arah dan kembali ke tangan Dodot
Pamasar. Sedangkan Arya Somar segera menikamkan pedangnya ke arah tenggorokan
lawan, hingga lawan tak mampu berteriak kesakitan, melainkan rubuh dan
menggelepar-gelepar sesaat, untuk kemudian enggan bernafas lagi.
"Munduur...!!" teriak Arya Somar setelah mengetahui orang-orang kekar itu telah
berhamburan menjejakkan kaki di pasir pantai. Suara mereka seperti gaung sejuta
lebah, atau bagai gema gorila seribu berseru.
"Celaka. .! Semua orangnya Gupolo turun dari kapal. .!" teriak salah seorang
penduduk sambil lari tunggang langgang. Orang itu menabrak perut Suro Bodong
yang berdiri menyaksikan pertarungan sejak tadi dengan garuk-garuk kumis.
"Ampunn.. ampun, jangan bunuh saya Raden Gupolo. .!" penduduk itu ketakutan dan
menyembah-nyembah Suro Bodong.
"Hei, jangan ngacau.. ! Aku bukan Gupolo! Aku Suro Bodong! Enak saja merubah
nama orang sembarangan.. !" gerutu Suro Bodong. Lalu, ia ikut jongkok di depan
lelaki kurus yang ketakutan itu.
"Ada apa sebenarnya" Di mana asal mereka" Siapa pemimpinnya" Mengapa.. ."
"Aduuh... jangan banyak-banyak tuan memberi pertanyaan. Saya kebingungan.. "
kata orang itu dengan nafas ngos-ngosan.
"Siapa Gupolo itu?" Suro sedikit menenangkan kata.
"Setan laut! Dia penjaga dari seberang yang doyan makan daging manusia. .! Dia
dan rombongannya adalah pembajak nyawa manusia.. ! oh, saya takut. Mereka
datang. Mereka turun dari kapal. .! Permisi, Den. .!" orang itu buru-buru
berlari ketakutan ke arah kegelapan semak. Sementara itu, Suro Bodong berdiri
memandang kedatangan orang-orang Gupolo yang ganas-ganas itu.
Sambil garuk-garuk kumisnya dari kegelapan, Suro Bodong berkata dalam hati:
"Mundur semua, atur jarak. Masing-masing lima langkah dari jarak yang lain.
Biarkan mereka berpencar. Karena itu, jika mereka datang mendekat, berlarilah
menyebar."
Kata-kata itu jelas ditujukan kepada Arya Somar dan yang lainnya. Agaknya ilmu
Serap Hati yang dilatihkan beberapa waktu ini sa-ngat berguna untuk memberi
komando secara diam-diam. Dan Arya Somar pun mengikuti perintah Suro Bodong.
Mereka berjajar dalam jarak lima langkah dari masing-masingnya. Hanya Pambudi
Tulus yang tak mampu bergerak mengatur jarak. Namun, ia masih bisa berdiri
dengan lutut sambil memegangi cambuknya. Darah segar mengucur dari punggung
kirinya, dan kekuatan Pambudi Tulus mulai rapuh. Sementara, Emandanu diam tak
berkutik dengan lembing kanannya dihunjam tombak pendek berujung bengkok.
Pambudi Tulus melecutkan cambuknya ke udara tiga kali. Lima orang Gupolo
menerjangnya, namun terhenti ketika Pambudi Tulus mengibaskan cambuknya
berulang-ulang, bagai memagari tubuhnya dari serangan lawan yang ganas. Nyala
api memercik-mercik dari ujung cambuk, dan orang-orang Gupolo kebingungan untuk
menyerang, akhirnya mereka beraliharah menyerang Baderi Darus.
Sementara itu, Baderi Darus sibuk melepaskan beberapa anak panahnya. Namun, ia
terpaksa berhenti memanah, karena dari arah samping datang serangan dari lawan
yang bersenjata rantai bola berduri. "Heaaaah.. !!"
"Wuss. .!" Rantai bola berduri berkelebat di atas kepala Baderi Darus. Segera,
pedang Baderi bekerja dengan tangkas. Menebas ke depan sambil maju menyerang.
Busur panahnya dipakai untuk menangkis, sedang pedang digunakan untuk menikam
dan merobek lawan yang terdekat. Tapi, dadanya pun tak luput dari ujung pedang
lawan. Baderi Darus menjerit ketika ujung pedang lawan mampu merobek dadanya,
hingga rompi merah yang dikenakan robek sebagian. Ia segera melentikkan badan,
melayang dan bersalto ke salah satuatap rumah penduduk yang belum di bakar
Gupolo. Arya Somar dan Ginan Sukma mulai terteter diserang banyak lawan. Ginan melompat
ke salah satu pohon dan mengibaskan pedangnya ke arah lawan. Pedang itu
mengeluarkan serbuk bercahaya.
Berkelip-kelipwarna merah, dan menyebar ke arah lawannya.
"Aaaoohh. .! Haaaahhh.. !!"
Hina Kelana 17 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Matahari Esok Pagi 18