Cincin Warisan Setan 2
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan Bagian 2
"Soma.....Soma. Kau tahu. Untuk melakukan penumpasan, belasan adipati, puluhan
perwira kerajaan, mapatih dan para tumenggung, bahkan dengan petunjuk raja
sendiri akan memakan waktu lama untuk merundingkan apa yang harus dilakukan dan
bagaimana musti melakukannya. Dan di hadapanku kau berkata sanggup menghancurkan
mereka seorang diri. Dewa apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau bicara
demikian kerennya?"
Soma tersenyum kecil.
"Tumenggung Cokro," katanya. "Tentu sudah mendengar peristiwa menggemparkan
kematian puluhan bajak berikut pemimpin mereka yang bernama Boga Damar di
kampung kami....."
Tumenggung berjanggut putih itu mengangguk.
"Seorang abdi dalem dari Bantul menceritakan padaku beberapa waktu lalu.
Hanya aku tidak tahu kalau ku berasa dari kampung yang sama.... Sampai saat ini
tidak satu orangpun yag mengetahui apa sebenarnya telah terjadi. Tidak satu
orangpun tahu siapa yang telah menghancurkan gerombolan perompak itu!"
"Kalau saya mengatakan siapa sebenarnya pelaku penghancur bajak itu, apakah
tumenggung mau merahasiakannya dan berjanji tidak akan menceritakannya pada
siapapun....?" Bertanya Soma.
"Aha.... Rupanya kau mengetahui sesuatu di balik keanehan yang menggemparkan itu.
Kau tahu rajapun telah mendengar kisah itu...." kata Tumenggung Cokro Buwono pula.
"Bagus kalau begitu....."
"Bagus bagaimana?"
"Tumenggung mau berjanji memegang rahasia?"
Sesaat Cokro Buwono merengung, akhirnya dia anggukkan kepala.
"Baik, aku berjanji akan memegang rahasia dan tidak akan menceritakan pada
siapapun!"
"Yang melakukannya adalah saya."
Tumenggung itu tertegak dari duduknya dan memandang tak berkesip pada Soma.
"Soma, tahukan kamu apa hukumannya bagi seorang yang berani mempermainkan
petinggi kerajaan......"'
"Saya tahu tumenggung. Dan saya sama sekali tidak bermaksud mempermainkan
siapapun, apalagi tumenggung sahabat ayah yang saya hormati."
Jawab Soma pula. "Apa yang saya katakan adalah benar dan jujur. Saya yang
membunuhi semua anggota bajak itu. Termasuk pemimpin mereka....."
"Seorang diri"!"
"Seorang diri tumenggung....."
"Tak dapat kupercaya. Kecuali jika otakmu saat ini tidak waras Soma dan bicara
yang tidak-tidak...."
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Demi arwah ayah, saya bersumpah tidak berdusta. Dan saat ini saya berada dalam
keadaan waras tumenggung. Karena itulah saya minta diuji untuk dapat
menghancurkan kaum pemberontak. Agar dapat membuktikan bahwa saya tidak dusta.
Bahwa saya benar-benar waras danmampu untuk melakukannya demi tantangan jabatan
yang saya pertaruhkan....."
Tumenggung Cokro Buwono geleng-geleng kepala. Bagaimanapun sulit baginya untuk
mempercayai segala ucapan Soma anak nelayan itu. tepai orang ini kelihatannya
bicara sungguhan. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia memanggil
pembantunya. Dengan sang pembantu tumenggung ini bicara berbisik-bisik di sudur
ruangan besar itu, kemudian pembantu itu mengundurkan diri dan Cokro Buwono
kembali menemui Soma.
"Baiklah Soma, aku akan memberikan satu ujian padamu. Tapi tidak menghancurkan
kaum pemberontak. Di bukit Pangkurmanik, tak berapa jauh dari utara wates ada
segerombolan perampok dipimpin oleh Warok Grindil. Kejahatan dan keganasan
rampok ini tak kalah dengan Boga Damar yang katamu tanganmu sendiri yang telah
membunuhnya. Nah, kau hancurkanlah gerombolan rampok itu jika memang kau mampu.
Setelah berhasil melakukan ujian itu baru kita bicarakan lagi....."
"Terima kasih tumenggung....." kata Soma seraya menjura hampir berlutut.
"Ujian akan saya lakukan. Berikan waktu satu minggu. Saya akan kembali membawa
kepala Warok Grindil!"
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Tidak sampai seminggu, hanya enam hari, Soma kembali muncul di gedung kediaman
Tumenggung Cokro Buwono. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya kotor penuh debu. Dia
datang membawa sebuah bungkusan. Dia menjura dalam-dalam begitu tumenggung
muncul di ambang pintu sebelah dalam.
"Ujian telah saya jalankan tumenggung, bungkusan ini buktinya," ucap Soma.
Saat itu Cokro Buwono diiringi oleh beberapa pembantunya, termasuk seorang
sahabat dari kadipaten Sleman.
"Apa ini bungkusan itu Soma?" tanya sang tumenggung sambil bersaling pandang
dengan orang-orang di sekitarnya.
Dengan cepat Soma membuka simpul bungkusan. Ketika bungkusan terbuka
kelihatanlah sepotong kepala manusia yang sebagian sudha hancur dan tertutup
darah yang telah mengering. Potongan kepala itu membersitkan bau busuk!
"Kepala siapa itu"!" tanya Tumenggung Cokro Buwono dengan tenggorokan tercekik
dan sambil menutup hidungnya.
"Itu kepala Warok Grindil!"
Yang menjasab adalah salah seorang pembantu sang tumenggung.
"Oo ladalah....!" Tumenggung Cokro Buwono terduduk di kursinya. Seisi gedung
menjadi gempar. "Singkirkan kepala tu. Buang jauh-jauh....." perintahnya kemudian.
Kini semua mata tertuju pada Soma yang duduk bersimpuh di lantai.
"Soma, benar kau yang membunuh kepala rampok itu?" tanya tumenggung kemudian.
"Saya bersumpah, saya sendiri yang melakukannya tumenggung. Kira-kira selusin
anak buahnya juga menemui kematian. Mungkin ada dua atau tiga orang yang
berhasil lolos....."
Sesaat tumenggung itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya tidak percaya tapi
matanya menyaksikan sendiri.
"Kalau begitu...." Kata tumenggung kemudian, "Sementara kau boleh tinggal di sini.
Aku akan menemui seseorang di kotaraja. Kalau nasibmu memang baik dan orang-
orang di sana bisa mempercayai, maksudmu menguji diri dengan menghancurkan kaum
pemberontak itu tentu bakal dikabulkan."
"Terima kasih tumenggung. Terima kasih....." jawab Soma berulang kali, haru dan
gembira. "Kalau aku boleh bertanya," Petinggi dari Sleman tiba-tiba membuka mulut,
"Bagaimana caramu menghancurkan gerombolan rampok itu bahkan dapat membunuh
pimpinannya?"
Soma terdiam sesaat. Lalu menjawab, "Maafkan saya, hal itu tak mungkin saya
ceritakan."
Petinggi dari Sleman itu tampak kurang puas dan tak enak. Namun Tumenggung Cokro
Buwono telah menyuruh para pembantunya untuk membawa Soma ke balakang dan
memberikan sebuah kamar untuk nelayan ini.
Kalau saja yang bicara bukan Tumenggung Cokro Buwono sudah barang tentu apa yang
disampaikan dianggap bualan yang tak dapat dipercaya. Setelah mendapat petunjuk
dari beberapa petinggi tertentu dan juga dengan sepengetahuan mapatih maka pada
tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma diizinkan untuk melakukan penumpasan
terhadap kaum pemberontak. Jika dia gagal berarti dia akan menerima kematian di
tangan pemberontak. Sebaliknya jika dia berhasil maka kalangan istana BASTIAN
TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
akan memikirkan satu jabatan untuknya. Paling tinggi sebagai perwira muda dan
bukan kepala pengawal apalagi kepaa balatentara. Selanjutnya jika ternyata
nelayan itu hanya omong besar dan dianggap mempermainkan orang-orang penting
istana maka hukuman pancung akan dijatuhkan atas dirinya. Dalam pada itu tanpa
setahu Tumenggung Cokro Buwono pihak istana diam-diam menugaskan beberapa orang
di bawah pimpinan seorang pangeran bernama Arga Kusumo untuk mengikuti gerak
gerik serta apa yang akan dilakukan nelayan bernama Soma itu.
Ketika kepada Soma disampaikan bahwa istana menyetujui rencananya untuk
menjalani ujain dengan cara menumpas kaum pemberontak, nelayan ini gembira
sekali. Sang tumenggung yang masih mengawatirkan keselamatan anak sahabatnya itu
berkata "Soma, kau boleh mengajak tiga orang pembantuku dan sepasukan perajurit.
Percayalah bagaimanapun kau yakin akan dirimu sendiri tapi mengahadapi kaum
pemberontak bukan merupakan urusan main-main. Pucuk pimpinan mereka terdiri dari
orang-orang berotak cerdik dan perkepandaian tinggi....."
"Terima kasih tumenggung. Saya tidak melupakan budi baikmu. Hanya saja, kalau
diizinkan biarkan saya pergi sendiri....."
"Terserah padamu......" jawab Cokro Buwono. Pagi harinya ketika dia menyuruh
pembantunya memanggil Soma agar menghadap sebelum pergi, ternyata nelayan itu
sudah tak ada lagi di kamarnya.
Berdasarkan peta yang diterimanya dari salah seorang pembantu Tumenggung Cokro
Buwono, Soma berhasil mengetahui letak markas persembunyian para pemberontak.
Juga mengetahui nama-nama pimpinan mereka. Karena lebih banyak mempergunakan
perahu menyusur sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai menunggang kuda) maka
perjalanannya menuju ke utara cukup memakan waktu lama.
Hampir tiga puluh jari kemudian baru dia sampai di utara, di daerah di mana para
pemberontak menyusun kekuatan. Tanpa diketahuinya Pangeran Arga Kusumo dan
orang-orangnya telah menguntit perjalanannya.
Dengan hati-hati Soma menyelinap di antara kaum pemberontak. Selama tiga hari
dia melakukan penyelidikan siapa-siapa yang menjadi pucuk pimpinan kaum
pemberontak itu dan pada kembah-kemah mana mereka berdiam. Setelah seluk beluk
di tempat yang luas itu dipelajarinya, pada malam hari keempat Soma mengetahui bahwa di salah sebuah kemah akan diadakan perundingan
penting antara pucuk pimpinan para pemberontak. Malam itu akan diputuskan kapan
mereka mengatur waktu untuk menyebar dan mengurung lalu menaklukkan beberapa
kota kadipaten sebelum melancarkan serangan besar-besaran ke kotaraja.
Ketika perundingan dilakukan dalam kemah, Soma bersembunyi dalam sebuah gerobak
barang yang terletak tak jauh dari kemah itu. Lebih dari selusin pengawal tampak
berjaga-jaga sekitar kemah. Soma tak merasa perlu menghantam para pengawal itu
terlebih dahulu. Dia yakin betul sinar sakti yang mencuat ke luar dari cincin
ular kobra akan mampu menerobos dinding kemah yang hanya terbuat dari kain
tebal, terus mengantam pucuk pimpinan yang ada di dalam. Membayangkan kedudukan
tinggi yang bakal didapatnya, Soma bersemangat sekali mengeluarkan cincin baja
ular kobra dan cepat memakainya di jari telunjuk. Lalu dia membidik dengan hati-
hati. Ketika dia menggigit bibirnya suara seperti seruling melengking.
Tiga larik sinar putih berkiblat. Soma telah membidik sangat hati-hati, namun
salah seorang pengawal tiba-tiba bergerak dari kedudukan tegaknya semula.
Akibatnya sinar ini mengahntam bahu kirinya hingga putus!
Jeritan pengawal itu bukan saja membuat para pengawal lainnya terkejut dan
datang berlarian, tetapi para pimpinan pemberontak yang ada di dalam kemah
segera pula keluar berhamburan.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ada apa......?" salah seorang bertanya.
Para pengawal tak ada yang bisa memberikan jawaban. Mereka hanya menunjuk dengan
ketakutan pada kawannya yang telah jadi mayat. Saat itu pula tiga larik halus
sinar putih datang menyambar. Pemberontak yang barusan bertanya keluarkan
jeritan keras. Tubuhnya terjengkang ke belakang, perutnya berloang besar.
Darah mengucur, usus membusai!
Gemparlah markas pemberontak itu. terlebih lagi ketika beberapa kali tampaksinar
putih menyambar dan tiga dari enam pimpinan pemberontak kembali menjadi korban!
Puluhan bahkan ratusan pasukan pemberontak dengan senjata terhunus berdatangan,
tapi mereka tak tahu hendak berbuat apa. Musuh yang telah membunuh para pemimpin
mereka sama sekali tidak diketahui siapa dan di mana adanya.
Namun sesaat kemudian seorang yang tadi berlaku sebagai pengawal kemah
perundingan secara tak sengaja sempat melihat asal datangnya sambaran sinar
putih yang membawa maut itu. Dia segera berteriak
"Lihat! Sinar maut itu datang dari arah gerobak barang! Gerobak barang!"
"Kejar ke sana! Kurung gerobak itu!"
Puluhan perajurit segera menghambur.
Sadar kalau tempat persembunyiannya sudah diketahui orang Soma jadi gugup dan
keluar dari dalam gerobak dan lari ke tempat gelap. Teriakan-teriakan para
pengejar terdengar di belakang. Berbagai macam senjata berdesing ke arahnya.
Sebuah tombak, walaupun tidak telak menyerempet bahu kiri Soma, menimbulkan luka
cukup parah. "Celaka! Kalau mereka sampai menangkapku, celaka!" kata Soma dalam
hati dan mengerenyit kesakitan. Jika lari terus dia mungkin akan tertangkap.
Sebaiknya menunggu di tempat gelap lalu memberondong para pengejarnya dengan
hantaman sinar putih.
Memikir sampai di situ Soma lantas hentikan larinya dan cepat bersembunyi,
menunggu di balik kerapatan semak belukar. Begitu para pengejar muncul di
kegelapan, dia segera acungkan jari telunjuk dan gigit bibirnya terus menerus.
Sinar putih berkiblat menyebar maut. Jerit pekik kematian terdengar tiada henti.
Sosok-sosok tubuh tanpa nyawa dengan kepala atau badan hancur roboh
bergelimpangan setumpuk demi setumpuk. Para pengejar sebelah belakang hentikan
pengejaran mereka dan lari atau mencari perlindungan cerai berai. Sampai Soma
lari jauh meninggalkan tempat itu tak seorangpun yang berani bergerak.
Soma lari seperti dikejar setan. Darah yang terus mengucu dari lukanya membuat
tubunya makin lama makin letih. Dia tak tahu telah lari sejauh mana meninggalkan
markas kaum pemberontak ketika kedua kakinya tak sanggup lagi digerakkan.
Tubuhnya roboh ke tanah, setengah sadar setengah pingsan.
Pada saat itulah lima penunggang kuda muncul. Yang di sebelah depan terdengar
berkata "Naikkan dia ke atas kuda cadangan!"
Dua orang melompat turun dari kuda masing-masing, mengangkat tubuh Soma itu
memacu kuda masing-masing tinggalkan tempat tersebut.
"Kita sudah cukup jauh! Pemberontak itu tak mungkin mengejar. Berhenti dulu di
sini. Aku harus memeriksa keadaan orang itu!"
Yang berkata ternyata adalah Pangeran Arga Kusumo yang selama ini terus
mengikuti perjalanan Soma bahkan sampai saat nelayan muda itu tadi melakukan
penyerbuan hebat luar biasa ke perkemahan pihak pemberontak. Dari kejauhan dia
dan empat orang yang ikut bersamanya telah melihat bagaimana setiap Soma
mengacungkan telunujuk tangan kanannya tiba-tiba saja terdengar suara lengkingan
tinggi yang disusul dengan melesatnya tiga larik sinar putih berkekuatan luar
biasa. BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Apapun adanya ilmu yang dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti terletak pada
jari telunjuknya itu. Maka begitu turun dari kuda Arga Kusumo langsung memeriksa
tangan kanan Soma. Dia tidak melihat kelainan apa-apa kecuali sebentuk cincin
putih yang melingkar di jari telunjuk orang itu.
Arga Kusumo tidak dapat memastikan bahwa kehebatan Soma terletak pada cincin
aneh berbentuk kepala ular itu. Namun dia adalah seorang pangeran yang cerdik.
Pasti atau tidak benda itu harus diselamatkan lebih dulu. Maka dengan cepat dia
meloloskan cincin baja tersebut dari jari Soma. Soma yang berada dalam keadaan
sangat lemah, karena terlalu banyak darah yang keluar dan terbuang, jangankan
untuk menggerakkan tangan menghindari rengutan Arga Kusumo, bicarapun dia hampir
tak sanggup. "Ja....jangan am.....jangan ambil cin.....cincin itu....." suara Soma perlahan dan
tersendat. "Aku tidak akan mengambilnya. Yang penting kau perlu diselamatkan dulu Soma.
Dengar, kau akan menjadi pahlawan besar. Kerajaan pasti akan memberikan jabatan
tinggi padamu....."
Paras Soma sesaat tampak seperti tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada cincin
itu, kembali dia berkata "Kembalikan cin.....cin itu. Masukkan ke.... ke jariku....."
"Soma, kau terluka parah. Kami akan mengobatimu. Tapi lekas kau terangkan
bagaimana cara mempergunakan cincin ini hingga bisa mengeluarkan suara aneh dan
melesatkan sinar putih.... Katakan apa manteranya....."
Soma tak menjawab.
Arga Kusumo tahu orang itu sebentar lagi pasti akan mati. Dan dia kini seperti
yakin kalau memang cincin baja itulah sumber kekuatan aneh yang dimiliki Soma.
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau tidak mengapa dia begitu mementingkan benda tersebut.
"Jangan kawatir Soma. Kami tidak akan mengambil cincinmu ini. tapi yang penting
kau harus diselamatkan. Nah, lekas kau katakan apa manteranya...."
"Tak ada mantera apa-apa...." Sahut Soma. Lalu dia bungkam seribu bahasa.
Mati" Arga Kusumo mendekatkan telinganya ke dada nelayan itu. Masih terdengar
degupan jantung meskipun perlahan.
"Soma, dengar.... Kau tak akan bertahan lama. Cincin milikmu ini akan kami
kembalikan pada istrimu. Cincin ini tak akan ada manfaatnya kalau tidak kau
jelaskan bagaimana menggunakannya...."
Soma seperti menyadari kalau ajalnya akan segera sampai. Pendengarannya semakin
tertutup dan pemandangannya semakin gelap.
"Soma, lekas katakan! Kami akan memberi hadiah besar dan jaminan hidup pada
istrimu. Tak ada gunanya kau merahasiakan penggunaan cincin ini. Tak ada gunanya
rahasia itu kau bawa ke liang kubur....."
Soma tetap diam. Arga Kusumo menggoyang tubuh lelaki itu. guncangan ini membuat Soma mengeluh
kesakitan. Sekujur tubuh dan tulang belulangnya seperti dicopot datu demi satu.
"Ayo Soma. Lekas katakan....."
Akhirnya Soma membuka mulut juga. "Kau.....kau hanya memasukkan cincin itu ke jari
telunjukmu. Lalu.....lalu mengacungkannya dan menggigit bibir sebelah bawah.
Sesudah itu......ada suara melengking. Lalu.....lalu....." Soma tak sanggup lagi
meneruskan kata-katanya. Sebelum ajal datang terbayang wajah istrinya. Tapi
wajah sang istri tiba-tiba lenyap danmendadak digantikan oleh wajah setan,
mahluk berjubah putih yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Mahluk itu tampak
marah sekali. BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dia mengacung-acungkan jari jemarinya seperti hendak mencekik Soma. Soma
terdengar mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya kaku. Ajalnya datang sudah!
Seringai tersungging di mulut Pangeran Arga Kusumo menyambut kematian nelayan
itu. Dia berpaling pada keempat pengikutnya dan berkata "Mari kita tinggalkan
tempat ini."
"Bagaimana dengan jenazah orang ini....."' tanya salah seorang pengikut.
"Bagaimana apa maksudmu?" balik bertanya sang pangeran.
"Bukankah jenazahanya harus kita urus" Bukankah dia layak mendapat penghargaan
karena telah menumpas kaum pemberontak"'
Kembali Pangeran Arga Kusumo menyeringai. "Jika kau merasa begitu, kau uruslah
sendiri. Aku dan yang lain-lainnya pergi lebih dulu!"
Pangeran menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu pula tiga orang lainnya.
Orang yang keempat mau tak mau melakukan hal yang sama walau di hati kecilnya
dia merasa sedih melihat nasib Soma.
Seringai yang masih mengambang di mulut Pangeran Arga Kusumo mendadak lenyap
ketika tiba-tiba terdengar bentakan garang dalam kegelapan malam.
Lima kuda tunggangan meringkik keras, langsung berhenti berlari dan melonjak-
lonjak liar. Dari atas sebuah cabang pohon besar yang melintang tinggi melayang
turun sesosok tubuh berpakaian ringkas warna kuning. Di pinggangnya melilit
sehelai selendang merah dan di balik punggungnya orang ini membekal sebilah
golok besar tanpa sarung!
Hebat dan ganasnya, sambil melayang turun dari atas phon orang ini langsung
hantamkan kakinya dua kali berturut-turut. Dua ekor kuda tunggangan pengikut
sang pangeran remuk. Binatang-binatang ini meringkik keras, melemparkan kedua
penunggangnya lalu lari liar tanpa arah untuk kemudian roboh meregang nyawa!
"Orang tak dikenal! Siapa kau yang berani menyerang kami!" teriak Pangeran Arga
Kusumo marah sekali.
Orang berpakaian kuning menjawab bentakan itu dengan gelak tawa berderai,
membuat Arga Kusumo jadi naik pitam dan berikan perintah pada keempat
pengikutnya "Bunuh pengacau itu!"
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Empat orang anak buah Pangeran Arga Kusumo segera menghunus senjata dan
mengurung orang berbaju kuning.
"Pangeran Arga! Tunggu dulu.....!" Si baju kuning berseru sambil angkat tangannya.
"Hemmmm..... jadi kau tahu berhadapan dengan siapa" Mengapa tidak lekas minta
ampun"!" memotong sang pangeran.
"Justru karena menghormati dirimulah aku tidak bertindak lebih jauh.
Sebagian dari perjalanan kalian malam ini telah diikuti. Apa yang tejadi di
markas pemberontak telah kusaksikan. Aku juga mengetahui apa yang kau lakukan
dengan Soma......"
"Apa urusanmu dengan semua ini"!"
"Tentu saja ada.....! Pertama kau tidak menyelamatkan nyawa nelayan itu.
Kedua sejak dari kotaraja kau membekal maksud tidak baik. Ketiga kau mencuri
milik orang lain.....!"
"Mencuri milik orang lain"! Jangan bicara lancang kalau tak mau kurobek
mulutmu!" Pangeran Arga Kusumo tampak marah. Dia belum pernah bertemu orang ini
sebelumnya dan berusaha menduga-duga siapa adanya.
Si baju kuning tertawa.
"Aku tak punya waktu bicara berpanjang lebar. Aku muncul di sini hanya untuk
mengambil cincin milik Soma yang tadi kau ambil!"
"Hemmm..... Jadi kau tidak lain ternyata seorang perampok yang kesasar di malam
buta! Menyingkirlah sebelum kucerai beraikan tulang belulangmu!"
Orang berbaju kuning itu batuk-batuk beberapa kali. "Siapa yang tidak kenal
Pangeran Arga Kusumo yang membekal ilmu silat tingkat tinggi. Tapi malam ini
adalah satu kesia-siaan jika kau berani menentang Kelelawar Kuning Lembah
Blorok!" Empat orang pengikut sang pangeran menjadi pucat mendengar orang itu
memperkenalkan diri. Sedang sang pangeran sendiri diam-diam merasa bergetar
hatinya ketika mengetahui siapa adanya manusia berpakaian kuning yang
menghadang. Tapi dia tak mau memperlihatkan rasa jerinya. Sambil menyeringai
pangeran muda yang memang memiliki kepandaian silat tinggi ini berkata "Orang
lain mungkin takut mendengar gelar angkermu. Tapi jangan coba main-main dengan
kami orang-orang keraton. Aku memberi kesempatan sekali lagi. Minggir dari
hadapanku!"
"Pangeran, jika kau tak mau mengerti permintaanku secara baik-baik, berarti
kekerasan tak dapat dihindarkan! Harap maafkan kalau aku harus merampas cincin
keramat itu dari tanganmu secara kurang ajar!"
"Bagus! Orang-orangku tak akan segan-segan menjagal batang lehermu!"
Habis berkata begitu Pangeran Arga Kusumo memberi aba-aba pada keempat anak
buahnya. Perlu diketahui keempat orang ini adalah perajurit pilihan, bukan saja
merupakan kepercayaan sang pangeran tetapi juga rata-rata memiliki kepandaian
silat dan ilmu perang. Keempatnya menyebar lalu serentak menerjang dari empat
jurusan. Empat senjata berkelebat keempat bagian tubuh Kelelawar Kuning Lembah Blorok,
termasuk satu yang membabat ke arah kepalanya.
Yang diserang umbar tawa bergelak. Tangan kanannya bergerak cepat ke punggung.
Golok besarnya yang ternyata sangat tipis berdesing aneh.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Trang-trang-trang."
Tiga senjata di tangan anak buah Pangeran Arga mental. Salah seorang dari mereka
melompat mundur sambil menjerit karena pergelangan tangannya menyebur darah,
hampir putus dibabat golok lawan. Anak buah yang keempat terjajar sambil pegangi
dada. Senjatanya telah lebih dulu lepas. Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke tanah.
Ada darah keluar dari sela bibirnya. Kemudian dua matanya melotot. Orang ini
mati karena sebagian tulang dadanya hancur. Hancuran tulang itu menjepit
jantungnya. "Kurang ajar!" bentak Pangeran Arga Kusumo marah sekali. Tubuhnya melayang ke
bawah. Begitu menjejak tanah di tangan kanannya dia sudah memegang pedang pendek
milik anak buahnya yang barusan menemui ajal. Dari gerakannya ini saja jelas
pangeran muda itu memiliki kepandaian tinggi. Namun Kelelawar Kuning Lembah
Blorok tidak gentar.
"Pangeran, haruskah aku mengucurkan darahmu atau kau mau menyerahkan cincin itu
secara baik-baik?" Kelelawar Kuning ajukan pertanyaan sambil melintangkan golok
tipis di depan dada.
Sebagai jawaban sang pangeran langsung saja menyerbu musuh dengan tusukan
berantai, deras dan cepat. Kelelawar Kuning tak mau bertindak ayal. Cepat dia
merobah kedudukan kakinya dan menyambut serbuan lawan dengan golok tipis.
"Trang!"
Pedang pendek di tangan Pangeran Arga Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya dia
sempat menyusupkan satu jotosan ke perut lawan. Kelelawar Kuning merasakan sakit
amat sangat pada perutnya yang kena dipukul namun dia masih tetap menyeringai.
"Untuk terakhir kali pangeran. Kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak?"
"Tidak!" sahut Arga Kusumo tandas. Dia lemparkan patahan pedang ke tanah lalu
menyerang lawan dengan tangan kosong. Ternyata Kelelawar Kuning seorang yang
memiliki jiwa kesatria juga. Melihat lawan menyerang dengan tangan kosong dia
cepat sisipkan goloknya ke balik punggung lalu menyongsong serangan Pangeran
Arga. Setelah tujuh jurus berkelahi ternyata memang tingkat kepandaian sang
pangeran masih jauh di bawah lawannya. Setelah terdesak hebat dan menjadi bulan-
bulanan pukulan akhirnya pangeran itu jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia
berusaha bangkit kembali dia mendengar suara kain robek. Kemudian disadarinya
yang robek itu adalah pakaiannya sendiri, tepat di bagian saku kanan di mana dia
menyimpan cincin baja putih berkepala ular kobra itu. Ketika diperiksanya
astaga! Ternyata cincin itu tak ada lagi dalam saku itu. Dia berteriak. Tapi
Kelelawar Kuning Lembah Blorok saat itu telah lenyap!
Hujan lebat telah mulai reda. Pendekar 212 Wiro Sableng menatap wajah Sabrang
Lor, orang tertua dari Enam kelewang Maut.
"Setelah cincin keramat itu jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, tetntu ada
kelanjutan ceritanya. Kalau tidak bagaimana kemudian kau muncul mengatakan bahwa
manusia bernama Randu Ireng yang kini menguasai benda itu....."
Lor Sebrang mengangguk. "Cincin itu berpindah tangan beberapa kali. Setiap
pemiliknya yang terakhir selalu menemui kematian. Dan rata-rata setiap pemilik
merenggut jiwa manusia lebih dari dua puluh orang....."
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau kau mengetahui cincin itu mengundang mau bagi pemiliknya dan orang lain,
mengapa kau dan saudara-saudaramu ingin memilikinya?" bertanya Wiro.
"Aku sudah menduga kau akan ajukan pertanyaan berbau kecurigaan itu,"
menyahuti Sebrang Lor. "Ketahuilah, kami menginginkan cincin itu bukan untuk
memilikinya....."
"Lantas?"
"Pada bulan Maulud yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia antara orang-orang
pandai se-Jawa Tengah di Danau Penin. Pertemuan itu dihadiri juga oleh beberapa
ulama terkemuka dari pantai utara. Kami semua menyetujui akan mencari cincin itu
dan mengembalikannya ke asalnya. Dari laut kembali ke laut. Namun sebegitu jauh
tidak satupun di antara kami berhasil...."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Sebenarnya benda itu jika dipergunakan untuk
kebajikan pasti banyak manfaatnya....."
"Kau benar." Ujar Sebrang Lor pula. "Tetapi lebih banyak malapetakanya daripada
manfaatnya. Setiap orang yang memilikinya pada akhirnya cenderung mempergunakan
untuk kepentingan sendiri, mencari keuntungan pribadi walaupun jalan yang
ditempuh menimbulkan bencana bagi orang lain. Kau bisa bayangkan kalau cincin
sakti itu jatuh ke tangan manusia-manusia jahat seperti Randu Ireng....."
"Tadi aku mendengar manusia berpakaian serba hitam itu menyebut-nyebut seorang
pangeran. Agaknya pangeran itulah yang telah mengirimkan puluhan perajurit untuk
mengejar dan menangkapnya guna mendapatka cincin itu. Menurutmu apakah pangeran
itu Pangeran Arga Kusumo yang kau sebut-sebut dalam penuturanmu tadi....."'
"Besar kemungkinan memang dia. Hanya saja yang aku tidak mengerti bagaimana dia
bisa mempergunakan pasukan Demak untuk melakukan hal itu.
Kemungkinan ada hubungan tertentu antara Demak dengan Kotagede. Atau sang
pangeran sengaja melakukan hal itu karena dia tidak ingin orang dalam mengetahui
rahasia cincin sakti itu."
"Setelah cincin jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, bagaimana kisah selanjutnya
benda itu akhirnya jatuh ke tangan manusia bernama Randu Ireng....?"
Bertanya Wiro. "Kami tahu, tapi mungkin tak lengkap. Kalau kau minta kami menuturkan lagi,
mohon maaf saja. Sebentar lagi pagi segera datang. Orang yang dikejar semakin
jauh. Kami tak punya waktu banyak. Hanya ada satu pesan atau amanat yang harus kami
sampaikan....."
"Amanat apa?" "Dalam pertemuan di danau Penin, disepakati bahwa setiap bertemu dengan orang
segolongan wajib memberitahu kejadian ini. Dan meminta agar membantu mendapatkan
cincin itu kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan tenggelam dalam malapetaka
yang mengerikan....."
Wiro merenung sejenak sambil menggaruk rambut. "Yang aku kawatirkan,"
katanya kemudian "Seseorang yang semula ingin membantu, tapi begitu memiliki
cincin keramat itu jadi berubah pikiran!"
"Kau benar Pendekar 212," menyahuti Sebrang Lor. "Karena itulah, begitu bertemu
cincin tersebut harus secepatnya dibuang kembali ke dalam laut. Nah kami harus
pergi sekarang. Kau mau membantu?"
Wiro menggaruk rambutnya lagi kemudian mengangguk.
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Nafsu makan Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta lenyap ketika dalam rumah
makan yang padat oleh pengunjung itu pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh
seorang tamu yang duduk membelakangi. Orang ini mengenakan pakaian serba hitam.
Kedua kakinya kotor oleh lumpur yang telah mengering. Dari tempatnya duduk Wiro
tak dapat melihat wajah orang ini, apalagi dia memakai caping lebar sehingga
kepala dan keseluruhan wajahnya tertutup. Beberapa kali Wiro sengaja menggeser
duduknya untuk dapat melihat paras si baju hitam ini. Namun dia hanya melihat
sebahagian janggut yang memenuhi dagu serta pipi orang tersebut. Walaupun
demikian dia sudah cukup puas. Ciri-ciri orang ini persis sama dengan orang yang
ditemuinya dua malam lalu dalam rimba belantara. Orang yang telah menghabisi
riwayat puluhan perajurit Demak. Yang menurut Sebrang Lor bernama Randu Ireng.
Manusia yang kini memiliki cincin baja berkapal ular kobra itu.
Tapi di mana gelang bahar yang malam itu kelihatan berjumlah tiga buah di
masing-masing tangannya" Wiro kemudian ingat keterangan Sebrang Lor. Randu Ireng
tanpa cincin keramat itu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun dia memiliki
satu kelihaian. Yakni dapat melakukan penyamaran dalam waktu sangat cepat. Bukan
mustahil si baju hitam ini adalah Randu Ireng, orang yang menyerangnya di bawah
hujan lebat, dalam rimba belantara di malam buta dua hari lalu. Wiro memutuskan
untuk melakukan apa saja agar dapat melihat paras orang itu.
kalaupun tenyata parasnya tidak sama dengan paras Randu Ireng yang dilihatnya
malam itu, maka dia akan menguntit ke mana orang ini pergi. Jelas orang itu
bertindak aneh. Berada dalam rumah makan tanpa membuka caping lebarnya. Kalau
tidak ingin menyembunyikan maka apa maksudnya"
Murid Sinto Gendeng itu hanya sempat menghabiskan setengah makanannya ketika
dilihatnya orang berbaju hitam membayar makanan yang habis disantapnya lalu
melangkah ke pintu rumah makan. Melihat cara berjalan orang ini, semakin curiga
pendekar kita. Janggutnya yang lebat jelas menunjukkan ketuaannya. Tapi
langkahnya yang cepat dan sikapnya yang sigap jelas menyatakan dia bukan seorang
sembarangan. Di luar hujan turun rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro sampai di ujung
jalan. Sebelum menghilang di balik sebuah bangunan tua mendadak dia memutar
kepalanya. Jelas sekali memperhatikan ke arah Wiro. Ternyata dia sadar kalau ada
orang yang mengikutinya. Wiro mempercepat jalannya. Bahkan setengah berlari
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kini. Tetapi ketika dia sampai di ujung jalan, lelaki berpakaian hitam bertopi caping
lebar itu tak kelihatan lagi. Padahal jalan yang ditempuh merupakan satu-satunya
jalan, lurus tanpa tikingan. Sebelah kiri jalan daerah persawahan sedang sebelah
kanan sungai kecil berair kuning.
Pendekar kita garuk-garuk kepala,
Aneh, ke mana lenyapnya kampret hitam itu!" maki Wiro dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Mengawasi setiap tempat dengan matanya yang tajam. Tetap saja orang
yang tadi dikuntitnya tidak tampak. "Kalaupun dia menyeberang kali, pasti masih
sempat kulihat dia akan berada di seberang sana. Mungkin dia menyelam ke dalam
kali atau.....?"
Wiro memutar tubuhnya. Pada saat itulah terdengar suara menegur. Suara laki-laki tetapi sehalus suara
perempuan. BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Orang berambut gondrong, kau mencariku......"!'
Wiro putar tubuhnya lebih cepat. Suara itu datang dari dalam rumah tua.
Ketika dia memandng ke sana, ternyata memang, lelaki bercaping dan berpakaian
hitam itu tegak di sana. Tubuhnya jelas menghadap ke arah Wiro, tapi kepalanya
menunduk hingga wajahnya tetap sulir dilihat. Ingin sekali murid Sinto Gendeng
membetot lepas caping lebar itu.
"Kau tidak tuli. Mengapa tidak menjawab pertanyaan orang...."!"
Didesak begitu Wiro jadi tertegun sesaat, apalagi merasakan dirinya tertangkap
basah mengiuti orang.
"Aku tidak mencarimu!" sahut Wiro.
"Hemmm...." si baju hitam bergumam. "Baiklah kalau kau tidak mencariku katamu.
Tapi jelas kau mengikutiku bukan.....?"
Wiro menyeringai. "Kau menyeringai. Berarti kau membenarkan ucapanku walau malu mengakui!"
Seringai lenyap dari wajah Pendekar 212.
"Terus terang, aku mencurigaimu....." kata Wiro akhirnya.
"Sama! Akupun mencurigaimu!" sahut si baju hitam bercaping lebar.
"Kenapa kau mencurigaiku?" tanya Wiro penasaran.
Mulut di bali caping lebar itu tertawa.
"Kau menguntit orang. Gerak gerikmu menunjukkan itikad tidak baik. Nah, apa itu
tidak cukup alasan untuk mencurigaimu"!"
"Aku bukan maling atau rampok. Kenapa musti dicurigai?" tukas murid Sinto
Gendeng. "Mungkin kau lebih jahat dari maling atau rampok!" ganti menukas si baju hitam.
Mulut pendekar kita jadi terkancing tapi hatinya memaki panjang pendek.
Namun akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah gelak tawa. Mula-mula perlahan.
Makin lama makin keras.
"Selain lebih jahat dari maling dan rampok ternyata otakmu tidak waras.
Kalau tidak mengapa kau tertawa tanpa alasan"!"
Wiro hentikan tawanya. Matanya memandang tak berkedip seperti hendak menembus
caping bambu itu.
"Sobat, kau membuat beberapa kesalahan. Dan itu cukup alasan bagiku untuk
menghajarmu!"
"Hebat betul! Kesalahan apa yang telah diperbuat tuan besarmu ini"!"
"Kentut busuk! Siapa yang mengatakan kau tuan besarku!" maki Wiro. "Dua malam
lalu kau menyerangku bahkan hampir membunuhku! Tadi kau menuduhku maling rampok.
Kemudian menganggapku tidak waras! Benar-benar kentut busuk!
Tapi mungin aku bisa melupakan semua kesalahanmu. Cuma ada syaratnya sobat!"
"Kau yang kentut busuk! Bertemupun baru kali ini sudah menuduh aku menyerangmu,
hendak membunuhmu! Ke mana kau keluyuran dua malam lalu hingga orang inginkan
jiwamu"! Kini hebatnya menawarkan segala macam syarat!
Lama-lama aku jadi muak melihatmu. Menyingkirlah! Aku harus melanjutkan
perjalanan!"
"Melanjutkan perjalanan untuk membunuh dan membunuh! Lalu menguasai dunia
persilatan! Bukankah itu tujuanmu....?"
Caping lebar itu terangkat sedikit. Hanya sedikit hingga tetap saja Wiro tidak
dapat melihat wajah lelaki berjanggut ini.
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Mulutmu lancang benar! Aku tak pernah membunuh manusia! Aku juga tidak pernah
mimpi hendak menguasai persilatan!"
Wiro menyeringai. "Kenapa kau tidak mengakui bahwa kaulah yang telah membunuh
puluhan perajurit Demak dua malam lalu" Kau hendak berdusta. Padahal aku sendiri
berada di tempat kejadian itu....!"
"Ternyata otakmu memang tidak waras! Dengar, apa yang kau ketahui tentang
perajurit-perajurit Demak itu!"
"Apa yang kuketahui.....?" Wiro tertawa panjang.
"Kau membunuh habis mereka semua!"
"Aku tidak membunuh mereka. Aku belum pernah membunuh manusia!"
"Nada pertanyaanmu tentang perajurit-perajurit Demak itu tidak dapat
menyembunyikan bahwa kau memang punya sangkut paut dengan kejadian malam itu....."
"Ada sangkut paut atau tidak bukan urusanmu! Katakan, apakah perajurit-perajurit
Demak itu dipimpin oleh seorang pangeran bernama Pangeran Arga Kusumo"!"
"Heh..... Kau menyebut nama pangeran itu!" ujar Wiro. Dia ingat pada kisah yang
dituturkan Sebrang Lor. "Apa hubunganmu dengan Arga Kusumo"!"
"Justru aku harus tanya apa hubunganmu dengan pangeran itu! Lawan atau
kawanmu"!" balik menyentak si caping lebar.
Pendekar 212 Wiro Sableng hampir habis kesabarannya. Tapi dia menyahut juga
dengan kasar dan jengkel "Kenalpun aku tidak dengan segala macam pangeran.
Sudahlah, pembicaraan kita habisi di sini. Lama-lama aku bisa menampar mulutmu
orang tua!" Maka Wiropun hendak berlalu. Tapi cepat sekali tahu-tahu orang
berjanggut berpakaian hitam itu sudah menghadangnya dalam jarak lima langkah.
Jelas gerakannya mengandung kekuatan dan kesigapan yang bukan sembarang orang
bisa melakukannya.
"Berani menghadang berani menerima hajaran!" mengancam Wiro.
"Bagus! Jika saat ii kau tak mau menjelaskan tentang pangeran itu, mungkin
kugebuk dulu baru kau mau bicara!"
"Kampret hitam berjanggut buruk!" ujar Wiro "Kau ini siapa sebenarnya"
Bukankah kau yang bernama Randu Ireng yang dicari-cari Enam Kelewang Maut"
Bahkan dicari oleh hampir semua orang dalam rimba persilatan?"
"Ah, semakin banyak nama-nama penting yang kau singkapkan. Jelas kau rupanya ada
sangkut pautnya dengan cincin baja putih yang diperebutkan para tokoh itu!"
Sesaat Wiro kerenyitkan kening. Lalu manggut-manggut. "Tidak ada kisikan tak ada
alasan tiba-tiba saja kau menyebut benda keramat yang menggegerkan itu.
maksudmu tentunya untuk menghilangkan jejak bahwa memang kau sebenarnya Randu
Ireng yang kini memiliki cincin hasil rampasan itu!"
"Jangan menuduh sembarangan. Aku bukan Randu Ireng!"
"Kalau begitu kau siapa"!"
"Siapa aku apa perdulimu!"
"Kampret brengsek!" semprot Wiro. Lalu dia berkelebat cepat tinggalkan tempat
itu. Namun sekali lagi orang bercaping lebar menghadang gerakannya.
Kini murid Sinto Gendeng ini habis sabarnya.
Dengan jengkel Wiro dorongkan tangan kirinya ke arah dada orang.
Maksudnya hendak menyingkirkan dari hadapannya dan sekaligus menjatuhkan.
Karena itu dorongan tangannya sengaja dilakukan dengan tenaga luar yang keras,
ditambah sedikit tekanan tenaga dalam. Namun hampir tangan kirinya menyentuh
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
lawan, si caping lebar cepat sekali sudah berkelebat, mengelak ke samping kiri.
Dari arah ini dia lepaskan serangna balasan berupa tusukan dua jari ke arah
leher Wiro. Entah mau menotok entah mau menusuk tembus batang leher pendekar muda itu!
Perkelahianpun tak dapat dihindari lagi. Setelah mengelakkan tusukan jari yang
ganas itu Wiro hantamkan siku tangan kirinya ke rusuk lawan namun lagi-lagi si
baju hitam berhasil mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan deras ke
arah batok kepala Wiro.
Setelah berkelahi sampai sepuluh jurus murid Sinto Gendeng segera menyadari
bahwa dalam ilmu silat dan tenaga dalam lawannya jauh berada di bawahnya. Tetapi
satu hal membuat orang itu sulit dihantam. Dia memiliki kecepatan gerakan yang
luar biasa. Tubuhnya ringan sekali, berkelebat kian kemari, mengelak sebat lalu
balas menyusupkan serangan-serangan kilat. Kalau saja yang dihadapinya bukan
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, mungkin sudah beberapa kali si baju hitam ini
berhasil menggebuk sang pendekar.
Setelah berkelahi lebih dari enam belas jurus, Wiro mulai dapat mencium
kelemahan lawannya. Ternyata manusia yang disebutnya si kampret itu merupakan
seraong lawan yang masih mentah dalam pengalaman. Maka Wiropun mulai lancarkan
serangan-serangan tipuan.
Ketika lawan kirimkan pukulan ke arah dadanya Wiro langsung pasang badan, tapi
melindungi diri dengan pengerahan tenaga dalam.
"Buk!"
Jotosan melanda dada Wiro dengan tepat. Tubuhnya bergoncang keras. Sambil
menahan sakit, Wiro lihat lawannya mundur selangkah. Karena tidak dapat melihat
wajahnya sulit diduga apakah orang itu merasakan sakit pada tangan kanannya,
tapi yang jelas tangan yang tadi mengepal membentuk tinju kini jari-jarinya
melentik keluar tanda dia dijalari rasa sakit. Di saat itulah pendekar dari
gunung Gede ini menyergap ke depan. Gerakannya seperti hendak membuntal pinggang
lawan, tetapi tidak terduga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas menarik
lepas caping lebar di kepala si baju hitam!
Orang itu keluarkan seruan tertahan ketika topi bambu lebar lepas dari
kepalanya. Kedua tangannya membuat gerakan seperti hendak menutupi wajahnya.
Dan seruan tadi itu"! Sesaat membuat Wiro tegak terheran sambil pegangi topi.
"Sialan! Ternyata si kampret ini bukan manusia itu!" ujar Wiro dalam hati.
Wajahnya meamang tertutup janggut dan kumis, tapi jelas paras ini bukan paras
orang berbaju hitam yang telah membunuh pasukan Demak itu. rambutnya kelihatan
telah memutih dan digelung ke belakang sepert rambut perajurit. Kulit mukanya
klimis dan sepasang matanya mengandung daya tarik tersendiri. Tidak pantas untuk
mata seorang lelaki yang berhati keji.
"Kembalikan caping bambuku!" seru si baju hitam.
Wiro Sableng tersenyum menyeringai. Bukannya mengembalikan malah caping itu kini
dipakainya. "Jika kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya, akan kukembalikan capingmu. Kalau
tidak silahkan ambil sendiri!"
"Bedebah!" si Baju hitam marah sekali, langsung menyerang Wiro. Tapi anehnya,
setengah jalan mendadak dia melesat ke kanan lalu melarikan diri.
"Hai!" seru Wiro mengejar. "Tunggu dulu!"
Si baju hitam tambah mempercepat larinya. Namun dalam hal berlari mana mungkin
dia akan mempecundangi Wiro. Dalam waktu singkat Wiro berhasil mempersempit
jarak. Kemudian karena tidak sabar, dia tanggalkan caping di kepalanya dan
lemparkan benda itu ke arah orang yang lari di depannya.
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Entah disengaja entah tidak caping bambu itu memukul bagian belakang kepala
orang, tapat di gelungan rambut. Demikian kerasnya hantaman caping hingga bukan
saja orang itu terhuyung hampir jatuh terjerembab ke depan, tetapi sanggul
rambutnya ikut terlepas. Anehnya rambut yang berwarna putih terlepas jatuh ke
tanah sedang kepala itu kini hanya tertutup rambut hitam panjang yang tergerai
sebatas pinggang.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Wiro Sableng jadi hentikan larinya saking kaget dan heran melihat kejadian itu.
"Kampret apa ini yang berambut palsu putih padahal memiliki rambut panjang
hitam!" ujar Wiro dalam hati.
Di depan sana dilihatnya orang yang tadi dikejar, bukannya terus melarikan diri
tetapi membelok ke kiri dan menyembunyikan diri di balik rerumpunan semak
belukar tinggi.
Kawatir orang hendak menipu lalu membokongnya, Wiro dekati semak belukan dengan
hati-hati. Siap untuk memukulkan tangannya yang kiri atau kanan menjaga segala-
segala kemungkinan. Namun betapa kagetnya ketika dia tiba-tiba mendengar suara
orang menangis sesenggukkan! Suara tangis perempuan!
Begitu sampai di balik semak-semak dilihatnya yang menangis ternyata adalah
lelaki berjanggut dan berkumis berbaju hitam berambut panjang itu.
"Kampret jantan ini kenapa menangis seperti betina"!" ujar Wiro sambil garuk-
garuk kepala memandang keheranan.
"Hai! Kenapa kau menangis!" tanya Wiro.
Ditegur begitu orang tersebut semakin keras sesenggukannya dan semakin jelas
kalau suara tangisnya itu adalah suara tangis perempuan!
"Eh, orang ini lelaki atau perempuan......?" bertanya-tanya murid Sinto Gendeng
dalam hati. Dengan hati-hati karena tak mungkin kalau orang hendak menipunya,
Wiro melangkah lebih mendekat. "Kalau dia memang perempuan mengapa berjanggut
dan berkumis. Tapi rambut putih palsu yang tadi terlepas......
Jangan-jangan manusia ini benar-benar Randu Ireng! Si ahli menyamar yang
menguasai cincin baja kepala ular kobra!" maka memikir sampai ke situ Wiro tak
mau lebih mendekat. Dia berdiri sejarak tiga langkah.
Karena tak sabaran mendengar tangisan yang seperti tak habis-habis itu, Wiro
ajukan pertanyaan "Kau ini, sebenarnya siapa" Laki-laki atau perempuan....?"
"Pergilah! Buat apa mengurusi diriku lagi!" kata si baju hitam. Suaranya kini
jelas sekali suara perempuan. Keadaannya yang larut oleh perasaan membuat dia
tidak dapat lagi menyaru suaranya sebagai suara lelaki.
"Hai! Jadi kau perempuan!" ujar Wiro.
Tak ada jawaban. Tegak tertegun seperti itu lambat laun membuat Wiro merasa
hiba. Namun tanpa mengurangi kewaspadaan dia kembali berkata.
"Walaupun tadinya aku mencurigaimu, tapi jika kau memang bukan orang yang hendak
membunuhku dua malam lalu, maka aku tak akan mengganggumu lebih jauh. Ini
capingmu...." Wiro ulurkan caping milik orang tadi yang telah dipungutnya.
Uluran caping bambu itu tidak disambut. Wiro lalu menyangkutkan caping itu pada
ujung sebuah ranting.
"Sebaiknya aku tidak mengganggumu lagi. Aku akan pergi. Tapi kalu kau suka
menerangkan siapa kau sebenarnya. Dari mana dan dalam perjalanan ke mana......?"
"Mungkin.....aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan
siapa dirimu dan mengapa tadi mangaku mencurigaiku lalu menguntit....." berkata
perempuan itu di antara sesenggukkannya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian menjawab juga.
"Namaku Wiro. Semula aku mengira kau adalah orang yang dua malam lalu hendak
membunuhku dalam rimba belantara....."
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Siapa orang itu. Mengapa dia inginkan nyawamu.....?"
"Ah, pertanyaan kampret ini banyak benar. Seperti mau menyelidik!" maki Wiro
dalam hati. Lalu dia menjawab "Mengapa dia inginkan nyawaku, aku tidak tahu.
Juga aku tidak tahu mengapa dia enak saja membantai puluhan perajurit Demak itu.
Siapa orang itu aku tidak tahu pasti. Cuma ada yang mengatakan dia adalah Randu
Ireng. Manusia terakhir yang menguasai cincin keramat terbuat dari baja
berkepala ular itu....."
"Cincin itu...." kata si baju hitam, "Tak habis-habisnya menimbulkan
malapetaka....."
"Kau tahu banyak tentang cincin keramat itu.....?" tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab.
"Nah, sekarang kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya?" Wiro mendesak.
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu cepat menyambung "Tapi perlihatkan dulu kau ini perempuan atau lelaki atau
apa...."!"
Tangan orang itu, yang sejak tadi menutupi dan menyembunyikan wajahnya tiba-tiba
bergerak menanggalkan janggut dan kumis lebatnya dan astaga! Kini berubahlah
wajah itu menjadi paras seorang perempuan berusia kurang dari tiga puluhan,
bermata bening dan teramat ayu. Sesaat pendekar kita tegak terkesiap. Lalu
sambil senyum-senyum dia bertanya "Apa perlumu melakukan penyamaran seperti
ini.....?"
"Jika kau seorang dari rimba persilatan kurasa tak perlu aku menjawab
pertanyaanmu. Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh liku-liku dan bahaya.
Malapetaka mengancam setiap saat. Apalagi bagi kami kaum hawa......"
"Ucapanmu mungkin banyak benarnya. Hanya saja, tentu kau mempunyai alasan
tertentu. Tapi aku tak akan memaksa kau harus menceritakan hal yang kau tak
ingin mengatakannya. Kau belum mengatakan datang dari mana dan dalam perjalanan
ke mana....."
"Aku datang dari jauh dai sebuah kampung nelayan di pantai selatan. Aku dalam
perjalanan ke Kotaraja....."
"Lalu namamu.......?"
"Ningrum....."
Wiro manggut-manggut sambil tak lupa menggaruk kepalanya yang gondrong.
"Kotaraja masih jauh di sebelah timur. Ada keperluan apa kau ke sana?"
"Mencari seorang pangeran bernama Arga Kusumo......"
"Pangeran Arga Kusumo....." Dia masih sanak kerabatmu"'
"Justru aku ingin membunuhnya!"
Jawaban Ningrum itu membuat Wiro kaget.
"Membunuh seorang pangeran bukan soal mudah. Belum sempat sampai ke kediamannya,
para pengawal berkepandaian tinggi mungkin sudah meringkusmu!"
Perempuan ayu itu menyeringai. "Jika kita memakai otak, apapun pasti bisa
dilakukan....."
"Kenapa kau ingin membunuh pangeran itu?"
"Dia membunuh suamiku!"
"Ah, urusan dendam kesumat rupanya," kata Wiro pula. "Tapi mengapa sampai
pangeran itu membunuh suamimu?"
"Dia merampas milik suamiku."
"Apa?"
Kelihatannya Ningrum tak mau menjawab. Atau ragu-ragu menjawab.
"Kau tahu aku bukan orang jahat. Tapi kau masih hendak menyembunyikan sesuatu
padaku...." Wiro berpura-pura kecewa.
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Setelah membisu beberapa lamanya akhirnya Ningrum membuka mulut.
"Cincin sakti itu. Benda itu mulanya adalah milik suamiku....."
Terkejutlah pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kalau begitu suamimu adalah Soma!" katanya.
Kini perempuan itu yang ganti terkejut.
"Bagaimana kau bisa tahu......?"
Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan Sebrang Lor, kepala Enam Kelewang
Maut yang telah menuturkan kisah luar biasa mengenai cincin baja putih berkepala
ular kobra itu.
"Menurut Sebrang Lor kau tidak tahu banyak tentang cincin sakti yang dimiliki
suamimu itu. Soma tewas dalam hutan, jauh dari kampungmu. Bagaimana kemudian kau
mengetahui kematiannya....?" Bertanya Wiro.
"Sejak musnahnya gerombolan bajak yang menyerang kampung, semua orang-orang
termasuk aku menaruh wasangka bahwa Somalah yang melakukan itu semua. Jika dia
yang berbuat berarti dia memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian luar biasa.
Dalam pada itu, tak lama setelah kematiannya. Tumenggung Cokro Buwono dan
seorang pembantunya datang menemuiku. Ketika kembali ke Kotaraja, Pangeran Arga
Kusumo mengabarkan Soma gugur di tangan pemberontak. Dia sendirilah yang telah
menghancurkan pemberontak itu. Arga Kusumo sengaja mencari nama besar, hendak
mengangkat diri jadi pahlawan dengan memutar balikkan kenyataan. Suamiku sengaja
dibiarkan mati dalam hutan padahal dia dapat menolongnya. Bahkan mayatnyapun
tidak diurusnya......"
Sebagai seorang isteri nelayan Wiro menganggap tentunya Ningrum tidak memiliki
kepandaian apa-apa dalam ilmu silat ataupun kesaktian. Cukup mengherankan kalau
kini dia menjadi seorang perempuan muda berkepandaian tinggi.
Ketika hal itu ditanyakan pada Ningrum, perempuan itu menuturkan lebih lanjut.
"Setelah berita itu kuterima, ditemani oleh beberapa orang pembantu Tumenggung
Cokro Buwono aku coba mencari jenazah Soma. Bagaimanapun jenazahnya walau hanya
tinggal tulang belulang harus diurus dan dikubur. Tapi kami tak berhasil
menemukan jenazah ataupun tulang belulangnya...."
"Tunggu dulu," ujar Wiro ketika dia ingat sesuatu. "Menurut penuturan Sebrang
Lor, ketika Soma pergi menemui Tumenggung Cokro Buwono, kau sedang hamil tua...."
Ningrum mengangguk. "Kematian Soma kuketahui sebulan sebelum aku melahirkan.
Ketika bayi itu lahir ternyata nasibnya jelek. Anakku meninggal setelah
dilahirkan....."
Kedua mata Nignrum kembali tampak basah. Setelah menyeka wajahnya beberapa kali
dia meneruskan "Dalam perjalanan pulang ke kampung, ternyata orang-orang
Tumenggung Cokro Buwono bukan manusia-manusia baik-baik. Mereka hendak
memperkosaku beramai-ramai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, muncul
seorang kakek aneh. Orang-orang itu dihajarnya. Tak satupun dibiarkan hidup.
Aku sendiri kemudian dibawanya ke sebuah goa di lereng bukit. Setelah mendengar
ceritaku, kakek itu memutuskan untuk menurunkan beberapa ilmu kepandaiannya.
Lewat sepuluh tahun kemudian baru aku meninggalkan goa itu. Pertama sekali aku
pergi mencari Tumenggung Cokro. Tapi kemudian kuketahui tumenggung itu telah
meninggal. Kematiannya tidak wajar. Tewas celaka ketika berburu di dalam hutan.
Ada dugaan bahwa dia dibunuh atas perintah Pangeran Arga Kusumo yang tak ingin
rahasia kematian dan kepahlawanan Soma terbuka....."
"Lalu saat ini kau hendak ke Kotaraja guna membalas dendam kematian suamimu...."
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Walau tak menjawab tapi Wiro tahu perempuan itu membenarkan ucapannya.
"Lebih baik bagimu kembali ke kampung dan melupakan pangeran itu. Saat ini tentu
dia telah menduduki jabatan sangat tinggi dalam kalangan istana. Pasti sulit
untuk melaksanakan maksudmu. Salah-salah kau sendiri yang akan celaka!"
"Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku," sahut Ningrum.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Apakah kau berniat mendapatkan cincin sakti itu kembali?" tanya Wiro.
"Kalaupun aku mendapatkannya, akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam
laut....."
Wiro ingat amanat yang dikatakan Sebrang Lor. "Tidak mudah mendapatkan cincin
itu kembali. Tidak gampang mencari Randu Ireng, manusia seribu muka yang kini
menguasainya...."
"Tapi orang-orang sepertimu tak bisa berpangku tangan. Kecuali ingin melihat
ratusan korban lagi akan menemui ajalnya!" kata Ningrum.
Apa yang dikatakan Ningrum itu diketahui sekali kebenarannya oleh Wiro.
Setelah berpikir sebentar kemudian dia berkata "Bagiku tugas kita paling utama
saat ini adalah mencari manusia bernama Randu Ireng itu....."
"Kita katamu?" ujar Ningrum.
Wiro menyeringai. "Bukankah kau ingin mendapatkan benda itu kembali"
Kurasa itu lebih penting dari pada kau langsung nyelonong ke Kotaraja mencari
penyakit...."
"Kalau kau mau membantu, aku tak keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama apakah
tidak akan menyusahkanmu"'
"Berjalan dengan perempuan secantikmu memang ada macam-macamnya.
Kau sebaiknya pakai kembali rambut, janggut dan kumis palsumu itu....."
Ningrum menyetujui. Setelah melakukan apa yang dikatakan Wiro, lengkap memakai
caping lebar, keduanya segera meninggalkan tempat tersebut.
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Karena tahu bagaimana sulitnya mencari dan mengejar orang seperti Randu Ireng
maka Wiro memutuskan untuk meminta bantuan dari orang yang dianggapnya paling
tepat dan paling tahu. Orang ini bukan lain adalah kakek aneh yang dikenal
dengan panggilan Si Segala Tahu.
Empat hari empat malam mengadakan perjalanan tampaknya masih belum juga sampai
ke tujuan. Ningrum mulai menunjukkan wajah suram. Entah karena keletihan
mengadakan perjalanan sejauh itu, entah karena mulai merasa tidak suka.
Kalau saja mereka langsung ke Kotaraja mungkin saat itu sudah sampai, demikian
dia berpikir. Pada pagi hari kelima hujan turun rintik-rintik.
"Aneh, ada hujan turun. Tapi kenapa udara terasa panas sekali!" kata Ningrum.
Wiro tersenyum. "Itu tandanya kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan.
Kau lihat sesuatu yang memutih di kejauhan sana....?" Wiro menunjuk ke arah barat.
"Benda apa itu. kelihatannya seperti bukit. Tapi kenapa berwarna putih.....?"
"Itulah bukit kapur. Tempat biasanya berkeliaran orang yang kita cari."
"Sebenarnya siapa yang kita cari ini?" tanya Ningrum.
"Kau lihat saja nanti. Pasang telingamu baik-baik. Jika kau mendengar suara
kerontangan kaleng, beri tahu aku....."
Keduanya terus lari ke arah barat. Makin dekat makin kentara besarnya bukit
kapur itu. Menjelang tengah hari mereka mencapai kaki bukit dan mulai menaiki
lerengnya. Hawa di sini bukan main panasnya. Pakaian kedua orang itu bawah kuyup
oleh keringat. Sejauh sampai di pertengahan lereng bukit yang tandus hampir tak
ada tumbuhan di situ masih belum terdengar suara apapun, termasuk suara
kerontang kaleng.
"Aku tak mendengar suara seperti yang kau katakan itu. Jangan-jangan orang yang
kita cari tak ada di sini!" Ningrum mulai merasa khawatir.
Wiropun mulai merasa ragu. Namun dia diam saja. Keduanya terus mendaki sampai ke
puncak bukit. Di kejauhan tampak sebuah gubuk kecil tanpa dinding dalam keadaan
kosong. "Aku tak tahan panasnya hawa di sini. Kalau orang yang kita cari tak ada lebih
baik tinggalkan tempat ini....."
"Tenang saja. Dia pasti ada di sekitar sini," sahut Wiro.
"Siapa yang sanggup menetap di tempat ini tanpa kehabisan air dalam tubuhnya,
disedot udara panas....?"
"Kita mungkin tidak bisa. Tapi Si Segala Tahu tenyata menghabiskan puluhan tahun
usianya tinggal di bukit ini...."
Habis berkata begitu Wiro mendongak ke langit, kerahkan tenaga dalam lalu
berteriak keras-keras dan panjang. Gaung suaranya terdengar aneh dan
menyeramkan. "Tak ada yang membalas teriakanmu, Wiro. Berarti tak ada siapapun di bukit ini!"
Wiro menunggu sesaat. Lalu kembali berteriak. Lebih keras dan lebih panjang.
Setelah ditunggu tetap saja tak ada suara lain menyahuti.
"Kita pergi saja," mengajak Ningrum.
"Tunggu. Jika sampai matahari condong ke barat orang itu belum muncul....."
Wiro hentikan kata-katanya. "Aku mendengar sesuatu....."
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku tak mendengar apa-apa......" kata Ningrum. Tentu saja karena tingkat kepandaian
dan ketajaman indera keduanya berbeda. Wiro jauh lebih tinggi.
"Dia muncul!" Wiro tertawa gembira. "Ikuti aku.....!" katanya lalu lari ke jurusan
selatan bukit. Setelah lari beberapa ratus tombak baru Ningrum mendengar suara
aneh itu. Suara sesuatu berkerontangan. Agaknya suara batu-batu yang dimasukkan
dalam kaleng, lalu digoncang-goncang terus menerus.
"Lihat! Itu dia!" seru Wiro seraya menunjuk ke depan.
Memandang ke muda Ningrum lihat seorang kakek bertubuh agak kurus, berpakaian
penuh tambalan dan yang sudah cabik-cabik, melangkah ke arah mereka.
Langkahnya seperti acuh tak acuh, tetapi satu langkah yang dibuatnya sama dengan
lima langkah manusia biasa. Sambil berjalan dengan bantuan tongkat kayu di
tangan kirinya, dia tiada henti menggoyang-goyang kaleng rombeng di tangan
kanannya. "Kakek Segala Tahu!" panggil Wiro Sableng. "Aku datang lagi! Apakah kau baik-
baik saja selama ini....?"
Kakek itu hentikan langkahnya. Mendongak ke langit, lalu kerontangkan kalengnya
dan menyeringai.
"Aku memang baik-baik saja. Tapi urusan persilatan di luar sana sedang tidak
baik bukan" Kudengar banyak para tokoh di bunuh. Puluhan manusia hidup berubah
menjadi mayat!"
"Syukurlah kau sudah tahu kek! Karena itula aku datang mencarimu ke mari!"
"Kalau kau muncul berarti ada yang bakal kau tanyakan! Katakan, ini soal dunia
persilatan apa soal jodohmu.....?" si kakek tertawa gelak-gelak.
"Kek, kau tentu mendengar tentang cincin keramat yang sanggup menebar maut
itu...." Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil tersenyum kempot dia
berkata "Sebelum aku jawab pertanyaanmu, siapa pula mahluk aneh yang kau bawa ke
mari ini...."'
Wiro garuk kepalanya dan memandang pada Ningrum. Perempuan ini jelas tampak
kemerahan wajahnya.
"Aku tidak membawa mahluk aneh kek. Ini sahabat seperjalanan," jawab Wiro.
"Perempuan biasanya memakai pupur dan bergincu. Kalau perlu menghitamkan sedikit
alisnya, memerahkan sedikitt pipinya. Tapi yang aku rasakan saat ini sahabatmu
ini memakai kumis dan bercambang bawuk palsu. Apakah ini bukan mahluk aneh
namanya" Atau mungkin dia pemain wayang wong!" si kakek tertawa lagi mengekeh.
Wajah Ningrum semakin merah. Tapi dalamhati perempuan ini jelas sangat terkejut.
Kakek itu jelas dilihatnya bermata buta. Bagaimana mungkin dia tahu kalau
dirinya adalah seorang perempuan dan memakai kumis serta janggut palsu segala"!
Kemudian didengarnya Wiro berkata "Ningrum, kau jangan tersinggung.
Kakek ini memang suka bergurau. Walau matanya buta tapi bisa lebih tajam
penglihatannya dari kita."
Ningrum tak menyahut hanya pandangi si kakek dengan pandangan rasa kagum, meski
juga agak jengkel oleh kata-katanya tadi.
"Nah, kek sekarang bisakah kita bicara soal cincin itu?"
Kakek Segala Tahu anggukkan kepala dan kerontangkan kaleng bututnya.
"Terakhir sekali yang aku dengar cincin warisan setan itu berada di tangan
seorang keroco yang dulunya tak pernah terkenal. Namanya Randu Ireng. Meski
memiliki ilmu silat kampungan dan tolol dalam pengalaman namun menguasai cincin
itu dia bisa menjadi orang nomer satu dalam dunia persilatan!"
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Terima kasih atas keteranganmu kek. Yang ingin kami ketahui ialah sekedar
nasihatmu bagaimana caranya mencari dan menemui Randu Ireng....."
Si kakek geleng-geleng kepala dan tak lupa goyang-goyangkan tangannya yang
memegang kaleng.
"Sulit sobat mudaku, sulit mencarinya. Dia sudah merat atau bertukar rupa
sebelum kau dapat berhadapan dengan dia....."
Wiro garuk-garuk kepala. Sementara Ningrum yang mendengar jawaban kakek buta itu
merasa sia-sia saja melakukan perjalanan jauh kalau jawaban yang mereka dapat
hanya seperti itu.
"Betul, kek. Memang sulit. Karena itulah kami datang minta petunjukmu...."
Kata Wiro pula.
"Ya....ya....ya....! Akhir-akhir ini perubahan di rimba persilatan berjalan sangat
cepat. Aku yang sudah tua renta dan buta ini terkadang kedodoran juga
mengikutinya!" Si Segala Tahu goyangkan kalengnya dua kali berturut-turut lalu
meneruskan "Mencari langsung manusia bernama Randu Ireng itu sulit sekali.
Sampai kiamat kurasa kalian tak akan berhasil. Namun jika kalian terlebih dahulu
bisa mencari seorang perempuan cantik berjuluk Ratu Mesum, ada harapan kalian
bisa menangkap Randu Ireng hidup-hidup."
"Siapa Ratu Mesum ini kek?" membuka mulut Ningrum untuk pertama kalinya.
"Ah, bagus kau bertanya begitu...." Sahut si kakek. "Nah, membuat urusan dengan si
Ratu Mesum ini juga bukan pekerjaan mudah. Dia seorang perempuan cantik jelita,
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkulit halus mulus dan putih. Berpakaian serba merah. Begitu tipis pakaiannya
itu hingga lekuk liku tubuhnya bisa terlihat dengan jelas. Di samping itu
sekujur tubuhnya menebar bau harum yang bisa merangsang dan memabukkan lelaki.
Akupun yang sudah tua bangka ini kalau ketemu dia mungkin bisa blingsatan...."
kata Si Segala Tahu lalu tertawa panjang.
"Di mana kami bisa mencari Ratu Mesum ini?" bertanya Wiro setelah si kakek
hentikan tawanya.
"Ratu Mesum memiliki beberapa tempat kediaman. Tapi dia lebih sering berada di
sebuah danau....." Si kakek mengingat-ingat nama danau itu lalu memberitahukannya
pada Wiro. Lalu menyambung "Satu hal yang membuat sulit berurusan dengan
perempuan itu ialah nafsu badaniahnya yang luar biasa. Setiap lelaki yang
disukainya pasti akan dipikatnya untuk dapat tidur bersama. Lalu, jika sudah
puas, lelaki itu pasti dibunuhnya!"
(Mengenai kisah Ratu Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar Dari Liang Kubur
karangan Bastian Tito, penerbit Lokajaya) Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala
mendengar keterangan itu sementara Ningrum melirik ke arahnya untuk melihat
reaksi si pemuda.
"Ingin sekali aku menemui sang ratu itu....." kata Wiro perlahan.
"Jika kau terpaksa harus mencarinya untuk minta bantuan, hati-hatilah. Bukan
saja kau akan dibunuhnya tapi besar kemungkinan begitu mendapatkan cincin
keramat itu, benda itu akan dirampasnya!"
"Sialan! Berabe juga urusan ini!" ujar Wiro.
"Apakah tak ada lain orang yang bisa membantu selain Ratu Mesum, kek?"
tanya Ningrum. Kakek Segala Tahu mendongak ke langit dan kerontangkan kalengnya. Begitu
kerontangan kaleng berhenti diapun berkata "Ratu Mesum adalah yang paling
Tangan Geledek 9 Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja Perawan Pembawa Maut 2
"Soma.....Soma. Kau tahu. Untuk melakukan penumpasan, belasan adipati, puluhan
perwira kerajaan, mapatih dan para tumenggung, bahkan dengan petunjuk raja
sendiri akan memakan waktu lama untuk merundingkan apa yang harus dilakukan dan
bagaimana musti melakukannya. Dan di hadapanku kau berkata sanggup menghancurkan
mereka seorang diri. Dewa apa yang masuk ke dalam tubuhmu hingga kau bicara
demikian kerennya?"
Soma tersenyum kecil.
"Tumenggung Cokro," katanya. "Tentu sudah mendengar peristiwa menggemparkan
kematian puluhan bajak berikut pemimpin mereka yang bernama Boga Damar di
kampung kami....."
Tumenggung berjanggut putih itu mengangguk.
"Seorang abdi dalem dari Bantul menceritakan padaku beberapa waktu lalu.
Hanya aku tidak tahu kalau ku berasa dari kampung yang sama.... Sampai saat ini
tidak satu orangpun yag mengetahui apa sebenarnya telah terjadi. Tidak satu
orangpun tahu siapa yang telah menghancurkan gerombolan perompak itu!"
"Kalau saya mengatakan siapa sebenarnya pelaku penghancur bajak itu, apakah
tumenggung mau merahasiakannya dan berjanji tidak akan menceritakannya pada
siapapun....?" Bertanya Soma.
"Aha.... Rupanya kau mengetahui sesuatu di balik keanehan yang menggemparkan itu.
Kau tahu rajapun telah mendengar kisah itu...." kata Tumenggung Cokro Buwono pula.
"Bagus kalau begitu....."
"Bagus bagaimana?"
"Tumenggung mau berjanji memegang rahasia?"
Sesaat Cokro Buwono merengung, akhirnya dia anggukkan kepala.
"Baik, aku berjanji akan memegang rahasia dan tidak akan menceritakan pada
siapapun!"
"Yang melakukannya adalah saya."
Tumenggung itu tertegak dari duduknya dan memandang tak berkesip pada Soma.
"Soma, tahukan kamu apa hukumannya bagi seorang yang berani mempermainkan
petinggi kerajaan......"'
"Saya tahu tumenggung. Dan saya sama sekali tidak bermaksud mempermainkan
siapapun, apalagi tumenggung sahabat ayah yang saya hormati."
Jawab Soma pula. "Apa yang saya katakan adalah benar dan jujur. Saya yang
membunuhi semua anggota bajak itu. Termasuk pemimpin mereka....."
"Seorang diri"!"
"Seorang diri tumenggung....."
"Tak dapat kupercaya. Kecuali jika otakmu saat ini tidak waras Soma dan bicara
yang tidak-tidak...."
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Demi arwah ayah, saya bersumpah tidak berdusta. Dan saat ini saya berada dalam
keadaan waras tumenggung. Karena itulah saya minta diuji untuk dapat
menghancurkan kaum pemberontak. Agar dapat membuktikan bahwa saya tidak dusta.
Bahwa saya benar-benar waras danmampu untuk melakukannya demi tantangan jabatan
yang saya pertaruhkan....."
Tumenggung Cokro Buwono geleng-geleng kepala. Bagaimanapun sulit baginya untuk
mempercayai segala ucapan Soma anak nelayan itu. tepai orang ini kelihatannya
bicara sungguhan. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia memanggil
pembantunya. Dengan sang pembantu tumenggung ini bicara berbisik-bisik di sudur
ruangan besar itu, kemudian pembantu itu mengundurkan diri dan Cokro Buwono
kembali menemui Soma.
"Baiklah Soma, aku akan memberikan satu ujian padamu. Tapi tidak menghancurkan
kaum pemberontak. Di bukit Pangkurmanik, tak berapa jauh dari utara wates ada
segerombolan perampok dipimpin oleh Warok Grindil. Kejahatan dan keganasan
rampok ini tak kalah dengan Boga Damar yang katamu tanganmu sendiri yang telah
membunuhnya. Nah, kau hancurkanlah gerombolan rampok itu jika memang kau mampu.
Setelah berhasil melakukan ujian itu baru kita bicarakan lagi....."
"Terima kasih tumenggung....." kata Soma seraya menjura hampir berlutut.
"Ujian akan saya lakukan. Berikan waktu satu minggu. Saya akan kembali membawa
kepala Warok Grindil!"
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Tidak sampai seminggu, hanya enam hari, Soma kembali muncul di gedung kediaman
Tumenggung Cokro Buwono. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya kotor penuh debu. Dia
datang membawa sebuah bungkusan. Dia menjura dalam-dalam begitu tumenggung
muncul di ambang pintu sebelah dalam.
"Ujian telah saya jalankan tumenggung, bungkusan ini buktinya," ucap Soma.
Saat itu Cokro Buwono diiringi oleh beberapa pembantunya, termasuk seorang
sahabat dari kadipaten Sleman.
"Apa ini bungkusan itu Soma?" tanya sang tumenggung sambil bersaling pandang
dengan orang-orang di sekitarnya.
Dengan cepat Soma membuka simpul bungkusan. Ketika bungkusan terbuka
kelihatanlah sepotong kepala manusia yang sebagian sudha hancur dan tertutup
darah yang telah mengering. Potongan kepala itu membersitkan bau busuk!
"Kepala siapa itu"!" tanya Tumenggung Cokro Buwono dengan tenggorokan tercekik
dan sambil menutup hidungnya.
"Itu kepala Warok Grindil!"
Yang menjasab adalah salah seorang pembantu sang tumenggung.
"Oo ladalah....!" Tumenggung Cokro Buwono terduduk di kursinya. Seisi gedung
menjadi gempar. "Singkirkan kepala tu. Buang jauh-jauh....." perintahnya kemudian.
Kini semua mata tertuju pada Soma yang duduk bersimpuh di lantai.
"Soma, benar kau yang membunuh kepala rampok itu?" tanya tumenggung kemudian.
"Saya bersumpah, saya sendiri yang melakukannya tumenggung. Kira-kira selusin
anak buahnya juga menemui kematian. Mungkin ada dua atau tiga orang yang
berhasil lolos....."
Sesaat tumenggung itu tak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya tidak percaya tapi
matanya menyaksikan sendiri.
"Kalau begitu...." Kata tumenggung kemudian, "Sementara kau boleh tinggal di sini.
Aku akan menemui seseorang di kotaraja. Kalau nasibmu memang baik dan orang-
orang di sana bisa mempercayai, maksudmu menguji diri dengan menghancurkan kaum
pemberontak itu tentu bakal dikabulkan."
"Terima kasih tumenggung. Terima kasih....." jawab Soma berulang kali, haru dan
gembira. "Kalau aku boleh bertanya," Petinggi dari Sleman tiba-tiba membuka mulut,
"Bagaimana caramu menghancurkan gerombolan rampok itu bahkan dapat membunuh
pimpinannya?"
Soma terdiam sesaat. Lalu menjawab, "Maafkan saya, hal itu tak mungkin saya
ceritakan."
Petinggi dari Sleman itu tampak kurang puas dan tak enak. Namun Tumenggung Cokro
Buwono telah menyuruh para pembantunya untuk membawa Soma ke balakang dan
memberikan sebuah kamar untuk nelayan ini.
Kalau saja yang bicara bukan Tumenggung Cokro Buwono sudah barang tentu apa yang
disampaikan dianggap bualan yang tak dapat dipercaya. Setelah mendapat petunjuk
dari beberapa petinggi tertentu dan juga dengan sepengetahuan mapatih maka pada
tumenggung itu diberitahukan bahwa Soma diizinkan untuk melakukan penumpasan
terhadap kaum pemberontak. Jika dia gagal berarti dia akan menerima kematian di
tangan pemberontak. Sebaliknya jika dia berhasil maka kalangan istana BASTIAN
TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
akan memikirkan satu jabatan untuknya. Paling tinggi sebagai perwira muda dan
bukan kepala pengawal apalagi kepaa balatentara. Selanjutnya jika ternyata
nelayan itu hanya omong besar dan dianggap mempermainkan orang-orang penting
istana maka hukuman pancung akan dijatuhkan atas dirinya. Dalam pada itu tanpa
setahu Tumenggung Cokro Buwono pihak istana diam-diam menugaskan beberapa orang
di bawah pimpinan seorang pangeran bernama Arga Kusumo untuk mengikuti gerak
gerik serta apa yang akan dilakukan nelayan bernama Soma itu.
Ketika kepada Soma disampaikan bahwa istana menyetujui rencananya untuk
menjalani ujain dengan cara menumpas kaum pemberontak, nelayan ini gembira
sekali. Sang tumenggung yang masih mengawatirkan keselamatan anak sahabatnya itu
berkata "Soma, kau boleh mengajak tiga orang pembantuku dan sepasukan perajurit.
Percayalah bagaimanapun kau yakin akan dirimu sendiri tapi mengahadapi kaum
pemberontak bukan merupakan urusan main-main. Pucuk pimpinan mereka terdiri dari
orang-orang berotak cerdik dan perkepandaian tinggi....."
"Terima kasih tumenggung. Saya tidak melupakan budi baikmu. Hanya saja, kalau
diizinkan biarkan saya pergi sendiri....."
"Terserah padamu......" jawab Cokro Buwono. Pagi harinya ketika dia menyuruh
pembantunya memanggil Soma agar menghadap sebelum pergi, ternyata nelayan itu
sudah tak ada lagi di kamarnya.
Berdasarkan peta yang diterimanya dari salah seorang pembantu Tumenggung Cokro
Buwono, Soma berhasil mengetahui letak markas persembunyian para pemberontak.
Juga mengetahui nama-nama pimpinan mereka. Karena lebih banyak mempergunakan
perahu menyusur sungai atau berjalan kaki (Soma tak pandai menunggang kuda) maka
perjalanannya menuju ke utara cukup memakan waktu lama.
Hampir tiga puluh jari kemudian baru dia sampai di utara, di daerah di mana para
pemberontak menyusun kekuatan. Tanpa diketahuinya Pangeran Arga Kusumo dan
orang-orangnya telah menguntit perjalanannya.
Dengan hati-hati Soma menyelinap di antara kaum pemberontak. Selama tiga hari
dia melakukan penyelidikan siapa-siapa yang menjadi pucuk pimpinan kaum
pemberontak itu dan pada kembah-kemah mana mereka berdiam. Setelah seluk beluk
di tempat yang luas itu dipelajarinya, pada malam hari keempat Soma mengetahui bahwa di salah sebuah kemah akan diadakan perundingan
penting antara pucuk pimpinan para pemberontak. Malam itu akan diputuskan kapan
mereka mengatur waktu untuk menyebar dan mengurung lalu menaklukkan beberapa
kota kadipaten sebelum melancarkan serangan besar-besaran ke kotaraja.
Ketika perundingan dilakukan dalam kemah, Soma bersembunyi dalam sebuah gerobak
barang yang terletak tak jauh dari kemah itu. Lebih dari selusin pengawal tampak
berjaga-jaga sekitar kemah. Soma tak merasa perlu menghantam para pengawal itu
terlebih dahulu. Dia yakin betul sinar sakti yang mencuat ke luar dari cincin
ular kobra akan mampu menerobos dinding kemah yang hanya terbuat dari kain
tebal, terus mengantam pucuk pimpinan yang ada di dalam. Membayangkan kedudukan
tinggi yang bakal didapatnya, Soma bersemangat sekali mengeluarkan cincin baja
ular kobra dan cepat memakainya di jari telunjuk. Lalu dia membidik dengan hati-
hati. Ketika dia menggigit bibirnya suara seperti seruling melengking.
Tiga larik sinar putih berkiblat. Soma telah membidik sangat hati-hati, namun
salah seorang pengawal tiba-tiba bergerak dari kedudukan tegaknya semula.
Akibatnya sinar ini mengahntam bahu kirinya hingga putus!
Jeritan pengawal itu bukan saja membuat para pengawal lainnya terkejut dan
datang berlarian, tetapi para pimpinan pemberontak yang ada di dalam kemah
segera pula keluar berhamburan.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ada apa......?" salah seorang bertanya.
Para pengawal tak ada yang bisa memberikan jawaban. Mereka hanya menunjuk dengan
ketakutan pada kawannya yang telah jadi mayat. Saat itu pula tiga larik halus
sinar putih datang menyambar. Pemberontak yang barusan bertanya keluarkan
jeritan keras. Tubuhnya terjengkang ke belakang, perutnya berloang besar.
Darah mengucur, usus membusai!
Gemparlah markas pemberontak itu. terlebih lagi ketika beberapa kali tampaksinar
putih menyambar dan tiga dari enam pimpinan pemberontak kembali menjadi korban!
Puluhan bahkan ratusan pasukan pemberontak dengan senjata terhunus berdatangan,
tapi mereka tak tahu hendak berbuat apa. Musuh yang telah membunuh para pemimpin
mereka sama sekali tidak diketahui siapa dan di mana adanya.
Namun sesaat kemudian seorang yang tadi berlaku sebagai pengawal kemah
perundingan secara tak sengaja sempat melihat asal datangnya sambaran sinar
putih yang membawa maut itu. Dia segera berteriak
"Lihat! Sinar maut itu datang dari arah gerobak barang! Gerobak barang!"
"Kejar ke sana! Kurung gerobak itu!"
Puluhan perajurit segera menghambur.
Sadar kalau tempat persembunyiannya sudah diketahui orang Soma jadi gugup dan
keluar dari dalam gerobak dan lari ke tempat gelap. Teriakan-teriakan para
pengejar terdengar di belakang. Berbagai macam senjata berdesing ke arahnya.
Sebuah tombak, walaupun tidak telak menyerempet bahu kiri Soma, menimbulkan luka
cukup parah. "Celaka! Kalau mereka sampai menangkapku, celaka!" kata Soma dalam
hati dan mengerenyit kesakitan. Jika lari terus dia mungkin akan tertangkap.
Sebaiknya menunggu di tempat gelap lalu memberondong para pengejarnya dengan
hantaman sinar putih.
Memikir sampai di situ Soma lantas hentikan larinya dan cepat bersembunyi,
menunggu di balik kerapatan semak belukar. Begitu para pengejar muncul di
kegelapan, dia segera acungkan jari telunjuk dan gigit bibirnya terus menerus.
Sinar putih berkiblat menyebar maut. Jerit pekik kematian terdengar tiada henti.
Sosok-sosok tubuh tanpa nyawa dengan kepala atau badan hancur roboh
bergelimpangan setumpuk demi setumpuk. Para pengejar sebelah belakang hentikan
pengejaran mereka dan lari atau mencari perlindungan cerai berai. Sampai Soma
lari jauh meninggalkan tempat itu tak seorangpun yang berani bergerak.
Soma lari seperti dikejar setan. Darah yang terus mengucu dari lukanya membuat
tubunya makin lama makin letih. Dia tak tahu telah lari sejauh mana meninggalkan
markas kaum pemberontak ketika kedua kakinya tak sanggup lagi digerakkan.
Tubuhnya roboh ke tanah, setengah sadar setengah pingsan.
Pada saat itulah lima penunggang kuda muncul. Yang di sebelah depan terdengar
berkata "Naikkan dia ke atas kuda cadangan!"
Dua orang melompat turun dari kuda masing-masing, mengangkat tubuh Soma itu
memacu kuda masing-masing tinggalkan tempat tersebut.
"Kita sudah cukup jauh! Pemberontak itu tak mungkin mengejar. Berhenti dulu di
sini. Aku harus memeriksa keadaan orang itu!"
Yang berkata ternyata adalah Pangeran Arga Kusumo yang selama ini terus
mengikuti perjalanan Soma bahkan sampai saat nelayan muda itu tadi melakukan
penyerbuan hebat luar biasa ke perkemahan pihak pemberontak. Dari kejauhan dia
dan empat orang yang ikut bersamanya telah melihat bagaimana setiap Soma
mengacungkan telunujuk tangan kanannya tiba-tiba saja terdengar suara lengkingan
tinggi yang disusul dengan melesatnya tiga larik sinar putih berkekuatan luar
biasa. BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Apapun adanya ilmu yang dimiliki nelayan ini kekuatannya pasti terletak pada
jari telunjuknya itu. Maka begitu turun dari kuda Arga Kusumo langsung memeriksa
tangan kanan Soma. Dia tidak melihat kelainan apa-apa kecuali sebentuk cincin
putih yang melingkar di jari telunjuk orang itu.
Arga Kusumo tidak dapat memastikan bahwa kehebatan Soma terletak pada cincin
aneh berbentuk kepala ular itu. Namun dia adalah seorang pangeran yang cerdik.
Pasti atau tidak benda itu harus diselamatkan lebih dulu. Maka dengan cepat dia
meloloskan cincin baja tersebut dari jari Soma. Soma yang berada dalam keadaan
sangat lemah, karena terlalu banyak darah yang keluar dan terbuang, jangankan
untuk menggerakkan tangan menghindari rengutan Arga Kusumo, bicarapun dia hampir
tak sanggup. "Ja....jangan am.....jangan ambil cin.....cincin itu....." suara Soma perlahan dan
tersendat. "Aku tidak akan mengambilnya. Yang penting kau perlu diselamatkan dulu Soma.
Dengar, kau akan menjadi pahlawan besar. Kerajaan pasti akan memberikan jabatan
tinggi padamu....."
Paras Soma sesaat tampak seperti tersenyum. Lalu ketika dia ingat pada cincin
itu, kembali dia berkata "Kembalikan cin.....cin itu. Masukkan ke.... ke jariku....."
"Soma, kau terluka parah. Kami akan mengobatimu. Tapi lekas kau terangkan
bagaimana cara mempergunakan cincin ini hingga bisa mengeluarkan suara aneh dan
melesatkan sinar putih.... Katakan apa manteranya....."
Soma tak menjawab.
Arga Kusumo tahu orang itu sebentar lagi pasti akan mati. Dan dia kini seperti
yakin kalau memang cincin baja itulah sumber kekuatan aneh yang dimiliki Soma.
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau tidak mengapa dia begitu mementingkan benda tersebut.
"Jangan kawatir Soma. Kami tidak akan mengambil cincinmu ini. tapi yang penting
kau harus diselamatkan. Nah, lekas kau katakan apa manteranya...."
"Tak ada mantera apa-apa...." Sahut Soma. Lalu dia bungkam seribu bahasa.
Mati" Arga Kusumo mendekatkan telinganya ke dada nelayan itu. Masih terdengar
degupan jantung meskipun perlahan.
"Soma, dengar.... Kau tak akan bertahan lama. Cincin milikmu ini akan kami
kembalikan pada istrimu. Cincin ini tak akan ada manfaatnya kalau tidak kau
jelaskan bagaimana menggunakannya...."
Soma seperti menyadari kalau ajalnya akan segera sampai. Pendengarannya semakin
tertutup dan pemandangannya semakin gelap.
"Soma, lekas katakan! Kami akan memberi hadiah besar dan jaminan hidup pada
istrimu. Tak ada gunanya kau merahasiakan penggunaan cincin ini. Tak ada gunanya
rahasia itu kau bawa ke liang kubur....."
Soma tetap diam. Arga Kusumo menggoyang tubuh lelaki itu. guncangan ini membuat Soma mengeluh
kesakitan. Sekujur tubuh dan tulang belulangnya seperti dicopot datu demi satu.
"Ayo Soma. Lekas katakan....."
Akhirnya Soma membuka mulut juga. "Kau.....kau hanya memasukkan cincin itu ke jari
telunjukmu. Lalu.....lalu mengacungkannya dan menggigit bibir sebelah bawah.
Sesudah itu......ada suara melengking. Lalu.....lalu....." Soma tak sanggup lagi
meneruskan kata-katanya. Sebelum ajal datang terbayang wajah istrinya. Tapi
wajah sang istri tiba-tiba lenyap danmendadak digantikan oleh wajah setan,
mahluk berjubah putih yang pernah dilihatnya dalam mimpi. Mahluk itu tampak
marah sekali. BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dia mengacung-acungkan jari jemarinya seperti hendak mencekik Soma. Soma
terdengar mengeluh sekali lagi lalu tubuhnya kaku. Ajalnya datang sudah!
Seringai tersungging di mulut Pangeran Arga Kusumo menyambut kematian nelayan
itu. Dia berpaling pada keempat pengikutnya dan berkata "Mari kita tinggalkan
tempat ini."
"Bagaimana dengan jenazah orang ini....."' tanya salah seorang pengikut.
"Bagaimana apa maksudmu?" balik bertanya sang pangeran.
"Bukankah jenazahanya harus kita urus" Bukankah dia layak mendapat penghargaan
karena telah menumpas kaum pemberontak"'
Kembali Pangeran Arga Kusumo menyeringai. "Jika kau merasa begitu, kau uruslah
sendiri. Aku dan yang lain-lainnya pergi lebih dulu!"
Pangeran menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu pula tiga orang lainnya.
Orang yang keempat mau tak mau melakukan hal yang sama walau di hati kecilnya
dia merasa sedih melihat nasib Soma.
Seringai yang masih mengambang di mulut Pangeran Arga Kusumo mendadak lenyap
ketika tiba-tiba terdengar bentakan garang dalam kegelapan malam.
Lima kuda tunggangan meringkik keras, langsung berhenti berlari dan melonjak-
lonjak liar. Dari atas sebuah cabang pohon besar yang melintang tinggi melayang
turun sesosok tubuh berpakaian ringkas warna kuning. Di pinggangnya melilit
sehelai selendang merah dan di balik punggungnya orang ini membekal sebilah
golok besar tanpa sarung!
Hebat dan ganasnya, sambil melayang turun dari atas phon orang ini langsung
hantamkan kakinya dua kali berturut-turut. Dua ekor kuda tunggangan pengikut
sang pangeran remuk. Binatang-binatang ini meringkik keras, melemparkan kedua
penunggangnya lalu lari liar tanpa arah untuk kemudian roboh meregang nyawa!
"Orang tak dikenal! Siapa kau yang berani menyerang kami!" teriak Pangeran Arga
Kusumo marah sekali.
Orang berpakaian kuning menjawab bentakan itu dengan gelak tawa berderai,
membuat Arga Kusumo jadi naik pitam dan berikan perintah pada keempat
pengikutnya "Bunuh pengacau itu!"
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Empat orang anak buah Pangeran Arga Kusumo segera menghunus senjata dan
mengurung orang berbaju kuning.
"Pangeran Arga! Tunggu dulu.....!" Si baju kuning berseru sambil angkat tangannya.
"Hemmmm..... jadi kau tahu berhadapan dengan siapa" Mengapa tidak lekas minta
ampun"!" memotong sang pangeran.
"Justru karena menghormati dirimulah aku tidak bertindak lebih jauh.
Sebagian dari perjalanan kalian malam ini telah diikuti. Apa yang tejadi di
markas pemberontak telah kusaksikan. Aku juga mengetahui apa yang kau lakukan
dengan Soma......"
"Apa urusanmu dengan semua ini"!"
"Tentu saja ada.....! Pertama kau tidak menyelamatkan nyawa nelayan itu.
Kedua sejak dari kotaraja kau membekal maksud tidak baik. Ketiga kau mencuri
milik orang lain.....!"
"Mencuri milik orang lain"! Jangan bicara lancang kalau tak mau kurobek
mulutmu!" Pangeran Arga Kusumo tampak marah. Dia belum pernah bertemu orang ini
sebelumnya dan berusaha menduga-duga siapa adanya.
Si baju kuning tertawa.
"Aku tak punya waktu bicara berpanjang lebar. Aku muncul di sini hanya untuk
mengambil cincin milik Soma yang tadi kau ambil!"
"Hemmm..... Jadi kau tidak lain ternyata seorang perampok yang kesasar di malam
buta! Menyingkirlah sebelum kucerai beraikan tulang belulangmu!"
Orang berbaju kuning itu batuk-batuk beberapa kali. "Siapa yang tidak kenal
Pangeran Arga Kusumo yang membekal ilmu silat tingkat tinggi. Tapi malam ini
adalah satu kesia-siaan jika kau berani menentang Kelelawar Kuning Lembah
Blorok!" Empat orang pengikut sang pangeran menjadi pucat mendengar orang itu
memperkenalkan diri. Sedang sang pangeran sendiri diam-diam merasa bergetar
hatinya ketika mengetahui siapa adanya manusia berpakaian kuning yang
menghadang. Tapi dia tak mau memperlihatkan rasa jerinya. Sambil menyeringai
pangeran muda yang memang memiliki kepandaian silat tinggi ini berkata "Orang
lain mungkin takut mendengar gelar angkermu. Tapi jangan coba main-main dengan
kami orang-orang keraton. Aku memberi kesempatan sekali lagi. Minggir dari
hadapanku!"
"Pangeran, jika kau tak mau mengerti permintaanku secara baik-baik, berarti
kekerasan tak dapat dihindarkan! Harap maafkan kalau aku harus merampas cincin
keramat itu dari tanganmu secara kurang ajar!"
"Bagus! Orang-orangku tak akan segan-segan menjagal batang lehermu!"
Habis berkata begitu Pangeran Arga Kusumo memberi aba-aba pada keempat anak
buahnya. Perlu diketahui keempat orang ini adalah perajurit pilihan, bukan saja
merupakan kepercayaan sang pangeran tetapi juga rata-rata memiliki kepandaian
silat dan ilmu perang. Keempatnya menyebar lalu serentak menerjang dari empat
jurusan. Empat senjata berkelebat keempat bagian tubuh Kelelawar Kuning Lembah Blorok,
termasuk satu yang membabat ke arah kepalanya.
Yang diserang umbar tawa bergelak. Tangan kanannya bergerak cepat ke punggung.
Golok besarnya yang ternyata sangat tipis berdesing aneh.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Trang-trang-trang."
Tiga senjata di tangan anak buah Pangeran Arga mental. Salah seorang dari mereka
melompat mundur sambil menjerit karena pergelangan tangannya menyebur darah,
hampir putus dibabat golok lawan. Anak buah yang keempat terjajar sambil pegangi
dada. Senjatanya telah lebih dulu lepas. Perlahan-lahan tubuhnya roboh ke tanah.
Ada darah keluar dari sela bibirnya. Kemudian dua matanya melotot. Orang ini
mati karena sebagian tulang dadanya hancur. Hancuran tulang itu menjepit
jantungnya. "Kurang ajar!" bentak Pangeran Arga Kusumo marah sekali. Tubuhnya melayang ke
bawah. Begitu menjejak tanah di tangan kanannya dia sudah memegang pedang pendek
milik anak buahnya yang barusan menemui ajal. Dari gerakannya ini saja jelas
pangeran muda itu memiliki kepandaian tinggi. Namun Kelelawar Kuning Lembah
Blorok tidak gentar.
"Pangeran, haruskah aku mengucurkan darahmu atau kau mau menyerahkan cincin itu
secara baik-baik?" Kelelawar Kuning ajukan pertanyaan sambil melintangkan golok
tipis di depan dada.
Sebagai jawaban sang pangeran langsung saja menyerbu musuh dengan tusukan
berantai, deras dan cepat. Kelelawar Kuning tak mau bertindak ayal. Cepat dia
merobah kedudukan kakinya dan menyambut serbuan lawan dengan golok tipis.
"Trang!"
Pedang pendek di tangan Pangeran Arga Kusumo patah dua. Tapi sebaliknya dia
sempat menyusupkan satu jotosan ke perut lawan. Kelelawar Kuning merasakan sakit
amat sangat pada perutnya yang kena dipukul namun dia masih tetap menyeringai.
"Untuk terakhir kali pangeran. Kau mau menyerahkan cincin itu atau tidak?"
"Tidak!" sahut Arga Kusumo tandas. Dia lemparkan patahan pedang ke tanah lalu
menyerang lawan dengan tangan kosong. Ternyata Kelelawar Kuning seorang yang
memiliki jiwa kesatria juga. Melihat lawan menyerang dengan tangan kosong dia
cepat sisipkan goloknya ke balik punggung lalu menyongsong serangan Pangeran
Arga. Setelah tujuh jurus berkelahi ternyata memang tingkat kepandaian sang
pangeran masih jauh di bawah lawannya. Setelah terdesak hebat dan menjadi bulan-
bulanan pukulan akhirnya pangeran itu jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia
berusaha bangkit kembali dia mendengar suara kain robek. Kemudian disadarinya
yang robek itu adalah pakaiannya sendiri, tepat di bagian saku kanan di mana dia
menyimpan cincin baja putih berkepala ular kobra itu. Ketika diperiksanya
astaga! Ternyata cincin itu tak ada lagi dalam saku itu. Dia berteriak. Tapi
Kelelawar Kuning Lembah Blorok saat itu telah lenyap!
Hujan lebat telah mulai reda. Pendekar 212 Wiro Sableng menatap wajah Sabrang
Lor, orang tertua dari Enam kelewang Maut.
"Setelah cincin keramat itu jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, tetntu ada
kelanjutan ceritanya. Kalau tidak bagaimana kemudian kau muncul mengatakan bahwa
manusia bernama Randu Ireng yang kini menguasai benda itu....."
Lor Sebrang mengangguk. "Cincin itu berpindah tangan beberapa kali. Setiap
pemiliknya yang terakhir selalu menemui kematian. Dan rata-rata setiap pemilik
merenggut jiwa manusia lebih dari dua puluh orang....."
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau kau mengetahui cincin itu mengundang mau bagi pemiliknya dan orang lain,
mengapa kau dan saudara-saudaramu ingin memilikinya?" bertanya Wiro.
"Aku sudah menduga kau akan ajukan pertanyaan berbau kecurigaan itu,"
menyahuti Sebrang Lor. "Ketahuilah, kami menginginkan cincin itu bukan untuk
memilikinya....."
"Lantas?"
"Pada bulan Maulud yang lalu telah diadakan pertemuan rahasia antara orang-orang
pandai se-Jawa Tengah di Danau Penin. Pertemuan itu dihadiri juga oleh beberapa
ulama terkemuka dari pantai utara. Kami semua menyetujui akan mencari cincin itu
dan mengembalikannya ke asalnya. Dari laut kembali ke laut. Namun sebegitu jauh
tidak satupun di antara kami berhasil...."
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Sebenarnya benda itu jika dipergunakan untuk
kebajikan pasti banyak manfaatnya....."
"Kau benar." Ujar Sebrang Lor pula. "Tetapi lebih banyak malapetakanya daripada
manfaatnya. Setiap orang yang memilikinya pada akhirnya cenderung mempergunakan
untuk kepentingan sendiri, mencari keuntungan pribadi walaupun jalan yang
ditempuh menimbulkan bencana bagi orang lain. Kau bisa bayangkan kalau cincin
sakti itu jatuh ke tangan manusia-manusia jahat seperti Randu Ireng....."
"Tadi aku mendengar manusia berpakaian serba hitam itu menyebut-nyebut seorang
pangeran. Agaknya pangeran itulah yang telah mengirimkan puluhan perajurit untuk
mengejar dan menangkapnya guna mendapatka cincin itu. Menurutmu apakah pangeran
itu Pangeran Arga Kusumo yang kau sebut-sebut dalam penuturanmu tadi....."'
"Besar kemungkinan memang dia. Hanya saja yang aku tidak mengerti bagaimana dia
bisa mempergunakan pasukan Demak untuk melakukan hal itu.
Kemungkinan ada hubungan tertentu antara Demak dengan Kotagede. Atau sang
pangeran sengaja melakukan hal itu karena dia tidak ingin orang dalam mengetahui
rahasia cincin sakti itu."
"Setelah cincin jatuh ke tangan Kelelawar Kuning, bagaimana kisah selanjutnya
benda itu akhirnya jatuh ke tangan manusia bernama Randu Ireng....?"
Bertanya Wiro. "Kami tahu, tapi mungkin tak lengkap. Kalau kau minta kami menuturkan lagi,
mohon maaf saja. Sebentar lagi pagi segera datang. Orang yang dikejar semakin
jauh. Kami tak punya waktu banyak. Hanya ada satu pesan atau amanat yang harus kami
sampaikan....."
"Amanat apa?" "Dalam pertemuan di danau Penin, disepakati bahwa setiap bertemu dengan orang
segolongan wajib memberitahu kejadian ini. Dan meminta agar membantu mendapatkan
cincin itu kembali. Kalau tidak bumi Jawa ini akan tenggelam dalam malapetaka
yang mengerikan....."
Wiro merenung sejenak sambil menggaruk rambut. "Yang aku kawatirkan,"
katanya kemudian "Seseorang yang semula ingin membantu, tapi begitu memiliki
cincin keramat itu jadi berubah pikiran!"
"Kau benar Pendekar 212," menyahuti Sebrang Lor. "Karena itulah, begitu bertemu
cincin tersebut harus secepatnya dibuang kembali ke dalam laut. Nah kami harus
pergi sekarang. Kau mau membantu?"
Wiro menggaruk rambutnya lagi kemudian mengangguk.
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Nafsu makan Pendekar 212 Wiro Sableng serta merta lenyap ketika dalam rumah
makan yang padat oleh pengunjung itu pandangannya tertumbuk pada sosok tubuh
seorang tamu yang duduk membelakangi. Orang ini mengenakan pakaian serba hitam.
Kedua kakinya kotor oleh lumpur yang telah mengering. Dari tempatnya duduk Wiro
tak dapat melihat wajah orang ini, apalagi dia memakai caping lebar sehingga
kepala dan keseluruhan wajahnya tertutup. Beberapa kali Wiro sengaja menggeser
duduknya untuk dapat melihat paras si baju hitam ini. Namun dia hanya melihat
sebahagian janggut yang memenuhi dagu serta pipi orang tersebut. Walaupun
demikian dia sudah cukup puas. Ciri-ciri orang ini persis sama dengan orang yang
ditemuinya dua malam lalu dalam rimba belantara. Orang yang telah menghabisi
riwayat puluhan perajurit Demak. Yang menurut Sebrang Lor bernama Randu Ireng.
Manusia yang kini memiliki cincin baja berkapal ular kobra itu.
Tapi di mana gelang bahar yang malam itu kelihatan berjumlah tiga buah di
masing-masing tangannya" Wiro kemudian ingat keterangan Sebrang Lor. Randu Ireng
tanpa cincin keramat itu tidak memiliki kepandaian apa-apa. Namun dia memiliki
satu kelihaian. Yakni dapat melakukan penyamaran dalam waktu sangat cepat. Bukan
mustahil si baju hitam ini adalah Randu Ireng, orang yang menyerangnya di bawah
hujan lebat, dalam rimba belantara di malam buta dua hari lalu. Wiro memutuskan
untuk melakukan apa saja agar dapat melihat paras orang itu.
kalaupun tenyata parasnya tidak sama dengan paras Randu Ireng yang dilihatnya
malam itu, maka dia akan menguntit ke mana orang ini pergi. Jelas orang itu
bertindak aneh. Berada dalam rumah makan tanpa membuka caping lebarnya. Kalau
tidak ingin menyembunyikan maka apa maksudnya"
Murid Sinto Gendeng itu hanya sempat menghabiskan setengah makanannya ketika
dilihatnya orang berbaju hitam membayar makanan yang habis disantapnya lalu
melangkah ke pintu rumah makan. Melihat cara berjalan orang ini, semakin curiga
pendekar kita. Janggutnya yang lebat jelas menunjukkan ketuaannya. Tapi
langkahnya yang cepat dan sikapnya yang sigap jelas menyatakan dia bukan seorang
sembarangan. Di luar hujan turun rintik-rintik. Orang yang diikuti Wiro sampai di ujung
jalan. Sebelum menghilang di balik sebuah bangunan tua mendadak dia memutar
kepalanya. Jelas sekali memperhatikan ke arah Wiro. Ternyata dia sadar kalau ada
orang yang mengikutinya. Wiro mempercepat jalannya. Bahkan setengah berlari
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kini. Tetapi ketika dia sampai di ujung jalan, lelaki berpakaian hitam bertopi caping
lebar itu tak kelihatan lagi. Padahal jalan yang ditempuh merupakan satu-satunya
jalan, lurus tanpa tikingan. Sebelah kiri jalan daerah persawahan sedang sebelah
kanan sungai kecil berair kuning.
Pendekar kita garuk-garuk kepala,
Aneh, ke mana lenyapnya kampret hitam itu!" maki Wiro dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Mengawasi setiap tempat dengan matanya yang tajam. Tetap saja orang
yang tadi dikuntitnya tidak tampak. "Kalaupun dia menyeberang kali, pasti masih
sempat kulihat dia akan berada di seberang sana. Mungkin dia menyelam ke dalam
kali atau.....?"
Wiro memutar tubuhnya. Pada saat itulah terdengar suara menegur. Suara laki-laki tetapi sehalus suara
perempuan. BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Orang berambut gondrong, kau mencariku......"!'
Wiro putar tubuhnya lebih cepat. Suara itu datang dari dalam rumah tua.
Ketika dia memandng ke sana, ternyata memang, lelaki bercaping dan berpakaian
hitam itu tegak di sana. Tubuhnya jelas menghadap ke arah Wiro, tapi kepalanya
menunduk hingga wajahnya tetap sulir dilihat. Ingin sekali murid Sinto Gendeng
membetot lepas caping lebar itu.
"Kau tidak tuli. Mengapa tidak menjawab pertanyaan orang...."!"
Didesak begitu Wiro jadi tertegun sesaat, apalagi merasakan dirinya tertangkap
basah mengiuti orang.
"Aku tidak mencarimu!" sahut Wiro.
"Hemmm...." si baju hitam bergumam. "Baiklah kalau kau tidak mencariku katamu.
Tapi jelas kau mengikutiku bukan.....?"
Wiro menyeringai. "Kau menyeringai. Berarti kau membenarkan ucapanku walau malu mengakui!"
Seringai lenyap dari wajah Pendekar 212.
"Terus terang, aku mencurigaimu....." kata Wiro akhirnya.
"Sama! Akupun mencurigaimu!" sahut si baju hitam bercaping lebar.
"Kenapa kau mencurigaiku?" tanya Wiro penasaran.
Mulut di bali caping lebar itu tertawa.
"Kau menguntit orang. Gerak gerikmu menunjukkan itikad tidak baik. Nah, apa itu
tidak cukup alasan untuk mencurigaimu"!"
"Aku bukan maling atau rampok. Kenapa musti dicurigai?" tukas murid Sinto
Gendeng. "Mungkin kau lebih jahat dari maling atau rampok!" ganti menukas si baju hitam.
Mulut pendekar kita jadi terkancing tapi hatinya memaki panjang pendek.
Namun akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah gelak tawa. Mula-mula perlahan.
Makin lama makin keras.
"Selain lebih jahat dari maling dan rampok ternyata otakmu tidak waras.
Kalau tidak mengapa kau tertawa tanpa alasan"!"
Wiro hentikan tawanya. Matanya memandang tak berkedip seperti hendak menembus
caping bambu itu.
"Sobat, kau membuat beberapa kesalahan. Dan itu cukup alasan bagiku untuk
menghajarmu!"
"Hebat betul! Kesalahan apa yang telah diperbuat tuan besarmu ini"!"
"Kentut busuk! Siapa yang mengatakan kau tuan besarku!" maki Wiro. "Dua malam
lalu kau menyerangku bahkan hampir membunuhku! Tadi kau menuduhku maling rampok.
Kemudian menganggapku tidak waras! Benar-benar kentut busuk!
Tapi mungin aku bisa melupakan semua kesalahanmu. Cuma ada syaratnya sobat!"
"Kau yang kentut busuk! Bertemupun baru kali ini sudah menuduh aku menyerangmu,
hendak membunuhmu! Ke mana kau keluyuran dua malam lalu hingga orang inginkan
jiwamu"! Kini hebatnya menawarkan segala macam syarat!
Lama-lama aku jadi muak melihatmu. Menyingkirlah! Aku harus melanjutkan
perjalanan!"
"Melanjutkan perjalanan untuk membunuh dan membunuh! Lalu menguasai dunia
persilatan! Bukankah itu tujuanmu....?"
Caping lebar itu terangkat sedikit. Hanya sedikit hingga tetap saja Wiro tidak
dapat melihat wajah lelaki berjanggut ini.
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Mulutmu lancang benar! Aku tak pernah membunuh manusia! Aku juga tidak pernah
mimpi hendak menguasai persilatan!"
Wiro menyeringai. "Kenapa kau tidak mengakui bahwa kaulah yang telah membunuh
puluhan perajurit Demak dua malam lalu" Kau hendak berdusta. Padahal aku sendiri
berada di tempat kejadian itu....!"
"Ternyata otakmu memang tidak waras! Dengar, apa yang kau ketahui tentang
perajurit-perajurit Demak itu!"
"Apa yang kuketahui.....?" Wiro tertawa panjang.
"Kau membunuh habis mereka semua!"
"Aku tidak membunuh mereka. Aku belum pernah membunuh manusia!"
"Nada pertanyaanmu tentang perajurit-perajurit Demak itu tidak dapat
menyembunyikan bahwa kau memang punya sangkut paut dengan kejadian malam itu....."
"Ada sangkut paut atau tidak bukan urusanmu! Katakan, apakah perajurit-perajurit
Demak itu dipimpin oleh seorang pangeran bernama Pangeran Arga Kusumo"!"
"Heh..... Kau menyebut nama pangeran itu!" ujar Wiro. Dia ingat pada kisah yang
dituturkan Sebrang Lor. "Apa hubunganmu dengan Arga Kusumo"!"
"Justru aku harus tanya apa hubunganmu dengan pangeran itu! Lawan atau
kawanmu"!" balik menyentak si caping lebar.
Pendekar 212 Wiro Sableng hampir habis kesabarannya. Tapi dia menyahut juga
dengan kasar dan jengkel "Kenalpun aku tidak dengan segala macam pangeran.
Sudahlah, pembicaraan kita habisi di sini. Lama-lama aku bisa menampar mulutmu
orang tua!" Maka Wiropun hendak berlalu. Tapi cepat sekali tahu-tahu orang
berjanggut berpakaian hitam itu sudah menghadangnya dalam jarak lima langkah.
Jelas gerakannya mengandung kekuatan dan kesigapan yang bukan sembarang orang
bisa melakukannya.
"Berani menghadang berani menerima hajaran!" mengancam Wiro.
"Bagus! Jika saat ii kau tak mau menjelaskan tentang pangeran itu, mungkin
kugebuk dulu baru kau mau bicara!"
"Kampret hitam berjanggut buruk!" ujar Wiro "Kau ini siapa sebenarnya"
Bukankah kau yang bernama Randu Ireng yang dicari-cari Enam Kelewang Maut"
Bahkan dicari oleh hampir semua orang dalam rimba persilatan?"
"Ah, semakin banyak nama-nama penting yang kau singkapkan. Jelas kau rupanya ada
sangkut pautnya dengan cincin baja putih yang diperebutkan para tokoh itu!"
Sesaat Wiro kerenyitkan kening. Lalu manggut-manggut. "Tidak ada kisikan tak ada
alasan tiba-tiba saja kau menyebut benda keramat yang menggegerkan itu.
maksudmu tentunya untuk menghilangkan jejak bahwa memang kau sebenarnya Randu
Ireng yang kini memiliki cincin hasil rampasan itu!"
"Jangan menuduh sembarangan. Aku bukan Randu Ireng!"
"Kalau begitu kau siapa"!"
"Siapa aku apa perdulimu!"
"Kampret brengsek!" semprot Wiro. Lalu dia berkelebat cepat tinggalkan tempat
itu. Namun sekali lagi orang bercaping lebar menghadang gerakannya.
Kini murid Sinto Gendeng ini habis sabarnya.
Dengan jengkel Wiro dorongkan tangan kirinya ke arah dada orang.
Maksudnya hendak menyingkirkan dari hadapannya dan sekaligus menjatuhkan.
Karena itu dorongan tangannya sengaja dilakukan dengan tenaga luar yang keras,
ditambah sedikit tekanan tenaga dalam. Namun hampir tangan kirinya menyentuh
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
lawan, si caping lebar cepat sekali sudah berkelebat, mengelak ke samping kiri.
Dari arah ini dia lepaskan serangna balasan berupa tusukan dua jari ke arah
leher Wiro. Entah mau menotok entah mau menusuk tembus batang leher pendekar muda itu!
Perkelahianpun tak dapat dihindari lagi. Setelah mengelakkan tusukan jari yang
ganas itu Wiro hantamkan siku tangan kirinya ke rusuk lawan namun lagi-lagi si
baju hitam berhasil mementahkan serangan itu dengan satu kemplangan deras ke
arah batok kepala Wiro.
Setelah berkelahi sampai sepuluh jurus murid Sinto Gendeng segera menyadari
bahwa dalam ilmu silat dan tenaga dalam lawannya jauh berada di bawahnya. Tetapi
satu hal membuat orang itu sulit dihantam. Dia memiliki kecepatan gerakan yang
luar biasa. Tubuhnya ringan sekali, berkelebat kian kemari, mengelak sebat lalu
balas menyusupkan serangan-serangan kilat. Kalau saja yang dihadapinya bukan
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, mungkin sudah beberapa kali si baju hitam ini
berhasil menggebuk sang pendekar.
Setelah berkelahi lebih dari enam belas jurus, Wiro mulai dapat mencium
kelemahan lawannya. Ternyata manusia yang disebutnya si kampret itu merupakan
seraong lawan yang masih mentah dalam pengalaman. Maka Wiropun mulai lancarkan
serangan-serangan tipuan.
Ketika lawan kirimkan pukulan ke arah dadanya Wiro langsung pasang badan, tapi
melindungi diri dengan pengerahan tenaga dalam.
"Buk!"
Jotosan melanda dada Wiro dengan tepat. Tubuhnya bergoncang keras. Sambil
menahan sakit, Wiro lihat lawannya mundur selangkah. Karena tidak dapat melihat
wajahnya sulit diduga apakah orang itu merasakan sakit pada tangan kanannya,
tapi yang jelas tangan yang tadi mengepal membentuk tinju kini jari-jarinya
melentik keluar tanda dia dijalari rasa sakit. Di saat itulah pendekar dari
gunung Gede ini menyergap ke depan. Gerakannya seperti hendak membuntal pinggang
lawan, tetapi tidak terduga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas menarik
lepas caping lebar di kepala si baju hitam!
Orang itu keluarkan seruan tertahan ketika topi bambu lebar lepas dari
kepalanya. Kedua tangannya membuat gerakan seperti hendak menutupi wajahnya.
Dan seruan tadi itu"! Sesaat membuat Wiro tegak terheran sambil pegangi topi.
"Sialan! Ternyata si kampret ini bukan manusia itu!" ujar Wiro dalam hati.
Wajahnya meamang tertutup janggut dan kumis, tapi jelas paras ini bukan paras
orang berbaju hitam yang telah membunuh pasukan Demak itu. rambutnya kelihatan
telah memutih dan digelung ke belakang sepert rambut perajurit. Kulit mukanya
klimis dan sepasang matanya mengandung daya tarik tersendiri. Tidak pantas untuk
mata seorang lelaki yang berhati keji.
"Kembalikan caping bambuku!" seru si baju hitam.
Wiro Sableng tersenyum menyeringai. Bukannya mengembalikan malah caping itu kini
dipakainya. "Jika kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya, akan kukembalikan capingmu. Kalau
tidak silahkan ambil sendiri!"
"Bedebah!" si Baju hitam marah sekali, langsung menyerang Wiro. Tapi anehnya,
setengah jalan mendadak dia melesat ke kanan lalu melarikan diri.
"Hai!" seru Wiro mengejar. "Tunggu dulu!"
Si baju hitam tambah mempercepat larinya. Namun dalam hal berlari mana mungkin
dia akan mempecundangi Wiro. Dalam waktu singkat Wiro berhasil mempersempit
jarak. Kemudian karena tidak sabar, dia tanggalkan caping di kepalanya dan
lemparkan benda itu ke arah orang yang lari di depannya.
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Entah disengaja entah tidak caping bambu itu memukul bagian belakang kepala
orang, tapat di gelungan rambut. Demikian kerasnya hantaman caping hingga bukan
saja orang itu terhuyung hampir jatuh terjerembab ke depan, tetapi sanggul
rambutnya ikut terlepas. Anehnya rambut yang berwarna putih terlepas jatuh ke
tanah sedang kepala itu kini hanya tertutup rambut hitam panjang yang tergerai
sebatas pinggang.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Wiro Sableng jadi hentikan larinya saking kaget dan heran melihat kejadian itu.
"Kampret apa ini yang berambut palsu putih padahal memiliki rambut panjang
hitam!" ujar Wiro dalam hati.
Di depan sana dilihatnya orang yang tadi dikejar, bukannya terus melarikan diri
tetapi membelok ke kiri dan menyembunyikan diri di balik rerumpunan semak
belukar tinggi.
Kawatir orang hendak menipu lalu membokongnya, Wiro dekati semak belukan dengan
hati-hati. Siap untuk memukulkan tangannya yang kiri atau kanan menjaga segala-
segala kemungkinan. Namun betapa kagetnya ketika dia tiba-tiba mendengar suara
orang menangis sesenggukkan! Suara tangis perempuan!
Begitu sampai di balik semak-semak dilihatnya yang menangis ternyata adalah
lelaki berjanggut dan berkumis berbaju hitam berambut panjang itu.
"Kampret jantan ini kenapa menangis seperti betina"!" ujar Wiro sambil garuk-
garuk kepala memandang keheranan.
"Hai! Kenapa kau menangis!" tanya Wiro.
Ditegur begitu orang tersebut semakin keras sesenggukannya dan semakin jelas
kalau suara tangisnya itu adalah suara tangis perempuan!
"Eh, orang ini lelaki atau perempuan......?" bertanya-tanya murid Sinto Gendeng
dalam hati. Dengan hati-hati karena tak mungkin kalau orang hendak menipunya,
Wiro melangkah lebih mendekat. "Kalau dia memang perempuan mengapa berjanggut
dan berkumis. Tapi rambut putih palsu yang tadi terlepas......
Jangan-jangan manusia ini benar-benar Randu Ireng! Si ahli menyamar yang
menguasai cincin baja kepala ular kobra!" maka memikir sampai ke situ Wiro tak
mau lebih mendekat. Dia berdiri sejarak tiga langkah.
Karena tak sabaran mendengar tangisan yang seperti tak habis-habis itu, Wiro
ajukan pertanyaan "Kau ini, sebenarnya siapa" Laki-laki atau perempuan....?"
"Pergilah! Buat apa mengurusi diriku lagi!" kata si baju hitam. Suaranya kini
jelas sekali suara perempuan. Keadaannya yang larut oleh perasaan membuat dia
tidak dapat lagi menyaru suaranya sebagai suara lelaki.
"Hai! Jadi kau perempuan!" ujar Wiro.
Tak ada jawaban. Tegak tertegun seperti itu lambat laun membuat Wiro merasa
hiba. Namun tanpa mengurangi kewaspadaan dia kembali berkata.
"Walaupun tadinya aku mencurigaimu, tapi jika kau memang bukan orang yang hendak
membunuhku dua malam lalu, maka aku tak akan mengganggumu lebih jauh. Ini
capingmu...." Wiro ulurkan caping milik orang tadi yang telah dipungutnya.
Uluran caping bambu itu tidak disambut. Wiro lalu menyangkutkan caping itu pada
ujung sebuah ranting.
"Sebaiknya aku tidak mengganggumu lagi. Aku akan pergi. Tapi kalu kau suka
menerangkan siapa kau sebenarnya. Dari mana dan dalam perjalanan ke mana......?"
"Mungkin.....aku akan menjawab pertanyaanmu, jika kau lebih dulu mau menerangkan
siapa dirimu dan mengapa tadi mangaku mencurigaiku lalu menguntit....." berkata
perempuan itu di antara sesenggukkannya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. Kemudian menjawab juga.
"Namaku Wiro. Semula aku mengira kau adalah orang yang dua malam lalu hendak
membunuhku dalam rimba belantara....."
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Siapa orang itu. Mengapa dia inginkan nyawamu.....?"
"Ah, pertanyaan kampret ini banyak benar. Seperti mau menyelidik!" maki Wiro
dalam hati. Lalu dia menjawab "Mengapa dia inginkan nyawaku, aku tidak tahu.
Juga aku tidak tahu mengapa dia enak saja membantai puluhan perajurit Demak itu.
Siapa orang itu aku tidak tahu pasti. Cuma ada yang mengatakan dia adalah Randu
Ireng. Manusia terakhir yang menguasai cincin keramat terbuat dari baja
berkepala ular itu....."
"Cincin itu...." kata si baju hitam, "Tak habis-habisnya menimbulkan
malapetaka....."
"Kau tahu banyak tentang cincin keramat itu.....?" tanya Wiro.
Yang ditanya tak menjawab.
"Nah, sekarang kau mau mengatakan siapa kau sebenarnya?" Wiro mendesak.
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu cepat menyambung "Tapi perlihatkan dulu kau ini perempuan atau lelaki atau
apa...."!"
Tangan orang itu, yang sejak tadi menutupi dan menyembunyikan wajahnya tiba-tiba
bergerak menanggalkan janggut dan kumis lebatnya dan astaga! Kini berubahlah
wajah itu menjadi paras seorang perempuan berusia kurang dari tiga puluhan,
bermata bening dan teramat ayu. Sesaat pendekar kita tegak terkesiap. Lalu
sambil senyum-senyum dia bertanya "Apa perlumu melakukan penyamaran seperti
ini.....?"
"Jika kau seorang dari rimba persilatan kurasa tak perlu aku menjawab
pertanyaanmu. Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh liku-liku dan bahaya.
Malapetaka mengancam setiap saat. Apalagi bagi kami kaum hawa......"
"Ucapanmu mungkin banyak benarnya. Hanya saja, tentu kau mempunyai alasan
tertentu. Tapi aku tak akan memaksa kau harus menceritakan hal yang kau tak
ingin mengatakannya. Kau belum mengatakan datang dari mana dan dalam perjalanan
ke mana....."
"Aku datang dari jauh dai sebuah kampung nelayan di pantai selatan. Aku dalam
perjalanan ke Kotaraja....."
"Lalu namamu.......?"
"Ningrum....."
Wiro manggut-manggut sambil tak lupa menggaruk kepalanya yang gondrong.
"Kotaraja masih jauh di sebelah timur. Ada keperluan apa kau ke sana?"
"Mencari seorang pangeran bernama Arga Kusumo......"
"Pangeran Arga Kusumo....." Dia masih sanak kerabatmu"'
"Justru aku ingin membunuhnya!"
Jawaban Ningrum itu membuat Wiro kaget.
"Membunuh seorang pangeran bukan soal mudah. Belum sempat sampai ke kediamannya,
para pengawal berkepandaian tinggi mungkin sudah meringkusmu!"
Perempuan ayu itu menyeringai. "Jika kita memakai otak, apapun pasti bisa
dilakukan....."
"Kenapa kau ingin membunuh pangeran itu?"
"Dia membunuh suamiku!"
"Ah, urusan dendam kesumat rupanya," kata Wiro pula. "Tapi mengapa sampai
pangeran itu membunuh suamimu?"
"Dia merampas milik suamiku."
"Apa?"
Kelihatannya Ningrum tak mau menjawab. Atau ragu-ragu menjawab.
"Kau tahu aku bukan orang jahat. Tapi kau masih hendak menyembunyikan sesuatu
padaku...." Wiro berpura-pura kecewa.
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Setelah membisu beberapa lamanya akhirnya Ningrum membuka mulut.
"Cincin sakti itu. Benda itu mulanya adalah milik suamiku....."
Terkejutlah pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kalau begitu suamimu adalah Soma!" katanya.
Kini perempuan itu yang ganti terkejut.
"Bagaimana kau bisa tahu......?"
Wiro lalu menceritakan pertemuannya dengan Sebrang Lor, kepala Enam Kelewang
Maut yang telah menuturkan kisah luar biasa mengenai cincin baja putih berkepala
ular kobra itu.
"Menurut Sebrang Lor kau tidak tahu banyak tentang cincin sakti yang dimiliki
suamimu itu. Soma tewas dalam hutan, jauh dari kampungmu. Bagaimana kemudian kau
mengetahui kematiannya....?" Bertanya Wiro.
"Sejak musnahnya gerombolan bajak yang menyerang kampung, semua orang-orang
termasuk aku menaruh wasangka bahwa Somalah yang melakukan itu semua. Jika dia
yang berbuat berarti dia memiliki ilmu kepandaian atau kesaktian luar biasa.
Dalam pada itu, tak lama setelah kematiannya. Tumenggung Cokro Buwono dan
seorang pembantunya datang menemuiku. Ketika kembali ke Kotaraja, Pangeran Arga
Kusumo mengabarkan Soma gugur di tangan pemberontak. Dia sendirilah yang telah
menghancurkan pemberontak itu. Arga Kusumo sengaja mencari nama besar, hendak
mengangkat diri jadi pahlawan dengan memutar balikkan kenyataan. Suamiku sengaja
dibiarkan mati dalam hutan padahal dia dapat menolongnya. Bahkan mayatnyapun
tidak diurusnya......"
Sebagai seorang isteri nelayan Wiro menganggap tentunya Ningrum tidak memiliki
kepandaian apa-apa dalam ilmu silat ataupun kesaktian. Cukup mengherankan kalau
kini dia menjadi seorang perempuan muda berkepandaian tinggi.
Ketika hal itu ditanyakan pada Ningrum, perempuan itu menuturkan lebih lanjut.
"Setelah berita itu kuterima, ditemani oleh beberapa orang pembantu Tumenggung
Cokro Buwono aku coba mencari jenazah Soma. Bagaimanapun jenazahnya walau hanya
tinggal tulang belulang harus diurus dan dikubur. Tapi kami tak berhasil
menemukan jenazah ataupun tulang belulangnya...."
"Tunggu dulu," ujar Wiro ketika dia ingat sesuatu. "Menurut penuturan Sebrang
Lor, ketika Soma pergi menemui Tumenggung Cokro Buwono, kau sedang hamil tua...."
Ningrum mengangguk. "Kematian Soma kuketahui sebulan sebelum aku melahirkan.
Ketika bayi itu lahir ternyata nasibnya jelek. Anakku meninggal setelah
dilahirkan....."
Kedua mata Nignrum kembali tampak basah. Setelah menyeka wajahnya beberapa kali
dia meneruskan "Dalam perjalanan pulang ke kampung, ternyata orang-orang
Tumenggung Cokro Buwono bukan manusia-manusia baik-baik. Mereka hendak
memperkosaku beramai-ramai. Pada saat itu entah dari mana datangnya, muncul
seorang kakek aneh. Orang-orang itu dihajarnya. Tak satupun dibiarkan hidup.
Aku sendiri kemudian dibawanya ke sebuah goa di lereng bukit. Setelah mendengar
ceritaku, kakek itu memutuskan untuk menurunkan beberapa ilmu kepandaiannya.
Lewat sepuluh tahun kemudian baru aku meninggalkan goa itu. Pertama sekali aku
pergi mencari Tumenggung Cokro. Tapi kemudian kuketahui tumenggung itu telah
meninggal. Kematiannya tidak wajar. Tewas celaka ketika berburu di dalam hutan.
Ada dugaan bahwa dia dibunuh atas perintah Pangeran Arga Kusumo yang tak ingin
rahasia kematian dan kepahlawanan Soma terbuka....."
"Lalu saat ini kau hendak ke Kotaraja guna membalas dendam kematian suamimu...."
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Walau tak menjawab tapi Wiro tahu perempuan itu membenarkan ucapannya.
"Lebih baik bagimu kembali ke kampung dan melupakan pangeran itu. Saat ini tentu
dia telah menduduki jabatan sangat tinggi dalam kalangan istana. Pasti sulit
untuk melaksanakan maksudmu. Salah-salah kau sendiri yang akan celaka!"
"Aku memang sudah siap untuk menyusul suamiku," sahut Ningrum.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Apakah kau berniat mendapatkan cincin sakti itu kembali?" tanya Wiro.
"Kalaupun aku mendapatkannya, akan kukembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam
laut....."
Wiro ingat amanat yang dikatakan Sebrang Lor. "Tidak mudah mendapatkan cincin
itu kembali. Tidak gampang mencari Randu Ireng, manusia seribu muka yang kini
menguasainya...."
"Tapi orang-orang sepertimu tak bisa berpangku tangan. Kecuali ingin melihat
ratusan korban lagi akan menemui ajalnya!" kata Ningrum.
Apa yang dikatakan Ningrum itu diketahui sekali kebenarannya oleh Wiro.
Setelah berpikir sebentar kemudian dia berkata "Bagiku tugas kita paling utama
saat ini adalah mencari manusia bernama Randu Ireng itu....."
"Kita katamu?" ujar Ningrum.
Wiro menyeringai. "Bukankah kau ingin mendapatkan benda itu kembali"
Kurasa itu lebih penting dari pada kau langsung nyelonong ke Kotaraja mencari
penyakit...."
"Kalau kau mau membantu, aku tak keberatan. Kalau kita pergi bersama-sama apakah
tidak akan menyusahkanmu"'
"Berjalan dengan perempuan secantikmu memang ada macam-macamnya.
Kau sebaiknya pakai kembali rambut, janggut dan kumis palsumu itu....."
Ningrum menyetujui. Setelah melakukan apa yang dikatakan Wiro, lengkap memakai
caping lebar, keduanya segera meninggalkan tempat tersebut.
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Karena tahu bagaimana sulitnya mencari dan mengejar orang seperti Randu Ireng
maka Wiro memutuskan untuk meminta bantuan dari orang yang dianggapnya paling
tepat dan paling tahu. Orang ini bukan lain adalah kakek aneh yang dikenal
dengan panggilan Si Segala Tahu.
Empat hari empat malam mengadakan perjalanan tampaknya masih belum juga sampai
ke tujuan. Ningrum mulai menunjukkan wajah suram. Entah karena keletihan
mengadakan perjalanan sejauh itu, entah karena mulai merasa tidak suka.
Kalau saja mereka langsung ke Kotaraja mungkin saat itu sudah sampai, demikian
dia berpikir. Pada pagi hari kelima hujan turun rintik-rintik.
"Aneh, ada hujan turun. Tapi kenapa udara terasa panas sekali!" kata Ningrum.
Wiro tersenyum. "Itu tandanya kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan.
Kau lihat sesuatu yang memutih di kejauhan sana....?" Wiro menunjuk ke arah barat.
"Benda apa itu. kelihatannya seperti bukit. Tapi kenapa berwarna putih.....?"
"Itulah bukit kapur. Tempat biasanya berkeliaran orang yang kita cari."
"Sebenarnya siapa yang kita cari ini?" tanya Ningrum.
"Kau lihat saja nanti. Pasang telingamu baik-baik. Jika kau mendengar suara
kerontangan kaleng, beri tahu aku....."
Keduanya terus lari ke arah barat. Makin dekat makin kentara besarnya bukit
kapur itu. Menjelang tengah hari mereka mencapai kaki bukit dan mulai menaiki
lerengnya. Hawa di sini bukan main panasnya. Pakaian kedua orang itu bawah kuyup
oleh keringat. Sejauh sampai di pertengahan lereng bukit yang tandus hampir tak
ada tumbuhan di situ masih belum terdengar suara apapun, termasuk suara
kerontang kaleng.
"Aku tak mendengar suara seperti yang kau katakan itu. Jangan-jangan orang yang
kita cari tak ada di sini!" Ningrum mulai merasa khawatir.
Wiropun mulai merasa ragu. Namun dia diam saja. Keduanya terus mendaki sampai ke
puncak bukit. Di kejauhan tampak sebuah gubuk kecil tanpa dinding dalam keadaan
kosong. "Aku tak tahan panasnya hawa di sini. Kalau orang yang kita cari tak ada lebih
baik tinggalkan tempat ini....."
"Tenang saja. Dia pasti ada di sekitar sini," sahut Wiro.
"Siapa yang sanggup menetap di tempat ini tanpa kehabisan air dalam tubuhnya,
disedot udara panas....?"
"Kita mungkin tidak bisa. Tapi Si Segala Tahu tenyata menghabiskan puluhan tahun
usianya tinggal di bukit ini...."
Habis berkata begitu Wiro mendongak ke langit, kerahkan tenaga dalam lalu
berteriak keras-keras dan panjang. Gaung suaranya terdengar aneh dan
menyeramkan. "Tak ada yang membalas teriakanmu, Wiro. Berarti tak ada siapapun di bukit ini!"
Wiro menunggu sesaat. Lalu kembali berteriak. Lebih keras dan lebih panjang.
Setelah ditunggu tetap saja tak ada suara lain menyahuti.
"Kita pergi saja," mengajak Ningrum.
"Tunggu. Jika sampai matahari condong ke barat orang itu belum muncul....."
Wiro hentikan kata-katanya. "Aku mendengar sesuatu....."
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku tak mendengar apa-apa......" kata Ningrum. Tentu saja karena tingkat kepandaian
dan ketajaman indera keduanya berbeda. Wiro jauh lebih tinggi.
"Dia muncul!" Wiro tertawa gembira. "Ikuti aku.....!" katanya lalu lari ke jurusan
selatan bukit. Setelah lari beberapa ratus tombak baru Ningrum mendengar suara
aneh itu. Suara sesuatu berkerontangan. Agaknya suara batu-batu yang dimasukkan
dalam kaleng, lalu digoncang-goncang terus menerus.
"Lihat! Itu dia!" seru Wiro seraya menunjuk ke depan.
Memandang ke muda Ningrum lihat seorang kakek bertubuh agak kurus, berpakaian
penuh tambalan dan yang sudah cabik-cabik, melangkah ke arah mereka.
Langkahnya seperti acuh tak acuh, tetapi satu langkah yang dibuatnya sama dengan
lima langkah manusia biasa. Sambil berjalan dengan bantuan tongkat kayu di
tangan kirinya, dia tiada henti menggoyang-goyang kaleng rombeng di tangan
kanannya. "Kakek Segala Tahu!" panggil Wiro Sableng. "Aku datang lagi! Apakah kau baik-
baik saja selama ini....?"
Kakek itu hentikan langkahnya. Mendongak ke langit, lalu kerontangkan kalengnya
dan menyeringai.
"Aku memang baik-baik saja. Tapi urusan persilatan di luar sana sedang tidak
baik bukan" Kudengar banyak para tokoh di bunuh. Puluhan manusia hidup berubah
menjadi mayat!"
"Syukurlah kau sudah tahu kek! Karena itula aku datang mencarimu ke mari!"
"Kalau kau muncul berarti ada yang bakal kau tanyakan! Katakan, ini soal dunia
persilatan apa soal jodohmu.....?" si kakek tertawa gelak-gelak.
"Kek, kau tentu mendengar tentang cincin keramat yang sanggup menebar maut
itu...." Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sambil tersenyum kempot dia
berkata "Sebelum aku jawab pertanyaanmu, siapa pula mahluk aneh yang kau bawa ke
mari ini...."'
Wiro garuk kepalanya dan memandang pada Ningrum. Perempuan ini jelas tampak
kemerahan wajahnya.
"Aku tidak membawa mahluk aneh kek. Ini sahabat seperjalanan," jawab Wiro.
"Perempuan biasanya memakai pupur dan bergincu. Kalau perlu menghitamkan sedikit
alisnya, memerahkan sedikitt pipinya. Tapi yang aku rasakan saat ini sahabatmu
ini memakai kumis dan bercambang bawuk palsu. Apakah ini bukan mahluk aneh
namanya" Atau mungkin dia pemain wayang wong!" si kakek tertawa lagi mengekeh.
Wajah Ningrum semakin merah. Tapi dalamhati perempuan ini jelas sangat terkejut.
Kakek itu jelas dilihatnya bermata buta. Bagaimana mungkin dia tahu kalau
dirinya adalah seorang perempuan dan memakai kumis serta janggut palsu segala"!
Kemudian didengarnya Wiro berkata "Ningrum, kau jangan tersinggung.
Kakek ini memang suka bergurau. Walau matanya buta tapi bisa lebih tajam
penglihatannya dari kita."
Ningrum tak menyahut hanya pandangi si kakek dengan pandangan rasa kagum, meski
juga agak jengkel oleh kata-katanya tadi.
"Nah, kek sekarang bisakah kita bicara soal cincin itu?"
Kakek Segala Tahu anggukkan kepala dan kerontangkan kaleng bututnya.
"Terakhir sekali yang aku dengar cincin warisan setan itu berada di tangan
seorang keroco yang dulunya tak pernah terkenal. Namanya Randu Ireng. Meski
memiliki ilmu silat kampungan dan tolol dalam pengalaman namun menguasai cincin
itu dia bisa menjadi orang nomer satu dalam dunia persilatan!"
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Terima kasih atas keteranganmu kek. Yang ingin kami ketahui ialah sekedar
nasihatmu bagaimana caranya mencari dan menemui Randu Ireng....."
Si kakek geleng-geleng kepala dan tak lupa goyang-goyangkan tangannya yang
memegang kaleng.
"Sulit sobat mudaku, sulit mencarinya. Dia sudah merat atau bertukar rupa
sebelum kau dapat berhadapan dengan dia....."
Wiro garuk-garuk kepala. Sementara Ningrum yang mendengar jawaban kakek buta itu
merasa sia-sia saja melakukan perjalanan jauh kalau jawaban yang mereka dapat
hanya seperti itu.
"Betul, kek. Memang sulit. Karena itulah kami datang minta petunjukmu...."
Kata Wiro pula.
"Ya....ya....ya....! Akhir-akhir ini perubahan di rimba persilatan berjalan sangat
cepat. Aku yang sudah tua renta dan buta ini terkadang kedodoran juga
mengikutinya!" Si Segala Tahu goyangkan kalengnya dua kali berturut-turut lalu
meneruskan "Mencari langsung manusia bernama Randu Ireng itu sulit sekali.
Sampai kiamat kurasa kalian tak akan berhasil. Namun jika kalian terlebih dahulu
bisa mencari seorang perempuan cantik berjuluk Ratu Mesum, ada harapan kalian
bisa menangkap Randu Ireng hidup-hidup."
"Siapa Ratu Mesum ini kek?" membuka mulut Ningrum untuk pertama kalinya.
"Ah, bagus kau bertanya begitu...." Sahut si kakek. "Nah, membuat urusan dengan si
Ratu Mesum ini juga bukan pekerjaan mudah. Dia seorang perempuan cantik jelita,
Wiro Sableng 023 Cincin Warisan Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkulit halus mulus dan putih. Berpakaian serba merah. Begitu tipis pakaiannya
itu hingga lekuk liku tubuhnya bisa terlihat dengan jelas. Di samping itu
sekujur tubuhnya menebar bau harum yang bisa merangsang dan memabukkan lelaki.
Akupun yang sudah tua bangka ini kalau ketemu dia mungkin bisa blingsatan...."
kata Si Segala Tahu lalu tertawa panjang.
"Di mana kami bisa mencari Ratu Mesum ini?" bertanya Wiro setelah si kakek
hentikan tawanya.
"Ratu Mesum memiliki beberapa tempat kediaman. Tapi dia lebih sering berada di
sebuah danau....." Si kakek mengingat-ingat nama danau itu lalu memberitahukannya
pada Wiro. Lalu menyambung "Satu hal yang membuat sulit berurusan dengan
perempuan itu ialah nafsu badaniahnya yang luar biasa. Setiap lelaki yang
disukainya pasti akan dipikatnya untuk dapat tidur bersama. Lalu, jika sudah
puas, lelaki itu pasti dibunuhnya!"
(Mengenai kisah Ratu Mesum harap baca Mahesa Edan Pendekar Dari Liang Kubur
karangan Bastian Tito, penerbit Lokajaya) Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepala
mendengar keterangan itu sementara Ningrum melirik ke arahnya untuk melihat
reaksi si pemuda.
"Ingin sekali aku menemui sang ratu itu....." kata Wiro perlahan.
"Jika kau terpaksa harus mencarinya untuk minta bantuan, hati-hatilah. Bukan
saja kau akan dibunuhnya tapi besar kemungkinan begitu mendapatkan cincin
keramat itu, benda itu akan dirampasnya!"
"Sialan! Berabe juga urusan ini!" ujar Wiro.
"Apakah tak ada lain orang yang bisa membantu selain Ratu Mesum, kek?"
tanya Ningrum. Kakek Segala Tahu mendongak ke langit dan kerontangkan kalengnya. Begitu
kerontangan kaleng berhenti diapun berkata "Ratu Mesum adalah yang paling
Tangan Geledek 9 Pendekar Pulau Neraka 23 Selir Raja Perawan Pembawa Maut 2