Melati Tujuh Racun 1
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun Bagian 1
SI KAKEK BOTAK PEGANGI PERUTNYA.
"CIMUNG, MENGAPA AKU HARUS MENUNGGU
SAMPAI MINGGU DEPAN?"
"KARENA BUNGA ITU HANYA MUNCUL SEKALI SEMINGGU. SETIAP MUNCUL SELALU
BERJUMLAH TIGA ..." "BENAR-BENAR ANEH. MLINCUL SEKALI SEMINGGU. SETIAP MUNCUL SELALU
BERJUMLAH TIGA." KAKEK KEPALA BOTAK BERMATA BELOK
JERENG MENGULANGI UCAPAN SULANTRI,
PANDANGI ANAK PEREMPUAN ITU
BEBERAPA SAAT, LALU BERTANYA. "DARI MANA
MUNCULNYA TIGA KUNTUM BUNGA ITU?"
SULANTRI MENLINJUK KE ARAH TIMUR
DIMANA Dl KEJAUHAN KELIHATAN GUNUNG
MERAPI. "TIGA BUNGA MELATI HITAM ITU SELALU ..."
BELUM SEhIPAT ANAK PEREMPUAN
DELAPAN TAHUN ITU MENYELESAIKAN UCAPANNYA
TIBATIBA SATU BENDA PUTlH BERDESING Dl UDARA.
SULANTRI MENJERIT KERAS. ANAK INI
LANGSUNG ROBOH, TERKAPAR Dl TANAH.
MATANYA MEMBELIAK MENATAP LANGIT.
KAKEK botak berpakaian dekil dan basah kuyup di sebelah bawah itu duduk di tepi
kali dekat serumpunan belukar. Mulut senyum-senyum, dua tangan memegang bagian
bawah perut. Matanya yang belok juling sejak tadi memperhatikan seorang anak
perempuan seusia delapan tahun duduk di tepi kali di seberang sana. Dua kakinya
dicelupkan ke dalam air kali yang dangkal, bening dan sejuk.
Di pangkuannya terlihat tiga kuntum bunga kecil. Di tangan kirinya anak ini
memegang sebuah lidi. Sambil menyanyi-nyayi kecil dengan tangan kanannya dia
menusukkan satu
demi satu kuntum bunga yang ada di
pangkuannya ke lidi di tangan kiri.
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tapi mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah kau mekar di malam kelam
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tangan kiri orang tua di balik semak belukar yang sejak tadi memegangi bagian
bawah perutnya diangkat ke atas. Tangan yang basah oleh air kencing itu enak
saja diusap-usapkan ke kepalanya yang botak. Sambil pandangi gadis cilik di
seberang kali dia berkata sendirian.
"Anak manis sekecil itu pandai sekali menyanyi. Suaranya bagus. Kalau sudah
besar bisa-bisa jadi sinden cantik, dikagumi dimanamana.
Kalau saja aku punya cucu seperti dia, hldupku pasti banyak bahagianya." Orang
tua ini lalu tertawa cekikikan. "Punya cucu" Aku punya cucu" Ha ... ha ... ha!
lstri saja tidak punya bagaimana bisa punya cucu" Ha ... ha.. ha!"
Tiba-tiba orang tua berkepala botak ini hentikan tawa, tutup mulutnya dengan
tangan kanan. Di tepi kali di seberang sana si gadis kecil hentikan pula nyanyiannya,
memandang ke kiri-kanan.
"Aku mendengar ada orang tertawa. Cuma suara. Orangnya tidak kelihatan. Ihh ...
Apakah tempat ini kini sudah ada hantunya?"
Walau keluarkan ucapan seperti itu namun tidak kelihatan bayangan rasa takut di
wajah anak perempuan itu. Malah sambil menusukkan kuntum bunga ke tiga ke lidi
di tangan kirinya dia kembali melantunkan nyanyian tadi.
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tapi mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah kau mekar di malam kelam
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Orang tua di balik semak belukar perlahanlahan turunkan tangan kiri yang
mengusap kepala, juga tangan kanan yang dipakai menutup mulut. Sepasang matanya
yang besar dan juling sesaat memandang ke depan tak berkesip.
Dadanya berdebar.
"Nyanyian anak itu .... Tiga bunga hitam yang ditusukkan bersusun di lidi
panjang, apa benar bunga melati" Heh"!" Mata yang juling tambah juling, belok
tambah belok. "Aku ingat cerita Pendekar 212, jangan-jangan ..." Orang tua ini
tiba-tiba plaaakk! Dia tabok kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Dua kali
berkelebat dia sudah berada di seberang kali kecil di depan si anak perempuan.
Anak yang sedang menyanyi tentu saja terkejut, hentikan nyanyiannya dan
dongakkan kepala. Memandang dari atas sampai ke bawah, dari kepala botak sampai
ke kaki. Kalau tadi dia terkejut tapi begitu melihat orang yang berdiri di
hadapannya, anak ini malah tersenyum.
"Oh, jadi ini rupanya hantu yang tadi tertawa.
Hik ... hik ... hik. Mata belok jereng. Kuping kanan aneh terbalik. Kepala
botak. Mau dibilang tuyul kenapa sudah tua keriput peot begini rupa" Hantu
kenapa bau pesing" Hk ... hik ... hik!
hantu lucu-lucuan ..."
"Gadis cilik, aku bukan hantu bukan tuyul!
Tapi hemm, aku memang bau pesing! Jelekjelek begini aku ingin bersahabat
denganmu. Kalau boleh ..." Orang tt;a kepaila botak keluarkan ucapan. Lalu dia duduk
menjelepok di samping anak perempuan itu. Malanya yang belok dibesarkan memperhatikan tiga
kuntum bunga kecil hitam yang ditusukkan. disusun memanjang di batangan fidi.
"Anak manis, siapa namamu?"
"Hantu botak tanya namaku. Hik..hik.
Malu ...."
"Hik .. hik ... Hantu botak juga malu ..." orang tua itu meniru tawa si anak
perempuan sambil pegangi bagian bawah perutnya. Anak
perempuan di samping si botak jereng ikutan tertawa.
Tempat sunyi di tepi kali kecil jadi riuh oleh suara tawa kedua orang itu.
"Hantu botak, nama saya Sulantri. Tapi orang-orang memanggil saya Cimung. Saya
anak kepala desa Maguwo." Si anak perempuan menerangkan sambil goyang-goyangkan
lidi di tangan kiri dan uncang-uncang dua kaki yang dicelup dalam air kali.
"Nama bagus kenapa dipanggil Cimung"
Ada-ada saja ..." kata si botak. "Tadi aku dengar kau menyanyi. Suaramu bagus.
Kalau sudah besar apa mau jadi sinden?"
Anak perempuan menjawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa tidak mau jadi sinden" Kau pasti disukai banyak orang. Banyak uang ..."
"Jadi sinden lebih banyak susah dari senangnya."
"Begitu" Anak manis, kau tahu dari mana sampai bisa berucap seperti itu?" tanya
si kakek botak. Dalam hati dia heran melihat anak sekecil itu bicara seperti
orang dewasa saja.
"Dulu ibu saya seorang sinden," jawab Sulantri pula.
"Serrr!"
Ada yang mengalir dibawah perut orang
tua berkepala botak itu. Cepat-cepat si botak ini pegangi perutnya. Sulantri
perhatikan tanah sekitar tempat si orang tua duduk yang kelihatan berubah basah.
"Hantu botak, kau kencing ya"!"
"Aku ... anu ..." Si botak tak bisa menjawab akhirnya tertawa mengekeh. Setelah
usap mukanya beberapa kali orang tua ini menunjuk
pada lidi di tangan kiri Sulantri. "Bunga kecil hitam itu, apa itu bunga yang
kau sebut dalam nyan!*!anmu tadi" Bunga melati hitam?"
"Memangnya kenapa?" si anak balik bertanya.
"Setahuku yang namanya melati itu pasti putih. Heran, bagsimana mungkin ada
melati berwarna hitam ..."
"Kenapa musti heran" Melati hitam ini sudah ada dari dulu."
"Kau yakin" Pasti kalau bunga ini bunga melati hitam?" Sambil bertanya orang tua
itu perhatikan tiga bunga melati yang menancap bersusun di lidi yang di pegang
anak perempuan itu. Bunga kecil itu mempunyai tujuh
kelopak ganda berwarna hitam pekat. "Gusti Allah ..." orang tua itu mengucap
dalam hati. "Mudah-mudahan memang ini bunga yang tengah dicari-cari itu."
"Bunganya berbentuk bunga melati. Warnanya hitam. Apa ini bukan namanya bunga
melati hitam?" ujar Sulantri.
"Cimung ...." si orang tua berkata sambil dekatkan kepalanya ke wajah si anak.
"Kau barusan
memegangnya, apa kau tidak takut
keracunan" Atau mungkin kau tidak tahu kalau bunga itu mengandung racun yang
bisa membuatmu sakit, bahkan bisa membunuhmu."
"Saya sudah sering memegang bunga ini.
Saya tidak pernah sakit ..."
Si orang tua perhatikan jari-jari tangan anak perempuan bernama Sulantri. Dia
menyaksikan bagaimana jari-jari mungil anak itu berwarna kehitam-hitaman. Lalu
si kakek membatin.
"Terlalu sering memegang bunga beracun itu, mungkin dia jadi kebal dengan racun
bunga." "Kakek hantu botak, bunga ini memang mengandung racun jahat. Ji3a kau mau saya
bisa membuktikan."
"Ah ..... itu satu ha1 yang aku ingin sekali melihat, jawab si botak. Dalam hati
dia bertanyatanya
bagaimana anak kecil ini mampu
membuktikan kalau bunga melati hitam itu mengandung racun jahat.
Dengan matanya yang lucu Sulantri memandang ke pinggir kali sebelah kiri. Dekat
sebuah batu pipih seekor kodok coklat mendekam diam, menunggu mangsa berupa
nyamuk dan serangga lainnya yang banyak beterbangan di sekitar situ.
"Kakek botak, kau lihat kodok itu?" Bertanya Sulantri sambil menunjuk ke arah
batu. Mata jereng Kakek kepala botak bergerak berputar ke arah yang ditunjuk. "Ya, aku
lihat." , Baru saja si kakek menjawab. Sulantri cabut bunga hitam di ujung
paling atas lidi lalu dilemparkannya ke arah kodok coklat di samping batu.
Dengan cepat binatang ini melompat dan melahap bunga hitam itu. Sesaat kemudian
begitu bunga hitam lewat tenggorokan dan masuk ke dalam perutnya, kodok
coklat kelihatan menggeliat kejang dan keluarkan suara mengerang pendek lalu
diam tak berkutik lagi. Dari mulutnya yang terbuka meleleh cairan kental
berwarna hitam. Kuiitnya yang tadi bewarna coklat ini berubah menjadi hitam
seperti kayu gosong dimakan api!
Bergidik tengkuk kakek botak dan serrr!
Dari bawah perutnya terpancar air kencing.
"Racun bunga itu mematikan kodok. Tapi tidak mematikan saya. Lihat ..." Sulantri
dengan cepat ambil bunga hitam ke dua yang tertusuk pada batang lidi. Bunga itu
dimasukkan ke dalam mulutnya. Dikunyah lumat-lumat lalu ditelan. Seperti yang
dikatakannya, dia tidak mengalami nasib seperti kodok. Dia tidak keracunan, apa
lagi mati. "Luar biasa! Kau kebal racun bunga itu ..."
ucap kakek kepala botak, kepala
digelenggelengkan
penuh kagum sedang tangan kiri
menekap bagian perut, menahan beser.
"Sekarang coba kau makan bunga yang satu ini," tiba-tiba Sulantri berkata.
"Serrr!"
Air kencing Kakek kepala botak langsung muncrat saking kagetnya mendengar ucapan
si anak perempuan.
"Cimung, aku tidak punya kekebalan seperti dirimu. Tapi aku memang inginkan
bunga itu. Kau mau memberikan bunga hitam yang tinggal satu itu padaku?"
"Hantu botak, kau inginkan bunga ini"
Ambil saja," jawab Suian, tri. Lalu bunga hitam berikut lidi di tangan kirinya
diserahkan pada orang yang minta.
Baru saja orang tua itu ulurkan tangan hendak mengambil lidi dan bunga tiba-tiba
satu bayangan biru berkelebat. Si kecil Sulantri terpekik. Anak ini terpental
bergulingan di tepi kali sampai satu tombak.
Kakek botak ikut keluarkan seruan tertahan.
Satu gelombang angin dahsyat menerpa dada dan bahu kanannya, membuatnya jatuh
terjengkang dan kucurkan air kencing. Terbungkuk-
bungkuk, sambil dua tangan pegangi
bagian bawah perut dia bangkit Serdiri. Dia segera mendatangi Sulantri.
"Anak, kau tidak apa-apa?" Si orang tua bertanya lalu membantu anak perempuan
itu bangun dan duduk di tanah.
"Kakek hantu botak, tadi aku diterpa angin kencang sekali. Dadaku sakit.
Kepalaku pusing.
Apa yang terjadi?"
"Ada orang jahat ..." jawab si orang tua.
Mata jerengnya memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa. Lalu
pandangannya kembali pada anak perempuan di depannya.
"Bunga hitam ..." ujar si orang tua. Dia perhatikan tangan kiri Sulantri. Lidi
dan satusatunya bunga hitam yang masih tinggal dan
tadi dipegang anak perempuan itu kini tak ada lagi. Dia memeriksa berkeliling.
"Bunga itu lenyap. Bayangan biru tadi! Seseorang
merampasnya sebelum sempat kuambil. Kurang ajar!"
Serrr! Si Kakek kepala botak kencing lagi.
Dia jongkok di samping Sulantri.
"Aneh ..."
"Apa yang aneh?" tanya Sulantri sambil gosok-gosok dadanya yang terasa sakit.
"Ada orang merampas bunga hitam dan lidi ..." Si kakek memperhatikan lalu
melompat ke arah lenyapnya bayangan biru. Dia tidak melihat siapa-siapa."Kek,
bagi saya bunga beracun itu hanya barang mainan. Aneh juga kalau ada orang
merampasnya. Buat apa" Tadi kau memintanya. Bagimu apakah sangat
berarti?" "Sangat berarti. Bunga melati hitam itu jika kuberikan pada seorang temanku,
bisa mengobati seorang penting di Kotaraja."
"Saya mau pulang," Sulantri berdiri.
"Tunggu," kata si kakek dan ikut berdiri.
"Di sekitar kali kecil ini kulihat tidak ada tanaman kembang. Dari mana kau
mendapatkan bunga melati hitam itu?"
"Bunga langka itu memang tidak tumbuh disini. Jika kau mau, datanglah minggu
depan ke sini. Akan saya berikan tiga kuntum bunga rnelati hitam yang masih
segar-segar padamu."
Si kakek botak pegangi perutnya. "Cimung, mengapa aku harus menunggu sampai
minggu depan"'
"Karena bunga itu hanya muncul sekali seminggu.
Setiap muncul selalu berjumlah tiga ..."
"Benar-benar aneh. Muncul sekali seminggu.
Setiap muncul selalu berjumlah tiga."
Kakek botak bermata belok jereng mengulangi uLapan Sulantri, pandangi anak
perempuan itu berapa saat, lalu bertanya., "Dari mana munculnya tiga kuntum
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunga itu?"
Sulantri menunjuk ke arah timur dimana di kejauhan kelihatan Gunung Merapi.
"Tiga bunga Melati hitam itu selalu ...."
Selum sempat anak perempuan delapan
ta;lun itu menyelesaikan ucapannya tiba-tiba satu benda putih berdesing di
udara. "Cimung awas!" teriak kakek botak. Dia berusaha mendorong anak perempuan itu
tapi jaraknya terlalu jauh. Maka cepat dia hantamkan tangan kanan untuk memukul
benda putih yang melesat. Namun terlambat!
Sulantri keluarkan jeritan keras. Anak ini langsung roboh, terkapar di tanah.
Matanya membeliak menatap langit. Di lehernya
menancap sebuah pisau kecil bergagang perak.
Darah mengucur membasahi leher dan badan gadis cilik yang malang ini.
Kakek botak berteriak marah. Air kencingnya mengucur deras. Semula dia hendak
menghambur menubruk mayat anak perempuan malang itu. Namun sudut matanya
menangkap satu bayangan biru berkelebat dibalik pohon besar. Tidak menunggu
lebih lama kakek ini segera melesat ke arah pohon.
"Bangsat pembunuh! Jangan kabur!"
Sambil berkelebat dan berteriak kakek botak ini hantamkan tangan kanannya.
"Braakkk!"
"Traaakk!"
Semak belukar di samping pohon hancur
beterbangan ke udara. Batangan pohon gompal besar, berderak miring lalu tumbang
dengan suara menggemuruh.
**********00000***************
KAKEK berpakaian basah air kencing usapusap kepala botaknya. Dia berdiri di
Samping pohon besar yang barusan dihantam-nya tumbang. Matanya yang jereng
memandang berkeliling. Orang yang dikejar tidak kelihatan.
mulutnya memaki marah.
"Pembunuh keparat! Pengecut! Apa dosa anak itu sampai kau membunuhnya begitu
keji!" "Serrr ... serrr!"
Setelah kucurkan air kencing dua kali berturut-turut si kakek memutar tubuh,
meiangkah ke arah Sulantri tergeletak. Baru dua langkah berjalan tiba-tiba
cabang sebuah pohon di Samping
kirinya bergoyang. Sudut matanya melihat sesuatu bergerak di atas sana. Lalu
menyusul terdengar suara tawa mengekeh. Kakek botak angkat kepalanya, memandang
ke arah dahan pohon. Dua kaki memasang kuda-kuda, tangan kanan waspada siap
menghantam. Satu
bayangan biru berkelebat cepat. Di lain kejap bayangan itu telah berdiri di
hadapan si kakek, berupa sosok seorang tua berwajah jernih, mengenakan pakaian
ringkas warna biru.
"Setan alas satu ini, apakah aku pernah melihatnya sebelumnya?" Kakek botak
membatin sambil usap kepala dengan satu tangan sementara tangan lain memegangi
bagian bawah perut.
"Tua bangka bau pesing, kau inginkan bunga langka ini?" orang tua berbaju biru
ajukan pertanyaan sambil tangan kanannya
acungkan lidi yang ditancapi bunga melati hitam yang sebelumnya berada di tangan
gadis cilik Sulantri.
Saking geramnya kakek kepala botak
kucurkan air kencing lalu membentak.
"Setan tua, kalau tidak iblis pasti kau sebangsa dajal! Apa salah anak perempuan
itu sampai kau membunuhnya"!"
Si baju biru menyeringai.
"Aku bicara lain kau omong lain! Kau perlu bunga ini" Ambillah!" Habis berkata
begitu kakek di hadapan si botak gerakkan tangan kanannya meremas. Lidi dan
bunga hitam yang menancap di situ langsung amblas hancur.
Sambil tertawa bergelak si kakek jatuhkan hancuran bunga dan lidi ke tanah.
"Jahanam kurang ajar!" maki kakek kepala botak dengan mata mendelik besar. Habis
sudah harapannya untuk mendapatkan bunga melati hitam yang sangat langka itu.
Kencing menyembur tidak tertahankan.
"Manusia keji kurang ajar! Sekarang aku ingat siapa kau adanya!"
"Tua bangka botak! Aku juga tahu siapa kau sebenarnya. Dulu kau punya rambut!
Sekarang aneh, mengapa kepalamu jadi botak!
i'falau botak tapi aku tidak lupa dirimu! Matamu
)rang belok dan jereng! Kuping kananmu yang terbalik! Celanamu yang selalu basah
oleh air kencing! Kau adalah mahluk salah kaprah berjuluk Setan Ngompol, sobat
musuh besarku 'Jags Kuning! Dulu di kawasan air terjun jurangmungkung kau pernah menantangku!
Waktu itu aku tidak punya kesempatan melayani mulut besarmu! Sekarang aku muncul
menerima tantanganmu!"
"Rana Suwarte ..." ucap kakek kepala botak dengan rahang mengembung dan
tenggorokan keluarkan suara menggembor marah.
"Ha ... ha ... ! Bagus! Kau ternyata masih ingat nama, kenal diriku! Berarti
jalanmu ke neraka akan jauh lebih mudah! Ha ... ha ... ha!"
"Setan alas manusia keji busuk! Kau barusan membunuh anak kecil tak berdosa.
Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!
Tapi sebelum mati aku ingin tahu. Mengapa kau membunuh anak itu. Lalu sengaja
menghancurkan bunga melati hitam!"
"Ah, dua pertanyaanmu itu akan terjawab di satu tempat. Pasti! Di liang neraka
tempat kemana kau akan segera berangkat!"
"Tua bangka jahanam! mulutmu keliwat takabur! Aku tidak keberatan kita sama-sama
berangkat menuju liang neraka!" teriak Setan Ngompol. Lalu tubuhnya berkelebat
ke arah Rana Suwarte dalam jurus serangan bernama Setan Ngompol Mengencingi
Bumi. Angin deras disertai cipratan air kencing lebih dulu menghantam Rana
Suwarte sebelum serangan yang berupa dua pukulan tangan kiri kanan itu menderu
ke arah sasaran. (Mengenai siapa adanya Rana Suwarte dan riwayat
perselisihannya
dengan Setan Ngompol harap baca
Episode terakhir dari serial "Kembali Ke Tanah Jawa" berjudul "Senandung
Kematian") Rasa Suwarte semburkan ludah saking
jijiknya ketika air kencing yang menyiprat dari celana lawan mengenai wajahnya.
Dia tekuk dua lutut hingga tubuhnya sedikit merunduk.
Sesaat dia menunggu. Begitu sosok Setan ngompol yang melayang di udara menukik
ke arahnya disertai gempuran angin luar biasa deras, Rana Suwarte pukulkan dua
tangannya ke atas.
Dua gelombang angin dahsyat menderu
memapasi hantaman angin keras yang keluar dari pukulan tangan kiri kanan Setan
Ngompol. "Dess! Desss! "
Dua letupan keras mengema di sepanjang kaki begitu tenaga dalam tinggi yang
memancar dari dua pasang tangan bentrokan di udara.
"Braaak! Braaaak! "
Semak belukar di tempat itu hancur beterbangan ke udara.
Setan Ngompol terpental dua tombak.
Kencingnya bermuncratan kemana-mana.
sepasang mata yang jereng mendelik
merah sedang dada mendenyut sakit. Tulang2
iganya serasa remuk. Tadi dia telah mengerahkan lebih dari tiga perempat tenaga
dalamnya. Tidak menyangka
lawan sanggup menahan serangannya bahkan daya balik tenaga dalamnya yang
menangkis begitu hebat
memberi bekas di tubuh si kakek kepala botak.
Apa yang terjadi dengan kakek berpakaian Ringkas biru tak kalah hebatnya. Kakek
ini Terbanting jatuh duduk di tanah. Mukanya yang Jernih kelihatan pucat
pertanda tekanan tenaga Dalam lawan yang tinggi telah menciderai tubuhnya di
bagian dalam. "Rana Suwarte!" bentak Setan Ngompol.
Setahuku kau adalah tokoh silat abdi Istana.
mengapa berlaku keji membunuh anak
perempuan tak berdosa itu"!"
"Setan Ngompol! Simpan semua pertanyaanmu sampai kau minggat ke liang neraka!"
jawab Rana Suwarte dengan bentakan tak kalah kerasnya. Lalu dia berkelebat,
menyergap lawan dengan serangan berantai luar biasa keras dan cepat. Setan
Ngompol berjibaku menangkis dan menghantam dengan dua tangannya.
Rupanya kakek botak ini bukan cuma ingin menjajal kehebatan tenaga dalam lawan
tapi juga sekaligus mau menjajagi sampai dimana kedigjayaan tenaga luarnya.
Suara bergedebukan terdengar berulang
kali. Dua lengan Setan Ngompol yang kurus kering kelihatan hitam kebiruan sedang
sepasang lengan Rana Suwarte dipenuhi
bengkak- bengkak merah. Rana Suwarte merasa sakit lebih dulu. Ini membuat dia terpaksa
mundur. Setan Ngompol tidak memberi kesempatan.
Walau sambil terkencing-kencing kakek ini terus mendesak lawan. Lima jurus Rana
Suwarte dibuat kalang kabut. Jurus ke enam dia tak bisa bertahan lagi. Kakek ini
mencari kesempatan untuk mundur guna mengatur
kuda-kuda dan siasat baru. Namun maksudnya belum kesampaian. Tiba-tiba dengan
jurus bernama Setan Ngompol Mengencingi Langit lawan berhasil menyusupkan satu
pukulan telak ke pertengahan dadanya.
"Bukkk!"
Rana Suwarte meraung keras. Tubuhnya
mencelat lima langkah, punggung terbanting membentur batang pohon, sesaat
terhenyak tegak lalu muntahkan darah segar!
"Keparat!" rutuk Rana Suwarte sambil seka darah yang meleleh di bibir dan
dagunya dengan tangan kanan. Lalu meludah ke tanah.
Tangan yang bernoda darah itu kemudian bergerak mengeluarkan sesuatu dari balik
pinggang pakaian birunya.
Satu cahaya kuning memancar terang di
bawah pohon dimana Rana Suwarte berdiri dengan tampang kelam membesi.
"Senjata di tangan jahanam itu....." ujar Setan Ngompol dalam hati,
memperhatikan dengan mata jereng melotot. "Astaga! Itu Keris naga Kopek pusaka
Kerajaan. bagaimana bisa berada di tangannya"!"
"Setan Ngompol!" Rana Suwarte membentak dengan wajah lontarkan seringai setan.
"Kau lihat senjata ini"!"
"Aku tidak buta! Aku lihat dan aku tahu! ltu adalah Keris Naga Kopek milik
pusaka Kerajaan!
Pasti kau telah mencurinya!"
-----------------------00000000000----------------
W ANA SUWARTE tempelkan badan keris
sakti pusaka Kerajaan di atas keningnya, dongakkan kepala lalu tertawa bergelak.
"Tua bangka bau pesing buronan Kerajaan!
Dengar! Kau boleh punya ilmu setinggi langit sedalam lautan. Tapi tak ada satu
kekuatanpun sanggup menghadapi keris sakti bertuah di tanganku ini! Bersiaplah
untuk mampus!"
Setan Ngompol memang sudah tahu
kehebatan Keris Naga Kopek. Bahkan
menyaksikan sendiri bagaimana senjata sakti Itu mampu melindungi sahabatnya,
Pendekar 212 Wiro Sableng dari serangan maut Kipas Pelangi yang dilancarkan
Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi sewaktu terjadi pertempuran
hebat di kawasan air terjun
Jurangmungkung. Adisaka yang juga dikenal dengan nama Damar Wulung, yang tidak
terlindung oleh keris sakti itu menemui ajal secara mengenaskan di tangan
adiknya sendiri.
(Saca serial Wiro Sableng berjudul "Senandung Kematian")
Walau tahu kehebatan senjata di tangan lawan tapi Setan Ngompol tidak unjukan
sikap jerih Sambil bertolak pinggang sementara air kencingnya mengucur terus dia berkata.
Setahuku senjata curian tidak pernah ampuh. Apa lagi dipakai untuk kejahatan!"
Rawa Suwarte menyeringai. "Jangan terlalu takabur! Kita akan lihat bagaimana
nasibmu sebentar lagi!"
Didahului satu bentakan keras tokoh silat
'stana itu melompat ke hadapan Setan
ngompol. Keris di tangan kanan dibabatkan.
Suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya cahaya kuning tebal dan angker
menyambar ke arah Setan Ngompol.
Setan Ngompol berseru kaget ketika merasakan seperti ada tembok batu mendorong
dahsyat ke arahnya. Dengan cepat kakek ini melompat mundur sambil hantamkan dua
tangan sekaligus. Melepas pukulan sakti bernama "Setan Ngompol Meroboh Gunung."
Selama ini jarang ada lawan yang sanggup menerima pukulan tersebut. Kalau tidak
dihantam roboh, paling tidak lawan akan mencelat mental dan menderita luka dalam
parah! Namun untuk kedua kalinya Setan Ngompol berteriak tegang dan terkencing-kencing
ketika pukulan dua tangannya yang mengandung
hawa sakti dan tenaga dalam tinggi diterpa kiblatan cahaya kuning Keris Naga
Kopek iafu berbalik menghantam dirinya sendiri.
Setan Ngompol selamatkan diri dengan melompat setinggi satu tombak. Tapi lawan
rupanya dapat menduga gerakannya. Selagi sosok kakek botak itu masih melayang
setengah jalan di udara Rana Suwarte
mendahului membuat lompatan lebih tinggi. Lalu
dengan tubuh masih menggantung di udara dia tusukkan Keris Naga Kopek ke bawah.
Laksana semburan api, cahaya kuning
meluncur ganas ke arah Setan Ngompol!
"Celaka!" Setan Ngompol berseru tegang.
Sambil pegang bagian bawah perutnya dia jungkir balik di udara lalu jatuhkan
diri ke kiri. Baru dua kakinya menginjak tanah, satu tendangan menyapu kuda-kuda salah satu
kakinya. Tak ampun lagi Setan Ngompol jatuh terjengkang. Belum sempat bergerak
bangun ujung runcing Keris Naga Kopek sudah menempel di batok kepalanya yang
gundul plontos! Setan Ngompol merasa ada hawa aneh menggidikkan memasuki kepalanya,
membuat tubuhnya bergetar dan tengkuknya merinding dingin. Kencingnya muncrat
habis-habisan. "Berani bergerak, kutembus batok
kepalamu!" Mengancam Rana Suwarte.
"Kau mau membunuhku" Ha ... ha! Teruskan niatmu! Siapa takut mati!" Ucap Setan
Ngompol setengah berteriak, membalas ancaman orang dengan tantangan.
Rana Suwarte tertawa mengekeh. Dia tahu lawan saat itu dalam keadaan tidak
berdaya. Dia hanya menggerakkan tangan sedikit saja maka tamatlah riwayat Setan Ngompol.
"Orang takut dan putus asa memang bisa nekad! Tua bangka bau! Aku tidak terlalu
kesusu ingin merampas nyawamu. Malah aku masih sudi memberi sedikit penundaan.
Asal kau mau memberi tahu dimana beradanya
bocah sahabatmu si rambut jabrik dikenal dengan nama Naga Kuning yang ujud
aslinya adalah seorang kakek bernama Kiai Paus Samudera Biru."
Mendengar ucapan orang, Setan Ngompol
putar sepasang matanya yang belok jereng lalu tertawa gelak-gelak sampai air
kencingnya berkucuran.
"Jahanam! Mengapa kau tertawa seperti orang gila! Apa yang lucu!"
"Minum kencingku duiu! Baru aku beritahu dimana bocah konyol itu berada! Ha ...
ha ... ha!"
Bergetar sekujur tubuh Rana Suwarte. Keris Naga Kopek yang tergenggam di
tangannya dan ujungnya menempel di batok kepala Setan Ngompol tampak memancarkan
cahaya kuning lebih terang. Pertanda tokoh silat lstana itu tengah mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Dengan sekali tusuk saja dia ingin
menembus amblas kepala botak Setan Ngompol.
"Bangsat kurang ajar! Mampus kau!" teriak Rana Suwarte. Tangannya bergerak.
Namun sebelum Keris Naga Kopek dihujamkan ke batok kepala Setan Ngompol mendadak
satu suara kecil tapi nyaring terdengar di belakangnya.
"Tua bangka sesat Rana SL warte, apa betul kau mencari diriku"!"
Gerak tangan yang hendak rnenusuk tembus Keris Naga Kopek ke batok kepaia Setan
Ngompol sesaat tertahan. Rana Suwarte
paiingkan kepala. Melihat siapa yang berdiri di sebelah sana, sosok orang tua
ini bergetar dilanda dendam kesumat. Mukanya yang jernih kelam membesi. Rahang
menggembung. Sepasang mata mendelik tak berkesip memandangi
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak lelaki berpakaian serba hitam
berambut jabrik yang tegak beberapa langkah di depannya. Naga Kuning! Bocah yang
tengah dicari dan ingin dihabisicya!
Pada saat Rana Suwarte terkesiap melihat kemunculan Naga Kuning yang tidak
terduga, Setan Ngompol pergunakan kesempatan untuk selamatkan diri. Pertama
sekali dia jauhkan kepala botaknya dari ujung Keris Naga Kopek.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya menepis lengan kanan Rana Suwarte. Lalu
tangan kanan melesat ke depan, menghantam selangkangan orang!
"Jebol celenganmu!" teriak Setan Ngompol lalu tertawa bergelak.
"Bedebah keparat!" maki Rana Suwarte.
Keris Naga Kopek dibabatkannya ke bawah.
Suara tawa Setan Ngompol sirna. Tak mau putus kehilangan lengan dengan cepat dia
terpaksa tarik pulang tangannya yang dipukulkan ke bawah perut lawan lalu
jatuhkan diri di tanah, terkencing-kencing berguling menjauhi Rana Suwarte.
"Nyawamu di tanganku! kau mau lari kemana!" kertak Rana Suwarte lalu melompat
memburu Setan Ngompol. Kaki kanannya
menghamburkan tendangan berantai tapi tak satupun berhasil mengenai tubuh Setan
Ngompol. Dengan geram Rana Suwarte angkat tangan kiri. Ketika tangan itu
bergerak, dua buah benda putih berkilat melesat ke arah perut dan dada Setan
Ngompol. Pisau terbang!
Dengan pisau inilah Rana Suwarte sebelumnya menghabisi nyawa Sulantri, gadis
cilik di tepi kali.
Melihat serangan dua pisau terbang Setan Ngompol liukkan tubuh. Dia berhasil
mengelakkan pisau yang mengarah ke perut. Namun
kasip dan tak mampu menghindar dari pisau yang mengincar dada!
Hanya sekejapan lagi pisau putih itu akan menancap di dada Setan Ngompol tiba-
tiba tring! Sebuah batu kecil melesat di udara, menghantam ujung !ancip pisau
terbang hingga senjata rahasia ini terpental gompal.
"Serrr!"
Sadar kalau dirinya barusan terlepas dari bahaya maut, Setan Ngompol kucurkan
air kencing, lalu cepat berdiri sambil pegangi perut.
"Bocah jahanam!" Rana Suwarte keluarkan makian. Dia tahu barusan Naga Kuninglah
yang menyambitkan sebuah batu kecil ke arah pisau maut yang dilemparkannya
menyerang Setan Ngompol. "Kau rupanya minta mampus lebih dulu dari kakek keparat
itu!" Sekali lompat Rana Suwarte sudah berdiri tiga langkah di hadapan Naga
kuning. Keris Naga Kopek
dipegang melintang di depan dada.
"Rana Suwarte. Usiamu sudah lanjut tapi masih saja bicara carut marut memalukan.
Jangan kau berani berlaku kurang ajar pada kakek sahabatku itu! Jika aku yang
kau cari, katakan apa urusanmu! apa masih urusan yang lama itu"!"
"Bocah setan! Salah satu diantara kita harus mati saat ini juga!" hardik Rana
Suwarte. Naga Kuning goleng-golengkan kepala sambil keluarkan suara seperti suara cecak.
"Cek .. cek ... cek! Luar biasa nekad!" kata anak berambut jabrik ini. Lalu dia
sambung ucapannya.
"Kalau aku mati apa kau kira akan bisa mengawini Ning lntan Lestari" Aku tahu
semua perbuatan jahatmu ini adalah karena dendammu terhadapku gara-gara tidak
bisa mendapatkan perempuan itu!"
Seperti dituturkan dalam serial Wiro
Sableng berjudul "Gondoruwo Patah Hati" sejak semasa muda antara Naga Kuning
yang berjuluk Kiai Paus Samudera biru terjadi silang sengketa dengan Rana Suwarte
gara-gara memperebutkan seorang gadis cantik bernama Ning lntan Lestari. Sang
gadis mencintai Naga Kuning, tapi Naga Kuning sendiri menganggapnya sebagai
saudara karena Ning lntan Lestari adalah anak angkat orang yang sangat
dihormatinya yakni Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Gagal mendapatkan cinta Ning lntan Lestari, Rana Suwarte meminta pertolongan
Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk Ning lntan Lestari agar mau nikah dengan
dirinya. Itu terjadi setelah puluhan tahun terpisah. Namun
nyatanya si gadis yang kini telah berubah menjadi nenek tetap saja menolak
kehadiran Rana Suwarte.
Dalam amarahnya, Rana Suwarte menganggap Naga Kuninglah yang jadi biang racun
semua kegagalannya dalam mendapatkan Ning lntan Lestari. Padahal Naga Kuning
sendiri dilihatnya seperti tak acuh dan meninggalkan gadis itu sekian lama.
Sebenarnya setelah berpisah puluhan tahun begitu rupa, entah mengapa kini timbul
rasa sayang di hati Naga Kuning pada Ning lntan Lestari yang hidup menyamar
sebagai nenek muka setan dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.
Merasa ditelanjangi orang, Rana Suwarte mendidih amarahnya. Kepala dan dadanya
seperti mau meledak mendengar ucapan Naga Kuning tadi. Sewaktu terjadi
pertempuran hebat di dekat air terjun Jurangmungkung dulu, dia memang merasa
jerih terhadap Naga Kuning, terutama ketika bocah itu memperlihatkan ujud
aslinya berupa seorang kakek sakti mandraguna yang dikenal dengan julukan Kiai
Paus Samudera Biru. Selain itu dia juga masih .
menaruh.rasa segan karena tahu Naga Kuning , I adalah orang kepercayaan Kiai
Gede Tapa Pamungkas, ayah angkat Ning lntan Lestari, mahluk setengah manusia
setengah roh yang telah meninggal dunia puluhan tahun silam.
Selain itu Kiai Gede Tapa Pamungkas diketahui adalah guru Sinto Gendeng dan Tua
Gila. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Pedang Naga Suci 212")
Tapi kini bagi Rana Suwarte keadaan telah berubah. Memegang Keris Naga Kopek di
tangan kanan Rana Suwarte tidak memandang sebelah mata lagi pada Naga Kuning,
juga tidak perduli apapun hubungan anak aneh itu dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. "Naga Kuning, Kiai Paus Samudera Biru!
Siapapun kau adanya! Hari ini adalah hari nahasmu! Kematianmu sudah di depan
mata. Jadi jangan bicara sombong tak karuan!"
"Siapa bicara sombong tak karuan!
Bukankah kau yang hidup salah kaprah tak karuan" Tergila-gila pada perempuan
yang jangankan mencintamu, melihatmupun dia muak! Bagaimana mungkin kau masih
bermimpi ingin mengawininya" Dan kesialan nasibmu itu kau jadikan bahan dendam
kesumat terhadapku! Sungguh tolol! Memalukan!"
Rana Suwarte tak dapat menahan
amarahnya lagi.
"Bocah keparat! Berangkatlah ke neraka!"
Teriak tokoh silat lstana itu. Sambil melompat kemuka dia kirimkan satu ~usukan
dan dua babatan dengan Keris Naga Kopek. Sinar kuning berkiblat terang di udara
disertai deru membising telinga menggetarkan dada. Naga kuning menahan kejut.
Belum pernah dia melihat senjata yang mampu memancarkan cahaya
demikian angkernya. Tubuhnya yang kecil laksana diterpa angin puting beliung.
Tanah yang dipijaknya seperti diguncang lindu. Pantas saja tadi si Setan Ngompol
kelabakan menghadapi senjata sakti mandraguna itu.
"Edan!" maki Naga kuning ketika dia dapatkan dirinya tidak bisa keluar dari
gulungan cahaya kuning. Setiap saat Keris Naga Kopek '
di tangan lawan datang menggempur dalam bentuk tusukan atau babatan.
"Bukkk!"
Dalam satu gebrakan Naga Kuning berhasil menghantam lengan kanan Rana Suwarte
yang memegang Keris Naga Kopek. Lengan itu hanya tergetar sedikit sebaliknya
Naga kuning terpental sampai tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Lawan tidak
sia-siakan kesempatan.
Sambil rnerunduk Rana Suwarte hunjamkan senjata sakti di tangannya ke dada si
bocah. "Settt .... clep!"
Keris Naga Kopek kelihatan menancap di dada Naga Kuning. Setan Ngompol berteriak
kaget. Kencingnya berburaian.
"Rana Suwarte keparat! Kukorek jantungmu!
Kuhisap darahmu!" teriak Setan Ngompol.
Dia menerjang ke depan ke arah tokoh silat lstana itu. Namun setengah jalan
gerakannya tertahan ketika menyaksikan apa yang terjadi dengan sosok Naga
Kuning. --------------------000000000000-----------------
K ITA tinggalkan dulu Naga Kuning yang menerima nasib kena ditikam Rana Suwarte
dengan Keris Naga Kopek, senjata
sakti mandraguna yang merupakan salah satu benda pusaka Kerajaan. Kita kembali
ke sebuah muara sungai kecil di kawasan pantai selatan.
Sejak tengah malam udara terasa lebih dingin.
Langit di laut menghitam dalam kegelapan tanpa bulan tanpa bintang. suara tiupan
angin sesekali mengencang terdengar menggidikkan.
Di batik sederetan pohon kelapa di tepi pantai, di bawah sebuah gubuk tak
berdinding, dua gadis duduk sating berdiam diri.
"Hujan ..." Gadis di samping kiri berucap sambil mengusap pipinya yang kejatuhan
hujan rintik-rintik. Gadis ini berambut pirang, berwajah cantik jelita dan bukan
lain adalah Bidadari Angin Timur. Di sebelahnya duduk Anggini, gadis cantik
murid tokoh silat terkenal berjuluk Dewa Tuak. "Anggini, apakah kita akan terus
menunggu di sini" Ini malam kedua kita bergadang. Yang aku kawatir mereka tidak
muncul di kawasan muara ini." Dua gadis itu memang telah berada di tempat
tersebut selama dua malam. Padahal di dasar samudera waktu yang dua malam itu
bagi Wiro kurang dari satu hari.
"Turut keterangan orang-orang yang kita tanyai, mereka memang menuju ke sini.
Lalu menghilang begitu hari gelap. Kita tidak tahu kapan mereka akan muncul.
Tapi aku yakin tempatnya memang sekitar muara ini. Karena di sini pertemuan
muara sungai yang
mengandung hawa hangat dengan air laut yang berhawa dingin. Kalaupun kita
beranjak dari sini, kita mau pergi kemana" Pangeran Matahari yang kita cari sama
sekali tidak meninggalkan jejak." Bidadari Angin Timur dalam sesaat lalu
melanjutkan kata-katanya. "Aku ingat keterangan Eyang Sinto Gendeng tempo hari
mengenai dua makam di puncak Gunung Gede.
Kita sama menyaksikan hanya satu makam yang kosong sedang makam satunya adalah
dimana Puti Anggini dimakamkan. Jelas-jelas kita yang menguburkan gadis itu.
Mengapa tahu-tahu makamnya kosong" Aku yakin ini semua Pangeran keparat itu yang
punya pekerjaan. Aku ...."
Anggini angkat tangannya, memberi isyarat dengan gerakan tangan memutus ucapan
Bidadari Angin Timur. Dia menunjuk ke arah timur. Di jurusan itu, dalam
kegelapan kelihatan seorang berlari menyusuri pantai. Demikian cepat larinya
hingga dalam waktu cepat sekali dia telah berada di muara sungai dekat deretan
perahu-perahu kosong. Dengan gesit orang ini melompat dari satu perahu ke perahu
lainnya tanpa perahu-perahu kosong itu bergerak barang sedikitpun. Di perahu ke
tiga pada deretan perahu diujung kiri, orang ini berhenti lalu merunduk dan
dudukkan diri di lantai perahu.
"Orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Pasti orang dari rimba
persilatan," bisik Bidadari Angin Timur.
Yang diperhatikan Anggini bukan kehebatan ilmu lari atau ilmu meringankan tubuh
orang. "Sahabatku, coba kau perhatikan. Di atas kepala orang itu ada asap aneka warna
merah, berbentuk kerucut berbalik. Matanya juga merah. Aku merasa pasti orang itu
adalah nenek aneh yang menurut Wiro tersesat dari Negeri Latanahsilam. Yang
pernah bertempur dengan Wiro karena dia sebenarnya adalah kakak kandung iblis
Kepala batu Alis Empat alias lblis Kepala batu Pemasung Roh."
"Aku ingat," ujar Bidadari Angin Timur.
"Namanya hantu Penjunjung Roh. Waktu Wiro mengerjainya, hampir membuat dirinya
telanjang bugil, kau memberikan sehelai pakaian padanya."
"Benar, memang dia. Mengapa dia berada di sini?" Anggini menduga-duga.
"Kalau dia adalah saudaranya lblis Kepala Batu Alis Empat, sudah bisa kuduga apa
maksudnya berada di sini. Mau mencegah Wiro.
Membalas dendam karena telah dipecundangi dan dipermalukan."
"Berarti Pendekar 212 dalam bahaya."
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Tunggu saja sampai Wiro muncul. Kalaupun nenek itu punya niat jahat terhadap
Wiro, rasanya dia tidak memiliki kemampuan
mengalahkan Pendekar 212."
Hujan rintik-rintik lenyap diterpa angin laut.
Malam tambah dingin. Orang di dalam perahu Hantu Penjunjung Roh duduk tak
bergerak. Matanya selalu diarahkan ke tengah laut, sesekali memandang berkeliling. Anggini
dan Bidadari Angin Timur mulai letih, kedinginan dan mengantuk.
Tiba-tiba sayup-sayup di kejauhan terdengar suara air laut bersibak. Anggini
angka! kepalanya, memandang lurus-lurus ke arah laut di ujung muara sungai.
"Bidadari, lihat!" ucap Anggini.
Bidadari Angin Timur yang tengah terkantuk-kantuk tersentak, berpaling pada
sahabatnya lalu memandang ke arah yang ditunjuk Anggini.,
Saat itu dari bawah permukaan air laut muncul dua kepala manusia, satu laki-
laki, satunya perempuan berambut panjang hitam.
Setelah muncul kepala, menyusul bagian dada lalu perut. Akhirnya kedua orang itu
kelihatan melangkah mengarungi air laut yang semakin dangkal, bergerak menuju
ketepi pasir pantai.
"Dugaan kita tidak meleset. Si mata biru itu ternyata memang mendampingi Wiro
masuk ke dalam lautan." Kata Bidadari Angin Timur setengah berbisik.
"Mungkin Wiro telah mendapatkan ilmu Meraga Sukma itu" ujar Anggini.
Belum sempat Bidadari Angin Timur
menjawab ucapan sahabatnya tiba-tiba sosok Hantu Pemasung Roh yang sejak lama
mendekam di salah satu perahu melesat ke udara lalu menukik turun ke arah dua
orang yang barusan saja keluar dari dalam laut.
Dalam kejutnya Wiro dan Ratu Duyung
cepat bersibak ke kiri dan ke kanan.
"Hantu Penjunjung Roh!" seru Wiro begitu dia mengenali siapa yang berdiri di
atas pasir basah di hadapannya. Dia merasa tidak enak.
Naga-naganya nenek satu ini akan mencari lantaran lagi. Wiro memberi isyarat
pada Ratu Duyung agar berlaku waspada.
"Bagus! Kau masih mengenali tua bangka jelek ini! Hik ... hik ... hik!"
"Nek, kelihatannya kau sengaja menghadang kami." kata Wiro pula.
"Bukan kelihatannya. Tapi memang benar aku sengaja menghadangmu. Aku punya satu
kepentingan denganmu anak muda! Aku datang untuk mengingatkanmu tentang urusan
dengan saudaraku lblis Kepala Batu Alis Empat Alis lblis Kepala Batu Penjunjung
Roh. Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku lupa, urusan apa yang kau maksudkan?"
"Hemm ... Hik ... hik! Kau lupa. Biar aku beritahu! Aku ingatkan padamu jangan
sekali lagi berani membuat urusan apa lagi sampai mencelakai lblis Kepala Batu
Alis Empat!"
"Tidak ada orang yang ingin mencelakai saudaramu itu! Dia mencelakai dirinya
sendiri!" kata Wiro mulai gusar.
"Maksudmu"!"tanya Hantu Penjunjung Roh.
"Jangan berlagak tolol tidak tahu! Saudaramu menculik gadis bernama Bunga,
sahabat Pendekar 212. Menyekapnya dalam guci
tembaga!" Yang menjawab adalah Ratu Duyung.
Hantu Penjunjung Roh yang bernama Luhniknik ini Jirikkan matanya pada Ratu
Duyung selalu berkata. "Gadis berambut hitam panjang, bermata biru bertubuh bagus, apa
hubungamu dengan pemuda ini?"
"Kau tak patut bertanya, jadi tak layak kujawab!" sahut Ratu Duyung pula.
"Si nenek tertawa panjang.
"Aku tidak ada kepentingan dengan dirimu.
Jadi jangan berani campuri urusanku dengan pemuda itu!"
Wiro maju satu langkah. "Hantu Penjunjung Roh aku juga merasa tidak ada urusan
dengan dirimu. Mengingat hubungan kita di Tanahsilam dulu, harap kau suka
meninggalkan tempat ini.
Jangan menghalangi kami." Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung. Keduanya lalu
melangkah maju melewati samping kiri dan kanan si nenek.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Di Negeri Latanahsilam kita boleh bersahabat. Tapi
di sini saat ini aku terpaksa meminta sumpahmu bahwa kau tidak akan melakukan
apa-apa terhadap adikku lblis Kepala Batu Alis Empat."
"Aku bisa saja bersumpah. Tapi apakah kau sanggup membebaskan Bunga dari dalam
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guci tembaga"!"
"Aku akan melakukan ha1 itu! Aku akan menemui adikku!"
"Mana mungkin! Dimana dia berada saja kau tidak tahu!" tukas Wiro.
"Jangan memandang remeh diriku! Aku tahu dimana dia berada!"
"Tempat kediamannya di Jurangmungkung sudah aku hancurkan!"
"Dia masih punya beberapa tempat
kediaman. Diantaranya di Lembah Welirang, lalu di ..."
Hantu Penjunjung Roh putus ucapan. Dia baru sadar kalau telah mengatakan sesuatu
yang seharusnya tidak boleh diungkapkan.
"Kurang ajar! Aku kena terpancing pemuda jahanam ini!" rutuk si nenek dalam
hati. Wiro menyeringai.
"Maaf Nek, aku tidak percaya kau mampu melakukan ha1 itu."
"Memang, seharusnya kau jangan percaya padanya Wiro!"
"Betina penghasut! Kau bakal menerima hajaran dariku!" kata Hantu Penjunjung
Roh. Dua matanya yang merah berbentuk kerucut menyembul keluar. Dia berpaling ke arah
Pendekar 212 lalu berkata. "Aku terpaksa minta jaminan secara paksa bahwa kau
tidak akan mencelakai saudaraku!"
Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh goyangkan kepalanya. Dari dua rnatanya
yang aneh, melesat dua larik sinar merah angker.
Sinar pertama menderu ke arah bahu kiri dan sinar kedua ke arah bahu kanan Wiro.
Jika mengenai sasarannya maka dua tangan sang pendekar akan buntung sebatas
bahu! Seperti diketahui Hantu Penjunjung Roh telah beberapa kali berusaha membujuk
agar Wiro tidak mengambil tindakan terhadap lblis Kepala Batu Alis Empat. Si
nenek tahu kalau Wiao mengeluarkan ilmu kesaktian yang
dimiiiklnya maka adiknya akan celaka besar walau konon lblis Kepala Batu Alis
Empat punya ilmu kebal. Dari membujuk si nenek sampai bertindak keras hingga
terjadi perkelahian. Wiro yang masih menaruh hormat terhadapnya tidak rnau menjatuhkan
tangan keras. Terakhir sekali dia memberi pelajaran dengan cara merobek-robek
pakaian perempuan tua itu hingga keadaannya nyaris bugil.
Ternyata ha1 ini tidak membuat Hantu
Penjunjung Roh jera. Nenek satu ini tetap saja ngotot membela saudaranya tanpa
mau mengerti kalau lblis Kepala Batu telah melakukan kejahatan keji, menculik Bunga,
menyekapnya dalam guci tembaga dan
memaksanya untuk dijadikan gadis peliharaan.
Wiro memburu lblis Kepala Batu ke sarangnya di dekat air terjun Jurangmungkung.
Tapi tidak menemui si penculik di tempat itu. Dalam marahnya Wiro hanya bisa
menghancurkan tempat kediaman lblis Kepala Batu. (Baca Episode
"Godoruwo Patah Hati", "Senandung Kematian",
"Mayat Persembahan" dan "Si Cantik Dalam Guci")
Mendapat serangan ganas begitu rupa
lenyaplah kesabaran murid Sinto Gendeng.
Kalau tidak diberi hajaran berat nenek satu ini tdak akan jera seumur-umur dan
dia akan selalu mengalami kesuiitan untuk membebaskan
Bunga walau saat itu dia telah memiliki ilmu Meraga Sukma. Tapi Ratu Duyung yang
begitu besar cintanya terhadap Wiro bertindak mendahului. Gadis ini keluarkan
cermin bulat saktinya. Sekali dia menggerakkan tangan memutar lengan, selarik
cahaya menyilaukan berkiblat di malam buta. rnelabrak dua larik sinar merah yang
menyembur keluar dari sepasang
mata Hantu Penjunjung Roh.
"Bummm! Bummm!"
--------------0000000000--------
Letusan keras mengge!egar dua kali di tempat itu
. Air sungai bermuncratan.Pantai bergetar dan ombak melambung ke udara. Sepasang
kaki Ratu Duyung melesak ke dalam pasir pantai sampai satu jengkal. Sebaliknya
sosok Hantu penjunjung Roh terpental satu tombak, terbanting jauh menelungkup
Hingga tubuhnya di bagian deparn termasuk wajahnya bercelemongan pasir basah.
Untung pasir tidak memasuki kedua matanya. Sambil memakai panjang pendek nenek
ini bangkit berdiri, rnembersihkan mukanya yang dipenuhi pasir basah. Asap merah
berbentuk kerucut terbalik diatas kepalanya bergerak turun naik.
Tiba-tiba didahului pekik keras seolah merobek lanit malam, hantu penjunjung roh
melompat kearah ratu duyung. Asap merah kepalanya menebar membuntal menutupi
muara sungai seluas dua tombak.
Ratu duyung berseru kaget ketika dia tidak lagi melihat sosok si nenek. Lalu
dari dalam kepekatan asap merah tiba-tiba mencuat satu tangan dan buukkkkk!
Ratu duyung menjerit keras.tubuhnya mencelat satu tombak , jatuh terbanting
dipasir. Jotosan Hantu Penjunjung Roh tepat melanda dadanya.
"Tua bangka kurang ajar! kau memang tidak bisa dikasih hati!" teriak Wiro
melihat apa yang terjadi dengan Ratu Duyung. Murid Sinto Gendeng
ini segera menerjang ke depan. Berkat
hawa sakti yang didapatnya dari Naga Biru di dasar samudera gerakan Wiro jadi
enteng dan cepat sekali. Tangan kiri melepas pukulan "Orang gila Mengebut Lalat"
untuk rnembuyarkan asap merah yang masih menyelubung sedang tangan kanan siap
menghajar si nenek dalam jurus "Kepala Naga Menyusup Awan". Namun gerakan sang
pendekar mendadak tertahan ketika dua bayangan berkelebat dalam gelapnya malam
dan pekatnya asap merah.
"Bukk! Buukk!"
Hantu Penjunjung Roh menjerit setinggi langit.
Dadanya laksana dipantek dari depan dan belakang. Satu jotosan rnelanda dadanya.
Lalu dalam waktu bersamaan satu jotosan lagi menghantam
punggungnya! Si nenek muntahkan
darah segar. tubuhnya Terseok lalu jatuh terduduk di pasir basalr. Asap merah
yang sebelumnya menyelubungi tempat itu sirna dan asap merah yang ada di atas
kepalanya, kini hanya berbentuk bayang.bayang, naik turun mengikuti tarikan
napas sesak. dua bola matanya yang berbenruk kerucut merah,
tenggelam ke dalam rongga mata yang cekung dan menyembul keluar begitu dia
melihat dua sosok gadis yang ada di hadapannya yang Sukan lain adalah Bidadari
Angin Timur dan Anggini.
Pendekar 21 2 Wiro Sableng tidak perdulikan apa yang terjadi dengan si nenek.
Dia meng-Ciambua ke arah sosok Ratu Duyung, berlutut cli sampingnya lalu
mendudukkan gadis itu di tanah, disandarkan ke badan sebuah perahu.
"Ratu ...."
"Wiro, dadaku sakit sekali ..." Suara Ratu duyung hampir tak kedengaran saking
perlahannya. Wiro hendak dekapkan dua teiapak
tangannya ke dada gadis itu, tapi sadar kalau ha1 itu tak mungkin dilakukannya.
Maka dari Selakang dua tangannya diletakkan di atas Dunggung Ratu Duyung lalu
dia kerahkan ienaga dalam untuk mengalirkan hawa sakti ke tubuh si gadis.
"Manusia-manusia pengecut! Curang!"
Hantu Penjunjung Roh merutuk. Dia berusaha bangkit berdiri tapi jatuh lagi
terduduk. "Nek, maafkan kami," berkata Anggini.
"Sebelumnya kami bersikap bersahabat terhadapmu. Tapi kalau kau mencelakai
sahabat kami Ratu Duyung, mana mungkin kami hanya berdiam diri."
Hantu Penjunjung Roh semburkan ludah
dan darah dalam mulutnya. Untuk kedua kalinya dia coba berdiri. Lagi-lagi jatuh
terduduk kembali seolah dua kakinya telah menjadi lumpuh. Anggini yang merasa
kasihan menolong perempuan tua ini berdiri.
"Nek, pergilah dari sini. Jangan lagi menghalangi niat Pendekar Pendekar 212
untuk membebaskan sahabatnya Bunga. Walau lblis Kepala Batu adalah saudaramu,
tapi dia telah melakukan satu kejahatan keji."
Luhniknk alias Hantu Penjunjung Roh keluarkan ucapan yang tak jelas dari
mulutnya yang penuh ludah bercampur darah. Terhuyung-huyung nenek ini melangkah pergi
tinggalkan muara sungai. Bidadari Angin Timur dan Anggini segera menghampiri
Ratu Duyung. Saai itu Ratu Duyung duduk bersandar ke badan perahu. Cermin sakti diletakkannya
di atas dadanya yang masih mendenyut sakit.
"Sahabat, bagaimana keadaanmu?" tanya Anggini sambil memegang bahu Ratu Duyung.
"Dadaku masih sakit. Aku menderita luka dalam. Mudah-mudahan tidak parah ..."
jawab Ratu Duyung. Mulutnya berucap begitu tapi hatinya bertanya-tanya bagaimana
dua gadis tersebut tahu-tahu bisa muncul di tempat itu.
"Kami berdua akan tolong memulihkan cideramu,"
kata Anggini lalu membungkuk di hadapan Ratu Duyung. Dua tangannya hendak
diletakkan di atas dada Ratu Duyung tapi Wiro memberi isyarat agar Anggini tidak
melakukan ha1 itu karena saat itu dia telah mengeluarkan kapak sakti. Kapak ini
kemudian ditempelkan diatas dada Ratu Duyung.
Senjata itu sebelumnya pernah ditelan oleh naga Biru di dasar samudera dan kini
dibalut oleh selarik sinar sakti kemerahan. Ketika kapak menindih dadanya Ratu
Duyung pejamkan
mata. Aliran hawa aneh yang keluar dari dalam kapak sakti menimbulkan rasa sejuk
di sekujur tubuhnya, terutama di bagian dada. Denyutan sakit perlahan-lahan
mulai berkurang. Wiro kemudian berikan sisa obat pemberian gurunya yang tinggal
satu. Tanpa malu-malu obat itu di masukkannya ke dalam mulut Ratu Duyung seraya
mendekatkan wajahnya ke muka si gadis, lalu berbisik.
"Telan ..."
Sesaat Ratu Duyung pegang tangan Wiro
lalu menelan obat yang diberikan. Bidadari Angin Timur dan Anggini hanya bisa
berdiam diri. Walau jelas maksud Wiro menolong Ratu duyung setulus hati, namun
dua gadis ini melihat dibalik pertolongan itu ada satu kemesraan.
Anggini merasa perih di lubuk hatinya. Bidadari Angin Timur juga merasakan hal
yang sama malah dadanya menjadi sesak. Dua gadis ini layangkan pandangannya ke
arah laut gelap.
klereka seolah menyadari bahwa hati sanubari dan perasaan saat itu jauh lebih
kelam dari laut yang gelap itu.
Ketika rasa sakit dan sesak di dadanya lenyap Ratu Duyung buka sepasang matanya
yang biru. Dia coba tersenyum pada Anggini dan Bidadari Angin Timur. Lalu gadis
ini palingkan kepalanya pada Wiro.
"Wiro, kau harus segera mencari lblis Kepala Batu Alis Empat ..."
Wiro mengangguk. "Aku tahu, tapi aku tidak akan meninggaikan kau dalam keadaan
seperti ini."
"Jangan pikirkan diriku. Aku akan segera sembuh."
"Kita akan mencari iblis keparat itu bersama-sama." Kata Pendekar 212 pula yang
membuat Ratu Duyung jadi terkejut, juga membuat heran Bidadari Angin Timur dan
Anggini. Sesuatu agaknya telah terjadi, membuat perubahan dalam diri Pendekar
212 terhadap Ratu Duyung. Bagi Wiro sendiri apa yang dilakukannya adalah satu
tindakan wajar belaka. Ratu Duyung telah mengantarkannya ke dasar semudera untuk
mendapatkan llmu Meraga Sukma. Kini si gadis dalam keadaan cidera. Apakah layak
dia meninggalkannya begitu saja" Wiro memandang pada dua gadis itu di
hadapannya. "Aku gembira rnelihat kalian berdua. Bagaimana kalian bisa berada di muara
sungai ini?" Anggini jadi kelagapan, tak bisa menjawab.
Bidadari Angin Timur yang sebelumnya sudah menduga kalau Wiro .bakal menanyakan
ha1 itu telah menyiapkan jawaban.
"Kami berada di kawasan ini secara kebe-
:u!an. Kami masih berusaha keras men-jejajaki dimana beradanya Pangeran
Matahari. Karena egaknya dia satu-satunya orang yang tahu
.ernana lenyapnya Pedang Naga Suci 212.
Yetika sampai di sini malam tadi, kami melihat Yantu Penjunjung Roh telah lebih
dulu berada di sini. Mendekam dalam perahu. Pasti dia fengah menunggu seseorang
atau menantikan sesuatu. Kami iantas ingat kalau kau tengah halam perjalanan
mencari seorang sakti yang diam di dasar lautan. Aku dan Anggini
remutuskan untuk mematai-matai nenek itu.
Sukan mustahil dia punya satu rencana jahat.
dugaan kami ternyata betul. Hanya sayang kami kurang cepat bertindak hingga
sahabat Ratu duyung mengalami cidera ..."
"Kalian bertindak dalam waktu yang tepat.
kku berterima kasih pada kalian berdua. Kalau kalian tidak muncul tnungkin aku
sudah membunuh nenek itu." Wiro pandangi wajah dua gadis cantik itu. Yang
dipandangi mendugaduga apa yang ada didalam kati sang pemuda.
'Aku dan Ratu Duyung akan pergi ke Lembah Welirang. Hantu Penjunjung Roh telah
ketelepasan bicara. Agaknya lblis Kepala Batu Alis Empat meiarikan Bunga ke tempat itu."
"Kami siap ikut bersamamu," kata Bidadari Angin Timur.
"Aku sangat berterima kasih. Tapi seperti yang sudah kita atur semula. Kita
tetap membagi tugas. Kalian berdua meneruskan mencari Pangeran Matahari sambil
menyirap kabar dimana beradanya tanaman bunga melati tujuh racun ..."
Bidadari Angin Timur dan Anggini jadi saling pandang mendengar ucapan Wiro itu.
Kalau Pendekar 212 memang tidak inginkan mereka ikut ke Lembah Welirang, buat
apa mereka berada lebih lama ditempat itu.
"Wiro, kau benar. Kita harus membagi tugas. Kami akan meneruskan mencari Pedang
Naga Suci 212. Juga menyelidiki dimana beradanya
bunga melati tujuh racun. Kamu pergi
.sekarang..."
Wiro memegang lengan Bidadari Angin
Timur. Memandang pada Anggini. "Pergilah.
Jangan lupa selalu berhati-hati ..."
Sesaat setelah dua gadis itu- pergi, Ratu Duyung berkata. "Kau telah
mengecewakan dua gadis cantik itu Wiro."
"Aku mengecewakan dua gadis cantik?"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Mereka lebih suka ikut bersamamu ke Lembah Welirang. Tapi kau menolak dan
memberi mereka tugas yang lain ..."
"Aku sama sekali tidak punya niat mengecewakan mereka. Pelnbagian tugas itu
sudah ditetapkan . sejak lama. Aku sendiri kebagian tugas paling banyak. Menyelamatkan
Bunga, mencari bunga melati tujuh racun. Mencari kitab pengobatan milik guru
yang hilang dicuri orang
...." "Kalau kau sadar begitu banyak tugasmu, mengapa kau tidak mau dibantu oleh
mereka?" "Mereka telah membantu ...." jawab Wiro.
Sang pendekar pandangi wajah Ratu Duyung beberapa ketika. Lalu dia tersenyum.
Sambil rnengusap-usap rambut hitam si gadis dia berkata. "Kalian gadis-gadis
cantik! Memang sulit menduga apa yang ada dihati kalian!"
"Mungkin begitu," jawab Ratu Duyung.
',Tapi dua gadis sahabatku itu mungkin pula berpendapat betapa sulitnya menduga
apa yang ada dihatimu."
"Kau sendiri, apakah juga punya pendapat seperti itu?" tanya Pendekar 212.
Sesaat Ratu Duyung kelihatan merah
ivajahnya. Kemudian sambil tersenyum dia menjawab. "Aku tidak malu-malu
mengatakan dan berterus terang. Saat ini aku lebih beruntung dari mereka berdua.
Karena kau memperhatikan keadaan diriku yang cidera.
Lebih dari itu kau juga menaruh percaya dan rnengajak diriku ke Lembah Welirang
mencari lblis Kepala Batu Alis Empat ...
Wiro cuma bisa tersenyum dan garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata Ratu
Duyung itu. -------------000000000-----------
K EMBALI ke kali kecil tempat terbunuhnya gadis cilik bernama Sulantri dan
kejadian ditikamnya Naga Kuning oleh Rana Suwarte dengan Keris Naga Kopek,
pusaka Kerajaan.
Setan Ngompol berteriak keras menyaksikan kejadian itu. Dia menerjang nekad ke
arah Rana Suwarte sambil berteriak.
"Rana Suwarte keparat! Kukorek jantungmu!
Kuhisap darahmu!"
Namun gerakan kakek ini serta merta
tertahan ketika dia menyaksikan apa yang terjadi dengan sosok Naga Kuning. Walau
jelas tadi Keris Naga Kopek menancap di pertengahan dada anak itu, namun tak ada
darah yang mengucur, tak ada jerit kesakitan keluar dari mulut Naga Kuning.
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malah pada saat itu Setan Ngompol melihat bocah
berpakaian hitam berambut jabrik itu putarputar leher, goyangkan kepala. Asap
tipis mengepul dari ubun-ubun Naga Kuning. Ketika bocah ini mengusap wajahnya satu
kali, wajah itu berubah menjadi wajah seorang kakek berambut, berkumis dan
berjanggut putih.
Sosoknya bukan lagi sosok anak-anak,
melainkan sosok seorang tua mengenakan jubah kelabu.
"Ah, anak konyol itu tengah memamerkan wujudnya yang asli. Padahal keris masih
menancap di dadanya. Tapi, astaga!"
Bola mata jereng Setan Ngompol membe-
liak. Ketika dia memperhatikan ternyata Keris naga Kopek sama sekali tidak
menancap di dada Naga Kuning yang kini telah berubah wujud menjadi kakek dikenal
dengan julukan kiai Paus Samudera Biru. Senjata sakti itu berada daIam jepitan
jari-jari tangan kirinya.
ketika lawan menikam Naga Kuning cepat lindungi
dirinya dengan jurus "Naga Sakti
menggenggam Rembulan." Begitu ujudnya berubah Keris Naga Kopek sudah berada
dalam jepitan lima jari tangannya. Tidak seperti yang diduga Setan Ngompol,
senjata sakti ini tidak sampai menusuk tubuh Naga Kuning alias Kiai paus
Samudera Biru. Dari samping tadi
memang terlihat seolah-olah senjata sakti itu telah menusuk tembus dada Naga
Kuning. Kejut Rana Suwarte bukan olah-olah. Dia Cepat tarik Keris Naga Kopek. Tapi
laksana Ditahan jepitan baja senjata sakti itu tidak Bergeming dari genggaman
Kiai Paus Samudra Biru.
Keringat dingin mengucur di kening Rana suwarte.
dalam hati dia membatin. "Kalau aku adu kekuatan, kerahkan tenaga dalam, keris
sakti ini bisa patah. Urusanku dengan orang lain bisa kapiran! Kalau aku
mengalah berarti senjata ini jatuh ke tangan manusia jahanam ini! Aku tambah
lebih celaka!"
Kiai Paus Samudera Biru menyeringai lalu berucap. "Walau besar dugaanku senjata
pusaka Kerajaan ini adalah hasil curian, aku bersedia meloloskan mengembalikan
padamu. Tapi dengan satu syarat. Mulai hari ini kau harus melupakan Ning lntan Lestari
dan tinggalkan tanah Jawa ini. Pergi kemana kau suka
asal tidak di tanah Jawa!"
Rahang Rana Suwarte menggembung.
Tanpa keluarkan ucap jawaban Keris Naga Kopek yang tadi ditariknya kini malah
didorong ditusukkan ke arah lawan. Lalu tangan kiri laksana kilat bergerak
melempar sebilah pisau terbang. Serangan senjata rahasia ini masih disusul
dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
"Rana Suwarte, kau memang harus dibikin tobat seumur-umur!" kata Kiai Paus
Samudera Biru dengan sikap tenang. Bersamaan dengan keluarnya ucapan ttu tangan
kanannya bergerak ke atas. Lima jari tangan dijentikkan.
"Tring!"
Senjata rahasia berupa sebilah pisau
terbang patah tiga, mental lenyap di udara malam yang gelap.
"Bukkk!"
Jotosan tangan kiri Rana Suwarte beradu keras dengan jotosan tangan kanan Kiai
Paus Samudera Biru. Wajah sang Kiai masih
sunggingkan seringai sebaliknya Rana Suwarte
mengerung keras. Tangan kanannya terlepas dari memegang Keris Naga Kopek.
Tubuhnya mencelat dua tombak. Lima jari tangan kirinya hancur.
Satu bayangan biru berkelebat. Kiai Paus Samudera Biru terkesiap kaget ketika
satu kekuatan dahsyat mendorong tubuhnya. Selagi dia terjajar ke belakang, dia
merasa ada sambaran angin deras menyusul dan tahu-tahu keris Naga Kopek dibetot
lepas dari tangannya.
"Rana Suwarte tua bangka tolol! Lekas tinggalkan ternpat ini. Aku menunggu di
bukit perjanjian!"
Seseorang berseru lalu dess! Ada suara letupan. Bersamaan dengan itu kabut aneh
menyungkup kawasan kali kecil membuat buta pemandangan. Kiai Paus Samudera Biru
coba mengejar orang yang merampas keris pusaka.
tapi karena tidak bisa melihat apa-apa sosoknya malah beradu dengan Setan
ngompol. Ketika kabut aneh lenyap di tepi kali
kelihatan Kiai Paus Samudera Biru yang telah kembali ke ujud aslinya yaitu ujud
seorang anak lelaki kecil berambut jabrik bernama Naga Kuning tergeletak di
tanah. Di sampingnya kakek botak Setan Ngompol duduk menjelepok terkencing-
kencing. Tangan kiri memegangi keningnya yang benjut akibat beradu kepala dengan
Kiai Paus Samudera Biru tadi sementara tangan kanan memegangi bagian
bawah perut yang terus ngocor. Rana Suwarte tak ada lagi ditempat itu. Mayat si
kecil Sulantri masih tergeletak di tepi kali.
"Bocah konyol! Apa yang terjadi"!" Setan Ngompol ajukan pertanyaan.
Naga Kuning delikkan mata. "Kau yang menonton perkelahian. Kau pasti melihat
lebih jelas!"
"Aku melihat satu bayangan biru. Ada orang berkelebat ke arahmu. Lalu muncul
kabut! Kau menabrak diriku. Lihat keningku- sampai benjut!"
Tanpa diketahui oleh kedua orang itu, tak jauh dari tumbangan pohon besar
seorang mendekam dibalik serumpun semak belukar.
Matanya tak berkesip memperhatikan dua orang yang tengah bercakap-cakap namun
perhatiannya lebih banyak ditujukan pada Naga Kuning. Orang ini berpakaian serba
hitam, berujud seorang nenek bermuka seram, rambut
kelabu riap-riapan, kaku panjang hitam.
"Ada orang merampas Keris Naga Kopek,"
jawab Naga Kuning dengan suara penasaran.
Ketika aku mengejar dia ledakkan benda yang menebar kabut tebal. Turut apa yang
diucapkan orang itu pasti dia adalah sobatnya Rana Suwarte. Bukit perjanjian.
Ada puluhan bukit di sekitar sini. Kemana aku mau mengejar"!"
"Tak perlu dikejar. Sia-sia saja," kata Setan
'Jgompol. "Kau muncul di sini sendirian?"
"Memangnya kau kira aku datang dengan siapa" Setan" Dedemit atau jin" tukas Naga
Kuning. "Mana nenek kekasihmu bernama Ning lntan Lestari berjuluk Gondoruwo Patah Hati
itu ..." "Ah, dia yang kau maksudkan," Wajah si Socah tampak masgul, sedih.
"Hai, kenapa tampangmu mendadak jadi seperti orang sedih"'
"Orang satu itu, tak usah kau tanyakan dia.
Dia sudah kabur entah kemana!" jawab Naga Kuning.
"Setelah berpisah puluhan tahun, bukankah belum lama ini kalian saling bertemu"
Apa yang terjadi sampai dia kabur meninggalkan dirimu?"
"Aku tak bisa memastikan. Cuma menduga.
Mungkin dia cemburu pada nenek sial dari Negeri Latanahsilam bernama Luhniknik
alias Hantu Penjunjung Roh. Waktu dia kabur, aku coba mengejar. Tapi dia lenyap
entah kemana. Aku mencari ke tempat kediamannya di Kali Lanang. Dia tak ada disitu. Siai amat
nasibku! Padahal aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Hantu Penjunjung Roh. Puluhan
tahun berpisah, begitu bertemu berpisah lagi. Aku kawatir kesempatan ini
dipergunakan oleh Rana Suwarte untuk merayu Ning lntan Lestari. Tapi aku
percaya, orang seperti dia tidak mudah dirayu. Puluhan tahun dia bisa bertahan,
masakan akan runtuh karena gejolak satu hari
saja ...." (Baca serial Wiro Sableng dalam Episode
"Si Cantik Dalam Guci)"
Di balik semak-semak, nenek berwajah
seram yang bukan lain adalah Ning intan Lestari alias Gondoruwo Patah hati
merasakan dadanya sesak. Perasaan kacau membuat dia jadi bingung. Di dalam rasa
bingung itu terselip rasa penyesalan.
"Kalau aku, biar saja dia pergi pada Rana Suwarte. Buat apa kau merisaukan nenek
jelek itu!" Setan Ngompol berucap. Membuat Gondoruwo
Patah Hati terperangah, lalu menggigit bibir sendiri.
"Nenek jelek! Enak saja kau bicara!" Naga Kuning bersungut. "Kau tidak tahu
siapa dan bagaimana keadaan dirinya sebenarnya. Cuma nasibku saja yang jelek.
Kemana aku harus mencarinya"'
"Apa kau benar-benar mengasihinya?"
tanya Setan Ngompol pula.
Sepasang Mata Gondoruwo Patah Hati
memperhatikan Naga Kuning tak berkesip.
Dadanya berdebar menunggu apa yang bakal diucapkan anak itu sebagai jawaban.
Naga Kuning mengangguk. "Dulu sebelum aku tahu bahwa Rana Suwarte menyukainya
aku seolah tidak acuh. Namun ketika tahu lelaki sialan itu mencintainya malah
minta tolong Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk agar rnau nikah dengan dia,
perasaanku jadi berubah. Aku tiba-tiba saja merasa takut kehilangannya.
Aku baru menyadari bahwa
sebenarnya aku mencintai gadis itu. Sejak lama .... Lama sekali ..."
Gondoruwo Patah Hati pejamkan dua
matanya. Dari balik kelopak mata yang terkatup itu meleleh butiran-butiran
bening air mata.
Saat itu dia serasa ingin menghambur keluar dari balik semak belukar, memeluk
Naga Kuning. Tubuhnya bergetar menahan perasaan yang seperti mau meledak.
"Gunung ..." hanya nama asli Naga Kuning itu yang meluncur dalam ucapan kata
hatinya. "Gadis?" terdengar suara Setan Ngompol.
"Nenek peot muka seram bernama Gondoruwo Patah Hati ini kau sebut gadis" Ha ..
ha ... ha! Otakmu pasti sudah miring!"
"Justru otakmu bisa jadi miring jika rnengetahui keadaan dirinya sebenarnya!"
jawab Naga Kuning. Dia pandangi kepala botak si kakek lalu berkata. "Aku
heran ..."
"Apa yang kau herankan?" tanya Setan Ngompol.
"Tadi aku sempat hampir tidak mengenali dirimu. Kalau saja tidak melihat
selangkaqganmu yang selalu basah oleh kucuran air
itencing, aku mengira kau adalah tuyul tua kejemur. Kau kemanakan rambutmu"
Mengapa kepalamu jadi botak begitu rupa"!"
Setan Ngompol menyeringai. Tangan kirinya yang basah oleh air kenclng enak saja
diusapkannya ke atas kepalanya yang gundul plontos.
"Rambut di kepalaku sengaja kucukur garagara kaulan." Menerangkan Setan Ngompol.
"Kaulan" Kaulan sinting! Apa yang terjadi?"
Naga Kuning ingin tahu.
"Kejadiannya dimulai ketika aku dijebloskan di penjara Istana. Barang antikku
dijapit dengan besi dan digelantungi rantai! Aku kemudian berkaul. Kalau ada
yang bisa menolong dan diriku terlepas dari azab benda celaka itu, maka aku akan
melakukan kauf. Kaulku adalah mencukur semua rambut yang ada di tubuhku!
Wiro berhasil menolongku. Kaul aku
laksanakan. Tapi mengapa aku terus-terusan ketimpa nasib sial ..."
"Mungkin kaulmu kau lakukan setengah hati ..."
"Setengah hati bagaimana"!" sungut si kakek. "Lihat, kepalaku gundul plontos.
Kumis, juga janggutku aku tabas semua. Rambut kakiku juga aku kikis habis! Bulu
ketek aku cabuti sampai gundul semua! Enak saja kau bilang aku melakukan dengan
setengah hati."
Naga Kuning tersenyum.
"Kek, benaran kau sudah mencukur seluruh rambut di tubuhmu?" tanya si bocah."
Apa kau buta" Kau menyaksikan sendiri. Kepalaku, kumisku ...."
"Ya, ya aku lihat Kek. Tapi apa rambut yang dibawah perutmu juga sudah kau cukur
habis?" tanya Naga Kuning pula.
Setan Ngompol tersentak kaget. Matanya mendelik memandangi si bocah.
"Pertanyaan edan!" semprot si kakek.
"Kau belum menjawab pertanyaanku Kek.
Apa rambut yang disitu itu sudah kau cukur habis dan licin" Hik .. hik ... hik!"
"Bocah setan! Sesuai kaul tentu saja rambut di situ sudah aku cukur!" jawab
Setan Ngompol dengan mata jereng melotot dan mulut pencong geram.
"Boleh aku lihat"!" kata Naga Kuning pula.
Anak ini melangkah cepat mendekati si kakek.
Dua tangannya siap menarik kebawah celana Setan Ngompol yang basah bau pesing.
Setan Ngompol buru-buru menghindar
pegangi bagian bawah perutnya sambil memaki panjang pendek. Di balik semak
belukar Gondoruwo Patah Hati yang tadi menangis haru kini menutup rnulut dengan
telapak tangan kiri menahan tawa.
"Kau takut aku intip bagian bawah perutmu.
Berarti kaulmu memang tidak sempurna! Kalau belum mencukur seluruh rambut yang
ada di tubuhmu!" Ucap Naga Kuning pula.
Setengah menggerendeng Setan Ngompol
akhirnya berkata. "Rambut yang disitu memang tidak dicukur!"
"Nah mengaku kau akhirnya Kek! ltulah salahnya kaulmu! Jadi benar kalau aku
bilang kau melakukan kaul setengah-setengah.
Akibatnya kau selalu ketiban apes."
"Bocah sinting! Yang dibawah perutku itu namanya bukan rambut! Jadi tak perlu
aku potong! Tak perlu aku cukur!"
"Kalau bukan rambut lalu namanya apa kek?" tanya Naga Kuning dan kembali anak
ini tertawa cekikikan.
"Namanya ... namanya ...." Setan Ngompol tak berani meneruskan ucapannya. Kakek
ini malah buru-buru menekapkan tangan ke bawah perut tapi serrr! Kencingnya
ngocor tidak tertahankan.
Setelah berdiam diri cukup lama dan
berpikir-pikir si kakek akhirnya berkata.
"Mungkin ... mungkin kau benar bocah sinting.
Mungkin memang kaulku tidak kulakukan
sempurna. Aku ... aku segera akan mencukur habis rambut yang satu itu ..."
"Salah lagi Kek!" ujar Naga Kuning.
"Apa yang salah?" pelotot Setan Ngompol.
"Tadi kau bilang rambut yang satu. Kau yakin dibawah perutmu itu cuma ada satu,
cuma ada selembar rambut"!"
"Setan alas! Maksudku! Sinting kau!" Tapi kemudian si kakek tertawa terkekeh-
kekeh. Akibatnya serr. ..serrrr. Air kencingnya mengucur tak berkeputusan. Naga Kuning
ikutan tertawa mengakak. Di balik belukar Gondoruwo Patah Hati terguncang-guncang
tubuhnya menahan tawa.
Prras tertawa dan kencing habis-habisan Setan Ngompol gosok-gosok matanya yang
belok berair. Dia ingat pada jenazah Sulantri.
Kakek ini segera melangkah ke tepi kali kecil.
Naga Kuning mengikuti langkah si kakek.
"Aku harus membawa jenazah anak malang ini ke Maguwo. Sebelum mati dibunuh Rana
Suwarte dia sempat memberi tahu kalau dirinya adalah anak Kepala Desa Maguwo.
Maguwo tak jauh dari sini."
"Aku ikut bersamamu," kata Naga Kuning pula. "Dalam perjalanan kau bisa
menceritakan apa yang telah terjadi."
"Aku menaruh curiga. Ada satu rahasia besar dibalik kematian gadis cilik ini.
Yang mungkin ada sangkut pautnya dengan bunga melati berwana hitam."
"Maksudmu bunga melati tujuh racun yang mampu ..."
"Nanti kita bicarakan dalam perjalanan ke Maguwo," kata Setan Ngompol pula. Lalu
jenazah Sulantri di panggulnya di bahu kiri. Si kakek diam sebentar. "Maguwo
ntemang tidak jauh dari sini. Tapi memanggul anak ini sampai ke sana, walah! Aku
tidak bisa membayangkan.
Kencingku pasti akan mengucur sepanjang jalan!"
"lni termasuk salah satu kesialan akibat salah kaul itu Kek!" kata ~ a g aKu
ning pula. "Kau yang sialan!" maki Setan Ngompol.
"Sudah Kek, jangan ngomel terus. Ayo ja-Ian," ujar Naga Kuning sambil senyum-
senyurn. Pada saat itulah Gondoruwo Patah Hati
yang sejak tadi mendekam dibalik semak belukar dan tak bisa lagi menahan hati,
melompat keluar.
"Gunung, apa aku boleh ikut dengan kalian ke Maguwo" Aku membawa seekor kuda.
Bisa jadi tumpangan jenazah anak perempuan itu."
-----------000000000000-------------
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
NAGA KUNING terkejut mendengar orang
menyebut nama aslinya. Dia mengenali
suara itu. Dugaannya tidak meleset. Seorang nenek berwajah seram tegak di
hadapannya. "lntan!" ucap Naga Kuning setengah berseru.
"Kau ada di sini!"
"Ha .. ha ... ha! Sudah sejak tadi dia ada di dekat sini sobatku bocah konyol!"
kata Setan Ngompol.
"Eh, apa masudmu?" Naga Kuning jadi heran, berpaling pada Setan Ngompol.
"Aku tahu kalau nenek ini sudah sejak tadi sembunyi di balik semak belukar
sana ...." si kakek mengulangi ucapannya.
"Kau! Jadi!" Naga Kuning memandang melotot pada Setan Ngompol. "Kenapa kau tidak
memberi tahu?"
Setan Ngompol menyeringai.
"Kau punya ilmu kepandaian. Tapi karena mengodaku terus-terusan ilmumu jadi
tumpul!" Naga Kuning berpaling pada Ning lntan
Lestari alias Gondoruwo Patah Hati. "lntan, kau ... kau mendengar semua
pembicaraan kami"'
"Tentu saja dia mendengar. Walau sudah tua nenek ini belum tuli, belum budek!"
"Kakek bau pesing! Aku tidak tanya padamu!" semprot Naga Kuning marah.
Setan Ngompol pencongkan mulut, berpaling pada Gondoruwo Patah Hati dan berkata.
"Sobatku tua, kau jawablah sendiri pertanyaan sobatku muda yang konyol ini!"
Gondoruwo Patah Hati batuk-batuk beberapa kali.
"Aku ... aku tidak bermaksud menguping.
Tapi jarak tempat aku berada begitu dekat. Aku memang mendengar semua apa yang
kalian bicarakan ..."-
"Matek aku!" kata Naga Kuning sambil tepuk jidatnya sendiri. Malunya bocah ini
bukan alang kepalang. Tadi dia sempat menyatakan pada Setan Ngompol bagaimana
isi hatinya terhadap si nenek.
"Kenapa musti matek!" tukas Setan Ngompol.
"Selama apa yang kau ucapkan memang jujur dan memang begitu adanya, yang kau
dapat bukan matek tapi matek enak! Bukan begitu" Ha ... ha ... ha! Atau semua
ucapanmu tadi cuma sandiwara belaka karena sebenarnya kau sudah tahu kalau nenek ini ada di
sekitar sini. Kau ingin merajuk hatinya"
"Tua bangka edan! Kau yang memancing diriku hingga menemukan kata-kata itu. Dan
tadi kau mengaku sendiri, kalau kau sudah tahu dia ada di sini sejak lama!"
'Aku tidak membawa kail! Mana mungkin
Aku memancing!" jawab Setan Ngompol se-enaknya lalu tertawa gelak-gelak sambil
pegangi bagian bawah perutnya yang kembali mulai mengucur.
"Sudah! Aku tidak suka kalian terus bertengkar."
Kata Gondoruwo Patah Hati. "Di
tempat ini ada jenazah anak kecil yang harus kita urus. Kalau kalian masih mau
bertengkar, biar aku yang mengantar anak itu ke Maguwo.
Aku membawa kuda. Kita naikkan mayat anak ituu di atas kuda. Kita bertiga sama
mengiringi. maguwo tidak jauh dari sini. Aku juga ingin bicara tentang bunga melati hitam
itu dengan kalian."
Habis berkata begitu nenek ini keluarkan suitan halus. Dari balik deretan
beberapa pohon besar di tepi kali melangkah keluar seekor kuda putih.
"Gondoruwo Patah Hati," kata Setan Ngompoi setelah membaringkan menelungkup
jenazah Sulantri di atas punggung kuda putih milik si nenek. "Sebelum kita
Pedang Naga Kemala 9 Gento Guyon 9 Maut Merah Petaka Kerajaan Air 1
SI KAKEK BOTAK PEGANGI PERUTNYA.
"CIMUNG, MENGAPA AKU HARUS MENUNGGU
SAMPAI MINGGU DEPAN?"
"KARENA BUNGA ITU HANYA MUNCUL SEKALI SEMINGGU. SETIAP MUNCUL SELALU
BERJUMLAH TIGA ..." "BENAR-BENAR ANEH. MLINCUL SEKALI SEMINGGU. SETIAP MUNCUL SELALU
BERJUMLAH TIGA." KAKEK KEPALA BOTAK BERMATA BELOK
JERENG MENGULANGI UCAPAN SULANTRI,
PANDANGI ANAK PEREMPUAN ITU
BEBERAPA SAAT, LALU BERTANYA. "DARI MANA
MUNCULNYA TIGA KUNTUM BUNGA ITU?"
SULANTRI MENLINJUK KE ARAH TIMUR
DIMANA Dl KEJAUHAN KELIHATAN GUNUNG
MERAPI. "TIGA BUNGA MELATI HITAM ITU SELALU ..."
BELUM SEhIPAT ANAK PEREMPUAN
DELAPAN TAHUN ITU MENYELESAIKAN UCAPANNYA
TIBATIBA SATU BENDA PUTlH BERDESING Dl UDARA.
SULANTRI MENJERIT KERAS. ANAK INI
LANGSUNG ROBOH, TERKAPAR Dl TANAH.
MATANYA MEMBELIAK MENATAP LANGIT.
KAKEK botak berpakaian dekil dan basah kuyup di sebelah bawah itu duduk di tepi
kali dekat serumpunan belukar. Mulut senyum-senyum, dua tangan memegang bagian
bawah perut. Matanya yang belok juling sejak tadi memperhatikan seorang anak
perempuan seusia delapan tahun duduk di tepi kali di seberang sana. Dua kakinya
dicelupkan ke dalam air kali yang dangkal, bening dan sejuk.
Di pangkuannya terlihat tiga kuntum bunga kecil. Di tangan kirinya anak ini
memegang sebuah lidi. Sambil menyanyi-nyayi kecil dengan tangan kanannya dia
menusukkan satu
demi satu kuntum bunga yang ada di
pangkuannya ke lidi di tangan kiri.
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tapi mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah kau mekar di malam kelam
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tangan kiri orang tua di balik semak belukar yang sejak tadi memegangi bagian
bawah perutnya diangkat ke atas. Tangan yang basah oleh air kencing itu enak
saja diusap-usapkan ke kepalanya yang botak. Sambil pandangi gadis cilik di
seberang kali dia berkata sendirian.
"Anak manis sekecil itu pandai sekali menyanyi. Suaranya bagus. Kalau sudah
besar bisa-bisa jadi sinden cantik, dikagumi dimanamana.
Kalau saja aku punya cucu seperti dia, hldupku pasti banyak bahagianya." Orang
tua ini lalu tertawa cekikikan. "Punya cucu" Aku punya cucu" Ha ... ha ... ha!
lstri saja tidak punya bagaimana bisa punya cucu" Ha ... ha.. ha!"
Tiba-tiba orang tua berkepala botak ini hentikan tawa, tutup mulutnya dengan
tangan kanan. Di tepi kali di seberang sana si gadis kecil hentikan pula nyanyiannya,
memandang ke kiri-kanan.
"Aku mendengar ada orang tertawa. Cuma suara. Orangnya tidak kelihatan. Ihh ...
Apakah tempat ini kini sudah ada hantunya?"
Walau keluarkan ucapan seperti itu namun tidak kelihatan bayangan rasa takut di
wajah anak perempuan itu. Malah sambil menusukkan kuntum bunga ke tiga ke lidi
di tangan kirinya dia kembali melantunkan nyanyian tadi.
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Tapi mengapa warnamu berubah hitam
Mungkinkah kau mekar di malam kelam
Melati oh Melati
Semerbak harum mewangi
Kata orang kau bunga suci
Berwarna putih menarik hati
Orang tua di balik semak belukar perlahanlahan turunkan tangan kiri yang
mengusap kepala, juga tangan kanan yang dipakai menutup mulut. Sepasang matanya
yang besar dan juling sesaat memandang ke depan tak berkesip.
Dadanya berdebar.
"Nyanyian anak itu .... Tiga bunga hitam yang ditusukkan bersusun di lidi
panjang, apa benar bunga melati" Heh"!" Mata yang juling tambah juling, belok
tambah belok. "Aku ingat cerita Pendekar 212, jangan-jangan ..." Orang tua ini
tiba-tiba plaaakk! Dia tabok kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Dua kali
berkelebat dia sudah berada di seberang kali kecil di depan si anak perempuan.
Anak yang sedang menyanyi tentu saja terkejut, hentikan nyanyiannya dan
dongakkan kepala. Memandang dari atas sampai ke bawah, dari kepala botak sampai
ke kaki. Kalau tadi dia terkejut tapi begitu melihat orang yang berdiri di
hadapannya, anak ini malah tersenyum.
"Oh, jadi ini rupanya hantu yang tadi tertawa.
Hik ... hik ... hik. Mata belok jereng. Kuping kanan aneh terbalik. Kepala
botak. Mau dibilang tuyul kenapa sudah tua keriput peot begini rupa" Hantu
kenapa bau pesing" Hk ... hik ... hik!
hantu lucu-lucuan ..."
"Gadis cilik, aku bukan hantu bukan tuyul!
Tapi hemm, aku memang bau pesing! Jelekjelek begini aku ingin bersahabat
denganmu. Kalau boleh ..." Orang tt;a kepaila botak keluarkan ucapan. Lalu dia duduk
menjelepok di samping anak perempuan itu. Malanya yang belok dibesarkan memperhatikan tiga
kuntum bunga kecil hitam yang ditusukkan. disusun memanjang di batangan fidi.
"Anak manis, siapa namamu?"
"Hantu botak tanya namaku. Hik..hik.
Malu ...."
"Hik .. hik ... Hantu botak juga malu ..." orang tua itu meniru tawa si anak
perempuan sambil pegangi bagian bawah perutnya. Anak
perempuan di samping si botak jereng ikutan tertawa.
Tempat sunyi di tepi kali kecil jadi riuh oleh suara tawa kedua orang itu.
"Hantu botak, nama saya Sulantri. Tapi orang-orang memanggil saya Cimung. Saya
anak kepala desa Maguwo." Si anak perempuan menerangkan sambil goyang-goyangkan
lidi di tangan kiri dan uncang-uncang dua kaki yang dicelup dalam air kali.
"Nama bagus kenapa dipanggil Cimung"
Ada-ada saja ..." kata si botak. "Tadi aku dengar kau menyanyi. Suaramu bagus.
Kalau sudah besar apa mau jadi sinden?"
Anak perempuan menjawab dengan gelengan kepala.
"Kenapa tidak mau jadi sinden" Kau pasti disukai banyak orang. Banyak uang ..."
"Jadi sinden lebih banyak susah dari senangnya."
"Begitu" Anak manis, kau tahu dari mana sampai bisa berucap seperti itu?" tanya
si kakek botak. Dalam hati dia heran melihat anak sekecil itu bicara seperti
orang dewasa saja.
"Dulu ibu saya seorang sinden," jawab Sulantri pula.
"Serrr!"
Ada yang mengalir dibawah perut orang
tua berkepala botak itu. Cepat-cepat si botak ini pegangi perutnya. Sulantri
perhatikan tanah sekitar tempat si orang tua duduk yang kelihatan berubah basah.
"Hantu botak, kau kencing ya"!"
"Aku ... anu ..." Si botak tak bisa menjawab akhirnya tertawa mengekeh. Setelah
usap mukanya beberapa kali orang tua ini menunjuk
pada lidi di tangan kiri Sulantri. "Bunga kecil hitam itu, apa itu bunga yang
kau sebut dalam nyan!*!anmu tadi" Bunga melati hitam?"
"Memangnya kenapa?" si anak balik bertanya.
"Setahuku yang namanya melati itu pasti putih. Heran, bagsimana mungkin ada
melati berwarna hitam ..."
"Kenapa musti heran" Melati hitam ini sudah ada dari dulu."
"Kau yakin" Pasti kalau bunga ini bunga melati hitam?" Sambil bertanya orang tua
itu perhatikan tiga bunga melati yang menancap bersusun di lidi yang di pegang
anak perempuan itu. Bunga kecil itu mempunyai tujuh
kelopak ganda berwarna hitam pekat. "Gusti Allah ..." orang tua itu mengucap
dalam hati. "Mudah-mudahan memang ini bunga yang tengah dicari-cari itu."
"Bunganya berbentuk bunga melati. Warnanya hitam. Apa ini bukan namanya bunga
melati hitam?" ujar Sulantri.
"Cimung ...." si orang tua berkata sambil dekatkan kepalanya ke wajah si anak.
"Kau barusan
memegangnya, apa kau tidak takut
keracunan" Atau mungkin kau tidak tahu kalau bunga itu mengandung racun yang
bisa membuatmu sakit, bahkan bisa membunuhmu."
"Saya sudah sering memegang bunga ini.
Saya tidak pernah sakit ..."
Si orang tua perhatikan jari-jari tangan anak perempuan bernama Sulantri. Dia
menyaksikan bagaimana jari-jari mungil anak itu berwarna kehitam-hitaman. Lalu
si kakek membatin.
"Terlalu sering memegang bunga beracun itu, mungkin dia jadi kebal dengan racun
bunga." "Kakek hantu botak, bunga ini memang mengandung racun jahat. Ji3a kau mau saya
bisa membuktikan."
"Ah ..... itu satu ha1 yang aku ingin sekali melihat, jawab si botak. Dalam hati
dia bertanyatanya
bagaimana anak kecil ini mampu
membuktikan kalau bunga melati hitam itu mengandung racun jahat.
Dengan matanya yang lucu Sulantri memandang ke pinggir kali sebelah kiri. Dekat
sebuah batu pipih seekor kodok coklat mendekam diam, menunggu mangsa berupa
nyamuk dan serangga lainnya yang banyak beterbangan di sekitar situ.
"Kakek botak, kau lihat kodok itu?" Bertanya Sulantri sambil menunjuk ke arah
batu. Mata jereng Kakek kepala botak bergerak berputar ke arah yang ditunjuk. "Ya, aku
lihat." , Baru saja si kakek menjawab. Sulantri cabut bunga hitam di ujung
paling atas lidi lalu dilemparkannya ke arah kodok coklat di samping batu.
Dengan cepat binatang ini melompat dan melahap bunga hitam itu. Sesaat kemudian
begitu bunga hitam lewat tenggorokan dan masuk ke dalam perutnya, kodok
coklat kelihatan menggeliat kejang dan keluarkan suara mengerang pendek lalu
diam tak berkutik lagi. Dari mulutnya yang terbuka meleleh cairan kental
berwarna hitam. Kuiitnya yang tadi bewarna coklat ini berubah menjadi hitam
seperti kayu gosong dimakan api!
Bergidik tengkuk kakek botak dan serrr!
Dari bawah perutnya terpancar air kencing.
"Racun bunga itu mematikan kodok. Tapi tidak mematikan saya. Lihat ..." Sulantri
dengan cepat ambil bunga hitam ke dua yang tertusuk pada batang lidi. Bunga itu
dimasukkan ke dalam mulutnya. Dikunyah lumat-lumat lalu ditelan. Seperti yang
dikatakannya, dia tidak mengalami nasib seperti kodok. Dia tidak keracunan, apa
lagi mati. "Luar biasa! Kau kebal racun bunga itu ..."
ucap kakek kepala botak, kepala
digelenggelengkan
penuh kagum sedang tangan kiri
menekap bagian perut, menahan beser.
"Sekarang coba kau makan bunga yang satu ini," tiba-tiba Sulantri berkata.
"Serrr!"
Air kencing Kakek kepala botak langsung muncrat saking kagetnya mendengar ucapan
si anak perempuan.
"Cimung, aku tidak punya kekebalan seperti dirimu. Tapi aku memang inginkan
bunga itu. Kau mau memberikan bunga hitam yang tinggal satu itu padaku?"
"Hantu botak, kau inginkan bunga ini"
Ambil saja," jawab Suian, tri. Lalu bunga hitam berikut lidi di tangan kirinya
diserahkan pada orang yang minta.
Baru saja orang tua itu ulurkan tangan hendak mengambil lidi dan bunga tiba-tiba
satu bayangan biru berkelebat. Si kecil Sulantri terpekik. Anak ini terpental
bergulingan di tepi kali sampai satu tombak.
Kakek botak ikut keluarkan seruan tertahan.
Satu gelombang angin dahsyat menerpa dada dan bahu kanannya, membuatnya jatuh
terjengkang dan kucurkan air kencing. Terbungkuk-
bungkuk, sambil dua tangan pegangi
bagian bawah perut dia bangkit Serdiri. Dia segera mendatangi Sulantri.
"Anak, kau tidak apa-apa?" Si orang tua bertanya lalu membantu anak perempuan
itu bangun dan duduk di tanah.
"Kakek hantu botak, tadi aku diterpa angin kencang sekali. Dadaku sakit.
Kepalaku pusing.
Apa yang terjadi?"
"Ada orang jahat ..." jawab si orang tua.
Mata jerengnya memandang berkeliling. Dia tidak melihat apa-apa. Lalu
pandangannya kembali pada anak perempuan di depannya.
"Bunga hitam ..." ujar si orang tua. Dia perhatikan tangan kiri Sulantri. Lidi
dan satusatunya bunga hitam yang masih tinggal dan
tadi dipegang anak perempuan itu kini tak ada lagi. Dia memeriksa berkeliling.
"Bunga itu lenyap. Bayangan biru tadi! Seseorang
merampasnya sebelum sempat kuambil. Kurang ajar!"
Serrr! Si Kakek kepala botak kencing lagi.
Dia jongkok di samping Sulantri.
"Aneh ..."
"Apa yang aneh?" tanya Sulantri sambil gosok-gosok dadanya yang terasa sakit.
"Ada orang merampas bunga hitam dan lidi ..." Si kakek memperhatikan lalu
melompat ke arah lenyapnya bayangan biru. Dia tidak melihat siapa-siapa."Kek,
bagi saya bunga beracun itu hanya barang mainan. Aneh juga kalau ada orang
merampasnya. Buat apa" Tadi kau memintanya. Bagimu apakah sangat
berarti?" "Sangat berarti. Bunga melati hitam itu jika kuberikan pada seorang temanku,
bisa mengobati seorang penting di Kotaraja."
"Saya mau pulang," Sulantri berdiri.
"Tunggu," kata si kakek dan ikut berdiri.
"Di sekitar kali kecil ini kulihat tidak ada tanaman kembang. Dari mana kau
mendapatkan bunga melati hitam itu?"
"Bunga langka itu memang tidak tumbuh disini. Jika kau mau, datanglah minggu
depan ke sini. Akan saya berikan tiga kuntum bunga rnelati hitam yang masih
segar-segar padamu."
Si kakek botak pegangi perutnya. "Cimung, mengapa aku harus menunggu sampai
minggu depan"'
"Karena bunga itu hanya muncul sekali seminggu.
Setiap muncul selalu berjumlah tiga ..."
"Benar-benar aneh. Muncul sekali seminggu.
Setiap muncul selalu berjumlah tiga."
Kakek botak bermata belok jereng mengulangi uLapan Sulantri, pandangi anak
perempuan itu berapa saat, lalu bertanya., "Dari mana munculnya tiga kuntum
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunga itu?"
Sulantri menunjuk ke arah timur dimana di kejauhan kelihatan Gunung Merapi.
"Tiga bunga Melati hitam itu selalu ...."
Selum sempat anak perempuan delapan
ta;lun itu menyelesaikan ucapannya tiba-tiba satu benda putih berdesing di
udara. "Cimung awas!" teriak kakek botak. Dia berusaha mendorong anak perempuan itu
tapi jaraknya terlalu jauh. Maka cepat dia hantamkan tangan kanan untuk memukul
benda putih yang melesat. Namun terlambat!
Sulantri keluarkan jeritan keras. Anak ini langsung roboh, terkapar di tanah.
Matanya membeliak menatap langit. Di lehernya
menancap sebuah pisau kecil bergagang perak.
Darah mengucur membasahi leher dan badan gadis cilik yang malang ini.
Kakek botak berteriak marah. Air kencingnya mengucur deras. Semula dia hendak
menghambur menubruk mayat anak perempuan malang itu. Namun sudut matanya
menangkap satu bayangan biru berkelebat dibalik pohon besar. Tidak menunggu
lebih lama kakek ini segera melesat ke arah pohon.
"Bangsat pembunuh! Jangan kabur!"
Sambil berkelebat dan berteriak kakek botak ini hantamkan tangan kanannya.
"Braakkk!"
"Traaakk!"
Semak belukar di samping pohon hancur
beterbangan ke udara. Batangan pohon gompal besar, berderak miring lalu tumbang
dengan suara menggemuruh.
**********00000***************
KAKEK berpakaian basah air kencing usapusap kepala botaknya. Dia berdiri di
Samping pohon besar yang barusan dihantam-nya tumbang. Matanya yang jereng
memandang berkeliling. Orang yang dikejar tidak kelihatan.
mulutnya memaki marah.
"Pembunuh keparat! Pengecut! Apa dosa anak itu sampai kau membunuhnya begitu
keji!" "Serrr ... serrr!"
Setelah kucurkan air kencing dua kali berturut-turut si kakek memutar tubuh,
meiangkah ke arah Sulantri tergeletak. Baru dua langkah berjalan tiba-tiba
cabang sebuah pohon di Samping
kirinya bergoyang. Sudut matanya melihat sesuatu bergerak di atas sana. Lalu
menyusul terdengar suara tawa mengekeh. Kakek botak angkat kepalanya, memandang
ke arah dahan pohon. Dua kaki memasang kuda-kuda, tangan kanan waspada siap
menghantam. Satu
bayangan biru berkelebat cepat. Di lain kejap bayangan itu telah berdiri di
hadapan si kakek, berupa sosok seorang tua berwajah jernih, mengenakan pakaian
ringkas warna biru.
"Setan alas satu ini, apakah aku pernah melihatnya sebelumnya?" Kakek botak
membatin sambil usap kepala dengan satu tangan sementara tangan lain memegangi
bagian bawah perut.
"Tua bangka bau pesing, kau inginkan bunga langka ini?" orang tua berbaju biru
ajukan pertanyaan sambil tangan kanannya
acungkan lidi yang ditancapi bunga melati hitam yang sebelumnya berada di tangan
gadis cilik Sulantri.
Saking geramnya kakek kepala botak
kucurkan air kencing lalu membentak.
"Setan tua, kalau tidak iblis pasti kau sebangsa dajal! Apa salah anak perempuan
itu sampai kau membunuhnya"!"
Si baju biru menyeringai.
"Aku bicara lain kau omong lain! Kau perlu bunga ini" Ambillah!" Habis berkata
begitu kakek di hadapan si botak gerakkan tangan kanannya meremas. Lidi dan
bunga hitam yang menancap di situ langsung amblas hancur.
Sambil tertawa bergelak si kakek jatuhkan hancuran bunga dan lidi ke tanah.
"Jahanam kurang ajar!" maki kakek kepala botak dengan mata mendelik besar. Habis
sudah harapannya untuk mendapatkan bunga melati hitam yang sangat langka itu.
Kencing menyembur tidak tertahankan.
"Manusia keji kurang ajar! Sekarang aku ingat siapa kau adanya!"
"Tua bangka botak! Aku juga tahu siapa kau sebenarnya. Dulu kau punya rambut!
Sekarang aneh, mengapa kepalamu jadi botak!
i'falau botak tapi aku tidak lupa dirimu! Matamu
)rang belok dan jereng! Kuping kananmu yang terbalik! Celanamu yang selalu basah
oleh air kencing! Kau adalah mahluk salah kaprah berjuluk Setan Ngompol, sobat
musuh besarku 'Jags Kuning! Dulu di kawasan air terjun jurangmungkung kau pernah menantangku!
Waktu itu aku tidak punya kesempatan melayani mulut besarmu! Sekarang aku muncul
menerima tantanganmu!"
"Rana Suwarte ..." ucap kakek kepala botak dengan rahang mengembung dan
tenggorokan keluarkan suara menggembor marah.
"Ha ... ha ... ! Bagus! Kau ternyata masih ingat nama, kenal diriku! Berarti
jalanmu ke neraka akan jauh lebih mudah! Ha ... ha ... ha!"
"Setan alas manusia keji busuk! Kau barusan membunuh anak kecil tak berdosa.
Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!
Tapi sebelum mati aku ingin tahu. Mengapa kau membunuh anak itu. Lalu sengaja
menghancurkan bunga melati hitam!"
"Ah, dua pertanyaanmu itu akan terjawab di satu tempat. Pasti! Di liang neraka
tempat kemana kau akan segera berangkat!"
"Tua bangka jahanam! mulutmu keliwat takabur! Aku tidak keberatan kita sama-sama
berangkat menuju liang neraka!" teriak Setan Ngompol. Lalu tubuhnya berkelebat
ke arah Rana Suwarte dalam jurus serangan bernama Setan Ngompol Mengencingi
Bumi. Angin deras disertai cipratan air kencing lebih dulu menghantam Rana
Suwarte sebelum serangan yang berupa dua pukulan tangan kiri kanan itu menderu
ke arah sasaran. (Mengenai siapa adanya Rana Suwarte dan riwayat
perselisihannya
dengan Setan Ngompol harap baca
Episode terakhir dari serial "Kembali Ke Tanah Jawa" berjudul "Senandung
Kematian") Rasa Suwarte semburkan ludah saking
jijiknya ketika air kencing yang menyiprat dari celana lawan mengenai wajahnya.
Dia tekuk dua lutut hingga tubuhnya sedikit merunduk.
Sesaat dia menunggu. Begitu sosok Setan ngompol yang melayang di udara menukik
ke arahnya disertai gempuran angin luar biasa deras, Rana Suwarte pukulkan dua
tangannya ke atas.
Dua gelombang angin dahsyat menderu
memapasi hantaman angin keras yang keluar dari pukulan tangan kiri kanan Setan
Ngompol. "Dess! Desss! "
Dua letupan keras mengema di sepanjang kaki begitu tenaga dalam tinggi yang
memancar dari dua pasang tangan bentrokan di udara.
"Braaak! Braaaak! "
Semak belukar di tempat itu hancur beterbangan ke udara.
Setan Ngompol terpental dua tombak.
Kencingnya bermuncratan kemana-mana.
sepasang mata yang jereng mendelik
merah sedang dada mendenyut sakit. Tulang2
iganya serasa remuk. Tadi dia telah mengerahkan lebih dari tiga perempat tenaga
dalamnya. Tidak menyangka
lawan sanggup menahan serangannya bahkan daya balik tenaga dalamnya yang
menangkis begitu hebat
memberi bekas di tubuh si kakek kepala botak.
Apa yang terjadi dengan kakek berpakaian Ringkas biru tak kalah hebatnya. Kakek
ini Terbanting jatuh duduk di tanah. Mukanya yang Jernih kelihatan pucat
pertanda tekanan tenaga Dalam lawan yang tinggi telah menciderai tubuhnya di
bagian dalam. "Rana Suwarte!" bentak Setan Ngompol.
Setahuku kau adalah tokoh silat abdi Istana.
mengapa berlaku keji membunuh anak
perempuan tak berdosa itu"!"
"Setan Ngompol! Simpan semua pertanyaanmu sampai kau minggat ke liang neraka!"
jawab Rana Suwarte dengan bentakan tak kalah kerasnya. Lalu dia berkelebat,
menyergap lawan dengan serangan berantai luar biasa keras dan cepat. Setan
Ngompol berjibaku menangkis dan menghantam dengan dua tangannya.
Rupanya kakek botak ini bukan cuma ingin menjajal kehebatan tenaga dalam lawan
tapi juga sekaligus mau menjajagi sampai dimana kedigjayaan tenaga luarnya.
Suara bergedebukan terdengar berulang
kali. Dua lengan Setan Ngompol yang kurus kering kelihatan hitam kebiruan sedang
sepasang lengan Rana Suwarte dipenuhi
bengkak- bengkak merah. Rana Suwarte merasa sakit lebih dulu. Ini membuat dia terpaksa
mundur. Setan Ngompol tidak memberi kesempatan.
Walau sambil terkencing-kencing kakek ini terus mendesak lawan. Lima jurus Rana
Suwarte dibuat kalang kabut. Jurus ke enam dia tak bisa bertahan lagi. Kakek ini
mencari kesempatan untuk mundur guna mengatur
kuda-kuda dan siasat baru. Namun maksudnya belum kesampaian. Tiba-tiba dengan
jurus bernama Setan Ngompol Mengencingi Langit lawan berhasil menyusupkan satu
pukulan telak ke pertengahan dadanya.
"Bukkk!"
Rana Suwarte meraung keras. Tubuhnya
mencelat lima langkah, punggung terbanting membentur batang pohon, sesaat
terhenyak tegak lalu muntahkan darah segar!
"Keparat!" rutuk Rana Suwarte sambil seka darah yang meleleh di bibir dan
dagunya dengan tangan kanan. Lalu meludah ke tanah.
Tangan yang bernoda darah itu kemudian bergerak mengeluarkan sesuatu dari balik
pinggang pakaian birunya.
Satu cahaya kuning memancar terang di
bawah pohon dimana Rana Suwarte berdiri dengan tampang kelam membesi.
"Senjata di tangan jahanam itu....." ujar Setan Ngompol dalam hati,
memperhatikan dengan mata jereng melotot. "Astaga! Itu Keris naga Kopek pusaka
Kerajaan. bagaimana bisa berada di tangannya"!"
"Setan Ngompol!" Rana Suwarte membentak dengan wajah lontarkan seringai setan.
"Kau lihat senjata ini"!"
"Aku tidak buta! Aku lihat dan aku tahu! ltu adalah Keris Naga Kopek milik
pusaka Kerajaan!
Pasti kau telah mencurinya!"
-----------------------00000000000----------------
W ANA SUWARTE tempelkan badan keris
sakti pusaka Kerajaan di atas keningnya, dongakkan kepala lalu tertawa bergelak.
"Tua bangka bau pesing buronan Kerajaan!
Dengar! Kau boleh punya ilmu setinggi langit sedalam lautan. Tapi tak ada satu
kekuatanpun sanggup menghadapi keris sakti bertuah di tanganku ini! Bersiaplah
untuk mampus!"
Setan Ngompol memang sudah tahu
kehebatan Keris Naga Kopek. Bahkan
menyaksikan sendiri bagaimana senjata sakti Itu mampu melindungi sahabatnya,
Pendekar 212 Wiro Sableng dari serangan maut Kipas Pelangi yang dilancarkan
Adimesa alias Pendekar Kipas Pelangi sewaktu terjadi pertempuran
hebat di kawasan air terjun
Jurangmungkung. Adisaka yang juga dikenal dengan nama Damar Wulung, yang tidak
terlindung oleh keris sakti itu menemui ajal secara mengenaskan di tangan
adiknya sendiri.
(Saca serial Wiro Sableng berjudul "Senandung Kematian")
Walau tahu kehebatan senjata di tangan lawan tapi Setan Ngompol tidak unjukan
sikap jerih Sambil bertolak pinggang sementara air kencingnya mengucur terus dia berkata.
Setahuku senjata curian tidak pernah ampuh. Apa lagi dipakai untuk kejahatan!"
Rawa Suwarte menyeringai. "Jangan terlalu takabur! Kita akan lihat bagaimana
nasibmu sebentar lagi!"
Didahului satu bentakan keras tokoh silat
'stana itu melompat ke hadapan Setan
ngompol. Keris di tangan kanan dibabatkan.
Suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya cahaya kuning tebal dan angker
menyambar ke arah Setan Ngompol.
Setan Ngompol berseru kaget ketika merasakan seperti ada tembok batu mendorong
dahsyat ke arahnya. Dengan cepat kakek ini melompat mundur sambil hantamkan dua
tangan sekaligus. Melepas pukulan sakti bernama "Setan Ngompol Meroboh Gunung."
Selama ini jarang ada lawan yang sanggup menerima pukulan tersebut. Kalau tidak
dihantam roboh, paling tidak lawan akan mencelat mental dan menderita luka dalam
parah! Namun untuk kedua kalinya Setan Ngompol berteriak tegang dan terkencing-kencing
ketika pukulan dua tangannya yang mengandung
hawa sakti dan tenaga dalam tinggi diterpa kiblatan cahaya kuning Keris Naga
Kopek iafu berbalik menghantam dirinya sendiri.
Setan Ngompol selamatkan diri dengan melompat setinggi satu tombak. Tapi lawan
rupanya dapat menduga gerakannya. Selagi sosok kakek botak itu masih melayang
setengah jalan di udara Rana Suwarte
mendahului membuat lompatan lebih tinggi. Lalu
dengan tubuh masih menggantung di udara dia tusukkan Keris Naga Kopek ke bawah.
Laksana semburan api, cahaya kuning
meluncur ganas ke arah Setan Ngompol!
"Celaka!" Setan Ngompol berseru tegang.
Sambil pegang bagian bawah perutnya dia jungkir balik di udara lalu jatuhkan
diri ke kiri. Baru dua kakinya menginjak tanah, satu tendangan menyapu kuda-kuda salah satu
kakinya. Tak ampun lagi Setan Ngompol jatuh terjengkang. Belum sempat bergerak
bangun ujung runcing Keris Naga Kopek sudah menempel di batok kepalanya yang
gundul plontos! Setan Ngompol merasa ada hawa aneh menggidikkan memasuki kepalanya,
membuat tubuhnya bergetar dan tengkuknya merinding dingin. Kencingnya muncrat
habis-habisan. "Berani bergerak, kutembus batok
kepalamu!" Mengancam Rana Suwarte.
"Kau mau membunuhku" Ha ... ha! Teruskan niatmu! Siapa takut mati!" Ucap Setan
Ngompol setengah berteriak, membalas ancaman orang dengan tantangan.
Rana Suwarte tertawa mengekeh. Dia tahu lawan saat itu dalam keadaan tidak
berdaya. Dia hanya menggerakkan tangan sedikit saja maka tamatlah riwayat Setan Ngompol.
"Orang takut dan putus asa memang bisa nekad! Tua bangka bau! Aku tidak terlalu
kesusu ingin merampas nyawamu. Malah aku masih sudi memberi sedikit penundaan.
Asal kau mau memberi tahu dimana beradanya
bocah sahabatmu si rambut jabrik dikenal dengan nama Naga Kuning yang ujud
aslinya adalah seorang kakek bernama Kiai Paus Samudera Biru."
Mendengar ucapan orang, Setan Ngompol
putar sepasang matanya yang belok jereng lalu tertawa gelak-gelak sampai air
kencingnya berkucuran.
"Jahanam! Mengapa kau tertawa seperti orang gila! Apa yang lucu!"
"Minum kencingku duiu! Baru aku beritahu dimana bocah konyol itu berada! Ha ...
ha ... ha!"
Bergetar sekujur tubuh Rana Suwarte. Keris Naga Kopek yang tergenggam di
tangannya dan ujungnya menempel di batok kepala Setan Ngompol tampak memancarkan
cahaya kuning lebih terang. Pertanda tokoh silat lstana itu tengah mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Dengan sekali tusuk saja dia ingin
menembus amblas kepala botak Setan Ngompol.
"Bangsat kurang ajar! Mampus kau!" teriak Rana Suwarte. Tangannya bergerak.
Namun sebelum Keris Naga Kopek dihujamkan ke batok kepala Setan Ngompol mendadak
satu suara kecil tapi nyaring terdengar di belakangnya.
"Tua bangka sesat Rana SL warte, apa betul kau mencari diriku"!"
Gerak tangan yang hendak rnenusuk tembus Keris Naga Kopek ke batok kepaia Setan
Ngompol sesaat tertahan. Rana Suwarte
paiingkan kepala. Melihat siapa yang berdiri di sebelah sana, sosok orang tua
ini bergetar dilanda dendam kesumat. Mukanya yang jernih kelam membesi. Rahang
menggembung. Sepasang mata mendelik tak berkesip memandangi
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak lelaki berpakaian serba hitam
berambut jabrik yang tegak beberapa langkah di depannya. Naga Kuning! Bocah yang
tengah dicari dan ingin dihabisicya!
Pada saat Rana Suwarte terkesiap melihat kemunculan Naga Kuning yang tidak
terduga, Setan Ngompol pergunakan kesempatan untuk selamatkan diri. Pertama
sekali dia jauhkan kepala botaknya dari ujung Keris Naga Kopek.
Bersamaan dengan itu tangan kirinya menepis lengan kanan Rana Suwarte. Lalu
tangan kanan melesat ke depan, menghantam selangkangan orang!
"Jebol celenganmu!" teriak Setan Ngompol lalu tertawa bergelak.
"Bedebah keparat!" maki Rana Suwarte.
Keris Naga Kopek dibabatkannya ke bawah.
Suara tawa Setan Ngompol sirna. Tak mau putus kehilangan lengan dengan cepat dia
terpaksa tarik pulang tangannya yang dipukulkan ke bawah perut lawan lalu
jatuhkan diri di tanah, terkencing-kencing berguling menjauhi Rana Suwarte.
"Nyawamu di tanganku! kau mau lari kemana!" kertak Rana Suwarte lalu melompat
memburu Setan Ngompol. Kaki kanannya
menghamburkan tendangan berantai tapi tak satupun berhasil mengenai tubuh Setan
Ngompol. Dengan geram Rana Suwarte angkat tangan kiri. Ketika tangan itu
bergerak, dua buah benda putih berkilat melesat ke arah perut dan dada Setan
Ngompol. Pisau terbang!
Dengan pisau inilah Rana Suwarte sebelumnya menghabisi nyawa Sulantri, gadis
cilik di tepi kali.
Melihat serangan dua pisau terbang Setan Ngompol liukkan tubuh. Dia berhasil
mengelakkan pisau yang mengarah ke perut. Namun
kasip dan tak mampu menghindar dari pisau yang mengincar dada!
Hanya sekejapan lagi pisau putih itu akan menancap di dada Setan Ngompol tiba-
tiba tring! Sebuah batu kecil melesat di udara, menghantam ujung !ancip pisau
terbang hingga senjata rahasia ini terpental gompal.
"Serrr!"
Sadar kalau dirinya barusan terlepas dari bahaya maut, Setan Ngompol kucurkan
air kencing, lalu cepat berdiri sambil pegangi perut.
"Bocah jahanam!" Rana Suwarte keluarkan makian. Dia tahu barusan Naga Kuninglah
yang menyambitkan sebuah batu kecil ke arah pisau maut yang dilemparkannya
menyerang Setan Ngompol. "Kau rupanya minta mampus lebih dulu dari kakek keparat
itu!" Sekali lompat Rana Suwarte sudah berdiri tiga langkah di hadapan Naga
kuning. Keris Naga Kopek
dipegang melintang di depan dada.
"Rana Suwarte. Usiamu sudah lanjut tapi masih saja bicara carut marut memalukan.
Jangan kau berani berlaku kurang ajar pada kakek sahabatku itu! Jika aku yang
kau cari, katakan apa urusanmu! apa masih urusan yang lama itu"!"
"Bocah setan! Salah satu diantara kita harus mati saat ini juga!" hardik Rana
Suwarte. Naga Kuning goleng-golengkan kepala sambil keluarkan suara seperti suara cecak.
"Cek .. cek ... cek! Luar biasa nekad!" kata anak berambut jabrik ini. Lalu dia
sambung ucapannya.
"Kalau aku mati apa kau kira akan bisa mengawini Ning lntan Lestari" Aku tahu
semua perbuatan jahatmu ini adalah karena dendammu terhadapku gara-gara tidak
bisa mendapatkan perempuan itu!"
Seperti dituturkan dalam serial Wiro
Sableng berjudul "Gondoruwo Patah Hati" sejak semasa muda antara Naga Kuning
yang berjuluk Kiai Paus Samudera biru terjadi silang sengketa dengan Rana Suwarte
gara-gara memperebutkan seorang gadis cantik bernama Ning lntan Lestari. Sang
gadis mencintai Naga Kuning, tapi Naga Kuning sendiri menganggapnya sebagai
saudara karena Ning lntan Lestari adalah anak angkat orang yang sangat
dihormatinya yakni Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Gagal mendapatkan cinta Ning lntan Lestari, Rana Suwarte meminta pertolongan
Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk Ning lntan Lestari agar mau nikah dengan
dirinya. Itu terjadi setelah puluhan tahun terpisah. Namun
nyatanya si gadis yang kini telah berubah menjadi nenek tetap saja menolak
kehadiran Rana Suwarte.
Dalam amarahnya, Rana Suwarte menganggap Naga Kuninglah yang jadi biang racun
semua kegagalannya dalam mendapatkan Ning lntan Lestari. Padahal Naga Kuning
sendiri dilihatnya seperti tak acuh dan meninggalkan gadis itu sekian lama.
Sebenarnya setelah berpisah puluhan tahun begitu rupa, entah mengapa kini timbul
rasa sayang di hati Naga Kuning pada Ning lntan Lestari yang hidup menyamar
sebagai nenek muka setan dengan julukan Gondoruwo Patah Hati.
Merasa ditelanjangi orang, Rana Suwarte mendidih amarahnya. Kepala dan dadanya
seperti mau meledak mendengar ucapan Naga Kuning tadi. Sewaktu terjadi
pertempuran hebat di dekat air terjun Jurangmungkung dulu, dia memang merasa
jerih terhadap Naga Kuning, terutama ketika bocah itu memperlihatkan ujud
aslinya berupa seorang kakek sakti mandraguna yang dikenal dengan julukan Kiai
Paus Samudera Biru. Selain itu dia juga masih .
menaruh.rasa segan karena tahu Naga Kuning , I adalah orang kepercayaan Kiai
Gede Tapa Pamungkas, ayah angkat Ning lntan Lestari, mahluk setengah manusia
setengah roh yang telah meninggal dunia puluhan tahun silam.
Selain itu Kiai Gede Tapa Pamungkas diketahui adalah guru Sinto Gendeng dan Tua
Gila. (Baca serial Wiro Sableng berjudul "Pedang Naga Suci 212")
Tapi kini bagi Rana Suwarte keadaan telah berubah. Memegang Keris Naga Kopek di
tangan kanan Rana Suwarte tidak memandang sebelah mata lagi pada Naga Kuning,
juga tidak perduli apapun hubungan anak aneh itu dengan Kiai Gede Tapa
Pamungkas. "Naga Kuning, Kiai Paus Samudera Biru!
Siapapun kau adanya! Hari ini adalah hari nahasmu! Kematianmu sudah di depan
mata. Jadi jangan bicara sombong tak karuan!"
"Siapa bicara sombong tak karuan!
Bukankah kau yang hidup salah kaprah tak karuan" Tergila-gila pada perempuan
yang jangankan mencintamu, melihatmupun dia muak! Bagaimana mungkin kau masih
bermimpi ingin mengawininya" Dan kesialan nasibmu itu kau jadikan bahan dendam
kesumat terhadapku! Sungguh tolol! Memalukan!"
Rana Suwarte tak dapat menahan
amarahnya lagi.
"Bocah keparat! Berangkatlah ke neraka!"
Teriak tokoh silat lstana itu. Sambil melompat kemuka dia kirimkan satu ~usukan
dan dua babatan dengan Keris Naga Kopek. Sinar kuning berkiblat terang di udara
disertai deru membising telinga menggetarkan dada. Naga kuning menahan kejut.
Belum pernah dia melihat senjata yang mampu memancarkan cahaya
demikian angkernya. Tubuhnya yang kecil laksana diterpa angin puting beliung.
Tanah yang dipijaknya seperti diguncang lindu. Pantas saja tadi si Setan Ngompol
kelabakan menghadapi senjata sakti mandraguna itu.
"Edan!" maki Naga kuning ketika dia dapatkan dirinya tidak bisa keluar dari
gulungan cahaya kuning. Setiap saat Keris Naga Kopek '
di tangan lawan datang menggempur dalam bentuk tusukan atau babatan.
"Bukkk!"
Dalam satu gebrakan Naga Kuning berhasil menghantam lengan kanan Rana Suwarte
yang memegang Keris Naga Kopek. Lengan itu hanya tergetar sedikit sebaliknya
Naga kuning terpental sampai tiga langkah dan jatuh duduk di tanah. Lawan tidak
sia-siakan kesempatan.
Sambil rnerunduk Rana Suwarte hunjamkan senjata sakti di tangannya ke dada si
bocah. "Settt .... clep!"
Keris Naga Kopek kelihatan menancap di dada Naga Kuning. Setan Ngompol berteriak
kaget. Kencingnya berburaian.
"Rana Suwarte keparat! Kukorek jantungmu!
Kuhisap darahmu!" teriak Setan Ngompol.
Dia menerjang ke depan ke arah tokoh silat lstana itu. Namun setengah jalan
gerakannya tertahan ketika menyaksikan apa yang terjadi dengan sosok Naga
Kuning. --------------------000000000000-----------------
K ITA tinggalkan dulu Naga Kuning yang menerima nasib kena ditikam Rana Suwarte
dengan Keris Naga Kopek, senjata
sakti mandraguna yang merupakan salah satu benda pusaka Kerajaan. Kita kembali
ke sebuah muara sungai kecil di kawasan pantai selatan.
Sejak tengah malam udara terasa lebih dingin.
Langit di laut menghitam dalam kegelapan tanpa bulan tanpa bintang. suara tiupan
angin sesekali mengencang terdengar menggidikkan.
Di batik sederetan pohon kelapa di tepi pantai, di bawah sebuah gubuk tak
berdinding, dua gadis duduk sating berdiam diri.
"Hujan ..." Gadis di samping kiri berucap sambil mengusap pipinya yang kejatuhan
hujan rintik-rintik. Gadis ini berambut pirang, berwajah cantik jelita dan bukan
lain adalah Bidadari Angin Timur. Di sebelahnya duduk Anggini, gadis cantik
murid tokoh silat terkenal berjuluk Dewa Tuak. "Anggini, apakah kita akan terus
menunggu di sini" Ini malam kedua kita bergadang. Yang aku kawatir mereka tidak
muncul di kawasan muara ini." Dua gadis itu memang telah berada di tempat
tersebut selama dua malam. Padahal di dasar samudera waktu yang dua malam itu
bagi Wiro kurang dari satu hari.
"Turut keterangan orang-orang yang kita tanyai, mereka memang menuju ke sini.
Lalu menghilang begitu hari gelap. Kita tidak tahu kapan mereka akan muncul.
Tapi aku yakin tempatnya memang sekitar muara ini. Karena di sini pertemuan
muara sungai yang
mengandung hawa hangat dengan air laut yang berhawa dingin. Kalaupun kita
beranjak dari sini, kita mau pergi kemana" Pangeran Matahari yang kita cari sama
sekali tidak meninggalkan jejak." Bidadari Angin Timur dalam sesaat lalu
melanjutkan kata-katanya. "Aku ingat keterangan Eyang Sinto Gendeng tempo hari
mengenai dua makam di puncak Gunung Gede.
Kita sama menyaksikan hanya satu makam yang kosong sedang makam satunya adalah
dimana Puti Anggini dimakamkan. Jelas-jelas kita yang menguburkan gadis itu.
Mengapa tahu-tahu makamnya kosong" Aku yakin ini semua Pangeran keparat itu yang
punya pekerjaan. Aku ...."
Anggini angkat tangannya, memberi isyarat dengan gerakan tangan memutus ucapan
Bidadari Angin Timur. Dia menunjuk ke arah timur. Di jurusan itu, dalam
kegelapan kelihatan seorang berlari menyusuri pantai. Demikian cepat larinya
hingga dalam waktu cepat sekali dia telah berada di muara sungai dekat deretan
perahu-perahu kosong. Dengan gesit orang ini melompat dari satu perahu ke perahu
lainnya tanpa perahu-perahu kosong itu bergerak barang sedikitpun. Di perahu ke
tiga pada deretan perahu diujung kiri, orang ini berhenti lalu merunduk dan
dudukkan diri di lantai perahu.
"Orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Pasti orang dari rimba
persilatan," bisik Bidadari Angin Timur.
Yang diperhatikan Anggini bukan kehebatan ilmu lari atau ilmu meringankan tubuh
orang. "Sahabatku, coba kau perhatikan. Di atas kepala orang itu ada asap aneka warna
merah, berbentuk kerucut berbalik. Matanya juga merah. Aku merasa pasti orang itu
adalah nenek aneh yang menurut Wiro tersesat dari Negeri Latanahsilam. Yang
pernah bertempur dengan Wiro karena dia sebenarnya adalah kakak kandung iblis
Kepala batu Alis Empat alias lblis Kepala batu Pemasung Roh."
"Aku ingat," ujar Bidadari Angin Timur.
"Namanya hantu Penjunjung Roh. Waktu Wiro mengerjainya, hampir membuat dirinya
telanjang bugil, kau memberikan sehelai pakaian padanya."
"Benar, memang dia. Mengapa dia berada di sini?" Anggini menduga-duga.
"Kalau dia adalah saudaranya lblis Kepala Batu Alis Empat, sudah bisa kuduga apa
maksudnya berada di sini. Mau mencegah Wiro.
Membalas dendam karena telah dipecundangi dan dipermalukan."
"Berarti Pendekar 212 dalam bahaya."
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Tunggu saja sampai Wiro muncul. Kalaupun nenek itu punya niat jahat terhadap
Wiro, rasanya dia tidak memiliki kemampuan
mengalahkan Pendekar 212."
Hujan rintik-rintik lenyap diterpa angin laut.
Malam tambah dingin. Orang di dalam perahu Hantu Penjunjung Roh duduk tak
bergerak. Matanya selalu diarahkan ke tengah laut, sesekali memandang berkeliling. Anggini
dan Bidadari Angin Timur mulai letih, kedinginan dan mengantuk.
Tiba-tiba sayup-sayup di kejauhan terdengar suara air laut bersibak. Anggini
angka! kepalanya, memandang lurus-lurus ke arah laut di ujung muara sungai.
"Bidadari, lihat!" ucap Anggini.
Bidadari Angin Timur yang tengah terkantuk-kantuk tersentak, berpaling pada
sahabatnya lalu memandang ke arah yang ditunjuk Anggini.,
Saat itu dari bawah permukaan air laut muncul dua kepala manusia, satu laki-
laki, satunya perempuan berambut panjang hitam.
Setelah muncul kepala, menyusul bagian dada lalu perut. Akhirnya kedua orang itu
kelihatan melangkah mengarungi air laut yang semakin dangkal, bergerak menuju
ketepi pasir pantai.
"Dugaan kita tidak meleset. Si mata biru itu ternyata memang mendampingi Wiro
masuk ke dalam lautan." Kata Bidadari Angin Timur setengah berbisik.
"Mungkin Wiro telah mendapatkan ilmu Meraga Sukma itu" ujar Anggini.
Belum sempat Bidadari Angin Timur
menjawab ucapan sahabatnya tiba-tiba sosok Hantu Pemasung Roh yang sejak lama
mendekam di salah satu perahu melesat ke udara lalu menukik turun ke arah dua
orang yang barusan saja keluar dari dalam laut.
Dalam kejutnya Wiro dan Ratu Duyung
cepat bersibak ke kiri dan ke kanan.
"Hantu Penjunjung Roh!" seru Wiro begitu dia mengenali siapa yang berdiri di
atas pasir basah di hadapannya. Dia merasa tidak enak.
Naga-naganya nenek satu ini akan mencari lantaran lagi. Wiro memberi isyarat
pada Ratu Duyung agar berlaku waspada.
"Bagus! Kau masih mengenali tua bangka jelek ini! Hik ... hik ... hik!"
"Nek, kelihatannya kau sengaja menghadang kami." kata Wiro pula.
"Bukan kelihatannya. Tapi memang benar aku sengaja menghadangmu. Aku punya satu
kepentingan denganmu anak muda! Aku datang untuk mengingatkanmu tentang urusan
dengan saudaraku lblis Kepala Batu Alis Empat Alis lblis Kepala Batu Penjunjung
Roh. Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku lupa, urusan apa yang kau maksudkan?"
"Hemm ... Hik ... hik! Kau lupa. Biar aku beritahu! Aku ingatkan padamu jangan
sekali lagi berani membuat urusan apa lagi sampai mencelakai lblis Kepala Batu
Alis Empat!"
"Tidak ada orang yang ingin mencelakai saudaramu itu! Dia mencelakai dirinya
sendiri!" kata Wiro mulai gusar.
"Maksudmu"!"tanya Hantu Penjunjung Roh.
"Jangan berlagak tolol tidak tahu! Saudaramu menculik gadis bernama Bunga,
sahabat Pendekar 212. Menyekapnya dalam guci
tembaga!" Yang menjawab adalah Ratu Duyung.
Hantu Penjunjung Roh yang bernama Luhniknik ini Jirikkan matanya pada Ratu
Duyung selalu berkata. "Gadis berambut hitam panjang, bermata biru bertubuh bagus, apa
hubungamu dengan pemuda ini?"
"Kau tak patut bertanya, jadi tak layak kujawab!" sahut Ratu Duyung pula.
"Si nenek tertawa panjang.
"Aku tidak ada kepentingan dengan dirimu.
Jadi jangan berani campuri urusanku dengan pemuda itu!"
Wiro maju satu langkah. "Hantu Penjunjung Roh aku juga merasa tidak ada urusan
dengan dirimu. Mengingat hubungan kita di Tanahsilam dulu, harap kau suka
meninggalkan tempat ini.
Jangan menghalangi kami." Wiro memberi isyarat pada Ratu Duyung. Keduanya lalu
melangkah maju melewati samping kiri dan kanan si nenek.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Di Negeri Latanahsilam kita boleh bersahabat. Tapi
di sini saat ini aku terpaksa meminta sumpahmu bahwa kau tidak akan melakukan
apa-apa terhadap adikku lblis Kepala Batu Alis Empat."
"Aku bisa saja bersumpah. Tapi apakah kau sanggup membebaskan Bunga dari dalam
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
guci tembaga"!"
"Aku akan melakukan ha1 itu! Aku akan menemui adikku!"
"Mana mungkin! Dimana dia berada saja kau tidak tahu!" tukas Wiro.
"Jangan memandang remeh diriku! Aku tahu dimana dia berada!"
"Tempat kediamannya di Jurangmungkung sudah aku hancurkan!"
"Dia masih punya beberapa tempat
kediaman. Diantaranya di Lembah Welirang, lalu di ..."
Hantu Penjunjung Roh putus ucapan. Dia baru sadar kalau telah mengatakan sesuatu
yang seharusnya tidak boleh diungkapkan.
"Kurang ajar! Aku kena terpancing pemuda jahanam ini!" rutuk si nenek dalam
hati. Wiro menyeringai.
"Maaf Nek, aku tidak percaya kau mampu melakukan ha1 itu."
"Memang, seharusnya kau jangan percaya padanya Wiro!"
"Betina penghasut! Kau bakal menerima hajaran dariku!" kata Hantu Penjunjung
Roh. Dua matanya yang merah berbentuk kerucut menyembul keluar. Dia berpaling ke arah
Pendekar 212 lalu berkata. "Aku terpaksa minta jaminan secara paksa bahwa kau
tidak akan mencelakai saudaraku!"
Habis berkata begitu Hantu Penjunjung Roh goyangkan kepalanya. Dari dua rnatanya
yang aneh, melesat dua larik sinar merah angker.
Sinar pertama menderu ke arah bahu kiri dan sinar kedua ke arah bahu kanan Wiro.
Jika mengenai sasarannya maka dua tangan sang pendekar akan buntung sebatas
bahu! Seperti diketahui Hantu Penjunjung Roh telah beberapa kali berusaha membujuk
agar Wiro tidak mengambil tindakan terhadap lblis Kepala Batu Alis Empat. Si
nenek tahu kalau Wiao mengeluarkan ilmu kesaktian yang
dimiiiklnya maka adiknya akan celaka besar walau konon lblis Kepala Batu Alis
Empat punya ilmu kebal. Dari membujuk si nenek sampai bertindak keras hingga
terjadi perkelahian. Wiro yang masih menaruh hormat terhadapnya tidak rnau menjatuhkan
tangan keras. Terakhir sekali dia memberi pelajaran dengan cara merobek-robek
pakaian perempuan tua itu hingga keadaannya nyaris bugil.
Ternyata ha1 ini tidak membuat Hantu
Penjunjung Roh jera. Nenek satu ini tetap saja ngotot membela saudaranya tanpa
mau mengerti kalau lblis Kepala Batu telah melakukan kejahatan keji, menculik Bunga,
menyekapnya dalam guci tembaga dan
memaksanya untuk dijadikan gadis peliharaan.
Wiro memburu lblis Kepala Batu ke sarangnya di dekat air terjun Jurangmungkung.
Tapi tidak menemui si penculik di tempat itu. Dalam marahnya Wiro hanya bisa
menghancurkan tempat kediaman lblis Kepala Batu. (Baca Episode
"Godoruwo Patah Hati", "Senandung Kematian",
"Mayat Persembahan" dan "Si Cantik Dalam Guci")
Mendapat serangan ganas begitu rupa
lenyaplah kesabaran murid Sinto Gendeng.
Kalau tidak diberi hajaran berat nenek satu ini tdak akan jera seumur-umur dan
dia akan selalu mengalami kesuiitan untuk membebaskan
Bunga walau saat itu dia telah memiliki ilmu Meraga Sukma. Tapi Ratu Duyung yang
begitu besar cintanya terhadap Wiro bertindak mendahului. Gadis ini keluarkan
cermin bulat saktinya. Sekali dia menggerakkan tangan memutar lengan, selarik
cahaya menyilaukan berkiblat di malam buta. rnelabrak dua larik sinar merah yang
menyembur keluar dari sepasang
mata Hantu Penjunjung Roh.
"Bummm! Bummm!"
--------------0000000000--------
Letusan keras mengge!egar dua kali di tempat itu
. Air sungai bermuncratan.Pantai bergetar dan ombak melambung ke udara. Sepasang
kaki Ratu Duyung melesak ke dalam pasir pantai sampai satu jengkal. Sebaliknya
sosok Hantu penjunjung Roh terpental satu tombak, terbanting jauh menelungkup
Hingga tubuhnya di bagian deparn termasuk wajahnya bercelemongan pasir basah.
Untung pasir tidak memasuki kedua matanya. Sambil memakai panjang pendek nenek
ini bangkit berdiri, rnembersihkan mukanya yang dipenuhi pasir basah. Asap merah
berbentuk kerucut terbalik diatas kepalanya bergerak turun naik.
Tiba-tiba didahului pekik keras seolah merobek lanit malam, hantu penjunjung roh
melompat kearah ratu duyung. Asap merah kepalanya menebar membuntal menutupi
muara sungai seluas dua tombak.
Ratu duyung berseru kaget ketika dia tidak lagi melihat sosok si nenek. Lalu
dari dalam kepekatan asap merah tiba-tiba mencuat satu tangan dan buukkkkk!
Ratu duyung menjerit keras.tubuhnya mencelat satu tombak , jatuh terbanting
dipasir. Jotosan Hantu Penjunjung Roh tepat melanda dadanya.
"Tua bangka kurang ajar! kau memang tidak bisa dikasih hati!" teriak Wiro
melihat apa yang terjadi dengan Ratu Duyung. Murid Sinto Gendeng
ini segera menerjang ke depan. Berkat
hawa sakti yang didapatnya dari Naga Biru di dasar samudera gerakan Wiro jadi
enteng dan cepat sekali. Tangan kiri melepas pukulan "Orang gila Mengebut Lalat"
untuk rnembuyarkan asap merah yang masih menyelubung sedang tangan kanan siap
menghajar si nenek dalam jurus "Kepala Naga Menyusup Awan". Namun gerakan sang
pendekar mendadak tertahan ketika dua bayangan berkelebat dalam gelapnya malam
dan pekatnya asap merah.
"Bukk! Buukk!"
Hantu Penjunjung Roh menjerit setinggi langit.
Dadanya laksana dipantek dari depan dan belakang. Satu jotosan rnelanda dadanya.
Lalu dalam waktu bersamaan satu jotosan lagi menghantam
punggungnya! Si nenek muntahkan
darah segar. tubuhnya Terseok lalu jatuh terduduk di pasir basalr. Asap merah
yang sebelumnya menyelubungi tempat itu sirna dan asap merah yang ada di atas
kepalanya, kini hanya berbentuk bayang.bayang, naik turun mengikuti tarikan
napas sesak. dua bola matanya yang berbenruk kerucut merah,
tenggelam ke dalam rongga mata yang cekung dan menyembul keluar begitu dia
melihat dua sosok gadis yang ada di hadapannya yang Sukan lain adalah Bidadari
Angin Timur dan Anggini.
Pendekar 21 2 Wiro Sableng tidak perdulikan apa yang terjadi dengan si nenek.
Dia meng-Ciambua ke arah sosok Ratu Duyung, berlutut cli sampingnya lalu
mendudukkan gadis itu di tanah, disandarkan ke badan sebuah perahu.
"Ratu ...."
"Wiro, dadaku sakit sekali ..." Suara Ratu duyung hampir tak kedengaran saking
perlahannya. Wiro hendak dekapkan dua teiapak
tangannya ke dada gadis itu, tapi sadar kalau ha1 itu tak mungkin dilakukannya.
Maka dari Selakang dua tangannya diletakkan di atas Dunggung Ratu Duyung lalu
dia kerahkan ienaga dalam untuk mengalirkan hawa sakti ke tubuh si gadis.
"Manusia-manusia pengecut! Curang!"
Hantu Penjunjung Roh merutuk. Dia berusaha bangkit berdiri tapi jatuh lagi
terduduk. "Nek, maafkan kami," berkata Anggini.
"Sebelumnya kami bersikap bersahabat terhadapmu. Tapi kalau kau mencelakai
sahabat kami Ratu Duyung, mana mungkin kami hanya berdiam diri."
Hantu Penjunjung Roh semburkan ludah
dan darah dalam mulutnya. Untuk kedua kalinya dia coba berdiri. Lagi-lagi jatuh
terduduk kembali seolah dua kakinya telah menjadi lumpuh. Anggini yang merasa
kasihan menolong perempuan tua ini berdiri.
"Nek, pergilah dari sini. Jangan lagi menghalangi niat Pendekar Pendekar 212
untuk membebaskan sahabatnya Bunga. Walau lblis Kepala Batu adalah saudaramu,
tapi dia telah melakukan satu kejahatan keji."
Luhniknk alias Hantu Penjunjung Roh keluarkan ucapan yang tak jelas dari
mulutnya yang penuh ludah bercampur darah. Terhuyung-huyung nenek ini melangkah pergi
tinggalkan muara sungai. Bidadari Angin Timur dan Anggini segera menghampiri
Ratu Duyung. Saai itu Ratu Duyung duduk bersandar ke badan perahu. Cermin sakti diletakkannya
di atas dadanya yang masih mendenyut sakit.
"Sahabat, bagaimana keadaanmu?" tanya Anggini sambil memegang bahu Ratu Duyung.
"Dadaku masih sakit. Aku menderita luka dalam. Mudah-mudahan tidak parah ..."
jawab Ratu Duyung. Mulutnya berucap begitu tapi hatinya bertanya-tanya bagaimana
dua gadis tersebut tahu-tahu bisa muncul di tempat itu.
"Kami berdua akan tolong memulihkan cideramu,"
kata Anggini lalu membungkuk di hadapan Ratu Duyung. Dua tangannya hendak
diletakkan di atas dada Ratu Duyung tapi Wiro memberi isyarat agar Anggini tidak
melakukan ha1 itu karena saat itu dia telah mengeluarkan kapak sakti. Kapak ini
kemudian ditempelkan diatas dada Ratu Duyung.
Senjata itu sebelumnya pernah ditelan oleh naga Biru di dasar samudera dan kini
dibalut oleh selarik sinar sakti kemerahan. Ketika kapak menindih dadanya Ratu
Duyung pejamkan
mata. Aliran hawa aneh yang keluar dari dalam kapak sakti menimbulkan rasa sejuk
di sekujur tubuhnya, terutama di bagian dada. Denyutan sakit perlahan-lahan
mulai berkurang. Wiro kemudian berikan sisa obat pemberian gurunya yang tinggal
satu. Tanpa malu-malu obat itu di masukkannya ke dalam mulut Ratu Duyung seraya
mendekatkan wajahnya ke muka si gadis, lalu berbisik.
"Telan ..."
Sesaat Ratu Duyung pegang tangan Wiro
lalu menelan obat yang diberikan. Bidadari Angin Timur dan Anggini hanya bisa
berdiam diri. Walau jelas maksud Wiro menolong Ratu duyung setulus hati, namun
dua gadis ini melihat dibalik pertolongan itu ada satu kemesraan.
Anggini merasa perih di lubuk hatinya. Bidadari Angin Timur juga merasakan hal
yang sama malah dadanya menjadi sesak. Dua gadis ini layangkan pandangannya ke
arah laut gelap.
klereka seolah menyadari bahwa hati sanubari dan perasaan saat itu jauh lebih
kelam dari laut yang gelap itu.
Ketika rasa sakit dan sesak di dadanya lenyap Ratu Duyung buka sepasang matanya
yang biru. Dia coba tersenyum pada Anggini dan Bidadari Angin Timur. Lalu gadis
ini palingkan kepalanya pada Wiro.
"Wiro, kau harus segera mencari lblis Kepala Batu Alis Empat ..."
Wiro mengangguk. "Aku tahu, tapi aku tidak akan meninggaikan kau dalam keadaan
seperti ini."
"Jangan pikirkan diriku. Aku akan segera sembuh."
"Kita akan mencari iblis keparat itu bersama-sama." Kata Pendekar 212 pula yang
membuat Ratu Duyung jadi terkejut, juga membuat heran Bidadari Angin Timur dan
Anggini. Sesuatu agaknya telah terjadi, membuat perubahan dalam diri Pendekar
212 terhadap Ratu Duyung. Bagi Wiro sendiri apa yang dilakukannya adalah satu
tindakan wajar belaka. Ratu Duyung telah mengantarkannya ke dasar semudera untuk
mendapatkan llmu Meraga Sukma. Kini si gadis dalam keadaan cidera. Apakah layak
dia meninggalkannya begitu saja" Wiro memandang pada dua gadis itu di
hadapannya. "Aku gembira rnelihat kalian berdua. Bagaimana kalian bisa berada di muara
sungai ini?" Anggini jadi kelagapan, tak bisa menjawab.
Bidadari Angin Timur yang sebelumnya sudah menduga kalau Wiro .bakal menanyakan
ha1 itu telah menyiapkan jawaban.
"Kami berada di kawasan ini secara kebe-
:u!an. Kami masih berusaha keras men-jejajaki dimana beradanya Pangeran
Matahari. Karena egaknya dia satu-satunya orang yang tahu
.ernana lenyapnya Pedang Naga Suci 212.
Yetika sampai di sini malam tadi, kami melihat Yantu Penjunjung Roh telah lebih
dulu berada di sini. Mendekam dalam perahu. Pasti dia fengah menunggu seseorang
atau menantikan sesuatu. Kami iantas ingat kalau kau tengah halam perjalanan
mencari seorang sakti yang diam di dasar lautan. Aku dan Anggini
remutuskan untuk mematai-matai nenek itu.
Sukan mustahil dia punya satu rencana jahat.
dugaan kami ternyata betul. Hanya sayang kami kurang cepat bertindak hingga
sahabat Ratu duyung mengalami cidera ..."
"Kalian bertindak dalam waktu yang tepat.
kku berterima kasih pada kalian berdua. Kalau kalian tidak muncul tnungkin aku
sudah membunuh nenek itu." Wiro pandangi wajah dua gadis cantik itu. Yang
dipandangi mendugaduga apa yang ada didalam kati sang pemuda.
'Aku dan Ratu Duyung akan pergi ke Lembah Welirang. Hantu Penjunjung Roh telah
ketelepasan bicara. Agaknya lblis Kepala Batu Alis Empat meiarikan Bunga ke tempat itu."
"Kami siap ikut bersamamu," kata Bidadari Angin Timur.
"Aku sangat berterima kasih. Tapi seperti yang sudah kita atur semula. Kita
tetap membagi tugas. Kalian berdua meneruskan mencari Pangeran Matahari sambil
menyirap kabar dimana beradanya tanaman bunga melati tujuh racun ..."
Bidadari Angin Timur dan Anggini jadi saling pandang mendengar ucapan Wiro itu.
Kalau Pendekar 212 memang tidak inginkan mereka ikut ke Lembah Welirang, buat
apa mereka berada lebih lama ditempat itu.
"Wiro, kau benar. Kita harus membagi tugas. Kami akan meneruskan mencari Pedang
Naga Suci 212. Juga menyelidiki dimana beradanya
bunga melati tujuh racun. Kamu pergi
.sekarang..."
Wiro memegang lengan Bidadari Angin
Timur. Memandang pada Anggini. "Pergilah.
Jangan lupa selalu berhati-hati ..."
Sesaat setelah dua gadis itu- pergi, Ratu Duyung berkata. "Kau telah
mengecewakan dua gadis cantik itu Wiro."
"Aku mengecewakan dua gadis cantik?"
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Mereka lebih suka ikut bersamamu ke Lembah Welirang. Tapi kau menolak dan
memberi mereka tugas yang lain ..."
"Aku sama sekali tidak punya niat mengecewakan mereka. Pelnbagian tugas itu
sudah ditetapkan . sejak lama. Aku sendiri kebagian tugas paling banyak. Menyelamatkan
Bunga, mencari bunga melati tujuh racun. Mencari kitab pengobatan milik guru
yang hilang dicuri orang
...." "Kalau kau sadar begitu banyak tugasmu, mengapa kau tidak mau dibantu oleh
mereka?" "Mereka telah membantu ...." jawab Wiro.
Sang pendekar pandangi wajah Ratu Duyung beberapa ketika. Lalu dia tersenyum.
Sambil rnengusap-usap rambut hitam si gadis dia berkata. "Kalian gadis-gadis
cantik! Memang sulit menduga apa yang ada dihati kalian!"
"Mungkin begitu," jawab Ratu Duyung.
',Tapi dua gadis sahabatku itu mungkin pula berpendapat betapa sulitnya menduga
apa yang ada dihatimu."
"Kau sendiri, apakah juga punya pendapat seperti itu?" tanya Pendekar 212.
Sesaat Ratu Duyung kelihatan merah
ivajahnya. Kemudian sambil tersenyum dia menjawab. "Aku tidak malu-malu
mengatakan dan berterus terang. Saat ini aku lebih beruntung dari mereka berdua.
Karena kau memperhatikan keadaan diriku yang cidera.
Lebih dari itu kau juga menaruh percaya dan rnengajak diriku ke Lembah Welirang
mencari lblis Kepala Batu Alis Empat ...
Wiro cuma bisa tersenyum dan garuk-garuk kepalanya mendengar kata-kata Ratu
Duyung itu. -------------000000000-----------
K EMBALI ke kali kecil tempat terbunuhnya gadis cilik bernama Sulantri dan
kejadian ditikamnya Naga Kuning oleh Rana Suwarte dengan Keris Naga Kopek,
pusaka Kerajaan.
Setan Ngompol berteriak keras menyaksikan kejadian itu. Dia menerjang nekad ke
arah Rana Suwarte sambil berteriak.
"Rana Suwarte keparat! Kukorek jantungmu!
Kuhisap darahmu!"
Namun gerakan kakek ini serta merta
tertahan ketika dia menyaksikan apa yang terjadi dengan sosok Naga Kuning. Walau
jelas tadi Keris Naga Kopek menancap di pertengahan dada anak itu, namun tak ada
darah yang mengucur, tak ada jerit kesakitan keluar dari mulut Naga Kuning.
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malah pada saat itu Setan Ngompol melihat bocah
berpakaian hitam berambut jabrik itu putarputar leher, goyangkan kepala. Asap
tipis mengepul dari ubun-ubun Naga Kuning. Ketika bocah ini mengusap wajahnya satu
kali, wajah itu berubah menjadi wajah seorang kakek berambut, berkumis dan
berjanggut putih.
Sosoknya bukan lagi sosok anak-anak,
melainkan sosok seorang tua mengenakan jubah kelabu.
"Ah, anak konyol itu tengah memamerkan wujudnya yang asli. Padahal keris masih
menancap di dadanya. Tapi, astaga!"
Bola mata jereng Setan Ngompol membe-
liak. Ketika dia memperhatikan ternyata Keris naga Kopek sama sekali tidak
menancap di dada Naga Kuning yang kini telah berubah wujud menjadi kakek dikenal
dengan julukan kiai Paus Samudera Biru. Senjata sakti itu berada daIam jepitan
jari-jari tangan kirinya.
ketika lawan menikam Naga Kuning cepat lindungi
dirinya dengan jurus "Naga Sakti
menggenggam Rembulan." Begitu ujudnya berubah Keris Naga Kopek sudah berada
dalam jepitan lima jari tangannya. Tidak seperti yang diduga Setan Ngompol,
senjata sakti ini tidak sampai menusuk tubuh Naga Kuning alias Kiai paus
Samudera Biru. Dari samping tadi
memang terlihat seolah-olah senjata sakti itu telah menusuk tembus dada Naga
Kuning. Kejut Rana Suwarte bukan olah-olah. Dia Cepat tarik Keris Naga Kopek. Tapi
laksana Ditahan jepitan baja senjata sakti itu tidak Bergeming dari genggaman
Kiai Paus Samudra Biru.
Keringat dingin mengucur di kening Rana suwarte.
dalam hati dia membatin. "Kalau aku adu kekuatan, kerahkan tenaga dalam, keris
sakti ini bisa patah. Urusanku dengan orang lain bisa kapiran! Kalau aku
mengalah berarti senjata ini jatuh ke tangan manusia jahanam ini! Aku tambah
lebih celaka!"
Kiai Paus Samudera Biru menyeringai lalu berucap. "Walau besar dugaanku senjata
pusaka Kerajaan ini adalah hasil curian, aku bersedia meloloskan mengembalikan
padamu. Tapi dengan satu syarat. Mulai hari ini kau harus melupakan Ning lntan Lestari
dan tinggalkan tanah Jawa ini. Pergi kemana kau suka
asal tidak di tanah Jawa!"
Rahang Rana Suwarte menggembung.
Tanpa keluarkan ucap jawaban Keris Naga Kopek yang tadi ditariknya kini malah
didorong ditusukkan ke arah lawan. Lalu tangan kiri laksana kilat bergerak
melempar sebilah pisau terbang. Serangan senjata rahasia ini masih disusul
dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
"Rana Suwarte, kau memang harus dibikin tobat seumur-umur!" kata Kiai Paus
Samudera Biru dengan sikap tenang. Bersamaan dengan keluarnya ucapan ttu tangan
kanannya bergerak ke atas. Lima jari tangan dijentikkan.
"Tring!"
Senjata rahasia berupa sebilah pisau
terbang patah tiga, mental lenyap di udara malam yang gelap.
"Bukkk!"
Jotosan tangan kiri Rana Suwarte beradu keras dengan jotosan tangan kanan Kiai
Paus Samudera Biru. Wajah sang Kiai masih
sunggingkan seringai sebaliknya Rana Suwarte
mengerung keras. Tangan kanannya terlepas dari memegang Keris Naga Kopek.
Tubuhnya mencelat dua tombak. Lima jari tangan kirinya hancur.
Satu bayangan biru berkelebat. Kiai Paus Samudera Biru terkesiap kaget ketika
satu kekuatan dahsyat mendorong tubuhnya. Selagi dia terjajar ke belakang, dia
merasa ada sambaran angin deras menyusul dan tahu-tahu keris Naga Kopek dibetot
lepas dari tangannya.
"Rana Suwarte tua bangka tolol! Lekas tinggalkan ternpat ini. Aku menunggu di
bukit perjanjian!"
Seseorang berseru lalu dess! Ada suara letupan. Bersamaan dengan itu kabut aneh
menyungkup kawasan kali kecil membuat buta pemandangan. Kiai Paus Samudera Biru
coba mengejar orang yang merampas keris pusaka.
tapi karena tidak bisa melihat apa-apa sosoknya malah beradu dengan Setan
ngompol. Ketika kabut aneh lenyap di tepi kali
kelihatan Kiai Paus Samudera Biru yang telah kembali ke ujud aslinya yaitu ujud
seorang anak lelaki kecil berambut jabrik bernama Naga Kuning tergeletak di
tanah. Di sampingnya kakek botak Setan Ngompol duduk menjelepok terkencing-
kencing. Tangan kiri memegangi keningnya yang benjut akibat beradu kepala dengan
Kiai Paus Samudera Biru tadi sementara tangan kanan memegangi bagian
bawah perut yang terus ngocor. Rana Suwarte tak ada lagi ditempat itu. Mayat si
kecil Sulantri masih tergeletak di tepi kali.
"Bocah konyol! Apa yang terjadi"!" Setan Ngompol ajukan pertanyaan.
Naga Kuning delikkan mata. "Kau yang menonton perkelahian. Kau pasti melihat
lebih jelas!"
"Aku melihat satu bayangan biru. Ada orang berkelebat ke arahmu. Lalu muncul
kabut! Kau menabrak diriku. Lihat keningku- sampai benjut!"
Tanpa diketahui oleh kedua orang itu, tak jauh dari tumbangan pohon besar
seorang mendekam dibalik serumpun semak belukar.
Matanya tak berkesip memperhatikan dua orang yang tengah bercakap-cakap namun
perhatiannya lebih banyak ditujukan pada Naga Kuning. Orang ini berpakaian serba
hitam, berujud seorang nenek bermuka seram, rambut
kelabu riap-riapan, kaku panjang hitam.
"Ada orang merampas Keris Naga Kopek,"
jawab Naga Kuning dengan suara penasaran.
Ketika aku mengejar dia ledakkan benda yang menebar kabut tebal. Turut apa yang
diucapkan orang itu pasti dia adalah sobatnya Rana Suwarte. Bukit perjanjian.
Ada puluhan bukit di sekitar sini. Kemana aku mau mengejar"!"
"Tak perlu dikejar. Sia-sia saja," kata Setan
'Jgompol. "Kau muncul di sini sendirian?"
"Memangnya kau kira aku datang dengan siapa" Setan" Dedemit atau jin" tukas Naga
Kuning. "Mana nenek kekasihmu bernama Ning lntan Lestari berjuluk Gondoruwo Patah Hati
itu ..." "Ah, dia yang kau maksudkan," Wajah si Socah tampak masgul, sedih.
"Hai, kenapa tampangmu mendadak jadi seperti orang sedih"'
"Orang satu itu, tak usah kau tanyakan dia.
Dia sudah kabur entah kemana!" jawab Naga Kuning.
"Setelah berpisah puluhan tahun, bukankah belum lama ini kalian saling bertemu"
Apa yang terjadi sampai dia kabur meninggalkan dirimu?"
"Aku tak bisa memastikan. Cuma menduga.
Mungkin dia cemburu pada nenek sial dari Negeri Latanahsilam bernama Luhniknik
alias Hantu Penjunjung Roh. Waktu dia kabur, aku coba mengejar. Tapi dia lenyap
entah kemana. Aku mencari ke tempat kediamannya di Kali Lanang. Dia tak ada disitu. Siai amat
nasibku! Padahal aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Hantu Penjunjung Roh. Puluhan
tahun berpisah, begitu bertemu berpisah lagi. Aku kawatir kesempatan ini
dipergunakan oleh Rana Suwarte untuk merayu Ning lntan Lestari. Tapi aku
percaya, orang seperti dia tidak mudah dirayu. Puluhan tahun dia bisa bertahan,
masakan akan runtuh karena gejolak satu hari
saja ...." (Baca serial Wiro Sableng dalam Episode
"Si Cantik Dalam Guci)"
Di balik semak-semak, nenek berwajah
seram yang bukan lain adalah Ning intan Lestari alias Gondoruwo Patah hati
merasakan dadanya sesak. Perasaan kacau membuat dia jadi bingung. Di dalam rasa
bingung itu terselip rasa penyesalan.
"Kalau aku, biar saja dia pergi pada Rana Suwarte. Buat apa kau merisaukan nenek
jelek itu!" Setan Ngompol berucap. Membuat Gondoruwo
Patah Hati terperangah, lalu menggigit bibir sendiri.
"Nenek jelek! Enak saja kau bicara!" Naga Kuning bersungut. "Kau tidak tahu
siapa dan bagaimana keadaan dirinya sebenarnya. Cuma nasibku saja yang jelek.
Kemana aku harus mencarinya"'
"Apa kau benar-benar mengasihinya?"
tanya Setan Ngompol pula.
Sepasang Mata Gondoruwo Patah Hati
memperhatikan Naga Kuning tak berkesip.
Dadanya berdebar menunggu apa yang bakal diucapkan anak itu sebagai jawaban.
Naga Kuning mengangguk. "Dulu sebelum aku tahu bahwa Rana Suwarte menyukainya
aku seolah tidak acuh. Namun ketika tahu lelaki sialan itu mencintainya malah
minta tolong Kiai Gede Tapa Pamungkas untuk membujuk agar rnau nikah dengan dia,
perasaanku jadi berubah. Aku tiba-tiba saja merasa takut kehilangannya.
Aku baru menyadari bahwa
sebenarnya aku mencintai gadis itu. Sejak lama .... Lama sekali ..."
Gondoruwo Patah Hati pejamkan dua
matanya. Dari balik kelopak mata yang terkatup itu meleleh butiran-butiran
bening air mata.
Saat itu dia serasa ingin menghambur keluar dari balik semak belukar, memeluk
Naga Kuning. Tubuhnya bergetar menahan perasaan yang seperti mau meledak.
"Gunung ..." hanya nama asli Naga Kuning itu yang meluncur dalam ucapan kata
hatinya. "Gadis?" terdengar suara Setan Ngompol.
"Nenek peot muka seram bernama Gondoruwo Patah Hati ini kau sebut gadis" Ha ..
ha ... ha! Otakmu pasti sudah miring!"
"Justru otakmu bisa jadi miring jika rnengetahui keadaan dirinya sebenarnya!"
jawab Naga Kuning. Dia pandangi kepala botak si kakek lalu berkata. "Aku
heran ..."
"Apa yang kau herankan?" tanya Setan Ngompol.
"Tadi aku sempat hampir tidak mengenali dirimu. Kalau saja tidak melihat
selangkaqganmu yang selalu basah oleh kucuran air
itencing, aku mengira kau adalah tuyul tua kejemur. Kau kemanakan rambutmu"
Mengapa kepalamu jadi botak begitu rupa"!"
Setan Ngompol menyeringai. Tangan kirinya yang basah oleh air kenclng enak saja
diusapkannya ke atas kepalanya yang gundul plontos.
"Rambut di kepalaku sengaja kucukur garagara kaulan." Menerangkan Setan Ngompol.
"Kaulan" Kaulan sinting! Apa yang terjadi?"
Naga Kuning ingin tahu.
"Kejadiannya dimulai ketika aku dijebloskan di penjara Istana. Barang antikku
dijapit dengan besi dan digelantungi rantai! Aku kemudian berkaul. Kalau ada
yang bisa menolong dan diriku terlepas dari azab benda celaka itu, maka aku akan
melakukan kauf. Kaulku adalah mencukur semua rambut yang ada di tubuhku!
Wiro berhasil menolongku. Kaul aku
laksanakan. Tapi mengapa aku terus-terusan ketimpa nasib sial ..."
"Mungkin kaulmu kau lakukan setengah hati ..."
"Setengah hati bagaimana"!" sungut si kakek. "Lihat, kepalaku gundul plontos.
Kumis, juga janggutku aku tabas semua. Rambut kakiku juga aku kikis habis! Bulu
ketek aku cabuti sampai gundul semua! Enak saja kau bilang aku melakukan dengan
setengah hati."
Naga Kuning tersenyum.
"Kek, benaran kau sudah mencukur seluruh rambut di tubuhmu?" tanya si bocah."
Apa kau buta" Kau menyaksikan sendiri. Kepalaku, kumisku ...."
"Ya, ya aku lihat Kek. Tapi apa rambut yang dibawah perutmu juga sudah kau cukur
habis?" tanya Naga Kuning pula.
Setan Ngompol tersentak kaget. Matanya mendelik memandangi si bocah.
"Pertanyaan edan!" semprot si kakek.
"Kau belum menjawab pertanyaanku Kek.
Apa rambut yang disitu itu sudah kau cukur habis dan licin" Hik .. hik ... hik!"
"Bocah setan! Sesuai kaul tentu saja rambut di situ sudah aku cukur!" jawab
Setan Ngompol dengan mata jereng melotot dan mulut pencong geram.
"Boleh aku lihat"!" kata Naga Kuning pula.
Anak ini melangkah cepat mendekati si kakek.
Dua tangannya siap menarik kebawah celana Setan Ngompol yang basah bau pesing.
Setan Ngompol buru-buru menghindar
pegangi bagian bawah perutnya sambil memaki panjang pendek. Di balik semak
belukar Gondoruwo Patah Hati yang tadi menangis haru kini menutup rnulut dengan
telapak tangan kiri menahan tawa.
"Kau takut aku intip bagian bawah perutmu.
Berarti kaulmu memang tidak sempurna! Kalau belum mencukur seluruh rambut yang
ada di tubuhmu!" Ucap Naga Kuning pula.
Setengah menggerendeng Setan Ngompol
akhirnya berkata. "Rambut yang disitu memang tidak dicukur!"
"Nah mengaku kau akhirnya Kek! ltulah salahnya kaulmu! Jadi benar kalau aku
bilang kau melakukan kaul setengah-setengah.
Akibatnya kau selalu ketiban apes."
"Bocah sinting! Yang dibawah perutku itu namanya bukan rambut! Jadi tak perlu
aku potong! Tak perlu aku cukur!"
"Kalau bukan rambut lalu namanya apa kek?" tanya Naga Kuning dan kembali anak
ini tertawa cekikikan.
"Namanya ... namanya ...." Setan Ngompol tak berani meneruskan ucapannya. Kakek
ini malah buru-buru menekapkan tangan ke bawah perut tapi serrr! Kencingnya
ngocor tidak tertahankan.
Setelah berdiam diri cukup lama dan
berpikir-pikir si kakek akhirnya berkata.
"Mungkin ... mungkin kau benar bocah sinting.
Mungkin memang kaulku tidak kulakukan
sempurna. Aku ... aku segera akan mencukur habis rambut yang satu itu ..."
"Salah lagi Kek!" ujar Naga Kuning.
"Apa yang salah?" pelotot Setan Ngompol.
"Tadi kau bilang rambut yang satu. Kau yakin dibawah perutmu itu cuma ada satu,
cuma ada selembar rambut"!"
"Setan alas! Maksudku! Sinting kau!" Tapi kemudian si kakek tertawa terkekeh-
kekeh. Akibatnya serr. ..serrrr. Air kencingnya mengucur tak berkeputusan. Naga Kuning
ikutan tertawa mengakak. Di balik belukar Gondoruwo Patah Hati terguncang-guncang
tubuhnya menahan tawa.
Prras tertawa dan kencing habis-habisan Setan Ngompol gosok-gosok matanya yang
belok berair. Dia ingat pada jenazah Sulantri.
Kakek ini segera melangkah ke tepi kali kecil.
Naga Kuning mengikuti langkah si kakek.
"Aku harus membawa jenazah anak malang ini ke Maguwo. Sebelum mati dibunuh Rana
Suwarte dia sempat memberi tahu kalau dirinya adalah anak Kepala Desa Maguwo.
Maguwo tak jauh dari sini."
"Aku ikut bersamamu," kata Naga Kuning pula. "Dalam perjalanan kau bisa
menceritakan apa yang telah terjadi."
"Aku menaruh curiga. Ada satu rahasia besar dibalik kematian gadis cilik ini.
Yang mungkin ada sangkut pautnya dengan bunga melati berwana hitam."
"Maksudmu bunga melati tujuh racun yang mampu ..."
"Nanti kita bicarakan dalam perjalanan ke Maguwo," kata Setan Ngompol pula. Lalu
jenazah Sulantri di panggulnya di bahu kiri. Si kakek diam sebentar. "Maguwo
ntemang tidak jauh dari sini. Tapi memanggul anak ini sampai ke sana, walah! Aku
tidak bisa membayangkan.
Kencingku pasti akan mengucur sepanjang jalan!"
"lni termasuk salah satu kesialan akibat salah kaul itu Kek!" kata ~ a g aKu
ning pula. "Kau yang sialan!" maki Setan Ngompol.
"Sudah Kek, jangan ngomel terus. Ayo ja-Ian," ujar Naga Kuning sambil senyum-
senyurn. Pada saat itulah Gondoruwo Patah Hati
yang sejak tadi mendekam dibalik semak belukar dan tak bisa lagi menahan hati,
melompat keluar.
"Gunung, apa aku boleh ikut dengan kalian ke Maguwo" Aku membawa seekor kuda.
Bisa jadi tumpangan jenazah anak perempuan itu."
-----------000000000000-------------
Wiro Sableng 131 Melati Tujuh Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
NAGA KUNING terkejut mendengar orang
menyebut nama aslinya. Dia mengenali
suara itu. Dugaannya tidak meleset. Seorang nenek berwajah seram tegak di
hadapannya. "lntan!" ucap Naga Kuning setengah berseru.
"Kau ada di sini!"
"Ha .. ha ... ha! Sudah sejak tadi dia ada di dekat sini sobatku bocah konyol!"
kata Setan Ngompol.
"Eh, apa masudmu?" Naga Kuning jadi heran, berpaling pada Setan Ngompol.
"Aku tahu kalau nenek ini sudah sejak tadi sembunyi di balik semak belukar
sana ...." si kakek mengulangi ucapannya.
"Kau! Jadi!" Naga Kuning memandang melotot pada Setan Ngompol. "Kenapa kau tidak
memberi tahu?"
Setan Ngompol menyeringai.
"Kau punya ilmu kepandaian. Tapi karena mengodaku terus-terusan ilmumu jadi
tumpul!" Naga Kuning berpaling pada Ning lntan
Lestari alias Gondoruwo Patah Hati. "lntan, kau ... kau mendengar semua
pembicaraan kami"'
"Tentu saja dia mendengar. Walau sudah tua nenek ini belum tuli, belum budek!"
"Kakek bau pesing! Aku tidak tanya padamu!" semprot Naga Kuning marah.
Setan Ngompol pencongkan mulut, berpaling pada Gondoruwo Patah Hati dan berkata.
"Sobatku tua, kau jawablah sendiri pertanyaan sobatku muda yang konyol ini!"
Gondoruwo Patah Hati batuk-batuk beberapa kali.
"Aku ... aku tidak bermaksud menguping.
Tapi jarak tempat aku berada begitu dekat. Aku memang mendengar semua apa yang
kalian bicarakan ..."-
"Matek aku!" kata Naga Kuning sambil tepuk jidatnya sendiri. Malunya bocah ini
bukan alang kepalang. Tadi dia sempat menyatakan pada Setan Ngompol bagaimana
isi hatinya terhadap si nenek.
"Kenapa musti matek!" tukas Setan Ngompol.
"Selama apa yang kau ucapkan memang jujur dan memang begitu adanya, yang kau
dapat bukan matek tapi matek enak! Bukan begitu" Ha ... ha ... ha! Atau semua
ucapanmu tadi cuma sandiwara belaka karena sebenarnya kau sudah tahu kalau nenek ini ada di
sekitar sini. Kau ingin merajuk hatinya"
"Tua bangka edan! Kau yang memancing diriku hingga menemukan kata-kata itu. Dan
tadi kau mengaku sendiri, kalau kau sudah tahu dia ada di sini sejak lama!"
'Aku tidak membawa kail! Mana mungkin
Aku memancing!" jawab Setan Ngompol se-enaknya lalu tertawa gelak-gelak sambil
pegangi bagian bawah perutnya yang kembali mulai mengucur.
"Sudah! Aku tidak suka kalian terus bertengkar."
Kata Gondoruwo Patah Hati. "Di
tempat ini ada jenazah anak kecil yang harus kita urus. Kalau kalian masih mau
bertengkar, biar aku yang mengantar anak itu ke Maguwo.
Aku membawa kuda. Kita naikkan mayat anak ituu di atas kuda. Kita bertiga sama
mengiringi. maguwo tidak jauh dari sini. Aku juga ingin bicara tentang bunga melati hitam
itu dengan kalian."
Habis berkata begitu nenek ini keluarkan suitan halus. Dari balik deretan
beberapa pohon besar di tepi kali melangkah keluar seekor kuda putih.
"Gondoruwo Patah Hati," kata Setan Ngompoi setelah membaringkan menelungkup
jenazah Sulantri di atas punggung kuda putih milik si nenek. "Sebelum kita
Pedang Naga Kemala 9 Gento Guyon 9 Maut Merah Petaka Kerajaan Air 1