Hancurnya Istana Darah 3
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah Bagian 3
"Ilmu setan apa pula ini!" kata Wiro dalam hati lalu lepaskan satu pukulan ke
arah jaring asap merah.
Hebatnya jaring asap merah itu bukannya punah melainkan pecah dan semakin
melebar serta semakin cepat menyambar ke arah Wiro. Pemuda kita keluarkan siulan
nyaring. Melompat ke belakang sejauh satu tombak dan dari tempat kedudukan yang
baru melepaskan satu pukulan tangan kosong yakni pukulan "kunyuk melempar buah".
Namun pukulan inipun percuma saja karena semakin membuat tambah banyaknya jalur-
jalur asao merah yang berarti semakin melebar pula dan siap menelan Wiro
Sableng. Hulubalang Darah Kesatu tambahkan kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan
suara menderu asap merah bergerak tambah cepat dan kini hanya tinggal beberapa
jengkal saja lagi.
Wiro cepat angkat kedua telapak tangannya dan memompa tenaga dalam. Di antara
deru serangan asap merah, terdengar pula deru dua gelombang angin menyapu ke
depan. Pukulan "dinding angin berhembus tindih menindih" yang dilepaskan
Pendekar 212 untuk sesaat berhasil membendung serangan yang aneh berbahaya itu.
Namun ketika Hulubalang Darah melipat gandakan tenaga dalamnya maka runtuhlah
benteng pertahanan lawan dan secepat kilat jaring asap merah menyambar tubuhnya
sebelah kiri! Pemuda ini terpukul dan terhuyung sementara dari kanan ujung jaring dengan cepat
datang pula menyambar. Tentu saja Wiro tak mau mendapat hantaman kedua kali.
Karena hentaman pada tubuh sebelah kiri telah membuat bagian tubuh di sebelah
situ menjadi kaku tak bisa digerakkan!
Didahului oleh siulan nyaring Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah jaring.
Sinar putih menyilaukan berkelebat. Di belakang sana Hulubalarg Darah Kesatu
terdengar keluarkan seruan tertahan. Pukulan "sinar matahari" yang dikeluarkan
Wiro bukan saja menghancurleburkan jaring maut yang amat diandalkannya, tapi
hampir saja menghantam lengannya jika dia tidak buru-buru menghindar.
Wiro kirimkan pukulan tangan kiri sebagai susulan namun saat itu Hulubalang
Darah telah lenyap dari tempatnya, lenyap bersamaan dengan musnahrrya jaring
asap aneh tadi.
Wiro kertakkan rahang tanda geram. Dia kemudian ingat pada gadis baju merah yang
tadi terguling-guling akibat angin pukulan. Cepat-cepat dia menuju pematang
sawah. Namun untuk sesaat langkahnya terhenti karena saat itu dilihatnya dua
sosok benda hitam terhampar di tengah jalan. Ketika diteliti ternyata adalah dua
ekor kuda. Yang pertama kuda coklat belang putih milik si gadis. Satunya
berwarna merah milik Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur Hulubalang Darah
sempat membunuh kedua binatang yang tak berdosa itu.
Wiro dapatkan gadis baju merah terhantar di tepi pematang sawah. Sekelompok akar
pohon mengganjal tubuhnya hingga tak sampai kecemplung ke dalam lumpur sawah.
Wiro mendukung tubuhnya dan menyandarkan pada sebatang pohon. Kedua mata si
nadis terpejam. Bibirnya yang membiru sedikit terbuka.
Mukanya pucat pasi. Pakaiannya robek-robek.
Wiro menarik nafas sesak. Dipegangnya kedua lengan si gadis. Dia maklum kalau
dalam tubuh gadis itu mengendap racun jahat luar biasa yang bakal menamatkan
riwayatnya jika tidak lekas rnendapatkan pertolongan.
Aliran tenaga dalam Wiro menghangati tubuh dara itu. Namun kemudian dirasakan
oleh si pemuda itu bagaimana racun yang mengendap dalam tubuh si gadis
memusnahkan hawa hangat itu dan walau bagaimanapun dicoba untuk mengimbanginya
tetap saja gagal. Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni 212
yang tidak mempan segala macam racun. Cepat dikeluarkannya senjata itu dan
hulunya yang berbentuk kepala naga serta terbuat dari gading digenggamkannya ke
tangan dara berbaju merah. Hawa panas mengalir ke segenap bagian tubuh sang
dara, namun tak lama kemudian kembali sirna.
"Racun jahat luar biasa!" kata Wiro dan menjacli bingung bagaimana caranya
menyelamatkan jiwa gadis ini.
Tiba-tiba didengarnya si gadis menggerang. Di antara erangan itu keluar ucapan
terpatah-patah. "Guru ...
mu ... muridmu mohon maaf dan direlakan. Mung... mungkin kita ... kita tak bisa
bertemu la ... lagi..."
Wiro ingat pada beberapa butir obat yang dibawanya. Cepat-cepat benda ini
dikeluarkannya dan dimasukkannya ke dalam mulut si gadis. Gadis baju merah
terkejut dan hendak menyemburkan obat itu.
"Jangan buang. Telan...!" kata Wiro. "Mungkin obatku itu bisa menolong... "
Si gadis coba membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu.
"Telanlah cepat. Siapa tahu bisa menolong."
Dengan obat masih dalam mulut si dara bertanya, "Kau ... kau siapa yang hendak
menolongku ...?"
"Jangan habiskan waktu dengan segala pertanyaan tak berguna. Telan obat itu
cepat." Sang dara agak meragu sesaat lalu gelengkan kepalanya. "Percuma..." desisnya.
"Percuma atau tidak telan dulu," ujar Wiro.
Akhirnya si gadis menelan obat itu. Sesaat kemudian dia berkata lagi. "Tak ada
guna ... percuma saja.
Ra... racun yang mengindap di tu ... buhku adalah racun waja biru. Hanya dua
orang yang bisa menyelamatkanku. Tapi... tak mungkin... "
"Siapa kedua orang itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
"Waranawikualit ...," bisik si gadis.
"Siapa dan di mana tempatnya?"
"Orangnya manusia muka merah yang tadi menyemburkan racun itu padaku ..."
Wiro gigit bibir. Tentu saja manusia terkutuk itu tak bakal mau memberi
pertolongan. "Yang satunya lagi?" tanya Wiro kemudian.
"Gu... ruku sendiri... "
"Di mana beliau sekarang?"
Sang dara tarik nafas sesak. "Tak mungkin ...," katanya perlahan.
"Apa yang tak mungkin ...?"
"Tak mungkin kau bisa menolongku ... "
"Kenapa tidak mungkin?" tanya Wiro tak sabaran.
"Tempatnya jauh dari sini. Sebelum sampai aku sudah mati di ... tengah ... jalan
... " "Kita harus mencoba. Katakan di mana tempat gurumu," Wiro mendesak.
"Danau Jembangan," menerangkan si gadis. Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba
mulutnya membuka lebar. Sikapnya seperti orang mau muntah. Tapi yang keluar,
dari mulutnya adalah satu teriakan yang mengerikan. Tubuhnya kemudian miring ke
kanan dan hampir roboh ke tanah jika tidak lekas dipegang oleh Wiro. Pemuda ini
terkejut. Menyangka si gadis sudah menemui ajal. Tapi ketika diperiksa ternyata
cuma pingsan. Danau Jembangan memang jauh dari situ. Orang biasa dengan menunggang kuda
setengah hari baru akan sampai ke situ. Namun Wiro tidak kawatir. Dengan
mengandalkan ilmu lari "seribu kaki" dia yakin bisa sampai ke sana paling lama
dalam tempo empat jam. Karenanya tanpa membuang waktu lagi murid Sinto Gendeng
ini segera memanggul tubuh si gadis dan meninggalkan tempat itu menuju ke utara.
Dalam perjalanan menuju Danau Jembangan itulah Wiro melewati kampung Warnasari.
Dengan perut kosong dan tubuh letih dia memutuskan untuk mampir ke kedai Ki
Sepuh Bawean yang justru pada saat itu tengah didatangi oleh gerombolan
Ronggokarapan hingga terjadi pertempuran yang membawa korban jiwa.
*** 14 DANAU Jembangan terletak di satu dataran randah yang dikelilingi oleh hutan
bakau. Di bagian timur danau ada sebuah rakit dari rotan-rotan besar. Di atas
rakit ini berdiri sebuah bangunan ' tinggi macam menara yang keseluruhannya juga
terbuat dari rotan.
Dengan tubuh basah mandi keringat serta nafas memburu Wiro Sableng datang
berlari dari jurusan barat.
Pada saat itu di atasnya terdengar suara pekik aneh. Ketika dia mendongak
dilihatnya seekor burung elang merah bertengger di ujung ranting sebatang pohon.
Sepasang matanya yang hijau menyorot tajam ke arah Wiro dan berkilai-kilai
ditimpa sorotan sinar matahari yang baru terbit.
"Aneh," kata Wiro dalam hati. "Sejak dinihari tadi burung itu terbang
mengikutiku."
Tiba-tiba elang itu kembali memekik keras menyakitkan telinga. "Hebat sekali
suara pekiknya," kata Wiro pula. Lalu tanpa memperdulikan lagi binatang itu dia
segera lari ke jurusan timur danau. Di atasnya kembali elang merah terbang
mengikuti dan terus-terusan mengeluarkan suara pekikan bising.
"Binatang celaka ini mengganggu saja," kata Wiro mulai kesal. Sambil itu
digerakkannya tangannya ke atus untuk memukul namun sesuatu mendadak meluncur
menyambar kedua kakinya, membuatnya terkejut dan cepat melompat. Ketika diteliti
ternyata serumpun akar bakau hampir saja menyerandungnya.
Ini adalah satu keanehan. Semula Wiro menyangka yang meluncur ke arah kakinya
itu tadi adalah ular namun nyatanya akar bakau. Dapatkah tanaman yang tidak
memiliki daya gerak itu meluncur aneh demikian rupa" Sementera itu di atas
kepalanya elang merah masih terus terbang berputar-putar sambil tiada hentinya
berkuik-kuik. Lagi kebingungan begitu tiba-tiba satu sambaran angin menerpanya
dari belakang. Wiro cepat melompat menghindarkan diri. Untuk kedua kalinya pula pendekar ini
dibuat terkejut karena sambaran angin keras tadi ternyata disebabkan oleh
batang-batang pohon bakau yang secara aneh berjatuhan ke tanah.
"Kalau tidak ada yang mengendalikan mustahil pohon-pohon ini bisa bergerak,"
pikir Wiro. Dia memandang berkeliling namun tak seorangpun kelihatan. Akhirnya
dengan jalan kaki biasa Wiro lanjutkan perjalanannya menuju bangunan rotan di
tepi timur danau.
Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu tiba-tiba di sekelilingnya terdengar
suara menderu. Pohon-pohon bakau yang berjajaran di tempat itu bergerak seperti
tangan-tangan gurita, menggelung ke arah tubuh Wiro Sableng!
"Kurang ajar! Apa-apaan ini"!" seru Wiro lalu dengan cepat menghantamkan tangan
kanannya melepas pukulan "benteng topan melanda samudera". Serta merta tanaman
yang hendak menjirat tubuhnya mental pecah-pecah. "Gila!" maki Wiro sambil
garuk-garuk kepalanya.
Semakin dekat ke bangunan di tepi danau samekin waspada dia. Tapi nyatanya
sampai jarak lima langkah dari bangunan rotan itu tidak terjadi apa-apa. Dengan
cepat ditelitinya keadaan. Satu-satunya jalan masuk adalah sebuah pintu yang
terletak di sebelah
atas bangunan. Jarak pintu dengan tepi danau hanya tujuh tornbak. Ini bukan satu
hal yang sulit bagi Wiro untuk melompat masuk ke situ sekalipun dengan memanggul
tubuh gadis yang pingsan di bahu kirinya.
Namun ketika dia hendak melompat sejenak hatinya menjadi bimbang. Mungkinkah dia
telah datang ke tempat yang salah. Mungkin danau di hadapannya ini bukan Danau
Jembangan. Lalu apa artinya semua rintangan-rintangan aneh yang barusan
dialaminya"
Setelah menetapkan hati, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, laksana
seekor burung Wiro Sableng melompat ke udara den melayang ms nuju pintu di
puncak bangunan rotan. Namun sebelum dia mencapai pintu tersebut, dari samping
berketebat satu bayangan merah yang langsung menyambar ke arah lehernya!
Dalam terkejut yang amat sangat Wiro Sableng masih sempat memiringkan tubuh
namun daya lesatnya ke atas sudah agak berkurang hingga mau tak mau pendekar ini
terpaksa melompat ke sampirg dan mempergunakan sebuah cabang pohon untuk
menjejakkan kaki lalu melesatkan tubuhnya kembali ke udara.
Rasa penasaran mendapat serangan yang aneh itu membuat Wiro marah bukan main.
Lebih-lebih ketika diketahuinya bahwa yang menyerang temyata adalah elang marah
yang rupanya masih terus mengikutinya.
Dan saat itu dari arah atas dilihatnya binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya
yang berkuku pinjang tajam terpentang lebar sedang paruh lurus siap untuk
mengirimkan satu patukan keras!
"Binatang celaka ini kalau tidak dilenyapkan bisa bikin aku susah," kata Wiro
geram lalu memukulkan tangannya ke atas, melancarkan pukulan "kunyuk melempar
buah." Namun untuk kesekian kalinya pendekar kita ini melengak. Dengan satu gerakan
cekatan elang merah itu berkelit mengelakkan pukulan, lalu dengan kecepatan luar
biasa berbalik kembali menyambar ke arah perut Wiro!
"Kurang ajar! Jangan harap kali ini kau bisa selamat!" kata Wiro dan bersiap
lepaskan satu pukulan lagi.
Tiba-tiba dari puncak bangunan berbentuk menara yang terbuat dari rotan
terdengar seruan nyaring.
"Sultan! Hentikan seranganmu. Dan kau pemuda asing masuklah kemari!"
Elang merah yang hendak menyerang Wiro keluarkan suara menguik keras lalu
berbalik cepat dan hinggap di puncak menara bangunan. Terheran-heran Wino
melesat masuk ke pintu. Ruangan di puncak rnenara rotan itu tidak seberapa besar
dan kalau saja dia tidak lekas-lekas menahan daya dorongan tubuhnya hampir saja
dia menabrak seorang lelaki tua yang terbaring di atas sebuah tempat tidur
rendah terbuat dari rotan.
"Pemuda asing, kau siapakah! Apa kedatanganmu kemari membawa maksud baik atau
buruk" Dari sambaran angin yang tak seimbang yang keluar dari gerakanmu waktu
masuk ke sini, kau tentu membawa sesuatu di bahu kirimu!"
Saking terkejutnya Wiro Sableng sampai berdiri dengan mulut menganga. Betapakan
tidak karena dilihatnya orang tua yang barusan bicara itu buta kedua belah
matanya! Dan bukan itu saja, orang tua yang berambut putih bermata buta ini,
buntung kedua kakinya sebatas lutut sedang kedua tangannya terbelenggu oleh
rantai besar berwarna biru. Dalam keadaan begitu rupa bagaimana dia bisa berada
di bangunan yang tinggi itu!
"Orang tua, sebelumnya aku ingin tanya dulu. Apakah danau di luar sana adalah
Danau Jembangan?"
Wiro bertanya untuk mendapatkan kepastian.
"Betul!" jawab si orang tua pendek. Lalu sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau.
Apa yang kau bawa dan apa maksudmu kemari. Jika membawa niat buruk sebaiknya
lekas-lekas angkat kaki dari sini!"
"Namaku Wiro. Aku ... "
"Tunggu dulu!" orang tua buta itu cepat memotong. "Apakah kau bukannya si
Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Wiro terkesima. "Kira-kira begitulah ...," katanya menyahuti.
Tiba-tiba orang tua itu berseru girang dan sekali bergerak tahu-tahu dia sudah
duduk di atas pembaringan rotan.
"Lekas tolong aku! Keluarkan Kapak Naga Genimu dan potonglah rantai yang
membelenggu kedua tanganku ini. Bertahun-tahun aku menunggu kedatanganmu. Kini
aku bebas! Bebas! Karena hanya kapak saktimu itu yang sanggup memotong putus
belenggu celaka ini!"
Wiro berdiri bingung dan si orang tua kembali menyuruhnya agar segera
mengeluarkan Kapak Naga Geni 212. Dengan hati sedikit meragu karena kawatir
orang tua itu akan menipunya, akhirnya Wiro keluarkan senjatanya dari balik
pakaian. Sinar putih menerangi ruangan rotan itu. Dengan air muka berseri-seri
si orang tua mengulurkan kedua tangannya yang terbelenggu.
"Potonglah cepat!" katanya.
Wiro maju mendekat.
Dalam keadaan lebih dekat begitu si orang tua dapat merasakan hembusan nafas
gadis berbaju merah yang pingsan di bahu kiri Wiro.
"Hai!" seru orang tua itu. "Kau memanggul seseorang di bahu kirimu. Siapa dia!"
"Aku sendiri tak tahu namanya. Tapi dia mengaku muridmu... "
Si orang tua kerenyitkan kening.
"Apakah dia seorang dara berpakaian serta merah?" tanya si orang tua.
"Apa yang telah terjadi atas dirinya?"
Maka dengan cepat Wiro menuturkan bagaimana dia bertemu pertama kali dengan sang
dara dan apa yang kemudian terjadi atas dirinya.
"Racun waja biru!" desis orang tua tersebut. "Racun waja biru! Kurang ajar si
Waranawikualit! Rupanya dia sudah menjadi kaki tangan raja Rangrang Srenggi.
Memang sudah sejak lama aku mendengar kedurjanaan mereka!" Rahang orang tua itu
nampak menggembung tanda dia marah luar biasa.
"Siapa Rangrang Srenggi?" tanya Wiro pula.
"Sudah. Jangan banyak tanya dulu. Lekas putuskan belenggu besi ini. Yang panting
muridku harus diselamatkan jiwanya!"
Wiro baringkan gadis yang sejak tadi dipanggulnya di atas pembaringan di samping
si orang tua. Lalu mengayunkan Kapak Naga Geni 212. Sekali tebas saja dengan
mengeluarkan suara berkerontang maka putuslah rantai besi beser berwarna biru
yang sebelumnya mengikat sepasang lengan orang tua itu.
Sambil tertawa gelak-gelak orang tua itu acungkan kedua tangannya ke atas dan
berkata, "Aku bebas!
Aku bebas kini! Rangrang Srenggi, kau bakal menerima pembalasanku ...!"
Ucapannya itu terputus ketika dia ingat pada muridnya. Dia beringsut ke tempat
muridnya terbaring.
Dengan jari-jari tangannya disentuhnya bibir gadis itu.
"Racun jahat .., racun jahat," desisnya. "Kau tunggu pembalasanku Rangrang
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Srenggi! Awas kau Waranawikualit!"
Orang tua itu membungkuk dan meraba-raba ke bawah tempat tidur. Dari bawah
tempat tidur rotan diambilnya sebuah botol yang amat kecil. Ditimangnya botol
itu sebentar lalu tertawa gelak-gelak.
"Untung ... untung dajal-dajal bernama Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu
tidak mengetahui tempat penyimpanan obat ini. Untung!"
Orang tua ini kemudian membungkuk dan menempelkan bibirnya ke bibir muridnya.
Setelah mengerahkan tenaga dalamnya lalu dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya
penuh dengan ludah berbusa biru. Ludah itu dimuntahkannya lalu kembali dia
menyedot bibir muridnya. Demikian sampai tiga kali berulang-ulang. Setelah itu
dari dalam botol kecil diambilnya tiga butir obat berwarna biru: Setelah menotok
bagian leher dan perut muridnya beberapa kali baru obat itu dimasukkannya ke
dalam mulut sang murid.
Wiro kemudian melihat bagaimana orang tua itu duduk bersila sambil mendekapkan
tangan di depan dada. Sesaat berselang dari ubun-ubunnya keluar asap putih,
bergulung-gulung yang terus membungkus sekujur tubuh muridnya yang terbaring di
atas tempat tidur.
Tiba-tiba orang tua itu membentak keras. Bangunan rotan bergoyang keras.
Bersamaan dengan itu dia memukulkan kedua tangannya ke atas dan berseru,
"Racun jahat! Pergilah!"
Gulungan asap putih yang membungkus tubuh muridnya berubah menjadi biru. Begitu
seruan lenyap maka asap biru itupun sirna.
"Bangun, muridku! Bangun! Sadarlah Lestari!"
Wiro melihat bagaimana gadis yang tadi pingsan membuka matanya perlahan-lahan.
Parasnya yang pucat kini kelihatan mulai berdarah kembali bahkan bibirnya yang
sebelumnya biru kini kelihatan mulai segar kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh
lebih cantik dari selagi dia pingsan. Mau tak mau pemuda kita jadi meneguk air
liur. "Bangunlah Lestari. Sadarlah ... !"
Lestari demikian nama gadis itu bangun dan duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia
memandang berkeliling dengan pandangan wajah menyatakan keheranan.
"Pikiranmu masih belum jernih. Pejamkan matamu, Lestari..."
Si gadis mengikuti ucapan gurunya. Setelah selang beberapa saat sang guru
menyuruh buka matanva kembali. Dan bersamaan dengan itu Lestari bertanya,
"Eyang; bagaimana ... murid bisa berada di sini dengan selamat" Semestinya...
bukankah murid telah mati" Atau ... "
Si orang tua tertawa gelak-gelak.
"Soal hidup atau mati ada di tangan Tuhan, muridku... "
"Tapi murid benar-benar tak mengerti eyang..."
"Tanyakan pada pemuda di depanmu ... " berkata sang guru.
Lestari berpaling. Untuk sesaat sepasang matanya yang bening beradu pandang
dengan mata pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau kenal padanya?" tanya si orang tua.
Lestari menggeleng.
"Tapi kalau tak salah sebelumnya ... murid pernah bertemu dengan dia."
Kembali sang guru tertawa dan berkata, "Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja
jalan dan cara Tuhan mempertemukan kalian ... "
"Apa ... apa"!" seru Wiro kaget sedang Lestari berubah merah wajahnya dan
memandang ternganga pada gurunya.
Kembali orang tua berkaki buntung tertawa gelak-gelak.
"Aku sudah ketelepasan bicara," katanya sambil menampar-nampar mulutnya sendiri.
"Tapi kalian mempunyai nasib yang sama sejak kecil. Si Sinto Gendeng pasti
senang kalau mengetahui pertemuanmu dengan muridku ini, Wiro... "
"Kau kenal dengan guruku,?" tanya Wiro.
"Lebih dari kenal."
Wiro menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diam-diam dia melirik Lestari
dilihatnya menundukkan kepala dan parasnya memerah.
"Sudahlah ...," si orang tua berkata. "Soal itu bisa dibicarakan nanti. Kalau
sudah jodoh masa ke mana.
Sekarang Lestari tuturkan padaku bagaimana kau bisa ketemu dengan bergundal
Istana Darah barpangkat Hulubalang Kesatu dan bernama Waranawikualit itu!"
Maka Lestari menuturkan riwayatnya lengkap sampai dia bertemu dengan Wiro
Sableng. Si orang tua yang sampai saat itu masih belum diketahui Wiro siapa
namanya nampak manggut-manggut berulang kali.
Wajahnya serius.
"Memang sudah saatnya kita harus turun tangan. Kita bertiga saja dan dibantu
Sultan sudah cukup.
Lestari dan kau Wiro, mari kita atur rencana pemusnahan Istana Darah."
"Memang niat itu sudah sejak lama terkandung dalam hatiku. Tapi kalau boleh
bertanya, kau ini siapakah orang tua?" tanya Wiro pula.
"Apakah namaku perlu sekali bagimu?"
"Lebih dari perlu. Karena kalau kau tahu riwayatku dan kenal Eyang Sinto
Gendeng, adalah kurang enak rasanya jika aku sendiri tidak kenal padamu ..."
Orang tua itu tersenyum.
"Namaku sebenarnya sudah hampir musnah ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku
buruk sekali yaitu Karewang. Dan aku adalah saudara angkat gurumu."
Mendengar itu kontak Wiro Sableng menjura dalam dan hormat sedang orang tua yang
mengaku bernama Karewang tertawa lagi gelak-gelak.
"Tapi mengapa guru tak pernah menerangkan padaku tentangmu?"
"Gurumu itu memang sedeng," sahut Karewang seenaknya. Lalu diisyaratkannya agar
Wiro duduk di hadapannya. Sebelum mengatur rencana penyerbuan ke Istana Darah
Karewang menyuruh pemuda itu menelan tiga butir obat biru dalam botol. Dengan
menelan obat itu Wiro akan kebal terhadap racun "waja biru" yang teramat jahat
itu. Kemudian ketiga orang itupun berunding.
Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bahwa Karewang adalah tokoh silat klas
satu yang memegang gelar Si Pemusnah Iblis yang semasa mudanya pernah menjagoi
dunia persilatan di tanah Jawa selama dua puluh tahun sebelum diambil alih Eyang Sinto Gendeng. Dalam masa pengunduran diri dari pasang
surut dunia persilatan, suatu ketika Karewang didatangi Waranawikualit yang
datang untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat di masa silam. Waranawikualit
datang tidak sendirian melainkan membawa seorang tokoh aneh berotak miring yang
ternyata amat lihay. Tokoh inilah yang membuat cacat kedua kaki Karewang,
kemudian membelenggunya dengan rantai biru. Dan manusia itu bukan lain adalah
RNangrang Srenggi yang kini menobatkan diri sebagai Raja Istana Darah!
*** 15 KUDA PUTIH bernama Angin Salju itu lari dengan amat cepat, meninggalkan kepulan
debu di belakangnya.
Pemuda yang duduk di atas punggungnya bukan lain Panji Kenanga, murid Brahmana
Lokapala dari gunung Raung. Tak selang berapa lama kemudian lapat-lapat di
kejauhan pemuda ini mulai mendengar suara deburan ombak. Itulah satu pertanda
bahwa dia telah mendekati tempat yang ditujunya.
Di satu tempat Panji Kenanga turun dari kudanya dan sambil membimbing binatang
itu dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Sikapnya selalu waspada. Mata
dibuka lebar-lebar dan awas, telinga dipasang tajam-tajam. Bukan mustahil
sebelum dia sampai ke tempat tujuan, kedatangannya telah diketahui hingga dia
mungkin bakal jadi korban pembokongan.
Dia sampai di satu jalan kecil berliku-liku yang diapit oleh puing-puing batu
karang. Angin mengandung garam menampar-nampar mukanya. Dia memutuskan untuk
tidak menempuh jalan kecil itu tetapi mengambil jalan lain di sela-sela batu
karang. Akhirnya dia sampai di salah satu puing karang datar. Dari sini dia
melayangkan pandangan jauh ke muka.
Di hadapannya terbentang pantai dan laut lepas. Kira-kira lima ratus tombak dari
tepi pantai sebelah timur, dikelilingi oleh dua puluh satu pohon beringin
raksasa berdirilah satu bangunan besar yang keseluruhannya berwarna merah. Bila
angin bertiup maka dari arah bangunan itu menghamburlah bau busuk yang amat
sangat, laksana mau meruntuhkan bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga terpaksa
menutup hidungnya.
"Pasti itulah yang disebut Istana Darah," kata pemuda itu dalam hoti. "Sumber
segala macam malapetaka."
Dengan menggertakkan rahang karena ingat akan kematian adik seperguruannya yaitu
Widura serta lenyapnya Miani yang diduganya berada di Istana Darah, Panji
Kenanga balikkan tubuh. Ditepuknya pinggul kuda tunggangannya dan berkata,
"Angin Salju kau tunggulah di sini. Bila sampai matahari terbenam nanti aku
tidak kembali, kau pulanglah ke gunung Raung, ke tempat guru."
Sebagai jawaban bihatang itu menggerak-gerakkan daun telinga serta ekornya
seolah-olah mengerti maksud ucapan tuannya. Setelah merangkul leher Angin Salju,
Panji Kenanga dengan gerakan gesit melompat ke puing batu karang di bawahnya,
demikian terus menerus dilakukannya. Melompat dari satu batu karang ke lain batu
karang hingga akhirnya dia sampai di bawah salah satu pohon beringin raksasa
yang mengelilingi bangunan. Berada di tempat itu bau busuk bukan alang kepalang.
Mau tak mau bulu tengkuk pemuda ini agak merinding sewaktu mengetahui bahwa
warna merah yang menjadi cat tembok serta dinding seluruh bangunan itu adalah
darah! "Agaknya aku harus melompati tembok itu untuk dapat masuk ke dalam ... "
membathin Panji Kenanga.
Dia bersiap-siap. Pada saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara di
belakangnya. "Panji Kenanga, kau datang terlambat."
Murid Brahmana Lokapala itu berpaling. Astaga.
Ternyata yang berkata adalah seorang tua bertubuh kurus, bercelana komprang,
berkepala botak dan bermata buta. Dan dia bukan lain adalah si orang aneh yang
pernah ditemui Panji Kenanga sebelumnya, yang dipanggil sebagai Si Botak Mata
Buta. "Apa maksudmu orang tua." tanya Panji Kenanga.
Tampaknya kali ini orang tua itu tidak main-main atau bicara seenaknya seperti
dulu. Wajahnya serius.
Dan dia berkata, "Adik seperguruanmu telah mereka bunuh!"
"Aku sudah tahu kematian Widura."
"Bukan Widura saja. Mianipun mengalami nasib yang sama..."
"Hah"!" laksana diambar petir Panji Kenanpa mendengar keterangan itu. "Kau tahu
dari mana?" kedua tangannya dikepalkan saking geram.
Si Botak Mata Buta menghela nafaa "Sekali seorang masuk ke dalam Istana Darah,
jangan harap umurnya lebih dari dua jam."
"Kurang ajar! Dajal-dajal Istana Darah, tunggu pembalamnku!" seru Panji Kenange.
Segera dia hendak melangkah ke arah tembok merah tapi satu tangan memegang
bahunya dengan cepat. Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pegangan
itu tatap saja tidak berhasil. Ternyata yang memegang bahunya adalah si Botak
Mata Buta. "Jangan bertindak ceroboh orang muda. Pergunakan otakmu kalau hendak balas
dendam! Lain dari itu kudengar ada beberapa orang yang menuju kemari. Coba kau
memandang ke jurusan barat."
Panji Kenanga memandang ke jurusan yang dikatakan. Apa yang diucapkan Si Botak
Mata Buta memang benar. Dua orang dilihatnya berlari amat cepat ke jurusan
mereka. Satu lelaki berpakaian serba putih berambut gondrong dan satunya lagi
seorang perempuan berpakaian merah. Yang lelaki kelihatan mendukung seorang tua
yang ternyata buntung kedua kakinya.
"Apa yang kau lihat Panji?" tanya Si Rotak Mata Buta.
Baru saja selesai pertanyaan itu diucapkan orang-orang yang datang tahu-tahu
sudah sampai dan berhenti sepuluh langkah di hadapan mereka, di bawah pohon
beringin yang besar.
Panji Kenanga menceritakan ciri-ciri orang-orang yang dilihatnya itu.
"Aku mendengar sesuatu terbang di udara. Pasti burung ...," kata Si Botak Mata
Buta. "Memang betul ucapanmu orang tua. Seekor burung elang terbang berputar-putar di
atas kepala orang-orang yang baru datang itu."
Si Botak Mata Buta kerenyitkan kening.
"Apakah burung elang itu berbulu merah?"
"Benar."
"Dan orang tua yang didukung oleh pemuda berambut gondrong itu bermata buta...?"
Panji meneliti sebentar lalu membenarkan.
Si Botak Mata Buta memukul keningnya dan pada wajahnya terlukis senyum lebar.
Maka dia terdengar berseru, "Karewang! Memang justru pertemuan inilah yang
kuharapkan!"
Karewang alias Si Pemusnah Iblis yang saat itu masih didukung oleh Wiro Sableng
memutar kepala dan mengeluarkan seruan tertahan.
"Nanggala!" serunya menyebut nama asli Si Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku
bertemu dengan kau di sini ini?" lalu katanya pada Wiro. "Bawa aku ke hadapan
sahabat lamaku itu."
Begitu saling berdekatan kedua orang tua yang sama-sama buta itu saling
berangkulan. "Dua puluh tahun Karewang! Dua puluh tahun aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau
masih buta-buta juga!"
Kedua orang itu lantas tertawa gelak-gelak sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng
dan Lestari hanya berdiri terlongong-longong.
"Heh, kita ini macam orang edan saja," berkata Karewang. "Sampai-sampai lupa
berada di mana dan lupa apa maksud kedatangan kita kemari!"
"Apa maksudmu datang ke sini sobat" Agaknya udara busuk di tepi pantai ini
menarik hatimu!"
Karewang tertawa rawan. Lalu dituturkannya bencana yang menimpa dua orang
muridnya dan rencana untuk menghancurkan Istana Darah.
"Kau sendiri, angin apa pula yang membawamu ke mari?" balik bertanya Karewang.
"Kita bernasib dan punya maksud sama, sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak
Mata Buta. Setelah memperkenalkan Panji Kenanga pada orang-orang itu maka
dituturkannya kejadian yang menimpa dua orang saudara seperguruan Panji Kenanga.
Karewang mengusap-usap dagunya.
"Kejahatan dajal-dajal di dalam Istana Darah itu sudah lewat dari takaran. Sudah
waktunya harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Sobatku Karewang, aku mendapat keterangan dari Panji Kenanga bahwa ada seorang
pemuda gondrong bersamamu. Siapakah dia ... ?"
Karewang hendak menjawab tapi Wiro menyikut rusuknya dan pemuda ini mendahului
menjawab, "Aku yang muda ini kebetulan datang bertandang ke tempat Si Pemusnah Iblis."
Panji Kenanga yang sebelumnya sudah bertemu dengan Wiro segera membuka mulut.
"Dialah yang telah melabrak gerombolan Ronggokarapan di kampung Warnasari. Juga
dialah yang menyelamatkan anak murid Si Pemusnah Iblis dan ternyata usahanya
berhasil."
Wiro cuma bisa senyum-senyum saja mendengar ucapan itu. "Semuanya serba
kebetulan saja sobat,"
katanya merendah.
"Dan dia adalah Wiro Sableng Pendekar 212," menambahkan Panji Kenanga.
Sepasang mata buta Nanggala membuka lebar-lebar.
"Pendekar 212?" ulangnya. "Sudah sejak lama aku mendengar nama itu. Sudah sejak
lama aku mendengar kehebatanmu, Wiro ... "
"Saya bukan apa-apa terutama jika dibandingkan dengan kalian orang-orang gagah
yang ada di sini."
"Tidak selamanya yang tua lebih hebat dan lihay dari yang muda," kata Si Botak
Mata Buta pula. "Kita yang tua ini tokh kelak bakal digantikan oleh yang muda-
muda macammu. Sebenarnya jika tidak terpaksa betul kami yang tua-tua dan pikun
ini merasa amat malu masih mengurusi segala macam urusan dunia." Si Botak Mata
Buta diam sejenak. "Astaga!" katanya kemudian, "aku sampai lupa pada muridmu
Karewang. Sayang ... sayang mataku buta hingga tidak dapat melihat kecantikannya."
Orang tua berkepala botak berbadan kurus ini tertawa gelak-gelak sedang Lestari
menjadi merah parasnya. "Hai, hampir aku lupa." Membuka mulut lagi Si Botak Mata
Buta. "Panji aku ada menitipkan sebuah benda padamu tempo hari. Serahkanlah pada
Lestari karena benda itu adalah miliknya."
Panji Kenanga ingat akan seruling perak yang ada di balik pakaiannya. Cepat-
cepat benda ini dikeluarkannya lalu diserahkannya pada Lestari. Baik Lestari
maupun Karewang merasa heran bagaimana senjata mustika itu berada pada Panji
Kenanga. Sebelum mereka bertanya Nanggala membuka mulut memberi keterangan.
"Kalau aku tidak salah suling itu berhasil diambil oleh Tapak Biru sewaktu
terjadi kerusuhan di puncak Dieng. Dengan senjata milik Lestari itu dia malang
melintang lebih berani berbuat kejahatan hingga akhimya aku berhasil merampasnya
dan menyerahkannya pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila bertemu pada
pemiliknya dia harus menyerahkan suling perak terebut. Tidak disangka kalau hari
ini kita saling bertemu hingga suling itu bisa dikembalikan pada pemiliknya.
Bukankah itu suatu pertanda ...?"
"Pertanda apa gerangan maksudmu, sobatku!" tanya Karewang.
"Pertanda bahwa ada jalan yang mempertemukan muridmu dengan murid Brahmana
Lokapala ini! Lebih jelas kalau kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karewang tertegun sejenak. Wiro melirik pada Lestari justru pada saat si gadis
melirik pula pada Wiro hingga pandangan mereka saling bertemu dan membuat si
gadis cepat-cepat menunduk dengan paras merah.
Dalam pada itu Panji Kenanga mencuri pandang pula dan memang sesungguhnya sejak
pertemuan ini, bahkan sejak mula pertama dia melihat Lestari di kedai di kampung
Warnasari, hatinya mengakui bahwa Lestari seorang gadis yang amat menarik. Namun
karena orang yang dicintainya adalah Miani, maka apapun daya tarik Lestari tidak
menjadi persoalan baginya.
"Sobatku Nanggala," kata Karewang setelah lebih dulu mendengarkan suara tertawa.
"Urusan jodoh biarlah kita bicarakan belakangan. Kurasa kurang pantas dilakukan
saat ini dan juga kurang tepat kalau kita berani menyebut-nyebut urusan itu
tanpa setahu Brahmana Lokapala. Bukankah begitu Panji Kenanga?"
"Betul ... betul sekali orang tua," sahut Panji Kenanga.
"Nah, sekarang mari kita bicarakan penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata
Nanggala. "Masuk ke dalam terlalu besar bahayanya. Ini bukan karena aku takut, tapi
Rangrang Srenggi keparat itu memang betul-betul cerdik dan licik. Kita mesti
hati-hati. Panji, coba kau naik ke pohon beringin itu dan selidiki keadaan di
belakang Tembok Darah."
Mendengar ucapan Karewang, Panji Kenanga dengan satu gerakan enteng segera
melompat ke atas pohon beringin. Namun baru saja dia menginjakkan kakinya di
salah satu cabang tiba-tiba laksana tangan-tangan setan, puluhan akar gantung
pohon beringin itu bergerak melibat seluruh tubuhnya. Bagaimanapun diusahakannya
untuk melepaskan diri tetap siasia belaka. Semua orang terkejut melihat kejadian
inil "Benar-benar licik dan cerdik si Rangrang Srenggi itu," kata Nanggala seraya
hendak melompat ke atas untuk memberi pertolongan. Inilah kehebatannya. Meski
buta tapi dapat merasakan apa yang telah menimpa Panji Kenanga.
"Biar burungku yang turun tangan, Nanggala. Mengapa kau mesti susahkan diri."
Berkata begitu Karewang mendongak ke udara dan berseru, "Sultan lepaskan pemuda
itu!" Elang merah yang sejak tadi berputar-putar di atas kepala mereka menguik keras
lalu terbang ke arah pohon beringin. Dengan paruhnya yang tajam laksana gunting
baja, dalam waktu singkat binatang ini berhasil memutus seluruh akar-akar yang
melilit tubuh Panji Kenanga.
"Terima kasih," kata Panji Kenanga lalu dengan cepat turun. Meski dirinya
terlibat tidak berdaya tadi namun sepasang matanya masih bisa meneliti keadaan
di belakang Tembok Darah. Tak seorangpun yang kelihatan. Seluruh bangunan berbda
dalam keadaan sepi. Demikian Panji Kenanga menerangkan. Tapi baru saja dia
selesai berikan keterangan, dari arah Istana Darah menggema suara keras.
"Siapapun yang berada di luar, bersiaplah untuk mampus!"
"Itu suara Rangrang Srenggi!" kata Karewang. Lalu pada Wiro dia berbisik, "Lekas
lakukan apa yang kita telah atur!"
Wiro segera menurunkan orang tua itu dan mendudukkannya di satu puing karang
datar. Dari balik pakaiannya yang menggembung dikeluarkannya sebuah benda hitam
berbentuk bola sebesar dua kepalan tangan. Dia lalu lari ke arah Pintu Gerbang
Darah. "Kau mau bikin apa, Karewang?" tanya Nanggala.
"Lihat saja! Aku akan paksa dajal-dajal itu keluar dari sarangnya. Jika kita
menyerbu ke dalam mungkin terlalu berbahaya dan ... "
Karewang alias Si Pemusnah Iblis tak meneruskan ucapannya karena saat itu dari
belakang Tembok Darah laksana hujan menyembur ratusan benda ke arah mereka.
Ternyata benda-benda itu adalah paku-paku berwarna biru yang merupakan senjata
rahasia yang telah dicelup dengan racun "waja biru".
"Ini pasti perbuatannya si Waranakualit!" kertak Karewang. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin dahsyat menderu memukul runtuh
serangan paku tersebut. Tapi hebatnya begitu sampai di tanah senjata-senjata
rahasia ini kembali memantul mengirimkan serangan.
16 "HEM ... ada kemajuan rupanya si Waranawikualit itu!" kata Karewang seraya
gerakkan tangan kanannya.
Dari telapak tangan kanan orang tua itu menderu angin yang berputar-putar,
menikung beberapa kali, menyapu paku-paku biru hingga keseluruhannya berkelompok
menjadi satu. Dalam pada itu Panji Kenanga yang sudah tidak sabar mencabut
pedang "Gajah Biru"-nya. Sekali tangannya bergerak, satu sinar biru berkelebat
menyilaukan dan runtuhlah ratusan jarum yang tergabung jadi satu itu dalam
keadaan terpotong dua!
"Pedang bagus ... pedang bagus!" kata Nanggala memuji sambil tertawa senang.
Dalam pada itu Wiro telah berada dua puluh langkah dari hadapan Pintu Gerbang
Darah. Mendadak dari lubang-lubang rahasia yang tak kelihatan di bagian bawah
Tembok Darah bermunculanlah enam kepala merah bertopi tarbus merah yarg ujungnya
berkuncir. Mereka ternyata adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah. Dalam
waktu singkat mereka telah mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah Hulubalang
Darah Kelima Belas sampai Keduapuluh. Wiro tak punya kesempatan lagi untuk
mendekati pintu gerbang lebih dekat maka serta merta bola hitam di tangan
kanannya dilemparkan.
Terdengar satu ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda lindu. Lidah api menjulang.
Sebagian dari atap Istana Darah mental beterbangan ke udara, beberapa tiang
besar runtuh bersama-sama dinding Istana.
"Kurang ajar!" teriak Hulubalang Darah Kesembilan Belas. "Dia telah merusak
Istana! Mari kita bunuh bangsat itu!"
Maka ke enam Hulubalang Darah serempak memukulkan tangan kanan mereka. Enam
sinar merah yang bukan kepalang panasnya menyambar ke arah Wiro Sableng. Yang
diserang maklum kalau lawan-lawannya adalah rata-rata berkepandaian tinggi.
Karenanya dengan tangan kiri kanan Wiro lepaskan pukulan "benteng topang melanda
samudera." Begitu pukulan lawan buyar Wiro menyelinapkan satu jotosan dan satu
tendangan. Tak ampun lagi Hulubalang Darah Kejutuhbelas dan Keduapuluh mencelat roboh. Yang
pertama segera meregang nyawa karena perutnya bobol kena tendangan sedang yang
kedua muntah darah lebih dulu baru lepas jiwanya. Itulah korban-korban pertama
dari Istana Darah!
Melihat kedua temannya menemui kematian begitu rupa, Hulubalang-hulubalang
lainnya berteriak marah lalu mengeluarkan senjata masing-masing dan kembali
menyerbu ke arah Wiro. Namun saat itu serangan mereka tertahan oleh satu
sambaran sinar biru yang menyilaukan yang membuat mereka serempak berseru kaget.
Dalam pada itu terdengar teriakan.
"Wiro biar aku menahan mereka!"
Ternyata saat itu dengan pedang Gajah Biru di tangan Panji Kenanga telah
menyerbu ke tempat pertempuran. Hulubalang Darah Kedelapanbelas dan
Kesembilanbelas dengan penasaran melompat ke muka seraya menyapukan senjata
masing-masing. Namun begitu pedang Gajah Biru menyambar dua kali berturut-turut,
keduanya kontan menjerit dan menggeletak mandi darah. Yang satu tertembus
dadanya, yang lain terbacok parah pangkal lehernya!
Diam-diam Wiro kagum melihat kehebatan pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji
Kenanga bakal dapat menyelesaikan dua lawan yang masih hidup maka tanpa ragu-
ragu ditinggalkannya tempat itu. Dia lari ke samping kanan Tembok Darah dan dari
sini melemparkan bola hitam kedua. Untuk kedua kalinya terdengar suara
menggelegar. Bagian samping kanan Istana Darah runtuh, kerusakan hebat terjadi.
Hulubalang Darah Keduabelas dan Keempat belas yang kebetulan ada di bagian situ
dan tidak keburu menyingkir, menjadi korban.
Ketika sekali lagi Wiro melemparkan bola hitam ke sampirig kiri Istana Darah
boleh dikatakan Istana Darah telah hampir sama rata dengan tanah. Beberapa
Hulubalang Darah menemui ajalnya.
Wiro kembali ke tempatnya sementara Panji Kenanga telah berhasil membunuh dua
Hulubalang yang tadi dihadapinya. Orang-orang itu menunggu. Sampai sepeminuman
teh tak ada seorangpun yang muncul dari belakang tembok.
"Apa mereka sudah pada mampus semua ...?" tanya Nanggala. "Atau bersembunyi?"
"Kita tunggu saja. Pentolan-pentolan dajal itu pasti keluar sebentar lagi ..."
kata Karewang. Dan betul saja. Didahului oleh suara berkerekatan maka terbukalah Pintu Gerbang
Darah dan laksana bobolnya sebuah bendungan mencurahlah cairan merah hingga
seantero tempat kini digenangi oleh cairan tersebut sampai sebatas betis Di
samping cairan itu busuknya bukan main juga di dalamnya kelihatan bergerak-gerak
ratusan ular berbisa!
Semua orang cepat menyingkir ke atas puing karang data di atas mana Karewang
alias Si Pemusnah Iblis duduk.
Panji Kenanga membungkuk dan membabatkan pedang Gajah Biru berulang-ulang
sehingga puluhan ular yang berani datang mendekat segera terpotongpotong dan
menemui kematiannya.
Wiro Sableng lebih hebat lagi. Dicabutnya Kapak Naga Geni serta batu hitam 212.
Setiap kali batu dan Kapok diadukannya satu sama lain maka menderulah lidah api.
Cairan darah muncrat dan menggelegak panas. Ular-ular yang ada di dalamnya
laksana direbus dan hanya dalam tempo kurang dari sepeminuman teh seluruh
binatang itu telah musnah menemui ajal!
Karewang tertawa mengekeh.
"Bagus Wiro, bagus. Kalau tak salah pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang
Darah tengah keluar serombongan orang. Coba kalian perhatikan!"
Memang betul! Empat belas orang berpakaian serba merah melangkah keluar dari Pintu Gerbang
Darah, berjalan memecah genangan darah busuk dengan seenaknya lalu berhenti
kira-kira lima belas langkah di hadapan rombongan Karewang.
Mereka adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang dipimpin oleh jago nomor
satu yang menduduki jabatan sebagai Hulubalang Darah Kesatu dan asli bernama
Waranawikualit. Di belakang rombongan Hulubalang ini menyusul 40 Hulubalang
pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka tidak seberapa tinggi namun jumlah mereka
yang begitu banyak mau tak mau musti diperhitungkan oleh pihak lawan.
"Mereka berjumlah lebih dari lima puluh Eyang ..." bisik Lestari pada gurunya
dan diam-diam segera keluarkan suling peraknya.
"Tak perlu ditakutkan," sahut Karewang perlahan. "Bila mereka berani datang
lebih dekat pasti konyol..."
"Di antara mereka tak kelihatan si Rangrang Srenggi," kembali Lestari berbisik.
"'Hai kenapa raja kalian tidak muncul"! Apa takut mampus"!" Karewang tiba-tiba
berteriak sementara orang-orang dari Istana Darah mulai berpencair, mengurung
mereka. "'Untuk menghajar manusia-manusia pikun macam kamu perlu apa Raja kami mesti
mengotorkan diri turun tangan!" Yang menjawab adalah Hulubalang Darah Kesatu.
Karewang yang mengenal suara itu kembali membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh
besar Waranawikualit. Tapi sayang usiamu tak bakal lama. Apalagi setelah aku
tahu apa yang kau lakukan terhadap dua muridku!"
Waranawikualit atau Hulubaiarg Darah Kesatu mengeluarkan dengus mengejek.
'''Kalau saja kau ingat nasib celaka yang menimpa dirimu dulu, pasti kau telah
miring otak masih berani-beranian datang kemari!" kata Hulubalang Darah Kesatu
pula. Sementara itu dengan ilmu menyusupkan suara Karewang berkata pada Nanggala, "Kau
hadapi dia sobatku. Walau bagaimanapun lawan besar yang harus kuhadapi adalah
Rangrang Srenggi."
"Tak usah kawatir. Kau duduk di sini tenang-tenang. Aku dan lain-lainnya akan
menunjukkan jalan ke liang kubur pada mereka!"
"Bagus. Tapi kalau tidak turun tangan sama sekali kurang enak rasanya," kata
Karewang pula. Maka diapun berseru, "Waranawikualit bedebah! Jika betul nyalimu
amat besar majulah! Bawa semua orang-orangmu sekalian! Hari ini aku akan memberi
pelajaran terakhir padamu sebelum kau jadi makanan cacing-cacing liang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar!" teriak Waranawikualit marah. Dia memberi isyarat pada
anak-anak buahnya.
Beberapa Hulubalang maju sedang Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran
kurungan. Tinggal sepuluh langkah dari hadapannya tiba-tiba laksana kilat
Karewang yang bergelar Si Pemusnah Iblis itu tertawa mengekeh dan tangan
kanannya melemparkan sebuah bola hitam.
"Lekas menyingkir!" teriak Hulubalang Darah Kesatu begitu melihat bola peledak
melayang di udara.
Tangan kanannya dihantamkan ke atas. Maksudnya hendak memukul hancur senjata
maut itu sebelum meledak diantara orang-orangnya. Tapi dari angin suara
gerakannya, Karewang cukup tahu apa yang dilakukan lawan. Segera ia mengirimkan
satu pukulan tangan kanan ke arah dada lawannya dan memaksa Hulubalang Darah
Kesatu melompat ke samping.
Tangkisannya luput dan sesaat kemudian bola hitam yang dilemparkan Karewang
meledak di tengah-tengah orang-orangnya. Terdengar suara berpekikan. Sembilan
belas Hulubalang Pengawal roboh ke dalam genangan darah. Darah mereka bercampur
baur dengan darah busuk itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal dan ikut jadi
korban! Dengan demikian yang tinggal kini cuma 9 orang Hulubalang Darah dan 21
orang Hulubalang Pengawal!
Bukan alang kepalang marahnya Hulubalang Darah Kesatu melihat korban-korban yang
berjatuhan di pihaknya.
"Kalau tidak kupecahkan kepalamu detik ini juga biar aku berhenti jadi manusia!"
teriak Waranawikualit lalu sambil melompat dia kirimkan dua pukulan hebat
sekaligus! Dua larik sinar merah menyambar dari pukulannya itu ke arah dada dan kepala
Karewang. Karewang membentak, "Ilmu iblis musnahlah!" Kedua tangannya diangkat. Selarik
sinar pelangi berkiblat dan serangan Waranawikualit benar-benar musnah buyar!
Tapi saat itu dari samping terdengar seruan, "Waranawikualit akulah lawahmu!"
Satu sinar kuning menyambar.
Hulubalang Darah Kesatu membalik gesit dan membentak beringas ketika melihat
siapa yang menyerangnya. "Anjing botak mata buta! Kau yang ingin konyol berani
datang kemari!" Kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang bergerak dalam
serangan "Sepuluh cakar sakti meremas bumi" yang amat hebat karena mengandalkan
lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya.
Si Botak Mata Buta yang bukan sembarang orang dengan gerakan mengagumkan
berhasil mengelakkan serangan itu. Akibatnya sepuluh jari tangan Waranawikualit
melabrak batu karang di sampingnya dan batu karang itu hancur lebur!
Bayangkan kalau sepuluh jari tangan berhasil mengermus kepala botak Si Botak
Mata Buta. Untuk beberapa lamanya semua orang tertegun di tempat masing-masing
menyaksikan jalannya pertempuran tingkat tinggi itu.
Perkelahian berjalan terus. Ketika kelihatan Waranawikualit atau Hulubalang
Darah Kesatu mulai terdesak, Hulubalang-Hulubalang Darah lainnya dan juga
Hulubalang Pengawal segera menyerbu ke tengah gelanggang pertempuran untuk
mengeroyok Si Botak Mata Buta!
Melihat hal ini maka Wiro Sableng, Panji Kenanga dan Lestari tidak tinggal diam.
Karena lawan datang mengeroyok dengan mempergunakan berbagai macam senjata maka
ketiganyapun menyerbu dengan senjata di tangan. Di atas genangan cairan darah
busuk itu berkecamuklah pertempuran hebat.
Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni 212 yang mengeluarkan sinar putih
menyilaukan serta suara menggaung seperti ratusan tawon menggila. Panji Kenanga
berkelebat gesit kian kemari dengan pedang Gajah Birunya yang terlihat hanya
merupakan kelebatan-kelebatan sinar biru menderu-deru. Di lain pihak laksana
seorang puteri dari kayangan yang sedang marah, Lestari berubah merupakan
bayangan merah yang berkelebat gesit kian kemari sambil pergunakah suling
peraknya untuk memukul dan menotok kepala atau dada lawan!
Meskipun orang-orang dari Istana Darah rata-rata berkepandaian tinggi namun tiga
lawan yang mereka hadapi, terutama Pendekar 212 Wiro Sableng bukanlah lawan-
lawan kelas rendah yang bisa mereka lakukan dengan sekehendak hati. Dalam tempo
singkat korban demi korban telah berjatuhan dan bergeletakan dalam genangan
darah busuk. Muncratan-muncratan cairan busuk itu mengotori pula pakaian mereka
yang bertempur.
Tiga kali peminuman teh berlalu dan saat itu kelihatanlah bahwa hanya Hulubalang
Darah Kesatu sajalah yang tinggal sendirian berhadapan dengan Si Botak Mata
Buta. Keadaan itupun agaknya tidak bakal berjalan lama karena saat itu tangan
kanan Hulubalang Darah Kesatu telah disentak putus oleh lawannya hingga dia kini
hilang keseimbangan badan dan bercampur macam orang celeng!
Si Botak Mata Buta sendiri bertempur seperti orang main-main dan sambil tertawa-
tawa. Tiba-tiba mulut Hulubalang Darah Kesatu menggembung. Sesaat kemudian
menyemburlah asap biru pekat ke muka Si Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah
maklum kehebatan racun "waja biru" cepat menutup jalan nafasnya dan menyembur
pula ke depan! Dari mulutnya menggebu hawa kuning, membuat Hulubalang Darah
Kesatu terbatuk-batuk dan ketika tubuhnya terlipat ke depan, sepuluh jari tangan
Si Botak Mata Buta dengan cepat mencengkeram lehernya. Hulubalang Darah Kesatu
megap-megap kehabisan nafas, meronta dan melejang-lejang.
"Kreek ...!"
Sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesatu dan hancurlah tulang leher itu. Nyawa Hulubalang Darah Kesatu melayang ke
akhirat! "Pertempuran hebat! Pertempuran hebat!" teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi
dimanakah lawanku"
Mengapa si Rangrang Srenggi masih belum muncul"!"
"Mari kita periksa ke dalam runtuhan Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.
Karewang berpikir sejenak. Akhirnya menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk
mendukungnya kembali. Kelima orang itu dengan merancah genangan darah busuk,
melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan hati-hati bergerak menuju
reruntuhan Istana Darah. Di mana-mana terdapat sisa-sisa korban api dan dari
setiap jurusan menyambar bau busuk yang memengapkan jalan pernafasan.
"Aneh, di manakah si gila Rangrang Srenggi itu?" ujar Si Botak Mata Buta.
Di ujung sana, dekat sisa reruntuhan dinding tembok sebelah dalam bekas Istana
Darah, Pendekar 212
Wiro Sableng tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika dia menjenguk ke balik
reruntuhan tembok, depan sebuah kolam yang kini dipenuhi puingpuing reruntuhan
serta pecahan patung Rakseksi telanjang, di atas sebuah kursi goyang besar yang
terbuat dari kayu jati bercat merah, duduklah seorang laki-laki katai berpakaian
merah, berambut gondrong awut-awutan berwarna merah dan bermuka bercelomot
darah! Baik kening, maupun hidung serta mulut orang katai ini amat rata sekali
hingga sepintas lalu mukanya licin tak ubahnya seperti sebuah bola! Kursi yang
didudukinya terlalu besar bagi tubuhnya yang kecil itu. Bahkan kedua kakinya
tidak sampai menjejak lantai! Tapi di atas kursi goyang itu dia duduk bergoyang-
goyang seenaknya. Di tangan kiri kanannya terdapat sebuah seloki cairan merah.
Dalam duduk sendirian seenaknya itu dia tertawa-tawa macam orang kurang ingatan.
Wiro memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk mendekat. Ketika semua orang
sudah berkumpul di dekatnya tiba-tiba si katai di atas kursi goyang
menghamburkan tawa gelak berderai hingga kedua matarrya basah oleh air mata!
"Selamat datang tuan-tuan ... Selamat datang di Istanaku yang telah hancur
ini ...!" kata orang katai itu pula.
Tapi tiba-tiba mukanya berubah warna dan dari mulutnya keluar makian.
"Keparat ... sialan! Laknat ...!
Haram jadah! Terkutuk! Mampuslah semua! Mampusl Semuaaa ...!"
Mengenali suara yang mengutuk menyerapah itu Karewang segera membuka mulut.
"Paduka Yang Mulia Raja Gila, setelah istanamu hancur, setelah begundal-
brgundalmu konyol, apakah kau masih menganggap dirimu masih sebagai raja?"
"Kalau asalku raja tetap raja. Hari ini aku telah menjadi raja akhirat untuk
mengirim kau dan yang lain-lainnya ke akhirat!" Selesai berkata begitu manusia
yang menganggap dirinya sebagai raja itu tertawa gelak-gelak.
"Rangrang Srenggi. Otakmu yang miring rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang!
Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan segala kejahatan yang telah kau
perbuat!" Rangrang Srenggi mendengus. Digoyang-goyangkannya badannya di atas kursi goyang
lalu sambil mengacungkan dua buah seloki yang dipegangnya dia berkata,
"Sebelum kita meneruskan pembicaraan mari kujamu kau dengan arak darah ini!
Datanglah ke hadapanku. Eh... apakah kedua kakimu yang kubikin buntung tempo hari
sudah disambung dengan kaki palsut!"
Paras Karewang merah padam namun dia ganda tertawa mendengar ucapan itu dan
menjawab, "Justru aku datang kemari untuk minta tolong dibuatkan sepasang kaki
palsu." Karewang lantas balas tertawa.
Rangrang Srenggi memencongkan mulutnya.
"Aku akan buatkan cuma-cuma untukmu. Namun terlebih dulu teguklah arak darah
ini!" Habis berkata begitu Rangrang Srenggi membuka tangan kanannya dan seloki
arak di tangan kanan itu melayang perlahan-lahan ke arah Karewang.
"Wiro dudukkan aku di runtuhan tembok agar aku bisa menyambuti suguhan tuan
rumah!" kata Karewang. Maka Wiropun mendudukkan orang tua itu di atas runtuhan
tembok. Sementara itu seloki yang berisi arak darah melayang menuju ke tempat Karewang.
Kira-kira satu meter lagi dari hadapannya. Karewang menguiurkan tangan seperti
hendak menyambuti. Tapi dari tangan kanannya justru keluar selarik angin yang
membuat seloki tertahan di udara. Dan bukan sampai di situ saja. Malah kini
seloki itu kelihatan mundur. Betapapun Rangrang Srenggi mengerahkan tenaga
dalamnya tetap saja dia tak sanggup mendorong seloki tersebut ke arah lawannya!
*** 17 "HA...HA...HA...! Rupanya seloki itu malu-malu datang ke hadapanku! Biarlah
bagianku itu kau ambil saja!"
kata Karewang seraya mendorongkan tangan kanannya lebih keras.
Dengan muka merah karena malu Rangrang Srenggi menyambut seloki arak itu.
Sadarlah dia bahwa tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Perlahan-lahan
dengan tenang dia meneguk habis darah busuk yang ada dalam seloki satu demi
satu. Lalu seenaknya kedua seloki kosong itu dilemparkannya hingga pecah
bertaburan. Dia kemudian tertawa bekakakan lalu kembali memaki kata-kata kotor.
Tiba-tiba dia memejamkan kedua matanya. Dalam memejamkan mata itu dia kemudian
mengajukan pertanyaan.
"Karewang, sudah siapkah kau untuk pergi ke akhirat!"
"Sudah sejak dari dulu-dulu, Srenggi," sahut Karewang.
"Bagus!"
Bersamaan dengan ucapan "bagus" itu Rangrang Srenggi menendangkan kaki kanannya
yang kecil. Sesiur angin yang amat dingin meluncur ke arah Karewang.
Yang diserang menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu tubuh itu melesat setengah
tombak ke atas.
Serangan lawan lewat di bawahnya, menghantam runtuhan tembok di mana tadi
Karewang duduk hingga hancur lebur.
Karena temtok itu kini sudah jadi sama rata dengar tanah orang menyangka
Karewang akan jatuh terbanting ke tanah. Tapi hebatnya orang tua berkaki buntung
ini dengan senyum-senyum melayang turun dan duduk bersila di tanah tanpa
menimbulkan sedikit suarapun!
"Kini giliranku, Srenggi!" seru Karewang.
Kedua tangannya ditepukkan ke depan. Kursi goyang yang diduduki Rangrang Srenggi
hancur berantakan. Tapi si katai itu sendiri sudah melompat ke lain tempat dan
di lain kejap laksana topan prahara menyerbu ke arah Karewang.
Orang tua bermata buta dan berkaki buntung itu tetap duduk dengan tenang di
tempatnya. Telinganya dipasang benar-benar untuk mengetahui serangan apa dan
dari mana datangnya. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya, menangkis! Empat
lengan mereka saling beradu!
Rangrang Srenggi terpekik. Tubuhnya terbanting ke tanah sedang Karewang yang
hilang keseimbangannya jatuh terguling-guling tapi cepat bangun dan duduk
bersila kembali!
Si katai Rangrang Srenggi dengan amarah meluap mencabut sebilah pedang tipis
berwarna merah darah dan melompat ke hadapan Karewang.
"Licik!" teriak Lestari seraya melompat dan menyerang Rangrang Srenggi dengan
suling peraknya.
"Guruku tidak pakai senjata, mengapa kau menyerang dengan pedang!"
"Bocah jelita. Kau minggirlah!" bentak Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan.
Angin yang menderu keluar dari senjata itu hebat sekali hingga Lestari yang
terkena terpaannya terjajar enam langkah ke belakang!
"Biarkan saja Lestari! Biarkan dia menyerang dengan pedang!" terdengar suara
Karewang, "Dia tolol kalau menganggap gurumu yang pikun ini adalah Karewang
beberapa tahun lalu, buta dan buntung!"
Lalu orang tua ini dengan sikap acuh tak acuh menyilangkan kedua tangan di muka
dada sedang sepasang matanya yang buta terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-
ubunnya tampak keluar asap warna ungu. Asap ini dengan cepat menutupi sekujur
tubuhnya. Sesaat Rangrang Srenggi tertegun. Namun kemudian dia teruskan serangan
pedangnya. Senjata ini bergaung mencari sasaran di arah leher Karewang.
Tapi aneh! Begitu pedang membentur lapisan asap ungu, maka senjata itu terpental
kembali laksana menghantam satu dinding yang luar biasa atosnya.
Rangrang Srenggi jadi penasaran. Dia mengumpulkan seluruh tenaga dan menghujani
tubuh lawan dengan bacokan terus menerus. Namun bagaimanapun dicobanya untuk
membacok, menusuk, membabat, tetap saja pedangnya tidak mampu menerobos lapisan
asap ungu yang aneh itu!
"Gila! Gila ... gila!" teriak Rangrang Srenggi kalap.
Tiba-tiba cepat sekali Karewang mengulurkan tangan kanannya. Dan entah dalam
gerakan bagaimana tahu-tahu dia sudah berhasil merampas pedang merah di tangan
Rangrang Srenggi. Selagi lawan berada dalam keadaan tertegun kaget, senjata itu
sudah menyambar datar di bawah pinggangnya dan cras! Putuslah tubuh Rangrarig
Srenggi sebatas pinggul!
Darah menyembur dari dua bagian tubuh yang terpotong itu. Rangrang Srenggi
berteriak-teriak, memaki dan mengutuk menyerapah. Namun detik demi detik
suaranya semakin kecil melemah. Pada saat tubuhnya tak berkutik lagi suaranyapun
lenyap dan nyawanya lepas!
"Seorang iblis telah musnah! Bukankah pantas aku diberi gelar Si Pemusnah
Iblis"!" Karewang lalu tertawa gelak-gelak.
T A M A T Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Tumbal Perkawinan 3 Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Pendekar Latah 6
"Ilmu setan apa pula ini!" kata Wiro dalam hati lalu lepaskan satu pukulan ke
arah jaring asap merah.
Hebatnya jaring asap merah itu bukannya punah melainkan pecah dan semakin
melebar serta semakin cepat menyambar ke arah Wiro. Pemuda kita keluarkan siulan
nyaring. Melompat ke belakang sejauh satu tombak dan dari tempat kedudukan yang
baru melepaskan satu pukulan tangan kosong yakni pukulan "kunyuk melempar buah".
Namun pukulan inipun percuma saja karena semakin membuat tambah banyaknya jalur-
jalur asao merah yang berarti semakin melebar pula dan siap menelan Wiro
Sableng. Hulubalang Darah Kesatu tambahkan kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan
suara menderu asap merah bergerak tambah cepat dan kini hanya tinggal beberapa
jengkal saja lagi.
Wiro cepat angkat kedua telapak tangannya dan memompa tenaga dalam. Di antara
deru serangan asap merah, terdengar pula deru dua gelombang angin menyapu ke
depan. Pukulan "dinding angin berhembus tindih menindih" yang dilepaskan
Pendekar 212 untuk sesaat berhasil membendung serangan yang aneh berbahaya itu.
Namun ketika Hulubalang Darah melipat gandakan tenaga dalamnya maka runtuhlah
benteng pertahanan lawan dan secepat kilat jaring asap merah menyambar tubuhnya
sebelah kiri! Pemuda ini terpukul dan terhuyung sementara dari kanan ujung jaring dengan cepat
datang pula menyambar. Tentu saja Wiro tak mau mendapat hantaman kedua kali.
Karena hentaman pada tubuh sebelah kiri telah membuat bagian tubuh di sebelah
situ menjadi kaku tak bisa digerakkan!
Didahului oleh siulan nyaring Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah jaring.
Sinar putih menyilaukan berkelebat. Di belakang sana Hulubalarg Darah Kesatu
terdengar keluarkan seruan tertahan. Pukulan "sinar matahari" yang dikeluarkan
Wiro bukan saja menghancurleburkan jaring maut yang amat diandalkannya, tapi
hampir saja menghantam lengannya jika dia tidak buru-buru menghindar.
Wiro kirimkan pukulan tangan kiri sebagai susulan namun saat itu Hulubalang
Darah telah lenyap dari tempatnya, lenyap bersamaan dengan musnahrrya jaring
asap aneh tadi.
Wiro kertakkan rahang tanda geram. Dia kemudian ingat pada gadis baju merah yang
tadi terguling-guling akibat angin pukulan. Cepat-cepat dia menuju pematang
sawah. Namun untuk sesaat langkahnya terhenti karena saat itu dilihatnya dua
sosok benda hitam terhampar di tengah jalan. Ketika diteliti ternyata adalah dua
ekor kuda. Yang pertama kuda coklat belang putih milik si gadis. Satunya
berwarna merah milik Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur Hulubalang Darah
sempat membunuh kedua binatang yang tak berdosa itu.
Wiro dapatkan gadis baju merah terhantar di tepi pematang sawah. Sekelompok akar
pohon mengganjal tubuhnya hingga tak sampai kecemplung ke dalam lumpur sawah.
Wiro mendukung tubuhnya dan menyandarkan pada sebatang pohon. Kedua mata si
nadis terpejam. Bibirnya yang membiru sedikit terbuka.
Mukanya pucat pasi. Pakaiannya robek-robek.
Wiro menarik nafas sesak. Dipegangnya kedua lengan si gadis. Dia maklum kalau
dalam tubuh gadis itu mengendap racun jahat luar biasa yang bakal menamatkan
riwayatnya jika tidak lekas rnendapatkan pertolongan.
Aliran tenaga dalam Wiro menghangati tubuh dara itu. Namun kemudian dirasakan
oleh si pemuda itu bagaimana racun yang mengendap dalam tubuh si gadis
memusnahkan hawa hangat itu dan walau bagaimanapun dicoba untuk mengimbanginya
tetap saja gagal. Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni 212
yang tidak mempan segala macam racun. Cepat dikeluarkannya senjata itu dan
hulunya yang berbentuk kepala naga serta terbuat dari gading digenggamkannya ke
tangan dara berbaju merah. Hawa panas mengalir ke segenap bagian tubuh sang
dara, namun tak lama kemudian kembali sirna.
"Racun jahat luar biasa!" kata Wiro dan menjacli bingung bagaimana caranya
menyelamatkan jiwa gadis ini.
Tiba-tiba didengarnya si gadis menggerang. Di antara erangan itu keluar ucapan
terpatah-patah. "Guru ...
mu ... muridmu mohon maaf dan direlakan. Mung... mungkin kita ... kita tak bisa
bertemu la ... lagi..."
Wiro ingat pada beberapa butir obat yang dibawanya. Cepat-cepat benda ini
dikeluarkannya dan dimasukkannya ke dalam mulut si gadis. Gadis baju merah
terkejut dan hendak menyemburkan obat itu.
"Jangan buang. Telan...!" kata Wiro. "Mungkin obatku itu bisa menolong... "
Si gadis coba membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu.
"Telanlah cepat. Siapa tahu bisa menolong."
Dengan obat masih dalam mulut si dara bertanya, "Kau ... kau siapa yang hendak
menolongku ...?"
"Jangan habiskan waktu dengan segala pertanyaan tak berguna. Telan obat itu
cepat." Sang dara agak meragu sesaat lalu gelengkan kepalanya. "Percuma..." desisnya.
"Percuma atau tidak telan dulu," ujar Wiro.
Akhirnya si gadis menelan obat itu. Sesaat kemudian dia berkata lagi. "Tak ada
guna ... percuma saja.
Ra... racun yang mengindap di tu ... buhku adalah racun waja biru. Hanya dua
orang yang bisa menyelamatkanku. Tapi... tak mungkin... "
"Siapa kedua orang itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
"Waranawikualit ...," bisik si gadis.
"Siapa dan di mana tempatnya?"
"Orangnya manusia muka merah yang tadi menyemburkan racun itu padaku ..."
Wiro gigit bibir. Tentu saja manusia terkutuk itu tak bakal mau memberi
pertolongan. "Yang satunya lagi?" tanya Wiro kemudian.
"Gu... ruku sendiri... "
"Di mana beliau sekarang?"
Sang dara tarik nafas sesak. "Tak mungkin ...," katanya perlahan.
"Apa yang tak mungkin ...?"
"Tak mungkin kau bisa menolongku ... "
"Kenapa tidak mungkin?" tanya Wiro tak sabaran.
"Tempatnya jauh dari sini. Sebelum sampai aku sudah mati di ... tengah ... jalan
... " "Kita harus mencoba. Katakan di mana tempat gurumu," Wiro mendesak.
"Danau Jembangan," menerangkan si gadis. Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba
mulutnya membuka lebar. Sikapnya seperti orang mau muntah. Tapi yang keluar,
dari mulutnya adalah satu teriakan yang mengerikan. Tubuhnya kemudian miring ke
kanan dan hampir roboh ke tanah jika tidak lekas dipegang oleh Wiro. Pemuda ini
terkejut. Menyangka si gadis sudah menemui ajal. Tapi ketika diperiksa ternyata
cuma pingsan. Danau Jembangan memang jauh dari situ. Orang biasa dengan menunggang kuda
setengah hari baru akan sampai ke situ. Namun Wiro tidak kawatir. Dengan
mengandalkan ilmu lari "seribu kaki" dia yakin bisa sampai ke sana paling lama
dalam tempo empat jam. Karenanya tanpa membuang waktu lagi murid Sinto Gendeng
ini segera memanggul tubuh si gadis dan meninggalkan tempat itu menuju ke utara.
Dalam perjalanan menuju Danau Jembangan itulah Wiro melewati kampung Warnasari.
Dengan perut kosong dan tubuh letih dia memutuskan untuk mampir ke kedai Ki
Sepuh Bawean yang justru pada saat itu tengah didatangi oleh gerombolan
Ronggokarapan hingga terjadi pertempuran yang membawa korban jiwa.
*** 14 DANAU Jembangan terletak di satu dataran randah yang dikelilingi oleh hutan
bakau. Di bagian timur danau ada sebuah rakit dari rotan-rotan besar. Di atas
rakit ini berdiri sebuah bangunan ' tinggi macam menara yang keseluruhannya juga
terbuat dari rotan.
Dengan tubuh basah mandi keringat serta nafas memburu Wiro Sableng datang
berlari dari jurusan barat.
Pada saat itu di atasnya terdengar suara pekik aneh. Ketika dia mendongak
dilihatnya seekor burung elang merah bertengger di ujung ranting sebatang pohon.
Sepasang matanya yang hijau menyorot tajam ke arah Wiro dan berkilai-kilai
ditimpa sorotan sinar matahari yang baru terbit.
"Aneh," kata Wiro dalam hati. "Sejak dinihari tadi burung itu terbang
mengikutiku."
Tiba-tiba elang itu kembali memekik keras menyakitkan telinga. "Hebat sekali
suara pekiknya," kata Wiro pula. Lalu tanpa memperdulikan lagi binatang itu dia
segera lari ke jurusan timur danau. Di atasnya kembali elang merah terbang
mengikuti dan terus-terusan mengeluarkan suara pekikan bising.
"Binatang celaka ini mengganggu saja," kata Wiro mulai kesal. Sambil itu
digerakkannya tangannya ke atus untuk memukul namun sesuatu mendadak meluncur
menyambar kedua kakinya, membuatnya terkejut dan cepat melompat. Ketika diteliti
ternyata serumpun akar bakau hampir saja menyerandungnya.
Ini adalah satu keanehan. Semula Wiro menyangka yang meluncur ke arah kakinya
itu tadi adalah ular namun nyatanya akar bakau. Dapatkah tanaman yang tidak
memiliki daya gerak itu meluncur aneh demikian rupa" Sementera itu di atas
kepalanya elang merah masih terus terbang berputar-putar sambil tiada hentinya
berkuik-kuik. Lagi kebingungan begitu tiba-tiba satu sambaran angin menerpanya
dari belakang. Wiro cepat melompat menghindarkan diri. Untuk kedua kalinya pula pendekar ini
dibuat terkejut karena sambaran angin keras tadi ternyata disebabkan oleh
batang-batang pohon bakau yang secara aneh berjatuhan ke tanah.
"Kalau tidak ada yang mengendalikan mustahil pohon-pohon ini bisa bergerak,"
pikir Wiro. Dia memandang berkeliling namun tak seorangpun kelihatan. Akhirnya
dengan jalan kaki biasa Wiro lanjutkan perjalanannya menuju bangunan rotan di
tepi timur danau.
Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu tiba-tiba di sekelilingnya terdengar
suara menderu. Pohon-pohon bakau yang berjajaran di tempat itu bergerak seperti
tangan-tangan gurita, menggelung ke arah tubuh Wiro Sableng!
"Kurang ajar! Apa-apaan ini"!" seru Wiro lalu dengan cepat menghantamkan tangan
kanannya melepas pukulan "benteng topan melanda samudera". Serta merta tanaman
yang hendak menjirat tubuhnya mental pecah-pecah. "Gila!" maki Wiro sambil
garuk-garuk kepalanya.
Semakin dekat ke bangunan di tepi danau samekin waspada dia. Tapi nyatanya
sampai jarak lima langkah dari bangunan rotan itu tidak terjadi apa-apa. Dengan
cepat ditelitinya keadaan. Satu-satunya jalan masuk adalah sebuah pintu yang
terletak di sebelah
atas bangunan. Jarak pintu dengan tepi danau hanya tujuh tornbak. Ini bukan satu
hal yang sulit bagi Wiro untuk melompat masuk ke situ sekalipun dengan memanggul
tubuh gadis yang pingsan di bahu kirinya.
Namun ketika dia hendak melompat sejenak hatinya menjadi bimbang. Mungkinkah dia
telah datang ke tempat yang salah. Mungkin danau di hadapannya ini bukan Danau
Jembangan. Lalu apa artinya semua rintangan-rintangan aneh yang barusan
dialaminya"
Setelah menetapkan hati, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, laksana
seekor burung Wiro Sableng melompat ke udara den melayang ms nuju pintu di
puncak bangunan rotan. Namun sebelum dia mencapai pintu tersebut, dari samping
berketebat satu bayangan merah yang langsung menyambar ke arah lehernya!
Dalam terkejut yang amat sangat Wiro Sableng masih sempat memiringkan tubuh
namun daya lesatnya ke atas sudah agak berkurang hingga mau tak mau pendekar ini
terpaksa melompat ke sampirg dan mempergunakan sebuah cabang pohon untuk
menjejakkan kaki lalu melesatkan tubuhnya kembali ke udara.
Rasa penasaran mendapat serangan yang aneh itu membuat Wiro marah bukan main.
Lebih-lebih ketika diketahuinya bahwa yang menyerang temyata adalah elang marah
yang rupanya masih terus mengikutinya.
Dan saat itu dari arah atas dilihatnya binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya
yang berkuku pinjang tajam terpentang lebar sedang paruh lurus siap untuk
mengirimkan satu patukan keras!
"Binatang celaka ini kalau tidak dilenyapkan bisa bikin aku susah," kata Wiro
geram lalu memukulkan tangannya ke atas, melancarkan pukulan "kunyuk melempar
buah." Namun untuk kesekian kalinya pendekar kita ini melengak. Dengan satu gerakan
cekatan elang merah itu berkelit mengelakkan pukulan, lalu dengan kecepatan luar
biasa berbalik kembali menyambar ke arah perut Wiro!
"Kurang ajar! Jangan harap kali ini kau bisa selamat!" kata Wiro dan bersiap
lepaskan satu pukulan lagi.
Tiba-tiba dari puncak bangunan berbentuk menara yang terbuat dari rotan
terdengar seruan nyaring.
"Sultan! Hentikan seranganmu. Dan kau pemuda asing masuklah kemari!"
Elang merah yang hendak menyerang Wiro keluarkan suara menguik keras lalu
berbalik cepat dan hinggap di puncak menara bangunan. Terheran-heran Wino
melesat masuk ke pintu. Ruangan di puncak rnenara rotan itu tidak seberapa besar
dan kalau saja dia tidak lekas-lekas menahan daya dorongan tubuhnya hampir saja
dia menabrak seorang lelaki tua yang terbaring di atas sebuah tempat tidur
rendah terbuat dari rotan.
"Pemuda asing, kau siapakah! Apa kedatanganmu kemari membawa maksud baik atau
buruk" Dari sambaran angin yang tak seimbang yang keluar dari gerakanmu waktu
masuk ke sini, kau tentu membawa sesuatu di bahu kirimu!"
Saking terkejutnya Wiro Sableng sampai berdiri dengan mulut menganga. Betapakan
tidak karena dilihatnya orang tua yang barusan bicara itu buta kedua belah
matanya! Dan bukan itu saja, orang tua yang berambut putih bermata buta ini,
buntung kedua kakinya sebatas lutut sedang kedua tangannya terbelenggu oleh
rantai besar berwarna biru. Dalam keadaan begitu rupa bagaimana dia bisa berada
di bangunan yang tinggi itu!
"Orang tua, sebelumnya aku ingin tanya dulu. Apakah danau di luar sana adalah
Danau Jembangan?"
Wiro bertanya untuk mendapatkan kepastian.
"Betul!" jawab si orang tua pendek. Lalu sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau.
Apa yang kau bawa dan apa maksudmu kemari. Jika membawa niat buruk sebaiknya
lekas-lekas angkat kaki dari sini!"
"Namaku Wiro. Aku ... "
"Tunggu dulu!" orang tua buta itu cepat memotong. "Apakah kau bukannya si
Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"
Wiro terkesima. "Kira-kira begitulah ...," katanya menyahuti.
Tiba-tiba orang tua itu berseru girang dan sekali bergerak tahu-tahu dia sudah
duduk di atas pembaringan rotan.
"Lekas tolong aku! Keluarkan Kapak Naga Genimu dan potonglah rantai yang
membelenggu kedua tanganku ini. Bertahun-tahun aku menunggu kedatanganmu. Kini
aku bebas! Bebas! Karena hanya kapak saktimu itu yang sanggup memotong putus
belenggu celaka ini!"
Wiro berdiri bingung dan si orang tua kembali menyuruhnya agar segera
mengeluarkan Kapak Naga Geni 212. Dengan hati sedikit meragu karena kawatir
orang tua itu akan menipunya, akhirnya Wiro keluarkan senjatanya dari balik
pakaian. Sinar putih menerangi ruangan rotan itu. Dengan air muka berseri-seri
si orang tua mengulurkan kedua tangannya yang terbelenggu.
"Potonglah cepat!" katanya.
Wiro maju mendekat.
Dalam keadaan lebih dekat begitu si orang tua dapat merasakan hembusan nafas
gadis berbaju merah yang pingsan di bahu kiri Wiro.
"Hai!" seru orang tua itu. "Kau memanggul seseorang di bahu kirimu. Siapa dia!"
"Aku sendiri tak tahu namanya. Tapi dia mengaku muridmu... "
Si orang tua kerenyitkan kening.
"Apakah dia seorang dara berpakaian serta merah?" tanya si orang tua.
"Apa yang telah terjadi atas dirinya?"
Maka dengan cepat Wiro menuturkan bagaimana dia bertemu pertama kali dengan sang
dara dan apa yang kemudian terjadi atas dirinya.
"Racun waja biru!" desis orang tua tersebut. "Racun waja biru! Kurang ajar si
Waranawikualit! Rupanya dia sudah menjadi kaki tangan raja Rangrang Srenggi.
Memang sudah sejak lama aku mendengar kedurjanaan mereka!" Rahang orang tua itu
nampak menggembung tanda dia marah luar biasa.
"Siapa Rangrang Srenggi?" tanya Wiro pula.
"Sudah. Jangan banyak tanya dulu. Lekas putuskan belenggu besi ini. Yang panting
muridku harus diselamatkan jiwanya!"
Wiro baringkan gadis yang sejak tadi dipanggulnya di atas pembaringan di samping
si orang tua. Lalu mengayunkan Kapak Naga Geni 212. Sekali tebas saja dengan
mengeluarkan suara berkerontang maka putuslah rantai besi beser berwarna biru
yang sebelumnya mengikat sepasang lengan orang tua itu.
Sambil tertawa gelak-gelak orang tua itu acungkan kedua tangannya ke atas dan
berkata, "Aku bebas!
Aku bebas kini! Rangrang Srenggi, kau bakal menerima pembalasanku ...!"
Ucapannya itu terputus ketika dia ingat pada muridnya. Dia beringsut ke tempat
muridnya terbaring.
Dengan jari-jari tangannya disentuhnya bibir gadis itu.
"Racun jahat .., racun jahat," desisnya. "Kau tunggu pembalasanku Rangrang
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Srenggi! Awas kau Waranawikualit!"
Orang tua itu membungkuk dan meraba-raba ke bawah tempat tidur. Dari bawah
tempat tidur rotan diambilnya sebuah botol yang amat kecil. Ditimangnya botol
itu sebentar lalu tertawa gelak-gelak.
"Untung ... untung dajal-dajal bernama Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu
tidak mengetahui tempat penyimpanan obat ini. Untung!"
Orang tua ini kemudian membungkuk dan menempelkan bibirnya ke bibir muridnya.
Setelah mengerahkan tenaga dalamnya lalu dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya
penuh dengan ludah berbusa biru. Ludah itu dimuntahkannya lalu kembali dia
menyedot bibir muridnya. Demikian sampai tiga kali berulang-ulang. Setelah itu
dari dalam botol kecil diambilnya tiga butir obat berwarna biru: Setelah menotok
bagian leher dan perut muridnya beberapa kali baru obat itu dimasukkannya ke
dalam mulut sang murid.
Wiro kemudian melihat bagaimana orang tua itu duduk bersila sambil mendekapkan
tangan di depan dada. Sesaat berselang dari ubun-ubunnya keluar asap putih,
bergulung-gulung yang terus membungkus sekujur tubuh muridnya yang terbaring di
atas tempat tidur.
Tiba-tiba orang tua itu membentak keras. Bangunan rotan bergoyang keras.
Bersamaan dengan itu dia memukulkan kedua tangannya ke atas dan berseru,
"Racun jahat! Pergilah!"
Gulungan asap putih yang membungkus tubuh muridnya berubah menjadi biru. Begitu
seruan lenyap maka asap biru itupun sirna.
"Bangun, muridku! Bangun! Sadarlah Lestari!"
Wiro melihat bagaimana gadis yang tadi pingsan membuka matanya perlahan-lahan.
Parasnya yang pucat kini kelihatan mulai berdarah kembali bahkan bibirnya yang
sebelumnya biru kini kelihatan mulai segar kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh
lebih cantik dari selagi dia pingsan. Mau tak mau pemuda kita jadi meneguk air
liur. "Bangunlah Lestari. Sadarlah ... !"
Lestari demikian nama gadis itu bangun dan duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia
memandang berkeliling dengan pandangan wajah menyatakan keheranan.
"Pikiranmu masih belum jernih. Pejamkan matamu, Lestari..."
Si gadis mengikuti ucapan gurunya. Setelah selang beberapa saat sang guru
menyuruh buka matanva kembali. Dan bersamaan dengan itu Lestari bertanya,
"Eyang; bagaimana ... murid bisa berada di sini dengan selamat" Semestinya...
bukankah murid telah mati" Atau ... "
Si orang tua tertawa gelak-gelak.
"Soal hidup atau mati ada di tangan Tuhan, muridku... "
"Tapi murid benar-benar tak mengerti eyang..."
"Tanyakan pada pemuda di depanmu ... " berkata sang guru.
Lestari berpaling. Untuk sesaat sepasang matanya yang bening beradu pandang
dengan mata pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau kenal padanya?" tanya si orang tua.
Lestari menggeleng.
"Tapi kalau tak salah sebelumnya ... murid pernah bertemu dengan dia."
Kembali sang guru tertawa dan berkata, "Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja
jalan dan cara Tuhan mempertemukan kalian ... "
"Apa ... apa"!" seru Wiro kaget sedang Lestari berubah merah wajahnya dan
memandang ternganga pada gurunya.
Kembali orang tua berkaki buntung tertawa gelak-gelak.
"Aku sudah ketelepasan bicara," katanya sambil menampar-nampar mulutnya sendiri.
"Tapi kalian mempunyai nasib yang sama sejak kecil. Si Sinto Gendeng pasti
senang kalau mengetahui pertemuanmu dengan muridku ini, Wiro... "
"Kau kenal dengan guruku,?" tanya Wiro.
"Lebih dari kenal."
Wiro menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diam-diam dia melirik Lestari
dilihatnya menundukkan kepala dan parasnya memerah.
"Sudahlah ...," si orang tua berkata. "Soal itu bisa dibicarakan nanti. Kalau
sudah jodoh masa ke mana.
Sekarang Lestari tuturkan padaku bagaimana kau bisa ketemu dengan bergundal
Istana Darah barpangkat Hulubalang Kesatu dan bernama Waranawikualit itu!"
Maka Lestari menuturkan riwayatnya lengkap sampai dia bertemu dengan Wiro
Sableng. Si orang tua yang sampai saat itu masih belum diketahui Wiro siapa
namanya nampak manggut-manggut berulang kali.
Wajahnya serius.
"Memang sudah saatnya kita harus turun tangan. Kita bertiga saja dan dibantu
Sultan sudah cukup.
Lestari dan kau Wiro, mari kita atur rencana pemusnahan Istana Darah."
"Memang niat itu sudah sejak lama terkandung dalam hatiku. Tapi kalau boleh
bertanya, kau ini siapakah orang tua?" tanya Wiro pula.
"Apakah namaku perlu sekali bagimu?"
"Lebih dari perlu. Karena kalau kau tahu riwayatku dan kenal Eyang Sinto
Gendeng, adalah kurang enak rasanya jika aku sendiri tidak kenal padamu ..."
Orang tua itu tersenyum.
"Namaku sebenarnya sudah hampir musnah ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku
buruk sekali yaitu Karewang. Dan aku adalah saudara angkat gurumu."
Mendengar itu kontak Wiro Sableng menjura dalam dan hormat sedang orang tua yang
mengaku bernama Karewang tertawa lagi gelak-gelak.
"Tapi mengapa guru tak pernah menerangkan padaku tentangmu?"
"Gurumu itu memang sedeng," sahut Karewang seenaknya. Lalu diisyaratkannya agar
Wiro duduk di hadapannya. Sebelum mengatur rencana penyerbuan ke Istana Darah
Karewang menyuruh pemuda itu menelan tiga butir obat biru dalam botol. Dengan
menelan obat itu Wiro akan kebal terhadap racun "waja biru" yang teramat jahat
itu. Kemudian ketiga orang itupun berunding.
Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bahwa Karewang adalah tokoh silat klas
satu yang memegang gelar Si Pemusnah Iblis yang semasa mudanya pernah menjagoi
dunia persilatan di tanah Jawa selama dua puluh tahun sebelum diambil alih Eyang Sinto Gendeng. Dalam masa pengunduran diri dari pasang
surut dunia persilatan, suatu ketika Karewang didatangi Waranawikualit yang
datang untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat di masa silam. Waranawikualit
datang tidak sendirian melainkan membawa seorang tokoh aneh berotak miring yang
ternyata amat lihay. Tokoh inilah yang membuat cacat kedua kaki Karewang,
kemudian membelenggunya dengan rantai biru. Dan manusia itu bukan lain adalah
RNangrang Srenggi yang kini menobatkan diri sebagai Raja Istana Darah!
*** 15 KUDA PUTIH bernama Angin Salju itu lari dengan amat cepat, meninggalkan kepulan
debu di belakangnya.
Pemuda yang duduk di atas punggungnya bukan lain Panji Kenanga, murid Brahmana
Lokapala dari gunung Raung. Tak selang berapa lama kemudian lapat-lapat di
kejauhan pemuda ini mulai mendengar suara deburan ombak. Itulah satu pertanda
bahwa dia telah mendekati tempat yang ditujunya.
Di satu tempat Panji Kenanga turun dari kudanya dan sambil membimbing binatang
itu dia meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Sikapnya selalu waspada. Mata
dibuka lebar-lebar dan awas, telinga dipasang tajam-tajam. Bukan mustahil
sebelum dia sampai ke tempat tujuan, kedatangannya telah diketahui hingga dia
mungkin bakal jadi korban pembokongan.
Dia sampai di satu jalan kecil berliku-liku yang diapit oleh puing-puing batu
karang. Angin mengandung garam menampar-nampar mukanya. Dia memutuskan untuk
tidak menempuh jalan kecil itu tetapi mengambil jalan lain di sela-sela batu
karang. Akhirnya dia sampai di salah satu puing karang datar. Dari sini dia
melayangkan pandangan jauh ke muka.
Di hadapannya terbentang pantai dan laut lepas. Kira-kira lima ratus tombak dari
tepi pantai sebelah timur, dikelilingi oleh dua puluh satu pohon beringin
raksasa berdirilah satu bangunan besar yang keseluruhannya berwarna merah. Bila
angin bertiup maka dari arah bangunan itu menghamburlah bau busuk yang amat
sangat, laksana mau meruntuhkan bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga terpaksa
menutup hidungnya.
"Pasti itulah yang disebut Istana Darah," kata pemuda itu dalam hoti. "Sumber
segala macam malapetaka."
Dengan menggertakkan rahang karena ingat akan kematian adik seperguruannya yaitu
Widura serta lenyapnya Miani yang diduganya berada di Istana Darah, Panji
Kenanga balikkan tubuh. Ditepuknya pinggul kuda tunggangannya dan berkata,
"Angin Salju kau tunggulah di sini. Bila sampai matahari terbenam nanti aku
tidak kembali, kau pulanglah ke gunung Raung, ke tempat guru."
Sebagai jawaban bihatang itu menggerak-gerakkan daun telinga serta ekornya
seolah-olah mengerti maksud ucapan tuannya. Setelah merangkul leher Angin Salju,
Panji Kenanga dengan gerakan gesit melompat ke puing batu karang di bawahnya,
demikian terus menerus dilakukannya. Melompat dari satu batu karang ke lain batu
karang hingga akhirnya dia sampai di bawah salah satu pohon beringin raksasa
yang mengelilingi bangunan. Berada di tempat itu bau busuk bukan alang kepalang.
Mau tak mau bulu tengkuk pemuda ini agak merinding sewaktu mengetahui bahwa
warna merah yang menjadi cat tembok serta dinding seluruh bangunan itu adalah
darah! "Agaknya aku harus melompati tembok itu untuk dapat masuk ke dalam ... "
membathin Panji Kenanga.
Dia bersiap-siap. Pada saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara di
belakangnya. "Panji Kenanga, kau datang terlambat."
Murid Brahmana Lokapala itu berpaling. Astaga.
Ternyata yang berkata adalah seorang tua bertubuh kurus, bercelana komprang,
berkepala botak dan bermata buta. Dan dia bukan lain adalah si orang aneh yang
pernah ditemui Panji Kenanga sebelumnya, yang dipanggil sebagai Si Botak Mata
Buta. "Apa maksudmu orang tua." tanya Panji Kenanga.
Tampaknya kali ini orang tua itu tidak main-main atau bicara seenaknya seperti
dulu. Wajahnya serius.
Dan dia berkata, "Adik seperguruanmu telah mereka bunuh!"
"Aku sudah tahu kematian Widura."
"Bukan Widura saja. Mianipun mengalami nasib yang sama..."
"Hah"!" laksana diambar petir Panji Kenanpa mendengar keterangan itu. "Kau tahu
dari mana?" kedua tangannya dikepalkan saking geram.
Si Botak Mata Buta menghela nafaa "Sekali seorang masuk ke dalam Istana Darah,
jangan harap umurnya lebih dari dua jam."
"Kurang ajar! Dajal-dajal Istana Darah, tunggu pembalamnku!" seru Panji Kenange.
Segera dia hendak melangkah ke arah tembok merah tapi satu tangan memegang
bahunya dengan cepat. Betapapun dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan pegangan
itu tatap saja tidak berhasil. Ternyata yang memegang bahunya adalah si Botak
Mata Buta. "Jangan bertindak ceroboh orang muda. Pergunakan otakmu kalau hendak balas
dendam! Lain dari itu kudengar ada beberapa orang yang menuju kemari. Coba kau
memandang ke jurusan barat."
Panji Kenanga memandang ke jurusan yang dikatakan. Apa yang diucapkan Si Botak
Mata Buta memang benar. Dua orang dilihatnya berlari amat cepat ke jurusan
mereka. Satu lelaki berpakaian serba putih berambut gondrong dan satunya lagi
seorang perempuan berpakaian merah. Yang lelaki kelihatan mendukung seorang tua
yang ternyata buntung kedua kakinya.
"Apa yang kau lihat Panji?" tanya Si Rotak Mata Buta.
Baru saja selesai pertanyaan itu diucapkan orang-orang yang datang tahu-tahu
sudah sampai dan berhenti sepuluh langkah di hadapan mereka, di bawah pohon
beringin yang besar.
Panji Kenanga menceritakan ciri-ciri orang-orang yang dilihatnya itu.
"Aku mendengar sesuatu terbang di udara. Pasti burung ...," kata Si Botak Mata
Buta. "Memang betul ucapanmu orang tua. Seekor burung elang terbang berputar-putar di
atas kepala orang-orang yang baru datang itu."
Si Botak Mata Buta kerenyitkan kening.
"Apakah burung elang itu berbulu merah?"
"Benar."
"Dan orang tua yang didukung oleh pemuda berambut gondrong itu bermata buta...?"
Panji meneliti sebentar lalu membenarkan.
Si Botak Mata Buta memukul keningnya dan pada wajahnya terlukis senyum lebar.
Maka dia terdengar berseru, "Karewang! Memang justru pertemuan inilah yang
kuharapkan!"
Karewang alias Si Pemusnah Iblis yang saat itu masih didukung oleh Wiro Sableng
memutar kepala dan mengeluarkan seruan tertahan.
"Nanggala!" serunya menyebut nama asli Si Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku
bertemu dengan kau di sini ini?" lalu katanya pada Wiro. "Bawa aku ke hadapan
sahabat lamaku itu."
Begitu saling berdekatan kedua orang tua yang sama-sama buta itu saling
berangkulan. "Dua puluh tahun Karewang! Dua puluh tahun aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau
masih buta-buta juga!"
Kedua orang itu lantas tertawa gelak-gelak sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng
dan Lestari hanya berdiri terlongong-longong.
"Heh, kita ini macam orang edan saja," berkata Karewang. "Sampai-sampai lupa
berada di mana dan lupa apa maksud kedatangan kita kemari!"
"Apa maksudmu datang ke sini sobat" Agaknya udara busuk di tepi pantai ini
menarik hatimu!"
Karewang tertawa rawan. Lalu dituturkannya bencana yang menimpa dua orang
muridnya dan rencana untuk menghancurkan Istana Darah.
"Kau sendiri, angin apa pula yang membawamu ke mari?" balik bertanya Karewang.
"Kita bernasib dan punya maksud sama, sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak
Mata Buta. Setelah memperkenalkan Panji Kenanga pada orang-orang itu maka
dituturkannya kejadian yang menimpa dua orang saudara seperguruan Panji Kenanga.
Karewang mengusap-usap dagunya.
"Kejahatan dajal-dajal di dalam Istana Darah itu sudah lewat dari takaran. Sudah
waktunya harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"
"Sobatku Karewang, aku mendapat keterangan dari Panji Kenanga bahwa ada seorang
pemuda gondrong bersamamu. Siapakah dia ... ?"
Karewang hendak menjawab tapi Wiro menyikut rusuknya dan pemuda ini mendahului
menjawab, "Aku yang muda ini kebetulan datang bertandang ke tempat Si Pemusnah Iblis."
Panji Kenanga yang sebelumnya sudah bertemu dengan Wiro segera membuka mulut.
"Dialah yang telah melabrak gerombolan Ronggokarapan di kampung Warnasari. Juga
dialah yang menyelamatkan anak murid Si Pemusnah Iblis dan ternyata usahanya
berhasil."
Wiro cuma bisa senyum-senyum saja mendengar ucapan itu. "Semuanya serba
kebetulan saja sobat,"
katanya merendah.
"Dan dia adalah Wiro Sableng Pendekar 212," menambahkan Panji Kenanga.
Sepasang mata buta Nanggala membuka lebar-lebar.
"Pendekar 212?" ulangnya. "Sudah sejak lama aku mendengar nama itu. Sudah sejak
lama aku mendengar kehebatanmu, Wiro ... "
"Saya bukan apa-apa terutama jika dibandingkan dengan kalian orang-orang gagah
yang ada di sini."
"Tidak selamanya yang tua lebih hebat dan lihay dari yang muda," kata Si Botak
Mata Buta pula. "Kita yang tua ini tokh kelak bakal digantikan oleh yang muda-
muda macammu. Sebenarnya jika tidak terpaksa betul kami yang tua-tua dan pikun
ini merasa amat malu masih mengurusi segala macam urusan dunia." Si Botak Mata
Buta diam sejenak. "Astaga!" katanya kemudian, "aku sampai lupa pada muridmu
Karewang. Sayang ... sayang mataku buta hingga tidak dapat melihat kecantikannya."
Orang tua berkepala botak berbadan kurus ini tertawa gelak-gelak sedang Lestari
menjadi merah parasnya. "Hai, hampir aku lupa." Membuka mulut lagi Si Botak Mata
Buta. "Panji aku ada menitipkan sebuah benda padamu tempo hari. Serahkanlah pada
Lestari karena benda itu adalah miliknya."
Panji Kenanga ingat akan seruling perak yang ada di balik pakaiannya. Cepat-
cepat benda ini dikeluarkannya lalu diserahkannya pada Lestari. Baik Lestari
maupun Karewang merasa heran bagaimana senjata mustika itu berada pada Panji
Kenanga. Sebelum mereka bertanya Nanggala membuka mulut memberi keterangan.
"Kalau aku tidak salah suling itu berhasil diambil oleh Tapak Biru sewaktu
terjadi kerusuhan di puncak Dieng. Dengan senjata milik Lestari itu dia malang
melintang lebih berani berbuat kejahatan hingga akhimya aku berhasil merampasnya
dan menyerahkannya pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila bertemu pada
pemiliknya dia harus menyerahkan suling perak terebut. Tidak disangka kalau hari
ini kita saling bertemu hingga suling itu bisa dikembalikan pada pemiliknya.
Bukankah itu suatu pertanda ...?"
"Pertanda apa gerangan maksudmu, sobatku!" tanya Karewang.
"Pertanda bahwa ada jalan yang mempertemukan muridmu dengan murid Brahmana
Lokapala ini! Lebih jelas kalau kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karewang tertegun sejenak. Wiro melirik pada Lestari justru pada saat si gadis
melirik pula pada Wiro hingga pandangan mereka saling bertemu dan membuat si
gadis cepat-cepat menunduk dengan paras merah.
Dalam pada itu Panji Kenanga mencuri pandang pula dan memang sesungguhnya sejak
pertemuan ini, bahkan sejak mula pertama dia melihat Lestari di kedai di kampung
Warnasari, hatinya mengakui bahwa Lestari seorang gadis yang amat menarik. Namun
karena orang yang dicintainya adalah Miani, maka apapun daya tarik Lestari tidak
menjadi persoalan baginya.
"Sobatku Nanggala," kata Karewang setelah lebih dulu mendengarkan suara tertawa.
"Urusan jodoh biarlah kita bicarakan belakangan. Kurasa kurang pantas dilakukan
saat ini dan juga kurang tepat kalau kita berani menyebut-nyebut urusan itu
tanpa setahu Brahmana Lokapala. Bukankah begitu Panji Kenanga?"
"Betul ... betul sekali orang tua," sahut Panji Kenanga.
"Nah, sekarang mari kita bicarakan penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata
Nanggala. "Masuk ke dalam terlalu besar bahayanya. Ini bukan karena aku takut, tapi
Rangrang Srenggi keparat itu memang betul-betul cerdik dan licik. Kita mesti
hati-hati. Panji, coba kau naik ke pohon beringin itu dan selidiki keadaan di
belakang Tembok Darah."
Mendengar ucapan Karewang, Panji Kenanga dengan satu gerakan enteng segera
melompat ke atas pohon beringin. Namun baru saja dia menginjakkan kakinya di
salah satu cabang tiba-tiba laksana tangan-tangan setan, puluhan akar gantung
pohon beringin itu bergerak melibat seluruh tubuhnya. Bagaimanapun diusahakannya
untuk melepaskan diri tetap siasia belaka. Semua orang terkejut melihat kejadian
inil "Benar-benar licik dan cerdik si Rangrang Srenggi itu," kata Nanggala seraya
hendak melompat ke atas untuk memberi pertolongan. Inilah kehebatannya. Meski
buta tapi dapat merasakan apa yang telah menimpa Panji Kenanga.
"Biar burungku yang turun tangan, Nanggala. Mengapa kau mesti susahkan diri."
Berkata begitu Karewang mendongak ke udara dan berseru, "Sultan lepaskan pemuda
itu!" Elang merah yang sejak tadi berputar-putar di atas kepala mereka menguik keras
lalu terbang ke arah pohon beringin. Dengan paruhnya yang tajam laksana gunting
baja, dalam waktu singkat binatang ini berhasil memutus seluruh akar-akar yang
melilit tubuh Panji Kenanga.
"Terima kasih," kata Panji Kenanga lalu dengan cepat turun. Meski dirinya
terlibat tidak berdaya tadi namun sepasang matanya masih bisa meneliti keadaan
di belakang Tembok Darah. Tak seorangpun yang kelihatan. Seluruh bangunan berbda
dalam keadaan sepi. Demikian Panji Kenanga menerangkan. Tapi baru saja dia
selesai berikan keterangan, dari arah Istana Darah menggema suara keras.
"Siapapun yang berada di luar, bersiaplah untuk mampus!"
"Itu suara Rangrang Srenggi!" kata Karewang. Lalu pada Wiro dia berbisik, "Lekas
lakukan apa yang kita telah atur!"
Wiro segera menurunkan orang tua itu dan mendudukkannya di satu puing karang
datar. Dari balik pakaiannya yang menggembung dikeluarkannya sebuah benda hitam
berbentuk bola sebesar dua kepalan tangan. Dia lalu lari ke arah Pintu Gerbang
Darah. "Kau mau bikin apa, Karewang?" tanya Nanggala.
"Lihat saja! Aku akan paksa dajal-dajal itu keluar dari sarangnya. Jika kita
menyerbu ke dalam mungkin terlalu berbahaya dan ... "
Karewang alias Si Pemusnah Iblis tak meneruskan ucapannya karena saat itu dari
belakang Tembok Darah laksana hujan menyembur ratusan benda ke arah mereka.
Ternyata benda-benda itu adalah paku-paku berwarna biru yang merupakan senjata
rahasia yang telah dicelup dengan racun "waja biru".
"Ini pasti perbuatannya si Waranakualit!" kertak Karewang. Tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Satu gelombang angin dahsyat menderu memukul runtuh
serangan paku tersebut. Tapi hebatnya begitu sampai di tanah senjata-senjata
rahasia ini kembali memantul mengirimkan serangan.
16 "HEM ... ada kemajuan rupanya si Waranawikualit itu!" kata Karewang seraya
gerakkan tangan kanannya.
Dari telapak tangan kanan orang tua itu menderu angin yang berputar-putar,
menikung beberapa kali, menyapu paku-paku biru hingga keseluruhannya berkelompok
menjadi satu. Dalam pada itu Panji Kenanga yang sudah tidak sabar mencabut
pedang "Gajah Biru"-nya. Sekali tangannya bergerak, satu sinar biru berkelebat
menyilaukan dan runtuhlah ratusan jarum yang tergabung jadi satu itu dalam
keadaan terpotong dua!
"Pedang bagus ... pedang bagus!" kata Nanggala memuji sambil tertawa senang.
Dalam pada itu Wiro telah berada dua puluh langkah dari hadapan Pintu Gerbang
Darah. Mendadak dari lubang-lubang rahasia yang tak kelihatan di bagian bawah
Tembok Darah bermunculanlah enam kepala merah bertopi tarbus merah yarg ujungnya
berkuncir. Mereka ternyata adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah. Dalam
waktu singkat mereka telah mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah Hulubalang
Darah Kelima Belas sampai Keduapuluh. Wiro tak punya kesempatan lagi untuk
mendekati pintu gerbang lebih dekat maka serta merta bola hitam di tangan
kanannya dilemparkan.
Terdengar satu ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda lindu. Lidah api menjulang.
Sebagian dari atap Istana Darah mental beterbangan ke udara, beberapa tiang
besar runtuh bersama-sama dinding Istana.
"Kurang ajar!" teriak Hulubalang Darah Kesembilan Belas. "Dia telah merusak
Istana! Mari kita bunuh bangsat itu!"
Maka ke enam Hulubalang Darah serempak memukulkan tangan kanan mereka. Enam
sinar merah yang bukan kepalang panasnya menyambar ke arah Wiro Sableng. Yang
diserang maklum kalau lawan-lawannya adalah rata-rata berkepandaian tinggi.
Karenanya dengan tangan kiri kanan Wiro lepaskan pukulan "benteng topang melanda
samudera." Begitu pukulan lawan buyar Wiro menyelinapkan satu jotosan dan satu
tendangan. Tak ampun lagi Hulubalang Darah Kejutuhbelas dan Keduapuluh mencelat roboh. Yang
pertama segera meregang nyawa karena perutnya bobol kena tendangan sedang yang
kedua muntah darah lebih dulu baru lepas jiwanya. Itulah korban-korban pertama
dari Istana Darah!
Melihat kedua temannya menemui kematian begitu rupa, Hulubalang-hulubalang
lainnya berteriak marah lalu mengeluarkan senjata masing-masing dan kembali
menyerbu ke arah Wiro. Namun saat itu serangan mereka tertahan oleh satu
sambaran sinar biru yang menyilaukan yang membuat mereka serempak berseru kaget.
Dalam pada itu terdengar teriakan.
"Wiro biar aku menahan mereka!"
Ternyata saat itu dengan pedang Gajah Biru di tangan Panji Kenanga telah
menyerbu ke tempat pertempuran. Hulubalang Darah Kedelapanbelas dan
Kesembilanbelas dengan penasaran melompat ke muka seraya menyapukan senjata
masing-masing. Namun begitu pedang Gajah Biru menyambar dua kali berturut-turut,
keduanya kontan menjerit dan menggeletak mandi darah. Yang satu tertembus
dadanya, yang lain terbacok parah pangkal lehernya!
Diam-diam Wiro kagum melihat kehebatan pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji
Kenanga bakal dapat menyelesaikan dua lawan yang masih hidup maka tanpa ragu-
ragu ditinggalkannya tempat itu. Dia lari ke samping kanan Tembok Darah dan dari
sini melemparkan bola hitam kedua. Untuk kedua kalinya terdengar suara
menggelegar. Bagian samping kanan Istana Darah runtuh, kerusakan hebat terjadi.
Hulubalang Darah Keduabelas dan Keempat belas yang kebetulan ada di bagian situ
dan tidak keburu menyingkir, menjadi korban.
Ketika sekali lagi Wiro melemparkan bola hitam ke sampirig kiri Istana Darah
boleh dikatakan Istana Darah telah hampir sama rata dengan tanah. Beberapa
Hulubalang Darah menemui ajalnya.
Wiro kembali ke tempatnya sementara Panji Kenanga telah berhasil membunuh dua
Hulubalang yang tadi dihadapinya. Orang-orang itu menunggu. Sampai sepeminuman
teh tak ada seorangpun yang muncul dari belakang tembok.
"Apa mereka sudah pada mampus semua ...?" tanya Nanggala. "Atau bersembunyi?"
"Kita tunggu saja. Pentolan-pentolan dajal itu pasti keluar sebentar lagi ..."
kata Karewang. Dan betul saja. Didahului oleh suara berkerekatan maka terbukalah Pintu Gerbang
Darah dan laksana bobolnya sebuah bendungan mencurahlah cairan merah hingga
seantero tempat kini digenangi oleh cairan tersebut sampai sebatas betis Di
samping cairan itu busuknya bukan main juga di dalamnya kelihatan bergerak-gerak
ratusan ular berbisa!
Semua orang cepat menyingkir ke atas puing karang data di atas mana Karewang
alias Si Pemusnah Iblis duduk.
Panji Kenanga membungkuk dan membabatkan pedang Gajah Biru berulang-ulang
sehingga puluhan ular yang berani datang mendekat segera terpotongpotong dan
menemui kematiannya.
Wiro Sableng lebih hebat lagi. Dicabutnya Kapak Naga Geni serta batu hitam 212.
Setiap kali batu dan Kapok diadukannya satu sama lain maka menderulah lidah api.
Cairan darah muncrat dan menggelegak panas. Ular-ular yang ada di dalamnya
laksana direbus dan hanya dalam tempo kurang dari sepeminuman teh seluruh
binatang itu telah musnah menemui ajal!
Karewang tertawa mengekeh.
"Bagus Wiro, bagus. Kalau tak salah pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang
Darah tengah keluar serombongan orang. Coba kalian perhatikan!"
Memang betul! Empat belas orang berpakaian serba merah melangkah keluar dari Pintu Gerbang
Darah, berjalan memecah genangan darah busuk dengan seenaknya lalu berhenti
kira-kira lima belas langkah di hadapan rombongan Karewang.
Mereka adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang dipimpin oleh jago nomor
satu yang menduduki jabatan sebagai Hulubalang Darah Kesatu dan asli bernama
Waranawikualit. Di belakang rombongan Hulubalang ini menyusul 40 Hulubalang
pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka tidak seberapa tinggi namun jumlah mereka
yang begitu banyak mau tak mau musti diperhitungkan oleh pihak lawan.
"Mereka berjumlah lebih dari lima puluh Eyang ..." bisik Lestari pada gurunya
dan diam-diam segera keluarkan suling peraknya.
"Tak perlu ditakutkan," sahut Karewang perlahan. "Bila mereka berani datang
lebih dekat pasti konyol..."
"Di antara mereka tak kelihatan si Rangrang Srenggi," kembali Lestari berbisik.
"'Hai kenapa raja kalian tidak muncul"! Apa takut mampus"!" Karewang tiba-tiba
berteriak sementara orang-orang dari Istana Darah mulai berpencair, mengurung
mereka. "'Untuk menghajar manusia-manusia pikun macam kamu perlu apa Raja kami mesti
mengotorkan diri turun tangan!" Yang menjawab adalah Hulubalang Darah Kesatu.
Karewang yang mengenal suara itu kembali membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh
besar Waranawikualit. Tapi sayang usiamu tak bakal lama. Apalagi setelah aku
tahu apa yang kau lakukan terhadap dua muridku!"
Waranawikualit atau Hulubaiarg Darah Kesatu mengeluarkan dengus mengejek.
'''Kalau saja kau ingat nasib celaka yang menimpa dirimu dulu, pasti kau telah
miring otak masih berani-beranian datang kemari!" kata Hulubalang Darah Kesatu
pula. Sementara itu dengan ilmu menyusupkan suara Karewang berkata pada Nanggala, "Kau
hadapi dia sobatku. Walau bagaimanapun lawan besar yang harus kuhadapi adalah
Rangrang Srenggi."
"Tak usah kawatir. Kau duduk di sini tenang-tenang. Aku dan lain-lainnya akan
menunjukkan jalan ke liang kubur pada mereka!"
"Bagus. Tapi kalau tidak turun tangan sama sekali kurang enak rasanya," kata
Karewang pula. Maka diapun berseru, "Waranawikualit bedebah! Jika betul nyalimu
amat besar majulah! Bawa semua orang-orangmu sekalian! Hari ini aku akan memberi
pelajaran terakhir padamu sebelum kau jadi makanan cacing-cacing liang kubur!"
"Mulutmu terlalu besar!" teriak Waranawikualit marah. Dia memberi isyarat pada
anak-anak buahnya.
Beberapa Hulubalang maju sedang Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran
kurungan. Tinggal sepuluh langkah dari hadapannya tiba-tiba laksana kilat
Karewang yang bergelar Si Pemusnah Iblis itu tertawa mengekeh dan tangan
kanannya melemparkan sebuah bola hitam.
"Lekas menyingkir!" teriak Hulubalang Darah Kesatu begitu melihat bola peledak
melayang di udara.
Tangan kanannya dihantamkan ke atas. Maksudnya hendak memukul hancur senjata
maut itu sebelum meledak diantara orang-orangnya. Tapi dari angin suara
gerakannya, Karewang cukup tahu apa yang dilakukan lawan. Segera ia mengirimkan
satu pukulan tangan kanan ke arah dada lawannya dan memaksa Hulubalang Darah
Kesatu melompat ke samping.
Tangkisannya luput dan sesaat kemudian bola hitam yang dilemparkan Karewang
meledak di tengah-tengah orang-orangnya. Terdengar suara berpekikan. Sembilan
belas Hulubalang Pengawal roboh ke dalam genangan darah. Darah mereka bercampur
baur dengan darah busuk itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal dan ikut jadi
korban! Dengan demikian yang tinggal kini cuma 9 orang Hulubalang Darah dan 21
orang Hulubalang Pengawal!
Bukan alang kepalang marahnya Hulubalang Darah Kesatu melihat korban-korban yang
berjatuhan di pihaknya.
"Kalau tidak kupecahkan kepalamu detik ini juga biar aku berhenti jadi manusia!"
teriak Waranawikualit lalu sambil melompat dia kirimkan dua pukulan hebat
sekaligus! Dua larik sinar merah menyambar dari pukulannya itu ke arah dada dan kepala
Karewang. Karewang membentak, "Ilmu iblis musnahlah!" Kedua tangannya diangkat. Selarik
sinar pelangi berkiblat dan serangan Waranawikualit benar-benar musnah buyar!
Tapi saat itu dari samping terdengar seruan, "Waranawikualit akulah lawahmu!"
Satu sinar kuning menyambar.
Hulubalang Darah Kesatu membalik gesit dan membentak beringas ketika melihat
siapa yang menyerangnya. "Anjing botak mata buta! Kau yang ingin konyol berani
datang kemari!" Kedua tangannya yang berkuku-kuku panjang bergerak dalam
serangan "Sepuluh cakar sakti meremas bumi" yang amat hebat karena mengandalkan
lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya.
Si Botak Mata Buta yang bukan sembarang orang dengan gerakan mengagumkan
berhasil mengelakkan serangan itu. Akibatnya sepuluh jari tangan Waranawikualit
melabrak batu karang di sampingnya dan batu karang itu hancur lebur!
Bayangkan kalau sepuluh jari tangan berhasil mengermus kepala botak Si Botak
Mata Buta. Untuk beberapa lamanya semua orang tertegun di tempat masing-masing
menyaksikan jalannya pertempuran tingkat tinggi itu.
Perkelahian berjalan terus. Ketika kelihatan Waranawikualit atau Hulubalang
Darah Kesatu mulai terdesak, Hulubalang-Hulubalang Darah lainnya dan juga
Hulubalang Pengawal segera menyerbu ke tengah gelanggang pertempuran untuk
mengeroyok Si Botak Mata Buta!
Melihat hal ini maka Wiro Sableng, Panji Kenanga dan Lestari tidak tinggal diam.
Karena lawan datang mengeroyok dengan mempergunakan berbagai macam senjata maka
ketiganyapun menyerbu dengan senjata di tangan. Di atas genangan cairan darah
busuk itu berkecamuklah pertempuran hebat.
Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni 212 yang mengeluarkan sinar putih
menyilaukan serta suara menggaung seperti ratusan tawon menggila. Panji Kenanga
berkelebat gesit kian kemari dengan pedang Gajah Birunya yang terlihat hanya
merupakan kelebatan-kelebatan sinar biru menderu-deru. Di lain pihak laksana
seorang puteri dari kayangan yang sedang marah, Lestari berubah merupakan
bayangan merah yang berkelebat gesit kian kemari sambil pergunakah suling
peraknya untuk memukul dan menotok kepala atau dada lawan!
Meskipun orang-orang dari Istana Darah rata-rata berkepandaian tinggi namun tiga
lawan yang mereka hadapi, terutama Pendekar 212 Wiro Sableng bukanlah lawan-
lawan kelas rendah yang bisa mereka lakukan dengan sekehendak hati. Dalam tempo
singkat korban demi korban telah berjatuhan dan bergeletakan dalam genangan
darah busuk. Muncratan-muncratan cairan busuk itu mengotori pula pakaian mereka
yang bertempur.
Tiga kali peminuman teh berlalu dan saat itu kelihatanlah bahwa hanya Hulubalang
Darah Kesatu sajalah yang tinggal sendirian berhadapan dengan Si Botak Mata
Buta. Keadaan itupun agaknya tidak bakal berjalan lama karena saat itu tangan
kanan Hulubalang Darah Kesatu telah disentak putus oleh lawannya hingga dia kini
hilang keseimbangan badan dan bercampur macam orang celeng!
Si Botak Mata Buta sendiri bertempur seperti orang main-main dan sambil tertawa-
tawa. Tiba-tiba mulut Hulubalang Darah Kesatu menggembung. Sesaat kemudian
menyemburlah asap biru pekat ke muka Si Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah
maklum kehebatan racun "waja biru" cepat menutup jalan nafasnya dan menyembur
pula ke depan! Dari mulutnya menggebu hawa kuning, membuat Hulubalang Darah
Kesatu terbatuk-batuk dan ketika tubuhnya terlipat ke depan, sepuluh jari tangan
Si Botak Mata Buta dengan cepat mencengkeram lehernya. Hulubalang Darah Kesatu
megap-megap kehabisan nafas, meronta dan melejang-lejang.
"Kreek ...!"
Sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah
Wiro Sableng 016 Hancurnya Istana Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesatu dan hancurlah tulang leher itu. Nyawa Hulubalang Darah Kesatu melayang ke
akhirat! "Pertempuran hebat! Pertempuran hebat!" teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi
dimanakah lawanku"
Mengapa si Rangrang Srenggi masih belum muncul"!"
"Mari kita periksa ke dalam runtuhan Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.
Karewang berpikir sejenak. Akhirnya menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk
mendukungnya kembali. Kelima orang itu dengan merancah genangan darah busuk,
melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan, dengan hati-hati bergerak menuju
reruntuhan Istana Darah. Di mana-mana terdapat sisa-sisa korban api dan dari
setiap jurusan menyambar bau busuk yang memengapkan jalan pernafasan.
"Aneh, di manakah si gila Rangrang Srenggi itu?" ujar Si Botak Mata Buta.
Di ujung sana, dekat sisa reruntuhan dinding tembok sebelah dalam bekas Istana
Darah, Pendekar 212
Wiro Sableng tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika dia menjenguk ke balik
reruntuhan tembok, depan sebuah kolam yang kini dipenuhi puingpuing reruntuhan
serta pecahan patung Rakseksi telanjang, di atas sebuah kursi goyang besar yang
terbuat dari kayu jati bercat merah, duduklah seorang laki-laki katai berpakaian
merah, berambut gondrong awut-awutan berwarna merah dan bermuka bercelomot
darah! Baik kening, maupun hidung serta mulut orang katai ini amat rata sekali
hingga sepintas lalu mukanya licin tak ubahnya seperti sebuah bola! Kursi yang
didudukinya terlalu besar bagi tubuhnya yang kecil itu. Bahkan kedua kakinya
tidak sampai menjejak lantai! Tapi di atas kursi goyang itu dia duduk bergoyang-
goyang seenaknya. Di tangan kiri kanannya terdapat sebuah seloki cairan merah.
Dalam duduk sendirian seenaknya itu dia tertawa-tawa macam orang kurang ingatan.
Wiro memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk mendekat. Ketika semua orang
sudah berkumpul di dekatnya tiba-tiba si katai di atas kursi goyang
menghamburkan tawa gelak berderai hingga kedua matarrya basah oleh air mata!
"Selamat datang tuan-tuan ... Selamat datang di Istanaku yang telah hancur
ini ...!" kata orang katai itu pula.
Tapi tiba-tiba mukanya berubah warna dan dari mulutnya keluar makian.
"Keparat ... sialan! Laknat ...!
Haram jadah! Terkutuk! Mampuslah semua! Mampusl Semuaaa ...!"
Mengenali suara yang mengutuk menyerapah itu Karewang segera membuka mulut.
"Paduka Yang Mulia Raja Gila, setelah istanamu hancur, setelah begundal-
brgundalmu konyol, apakah kau masih menganggap dirimu masih sebagai raja?"
"Kalau asalku raja tetap raja. Hari ini aku telah menjadi raja akhirat untuk
mengirim kau dan yang lain-lainnya ke akhirat!" Selesai berkata begitu manusia
yang menganggap dirinya sebagai raja itu tertawa gelak-gelak.
"Rangrang Srenggi. Otakmu yang miring rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang!
Hari ini kau harus mempertanggungjawabkan segala kejahatan yang telah kau
perbuat!" Rangrang Srenggi mendengus. Digoyang-goyangkannya badannya di atas kursi goyang
lalu sambil mengacungkan dua buah seloki yang dipegangnya dia berkata,
"Sebelum kita meneruskan pembicaraan mari kujamu kau dengan arak darah ini!
Datanglah ke hadapanku. Eh... apakah kedua kakimu yang kubikin buntung tempo hari
sudah disambung dengan kaki palsut!"
Paras Karewang merah padam namun dia ganda tertawa mendengar ucapan itu dan
menjawab, "Justru aku datang kemari untuk minta tolong dibuatkan sepasang kaki
palsu." Karewang lantas balas tertawa.
Rangrang Srenggi memencongkan mulutnya.
"Aku akan buatkan cuma-cuma untukmu. Namun terlebih dulu teguklah arak darah
ini!" Habis berkata begitu Rangrang Srenggi membuka tangan kanannya dan seloki
arak di tangan kanan itu melayang perlahan-lahan ke arah Karewang.
"Wiro dudukkan aku di runtuhan tembok agar aku bisa menyambuti suguhan tuan
rumah!" kata Karewang. Maka Wiropun mendudukkan orang tua itu di atas runtuhan
tembok. Sementara itu seloki yang berisi arak darah melayang menuju ke tempat Karewang.
Kira-kira satu meter lagi dari hadapannya. Karewang menguiurkan tangan seperti
hendak menyambuti. Tapi dari tangan kanannya justru keluar selarik angin yang
membuat seloki tertahan di udara. Dan bukan sampai di situ saja. Malah kini
seloki itu kelihatan mundur. Betapapun Rangrang Srenggi mengerahkan tenaga
dalamnya tetap saja dia tak sanggup mendorong seloki tersebut ke arah lawannya!
*** 17 "HA...HA...HA...! Rupanya seloki itu malu-malu datang ke hadapanku! Biarlah
bagianku itu kau ambil saja!"
kata Karewang seraya mendorongkan tangan kanannya lebih keras.
Dengan muka merah karena malu Rangrang Srenggi menyambut seloki arak itu.
Sadarlah dia bahwa tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Perlahan-lahan
dengan tenang dia meneguk habis darah busuk yang ada dalam seloki satu demi
satu. Lalu seenaknya kedua seloki kosong itu dilemparkannya hingga pecah
bertaburan. Dia kemudian tertawa bekakakan lalu kembali memaki kata-kata kotor.
Tiba-tiba dia memejamkan kedua matanya. Dalam memejamkan mata itu dia kemudian
mengajukan pertanyaan.
"Karewang, sudah siapkah kau untuk pergi ke akhirat!"
"Sudah sejak dari dulu-dulu, Srenggi," sahut Karewang.
"Bagus!"
Bersamaan dengan ucapan "bagus" itu Rangrang Srenggi menendangkan kaki kanannya
yang kecil. Sesiur angin yang amat dingin meluncur ke arah Karewang.
Yang diserang menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu tubuh itu melesat setengah
tombak ke atas.
Serangan lawan lewat di bawahnya, menghantam runtuhan tembok di mana tadi
Karewang duduk hingga hancur lebur.
Karena temtok itu kini sudah jadi sama rata dengar tanah orang menyangka
Karewang akan jatuh terbanting ke tanah. Tapi hebatnya orang tua berkaki buntung
ini dengan senyum-senyum melayang turun dan duduk bersila di tanah tanpa
menimbulkan sedikit suarapun!
"Kini giliranku, Srenggi!" seru Karewang.
Kedua tangannya ditepukkan ke depan. Kursi goyang yang diduduki Rangrang Srenggi
hancur berantakan. Tapi si katai itu sendiri sudah melompat ke lain tempat dan
di lain kejap laksana topan prahara menyerbu ke arah Karewang.
Orang tua bermata buta dan berkaki buntung itu tetap duduk dengan tenang di
tempatnya. Telinganya dipasang benar-benar untuk mengetahui serangan apa dan
dari mana datangnya. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya, menangkis! Empat
lengan mereka saling beradu!
Rangrang Srenggi terpekik. Tubuhnya terbanting ke tanah sedang Karewang yang
hilang keseimbangannya jatuh terguling-guling tapi cepat bangun dan duduk
bersila kembali!
Si katai Rangrang Srenggi dengan amarah meluap mencabut sebilah pedang tipis
berwarna merah darah dan melompat ke hadapan Karewang.
"Licik!" teriak Lestari seraya melompat dan menyerang Rangrang Srenggi dengan
suling peraknya.
"Guruku tidak pakai senjata, mengapa kau menyerang dengan pedang!"
"Bocah jelita. Kau minggirlah!" bentak Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan.
Angin yang menderu keluar dari senjata itu hebat sekali hingga Lestari yang
terkena terpaannya terjajar enam langkah ke belakang!
"Biarkan saja Lestari! Biarkan dia menyerang dengan pedang!" terdengar suara
Karewang, "Dia tolol kalau menganggap gurumu yang pikun ini adalah Karewang
beberapa tahun lalu, buta dan buntung!"
Lalu orang tua ini dengan sikap acuh tak acuh menyilangkan kedua tangan di muka
dada sedang sepasang matanya yang buta terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-
ubunnya tampak keluar asap warna ungu. Asap ini dengan cepat menutupi sekujur
tubuhnya. Sesaat Rangrang Srenggi tertegun. Namun kemudian dia teruskan serangan
pedangnya. Senjata ini bergaung mencari sasaran di arah leher Karewang.
Tapi aneh! Begitu pedang membentur lapisan asap ungu, maka senjata itu terpental
kembali laksana menghantam satu dinding yang luar biasa atosnya.
Rangrang Srenggi jadi penasaran. Dia mengumpulkan seluruh tenaga dan menghujani
tubuh lawan dengan bacokan terus menerus. Namun bagaimanapun dicobanya untuk
membacok, menusuk, membabat, tetap saja pedangnya tidak mampu menerobos lapisan
asap ungu yang aneh itu!
"Gila! Gila ... gila!" teriak Rangrang Srenggi kalap.
Tiba-tiba cepat sekali Karewang mengulurkan tangan kanannya. Dan entah dalam
gerakan bagaimana tahu-tahu dia sudah berhasil merampas pedang merah di tangan
Rangrang Srenggi. Selagi lawan berada dalam keadaan tertegun kaget, senjata itu
sudah menyambar datar di bawah pinggangnya dan cras! Putuslah tubuh Rangrarig
Srenggi sebatas pinggul!
Darah menyembur dari dua bagian tubuh yang terpotong itu. Rangrang Srenggi
berteriak-teriak, memaki dan mengutuk menyerapah. Namun detik demi detik
suaranya semakin kecil melemah. Pada saat tubuhnya tak berkutik lagi suaranyapun
lenyap dan nyawanya lepas!
"Seorang iblis telah musnah! Bukankah pantas aku diberi gelar Si Pemusnah
Iblis"!" Karewang lalu tertawa gelak-gelak.
T A M A T Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Tumbal Perkawinan 3 Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Pendekar Latah 6