Serikat Setan Merah 2
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah Bagian 2
"Sebelum pergi, harap kau suka memberitahu siapa dirimu adanya, orang
tua!" berkata Wiro.
Meski sangat marah dan dendam besar, kakek berpakaian compang camping
menjawab juga. "Aku tua bangka buruk ini adalah Pengemis Budiman.....!"
Wiro Sableng terkejut "Jadi kau! Ah......."
Murid Sinto Gendeng tidak sempat meneruskan kata-katanya karena si orang
tua dan lima muridnya sudah meninggalkan tempat itu.
"Kau kenal orang tua itu?" bertanya dara baju merah.
"Tidak," wahut Wiro sambil menggeleng. "Tapi saudara tuanya aku kenal
baik. Dia seorang bergelar Si Segala Tahu. Kalau pengemis tua itu sempat
mengadukan tindak-tandukku, pati bisa terjadi kesalah pahaman....." Wiro berpaling
pada dara jelita ini. "Tadi kau menyuruh mereka pergi ke bukit Batu Merah,
apakah kau juga berniat pergi ke sana.....?"
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Yang ditanya mengangguk. "Aku merasa ada baiknya melakukan
penyelidikan. Bagaimana caranya itu urusan nani....."
"Aku juga berminat melakukan hal itu," kata Wiro pula. "Namun untuk
sementara kurasa kau perlu mengganti pakaian merahmu agar tidak menimbulkan
urusan baru!"
"Itu soal mudah! Aku memang membekal sehelai pakaian warna kuning....."
"Sekarang kemanakah tujuanmu?" tanya Wiro.
"Solotigo," jawab sang dara. "Apa kau bermaksud hendak mengikutiku
lagi...." Wiro tersenyum lebar. "Aku berjanji tidak akan menguntit kemana kau pergi.
Asal kau mau memberitau namamu"
"Panggil aku Kemala....." jawa sang dara.
"Kemala......" mengulang Wiro. "Namamu bagus..... Sebagus orangnya."
Saat itu sang dara berbaju merah sudah melompat ke atas kuda putihnya. Wiro
tak mau tertinggal, cepat-cepat dia melompat ke punggung uda coklatnya dan
mengejar Kemala.
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Saat itu matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda utihnya menuju
bukit kecil di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat
sebuah sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletak desa Kalimukus yang
terkenal sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari mata pencaharian bercocok tanam,
memelihara tambak ikan serta beternak. Kira-kira setangah hari perjalanan dari
desa itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi tujuan Kemala.
"Tak mungkin aku sampai di Solotigo sebelum malam tiba....." berkata
Kemala dalam hati. "Agaknya lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi
baru berangkat ke Solotigo....."
Di lereng bukit Kemala menoleh ke belakang. Kuda coklat bersama
penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa
belas tombak. Dia berusaha mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri dari pemuda
iut. Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai puncak bukit, di
bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan.
Desa Kalimukus tampak hanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumah-
rumah penduduk musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari
atas bukit tampak orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan
ketakutan kian kemari. "Itu bukan kebakaran biasa! Desa itu seperti sengaja dibakar!" Satu suara
terdengar di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212
Wiro Sableng bersama kuda coklatnya sudah berada di sampingnya. Kemala tak
menjawab. Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghidarkan
silaunya sinar matahari. "Astaga! Aku melihat ada beberapa sosok tubuh tergantung! Satu
di pohon. Dua lainnya di pintu rumah yang sedang terbakar!" Wiro gebrak pinggul
kudanya. Kuda coklat itu menghambur ke depan lalu berlari kencang menuruni bukit
menuju desa yang dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampai di
desa yang terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan dari kejauhan di atas
bukit, kini terpampang lebih jelas dan mengerikan.
Beberapa sosok mayat bergelimpangan di tepi jalan, di halaman rumah, di tepi
kali. Tubuh mereka penuh bekas bacokan senjata tajam. Lalu di beberapa tempat
terdengar suara erangan orang-orang yang tergelimpang dalam keadaan luka-luka.
Suara lenguh sapi yang ketakutan dan embik kambing bercampur baur dengan
gaduhnya suara ayam serta itik yang berhamburan kian kemari, jadi satu dengan
jerit pekik penduduk yang berlarian dalam kekalutan. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang perempuan dan laki-laki tua serta anak-anak.
Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa orang penduduk lari menjauh
ketakutan. Seorang di antaranya berteriak. "Mereka datang lagi! Mereka datang
lagi! Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan anak-anak......!"
Wiro kerenyitkan kening. "Kemala..... Orang-orang itu ketakutan
melihatmu!" ujar Wiro.
"Ada yang tidak beres!" manyahuti Kemala. Dia melompat turun dari atas
kuda. Menghadang seorang lalki tua yag lari ka belik rumah sambil mendukung
seorang anak perempuan lalu mencekal tangannya.
"Demi Tuhan! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku......! Jangan bunuh
cucuku!" lelaki tua itu menjerit berulang kali sambil berusaha melepaskan
pegangan Kemala. BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tidak ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Lekas
katakan apa yang terjadi........!" berseru Kemala.
Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan meronta-ronta. "Manusia
macam apa kau ini!" Orang tua itu berkata dengan suara gemetar dan tubuh
menggeletar. "Setelah kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik
masih bisa bertanya apa yang terjadi"! Mengapa kau kembali" Apa masih belum puas
membakari rumah-rumah kami"! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas"!"
"Orang tua, kami baru saja sampai di desa ini. siapa yang melakukan
perampokan dan pembunuhan serta penculikan itu"!" Wiro ikut bicara.
"Ya, lekas katakan siapa yang melakuan pembakaran di tempat ini"!"
menyambung Kemala.
Orang tua itu tidak menyahut. Dia mengereahkan seluruh tenaganya lalu
menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas. "Manusia iblis! Dosamu tidak
berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan komplotanmu!" habis berkata
begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan Kemala. Si gadis hendak
mengejar. Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar mengikutinya. Di pintu depan dua
buah rumah yang terbakar mereka melihat dua sosok tubuh digantung. Salah satu di
antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu tak berapa jauh dari tempat itu sosok
tubuh ketiga tampak digantung pada cabang sebuah pohon, kaku ke atas kepala ke bawah.
Wajah orang yang tergantung ini tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari
luka besar di batang lehernya.
Tiab-tiba Wiro mendengar suara berdesing. Dia cepat membungkuk
menyambar potongan kayu dan melemparkannya ke belakang. Terdengar suara
berdentrangan. Ketika berpaling ke belakang Kemala sempat melihat bagaimana
potongan kayu itu menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah
punggungnya! "Kurang ajar! Siapa yang berani membokong"!" teriak Kemala matrah. Dia
melihat satu sosok berpakaian hitam berkelebat menghilang di balik reruntuhan
rumah besar yang masih diamuk kobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang
diikuti Wiro cepat mengejar. Orang berpakaian hitam itu ternyata adalah seorang
pemuda yang lengan kirinya luka parah hampir putus sedang kepalanya di bagian
kening tampak koyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan
menggidikkan. "Kau masih bisa bertahan hidup! Tapi jika tidak segera memberi tahu
mengapa kau hendak membunuhku, kupatahkan batang lehermu saat ini juga!"
mengancam Kemala.
"Kau apakan diriku aku tidak takut! Kau dan orang-orangmu membunuh
ayahku! Istriku kalian culik! Bunuh! Ayo bunuh!" Pemuda itu tiba-tiba berteriak
seperti gila. Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah
yang mengucur dari luka di tangan dan keningnya.
"Siapa yang kau maksudkan dengan kalian"!" membentak Kemala.
Pemuda yang terduduk di tanah menyeringai. Dia mengeluarkan tangan
hendak mencakar muka Kemala tapi tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak
mampu menggerakkan tangan kanannya. "Perempuan iblis.... Kau masih bisa pura-
pura bertanya. Memang belasan mayat yang kalian bunuh tidak bisa memberi
kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian gantung tidak bisa
bicara! Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau lakukan bersama komplotanmu
Serikat Setan Merah!"
"Ah!" Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saudara, kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat
Setan Merah. Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!" berkata Wiro.
Lalu dia menotok beberapa bagian tubuh si pemuda hingga darah berhenti mengucur.
Wiro juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda
malang ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa sejuk yang membuat dia
sanggup bertahan.
"Saudara, mengapa orang-orang Serikat Setan Merah melakukan keganasan
ini......?" bertanya Kemala.
"Tanyakn sendiri pada pimpinanmu!"sahut Gentolo. "Aku tidak percaya kau
bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak membunuhku saja saat ini!
Jika kau biarkan aku hidup, aku bersumpah menuntut balas! Menabas batang
lehermu, mencincang mayatmu!"
"Jangan jadi orang tolol!" bentak Wiro. "Jika kawanku ini anggota komplotan
biadab itu, sudah sejak tadi kepalamu menggelinding di tanah! Ayo jelaskan
mengapa orang-orang Serikat Setan Merah berbuat seganas ini"!"
"Ya! Juga siapa mereka sebenarnya"!" menyambung Kemala.
Gentolo mula-mula tak mau membuka mulut. Namun akhirnya dia bicara juga.
"Siapa mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu..... Yang kami tahu
mereka mula-mula muncul dan bertindak selaku pelindung di desa ini. untuk itu
penduduk harus membayar apa yang mereka sebut uang perlindungan. Dan bukan
uang saja, mereka juga meminta harta atau ternak atau hasil ladang seenaknya.
Lambat laun jumlah yang mereka minta semakin banyak hingga penduduk tidak
mampu untuk memberikan. Lalu mereka mulai bertindak keras. Memaksa dan
menghajar siapa saja yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta! Ketika
banyak penduduk yang mencoba melawan, mereka membunuhi orang-orang desa
seperti membunuh lalat saja! Kekeian mereka bukan cuma sampai di situ! Anggota
Serikat Setan Merah juga menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan
kejahatan bukan cuma di desa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa.......!"
"Sejak pertama mereka muncul mengapa kalian tidak melaporkan ke
Kadipaten......?" tanya Kemala pula.
Gentolo menyeringai pahit. "Setiap yang melapor mengalami nasib
mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati terkapar seperti anjing di
tengah jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan benda tajam!"
"Kemala, kau ingat pada rombongan-rombongan orang-orang berpakaian
merah yang kita temui di bukit beberapa waktu lalu......?" tanya Wiro.
Kemala mengangguk. "Mereka pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di
antaranya bernama Sangaji dan Galut! Kau kenal dua nama itu......"'
Gentolo menggeleng. "Mereka bisa punya seribu nama, seribu muka......"
"Ada keanehan yang tidak ku mengerti," kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
"Orang-orang Serikat Setan Merah berani melakukan kejahatan secara terang-
terangan. Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak
mengetahui macam begini bahkan seharusnya sudah sampai ke Kotaraja!"
"Memang sebelumnya pernah ada dua kali serombongan pasukan dari
Kotaraja melakukan pengejaran dan penyergapan. Tapi orang-orang Serikat Setan
Merah cepat sekali menghilang sebelum pasukan sampai......." Menjelaskan Gentolo.
Kemala berpaling pada Wiro dan berkata. "Kita harus mengurus mayat-mayat
yang malang itu, menolong penduduk yang cidera......"
"Hanya kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?" ujar Wiro.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Gentolo! Kau harus menolong memanggil penduduk yang kabur! Mereka
harus kembali kemari untuk membantu kami......!" berkata Kemala. Lalu tangan
lelaki muda bernama Gentolo itu ditariknya disuruhnya berdiri.
"Wiro......." Kata Kemala menyebut nama sang pendekar untuk pertama
kalinya. "Salah seorang lelaki berpakaian merah yang kita temui di bukit
mengatakan tentang pertemuan hari kelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan
untuk datang ke sana! Aku bersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu!
Aku bersumpah menghancurkan Serikat Setan Merah sampai ke akar-akarnya!"
Kemala mengepalkan tangan kanannya dan meninju-ninjukan ke telapak tangan
kirinya. "Kalau begitu, akupun ikut bersumpah sepertimu!" ujar Wiro seraya
mengangkat tangan kanannya ke atas. Lalu dia melanjutkan ucapannya. "Tapi
sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknya kau tukar dulu baju merahmu itu!
semua orang ketakutan melihatmu karena menyangka kau anggota Serikat Setan
Merah! Kecuali aku.... Ha....ha.....ha......ha.....! Adalah tolol kalau takut melihat
gadis secantik dirimu ha...ha....ha.....!"
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Adipati Suro Kenanga duduk mendengarkan apa yang disampaikan pembantunya
bernama Martobiru itu lalu menganggukkan kepala dan berkata. "Aku membenarkan
apa yang kau lakukan itu Marto. Jika tidak begitu eadaan bisa berbahaya bagi
kita. Harap kau memberitahu pada kawan-kawan agar mereka memasang telinga
mementang mata, menyirap kabar atau gerakan apa saja yang sewaktu-waktu bisa
terjadi......"
"Akan saya lakukan Adipati. Selanjutnya perlu juga saya beritahukan....."
"Cukup sampai di sini dulu Marto. Ada orang datang......" memotong Suro
Kenanga. Martobiru berdiri dari kursi lalu meninggalkan serambi depan Kadipaten
Solotigo yang berlantai batu mar-mar mengkilap itu. Sesaat sang Adipati masih
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetap duduk di kursinya, memperhatikan dua penunggang kuda menambatkan tunggangan
masing-masing lalu berbicara dengan seorang pengawal. Pengawal ini kemudian
mengantarkan kedua tamu tersebut menuju gedung Kadipaten.
Suro Kenanga tidak mengenali kedua tamunya. Yang berjalan di sebelah
depan adalah seorang gadis cantik jelita berpakaian kuning, rambutnya yang hitam
berkilat dikuncir di belakang kepala. Langkahnya ringan dan gerak geriknya
menjelaskan pada sang Adipati bahwa gadis ini adalah seorang dari rimba
persilatan. Di belakang sang dara melangkah seorang pemuda gondrong, tampangnya seperti
orang tolol dan celangak celinguk sambil sesekali menyengir.
"Gedung Kadipaten ini luar biasa bagusnya! Tak pernah au melihat gedung
sebagus ini sebelumnya!" terdengar pemuda gondrong itu berkata sambil berhenti
sejenak dan memandangi bagian depan gedung mulai dari atap sampai ke tangannya
yang berkilat. Dara berpakaian kuning melangkah menaiki tangga, lalu berhenti di ujung
serambi dan membungkuk pada Suro Kenanga yang duduk di kursi.
"Apakah saya berhadapan dengan Adipati Solotigo, Raden Suro Kenanga?"
Suro Kenanga bangkit dari duduknya, menatap wajah gadis yang menegurnya
itu sesaat lalu menjawab "Benar, aku Suro Kenanga, Adipati Solotigo. Siapa
dirimu, apa maksud kedatanganmu ke mari?"
Sang dara tersenyum, membuat Adipati jadi terheran.
"Rupanya paman lupa pada saya.....?" ujar si gadis pula.
"Eh, siapa kau ini sebenarnya gadis manis. Aku seperti......" Suro Kenanga
memijit-mijit keningnya. "Kau......kau......" dia menunjuk-nunjuk tapi tak berhasil
mengingat atau mengenali siapa adanya gadis di hadapannya itu.
Maka si gadis langsung berkata. "Saya Kemala, anak tunggal Suro Abang,
kakak kandung Adipati sendiri!"
Adipati itu seperti terlonjak dari lantai. "Astaga! Ya Tuhan! Kau rupanya!
Keponakan sendiri aku sampai tidak mengenali!"
Kedua orang itu sama melangkah mendekati lalu saling rangkul. Adipati Suro
kenanga mengelus dan menepuk-nepuk bahu sang dara berulang kali.
Di dekat tangga, pemuda berambut gondrong menggaruk kepalanya beberapa
kali. Dalam hati dia menggerendeng. "Keponakan sih keponakan. Tapi jangan main
peluk lama-lama begitu......"
"Kemala, terakhir sekali aku melihatmu sembilan, mungkin sepuluh tahun yan
lalu. Ketika ayahmu mampir dalam perjalanan mengantarkanmu ke Kaliurang. Kau
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
masih begitu kecil waktu itu. dan sekarang sudah beubah menjadi seorang gadis
cantik jelita! Jangan salahkan kalau tadi aku tidak bisa mengenalimu! Parasmu
mirip ibumu. Eh, apakah kedua orang tuamu ada baik-baik, Kemala......?"
"Saya belum sempat kembali pulang, paman. Baru saja turun gunung dilepas
Ki Ageng Kuncoro Bekti........"
"Ah, rupanya jadi juga kau berguru pada orang tua sakti itu! Ilmumu tentu
sudah setinggi langit saat ini!" Suro Kenanga tampak gembira sekali mendengar
penjelasan keponakannya itu.
"Tak ada ilmu paling tinggi di dunia ini paman, kecuali ilmunya Gusti Allah,"
menyahuti Kemala.
"Bagus! Aku suka mendengar ucapanmu itu, bukan saja kau memperlihatkan
kerendahan hati dan ketinggian budi. Tapi kau juga memperlihatkan tasa takwa dan
iman pada Tuhan Yang Maha Kuasa! Sekarang kau akan kuajak masuk ke dalam
menemui bibimu....... Eh, siapa pemuda yang datang bersamamu itu.....?"
"Dia sahabat saya paman. Namanya Wiro," menerangkan Kemala.
Mendengar orang memperkenalkan dirinya, Wiro Sableng maju ke hadapan
Adipati Solotigo itu dan menjura dalam-dalam. Sang Adipati membalas
penghormatan itu dengan anggukkan kepala.
"Mari Kemala, kita temui bibimu....." kata Adipati kemudian setelah memberi
isyarat pada Wiro agar duduk di kursi serambi depan itu.
Sambil melangkah Kemala berkata "Dalam perjalanan kemari kami menemui
malapetaka besar menimpa sebuah desa di selatan Solotigo......."
Adipati Suro Kenanga meraba dagunya dan hentikan langkah. "Malapetaka
apa maksudmu" Bencana alam...."'
"Bukan paman, Desa itu, Desa Kalimukus diserbu perampok. Rumah
penduduk dibakari, mereka bukan saja dijarah harta bendanya tapi juga di bunuh.
Kepala desa bersama dua pembantunya digantung secara keji! Para penjahat itu
juga menculik anak gadis dan istri orang......!"
"Desa Kalimukus berada dalam wilayah Kadipaten Solotigo!" ujar Suro
Kenanga pula. "Bagaimana mungkin tidak ada satu orang aparatkupun yang datang
memberikan laporan"! Kurang ajar! Ada yang tidak beres! Perampok-perampok
memang banyak merajalela akhir-akhir ini di seluruh silayah selatan. Malah
mereka berani muncul di sekitar Kotaraja....."
"Tapi mereka bukan perampok-perampok biasa paman........"
"Maksudmu Kemala.....?" tanya Suro Kenanga.
"Mereka adalah penjahat-penjahat yang selalu muncul dengan pakaian
seragam merah. Mereka tergabung dalam komplotan yang dinamakan Serikat Setan
Merah dan mereka berani muncul secara terang-terangan. Saya dan sahabat saya
bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang diantara mereka. Kalau saat itu saya
tahu bahwa mereka adalah manusia-manusia baiadab sebuas apa yang mereka
lakukan terhadap penduduk Kalimukus, saya tak akan memberi kesempatan hidup
pada mereka!"
Adipati Suro Kenanga menghela nafas panjang. "Nama Serikat Setan Merah
memang sudah sejak beberapa bulan ini aku dengar. Pasukan Kadipaten, bahkan
serombongan dari Kotaraja pernah mengejar dan mengepung mereka. Tapi mereka
berhasil meloloskan diri......!"
"Itu satu pertanda bahwa mereka mempunyai jaringan yang rapi, mempunyai
mata-mata di mana-mana..... Orang-orang seperti kita harus dapat menangkap
pemimpinnya dan membawanya ke tiang gantungan atau mencincangnya di hadapan
rakyat banyak!"
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Adipati Suro Kenanga tersenyum. Sambil memegang bahu keponakannya dia
berkata. "Aku bangga punya keponakan yang bicara dan punya jiwa besar sepertimu,
Kemala. Darah ksatria sudah benar-benar mengalir dalam tubuhmu........ Tapi
ketahuilah, kedatanganmu kemari adalah untuk bergembira karena sekian tahun kita
tak pernah bertemu. Selanjutnya kau harus cepat-cepat menuju Kejaten, menemui
kedua orang tuamu. Sejak ayahmu mampir sembilan tahun lalu di sini, dia belum
pernah datang lagi. Kau harus cepat-cepat menemui mereka. Ayah ibumu pasti sudah
sangat rindu padamu......."
"Memang benar kata paman. Saya harus cepat-cepat kembali ke Kejaten. Tapi
ada satu hal yang akan saya lakukan sebelum pulang....."
"Hem.....apa pula itu Kemala" Apa yang hendak kau lakukan"!" bertanya
Suro Kenanga. "Ada kabar rahasia bahwa pada hari kelima bulan lima Serikat Setan Merah
akan mengadakan pertemuan besar di Bukit Batu Merah. Saya dan sahabat saya tu
akan muncul di sana. Saya yakin banyak para pendekar golongan putih yang juga
akan muncul di sana......"
"Jika kau muncul di sana, apa yang akan kau lakukan Kemala?"
"Saya akan mengobrak abrik pertemuan itu. Menangkap pimpinan mereka.
Menyerahkannya pada Kerajaan, kalau tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup
maka akan saya cincang di situ juga!"
"Anak hebat!" memuji Suro Kenanga. "Tapi kau harus berpikir panjang dan
hati-hati keponakanku. Jika Serikat Setan Merah adalah satu komplotan besar
berarti mereka mempunyai orang-orang cabang atas yang memiliki kepandaian tinggi. Dan
jumlah mereka pasti tidak sedikit. Jika keteranganmu itu betul, biar urusan
Serikat Setan Merah itu serahkan saja padaku." Suro Kenanga lalu melirik ke arah Wiro
lalu bertanya "Kemala, apakah temanmu yang seperti orang tolol dan sebentar-sebentar
menggaruk kepala itu adalah juga orang persilatan......?"
Kemala mengangguk. "Tampang dan geriknya memang begitu paman. Tapi
dia bukan pemuda sembarangan. Paman pernah mendengar seorang bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212" Dialah orangnya!"
Paras Adipati Solotigo itu tampak berubah. Lalu dia tersenyum. "Kemala!
Lupakan dulu segala macam urusan dengan Serikat Setan Merah itu. mari temui
bibimu......."
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Karena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang
bagus di sebuah bangunan berbentuk joglo kecil di halam belakang gedung
Kadipaten. Dasar orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur di dalam kamar
tersebut. Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak dipadamkannya
namun teteap saja dia tak bisa tidur. Akhirnya diam-diam sang pendekar keluar
dari kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui jendela.
Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk di
sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung. Seluruh
gedung diselimuti kesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti patung batu.
Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masuk kembali ke dalam kamar, saat
itulah dia melihat ada dua bayangan manusia muncul dari balik tembok belakang lalu
melompat masuk ke dalam halaman belakang gedung. Meskipun tempat sekitar situ
gelap namun Wiro dapat melihat kedua orang yang menyelinap masuk itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.
"Anggota-anggota Serikat Setan Merah!" desis Wiro tak pelak lagi. "Berani
benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok"! Heran.....
mana pengawal gedung" Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebah ini
harus dibekuk hidup-hidup biar diketahui siapa dedengkot mereka! Tapi sebelum
dibekuk biar kuhajar dulu sampai babak belur!"
Wiro segera bergerak bangkit. Menyusup ke tempat yang lebih gelap,
memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari arah kiri. Tapi gerakan Pendekar
212 segera terhenti ketika dilihatnya dua orang berpakaian merah itu melangkah
cepat justru ke arah kamar tidurnya. Di tangan masing-masing kini tampak terhunus
sebilah golok panjang. "Heh..... apa tujuan mereka sebenarnya?" tanya Wiro dalam hati dan terus
memperhatikan. Dua penyusup itu tidak menuju ke pintu kamar melainkan menyelinap ke
samping ke arah jendela kamar. Jendela yang memang tidak terkunci itu dengan
mudah mereka buka. Keduanya lalu melompat masuk ke dalam kamar. Wiro bergerak
cepat ke arah pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d
depan dada. Di dalam kamar terdengar suara "Keparat! Kamar ini kosong!"
"Kemana perginya manusia itu"!" suara lain menyahuti.
Sesaat kemudian pintu kamar terbuka, menyusul ucapan orang yang membuka
pintu itu dari dalam. "Tak mungkin dia pergi begitu saja. Pasti ada di sekitar
sini....."
"Aku ada di depanmu kisanak!" Wiro Sableng yang tegak di depan pintu
membuka mulut membuat orang ayang tadi bicara tersentak kaget sebelu sempat
bersurut mundur satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong
kesakitan, tubuhnya seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya
telah lebih dulu berdentrangan jatuh di lantai. Dia tak kuasa berdiri lagi. Matanya
sebelah kanan bengkak lebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapi bisa
cepat menguasai keadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan ke
arah kepala murid Sinto Gendeng.
Wuuuuuuttttt!! Sambaran golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar si baju
merah yang satu ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rundukkan kepala. Begitu senjata lewat berdesir di atas kepalanya, Wiro susupkan
satu sodokan ke arah perut penyerang. Namun golok panjang itu tiba-tiba membalik
ke bawah, memapas dengan ganas.
"Edan!" maki Wiro. Dia membuang diri ke samping seraya dorongkan tangan
kiri, melepaskan pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam. Orang yang
memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku,
dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan
Wiro. Sesaat kemudian tanagn kanannya yang tadi tampak kaku tiba-tiba mampu
bergerak kembali. Kini ujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.
"Ah, yang satu ini tidak sembarangan!" membatin Wiro seraya menggeser
kuda-kuda kedua kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk
menghantam sambungan siku lawan.
Ternyata si pemegang golok tidak bodoh. Dia seperti sudah membaca gerakan
Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro berhasil dikelit
sebaliknya golok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau tadi menusuk ke
arah dada maka kini bagian ujung dan tajam dari senjata itu melesat menyambar bahu
kanan. Breeett! Buuukk!! Dua suara itu disusul dengan suara berkerontangannya golok jatuh ke lantai.
Bahu kanan pakaian putih Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur
dengan paras berubah. Terlambat saja dia mengatur gerakan tidak dapat tidak
bahunya pasti akan putus, paling tidak luka parah. Di depannya orang berbaju
merah tampak tersandar ke tiang bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya
sakit bukan main. Mukanya tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang
keluar tapi darah yang membersit dari mulutnya.
"Manusia jahanam......!" merutuk orang itu. tiba-tiba kaki kanan bergerak
menendang goloknya yang tercampak di lantai. Ini bukan satu tendangan biasa
karena begitu ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih
dulu ke arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan.
Wiro berseru kaget dan marah, membuat lompatan untuk selamatkan diri.
Golok menderu lewat, menancap di tiang bangunan. Ketika Pendekar 212 hendak
mengebrak ke depan, orang beraju merah itu ternyata sudah melarikan diri
melompati tembok. Wiro lepaskan pukulan tanagn kosong "kunyuk melempar buah". Satu
gelombang angin menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur
berantakan. Tapi orang yang diarah berhasil meloloskan diri dan lenyap dalam
kegelapan. "Apa yang terjadi di sini"!" satu bentakan keras menggeledak terdengar. Wiro
berpaling. Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga
orang pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah
yang menggeletak di lantai dengan mata kanan mengucurkan darah.
"Dua anggota Serikat Setan Merah berusaha menyusup ke sini....."
menjelaskan Wiro. Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya
ke luar kamar yang lebih terang agar sang Adipati dapat melihat lebih jelas.
"Kurang ajar! Benar-benar berani mampus!" rutuk Suro Kenanga marah.
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Manusia seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!" lalu tiba-tiba sekali sang
Adipati merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.
"Tunggu! Jangan dibunuh dulu!" seru Wiro mencegah.
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tapi tombak itu sudah dihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dada lelaki yang
terkapar di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya
besar- besar lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.
"Sayang......sayang....." kata Wiro berulang kali seraya garuk-garuk
kepalanya. "Kalau saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pasti bisa dikorek
keterangan di mana markas mereka dan siapa pemimpin mereka. Sialnya lagi, yang satu tadi
sempat melarikan diri!" Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepalanya.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Bukit Batu Merah terletak di kaki timur gunung Merbabu, merupakan satu bukit
tandus yang hanya ditumbuhi semak belukar liar, diselang seling oleh bebatuan
berwarna merah. Pernah serombongan petani dari desa terdekat mencoba membuka
semak belukar itu untuk bercocok tanam. Tapi apa yang ditanam di sana tak pernah
bisa tumbuh, mati. Karena itulah tak pernah lagi ada orang yang mau pergi
mendaki bukit itu. Hari itu hari kelima di bulan lima. Kalau tadi dikatakan tidak pernah ada orang
ang naik ke atas bukit maka hari itu adalah aneh, sejak pagi-pagi sekali tampak
belasan orang datang dari pelbagai penjuru mendaki naik menuju puncak bukit. Ada
yang brelari atau berjalan cepat. Tapi ada pula yang melangkah santai seperti
tengah berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di bawah kaki bukit dan kaki gunung.
Yang menarik perhatian ialah bahwa semua orang yang menuju puncak bukit itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Hari lima bulan lima. Itulah hari yang ditentukan oleh Serikat Setan Merah
sebagai hari pertemuan seluruh anggota dan pimpinan mereka.
Di puncak Bukit Batu Merah sebelah timur tampak dibangun sebuah
panggung kecil. Di atas panggung terdapat tiga buah kursi besar dan lima kursi
keil yang dibuat dari potongan-potongan batang kelapa. Di depan panggung , diantara
semak belukar liar terdapat bangku-bangku panjang dalam jumlah banyak, juga
terbuat dari batang-batang kelapa. Di ujung deretan kursi-kursi itu berdiri tiga
orang berpakaian merah darah, menyandang golok di pinggang. Ketiganya bertindak
sebagai penerima tamu.
Setiap tamu yang datang dipersilahkan ambil tempat duduk. Yang paling dulu
datang diberikan tempat di deretan bangku sebelah depan, tetapi banyak tamu yang
memilih duduk di bagian tengah atau sebelah belakang.
Dari arah selatan lereng Bukit Batu Merah dua orang berpakaian merah berlari
cepat menuju puncak bukit. Yang pertama seorang nenek berambut putih, bersarung
tangan dan berkasut kain keras. Di ikat pinggang pakaiannya tersisip sebatang
tongkat bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang sepuluh jengkal. Mendampinginya adalah
seorang kakek yang juga berambut putih. Seperti si nenek dia juga membekal
sebatang tongkat bambu kuning dengan besar dan panjang yang sama. Kedua tangan
dan kakinya juga mengenakan sarung serta kasut kain keras. Dari cara berlarinya
si kakek jelas bahwa salah satu kakinya pincang. Meskipun demikian larinya bukan
main cepatnya hingga berulang kali si nenek tertinggal di belakang.
"Wiro!" tiba-tiba si nenek berseru. Yang diserunya tentu saja kakek pincang di
depannya. Yang bukan lain memang adalah murid Sinto Gendeng, Pendekar Kapak
maut Naga Geni 212 Wiro Sableng! "Aku benar-benar jengkel dengan semua
penyamaran ini! Kepalaku terasa gatal oleh jelaga berwarna putih ini. Mukaku
terasa kaku oleh kanji dicampur bedak tebal! Benar-benar konyol!"
Wiro memperlambat larinya lalu menyahuti "Lebih bagus konyol begini dari
pada mati konyol! Kau tahu apa yang kita lakukan ini adalah memasuki sarang
harimau! Sekali mereka mengenali kita, bisa berabe urusannya!"
"Ah, ternyata kau sepengecut itu!" ujar si nenek.
"Kemala, jangan sok jadi orang jago kalau hanya mencari penyakit!" tukas
Wiro Sabelng pula. "Penyamaran ini adalah satu-satunya jalan agar kita bisa
menyusup masuk ke tempat pertemuan! Wajahmu dan tampangku sudah cukup
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dikenal oleh beberapa orang anggota Serikat Setan Merah ang kita temui di bukit
tempo hari! Kau mungkin akan disambut dengan segala penghormatan! Tapi aku,
belum dipersilahkan duduk mungkin sudah mereka jegal lebih dulu! Lagi pula ada
alasanku mengapa kita harus menyamar begini rupa...."
Si nenek ternyata adalah Kemala, keponakan Adipati Suro Kenanga dari
Solotigo, murid Ki Ageng Kuncoro Bekti dari Ungaran!
"Katakan apa alasanmu itu." sang dara berkata.
"Tak dapat kukatakan sekarang!"
"Hemm..... Mengapa begitu?" tanya Kemala penasaran.
"Aku takut terlalu lancang menduga-duga yang tidak karuan. Tapi sejak
kejadian ada orang yang hendak membunuhku malam itu, aku punya firasat, jangan-
jangan......." Wiro tak meneruskan ucapannya.
Kemala tambah penasaran. "Jangan-jangan apa"!"
"Sudahlah, kita sudah sampai. Ingat, dalam segala hal aku yang akan mewakili
bicara. Kau harus mengunci mulut rapat-rapat. Aku kawatir kau kesalahan omong
atau keterlepasan bicara. Kedok kita bisa terbuka. Kau mengerti......"'
"Hamba mengerti Pangeran Sableng!" jawab Kemala pula.
"Kau anak bagus! Aku senang kau mau mengikuti usulku pura-pura pulang ke
Kejaten dan bilang pada pamanmu bahwa kau tidak punya niat menghadiri pertemuan
Serikat Setan Merah......"
Keduanya sampai di puncak buki tempat pertemuan. Tiga orang penerima
tamu segera menyabut mereka. Salah seorang diantaranya segera mereka kenali
yaitu si kumis dan janggut pendek bernama Sangaji. Di wajahnya masih tampak bekas-
bekas hajaran Wiro tempo hari.
"Sepasang nenek dan kakek gagah! Atas nama Pimpinan, kemi mengucapkan
selamat datang di Bukit Batu Merah. Tempat pertemuan yang bakal mencatat sejarah
dalam dunia persilatan....." Sangaji selaku tuan rumah menyampaikan kata-kata
sambutan. Lupa pada perjanjiannya, Kemala lengsung saja ajukan pertanyaan. "Siapakah
pimpinan kalian.....?"
Wiro cepat menginjak kaki gadis itu seraya berkata. "Maksud nenek peot
pacarku ini apakah kami boleh mengambil tempat duduk. Berlari jauh mendaki bukit
benar-benar sangat melelahkan.......!"
"Ah, jadi nenek ini adalah pacarmu kakek gagah. Pasti kalian sudah lama
berpacaran!" Sangaji berkata. Mulutnya tersenyum tapi matanya mengawasi kedua
orang itu dengan tajam.
"Sudah.... Memang sudah lama kami pacaran. Dan ssstttt....." Wiro melirik
ke kiri dan ke kanan, seolah-olah takut ada orang lain mendengar apa yang akan
dikatakannya. "Kalian mau tahu. Kami pacaran sejak masih muda hingga tua bangka
begini rupa. Kami ...... kami bukan pacaran. Tapi juga kumpul kebo!
Ha...ha...ha...." Wiro tertawa gelak-gelak.
"Hik...hik....hik!" Kemala ikut-ikutan tertawa.
Sangaji dan kawan-kawannya juga turut tertawa gelak-gelak. "Kalian kakek
dan nenek hebat!" Sangaji memuji. Lalu meneruskan "Sesuai peraturan sebelum
kalian mengambil tempat duduk, harap memberi tahu siapa nama atau gelar kalian!"
"Ah, sungguh kami tua bangka tidak tahu peradatan. Sudah diundang orang
tapi lupa memperkenalkan diri!" menyahuti Wiro. Lalu dia memberi isyarat pada
Kemala. Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam lalu Wiro berkata. "Kami
dua tua bangka yang sudah bau tanah ini biasa dipanggil dengan gelaran Sepasang
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tua Bangka Bertongkat Bambu Kuning. Lihat, senjata kami memang adalah sebatang
tongkat bambu!"
Sambil berkata begitu Wiro cabut tongkat bambunya dari pinggang. Entah
kapan dia menggerakkan tangan tahu-tahu tongkat itu sudah menyusup di ketiak
salah seorang anggota Serikat Setan Merah yang ada di samping Sangaji. Orang ini
sempat tersentak kaget. Wiro tarik kembali tongkat bambunya lalu mendekatkan ujung
bambu yang tadi terselip di ketiak orang itu ke arah hidungnya.
"Hueekkk.....! Ketiakmu bau amat!" kata Pendekar itu setelah lebih dulu
keluarkan suara seperti orang muntah. Si nenek tertawa cekikikan lalu tarik
tangan si kakek dan mencari tempat duduk di antara para tamu.
"Sepasang tua bangka gila!" maki anggota Serikat Setan Merah yang tadi
ketiaknya sempat disusupi tongkat bambu.
"Mereka bukan manusia-manusia gila!" menyahuti Sangaji. "Ketika keduanya
tertawa gelak-gelak, lewat mulut mereka yang terbuka aku dapat melihat barisan
gigi- gigi mereka. Tapi dan utuh, tak ada satupun yang ompong! Tua bangka seumur
mereka mana mungkin punya gigi seperti itu"! Beri tahu Kepala Keamanan, awasi
kedua orang itu dengan ketat! Bilamana pertemuan selesai jangan izinkan keduanya
pergi. Kita harus memeriksa mereka. Kalau perlu menelanjanginya!"
Anggota Serikat Setan Merah yang diperintahkan segera tinggalkan tempat itu.
Semakin tinggi baiknya sang surya semakin banyak para tamu mendatangi
tempat pertemuan di Bukit Batu Merah itu. Wiro dan Kemala duduk pada deretan
bangku kayu keenam di barisan sebelah kanan. Memandang berkeliling sesaat, Wiro
kemudian berbisik pada Kemala. "Aku melihat Pengemis Budiman di deretan kursi
paling belakang baris sebelah kiri. Dia membawa beberapa orang muridnya. Kakek
ini benar-benar berani mati, datang ke sarang macan tanpa menyamar!"
"Dia lebih menunjukkan jiwa kesatria dari pada kita!" tukas Kemala.
Wiro hendak menyahuti. Tapi terpaksa batalkan ucapannya karena tiba-tiba
terdengar suara seperti bunyi gong. Keras, menggema dan menggaung panjang di
seantero puncak bukit. Pada saat itu tampak seorang lelaki separuh baya,
berpakaian dan berikat kepala merah darah melangkah naik ke atas panggung. Di belakangnya
menyusul seorang lelaki yang juga mengenakan pakaian merah. Namun orang ini
menutupi wajahnya dengan sebuah kantong kain berwarna merah yang diberi
berlobang pada bagian mata dan bawah hidung.
Begitu sampai di atas panggung, orang pertama berbalik menghadap ke arah
para tetamu yang duduk di bangku-bangku panjang lalu mengangkat tangan kanannya
dengan telapak terkembang. Pada saat itulah Wiro segera mengenali orang ini. dia
berbisik pada Kemala. "Bangsat yang mengangkat tangan itu aku ingat betul. Dia
salah seorang yang menyusup ke kamar tidurku tapi kemudian sempat melarikan
diri...." Wiro masih hendak bicara panjang tapi orang di atas panggung terdengar
kembali berseru.
"Saudara-saudara para tetamu orang-orang gagah yang kami hormati, selamat
datang di Bukit Batu Merah, selamat dan berbahagia berada di antara kamu orang-
orang Serikat Setan Merah! Sesuai dengan rencana semula, hari ini akan dijadikan
bersejarah bagi dunia persilatan. Hanya sayang seribu kali sayang, pertemuan ini
dicemari oleh menyusupnya tamu-tamu yang datang ke tempat ini dengan hati buruk
dan maksud busuk! Menyadari suasana ini maka acara pertemuan terpaksa ditunda
beberapa saat. Atas nama Pimpinan Serikat Setan Merah, para tetamu yang merasa
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
membawa maksud jahat dan hendak menimbulkan kekacauan dipersilahkan
menunjukkan diri. Pemimpin, harap sudi memberi aba-aba......"
Orang yang kepalanya ditutup kain mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi
lalu berseru. "Aku memberi kesempatan sampai sepuluh hitungan! Jika di antara
para tamu tak ada yang mau menyerahkan diri, terpaksa kami menurunkan tangan keras!
Bahkan hukuman pancung!"
Wiro dan Kemala saling berpandangan sesaat.
"Aku rasa-rasa mengenali suara orang berkedok kain itu....." bisik Kemala.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba di bawah panggung ada orang yang berteriak seraya
bangkit dari duduknya. Ternyata dia adalah Si Pengemis Budiman! "Soal pancung
memancung bisa kita bicarakan kemudian. Aku minta agar kau sudi memperkenalkan
diri dan memperlihatkan wajahmu yang tersembunyi di balik kantong kain itu!"
Lelaki pendamping Pemimpin Seikat Setan Merah menjawab ucapan itu
dengan kata-kata. "Di tempat ini kami yang membuat peraturan! Para tetamu tidak
layak menyampaikan kehendak yang bukan-bukan! Orang tua harap beritahu siapa
kau adanya! Katakan nama atau gelarmu!"
"Orang memanggilku Pengemis Budiman. Beberapa waktu lalu anggota-
anggota Serikat Setan Merah menyerbu perguruanku tanpa alasan tanpa lantaran!
Kalian membunuh beberapa orang murid-muridku dan menculik murid perempuanku
bernama Griyati!"
Langsung suasana di tempat itu menjadi gaduh. Orang di atas panggung
mengangkat tangannya. Lalu dia berkata dengan suara lantang "Orang-orang kami
memang sengaja melakukan itu. Karena kau dan murid-muridmu bukan saja bicara
kotor tentang Serikat kami, tapi juga menolak memberikan uang perlindungan serta
membangkang tak mau bergabung dengan kami!"
"Siapa sudi bergabung dengan iblis-iblis macam kalian! Aku Pengemis
Budiman datang untuk menuntut balas! Hutang darah bayar darah, hutang nyawa
bayar nyawa! Katakan di mana Griyati"!" Bersamaan dengan berakhirnya ucapan
orang tua itu enam orang berpakaian merah segera bangkit di kiri kanan Pengemis
Budiman. Lalu secara bersamaan, dengan gerakan cepat mereka membuka pakaian
merah yang mereka kenakan. Di balik pakaian merah itu kelihatanlah pakaian si
kakek yang compang-camping, lalu pakaian enam muridnya yang berwarna biru
muda. "Bagus! Kalian sudah menunjukkan diri masing-masing! Sekarang atas izin
Pemimpin aku akan menunjukkan jalan kematian bagi kalian bertujuh! Para tetamu
dan para sahabat tolong dijaga agar tujuh pengacau itu tidak seorangpun sempat
melarikan diri!"
Habis berkata begitu orang ini keluarkan suitan keras. Di sekitar panggung
tiba-tiba saja muncul mengepung hampir lima puluh orang anggota Serikat Setan
Merah, rata-rata bertampang liar dan buas!
"Bunuh ketujuh orang itu!" Pemimpin Serikat Setan Merah berteriak dari
balik kain penutup kepalanya. Dia berpaling ke arah Wiro dan Kemala lalu sambil
menunjuk dia kembali berteriak
"Bunuh juga kakek dan nenek itu!"
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH "Celaka! Dia dan orang-orang Serikat Setan Merah sudah tahu penyamaran
kita!" berbisik Kemala.
"Tenang saja!" balas berbisik Wiro lalu dia berdiri. Kemala ikut bangkit.
Terdengar suara berkerontangan ketika lima puluh pengepung tempat
pertemuan sama-sama mencabut senjata masing-masing yaitu sebilah golok panjang!
"Siapkan pukulan sakti yang mengeluarkan cahaya abu-abu itu....." berkata
Wiro. "Mana mungkin kita menghadapi bangsat-bangsat bergolok sebanyak ini!"
"Tak ada yang tidak mungkin di dunia termasuk di puncak bukit ini!" sahut
Wiro. Baru saja dia berkata begitu, di atas panggung lelaki pendamping pimpinan
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serikat Setan Merah berseru. "Saudara-saudara para tetamu yang terhormat! Ini
saat kita menunjukkan bakti pada Perserikatan! Bantu kami menghancurkan kaum
penyusup!"
Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng kembali berbisik "Kau tetap di
sini. Aku harus membuat gebrakan!" Murid Sinto Gendeng ini kerahkan tenaga
dalamnya hingga suaranya menggelegar ketika dia berteriak. "Para orang gagah
rimba persilatan! Jika kalian masih menjunjung kebenaran mari bergabung bersama kami
dan Pengemis Budiman untuk menghancurkan komplotan keji Setan Merah ini!"
Diantara para tamu memang hanya merupakan undangan biasa saja yang
bukan merupakan anggota Serikat Merah. Meski banyak dari mereka sangat
membenci segala apa yang telah dilakukan Serikat bejat itu namun sebagai tamu
mereka merasa sungkan, hingga hanya ada dua orang saja yang berdiri lalu
melompat ke dekat Wiro tegak. Habis berteriak begitu Wiro melompat ke atas bangku kayu
yang kosong, dari sini dia melesat ke atas panggung melewati kepala para tetamu.
Di saat tubuhnya melesat di udara, terdengar suara mendengung laksana ribuan tawon
mengamuk. Cahaya putih menyilaukan berkiblat disertai menyambarnya hawa panas.
Semua orang yang duduk cepat rundukkan kepala bahkan ada yang bertiarap.
Beberapa diantara anggota Serikat Setan Merah yang baru bersiap-siap untuk
menyerbu dan terkena sambaran cahaya panas menyilaukan itu langusng terjengkang
dan roboh dengan bagian tubuh hangus melepuh!
Ketika Wiro mendarat di atas panggung, orang banyak melihat "kakek" itu
tegak berdiri dengan kaki terpentang. Di tangan kanannya ada seuah senjata
berbentuk kapak bermata dua.
"Kapak Maut Naga Geni 212!" terdengar beberapa mulut yang mengenali
berseru. Tapi sekaligus mereka terheran-heran. Bagaimana senjata mustika dunia
persilatan yang ditakuti dan diketahui milik Pendekar 212 Wiro Sabelgn kini
berada di tangan si kakek yang tidak dikenal"!
"Tua bangka pengacau! Siapa kau sebenarnya!" bentak Pimpinan Serikat
Setan Merah sementara pendampingnya bersurut keder dua langkah.
Si kakek mengumbar suara tertawa. Tangan kirinya merengut ke wajahnya
beberapa kali. Kanji kering yang menutupi wajahnya terkelupas. Kini kelihatanlah
mukanya yang asli.
"Kau!" teriak pemimpin Serikat Setan Merah terkejut. Dia langsung berpaling
ke arah si nenek yang tegak diantara para tamu. "Jangan-jangan....."
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Semua dengar!" teriak Wiro. "Aku berusaha mencegah pertumpahan darah
dan ingin menangkap manusia biang racun ini hidup-hidup. Tapi siapa ingin
mencari mati silahkan maju!" Wiro melambaikan tangan kirinya ke arah Pengemis Budiman
dan berseru. "Kakek sahabatku, apakah kau dan murid-muridmu sudah siap"!"
"Kami sudah siap dari tadi! Hanya saja kalau kau inginkan bangsat itu hidup-
hidup, aku lebih suka mencincang tubuhnya sampai lumat!" menjawab Pengemis
Budiman yang meskipun senang melihat pendekar konyol berkepandaian tinggi ini
berada di pihanya tapi diam-diam dia masih mendendam atas perbuatan Wiro tempo
hari yang mempermalukannya di depan murid-muridnya sendiri yaitu menarik
celananya hingga auratnya yang terlarang tersingkap jelas!
"Boronowo! Kau tunggu apa lagi! Lekas bunuh pengacau satu ini! yang lain-
lain cincang pendekar Budiman bersama murid-muridnya! Bunuh siapa saja yang
berani menantang Serikat Setan Merah!"
Yang berteriak adalah pemimpin Serikat Setan Merah yang sampai saat ini
masih menyembunyikan kepala wajahnya di balik kain merah.
Orang di atas panggung yang bernama Boronowo, yang merupakan tangan
kanan sang pemimpin dan sekaligus menjabat sebagai Kepala Keamanan Serikat
Setan Merah sesaat tampak ragu. Tentu saja hatinya merasa kecut karena malam
ketika dia hendak melakukan pembunuhan atas diri Wiro Sabelng, murid Sinto
Gendeng itu telah menghajarnya hingga mutah darah dan terluka parah di dalam.
Sampai saat itu luka dalamnya masih belum sembuh. Dadanya kerap kali sesak dan
setiap bernafas dalam dan panjang terasa mendenyut sakit. Saat itu dia lebih
suka berada di tempat lain. Tapi di atas panggung dan diperintah begitu rupa mana
mungkin bagi Boronowo untuk menghindar. Maka mau tak mau dai lalu loloskan
goloknya karena memang ilmu golok adalah kepandaian yang paling diandalkannya.
Di samping itu untuk membentengi diri tenaga dalamnya langsung di alirkan di
tangan kiri. Boronowo membuka serangan dengan satu bentakan keras sambil
membabatkan senjatanya ke pinggang Pendekar 212 Wiro Sableng!
Di bagian lain, lima puluh anggota Serikat Setan Merah ditambah beberapa
tokoh persilatan yang tersesat masuk bergabung dengan komplotan itu sudah
bergeark pula menyerbu Pendekar Budiman dan enam muridnya yang dibantu oleh beberapa
orang persilatan yang memang sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan
Serikat Setan Merah. Si "nenek" Kemala yang ada di antara orang-orang itu tentu
saja menjadi sasaran serangan pula. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini hantamkan kedua
tangannya ke depan.
Wusssss! Wusssss! Dua gelombang sinat abu-abu yang menghampar hawa dingin menggebu ke
arah para penyerang. Empat orang anggota Serikat Setan Merah berteriak keras.
Tubuh mereka terpental sampai dua tombak lalu roboh terjengkang di tanah tanpa
mampu bergerak lagi. Masing-masing menjadi kaku dan sekujur tubuh terasa dingin
laksana dibungkus es! Rahang mereka menggembung, geraham bergemelatakan.
Akhirnya keempat orang ini menemui ajal dengan muka mengkerut dan mulut
menganga. Betapapun tingginya tingkat kepandaian Kemala, namun dikeroyok oleh lebih
sepuluh orang lawan membuat gadis ini serta merta terdesak hebat. Dengan nekad
dia merampas golok salah seorang anggota Serikat Setan Merah. Lalu dengan golok di
tangan kanan dan tongkat bambu kuning di tangan kiri, gadis ini mengamuk. Dua
orang rebah mandi darah. Namun serangan bukannya berkurang. Empat orang lagi
datang menyerbu hingga kini ada dua belas orang yang mengeroyok sang dara,
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kemudian di tambah lagi oleh seorang tokoh silat bertubuh bungkuk yang merangsak
dengan sebuah senjata berbentuk celurit besar. Kembali murid Ki Ageng Kuncoro
Bekti ini terdesak hebat.
Pendekar Budiman dan enam muridnya serta tiga tokoh silat yang ikut
membantunya saat itu harus menghadapi gempuran lebih dari tiga puluh orang
anggota Serikat Setan Merah. Dua diantara mereka adalah Sangaji dan Galut.
Pendekar budiman mengamuk dengan senjatanya yaitu tongkat akar pohon.
Benda ini berkelebat kian kemari, menggebuk dan menusuk. Dua korban pertama
segara menjadi korban si kakek. Satu pecah kepalanya, satu lagi ambrol perutnya
ditembus ujung tongkat! Namun seperti juga Kemala, keadaan pendekar tua dan
murid-muridnya itu segera terjepit dalam kurungan para pengeroyok.
Si kakek kertakkan rahang. Tongkatnya diputar secara aneh hingga berubah
seperti sebuah titiran. Terdengar pekik di sana sini. Korban jatuh lagi di pihak
anggota Serikat Setan Merah. Tapi salah seorang murid Pendekar Budiman saat itu tidak
mampu loloskan diri dari satu serangan serentak yang dilancarkan tiga orang
anggota komplotan serta seorang tokoh silat golongan hitam. Tubuhnya terkutung di bagian
bahu kiri, roboh mandi darah. Lalu selagi dia mengerang kesakitan satu tusukan
golok menembus lehernya!
Pendekar Budiman menggembor marah menyaksikan kematian muridnya itu.
tongkat akar kayu terus di putar sementara tangan kirinya dengan cepat menyusup
ke balik pakaian. Begitu dikeluarkan langsung dihantamkan ke depan. Terdengar suara
berdesing sewaktu selusin paku halus menderu di udara. Lima anggota Serikat
Setan Merah terpekik. Tujuh lainna masih sempat melihat melesatnya senjata rahasia itu
lalu cepat-cepat jatuhkan diri cari selamat.
Meski banyak dari kawan-kawan mereka sudah menemui ajal tapi anggota-
anggota Serikat Setan Merah benar-benar nekad. Mereka terus merangksek dan entah
darimana munculnya tahu-tahu ada sepuluh lagi orang berpakaian merah memasuki
ajang pertempuran.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Kembali ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya
Wiro sengaja tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan
orang dengan melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung
susul dengan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
pengerahan tenaga dalam yang begitu besar membuat luka dalamnya yang masih
belum sembuh menjadi kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi
orang ini berlaku nekad! Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan
pukulan. Wuuuuuttt! Angin deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas
menangkis dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak
tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela
bibirnya kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah panggung.
Tangan kirinya diangkat memegangi dada.
"Kucing buduk!" Wiro berkata seenaknya. "Jika kau mau memerintahkan
anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni selembar nyawamu!"
"Setan alas! Bangsat rendah!" menyumpah Boronowo. "Kalau malam itu aku
tak dapat membunuhmu, saat ini jangan harap nyawa anjingmu bisa lolos dari
tanganku!"
Lalu dia melompat ke depan. Goloknya berputar ganas dan aneh. Rupanya dia
tengah mengeluarkan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling hebat. Wiro merasa
seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak cepat untuk selamatkan
diri. Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti satu magnit yang menarik senjata
lawan. Golok itu terus mengikuti kemana dia bergerak.
Breet......brrreeeeeettt!
Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dada dan perut. Wiro melompat
jauh sambil meringis kecut. Tengkuknya terasa dingin. Baru sekali ini dia
menghadapi orang memiliki ilmu golok begitu luar biasa! Karenanya ketika
Boronowo kembali menyerbunya tanpa tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng
angkat tangan kanannya.
Terdengar suara menggaung disertai berkilatnya sinar putih perak
menyilaukan. Traang! Golok di tangan Boronowo patah dua dan terpental lepas dari tangannya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya
terasa kaku dan panas. Dia berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat
satu tendangan melabrak dadanya! Tubuh Boronowo tercampak ke bawah panggung,
bergulingan beberapa kali lalu terhenti di depan serumpun semak belukar liar.
Buuukk! Satu pukulan keras menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng
tersungkur ke puanggung. Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main.
Tapi kemarahan pendekar inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan diri ke kiri
dia menyaksikan pemimpin Serikat Setan Merah siap menghujamkan sebuah senjata
berbentuk tombak pendek ke arah perutnya!
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Setan Merah keparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak
Naga Geni 212 ini!" teriak Wiro marah. Setangah berlutut dia hantamkan senjata
mustikanya ke depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat
itu terdengar suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah
patah tiga dan patahannya mencelat ke udara. Pemiliknya sendiri tampak sudah
melompat dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!
"Sudah saatmu membuka kain penutup kepala itu! Perlihatkan tampangmu
manusia setan!" ujar Wiro seraya melangkah mendekati. Yang didekati tiba-tiba
membuka tangan kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya.
Wuss! Terdengar suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh
asap tebal berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang,
pemimpin Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke
arah kiri! Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya,
lain halnya dengan orang-orang yang brada jauh di bawah panggung. Hampir semua
orang diantaranya Kemala dan Pendekar Budiman, sempat melihat kearah mana
kaburnya pimpinan Serikat Setan Merah itu. Merasa tidak ada gunanya meneruskan
perkelahian, apalagi dia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai
saat itu masih berada dalam penyamaran sebagai seorang "nenek" keluarkan bentakan
keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada di kedua tangannya.
Begitu lawan tersibak, kesempatan ini dipergunakan si gadis untuk menyelinap
keluar dari kalangan perkelahian dan lari ke jurusan timur.
Sambil lari Kemala berteriak "Wiro ikuti aku! Bangsat itu lari ke arah lereng
timur!" Dalam keadaan terbatuk-batuk keluar dari kepungan asap lalu melompat ke
jurusan di mana dilihatnya Kemala berkelebat. Hal yang sama juga dilakukan
Pendekar Budiman begitu mendengar teriakan Kemala. Jauh-jauh datang untuk
menuntut balas malah ada anak muridnya yang sudah jadi korban maka kalau sampai
kehilangan musuh besarnya itu, dia akan mati penasaran! Di lain pihak,
mengetahui bahwa pimpinan mereka melarikan diri, apalagi setelah menyaksikan matinya
Boronowo, para anggoa Serikat Setan Merah menjadi patah semangat kalau tak mau
dikatakan putus nyali. Semuanya memilih melarikan diri. Mereka berserabutan ke
berbagai penjuru Bukit Batu Merah itu.
Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki
ilmu lari yang bisa menyelamatkan dirinya. Dalam waktu sebentar saja Kemala
berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.
"Manusia setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau buka kain merah
penutup kepalamu! Atau aku yang membukanya bersama-sama batang lehermu!"
berkata Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.
Sepasang mata di balik kain merah itu tampak melotot ketakutan. Dia melirik
ke kiri dan ke kanan.
"Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!" membentak Pendekar Budiman.
"Lekas katakan di mana muridku Griyati kau sekap!"
"Kalau..... kalau kuberi tahu di mana gadis itu berada, kalian harus berjanji
untuk tidak membunuhku dan membiarkan aku pergi!" berkata pemimpin Serikat
Setan Merah. Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan
Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu dia seperti mengenali suara orang iu. Tiba-tiba degnan kecepatan seperti
kilat Kemala melompat ke depan. Tangan kirinya menyambar dan........!
"Paman Suro Kenanga!" teriak Kemala ketika kain pembunkus kepala
pemimpin Serikat Setan Merah berhasil direnggutnya dan dia serta Wiro dan
Pendekar Budiman kini dapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu! "Aku
tidak bermimpi......" desis Kemala seraya menggosok-gosok kedua matanya. Ketika ingat
kalau saat itu dia masih menyamar sebagai nenek, dengan tangan kirnya Kemala
menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.
"Kemala, keponakanku..... Aku sudah duga. Memang kau rupanya....." Suro
Kenanga merasakan lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro
dan Pendekar Budiman tertegak bengong. Tapi di lain kejap orang tua berpakaian
compang camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar
kayunya ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka
tertembuslah leher sang Adipati.
"Lekas katakan di mana murid perempuanku! Atau kubunuh kau saat ini
juga!" mengancam Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan
dendam kesumat.
"Paman.....!" berseru Kemala. "Bagaimana ini bisa terjadi! Benar kau menjadi
pemimpin komplotan orang-orang jahat yang menamakan Serikat Setan Merah
itu....."!"
"Kau melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya....." jawab Suro
Kenanga dengan suara perlahan dan sekujur tubuh kuyu. "Dosaku keliwat besar!
Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!"
"Bangsat! Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!"
teriak Pendekar Budiman.
"Muridmu berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang
menyentuh dirinya atau menodainya....."
"Aku tidak bisa percaya kata-katamu Adipati laknat! Sebelum aku melihat
sendiri keadaan muridku!" sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke
leher Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.
"Aku bersumpah tidak mendustaimu. Muridmu berada di ruang bawah
bangunan berbentuk candi di halaman belakang gedung Kadipaten........."
Pendekar Budiman kembali hendak membentak tetap Kemala lebih dulu
membuka mulut "Paman, saya tak habis mengerti dan sangat menyesalkan. Mengapa
kau melakukan semua ini....."
Sepasang mata Suro Kenanga tampak berkaca-kaca. "Aku ......aku
melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta....."
"Uang dan harta....." Untuk apa paman"!" tanya Kemala.
"Aku harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang
berharga pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup
mendapatkannya kecuali melakukan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat.
Merampas dan merampok. Ketika keadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan
orang-orangku melakukan kejahatan itu. lambat laun mereka berubah menjadi
penjahat beneran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka
jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka..... Ah Gusti Allah.
Dosaku terlalu besar dan berat!"
"Paman, kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu" Lalu kepada
siapa kau berikan?" bertanya Kemala
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Uang dan harta itu sebagai suapan agar aku tetap menduduki jabatan Adipati
seumur hidup. Kepada siapa aku memberikannya tak mungkin aku beri tahu. Ya
Tuhan.... Aku sadar aku ini gila jabatan. Gila kekuasaan....."
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia memang sudah bercuriga
bahwa pemimpin Serikat Setan Merah itu adalah Suro Kenanga. Dia tidak mau
memberi tahukannya pada Kemala. Takut kesalahan. Ternyata dugaanya tidak
meleset! "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Wiro meminta pendapat
Pendekar Budiman.
Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala.
"Paman, kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada
jalan lain. Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu...."
Suro Kenanga menggelengkan kapala. "Berjalan jauh-jauh ke Kotaraja hanya
untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus mati menebus dosa-dosaku, lebih
baik mati di tempat ini saja. Sekarang!"
Tiba-tiba sekali Suro Kenanga menarik dan menghujamkan keras-keras ke
lehernya sendiri tongkat akar kayu milik Pendekar Budiman yang sejak tadi
menempel di lehernya!
Darah muncrat. Kemala berteriak. Pendekar Budiman dan Wiro terkesiap
kaget. Perlahan-lahan kedua tangan yang memegang kencang tongkat kayu itu
terkulai lemas dan jatuh ke samping. Pendekar Budiman tak berani menarik
tongkatnya. Ketika senjata andalannya itu dilepasnya, sosok tubuh Adipati Suro
Kenanga yang sudah jadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah. Lereng
bukit itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar di
antara siliran angin yang berhembus.
TAMAT BASTIAN TITO 43 Pedang 3 Dimensi 9 Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Memburu Putri Datuk 1
"Sebelum pergi, harap kau suka memberitahu siapa dirimu adanya, orang
tua!" berkata Wiro.
Meski sangat marah dan dendam besar, kakek berpakaian compang camping
menjawab juga. "Aku tua bangka buruk ini adalah Pengemis Budiman.....!"
Wiro Sableng terkejut "Jadi kau! Ah......."
Murid Sinto Gendeng tidak sempat meneruskan kata-katanya karena si orang
tua dan lima muridnya sudah meninggalkan tempat itu.
"Kau kenal orang tua itu?" bertanya dara baju merah.
"Tidak," wahut Wiro sambil menggeleng. "Tapi saudara tuanya aku kenal
baik. Dia seorang bergelar Si Segala Tahu. Kalau pengemis tua itu sempat
mengadukan tindak-tandukku, pati bisa terjadi kesalah pahaman....." Wiro berpaling
pada dara jelita ini. "Tadi kau menyuruh mereka pergi ke bukit Batu Merah,
apakah kau juga berniat pergi ke sana.....?"
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Yang ditanya mengangguk. "Aku merasa ada baiknya melakukan
penyelidikan. Bagaimana caranya itu urusan nani....."
"Aku juga berminat melakukan hal itu," kata Wiro pula. "Namun untuk
sementara kurasa kau perlu mengganti pakaian merahmu agar tidak menimbulkan
urusan baru!"
"Itu soal mudah! Aku memang membekal sehelai pakaian warna kuning....."
"Sekarang kemanakah tujuanmu?" tanya Wiro.
"Solotigo," jawab sang dara. "Apa kau bermaksud hendak mengikutiku
lagi...." Wiro tersenyum lebar. "Aku berjanji tidak akan menguntit kemana kau pergi.
Asal kau mau memberitau namamu"
"Panggil aku Kemala....." jawa sang dara.
"Kemala......" mengulang Wiro. "Namamu bagus..... Sebagus orangnya."
Saat itu sang dara berbaju merah sudah melompat ke atas kuda putihnya. Wiro
tak mau tertinggal, cepat-cepat dia melompat ke punggung uda coklatnya dan
mengejar Kemala.
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Saat itu matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda utihnya menuju
bukit kecil di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat
sebuah sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletak desa Kalimukus yang
terkenal sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari mata pencaharian bercocok tanam,
memelihara tambak ikan serta beternak. Kira-kira setangah hari perjalanan dari
desa itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi tujuan Kemala.
"Tak mungkin aku sampai di Solotigo sebelum malam tiba....." berkata
Kemala dalam hati. "Agaknya lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi
baru berangkat ke Solotigo....."
Di lereng bukit Kemala menoleh ke belakang. Kuda coklat bersama
penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa
belas tombak. Dia berusaha mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri dari pemuda
iut. Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai puncak bukit, di
bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan.
Desa Kalimukus tampak hanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumah-
rumah penduduk musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari
atas bukit tampak orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan
ketakutan kian kemari. "Itu bukan kebakaran biasa! Desa itu seperti sengaja dibakar!" Satu suara
terdengar di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212
Wiro Sableng bersama kuda coklatnya sudah berada di sampingnya. Kemala tak
menjawab. Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghidarkan
silaunya sinar matahari. "Astaga! Aku melihat ada beberapa sosok tubuh tergantung! Satu
di pohon. Dua lainnya di pintu rumah yang sedang terbakar!" Wiro gebrak pinggul
kudanya. Kuda coklat itu menghambur ke depan lalu berlari kencang menuruni bukit
menuju desa yang dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampai di
desa yang terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan dari kejauhan di atas
bukit, kini terpampang lebih jelas dan mengerikan.
Beberapa sosok mayat bergelimpangan di tepi jalan, di halaman rumah, di tepi
kali. Tubuh mereka penuh bekas bacokan senjata tajam. Lalu di beberapa tempat
terdengar suara erangan orang-orang yang tergelimpang dalam keadaan luka-luka.
Suara lenguh sapi yang ketakutan dan embik kambing bercampur baur dengan
gaduhnya suara ayam serta itik yang berhamburan kian kemari, jadi satu dengan
jerit pekik penduduk yang berlarian dalam kekalutan. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang perempuan dan laki-laki tua serta anak-anak.
Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa orang penduduk lari menjauh
ketakutan. Seorang di antaranya berteriak. "Mereka datang lagi! Mereka datang
lagi! Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan anak-anak......!"
Wiro kerenyitkan kening. "Kemala..... Orang-orang itu ketakutan
melihatmu!" ujar Wiro.
"Ada yang tidak beres!" manyahuti Kemala. Dia melompat turun dari atas
kuda. Menghadang seorang lalki tua yag lari ka belik rumah sambil mendukung
seorang anak perempuan lalu mencekal tangannya.
"Demi Tuhan! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku......! Jangan bunuh
cucuku!" lelaki tua itu menjerit berulang kali sambil berusaha melepaskan
pegangan Kemala. BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tidak ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Lekas
katakan apa yang terjadi........!" berseru Kemala.
Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan meronta-ronta. "Manusia
macam apa kau ini!" Orang tua itu berkata dengan suara gemetar dan tubuh
menggeletar. "Setelah kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik
masih bisa bertanya apa yang terjadi"! Mengapa kau kembali" Apa masih belum puas
membakari rumah-rumah kami"! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas"!"
"Orang tua, kami baru saja sampai di desa ini. siapa yang melakukan
perampokan dan pembunuhan serta penculikan itu"!" Wiro ikut bicara.
"Ya, lekas katakan siapa yang melakuan pembakaran di tempat ini"!"
menyambung Kemala.
Orang tua itu tidak menyahut. Dia mengereahkan seluruh tenaganya lalu
menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas. "Manusia iblis! Dosamu tidak
berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan komplotanmu!" habis berkata
begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan Kemala. Si gadis hendak
mengejar. Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar mengikutinya. Di pintu depan dua
buah rumah yang terbakar mereka melihat dua sosok tubuh digantung. Salah satu di
antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu tak berapa jauh dari tempat itu sosok
tubuh ketiga tampak digantung pada cabang sebuah pohon, kaku ke atas kepala ke bawah.
Wajah orang yang tergantung ini tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari
luka besar di batang lehernya.
Tiab-tiba Wiro mendengar suara berdesing. Dia cepat membungkuk
menyambar potongan kayu dan melemparkannya ke belakang. Terdengar suara
berdentrangan. Ketika berpaling ke belakang Kemala sempat melihat bagaimana
potongan kayu itu menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah
punggungnya! "Kurang ajar! Siapa yang berani membokong"!" teriak Kemala matrah. Dia
melihat satu sosok berpakaian hitam berkelebat menghilang di balik reruntuhan
rumah besar yang masih diamuk kobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang
diikuti Wiro cepat mengejar. Orang berpakaian hitam itu ternyata adalah seorang
pemuda yang lengan kirinya luka parah hampir putus sedang kepalanya di bagian
kening tampak koyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan
menggidikkan. "Kau masih bisa bertahan hidup! Tapi jika tidak segera memberi tahu
mengapa kau hendak membunuhku, kupatahkan batang lehermu saat ini juga!"
mengancam Kemala.
"Kau apakan diriku aku tidak takut! Kau dan orang-orangmu membunuh
ayahku! Istriku kalian culik! Bunuh! Ayo bunuh!" Pemuda itu tiba-tiba berteriak
seperti gila. Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah
yang mengucur dari luka di tangan dan keningnya.
"Siapa yang kau maksudkan dengan kalian"!" membentak Kemala.
Pemuda yang terduduk di tanah menyeringai. Dia mengeluarkan tangan
hendak mencakar muka Kemala tapi tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak
mampu menggerakkan tangan kanannya. "Perempuan iblis.... Kau masih bisa pura-
pura bertanya. Memang belasan mayat yang kalian bunuh tidak bisa memberi
kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian gantung tidak bisa
bicara! Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau lakukan bersama komplotanmu
Serikat Setan Merah!"
"Ah!" Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Saudara, kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat
Setan Merah. Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!" berkata Wiro.
Lalu dia menotok beberapa bagian tubuh si pemuda hingga darah berhenti mengucur.
Wiro juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda
malang ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa sejuk yang membuat dia
sanggup bertahan.
"Saudara, mengapa orang-orang Serikat Setan Merah melakukan keganasan
ini......?" bertanya Kemala.
"Tanyakn sendiri pada pimpinanmu!"sahut Gentolo. "Aku tidak percaya kau
bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak membunuhku saja saat ini!
Jika kau biarkan aku hidup, aku bersumpah menuntut balas! Menabas batang
lehermu, mencincang mayatmu!"
"Jangan jadi orang tolol!" bentak Wiro. "Jika kawanku ini anggota komplotan
biadab itu, sudah sejak tadi kepalamu menggelinding di tanah! Ayo jelaskan
mengapa orang-orang Serikat Setan Merah berbuat seganas ini"!"
"Ya! Juga siapa mereka sebenarnya"!" menyambung Kemala.
Gentolo mula-mula tak mau membuka mulut. Namun akhirnya dia bicara juga.
"Siapa mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu..... Yang kami tahu
mereka mula-mula muncul dan bertindak selaku pelindung di desa ini. untuk itu
penduduk harus membayar apa yang mereka sebut uang perlindungan. Dan bukan
uang saja, mereka juga meminta harta atau ternak atau hasil ladang seenaknya.
Lambat laun jumlah yang mereka minta semakin banyak hingga penduduk tidak
mampu untuk memberikan. Lalu mereka mulai bertindak keras. Memaksa dan
menghajar siapa saja yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta! Ketika
banyak penduduk yang mencoba melawan, mereka membunuhi orang-orang desa
seperti membunuh lalat saja! Kekeian mereka bukan cuma sampai di situ! Anggota
Serikat Setan Merah juga menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan
kejahatan bukan cuma di desa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa.......!"
"Sejak pertama mereka muncul mengapa kalian tidak melaporkan ke
Kadipaten......?" tanya Kemala pula.
Gentolo menyeringai pahit. "Setiap yang melapor mengalami nasib
mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati terkapar seperti anjing di
tengah jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan benda tajam!"
"Kemala, kau ingat pada rombongan-rombongan orang-orang berpakaian
merah yang kita temui di bukit beberapa waktu lalu......?" tanya Wiro.
Kemala mengangguk. "Mereka pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di
antaranya bernama Sangaji dan Galut! Kau kenal dua nama itu......"'
Gentolo menggeleng. "Mereka bisa punya seribu nama, seribu muka......"
"Ada keanehan yang tidak ku mengerti," kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
"Orang-orang Serikat Setan Merah berani melakukan kejahatan secara terang-
terangan. Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak
mengetahui macam begini bahkan seharusnya sudah sampai ke Kotaraja!"
"Memang sebelumnya pernah ada dua kali serombongan pasukan dari
Kotaraja melakukan pengejaran dan penyergapan. Tapi orang-orang Serikat Setan
Merah cepat sekali menghilang sebelum pasukan sampai......." Menjelaskan Gentolo.
Kemala berpaling pada Wiro dan berkata. "Kita harus mengurus mayat-mayat
yang malang itu, menolong penduduk yang cidera......"
"Hanya kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?" ujar Wiro.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Gentolo! Kau harus menolong memanggil penduduk yang kabur! Mereka
harus kembali kemari untuk membantu kami......!" berkata Kemala. Lalu tangan
lelaki muda bernama Gentolo itu ditariknya disuruhnya berdiri.
"Wiro......." Kata Kemala menyebut nama sang pendekar untuk pertama
kalinya. "Salah seorang lelaki berpakaian merah yang kita temui di bukit
mengatakan tentang pertemuan hari kelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan
untuk datang ke sana! Aku bersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu!
Aku bersumpah menghancurkan Serikat Setan Merah sampai ke akar-akarnya!"
Kemala mengepalkan tangan kanannya dan meninju-ninjukan ke telapak tangan
kirinya. "Kalau begitu, akupun ikut bersumpah sepertimu!" ujar Wiro seraya
mengangkat tangan kanannya ke atas. Lalu dia melanjutkan ucapannya. "Tapi
sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknya kau tukar dulu baju merahmu itu!
semua orang ketakutan melihatmu karena menyangka kau anggota Serikat Setan
Merah! Kecuali aku.... Ha....ha.....ha......ha.....! Adalah tolol kalau takut melihat
gadis secantik dirimu ha...ha....ha.....!"
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Adipati Suro Kenanga duduk mendengarkan apa yang disampaikan pembantunya
bernama Martobiru itu lalu menganggukkan kepala dan berkata. "Aku membenarkan
apa yang kau lakukan itu Marto. Jika tidak begitu eadaan bisa berbahaya bagi
kita. Harap kau memberitahu pada kawan-kawan agar mereka memasang telinga
mementang mata, menyirap kabar atau gerakan apa saja yang sewaktu-waktu bisa
terjadi......"
"Akan saya lakukan Adipati. Selanjutnya perlu juga saya beritahukan....."
"Cukup sampai di sini dulu Marto. Ada orang datang......" memotong Suro
Kenanga. Martobiru berdiri dari kursi lalu meninggalkan serambi depan Kadipaten
Solotigo yang berlantai batu mar-mar mengkilap itu. Sesaat sang Adipati masih
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetap duduk di kursinya, memperhatikan dua penunggang kuda menambatkan tunggangan
masing-masing lalu berbicara dengan seorang pengawal. Pengawal ini kemudian
mengantarkan kedua tamu tersebut menuju gedung Kadipaten.
Suro Kenanga tidak mengenali kedua tamunya. Yang berjalan di sebelah
depan adalah seorang gadis cantik jelita berpakaian kuning, rambutnya yang hitam
berkilat dikuncir di belakang kepala. Langkahnya ringan dan gerak geriknya
menjelaskan pada sang Adipati bahwa gadis ini adalah seorang dari rimba
persilatan. Di belakang sang dara melangkah seorang pemuda gondrong, tampangnya seperti
orang tolol dan celangak celinguk sambil sesekali menyengir.
"Gedung Kadipaten ini luar biasa bagusnya! Tak pernah au melihat gedung
sebagus ini sebelumnya!" terdengar pemuda gondrong itu berkata sambil berhenti
sejenak dan memandangi bagian depan gedung mulai dari atap sampai ke tangannya
yang berkilat. Dara berpakaian kuning melangkah menaiki tangga, lalu berhenti di ujung
serambi dan membungkuk pada Suro Kenanga yang duduk di kursi.
"Apakah saya berhadapan dengan Adipati Solotigo, Raden Suro Kenanga?"
Suro Kenanga bangkit dari duduknya, menatap wajah gadis yang menegurnya
itu sesaat lalu menjawab "Benar, aku Suro Kenanga, Adipati Solotigo. Siapa
dirimu, apa maksud kedatanganmu ke mari?"
Sang dara tersenyum, membuat Adipati jadi terheran.
"Rupanya paman lupa pada saya.....?" ujar si gadis pula.
"Eh, siapa kau ini sebenarnya gadis manis. Aku seperti......" Suro Kenanga
memijit-mijit keningnya. "Kau......kau......" dia menunjuk-nunjuk tapi tak berhasil
mengingat atau mengenali siapa adanya gadis di hadapannya itu.
Maka si gadis langsung berkata. "Saya Kemala, anak tunggal Suro Abang,
kakak kandung Adipati sendiri!"
Adipati itu seperti terlonjak dari lantai. "Astaga! Ya Tuhan! Kau rupanya!
Keponakan sendiri aku sampai tidak mengenali!"
Kedua orang itu sama melangkah mendekati lalu saling rangkul. Adipati Suro
kenanga mengelus dan menepuk-nepuk bahu sang dara berulang kali.
Di dekat tangga, pemuda berambut gondrong menggaruk kepalanya beberapa
kali. Dalam hati dia menggerendeng. "Keponakan sih keponakan. Tapi jangan main
peluk lama-lama begitu......"
"Kemala, terakhir sekali aku melihatmu sembilan, mungkin sepuluh tahun yan
lalu. Ketika ayahmu mampir dalam perjalanan mengantarkanmu ke Kaliurang. Kau
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
masih begitu kecil waktu itu. dan sekarang sudah beubah menjadi seorang gadis
cantik jelita! Jangan salahkan kalau tadi aku tidak bisa mengenalimu! Parasmu
mirip ibumu. Eh, apakah kedua orang tuamu ada baik-baik, Kemala......?"
"Saya belum sempat kembali pulang, paman. Baru saja turun gunung dilepas
Ki Ageng Kuncoro Bekti........"
"Ah, rupanya jadi juga kau berguru pada orang tua sakti itu! Ilmumu tentu
sudah setinggi langit saat ini!" Suro Kenanga tampak gembira sekali mendengar
penjelasan keponakannya itu.
"Tak ada ilmu paling tinggi di dunia ini paman, kecuali ilmunya Gusti Allah,"
menyahuti Kemala.
"Bagus! Aku suka mendengar ucapanmu itu, bukan saja kau memperlihatkan
kerendahan hati dan ketinggian budi. Tapi kau juga memperlihatkan tasa takwa dan
iman pada Tuhan Yang Maha Kuasa! Sekarang kau akan kuajak masuk ke dalam
menemui bibimu....... Eh, siapa pemuda yang datang bersamamu itu.....?"
"Dia sahabat saya paman. Namanya Wiro," menerangkan Kemala.
Mendengar orang memperkenalkan dirinya, Wiro Sableng maju ke hadapan
Adipati Solotigo itu dan menjura dalam-dalam. Sang Adipati membalas
penghormatan itu dengan anggukkan kepala.
"Mari Kemala, kita temui bibimu....." kata Adipati kemudian setelah memberi
isyarat pada Wiro agar duduk di kursi serambi depan itu.
Sambil melangkah Kemala berkata "Dalam perjalanan kemari kami menemui
malapetaka besar menimpa sebuah desa di selatan Solotigo......."
Adipati Suro Kenanga meraba dagunya dan hentikan langkah. "Malapetaka
apa maksudmu" Bencana alam...."'
"Bukan paman, Desa itu, Desa Kalimukus diserbu perampok. Rumah
penduduk dibakari, mereka bukan saja dijarah harta bendanya tapi juga di bunuh.
Kepala desa bersama dua pembantunya digantung secara keji! Para penjahat itu
juga menculik anak gadis dan istri orang......!"
"Desa Kalimukus berada dalam wilayah Kadipaten Solotigo!" ujar Suro
Kenanga pula. "Bagaimana mungkin tidak ada satu orang aparatkupun yang datang
memberikan laporan"! Kurang ajar! Ada yang tidak beres! Perampok-perampok
memang banyak merajalela akhir-akhir ini di seluruh silayah selatan. Malah
mereka berani muncul di sekitar Kotaraja....."
"Tapi mereka bukan perampok-perampok biasa paman........"
"Maksudmu Kemala.....?" tanya Suro Kenanga.
"Mereka adalah penjahat-penjahat yang selalu muncul dengan pakaian
seragam merah. Mereka tergabung dalam komplotan yang dinamakan Serikat Setan
Merah dan mereka berani muncul secara terang-terangan. Saya dan sahabat saya
bahkan sempat bertemu dengan beberapa orang diantara mereka. Kalau saat itu saya
tahu bahwa mereka adalah manusia-manusia baiadab sebuas apa yang mereka
lakukan terhadap penduduk Kalimukus, saya tak akan memberi kesempatan hidup
pada mereka!"
Adipati Suro Kenanga menghela nafas panjang. "Nama Serikat Setan Merah
memang sudah sejak beberapa bulan ini aku dengar. Pasukan Kadipaten, bahkan
serombongan dari Kotaraja pernah mengejar dan mengepung mereka. Tapi mereka
berhasil meloloskan diri......!"
"Itu satu pertanda bahwa mereka mempunyai jaringan yang rapi, mempunyai
mata-mata di mana-mana..... Orang-orang seperti kita harus dapat menangkap
pemimpinnya dan membawanya ke tiang gantungan atau mencincangnya di hadapan
rakyat banyak!"
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Adipati Suro Kenanga tersenyum. Sambil memegang bahu keponakannya dia
berkata. "Aku bangga punya keponakan yang bicara dan punya jiwa besar sepertimu,
Kemala. Darah ksatria sudah benar-benar mengalir dalam tubuhmu........ Tapi
ketahuilah, kedatanganmu kemari adalah untuk bergembira karena sekian tahun kita
tak pernah bertemu. Selanjutnya kau harus cepat-cepat menuju Kejaten, menemui
kedua orang tuamu. Sejak ayahmu mampir sembilan tahun lalu di sini, dia belum
pernah datang lagi. Kau harus cepat-cepat menemui mereka. Ayah ibumu pasti sudah
sangat rindu padamu......."
"Memang benar kata paman. Saya harus cepat-cepat kembali ke Kejaten. Tapi
ada satu hal yang akan saya lakukan sebelum pulang....."
"Hem.....apa pula itu Kemala" Apa yang hendak kau lakukan"!" bertanya
Suro Kenanga. "Ada kabar rahasia bahwa pada hari kelima bulan lima Serikat Setan Merah
akan mengadakan pertemuan besar di Bukit Batu Merah. Saya dan sahabat saya tu
akan muncul di sana. Saya yakin banyak para pendekar golongan putih yang juga
akan muncul di sana......"
"Jika kau muncul di sana, apa yang akan kau lakukan Kemala?"
"Saya akan mengobrak abrik pertemuan itu. Menangkap pimpinan mereka.
Menyerahkannya pada Kerajaan, kalau tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup
maka akan saya cincang di situ juga!"
"Anak hebat!" memuji Suro Kenanga. "Tapi kau harus berpikir panjang dan
hati-hati keponakanku. Jika Serikat Setan Merah adalah satu komplotan besar
berarti mereka mempunyai orang-orang cabang atas yang memiliki kepandaian tinggi. Dan
jumlah mereka pasti tidak sedikit. Jika keteranganmu itu betul, biar urusan
Serikat Setan Merah itu serahkan saja padaku." Suro Kenanga lalu melirik ke arah Wiro
lalu bertanya "Kemala, apakah temanmu yang seperti orang tolol dan sebentar-sebentar
menggaruk kepala itu adalah juga orang persilatan......?"
Kemala mengangguk. "Tampang dan geriknya memang begitu paman. Tapi
dia bukan pemuda sembarangan. Paman pernah mendengar seorang bergelar
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212" Dialah orangnya!"
Paras Adipati Solotigo itu tampak berubah. Lalu dia tersenyum. "Kemala!
Lupakan dulu segala macam urusan dengan Serikat Setan Merah itu. mari temui
bibimu......."
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Karena sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang
bagus di sebuah bangunan berbentuk joglo kecil di halam belakang gedung
Kadipaten. Dasar orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur di dalam kamar
tersebut. Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak dipadamkannya
namun teteap saja dia tak bisa tidur. Akhirnya diam-diam sang pendekar keluar
dari kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui jendela.
Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk di
sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung. Seluruh
gedung diselimuti kesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti patung batu.
Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masuk kembali ke dalam kamar, saat
itulah dia melihat ada dua bayangan manusia muncul dari balik tembok belakang lalu
melompat masuk ke dalam halaman belakang gedung. Meskipun tempat sekitar situ
gelap namun Wiro dapat melihat kedua orang yang menyelinap masuk itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.
"Anggota-anggota Serikat Setan Merah!" desis Wiro tak pelak lagi. "Berani
benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok"! Heran.....
mana pengawal gedung" Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebah ini
harus dibekuk hidup-hidup biar diketahui siapa dedengkot mereka! Tapi sebelum
dibekuk biar kuhajar dulu sampai babak belur!"
Wiro segera bergerak bangkit. Menyusup ke tempat yang lebih gelap,
memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari arah kiri. Tapi gerakan Pendekar
212 segera terhenti ketika dilihatnya dua orang berpakaian merah itu melangkah
cepat justru ke arah kamar tidurnya. Di tangan masing-masing kini tampak terhunus
sebilah golok panjang. "Heh..... apa tujuan mereka sebenarnya?" tanya Wiro dalam hati dan terus
memperhatikan. Dua penyusup itu tidak menuju ke pintu kamar melainkan menyelinap ke
samping ke arah jendela kamar. Jendela yang memang tidak terkunci itu dengan
mudah mereka buka. Keduanya lalu melompat masuk ke dalam kamar. Wiro bergerak
cepat ke arah pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d
depan dada. Di dalam kamar terdengar suara "Keparat! Kamar ini kosong!"
"Kemana perginya manusia itu"!" suara lain menyahuti.
Sesaat kemudian pintu kamar terbuka, menyusul ucapan orang yang membuka
pintu itu dari dalam. "Tak mungkin dia pergi begitu saja. Pasti ada di sekitar
sini....."
"Aku ada di depanmu kisanak!" Wiro Sableng yang tegak di depan pintu
membuka mulut membuat orang ayang tadi bicara tersentak kaget sebelu sempat
bersurut mundur satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong
kesakitan, tubuhnya seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya
telah lebih dulu berdentrangan jatuh di lantai. Dia tak kuasa berdiri lagi. Matanya
sebelah kanan bengkak lebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapi bisa
cepat menguasai keadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan ke
arah kepala murid Sinto Gendeng.
Wuuuuuuttttt!! Sambaran golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar si baju
merah yang satu ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
rundukkan kepala. Begitu senjata lewat berdesir di atas kepalanya, Wiro susupkan
satu sodokan ke arah perut penyerang. Namun golok panjang itu tiba-tiba membalik
ke bawah, memapas dengan ganas.
"Edan!" maki Wiro. Dia membuang diri ke samping seraya dorongkan tangan
kiri, melepaskan pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam. Orang yang
memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku,
dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan
Wiro. Sesaat kemudian tanagn kanannya yang tadi tampak kaku tiba-tiba mampu
bergerak kembali. Kini ujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.
"Ah, yang satu ini tidak sembarangan!" membatin Wiro seraya menggeser
kuda-kuda kedua kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk
menghantam sambungan siku lawan.
Ternyata si pemegang golok tidak bodoh. Dia seperti sudah membaca gerakan
Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro berhasil dikelit
sebaliknya golok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau tadi menusuk ke
arah dada maka kini bagian ujung dan tajam dari senjata itu melesat menyambar bahu
kanan. Breeett! Buuukk!! Dua suara itu disusul dengan suara berkerontangannya golok jatuh ke lantai.
Bahu kanan pakaian putih Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur
dengan paras berubah. Terlambat saja dia mengatur gerakan tidak dapat tidak
bahunya pasti akan putus, paling tidak luka parah. Di depannya orang berbaju
merah tampak tersandar ke tiang bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya
sakit bukan main. Mukanya tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang
keluar tapi darah yang membersit dari mulutnya.
"Manusia jahanam......!" merutuk orang itu. tiba-tiba kaki kanan bergerak
menendang goloknya yang tercampak di lantai. Ini bukan satu tendangan biasa
karena begitu ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih
dulu ke arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan.
Wiro berseru kaget dan marah, membuat lompatan untuk selamatkan diri.
Golok menderu lewat, menancap di tiang bangunan. Ketika Pendekar 212 hendak
mengebrak ke depan, orang beraju merah itu ternyata sudah melarikan diri
melompati tembok. Wiro lepaskan pukulan tanagn kosong "kunyuk melempar buah". Satu
gelombang angin menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur
berantakan. Tapi orang yang diarah berhasil meloloskan diri dan lenyap dalam
kegelapan. "Apa yang terjadi di sini"!" satu bentakan keras menggeledak terdengar. Wiro
berpaling. Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga
orang pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah
yang menggeletak di lantai dengan mata kanan mengucurkan darah.
"Dua anggota Serikat Setan Merah berusaha menyusup ke sini....."
menjelaskan Wiro. Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya
ke luar kamar yang lebih terang agar sang Adipati dapat melihat lebih jelas.
"Kurang ajar! Benar-benar berani mampus!" rutuk Suro Kenanga marah.
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Manusia seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!" lalu tiba-tiba sekali sang
Adipati merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.
"Tunggu! Jangan dibunuh dulu!" seru Wiro mencegah.
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tapi tombak itu sudah dihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dada lelaki yang
terkapar di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya
besar- besar lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.
"Sayang......sayang....." kata Wiro berulang kali seraya garuk-garuk
kepalanya. "Kalau saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pasti bisa dikorek
keterangan di mana markas mereka dan siapa pemimpin mereka. Sialnya lagi, yang satu tadi
sempat melarikan diri!" Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepalanya.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Bukit Batu Merah terletak di kaki timur gunung Merbabu, merupakan satu bukit
tandus yang hanya ditumbuhi semak belukar liar, diselang seling oleh bebatuan
berwarna merah. Pernah serombongan petani dari desa terdekat mencoba membuka
semak belukar itu untuk bercocok tanam. Tapi apa yang ditanam di sana tak pernah
bisa tumbuh, mati. Karena itulah tak pernah lagi ada orang yang mau pergi
mendaki bukit itu. Hari itu hari kelima di bulan lima. Kalau tadi dikatakan tidak pernah ada orang
ang naik ke atas bukit maka hari itu adalah aneh, sejak pagi-pagi sekali tampak
belasan orang datang dari pelbagai penjuru mendaki naik menuju puncak bukit. Ada
yang brelari atau berjalan cepat. Tapi ada pula yang melangkah santai seperti
tengah berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di bawah kaki bukit dan kaki gunung.
Yang menarik perhatian ialah bahwa semua orang yang menuju puncak bukit itu
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna merah.
Hari lima bulan lima. Itulah hari yang ditentukan oleh Serikat Setan Merah
sebagai hari pertemuan seluruh anggota dan pimpinan mereka.
Di puncak Bukit Batu Merah sebelah timur tampak dibangun sebuah
panggung kecil. Di atas panggung terdapat tiga buah kursi besar dan lima kursi
keil yang dibuat dari potongan-potongan batang kelapa. Di depan panggung , diantara
semak belukar liar terdapat bangku-bangku panjang dalam jumlah banyak, juga
terbuat dari batang-batang kelapa. Di ujung deretan kursi-kursi itu berdiri tiga
orang berpakaian merah darah, menyandang golok di pinggang. Ketiganya bertindak
sebagai penerima tamu.
Setiap tamu yang datang dipersilahkan ambil tempat duduk. Yang paling dulu
datang diberikan tempat di deretan bangku sebelah depan, tetapi banyak tamu yang
memilih duduk di bagian tengah atau sebelah belakang.
Dari arah selatan lereng Bukit Batu Merah dua orang berpakaian merah berlari
cepat menuju puncak bukit. Yang pertama seorang nenek berambut putih, bersarung
tangan dan berkasut kain keras. Di ikat pinggang pakaiannya tersisip sebatang
tongkat bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang sepuluh jengkal. Mendampinginya adalah
seorang kakek yang juga berambut putih. Seperti si nenek dia juga membekal
sebatang tongkat bambu kuning dengan besar dan panjang yang sama. Kedua tangan
dan kakinya juga mengenakan sarung serta kasut kain keras. Dari cara berlarinya
si kakek jelas bahwa salah satu kakinya pincang. Meskipun demikian larinya bukan
main cepatnya hingga berulang kali si nenek tertinggal di belakang.
"Wiro!" tiba-tiba si nenek berseru. Yang diserunya tentu saja kakek pincang di
depannya. Yang bukan lain memang adalah murid Sinto Gendeng, Pendekar Kapak
maut Naga Geni 212 Wiro Sableng! "Aku benar-benar jengkel dengan semua
penyamaran ini! Kepalaku terasa gatal oleh jelaga berwarna putih ini. Mukaku
terasa kaku oleh kanji dicampur bedak tebal! Benar-benar konyol!"
Wiro memperlambat larinya lalu menyahuti "Lebih bagus konyol begini dari
pada mati konyol! Kau tahu apa yang kita lakukan ini adalah memasuki sarang
harimau! Sekali mereka mengenali kita, bisa berabe urusannya!"
"Ah, ternyata kau sepengecut itu!" ujar si nenek.
"Kemala, jangan sok jadi orang jago kalau hanya mencari penyakit!" tukas
Wiro Sabelng pula. "Penyamaran ini adalah satu-satunya jalan agar kita bisa
menyusup masuk ke tempat pertemuan! Wajahmu dan tampangku sudah cukup
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dikenal oleh beberapa orang anggota Serikat Setan Merah ang kita temui di bukit
tempo hari! Kau mungkin akan disambut dengan segala penghormatan! Tapi aku,
belum dipersilahkan duduk mungkin sudah mereka jegal lebih dulu! Lagi pula ada
alasanku mengapa kita harus menyamar begini rupa...."
Si nenek ternyata adalah Kemala, keponakan Adipati Suro Kenanga dari
Solotigo, murid Ki Ageng Kuncoro Bekti dari Ungaran!
"Katakan apa alasanmu itu." sang dara berkata.
"Tak dapat kukatakan sekarang!"
"Hemm..... Mengapa begitu?" tanya Kemala penasaran.
"Aku takut terlalu lancang menduga-duga yang tidak karuan. Tapi sejak
kejadian ada orang yang hendak membunuhku malam itu, aku punya firasat, jangan-
jangan......." Wiro tak meneruskan ucapannya.
Kemala tambah penasaran. "Jangan-jangan apa"!"
"Sudahlah, kita sudah sampai. Ingat, dalam segala hal aku yang akan mewakili
bicara. Kau harus mengunci mulut rapat-rapat. Aku kawatir kau kesalahan omong
atau keterlepasan bicara. Kedok kita bisa terbuka. Kau mengerti......"'
"Hamba mengerti Pangeran Sableng!" jawab Kemala pula.
"Kau anak bagus! Aku senang kau mau mengikuti usulku pura-pura pulang ke
Kejaten dan bilang pada pamanmu bahwa kau tidak punya niat menghadiri pertemuan
Serikat Setan Merah......"
Keduanya sampai di puncak buki tempat pertemuan. Tiga orang penerima
tamu segera menyabut mereka. Salah seorang diantaranya segera mereka kenali
yaitu si kumis dan janggut pendek bernama Sangaji. Di wajahnya masih tampak bekas-
bekas hajaran Wiro tempo hari.
"Sepasang nenek dan kakek gagah! Atas nama Pimpinan, kemi mengucapkan
selamat datang di Bukit Batu Merah. Tempat pertemuan yang bakal mencatat sejarah
dalam dunia persilatan....." Sangaji selaku tuan rumah menyampaikan kata-kata
sambutan. Lupa pada perjanjiannya, Kemala lengsung saja ajukan pertanyaan. "Siapakah
pimpinan kalian.....?"
Wiro cepat menginjak kaki gadis itu seraya berkata. "Maksud nenek peot
pacarku ini apakah kami boleh mengambil tempat duduk. Berlari jauh mendaki bukit
benar-benar sangat melelahkan.......!"
"Ah, jadi nenek ini adalah pacarmu kakek gagah. Pasti kalian sudah lama
berpacaran!" Sangaji berkata. Mulutnya tersenyum tapi matanya mengawasi kedua
orang itu dengan tajam.
"Sudah.... Memang sudah lama kami pacaran. Dan ssstttt....." Wiro melirik
ke kiri dan ke kanan, seolah-olah takut ada orang lain mendengar apa yang akan
dikatakannya. "Kalian mau tahu. Kami pacaran sejak masih muda hingga tua bangka
begini rupa. Kami ...... kami bukan pacaran. Tapi juga kumpul kebo!
Ha...ha...ha...." Wiro tertawa gelak-gelak.
"Hik...hik....hik!" Kemala ikut-ikutan tertawa.
Sangaji dan kawan-kawannya juga turut tertawa gelak-gelak. "Kalian kakek
dan nenek hebat!" Sangaji memuji. Lalu meneruskan "Sesuai peraturan sebelum
kalian mengambil tempat duduk, harap memberi tahu siapa nama atau gelar kalian!"
"Ah, sungguh kami tua bangka tidak tahu peradatan. Sudah diundang orang
tapi lupa memperkenalkan diri!" menyahuti Wiro. Lalu dia memberi isyarat pada
Kemala. Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam lalu Wiro berkata. "Kami
dua tua bangka yang sudah bau tanah ini biasa dipanggil dengan gelaran Sepasang
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Tua Bangka Bertongkat Bambu Kuning. Lihat, senjata kami memang adalah sebatang
tongkat bambu!"
Sambil berkata begitu Wiro cabut tongkat bambunya dari pinggang. Entah
kapan dia menggerakkan tangan tahu-tahu tongkat itu sudah menyusup di ketiak
salah seorang anggota Serikat Setan Merah yang ada di samping Sangaji. Orang ini
sempat tersentak kaget. Wiro tarik kembali tongkat bambunya lalu mendekatkan ujung
bambu yang tadi terselip di ketiak orang itu ke arah hidungnya.
"Hueekkk.....! Ketiakmu bau amat!" kata Pendekar itu setelah lebih dulu
keluarkan suara seperti orang muntah. Si nenek tertawa cekikikan lalu tarik
tangan si kakek dan mencari tempat duduk di antara para tamu.
"Sepasang tua bangka gila!" maki anggota Serikat Setan Merah yang tadi
ketiaknya sempat disusupi tongkat bambu.
"Mereka bukan manusia-manusia gila!" menyahuti Sangaji. "Ketika keduanya
tertawa gelak-gelak, lewat mulut mereka yang terbuka aku dapat melihat barisan
gigi- gigi mereka. Tapi dan utuh, tak ada satupun yang ompong! Tua bangka seumur
mereka mana mungkin punya gigi seperti itu"! Beri tahu Kepala Keamanan, awasi
kedua orang itu dengan ketat! Bilamana pertemuan selesai jangan izinkan keduanya
pergi. Kita harus memeriksa mereka. Kalau perlu menelanjanginya!"
Anggota Serikat Setan Merah yang diperintahkan segera tinggalkan tempat itu.
Semakin tinggi baiknya sang surya semakin banyak para tamu mendatangi
tempat pertemuan di Bukit Batu Merah itu. Wiro dan Kemala duduk pada deretan
bangku kayu keenam di barisan sebelah kanan. Memandang berkeliling sesaat, Wiro
kemudian berbisik pada Kemala. "Aku melihat Pengemis Budiman di deretan kursi
paling belakang baris sebelah kiri. Dia membawa beberapa orang muridnya. Kakek
ini benar-benar berani mati, datang ke sarang macan tanpa menyamar!"
"Dia lebih menunjukkan jiwa kesatria dari pada kita!" tukas Kemala.
Wiro hendak menyahuti. Tapi terpaksa batalkan ucapannya karena tiba-tiba
terdengar suara seperti bunyi gong. Keras, menggema dan menggaung panjang di
seantero puncak bukit. Pada saat itu tampak seorang lelaki separuh baya,
berpakaian dan berikat kepala merah darah melangkah naik ke atas panggung. Di belakangnya
menyusul seorang lelaki yang juga mengenakan pakaian merah. Namun orang ini
menutupi wajahnya dengan sebuah kantong kain berwarna merah yang diberi
berlobang pada bagian mata dan bawah hidung.
Begitu sampai di atas panggung, orang pertama berbalik menghadap ke arah
para tetamu yang duduk di bangku-bangku panjang lalu mengangkat tangan kanannya
dengan telapak terkembang. Pada saat itulah Wiro segera mengenali orang ini. dia
berbisik pada Kemala. "Bangsat yang mengangkat tangan itu aku ingat betul. Dia
salah seorang yang menyusup ke kamar tidurku tapi kemudian sempat melarikan
diri...." Wiro masih hendak bicara panjang tapi orang di atas panggung terdengar
kembali berseru.
"Saudara-saudara para tetamu orang-orang gagah yang kami hormati, selamat
datang di Bukit Batu Merah, selamat dan berbahagia berada di antara kamu orang-
orang Serikat Setan Merah! Sesuai dengan rencana semula, hari ini akan dijadikan
bersejarah bagi dunia persilatan. Hanya sayang seribu kali sayang, pertemuan ini
dicemari oleh menyusupnya tamu-tamu yang datang ke tempat ini dengan hati buruk
dan maksud busuk! Menyadari suasana ini maka acara pertemuan terpaksa ditunda
beberapa saat. Atas nama Pimpinan Serikat Setan Merah, para tetamu yang merasa
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
membawa maksud jahat dan hendak menimbulkan kekacauan dipersilahkan
menunjukkan diri. Pemimpin, harap sudi memberi aba-aba......"
Orang yang kepalanya ditutup kain mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi
lalu berseru. "Aku memberi kesempatan sampai sepuluh hitungan! Jika di antara
para tamu tak ada yang mau menyerahkan diri, terpaksa kami menurunkan tangan keras!
Bahkan hukuman pancung!"
Wiro dan Kemala saling berpandangan sesaat.
"Aku rasa-rasa mengenali suara orang berkedok kain itu....." bisik Kemala.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba di bawah panggung ada orang yang berteriak seraya
bangkit dari duduknya. Ternyata dia adalah Si Pengemis Budiman! "Soal pancung
memancung bisa kita bicarakan kemudian. Aku minta agar kau sudi memperkenalkan
diri dan memperlihatkan wajahmu yang tersembunyi di balik kantong kain itu!"
Lelaki pendamping Pemimpin Seikat Setan Merah menjawab ucapan itu
dengan kata-kata. "Di tempat ini kami yang membuat peraturan! Para tetamu tidak
layak menyampaikan kehendak yang bukan-bukan! Orang tua harap beritahu siapa
kau adanya! Katakan nama atau gelarmu!"
"Orang memanggilku Pengemis Budiman. Beberapa waktu lalu anggota-
anggota Serikat Setan Merah menyerbu perguruanku tanpa alasan tanpa lantaran!
Kalian membunuh beberapa orang murid-muridku dan menculik murid perempuanku
bernama Griyati!"
Langsung suasana di tempat itu menjadi gaduh. Orang di atas panggung
mengangkat tangannya. Lalu dia berkata dengan suara lantang "Orang-orang kami
memang sengaja melakukan itu. Karena kau dan murid-muridmu bukan saja bicara
kotor tentang Serikat kami, tapi juga menolak memberikan uang perlindungan serta
membangkang tak mau bergabung dengan kami!"
"Siapa sudi bergabung dengan iblis-iblis macam kalian! Aku Pengemis
Budiman datang untuk menuntut balas! Hutang darah bayar darah, hutang nyawa
bayar nyawa! Katakan di mana Griyati"!" Bersamaan dengan berakhirnya ucapan
orang tua itu enam orang berpakaian merah segera bangkit di kiri kanan Pengemis
Budiman. Lalu secara bersamaan, dengan gerakan cepat mereka membuka pakaian
merah yang mereka kenakan. Di balik pakaian merah itu kelihatanlah pakaian si
kakek yang compang-camping, lalu pakaian enam muridnya yang berwarna biru
muda. "Bagus! Kalian sudah menunjukkan diri masing-masing! Sekarang atas izin
Pemimpin aku akan menunjukkan jalan kematian bagi kalian bertujuh! Para tetamu
dan para sahabat tolong dijaga agar tujuh pengacau itu tidak seorangpun sempat
melarikan diri!"
Habis berkata begitu orang ini keluarkan suitan keras. Di sekitar panggung
tiba-tiba saja muncul mengepung hampir lima puluh orang anggota Serikat Setan
Merah, rata-rata bertampang liar dan buas!
"Bunuh ketujuh orang itu!" Pemimpin Serikat Setan Merah berteriak dari
balik kain penutup kepalanya. Dia berpaling ke arah Wiro dan Kemala lalu sambil
menunjuk dia kembali berteriak
"Bunuh juga kakek dan nenek itu!"
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH "Celaka! Dia dan orang-orang Serikat Setan Merah sudah tahu penyamaran
kita!" berbisik Kemala.
"Tenang saja!" balas berbisik Wiro lalu dia berdiri. Kemala ikut bangkit.
Terdengar suara berkerontangan ketika lima puluh pengepung tempat
pertemuan sama-sama mencabut senjata masing-masing yaitu sebilah golok panjang!
"Siapkan pukulan sakti yang mengeluarkan cahaya abu-abu itu....." berkata
Wiro. "Mana mungkin kita menghadapi bangsat-bangsat bergolok sebanyak ini!"
"Tak ada yang tidak mungkin di dunia termasuk di puncak bukit ini!" sahut
Wiro. Baru saja dia berkata begitu, di atas panggung lelaki pendamping pimpinan
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serikat Setan Merah berseru. "Saudara-saudara para tetamu yang terhormat! Ini
saat kita menunjukkan bakti pada Perserikatan! Bantu kami menghancurkan kaum
penyusup!"
Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng kembali berbisik "Kau tetap di
sini. Aku harus membuat gebrakan!" Murid Sinto Gendeng ini kerahkan tenaga
dalamnya hingga suaranya menggelegar ketika dia berteriak. "Para orang gagah
rimba persilatan! Jika kalian masih menjunjung kebenaran mari bergabung bersama kami
dan Pengemis Budiman untuk menghancurkan komplotan keji Setan Merah ini!"
Diantara para tamu memang hanya merupakan undangan biasa saja yang
bukan merupakan anggota Serikat Merah. Meski banyak dari mereka sangat
membenci segala apa yang telah dilakukan Serikat bejat itu namun sebagai tamu
mereka merasa sungkan, hingga hanya ada dua orang saja yang berdiri lalu
melompat ke dekat Wiro tegak. Habis berteriak begitu Wiro melompat ke atas bangku kayu
yang kosong, dari sini dia melesat ke atas panggung melewati kepala para tetamu.
Di saat tubuhnya melesat di udara, terdengar suara mendengung laksana ribuan tawon
mengamuk. Cahaya putih menyilaukan berkiblat disertai menyambarnya hawa panas.
Semua orang yang duduk cepat rundukkan kepala bahkan ada yang bertiarap.
Beberapa diantara anggota Serikat Setan Merah yang baru bersiap-siap untuk
menyerbu dan terkena sambaran cahaya panas menyilaukan itu langusng terjengkang
dan roboh dengan bagian tubuh hangus melepuh!
Ketika Wiro mendarat di atas panggung, orang banyak melihat "kakek" itu
tegak berdiri dengan kaki terpentang. Di tangan kanannya ada seuah senjata
berbentuk kapak bermata dua.
"Kapak Maut Naga Geni 212!" terdengar beberapa mulut yang mengenali
berseru. Tapi sekaligus mereka terheran-heran. Bagaimana senjata mustika dunia
persilatan yang ditakuti dan diketahui milik Pendekar 212 Wiro Sabelgn kini
berada di tangan si kakek yang tidak dikenal"!
"Tua bangka pengacau! Siapa kau sebenarnya!" bentak Pimpinan Serikat
Setan Merah sementara pendampingnya bersurut keder dua langkah.
Si kakek mengumbar suara tertawa. Tangan kirinya merengut ke wajahnya
beberapa kali. Kanji kering yang menutupi wajahnya terkelupas. Kini kelihatanlah
mukanya yang asli.
"Kau!" teriak pemimpin Serikat Setan Merah terkejut. Dia langsung berpaling
ke arah si nenek yang tegak diantara para tamu. "Jangan-jangan....."
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Semua dengar!" teriak Wiro. "Aku berusaha mencegah pertumpahan darah
dan ingin menangkap manusia biang racun ini hidup-hidup. Tapi siapa ingin
mencari mati silahkan maju!" Wiro melambaikan tangan kirinya ke arah Pengemis Budiman
dan berseru. "Kakek sahabatku, apakah kau dan murid-muridmu sudah siap"!"
"Kami sudah siap dari tadi! Hanya saja kalau kau inginkan bangsat itu hidup-
hidup, aku lebih suka mencincang tubuhnya sampai lumat!" menjawab Pengemis
Budiman yang meskipun senang melihat pendekar konyol berkepandaian tinggi ini
berada di pihanya tapi diam-diam dia masih mendendam atas perbuatan Wiro tempo
hari yang mempermalukannya di depan murid-muridnya sendiri yaitu menarik
celananya hingga auratnya yang terlarang tersingkap jelas!
"Boronowo! Kau tunggu apa lagi! Lekas bunuh pengacau satu ini! yang lain-
lain cincang pendekar Budiman bersama murid-muridnya! Bunuh siapa saja yang
berani menantang Serikat Setan Merah!"
Yang berteriak adalah pemimpin Serikat Setan Merah yang sampai saat ini
masih menyembunyikan kepala wajahnya di balik kain merah.
Orang di atas panggung yang bernama Boronowo, yang merupakan tangan
kanan sang pemimpin dan sekaligus menjabat sebagai Kepala Keamanan Serikat
Setan Merah sesaat tampak ragu. Tentu saja hatinya merasa kecut karena malam
ketika dia hendak melakukan pembunuhan atas diri Wiro Sabelng, murid Sinto
Gendeng itu telah menghajarnya hingga mutah darah dan terluka parah di dalam.
Sampai saat itu luka dalamnya masih belum sembuh. Dadanya kerap kali sesak dan
setiap bernafas dalam dan panjang terasa mendenyut sakit. Saat itu dia lebih
suka berada di tempat lain. Tapi di atas panggung dan diperintah begitu rupa mana
mungkin bagi Boronowo untuk menghindar. Maka mau tak mau dai lalu loloskan
goloknya karena memang ilmu golok adalah kepandaian yang paling diandalkannya.
Di samping itu untuk membentengi diri tenaga dalamnya langsung di alirkan di
tangan kiri. Boronowo membuka serangan dengan satu bentakan keras sambil
membabatkan senjatanya ke pinggang Pendekar 212 Wiro Sableng!
Di bagian lain, lima puluh anggota Serikat Setan Merah ditambah beberapa
tokoh persilatan yang tersesat masuk bergabung dengan komplotan itu sudah
bergeark pula menyerbu Pendekar Budiman dan enam muridnya yang dibantu oleh beberapa
orang persilatan yang memang sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan
Serikat Setan Merah. Si "nenek" Kemala yang ada di antara orang-orang itu tentu
saja menjadi sasaran serangan pula. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini hantamkan kedua
tangannya ke depan.
Wusssss! Wusssss! Dua gelombang sinat abu-abu yang menghampar hawa dingin menggebu ke
arah para penyerang. Empat orang anggota Serikat Setan Merah berteriak keras.
Tubuh mereka terpental sampai dua tombak lalu roboh terjengkang di tanah tanpa
mampu bergerak lagi. Masing-masing menjadi kaku dan sekujur tubuh terasa dingin
laksana dibungkus es! Rahang mereka menggembung, geraham bergemelatakan.
Akhirnya keempat orang ini menemui ajal dengan muka mengkerut dan mulut
menganga. Betapapun tingginya tingkat kepandaian Kemala, namun dikeroyok oleh lebih
sepuluh orang lawan membuat gadis ini serta merta terdesak hebat. Dengan nekad
dia merampas golok salah seorang anggota Serikat Setan Merah. Lalu dengan golok di
tangan kanan dan tongkat bambu kuning di tangan kiri, gadis ini mengamuk. Dua
orang rebah mandi darah. Namun serangan bukannya berkurang. Empat orang lagi
datang menyerbu hingga kini ada dua belas orang yang mengeroyok sang dara,
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kemudian di tambah lagi oleh seorang tokoh silat bertubuh bungkuk yang merangsak
dengan sebuah senjata berbentuk celurit besar. Kembali murid Ki Ageng Kuncoro
Bekti ini terdesak hebat.
Pendekar Budiman dan enam muridnya serta tiga tokoh silat yang ikut
membantunya saat itu harus menghadapi gempuran lebih dari tiga puluh orang
anggota Serikat Setan Merah. Dua diantara mereka adalah Sangaji dan Galut.
Pendekar budiman mengamuk dengan senjatanya yaitu tongkat akar pohon.
Benda ini berkelebat kian kemari, menggebuk dan menusuk. Dua korban pertama
segara menjadi korban si kakek. Satu pecah kepalanya, satu lagi ambrol perutnya
ditembus ujung tongkat! Namun seperti juga Kemala, keadaan pendekar tua dan
murid-muridnya itu segera terjepit dalam kurungan para pengeroyok.
Si kakek kertakkan rahang. Tongkatnya diputar secara aneh hingga berubah
seperti sebuah titiran. Terdengar pekik di sana sini. Korban jatuh lagi di pihak
anggota Serikat Setan Merah. Tapi salah seorang murid Pendekar Budiman saat itu tidak
mampu loloskan diri dari satu serangan serentak yang dilancarkan tiga orang
anggota komplotan serta seorang tokoh silat golongan hitam. Tubuhnya terkutung di bagian
bahu kiri, roboh mandi darah. Lalu selagi dia mengerang kesakitan satu tusukan
golok menembus lehernya!
Pendekar Budiman menggembor marah menyaksikan kematian muridnya itu.
tongkat akar kayu terus di putar sementara tangan kirinya dengan cepat menyusup
ke balik pakaian. Begitu dikeluarkan langsung dihantamkan ke depan. Terdengar suara
berdesing sewaktu selusin paku halus menderu di udara. Lima anggota Serikat
Setan Merah terpekik. Tujuh lainna masih sempat melihat melesatnya senjata rahasia itu
lalu cepat-cepat jatuhkan diri cari selamat.
Meski banyak dari kawan-kawan mereka sudah menemui ajal tapi anggota-
anggota Serikat Setan Merah benar-benar nekad. Mereka terus merangksek dan entah
darimana munculnya tahu-tahu ada sepuluh lagi orang berpakaian merah memasuki
ajang pertempuran.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Kembali ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya
Wiro sengaja tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan
orang dengan melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung
susul dengan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun
pengerahan tenaga dalam yang begitu besar membuat luka dalamnya yang masih
belum sembuh menjadi kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi
orang ini berlaku nekad! Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan
pukulan. Wuuuuuttt! Angin deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas
menangkis dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak
tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela
bibirnya kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah panggung.
Tangan kirinya diangkat memegangi dada.
"Kucing buduk!" Wiro berkata seenaknya. "Jika kau mau memerintahkan
anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni selembar nyawamu!"
"Setan alas! Bangsat rendah!" menyumpah Boronowo. "Kalau malam itu aku
tak dapat membunuhmu, saat ini jangan harap nyawa anjingmu bisa lolos dari
tanganku!"
Lalu dia melompat ke depan. Goloknya berputar ganas dan aneh. Rupanya dia
tengah mengeluarkan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling hebat. Wiro merasa
seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak cepat untuk selamatkan
diri. Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti satu magnit yang menarik senjata
lawan. Golok itu terus mengikuti kemana dia bergerak.
Breet......brrreeeeeettt!
Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dada dan perut. Wiro melompat
jauh sambil meringis kecut. Tengkuknya terasa dingin. Baru sekali ini dia
menghadapi orang memiliki ilmu golok begitu luar biasa! Karenanya ketika
Boronowo kembali menyerbunya tanpa tunggu lebih lama murid Sinto Gendeng
angkat tangan kanannya.
Terdengar suara menggaung disertai berkilatnya sinar putih perak
menyilaukan. Traang! Golok di tangan Boronowo patah dua dan terpental lepas dari tangannya.
Bersamaan dengan itu tubuhnya jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya
terasa kaku dan panas. Dia berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat
satu tendangan melabrak dadanya! Tubuh Boronowo tercampak ke bawah panggung,
bergulingan beberapa kali lalu terhenti di depan serumpun semak belukar liar.
Buuukk! Satu pukulan keras menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng
tersungkur ke puanggung. Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main.
Tapi kemarahan pendekar inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan diri ke kiri
dia menyaksikan pemimpin Serikat Setan Merah siap menghujamkan sebuah senjata
berbentuk tombak pendek ke arah perutnya!
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Setan Merah keparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak
Naga Geni 212 ini!" teriak Wiro marah. Setangah berlutut dia hantamkan senjata
mustikanya ke depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat
itu terdengar suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah
patah tiga dan patahannya mencelat ke udara. Pemiliknya sendiri tampak sudah
melompat dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!
"Sudah saatmu membuka kain penutup kepala itu! Perlihatkan tampangmu
manusia setan!" ujar Wiro seraya melangkah mendekati. Yang didekati tiba-tiba
membuka tangan kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya.
Wuss! Terdengar suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh
asap tebal berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang,
pemimpin Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke
arah kiri! Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya,
lain halnya dengan orang-orang yang brada jauh di bawah panggung. Hampir semua
orang diantaranya Kemala dan Pendekar Budiman, sempat melihat kearah mana
kaburnya pimpinan Serikat Setan Merah itu. Merasa tidak ada gunanya meneruskan
perkelahian, apalagi dia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai
saat itu masih berada dalam penyamaran sebagai seorang "nenek" keluarkan bentakan
keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada di kedua tangannya.
Begitu lawan tersibak, kesempatan ini dipergunakan si gadis untuk menyelinap
keluar dari kalangan perkelahian dan lari ke jurusan timur.
Sambil lari Kemala berteriak "Wiro ikuti aku! Bangsat itu lari ke arah lereng
timur!" Dalam keadaan terbatuk-batuk keluar dari kepungan asap lalu melompat ke
jurusan di mana dilihatnya Kemala berkelebat. Hal yang sama juga dilakukan
Pendekar Budiman begitu mendengar teriakan Kemala. Jauh-jauh datang untuk
menuntut balas malah ada anak muridnya yang sudah jadi korban maka kalau sampai
kehilangan musuh besarnya itu, dia akan mati penasaran! Di lain pihak,
mengetahui bahwa pimpinan mereka melarikan diri, apalagi setelah menyaksikan matinya
Boronowo, para anggoa Serikat Setan Merah menjadi patah semangat kalau tak mau
dikatakan putus nyali. Semuanya memilih melarikan diri. Mereka berserabutan ke
berbagai penjuru Bukit Batu Merah itu.
Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki
ilmu lari yang bisa menyelamatkan dirinya. Dalam waktu sebentar saja Kemala
berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.
"Manusia setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau buka kain merah
penutup kepalamu! Atau aku yang membukanya bersama-sama batang lehermu!"
berkata Wiro sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada.
Sepasang mata di balik kain merah itu tampak melotot ketakutan. Dia melirik
ke kiri dan ke kanan.
"Jangan harap bisa lolos dari tangan kami!" membentak Pendekar Budiman.
"Lekas katakan di mana muridku Griyati kau sekap!"
"Kalau..... kalau kuberi tahu di mana gadis itu berada, kalian harus berjanji
untuk tidak membunuhku dan membiarkan aku pergi!" berkata pemimpin Serikat
Setan Merah. Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan
Merah. Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro Sableng 046 Serikat Setan Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu dia seperti mengenali suara orang iu. Tiba-tiba degnan kecepatan seperti
kilat Kemala melompat ke depan. Tangan kirinya menyambar dan........!
"Paman Suro Kenanga!" teriak Kemala ketika kain pembunkus kepala
pemimpin Serikat Setan Merah berhasil direnggutnya dan dia serta Wiro dan
Pendekar Budiman kini dapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu! "Aku
tidak bermimpi......" desis Kemala seraya menggosok-gosok kedua matanya. Ketika ingat
kalau saat itu dia masih menyamar sebagai nenek, dengan tangan kirnya Kemala
menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.
"Kemala, keponakanku..... Aku sudah duga. Memang kau rupanya....." Suro
Kenanga merasakan lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro
dan Pendekar Budiman tertegak bengong. Tapi di lain kejap orang tua berpakaian
compang camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar
kayunya ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka
tertembuslah leher sang Adipati.
"Lekas katakan di mana murid perempuanku! Atau kubunuh kau saat ini
juga!" mengancam Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan
dendam kesumat.
"Paman.....!" berseru Kemala. "Bagaimana ini bisa terjadi! Benar kau menjadi
pemimpin komplotan orang-orang jahat yang menamakan Serikat Setan Merah
itu....."!"
"Kau melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya....." jawab Suro
Kenanga dengan suara perlahan dan sekujur tubuh kuyu. "Dosaku keliwat besar!
Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!"
"Bangsat! Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!"
teriak Pendekar Budiman.
"Muridmu berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang
menyentuh dirinya atau menodainya....."
"Aku tidak bisa percaya kata-katamu Adipati laknat! Sebelum aku melihat
sendiri keadaan muridku!" sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke
leher Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.
"Aku bersumpah tidak mendustaimu. Muridmu berada di ruang bawah
bangunan berbentuk candi di halaman belakang gedung Kadipaten........."
Pendekar Budiman kembali hendak membentak tetap Kemala lebih dulu
membuka mulut "Paman, saya tak habis mengerti dan sangat menyesalkan. Mengapa
kau melakukan semua ini....."
Sepasang mata Suro Kenanga tampak berkaca-kaca. "Aku ......aku
melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta....."
"Uang dan harta....." Untuk apa paman"!" tanya Kemala.
"Aku harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang
berharga pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup
mendapatkannya kecuali melakukan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat.
Merampas dan merampok. Ketika keadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan
orang-orangku melakukan kejahatan itu. lambat laun mereka berubah menjadi
penjahat beneran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka
jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka..... Ah Gusti Allah.
Dosaku terlalu besar dan berat!"
"Paman, kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu" Lalu kepada
siapa kau berikan?" bertanya Kemala
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Uang dan harta itu sebagai suapan agar aku tetap menduduki jabatan Adipati
seumur hidup. Kepada siapa aku memberikannya tak mungkin aku beri tahu. Ya
Tuhan.... Aku sadar aku ini gila jabatan. Gila kekuasaan....."
Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia memang sudah bercuriga
bahwa pemimpin Serikat Setan Merah itu adalah Suro Kenanga. Dia tidak mau
memberi tahukannya pada Kemala. Takut kesalahan. Ternyata dugaanya tidak
meleset! "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Wiro meminta pendapat
Pendekar Budiman.
Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala.
"Paman, kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada
jalan lain. Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu...."
Suro Kenanga menggelengkan kapala. "Berjalan jauh-jauh ke Kotaraja hanya
untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus mati menebus dosa-dosaku, lebih
baik mati di tempat ini saja. Sekarang!"
Tiba-tiba sekali Suro Kenanga menarik dan menghujamkan keras-keras ke
lehernya sendiri tongkat akar kayu milik Pendekar Budiman yang sejak tadi
menempel di lehernya!
Darah muncrat. Kemala berteriak. Pendekar Budiman dan Wiro terkesiap
kaget. Perlahan-lahan kedua tangan yang memegang kencang tongkat kayu itu
terkulai lemas dan jatuh ke samping. Pendekar Budiman tak berani menarik
tongkatnya. Ketika senjata andalannya itu dilepasnya, sosok tubuh Adipati Suro
Kenanga yang sudah jadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah. Lereng
bukit itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar di
antara siliran angin yang berhembus.
TAMAT BASTIAN TITO 43 Pedang 3 Dimensi 9 Pendekar Rajawali Sakti 146 Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Memburu Putri Datuk 1