Pencarian

Makam Ke Tiga 3

Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga Bagian 3


seperti setan! Damar Wulung keluarkan seruan tertahan. Kakinya
tersurut ke belakang. Nyawanya serasa terbang.
Walau lidahnya mendadak kelu namun mulutnya masih bisa berucap.
"Guru!"
* * * ORANG berjubah hitam bermuka setan ram-
but kelabu riap-riapan membuat gerakan
aneh. Tubuhnya melesat ke atas, hampir
menyandak atap goa dan tahu-tahu telah berdiri hanya satu langkah di hadapan
Damar Wulung. "Guru..." si pemuda kembali berucap.
Yang dipanggil guru menyeringai, membuat
wajahnya semakin seram menggidikkan.
"Adisaka, buka matamu besar-besar. Benarkah yang kau lihat berdiri di hadapanmu
ini adalah gurumu" Bukannya gadis bermata biru yang
hendak kau gagahi itu"!"
Pucatlah wajah Damar Wulung alias Adisaka.
Keringat dingin membasahi tengkuknya. Dia tak bisa menjawab. Matanya melirik
jelalatan mencari-cari. Hatinya bertanya-tanya. Kalau si nenek ini sekarang ada
di dalam goa, lalu dimana beradanya Ratu Duyung yang tadi jelas-jelas
ditinggalkannya di tempat ini"
"Adisaka, perbuatan keji terkutuk inikah yang jadi hasil jerih payahku
menggemblengmu selama bertahun-tahun untuk menjadi seorang pendekar pembela
kebenaran penegak keadilan, pembela kaum lemah menghancurkan kesewenang-
wenangan"! Semula aku mendengar banyak cerita tentang dirimu. Semua serba tak
jelas karena mungkin hanya berita dilayangkan angin belaka.
Kini kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri rasanya sulit aku
mempercayai. Muridku, kau yang tadinya aku harapkan menjadi pendekar besar
ternyata adalah manusia keji yang tubuh dan hatinya karatan oleh kebiadaban!"
Damar Wulung dalam kaget dan kecut tak kuasa menjawab jatuhkan diri, berlutut
bahkan kemudian bersujud di hadapan gurunya si nenek muka setan, yang bukan lain
adalah Gondoruwo Patah Hati adanya!
"Bangun! Jangan bersujud di hadapanku!"
bentak nenek muka setan dengan suara menggeledek.
Damar Wulung tersentak lalu cepat-cepat
bangkit berdiri. Kepalanya ditundukkan, tak berani menatap wajah apa lagi
sepasang mata gurunya yang berkilat laksana sambaran api.
"Dari sikapmu bersujud, jelas otakmu sudah terbalik dan hatimu diselimuti air
comberan busuk!
Aku tidak pernah mengajarkan padamu bahwa
manusia harus bersujud kepada manusia! Hanya pada Gusti Allah tempat manusia
bersujud! Dalam usahamu hendak coba selamatkan diri jangan kau berbuat salah
kaprah! Kalau tombak besi kau tusukkan ke dadaku, sakitnya mungkin tidak
seberapa dibanding dengan semua perbuatan yang telah kau lakukan."
"Guru, mohon maafkan diriku. Mohon aku diberi kesempatan untuk menjelaskan satu
hal...." "Aku menyesal. Mungkin aku telah kesalahan mengambilmu sebagai murid. Karena
belakangan, setelah kau kugembleng kujadikan murid, terbetik berita bahwa
sebenarnya adikmulah yang aku inginkan untuk jadi murid. Entah bagaimana
kejadiannya, waktu terjadi bencana alam, aku hanya melihat dan menemuimu di
dalam rimba...."
Damar Wulung jadi terdiam. Dia tidak
menyangka gurunya akan mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Guru, aku mohon sekali lagi. Aku tidak bermaksud membela diri. Namun izinkan
aku menjelaskan sesuatu yang ada hubungannya
mengapa aku sampai menjalankan hidup sesat seperti ini...."
"Hemm.... Setan mana yang menyambatmu hingga kau jadi manusia jahat, bejat budi
pekerti! Apa yang hendak kau jelaskan!" Gondoruwo Patah Hati meluluskan permintaan
muridnya walau sebenarnya dia tidak suka berlama-lama di tempat itu dan sudah gatal tangan
untuk segera menjatuhkan hukuman.
"Aku akan jelaskan guru, harap kau suka mendengar. Tak berapa lama setelah aku
kau lepas meninggalkan pertapaan, aku terpesat ke satu rimba belantara di pantai
selatan. Di sana aku jatuh sakit, terserang demam panas. Rasanya saat itu tidak
ada satu orangpun yang bisa menolong. Aku sendiri tak mampu keluar dari hutan.
Jangankan melangkah, merangkakpun aku tak sanggup. Ajal sudah di depan mata.
Lalu terjadi satu keanehan.
Seperti mimpi aku melihat muncul sosok seorang perempuan muda berwajah cantik
sekali. Di kepalanya ada sebuah mahkota terbuat dari emas berbentuk kepala seekor ular.
Sehelai pakaian hijau tipis membungkus tubuhnya. Karena ada cahaya aneh menutupi
auratnya maka tubuhnya soolah tidak mengenakan apa-apa. Perempuan itu berkata
bahwa dengan mudah dia bisa menyembuhkan
sakitku. Tetapi dengan satu syarat yaitu bahwa aku harus menyebadaninya.
Memandangi tubuh nyaris telanjang itu nafsuku bergejolak. Aku berusaha bertahan
tapi sia-sia. Apalagi perempuan cantik itu menunjukkan sikap mengundang dan aku
perlu kesembuhan. Dalam keadaan tidak sadar dan
dirangsang nafsu setelah aku disembuhkannya dengan cara aneh, perempuan itu
mengajak aku melakukan hubungan badan...."
"Kau menerima ajakan setan betina itu! Kau menidurinya! Betul begitu"!" bentak
Gondoruwo Patah Hati.
"Betul guru..." jawab Damar Wulung alias Adisaka.
"Cuahh!" si nenek meludah ke tanah. "Siapa perempuan edan yang membuat kau mau
melakukan perbuatan maksiat itu?"
"Dia mengaku bernama Kunti Ambiri.
Belakangan aku ketahui dia sebenarnya adalah Dewi Ular...."
Kagetlah si nenek muka setan mendengar nama dan gelar yang disebutkan muridnya
itu. "Dewi ular dari pantai selatan! Bukankah dia sudah lama menemui ajal dan rohnya
gentayangan tidak diterima bumi" Makhluk itu yang kau tiduri Adisaka"!"
Damar Wulung mengangguk. Si nenek terdiam, mata melotot memandangi muridnya.
"Adisaka, aku tidak melihat apa hubungan Dewi Ular dengan banyak kejahatan yang
telah kau lakukan!" Gondoruwo Patah Hati akhirnya berkata.
Damar Wulung usap mukanya yang keringatan.
"Setelah aku melakukan hubungan, dalam diriku terasa ada beberapa keanehan.
Pertama ada dorongan untuk selalu melakukan kejahatan. Kedua aku seperti tidak bisa
melupakan Dewi Ular.
Akibatnya aku dijadikan budak nafsu oleh makhluk siluman ular itu. Berbulan-
bulan aku berada di tempat kediamannya...."
"Tidak disangka, jadi kau sudah hidup bergendak dengan makhluk terkutuk jejadian
itu! Edan!" Damar Wulung hanya bisa menelan ludahnya.
Dia ragu hendak meneruskan ceritanya.
"Apa kisah edanmu sudah selesai"!" bentak Gondoruwo Patah Hati.
"Belum, Nek. Kalau boleh aku melanjutkan.
Setelah berbulan-bulan berada bersamanya, suatu hari Dewi Ular berkata. Ada satu
tugas yang harus aku lakukan."
"Tugas apa?" tanya sang guru muka setan.
"Mencari seorang pendekar, menangkapnya hidup-hidup lalu membawanya ke hadapan
Dewi Ular di pantai selatan...."
"Siapa pendekar yang diinginkan Dewi Siluman itu?"
"Pendekar 212 Wiro Sableng," jawab Damar Wulung.
Terkejutlah si nenek mendengar gelar dan nama yang disebutkan. Matanya sampai
mendelik memandang tak berkedip pada sang murid. Lalu muiutnya menyeringai. Perlahan-
lahan keluar suara tertawa.
"Mencari, menangkap dan membawa Pendekar 212! itu bukan pekerjaan mudah. Selusin
manusia berkepandaian setingkatmu belum tentu mampu melakukannya. Kau mencari
penyakit Adisaka! Jika kau patuhi perintah dewi siluman itu, firasatku
mengatakan umurmu tidak akan lama. Kecuali jika kau mengikuti apa yang akan
kukatakan. Malam ini juga kau harus ikut ke pertapaanku di Kali Lanang.
Kau harus bertobat di sana. Jika kau
membangkang, kuhabisi seluruh ilmu yang ada di tubuhmu saat ini juga! Sebelum
matahari muncul kau akan berubah menjadi seorang kere pasar tanpa kepandaian,
tanpa ilmu kesaktian!"
Pucat muka Damar Wulung alias Adisaka. "Guru, aku berterima kasih kau masih
memperhatikan diriku. Tapi aku tidak mungkin mematuhi
perintahmu...."
"Apa kau bilang"!" hardik si nenek.
"Dewi Ular telah memberiku minum air sorga iblis...."
"Air sorga, tapi ada iblisnya! Minuman laknat apa itu?" tanya Gondoruwo Patah
Hati. "Pertama kali berada di tempat kediamannya Dewi Ular menyuguhkan secangkir
minuman berwarna putih. Ketika kuminum, tubuhku terasa sangat segar dan enteng. Ada satu
kekuatan aneh mengalir di setiap pembuluh darahku. Bersamaan dengan itu hasrat
kelaki-lakianku menggebu seperti kobaran api yang tidak padam oleh tiupan topan
dan curahan hujan. Selama cairan itu mendekam dalam diriku, aku tak mungkin
melepaskan diri dari perbuatan keji. Tubuhku seperti terbakar jika dalam satu
kali bulan purnama aku tidak dapat melepas kobaran nafsu. Selama di tempat
kediamannya Dewi Ular selalu melayani diriku. Tapi setelah berada di luaran, aku
terpaksa mencari sendiri...."
"Jahanam! Laknat terkutuk! Kejahatanmu bukan cuma memperkosa gadis. Aku
mendengar lebih dari itu!" teriak Gondoruwo Patah Hati. Saking marahnya dia
hantamkan tangan kanannya.
"Bukkk! Byaarrr!"
Dinding batu goa amblas runtuh.
'Adisaka, sebelum dosamu makin bertumpuk
setinggi gunung, malam ini juga kau harus ikut ke Kali Lanang...."
"Guru, jika kau mau memberi kesempatan.
Setelah aku menangkap dan membawa Pendekar 212 ke hadapan Dewi Ular, Dewi
berjanji akan memberikan obat pemunah air sorga iblis itu."
(Kisah dendam kesumat Dewi Ular terhadap
Pendekar 212 Wiro Sableng dapat diikuti dalam serial berjudul "Dewi Ular". Baca
juga Episode berjudul "Dendam Dalam Titisan" yaitu Episode ke 10 dari 11 Episode
"Tua Gila dari Andalas".)
"Jangan kau percaya omongan dan janji-janji siluman betina itu. Sekali kau telah
dijadikan budak nafsu, kau tak akan dilepaskannya seumur hidup.
Kau baru akan dilepas kalau sudah tidak berguna lagi baginya. Dan ingat, bukan
tubuhmu yang dilepas pergi, tapi nyawamu yang akan dilepas amblas olehnya!
Sekarang ikut aku ke Kali
Lanang...."
Waktu bicara Gondoruwo Patah Hati tak
bergerak di tempatnya. Tak kelihatan ada bagian tubuhnya yang bergerak. Tapi
tiba-tiba lima sinar hitam menderu.
"Bet... bet... bet... bet... bet!"
"Totokan Lima Jari Langit!" Damar Wulung berteriak keras. Dia cepat menghindar
selamatkan diri. Tapi kalah cepat. Lima sinar hitam mendarat di lima bagian
tubuhnya. Saat itu juga tangan dan kakinya menjadi kaku tak bisa bergerak.
"Guru, mengapa kau lakukan ini terhadapku?"
ujar sang murid. "Bukankah aku sudah bersedia mengikuti kehendakmu kalau aku
sudah menangkap Pendekar 212 dan membawanya ke
hadapan Dewi Ular...."
"Urusan kentut busuk! Siapa mau ikut campur!
Biar aku selesaikan urusanmu di sini saja!" jawab si nenek. Lalu dia melangkah
mendekati muridnya, siap membembeng leher pakaian pemuda itu dan menyeretnya
keluar goa. Tapi alangkah kagetnya Gondoruwo Patah Hati ketika melihat apa yang
terjadi. Di tempatnya berdiri dia melihat bagaimana mulut muridnya dalam keadaan
terkancing bergerak komat-kamit. Lalu tubuh si pemuda bergetar hebat.
Bersamaan dengan itu ada hawa tipis kebiruan keluar dari permukaan tubuh dan
pakaiannya. Lalu terdengar suara letupan halus lima kali berturut-turut.
"Dess... dess... dess... dess... dess!"
Satu teriakan keras melesat keluar dari mulut Adisaka. Tubuhnya yang tadi kaku
tiba-tiba bergerak lalu dalam satu gerakan kilat melesat ke mulut goa.
"Murid jahanam! Jangan lari!" Gondoruwo Patah Hati mengejar sambil lepaskan satu
pukulan sakti. "Kraakkk...!"
Batang pohon besar di seberang mulut goa
hancur. Pohonnya tumbang dengan suara
bergemuruh. Tapi Damar Wulung sang murid yang terlahir Aengan nama Adisaka
lenyap sirna tak kelihatan lagi bayangannya. Hanya dikejauhan terdengar suara
kuda dipacu dan suara inipun kemudian lenyap.
"Anak itu.... Kalau tidak ada yang mencegahnya, rimba persilatan tanah Jawa bisa
kiamat! Dia mampu melepaskan diri dari Totokan Lima Jari Langit yang aku
lepaskan dari jarak jauh. Ilmu setan apa yang dimilikinya" Dari siapa dia
mendapatkannya" Dari Dewi Ular?"
Si nenek geleng-geieng kepala dan tarik nafas panjang berulang kali. Tiba-tiba
dia ingat sesuatu.
Cepat dia Jari ke balik sebuah batu besar di ujung kiri dinding batu. Di situ
menggeletak sosok tubuh seorang gadis. Auratnya di bagian dada hampir tidak
tertutup karena pakaiannya robek besar.
Matanya yang biru mendelik ketakutan ketika melihat munculnya nenek berwajah
setan. Tapi ketika si nenek mulai memeriksa keadaannya dia segera maklum orang
tidak berniat jahat, malah hendak menolongnya. Gadis ini bukan lain adalah Ratu
Duyung. Ketika Damar Wulung keluar dari goa untuk mencari orang yang bersiul, si
nenek yang memang sudah lama mengikuti gerak-gerik
muridnya sampai di tempat itu. Dia segera
menggendong Ratu Duyung keluar dari goa dan meninggalkannya di satu tempat yang
aman di balik batu.
"Gadis cantik, ketika tadi kau kutolong kau masih dalam keadaan pingsan. Tidak
salah kalau saat ini kau ketakutan setengah mati melihat tampangku! Keadaanmu
cukup parah. Anak keparat itu telah menotokmu dengan Totokan Jari Bumi, dua
tingkat lebih rendah dari Totokan Jari Langit.
Kau tak usah khawatir. Aku akan menclongmu, kau akan sembuh. Jika kau sudah
bebas berjanjilah untuk menceritakan apa yang terjadi!"
Gondoruwo Patah Hati mendongak ke langit.
Telapak tangan kanan dikembang, lima jari berkuku panjang dipentang lurus.
Perlahan-lahan, mulai dari kepala sampai ke kaki si nenek sapukan tangannya satu
jengkal di atas permukaan tubuh Ratu Duyung.
Setiap sapuan tangan sampai di bagian tubuh yang terkena totokan terdengar suara
letupan halus. "Dess... desss...."
Dari bagian tubuh yang barusan terlepas
totokannya keluar cahaya biru, tersedot dan menempel di telapak tangan si nenek.
Ternyata ada tujuh bagian tubuh Ratu Duyung yang terkena totokan. Begitu totokan
ke tujuh lepas Ratu Duyung menggeliat lalu melompat bangkit. Dadanya
bergoncang keras. Perutnya terasa mual. Dia meludah. Tengkuknya merinding ketika
melihat ludahnya yang jatuh di batu berwarna kebiru-biruan.
"Murid keparat itu! Pasti dia yang melakukan.
Dia menebar asap sirapan...."
Sadar kalau dirinya baru saja diselamatkan orang Ratu Duyung segera melangkah ke
hadapan Gondoruwo Patah Hati.
"Nenek, aku Ratu Duyung menghaturkan terima kasih setinggi langit sedalam
samudera. Kalau tidak kau yang menolong, diriku tentu sudah kejatuhan aib
besar." Si nenek yang diberi ucapan terima kasih
bukannya merasa senang tapi unjukkan tampang kaget dan mundur sampai dua
langkah. "Telingaku tidak tuli. Tapi coba ulang sekali lagi.
Kau menyebut namamu tadi. Siapa...?"
"Aku Ratu Duyung...."


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O walah! Tidak pernah mimpi bakal bertemu dengan penguasa kawasan selatan
paling cantik! Tidak pernah menyangka gadis yang aku tolong ternyata Ratu Duyung, gadis cantik
sakti mandraguna yang punya nama besar di delapan penjuru angin Tanah Jawa...."
Ratu Duyung tersipu malu. "Nek, kau jangan keliwat memuji...."
"Aku tidak memuji. Aku berkata apa adanya!"
jawab si nenek. "Gadis bermata biru, pakaianmu tidak karuan. Pakai ini untuk
menutupi tubuhmu.
Setelah itu aku ingin mendengar penjelasanmu.
Bagaimana kau sampai berada dalam keadaan ini.
Diculik orang!"
Dari buntalan yang ada di pinggang kirinya si nenek muka setan keluarkan sehelai
pakaian. Begitu diserahkan Ratu Duyung segera
mengenakan pakaian itu untuk menutupi
pakaiannya yang robek besar di bagian dada.
Ratu Duyung seolah baru sadar. Wajahnya yang cantik mendadak bengis. Sepasang
matanya memancarkan kilatan sinar biru. "Pemuda jahanam bernama Damar Wulung itu! Dia
layak mati di tanganku! Dia juga telah mencuri cermin saktiku!"
Ratu Duyung hendak melompat ke arah goa. Tapi si nenek cepat memegang bahunya.
"Tak ada gunanya mengejar. Pemuda itu sudah kabur. Kalau tidak selesai di
tanganku, kelak akan ada orang lain membereskannya. Mengenai cermin saktimu itu,
aku berjanji akan merampasnya dan mengembalikan padamu."
"Nek, tadi kau menyebut pemuda itu sebagai muridmu. Aku...."
"Dia memang muridku. Tapi ketahuilah, belasan tahun sifam ketika aku memasuki
satu rimba belantara dalam mengejar seorang anak leiaki yang jadi rebutan para
tokoh rimba persilatan, aku berhasil lebih dulu mendapatkan anak itu. Tapi
mungkin aku kesalahan tangan memilih. Nasibku sial. Yang kudapat bukan murid
baik-baik, tapi murid celaka! Aku sungguh menyesal. Apalagi setelah mengetahui
apa yang dilakukannya atas dirimu. Dia kena batunya. Dia mungkin tidak tahu
siapa kau sebenarnya...." Si nenek terdiam sebentar.
Dipandanginya wajah Ratu Duyung yang cantik jelita dengan pandangan haru tapi
juga penuh rasa kagum.
"Ratu Duyung, sebelum kita berpisah aku ingin kau menceritakan kejadian
bagaimana kau sampai dicuiik dan dibawa murid keparat itu ke tempat ini...."
"Aku sendiri tidak sadar kalau telah jadi korban penculikan. Aku baru tahu
setelah berada dalam goa. Tadinya aku dan tiga orang kawan berada di sebuah
kuil. Aku yakin saat itu kami telah tertidur.
Ketika bangun dan sadar aku dapatkan diriku hendak digagahi muridmu yang bernama
Damar Wulung itu...."
"Damar Wulung itu nama paisu. Nama
sebenarnya adalah Adisaka..." kata Gondoruwo Patah Hati. "Melihat pada telapak
tanganku yang berwarna biru, juga pada air ludahmu yang
berwarna biru, agaknya Adisaka telah menyirap dirimu dan kawan-kawan dengan
sejenis sirapan mengandung racun. Tadi katamu kau bersama tiga orang teman.
Mereka sekarang berada di mana?"
"Astaga! Jangan-jangan mereka masih berada di kuil. Jangan-jangan mereka telah
diperlakukan keji oleh Adisaka! Aku harus segera kembali ke kuil itu...."
"Ya, pergilah cepat. Aku ada kepentingan lain.
Tak bisa ikut bersamamu."
"Tak jadi apa Nek. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih padamu. Kalau umur
sama panjang kita akan bertemu lagi. Semoga Gusti Allah memberi jalan bagiku
untuk membalas budi luhurmu ini!"
Si nenek tertawa perlahan. Walau perempuan tua ini berwajah seram seperti setan
tapi entah mengapa Ratu Duyung merasa senang padanya.
Begitu ingat sesuatu Ratu Duyung berkata. "Nek, maafkan kalau aku bicara mungkin
menyinggung perasaanmu. Kalau kau mau ikut aku ke pantai selatan, aku dan orang-
orangku bisa mengobati cacat diwajahmu. Kau akan kembali memiliki wajah secantik
yang kau inginkan...."
Si nenek pandangi Ratu Duyung. Matanya
tampak berkaca-kaca. Lalu mulutnya berucap.
"Ratu Duyung, terima kasih atas kebaikan hati dan budi tulusmu itu. Namun aku
merasa bahagia hidup dengan wajah seperti ini. Biarlah aku tetap berada dalam
keadaan begini."
Ratu Duyung merasa terharu mendengar ucapan si nenek. Si nenek sendiri masih
bisa tersenyum.
Seolah didorong oleh perasaan yang sama, kedua orang ini saling melangkah
mendekat lalu berpelukan.
"Nek, sekali lagi terima kasih...."
"Kau gadis cantik luar biasa. Aku kagum karena kecantikan bukan cuma ada di
wajahmu, tapi juga ada di lubuk hati sanubarimu...."
Selagi kedua orang itu saling berangkulan
sebelum berpisah, di balik sebuah batu besar ada orang berbisik pada dua
temannya. "Lihat apa yang terjadi! Ratu Duyung berpeluk-pelukan dengan penculiknya!"
"Celaka, jangan-jangan sahabat kita itu telah kena diguna-guna..." menyahuti
orang di samping kiri.
Orang ke tiga yang ada di sebeiah kanan ikut bicara. "Aku pernah mendengar
tentang perempuan-perempuan aneh yang hanya suka pada sesama jenisnya! Jangan-
jangan Ratu Duyung telah melakukan hubungan gila dengan nenek muka
setan itu!"
"Kita harus segera keluar! Kalian berdua selamatkan Ratu Duyung, aku biar
membeset tua bangka keparat itu!"
Laksana kilat, tiga bayangan berkelebat dari balik batu besar. Gondoruwo Patah
Hati tersentak kaget ketika merasakan gadis yang tengah
dipeluknya terbetot lepas dari rangkulannya. Ratu Duyung sendiri tak kalah
kejutnya. . Bersamaan dengan itu terdengar satu bentakan garang.
"Iblis penculik! Bersiaplah menerima kematian!
Akan kukikis setiap gumpalan daging yang melekat di tulang belulang dalam
tubuhmu!" Cahaya putih terang berkiblat dalam gelapnya malam!
NENEK muka setan Gondoruwo Patah Hati
berseru kaget ketika dapatkan dirinya ter-
bungkus dalam serangan pedang yang
menabur cahaya putih menyilaukan dan
sambaran hawa dingin menggidikan. Dengan
cepat nenek ini melompat selamatkan diri sambil tangan kanannya melepas pukulan.
Lima sinar hitam menderu keluar dari lima kuku.
"Wuttt!"
Cahaya putih kilauan pedang menyambar.
"Bett... bett... bett... bett... bett!"
Lima larik sinar hitam amblas bertaburan. Si nenek terpekik. Cepat tarik tangan
kanannya yang mendadak ngilu kesemuatan. Wajah setannya
mengkeret garang. Mulutnya membentak lantang pada orang yang barusan
menyerangnya. "Gadis liar! Tak ada ujung pangkal mengapa kau menyerangku"!" sepasang mata si
nenek mengawasi pedang tipis di tangan orang.
Yang dibentak balas menghardik.
"Penculik busuk! Sudah tertangkap basah masih bisa jual lagak di hadapanku!
Lihat pedang dan mampuslah!"
"Gadis jahanam! Siapa jadi penculik! Enak saja kau menuduh! Kau yang mampus
duluan!" Gondoruwo Patah Hati tekankan tumit
kanannya ke tanah. Bersamaan dengan
menyambarnya pedang di tangan lawan, tubuh nenek ini melesat ke udara,
berjungkir balik satu kali. Begitu melayang turun, laksana kilat lima kuku jari
tangan kanannya menyambar ke kepala lawan.
"Breettt!"
Jubah Gondoruwo Patah Hati robek besar di
sebelah bawah termakan ujung pedang.
Sebaliknya si penyerang berseru kaget, muka pucat ketika kuncir rambut di atas
kepalanya putus, membuat rambutnya yang panjang hitam terurai lepas riap-riapan.
Kalau tidak cepat dia rundukkan kepala tadi, bisa-bisa ubun-ubun di batok
kepalanya amblas dijebol orang!
Sementara itu Ratu Duyung yang dicekal dua orang membentak marah. Sambil
berusaha lepaskan diri dia coba melihat siapa dua orang di kiri kanannya yang mencekal
dirinya. "Anggini! Bidadari Angin Timur! Apa-apaan ini" Mengapa kalian mencekalku begini
rupa"!"
Berseru Ratu Duyung ketika dia mengenali siapa dua orang yang tengah
mencekalnya. "Ratu Duyung, mengucaplah! Sebut nama Tuhan!" menyahuti Anggini yang berada di
sebelah kiri. "Kami baru saja melepaskanmu dari penculikmu!"
"Lebih dari itu," berucap Bidadari Angin Timur.
"Beruntung kau kami lepaskan dari aib besar!"
"Kalian berdua apa sudah gila" Kalian sadar apa yang barusan kalian ucapkan"!"
Anggini dan Bidadari Angin Timur jadi saling pandang. Ratu Duyung menyusul
ucapannya tadi.
"Nenek muka seram itu bukan penculik! Justru dia yang menyelamatkan diriku dari
penculik sebenarnya! Gila! Aib besar apa yang telah aku perbuat?"
"Kami... kami lihat kau berpeluk bermesra-mesra dengan nenek itu. Bagaimana
mungkin kalian yang sesama jenis...."
"Benar-benar gila! Kalian berdua salah duga!
Tunggu! Nanti aku jeiaskan pada kalian!" Saat itu Ratu Duyung menyaksikan
bagaimana Pedang
Naga Suci 212 di tangan Puti Andini bertabur laksana curahan hujan menyerbu
mengurung Gondoruwo Patah Hati hingga si nenek kelihatan terdesak hebat. Meski diserang
gencar habis-habisan namun Gondoruwo Patah Hati masih
sanggup bertahan sambil sesekali lepaskan
pukulan tangan kosong sangat berbahaya. Jika perkelahian itu tidak segera
dihentikan, salah satu dari keduanya pasti akan celaka.
"Brettt!"
Ujung jubah hitam lengan kiri si nenek terbabat putus.
"Bukkk!"
Bahu kiri Puti Andini kena dihajar pukulan lawan. Walau tidak telak, hanya
terserempet tapi cukup membuat Puti Andini melintir. Selagi dia berusaha
mengimbangi diri tahu-tahu lengan kanannya yang memegang pedang sudah kena
dicekal lawan. Lima kuku panjang mencengkeram pergelangannya. Kalau si nenek mau
sekali meremas lima kuku itu akan masuk amblas ke dalam daging lengan sampai ke tulang.
Tapi anehnya walau dalam keadaan marah besar si nenek tidak melakukan hal itu.
Sebaliknya Puti Andini merasa tidak sanggup lepaskan tangan dari cekalan, dengan
cepat hantamkan sikut kirinya ke rusuk lawan. Si nenek menangkis dengan
menyambut serangan itu
dengan telapak tangan kiri.
Melihat Puti Andini tidak berdaya bahkan bisa celaka di tangan lawan, Bidadari
Angin Timur dan Anggini segera lepaskan cekalannya pada Ratu Duyung lalu
melompat seraya lepaskan pukulan tangan kosong ke arah si nenek.
"Bukk!"
"Bukk!"
Dua pukulan keras melabrak tubuh
Gondoruwo Patah Hati. Sosok si nenek terpental, bergulingan di tanah tapi sesaat
kemudian sosok itu melesat ke atas, melompat dan tegak berdiri sambil
menyeringai. Pedang Naga Suci 212 yang tadi ada dalam genggaman Puti Andini kini
berada dalam pegangan tangan kanan si nenek.
"Penculik keparat! Kembalikan pedangku!"
teriak Puti Andini. Bidadari Angin Timur dan Anggini ikut membentak. Tiga gadis
itu kemudian serentak menyerbu si nenek.
Saat itulah Ratu Duyung berkelebat memapaki gerakan tiga sahabatnya sambil
dorongkan dua tangannya.
"Teman-teman! Tahan!"
Tubuh Puti Andini, Bidadari Angin Timur dan Anggini seolah tertahan oleh satu
tembok semu, tak dapat meianjutkan serangan.
"Ratu Duyung, kau pasti telah kena diguna-gunai nenek muka setan itu. Kami
hendak menolongmu dari tangan jahatnya, kau malah membelanya!" berkata Puti Andini.
"Teman-teman. Kalian salah menduga! Nenek itu bukan penculikku. Justru dia yang
menyelamatkan diriku dari tangan penculik
sebenarnya! Yang menculikku bukan dia, tapi pemuda bernama Damar Wulung!"
Kagetlah tiga gadis itu di hadapan Ratu
Duyung. Tapi juga ada rasa kurang percaya.
"Damar Wulung"!" ujar Bidadari Angin Timur.
"Bukankah dia pemuda yang siang tadi menolong kita dari tangan para penjahat"
Mengapa sekarang tahu-tahu...."
Saat itu Gondoruwo Patah Hati telah berdiri di hadapan Puti Andini. Dia pandangi
si gadis lalu perhatikan Pedang Naga Suci 212 di tangan
kanannya. "Pedang bagus.... Bukan saja sakti
mandraguna tapi juga sarat dengan riwayat...."
Si nenek angsurkan senjata itu pada Puti Andini sambil tersenyum dan kedipkan
matanya. "Ketika kau belum dilahirkan, aku sudah mendengar
riwayat pedang ini. Bahkan aku adalah sahabat salah seorang pewarisnya. Gadis
cantik, kau beruntung menjadi pewaris berikutnya. Terima kembali pedangmu!"
Puti Andini sesaat jadi terkesima mendengar kata-kata Gondoruwo Patah Hati.
"Kau nenek penculik.... Aku.... An!"
"Ambil dulu pedang ini! Kalau aku berubah pikiran, ingin memiliki dan
melarikannya. Sampai diliang kubur kau tak bakalan mendapatkannya kembali!
Hik... hik... hik!"
Puti Andini sadar. Cepat-cepat dia mengambil senjata itu. Dia ingat satu hal.
Pedang Naga Suci bukan senjata sembarangan. Jika ada orang yang ingin berbuat
jahat hendak memiiikinya, bahkan seorang yang dianggap tidak suci atau tidak
perawan lagi, maka tangannya akan terkelupas hangus dimakan hawa sakti yang ada
dalam pedang. Sambil pegangi Pedang Naga Suci 212 Puti
Andini membatin. "Nenek muka setan ini, tangannya tidak terkelupas tidak cidera.
Berarti dia memang tidak punya niat jahat. Lalu, apakah seusia begini lanjut dia
masih perawan?"
"Anak gadis, apa yang ada dalam benakmu?"
Gondoruwo Patah Hati bertanya. Suaranya penuh kelembutan.
"Nek, apakah kau... kau...?"
Si nenek tertawa lebar, "Aku tahu apa yang hendak kau tanyakan. Simpan dulu
pertanyaanmu itu. Satu hari kau bakal menemukan jawabannya.
Sekarang di hadapan teman-temanmu aku ingin bertanya, apakah kau masih menuduhku
sebagai penculik?"
Puti Andini jadi bingung sendiri, tak bisa menjawab.
"Kami melihat kalian bermesraan. Kami menduga kalian tengah melakukan hubungan
yang tidak wajar!" Bidadari Angin Timur berucap.
Si nenek kembali tertawa.
"Kalau sahabatmu ini punya kelainan,
masakan dia mau-mauan dengan seorang tua
bangka bermuka seram seperti diriku" Pasti dia akan mencari gadis cantik seusia
atau lebih muda dari dirinya." Gondoruwo Patah Hati berpaling pada Puti Andini
lalu berkata. "Tenangkan jalan pikiran dan hatimu! Ingat baik-baik apa yang
sebelumnya terjadi. Aku yakin kau bakal tahu kalau aku ini bukan penculik keji
itu...." Puti Andini merenung sejenak. Sesaat
kemudian dia berkata. "Ya, aku ingat sekarang Nek. Maafkan diriku...."
"Jangan buru-buru minta maaf. Cerita saja apa adanya," kata Gondoruwo Patah Hati
pula. "Waktu itu aku dan teman-teman berada di sebuah kuil. Mereka mungkin sudah
terlelap dalam tidur nyenyak. Aku sendiri sulit
memejamkan mata. Lalu di halaman kulihat ada kepulan asap, berhembus memasuki


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuil. Lalu samar-samar kulihat ada orang di halaman,
melangkah memasuki kuil. Karena gelap aku tidak dapat melihat wajahnya...."
"Wajahnya tidak kau lihat, tapi sosoknya pasti kau kenali. Apakah dia mengenakan
jubah hitam seperti yang aku kenakan?"
Puti Andini menggeleng.
"Apakah dia seorang perempuan, seorang nenek tua buruk seperti diriku?"
Puti Andini terdiam, lalu kembali gelengkan kepala. "Aku sadar sekarang. Orang
yang memasuki kuil itu adalah seorang lelaki. Dia berhenti di hadapanku, lalu
mendekati salah seorang sahabatku. Lalu bergerak ke tempat Ratu Duyung.
Mendukung sahabatku di atas bahunya lalu melarikannya. Aku hendak mengejar tapi
tangan dan kakiku lumpuh, kepala terasa berat, pemandangan berkunang. Untung aku
kemudian masih mampu membebaskan diri dari hawa aneh yang menguasai tubuhku. Aku
segera membangunkan dua sahabatku. Ternyata mereka bukan cuma tidur tapi dalam keadaan
setengah pingsan. Aku berhasil memulihkan keadaan
mereka lalu melakukan pengejaran...."
"Kau beruntung. Ketika asap pehyirap
memasuki kuil kau berada dalam keadaan terjaga hingga racun jahat tidak banyak
terhirup ke dalam jalan darahmu. Tapi dua temanmu ini masih
mengindap cukup banyak hawa beracun dalam
tubuhnya. Aku akan menolong keduanya. Cuma sekarang aku ingin tahu, apakah kau
dan kawan-kawanmu masih menuduh aku sebagai penculik?"
"Maafkan aku dan teman-teman Nek. Kau, kau bukan penculik Ratu Duyung..." jawab
Puti Andini. "Kalau begitu siapa yang telah menculik sahabat kami" Apa kau tahu orangnya?"
tanya Bidadari Angin Timur.
"Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, apa aku boleh mengetahui satu persatu
siapa kalian bertiga yang jadi sahabat Ratu Duyung?"
"Aku Puti Andini. Maafkan diriku tadi telah menyerangmu habis-habisan...."
Si nenek tertawa. "Kalau tak salah kau gadis berkepandaian tinggi dari Pulau
Andalas...."
"Aku Bidadari Angin Timur."
"Hemmm.... Rambut pirang, tubuh menebar bau wangi, pakaian warna biru, tubuh
tinggi semampai dan ada lesung pipit di pips. Aku sudah menduga sejak tadi kau
adalah gadis cantik yang dijuluki Bidadari Angin Timur...."
"Aku Anggini...."
"Anggini!" si nenek kerenyitkan kening.
"Namamu mengingatkan aku pada satu kisah yang pernah diriwayatkan oleh seorang
sahabat. Kisah perjodohan antara kau dengan seorang pemuda gagah berjuluk Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212...."
Wajah Anggini serta merta bersemu merah.
Puti Andini sengaja alihkan pandangan ke jurusan lain. Ratu Duyung tundukkan
kepala. Hanya Bidadari Angin Timur yang melontarkan lirikan, memperhatikan sikap Anggini.
Jelas bayangan kecemburuan tak bisa disembunyikan si cantik berambut pirang ini.
Si nenek tertawa perlahan. "Dalam keadaan seperti ini harap maafkan kalau aku
bermulut lancang membicarakan urusan pribadi orang.
Empat gadis cantik! Kalian berada jauh dari tempat kediaman masing-masing. Apa
yang tengah kalian lakukan" Kalian mencari sesuatu?"
"Kami dalam perjalanan menuju Gunung
Gede," jawab Anggini.
"Gunung Gede! Itu adalah pertapaan tempat kediaman Sinto Gendeng, guru Pendekar
212!" kata si nenek lalu pandangi wajah empat gadis itu satu persatu. Dalam hati dia
membatin. "Empat gadis cantik... dari bayangan di balik wajahmu aku tahu hati
kalian sama tertambat pada pemuda itu.
Entah siapa yang beruntung diantara kalian yang bakal dapat menjadikan dirinya
sebagai teman hidup."
"Kami memang tengah mencari pemuda
sahabat kami itu, Nek," kata Ratu Duyung. Lalu dia menceritakan riwayat dua
makam setan yang telah mereka temui di Kopeng dan Banyubiru serta maksud
perjalanan menuju puncak Gunung Gede.
"Kisah aneh tapi nyata. Di balik keanehan dan kenyataan itu kalian harus
berhati-hati. Aku punya firasat ada seseorang tengah menyiasati jebakan
berbahaya. Karena ketahuilah, beberapa waktu lalu aku telah berjumpa dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng yang kalian cari."
"Hah"!"
Empat mulut bagus sama keluarkan seruan kaget.
"Dimana kau menemui dia Nek"!" tanya Anggini.
"Jadi Wiro masih hidup!" ujar Bidadari Angin Timur.
Gondoruwo Patah Hati lalu menuturkan
pertemuannya dengan Wiro di satu kaki bukit. Tak lupa dia menceritakan bagaimana
secara tidak terduga muncul rombongan orang-orang
Kerajaan hendak menangkap murid Sinto
Gendeng itu. "Kami berdua berhasil memperdayai para tokoh silat Kerajaan dan melarikan diri.
Bukan itu saja. Banyak korban berjatuhan di pihak lawan.
Kini aku dan pemuda itu menjadi buronan
Kerajaan. Sial dan celakanya hidup ini. Hik... hik...
hik!" Si nenektertawa cekikikan.
"Lalu bagaimana dengan kabar bahwa dia sebenarnya sudah mati dua tahun lalu?"
Puti Andini ikut bicara.
"Mungkin...." Anggini tidak meneruskan ucapannya.
"Mungkin apa?" tanya Bidadari Angin Timur.
"Mungkin Wiro memang sebenarnya sudah menemui kematian. Yang ditemui si nenek
adalah arwahnya yang gentayangan..." jawab Anggini.
"Berani dan teganya kau berkata seperti itu!"
kata Bidadari Angin Timur.
"Maksudku bukan apa-apa. Semua yang terjadi jauh dari jangkauan akal."
Ratu Duyung cepat menengahi sebelum terjadi pertengkaran antara Bidadari Angin
Timur dan Puti Anggini.
"Ada orang sangat jahat menyiasati kita. Ingin mencelakai kita berempat!"
"Nek, jika Wiro masih hidup, seteiah berpisah dengan dirimu, apakah dia
memberitahu apa yang hendak dilakukannya" Kemana dia hendak
pergi?" bertanya Puti Andini.
"Pendekar seperti dia sukar diduga apa yang hendak dilakukan. Dicari sulit
setengah mati. Tidak dicari muncul sendiri. Tapi aku punya dugaan karena semua prasangka datang
dari Kerajaan maka dia mungkin akan masuk ke dalam lingkaran Kerajaan. Bukan mustahil
dia akan menyusup ke Kotaraja."
Empat gadis sama terdiam. Tak terasa
meluncur ucapan Anggini. "Kalau saja Kotaraja dekat dari sini...."
"Gunung Gede tak berapa jauh lagi. Kalau kita menuju Kotaraja sekarang sama saja
mencari kesia-siaan," kata Puti Andini pula.
"Para sahabat," kata Bidadari Angin Timur.
"Apapun yang kini kita ketahui, satu hal harus tetap kita lakukan. Menyelidik
sampai ke puncak Gunung Gede dimana Makam Ke Tiga berada...."
"Empat gadis cantik. Apapun yang kalian lakukan agar selalu hati-hati..." kata
Gondoruwo Patah Hati.
Sesaat tempat itu tenggelam dalam kesunyian sampai akhirnya Bidadari Angin Timur
berkata. "Nek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi.
Yaitu siapa sebenarnya yang telah menculik sahabat kami Ratu Duyung?"
Si nenek memandang sebentar ke arah Ratu
Duyung. Melihat cara memandang si nenek
Anggini, Puti Andini dan Bidadari Angin Timur segera memaklumi kalau sahabat
mereka satu itu sebenarnya sudah tahu siapa penculik dirinya.
Gondoruwo Patah Hati menghela nafas
panjang. Dengan suara tabah dia berkata. "Aku tidak malu mengatakan. Orang yang
menculik sahabat kalian itu adalah seorang pemuda yang kalian kenal dengan nama
Damar Wulung. Dia adalah muridku sendiri...."
Tiga pasang mata terpentang lebar. Tiga orang gadis langsung menunjukkan sikap
waspada. Melihat gerakan-gerakan yang dibuat tiga
temannya Ratu Duyung cepat berkata. "Nenek ini telah mengambil keputusan untuk
mencari dan menghukum muridnya. Harap kalian tidak
menaruh syak wasangka buruk lagi terhadapnya...."
"Nek, kalau aku boleh tanya, siapakah kau sebenarnya?"
Si nenek menatap paras Bidadari Angin Timur yang barusan mengajukan pertanyaan.
"Dalam rimba persilatan aku dikenal dengan nama Gondoruwo Patah Hati," jawab si
nenek. Bidadari Angin Timur dan Puti Andini tidak memberikan kesan apa-apa pada wajah
masing-masing. Lain halnya dengan Anggini yang telah lebih lama malang melintang
dalam rimba persilatan dibanding tiga gadis sahabatnya itu.
Walau tidak banyak, dari kakeknya Dewa Tuak, dia pernah mendengar riwayat
tentang nenek satu ini.
Satu pikiran terlintas dalam benak Anggini. Dia segera mendekati Ratu Duyung.
"Nek," Puti Andini berucap. "Ada satu hal yang masih belum masuk dalam jalan
pikiranku. Siang tadi Damar Wulung menolong kami dari tangan sembilan penjahat.
Mengapa sekarang dia
berbalik hendak berbuat jahat terhadap kami?"
Gondoruwo Patah Hati menarik nafas panjang.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan anak itu.
Sejak dia menjadi budak nafsu Dewi Ular
pikirannya boleh dikatakan tidak waras lagi.
Sesaat dia bisa menjadi orang baik. Di lain kejap dia bisa berubah menjadi
manusia laknat paling terkutuk di muka bumi ini."
Saat itu Anggini telah berada di samping Ratu Duyung. Dia segera berbisik.
"Lekas kau pergunakan llmu Menembus
Pandang. Aku menaruh duga...."
"Aku mengerti maksudmu," jawab Ratu Duyung berbisik. Lalu segera kerahkan aliran
darah disertai hawa sakti ke arah sepasang matanya yang biru.
Gondoruwo Patah Hati diam-diam
memperhatikan bisik-bisik antara dua gadis cantik di hadapannya itu. Ketika dia
melihat ada kilatan cahaya aneh di mata biru Ratu Duyung, perempuan tua yang
luas pengalaman ini segera maklum. Orang hendak melakukan sesuatu
padanya. Maka dengan cepat dia berkata.
"Empat gadis cantik sahabatku, aku harus melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi
aku akan memberikan empat butir obat. Harap kalian
menelannya satu seorang. Mudah-mudahan hawa beracun yang telah kalian hirup akan
bersih dari jalan darah dan pernafasan kalian!"
Habis berkata begitu si nenek lemparkan
empat butir benda berbentuk hitam. Dia sengaja melemparkan ke arah Ratu Duyung
yang sedang memusatkan diri untuk mengerahkan llmu
Menembus Pandang. Karena obat dilemparkan ke arahnya mau tak mau Ratu Duyung
gerakkan tangan menyambuti. Akibatnya pusat perhatian yang tengah diiakukan untuk
pengerahan ilmu menjadi buyar. Begitu sang Ratu menyambuti empat butir obat yang
dilemparkan dengan dua tangannya, nenek bermuka setan sudah
berkelebat lenyap dari pemandangan.
Di timur langit kelihatan mulai terang
kemerahan. Ratu Duyung menarik nafas kecewa.
"Nenek cerdik itu. Dia sengaja melemparkan obat ke arahku. Pikiranku buyar. Aku
tak sempat mengerahkan llmu Menyusup Pandang. Aku tak dapat mengetahui siapa dia
sebenarnya...."
DUA KUDA penarik gerobak dipacu tiada henti.
Siang itu panasnya udara bukan alang
kepalang. Matahari seolah berada di atas
kepala. Sore memasuki malam cuaca mendadak berobah. Awan tebal membentuk mendung
menutupi langit. Dalam gelapnya udara hujan lebat turun mengguyur bumi.
"Cari tempat berteduh. Kita harus mencari perlindungan. Kuda perlu istirahat!"
berseru Bidadari Angin Timur.
"Gunung Gede sudah di depart mata. Apapun yang terjadi malam ini kita harus
sampai di puncaknya!" menjawab Anggini yang duduk di depan gerobak bersama Puti
Andini. "Jangan toiol. Di udara seburuk ini sulit melanjutkan perjalanan ke puncak
gunung. Kalaupun kita sampai di sana, keadaan bisa membuat kita lengah. Paling tidak
tunggu sampai hujan berhenti. Tengah malam kita lanjutkan perjalanan agar sampai
dipuncak gunung menjelang terbitnya sang surya!"
Anggini tidak setuju pada ucapan Bidadari Angin Timur itu. Ratu Duyung diam
saja. "Bagaimana pendapatmu?" tanya Anggini pada Puti Andini.
Puti Andini yang memegang tali kekang dua ekor kuda tak menjawab. Tapi tanpa
bicara gadis ini kemudian membelokkan gerobak ke arah sederetan pohon bambu di
tepi kanan jalan ialu menghentikan kuda. Hujan masih terus turun malah makin
deras. "Ada payung kenapa tidak dipergunakan"!"
Bidadari Angin Timur mengambil keranjang besar berisi tujuh buah payung milik
Puti Andini. Puti Andini memperhatikan apa yang dilakukan Bidadari Angin Timur,
tidak melarang, tidak mengucapkan apa-apa. Bidadari Angin Timur kemudian
membagi-bagikan payung dalam keranjang. Puti Andini sendiri ikut menerima payung
berwarna hitam. Empat gadis pergunakan payung untuk melindur.g! kepala dan tubuh
masing-masing dari curahan air hujan dan tetap berada di atas gerobak.
Menjelang dinihari, gelapnya udara dan dinginnya malam serta fetihnya tubuh
membuat ke empat gadis itu terduduk di tempat masing-masing setengah tertidur
setengah jaga. Satu saat tiba-tiba salah seekor kuda penarik gerobak meringkik
keras. Gerobak bergoyang. Bidadari Angin Timur dan teman-temannya tersentak kaget.
Mereka geserkan payung masing-masing ke atas, memperhatikan bagian depan
gerobak. "Ada apa?" tanya Anggini.
"Tak ada apa-apa. Hanya kuda meringkik," jawab Bidadari Angin Timur. Dia
mengawasi Ratu Duyung di pojok kiri gerobak sementara Puti Andini tenggelam di
balik payung besar hitam. Hujan besar mulai surut mengecil.
"Hatiku tidakenak..." berucap Anggini.
"Siapa yang enak dalam keadaan seperti ini"
Dingin, geiap dan basah kuyup," jawab Bidadari Angin Timur. Gadis ini luruskan
dua kakinya yang terasa pegal. "Kita semua ketiduran. Sudah lewat tengah malam.
Mungkin hampir pagi. Kita harus melanjutkan perjalanan sekarang juga."
Anggini menggeliat lalu membangunkan Ratu Duyung.
"Tidurmu nyenyak amat. Apa tadi tidak tahu kuda meringkik, gerobak bergoyang
oleng"!" menegur Anggini.
"Siapa bilang aku tidur. Aku mendengar kuda meringkik. Juga merasakan gerobak
bergoyang. Tapi malas bangun. Dinginnya udara. Uh... pakaianku nyaris kuyup
semua...."
"Kita berangkat sekarang. Hai! Sahabat kita Puti Andini masih enak-enakan tidur.
Perlu dibangunkan." Bidadari Angin Timur lalu mendekat ke sudut gerobak tempat Puti
Andini duduk tertidur.
Diangkatnya payung hitam besar yang melindungi sosok Puti Andini. Begitu payung
tersingkap kagetlah Bidadari Angin Timur. Kosong! Puti Andini tidak ada di sudut
gerobak itu! Tiga gadis heboh besar. Apa yang terjadi" Ketiganya saling pandang.
Anggini mulai berteriak memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Puti Andini tak
kunjung muncul.
"Kita cari sekitar sini," kata Bidadari Angin Timur.
Lalu dia melompat turun dari gerobak diikuti Anggini dan Ratu Duyung. Mereka
mencari sampai beberapa jauh sekitar gerobak. Tapi Puti Andini tidak ditemukan.
"Tadi kuda gerobak meringkik. Sepertinya melihat sesuatu..." ujar Anggini.
"Sulit diduga apa yang terjadi. Apa yang dilakukan Puti Andini?" kata Ratu
Duyung pula. "Mungkinkah dia meninggalkan kita secara diam-diam?" menduga Ratu Duyung.
"Kalau dia punya niat seperti itu, mustahil dia meninggalkan tujuh payung
senjata andalannya begitu saja," jawab Bidadari Angin Timur.


Wiro Sableng 124 Makam Ke Tiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi apakah kalian tidak memperhatikan" Sejak dia mengetahui yang menculik diriku adalah pemuda
bernama Damar Wulung itu, sikapnya jadi berubah.
Dia lebih banyak diam. Kelihatannya dia menyukai pemuda itu. Mungkin hatinya
jadi hancur dan pikirannya jadi kacau."
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Anggini.
"Tunggu sampai matahari terbit. Kalau sampai siang datangif dia tidak juga
muncul, kita terpaksa meninggalkannya. Meneruskan perjalanan menuju puncak
Gunung Gede."
"Tidak berusaha mencarinya lebih dulu?" tanya Ratu Duyung.
"Waktu kita tidak banyak. Mungkin setelah turun dari Gunung Gede kita baru ada
kesempatan mencarinya...."
"Hatiku tidak enak..." kata Anggini.
"Semua kita merasakan seperti itu," jawab Bidadari Angin Timur.
"Yang aku khawatirkan pemuda jahanam
bernama Damar Wulung itu muncul lagi malam tadi.
Menculik Puti Andini..." kata Ratu Duyung. "Sayang, cermin saktiku dicuri Damar
Wulung. Kalau tidak pasti bisa membantu mencari gadis itu."
Sampai sang surya muncul esok paginya, Puti Andini tetap tidak muncul, juga
tidak diketahui dimana beradanya.
Bidadari Angin Timur merapikan perbekalannya.
Lalu dia pindah duduk ke bagian depan gerobak bertindak sebagai sais.
"Terus terang, ada semacam ganjalan kalau kita melanjutkan perjalanan tanpa
mengetahui nasib sahabat kita Puti Andini...."
Mendengar ucapan Anggini itu Bidadari Angin Timur menjawab. "Kalau begitu
rombongan kita pecah dua. Rombongan pertama mencari Puti
Andini. Rombongan kedua melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Gede. Kalian
silahkan memilih!"
Tak ada jawaban. Melihat hal ini Bidadari Angin Timur segera mencabuk punggung
dua ekor kuda. Gerobak serta merta bergerak. Dalam perjalanan selanjutnya ketiga gadis itu
jarang bercakap-cakap.
Mereka seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Di satu tempat di kaki gunung perjalanan tak mungkin lagi dilanjutkan dengan
gerobak. Tiga gadis turun dari gerobak, mengerahkan ilmu kepandaian masing-
masing, berlari menuju puncak Gunung Gede. Anggini mendapat tugas membawa
keranjang besar berisi payung tujuh warna milik Puti Andini.
Walau sudah ada jalan setapak dan walau Anggini sebelumnya sudah pernah naik ke
puncak Gunung Gede namun tetap saja tiga gadis itu tidak bisa bergerak cepat.
Baru lewat tengah hari mereka akhirnya sampai di puncak gunung. Matahari
bersinar terik tapi udara terasa sejuk.
"Dimana kira-kira letak makam ke tiga itu?" untuk pertama kalinya Ratu Duyung
membuka pembicaraan setelah sekian lama tiga gadis berdiam diri.
"Bagaimana kalau mencari tempat kediaman Eyang Sinto Gendeng lebih dulu!" ujar
Anggini. "Lebih baik begitu. Kalau nenek sakti itu ada di pondoknya siapa tahu kita bisa
mendapat petunjuk.
Tidak mustahil dia tahu seluk beluk semua kejadian ini. Lagi pula bukankah kau
sudah pernah ke sana dan tahu jalan?"
Anggini mengangguk mendengar kata-kata Ratu Duyung. Dia lalu berjalan lebih dulu
ke arah timur. Dua gadis lainnya mengikuti dari belakang. Cukup lama menempuh perjalanan di
puncak gunung karena dihadang oleh semak belukar lebat akhirnya tiga gadis sampai di satu
tempat datar. "Itu pondoknya!" Anggini hentikan langkah, menunjuk ke sebuah bangunan kayu di
ujung kiri pedataran.
"Sepi, rumput liar telah setinggi lutut di sekitar bangunan. Tak ada yang
memelihara. Berarti tak ada yang diam di pondok itu...." Bidadari Angin Timur
berkata sambil mengawasi.
"Mari kita selidiki," kata Anggini pula.
Tiga gadis mendekati pondok kayu di ujung
pedataran kecil. Mereka sampai di depan pondok.
Pintu kayu tertutup. Rumput setinggi betis dan lumut menutupi undak-undak batu
di depan pintu. Bidadari Angin Timur mengajak teman-temannya ke samping kanan
pondok. Dia berjalan di sebelah depan, dua gadis iainnya mengikuti di sebelah
belakang. Baru saja melewati ujung dinding pondok,
memasuki halaman di samping kanan bangunan, Bidadari Angin Timur menjerit keras
dan tersurut mundur. Muka pucat, mata mendelik besar menatap ke depan. Gadis ini
menjerit sekali lagi lalu tekap wajahnya dengan dua telapak tangan dan jatuh
berlutut. "Bidadari Angin Timur! Ada apa"!"
Anggini dan Ratu Duyung melompat. Keduanya hendak menolong mendirikan Bidadari
Angin Timur, namun gerakan mereka serta merta terhenti. Seperti Bidadari Angin
Timur tapi dua gadis ini menjerit keras, begitu mata mereka membentur satu
pemandangan yang menyayat hati di seberang sana.
"Ya Tuhan!" mengucap Ratu Duyung.
"Gusti Allah! Mengapa kau biarkan kebiadaban ini terjadi"!" ujar Anggini lalu
menggerung. Di depan sana, di ujung halaman samping pondok kayu terdapat onggokan tanah
merah berbentuk satu makam yang masih baru. Di salah satu ujung menancap papan
nisan sangat besar bertuliskan:
"DISINI BERISTIRAHAT UNTUK SELAMANYA
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG." Papan dan tulisan di atas papan itu masih baru.
Tetapi bukan onggokan tanah kuburan yang masih merah, atau papan nisan
bertuliskan nama Wiro Sableng yang membuat tiga gadis tadi menjerit. Di belakang
papan nisan ada satu tiang besar. Pada tiang ini terikat sosok Puti Andini.
Pakaian yang melekat di tubuhnya tak karuan rupa, membuatnya nyaris tidak
mengenakan apa-apa. Pada bagian tubuh yang tersingkap kelihatan bekas-bekas luka
mengerikan. Satu luka memanjang membelintang di pipi kirinya.
Darah yang hampir mengering menutupi sebagian wajah serta tubuh dan pakaiannya.
"Puti... Puti Andini..." ucap Anggini perlahan.
"Kasihan.... Kasihan sekali. Kita harus menolong.
Kita harus turunkan tubuhnya. Mudah-mudahan dia masih hidup. Ya Tuhan siapa yang
tega-teganya melakukan kebiadaban ini"!"
Lutut Bidadari Angin Timur goyah ketika dia berusaha berdiri. Saling berangkulan
tangan, sambil bertangisan tiga gadis itu melangkah mendekati makam. Makam Ke
Tiga! TAMAT EPISODE BERIKUTNYA :
SENANDUNG KEMATIAN
Romantika Sebilah Pedang 4 Pendekar Rajawali Sakti 171 Sayembara Maut Suling Emas Dan Naga Siluman 1
^