Pencarian

Malaikat Maut Berambut Salju 2

Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju Bagian 2


seorang BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
musuhnya. Kabarnya lagi Pendekar Bungkuk bersumpah, sebelum dia berhasil
membunuh lawan yang mencelakainya itu, pisau di matanya tak akan dicabutnya!"
"Keteranganmu cocok dengan keterangan guruku!" ujar Pandu pula.
"Kalau begitu siapa gurumu?" tanya Wiro.
Pandu sadar kalau sudah ketelepasan bicara. Dia menjawab dengan cerdik
"Kuberitahukanpun kau tidak bakal mengenalnya...."
"Apakah kau ke Talangsewu mencari pembunuh ayahmu itu?" Kau tak bakal
menemukan Pendekar Bungkuk di sana."
"Talangsewu tempat kediaman ibuku! Aku akan mencarinya disana. Mudah-
mudahan Tuhan mempertemukan kami...."
"Aku ikut mendoaakan."
"Terima kasih. Wiro, aku menerima usulmu. Kita melanjutkan perjalanan
bersama-sama...."
"Memang itu yang kuharaokan agar kita bisa bertukar pengalaman...."
"Melihat gerak gerikmu serta ucapan-ucapanmu kau m,endalami seluk beluk
agama. Nah, aku ini pemuda kurang ajar! Jadi ada baiknya kalau aku belajar ilmu
agama padamu. Ha....ha....ha....!
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Pandu duduk termenung di tepi kali. Di sebelahnya duduk Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Setelah mengetahui ibumu tidak lagi tinggal di Talangsewu, apa yang akan
kau lakukan Pandu?" bertanya Wiro.
Meski hati dan pikirannya saat itu kacau, murid Datuk Perpatih Alam Sati itu
menjawab, suaranya perlahan. "Akan kuarungi pulau Jawa ini. Akan kucari manusia
bernama Pendekar Bungkuk itu. Arwah ayahku meungkin tidak pernah tentram
sebelum aku melakukan pembalasan!" Pandu diam sesaat. Lalu dia berpaling pada
Wiro "Sahabat, berhari-hari kita mengadakan perjalanan bersama-sama. Aku sangat
berterima kasih pada kebaikanmu. Hanya saja, mulai saat ini aku berasa adalah
lebih baik aku meneruskan perjalanan seorang diri. Aku tak mau menyusahkan seorang
kawan sebaikmu..."
Wiro garuk kepalanya lalu menjawab "Aku tidak akan memaksa ikut
bersamamu. Mudah-mudahan kau menemui orang yang kau cari. Juga aku berdoa
agar kau dapat bertemu dan bersatu kembali dengan ibu serta kakak perempuanmu.
Kita berpisah di sini sahabat. Jika umur panjang pasti kita dapat bertemu
lagi...." Pandu berdiri, memegang bahu Wiro, melafatkan kata-kata dalam bahasa Arab
yang tidak dimengerti murid Sinto Gendeng itu. Ketika Pandu mengucapkan kata
"Assalaamualaikum" Wiro menjawab sambil tertawa geli "Waalaiku salam...."
"Kenapa kau tertawa Wiro?" bertanya Pandu.
"Seingatku, seumur hidup baru sekali ini aku mengucapkan salam seperti tadi.
Soalnya aku bukan orang santri sepertimu!" Wiro mengangkat tangannya ke kening
lalu dua sahabat itupun berpisah.
Pandu meneruskan perjalanan menuju ke timur. Tepat katika matahari
terbenam memasuki sebuah kampung. Ada keanehan dilihatnya. Meski saat itu hari
masih terang dan malam belum lagi datang tapi seluruh pintu dan jendela rumah
penduduk berada dalam keadaan tertutup. Namun mata dan perasaan Pandu yang
tajam membuat dia mengetahui bahwa dari balik celah jendela atau mengintip gerak
geriknya. Pemuda itu terus melangkah. Dia sama sekali tidak berniat menginap di
kampung itu. Pada saat dia hendak melintas sebuah jembatan bambu yang melintang
di atas kali kecil, tiba-tiba dari balik rerumpunan pohon bambu berkelebat
hampir selusin orang sambil menghunus berbagai macam senjata. Ada yang membawa
pentungan besi berujung runcing seperti tombak, ada uang mencekal golok atau
kelewang, banyak pula yang menggenggam keris. Di saat yang sama di seberang
jembatan kecil muncul tiga sosok tubuh berpakaian hiram.
Gerakan ketiga orang ini gesit sekali dana sebelum dua belas orang yang tadi
keluar dari balik pohon bambu mencapai dapan jembatan, tiga orang di sebelah
sana telah lebih dahulu melesat melintas jembatan dan menghadang rombongan orang
yang lebih banyak.
Pandu tidak dapat melihat wajah dua belas lelaki yang membelakanginya
namun dia dapat melihat jelas tampang tiga orang berpakaian hitam di seberang
sana. Rata-rata mereka memiliki rambut gondrong awut-awutan. Wajah mereka tidak
satupun yang semenggan dan rata-rata membersitkan kekejaman. Salah seorang dari
ketiganya, yang berada paling depan, usap-usap dagunya yang penuh dirambasi
jenggot liar dan satu tangan lainnya berkacak pinggang.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Jadi benar-benar kalian berani menghadang kami! Manusia-manusia tolol!
Lebih sayang harta dari nyawa!"
Dari rombungan yang dua belas orang terdengar suara jawaban. "Harta kami
sudah habis kalian kuras! Memang kini hanya nyawa yang kami punya! Tapi kami
tidak takut mati! Sudah saatnya kalian harus ditumpas!"
Lelaki berpakaian hitam yang tegak bertolak pinggang tertawa gelak-gelak.
Dia berpaling pada kedua kawannya lalu berkata "Kalian dengar ucapan anjing
buduk tolol ini!"
"Dia yang akan kubunh pertama sekali!"
"Kalau begitu kau bunuhlah dia Jombang!"
Lelaki bernama Jombang langsung melompat ke depan. Dengan
mengandalkan tangan kosong dia menghantamkan tinjunya ke kepala sasarannya.
Tapi serangannya disambut dengan tebasan golok.
"Heyyaa....!" Jombang putar kedua kakinya. Tubuhnya miring ke kiri.
Sambaran golok lewat, serentak dengan itu tinju kanannya meluncur ke depan!
Buukk! Orang yang memegang golok terpental beberapa langkah. Tubuhnya terlipat.
Kepalanya yang terhuynung ke depan langsung disambut dengan tendangan oleh
Jombang. Praak! Korban pertama jatuh, meregang nyawa denagn kening rengkah. Sebelas
kawannya berteriak marah lalu serempak menyerbu. Sebelas macam senjata
berserabutan ke arah tubuh Jombang. Orang ini ganda tertawa. Sekali dia
berkelebat dua sosok tubuh terpelanting, dua bilah senjata tajam terpental lepas. Melihat
Jombang mulai mengamuk, dua kawannya jadi ikut terangsang. Maka tiga lelaki
berpakaian hitam itu seolah-olah tiga ekor harimau yang mempermainkan kucing-
kucing tidak berdaya! Ini hanya bisa terjadi karena ketiganya memang memiliki
ilmu silat yang tinggi. Satu demi satu korban jatuh susul menyusul. Ada yang langusng
menemui ajal, banyak yang cidera parah! Jerit maut, erang kesakitan bergabung
jadi satu di saat malam mulai turun itu!
Ketika hanya tinggal empat orang saja lagi yang masih sanggup menghadapi
amukan tiga manusia berpakaian serba hitam itu, Pandu murid Datuk Perpatih Alam
Sati dari puncak Merapi melompat menghadang seraya berseru "Tahan!"
Tiga orang berpakaian hitam langsung terdorong. Sesaat ketiganya setengah
tertegun namun mata masing-masing membeliak besar dan tampang menunjukkan
kemarahan. Mereka melihat seorang pemuda berambut putih panjang sampai ke bahu
berdiri di hadapan mereka sementara empat orang yang berada di belakang Pandu
tampak terheran-heran melihat munculnya seorang penolong yang tidak dikenal.
"Monyet berambut putih dari mana yang berani mencampuri urusan orang!"
"Hemm.... Dia pasti salah seorang dari penduduk kampung yang ikut
berkomplot melawan kita!"
"Kalau begitu mari kita siangi tubuhnya!"
Tiga lelaki berpakaian hitam sama-sama menyerang sembil berteriak garang.
Namun untuk kedua kalinya mereka terpental beberapa langkah. Ketika yang dua
hendak menyerang lagi, kawannya yang bernama Dardiri cepat memberi isyarat. Lalu
dia maju ke hadapan Pandu.
"Monyet berambut putih! Siapa kau sebenarnya"!"
"Katakan dulu siapa kalian bertiga adanya! Mengapa menurunkan tangan jahat
terhadap orang-orang kampung yang tidak berdaya"!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Hooo....! Jadi monyet ini belum tahu siapa kita adanya!" ujar Dardiri sambil
usap-usap dadanya yang berbulu dan tidak tertutup pakaian. "Jembel tolol
sepertimu tidak layak menanyai kami! Kalau masih penasaran biar roh busukmu saja nenti
yang gentayangan bertanya-tanya!"
Habis berkata begitu Dardiri lalu kirimkan satu jotosan ke dada si pemuda.
Pandu gerakkan kepalanya sedikit.
Wuutt! Rambut putih yang panjang berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan Dardiri
yang barusan melancarkan pukulan terjirat pada pergelangannya! Orang ini
menjerit bukan saja karena terkejut tapi juga disebabkan rambut itu tidak bedanya seperti
jiratan kawat! "Kurang ajar berani mempermainkan!" teriak Jomabang. Dia memungut
sebatang golok yang tergeletak di tanah lalu membabat ke arah rambut putih
Pandu. Pemuda ini gerakkan kepalanya sedikit.
Craasss! Dardiri menjerit setinggi langit begitu golok yang dihantamkan kawannya
sendiri membabat putus tangan kanannya! Melihat kejadian ini Jombang dan
kawannya yang satu lagi jadi tersentak kaget. Kini baru mereka menyadari bahwa
mereka berhadapan dengan seorang berkepandaian tinggi. Rasa sadar ini membuat
keduanya menjadi ketakutan setengah mati. Tanpa pikir panjang mereka balikkan
tubuh, siap melarikan diri dengan meninggalkan Dardiri yang terduduk di tanah
sambil tiada hentinya berteriak kesakitan sementara darah terus memancur fari
tangannya yang buntung!
Saat itu mendadak udara terasa dingin luar biasa. Jombang dan kawannya
merasakan sekujur tubuh mereka menjadi kaku saking dinginnya. Sepasang kaki
mereka tidak sanggp digerakkan seolah-olah telah berubah menjadi kayu. Dari
mulut mereka terdengar suara berkereketan akibat rasa dingin luar biasa. Anehnya,
empat orang penduduk kampung yang berada di belakang Pandu tidak merasakan udara
dingin itu. Inilah kehebatan ilmu "tenung salju" yang dilepaskan oleh Pandu
untuk membuat Jombang dan kawannya tidak dapat melarikan diri!
Begitu melihat dua orang itu tidak berdaya, empat penduduk kampung
langsung menyerbu. Sebelum Pandu sempat mencegah, golok dan pentungan besi
sudah berkebat. Jombang dan kawannya langusng roboh mandi darah. Dardiri sudah
sejak tadi meregang nyawa kehabisan darah!
"Kalian bertindak kejam! Mengapa itu kalian lakukan"!" bertanya Pandu
"Mereka jauh lebih kejam dari kami. Apa yang kami lakukan adalah untuk
membalas dendam!" menyahut salah seorang dari empat penduduk kampung.
"Mereka pantas mampus seperti ini!" Anak muda, kau saksikan sendiri
kawan-kawan kami yang bergeletakan di tempat ini!"
"itu baru sebagian saja!" menambahkan yang lain. "Sebelumnya mereka sudah
berulang kali mendatangi kampung kami, juga kampung-kampung di sekitar sini.
Merampok, membunuh dan menculik anak gadis atau istri penduduk!"
"Siapa ketiga manusia ini sebenarnya" Perampok-perampok biadab"!" tanya
Pandu pula. "Lebih dari itu! Mereka adalah anak buah iblis jahanam bergelar Pendekar
Bongkok!" Mendengar orang menyebut nama itu Pandu tersentak kaget. "Lekas terangkan
dimana aku bisa menemui Pendekar Bongkok!"
"Heh!"
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Empat penduduk kampung bersurut ketakutan. "Apakah kau....kau sahabat
Pendekar Bongkok?" salah seorang bertanya gagap dan ketakutan.
"Aku justru mencarinya untuk membunuhnya!" jawab Pandu.
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Bukit Tapal Kuda sesuai namanya berbentuk seperti ladam kuda, membujur
setengah lingkaran dari timur ke barat. Bukit ini jarang didatangi manusia
karena selain gersang juga hanya ditimbuni oleh batu-batu besar berwarna kecoklatan. Di
bagian tangah bukit yaitu bagian yang melekuk anehnya justru terdapat empat buah
bangunan kayu. Tiga agak kecil sedang yang besar terletak di sebelah tengah.
Ketika murid Datuk Perpatih Alam Sati samapi ke Bukit Tapal Kuda hari
masih gelap. Udara dingin menyelimuti tampat itu. Didalam kegelapan malam
menjelang pagi itu Pandu melihat sebuah bangunan aneh di samping rumah kayu
besar. Bangunan ini baratap ijuk. Bentuk bangunan di bawah atap tidak beda
seperti sebuah kerangkeng besar. Tak ada pelita yang menyala hingga Pandu tidak dapat
melihat apa yang berada dalam bengunan. Hanya sepasang telinganya sayup-sayup
mendengar suara orang mengerang lalu suara seseorang menangis.
Sewaktu hari mulai terang-terang tanah, empat bangunan kayu masih
diselimuti kesunyian. Namun dia segera dapat melihat apa yang ada dalam bangunan
berbentuk kerangkeng. Bukan saja membuat ini jadi tercekat tetapi sekaligus
bergetar sekujur tubuhnya dilanda amarah. Jadi benar apa yang dikatakan penduduk kampung
yang ditolongnya itu!
Di dalam kerangkeng tampak terbaring sosok tubuh perempuan muda yang
rata-rata tidak terbungkus pakaian dengan sempurna. Salah seorang diantaranya
duduk di sudut kerangkeng sambil menangis. Kedua matanya tampak bengkak tanda
perempuan ini tentu sudah sejak lama menangis tiada henti. Kain yang melekat di
tubuhnya hanya dapat menutupi auratnya sebatas pinggang ke bawah.
Di sudut kerangkeng yang lain menggeletak seorang pemuda dalam keadaan
sekarat mengerikan. Tubhnya tanpa pakaian sama sekali. Erangan pemuda inilah
yang didengar Pandu sejak malam tadi.
Pandu beringsut dari balik pohon besar dimana dia berlindung. Tiba-tiba pintu
bangunan kayu di sebelah kiri terbuka. Seorang lelaki berbadan tinggi besar,
hanya mengenakan sehelai celana panjang hitam melangkah ke luar terhuyung-huyung. Di
tangan kanannya tampak sebuah kendi kecil. Setiap kali dia berhenti melangkah
dia mendekatkan bibir kendi ke mulutnya lalu meneguk minuman keras yang ada dalam
kendi itu. Kemudian dia melangkah kembali, menuju kerangkeng besar. D depan
pintu kerangkeng orang ini campakkan kendi yang telah kosong. Matanya
memandang menjelajah ke dalam kerangkeng. Lalu dia mengeluarkan sebuah benda
kecil berbentuk kunci. Dengan benda ini dia membuka pintu kerangkeng yang diikat
dangan rantai besi dan dihubungkan dengan sebuah kura-kura besi.
Pintu kerangkeng terbuka. Si tinggi masuk ke dalam. Sesaat dia tegak di


Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapan pemuda yang mengerang sekarat.
"Huh! Belum mampus juga keparat ini!" Dia menyeka mulutnya, komat kamit
sebentar lalu kembali menyambung ucapannya tadi, "Hiduppun kau tidak bakalan.
Biar kubantu lebih cepat menghadap malaikat maut! Matilah manusia yang berani
manggagahi perempuan milik pimpinan!" orang itu tendangkan kaki kanannya ke
kepala si pemuda. Terdengar suara gebukan mengerikan. Suara erangan lenyap.
Pemuda itu mati sudah dengan kepala pecah. Si pembunuh lalu tertawa mengekeh.
Puas tertawa dia melangkah mendekati perempuan muda yang duduk menangis
sementara enam orang perempuan lain yang ada di dalam kerangkeng saat itu sudah
tersentak sama-sama mendekam ke sudut kiri kerangkeng.
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Diantara semua perempuan yang ada dalam kerangkeng memang yang
menangislah yang paling cantik dan bagus bentuk tubuhnya. Lelaki bercelana
panjang hitam begitu samapi di hadapan perempuan muda ini langsung tanggalkan celananya.
Perempuan yang menangis kini menjerit. Dia melompat bangkit ketakutan tetapi
orang di hadapannya langsung merangkul dan merebahkan tubuhnya ke atas lantai
kerangkeng yang tertutup jerami.
"Manusia biadab! Begini rupanya kerjaan kalian setiap hari! Merampok,
menculik dan memperkosa!" Pandu merutuk dalam hati. Dua kali lompatan saja dia
sudah berada dalam kerangkeng besar. Lalaki yang hendak menggagahi perempuan
muda itu tiba-tiba merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Gigi-giginya sampai
bergemeletukan.
"Gila!" makinya. "Mengapa udara tiba-tiba jadi dingin begini rupa!" Dia
memandang berkeliling dan pandangannya membentur sosok tubuh Pandu!
"Bangsat! Siapa kau!" dia menghardik.
"Aku malaikat maut yang kau sebut-sebut tadi!" sahut si pemuda. Tangan
kanannya memukul ke depan. Yang dipukul coba tangkis tapi langsung menjerit
ketika bentrokan lengan itu membuat tangan kanannya patah!
"Haram jadah! Kowe minta mampus!" teriak si tangan patah. Dengan tangan
kirinya dia berusaha mencekik Pandu. Namun murid Dauk Perpatih telah lebih dulu
menghantam selangkangan orang ini dengan tendangan kaki kiri. Untuk kedua
kalinya orang itu menjerit. Tubhnya terpental ke sudut kerangkeng dimana enam
orang perempuan saling berdekapan ketakutan. Mereka tentu saja sama-sama
menjerit ketika tubuh yang telanjang dengan selangkangan hancur itu jatuh di tengah-
tengah mereka! Suara jeritan hiruk pikuk itu membuat para penghuni empat bangunan kayu
terbangun dari tidur masing-masing. Ternyata mereka semuanya adalah orang laki-
laki yang berpakaian serba hitam. Mereka berhamburan keluar dari bangunan dan
langsung lari ke arah kerangkeng! Semuanya berjumlah hampir dua lusin. Sesaat
mereka tertegun melihat pemuda berpakaian serba putih dan berambut panjang putih
yang tidak dikenal itu.
"Bangsat dari mana yang berani menyelinap masuk ke markas Pendekar
Bungkuk!" salah seorang dari mereka membentak.
"Ah, ternyata aku tidak datang ke tempat yang tidak salah! Jadi ini rupanya
sarang Pendekar Bungkuk! Mana tua bangka keparat itu!"
"Haram jadah! Berani memaki pimpinan kami!"
"Dia pasti telah membunuh Ggaimo!" seorang lain berteriak. Gaimo adalah
nama lelaki yang tadi hendak memperkosa.
"Kalau begitu mari kita cincang dia samapi lumat!"
Terdengar suara senjata tajam dicabut dari sarungnya. Banyak sekali. Ternyata
dua lusin orang rata-rata membawa sebilah golok! Namun mereka berdiri dengan
tubuh seperti menggigil. Udara pada peralihan malam memasuki pagi itu terasa
dingin luar biasa! Inilah kehebatan murid Datuk Perpatih Alam Sati. Tubuhnya dapat
menebar hawa sakti yang diserapnya selama delapan belas tahun di puncak gunung
Merapi! "Kalian semua dengar baikbaik!" Pandu berseru. "Aku kemari bukan untuk
mencari kalian tapi mencari pemimpin kalian! Lekas suruh Pendekar Bungkuk
keluar!" Beberapa orang tertawa mengejek.
"Lagakmu hebat amat rambut putih!"
"Siapa kau sebenarnya"!"
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ada keperluan apa mencari pemimpin kami"!"
Aku Pandu dari pulau Andalas! Pemimpin kalian membunuh ayahku delapan
belas tahun lalu. Aku datang untuk menagih hutang nyawa itu!"
"Ah! Bapakmu mampus di tangan pemimpin kami rupanya! Dan kau juga
minta mampus...."
Baru saja orang itu berkata begitu, kepala Pandu tampak bergerak. Rambutnya
yang putih panjang menderu. Terdengar jeritan lelaki yang tadi bicara. Dia
tampak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi mulutnya yang mengucurkan darah! Mulut itu
laksana dipotong pisau, robek dari pipi kiri sampai pipi kanan! Dan tiba-tiba
tangan kirinya telah mencekik tenggorokan lelaki yang berada dekat pintu kerangkeng.
"Agamamku melarang manusia membunuh sesama manusia! Tapi manusia-
manusia semacam kalina tidak masuk hitungan!"
Kraak! Terdengar suara tulang leher patah. Lidah mencelat, mata melotot. Ketika
Pandu melepaskan cekikannya, tubuh tak bernafas itu langsung roboh ke lantai
kerangkeng. "Masih tidak ada yang mau memberi tahu"!"
Empat belas orang yang ada di tempat itu tiba-tiba sama balikkan tubuh lalu
menghambur lari. Namun dua diantara mereka sempat dicekal oleh Pandu. Tangan
keduanya dilipat ke belakang lalu disentakkan keras-keras hingga mereka menjerit
kesakitan setengah mati.
"Jika kalian mau memberi keterangan, kalian akan selamat...." Pandu
sentakkan lagi cekalannya hingga untuk kedua kalinya kedua orang itu terpekik
kessakitan. Pemuda ini tidak hanya sampai disitu. Tangan orang yang di sebelah
kanan dipuntirnya kuat-kuat hingga tanggal persendian bahunya. "Kau boleh
pergi!" kata Pandu lalu mendorong orang itu kuat-kuat ke depan. Yang didorong terbanting
dan terguling di tanah. Masih menjerit-jerit kesakitan dia melarikan diri
mencari selamat. Tinggal kini yang seorang. Yang satu ini benar-benar sudah meleleh
nyalinya. Mukanya sepucat kertas. Sebelum Pandu melakukan sesuatu dia sudah buru-buru
membuka mulut. "Ampun, jangan siksa! Jangan bunuh diriku! Aku akan katakan dimana
pemimpin kami Pendekar Bungkuk berada!"
Sebelum meninggalkan sarang Pendekar Bungkuk Pandu memeriksa seluruh
bangunan kayu yang ada di kaki bukit Tapal Kuda. Apa yang dilihat pemuda ini
sungguh luar biasa menusuk mata dan perasaan. Di setiap bangunan ditemuinya
banyak perempuan-perempuan muda. Wajah mereka Pucat. Mungkin karena
ketakutan tetapi mungkin juga karena terlalu lama disekap dalam bangunan itu. Di
rumah kayu paling besar, dalam sebuah kamar yang sangat bagus, Pandu menemui
seorang gadis paling tinggi berusia enam belas tahun menggeletak di atas
ranjang. Tangn dan kakinya terikat ke tiang ranjang. Gadis ini berada dalam keadaan
pingsan dan auratnya sama sekali tidak tertutup barang selembar benangpun!
Dimana-mana dalam kamar itu bertaburan barang-barang berharga seperti
perhiasan terbuat dari perak dan banyak pula yang dari emas serta bertahtakan
batu- batu permata. Pandu tendangi barang-barang yang ada di lantai lalu melangkah
menghampiri ranjang. Secarik kain jendela ditariknya lalu menutupkannya ke tubuh
si gadis di atas ranjang. Satu demi satu kemudian ikatan pada kaki dan tangan gadis
itu dilepaskannya. Saat itu diluar kamar banyak orang-orang perempuan bergerombol.
Salah seorang diantara mereka langsung menerobos masuk dan memeluk tubuh si
gadis seraya menangis "Adikku.... Adikku...." Dia menyangka gadis itu sudah mati.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pandu pegang bahunya seraya berkata "Tak usah khawatir. Dia hanya pingsan. Saat
itu juga gadis itu siuman dan membuka kedua matanya.
Karena risih berada dalam kamar yang dipenuhi perempuan dan rata-rata tidak
berpakaian sebagaimana wajarnya pemuda ini segera meninggalkan kamar itu.
"Siapa orang yang menolong adikku itu....?" bertanya perempuan yang tadi
managis disela isaknya.
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab. Namun salah seorang berkata "Dia
pasti malaikat yang dikirimkan Gusti Allah untuk menolong kita..." Ucapan itu
serta merta tersebar dan semua perempuan yang berada disitu benar-benar percaya bahwa
Pandu adalah Malaikat!.
Di halaman rumah besar Pandu mengumpulkan semua perempuan setelah
lebih dulu menyuruh mereka mencari pakaian atau apa saja utnuk dapat menutupi
tubuh masing-masing.
"Hari ini kalian semua bebas dari cengkeraman Pendekar Bungkuk dan anak
buahnya!" Pandu berkata dengan suara lantang. "Semua harta yang ada di tempat
ini boleh kalian ambil dan bagi-bagi. Setelah itu kalian boleh kembali ke kampung
atau ke desa masing-masing!"
Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bersuara. Semua perempuan itu seperti
tidak percaya akan apa yang mereka dengar. Selama berbulan-bulan mereka telah
disekap, dijadikan budak nafsu oleh Pendekar Bungkuk dan komplotannya.
Seharusnya mereka bergembira menerima kenyataan itu.
Bahkan merasa seperti tidak memilki lagi harga diri dan masa depan. Mereka
masih tertegun setelah Pandu meninggalkan tempat itu dan tersentak kaget ketika
satu bentakan keras merobek kesunyian di awal pagi itu.
"Kurang ajar! Apa yang terjadi di sini!"
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN "Celaka! Anak angkat Pendekar Bungkuk datang....!" Seseorang berseru. Dan
kelompok perempuan-perempuan muda yang berjmulah sekitar dua puluh enam orang
itu serta merta bubar. Banyak yang segera melarikan diri.
"Siapa yang berani lari akan kubunuh!" teriak orang yang barusan datang. Dia
adalah seorang pemuda bertubuh tegap, bermuka buruk dan memelihara cambang
bawuk yang meliar menutupi seantero wajahnya. Di lehernya tergantung sebuah
kalung berupa tulang tangan kanan manusia sungguhan! Seperti yang diucapkan tadi
pemuda ini memang adalah anak angkat Pendekar Bungkuk. Bernama Jaroantunda.
Kekejamannya melebihi Pendekar Bungkuk dan kebiadabannya terhadap perempuan
melebihi ayah angkatnya.
"Hemm.... Jadi tak ada yang mau membuka mulut memberi jawaban eh...."
Jaroantunda usa-usap janggut liarnya. Matanya memandang berkeliling. Bukan saja
memperhatikan perempuan-perempuan muda yang tegak ketakutan itu, tapi sekaligus
menyaksikan belasan mayat yang tergelimpang di halaman bangunan.
"Kau!" tiba-tiba Jaroantunda berteriak seraya menunjuk pada seorang
perempuan yang tegak di depannya. Perempuan itu menggigil ketakutan. "Maju ke
hadapannku!"
Meski takut perempuan itu melangkah juga ke hadapan Jaroantunda. Begitu
samapi di depannya si pemuda langsung meremas keras-keras dadanya sebelah kiri
hingga perempuan itu menjerit kesakitan.
"Jika kau tidak mau mengatakan apa yang terjadi akan kusaya-sayat
payudaramu! Juga yang lain-lainnya!"
"ka...kami tidak mengetahui apa yang terjadi. Waktu itu masih pagi dan kami
semua masih di dalam. Kami....kami hanya menemui seorang malaikat...."
"Malaikat"!" teriak Jaroantunda dengan mata membeliak. "Jangan bicara
ngacok padaku!" Dan plaak! Jaroantunda tampar muka orang hingga perempuan itu
melintir dan jatuh kesakitan. Ketika dia hendak menjambak rambut perempuan yang
jatuh, sebuah benda melesat di udara dan menghantam sambungan sikunya. Pemuda
itu terpekik. Ketika diperiksa sambungan siku tangan kanannya ternyata sudah
lepas dan tangannya kini terkulai-kulai. Selagi pemuda itu menanggung rasa sakit yang
bukan alang kepalang terdengar suara tertawa mengejek.
"Kenapa tanganmu monyet berewok" Kasihan, kau tentu tak dapat lagi
meremas payudara"
"Setan alas!" maki Jaroantunda. Memandang ke depan dia melihat seorang
pemuda tak dikenal. Berpakaian putih, berambut gondrong, tegak sambil
menyeringai. "Siapa kau"!" Pasti kau yang melemparku tadi!"
"Aku sahabat malaikat yang pagi buta tadi mengamuk di markasmu ini! Dan
memang aku yang barusan melemparmu! Bukankah tidak pantas menganiaya
perempuan lemah..."!"
"Biar kubeset mulut besar kurang ajarmu!" teriak Jaroantunda marah sekali.
Dengan tangan kirinya dihunusnya sebilah pedang pendek dari balik punggungnya.
Karan dia memang seorang kidal maka begitu pedang dikiblatkan, bertaburlah
serangan ganas berupa babatan dari kiri ke kanan disusul dengan tusukan ke arah
perut! Orang yang diserang mundur sambil terus cengar cengir, membuat
Jaroantunda semakin marah sementara perempuan-perempuan yang sebelumnya
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ketakutan dengan munculnya anak angkat Pendekar Bungkuk itun kini menjadi lega.
Namun dapatkah pemuda gondrong tak dikenal yang sikapnya seperti bermain-main
ini mampu menghadapi Jaroantunda yang dikenal memiliki ilmu pedang tingkat
tinggi yang ganas"
"Lihat pedang!" tiba-tiba si gondrong berseru. Begitu seruan berakhir
tangannya menyusup di bawah sambaran pedang, dilain kejap pasti dia berhasil
merampas atau memukul pedang di tangan lawannya. Tapi Jaroantunda memang
memiliki kepandaian mengagumkan. Hanya dengan memutar pergelangan tangan
kirinya, pedang dalam genggamannya membalik deras dari kanan ke kiri. Si
gondrong terkesiap kaget, keluarkan seruan tertahan dan melompat mundur.
Breet....! Walaupun sudah melompat tetap saja ujung pedang sempat menyambar robek
dada pakaian putihnya. Dan bukan itu saja, ada bagian kulit dadanya yang ikut
tersayat! Si gondrong kertakkan rahang, hampir tak percaya kalau lawan yang
dalam keadaan cidera itu sanggup melukainya!
"Edan!" maki si gondrong lalu cepat usap dadanya yang baret dengan tangan
kiri. Jaroantunda tertawa bergelak. "Sebentar lagi ususmu akan membusai!"
katanya sambil putar-putar pedang pendeknya. Lalu dia membuat gerakan aneh.
Seperti hendak memballik pergi namun tahu-tahu kembali berbalik.Sambil meloncat
pedangnya membabat dari atas ke bawah. Jika serangan ini berhasil pastilah tubuh
pemuda gondrong itu akan terbelah dua.
Hanya saja sekali ini si gondrong tidak lagi bisa diperlakukan seenaknya.
Sambil bersuit nyaring pemuda ini berkelebat ke kiri, lalu ke kanan, ke kiri
lagi dan kembali ke kanan. Jaroantunda penuh nafsu memburu dengan pedangnya. Tapi setiap
sambaran, tebasan ataupun tusukan yang dilakukannya hanya mengenai tempat


Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosong. Sementara itu setiap satu gerakan menyerang dibuatnya setiap itu pula
dirasakannya ada orang yang menjambret robek pakaiannya. Mula-mula bajunya, lalu
celananya. Pada akhirnya anak angkat Pendekar Bungkuk ini hanya mengenkan
celana kolor saja. Itupun sudah robek-robek pula hingga auratnya yang terlarang
tersingkap. Meski menyadari keadaan dirinya yang hampir telanjang namun
Jaroantunda tidak menghentikan serangannya. Amarahnya semakin menjadi-jadi,
apalagi didengarnya orang-orang perempuan yang ada di situ mulai berteraik-
teriak mengejek dan mencaci makinya.
"Telanjangi terus!"
"Potong anunya!"
"Pateni saja cepat-cepat!"
Semakin mendidih amarah Jaroantunda, semakin ganas serangan pedangnya.
Namun itu tak berlangsung lama. Napasnya mulai menyengal. Tangan kirinya mulai
terasa kaku dan pegangannya pada gagang pedang menjadi licin oleh keringat
sementara tangan kanannya yang cidera parah bertambah-tambah sakitnya. Ketika
satu tendangan melanda pinggulnya, pemuda ini langsung roboh. Saat itulah orang-
orang perempuan yang pernah disiksa dan diperkosanya datang menyerbu. Mereka
memukuli tubuh anak angkat Pendekar Bungkuk itu dengan tangan kosong, dengan
batu, dengan kayu atau benda apa saja yang bisa mereka dapat. Pemuda gondrong
yang tadi menjadi lawan Jaroantunda hanya bisa menyaksikan sambil garuk-garuk
kepala. Akhirnya dia berseru "Sudah! Sudah! Manusia itu sudah mampus....!
Teriakan itu membuat perempuan-perempuan yang seperti kesetanan karena
dendam tersadar lalu campakkan benda yang mereka pakai untuk memukul.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saudara berambut gondrong, siapa kau ini dan bagaimana bisa muncul di
tempat ini....?" Salah seorang dari perempuan-perempuan yang ada di situ bertanya.
Yang ditanya menatapi wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh yang rata-rata
tidak tertutup sewajarnya itu. Kalau saja bukan di tempat itu, pemandangan asyik
seperti itu tentu tak akan ditemui seumur hidupnya.
"Siapa aku tidak penting. Kalau kalian kecewa, sebut saja aku kawan lelaki
berambut putih yang kalian anggap malaikat itu......"
"Tapi kau bukan malaikat!"
Si gondrong tertawa geli. "Tentu saja aku bukan malaikat! Mana ada malaikat
gondrong dan jelek sepertiku ini!" Habis berkata begitu pemuda ini yang bukan
lain adalah Wiro Sableng adanya lantas membalikkan diri. Di belakang terdengar
perempuan-perempuan itu tertawa mendengar ucapannya tadi.
Wiro berlari ke jurusan timur. Sebetulnya dia sampai di tempat itu sesaat
setelah Pandu mendapat jawaban dari anak buah Pendekar Bungkuk, memberitahu
dimana pemimpinnya berada. Karena iro cukup kenal dengan daerah yang dikatakan
maka dia dapat mengambil jalan memintas yang kelak membuatnya samapi lebih dulu
dari Pandu. BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Telaga itu terletak di kawasan lembah yang sangat sunyi. Saking sunyinya, riak
air telaga yang tertiup angin sedikit saja dapat terdengar jelas. Pohon-pohon tinggi
dengan dedaunan beraneka warna membuat air telaga seperti berwana-warni.
Di tengah telaga tampak sebuah pondok bambu terapung-apung dalam
kesunyian. Pintu dan jendelanya tertutup. Tak ada jembatan atau perahu
penyebrang di sekitar situ. Lalu bagaimana penghuni telaga pergi dan datang ke pondok
bambu" Di sebelah telaga, pada cabang sebatang pohon, mendekam sesosok tubuh.
Kerimbunan daun pohon membuat sulit bagi siapa saja untuk dapat melihat orang
itu dari jurusan manapun juga. Sosok tubuh ini seperti tengah duduk berjuntai. Tapi
sebenarnya potongan tubuhnya yang seperti huruf L terbalik itulah yang membuat
dia kelihatan seolah-olah duduk berjuntai. Orang di atas pohon ini bukan lain adalah
Pendekar Bungkuk, yang sejak beberapa belas tahun silam bukan saja mendalami
ilmu silat dan kesaktiannya, tetapi juga telah membentuk sebuah gerombolan
ganas, merampok, membunuh dan menculik dengan markas di bukit Tapal Kuda.
Saat itu Pendekar Bungkuk tengaah memata-matai rumah kayu di tengah
telaga yang diketahuinya adalah tempat kediaman nenek sakti berjuluk Pisau Maut
Tanpa Bayangan, musuh besar dengan siapa dia mendekam dendam besar sejak
delapan belas tahun silam.
Wajah tua Pendekar Bungkuk tampak sangat seram karena adanya sebelah
pisau hitam bergagang putih menancap di mata kirinya. Pisau inilah yang
ditancapkan Pisau Maut Tanpa Bayangan delapan belas tahun silam sewaktu terjadi perkelahian
ketika mereka memperebutkan Pandu yang waktu itu masih seorang bayi berusia
beberapa bulan. Pisau di mata kiri Pendekar Bungkuk kini diselimuti karat mulai
dari bagiannya yang tajam samapi ke gagang.
"Sialan! Dua hari lebih aku mengunggu di sini, bangsat tua itu masih belum
muncul! Kalau sampai siang nanti dia tidak kembali, akan kubakar saja rrumahnya
itu!" Begitu Pendekar Bungkuk mengomel dan mengancam.
Tibaa-tiba dari arah bawah pohon dia mendengar suara menggeresek.
Pendekar Bungkuk cepat meneliti dengan matanya yang tinggal satu. Di bawah
pohon, di antara semak belukar dan tanaman-tanaman pendek dilihatnya seseorang
berpakaian serba hitam, melangkah mengendap-endap menuju telaga. Pendekar
Bungkuk segera mengenali orang itu, bukan lain adalah salah seorang anak
buahnya. Rahangnya menggembung tanda marah. Sekali dia menggenjotkan kaki, tubuhnya
melayang ke bawah.
"Bangsat! Apa yang kau lakukan di sini"!" bentak Pendekar Bungkuk
membuat yang dibentak kaget setengah mati. Tapi begitu mengetahui siapa yang
membentak orang ini segera jatuhkan diri dan berkata "Pemimpin..... Celaka....."
"Keparat! Apa yang celaka!" Pendekar Bungkuk jambak rambut anak buahnya.
"Markas kita..... Markas kita diserbu malaikat berambut putih...."
"Haram jadah! Apa yang kau ucapkan ini!" Plak! Plak! Dua tamparan
dilayangkan Pendekar Bungkuk ke muka anak buahnya. "Bicara yang jelas. Katakan
mengapa kau datang menyusulku kemari! Apa yang terjadi di markas kita"!"
Sambil pegangi mukanya yang masih sangat sakit akibat tamparan, si anak
buah menceritakan apa yang terjadi di markas di bukit Tapal Kuda tiga hari lalu.
"Belasan kawan-kawan menemui kematian! Yang lainnya melarikan diri entah
kemana. Yang datang itu jelas bukan manusia. Saya mendengar sendiri orang-orang
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perempuan yang dibebaskan menyebutnya sebagai malaikat. Tubuh dan rambutnya
mengeluarkan hawa sedingin salju!"
"Manusia tolol!" kata Pendekar Bungkuk hampir berteriak saking marahnya.
"Mana ada malaikat turun ke bumi masa ini! Kau lekas kembali ke markas. Aku
segera datang setelah urusanku di sini selesai! Pergi!"
Tanpa berani menolak anak buah Pendekar Bungkuk mengiyakan perintah
pemimpinnya lalu tinggalkan tempat itu. Tapi dia tidak pernah kembali ke Bukti
Tapal Kuda. Pendekar Bungkuk kembali naik ke atas pohon. Ketika matahari mulai
menggelincir ke arah barat, habislah kesabaran orang ini. Dikumpulkannya daun-
daun kering lalu membuntalnya membentuk sebuah bola sebesar buah kelapa.
Dinyalakannya api dan dibakarnya bola daun itu. Begitu api membakar bola daun,
bola itu dilemparkannya ke arah telaga, tepat jatuh di atas atap pondok bambu.
Dalam waktu singkat atap itu segera dikobari api. Akhirnya bangunan bambu di tangah
telaga itu lenyap, berubah menjadi reruntuhan hitam yang perlahan-lahan
tenggelam ke dalam telaga.
"Mampuslah!" ujar Pendekar Bungkuk sambil usap-usap tangannya satu sama
lain tada puas.
Tiba-tiba dari balik kerapatan pepohonan di sebelah selatan telaga muncul
seorang berpakaian seba biru sambil memegang lengan seorang perempuan separuh
baya. Si baju biru ternyata adalah seorang gadis berwajah jelita sedang yang
dipegangnya adalah ibunya sendiri. Begitu mereka sampai di tepi telaga, keduanya
sama terkejut ketika menyaksikan pondok di tengah telaga kini telah berubah
menjadi reruntuhan hitam yang masih mengepulkan asap.
"Ranti anakku, apa yang terjadi!" sang ibu berseru.
"Ada yang membakar pondok guru...." Jawab sang dara. "Ibu tunggu di sini,
biar saya menyelidik!"
Dara berbaju biru itu mendekati sebatang pohon kecil. Tangan kanannya
bergerak. Kraak!. Batang pohon sebesar paha itu patah. Patahan pohon
dilemparkannya ke tepi telaga lalu dia melompat ke atas batang patah dengan
hanya kaki kanannya saja yang menginjak batang sementara kaki kirinya dicelupkan ke
dalam air lalu digoyangkan seperti orang mendayung perahu! Batang kayu meluncur
cepat ke tengah telaga!
Di atas pohon Pendekar Bungkuk sempat leletkan lidah. Bukan saja karena
kagum melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh si baju biru itu, melainkan juga
karena kecantikan wajahnya. Nafsu bejatnya langsung membakar darah. Sambil
menduga-duga siapa adanya gadis itu, Pendekar Bungkuk turun dari atas pohon,
tepat di saat mana sang dara juga kembali ke tepi telaga menemui ibunya.
"Tak ada tanda-tanda guru berada di sana. Agaknya beliau memang belum
kembali. Siapa yang sejahat itu membakar tempat kediaman beliau"!"
"Apa yang kita akan lakukan sekarang?" bertanya si ibu. "Kita tidak memiliki
rumah tinggal lagi...."
"Itulah yang tengah saya pikirkan, bu," jawab si gadis.
"Kita harus waspada. Ingat pesan gurumu Ranti. Musuh besar yang pernah
diceritakannya itu bisa muncul setiap saat di tempat ini....."
Baru saja ibu si gadis berkata begitu, semak belukar di samping kanan mereka
tersibak, menyusul terdengar suara tawa mengekeh. Lalu muncullah tubuh bungkuk
seperti kursi terbalik. Bukan saja kemunculan yang mendadak itu yang membuat ibu
serta anak terkejut, tapi potongan tubuh Pendekar Bungkuk di tambah pisau yang
menancap di mata kirinya membuat Ranti bersama ibunya tersurut dan tercekat
ngeri. BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pendekar Bungkuk....." desis Ranti. Meski belum pernah bertemu tapi dari
ciri-ciri manusia itu si gadis segera dapat menerka siapa adanya orang tua di
hadapan mereka. "Hah! Kau tahu diriku!" si bungkuk berkata datar dan diam-diam
sembunyikan keterkejutannya. "Pasti ada seseorang yang telah menceritakan diriku
padamu! Katakan siapa orangnya!"
"Jangan beritahu!" berbisik ibu Ranti.
Tapi sang dara merasa tidak ada yang peru disembunyikan. Maka dia lalu
menjawab "Guruku yang memberi tahu ciri-cirimu. Dan beliau adalah nenek sakti
berjuluk Pisau Maut Tanpa Bayangan!"
Mendengar jawaban itu Pendekar Bungkuk mendengus.
"Aku memang mencari perempuan sundal itu. Ternyata tidak datang di tempat
yang salah! Lekas katakan dimana gurumu!"
"Babi tua! Mulutmu kotor amat!" memaki Ranti. Dia jadi marah karena si
bungkuk menyebut nama gurunya dengan kotor. "Apa perlumu mencari guruku"!"
"Delapan belas tahun yang lalu dia melakukan kesalahan besar! Menghinaku
dengan menancapkan pisau celaka ini ke mataku! Hari ini aku datang untuk menagih
hutang piutang lama itu!"
Ranti tertawa mengejek. "Kalau delapan belas tahun lalu saja kau sudah
dipecundangi dan diberi hadiah pisau di mata kirimu, betul-betul tolol saat ini
kau berani unjukkan tampang dan mencari furu! Atau mungkin kau sudah memiliki bekal
tambahan ilmu" Jangan-jangan kau bakal dapat tambahan satu pisau lagi di mata
kananmu!" Pendekar Bungkuk langsung merah mengelam mukanya mendengar ucapan
sang dara. "Mulutmu sama besar dan legekmu sama sombongnya dengan nenek
keparat itu!"
"Tua bangka bungkuk jelek! Jika kau terus-terusan bicara kotor, kurobek
mulut perotmu!"
Pendekar Bungkuk menyeringai. Semakin marah si gadis dia merasakan
semakin berkobar nafsu kejinya untuk dapat memperkosa.
"Aku memang bungkuk dan jelek," katanya. "Tapi aku pandai bercumbu rayu.
Sekali kau meladeniku, seumur hidup kau akan membuntutiku seperti kerbau dicucuk
hidung! Ha...ha...ha..." Habis berkata begitu Pendekar Bungkuk tanggalkan bajunya.
Kelihatan tubhnya yang kurus kerempeng. Tulang dada, tulang bahu dan tulang-
tulang iganya bertonjolan. Ketika orang uta ini siap menanggalkan pakaiannya,
ibu si gadis memeberi ingat "Anakku, lebih baik kita tinggalkan tampat ini. Iblis itu
bermaksud keji terhadapmu!"
Tapi Ranti justru menolak pergi. Sebelum Pendekar Bungkuk meloloskan
celananya gadis itu telah menyerbu dengan melemparkan tiga pisau terbang. Kalau
gurunya menyisipkan pisau-pisaunya di pakaian sebelah luar maka Ranti menyimpan
senjatanya di balik pakaian.
Tiga pisau melesat deras. Satu menjurus ke leher, satu ke dada dan lainnya ke
perut. Semula Pendekar Bungkuk menganggap sepele serangan itu. Tapi melihat daya
lesat pisau yang luar biasa disertai suara derunya yang angker, mau tak mau dia
harus selamatkan diri dan batalkan menanggalkan celana.
Sejak dikalahkan Pisau Maut Tanpa Bayangan dulu, selama delapan belas
tahun Pendekar Bungkuk telah mengkhususkan diri mempelajari seluk beluk dan
kelemahan pisau terbang. Karenanya saat itu tidak heran kalau tiga serangan
pisau yang ganas dapat dimusnahkannya. Dengan memiringkan tubuhnya ke kiri, pisau
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
yang mengarah leher lewat di sampingnya. Dua pisau lainnya dihantam dengan
pukulan tangan kosong hingga mental dan jatuh ke dalam telaga!
"Anak gadis....Kalau ilmu baru sejengkal jangan berani kurang ajar pada
Pendekar Bungkuk! Lebih baik kita main kurang ajaran di atas ranjang!
Ha...ha...ha....!"
"Manusia dajal! Jangan ganggu anakku! Pergi dari sini!"
Mata kanan Pendekar Bungkuk melirik sesaat. Dia menyeringai. "Perempuan,
melihat pada usiamu, tubuhmu pasti sudah mulai a lot. Tapi melihat wajahmu yang
lumayan aku besedia membagi kesenangan padamu setelah berpuas-puas dengan
anakmu!" "Iblis laknat!" teriak Ranti. Kedua tangannya bergerak. Enam pisau menderu.
Erangannya itu disusul pula dengan pukulan tangan kosong mengandung hawa tenaga
dalam dahsyat. "Bagus!" Pendekar Bungkuk memuji. Tubuhnya melsat ke atas.
Ranti menjadi penasaran ketika melihat sengah lusin pisaunya hanya
menembus udara kosong. Maka dia lipat gandakan pukulan tangan kosong. Namun
gadis ini terpekik ketika dari atas lawan balas dengan dua pukulan tangan kosong
pula. Tubuh si gadis bergetar. Ada hawa panas yang menyelubunginya. Dia coba bertahan.
Tapi kedua kakinya goyah. Akhirnya gadis ini rubuh terguling. Dalam keadaan


Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terguling itu Pendekar Bungkuk yang melayang turun langsung menindih dan
merangkul tubuh si gadis. Keduanya bergulingan lagi lalu jatuh ke dalam telaga.
Pada saat bergulingan dengan cepat Pendekar Bungkuk pergunakan kesempatan untuk
menotok tubuh Ranti. Meskipun totokannya kurang tepat tapi sudah cukup membuat
tangan dan kaki gadis iotu menjadi kaku!
Dalam keadaan tak berdaya seperti itu, Ranti diseret ke tepi telaga. Di sini
Pendekar Bungkuk yang sudah dilamun nafsu bejat, terlebih melihat pakaian biru
si gadis yang basah membuat liku-liku tubuhnya jadi menonjol, merobek baju Ranti
lalu siap menarik celana sang dara. Saat itulah ibunya berlari mendatangi dan
berusaha menendang punggung Pendekar Bungkuk. Tapi dengan tanpa berpaling Pendekar
Bungkuk tangkap kaki yang menendang lalu mendorong keras-keras. Perempuan itu
terpental dan terguling-guling, merintih kesakitan tak kuasa bangkit.
"Ha...ha.....! Gadis cantik! Tubuhmu sebelah atas sungguh bagus! Akan
kulihat bagian yng lain!" ujar Pendekar Bungkuk sambil tertawa bejat. Kedua
tangannya lalu menarik kaki celana biru si gadis. Celana itu merosot dengan
cepat ke bawah. Namun sebelum merosot lebih jauh satu bayangan putih berkelebat disusul
oleh menyambarnya satu gelombang angin deras sekali, membuat Pendekar Bungkuk
terbanting ke kanan sedang Ranti terguling jauh ke kiri. Hantaman angin ini
bukan saja menyelamatkan Ranti dari malu besar tapi sekaligus membuyarkan totokan yang
menguasai dirinya. Begitu bebas Ranti segera menghampiri menolong ibunya.
Penuh marah Pendekar Bungkuk ,elompat bangun dan memaki. "Siapa yang
minta mampus berani mengganggu kesenanganku!" Lalu dilihatnya seorang pemuda
berambut gondrong yang tidak dikenalnya, tegak bertolak pinggang sambil
menyeringai seenaknya!
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Tua bangka bau comberan! Apa tidak tahu kalau sebentar lagi Malaikat Maut
Berambut Salju akan datang menjemput byawa busukmu"!" Pemuda berambut
gondrong membentak.
"Anjing kurap! Kau yang akan kubunuh lebih dulu! Katakan siapa kau"!"
teriak Pendekar Bungkuk marah sekali.
"Kalau kau ingin bicara denganku, berpakaianlah yang benar! Auratmu
sebelah bawah jauh lebih buruk dari tampangmu!"
Sadar kalau saat itu celananya sudah merosot ke bawah, Pendekar Bungkuk
cepat tarik celananya dan ikatkan tali celana kuat-kuat.
"Nah, itu baru bagus...."
"Memang bagus! Sekarang bersiaplah untuk menerima mampus!"
Pendekar Bungkuk jatuhkan diri, berguling di tanah lalu lancarkan serangan
aneh. Inilah jurus "gelinding maut" yang selama bertahun-tahun diperdalamnya.
Pemuda yang diserang yakni bukan lain adalah Wiro Sableng, cepat melompat
untuk menghindar. Tapi hebatnya tubuh orang tua yang bungkuk itu tiba-tiba ikut
melesat ke atas mengikuti arah lompatan Wiro dan begitu melayang tangan dan
kakinya bergerak aneh. Wiro merasakan ada empat alur angin melabrak tubuhnya
dari empat jurusan. Mendadak sontak bandannya terasa ngilu dan panas. Pendekar ini
segera mempertahankan diri dengan lepaskan pukulan "tameng sakti menerpa hujan".
Kini Pendekar Bungkuk yang jadi kaget. Empat alur angin sakti serangannya
seperti menerjang tempbok baja yang tak mungkin ditembus. Ketika dia lipat
gandakan tenaga dalamnya dadanya mendenyut sakit. Sebelum angin serangannya
bergerak membalik ke arah dirinya sendiri, dengan cepat orang tua ini susupkan
diri ke bawah lalu menghantam lagi ke atas!
Wiro berseru keras dan terpaksa jungkir balik di udara untuk dapat
mengelakkan serangan yang datang dari bawah itu. Kedua kakinya masih terasa
ngilu ketika menjejak telaga!
"Anakku, siapa pemuda berpakaian putih berambut gondrong itu......?" Ibu
Ranti berbisik pada anaknya.
"Sayapun tidak kenal. Lagaknya aneh kalau tidak mau dikatakan konyol......"
"Ibu khawatir dia pun tidak sanggup menghadapi iblis tua itu. Kita bisa celaka
semua......."
"Jangan kawatir ibu," jawab Ranti coba meyakinkan ibunya walau hatinya
juga agak kawatir.
Di sebelah sana, di kalangan perkelahian, jengkel dua kali serangannya
menemui kegagalan, Pendekar Bungkuk keluarkan suara menggembor. Kedua
tangannya diangkat ke dekat kepala. Dana tangan itu tampak menjadi ungu serta
mengepulkan asap. Ranti dan ibunya tercekat. Pendekar 212 tegak dan memandang
tak berkesip. Diam-diam dia segera menyiapkan pukulan "sinar matahari" di tangan
kanan hingga tangan itu sampai sebatas siku jadi tampak si putih perak
berkilauan. Lagi-lagi hal ini membuat Pendekar Bungkuk tertegun. Tapi hanya sesaat. Dia
yakni yakin, ilmu apapun yang dimiliki pemuda itu tak bakal sanggup menahan pukulan
sakti yang digodoknya selama delapan belas tahun dan diberi nama "jalur ungu
kematian!"
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perlahan-lahan kedua tangan Pendekar Bungkuk naik ke atas. Wiro mengikuti
dengan menggerakkan tangan kanannya. Ketika si orang tua siap mengahanam tiba-
tiba satu bayangan melesat. Satu sosok tubuh perempuan tua dengan pakaian penuh
disisipi pisau-pisau kecil bergagang putih tegak di hadapan kiri Pendekar
Bungkuk. Rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas dan wajahnya ada cacat luka
memanjang. "Pisau Maut Tanpa Bayangan!" berseru Pendekar Bungkuk tanpa menurunkan
kedua tangannya. Matanya yang hanya satu seperti menyala. Wajahnya membesi
tegang. "Akhirya kau muncul juga! Ingat penghinaanmu delapan belas tahun lalu"!
Hari ini kau harus membayarnya dengan nyawa busukmu!"
Nenek Pisau Maut Tanpa Bayangan tertawa pendek. Pandangannya tidak
lepas dari kedua tangan Pendekar Bungkuk. "Anjing tua ini rupanya telah memiliki
kepandaian baru yang berbahaya!" membatin si nenek. Lalu dia berkata "Pendekar
Bungkuk! Pelajaranku tempo hari rupanya tidak cukup membuatmu bertobat! Malah
membentuk komplotan rampok ganas. Merampas harta penduduk, emmbunuh dan
merampok! Dan saat ini kau berani muncul dengan omongan besar! Tidak sadar kalau
tubuh sudah bau tanah....!"
"Akupun tadi sudah bilang padanya bahwa sebentar lagi Malaikat Maut
Berambut Salju akan muncul mengambil nyawa busuknya. Nah....nah, sekarang
mungkin dia baru percaya!" yang menyeletuk adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sekilas Pisau Maut Tanpa Bayangan melirik pada pemuda yang tak
dikenalnya itu. Pendekar Bungkuk pergunakan kelengahan si nenek untuk
menghantam. Kedua tangannya dipukulkan.
"Guru! Awas!" terdengar Ranti berseru memperingatkan.
Dua jalur sinar ungu yang sangat menusuk mata menderu dahsyat. Di sebelah
bawah kedua sinar ini mengepul asap berbau busuk. Jelas pukulan sakti itu
mengandung racun sangat jahat!
"Semua tutup jalan pernafasan!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dari
tempatnya berdiri berkiblat sinar putih. Udara di tempat itu serentak menjadi
panas luar biasa. Lalu terdengarlah suara ledakan dahsyat dua kali berturut-turut! Dua
jalur sinar ungu dan satu jalur sinar perak pukulan "sinar matahari" amblas buyar
dengan meninggalkan dua lobang besar di tepi telaga!
Semua orang terbatuk-batuk. Si nenek tampak pucat wajahnya. Pendekar
Bungkuk usap-usap dadanya yang mendenyut sakit sedang Ranti dan ibunya saling
berpelukan. Asap dan pasir membumbung ke udara. Ketika asap dan bubungan pasir
lenyap, tampaklah sesosok tubuh berpakaian serba putih, mengenakan ikat kepala
sapu tangan hitam pemberian Wiro. Di bawah ikat kepala, lebih panjang dari
rambut si nenek Pisau Maut Tanpa Bayangan. Saat itu pula semua orang di situ merasakan
ada hawa dingin sejuk. Asap ungu yang mengandung racun langsung sirna!
Kecuali Wiro, yang lain-lain tidak mengenali siapa adanya pemuda ini. Sambil
memandang tak berkesip ke arah Pendekar Bungkuk pemuda ini berkata "Delapan
belas tahun lalu, kau membunuh seorang lelaki bernama Jinggsuwu di sebuah rimba
belantara! Ingat...."!"
"Setan! Tentu saja aku ingat!" jawab Pendekar Bungkuk masih sambil
mengusapi dadanya yang terasa sakit. "Apa sangkut pautmu dengan peristiwa itu"!"
"Aku adalah anak orang yang kau bunuh itu....!"
Berkata sampai disitu terdengar jeritan ibu Ranti "Pandu.......anakku!"
Si pemuda berambut pituh merasakan tubuhnya bergetar. Matanya hanya
melirik cepat ke arah perempuan yang berteriak. Hatinya ingin langsung
menghambur menjatuhkan diri dalam pelukan ibu kandungnya. Tapi hal itu tidak dapat
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dilakukannya sebelum dia menyelesaikan urusan dengan Pendekar Bungkuk. Kalau
Wiro hanya bisa tegak tertegun melihat hal yang tidak disangka-sangka itu maka
Pisau Maut Tanpa Bayangan hanya bisa berkomat-kamit memuji kebesaran Tuhan.
Delapan belas tahun lalu dia ingin mendapatkan anak itu. Kini dia muncul sebagai
seorang pemuda dan aaknya membekal ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak mana
mungkin dia berani datang untuk membuat perhitungan dengan si bungkuk. Walau
urusannya sendiri dengan Pendekar Bungkuk belum selesai namun si nenek merasa
lebih rela kalau pemuda yang ayahnya dibunh itu menyelesaikan urusannya lebih
dulu dengan iblis bungkuk itu.
Walau hatinya sangat terkejut namun Pendekar Bungkuk menjawab dingin
"Hem.....jadi kau orok yang diperebutkan dulu itu! Lantas apa maumu sekarang"!"
"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa! Itu aturan hidup dunia
persilatan!"
"Ah! Rupanya kau sekarang sudah jadi kerak dunia persilatan!"
"Pendekar Bungkuk!" seru Wiro. "Dialah Malaikat Maut Berambut Salju yang
akan mengambil nyawamu. Aku sudah bilang tadi-tadi!"
Pendekar Bungkuk tidak perdulikan ucapan Wiro. "Jika kau benar Malaikat
Maut, aku terpaksa mengirimmu kembali ke akhirat!" ujar Penekar Bungkuk pula.
"Pandu, Dia sudah siap untuk mampus! Tunggu apalagi!" seru Wiro.
Pendekar Bungkuk mengangguk-angguk dengan sikap penuh mengejek.
"Sebelum kau ku bunuh agar dapat menyusul ayahmu, katakan siapa orang yang telah
mengambilmu jadi murid!"
"Namanya Datuk Perpatih Alam Sati dari puncak Merapi di pulau Andalas!"
jawab Pandu. "Ah! Nama yang tidak dikenal! Gelar yang tak pernah didengar! Majulah
kalau kau memang ingin mampus cepat!" kata Pendekar Bungkuk pula.
"Justru aku memberi kesempatan padamu! Perlihatkan bagaimana dulu cara
kau membunuh ayahku!" jawab Pandu tanpa bergerak dari tempatnya tegak.
"Kalau itu maumu kau akan melihat dan menerima kematian yang sama!"
teriak Pendekar Bungkuk marah. Tangan kanannya dikepalkan. Tangan kanan itu
serta merta berubah menjadi ungu dan berasap. Didahului satu gemboran keras
Pendekar Bungkuk menerjang ke depan. Pandu gerakkan kepalanya. Udara luar biasa
dingin membungkus tempat itu. Gerakan Pendekar Bungkuk menyerang seperti
tertahan. Rambut putih yang tergerai di belakang punggung tiba-tiba berpilin dan
membabat ke depan, menghantam ke arah Pendekar Bungkuk.
"Mampus!" teriak Pendekar Bungkuk teruskan serangannya.
Terdengar suara ces....ces....ces....ces....sess....cessss lima kali berturut-turut.
Terdengar pekik Pendekar Bungkuk. Lima jalur sinar pukulan saktinya musnah. Lima
jari tangannya serta merta menjadi kaku terbungkus hawa dingin luar biasa!
Bagaimanapun dia mengerahkan hawa panas dalam aliran darahnya tetap saja dia
tidak mempu menggerakkan lagi jari-jari tanan kanannya. Rasa dingin itu
perlahan- lahan merambas ke atas, membuat lengannya kini ikut kaku. Lalu bahunya. Ketika
hawa dingin itu menjalar ke leher, Pendekar Bungkuk jadi kelabakan. Dia berusaha
melakukan totokan di bagian tubuh yang penting. Hawa dingin berkurang sedikit
tapi masih terasa menjalar seperti berusaha menerobos totokan!
"Pemuda keparat! Jangan kira kau sudah menang!" Dari balik pakaiannya
orang tua ini keluarkan sebuah senjata aneh berupa tombak pendek yang ujungnya
bercabang tiga. Matanya berkilat-kilat. Senjat di tangannya itu merupakan
senjata baru yang menghabiskan waktu lima belas tahun utnuk membuatnya. Beberapa tokoh
persilatan telah menemui ajalnya oleh senjata itu. Kini dia mearas yakin pemuda
di BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hadapannya itupun tak akan sanggup menghadapi senjata saktinya. Kembali Pendekar
Bungkuk menggembor. Lalu melesat sambil kiblatkan senjatanya. Terdengar suara
bergaung. Tubuh Pandu serta merta dihujani serangan. Tiga jurus berlalu pemuda
itu tampak terdesak hebat. Semua orang menahan nafas ketika salah satu mata senjata
sempat merobek pakaiannya di bagian perut. Pendekar Bungkuk menyerbu terus
sementara hawa dingin dirasakannya semakin menjadi-jadi membuat tulang-
tulangnya terasa ngilu sampai ke sumsum. Memasuki jurus ke enam Pandu mulai
mainkan rambut putihnya. Maka berubahlah rambut ini seolah-olah menjadi sebilah
pedang yang dapat membabat, menusuk dan membacok. Arus serangan Pendekar
Bungkuk terbendung mengendur dan kini dia yang balik terdesak.
"Celaka! Ilmu apa yang dimiliki keparat ini!" keluh Pendekar Bungkuk.
Gerakannya bertahan semakin kacau. Lututnya yang diserang hawa dingin terasa
bertambah kaku hingga gerakannya utnuk mengelak menjadi lamban. Dan pada
puncaknya ketika rambut putih [panjang itu membabat ke arah tangannya yang
memegang senjata, orang tua ini terlambat selamtkan diri.
Craasss! Lengan itu laksana ditebas benda tajam. Putus dan menyemburkan darah.
Senjata yang dipegangnya bersama kutungan tangan mental jatuh ke dalam telaga.
Pendekar Bungkuk melolong setinggi langit. Tubuhnya bertambah bungkuk.
Saat itulah Pandu melompat dari depan. Tangan kanannya menderu ke arah batok
kepala Pendekar Bungkuk
Praak! Tepat seperti yang terjadi delapan belas tahun lalu ketika Pendekar Bungkuk
memukul pecah kepala Jinggosuwu. Tubuhnya terkapar. Nyawanya lepas!
"Pandu anakku!"
Sang ibu yang sejak tadi tidak dapat menahan diri Ranti mengikuti dari
belakang. Pandu jatuhkan diri ke tanah, berlutut sambil memeluki ibunya. Sang
ibu menangis keras. Lalu ingat pada anak gadisnya. "Pandu, ini kakakmu Ranti.
Ranti......pemuda ini adalah adikmu....."
Langsung saja ibu dan kedua kakak beradik itu saling berangkulan dan
bertangisan disaksikan oleh si nenek Pisau Maut Tanpa Bayangan dan Pendekar 212
Wiro Sableng. Penuh haru Pisau Maut Tanpa Bayangan hampiri ketiga orang itu.
Sambil pegangi kepala Ranti, nenek ini berkata "Jadi ini orok yang dulu
diperebutkan orang itu! Tuhan Maha Besar. Aku gembira sekali bisa berkumpul kembali. Aku
pernah menceritakan bahwa Pendekar Bungkuk adalah musuh besarku. Tapi tak
pernah menceritakan bahwa adalah dia juga yang menjadi pembunh ayah kalian....."
Ibu Ranti usap wajahnya lalu berkata "Pandu, anakku berikan sungkemmu
pada nenek sakti ini. Dialah yang selama delapan belas tahun memelihara kami dan
mengambil kakakmu menjadi muridnya...."
Mendengar itu Pandu segera membalikkan diri dan menjura hormat sambil


Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pegangi betis Pisau Maut Tanpa Bayangan. Si nenek tampak berkaca-kaca kedua
matanya. Ketika Pisau Maut Tanpa Bayangan melangkah menghampiri tiga anak itu,
Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke tepi telaga dan duduk di sini sambil
memandangi air telaga. Bukan saja dia sangat terharu menyaksikan keadaan
sahabatnya Pandu dan kakak seta ibunya itu, namun apa yang dilihatnya itu
membuat jiwanya terpukul karena ingat akan nasib dirinya sendiri. Bagaimanapun sedihnya
kisah perjalanan mereka namun mereka masih bisa berkumpul. Jauh berbeda dengan
nasib dirinya. Ayahnya dibunh orang. Ibunya kemudian menemui kematian. Seumur
hidup dia tidak pernah bertemu dan mengenali orang tuanya.
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro tidak tahu entah berapa lama dia termenung di tepi telaga itu sampai satu
tangan yang halus memegangi bahunya.
"Sahabatku, mengapa kau memisahkan diri dan termenung di tempat ini...."
Wiro berpaling. Yang memegang bahu dan bicara padanya adalah gadis itu.
Ranti kakak Pandu. Si gadis lalu memegang lengannya, menariknya agar berdiri.
Wiro usap-usapkan mukanya lalu berusaha tersenyum. Sambil bergandengan tangan
dua sahabat baru itu melangkah ke arah Pisau Maut Tanpa Bayangan, Pandu serta
ibunya yang tegak menunggu.
TAMAT BASTIAN TITO 42 Tiga Naga Sakti 22 Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot Seruling Perak Sepasang Walet 6
^