Iblis Hutan Tengkorak 2
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak Bagian 2
kejantanannya. Bahkan ketika Nyi Kembang
merayapkan lidahnya ke atas lagi, lalu berhenti di sekitar dada, turun lagi, dan
berhenti di sekitar paha, Jupro kelihatan seperti orang
kesurupan dan geliatan tubuhnya. Tangannya
meremas-remas rambut Nyi Kembang yang
lembut, sementara kepalanya sendiri mendongak-dongak ke
atas dalam desis mengetarkan lutut Jenar.
Sekali lagi, Jenar berusaha menggerakkan
bibirnya, berusaha menghentakkan suaranya
untuk melontarkan jerit, tetapi tenggorokkannya benar-benar mampet. Bagai tak
ada lobang sekecil jarum pun yang dapat dipakai mengeluarkan suara dari dalam tenggorokan
Jenar. Bahkan ketika Nyi Kembang semakin
menggila dalam menggerakkan kepalanya dalam posisi berlutut, Jenar semakin kuat
hasratnya untuk meraih pedangnya dari meja.
Tetapi jangankan tangan, jari-jarinya pun sukar dikendalikan. Jari-jari tangan
itu sepertinya beku. Kaku. Hanya bagian leher yang mampu
menggeliat untuk digerakkan.
"Aaaah...!"
Jupro mengerang dalam satu hentakan, dan
tubuhnya mengejang dengan nafas memburu tak
beraturan, la lemas, jatuh ke kiri, tepat di atas pembaringan berkasur. Saat itu
Nyi Kembang semakin menggila. Ia membujurkan tubuh Jupro
dalam gerakan brutalnya. Kemudian ia berusaha
mengayun sendiri 'perahunya' dan suaranya pun
semakin seronok, semakin mengundang kebirahian siapa saja yang mendengarnya. Jupro hanya mengerang dalam geliat
hebat. Tubuhnya
yang tertindih Nyi Kembang sama sekali tidak
ada usaha untuk melawan atau memberontak
keluar dari bawah Nyi Kembang. Dan hal itu
membuat Nyi Kembang semakin berjingkerak-
jingkerak seperti terbakar api. Rambutnya
meriap dalam gerakan melambai kian ke mari.
Sesuatu yang menggantung di dadanya,
terayun-ayun bagai pepaya yang hendak rontok
dari tangkainya. Wajah cantiknya meringis,
menjerit tertahan, menggigit-gigit
bibirnya sendiri, tanpa peduli keringat meleleh di
sepanjang punggungnya yang bagai bentangan
sutra susu. "Uug... aaag. . uuuh...!" Jenar berusaha berteriak. Nyatanya ia hanya bisa ber-ah, ih,
uh...! Tanpa ada makna yang dapat memudarkan
amukan gairah kedua insan itu.
Hanya saja, pada saat Nyi Kembang
meregang, melontarkan erangan lembut yang
memanjang itu, tiba-tiba pintu kamar ditendang seseorang dari luar.
Braaak.. !! Bukan hanya Jenar yang terlonjak kaget,
melainkan Jupro dan Nyi Kembang pun
menegangkan urat-uratnya. Mereka sama-sama
memandang ke arah pintu, dan di situ sudah
berdiri sosok tubuh yang sedikit gemuk dengan
baju terbuka tanpa kancing dan kelihatan
pusarnya yang terjulur keluar. Suro Bodong
menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat,
lalu ia berusaha menendang tubuh Nyi
Kembang. Tangan Nyi Kembang mengibas,
menangkis tendangan itu sekali pun masih
duduk di atas tubuh Jupro. Tapi, tiba-tiba Jupro menjerit panjang:
"Aaaauuhh...!!"
Tubuhnya mengejang- ngejang. Nyi Kembang berdiri berusaha
menghadapi Suro Bodong. Pada saat itu Suro
dan Jenar sama-sama terbengong memandang ke
arah paha Jupro.
Paha itu berlumur darah. Bahkan tadi sempat
menyembur ke sekitar paha. Suro dan Jenar
bagai tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri, bahwa keadaan Jupro sangat menyedihkan. Segumpal otot kejantanannya
telah putus. Hilang. Bagai terpotong benda tajam pada bagian pangkalnya. Ketika
itu, tubuh Jupro yang sudah kehilangan alat kejantanannya itu
menjadi kaku sejenak jenak, lalu menggeliat
lemas dan diam selama-lamanya.
Rupanya Nyi Kembang telah memotong alat
kejantanan itu dengan tenaga dalamnya ketika ia masih duduk di atas tubuh Jupro
dan diserang oleh Suro Bodong. Rupanya perempuan cantik
itu mempunyai tindakan yang tak secantik
wajahnya. Ia tega menjepit alat kejantanan Jupro dengan alat kewanitaannya
hingga putus tanpa
bekas. Mungkin masih tertinggal di dalam bekas potongan 'senjata' Jupro itu,
karena sisa potongan itu tidak terlihat tergeletak di suatu tempat.
Jika memang benar begitu, ooh. .alangkah kejamnya tindakan yang jarang
disaksikan oleh Suro Bodong itu. Bukan hanya
mulut atas yang dapat menggigit, tetapi juga
bagian yang istimewa itu mampu menggigit dan
menelan sebatang daging milik Jupro.
Suro Bodong terpental dalam lamunan,
karena saat itu ia baru menyadari bahwa Nyi
Kembang telah mengenakan pakaiannya dengan
cepat kemudian menendang dada Suro dengan
keras. Tubuh Suro terpelanting menabrak Jenar
hingga kepala Jenar membentur dinding. Nyi
Kembang berusaha melesat keluar dari kamar,
tetapi Suro Bodong segera melemparkan pedang
bersarung milik Jenar. Pedang itu melesat cepat, dan bahkan mampu menancap.
Sayang tidak pada tubuh Nyi Kembang, melainkan menancap
pada kusen pintu yang terbuat dari kayu jati itu.
Jenar makin terbelalak melihat pedangnya
mampu menancap pada kayu walau tanpa
membuka sarungnya. Sudah tentu itu suatu
lemparan bertenaga dalam yang cukup hebat.
Suro Bodong segera melesat keluar mengejar
Nyi Kembang yang lari ke halaman belakang.
Tetapi beberapa saat ia di sana, ia tak melihat bayangan kain putih yang
dikenakan Nyi Kembang. Perempuan itu hilang! Entah lari
lewat mana. Suro Bodong memeriksa keadaan
sekeliling, namun yang ia temukan bahkan
kedua mayat Tembong dan Gagak dalam
keadaan usus mereka terburai ke luar dari perut.
Mereka juga dalam keadaan telanjang bulat
tanpa selembar benang.
* * * 4 Ki Lurah tertegun di ruang tamu. Orang-
orang yang habis menguburkan ketiga mayat itu
berkumpul secara berkelompok di halaman
depan. Suro Bodong sengaja menyendiri di
halaman samping. Ia menikmati jagung bakar
kesukaannya sambil memperhatikan beberapa
bunga indah yang ada di pinggir pagar halaman
itu. Ia sepertinya tidak mempunyai rasa sedih
atau gelisah sedikit pun. Ia paling tenang dari sekian banyak orang.
Bahkan ketika Jenar muncul menemuinya,
Suro Bodong masih bersikap biasa-biasa saja.
Cuek terhadap situasi yang ada. Jenar bicara
dengan wajah yang masih tegang akibat sisa
semalam. "Kang... Temuilah Ki Lurah sekarang juga.. !"
"Nanti saja. Dia sedang pusing memikirkan bagaimana cara menanam mayat
berikutnya,"
jawab Suro Bodong seenaknya. Jenar merasa
kurang suka dengan sikap Suro Bodong.
"Jangan kelewatan sikapmu, Kang. Itu sangat
menyakitkan Ki Lurah. Sekarang bukan hanya
Ki Lurah yang merasa kehilangan, tetapi ada
orang lain yang menuntut Ki Lurah."
"Orang lain" Orang lain siapa?" Suro bicara tanpa
memandang Jenar. Ia bahkan memperhatikan sekuntum bunga anggrek yang
waktu itu dinamakan bunga bulan ungu.
"Datanglah ke sana. Temui Ki Lurah. Ia dalam bahaya."
Baru kali ini Suro Bodong berpaling
memandang Jenar, namun tubuhnya masih tetap
membungkuk mendekati bunga, dan tangannya
masih sesekali memetik-metik biji jagung bakar, lalu melemparkan ke mulurnya.
"Ki Lurah dalam bahaya?"
"Benar, Kang. Apakah kau tadi tidak melihat seorang kakek yang mengenakan jubah
ungu tua?" "Kalau pun melihat, mungkin aku akan pura-pura tidak melihat. Hemm.. ada apa
dengan kakek itu?"
"Dia minta Ki Lurah Pucung bertanggung jawab atas kematian Tembong dan Gagak."
"Apa dia kakek mereka?"
"Dia guru Tembong dan Gagak, Kang.
Lihatlah sendiri ke sana, Ki Lurah sedang
terdesak oleh tuntutan itu."
"Ah, biar saja...!" jawab Suro seenaknya.
"Yang penting bukan aku yang menuntut Ki
Lurah." Jenar menggumam dalam gerutu. Ia bersungut-sungut. Dan suara orang bergemuruh
di halaman depan.
Semua orang bagai
berkumpul menjadi satu pandangan, yaitu
tertuju pada serambi depan yang menjadi ruang
tamu rumah Ki Lurah itu. Suro Bodong sempat
tertarik sebentar, karena waktu itu Jenar pun
segera pergi ke halaman depan. Namun Suro
tidak mau bergerak Ia hanya diam, berdiri di
tempatnya sambil sesekali melemparkan biji
jagung bakar yang dipetik-petik dengan jempol
tangan kanannya.
'Tolonglah ayahku.. !"
Tiba-tiba suara itu terlontar dari sudut
rumah, tepatnya dari arah belakang. Dari sana
seorang perempuan berkulit sawo matang
berlari-lari menghampiri Suro Bodong. Dia
adalah Sundari, anak Ki Lurah yang bermata
bulat indah. Usianya masih terbilang muda
untuk seorang janda, namun hal itu justru
membuat Suro Bodong suka memperhatikannya.
"Ayahku dalam ancaman, Kang. Tolonglah
dia.. !" Sundari sangat
cemas. Ia hanya mengenakan pinjung, kain sebatas dada dengan
kebaya tipis tanpa kancing. Waktu itu, Suro
Bodong tetap tenang. Masih saja mengunyah
jagung bakar dengan sesekali garuk-garuk
kumis. 'Tolonglah ayahku, Kang Suro...! Tolonglah. .!
Ia bisa mati kalau Si Jubah Ungu benar-benar
marah." "Aku juga bisa mati. Dan semua orang bisa mati...! Cuma caranya yang beda-beda.
Kenapa kamu ribut soal itu?"
Sundari hampir
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis. Ia sangat kebingungan. Sedih dan jengkel akibat sikap
Suro Bodong yang acuh tak acuh itu. Ia bergerak ke depan dengan berlari, namun
belum sampai di tujuan, ia telah kembali dengan kecemasan
yang semakin meningkat.
"Dengar. .!
Dengar Si Jubah Ungu membentak-bentak ayahku. Apakah kau tidak
mendengarnya"!" geram Sundari kepada Suro Bodong yang masih kalem saja.
"Aku mendengarnya, seandainya aku tidak
tuli. Tapi.. untuk sementara ini, anggap saja aku tuli dan tidak mendengarnya,"
jawab Suro Bodong masih seenak perutnya.
"Aku... oh, aku takut sekali. ." Sundari bagai bicara pada diri sendiri. Ia tak
berani mendekat.
Ia menggigit jarinya menahan rasa takut yang
sangat mencemaskan. Suro Bodong sengaja
membiarkan ketakutan itu, sebab wajah Sundari
enak dipandang dalam keadaan ketakutan
begitu. "Kenapa hanya memandangiku"!" bentak Sundari. "Apakah tak ada yang dapat kau
kerjakan untuk menolong ayahmu selain
memandangiku!!"
"Sementara ini belum ada," kata Suro.
"Memandangimu
lebih mudah daripada menolong ayahmu, Sundari."
'Tapi.. oh, tapi tolonglah dia dulu. Kumohon
tolonglah dia agar tak menjadi sasaran
kemarahan Jubah Ungu, setelah itu.. kau boleh
memandangiku dengan sepuas hatimu. Tolonglah dia dulu, Kang Suro.. "
Suro Bodong tersenyum. "Upah yang paling
kusukai itu.." ucapnya seraya bergegas ke halaman depan. Langkah kakinya tidak
seperti pendekar, melainkan seperti orang yang sedang
jalan-jalan santai. Menjengkelkan sekali.
Orang-orang berkerumun di depan serambi,
dekat dengan tangga yang terdiri dari lima baris.
Mereka membentuk kelompok yang berada di
sebelah kiri dan kanan, sedangkan bagian tengah dibiarkan terbuka. Kosong tanpa
orang. Seakan mereka memberi kesempatan kalau-kalau sampai terjadi keributan yang membuat Ki
Lurah dilempar keluar. Jalanan tengah yang
kosong itu menuju lurus ke pintu pagar. Dan
pada saat itu, hanya Suro Bodong yang berdiri di jalanan itu. Sendiri. Menonjol
jelas. Ada beberapa mata yang memperhatikan Suro
Bodong, namun ada juga yang belum menyadari
posisi Suro Bodong di situ.
Lelaki tua berambut putih, namun tidak
panjang itu masih membentak-bentak Ki Lurah
yang amat ketakutan. Lelaki yang mengenakan
Jubah Ungu itu juga belum menyadari tampilnya
Suro Bodong yang bagai menghadang jalan
keluar. Sedangkan Suro Bodong masih kelihatan
kalem. Ia memetik-metik biji jagung bakar, lalu melahapnya dengan sikap tenang.
Terdengar suara Si Jubah Ungu membentak
Ki Lurah dengan suaranya yang masih lantang:
"Kematian muridku adalah tanggungjawabmu! Karena kau yang datang
kepadaku, menyewa padaku, dan kau pula yang
harus menebus kematian kedua muridku,
Tahu"!"
'Tetapi. ." Ki Lurah gemetaran, demikian juga Nyai Lurah yang berpegangan erat
lengan suaminya. 'Soal kematian Tembong dan Gagak,
adalah kecelakaan! Ia dibunuh oleh.. !"
"Aku tahu!" sahut Jubah Ungu dengan
bentakan. "Tapi kau menyewanya bukan untuk dibunuh, kan" Kau menyewanya hanya
untuk melindungi, melindungi keluargamu ini, kan"
Aku tidak pernah mengizinkan kau menyewanya untuk mati! Dan sekarang kalau
mereka mati, aku akan menuntutmu! Harga
nyawanya, seratus kali lipat dari harga sewa
yang kau bayarkan itu!"
'Itu terlalu mahal, Eyang guru. ." jawab Ki Lurah. "Aku tidak mempunyai uang
sebanyak itu...!"
"Kalau begitu, tebus dengan cara lain!" seru seorang lelaki yang mengenakan
rompi warna biru di samping Jubah Ungu. Pada saat itu, Jenar mendekati Suro Bodong dan
berbisik "Cepatlah bertindak! Tapi hati-hati,.kedua orang yang mengenakan baju pendek
biru dan kuning itu juga murid Si Jubah Ungu. Mereka
adalah orang sewaan Raden Bargawa. Rupanya
ada ikatan kerjasama antara jago-jago sewaan di sini dengan jago-jago sewaan di
rumah Raden Bargawa.. "
"Kalau kau mau selamat, menyingkirlah,"
geram Suro Bodong yang tidak suka jika didikte oleh orang seperti Jenar. Tanpa
berpikir panjang, Jenar pun segera pergi, dan Suro Bodong
menyimak kembali tuntutan Jubah Ungu itu.
"Eyang guru..." tutur Lurah Pucung. "Eyang tahu sendiri, bahwa masa panen tahun
ini mengalami kemerosotan. Jadi, dari mana kami
dapat menebus tuntutan itu" Dan... cara lain apa yang dimaksudkan tadi"!"
"Kau masih punya anak gadis bukan"!" kata yang mengenakan rompi kuning.
"Meskipun dia sudah bukan gadis lagi, tapi mungkin dia bisa
mengurangi beban tanggungjawabmu atas
kematian saudara-saudara kami. .!"
"Benar! Itulah cara lain yang bisa kau
lakukan!" kata Jubah Ungu.
Tiba-tjba Suro Bodong menyahut dengan
suara keras bernada canda:
"Wah... kalau cuma ingin mengincar perempuan, kawin saja dengan Nyi Kembang
Laras. .!!"
Suara itu bukan hanya mengagetkan Jubah
ungu dan kedua muridnya, namun semua orang
yang ada di situ jadi memandang Suro Bodong
secara serempak. Guman dan kasak kusuk
kembali terdengar. Suro Bodong masih tenang
memetik-metik jagung bakar, dan ia pun tetap
berkata lantang :
"Itu namanya pemerasan! Rupanya ada pihak
yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk
memeras orang yang sudah menderita! Hahh...lucu sekali permainan ini, ya?" Suro bertaya kepada orang-orang, namun
mereka menjawab dalam gumam yang ngambang,
karena takut terlibat.
Jubah Ungu menggeram. Tongkatnya dihentakkan ke lantai, lalu kedua muridnya
yang mempunyai tinggi badan sama itu maju ke
depan, menuruni tangga satu baris. Mereka
berdiri di kanan kiri jalan, seakan mendampingi langkah Jubah Ungu yang kemudian
turun ke anak tangga kedua dari atas.
Mata Jubah Ungu yang sudah sedikit
berkeriput namun beralis putih itu memandang
tajam ke arah Suro Bodong. Dan pada saat
itu,Suro Bodong merasa tidak sedang di
pandang. Ia tetap tenang. Berdiri santai, tidak tegap. Baju merah potongan jubah
yang tidak dikancingkan itu dibiarkan meriap-riap diterpa angin yang kebetulan berhembus.
Rambut panjang tak teratur yang diikat kain merah darah itu juga dibiarkan meriap
beberapa helai ke
wajahnya. Ia tetap menikmati jagung bakarnya
dengan tenang. "Siapa dia..."!" tanya Jubah Ungu kepada mereka yang berkerumun di samping kanan
rumah. Tapi dari mereka tak ada yang berani
memberi jawaban.
"Hei, siapa kamu" Apa urusanmu ikut
menimpali pembicaraan kami"!" gertak Jubah Ungu dengan mata menyipit.
"Yang jelas, aku bukan seorang pemeras!"
Suro Bodong bicara agak tak jelas, karena sambil mengunyah jagung.
"Srengono. .! Sonto.. ! Beri dia pelajaran agar pandai menjaga mulut!" perintah
Jubah Ungu. Lalu kedua muridnya yang berdada besar, dan kekar Itu, berjalan seirama
mendekati Suro Bodong. Mereka bagai mengepung dari dua
arah; kiri dan kanan. Tatapi Suro Bodong tidak merubah sikapnya yang acuh-acuh
saja terhadap bahaya seperti itu. Ia tetap memetik-metik jagung bakar dengan tenang. Sesekali
menggaruk kumis
dengan jari telunjuknya, sesekali melemparkan
biji jagung ke mulutnya. Orang-orang yang
menyaksikan hal itu sudah menyimpan kecemasan di dalam hati. Bahkan Jenar sempat
berbisik kepada salah seorang yang dikenalnya:
"Ah, Kang Suro itu orangnya suka menyepelekan lawan! Kenapa dia tidak mau
segera bersiap menghadapi serangan Srenggono
dan Sonto.. "! Uuh. . payah dia!"
"Hei, Setan Buruk.. " sapa Sonto kepada Suro Bodong. "Sebaiknya kau minta maaf
kepada guruku, supaya aku tidak jadi diperintahkan menghajarmu! Ayo, lekas.. minta
maaf!" Suro Bodong memetik-metik biji jagung
bakar. Ia tersenyum sinis dan berkata, "Seharusnya gurumu dulu meminta maaf
kepada Ki Lurah atas pemerasannya. Tetapi
kalau memang punya bakat memeras susu sapi,
yah.. kurasa memang dia tak perlu minta maaf
kepada Ki Lurah."
"Lancang sekali mulutmu. Terimalah hukuman ini, hiat.. !"
Srenggono yang berompi kuning segera
menyerang Suro Bodong dengan sebuah
pukulan tangan kiri. Suro Bodong menghindar
ke belakang. Pukulan tak sampai pada sasaran.
Srenggono hendak memukul dengan tangan
kanannya, tetapi kaki kanan Suro Bodong
mengibas ke depan dan mengenai rusuk
Srenggono. Pada saat itu, kaki tersebut segera belok
ke kanan. Tumit Suro Bodong menghantam pinggul Sonto yang hendak
menendang Suro dengan kaki kiri. Keduanya
mengaduh karena merasakan linu pada tulang-
tulangnya. Kesempatan itu digunakan Suro Bodong
untuk memakan biji jagung yang sudah di
tangan. Ia mengunyahnya dengan santai sekali,
sehingga banyak orang yang kagum kepada
sikap dan keberaniannya. Bahkan pada saat
Srenggono mencabut senjatanya, berupa rantai
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berujung mata tombak, Suro Bodong tidak
menampakkan kesiapsiagaannya. Rantai itu
melecut ke arah kepala Suro Bodong.
"Ziiing...!"
Kepala Suro Bodong merunduk. Tangannya
masih sempat memetik-metikbiji jagung bakar.
Orang-orang sangat heran dan gemas sendiri.
"Hiaaaat. .!!" Sonto menerjang ke arah punggung Suro Bodong yang merunduk dengan
sebuah tendangan melayang. Tetapi Suro
Bodong sibuk berkelit menghindari putaran
balik dari ujung rantai Srenggono itu. Hampir
saja ia terkena tendangan Sonto ketika ia
menegakkan badan dan tahu-tahu kaki Sonto
sudah berada di depan hidungnya. Dengan
cepat Suro menangkis kaki itu memakai lengan
kirinya. Ia membuang arah tendangan tersebut,
namun tangan kanannya yang telah memegangi
biji-biji jagung itu segera ditebarkan ke arah wajah Sonto.
"Makan jagung ini, heeaah.. !!" seru Suro Bodong.
"Aaahk...!!"
Sonto menjerit kesakitan. Rupanya biji jagung itu bukan sembarang
jagung, melainkan mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang mampu berubah menjadi biji-biji
besi yang tajam. Salah satu mata Sonto terkena sebiji jagung dan berdarah. Sonto
menjerit-jerit seraya menutupi bagian mata yang terluka dan
berdarah itu. Srenggono terbengong, Suro Bodong tertawa.
Katanya: "Itu baru biji jagung, bukan bijiku sendiri.
Maksudku biji kekuatan intiku.. " Ia menetralisir anggapan orang yang
menertawakan kata-katanya.
"Keparat kau.. !!" geram Srenggono, kemudian ia melayang seraya memutar-
mutarkan rantai berujung tombak tajam, kendati gagang tombaknya tak kurang dari
sejengkal. Hal itu sempat membuat Suro Bodong menggeragap. Dan kaki Srenggono menjejak
lengan Suro Bodong dengan keras. Akibatnya
Suro Bodong tersungkur jatuh tepat di kaki
Sonto yang kesakitan itu. Maka ke kesempatan
itu digunakan Sonto untuk menginjak batang
leher Suro Bodong.
"Ngeeekk. .!!" Batang leher Suro Bodong ditekannya kuat.
"Tahan begitu, Sonto. .!!" teriak Srenggono yang segera hendak mencambukkan
rantainya. Diperkirakan, ujung rantai itu akan menembus
perut Suro Bodong tanpa ampun lagi. Tetapi,
Suro Bodong justru menghentakkan kakinya
pada saat rantai Srenggono melecutnya. Hentakan itu membuat kedua kakinya melayang
dan pinggangnya menekuk ke belakang. Ujung
rantai menancap di tanah, tempat perut Suro
Bodong berada tadi. Tapi kaki Suro Bodong telah berhasil menendang pinggang
Sonto dengan kuat dan keras. Sonto terlempar beberapa meter karenanya. Sementara tangan
kirinya masih memegangi biji mata yang terluka parah itu.
Tubuh Suro Bodong tidak langsung menekuk ke
belakang dan berguling, melainkan justru ia
menggunakan punggungnya untuk menghentakkan badan. Tubuhnya seperti udang
yang melecit dari sela bebatuan. Tahu-tahu ia
dapat berdiri tegap. Namun diluar kesadaran ia telah melangkahi rantai Srenggono
yang ujungnya menancap pada tanah. Jelas kalau
Srenggono menarik rantainya dalam satu
hentakan, maka ujung rantai itu akan melesat ke atas dalam kemiringan tertentu.
Dan hal itu pasti akan membuat pantat Suro Bodong ditembus
mata tombak itu.
Perkiraan Suro Bodong sungguh tepat. Rantai
dihentakkan dalam satu tehnik tarikan khusus.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Tubuh Suro
Bodong melayang dan bersalto ke belakang
sebanyak lima kali.
"Heaaaat. .! " teriakan itu begitu keras dan membuat mata yang memandangnya
menjadi kalang kabut. Sebab pada saat putaran salto
yang ketiga, rantai Srenggono menyusul
gerakannya, sehingga apabila Suro tidak
menambah gerakan salto ketika itu, maka begitu ia menapak ke tanah, dadanya akan
dihunjam ujung tombak yang terkait di rantai Srenggono.
Walaupun Suro Bodong sendiri merasa menyesal, mengapa ia bersalto sampai lima kali.
Sebab dengan cara itu,
maka ia telah menggunakan jurus saktinya yang bernama
Luing Ayan-5. Artinya bersalto lima kali tanpa menyentuh tanah. Dan hal itu
mengakibatkan sosok tubuh Suro Bodong berubah bentuk.
Ketika kakinya mendarat ke tanah dengan
sempurna, maka gumam semua orang bagai
irama gaung bernada kagum dan heran. Mereka
terkejut semua, termasuk Ki Lurah.
Suro Bodong berubah ujud menjadi seorang
kakek berambut putih, alis dan jenggot serta
kumisnya juga berwarna seputih serat-serat
sutera. Tubuhnya sedikit bungkuk. Matanya
sipit karena kerut ketuaannya. Ia mengenakan
jubah hijau, sedang baju dalam serta celananya berwarna
putih kusam. Di tangannya menggenggam sebatang tongkat yang berujung
tengkorak kecil. Tengkorak seekor monyet.
Tongkat itu digunakan menopang tubuhnya
yang sedikit bungkuk. Dan anehnya, ia menjadi
murah senyum, memperlihatkan gusi-gusi tanpa
gigi. Srenggono berhenti menyerang. Matanya
memandang takjub, demikian pula dengan
Jubah Ungu dan yang lainnya. Mata mereka
seakan tak mau berkedip menyaksikan keajaiban
yang baru kali ini pernah mereka temukan.
Tubuh yang semula sedikit gemuk dengan wajah
kasar, mantap, kini telah berubah menjadi
seorang kakek usia lebih dari 80-an, dan
memiliki mimik wajah yang lucu. Murah
senyum lagi. "Kenapa kalian memandangku seperti itu"
Apa kalian belum pernah melihat seorang kakek
setua aku"!" katanya kepada semua orang.
Sebentar-sebentar ia tersenyum kepada siapa
saja yang dipandangnya. Bahkan ia juga
tersenyum kepada Jubah Ungu yang terbengong-bengong menatapnya.
"Siapa kau sebenarnya, hah"!" bentak Jubah Ungu setelah terhindar dari cekaman
kagumnya. "Namaku...: Rekso Upo.. ! Kau belum kenal denganku, Jubah Ungu"! He, he, he. .
tentu saja kau tidak mengenalku, karena kau sibuk
memeras orang!"
"Rekso Upo.. ! Jaga mulutmu kalau ingin
nyawamu masih utuh!" bentak Jubah Ungu.
"Maklumilah saja... Orang setua aku mana
bisa menjaga mulut. Jangankan menjaga mulut,
menjaga gigi saja susah. Lihat, gigiku pada
berlarian ke mana-mana sampai tak kumiliki
satu pun. Nih, hiii.. !" Rekso Upo meringis menampakkan
gusinya yang sepi tanpa penghuni. Orang banyak yang tertawa mengikik,
antara geli dan rasa takut. Rekso Upo,
perubahan ujud Suro Bodong itu, ikut pula
tertawa dan menuding orang-orang yang
menertawakannya.
Ki Lurah dan Nyai Lurah saling berpandang-
pandangan dalam kebingungan, terlebih Jenar
yang sejak tadi tak sempat menutup mulutnya.
Dan Sundari.. " Sundari tidak melihat hal itu, sebab ia bersembunyi di belakang
rumah, di suatu tempat yang menurutnya aman.
"Rekso Upo.. ! Silakan pergi, aku tidak punya urusan denganmu!" gertak Jubah
Ungu. "He, he, he. .pergi ke mana" Aku sendiri
bingung sekarang aku ada di mana?"
"Dari mana asalmu sebenarnya, hah"!" hardik Srenggono.
"Asalku..."! Asalku dari.. dari. ." Rekso Upo berpikir, dahinya semakin
berkerut, menyipitkan mata kian kecil. Dengan suara tuanya ia berkata lagi,
"Dari mana enaknya, ya?"
"Jangan main-main dengan kami, Tua
Bangka...!!"
bentak Srenggono dengan kegeramannya. Tapi hal itu justru ditertawakan oleh Rekso Upo.
"Kenapa harus membentak-bentak, Anak
Muda..." Aku benar-benar tidak tahu, dari mana aku. Bahkan aku tidak tahu kalau
namaku Rekso Upo.. " "Nah, itu kau telah menyebutkannya!
Menyebutkan namamu sendiri, kan?"
Rekso Upo heran. "O, ya.. " Apakah aku
sudah menyebutkan namaku?"
"Kau bilang tadi namamu Rekso Upo. ."!"
"Ooo. ." Rekso Upo manggut-manggut. "Sudah kusebutkan, ya" Kok aku tidak
merasa.. ?" Ia terheran-heran sendiri. Kemudian Jubah Ungu
memerintahkan Srenggono untuk membawa
pergi kakek tua itu.
"Srenggono, seret dia.. ! Aku tidak butuh orang linglung ini.. !"
Srenggono maju selangkah, tetapi Rekso Upo
mundur dan mencegah. "Jangan. .! Aku tidak mau digendong siapa pun!"
"Siapa yang mau menggendong kamu,
Pikun"!" bentak Srenggono. Lalu dia melangkah lagi, dan Rekso Upo mundur kembali
'Tidak.. ! Aku tidak mau dipikul.. !"
"Tidak ada yang mau memikul kamu, Se-
tan.. !" .
"Naaah.. kalau ketan aku doyan.. !" katanya yang semakin membuat Srenggono dan
Jubah Ungu dongkol "Srenggono, jangan banyak omong; seret saja dia!" perintah Jubah Ungu. Lalu,
Srenggono segera maju, mencengkeram jubah hijau Rekso
Upo dan menyeretnya keluar halaman rumah Ki
Lurah Pucung. Tetapi, Rekso Upo bertahan, tidak mau
diseret keluar. "Jangan kasar-kasar sama orang tua. He, he. . bajuku nanti
robek, Tolol. .!"
Rekso Upo tetap diseret paksa. Kemudian
dengan cepat dia menyodokkan ujung tongkatnya yang berkepala tengkorak monyet
kecil. Benda tersebut menghantam rusuk
Srenggono dan membuat Srenggono menjerit
kesakitan. Bahkan ia sempat terpental menabrak salah satu pohon, walau
sebenarnya sodokan
Rekso Upo itu bagai tak bertenaga sama sekali.
"O, oh. . maafkanaku, Nak. .!" katanya kepada Srenggono. "Maklum, namanya saja
orang tua, kalau bergerak suka sembrono. .!"
Tangan kanan Srenggono melayang cepat
hendak menampar Rekso Upo. Tapi tongkat itu
bergerak naik dengan cepat, sehingga tangan
Srenggono menyangkut pada tongkat tersebut.
Kemudian tongkat itu membalik, ujung yang
tadinya menapak pada tanah menjadi terarah
pada dada Srenggono, kemudian sengaja
disodokkan dengan gerakan tak bertenaga.
Tetapi justru hal itu membuat Srenggono
mendelik dengan tubuh
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melengkung ke belakang dan kepala menjorok ke depan. Kedua
tangan Srenggono mengembang ke kanan kiri
dengan siku sedikit tertekuk. Mulutnya melongo, dan repotnya lagi, tubuh itu tiba-tiba kaku. Menjadi seperti patung
yang masih bernafas. Rupanya Rekso Upo berhasil menotok
peredaran darahnya, mengenai salah satu urat
yang ada di samping ulu hati, lalu membuat
tubuh Srenggono kaku seperti itu.
"He, he, he.. kalau begini kau malah seperti gorila!" kata Rekso Upo. "Kau
seperti tengkorak di tongkatku ini. Eh, kau percaya apa tidak, ini tengkorak
gorila raksasa sebenarnya. Tapi
karena sering terkena udara lembab jadi
mengecil begini. ."
"Bangsat. .! " teriak Jubah Ungu dengan kemarahannya. Ia melangkah, Rekso Upo
berpaling dan bertanya:
'Siapa yang berangkat" Aku" Ah, aku belum
mau berangkat ke mana-mana kok. "
"Kau telah membuat muridku seperti itu,
Iblis!" bentak Jubah Ungu.
Rekso Upo menanggapinya dengan senyum
dan tawa. "Eeh. .Jubah Ungu, kita ini sudah sama-sama tua. Jangan suka bicara
soal perempuan mulus..."
'Tuli! Aku tidak bicara soal perempuan
mulus! Kukatakan padamu, bahwa kau Iblis!
Bukan perempuan mulus!" teriak Jubah Ungu dengan jengkel sekail
"Ooo. .kamu mengatakan aku iblis" Wah, aku tidak keberatan, sebab yang
mengatakannya anak kuntilanak, kan" He, he, he. .!"
"Rekso Upo, kalau mendengar omonganmu,
bisa panas hatiku. Sekarang sebaiknya terimalah jurus perkenalanku ini,
hiaat. ." Jubah Ungu mengibaskan tongkatnya yang
berujung mata pancing bercabang empat. Batang
tongkat yang melesat menebas kepala Rekso
Upo ditangkis dengan tongkat juga.
Trak.. !" Jubah Ungu segera menyodokkan tongkatnya
ke arah wajah Rekso Upo.
"Wesss.. !"
Rekso Upo memiringkan kepala ke kiri untuk
menghindari sodokan tongkat berujung empat
mata kail yang berukuran besar, seperti clurit kecil.
"Eh, untung tidak kena. Wah. . kalau main-main dengan tongkat jangan main sodok
begini, Jubah Ungu..." kata Rekso Upo sambil
menghindari tendangan kaki kiri Jubah Ungu
yang hendak menendang kepala Rekso Upo.
Pada saat Rekso Upo menghindari tendangan
kaki kiri lawannya, tongkatnya digerakkan ke
samping, seakan hendak menyodok perut lawan.
Tapi seketika itu tongkat segera kembali dengan ujung bagian bawahnya miring ke
arah pinggang lawan. Kakinya maju ke depan
sehingga ia nyaris terkena pukulan telak dari
Jubah Ungu. Namun sebelum Jubah Ungu
sempat menghantam wajah Rekso Upo, ujung
tongkat itu menusuk pinggang Jubah Ungu.
Gerakannya pendek, namun mempunyai hentakan tenaga dalam yang murni sehingga
tubuh Jubah Ungu terpelanting ke samping.
Keadaan Jubah Ungu yang limbung itu
dimanfaatkan oleh kaki kanan Rekso Upo yang
menendang ke belakang. Telapak kaki Rekso
Upo tepat mengenai pangkal leher sehingga
Jubah Ungu mendelik dan mengalami kesukaran
bernapas. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung
ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Rekso
Upo diam, berdiri bertopang tongkat dan
menertawakan keadaan Jubah Ungu.
"He, he.. belum minum tuak sudah mabok
sempoyongan begitu, kau! Uuh.. puayaaah...!.
He, he,he.. !"
Jubah Ungu segera menggerakkan tongkatnya ke arah samping dengan satu kaki
menekuk ke kaki lainnya. Kemudian tongkat itu
diangkat melintang di depan matanya dengan
dipegang kedua tangan. Tubuhnya merendah,
kakinya melebar, lalu dengan cepat ia hentakkan ujung tongkat bersenjata mata
kail itu ke depan.
"Hiaaat. .!!"
Dan dari sela-sela keempat mata kail itu
keluarlah asap biru, seolah melesat dari tengah ujung tongkat. Asap biru
kehitam-hitaman itu
menyembur ke arah wajah Rekso Upo.
Hebatnya, asap itu tidak mengepul ke mana-
mana, melainkan membentuk satu gumpalan
seperti bunga mawar besar yang melesat tertuju pada wajah Rekso Upo.
"Aha... racun ganas ini, ya.. "!" Rekso Upo masih bisa menganggap remeh serangan
tersebut. Dan ia segera menggerakkan tongkatnya, berputar cepat di antara jemarinya bagai
baling-baling raksasa. Putaran itu menimbulkan arus angin yang kian lama kian
menjadi besar, dan menyerupai topan. Akibatnya asap biru kehitam-hitaman itu
melayang ke atas bagai tertiup angin kencang
dan menghilang di ketinggian awan. Sisa
anginnya masih sempat membuat daun-daun
bergerak tak teratur, barang-barang ringan
terbang terbawa hembusan angin aneh itu.
Bahkan beberapa orang ada yang takut terbawa
terbang angin hingga harus saling berpegangan.
Namun, hal itu segera menjadi reda setelah
Rekso Upo menghentikan gerakan tongkatnya.
Begitu tongkat berhenti, ia melemparkannya
bagai melempar sebuah tongkat ke arah Jubah
Ungu. Jubah Ungu menangkis tongkat tersebut,
namun tongkat itu tidak mau berhenti
menyerang. Akhirnya, dalam satu kelengahan
tongkat Rekso Upo menancap di dada Jubah
Ungu, tepat di jantungnya. Tembus! Jubah Ungu
menggeliat, mendelik, dan rubuh kehilangan
nafas. Hampir semua orang menggumam kagum
dalam kengerian.
* * * 5 Peristiwa itu membuat gempar di seluruh
pelosok desa. Nama Suro Bodong dan Rekso
Upo selalu berkaitan dan disebut-sebutkan oleh setiap mulut. Suro Bodong sendiri
sampai merasa tak enak karena dipandang kagum oleh
setiap orang yang berpapasan dengannya
"Aku ingin pergi dari desa ini," kata Suro Bodong yang sejak peristiwa
pertarungan dengan
Jubah Ungu, ia sudah berubah kembali ke ujud
asalnya dengan bersalto di udara satu kali.
Ki Lurah keberatan jika Suro Bodong harus
pergi. Terutama Sundari yang menjanda itu.
"Kenapa Kang Suro harus pergi" Apakah
pelayanan kami di sini tidak memuaskan Kang
Suro?" tanya Sundari pada suatu malam. Suro Bodong menggeleng. Ia sibuk
mengunyah jagung bakarnya.
"Bukan soal pelayanan," katanya. "Tapi justru sikap dan anggapan masyarakat desa
Manggar ini terlalu berlebihan kepadaku, terlalu mengagungkan diri, aku jadi serba salah
jadinya." Suro Bodong, sejak peristiwa pertarungan
dengan Jubah Ungu yang kondang sebagai
tokoh sakti di dunia persilatan, selalu menjadi sanjungan setiap warga desa.
Tiga malam Suro
berada di desa Manggar, dan selama itu ia
berhasil menggagalkan aksi kekejaman Nyi
Kembang Laras. Secara tidak disuruh oleh siapa pun, Suro Bodong selalu keliling
desa bila malam tiba. Justru ia bisa tidur jika siang hari.
Dan dua malam yang lalu, ia telah berhasil
menggagalkan aksi kekejaman Nyi Kembang
dengan mencoba melawannya.
Sayang, Nyi Kembang Laras selalu saja
melarikan diri dengan cepat. Seakan ia tahu
bahwa lawannya kali ini bukan orang sembarangan. Nyi Kembang selalu pergi dengan
meninggalkan ancaman:
"Ada saatnya sendiri untuk kamu, Jahanam...!"
Hanya itu yang didengar Suro Bodong.
Selebihnya Nyi Kembang tidak pernah melontarkan kata apapun. Jika kepergok Suro
Bodong, ia cepat menghindar sekalipun menyerang sejenak kemudian lari.
Suro Bodong sendiri tidak tahu, mengapa Nyi
Kembang tak mau melayani pertarungan
dengannya" Padahal menurut banyak cerita,
setiap orang yang hendak menghalangi niat Nyi
Kembang selalu saja menjadi korban yang paling keji.
Ini suatu keanehan yang sempat mengganggu pikiran Suro Bodong. Hanya saja ia
tak pernah bercerita kepada siapa pun. Bahkan
ketika Sundari menanyakannya, Suro Bodong
hanya berkata: 'Tanyakanlah kepada Nyi Kembang sendiri.
Dia yang takut kepadaku, bukan aku yang takut
kepadanya..."
Sundari merasa aman jika Suro Bodong tetap
tinggal di rumahnya, sebagai pengganti Tembong dan Gagak yang hanya sekali gebrak
langsung tak mau bernapas lagi itu.
'Tapi kalau aku tetap tinggal di sini," kata Suro Bodong kepada Sundari, "Aku
takut keluargamu menjadi korban keganasan Nyi
Kembang." "Apakah... apakah hal itu akan terjadi, Kang?"
Sundari memandang sayu kepada Suro Bodong.
"Ya. Pasti. Sebab untuk melemahkan keberanianku, untuk mengguncangkan jiwaku,
ia akan membunuh keluarga ini. Termasuk juga
kau, Sundari."
Sundari kelihatan gelisah. Ia mengusap
lengannya yang mulai merinding, la merapatkan
duduknya,
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin dekat Suro Bodong. Perasaan takut tergambar lewat gerak mata dan
getaran tangannya.
"Apakah kau akan membiarkan Nyi Kembang menyentuhku, Kang?" pancing Sundari dengan satu maksud tertentu.
"Kalau hanya menyentuhmu, kenapa aku ha-
rus marah?"
Sundari mendesah. Kurang suka mendengar
jawaban itu. Ki Lurah sendiri sempat mengajukan tawaran
khusus ketika mendengar Suro Bodong ingin
meninggalkan desa itu.
"Berapa kami harus membayarmu" Sebutkan
saja jumlahnya, kami akan setuju. Sebab Raden
Bargawa sendiri sudah menjalin kesepakatan
denganku untuk membayarmu sesuai dengan
permintaanmu, Suro. Yang penting bagi kami
adalah membuat desa Manggar ini menjadi
aman seperti sediakala."
Waktu itu, Suro hanya memperlihatkan
senyum hambar. Ia garuk-garuk kumis sebentar,
lalu sambil memetik-metik jagung bakar
kesukaannya, ia menjawab:
"Aku tidak mempunyai harga.
Tetapi kekayaan desa ini pun tak akan mampu
membeliku, Ki Lurah. Hanya ada satu yang
mampu membayarku.. "
Ki Lurah dan istrinya memandang Suro
Bodong yang berhenti sejenak. Sundari merasa
tegang waktu Suro Bodong menghela nafas.
Tetapi Suro bagai tidak merasa ditunggu
kelanjutannya Ia enak-enakkan makan jagung
bakar dengan santai.
"Katakan, Suro.. "
"Ya, lanjutkan kata-katamu, Kang," Sundari menimpali.
Kemudian Suro pun menjawab, "Carikan aku
perempuan"
Ki Lurah dan istrinya tertawa. Sundari
tersenyum malu. Kemudian Suro melanjutkan
lagi: "Hanya perempuan yang bernama Ratna
Prawesti yang mampu membuatku bertahan di
desa ini.. "
Sekarang, ketiga orang itu saling bungkam,
saling pandang sejenak, kemudian saling
merenung. Ki Lurah mengulangi kata Ratna
Prawesti dengan suara lirih, kemudian juga
istrinya. Tetapi Sundari menunjuk. Wajahnya
hambar tak mempunyai sinar kecerahan sedikit
pun. "Bagaimana kalau perempuan lain, mungkin
yang menjadi kembang di desa Manggar ini?"
tawar Ki Lurah setelah terbungkam beberapa
lama. Sundari tak berani mengangkat wajah, karena
dia tahu, bahwa kembang desa yang dimaksud
ayahnya itu tak lain dari dirinya sendiri. Tetapi apa jawab Suro Bodong"
"Hanya dia yang kucari dalam hidupku. Dan hanya dia yang dapat kujadikan
pelabuhan hatiku..."
Wih, puitis sekali Tapi memang begitulah
Suro, kadang ia mampu berbahasa baik, tapi jika disuruh mengulang, kebingungan.
Ia sering meniru kata manis yang diucapkan orang lain.
Bagi Sundari, kata-kata itu adalah getah yang
pahit di telannya. Sebab secara diam-diam,
rupanya hati Sundari menaruh simpati kepada
Suro Bodong dengan segala kehebatan ilmunya.
Sundari sadar, Suro Bodong banyak lebih tua
darinya. Sundari juga sadar bahwa wajah Suro
Bodong tidak tampan, bahkan terkadang
sifatnya pun kaku. Tetapi Sundari juga sadar
bahwa Suro Bodong mampu menyelesaikan
segala macam perkara dengan gayanya sendiri.
Wajah Suro memang kasar. Tetapi di balik
kekasarannya itu, Sundari menemukan suatu
kelembutan hati yang jarang di miliki lelaki lain.
Dari pembicaraan demi pembicaraan yang
dilakukan Sundari dan Suro di sela keheningan
malam, atau di ambang keredupan senja, ada
sesuatu yang bisa diperoleh Sundari. Sesuatu itu adalah rasa tanggung jawab
seorang lelaki, baik kepada keluarga atau pun kepada tugas, sudah
dimiliki oleh Suro Bodong. Sundari bisa
mengambil kesimpulan tersebut melalui tanya
jawab yang ia lakukan dengan penuh penghayatan. Rupanya Sundari bukan perempuan bodoh. Ia mempunyai otak cerdas
sehingga Suro Bodong tidak pernah merasa
dipantau segala gerak dan sikapnya oleh
Sundari. Suro menganggap, Sundari hanya
seorang janda yang butuh kesibukan untuk
membuang rasa sepi di hatinya.
Ternyata anggapan itu keliru. Jauh keliru,
melesat dari dugaaan Suro Bodong. Maka,
wajarlah kalau Suro Bodong tercengang ketika
pada suatu malam, sebelum Suro Bodong
keliling desa mengontrol suasana, Sundari
sempat berkata:
"Bagaimana kalau aku ikut keliling, Kang?"
"Nanti kamu pusing," jawab Suro Bodong seenaknya seraya mengenakan baju
merahnya. Sundari masih berdiri di depan pintu kamar
khusus Suro Bodong.
"Aku perlu mendampingimu," desah Sundari.
"Kenapa" Alasanmu apa?"
"Aku khawatir kalau Nyi Kembang mampu
memikatmu, dan kau akan pergi ke Hutan
Tengkorak dengannya."
Suro Bodong diam saja, seakan tidak
mendengar. Namun sebenarnya ia tahu, Sundari
mulai menaruh kecemburuan pada dirinya. Dan
ini membuat Suro gelisah.
"Dia cantik, Kang. ." ujar Sundari pelan.
"Memang. Tapi... aku tak akan terpikat oleh kecantikan manusia berhati iblis.
Aku masih waras." bisik Suro.
'Tapi dia punya cara sendiri seperti yang
dituturkan Jenar sewaktu ia menguasai Jupro,
Kang. Kalau kau terkena sinar kuning yang
keluar dari matanya, tentu kau tak akan bisa
menyadari keadaan dirimu. Kau akan terbius dan akhirnya kau akan mau diajak ke
Hutan Tenkorak Lalu. . lalu kau akan menjadi raja
baginya di sana."
Suro Bodong keluar dari kamar. "Ah, jangan berpikiran seperti itu, nanti aku
jadi ngiler.. !" katanya seraya pergi ke serambi depan. Tetapi pada saat itu
Sundari masih ikut juga seraya berjalan agak cepat untuk sejajar dengan Suro
Bodong. Ketika sampai di halaman depan, dan
Sundari masih ikut, Suro Bodong berhenti
melangkah, lalu berkata:
"Aku mau perang, Sundari. Bukan mau
nonton wayang!"
"Aku mau ikut perang, Kang!"
"Uuh...! Gombal!" geram Suro Bodong yang merasa sia-sia melarang dengan kata apa
pun. Akhirnya Suro Bodong membiarkan Sundari
ikut serta keliling desa.
Malam itu, bulan nongol di balik awan. Tidak
sepenuhnya menyoroti bumi, namun sudah
cukup membuat alam gelap menjadi remang.
Rumput di tanah terlihat, dan raut-raut wajah
yang sempat berpapasan dengan Suro juga bisa
dikenali, kendati tidak mengenali namanya.
Perjalanan malam, seperti perjalanan sepasang muda mudi yang sedang dirundung
cinta. Malam itu tak ada ketegangan, tak ada
kengerian, dan tak ada teror yang selama ini
selalu mencekam penduduk desa. Malam itu
begitu mulus, bahkan Suro Bodong hampir saja
terbius dalam amukan birahi saat Sundari
merebah dalam dadanya, dan minta dipeluk
oleh Suro Bodong.
Kalau saja Suro tidak selalu ingat Ratna
Prawesti, mungkin ia telah hanyut dalam buaian birahi yang menyalak-nyalak.
Kalau saja Suro
tidak menjaga debaran jantungnya, mungkin ia
telah merenggut suatu kebahagiaan yang hangat
bersama Sundari di sela rimbun semak ilalang.
Hanya saja, pada malam berikutnya, Suro
Bodong tidak mau diganggu oleh gelitik birahi
seperti kemarin malam. Sebab itu ia keluar dari rumah tanpa setahu Sundari. Dan
ia dapat merasakan betapa pentingnya pergi malam
tanpa Sundari, karena ia dapat memusatkan
pikiran dan mempertinggi kewaspadaan.
Nyatanya, pada malam ini, Suro Bodong sem-
pat melihat sekelebat bayangan putih menyusup
melalui rimbunan semak di belakang rumah
Raden Bargawa. Dulu, tepatnya setelah ia
berhasil membunuh Si Jubah Ungu, ia pernah
bertandang ke rumah Raden Bargawa. Orang
keturunan Tumenggung itu sempat membujuk
Suro untuk menjadi orang bayarannya. Tetapi,
waktu itu Suro hanya menjawab:
"Bukan maksudku menolak tawaranmu,
melainkan aku tidak ingin terikat oleh suatu
perjanjian dengan siapa pun. Tetapi, percayalah.. aku akan sering-sering memeriksa
sekitar rumah ini juga untuk menjaga keluargamu. Kau tak perlu khawatir tentang hal itu, Raden Bargawa.. "
Dan sekarang, ketika terlihat bayangan putih
menyusup di antara rimbun semak di sekitar
belakang rumah Raden Bargawa, Suro Bodong
merasa berkewajiban memeriksanya. Ia mengendap-endap ke arah rimbunan semak itu,
lalu diam di suatu tempat yang terlindung.
Matanya masih mampu memandang penuh
selidik keadaan di sekitar tempat itu, di mana cahaya rembulan menyinari dengan
sorot keredupannya. Tepat di tepi tembok belakang rumah
bangsawan itu, Suro Bodong melihat seseorang
sedang melompat dengan gerakan yang amat
ringan bagaikan kapas terbang. Orang itu
mengenakan pakaian putih tipis dan berambut
panjang sebatas pinggang. Sorot cahaya bulan
menampakkan jelas, bahwa sosok tubuh yang
kini sudah berada di atas tembok itu adalah
sosok tubuh Nyi Kembang Laras. Suro masih
ingat dengan sebentuk mahkota kecil yang
menghias di atas kepala.
Secepatnya Suro Bodong bergerak dengan
ilmu peringan tubuh yang sama sempurnanya
dengan Nyi Kembang. Ketika Nyi Kembang
menebarkan sesuatu dari tangannya, membentuk suatu asap tipis yang mampu
menyelimuti atap rumah tersebut, saat itulah
Suro Bodong tahu-tahu sudah berada di atas
tembok juga. Jaraknya antara 25 meter kurang
dari Nyi
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembang. Dan Suro sengaja menegurnya lebih dulu untuk menurunkan
mental Nyi Kembang:
"Apa yang kau lakukan, Nyi Kembang"!"
Dugaan Suro benar. Perhitungannya tepat.
Nyi Kembang terperanjat melihat Suro Bodong
berdiri tegak dan siap menghadapinya. Dalam
menghadapi sesuatu yang tak disangka itu, Nyi
Kembang segera melompat ke atas genting.
Tetapi Suro Bodong tidak mau tinggal diam. Ia
juga ikut melompat ke arah genting rumah
mewah itu. Suro yakin, asap yang ditebarkan
tadi adalah semacam ilmu pembius agar seluruh
penghuni rumah itu tertidur lelap tanpa
tergugah oleh suara apa pun. Sebab itu, Suro
Bodong berniat bicara agak keras kepada Nyi
Kembang yang bagai masuk dalam jebakan.
"Malam ini adalah malam penghabisan bagi
kamu, Perempuan mesum...!" Suro Bodong
melangkah, tidak menimbulkan suara kendati
menapak di genting kodok. "Malam ini kau tidak bisa lolos lagi, tahu"!"
Nyi Kembang yang cantik berkulit bagai
seputih susu, dan selembut busa salju, tidak
membalas kata-kata itu. Ia hanya melangkah
pelan ke arah samping, seakan mencari posisi
yang tepat untuk memukul Suro Bodong.
"Kalau orang lain tak mampu menghentikan
kekejianmu, akulah orang yang akan mampu
menghentikannya, Nyi Kembang!"
Nyi Kembang memandang tajam, lalu
menggerakkan kedua tangannya bagai mengembang di atas kepala. Kedua kakinya
bergerak turun sedikit. Lalu ia berkata dengan suara pelan:
"Kau terlalu banyak ikut campur, Suro
Bodong. .!"
Suro menggaruk kumisnya sambil memandang tanpa berkedip. Tiba-tiba ia harus
melompat tinggi karena Nyi Kembang menggerakkan kedua tangannya ke depan, dan
seberkas sinar sebesar jarum melesat dari tiap ujung jarinya. Sinar itu berwarna
hijau, seperti urat-urat berserakan.
"Ini yang harus kau terima, Jahanam...!"
geram Nyi Kembang sambil semakin menggerakkan tangannya ke atas. Lalu sinar
hijau yang keluar dari tiap ujung jarinya itu
melesat berkelok-kelok hendak menghantam
Suro Bodong. Suro segera bersalto satu kali.
Apabila ia bersalto satu kali, maka tubuhnya
tidak akan mengalami perubahan, sebab bersalto satu kali sama saja merubah
ujudnya menjadi
Suro Bodong. Jurus Luing Ayan-1, memang
berguna untuk mengembalikan dirinya menjadi
Suro Bodong. Dengan begini, maka kali ini Suro Bodong pun tetap menjadi Suro
Bodong yang tak mengenal rasa takut sedikitpun.
Melesatnya sinar hijau yang tidak mengenai
tubuh Suro Bodong itu sempat menghantam
pohon kelapa di seberang jalan. Pohon kelapa
dan beberapa pohon di sekitarnya menjadi retak, sebagian ada yang pecah, rusak
bagai terkena dentuman bom, walaupun semua itu terjadi
tanpa suara dan dentuman apa pun.
Nyi Kembang bermaksud melarikan diri saat
Suro Bodong terperangah menyaksikan kehancuran pohon kelapa itu. Namun dengan
cepat Suro Bodong melompat dan berlari ke arah lain dan menghadang Nyi Kembang
dengan siap melancarkan serangan dari arah depan.
Nyi Kembang bagai terperangkap. Di
depannya sudah berdiri Suro Bodong dengan
gayanya yang berlagak kalem. Nyi Kembang
menyerang, tangannya segera menghantam
wajah Suro Bodong, tetapi dengan mudah
tangan itu dipegang oleh Suro Bodong. Lalu
secepat itu pula kaki Suro Bodong menendang
rusuk Nyi Kembang dalam keadaan tangan Suro
masih memegangi tangan Nyi Kembang.
Tendangan Suro membuat Nyi Kembang
tersenyum. Kini tangan kiri Nyi Kembang
meraih rambut Suro Bodong dengan kasar, Suro
melepaskan pegangan tangannya. Dalam keadaan kepala menunduk yang hendak
disodok lutut oleh Nyi Kembang, Suro segera
melancarkan pukulan Babi Buta. Pukulan itu
sangat cepat dan bertubi-tubi ke segala arah,
sehingga Nyi Kembang kewalahan menghadapinya. Akhirnya tubuh perempuan
cantik itu terpental dan hampir saja jatuh dari atas atap rumah Raden Bargawa.
Suro Bodong merasa heran. Biasanya lawan
yang terkena pukulan Babi Buta akan memuntahkan darah segar dari mulutnya,
kemudian ia akan tergeletak lemas tanpa daya.
Tapi kali ini agaknya Suro benar-benar
mendapat lawan yang sangat tangguh.
Nyi Kembang segera berdiri. Tangannya
menyilang di depan wajah, mengeras kaku, lalu
bergerak membuka perlahan-lahan. Pada saat
itu, ternyata dari ujung jarinya keluarlah kuku-kuku panjang yang rucing dan
tajam. "Kau harus mati dengan ilmu Cakar Besi-ku, Suro.. !" geram Nyi Kembang sambil
bergerak maju. Tangannya mengibas ke wajah Suro dari
atas ke bawah, antara tangan kiri dan tangan
kanan mempunyai gerakan yang berbeda. Yang
kiri mengibas dari atas ke bawah, yang kanan
mengibas dari kanan ke kiri. Dan hal itu
dilakukan secara bertubi-tubi sehingga kali ini Suro Bodonglah yang keteter
menghadapi serangan Nyi Kembang. Sampai akhirnya kaki
Nyi Kembang berhasil menendang dada Suro
Bodong dan Suro jatuh terjengkang.
Nyi Kembang ingin memberi pelajaran
kepada lawannya. Ia langsung menerjang, bagai
harimau menerkam mangsa. Tubuhnya meloncat
ke bawah dan cakar tangan kirinya mengibas
cepat sehingga Suro Bodong sedikit terlambat
menghindar. Sabetan tangan kiri Nyi Kembang
lewat di depan wajah Suro, dan hal itu membuat salah satu kukunya ada yang
berhasil menggores pipi Suro Bodong.
"Aaauww.. !" Suro Bodong terpekik seketika.
Pipinya luka, darah keluar walau tak seberapa
banyak. Tetapi pada saat ia terpekik, kaki
kanannya bergerak secara reflek. Kaki itu
menendang ke atas dengan keras dan mengenai
perut Nyi Kembang. Maka, tubuh perempuan
mulus itu pun melayang ke udara bagai kupu-
kupu terbang. Suro Bodong bergegas bangkit. Pada saat itu
tubuh Nyi Kembang bersalto di udara untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya. Dan Suro
Bodong segera menyongsong gerakan tubuh Nyi
Kembang yang turun ke bawah dengan sebuah
tendangan kaki kanan ke atas lurus. Tendangan
itu dilancarkan dengan sangat cepat dan
beruntun tujuh kali. Itulah yang dinamakan
jurus Tendangan Ayam Kawin. Apabila kaki
kanan telah tujuh kali menendang beruntun,
maka kaki kiri akan menyusul dengan
tendangan serupa. Yang jadi sasaran adalah
dada serta perut Nyi Kembang. Tetapi Suro
Bodong kembali merasa heran, karena tubuh Nyi
Kembang hanya terhuyung-huyung ke belakang
tanpa merasakan sakit. Sebaliknya, bahkan Suro Bodong mengalami luka pada
betisnya akibat
cakar besi yang mengibas pada saat kaki kirinya menendang beruntun tujuh kali.
Nyi Kembang hendak melarikan diri lagi.
Tetapi Suro Bodong segera melayang dan
berseru, "Kau tak mungkin lolos lagi, Bangsat Cantik.. !!"
Nyi Kembang merundukkan kepala seraya
mengibaskan cakar besinya ke atas. Hampir saja tubuh Suro yang melesat ke atas
kepala Nyi Kembang menjadi sasaran kembali. Untung
secepatnya Suro Bodong mengibaskan kaki kiri
yang saat itu sedang menekuk ke arah paha
kanan Kibasan kaki kiri membuat kepala Nyi
Kembang tersentak ke samping dan gerakan
cakarnya meleset dari arah paha Suro Bodong.
Ketika itu Nyi Kembang berguling, lalu segera
melompat turun dari genting rumah Raden
Bargawa. Suro Bodong buru-buru menyusul
turun untuk menjaga agar lawannya tidak
melarikan diri lagi.
Saat itu, Nyi Kembang menyambut kejaran
Suro Bodong dengan melemparkan beberapa
senjata rahasianya berupa mata tombak yang
tajam dan berkilat. Suro Bodong sengaja
berguling di tanah. Arahnya semakin dekat
dengan kaki Nyi Kembang. Senjata rahasia
menancap di tanah beberapa biji. Pada saat itu, kaki Suro Bodong kembali
melancarkan jurus
Tendangan Ayam Kawin. Sasarannya adalah
paha dan perut Nyi Kembang. Cakar Nyi
Kembang mengibas lagi hendak merobek kaki
Suro Bodong, namun kali ini gerakan jurus
tendang itu sengaja tertuju pada lain arah.
Tendangan kaki Suro Sepertinya berjalan cepat
dari perut terus ke paha. Dan hal itu membuat
Nyi Kembang kewalahan, kemudian jatuh
terpelanting ke belakang. Suro melompat berdiri dan siap menginjak leher Nyi
Kembang. Tetapi pada saat itu Suro menjadi kelabakan,
sebab dari telapak tangan Nyi Kembang keluar
sinar biru yang melesat cepat ke arah Suro
Bodong. Suro Bodong secepatnya menjatuhkan
tubuh, maka sinar biru itu melayang dan
menghantam pohon di arah belakang Suro.
Sebuah ledakan mengguncangkan bumi. Tanah
bergerak. Pohon itu hancur tak tersisa seranting pun. Menjadi serpihan-serpihan
yang terpancar ke segala penjuru.
Pada saat Suro Bodong menjatuhkan tubuh
untuk menghindari sinar tadi, ia tak sengaja
jatuh Ji dekat kaki Nyi Kembang. Tentu saja itu kesempatan baik bagi Nyi Kembang
untuk menjejak wajah Suro Bodong dengan keras.
"Aaauuw...!"
Suro Bodong menjerit. Hidungnya berdarah, ia segera berguling, dan
Nyi Kembang menyerangnya lagi dengan
tendangan kaki yang keras. Dagu Suro Bbdong
menjadi sasaran.
Akibatnya bibir atas pun t:erluka akibat
benturan keras dengan gigi. Suro mengaduh
seraya menutup mulut dengan kedua tangan.
Secepatnya cakar besi Nyi Kembang bergerak
merobek perut Suro Bodong. Tetapi kaki Suro
Bodong menendangnya kuat-kuat sehingga
tubuh Nyi Kembang justru terpental beberapa
langkah jauhnya. Anehnya, tak ada pekik atau
pun seman kesakitan sekali pun yang di dengar
Suro dari mulut Nyi Kembang. Perempuan itu
seakan tidak pernah mengenal rasa sakit, kendati masih bisa terpental. Bahkan
beberapa kali tendangan dan pukulan Suro yang hebat, yang
sering membuat luka dalam pada lawannya itu,
sama sekali tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Nyi Kembang kelihatan tetap tegar,
tanpa luka dalam sedikit pun.
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suro Bodong mengusap darah yang membasahi hidung, luka di pipi dan bibirnya.
Baju merahnya dipakai sebagai lap pembersih. Ia bangkit mendekati Nyi Kembang.
Tetapi pada saat itu Nyi Kembang telah menyiapkan sesuatu.
Dari kedua matanya yang terbilang bening itu
memancarkan sinar kuning ke arah mata Suro
Bodong. Suro Bodong teringat cerita Jenar tentang
Sinar kuning yang menerpa mata Jupro, lalu
setelah itu Jupro bagai ada dalam pengaruh
birahi, dan ia pun mau berbuat mesum dengan
Nyi Kembang. Suro pun terbayang betapa
ngerinya keadaan Jupro ketika mati dengan
keadaan kehilangan urat kejantanannya.
Suro Bodong tertegun memandang sinar
kuning yang menembus kedua matanya.
Badannya menjadi terasa panas. Jalan darahnya
mengalir cepat hingga menimbulkan desiran-
desiran lembut di sekujur tubuh. Saat itu ia
mendengar suara Nyi Kembang berkata:
"Kau seharusnya tidak menjadi korbanku.
Tapi keadaan memaksa aku harus bertindak,
tapi jadikanlah ini suatu pelajaran bagimu, Suro Bodong:..!"
Suro Bodong menahan nafas sejak tadi. Entah
apa yang sedang dilakukannya secara diam-
diam. la sempat berkata:
"Kenapa tidak kau bunuh aku" Lakukanlah
kalau kau mampu membunuhku, Iblis Cantik.:.!"
"Tidak. Suro. Aku.. aku tidak bisa membunuh orang yang kucintai.. "
Suro Bodong terperanjat, namun ia bertahan
untuk tetap tenang. Dan pada detik berikutnya, Suro
Bodong mengeraskan semua otot tubuhnya. Tangannya bergerak lamban bagai
sedang menyingkap suatu tabir yang menghalang di depannya. Kemudian tangan
yang keras dan kaku itu menghentak ke depan.
Kedua tangan itu bagai sedang mendorong
sesuatu yang amat
berat, sampai-sampai keringat Suro Bodong mengucur dari pelipis dan beberapa tempat lainnya. Ia pun
mengeluarkan suara erangan yang berat sehingga semua
anggota tubuhnya bergetar mengagumkan.
Tenaganya bagai terkuras untuk mendorong
sesuatu yang tidak tampak. Sedangkan sinar
kuning yang terpancar dari mata Nyi Kembang
itu kian lama kian redup. Suro Bodong pun
semakin mengerang panjang.
"Aaah...!" kali ini Nyi Kembang terpekik lirih.
Nafasnya terengah-engah. Sinar kuning itu
lenyap, sepertinya membalik pada dirinya
sendiri. Ia segera menutup wajah, lalu gemetar.
Menggigil. Matanya meredup dan mulutnya
memdesah-desah. Ia menyerukan kata dalam
bisikan: "Oh, aku tak tahan. .! Peluklah aku... peluklah walau sebentar saja.. " Nyi
Kembang mulai merintih.
Suro Bodong tersenyum lega. Ia telah berhasil
mengembalikan sinar kuning itu sehingga bukan
Suro yang menjadi diamuk birahi meledak-
ledak. "Senjata makan tuan, itu lebih baik daripada tuan makan senjata..." kata Suro
Bodong seraya garuk-garuk kumis dalam senyumnya yang
mengejek. Nyi Kembang merintih, mendesah dan
meraba bagian tubuhnya sendiri. Kini ia jadi
diamuk nafsu birahi akibat membaliknya sinar
kuning yang biasa untuk membius lawan itu.
"Suro..." rengeknya.
"Oooh.. kau tega kepadaku. Renggutlah aku...
ayo, Suro.. renggutlah aku dan peluklah erat-erat.. " Nyi Kembang mendekat dengan tangan
menggapai-gapai. Suro sengaja menghindar pelan-pelan.
"Suro... aku. . ooh,. aku sungguh tak tahan.
Berikan sebentar saja kehartgatanmu, Suro..
Uuuhh...Ssss.. Suro.. "
Nyi Kembang mendesis-desis, meremas-
remas dadanya sendiri. Mulut dan lidahnya
bergerak tak beraturan. Ia berjalan terhuyung
mendekati Suro Bodong. Ia bahkan telah
merobek gaun tipisnya. Bagian dadanya telah
polos akibat kain gaun robek tak beraturan. Ia mencoba menggapai tubuh Suro
Bodong dengan nafas berbau nafsu birahi yang menyalak-nyalak.
"Suro... peluklah aku. . Ooh, peluklah aku dan berikan aku kehangatanmu.. "
rintihnya dalam desah suara mesum.
Suro Bodong tiba-tiba menghantam wajah
Nyi Kembang dengan tangan kanannya kuat-
kuat. Lalu ia terbengong-bengong. Nyi Kembang
hanya melengos, bagai terkena tamparan. Ia
tidak merasa sakit, tidak terluka sedikit pun.
Sekali lagi Suro Bodong menghantamnya
dengan pukulan bertenaga dalam. Tapi tubuh
Nyi Kembang hanya terdorong satu langkah ke
belakang. Jatuh pun tidak. Ia masih mendesah-
desah dan meremas-remas bagian penting dalam
tubuhnya. Ia bagai tidak merasa sedang dipukul dengan kekuatan penuh. Suro
Bodong semakin terbengong dan kebingungan.
"Kamu ini setan apa manusia, hah"!" bentak Suro Bodong karena jengkelnya.
'Suro, lupakan pertarungan kita... ooh,
turutilah sebentar keinginanku. Peluklah aku,
Suro. Peluklah dan berilah aku cumbuan yang
menghangatkan.. ! Suro, sekali ini saja... Aku tak akan mengganggumu lagi.
Tolong, ooh. .aku
tidak tahan, Suro. ."
Tendangan Suro dihentakkan tepat mengenai
dada Nyi Kembang. Keras sekali. Paling tidak
akan jebol dada itu. Tapi, Nyi Kembang bukan
seperti manusia biasanya. Ia terdorong ke
belakang beberapa langkah, lalu maju lagi
dengan tangan minta dipeluk dan matanya kian
sayu. Desah yang keluar dari mulutnya
membuat Suro Bodong semakin penasaran.
"Kamu setan, ya"! Setan atau demit"! Ngaku saja!"
"Ooooh. . aku. . aduuuh... aku tak tahan
betul, Suro. Peluklah aku.. lekas. . lekas.. !"
"Aku tidak ingin bercinta denganmu! Aku
ingin membunuhmu, tahu"! Jangan paksa aku
untuk melayani nafsumu...!"
"Sebentar saja, Suro. ."
"Mana bisa sebentar kalau begituan, tolol!"
bentak Suro Bodong yang semakin jengkel pada
diri sendiri. "Aku yakin, bisa sebentar.. Ayolah, aku mau sebentar saja..."
"Enak saja. Kau mau sebentar, tapi aku tidak mau kalau sebentar. . Tidak!
Sebentar atau lama, aku tidak mau bergumul denganmu!"
Tak terasa fajar telah menyingsing dan di
beberapa tempat banyak orang yang memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi,
termasuk Raden Bargawa yang memperhatikan
kejadian itu dari balik pagar rumahnya.
"Hiaaaat. .!!" Suro Bodong menendang tubuh Nyi Kembang dengan tendangan lompat
yang begitu kuat. Tetapi
Nyi Kembang tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. la memang
terpental, namun segera bangkit dan mendesah-
desah, minta dipeluk Suro Bodong.
"Kau gila...! Aku ini musuhmu, kenapa kau minta aku bergumul denganmu.. ! Bodoh!
Tidak tahu tata kesopanan orang bermusuhan...!"
bentak Suro Bodong. Dan pada saat itu, tangan
Nyi Kembang berhasil meraih baju Suro. Ia
langsung mendekap Suro Bodong dengan nafsu
yang brutal. Ia menciumi Suro Bodong
sembarang tempat dengan nafas seperti anjing
habis lari jauh. Suro Bodong malah kegelian. Ia meronta dan mencoba menghindar.
Tapi Nyi Kembang mengejarnya. Suro Bodong jijik
jadinya. "Surooo. . tunggu aku...! Suro jangan pergi, tunggu
aku..." Nyi Kembang berlari-lari mengejar Suro Bodong. Suro kebingungan dan
menggeram gemas bercampur jengkel, entah
kepada siapa. Tetapi akhirnya, ia berhenti dan menghadang Nyi Kembang yang minta
dipeluk Waktu itu, ada beberapa orang yang melihat
kejadian tersebut dari tempat agak jauh.
Suro Bodong mengusap lengan kirinya. Lalu
dari pergelangan tangan kiri itu, ia bagai sedang menarik sesuatu. Dalam waktu
yang singkat, tahu-tahu tangan kanan Suro Bodong telah
memegang sebilah pedang bercahaya ungu.
Semua mata yang menyaksikan hal itu terbelalak lebar. Mereka tak tahu kalau Suro
Bodong mempunyai senjata pusaka yang dinamakan
Pedang Urat Petir. Senjata itu bisa disimpan
masuk ke dalam daging tangan kirinya, sehingga orang tak pernah tahu bahwa ke
mana pun Suro pergi, sebenarnya ia selalu membawa pedangnya. Itulah kehebatan Suro bersama
pedang Urat Petirnya.
"Nyi Kembang. .! Inilah saat penghabisanmu...!
Hiaat.. !"
Suro Bodong menghunuskan pedangnya ke depan, tepat
mengenai dada Nyi Kembang yang sudah
pasrah minta dicumbu. Tetapi, anehnya tubuh
itu tidak mengeluarkan darah sedikitpun.
Pedang memang tembus ke dada Nyi Kembang,
namun Nyi Kembang tidak merasa sakit. Tidak
juga merasa ditusuk Ia bahkan berhasil memeluk Suro Bodong dengan nafsu birahi
yang kian membara. "Gila...! Manusia lempung kamu ini...!"
bentaknya sambil Suro menendang tubuh Nyi
Kembang dan mencabut pedangnya. Ia sendiri
jadi gemetar melihat pedang Urat Petir seperti tusuk sate tanpa keampuhan apa
pun. Nyi Kembang terpental, namun segera menggapai-
gapai dalam desah dan erangan nafsu birahinya.
Tempat yang tertusuk pedang merapat tanpa
bekas. "Suro... peluklah aku. Jangan membuang
tenaga untuk membunuhku. Aku tidak akan bisa
mati Aku sudah hampir sempurna mencapai
ilmu Serap Sukma. Aku tak akan bisa mati.
Tinggal tiga lelaki lagi aku harus dapatkan, lalu sempurnalah ilmu Serap
Sukmaku, dan aku
akan menjadi orang yang tak pernah bisa mati.
Tapi... kepadamu aku tidak bermaksud menjadikan korban, Suro. Aku mencintaimu.
Aku tak ingin
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerap tuntas air kejantananmu, dan membunuhnya sekaligus.
Tidak akan terjadi padamu, Suro". Aku hanya
butuh pelampiasan nafsu dan cinta darimu.
Ooh.. peluklah aku.. !"
'Ilmu Serap Sukma...?" gumam Suro Bodong.
"Ooh.. pantas ia banyak mencari korban.. !"
Suro berjalan menghindari raihan tangan Nyi
Kembang yang sudah tidak peduli dengan
keadaan tubuhnya. Polos tanpa selembar benang
pun. Suro Bodong sebenarnya merasa malu
sendiri, karena banyak mata, dan bahkan
semakin banyak orang yang memperhatikan
adegan itu. Tetapi ia harus bisa bertahan dan
segera mencari titik kelemahannya.
"Suro... turutilah keinginanku... sebentar saja," Nyi Kembang merengek dalam
tangis. 'Tidak! Aku harus mengetahui letak kelemahanmu dulu, baru nanti aku akan
memuaskan nafsumu..." kata Suro sambil
berharap, mudah-mudahan kata-katanya itu
tidak didengar Sundari. Mudah-mudahan Sundari tidak ikut menyaksikan adegan itu. Jika sampai Sundari tahu, maka akan
timbul kekacauan lain, sebab ia agaknya sangat
cemburu. "Akan kucoba untuk menusukmu dengan
pedang ini, sampai kutemukan letak kelemahanmu, baru aku berani memberi
kepuasan padamu. Aku tak mau terkecoh, tak
mau mati setelah aku bisa memberi kepuasan
kepadamu...!"
kata Suro Bodong sambil menebaskan pedangnya ke leher Nyi Kembang.
Tapi ternyata ia bagai menebas busa-busa sabun.
Leher itu segera merapat tanpa darah setetes
pun. Pedang Urat Petir tak mampu merobek
leher Nyi Kembang.
'Percuma, Suro.. kau tak akan bisa membunuhku, karena kau tidak menebaskan
pedangmu di ketiakku. Lebih baik kita
bercumbu saja, Suro.. "
Nyi Kembang hendak memeluk, langkahnya
limbung, dan Suro Bodong diam saja, seakan
sengaja menunggu pelukan Nyi Kembang.
Tetapi pada saat jarak mereka cukup dekat, Suro Bodong segera berguling, dan
menebaskan pedangnya pada ketiak kiri Nyi Kembang.
Kontan Nyi Kembang menjerit histeris dengan
mata melotot. "Ahhh...!!"
Suro Bodong menyisih jauh, Nyi Kembang
terguling-guling dengan jerit yang melengking
panjang. Suaranya bagai jeritan dari alam kubur.
Ia menggelepar-gelepar, lama-lama mengeluar
kan asap putih. Asap semakin tebal dan Suro
Bodong membiarkan hal itu berlangsung dengan
sendirinya. Orang-orang mulai bergerak mendekat.
Mereka berwajah tegang. Jeritan Nyi Kembang
mulai menipis, tinggal suara erangan orang
menjelang ajal. Tetapi asap putih semakin
menebal. Menutupi sekujur tubuh Nyi Kembang.
Suro Bodong masih berdiri tegak dengan pedang
yang memancarkan sinar ungu tergenggam erat
di tangan kanannya.
Pada detik-detik berikutnya, asap putih itu
mulai menipis. Orang-orang menggumam dengan mata melotot memandang asap yang
menipis. Kian lama angin bertiup membawa
asap putih, dan akhirnya hilang sudah asap itu.
Lalu orang-orang menyerukan pekik bersamaan
dengan mata kian melebar. Bahkan Suro Bodong
sendiri juga melebarkan mata dengan mulut
terbengong melompong.
Tubuh Nyi Kembang yang berhasil ditemukan kelemahannya itu kini menggelepar
dalam erang yang tipis. Tubuh itu sudah bukan
lagi tubuh yang berkulit seputih susu selembmt busa salju. Tubuh itu menjadi
tubuh berkulit sawo matang dengan wajah yang sudah dikenal
oleh setiap warga desa. Itulah wajah Sundari,
putri Ki Lurah Pucung yang menjadi janda
kembang. "Sundari..."!"
Hampir semua mulut melontarkan kata itu.
Rupanya selama ini tak seorang pun tahu bahwa
Sundari sedang memperdalam ilmu Serap
Sukma, di mana untuk menyempurnakan ilmu
tersebut, ia harus mencari seribu korban lelaki.
Korban itu harus dinikmati dulu kejantanannya, kemudian menyerap semua benih
lelaki dan membunuh lelaki itu sebagai serap nyawa sang
korban. Dengan demikian, maka nyawa yang
ada pada korban akan menjadi bagian dari
kekebalan tubuh aan kesaktiannya. Itulah
sebabnya Nyi Kembang mengatakan, bahwa
dirinya tidak akan bisa mati.
Semua orang tertegun memandang tubuh
Sundari, yang sudah pasti tega membunuh
suaminya sendiri demi ilmu yang dituntutnya.
Ki Lurah dan istrinya pingsan seketika sewaktu melihat kenyataan itu. Dan...
sudah tentu hal itu membuat heboh di seluruh desa. Tersiarlah
kabar tentang Sundari, yang menuntut ilmu
warisan kakek buyutnya di mana kitab pusaka
itu seharusnya dibakar. Namun ada satu yang
tersisa, yaitu kitab Serap Sukma. Dan di hutan Tengkorak itulah Sundari
menjalankan segala
ilmunya bersama satu jasad yang mampu
memecah diri menjadi sekian banyak ujud.
Suro Bodong hanya menggumam, dan mema-
sukkan kembali pedangnya.
Pembuat Ebook :
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
SELESAI Duri Bunga Ju 4 Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam Keris Pusaka Nogopasung 7
kejantanannya. Bahkan ketika Nyi Kembang
merayapkan lidahnya ke atas lagi, lalu berhenti di sekitar dada, turun lagi, dan
berhenti di sekitar paha, Jupro kelihatan seperti orang
kesurupan dan geliatan tubuhnya. Tangannya
meremas-remas rambut Nyi Kembang yang
lembut, sementara kepalanya sendiri mendongak-dongak ke
atas dalam desis mengetarkan lutut Jenar.
Sekali lagi, Jenar berusaha menggerakkan
bibirnya, berusaha menghentakkan suaranya
untuk melontarkan jerit, tetapi tenggorokkannya benar-benar mampet. Bagai tak
ada lobang sekecil jarum pun yang dapat dipakai mengeluarkan suara dari dalam tenggorokan
Jenar. Bahkan ketika Nyi Kembang semakin
menggila dalam menggerakkan kepalanya dalam posisi berlutut, Jenar semakin kuat
hasratnya untuk meraih pedangnya dari meja.
Tetapi jangankan tangan, jari-jarinya pun sukar dikendalikan. Jari-jari tangan
itu sepertinya beku. Kaku. Hanya bagian leher yang mampu
menggeliat untuk digerakkan.
"Aaaah...!"
Jupro mengerang dalam satu hentakan, dan
tubuhnya mengejang dengan nafas memburu tak
beraturan, la lemas, jatuh ke kiri, tepat di atas pembaringan berkasur. Saat itu
Nyi Kembang semakin menggila. Ia membujurkan tubuh Jupro
dalam gerakan brutalnya. Kemudian ia berusaha
mengayun sendiri 'perahunya' dan suaranya pun
semakin seronok, semakin mengundang kebirahian siapa saja yang mendengarnya. Jupro hanya mengerang dalam geliat
hebat. Tubuhnya
yang tertindih Nyi Kembang sama sekali tidak
ada usaha untuk melawan atau memberontak
keluar dari bawah Nyi Kembang. Dan hal itu
membuat Nyi Kembang semakin berjingkerak-
jingkerak seperti terbakar api. Rambutnya
meriap dalam gerakan melambai kian ke mari.
Sesuatu yang menggantung di dadanya,
terayun-ayun bagai pepaya yang hendak rontok
dari tangkainya. Wajah cantiknya meringis,
menjerit tertahan, menggigit-gigit
bibirnya sendiri, tanpa peduli keringat meleleh di
sepanjang punggungnya yang bagai bentangan
sutra susu. "Uug... aaag. . uuuh...!" Jenar berusaha berteriak. Nyatanya ia hanya bisa ber-ah, ih,
uh...! Tanpa ada makna yang dapat memudarkan
amukan gairah kedua insan itu.
Hanya saja, pada saat Nyi Kembang
meregang, melontarkan erangan lembut yang
memanjang itu, tiba-tiba pintu kamar ditendang seseorang dari luar.
Braaak.. !! Bukan hanya Jenar yang terlonjak kaget,
melainkan Jupro dan Nyi Kembang pun
menegangkan urat-uratnya. Mereka sama-sama
memandang ke arah pintu, dan di situ sudah
berdiri sosok tubuh yang sedikit gemuk dengan
baju terbuka tanpa kancing dan kelihatan
pusarnya yang terjulur keluar. Suro Bodong
menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat,
lalu ia berusaha menendang tubuh Nyi
Kembang. Tangan Nyi Kembang mengibas,
menangkis tendangan itu sekali pun masih
duduk di atas tubuh Jupro. Tapi, tiba-tiba Jupro menjerit panjang:
"Aaaauuhh...!!"
Tubuhnya mengejang- ngejang. Nyi Kembang berdiri berusaha
menghadapi Suro Bodong. Pada saat itu Suro
dan Jenar sama-sama terbengong memandang ke
arah paha Jupro.
Paha itu berlumur darah. Bahkan tadi sempat
menyembur ke sekitar paha. Suro dan Jenar
bagai tidak percaya dengan penglihatannya
sendiri, bahwa keadaan Jupro sangat menyedihkan. Segumpal otot kejantanannya
telah putus. Hilang. Bagai terpotong benda tajam pada bagian pangkalnya. Ketika
itu, tubuh Jupro yang sudah kehilangan alat kejantanannya itu
menjadi kaku sejenak jenak, lalu menggeliat
lemas dan diam selama-lamanya.
Rupanya Nyi Kembang telah memotong alat
kejantanan itu dengan tenaga dalamnya ketika ia masih duduk di atas tubuh Jupro
dan diserang oleh Suro Bodong. Rupanya perempuan cantik
itu mempunyai tindakan yang tak secantik
wajahnya. Ia tega menjepit alat kejantanan Jupro dengan alat kewanitaannya
hingga putus tanpa
bekas. Mungkin masih tertinggal di dalam bekas potongan 'senjata' Jupro itu,
karena sisa potongan itu tidak terlihat tergeletak di suatu tempat.
Jika memang benar begitu, ooh. .alangkah kejamnya tindakan yang jarang
disaksikan oleh Suro Bodong itu. Bukan hanya
mulut atas yang dapat menggigit, tetapi juga
bagian yang istimewa itu mampu menggigit dan
menelan sebatang daging milik Jupro.
Suro Bodong terpental dalam lamunan,
karena saat itu ia baru menyadari bahwa Nyi
Kembang telah mengenakan pakaiannya dengan
cepat kemudian menendang dada Suro dengan
keras. Tubuh Suro terpelanting menabrak Jenar
hingga kepala Jenar membentur dinding. Nyi
Kembang berusaha melesat keluar dari kamar,
tetapi Suro Bodong segera melemparkan pedang
bersarung milik Jenar. Pedang itu melesat cepat, dan bahkan mampu menancap.
Sayang tidak pada tubuh Nyi Kembang, melainkan menancap
pada kusen pintu yang terbuat dari kayu jati itu.
Jenar makin terbelalak melihat pedangnya
mampu menancap pada kayu walau tanpa
membuka sarungnya. Sudah tentu itu suatu
lemparan bertenaga dalam yang cukup hebat.
Suro Bodong segera melesat keluar mengejar
Nyi Kembang yang lari ke halaman belakang.
Tetapi beberapa saat ia di sana, ia tak melihat bayangan kain putih yang
dikenakan Nyi Kembang. Perempuan itu hilang! Entah lari
lewat mana. Suro Bodong memeriksa keadaan
sekeliling, namun yang ia temukan bahkan
kedua mayat Tembong dan Gagak dalam
keadaan usus mereka terburai ke luar dari perut.
Mereka juga dalam keadaan telanjang bulat
tanpa selembar benang.
* * * 4 Ki Lurah tertegun di ruang tamu. Orang-
orang yang habis menguburkan ketiga mayat itu
berkumpul secara berkelompok di halaman
depan. Suro Bodong sengaja menyendiri di
halaman samping. Ia menikmati jagung bakar
kesukaannya sambil memperhatikan beberapa
bunga indah yang ada di pinggir pagar halaman
itu. Ia sepertinya tidak mempunyai rasa sedih
atau gelisah sedikit pun. Ia paling tenang dari sekian banyak orang.
Bahkan ketika Jenar muncul menemuinya,
Suro Bodong masih bersikap biasa-biasa saja.
Cuek terhadap situasi yang ada. Jenar bicara
dengan wajah yang masih tegang akibat sisa
semalam. "Kang... Temuilah Ki Lurah sekarang juga.. !"
"Nanti saja. Dia sedang pusing memikirkan bagaimana cara menanam mayat
berikutnya,"
jawab Suro Bodong seenaknya. Jenar merasa
kurang suka dengan sikap Suro Bodong.
"Jangan kelewatan sikapmu, Kang. Itu sangat
menyakitkan Ki Lurah. Sekarang bukan hanya
Ki Lurah yang merasa kehilangan, tetapi ada
orang lain yang menuntut Ki Lurah."
"Orang lain" Orang lain siapa?" Suro bicara tanpa
memandang Jenar. Ia bahkan memperhatikan sekuntum bunga anggrek yang
waktu itu dinamakan bunga bulan ungu.
"Datanglah ke sana. Temui Ki Lurah. Ia dalam bahaya."
Baru kali ini Suro Bodong berpaling
memandang Jenar, namun tubuhnya masih tetap
membungkuk mendekati bunga, dan tangannya
masih sesekali memetik-metik biji jagung bakar, lalu melemparkan ke mulurnya.
"Ki Lurah dalam bahaya?"
"Benar, Kang. Apakah kau tadi tidak melihat seorang kakek yang mengenakan jubah
ungu tua?" "Kalau pun melihat, mungkin aku akan pura-pura tidak melihat. Hemm.. ada apa
dengan kakek itu?"
"Dia minta Ki Lurah Pucung bertanggung jawab atas kematian Tembong dan Gagak."
"Apa dia kakek mereka?"
"Dia guru Tembong dan Gagak, Kang.
Lihatlah sendiri ke sana, Ki Lurah sedang
terdesak oleh tuntutan itu."
"Ah, biar saja...!" jawab Suro seenaknya.
"Yang penting bukan aku yang menuntut Ki
Lurah." Jenar menggumam dalam gerutu. Ia bersungut-sungut. Dan suara orang bergemuruh
di halaman depan.
Semua orang bagai
berkumpul menjadi satu pandangan, yaitu
tertuju pada serambi depan yang menjadi ruang
tamu rumah Ki Lurah itu. Suro Bodong sempat
tertarik sebentar, karena waktu itu Jenar pun
segera pergi ke halaman depan. Namun Suro
tidak mau bergerak Ia hanya diam, berdiri di
tempatnya sambil sesekali melemparkan biji
jagung bakar yang dipetik-petik dengan jempol
tangan kanannya.
'Tolonglah ayahku.. !"
Tiba-tiba suara itu terlontar dari sudut
rumah, tepatnya dari arah belakang. Dari sana
seorang perempuan berkulit sawo matang
berlari-lari menghampiri Suro Bodong. Dia
adalah Sundari, anak Ki Lurah yang bermata
bulat indah. Usianya masih terbilang muda
untuk seorang janda, namun hal itu justru
membuat Suro Bodong suka memperhatikannya.
"Ayahku dalam ancaman, Kang. Tolonglah
dia.. !" Sundari sangat
cemas. Ia hanya mengenakan pinjung, kain sebatas dada dengan
kebaya tipis tanpa kancing. Waktu itu, Suro
Bodong tetap tenang. Masih saja mengunyah
jagung bakar dengan sesekali garuk-garuk
kumis. 'Tolonglah ayahku, Kang Suro...! Tolonglah. .!
Ia bisa mati kalau Si Jubah Ungu benar-benar
marah." "Aku juga bisa mati. Dan semua orang bisa mati...! Cuma caranya yang beda-beda.
Kenapa kamu ribut soal itu?"
Sundari hampir
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis. Ia sangat kebingungan. Sedih dan jengkel akibat sikap
Suro Bodong yang acuh tak acuh itu. Ia bergerak ke depan dengan berlari, namun
belum sampai di tujuan, ia telah kembali dengan kecemasan
yang semakin meningkat.
"Dengar. .!
Dengar Si Jubah Ungu membentak-bentak ayahku. Apakah kau tidak
mendengarnya"!" geram Sundari kepada Suro Bodong yang masih kalem saja.
"Aku mendengarnya, seandainya aku tidak
tuli. Tapi.. untuk sementara ini, anggap saja aku tuli dan tidak mendengarnya,"
jawab Suro Bodong masih seenak perutnya.
"Aku... oh, aku takut sekali. ." Sundari bagai bicara pada diri sendiri. Ia tak
berani mendekat.
Ia menggigit jarinya menahan rasa takut yang
sangat mencemaskan. Suro Bodong sengaja
membiarkan ketakutan itu, sebab wajah Sundari
enak dipandang dalam keadaan ketakutan
begitu. "Kenapa hanya memandangiku"!" bentak Sundari. "Apakah tak ada yang dapat kau
kerjakan untuk menolong ayahmu selain
memandangiku!!"
"Sementara ini belum ada," kata Suro.
"Memandangimu
lebih mudah daripada menolong ayahmu, Sundari."
'Tapi.. oh, tapi tolonglah dia dulu. Kumohon
tolonglah dia agar tak menjadi sasaran
kemarahan Jubah Ungu, setelah itu.. kau boleh
memandangiku dengan sepuas hatimu. Tolonglah dia dulu, Kang Suro.. "
Suro Bodong tersenyum. "Upah yang paling
kusukai itu.." ucapnya seraya bergegas ke halaman depan. Langkah kakinya tidak
seperti pendekar, melainkan seperti orang yang sedang
jalan-jalan santai. Menjengkelkan sekali.
Orang-orang berkerumun di depan serambi,
dekat dengan tangga yang terdiri dari lima baris.
Mereka membentuk kelompok yang berada di
sebelah kiri dan kanan, sedangkan bagian tengah dibiarkan terbuka. Kosong tanpa
orang. Seakan mereka memberi kesempatan kalau-kalau sampai terjadi keributan yang membuat Ki
Lurah dilempar keluar. Jalanan tengah yang
kosong itu menuju lurus ke pintu pagar. Dan
pada saat itu, hanya Suro Bodong yang berdiri di jalanan itu. Sendiri. Menonjol
jelas. Ada beberapa mata yang memperhatikan Suro
Bodong, namun ada juga yang belum menyadari
posisi Suro Bodong di situ.
Lelaki tua berambut putih, namun tidak
panjang itu masih membentak-bentak Ki Lurah
yang amat ketakutan. Lelaki yang mengenakan
Jubah Ungu itu juga belum menyadari tampilnya
Suro Bodong yang bagai menghadang jalan
keluar. Sedangkan Suro Bodong masih kelihatan
kalem. Ia memetik-metik biji jagung bakar, lalu melahapnya dengan sikap tenang.
Terdengar suara Si Jubah Ungu membentak
Ki Lurah dengan suaranya yang masih lantang:
"Kematian muridku adalah tanggungjawabmu! Karena kau yang datang
kepadaku, menyewa padaku, dan kau pula yang
harus menebus kematian kedua muridku,
Tahu"!"
'Tetapi. ." Ki Lurah gemetaran, demikian juga Nyai Lurah yang berpegangan erat
lengan suaminya. 'Soal kematian Tembong dan Gagak,
adalah kecelakaan! Ia dibunuh oleh.. !"
"Aku tahu!" sahut Jubah Ungu dengan
bentakan. "Tapi kau menyewanya bukan untuk dibunuh, kan" Kau menyewanya hanya
untuk melindungi, melindungi keluargamu ini, kan"
Aku tidak pernah mengizinkan kau menyewanya untuk mati! Dan sekarang kalau
mereka mati, aku akan menuntutmu! Harga
nyawanya, seratus kali lipat dari harga sewa
yang kau bayarkan itu!"
'Itu terlalu mahal, Eyang guru. ." jawab Ki Lurah. "Aku tidak mempunyai uang
sebanyak itu...!"
"Kalau begitu, tebus dengan cara lain!" seru seorang lelaki yang mengenakan
rompi warna biru di samping Jubah Ungu. Pada saat itu, Jenar mendekati Suro Bodong dan
berbisik "Cepatlah bertindak! Tapi hati-hati,.kedua orang yang mengenakan baju pendek
biru dan kuning itu juga murid Si Jubah Ungu. Mereka
adalah orang sewaan Raden Bargawa. Rupanya
ada ikatan kerjasama antara jago-jago sewaan di sini dengan jago-jago sewaan di
rumah Raden Bargawa.. "
"Kalau kau mau selamat, menyingkirlah,"
geram Suro Bodong yang tidak suka jika didikte oleh orang seperti Jenar. Tanpa
berpikir panjang, Jenar pun segera pergi, dan Suro Bodong
menyimak kembali tuntutan Jubah Ungu itu.
"Eyang guru..." tutur Lurah Pucung. "Eyang tahu sendiri, bahwa masa panen tahun
ini mengalami kemerosotan. Jadi, dari mana kami
dapat menebus tuntutan itu" Dan... cara lain apa yang dimaksudkan tadi"!"
"Kau masih punya anak gadis bukan"!" kata yang mengenakan rompi kuning.
"Meskipun dia sudah bukan gadis lagi, tapi mungkin dia bisa
mengurangi beban tanggungjawabmu atas
kematian saudara-saudara kami. .!"
"Benar! Itulah cara lain yang bisa kau
lakukan!" kata Jubah Ungu.
Tiba-tjba Suro Bodong menyahut dengan
suara keras bernada canda:
"Wah... kalau cuma ingin mengincar perempuan, kawin saja dengan Nyi Kembang
Laras. .!!"
Suara itu bukan hanya mengagetkan Jubah
ungu dan kedua muridnya, namun semua orang
yang ada di situ jadi memandang Suro Bodong
secara serempak. Guman dan kasak kusuk
kembali terdengar. Suro Bodong masih tenang
memetik-metik jagung bakar, dan ia pun tetap
berkata lantang :
"Itu namanya pemerasan! Rupanya ada pihak
yang ingin memanfaatkan keadaan ini untuk
memeras orang yang sudah menderita! Hahh...lucu sekali permainan ini, ya?" Suro bertaya kepada orang-orang, namun
mereka menjawab dalam gumam yang ngambang,
karena takut terlibat.
Jubah Ungu menggeram. Tongkatnya dihentakkan ke lantai, lalu kedua muridnya
yang mempunyai tinggi badan sama itu maju ke
depan, menuruni tangga satu baris. Mereka
berdiri di kanan kiri jalan, seakan mendampingi langkah Jubah Ungu yang kemudian
turun ke anak tangga kedua dari atas.
Mata Jubah Ungu yang sudah sedikit
berkeriput namun beralis putih itu memandang
tajam ke arah Suro Bodong. Dan pada saat
itu,Suro Bodong merasa tidak sedang di
pandang. Ia tetap tenang. Berdiri santai, tidak tegap. Baju merah potongan jubah
yang tidak dikancingkan itu dibiarkan meriap-riap diterpa angin yang kebetulan berhembus.
Rambut panjang tak teratur yang diikat kain merah darah itu juga dibiarkan meriap
beberapa helai ke
wajahnya. Ia tetap menikmati jagung bakarnya
dengan tenang. "Siapa dia..."!" tanya Jubah Ungu kepada mereka yang berkerumun di samping kanan
rumah. Tapi dari mereka tak ada yang berani
memberi jawaban.
"Hei, siapa kamu" Apa urusanmu ikut
menimpali pembicaraan kami"!" gertak Jubah Ungu dengan mata menyipit.
"Yang jelas, aku bukan seorang pemeras!"
Suro Bodong bicara agak tak jelas, karena sambil mengunyah jagung.
"Srengono. .! Sonto.. ! Beri dia pelajaran agar pandai menjaga mulut!" perintah
Jubah Ungu. Lalu kedua muridnya yang berdada besar, dan kekar Itu, berjalan seirama
mendekati Suro Bodong. Mereka bagai mengepung dari dua
arah; kiri dan kanan. Tatapi Suro Bodong tidak merubah sikapnya yang acuh-acuh
saja terhadap bahaya seperti itu. Ia tetap memetik-metik jagung bakar dengan tenang. Sesekali
menggaruk kumis
dengan jari telunjuknya, sesekali melemparkan
biji jagung ke mulutnya. Orang-orang yang
menyaksikan hal itu sudah menyimpan kecemasan di dalam hati. Bahkan Jenar sempat
berbisik kepada salah seorang yang dikenalnya:
"Ah, Kang Suro itu orangnya suka menyepelekan lawan! Kenapa dia tidak mau
segera bersiap menghadapi serangan Srenggono
dan Sonto.. "! Uuh. . payah dia!"
"Hei, Setan Buruk.. " sapa Sonto kepada Suro Bodong. "Sebaiknya kau minta maaf
kepada guruku, supaya aku tidak jadi diperintahkan menghajarmu! Ayo, lekas.. minta
maaf!" Suro Bodong memetik-metik biji jagung
bakar. Ia tersenyum sinis dan berkata, "Seharusnya gurumu dulu meminta maaf
kepada Ki Lurah atas pemerasannya. Tetapi
kalau memang punya bakat memeras susu sapi,
yah.. kurasa memang dia tak perlu minta maaf
kepada Ki Lurah."
"Lancang sekali mulutmu. Terimalah hukuman ini, hiat.. !"
Srenggono yang berompi kuning segera
menyerang Suro Bodong dengan sebuah
pukulan tangan kiri. Suro Bodong menghindar
ke belakang. Pukulan tak sampai pada sasaran.
Srenggono hendak memukul dengan tangan
kanannya, tetapi kaki kanan Suro Bodong
mengibas ke depan dan mengenai rusuk
Srenggono. Pada saat itu, kaki tersebut segera belok
ke kanan. Tumit Suro Bodong menghantam pinggul Sonto yang hendak
menendang Suro dengan kaki kiri. Keduanya
mengaduh karena merasakan linu pada tulang-
tulangnya. Kesempatan itu digunakan Suro Bodong
untuk memakan biji jagung yang sudah di
tangan. Ia mengunyahnya dengan santai sekali,
sehingga banyak orang yang kagum kepada
sikap dan keberaniannya. Bahkan pada saat
Srenggono mencabut senjatanya, berupa rantai
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berujung mata tombak, Suro Bodong tidak
menampakkan kesiapsiagaannya. Rantai itu
melecut ke arah kepala Suro Bodong.
"Ziiing...!"
Kepala Suro Bodong merunduk. Tangannya
masih sempat memetik-metikbiji jagung bakar.
Orang-orang sangat heran dan gemas sendiri.
"Hiaaaat. .!!" Sonto menerjang ke arah punggung Suro Bodong yang merunduk dengan
sebuah tendangan melayang. Tetapi Suro
Bodong sibuk berkelit menghindari putaran
balik dari ujung rantai Srenggono itu. Hampir
saja ia terkena tendangan Sonto ketika ia
menegakkan badan dan tahu-tahu kaki Sonto
sudah berada di depan hidungnya. Dengan
cepat Suro menangkis kaki itu memakai lengan
kirinya. Ia membuang arah tendangan tersebut,
namun tangan kanannya yang telah memegangi
biji-biji jagung itu segera ditebarkan ke arah wajah Sonto.
"Makan jagung ini, heeaah.. !!" seru Suro Bodong.
"Aaahk...!!"
Sonto menjerit kesakitan. Rupanya biji jagung itu bukan sembarang
jagung, melainkan mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang mampu berubah menjadi biji-biji
besi yang tajam. Salah satu mata Sonto terkena sebiji jagung dan berdarah. Sonto
menjerit-jerit seraya menutupi bagian mata yang terluka dan
berdarah itu. Srenggono terbengong, Suro Bodong tertawa.
Katanya: "Itu baru biji jagung, bukan bijiku sendiri.
Maksudku biji kekuatan intiku.. " Ia menetralisir anggapan orang yang
menertawakan kata-katanya.
"Keparat kau.. !!" geram Srenggono, kemudian ia melayang seraya memutar-
mutarkan rantai berujung tombak tajam, kendati gagang tombaknya tak kurang dari
sejengkal. Hal itu sempat membuat Suro Bodong menggeragap. Dan kaki Srenggono menjejak
lengan Suro Bodong dengan keras. Akibatnya
Suro Bodong tersungkur jatuh tepat di kaki
Sonto yang kesakitan itu. Maka ke kesempatan
itu digunakan Sonto untuk menginjak batang
leher Suro Bodong.
"Ngeeekk. .!!" Batang leher Suro Bodong ditekannya kuat.
"Tahan begitu, Sonto. .!!" teriak Srenggono yang segera hendak mencambukkan
rantainya. Diperkirakan, ujung rantai itu akan menembus
perut Suro Bodong tanpa ampun lagi. Tetapi,
Suro Bodong justru menghentakkan kakinya
pada saat rantai Srenggono melecutnya. Hentakan itu membuat kedua kakinya melayang
dan pinggangnya menekuk ke belakang. Ujung
rantai menancap di tanah, tempat perut Suro
Bodong berada tadi. Tapi kaki Suro Bodong telah berhasil menendang pinggang
Sonto dengan kuat dan keras. Sonto terlempar beberapa meter karenanya. Sementara tangan
kirinya masih memegangi biji mata yang terluka parah itu.
Tubuh Suro Bodong tidak langsung menekuk ke
belakang dan berguling, melainkan justru ia
menggunakan punggungnya untuk menghentakkan badan. Tubuhnya seperti udang
yang melecit dari sela bebatuan. Tahu-tahu ia
dapat berdiri tegap. Namun diluar kesadaran ia telah melangkahi rantai Srenggono
yang ujungnya menancap pada tanah. Jelas kalau
Srenggono menarik rantainya dalam satu
hentakan, maka ujung rantai itu akan melesat ke atas dalam kemiringan tertentu.
Dan hal itu pasti akan membuat pantat Suro Bodong ditembus
mata tombak itu.
Perkiraan Suro Bodong sungguh tepat. Rantai
dihentakkan dalam satu tehnik tarikan khusus.
Maka tanpa berpikir panjang lagi, Tubuh Suro
Bodong melayang dan bersalto ke belakang
sebanyak lima kali.
"Heaaaat. .! " teriakan itu begitu keras dan membuat mata yang memandangnya
menjadi kalang kabut. Sebab pada saat putaran salto
yang ketiga, rantai Srenggono menyusul
gerakannya, sehingga apabila Suro tidak
menambah gerakan salto ketika itu, maka begitu ia menapak ke tanah, dadanya akan
dihunjam ujung tombak yang terkait di rantai Srenggono.
Walaupun Suro Bodong sendiri merasa menyesal, mengapa ia bersalto sampai lima kali.
Sebab dengan cara itu,
maka ia telah menggunakan jurus saktinya yang bernama
Luing Ayan-5. Artinya bersalto lima kali tanpa menyentuh tanah. Dan hal itu
mengakibatkan sosok tubuh Suro Bodong berubah bentuk.
Ketika kakinya mendarat ke tanah dengan
sempurna, maka gumam semua orang bagai
irama gaung bernada kagum dan heran. Mereka
terkejut semua, termasuk Ki Lurah.
Suro Bodong berubah ujud menjadi seorang
kakek berambut putih, alis dan jenggot serta
kumisnya juga berwarna seputih serat-serat
sutera. Tubuhnya sedikit bungkuk. Matanya
sipit karena kerut ketuaannya. Ia mengenakan
jubah hijau, sedang baju dalam serta celananya berwarna
putih kusam. Di tangannya menggenggam sebatang tongkat yang berujung
tengkorak kecil. Tengkorak seekor monyet.
Tongkat itu digunakan menopang tubuhnya
yang sedikit bungkuk. Dan anehnya, ia menjadi
murah senyum, memperlihatkan gusi-gusi tanpa
gigi. Srenggono berhenti menyerang. Matanya
memandang takjub, demikian pula dengan
Jubah Ungu dan yang lainnya. Mata mereka
seakan tak mau berkedip menyaksikan keajaiban
yang baru kali ini pernah mereka temukan.
Tubuh yang semula sedikit gemuk dengan wajah
kasar, mantap, kini telah berubah menjadi
seorang kakek usia lebih dari 80-an, dan
memiliki mimik wajah yang lucu. Murah
senyum lagi. "Kenapa kalian memandangku seperti itu"
Apa kalian belum pernah melihat seorang kakek
setua aku"!" katanya kepada semua orang.
Sebentar-sebentar ia tersenyum kepada siapa
saja yang dipandangnya. Bahkan ia juga
tersenyum kepada Jubah Ungu yang terbengong-bengong menatapnya.
"Siapa kau sebenarnya, hah"!" bentak Jubah Ungu setelah terhindar dari cekaman
kagumnya. "Namaku...: Rekso Upo.. ! Kau belum kenal denganku, Jubah Ungu"! He, he, he. .
tentu saja kau tidak mengenalku, karena kau sibuk
memeras orang!"
"Rekso Upo.. ! Jaga mulutmu kalau ingin
nyawamu masih utuh!" bentak Jubah Ungu.
"Maklumilah saja... Orang setua aku mana
bisa menjaga mulut. Jangankan menjaga mulut,
menjaga gigi saja susah. Lihat, gigiku pada
berlarian ke mana-mana sampai tak kumiliki
satu pun. Nih, hiii.. !" Rekso Upo meringis menampakkan
gusinya yang sepi tanpa penghuni. Orang banyak yang tertawa mengikik,
antara geli dan rasa takut. Rekso Upo,
perubahan ujud Suro Bodong itu, ikut pula
tertawa dan menuding orang-orang yang
menertawakannya.
Ki Lurah dan Nyai Lurah saling berpandang-
pandangan dalam kebingungan, terlebih Jenar
yang sejak tadi tak sempat menutup mulutnya.
Dan Sundari.. " Sundari tidak melihat hal itu, sebab ia bersembunyi di belakang
rumah, di suatu tempat yang menurutnya aman.
"Rekso Upo.. ! Silakan pergi, aku tidak punya urusan denganmu!" gertak Jubah
Ungu. "He, he, he. .pergi ke mana" Aku sendiri
bingung sekarang aku ada di mana?"
"Dari mana asalmu sebenarnya, hah"!" hardik Srenggono.
"Asalku..."! Asalku dari.. dari. ." Rekso Upo berpikir, dahinya semakin
berkerut, menyipitkan mata kian kecil. Dengan suara tuanya ia berkata lagi,
"Dari mana enaknya, ya?"
"Jangan main-main dengan kami, Tua
Bangka...!!"
bentak Srenggono dengan kegeramannya. Tapi hal itu justru ditertawakan oleh Rekso Upo.
"Kenapa harus membentak-bentak, Anak
Muda..." Aku benar-benar tidak tahu, dari mana aku. Bahkan aku tidak tahu kalau
namaku Rekso Upo.. " "Nah, itu kau telah menyebutkannya!
Menyebutkan namamu sendiri, kan?"
Rekso Upo heran. "O, ya.. " Apakah aku
sudah menyebutkan namaku?"
"Kau bilang tadi namamu Rekso Upo. ."!"
"Ooo. ." Rekso Upo manggut-manggut. "Sudah kusebutkan, ya" Kok aku tidak
merasa.. ?" Ia terheran-heran sendiri. Kemudian Jubah Ungu
memerintahkan Srenggono untuk membawa
pergi kakek tua itu.
"Srenggono, seret dia.. ! Aku tidak butuh orang linglung ini.. !"
Srenggono maju selangkah, tetapi Rekso Upo
mundur dan mencegah. "Jangan. .! Aku tidak mau digendong siapa pun!"
"Siapa yang mau menggendong kamu,
Pikun"!" bentak Srenggono. Lalu dia melangkah lagi, dan Rekso Upo mundur kembali
'Tidak.. ! Aku tidak mau dipikul.. !"
"Tidak ada yang mau memikul kamu, Se-
tan.. !" .
"Naaah.. kalau ketan aku doyan.. !" katanya yang semakin membuat Srenggono dan
Jubah Ungu dongkol "Srenggono, jangan banyak omong; seret saja dia!" perintah Jubah Ungu. Lalu,
Srenggono segera maju, mencengkeram jubah hijau Rekso
Upo dan menyeretnya keluar halaman rumah Ki
Lurah Pucung. Tetapi, Rekso Upo bertahan, tidak mau
diseret keluar. "Jangan kasar-kasar sama orang tua. He, he. . bajuku nanti
robek, Tolol. .!"
Rekso Upo tetap diseret paksa. Kemudian
dengan cepat dia menyodokkan ujung tongkatnya yang berkepala tengkorak monyet
kecil. Benda tersebut menghantam rusuk
Srenggono dan membuat Srenggono menjerit
kesakitan. Bahkan ia sempat terpental menabrak salah satu pohon, walau
sebenarnya sodokan
Rekso Upo itu bagai tak bertenaga sama sekali.
"O, oh. . maafkanaku, Nak. .!" katanya kepada Srenggono. "Maklum, namanya saja
orang tua, kalau bergerak suka sembrono. .!"
Tangan kanan Srenggono melayang cepat
hendak menampar Rekso Upo. Tapi tongkat itu
bergerak naik dengan cepat, sehingga tangan
Srenggono menyangkut pada tongkat tersebut.
Kemudian tongkat itu membalik, ujung yang
tadinya menapak pada tanah menjadi terarah
pada dada Srenggono, kemudian sengaja
disodokkan dengan gerakan tak bertenaga.
Tetapi justru hal itu membuat Srenggono
mendelik dengan tubuh
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melengkung ke belakang dan kepala menjorok ke depan. Kedua
tangan Srenggono mengembang ke kanan kiri
dengan siku sedikit tertekuk. Mulutnya melongo, dan repotnya lagi, tubuh itu tiba-tiba kaku. Menjadi seperti patung
yang masih bernafas. Rupanya Rekso Upo berhasil menotok
peredaran darahnya, mengenai salah satu urat
yang ada di samping ulu hati, lalu membuat
tubuh Srenggono kaku seperti itu.
"He, he, he.. kalau begini kau malah seperti gorila!" kata Rekso Upo. "Kau
seperti tengkorak di tongkatku ini. Eh, kau percaya apa tidak, ini tengkorak
gorila raksasa sebenarnya. Tapi
karena sering terkena udara lembab jadi
mengecil begini. ."
"Bangsat. .! " teriak Jubah Ungu dengan kemarahannya. Ia melangkah, Rekso Upo
berpaling dan bertanya:
'Siapa yang berangkat" Aku" Ah, aku belum
mau berangkat ke mana-mana kok. "
"Kau telah membuat muridku seperti itu,
Iblis!" bentak Jubah Ungu.
Rekso Upo menanggapinya dengan senyum
dan tawa. "Eeh. .Jubah Ungu, kita ini sudah sama-sama tua. Jangan suka bicara
soal perempuan mulus..."
'Tuli! Aku tidak bicara soal perempuan
mulus! Kukatakan padamu, bahwa kau Iblis!
Bukan perempuan mulus!" teriak Jubah Ungu dengan jengkel sekail
"Ooo. .kamu mengatakan aku iblis" Wah, aku tidak keberatan, sebab yang
mengatakannya anak kuntilanak, kan" He, he, he. .!"
"Rekso Upo, kalau mendengar omonganmu,
bisa panas hatiku. Sekarang sebaiknya terimalah jurus perkenalanku ini,
hiaat. ." Jubah Ungu mengibaskan tongkatnya yang
berujung mata pancing bercabang empat. Batang
tongkat yang melesat menebas kepala Rekso
Upo ditangkis dengan tongkat juga.
Trak.. !" Jubah Ungu segera menyodokkan tongkatnya
ke arah wajah Rekso Upo.
"Wesss.. !"
Rekso Upo memiringkan kepala ke kiri untuk
menghindari sodokan tongkat berujung empat
mata kail yang berukuran besar, seperti clurit kecil.
"Eh, untung tidak kena. Wah. . kalau main-main dengan tongkat jangan main sodok
begini, Jubah Ungu..." kata Rekso Upo sambil
menghindari tendangan kaki kiri Jubah Ungu
yang hendak menendang kepala Rekso Upo.
Pada saat Rekso Upo menghindari tendangan
kaki kiri lawannya, tongkatnya digerakkan ke
samping, seakan hendak menyodok perut lawan.
Tapi seketika itu tongkat segera kembali dengan ujung bagian bawahnya miring ke
arah pinggang lawan. Kakinya maju ke depan
sehingga ia nyaris terkena pukulan telak dari
Jubah Ungu. Namun sebelum Jubah Ungu
sempat menghantam wajah Rekso Upo, ujung
tongkat itu menusuk pinggang Jubah Ungu.
Gerakannya pendek, namun mempunyai hentakan tenaga dalam yang murni sehingga
tubuh Jubah Ungu terpelanting ke samping.
Keadaan Jubah Ungu yang limbung itu
dimanfaatkan oleh kaki kanan Rekso Upo yang
menendang ke belakang. Telapak kaki Rekso
Upo tepat mengenai pangkal leher sehingga
Jubah Ungu mendelik dan mengalami kesukaran
bernapas. Tubuhnya semakin terhuyung-huyung
ke belakang beberapa langkah. Sedangkan Rekso
Upo diam, berdiri bertopang tongkat dan
menertawakan keadaan Jubah Ungu.
"He, he.. belum minum tuak sudah mabok
sempoyongan begitu, kau! Uuh.. puayaaah...!.
He, he,he.. !"
Jubah Ungu segera menggerakkan tongkatnya ke arah samping dengan satu kaki
menekuk ke kaki lainnya. Kemudian tongkat itu
diangkat melintang di depan matanya dengan
dipegang kedua tangan. Tubuhnya merendah,
kakinya melebar, lalu dengan cepat ia hentakkan ujung tongkat bersenjata mata
kail itu ke depan.
"Hiaaat. .!!"
Dan dari sela-sela keempat mata kail itu
keluarlah asap biru, seolah melesat dari tengah ujung tongkat. Asap biru
kehitam-hitaman itu
menyembur ke arah wajah Rekso Upo.
Hebatnya, asap itu tidak mengepul ke mana-
mana, melainkan membentuk satu gumpalan
seperti bunga mawar besar yang melesat tertuju pada wajah Rekso Upo.
"Aha... racun ganas ini, ya.. "!" Rekso Upo masih bisa menganggap remeh serangan
tersebut. Dan ia segera menggerakkan tongkatnya, berputar cepat di antara jemarinya bagai
baling-baling raksasa. Putaran itu menimbulkan arus angin yang kian lama kian
menjadi besar, dan menyerupai topan. Akibatnya asap biru kehitam-hitaman itu
melayang ke atas bagai tertiup angin kencang
dan menghilang di ketinggian awan. Sisa
anginnya masih sempat membuat daun-daun
bergerak tak teratur, barang-barang ringan
terbang terbawa hembusan angin aneh itu.
Bahkan beberapa orang ada yang takut terbawa
terbang angin hingga harus saling berpegangan.
Namun, hal itu segera menjadi reda setelah
Rekso Upo menghentikan gerakan tongkatnya.
Begitu tongkat berhenti, ia melemparkannya
bagai melempar sebuah tongkat ke arah Jubah
Ungu. Jubah Ungu menangkis tongkat tersebut,
namun tongkat itu tidak mau berhenti
menyerang. Akhirnya, dalam satu kelengahan
tongkat Rekso Upo menancap di dada Jubah
Ungu, tepat di jantungnya. Tembus! Jubah Ungu
menggeliat, mendelik, dan rubuh kehilangan
nafas. Hampir semua orang menggumam kagum
dalam kengerian.
* * * 5 Peristiwa itu membuat gempar di seluruh
pelosok desa. Nama Suro Bodong dan Rekso
Upo selalu berkaitan dan disebut-sebutkan oleh setiap mulut. Suro Bodong sendiri
sampai merasa tak enak karena dipandang kagum oleh
setiap orang yang berpapasan dengannya
"Aku ingin pergi dari desa ini," kata Suro Bodong yang sejak peristiwa
pertarungan dengan
Jubah Ungu, ia sudah berubah kembali ke ujud
asalnya dengan bersalto di udara satu kali.
Ki Lurah keberatan jika Suro Bodong harus
pergi. Terutama Sundari yang menjanda itu.
"Kenapa Kang Suro harus pergi" Apakah
pelayanan kami di sini tidak memuaskan Kang
Suro?" tanya Sundari pada suatu malam. Suro Bodong menggeleng. Ia sibuk
mengunyah jagung bakarnya.
"Bukan soal pelayanan," katanya. "Tapi justru sikap dan anggapan masyarakat desa
Manggar ini terlalu berlebihan kepadaku, terlalu mengagungkan diri, aku jadi serba salah
jadinya." Suro Bodong, sejak peristiwa pertarungan
dengan Jubah Ungu yang kondang sebagai
tokoh sakti di dunia persilatan, selalu menjadi sanjungan setiap warga desa.
Tiga malam Suro
berada di desa Manggar, dan selama itu ia
berhasil menggagalkan aksi kekejaman Nyi
Kembang Laras. Secara tidak disuruh oleh siapa pun, Suro Bodong selalu keliling
desa bila malam tiba. Justru ia bisa tidur jika siang hari.
Dan dua malam yang lalu, ia telah berhasil
menggagalkan aksi kekejaman Nyi Kembang
dengan mencoba melawannya.
Sayang, Nyi Kembang Laras selalu saja
melarikan diri dengan cepat. Seakan ia tahu
bahwa lawannya kali ini bukan orang sembarangan. Nyi Kembang selalu pergi dengan
meninggalkan ancaman:
"Ada saatnya sendiri untuk kamu, Jahanam...!"
Hanya itu yang didengar Suro Bodong.
Selebihnya Nyi Kembang tidak pernah melontarkan kata apapun. Jika kepergok Suro
Bodong, ia cepat menghindar sekalipun menyerang sejenak kemudian lari.
Suro Bodong sendiri tidak tahu, mengapa Nyi
Kembang tak mau melayani pertarungan
dengannya" Padahal menurut banyak cerita,
setiap orang yang hendak menghalangi niat Nyi
Kembang selalu saja menjadi korban yang paling keji.
Ini suatu keanehan yang sempat mengganggu pikiran Suro Bodong. Hanya saja ia
tak pernah bercerita kepada siapa pun. Bahkan
ketika Sundari menanyakannya, Suro Bodong
hanya berkata: 'Tanyakanlah kepada Nyi Kembang sendiri.
Dia yang takut kepadaku, bukan aku yang takut
kepadanya..."
Sundari merasa aman jika Suro Bodong tetap
tinggal di rumahnya, sebagai pengganti Tembong dan Gagak yang hanya sekali gebrak
langsung tak mau bernapas lagi itu.
'Tapi kalau aku tetap tinggal di sini," kata Suro Bodong kepada Sundari, "Aku
takut keluargamu menjadi korban keganasan Nyi
Kembang." "Apakah... apakah hal itu akan terjadi, Kang?"
Sundari memandang sayu kepada Suro Bodong.
"Ya. Pasti. Sebab untuk melemahkan keberanianku, untuk mengguncangkan jiwaku,
ia akan membunuh keluarga ini. Termasuk juga
kau, Sundari."
Sundari kelihatan gelisah. Ia mengusap
lengannya yang mulai merinding, la merapatkan
duduknya,
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin dekat Suro Bodong. Perasaan takut tergambar lewat gerak mata dan
getaran tangannya.
"Apakah kau akan membiarkan Nyi Kembang menyentuhku, Kang?" pancing Sundari dengan satu maksud tertentu.
"Kalau hanya menyentuhmu, kenapa aku ha-
rus marah?"
Sundari mendesah. Kurang suka mendengar
jawaban itu. Ki Lurah sendiri sempat mengajukan tawaran
khusus ketika mendengar Suro Bodong ingin
meninggalkan desa itu.
"Berapa kami harus membayarmu" Sebutkan
saja jumlahnya, kami akan setuju. Sebab Raden
Bargawa sendiri sudah menjalin kesepakatan
denganku untuk membayarmu sesuai dengan
permintaanmu, Suro. Yang penting bagi kami
adalah membuat desa Manggar ini menjadi
aman seperti sediakala."
Waktu itu, Suro hanya memperlihatkan
senyum hambar. Ia garuk-garuk kumis sebentar,
lalu sambil memetik-metik jagung bakar
kesukaannya, ia menjawab:
"Aku tidak mempunyai harga.
Tetapi kekayaan desa ini pun tak akan mampu
membeliku, Ki Lurah. Hanya ada satu yang
mampu membayarku.. "
Ki Lurah dan istrinya memandang Suro
Bodong yang berhenti sejenak. Sundari merasa
tegang waktu Suro Bodong menghela nafas.
Tetapi Suro bagai tidak merasa ditunggu
kelanjutannya Ia enak-enakkan makan jagung
bakar dengan santai.
"Katakan, Suro.. "
"Ya, lanjutkan kata-katamu, Kang," Sundari menimpali.
Kemudian Suro pun menjawab, "Carikan aku
perempuan"
Ki Lurah dan istrinya tertawa. Sundari
tersenyum malu. Kemudian Suro melanjutkan
lagi: "Hanya perempuan yang bernama Ratna
Prawesti yang mampu membuatku bertahan di
desa ini.. "
Sekarang, ketiga orang itu saling bungkam,
saling pandang sejenak, kemudian saling
merenung. Ki Lurah mengulangi kata Ratna
Prawesti dengan suara lirih, kemudian juga
istrinya. Tetapi Sundari menunjuk. Wajahnya
hambar tak mempunyai sinar kecerahan sedikit
pun. "Bagaimana kalau perempuan lain, mungkin
yang menjadi kembang di desa Manggar ini?"
tawar Ki Lurah setelah terbungkam beberapa
lama. Sundari tak berani mengangkat wajah, karena
dia tahu, bahwa kembang desa yang dimaksud
ayahnya itu tak lain dari dirinya sendiri. Tetapi apa jawab Suro Bodong"
"Hanya dia yang kucari dalam hidupku. Dan hanya dia yang dapat kujadikan
pelabuhan hatiku..."
Wih, puitis sekali Tapi memang begitulah
Suro, kadang ia mampu berbahasa baik, tapi jika disuruh mengulang, kebingungan.
Ia sering meniru kata manis yang diucapkan orang lain.
Bagi Sundari, kata-kata itu adalah getah yang
pahit di telannya. Sebab secara diam-diam,
rupanya hati Sundari menaruh simpati kepada
Suro Bodong dengan segala kehebatan ilmunya.
Sundari sadar, Suro Bodong banyak lebih tua
darinya. Sundari juga sadar bahwa wajah Suro
Bodong tidak tampan, bahkan terkadang
sifatnya pun kaku. Tetapi Sundari juga sadar
bahwa Suro Bodong mampu menyelesaikan
segala macam perkara dengan gayanya sendiri.
Wajah Suro memang kasar. Tetapi di balik
kekasarannya itu, Sundari menemukan suatu
kelembutan hati yang jarang di miliki lelaki lain.
Dari pembicaraan demi pembicaraan yang
dilakukan Sundari dan Suro di sela keheningan
malam, atau di ambang keredupan senja, ada
sesuatu yang bisa diperoleh Sundari. Sesuatu itu adalah rasa tanggung jawab
seorang lelaki, baik kepada keluarga atau pun kepada tugas, sudah
dimiliki oleh Suro Bodong. Sundari bisa
mengambil kesimpulan tersebut melalui tanya
jawab yang ia lakukan dengan penuh penghayatan. Rupanya Sundari bukan perempuan bodoh. Ia mempunyai otak cerdas
sehingga Suro Bodong tidak pernah merasa
dipantau segala gerak dan sikapnya oleh
Sundari. Suro menganggap, Sundari hanya
seorang janda yang butuh kesibukan untuk
membuang rasa sepi di hatinya.
Ternyata anggapan itu keliru. Jauh keliru,
melesat dari dugaaan Suro Bodong. Maka,
wajarlah kalau Suro Bodong tercengang ketika
pada suatu malam, sebelum Suro Bodong
keliling desa mengontrol suasana, Sundari
sempat berkata:
"Bagaimana kalau aku ikut keliling, Kang?"
"Nanti kamu pusing," jawab Suro Bodong seenaknya seraya mengenakan baju
merahnya. Sundari masih berdiri di depan pintu kamar
khusus Suro Bodong.
"Aku perlu mendampingimu," desah Sundari.
"Kenapa" Alasanmu apa?"
"Aku khawatir kalau Nyi Kembang mampu
memikatmu, dan kau akan pergi ke Hutan
Tengkorak dengannya."
Suro Bodong diam saja, seakan tidak
mendengar. Namun sebenarnya ia tahu, Sundari
mulai menaruh kecemburuan pada dirinya. Dan
ini membuat Suro gelisah.
"Dia cantik, Kang. ." ujar Sundari pelan.
"Memang. Tapi... aku tak akan terpikat oleh kecantikan manusia berhati iblis.
Aku masih waras." bisik Suro.
'Tapi dia punya cara sendiri seperti yang
dituturkan Jenar sewaktu ia menguasai Jupro,
Kang. Kalau kau terkena sinar kuning yang
keluar dari matanya, tentu kau tak akan bisa
menyadari keadaan dirimu. Kau akan terbius dan akhirnya kau akan mau diajak ke
Hutan Tenkorak Lalu. . lalu kau akan menjadi raja
baginya di sana."
Suro Bodong keluar dari kamar. "Ah, jangan berpikiran seperti itu, nanti aku
jadi ngiler.. !" katanya seraya pergi ke serambi depan. Tetapi pada saat itu
Sundari masih ikut juga seraya berjalan agak cepat untuk sejajar dengan Suro
Bodong. Ketika sampai di halaman depan, dan
Sundari masih ikut, Suro Bodong berhenti
melangkah, lalu berkata:
"Aku mau perang, Sundari. Bukan mau
nonton wayang!"
"Aku mau ikut perang, Kang!"
"Uuh...! Gombal!" geram Suro Bodong yang merasa sia-sia melarang dengan kata apa
pun. Akhirnya Suro Bodong membiarkan Sundari
ikut serta keliling desa.
Malam itu, bulan nongol di balik awan. Tidak
sepenuhnya menyoroti bumi, namun sudah
cukup membuat alam gelap menjadi remang.
Rumput di tanah terlihat, dan raut-raut wajah
yang sempat berpapasan dengan Suro juga bisa
dikenali, kendati tidak mengenali namanya.
Perjalanan malam, seperti perjalanan sepasang muda mudi yang sedang dirundung
cinta. Malam itu tak ada ketegangan, tak ada
kengerian, dan tak ada teror yang selama ini
selalu mencekam penduduk desa. Malam itu
begitu mulus, bahkan Suro Bodong hampir saja
terbius dalam amukan birahi saat Sundari
merebah dalam dadanya, dan minta dipeluk
oleh Suro Bodong.
Kalau saja Suro tidak selalu ingat Ratna
Prawesti, mungkin ia telah hanyut dalam buaian birahi yang menyalak-nyalak.
Kalau saja Suro
tidak menjaga debaran jantungnya, mungkin ia
telah merenggut suatu kebahagiaan yang hangat
bersama Sundari di sela rimbun semak ilalang.
Hanya saja, pada malam berikutnya, Suro
Bodong tidak mau diganggu oleh gelitik birahi
seperti kemarin malam. Sebab itu ia keluar dari rumah tanpa setahu Sundari. Dan
ia dapat merasakan betapa pentingnya pergi malam
tanpa Sundari, karena ia dapat memusatkan
pikiran dan mempertinggi kewaspadaan.
Nyatanya, pada malam ini, Suro Bodong sem-
pat melihat sekelebat bayangan putih menyusup
melalui rimbunan semak di belakang rumah
Raden Bargawa. Dulu, tepatnya setelah ia
berhasil membunuh Si Jubah Ungu, ia pernah
bertandang ke rumah Raden Bargawa. Orang
keturunan Tumenggung itu sempat membujuk
Suro untuk menjadi orang bayarannya. Tetapi,
waktu itu Suro hanya menjawab:
"Bukan maksudku menolak tawaranmu,
melainkan aku tidak ingin terikat oleh suatu
perjanjian dengan siapa pun. Tetapi, percayalah.. aku akan sering-sering memeriksa
sekitar rumah ini juga untuk menjaga keluargamu. Kau tak perlu khawatir tentang hal itu, Raden Bargawa.. "
Dan sekarang, ketika terlihat bayangan putih
menyusup di antara rimbun semak di sekitar
belakang rumah Raden Bargawa, Suro Bodong
merasa berkewajiban memeriksanya. Ia mengendap-endap ke arah rimbunan semak itu,
lalu diam di suatu tempat yang terlindung.
Matanya masih mampu memandang penuh
selidik keadaan di sekitar tempat itu, di mana cahaya rembulan menyinari dengan
sorot keredupannya. Tepat di tepi tembok belakang rumah
bangsawan itu, Suro Bodong melihat seseorang
sedang melompat dengan gerakan yang amat
ringan bagaikan kapas terbang. Orang itu
mengenakan pakaian putih tipis dan berambut
panjang sebatas pinggang. Sorot cahaya bulan
menampakkan jelas, bahwa sosok tubuh yang
kini sudah berada di atas tembok itu adalah
sosok tubuh Nyi Kembang Laras. Suro masih
ingat dengan sebentuk mahkota kecil yang
menghias di atas kepala.
Secepatnya Suro Bodong bergerak dengan
ilmu peringan tubuh yang sama sempurnanya
dengan Nyi Kembang. Ketika Nyi Kembang
menebarkan sesuatu dari tangannya, membentuk suatu asap tipis yang mampu
menyelimuti atap rumah tersebut, saat itulah
Suro Bodong tahu-tahu sudah berada di atas
tembok juga. Jaraknya antara 25 meter kurang
dari Nyi
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembang. Dan Suro sengaja menegurnya lebih dulu untuk menurunkan
mental Nyi Kembang:
"Apa yang kau lakukan, Nyi Kembang"!"
Dugaan Suro benar. Perhitungannya tepat.
Nyi Kembang terperanjat melihat Suro Bodong
berdiri tegak dan siap menghadapinya. Dalam
menghadapi sesuatu yang tak disangka itu, Nyi
Kembang segera melompat ke atas genting.
Tetapi Suro Bodong tidak mau tinggal diam. Ia
juga ikut melompat ke arah genting rumah
mewah itu. Suro yakin, asap yang ditebarkan
tadi adalah semacam ilmu pembius agar seluruh
penghuni rumah itu tertidur lelap tanpa
tergugah oleh suara apa pun. Sebab itu, Suro
Bodong berniat bicara agak keras kepada Nyi
Kembang yang bagai masuk dalam jebakan.
"Malam ini adalah malam penghabisan bagi
kamu, Perempuan mesum...!" Suro Bodong
melangkah, tidak menimbulkan suara kendati
menapak di genting kodok. "Malam ini kau tidak bisa lolos lagi, tahu"!"
Nyi Kembang yang cantik berkulit bagai
seputih susu, dan selembut busa salju, tidak
membalas kata-kata itu. Ia hanya melangkah
pelan ke arah samping, seakan mencari posisi
yang tepat untuk memukul Suro Bodong.
"Kalau orang lain tak mampu menghentikan
kekejianmu, akulah orang yang akan mampu
menghentikannya, Nyi Kembang!"
Nyi Kembang memandang tajam, lalu
menggerakkan kedua tangannya bagai mengembang di atas kepala. Kedua kakinya
bergerak turun sedikit. Lalu ia berkata dengan suara pelan:
"Kau terlalu banyak ikut campur, Suro
Bodong. .!"
Suro menggaruk kumisnya sambil memandang tanpa berkedip. Tiba-tiba ia harus
melompat tinggi karena Nyi Kembang menggerakkan kedua tangannya ke depan, dan
seberkas sinar sebesar jarum melesat dari tiap ujung jarinya. Sinar itu berwarna
hijau, seperti urat-urat berserakan.
"Ini yang harus kau terima, Jahanam...!"
geram Nyi Kembang sambil semakin menggerakkan tangannya ke atas. Lalu sinar
hijau yang keluar dari tiap ujung jarinya itu
melesat berkelok-kelok hendak menghantam
Suro Bodong. Suro segera bersalto satu kali.
Apabila ia bersalto satu kali, maka tubuhnya
tidak akan mengalami perubahan, sebab bersalto satu kali sama saja merubah
ujudnya menjadi
Suro Bodong. Jurus Luing Ayan-1, memang
berguna untuk mengembalikan dirinya menjadi
Suro Bodong. Dengan begini, maka kali ini Suro Bodong pun tetap menjadi Suro
Bodong yang tak mengenal rasa takut sedikitpun.
Melesatnya sinar hijau yang tidak mengenai
tubuh Suro Bodong itu sempat menghantam
pohon kelapa di seberang jalan. Pohon kelapa
dan beberapa pohon di sekitarnya menjadi retak, sebagian ada yang pecah, rusak
bagai terkena dentuman bom, walaupun semua itu terjadi
tanpa suara dan dentuman apa pun.
Nyi Kembang bermaksud melarikan diri saat
Suro Bodong terperangah menyaksikan kehancuran pohon kelapa itu. Namun dengan
cepat Suro Bodong melompat dan berlari ke arah lain dan menghadang Nyi Kembang
dengan siap melancarkan serangan dari arah depan.
Nyi Kembang bagai terperangkap. Di
depannya sudah berdiri Suro Bodong dengan
gayanya yang berlagak kalem. Nyi Kembang
menyerang, tangannya segera menghantam
wajah Suro Bodong, tetapi dengan mudah
tangan itu dipegang oleh Suro Bodong. Lalu
secepat itu pula kaki Suro Bodong menendang
rusuk Nyi Kembang dalam keadaan tangan Suro
masih memegangi tangan Nyi Kembang.
Tendangan Suro membuat Nyi Kembang
tersenyum. Kini tangan kiri Nyi Kembang
meraih rambut Suro Bodong dengan kasar, Suro
melepaskan pegangan tangannya. Dalam keadaan kepala menunduk yang hendak
disodok lutut oleh Nyi Kembang, Suro segera
melancarkan pukulan Babi Buta. Pukulan itu
sangat cepat dan bertubi-tubi ke segala arah,
sehingga Nyi Kembang kewalahan menghadapinya. Akhirnya tubuh perempuan
cantik itu terpental dan hampir saja jatuh dari atas atap rumah Raden Bargawa.
Suro Bodong merasa heran. Biasanya lawan
yang terkena pukulan Babi Buta akan memuntahkan darah segar dari mulutnya,
kemudian ia akan tergeletak lemas tanpa daya.
Tapi kali ini agaknya Suro benar-benar
mendapat lawan yang sangat tangguh.
Nyi Kembang segera berdiri. Tangannya
menyilang di depan wajah, mengeras kaku, lalu
bergerak membuka perlahan-lahan. Pada saat
itu, ternyata dari ujung jarinya keluarlah kuku-kuku panjang yang rucing dan
tajam. "Kau harus mati dengan ilmu Cakar Besi-ku, Suro.. !" geram Nyi Kembang sambil
bergerak maju. Tangannya mengibas ke wajah Suro dari
atas ke bawah, antara tangan kiri dan tangan
kanan mempunyai gerakan yang berbeda. Yang
kiri mengibas dari atas ke bawah, yang kanan
mengibas dari kanan ke kiri. Dan hal itu
dilakukan secara bertubi-tubi sehingga kali ini Suro Bodonglah yang keteter
menghadapi serangan Nyi Kembang. Sampai akhirnya kaki
Nyi Kembang berhasil menendang dada Suro
Bodong dan Suro jatuh terjengkang.
Nyi Kembang ingin memberi pelajaran
kepada lawannya. Ia langsung menerjang, bagai
harimau menerkam mangsa. Tubuhnya meloncat
ke bawah dan cakar tangan kirinya mengibas
cepat sehingga Suro Bodong sedikit terlambat
menghindar. Sabetan tangan kiri Nyi Kembang
lewat di depan wajah Suro, dan hal itu membuat salah satu kukunya ada yang
berhasil menggores pipi Suro Bodong.
"Aaauww.. !" Suro Bodong terpekik seketika.
Pipinya luka, darah keluar walau tak seberapa
banyak. Tetapi pada saat ia terpekik, kaki
kanannya bergerak secara reflek. Kaki itu
menendang ke atas dengan keras dan mengenai
perut Nyi Kembang. Maka, tubuh perempuan
mulus itu pun melayang ke udara bagai kupu-
kupu terbang. Suro Bodong bergegas bangkit. Pada saat itu
tubuh Nyi Kembang bersalto di udara untuk
menjaga keseimbangan tubuhnya. Dan Suro
Bodong segera menyongsong gerakan tubuh Nyi
Kembang yang turun ke bawah dengan sebuah
tendangan kaki kanan ke atas lurus. Tendangan
itu dilancarkan dengan sangat cepat dan
beruntun tujuh kali. Itulah yang dinamakan
jurus Tendangan Ayam Kawin. Apabila kaki
kanan telah tujuh kali menendang beruntun,
maka kaki kiri akan menyusul dengan
tendangan serupa. Yang jadi sasaran adalah
dada serta perut Nyi Kembang. Tetapi Suro
Bodong kembali merasa heran, karena tubuh Nyi
Kembang hanya terhuyung-huyung ke belakang
tanpa merasakan sakit. Sebaliknya, bahkan Suro Bodong mengalami luka pada
betisnya akibat
cakar besi yang mengibas pada saat kaki kirinya menendang beruntun tujuh kali.
Nyi Kembang hendak melarikan diri lagi.
Tetapi Suro Bodong segera melayang dan
berseru, "Kau tak mungkin lolos lagi, Bangsat Cantik.. !!"
Nyi Kembang merundukkan kepala seraya
mengibaskan cakar besinya ke atas. Hampir saja tubuh Suro yang melesat ke atas
kepala Nyi Kembang menjadi sasaran kembali. Untung
secepatnya Suro Bodong mengibaskan kaki kiri
yang saat itu sedang menekuk ke arah paha
kanan Kibasan kaki kiri membuat kepala Nyi
Kembang tersentak ke samping dan gerakan
cakarnya meleset dari arah paha Suro Bodong.
Ketika itu Nyi Kembang berguling, lalu segera
melompat turun dari genting rumah Raden
Bargawa. Suro Bodong buru-buru menyusul
turun untuk menjaga agar lawannya tidak
melarikan diri lagi.
Saat itu, Nyi Kembang menyambut kejaran
Suro Bodong dengan melemparkan beberapa
senjata rahasianya berupa mata tombak yang
tajam dan berkilat. Suro Bodong sengaja
berguling di tanah. Arahnya semakin dekat
dengan kaki Nyi Kembang. Senjata rahasia
menancap di tanah beberapa biji. Pada saat itu, kaki Suro Bodong kembali
melancarkan jurus
Tendangan Ayam Kawin. Sasarannya adalah
paha dan perut Nyi Kembang. Cakar Nyi
Kembang mengibas lagi hendak merobek kaki
Suro Bodong, namun kali ini gerakan jurus
tendang itu sengaja tertuju pada lain arah.
Tendangan kaki Suro Sepertinya berjalan cepat
dari perut terus ke paha. Dan hal itu membuat
Nyi Kembang kewalahan, kemudian jatuh
terpelanting ke belakang. Suro melompat berdiri dan siap menginjak leher Nyi
Kembang. Tetapi pada saat itu Suro menjadi kelabakan,
sebab dari telapak tangan Nyi Kembang keluar
sinar biru yang melesat cepat ke arah Suro
Bodong. Suro Bodong secepatnya menjatuhkan
tubuh, maka sinar biru itu melayang dan
menghantam pohon di arah belakang Suro.
Sebuah ledakan mengguncangkan bumi. Tanah
bergerak. Pohon itu hancur tak tersisa seranting pun. Menjadi serpihan-serpihan
yang terpancar ke segala penjuru.
Pada saat Suro Bodong menjatuhkan tubuh
untuk menghindari sinar tadi, ia tak sengaja
jatuh Ji dekat kaki Nyi Kembang. Tentu saja itu kesempatan baik bagi Nyi Kembang
untuk menjejak wajah Suro Bodong dengan keras.
"Aaauuw...!"
Suro Bodong menjerit. Hidungnya berdarah, ia segera berguling, dan
Nyi Kembang menyerangnya lagi dengan
tendangan kaki yang keras. Dagu Suro Bbdong
menjadi sasaran.
Akibatnya bibir atas pun t:erluka akibat
benturan keras dengan gigi. Suro mengaduh
seraya menutup mulut dengan kedua tangan.
Secepatnya cakar besi Nyi Kembang bergerak
merobek perut Suro Bodong. Tetapi kaki Suro
Bodong menendangnya kuat-kuat sehingga
tubuh Nyi Kembang justru terpental beberapa
langkah jauhnya. Anehnya, tak ada pekik atau
pun seman kesakitan sekali pun yang di dengar
Suro dari mulut Nyi Kembang. Perempuan itu
seakan tidak pernah mengenal rasa sakit, kendati masih bisa terpental. Bahkan
beberapa kali tendangan dan pukulan Suro yang hebat, yang
sering membuat luka dalam pada lawannya itu,
sama sekali tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Nyi Kembang kelihatan tetap tegar,
tanpa luka dalam sedikit pun.
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suro Bodong mengusap darah yang membasahi hidung, luka di pipi dan bibirnya.
Baju merahnya dipakai sebagai lap pembersih. Ia bangkit mendekati Nyi Kembang.
Tetapi pada saat itu Nyi Kembang telah menyiapkan sesuatu.
Dari kedua matanya yang terbilang bening itu
memancarkan sinar kuning ke arah mata Suro
Bodong. Suro Bodong teringat cerita Jenar tentang
Sinar kuning yang menerpa mata Jupro, lalu
setelah itu Jupro bagai ada dalam pengaruh
birahi, dan ia pun mau berbuat mesum dengan
Nyi Kembang. Suro pun terbayang betapa
ngerinya keadaan Jupro ketika mati dengan
keadaan kehilangan urat kejantanannya.
Suro Bodong tertegun memandang sinar
kuning yang menembus kedua matanya.
Badannya menjadi terasa panas. Jalan darahnya
mengalir cepat hingga menimbulkan desiran-
desiran lembut di sekujur tubuh. Saat itu ia
mendengar suara Nyi Kembang berkata:
"Kau seharusnya tidak menjadi korbanku.
Tapi keadaan memaksa aku harus bertindak,
tapi jadikanlah ini suatu pelajaran bagimu, Suro Bodong:..!"
Suro Bodong menahan nafas sejak tadi. Entah
apa yang sedang dilakukannya secara diam-
diam. la sempat berkata:
"Kenapa tidak kau bunuh aku" Lakukanlah
kalau kau mampu membunuhku, Iblis Cantik.:.!"
"Tidak. Suro. Aku.. aku tidak bisa membunuh orang yang kucintai.. "
Suro Bodong terperanjat, namun ia bertahan
untuk tetap tenang. Dan pada detik berikutnya, Suro
Bodong mengeraskan semua otot tubuhnya. Tangannya bergerak lamban bagai
sedang menyingkap suatu tabir yang menghalang di depannya. Kemudian tangan
yang keras dan kaku itu menghentak ke depan.
Kedua tangan itu bagai sedang mendorong
sesuatu yang amat
berat, sampai-sampai keringat Suro Bodong mengucur dari pelipis dan beberapa tempat lainnya. Ia pun
mengeluarkan suara erangan yang berat sehingga semua
anggota tubuhnya bergetar mengagumkan.
Tenaganya bagai terkuras untuk mendorong
sesuatu yang tidak tampak. Sedangkan sinar
kuning yang terpancar dari mata Nyi Kembang
itu kian lama kian redup. Suro Bodong pun
semakin mengerang panjang.
"Aaah...!" kali ini Nyi Kembang terpekik lirih.
Nafasnya terengah-engah. Sinar kuning itu
lenyap, sepertinya membalik pada dirinya
sendiri. Ia segera menutup wajah, lalu gemetar.
Menggigil. Matanya meredup dan mulutnya
memdesah-desah. Ia menyerukan kata dalam
bisikan: "Oh, aku tak tahan. .! Peluklah aku... peluklah walau sebentar saja.. " Nyi
Kembang mulai merintih.
Suro Bodong tersenyum lega. Ia telah berhasil
mengembalikan sinar kuning itu sehingga bukan
Suro yang menjadi diamuk birahi meledak-
ledak. "Senjata makan tuan, itu lebih baik daripada tuan makan senjata..." kata Suro
Bodong seraya garuk-garuk kumis dalam senyumnya yang
mengejek. Nyi Kembang merintih, mendesah dan
meraba bagian tubuhnya sendiri. Kini ia jadi
diamuk nafsu birahi akibat membaliknya sinar
kuning yang biasa untuk membius lawan itu.
"Suro..." rengeknya.
"Oooh.. kau tega kepadaku. Renggutlah aku...
ayo, Suro.. renggutlah aku dan peluklah erat-erat.. " Nyi Kembang mendekat dengan tangan
menggapai-gapai. Suro sengaja menghindar pelan-pelan.
"Suro... aku. . ooh,. aku sungguh tak tahan.
Berikan sebentar saja kehartgatanmu, Suro..
Uuuhh...Ssss.. Suro.. "
Nyi Kembang mendesis-desis, meremas-
remas dadanya sendiri. Mulut dan lidahnya
bergerak tak beraturan. Ia berjalan terhuyung
mendekati Suro Bodong. Ia bahkan telah
merobek gaun tipisnya. Bagian dadanya telah
polos akibat kain gaun robek tak beraturan. Ia mencoba menggapai tubuh Suro
Bodong dengan nafas berbau nafsu birahi yang menyalak-nyalak.
"Suro... peluklah aku. . Ooh, peluklah aku dan berikan aku kehangatanmu.. "
rintihnya dalam desah suara mesum.
Suro Bodong tiba-tiba menghantam wajah
Nyi Kembang dengan tangan kanannya kuat-
kuat. Lalu ia terbengong-bengong. Nyi Kembang
hanya melengos, bagai terkena tamparan. Ia
tidak merasa sakit, tidak terluka sedikit pun.
Sekali lagi Suro Bodong menghantamnya
dengan pukulan bertenaga dalam. Tapi tubuh
Nyi Kembang hanya terdorong satu langkah ke
belakang. Jatuh pun tidak. Ia masih mendesah-
desah dan meremas-remas bagian penting dalam
tubuhnya. Ia bagai tidak merasa sedang dipukul dengan kekuatan penuh. Suro
Bodong semakin terbengong dan kebingungan.
"Kamu ini setan apa manusia, hah"!" bentak Suro Bodong karena jengkelnya.
'Suro, lupakan pertarungan kita... ooh,
turutilah sebentar keinginanku. Peluklah aku,
Suro. Peluklah dan berilah aku cumbuan yang
menghangatkan.. ! Suro, sekali ini saja... Aku tak akan mengganggumu lagi.
Tolong, ooh. .aku
tidak tahan, Suro. ."
Tendangan Suro dihentakkan tepat mengenai
dada Nyi Kembang. Keras sekali. Paling tidak
akan jebol dada itu. Tapi, Nyi Kembang bukan
seperti manusia biasanya. Ia terdorong ke
belakang beberapa langkah, lalu maju lagi
dengan tangan minta dipeluk dan matanya kian
sayu. Desah yang keluar dari mulutnya
membuat Suro Bodong semakin penasaran.
"Kamu setan, ya"! Setan atau demit"! Ngaku saja!"
"Ooooh. . aku. . aduuuh... aku tak tahan
betul, Suro. Peluklah aku.. lekas. . lekas.. !"
"Aku tidak ingin bercinta denganmu! Aku
ingin membunuhmu, tahu"! Jangan paksa aku
untuk melayani nafsumu...!"
"Sebentar saja, Suro. ."
"Mana bisa sebentar kalau begituan, tolol!"
bentak Suro Bodong yang semakin jengkel pada
diri sendiri. "Aku yakin, bisa sebentar.. Ayolah, aku mau sebentar saja..."
"Enak saja. Kau mau sebentar, tapi aku tidak mau kalau sebentar. . Tidak!
Sebentar atau lama, aku tidak mau bergumul denganmu!"
Tak terasa fajar telah menyingsing dan di
beberapa tempat banyak orang yang memperhatikan dengan sembunyi-sembunyi,
termasuk Raden Bargawa yang memperhatikan
kejadian itu dari balik pagar rumahnya.
"Hiaaaat. .!!" Suro Bodong menendang tubuh Nyi Kembang dengan tendangan lompat
yang begitu kuat. Tetapi
Nyi Kembang tidak mengalami rasa sakit sedikit pun. la memang
terpental, namun segera bangkit dan mendesah-
desah, minta dipeluk Suro Bodong.
"Kau gila...! Aku ini musuhmu, kenapa kau minta aku bergumul denganmu.. ! Bodoh!
Tidak tahu tata kesopanan orang bermusuhan...!"
bentak Suro Bodong. Dan pada saat itu, tangan
Nyi Kembang berhasil meraih baju Suro. Ia
langsung mendekap Suro Bodong dengan nafsu
yang brutal. Ia menciumi Suro Bodong
sembarang tempat dengan nafas seperti anjing
habis lari jauh. Suro Bodong malah kegelian. Ia meronta dan mencoba menghindar.
Tapi Nyi Kembang mengejarnya. Suro Bodong jijik
jadinya. "Surooo. . tunggu aku...! Suro jangan pergi, tunggu
aku..." Nyi Kembang berlari-lari mengejar Suro Bodong. Suro kebingungan dan
menggeram gemas bercampur jengkel, entah
kepada siapa. Tetapi akhirnya, ia berhenti dan menghadang Nyi Kembang yang minta
dipeluk Waktu itu, ada beberapa orang yang melihat
kejadian tersebut dari tempat agak jauh.
Suro Bodong mengusap lengan kirinya. Lalu
dari pergelangan tangan kiri itu, ia bagai sedang menarik sesuatu. Dalam waktu
yang singkat, tahu-tahu tangan kanan Suro Bodong telah
memegang sebilah pedang bercahaya ungu.
Semua mata yang menyaksikan hal itu terbelalak lebar. Mereka tak tahu kalau Suro
Bodong mempunyai senjata pusaka yang dinamakan
Pedang Urat Petir. Senjata itu bisa disimpan
masuk ke dalam daging tangan kirinya, sehingga orang tak pernah tahu bahwa ke
mana pun Suro pergi, sebenarnya ia selalu membawa pedangnya. Itulah kehebatan Suro bersama
pedang Urat Petirnya.
"Nyi Kembang. .! Inilah saat penghabisanmu...!
Hiaat.. !"
Suro Bodong menghunuskan pedangnya ke depan, tepat
mengenai dada Nyi Kembang yang sudah
pasrah minta dicumbu. Tetapi, anehnya tubuh
itu tidak mengeluarkan darah sedikitpun.
Pedang memang tembus ke dada Nyi Kembang,
namun Nyi Kembang tidak merasa sakit. Tidak
juga merasa ditusuk Ia bahkan berhasil memeluk Suro Bodong dengan nafsu birahi
yang kian membara. "Gila...! Manusia lempung kamu ini...!"
bentaknya sambil Suro menendang tubuh Nyi
Kembang dan mencabut pedangnya. Ia sendiri
jadi gemetar melihat pedang Urat Petir seperti tusuk sate tanpa keampuhan apa
pun. Nyi Kembang terpental, namun segera menggapai-
gapai dalam desah dan erangan nafsu birahinya.
Tempat yang tertusuk pedang merapat tanpa
bekas. "Suro... peluklah aku. Jangan membuang
tenaga untuk membunuhku. Aku tidak akan bisa
mati Aku sudah hampir sempurna mencapai
ilmu Serap Sukma. Aku tak akan bisa mati.
Tinggal tiga lelaki lagi aku harus dapatkan, lalu sempurnalah ilmu Serap
Sukmaku, dan aku
akan menjadi orang yang tak pernah bisa mati.
Tapi... kepadamu aku tidak bermaksud menjadikan korban, Suro. Aku mencintaimu.
Aku tak ingin
Suro Bodong 04 Iblis Hutan Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerap tuntas air kejantananmu, dan membunuhnya sekaligus.
Tidak akan terjadi padamu, Suro". Aku hanya
butuh pelampiasan nafsu dan cinta darimu.
Ooh.. peluklah aku.. !"
'Ilmu Serap Sukma...?" gumam Suro Bodong.
"Ooh.. pantas ia banyak mencari korban.. !"
Suro berjalan menghindari raihan tangan Nyi
Kembang yang sudah tidak peduli dengan
keadaan tubuhnya. Polos tanpa selembar benang
pun. Suro Bodong sebenarnya merasa malu
sendiri, karena banyak mata, dan bahkan
semakin banyak orang yang memperhatikan
adegan itu. Tetapi ia harus bisa bertahan dan
segera mencari titik kelemahannya.
"Suro... turutilah keinginanku... sebentar saja," Nyi Kembang merengek dalam
tangis. 'Tidak! Aku harus mengetahui letak kelemahanmu dulu, baru nanti aku akan
memuaskan nafsumu..." kata Suro sambil
berharap, mudah-mudahan kata-katanya itu
tidak didengar Sundari. Mudah-mudahan Sundari tidak ikut menyaksikan adegan itu. Jika sampai Sundari tahu, maka akan
timbul kekacauan lain, sebab ia agaknya sangat
cemburu. "Akan kucoba untuk menusukmu dengan
pedang ini, sampai kutemukan letak kelemahanmu, baru aku berani memberi
kepuasan padamu. Aku tak mau terkecoh, tak
mau mati setelah aku bisa memberi kepuasan
kepadamu...!"
kata Suro Bodong sambil menebaskan pedangnya ke leher Nyi Kembang.
Tapi ternyata ia bagai menebas busa-busa sabun.
Leher itu segera merapat tanpa darah setetes
pun. Pedang Urat Petir tak mampu merobek
leher Nyi Kembang.
'Percuma, Suro.. kau tak akan bisa membunuhku, karena kau tidak menebaskan
pedangmu di ketiakku. Lebih baik kita
bercumbu saja, Suro.. "
Nyi Kembang hendak memeluk, langkahnya
limbung, dan Suro Bodong diam saja, seakan
sengaja menunggu pelukan Nyi Kembang.
Tetapi pada saat jarak mereka cukup dekat, Suro Bodong segera berguling, dan
menebaskan pedangnya pada ketiak kiri Nyi Kembang.
Kontan Nyi Kembang menjerit histeris dengan
mata melotot. "Ahhh...!!"
Suro Bodong menyisih jauh, Nyi Kembang
terguling-guling dengan jerit yang melengking
panjang. Suaranya bagai jeritan dari alam kubur.
Ia menggelepar-gelepar, lama-lama mengeluar
kan asap putih. Asap semakin tebal dan Suro
Bodong membiarkan hal itu berlangsung dengan
sendirinya. Orang-orang mulai bergerak mendekat.
Mereka berwajah tegang. Jeritan Nyi Kembang
mulai menipis, tinggal suara erangan orang
menjelang ajal. Tetapi asap putih semakin
menebal. Menutupi sekujur tubuh Nyi Kembang.
Suro Bodong masih berdiri tegak dengan pedang
yang memancarkan sinar ungu tergenggam erat
di tangan kanannya.
Pada detik-detik berikutnya, asap putih itu
mulai menipis. Orang-orang menggumam dengan mata melotot memandang asap yang
menipis. Kian lama angin bertiup membawa
asap putih, dan akhirnya hilang sudah asap itu.
Lalu orang-orang menyerukan pekik bersamaan
dengan mata kian melebar. Bahkan Suro Bodong
sendiri juga melebarkan mata dengan mulut
terbengong melompong.
Tubuh Nyi Kembang yang berhasil ditemukan kelemahannya itu kini menggelepar
dalam erang yang tipis. Tubuh itu sudah bukan
lagi tubuh yang berkulit seputih susu selembmt busa salju. Tubuh itu menjadi
tubuh berkulit sawo matang dengan wajah yang sudah dikenal
oleh setiap warga desa. Itulah wajah Sundari,
putri Ki Lurah Pucung yang menjadi janda
kembang. "Sundari..."!"
Hampir semua mulut melontarkan kata itu.
Rupanya selama ini tak seorang pun tahu bahwa
Sundari sedang memperdalam ilmu Serap
Sukma, di mana untuk menyempurnakan ilmu
tersebut, ia harus mencari seribu korban lelaki.
Korban itu harus dinikmati dulu kejantanannya, kemudian menyerap semua benih
lelaki dan membunuh lelaki itu sebagai serap nyawa sang
korban. Dengan demikian, maka nyawa yang
ada pada korban akan menjadi bagian dari
kekebalan tubuh aan kesaktiannya. Itulah
sebabnya Nyi Kembang mengatakan, bahwa
dirinya tidak akan bisa mati.
Semua orang tertegun memandang tubuh
Sundari, yang sudah pasti tega membunuh
suaminya sendiri demi ilmu yang dituntutnya.
Ki Lurah dan istrinya pingsan seketika sewaktu melihat kenyataan itu. Dan...
sudah tentu hal itu membuat heboh di seluruh desa. Tersiarlah
kabar tentang Sundari, yang menuntut ilmu
warisan kakek buyutnya di mana kitab pusaka
itu seharusnya dibakar. Namun ada satu yang
tersisa, yaitu kitab Serap Sukma. Dan di hutan Tengkorak itulah Sundari
menjalankan segala
ilmunya bersama satu jasad yang mampu
memecah diri menjadi sekian banyak ujud.
Suro Bodong hanya menggumam, dan mema-
sukkan kembali pedangnya.
Pembuat Ebook :
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
SELESAI Duri Bunga Ju 4 Pendekar Mabuk 042 Keranda Hitam Keris Pusaka Nogopasung 7