Ki Ageng Tunggul Keparat 3
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat Bagian 3
putih. Si Kipas Besi yang saat itu masih duduk tenang-tenang di punggung kudanya begitu
melihat si nenek muka putih jadi menyipit sepasang matanya lalu membentak,
"Malai- kat Tak Bernama, apa-apaan kau berani mencampuri
urusan orang lain"!"
"Mmmm..." si nenek bergumam dan melirik ke arah Si Kipas Besi. "Sejak jadi kaki
tangan istana mulutmu sudah tambah besar, Kipas Besi. Apa perlu kurobek agar
lebih lebar"!"
Muka si Kipas Besi jadi mengelam merah. Dia hendak membentak tapi Brajaseta
sudah mendahului, "Orang tua, apa yang terjadi di sini tak ada sangkut-pautnya
dengan dirimu. Sebaiknya..."
"Tak ada sangkut pautnya"!" potong si nenek lalu tertawa tinggi dan panjang.
"Kedua orang muda-mudi ini murid-muridku. Bagaimana mulutmu bisa lancang
mengatakan tak ada sangkut paut"!"
"Heh!" Brajaseta melengak heran. Tadipun dia sudah mendengar manusia muka putih
itu menyebut Jakawulung dan Larasati murid-muridnya. "Nenek muka putih, kau
jangan bicara melantur. Sultan Trenggono tidak pernah mengambil guru manusia
macam kau...!"
"Begitu...?" si nenek muka putih tenang-tenang saja.
"Lalu pernah atau tidaknya apa urusanmu!" Tanpa perduli-
kan lagi Brajaseta, Malaikat Tak Bernama berpaling pada muda-mudi itu dan
berkata, "Murid-muridku, mari kita tinggalkan tempat ini."
"Mana bisa begitu"!" hardik Brajaseta. Dia mengha-
dang di tengah jalan. "Atas nama kerajaan, kau kami tangkap...!"
"Dengan tuduhan apa?" tanya Malaikat Tak Bernama.
"Menculik Gusti Ayu Ning Larasati!" jawab Brajaseta.
Si Malaikat Tak Bernama tertawa gelak-gelak. Gigi-giginya tampak masih lengkap
dan putih. "Dia tidak menculikku. Dia justru yang menyelamatkan aku dari tangan Lor
Parereg!" tiba-tiba Larasati berkata.
"Hmmm, paman khawatir jalan pikiranmu sudah
disesatkan tua bangka ini Gusti Ayu. Kau pasti telah diobatinya!" kata
Brajaseta. "Brajaseta! Mulutmu terlalu lancang! Aku bukan guru cabul!"
"Aku sama sekali tidak mengatakan kau guru cabul!
Terserah kalau kau membuka kedokmu sendiri!" tukas Brajaseta.
Muka putih Malaikat Tak Bernama berobah merah.
"Kalau saja aku tidak berpantang membunuh sudah kupe-
cahkan kepalamu, Brajaseta!" kata si nenek.
"Tangkap mereka! Bunuh kalau melawan! Selamatkan Gusti Ayu!" perintah Brajaseta.
Puluhan prajurit, delapan perwira berkepandaian tinggi dan menyusul Brajaseta
sendiri serta Si Kipas Besi segera menyerbu Malaikat Tak Bernama dan muridnya
Jaka- wulung. Melihat pengeroyokan ini Jakawulung segera meng-
ambil pedang salah seorang perwira yang tadi dipanah gurunya lalu mengamuk
dahsyat. Si Malaikat Tak Bernama sendiri didahului oleh lengkingan tinggi
berkelebat lenyap dan di sebelah kiri kanan susul menyusul terdengar jeritan
prajurit-prajurit yang mengeroyok.
Dalam pertempuran itu meskipun Malaikat Tak Ber-
nama dan Jakawulung menunjukkan kehebatan luar biasa namun jumlah lawan terlalu
banyak. Di samping itu mereka harus melindungi Larasati hingga perhatian mereka
jadi terbagi. Belum lagi serangan jarak jauh yang dilepaskan oleh Brajaseta dan
Si Kipas Besi. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran, Brajaseta dan Si Kipas Besi merangsak masuk
mendekati Malaikat Tak Bernama. Dalam satu jurus yang hebat si nenek ini terpak-
sa bergerak melindungi Larasati ketika Brajaseta hendak merenggut tangannya.
Justru saat itu Si Kipas Besi menyerbu dari kiri, menghantamkan senjatanya.
Hanya ada dua pilihan bagi si nenek, melepaskan Larasati atau mengelakkan
serangan kipas besi.
Si nenek ini ternyata tidak mau memilih. Dia ingin menyelamatkan diri dan
sekaligus menyelamatkan Lara-
sati. Maka tangan kanan mempertahankan gadis itu dan tangan kiri dipergunakan
untuk menangkis serangan kipas.
Si Kipas Besi berlaku cerdik. Dengan mengerahkan
tenaga dalam ke senjatanya dia hantam pergelangan tangan lawan. Si nenek muka
putih mengeluh tinggi.
Tulang lengannya patah. Sedang Si Kipas Besi menyurut kaget. Senjatanya ambrol
rusak! "Jaka! Lekas pergi dari sini! Bawa Larasati!" seru Malaikat Tak Bernama.
"Tidak guru! Saya lebih rela mati bersamamu di sini!"
jawab Jakawulung. Dan pedangnya berkelebat ganas.
Seorang prajurit roboh.
"Jangan jadi orang tolol Jaka!" teriak si nenek. "Yang penting selamatkan
Larasati!"
"Akupun rela berkubur di sini guru!" teriak Larasati.
Si nenek jadi terharu. Gadis itu baru saja diambilnya jadi murid, bahkan
dilatihpun belum. Namun kesetiaannya terhadapnya benar-benar mengagumkan.
Kecamuk pera- saan ini justru membuat si nenek menjadi lengah. Pedang Brajaseta berhasil
melukai dadanya.
"Jakawulung! Tunggu apa lagi! Lari dan selamatkan Larasati!" teriak si nenek.
Suaranya keras dan bernada marah.
Jakawulung jadi bingung. Dalam pada itu dilihatnya gurunya tersungkur ke depan.
Dia memegang tangan Lara-
sati erat-erat. Lima perwira mengurung mereka. Brajaseta ikut membantu. Lima
pedang perwira datang menderu. Tak ada jalan lain. Jakawulung harus menangkis.
Tiga pedang sekaligus menghantam pedangnya hingga terlepas mental.
Masih untung dia masih dapat menyelamatkan diri dari sambaran dua pedang
lainnya. Tapi itupun tak ada
gunanya. Karena dari kiri tusukan pedang Brajaseta datang dengan ganas!
Namun sebelum ajal berpantang mati, sebuah benda
hitam entah dari mana datangnya melesat laksana meteor dan menghantam tangan
kanan Brajaseta. Kepala Pasu-
kan Demak ini mengeluh kesakitan dan terpaksa lepaskan pedang. Di saat yang sama
satu angin sedahsyat topan prahara menggebu. Belasan prajurit dan beberapa
perwira, termasuk Brajaseta tersapu sampai satu tombak. Ketika tiupan angin itu
sirna, di tengah kalangan pertempuran tegaklah seorang pemuda bertubuh tegap,
mengenakan pakaian putih yang bagian dadanya tidak dikancingkan.
Sikapnya gagah tapi gayanya lucu seperti orang tolol. Dia memandang berkeliling
sambil tersenyum.
Tak satu orangpun di situ yang kenal siapa adanya pemuda yang telah
menyelamatkan Jakawulung ini, kecuali si Malaikat Tak Bernama yang saat itu
terduduk di tanah dengan tubuh penuh luka-luka. Si pemuda tak menunggu lebih
lama, selagi semua orang terkesiap, dia segera dukung tubuh si nenek.
Si nenek usap-usap rambut gondrong si pemuda seraya berkata, "Pendekar 212!
Syukur, di saat aku mau mati begini rupa masih sempat bertemu denganmu..."
Si pemuda tertawa dan menjawab, "Orang tua, siapa bilang kau bakal mati" Ajal di
tangan Tuhan."
"Wiro Sableng! Memang benar ajal di tangan Tuhan.
Tapi kau lebih dari tahu kalau saat ini aku segera akan mati."
"Sudahlah nenek muka putih. Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!" Si pemuda
yang bukan lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng alias Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 berpaling pada Jakawulung dan Larasati yang berdiri bengong setelah
diri mereka diselamatkan secara tidak terduga.
Dari seberang Brajaseta dan Kipas Besi segera men-
datangi. "Pemuda asing! Kau juga mencari penyakit! Turunkan tubuh tua bangka itu dan
pergi dari sini! Jangan sampai aku merubah pikiran untuk menangkapmu sekaligus!"
bentak Brajaseta.
Wiro Sableng ganda tertawa. Dia berkata, "Brajaseta, sebagai alat kerajaan kau
memang pantas dipuji karena telah menjalankan tugas dengan baik! Tapi tindakanmu
kelewat batas! Bawa pasukanmu meninggalkan tempat ini!" Mendengar kata-kata
pemuda yang tidak dikenalnya itu tentu saja Brajaseta marah. Di saat itu
sepasang mata Si Kipas Besi melihat tiga deretan angka pada dada si pemu-
da dan menjadi terkejut. 212. Dia sadar berhadapan dengan siapa dan cepat-cepat
hendak memberitahu pada Brajaseta. Tapi Kepala Pasukan Demak ini sudah melang-
kah maju seraya melepaskan jotosan keras ke kepala Wiro Sableng. Pendekar ini
melompat ke belakang hingga serangan Brajaseta hanya mengenai tempat kosong.
Malaikat Tak Bernama tertawa bergelak ketika melihat Brajaseta hampir tersungkur
karena kehilangan keseim-
bangan. Penasaran Kepala Pasukan Demak ini hendak memburu lawannya dengan
serangan kedua. Namun saat itu Wiro Sableng sudah lepaskan satu pukulan dahsyat.
Dan terjadilah hal yang luar biasa.
Bumi laksana digoncang gempa. Pasir dan batu di
tengah jalan menggebu beterbangan. Ranting pepohonan berputusan bahkan ada dua
pohon yang tumbang. Belasan prajurit terguling-guling. Belasan perwira tinggi
tergelim- pang. Si Kipas Besi dan Brajaseta terkejut dan lekas ber-
lindung di balik sebatang pohon besar. Mereka menyangka tiba-tiba ada serangan
topan dan tak berani bergerak atau melakukan apapun.
Wiro yang memanggul Malaikat Tak Bernama dan
Jakawulung serta Larasati yang berada di bagian yang tidak diselubungi angin
besar itu memberi isyarat pada kedua muda-mudi agar segera mengikutinya. Mereka
memasuki rimba belantara. Dari sini Wiro lepaskan satu pukulan Sinar Matahari ke
arah orang-orang kerajaan itu hingga mereka merasa seperti dunia ini mau kiamat!
Dan tak satu orang pun yang berani melakukan pengejaran!
Setelah berada jauh dalam hutan, Malaikat Tak Ber-
nama terdengar berkata, "Kau hebat sekali Wiro," memuji nenek muka putih ini.
"Aku berterima kasih kau telah menyelamatkan diriku dan murid-muridku. Tapi
nyawaku rasanya tidak tertolong lagi..."
"Sudahlah nenek, kau tak boleh banyak bicara dulu.
Aku akan obati luka-lukamu," menyahuti Wiro.
"Turunkan aku, aku ingin berbaring..."
Wiro terpaksa membaringkan orang tua ini di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Larasati... mana Larasati...?" si nenek bertanya.
"Saya di sini guru," jawab si gadis dan datang men-
dekat. "Aku akan pergi muridku..."
"Tidak, guru akan sembuh. Bukankah guru telah berjanji untuk menggembleng saya
di puncak Gunung Karang?"
Malaikat Tak Bernama tersenyum pahit. Diulurkannya tangannya untuk membelai
rambut si gadis. Namun
setengah jalan tangan itu terkulai.
Larasati terpekik. Jakawulung merasakan dadanya
sesak dan menahan air mata yang hendak membersit
keluar. Malaikat Tak Bernama sudah tiada lagi.
Setelah membiarkan kedua muda-mudi itu dilamun
oleh suasana duka cita beberapa lamanya, Wiro lalu membuka mulut "Di mana
jenazah guru kalian ini akan dikubur. Lalu apa yang akan kita lakukan?"
Larasati berdiam diri karena dia memang tak tahu
harus mengubur jenazah gurunya di mana. Jakawulung termenung, berpikir-pikir.
"Sebaiknya kita pergi ke Danau Merak Biru..." kata Jakawulung kemudian.
"Kenapa ke situ?" tanya Larasati.
"Di sana diam seorang Empu. Namanya Pamenang. Dia masih ada hubungan darah
dengan guru. Kita akan kubur-
kan jenazah guru di sana."
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
13 IR DANAU yang amat biru dan tenang itu merupakan
satu pemandangan indah. Di langit sang surya
A memancarkan sinar lembut kuning. Empat sosok
tubuh berdiri mengelilingi kuburan merah di salah satu tepian danau. Setiap
wajah menunjukkan rasa duka cita yang mendalam.
"Maut adalah kuasanya Tuhan," kata orang tua berbadan bungkuk yang tegak di
samping Wiro Sableng.
"Semua kita akan mengalami kematian. Semoga adikku mendapat tempat yang sebaik-
baiknya di alam baka..."
Perlahan-lahan orang tua itu memutar tubuh dan
melangkah ke arah sebuah pondok. Wiro, Jakawulung dan Larasati mengikuti dari
belakang. Di dalam pondok...
Setelah suasana sunyi cukup lama mencengkam maka
berkatalah orang tua bungkuk yang pakaiannya merupakan selempangan kain putih
itu. Dialah Empu Pamenang, penghuni pondok sunyi di Danau Merak Biru, saudara
sepupu si Malaikat Tak Bernama.
"Jakawulung, Larasati. Karena kau sudah datang kemari maka tanggung jawab atas
diri kalian terletak di tanganku. Biarlah aku mewakili saudaraku untuk meng-
gembleng kalian. Kalau saja aku tidak mempunyai
larangan membunuh, maulah aku membalaskan sakit hati kematian saudaraku itu.
Karena itu kelak kalian harus belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari bisa
melakukan pembalasan yang setimpal terhadap orang-orang yang telah berlaku
sewenang-wenang itu."
Empu Pamenang memalingkan kepalanya pada Wiro
Sableng, "Pendekar muda, jika tidak karena kau tentu..."
"Ah, aku tak berani menerima ucapanmu itu Empu,"
Wiro memotong cepat. "Semua kita hanya melakukan kewajiban masing-masing."
"Betul, memang kewajiban." Kata Empu Pamenang pula. Lalu orang tua ini kelihatan
seperti merenung, "Ingat pada kewajiban itu aku serasa hidup di atas bara
panas..." Baik Wiro maupun Larasati serta Jakawulung tidak
mengerti maksud kata-kata orang tua itu. Mereka saling bertanya-tanya dalam hati
dan Wiro merasakan adanya kelainan pada air muka Empu Pamenang.
"Kewajiban telah memburuku sejak sepuluh tahun yang silam. Namun kewajiban itu
tidak pernah bisa kulaksana-
kan karena adanya pantangan membunuh!"
"Gurupun mempunyai pantangan begitu," berkata Jakawulung. "Apakah sebabnya?"
Empu Pamenang tersenyum rawan.
"Tak bisa kuterangkan sebabnya, Jaka..."
"Kalau saya boleh bertanya," kata Wiro pula, "Kewa-
jiban apakah yang telah memburu Empu sejak sepuluh tahun itu?"
Empu Pamenang menghela nafas dalam. Lewat pintu
pondok yang terbuka dia memandang ke danau berair biru.
Kini air danau itu mulai bergelombang-gelombang kecil karena tiupan angin di
rembang petang.
"Limabelas tahun yang lalu aku mempunyai tiga orang murid yang amat kukasihi.
Setelah lima tahun kugembleng di tempat ini, datanglah manusia jahat pembawa
malape- taka itu. Tanpa pasal tanpa alasan ketiga muridku dibunuh.
Tubuh mereka dipotong-potong dan kepala mereka disate dengan sebuah tombak lalu
tombak itu ditancapkan di atas pondok ini. Dan atas semua itu aku tak bisa
melakukan pembalasan..."
"Empu tidak tahu siapa pembunuhnya?" bertanya Jakawulung.
"Bukan, bukan karena aku tidak tahu. Tapi karena aku mempunyai larangan
membunuh."
"Boleh saya tahu siapa manusia yang jahat luar biasa itu, Empu?" Kali ini Wiro
Sableng yang bertanya.
"Sebelum aku menjawab, maukah kau melakukan satu permintaanku Wiro" Tentu saja
kau berhak menolak..."
"Katakanlah, Empu."
"Wakili diriku membalas sakit hati dendam kesumat yang telah kupendam selama
sepuluh tahun itu."
Wiro termenung. Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya dia menjawab, "Kepercayaan
yang Empu berikan akan saya laksanakan sedapat mungkin."
"Terima kasih," jawab sang Empu. "Manusia itu ber-
nama Supit Jagal. Dia tinggal di sebuah goa batu di Teluk Burung, di pantai
utara. Kabarnya dia mempunyai seorang adik yang tak kalah jahatnya, bernama
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Supit Ireng."
"Baiklah Empu, sesuai dengan permintaanmu saya akan coba melaksanakan
pembalasan."
Bagi murid Eyang Sinto Gendeng ini meski dia tidak punya sangkut paut dengan
Supit Jagal namun setiap manusia-manusia jahat golongan hitam sudah semestinya
diberi ganjaran. Dibasmi dari permukaan bumi. Dengan tugas itu di pundaknya
keesokan paginya Pendekar 212
Wiro Sableng meninggalkan Danau Merak Biru.
*** DI keheningan malam itu hanya siliran angin yang
terdengar. Bahkan burung-burung hantu-pun yang biasa memperdengarkan suaranya
yang seram malam ini
membisu. Menjelang dinihari kesunyian yang dicengkam oleh dinginnya udara
mendadak sontak dirobek oleh suara lolongan anjing. Lolongan itu terdengar
berulang kali, panjang dan menggidikkan. Mungkin anjing-anjing itu melihat
setan-setan gentayangan. Namun yang jelas tak lama setelah suara lolongan
binatang itu berhenti, dari arah timur desa Pasirginting terdengar derap kaki
kuda. Tak lama kemudian dalam kegelapan kelihatanlah tiga penunggang kuda memasuki
desa. Ketiganya berpakaian serba hitam pekat. Tampang mereka penuh cacat, amat
mengerikan. Jika ada orang yang kebetulan melihat mereka pastilah menduga ketiga
penunggang kuda itu adalah setan-setan yang sedang keluyuran.
"Pasti ini rumahnya!" kata penunggang kuda paling depan seraya menahan tali
kekang kudanya. Dua kawan-
nya behenti di sampingnya. Rambut mereka rata-rata gon-
drong dan acak-acakan. Kumis serta cambang bawuk yang liar menambah keseraman
wajah yang penuh cacat itu!
Saat itu ketiganya berhenti di depan sebuah rumah paling besar di seluruh desa
Pasirginting. Lelaki yang tadi bicara berpaling pada kawan-kawannya dan berkata,
"Rah Gludak, kau berjaga-jaga di pintu belakang. Dan kau Kunto, naik ke atas
atap. Awasi seluruh pekarangan. Kalau ada yang datang hantam saja dengan senjata
rahasia. Yang penting kau harus mengawasi jangan sampai bangsat itu melarikan
diri!" "Tak usah khawatir Parereg," jawab Kunto Handoko.
"Dia tak kan bisa lolos!"
Lor Parereg berkata lagi, "Aku akan masuk dari pintu depan, bila kalian dengar
aku sudah bicara dengan keparat itu kalian baru bertindak masuk. Mengerti?"
Kunto Handoko dan Rah Gludak mengangguk. Dengan
gerakan laksana seekor burung dia melompat ke atap rumah tanpa menimbulkan
sedikit suara pun. Sedang Rah Gludak bergerak ke pintu belakang dan Lor Parereg
lang- sung mendekati pintu depan. Pada saat itu di samping rumah muncullah dua orang
berbadan tinggi kekar yang langsung melompat ke hadapan Lor Parereg. Ternyata
keduanya adalah penjaga rumah.
"Pencuri tengik berani mencari mati! Berani mencuri di rumah kepala desa!"
teriak salah seorang dari penjaga rumah. Namun keduanya sesaat jadi tercekat
ketika melihat wajah manusia yang mereka sangka pencuri itu.
Benar manusia atau setankah orang ini"! Kalau manusia mengapa wajahnya lebih
seram daripada setan"
"Dengar sobat-sobatku," kata Lor Parereg tenang. "Aku bukan pencuri. Aku justru
datang untuk membawakan hadiah untuk kalian! Ini, terimalah!"
Lor Parereg mengulurkan kedua tangannya dan, prak!
Kedua orang itu kontak menggeletak di tanah dengan kepala masing-masing rengkah
akibat diadu satu sama lain oleh Lor Parereg.
Dengan sikap tenang, seperti barusan tidak terjadi apa-apa Lor Parereg mendekati
pintu. Mudah sekali, entah bagaimana caranya pintu yang terkunci itu dibukanya
tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
Ruangan depan rumah besar itu dilengkapi perabotan yang mewah, tiga perangkat
sekaligus. Lor Parereg masuk lebih jauh ke dalam, melewati ruangan demi ruangan
hingga akhirnya sampai pada sederetan pintu yang
tertutup. Di hadapan sebuah pintu yang paling besar dan penuh ukiran, yang dari
bagian celah bawahnya menyeruak sinar terang, Lor Parereg berhenti. Sesaat dia
merapatkan telinganya ke daun pintu. Di ruangan belakang pintu didengarnya suara
orang bercakap-cakap perlahan,
diseling suara tertawa kecil perempuan lalu suara tempat tidur bergoyang-goyang.
Parereg memasang telinga lebih lama. Setelah yakin bahwa suara lelaki di balik
pintu adalah suara orang yang dicarinya maka sekali tendang saja bobollah pintu
itu dan di lain kejap Lor Parereg sudah berada di dalam kamar yang amat bagus,
beralaskan permadani tebal berbunga-bunga.
Dua sosok tubuh lelaki dan perempuan yang berte-
lanjang bulat yang tadi bergulung-gulung di atas tempat tidur terlompat kaget!
Lor Parereg tertawa gelak-gelak. Dengan tangan kirinya disibakkannya kelambu.
Perempuan di atas tempat tidur menjerit begitu melihat tampangnya yang
mengerikan sedang yang lelaki membeliak ketakutan.
"Ayo teruskan permainan kalian! Anggap saja aku tak ada di kamar ini!" kata
Parereg sambil masih tertawa.
"Kau... kau siapa?" tanya lelaki di atas tempat tidur.
Saking takut dan terkejutnya saat itu dia maupun yang perempuan sama-sama lupa
akan keadaan tubuh masing-masing yang tiada tertutup selembar benangpun!
Pada saat itu dari atas langit-langit kamar yang tiba-tiba bobol melompat
sesosok bayangan hitam sedang dari pintu belakang mendobrak masuk orang ke tiga.
Semuanya berpakaian serba hitam dan memiliki wajah seperti setan, penuh cacat
bekas luka! Untuk kedua kalinya perempuan di atas tempat tidur memekik ngeri
sedang yang lelaki sudah sepucat kain kafan wajahnya!
"Pemandangan yang hebat bukan, kawan-kawan?" kata Lor Parereg pada Kunto Handoko
dan Rah Gludak. Sesaat mereka tegak menikmati tubuh putih mulus perempuan di
atas tempat tidur.
"Ka... kalian ini si... siapa?"
"Ha... ha... Tak disalahkan kalau kau tidak mengenali kami lagi. Tampang kami
telah berobah menjadi setan.
Mengerikan! Dan kau tahu manusia keparat, kaulah yang menjadi penyebab mengapa
kami jadi begini!"
"A... aku...?"
"Ya, kau!"
"Kau sekarang hidup senang Tunggul Bayana!" mem-
buka mulut Kunto Handoko. "Uang dan harta berlimpah.
Istri cantik dan peliharaan banyak! Alangkah hebatnya!"
"Namaku bukan Tunggul Bayana. Aku Ki Ageng Tunggul!
Kepala Desa Pasirginting!" kata lelaki di atas tempat tidur.
Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak saling
pandang. Lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.
"Kau boleh berganti nama seribu kali sehari. Tapi kau tetap adalah Tunggul
Bayana! Manusia pengkhianat ter-
kutuk! Laknat haram jadah!" bentak Rah Gludak.
"Nama yang pantas bagimu adalah Ki Ageng Tunggul Keparat!" kata Lor Parereg. Dan
kembali ketiga orang itu tertawa gelak-gelak.
Orang yang menjadi kepala desa Pasirginting dan
mengaku bernama Ki Ageng Tunggul itu merasakan
tengkuknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat ketakutan.
Dadanya bergetar keras. Benarkah muka-muka yang cacat ini milik tiga orang yang
pernah dikenalnya" Benarkah muka-muka setan ini kepunyaan manusia-manusia yang
dulu pernah menjadi kawannya"
Muka Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko"!
"Kalau kalian mencari seorang bernama Tunggul Bayana, kalian telah salah
alamat!" kata kepala desa itu yang sebenarnya memang adalah Tunggul Bayana.
Lor Parereg maju selangkah. "Manusia keparat! Muka-
ku dan muka kawan-kawan memang cacat. Tetapi mata kami belum buta! Otak kami
belum pikun!" Lalu Lor Parereg menjambak rambut Tunggul Bayana alias Ki Ageng
Tunggul. "Lepaskan! Atau kupanggil pengawal!" teriak yang dijambak.
"Kau ingin memanggil pengawal?" ujar Lor Parereg. Dia berpaling pada Kunto
Handoko. "Kawan, coba kau bawa kedua pengawal itu!"
Kunto Handoko keluar dari kamar. Sesaat kemudian dia masuk lagi membawa dua
orang pengawal yang sudah jadi mayat dengan kepala rengkah. Makin pucatlah wajah
Tunggul Bayana. Istri di sebelahnya menjerit dan pingsan sewaktu Kunto Handoko
meletakkan dua sosok mayat itu di atas tempat tidur.
"Nah, itu pengawal-pengawalmu. Silahkan minta tolong pada mereka," kata Lor
Parereg dengan seringai setan.
Sedang jambakannya semakin diperkeras, "Tunggul Bayana, kami tidak punya waktu
lama. Katakan di mana kau simpan uang emas dan harta itu"!"
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan ini. Aku tidak kenal kau dan juga dua
kawanmu ini!" kata Ki Ageng Tunggul.
"Ohh, begitu?" ujar Parereg. "Jadi kau pura-pura tidak kenal kami. Pura-pura
tidak tahu apa yang aku bicarakan!
Nah kau makan dulu jariku ini!"
Habis berkata begitu Lor Parereg menusukkan jari
telunjuk tangan kirinya ke paha kanan Ki Ageng Tunggul hingga paha itu berlobang
dan mengucurkan darah. Ki Ageng Tunggul merintih kesakitan sambil tekap pahanya.
"Lobang-lobang seperti itu akan kubuat di seluruh tubuh dan mukamu, Bayana!
Hingga wajahmu jauh lebih
menyeramkan dari wajah kami!"
Tiba-tiba Ki Ageng Tunggul Bayana meraung dan
mencengkeram ke arah selangkangan Lor Parereg.
"Benar-benar manusia keparat!" maki Lor Parereg.
Disentakkannya kepala Ki Ageng Tunggul Bayana hingga tubuh kepala desa ini
terjelapak di lantai. Ketika Bayana hendak bangkit berdiri secepat kilat Lor
Parereg menginjak leher orang itu hingga Tunggul Bayana merasakan sakit yang
bukan kepalang. Nafasnya seperti tertahan. Dadanya sesak. Lidahnya menjulur.
"Tobat! Ampun! Ampuni selembar nyawaku ini Parereg!"
"Ah... akhirnya kau mengenaliku juga!" kata Lor Parereg.
"Minta tobat dan minta ampun. Jangan khawatir sobat.
Kami akan ampuni kau. Tapi katakan dulu di mana kau sembunyikan uang emas dan
harta itu!"
"Akan kukatakan Parereg. Akan kukatakan. Tapi beri-
kan waktu tiga hari padaku!"
"Waktu tiga hari buat apa"!" tanya Lor Parereg.
"Untuk menipu dan mengkhianati kita lagi tentunya!"
kata Kunto Handoko.
"Aku bersumpah kawan-kawan! Demi persahabatan kita di masa lampau, aku tidak
akan mengkhianati kalian untuk kedua kali! Beri aku waktu tiga hari. Hanya itu
yang aku minta..."
"Baik, akan kuberikan waktu tiga hari," kata Lor Parereg.
"Jangan tolol Parereg!" seru Rah Gludak.
Lor Parereg mengedipkan matanya. "Dia tak bakal lari, kawan. Sekalipun dia lari
sampai ke perut bumi kita akan mengejarnya. Tiga hari tidak lama. Di samping itu
kita bisa melepaskan lelah sambil bersenang-senang dengan istri dan perempuan-
perempuan peliharannya. Bukan begitu Tunggul Bayana?"
"Terserah apapun yang akan kau lakukan. Asal kau mau mengampuni aku dan
memberikan waktu tiga hari..."
Lor Parereg tertawa. Perlahan-lahan kakinya diangkat dari batang leher Ki Ageng
Tunggul. WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
14 ELUK Burung diselimuti kabut tebal. Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Dalam
udara yang buruk itu seorang Tpenunggang kuda berbaju biru bergerak di antara
puing-puing batu. Mukanya pucat, matanya merah dn sekujur tubuhnya terasa letih.
Sesekali kaki-kaki kuda tunggangannya terpeleset di batu licin. Namun dengan
segala kekuatannya dan harapan untuk hidup orang ini terus membawa kudanya ke
jurusan timur hingga akhirnya dia sampai di sebuah lamping bukit batu yang
merupakan sebuah tembok panjang, membelintang dari timur ke selatan. Di salah
satu bagian lamping batu tersebut, orang ini menghentikan kudanya dan memandang
berkeliling. Hujan rintik-rintik telah berhenti. Tetapi kabut masih kelihatan di mana-mana
menutupi pemandangan. Dia
menunggu beberapa lama. Matahari muncul dan kabut mulai lenyap. Dia memandang
berkeliling sekali lagi. Apa yang dicarinya kelihatan di kejauhan. Tepat di
pertengahan lamping batu sebelah bawah kelihatan sebuah lobang besar. Dengan
hati-hati orang ini membawa kudanya menuruni lereng batu itu, kemudian bergerak
sepanjang tepi pasir menuju ke lobang batu yang tadi dilihatnya dari atas.
Cuaca sementara itu telah berangsur cerah. Tepat di depan goa orang tadi
hentikan kudanya dan melompat turun. Dengan memanggul sebuah kantong kulit dia
melangkah menuju mulut goa. Lima langkah dia akan sampai ke mulut goa sekonyong-
konyong dari dalam
menggelegar bentakan. "Siapa yang berani datang ke tempatku tanpa diundang"!"
Sesaat orang itu terkesima. Setelah habis kagetnya maka diapun menjawab. "Aku Ki
Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting ingin bertemu dengan orang tua sakti
bernama Supit Jagal."
"Katakan apa keperluanmu!" orang dalam goa berkata.
Ki Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana menjawab, "Aku datang untuk mohon diambil
jadi murid!"
"Bah"! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat tampangmu. Masuk cepat!"
Ki Ageng Tunggul masuk. Ternyata goa batu itu di
bagian dalam tidak seberapa besar. Udara di sini terasa dingin karena ada tiupan
angin dari laut. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian putih kotor
penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pada pipinya sebelah kanan
terdapat cacat bekas luka yang amat besar. Daun telinganya sebelah kanan
sumplung sedang sepasang matanya sipit sekali hampir seperti terpejam.
"Duduk!" orang tua ini memerintah.
Ki Ageng Tunggul duduk. Kantong kulit diletakkan di sampingnya.
Setelah meneliti tamu di hadapannya kakek bernama Supit Jagal ini berkata,
"Sudah tua bangka sepertimu ini minta diambil jadi murid. Tentunya kau sinting!
Paling tidak edan!"
"Soalnya terpaksa," jawab Ki Ageng Tunggul.
"Sebelumnya aku telah memiliki dasar ilmu silat sejurus dua jurus."
"Kau terpaksa minta jadi murid" Coba kau terangkan manusia sedeng!"
"Tiga orang jahat mengancam hendak membunuhku.
Mereka berilmu tinggi."
"Untuk menghadapi mereka kau lalu minta ilmu padaku! Begitu!"
"Betul!"
"Kenapa tiga manusia itu hendak membunuhmu"!"
"Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Kemudian
kukhianati!" Ki Ageng Tunggul lalu menceritakan peristwa di masa lampau itu.
"Entah bagaimana mereka bisa lolos dari penjara istana. Kini mereka jauh lebih
tinggi ilmu silat serta kesaktiannya dari dulu-dulu." Lelaki ini diam sebentar
lalu menyambung. "Atas kesediaanmu mengambilku jadi murid, aku akan memberi
imbalan yang cukup." Ki Ageng Tunggul lalu meletakkan kantong besar itu di
hadapan Supit Jagal. Supit Jagal membuka kantong dan tampaklah uang emas di
dalamnya. Sepasang mata Supit Jagal
semakin menyipit.
"Aku tak mungkin mengambilmu jadi murid!" tiba-tiba Supit Jagal berkata yang
membuat paras Ki Ageng Tunggul jadi berubah.
"Kenapa" Apakah pemberianku masih kurang"!"
"Bukan. Tapi karena aku yakin kau tak bakal sanggup menjalankan syarat yang akan
kutetapkan."
"Syarat apapun akan kupatuhi!" jawab Ki Ageng Tunggul.
"Kepala desa, begini saja. Kau atur agar ketiga musuhmu itu datang kemari.
Urusan selanjutnya biar aku yang membereskan!"
"Begitupun aku setuju," jawab Ki Ageng Tunggul. "Yang penting mereka dapat
dibunuh!" "Tapi syarat yang telah kutetapkan harus kau jalankan."
"Akan kulaksanakan orang tua. Katakanlah."
"Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakannya!"
"Demi Tuhan aku akan melaksanakan!"
"Bukan demi Tuhan tolol! Tapi Demi Supit Jagal!"
"Ya... ya. Demi Supit Jagal aku bersumpah!" kata Ki Ageng Tunggul alias Tunggul
Bayana yang sekarang sudah jadi kepala desa itu.
"Bagus. Sekarang kau telan dulu benda ini!" Supit Jagal melemparkan sebuah benda
hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul.
"Benda apa ini?" tanya Ki Ageng Tunggul.
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Telan saja! Jangan banyak tanya!"
Tunggul Bayana menelannya. Supit Jagal tertawa
panjang. "Yang kau telan itu adalah racun penghancur usus!"
Pucatlah paras Ki Ageng Tunggul.
"Racun ini akan bekerja setelah dua hari. Jika kau melaksanakan syarat yang
kutetapkan kau boleh kembali ke sini membawa ketiga manusia itu. Aku akan
memberi obat penawar racun itu. Tapi kalau kau bersumpah palsu dan ingkar, kau
akan mampus dengan usus berantakan!"
Supit Jagal kembali tertawa.
Tunggul Bayana merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin.
"Sekarang mengenai syarat itu," kata Supit Jagal pula.
"Tepat tengah malam besok yaitu Kamis malam Jum'at Kliwon kau harus menggorok
leher seorang bayi dan memandikan darahnya di kepala serta tubuhmu! Itu harus
kau lakukan di bukit batu ini kira-kira seratus langkah di belakang lamping
batu! Kedua mata Tunggul Bayana membeliak laksana
hendak copot dari rongganya ketika mendengar kata-kata Supit Jagal itu. Bulu
romanya berdiri.
Supit Jagal menyeringai. "Kalau tidak kau laksanakan, jangan harap umurmu akan
lebih panjang dari dua hari!"
"Syarat itu, apakah bisa diganti dengan syarat lain"
Tobat! Aku tak dapat melaksanakannya!"
"Kalau begitu angkat kaki saja dari sini!"
Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh
sangat mengerikan. Tak sanggup dia menjalankan. Tapi kalau dia menolak, racun
yang mengindap dalam perutnya akan merenggut
nyawanya! Tak ada hal lain yang menjadi pilihan kecuali melakukan apa yang
disyaratkan Supit Jagal!
Demikianlah, seperti telah dituturkan di permulaan cerita, Ki Ageng Tunggul
telah berhasil menculik seorang bayi. Dia membawa bayi itu ke puncak bukit batu,
menebas lehernya lalu memandikan kepala dan tubuhnya dengan darah sang bayi!
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
15 EEMPAT penunggang kuda itu berhenti di ujung
lamping bukit batu Teluk Burung. Angin laut bertiup K keras. Di antara deru angin yang keras itu, orang yang berada
paling depan bertanya, "Mana goanya"!"
"Di bawah sana Parereg. Kita harus turun lewat lereng di ujung sana."
"Aku mendapat firasat si Tunggul Keparat ini menipu kita," kata Rah Gludak.
"Kalau nanti terbukti begitu, tak akan susah memisah tubuhnya dengan kepala,"
sahut Lor Parereg.
Ki Ageng Tunggul menunggangi kudanya di sebelah
depan. Di ujung lereng batu dia menurun diikuti Lor Parereg, Rah Gludak dan
Kunto Handoko. Keempatnya kini menyusuri pasir pantai.
"Inilah goanya." Kata Ki Ageng Tunggul begitu sampai di goa tujuan. "Peti-peti
itu kutumpuk di dalam." Habis berkata begitu dia hendak turun dari kudanya. Tapi
Lor Parereg mencegah.
"Tetap di tempatmu, Tunggul!" Dia melangkah men-
dekati Ki Ageng Tunggul lalu menotok punggungnya, membuat Ki Ageng Tunggul kini
laksana patung tak bisa bergerak di atas punggung kudanya.
"Kalian berdua masuk dan periksa goa. Aku menunggu di sini!" kata Lor Parereg.
Sret! Kunto Handoko cabut pedangnya, meletakkan bagian
yang tajam dari senjata ini di leher Ki Ageng Tunggul dan berpaling pada Lor
Parereg. "Parereg! Kita sudah tahu tempat peti-peti itu disembunyikan. Bagaimana kalau
detik ini kupisahkan saja nyawanya dari badan"!"
"Nyawa anjingnya soal mudah Kunto! Yang penting kau bersama Gludak harua
memeriksa dulu apa betul peti-peti itu ada di dalam goa!"
"Percayalah! Aku tidak menipu kalian!" kata Ki Ageng Tunggul dengan tengkuk
dingin. Kalau Kunto Handoko menabas batang lehernya detik itu juga habislah
ceritanya. "Silahkan kalian bertiga masuk dan memeriksa!" Diam-diam hatinya tidak enak
karena sampai saat itu Supit Jagal belum juga muncul.
"Kita akan lihat Tunggul Keparat, kita akan lihat!" kata Lor Parereg. Dia
memberi isyarat pada dua kawannya.
Kunto Handoko dan Rah Gludak melompat turun dari
kuda masing-masing dan melangkah mendekati goa. Tiba-tiba baru saja mereka
sampai di mulut goa, dari dalam menderu selarik angin yang amat deras dan panas!
Keduanya berseru kaget dan secepat kilat melompat ke samping selamatkan diri.
Sambaran angin menyapu lewat dan melabrak kuda yang ditunggangi Lor Parereg.
Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala hangus! Setelah
melejang-lejang seketika akhirnya mati tak berkutik lagi! Lor Parereg membeliak.
Mukanya pucat! Hampir saja dia jadi korban ditambus angin panas. Dia hendak bergerak melompati
Ki Ageng Tunggul, namun saat itu dari dalam goa dilihatnya seorang kakek bermuka
iblis dan berpakaian penuh tambalan muncul dan memandang beringas dengan matanya
yang sipit ke arah Lor Parereg dan kawan-kawan.
"Kepala desa, apakah ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama
di dunia ini"!" tanya Supit Jagal.
"Betul!" sahut Ki Ageng Tunggul. "Bunuh mereka. Aku akan memberi sekantong uang
emas lagi untukmu!"
Supit Jagal menyeringai.
"Hemm... tampang-tampang mereka memang serupa iblis penjaga neraka. Jadi memang
pantas kalau dikirim ke neraka!" Dengan tangan terpentang Supit Jagal melangkah
ke hadapan Lor Parereg dan kawan-kawannya.
"Parereg! Apa kataku! Bangsat keparat ini telah menipu kita!" seru Kunto Handoko
marah dan secepat kilat mengi-
rimkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul yang masih duduk di atas punggung
kuda tanpa mampu bergerak.
Namun sebelum jotosan itu sampai, selarik angin menderu dari samping. Terpaksa
Kunto Handoko melompat mundur!
"Tua bangka sialan! Kau rupanya sudah bosan hidup!"
bentak Lor Parereg. Tangan kanannya dihantamkan ke depan. Sementara dari
belakang Kunto Handoko dengan bernafsu lepaskan selusin paku hitam beracun. Rah
Gludak juga tidak tinggal diam. Pedangnya berkelebat ke batok kepala Supit
Jagal. Diserang hebat begitu rupa Supit Jagal ganda tertawa. Didahului dengan
satu bentakan keras dia mengangkat kedua tangannya ke atas Lor
Parereg. Rah Gludak dan Kunto Handoko melihat sinar hitam bergulung-gulung dan
menyambar laksana petir ke arah mereka. Serta merta ketiga orang ini
berserabutan selamatkan diri. Namun mereka tak punya kesempatan lagi. Serangan
sinar hitam begitu luar biasa cepatnya.
Ketiganya menjerit keras karena sadar bahwa mereka tak akan lolos dari kematian!
Namun di saat yang kritis itu tiba-tiba menggeledek satu bentakan, "Supit Jagal!
Apa kau sudah gila hendak membunuh murid-muridku"!"
Satu angin aneh menyambar dan tahu-tahu buyarlah
sambaran sinar hitam yang tadi dilepaskan Supit Jagal!
Supit Jagal terkejut bukan main. Suara itu sangat dikenalnya. Dia berpaling.
Satu bayangan hitam berkelebat turun dari tebing batu.
"Supit Ireng! Apa-apaan kau?" seru Supit Jagal.
"Kowe yang apa-apaan!" balas Supit Ireng. "Ketiga orang ini adalah muridku. Dan
kowe hendak membunuh mereka!"
"Bah!" Supit Jagal delikkan mata. "Muridmu... Jadi"!" Dia berpaling pada Ki
Ageng Tunggul yang saat itu sudah pucat pasi mukanya.
"Kalau begitu bangsat ini hendak mengadu domba kita!
Keparat kurang ajar!" Sekali melompat saja Supit Jagal sudah jambak rambut Ki
Ageng Tunggul dan menyeretnya dari punggung kuda.
"Demi Tuhan, ampuni selembar nyawaku!" lirih Ki Ageng Tunggul. "Semua harta dan
uang emas itu akan kuserahkan pada kalian! Ampuni diriku!"
"Lepaskan totokannya Supit Jagal," kata Supit Ireng.
Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul.
Lor Parereg melangkah mendekati laki-laki ini bersama-sama Supit Ireng.
"Dengar Tunggul Bayana," kata Lor Parereg. "Nyawamu akan kami ampuni jika kau
benar-benar mau menerangkan di mana peti-peti itu berada."
"Terima kasih... terima kasih..."
"Lekas terangkan!" hardik Parereg.
"Peti-peti itu... peti-peti itu kutanam di belakang rumahku di desa
Pasirginting," menerangkan Ki Ageng Tunggul. Kali ini dia tidak berdusta.
"Kau tidak bohong"!"
"Demi Tuhan aku tidak bohong!"
"Bagus! Nyawamu diampuni. Kau bebas sekarang untuk pergi. Pergi ke neraka!" Lalu
dengan kaki kanannya Lor Parereg menendang perut Ki Ageng Tunggul hingga orang
ini mencelat dan terguling di tanah.
Belum lagi dia sempat bangun tendangan Kunto Han-
doko mendarat di kepalanya. Kembali Ki Ageng Tunggul terlempar. Hidungnya yang
kena tendang mengucurkan darah. Dia mengeluh panjang. Rah Gludak menambah satu
tendangan lagi di dadanya membuat tulang-tulang iganya patah.
"Demi Tuhan ampuni jiwaku!" teriak Ki Ageng Tunggul.
Dia merangkak ke arah Supit Jagal. "Tolong... tolong aku,"
pintanya. Supit Jagal tegak bertolak pinggang. Dia tertawa
mengekeh. "Ini hadiah dariku!" Lalu tendangannya meng-
hajar lambung Ki Ageng Tunggul.
Begitulah Ki Ageng Tunggul ditendang kian kemari
hingga babak belur. Mukanya berlumuran darah. Tulang-tulangnya berpatahan. Dia
meraung tiada henti. Kemudian raungannya hanya tinggal erangan dan akhirnya dia
terkapar tak berkutik lagi. Mati!
Supit Jagal menarik nafas panjang. Dia memandang
pada saudaranya. "Supit Ireng! Kalau kau tidak cepat muncul niscaya ketiga
muridmu sudah konyol di tanganku!"
Supit Ireng hanya bisa tertawa pendek. Tapi tawanya ini mendadak lenyap berganti
seruan. "Lihat!"
Semua orang berpaling. Saat itu sepanjang lereng batu, ujung timur dan ujung
barat telah dikurung oleh lebih dari seratus prajurit berkuda bersenjata
lengkap. "Mau apa kunyuk-kunyuk kerajaan itu!" kata Supit Jagal sementara Lor Parereg dan
kawan-kawannya juga meman-
dang gelisah. Baru saja Supit Jagal mengeluarkan ucapan itu dari lamping batu sebelah kiri
terdengar seruan, "Lima orang yang berada di tepi pantai menyerahlah!"
"Itu suara si keparat Brajaseta!" kata Lor Parereg.
"Brajaseta! Kalau kau datang untuk mengantar nyawa silahkan turun kemari!"
teriak Supit Ireng. Matanya yang hanya satu itu seperti menyala karena ingat
manusia itulah yang telah menyiksa ketiga muridnya. Bukan sampai di situ saja.
Habis membentak Supit Ireng lalu hantamkan
tangannya ke arah lereng batu. Satu larik sinar hitam menggebu. Terdengar suara
menggelegar. Lamping batu hancur berantakan. Tiga prajurit jatuh bersama kuda-
kuda tunggangan mereka sedang Brajaseta sempat selamatkan diri dengan melompat
ke bawah seraya berteriak memberi komando untuk menyerbu.
Dari lamping batu sebelah kiri melesat satu sosok tubuh seraya mengebutkan
sebuah benda berbentuk sete-
ngah lingkaran. Ternyata manusia ini adalah Si Kipas Besi.
Deru angin yang keluar dari kipas saktinya itu membuat pasir pantai beterbangan
dan untuk beberapa ketika menutup pemandangan.
Sewaktu udara terang kembali maka kelihatanlah
bahwa seratus lebih prajurit itu telah bergerak memper-
sempit kurungan. Di depan prajurit-prajurit itu berjejer limabelas perwira
tinggi. Di sebelah depan sekali tegak Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Dikurung seketat itu Supit Jagal dan Supit Ireng tidak merasa khawatir. Malah
Supit Jagal masih bisa tertawa-tawa.
"Kalian sudah terkurung! Tak mungkin bisa lari.
Menyerahlah!" memperingatkan Brajaseta.
"Lari" Menyerah"!" ujar Supit Jagal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Brajaseta!" Supit Ireng angkat bicara. "Apa yang telah kau perbuat terhadap
murid-muridku hari ini kutagih berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi, jangan
harap ampunan dariku!" Supit Ireng masih ingat sewaktu terjadi pertempuran di
halaman istana. Habis berkata begitu dia langsung menyerbu. Kakak serta ketiga
muridnya tidak tinggal diam. Maka pertempuran hebat tidak dapat lagi
dihindarkan. Dalam jumlah memang pihak Brajaseta lebih banyak.
Namun Supit Jagal serta Supit Ireng bukan manusia-manusia yang mudah dirobohkan
dengan mengandalkan pengeroyokan. Di samping itu Lor Parereg, Rah Gludak dan
Kunto Handoko telah pula mendapat tambahan ilmu dari guru mereka!
Sekelompok demi sekelompok prajurit-prajurit Demak menemui ajal dihantam
pukulan-pukulan sakti yang dile-
paskan Supit Jagal serta adiknya. Satu demi satu perwira tinggi meregang nyawa.
Brajaseta menjadi tergetar hatinya.
Tidak diduganya dua manusia golongan hitam itu demikian tinggi ilmunya. Kepala
Pasukan Demak ini malah makin tercekat ketika dilihatnya Supit Jagal berhasil
merampas kipas sakti di tangan Si Kipas Besi, lalu dengan senjatanya sendiri Si
Kipas Besi digebuk kepalanya hingga hancur!
Brajaseta sadar bahwa keadaannya juga tak bakal
bertahan lama ketika bahu kirinya luka disambar ujung pedang Lor Parereg.
"Celaka!" keluh Kepala Pasukan Demak ini. Dia me-
mandang berkeliling. Kecil harapan untuk menyelamatkan diri. Dengan kertakkan
rahang dia putar pedangnya lak-
sana titiran. Tiba-tiba Brajaseta merasakan ada sambaran angin serangan datang
dari arah kiri. Cepat dia lepaskan pukulan tangan kosong. Tapi betapa
terkejutnya ketika sambaran angin itu lenyap tahu-tahu pedang di tangan kanannya
dibetot lepas! Di sampingnya tertawa bergelak Supit Ireng!
"Kini hutang berikut bunganya harus kau bayar Brajaseta!" kata Supit Ireng
seraya bolang-balingkan pedang milik Kepala Pasukan Demak itu.
"Guru, biar aku yang membereskan bangsat itu!"
terdengar seruan Lor Parereg.
"Tentu. Jangan khawatir. Kau dan dua kawanmu bakal dapat bagian paling banyak.
Beri aku kesempatan hanya untuk mencungkil mata kirinya! Biar tampangnya mirip-
mirip aku!" Supit Ireng lalu tusukkan ujung pedang ke mata kiri Brajaseta!
Pada saat itulah tiba-tiba terjadi hal yang luar biasa.
Seolah-olah datang dari laut terdengar suara menderu aneh. Teluk Burung laksana
dilanda topan. Pasir pantai menggebubu beterbangan membuat udara menjadi gelap.
Ombak yang senantiasa bergulung dan memecah di pasir saat itu seperti terbendung
oleh deru dahsyat tadi. Prajurit-prajurit bergelimpangan. Beberapa perwira
tinggi ter- huyung-huyung lalu jatuh duduk di tanah!
Semua orang terkejut bukan main. Apakah dunia akan kiamat" Dalam gelapnya udara
itu tiba-tiba kelihatan sinar putih menyilaukan berputar-putar. Gerakan Supit
Ireng yang tadi hendak mencungkil mata kiri Brajaseta kini jadi tertahan dan di
lain kejap terdengar suara berkerontang.
Pedang di tangan manusia tinggi bermuka hitam ini ter-
lepas mental dan patah tiga!
Seorang pemuda berambut gondrong mengenakan baju
tak berkancing berdiri di tengah-tengah kalangan pertem-
puran. Di dadanya ada tulisan 212. Tangan kanan bertolak pinggang sedang tangan
kiri memegang sebilah kapak besar bermata dua yang bertuliskan 212.
Supit Ireng, Supit Jagal dan Lor Parereg serta dua kawannya tidak mengenal siapa
adanya pemuda ini.
Sebaliknya Brajaseta jadi terkesiap ketika mengenali pemuda itu bukan lain orang
yang menyebabkan lolosnya Malaikat Tak Bernama, Jakawulung dan Ning Larasati.
Terus terang terhadap pemuda ini Brajaseta menaruh dendam kesumat. Tetapi hari
itu justru dia muncul dan menyelamatkan dirinya. Siapakah pemuda ini sebenarnya"
"Yang mana di antara kalian bernama Supit Jagal"!"
Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya sambil menatap Supit Ireng dan Supit Jagal
berganti-ganti.
"Budak sontoloyo! Ada apakah kau mencari majikanmu ini"!" menyahuti Supit Jagal.
Sesaat Wiro menatap orang itu. Jadi inilah manusianya yang bernama Supit Jagal,
katanya dalam hati. Dia lalu tertawa gelak-gelak, "Supit Jagal, ketahuilah. Aku
datang mewakili Empu Pamenang dari Danau Merak Biru yang tiga orang muridnya
telah kau bunuh secara biadab!"
"Begitu...?" Kini Supit Jagal yang tertawa meledak.
"Pemuda tolol. Hadiah apa yang diberikan kakek keropos itu hingga kau mau
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewakilinya" Apakah dia tidak punya nyali untuk datang sendiri"!"
"Ah, orang tua itu terlalu sibuk. Karenanya dia meng-
utus manusia kroco macamku ini untuk membereskanmu!"
"Keparat busuk! Kau duduklah tenang-tenang di batu sana. Biar kuselesaikan dulu
urusan dengan kecoak-kecoak kerajaan ini!"
Sementara itu selagi semua perhatian tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal
kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Parereg untuk mendekati Brajaseta dari
belakang dan menusuk punggungnya dengan pedang hingga tembus ke dada. Kepala
Pasukan Demak ini roboh tak bernyawa lagi!
Meskipun sebenarnya tidak senang terhadap Brajaseta, tapi melihat Kepala Pasukan
Demak ini di bunuh secara pengecut, Wiro Sableng menjadi geram dan memutar
kapaknya ke arah batok kepala Lor Parereg. Namun dua pukulan tangan kosong yang
hebat menerpanya dari kiri kanan. Ternyata Supit Jagal dan Supit Ireng telah
menye- rangnya secara bersamaan!
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
16 ENDEKAR 212 bersuit nyaring. Kapaknya berputar
membabat ke arah kedua lawan tangguh itu. Di lain Psaat pengeroyoknya jadi
berjumlah lima orang karena Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak telah
turun pula ke kalangan pertempuran.
Sementara itu sisa-sisa prajurit dan perwira kerajaan yang masih hidup sudah tak
punya hasrat lagi untuk meneruskan pertempuran. Yang mereka lakukan saat itu
ialah lekas-lekas menyingkir dan menyelamatkan jenazah Brajaseta serta Si Kipas
Besi. Di saat yang sama di atas lereng batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan
pertempuran di tepi pantai Teluk Burung itu.
"Empu, saya rasa sudah saatnya kita turun tangan membantu Wiro."
Empu Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya
mendengar ucapan Jakawulung itu. "Tak usah khawatir Jaka. Pemuda itu bukan
manusia sembarangan. Jika
Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya lawan macam apapun yang ada di
hadapannya pasti dimusnahkannya!"
"Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang tidak adil! Dan lima manusia
itu adalah orang-orang jahat,"
kata Ning Larasati.
Ketiga orang itu berada di situ karena ingin menyak-
sikan pertempuran yang hebat itu. Empu Pamenang ingin melihat sendiri kematian
musuh besarnya si Supit Jagal.
Sedang Jakawulung dan Larasati berhasrat membantu Wiro. Karena itulah tak lama
setelah Wiro pergi ketiganya segera menyusul.
"Kau betul Larasati, kau betul. Itu perkelahian yang tidak adil. Tapi bagi Wiro
sendiri itu bukan soal. Dan aku, jika saja tidak ada pantangan membunuh pasti
sudah turun tangan sejak tadi," kata Empu Pamenang pula.
"Aku tetap akan membantunya Empu!" kata Jaka-
wulung. Dia hendak melompat dari lereng batu. Tapi Empu Pamenang memegang
bahunya. "Lihat Jaka... lihat apa yang terjadi di bawah sana!" kata Empu Pamenang seraya
menunjuk ke bawah, ke arah
pantai. Jaka melihat ke bawah. Pada saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh
bermuncratan darah kena hanta-
man Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng! Dua korban pertama ini adalah
Rah Gludak dan Kunto Han-
doko! Dua jurus kemudian menyusul korban ke tiga yaitu si tinggi hitam Supit Ireng.
Lehernya hampir putus disambar mata kapak yang tajam. Supit Jagal meraung
melihat kematian adiknya. Tangannya kiri kanan tiada henti melepaskan pukulan-
pukulan sakti. Namun jurus demi jurus dia mulai terdesak.
Lor Parereg menggempur dengan nyali setengah
meleleh. Akibatnya bahu kirinya kena di makan senjata lawan hingga buntung.
Manusia ini melolong kesakitan dan lari meninggalkan kalangan pertempuran dengan
ter- huyung-huyung. Wiro tidak perdulikan lawan yang lari.
Musuh besar yang harus dibunuhnya adalah Supit Jagal, sebagaimana tugas yang
telah diterimanya dari Empu Pamenang.
Ketika melihat Lor Parereg melarikan diri, Ning Larasati yang memang mendendam
setengah mati, tiba-tiba men-
cabut pedang di pinggang Jakawulung. Dengan senjata ini di tangan dia mengejar
Lor Parereg. "Manusia dajal! Kau mau kabur ke mana"!" sentak Larasati.
Lor Parereg hentikan larinya. Nafasnya megap-megap.
Pemandangannya berkunang-kunang. "Kau... kau...," hanya itu yang bisa
diucapkannya ketika dia melihat dan menge-
nal Larasati. "Ya, aku. Aku Larasati datang untuk membalas sakit hati!" Lalu puteri Sultan itu
tusukkan pedangnya ke perut Lor Parerag tanpa Lor Parereg mampu untuk mengelak
ataupun menangkis. Dia seperti sudah pasrah ditambus senjata itu. Larasati
sendiri menjerit ngeri ketika menyak-
sikan apa yang dilakukannya. Seumur hidup baru kali itu dia membunuh manusia.
Dia terus-menerus menjerit
sampai Empu Pamenang dan Jakawulung datang untuk
menenteramkannya.
Dalam keadaan sangat terdesak tiba-tiba Supit Jagal berkata, "Orang muda! Antara
kita tidak ada silang seng-
keta. Mengapa kau inginkan jiwaku"!"
"Aku hanya menjalankan tugas Supit Jagal. Lagi pula kupikir manusia jahat
macammu ini tak layak... Akh...!"
Wiro tak teruskan ucapannya karena saat itu dilihatnya lawan melepaskan satu
pukulan sakti yang mengeluarkan hawa panas luar biasa! Sambil melompat ke
samping dia sapukan Kapak Naga Geni 212. Serangan lawan langsung buyar. Tetapi
ketika memandang ke depan dilihatnya Supit Jagal melarikan diri ke arah lereng
bukit batu. Sewaktu Wiro hendak mengejar kembali, Supit Jagal lepaskan pukulan
tangan kosong dua kali berturut-turut!
"Sialan! Bangsat ini benar-benar licik!" maki Wiro. Dia kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Sambil berseru nyaring kelihatan tubuhnya melesat ke udara
dan Supit Jagal menjadi kaget ketika didapatinya tahu-tahu pemuda itu sudah
tegak di atas lereng batu menghadangnya!
Supit Jagal membelok ke kiri sambil lepaskan lagi pukulan sakti. Wiro kembali
melompat. Sekali ini dia langsung menyerbu ke arah lawan sambil melepaskan satu
tendangan. Nekad Supit Jagal coba menangkap kaki kanan Wiro. Tapi tenaga
tendangan itu tidak mampu ditahannya.
Akibatnya tubuhnya mencelat ke bawah bukit batu, tangan kirinya patah di bagian
pergelangan. Malang bagi Supit Jagal. Jatuhnya tepat di depan Empu Pamenang. Orang tua ini
langsung hadiahkan satu
tendangan ke punggung Supit Jagal hingga tulang
punggungnya remuk dan dia meraung kesakitan.
"Sayang aku mempunyai Pantangan membunuh!" kata Empu Pamenang menyesali diri.
Sambil terhuyung-huyung Supit Jagal mencoba bangkit.
Saat itu Wiro Sableng sudah tegak di hadapannya. Supit Jagal menggembor keras.
Tangan kanannya menghantam ke arah selangkangan Pendekar 212. Tapi serangannya
hanya mengenai tempat kosong. Dia merasakan rambut-
nya dijambak, lalu tubuhnya terangkat dan berputar-putar di udara. Pekiknya
terdengar tiada henti. Kepalanya serasa tanggal.
Tiba-tiba Wiro lepaskan cengkeramannya. Tubuh Supit Jagal melayang dan byur dia
masuk ke dalam air laut.
Sesaat tampak kedua tangannya menggapai-gapai ke atas, lalu lenyap bersamaan
dengan lenyapnya tubuhnya di telan gelombang!
Empu Pamenang memejamkan kedua matanya. Dari
mulutnya terdengar suara lirih. "Murid-muridku, manusia jahat yang telah
membunuh kalian telah menemui
kematiannya. Kuharap kini kalian bisa tenteram di alam baka." Kakek ini kemudian
melangkah mendekati Wiro Sableng.
"Orang muda, terimalah ucapan terima kasihku... Kau benar-benar hebat!"
"Empu Pamenang, kau keliwat memuji. Tugasku sudah selesai. Aku mohon diri..."
Wiro membungkuk hormat lalu sekali berkelebat diapun lenyap. Empu Pamenang
menarik nafas panjang. Ning Larasati mendekati seorang perwira tinggi dan
berkata, "Kembalilah ke Kotaraja. Katakan pada ayahanda bahwa aku telah diambil
murid oleh Empu
Pamenang dari Danau Merak Biru. Katakan bahwa beliau tak usah khawatir tentang
diriku. Jika sudah selesai menuntut ilmu pasti aku akan kembali."
Perwira itu mengangguk lalu menjura dan berlalu. Empu Pamenang, Jakawulung dan
Ning Larasati kembali ke Danau Merak Biru.
Dengan matinya Lor Parereg dan manusia-manusia
jahat lainnya itu maka tak satu orangpun yang mengetahui mengenai peti-peti
berisi uang dan perhiasan yang ditanam Ki Ageng Tunggul di belakang rumahnya di
Pasirginting. Peti-peti itu akan terus terpendam sampai kiamat, kecuali kalau ada orang lain
yang menemukannya.
TAMAT Pendekar Riang 1 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Tanah Kutukan 1
putih. Si Kipas Besi yang saat itu masih duduk tenang-tenang di punggung kudanya begitu
melihat si nenek muka putih jadi menyipit sepasang matanya lalu membentak,
"Malai- kat Tak Bernama, apa-apaan kau berani mencampuri
urusan orang lain"!"
"Mmmm..." si nenek bergumam dan melirik ke arah Si Kipas Besi. "Sejak jadi kaki
tangan istana mulutmu sudah tambah besar, Kipas Besi. Apa perlu kurobek agar
lebih lebar"!"
Muka si Kipas Besi jadi mengelam merah. Dia hendak membentak tapi Brajaseta
sudah mendahului, "Orang tua, apa yang terjadi di sini tak ada sangkut-pautnya
dengan dirimu. Sebaiknya..."
"Tak ada sangkut pautnya"!" potong si nenek lalu tertawa tinggi dan panjang.
"Kedua orang muda-mudi ini murid-muridku. Bagaimana mulutmu bisa lancang
mengatakan tak ada sangkut paut"!"
"Heh!" Brajaseta melengak heran. Tadipun dia sudah mendengar manusia muka putih
itu menyebut Jakawulung dan Larasati murid-muridnya. "Nenek muka putih, kau
jangan bicara melantur. Sultan Trenggono tidak pernah mengambil guru manusia
macam kau...!"
"Begitu...?" si nenek muka putih tenang-tenang saja.
"Lalu pernah atau tidaknya apa urusanmu!" Tanpa perduli-
kan lagi Brajaseta, Malaikat Tak Bernama berpaling pada muda-mudi itu dan
berkata, "Murid-muridku, mari kita tinggalkan tempat ini."
"Mana bisa begitu"!" hardik Brajaseta. Dia mengha-
dang di tengah jalan. "Atas nama kerajaan, kau kami tangkap...!"
"Dengan tuduhan apa?" tanya Malaikat Tak Bernama.
"Menculik Gusti Ayu Ning Larasati!" jawab Brajaseta.
Si Malaikat Tak Bernama tertawa gelak-gelak. Gigi-giginya tampak masih lengkap
dan putih. "Dia tidak menculikku. Dia justru yang menyelamatkan aku dari tangan Lor
Parereg!" tiba-tiba Larasati berkata.
"Hmmm, paman khawatir jalan pikiranmu sudah
disesatkan tua bangka ini Gusti Ayu. Kau pasti telah diobatinya!" kata
Brajaseta. "Brajaseta! Mulutmu terlalu lancang! Aku bukan guru cabul!"
"Aku sama sekali tidak mengatakan kau guru cabul!
Terserah kalau kau membuka kedokmu sendiri!" tukas Brajaseta.
Muka putih Malaikat Tak Bernama berobah merah.
"Kalau saja aku tidak berpantang membunuh sudah kupe-
cahkan kepalamu, Brajaseta!" kata si nenek.
"Tangkap mereka! Bunuh kalau melawan! Selamatkan Gusti Ayu!" perintah Brajaseta.
Puluhan prajurit, delapan perwira berkepandaian tinggi dan menyusul Brajaseta
sendiri serta Si Kipas Besi segera menyerbu Malaikat Tak Bernama dan muridnya
Jaka- wulung. Melihat pengeroyokan ini Jakawulung segera meng-
ambil pedang salah seorang perwira yang tadi dipanah gurunya lalu mengamuk
dahsyat. Si Malaikat Tak Bernama sendiri didahului oleh lengkingan tinggi
berkelebat lenyap dan di sebelah kiri kanan susul menyusul terdengar jeritan
prajurit-prajurit yang mengeroyok.
Dalam pertempuran itu meskipun Malaikat Tak Ber-
nama dan Jakawulung menunjukkan kehebatan luar biasa namun jumlah lawan terlalu
banyak. Di samping itu mereka harus melindungi Larasati hingga perhatian mereka
jadi terbagi. Belum lagi serangan jarak jauh yang dilepaskan oleh Brajaseta dan
Si Kipas Besi. Dalam hebatnya kecamuk pertempuran, Brajaseta dan Si Kipas Besi merangsak masuk
mendekati Malaikat Tak Bernama. Dalam satu jurus yang hebat si nenek ini terpak-
sa bergerak melindungi Larasati ketika Brajaseta hendak merenggut tangannya.
Justru saat itu Si Kipas Besi menyerbu dari kiri, menghantamkan senjatanya.
Hanya ada dua pilihan bagi si nenek, melepaskan Larasati atau mengelakkan
serangan kipas besi.
Si nenek ini ternyata tidak mau memilih. Dia ingin menyelamatkan diri dan
sekaligus menyelamatkan Lara-
sati. Maka tangan kanan mempertahankan gadis itu dan tangan kiri dipergunakan
untuk menangkis serangan kipas.
Si Kipas Besi berlaku cerdik. Dengan mengerahkan
tenaga dalam ke senjatanya dia hantam pergelangan tangan lawan. Si nenek muka
putih mengeluh tinggi.
Tulang lengannya patah. Sedang Si Kipas Besi menyurut kaget. Senjatanya ambrol
rusak! "Jaka! Lekas pergi dari sini! Bawa Larasati!" seru Malaikat Tak Bernama.
"Tidak guru! Saya lebih rela mati bersamamu di sini!"
jawab Jakawulung. Dan pedangnya berkelebat ganas.
Seorang prajurit roboh.
"Jangan jadi orang tolol Jaka!" teriak si nenek. "Yang penting selamatkan
Larasati!"
"Akupun rela berkubur di sini guru!" teriak Larasati.
Si nenek jadi terharu. Gadis itu baru saja diambilnya jadi murid, bahkan
dilatihpun belum. Namun kesetiaannya terhadapnya benar-benar mengagumkan.
Kecamuk pera- saan ini justru membuat si nenek menjadi lengah. Pedang Brajaseta berhasil
melukai dadanya.
"Jakawulung! Tunggu apa lagi! Lari dan selamatkan Larasati!" teriak si nenek.
Suaranya keras dan bernada marah.
Jakawulung jadi bingung. Dalam pada itu dilihatnya gurunya tersungkur ke depan.
Dia memegang tangan Lara-
sati erat-erat. Lima perwira mengurung mereka. Brajaseta ikut membantu. Lima
pedang perwira datang menderu. Tak ada jalan lain. Jakawulung harus menangkis.
Tiga pedang sekaligus menghantam pedangnya hingga terlepas mental.
Masih untung dia masih dapat menyelamatkan diri dari sambaran dua pedang
lainnya. Tapi itupun tak ada
gunanya. Karena dari kiri tusukan pedang Brajaseta datang dengan ganas!
Namun sebelum ajal berpantang mati, sebuah benda
hitam entah dari mana datangnya melesat laksana meteor dan menghantam tangan
kanan Brajaseta. Kepala Pasu-
kan Demak ini mengeluh kesakitan dan terpaksa lepaskan pedang. Di saat yang sama
satu angin sedahsyat topan prahara menggebu. Belasan prajurit dan beberapa
perwira, termasuk Brajaseta tersapu sampai satu tombak. Ketika tiupan angin itu
sirna, di tengah kalangan pertempuran tegaklah seorang pemuda bertubuh tegap,
mengenakan pakaian putih yang bagian dadanya tidak dikancingkan.
Sikapnya gagah tapi gayanya lucu seperti orang tolol. Dia memandang berkeliling
sambil tersenyum.
Tak satu orangpun di situ yang kenal siapa adanya pemuda yang telah
menyelamatkan Jakawulung ini, kecuali si Malaikat Tak Bernama yang saat itu
terduduk di tanah dengan tubuh penuh luka-luka. Si pemuda tak menunggu lebih
lama, selagi semua orang terkesiap, dia segera dukung tubuh si nenek.
Si nenek usap-usap rambut gondrong si pemuda seraya berkata, "Pendekar 212!
Syukur, di saat aku mau mati begini rupa masih sempat bertemu denganmu..."
Si pemuda tertawa dan menjawab, "Orang tua, siapa bilang kau bakal mati" Ajal di
tangan Tuhan."
"Wiro Sableng! Memang benar ajal di tangan Tuhan.
Tapi kau lebih dari tahu kalau saat ini aku segera akan mati."
"Sudahlah nenek muka putih. Mari kita tinggalkan tempat celaka ini!" Si pemuda
yang bukan lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng alias Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 berpaling pada Jakawulung dan Larasati yang berdiri bengong setelah
diri mereka diselamatkan secara tidak terduga.
Dari seberang Brajaseta dan Kipas Besi segera men-
datangi. "Pemuda asing! Kau juga mencari penyakit! Turunkan tubuh tua bangka itu dan
pergi dari sini! Jangan sampai aku merubah pikiran untuk menangkapmu sekaligus!"
bentak Brajaseta.
Wiro Sableng ganda tertawa. Dia berkata, "Brajaseta, sebagai alat kerajaan kau
memang pantas dipuji karena telah menjalankan tugas dengan baik! Tapi tindakanmu
kelewat batas! Bawa pasukanmu meninggalkan tempat ini!" Mendengar kata-kata
pemuda yang tidak dikenalnya itu tentu saja Brajaseta marah. Di saat itu
sepasang mata Si Kipas Besi melihat tiga deretan angka pada dada si pemu-
da dan menjadi terkejut. 212. Dia sadar berhadapan dengan siapa dan cepat-cepat
hendak memberitahu pada Brajaseta. Tapi Kepala Pasukan Demak ini sudah melang-
kah maju seraya melepaskan jotosan keras ke kepala Wiro Sableng. Pendekar ini
melompat ke belakang hingga serangan Brajaseta hanya mengenai tempat kosong.
Malaikat Tak Bernama tertawa bergelak ketika melihat Brajaseta hampir tersungkur
karena kehilangan keseim-
bangan. Penasaran Kepala Pasukan Demak ini hendak memburu lawannya dengan
serangan kedua. Namun saat itu Wiro Sableng sudah lepaskan satu pukulan dahsyat.
Dan terjadilah hal yang luar biasa.
Bumi laksana digoncang gempa. Pasir dan batu di
tengah jalan menggebu beterbangan. Ranting pepohonan berputusan bahkan ada dua
pohon yang tumbang. Belasan prajurit terguling-guling. Belasan perwira tinggi
tergelim- pang. Si Kipas Besi dan Brajaseta terkejut dan lekas ber-
lindung di balik sebatang pohon besar. Mereka menyangka tiba-tiba ada serangan
topan dan tak berani bergerak atau melakukan apapun.
Wiro yang memanggul Malaikat Tak Bernama dan
Jakawulung serta Larasati yang berada di bagian yang tidak diselubungi angin
besar itu memberi isyarat pada kedua muda-mudi agar segera mengikutinya. Mereka
memasuki rimba belantara. Dari sini Wiro lepaskan satu pukulan Sinar Matahari ke
arah orang-orang kerajaan itu hingga mereka merasa seperti dunia ini mau kiamat!
Dan tak satu orang pun yang berani melakukan pengejaran!
Setelah berada jauh dalam hutan, Malaikat Tak Ber-
nama terdengar berkata, "Kau hebat sekali Wiro," memuji nenek muka putih ini.
"Aku berterima kasih kau telah menyelamatkan diriku dan murid-muridku. Tapi
nyawaku rasanya tidak tertolong lagi..."
"Sudahlah nenek, kau tak boleh banyak bicara dulu.
Aku akan obati luka-lukamu," menyahuti Wiro.
"Turunkan aku, aku ingin berbaring..."
Wiro terpaksa membaringkan orang tua ini di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Larasati... mana Larasati...?" si nenek bertanya.
"Saya di sini guru," jawab si gadis dan datang men-
dekat. "Aku akan pergi muridku..."
"Tidak, guru akan sembuh. Bukankah guru telah berjanji untuk menggembleng saya
di puncak Gunung Karang?"
Malaikat Tak Bernama tersenyum pahit. Diulurkannya tangannya untuk membelai
rambut si gadis. Namun
setengah jalan tangan itu terkulai.
Larasati terpekik. Jakawulung merasakan dadanya
sesak dan menahan air mata yang hendak membersit
keluar. Malaikat Tak Bernama sudah tiada lagi.
Setelah membiarkan kedua muda-mudi itu dilamun
oleh suasana duka cita beberapa lamanya, Wiro lalu membuka mulut "Di mana
jenazah guru kalian ini akan dikubur. Lalu apa yang akan kita lakukan?"
Larasati berdiam diri karena dia memang tak tahu
harus mengubur jenazah gurunya di mana. Jakawulung termenung, berpikir-pikir.
"Sebaiknya kita pergi ke Danau Merak Biru..." kata Jakawulung kemudian.
"Kenapa ke situ?" tanya Larasati.
"Di sana diam seorang Empu. Namanya Pamenang. Dia masih ada hubungan darah
dengan guru. Kita akan kubur-
kan jenazah guru di sana."
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
13 IR DANAU yang amat biru dan tenang itu merupakan
satu pemandangan indah. Di langit sang surya
A memancarkan sinar lembut kuning. Empat sosok
tubuh berdiri mengelilingi kuburan merah di salah satu tepian danau. Setiap
wajah menunjukkan rasa duka cita yang mendalam.
"Maut adalah kuasanya Tuhan," kata orang tua berbadan bungkuk yang tegak di
samping Wiro Sableng.
"Semua kita akan mengalami kematian. Semoga adikku mendapat tempat yang sebaik-
baiknya di alam baka..."
Perlahan-lahan orang tua itu memutar tubuh dan
melangkah ke arah sebuah pondok. Wiro, Jakawulung dan Larasati mengikuti dari
belakang. Di dalam pondok...
Setelah suasana sunyi cukup lama mencengkam maka
berkatalah orang tua bungkuk yang pakaiannya merupakan selempangan kain putih
itu. Dialah Empu Pamenang, penghuni pondok sunyi di Danau Merak Biru, saudara
sepupu si Malaikat Tak Bernama.
"Jakawulung, Larasati. Karena kau sudah datang kemari maka tanggung jawab atas
diri kalian terletak di tanganku. Biarlah aku mewakili saudaraku untuk meng-
gembleng kalian. Kalau saja aku tidak mempunyai
larangan membunuh, maulah aku membalaskan sakit hati kematian saudaraku itu.
Karena itu kelak kalian harus belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari bisa
melakukan pembalasan yang setimpal terhadap orang-orang yang telah berlaku
sewenang-wenang itu."
Empu Pamenang memalingkan kepalanya pada Wiro
Sableng, "Pendekar muda, jika tidak karena kau tentu..."
"Ah, aku tak berani menerima ucapanmu itu Empu,"
Wiro memotong cepat. "Semua kita hanya melakukan kewajiban masing-masing."
"Betul, memang kewajiban." Kata Empu Pamenang pula. Lalu orang tua ini kelihatan
seperti merenung, "Ingat pada kewajiban itu aku serasa hidup di atas bara
panas..." Baik Wiro maupun Larasati serta Jakawulung tidak
mengerti maksud kata-kata orang tua itu. Mereka saling bertanya-tanya dalam hati
dan Wiro merasakan adanya kelainan pada air muka Empu Pamenang.
"Kewajiban telah memburuku sejak sepuluh tahun yang silam. Namun kewajiban itu
tidak pernah bisa kulaksana-
kan karena adanya pantangan membunuh!"
"Gurupun mempunyai pantangan begitu," berkata Jakawulung. "Apakah sebabnya?"
Empu Pamenang tersenyum rawan.
"Tak bisa kuterangkan sebabnya, Jaka..."
"Kalau saya boleh bertanya," kata Wiro pula, "Kewa-
jiban apakah yang telah memburu Empu sejak sepuluh tahun itu?"
Empu Pamenang menghela nafas dalam. Lewat pintu
pondok yang terbuka dia memandang ke danau berair biru.
Kini air danau itu mulai bergelombang-gelombang kecil karena tiupan angin di
rembang petang.
"Limabelas tahun yang lalu aku mempunyai tiga orang murid yang amat kukasihi.
Setelah lima tahun kugembleng di tempat ini, datanglah manusia jahat pembawa
malape- taka itu. Tanpa pasal tanpa alasan ketiga muridku dibunuh.
Tubuh mereka dipotong-potong dan kepala mereka disate dengan sebuah tombak lalu
tombak itu ditancapkan di atas pondok ini. Dan atas semua itu aku tak bisa
melakukan pembalasan..."
"Empu tidak tahu siapa pembunuhnya?" bertanya Jakawulung.
"Bukan, bukan karena aku tidak tahu. Tapi karena aku mempunyai larangan
membunuh."
"Boleh saya tahu siapa manusia yang jahat luar biasa itu, Empu?" Kali ini Wiro
Sableng yang bertanya.
"Sebelum aku menjawab, maukah kau melakukan satu permintaanku Wiro" Tentu saja
kau berhak menolak..."
"Katakanlah, Empu."
"Wakili diriku membalas sakit hati dendam kesumat yang telah kupendam selama
sepuluh tahun itu."
Wiro termenung. Setelah berpikir dalam-dalam akhirnya dia menjawab, "Kepercayaan
yang Empu berikan akan saya laksanakan sedapat mungkin."
"Terima kasih," jawab sang Empu. "Manusia itu ber-
nama Supit Jagal. Dia tinggal di sebuah goa batu di Teluk Burung, di pantai
utara. Kabarnya dia mempunyai seorang adik yang tak kalah jahatnya, bernama
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Supit Ireng."
"Baiklah Empu, sesuai dengan permintaanmu saya akan coba melaksanakan
pembalasan."
Bagi murid Eyang Sinto Gendeng ini meski dia tidak punya sangkut paut dengan
Supit Jagal namun setiap manusia-manusia jahat golongan hitam sudah semestinya
diberi ganjaran. Dibasmi dari permukaan bumi. Dengan tugas itu di pundaknya
keesokan paginya Pendekar 212
Wiro Sableng meninggalkan Danau Merak Biru.
*** DI keheningan malam itu hanya siliran angin yang
terdengar. Bahkan burung-burung hantu-pun yang biasa memperdengarkan suaranya
yang seram malam ini
membisu. Menjelang dinihari kesunyian yang dicengkam oleh dinginnya udara
mendadak sontak dirobek oleh suara lolongan anjing. Lolongan itu terdengar
berulang kali, panjang dan menggidikkan. Mungkin anjing-anjing itu melihat
setan-setan gentayangan. Namun yang jelas tak lama setelah suara lolongan
binatang itu berhenti, dari arah timur desa Pasirginting terdengar derap kaki
kuda. Tak lama kemudian dalam kegelapan kelihatanlah tiga penunggang kuda memasuki
desa. Ketiganya berpakaian serba hitam pekat. Tampang mereka penuh cacat, amat
mengerikan. Jika ada orang yang kebetulan melihat mereka pastilah menduga ketiga
penunggang kuda itu adalah setan-setan yang sedang keluyuran.
"Pasti ini rumahnya!" kata penunggang kuda paling depan seraya menahan tali
kekang kudanya. Dua kawan-
nya behenti di sampingnya. Rambut mereka rata-rata gon-
drong dan acak-acakan. Kumis serta cambang bawuk yang liar menambah keseraman
wajah yang penuh cacat itu!
Saat itu ketiganya berhenti di depan sebuah rumah paling besar di seluruh desa
Pasirginting. Lelaki yang tadi bicara berpaling pada kawan-kawannya dan berkata,
"Rah Gludak, kau berjaga-jaga di pintu belakang. Dan kau Kunto, naik ke atas
atap. Awasi seluruh pekarangan. Kalau ada yang datang hantam saja dengan senjata
rahasia. Yang penting kau harus mengawasi jangan sampai bangsat itu melarikan
diri!" "Tak usah khawatir Parereg," jawab Kunto Handoko.
"Dia tak kan bisa lolos!"
Lor Parereg berkata lagi, "Aku akan masuk dari pintu depan, bila kalian dengar
aku sudah bicara dengan keparat itu kalian baru bertindak masuk. Mengerti?"
Kunto Handoko dan Rah Gludak mengangguk. Dengan
gerakan laksana seekor burung dia melompat ke atap rumah tanpa menimbulkan
sedikit suara pun. Sedang Rah Gludak bergerak ke pintu belakang dan Lor Parereg
lang- sung mendekati pintu depan. Pada saat itu di samping rumah muncullah dua orang
berbadan tinggi kekar yang langsung melompat ke hadapan Lor Parereg. Ternyata
keduanya adalah penjaga rumah.
"Pencuri tengik berani mencari mati! Berani mencuri di rumah kepala desa!"
teriak salah seorang dari penjaga rumah. Namun keduanya sesaat jadi tercekat
ketika melihat wajah manusia yang mereka sangka pencuri itu.
Benar manusia atau setankah orang ini"! Kalau manusia mengapa wajahnya lebih
seram daripada setan"
"Dengar sobat-sobatku," kata Lor Parereg tenang. "Aku bukan pencuri. Aku justru
datang untuk membawakan hadiah untuk kalian! Ini, terimalah!"
Lor Parereg mengulurkan kedua tangannya dan, prak!
Kedua orang itu kontak menggeletak di tanah dengan kepala masing-masing rengkah
akibat diadu satu sama lain oleh Lor Parereg.
Dengan sikap tenang, seperti barusan tidak terjadi apa-apa Lor Parereg mendekati
pintu. Mudah sekali, entah bagaimana caranya pintu yang terkunci itu dibukanya
tanpa menimbulkan suara sedikitpun!
Ruangan depan rumah besar itu dilengkapi perabotan yang mewah, tiga perangkat
sekaligus. Lor Parereg masuk lebih jauh ke dalam, melewati ruangan demi ruangan
hingga akhirnya sampai pada sederetan pintu yang
tertutup. Di hadapan sebuah pintu yang paling besar dan penuh ukiran, yang dari
bagian celah bawahnya menyeruak sinar terang, Lor Parereg berhenti. Sesaat dia
merapatkan telinganya ke daun pintu. Di ruangan belakang pintu didengarnya suara
orang bercakap-cakap perlahan,
diseling suara tertawa kecil perempuan lalu suara tempat tidur bergoyang-goyang.
Parereg memasang telinga lebih lama. Setelah yakin bahwa suara lelaki di balik
pintu adalah suara orang yang dicarinya maka sekali tendang saja bobollah pintu
itu dan di lain kejap Lor Parereg sudah berada di dalam kamar yang amat bagus,
beralaskan permadani tebal berbunga-bunga.
Dua sosok tubuh lelaki dan perempuan yang berte-
lanjang bulat yang tadi bergulung-gulung di atas tempat tidur terlompat kaget!
Lor Parereg tertawa gelak-gelak. Dengan tangan kirinya disibakkannya kelambu.
Perempuan di atas tempat tidur menjerit begitu melihat tampangnya yang
mengerikan sedang yang lelaki membeliak ketakutan.
"Ayo teruskan permainan kalian! Anggap saja aku tak ada di kamar ini!" kata
Parereg sambil masih tertawa.
"Kau... kau siapa?" tanya lelaki di atas tempat tidur.
Saking takut dan terkejutnya saat itu dia maupun yang perempuan sama-sama lupa
akan keadaan tubuh masing-masing yang tiada tertutup selembar benangpun!
Pada saat itu dari atas langit-langit kamar yang tiba-tiba bobol melompat
sesosok bayangan hitam sedang dari pintu belakang mendobrak masuk orang ke tiga.
Semuanya berpakaian serba hitam dan memiliki wajah seperti setan, penuh cacat
bekas luka! Untuk kedua kalinya perempuan di atas tempat tidur memekik ngeri
sedang yang lelaki sudah sepucat kain kafan wajahnya!
"Pemandangan yang hebat bukan, kawan-kawan?" kata Lor Parereg pada Kunto Handoko
dan Rah Gludak. Sesaat mereka tegak menikmati tubuh putih mulus perempuan di
atas tempat tidur.
"Ka... kalian ini si... siapa?"
"Ha... ha... Tak disalahkan kalau kau tidak mengenali kami lagi. Tampang kami
telah berobah menjadi setan.
Mengerikan! Dan kau tahu manusia keparat, kaulah yang menjadi penyebab mengapa
kami jadi begini!"
"A... aku...?"
"Ya, kau!"
"Kau sekarang hidup senang Tunggul Bayana!" mem-
buka mulut Kunto Handoko. "Uang dan harta berlimpah.
Istri cantik dan peliharaan banyak! Alangkah hebatnya!"
"Namaku bukan Tunggul Bayana. Aku Ki Ageng Tunggul!
Kepala Desa Pasirginting!" kata lelaki di atas tempat tidur.
Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak saling
pandang. Lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.
"Kau boleh berganti nama seribu kali sehari. Tapi kau tetap adalah Tunggul
Bayana! Manusia pengkhianat ter-
kutuk! Laknat haram jadah!" bentak Rah Gludak.
"Nama yang pantas bagimu adalah Ki Ageng Tunggul Keparat!" kata Lor Parereg. Dan
kembali ketiga orang itu tertawa gelak-gelak.
Orang yang menjadi kepala desa Pasirginting dan
mengaku bernama Ki Ageng Tunggul itu merasakan
tengkuknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat ketakutan.
Dadanya bergetar keras. Benarkah muka-muka yang cacat ini milik tiga orang yang
pernah dikenalnya" Benarkah muka-muka setan ini kepunyaan manusia-manusia yang
dulu pernah menjadi kawannya"
Muka Lor Parereg, Rah Gludak dan Kunto Handoko"!
"Kalau kalian mencari seorang bernama Tunggul Bayana, kalian telah salah
alamat!" kata kepala desa itu yang sebenarnya memang adalah Tunggul Bayana.
Lor Parereg maju selangkah. "Manusia keparat! Muka-
ku dan muka kawan-kawan memang cacat. Tetapi mata kami belum buta! Otak kami
belum pikun!" Lalu Lor Parereg menjambak rambut Tunggul Bayana alias Ki Ageng
Tunggul. "Lepaskan! Atau kupanggil pengawal!" teriak yang dijambak.
"Kau ingin memanggil pengawal?" ujar Lor Parereg. Dia berpaling pada Kunto
Handoko. "Kawan, coba kau bawa kedua pengawal itu!"
Kunto Handoko keluar dari kamar. Sesaat kemudian dia masuk lagi membawa dua
orang pengawal yang sudah jadi mayat dengan kepala rengkah. Makin pucatlah wajah
Tunggul Bayana. Istri di sebelahnya menjerit dan pingsan sewaktu Kunto Handoko
meletakkan dua sosok mayat itu di atas tempat tidur.
"Nah, itu pengawal-pengawalmu. Silahkan minta tolong pada mereka," kata Lor
Parereg dengan seringai setan.
Sedang jambakannya semakin diperkeras, "Tunggul Bayana, kami tidak punya waktu
lama. Katakan di mana kau simpan uang emas dan harta itu"!"
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan ini. Aku tidak kenal kau dan juga dua
kawanmu ini!" kata Ki Ageng Tunggul.
"Ohh, begitu?" ujar Parereg. "Jadi kau pura-pura tidak kenal kami. Pura-pura
tidak tahu apa yang aku bicarakan!
Nah kau makan dulu jariku ini!"
Habis berkata begitu Lor Parereg menusukkan jari
telunjuk tangan kirinya ke paha kanan Ki Ageng Tunggul hingga paha itu berlobang
dan mengucurkan darah. Ki Ageng Tunggul merintih kesakitan sambil tekap pahanya.
"Lobang-lobang seperti itu akan kubuat di seluruh tubuh dan mukamu, Bayana!
Hingga wajahmu jauh lebih
menyeramkan dari wajah kami!"
Tiba-tiba Ki Ageng Tunggul Bayana meraung dan
mencengkeram ke arah selangkangan Lor Parereg.
"Benar-benar manusia keparat!" maki Lor Parereg.
Disentakkannya kepala Ki Ageng Tunggul Bayana hingga tubuh kepala desa ini
terjelapak di lantai. Ketika Bayana hendak bangkit berdiri secepat kilat Lor
Parereg menginjak leher orang itu hingga Tunggul Bayana merasakan sakit yang
bukan kepalang. Nafasnya seperti tertahan. Dadanya sesak. Lidahnya menjulur.
"Tobat! Ampun! Ampuni selembar nyawaku ini Parereg!"
"Ah... akhirnya kau mengenaliku juga!" kata Lor Parereg.
"Minta tobat dan minta ampun. Jangan khawatir sobat.
Kami akan ampuni kau. Tapi katakan dulu di mana kau sembunyikan uang emas dan
harta itu!"
"Akan kukatakan Parereg. Akan kukatakan. Tapi beri-
kan waktu tiga hari padaku!"
"Waktu tiga hari buat apa"!" tanya Lor Parereg.
"Untuk menipu dan mengkhianati kita lagi tentunya!"
kata Kunto Handoko.
"Aku bersumpah kawan-kawan! Demi persahabatan kita di masa lampau, aku tidak
akan mengkhianati kalian untuk kedua kali! Beri aku waktu tiga hari. Hanya itu
yang aku minta..."
"Baik, akan kuberikan waktu tiga hari," kata Lor Parereg.
"Jangan tolol Parereg!" seru Rah Gludak.
Lor Parereg mengedipkan matanya. "Dia tak bakal lari, kawan. Sekalipun dia lari
sampai ke perut bumi kita akan mengejarnya. Tiga hari tidak lama. Di samping itu
kita bisa melepaskan lelah sambil bersenang-senang dengan istri dan perempuan-
perempuan peliharannya. Bukan begitu Tunggul Bayana?"
"Terserah apapun yang akan kau lakukan. Asal kau mau mengampuni aku dan
memberikan waktu tiga hari..."
Lor Parereg tertawa. Perlahan-lahan kakinya diangkat dari batang leher Ki Ageng
Tunggul. WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
14 ELUK Burung diselimuti kabut tebal. Hujan rintik-rintik turun sejak pagi. Dalam
udara yang buruk itu seorang Tpenunggang kuda berbaju biru bergerak di antara
puing-puing batu. Mukanya pucat, matanya merah dn sekujur tubuhnya terasa letih.
Sesekali kaki-kaki kuda tunggangannya terpeleset di batu licin. Namun dengan
segala kekuatannya dan harapan untuk hidup orang ini terus membawa kudanya ke
jurusan timur hingga akhirnya dia sampai di sebuah lamping bukit batu yang
merupakan sebuah tembok panjang, membelintang dari timur ke selatan. Di salah
satu bagian lamping batu tersebut, orang ini menghentikan kudanya dan memandang
berkeliling. Hujan rintik-rintik telah berhenti. Tetapi kabut masih kelihatan di mana-mana
menutupi pemandangan. Dia
menunggu beberapa lama. Matahari muncul dan kabut mulai lenyap. Dia memandang
berkeliling sekali lagi. Apa yang dicarinya kelihatan di kejauhan. Tepat di
pertengahan lamping batu sebelah bawah kelihatan sebuah lobang besar. Dengan
hati-hati orang ini membawa kudanya menuruni lereng batu itu, kemudian bergerak
sepanjang tepi pasir menuju ke lobang batu yang tadi dilihatnya dari atas.
Cuaca sementara itu telah berangsur cerah. Tepat di depan goa orang tadi
hentikan kudanya dan melompat turun. Dengan memanggul sebuah kantong kulit dia
melangkah menuju mulut goa. Lima langkah dia akan sampai ke mulut goa sekonyong-
konyong dari dalam
menggelegar bentakan. "Siapa yang berani datang ke tempatku tanpa diundang"!"
Sesaat orang itu terkesima. Setelah habis kagetnya maka diapun menjawab. "Aku Ki
Ageng Tunggul kepala desa Pasirginting ingin bertemu dengan orang tua sakti
bernama Supit Jagal."
"Katakan apa keperluanmu!" orang dalam goa berkata.
Ki Ageng Tunggul alias Tunggul Bayana menjawab, "Aku datang untuk mohon diambil
jadi murid!"
"Bah"! Maksud sintingmu membuat aku ingin melihat tampangmu. Masuk cepat!"
Ki Ageng Tunggul masuk. Ternyata goa batu itu di
bagian dalam tidak seberapa besar. Udara di sini terasa dingin karena ada tiupan
angin dari laut. Di tengah ruangan duduk seorang kakek berpakaian putih kotor
penuh tambalan. Rambutnya keriting macam bulu domba. Pada pipinya sebelah kanan
terdapat cacat bekas luka yang amat besar. Daun telinganya sebelah kanan
sumplung sedang sepasang matanya sipit sekali hampir seperti terpejam.
"Duduk!" orang tua ini memerintah.
Ki Ageng Tunggul duduk. Kantong kulit diletakkan di sampingnya.
Setelah meneliti tamu di hadapannya kakek bernama Supit Jagal ini berkata,
"Sudah tua bangka sepertimu ini minta diambil jadi murid. Tentunya kau sinting!
Paling tidak edan!"
"Soalnya terpaksa," jawab Ki Ageng Tunggul.
"Sebelumnya aku telah memiliki dasar ilmu silat sejurus dua jurus."
"Kau terpaksa minta jadi murid" Coba kau terangkan manusia sedeng!"
"Tiga orang jahat mengancam hendak membunuhku.
Mereka berilmu tinggi."
"Untuk menghadapi mereka kau lalu minta ilmu padaku! Begitu!"
"Betul!"
"Kenapa tiga manusia itu hendak membunuhmu"!"
"Dulu mereka adalah kawan-kawanku. Kemudian
kukhianati!" Ki Ageng Tunggul lalu menceritakan peristwa di masa lampau itu.
"Entah bagaimana mereka bisa lolos dari penjara istana. Kini mereka jauh lebih
tinggi ilmu silat serta kesaktiannya dari dulu-dulu." Lelaki ini diam sebentar
lalu menyambung. "Atas kesediaanmu mengambilku jadi murid, aku akan memberi
imbalan yang cukup." Ki Ageng Tunggul lalu meletakkan kantong besar itu di
hadapan Supit Jagal. Supit Jagal membuka kantong dan tampaklah uang emas di
dalamnya. Sepasang mata Supit Jagal
semakin menyipit.
"Aku tak mungkin mengambilmu jadi murid!" tiba-tiba Supit Jagal berkata yang
membuat paras Ki Ageng Tunggul jadi berubah.
"Kenapa" Apakah pemberianku masih kurang"!"
"Bukan. Tapi karena aku yakin kau tak bakal sanggup menjalankan syarat yang akan
kutetapkan."
"Syarat apapun akan kupatuhi!" jawab Ki Ageng Tunggul.
"Kepala desa, begini saja. Kau atur agar ketiga musuhmu itu datang kemari.
Urusan selanjutnya biar aku yang membereskan!"
"Begitupun aku setuju," jawab Ki Ageng Tunggul. "Yang penting mereka dapat
dibunuh!" "Tapi syarat yang telah kutetapkan harus kau jalankan."
"Akan kulaksanakan orang tua. Katakanlah."
"Kau harus bersumpah dulu bahwa kau betul-betul akan melaksanakannya!"
"Demi Tuhan aku akan melaksanakan!"
"Bukan demi Tuhan tolol! Tapi Demi Supit Jagal!"
"Ya... ya. Demi Supit Jagal aku bersumpah!" kata Ki Ageng Tunggul alias Tunggul
Bayana yang sekarang sudah jadi kepala desa itu.
"Bagus. Sekarang kau telan dulu benda ini!" Supit Jagal melemparkan sebuah benda
hitam ke pangkuan Ki Ageng Tunggul.
"Benda apa ini?" tanya Ki Ageng Tunggul.
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Telan saja! Jangan banyak tanya!"
Tunggul Bayana menelannya. Supit Jagal tertawa
panjang. "Yang kau telan itu adalah racun penghancur usus!"
Pucatlah paras Ki Ageng Tunggul.
"Racun ini akan bekerja setelah dua hari. Jika kau melaksanakan syarat yang
kutetapkan kau boleh kembali ke sini membawa ketiga manusia itu. Aku akan
memberi obat penawar racun itu. Tapi kalau kau bersumpah palsu dan ingkar, kau
akan mampus dengan usus berantakan!"
Supit Jagal kembali tertawa.
Tunggul Bayana merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin.
"Sekarang mengenai syarat itu," kata Supit Jagal pula.
"Tepat tengah malam besok yaitu Kamis malam Jum'at Kliwon kau harus menggorok
leher seorang bayi dan memandikan darahnya di kepala serta tubuhmu! Itu harus
kau lakukan di bukit batu ini kira-kira seratus langkah di belakang lamping
batu! Kedua mata Tunggul Bayana membeliak laksana
hendak copot dari rongganya ketika mendengar kata-kata Supit Jagal itu. Bulu
romanya berdiri.
Supit Jagal menyeringai. "Kalau tidak kau laksanakan, jangan harap umurmu akan
lebih panjang dari dua hari!"
"Syarat itu, apakah bisa diganti dengan syarat lain"
Tobat! Aku tak dapat melaksanakannya!"
"Kalau begitu angkat kaki saja dari sini!"
Ki Ageng Tunggul jadi bingung dan takut. Syarat yang harus dilakukannya sungguh
sangat mengerikan. Tak sanggup dia menjalankan. Tapi kalau dia menolak, racun
yang mengindap dalam perutnya akan merenggut
nyawanya! Tak ada hal lain yang menjadi pilihan kecuali melakukan apa yang
disyaratkan Supit Jagal!
Demikianlah, seperti telah dituturkan di permulaan cerita, Ki Ageng Tunggul
telah berhasil menculik seorang bayi. Dia membawa bayi itu ke puncak bukit batu,
menebas lehernya lalu memandikan kepala dan tubuhnya dengan darah sang bayi!
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
15 EEMPAT penunggang kuda itu berhenti di ujung
lamping bukit batu Teluk Burung. Angin laut bertiup K keras. Di antara deru angin yang keras itu, orang yang berada
paling depan bertanya, "Mana goanya"!"
"Di bawah sana Parereg. Kita harus turun lewat lereng di ujung sana."
"Aku mendapat firasat si Tunggul Keparat ini menipu kita," kata Rah Gludak.
"Kalau nanti terbukti begitu, tak akan susah memisah tubuhnya dengan kepala,"
sahut Lor Parereg.
Ki Ageng Tunggul menunggangi kudanya di sebelah
depan. Di ujung lereng batu dia menurun diikuti Lor Parereg, Rah Gludak dan
Kunto Handoko. Keempatnya kini menyusuri pasir pantai.
"Inilah goanya." Kata Ki Ageng Tunggul begitu sampai di goa tujuan. "Peti-peti
itu kutumpuk di dalam." Habis berkata begitu dia hendak turun dari kudanya. Tapi
Lor Parereg mencegah.
"Tetap di tempatmu, Tunggul!" Dia melangkah men-
dekati Ki Ageng Tunggul lalu menotok punggungnya, membuat Ki Ageng Tunggul kini
laksana patung tak bisa bergerak di atas punggung kudanya.
"Kalian berdua masuk dan periksa goa. Aku menunggu di sini!" kata Lor Parereg.
Sret! Kunto Handoko cabut pedangnya, meletakkan bagian
yang tajam dari senjata ini di leher Ki Ageng Tunggul dan berpaling pada Lor
Parereg. "Parereg! Kita sudah tahu tempat peti-peti itu disembunyikan. Bagaimana kalau
detik ini kupisahkan saja nyawanya dari badan"!"
"Nyawa anjingnya soal mudah Kunto! Yang penting kau bersama Gludak harua
memeriksa dulu apa betul peti-peti itu ada di dalam goa!"
"Percayalah! Aku tidak menipu kalian!" kata Ki Ageng Tunggul dengan tengkuk
dingin. Kalau Kunto Handoko menabas batang lehernya detik itu juga habislah
ceritanya. "Silahkan kalian bertiga masuk dan memeriksa!" Diam-diam hatinya tidak enak
karena sampai saat itu Supit Jagal belum juga muncul.
"Kita akan lihat Tunggul Keparat, kita akan lihat!" kata Lor Parereg. Dia
memberi isyarat pada dua kawannya.
Kunto Handoko dan Rah Gludak melompat turun dari
kuda masing-masing dan melangkah mendekati goa. Tiba-tiba baru saja mereka
sampai di mulut goa, dari dalam menderu selarik angin yang amat deras dan panas!
Keduanya berseru kaget dan secepat kilat melompat ke samping selamatkan diri.
Sambaran angin menyapu lewat dan melabrak kuda yang ditunggangi Lor Parereg.
Binatang ini meringkik keras lalu roboh ke tanah dengan kepala hangus! Setelah
melejang-lejang seketika akhirnya mati tak berkutik lagi! Lor Parereg membeliak.
Mukanya pucat! Hampir saja dia jadi korban ditambus angin panas. Dia hendak bergerak melompati
Ki Ageng Tunggul, namun saat itu dari dalam goa dilihatnya seorang kakek bermuka
iblis dan berpakaian penuh tambalan muncul dan memandang beringas dengan matanya
yang sipit ke arah Lor Parereg dan kawan-kawan.
"Kepala desa, apakah ini tiga manusia yang menurutmu tak layak hidup lebih lama
di dunia ini"!" tanya Supit Jagal.
"Betul!" sahut Ki Ageng Tunggul. "Bunuh mereka. Aku akan memberi sekantong uang
emas lagi untukmu!"
Supit Jagal menyeringai.
"Hemm... tampang-tampang mereka memang serupa iblis penjaga neraka. Jadi memang
pantas kalau dikirim ke neraka!" Dengan tangan terpentang Supit Jagal melangkah
ke hadapan Lor Parereg dan kawan-kawannya.
"Parereg! Apa kataku! Bangsat keparat ini telah menipu kita!" seru Kunto Handoko
marah dan secepat kilat mengi-
rimkan satu jotosan ke perut Ki Ageng Tunggul yang masih duduk di atas punggung
kuda tanpa mampu bergerak.
Namun sebelum jotosan itu sampai, selarik angin menderu dari samping. Terpaksa
Kunto Handoko melompat mundur!
"Tua bangka sialan! Kau rupanya sudah bosan hidup!"
bentak Lor Parereg. Tangan kanannya dihantamkan ke depan. Sementara dari
belakang Kunto Handoko dengan bernafsu lepaskan selusin paku hitam beracun. Rah
Gludak juga tidak tinggal diam. Pedangnya berkelebat ke batok kepala Supit
Jagal. Diserang hebat begitu rupa Supit Jagal ganda tertawa. Didahului dengan
satu bentakan keras dia mengangkat kedua tangannya ke atas Lor
Parereg. Rah Gludak dan Kunto Handoko melihat sinar hitam bergulung-gulung dan
menyambar laksana petir ke arah mereka. Serta merta ketiga orang ini
berserabutan selamatkan diri. Namun mereka tak punya kesempatan lagi. Serangan
sinar hitam begitu luar biasa cepatnya.
Ketiganya menjerit keras karena sadar bahwa mereka tak akan lolos dari kematian!
Namun di saat yang kritis itu tiba-tiba menggeledek satu bentakan, "Supit Jagal!
Apa kau sudah gila hendak membunuh murid-muridku"!"
Satu angin aneh menyambar dan tahu-tahu buyarlah
sambaran sinar hitam yang tadi dilepaskan Supit Jagal!
Supit Jagal terkejut bukan main. Suara itu sangat dikenalnya. Dia berpaling.
Satu bayangan hitam berkelebat turun dari tebing batu.
"Supit Ireng! Apa-apaan kau?" seru Supit Jagal.
"Kowe yang apa-apaan!" balas Supit Ireng. "Ketiga orang ini adalah muridku. Dan
kowe hendak membunuh mereka!"
"Bah!" Supit Jagal delikkan mata. "Muridmu... Jadi"!" Dia berpaling pada Ki
Ageng Tunggul yang saat itu sudah pucat pasi mukanya.
"Kalau begitu bangsat ini hendak mengadu domba kita!
Keparat kurang ajar!" Sekali melompat saja Supit Jagal sudah jambak rambut Ki
Ageng Tunggul dan menyeretnya dari punggung kuda.
"Demi Tuhan, ampuni selembar nyawaku!" lirih Ki Ageng Tunggul. "Semua harta dan
uang emas itu akan kuserahkan pada kalian! Ampuni diriku!"
"Lepaskan totokannya Supit Jagal," kata Supit Ireng.
Supit Jagal lepaskan totokan di tubuh Ki Ageng Tunggul.
Lor Parereg melangkah mendekati laki-laki ini bersama-sama Supit Ireng.
"Dengar Tunggul Bayana," kata Lor Parereg. "Nyawamu akan kami ampuni jika kau
benar-benar mau menerangkan di mana peti-peti itu berada."
"Terima kasih... terima kasih..."
"Lekas terangkan!" hardik Parereg.
"Peti-peti itu... peti-peti itu kutanam di belakang rumahku di desa
Pasirginting," menerangkan Ki Ageng Tunggul. Kali ini dia tidak berdusta.
"Kau tidak bohong"!"
"Demi Tuhan aku tidak bohong!"
"Bagus! Nyawamu diampuni. Kau bebas sekarang untuk pergi. Pergi ke neraka!" Lalu
dengan kaki kanannya Lor Parereg menendang perut Ki Ageng Tunggul hingga orang
ini mencelat dan terguling di tanah.
Belum lagi dia sempat bangun tendangan Kunto Han-
doko mendarat di kepalanya. Kembali Ki Ageng Tunggul terlempar. Hidungnya yang
kena tendang mengucurkan darah. Dia mengeluh panjang. Rah Gludak menambah satu
tendangan lagi di dadanya membuat tulang-tulang iganya patah.
"Demi Tuhan ampuni jiwaku!" teriak Ki Ageng Tunggul.
Dia merangkak ke arah Supit Jagal. "Tolong... tolong aku,"
pintanya. Supit Jagal tegak bertolak pinggang. Dia tertawa
mengekeh. "Ini hadiah dariku!" Lalu tendangannya meng-
hajar lambung Ki Ageng Tunggul.
Begitulah Ki Ageng Tunggul ditendang kian kemari
hingga babak belur. Mukanya berlumuran darah. Tulang-tulangnya berpatahan. Dia
meraung tiada henti. Kemudian raungannya hanya tinggal erangan dan akhirnya dia
terkapar tak berkutik lagi. Mati!
Supit Jagal menarik nafas panjang. Dia memandang
pada saudaranya. "Supit Ireng! Kalau kau tidak cepat muncul niscaya ketiga
muridmu sudah konyol di tanganku!"
Supit Ireng hanya bisa tertawa pendek. Tapi tawanya ini mendadak lenyap berganti
seruan. "Lihat!"
Semua orang berpaling. Saat itu sepanjang lereng batu, ujung timur dan ujung
barat telah dikurung oleh lebih dari seratus prajurit berkuda bersenjata
lengkap. "Mau apa kunyuk-kunyuk kerajaan itu!" kata Supit Jagal sementara Lor Parereg dan
kawan-kawannya juga meman-
dang gelisah. Baru saja Supit Jagal mengeluarkan ucapan itu dari lamping batu sebelah kiri
terdengar seruan, "Lima orang yang berada di tepi pantai menyerahlah!"
"Itu suara si keparat Brajaseta!" kata Lor Parereg.
"Brajaseta! Kalau kau datang untuk mengantar nyawa silahkan turun kemari!"
teriak Supit Ireng. Matanya yang hanya satu itu seperti menyala karena ingat
manusia itulah yang telah menyiksa ketiga muridnya. Bukan sampai di situ saja.
Habis membentak Supit Ireng lalu hantamkan
tangannya ke arah lereng batu. Satu larik sinar hitam menggebu. Terdengar suara
menggelegar. Lamping batu hancur berantakan. Tiga prajurit jatuh bersama kuda-
kuda tunggangan mereka sedang Brajaseta sempat selamatkan diri dengan melompat
ke bawah seraya berteriak memberi komando untuk menyerbu.
Dari lamping batu sebelah kiri melesat satu sosok tubuh seraya mengebutkan
sebuah benda berbentuk sete-
ngah lingkaran. Ternyata manusia ini adalah Si Kipas Besi.
Deru angin yang keluar dari kipas saktinya itu membuat pasir pantai beterbangan
dan untuk beberapa ketika menutup pemandangan.
Sewaktu udara terang kembali maka kelihatanlah
bahwa seratus lebih prajurit itu telah bergerak memper-
sempit kurungan. Di depan prajurit-prajurit itu berjejer limabelas perwira
tinggi. Di sebelah depan sekali tegak Brajaseta dan Si Kipas Besi.
Dikurung seketat itu Supit Jagal dan Supit Ireng tidak merasa khawatir. Malah
Supit Jagal masih bisa tertawa-tawa.
"Kalian sudah terkurung! Tak mungkin bisa lari.
Menyerahlah!" memperingatkan Brajaseta.
"Lari" Menyerah"!" ujar Supit Jagal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.
"Brajaseta!" Supit Ireng angkat bicara. "Apa yang telah kau perbuat terhadap
murid-muridku hari ini kutagih berikut bunganya! Dan kau juga Kipas Besi, jangan
harap ampunan dariku!" Supit Ireng masih ingat sewaktu terjadi pertempuran di
halaman istana. Habis berkata begitu dia langsung menyerbu. Kakak serta ketiga
muridnya tidak tinggal diam. Maka pertempuran hebat tidak dapat lagi
dihindarkan. Dalam jumlah memang pihak Brajaseta lebih banyak.
Namun Supit Jagal serta Supit Ireng bukan manusia-manusia yang mudah dirobohkan
dengan mengandalkan pengeroyokan. Di samping itu Lor Parereg, Rah Gludak dan
Kunto Handoko telah pula mendapat tambahan ilmu dari guru mereka!
Sekelompok demi sekelompok prajurit-prajurit Demak menemui ajal dihantam
pukulan-pukulan sakti yang dile-
paskan Supit Jagal serta adiknya. Satu demi satu perwira tinggi meregang nyawa.
Brajaseta menjadi tergetar hatinya.
Tidak diduganya dua manusia golongan hitam itu demikian tinggi ilmunya. Kepala
Pasukan Demak ini malah makin tercekat ketika dilihatnya Supit Jagal berhasil
merampas kipas sakti di tangan Si Kipas Besi, lalu dengan senjatanya sendiri Si
Kipas Besi digebuk kepalanya hingga hancur!
Brajaseta sadar bahwa keadaannya juga tak bakal
bertahan lama ketika bahu kirinya luka disambar ujung pedang Lor Parereg.
"Celaka!" keluh Kepala Pasukan Demak ini. Dia me-
mandang berkeliling. Kecil harapan untuk menyelamatkan diri. Dengan kertakkan
rahang dia putar pedangnya lak-
sana titiran. Tiba-tiba Brajaseta merasakan ada sambaran angin serangan datang
dari arah kiri. Cepat dia lepaskan pukulan tangan kosong. Tapi betapa
terkejutnya ketika sambaran angin itu lenyap tahu-tahu pedang di tangan kanannya
dibetot lepas! Di sampingnya tertawa bergelak Supit Ireng!
"Kini hutang berikut bunganya harus kau bayar Brajaseta!" kata Supit Ireng
seraya bolang-balingkan pedang milik Kepala Pasukan Demak itu.
"Guru, biar aku yang membereskan bangsat itu!"
terdengar seruan Lor Parereg.
"Tentu. Jangan khawatir. Kau dan dua kawanmu bakal dapat bagian paling banyak.
Beri aku kesempatan hanya untuk mencungkil mata kirinya! Biar tampangnya mirip-
mirip aku!" Supit Ireng lalu tusukkan ujung pedang ke mata kiri Brajaseta!
Pada saat itulah tiba-tiba terjadi hal yang luar biasa.
Seolah-olah datang dari laut terdengar suara menderu aneh. Teluk Burung laksana
dilanda topan. Pasir pantai menggebubu beterbangan membuat udara menjadi gelap.
Ombak yang senantiasa bergulung dan memecah di pasir saat itu seperti terbendung
oleh deru dahsyat tadi. Prajurit-prajurit bergelimpangan. Beberapa perwira
tinggi ter- huyung-huyung lalu jatuh duduk di tanah!
Semua orang terkejut bukan main. Apakah dunia akan kiamat" Dalam gelapnya udara
itu tiba-tiba kelihatan sinar putih menyilaukan berputar-putar. Gerakan Supit
Ireng yang tadi hendak mencungkil mata kiri Brajaseta kini jadi tertahan dan di
lain kejap terdengar suara berkerontang.
Pedang di tangan manusia tinggi bermuka hitam ini ter-
lepas mental dan patah tiga!
Seorang pemuda berambut gondrong mengenakan baju
tak berkancing berdiri di tengah-tengah kalangan pertem-
puran. Di dadanya ada tulisan 212. Tangan kanan bertolak pinggang sedang tangan
kiri memegang sebilah kapak besar bermata dua yang bertuliskan 212.
Supit Ireng, Supit Jagal dan Lor Parereg serta dua kawannya tidak mengenal siapa
adanya pemuda ini.
Sebaliknya Brajaseta jadi terkesiap ketika mengenali pemuda itu bukan lain orang
yang menyebabkan lolosnya Malaikat Tak Bernama, Jakawulung dan Ning Larasati.
Terus terang terhadap pemuda ini Brajaseta menaruh dendam kesumat. Tetapi hari
itu justru dia muncul dan menyelamatkan dirinya. Siapakah pemuda ini sebenarnya"
"Yang mana di antara kalian bernama Supit Jagal"!"
Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya sambil menatap Supit Ireng dan Supit Jagal
berganti-ganti.
"Budak sontoloyo! Ada apakah kau mencari majikanmu ini"!" menyahuti Supit Jagal.
Sesaat Wiro menatap orang itu. Jadi inilah manusianya yang bernama Supit Jagal,
katanya dalam hati. Dia lalu tertawa gelak-gelak, "Supit Jagal, ketahuilah. Aku
datang mewakili Empu Pamenang dari Danau Merak Biru yang tiga orang muridnya
telah kau bunuh secara biadab!"
"Begitu...?" Kini Supit Jagal yang tertawa meledak.
"Pemuda tolol. Hadiah apa yang diberikan kakek keropos itu hingga kau mau
Wiro Sableng 069 Ki Ageng Tunggul Keparat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewakilinya" Apakah dia tidak punya nyali untuk datang sendiri"!"
"Ah, orang tua itu terlalu sibuk. Karenanya dia meng-
utus manusia kroco macamku ini untuk membereskanmu!"
"Keparat busuk! Kau duduklah tenang-tenang di batu sana. Biar kuselesaikan dulu
urusan dengan kecoak-kecoak kerajaan ini!"
Sementara itu selagi semua perhatian tertuju pada Wiro Sableng dan Supit Jagal
kesempatan ini dipergunakan oleh Lor Parereg untuk mendekati Brajaseta dari
belakang dan menusuk punggungnya dengan pedang hingga tembus ke dada. Kepala
Pasukan Demak ini roboh tak bernyawa lagi!
Meskipun sebenarnya tidak senang terhadap Brajaseta, tapi melihat Kepala Pasukan
Demak ini di bunuh secara pengecut, Wiro Sableng menjadi geram dan memutar
kapaknya ke arah batok kepala Lor Parereg. Namun dua pukulan tangan kosong yang
hebat menerpanya dari kiri kanan. Ternyata Supit Jagal dan Supit Ireng telah
menye- rangnya secara bersamaan!
WIRO SABLENG KI AGENG TUNGGUL KEPARAT
16 ENDEKAR 212 bersuit nyaring. Kapaknya berputar
membabat ke arah kedua lawan tangguh itu. Di lain Psaat pengeroyoknya jadi
berjumlah lima orang karena Lor Parereg, Kunto Handoko dan Rah Gludak telah
turun pula ke kalangan pertempuran.
Sementara itu sisa-sisa prajurit dan perwira kerajaan yang masih hidup sudah tak
punya hasrat lagi untuk meneruskan pertempuran. Yang mereka lakukan saat itu
ialah lekas-lekas menyingkir dan menyelamatkan jenazah Brajaseta serta Si Kipas
Besi. Di saat yang sama di atas lereng batu kelihatan tiga orang berdiri menyaksikan
pertempuran di tepi pantai Teluk Burung itu.
"Empu, saya rasa sudah saatnya kita turun tangan membantu Wiro."
Empu Pamenang menggeleng-gelengkan kepalanya
mendengar ucapan Jakawulung itu. "Tak usah khawatir Jaka. Pemuda itu bukan
manusia sembarangan. Jika
Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya lawan macam apapun yang ada di
hadapannya pasti dimusnahkannya!"
"Tapi satu lawan lima benar-benar perkelahian yang tidak adil! Dan lima manusia
itu adalah orang-orang jahat,"
kata Ning Larasati.
Ketiga orang itu berada di situ karena ingin menyak-
sikan pertempuran yang hebat itu. Empu Pamenang ingin melihat sendiri kematian
musuh besarnya si Supit Jagal.
Sedang Jakawulung dan Larasati berhasrat membantu Wiro. Karena itulah tak lama
setelah Wiro pergi ketiganya segera menyusul.
"Kau betul Larasati, kau betul. Itu perkelahian yang tidak adil. Tapi bagi Wiro
sendiri itu bukan soal. Dan aku, jika saja tidak ada pantangan membunuh pasti
sudah turun tangan sejak tadi," kata Empu Pamenang pula.
"Aku tetap akan membantunya Empu!" kata Jaka-
wulung. Dia hendak melompat dari lereng batu. Tapi Empu Pamenang memegang
bahunya. "Lihat Jaka... lihat apa yang terjadi di bawah sana!" kata Empu Pamenang seraya
menunjuk ke bawah, ke arah
pantai. Jaka melihat ke bawah. Pada saat itu tampak dua dari lima pengeroyok roboh
bermuncratan darah kena hanta-
man Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro Sableng! Dua korban pertama ini adalah
Rah Gludak dan Kunto Han-
doko! Dua jurus kemudian menyusul korban ke tiga yaitu si tinggi hitam Supit Ireng.
Lehernya hampir putus disambar mata kapak yang tajam. Supit Jagal meraung
melihat kematian adiknya. Tangannya kiri kanan tiada henti melepaskan pukulan-
pukulan sakti. Namun jurus demi jurus dia mulai terdesak.
Lor Parereg menggempur dengan nyali setengah
meleleh. Akibatnya bahu kirinya kena di makan senjata lawan hingga buntung.
Manusia ini melolong kesakitan dan lari meninggalkan kalangan pertempuran dengan
ter- huyung-huyung. Wiro tidak perdulikan lawan yang lari.
Musuh besar yang harus dibunuhnya adalah Supit Jagal, sebagaimana tugas yang
telah diterimanya dari Empu Pamenang.
Ketika melihat Lor Parereg melarikan diri, Ning Larasati yang memang mendendam
setengah mati, tiba-tiba men-
cabut pedang di pinggang Jakawulung. Dengan senjata ini di tangan dia mengejar
Lor Parereg. "Manusia dajal! Kau mau kabur ke mana"!" sentak Larasati.
Lor Parereg hentikan larinya. Nafasnya megap-megap.
Pemandangannya berkunang-kunang. "Kau... kau...," hanya itu yang bisa
diucapkannya ketika dia melihat dan menge-
nal Larasati. "Ya, aku. Aku Larasati datang untuk membalas sakit hati!" Lalu puteri Sultan itu
tusukkan pedangnya ke perut Lor Parerag tanpa Lor Parereg mampu untuk mengelak
ataupun menangkis. Dia seperti sudah pasrah ditambus senjata itu. Larasati
sendiri menjerit ngeri ketika menyak-
sikan apa yang dilakukannya. Seumur hidup baru kali itu dia membunuh manusia.
Dia terus-menerus menjerit
sampai Empu Pamenang dan Jakawulung datang untuk
menenteramkannya.
Dalam keadaan sangat terdesak tiba-tiba Supit Jagal berkata, "Orang muda! Antara
kita tidak ada silang seng-
keta. Mengapa kau inginkan jiwaku"!"
"Aku hanya menjalankan tugas Supit Jagal. Lagi pula kupikir manusia jahat
macammu ini tak layak... Akh...!"
Wiro tak teruskan ucapannya karena saat itu dilihatnya lawan melepaskan satu
pukulan sakti yang mengeluarkan hawa panas luar biasa! Sambil melompat ke
samping dia sapukan Kapak Naga Geni 212. Serangan lawan langsung buyar. Tetapi
ketika memandang ke depan dilihatnya Supit Jagal melarikan diri ke arah lereng
bukit batu. Sewaktu Wiro hendak mengejar kembali, Supit Jagal lepaskan pukulan
tangan kosong dua kali berturut-turut!
"Sialan! Bangsat ini benar-benar licik!" maki Wiro. Dia kerahkan ilmu
meringankan tubuhnya. Sambil berseru nyaring kelihatan tubuhnya melesat ke udara
dan Supit Jagal menjadi kaget ketika didapatinya tahu-tahu pemuda itu sudah
tegak di atas lereng batu menghadangnya!
Supit Jagal membelok ke kiri sambil lepaskan lagi pukulan sakti. Wiro kembali
melompat. Sekali ini dia langsung menyerbu ke arah lawan sambil melepaskan satu
tendangan. Nekad Supit Jagal coba menangkap kaki kanan Wiro. Tapi tenaga
tendangan itu tidak mampu ditahannya.
Akibatnya tubuhnya mencelat ke bawah bukit batu, tangan kirinya patah di bagian
pergelangan. Malang bagi Supit Jagal. Jatuhnya tepat di depan Empu Pamenang. Orang tua ini
langsung hadiahkan satu
tendangan ke punggung Supit Jagal hingga tulang
punggungnya remuk dan dia meraung kesakitan.
"Sayang aku mempunyai Pantangan membunuh!" kata Empu Pamenang menyesali diri.
Sambil terhuyung-huyung Supit Jagal mencoba bangkit.
Saat itu Wiro Sableng sudah tegak di hadapannya. Supit Jagal menggembor keras.
Tangan kanannya menghantam ke arah selangkangan Pendekar 212. Tapi serangannya
hanya mengenai tempat kosong. Dia merasakan rambut-
nya dijambak, lalu tubuhnya terangkat dan berputar-putar di udara. Pekiknya
terdengar tiada henti. Kepalanya serasa tanggal.
Tiba-tiba Wiro lepaskan cengkeramannya. Tubuh Supit Jagal melayang dan byur dia
masuk ke dalam air laut.
Sesaat tampak kedua tangannya menggapai-gapai ke atas, lalu lenyap bersamaan
dengan lenyapnya tubuhnya di telan gelombang!
Empu Pamenang memejamkan kedua matanya. Dari
mulutnya terdengar suara lirih. "Murid-muridku, manusia jahat yang telah
membunuh kalian telah menemui
kematiannya. Kuharap kini kalian bisa tenteram di alam baka." Kakek ini kemudian
melangkah mendekati Wiro Sableng.
"Orang muda, terimalah ucapan terima kasihku... Kau benar-benar hebat!"
"Empu Pamenang, kau keliwat memuji. Tugasku sudah selesai. Aku mohon diri..."
Wiro membungkuk hormat lalu sekali berkelebat diapun lenyap. Empu Pamenang
menarik nafas panjang. Ning Larasati mendekati seorang perwira tinggi dan
berkata, "Kembalilah ke Kotaraja. Katakan pada ayahanda bahwa aku telah diambil
murid oleh Empu
Pamenang dari Danau Merak Biru. Katakan bahwa beliau tak usah khawatir tentang
diriku. Jika sudah selesai menuntut ilmu pasti aku akan kembali."
Perwira itu mengangguk lalu menjura dan berlalu. Empu Pamenang, Jakawulung dan
Ning Larasati kembali ke Danau Merak Biru.
Dengan matinya Lor Parereg dan manusia-manusia
jahat lainnya itu maka tak satu orangpun yang mengetahui mengenai peti-peti
berisi uang dan perhiasan yang ditanam Ki Ageng Tunggul di belakang rumahnya di
Pasirginting. Peti-peti itu akan terus terpendam sampai kiamat, kecuali kalau ada orang lain
yang menemukannya.
TAMAT Pendekar Riang 1 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Tanah Kutukan 1