Hantu Selaksa Angin 2
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin Bagian 2
Luhcinta melalui pergelangan tangan dan dada. Karena pingsannya Luhcinta bukan
akibat cidera atau luka dalam maka sesaat kemudian gadis ini sadarkan diri.
Begitu siuman, belum lagi dia membuka mata dari
mulutnya keluar desahan halus. "Wiro... Wiro. Kau tahu perasaanku terhadapmu.
Sampai hati kau..." Ingatan Luhcinta semakin pulih. Dia berusaha menahan isak
lalu membuka matanya. Pandangannya membentur wajah
Luhsantini. "Kau..." desis Luhcinta karena tidak mengira kalau ada orang lain di
tempat itu. Mungkin malu karena telah ketelepasan bicara, Luhcinta balikkan
dirinya menghadap ke dinding goa.
Luhsantini diam memperhatikan. Dalam hati dia
berkata. "Dugaanku ternyata benar. Gadis ini memang mencintai pemuda asing
bernama Wiro itu... Apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya" Pernikahan
Wiro dengan gadis tak dikenal itu tak mungkin dibatalkan.
Berarti Luhcinta akan kehilangan orang yang dicintainya selama-lamanya..."
"Luhsantini..." tiba-tiba terdengar suara Luhcinta.
"Aku di sini Luhcinta. Ada apa" Ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu...?"
"Aku tahu, aku ingat. Kau pasti yang membawaku dari bukit itu ke sini... Aku
berterima kasih padamu, Luhsantini."
"Benar, kau tak usah khawatir. Kau tidak cidera atau mengalami luka apa-apa..."
"Aku tahu. Walau tak ada cidera atau luka yang terlihat di mata namun... Ada
luka yang tak mungkin terlihat oleh mata lain. Hanya aku yang bisa merasakannya
wahai Luhsantini."
Luhsantini jadi terdiam haru mendengar kata-kata
Luhcinta itu. Dipegangnya bahu si gadis.
"Luhsantini..."
"Yaa...?"
"Apakah benar apa yang kita saksikan di Bukit Batu Kawin itu?" tanya Luhcinta.
Air mata yang tak terbendung mulai mengalir jatuh ke pipinya yang pucat.
Luhsantini tak kuasa menjawab.
Sementara itu tanpa setahu kedua orang itu di luar goa seseorang menyelinap dan
mencuri dengar semua
pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta. Dari pakaian hitam serta mukanya yang
tertutup lapisan tanah liat berjelaga hitam sudah dapat diterka orang ini adalah
Si Penolong Budiman, manusia aneh berkepandaian tinggi.
"Kau masih ada di sampingku Luhsantini?"
"Ya, aku masih di sini. Di dalam goa ini bersamamu.
Aku tidak akan meninggalkanmu..."
"Kau baik sekali. Aku sangat berterima kasih. Tetapi mengapa kau tidak menjawab
pertanyaanku tadi?"
Luhsantini gigit bibirnya. Matanya jadi ikut berkaca-kaca karena dia bisa
merasakan keperihan hati Luhcinta
kehilangan orang yang dikasihinya. "Kau harus tabah, Luhcinta..."
"Aku cukup tabah Luhsantini. Sejak kecil kesengsaraan hidup telah mendera
diriku. Laksana hantaman palu
godam di besi panas, membuat diriku menjadi seorang yang sanggup kukuh dalam
ketabahan. Tetapi, mengapa kejadian dan perubahan yang satu ini begitu tiba-
tiba" Begitu berat hingga bahuku tak sanggup memikulnya" Aku masih belum bisa
menemukan ayahku dan kini aku
kehilangan seorang calon ayah." Luhcinta seka air mata yang berderai jatuh di
pipinya. Di luar goa, Si Penolong Budiman sesaat tampak
termenung. "Tidak kusangka dia sangat mencintai pemuda itu. Ah..." Orang ini
menarik nafas dalam lalu geleng-gelengkan kepalanya.
"Ketabahan tidak mengajarkan kita untuk berputus asa wahai Luhcinta..."
terdengar suara Luhsantini.
"Aku tidak putus asa. Tapi cobaan ini datangnya begitu bertubi-tubi..."
"Luhcinta, jangan sampai kehilangan pemuda itu kau seolah menemui jalan buntu
dalam hidupmu. Seolah kau sampai di satu jalan di mana pada ujung jalan
menghadang sebuah jurang batu yang dalam dan gelap.
Aku sendiri mengalami nasib yang jauh lebih parah dari keadaanmu. Aku kehilangan
suami dan juga kehilangan seorang anak darah dagingku sendiri. Kau jauh masih
beruntung. Masa depan masih terbuka lebar di
hadapanmu..."
"Aku menyangsikan wahai Luhsantini, apakah aku
masih punya masa depan. Dari kehancuran masa silam apa yang bisa diambil sebagai
pegangan masa depan. Dan sekarang aku mengalami nasib seperti ini..." Luhcinta
kembali menyeka air matanya.
"Luhcinta, siapakah gadis yang beruntung
mempersuamikan pemuda itu?"
Saat itu seperti terngiang kembali di telinga Luhcinta suara lantang Lamahila si
juru nikah. "Wiro Sableng dan Luhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan
disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan
semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah.
Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri."
Luhcinta mendadak merasa sekujur tubuhnya menjadi
dingin. Dia menggigil. Melihat ini Luhsantini berkata.
"Cuaca memang buruk akhir-akhir ini. Aku akan mencari kayu untuk menyalakan
unggun. Biar goa ini menjadi hangat..."
"Tidak usah Luhsantini, aku masih bisa menahan
gejolak cobaan ini. Pertanyaanku tadi... kau tahu siapa adanya gadis yang
menjadi istri Wiro itu?"
"Aku tak pernah melihat gadis itu sebelumnya.
Lamahila menyebut namanya Luhrembulan. Satu nama
yang juga rasanya asing bagiku dan bagi semua orang di Negeri Latanahsilam
ini..." "Apapun keanehan yang terjadi rasanya tidak mungkin Wiro mengawini seorang yang
tidak dikenalnya. Berarti Wiro sebelumnya memang telah lama mengenal
Luhrembulan..."
"Sulit aku menduga wahai Luhcinta. Aku merasa seperti ada keanehan dalam semua
kejadian ini..."
"Kejadian bagaimana maksudmu?"
"Entahlah, aku tidak bisa mengatakan tapi aku dapat merasakan," jawab
Luhsantini. Lalu sambil membelai rambut Luhcinta, Luhsantini berkata. "Maafkan
kalau pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu wahai
Luhcinta. Namun aku ingin tahu, apakah selama ini
pemuda itu mengetahui kalau kau mencintainya...?"
"Aku tak tahu. Aku tak bisa menduga," jawab Luhcinta dengan mata basah menatap
tak berkedip pada
Luhsantini. "Kau tak pernah mengatakan terus terang padanya
dengan ucapan atau tanda isyarat bahwa kau
mencintainya?"
Luhcinta tersenyum sedih. "Luhsantini, kita ini sama-sama perempuan. Mana
mungkin perempuan berlancang
diri terlebih dulu menyatakan cintanya terhadap seorang pemuda?"
"Aku mengerti..."
"Lagi pula sejak beberapa waktu belakangan ini aku banyak diselimuti rasa
bingung." "Kau bingung" Apa yang membuatmu bingung?"
"Pertama, kenyataan bahwa begitu banyak gadis dan
perempuan jatuh cinta terhadap pemuda itu..."
"Wahai! Bagaimana kau bisa berkata begitu. Apa kau punya bukti...?"
"Untuk melihat seorang jatuh cinta tidak perlu bukti segala. Dari sikap, cara
bicara, bahkan cara memandang saja kita sudah bisa mengetahui bahwa seorang
mencintai seorang lainnya."
"Kalau kau tahu coba katakan siapa saja yang
menurutmu telah jatuh cinta pada pemuda asing itu!"
"Misalnya saja Luhjelita. Lalu Luhtinti. Yang paling gila Si Hantu Santet
Laknat. Kemudian Peri Angsa Putih. Dan terakhir sekali Peri Bunda, bahkan Peri
Sesepuh!" Luhsantini geleng-gelengkan kepala lalu sambil
tersenyum. "Untung aku tidak termasuk dalam daftarmu..."
"Masih ada hal lain yang menimbulkan kebingungan
dalam diriku," melanjutkan Luhcinta.
"Apa?"
"Di seluruh Negeri Latanahsilam kini tersiar kabar kalau Wiro telah melakukan
hubungan mesum dengan Luhjelita.
Kemudian merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab. Juga ada kemungkinan telah
melakukan hubungan badan dengan Hantu Santet Laknat.
Yang paling menghebohkan ialah tuduhan bahwa pemuda itu telah menghamili Peri
Bunda!" Di luar goa kembali Si Penolong Budiman menarik nafas dalam mendengar
pembicaraan kedua orang itu. Namun sekali ini tarikan nafasnya agak keras hingga
terdengar sampai ke dalam goa.
"Tunggu..." bisik Luhsantini. "Aku merasa ada
seseorang di luar sana. Aku akan menyelidik..."
"Kita sama-sama menyelidik" kata Luhcinta lalu bangkit berdiri.
"Tak ada siapa-siapa!" kata Luhsantini sambil
memandang sekitar goa. "Padahal tadi jelas sekali aku mendengar seperti ada
suara orang menarik nafas..."
"Kita masuk saja. Mungkin hanya suara desau angin
atau dedaunan yang saling bergesek," kata Luhcinta. Dia memegang lengan
Luhsantini. Kedua orang itu masuk
kembali ke dalam goa.
Ke mana lenyapnya Si Penolong Budiman" Ketika
menyadari kehadirannya sudah diketahui orang dengan cepat manusia berwajah tanah
liat ini melesat ke satu pohon besar berdaun lebat. Dia mendekam bersembunyi di
sana. Begitu Luhcinta dan Luhsantini masuk kembali ke dalam goa cepat-cepat dia
melompat ke pohon yang lain lalu lenyap tak kelihatan lagi. Sepanjang larinya
kembali ke telaga di mana dia meninggalkan Hantu Langit Terjungkir, hatinya
terasa goncang. Batinnya berulang kali berkata.
"Gadis itu... Dia mencintai pemuda asing itu" Luhcinta, dia mencintai Wiro!
Ah...!" Kembali ke dalam goa. Luhcinta dan Luhsantini
melanjutkan pembicaraan mereka. "Aku tidak
menyalahkan begitu banyak gadis dan perempuan bahkan sampai ke bangsa Peri jatuh
cinta terhadap pemuda asing itu. Selain kegagahan wajahnya serta ketinggian
ilmunya, dia mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi biar ada seribu orang
mencintainya, apakah dia mencintai salah satu dari mereka?"
"Pertanyaanmu itu sudah terjawab Luhsantini. Wiro
telah memilih Luhrembulan sebagai istrinya. Berarti gadis itulah yang
dicintainya."
Luhsantini menarik nafas panjang. Sambil gelengkan kepala dia berkata. "Seperti
kataku tadi, ada keanehan di balik pernikahan pemuda asing dan gadis tak dikenal
bernama Luhrembulan itu. Aku tidak tahu apa adanya. Biar nanti keadaan yang akan
mengungkapnya sendiri. Lalu mengenai kebingunganmu karena tersiar kabar bahwa
pemuda itu telah berbuat mesum di mana-mana, kalau memang itu benar sungguh
sangat disayangkan. Aku tak tahu lagi mau bicara apa. Tapi Luhcinta, kalau boleh
aku mengatakan, sebaiknya pembicaraan ini tidak usah kita perpanjang. Jangan kau
sampai berlarut-larut tenggelam dalam perasaan hatimu sendiri."
"Aku setuju," jawab Luhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata.
"Luhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku
bukan saja tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran.
Sejak lama aku berputus asa karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia
kehidupan diriku, tidak dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku.
Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak dari dua kakak
beradik. Perkawinan yang membawa
malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut
manusia?" "Luhcinta... apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?"
bertanya Luhsantini ketika dilihatnya sepasang mata Luhcinta tampak memandang
sayu dan kosong.
Ada sekelumit senyum menyeruak di bibir Luhcinta.
Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran yang memikat. Kini bibir itu
tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya sesaat. Di lain ketika Luhsantini
melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu
mengeluarkan kilatan aneh. Lalu terdengar Luhcinta berkata. "Luhsantini, aku
ingin menyelidik. Harus! Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis bernama
Luhrembulan itu!"
Luhsantini pandangi wajah Luhcinta seketika.
Sebenarnya dia ingin menasihati agar Luhcinta tidak perlu melakukan hal itu.
Namun khawatir perasaan dan jiwa si gadis akan semakin tertekan Luhsantini
akhirnya berkata.
"Jika itu keinginanmu, sebaiknya kita datangi tempat kediaman si juru nikah
Lamahila!"
"Tepat! Kita cari nenek itu sekarang juga!" kata
Luhcinta. Kedua orang itu segera bangkit berdiri.
Namun sebelum sempat melangkah ke mulut goa tiba-
tiba di luar sana terdengar suara tawa bergelak dahsyat sekali.
"Dua perempuan di dalam goa! Jangan kalian berani
menyelidik persoalan menyangkut anak dan menantuku!
Ini peringatan dariku! Dan ini contoh akibatnya kalau berani lancang melanggar!"
Di luar goa terdengar deru angin keras sekali. Menyusul berkiblatnya cahaya
merah seperti ada lidah api membeset turun dari langit.
Wussss! Bummmm! Braaakkk! Mulut goa batu hancur berkeping-keping. Kepingannya berpelantingan di udara,
berubah menjadi bara-bara menyala. Di dalam goa Luhsantini dan Luhcinta cepat
jatuhkan diri ke lantai batu. Lidah api menderu lewat di atas punggung mereka.
"Kurang ajar! Siapa berani main gila terhadap kita!"
teriak Luhsantini marah. Sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi,
perempuan berpakaian serba merah ini menerobos keluar.
Tapi sampai di luar tidak kelihatan siapa-siapa. Hanya di kejauhan terdengar
suara bergelak, menggema di seantero tempat lalu lenyap.
"Aneh, tak bisa kuduga siapa adanya manusia itu!" kata Luhsantini.
"Dia menyebut Luhrembulan dan Wiro sebagai anak
dan menantunya! Siapa dia"!" kata Luhcinta pula sambil kepalkan tinju.
"Melihat pukulan yang dilancarkannya bukan mustahil dia adalah Hantu Bara
Kaliatus..." ujar Luhsantini. "Tapi kau tahu, aku adalah bekas istrinya. Aku tak
punya anak perempuan..."
"Mungkin tanpa setahumu, suamimu itu telah kawin
dengan perempuan lain" Bukankah perpisahan kalian
berdua cukup lama, seumur seorang gadis remaja?"
Luhsantini menatap wajah Luhcinta dalam-dalam.
Dipegangnya lengan gadis itu seraya berkata. "Aku tidak tahu Luhcinta, tak bisa
aku menduga... Masakan selama ini tak pernah tersiar kabar kalau Hantu Bara
Kaliatus punya istri lagi dan punya anak" Wiro sebagai menantunya"
Wahai! Tak masuk di akalku!" Luhsantini terdiam beberapa saat. Lalu dia
bertanya. "Bagaimana sekarang" Apa yang akan kita lakukan?"
"Walau ada orang mengancam, aku tetap akan
menyelidik siapa adanya Luhrembulan. Aku akan mencari nenek juru nikah bernama
Lamahila itu..." jawab Luhcinta penuh kepastian. Tekadnya teguh dan bulat sudah!
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
6 ITA ikuti dulu ihwal kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir yang aslinya bernama Lasedayu, ayah
Kkandung dari empat orang anak yang terlahir
membawa tanda bunga dalam lingkaran pada lengan
sebelah atas. Sebegitu jauh dia telah bertemu dengan dua orang yang memiliki
tanda tersebut yakni Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dan Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus. Pagi itu Hantu Langit Terjungkir tegak bersandar di batang sebuah pohon tak jauh
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tepi telaga. Kaki ke atas kepala ke bawah, dua tangan dipergunakan sebagai
kaki. Tangan kanannya yang cidera akibat hantaman
tongkat tulang Sang Junjungan masih dibalut dengan segulung pelepah pisang.
Begitu sosok berjubah hitam bermuka dilapisi tanah liat hitam muncul di
hadapannya, dia segera menegur.
"Sahabat bermuka tanah liat, sejak pagi kau
menghilang tanpa memberitahu ke mana kau pergi. Begitu kembali kulihat kau
berubah sikap..."
"Kek, apa maksudmu?" tanya orang bermuka tanah liat yang di Negeri Latanahsilam
dikenal dengan panggilan Si Penolong Budiman.
"Walau wajahmu tertutup tanah liat hitam, tetapi aku tahu kau sedang diselimuti
rasa gundah yang amat sangat.
Kau tengah tenggelam dalam rasa bingung. Bukankah
begitu adanya?"
"Anu Kek... Bagaimana tanganmu yang patah?"
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. Sambil
pegang lengannya yang cidera dia berkata. "Tanganku sudah banyak kesembuhannya.
Tapi jangan kau
mengalihkan pembicaraan. Apa yang merisaukan hatimu"
Katakan dari mana kau sejak pagi buta tadi?"
Karena didesak akhirnya Si Penolong Budiman
bercerita juga. "Kau ingat ceritaku bahwa Luhsantini dan Luhcinta berada di
sebuah goa tak jauh dari telaga ini?"
"Wahai! Aku memang sudah menduga kau pasti
menyelinap ke sana. Di mana bunga mekar berada, ke situ biasanya kumbang
melayang. Tentu banyak sekali yang kalian bicarakan..."
"Tidak Kek, aku memang ke sana tapi bukan untuk
bercakap-cakap dengan mereka. Aku justru mencuri
dengar pembicaraan dua perempuan itu..."
"Kau bangsa orang yang suka menguping rupanya.
Coba kau ceritakan apa saja yang kau dengar," kata Hantu Langit Terjungkir pula.
Lalu dia rebahkan tubuhnya di tanah.
Si Penolong Budiman menuturkan semua pembicaraan
Luhsantini dan Luhcinta yang sempat didengarnya di dalam goa sebelum dia
kemudian terpaksa meninggalkan tempat itu karena takut ketahuan.
"Pemuda asing itu. Namanya Wiro Sableng. Aku kenal dia. Dia pernah menyelamatkan
nyawaku. Tapi mengenai gadis bernama Luhrembulan sungguh tak pernah aku
mengetahui siapa dirinya. Setahuku di Negeri Latanahsilam ini tidak ada gadis
bernama seperti itu..." Si kakek menatap ke dalam mata Si Penolong Budiman.
"Sahabatku, aku merasakan dari nada bicara dan tekanan suaramu. Setiap kau
menyebut nama Luhcinta, ada suatu getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai
gadis itu wahai sahabatku?"
"Kek, aku..."
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. "Katakan saja terus terang..."
"Dia mencintai pemuda asing bernama Wiro Sableng
itu!" "Kalaupun memang begitu tapi sekarang apa artinya lagi" Bukankah si pemuda
telah kawin dengan gadis
bernama Luhrembulan" Kau punya kesempatan besar
untuk mendapatkan Luhcinta... Kau harus cepat, jangan membuang-buang waktu!"
"Kau ini ada-ada saja Kek. Mukaku saja begini! Mana ada gadis yang mau padaku!"
Si Penolong Budiman geleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mungkin Kek, tidak
mungkin..."
"Maksudmu tidak mungkin dia mau denganmu" Ha...
ha... ha! Aku tahu di balik lapisan tanah liat itu kau memiliki wajah tak kalah
gagah dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Sekarang tinggal terserah
padamu. Apakah kau akan tetap menyembunyikan
wajahmu di balik tanah liat?"
"Aku telah bersumpah tidak akan menanggalkan tanah liat ini sebelum apa yang
tengah kuselidiki terungkap secara nyata!" Si Penolong Budiman lupa kalau dia
pernah memperlihatkan wajah aslinya pada Luhcinta.
"Kerabatku," kata Hantu Langit Terjungkir. "Jangan suka mudah bersumpah. Lagi
pula urusan selidik
menyelidik itu bisa diatur kemudian. Yang penting kau harus cepat-cepat berusaha
mendapatkan Luhcinta. Jika kau malu, aku mau jadi perantara menemuinya.
Mengatakan padanya bahwa kau mencintainya! Setuju"!"
"Jangan Kek! Aku harap jangan kau lakukan hal itu!"
"Aneh kau ini! Mau tapi malu. Suka tapi berpura-pura!"
"Aku tidak malu, aku tidak berpura-pura..."
"Lalu apa sebenarnya"! Jangan-jangan kau ini
sebenarnya seorang perempuan adanya! Ha... ha... ha!"
"Aku tidak bisa mengatakan padamu Kek..."
"Kalau begitu katakan pada kami!" tiba-tiba ada suara menyeruak. Membuat kaget
Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman. Jika ada dua orang mendatangi
tempat itu tanpa mereka mendengar dan mengetahui lebih awal, itu sudah cukup
menjadi pertanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak menunggu
lama, dari balik sebuah batu besar hitam di tepi telaga berkelebat muncul dua
sosok. Satu mengenakan jubah hijau pekat satunya lagi berjubah kuning gelap.
Hantu Langit Terjungkir goyangkan kepalanya agar bisa melihat jelas siapa yang
datang. Si Penolong Budiman cepat bangkit berdiri dan memutar tubuh.
Yang berjubah kuning gelap adalah seorang kakek
berambut putih kelabu awut-awutan. Mata kanan sipit kecil sebaliknya mata kiri
besar membeliak. Di pinggangnya kakek ini membekal sebilah senjata berbentuk
clurit besar berwarna hitam legam.
Di sebelah kakek berjubah kuning gelap tegak berdiri seorang nenek yang
penampilannya luar biasa aneh dan menggidikkan. Kulit muka, dada dan perutnya
seperti terkelupas. Hidungnya nyaris gerumpung. Bola mata
kanannya terbujur keluar, setengah tergantung di pipinya yang tidak berdaging.
Nenek ini tidak mempunyai tangan kanan alias buntung. Tapi di atas keningnya
menempel satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tangan kanan
sendiri! Seperti si kakek dia membekal sebilah clurit berwarna putih berkilauan.
Siapakah dua tua bangka aneh ini" Dalam rimba
persilatan Latanahsilam mereka pernah dikenal dengan julukan Sepasang Hantu
Bercinta. Si kakek bernama
Lajahilio sedang si nenek bernama Luhjahilio. Selama puluhan tahun mereka
mengelana, hidup bersama
bermesraan tanpa nikah. Itu sebabnya mereka dijuluki Sepasang Hantu Bercinta.
Seperti banyak para tokoh di masa itu, sepasang kakek ini ternyata telah jatuh
ke tangan Hantu Muka Dua dan dijadikan kaki tangan suruhannya. Akibatnya mereka
bentrokan dengan berbagai pihak. Terakhir sekali mereka bertempur menghadapi
Luhcinta. Walau Luhcinta banyak mengalah dan mengingatkan kedua orang itu agar
kembali ke jalan yang benar namun mereka tidak mau perduli.
Terutama si nenek yang terus mendesak Luhcinta dengan serangan-serangan ganas.
Akhirnya terpaksa Luhcinta menghajar nenek itu dengan pukulan sakti disebut
Pukulan Kasih Mendorong Bumi. Si nenek amblas ke dalam dinding batu. Ketika
kakek kekasihnya menariknya keluar dari batu, dirinya menjadi cacat mengerikan,
terutama di bagian wajah, dada dan perut. Kulit serta dagingnya terkelupas,
menyembulkan tulang putih menggidikkan!
Mata kanannya terbetot keluar! (Mengenai riwayat Lajahilio dan Luhjahilio harap
baca dua episode sebelum ini
berjudul "Rahasia Patung Menangis" dan "Rahasia Mawar Beracun").
Saat itu Hantu Langit Terjungkir telah bangkit berdiri, dua tangan menginjak
bumi, dua kaki naik ke atas. Dari balik celah-celah rambut putihnya dia
perhatikan gerak-gerik dua tamu tak diundang itu.
Si Penolong Budiman walau berdiri dengan sikap
tenang sambil rangkapkan dua tangan di depan dada
namun penuh waspada.
Luhjahilio perhatikan Hantu Langit Terjungkir dengan wajah sinis sementara mata
kanannya yang melotot keluar bergerak-gerak mengerikan. Mata kirinya melirik
sekilas pada Si Penolong Budiman. Mulutnya dipencongkan lalu dia berkata.
"Hantu Langit Terjungkir, aku mengenali siapa dirimu.
Kau bangsa manusia yang tidak pernah berdusta!"
"Terima kasih atas pujianmu itu! Siapa yang memuji biasanya membekal maksud
tersembunyi!" menyahuti
Hantu Langit Terjungkir.
Luhjahilio kembali sunggingkan wajah sinis. Jari-jari tangan kanannya yang
menempel di atas keningnya
kelihatan bergerak-gerak. Di sampingnya Lajahilio
mendekat dan berbisik. "Aku tidak takut pada manusia yang hidup menyungsang itu.
Tapi harap kau berhati-hati pada manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam
itu. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah dia berjuluk Si Penolong Budiman" Ingat,
dia yang dulu menghancurkan pedang kita dengan Ilmu Keppeng!" (Baca episode
berjudul "Rahasia Patung Menangis").
"Aku ingat!" jawab si nenek. "Tapi kau diam sajalah Lajahilio. Biar aku yang
bicara. Biar aku yang mengatur!
Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau langsung membokong Hantu
Langit Terjungkir!" Memang antara dua kekasih yang hidup selama puluhan tahun
itu si nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu tingkat lebih tinggi.
Luhjahilio kemudian alihkan perhatiannya pada Hantu Langit Terjungkir. "Makhluk
yang hidupnya menyungsang, kaki ke atas kepala ke bawah. Harap kau memberitahu
di mana beradanya gadis bernama Luhcinta itu!"
Sementara Si Penolong Budiman terkejut mendengar
pertanyaan si nenek, Hantu Langit Terjungkir keluarkan tawa mengekeh. Diam-diam
Si Penolong Budiman khawatir kalau Hantu Langit Terjungkir memberitahu di mana
beradanya Luhcinta. Maka dia memberi isyarat dengan kedipan mata. Namun dia
tidak mengetahui apakah si kakek mengerti arti isyaratnya itu.
"Luhjahilio..." kata Hantu Langit Terjungkir. "Biasanya hanya seorang pemuda
yang menanyakan di mana
beradanya seorang gadis cantik. Tapi kau yang nenek-nenek buruk justru yang
mengajukan pertanyaan... Aku mungkin masih bisa mengerti seandainya kekasihmu si
Lajahilio itu yang bertanyakan Luhcinta! Ha... ha... ha!"
"Tua bangka keparat! Jangan kau berani menghina
istriku!" hardik Lajahilio marah besar. Dia hendak menerjang tapi cepat dipegang
oleh Luhjahilio.
"Istrimu katamu..."!" ujar Hantu Langit Terjungkir sambil sibakkan rambut putih
yang menutupi wajahnya.
Bola matanya berputar-putar memperhatikan Lajahilio lalu tertawa gelak-gelak.
"Sejak kapan kau kawin dengan nenek itu" Siapa yang mengawinkan kalian" Ha...
ha... ha! Kalian mau aku bicara tidak berdusta tapi kalian sendiri bicara tidak
karuan!" Lajahilio tak dapat lagi menahan amarahnya. Sekali terjang saja kaki kanannya
menderu ke arah dada Hantu Langit Terjungkir. Ini bukan tendangan biasa. Sekali
mengenai sasarannya dada Hantu Langit Terjungkir pasti akan hancur luluh!
"Lajahilio! Kau buas sekali! Jangan-jangan sudah lama kekasihmu si nenek buruk
itu tidak mau bermesraan
denganmu! Ha... ha... ha!"
Hantu Langit Terjungkir kerahkan hawa sakti yang
didapatnya sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut (Baca Episode berjudul "Rahasia
Kincir Hantu"). Sekujur
badannya mendadak sontak memancarkan sinar kebiru-
biruan disertai menebarnya hawa dingin. Tubuh si kakek berubah laksana kabut,
melesat mumbul ke atas.
Tendangan Lajahilio mendera udara kosong kemudian
menghantam pohon besar tempat Hantu Langit Terjungkir tadi tegak bersandar.
Braakkk! Pohon yang batangnya seukuran pemelukan manusia
itu hancur berkeping-keping. Lalu dengan suara
menggemuruh tumbang ke tanah!
Lajahilio menggembor keras lalu berteriak. "Hantu
salah ujud! Aku mau lihat apa kau bisa lolos dari senjataku ini!" Lalu manusia
berjubah kuning gelap ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana terselip
senjatanya yang berbentuk sebuah clurit besar berwarna hitam legam.
"Kekasihku, jangan turutkan amarahmu! Biarkan aku
bicara dulu dengan kakek jahanam itu! Soal nyawanya kurasa bisa kita urus
kemudian!"
Lajahilio banting kaki mendengar kata-kata si nenek.
Dia berusaha menepiskan tangan kekasihnya itu, tapi si nenek mencekalnya dengan
kencang. "Turuti kemauanku!
Atau kau tidak ingin aku punya kesempatan untuk
membalas dendam"!"
"Huh!" Lajahilio unjukkan tampang merengut. Masih
penuh geram dia sisipkan senjatanya kembali ke pinggang.
Si nenek Luhjahilio berpaling pada Hantu Langit
Terjungkir. "Sekarang harap kau memberitahu di mana beradanya gadis bernama
Luhcinta itu! Jika kau berani macam-macam aku akan biarkan kekasihku mencincang
tubuhmu mulai dari kaki sampai kepala!"
"Nenek sesat! Orang telah memindahkan tangan
kananmu ke kening! Seharusnya itu sudah cukup menjadi pelajaran dan peringatan
bagimu! Tapi rupanya kau
memang tidak bisa dibuat sadar!"
"Keparat hidup menyungsang! Jangan banyak mulut di hadapanku! Tanganku
sebenarnya sejak tadi sudah gatal untuk mempesiangi tubuhmu! Kau mau mengatakan
di mana gadis bernama Luhcinta itu atau mampus sekarang juga"!" Tangan kiri si
nenek bergerak ke pinggang di mana tergantung clurit putih berkilat.
Hantu Langit Terjungkir tidak takut ancaman orang.
Sambil menyeringai dia berkata.
"Aku baru memberitahu kalau kau mau mengatakan
mengapa kau mencari gadis itu?" tanya Hantu Langit Terjungkir pula.
"Kau bertanya aku akan menjawab!" kata si nenek
pula. "Kau lihat keadaan mukaku! Kau lihat dada dan perutku. Putih hanya tinggal
tulang belulang. Lihat hidungku! Lihat mata kananku yang terjulur keluar! Ini
semua adalah akibat perbuatan gadis bernama Luhcinta itu! Dia memukulku hingga
melesak masuk ke dalam
dinding batu!"
"Wahai! Kau memang patut dikasihani! Tetapi mengapa gadis itu menghajarmu kalau
tidak ada sebab
musababnya"!"
"Tua bangka jahanam! Jangan kau memperpanjang
pembicaraan dengan segala macam pertanyaan! Lekas
katakan di mana Luhcinta berada!" Tangan kiri si nenek bergerak menggenggam
gagang clurit besar yang
memantulkan cahaya angker berkilauan terkena sinar matahari. Di sampingnya si
kakek yang jadi kekasihnya tidak tinggal diam. Dia juga segera menghunus
senjatanya. *** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
7 AHAN! Tunggu! Jangan mengeroyok aku dengan dua
sabit besar itu! Setahuku dulu kalian memiliki senjata Tberbentuk pedang terbuat
dari batu merah. Mana
senjata itu sekarang"! Sudah kalian jual karena kehabisan biaya hidup"! Ha...
ha... ha!"
Wuuttt! Clurit putih di tangan kiri Luhjahilio berkelebat dan tahu-tahu bagian tajamnya
sudah melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir. Sekali renggut saja leher
kakek ini pasti akan amblas putus.
Seperti diketahui, ilmu kepandaian Hantu Langit
Terjungkir alias Lasedayu telah amblas dirampas Hantu Muka Dua. Peristiwanya
terjadi ketika Hantu Muka Dua dengan mempergunakan sebuah sendok emas sakti yang
didapatnya dari makhluk bernama Lamanyala, berhasil mencungkil pusar Lasedayu
yakni bagian tubuh yang
menjadi pusat segala kesaktiannya. Walau tidak memiliki ilmu kesaktian lagi,
namun secara diam-diam di tempat kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Lasedayu
berhasil menghimpun kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang cukup dapat
diandalkan dan bukan sembarangan orang bisa menjajalnya. Itu sebabnya walau
lehernya sudah dikalungi Luhjahilio dengan clurit besar, dia masih bisa cengar-
cengir, malah julur-julurkan lidahnya. Lalu dia berkata. "Aku hidup sudah
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puluhan tahun. Sudah lebih dari cukup! Kalau kau memutuskan leherku saat ini,
aku akan sangat berterima kasih, Luhjahilio. Lakukanlah!"
"Tua bangka gila! Kau benar-benar minta mati! Aku
masih mau memberi kesempatan! Katakan di mana
Luhcinta!"
"Wahai...! Kalau kau sangat mendesak baiklah akan
aku katakan. Harap kau pasang telinga. Dengar baik-baik!"
"Kek, jangan kau beritahu!" teriak Si Penolong
Budiman. "Jangan campuri urusan orang!" bentak Lajahilio. Sekali berkelebat tahu-tahu
ujung clurit hitamnya sudah
mendekam di atas perut manusia bermuka tanah liat itu!
Sekali tangan itu bergerak, jebollah perut orang dan ususnya akan berhamburan
keluar! Si Penolong Budiman tampak tenang saja. Tapi diam-
diam dia segera kerahkan tenaga dalam pada dua
tangannya. Kalau perlu dia siap untuk sama-sama mati mengadu jiwa dengan
Lajahilio. "Tenang... Tenang semua!" Hantu Langit Terjungkir
berkata. "Aku akan beritahu di mana gadis itu berada..."
"Katakan cepat! Dari tadi kau cuma berceloteh tak
karuan!" bentak Luhjahilio.
"Gadis itu berada di tempat yang aku tidak tahu!" kata Hantu Langit Terjungkir
pula lalu tertawa gelak-gelak.
"Keparat jahanam! Mampus kau!" teriak Luhjahilio.
Tangan kirinya yang memegang clurit putih siap
disentakkan. Di sebelah sana Lajahilio juga tidak berdiam diri. Tanpa banyak cerita dia siap
menekankan ujung clurit hitamnya untuk merobek perut Si Penolong Budiman!
Namun dalam keadaan yang sangat menegangkan itu
tidak terduga mendadak berkelebat satu bayangan kuning.
Butt! Prett! Gerakan bayangan yang sangat sebat disertai bunyi
suara kentut mau tak mau menyita perhatian Sepasang Hantu Bercinta yang siap
menghabisi Hantu Langit
Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Ternyata tidak hanya kelebatan bayangan kuning dan suara kentut yang muncul. Di
saat bersamaan dua larik sinar kuning berbentuk tombak menderu ke arah
Luhjahilio dan Lajahilio!
"Tombak Kuning Pengantar Mayat!" teriak Luhjahilio dan Lajahilio hampir
berbarengan. Tampang sepasang kakek nenek ini menjadi seputih kain kafan.
Keduanya sama-sama jatuhkan diri menghindari sambaran sinar kuning sambil tetap
meneruskan niat untuk menghabisi dua lawan mereka. Namun saat itu Hantu Langit
Terjungkir dan Si Penolong Budiman sudah bergerak lebih dahulu!
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir yang ada di udara tiba-tiba sekali melesat ke
bawah. Dua tumitnya menghantam ke arah batok kepala Luhjahilio. Si nenek tahu
betul kehebatan dua kaki lawan. Terlambat dia selamatkan diri batok kepalanya
akan amblas dihantam dua tumit Hantu Langit Terjungkir. Selagi perhatiannya
tersita pada serangan lawan, dia cepat rundukkan kepala sementara tangan kirinya
bekerja, menarik clurit besar yang melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir.
Tapi sekali ini si nenek kalah cepat dengan gerakan tangan kanan lawan.
Hantaman dua kaki yang dilancarkan Hantu Langit
Terjungkir ke arah kepala Luhjahilio sebenarnya hanya tipuan belaka. Begitu
perhatian lawan terbagi dan
membuat gerakan mengelak, Hantu Langit Terjungkir cepat melesat mumbul ke atas
untuk lepaskan leher dari
kalungan clurit. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan.
Bukkkk! Kraaakkk! Luhjahilio terpental dua tombak, bergulingan di tanah sambil keluarkan suara
raungan. Dari mulutnya
menyembur darah kental. Clurit putihnya terlepas jatuh entah ke mana. Ketika dia
bangkit terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang remuk dilabrak jotosan
tangan kanan Hantu Langit Terjungkir, mata kanannya yang sebelumnya terbujur
kini tak kelihatan lagi. Mata itu kini hanya tinggal lobang digenangi darah
menggidikkan. Matanya yang satu bergerak liar kian kemari mencari cluritnya. Kemudian nenek
ini keluarkan seruan tertahan ketika di sebelah sana dilihatnya kekasihnya
tergeletak tak bergerak!
Walau lolos dari maut, namun Hantu Langit Terjungkir ternyata mengalami cidera
cukup parah. Ketika tadi dia menghantam si nenek, dia pergunakan tangan
kanannya. Kakek ini lupa kalau tangannya itu masih dibalut dan belum sembuh betul dari
patah akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan beberapa waktu lalu. Begitu
dipergunakan menghantam dada lawan, tak ampun lengan yang patah itu ambruk
kembali! Si kakek terguling di tanah, menggeliat-geliat menahan sakit. Si
Penolong Budiman cepat menghampiri orang tua ini, mendukungnya dan
membawanya ke tempat yang aman dekat sebuah batu
besar di tepi telaga.
"Kek, kau tak apa-apa?"
"Sial betul nasibku! Mengapa aku begitu tolol
pergunakan tangan kanan memukul lawan! Tangan ini
pasti sudah patah lagi! Celaka betul!"
"Aku akan menolongmu. Mari kulihat dulu lenganmu,"
kata Si Penolong Budiman sambil hendak membuka
pelepah pisang yang membalut lengan si kakek.
"Jangan pikirkan diriku. Awasi dulu sepasang kakek nenek sesat itu! Mereka tidak
segan-segan membokong kita secara curang!"
"Tak usah khawatir Kek. Si nenek cidera berat akibat pukulanmu! Kekasihnya kakek
satu itu agaknya tak akan sadar dalam waktu satu minggu!"
Apa yang terjadi dengan Lajahilio seperti yang
disaksikan oleh si nenek kekasihnya"
Ketika tadi sinar kuning berbentuk tombak
menghantam ke arahnya mau tak mau perhatian Lajahilio jadi terbagi. Dia merasa
masih punya kesempatan untuk menambus perut Si Penolong Budiman. Karena itu
sambil jatuhkan diri ke samping dia betot celuritnya demikian rupa. Namun
manusia muka tanah liat telah lebih dulu bergerak. Tangan kiri memukul lengan
Lajahilio hingga dirinya terpental ke samping. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya didorongkan ke depan. Gerakannya
perlahan saja. Dari tangan kanan itu menyembur keluar selarik sinar hitam yang
merebak berbentuk kipas. Dalam larikan sinar hitam berkilauan sinar-sinar terang
aneh seperti bunga api.
"Pukulan Menebar Budi!" teriak Lajahilio. Kakek ini serta merta menyingkir
selamatkan diri. Tapi terlambat.
Larikan sinar hitam keburu menyapu tubuhnya mulai dari dada sampai ke lutut!
Wuuuusss! Lajahilio menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu terkapar di
tanah tak berkutik lagi.
Pakaiannya mulai dari dada sampai ke lutut tampak
hangus mengepulkan asap hitam!
Pukulan yang barusan dilepaskan si muka tanah liat memang pukulan yang disebut
Pukulan Menebar Budi.
Pukulan hebat inilah yang membuat dia menjadi terkenal di Negeri Latanahsilam
dan sangat ditakuti lawan. Pukulan Menebar Budi tersebut berjumlah tujuh yakni
Pukulan Menebar Budi Hari Pertama sampai Pukulan Menebar Budi Hari ke Tujuh.
Yang tadi dilepaskannya untuk menghantam Lajahilio adalah Pukulan Menebar Budi
Hari Pertama. Akibatnya seperti disaksikan sendiri. Kalau sampai dia menghantam dengan Pukulan
Menebar Budi Hari ke Dua, saat itu nyawa si kakek sudah tidak tertolong lagi.
Rupanya manusia muka tanah liat ini masih mempunyai rasa belas kasihan hingga
tidak mau menjatuhkan tangan terlalu keras. Tapi karena jarak mereka begitu
dekat maka akibat yang menimpa Lajahilio sungguh parah walau orang ini tidak
sampai meregang nyawa.
"Jahanam! Kau membunuh kekasihku!" teriak
Luhjahilio. Terhuyung-huyung nenek yang juga mengalami cidera parah ini jatuhkan
diri ke atas tubuh Lajahilio lalu menggerung keras.
Di antara suara gerungan itu tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik disusul
suara butt prett!
"Luhjahilio nenek sesat! Kau dan kekasihmu sama-
sama tak tahu diri! Masih untung orang tidak membunuh kekasihmu itu! Kau
sendiri, apa peringatanku masih kurang jelas" Aku sudah memindahkan tangan
kananmu ke jidat! Tapi kau masih saja menjalani hidup jahat dan sesat! Apa
tanganmu yang satu lagi mau aku pindahkan ke selangkangan"! Hik... hik...
hik...!" Mata kanan Luhjahilio kucurkan darah. Mata kirinya bergerak berputar memandang
ke arah sosok serba kuning yang tertawa cekikikan di hadapannya.
"Hantu Selaksa Angin! Aku menyatakan perang tujuh
turunan denganmu! Kau akan rasakan pembalasanku!"
Nenek muka kuning songgengkan pantatnya lalu butt
prett! Dia pancarkan kentutnya. "Tua bangka tolol! Anak saja kau tidak punya,
apalagi cucu! Bagaimana kau bisa bicara tak karuan menyatakan perang tujuh
turunan"! Hik... hik... hik! Bagusnya kau lekas angkat kaki dari tempat ini! Bawa
kekasihmu itu selagi bisa diselamatkan!"
Luhjahilio meludah ke tanah. Ludahnya bercampur
darah. Dengan matanya yang tinggal satu dia membeliak memandang ke arah Si
Penolong Budiman.
"Makhluk muka tanah liat, nasibmu tak akan kalah
sengsara dari nenek keparat itu! Lihat saja pembalasanku nanti!" Habis berkata
begitu Luhjahilio lalu coba
mengangkat tubuh kekasihnya. Maksudnya hendak
didukung di pundak kirinya. Ternyata dia tidak mampu melakukan.
"Aku mau menolongmu mendukung kakek butut itu.
Katakan saja kau mau bawa dia ke mana dan kau mau
bayar aku dengan apa"! Hik... hik... hik!"
Mendengar ejekan Hantu Selaksa Angin itu Luhjahilio jadi mendidih amarahnya.
Melupakan keadaan dirinya sendiri dia sambar clurit hitam milik Lajahilio yang
tergeletak di tanah lalu menyerbu Hantu Selaksa Angin.
Dalam satu gebrakan saja dia sudah kirimkan dua babatan dan satu bacokan.
Butt prett! Hantu Selaksa Angin pancarkan kentutnya lalu cepat berkelebat. Ketika lengan
jubah kirinya dikebutkan, selarik cahaya kuning berkiblat. Seperti tadi waktu
menolong Hantu Langit Terjungkir dan makhluk muka tanah liat, nenek muka kuning
itu kembali lepaskan pukulan Tombak Kuning Pengantar Mayat. Walau diserang
dengan pukulan sakti itu, namun Luhjahilio tetap nekad, terus saja menerjang
dengan clurit besar di tangan kiri. Hantu Selaksa Angin arahkan pukulan saktinya
ke tangan kiri lawan.
Cahaya kuning berbentuk tombak kembali berkiblat di udara.
Traanggg! Luhjahilio terpekik keras. Clurit hitamnya patah dua dan terlepas mental. Tangan
kirinya bergetar keras dan ada rasa sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sadar
dalam keadaan seperti itu dia tak bakalan dapat menghadapi lawan, Luhjahilio
banting-banting kaki. Dengan tangan kirinya dia cekal leher berjubah kuning
Lajahilio lalu seret si kakek meninggalkan tempat itu sambil keluarkan kutuk
serapah. "Nenek sesat! Kalau saja kau tahu diri akan
kukembalikan tangan kananmu ke tempat semula!" kata nenek muka kuning mengantar
kepergian Luhjahilio.
Mendengar ucapan itu Luhjahilio hentikan langkahnya dan berteriak.
"Aku tidak perlu belas kasihanmu nenek muka
comberan! Kalau tiba saatnya aku akan pindahkan
nyawamu ke pusaran neraka langit ke tujuh!"
Butt prett! Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut jawab ucapan Luhjahilio dengan
pancaran kentutnya lalu tertawa cekikikan. Tak lama setelah Luhjahilio
meninggalkan tempat itu bersama kekasihnya, Hantu Selaksa Angin berpaling ke
arah orang bermuka tanah liat yang tengah menolong Hantu Langit Terjungkir.
Nenek muka kuning ini segera mendekati. Dia perhatikan sebentar keadaan si kakek
lalu berkata. "Huh! Seperti anak kecil! Cuma sakit sedikit saja tapi mengerang
tak putus-putus!"
Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi kepalanya. "Tua bangka
tukang kentut! Kau rupanya! Kau tidak merasa bagaimana sakitnya karena bukan kau
yang cidera!"
Si kakek tempelkan belakang tangan kirinya ke bibir lalu preettt! Dia tirukan
suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. "Kau masih
pandai menirukan kentutku! Padahal suara dan irama kentutku sudah berbeda dari
dulu! Hik... hik... hik! Makhluk yang hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke
bawah, dulu kau pernah mengancam diriku. Mau membuat aku jadi
ikan asap atau ikan pindang. Apa kau masih mau
melakukannya"!" (Baca episode berjudul "Hantu Santet Laknat").
"Nenek muka kuning! Aku sedang menderita sakit. Kau bicara yang bukan-bukan!
Lama-lama aku jadi muak
melihat dirimu! Lekas kau pergi dari sini!"
"Tua bangka tak tahu diri!"
"Nenek sialan, apa maksudmu"!"
"Rupanya kau masih suka melihat wajah gadis cantik daripada wajah nenek
sepertiku ini! Itu sebabnya kau suruh aku pergi!"
"Nek," Si Penolong Budiman menengahi pembicaraan.
"Orang tua ini sedang kesakitan. Aku tengah berusaha menolongnya. Harap kau
jangan mengajaknya bicara
dulu..." "Manusia muka tanah liat! Lagakmu seperti tabib ahli saja! Apa kau punya
kemampuan menolong tukang ikan pindang itu"!"
"Nenek muka kuning itu ingin kubuat jadi ikan pepes rupanya!" kata Hantu Langit
Terjungkir pula.
"Dulu kau suka ikan asap ikan pindang. Sekarang kau suka ikan pepes. Nanti kau
suka ikan apa lagi" Hik... hik...
hik! Dengar, jika aku bisa menolong tanganmu yang patah apa kau mau menjawab
beberapa pertanyaanku?"
"Memangnya kau tabib atau dukun" Puah!" Hantu
Langit Terjungkir pencongkan mulutnya.
"Aku memang bukan tabib, juga bukan dukun. Apalagi dukun beranak! Hik... hik...
hik! Tapi sekali lihat saja aku sudah tahu tanganmu yang patah itu sudah mulai
membusuk! Tak ada harapan untuk disembuhkan!"
Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam. Dia melirik pada Si Penolong Budiman.
Manusia muka tanah liat ini berkata.
"Jangan dengarkan ucapannya Kek. Dia menakut-nakuti dirimu. Aku pasti bisa
menolongmu..."
"Aku hanya memberitahu!" kata Hantu Selaksa Angin.
"Kalau tangan kananmu sampai busuk dan kelak kau
cuma punya satu tangan, apakah kau masih bisa berjalan dengan mempergunakan
hanya satu tangan" Tua bangka tolol! Kelak kau berjalan dengan tangan kiri.
Makan dengan tangan kiri! Lalu cebok dengan tangan kiri juga!
Hik... hik... hik! Perlu apa berlama-lama melihat orang tolol!
Kalau bukan guruku yang menyuruh mencarimu, mana
sudi aku melihat tampangmu yang lebih jorok dari
pengemis ini!" Setelah berkata begitu si nenek segera bergerak hendak tinggalkan
tempat itu. Hantu Langit Terjungkir kembali melirik pada Si
Penolong Budiman. Akhirnya kakek ini berseru. "Nenek muka kuning! Tunggu dulu!
Aku bersedia menjawab
pertanyaanmu. Tapi aku ingin agar kau mengobati
tanganku lebih dulu!"
"Kalau aku mengobatimu lebih dulu, apa nanti kau
akan memenuhi janji menjawab pertanyaanku?"
"Nek, kakek sahabatku ini bukan orang berhati culas.
Kalau setelah kau obati ternyata dia ingkar, biar aku mematahkan tangannya yang
satu lagi!" kata Si Penolong Budiman pula.
Butt prett!
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang berbunyi bukanlah kentut si nenek muka kuning, tapi suara mulut dan tangan
Hantu Langit Terjungkir sengaja meniru suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. "Baik, aku akan tolong kakek sahabatmu
ini. Tua bangka jelek, ayo ulurkan tangan kananmu!"
Masih dalam keadaan berbaring Hantu Langit
Terjungkir ulurkan tangannya yang cidera. Si nenek perhatikan tangan itu sesaat.
"Hemmm... apa kataku.
Tanganmu sudah busuk. Malah kulihat sudah mulai ada belatungnya kecil-kecil!"
Hantu Langit Terjungkir jadi kaget. Dia buka matanya lebar-lebar memperhatikan.
Tapi dia tidak melihat apa-apa.
Apalagi belatung seperti yang dikatakan si nenek. Hantu Selaksa Angin tertawa
cekikikan. "Kau mana bisa melihat belatungnya. Matamu hanya bisa melihat gadis
cantik. Bukan begitu" Hik... hik... hik!"
"Kau mau menolongku atau mau bersenda gurau"!"
Hantu Langit Terjungkir jadi jengkel.
"Walah, sudah tua bangka kau masih cepat marah.
Sudah, kalau kau tak sabaran sekarang juga akan kuobati tanganmu!" Si nenek
buang sisa-sisa pelepah pisang yang masih menempel di tangan kanan Hantu Langit
Terjungkir. Caranya melakukan hal itu seenaknya saja hingga si kakek menjerit-jerit
kesakitan. Butt prett! "Jangan cengeng!" bentak si nenek muka kuning
setelah kentut lebih dulu. Dengan tangan kirinya dia usap tangan kanan Hantu
Langit Terjungkir yang patah
sementara mulutnya berkomat-kamit Masih dengan tangan kirinya dia cekal tangan
itu di bagian siku. Lalu dipelintirnya kuat-kuat!
Klek! Tangan kanan Hantu Langit Terjungkir tanggal di bagian siku! Si kakek menjerit
setinggi langit. Saking sakitnya dia hendak berguling-guling di tanah. Tapi si
nenek cepat injak dadanya. "Diam kau! Jangan ribut jangan berani bergerak!"
bentak si nenek.
"Uh... uh... uh..." Hantu Langit Terjungkir terpaksa menahan rasa sakitnya walau
muka dan badannya sampai mandi keringat. Hantu Selaksa Angin kemudian melangkah
mendekati sebatang pohon. Potongan tangan Hantu Langit Terjungkir ditempelkannya
di pohon itu. Lalu, krakkk! Dia mematahkan cabang pohon yang besar dan
panjangnya kira-kira sama dengan tangan si kakek. Potongan cabang pohon itu lalu enak saja
disambungkannya ke tangan kanan Hantu Langit Terjungkir.
"Untuk sementara kau pakai dulu cabang pohon itu
sebagai pengganti tanganmu yang patah!" kata si nenek sambil menyeringai.
Si Penolong Budiman tersentak kaget. Hantu Langit
Terjungkir sendiri membeliak besar.
"Kau menipuku!" teriak Hantu Langit Terjungkir marah.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
8 ENEK muka kuning pancarkan kentutnya. Butt prett!
Lalu unjukkan wajah cemberut. "Siapa yang
Nmenipumu kakek buruk"!"
"Tadi kau mengatakan akan mengobati tanganku yang
patah. Ternyata tanganku kau tanggalkan, kau tempel di pohon. Lalu kau ambil
patahan cabang pohon dan kau tempelkan di tanganku!"
"Walah, memang begitu caraku menolongmu!" jawab
Hantu Selaksa Angin.
"Aku lebih suka kau kembalikan tanganku! Siapa sudi punya tangan batang kayu
seperti ini!" ujar Hantu Langit Terjungkir sementara Si Penolong Budiman
tertegak tak tahu mau berbuat atau bicara apa.
"Ck... ck... ck... Kau benar-benar bangsa manusia yang tidak tahu ditolong
orang. Aku telah pergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu.
Itu bukan ilmu sembarangan. Aku menghabiskan waktu
belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu yang patah sengaja aku tempel di
pohon. Sementara kau tidak punya tangan, bukankah ada baiknya kuganti dulu
dengan batang kayu" Nanti kalau tanganmu yang di pohon sudah bertaut kembali
tulangnya baru kukembalikan ke tempatnya
semula! Paling lama kau hanya menunggu beberapa hari sampai tanganmu sembuh!
Nanti aku pasti akan
memasangkannya ke tanganmu itu kembali!"
"Cara pengobatanmu tidak masuk akal! Kau
menipuku...!" teriak Hantu Langit Terjungkir.
"Itulah kalau hidup cuma tahu ikan asap, hanya tahu ikan pindang! Sekarang kau
juga tahu ikan pepes! Ditolong orang malah menuduh menipu! Coba kau perhatikan!
Apa tanganmu yang kusambung dengan cabang pohon itu
terasa sakit?"
"Memang tidak! Tapi aku tidak sudi punya tangan
batang kayu seperti ini!"
"Sombongnya manusia satu ini!" mengomel si nenek.
"Selama puluhan tahun kau hidup kaki ke atas kepala ke bawah. Apa kau pernah
berkata tidak sudi hidup
menyungsang seperti itu"!"
Mendengar ucapan si nenek, Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam.
"Nek, bagaimana kalau selama di pohon terjadi apa-
apa dengan tangan kakek sahabatku itu?" Si Penolong Budiman bertanya.
"Apa maksudmu manusia muka tanah liat?"
"Mungkin saja potongan tangan itu dipagut dan
dimakan ular. Atau dimakan musang..."
"Kalau kau memikir sampai di situ mudah saja
jawabnya! Suruh kakek yang punya tangan itu berjaga-jaga siang malam di bawah
pohon sampai tangannya sembuh!
Kalau nanti tangannya masih saja dijadikan santapan binatang hutan, mungkin itu
sudah nasibnya! Hik... hik...
hik! Bukankah tugasku hanya menolongnya" Bukan
menjadi pengawal tangan buntungnya" Kalau kau merasa sahabatnya kau harus
membantunya!"
Butt prett! Si nenek kentut dulu lalu meneruskan
ucapannya. "Sekarang sesuai perjanjian kau harus
menjawab beberapa pertanyaanku."
"Aku tidak akan menjawab apapun!" Hantu Langit
Terjungkir berkata setengah berteriak.
Si nenek tampak jengkel. Matanya yang kuning
memandang tajam pada Hantu Langit Terjungkir. "Aku sudah menduga kau akan ingkar
janji. Tapi tak jadi apa!
Aku akan pergi, tapi tanganmu kubawa serta!"
Lalu dengan mulut berkomat-kamit si nenek hendak
tanggalkan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang menempel di batang pohon.
"Kek, sebaiknya kau menjawab saja apa yang hendak
ditanyakannya. Kurasa tak ada susahnya. Daripada urusan menjadi panjang tak
karuan..." Si Penolong Budiman memberi nasihat
"Aku...! Wahai! Sialan! Sudah! Baik aku akan jawab. Apa yang mau kau tanyakan!"
Hantu Langit Terjungkir akhirnya mengalah juga.
Hantu Selaksa Angin tatap wajah si kakek beberapa
saat baru berkata. "Kau dikenal dengan nama Hantu Langit Terjungkir. Waktu lahir
kau pasti punya nama. Aku ingin tahu siapa namamu sebenarnya."
"Kau menanyakan namaku segala! Apa juga perlu hari dan bulan lahirku" Rupanya
kau mau meramal menujumi diriku atau bagaimana?"
"Jangan banyak bicara yang tak karuan. Jawab saja
pertanyaanku. Siapa namamu kakek buruk?"
Hantu Langit Terjungkir pandangi nenek muka kuning itu mulai dari sunting yang
menancap di kepalanya, turun ke lehernya yang penuh dengan untaian kalung sampai
ke kaki. Semuanya serba kuning. Dalam benak dan hati si kakek berbagai
pertanyaan muncul. Sambil melangkah seputar si nenek Hantu Langit Terjungkir
membatin. "Nenek aneh serba kuning ini. Siapa dia sebenarnya" Aku yakin dia sengaja
memoles wajahnya dengan semacam cat kuning. Aku akan menjawab pertanyaannya tapi
nanti aku akan balas bertanya..."
"Kalau kau memang ingin tahu, nama asliku Lasedayu."
"Lasedayu... Lasedayu..." Si nenek ketuk-ketuk
keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk. "Hemmm...
Aku tak tahu apa aku pernah mendengar nama itu
sebelumnya. Namamu buruk seperti tampangmu! Aku tidak kenal nama itu!"
"Lebih bagus kau tidak kenal siapa diriku!" menyahuti si kakek.
"Aku memang tidak ingin. Kalau saja guruku tidak
menyuruh..."
"Siapa gurumu?" bertanya Si Penolong Budiman.
"Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu
muka hitam!"
"Kau tak mau menjawab tak jadi apa," kata Si Penolong Budiman tenang.
"Sudah tua bangka begini apakah kau punya istri,
Lasedayu?" Si nenek ajukan pertanyaan kedua.
"Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku"!"
tanya Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah
tertawa cekikikan dia berkata. "Jawab saja pertanyaanku!"
"Aku tak punya istri!"
"Maksudmu kau tidak pernah kawin" Tak pernah punya anak"!"
"Nenek muka kuning! Aku tidak suka semua
pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku atau
bagaimana?"
"Jangan-jangan kau kaki tangan Hantu Muka Dua." Si Penolong Budiman menimpali.
"Aku bukan kaki tangan Hantu Muka Dua! Soal
menyelidiki aku memang sedang menyelidiki dirimu!"
"Untuk apa"!" sentak Hantu Langit Terjungkir.
"Aku tidak tahu!" jawab si nenek.
"Tua bangka sakit! Otakmu pasti tidak waras!" kata Hantu Langit Terjungkir pula.
"Aku memang bisa bertindak tidak waras. Misalnya,
tanganmu yang di pohon itu kubuat remuk hingga kau tidak punya tangan kanan lagi
seumur-umur. Bagaimana, mau kita coba" Mau kubuktikan kalau diriku bisa tidak
waras"!"
Ketika si kakek tidak menjawab, Hantu Selaksa Angin tertawa gelak-gelak. "Kakek
buruk. Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau pernah kawin" Kalau pernah siapa
nama istrimu. Lalu apa kau pernah punya anak?"
"Nenek muka kuning, kau harus jawab pertanyaanku
dulu. Apa perlu kau menyelidiki diriku?"
"Sudah kukatakan tadi. Guruku yang menyuruh!"
"Siapa gurumu"!"
"Aku tidak tahu!"
"Betul-betul gila! Kau disuruh gurumu tapi kau tidak tahu siapa gurumu!"
"Aku tidak dusta! Karena aku memang tidak pernah
melihat ujudnya!"
"Kau punya guru, tapi tidak tahu ujudnya! Gurumu
angin atau sebangsa kentut yang keluar dari pantatmu itu"!"
"Jangan kau berani menghina guruku. Tua bangka
bermulut tak karuan. Kau yang gila, bukan aku! Aku tak mau lagi bicara
denganmu!"
"Bagus, sekarang aku yang bicara! Aku yang bertanya!
Siapa namamu sebenarnya?"
"Aku tidak tahu!"
"Apa kau pernah punya suami?"
"Hik... hik! Jika aku tak punya suami apa kau mau jadi lakiku" Hik... hik!"
"Sialan betul!" maki Hantu Langit Terjungkir.
Sebaliknya si nenek banting-banting kaki lalu tanpa banyak bicara lagi putar
tubuhnya. Setelah pancarkan kentutnya satu kali diapun tinggalkan tempat itu.
"Syukur nenek sinting itu sudah pergi!" kata Hantu Langit Terjungkir lega.
Tetapi sebenarnya si nenek tidak pergi. Setelah menghilang dari pandangan mata
kedua orang itu diam-diam dia menyelinap kembali, melompat ke atas sebatang
pohon berdaun lebat di seberang telaga.
Dari sini dia mengawasi Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman sambil
kerahkan kesaktiannya untuk mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu.
"Nenek muka kuning itu benar-benar aneh..." kata
Hantu Langit Terjungkir. "Apa maksudnya menyelidiki diriku. Katanya disuruh
gurunya. Tapi dia tidak tahu mau memberitahu siapa gurunya."
"Kau tidak bisa mengenali atau menduga siapa dia
adanya, Kek?" tanya Si Penolong Budiman.
Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala.
"Aku menduga dia tengah menyelidiki dirimu dan masa silammu Kek."
"Bisa saja. Tapi untuk apa?"
"Kuncinya ada pada gurunya. Sayangnya dia tidak mau memberitahu siapa gurunya!
Katanya dia tak pernah
melihat ujud sang guru. Apa memang bisa begitu?"
"Sebaiknya kita tidak membicarakan nenek sinting itu!"
kata Hantu Langit Terjungkir pula. Tiba-tiba dia ingat dan berseru. "Wahai!
Celaka diriku!"
"Ada apa Kek?"
"Tanganku yang menempel di pohon! Kalau tulangnya
yang patah bertaut kembali, bagaimana aku menyam-
bungkannya ke tubuhku"!" Wajah si kakek jadi pucat.
"Berarti dalam waktu beberapa hari di muka nenek itu akan datang kembali
mencarimu Kek."
"Kalau dia datang, kalau tidak...!"
Di atas pohon di seberang telaga Hantu Selaksa Angin senyum-senyum mendengar
percakapan kedua orang itu.
"Lasedayu... Lasedayu..." katanya berulang kali dalam hati.
"Ah, aku tidak kenal nama itu. Aku tidak ingat lagi..." Si nenek pukul-pukul
kepalanya sendiri.
*** PAGI hari ke empat ketika Hantu Langit Terjungkir
bangun, seperti hari-hari sebelumnya yang pertama sekali diperhatikannya adalah
pohon di mana tangan kanannya yang patah ditempelkan oleh Hantu Selaksa Angin.
Sekali ini begitu dia memandang ke pohon langsung dia tersentak kaget dan
melompat bangun sambil berseru memanggil Si Penolong Budiman.
Manusia muka tanah liat ini serta merta terbangun
pula. "Ada apa Kek?"
"Tanganku! Lihat ke pohon sana! Tanganku tak ada lagi di pohon itu! Pasti sudah
dibawa lari binatang hutan!
Celaka diriku! Apa kataku! Nenek muka kuning jahanam itu benar-benar telah
menipuku! Celaka diriku! Celaka! Akan kucari nenek keparat itu. Kalau bertemu
biar dua tangannya kutanggalkan dari tubuhnya! Biar dia rasa!"
Hantu Langit Terjungkir pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.
Si Penolong Budiman dapat merasakan kemarahan si
kakek. "Nenek sinting itu memang perlu diberi pelajaran!"
katanya. Dia perhatikan si kakek yang terus memukuli kepalanya sendiri. Tiba-
tiba manusia bermuka tanah liat ini berseru keras. "Kek!"
"Ada apa"!" tanya Hantu Langit Terjungkir kesal.
"Tangan kananmu Kek! Kau memukuli kepalamu
dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!"
"Astaga!" Si kakek baru sadar dan perhatikan tangan kanannya dengan mendelik
besar. Ternyata tangannya yang sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah
berubah dengan tangannya yang sebenarnya. Berpaling ke samping kiri dia melihat
cabang pohon yang tadinya dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di tanah.
Si kakek usap-usap tangan kanannya berulang kali. Diangkat ke atas, diturunkan
ke bawah. Direntangkan ke samping seolah-olah tak percaya!
"Nenek itu! Wahai! Aku telah berburuk sangka! Ternyata dia tidak menipuku.
Ternyata dia benar-benar menolongku!
Tanganku yang patah dan telah sembuh disambungkannya kembali!"
Hantu Langit Terjungkir memandang pada Si Penolong Budiman dengan sepasang mata
berkaca-kaca. "Dosa
besar aku padanya, wahai kerabatku! Nenek muka kuning itu menyembuhkan tanganku
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang patah. Menyembuhkannya kembali! Aku tidak tahu kapan dia
melakukan. Pasti malam tadi!"
"Kek, kalau dia melakukan secara diam-diam berarti dia menolongmu tanpa
menginginkan balas jasa. Berarti hatinya polos. Tapi mungkin juga..." Si
Memanah Burung Rajawali 36 Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting Beruang Salju 7
Luhcinta melalui pergelangan tangan dan dada. Karena pingsannya Luhcinta bukan
akibat cidera atau luka dalam maka sesaat kemudian gadis ini sadarkan diri.
Begitu siuman, belum lagi dia membuka mata dari
mulutnya keluar desahan halus. "Wiro... Wiro. Kau tahu perasaanku terhadapmu.
Sampai hati kau..." Ingatan Luhcinta semakin pulih. Dia berusaha menahan isak
lalu membuka matanya. Pandangannya membentur wajah
Luhsantini. "Kau..." desis Luhcinta karena tidak mengira kalau ada orang lain di
tempat itu. Mungkin malu karena telah ketelepasan bicara, Luhcinta balikkan
dirinya menghadap ke dinding goa.
Luhsantini diam memperhatikan. Dalam hati dia
berkata. "Dugaanku ternyata benar. Gadis ini memang mencintai pemuda asing
bernama Wiro itu... Apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya" Pernikahan
Wiro dengan gadis tak dikenal itu tak mungkin dibatalkan.
Berarti Luhcinta akan kehilangan orang yang dicintainya selama-lamanya..."
"Luhsantini..." tiba-tiba terdengar suara Luhcinta.
"Aku di sini Luhcinta. Ada apa" Ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu...?"
"Aku tahu, aku ingat. Kau pasti yang membawaku dari bukit itu ke sini... Aku
berterima kasih padamu, Luhsantini."
"Benar, kau tak usah khawatir. Kau tidak cidera atau mengalami luka apa-apa..."
"Aku tahu. Walau tak ada cidera atau luka yang terlihat di mata namun... Ada
luka yang tak mungkin terlihat oleh mata lain. Hanya aku yang bisa merasakannya
wahai Luhsantini."
Luhsantini jadi terdiam haru mendengar kata-kata
Luhcinta itu. Dipegangnya bahu si gadis.
"Luhsantini..."
"Yaa...?"
"Apakah benar apa yang kita saksikan di Bukit Batu Kawin itu?" tanya Luhcinta.
Air mata yang tak terbendung mulai mengalir jatuh ke pipinya yang pucat.
Luhsantini tak kuasa menjawab.
Sementara itu tanpa setahu kedua orang itu di luar goa seseorang menyelinap dan
mencuri dengar semua
pembicaraan Luhsantini dan Luhcinta. Dari pakaian hitam serta mukanya yang
tertutup lapisan tanah liat berjelaga hitam sudah dapat diterka orang ini adalah
Si Penolong Budiman, manusia aneh berkepandaian tinggi.
"Kau masih ada di sampingku Luhsantini?"
"Ya, aku masih di sini. Di dalam goa ini bersamamu.
Aku tidak akan meninggalkanmu..."
"Kau baik sekali. Aku sangat berterima kasih. Tetapi mengapa kau tidak menjawab
pertanyaanku tadi?"
Luhsantini gigit bibirnya. Matanya jadi ikut berkaca-kaca karena dia bisa
merasakan keperihan hati Luhcinta
kehilangan orang yang dikasihinya. "Kau harus tabah, Luhcinta..."
"Aku cukup tabah Luhsantini. Sejak kecil kesengsaraan hidup telah mendera
diriku. Laksana hantaman palu
godam di besi panas, membuat diriku menjadi seorang yang sanggup kukuh dalam
ketabahan. Tetapi, mengapa kejadian dan perubahan yang satu ini begitu tiba-
tiba" Begitu berat hingga bahuku tak sanggup memikulnya" Aku masih belum bisa
menemukan ayahku dan kini aku
kehilangan seorang calon ayah." Luhcinta seka air mata yang berderai jatuh di
pipinya. Di luar goa, Si Penolong Budiman sesaat tampak
termenung. "Tidak kusangka dia sangat mencintai pemuda itu. Ah..." Orang ini
menarik nafas dalam lalu geleng-gelengkan kepalanya.
"Ketabahan tidak mengajarkan kita untuk berputus asa wahai Luhcinta..."
terdengar suara Luhsantini.
"Aku tidak putus asa. Tapi cobaan ini datangnya begitu bertubi-tubi..."
"Luhcinta, jangan sampai kehilangan pemuda itu kau seolah menemui jalan buntu
dalam hidupmu. Seolah kau sampai di satu jalan di mana pada ujung jalan
menghadang sebuah jurang batu yang dalam dan gelap.
Aku sendiri mengalami nasib yang jauh lebih parah dari keadaanmu. Aku kehilangan
suami dan juga kehilangan seorang anak darah dagingku sendiri. Kau jauh masih
beruntung. Masa depan masih terbuka lebar di
hadapanmu..."
"Aku menyangsikan wahai Luhsantini, apakah aku
masih punya masa depan. Dari kehancuran masa silam apa yang bisa diambil sebagai
pegangan masa depan. Dan sekarang aku mengalami nasib seperti ini..." Luhcinta
kembali menyeka air matanya.
"Luhcinta, siapakah gadis yang beruntung
mempersuamikan pemuda itu?"
Saat itu seperti terngiang kembali di telinga Luhcinta suara lantang Lamahila si
juru nikah. "Wiro Sableng dan Luhrembulan. Kalian berdua telah aku nikahkan
disaksikan langit dan bumi. Apa yang kalian ucapkan didengar oleh para Dewa dan
semua roh yang tergantung antara langit dan bumi. Semoga kalian mendapat berkah.
Saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri."
Luhcinta mendadak merasa sekujur tubuhnya menjadi
dingin. Dia menggigil. Melihat ini Luhsantini berkata.
"Cuaca memang buruk akhir-akhir ini. Aku akan mencari kayu untuk menyalakan
unggun. Biar goa ini menjadi hangat..."
"Tidak usah Luhsantini, aku masih bisa menahan
gejolak cobaan ini. Pertanyaanku tadi... kau tahu siapa adanya gadis yang
menjadi istri Wiro itu?"
"Aku tak pernah melihat gadis itu sebelumnya.
Lamahila menyebut namanya Luhrembulan. Satu nama
yang juga rasanya asing bagiku dan bagi semua orang di Negeri Latanahsilam
ini..." "Apapun keanehan yang terjadi rasanya tidak mungkin Wiro mengawini seorang yang
tidak dikenalnya. Berarti Wiro sebelumnya memang telah lama mengenal
Luhrembulan..."
"Sulit aku menduga wahai Luhcinta. Aku merasa seperti ada keanehan dalam semua
kejadian ini..."
"Kejadian bagaimana maksudmu?"
"Entahlah, aku tidak bisa mengatakan tapi aku dapat merasakan," jawab
Luhsantini. Lalu sambil membelai rambut Luhcinta, Luhsantini berkata. "Maafkan
kalau pertanyaanku ini menyinggung perasaanmu wahai
Luhcinta. Namun aku ingin tahu, apakah selama ini
pemuda itu mengetahui kalau kau mencintainya...?"
"Aku tak tahu. Aku tak bisa menduga," jawab Luhcinta dengan mata basah menatap
tak berkedip pada
Luhsantini. "Kau tak pernah mengatakan terus terang padanya
dengan ucapan atau tanda isyarat bahwa kau
mencintainya?"
Luhcinta tersenyum sedih. "Luhsantini, kita ini sama-sama perempuan. Mana
mungkin perempuan berlancang
diri terlebih dulu menyatakan cintanya terhadap seorang pemuda?"
"Aku mengerti..."
"Lagi pula sejak beberapa waktu belakangan ini aku banyak diselimuti rasa
bingung." "Kau bingung" Apa yang membuatmu bingung?"
"Pertama, kenyataan bahwa begitu banyak gadis dan
perempuan jatuh cinta terhadap pemuda itu..."
"Wahai! Bagaimana kau bisa berkata begitu. Apa kau punya bukti...?"
"Untuk melihat seorang jatuh cinta tidak perlu bukti segala. Dari sikap, cara
bicara, bahkan cara memandang saja kita sudah bisa mengetahui bahwa seorang
mencintai seorang lainnya."
"Kalau kau tahu coba katakan siapa saja yang
menurutmu telah jatuh cinta pada pemuda asing itu!"
"Misalnya saja Luhjelita. Lalu Luhtinti. Yang paling gila Si Hantu Santet
Laknat. Kemudian Peri Angsa Putih. Dan terakhir sekali Peri Bunda, bahkan Peri
Sesepuh!" Luhsantini geleng-gelengkan kepala lalu sambil
tersenyum. "Untung aku tidak termasuk dalam daftarmu..."
"Masih ada hal lain yang menimbulkan kebingungan
dalam diriku," melanjutkan Luhcinta.
"Apa?"
"Di seluruh Negeri Latanahsilam kini tersiar kabar kalau Wiro telah melakukan
hubungan mesum dengan Luhjelita.
Kemudian merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab. Juga ada kemungkinan telah
melakukan hubungan badan dengan Hantu Santet Laknat.
Yang paling menghebohkan ialah tuduhan bahwa pemuda itu telah menghamili Peri
Bunda!" Di luar goa kembali Si Penolong Budiman menarik nafas dalam mendengar
pembicaraan kedua orang itu. Namun sekali ini tarikan nafasnya agak keras hingga
terdengar sampai ke dalam goa.
"Tunggu..." bisik Luhsantini. "Aku merasa ada
seseorang di luar sana. Aku akan menyelidik..."
"Kita sama-sama menyelidik" kata Luhcinta lalu bangkit berdiri.
"Tak ada siapa-siapa!" kata Luhsantini sambil
memandang sekitar goa. "Padahal tadi jelas sekali aku mendengar seperti ada
suara orang menarik nafas..."
"Kita masuk saja. Mungkin hanya suara desau angin
atau dedaunan yang saling bergesek," kata Luhcinta. Dia memegang lengan
Luhsantini. Kedua orang itu masuk
kembali ke dalam goa.
Ke mana lenyapnya Si Penolong Budiman" Ketika
menyadari kehadirannya sudah diketahui orang dengan cepat manusia berwajah tanah
liat ini melesat ke satu pohon besar berdaun lebat. Dia mendekam bersembunyi di
sana. Begitu Luhcinta dan Luhsantini masuk kembali ke dalam goa cepat-cepat dia
melompat ke pohon yang lain lalu lenyap tak kelihatan lagi. Sepanjang larinya
kembali ke telaga di mana dia meninggalkan Hantu Langit Terjungkir, hatinya
terasa goncang. Batinnya berulang kali berkata.
"Gadis itu... Dia mencintai pemuda asing itu" Luhcinta, dia mencintai Wiro!
Ah...!" Kembali ke dalam goa. Luhcinta dan Luhsantini
melanjutkan pembicaraan mereka. "Aku tidak
menyalahkan begitu banyak gadis dan perempuan bahkan sampai ke bangsa Peri jatuh
cinta terhadap pemuda asing itu. Selain kegagahan wajahnya serta ketinggian
ilmunya, dia mudah bergaul dengan siapa saja. Tapi biar ada seribu orang
mencintainya, apakah dia mencintai salah satu dari mereka?"
"Pertanyaanmu itu sudah terjawab Luhsantini. Wiro
telah memilih Luhrembulan sebagai istrinya. Berarti gadis itulah yang
dicintainya."
Luhsantini menarik nafas panjang. Sambil gelengkan kepala dia berkata. "Seperti
kataku tadi, ada keanehan di balik pernikahan pemuda asing dan gadis tak dikenal
bernama Luhrembulan itu. Aku tidak tahu apa adanya. Biar nanti keadaan yang akan
mengungkapnya sendiri. Lalu mengenai kebingunganmu karena tersiar kabar bahwa
pemuda itu telah berbuat mesum di mana-mana, kalau memang itu benar sungguh
sangat disayangkan. Aku tak tahu lagi mau bicara apa. Tapi Luhcinta, kalau boleh
aku mengatakan, sebaiknya pembicaraan ini tidak usah kita perpanjang. Jangan kau
sampai berlarut-larut tenggelam dalam perasaan hatimu sendiri."
"Aku setuju," jawab Luhcinta perlahan. Namun dalam hati gadis ini berkata.
"Luhsantini, kau tidak tahu atau mungkin berpura-pura tidak tahu. Saat ini aku
bukan saja tenggelam dalam perasaan, tapi telah tenggelam dalam kehancuran.
Sejak lama aku berputus asa karena tidak kunjung dapat mengungkap rahasia
kehidupan diriku, tidak dapat menemukan di mana dan siapa sebenarnya ayahku.
Dari kenyataan yang ada aku terlahir sebagai seorang anak dari dua kakak
beradik. Perkawinan yang membawa
malapetaka. Apakah aku ini masih pantas disebut
manusia?" "Luhcinta... apa yang ada dalam pikiran dan hatimu?"
bertanya Luhsantini ketika dilihatnya sepasang mata Luhcinta tampak memandang
sayu dan kosong.
Ada sekelumit senyum menyeruak di bibir Luhcinta.
Dulu bibir itu merah merekah memancarkan kesegaran yang memikat. Kini bibir itu
tampak pucat seolah tak berdarah. Tapi hanya sesaat. Di lain ketika Luhsantini
melihat sepasang mata gadis di hadapannya itu
mengeluarkan kilatan aneh. Lalu terdengar Luhcinta berkata. "Luhsantini, aku
ingin menyelidik. Harus! Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis bernama
Luhrembulan itu!"
Luhsantini pandangi wajah Luhcinta seketika.
Sebenarnya dia ingin menasihati agar Luhcinta tidak perlu melakukan hal itu.
Namun khawatir perasaan dan jiwa si gadis akan semakin tertekan Luhsantini
akhirnya berkata.
"Jika itu keinginanmu, sebaiknya kita datangi tempat kediaman si juru nikah
Lamahila!"
"Tepat! Kita cari nenek itu sekarang juga!" kata
Luhcinta. Kedua orang itu segera bangkit berdiri.
Namun sebelum sempat melangkah ke mulut goa tiba-
tiba di luar sana terdengar suara tawa bergelak dahsyat sekali.
"Dua perempuan di dalam goa! Jangan kalian berani
menyelidik persoalan menyangkut anak dan menantuku!
Ini peringatan dariku! Dan ini contoh akibatnya kalau berani lancang melanggar!"
Di luar goa terdengar deru angin keras sekali. Menyusul berkiblatnya cahaya
merah seperti ada lidah api membeset turun dari langit.
Wussss! Bummmm! Braaakkk! Mulut goa batu hancur berkeping-keping. Kepingannya berpelantingan di udara,
berubah menjadi bara-bara menyala. Di dalam goa Luhsantini dan Luhcinta cepat
jatuhkan diri ke lantai batu. Lidah api menderu lewat di atas punggung mereka.
"Kurang ajar! Siapa berani main gila terhadap kita!"
teriak Luhsantini marah. Sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi,
perempuan berpakaian serba merah ini menerobos keluar.
Tapi sampai di luar tidak kelihatan siapa-siapa. Hanya di kejauhan terdengar
suara bergelak, menggema di seantero tempat lalu lenyap.
"Aneh, tak bisa kuduga siapa adanya manusia itu!" kata Luhsantini.
"Dia menyebut Luhrembulan dan Wiro sebagai anak
dan menantunya! Siapa dia"!" kata Luhcinta pula sambil kepalkan tinju.
"Melihat pukulan yang dilancarkannya bukan mustahil dia adalah Hantu Bara
Kaliatus..." ujar Luhsantini. "Tapi kau tahu, aku adalah bekas istrinya. Aku tak
punya anak perempuan..."
"Mungkin tanpa setahumu, suamimu itu telah kawin
dengan perempuan lain" Bukankah perpisahan kalian
berdua cukup lama, seumur seorang gadis remaja?"
Luhsantini menatap wajah Luhcinta dalam-dalam.
Dipegangnya lengan gadis itu seraya berkata. "Aku tidak tahu Luhcinta, tak bisa
aku menduga... Masakan selama ini tak pernah tersiar kabar kalau Hantu Bara
Kaliatus punya istri lagi dan punya anak" Wiro sebagai menantunya"
Wahai! Tak masuk di akalku!" Luhsantini terdiam beberapa saat. Lalu dia
bertanya. "Bagaimana sekarang" Apa yang akan kita lakukan?"
"Walau ada orang mengancam, aku tetap akan
menyelidik siapa adanya Luhrembulan. Aku akan mencari nenek juru nikah bernama
Lamahila itu..." jawab Luhcinta penuh kepastian. Tekadnya teguh dan bulat sudah!
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
6 ITA ikuti dulu ihwal kakek berjuluk Hantu Langit
Terjungkir yang aslinya bernama Lasedayu, ayah
Kkandung dari empat orang anak yang terlahir
membawa tanda bunga dalam lingkaran pada lengan
sebelah atas. Sebegitu jauh dia telah bertemu dengan dua orang yang memiliki
tanda tersebut yakni Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dan Latandai alias Hantu
Bara Kaliatus. Pagi itu Hantu Langit Terjungkir tegak bersandar di batang sebuah pohon tak jauh
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tepi telaga. Kaki ke atas kepala ke bawah, dua tangan dipergunakan sebagai
kaki. Tangan kanannya yang cidera akibat hantaman
tongkat tulang Sang Junjungan masih dibalut dengan segulung pelepah pisang.
Begitu sosok berjubah hitam bermuka dilapisi tanah liat hitam muncul di
hadapannya, dia segera menegur.
"Sahabat bermuka tanah liat, sejak pagi kau
menghilang tanpa memberitahu ke mana kau pergi. Begitu kembali kulihat kau
berubah sikap..."
"Kek, apa maksudmu?" tanya orang bermuka tanah liat yang di Negeri Latanahsilam
dikenal dengan panggilan Si Penolong Budiman.
"Walau wajahmu tertutup tanah liat hitam, tetapi aku tahu kau sedang diselimuti
rasa gundah yang amat sangat.
Kau tengah tenggelam dalam rasa bingung. Bukankah
begitu adanya?"
"Anu Kek... Bagaimana tanganmu yang patah?"
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. Sambil
pegang lengannya yang cidera dia berkata. "Tanganku sudah banyak kesembuhannya.
Tapi jangan kau
mengalihkan pembicaraan. Apa yang merisaukan hatimu"
Katakan dari mana kau sejak pagi buta tadi?"
Karena didesak akhirnya Si Penolong Budiman
bercerita juga. "Kau ingat ceritaku bahwa Luhsantini dan Luhcinta berada di
sebuah goa tak jauh dari telaga ini?"
"Wahai! Aku memang sudah menduga kau pasti
menyelinap ke sana. Di mana bunga mekar berada, ke situ biasanya kumbang
melayang. Tentu banyak sekali yang kalian bicarakan..."
"Tidak Kek, aku memang ke sana tapi bukan untuk
bercakap-cakap dengan mereka. Aku justru mencuri
dengar pembicaraan dua perempuan itu..."
"Kau bangsa orang yang suka menguping rupanya.
Coba kau ceritakan apa saja yang kau dengar," kata Hantu Langit Terjungkir pula.
Lalu dia rebahkan tubuhnya di tanah.
Si Penolong Budiman menuturkan semua pembicaraan
Luhsantini dan Luhcinta yang sempat didengarnya di dalam goa sebelum dia
kemudian terpaksa meninggalkan tempat itu karena takut ketahuan.
"Pemuda asing itu. Namanya Wiro Sableng. Aku kenal dia. Dia pernah menyelamatkan
nyawaku. Tapi mengenai gadis bernama Luhrembulan sungguh tak pernah aku
mengetahui siapa dirinya. Setahuku di Negeri Latanahsilam ini tidak ada gadis
bernama seperti itu..." Si kakek menatap ke dalam mata Si Penolong Budiman.
"Sahabatku, aku merasakan dari nada bicara dan tekanan suaramu. Setiap kau
menyebut nama Luhcinta, ada suatu getaran menguasai dirimu. Apakah kau mencintai
gadis itu wahai sahabatku?"
"Kek, aku..."
Hantu Langit Terjungkir tertawa mengekeh. "Katakan saja terus terang..."
"Dia mencintai pemuda asing bernama Wiro Sableng
itu!" "Kalaupun memang begitu tapi sekarang apa artinya lagi" Bukankah si pemuda
telah kawin dengan gadis
bernama Luhrembulan" Kau punya kesempatan besar
untuk mendapatkan Luhcinta... Kau harus cepat, jangan membuang-buang waktu!"
"Kau ini ada-ada saja Kek. Mukaku saja begini! Mana ada gadis yang mau padaku!"
Si Penolong Budiman geleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mungkin Kek, tidak
mungkin..."
"Maksudmu tidak mungkin dia mau denganmu" Ha...
ha... ha! Aku tahu di balik lapisan tanah liat itu kau memiliki wajah tak kalah
gagah dengan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Sekarang tinggal terserah
padamu. Apakah kau akan tetap menyembunyikan
wajahmu di balik tanah liat?"
"Aku telah bersumpah tidak akan menanggalkan tanah liat ini sebelum apa yang
tengah kuselidiki terungkap secara nyata!" Si Penolong Budiman lupa kalau dia
pernah memperlihatkan wajah aslinya pada Luhcinta.
"Kerabatku," kata Hantu Langit Terjungkir. "Jangan suka mudah bersumpah. Lagi
pula urusan selidik
menyelidik itu bisa diatur kemudian. Yang penting kau harus cepat-cepat berusaha
mendapatkan Luhcinta. Jika kau malu, aku mau jadi perantara menemuinya.
Mengatakan padanya bahwa kau mencintainya! Setuju"!"
"Jangan Kek! Aku harap jangan kau lakukan hal itu!"
"Aneh kau ini! Mau tapi malu. Suka tapi berpura-pura!"
"Aku tidak malu, aku tidak berpura-pura..."
"Lalu apa sebenarnya"! Jangan-jangan kau ini
sebenarnya seorang perempuan adanya! Ha... ha... ha!"
"Aku tidak bisa mengatakan padamu Kek..."
"Kalau begitu katakan pada kami!" tiba-tiba ada suara menyeruak. Membuat kaget
Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman. Jika ada dua orang mendatangi
tempat itu tanpa mereka mendengar dan mengetahui lebih awal, itu sudah cukup
menjadi pertanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tak menunggu
lama, dari balik sebuah batu besar hitam di tepi telaga berkelebat muncul dua
sosok. Satu mengenakan jubah hijau pekat satunya lagi berjubah kuning gelap.
Hantu Langit Terjungkir goyangkan kepalanya agar bisa melihat jelas siapa yang
datang. Si Penolong Budiman cepat bangkit berdiri dan memutar tubuh.
Yang berjubah kuning gelap adalah seorang kakek
berambut putih kelabu awut-awutan. Mata kanan sipit kecil sebaliknya mata kiri
besar membeliak. Di pinggangnya kakek ini membekal sebilah senjata berbentuk
clurit besar berwarna hitam legam.
Di sebelah kakek berjubah kuning gelap tegak berdiri seorang nenek yang
penampilannya luar biasa aneh dan menggidikkan. Kulit muka, dada dan perutnya
seperti terkelupas. Hidungnya nyaris gerumpung. Bola mata
kanannya terbujur keluar, setengah tergantung di pipinya yang tidak berdaging.
Nenek ini tidak mempunyai tangan kanan alias buntung. Tapi di atas keningnya
menempel satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tangan kanan
sendiri! Seperti si kakek dia membekal sebilah clurit berwarna putih berkilauan.
Siapakah dua tua bangka aneh ini" Dalam rimba
persilatan Latanahsilam mereka pernah dikenal dengan julukan Sepasang Hantu
Bercinta. Si kakek bernama
Lajahilio sedang si nenek bernama Luhjahilio. Selama puluhan tahun mereka
mengelana, hidup bersama
bermesraan tanpa nikah. Itu sebabnya mereka dijuluki Sepasang Hantu Bercinta.
Seperti banyak para tokoh di masa itu, sepasang kakek ini ternyata telah jatuh
ke tangan Hantu Muka Dua dan dijadikan kaki tangan suruhannya. Akibatnya mereka
bentrokan dengan berbagai pihak. Terakhir sekali mereka bertempur menghadapi
Luhcinta. Walau Luhcinta banyak mengalah dan mengingatkan kedua orang itu agar
kembali ke jalan yang benar namun mereka tidak mau perduli.
Terutama si nenek yang terus mendesak Luhcinta dengan serangan-serangan ganas.
Akhirnya terpaksa Luhcinta menghajar nenek itu dengan pukulan sakti disebut
Pukulan Kasih Mendorong Bumi. Si nenek amblas ke dalam dinding batu. Ketika
kakek kekasihnya menariknya keluar dari batu, dirinya menjadi cacat mengerikan,
terutama di bagian wajah, dada dan perut. Kulit serta dagingnya terkelupas,
menyembulkan tulang putih menggidikkan!
Mata kanannya terbetot keluar! (Mengenai riwayat Lajahilio dan Luhjahilio harap
baca dua episode sebelum ini
berjudul "Rahasia Patung Menangis" dan "Rahasia Mawar Beracun").
Saat itu Hantu Langit Terjungkir telah bangkit berdiri, dua tangan menginjak
bumi, dua kaki naik ke atas. Dari balik celah-celah rambut putihnya dia
perhatikan gerak-gerik dua tamu tak diundang itu.
Si Penolong Budiman walau berdiri dengan sikap
tenang sambil rangkapkan dua tangan di depan dada
namun penuh waspada.
Luhjahilio perhatikan Hantu Langit Terjungkir dengan wajah sinis sementara mata
kanannya yang melotot keluar bergerak-gerak mengerikan. Mata kirinya melirik
sekilas pada Si Penolong Budiman. Mulutnya dipencongkan lalu dia berkata.
"Hantu Langit Terjungkir, aku mengenali siapa dirimu.
Kau bangsa manusia yang tidak pernah berdusta!"
"Terima kasih atas pujianmu itu! Siapa yang memuji biasanya membekal maksud
tersembunyi!" menyahuti
Hantu Langit Terjungkir.
Luhjahilio kembali sunggingkan wajah sinis. Jari-jari tangan kanannya yang
menempel di atas keningnya
kelihatan bergerak-gerak. Di sampingnya Lajahilio
mendekat dan berbisik. "Aku tidak takut pada manusia yang hidup menyungsang itu.
Tapi harap kau berhati-hati pada manusia yang mukanya dilapisi tanah liat hitam
itu. Kalau aku tidak salah menduga, bukankah dia berjuluk Si Penolong Budiman" Ingat,
dia yang dulu menghancurkan pedang kita dengan Ilmu Keppeng!" (Baca episode
berjudul "Rahasia Patung Menangis").
"Aku ingat!" jawab si nenek. "Tapi kau diam sajalah Lajahilio. Biar aku yang
bicara. Biar aku yang mengatur!
Kau harus bersiap-siap. Jika aku memberi isyarat kau langsung membokong Hantu
Langit Terjungkir!" Memang antara dua kekasih yang hidup selama puluhan tahun
itu si nenek memiliki ilmu silat dan kesaktian satu tingkat lebih tinggi.
Luhjahilio kemudian alihkan perhatiannya pada Hantu Langit Terjungkir. "Makhluk
yang hidupnya menyungsang, kaki ke atas kepala ke bawah. Harap kau memberitahu
di mana beradanya gadis bernama Luhcinta itu!"
Sementara Si Penolong Budiman terkejut mendengar
pertanyaan si nenek, Hantu Langit Terjungkir keluarkan tawa mengekeh. Diam-diam
Si Penolong Budiman khawatir kalau Hantu Langit Terjungkir memberitahu di mana
beradanya Luhcinta. Maka dia memberi isyarat dengan kedipan mata. Namun dia
tidak mengetahui apakah si kakek mengerti arti isyaratnya itu.
"Luhjahilio..." kata Hantu Langit Terjungkir. "Biasanya hanya seorang pemuda
yang menanyakan di mana
beradanya seorang gadis cantik. Tapi kau yang nenek-nenek buruk justru yang
mengajukan pertanyaan... Aku mungkin masih bisa mengerti seandainya kekasihmu si
Lajahilio itu yang bertanyakan Luhcinta! Ha... ha... ha!"
"Tua bangka keparat! Jangan kau berani menghina
istriku!" hardik Lajahilio marah besar. Dia hendak menerjang tapi cepat dipegang
oleh Luhjahilio.
"Istrimu katamu..."!" ujar Hantu Langit Terjungkir sambil sibakkan rambut putih
yang menutupi wajahnya.
Bola matanya berputar-putar memperhatikan Lajahilio lalu tertawa gelak-gelak.
"Sejak kapan kau kawin dengan nenek itu" Siapa yang mengawinkan kalian" Ha...
ha... ha! Kalian mau aku bicara tidak berdusta tapi kalian sendiri bicara tidak
karuan!" Lajahilio tak dapat lagi menahan amarahnya. Sekali terjang saja kaki kanannya
menderu ke arah dada Hantu Langit Terjungkir. Ini bukan tendangan biasa. Sekali
mengenai sasarannya dada Hantu Langit Terjungkir pasti akan hancur luluh!
"Lajahilio! Kau buas sekali! Jangan-jangan sudah lama kekasihmu si nenek buruk
itu tidak mau bermesraan
denganmu! Ha... ha... ha!"
Hantu Langit Terjungkir kerahkan hawa sakti yang
didapatnya sewaktu berada di Lembah Seribu Kabut (Baca Episode berjudul "Rahasia
Kincir Hantu"). Sekujur
badannya mendadak sontak memancarkan sinar kebiru-
biruan disertai menebarnya hawa dingin. Tubuh si kakek berubah laksana kabut,
melesat mumbul ke atas.
Tendangan Lajahilio mendera udara kosong kemudian
menghantam pohon besar tempat Hantu Langit Terjungkir tadi tegak bersandar.
Braakkk! Pohon yang batangnya seukuran pemelukan manusia
itu hancur berkeping-keping. Lalu dengan suara
menggemuruh tumbang ke tanah!
Lajahilio menggembor keras lalu berteriak. "Hantu
salah ujud! Aku mau lihat apa kau bisa lolos dari senjataku ini!" Lalu manusia
berjubah kuning gelap ini gerakkan tangan kanannya ke pinggang di mana terselip
senjatanya yang berbentuk sebuah clurit besar berwarna hitam legam.
"Kekasihku, jangan turutkan amarahmu! Biarkan aku
bicara dulu dengan kakek jahanam itu! Soal nyawanya kurasa bisa kita urus
kemudian!"
Lajahilio banting kaki mendengar kata-kata si nenek.
Dia berusaha menepiskan tangan kekasihnya itu, tapi si nenek mencekalnya dengan
kencang. "Turuti kemauanku!
Atau kau tidak ingin aku punya kesempatan untuk
membalas dendam"!"
"Huh!" Lajahilio unjukkan tampang merengut. Masih
penuh geram dia sisipkan senjatanya kembali ke pinggang.
Si nenek Luhjahilio berpaling pada Hantu Langit
Terjungkir. "Sekarang harap kau memberitahu di mana beradanya gadis bernama
Luhcinta itu! Jika kau berani macam-macam aku akan biarkan kekasihku mencincang
tubuhmu mulai dari kaki sampai kepala!"
"Nenek sesat! Orang telah memindahkan tangan
kananmu ke kening! Seharusnya itu sudah cukup menjadi pelajaran dan peringatan
bagimu! Tapi rupanya kau
memang tidak bisa dibuat sadar!"
"Keparat hidup menyungsang! Jangan banyak mulut di hadapanku! Tanganku
sebenarnya sejak tadi sudah gatal untuk mempesiangi tubuhmu! Kau mau mengatakan
di mana gadis bernama Luhcinta itu atau mampus sekarang juga"!" Tangan kiri si
nenek bergerak ke pinggang di mana tergantung clurit putih berkilat.
Hantu Langit Terjungkir tidak takut ancaman orang.
Sambil menyeringai dia berkata.
"Aku baru memberitahu kalau kau mau mengatakan
mengapa kau mencari gadis itu?" tanya Hantu Langit Terjungkir pula.
"Kau bertanya aku akan menjawab!" kata si nenek
pula. "Kau lihat keadaan mukaku! Kau lihat dada dan perutku. Putih hanya tinggal
tulang belulang. Lihat hidungku! Lihat mata kananku yang terjulur keluar! Ini
semua adalah akibat perbuatan gadis bernama Luhcinta itu! Dia memukulku hingga
melesak masuk ke dalam
dinding batu!"
"Wahai! Kau memang patut dikasihani! Tetapi mengapa gadis itu menghajarmu kalau
tidak ada sebab
musababnya"!"
"Tua bangka jahanam! Jangan kau memperpanjang
pembicaraan dengan segala macam pertanyaan! Lekas
katakan di mana Luhcinta berada!" Tangan kiri si nenek bergerak menggenggam
gagang clurit besar yang
memantulkan cahaya angker berkilauan terkena sinar matahari. Di sampingnya si
kakek yang jadi kekasihnya tidak tinggal diam. Dia juga segera menghunus
senjatanya. *** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
7 AHAN! Tunggu! Jangan mengeroyok aku dengan dua
sabit besar itu! Setahuku dulu kalian memiliki senjata Tberbentuk pedang terbuat
dari batu merah. Mana
senjata itu sekarang"! Sudah kalian jual karena kehabisan biaya hidup"! Ha...
ha... ha!"
Wuuttt! Clurit putih di tangan kiri Luhjahilio berkelebat dan tahu-tahu bagian tajamnya
sudah melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir. Sekali renggut saja leher
kakek ini pasti akan amblas putus.
Seperti diketahui, ilmu kepandaian Hantu Langit
Terjungkir alias Lasedayu telah amblas dirampas Hantu Muka Dua. Peristiwanya
terjadi ketika Hantu Muka Dua dengan mempergunakan sebuah sendok emas sakti yang
didapatnya dari makhluk bernama Lamanyala, berhasil mencungkil pusar Lasedayu
yakni bagian tubuh yang
menjadi pusat segala kesaktiannya. Walau tidak memiliki ilmu kesaktian lagi,
namun secara diam-diam di tempat kediamannya di Lembah Seribu Kabut, Lasedayu
berhasil menghimpun kekuatan tenaga dalam dan ilmu baru yang cukup dapat
diandalkan dan bukan sembarangan orang bisa menjajalnya. Itu sebabnya walau
lehernya sudah dikalungi Luhjahilio dengan clurit besar, dia masih bisa cengar-
cengir, malah julur-julurkan lidahnya. Lalu dia berkata. "Aku hidup sudah
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puluhan tahun. Sudah lebih dari cukup! Kalau kau memutuskan leherku saat ini,
aku akan sangat berterima kasih, Luhjahilio. Lakukanlah!"
"Tua bangka gila! Kau benar-benar minta mati! Aku
masih mau memberi kesempatan! Katakan di mana
Luhcinta!"
"Wahai...! Kalau kau sangat mendesak baiklah akan
aku katakan. Harap kau pasang telinga. Dengar baik-baik!"
"Kek, jangan kau beritahu!" teriak Si Penolong
Budiman. "Jangan campuri urusan orang!" bentak Lajahilio. Sekali berkelebat tahu-tahu
ujung clurit hitamnya sudah
mendekam di atas perut manusia bermuka tanah liat itu!
Sekali tangan itu bergerak, jebollah perut orang dan ususnya akan berhamburan
keluar! Si Penolong Budiman tampak tenang saja. Tapi diam-
diam dia segera kerahkan tenaga dalam pada dua
tangannya. Kalau perlu dia siap untuk sama-sama mati mengadu jiwa dengan
Lajahilio. "Tenang... Tenang semua!" Hantu Langit Terjungkir
berkata. "Aku akan beritahu di mana gadis itu berada..."
"Katakan cepat! Dari tadi kau cuma berceloteh tak
karuan!" bentak Luhjahilio.
"Gadis itu berada di tempat yang aku tidak tahu!" kata Hantu Langit Terjungkir
pula lalu tertawa gelak-gelak.
"Keparat jahanam! Mampus kau!" teriak Luhjahilio.
Tangan kirinya yang memegang clurit putih siap
disentakkan. Di sebelah sana Lajahilio juga tidak berdiam diri. Tanpa banyak cerita dia siap
menekankan ujung clurit hitamnya untuk merobek perut Si Penolong Budiman!
Namun dalam keadaan yang sangat menegangkan itu
tidak terduga mendadak berkelebat satu bayangan kuning.
Butt! Prett! Gerakan bayangan yang sangat sebat disertai bunyi
suara kentut mau tak mau menyita perhatian Sepasang Hantu Bercinta yang siap
menghabisi Hantu Langit
Terjungkir dan Si Penolong Budiman.
Ternyata tidak hanya kelebatan bayangan kuning dan suara kentut yang muncul. Di
saat bersamaan dua larik sinar kuning berbentuk tombak menderu ke arah
Luhjahilio dan Lajahilio!
"Tombak Kuning Pengantar Mayat!" teriak Luhjahilio dan Lajahilio hampir
berbarengan. Tampang sepasang kakek nenek ini menjadi seputih kain kafan.
Keduanya sama-sama jatuhkan diri menghindari sambaran sinar kuning sambil tetap
meneruskan niat untuk menghabisi dua lawan mereka. Namun saat itu Hantu Langit
Terjungkir dan Si Penolong Budiman sudah bergerak lebih dahulu!
Dua kaki Hantu Langit Terjungkir yang ada di udara tiba-tiba sekali melesat ke
bawah. Dua tumitnya menghantam ke arah batok kepala Luhjahilio. Si nenek tahu
betul kehebatan dua kaki lawan. Terlambat dia selamatkan diri batok kepalanya
akan amblas dihantam dua tumit Hantu Langit Terjungkir. Selagi perhatiannya
tersita pada serangan lawan, dia cepat rundukkan kepala sementara tangan kirinya
bekerja, menarik clurit besar yang melingkar di leher Hantu Langit Terjungkir.
Tapi sekali ini si nenek kalah cepat dengan gerakan tangan kanan lawan.
Hantaman dua kaki yang dilancarkan Hantu Langit
Terjungkir ke arah kepala Luhjahilio sebenarnya hanya tipuan belaka. Begitu
perhatian lawan terbagi dan
membuat gerakan mengelak, Hantu Langit Terjungkir cepat melesat mumbul ke atas
untuk lepaskan leher dari
kalungan clurit. Bersamaan dengan itu tangan kanannya dipukulkan.
Bukkkk! Kraaakkk! Luhjahilio terpental dua tombak, bergulingan di tanah sambil keluarkan suara
raungan. Dari mulutnya
menyembur darah kental. Clurit putihnya terlepas jatuh entah ke mana. Ketika dia
bangkit terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang remuk dilabrak jotosan
tangan kanan Hantu Langit Terjungkir, mata kanannya yang sebelumnya terbujur
kini tak kelihatan lagi. Mata itu kini hanya tinggal lobang digenangi darah
menggidikkan. Matanya yang satu bergerak liar kian kemari mencari cluritnya. Kemudian nenek
ini keluarkan seruan tertahan ketika di sebelah sana dilihatnya kekasihnya
tergeletak tak bergerak!
Walau lolos dari maut, namun Hantu Langit Terjungkir ternyata mengalami cidera
cukup parah. Ketika tadi dia menghantam si nenek, dia pergunakan tangan
kanannya. Kakek ini lupa kalau tangannya itu masih dibalut dan belum sembuh betul dari
patah akibat hantaman tongkat tulang Sang Junjungan beberapa waktu lalu. Begitu
dipergunakan menghantam dada lawan, tak ampun lengan yang patah itu ambruk
kembali! Si kakek terguling di tanah, menggeliat-geliat menahan sakit. Si
Penolong Budiman cepat menghampiri orang tua ini, mendukungnya dan
membawanya ke tempat yang aman dekat sebuah batu
besar di tepi telaga.
"Kek, kau tak apa-apa?"
"Sial betul nasibku! Mengapa aku begitu tolol
pergunakan tangan kanan memukul lawan! Tangan ini
pasti sudah patah lagi! Celaka betul!"
"Aku akan menolongmu. Mari kulihat dulu lenganmu,"
kata Si Penolong Budiman sambil hendak membuka
pelepah pisang yang membalut lengan si kakek.
"Jangan pikirkan diriku. Awasi dulu sepasang kakek nenek sesat itu! Mereka tidak
segan-segan membokong kita secara curang!"
"Tak usah khawatir Kek. Si nenek cidera berat akibat pukulanmu! Kekasihnya kakek
satu itu agaknya tak akan sadar dalam waktu satu minggu!"
Apa yang terjadi dengan Lajahilio seperti yang
disaksikan oleh si nenek kekasihnya"
Ketika tadi sinar kuning berbentuk tombak
menghantam ke arahnya mau tak mau perhatian Lajahilio jadi terbagi. Dia merasa
masih punya kesempatan untuk menambus perut Si Penolong Budiman. Karena itu
sambil jatuhkan diri ke samping dia betot celuritnya demikian rupa. Namun
manusia muka tanah liat telah lebih dulu bergerak. Tangan kiri memukul lengan
Lajahilio hingga dirinya terpental ke samping. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya didorongkan ke depan. Gerakannya
perlahan saja. Dari tangan kanan itu menyembur keluar selarik sinar hitam yang
merebak berbentuk kipas. Dalam larikan sinar hitam berkilauan sinar-sinar terang
aneh seperti bunga api.
"Pukulan Menebar Budi!" teriak Lajahilio. Kakek ini serta merta menyingkir
selamatkan diri. Tapi terlambat.
Larikan sinar hitam keburu menyapu tubuhnya mulai dari dada sampai ke lutut!
Wuuuusss! Lajahilio menjerit keras. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak lalu terkapar di
tanah tak berkutik lagi.
Pakaiannya mulai dari dada sampai ke lutut tampak
hangus mengepulkan asap hitam!
Pukulan yang barusan dilepaskan si muka tanah liat memang pukulan yang disebut
Pukulan Menebar Budi.
Pukulan hebat inilah yang membuat dia menjadi terkenal di Negeri Latanahsilam
dan sangat ditakuti lawan. Pukulan Menebar Budi tersebut berjumlah tujuh yakni
Pukulan Menebar Budi Hari Pertama sampai Pukulan Menebar Budi Hari ke Tujuh.
Yang tadi dilepaskannya untuk menghantam Lajahilio adalah Pukulan Menebar Budi
Hari Pertama. Akibatnya seperti disaksikan sendiri. Kalau sampai dia menghantam dengan Pukulan
Menebar Budi Hari ke Dua, saat itu nyawa si kakek sudah tidak tertolong lagi.
Rupanya manusia muka tanah liat ini masih mempunyai rasa belas kasihan hingga
tidak mau menjatuhkan tangan terlalu keras. Tapi karena jarak mereka begitu
dekat maka akibat yang menimpa Lajahilio sungguh parah walau orang ini tidak
sampai meregang nyawa.
"Jahanam! Kau membunuh kekasihku!" teriak
Luhjahilio. Terhuyung-huyung nenek yang juga mengalami cidera parah ini jatuhkan
diri ke atas tubuh Lajahilio lalu menggerung keras.
Di antara suara gerungan itu tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik disusul
suara butt prett!
"Luhjahilio nenek sesat! Kau dan kekasihmu sama-
sama tak tahu diri! Masih untung orang tidak membunuh kekasihmu itu! Kau
sendiri, apa peringatanku masih kurang jelas" Aku sudah memindahkan tangan
kananmu ke jidat! Tapi kau masih saja menjalani hidup jahat dan sesat! Apa
tanganmu yang satu lagi mau aku pindahkan ke selangkangan"! Hik... hik...
hik...!" Mata kanan Luhjahilio kucurkan darah. Mata kirinya bergerak berputar memandang
ke arah sosok serba kuning yang tertawa cekikikan di hadapannya.
"Hantu Selaksa Angin! Aku menyatakan perang tujuh
turunan denganmu! Kau akan rasakan pembalasanku!"
Nenek muka kuning songgengkan pantatnya lalu butt
prett! Dia pancarkan kentutnya. "Tua bangka tolol! Anak saja kau tidak punya,
apalagi cucu! Bagaimana kau bisa bicara tak karuan menyatakan perang tujuh
turunan"! Hik... hik... hik! Bagusnya kau lekas angkat kaki dari tempat ini! Bawa
kekasihmu itu selagi bisa diselamatkan!"
Luhjahilio meludah ke tanah. Ludahnya bercampur
darah. Dengan matanya yang tinggal satu dia membeliak memandang ke arah Si
Penolong Budiman.
"Makhluk muka tanah liat, nasibmu tak akan kalah
sengsara dari nenek keparat itu! Lihat saja pembalasanku nanti!" Habis berkata
begitu Luhjahilio lalu coba
mengangkat tubuh kekasihnya. Maksudnya hendak
didukung di pundak kirinya. Ternyata dia tidak mampu melakukan.
"Aku mau menolongmu mendukung kakek butut itu.
Katakan saja kau mau bawa dia ke mana dan kau mau
bayar aku dengan apa"! Hik... hik... hik!"
Mendengar ejekan Hantu Selaksa Angin itu Luhjahilio jadi mendidih amarahnya.
Melupakan keadaan dirinya sendiri dia sambar clurit hitam milik Lajahilio yang
tergeletak di tanah lalu menyerbu Hantu Selaksa Angin.
Dalam satu gebrakan saja dia sudah kirimkan dua babatan dan satu bacokan.
Butt prett! Hantu Selaksa Angin pancarkan kentutnya lalu cepat berkelebat. Ketika lengan
jubah kirinya dikebutkan, selarik cahaya kuning berkiblat. Seperti tadi waktu
menolong Hantu Langit Terjungkir dan makhluk muka tanah liat, nenek muka kuning
itu kembali lepaskan pukulan Tombak Kuning Pengantar Mayat. Walau diserang
dengan pukulan sakti itu, namun Luhjahilio tetap nekad, terus saja menerjang
dengan clurit besar di tangan kiri. Hantu Selaksa Angin arahkan pukulan saktinya
ke tangan kiri lawan.
Cahaya kuning berbentuk tombak kembali berkiblat di udara.
Traanggg! Luhjahilio terpekik keras. Clurit hitamnya patah dua dan terlepas mental. Tangan
kirinya bergetar keras dan ada rasa sakit seperti ditusuk puluhan jarum. Sadar
dalam keadaan seperti itu dia tak bakalan dapat menghadapi lawan, Luhjahilio
banting-banting kaki. Dengan tangan kirinya dia cekal leher berjubah kuning
Lajahilio lalu seret si kakek meninggalkan tempat itu sambil keluarkan kutuk
serapah. "Nenek sesat! Kalau saja kau tahu diri akan
kukembalikan tangan kananmu ke tempat semula!" kata nenek muka kuning mengantar
kepergian Luhjahilio.
Mendengar ucapan itu Luhjahilio hentikan langkahnya dan berteriak.
"Aku tidak perlu belas kasihanmu nenek muka
comberan! Kalau tiba saatnya aku akan pindahkan
nyawamu ke pusaran neraka langit ke tujuh!"
Butt prett! Hantu Selaksa Angin alias Hantu Selaksa Kentut jawab ucapan Luhjahilio dengan
pancaran kentutnya lalu tertawa cekikikan. Tak lama setelah Luhjahilio
meninggalkan tempat itu bersama kekasihnya, Hantu Selaksa Angin berpaling ke
arah orang bermuka tanah liat yang tengah menolong Hantu Langit Terjungkir.
Nenek muka kuning ini segera mendekati. Dia perhatikan sebentar keadaan si kakek
lalu berkata. "Huh! Seperti anak kecil! Cuma sakit sedikit saja tapi mengerang
tak putus-putus!"
Hantu Langit Terjungkir sibakkan rambut yang menutupi kepalanya. "Tua bangka
tukang kentut! Kau rupanya! Kau tidak merasa bagaimana sakitnya karena bukan kau
yang cidera!"
Si kakek tempelkan belakang tangan kirinya ke bibir lalu preettt! Dia tirukan
suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. "Kau masih
pandai menirukan kentutku! Padahal suara dan irama kentutku sudah berbeda dari
dulu! Hik... hik... hik! Makhluk yang hidupnya aneh kaki ke atas kepala ke
bawah, dulu kau pernah mengancam diriku. Mau membuat aku jadi
ikan asap atau ikan pindang. Apa kau masih mau
melakukannya"!" (Baca episode berjudul "Hantu Santet Laknat").
"Nenek muka kuning! Aku sedang menderita sakit. Kau bicara yang bukan-bukan!
Lama-lama aku jadi muak
melihat dirimu! Lekas kau pergi dari sini!"
"Tua bangka tak tahu diri!"
"Nenek sialan, apa maksudmu"!"
"Rupanya kau masih suka melihat wajah gadis cantik daripada wajah nenek
sepertiku ini! Itu sebabnya kau suruh aku pergi!"
"Nek," Si Penolong Budiman menengahi pembicaraan.
"Orang tua ini sedang kesakitan. Aku tengah berusaha menolongnya. Harap kau
jangan mengajaknya bicara
dulu..." "Manusia muka tanah liat! Lagakmu seperti tabib ahli saja! Apa kau punya
kemampuan menolong tukang ikan pindang itu"!"
"Nenek muka kuning itu ingin kubuat jadi ikan pepes rupanya!" kata Hantu Langit
Terjungkir pula.
"Dulu kau suka ikan asap ikan pindang. Sekarang kau suka ikan pepes. Nanti kau
suka ikan apa lagi" Hik... hik...
hik! Dengar, jika aku bisa menolong tanganmu yang patah apa kau mau menjawab
beberapa pertanyaanku?"
"Memangnya kau tabib atau dukun" Puah!" Hantu
Langit Terjungkir pencongkan mulutnya.
"Aku memang bukan tabib, juga bukan dukun. Apalagi dukun beranak! Hik... hik...
hik! Tapi sekali lihat saja aku sudah tahu tanganmu yang patah itu sudah mulai
membusuk! Tak ada harapan untuk disembuhkan!"
Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam. Dia melirik pada Si Penolong Budiman.
Manusia muka tanah liat ini berkata.
"Jangan dengarkan ucapannya Kek. Dia menakut-nakuti dirimu. Aku pasti bisa
menolongmu..."
"Aku hanya memberitahu!" kata Hantu Selaksa Angin.
"Kalau tangan kananmu sampai busuk dan kelak kau
cuma punya satu tangan, apakah kau masih bisa berjalan dengan mempergunakan
hanya satu tangan" Tua bangka tolol! Kelak kau berjalan dengan tangan kiri.
Makan dengan tangan kiri! Lalu cebok dengan tangan kiri juga!
Hik... hik... hik! Perlu apa berlama-lama melihat orang tolol!
Kalau bukan guruku yang menyuruh mencarimu, mana
sudi aku melihat tampangmu yang lebih jorok dari
pengemis ini!" Setelah berkata begitu si nenek segera bergerak hendak tinggalkan
tempat itu. Hantu Langit Terjungkir kembali melirik pada Si
Penolong Budiman. Akhirnya kakek ini berseru. "Nenek muka kuning! Tunggu dulu!
Aku bersedia menjawab
pertanyaanmu. Tapi aku ingin agar kau mengobati
tanganku lebih dulu!"
"Kalau aku mengobatimu lebih dulu, apa nanti kau
akan memenuhi janji menjawab pertanyaanku?"
"Nek, kakek sahabatku ini bukan orang berhati culas.
Kalau setelah kau obati ternyata dia ingkar, biar aku mematahkan tangannya yang
satu lagi!" kata Si Penolong Budiman pula.
Butt prett!
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang berbunyi bukanlah kentut si nenek muka kuning, tapi suara mulut dan tangan
Hantu Langit Terjungkir sengaja meniru suara kentut si nenek.
Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. "Baik, aku akan tolong kakek sahabatmu
ini. Tua bangka jelek, ayo ulurkan tangan kananmu!"
Masih dalam keadaan berbaring Hantu Langit
Terjungkir ulurkan tangannya yang cidera. Si nenek perhatikan tangan itu sesaat.
"Hemmm... apa kataku.
Tanganmu sudah busuk. Malah kulihat sudah mulai ada belatungnya kecil-kecil!"
Hantu Langit Terjungkir jadi kaget. Dia buka matanya lebar-lebar memperhatikan.
Tapi dia tidak melihat apa-apa.
Apalagi belatung seperti yang dikatakan si nenek. Hantu Selaksa Angin tertawa
cekikikan. "Kau mana bisa melihat belatungnya. Matamu hanya bisa melihat gadis
cantik. Bukan begitu" Hik... hik... hik!"
"Kau mau menolongku atau mau bersenda gurau"!"
Hantu Langit Terjungkir jadi jengkel.
"Walah, sudah tua bangka kau masih cepat marah.
Sudah, kalau kau tak sabaran sekarang juga akan kuobati tanganmu!" Si nenek
buang sisa-sisa pelepah pisang yang masih menempel di tangan kanan Hantu Langit
Terjungkir. Caranya melakukan hal itu seenaknya saja hingga si kakek menjerit-jerit
kesakitan. Butt prett! "Jangan cengeng!" bentak si nenek muka kuning
setelah kentut lebih dulu. Dengan tangan kirinya dia usap tangan kanan Hantu
Langit Terjungkir yang patah
sementara mulutnya berkomat-kamit Masih dengan tangan kirinya dia cekal tangan
itu di bagian siku. Lalu dipelintirnya kuat-kuat!
Klek! Tangan kanan Hantu Langit Terjungkir tanggal di bagian siku! Si kakek menjerit
setinggi langit. Saking sakitnya dia hendak berguling-guling di tanah. Tapi si
nenek cepat injak dadanya. "Diam kau! Jangan ribut jangan berani bergerak!"
bentak si nenek.
"Uh... uh... uh..." Hantu Langit Terjungkir terpaksa menahan rasa sakitnya walau
muka dan badannya sampai mandi keringat. Hantu Selaksa Angin kemudian melangkah
mendekati sebatang pohon. Potongan tangan Hantu Langit Terjungkir ditempelkannya
di pohon itu. Lalu, krakkk! Dia mematahkan cabang pohon yang besar dan
panjangnya kira-kira sama dengan tangan si kakek. Potongan cabang pohon itu lalu enak saja
disambungkannya ke tangan kanan Hantu Langit Terjungkir.
"Untuk sementara kau pakai dulu cabang pohon itu
sebagai pengganti tanganmu yang patah!" kata si nenek sambil menyeringai.
Si Penolong Budiman tersentak kaget. Hantu Langit
Terjungkir sendiri membeliak besar.
"Kau menipuku!" teriak Hantu Langit Terjungkir marah.
*** WIRO SABLENG HANTU SELAKSA ANGIN
8 ENEK muka kuning pancarkan kentutnya. Butt prett!
Lalu unjukkan wajah cemberut. "Siapa yang
Nmenipumu kakek buruk"!"
"Tadi kau mengatakan akan mengobati tanganku yang
patah. Ternyata tanganku kau tanggalkan, kau tempel di pohon. Lalu kau ambil
patahan cabang pohon dan kau tempelkan di tanganku!"
"Walah, memang begitu caraku menolongmu!" jawab
Hantu Selaksa Angin.
"Aku lebih suka kau kembalikan tanganku! Siapa sudi punya tangan batang kayu
seperti ini!" ujar Hantu Langit Terjungkir sementara Si Penolong Budiman
tertegak tak tahu mau berbuat atau bicara apa.
"Ck... ck... ck... Kau benar-benar bangsa manusia yang tidak tahu ditolong
orang. Aku telah pergunakan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad untuk menolongmu.
Itu bukan ilmu sembarangan. Aku menghabiskan waktu
belasan tahun untuk mewarisinya. Tanganmu yang patah sengaja aku tempel di
pohon. Sementara kau tidak punya tangan, bukankah ada baiknya kuganti dulu
dengan batang kayu" Nanti kalau tanganmu yang di pohon sudah bertaut kembali
tulangnya baru kukembalikan ke tempatnya
semula! Paling lama kau hanya menunggu beberapa hari sampai tanganmu sembuh!
Nanti aku pasti akan
memasangkannya ke tanganmu itu kembali!"
"Cara pengobatanmu tidak masuk akal! Kau
menipuku...!" teriak Hantu Langit Terjungkir.
"Itulah kalau hidup cuma tahu ikan asap, hanya tahu ikan pindang! Sekarang kau
juga tahu ikan pepes! Ditolong orang malah menuduh menipu! Coba kau perhatikan!
Apa tanganmu yang kusambung dengan cabang pohon itu
terasa sakit?"
"Memang tidak! Tapi aku tidak sudi punya tangan
batang kayu seperti ini!"
"Sombongnya manusia satu ini!" mengomel si nenek.
"Selama puluhan tahun kau hidup kaki ke atas kepala ke bawah. Apa kau pernah
berkata tidak sudi hidup
menyungsang seperti itu"!"
Mendengar ucapan si nenek, Hantu Langit Terjungkir jadi terdiam.
"Nek, bagaimana kalau selama di pohon terjadi apa-
apa dengan tangan kakek sahabatku itu?" Si Penolong Budiman bertanya.
"Apa maksudmu manusia muka tanah liat?"
"Mungkin saja potongan tangan itu dipagut dan
dimakan ular. Atau dimakan musang..."
"Kalau kau memikir sampai di situ mudah saja
jawabnya! Suruh kakek yang punya tangan itu berjaga-jaga siang malam di bawah
pohon sampai tangannya sembuh!
Kalau nanti tangannya masih saja dijadikan santapan binatang hutan, mungkin itu
sudah nasibnya! Hik... hik...
hik! Bukankah tugasku hanya menolongnya" Bukan
menjadi pengawal tangan buntungnya" Kalau kau merasa sahabatnya kau harus
membantunya!"
Butt prett! Si nenek kentut dulu lalu meneruskan
ucapannya. "Sekarang sesuai perjanjian kau harus
menjawab beberapa pertanyaanku."
"Aku tidak akan menjawab apapun!" Hantu Langit
Terjungkir berkata setengah berteriak.
Si nenek tampak jengkel. Matanya yang kuning
memandang tajam pada Hantu Langit Terjungkir. "Aku sudah menduga kau akan ingkar
janji. Tapi tak jadi apa!
Aku akan pergi, tapi tanganmu kubawa serta!"
Lalu dengan mulut berkomat-kamit si nenek hendak
tanggalkan tangan kanan Hantu Langit Terjungkir yang menempel di batang pohon.
"Kek, sebaiknya kau menjawab saja apa yang hendak
ditanyakannya. Kurasa tak ada susahnya. Daripada urusan menjadi panjang tak
karuan..." Si Penolong Budiman memberi nasihat
"Aku...! Wahai! Sialan! Sudah! Baik aku akan jawab. Apa yang mau kau tanyakan!"
Hantu Langit Terjungkir akhirnya mengalah juga.
Hantu Selaksa Angin tatap wajah si kakek beberapa
saat baru berkata. "Kau dikenal dengan nama Hantu Langit Terjungkir. Waktu lahir
kau pasti punya nama. Aku ingin tahu siapa namamu sebenarnya."
"Kau menanyakan namaku segala! Apa juga perlu hari dan bulan lahirku" Rupanya
kau mau meramal menujumi diriku atau bagaimana?"
"Jangan banyak bicara yang tak karuan. Jawab saja
pertanyaanku. Siapa namamu kakek buruk?"
Hantu Langit Terjungkir pandangi nenek muka kuning itu mulai dari sunting yang
menancap di kepalanya, turun ke lehernya yang penuh dengan untaian kalung sampai
ke kaki. Semuanya serba kuning. Dalam benak dan hati si kakek berbagai
pertanyaan muncul. Sambil melangkah seputar si nenek Hantu Langit Terjungkir
membatin. "Nenek aneh serba kuning ini. Siapa dia sebenarnya" Aku yakin dia sengaja
memoles wajahnya dengan semacam cat kuning. Aku akan menjawab pertanyaannya tapi
nanti aku akan balas bertanya..."
"Kalau kau memang ingin tahu, nama asliku Lasedayu."
"Lasedayu... Lasedayu..." Si nenek ketuk-ketuk
keningnya sendiri dengan ujung jari telunjuk. "Hemmm...
Aku tak tahu apa aku pernah mendengar nama itu
sebelumnya. Namamu buruk seperti tampangmu! Aku tidak kenal nama itu!"
"Lebih bagus kau tidak kenal siapa diriku!" menyahuti si kakek.
"Aku memang tidak ingin. Kalau saja guruku tidak
menyuruh..."
"Siapa gurumu?" bertanya Si Penolong Budiman.
"Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu
muka hitam!"
"Kau tak mau menjawab tak jadi apa," kata Si Penolong Budiman tenang.
"Sudah tua bangka begini apakah kau punya istri,
Lasedayu?" Si nenek ajukan pertanyaan kedua.
"Kalau aku tak punya istri apa kau mau jadi istriku"!"
tanya Lasedayu alias Hantu Langit Terjungkir.
Butt prett! Si nenek pancarkan kentutnya. Setelah
tertawa cekikikan dia berkata. "Jawab saja pertanyaanku!"
"Aku tak punya istri!"
"Maksudmu kau tidak pernah kawin" Tak pernah punya anak"!"
"Nenek muka kuning! Aku tidak suka semua
pertanyaanmu. Kau tengah menyelidiki diriku atau
bagaimana?"
"Jangan-jangan kau kaki tangan Hantu Muka Dua." Si Penolong Budiman menimpali.
"Aku bukan kaki tangan Hantu Muka Dua! Soal
menyelidiki aku memang sedang menyelidiki dirimu!"
"Untuk apa"!" sentak Hantu Langit Terjungkir.
"Aku tidak tahu!" jawab si nenek.
"Tua bangka sakit! Otakmu pasti tidak waras!" kata Hantu Langit Terjungkir pula.
"Aku memang bisa bertindak tidak waras. Misalnya,
tanganmu yang di pohon itu kubuat remuk hingga kau tidak punya tangan kanan lagi
seumur-umur. Bagaimana, mau kita coba" Mau kubuktikan kalau diriku bisa tidak
waras"!"
Ketika si kakek tidak menjawab, Hantu Selaksa Angin tertawa gelak-gelak. "Kakek
buruk. Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa kau pernah kawin" Kalau pernah siapa
nama istrimu. Lalu apa kau pernah punya anak?"
"Nenek muka kuning, kau harus jawab pertanyaanku
dulu. Apa perlu kau menyelidiki diriku?"
"Sudah kukatakan tadi. Guruku yang menyuruh!"
"Siapa gurumu"!"
"Aku tidak tahu!"
"Betul-betul gila! Kau disuruh gurumu tapi kau tidak tahu siapa gurumu!"
"Aku tidak dusta! Karena aku memang tidak pernah
melihat ujudnya!"
"Kau punya guru, tapi tidak tahu ujudnya! Gurumu
angin atau sebangsa kentut yang keluar dari pantatmu itu"!"
"Jangan kau berani menghina guruku. Tua bangka
bermulut tak karuan. Kau yang gila, bukan aku! Aku tak mau lagi bicara
denganmu!"
"Bagus, sekarang aku yang bicara! Aku yang bertanya!
Siapa namamu sebenarnya?"
"Aku tidak tahu!"
"Apa kau pernah punya suami?"
"Hik... hik! Jika aku tak punya suami apa kau mau jadi lakiku" Hik... hik!"
"Sialan betul!" maki Hantu Langit Terjungkir.
Sebaliknya si nenek banting-banting kaki lalu tanpa banyak bicara lagi putar
tubuhnya. Setelah pancarkan kentutnya satu kali diapun tinggalkan tempat itu.
"Syukur nenek sinting itu sudah pergi!" kata Hantu Langit Terjungkir lega.
Tetapi sebenarnya si nenek tidak pergi. Setelah menghilang dari pandangan mata
kedua orang itu diam-diam dia menyelinap kembali, melompat ke atas sebatang
pohon berdaun lebat di seberang telaga.
Dari sini dia mengawasi Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman sambil
kerahkan kesaktiannya untuk mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu.
"Nenek muka kuning itu benar-benar aneh..." kata
Hantu Langit Terjungkir. "Apa maksudnya menyelidiki diriku. Katanya disuruh
gurunya. Tapi dia tidak tahu mau memberitahu siapa gurunya."
"Kau tidak bisa mengenali atau menduga siapa dia
adanya, Kek?" tanya Si Penolong Budiman.
Hantu Langit Terjungkir gelengkan kepala.
"Aku menduga dia tengah menyelidiki dirimu dan masa silammu Kek."
"Bisa saja. Tapi untuk apa?"
"Kuncinya ada pada gurunya. Sayangnya dia tidak mau memberitahu siapa gurunya!
Katanya dia tak pernah
melihat ujud sang guru. Apa memang bisa begitu?"
"Sebaiknya kita tidak membicarakan nenek sinting itu!"
kata Hantu Langit Terjungkir pula. Tiba-tiba dia ingat dan berseru. "Wahai!
Celaka diriku!"
"Ada apa Kek?"
"Tanganku yang menempel di pohon! Kalau tulangnya
yang patah bertaut kembali, bagaimana aku menyam-
bungkannya ke tubuhku"!" Wajah si kakek jadi pucat.
"Berarti dalam waktu beberapa hari di muka nenek itu akan datang kembali
mencarimu Kek."
"Kalau dia datang, kalau tidak...!"
Di atas pohon di seberang telaga Hantu Selaksa Angin senyum-senyum mendengar
percakapan kedua orang itu.
"Lasedayu... Lasedayu..." katanya berulang kali dalam hati.
"Ah, aku tidak kenal nama itu. Aku tidak ingat lagi..." Si nenek pukul-pukul
kepalanya sendiri.
*** PAGI hari ke empat ketika Hantu Langit Terjungkir
bangun, seperti hari-hari sebelumnya yang pertama sekali diperhatikannya adalah
pohon di mana tangan kanannya yang patah ditempelkan oleh Hantu Selaksa Angin.
Sekali ini begitu dia memandang ke pohon langsung dia tersentak kaget dan
melompat bangun sambil berseru memanggil Si Penolong Budiman.
Manusia muka tanah liat ini serta merta terbangun
pula. "Ada apa Kek?"
"Tanganku! Lihat ke pohon sana! Tanganku tak ada lagi di pohon itu! Pasti sudah
dibawa lari binatang hutan!
Celaka diriku! Apa kataku! Nenek muka kuning jahanam itu benar-benar telah
menipuku! Celaka diriku! Celaka! Akan kucari nenek keparat itu. Kalau bertemu
biar dua tangannya kutanggalkan dari tubuhnya! Biar dia rasa!"
Hantu Langit Terjungkir pukul-pukul keningnya sendiri dengan tangan kanan.
Si Penolong Budiman dapat merasakan kemarahan si
kakek. "Nenek sinting itu memang perlu diberi pelajaran!"
katanya. Dia perhatikan si kakek yang terus memukuli kepalanya sendiri. Tiba-
tiba manusia bermuka tanah liat ini berseru keras. "Kek!"
"Ada apa"!" tanya Hantu Langit Terjungkir kesal.
"Tangan kananmu Kek! Kau memukuli kepalamu
dengan tangan kanan! Lihat tanganmu!"
"Astaga!" Si kakek baru sadar dan perhatikan tangan kanannya dengan mendelik
besar. Ternyata tangannya yang sebelumnya diganti dengan cabang pohon kini telah
berubah dengan tangannya yang sebenarnya. Berpaling ke samping kiri dia melihat
cabang pohon yang tadinya dipakai pengganti tangan kanannya tergeletak di tanah.
Si kakek usap-usap tangan kanannya berulang kali. Diangkat ke atas, diturunkan
ke bawah. Direntangkan ke samping seolah-olah tak percaya!
"Nenek itu! Wahai! Aku telah berburuk sangka! Ternyata dia tidak menipuku.
Ternyata dia benar-benar menolongku!
Tanganku yang patah dan telah sembuh disambungkannya kembali!"
Hantu Langit Terjungkir memandang pada Si Penolong Budiman dengan sepasang mata
berkaca-kaca. "Dosa
besar aku padanya, wahai kerabatku! Nenek muka kuning itu menyembuhkan tanganku
Wiro Sableng 116 Hantu Selaksa Angin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang patah. Menyembuhkannya kembali! Aku tidak tahu kapan dia
melakukan. Pasti malam tadi!"
"Kek, kalau dia melakukan secara diam-diam berarti dia menolongmu tanpa
menginginkan balas jasa. Berarti hatinya polos. Tapi mungkin juga..." Si
Memanah Burung Rajawali 36 Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting Beruang Salju 7