Sepasang Iblis Betina 1
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina Bagian 1
1 MATAHARI yang tadi bersinar amat terik
kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam
yang datang berarak dari arah timur. Sesaat
kemudian langitpun mendung hitam. Hujan
rintik-rintik mulai turun disertai sambaran
kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat
menyabung. Sekali lagi pula guntur
menggelegar membuat seantero bumi
bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini
berganti dengan hujan lebat. Demikian
lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan
saja layaknya dari atas langit.
Sekejap saja segala apa yang ada di
bumi menjadi basah. Laut menggelombang,
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
sungai menderas arusnya, sawah-sawah
tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang
sungsum. Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua
orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka
di samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat
lari dengan amat cepatnya.
Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak
mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil
perhatian terhadap batu-batu licin yang mereka lompati dalam lari mereka yang
laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu
nyatanya dua orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan
itu jelas keduanya bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka
berhenti di satu bagian bukit yang terjal.
Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air
hujan. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-
masing. Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas
kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus ramping.
Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir
hujan dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu...."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang
diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah
kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang
bulat telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat
itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki
bukit sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka,
namun itu tidak mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya
melompati sebuah anak sungai. Kilat tiba-tiba menyambar lagi. Gadis baju kuning
yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak!
Tunggu!" "Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan
larinya dan berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa
tahu ..." "Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik
lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi
terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang
tertutup berdiri seorang tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak
baunya. Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri
dua orang gadis berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua
gadis itu bukan manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa
kau lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan
si orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang
tua hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah
siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol.
Begitu pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih
kelihatan menghambur lewat jendela samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya
mencekal leher pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu
gerakan kilat dia membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru
dia salah tindak karena arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari
samping. Kini dia terkurung di tengah-tengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam apakah"!" si pemuda berkata dengan suara
keras. "Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua
puluh tahun. Wajahnya cakap dan kulitnya kuning.
Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh di balik tawanya itu. Dan
bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati
di tangan kami!"
"Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah
turutkan kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian ..."
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau ya"!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap
salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon
waru. Tak ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya
putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan
rambutnya. Dia berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini."
Keduanya segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba
Nilamaharani menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu ..." ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia
sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus
dilakukannya. Kepala orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
*** 2 HUTAN Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang perburuannya. Mulai
dari kelinci sampai pada rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena itulah Adipati-
adipati di Jawa Tengah dan setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan
perburuan di hutan tersebut.
Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang pembantunya berangkat ke
hutan Bintaran untuk berburu. Menjelang tengah hari mereka telah berhasil
membunuh tiga ekor kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu merah.
Tepat sewaktu matahari mencapai titik tertingginya, putera Adipati itu duduk
melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
"Sejuk sekali air telaga ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua
kakinya ke dalam air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya
tidak salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit cerita
tentang sampai bagaimana telaga itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak di
seberang mereka muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang kian kemari
lalu melangkah lebih dekat ke tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika
anak panah hendak dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak
rusa itu bagus sekali bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar.
Hatinya pun tak tega untuk membunuh binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa
ini cukup jinak, maka Aryo Damar akhirnya memutuskan untuk menangkapnya hidup-
hidup. Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian dia sudah
mengendap-endap di belakang anak rusa itu. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat
dari ayahnya. Karenanya dia bisa bergerak cepat. Begitulah, ketika tinggal
beberapa langkah lagi, Aryo Darmo laksana seekor harimau melompat menerkam anak
rusa itu. Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga
Aryo Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya untuk
jungkir balik pasti tubuhnya akan terjun ke dalam telaga!
Yang membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh,
tapi berdiri sekitar enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang kepadanya
dengan mengendip-endipkan sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati
Muntilan itu untuk menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo melompat. Hampir
pemuda ini berhasil menangkap tengkuk binatang itu, si anak rusa melompat binal
dan lari ke dekat serumpun semak belukar yang terletak sepuluh langkah dari si
pemuda. "Sialan!" maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah"! Kau musti
dapat kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada
jauh dalam rimba belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda ini
akhirnya mendudukkan dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri
dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh darinya dan mengedip-
ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup bangkaimupun tak jadi
apa!" Lalu dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah
tempat hingga keris yang dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun
akan kukejar kau!" Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu.
Dengan demikian semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat.
Sementara itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi mengikuti
gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap karena rapatnya pohon-pohon dan semak belukar
yang tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan.
Pemuda ini menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya
suara lengking binatang itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu
di hadapannya muncul dua orang dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang dari
mereka memegang anak rusa yang sejak tadi di kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa.
Di bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa" Kenapa berada
dalam rimba belantara begini rupa?"
"Aku Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan
senyumnya yang memikat, "Kalau kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai
gantinya kau mau berikan apa?"
"Ah, kau baik sekali saudari. Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh
orang-orangku untuk mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah
kepada kalian berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani mengangguk. "Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-
orang suruhanmu. Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk
mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan," jawab Aryo Darmo. Sudah barang tentu mana ada
pemuda yang ; menolak begitu saja ajakan dara berparas secantik ' Nilamaharani
itu" "Tapi", kata Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata
Nilamaharani pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tak hentinya bercakapcakap.
Demikian gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu
hingga boleh dikatakan dia hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja
anak rusa itu bukan ditangkap dan diberikan oleh Nilamaharani, mungkin sudah
sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu
daerah berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di sebelah
barat, diikuti oleh Aryo Darmo. Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik
itu maklumlah si pemuda bahwa keduanya orang-orang berilmu. Dengan mengandalkan
ilmu lari yang diajarkan ayahnya, dicobanya menyamai lari keduanya, namun siasia
belaka. Dan diam-diam Aryo Darmo jadi tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit yang di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak
belukar lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo Darmo memotong. Lalu setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang
dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu sepotong
kayu yang ujungnya berapi dan memancarkan sinar kehijauan, tertancap kedinding.
Ternyata di situ ada dua buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti
ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk", kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya,
dara ini mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku
hendak keluar sebentar"
Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu,
Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan
itu karena sebelumnya Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya di tujukan pada pelita
kayu aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis mengerti bagaimana ada
sepotong kayu yang dibakar terang begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya
mengeluarkan sinar kehijauan dan berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan
begitu rupa dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil.
Sebaliknya bau harum bertambah-tambah, membuat pemuda ini merasa adanya aliran
hawa aneh di dalam darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin santar juga
bau harum itu dan detik demi detik Aryo Darmo semakin terangsang dibuatnya.
Dari ruangan dalam Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling dan... Untuk beberapa
saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua matanya menyipit. Lalu cepat-cepat
dipalingkannya kepalanya. Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani
melangkah ke hadapan pemuda itu.
Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain, tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas pemuda itu serasa terhenti
tapi dadanya ikut berdebar dan darahnya bergejolak. Betapakan tidak! Dara itu
telah berganti pakaian dengan sehelai pakaian sutera kuning yang amat tipis
hingga jelas kelihatan potongan tubuh dan pakaian dalamnya. Senyum yang
dilayangkannyapun lain dan aneh. Ini dirasakan betul oleh Aryo Darmo, membuat
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rangsangan aneh yang menjalari tubuh pemuda itu semakin menjadi-jadi.
"Kau melamun agaknya, saudara Aryo," ujar Nilamaharani.
Pemuda itu memalingkan kepalanya sedikit. "Adikmu pergi ke manakah?" tanya
putera Adipati Muntilan itu.
"Ah, dia kenapa dipikirkan" Biar saja dia pergi ke manapun tak usah kita
ributkan."
Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima kasih. Kenapa musti susah?""
"Jangan pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo Darmo hendak menjawab agar minuman itu dibawa saja ke tempat itu. Namun
sebelum itu terucapkan Nilamaharani telah menarik lengannya dan membawanya masuk
ke ruangan dalam. Di ruangan ini ada pelita kayu yang aneh yang sinarnya lebih
suram dari ruangan sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar. Dan
dalam kesamar-samaran itu Aryo Darmo masih dapat melihat kalau saat itu dirinya
dibawa ke arah sebuah pembaringan.
"Maharani, apakah maksudmu membawaku ke sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara
bergetar. "Aryo, kau tahu apa maksudku", jawab Nilamaharani berbisik ke telinga si pemuda
hingga hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Aryo Darmo. Kemudian pemuda ini
merasakan lengan kiri sang dara melingkar di pinggangnya.
"Maharani kau ..."
Ucapan itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo karena saat itu Nilamaharani
mendekatkan parasnya ke wajahnya dengan amat berani. Kemudian dirasakannya bibir
gadis itu menempel di atas bibirnya.
"Maharani, aku ..."
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa meneruskan kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena
diberati tubuh gadis itu. Akhimya keduanya terguling ke atas pembaringan.
"Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku perempuan. Jangan jadi orang
bodoh!" "Tapi ..."
"Tidak ada tapi-tapian Aryo."
Dan sikap malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma sampai di situ. Laksana
seekor ular besar yang kelaparan pemudaa itu menggeliat atas pembaringan dan
nmerangkul tubuh Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu
sampai ke tulang-tulangny.
Desau nafas panas dan tertawa berguman Nilamaharani membakar darah Aryo Darmo,
membuat dia berlaku lebih berani lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan
Aryo Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan pemuda itu laksana geledek.
"Maharani, kau ... !"
Teriakan yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi pula dengan pekik
Nilamaharani. Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambamya pakaiannya lalu melompat dari
pembaringan. "Aryo! Kembali!" teriak Nilamaharani.
Mana pemuda itu mau kembali! Apa yang dilihat dan diketahuinya tak akan membuat
dia kembali meski didepannya saat itu, menghadang setan kepala sepuluh
sekalipun! Malah pemuda ini memaki beringas.
"Manusia keparat! Terkutuklah kau jadi puntung neraka!" Dia terus menghambur ke
pintu goa. Tapi baru saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda bangsat! Kau berani bermulut kotor terhadap saudaraku. Terimalah
kematianmu!"'
"Wuuut"!
Selarik angin deras menyambar ke arah Arya Darmo!
*** 3 DENGAN sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga serangan mendadak yang
berbahaya itu berhasil dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan lagi
melesat ke arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo
Darmo. Habis membentak begitu dengan tak kalah hebat dia mengirimkan serangan balasan
berupa satu tendangan ke uluhati lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara yang kemudian
melancarkan serangan balasan yang amat berbahaya. Terlambat sedikit saja
pastilah kepala Aryo Darmo akan dihantam satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi
tercekat hatinya. Dari gerakan serangan serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa
gadis itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih tinggi darinya. Pada
dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri.
Tapi apa yang diketahui dan yang telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah
membuat pemuda ini kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus
memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku jangan biarkan bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari
sibakan semak belukar di mulut goa.
"Tentu saia kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat
lihay' yang bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat tinggi ke
udara dan, di lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi
dengan seringai buruk.
"Perempuan dajal! Kau kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya
berkelebat melancarkan satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan langkah.
Sebelum pukulan tangan kosong tersebut sampai, dia membuat satu lompatan sebat
dan tahutahu tangan kirinya telah menderu ke batok kepala Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau
andalkan"!"
kata Nilamahadewi dengan tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah gadis
itu berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran
si pemuda mengirimkan serangan susulan yang bernama "empat dewa murka". Serangan
ini mempergunakan kedua tangan dan kaki yang digerakkan susul menyusul dan
kehebatannya cukup membuat kagum karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu
hanya tinggal bayangbayang saja.
"Jurus empat dewa murka!" seru Nilamaharani yang datang dari belakang dengan
mengeluarkan suara dari hidung. Sekali tangannya bergerak, serangkum angin
menderu dahsyat.
Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari serangannya
sewaktu dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat dia melompat
ke samping, tapi masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan
kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar angin amat dingin itu
menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi sedang hawa dingin mencucuk
menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
"Celaka!", keluh pemuda itu dalam hati. Keringat dingin memercik dikeningnya.
Kedua dara berbaju kuning sementara itu hanya beberapa langkah saja di
hadapannya dan sama-sama siap melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari
pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan senjata itu tanda benda tersebut
bukan senjata sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda
itu lalu dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani
tapi juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan,
permainan keris Aryo Darmo sudah terkenal hebat di samping ayahnya sendiri. Tapi
hari itu kehebatannya tidak dipandang sebelah matapun oleh kedua dara berbaju
kuning itu. Bahkan dengan senyum mengejek mereka maju mendekat lalu melesat di
antara sambaran keris dan di lain kejap terdengarlah dua kali suara bergedebuk
yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali lalu diam
tak berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh
pula, kakak?"
bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil
memperhatikan tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu kanannya
hancur. "Pemuda tolol," desis gadis itu. "Aku katakan padanya akan menyelamatkan
dirinya dari kematian bila dia melakukan apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari
kamar itu ...!"
Nilamahadewi tak berkata apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti
kehendak kakaknya, kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya
kakaknya berlalu dari situ diapun mengikuti,
*** Ketika mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya memasuki halaman
Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah mengadakan
pembicaraan dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main
melihat dua orang pembantu Kadipaten muncul membawa usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan"
berdiri dari kursinya.
"Ada apa" Siapa yang kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua
pembantu tersebut menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi
sosok tubuh di atas usungan kayu.
"Anakku!" teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang
menjadi mayat dan menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir
di situ bagai terpaku di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat
kepala putera Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah.
"Apa yang telah terjadi"! Lekas katakan apa yang terjadi"!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku
pergi berburu bersama kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi pembantu
itu membuat dia hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kehajar pula"!" bentak Jala Wisena pada
pembantu yang satu lagi.
"Benar Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke
hutan Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada waktu
itu muncullah seekor anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga
sedang dia sendiri pergi menangkap anak rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu
dia tidak kunjung kembali kami jadi kawatir lalu pergi mencarinya. Ketika kami
temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa"!"
"Mungkin sekali dia telah dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di sekitar Bintaran sama sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun
tidak!" jawab Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju pada jari manis tangan kanan
anaknya. Di jari manis pemuda itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu
hijau. Ini satu pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh oleh perampok.
"Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah
pula. "Boleh jadi," sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi
seingatku anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan lain orang."
Kemudian dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata, "Antarkan aku ke tempat
kau menemui mayatnya.
Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah . . . ".
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya karena dari pintu
ruangan dalam terdengar jerit istrinya yang kemudian lari ke arah mayat
puteranya yang masih menggeletak di atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat
hati Adipati Muntilan ini laksana disayat-sayat dan di lain pihak gelora
amarahnya semakin membara. Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya
dapat dipertenang maka bersama keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang
pembantunya berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten
bilamana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah
kelihatan jelas.
Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian
sepasang mata Adipati Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera
diambilnya. Benda itu adalah keris milik puteranya. Sambil menimang-nimang
senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ telah
terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa" Perampok sudah jelas
bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup bisa
diandalkan. Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian, nyatalah lawannya seorang
yang berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar situ tempat kediamannya
seorang sakti yang tak mau tempatnya dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya
si orang sakti memergoki puteranya dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang
banyak bukitbukitnya itu. Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas
dilihatnya bekas-bekas tapak kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi
perkelahian. Dia memandang berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang
mencurigakan. Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat orang Lurah serta
pembantu Kadipaten itu, tak seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka
tengah menjadi incaran dua pasang mata yang tersembunyi di balik semak belukar
lebat. "Bagaimana pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain
adalah Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti
sia-sia. Atau mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu,
membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang".
Setelah berunding maka kedua gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara
di luar sana Adipati Jala Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar situ
dengan seksama.
Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak hendak meninggalkan tempat itu bersama
rombongannya mendadak entah dari mana datangnya melesatlah sebuah benda putih di
hadapan mereka dan menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat
mengambil benda itu yang temyata adalah segulungan kertas. Ketika dibuka, di
bagian dalam gulungan terdapat tulisan yang berbunyi:
"Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-orangmu ke Telaga
Intan Dewi, Kau sendiri harus pergi ke sebelah barat."
Jala Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat Lurah. Untuk beberapa lamanya
mereka saling berpandangan dan diam dalam jalan pikiran masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan
gulungan surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin," sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula
petunjuk dari seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah menimbang
lebih dalam akhirnya lakilaki itu memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam
surat tersebut. Keempat Lurah itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke
jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke barat.
Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk kembali ke
hutan Bintaran sebelah timur. Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar
matahari boleh dikatakan tak dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak
belukar yang tumbuh di sana.
Belum jauh dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh
suara teriakan perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah
datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita berpakaian kuning dilihatnya
terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi dan membayangkan
rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian rupa hingga
jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis muda, apakah yang terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah gadis
itu berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si gadis.
"Sa . . . satu makh . . . makhluk aneh hendak menyergapku," jawab gadis itu
seraya bangun dan membetulkan pakaiannya yang tersingkap.
"Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku . . . aku mengejar kupu-kupu ... aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu
kelihatan terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari sini?".
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak . . . tak berapa jauh. Tapi .... kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak
bisa berjalan. Oh ....
tolonglah!"
"Mari kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang
gadis itu dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah dukung .... aaa."
Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis itu
kelihatannya menderita sekali. Ditolongnya berarti dia harus mendukung tubuh
gadis itu dan ini membuat hatinya berdebar dan darah dalam tubuhnya mengalir
lebih cepat dari biasanya.
"Aduh .... tolonglah," terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung si gadis dan
membawanya ke sebuah tempat di kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon beringin itu," kata gadis baju kuning.
Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan.
"Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah
akar gantung yang berdempetan ditariknya maka terdengar suara berderak dan
batang pohon beringin di hadapannya yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah
pintu. Si gadis menyuruhnya masuk.
Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke dalam. Pintu di
belakangnya kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena seorang yang banyak
pengalaman dalam dunia persilatan. Tak syak lagi dia bahwa gadis itu adalah
murid seorang sakti yang diam di tempat tersebut.
Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang
luasnya cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah
tangga yang menuju ke sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari
ruangan di belakang pintu tersebut.
"Itu tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai diambang
pintu yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki ini sewaktu melihat ruangan
yang amat bagus di hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah kamar lengkap dengan
pembaringan. "Baringkan aku di tempat tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya
Adipati Jala Wisena.
"Sebelum aku menjawab, sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau
adanya," kata gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa
adanya Jala Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!" si gadis kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu
seenaknya. Tidak tahunya kau seorang berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan
kelancanganku Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai berada di hutan Bintaran?"
Jala Wisena tak segera menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari
seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus
kelihatannya. "Bau apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum
semerbak. Dia memandang berkeliling karena dirasakannya kamar itu bertambah suram dari
sewaktu mula-mula dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh
yang terbuat dari kayu yang ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya.
"Terima kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru" Aku berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . .
" Karena sebelumnya yakin bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu
dia dan gurunya kenal baik seluk beluk daerah sekitar bebukitan di situ dan
hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa
gerangan?"
"Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan
giginya besat-besar merupakan taring. Ngeri sekali ... Tak mau aku mengingat-
ingatnya Adipati. Kuharap kau jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi ...."
"Kau tentu tak tinggal sendirian di sini ...."
"Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih
belum kembali."
"Siapakah gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis
itu. Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah tersingkap
membuat betis dan sebagian pahanya menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak
ada kawan untuk penghibur hati.
Sementara itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya.
Aliran darahnya tidak seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi dari
situ. "Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku Nilamahadewi..."
"Baiklah, sampai bertemu lagi Nila ... "
"Tunggu, jangan pergi dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi
tempat tidur. "Aku harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai segala macam peradatan Nila!"
"Tapi ..." Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh," kata
Adipadi Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena dilihatnya
gadis itu hampir jatuh terjerembab.
Namun sebelum tangannya memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap
dalam satu gerakan totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena
menjadi kaku tegang!
"Nila, apa-apaan ini"!" seru Jala Wisena.
Nila Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk selanjutnya
Adipati itu tak bisa membuka suara lagi karena urat lehernya sudah kena ditotok!
Dalam keadaan tak berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang
mata Adipati Muntilan ini membeliak besar sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-
jari tangan Nilamahadewi satu demi satu membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
*** Matahari telah condong ke barat. Empat orang Lurah dan seorang pembantu
Kadipaten Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan Dewi mulai
merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana
mereka telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi...
"Gusti Allah!" jerit salah seorang Lurah yang; berada di paling depan.
Langkahnya terhenti, demikian juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu cuma
seketika karena kelimanya kemudian berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala
Wisena yang menggeletak di tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak bernyawa
lagi! *** 4 DESA tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur dan penduduknya hidup
tenteram. Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti malam akan
diadakan pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta perkawinan anak laki-
lakinya yang tertua dengan seorang gadis desa yang berwajah ayu, berkulit hitam
manis. Di halamaw depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang
golek. Hiburan semacarn ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang
hati penduduk jadi bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi
baru akan dimulai tapi telah banyak orang - terutama anak-anak - yang berkumpul di
sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah
penduduk desa Tembilangan dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong
menghadiri pesta perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji
kecantikan pengantin perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa
kagum akan kegagahan wajah pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu
bulan satu matahari, demikianlah orang-orang memberikan perumpamaan.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya.
Malam itu sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita
Bharatayuda. Semua orang menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana
tegang terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu
salah seorang dari lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang
saudara itu, berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana
atau Suyudana. "Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng. "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang
sebuah gada di tangan. Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan yang penuh
ketegangan itu tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di atas kepalanya
yang dibarengi dengan ucapan persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu,
"Memang saat inilah yang aku tunggu--
tunggu...!"
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan penuturannya. Semua
memandang ke hadapan panggung di mana berdiri dua orang dara berbaju kuning yang
parasnya cantik sekali. Untuk sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi sepi
yang tidak enak.
"Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki
dalang. Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi
beliakkan matanya dan membentak. "Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan dengan
kau!" Kebopamenang, Kepala Desa yang mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya
dan melangkah ke hadapan dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik, siapa gerangan kalian" Mengapa datang dengan cara begini
rupa?" "Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si
dara yang di samping kanan menjawab.
Tentu saja ucapan itu membuat merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu
tadi terang-terangan menyebut namanya seenaknya saja padahal dia telah berusia
lebih dari enam puluh!
"Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta
perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap
kalian suka angkat kaki dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk
mengambil pengantin laki-laki!"
"Jangan membanyol tak karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang membanyol"!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit
pelajaran padamu!"
Habis berkata begitu, entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"! Sebuah
tamparan menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah dan sebuah
giginya tanggal!
"Gadis keparat!" teriak Kebopamenang marah bukan main. Tangan kanannya yang
membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua
tangannya digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil ditangkapnya
terus diputar dan sesaat kemudian tubuh kepala desa itu benar-benar dilempar
melayang ke atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu terus
menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk centang perentang!
Semua orang kaget bukan main. Beberapa diantaranya ada yang maju ke muka untuk
memberi hajaran pada gadis-gadis yang berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa
yang hendak mereka lakukan itu tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi
tambah kaget bukan main karena saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah
tidak ada! Dan lebih lebih kaget lagi karena pengantin laki-lakipun lenyap dari
pelaminan sedang pengantin perempuan tampak menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke mana aku"!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada
di atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa
Munggul. Dialah pemuda yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang yang kini
dilarikan oleh Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul
..." "Aku tak kenal kau dari mana kau tahu namaku" Apa maksudmu melarikan diriku"!"
Nilamaharani tertawa.
"Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal kau
temui bersamaku ...". Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi karena
adiknya memotong dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa maksud malam pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul
mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara jelita serta
ucapan dara itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora, tapi saat itu Mahesa
Munggul merasa sangat tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah
semak belukar. Dia heran sekali karena sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah
ruangan yang diterangi dengan sebuah pelita aneh. Belum habis rasa herannya itu
dia sudah dibawa pula memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di atas
tempat tidur yang empuk.
Bau harum yang aneh dan merangsang menabur hidung pemuda itu. Dilihatnya api
pelita di dalam ruangan bertambah kecil sedang bau rarum yang merangsang makin
bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di tubuhku," Mahesa Munggul berkata dengan suara keras. Dia
merasa heran kemana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat
tidur. Di pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau
keras kepala..."
"Kau mau berbuat apa terhadapku"!"
"Ah, jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa..." kata Nilamaharani. Tiba-
tiba dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang pemuda sudah barang tentu tak akan menolak jika dicium oleh dara jelita
seperti Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa Munggul merasakan satu keanehan
yang mendirikan bulu tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa
Munggul. Diciumnya lagi pemuda itu dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap
ke bawah pinggang. Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan
ditotok mungkin dia sudah melompat dari atas tempat tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas kau lepaskan totokankul" teriak Mahesa Munggul
menggeledek. Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani...
semakin berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda
rangsangan yang tak pemah dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani
melepaskan totokan di tubuhnya, pemuda ini sudah lupa daratan den lupa segala
apa yang dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan seorang pemuda yang
ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur,
Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung hendak meramuk mangsanya.
Gadis itu tertawa dan menggeliat-liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dinding detik demi detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu
menjadi gelap. Hal ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang
benaknya sudah tertutup nafsu.
*** Sebuah gerobak barang yang memuat segala macam sayur mayur meluncur di jalan
buruk yang menuju ke desa Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan
terasa segar. Gerobak itu dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya duduk
seorang anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh
makhluk jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa. Sejak
malam tadi seluruh penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul, dan sampai
pagi ini pemuda itu masih belum berhasil ditemukan..."
"Kemungkinan... jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang
dikemudikannya meringkik keras dan menaikkan kedua kaki depannya hingga gerobak
sayur itu hampir saja terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki perngemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah
jalan beberapa langkah di hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki
yang tidak mengenakan pakaian barang selembar benangpun. Sekujur tubuhnya penuh
dengan benjat benjut bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, pengemudi gerobak
sayur itu mendekati sesosok tubuh di tengah jalan itu. Meski sebagian besar muka
orang yang terhantar di tengah jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi
pengemudi gerobak masih bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak laki-
lakinya yang juga mengenali berteriak,
"Ay... ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
*** 5 DI PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng bukit sejak pagi tadi kelihatan berkelebat
kian kemari satu makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung
raksasa yang tengah mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila
didekati temyata dia bukan lain seorang manusia juga adanya yaitu seorang nenek-
nenek berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh serta ilmu
larinya yang hebat dia berkelebat kian ke mari seolah-olah ada sesuatu yang
sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi
lalu memandang berkeliling.
"Heran," katanya dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran
telah kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur
itu lebih tajam dari mata seekor burung elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya
kali ini tak berdaya untuk menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam dan siang berganti
malam, nenek-nenek itu masih juga berkelebat kian ke mari. Namun akhirnya dia
tahu apa yang dilakukannya itu adalah sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak
bukit ang paling tinggi dan duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang mulai bersembulan di angkasa raya, sewaktu rembulan
tampak memunculkan dirinya di langit biru maka dari puncak bukit yang paling
tinggi itu terdengarlah suara nyanyian yang menggema ke seluruh penjuru bahkan
menyejak masuk ke dalam hutan Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya
mengeluarkan suara yang menegakkan bulu roma kini diam gelisah.
Seluruh bebukitan dan hutan belantara, seluruh epekatan malam serta siuran angin
dingin, telah dicengkam oleh suara nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suata helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya
kembali terdengar suara nyanyian itu.
"Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan ...."
Demikianlah sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga terus terdengar
dari puncak bukit diulang-ulang dari baris pertama sampai baris terakhir.
Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu bukit dua orang gadis
berpakaian kuning duduk saling pandang. Mereka adalah Milamaharani dan adiknya
Nilamahadewi. "Aku yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara
guru. Bagaimana pendapatmu" Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi kepada
kakaknya. Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi
meninggalkan tempat ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai
kapanpun tak akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah
berbukit-bukit ini. Sampai berapa lama kita bisa menunggu di sini" Sampai mati
kelaparan karena kehabisan makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia
pasti melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil
itukah nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak dilahirkan aku bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni
Mindi Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita
tunggu sampai matahari terbit...
"Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian. "Hidup sebatang
kara .... penuh sedih dan derita...
*** Sewaktu sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak bukit yang paling
tinggi di daerah itu, nenek-nenek berjubah kuning yang telah menyanyi sepanjang
malam, melihat dua buah titik kuning d lereng sebuah bukit yang terletak jauh di
sebelah barat. "Nah . . . . nah . . . , nah .... Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari
persembunyian mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput
diwajahnya kelihatan bertambah banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang
matanya yang mengabur memantulkan sinar aneh. Tanpa membuang tempo lagi nenek-
nekek ini segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya. Kelihatannya sepasang
kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi hebatnya dalam waktu
yang singkat dia sudah berada jauh dari puncak bukit di mana dia berada
sebelumnya. Laksana seekor burung walet, nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya
dua titik kuning tadi.
"Murid-murid murtad! Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba
berteriak. Hebat sekali, suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara
guntur mendera daerah itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan
diri!" Nenek-nenek yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa
kaget yang tidak terperikan. Suara teriakan balasan itu tak kalah kerasnya
dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya,"
kata Ni Mindi Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas
muridnya itu berani-beranian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya
larinya. Di lain ketika pada akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan Nilamaharani
serta Nilamahadewi saling bertemu dipuncak sebuah bukit sementara sang surya
sudah muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan
mata membeliak. Kemudian terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah .... nah .... nah ! Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia
ini" Atau iblis menipu mataku?".
"Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu"!"
"Mengapa tidak" Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal
umurmu cuma sampai hari ini!"
"Hem, begitu"! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih
kusediakan sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat kekurang ajaran
dan kesombongan kalian jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas kasihanmu"!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot
kelihatan menggembung.
"Sebelum hukuman kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek
itu. "Kenapa kalian jadi seperti ini" Apakah kalian sudah gila"!"
"Betul!" jawab Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya
hingga memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari
muka bumi karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi
Jalurkbalen lalu memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu!
Dua gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
*** 6 PUKULAN yang dilepaskan Ni Mindi Jalurkbalen adalah pukulan "kelabang ijo" yang
amat berbahaya. Sekali salah satu bagian tubuh tersambar ilmu pukulan itu kontan
sekujur badan akan matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan
manusia, satu batu karang yang atospun akan hancur dilanda pukulan tersebut!
Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek seakan-akan mereka hanya menghadapi
seorang lawan bangsa kroco, Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu
dengan cepat mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss! Wuss! Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar si nenek.
Ni Mindi Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu adalah ilmu pukulan
"kelabang ijo" juga yang dulu memang pernah diajarkannya kepada mereka. Tetapi
mengapa pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar biasa dahsyatnya padahal
sewaktu melepaskan pukulan kelabang ijo tadi Ni Mindi Jalurkbalen telah
mengerahkan hampir tiga perempat tenaga dalamnya!
"Kalau tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya niscaya mereka tak
bakal dapat meyakini ilmu pukulan itu sedemikian luar biasa hebatnya," membatin
Ni Mindi Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya dialirkan seluruhnya ke tangan hingga perbawa
pukulan kelabang hijaunya lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan kelabang ijo itu saling bentrokan, terdengarlah suara
ledakan yang amat dahsyat. Langit di atas mereka laksana mau runtuh, puncak
bukit bergetar, liang telinga masingmasing menjadi pengang untuk beberapa ketika
lamanya. Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang di depannya
Rahasia 180 Patung Mas 1 Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 7
1 MATAHARI yang tadi bersinar amat terik
kinin sinarnya itu pupus di telan awan hitam
yang datang berarak dari arah timur. Sesaat
kemudian langitpun mendung hitam. Hujan
rintik-rintik mulai turun disertai sambaran
kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat
menyabung. Sekali lagi pula guntur
menggelegar membuat seantero bumi
bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini
berganti dengan hujan lebat. Demikian
lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan
saja layaknya dari atas langit.
Sekejap saja segala apa yang ada di
bumi menjadi basah. Laut menggelombang,
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
sungai menderas arusnya, sawah-sawah
tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Di antara semua itu bertiup angin dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang
sungsum. Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua
orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujar; lebat itu, maka
di samping sebuah bukit batu kelihatanlah dua sosok bayangan kuning berkelebat
lari dengan amat cepatnya.
Seolah-olah kedua orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak
mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Juga sama sekali tidak mau ambil
perhatian terhadap batu-batu licin yang mereka lompati dalam lari mereka yang
laksana terbang cepatnya.
Dan adalah lebih mengherankan lagi karena kedua orang berpakaian kuning itu
nyatanya dua orang gadis cantuk jelita. Dari paras mereka yang hampir bersamaan
itu jelas keduanya bersaudara atau satu kakak satu adik. Saat itu mereka
berhenti di satu bagian bukit yang terjal.
Pakaian mereka yang bagus dan panjang menjela sudah basah kuyup oleh siraman air
hujan. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-
masing. Pakaian yang basah itu melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas
kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus ramping.
Keduanya memandang berkeliling. Mata mereka yang tajam berusaha menembus tabir
hujan dan kabut yang tebal.
"Heran," kata salah seorang dari mereka. "Kemana kaburnya pemuda itu...."
"Kalau dia sampai bertemu dengan lain orang, dan menuturkan apa yang
diketahuinya tentang diri kita sebelum kita berhasil merungkusnya, celakalah
kita, kakak!"
Gadis baju kuning yang dipanggilkan kakak menggigit bibirnya. Di wajahnya yang
bulat telur itu jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
"Kurasa dia belum lari jauh, adikku. Mari!"
Maka kedua gadis itupun berkelebat dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat
itu. Kemudian kelihatan keduanya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki
bukit sebelah timur. Meski tiupan angin keras sekali memampasi lari mereka,
namun itu tidak mengurangi kecepatan lari masing-masing! Di kaki bukit keduanya
melompati sebuah anak sungai. Kilat tiba-tiba menyambar lagi. Gadis baju kuning
yang berlari di sebelah belakang berseru, "Kakak!
Tunggu!" "Hai ada apakah, Dewi?" tanya gadis yang lari di depan seraya menghentikan
larinya dan berbalik!
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Siapa
tahu ..." "Mari kita selidiki,"ujar sang kakak yang bernama Nilamaharani sambil menarik
lengan adiknya yang bernama Nilamahadewi.
Dalam waktu yang singkat kedua gadis itu telah sampai di pondok yang tadi
terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Di ambang pintu pondok yang
tertutup berdiri seorang tua berkerudung kain sarung yang telah kumal dan apak
baunya. Si orang tua kelihatan terkejut sekali karena tahu-tahu di hadapannya berdiri
dua orang gadis berparas jelita.
"Ka . . . kalian . . . siapa?" tanya orang tua ini gugup. Dia kawatir kalau dua
gadis itu bukan manusia sungguhan.
Bukannya menjawab, sebaliknya Nilamahadewi bertanya membentak, "Orang tua! Apa
kau lihat seorang pemudi baju putih lewat di sini?"
"Ti .., tidak," jawab si orang tua masih gugup.
"Jangan dusta!" Nilamaharani membentak dengan melototkan kedua matanya.
"Sungguh aku tidak dusta . . . ".
"Kita geledah pondoknya!" kata Nilamaharani lalu menggerakkan tangan kirinya dan
si orang tua terpelanting jatuh.
"Jangan!" seru orang tua itu. Dia cepat berbangkit dan hendak menghalangi.
"Tua bangka tidak tahu diri!" bentak Nilamaharani dan menendang pinggul si orang
tua hingga mencelat mental dan melingkar pingsan di halaman pondok di bawah
siraman hujan lebat.
Dengan kakinya yang lain Nilamaharani menendang pintu pondok hingga bobol.
Begitu pintu hancur dan terpentang lebar sesosok tubuh berpakaian putih
kelihatan menghambur lewat jendela samping.
"Itu dia!" teriak Nilamahadewi.
"Kau mau lari ke mana hah?" ujar Nilamaharani seraya mengulurkan tangannya
mencekal leher pakaian si pemuda. Tapi pemuda ini lebih cepat lagi. Dengan satu
gerakan kilat dia membungkuk lalu memutar larinya ke lain jurusan. Tapi justru
dia salah tindak karena arah larinya itu memapasi Nilamahadewi yang datang dari
samping. Kini dia terkurung di tengah-tengah.
"Kalian ini manusia-manusia macam apakah"!" si pemuda berkata dengan suara
keras. "Sesudah menipu aku kalian inginkan jiwaku pula!" Pemuda ini berumur sekitar dua
puluh tahun. Wajahnya cakap dan kulitnya kuning.
Nilamaharani tertawa bergumam. Ada bayangan yang aneh di balik tawanya itu. Dan
bayangan aneh ini membuat si pemuda merasa ngeri.
"Orang muda, jangan banyak mulut. Sudah menjadi ketentuan bahwa kau harus mati
di tangan kami!"
"Tapi aku tidak punya kesalahan apa-apa terhadap kalian. Bahkan aku telah
turutkan kemauan kalian. Tapi ketika aku tahu bahwa kalian ..."
"Plaak!"
"Heh, kuat juga kau ya"!" kata Nilamaharani. Dia melompat, membungkuk menangkap
salah satu kaki si pemuda lalu melemparkan pemuda itu ke arah sebatang pohon
waru. Tak ampun lagi kepala pemuda itu hancur, otaknya berhamburan. Nyawanya
putus sebelum tubuhnya jatuh melingkar di akar pohon!
"Baru lega hatiku sekarang," kata Nilamaharani. Di betulkannya gelungan
rambutnya. Dia berpaling pada adiknya dan saat itu Nilamahadewi berkata.
"Mari kita tinggalkan tempat ini."
Keduanya segera meninggalkan tempat tersebut tapi belum jauh tiba-tiba
Nilamaharani menghentikan larinya.
"Astaga!"
"Ada apa?" tanya Nilamahadewi.
"Orang tua itu."
"Kenapa dia?"
"Mungkin pemuda itu telah membuka rahasia padanya."
"Kalau begitu ..." ujar Nilamahadewi seraya membalikkan tubuh. Sesaat kemudian dia
sudah berada kembali di depan pondok.
"Lekas bereskan dia, adikku. Aku sudah tak tahan dinginnya udara gila ini!"
Nilamahadewi tak perlu disuruh dua kali. Dia sudah tahu apa yang harus
dilakukannya. Kepala orang tua yang masih menggeletak pingsan itu ditendangnya hingga rengkah.
*** 2 HUTAN Bintaran terkenal sebagai hutan yang banyak binatang perburuannya. Mulai
dari kelinci sampai pada rusa-rusa muda yang amat jinak. Karena itulah Adipati-
adipati di Jawa Tengah dan setiap orang yang gemar berburu, kerap kali melakukan
perburuan di hutan tersebut.
Sekali waktu putera Adipati Muntilan bersama dua orang pembantunya berangkat ke
hutan Bintaran untuk berburu. Menjelang tengah hari mereka telah berhasil
membunuh tiga ekor kelinci, menjebak hidup-hidup seekor tupai berbulu merah.
Tepat sewaktu matahari mencapai titik tertingginya, putera Adipati itu duduk
melepaskan lelahnya di tepi sebuah telaga.
"Sejuk sekali air telaga ini," kata putera Adipati itu sambil merendamkan kedua
kakinya ke dalam air telaga. "Telaga apakah ini namanya paman?"
Salah seorang pembantu yang sudah agak lanjut usianya menjawab, "Kalau saya
tidak salah, ini Telaga Puteri Intan Dewi." Lalu dituturkannya sedikit cerita
tentang sampai bagaimana telaga itu diberi nama demikian.
Baru saja pembantu itu menyelesaikan ceritanya, di tepi telaga yang terletak di
seberang mereka muncullah seekor anak rusa. Binatang ini memandang kian kemari
lalu melangkah lebih dekat ke tepi telaga dan mencelupkan mulutnya ke dalam air.
Cepat-cepat Aryo Darmo, putera Adipati Muntilan itu, mengambil busurnya. Ketika
anak panah hendak dilepaskannya, selintas pikiran timbul dalam hatinya. Anak
rusa itu bagus sekali bulunya. Coklat berbintik-bintik putih besar-besar.
Hatinya pun tak tega untuk membunuh binatang itu. Karena kelihatannya anak rusa
ini cukup jinak, maka Aryo Damar akhirnya memutuskan untuk menangkapnya hidup-
hidup. Aryo Darmo berdiri dan mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian dia sudah
mengendap-endap di belakang anak rusa itu. Pemuda ini pernah belajar ilmu silat
dari ayahnya. Karenanya dia bisa bergerak cepat. Begitulah, ketika tinggal
beberapa langkah lagi, Aryo Darmo laksana seekor harimau melompat menerkam anak
rusa itu. Tapi si anak rusa lebih cepat lagi. Dengan gesit dia melompat ke samping hingga
Aryo Darmo menangkap angin. Kalau dia tidak mempergunakan kedua tangannya untuk
jungkir balik pasti tubuhnya akan terjun ke dalam telaga!
Yang membuat Aryo Darmo menjadi penasaran ialah anak rusa itu tidak lari jauh,
tapi berdiri sekitar enam tujuh langkah dari hadapannya, memandang kepadanya
dengan mengendip-endipkan sepasang matanya, seolah-olah menantang putera Adipati
Muntilan itu untuk menangkapnya. Untuk kedua kalinya Aryo Darmo melompat. Hampir
pemuda ini berhasil menangkap tengkuk binatang itu, si anak rusa melompat binal
dan lari ke dekat serumpun semak belukar yang terletak sepuluh langkah dari si
pemuda. "Sialan!" maki Aryo Darmo dengan kesal. "Kau mau lari ke mana hah"! Kau musti
dapat kutangkap hidup-hidup!" Maka dikejarnya binatang itu.
Demikianlah kejar mengejar terjadi hingga tanpa disadari Aryo Darmo telah berada
jauh dalam rimba belantara yang lebat. Penuh lelah dan juga kesal pemuda ini
akhirnya mendudukkan dirinya di satu akar pohon. Sewaktu dia memandang ke kiri
dilihatnya anak rusa tadi berdiri pula tak berapa jauh darinya dan mengedip-
ngedipkan sepasang matanya. Ini membuat hati Aryo Darmo tambah kesal.
"Binatang celaka! Kalau tak dapat kutangkap hidup-hidup bangkaimupun tak jadi
apa!" Lalu dicabutnya kerisnya dan dilemparkannya ke arah binatang itu.
Si anak rusa yang rupanya tahu bahaya, siang-siang sudah melompat berpindah
tempat hingga keris yang dilemparkan luput dan menancap di sebatang pohon.
Benar-benar kini Aryo Darmo menjadi naik darah. "Binatang celaka! Ke manapun
akan kukejar kau!" Setelah mengambil kerisnya dikejarnya kembali anak rusa itu.
Dengan demikian semakin jauhlah dia masuk ke dalam rimba belantara yang lebat.
Sementara itu tanpa setahu Aryo Darmo, dua pasang rata sejak tadi mengikuti
gerak geriknya.
Di satu tempat yang agak gelap karena rapatnya pohon-pohon dan semak belukar
yang tumbuh tiba-tiba anak rusa yang dikejar Aryo Darmo lenyap dari pemandangan.
Pemuda ini menghentikan larinya dan memandang berkeliling. Kemudian didengarnya
suara lengking binatang itu. Di lain kejap pemuda ini menjadi terkejut sewaktu
di hadapannya muncul dua orang dara jelita berpakaian kuning. Salah seorang dari
mereka memegang anak rusa yang sejak tadi di kejar-kejarnya.
"Saudara, apakah kau menginginkan binatang ini?" tanya dara yang memegang rusa.
Di bibirnya terlukis sekuntum senyum.
"Betul," jawab Aryo Darmo. Lalu tanyanya, "Kalian berdua siapa" Kenapa berada
dalam rimba belantara begini rupa?"
"Aku Nilamaharani dan ini adikku Nilamahadewi," jawab sang dara masih dengan
senyumnya yang memikat, "Kalau kami berikan anak rusa ini padamu, sebagai
gantinya kau mau berikan apa?"
"Ah, kau baik sekali saudari. Beri tahu di mana rumahmu, kelak akan kusuruh
orang-orangku untuk mengantarkan baju-baju bagus dan perhiasan-perhiasan indah
kepada kalian berdua, Eh, kalian ini kakak beradik, bukan?"
Nilamaharani mengangguk. "Tempat kediaman kami mungkin sukar dicari oleh orang-
orang suruhanmu. Kecuali kalau kau tak berkeberatan ikut bersama kami untuk
mengetahuinya."
"Tentu saja aku tidak keberatan," jawab Aryo Darmo. Sudah barang tentu mana ada
pemuda yang ; menolak begitu saja ajakan dara berparas secantik ' Nilamaharani
itu" "Tapi", kata Nilamahadewi, "tempat kami buruk, hanya sebuah goa batu".
"Itu bukan soal", sahut Aryo Darmo.
"Kalau begitu kau peganglah anak rusa ini dan mari kita berangkat", kata
Nilamaharani pula.
Aryo Darmo menerima anak rusa yang diberikan Nilamaharani lalu ketiganyapun
meninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan mereka tak hentinya bercakapcakap.
Demikian gernbiranya Aryo Darmo dapat berkenalan dengan dua dara jelita itu
hingga boleh dikatakan dia hampir tak perduli dengan si anak rusa. Kalau saja
anak rusa itu bukan ditangkap dan diberikan oleh Nilamaharani, mungkin sudah
sejak tadi-tadi dilepas dilemparkannya.
Mereka tiba di luar rimba belantara. Di hadapan mereka kini terbentang satu
daerah berbukit-bukit. Kedua dara itu berlari menuju ke sebuah bukit di sebelah
barat, diikuti oleh Aryo Darmo. Memperhatikan cara lari kedua dara kakak beradik
itu maklumlah si pemuda bahwa keduanya orang-orang berilmu. Dengan mengandalkan
ilmu lari yang diajarkan ayahnya, dicobanya menyamai lari keduanya, namun siasia
belaka. Dan diam-diam Aryo Darmo jadi tambah tertarik pada dara-dara ini.
Setibanya di lereng bukit yang di tuju. Nilamaharani menyibakkan serumpun semak
belukar lebat. Maka kelihatanlah sebuah goa batu yang amat, bersih dan luas.
"Inilah tempat kediaman kami. Harap kau jangan . . . ".
"Ah, tempat kalian bersih dan bagus", kata
Aryo Darmo memotong. Lalu setelah dipersilahkan dia pun masuk. Ruangan yang
dimasukinya harum semerbak, diterangi oleh sebuah pelita aheh yaitu sepotong
kayu yang ujungnya berapi dan memancarkan sinar kehijauan, tertancap kedinding.
Ternyata di situ ada dua buah ruangan dan keduanya sama sekali tidak seperti
ruangan dalam goa.
"Silahkan duduk", kata Nilamaharani. Ketika Aryo Darmo duduk membelakanginya,
dara ini mengedipkan matanya pada adiknya.
Melihat isyarat ini Nilamahadewi berkata, "Saudara kau duduklah terus. Aku
hendak keluar sebentar"
Aryo Darmo mengangguk. Belum sempat dia bertanyakan mau ke mana gadis itu,
Nilamahadewi sudah lenyap di mulut goa. Aryo Darmo tinggal sendirian di ruangan
itu karena sebelumnya Nilamaharani sudah masuk ke ruangan yang satu lagi.
Pemuda ini memandang berkeliling. Kemudian pandangannya di tujukan pada pelita
kayu aneh yang tertancap di dinding. Dia tak habis mengerti bagaimana ada
sepotong kayu yang dibakar terang begitu rupa tanpa habis-habisnya yang apinya
mengeluarkan sinar kehijauan dan berbau harum pula. Selagi dia memperhatikan
begitu rupa dilihatnya sinar api tiba-tiba mengecil.
Sebaliknya bau harum bertambah-tambah, membuat pemuda ini merasa adanya aliran
hawa aneh di dalam darah di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin santar juga
bau harum itu dan detik demi detik Aryo Darmo semakin terangsang dibuatnya.
Dari ruangan dalam Nilamaharani muncul. Aryo Darmo berpaling dan... Untuk beberapa
saat lamanya nafasnya terasa terhenti. Kedua matanya menyipit. Lalu cepat-cepat
dipalingkannya kepalanya. Terdengar suara tertawa kecil. Dan Nilamaharani
melangkah ke hadapan pemuda itu.
Aryo Darmo masih memandang ke jurusan lain, tak berani melihat kepada dara ini.
Sewaktu Nilamaharani muncul tadi, bukan saja nafas pemuda itu serasa terhenti
tapi dadanya ikut berdebar dan darahnya bergejolak. Betapakan tidak! Dara itu
telah berganti pakaian dengan sehelai pakaian sutera kuning yang amat tipis
hingga jelas kelihatan potongan tubuh dan pakaian dalamnya. Senyum yang
dilayangkannyapun lain dan aneh. Ini dirasakan betul oleh Aryo Darmo, membuat
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rangsangan aneh yang menjalari tubuh pemuda itu semakin menjadi-jadi.
"Kau melamun agaknya, saudara Aryo," ujar Nilamaharani.
Pemuda itu memalingkan kepalanya sedikit. "Adikmu pergi ke manakah?" tanya
putera Adipati Muntilan itu.
"Ah, dia kenapa dipikirkan" Biar saja dia pergi ke manapun tak usah kita
ributkan."
Aryo Darmo terdiam. Dia tak mengerti mengapa si dara harus bicara begitu.
"Aku telah menyediakan minuman untukmu di ruangan dalam," kata Nilamaharani.
"Terima kasih. Kenapa musti susah?""
"Jangan pakai peradatan segala. Mari kita masuk ke dalam," ajak Nilamaharani.
Aryo Darmo hendak menjawab agar minuman itu dibawa saja ke tempat itu. Namun
sebelum itu terucapkan Nilamaharani telah menarik lengannya dan membawanya masuk
ke ruangan dalam. Di ruangan ini ada pelita kayu yang aneh yang sinarnya lebih
suram dari ruangan sebelumnya. Segala sesuatunya kelihatan samar-samar. Dan
dalam kesamar-samaran itu Aryo Darmo masih dapat melihat kalau saat itu dirinya
dibawa ke arah sebuah pembaringan.
"Maharani, apakah maksudmu membawaku ke sini?" tanya Aryo Darmo dengan suara
bergetar. "Aryo, kau tahu apa maksudku", jawab Nilamaharani berbisik ke telinga si pemuda
hingga hembusan nafasnya terasa hangat di pipi Aryo Darmo. Kemudian pemuda ini
merasakan lengan kiri sang dara melingkar di pinggangnya.
"Maharani kau ..."
Ucapan itu tidak terteruskan oleh Aryo Darmo karena saat itu Nilamaharani
mendekatkan parasnya ke wajahnya dengan amat berani. Kemudian dirasakannya bibir
gadis itu menempel di atas bibirnya.
"Maharani, aku ..."
Lagi-lagi Aryo Darmo tak bisa meneruskan kalimatnya. Kedua lututnya goyah,karena
diberati tubuh gadis itu. Akhimya keduanya terguling ke atas pembaringan.
"Kau tahu apa maksudku, Aryo. Kau laki-laki, aku perempuan. Jangan jadi orang
bodoh!" "Tapi ..."
"Tidak ada tapi-tapian Aryo."
Dan sikap malu serta pikir panjang Aryo Darmo cukup cuma sampai di situ. Laksana
seekor ular besar yang kelaparan pemudaa itu menggeliat atas pembaringan dan
nmerangkul tubuh Nilamaharani sekeras-kerasnya seperti mau melunyahkan dara itu
sampai ke tulang-tulangny.
Desau nafas panas dan tertawa berguman Nilamaharani membakar darah Aryo Darmo,
membuat dia berlaku lebih berani lagi. Pada puncak keberanian yang dilakukan
Aryo Darmo, tiba-tiba terdengarlah suara teriakan pemuda itu laksana geledek.
"Maharani, kau ... !"
Teriakan yang menggetarkan empat dinding ruangan itu dibarengi pula dengan pekik
Nilamaharani. Aryo Darmo tidak menunggu lebih lama. Disambamya pakaiannya lalu melompat dari
pembaringan. "Aryo! Kembali!" teriak Nilamaharani.
Mana pemuda itu mau kembali! Apa yang dilihat dan diketahuinya tak akan membuat
dia kembali meski didepannya saat itu, menghadang setan kepala sepuluh
sekalipun! Malah pemuda ini memaki beringas.
"Manusia keparat! Terkutuklah kau jadi puntung neraka!" Dia terus menghambur ke
pintu goa. Tapi baru saja dia berada di luar, di sampingnya terdengar satu suara bentakan,
"Pemuda bangsat! Kau berani bermulut kotor terhadap saudaraku. Terimalah
kematianmu!"'
"Wuuut"!
Selarik angin deras menyambar ke arah Arya Darmo!
*** 3 DENGAN sebat Aryo Darmo melompat ke samping sehingga serangan mendadak yang
berbahaya itu berhasil dielakkannya. Ketika dia berpaling satu serangan lagi
melesat ke arahnya dan untuk kedua kalinya berhasil dikelitnya.
"Manusia laknat! Tentunya kau juga sama terkutuknya dengan kakakmu!" bentak Aryo
Darmo. Habis membentak begitu dengan tak kalah hebat dia mengirimkan serangan balasan
berupa satu tendangan ke uluhati lawannya yang bukan lain Nilamahadewi adanya!
Serangan maut itu dengan mudah dapat dielakkan oleh si dara yang kemudian
melancarkan serangan balasan yang amat berbahaya. Terlambat sedikit saja
pastilah kepala Aryo Darmo akan dihantam satu jotosan keras. Pemuda itu menjadi
tercekat hatinya. Dari gerakan serangan serta angin pukulan lawan dia tahu bahwa
gadis itu memiliki kepandaian yang lebih, bahkan jauh lebih tinggi darinya. Pada
dasarnya bukan hal itu yang membuat Aryo Darmo merasa takut dan ngeri.
Tapi apa yang diketahui dan yang telah dilihatnya beberapa saat yang lalulah
membuat pemuda ini kemudian tak mau lagi melayani Nilamahadewi, tapi terus
memutar tubuh dan lari meninggalkan tempat tersebut.
"Adikku jangan biarkan bangsat itu kabur!" terdengar teriakan Nilamaharani dari
sibakan semak belukar di mulut goa.
"Tentu saia kakakku!" sahut Nilamahadewi. Dengan mempergunakan ilmu lompat
lihay' yang bernama "katak sakti melompati gunung" maka tubuhnya melesat tinggi ke
udara dan, di lain saat sudah berada beberapa tombak di hadapan Aryo Darmo.
"Tubuh kasarmu boleh pergi, tapi nyawamu tinggalkan di sini," kata Nilamahadewi
dengan seringai buruk.
"Perempuan dajal! Kau kira aku takut padamu?" sentak Aryo Darmo. Tubuhnya
berkelebat melancarkan satu pukulan tangan kosong dari jarak delapan langkah.
Sebelum pukulan tangan kosong tersebut sampai, dia membuat satu lompatan sebat
dan tahutahu tangan kirinya telah menderu ke batok kepala Ni lamahadewi.
"Uh! Jurus "angin berhembus pintu menutup" yang begini buruk hendak kau
andalkan"!"
kata Nilamahadewi dengan tertawa mongejek. Dan memang dengan amat mudah gadis
itu berhasil mengelakkan serangan yang dilancarkan Aryo Darmo. Penuh penasaran
si pemuda mengirimkan serangan susulan yang bernama "empat dewa murka". Serangan
ini mempergunakan kedua tangan dan kaki yang digerakkan susul menyusul dan
kehebatannya cukup membuat kagum karena tubuh Aryo Darmo dalam menyerang itu
hanya tinggal bayangbayang saja.
"Jurus empat dewa murka!" seru Nilamaharani yang datang dari belakang dengan
mengeluarkan suara dari hidung. Sekali tangannya bergerak, serangkum angin
menderu dahsyat.
Aryo Darmo terpaksa membatalkan setengah bagian terakhir dari serangannya
sewaktu dirasakannya hawa dingin meniup punggungnya. Dengan cepat dia melompat
ke samping, tapi masih kurang cepat. Pukulan lawan menyerempet bahu serta lengan
kirinya. Aryo merasakan bagian tubuhnya yang tersambar angin amat dingin itu
menjadi kaku tegang tak bisa digerakkan lagi sedang hawa dingin mencucuk
menyembilu membuat gigi-giginya bergemeletakan!
"Celaka!", keluh pemuda itu dalam hati. Keringat dingin memercik dikeningnya.
Kedua dara berbaju kuning sementara itu hanya beberapa langkah saja di
hadapannya dan sama-sama siap melancarkan serangan terakhir yang mematikan.
"Sreet!"
Aryo Darmo menggerakkan tangannya mencabut sebilah keris bereluk tujuh dari
pinggangnya. Sinar jingga keluar dari badan senjata itu tanda benda tersebut
bukan senjata sembarangan.
"Kalau kau punya sepuluh keris, cabutlah sekaligus!" kata Nilamaharani mengejek.
Aryo Darmo mengertakkan rahang.
"Perempuan terkutuk! Matilah bersama kesombongan dan kebejatanmu!" teriak pemuda
itu lalu dengan cepat mengirimkan serangan ganas.
Sinar jingga berkiblat berputar-pubat bukan saja menyambar ke arah Nilamaharani
tapi juga sekaligus ke arah Nilamahadewi. Untuk daerah sekitar Muntilan,
permainan keris Aryo Darmo sudah terkenal hebat di samping ayahnya sendiri. Tapi
hari itu kehebatannya tidak dipandang sebelah matapun oleh kedua dara berbaju
kuning itu. Bahkan dengan senyum mengejek mereka maju mendekat lalu melesat di
antara sambaran keris dan di lain kejap terdengarlah dua kali suara bergedebuk
yang dibarengi dengan jeritan Aryo Darmo.
Pemuda itu tersungkur di tanah. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa kali lalu diam
tak berkutik lagi untuk selama-lamanya.
Nilamaharani menarik nafas lega.
"Apakah dua orang bujang-bujangnya yang ada di tepi telaga perlu kita bunuh
pula, kakak?"
bertanya Nilamahadewi.
"Kurasa tak perlu. Mereka tak tahu apa-apa," jawab Nilamahadewi sambil
memperhatikan tubuh Aryo Darmo, pelipis kirinya rengkah sedang bahu kanannya
hancur. "Pemuda tolol," desis gadis itu. "Aku katakan padanya akan menyelamatkan
dirinya dari kematian bila dia melakukan apa yang aku mau. Tapi dia kabur dari
kamar itu ...!"
Nilamahadewi tak berkata apa-apa. Dia tahu sekalipun putera Adipati itu menuruti
kehendak kakaknya, kelak dia tetap akan dibunuh juga. Akhirnya ketika dilihatnya
kakaknya berlalu dari situ diapun mengikuti,
*** Ketika mayat Aryo Darmo diusung oleh dua orang pembantunya memasuki halaman
Kadipaten Muntilan, saat itu Adipati Muntilah Jala Wisena tengah mengadakan
pembicaraan dengan beberapa orang Lurah. Tentu saja mereka terkejut bukan main
melihat dua orang pembantu Kadipaten muncul membawa usungan.
Jala Wisena yang di masa mudanya dikenal sebagai "Orang Gagah Dari Muntilan"
berdiri dari kursinya.
"Ada apa" Siapa yang kalian bawa ini?" tanya Adipati itu dan sebelum kedua
pembantu tersebut menjawab sudah disingkapkannya daun-daun pisang yang menutupi
sosok tubuh di atas usungan kayu.
"Anakku!" teriak Jala Wisena menggelegar keras sewaktu dilihatnya siapa yang
menjadi mayat dan menggeletak di atas usungan itu. Empat orang Lurah yang hadir
di situ bagai terpaku di tempat masing-masing karena terkejut dan ngeri melihat
kepala putera Adipati mereka yang rengkah bergelimang darah.
"Apa yang telah terjadi"! Lekas katakan apa yang terjadi"!" tanya Jala Wisena.
"Kami sendiri tidak tahu, Adipati", jawab salah seorang pembantu.
Marahlah Jala Wisena mendengar jawaban itu. "Tidak tahu bapak moyangmu! Anakku
pergi berburu bersama kalian!". Satu tamparan kemudian melayang kepipi pembantu
itu membuat dia hampir terjerongkang di lantai.
"Ayo kau! Lekas beri keterangan atau mau kehajar pula"!" bentak Jala Wisena pada
pembantu yang satu lagi.
"Benar Adipati, memang kami berdua mengantarkan Raden Aryo Darmo berburu ke
hutan Bintaran. Sesampainya di Telaga Intan Dewi kami berhenti dan pada waktu
itu muncullah seekor anak rusa. Raden Aryo menyuruh kami menunggu di tepi telaga
sedang dia sendiri pergi menangkap anak rusa itu. Karena lama ditunggu-tunggu
dia tidak kunjung kembali kami jadi kawatir lalu pergi mencarinya. Ketika kami
temui dia, Raden Aryo terhantar di tanah dalam keadaan sudah tak bernafas."
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan terkutuk begini rupa"!"
"Mungkin sekali dia telah dihadang perampok, Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Di sekitar Bintaran sama sekali tak pemah ada perampok, bahkan malingpun
tidak!" jawab Jala Wisena. Kemudian matanya tertuju pada jari manis tangan kanan
anaknya. Di jari manis pemuda itu masih kelihatan sebentuk cincin emas berbatu
hijau. Ini satu pertanda bahwa Aryo Darmo bukan dibunuh oleh perampok.
"Barangkali musuh lama yang membalaskan dendam kesumat," kata seorang Lurah
pula. "Boleh jadi," sahut Jala Wisena dengan mengeretakkan geraham-gerahamnya. "Tapi
seingatku anakku tak pemah punya musuh atau silang sengketa dengan lain orang."
Kemudian dia berpaling pada pembantu tadi dan berkata, "Antarkan aku ke tempat
kau menemui mayatnya.
Aku akan selidiki apa yang sebenarnya telah . . . ".
Adipati Muntilan itu tak sempat meneruskan kata-katanya karena dari pintu
ruangan dalam terdengar jerit istrinya yang kemudian lari ke arah mayat
puteranya yang masih menggeletak di atas usungan. Ratap tangis istrinya membuat
hati Adipati Muntilan ini laksana disayat-sayat dan di lain pihak gelora
amarahnya semakin membara. Sesudah jenazah anaknya dibawa masuk dan istrinya
dapat dipertenang maka bersama keempat orang Lurah dan diantar oleh seorang
pembantunya berangkatlah Adipati Jala Wisena menuju ke hutan Bintaran.
"Di sinilah saya menemukan mayat Raden Aryo, Adipati" kata pembantu Kadipaten
bilamana mereka sampai di tempat yang dituju.
Adipati Jala Wisena memperhatikan keadaan di tempat itu. Noda-noda darah
kelihatan jelas.
Semak-semak banyak yang rubuh tanda di situ telah terjadi perkelahian. Kemudian
sepasang mata Adipati Muntilan ini terbentur pada sebuah benda yang segera
diambilnya. Benda itu adalah keris milik puteranya. Sambil menimang-nimang
senjata itu Adipati ini berpikir-pikir. Dia yakin sekali kalau di situ telah
terjadi perkelahian. Tapi antara anaknya dengan siapa" Perampok sudah jelas
bukan. Di samping itu dia tahu anaknya memiliki kepandaian yang cukup bisa
diandalkan. Jika dia kalah dalam perkelahian dan menemui kematian, nyatalah lawannya seorang
yang berilmu tinggi. Mungkin sekali daerah sekitar situ tempat kediamannya
seorang sakti yang tak mau tempatnya dikotori oleh orang luaran hingga akhirnya
si orang sakti memergoki puteranya dan membunuh pemuda itu.
Bersama kelima orang itu Adipati Jala Wisena kemudian menyelidiki daerah yang
banyak bukitbukitnya itu. Dia berhenti di satu tempat di mana, dengan jelas
dilihatnya bekas-bekas tapak kaki. Di tempat ini agaknya juga telah terjadi
perkelahian. Dia memandang berkeliling dan tak melihat hal-hal lain yang
mencurigakan. Namun baik Adipati Jala Wisena maupun empat orang Lurah serta
pembantu Kadipaten itu, tak seorangpun yang menyadari kalau saat itu mereka
tengah menjadi incaran dua pasang mata yang tersembunyi di balik semak belukar
lebat. "Bagaimana pendapatmu?" tanya pemilik salah sepasang mata itu yang bukan lain
adalah Nilamahadewi adanya.
"Adipati tua ini tampangnya boleh juga. Tapi terlalu banyak orang begini pasti
sia-sia. Atau mungkin kau mau mencoba?"
"Kau pancinglah yang lain-lainnya. Aku sendiri nanti akan menipu Adipati itu,
membawanya ke goa masuk lewat jalan belakang".
Setelah berunding maka kedua gadis itupun masuk ke dalam goa kembali sementara
di luar sana Adipati Jala Wisena masih terus menyelidik tempat sekitar situ
dengan seksama.
Sepeminum teh berlalu . . . .
"Kita selidiki tempat lain . . . ", kata Jala Wisena setengah putus asa.
Baru saja Adipati Muntilan itu bergerak hendak meninggalkan tempat itu bersama
rombongannya mendadak entah dari mana datangnya melesatlah sebuah benda putih di
hadapan mereka dan menyangsang di serumpunan semak belukar. Jala Wisena cepat
mengambil benda itu yang temyata adalah segulungan kertas. Ketika dibuka, di
bagian dalam gulungan terdapat tulisan yang berbunyi:
"Kalau ingin tahu siapa pembunuh puteramu, suruhlah orang-orangmu ke Telaga
Intan Dewi, Kau sendiri harus pergi ke sebelah barat."
Jala Wisena memperlihatkan surat itu pada keempat Lurah. Untuk beberapa lamanya
mereka saling berpandangan dan diam dalam jalan pikiran masing-masing.
"Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi pasti tak bakal sanggup melemparkan
gulungan surat ini," kata Jala Wisena.
"Saya khawatir ini hanyalah tipuan belaka Adipati," kata salah seorang Lurah.
"Mungkin," sahut Adipati Muntilan lalu berpikir sejenak. "tetapi mungkin pula
petunjuk dari seorang yang tak mau memperlihatkan diri." Dan setelah menimbang
lebih dalam akhirnya lakilaki itu memutuskan untuk mengikuti petunjuk dalam
surat tersebut. Keempat Lurah itu beserta pembantunya disuruhnya pergi ke
jurusan telaga sedang dia sendiri menuju ke barat.
Menuju ke bagian barat berarti meninggalkan kaki-kaki bukit dan masuk kembali ke
hutan Bintaran sebelah timur. Daerah ini di selimuti kegelapan karena sinar
matahari boleh dikatakan tak dapat menembus lebatnya pohon-pohon dan semak
belukar yang tumbuh di sana.
Belum jauh dia memasuki bagian hutan tersebut tiba-tiba dia dikejutkan oleh
suara teriakan perempuan minta tolong. Cepat Jala Wisena menuju ke arah
datangnya teriakan itu. Seorang dara jelita berpakaian kuning dilihatnya
terhampar di bawah sebatang pohon besar. Mukanya pucat pasi dan membayangkan
rasa takut yang amat sangat. Pakaian kuningnya tersingkap demikian rupa hingga
jelas kelihatan pahanya yang putih mulus.
"Gadis muda, apakah yang terjadi?", tanya Adipati Muntilan seraya memapah gadis
itu berdiri. Diam-diam dia amat mengagumi kejelitaan paras si gadis.
"Sa . . . satu makh . . . makhluk aneh hendak menyergapku," jawab gadis itu
seraya bangun dan membetulkan pakaiannya yang tersingkap.
"Bagaimana sampai kau tersesat ke dalam rimba belantara ini?"
"Aku . . . aku mengejar kupu-kupu ... aduh! Kakiku sakit sekali!". Gadis itu
kelihatan terhuyung-huyung hendak jatuh. Adipati Jala Wisena cepat menopangnya.
"Rumahmu jauhkah dari sini?".
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak . . . tak berapa jauh. Tapi .... kakiku terkilir dan sakit sekali. Tak
bisa berjalan. Oh ....
tolonglah!"
"Mari kuantarkan kau ke tempatmu", kata Jala Wisena lalu dipapahnya pinggang
gadis itu dan diajaknya berjalan. Tapi si gadis lagi-lagi mengeluh kesakitan.
"Aku tak bisa berjalan. Sakit sekali. Tolonglah dukung .... aaa."
Adipati dari Muntilan itu jadi serba salah. Tidak ditolong gadis itu
kelihatannya menderita sekali. Ditolongnya berarti dia harus mendukung tubuh
gadis itu dan ini membuat hatinya berdebar dan darah dalam tubuhnya mengalir
lebih cepat dari biasanya.
"Aduh .... tolonglah," terdengar lagi gadis pakaian kuning itu mengeluh.
Akhirnya Jala Wisena tak bisa berbuat lain daripada mendukung si gadis dan
membawanya ke sebuah tempat di kaki bukit yang ditunjukkan.
"Melangkahlah ke pohon beringin itu," kata gadis baju kuning.
Jala Wisena melangkah ke pohon yang dimaksudkan.
"Tolong tarik akar gantung yang berdempetan di sebelah kanan."
Jala Wisena melakukan lagi apa yang dikatakan si gadis. Aneh! Begitu dua buah
akar gantung yang berdempetan ditariknya maka terdengar suara berderak dan
batang pohon beringin di hadapannya yang sebelah bawah kelihatan terbuka sebuah
pintu. Si gadis menyuruhnya masuk.
Dengan heran dan penuh tidak mengerti Jala Wisena masuk ke dalam. Pintu di
belakangnya kemudian tertutup dengan sendirinya. Jala Wisena seorang yang banyak
pengalaman dalam dunia persilatan. Tak syak lagi dia bahwa gadis itu adalah
murid seorang sakti yang diam di tempat tersebut.
Jala Wisena menuruni sebuah tangga batu. Mereka sampai di satu pelataran yang
luasnya cuma satu kali satu meter dan di hadapan pelataran itu terdapat sebuah
tangga yang menuju ke sebuah pintu yang terbuka. Sinar terang menyeruak dari
ruangan di belakang pintu tersebut.
"Itu tempatku," kata gadis yang didukungnya.
Jala Wisena menaiki anak tangga demi anak tangga dan akhirnya sampai diambang
pintu yang terbuka. Hampir tidak percaya laki-laki ini sewaktu melihat ruangan
yang amat bagus di hadapannya. Ruangan itu adalah sebuah kamar lengkap dengan
pembaringan. "Baringkan aku di tempat tidur itu," pinta si baju kuning.
Adipati Muntilan membaringkan gadis tersebut diatas tempat tidur.
"Terima kasih," kata gadis itu sambil melontarkan satu senyum yang mempesona.
"Gadis, kau ini siapakah sebenamya dan tinggal dengan siapa di sini?" tanya
Adipati Jala Wisena.
"Sebelum aku menjawab, sudilah kau yang telah menolongku memberi tahu siapa kau
adanya," kata gadis itu pula, padahal sesungguhnya dia sudah tahu betul siapa
adanya Jala Wisena.
"Aku Jala Wisena, Adipati Muntilan."
"Astaga!" si gadis kelihatan terkejut. "Aku telah berlaku lancang menyuruhmu
seenaknya. Tidak tahunya kau seorang berpangkat tinggi harapkan sudi memaafkan
kelancanganku Adipati."
Jala Wisena tertawa kecil.
"Bagaimana Adipati sampai berada di hutan Bintaran?"
Jala Wisena tak segera menjawab. Akhirnya dia berkata juga, "Aku tengah mencari
seseorang."
"Siapa?"
"Pembunuh puteraku".
Bola mata gadis yang terlentang di tempat tidur itu membesar dan bertambah bagus
kelihatannya. "Bau apakah ini?" tanya Jala Wisena sewaktul hidungnya dihambur bau harum
semerbak. Dia memandang berkeliling karena dirasakannya kamar itu bertambah suram dari
sewaktu mula-mula dia memasukinya. Pandangannya sampai pada sebuah lampu aneh
yang terbuat dari kayu yang ditancapkan ke dinding kamar.
"Duduklah di tepi tempat tidur ini, Adipati." Jala Wisesa memalingkan kepalanya.
"Terima kasih" katanya. "Aku harus pergi sekarang".
"Kenapa terburu-buru" Aku berjanji akan membantu mencari pembunuh puteramu. . .
" Karena sebelumnya yakin bahwa gadis itu adalah murid seorang sakti maka tentu
dia dan gurunya kenal baik seluk beluk daerah sekitar bebukitan di situ dan
hutan Bintaran.
"Tadi kau katakan ada makhluk aneh yang hendak menyergapmu. Makhluk apa
gerangan?"
"Tubuhnya tinggi besar, mukanya amat mengerikan karena ditumbuhi tanduk dan
giginya besat-besar merupakan taring. Ngeri sekali ... Tak mau aku mengingat-
ingatnya Adipati. Kuharap kau jangan bertanyakan tentang makhluk itu lagi ...."
"Kau tentu tak tinggal sendirian di sini ...."
"Betul, tapi sudah sejak lama guruku pergi bertapa dan sampai saat ini masih
belum kembali."
"Siapakah gurumu?" tanya Jala Wisena.
"Sayang aku dipesan untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun," jawab gadis
itu. Dia menggerakkan tubuhnya sedikit dan pakaiannya di sebelah bawah tersingkap
membuat betis dan sebagian pahanya menyembul keluar.
"Sejak beliau pergi, aku sendirian di sini. Semuanya serba sepi, Adipati. Tak
ada kawan untuk penghibur hati.
Sementara itu Jala Wisena merasakan ada hawa aneh yang mengungkungi dirinya.
Aliran darahnya tidak seperti biasanya. Akhir diputuskannya untuk pergi dari
situ. "Sebelum aku pergi kuharap kau sudi memberi tahu namamu."
"Namaku Nilamahadewi..."
"Baiklah, sampai bertemu lagi Nila ... "
"Tunggu, jangan pergi dulu!" ujar gadis itu seraya bangkit dan duduk di tepi
tempat tidur. "Aku harus menyuguhkan minuman untukmu."
"Ah, tak usah pakai segala macam peradatan Nila!"
"Tapi ..." Nilamahadewi berdiri dengan terhuyung-huyung. .
"Kau mau ke mana, sebaiknya berbaring saja agar sakit kakimu lekas sembuh," kata
Adipadi Jala Wisena seraya hendak memegang bahu Nilamahadewi karena dilihatnya
gadis itu hampir jatuh terjerembab.
Namun sebelum tangannya memegang bahu itu tiba-tiba tangan si gadis menyelinap
dalam satu gerakan totokan yang lihay. Tak ampun lagi sekujur tubuh Jala Wisena
menjadi kaku tegang!
"Nila, apa-apaan ini"!" seru Jala Wisena.
Nila Mahadewi tertawa mengikik. Tangannya bergerak kembali dan untuk selanjutnya
Adipati itu tak bisa membuka suara lagi karena urat lehernya sudah kena ditotok!
Dalam keadaan tak berdaya Jala Wisena dibaringkan di atas tempat tidur. Sepasang
mata Adipati Muntilan ini membeliak besar sewaktu dilihat dan dirasakannya jari-
jari tangan Nilamahadewi satu demi satu membuka pakaian yang melekat ditubuhnya!
*** Matahari telah condong ke barat. Empat orang Lurah dan seorang pembantu
Kadipaten Muntilan yang sejak tadi berada di tepi Telaga Puteri Intan Dewi mulai
merasa gelisah.
"Jangan-jangan kita sudah kena tipu," kata salah seorang dari mereka.
"Bagaimana kalau kita kembali saja ke tempat tadi?" mengusulkan yang lain.
Akhirnya kelimanya meninggalkan telaga tersebut dan kembali ke tempat di mana
mereka telah berpisah dengan Adipati Jala Wisena. Tapi...
"Gusti Allah!" jerit salah seorang Lurah yang; berada di paling depan.
Langkahnya terhenti, demikian juga langkah yang lain-lainnya. Namun itu cuma
seketika karena kelimanya kemudian berhamburan ke hadapan tubuh Adipati Jala
Wisena yang menggeletak di tanah tanpa pakaian dengan muka hancur tak bernyawa
lagi! *** 4 DESA tembilangan merupakan satu desa yang subur makmur dan penduduknya hidup
tenteram. Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti malam akan
diadakan pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta perkawinan anak laki-
lakinya yang tertua dengan seorang gadis desa yang berwajah ayu, berkulit hitam
manis. Di halamaw depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang
golek. Hiburan semacarn ini jarang terjadi di desa itu. Karena itulah senang
hati penduduk jadi bertambah-tambah. Meskii pertunjukan itu beberapa jam lagi
baru akan dimulai tapi telah banyak orang - terutama anak-anak - yang berkumpul di
sekitar panggung.
Kira-kira sepeminuman teh sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah
penduduk desa Tembilangan dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong
menghadiri pesta perkawinan itu. Tak ada seorang tamupun yang tak memuji
kecantikan pengantin perempuan. Dan tak ada seorang tamupun yang tidak merasa
kagum akan kegagahan wajah pengantin laki-laki. Seperti pinang dibelah dua, satu
bulan satu matahari, demikianlah orang-orang memberikan perumpamaan.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya.
Malam itu sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita
Bharatayuda. Semua orang menonton dengan penuh perhatian.
Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana
tegang terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu
salah seorang dari lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang
saudara itu, berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana
atau Suyudana. "Yoy Suyudana! Ambillah gadamu. Mari kita bertempur!" kata Bima.
Suyudana menggereng. "Memang saat inilah yang aku tunggu-tunggu, Werkudara!"
Maka kedua orang itupun berhadap-hadapanlah dengan, masing-masing memegang
sebuah gada di tangan. Sebelum ki dalang melanjutkan kisah pewayangan yang penuh
ketegangan itu tiba-tiba berkelebatlah dua bayangan kuning di atas kepalanya
yang dibarengi dengan ucapan persis seperti yang diucapkan ki dalang tadi yaitu,
"Memang saat inilah yang aku tunggu--
tunggu...!"
Tentu saja semua orang jadi terkejut. Ki dalang menghentikan penuturannya. Semua
memandang ke hadapan panggung di mana berdiri dua orang dara berbaju kuning yang
parasnya cantik sekali. Untuk sejenak lamanya suasana sunyi sepi. Sunyi sepi
yang tidak enak.
"Ah, tamu-tamu dari manakah yang datang dengan menirukan ucapanku?" bertanya ki
dalang. Salah seorang dara berpakaian kuning tertawa panjang sedang yang satu lagi
beliakkan matanya dan membentak. "Tutup mulutmu! Kami tak ada urusan dengan
kau!" Kebopamenang, Kepala Desa yang mengadakan pesta perkawinan berdiri dari kursinya
dan melangkah ke hadapan dara-dara jelita itu.
"Gadis-gadis cantik, siapa gerangan kalian" Mengapa datang dengan cara begini
rupa?" "Kebopamenang, kau kembalilah ke tempatmu! Kami tak punya urusan dengan kau!" si
dara yang di samping kanan menjawab.
Tentu saja ucapan itu membuat merah parasnya si kepala desa, apalagi dara itu
tadi terang-terangan menyebut namanya seenaknya saja padahal dia telah berusia
lebih dari enam puluh!
"Ada urusan atau tidak nyatanya kau dan kawanmu telah mengganggu jalannya pesta
perkawinan ini," kata Kebopamenang pula.
"Oh, begitu."
"Ya! Dan karena aku juga merasa tak ada urusan dengan kalian berdua, kuharap
kalian suka angkat kaki dari sini!"
Kedua gadis itu tertawa panjang-panjang.
"Ketahuilah! Kami berdua utusan orang-orang Kurawa, datang ke sini untuk
mengambil pengantin laki-laki!"
"Jangan membanyol tak karuan di sini!" sentak Kebopamenang.
"Eh, siapa yang membanyol"!" ujar si dara yang di sebelah kiri.
"Dengar! Ini bukan perjamuannya orang-orang gila! Pergilah dari sini!"
"Mulutmu keliwat sembrono, Kebopamenang! Aku Nilamahadewi akan memberi sedikit
pelajaran padamu!"
Habis berkata begitu, entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu "plaak"! Sebuah
tamparan menghantam mulut si kepala desa hingga bibirnya pecah dan sebuah
giginya tanggal!
"Gadis keparat!" teriak Kebopamenang marah bukan main. Tangan kanannya yang
membentuk tinju laksana kilat dipukulkan ke batok kepala Nilamahadewi.
"Tua bangka tolol! Pergilah ke atas panggung sana!" seru Nilamahadewi. Kedua
tangannya digerakkan ke muka. Begitu lengan si kepala desa berhasil ditangkapnya
terus diputar dan sesaat kemudian tubuh kepala desa itu benar-benar dilempar
melayang ke atas panggung, melabrak sebagian wayang-wayang golek lalu terus
menubruk ki dalang hingga suasana di atas panggung jadi hiruk centang perentang!
Semua orang kaget bukan main. Beberapa diantaranya ada yang maju ke muka untuk
memberi hajaran pada gadis-gadis yang berani berlaku kurang ajar itu. Tapi! Apa
yang hendak mereka lakukan itu tidak kesampaian. Sebaliknya mereka menjadi
tambah kaget bukan main karena saat itu kedua gadis berpakaian kuning tadi sudah
tidak ada! Dan lebih lebih kaget lagi karena pengantin laki-lakipun lenyap dari
pelaminan sedang pengantin perempuan tampak menjerit-jerit!
"Kalian mau bawa ke mana aku"!" tanya pemuda yang dilarikan itu. Tubuhnya berada
di atas bahu kiri Nilamaharani dan dalam keadaan tertotok. Namanya Mahesa
Munggul. Dialah pemuda yang menjadi menantu kepala desa Kebopamenang yang kini
dilarikan oleh Nilamaharani dan adiknya.
"Jangan kawatir, kau tak akan kehilangan masa pengantin barumu, Mahesa Munggul
..." "Aku tak kenal kau dari mana kau tahu namaku" Apa maksudmu melarikan diriku"!"
Nilamaharani tertawa.
"Kau tidak mengenal aku itu tidak perlu! Malam pengantin baru kelak bakal kau
temui bersamaku ...". Kembali Nilamaharani hendak tertawa tapi tak jadi karena
adiknya memotong dengan ilmu penyusupan suara,
"Kakakku! Jangan bicara terlalu ceroboh seperti itu!"
"Apa maksud malam pengantin baru bersamamu itu!" kembali Mahesa Munggul
mengajukan pertanyaan. Meskipun dirinya dipanggul oleh seorang dara jelita serta
ucapan dara itu bisa membuat hati seorang pemuda bergelora, tapi saat itu Mahesa
Munggul merasa sangat tidak enak.
"Sudahlah, kau jangan banyak tanya!" kata Nilamaharani pula.
Tak lama kemudian Mahesa Munggul melihat dirinya di bawa masuk menyeruak sebuah
semak belukar. Dia heran sekali karena sesudah itu ternyata dia memasuki sebuah
ruangan yang diterangi dengan sebuah pelita aneh. Belum habis rasa herannya itu
dia sudah dibawa pula memasuki satu kamar bagus dan dirinya dibaringkan di atas
tempat tidur yang empuk.
Bau harum yang aneh dan merangsang menabur hidung pemuda itu. Dilihatnya api
pelita di dalam ruangan bertambah kecil sedang bau rarum yang merangsang makin
bertambah-tambah.
"Lepaskan totokan di tubuhku," Mahesa Munggul berkata dengan suara keras. Dia
merasa heran kemana perginya dara baju kuning yang satu lagi.
Sebaiknya Nilamaharani melontarkan senyum memikat dan duduk di tepi tempat
tidur. Di pegangnya lengan pemuda itu dan berkata,
"Dengar Mahesa. Kalau kau bersikap menurut akan kuselamatkan jiwamu. Kalau kau
keras kepala..."
"Kau mau berbuat apa terhadapku"!"
"Ah, jangan bicara membentak begitu padaku, Mahesa..." kata Nilamaharani. Tiba-
tiba dibungkukkannya kepalanya. Bibirnya menyentuh bibir pemu,da itu.
Seorang pemuda sudah barang tentu tak akan menolak jika dicium oleh dara jelita
seperti Nilamaharani. Tapi di saat itu Mahesa Munggul merasakan satu keanehan
yang mendirikan bulu tengkuknya.
Nilamaharani tertawa kecil. Nafasnya jelas memburu dan memanasi wajah Mahesa
Munggul. Diciumnya lagi pemuda itu dengan penuh nafsu sedang tangannya merayap
ke bawah pinggang. Jika saja Mahesa Munggul saat itu tidak berada dalam keadaan
ditotok mungkin dia sudah melompat dari atas tempat tidur itu!
"Gadis hina dina! Lekas kau lepaskan totokankul" teriak Mahesa Munggul
menggeledek. Nilamaharani tertawa lagi, tertawa lagi dan tangannya menjalar semakin berani...
semakin berani hingga sekujur tubuh Mahesa Munggul menggeletar dilanda
rangsangan yang tak pemah dirasakannya sebelumnya. Ketika Nilamaharani
melepaskan totokan di tubuhnya, pemuda ini sudah lupa daratan den lupa segala
apa yang dimarah dan dingerikannya. Dengan keberingasan seorang pemuda yang
ditelan nafsu birahi, ditariknya tubuh Nilamaharani ke atas tempat tidur,
Dipeluknya ketat-ketat laksana seekor ular menggelung hendak meramuk mangsanya.
Gadis itu tertawa dan menggeliat-liat. Sementara itu pelita kayu yang menancap
Wiro Sableng 014 Sepasang Iblis Betina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dinding detik demi detik semakin kecil dan suram hingga akhirnya ruangan itu
menjadi gelap. Hal ini tidak terperhatikan lagi oleh Mahesa Munggul yang
benaknya sudah tertutup nafsu.
*** Sebuah gerobak barang yang memuat segala macam sayur mayur meluncur di jalan
buruk yang menuju ke desa Tembilangan. Saat itu pagi had. Udara sepanjang jalan
terasa segar. Gerobak itu dikemudikan oleh seorang laki-laki separuh baya. Di sampingnya duduk
seorang anak laki-laki empat belas tahun.
"Menurut ayah, apakah anak kepala desa yang jadi pengantin itu dilarikan oleh
makhluk jadi-jadian yang menyaru gadis cantik?"
"Aku tidak tahu, nak. Tapi apa yang terjadi ini benar-benar luar biasa. Sejak
malam tadi seluruh penduduk ikut membantu mencari Mahesa Munggul, dan sampai
pagi ini pemuda itu masih belum berhasil ditemukan..."
"Kemungkinan... jangan-jangan dia sudah dibunuh, ayah."
"Huss! Mulutmu enak saja bicara begitu!" kata ayah si anak.
Tapi baru saja dia berkata demikian tiba-tiba kuda penarik gerobak yang
dikemudikannya meringkik keras dan menaikkan kedua kaki depannya hingga gerobak
sayur itu hampir saja terbalik bersama isi-isinya.
Laki-laki perngemudi gerobak dan anaknya melompat dari atas gerobak. Di tengah
jalan beberapa langkah di hadapan mereka tergelimpangan sesosok tubuh laki-laki
yang tidak mengenakan pakaian barang selembar benangpun. Sekujur tubuhnya penuh
dengan benjat benjut bekas pukulan. Dengan langkah gemetar, pengemudi gerobak
sayur itu mendekati sesosok tubuh di tengah jalan itu. Meski sebagian besar muka
orang yang terhantar di tengah jalan itu rusak serta dilumuri darah tapi
pengemudi gerobak masih bisa mengenali siapa dia adanya. Bahkan anak laki-
lakinya yang juga mengenali berteriak,
"Ay... ayah! Ini adalah Mahesa Munggul! Anak kepala desa kita!"
*** 5 DI PUNCAK-PUNCAK dan lereng-lereng bukit sejak pagi tadi kelihatan berkelebat
kian kemari satu makhluk kuning. Dari jauh kelihatannya seperti seekor burung
raksasa yang tengah mencari-cari mangsa untuk pengisi perutnya. Tapi bila
didekati temyata dia bukan lain seorang manusia juga adanya yaitu seorang nenek-
nenek berjubah kuning. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh serta ilmu
larinya yang hebat dia berkelebat kian ke mari seolah-olah ada sesuatu yang
sedang diselidik dan dicarinya.
Dengan terbungkuk-bungkuk dia berdiri di puncak sebuah bukit yang paling tinggi
lalu memandang berkeliling.
"Heran," katanya dalam hati, "seluruh bukit bahkan sampai ke hutan Bintaran
telah kuselidik. Tapi di mana kedua murid murtad itu berada?"
Nenek-nenek ini memandang lagi berkeliling. Matanya yang hampir putih dan kabur
itu lebih tajam dari mata seekor burung elang. Tapi ketajaman yang dimilikinya
kali ini tak berdaya untuk menjalankan tugasnya.
Sampai rembang petang, bahkan sampai matahari tenggelam dan siang berganti
malam, nenek-nenek itu masih juga berkelebat kian ke mari. Namun akhirnya dia
tahu apa yang dilakukannya itu adalah sia-sia belaka. Maka dia kembali ke puncak
bukit ang paling tinggi dan duduk bersila disitu bersemedi.
Sewaktu bintang gumintang mulai bersembulan di angkasa raya, sewaktu rembulan
tampak memunculkan dirinya di langit biru maka dari puncak bukit yang paling
tinggi itu terdengarlah suara nyanyian yang menggema ke seluruh penjuru bahkan
menyejak masuk ke dalam hutan Bintaran membuat urung-burung hantu yang tadinya
mengeluarkan suara yang menegakkan bulu roma kini diam gelisah.
Seluruh bebukitan dan hutan belantara, seluruh epekatan malam serta siuran angin
dingin, telah dicengkam oleh suara nyanyian itu.
Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Diam sebentar, terdengar suata helaan nafas panjang, lalu untuk kedua kalinya
kembali terdengar suara nyanyian itu.
"Hidup sebatang kara
Penuh sedih dan derita
Tapi punya dua murid murtad celaka
Lebih sedih lebih derita
Dari pagi sampai malam
Delapan penjuru sudah kuperiksa
Entah di mana mereka berada
Namun aku tak putus asa
Yang salah yang jahat dan kotor
Pasti akan musnah
Karena isi dunia ini punya Tuhan Yang Kuasa
Kalau kini belum bertemu
Kelak nanti akan kutemu
Kebenaran akan datang
Hukum akan jatuh
Namun masih ada satu jalan
Jika dua murid murtad datang minta ampun
Hukuman Tuhan pasti akan lebih ringan ...."
Demikianlah sampai larut malam suara nyanyian itu masih juga terus terdengar
dari puncak bukit diulang-ulang dari baris pertama sampai baris terakhir.
Menjelang dinihari, di sebuah tempat rahasia di salah satu bukit dua orang gadis
berpakaian kuning duduk saling pandang. Mereka adalah Milamaharani dan adiknya
Nilamahadewi. "Aku yakin suara nyanyian yang bergema sejak permulaan malam tadi adalah suara
guru. Bagaimana pendapatmu" Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Nilamahadewi kepada
kakaknya. Nilamaharani merenung sejenak. Lalu katanya:
"Kita tunggu saja. Lambat laun dia tentu akan letih sendiri dan pergi
meninggalkan tempat ini."
Sang adik menggeleng.
"Kita sama tahu sifat guru," katanya "sekali dia melakukan sesuatu sampai
kapanpun tak akan dihentikannya sebelum berhasil!".
"Dia tak tahu tempat rahasia kita ini."
"Tapi aku yakin sekali bahwa dia sudah mengetahui yang kita diami di daerah
berbukit-bukit ini. Sampai berapa lama kita bisa menunggu di sini" Sampai mati
kelaparan karena kehabisan makanan?".
Apa yang dikawatirkan oleh adiknya itu cukup disadari oleh Nilamaharani.
"Memang kita tak bisa bertahan selamanya di sini. Namun sekali kita keluar, dia
pasti melihat kita. Dan celakalah kita!"
Nilamahadewi tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tanya kakaknya.
"Kata-kata yang kau ucapkan menunjukkan bahwa kau takut terhadapnya. Sekecil
itukah nyalimu?"
Paras Nilamaharani kelihatan menjadi merah. Dia berdiri dengan cepat.
"Sejak dilahirkan aku bukan bangsa manusia pengecut! Sekalipun ada sepuluh Ni
Mindi Julurkbalen di luar sana aku tidak takut! Mari keluar!"
Nilamahadewi memegang lengan kakaknya. "Jangan terburu kesusu, kakakku. Kita
tunggu sampai matahari terbit...
"Selagi di luar gelap siapa tahu kita bisa lolos," kata Nilamaharani pula.
"Ah, lagi-lagi kau menunjukkan kepengecutanmu!"
"Sudah diam! Baik aku akan turut ucapanmu!" bentak Nilamaharani.
Sementara itu di luar sana masih terdengar terus suara nyanyian. "Hidup sebatang
kara .... penuh sedih dan derita...
*** Sewaktu sang surya menyingsing di ufuk timur, dari puncak bukit yang paling
tinggi di daerah itu, nenek-nenek berjubah kuning yang telah menyanyi sepanjang
malam, melihat dua buah titik kuning d lereng sebuah bukit yang terletak jauh di
sebelah barat. "Nah . . . . nah . . . , nah .... Akhirnya dua murid murtad itu keluar juga dari
persembunyian mereka," berkata si nenek dalam hati. Kerut-kerut keriput
diwajahnya kelihatan bertambah banyak dua kali dari sebelumnya sedang sepasang
matanya yang mengabur memantulkan sinar aneh. Tanpa membuang tempo lagi nenek-
nekek ini segera berdiri dan menggerakkan kedua kakinya. Kelihatannya sepasang
kakinya yang kurus kering itu cuma melangkah biasa. Tapi hebatnya dalam waktu
yang singkat dia sudah berada jauh dari puncak bukit di mana dia berada
sebelumnya. Laksana seekor burung walet, nenek-nenek itu "terbang" ke jurusan terlihatnya
dua titik kuning tadi.
"Murid-murid murtad! Jangan kalian melarikan diri!" si nenek tiba-tiba
berteriak. Hebat sekali, suaranya menggema ke seantero bebukitan laksana suara
guntur mendera daerah itu!
"Ni Mindi Jalurkbalen! Buka matamu lebar-lebar! Kami sama sekali tidak melarikan
diri!" Nenek-nenek yang bernama Ni Mindi Jalurkbalen membeliakkan matanya karena rasa
kaget yang tidak terperikan. Suara teriakan balasan itu tak kalah kerasnya
dengan teriakannya tadi.
"Tenaga dalamnya sudah jauh pesat! Pantas dia bisa berbuat seenak waduknya,"
kata Ni Mindi Jalurkbalen. Di samping itu dia menjadi marah sekali karena bekas
muridnya itu berani-beranian menyebut namanya secara kurang ajar! Dipercepatnya
larinya. Di lain ketika pada akhirnya Ni Mindi Jalurkbalen dan Nilamaharani
serta Nilamahadewi saling bertemu dipuncak sebuah bukit sementara sang surya
sudah muncul keseluruhannya, menerangi jagat.
Untuk beberapa lamanya Ni Mindi Jalurkbalen berdiri dengan mulut menganga dan
mata membeliak. Kemudian terdengarlah kumandang suara tertawanya.
"Nah .... nah .... nah ! Sungguh lucu! Sungguh aneh! Sudah terbalikkah dunia
ini" Atau iblis menipu mataku?".
"Tua renta tak tahu diri! Hentikan tawamu!" sentak Nilamaharani.
"Kurang ajar! Berani kau membantah gurumu"!"
"Mengapa tidak" Dan kalau kau tak lekas angkat kaki dari sini jangan menyesal
umurmu cuma sampai hari ini!"
"Hem, begitu"! Jangan keliwat sombong murid-murid laknat! Tadinya masih
kusediakan sedikit pengampunan bagi kalian. Tapi setelah melihat kekurang ajaran
dan kesombongan kalian jangan harapkan belas kasihanku!"
"Siapa yang butuh belas kasihanmu"!", tukas Nilamahadewi.
Ni Mindi Jalurkbalen mengertakkan rahangnya. Untuk seketika pipinya yang kempot
kelihatan menggembung.
"Sebelum hukuman kujatuhkan, jawab dulu satu pertanyaanku!" berkata nenek-nenek
itu. "Kenapa kalian jadi seperti ini" Apakah kalian sudah gila"!"
"Betul!" jawab Nilamaharani. "Kami memang sudah pada gila. Demikian gilanya
hingga memutuskan bahwa nenek buruk macammu ini sebaiknya dilenyapkan saja dari
muka bumi karena merusak pemandangan!"
"Betul-betul murtad! Betul-betul murtad! Kalian mampuslah!", teriak Ni Mindi
Jalurkbalen lalu memukulkan kedua tangannya ke arah dua kakak beradik itu!
Dua gelombang sinar hijau menderu dahsyat!
*** 6 PUKULAN yang dilepaskan Ni Mindi Jalurkbalen adalah pukulan "kelabang ijo" yang
amat berbahaya. Sekali salah satu bagian tubuh tersambar ilmu pukulan itu kontan
sekujur badan akan matang hijau dan orangnya akan mati detik itu juga. Jangankan
manusia, satu batu karang yang atospun akan hancur dilanda pukulan tersebut!
Dengan mengeluarkan suara tertawa mengejek seakan-akan mereka hanya menghadapi
seorang lawan bangsa kroco, Nilamaharani dan adiknya melompat ke samping lalu
dengan cepat mendorongkan tangan kanan masing-masing ke arah guru mereka!
Wuss! Wuss! Dua larik sinar hijau yang lebih pekat dan lebih keras menyambar si nenek.
Ni Mindi Jalurkbalen terkejut bukan main.
Jelas ilmu pukulan yang dilancarkan bekas kedua muridnya itu adalah ilmu pukulan
"kelabang ijo" juga yang dulu memang pernah diajarkannya kepada mereka. Tetapi
mengapa pukulan-pukulan kelabang ijo mereka luar biasa dahsyatnya padahal
sewaktu melepaskan pukulan kelabang ijo tadi Ni Mindi Jalurkbalen telah
mengerahkan hampir tiga perempat tenaga dalamnya!
"Kalau tidak mendapat gemblengan dari seorang sakti lainnya niscaya mereka tak
bakal dapat meyakini ilmu pukulan itu sedemikian luar biasa hebatnya," membatin
Ni Mindi Jalurkbalen.
Segera seluruh tenaga dalamnya dialirkan seluruhnya ke tangan hingga perbawa
pukulan kelabang hijaunya lebih dahsyat dari semula!
Sewaktu pukulan-pukulan kelabang ijo itu saling bentrokan, terdengarlah suara
ledakan yang amat dahsyat. Langit di atas mereka laksana mau runtuh, puncak
bukit bergetar, liang telinga masingmasing menjadi pengang untuk beberapa ketika
lamanya. Ni Mindi Jalurkbalen terhuyung satu langkah ke belakang sedang di depannya
Rahasia 180 Patung Mas 1 Pendekar Pulau Neraka 11 Bunga Dalam Lumpur Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 7