Kembali Ke Tanah Jawa 2
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa Bagian 2
Tak selang berapa lama, di bailk serumpunan semak belukar lebat dilihatnya
seorang perempuan duduk menjelepok di tanah. Keadaannya mengenaskan sekali.
Pakaiannya bukan saja lusuh dan kotor tapi juga banyak robekan. Rambutnya yang
panjang tergerai awut-awutan.
"Aku tak dapat melihat wajahnya. Dua tangan dipakai menutupi muka. Perutnya...
Astaga! Besar. Perempuan yang menangis itu sedang hamil. Paling tidak sekitar
enam bulan..."
Suara tangisan berhenti. Sosok perempuan yang tadi duduk di tanah tiba-tiba
melesat ke atas dalam satu gerakan melompat yang cepat.
"Srettt!"
Sebilah pedang berkilat tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanan perempuan
hamil. Karena mukanya tidak lagi tertutup maka Suramanik kini dapat melihat wajah
perempuan itu. Ternyata dia masih sangat muda. Walau wajahnya kotor dan pucat namun
kecantikannya tidak dapat disembunyikan. Sepasang mata perempuan hamil ini
membelalak, memandang berputar.
Air mukanya berubah beringas. Rahangnya menggembung. Dia menyeringai lalu satu
jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Pedang di tangan kanan dibabatkan beberapa
kali. Semak belukat rambas bertebaran.
"Mampus! Mampus kau Handaka! Kau harus mampus di tanganku!"
"Kasihan sekali! Hamil dalam keadaan tidak waras," kata Suramanik dalam hati.
"Dari gerakan tangan dan kiblatan pedang agaknya perempuan ini memiliki
kepandaian silat tidak rendah. Siapa dia adanya" Siapa pula orang bernama
Handaka yang seperti hendak dicincangnya.
Apakah aku harus mendatanginya. Tapi gerakannya berbahaya sekali. Salah-salah
aku bisa dibabat sambaran pedangnya!"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Selagi Suramanik tertegun tidak tahu apa yang mau dilakukan tiba-tiba perempuan
hamil tadi kembali berteriak. Habis berteriak dia menghambur lari, cepat
sekali., ke jurusan satu pedataran diapit bukit-bukit tandus dia arah selatan
yakni arah Teluk Segara Anakan.
Suramanik terkejut menyaksikan.
"Dugaanku tidak meleset. Perempuan hamil itu memang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Ilmu larinya bukan sembarangan. Kencang sekali! Hanya beberapa kali
berkelebat dia sudah berada di ujung sana!" Suramanik menunggu sesaat lalu naik
ke atas punggung kudanya mulai menguntit mengikuti perempuan hamil tadi.
Siapakah adanya perempuan hamil berotak tidak waras itu" Dia bukan lain adalah
Wulandari, murid mendiang Eyang Wulur Pamenang yang telah terbujuk rayuan
Handaka alias Warangas alias Dipasingara hingga gadis ini mau menyerahklan
kehormatannya. Padahal sebenarnya dia telah ,mempunyai seorang kekasih, seorang
pemuda bernama Sanjaya yang merupakan murid tertua Eyang Wulur Pamenang.
Selagi mengikuti Wulandari, Suramanik tiba-tiba melihat tiga oarng berlari
kencang mendatangi dari kejauhan. Suramanik kerenyitkan kening.
"Kalau bukan orang-orang rimba persilatan mereka tidak mungkin berada di tempat
ini. Lari mereka seperti angin..."
"Berhenti!" Salah seorang dari tiga orang yang berlari berteriak. Sesaat
kemudian ke tiganya sudah berkelebat, memotong jalan di depan kuda Suramanaik.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 8 Maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan orang-orang bukan sembarangan,
Suramanik serta merta tarik tali kekang kuda. Begitu kuda berhenti dia segera
memperhatikan tiga orang di hadapannya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian
putih berambut gondrong.
Lalu seorang kakek berwajah putih banyak keriput. Yang ke tiga seorang pemuda
berwajah gagah tapi pucat, pakaiannya tampak lusuh dan kotor. Di atas punggung
kudanya Suramanik duduk tak bergerak. Dia menunggu sambil memperhatikan penuh
waspada. "Bukan dia..." berkata pemuda berambut gondrong.
"Memang bukan murid celaka itu," menyahuti si orang tua.
"Ki sasak bertiga. Jika kalian bertiga tidak punya kepentingan, harap menghindar
dari hadapan kuda. Aku ada keperluan lain." Suramanik akhirnya angkat bicara
menegur. "Harap maafkan," yang bicara adalah pemuda bermuka pucat sementara pemuda
gondrong tenang-tenang saja sambil rangkapkan tangan di depan dada. "Kami kira
kau adalah orang yang tengah kami cari. Bapak, apakah Teluk Segara Anakan masih
jauh dari sini?"
"Tak seberapa jauh lagi. Di ujung sana," jawab Suramanik. Dia perhatikan pemuda
berambut gondrong sejurus lalu ajukan pertanyaan. "Kalian bertiga ini siapa
adanya" Siapa pula orang yang tengah kalian cari?"
Kakek muka putih keriput keluarkan sebatang rokok kawung, diselipkan ke sela
bibir lalu meraba-raba pakaiannya. "Ah, sial sekali. Batu apiku entah kemana!
Mulutku bakalan asam seharian ini!" Si kakek cabut rokok kawungnya lalu bicara
perkenalkan diri.
"Si tua buruk rongsokan ini bernama Jagat Kawung. Pemuda di sampingku ini
bernama Sanjaya. Bocah gondrong itu Pendekar 212 Wiro Sableng..."
"Astaga! Kiranya aku berhadapan dengan orang-orang gagah bernama besar! Harap
maafkan aku yang tidak melihat tingginya gunung!" Suramanik cepat-cepat melompat
turun dari kudanya lalu membungkuk memberi penghormatan.
Jagat Kawung menyeringai. "Kau sendiri siapakah adanya?" Tanya orang tua ini
kemudian. "Ah, ah..." Suramanik semula tidak mau menatakan siapa dirinya. Hendak memberitahu
bahwa dia dulunya adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong dia merasa sungkan.
Tapi akhirnya dia bicara juga. "Namaku Suramanik. Aku berasal dari gombong."
"Gombong... Gombong... Gombong..." Jagat Kawung mengulang-ulang. "Apa kau pernah
mendengar peristiwa menggegerkan di sana beberapa waktu lalu?"
Suramanik merasakan dadanya berdebar. "Peristiwa apa maksudmu orang tua?"
"Istri Adipati Gombong berbuat serong dengan pemuda berkepandaian tinggi yang
jadi Kepala Pengawal. Adipati tewas dalam perkelahian dengan Kepala Pengawalnya
tiu. Sang istri kemudian msnikam dada bunuh diri."
Suramanik menatap wajah ke tiga orang itu berganti-ganti. Sebenarnya dia sudah
mengetahui peristiwa itu. Justru saat itu dia tengah mencari si pembunuh Adipati
Gombong itu. Dia berpaling pada Sanjaya dan berkata. "Orang muda, tadi kau mengatakan tengah
mencari seseorang. Dari pembicaraan agaknya tujuan kalian adalah Teluk Segara
Anakan. Siapakah orang yang kalian cari" Terus terang aku sendiri juga tengah
mencari seseorang."
"Orang yang kami cari meemiliki beberapa nama. Menyamar dalam berbagai sosok.
Tapi orangnya tetap satu. Manusia jahanam itu bernama Dipasingara alias Handaka
alias Prana..."
Berubahlah wajah Suramanik mendengar keterangan Sanjaya itu. Sebenarnya dia
ingin bertanya mengapa ke tiga orang tersebut mencari Dipasingara. Suaranya
bergetar ketika dia berkata.
"Kita mencari orang yang sama. Sayang waktuku tidak banyak. Tapi ada baiknya aku
memberi keterangan sedikit. Aku adalah bekas Kepala Pengawal Kadipaten Gombong!
Suatu ketika muncul seorang pemuda mengaku bernama Dipasingara. Dia inginkan
jabatanku dengan cara menantang berkelahi. Jika aku dikalahkannya maka aku harus
menyerahkan jabatanku padanya. Sayangnya Adipati Kebo Panaran termakan oleh
sikap perbuatan dan ucapan pemuda itu. Aku tak mungkin mengelakkan tantangannya.
Kami melakukan adu kekuatan. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Aku
kalah. Jabatanku hilang dan aku terpaksa angkat kaki dari Gombong. Kemudian aku
mendengar berita menyedihkan seperti yang sudah kalian ketahui.
Adipati Kebo Panaran tewas di tangan Dipasingara. Istrinya menemui ajal bunuh
diri." Suramanik diam sebentar lalu berkata. "Saudara bertiga, aku terpaksa
meninggalkan kalian."
Si gondrong Wiro yang merasa tidak enak melihat sikap orang, untuk pertama
kalinya membuka mulut. "Sobat berkumis, kau kelihatan kesusu. Ada apakah?"
Kalau orang lain yang bertanya seperti itu mungkin Suramanik akan meradang
tersinggung. Tapi karena dia tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong yang
menyandang julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini maka dia menjawab apa
adanya. "Ketika kalian menghadang sebenarnya aku tengah mengikuti seorang perempuan muda
aneh mengenaskan."
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
"Aneh bagaimana?" Sanjaya yang bertanya.
"Otaknya tidak waras. Perutnya gendut hamil. Dia tadi lari ke jurusan sana..."
Suramanik menunjuk ke arah timur.
"Pasti Wulandari!" kata Sanjaya setengah berteriak. "Aku punya firasat buruk
sejak tadi pagi. "Muka pemuda ini tambah pucat. Dia memandang pada Wiro dan si
kakek. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia menghambur lari ke arah timur yang
ditunjuk Suramanik. Wiro dan Jagat Kawung segera mengejar. Suramanik melompat
naik ke atas punggung kudanya lalu menggebrak binatang ini mengikuti orang-orang
itu. Tak selang berapa lama rombongan itu sampai di sebuah teluk. Ombak besar
bergulung-gulung memecah di pantai.
"Ini Teluk Segara Anakan!" menerangkan Suramanik. "Ada sebuah goa di sekitar
sini. Belakangan ini kabarnya Dipasingara sering berada di tempat itu..."
"Kita cari goa itu sekarang juga!" kata Sanjaya.
Ketika orang-orang itu hendak bergerak Pendekar 212 angkat tangannya memberi
isyarat. "Tunggu... Apakah kalian tidak mendengar suara lelaki tertawa diseling jeritan-
jeritan perempuan..."
Semua orang menatap Wiro tapi diam-diam memasang telinga. Wajah tua Jagat Kawung
berubah. "Suara tawa lelaki itu. Aku kenal betul. Itu suara tertawanya si
keparat murid murtad Warangas! Datangnya dari balik gundukan karang besar
sebelah sana..."
"Mari kita menyelidik!" kata Sanjaya yang sejak tadi sudah tidak sabaran lalu
mendahului berkelebat ke arah sederet bukit karang. Wiro dan Jagat Kawung
menyusul. Suramanik mengikuti.
Semakin dekat ke deretan bukit karang semakin jelas terdengar suara tawa. Suara
jeritan perempuan lenyap, berganti dengan bentakan-bentakan keras.
"Handaka manusia keparat! Mampus! Kau harus mampus di tanganku!"
Begitu sampai di balik gugusan batu karang, Wiro dan rombongan disambut oleh
satu pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang awut-awutan
dalam keadaan mengandung besar, dengan sebilah pedang di tangan menyerang habis-
habisan seorang pemuda.
Dari gerakan-gerakan mereka jelas keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Namun
bila diperhatikan kentara sekali walau bagaimanapun hebatnya gebrakan ilmu
pedang perempuan hamil, tingkat kepandaiannya masih di bawah lawannya.
Kenyataannya si pemuda menghadapi gempuran mautnya sambil terus tertawa
bergelak. Kedua orang itu bertempur di depan sebuah goa. Di mulut goa seorang
gadis berkulit hitam manis berdiri sambil pegangi dada dan ketakutan setengah
mati. Gadis ini adalah anak seorang pemilik warung yang diculik dan disekap di
goa itu hendak digagahi oleh si pemuda. Namun sebelum niat mesumnya kesampaian,
perempuan muda bersenjata pedang keburu memergoki.
"Jahanam! Betul murid sesat itu rupanya!" merutuk Jagat Kawung dengan mata
mendelik begitu dia mengenali siapa adanya pemuda yang bertempur melawan
perempuan muda bersenjata pedang. "Warangas! Ajalmu sudah di depan mata!"
Sementara ittu Sanjaya sendiri untuk sejurus lamanya tegak tertegun dengan mata
membeliak mulut ternganga. Hatinya hancur melihat keadaan perempuan muda itu.
"Wulandari..." suaranya tercekat bergetar. Namun begitu dia palingkan pandangan ke
arah si pemuda, darahnya lansung mendidih. Dia tidak kenal dan sebelumnya tidak
pernah melihat pemuda lawan bekas kekasihnya itu. Tapi dia yakin pemuda itu
adalah Handaka alias Prana alias Dipasingara. Tanpa banyak cerita lagi Sanjaya
segera hunus pedangnya dan menyerbu ke kalangan pertempuran.
"Durjana keparat! Pedangku yang akan menghabisimu!"
Warangas tersentak kaget ketika tiba-tiba satu sinar putih membabat hanya satu
jengkal di samping kiri kepalanya. Dia melompat mundur dua langkah, bersikap
waspada sambil memasang kuda-kuda. Pandangan matanya tidak berkesip. Hatinya
mengira-ngira. "Pemuda muka pucat! Siapa kau!" bentak Warangas.
Belum sempat Sanjaya menjawab tiba-tiba terdengar jeritan Wulandari. Gadis ini
seperti melihat setan kepala tujuh begitu pandangannya membentur Sanjaya. Dia
lari ke balik gundukan batu karang rendah. Di sini dia menangis dan berteriak-
teriak tak karuan.
Belum sempat Warangas memastikan siapa adanya pemuda muka pucat yang barusan
menyerangnya, dari atas kuda Suramanik membuat lompatan kilat. Tangan kanannya
bergerak ke pinggang. Lalu bertaburlah cahaya golok ke seluruh tubuh Warangas
alias Dipasingara.
"Jahanam Suramanik! Aku menyesal tidak mambunuhmu waktu adu kekuatan di
Kadipaten Gombong!" teriak Warangas sambil berkelebat selamatkan diri.
"Penyesalanmu akan kau bawa ke liang kubur! Kalau saja mayatmu memang ada yang
mau mengubur!" jawab Suramanik. Ketika dia kembali membabatkan goloknya, dari
arah lain Sanjaya telah menyerbu pula.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
"Kalian boleh berebut kepala atau jantungnya! Tapi nyawa murid murtad aku yang
punya! Aku akan patahkan batang lehernya!" Kakek bernama Jagat Kawung menyerbu
dengan tangan kosong, melepas Pukulan Baja Merah. Selarik sinar merah berkiblat
menggidikkan. Diserang tiga orang berkepandaian tinggi begitu rupa, secepat kilat Warangas
membuang diri ke samping lalu melompat setinggi satu tombak. Selagi mengapung di
udara dia keluarkan senjata saktinya yaitu Kipas Pemusnah Raga.
"Srettt!"
Sinar hitam bertabur ke arah tiga penyerang.
"Lekas menyingkir!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanannya segera
dipukulkan ke depan, memapas serangan lawan dengan pukulan Dewa Topan Manggusur
Gunung. Pukulan sakti ini adalah warisan dari Tua Gila, tokoh sakti di Pulau
Andalas. "Bummm!"
Satu ledakan menggoncang teluk.
"Dess... desss!"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 9 Warangas merasakan pergelangan tangannya yang memegang kipas seperti dipelintir.
Kipas hitamnya mengeluarkan suara berderak. Cepat-cepat Warangas dorongkan
tangan kirinya lalu melompat ke samping. Baru satu kakinya menginjak tanah tiba-
tiba Sanjaya, Suramanik dan Jagat Kawung telah datang menyerbu kembali.
"Mengeroyok tindakan tidak terpuji. Serahkan pemuda itu padakau. Biar aku yang
mempesiangi!" teriak Wiro lalu dia cepat-cepat tekap kepalanya ketika pedang
Sanjaya berkelebat dingin di samping telinga kirinya.
"Tidak perlu menghormati dajal puntung neraka ini dengan segala peradatan! Mari
kita sama-sama berebut pahala mencincangnya!" teriak Sanjaya lalu kirimkan satu
tusukan dan dua kali babatan. Warangas kebutkan kipas hitamnya. Larikan sinar
hitam yang memiliki daya kekuatan luar biasa membuat Sanjaya terdorong. Pemuda
ini berlaku nekad. Sambil pukulkan tangan kiri kembali dia mengejar dengan
serangan pedang.
"Sahabat, jangan berlaku bodoh!" berseru Pendekar 212 Wiro Sableng lalu cepat
tarik tangan kiri Sanjaya.
"Wussss!"
Sinar hitam menyambar lewat di samping Sanjaya lalu brakkk! Menghantam satu
gundukan batu karang rendah. Batu ini terbelah empat dan berpelantingan di
udara,. "Breettt!"
Pakaian Warangas robek besar disambar ujung golok Suramanik. Belum habis
kejutnya dari samping berkelebat pukulan tangan kosong Jagat Kawung mengarah
leher. Kakek ini agaknya memang ingin mematahkan batang leher murid bejat itu.
Warangas berlaku sigap.
Sambil miringkan kepala, kaki kanannya menendang ke arah ulu hati si kakek.
Jagat Kawung menyeringai. Tubuhnya membuat gerakan meliuk aneh. Tendangan lawan
hanya menggeser halus di pinggulnya tapi bersamaan dengan itu si kakek susupkan
satu jotosan ke perut Warangas.
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukkk!"
Warangas keluarkan suara seperti kerbau melenguh. Perutnya laksana jebol.
Dadanya sesak. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tapi hebatnya dia masih
bisa berdiri walau dengan dua lutut sedikit tertekuk. Rahangnya menggembung.
"Awas. Dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng
ketika melihat bagaimana perut Warangas mendadak mengendur mengempis. Murid
Sinto Gendeng ini segera pula alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Cepat
sekali tangan itu berubah menjadi putih seperti perak menyala!
"Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!"
Warangas marah sekali. Kipas hitam dikembangkan lebih lebar. Dia melompat ke
atas sebuah batu. Tangan kanannya berputar setengah lingkaran bergerak ke atas
seperti mencungkil.
Saat itu juga terdengar suara bergemuruh. Sinar hitam lebar menderu menyapu ke
arah Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di mulut goa terdengar keritan gadis hitam manis. Gadis yang malang ini
terguling roboh dalam keadaan hangus begitu sinar hitam Kipas Pemusnah Raga
menghantam dirinya.
Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Wiro melompat berpencaran selamatkan diri.
Suramanik menjerit. Sosoknya berlutut di tanah. Pakaiannya sebelah kiri
kelihatan hangus. Kulit dan sebagian dagingnya merah seperti terpanggang. Dengan
kertakkan rahang dia mecoba bangkit berdiri. Namun saat itu tanah dirasakannya
bergetar hebat. Lalu ada sinar putih berkiblat menyilaukan disertai bertaburnya
hawa sangat panas. Di depan sana Warangas keluarkan teriakan keras.
"Pukulan Sinar Matahari!" Kipas Pemusnah Raga diputar di atas kepala melindungi
diri. Ketika taburan sinar hitam yang keluar dari kipas sakti itu membentur cahaya
putih panas, satu letupan dahsyat menggetarkan seantero teluk. Percikan bunga
api bertebar dimana-mana.
Kuda coklat milik Suramanik meringkik keras. Suramanik sendiri jatuhkan diri ke
tanah mengindari sambaran liar pecahan sinar hitam dan cahaya putih. Secara
cerdik dia sengaja menggulingkan diri ke arah musuh yang dikenalnya dengan nama
Dipasingara. Jagat Kawung dan Sanjaya melompat menyingkir ke tempat aman. Wiro sendiri
terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang lalu jatuh duduk di tanah.
Dadanya mendenyut sakit dan pelipisnya seperti ditusuk-tusuk.
Warangas sama sekali tidak mengalami cidera. Tapi dari mulutnya keluar jeritan
setinggi langit ketika melihat bagaimana kipas saktinya robek bertaburan di
udara. "Kipasku... kipasku..." Kini dia hanya memegang gagang kipas yang telah hangus
kehitaman. Putuslah nyali pemuda bejat itu. Sisa-sisa kipas yang masih ada dalam
genggamannya dilemparkannya ke tanah. Tanpa kipas sakti mana mungkin dia
menghadapi empat musuh berkepandaian begitu tinggi. Tak ada jalan lain. Dia
harus melarikan diri mencari selamat. Tidak
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik satu gundukan batu karang. Dia sama
sekali tidak menduga kalau di balik batu karang ini justru ada yang menunggunya.
Satu sosok berkelebat ke hadapannya. Satu sinar putih berkiblat menyambar dari
atas ke bawah. "Wulandari!" Warangas alias Dipasingara alias Handaka keluarkan seruan tertahan.
Dia berusaha melompat ke atas satu gundukan batu tapi terlambat.
Mendadak sontak dua kakinya terasa dingin. Lalu ada rasa sakit seperti mengoyak
seluruh tubuhnya. Seakan-akan tanah yang dipijaknya roboh amblas, tubuh Warangas
terbanting jatuh.
Dua kakinya buntung sebatas betis akibat sambaran telak pedang di tangan
Wulandari. Darah membanjir!
Pemuda bejat ini meraung setinggi langit. Jeritannya bertambah dahsyat ketika
Suramanik yang bergulingan mendatanginya membabatkan golok besarnya. Lalu dari
jurusan lain pedang Sanjaya bertubi-tubi melanda tubuhnya.
"Orang muda! Cukup! Sekarang bagianku si orang tua!" Sosok Jagat Kawung melesat
ke arah Warangas. Dijambaknya rambut pemuda yang megap-megap sekarat itu. Ketika
dia hendak memuntir tanggal kepala Warangas tiba-tiba satu sinar putih menderu.
Cairan merah kental hangat membasahi pakaian dan muka putih kakek keriput itu.
Jagat Kawung melompat mundur.
Sosok Warangas dilihatnya tidak berkepala lagi, terguling di atas pasir. Lalu
sewaktu dia memperhatikan benda yang masih dijambaknya, kakek ini tersentak
kaget. Benda itu adalah kepala Warangas yang sudah putus!
"Ih!" si kakek bergidik sendiri! Lalu bantingkan kepala Warangas ke tanah.
Wulandari menjerit keras. Lalu tertawa aneh. Dengan pedang berdarah masih di
tangan gadis ini lari ke arah laut. Wiro coba menghalangi. Tapi sambaran pedang
ganas Wulandari membuatnya terpaksa mundur. Begitu Wiro tersurut Wulandari cepat
meneruskan larinya ke arah laut. Melihat ini Sanjaya segera mengejar. Dia juga
sudah maklum apa yang akan hendak dilakukan bekas kekasihnya itu. Dengan cepat
dirangkulnya tubuh Wulandari.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mau terjun ke laut!": teriak Wulandari.
"Sadar Wulan! Mengucaplah! Sebut nama Tuhanmu! Jangan berlaku nekad. Mati bunuh
diri adalah kesesatan tak terampuni!"
"Aku memang sudah sesast! Dosaku tidak mungkin terampuni! Lepaskan! Aku sudah
ditunggu Eyang Guru! Hik... hik... hik!" Wulandari meronta coba melepaskan rangkulan
Sanjaya tapi tak berhasil. Mendadak dia ingat kalau saat itu masih memegang
pedang. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya ke dadanya.
"Wulan! Jangan!" teriak Sanjaya. Dia berusaha menghalangi. Tapi terlambat.
Pedang menancap masuk jauh ke dalam dada Wulandari. Gadis ini berteriak lalu
tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Sepasang matanya mendelik. Tapi
ajalnya belum sampai. "Wulan... kenapa kau lakukan ini. Aku... aku masih
mencintaimu. Kenapa kau tega meninggalkan diriku, Wulan?"
Suara Sanjaya tersendat serak.
Di saat kematian datang merayapi dirinya pikiran Wulandari berubah jernih. Air
mata mengucur di kedua pipinya yang pucat. "Semuanya sudah kasip kakak. Diriku
terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni dosaku Sanjaya. Aku telah
mengkhianati janji cinta kita.
Sebenarnya akupun tetap mencintaimu... Selamat tinggal kakak..."
"Wulan! Adikku!"
Kepala Wulandari terkulai. Sanjaya tekap kepala gadis itu dengan kedua
tangannya. Berurai air mata dia peluk dan ciumi wajah Wulandari.
Suramanik tegak termangu. Jagat Kawung menarik nafas berulang kali. Pendekar 212
Wiro Sableng hanya bisa menggigit bibir dan garuk-garuk kepala. (Kisah segitiga
antara Wulandari, Sanjaya dan Handaka alias Dipasingara bisa pembaca ikuti
secara utuh dalam serial Wiro Sableng berjudul "Hidung Belang Berkipas Sakti.")
>>>>>>>>>>
SEPERTI diceritakan dalam Bab 7 sepasang kakek nenek bernama Riku Pulungan dan
Nini Setan tengah dalam perjalanan menuju Teluk Segara Anakan dalam mencari
pemuda bernama Warangas.
Di satu tempat si kakek hentikan kudanya, memberi isyarat pada saudaranya si
nenek bermuka belang agar berhenti di sebelahnya.
"Aku mendengar suara bentakan-bentakan. Seperti ada orang berkelahi..." kata Riku
Pulungan. Nini Setan memandang ke arah sederetan bukit karang. "Suara itu datang dari
balik gugusan karang. Kita menyelidik ke sana!"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Dua orang tua ini kembali membedal kuda masing-masing. Agar lebih cepat sampai
ke balik gugusan batu karang, mereka tidak mengambil jalan berputar tapi lansung
menerjang mendaki bukit rendah. Tepat pada saat mereka mencapai puncak salah
satu gugus bukit karang tiba-tiba satu dentuman dahsyat menggelegar di seantero
teluk. Bukit karang bergetar keras.
Sepasang kakek nenek ini cepat melompat turun dari kuda masing-masing sebelum
kuda-kuda mereka yang menjadi liar membantingkan keduanya ke atas batu.
Memandang ke bawah, kakek bernama Riku Pulungan itu keluarkan seruan tertahan.
Wajahnya pucat, matanya mendelik dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Nini, kita terlambat. Lihat apa yang terjadi dengan Kipas Pemusnah Raga itu..."
Si nenek bernama Nini Setan ikut memandang ke bawah. Dia menghela nafas dalam.
Lalu berucap. "Kipas itu hancur. Bertebaran di pasir. Tapi itu belum akhir dari
segala-galanya. Kita akan menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan bekas murid
bejatmu ..... Orang-orang itu pasti akan membantainya!"
Ucapan si nenek memang menjadi kenyataan hanya beberapa saat kemudian.
Di bawah sana seperti telah diceritakan sebelumnya, Warangas alias Dipasingara
tengah menghadapi hari penentuannya. Setelah kipas saktinya hancur dihantam
pukulan Sinar Matahari dia berusaha melarikan diri. Tapi di balik bukit karang
dihadang oleh Wulandari lalu diserbu oleh Sanjaya dan Suramanik serta Jagat
Kawung hingga akhirnya menemui ajal secara mengerikan.
Sosoknya tanpa kepala dan badan tercabik-cabik.
"Aku mendengar jeritan Warangas. Lalu sunyi..." Riku Pulungan berucap perlahan.
Kakek ini mengusap mukanya, mulai melangkah menuruni bukit karang.
"Kau mau kemana"!" bertanya Nini Setan. "Mau membuat perhitungan dengan orang-
orang yang telah membunuh muridmu"! Jangan bertindak bodoh!"
Riku Pulungan hentikan langkahnya. Dia memandang pada si nenek saudaranya lalu
gelengkan kepala. "Aku yakin orang-orang itu menghabisi Warangas karena mereka
mempunyai dendam kesumat amat besar. Malah aku bersyukur mereka telah
meringankan bebanku... Aku terlalu kecewa pada manusia satu itu."
"Lalu mengapa kau mau turun ke pantai sana?" tanya Nini Setan kembali.
"Kipas Pemusnah Raga itu. Aku mau mengumpulkan cabikan-cabikannya. Sisa-sisa
kayu dan gagangnya...." Jawab Riku Pulungan.
"Kau gila" Buat apa rongsokan kipas yang sudah tidak ada gunanya itu?"
"Aku akan membawanya kepada Eyang Guru. Hanya itu yang bisa aku kembalikan
padanya. Kalau dia bersedia aku akan minta Eyang Guru menggabung-gabunkannya
kembali. Menjadikannya untuk bahan dasar pembuatan sebuah kipas baru sakti mandraguna.
Kelak senjata baru itu akan kuberikan kepada muridku yang sekarang..."
"Hemm... Kuharap saja kau tidak kesandung sampai dua kali Pulungan! Kau percaya
penuh pada muridmu yang sekarang ini?"
"Aku percaya penuh. Dia jauh berbeda dengan Warangas. Seperti siang dengan
malam. Mungkin ini satu-satunya kebajikan terakhir yang bisa aku buat sebelum menghadap
Gusti Allah."
"Terserah kau mau berbuat apa. Tapi cepat kembali ke sini. Aku mau ke balik
karang sana dulu. Dari tadi aku menahan kencing! Hik... hik... hik...!"
Ketika Riku Pulungan sibuk mengumpulkan sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga tiba-tiba
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih tegak di hadapannya.
Sesaat ke dua orang ini saling beradu pandang.
"Kek, kau tengah melakukan apa?" si pemuda menegur.
Sepasang mata si kakek mengintai ke balik dada pakaian si pemuda. Dia melihat
rajah tiga angka tertera di dada penuh otot.
"Jika mataku yang tua ini tidak salah melihat dan otakku tidak salah menduga,
bukankah saat ini aku berhadapan dengan tokoh muda berkepandaian tinggi bergelar
Pendekar 212, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?"
Si pemuda yang memang Wiro adanya agak terkejut. Dia tidak mengenali orang tapi
orang mengenali dirinya. Sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala dia berkata.
"Orang jelek ini memang murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Kau sendiri
siapakah adanya Kek" Sedang apa di tempat ini" Kulihat kau memunguti cabikan-
cabikan kipas. Temanmu di atas bukit sana kemana menghilangnya?" Wiro melirik ke
puncak salah satu gugusan bukit. Tadi dia melihat bayangan seseorang di atas
sana. "Saudaraku itu. Seorang nenek tengil. Kau tahu nenek-nenek. Tak bisa menahan
kencing..." Si kakek pandangi sisa hangus gagang Kipas Pemusnah Raga yang
dipegangnya. Lalu berkata. "Seperti kau lihat sendiri, aku tengah mengumpulkan sisa-sisa
kipas ini... "
"Untuk apa?" Tanya Wiro heran.
"Aku tak bisa mengatakannya padamu, anak muda..."
"Kau juga tidak mau mengatakan siapa namamu?"
"Aku Riku Pulungan," jawab si kakek.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Wiro tertawa bergelak.
"Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?" tanya si kakek heran.
"Cocok dengan namamu! Ternyata kau seorang pemulung rupanya. Pantas saja segala
sisa kipas rongsokan kau kumpulkan. Ha... ha... ha... "
Wajah putih si kakek sesaat tampak merah. Namun dia kemudian ikut-ikutan
tertawa. Wiro lambaikan tangannya dan memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu.
"Anak muda, tunggu dulu..." si kakek berseru.
"Ada apa?" tanya Wiro pula.
"Kalau umurmu panjang, kelak beberapa tahun di muka kau akan bertemu lagi dengan
rongsokan kipas ini..."
Wiro pencongkan mulutnya. Dia tidak mengerti tapi tidak mau bertanya. Sambil
melangkah pergi murid Sinto Gendeng menggerendeng. "Sial, dia bilang kalau
umurku panjang.
Memangnya aku ini mau mati besok apa" Beberapa tahun di muka, aku akan bertemu
lagi dengan kipas rongsokan itu. Edan..." Wiro garuk kepalanya. Ketika dia
berpaling ke belakang, kakek aneh bernama Riku Pulungan itu tak ada lagi di
tempatnya semula!
>>>>>>>>>>
DUA HARI dua malam Riku Pulungan duiduk menunggu di pintu goa. Namun orang yang
ditunggu tak kunjung muncul. Menjelang pertengahan malam ketiga, selagi matanya
setengah terpejam karena tidak sanggup menahan kantuk, orang tua ini tiba-tiba
merasa ada sambaran angin disusul berkelebatnya satu bayangan.
Satu sosok tinggi berjubah hijau muda tahu-tahu telah berdiri di hadapan Riku
Pulungan. Orang ini sudah sangat tua, rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggut
itu begitu panjang hingga hampir menjela tanah.
"Eyang Guru, saya datang untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu menyangkut
Kipas Pemusnah Raga..."
Riku Pulungan sendiri adalah seorang kakek berusia hampir delapan puluh tahun.
Jika dia memanggil Eyang pada si jubah hijau ini, berarti orang tua ini berusia
paling tidak di atas seratus tahun.
"Tiga tahun lebih aku mendengar berita buruk. Akhirnya kau datang juga. Muridku
Riku Pulungan, ikuti aku."
Orang tua berjubah hijua muda bergerak memasuki mulut goa. Langkahnya enteng
sekali seolah dia tidak menginjak tanah. Sampai di dalam goa dia menyalakan
sebuah lampu minyak lalu duduk di atas sebuah bantalan tipis. Riku Pulungan
sendiri duduk membungkuk hormat di hadapannya.
"Apakah kau sudah mendapatkan Kipas Pemusnah Raga itu?" bertanya sang Eyang
Guru. "Saya sudah mendapatkan, tetapi mohon maafmu. Kipas itu saya dapatkan dalam
keadaan seperti ini." Lalu dari balik pakaiannya Riku Pulungan mengeluarkan
robekan-robekan kipas, patahan kayu kipas serta bagian gagang kipas yang hangus.
Benda itu semuanya diletakkan di lantai di hadapan Eyang Guru.
"Jika ada satu kekuatan sanggup menghancurkan kipas ini sampai seperti ini, aku
ingin tahu siapa gerangan yang melakukannya?"
"Menjelang ajalnya murid saya berhadapan dengan beberapa orang yang ingin
menuntut balas. Salah satu dari mereka adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng...."
"Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?" Tanya Eyang Guru.
"Benar sekali Eyang. Kalau saya tidak salah mengira, pendekar itu telah
menghantam murid saya dengan pukulan Sinar Matahari..."
Orang tua berjubah hijau terdiam sesaat. "Kipas sakti hancur. Bagaimana dengan
muridmu yang bernama Warangas itu?"
"Dia menemui ajal di tangan orang-orang itu," jawab Riku Pulungan.
"Dia telah menemui hukuman dunia. Kelak dia akan menghadapi hukuman akhirat,"
kata sang Eyang Guru. Lalu dia menatap wajah kakek di hadapannya. Tatapan ini
membuat Riku Pulungan merasa seperti ditindih batu besar. "Aku senang bertemu
denganmu. Sisa-sisa kipas bisa kau tinggalkan di sini. Sebelum kita berpisah,
apakah ada sesuatu yang hendak kau tanyakan atau hendak kau sampaikan?"
"Ada Eyang. Tapi terlebih dulu saya mohon maafmu kalau-kalau permintaan saya ini
Eyang anggap satu kelancangan atau tak mau belajar dari pengalaman. Saya mohon
dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini Eyang bisa membuatkan satu senjata baru
dalam bentuk yang sama, yakni sebuah kipas..."
Orang tua berjanggut menjela tersenyum. Dia gosok-gosokkan telapak tangannya
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu sama lain. "Riku Puliungan, permintaanmu akan kuperhatikan. Tapi ada satu
nasihatku padamu.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Jika kelak kau akan menyerahkan satu benda berharga pada seseorang, pikir dan
kaji dulu dalam-dalam. Kau harus tahu betul siapa orangnya. Aku tak ingin
peristiwa murid sesat seperti si Warangas itu terulang kembali. Hal semacam itu
membuat rohku kelak tidak akan tenteram di alam barzah..."
"Nasihat Eyang akan saya ingat baik-baik..." kata Riku Pulungan pula.
"Aku dengar selain Warangas kau juga mempunyai seorang murid lain..."
"Benar sekali Eyang. Namanya Adimesa. Saat ini sudah berusia dua puluh tiga
tahun. Harapan saya sangat besar padanya..."
"Jika dari sisa-sias Kipas Pemusnah Raga ini aku menciptakan satu senjata baru
dan kuserahkan padamu, apakah kelak senjata itu akan kau berikan pada muridmu
bernama Adimesa itu?"
"Saya tidak dapat memutuskan sekarang Eyang. Lagi pula seperti tadi Eyang
nasihatkan, saya harus berlaku sangat hati-hati. Jangan tersandung dan membuat
kesalahan sampai dua kali."
Eyang Guru anggukkan kepalanya. "Kau boleh pergi. Datanglah kemari satu tahun
lagi. Siapa tahu dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini aku bisa menciptakan satu
senjata yang bermanfaat bagi dunia persilatan di tanah Jawa ini..."
"Saya mengucapkan terima kasih Eyang Guru. Saya mohon izinmu untuk meninggalkan
tempat ini." Riku Pulungan beringsut sampai ke mulut goa lalu berdiri. Setelah
membungkuk dalam-dalam dia segera tinggalkan tempat itu. Hatinya terasa lega.
Satu tahun tidak terlalu lama.
Sementara menunggu dia bisa memberikan tambahan ilmu kepada muridnya yang
bernama Adimesa itu.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 10 Kita kembali ke Teluk Penanjung, dimana Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dan
ditolong oleh seorang pemuda gagah dikenal dengan julukan Pendekar Kipas
Pelangi. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di atas sebuah gundukan batu.
Pendekar Kipas Pelangi memulai penuturan riwayat dirinya.
>>>>>>>>>>
CUACA pagi itu cerah sekali. Langit di atas desa Kaliurang putih kebiruan. Angin
segar bertiup sepoi-sepoi basah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar riak arus
kali kecil, salah satu anak sungai Bengawan Solo yang mengalir dan menyuburi
desa Kaliurang.
Di satu jalan tanah menurun di pinggiran barat desa, dua orang anak lelaki duduk
dia atas dua ekor kerbau . Mereka berusia antara empat dan enam tahun. Tubuh
mereka walau kecil tapi tegap dan pipi mereka kelihatan merah segar pertanda
keduanya memiliki badan yang sehat.
Sambil menunggangi kerbau keduanaya bercakap-cakap dan sesekali diselingi gelak
tawa ceria. "Kakak Adisaka, dua hari lalu kau menjanjikan mau membuat puput dari batang padi
untukku. Apakah saat ini kita menuju ke sawah mencari batang padi?"
"Adikku," jawab anak satunya. "Membuat puput bisa kita lakukan kemudian. Kita
harus melakukan pesan ayah lebih dulu. Kerbau-kerbau ini perlu dimandikan. Kau
lihat sendiri, badan mereka sangat kotor, tubuh mereka mulai bau..."
"Tapi kalau mau ke sungai bukankah lita akan melewati sawah. Mengapa tidak
mampir saja dulu di sawah. Jadi tidak pulang balik..."
Anak bernama Adisaka tersenyum. "Adikku Adimesa, otakmu cerdik. Aku senang punya
adik cerdik. Tapi di balik kecerdikanmu itu tersembunyi pkiran nakal. Perintah
orang tua tidak boleh diabaikan dengan alasan apapun. Jadi kita tetap harus
memandikan kerbau-kerbau ini sesuai perintah ayah. Nah, sekarang kau mau memilih
mana. Ikut jalan pikiranmu atau taat perintah orang tua..."
Si adik tertawa lebar. "Tentu saja aku memilih taat pada orang tua. Aku senang
punya kakak sebaikmu."
Adisaka ikut tertawa lebar. "Percepat jalan kerbaumu. Matahari sudah tinggi.
Makin cepat kita memandikan kerbau berarti makin cepat kita bisa ke sawah
mencari batang padi untuk puput..."
"Baik Kak, aku ikut katamu saja. Sambil menuju sungai aku ingin kita sama-sama
menyanyikan lagu Kami Anak Desa. Kau mau?" Adisaka mengangguk. Lalu dua anak
kakak adik itu mulai menyanyi di atas punggung kerbau masing-masing.
Kaliurang desa tercinta
Terletak di kaki Gunung Merapi
Di sana kami dilahirkan
Alamnya indah penduduknya ramah
Kami anak desa Bangun pagi sudah biasa
Hawa dingin tidak terasa
Kerja di sawah membuat sehat
Kerja di ladang membuat kuat
Kami anak desa Rajin membantu orang tua
Menolong Ibu di rumah
Membantu Ayah di sawah
Kami anak desa Tidak lupa sembahyang mengaji
Rendah hati dan tinggi budi
Selalu unjukkan jiwa satria.
Dua kakak adik itu terus saja menyanyi-nyanyi hingga akhirnya mencapai satu
pertigaan jalan. Di hadapan mereka kini terbentang daerah persawahan. Untuk
menuju kali kecil tempat mereka biasa memandikan jerbau, keduanya harus membelok
ke kiri. BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Belum selang berapa alam Adisaka dan Adimesa meninggalkan pertigaan jalan tiba-
tiba ada suara menggemuruh keras menggetarkan tanah. Dua ekor kerbau hentikan
lari melenguh keras ketakutan.
Adimesa pegangi leher kerbaunya kuat-kuat. Dengan muka pucat dia memandang pada
kakaknya. "Kak, kau dengar suara aneh di dalam tanah itu?"
"Aku dengar..."
"Apa yang terjadi?"
Adisaka memandang ke langit. Dilihatnya ada awan mendung membuntal di arah
timur. "Agaknya mau turun hujan lebat. Tapi di sebelah sana matahari masih memancarkan
sinarnya yang terik..."
Tanah kembali bergetar. Suara gemuruh terdengar sekali lagi, lebih keras dari
yang tadi. "Kak, aku ingat cerita ayah waktu menidurkan kita. Jangan-jangan naga yang
dirantai mengamuk mau melepaskan diri..." kata Adimesa.
"Aku mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Ada suara kuda meringkik, gaduh
suara ayam, kambing dan ternak lainnya..." Adisaka juga mulai ketakutan.
"Kita pulang saja Kak," kata adiknya.
"Ya, mari kita putar kerbau-kerbau ini. Kita kembali ke desa..."
Baru saja Adisaka berkata begitu tiba-tiba di sebelah utara kelihatan sinar
terang disertai suara menggemuruh seperti ada satu ledakan berangkai di dalam
perut bumi. Dua kakak beradik ini sama-sama memalingkan kepala ke utara dimana
menjulang Gunung Merapi.
"Kakak! Lihat!" Adimesa berteriak. "Ada api menyembur dari puncak gunung!"
"Gunung itu meletus! Gunung Merapi meletus!" teriak Adisaka.
Saat itu udara mulai gelap. Debu kelabu kehitaman menutupi pemandangan. Udara
mulai panas. Dari puncak Gunung Merapi menyembur cahaya merah menggidikkan lalu
ada cairan membara mengucur ke luar dan cepat sekali menebar ke berbagai
penjuru, menuju lereng dan seterusnya ke kaki gunung.
"Kak, kerbau-kerbau kita lari!" bersrru Adimesa ketika dilihatnya dua kerbau
yang tadi hendak dimandikan berlari ketakutan meninggalkan tempat itu. "Aku akan
mengejar!"
"Jangan!" mencegah si kakak. "Udara mulai gelap. Ikuti aku. Kita cari jalan
memintas kembali ke Kaliurang!"
Dua kakak beradik ini lalu lari sekencang yang bisa mereka lakukan. Keduanya
mengalami kesulitan.Bukan saja karena gelapnya udara tapi juga suara gemuruh
dahsyat yang menggoncang tanah dan membuat mereka jatuh terhenyak berulang kali.
"Kak, aku takut!" Adimesa anak berusia empat tahun mulai menangis.
Adisaka cepat memegang tangsn adiknya lslu membawanya lari ke tempat aman. Namun
saat itu udara semakin gelap. Satu-satunya cahaya terang adalah semburan-
semburan sinar dan benda-benda aneh dari mulut gunung. Adisaka berlaku cerdik.
Dia membawa adiknya lari menjauhi cahaya terang itu. Akan tetapi dua anak ini
tak sempat lari jauh karena semburan benda-benda panas membara yang jatuh di
rimba belantara menyebabkan kebakaran hebat luar biasa.
"Api dimana-mana..." ujar Adisaka. "Kita lari ke sungai. Harus ke sungai..."
Kembali Adisaka memegang tangan adiknya erat-erat lalu kembali ke arah sungai.
Namun dua buah batu besar menyala membara menutupi jalan. Di sebelah belakang
muncul suara menggemuruh. Ternyata luncuran lumpur api yang keluar dari mulut
gunung Merapi. Dua anak kecil itu terkurung tak mungkin lari, tak mungkin
menyelamatkan diri. Mereka tinggal menunggu mana yang lebih cepat. Dilahap api
kebakaran atau digulung lumpur menyala!
"Kak...! Aku takut! Aku kepanasan...!" ratap Adimesa. "Kita ... kita mau lari kemana?"
Saat itu mata Adisaka terasa sangat pedih. Dia sulit melihat. Hawa panas
memanggang. Walau takut setengah mati tapi anak ini masih bisa berucap. "Adimesa, jangan
takut! Pasti ada yang menolong kita! Berdoalah! Panggil ayah ibu! Panggil
Tuhan!" Lalu dua anak yang terkurung dalam kitaran kobaran api ini sama-sama berteriak.
"Ayah! Ibu! Tuhan! Tolong kami!"
Suara teriakan mereka ditelan oleh deru kobaran api dan gemeratak pohon-pohon
yang terbakar. Suara dua anak kecl itu tenggelam oleh gemuruh ledakan gunung
yang menggoncang bumi. Dua tubuh kecil ini tak sanggup bertahan. Adimesa jatuh
lebih dulu. Satu patahan batang pohon yang dikobari nyala api entah dari mana
datangnya tiba-tiba melayang turun ke arah sosok si kecil Adimesa yang
tergeletak di tanah. Melihat hal ini Adisaka segera jatuhkan diri di atas tubuh
adiknya untuk melindungi. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya bukan apa-apa dalam
menghadapi batang kayu yang begitu besar dan menyala. Yang ada dalam benaknya
adalah ingin menyelamatkan adiknya walau dirinya sendiri akan mengalami bahaya
yang bakal merenggut jiwanya.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. Dari kobaran
api di samping kiri melesat seekor kuda besar berwarna putih. Bersamaan dengan
itu serangkum angin dahsyat menderu membelah udara. Batang kayu besar menyala
yang hendak menimpa tubuh
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Adisaka dan Adimesa hancur berantakan. Di atas kuda putih, penunggangya seorang
nenek berpakaian serba hitam bermuka seram mengerikan dengan satu gerakan cepat
luar biasa menyambar tubuh Adisaka. Sekali dia menggebrak tali kekang kudanya
maka bersama tunggangannya itu dia menghambur lenyap dari tempat itu.
Hanya sesaat setelah nenek berkuda putih meninggalkan tempat itu dari jurusan
yang hampir bersamaan muncul seekor kuda hitam. Penunggangnya ternyata seorang
kakek berjubah putih. Kobaran api dan tebaran debu menghalangi pemandangannya.
"Jangan-jangan aku datang terlambat. Mungkin nenek satu itu telah mendapatkan
anak itu lebih dulu..." Penunggang kuda hitam membatin. Matanya mulai perih dan
tubuhnya seolah terpanggang oleh kobaran api di sekitarnya. Selagi mencari-cari
kaki kudanya hampir menginjak sosok kecil Adimesa yang tergeletak menelungkup di
tanah. Binatang ini meringkik keras dan hentak-hentakkan kaki depannya sebelah
kanan. Si kakek cepat meneliti ke bawah. Dalam keadaan begitu rupa untuk pertama
kali dia melihat tubuh Adimesa. Tanpa tunggu lebih lama kakek ini segera
membungkuk menyambar tubuh itu lalu secepat kilat menghilang dari tempat
tersebut. BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 11 DUA PULUH tahun kemudian setelah Adimesa diselamatkan oleh kakek berkuda hitam,
di satu tikungan sungai yang arus airnya menderu keras, seorang pemuda
berpakaian biru melompat dari satu potongan bambu ke potongan bambu lainnya yang
bertebaran di atas permukaan air. Ada tujuh potongan bambu dan satu sama lain
saling diikat dengan seutas tali. Di tangan kiri dia memegang setangkai daun
kering berbentuk kipas. Sambil melompat daun kering di tangannya dipukulkan kian
kemari. Ternyata angin yang keluar dari kipas daun ini sanggup mambuat luruh
daun-daun pepohonan rendah di tepi sungai!
Dari apa yang dilakukan oleh pemuda itu jelas dia tengah melatih dua jenis ilmu
silat. Pertama ilmu meringankan tubuh. Seorang pendekar yang ilmu meringankan tubuhnya
tanggung-tanggung saja pasti tidak akan mampu melompat di atas bambu-bambu yang
berada di permukaan air sungai berarus deras dan selalu begerak kian kemari.
Lalu ilmu kedua yang tengah dilatih pemuda ini adalah semacam ilmu mempergunakan
senjata aneh dari daun kering berbentuk kipas tadi dijadikan sebagai senjata
pengganti. Hampir seratus jurus pemuda itu melakukan latihan silat dan agaknya dia tidak
akan berhenti kalau tidak muncul seorang anak memberi tahu bahwa Ki Riku
Pulungan memanggilnya. Si pemuda hentikan latihannya. Sambil melayang dia
menyambar salah satu potongan bambu lalu menyeretnya naik ke daratan. Setelah
menggulung tujuh potong bambu itu dengan tali pengikat dan meletakkannya di
bawah sebatang pohon besar si pemuda merapikan pakaian dan rambutnya lalu cepat-
cepat melangkah ke sebuah pondok terletak di satu tanah ketinggian.
Di dalam pondok telah menunggu seorang kakek berjubah putih. Orang tua ini
memberi isyarat agar si pemuda duduk di hadapannya. Tidak seperti biasanya, kali
ini si pemuda merasa ada debaran aneh di dadanya. Agaknya ada sesuatu hal
penting yang hendak dikatakan orang tua itu padanya.
"Adimesa muridku. Kau mungkin selalu menghitung hari, minggu dan tahun. Sambil
menduga-duga dan berharap-harap kapan aku mengizinkan dirimu boleh meninggalkan
pondok ini. Muridku, ketahuilah, hari ini adalah hari terakhir kau berada di
sini. Besok pagi-pagi sekali, selesai kau melakukakn sembahyang Subuh, kau boleh
meninggalkan tempat ini. Kemana kau akan pergi, apa yang akan kau lakukan
terserah padamu. Namun selalu ingat, setiap langkah yang kau jalani, setiap
perbuatan yang kau lakukan, bahkan setiap ucapan yang kau keluarkan hendaklah
selalu mengingat kepada Dia Yang Maha Besar, Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena
hanya dengan selalu mengingat Gusti Allah saja kita bisa terhindar dari segala
perbuatan yang tidak baik dan terlindung dari marabahaya..."
"Semua ucapan Eyang akan saya ingat baik-baik..." jawab pemuda bernama Adimesa
itu. Dalam hatinya dia merasa gembira karena setelah belasan tahun menunggu akhirnya
dia diperkenankan meninggalkan tempat itu. Namun di balik kegembiraan itu ada
rasa sedih. Belasan tahun dia bersama Ki Riku Pulungan, menerima segala budi
kebaikan, bukan cuma ilmu kesaktian dan ilmu silat tapi juga ilmu keagamaan.
Hingga dia tahu jalan lurus yang harus ditempuhnya demi keselamatan dunia
akhirat. "Sebagai bekal kepergianamu aku akan menyerahkan sebuah senjata padamu. Senjata
ini tidak aku berikan, tapi aku pinjamkan selama tiga tahun. Setelah tiga tahun
kau harus mengembalikannya padaku di pondok ini. Apakah kelak senjata ini akan
kuserahkan padamu lagi atau tidak, belum dapat kuputuskan sekarang..."
Kembali Adimesa merasakan dadanya berdebar. Senjata apa gerangan yang akan
diberikan gurunya saat itu. Selama ini sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu
silat dengan memakai senjata. Yang paling sering dilatihnya adalah ilmu silat
aneh mempergunakan daun kering berbentuk kipas sebagai senjata.
Dari balik pakaiannya Ki Riku Pulungan keluarkan sebuah benda yang ketika
dikembangkan dan diletakkan di hadapan si pemuda ternyata adalah sebuah kipas
lipat memiliki tujuh buah jalur lipatan dan masing-masing jalur berlainan warna.
"Mungkin selama ini kau merasa heran. Bertahun-tahun aku menyuruhmu melatih diri
mempergunakan daun kering. Semua itu lain tidak karena aku sudah merencanakan
bahwa kelak senjatamu adalah benda sederhana ini. Sederhana bentuknya tapi
kehebatannya tidak di bawah keris, pedang ataupun golok. Kipas ini bernama Kipas
Pelangi, dibuat oleh guruku Kiai Wirasaba. Bahan pembuatnya adalah sebuah kipas
juga, bernama Kipas Pemusnah Raga. Ini adalah satu senjata dahsyat yang bisa
membunuh orang semudah kau membalikkan telapak tangan. Karena itu harap kau jaga
baik-baik dan hanya dipergunakan untuk menghancurkan angkara murka, atau dalam
keadaan terdesak menghadapi musuh yang tak bisa dibuat sadar dengan kata-kata
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan nasihat. Ambillah kipas itu Adimesa..."
Si pemuda susun sepuluh jarinya di depan kening. Setelah membungkuk sampai tiga
kali baru dia memberanikan diri mengambil kipas itu. Tetapi astaga! Bagaimanapun
dicobanya mengambil, kipas itu tak sanggup diangkatnya dari atas tikar di
hadapannya. Dalam kejutnya si
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
pemuda menatap ke arah Ki Riku Pulungan. Kakek ini tenang saja. Adimesa kembali
coba mengambil kipas itu. Tetap tidak terangkat. Dia kerahkan seluruh tenaga
luar. Masih tidak bisa.
Kini dikerahkannya tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya jangankan
kipas sekecil itu, batu sampai tiga kali pemelukpun masih bisa diangkat.
Alangkah terkejutnya Adimesa, sampai butiran-butirran keringat memercik di
keningnya dan dua tangannya bergetar hebat, tetap saja dia tidak mampu
mengangkat kipas itu.
Ketika dia memaksa, pemuda ini tersungkur di lantai!
Adimesa cepat duduk bersila. Pakaiannya yang tadi memang sudah basah oleh
keringat sewaktu berlatih di sungai kini menjadi tambah basah.
"Guru, maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak bisa
mengangkat kipas itu."
Ki Riku Pulungan tersenyum. "Muridku, agaknya ada satu hal yang mengganjal di
lubuk hatimu. Hingga kipas itu merasa kurang tenteram untuk kau sentuh..."
"Saya... saya merasa tidak ada ganjalan apa-apa..." jawab Adimesa.
"Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu..." kata sang giuru pula masih tersenyum.
"Tenangkan dulu hatimu baru mulai berpikir."
Si pemuda mengusap mukanya yang keringatan, menenangkan hati, mengatur nafas dan
jalan darahnya. Setelah berpikir beberapa lamanya dia akhirnya berkata.
"Maafkan saya guru. Mungkin ada sedikit rasa sedih di hati saya sewaktu tadi
guru mengatakan bahwa kipas ini hanya dipinjamkan selama tiga tahun. Bukan
diberikan untuk selama-selamanya..."
Senyum menyeruak lagi di mulut sang guru. "Kau menyebut hatimu sedih. Sedih atau
kecewa?" tanya orang tua itu.
"Mungkin... Mungkin dua-duanya..." kata Adimesa mengakui.
"Itu penyebab kau tidak bisa mengangkat kipas," ujar Ki Riku Pulungan. "Kipas
itu walau benda mati tapi tetap saja mempunyai perasaan. Jika kau merasa sedih
atau kecewa maka kipas ini akan merasa tidak tenteram berada di tanganmu. Itu
sebabnya dia tidak mau diangkat, tidak mau ikut bersamamu. Kecuali jika kau
menyadari dan membuang perasaan hatimu yang keliru itu. Kau sekali-kali tidak
boleh berkecil hati karena kipas itu hanya kupinjamkan. Padahal itu cuma satu
ujian bagimu. Dapat tidak kau memiliki senjata ini untuk selama-lamanya
tergantung pada dirimu sendiri. Bagaimana kau menjaganya, bagaimana kau
mempergunakannya..."
"Guru, kalau begitu saya mohon maaf sebesar-besarnya." Adimesa susun sepuluh
jari di atas kepala lalu membungkuk dan berucap. "Kipas Pelangi, maafkan diriku.
Aku mengaku bersalah karena memiliki hati yang tidak lurus terhadapmu. Aku
berjanji akan menjagamu baik-baik, mempergunakanmu secara baik-baik dan dengan
ikhlas akan mengembalikanmu pada guruku Ki Riku Pulungan di masa tiga tahun
mendatang."
"Sekarang coba kau ambil kipas itu," kata Ki Riku Pulungan pula.
Walau agak gemetar, tapi kini dengan hati mantap tanpa ganjalan lagi Adimesa
ulurkan tangannya. Begitu jari-jarinya menyentuh kipas, ada semacam hawa sejuk
menjalar memasuki tubuhnya. Ketika kipas diangkat, ternyata kipas itu jauh lebih
ringan dari kipas daun yang selama ini dibuatnya untuk latihan! Adimesa mencium
kipas itu dengan penuh perasaan, lalu diletakkannya di atas pangkuan.
Ki Riku Pulungan tertawa lebar. Dipegangnya bahu Adimesa seraya berkata. "Aku
harapkan di masa tiga tahun mendatang, Kipas Pelangi itu bisa berjodoh dengan
dirimu..."
"Terima kasih guru. Saya mohon maaf kalau selama bersama guru, saya banyak
membuat kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati guru. Hanya
sebelum pergi saya ingin menanyakan lagi, ingin meminta kejelasan mengenai diri
saya..." Ki Riku Pulungan usap jangut pendeknya. "Seperti yang pernah kuceritakan padamu,
aku tidak dapat mencari tahu siapa adanya kedua orang tuamu. Aku hanya bisa
menduga kau berasal dari sebuah desa di kaki selatan Gunung Merapi. Mungkin
sekali desa Kaliurang. Aku pernah menyuruh orang menyelidik ke sana. Tapi desa
itu telah lenyap, berubah menjadi hutan jati.
Mungkin kau perlu menyelidik sendiri..."
Adimesa terdiam sejenak. "Guru, seperti pernah saya katakan pada guru, saya
ingat sekali kalau saya punya seorang kakak laki-laki bernama Adisaka. Waktu
bencana gunung Merapi meletus itu saya ada bersamanya. Saat itu kami dalam
perjalanan ke sungai hendak memandikan kerbau..."
"Muridku, waktu kejadian itu kau masih berusia empat tahun. Apakah kau merasa
pasti ingatanmu tidak keliru?"
"Saya merasa yakin guru. Kakak saya bernama Adisaka. Dia bersama saya waktu
Merapi meletus. Kami berdua terkurung api..."
Ki Riku Puilungan merenung mengingat-ingat. Pikirannya kembali pada peristiwa
sekitar delapan belas tahun silam. "Terus terang dalam rimba persilatan tersiar
kabar tentang diri kalian dua bersaudara. Dikabarkan, salah satu dari kalian
memiliki susunan tubuh luar biasa sempurna, yang tidak dimiliki kebanyakan anak-
anak lainnya. Karena itu diam-diam banyak orang pandai
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
yang mengincar salah satu dari kalian, ingin mengambil menjadikan murid. Hanya
saja saat itu kabarnya agak sulit diketahui secara pasti, yang mana di antara
kalian berdua benar-benar memiliki susunan tubuh sempurna itu. Tapi aku sendiri
tanpa diketahui lain orang sudah mengetahui bahwa dirimulah yang memiliki
kesempurnaan itu."
"Di antara sekian banyak orang para tokoh rimba persilatan yang menginginkan
dirimu adalah aku sendiri dan seorang nenek sakti yang kurang baik perangainya
dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati. Selama beberapa waktu aku mengintai
semua perilaku kalian berdua, kebiasaan kalian. Dimana kalian bermain dan apa
saja yang kalian lakukan. Agaknya hal ini bukan cuma aku yang melakukan tapi
juga dikerjakan oleh nenek itu. Ketika aku sampai pada satu hari memutuskan
untuk mengambil dirimu ternyata nenek itu juga memilih hari yang sama.
Kami tahu hari itu kau dan saudaramu akan memandikan kerbau di kali. Tapi tidak
terduga terjadi bencana. Gunung Merapi meletus. Aku dan si nenek berebut cepat
berusaha mencarimu.
Ketika berada di dalam rimba belantara yang terbakar dan siap digulung lumpur
menyala, kau kutemukan tertelungkup di tanah dalam keadaan pingsan..."
"Hanya saya sendiri?"
"Hanya kau sendiri. Saudaramu tidak ada di sana..."
"Aneh," kata Adimesa sambil mengingat-ingat. Saya ingat betul waktu itu saya
bersama kakak Adisaka. Dia berusaha menyelamatkan saya. Kami mencari jalan untuk
selamatkan diri!
Mungkin kakak saya diambil oleh nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu..."
"Tidak dapat kupastikan..."
"Mungkin saya perlu menyelidik dimana nenek itu berada. Dari dirinya siapa tahu
saya bisa mendapat keterangan tentang kakak saya..."
"Manusia itu bukan saja sulit dicari tapi ada kabar bahwa dia telah meninggal
dunia sekitar lima tahun lalu..."
"Mungkin akan sulit bagi saya mencari jejak kakak. Tapi selama hayat dikandung
badan saya akan mencarinya sampai kemanapun."
Ki Riku Pulungan mengangguk. "Itu satu pekerjaan luhur yang harus kau lakukan,
muridku. Sekarang bersihkan dirimu, ganti pakaianmu. Sebentar lagi saatnya untuk
menunaikan sholat Lohor."
Adimesa mengambil Kipas Pelangi dari pangkuannya. Setelah membungkuk memberi
hormat pada sang guru dia masuk ke dalam kamarnya di bagian belakang pondok.
>>>>>>>>>>
SETELAH mendengar kisah yang dituturkan Pendekar Kipas Pelangi itu, Wiro coba
mengingat-ingat. Kalau benar dia selama dua tahun berada di Negeri Latanahsilam,
berarti satu tahun sebelum itulah dia bertemu dengan orang tua bernama Riku
Pulungan itu. Wiro jadi tersenyum sendiri ketika dia ingat bagaimana dia
mengatakan pada kakek itu sebagai seorang pemulung karena sewaktu ditemui dia
tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas. Dia kembali tersenyum begitu ingat bahwa
Kipas Pemusnah Raga itu pernah dihancurkannya dengan pukulan Sinar Matahari
sewaktu terjadi perkelahian dengan pemuda bernama Handaka alias Dipasingara
alias Warangas yang berjuluk Hidung Belang Berkipas Sakti.
Melihat Wiro senyum-senyum seperti itu perasaan Adimesa kembali jadi tidak enak.
Dalam hati dia membatin. "Pendekar ini benar-benar aneh. Aku bercerita panjang
lebar. Dia hanya tersenyum-senyum..." Akhirnya pemuda ini berdiri dari batu yang
didudukinya. "Sahabat Pendekar 212, aku terpaksa meninggalkanmu. Sebelum pagi
tiba, aku harus berada di satu tempat... Aku mohon bantuanmu, jika kau mendengar
ihwal kakakku Adisaka agar memberi tahu aku..."
"Akan aku lakukan, tapi dimana aku bisa mencarimu?" tanya Wiro.
"Kau benar. Memang sulit juga bagi kita orang-orang rimba persilatan kalau tidak
membuat janji. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di satu tempat. Kau boleh
memilih tempat dan waktunya...'
"Kau saja yang menentukan..." ujar Wiro.
"Baiklah," Pendekar Kipas Pelangi berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kita
bertemu di tempat ini lagi lima purnama dari sekarang?"
"Setuju!" kata Wiro.
"Aku pergi sekarang. Selamat tinggal..."
"Tunggu dulu. Aku mau memastikan. Katamu tadi kita berada di Teluk Penanjung dan
kawasan ini adalah kawasan Pangandaran..."
"Kau tak usah meragukan keteranganku sahabat Wiro. Ada lagi yang hendak kau
tanyakan?"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Wiro menggaruk kepala. "Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih
sekali lagi atas pertolonganmu menyelamatkan diriku..."
"Lupakan hal itu. Kalau kau selalu mengingat maka itu akan menjadi beban
bagimu..."
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Dia ingat ucapan Riku Pulungan sewaktu
mereka bertemu di Teluk Segara Anakan beberapa tahun yang silam. Kelak jika dia
berumur panjang dia akan melihat kembali Kipas Pemusnah Raga yang telah hancur
berantakan itu dalam bentuk lain. Ternyata ucapan itu memang terbukti. Murid si
kakek yang bernama Adimesa muncul membawa Kipas Pelangi.
Tak lama setelah Adimesa meninggalkan tempat itu hari mulai terang-terang tanah.
"Aku akan menunggu sampai pagi tiba. Jika benar aku berada di teluk Penanjung,
pasti aku bisa menemukan jurang itu. Aku harus yakin, sosoknya samar-samar
kulihat itu benar-benar Pangeran Matahari. Dulu di kawasan ini dia terlempar ke
dalam jurang. Apa mungkin dia masih hidup" Atau rohnya yang tadi kulihat?"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 12 Sejak pagi hampir setengah harian murid Eyang Sinto Gendeng duduk di pinggiran
jurang batu karang di Teluk Penanjung itu. Dia hanya menghadapi kesunyian, tak
ada yang bergerak, tak ada satu makhluk hiduppun yang kelihatan. Sebagian besar
dari batu karang di jurang itu telah diselimuti lumut.
"Tak ada maakhluk hidup. Lebih dari dua tahuin lalu Pangeran Matahari kuhantam
jatuh ke dalam jurang ini. Mustahil dia bisa selamat. Kalaupun dia tidak mati
sampai di dasar jurang, tidak masuk akal kalau dia bisa merayap naik selamatkan
diri. Makhluk yang kulihat tadi, mungkin rohnya. Atau mungkin hanya bayangan
alam pikiranku saja..." Wiro memandang ke langit. Sang surya mendekati titik
tertingginya. Saat itu baru dia merasakan betapa panasnya sengatan matahari.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Tanpa setahu Wiro, di satu mulut goa yang tertutup rapat semak belukar serta
terhalang oleh gundukan batu karang yang menonjol, sejak petama dia berada di
sana, sejak saat itu pula sepasang mata berbola mata pipih aneh memperhatikannya
hampir tidak berkesip. Inilah sepasang mata makhluk berkepala singa yang dikenal
dengan nama Singo Abang. Sesekali dia berpaling ke dalam goa memperhatikan sosok
berpakaian hitam yang masih tergeletak pingsan di lantai batu.
"Pangeran Miring, masih pingsan dia. Kalau dia siuman aku akan memaksa dia
memberi keterangan. Aku sudah cukup lama menunggu..." Makhluk berkepala singa
memandang ke arah tepi jurang di atas sana. "Kalau saja Momok Dempet celaka itu
tidak muncul aku pasti sudah dapatkan Kapak Naga Geni 212 miliknya. Apa yang
dilakukan Pendekar 212, hampir setengah harian duduk di tepi jurang.
Menyelidik?"
Di belakangnya terdengar suara orang mengerang pendek. Singo Abang berpaling.
Dilihatnya tubuh Pangeran Miring begerak. Singo Abang segera mendatangi. Setelah
memperhatikan sejenak dia lalu membentak.
"Pangeran Miring, aku tahu kau sudah siuman. Jangan berpura-pura masih pingsan!"
Sosok Pangeran Miring diam saja. Singo Abang jadi marah. Dijambaknya rambut
awut-awutan Pangeran Miring lalu disentakkannya ke atas. Begitu tubuh Pangeran
Miring terangkat langsung didorongnya ke dinding goa. "Kau dalam keadaan terluka
parah di sebelah dalam.
Kalau aku tidak mengobati umurmu paling lama hanaya tinggal tiga hari..."
Dua mata Pangeran Miring terbuka sedikit, lalu mengatup kembali. "Kau bunuh aku
sekarangpun aku tidak takut!"
"Pangeran jahanam! Jangan bersikap takabur! Aku tahu kau takut mati! Apa kau
masih belum mau mengatakan dimana beradanya Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Wasiat
Malaikat" Salah satu dari kitab sakti itu pasti ada padamu. Dimana kau
sembunyikan"!"
Pangeran Miring menyeringai. Tangannya bergerak ke balik pakaian. "Kau inginkan
dua kitab itu" Ambillah!" dari balik pakaian hitamnya. Pangeran Miring keluarkan
setumpuk lembaran-lembaran daun kering disusun demikian rupa seperti sebuah
kitab. Di sebelah depan kitab itu tertera tulisan "Kitab Wasiat Iblis". Di
sebelah belakang ada tulisan berbunyi "Kitab Wasiat Malaikat". Di sebelah dalam
kitab daun itu tak ada sepotong tulisanpun.
"Jahanam kurang ajar!" Singo Abang tak dapat menahan amarahnya. Kitab daun itu
dirampasnya lalu dilemparkannya ke dinding. Sebagian dari daun-daun itu hancur
bertaburan sebagian lagi menancap di dinding karang yang keras!
Pangeran Miring tertawa gelak-gelak. Tapi suara tawanya lenyap begitu Singo
Abang membenturkan kepalanya ke dinding. Begitu jambakan dilepas Pangeran Miring
melosoh ke lantai goa, kembali pingsan tak sadarkan diri.
Singo Abang kembali ke muluit goa. Memandang ke atas jurang Pendekar 212 Wiro
Sableng tak kelihatan lagi di tempatnya semula.
>>>>>>>>>>
Malam itu pantai selatan diselimuti ketenangan. Ombak besar yang biasanya sering
berdebur keras dan memecah di pantai kini hanya muncul sekali-sekali. Di langit
bulan setengah lingkaran memancarkan cahayanya yang sejuk sementara bintang-
bintang bertaburan berkelap-kelip menambah indahnya pemandangan.
Di sebuah tanjung yang menjorok cukup jauh ke tengah laut empat bayangan
berkelebat. Gerakan mereka cepat sekali. Hampir tak dapat dipercaya karena mereka ternyata
adalah empat orang gadis cantik berpakaian hitam sangat ketat hingga lekuk-lekuk
tubuh mereka kelihatan dengan nyata. Dalam waku singkat mereka sudah sampai di
ujung tanjung. Seperti memang sengaja menunggu di tempat itu, tampak berdiri seorang perempuan
tinggi semampai, mengenakan pakaian berlapis manik-manik hingga berkilauan di
bawah sapuan BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
cahaya rembulan setengah lingkaran. Angin laut meniup belahan tinggi di kedua
sisi pakaian hingga tersibak sampai ke pinggul, menyembulkan aurat yang putih
mulus. Perempuan bertubuh elok berambut hitam panjang ini tegak memandang ke
tengah laut lepas, membelakangi empat gadis cantik yang mendatanginya.
Walaupun tegak membelakangi mereka namun empat gadis tadi menjura memberi
penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.
"Ratu, kami datang membawa kabar."
"Kalian berhasil menemui orang itu?" bertanya orang yang dipanggilnya Ratu. Dia
masih saja tegak membelakangi memandang ke laut.
"Kami melihatnya di sekitar runtuhan Candi Pawan..."
"Seorang diri?"
"Betul. Dia hanya sendirian."
"Apa yang dilakukannya di sana?"
"Tak jauh dari Candi Pawan ada beberapa deret kuburan. Dia pergi kesana,
memeriksa kuburan satu persatu. Ketika kami pergi dia masih berada di sana. Dua
orang teman kami masih ada di sekitar situ, berjaga-jaga mengawasi orang itu."
Perempuan bertubuh elok memutar diri. Empat gadis kembali membungkuk memberi
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghormatan. Perempuan ini ternyata seorang gadis berwajah luar biasa
cantiknya. Bola matanya berwarna biru. Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil
terbuat dari kerang berwarna merah. Di tangan kanan dia memegang gagang sebuah
cermin bulat yang didekapkan ke dada.
Setelah pandangi empat gadis di depannya dia lalu mendekatkan cermin ke
wajahnya. Bukan untuk memperhatikan wajah tapi meneliti sesuatu di kejauhan.
"Aku melihat Candi Pawan..." gadis bermahkota yang dipanggil dengan sebutan Ratu
berkata perlahan seolah memberitahu pada empat gadis di depannya. "Aku melihat
dua kawan kalian mendekam di balik satu pohon besar. Aku tidak melihat gadis
itu... Tunggu dulu. Ada sesuatu bergerak dekat kuburan paling ujung. Bidadari
Angin Timur. Hemm.... Memang dia...
Gadis itu masih berada di pekuburan. Kalian boleh kembali. Bawa cermin sakti
ini. Aku akan segera menuju Candi Pawan..."
"Ratu, kami tunduk pada perintahmu. Tapi bukankah lebih baik kami mengawalmu..."
"Tidak usah. Lagi pula dua kawanmu masih ada di sana." Gadis bermata biru
serahkan cermin bulat pada salah seorang gadis.
"Ratu, cermin itu mungkin berguna jika dibawa. Siapa tahu terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan..."
"Tidak usah. Kalian bawa saja. Letakkan dalam kamarku. Kalian boleh pergi
sekarang."
"Ratu, kami tidak berani melawan perintahmu," gadis di samping kiri berkata.
"Tapi kami benar-benar sangat kawatir bilamana Ratu berada di luaran tanpa
cermin itu."
Gadis yang dipanggil dengan sebutan Ratu tersenyum.
"Mungkin kalian benar. Baiklah, cermin ini akan kubawa serta. Sekarang kalian
boleh tinggalkan tempat ini."
Empat gadis cantik berpakaian hitam ketat serentak membungkuk lalu berlari cepat
ke ujung tanjung. Satu persatu mereka mencebur masuk ke dalam laut!
Siapakah adanya gadis bermahkota bermata biru dan empat gadis yang barusan masuk
lenyap ke dalam laut" Dalam rimba persilatan tanah Jawa gadis bermata biru itu
dikenal sebagai Ratu Duyung. Seorang gadis sakti mandraguna yang bisa hidup di
dua alam yakni laut dan daratan. Empat gadis tadi adalah anak buah atau
pengawalnya. (Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Wasiat Iblis" terdiri dari 8 Episode).
Setelah empat anak buahnya masuk ke dalam laut, Ratu Duyung tidak segera
tinggalkan tempat itu. Dia merenung sejenak. Menyambung-nyambung semua hasil
penyelidikan yang dilakukan anak buahnya. Lalu dalam hati dia membatin.
"Bidadari Angin Timur... Sejak beberapa bulan terakhir ini dia terlihat muncul di
beberapa tempat. Melakukan kesibukan-kesibukan yang sulit diduga. Sejak Pendekar
212 Wiro Sableng lenyap tak diketahui rimbanya dia sering-sering muncul di
kawasan selatan. Agaknya dia mengetahui sesuatu. Dulu aku menaruh curiga jangan-
jangan dirinya ada sangkut paut dengan lenyapnya Wiro. Kini bukan mustahil
kecurigaanku menjadi kenyataan. Candi Pawan jarang didatangi orang. Kuburan yang
diselidiknya adalah kuburan tua. Ada apa gadis itu berada di sana, malam-malam
begini dia sengaja mendahului rencana pertemuan yang sudah ditetapkan..."
Ratu Duyung selipkan cermin bulatnya di balik celah pakaian di sebelah samping
kiri. Lalu sekali berkelabat sosoknya pun lenyap dari tempat itu.
Candi Pawan tidak berapa jauh letaknya dari kawasan pantai selatan. Dalam waktu
tidak berapa lama Ratu Duyung telah sampai di reruntuhan candi itu. Di balik
dinding candi sebelah timur dia keluarkan suara seperti kicau burung. Dua orang
gadis yang mendekam di balik pohon besar saling berbisik. "Ratu telah datang..."
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Sekali lagi terdengar suara kicau burung. "Ratu memberi tanda. Kita boleh pergi
dari sini..." Dua gadis di balik pohon tanpa suara dan tersamar oleh kegelapan
malam segera tinggalkan tempat sejak tadi mereka bersembunyi.
Dari balik runtuhan candi, Ratu Duyung memandang ke arah pekuburan. Seorang
gadis berpakaian biru melangkah mundar-mandir di antara deretan kuburan-kuburan
tua yang hampir sama rata dengan tanah dan tak satu pun memiliki nisan. Gadis
ini memiliki rambut berwarna pirang yang melambai-lambai ditiup angin malam.
Tubuh, pakaian dan rambutnya menebar bau harum mewangi. Sambil berjalan
pikirannya diputar dan hatinya membatin.
"Tidak ada kuburan baru di tempat ini. Berarti kalau memang dia sudah meninggal,
tidak mungkin dimakamkan di tempat ini."
Selagi berpikir dan membatin seperti itu tiba-tiba telinga si gadis menangkap
suara kicau burung. Dia memandang berkeliling, memperhatikan pepohonan yang ada
di sekitar reruntuhan Candi Pawan.
"Aneh... Ada suara burung di malam hari." Membatin gadis di tengah kuburan. "Aku
menaruh firasat ada orang mengawasi gerak gerikku. Hemmm... Aku yakin dia bukan
bangsa penjahat... Biar kupancing dia keluar dari tempat persembunyiannya!"
Dengan tenang gadis itu kembali melangkah di antara makam-makam tua. Di hadapan
sebuah kuburan dia berhenti. Kaki kanannya bergerak menendang.
"Braakkk!"
Tanah kuburan mental berantakan. Si gadis hunjamkan tumitnya ke atas makam.
"Braaaakkkk!"
Kuburan tua itu jebol sampai dua jengkal. Sebuah lobang terkuak menganga. Lalu gadis berbaju biru ini membentak.
"Orang di dalam makam! Tak ada gunanya terus bersembunyi! Lekas keluar! Atau kau
ingin kukubur hidup-hidup!"
Si gadis menunggu. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tak ada yang muncul.
"Kau memang minta mati!" Gadis berbaju biru kembali berteriak. Tangan kanannya
diangkat ke atas, membuat gerakan siap untuk menghantam satu pukulan dahsyat.
Tetap saja tak ada yang muncul. "Kurang ajar! Pengintai gelap itu tidak termakan
pancinganku!"
Baru saja si gadis berkata begitu, dari balik reruntuhan Candi Pawan terdengar
suara tawa berderai. Lalu muncul sesosok tubuh berpakaian bermanik-manik,
melangkah tenang mendatangi gadis berambut pirang.
Gadis cantik di tengah kuburan terkejut dan merah padam wajahnya ketika melihat
siapa yang muncul dan mendatanginya. Belum sempat dia menegur, orang itu telah
menyapa lebih dulu.
"Sahabatku Bidadari Angin Timur, malam-malam berada di tengah kuburan, di
kawasan terpencil begini rupa. Apakah yang tengah kau perbuat?"
Bidadari Angin Timur tenangkan hatinya. Dia tersenyum, membuat munculnya lesung
pipit di ppinya kiri kanan.
"Ratu Duyung!" seru Bidadari Angin Timur. "Aku juga punya pertanyaan yang sama.
Gerangan apa malam-malam begini kau keluar dari laut kediamanmu, mendatangi
kuburan. Apakah malam ini terlalu panas hawa di dalam laut. Apakah tidak ada tempat yang
lebih indah dari pekuburan ini hingga kau sampai tersesat kemari?"
Walau maklum dirinya diejek tapi Ratu Duyung tetap simpulkan senyum. "Kita
mempunyai kepentingan yang sama, mengapa saling bersandiwara" Bukankah hari
pertemuan untuk membicarakan lenyapnya Pendekar 212 hanya tinggal beberapa hari
di muka. Tapi agaknya kau telah bertindak mendahului kesepakatan..."
"Jangan kau salahkan diriku. Beberapa di antara kita juga telah mulai menyalahi
aturan. Termasuk dirimu..." kata Bidaari Angin Timur pula.
"Tidak ada gunanya saling melemparkan kecurigaan. Kita kehilangan orang yang
sama. Bukankah lebih baik saling bekerja sama memecahkan rahasia lenyapnya pendekar
itu?" "Usulanmu baik sekali. Tapi di masa yang sudah-sudah kau selalu menyalahi
aturan..."
"Sahabatku Bidadari Angin Timur. Waktu berjalan maju, bukannya mundur. Apa
untungnya mengungkit-ungkit masa lalu?"
"Sahabatku Ratu Duyung, kau masih saja pintar bicara seperti dulu. Baiklah, aku
tidak mau bertengkar mulut denganmu. Biar aku meninggalkan dirimu dan kita
bertemu lagi beberapa hari di muka dengan para sahabat lainnya, sesuai
perjanjian."
Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.
Ratu Duyung menghela nafas dalam. "Kukira hatinya benar-benar polos terhadapku.
Agaknya dia masih menyimpan ganjalan..." Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu
Duyung melirik ke arah kuburan yang jebol akibat injakan kaki Bidadari Angin
Timur tadi. Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini
membentuk lobang itu dilihatnya bergerak-gerak. Ratu Duyung bungkukkan badannya
sedikit. Memperhatikan tak berkesip. Tiba-
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam kuburan. Ratu Duyung terpekik keras.
Nyawanya seperti terbang dan tubuhnya laksana dilontarkan sampai tiga langkah ke
belakang! T A M A T Episode Berikutnya :
TIGA MAKAM SETAN
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Panji Tengkorak Darah 1 Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Riwayat Lie Bouw Pek 14
Tak selang berapa lama, di bailk serumpunan semak belukar lebat dilihatnya
seorang perempuan duduk menjelepok di tanah. Keadaannya mengenaskan sekali.
Pakaiannya bukan saja lusuh dan kotor tapi juga banyak robekan. Rambutnya yang
panjang tergerai awut-awutan.
"Aku tak dapat melihat wajahnya. Dua tangan dipakai menutupi muka. Perutnya...
Astaga! Besar. Perempuan yang menangis itu sedang hamil. Paling tidak sekitar
enam bulan..."
Suara tangisan berhenti. Sosok perempuan yang tadi duduk di tanah tiba-tiba
melesat ke atas dalam satu gerakan melompat yang cepat.
"Srettt!"
Sebilah pedang berkilat tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanan perempuan
hamil. Karena mukanya tidak lagi tertutup maka Suramanik kini dapat melihat wajah
perempuan itu. Ternyata dia masih sangat muda. Walau wajahnya kotor dan pucat namun
kecantikannya tidak dapat disembunyikan. Sepasang mata perempuan hamil ini
membelalak, memandang berputar.
Air mukanya berubah beringas. Rahangnya menggembung. Dia menyeringai lalu satu
jeritan dahsyat keluar dari mulutnya. Pedang di tangan kanan dibabatkan beberapa
kali. Semak belukat rambas bertebaran.
"Mampus! Mampus kau Handaka! Kau harus mampus di tanganku!"
"Kasihan sekali! Hamil dalam keadaan tidak waras," kata Suramanik dalam hati.
"Dari gerakan tangan dan kiblatan pedang agaknya perempuan ini memiliki
kepandaian silat tidak rendah. Siapa dia adanya" Siapa pula orang bernama
Handaka yang seperti hendak dicincangnya.
Apakah aku harus mendatanginya. Tapi gerakannya berbahaya sekali. Salah-salah
aku bisa dibabat sambaran pedangnya!"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Selagi Suramanik tertegun tidak tahu apa yang mau dilakukan tiba-tiba perempuan
hamil tadi kembali berteriak. Habis berteriak dia menghambur lari, cepat
sekali., ke jurusan satu pedataran diapit bukit-bukit tandus dia arah selatan
yakni arah Teluk Segara Anakan.
Suramanik terkejut menyaksikan.
"Dugaanku tidak meleset. Perempuan hamil itu memang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Ilmu larinya bukan sembarangan. Kencang sekali! Hanya beberapa kali
berkelebat dia sudah berada di ujung sana!" Suramanik menunggu sesaat lalu naik
ke atas punggung kudanya mulai menguntit mengikuti perempuan hamil tadi.
Siapakah adanya perempuan hamil berotak tidak waras itu" Dia bukan lain adalah
Wulandari, murid mendiang Eyang Wulur Pamenang yang telah terbujuk rayuan
Handaka alias Warangas alias Dipasingara hingga gadis ini mau menyerahklan
kehormatannya. Padahal sebenarnya dia telah ,mempunyai seorang kekasih, seorang
pemuda bernama Sanjaya yang merupakan murid tertua Eyang Wulur Pamenang.
Selagi mengikuti Wulandari, Suramanik tiba-tiba melihat tiga oarng berlari
kencang mendatangi dari kejauhan. Suramanik kerenyitkan kening.
"Kalau bukan orang-orang rimba persilatan mereka tidak mungkin berada di tempat
ini. Lari mereka seperti angin..."
"Berhenti!" Salah seorang dari tiga orang yang berlari berteriak. Sesaat
kemudian ke tiganya sudah berkelebat, memotong jalan di depan kuda Suramanaik.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 8 Maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan orang-orang bukan sembarangan,
Suramanik serta merta tarik tali kekang kuda. Begitu kuda berhenti dia segera
memperhatikan tiga orang di hadapannya. Yang pertama seorang pemuda berpakaian
putih berambut gondrong.
Lalu seorang kakek berwajah putih banyak keriput. Yang ke tiga seorang pemuda
berwajah gagah tapi pucat, pakaiannya tampak lusuh dan kotor. Di atas punggung
kudanya Suramanik duduk tak bergerak. Dia menunggu sambil memperhatikan penuh
waspada. "Bukan dia..." berkata pemuda berambut gondrong.
"Memang bukan murid celaka itu," menyahuti si orang tua.
"Ki sasak bertiga. Jika kalian bertiga tidak punya kepentingan, harap menghindar
dari hadapan kuda. Aku ada keperluan lain." Suramanik akhirnya angkat bicara
menegur. "Harap maafkan," yang bicara adalah pemuda bermuka pucat sementara pemuda
gondrong tenang-tenang saja sambil rangkapkan tangan di depan dada. "Kami kira
kau adalah orang yang tengah kami cari. Bapak, apakah Teluk Segara Anakan masih
jauh dari sini?"
"Tak seberapa jauh lagi. Di ujung sana," jawab Suramanik. Dia perhatikan pemuda
berambut gondrong sejurus lalu ajukan pertanyaan. "Kalian bertiga ini siapa
adanya" Siapa pula orang yang tengah kalian cari?"
Kakek muka putih keriput keluarkan sebatang rokok kawung, diselipkan ke sela
bibir lalu meraba-raba pakaiannya. "Ah, sial sekali. Batu apiku entah kemana!
Mulutku bakalan asam seharian ini!" Si kakek cabut rokok kawungnya lalu bicara
perkenalkan diri.
"Si tua buruk rongsokan ini bernama Jagat Kawung. Pemuda di sampingku ini
bernama Sanjaya. Bocah gondrong itu Pendekar 212 Wiro Sableng..."
"Astaga! Kiranya aku berhadapan dengan orang-orang gagah bernama besar! Harap
maafkan aku yang tidak melihat tingginya gunung!" Suramanik cepat-cepat melompat
turun dari kudanya lalu membungkuk memberi penghormatan.
Jagat Kawung menyeringai. "Kau sendiri siapakah adanya?" Tanya orang tua ini
kemudian. "Ah, ah..." Suramanik semula tidak mau menatakan siapa dirinya. Hendak memberitahu
bahwa dia dulunya adalah Kepala Pengawal Kadipaten Gombong dia merasa sungkan.
Tapi akhirnya dia bicara juga. "Namaku Suramanik. Aku berasal dari gombong."
"Gombong... Gombong... Gombong..." Jagat Kawung mengulang-ulang. "Apa kau pernah
mendengar peristiwa menggegerkan di sana beberapa waktu lalu?"
Suramanik merasakan dadanya berdebar. "Peristiwa apa maksudmu orang tua?"
"Istri Adipati Gombong berbuat serong dengan pemuda berkepandaian tinggi yang
jadi Kepala Pengawal. Adipati tewas dalam perkelahian dengan Kepala Pengawalnya
tiu. Sang istri kemudian msnikam dada bunuh diri."
Suramanik menatap wajah ke tiga orang itu berganti-ganti. Sebenarnya dia sudah
mengetahui peristiwa itu. Justru saat itu dia tengah mencari si pembunuh Adipati
Gombong itu. Dia berpaling pada Sanjaya dan berkata. "Orang muda, tadi kau mengatakan tengah
mencari seseorang. Dari pembicaraan agaknya tujuan kalian adalah Teluk Segara
Anakan. Siapakah orang yang kalian cari" Terus terang aku sendiri juga tengah
mencari seseorang."
"Orang yang kami cari meemiliki beberapa nama. Menyamar dalam berbagai sosok.
Tapi orangnya tetap satu. Manusia jahanam itu bernama Dipasingara alias Handaka
alias Prana..."
Berubahlah wajah Suramanik mendengar keterangan Sanjaya itu. Sebenarnya dia
ingin bertanya mengapa ke tiga orang tersebut mencari Dipasingara. Suaranya
bergetar ketika dia berkata.
"Kita mencari orang yang sama. Sayang waktuku tidak banyak. Tapi ada baiknya aku
memberi keterangan sedikit. Aku adalah bekas Kepala Pengawal Kadipaten Gombong!
Suatu ketika muncul seorang pemuda mengaku bernama Dipasingara. Dia inginkan
jabatanku dengan cara menantang berkelahi. Jika aku dikalahkannya maka aku harus
menyerahkan jabatanku padanya. Sayangnya Adipati Kebo Panaran termakan oleh
sikap perbuatan dan ucapan pemuda itu. Aku tak mungkin mengelakkan tantangannya.
Kami melakukan adu kekuatan. Pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Aku
kalah. Jabatanku hilang dan aku terpaksa angkat kaki dari Gombong. Kemudian aku
mendengar berita menyedihkan seperti yang sudah kalian ketahui.
Adipati Kebo Panaran tewas di tangan Dipasingara. Istrinya menemui ajal bunuh
diri." Suramanik diam sebentar lalu berkata. "Saudara bertiga, aku terpaksa
meninggalkan kalian."
Si gondrong Wiro yang merasa tidak enak melihat sikap orang, untuk pertama
kalinya membuka mulut. "Sobat berkumis, kau kelihatan kesusu. Ada apakah?"
Kalau orang lain yang bertanya seperti itu mungkin Suramanik akan meradang
tersinggung. Tapi karena dia tahu siapa adanya pemuda berambut gondrong yang
menyandang julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ini maka dia menjawab apa
adanya. "Ketika kalian menghadang sebenarnya aku tengah mengikuti seorang perempuan muda
aneh mengenaskan."
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
"Aneh bagaimana?" Sanjaya yang bertanya.
"Otaknya tidak waras. Perutnya gendut hamil. Dia tadi lari ke jurusan sana..."
Suramanik menunjuk ke arah timur.
"Pasti Wulandari!" kata Sanjaya setengah berteriak. "Aku punya firasat buruk
sejak tadi pagi. "Muka pemuda ini tambah pucat. Dia memandang pada Wiro dan si
kakek. Lalu tanpa tunggu lebih lama dia menghambur lari ke arah timur yang
ditunjuk Suramanik. Wiro dan Jagat Kawung segera mengejar. Suramanik melompat
naik ke atas punggung kudanya lalu menggebrak binatang ini mengikuti orang-orang
itu. Tak selang berapa lama rombongan itu sampai di sebuah teluk. Ombak besar
bergulung-gulung memecah di pantai.
"Ini Teluk Segara Anakan!" menerangkan Suramanik. "Ada sebuah goa di sekitar
sini. Belakangan ini kabarnya Dipasingara sering berada di tempat itu..."
"Kita cari goa itu sekarang juga!" kata Sanjaya.
Ketika orang-orang itu hendak bergerak Pendekar 212 angkat tangannya memberi
isyarat. "Tunggu... Apakah kalian tidak mendengar suara lelaki tertawa diseling jeritan-
jeritan perempuan..."
Semua orang menatap Wiro tapi diam-diam memasang telinga. Wajah tua Jagat Kawung
berubah. "Suara tawa lelaki itu. Aku kenal betul. Itu suara tertawanya si
keparat murid murtad Warangas! Datangnya dari balik gundukan karang besar
sebelah sana..."
"Mari kita menyelidik!" kata Sanjaya yang sejak tadi sudah tidak sabaran lalu
mendahului berkelebat ke arah sederet bukit karang. Wiro dan Jagat Kawung
menyusul. Suramanik mengikuti.
Semakin dekat ke deretan bukit karang semakin jelas terdengar suara tawa. Suara
jeritan perempuan lenyap, berganti dengan bentakan-bentakan keras.
"Handaka manusia keparat! Mampus! Kau harus mampus di tanganku!"
Begitu sampai di balik gugusan batu karang, Wiro dan rombongan disambut oleh
satu pemandangan luar biasa. Seorang perempuan berambut panjang awut-awutan
dalam keadaan mengandung besar, dengan sebilah pedang di tangan menyerang habis-
habisan seorang pemuda.
Dari gerakan-gerakan mereka jelas keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Namun
bila diperhatikan kentara sekali walau bagaimanapun hebatnya gebrakan ilmu
pedang perempuan hamil, tingkat kepandaiannya masih di bawah lawannya.
Kenyataannya si pemuda menghadapi gempuran mautnya sambil terus tertawa
bergelak. Kedua orang itu bertempur di depan sebuah goa. Di mulut goa seorang
gadis berkulit hitam manis berdiri sambil pegangi dada dan ketakutan setengah
mati. Gadis ini adalah anak seorang pemilik warung yang diculik dan disekap di
goa itu hendak digagahi oleh si pemuda. Namun sebelum niat mesumnya kesampaian,
perempuan muda bersenjata pedang keburu memergoki.
"Jahanam! Betul murid sesat itu rupanya!" merutuk Jagat Kawung dengan mata
mendelik begitu dia mengenali siapa adanya pemuda yang bertempur melawan
perempuan muda bersenjata pedang. "Warangas! Ajalmu sudah di depan mata!"
Sementara ittu Sanjaya sendiri untuk sejurus lamanya tegak tertegun dengan mata
membeliak mulut ternganga. Hatinya hancur melihat keadaan perempuan muda itu.
"Wulandari..." suaranya tercekat bergetar. Namun begitu dia palingkan pandangan ke
arah si pemuda, darahnya lansung mendidih. Dia tidak kenal dan sebelumnya tidak
pernah melihat pemuda lawan bekas kekasihnya itu. Tapi dia yakin pemuda itu
adalah Handaka alias Prana alias Dipasingara. Tanpa banyak cerita lagi Sanjaya
segera hunus pedangnya dan menyerbu ke kalangan pertempuran.
"Durjana keparat! Pedangku yang akan menghabisimu!"
Warangas tersentak kaget ketika tiba-tiba satu sinar putih membabat hanya satu
jengkal di samping kiri kepalanya. Dia melompat mundur dua langkah, bersikap
waspada sambil memasang kuda-kuda. Pandangan matanya tidak berkesip. Hatinya
mengira-ngira. "Pemuda muka pucat! Siapa kau!" bentak Warangas.
Belum sempat Sanjaya menjawab tiba-tiba terdengar jeritan Wulandari. Gadis ini
seperti melihat setan kepala tujuh begitu pandangannya membentur Sanjaya. Dia
lari ke balik gundukan batu karang rendah. Di sini dia menangis dan berteriak-
teriak tak karuan.
Belum sempat Warangas memastikan siapa adanya pemuda muka pucat yang barusan
menyerangnya, dari atas kuda Suramanik membuat lompatan kilat. Tangan kanannya
bergerak ke pinggang. Lalu bertaburlah cahaya golok ke seluruh tubuh Warangas
alias Dipasingara.
"Jahanam Suramanik! Aku menyesal tidak mambunuhmu waktu adu kekuatan di
Kadipaten Gombong!" teriak Warangas sambil berkelebat selamatkan diri.
"Penyesalanmu akan kau bawa ke liang kubur! Kalau saja mayatmu memang ada yang
mau mengubur!" jawab Suramanik. Ketika dia kembali membabatkan goloknya, dari
arah lain Sanjaya telah menyerbu pula.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
"Kalian boleh berebut kepala atau jantungnya! Tapi nyawa murid murtad aku yang
punya! Aku akan patahkan batang lehernya!" Kakek bernama Jagat Kawung menyerbu
dengan tangan kosong, melepas Pukulan Baja Merah. Selarik sinar merah berkiblat
menggidikkan. Diserang tiga orang berkepandaian tinggi begitu rupa, secepat kilat Warangas
membuang diri ke samping lalu melompat setinggi satu tombak. Selagi mengapung di
udara dia keluarkan senjata saktinya yaitu Kipas Pemusnah Raga.
"Srettt!"
Sinar hitam bertabur ke arah tiga penyerang.
"Lekas menyingkir!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanannya segera
dipukulkan ke depan, memapas serangan lawan dengan pukulan Dewa Topan Manggusur
Gunung. Pukulan sakti ini adalah warisan dari Tua Gila, tokoh sakti di Pulau
Andalas. "Bummm!"
Satu ledakan menggoncang teluk.
"Dess... desss!"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 9 Warangas merasakan pergelangan tangannya yang memegang kipas seperti dipelintir.
Kipas hitamnya mengeluarkan suara berderak. Cepat-cepat Warangas dorongkan
tangan kirinya lalu melompat ke samping. Baru satu kakinya menginjak tanah tiba-
tiba Sanjaya, Suramanik dan Jagat Kawung telah datang menyerbu kembali.
"Mengeroyok tindakan tidak terpuji. Serahkan pemuda itu padakau. Biar aku yang
mempesiangi!" teriak Wiro lalu dia cepat-cepat tekap kepalanya ketika pedang
Sanjaya berkelebat dingin di samping telinga kirinya.
"Tidak perlu menghormati dajal puntung neraka ini dengan segala peradatan! Mari
kita sama-sama berebut pahala mencincangnya!" teriak Sanjaya lalu kirimkan satu
tusukan dan dua kali babatan. Warangas kebutkan kipas hitamnya. Larikan sinar
hitam yang memiliki daya kekuatan luar biasa membuat Sanjaya terdorong. Pemuda
ini berlaku nekad. Sambil pukulkan tangan kiri kembali dia mengejar dengan
serangan pedang.
"Sahabat, jangan berlaku bodoh!" berseru Pendekar 212 Wiro Sableng lalu cepat
tarik tangan kiri Sanjaya.
"Wussss!"
Sinar hitam menyambar lewat di samping Sanjaya lalu brakkk! Menghantam satu
gundukan batu karang rendah. Batu ini terbelah empat dan berpelantingan di
udara,. "Breettt!"
Pakaian Warangas robek besar disambar ujung golok Suramanik. Belum habis
kejutnya dari samping berkelebat pukulan tangan kosong Jagat Kawung mengarah
leher. Kakek ini agaknya memang ingin mematahkan batang leher murid bejat itu.
Warangas berlaku sigap.
Sambil miringkan kepala, kaki kanannya menendang ke arah ulu hati si kakek.
Jagat Kawung menyeringai. Tubuhnya membuat gerakan meliuk aneh. Tendangan lawan
hanya menggeser halus di pinggulnya tapi bersamaan dengan itu si kakek susupkan
satu jotosan ke perut Warangas.
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukkk!"
Warangas keluarkan suara seperti kerbau melenguh. Perutnya laksana jebol.
Dadanya sesak. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak. Tapi hebatnya dia masih
bisa berdiri walau dengan dua lutut sedikit tertekuk. Rahangnya menggembung.
"Awas. Dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!" kata Pendekar 212 Wiro Sableng
ketika melihat bagaimana perut Warangas mendadak mengendur mengempis. Murid
Sinto Gendeng ini segera pula alirkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Cepat
sekali tangan itu berubah menjadi putih seperti perak menyala!
"Bangsat pengeroyok! Mampuslah semua!"
Warangas marah sekali. Kipas hitam dikembangkan lebih lebar. Dia melompat ke
atas sebuah batu. Tangan kanannya berputar setengah lingkaran bergerak ke atas
seperti mencungkil.
Saat itu juga terdengar suara bergemuruh. Sinar hitam lebar menderu menyapu ke
arah Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di mulut goa terdengar keritan gadis hitam manis. Gadis yang malang ini
terguling roboh dalam keadaan hangus begitu sinar hitam Kipas Pemusnah Raga
menghantam dirinya.
Suramanik, Jagat Kawung, Sanjaya dan Wiro melompat berpencaran selamatkan diri.
Suramanik menjerit. Sosoknya berlutut di tanah. Pakaiannya sebelah kiri
kelihatan hangus. Kulit dan sebagian dagingnya merah seperti terpanggang. Dengan
kertakkan rahang dia mecoba bangkit berdiri. Namun saat itu tanah dirasakannya
bergetar hebat. Lalu ada sinar putih berkiblat menyilaukan disertai bertaburnya
hawa sangat panas. Di depan sana Warangas keluarkan teriakan keras.
"Pukulan Sinar Matahari!" Kipas Pemusnah Raga diputar di atas kepala melindungi
diri. Ketika taburan sinar hitam yang keluar dari kipas sakti itu membentur cahaya
putih panas, satu letupan dahsyat menggetarkan seantero teluk. Percikan bunga
api bertebar dimana-mana.
Kuda coklat milik Suramanik meringkik keras. Suramanik sendiri jatuhkan diri ke
tanah mengindari sambaran liar pecahan sinar hitam dan cahaya putih. Secara
cerdik dia sengaja menggulingkan diri ke arah musuh yang dikenalnya dengan nama
Dipasingara. Jagat Kawung dan Sanjaya melompat menyingkir ke tempat aman. Wiro sendiri
terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang lalu jatuh duduk di tanah.
Dadanya mendenyut sakit dan pelipisnya seperti ditusuk-tusuk.
Warangas sama sekali tidak mengalami cidera. Tapi dari mulutnya keluar jeritan
setinggi langit ketika melihat bagaimana kipas saktinya robek bertaburan di
udara. "Kipasku... kipasku..." Kini dia hanya memegang gagang kipas yang telah hangus
kehitaman. Putuslah nyali pemuda bejat itu. Sisa-sisa kipas yang masih ada dalam
genggamannya dilemparkannya ke tanah. Tanpa kipas sakti mana mungkin dia
menghadapi empat musuh berkepandaian begitu tinggi. Tak ada jalan lain. Dia
harus melarikan diri mencari selamat. Tidak
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
menunggu lebih lama dia berkelebat ke balik satu gundukan batu karang. Dia sama
sekali tidak menduga kalau di balik batu karang ini justru ada yang menunggunya.
Satu sosok berkelebat ke hadapannya. Satu sinar putih berkiblat menyambar dari
atas ke bawah. "Wulandari!" Warangas alias Dipasingara alias Handaka keluarkan seruan tertahan.
Dia berusaha melompat ke atas satu gundukan batu tapi terlambat.
Mendadak sontak dua kakinya terasa dingin. Lalu ada rasa sakit seperti mengoyak
seluruh tubuhnya. Seakan-akan tanah yang dipijaknya roboh amblas, tubuh Warangas
terbanting jatuh.
Dua kakinya buntung sebatas betis akibat sambaran telak pedang di tangan
Wulandari. Darah membanjir!
Pemuda bejat ini meraung setinggi langit. Jeritannya bertambah dahsyat ketika
Suramanik yang bergulingan mendatanginya membabatkan golok besarnya. Lalu dari
jurusan lain pedang Sanjaya bertubi-tubi melanda tubuhnya.
"Orang muda! Cukup! Sekarang bagianku si orang tua!" Sosok Jagat Kawung melesat
ke arah Warangas. Dijambaknya rambut pemuda yang megap-megap sekarat itu. Ketika
dia hendak memuntir tanggal kepala Warangas tiba-tiba satu sinar putih menderu.
Cairan merah kental hangat membasahi pakaian dan muka putih kakek keriput itu.
Jagat Kawung melompat mundur.
Sosok Warangas dilihatnya tidak berkepala lagi, terguling di atas pasir. Lalu
sewaktu dia memperhatikan benda yang masih dijambaknya, kakek ini tersentak
kaget. Benda itu adalah kepala Warangas yang sudah putus!
"Ih!" si kakek bergidik sendiri! Lalu bantingkan kepala Warangas ke tanah.
Wulandari menjerit keras. Lalu tertawa aneh. Dengan pedang berdarah masih di
tangan gadis ini lari ke arah laut. Wiro coba menghalangi. Tapi sambaran pedang
ganas Wulandari membuatnya terpaksa mundur. Begitu Wiro tersurut Wulandari cepat
meneruskan larinya ke arah laut. Melihat ini Sanjaya segera mengejar. Dia juga
sudah maklum apa yang akan hendak dilakukan bekas kekasihnya itu. Dengan cepat
dirangkulnya tubuh Wulandari.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mau terjun ke laut!": teriak Wulandari.
"Sadar Wulan! Mengucaplah! Sebut nama Tuhanmu! Jangan berlaku nekad. Mati bunuh
diri adalah kesesatan tak terampuni!"
"Aku memang sudah sesast! Dosaku tidak mungkin terampuni! Lepaskan! Aku sudah
ditunggu Eyang Guru! Hik... hik... hik!" Wulandari meronta coba melepaskan rangkulan
Sanjaya tapi tak berhasil. Mendadak dia ingat kalau saat itu masih memegang
pedang. Secepat kilat senjata itu ditusukkannya ke dadanya.
"Wulan! Jangan!" teriak Sanjaya. Dia berusaha menghalangi. Tapi terlambat.
Pedang menancap masuk jauh ke dalam dada Wulandari. Gadis ini berteriak lalu
tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Sepasang matanya mendelik. Tapi
ajalnya belum sampai. "Wulan... kenapa kau lakukan ini. Aku... aku masih
mencintaimu. Kenapa kau tega meninggalkan diriku, Wulan?"
Suara Sanjaya tersendat serak.
Di saat kematian datang merayapi dirinya pikiran Wulandari berubah jernih. Air
mata mengucur di kedua pipinya yang pucat. "Semuanya sudah kasip kakak. Diriku
terlalu kotor untuk terus hidup di dunia ini. Ampuni dosaku Sanjaya. Aku telah
mengkhianati janji cinta kita.
Sebenarnya akupun tetap mencintaimu... Selamat tinggal kakak..."
"Wulan! Adikku!"
Kepala Wulandari terkulai. Sanjaya tekap kepala gadis itu dengan kedua
tangannya. Berurai air mata dia peluk dan ciumi wajah Wulandari.
Suramanik tegak termangu. Jagat Kawung menarik nafas berulang kali. Pendekar 212
Wiro Sableng hanya bisa menggigit bibir dan garuk-garuk kepala. (Kisah segitiga
antara Wulandari, Sanjaya dan Handaka alias Dipasingara bisa pembaca ikuti
secara utuh dalam serial Wiro Sableng berjudul "Hidung Belang Berkipas Sakti.")
>>>>>>>>>>
SEPERTI diceritakan dalam Bab 7 sepasang kakek nenek bernama Riku Pulungan dan
Nini Setan tengah dalam perjalanan menuju Teluk Segara Anakan dalam mencari
pemuda bernama Warangas.
Di satu tempat si kakek hentikan kudanya, memberi isyarat pada saudaranya si
nenek bermuka belang agar berhenti di sebelahnya.
"Aku mendengar suara bentakan-bentakan. Seperti ada orang berkelahi..." kata Riku
Pulungan. Nini Setan memandang ke arah sederetan bukit karang. "Suara itu datang dari
balik gugusan karang. Kita menyelidik ke sana!"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Dua orang tua ini kembali membedal kuda masing-masing. Agar lebih cepat sampai
ke balik gugusan batu karang, mereka tidak mengambil jalan berputar tapi lansung
menerjang mendaki bukit rendah. Tepat pada saat mereka mencapai puncak salah
satu gugus bukit karang tiba-tiba satu dentuman dahsyat menggelegar di seantero
teluk. Bukit karang bergetar keras.
Sepasang kakek nenek ini cepat melompat turun dari kuda masing-masing sebelum
kuda-kuda mereka yang menjadi liar membantingkan keduanya ke atas batu.
Memandang ke bawah, kakek bernama Riku Pulungan itu keluarkan seruan tertahan.
Wajahnya pucat, matanya mendelik dan sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Nini, kita terlambat. Lihat apa yang terjadi dengan Kipas Pemusnah Raga itu..."
Si nenek bernama Nini Setan ikut memandang ke bawah. Dia menghela nafas dalam.
Lalu berucap. "Kipas itu hancur. Bertebaran di pasir. Tapi itu belum akhir dari
segala-galanya. Kita akan menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan bekas murid
bejatmu ..... Orang-orang itu pasti akan membantainya!"
Ucapan si nenek memang menjadi kenyataan hanya beberapa saat kemudian.
Di bawah sana seperti telah diceritakan sebelumnya, Warangas alias Dipasingara
tengah menghadapi hari penentuannya. Setelah kipas saktinya hancur dihantam
pukulan Sinar Matahari dia berusaha melarikan diri. Tapi di balik bukit karang
dihadang oleh Wulandari lalu diserbu oleh Sanjaya dan Suramanik serta Jagat
Kawung hingga akhirnya menemui ajal secara mengerikan.
Sosoknya tanpa kepala dan badan tercabik-cabik.
"Aku mendengar jeritan Warangas. Lalu sunyi..." Riku Pulungan berucap perlahan.
Kakek ini mengusap mukanya, mulai melangkah menuruni bukit karang.
"Kau mau kemana"!" bertanya Nini Setan. "Mau membuat perhitungan dengan orang-
orang yang telah membunuh muridmu"! Jangan bertindak bodoh!"
Riku Pulungan hentikan langkahnya. Dia memandang pada si nenek saudaranya lalu
gelengkan kepala. "Aku yakin orang-orang itu menghabisi Warangas karena mereka
mempunyai dendam kesumat amat besar. Malah aku bersyukur mereka telah
meringankan bebanku... Aku terlalu kecewa pada manusia satu itu."
"Lalu mengapa kau mau turun ke pantai sana?" tanya Nini Setan kembali.
"Kipas Pemusnah Raga itu. Aku mau mengumpulkan cabikan-cabikannya. Sisa-sisa
kayu dan gagangnya...." Jawab Riku Pulungan.
"Kau gila" Buat apa rongsokan kipas yang sudah tidak ada gunanya itu?"
"Aku akan membawanya kepada Eyang Guru. Hanya itu yang bisa aku kembalikan
padanya. Kalau dia bersedia aku akan minta Eyang Guru menggabung-gabunkannya
kembali. Menjadikannya untuk bahan dasar pembuatan sebuah kipas baru sakti mandraguna.
Kelak senjata baru itu akan kuberikan kepada muridku yang sekarang..."
"Hemm... Kuharap saja kau tidak kesandung sampai dua kali Pulungan! Kau percaya
penuh pada muridmu yang sekarang ini?"
"Aku percaya penuh. Dia jauh berbeda dengan Warangas. Seperti siang dengan
malam. Mungkin ini satu-satunya kebajikan terakhir yang bisa aku buat sebelum menghadap
Gusti Allah."
"Terserah kau mau berbuat apa. Tapi cepat kembali ke sini. Aku mau ke balik
karang sana dulu. Dari tadi aku menahan kencing! Hik... hik... hik...!"
Ketika Riku Pulungan sibuk mengumpulkan sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga tiba-tiba
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih tegak di hadapannya.
Sesaat ke dua orang ini saling beradu pandang.
"Kek, kau tengah melakukan apa?" si pemuda menegur.
Sepasang mata si kakek mengintai ke balik dada pakaian si pemuda. Dia melihat
rajah tiga angka tertera di dada penuh otot.
"Jika mataku yang tua ini tidak salah melihat dan otakku tidak salah menduga,
bukankah saat ini aku berhadapan dengan tokoh muda berkepandaian tinggi bergelar
Pendekar 212, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?"
Si pemuda yang memang Wiro adanya agak terkejut. Dia tidak mengenali orang tapi
orang mengenali dirinya. Sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala dia berkata.
"Orang jelek ini memang murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Kau sendiri
siapakah adanya Kek" Sedang apa di tempat ini" Kulihat kau memunguti cabikan-
cabikan kipas. Temanmu di atas bukit sana kemana menghilangnya?" Wiro melirik ke
puncak salah satu gugusan bukit. Tadi dia melihat bayangan seseorang di atas
sana. "Saudaraku itu. Seorang nenek tengil. Kau tahu nenek-nenek. Tak bisa menahan
kencing..." Si kakek pandangi sisa hangus gagang Kipas Pemusnah Raga yang
dipegangnya. Lalu berkata. "Seperti kau lihat sendiri, aku tengah mengumpulkan sisa-sisa
kipas ini... "
"Untuk apa?" Tanya Wiro heran.
"Aku tak bisa mengatakannya padamu, anak muda..."
"Kau juga tidak mau mengatakan siapa namamu?"
"Aku Riku Pulungan," jawab si kakek.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Wiro tertawa bergelak.
"Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?" tanya si kakek heran.
"Cocok dengan namamu! Ternyata kau seorang pemulung rupanya. Pantas saja segala
sisa kipas rongsokan kau kumpulkan. Ha... ha... ha... "
Wajah putih si kakek sesaat tampak merah. Namun dia kemudian ikut-ikutan
tertawa. Wiro lambaikan tangannya dan memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu.
"Anak muda, tunggu dulu..." si kakek berseru.
"Ada apa?" tanya Wiro pula.
"Kalau umurmu panjang, kelak beberapa tahun di muka kau akan bertemu lagi dengan
rongsokan kipas ini..."
Wiro pencongkan mulutnya. Dia tidak mengerti tapi tidak mau bertanya. Sambil
melangkah pergi murid Sinto Gendeng menggerendeng. "Sial, dia bilang kalau
umurku panjang.
Memangnya aku ini mau mati besok apa" Beberapa tahun di muka, aku akan bertemu
lagi dengan kipas rongsokan itu. Edan..." Wiro garuk kepalanya. Ketika dia
berpaling ke belakang, kakek aneh bernama Riku Pulungan itu tak ada lagi di
tempatnya semula!
>>>>>>>>>>
DUA HARI dua malam Riku Pulungan duiduk menunggu di pintu goa. Namun orang yang
ditunggu tak kunjung muncul. Menjelang pertengahan malam ketiga, selagi matanya
setengah terpejam karena tidak sanggup menahan kantuk, orang tua ini tiba-tiba
merasa ada sambaran angin disusul berkelebatnya satu bayangan.
Satu sosok tinggi berjubah hijau muda tahu-tahu telah berdiri di hadapan Riku
Pulungan. Orang ini sudah sangat tua, rambut dan janggutnya putih laksana kapas. Janggut
itu begitu panjang hingga hampir menjela tanah.
"Eyang Guru, saya datang untuk mempertanggung jawabkan segala sesuatu menyangkut
Kipas Pemusnah Raga..."
Riku Pulungan sendiri adalah seorang kakek berusia hampir delapan puluh tahun.
Jika dia memanggil Eyang pada si jubah hijau ini, berarti orang tua ini berusia
paling tidak di atas seratus tahun.
"Tiga tahun lebih aku mendengar berita buruk. Akhirnya kau datang juga. Muridku
Riku Pulungan, ikuti aku."
Orang tua berjubah hijua muda bergerak memasuki mulut goa. Langkahnya enteng
sekali seolah dia tidak menginjak tanah. Sampai di dalam goa dia menyalakan
sebuah lampu minyak lalu duduk di atas sebuah bantalan tipis. Riku Pulungan
sendiri duduk membungkuk hormat di hadapannya.
"Apakah kau sudah mendapatkan Kipas Pemusnah Raga itu?" bertanya sang Eyang
Guru. "Saya sudah mendapatkan, tetapi mohon maafmu. Kipas itu saya dapatkan dalam
keadaan seperti ini." Lalu dari balik pakaiannya Riku Pulungan mengeluarkan
robekan-robekan kipas, patahan kayu kipas serta bagian gagang kipas yang hangus.
Benda itu semuanya diletakkan di lantai di hadapan Eyang Guru.
"Jika ada satu kekuatan sanggup menghancurkan kipas ini sampai seperti ini, aku
ingin tahu siapa gerangan yang melakukannya?"
"Menjelang ajalnya murid saya berhadapan dengan beberapa orang yang ingin
menuntut balas. Salah satu dari mereka adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng...."
"Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede?" Tanya Eyang Guru.
"Benar sekali Eyang. Kalau saya tidak salah mengira, pendekar itu telah
menghantam murid saya dengan pukulan Sinar Matahari..."
Orang tua berjubah hijau terdiam sesaat. "Kipas sakti hancur. Bagaimana dengan
muridmu yang bernama Warangas itu?"
"Dia menemui ajal di tangan orang-orang itu," jawab Riku Pulungan.
"Dia telah menemui hukuman dunia. Kelak dia akan menghadapi hukuman akhirat,"
kata sang Eyang Guru. Lalu dia menatap wajah kakek di hadapannya. Tatapan ini
membuat Riku Pulungan merasa seperti ditindih batu besar. "Aku senang bertemu
denganmu. Sisa-sisa kipas bisa kau tinggalkan di sini. Sebelum kita berpisah,
apakah ada sesuatu yang hendak kau tanyakan atau hendak kau sampaikan?"
"Ada Eyang. Tapi terlebih dulu saya mohon maafmu kalau-kalau permintaan saya ini
Eyang anggap satu kelancangan atau tak mau belajar dari pengalaman. Saya mohon
dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini Eyang bisa membuatkan satu senjata baru
dalam bentuk yang sama, yakni sebuah kipas..."
Orang tua berjanggut menjela tersenyum. Dia gosok-gosokkan telapak tangannya
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu sama lain. "Riku Puliungan, permintaanmu akan kuperhatikan. Tapi ada satu
nasihatku padamu.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Jika kelak kau akan menyerahkan satu benda berharga pada seseorang, pikir dan
kaji dulu dalam-dalam. Kau harus tahu betul siapa orangnya. Aku tak ingin
peristiwa murid sesat seperti si Warangas itu terulang kembali. Hal semacam itu
membuat rohku kelak tidak akan tenteram di alam barzah..."
"Nasihat Eyang akan saya ingat baik-baik..." kata Riku Pulungan pula.
"Aku dengar selain Warangas kau juga mempunyai seorang murid lain..."
"Benar sekali Eyang. Namanya Adimesa. Saat ini sudah berusia dua puluh tiga
tahun. Harapan saya sangat besar padanya..."
"Jika dari sisa-sias Kipas Pemusnah Raga ini aku menciptakan satu senjata baru
dan kuserahkan padamu, apakah kelak senjata itu akan kau berikan pada muridmu
bernama Adimesa itu?"
"Saya tidak dapat memutuskan sekarang Eyang. Lagi pula seperti tadi Eyang
nasihatkan, saya harus berlaku sangat hati-hati. Jangan tersandung dan membuat
kesalahan sampai dua kali."
Eyang Guru anggukkan kepalanya. "Kau boleh pergi. Datanglah kemari satu tahun
lagi. Siapa tahu dari sisa-sisa Kipas Pemusnah Raga ini aku bisa menciptakan satu
senjata yang bermanfaat bagi dunia persilatan di tanah Jawa ini..."
"Saya mengucapkan terima kasih Eyang Guru. Saya mohon izinmu untuk meninggalkan
tempat ini." Riku Pulungan beringsut sampai ke mulut goa lalu berdiri. Setelah
membungkuk dalam-dalam dia segera tinggalkan tempat itu. Hatinya terasa lega.
Satu tahun tidak terlalu lama.
Sementara menunggu dia bisa memberikan tambahan ilmu kepada muridnya yang
bernama Adimesa itu.
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 10 Kita kembali ke Teluk Penanjung, dimana Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu dan
ditolong oleh seorang pemuda gagah dikenal dengan julukan Pendekar Kipas
Pelangi. Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di atas sebuah gundukan batu.
Pendekar Kipas Pelangi memulai penuturan riwayat dirinya.
>>>>>>>>>>
CUACA pagi itu cerah sekali. Langit di atas desa Kaliurang putih kebiruan. Angin
segar bertiup sepoi-sepoi basah. Lapat-lapat di kejauhan terdengar riak arus
kali kecil, salah satu anak sungai Bengawan Solo yang mengalir dan menyuburi
desa Kaliurang.
Di satu jalan tanah menurun di pinggiran barat desa, dua orang anak lelaki duduk
dia atas dua ekor kerbau . Mereka berusia antara empat dan enam tahun. Tubuh
mereka walau kecil tapi tegap dan pipi mereka kelihatan merah segar pertanda
keduanya memiliki badan yang sehat.
Sambil menunggangi kerbau keduanaya bercakap-cakap dan sesekali diselingi gelak
tawa ceria. "Kakak Adisaka, dua hari lalu kau menjanjikan mau membuat puput dari batang padi
untukku. Apakah saat ini kita menuju ke sawah mencari batang padi?"
"Adikku," jawab anak satunya. "Membuat puput bisa kita lakukan kemudian. Kita
harus melakukan pesan ayah lebih dulu. Kerbau-kerbau ini perlu dimandikan. Kau
lihat sendiri, badan mereka sangat kotor, tubuh mereka mulai bau..."
"Tapi kalau mau ke sungai bukankah lita akan melewati sawah. Mengapa tidak
mampir saja dulu di sawah. Jadi tidak pulang balik..."
Anak bernama Adisaka tersenyum. "Adikku Adimesa, otakmu cerdik. Aku senang punya
adik cerdik. Tapi di balik kecerdikanmu itu tersembunyi pkiran nakal. Perintah
orang tua tidak boleh diabaikan dengan alasan apapun. Jadi kita tetap harus
memandikan kerbau-kerbau ini sesuai perintah ayah. Nah, sekarang kau mau memilih
mana. Ikut jalan pikiranmu atau taat perintah orang tua..."
Si adik tertawa lebar. "Tentu saja aku memilih taat pada orang tua. Aku senang
punya kakak sebaikmu."
Adisaka ikut tertawa lebar. "Percepat jalan kerbaumu. Matahari sudah tinggi.
Makin cepat kita memandikan kerbau berarti makin cepat kita bisa ke sawah
mencari batang padi untuk puput..."
"Baik Kak, aku ikut katamu saja. Sambil menuju sungai aku ingin kita sama-sama
menyanyikan lagu Kami Anak Desa. Kau mau?" Adisaka mengangguk. Lalu dua anak
kakak adik itu mulai menyanyi di atas punggung kerbau masing-masing.
Kaliurang desa tercinta
Terletak di kaki Gunung Merapi
Di sana kami dilahirkan
Alamnya indah penduduknya ramah
Kami anak desa Bangun pagi sudah biasa
Hawa dingin tidak terasa
Kerja di sawah membuat sehat
Kerja di ladang membuat kuat
Kami anak desa Rajin membantu orang tua
Menolong Ibu di rumah
Membantu Ayah di sawah
Kami anak desa Tidak lupa sembahyang mengaji
Rendah hati dan tinggi budi
Selalu unjukkan jiwa satria.
Dua kakak adik itu terus saja menyanyi-nyanyi hingga akhirnya mencapai satu
pertigaan jalan. Di hadapan mereka kini terbentang daerah persawahan. Untuk
menuju kali kecil tempat mereka biasa memandikan jerbau, keduanya harus membelok
ke kiri. BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Belum selang berapa alam Adisaka dan Adimesa meninggalkan pertigaan jalan tiba-
tiba ada suara menggemuruh keras menggetarkan tanah. Dua ekor kerbau hentikan
lari melenguh keras ketakutan.
Adimesa pegangi leher kerbaunya kuat-kuat. Dengan muka pucat dia memandang pada
kakaknya. "Kak, kau dengar suara aneh di dalam tanah itu?"
"Aku dengar..."
"Apa yang terjadi?"
Adisaka memandang ke langit. Dilihatnya ada awan mendung membuntal di arah
timur. "Agaknya mau turun hujan lebat. Tapi di sebelah sana matahari masih memancarkan
sinarnya yang terik..."
Tanah kembali bergetar. Suara gemuruh terdengar sekali lagi, lebih keras dari
yang tadi. "Kak, aku ingat cerita ayah waktu menidurkan kita. Jangan-jangan naga yang
dirantai mengamuk mau melepaskan diri..." kata Adimesa.
"Aku mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Ada suara kuda meringkik, gaduh
suara ayam, kambing dan ternak lainnya..." Adisaka juga mulai ketakutan.
"Kita pulang saja Kak," kata adiknya.
"Ya, mari kita putar kerbau-kerbau ini. Kita kembali ke desa..."
Baru saja Adisaka berkata begitu tiba-tiba di sebelah utara kelihatan sinar
terang disertai suara menggemuruh seperti ada satu ledakan berangkai di dalam
perut bumi. Dua kakak beradik ini sama-sama memalingkan kepala ke utara dimana
menjulang Gunung Merapi.
"Kakak! Lihat!" Adimesa berteriak. "Ada api menyembur dari puncak gunung!"
"Gunung itu meletus! Gunung Merapi meletus!" teriak Adisaka.
Saat itu udara mulai gelap. Debu kelabu kehitaman menutupi pemandangan. Udara
mulai panas. Dari puncak Gunung Merapi menyembur cahaya merah menggidikkan lalu
ada cairan membara mengucur ke luar dan cepat sekali menebar ke berbagai
penjuru, menuju lereng dan seterusnya ke kaki gunung.
"Kak, kerbau-kerbau kita lari!" bersrru Adimesa ketika dilihatnya dua kerbau
yang tadi hendak dimandikan berlari ketakutan meninggalkan tempat itu. "Aku akan
mengejar!"
"Jangan!" mencegah si kakak. "Udara mulai gelap. Ikuti aku. Kita cari jalan
memintas kembali ke Kaliurang!"
Dua kakak beradik ini lalu lari sekencang yang bisa mereka lakukan. Keduanya
mengalami kesulitan.Bukan saja karena gelapnya udara tapi juga suara gemuruh
dahsyat yang menggoncang tanah dan membuat mereka jatuh terhenyak berulang kali.
"Kak, aku takut!" Adimesa anak berusia empat tahun mulai menangis.
Adisaka cepat memegang tangsn adiknya lslu membawanya lari ke tempat aman. Namun
saat itu udara semakin gelap. Satu-satunya cahaya terang adalah semburan-
semburan sinar dan benda-benda aneh dari mulut gunung. Adisaka berlaku cerdik.
Dia membawa adiknya lari menjauhi cahaya terang itu. Akan tetapi dua anak ini
tak sempat lari jauh karena semburan benda-benda panas membara yang jatuh di
rimba belantara menyebabkan kebakaran hebat luar biasa.
"Api dimana-mana..." ujar Adisaka. "Kita lari ke sungai. Harus ke sungai..."
Kembali Adisaka memegang tangan adiknya erat-erat lalu kembali ke arah sungai.
Namun dua buah batu besar menyala membara menutupi jalan. Di sebelah belakang
muncul suara menggemuruh. Ternyata luncuran lumpur api yang keluar dari mulut
gunung Merapi. Dua anak kecil itu terkurung tak mungkin lari, tak mungkin
menyelamatkan diri. Mereka tinggal menunggu mana yang lebih cepat. Dilahap api
kebakaran atau digulung lumpur menyala!
"Kak...! Aku takut! Aku kepanasan...!" ratap Adimesa. "Kita ... kita mau lari kemana?"
Saat itu mata Adisaka terasa sangat pedih. Dia sulit melihat. Hawa panas
memanggang. Walau takut setengah mati tapi anak ini masih bisa berucap. "Adimesa, jangan
takut! Pasti ada yang menolong kita! Berdoalah! Panggil ayah ibu! Panggil
Tuhan!" Lalu dua anak yang terkurung dalam kitaran kobaran api ini sama-sama berteriak.
"Ayah! Ibu! Tuhan! Tolong kami!"
Suara teriakan mereka ditelan oleh deru kobaran api dan gemeratak pohon-pohon
yang terbakar. Suara dua anak kecl itu tenggelam oleh gemuruh ledakan gunung
yang menggoncang bumi. Dua tubuh kecil ini tak sanggup bertahan. Adimesa jatuh
lebih dulu. Satu patahan batang pohon yang dikobari nyala api entah dari mana
datangnya tiba-tiba melayang turun ke arah sosok si kecil Adimesa yang
tergeletak di tanah. Melihat hal ini Adisaka segera jatuhkan diri di atas tubuh
adiknya untuk melindungi. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya bukan apa-apa dalam
menghadapi batang kayu yang begitu besar dan menyala. Yang ada dalam benaknya
adalah ingin menyelamatkan adiknya walau dirinya sendiri akan mengalami bahaya
yang bakal merenggut jiwanya.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. Dari kobaran
api di samping kiri melesat seekor kuda besar berwarna putih. Bersamaan dengan
itu serangkum angin dahsyat menderu membelah udara. Batang kayu besar menyala
yang hendak menimpa tubuh
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Adisaka dan Adimesa hancur berantakan. Di atas kuda putih, penunggangya seorang
nenek berpakaian serba hitam bermuka seram mengerikan dengan satu gerakan cepat
luar biasa menyambar tubuh Adisaka. Sekali dia menggebrak tali kekang kudanya
maka bersama tunggangannya itu dia menghambur lenyap dari tempat itu.
Hanya sesaat setelah nenek berkuda putih meninggalkan tempat itu dari jurusan
yang hampir bersamaan muncul seekor kuda hitam. Penunggangnya ternyata seorang
kakek berjubah putih. Kobaran api dan tebaran debu menghalangi pemandangannya.
"Jangan-jangan aku datang terlambat. Mungkin nenek satu itu telah mendapatkan
anak itu lebih dulu..." Penunggang kuda hitam membatin. Matanya mulai perih dan
tubuhnya seolah terpanggang oleh kobaran api di sekitarnya. Selagi mencari-cari
kaki kudanya hampir menginjak sosok kecil Adimesa yang tergeletak menelungkup di
tanah. Binatang ini meringkik keras dan hentak-hentakkan kaki depannya sebelah
kanan. Si kakek cepat meneliti ke bawah. Dalam keadaan begitu rupa untuk pertama
kali dia melihat tubuh Adimesa. Tanpa tunggu lebih lama kakek ini segera
membungkuk menyambar tubuh itu lalu secepat kilat menghilang dari tempat
tersebut. BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 11 DUA PULUH tahun kemudian setelah Adimesa diselamatkan oleh kakek berkuda hitam,
di satu tikungan sungai yang arus airnya menderu keras, seorang pemuda
berpakaian biru melompat dari satu potongan bambu ke potongan bambu lainnya yang
bertebaran di atas permukaan air. Ada tujuh potongan bambu dan satu sama lain
saling diikat dengan seutas tali. Di tangan kiri dia memegang setangkai daun
kering berbentuk kipas. Sambil melompat daun kering di tangannya dipukulkan kian
kemari. Ternyata angin yang keluar dari kipas daun ini sanggup mambuat luruh
daun-daun pepohonan rendah di tepi sungai!
Dari apa yang dilakukan oleh pemuda itu jelas dia tengah melatih dua jenis ilmu
silat. Pertama ilmu meringankan tubuh. Seorang pendekar yang ilmu meringankan tubuhnya
tanggung-tanggung saja pasti tidak akan mampu melompat di atas bambu-bambu yang
berada di permukaan air sungai berarus deras dan selalu begerak kian kemari.
Lalu ilmu kedua yang tengah dilatih pemuda ini adalah semacam ilmu mempergunakan
senjata aneh dari daun kering berbentuk kipas tadi dijadikan sebagai senjata
pengganti. Hampir seratus jurus pemuda itu melakukan latihan silat dan agaknya dia tidak
akan berhenti kalau tidak muncul seorang anak memberi tahu bahwa Ki Riku
Pulungan memanggilnya. Si pemuda hentikan latihannya. Sambil melayang dia
menyambar salah satu potongan bambu lalu menyeretnya naik ke daratan. Setelah
menggulung tujuh potong bambu itu dengan tali pengikat dan meletakkannya di
bawah sebatang pohon besar si pemuda merapikan pakaian dan rambutnya lalu cepat-
cepat melangkah ke sebuah pondok terletak di satu tanah ketinggian.
Di dalam pondok telah menunggu seorang kakek berjubah putih. Orang tua ini
memberi isyarat agar si pemuda duduk di hadapannya. Tidak seperti biasanya, kali
ini si pemuda merasa ada debaran aneh di dadanya. Agaknya ada sesuatu hal
penting yang hendak dikatakan orang tua itu padanya.
"Adimesa muridku. Kau mungkin selalu menghitung hari, minggu dan tahun. Sambil
menduga-duga dan berharap-harap kapan aku mengizinkan dirimu boleh meninggalkan
pondok ini. Muridku, ketahuilah, hari ini adalah hari terakhir kau berada di
sini. Besok pagi-pagi sekali, selesai kau melakukakn sembahyang Subuh, kau boleh
meninggalkan tempat ini. Kemana kau akan pergi, apa yang akan kau lakukan
terserah padamu. Namun selalu ingat, setiap langkah yang kau jalani, setiap
perbuatan yang kau lakukan, bahkan setiap ucapan yang kau keluarkan hendaklah
selalu mengingat kepada Dia Yang Maha Besar, Tuhan Seru Sekalian Alam. Karena
hanya dengan selalu mengingat Gusti Allah saja kita bisa terhindar dari segala
perbuatan yang tidak baik dan terlindung dari marabahaya..."
"Semua ucapan Eyang akan saya ingat baik-baik..." jawab pemuda bernama Adimesa
itu. Dalam hatinya dia merasa gembira karena setelah belasan tahun menunggu akhirnya
dia diperkenankan meninggalkan tempat itu. Namun di balik kegembiraan itu ada
rasa sedih. Belasan tahun dia bersama Ki Riku Pulungan, menerima segala budi
kebaikan, bukan cuma ilmu kesaktian dan ilmu silat tapi juga ilmu keagamaan.
Hingga dia tahu jalan lurus yang harus ditempuhnya demi keselamatan dunia
akhirat. "Sebagai bekal kepergianamu aku akan menyerahkan sebuah senjata padamu. Senjata
ini tidak aku berikan, tapi aku pinjamkan selama tiga tahun. Setelah tiga tahun
kau harus mengembalikannya padaku di pondok ini. Apakah kelak senjata ini akan
kuserahkan padamu lagi atau tidak, belum dapat kuputuskan sekarang..."
Kembali Adimesa merasakan dadanya berdebar. Senjata apa gerangan yang akan
diberikan gurunya saat itu. Selama ini sang guru tidak pernah mengajarkan ilmu
silat dengan memakai senjata. Yang paling sering dilatihnya adalah ilmu silat
aneh mempergunakan daun kering berbentuk kipas sebagai senjata.
Dari balik pakaiannya Ki Riku Pulungan keluarkan sebuah benda yang ketika
dikembangkan dan diletakkan di hadapan si pemuda ternyata adalah sebuah kipas
lipat memiliki tujuh buah jalur lipatan dan masing-masing jalur berlainan warna.
"Mungkin selama ini kau merasa heran. Bertahun-tahun aku menyuruhmu melatih diri
mempergunakan daun kering. Semua itu lain tidak karena aku sudah merencanakan
bahwa kelak senjatamu adalah benda sederhana ini. Sederhana bentuknya tapi
kehebatannya tidak di bawah keris, pedang ataupun golok. Kipas ini bernama Kipas
Pelangi, dibuat oleh guruku Kiai Wirasaba. Bahan pembuatnya adalah sebuah kipas
juga, bernama Kipas Pemusnah Raga. Ini adalah satu senjata dahsyat yang bisa
membunuh orang semudah kau membalikkan telapak tangan. Karena itu harap kau jaga
baik-baik dan hanya dipergunakan untuk menghancurkan angkara murka, atau dalam
keadaan terdesak menghadapi musuh yang tak bisa dibuat sadar dengan kata-kata
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan nasihat. Ambillah kipas itu Adimesa..."
Si pemuda susun sepuluh jarinya di depan kening. Setelah membungkuk sampai tiga
kali baru dia memberanikan diri mengambil kipas itu. Tetapi astaga! Bagaimanapun
dicobanya mengambil, kipas itu tak sanggup diangkatnya dari atas tikar di
hadapannya. Dalam kejutnya si
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
pemuda menatap ke arah Ki Riku Pulungan. Kakek ini tenang saja. Adimesa kembali
coba mengambil kipas itu. Tetap tidak terangkat. Dia kerahkan seluruh tenaga
luar. Masih tidak bisa.
Kini dikerahkannya tenaga dalam. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya jangankan
kipas sekecil itu, batu sampai tiga kali pemelukpun masih bisa diangkat.
Alangkah terkejutnya Adimesa, sampai butiran-butirran keringat memercik di
keningnya dan dua tangannya bergetar hebat, tetap saja dia tidak mampu
mengangkat kipas itu.
Ketika dia memaksa, pemuda ini tersungkur di lantai!
Adimesa cepat duduk bersila. Pakaiannya yang tadi memang sudah basah oleh
keringat sewaktu berlatih di sungai kini menjadi tambah basah.
"Guru, maafkan saya. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak bisa
mengangkat kipas itu."
Ki Riku Pulungan tersenyum. "Muridku, agaknya ada satu hal yang mengganjal di
lubuk hatimu. Hingga kipas itu merasa kurang tenteram untuk kau sentuh..."
"Saya... saya merasa tidak ada ganjalan apa-apa..." jawab Adimesa.
"Coba kau ingat-ingat. Pasti ada sesuatu..." kata sang giuru pula masih tersenyum.
"Tenangkan dulu hatimu baru mulai berpikir."
Si pemuda mengusap mukanya yang keringatan, menenangkan hati, mengatur nafas dan
jalan darahnya. Setelah berpikir beberapa lamanya dia akhirnya berkata.
"Maafkan saya guru. Mungkin ada sedikit rasa sedih di hati saya sewaktu tadi
guru mengatakan bahwa kipas ini hanya dipinjamkan selama tiga tahun. Bukan
diberikan untuk selama-selamanya..."
Senyum menyeruak lagi di mulut sang guru. "Kau menyebut hatimu sedih. Sedih atau
kecewa?" tanya orang tua itu.
"Mungkin... Mungkin dua-duanya..." kata Adimesa mengakui.
"Itu penyebab kau tidak bisa mengangkat kipas," ujar Ki Riku Pulungan. "Kipas
itu walau benda mati tapi tetap saja mempunyai perasaan. Jika kau merasa sedih
atau kecewa maka kipas ini akan merasa tidak tenteram berada di tanganmu. Itu
sebabnya dia tidak mau diangkat, tidak mau ikut bersamamu. Kecuali jika kau
menyadari dan membuang perasaan hatimu yang keliru itu. Kau sekali-kali tidak
boleh berkecil hati karena kipas itu hanya kupinjamkan. Padahal itu cuma satu
ujian bagimu. Dapat tidak kau memiliki senjata ini untuk selama-lamanya
tergantung pada dirimu sendiri. Bagaimana kau menjaganya, bagaimana kau
mempergunakannya..."
"Guru, kalau begitu saya mohon maaf sebesar-besarnya." Adimesa susun sepuluh
jari di atas kepala lalu membungkuk dan berucap. "Kipas Pelangi, maafkan diriku.
Aku mengaku bersalah karena memiliki hati yang tidak lurus terhadapmu. Aku
berjanji akan menjagamu baik-baik, mempergunakanmu secara baik-baik dan dengan
ikhlas akan mengembalikanmu pada guruku Ki Riku Pulungan di masa tiga tahun
mendatang."
"Sekarang coba kau ambil kipas itu," kata Ki Riku Pulungan pula.
Walau agak gemetar, tapi kini dengan hati mantap tanpa ganjalan lagi Adimesa
ulurkan tangannya. Begitu jari-jarinya menyentuh kipas, ada semacam hawa sejuk
menjalar memasuki tubuhnya. Ketika kipas diangkat, ternyata kipas itu jauh lebih
ringan dari kipas daun yang selama ini dibuatnya untuk latihan! Adimesa mencium
kipas itu dengan penuh perasaan, lalu diletakkannya di atas pangkuan.
Ki Riku Pulungan tertawa lebar. Dipegangnya bahu Adimesa seraya berkata. "Aku
harapkan di masa tiga tahun mendatang, Kipas Pelangi itu bisa berjodoh dengan
dirimu..."
"Terima kasih guru. Saya mohon maaf kalau selama bersama guru, saya banyak
membuat kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati guru. Hanya
sebelum pergi saya ingin menanyakan lagi, ingin meminta kejelasan mengenai diri
saya..." Ki Riku Pulungan usap jangut pendeknya. "Seperti yang pernah kuceritakan padamu,
aku tidak dapat mencari tahu siapa adanya kedua orang tuamu. Aku hanya bisa
menduga kau berasal dari sebuah desa di kaki selatan Gunung Merapi. Mungkin
sekali desa Kaliurang. Aku pernah menyuruh orang menyelidik ke sana. Tapi desa
itu telah lenyap, berubah menjadi hutan jati.
Mungkin kau perlu menyelidik sendiri..."
Adimesa terdiam sejenak. "Guru, seperti pernah saya katakan pada guru, saya
ingat sekali kalau saya punya seorang kakak laki-laki bernama Adisaka. Waktu
bencana gunung Merapi meletus itu saya ada bersamanya. Saat itu kami dalam
perjalanan ke sungai hendak memandikan kerbau..."
"Muridku, waktu kejadian itu kau masih berusia empat tahun. Apakah kau merasa
pasti ingatanmu tidak keliru?"
"Saya merasa yakin guru. Kakak saya bernama Adisaka. Dia bersama saya waktu
Merapi meletus. Kami berdua terkurung api..."
Ki Riku Puilungan merenung mengingat-ingat. Pikirannya kembali pada peristiwa
sekitar delapan belas tahun silam. "Terus terang dalam rimba persilatan tersiar
kabar tentang diri kalian dua bersaudara. Dikabarkan, salah satu dari kalian
memiliki susunan tubuh luar biasa sempurna, yang tidak dimiliki kebanyakan anak-
anak lainnya. Karena itu diam-diam banyak orang pandai
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
yang mengincar salah satu dari kalian, ingin mengambil menjadikan murid. Hanya
saja saat itu kabarnya agak sulit diketahui secara pasti, yang mana di antara
kalian berdua benar-benar memiliki susunan tubuh sempurna itu. Tapi aku sendiri
tanpa diketahui lain orang sudah mengetahui bahwa dirimulah yang memiliki
kesempurnaan itu."
"Di antara sekian banyak orang para tokoh rimba persilatan yang menginginkan
dirimu adalah aku sendiri dan seorang nenek sakti yang kurang baik perangainya
dikenal dengan julukan Gondoruwo Patah Hati. Selama beberapa waktu aku mengintai
semua perilaku kalian berdua, kebiasaan kalian. Dimana kalian bermain dan apa
saja yang kalian lakukan. Agaknya hal ini bukan cuma aku yang melakukan tapi
juga dikerjakan oleh nenek itu. Ketika aku sampai pada satu hari memutuskan
untuk mengambil dirimu ternyata nenek itu juga memilih hari yang sama.
Kami tahu hari itu kau dan saudaramu akan memandikan kerbau di kali. Tapi tidak
terduga terjadi bencana. Gunung Merapi meletus. Aku dan si nenek berebut cepat
berusaha mencarimu.
Ketika berada di dalam rimba belantara yang terbakar dan siap digulung lumpur
menyala, kau kutemukan tertelungkup di tanah dalam keadaan pingsan..."
"Hanya saya sendiri?"
"Hanya kau sendiri. Saudaramu tidak ada di sana..."
"Aneh," kata Adimesa sambil mengingat-ingat. Saya ingat betul waktu itu saya
bersama kakak Adisaka. Dia berusaha menyelamatkan saya. Kami mencari jalan untuk
selamatkan diri!
Mungkin kakak saya diambil oleh nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati itu..."
"Tidak dapat kupastikan..."
"Mungkin saya perlu menyelidik dimana nenek itu berada. Dari dirinya siapa tahu
saya bisa mendapat keterangan tentang kakak saya..."
"Manusia itu bukan saja sulit dicari tapi ada kabar bahwa dia telah meninggal
dunia sekitar lima tahun lalu..."
"Mungkin akan sulit bagi saya mencari jejak kakak. Tapi selama hayat dikandung
badan saya akan mencarinya sampai kemanapun."
Ki Riku Pulungan mengangguk. "Itu satu pekerjaan luhur yang harus kau lakukan,
muridku. Sekarang bersihkan dirimu, ganti pakaianmu. Sebentar lagi saatnya untuk
menunaikan sholat Lohor."
Adimesa mengambil Kipas Pelangi dari pangkuannya. Setelah membungkuk memberi
hormat pada sang guru dia masuk ke dalam kamarnya di bagian belakang pondok.
>>>>>>>>>>
SETELAH mendengar kisah yang dituturkan Pendekar Kipas Pelangi itu, Wiro coba
mengingat-ingat. Kalau benar dia selama dua tahun berada di Negeri Latanahsilam,
berarti satu tahun sebelum itulah dia bertemu dengan orang tua bernama Riku
Pulungan itu. Wiro jadi tersenyum sendiri ketika dia ingat bagaimana dia
mengatakan pada kakek itu sebagai seorang pemulung karena sewaktu ditemui dia
tengah mengumpulkan sisa-sisa kipas. Dia kembali tersenyum begitu ingat bahwa
Kipas Pemusnah Raga itu pernah dihancurkannya dengan pukulan Sinar Matahari
sewaktu terjadi perkelahian dengan pemuda bernama Handaka alias Dipasingara
alias Warangas yang berjuluk Hidung Belang Berkipas Sakti.
Melihat Wiro senyum-senyum seperti itu perasaan Adimesa kembali jadi tidak enak.
Dalam hati dia membatin. "Pendekar ini benar-benar aneh. Aku bercerita panjang
lebar. Dia hanya tersenyum-senyum..." Akhirnya pemuda ini berdiri dari batu yang
didudukinya. "Sahabat Pendekar 212, aku terpaksa meninggalkanmu. Sebelum pagi
tiba, aku harus berada di satu tempat... Aku mohon bantuanmu, jika kau mendengar
ihwal kakakku Adisaka agar memberi tahu aku..."
"Akan aku lakukan, tapi dimana aku bisa mencarimu?" tanya Wiro.
"Kau benar. Memang sulit juga bagi kita orang-orang rimba persilatan kalau tidak
membuat janji. Bagaimana kalau kita bertemu lagi di satu tempat. Kau boleh
memilih tempat dan waktunya...'
"Kau saja yang menentukan..." ujar Wiro.
"Baiklah," Pendekar Kipas Pelangi berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kita
bertemu di tempat ini lagi lima purnama dari sekarang?"
"Setuju!" kata Wiro.
"Aku pergi sekarang. Selamat tinggal..."
"Tunggu dulu. Aku mau memastikan. Katamu tadi kita berada di Teluk Penanjung dan
kawasan ini adalah kawasan Pangandaran..."
"Kau tak usah meragukan keteranganku sahabat Wiro. Ada lagi yang hendak kau
tanyakan?"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Wiro menggaruk kepala. "Tidak ada. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih
sekali lagi atas pertolonganmu menyelamatkan diriku..."
"Lupakan hal itu. Kalau kau selalu mengingat maka itu akan menjadi beban
bagimu..."
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. Dia ingat ucapan Riku Pulungan sewaktu
mereka bertemu di Teluk Segara Anakan beberapa tahun yang silam. Kelak jika dia
berumur panjang dia akan melihat kembali Kipas Pemusnah Raga yang telah hancur
berantakan itu dalam bentuk lain. Ternyata ucapan itu memang terbukti. Murid si
kakek yang bernama Adimesa muncul membawa Kipas Pelangi.
Tak lama setelah Adimesa meninggalkan tempat itu hari mulai terang-terang tanah.
"Aku akan menunggu sampai pagi tiba. Jika benar aku berada di teluk Penanjung,
pasti aku bisa menemukan jurang itu. Aku harus yakin, sosoknya samar-samar
kulihat itu benar-benar Pangeran Matahari. Dulu di kawasan ini dia terlempar ke
dalam jurang. Apa mungkin dia masih hidup" Atau rohnya yang tadi kulihat?"
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
BAB 12 Sejak pagi hampir setengah harian murid Eyang Sinto Gendeng duduk di pinggiran
jurang batu karang di Teluk Penanjung itu. Dia hanya menghadapi kesunyian, tak
ada yang bergerak, tak ada satu makhluk hiduppun yang kelihatan. Sebagian besar
dari batu karang di jurang itu telah diselimuti lumut.
"Tak ada maakhluk hidup. Lebih dari dua tahuin lalu Pangeran Matahari kuhantam
jatuh ke dalam jurang ini. Mustahil dia bisa selamat. Kalaupun dia tidak mati
sampai di dasar jurang, tidak masuk akal kalau dia bisa merayap naik selamatkan
diri. Makhluk yang kulihat tadi, mungkin rohnya. Atau mungkin hanya bayangan
alam pikiranku saja..." Wiro memandang ke langit. Sang surya mendekati titik
tertingginya. Saat itu baru dia merasakan betapa panasnya sengatan matahari.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Tanpa setahu Wiro, di satu mulut goa yang tertutup rapat semak belukar serta
terhalang oleh gundukan batu karang yang menonjol, sejak petama dia berada di
sana, sejak saat itu pula sepasang mata berbola mata pipih aneh memperhatikannya
hampir tidak berkesip. Inilah sepasang mata makhluk berkepala singa yang dikenal
dengan nama Singo Abang. Sesekali dia berpaling ke dalam goa memperhatikan sosok
berpakaian hitam yang masih tergeletak pingsan di lantai batu.
"Pangeran Miring, masih pingsan dia. Kalau dia siuman aku akan memaksa dia
memberi keterangan. Aku sudah cukup lama menunggu..." Makhluk berkepala singa
memandang ke arah tepi jurang di atas sana. "Kalau saja Momok Dempet celaka itu
tidak muncul aku pasti sudah dapatkan Kapak Naga Geni 212 miliknya. Apa yang
dilakukan Pendekar 212, hampir setengah harian duduk di tepi jurang.
Menyelidik?"
Di belakangnya terdengar suara orang mengerang pendek. Singo Abang berpaling.
Dilihatnya tubuh Pangeran Miring begerak. Singo Abang segera mendatangi. Setelah
memperhatikan sejenak dia lalu membentak.
"Pangeran Miring, aku tahu kau sudah siuman. Jangan berpura-pura masih pingsan!"
Sosok Pangeran Miring diam saja. Singo Abang jadi marah. Dijambaknya rambut
awut-awutan Pangeran Miring lalu disentakkannya ke atas. Begitu tubuh Pangeran
Miring terangkat langsung didorongnya ke dinding goa. "Kau dalam keadaan terluka
parah di sebelah dalam.
Kalau aku tidak mengobati umurmu paling lama hanaya tinggal tiga hari..."
Dua mata Pangeran Miring terbuka sedikit, lalu mengatup kembali. "Kau bunuh aku
sekarangpun aku tidak takut!"
"Pangeran jahanam! Jangan bersikap takabur! Aku tahu kau takut mati! Apa kau
masih belum mau mengatakan dimana beradanya Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Wasiat
Malaikat" Salah satu dari kitab sakti itu pasti ada padamu. Dimana kau
sembunyikan"!"
Pangeran Miring menyeringai. Tangannya bergerak ke balik pakaian. "Kau inginkan
dua kitab itu" Ambillah!" dari balik pakaian hitamnya. Pangeran Miring keluarkan
setumpuk lembaran-lembaran daun kering disusun demikian rupa seperti sebuah
kitab. Di sebelah depan kitab itu tertera tulisan "Kitab Wasiat Iblis". Di
sebelah belakang ada tulisan berbunyi "Kitab Wasiat Malaikat". Di sebelah dalam
kitab daun itu tak ada sepotong tulisanpun.
"Jahanam kurang ajar!" Singo Abang tak dapat menahan amarahnya. Kitab daun itu
dirampasnya lalu dilemparkannya ke dinding. Sebagian dari daun-daun itu hancur
bertaburan sebagian lagi menancap di dinding karang yang keras!
Pangeran Miring tertawa gelak-gelak. Tapi suara tawanya lenyap begitu Singo
Abang membenturkan kepalanya ke dinding. Begitu jambakan dilepas Pangeran Miring
melosoh ke lantai goa, kembali pingsan tak sadarkan diri.
Singo Abang kembali ke muluit goa. Memandang ke atas jurang Pendekar 212 Wiro
Sableng tak kelihatan lagi di tempatnya semula.
>>>>>>>>>>
Malam itu pantai selatan diselimuti ketenangan. Ombak besar yang biasanya sering
berdebur keras dan memecah di pantai kini hanya muncul sekali-sekali. Di langit
bulan setengah lingkaran memancarkan cahayanya yang sejuk sementara bintang-
bintang bertaburan berkelap-kelip menambah indahnya pemandangan.
Di sebuah tanjung yang menjorok cukup jauh ke tengah laut empat bayangan
berkelebat. Gerakan mereka cepat sekali. Hampir tak dapat dipercaya karena mereka ternyata
adalah empat orang gadis cantik berpakaian hitam sangat ketat hingga lekuk-lekuk
tubuh mereka kelihatan dengan nyata. Dalam waku singkat mereka sudah sampai di
ujung tanjung. Seperti memang sengaja menunggu di tempat itu, tampak berdiri seorang perempuan
tinggi semampai, mengenakan pakaian berlapis manik-manik hingga berkilauan di
bawah sapuan BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
cahaya rembulan setengah lingkaran. Angin laut meniup belahan tinggi di kedua
sisi pakaian hingga tersibak sampai ke pinggul, menyembulkan aurat yang putih
mulus. Perempuan bertubuh elok berambut hitam panjang ini tegak memandang ke
tengah laut lepas, membelakangi empat gadis cantik yang mendatanginya.
Walaupun tegak membelakangi mereka namun empat gadis tadi menjura memberi
penghormatan. Salah seorang di antara mereka berkata.
"Ratu, kami datang membawa kabar."
"Kalian berhasil menemui orang itu?" bertanya orang yang dipanggilnya Ratu. Dia
masih saja tegak membelakangi memandang ke laut.
"Kami melihatnya di sekitar runtuhan Candi Pawan..."
"Seorang diri?"
"Betul. Dia hanya sendirian."
"Apa yang dilakukannya di sana?"
"Tak jauh dari Candi Pawan ada beberapa deret kuburan. Dia pergi kesana,
memeriksa kuburan satu persatu. Ketika kami pergi dia masih berada di sana. Dua
orang teman kami masih ada di sekitar situ, berjaga-jaga mengawasi orang itu."
Perempuan bertubuh elok memutar diri. Empat gadis kembali membungkuk memberi
Wiro Sableng 120 Kembali Ke Tanah Jawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghormatan. Perempuan ini ternyata seorang gadis berwajah luar biasa
cantiknya. Bola matanya berwarna biru. Di kepalanya ada sebuah mahkota kecil
terbuat dari kerang berwarna merah. Di tangan kanan dia memegang gagang sebuah
cermin bulat yang didekapkan ke dada.
Setelah pandangi empat gadis di depannya dia lalu mendekatkan cermin ke
wajahnya. Bukan untuk memperhatikan wajah tapi meneliti sesuatu di kejauhan.
"Aku melihat Candi Pawan..." gadis bermahkota yang dipanggil dengan sebutan Ratu
berkata perlahan seolah memberitahu pada empat gadis di depannya. "Aku melihat
dua kawan kalian mendekam di balik satu pohon besar. Aku tidak melihat gadis
itu... Tunggu dulu. Ada sesuatu bergerak dekat kuburan paling ujung. Bidadari
Angin Timur. Hemm.... Memang dia...
Gadis itu masih berada di pekuburan. Kalian boleh kembali. Bawa cermin sakti
ini. Aku akan segera menuju Candi Pawan..."
"Ratu, kami tunduk pada perintahmu. Tapi bukankah lebih baik kami mengawalmu..."
"Tidak usah. Lagi pula dua kawanmu masih ada di sana." Gadis bermata biru
serahkan cermin bulat pada salah seorang gadis.
"Ratu, cermin itu mungkin berguna jika dibawa. Siapa tahu terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan..."
"Tidak usah. Kalian bawa saja. Letakkan dalam kamarku. Kalian boleh pergi
sekarang."
"Ratu, kami tidak berani melawan perintahmu," gadis di samping kiri berkata.
"Tapi kami benar-benar sangat kawatir bilamana Ratu berada di luaran tanpa
cermin itu."
Gadis yang dipanggil dengan sebutan Ratu tersenyum.
"Mungkin kalian benar. Baiklah, cermin ini akan kubawa serta. Sekarang kalian
boleh tinggalkan tempat ini."
Empat gadis cantik berpakaian hitam ketat serentak membungkuk lalu berlari cepat
ke ujung tanjung. Satu persatu mereka mencebur masuk ke dalam laut!
Siapakah adanya gadis bermahkota bermata biru dan empat gadis yang barusan masuk
lenyap ke dalam laut" Dalam rimba persilatan tanah Jawa gadis bermata biru itu
dikenal sebagai Ratu Duyung. Seorang gadis sakti mandraguna yang bisa hidup di
dua alam yakni laut dan daratan. Empat gadis tadi adalah anak buah atau
pengawalnya. (Mengenai riwayat Ratu Duyung harap baca serial Wiro Sableng
berjudul "Wasiat Iblis" terdiri dari 8 Episode).
Setelah empat anak buahnya masuk ke dalam laut, Ratu Duyung tidak segera
tinggalkan tempat itu. Dia merenung sejenak. Menyambung-nyambung semua hasil
penyelidikan yang dilakukan anak buahnya. Lalu dalam hati dia membatin.
"Bidadari Angin Timur... Sejak beberapa bulan terakhir ini dia terlihat muncul di
beberapa tempat. Melakukan kesibukan-kesibukan yang sulit diduga. Sejak Pendekar
212 Wiro Sableng lenyap tak diketahui rimbanya dia sering-sering muncul di
kawasan selatan. Agaknya dia mengetahui sesuatu. Dulu aku menaruh curiga jangan-
jangan dirinya ada sangkut paut dengan lenyapnya Wiro. Kini bukan mustahil
kecurigaanku menjadi kenyataan. Candi Pawan jarang didatangi orang. Kuburan yang
diselidiknya adalah kuburan tua. Ada apa gadis itu berada di sana, malam-malam
begini dia sengaja mendahului rencana pertemuan yang sudah ditetapkan..."
Ratu Duyung selipkan cermin bulatnya di balik celah pakaian di sebelah samping
kiri. Lalu sekali berkelabat sosoknya pun lenyap dari tempat itu.
Candi Pawan tidak berapa jauh letaknya dari kawasan pantai selatan. Dalam waktu
tidak berapa lama Ratu Duyung telah sampai di reruntuhan candi itu. Di balik
dinding candi sebelah timur dia keluarkan suara seperti kicau burung. Dua orang
gadis yang mendekam di balik pohon besar saling berbisik. "Ratu telah datang..."
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Sekali lagi terdengar suara kicau burung. "Ratu memberi tanda. Kita boleh pergi
dari sini..." Dua gadis di balik pohon tanpa suara dan tersamar oleh kegelapan
malam segera tinggalkan tempat sejak tadi mereka bersembunyi.
Dari balik runtuhan candi, Ratu Duyung memandang ke arah pekuburan. Seorang
gadis berpakaian biru melangkah mundar-mandir di antara deretan kuburan-kuburan
tua yang hampir sama rata dengan tanah dan tak satu pun memiliki nisan. Gadis
ini memiliki rambut berwarna pirang yang melambai-lambai ditiup angin malam.
Tubuh, pakaian dan rambutnya menebar bau harum mewangi. Sambil berjalan
pikirannya diputar dan hatinya membatin.
"Tidak ada kuburan baru di tempat ini. Berarti kalau memang dia sudah meninggal,
tidak mungkin dimakamkan di tempat ini."
Selagi berpikir dan membatin seperti itu tiba-tiba telinga si gadis menangkap
suara kicau burung. Dia memandang berkeliling, memperhatikan pepohonan yang ada
di sekitar reruntuhan Candi Pawan.
"Aneh... Ada suara burung di malam hari." Membatin gadis di tengah kuburan. "Aku
menaruh firasat ada orang mengawasi gerak gerikku. Hemmm... Aku yakin dia bukan
bangsa penjahat... Biar kupancing dia keluar dari tempat persembunyiannya!"
Dengan tenang gadis itu kembali melangkah di antara makam-makam tua. Di hadapan
sebuah kuburan dia berhenti. Kaki kanannya bergerak menendang.
"Braakkk!"
Tanah kuburan mental berantakan. Si gadis hunjamkan tumitnya ke atas makam.
"Braaaakkkk!"
Kuburan tua itu jebol sampai dua jengkal. Sebuah lobang terkuak menganga. Lalu gadis berbaju biru ini membentak.
"Orang di dalam makam! Tak ada gunanya terus bersembunyi! Lekas keluar! Atau kau
ingin kukubur hidup-hidup!"
Si gadis menunggu. Tak ada gerakan, tak ada suara. Tak ada yang muncul.
"Kau memang minta mati!" Gadis berbaju biru kembali berteriak. Tangan kanannya
diangkat ke atas, membuat gerakan siap untuk menghantam satu pukulan dahsyat.
Tetap saja tak ada yang muncul. "Kurang ajar! Pengintai gelap itu tidak termakan
pancinganku!"
Baru saja si gadis berkata begitu, dari balik reruntuhan Candi Pawan terdengar
suara tawa berderai. Lalu muncul sesosok tubuh berpakaian bermanik-manik,
melangkah tenang mendatangi gadis berambut pirang.
Gadis cantik di tengah kuburan terkejut dan merah padam wajahnya ketika melihat
siapa yang muncul dan mendatanginya. Belum sempat dia menegur, orang itu telah
menyapa lebih dulu.
"Sahabatku Bidadari Angin Timur, malam-malam berada di tengah kuburan, di
kawasan terpencil begini rupa. Apakah yang tengah kau perbuat?"
Bidadari Angin Timur tenangkan hatinya. Dia tersenyum, membuat munculnya lesung
pipit di ppinya kiri kanan.
"Ratu Duyung!" seru Bidadari Angin Timur. "Aku juga punya pertanyaan yang sama.
Gerangan apa malam-malam begini kau keluar dari laut kediamanmu, mendatangi
kuburan. Apakah malam ini terlalu panas hawa di dalam laut. Apakah tidak ada tempat yang
lebih indah dari pekuburan ini hingga kau sampai tersesat kemari?"
Walau maklum dirinya diejek tapi Ratu Duyung tetap simpulkan senyum. "Kita
mempunyai kepentingan yang sama, mengapa saling bersandiwara" Bukankah hari
pertemuan untuk membicarakan lenyapnya Pendekar 212 hanya tinggal beberapa hari
di muka. Tapi agaknya kau telah bertindak mendahului kesepakatan..."
"Jangan kau salahkan diriku. Beberapa di antara kita juga telah mulai menyalahi
aturan. Termasuk dirimu..." kata Bidaari Angin Timur pula.
"Tidak ada gunanya saling melemparkan kecurigaan. Kita kehilangan orang yang
sama. Bukankah lebih baik saling bekerja sama memecahkan rahasia lenyapnya pendekar
itu?" "Usulanmu baik sekali. Tapi di masa yang sudah-sudah kau selalu menyalahi
aturan..."
"Sahabatku Bidadari Angin Timur. Waktu berjalan maju, bukannya mundur. Apa
untungnya mengungkit-ungkit masa lalu?"
"Sahabatku Ratu Duyung, kau masih saja pintar bicara seperti dulu. Baiklah, aku
tidak mau bertengkar mulut denganmu. Biar aku meninggalkan dirimu dan kita
bertemu lagi beberapa hari di muka dengan para sahabat lainnya, sesuai
perjanjian."
Tidak menunggu lebih lama Bidadari Angin Timur segera tinggalkan tempat itu.
Ratu Duyung menghela nafas dalam. "Kukira hatinya benar-benar polos terhadapku.
Agaknya dia masih menyimpan ganjalan..." Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu
Duyung melirik ke arah kuburan yang jebol akibat injakan kaki Bidadari Angin
Timur tadi. Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini
membentuk lobang itu dilihatnya bergerak-gerak. Ratu Duyung bungkukkan badannya
sedikit. Memperhatikan tak berkesip. Tiba-
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam kuburan. Ratu Duyung terpekik keras.
Nyawanya seperti terbang dan tubuhnya laksana dilontarkan sampai tiga langkah ke
belakang! T A M A T Episode Berikutnya :
TIGA MAKAM SETAN
BASTIAN TITO KEMBALI KE TANAH JAWA
Panji Tengkorak Darah 1 Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Riwayat Lie Bouw Pek 14