Bahala Jubah Kencono Geni 2
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni Bagian 2
segera menegur.
"Abdi dalem! Kau datang sebagai mata-mata atau sebagai apa"!"
"Ampun Raden Jayeng," kata si penunggang kuda begitu melompat turun ke tanah.
"Saya memang
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
sengaja mencari Raden sekaligus menyelamatkan diri dari kejaran manusia-manusia
penyebar fitnah! Saya
bersyukur pada Gusti Allah bisa dipertemukan dengan Raden Jayeng di tempat
ini...." "Hemm....Siapa namamu" Ceritakan apa yang terjadi!" ujar Jayengseno pula. Saat
itu Ayu Purini dan
Wiro sudah keluar pula dari balik pohon. Si abdi dalem tentu saja jadi terkejut
ketika mengenali puteri Sri
Baginda itu lalu cepat-cepat menunduk memberi penghormatan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, abdi dalem....," menegur Raden Jayengseno.
"Maafkan saya Raden....," kata abdi dalem. Lalu dia mulai memberi keterangan.
"Nama saya
Kamio...." Selanjutnya Kamio menerangkan apa yang telah terjadi dengan keluarga
abdi dalem Kamilun.
Bagaimana dia sendiri kemudian dituduh sebagai pembunuh dan tersangkut dalam
perkara lenyapnya jubah
pusaka sakti Kencono Geni.
Raden Jayengseno mengusap dagunya beberapa kali. "Rupanya ada harimau di bawah
selimut keraton!" kata Jayengseno kemudian.
"Apa yang harus kita lakukan mas Jayeng?" bertanya Ayu Purini lalu melirik pada
Pendekar 212 Wiro
Sableng yang saat itu tegak sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dia ingat pada
salah satu bagian keterangan
Kamio. Cepat Wiro berkata: "Tadi kau bilang cucu abdi dalem Kamilun sempat
melihat sendiri pencuri jubah
pusaka itu. Katanya seorang lelaki tinggi besar berambut putih, bermata besar.
Coba kau ingat-ingat siapa
orang dalam kalangan keraton yang punya ciri-ciri seperti itu...."
"Setahuku banyak orang dalam keraton yang punya ciri-ciri seperti itu
" kata Raden Jayengseno
pula. "Coba disebutkan....," pinta Wiro. "Dua atau tiga orang abdi dalem. Lalu
beberapa anggota pengawal.
Seorang anggota penabuh gamelan. Kudopati..... Tidak, dia tidak berambut
putih....Tapi mungkin saja dia
memakai rambut palsu...."
Wiro menggeleng. "Jika Sumini yang malang itu mengenali siapa adanya si pencuri
berarti orang itu
tidak menyamar ketika melakukan kejahatannya. Hanya sayang anak itu tidak sempat
mengatakan siapa
orangnya. Keburu dirinya dibunuh lebih dahulu. Kurasa ibu dan kakeknya juga
dibunuh dengan alasan yang
sama. Yaitu sudah sempat mendengar keterangan menyangkut ciri-ciri orang itu.
Kamio beruntung masih bisa
melarikan diri. Tapi sekarang jiwanya terancam.... Nah, masih adakah orang dalam
keraton dengan ciri-ciri
seperti yang dikatakan tadi?"
"Apakah tidak ada kemungkinan bahwa penjahatnya adalah orang luar keraton?"
bertanya Purini.
"Mungkin saja," sahut Jayengseno.
Tapi Wiro justru gelengkan kepala."Jika dia orang luar Sumini tak bakal
mengenalinya. Kurasa ini
sudah hampir pasti pekerjaan orang dalam. Buktinya dia juga membunuh para
pengawal dan beberapa abdi
dalem yang ada di bangsal penyimpanan benda-benda pusaka...."
"Kau benar," kata Jayengseno pula.
"Kalau begitu selama kita berada di luar tembok keraton, kita tak bakal dapat
mencari tahu siapa
adanya penjahat yang menimbulkan malapetaka itu," berkata Purini. Lalu dia
menyambung. "Aku tiba-tiba
saja ingat. Ada dua pejabat tinggi keraton yang memiliki ciri-ciri seperti
dikatakan abdi dalem Kamio. Pertama
menteri pertanahan, kedua patih kerajaan sendiri...."
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Jayengseno gelengkan kepala."Dua orang itu dianggap sesepuh kerajaan. Telah
mengabdi selama
puluhan tahun. Bahkan mapatih sendiri sesuai penjelasan abdi dalem ini langsung
turun tangan melakukan
penyelidikan dan pengejaran."
"Bagaimana kalau aku menyamar jadi abdi dalem lalu menyelinap masuk ke dalam
keraton," berkata
Wiro. "Akalmu cukup panjang. Tapi keraton sangat luas. Ada beberapa bangunan besar.
Aku khawatir kau
tersesat dan keburu ketahuan sebelum berhasil menyelidik...."
"Kalau begitu kita bertiga masuk dengan menyamar!" kata Wiro pula. Ayu dan
Jayeng menyetujui
usul itu. Lalu Jayengseno berkata pada Kamio. "Pergilah ke hutan Dadap. Disitu
ada rumah tempat Raja
mengaso pada waktu berburu. Untuk sementara kau bisa bersembunyi disitu."
Abdi dalem bernama Kamio itu menghatur sembah lalu minta diri.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
DELAPAN MALAM ITU WALAUPUN tidak terlalu sulit namun dengan penuh rasa tegang dengan
menyamar, Raden Jayengseno, Ayu Purini dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil masuk ke
dalam keraton lewat pintu
gerbang utara. Saat itu udara agak mendung dan angin bertiup kencang pertanda
hujan mungkin akan segera
turun. Pusat tujuan mereka adalah bangsal penyimpanan senjata dan barang-barang pusaka
kerajaan. Ternyata bangsal itu kini dijaga secara sangat ketat baik siang apalagi malam
hari. Jayengseno berjalan di sebelah depan. Dia sengaja mengambil jalan yang agak jauh
agar sampai di bagian belakang bangunan. Sesuai rencana dia dan Wiro akan memanjat sebuah
tembok rendah lalu naik ke
atas atap bangsal. Ayu Purini akan disuruh tunggu di sebuah sudut.
Ketika melewati halaman luas sebelum mencapai bagian belakang bangsal
penyimpanan senjata
tiba-tiba angin kencang bertiup. Daun-daun pohon beringin bersiur keras. Debu
dan pasir beterbangan.
Blangkon yang melekat di kepala Pendekar 212 yang memang agak kebesaran
terpental diterbangkan angin.
Cepat-cepat Wiro memungutnya, menggulung rambut gondrongnya ke atas lalu
mengenakan blangkon itu
kembali. Beberapa saat kemudian ketika ketiga orang itu bergerak hampir mencapai bagian
belakang bangsal
penyimpanan senjata, dari sebuah lorong dua orang pengawal yang melakukan tugas
keliling tampak keluar
dan melangkah ke jurusan mereka. Sewaktu berpapasan tiga pengawal ini memberi
penghormatan. Namun
setelah dua langkah lewat, salah seorang dari mereka memegang lengan dua
temannya dan membisikkan
sesuatu. Dua pengawal itu segera berpaling. Setelah memperhatikan ke arah
Pendekar 212, salah seorang di
antaranya segera berseru.
"Tunggu!"
Tiga abdi dalem sesaat saling pandang dan terpaksa hentikan langkah.
"Ada apakah...?" menegur Jayengseno.
Pengawal yang ditanya tidak menyahuti melain melangkah mendekati Wiro. Setelah
memperhatikan kepala sang pendekar sekali lagi maka diapun berkata. "Empat melihat seorang
abdi dalem memakai blangkon
terbalik!"
Jayengseno dan Ayu Purini terkejut dan sama memandang ke arah blangkon di kepala
Wiro. Astaga! Blangkon yang tadi jatuh dan dikenakan kembali itu ternyata memang terbalik.
Buhul atau bagian belakangnya
berada di sebelah depan!
Wiro yang tak kalah kagetnya cepat-cepat memutar blangkon itu. Namun karena
terburu-buru justru
rambutnya yang gondrong sempat terburai keluar.
Makin heranlah tiga pengawal tadi.
"Seorang abdi dalem berambut panjang tanpa diikat!" seorang diantaranya berkata.
Kawannya memandang tak berkedip. Sambil memberi isyarat, dia bertanya. "Sampean
ini sudah Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
berapa lama jadi abdi dalem keraton" Kami terpaksa memeriksa sampean!"
"Pengawal, tak ada yang perlu dicurigai!" berkata Jayengseno. "Tadi ada angin
yang menerbangkan
blangkonnya. Karena terburu-buru dia salah mengenakannya!"
"Ada yang tidak beres. Lihat saja! Abdi dalem satu ini tegak membelakangi gedung
kuning kediaman
Sri Baginda!" kata si pengawal pula.
"Celaka!" keluh Ayu Purini daiam hati. Tegak memunggungi gedung kediaman Sri
Baginda memang suatu pantangan bagi siapa saja yang berada dalam jajaran keraton. "Kalian
bertiga ikut kami ke rumah
penjagaan!"
"Kami ada urusan penting atas perintah patih. Jangan keliwat menganggu!" kata
Jayengseno. "Urusan kalian bisa dilanjutkan kemudian setelah kami melakukan pemeriksaan.
Mari ikut...."
"Kalau begitu kalian yang harus ikut kami untuk dihadapkan pada patih kerajaan!"
kertak Jayengseno.
Tapi pengawal itu gelengkan kepala. Dia tahu bahwa dalam bertugas kedudukannya
tidak bisa ditakut-takuti dengan gertakan apapun. Ketika ketiga abdi dalem itu tetap
bersikeras untuk tidak mau
mengikuti para pengawal ke rumah penjagaan, salah seorang pengawal mengangkat
tangannya. Teman di
sampingnya segera lari ke sebuah sudut dimana terletak sebuah kentongan lalu
memukul kentongan itu
berulang kali. Dalam waktu singkat dari mana-mana bermunculan belasan pengawal.
"Kalian berdua lekas ikut aku!" kata Jayengseno. Sewaktu ketiganya hendak
bergerak, dua pengawal
segera menghalangi. Wiro cepat totok keduanya hingga kaku tak bisa bergerak
lagi. Tapi mulut mereka masih
bisa berteriak-teriak.
Jayengseno sambil memegang lengan Ayu Purini lari sekencang-kencangnya ke bagian
halaman yang gelap. Wiro mengikuti sambil sesekali menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya ada
serombongan pengawal
mengejar cepat sekali, Wiro segera pukulkan kedua tangannya ke tanah. Pendekar
ini lepaskan pukulan sakti
"T opan Melanda Samudera" tapi tidak dengan tenaga dalam penuh. Hanya
menghalangi dan menutupi
pemandangan para pengejar.
Begitu para pengejar terdengar batuk-batuk dan ada yang merintih karena
kelilipan, kesempatan ini
dipergunakan oleh Jayengseno dan Purini serta Wiro untuk berkelebat ke arah
tembok pendek di sebelah
selatan, melompati tembok ini terus lari ke arah tembok besar keraton.
Di pintu gerbang Jayengseno sengaja mendatangi enam orang pengawal yang berjaga-
jaga dan belum tahu apa yang terjadi di keraton sebelah dalam.
"Kalian semua jangan ada yang meninggalkan tempat ini. Sejumlah pengawal akan
datang untuk memperkuat penjagaan. Kami akan melapor pada patih kerajaan...."
"Apa yang tengah terjadi di keraton" Mengapa kentongan dipukul terus menerus?"
tanya seorang pengawal. "Masih belum jelas. Ada yang mengatakan seorang hidung belang menyusup ke dalam
keputeran...."
jawab Jayengseno lalu cepat memberi isyarat pada Wiro dan Purini agar segera
mengikutinya. Ketiganya
keluar dari pintu gerbang itu lalu lari sekencang-kencangnya menyusun pinggiran
alun-alun yang gelap oleh
naungan pohon-pohon beringin. Di satu tempat yang dirasakan cukup aman ketiganya
berhenti. "Maafkan keteledoranku....," kata Wiro sambil duduk di akar pohon.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Ayu Purini tak bisa berkata apa-apa. Nafasnya sesak dan mukanya masih pucat.
Sesaat kemudian baru
dia bisa membuka mulut, bertanya: "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Seluruh kotaraja dalam waktu dekat pasti sudah tahu apa yang terjadi. Ruang
gerak kita menjadi
sempit. Kita tidak bisa lagi menyamar sebagai abdi dalem begini rupa," kata Wiro
seraya hendak membuka
pakaian luriknya.
"Jangan dibuka dulu," berkata Jayengseno cepat.
"Ikuti aku. Ada sebuah tempat di timur kotaraja yang sering dipergunakan Sri
Baginda untuk beristirahat. Untuk beberapa lama sampai keadaan aman kita bisa bersembunyi
disana." Lalu ketiga orang itu segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba dari
arah depan mendatangi serombongan penunggang kuda. Beberapa di antaranya membawa obor.
"Yang datang adalah Kiyai Singgih Kanyoman bersama para pengawal!" bisik
Jayengseno ketika
mengenali orang tua yang berkuda di paling depan. "Celaka, kita sudah terlihat!"
Apa yang dikatakan Jayengseno memang benar. Abdi dalem dengan pangkat tertinggi
dan usia paling
tua dalam kawasan keraton telah melihat mereka berada di tempat itu. Mereka baru
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja dari luar kota. Ketika
mendengar suara kentongan bertalu-talu dari arah keraton, rombongan ini
mempercepat lari kuda
masing-masing. Namun di bawah sebatang pohon mereka melihat tiga orang
berpakaian abdi dalem yang
gerak geriknya mencurigakan. Langsung saja Kiyai Singgih Kanyoman mengarahkan
kudanya pada ke tiga
orang itu. "Kalian berdua cepat tinggalkan tempat ini. Tunggu aku di tempat peristirahatan
Raja," ujar Wiro
cepat. "Kau tahu letak bangunan itu?" tanya Purini.
"Ya, aku tahu. Pergi cepat.... Biar aku menahan orang-orang yang datang ini!"
Jayengseno dan Ayu Purini segera berkelebat dan menghilang dalam kegelapan.
Begitu sampai di hadapan Wiro, Kiyai Singgih Kanyoman langsung membentak.
"Malam-malam
begini abdi dalem keraton berada di tempat yang tidak semustinya! Mana kawanmu
yang dua tadi"!"
"Mereka pergi ke kepatihan guna melaporkan kejadian dalam keraton. Ada penyusup
masuk ke dalam kaputeran!" jawab Wiro pula.
Sepasang mata Kiyai Singgih Kanyoman menatap tajam ke dada baju lurik yang
dikenakan Wiro. Tadi
Wiro hendak membuka pakaiannya ini tapi tak jadi. Celakanya dia lupa
mengancingkan bagian atasnya
kembali sehingga di balik baju lurik itu Ki Singgih Kanyoman dapat melihat jelas
pakaian putih yang
dikenakan Wiro.
Ki Singgih lalu mengambil sebuah tongkat yang disisipkannya di kantong
perbekalan. Dengan ujung
tongkat ini dia mengait blangkong di kepala Wiro. Blangkon jatuh di tanah.
Rambut gondrong Pendekar 212
langsung menyembul acak-acakan.
"Orang ini bukan abdi dalem! Tangkap dia!" teriak Ki Singgih Kanyoman.
Sepuluh perajurit dan dua perwira melompat turun dari kuda masing-masing,
langsung menyerbu
Pendekar 212. Semua mereka mengandalkan tangan kosong karena sama menyangka
bahwa dalam waktu
singkat dan mudah mereka akan sanggup meringkus si gondrong itu!
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
SEMBILAN KI SINGGIH KANYOMAN terkejut besar ketika melihat bagaimana dalam dua kali
gerakan berturut-turut para pengiringnya dibikin roboh oleh pemuda berambut gondrong
itu. Bahkan perwira yang
coba menelikung si pemuda dari belakang jatuh terbanting ke tanah kena sikut dan
merintih sambil pegangi
bagian tulang iganya yang patah!
Singgih Kanyoman jadi marah lalu berteriak. "Pergunakan senjata! Jangan ragu
membunuhnya!"
Mendengar seruan ini maka para perajurit yang ada segera menghunus senjata
masing-masing. Ada
yang berupa pedang, banyak pula yang memegang golok.
Wiro tak ingin menurunkan tangan terlalu keras pada perajurit-perajurit yang
hanya menjalankan
perintah itu. Namun dia juga tak ingin jadi bulan-bulanan senjata lawan. Maka
begitu orang menyerbunya
Pendekar 212 segera melompat ke belakang. Sambil melompat dia menyambar leher
pakaian perwira yang
terduduk sambil merintih kesakitan. Tubuh perwira itu kini dipergunakannya
sebagai tameng untuk meng-
hadapi serbuan senjata lawan. Tentu saja para perajurit itu menjadi terkesiap
dan tidak mungkin meneruskan
serangan tanpa membahayakan keselamatan atasan mereka.
Melihat lawan tidak lagi berani menyerang, Wiro lemparkan tubuh sang perwira
lalu secepat kilat
memutar tubuh meninggalkan tempat itu.
Namun tidak terduga, dari atas kudanya Ki Singgih Kanyoman tampak laksana
melayang terbang dan
sesaat kemudian dia sudah menghadang di depan Pendekar 212 sambil melintangkan
tongkat kayunya.
"Ah, abdi dalem tua ini rupanya memiliki kepandaian tidak sembarangan!" kata
Wiio dalam hati
seraya bersiap-sedia.
"Serahkan dirimu untuk pengusutan atau kau memilih kupecahkan kepalamu dengan
tongkat ini sekarang juga!" berkata Ki Singgih Kanyoman.
"Orang-orangmu menyerang duluan! Sekarang kau malah mengancam hendak memecahkan
kepalaku! Apa salahku..."!"
Orang tua itu tertawa mendengar kata-kata Wiro Sableng.
"Mulutmu pandai bicara. Tapi kau berusaha hendak sembunyi di balik selembar
lalang. Aku menaruh
curiga kau ini adalah pemuda berambut gondrong yang pernah dilaporkan berada di
tempat samadi Raden
Jayengseno. Dua kawanmu yang kabur tadi dapat pula kupastikan adalah Jayengseno
sendiri dan puteri Sri
Baginda yang bernama Purini...."
"Ah, lenyapnya Purini sudah diketahui rupanya," kata Wiro dalam hati.
"Orang tua, siapapun adanya diriku, siapapun adanya kedua orang yang melarikan
diri itu tidak perlu
dijadikan urusan. Kami bertiga bukan orang-orang jahat."
"Begitu...." Hanya para penjahat yang berani menantang kerajaan. Hanya orang-
orang bersalah yang
mau melarikan diri....!"
"Tidak selamanya begitu, orang tua. Orang benar tapi difitnah apakah dia akan
diam saja" Orang
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
mencari keadilan tapi malah hendak ditangkap, apakah dia diam saja"!"
"Hemm.... Ucapanmu itu menambah kepastian bahwa kau benar-benar kaki tangan
Jayengseno, pencuri jubah Kencono Geni!"
Habis berkata begitu Ki Singgih Kanyoman gerakkan tangan kanannya. Tongkat yang
dipegangnya melesat ke arah mata kanan Pendekar 212. Tidak mau berlaku ayal murid Sinto
Gendeng cepat berkelit. Dari
samping dia menghantam dengan tangan kiri ke arah badan tongkat.
Ki Singgih sengaja menunggu, tidak mau menarik tongkatnya. Tapi begitu pukulan
lawan hampir mengenai tongkat, dia gerakkan per-gelangan tangannya demikian rupa sehingga
tongkat menggebuk tangan
kiri Wiro dengan keras.
Murid Shinto Gendeng mengeluh kesakitan. Selain sakit dia juga menjadi
penasaran. Baru sekali ini
dia mampu dihantam lawan hanya dalam satu gebrakan. Sampai dimana sesungguhnya
kehebatan orang tua
ini" Sambil sunggingkan senyum mengejak Ki Singgih menghujani Wiro dengan serangan
tongkat. Senjata itu menderu-deru mengeluarkan angin yang memerihkan mata. Wiro menyambut
dengan gerakan-gerakan gesit. Dia sengaja bertahan dengan jurus ilmu silat orang gila
yang didapatnya dari Tua Gila
dan ketika balas menyerang dia pergunakan jurus-jurus silat Eyang Sinto Gendeng.
Tiga jurus berlalu, lalu tiga jurus lagi. Tidak terasa perkelahian itu sudah
memasuki jurus ke dua
puluh. Ilmu tongkat Ki Singgih Kanyoman memang luar biasa. Wiro tidak
berkesempatan untuk mendesak
apalagi berusaha merampas tongkat itu. Bertahan terus menerus bisa berbahaya.
Maka pemuda ini terpaksa
mulai keluarkan beberapa pukulan saktinya.
Ketika ada angin dahsyat mulai menerpa ke arahnya Ki Singgih Kanyoman bukannya
menjadi kaget. Rupanya orang tua ini memang sejak tadi sudah menunggu ingin melihat sampai
dimana kehebatan si
gondrong ini. Dari saku pakaiannya dia mengeluarkan sebuah sapu tangan. Setiap
dia melambaikan sapu
tangan ini, angin pukulan yang dilepaskan Wiro seperti dibendung oleh satu
tembok baja yang atos.
Wiro menjadi serba salah. Kalau dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga dalam dan
menghantam dengan pukulan-pukulan sakti simpanan dia khawatir si orang tua akan cedera
berat. Padahal dia tak ingin
melakukan hal itu. Setelah memutar akal akhirnya Wiro menemui cara yang
dianggapnya paling baik. Orang
tua seumur Ki Singgih Kanyoman mungkin punya daya tahan terhadap hawa panas,
tetapi terhadap udara
dingin belum tentu. Maka Pendekar 212 segera merapal aji pukulan "A ngin Es"
Kedua tangannya diangkat ke
atas: Telapak tangan membuka dan diputar-putar dengan cepat. Udara malam yang
memang sudah dingin itu
kini tiba-tiba berubah menjadi dingin luar biasa.
Ki Singgih Kanyoman tersentak kaget. Dia kerahkan tenaga dalam untuk melawan
hawa dingin sambil
mengalirkan hawa panas ke seluruh tubuhnya. Tapi terlambat. Sekujur badannya
terasa ngilu terbungkus oleh
hawa dingin yang hebat. Gerahamnya bergemeletakan. Di sekitarnya semua
pengiringnya kelihatan berdiri
dengan tubuh bergetar keras menggigil kedinginan, lalu satu demi satu mereka
berjatuhan ke tanah dengan
tubuh bergelung. Hanya Ki Singgih saja yang masih sanggup berdiri tapi
keadaannya menderita sekali. Dia tak
mampu bergerak seolah-olah tubuhnya dibungkus lapisan es. Tangan kirinya yang
memegang sapu tangan
tergantung kaku di udara sedang tangan kanannya yang menggenggam tongkat
terkulai ke bawah juga dalam
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
keadaan kaku tegang.
Satu-satunya suara yang bisa dikeluarkannya ialah suara menggigil dan suara
bergemeletakan geraham-gerahamnya yang masih utuh walau usianya sudah mencapai sembilan puluh
tahun. Penderitaan Ki
Singgih ternyata tidak hanya sampai disitu. Dari bawah perutnya terdengar suara
mendesir halus. Lalu tampak
selangkangnya basah disusul ada air yang menetes ke tanah! Bau pesingnya kencing
membersit di tempat itu!
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengekeh melihat kejadian itu. Lalu dia buka
baju dan kain yang
dikenakannya. Pakaian ini kemudian diselubungkannya ke tubuh Ki Singgih.
"Mudah-mudahan pakaian tambahan ini dapat mengurangi rasa dinginmu. Karena aku
memang bukan abdi dalem seperti katamu, aku tidak membutuhkan pakaian itu lagi." Wiro tepuk-
tepuk pipi keriput Ki
Singgih yang sedingin es itu lalu berkata. "Selamat tinggal orang tua. Kau telah
menjalankan tugasmu dengan
baik. Satu ketika akan kubuktikan padamu bahwa Raden Jayengseno bukanlah pencuri
jubah Kencono Geni
seperti yang kau tuduhkan itu!"
Kiyai Singgih Kanyoman menyeringai buruk. "Aku kira kau tak bakal punya
kesempatan membuktikannya! Lehermu akan dipancang lebih dahulu!"
Pendekar 212 balas tersenyum lalu tarik selampai di tangan kiri Ki Singgih dan
pergunakan saputangan ini untuk menyeka mukanya. Setelah itu saputangan kembali
disempilkannya diantara jari-jari
tangan kiri si orang tua. Kemudian dia melompat ke atas punggung kuda milik Ki
Singgih. "Jangan kau tuduh
aku mencuri kudamu. Aku cuma meminjamnya! Kau barusan ngompol di celana. Jangan
lupa cebok Kiyai! Ha...ha...ha...!"
"Aku bersumpah akan memenggal sendiri kepalamu!" kata Ki Singgih Kanyoman dengan
mata membeliak. Sambil tertawa Wiro tinggalkan tempat itu.
Beberapa puluh tombak setelah Wiro berlalu, hawa Pendekar 212 berlalu, hawa yang
sangat dingin berangsur-angsur lenyap. Ki Singgih Kanyoman dan semua perajurit yang ada di
tempat itu mulai bisa
menggerakkan anggota tubuh masing-masing. Yang pertama dilakukan si orang tua
ialah menarik kain dan
baju yang menyelubungi tubuhnya. Benda itu dibantingkannya ke tanah. Matanya
berkilat-kilat dan pelipisnya
bergerak-gerak tanda amarahnya tidak terkirakan. Bukan saja marah tetapi juga
sangat malu dipermainkan
begitu rupa oleh seorang pemuda tak dikenal.
"Ki Singgih, izinkan kami mengejar pemuda itu...," berkata seorang perajurit.
"Tak ada gunanya....," jawab Ki Singgih Kanyoman. "Kita harus menuju keraton
sekarang juga!"
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
SEPULUH BANGUNAN YANG BIASA dipakai Raja untuk beristirahat di sebelah timur kotaraja
tampak sunyi dan gelap di bagian bawahnya, Namun di sebelah atas ada cahaya lampu. Bangunan
berbentuk joglo ini
agaknya kurang terpelihara. Mungkin karena sudah sangat lama ini Sri Baginda
tidak pernah berkunjung lagi
ke tempat ini. Pendekar 212 hentikan kudanya di halaman yang ditumbuhi rumput liar. Nalurinya
mengatakan ada sesuatu yang tidak semestinya di tempat itu. Raden Jayengseno dan Ayu Purini
pasti telah sampai lebih dahulu
di situ. Namun sama sekali tidak kelihatan kuda-kuda tunggangan mereka.
Wiro perhatikan tingkat atas bangunan. Lalu memandang berkeliling. Gelap dan
sunyi. "Raden! Ayu! Apakah kalian ada di dalam"!" berseru Wiro.
"Kami sudah lama sampai! Masuklah cepat!" Terdengar orang menjawab. Itu suara
Raden Jayengseno." Teriakannya datang dari sebelah atas bangunan.
Wiro merasa lega. Dia segera menarik tali kekang kuda untuk maju ke arah tangga
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan bangunan.
Namun tiba-tiba sudut matanya menangkap sekilas kilauan dekat pohon besar di
halaman kiri. "Hemmm....Ada yang tidak beres di tempat ini....," kata Wiro dalam hati. Dia
tidak mau menoleh ke
arah kilauan yang tadi dilihatnya. Namun dia yakin sekali itu adalah secercah
cahaya yang jatuh pada sebilah
senjata tajam lalu memantul kembali. Berarti ada orang bersembunyi di kegelapan
sana. Mungkin bukan cuma
satu orang. "Raden!" Wiro kembali berseru. "Aku akan mengambil dulu barang yang kau
pesankan. Aku segera
kembali!" Habis melontarkan seruan menipu itu Wiro cepat putar kudanya lalu tinggalkan
halaman itu secepat-cepatnya. Di sebuah tikungan dia membelok ke kiri memasuki deretan
pepohonan. Di sini dia
menunggangi kudanya perlahan-lahan hingga tidak mengeluarkan suara. Jalan yang
di tempuhnya berkeliling
demikian rupa hingga tak lama kemudian dia sampai di bagian belakang rumah
peristirahatan.
Dekat sebatang pohon nangka hutan, Wiro turun dari kudanya. Setelah mengikatkan
tali kekang ke batang pohon itu dia menyelinap dalam gelap, melangkah mengendap-endap sampai
akhirnya tiba di tembok
pembatas halaman belakang. Keadaan masih seperti tadi. Sunyi gelap tapi penuh
mencurigakan. Seperti seekor
tupai, Wiro memanjat pohon besar yang salah satu cabangnya menjulai ke dekat
atap bangunan. Sampai di atas pohon dia memandang ke bawah. Masih sunyi dan gelap. Tak ada
gerakan-gerakan.
Namun kedua matanya dapat melihat di beberapa bagian, hampir tidak terlihat
kalau tidak diperhatikan
benar-benar, mendekam beberapa sosok tubuh.
"Kalau Raden Jayeng dan Purini ada di dalam bangunan, lalu di luar sana ada
orang-orang yang
berjaga-jaga, pasti telah terjadi sesuatu dengan kedua sahabatku itu," pikir
Wiro. Hampir tanpa suara dia
melompak ke atas bangunan yang terbuat dari ijuk tebal.
Dengan mempergunakan jari-jari tangannya Wiro membuka tumpukan ijuk hingga
berlubang cukup
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
besar. Lewat lubang itu dia hendak mengintai ke dalam. Namun niatnya ini menjadi
urung ketika tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda mendatangani halaman depan. Wiro memperhatikan
tajam-tajam, berusaha
menembus kegelapan malam.
Seekor kuda memasuki halaman depan dan berhenti tak berapa jauh dari tangga.
Penunggangnya tampak turun dengan susah payah dan mempergunakan tongkat untuk menopang ketiak
kirinya. Di bahu
kanannya dia membawa sebuah bungkusan.
"Ah dia!" desis Wiro ketika mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Orang
ini melangkah menuju tangga dan Wiro tak dapat melihatnya lagi karena terhalang atap bangunan.
Belum lagi penunggang kuda bertongkat itu mencapai tangga bangunan mendadak dari
empat jurusan melompat sepuluh orang berpakaian serba hitam dengan berbagai senjata di tangan.
Seragam pakaian hitam
yang mereka kenakan adalah seragam perang pasukan kerajaan.
"Apa-apaan ini"!" bentak orang yang barusan turun dari kuda.
Mengenali suara serta melihat lebih jelas wajah orang yang membentak, sepuluh
orang yang semula
siap hendak menyerang serta merta merunduk dan mengundurkan diri, kembali ke
tempat mereka bersembunyi semula. Hanya seorang saja yang masih berdiri yang rupanya adalah
pemimpin mereka.
"Harap maafkan. Kami tidak tahu kalau kepala pengawal keraton yang datang...!"
"Kalian punya tugas apa disini"!"
"Kami diperintahkah untuk berjaga-jaga dan membunuh siapa saja yang mendekati
bangunan ini..."
"Hemmm....Siapa yang memberi perintah"!"
"Kami tidak berani memberi tahu. Silahkan masuk dan bertemu sendiri...."
Tiba-tiba dari tingkat atas bangunan dimana nampak ada lampu minyak menyala
terdengar orang
berseru. "Kudopati! Naiklah ke tingkat atas!"
"Ah.... Dia benar-benar sudah berada disini!" kata Kudopati, kepala pengawal
keraton. Tanpa menunggu lebih lama dengan bantuan tongkat di ketiak kirinya dia naik ke serambi
depan lalu mendorong
pintu hendak masuk. Baru saja daun pintu bergerak, tiba-tiba dari langit-langit
serambi melesat ke bawah
sebuah benda. Kudopati yang mendengar suara berdesing cepat melompat ke kiri dan tersandar ke
dinding. Satu langkah di hadapannya, di bekas tempatnya berdiri tadi kini menancap sebatang
tombak. "Hai!" teriak Kudopati. "Kelicikan apa ini"! Kau hendak membunuhku"!"
Dari tingkat atas bangunan terdengar suara tawa bergelak.
"Kau masih bisa berteriak. Berarti belum mati! Ha...ha...ha! Silahkan masuk,
Kudopati. Kau terlalu
memikirkan apa yang kau inginkan! Apakah kau lupa kalau bangunan ini dipasangi
alat-alat dan senjata
rahasia"!"
"Semua alat dan senjata rahasia telah dicabut dari bangunan ini! Pasti kau
memasangnya kembali!"
berteriak Kudopati.
"Jangan mengomel saja! Naiklah ke atas agar urusan kita bisa segera
diselesaikan!" Orang di tingkat
atas bangunan berkata.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Kudopati terlebih dahulu cabut goloknya baru masuk. Setiap langkah dan gerakan
dilakukannya dengan sangat hati-hati. Meskipun bagian bawah bangunan itu gelap sekali, namun
karena sebelumnya sudah
berulang kali datang ke sini, kepala pengawal keraton itu tidak sulit mengetahui
dimana letaknya tangga kayu
yang menuju ke tingkat atas. Dia segera melangkah. Tapi baru saja kaki kanannya
menginjak anak tangga
pertama, tiba-tiba dari bawah anak tangga kelima melesat sebilah pisau terbang,
tepat mengarah ke dada
Kudopati. Secepat kilat Kudopati babatkan goloknya.
Traaang! Pisau terbang terpental sedang Kudopati merasakan tangannya yang memegang golok
bergetar keras.
"Tua bangka keparat! Menjebak secara pengecut!" maki Kudopati. "Dengar! Terpaksa
aku membatalkan pertemuan ini! Tapi ingat! Rahasiamu akan kubongkar!"
Di tingkat atas terdengar suara tawa pendek lalu orang di atas sana berkata.
"Kudopati, rahasiaku
adalah rahasiamu juga! Jangan bicara mengancam seperti itu!"
"Lantas apa maumu"! Mengapa kau perlakukan aku seperti ini"!"
"Aku hanya sekedar menguji. Ternyata kau masih hebat. Padahal kaki kirimu patah.
Kau berjalan dengan bantuan tongkat. Lalu di bahumu kau membawa bungkusan pula. Sekarang
ayolah. Teruskan menaiki
tangga. Jangan khawatir tak ada lagi senjata gelap di tempat ini. Cukup dua tadi
itu saja!"
Meskipun mengomel panjang pendek namun akhirnya Kudopati melangkah juga menaiki
tangga. Di atas atap Pendekar 212 Wiro Sableng yang sudah tidak sabaran segera mengintai
lewat lobang yang
di buatnya. Ada dua pemandangan yang mengejutkan Pendekar 212 begitu matanya melihat ruangan
di bawahnya yang diterangi sebuah lampu minyak itu.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
SEBELAS PEMANDANGAN PERTAMA yang membuat Pendekar 212 tercekam ialah ketika menyaksikan
bagaimana kedua sahabatnya, Jayengseno dan Ayu Purini berada di tingkat atas
bangunan dalam keadaan tak
berdaya. Keduanya tertegak dekat dinding tanpa bisa bergerak.
"Pasti Ayu dan Raden Jayeng telah ditotok orang!" kata Wiro dalam hati.
Pemandangan kedua yang membuat murid Sinto Gendeng itu terkejut ialah melihat
siapa yang berdiri
di samping Ayu Purini sambil memegang sebilah pisau. Orang ini bertubuh tinggi
besar, berambut putih dan
memiliki sepasang mata besar. Dia bukan lain adalah Jolosengoro, Patih kerajaan!
Melihat keadaan di ruangan di bawahnya itu, Pendekar 212 menduga-duga apa yang
sebelumnya terjadi. Seperti direncanakan Ayu Purini bersama Raden Jayengseno mendatangi
bangunan itu untuk
menghindarkan diri dari pencarian orang-orang kerajaan. Ternyata tidak diduga
rupanya di situ telah berada
Patih Jolosengoro. Mungkin sebelumnya sempat terjadi perkelahian di tingkat atas
bangunan itu. Namun
mungkin juga Ayu serta Jayeng kena dibokong. Jolosengoro memang memiliki
kepandaian tinggi sehingga
akhirnya mampu menotok kaku Ayu dan Jayeng. Tetapi mengapa tadi Raden Jayeng
menyahuti seruan Wiro
dan malah menyuruhnya masuk" JeJas itu adalah jebakan! Lalu mengapa Raden Jayeng
melakukan hal itu"
Wiro berpikir lagi. Matanya kembali membentur pisau di tangan sang patih.
"Hemm.... Aku tahu sekarang!" kata Wiro lagi dalam hati. "Pasti patih itu
mengancam akan melukai atau membunuh Ayu Purini kalau Raden Jayeng tidak mengikuti perintahnya
menyahuti panggilanku tadi! Apa arti semua ini....?"
Belum sempat Pendekar 212 memecahkan keanehan atas apa yang disaksikannya itu,
dari lobang tempat dia mengintai, kelihatan kepala pengawal keraton yaitu Kudopati sudah
naik ke tingkat atas bangunan.
Ketiak kirinya di topang sebuah tongkat sedang di bahunya ada sebuah bungkusan
kain. Sesaat Kudopati memandang ke arah Jolosengoro lalu berpaling pada Raden
Jayengseno dan Ayu
Purini. "Ah...ah...ah! Dicari-cari ternyata kalian ada disini! Jayengseno, hari ini
tamatlah riwayatmu. Mimpi
indahmu untuk dapat jadi putera mahkota dan menguasai singgasana akan berubah
menjadi mimpi buruk
berdarah! Dan hai! Ternyata kau ditemani oleh saudara perempuanmu! Dua orang
anak Sri Baginda dari dua
orang selir ternyata sama belangnya! Sama-sama jadi pengkhianat! Ayu Purini,
jadi kaulah orang bertopeng di
reruntuhan candi tempo hari! Hebat! Bagus! Sungguh luar biasa! Mana teman kalian
pemuda gondrong itu!"
"Kalian berdua yang luar biasa! Perjanjian busuk apa yang kalian lakukan di
tempat peristirahatan
Raja!" membentak Raden Jayengseno.
Patih Jolosengoro tertawa mengekeh.
"Kau akan melihat sendiri apa perjanjian pertemuan kami ini Jayengseno! Tapi....
Kau tak akan sempat mengatakannya pada siapapun. Karena umurmu tak bakal lama!"
"Paman patih! Apa maksudmu dengan katakata itu?" bertanya Ayu Purini dengan
suara keras. Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Ah! Anak selir ini galak juga rupanya!" ujar Jolosengoro. "Tapi nasibmu mungkin
akan lebih baik
dari saudaramu itu. Asal kau nanti mau ikut kemana aku pergi...!"
"Tua bangka bermulut kotor!" teriak Ayu Purini.
"Hati dan kelakuannya pasti lebih kotor!" menyambung Raden Jayeng.
Plaakkk! Tamparan Patih Jolosengoro mendarat di pipi kiri Raden Jayeng. "Berani lagi kau
membuka mulut kupatahkan batang iehermu saat ini juga!"
"Kau hanya berani mengancam tapi tidak punya nyali melakukannya! Aku sudah bisa
menduga siapa kau sebenarnya! Ciri-ciri dirimu sama dengan ciri-ciri yang disebutkan anak
perempuan abdi dalem Kamilun!
Kau yang mencuri jubah Kencono Geni!"
"Kurang ajar! Kau memang minta mati cepat!" kertak Jolosengoro. Pisau di tangan
kanannya langsung ditusukkan ke leher Raden Jayeng. Ayu Purini terpekik. Namun gerakan
tangan sang patih cepat
ditahan oleh Kudopati.
"Sabar dulu Mapatih. Membunuh kampret ini semudah membalik telapak tangan! Biar
kita selesaikan
dulu urusan kita...."
Meskipun amarah membuatnya tidak dapat menahan diri, namun akhirnya Jolosengoro
turunkan tangannya yang memegang pisau lalu melangkah ke sebuah meja dimana terdapat dua
buah kursi. Dia dan
Kudopati lalu duduk berhadap-hadapan. Kudopati meletakkan bungkusan yang
dibawanya di atas meja,
mengangsurkannya ke depan Jolosengoro seraya berkata. "Aku menyerahkan apa yang
kau minta. Sekarang
serahkan apa yang kuminta."
Patih Jolosengoro tersenyum. Dari batik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah
bungkusan yang dibawanya di atas meja, disamping bungkusan yang diletakkan Kudopati.
Kudopati segera hendak menyentuh dan membuka bungkusan itu, tapi tangannya cepat
dipegang oleh Jolosengoro. Sang patih berkata: "Sabar sedikit Kudopati. Benda yang kuserahkan
ini jangan kau sentuh
sebelum kau memeriksa dulu isi bungkusan yang kau bawa!"
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku bukan bangsa penipu. Kau boleh memeriksa isi bungkusan ini. Tapi aku juga
perlu memeriksa
isi bungkusanmu! Kita sama-sama memeriksa!"
"Aku tidak keberatan!" jawab Jolosengoro pula. Lalu dia menarik bungkusan yang
tadi disodorkan
Kudopati. Isi bungkusan itu langsung dituangkannya. Terdengar suara
bergelundungan ketika isi bungkusan
berjatuhan di atas meja. Ternyata beberapa bongkah benda kuning. Ada tujuh
bongkah besar semuanya. Emas!
Di hadapan Jolosengoro, Kudopati membuka bungkusan kain yang diserahkan padanya.
Ketika benda dalam
bungkusan itu dikeluarkan, terbelalaklah Raden Jayeng dan Ayu Purini. Benda itu
adalah sebentuk pakaian
terbuat dari sutera merah berlapis emas! Jubah pusaka kerajaan! Jubah Kencono
Geni! "Jadi memang benar dugaanku! Kaulah pencuri jubah Kencono Geni! Patih keparat!
Pengkhianat busuk!" teriak Raden Jayengseno.
Jolosengoro seperti tidak mendengar makian itu. Perhatiannya tertuju pada tujuh
bongkah emas. Matanya memandang dan meneliti lekat-Iekat. Tanpa setahunya, diam-diam tangan
kanan Kudopati bergerak
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
ke bawah meja, menyusup tanpa suara. Lalu secepat kilat tangan itu menyambar
golok yang tersisip di
pinggangnya. Secepat kilat pula senjata itu kemudian dibacokkannya ke kepala
Jolosengoro! Bukkk! Golok beradu dengan batok kepala. Jolosengoro terjengkang akibat sangat kerasnya
bacokan itu. Tapi
kepalanya sama sekali tidak apa-apa. Jangankan luka, benjutpun tidak! Bacokan
maut itu tidak berbekas, tidak
mempan! Jolosengoro kebal senjata!
"Kudopati keparat!" hardik Jolosengoro seraya melompat berdiri sementara
Kudopati terbelalak tak
percaya. Dia jadi curiga. Jubah merah yang dipegangnya dikembangkan lebar-lebar.
Salah satu ujungnya di
dekatkan ke hidungnya lalu dicium. Tak ada bau kayu cendana!
"Jubah palsu! Bangsat penipu!" teriak Kudopati tak kalah berangnya dari
Jolosengoro. Lalu jubah itu
dibantingkannya ke lantai! Di lain saat dia sudah memburu ke arah patih kerajaan
itu dengan goloknya. Senjata
ini berkelebat ganas, berulang kali menghantam kepala dan tubuh sang patih. Tapi
tak satu bacokanpun
mampu melukai orang berambut putih bertubuh besar itu!
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
DUA - BELAS PATIH JOLOSENGORO TERTAWA BERGELAK sambil berkacak pinggang. "Puaskan hatimu
Kudopati. Pilih bagian tubuhku yang paling empuk! Ha...ha...ha....!"
Kudopati melompat mundur dengan wajah berubah. Tubuhnya hampir tegelimpang
karena tongkat di
ketiak kirinya terpeleset.
"Mapatih! Aku tidak mengira otak dan hatimu sejahat iblis! Jadi pencuri dan kini
jadi penipu!"
Kembali Jolosengoro tertawa gelak-gelak lalu menyahuti. "Apa kau kira kau orang
jujur"! Apa kau
kira aku tidak tahu tujuh bongkah emas itu adalah palsu semua"!"
Wajah Kudopati kini tampak menjadi merah padam. "Berarti.... berarti kau
mengenakan jubah
Kencono Geni yang asli!"
"Dugaanmu betul dan tepat!" jawab Jolosengoro lalu membuka baju yang
dikenakannya. Ternyata di
bawah pakaian itu dia memang mengenakan jubah Kencono Geni.
"Celaka!" keluh Kudopati. Senjata apapun yang dipergunakannya, pukulan sakti
apapun yang dikeluarkannya tak akan ada arti apa- apa bagi Jolosengoro.
Saat itu sang patih telah melangkah mendekati Kudopati. Kepala pengawal ini
mundur sambil mengacung-acungkan goloknya. Tiba-tiba dengan nekad dia coba menusuk salah satu
mata Jolosengoro. Patih
kerajaan itu miringkan kepala. Lalu tidak terduga kaki kanannya menendang
tongkat yang menopang ketiak
kiri Kudopati. Tak ampun lagi kepala pengawal ini langsung terhuyung dan jatuh
terduduk di lantai.
"Kudopati, cerita dirimu cukup sampai!" kata Jolosengoro sambil melangkah
mendekati. Dia mengambil pisau yang terselip di pinggangnya, siap menyembelih kepala pengawal
keraton itu. Namun
sebelum mata pisau sampai di leher Kudopati tiba-tiba ada suara kaki di tangga
lalu menyusul suara keras
laksana petir menyambar dibarengi oleh berkiblatnya sinar merah. Dilain kejap
pisau di tangan Jolosengoro
terlerpas mental lalu jatuh hangus menghitam!
Meskipun tidak cidera sedikitpun numun Jolosengoro sempat mengeluarkan seruan
kaget. Ketika memandang ke depan, di bawah nyala lampu minyak yang tidak seberapa terangnya
itu dia melihat sesosok
tubuh berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Wajah orang itu ditumbuhi kumis
dan berewok tebal.
Sepasang matanya sangat sipit, hampir merupakan garis sedang diatas kedua mata
itu merimbun alis tabal
hitam. Jolosengoro kenal sekali siapa adanya orang yang di tangan kanannya
memegang seutas pecut itu. Dia
adalah Narowongso, salah seorang tokoh silat istana. Sebelumnya Narowongso
berangkat bersama-sama
Kudopati untuk melakukan pengejaran atas Jayengseno serta kawannya pemuda
berambut gondrong itu. Lalu
mengapa kini tahu-tahu dia bisa menyusul muncul"
Kudopati sendiripun merasa heran melihat kehadiran Narowongso di tempat itu.
Jangan-jangan gurunya yang bernama Kunto Ismoro juga ada di tempat itu.
Seperti dituturkan sebelumnya dalam melakukan pengejaran terhadap Jayengseno dan
Pendekar 212 Wiro Sableng telah meminta bantuan Narowongso dan gurunya yang diam di gunung
Merapi yaitu Kunto
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Ismoro. Suatu ketika Kudopati memberi tahu bahwa untuk satu keperluan dia harus
kembali ke kotaraja.
Hanya beberapa saat setelah Kudopati meninggalkan rombongannya, muncul firasat
rasa curiga dalam
diri Narowongso. Maka diam-diam, tanpa memberi tahu pada siapapun di dalam
rombongan, tokoh silat istana
itu mengikuti Kudopati yang akhirnya membawanya ke tempat itu. Sebagai orang
istana, tentu saja
orang-orang Jolosengoro yang melakukan penjagaan di sekitar halaman tidak berani
menghalangi Narowongso. "Terima kasih kau telah menyelematkan nyawaku, Narowongso," kata Kudopati seraya
mencoba bangkit sambil bersandar ke dinding.
"Tetap di tempatmu Kudopati!" membentak Narowongso. "Jangan berani meninggalkan
tempat ini! Saat ini kau memang selamat. Tapi hukuman Raja tak bakal luput atas dirimu!"
Narowongso berpaling ke arah Jolosengoro. "Kau juga, patih Jolosengoro. Menyerah
lebih baik bagimu dan serahkan jubah Kencono Geni itu. Aku berjanji akan memintakan
keringanan hukuman bagimu!"
Jolosengoro tertawa bergelak mendengar kata-kata tokoh silat istana itu.
"Kau lupa kalau aku ini atasanmu Narowongso! Lupakan apa yang kau saksikan di
tempat ini. Kembali ke kotaraja. Tutup mulutmu seumur-umur dan kau akan selamat dari
tanganku! Lakukan perintahku!"
Narowongso balas tertawa mengekeh sambil putar-putar pecut saktinya.
"Aku memberi kesempatan padamu! Jika kau menyia-nyiakan berarti penyesalan
sampai di liang
kubur! Kau mau mengembalikan jubah pusaka kerajaan itu atau tidak?"
"Jika, kau menginginkannya silahkan ambil sendiri!" tantang Jolosengoro pula.
"Begitu" Baik! Lihat pecut!" teriak Narowongso. Tangan kanannya yang memegang
pecut bergerak.
Maka terdengarlah suara laksana dentuman halilintar disertai berkiblatnya sinar
merah berulang kali. Tubuh
Jolosengoro tergoncang-goncang. Pakaian yang dikenakannya robek-robek serta
mengepulkan asap. Tetapi
tubuhnya tidak cidera sedikitpun! Narowongso putar tangannya sekali lagi. Ujung
pecut menyambar ke arah
leher. Sesaat kemudian terjiratlah leher Jolosengoro. Sekali Narowongso
menyentakkan pecut itu maka tubuh
Jolosengoro keras dan melesat ke depan. Kepalanya menghantam dinding kayu yang
keras. Braaakk! Dinding kayu itu amblas berlobang. Tetapi kepala Jolosengoro tidak apa-apa.
Malah sambil berbalik
patih kerajaan ini tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati Narowongso dengan
kedua tangan terpentang,
siap untuk mencekik tokoh silat istana itu. Narowongso hantam kedua tangan
Jolosengoro dengan pecut
apinya, tapi sama sekali tidak dirasakan oleh sang patih.
"Jubah pusaka itu benar-benar luar biasa. Kalau aku tidak dapat menghajar
manusia ini, berarti aku
bakal mendapat celaka!" Narowongso lalu merapal ajian seraya mengalirkan tenaga
dalam dari tangan ke
pecut. Didahului bentakan garang, tokoh silat ini lalu hantamkan pecutnya ke
arah Jolosengoro.
Pecut berkelebat dengan mengeluarkan suara seperti petir, Bersamaan dengan itu
terdengar suara
wuusss! Lidah api menyambar ganas, langsung menyelubungi tubuh Jolosengoro.
Seluruh pakaian yang
dikenakannya, termasuk kasut di kedua kakinya terbakar hangus jadi abu. Tapi dia
tetap tegak berdiri tanpa
kurang suatu apa. Kini tampak jelas jubah Kencono Geni yang melekat ditubuhnya.
"Gila!" Pendekar 212 memaki di atas atap. "Agaknya kapakku, segala pukulan
saktiku juga tak bakal
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
mempan selama orang itu masih mengenakan jubah Kencono Geni. bagaimana aku bisa
merampas jubah itu..."
Bagaimana aku bisa membuatnya tidak berdaya....?"
Selagi Wiro berpikir-pikir demikian di bawah sana tiba-tiba Patih Jolosengoro
melompat ke hadapan
Narowongso. Kedua tangannya terpentang dan melesat ke depan ke arah batang leher
tokoh silat istana itu.
Narowongso yang sadar kalau lawan hendak mencekik lehernya segera hantamkan
pecut saktinya. Kembali
terdengar suara laksana petir menggelegar disertai sambaran sinar merah.
Namun gerakan Jolosengoro lebih cepat lagi. Narowongso berseru kaget ketika
melihat bagaimana
sang patih menangkap pecutnya dengan kedua tangannya. Lalu sebelum dia sempat
berbuat sesuatu pecut yang
panjangnya lebih dari dua puluh jengkal itu sudah menjirat lehernya.
Narowongso meronta sambil berusaha menarik kedua tangan Jolosengoro. Namun pecut
menjirat semakin kuat. Raden Jayeng, Ayu. Purini, Kudopati dan Pendekar 212 yang ada di
atas atap bangunan
sama-sama menyaksikan bagaimana lidah Narowongso mulai terjulur. Kedua matanya
yang sipit kini
mendelik besar. Terdengar suara patahnya tulang leher Narowongso ketika
Jolosengoro menyentakkan jiratan
pecut. Nyawanya putus saat itu juga!
Tubuh tak bernyawa itu kemudian ditendang hingga jatuh ke lantai bawah bangunan
dengan suara bergedebukan! Perlahan-lahan Jolosengoro balikkan tubuhnya. Saat itu Kudopati tengah merangkak
untuk mengambil tongkatnya yang tadi tercampak oleh tendangan Jolosengoro. Hanya
seujung jari lagi tongkat itu
akan disentuhnya, tiba-tiba Jolosengoro menendangnya. Untuk kedua kalinya
tongkat itu terpental dan kini
melayang jatuh ke tingkat bawah.
"Jolosengoro....Kita lupakan saja urusan sampai disini. Aku akan menutup mulut
dan tidak akan menceritakan pada siapapun apa yang telah kau lakukan. Asalkan....."
"Asalkan apa, Kudopati"!" tanya Jolosengoro dengan menyeringai.
"Asalkan kau biarkan aku meninggalkan tempat ini."
"Begitu....?"
"Aku mohon padamu Jolosengoro...," kata Kudopati pula memelas.
"Baik! Kukabulkan permintaanmu! Bahkan aku berbaik hati menyuruh orang-orangku
untuk menggotongmu meninggalkan tempat ini!"
"Terima kasih Jolosengoro! Terima kasih!" kata Kudopati seraya menyembah
berulang-ulang.
Jolosengoro keluarkan suara suitan nyaring tiga kali berturut-turut. Dari
persembunyian mereka di
halaman yang gelap dua lusin orang berseragam perang serba hitam membanjir
masuk, langsung menuju ke
tingkat atas bangunan.
"Kami menunggu perintahmu, Mapatih Jolosengoro!" kata pimpinan mereka.
"Gotong kepala pengawal keraton meninggalkan tempat ini!" memberi tahu
Jolosengoro. Empat orang maju mendekati kepala pengawal keraton itu lalu menggotongnya.
Ketika orang-orang
itu hendak melangkah pergi sekali lagi Kudopati menghaturkan terima kasih, malah
kali ini sambil
melambaikan tangan.
"Terima kasih Jolo. Aku tidak melupakan budi besarmu ini....," kata Kudopati
pula. Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ebook: kalibening
"Tunggu dulu!" berseru Jolosengoro.
Empat anggota pasukan yang menggotong Kudopati hentikan langkah. Mereka
memandang pada Jolosengoro. Kudopati juga palingkan kepalanya.
"Agar tidak kesepian di jalan, aku.memberikan seorang kawan untukmu, Kudopati!
Gotong juga Raden Jayengseno!"
Atas perintah Jolosengoro itu maka empat orang berpakaian hitam segera mendekati
Raden Jayengseno yang tertegak kaku tidak berdaya. Mereka langsung menggotongnya walau
Jayengseno berulang
kali berteriak agar dirinya diturunkan.
Patih Jolosengoro tertawa lebar lalu berkata. "Bawa kedua orang itu ke
Torowulan. Lemparkan
mereka ke dalam jurang Cadas Parereg!"
Paras Kudopati menjadi pucat. Jayengseno berusaha setengah mungkin. Ayu Purini
terdengar berteriak. "Patih durjana! Bebaskan Raden Jayeng! Awas! Kau kelak akan menerima
hukuman sangat berat!"
Jolosengoro tertawa. "Kau orang perempuan diam sajalah! Ini urusan orang laki-
laki!" katanya. Lalu
dia menggerakkan tangan, memberi isyarat agar ke delapan anggota pasukan itu
segera meninggalkan tempat
itu. Namun baru saja mereka hendak melangkah, di anak tangga teratas muncul abdi
dalem Kiyai Singgih
Kanyoman bersama enam orang pengiringnya.
Bagaimana orang tua ini bisa sampai ke tempat itu"
Seperti diceritakan sebelumnya, setelah dipermalukan oleh Pendekar 212, orang
tua itu langsung
menuju keraton. Dia tentu saja terkejut ketika mendapat keterangan apa yang
telah terjadi di dalam keraton.
Karena memang sangat mendendam terhadap Wiro, maka Ki Singgih Kanyoman segera
meninggalkan keraton
untuk melakukan pengejaran. Dia sengaja membawa seorang ahli jejak sehingga
dengan mudah dapat
diketahui ke jurusan mana Pendekar 212 sebelumnya menghilang.
Patih Jolosengoro sama sekali tidak merasa takut terhadap abdi dalem paling tua
yang memang punya
pengaruh besar dalam keraton ini. Namun dia masih menanam sedikit rasa hormat.
Maka diapun berkata
sesopan mungkin.
"Ki Singgih Kanyoman, aku gembira sampean bisa berada di sini. Menyaksikan
sendiri apa yang
terjadi hingga aku tidak susah-susah menerangkannya....."
Ki Singgih Kanyoman tersenyum hambar. "Kau gembira, aku tidak. Kau bilang tidak
susah, aku justru
merasa sangat susah. Mana aku pernah menyangka bahwa patih kerajaan sendiri
rupanya yang jadi sumber
bahala!" "Ki Singgih, agaknya ada sedikit perbedaan jalan pikiran antara kita..... Kau
salah sangka.....Mungkin
menduga....."
Ki Singgih langsung memotong ucapan Jolosengoro itu. "Kita memang berbeda
Jolosengoro. Aku
mengabdikan diri pada keraton dan Raja dengan sepenuh ketulusan. Kau sebaliknya
mengabdi dengan
membekal maksud jahat. Kau pencuri, aku bukan. Jelas kita berbeda. Kau
pengkhianat aku bukan. Jelas kita
memang berbeda....."
Lama-lama Jolosengoro jadi kesal juga mendengar kata-kata Ki Singgih itu. Maka
diapun membentak.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Cukup omonganmu sampai di situ. Sekarang katakan apa yang ada di kepalamu!"
Ki. Singgih tertawa dan menjawab. "Apa yang ada di kepalaku sederhana saja,
Jolosengoro. Pertama
tanggalkan jubah Kencono Geni itu dan serahkan padaku...."
"Sebelumnya Narowongso juga berkata begitu. Akhirnya dia mampus di tanganku!"
Ki Singgih tidak perdulikan kata-kata orang, lalu meneruskan ucapannya. "Kedua
bebaskan Raden Jayengseno karena terbukti kini bukan dia yang jadi pencuri jubah pusaka
kerajaan itu. Ketiga, Kudopati akan
ku bawa ke kotaraja untuk mempertanggung jawabkan keterlibatannya dalam
pengkhianatan kotor ini! Ke
empat, serahkan dirimu secara baik-baik "
"Empat permintaanmu, hanya satu yang bisa kukabulkan. Kau boleh ambil Kudopati!"
Ki Singgih Kanyoman gelengkan kepala. "Empat yang kuminta empat pula yang harus
kudapat!" "Tua bangka keras kepala! Rupanya kau ingin menyusul Narowongso!" hardik
Jolosengoro. Habis
menghardik begitu Jolosengoro langsung hantamkan tinju kanannya ke arah dada si
orang tua. Pada saat itulah atap di atas ruangan tiba-tiba jebol. Sesosok tubuh melayang
turun. Jolosengoro
merasakan sambaran angin yang sangat deras. Dia kaget sekali ketika tubuhnya
terdorong keras ke samping
yang menyebabkan jotosannya tadi hanya mengenai tempat kosong.
Cepat-cepat sang patih mengimbangi tubuhnya. Memandang ke depan dia melihat
seorang pemuda berambut gondrong tegak berkacak pinggang.
"Bangsat gondrong! Siapa kowe"!" bentak Jolosengoro.
Pendekar 212 yang dibentak seperti tidak acuh. Dia malah menolah pada orang-
orang yang menggotong Raden Jayeng dan Kudopati.
"Turunkan Raden Jayengseno. Kalian boleh bawa kepala pengawal itu!"
"Setan! Kau tidak layak memerintah orang-orangku!" teriak Jolosengoro. "Lekas
kalian bawa kedua
orang itu dan lemparkan ke jurang Cadas Parereg!"
Mendengar perintah itu empat orang yang menggotong Raden Jayeng dan empat orang
yang menggotong Kudopati segera bergerak ke tangga.
Saat itulah Pendekar 212 berkelebat. Terdengar pekik ke empat orang berseragam
hitam yang menggotong Raden Jayeng. Mereka terlempar jauh. Dua terbanting ke lantai di
tingkat atas itu, satu jatuh
terguling di tangga dan satunya lagi melayang jatuh ke tingkat bawah. Yang satu
ini patah lehernya, langsung
menemui ajal. Raden Jayengseno sendiri saat itu kelihatan sudah tertegak di
dinding sebelah kiri tanpa kurang
suatu apa, malah kini bisa bergerak karena dengan cepat begitu berhasil
membebaskan Jayengseno, Pendekar
212 segera melepaskan totokan di tubuhnya.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
TIGA BELAS WALAUPUN EMPAT ANGGOTA pasukan itu memang tidak memiliki kepandaian tinggi,
namun apa yang dilakukan oleh Pendekar 212 benar-benar membuat Jolosengoro sempat
terkesiap. Seumur hidup
baru sekali itu dia melihat gerakan silat yang begitu cepat dan luar biasa!
Jolosengoro diam-diam merasa yakin
kalau pemuda berambut gondrong ini adalah orang yang diceritakan Kudopati
sebelumnya, dan merupakan
kawan Raden Jayengseno.
"Anak muda, siapapun kau adanya jangan pergunakan kepandaian untuk melawan Patih
kerajaan!"
berkata Jolosengoro.
Wiro tertawa lebar dan menyahuti. "Anak tua, siapapun kau adanya jangan
pergunakan akal
panjangmu untuk berbuat licik menjadi pengkhianat kerajaan!"
Merahlah wajah Jolosengoro mendengar ejekan itu.
"Usiamu masih muda. Apakah mau mati percuma di tanganku"!" ujar Jolosengoro
masih berusaha sabar walau ucapannya terdengar sangat geram.
"Usiamu sudah tua bangka. Apakah mau mati percuma sebagai pengkhianat"!"
Mendengar ucapan Wiro itu Jolosengoro tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dia
segera hendak menyerbu namun saat itu Raden Jayengseno telah melompat ke hadapannya.
"Jolosengoro! Kejahatan dan dosamu terlalu besar. Tapi jika kau dengan suka rela
mau mengembalikan jubah Kencono Geni itu, aku akan memintakan keringanan hukuman
dari Raja!"
"Anak selir! Jangan kau banyak mulut!" damprat Jolosengoro dan langsung
tendangkan kaki
kanannya. Namun dari samping Wiro berkelebat memotong dan mematahkan
serangannya. Ketika dengan
geram dia hendak memburu Wiro, mendadak saja mukanya mengerenyit dan kedua
matanya kesilauan. Di
hadapannya pemuda berambut gondrong itu tegak memegang sebuah senjata yang
terasa aneh di mata
Jolosengoro. Senjata itu adalah sebilah kapak bermata dua yang memancarkan hawa
panas serta cahaya
menyilaukan. "Hemm.... Jadi kau memang sudah bertekad untuk mencari kematian!" kata
Jolosengoro pula lalu
menerjang ke depan.
Tangan kanan Pendekar 212 bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat
memancarkan cahaya
sangat menyilaukan, menebar hawa panas dan mengeluarkan suara laksana ribuan
tawon mengamuk!
Bukk! Salah satu mata kapak menghantam dada kanan Jolosengoro dengan tepat dan keras.
Orang bertubuh tinggi besar ini terpental sampai ke dinding. Tapi tubuhnya sama sekali tidak
ter-luka sedikitpun, Bahkan kain
sutera merah jubah Kencono Geni tidak lekuk, apalagi robek dihantam Kapak Maut
Naga Geni 212. "Celaka! Ini awal kesulitan bagiku!" keluh Wiro. Senjata warisan Eyang Sinto
Gendeng segera disimpannya kembali di balik pakaian. Baru saja kapak sakti itu terselip di
pinggangnya, Jolosengoro sudah
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
melompat dan menerkamnya. Seperti tadi ketika membunuh Narowongso kedua
tangannya terpentang.
Rupanya dia juga ingin membunuh Pendekar 212 dengan jalan mematahkan lehernya.
Bukkk! Buuuk! Dua kali jotosan Wiro Sabieng mendarat di tubuh Jolosengoro. Kali ini
Jolosengoro tidak bergeming
sedikitpun. Dia terus merangsak ke dapan hingga akhirnya langkah Wiro terhenti
karena punggungnya
tertahan dinding. Melihat hal ini Jolosengoro langsung menyerbu. Saling jotos
berlangsung dengan seru. Tiga
jotosan Wiro masuk mengenai lawan tapi tidak dirasakan. Sebaliknya dua kepalan
Jolosengoro sempat mampir
di dada dan hidung Pendekar 212.
Darah mengucur dari hidung Wiro. Sang pendekar memaki panjang pendek. Tangan
kanannya di angkat. Ujung jari sampai ke siku kelihatan berubah menjadi putih seperti perak.
Pukulan Matahari!
Buummmm! Wusss! Pukuian sakti sinar matahari yang dilepaskan Wiro menghantam ke arah tubuh
Jolosengoro dengan
telak. Namun setengah jengkal sebelum sinar panas menyilaukan pukulan sakti itu
akan mencapai jubah
Kencono Geni tiba-tiba dari jubah merah itu membersit aneh satu hawa berkekuatan
dahsyat yang bukan saja
mampu membendung pukulan sakti yang dilepaskan murid Sinto Gendeng malah
sekaligus mampu
membalikkan pukulan sakti itu untuk menghantam pemiliknya sendiri!
Wiro jatuhkan dirinya ke lantai begitu pukulan sinar matahari menghantam ke
arahnya. Punggungnya
terasa seperti di sengat api ketika pukulan sakti itu lewat di atasnya. Lalu
terdengar suara bergemuruh ketika
pukulan itu menghantam dinding hingga hancur berantakan dan di kejapan yang sama
api berkobar! "Raden Jayeng! Lekas tolong Ayu!" teriak Wiro lalu melompat menghindari serangan
Jolosengoro yang datang membabi buta.
Ketika Jayengseno berlari ke arah Ayu Purini, Jolosengoro berusaha memotong
jalannya. Sementara
itu kobaran api mulai membesar. Empat orang berseragam hitam yang tak mau
dilamun api lepaskan tubuh
Kudopati yang mereka gotong. Kepala pengawal keraton ini jatuh bergedebuk ke
lantai. Empat orang anak
buah Jolosengoro itu kemudian menghambur lari menuruni tangga. Kudopati dengan
cerdik serosotkan
tubuhnya di tangga. Dengan cara itu dia bisa sampai ke lantai bawah, selamat
dari kobaran api tetapi tulang
kaki kirinya yang patah terasa berderak. Untuk beberapa lamanya kepala pengawal
keraton ini terkapar di
lantai setengah mati menahan sakit!
"Patih keparat! Ini bagianmu!" teriak Raden Jayeng ketika Jolosengoro menghadang
dan hendak menjambak rambutnya. Sambil merunduk Jayengseno hantamkan tinjunya ke
selangkangan patih pengkhianat
itu. Pukulan yang dilepaskan Raden Jayeng menghantam telak anggota rahasia
Jolosengoro. Tetapi lelaki
tinggi besar ini tidak bergeming sedikitpun. Jubah Kencono Geni memberi
kekebalan kesetiap sudut tubuhnya!
Kini giliran Jolosengoro untuk menghantam, Jayengseno dengan satu pukulan keras
ke arah kepala putera Sri
Baginda itu. Dua sosok tubuh melayang melindungi putera raja itu. Dua lengan melintang
menangkis pukulan.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ebook: kalibening
Lengan Wiro Sableng dan lengan Ki Singgih Kanyoman.
Jolosengoro terpental ke atas, tapi cepat melayang sambil menendang ke arah
kepala Wiro sementara
Jayengseno pergunakan kesempatan untuk meneruskan usahanya menolong Ayu Purini.
Begitu dia dapat
melepaskan totokan di tubuh saudaranya itu, Raden Jayeng segera menyuruh Ayu
Purini lari ke tangga dan
seterusnya menuju ke tingkat bawah. Dia sendiri kemudian bergabung bersama Wiro
dan Ki Singgih Kanyoman mengeroyok Jolosengoro.
Wiro berulang kali berhasil menjotos lawan namun tidak ada hasilnya. Jolosengoro
sekebal tembok baja. Beberapa kali pula dicobanya menotok orang ini. Totokannya bersarang di
dua tempat yang bisa
membuat siapapun menjadi kaku dan gagu. Tetapi totokan itu sama sekali tidak
berbekas pada Jolosengoro
yang mengenakan jubah Kencono Geni.
Malah Jolosengoro sempat memukul roboh Ki Singgih Kanyoman sampai muntah darah.
Dalam keadaan megap-megap abdi dalem lanjut usia ini terjajar ke tangga. Menyadari
tubuhnya akan terguling di
tangga lalu terhempas di lantai bawah, Ki Singgih Kanyoman tiba- tiba menarik
lengan Jolosengoro.
Akibatnya Jolosengoro ikut jatuh bergulingan di tangga.
Pada saat Jolosengoro melayang jatuh itulah selintas pikiran muncul di benak
Pendekar 212. Dia
melihat satu kesempatan baik yang tidak boleh disia-siakan. Kesempatan itu hanya
ada pada saat tubuh
Jolosengoro bergulingan seperti itu. Wiro jejakkan kedua kakinya lalu melompat
searah jatuhnya Jolosengoro.
Begitu tepat berada di atasnya Wiro segera menyambar leher jubah Kencono Geni
yang dikenakan Jolosengoro lalu menariknya kuat-kuat.
Sesaat tubuh besar sang patih ikut terangkat. Lalu terdengar suara kain robek
dan bersamaan dengan
itu tubuh Jolosengoro jatuh lagi ke bawah, terguling di tangga lalu jatuh ke
lantai saling tumpang tindih dengan
Ki Singgih Kanyoman!
Pendekar 212 sendiri kemudian berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki
menjejak lantai lebih
dahulu sedang jubah Kencono Geni tergenggam di tangan kanannya.
Satu hal yang tidak terduga terjadi atas diri Jolosengoro. Ketika jubah sakti
itu lepas dari tubuhnya dan
robek di beberapa bagian, tubuh sang patih kini sama sekali tidak tertutup
apapun alias bertelanjang bulat.
Bagaimana hal ini bisa terjadi" Apakah dia tidak mengenakan pakaian dalam di
balik jubah itu"
Sebenarnya Jolosengoro memang mengenakan pakaian dalam. Namun pada saat api yang
keluar dari pecut Narowongso membakar tubuhnya, pakaian dalam itu ikut terbakar jadi abu.
Akibatnya sewaktu jubah
dibetot lepas tinggallah tubuhnya yang tidak mengenakan apa-apa lagi!
Menyadari dirinya tidak mengenakan jubah Kencono Geni, apalagi kini dia berada
dalam keadaan telanjang bulat yang tidak dapat dibayangkannya sebelumnya, Jolosengoro jadi
iumer nyalinya. Dia melompat
ke pintu hendak melarikan diri. Tetapi kakinya sempat dijegal Ayu Purini hingga
orang ini jatuh berdebam ke
lantai dan nanar beberapa saat lamanya.
Bangunan di tingkat atas terdengar berderak. Jayengseno menarik Ayu keluar dari
bangunan itu. Ki
Singgih Kencono berusaha bangkit. Walau dengan terhuyung-huyung orang tua ini
berhasil keluar mencapai
halaman. Wiro tarik tubuh Jolosengoro dan Kudopati. Sesaat kemudian terdengar
suara bergemuruh ketika
bagian atas bangunan bertingkat itu roboh dan api menggebu ke atas.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Pendekar 212 Wiro Sableng lipat jubah Kencono Geni baik-baik lalu menyerahkannya
pada Jayengseno seraya berkata: "Maafkan kalau jubah itu robek di beberapa
bagian...."
"Tidak jadi apa. Yang robek bisa dijahit kembali. Yang penting barang pusaka ini
sudah kita dapatkan
kembali. Terima kasih Wiro. Kau telah berjasa besar pada kerajaan...."
Wiro geleng-geleng kepala. Jayengseno menyerahkan .jubah Kencono Geni pada Ki
Singgih Kanyoman. yang segera menerimanya dengan air mata berlinangan.
Jayengseno kemudian melangkah ke tempat Jolosengoro dan Kudopati bergeletakan di
tanah. Dia mengangkat tubuh Jolosengoro dan menyandarkannya ke sebatang pohon. Lalu
Kudopati ditariknya dengan
paksa hingga tersandar pula di batang pohon di samping sang patih.
"Katakan! Siapa di antara kalian yang membunuh keluarga abdi dalem Kamilun"!"
bertanya Raden Jayeng dengan suara keras.
"Bukan aku! Bukan aku !" jawab Kudopati seraya menggoyang-goyangkan tangan
kanannya. "Kalau begitu kau yang punya pekerjaan, Jolosengoro"!". tanya Jayengseno.
Patih kerajaan itu terdengar berguman. Lalu menyusul suaranya tersendat.
"Aku....aku menyesal
melakukannya...."
"Penyesalan yang tidak ada gunanya!" tukas Raden Jayeng. Lalu tangan kanannya
yang sudah dialiri
tenaga dalam dihantamkan ke kepala Jolosengoro. Batok kepala sang patih rengkah!
Matanya mencelet!
Tubuhnya kemudian melosoh ke bawah. Kudopati menjerit seperti melihat setan
menyaksikan kematian
Jolosengoro lalu tubuhnya ikut melosoh pula dan jatuh duduk di atas akar pohon.
"Hai! Kau hendak kemana"!" tanya Raden Jayeng ketika melihat Pendekar 212
melompat ke atas
seekor kuda. Ayu Purini ikut mengejar.
"Malam hampir pagi. Sebelum pagi aku harus sudah ada di satu tempat. Selamat
tinggal kawan-kawan....," jawab Wiro seraya mengangkat tangannya memberi salut. Sesaat
ketika hendak menarik tali
kekang, dia ingat sesuatu lalu berpaling pada Ki Singgih Kanyoman yang saat itu
duduk menjelepok di tanah.
"Kiyai, maafkan kalau aku pernah berlaku kurang ajar padamu...."
"Ah, aku sudah melupakan semua kejadian itu," jawab sang abdi dalem polos dan
ikhlas. Wiro tersenyum. "Terima kasih," katanya. Lalu menyambung. "Kalau aku boleh
bertanya, kulihat kau
masih mengenakan pakaian yang sama. Apakah kau sudah cebok Kiyai....?"
Kiyai Singgih Kanyoman merah padam wajahnya. Kedua matanya melotot. Dia hendak
mendamprat karena lagi-lagi dipermalukan di depan orang. Namun kemudian amarahnya menyurut.
Dan di wajahnya yang
tua itu menyeruak senyum. Lalu meledaklah tawanya terkekeh- kekeh. Wiro lebih
keras tawanya. Ayu Purini
dan Raden Jayeng yang tidak tahu ceritanya ikut-ikutan tertawa. Hanya Kudopati
yang terhenyak bungkam di
bawah pohon. Dia sudah membayangkan hukuman apa yang bakal dijatuhkannya atas
dirinya. Wiro hentakkan tali kekang kuda. Lambaikan tangan lalu lenyaplah sang pendekar
di kegelapan malam. TAMAT Pendekar Kidal 25 Mustika Lidah Naga 3 Persekutuan Pedang Sakti 9
segera menegur.
"Abdi dalem! Kau datang sebagai mata-mata atau sebagai apa"!"
"Ampun Raden Jayeng," kata si penunggang kuda begitu melompat turun ke tanah.
"Saya memang
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
sengaja mencari Raden sekaligus menyelamatkan diri dari kejaran manusia-manusia
penyebar fitnah! Saya
bersyukur pada Gusti Allah bisa dipertemukan dengan Raden Jayeng di tempat
ini...." "Hemm....Siapa namamu" Ceritakan apa yang terjadi!" ujar Jayengseno pula. Saat
itu Ayu Purini dan
Wiro sudah keluar pula dari balik pohon. Si abdi dalem tentu saja jadi terkejut
ketika mengenali puteri Sri
Baginda itu lalu cepat-cepat menunduk memberi penghormatan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, abdi dalem....," menegur Raden Jayengseno.
"Maafkan saya Raden....," kata abdi dalem. Lalu dia mulai memberi keterangan.
"Nama saya
Kamio...." Selanjutnya Kamio menerangkan apa yang telah terjadi dengan keluarga
abdi dalem Kamilun.
Bagaimana dia sendiri kemudian dituduh sebagai pembunuh dan tersangkut dalam
perkara lenyapnya jubah
pusaka sakti Kencono Geni.
Raden Jayengseno mengusap dagunya beberapa kali. "Rupanya ada harimau di bawah
selimut keraton!" kata Jayengseno kemudian.
"Apa yang harus kita lakukan mas Jayeng?" bertanya Ayu Purini lalu melirik pada
Pendekar 212 Wiro
Sableng yang saat itu tegak sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba dia ingat pada
salah satu bagian keterangan
Kamio. Cepat Wiro berkata: "Tadi kau bilang cucu abdi dalem Kamilun sempat
melihat sendiri pencuri jubah
pusaka itu. Katanya seorang lelaki tinggi besar berambut putih, bermata besar.
Coba kau ingat-ingat siapa
orang dalam kalangan keraton yang punya ciri-ciri seperti itu...."
"Setahuku banyak orang dalam keraton yang punya ciri-ciri seperti itu
" kata Raden Jayengseno
pula. "Coba disebutkan....," pinta Wiro. "Dua atau tiga orang abdi dalem. Lalu
beberapa anggota pengawal.
Seorang anggota penabuh gamelan. Kudopati..... Tidak, dia tidak berambut
putih....Tapi mungkin saja dia
memakai rambut palsu...."
Wiro menggeleng. "Jika Sumini yang malang itu mengenali siapa adanya si pencuri
berarti orang itu
tidak menyamar ketika melakukan kejahatannya. Hanya sayang anak itu tidak sempat
mengatakan siapa
orangnya. Keburu dirinya dibunuh lebih dahulu. Kurasa ibu dan kakeknya juga
dibunuh dengan alasan yang
sama. Yaitu sudah sempat mendengar keterangan menyangkut ciri-ciri orang itu.
Kamio beruntung masih bisa
melarikan diri. Tapi sekarang jiwanya terancam.... Nah, masih adakah orang dalam
keraton dengan ciri-ciri
seperti yang dikatakan tadi?"
"Apakah tidak ada kemungkinan bahwa penjahatnya adalah orang luar keraton?"
bertanya Purini.
"Mungkin saja," sahut Jayengseno.
Tapi Wiro justru gelengkan kepala."Jika dia orang luar Sumini tak bakal
mengenalinya. Kurasa ini
sudah hampir pasti pekerjaan orang dalam. Buktinya dia juga membunuh para
pengawal dan beberapa abdi
dalem yang ada di bangsal penyimpanan benda-benda pusaka...."
"Kau benar," kata Jayengseno pula.
"Kalau begitu selama kita berada di luar tembok keraton, kita tak bakal dapat
mencari tahu siapa
adanya penjahat yang menimbulkan malapetaka itu," berkata Purini. Lalu dia
menyambung. "Aku tiba-tiba
saja ingat. Ada dua pejabat tinggi keraton yang memiliki ciri-ciri seperti
dikatakan abdi dalem Kamio. Pertama
menteri pertanahan, kedua patih kerajaan sendiri...."
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Jayengseno gelengkan kepala."Dua orang itu dianggap sesepuh kerajaan. Telah
mengabdi selama
puluhan tahun. Bahkan mapatih sendiri sesuai penjelasan abdi dalem ini langsung
turun tangan melakukan
penyelidikan dan pengejaran."
"Bagaimana kalau aku menyamar jadi abdi dalem lalu menyelinap masuk ke dalam
keraton," berkata
Wiro. "Akalmu cukup panjang. Tapi keraton sangat luas. Ada beberapa bangunan besar.
Aku khawatir kau
tersesat dan keburu ketahuan sebelum berhasil menyelidik...."
"Kalau begitu kita bertiga masuk dengan menyamar!" kata Wiro pula. Ayu dan
Jayeng menyetujui
usul itu. Lalu Jayengseno berkata pada Kamio. "Pergilah ke hutan Dadap. Disitu
ada rumah tempat Raja
mengaso pada waktu berburu. Untuk sementara kau bisa bersembunyi disitu."
Abdi dalem bernama Kamio itu menghatur sembah lalu minta diri.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
DELAPAN MALAM ITU WALAUPUN tidak terlalu sulit namun dengan penuh rasa tegang dengan
menyamar, Raden Jayengseno, Ayu Purini dan Pendekar 212 Wiro Sableng berhasil masuk ke
dalam keraton lewat pintu
gerbang utara. Saat itu udara agak mendung dan angin bertiup kencang pertanda
hujan mungkin akan segera
turun. Pusat tujuan mereka adalah bangsal penyimpanan senjata dan barang-barang pusaka
kerajaan. Ternyata bangsal itu kini dijaga secara sangat ketat baik siang apalagi malam
hari. Jayengseno berjalan di sebelah depan. Dia sengaja mengambil jalan yang agak jauh
agar sampai di bagian belakang bangunan. Sesuai rencana dia dan Wiro akan memanjat sebuah
tembok rendah lalu naik ke
atas atap bangsal. Ayu Purini akan disuruh tunggu di sebuah sudut.
Ketika melewati halaman luas sebelum mencapai bagian belakang bangsal
penyimpanan senjata
tiba-tiba angin kencang bertiup. Daun-daun pohon beringin bersiur keras. Debu
dan pasir beterbangan.
Blangkon yang melekat di kepala Pendekar 212 yang memang agak kebesaran
terpental diterbangkan angin.
Cepat-cepat Wiro memungutnya, menggulung rambut gondrongnya ke atas lalu
mengenakan blangkon itu
kembali. Beberapa saat kemudian ketika ketiga orang itu bergerak hampir mencapai bagian
belakang bangsal
penyimpanan senjata, dari sebuah lorong dua orang pengawal yang melakukan tugas
keliling tampak keluar
dan melangkah ke jurusan mereka. Sewaktu berpapasan tiga pengawal ini memberi
penghormatan. Namun
setelah dua langkah lewat, salah seorang dari mereka memegang lengan dua
temannya dan membisikkan
sesuatu. Dua pengawal itu segera berpaling. Setelah memperhatikan ke arah
Pendekar 212, salah seorang di
antaranya segera berseru.
"Tunggu!"
Tiga abdi dalem sesaat saling pandang dan terpaksa hentikan langkah.
"Ada apakah...?" menegur Jayengseno.
Pengawal yang ditanya tidak menyahuti melain melangkah mendekati Wiro. Setelah
memperhatikan kepala sang pendekar sekali lagi maka diapun berkata. "Empat melihat seorang
abdi dalem memakai blangkon
terbalik!"
Jayengseno dan Ayu Purini terkejut dan sama memandang ke arah blangkon di kepala
Wiro. Astaga! Blangkon yang tadi jatuh dan dikenakan kembali itu ternyata memang terbalik.
Buhul atau bagian belakangnya
berada di sebelah depan!
Wiro yang tak kalah kagetnya cepat-cepat memutar blangkon itu. Namun karena
terburu-buru justru
rambutnya yang gondrong sempat terburai keluar.
Makin heranlah tiga pengawal tadi.
"Seorang abdi dalem berambut panjang tanpa diikat!" seorang diantaranya berkata.
Kawannya memandang tak berkedip. Sambil memberi isyarat, dia bertanya. "Sampean
ini sudah Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
berapa lama jadi abdi dalem keraton" Kami terpaksa memeriksa sampean!"
"Pengawal, tak ada yang perlu dicurigai!" berkata Jayengseno. "Tadi ada angin
yang menerbangkan
blangkonnya. Karena terburu-buru dia salah mengenakannya!"
"Ada yang tidak beres. Lihat saja! Abdi dalem satu ini tegak membelakangi gedung
kuning kediaman
Sri Baginda!" kata si pengawal pula.
"Celaka!" keluh Ayu Purini daiam hati. Tegak memunggungi gedung kediaman Sri
Baginda memang suatu pantangan bagi siapa saja yang berada dalam jajaran keraton. "Kalian
bertiga ikut kami ke rumah
penjagaan!"
"Kami ada urusan penting atas perintah patih. Jangan keliwat menganggu!" kata
Jayengseno. "Urusan kalian bisa dilanjutkan kemudian setelah kami melakukan pemeriksaan.
Mari ikut...."
"Kalau begitu kalian yang harus ikut kami untuk dihadapkan pada patih kerajaan!"
kertak Jayengseno.
Tapi pengawal itu gelengkan kepala. Dia tahu bahwa dalam bertugas kedudukannya
tidak bisa ditakut-takuti dengan gertakan apapun. Ketika ketiga abdi dalem itu tetap
bersikeras untuk tidak mau
mengikuti para pengawal ke rumah penjagaan, salah seorang pengawal mengangkat
tangannya. Teman di
sampingnya segera lari ke sebuah sudut dimana terletak sebuah kentongan lalu
memukul kentongan itu
berulang kali. Dalam waktu singkat dari mana-mana bermunculan belasan pengawal.
"Kalian berdua lekas ikut aku!" kata Jayengseno. Sewaktu ketiganya hendak
bergerak, dua pengawal
segera menghalangi. Wiro cepat totok keduanya hingga kaku tak bisa bergerak
lagi. Tapi mulut mereka masih
bisa berteriak-teriak.
Jayengseno sambil memegang lengan Ayu Purini lari sekencang-kencangnya ke bagian
halaman yang gelap. Wiro mengikuti sambil sesekali menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya ada
serombongan pengawal
mengejar cepat sekali, Wiro segera pukulkan kedua tangannya ke tanah. Pendekar
ini lepaskan pukulan sakti
"T opan Melanda Samudera" tapi tidak dengan tenaga dalam penuh. Hanya
menghalangi dan menutupi
pemandangan para pengejar.
Begitu para pengejar terdengar batuk-batuk dan ada yang merintih karena
kelilipan, kesempatan ini
dipergunakan oleh Jayengseno dan Purini serta Wiro untuk berkelebat ke arah
tembok pendek di sebelah
selatan, melompati tembok ini terus lari ke arah tembok besar keraton.
Di pintu gerbang Jayengseno sengaja mendatangi enam orang pengawal yang berjaga-
jaga dan belum tahu apa yang terjadi di keraton sebelah dalam.
"Kalian semua jangan ada yang meninggalkan tempat ini. Sejumlah pengawal akan
datang untuk memperkuat penjagaan. Kami akan melapor pada patih kerajaan...."
"Apa yang tengah terjadi di keraton" Mengapa kentongan dipukul terus menerus?"
tanya seorang pengawal. "Masih belum jelas. Ada yang mengatakan seorang hidung belang menyusup ke dalam
keputeran...."
jawab Jayengseno lalu cepat memberi isyarat pada Wiro dan Purini agar segera
mengikutinya. Ketiganya
keluar dari pintu gerbang itu lalu lari sekencang-kencangnya menyusun pinggiran
alun-alun yang gelap oleh
naungan pohon-pohon beringin. Di satu tempat yang dirasakan cukup aman ketiganya
berhenti. "Maafkan keteledoranku....," kata Wiro sambil duduk di akar pohon.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Ayu Purini tak bisa berkata apa-apa. Nafasnya sesak dan mukanya masih pucat.
Sesaat kemudian baru
dia bisa membuka mulut, bertanya: "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Seluruh kotaraja dalam waktu dekat pasti sudah tahu apa yang terjadi. Ruang
gerak kita menjadi
sempit. Kita tidak bisa lagi menyamar sebagai abdi dalem begini rupa," kata Wiro
seraya hendak membuka
pakaian luriknya.
"Jangan dibuka dulu," berkata Jayengseno cepat.
"Ikuti aku. Ada sebuah tempat di timur kotaraja yang sering dipergunakan Sri
Baginda untuk beristirahat. Untuk beberapa lama sampai keadaan aman kita bisa bersembunyi
disana." Lalu ketiga orang itu segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba dari
arah depan mendatangi serombongan penunggang kuda. Beberapa di antaranya membawa obor.
"Yang datang adalah Kiyai Singgih Kanyoman bersama para pengawal!" bisik
Jayengseno ketika
mengenali orang tua yang berkuda di paling depan. "Celaka, kita sudah terlihat!"
Apa yang dikatakan Jayengseno memang benar. Abdi dalem dengan pangkat tertinggi
dan usia paling
tua dalam kawasan keraton telah melihat mereka berada di tempat itu. Mereka baru
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja dari luar kota. Ketika
mendengar suara kentongan bertalu-talu dari arah keraton, rombongan ini
mempercepat lari kuda
masing-masing. Namun di bawah sebatang pohon mereka melihat tiga orang
berpakaian abdi dalem yang
gerak geriknya mencurigakan. Langsung saja Kiyai Singgih Kanyoman mengarahkan
kudanya pada ke tiga
orang itu. "Kalian berdua cepat tinggalkan tempat ini. Tunggu aku di tempat peristirahatan
Raja," ujar Wiro
cepat. "Kau tahu letak bangunan itu?" tanya Purini.
"Ya, aku tahu. Pergi cepat.... Biar aku menahan orang-orang yang datang ini!"
Jayengseno dan Ayu Purini segera berkelebat dan menghilang dalam kegelapan.
Begitu sampai di hadapan Wiro, Kiyai Singgih Kanyoman langsung membentak.
"Malam-malam
begini abdi dalem keraton berada di tempat yang tidak semustinya! Mana kawanmu
yang dua tadi"!"
"Mereka pergi ke kepatihan guna melaporkan kejadian dalam keraton. Ada penyusup
masuk ke dalam kaputeran!" jawab Wiro pula.
Sepasang mata Kiyai Singgih Kanyoman menatap tajam ke dada baju lurik yang
dikenakan Wiro. Tadi
Wiro hendak membuka pakaiannya ini tapi tak jadi. Celakanya dia lupa
mengancingkan bagian atasnya
kembali sehingga di balik baju lurik itu Ki Singgih Kanyoman dapat melihat jelas
pakaian putih yang
dikenakan Wiro.
Ki Singgih lalu mengambil sebuah tongkat yang disisipkannya di kantong
perbekalan. Dengan ujung
tongkat ini dia mengait blangkong di kepala Wiro. Blangkon jatuh di tanah.
Rambut gondrong Pendekar 212
langsung menyembul acak-acakan.
"Orang ini bukan abdi dalem! Tangkap dia!" teriak Ki Singgih Kanyoman.
Sepuluh perajurit dan dua perwira melompat turun dari kuda masing-masing,
langsung menyerbu
Pendekar 212. Semua mereka mengandalkan tangan kosong karena sama menyangka
bahwa dalam waktu
singkat dan mudah mereka akan sanggup meringkus si gondrong itu!
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
SEMBILAN KI SINGGIH KANYOMAN terkejut besar ketika melihat bagaimana dalam dua kali
gerakan berturut-turut para pengiringnya dibikin roboh oleh pemuda berambut gondrong
itu. Bahkan perwira yang
coba menelikung si pemuda dari belakang jatuh terbanting ke tanah kena sikut dan
merintih sambil pegangi
bagian tulang iganya yang patah!
Singgih Kanyoman jadi marah lalu berteriak. "Pergunakan senjata! Jangan ragu
membunuhnya!"
Mendengar seruan ini maka para perajurit yang ada segera menghunus senjata
masing-masing. Ada
yang berupa pedang, banyak pula yang memegang golok.
Wiro tak ingin menurunkan tangan terlalu keras pada perajurit-perajurit yang
hanya menjalankan
perintah itu. Namun dia juga tak ingin jadi bulan-bulanan senjata lawan. Maka
begitu orang menyerbunya
Pendekar 212 segera melompat ke belakang. Sambil melompat dia menyambar leher
pakaian perwira yang
terduduk sambil merintih kesakitan. Tubuh perwira itu kini dipergunakannya
sebagai tameng untuk meng-
hadapi serbuan senjata lawan. Tentu saja para perajurit itu menjadi terkesiap
dan tidak mungkin meneruskan
serangan tanpa membahayakan keselamatan atasan mereka.
Melihat lawan tidak lagi berani menyerang, Wiro lemparkan tubuh sang perwira
lalu secepat kilat
memutar tubuh meninggalkan tempat itu.
Namun tidak terduga, dari atas kudanya Ki Singgih Kanyoman tampak laksana
melayang terbang dan
sesaat kemudian dia sudah menghadang di depan Pendekar 212 sambil melintangkan
tongkat kayunya.
"Ah, abdi dalem tua ini rupanya memiliki kepandaian tidak sembarangan!" kata
Wiio dalam hati
seraya bersiap-sedia.
"Serahkan dirimu untuk pengusutan atau kau memilih kupecahkan kepalamu dengan
tongkat ini sekarang juga!" berkata Ki Singgih Kanyoman.
"Orang-orangmu menyerang duluan! Sekarang kau malah mengancam hendak memecahkan
kepalaku! Apa salahku..."!"
Orang tua itu tertawa mendengar kata-kata Wiro Sableng.
"Mulutmu pandai bicara. Tapi kau berusaha hendak sembunyi di balik selembar
lalang. Aku menaruh
curiga kau ini adalah pemuda berambut gondrong yang pernah dilaporkan berada di
tempat samadi Raden
Jayengseno. Dua kawanmu yang kabur tadi dapat pula kupastikan adalah Jayengseno
sendiri dan puteri Sri
Baginda yang bernama Purini...."
"Ah, lenyapnya Purini sudah diketahui rupanya," kata Wiro dalam hati.
"Orang tua, siapapun adanya diriku, siapapun adanya kedua orang yang melarikan
diri itu tidak perlu
dijadikan urusan. Kami bertiga bukan orang-orang jahat."
"Begitu...." Hanya para penjahat yang berani menantang kerajaan. Hanya orang-
orang bersalah yang
mau melarikan diri....!"
"Tidak selamanya begitu, orang tua. Orang benar tapi difitnah apakah dia akan
diam saja" Orang
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
mencari keadilan tapi malah hendak ditangkap, apakah dia diam saja"!"
"Hemm.... Ucapanmu itu menambah kepastian bahwa kau benar-benar kaki tangan
Jayengseno, pencuri jubah Kencono Geni!"
Habis berkata begitu Ki Singgih Kanyoman gerakkan tangan kanannya. Tongkat yang
dipegangnya melesat ke arah mata kanan Pendekar 212. Tidak mau berlaku ayal murid Sinto
Gendeng cepat berkelit. Dari
samping dia menghantam dengan tangan kiri ke arah badan tongkat.
Ki Singgih sengaja menunggu, tidak mau menarik tongkatnya. Tapi begitu pukulan
lawan hampir mengenai tongkat, dia gerakkan per-gelangan tangannya demikian rupa sehingga
tongkat menggebuk tangan
kiri Wiro dengan keras.
Murid Shinto Gendeng mengeluh kesakitan. Selain sakit dia juga menjadi
penasaran. Baru sekali ini
dia mampu dihantam lawan hanya dalam satu gebrakan. Sampai dimana sesungguhnya
kehebatan orang tua
ini" Sambil sunggingkan senyum mengejak Ki Singgih menghujani Wiro dengan serangan
tongkat. Senjata itu menderu-deru mengeluarkan angin yang memerihkan mata. Wiro menyambut
dengan gerakan-gerakan gesit. Dia sengaja bertahan dengan jurus ilmu silat orang gila
yang didapatnya dari Tua Gila
dan ketika balas menyerang dia pergunakan jurus-jurus silat Eyang Sinto Gendeng.
Tiga jurus berlalu, lalu tiga jurus lagi. Tidak terasa perkelahian itu sudah
memasuki jurus ke dua
puluh. Ilmu tongkat Ki Singgih Kanyoman memang luar biasa. Wiro tidak
berkesempatan untuk mendesak
apalagi berusaha merampas tongkat itu. Bertahan terus menerus bisa berbahaya.
Maka pemuda ini terpaksa
mulai keluarkan beberapa pukulan saktinya.
Ketika ada angin dahsyat mulai menerpa ke arahnya Ki Singgih Kanyoman bukannya
menjadi kaget. Rupanya orang tua ini memang sejak tadi sudah menunggu ingin melihat sampai
dimana kehebatan si
gondrong ini. Dari saku pakaiannya dia mengeluarkan sebuah sapu tangan. Setiap
dia melambaikan sapu
tangan ini, angin pukulan yang dilepaskan Wiro seperti dibendung oleh satu
tembok baja yang atos.
Wiro menjadi serba salah. Kalau dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga dalam dan
menghantam dengan pukulan-pukulan sakti simpanan dia khawatir si orang tua akan cedera
berat. Padahal dia tak ingin
melakukan hal itu. Setelah memutar akal akhirnya Wiro menemui cara yang
dianggapnya paling baik. Orang
tua seumur Ki Singgih Kanyoman mungkin punya daya tahan terhadap hawa panas,
tetapi terhadap udara
dingin belum tentu. Maka Pendekar 212 segera merapal aji pukulan "A ngin Es"
Kedua tangannya diangkat ke
atas: Telapak tangan membuka dan diputar-putar dengan cepat. Udara malam yang
memang sudah dingin itu
kini tiba-tiba berubah menjadi dingin luar biasa.
Ki Singgih Kanyoman tersentak kaget. Dia kerahkan tenaga dalam untuk melawan
hawa dingin sambil
mengalirkan hawa panas ke seluruh tubuhnya. Tapi terlambat. Sekujur badannya
terasa ngilu terbungkus oleh
hawa dingin yang hebat. Gerahamnya bergemeletakan. Di sekitarnya semua
pengiringnya kelihatan berdiri
dengan tubuh bergetar keras menggigil kedinginan, lalu satu demi satu mereka
berjatuhan ke tanah dengan
tubuh bergelung. Hanya Ki Singgih saja yang masih sanggup berdiri tapi
keadaannya menderita sekali. Dia tak
mampu bergerak seolah-olah tubuhnya dibungkus lapisan es. Tangan kirinya yang
memegang sapu tangan
tergantung kaku di udara sedang tangan kanannya yang menggenggam tongkat
terkulai ke bawah juga dalam
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
keadaan kaku tegang.
Satu-satunya suara yang bisa dikeluarkannya ialah suara menggigil dan suara
bergemeletakan geraham-gerahamnya yang masih utuh walau usianya sudah mencapai sembilan puluh
tahun. Penderitaan Ki
Singgih ternyata tidak hanya sampai disitu. Dari bawah perutnya terdengar suara
mendesir halus. Lalu tampak
selangkangnya basah disusul ada air yang menetes ke tanah! Bau pesingnya kencing
membersit di tempat itu!
Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengekeh melihat kejadian itu. Lalu dia buka
baju dan kain yang
dikenakannya. Pakaian ini kemudian diselubungkannya ke tubuh Ki Singgih.
"Mudah-mudahan pakaian tambahan ini dapat mengurangi rasa dinginmu. Karena aku
memang bukan abdi dalem seperti katamu, aku tidak membutuhkan pakaian itu lagi." Wiro tepuk-
tepuk pipi keriput Ki
Singgih yang sedingin es itu lalu berkata. "Selamat tinggal orang tua. Kau telah
menjalankan tugasmu dengan
baik. Satu ketika akan kubuktikan padamu bahwa Raden Jayengseno bukanlah pencuri
jubah Kencono Geni
seperti yang kau tuduhkan itu!"
Kiyai Singgih Kanyoman menyeringai buruk. "Aku kira kau tak bakal punya
kesempatan membuktikannya! Lehermu akan dipancang lebih dahulu!"
Pendekar 212 balas tersenyum lalu tarik selampai di tangan kiri Ki Singgih dan
pergunakan saputangan ini untuk menyeka mukanya. Setelah itu saputangan kembali
disempilkannya diantara jari-jari
tangan kiri si orang tua. Kemudian dia melompat ke atas punggung kuda milik Ki
Singgih. "Jangan kau tuduh
aku mencuri kudamu. Aku cuma meminjamnya! Kau barusan ngompol di celana. Jangan
lupa cebok Kiyai! Ha...ha...ha...!"
"Aku bersumpah akan memenggal sendiri kepalamu!" kata Ki Singgih Kanyoman dengan
mata membeliak. Sambil tertawa Wiro tinggalkan tempat itu.
Beberapa puluh tombak setelah Wiro berlalu, hawa Pendekar 212 berlalu, hawa yang
sangat dingin berangsur-angsur lenyap. Ki Singgih Kanyoman dan semua perajurit yang ada di
tempat itu mulai bisa
menggerakkan anggota tubuh masing-masing. Yang pertama dilakukan si orang tua
ialah menarik kain dan
baju yang menyelubungi tubuhnya. Benda itu dibantingkannya ke tanah. Matanya
berkilat-kilat dan pelipisnya
bergerak-gerak tanda amarahnya tidak terkirakan. Bukan saja marah tetapi juga
sangat malu dipermainkan
begitu rupa oleh seorang pemuda tak dikenal.
"Ki Singgih, izinkan kami mengejar pemuda itu...," berkata seorang perajurit.
"Tak ada gunanya....," jawab Ki Singgih Kanyoman. "Kita harus menuju keraton
sekarang juga!"
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
SEPULUH BANGUNAN YANG BIASA dipakai Raja untuk beristirahat di sebelah timur kotaraja
tampak sunyi dan gelap di bagian bawahnya, Namun di sebelah atas ada cahaya lampu. Bangunan
berbentuk joglo ini
agaknya kurang terpelihara. Mungkin karena sudah sangat lama ini Sri Baginda
tidak pernah berkunjung lagi
ke tempat ini. Pendekar 212 hentikan kudanya di halaman yang ditumbuhi rumput liar. Nalurinya
mengatakan ada sesuatu yang tidak semestinya di tempat itu. Raden Jayengseno dan Ayu Purini
pasti telah sampai lebih dahulu
di situ. Namun sama sekali tidak kelihatan kuda-kuda tunggangan mereka.
Wiro perhatikan tingkat atas bangunan. Lalu memandang berkeliling. Gelap dan
sunyi. "Raden! Ayu! Apakah kalian ada di dalam"!" berseru Wiro.
"Kami sudah lama sampai! Masuklah cepat!" Terdengar orang menjawab. Itu suara
Raden Jayengseno." Teriakannya datang dari sebelah atas bangunan.
Wiro merasa lega. Dia segera menarik tali kekang kuda untuk maju ke arah tangga
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan bangunan.
Namun tiba-tiba sudut matanya menangkap sekilas kilauan dekat pohon besar di
halaman kiri. "Hemmm....Ada yang tidak beres di tempat ini....," kata Wiro dalam hati. Dia
tidak mau menoleh ke
arah kilauan yang tadi dilihatnya. Namun dia yakin sekali itu adalah secercah
cahaya yang jatuh pada sebilah
senjata tajam lalu memantul kembali. Berarti ada orang bersembunyi di kegelapan
sana. Mungkin bukan cuma
satu orang. "Raden!" Wiro kembali berseru. "Aku akan mengambil dulu barang yang kau
pesankan. Aku segera
kembali!" Habis melontarkan seruan menipu itu Wiro cepat putar kudanya lalu tinggalkan
halaman itu secepat-cepatnya. Di sebuah tikungan dia membelok ke kiri memasuki deretan
pepohonan. Di sini dia
menunggangi kudanya perlahan-lahan hingga tidak mengeluarkan suara. Jalan yang
di tempuhnya berkeliling
demikian rupa hingga tak lama kemudian dia sampai di bagian belakang rumah
peristirahatan.
Dekat sebatang pohon nangka hutan, Wiro turun dari kudanya. Setelah mengikatkan
tali kekang ke batang pohon itu dia menyelinap dalam gelap, melangkah mengendap-endap sampai
akhirnya tiba di tembok
pembatas halaman belakang. Keadaan masih seperti tadi. Sunyi gelap tapi penuh
mencurigakan. Seperti seekor
tupai, Wiro memanjat pohon besar yang salah satu cabangnya menjulai ke dekat
atap bangunan. Sampai di atas pohon dia memandang ke bawah. Masih sunyi dan gelap. Tak ada
gerakan-gerakan.
Namun kedua matanya dapat melihat di beberapa bagian, hampir tidak terlihat
kalau tidak diperhatikan
benar-benar, mendekam beberapa sosok tubuh.
"Kalau Raden Jayeng dan Purini ada di dalam bangunan, lalu di luar sana ada
orang-orang yang
berjaga-jaga, pasti telah terjadi sesuatu dengan kedua sahabatku itu," pikir
Wiro. Hampir tanpa suara dia
melompak ke atas bangunan yang terbuat dari ijuk tebal.
Dengan mempergunakan jari-jari tangannya Wiro membuka tumpukan ijuk hingga
berlubang cukup
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
besar. Lewat lubang itu dia hendak mengintai ke dalam. Namun niatnya ini menjadi
urung ketika tiba-tiba
terdengar suara derap kaki kuda mendatangani halaman depan. Wiro memperhatikan
tajam-tajam, berusaha
menembus kegelapan malam.
Seekor kuda memasuki halaman depan dan berhenti tak berapa jauh dari tangga.
Penunggangnya tampak turun dengan susah payah dan mempergunakan tongkat untuk menopang ketiak
kirinya. Di bahu
kanannya dia membawa sebuah bungkusan.
"Ah dia!" desis Wiro ketika mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. Orang
ini melangkah menuju tangga dan Wiro tak dapat melihatnya lagi karena terhalang atap bangunan.
Belum lagi penunggang kuda bertongkat itu mencapai tangga bangunan mendadak dari
empat jurusan melompat sepuluh orang berpakaian serba hitam dengan berbagai senjata di tangan.
Seragam pakaian hitam
yang mereka kenakan adalah seragam perang pasukan kerajaan.
"Apa-apaan ini"!" bentak orang yang barusan turun dari kuda.
Mengenali suara serta melihat lebih jelas wajah orang yang membentak, sepuluh
orang yang semula
siap hendak menyerang serta merta merunduk dan mengundurkan diri, kembali ke
tempat mereka bersembunyi semula. Hanya seorang saja yang masih berdiri yang rupanya adalah
pemimpin mereka.
"Harap maafkan. Kami tidak tahu kalau kepala pengawal keraton yang datang...!"
"Kalian punya tugas apa disini"!"
"Kami diperintahkah untuk berjaga-jaga dan membunuh siapa saja yang mendekati
bangunan ini..."
"Hemmm....Siapa yang memberi perintah"!"
"Kami tidak berani memberi tahu. Silahkan masuk dan bertemu sendiri...."
Tiba-tiba dari tingkat atas bangunan dimana nampak ada lampu minyak menyala
terdengar orang
berseru. "Kudopati! Naiklah ke tingkat atas!"
"Ah.... Dia benar-benar sudah berada disini!" kata Kudopati, kepala pengawal
keraton. Tanpa menunggu lebih lama dengan bantuan tongkat di ketiak kirinya dia naik ke serambi
depan lalu mendorong
pintu hendak masuk. Baru saja daun pintu bergerak, tiba-tiba dari langit-langit
serambi melesat ke bawah
sebuah benda. Kudopati yang mendengar suara berdesing cepat melompat ke kiri dan tersandar ke
dinding. Satu langkah di hadapannya, di bekas tempatnya berdiri tadi kini menancap sebatang
tombak. "Hai!" teriak Kudopati. "Kelicikan apa ini"! Kau hendak membunuhku"!"
Dari tingkat atas bangunan terdengar suara tawa bergelak.
"Kau masih bisa berteriak. Berarti belum mati! Ha...ha...ha! Silahkan masuk,
Kudopati. Kau terlalu
memikirkan apa yang kau inginkan! Apakah kau lupa kalau bangunan ini dipasangi
alat-alat dan senjata
rahasia"!"
"Semua alat dan senjata rahasia telah dicabut dari bangunan ini! Pasti kau
memasangnya kembali!"
berteriak Kudopati.
"Jangan mengomel saja! Naiklah ke atas agar urusan kita bisa segera
diselesaikan!" Orang di tingkat
atas bangunan berkata.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Kudopati terlebih dahulu cabut goloknya baru masuk. Setiap langkah dan gerakan
dilakukannya dengan sangat hati-hati. Meskipun bagian bawah bangunan itu gelap sekali, namun
karena sebelumnya sudah
berulang kali datang ke sini, kepala pengawal keraton itu tidak sulit mengetahui
dimana letaknya tangga kayu
yang menuju ke tingkat atas. Dia segera melangkah. Tapi baru saja kaki kanannya
menginjak anak tangga
pertama, tiba-tiba dari bawah anak tangga kelima melesat sebilah pisau terbang,
tepat mengarah ke dada
Kudopati. Secepat kilat Kudopati babatkan goloknya.
Traaang! Pisau terbang terpental sedang Kudopati merasakan tangannya yang memegang golok
bergetar keras.
"Tua bangka keparat! Menjebak secara pengecut!" maki Kudopati. "Dengar! Terpaksa
aku membatalkan pertemuan ini! Tapi ingat! Rahasiamu akan kubongkar!"
Di tingkat atas terdengar suara tawa pendek lalu orang di atas sana berkata.
"Kudopati, rahasiaku
adalah rahasiamu juga! Jangan bicara mengancam seperti itu!"
"Lantas apa maumu"! Mengapa kau perlakukan aku seperti ini"!"
"Aku hanya sekedar menguji. Ternyata kau masih hebat. Padahal kaki kirimu patah.
Kau berjalan dengan bantuan tongkat. Lalu di bahumu kau membawa bungkusan pula. Sekarang
ayolah. Teruskan menaiki
tangga. Jangan khawatir tak ada lagi senjata gelap di tempat ini. Cukup dua tadi
itu saja!"
Meskipun mengomel panjang pendek namun akhirnya Kudopati melangkah juga menaiki
tangga. Di atas atap Pendekar 212 Wiro Sableng yang sudah tidak sabaran segera mengintai
lewat lobang yang
di buatnya. Ada dua pemandangan yang mengejutkan Pendekar 212 begitu matanya melihat ruangan
di bawahnya yang diterangi sebuah lampu minyak itu.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
SEBELAS PEMANDANGAN PERTAMA yang membuat Pendekar 212 tercekam ialah ketika menyaksikan
bagaimana kedua sahabatnya, Jayengseno dan Ayu Purini berada di tingkat atas
bangunan dalam keadaan tak
berdaya. Keduanya tertegak dekat dinding tanpa bisa bergerak.
"Pasti Ayu dan Raden Jayeng telah ditotok orang!" kata Wiro dalam hati.
Pemandangan kedua yang membuat murid Sinto Gendeng itu terkejut ialah melihat
siapa yang berdiri
di samping Ayu Purini sambil memegang sebilah pisau. Orang ini bertubuh tinggi
besar, berambut putih dan
memiliki sepasang mata besar. Dia bukan lain adalah Jolosengoro, Patih kerajaan!
Melihat keadaan di ruangan di bawahnya itu, Pendekar 212 menduga-duga apa yang
sebelumnya terjadi. Seperti direncanakan Ayu Purini bersama Raden Jayengseno mendatangi
bangunan itu untuk
menghindarkan diri dari pencarian orang-orang kerajaan. Ternyata tidak diduga
rupanya di situ telah berada
Patih Jolosengoro. Mungkin sebelumnya sempat terjadi perkelahian di tingkat atas
bangunan itu. Namun
mungkin juga Ayu serta Jayeng kena dibokong. Jolosengoro memang memiliki
kepandaian tinggi sehingga
akhirnya mampu menotok kaku Ayu dan Jayeng. Tetapi mengapa tadi Raden Jayeng
menyahuti seruan Wiro
dan malah menyuruhnya masuk" JeJas itu adalah jebakan! Lalu mengapa Raden Jayeng
melakukan hal itu"
Wiro berpikir lagi. Matanya kembali membentur pisau di tangan sang patih.
"Hemm.... Aku tahu sekarang!" kata Wiro lagi dalam hati. "Pasti patih itu
mengancam akan melukai atau membunuh Ayu Purini kalau Raden Jayeng tidak mengikuti perintahnya
menyahuti panggilanku tadi! Apa arti semua ini....?"
Belum sempat Pendekar 212 memecahkan keanehan atas apa yang disaksikannya itu,
dari lobang tempat dia mengintai, kelihatan kepala pengawal keraton yaitu Kudopati sudah
naik ke tingkat atas bangunan.
Ketiak kirinya di topang sebuah tongkat sedang di bahunya ada sebuah bungkusan
kain. Sesaat Kudopati memandang ke arah Jolosengoro lalu berpaling pada Raden
Jayengseno dan Ayu
Purini. "Ah...ah...ah! Dicari-cari ternyata kalian ada disini! Jayengseno, hari ini
tamatlah riwayatmu. Mimpi
indahmu untuk dapat jadi putera mahkota dan menguasai singgasana akan berubah
menjadi mimpi buruk
berdarah! Dan hai! Ternyata kau ditemani oleh saudara perempuanmu! Dua orang
anak Sri Baginda dari dua
orang selir ternyata sama belangnya! Sama-sama jadi pengkhianat! Ayu Purini,
jadi kaulah orang bertopeng di
reruntuhan candi tempo hari! Hebat! Bagus! Sungguh luar biasa! Mana teman kalian
pemuda gondrong itu!"
"Kalian berdua yang luar biasa! Perjanjian busuk apa yang kalian lakukan di
tempat peristirahatan
Raja!" membentak Raden Jayengseno.
Patih Jolosengoro tertawa mengekeh.
"Kau akan melihat sendiri apa perjanjian pertemuan kami ini Jayengseno! Tapi....
Kau tak akan sempat mengatakannya pada siapapun. Karena umurmu tak bakal lama!"
"Paman patih! Apa maksudmu dengan katakata itu?" bertanya Ayu Purini dengan
suara keras. Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Ah! Anak selir ini galak juga rupanya!" ujar Jolosengoro. "Tapi nasibmu mungkin
akan lebih baik
dari saudaramu itu. Asal kau nanti mau ikut kemana aku pergi...!"
"Tua bangka bermulut kotor!" teriak Ayu Purini.
"Hati dan kelakuannya pasti lebih kotor!" menyambung Raden Jayeng.
Plaakkk! Tamparan Patih Jolosengoro mendarat di pipi kiri Raden Jayeng. "Berani lagi kau
membuka mulut kupatahkan batang iehermu saat ini juga!"
"Kau hanya berani mengancam tapi tidak punya nyali melakukannya! Aku sudah bisa
menduga siapa kau sebenarnya! Ciri-ciri dirimu sama dengan ciri-ciri yang disebutkan anak
perempuan abdi dalem Kamilun!
Kau yang mencuri jubah Kencono Geni!"
"Kurang ajar! Kau memang minta mati cepat!" kertak Jolosengoro. Pisau di tangan
kanannya langsung ditusukkan ke leher Raden Jayeng. Ayu Purini terpekik. Namun gerakan
tangan sang patih cepat
ditahan oleh Kudopati.
"Sabar dulu Mapatih. Membunuh kampret ini semudah membalik telapak tangan! Biar
kita selesaikan
dulu urusan kita...."
Meskipun amarah membuatnya tidak dapat menahan diri, namun akhirnya Jolosengoro
turunkan tangannya yang memegang pisau lalu melangkah ke sebuah meja dimana terdapat dua
buah kursi. Dia dan
Kudopati lalu duduk berhadap-hadapan. Kudopati meletakkan bungkusan yang
dibawanya di atas meja,
mengangsurkannya ke depan Jolosengoro seraya berkata. "Aku menyerahkan apa yang
kau minta. Sekarang
serahkan apa yang kuminta."
Patih Jolosengoro tersenyum. Dari batik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah
bungkusan yang dibawanya di atas meja, disamping bungkusan yang diletakkan Kudopati.
Kudopati segera hendak menyentuh dan membuka bungkusan itu, tapi tangannya cepat
dipegang oleh Jolosengoro. Sang patih berkata: "Sabar sedikit Kudopati. Benda yang kuserahkan
ini jangan kau sentuh
sebelum kau memeriksa dulu isi bungkusan yang kau bawa!"
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku bukan bangsa penipu. Kau boleh memeriksa isi bungkusan ini. Tapi aku juga
perlu memeriksa
isi bungkusanmu! Kita sama-sama memeriksa!"
"Aku tidak keberatan!" jawab Jolosengoro pula. Lalu dia menarik bungkusan yang
tadi disodorkan
Kudopati. Isi bungkusan itu langsung dituangkannya. Terdengar suara
bergelundungan ketika isi bungkusan
berjatuhan di atas meja. Ternyata beberapa bongkah benda kuning. Ada tujuh
bongkah besar semuanya. Emas!
Di hadapan Jolosengoro, Kudopati membuka bungkusan kain yang diserahkan padanya.
Ketika benda dalam
bungkusan itu dikeluarkan, terbelalaklah Raden Jayeng dan Ayu Purini. Benda itu
adalah sebentuk pakaian
terbuat dari sutera merah berlapis emas! Jubah pusaka kerajaan! Jubah Kencono
Geni! "Jadi memang benar dugaanku! Kaulah pencuri jubah Kencono Geni! Patih keparat!
Pengkhianat busuk!" teriak Raden Jayengseno.
Jolosengoro seperti tidak mendengar makian itu. Perhatiannya tertuju pada tujuh
bongkah emas. Matanya memandang dan meneliti lekat-Iekat. Tanpa setahunya, diam-diam tangan
kanan Kudopati bergerak
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
ke bawah meja, menyusup tanpa suara. Lalu secepat kilat tangan itu menyambar
golok yang tersisip di
pinggangnya. Secepat kilat pula senjata itu kemudian dibacokkannya ke kepala
Jolosengoro! Bukkk! Golok beradu dengan batok kepala. Jolosengoro terjengkang akibat sangat kerasnya
bacokan itu. Tapi
kepalanya sama sekali tidak apa-apa. Jangankan luka, benjutpun tidak! Bacokan
maut itu tidak berbekas, tidak
mempan! Jolosengoro kebal senjata!
"Kudopati keparat!" hardik Jolosengoro seraya melompat berdiri sementara
Kudopati terbelalak tak
percaya. Dia jadi curiga. Jubah merah yang dipegangnya dikembangkan lebar-lebar.
Salah satu ujungnya di
dekatkan ke hidungnya lalu dicium. Tak ada bau kayu cendana!
"Jubah palsu! Bangsat penipu!" teriak Kudopati tak kalah berangnya dari
Jolosengoro. Lalu jubah itu
dibantingkannya ke lantai! Di lain saat dia sudah memburu ke arah patih kerajaan
itu dengan goloknya. Senjata
ini berkelebat ganas, berulang kali menghantam kepala dan tubuh sang patih. Tapi
tak satu bacokanpun
mampu melukai orang berambut putih bertubuh besar itu!
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
DUA - BELAS PATIH JOLOSENGORO TERTAWA BERGELAK sambil berkacak pinggang. "Puaskan hatimu
Kudopati. Pilih bagian tubuhku yang paling empuk! Ha...ha...ha....!"
Kudopati melompat mundur dengan wajah berubah. Tubuhnya hampir tegelimpang
karena tongkat di
ketiak kirinya terpeleset.
"Mapatih! Aku tidak mengira otak dan hatimu sejahat iblis! Jadi pencuri dan kini
jadi penipu!"
Kembali Jolosengoro tertawa gelak-gelak lalu menyahuti. "Apa kau kira kau orang
jujur"! Apa kau
kira aku tidak tahu tujuh bongkah emas itu adalah palsu semua"!"
Wajah Kudopati kini tampak menjadi merah padam. "Berarti.... berarti kau
mengenakan jubah
Kencono Geni yang asli!"
"Dugaanmu betul dan tepat!" jawab Jolosengoro lalu membuka baju yang
dikenakannya. Ternyata di
bawah pakaian itu dia memang mengenakan jubah Kencono Geni.
"Celaka!" keluh Kudopati. Senjata apapun yang dipergunakannya, pukulan sakti
apapun yang dikeluarkannya tak akan ada arti apa- apa bagi Jolosengoro.
Saat itu sang patih telah melangkah mendekati Kudopati. Kepala pengawal ini
mundur sambil mengacung-acungkan goloknya. Tiba-tiba dengan nekad dia coba menusuk salah satu
mata Jolosengoro. Patih
kerajaan itu miringkan kepala. Lalu tidak terduga kaki kanannya menendang
tongkat yang menopang ketiak
kiri Kudopati. Tak ampun lagi kepala pengawal ini langsung terhuyung dan jatuh
terduduk di lantai.
"Kudopati, cerita dirimu cukup sampai!" kata Jolosengoro sambil melangkah
mendekati. Dia mengambil pisau yang terselip di pinggangnya, siap menyembelih kepala pengawal
keraton itu. Namun
sebelum mata pisau sampai di leher Kudopati tiba-tiba ada suara kaki di tangga
lalu menyusul suara keras
laksana petir menyambar dibarengi oleh berkiblatnya sinar merah. Dilain kejap
pisau di tangan Jolosengoro
terlerpas mental lalu jatuh hangus menghitam!
Meskipun tidak cidera sedikitpun numun Jolosengoro sempat mengeluarkan seruan
kaget. Ketika memandang ke depan, di bawah nyala lampu minyak yang tidak seberapa terangnya
itu dia melihat sesosok
tubuh berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Wajah orang itu ditumbuhi kumis
dan berewok tebal.
Sepasang matanya sangat sipit, hampir merupakan garis sedang diatas kedua mata
itu merimbun alis tabal
hitam. Jolosengoro kenal sekali siapa adanya orang yang di tangan kanannya
memegang seutas pecut itu. Dia
adalah Narowongso, salah seorang tokoh silat istana. Sebelumnya Narowongso
berangkat bersama-sama
Kudopati untuk melakukan pengejaran atas Jayengseno serta kawannya pemuda
berambut gondrong itu. Lalu
mengapa kini tahu-tahu dia bisa menyusul muncul"
Kudopati sendiripun merasa heran melihat kehadiran Narowongso di tempat itu.
Jangan-jangan gurunya yang bernama Kunto Ismoro juga ada di tempat itu.
Seperti dituturkan sebelumnya dalam melakukan pengejaran terhadap Jayengseno dan
Pendekar 212 Wiro Sableng telah meminta bantuan Narowongso dan gurunya yang diam di gunung
Merapi yaitu Kunto
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Ismoro. Suatu ketika Kudopati memberi tahu bahwa untuk satu keperluan dia harus
kembali ke kotaraja.
Hanya beberapa saat setelah Kudopati meninggalkan rombongannya, muncul firasat
rasa curiga dalam
diri Narowongso. Maka diam-diam, tanpa memberi tahu pada siapapun di dalam
rombongan, tokoh silat istana
itu mengikuti Kudopati yang akhirnya membawanya ke tempat itu. Sebagai orang
istana, tentu saja
orang-orang Jolosengoro yang melakukan penjagaan di sekitar halaman tidak berani
menghalangi Narowongso. "Terima kasih kau telah menyelematkan nyawaku, Narowongso," kata Kudopati seraya
mencoba bangkit sambil bersandar ke dinding.
"Tetap di tempatmu Kudopati!" membentak Narowongso. "Jangan berani meninggalkan
tempat ini! Saat ini kau memang selamat. Tapi hukuman Raja tak bakal luput atas dirimu!"
Narowongso berpaling ke arah Jolosengoro. "Kau juga, patih Jolosengoro. Menyerah
lebih baik bagimu dan serahkan jubah Kencono Geni itu. Aku berjanji akan memintakan
keringanan hukuman bagimu!"
Jolosengoro tertawa bergelak mendengar kata-kata tokoh silat istana itu.
"Kau lupa kalau aku ini atasanmu Narowongso! Lupakan apa yang kau saksikan di
tempat ini. Kembali ke kotaraja. Tutup mulutmu seumur-umur dan kau akan selamat dari
tanganku! Lakukan perintahku!"
Narowongso balas tertawa mengekeh sambil putar-putar pecut saktinya.
"Aku memberi kesempatan padamu! Jika kau menyia-nyiakan berarti penyesalan
sampai di liang
kubur! Kau mau mengembalikan jubah pusaka kerajaan itu atau tidak?"
"Jika, kau menginginkannya silahkan ambil sendiri!" tantang Jolosengoro pula.
"Begitu" Baik! Lihat pecut!" teriak Narowongso. Tangan kanannya yang memegang
pecut bergerak.
Maka terdengarlah suara laksana dentuman halilintar disertai berkiblatnya sinar
merah berulang kali. Tubuh
Jolosengoro tergoncang-goncang. Pakaian yang dikenakannya robek-robek serta
mengepulkan asap. Tetapi
tubuhnya tidak cidera sedikitpun! Narowongso putar tangannya sekali lagi. Ujung
pecut menyambar ke arah
leher. Sesaat kemudian terjiratlah leher Jolosengoro. Sekali Narowongso
menyentakkan pecut itu maka tubuh
Jolosengoro keras dan melesat ke depan. Kepalanya menghantam dinding kayu yang
keras. Braaakk! Dinding kayu itu amblas berlobang. Tetapi kepala Jolosengoro tidak apa-apa.
Malah sambil berbalik
patih kerajaan ini tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati Narowongso dengan
kedua tangan terpentang,
siap untuk mencekik tokoh silat istana itu. Narowongso hantam kedua tangan
Jolosengoro dengan pecut
apinya, tapi sama sekali tidak dirasakan oleh sang patih.
"Jubah pusaka itu benar-benar luar biasa. Kalau aku tidak dapat menghajar
manusia ini, berarti aku
bakal mendapat celaka!" Narowongso lalu merapal ajian seraya mengalirkan tenaga
dalam dari tangan ke
pecut. Didahului bentakan garang, tokoh silat ini lalu hantamkan pecutnya ke
arah Jolosengoro.
Pecut berkelebat dengan mengeluarkan suara seperti petir, Bersamaan dengan itu
terdengar suara
wuusss! Lidah api menyambar ganas, langsung menyelubungi tubuh Jolosengoro.
Seluruh pakaian yang
dikenakannya, termasuk kasut di kedua kakinya terbakar hangus jadi abu. Tapi dia
tetap tegak berdiri tanpa
kurang suatu apa. Kini tampak jelas jubah Kencono Geni yang melekat ditubuhnya.
"Gila!" Pendekar 212 memaki di atas atap. "Agaknya kapakku, segala pukulan
saktiku juga tak bakal
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
mempan selama orang itu masih mengenakan jubah Kencono Geni. bagaimana aku bisa
merampas jubah itu..."
Bagaimana aku bisa membuatnya tidak berdaya....?"
Selagi Wiro berpikir-pikir demikian di bawah sana tiba-tiba Patih Jolosengoro
melompat ke hadapan
Narowongso. Kedua tangannya terpentang dan melesat ke depan ke arah batang leher
tokoh silat istana itu.
Narowongso yang sadar kalau lawan hendak mencekik lehernya segera hantamkan
pecut saktinya. Kembali
terdengar suara laksana petir menggelegar disertai sambaran sinar merah.
Namun gerakan Jolosengoro lebih cepat lagi. Narowongso berseru kaget ketika
melihat bagaimana
sang patih menangkap pecutnya dengan kedua tangannya. Lalu sebelum dia sempat
berbuat sesuatu pecut yang
panjangnya lebih dari dua puluh jengkal itu sudah menjirat lehernya.
Narowongso meronta sambil berusaha menarik kedua tangan Jolosengoro. Namun pecut
menjirat semakin kuat. Raden Jayeng, Ayu. Purini, Kudopati dan Pendekar 212 yang ada di
atas atap bangunan
sama-sama menyaksikan bagaimana lidah Narowongso mulai terjulur. Kedua matanya
yang sipit kini
mendelik besar. Terdengar suara patahnya tulang leher Narowongso ketika
Jolosengoro menyentakkan jiratan
pecut. Nyawanya putus saat itu juga!
Tubuh tak bernyawa itu kemudian ditendang hingga jatuh ke lantai bawah bangunan
dengan suara bergedebukan! Perlahan-lahan Jolosengoro balikkan tubuhnya. Saat itu Kudopati tengah merangkak
untuk mengambil tongkatnya yang tadi tercampak oleh tendangan Jolosengoro. Hanya
seujung jari lagi tongkat itu
akan disentuhnya, tiba-tiba Jolosengoro menendangnya. Untuk kedua kalinya
tongkat itu terpental dan kini
melayang jatuh ke tingkat bawah.
"Jolosengoro....Kita lupakan saja urusan sampai disini. Aku akan menutup mulut
dan tidak akan menceritakan pada siapapun apa yang telah kau lakukan. Asalkan....."
"Asalkan apa, Kudopati"!" tanya Jolosengoro dengan menyeringai.
"Asalkan kau biarkan aku meninggalkan tempat ini."
"Begitu....?"
"Aku mohon padamu Jolosengoro...," kata Kudopati pula memelas.
"Baik! Kukabulkan permintaanmu! Bahkan aku berbaik hati menyuruh orang-orangku
untuk menggotongmu meninggalkan tempat ini!"
"Terima kasih Jolosengoro! Terima kasih!" kata Kudopati seraya menyembah
berulang-ulang.
Jolosengoro keluarkan suara suitan nyaring tiga kali berturut-turut. Dari
persembunyian mereka di
halaman yang gelap dua lusin orang berseragam perang serba hitam membanjir
masuk, langsung menuju ke
tingkat atas bangunan.
"Kami menunggu perintahmu, Mapatih Jolosengoro!" kata pimpinan mereka.
"Gotong kepala pengawal keraton meninggalkan tempat ini!" memberi tahu
Jolosengoro. Empat orang maju mendekati kepala pengawal keraton itu lalu menggotongnya.
Ketika orang-orang
itu hendak melangkah pergi sekali lagi Kudopati menghaturkan terima kasih, malah
kali ini sambil
melambaikan tangan.
"Terima kasih Jolo. Aku tidak melupakan budi besarmu ini....," kata Kudopati
pula. Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ebook: kalibening
"Tunggu dulu!" berseru Jolosengoro.
Empat anggota pasukan yang menggotong Kudopati hentikan langkah. Mereka
memandang pada Jolosengoro. Kudopati juga palingkan kepalanya.
"Agar tidak kesepian di jalan, aku.memberikan seorang kawan untukmu, Kudopati!
Gotong juga Raden Jayengseno!"
Atas perintah Jolosengoro itu maka empat orang berpakaian hitam segera mendekati
Raden Jayengseno yang tertegak kaku tidak berdaya. Mereka langsung menggotongnya walau
Jayengseno berulang
kali berteriak agar dirinya diturunkan.
Patih Jolosengoro tertawa lebar lalu berkata. "Bawa kedua orang itu ke
Torowulan. Lemparkan
mereka ke dalam jurang Cadas Parereg!"
Paras Kudopati menjadi pucat. Jayengseno berusaha setengah mungkin. Ayu Purini
terdengar berteriak. "Patih durjana! Bebaskan Raden Jayeng! Awas! Kau kelak akan menerima
hukuman sangat berat!"
Jolosengoro tertawa. "Kau orang perempuan diam sajalah! Ini urusan orang laki-
laki!" katanya. Lalu
dia menggerakkan tangan, memberi isyarat agar ke delapan anggota pasukan itu
segera meninggalkan tempat
itu. Namun baru saja mereka hendak melangkah, di anak tangga teratas muncul abdi
dalem Kiyai Singgih
Kanyoman bersama enam orang pengiringnya.
Bagaimana orang tua ini bisa sampai ke tempat itu"
Seperti diceritakan sebelumnya, setelah dipermalukan oleh Pendekar 212, orang
tua itu langsung
menuju keraton. Dia tentu saja terkejut ketika mendapat keterangan apa yang
telah terjadi di dalam keraton.
Karena memang sangat mendendam terhadap Wiro, maka Ki Singgih Kanyoman segera
meninggalkan keraton
untuk melakukan pengejaran. Dia sengaja membawa seorang ahli jejak sehingga
dengan mudah dapat
diketahui ke jurusan mana Pendekar 212 sebelumnya menghilang.
Patih Jolosengoro sama sekali tidak merasa takut terhadap abdi dalem paling tua
yang memang punya
pengaruh besar dalam keraton ini. Namun dia masih menanam sedikit rasa hormat.
Maka diapun berkata
sesopan mungkin.
"Ki Singgih Kanyoman, aku gembira sampean bisa berada di sini. Menyaksikan
sendiri apa yang
terjadi hingga aku tidak susah-susah menerangkannya....."
Ki Singgih Kanyoman tersenyum hambar. "Kau gembira, aku tidak. Kau bilang tidak
susah, aku justru
merasa sangat susah. Mana aku pernah menyangka bahwa patih kerajaan sendiri
rupanya yang jadi sumber
bahala!" "Ki Singgih, agaknya ada sedikit perbedaan jalan pikiran antara kita..... Kau
salah sangka.....Mungkin
menduga....."
Ki Singgih langsung memotong ucapan Jolosengoro itu. "Kita memang berbeda
Jolosengoro. Aku
mengabdikan diri pada keraton dan Raja dengan sepenuh ketulusan. Kau sebaliknya
mengabdi dengan
membekal maksud jahat. Kau pencuri, aku bukan. Jelas kita berbeda. Kau
pengkhianat aku bukan. Jelas kita
memang berbeda....."
Lama-lama Jolosengoro jadi kesal juga mendengar kata-kata Ki Singgih itu. Maka
diapun membentak.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
"Cukup omonganmu sampai di situ. Sekarang katakan apa yang ada di kepalamu!"
Ki. Singgih tertawa dan menjawab. "Apa yang ada di kepalaku sederhana saja,
Jolosengoro. Pertama
tanggalkan jubah Kencono Geni itu dan serahkan padaku...."
"Sebelumnya Narowongso juga berkata begitu. Akhirnya dia mampus di tanganku!"
Ki Singgih tidak perdulikan kata-kata orang, lalu meneruskan ucapannya. "Kedua
bebaskan Raden Jayengseno karena terbukti kini bukan dia yang jadi pencuri jubah pusaka
kerajaan itu. Ketiga, Kudopati akan
ku bawa ke kotaraja untuk mempertanggung jawabkan keterlibatannya dalam
pengkhianatan kotor ini! Ke
empat, serahkan dirimu secara baik-baik "
"Empat permintaanmu, hanya satu yang bisa kukabulkan. Kau boleh ambil Kudopati!"
Ki Singgih Kanyoman gelengkan kepala. "Empat yang kuminta empat pula yang harus
kudapat!" "Tua bangka keras kepala! Rupanya kau ingin menyusul Narowongso!" hardik
Jolosengoro. Habis
menghardik begitu Jolosengoro langsung hantamkan tinju kanannya ke arah dada si
orang tua. Pada saat itulah atap di atas ruangan tiba-tiba jebol. Sesosok tubuh melayang
turun. Jolosengoro
merasakan sambaran angin yang sangat deras. Dia kaget sekali ketika tubuhnya
terdorong keras ke samping
yang menyebabkan jotosannya tadi hanya mengenai tempat kosong.
Cepat-cepat sang patih mengimbangi tubuhnya. Memandang ke depan dia melihat
seorang pemuda berambut gondrong tegak berkacak pinggang.
"Bangsat gondrong! Siapa kowe"!" bentak Jolosengoro.
Pendekar 212 yang dibentak seperti tidak acuh. Dia malah menolah pada orang-
orang yang menggotong Raden Jayeng dan Kudopati.
"Turunkan Raden Jayengseno. Kalian boleh bawa kepala pengawal itu!"
"Setan! Kau tidak layak memerintah orang-orangku!" teriak Jolosengoro. "Lekas
kalian bawa kedua
orang itu dan lemparkan ke jurang Cadas Parereg!"
Mendengar perintah itu empat orang yang menggotong Raden Jayeng dan empat orang
yang menggotong Kudopati segera bergerak ke tangga.
Saat itulah Pendekar 212 berkelebat. Terdengar pekik ke empat orang berseragam
hitam yang menggotong Raden Jayeng. Mereka terlempar jauh. Dua terbanting ke lantai di
tingkat atas itu, satu jatuh
terguling di tangga dan satunya lagi melayang jatuh ke tingkat bawah. Yang satu
ini patah lehernya, langsung
menemui ajal. Raden Jayengseno sendiri saat itu kelihatan sudah tertegak di
dinding sebelah kiri tanpa kurang
suatu apa, malah kini bisa bergerak karena dengan cepat begitu berhasil
membebaskan Jayengseno, Pendekar
212 segera melepaskan totokan di tubuhnya.
*** Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
TIGA BELAS WALAUPUN EMPAT ANGGOTA pasukan itu memang tidak memiliki kepandaian tinggi,
namun apa yang dilakukan oleh Pendekar 212 benar-benar membuat Jolosengoro sempat
terkesiap. Seumur hidup
baru sekali itu dia melihat gerakan silat yang begitu cepat dan luar biasa!
Jolosengoro diam-diam merasa yakin
kalau pemuda berambut gondrong ini adalah orang yang diceritakan Kudopati
sebelumnya, dan merupakan
kawan Raden Jayengseno.
"Anak muda, siapapun kau adanya jangan pergunakan kepandaian untuk melawan Patih
kerajaan!"
berkata Jolosengoro.
Wiro tertawa lebar dan menyahuti. "Anak tua, siapapun kau adanya jangan
pergunakan akal
panjangmu untuk berbuat licik menjadi pengkhianat kerajaan!"
Merahlah wajah Jolosengoro mendengar ejekan itu.
"Usiamu masih muda. Apakah mau mati percuma di tanganku"!" ujar Jolosengoro
masih berusaha sabar walau ucapannya terdengar sangat geram.
"Usiamu sudah tua bangka. Apakah mau mati percuma sebagai pengkhianat"!"
Mendengar ucapan Wiro itu Jolosengoro tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dia
segera hendak menyerbu namun saat itu Raden Jayengseno telah melompat ke hadapannya.
"Jolosengoro! Kejahatan dan dosamu terlalu besar. Tapi jika kau dengan suka rela
mau mengembalikan jubah Kencono Geni itu, aku akan memintakan keringanan hukuman
dari Raja!"
"Anak selir! Jangan kau banyak mulut!" damprat Jolosengoro dan langsung
tendangkan kaki
kanannya. Namun dari samping Wiro berkelebat memotong dan mematahkan
serangannya. Ketika dengan
geram dia hendak memburu Wiro, mendadak saja mukanya mengerenyit dan kedua
matanya kesilauan. Di
hadapannya pemuda berambut gondrong itu tegak memegang sebuah senjata yang
terasa aneh di mata
Jolosengoro. Senjata itu adalah sebilah kapak bermata dua yang memancarkan hawa
panas serta cahaya
menyilaukan. "Hemm.... Jadi kau memang sudah bertekad untuk mencari kematian!" kata
Jolosengoro pula lalu
menerjang ke depan.
Tangan kanan Pendekar 212 bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat
memancarkan cahaya
sangat menyilaukan, menebar hawa panas dan mengeluarkan suara laksana ribuan
tawon mengamuk!
Bukk! Salah satu mata kapak menghantam dada kanan Jolosengoro dengan tepat dan keras.
Orang bertubuh tinggi besar ini terpental sampai ke dinding. Tapi tubuhnya sama sekali tidak
ter-luka sedikitpun, Bahkan kain
sutera merah jubah Kencono Geni tidak lekuk, apalagi robek dihantam Kapak Maut
Naga Geni 212. "Celaka! Ini awal kesulitan bagiku!" keluh Wiro. Senjata warisan Eyang Sinto
Gendeng segera disimpannya kembali di balik pakaian. Baru saja kapak sakti itu terselip di
pinggangnya, Jolosengoro sudah
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
melompat dan menerkamnya. Seperti tadi ketika membunuh Narowongso kedua
tangannya terpentang.
Rupanya dia juga ingin membunuh Pendekar 212 dengan jalan mematahkan lehernya.
Bukkk! Buuuk! Dua kali jotosan Wiro Sabieng mendarat di tubuh Jolosengoro. Kali ini
Jolosengoro tidak bergeming
sedikitpun. Dia terus merangsak ke dapan hingga akhirnya langkah Wiro terhenti
karena punggungnya
tertahan dinding. Melihat hal ini Jolosengoro langsung menyerbu. Saling jotos
berlangsung dengan seru. Tiga
jotosan Wiro masuk mengenai lawan tapi tidak dirasakan. Sebaliknya dua kepalan
Jolosengoro sempat mampir
di dada dan hidung Pendekar 212.
Darah mengucur dari hidung Wiro. Sang pendekar memaki panjang pendek. Tangan
kanannya di angkat. Ujung jari sampai ke siku kelihatan berubah menjadi putih seperti perak.
Pukulan Matahari!
Buummmm! Wusss! Pukuian sakti sinar matahari yang dilepaskan Wiro menghantam ke arah tubuh
Jolosengoro dengan
telak. Namun setengah jengkal sebelum sinar panas menyilaukan pukulan sakti itu
akan mencapai jubah
Kencono Geni tiba-tiba dari jubah merah itu membersit aneh satu hawa berkekuatan
dahsyat yang bukan saja
mampu membendung pukulan sakti yang dilepaskan murid Sinto Gendeng malah
sekaligus mampu
membalikkan pukulan sakti itu untuk menghantam pemiliknya sendiri!
Wiro jatuhkan dirinya ke lantai begitu pukulan sinar matahari menghantam ke
arahnya. Punggungnya
terasa seperti di sengat api ketika pukulan sakti itu lewat di atasnya. Lalu
terdengar suara bergemuruh ketika
pukulan itu menghantam dinding hingga hancur berantakan dan di kejapan yang sama
api berkobar! "Raden Jayeng! Lekas tolong Ayu!" teriak Wiro lalu melompat menghindari serangan
Jolosengoro yang datang membabi buta.
Ketika Jayengseno berlari ke arah Ayu Purini, Jolosengoro berusaha memotong
jalannya. Sementara
itu kobaran api mulai membesar. Empat orang berseragam hitam yang tak mau
dilamun api lepaskan tubuh
Kudopati yang mereka gotong. Kepala pengawal keraton ini jatuh bergedebuk ke
lantai. Empat orang anak
buah Jolosengoro itu kemudian menghambur lari menuruni tangga. Kudopati dengan
cerdik serosotkan
tubuhnya di tangga. Dengan cara itu dia bisa sampai ke lantai bawah, selamat
dari kobaran api tetapi tulang
kaki kirinya yang patah terasa berderak. Untuk beberapa lamanya kepala pengawal
keraton ini terkapar di
lantai setengah mati menahan sakit!
"Patih keparat! Ini bagianmu!" teriak Raden Jayeng ketika Jolosengoro menghadang
dan hendak menjambak rambutnya. Sambil merunduk Jayengseno hantamkan tinjunya ke
selangkangan patih pengkhianat
itu. Pukulan yang dilepaskan Raden Jayeng menghantam telak anggota rahasia
Jolosengoro. Tetapi lelaki
tinggi besar ini tidak bergeming sedikitpun. Jubah Kencono Geni memberi
kekebalan kesetiap sudut tubuhnya!
Kini giliran Jolosengoro untuk menghantam, Jayengseno dengan satu pukulan keras
ke arah kepala putera Sri
Baginda itu. Dua sosok tubuh melayang melindungi putera raja itu. Dua lengan melintang
menangkis pukulan.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Wiro Sableng 058 Bahala Jubah Kencono Geni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ebook: kalibening
Lengan Wiro Sableng dan lengan Ki Singgih Kanyoman.
Jolosengoro terpental ke atas, tapi cepat melayang sambil menendang ke arah
kepala Wiro sementara
Jayengseno pergunakan kesempatan untuk meneruskan usahanya menolong Ayu Purini.
Begitu dia dapat
melepaskan totokan di tubuh saudaranya itu, Raden Jayeng segera menyuruh Ayu
Purini lari ke tangga dan
seterusnya menuju ke tingkat bawah. Dia sendiri kemudian bergabung bersama Wiro
dan Ki Singgih Kanyoman mengeroyok Jolosengoro.
Wiro berulang kali berhasil menjotos lawan namun tidak ada hasilnya. Jolosengoro
sekebal tembok baja. Beberapa kali pula dicobanya menotok orang ini. Totokannya bersarang di
dua tempat yang bisa
membuat siapapun menjadi kaku dan gagu. Tetapi totokan itu sama sekali tidak
berbekas pada Jolosengoro
yang mengenakan jubah Kencono Geni.
Malah Jolosengoro sempat memukul roboh Ki Singgih Kanyoman sampai muntah darah.
Dalam keadaan megap-megap abdi dalem lanjut usia ini terjajar ke tangga. Menyadari
tubuhnya akan terguling di
tangga lalu terhempas di lantai bawah, Ki Singgih Kanyoman tiba- tiba menarik
lengan Jolosengoro.
Akibatnya Jolosengoro ikut jatuh bergulingan di tangga.
Pada saat Jolosengoro melayang jatuh itulah selintas pikiran muncul di benak
Pendekar 212. Dia
melihat satu kesempatan baik yang tidak boleh disia-siakan. Kesempatan itu hanya
ada pada saat tubuh
Jolosengoro bergulingan seperti itu. Wiro jejakkan kedua kakinya lalu melompat
searah jatuhnya Jolosengoro.
Begitu tepat berada di atasnya Wiro segera menyambar leher jubah Kencono Geni
yang dikenakan Jolosengoro lalu menariknya kuat-kuat.
Sesaat tubuh besar sang patih ikut terangkat. Lalu terdengar suara kain robek
dan bersamaan dengan
itu tubuh Jolosengoro jatuh lagi ke bawah, terguling di tangga lalu jatuh ke
lantai saling tumpang tindih dengan
Ki Singgih Kanyoman!
Pendekar 212 sendiri kemudian berhasil menjatuhkan diri dengan kedua kaki
menjejak lantai lebih
dahulu sedang jubah Kencono Geni tergenggam di tangan kanannya.
Satu hal yang tidak terduga terjadi atas diri Jolosengoro. Ketika jubah sakti
itu lepas dari tubuhnya dan
robek di beberapa bagian, tubuh sang patih kini sama sekali tidak tertutup
apapun alias bertelanjang bulat.
Bagaimana hal ini bisa terjadi" Apakah dia tidak mengenakan pakaian dalam di
balik jubah itu"
Sebenarnya Jolosengoro memang mengenakan pakaian dalam. Namun pada saat api yang
keluar dari pecut Narowongso membakar tubuhnya, pakaian dalam itu ikut terbakar jadi abu.
Akibatnya sewaktu jubah
dibetot lepas tinggallah tubuhnya yang tidak mengenakan apa-apa lagi!
Menyadari dirinya tidak mengenakan jubah Kencono Geni, apalagi kini dia berada
dalam keadaan telanjang bulat yang tidak dapat dibayangkannya sebelumnya, Jolosengoro jadi
iumer nyalinya. Dia melompat
ke pintu hendak melarikan diri. Tetapi kakinya sempat dijegal Ayu Purini hingga
orang ini jatuh berdebam ke
lantai dan nanar beberapa saat lamanya.
Bangunan di tingkat atas terdengar berderak. Jayengseno menarik Ayu keluar dari
bangunan itu. Ki
Singgih Kencono berusaha bangkit. Walau dengan terhuyung-huyung orang tua ini
berhasil keluar mencapai
halaman. Wiro tarik tubuh Jolosengoro dan Kudopati. Sesaat kemudian terdengar
suara bergemuruh ketika
bagian atas bangunan bertingkat itu roboh dan api menggebu ke atas.
Sumber buku: Pendekar212
Sumber Cover: kelapalima
Scanning: kiageng80
Ebook: kalibening
Pendekar 212 Wiro Sableng lipat jubah Kencono Geni baik-baik lalu menyerahkannya
pada Jayengseno seraya berkata: "Maafkan kalau jubah itu robek di beberapa
bagian...."
"Tidak jadi apa. Yang robek bisa dijahit kembali. Yang penting barang pusaka ini
sudah kita dapatkan
kembali. Terima kasih Wiro. Kau telah berjasa besar pada kerajaan...."
Wiro geleng-geleng kepala. Jayengseno menyerahkan .jubah Kencono Geni pada Ki
Singgih Kanyoman. yang segera menerimanya dengan air mata berlinangan.
Jayengseno kemudian melangkah ke tempat Jolosengoro dan Kudopati bergeletakan di
tanah. Dia mengangkat tubuh Jolosengoro dan menyandarkannya ke sebatang pohon. Lalu
Kudopati ditariknya dengan
paksa hingga tersandar pula di batang pohon di samping sang patih.
"Katakan! Siapa di antara kalian yang membunuh keluarga abdi dalem Kamilun"!"
bertanya Raden Jayeng dengan suara keras.
"Bukan aku! Bukan aku !" jawab Kudopati seraya menggoyang-goyangkan tangan
kanannya. "Kalau begitu kau yang punya pekerjaan, Jolosengoro"!". tanya Jayengseno.
Patih kerajaan itu terdengar berguman. Lalu menyusul suaranya tersendat.
"Aku....aku menyesal
melakukannya...."
"Penyesalan yang tidak ada gunanya!" tukas Raden Jayeng. Lalu tangan kanannya
yang sudah dialiri
tenaga dalam dihantamkan ke kepala Jolosengoro. Batok kepala sang patih rengkah!
Matanya mencelet!
Tubuhnya kemudian melosoh ke bawah. Kudopati menjerit seperti melihat setan
menyaksikan kematian
Jolosengoro lalu tubuhnya ikut melosoh pula dan jatuh duduk di atas akar pohon.
"Hai! Kau hendak kemana"!" tanya Raden Jayeng ketika melihat Pendekar 212
melompat ke atas
seekor kuda. Ayu Purini ikut mengejar.
"Malam hampir pagi. Sebelum pagi aku harus sudah ada di satu tempat. Selamat
tinggal kawan-kawan....," jawab Wiro seraya mengangkat tangannya memberi salut. Sesaat
ketika hendak menarik tali
kekang, dia ingat sesuatu lalu berpaling pada Ki Singgih Kanyoman yang saat itu
duduk menjelepok di tanah.
"Kiyai, maafkan kalau aku pernah berlaku kurang ajar padamu...."
"Ah, aku sudah melupakan semua kejadian itu," jawab sang abdi dalem polos dan
ikhlas. Wiro tersenyum. "Terima kasih," katanya. Lalu menyambung. "Kalau aku boleh
bertanya, kulihat kau
masih mengenakan pakaian yang sama. Apakah kau sudah cebok Kiyai....?"
Kiyai Singgih Kanyoman merah padam wajahnya. Kedua matanya melotot. Dia hendak
mendamprat karena lagi-lagi dipermalukan di depan orang. Namun kemudian amarahnya menyurut.
Dan di wajahnya yang
tua itu menyeruak senyum. Lalu meledaklah tawanya terkekeh- kekeh. Wiro lebih
keras tawanya. Ayu Purini
dan Raden Jayeng yang tidak tahu ceritanya ikut-ikutan tertawa. Hanya Kudopati
yang terhenyak bungkam di
bawah pohon. Dia sudah membayangkan hukuman apa yang bakal dijatuhkannya atas
dirinya. Wiro hentakkan tali kekang kuda. Lambaikan tangan lalu lenyaplah sang pendekar
di kegelapan malam. TAMAT Pendekar Kidal 25 Mustika Lidah Naga 3 Persekutuan Pedang Sakti 9