Pencarian

Bulan Biru Di Mataram 2

Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram Bagian 2


udara dan seantero telaga. Air terjun yang sejak tadi berhenti mencurah dan
tergantung di udara bergoyang keras lalu seolah terbuat dari kaca hancur
berkeping-keping untuk kemudian kembali utuh dan mencurah lagi! Empat batu besar
di dalam telaga lenyap dari tempatnya semula. Dua hancur bertaburan menjadi
debu, dua lagi amblas masuk ke dasar telaga. Suara ngeongan kucing mendadak
terdengar menggidikkan.
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi selamat. Musnahnya Ilmu Mega Kuning Sujud ke Bumi
membuat mereka mampu bergerak kembali walau seluruh pakaian dan permukaan kulit
mereka tampak diselimuti debu berwarna kuning.
Walau tidak bicara atau memberi isyarat namun keduanya sama-sama menceburkan
diri ke dalam telaga untuk membersihkan noda kuning. Lalu dengan cepat keduanya
keluar dari dalam telaga.
Di atas telaga, Ratu Randang yang tengah menghadapi serbuan cahaya kuning Ilmu
Mega Kuning Berarak Naik ke Langit melihat Dirga Purana jatuh berlutut di atas
batu di tengah telaga. Wajahnya seputih kain kafan. Dua tangan menggapai ke
udara. Mulut terbuka seperti hendak berte-
riak namun tidak ada suara yang keluar. Mega Kuning Berarak Naik ke Langit
mendadak sontak menciut lalu bergulung berubah bentuk menyerupai sebatang lidi.
Lidi ini kemudian melesat ke bawah, masuk ke dalam telaga.
Dirga Purana tiba-tiba saja bisa berteriak keras. Namun teriakannya terdengar
menggidikkan karena bukan meru-
pakan teriakan anak kecil atau manusia, tetapi menyerupai raungan anjing di
malam buta! Dia sendiri terkesiap kaget mendengar suara teriakannya itu.
"Pertanda tidak baik. Malapetaka besar tengah meng-
ancam diriku! Aku akan segera menemui kematian." Anak usia dua belas tahun itu
membatin ngeri dalam hati.
Wajahnya pucat pasi. Tubuh terasa dingin.
Sementara itu Ratu Randang berseru kaget ketika tiba-tiba Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi yang digenggam erat di tangan kanan, entah bagaimana tahu-tahu melesat
lepas dan bergulung di udara. Saat itu juga terdengar suara mengeong keras.
Tiga anak kucing merah berjelapakan di tepi telaga tanpa kepala!
Si nenek mendelik ngeri. "Oala bukan aku yang mem-
bantai. Tapi keris sakti yang punya mau!" Ucap Ratu Randang dalam hati.
Dirga Purana kembali menjeritkan suara raungan anjing. Tidak pikir panjang lagi
dia melompat ke udara.
Mulut merapal panjang. Delapan benjolan merah tiba-tiba muncul di kening. Sekali
kepala digoyangkan, delapan sinar merah melesat ke arah Ratu Randang. Serangan
Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!
Sebelumnya Ratu Randang oleh Wiro sudah diberi tahu ilmu penangkal setiap
serangan yang memancarkan sinar atau cahaya merah, yaitu dengan menusukkan
delapan jari tangan ke benda apa saja. Namun saat ketika diserang itu dirinya
masih melayang di udara. Ratu Randang tidak tahu mau menusuk apa. Wiro lupa
menerangkan kalau berada dalam keadaan seperti itu maka dia bisa menusuk kepala
atau tubuhnya sendiri! Sementara Keris Kanjeng Sepuh Pelangi masih melayang di
udara, mengejar ke arah lima kucing merah yang saat itu lari berpencaran. Dengan
nekad binatang itu menembus curahan air terjun dan masuk ke dalam goa.
Dua tangan Dirga Purana berubah panjang dan besar berwarna hitam berkilat.
Sepuluh kuku jari memancarkan cahaya merah. Hebatnya dua tangan itu bisa diulur
pan- jang ke udara untuk menangkap Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Inilah ilmu yang
disebut Dua Roh Bermata Sepu-
luh. Ilmu kesaktian ini bukan saja bisa berupa serangan ganas mematikan tapi
juga sanggup menangkap benda-benda sakti yang berada di tempat jauh seperti
keris yang saat itu tengah melayang di udara.
Namun yang dihadapi Dua Roh Bermata Sepuluh adalah keris sakti mandraguna
Kanjeng Sepuh Pelangi yang kelak akan menjadi pusaka bertuah Kerajaan Mata-
ram yang oleh sementara petinggi kerajaan dan para tokoh rimba persilatan
seperti pernah dikatakan oleh Jaka Pesolek, senjata itu dijuluki sebagai
'Mahkota di Atas Mahkota'.
Wuttt! Wuttt! Dua tangan hitam berkelebat di udara. Sepuluh cahaya merah bergulung membuntal
membentuk jaring. Menyam-
bar ke arah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang tadi mengejar lima ekor anak kucing
merah. Tanpa suara kecuali pancaran cahaya, keris sakti melesat tinggi ke udara sambil
membersitkan kibasan sembilan cahaya pelangi, yang membuat dua tangan hitam
Dirga Purana saling memukul sendiri satu sama lain!
Kraaakk! Tulang dua lengan hitam berderak patah. Sepuluh cahaya merah di ujung kuku
lenyap. Si bocah sendiri berteriak setinggi langit. Tubuh terbanting jatuh di
pinggi- ran telaga. Tangannya kembali berubah pendek seperti semula dan tampak terbujur
tak berkutik! Sementara itu Keris Sepuh Kanjeng Pelangi dengan cepat turun ke bawah ke arah
Ratu Randang. Lagi-lagi tanpa suara sembilan cahaya pelangi memancar laksana
kipas raksasa terbuka, melindungi si nenek dengan tebaran sembilan cahaya
pelangi! Ketika serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit yang dilepas lebih dulu oleh
Dirga Purana memben-
tur sembilan cahaya pelangi, untuk ke dua kalinya di tempat itu menggelegar
letusan keras. Seantero tempat tenggelam dalam goncangan luar biasa hebat
disertai punahnya delapan cahaya merah.
Ratu Randang yang terkesiap melihat apa yang terjadi tersentak kaget sewaktu
tiba-tiba gagang Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menyusup kembali ke dalam
genggaman- nya. Di bawahnya dia melihat bocah Dirga Purana terkapar tak bergerak, mengerang
panjang pendek dan ada sesekali muntahkan darah segar dari mulut. Tiba-tiba ada
satu cahaya kuning bertabur ke bawah dengan cepat menyapu tepian telaga di mana
Dirga Purana tergeletak. Di saat bersamaan di kejauhan terdengar suara genta
lonceng. Sosok Dirga Purana yang tadi terkapar tak bergerak mendadak bangkit berdiri. Dua
tangan yang sebelumnya patah tergontai-gontai kini tampak utuh tanpa cidera.
Di bagian lain telaga, di atas batu besar Pendekar 212
melihat kesempatan untuk kedua kali melepas Pukulan Sinar Matahari. Kali ini
diarahkan pada Dirga Purana. Dia lupa kehebatan ilmu kesaktian bocah ini. Dari
udara Ratu Randang cepat mengirim suara mengiang.
"Wiro! Hantam pinggiran telaga di bawah kaki anak itu.
Begitu dia tidak menginjak bumi lagi aku akan menyerang dengan Keris Kanjeng
Sepuh pelangi! Riwayatnya harus tamat saat ini juga!"
Wiro mendongak ke atas. Sebagai tanda telah mende-
ngar apa yang diucapkan si nenek, murid Sinto Gendeng tekapkan tiga jari tangan
kiri di atas bibir lalu tangan dila-
yangkan ke arah si nenek.
"Edan! Masih bisa bergurau si gondrong itu!" Ucap Ratu Randang dalam hati agak
kesal tapi mulut tampak mesem-mesem melihat gerak cium jauh yang dilayangkan
Pen- dekar 212. Didahului teriakan panjang si nenek melayang ke bawah. Tangan yang memegang
keris sakti diulur lurus-lurus. Ujung lancip diarahkan tepat-tepat ke dada Dirga
Purana. Karena dua tangan yang patah sudah sembuh secara aneh dan kekuatan telah kembali
pulih, Dirga Purana membalas serangan si nenek dengan Ilmu Pembungkam Bumi. Ilmu
ini sanggup membuat semua benda hidup dan gerakan manusia dalam lingkaran
sepuluh tombak serta merta terhenti laksana kaku. Namun saat itu satu cahaya
putih menyilaukan disertai gebubu hawa panas melesat ke arah tepian telaga
tempat si bocah berdiri. Pukulan Sinar Matahari!
Blaaarrr! Bebatuan di tepi telaga tempat Dirga Purana berdiri hancur berantakan, sebagian
besar longsor ke dalam telaga. Karena tidak menginjak apa-apa lagi si bocah
langsung melesat ke atas. Membuat gerakan jungkir balik.
Lalu cepat-cepat melayang turun. Namun begitu tubuhnya mengapung lurus di udara
dia berteriak kaget ketika melihat Keris Kanjeng Sepuh Pelangi di tangan Ratu
Randang telah berada hanya dua jengkal di depan dada! Di saat itu pula dia sadar
kalau dua kakinya tidak menginjak apa-apa!
Si bocah berteriak keras. Lagi-lagi suara teriakannya luar biasa menggidikkan.
Menyerupai raungan anjing di malam buta!
"Ibunda Ananthawuri! Tewas putramu! Tewas putramu!"
Dirga Purana berteriak menyebut nama ibunya.
Hanya sekejapan lagi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi akan menghunjam telak di dada
kiri Dirga Purana tiba-tiba terdengar suara genta lonceng disertai menyambarnya
satu cahaya kuning, menyapu tepat antara dada dan ujung keris!
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
9 AMBARAN cahaya kuning yang disertai suara gema lonceng membuat Dirga Purana
terpental ke arah kiri, Smenembus curahan air mancur dan lenyap masuk ke dalam
goa. Blaarr! Hampir di saat bersamaan, Keris Kanjeng Sepuh Pelangi menusuk deras. Benturan
antara senjata sakti dan sinar kuning menimbulkan suara letusan dahsyat.
Ternyata keris sakti itu masih sanggup menembus cahaya kuning.
Breett! Baju hitam mewah Dirga Purana robek besar di dada kiri! Untungnya sosok anak itu
telah mental lebih dahulu terdorong sambaran cahaya kuning. Kalau tidak jangan
harap bocah itu lolos dari kematian!
Selagi semua orang terkesiap melihat apa yang terjadi, Ratu Randang cepat
melayang turun ke dekat Wiro berdiri dan langsung berbisik, "Ada yang
menyelamatkan bocah kurang ajar itu!"
"Kau betul Nek, justru aku ingin tahu siapa pelakunya."
Mata juling bagus Ratu Randang menatap ke langit.
"Sebentar lagi kita segera akan melihat orangnya. Hatiku tidak enak," kata si
nenek pula. Benar saja, sesaat kemudian di langit tampak ada awan kelabu melayang turun ke
arah telaga sementara suara gema lonceng terdengar semakin keras. Ketika suara
lonceng berhenti, awan kelabu telah berada beberapa tombak di atas telaga. Di
saat itu terdengar seseorang berucap. Suara anak laki-laki.
"Pemilik sah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi belum mendapatkan senjatanya. Mengapa
orang lain bertindak lancang berani mempergunakan keris untuk membunuh?"
"Sial Nek. Kita dibilang lancang!" Wiro menggerutu.
"Anak kecil yang mana pula ini! Aku rasa-rasa pernah mendengar suaranya!"
Tiba-tiba awan kelabu bergerak naik ke udara dan dari bagian bawah melayang
turun seorang anak lelaki menge-
nakan pakaian hitam sederhana serta kasut dari kulit kayu.
Wajah tampan jernih dan segar. Di telinga kanan mencan-
tel sebuah anting-anting emas. Raut wajah dan rambutnya sangat sama dengan Dirga
Purana. Anak ini berdiri di tepi telaga sebelah selatan, di kiri air terjun.
Setelah meman- dang pada semua orang yang ada di tempat itu, dia membungkuk memberi
penghormatan. "Nek, waktu di Bukit Batu Hangus kita pernah bertemu dengan anak ini! Aku pernah
mendampratnya gara-gara bicara konyol! Bukankah dia yang pernah berkata: Jangan
membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan. Sekarang dia
muncul lagi! Dan barusan kau dengar sendiri dia bicara seperti apa! Nek, cepat
susupkan keris sakti ke balik pakaian di punggungku. Aku tidak suka anak satu
ini. Aku punya dugaan anak ini hendak meminta senjata itu!"
Tanpa banyak tanya Ratu Randang gulung Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi dengan potongan kain robekan pakaiannya yang telah
dipergunakan sebelumnya lalu diselipkan ke pinggang di balik punggung pakaian
Wiro. "Nek apa anak yang ini kembaran dari anak satunya bernama Dirga Purana itu yang
berhasil kabur masuk ke dalam goa?"
"Menurut riwayat yang aku dengar dia adalah adik Dirga Purana. Kesaktiannya
berada di atas sang kakak. Kau lupa kalau dia yang bernama Mimba Purana,
berjuluk Satria Lonceng Dewa."
"Aku tidak lupa. Bukankah dia yang menurut Raja Mataram merupakan anak keramat
mempunyai kesaktian luar biasa tapi berpantang membunuh makhluk hidup, hewan
atau manusia, kecuali kalau ada petunjuk dari Para Dewa berupa suara lonceng!
Lalu dia jadi punya alasan membiarkan saja malapetaka dan pembunuhan terjadi di
Bhumi Mataram. Pasti tadi dia yang menolong kakaknya dengan cahaya kuning itu.
Padahal kau tahu sendiri siapa adanya bocah bernama Dirga Purana itu."
Ratu Randang hanya anggukkan kepala karena saat itu bocah yang tengah dirasani
telah melompat ke atas batu di tengah telaga dan kini hanya terpisah beberapa
langkah dari Ratu Randang dan Wiro Sableng sementara Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi memperhatikan dari tepi telaga.
"Nek, aku tidak mau bicara berbasa basi dengan anak itu. Aku harus segera
menyusul Jaka Pesolek mengejar Ni Gatri. Aku sangat khawatir bocah keparat Dirga
Purana itu telah berbuat mesum atas dirinya. Tadi aku sempat melihat ada orang
bermantel melarikan anak itu. Kurasa Pangeran Matahari alias Ksatria Roh
Jemputan. Kau urus dan layani bocah tengik satu ini."
"Ssst..." Ratu Randang sentuh lengan Wiro dan berkata perlahan. "Jangan bicara
seperti itu. Kalau anak itu men-
dengar kita bisa berabe..."
"Apanya yang berabe?" Wiro jadi kesal. "Aku tidak ada urusan dengan dia. Tadi
jelas-jelas dia menyelamatkan bocah jahat bernama Dirga Purana. Siapapun dia
adanya dia memperlihatkan diri sebagai pembela orang jahat!"
"Tapi bocah jahat itu adalah kakaknya sendiri. Wajar saja kalau dia memberi
pertolongan." Jawab Ratu Randang.
"Terserah kau mau bicara apa Nek. Menurutku anak ini punya otak tapi setengahnya
sudah berlumut. Punya hati tapi separuhnya sudah membeku jadi batu! Aku pergi
Nek. Aku akan mengajak Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri..."
"Tunggu!" Ratu Randang cepat cekal tangan kiri Wiro.
"Kau ingat, ketika kau dihajar gurumu dan aku beserta kawan-kawan beramai-ramai
balas menghantam Sinto Gendeng, nenek itu pasti sudah menemui ajal dalam keadaan
tubuh hancur tak karuan kalau tidak diselamat-
kan oleh bocah sakti ini."
Wiro terdiam. Lalu berkata. "Dia berbuat budi, aku berterima kasih. Tapi itu
bukan berarti aku mau menjual diri! Nek, kau juga harus ingat, kapak yang hilang
belum ditemukan. Selain itu guruku juga harus diselamatkan."
Wiro lalu memberi isyarat pada Kunti Ambiri dan Sakun-
taladewi yang ada di tepi telaga. Ketika Wiro hendak melesat ke arah kedua
perempuan ini tiba-tiba anak lelaki di depan sana geserkan kaki kanannya yang
menginjak batu. Saat itu juga ada selarik cahaya kuning memancar lalu bergerak
ke arah batu di mana Wiro berdiri. Bersama-
an dengan itu terdengar anak ini berkata.
"Sahabat dari negeri delapan ratus tahun mendatang yang di Bhumi Mataram dikenal
dengan sebutan Ksatria Panggilan, beri saya waktu untuk bicara dan menerang-
kan." Sepasang kaki Pendekar 212 mendadak tidak bisa bergerak. Wiro maklum bocah di
hadapannya telah mempergunakan kesaktian untuk menahan geraknya melalui pancaran
cahaya kuning yang keluar dari kaki kanan si bocah. Sebenarnya Wiro sudah siap
untuk alirkan tenaga dalam penuh pada kedua kaki namun dilihatnya Ratu Randang
memberi isyarat dengan gerakan kepala disertai suara mengiang.
"Tak usah dilawan. Dengarkan saja apa yang mau dikatakannya."
Wiro batalkan niat mengalirkan tenaga dalam lalu berkata, "Sahabat muda Mimba
Purana, kalau ingin bicara pergunakan mulut, bukan diam-diam mencekal sepasang
kakiku unjukkan kesaktian!"
Anak lelaki bernama Mimba Purana tersenyum.
"Sahabat Ksatria Panggilan, terima kasih kau telah menegur. Saya bersyukur bisa
menemuimu dan kau mau memberi waktu..."
"Sudah, katakan saja kau mau bicara dan menerang-
kan apa?" Wiro memotong ucapan Mimba Purana.
"Pertama saya perlu menjelaskan bahwa anak lelaki yang tadi masuk ke dalam goa
adalah kakak kandung saya sedarah sedaging. Ketika salah satu dari kami berada dalam bahaya adalah wajar jika kami memberi perto-
longan..."
"Saya maklum dan saya mengerti. Tadipun Ratu Ran-
dang sudah memberitahu." Jawab Pendekar 212. "Tapi apa yang saya tidak maklum
dan tidak mengerti, apakah sahabat muda menyadari berapa saja tokoh kerajaan
yang sudah menemui ajal" Berapa saja rakyat tak berdosa yang telah terbunuh"


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua gara-gara perbuatan Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Dan sangat disayangkan
karena secara kasat mata semua orang tahu bahwa kakak kan-
dung sahabat muda ikut terlibat dalam semua kejahatan itu. Termasuk punya andil
dalam menimbulkan Malapetaka Malam Jahanam di Bhumi Mataram!"
"Ksatria Panggilan, saya tidak menyangkal kalau kakak saya telah banyak
melakukan kesalahan besar. Namun kita sebagai manusia dan saya sebagai adiknya
merasa jika kesalahan kakak saya masih bisa diperbaiki, mengapa saya tidak harus
melakukannya" Menasihatinya dan meminta dia bertobat?"
"Apakah sahabat muda sudah melakukan hal itu"
Pernah menasihati dan menyuruh tobat kakak kandung sahabat muda?" Pertanyaan itu
diucapkan Wiro sambil senyum-senyum.
"Memang belum." jawab Mimba Purana.
Pendekar 212 kembali tersenyum, "Walah...!" Wiro menggaruk kepala "Selagi
sahabat muda bicara panjang lebar di sini, berapa orang lagi di luar sana
menemui ajal akibat kejahatan dua Sinuhun dan kaki tangannya!
Mengapa hukum dan kebenaran tidak lebih cepat dilakukan?"
"Soal hukuman bahkan kematian sekalipun biarlah Para Dewa yang menentukan. Kita
manusia jangan men-
dahului kehendak Yang Maha Kuasa."
"Kejahatan telah terjadi di depan mata dan masih akan terjadi. Dan kita bangsa
manusia hanya berpangku tangan dengan alasan jangan mendahului kehendak Yang
Maha Kuasa! Oala! Apa memang begitu maunya Yang Maha Kuasa" Kita telah berbuat
lalai lalu enak saja berkata biar nanti Yang Maha Kuasa yang menjatuhkan
hukuman! Pantas banyak orang mati tak karuan di negeri ini. Kalau sudah jadi roh maka
rohnyapun masih gentayangan tidak karuan! Masih tega berbuat kejahatan!"
Wajah Ratu Randang tampak berubah. Dia khawatir Satria Lonceng Dewa akan merasa
tersinggung oleh ucapan Wiro tadi. Sakuntaladewi unjukkan raut muka terkesiap.
Sebaliknya Kunti Ambiri tersenyum dan dari tepi telaga dia acungkan jempol
tangan kanannya ke udara.
Mimba Purana sebaliknya tetap unjukkan wajah tenang, tidak ada rasa kecewa, apa
lagi gejolak amarah mendengar ucapan Pendekar 212. "Sahabat Ksatria Panggilan,
saya sangat mengerti jalan pikiran dan suara hatimu," berkata Mimba Purana "Bagi
saya jika sesuatu bisa diperbaiki dengan cara tidak membunuh maka hal itulah
yang pertama kali akan saya lakukan. Lagi pula bagaimanakah perasaan hati
seseorang membunuh saudara kandung sendiri. Ksatria Panggilan, apakah kau punya
saudara kandung" Jika punya apakah kau akan merasa tega membunuh saudaramu
sendiri walau dia memang
bersalah?"
"Sahabat Mimba Purana, mohon maaf. Turut bicaramu rupanya ada perbedaan hukum
terhadap saudara kandung dan orang yang bukan saudara kandung. Sayang, aku
memang tidak punya saudara kandung hingga tidak dapat menyelami jalan pikiran
dan perasaan hatimu. Sahabat muda, mohon maafmu. Aku dan kawan-kawan harus
pergi. Seorang anak perempuan terancam keselamatannya. Kami harus menolong, walau anak
itu bukan saudara kandung kami!"
"Tunggu...! Masih ada yang ingin saya sampaikan."
"Pasti dia mau minta keris!" Duga Wiro dalam hati. Saat itu kembali dia mulai
kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti ke kaki.
"Ksatria Panggilan, saya tahu kau mampu
memusnahkan kekuatan yang membuat dua kakimu tak bisa bergerak dan pergi dari
sini. Tapi saya mohon jangan pergi dulu. Ada sesuatu teramat penting yang akan
saya sampaikan"
"Apakah itu lebih penting dari menyelamatkan nyawa dan kehormatan seorang anak
perempuan bernama Ni Gatri, menemukan kapak sakti, menyelamatkan guruku dan..."
"Semua yang sahabat sebutkan itu memang penting, bahkan sangat penting.
Tergantung dari sisi mana kita melihatnya..."
"Tidak ada sisi yang lebih baik selain sisi kebenaran!"
Jawab Wiro yang sudah jengkel dan tak dapat menahan diri lagi. Setengah berbisik
Wiro berkata pada Ratu Randang.
"Nek, temui aku di pinggiran timur kawasan Prambanan.
Aku sudah muak melihat dan bicara dengan bocah sok pintar itu. Beri tahu teman-
teman..." Murid Sinto Gendeng dengan cepat kembali salurkan tenaga dalam tinggi dan hawa
sakti penuh pada dua kakinya.
Desss! Batu besar di tengah telaga yang dipijak Wiro bergetar keras. Selarik cahaya
kuning mengepul.
Braakkk! Batu besar hancur berantakan. Air telaga muncrat setinggi dua tombak. Bersamaan
dengan itu sosok Pen-
dekar 212 meluncur ke bawah, lenyap ke dalam telaga.
Mimba Purana terkesiap melihat apa yang terjadi.
"Nenek Ratu Randang..." Ucapan anak ini terputus karena saat itu Ratu Randang
tidak ada lagi di tempatnya semula. Dia berpaling ke tepi telaga. Kunti Ambiri
dan Sakuntaladewi juga tidak kelihatan lagi!
Si bocah menarik nafas dalam. Perlahan mulutnya berucap. "Mungkin aku terlalu
banyak bicara. Seharusnya tadi langsung saja pada amanat yang diberikan kakek
alam roh itu..."
Dia kemudian memandang ke arah curahan air terjun.
Memperhatikan mulut goa yang terlihat samar. Mulut kembali berucap, "Rakanda
Dirga, hari ini aku masih bisa menolongmu. Tapi bila datang takdir dan kuasa
Para Dewa, tidak seorangpun bisa menyelamatkanmu, termasuk dirimu sendiri."
Setelah merenung sejenak anak ini gosokkan dua telapak tangan. Ketika dua
telapak dipisahkan kelihatan ada lingkaran putih di telapak tangan kanan. Di
dalam lingkaran putih terdapat bagian berwarna biru setengah luas lingkaran.
"Warna biru baru seluas setengah lingkaran. Hyang Jagat Bathara Dewa, apakah
Bhumi Mataram benar-benar akan dapat diselamatkan" Apakah Bulan Biru benar-benar
akan muncul di langit pada malam yang telah ditentukan"
Apa lagi yang akan terjadi sampai warna biru menutup seluruh lingkaran putih di
telapak tangan kanan saya"
Sayang, saya tidak berkesempatan memberitahu pada pendekar dari alam delapan
ratus tahun mendatang itu.
Dia kelihatan jengkel pada saya. Tapi saya tahu mulut dan hatinya polos. Saya
mohon Para Dewa memberi perlin-
dungan dan pertolongan pada semua maksud baik yang hendak dilaksanakannya."
Awan kelabu tiba-tiba muncul dan turun di tengah telaga. Mimba Purana melesat ke
bagian atas awan. Dia bersila seolah duduk di atas satu buntalan empuk. Dua
tangan dirangkap di atas dada. Sepasang mata dipejam.
Angin sejuk bertiup dari arah timur. Awan kelabu bergerak naik semakin tinggi.
Anak lelaki itu mulai masuk ke alam samadi.
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
10 SATRIA Roh Jemputan alias Pangeran Matahari boleh punya ilmu lari secepat setan
berkelebat. Namun dia Ktidak mampu menghindar dari kejaran Jaka Pesolek yang
sanggup melesat seperti kilat menyambar. Di satu hutan jati yang sepi tak jauh
dari kawasan Prambanan, Pangeran Matahari baringkan Ni Gatri di tanah. Dia tidak
mengetahui kalau di atas salah satu pohon jati di sekitar situ Jaka Pesolek
mengawasi apa yang dilakukannya.
Setelah membaringkan Ni Gatri Pangeran Matahari memeriksa keadaan anak perempuan
itu. Tubuh Ni Gatri diraba di beberapa bagian. Lalu pipi ditepuk-tepuk. Namun Ni
Gatri tetap tidak bergerak.
"Anak ini masih bernafas. Aku tidak yakin dia dalam keadaan pingsan. Ada satu
kekuatan aneh mendekam dalam tubuhnya. Jangan-jangan bocah itu telah memper-
gunakan rapalan jahat ilmu mencuci otak." Sang Pangeran perhatikan keadaan
pakaian Ni Gatri. Dadanya berdebar, kecurigaan muncul.
"Jangan-jangan aku sudah kedahuluan..." Ucap Pange-
ran Matahari dalam hati. Tangan kanan diulur menyingkap pakaian Ni Gatri di
sebelah bawah. Serta merta sang Pangeran tersentak melihat apa yang
disaksikannya. "Dirga Purana bocah keparat! Kurang ajar!" Pangeran Matahari berdiri. "Ni Gatri,
kau tidak ada gunanya lagi bagiku! Pangeran Matahari berpantang mendapat sisa!"
Tidak pikir panjang lagi Pangeran Matahari segera hendak melangkah pergi. Saat
itulah sudut matanya melihat satu benda kemerahan menyelinap di atas salah satu
pohon jati. "Pohon jati tidak pernah membekal warna merah. Ada seseorang mengintai gerak-
gerikku!" Tidak menunggu lebih lama sang Pangeran segera angkat tangan kanan. Tidak
tanggung-tanggung dia mele-
pas pukulan Gerhana Matahari. Tiga cahaya berkiblat kuning, hitam, dan merah.
Wusss! Pohon jati besar yang telah berumur setengah abad lebih tenggelam dalam buntalan
api. Satu pekikan terde-
ngar ketika pohon jati roboh ke tanah dalam keadaan hangus hitam. Pangeran
Matahari cepat melompat men-
datangi. "Jelas aku mendengar suara jeritan! Tapi tidak ada bangkai gosong!" Sang
Pangeran berpikir-pikir. "Bayangan merah. Agaknya bukan pendekar keparat itu!
Suara yang menjerit suara perempuan! Mungkin Dewi Ular atau gadis berkaki satu
itu?" Tadinya Pangeran Matahari mengira yang mengintainya adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Bangsat pengintai itu mampu selamatkan diri dari pukulan Gerhana
Matahari. Berarti dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Tapi mengapa tidak membalas.
Justru malah sembunyi."
Pangeran Matahari memandang berkeliling, "Aku tak mungkin membakar seluruh hutan
jati ini untuk menang-
kap tikus yang bersembunyi!"
Pangeran berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala
Congkak ini menyeringai. Satu akal cerdik terlintas di benaknya. Cepat-cepat dia
menda- tangi sosok Ni Gatri yang masih tergeletak di tanah. Dia berteriak keras-keras,
"Ni Gatri! Kau layak mendapat kemurahan hati seorang pangeran. Soal aku sudah
keda- huluan anak jahanam itu aku tidak perduli! Kau masih pantas melayani diriku!"
Pangeran Matahari gerakkan dua tangan ke pinggang celana lalu membungkuk di atas
tubuh Ni Gatri. Pada saat itulah tiba-tiba ada yang berteriak.
"Jangan! Anak itu sudah cukup menderita! Jangan kau tambah kesengsaraannya!"
Satu bayangan merah berkelebat dari balik serumpun semak belukar. Yang muncul
ternyata seorang gadis cantik berpakaian merah muda yang bukan lain adalah Jaka
Pesolek. "Kau!" Ujar Pangeran Matahari yang diam-diam senang jebakannya berhasil. Lebih
senang lagi ketika menyaksikan yang berdiri di hadapannya saat itu adalah gadis
cantik salah seorang sahabat Pendekar 212. Akal busuknya kembali bekerja. "Gadis
cantik kau berani menghalangi apa yang hendak aku lakukan! Apa imbalannya kalau
maksudku terhadap anak ini tidak jadi aku teruskan" Kau mau menjadi
penggantinya?"
Jaka Pesolek tersipu-sipu. "Walau kasar tapi tampang orang ini tidak jelek-jelek
amat." Kata si gadis dalam hati.
Lalu dia berkata "Aku mohon, anak itu masih terlalu kecil.
Dalam keadaan pingsan pula..."
"Kurasa anak itu sudah mati..."
"Aku tidak percaya. Masakan seorang yang mengaku Pangeran mau meniduri mayat!
Hik... hik... hik!"
"Kurang ajar! Cerdik juga gadis satu ini!" Pikir Pangeran Matahari. "Dengar, kau
boleh membawa anak ini. Tapi sebelum pergi kita berdua bisa bersenang-senang
lebih dulu."
"Bersenang-senang bagaimana maksudmu?"
Pangeran Matahari menyeringai. "Jangan pura-pura tolol. Lekas tanggalkan
pakaianmu!"
"Hik... hik!" Jaka Pesolek tertawa. "Mengapa aku harus menanggalkan pakaian"!"
Dia bertanya lalu keluarkan kotak hias, bedaki wajah, poles bibir dan kerengi
alis. Sambil rapikan rambut dia simpan kembali kotak hias hadiah Nyi Roro Jonggrang
itu. Sesaat Pangeran Matahari dibuat terpesona melihat wajah yang kini berubah
lebih cantik dan lebih segar itu. Sambil usap-usap dadanya sendiri Jaka Pesolek
bertanya konyol. "Hai, apakah menurutmu dadaku bagus dan besar?"
"Kalau pakaianmu sudah kau buka baru aku bisa tahu!"
Jawab Pangeran Matahari tak kalah konyol.
"Oh begitu" Tapi kau belum menjawab mengapa aku harus menanggalkan pakaian."
"Jangan berpura-pura. Sorot matamu menyatakan kau suka padaku! Tapi kalau kau
menampik, berarti kau minta aku yang menanggalkan pakaianmu!"
"Ah, itu rasanya lebih menarik. Hik... hik... hik. Tapi bagaimana kalau kita
berdua sama-sama menanggalkan pakaian. Kulihat bajumu sudah tersingkap, celanamu
sudah melorot!"
"Aku tidak menolak!" Jawab Pangeran Matahari jadi panas. Cuping hidung kembang
kempis dan pelipis ber-
gerak-gerak. "Bagus, tapi sebelum kita sama-sama bugil lalu terus..., hik... hik. Aku ingin
anak perempuan itu disingkirkan lebih dulu. Biar aku pindahkan dia ke balik
semak belukar sana.
Siapa tahu selagi kita berasyik-asyik tiba-tiba dia sadar dan melihat apa yang
kita kerjakan. Bagaimana, kau bisa mengerti" Kau setuju?"
Pangeran Matahari mengangguk. "Lakukan cepat!
Kalau sudah lekas datang ke hadapanku!"
"Jangan khawatir!" Kata Jaka Pesolek pula. "Selesai aku membawa anak ini ke
balik semak belukar sana aku akan membuka seluruh pakaianku. Lalu datang ke
hadapanmu! Aku harap kau sudah menunggu dalam keadaan yang sama." Jaka Pesolek
layangkan senyum genit sambil lidah dijulur membasahi bibir.
Hasrat Pangeran Matahari jadi tambah bergelora.
Membuat dia jadi tidak sabaran. "Cepat singkirkan anak itu!" Pangeran Matahari
memperhatikan sambil usap janggut tipis kasar di dagu. Dalam hati dia membatin.
"Tadinya kalau sudah bersenang-senang aku niat akan membunuhnya. Tapi dia punya
ilmu bergerak cepat luar biasa. Lalu kepandaiannya menangkap serangan Lentera
Iblis yang dianggapnya petir kurasa bisa aku manfaatkan.
Aku akan merayunya agar mau menjadi kekasih untuk membantuku menumpas Sinuhun
Muda merebut kuasa di negeri yang sedang kacau ini! Sinuhun Merah sudah mampus,
kembali ke alam roh! Tujuanku hanya tinggal beberapa langkah saja!"
*** Seperti diceritakan dalam Episode terdahulu berjudul
"Roh Jemputan", Sinuhun Merah Penghisap Arwah mema-
suki alam delapan ratus tahun mendatang dan pergi ke Gunung Merapi untuk menemui
Pangeran Matahari yang disebut sebagai Ksatria Roh Jemputan. Sinuhun Merah minta
bantuan Pangeran Matahari untuk membunuh Ksatria Panggilan yang bukan lain
adalah Pendekar 212
Wiro Sableng. Pangeran Matahari menjawab dia bersedia membantu asal diberi
imbalan. Imbalan yang diminta adalah agar Sinuhun Merah dan orang-orangnya
memban- tu pendirian Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram.
Saat itu dengan congkak Pangeran Matahari yang belum tahu banyak siapa adanya
Sinuhun Merah Penghi-
sap Arwah, berkata, "Sinuhun Merah, aku minta diberi hak dan kesempatan untuk
mendirikan Partai Bendera Darah di Bhumi Mataram. Partai ini kelak akan
menguasai dunia nyata dan alam gaib. Kau akan menjadi salah seorang pembantuku.
Berarti mulai saat ini kau harus tunduk padaku!"
Kejut Sinuhun Merah bukan alang kepalang. Darah mendidih. Amarah meledak!
Setelah memaki dia pancar-
kan delapan cahaya merah dari benjolan yang ada di keningnya, diarahkan pada
Pangeran Matahari. Saat itu juga di kening Pangeran Matahari muncul delapan
benjolan merah.
"Roh Jemputan!" Hardik Sinuhun Merah. "Kesom-
bonganmu tidak berlaku di hadapanku. Mulai saat ini kau yang harus tunduk
padaku! Aku akan mengendalikan dirimu dan memberi setiap perintah yang harus kau
patuhi! Sekarang berlututlah di hadapanku! Jika kau menolak aku akan membuat kau tidak
kembali ke alammu untuk selama-lamanya. Rohmu akan berkeliaran tak karuan,
tergantung antara bumi dan langit! Tunduk dan berlutut!"
Aneh! Saat itu juga Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan yang tadi
bersikap garang congkak perlahan-lahan menekuk sepasang kaki lalu berlutut di


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
*** Jaka Pesolek segera mendekati Ni Gatri. Sosok anak perempuan itu digendong. Dia
berpaling sejenak ke arah Pangeran Matahari dan berkata, "Harap kau mau bersabar
barang sebentar. Aku akan segera datang ke dalam pelu-
kanmu. Tanpa pakaian." Gadis itu julurkan lidah merahnya, kedipkan mata lalu
dengan cepat berlari membawa Ni Gatri ke balik semak belukar. Tapi begitu
dirinya terhalang dari pandangan Pangeran Matahari secepat kilat Jaka Pesolek
melesat ke dalam rimba belantara, berkelebat di balik deretan pohon jati. Sosok
Ni Gatri dipanggul di bahu kanan.
Dalam sekejap saja dia sudah lenyap di balik deretan pohon jati.
Pangeran Matahari yang tidak menyangka kalau dirinya tengah ditipu terbelalak
kaget. Didahului suara menggem-
bor marah, dengan cepat dia mengejar.
"Gadis kurang ajar! Kau kira bisa menipuku lalu kabur begitu saja!"
Maklum kalau Jaka Pesolek memiliki ilmu melesat laksana kilat yang tak mungkin
dikejar, sambil berkelebat Pangeran Matahari pentang dua tangan ke depan. Tangan
kiri membuat gerakan mengepal seperti mencekal sesuatu.
Tangan kanan dengan lima jari mencengkeram diangkat lebih tinggi lalu diputar
demikian rupa. Inilah ilmu bernama Menahan Bumi Memutar Matahari yang didapatnya
dari salah seorang sakti bernama Singo Abang (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Kembali Ke Tanah Jawa").
Jaka Pesolek yang tengah melesat di udara dan berusaha meninggalkan hutan jati
sambil memanggul Ni Gatri tiba-tiba merasakan ada sambaran angin di sebelah
bawah. Kedua kakinya terasa berat dan tubuhnya seperti ditarik ke tanah.
Sementara itu di arah depan dia melihat cahaya terang berputar yang membuat
pandangannya menjadi silau.
Braakk! WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
11 AKA PESOLEK terpekik ketika bahu kirinya menabrak pohon jati. Tak ampun lagi
tubuh gadis ini jatuh Jterbanting ke tanah. Ni Gatri terguling dari panggulan.
Sambil mengusap bahu kirinya dan mengerang kesakitan, terhuyung-huyung Jaka
Pesolek mencoba berdiri. Saat itulah dari belakang ada satu tangan berkelebat.
Breett! Jaka Pesolek terpekik. Bagian belakang baju merahnya robek besar mulai dari
punggung sampai ke pinggul! Jaka Pesolek tahu bahaya besar yang mengancam
dirinya. Dia hendak berkelebat lari tapi pandangan kedua matanya masih gelap.
Dalam takutnya gadis ini jadi nekad. Dia menghambur dengan gerakan kilat tapi
tanpa arah. Akibatnya Pangeran Matahari dengan mudah berhasil mencekalnya!
"Aku suka gadis berani dan punya akal!" Berkata Pangeran Matahari lalu tertawa
bergelak. Tangan kanan bergerak.
Breett! Breett!
Pakaian merah muda Jaka Pesolek robek di bagian bahu dan pinggang. Gadis itu
usap kedua matanya. Ketika pandangannya mulai jelas dia melihat dua tangan
diulur ke arah dadanya. Dengan cepat Jaka Pesolek melompat ke belakang. Namun
gerakannya terhalang batang pohon jati.
"Gadis cantik, kau harus dibuat jinak lebih dulu!"
Lalu bett... bett!
Dua totokan mendarat di urat besar di leher serta bahu kanan Jaka Pesolek.
Langsung gadis ini merasa tubuhnya kejang, tak bisa bergerak tapi masih mampu
bersuara. Ketika tubuhnya terhuyung ke depan, Pangeran Matahari cepat merangkul
pinggangnya lalu baringkan si gadis di tanah.
Dalam takutnya Jaka Pesolek berkata. "Jangan berlaku kasar. Kalau kau lepaskan
totokan, aku akan melayanimu sampai kau benar-benar merasa puas..."
Pangeran Matahari menyeringai. "Siapa percaya gadis penipu sepertimu!"
Tangan kiri menyambar ke dada.
Brettt! Kembali ada pakaian Jaka Pesolek yang robek. Kali ini di bagian dada. Sepasang
mata Pangeran Matahari mendelik, kening mengerenyit dan tampang berubah aneh
ketika melihat dada yang tersingkap. Seumur hidup baru kali ini dia melihat dada
seorang gadis rata seperti itu.
Penasaran dengan cepat tangannya bergerak turun ke bawah.
"Tunggu... jangan! Aku mau bicara dulu!" Jaka Pesolek berkata. Wajah mendadak
pucat. "Ada apa"!" Bentak Pangeran Matahari. "Tadi kau menantang mau membuat aku puas.
Sekarang kenapa kau ketakutan"! Kau mau mengatakan apa...?"
"Aku, aku, maksudku... aku bisa jantan bisa betina..."
"Apa maksudmu dengan ucapan itu!"
"Hik... hik! Aku hanya mau memberi tahu. Biar aku sendiri yang menanggalkan
pakaianku. Lepaskan totokan-
ku. Nanti aku..."
Tidak sabaran Pangeran Matahari langsung saja bertindak kurang ajar. Seluruh
pakaian Jaka Pesolek di sebelah bawah ditarik lepas. Begitu melihat aurat yang
tersingkap, Pangeran Matahari berteriak kaget! Tubuhnya yang mencangkung di
samping Jaka Pesolek tersurut bahkan kemudian dia melompat berdiri!
"Jahanam keparat! Kau ini makhluk apa"! Manusia atau jejadian"! Kau ini lelaki
atau perempuan. Kalau lelaki mengapa berpakaian dan berdandan serta punya suara
seperti perempuan! Kalau perempuan mengapa..."
"Pangeran, lepaskan dulu totokan di tubuhku. Nanti aku akan menerangkan. Kau
tidak akan kecewa! Karena, karena seperti kataku tadi aku bisa jantan bisa
betina. Terserah kau mau memilih yang mana. Bisa salah satu bisa dua-duanya..."
"Makhluk terkutuk! Manusia banci! Berani kau mem-
permainkanku!" Saking marahnya Pangeran Matahari tendangkan kaki kanannya ke
pinggul Jaka Pesolek.
Bukkk! Jaka Pesolek menjerit keras. Tubuhnya mencelat sam-
pai dua tombak. Terkapar tertelentang di tanah, menge-
rang pendek lalu megap-megap siap untuk pingsan! Masih belum puas Pangeran
Matahari mengejar. Kaki kanan diangkat tinggi-tinggi. Kali ini kaki itu siap
dihunjamkan ke bagian bawah perut Jaka Pesolek.
Hanya tinggal sekejapan saja tubuh bagian bawah Jaka Pesolek akan hancur luluh
dan sudah dipastikan akibatnya si gadis akan menemui ajal, tiba-tiba tanah di
samping kaki kiri Pangeran Matahari terkuak. Satu tangan mencuat ke atas
langsung mencekal pergelangan kaki kirinya!
Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah.
"Kurang ajar! Setan dari mana..."!"
Ketika Pangeran Matahari berusaha menyentakkan kaki yang dicekal tiba-tiba
sesosok tubuh berpakaian merah bergaris kuning, didahului oleh kepala berambut
gondrong sebahu mencuat keluar dari dalam tanah. Saat itu juga sang Pangeran
merasa kaki kirinya dibetot keras, membuat tubuhnya melintir diputar seperti
titiran. Ketika cekalan tiba-tiba dilepas tak ampun lagi tubuh Pangeran Matahari
terlempar ke udara dan baru berhenti ketika, braaakk!
Tubuh itu menghantam batang pohon jati kecil. Pohon jati berderak patah dan
tumbang. Walau bahu kirinya serasa remuk akibat beradu dengan pohon namun
Pangeran Matahari masih bisa keluarkan teriakan marah.
Tubuh melesat ke udara, berjungkir balik satu kali dan di lain kejap sudah
berdiri lima langkah di hadapan orang yang melemparnya ke udara. Dia jadi
melengak kaget karena tidak menyangka. Ternyata orang itu bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Jahanam keparat! Kau muncul mengantar nyawa!"
Teriak Pangeran Matahari dengan menindih rasa herannya melihat Wiro memiliki
ilmu bisa masuk dan keluar dari dalam tanah!
Wiro sunggingkan senyum mengejek.
"Dari hidup kau minta mampus. Sudah mampus dan jadi roh masih berkeliaran
menebar kejahatan! Pangeran geblek! Kau pantas dikembalikan ke alam roh untuk
selama-lamanya!"
Mendidih darah dan amarah Pangeran Matahari
mendengar ucapan Wiro. Didahului teriakan dahsyat tidak kepalang tanggung dia
lancarkan dua serangan dengan tangan kiri kanan sekaligus!
Tangan kiri diangkat ke atas membentuk tinju. Begitu tangan dihantamkan ke arah
lawan, lima jari yang menge-
pal dibuka. Lima larik angin menderu tanpa warna. Lawan yang diserang serta
merta merasa dada dan isi perutnya seperti dibongkar dibetot keluar. Jalan darah
terhenti. Kepala seperti dihajar palu godam! Tubuh secara menda-
dak kehilangan kekuatan! Inilah yang disebut Pukulan Merapi Meletus. Jika tidak
mampu selamatkan diri maka dalam hitungan kejapan mata orang yang jadi sasaran
akan meledak tubuhnya mulai dari kepala sampai ke ujung kaki!
Serangan Pangeran Matahari kedua yang dilancarkan dengan tangan kanan melesatkan
cahaya tiga warna yaitu merah, kuning, dan hitam, Pukulan Gerhana Matahari!
Orang lain mungkin tidak bisa menghindar dan mere-
gang nyawa secara mengerikan dilanda dua serangan Pangeran Matahari. Tetapi
murid Sinto Gendeng sebagai musuh lama dan bebuyutan tahu betul semua ilmu
kesak- tian yang dimiliki lawan. Malah saat itu dia sudah mewas-
padai kalau-kalau Pangeran Matahari akan mengeluarkan senjata dahsyatnya, yaitu
Lentera Iblis! Walau saat itu tubuhnya mulai terasa gontai dan panas akibat dikunci serangan
pertama yaitu Pukulan Merapi Meletus, sementara serangan kedua menderu dengan
ganas, Pendekar 212 cepat tancapkan dua kaki ke tanah hingga tenggelam sampai
sebatas pertengahan betis. Dari batok kepala mengepul asap putih. Ini pertanda
sang pendekar tengah mengerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti yang
dimiliki. Satu hal yang jarang-jarang dilakukan Wiro.
Sambil membentak keras Wiro tekuk sedikit kedua lutut. Dua tangan dihantamkan ke
depan, ke arah datang-
nya dua serangan lawan. Tangan kiri digerakkan dalam jurus Membuka Jendela
Memanah Matahari lalu melepas Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Dengan
tangan kanan Wiro melepas Pukulan Tangan Dewa Meng-
hantam Tanah yang sengaja diarahkan ke bagian kaki lawan.
Dua dentuman keras menggelegar di dalam hutan jati.
Tanah di depan kaki Pangeran Matahari terbongkar mem-
bentuk lobang besar. Sang Pangeran tampak tergontai pucat. Mulut lelehkan darah
merah kehitaman. Dalam berusaha mengimbangi diri agar tidak terperosok ke dalam
lobang, Pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang datang menggebubu. Ketika dia
berusaha bertahan dengan mengerahkan seluruh kekuatan luar dalam yang dimiliki,
Pangeran Matahari dapatkan tubuhnya terangkat ke udara. Wiro sentakkan tangan
kiri. Seperti dibetot tubuh Pangeran Matahari tertarik ke depan dan langsung
masuk ke dalam lobang besar. Di saat itu Wiro yang juga mende-
rita luka dalam cepat guratkan ujung kaki kanannya ke tanah.
Rrrttttt! Ilmu Membelah Bumi Menyedot Tanah! Tanah di dalam lobang besar terbelah.
Pangeran Matahari berteriak kaget ketika tubuhnya mendadak tersedot ke dalam
belahan tanah. Mendahului datangnya daya sedotan yang lebih besar, Pangeran yang
cerdik ini dengan ilmu yang didapat-
nya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah amblaskan diri ke sisi kiri belahan
tanah. Lenyap dari pemandangan.
Wiro cepat mengejar namun hanya bisa berhenti di depan belahan tanah yang
perlahan-lahan kembali ber-
satu. Wiro seka darah yang keluar di sela bibirnya. Dada mendenyut sakit. Selagi
dia berpikir-pikir apakah Pangeran Matahari benar-benar telah menemui ajal di
dalam tanah tiba-tiba dia merasa sambaran angin di belakangnya. Wiro cepat
berbalik tepat pada saat satu jotosan dahsyat memancarkan cahaya merah menderu
ke arah keningnya.
Inilah pukulan bernama Di Dalam Arwah Ada Raga. Yang melancarkan serangan adalah
Pangeran Matahari.
Ternyata makhluk berjuluk Ksatria Roh Jemputan ini masih hidup!
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
12 UKULAN yang dilancarkan Pangeran Matahari adalah pukulan bernama Di Dalam Arwah
Ada Raga yang Pdidapatnya dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Sebenarnya Wiro punya kesempatan untuk mengelak atau menghindar dari pukulan
maut itu, namun entah mengapa dia memilih berjibaku. Ingin melumat musuh
bebuyutannya saat itu juga!
Pendekar 212 rundukkan kepala sambil dua lutut ditekuk. Dua tangan dengan cepat
dipentang ke atas, disilang demikian rupa. Telapak tangan kanan dibuka lalu
ditiup. Serta merta di atas telapak tangan itu muncul gam-
bar kepala harimau putih bermata biru! Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara
auman dahsyat yang menggetarkan tanah di hutan jati. Itulah auman harimau sakti
Datuk Rao Bamato Hijau yang walau terpisah jauh tapi mendapat sambung rasa dan
tahu kalau Pendekar 212 berada dalam bahaya.
Pangeran Matahari terlalu yakin kalau serangannya kali itu akan menghancurkan
kepala lawan dan menamatkan riwayat Pendekar 212! Sambil keluarkan suara
menggem- bor dia kerahkan seluruh tenaga dalam dan hawa sakti.
Sebaliknya begitu tangan kanan lawan masuk, Wiro menggerakkan dua tangan seperti
gunting melibas.
Bukkk! Terjadi bentrokan hebat antara dua tangan Wiro yang disilang dengan lengan
Pangeran Matahari yang datang menyambar.
Kraakk! Jeritan menggelegar dari mulut Pangeran Matahari begitu tulang lengan tangan
kanannya patah. Selain itu dorongan tenaga dalam lawan membuat tubuhnya
terpental dua tombak dan jatuh terjengkang di tanah.
Kehebatan serangan sang Pangeran yang mengandalkan ilmu kesaktian dari Sinuhun
Merah Penghisap Arwah ternyata tidak mampu menandingi tangkisan sekaligus
serangan Pukulan Harimau Dewa warisan Datuk Rao Basaluang Ameh dari Danau
Maninjau! Wiro sendiri terhempas satu tombak ke belakang.
Punggung membentur batang pohon jati. Cidera dalam yang dialaminya bertambah
parah akibat bentrokan tadi dan lelehan darah semakin menebal di sela bibir
sementa- ra dua kaki terasa bergetar. Sebelum dirinya jatuh berlutut, Wiro masih mampu
mengangkat tangan, merapal aji kesaktian Pukulan Sinar Matahari. Begitu tangan
kanan mulai dari siku sampai ke ujung jari berubah menjadi seputih perak, Wiro
langsung menghantam ke depan.
Sinar putih berkilau disertai suara menggelegar dan hamparan panas berkiblat ke
arah Pangeran Matahari yang dalam keadaan nyaris tak berdaya masih berusaha
jatuh- kan diri ke tanah walaupun terlambat. Hanya sesaat lagi dia akan menemui ajal
untuk kedua kali tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat di udara. Aneh dan
luar biasanya bayangan ini sengaja menyongsong datangnya cahaya putih
menyilaukan Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212 Wiro Sableng untuk
menghabisi Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan!
Apa yang terjadi"
Sebelumnya diketahui Jaka Pesolek terhantar di tanah akibat tendangan Pangeran
Matahari. Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan dia mengetahui sedang
terjadi pertarungan hebat antara Wiro dan sang Pangeran sementara Ni Gatri tidak
terlihat lagi di sekitar situ. Mung-
kin anak ini terlempar ke dalam hutan jati ketika terjadi letusan-letusan
dahsyat akibat bentrokan pukulan-pukulan sakti tadi. Meski tidak berdaya seperti
itu, tetapi ketika dia mendengar suara menggelegar disertai sambaran cahaya
putih, mendadak sontak semangat dan kekuatan Jaka Pesolek timbul kembali.
Anehnya, dia merasa tubuhnya seringan kapas.
"Ada petir menyambar di dalam hutan! Oala! Tanganku jadi gatal! Aku..."
Tidak tunggu lebih lama gadis ini segera melesat ke atas lalu laksana kilat
menyambar dia berkelebat ke arah cahaya putih yang seperti sudah-sudah,
diduganya sebagai petir. Padahal cahaya putih menyilaukan dan panas itu adalah
Pukulan Sinar Matahari yang dilepas Pendekar 212
Wiro Sableng untuk menghabisi Pangeran Matahari!
Sambil berteriak girang Jaka Pesolek kembangkan dua tangan di udara, dengan
cepat menyambar ujung cahaya putih lalu membuntalnya seperti menggulung kain
panjang. Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu berseru kaget.
"Aku berhasil!" teriak Jaka Pesolek girang. Cahaya putih yang dibuntal lalu


Wiro Sableng 183 Bulan Biru Di Mataram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diusung ke atas dan dilempar di langit lepas. Tubuh dan pakaiannya tampak putih
berkilat, mengepulkan asap panas. Namun Jaka Pesolek tidak merasa apa-apa.
Begitu gadis ini melayang turun sambil tertawa haha-hihi dan jejakkan dua kaki
di tanah. Wiro langsung membentak marah.
"Jaka Pesolek! Apa yang kau lakukan"! Kau menolong musuh bebuyutanku! Kau
sengaja menyelamatkan musuh besar raja dan rakyat Mataram!"
Jaka Pesolek jadi terkejut, mulut ternganga mata mendelik. "Astaga! Apa aku
telah berbuat keliru" Aku menyangka..." Saking takutnya Jaka Pesolek tak bisa
teruskan ucapan.
Sementara itu Pangeran Matahari sendiri tak kalah kejutnya. Dia mengira Jaka
Pesolek memang telah menye-
lamatkan dirinya dari hantaman Pukulan Sinar Matahari.
Tapi otak dan hatinya tetap saja ingin berbuat jahat.
Melihat perhatian Wiro tertuju pada Jaka Pesolek dia merasa ada kesempatan.
Pangeran Matahari segera lepaskan serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit.
Delapan cahaya merah menderu dahsyat dari delapan benjolan di kening. Enam
menyambar ke arah Wiro, sisa yang dua melesat ke arah Jaka Pesolek yang berdiri
membelakanginya dan menghalangi pandangan Wiro. Semua terjadi sangat cepat dan
tidak terduga. Kurang dari sekejapan mata tubuh Jaka Pesolek akan hancur berkeping-keping dan
dikobari api, menyusul hal sama akan terjadi pula dengan Wiro, tiba-tiba
berkelebat tiga bayangan disertai suara teriakan perempuan.
"Kawan-kawan! Lekas tancapkan delapan jari!"
Sett! Settt! Dua puluh empat jari tangan yang dipentang seperti besi lurus berkelebat deras.
Delapan menancap di tanah, delapan menusuk batang pohon jati dan delapan lagi
melesak ke dalam gundukan batu. Saat itu juga terjadi hal luar biasa hebat.
Pangeran Matahari tidak pernah tahu adanya ilmu penangkal serangan Delapan Arwah
Sesat Menembus Langit. Dia berteriak keras ketika menyaksikan delapan larik
cahaya merah panas berbalik menderu lalu menye-
rang ke arah dirinya! Ilmu apapun yang dimilikinya, kecepatan bagaimanapun yang
bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri, semua hanyalah sia-sia belaka!
Blaarr! Blaarr!
Letusan keras disertai percikan bunga api setinggi dan selebar dua tombak
menggelegar di hutan jati, menggetar gendang-gendang telinga, seolah menyumbat
jalan aliran darah! Beberapa pohon jati tenggelam dalam kobaran api dan langsung
gosong menghitam!
Suara jeritan sang Pangeran yang dijuluki Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal,
Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak, serta merta terputus begitu delapan
larik cahaya merah membabat tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki! Kutungan
tubuh yang dikobari api dan menebar bau daging terpanggang menggidikkan itu
berlesatan ke berbagai penjuru hutan jati lalu mengepul jadi asap dan akhirnya
lenyap dari pandangan mata.
Saat itu Wiro dengan terhuyung-huyung berusaha bangkit berdiri. Tangan kiri
ditopangkan ke pohon jati di dekatnya. Dada mendenyut sakit tak karuan, tangan
kanan menyeka darah yang membasahi dagu. Dia memandang berkeliling. Di arah
depan dia melihat Kunti Ambiri menge-
luarkan delapan jari tangan dari dalam pohon jati yang ditusuknya. Lalu di
sebelah kiri tampak Ratu Randang mencabut delapan jari dari dalam batu. Di arah
kanan Sakuntaladewi si gadis berkaki tunggal tengah member-
sihkan jari-jari tangannya yang tadi ditancapkan ke tanah.
"Mereka menyelamatkan nyawaku dengan ilmu
penangkal." Ucap Wiro dalam hati. Dia hendak melangkah mendekati ke tiga orang
itu. Tiba-tiba terjadi satu hal luar biasa aneh. Dari dalam hutan jati menggelegar
suara teriakan.
"Ksatria Roh Jemputan! Aku berikan pecahan lima nyawaku padamu! Aku akan
membantumu! Kau akan kembali pada ujudmu! Keluarkan Lentera Iblis. Bunuh semua
musuhmu!" Suara orang yang berteriak terdengar sama dengan suara Sinuhun Merah
Penghisap Arwah yang roh keduanya telah menemui ajal.
Lima benda aneh berwarna merah samar berkelebat di dalam hutan jati lalu
bergabung jadi satu, membentuk asap merah menyerupai sosok manusia. Ketika turun
ke tanah ujudnya membentuk sosok Pangeran Matahari alias Ksatria Roh Jemputan.
Tapi wajahnya berwarna sangat putih seperti kain kafan! Tangan kanan menggenggam
Lentera Iblis! Selagi Wiro, Kunti Ambiri, Ratu Randang dan Sakun-
taladewi terkejut melihat kemunculan Pangeran Matahari secara tidak disangka-
sangka, sang Pangeran tiba-tiba sudah menggerakkan tangan kanan memutar Lentera
Iblis. Dia sengaja lancarkan serangan terhebat yakni jurus ketiga dari Tiga Jurus
Serangan Lentera Iblis yang bernama Liang Lahat Menunggu.
Cahaya kuning berkiblat. Menghambur secepat setan menyambar ke arah Wiro dan
tiga orang lainnya pada ketinggian sepinggang tubuh manusia!
"Awas serangan Lentera Iblis!" Teriak Wiro mempe-
ringatkan tiga perempuan. Dia cepat melompat ke udara setinggi dua tombak. Ratu
Randang berkelebat ke balik satu pohon jati besar lalu melompat naik ke cabang
terendah. Kunti Ambiri amblaskan diri masuk ke dalam tanah. Sakuntaladewi
jejakkan kaki tunggalnya ke tanah hingga tubuhnya membal sampai tiga tombak lalu
melayang turun dan seperti seekor burung hinggap di puncak salah satu cabang
pohon jati. Kalau Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi berhasil selamatkan diri maka tidak
demikian dengan Kunti Ambiri.
Di antara ke empat orang itu dia satu-satunya yang meng-
ambil cara menyelamatkan diri dengan memasukkan tubuh ke dalam tanah. Padahal
saat itu cahaya kuning Lentera Iblis melesat datar setinggi pinggang di atas
tanah. Ketika tubuhnya amblas baru sampai ke lutut, serangan cahaya kuning
Lentera Iblis bernama Liang Lahat Menunggu datang menyambar! Dalam sekejapan
lagi sudah dapat dipastikan tubuh gadis cantik alam roh yang pernah berjuluk
Dewi Ular itu akan terkutung dua lalu meledak hancur berkeping-keping!
Dari tempat masing-masing berada, Wiro, Ratu
Randang, dan Sakuntaladewi dalam kaget mereka cepat bertindak. Wiro hantamkan
dua tangan sekaligus melepas Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera dengan
tangan kiri sementara tangan kanan untuk kedua kalinya melepas Pukulan Sinar
Matahari. Ratu Randang menggebrak dengan Pukulan Tangan Langit Kaki Bumi. Sakuntaladewi
gerakkan dua tangan membuat Enam Belas Gerakan Tangan Bisu.
Langit seolah hendak runtuh, tanah bergoncang seperu dilanda lindu. Beberapa
pohon jati berderak bertumbangan ketika berbagai warna cahaya pukulan-pukulan
sakti yang dilancarkan Wiro, Sakuntaladewi dan Ratu Randang saling beradu
dahsyat dengan sambaran sinar kuning Lentera Iblis!
Wiro membentak keras, Ratu Randang dan Sakuntala-
dewi sama terpekik. Tubuh ketiga orang ini terjengkang di tanah, semburkan darah
segar dari mulut masing-masing.
Khawatir akan mendapat serangan balasan, ketiganya cepat bergulingan di tanah
mencari tempat yang aman Di depan sana Pangeran Matahari tegak menyeringai. Dia
tidak tampak cidera sedikitpun. Namun sebenarnya saat itu bagian dalam tubuh
makhluk alam roh ini telah mengalami luka luar biasa parah. Tangan kanan masih
memegang Lentera Iblis yang diputar demikian rupa tanda siap hendak melancarkan
serangan lagi. Agaknya dia akan sekaligus menghantamkan tiga cahaya lentera
yaitu merah, kuning dan hitam! Namun sesaat kemudian dua lututnya tampak
bergetar dan mulai menekuk. Darah mengalir tersendat. Wajah berubah merah kelam.
Dada terhuyung ke depan. Tenggorokan keluarkan suara mengorok. Seperti orang mau
muntah. Mulut terbuka.
"Tahan! Jangan muntah! Cepat jauhkan Lentera!"
Mendadak ada suara mengiang di telinga Pangeran Matahari. Suara itu datang dari
makhluk aneh yang ada di dalam tubuhnya yang bukan lain pecahan lima roh Sinuhun
Merah Penghisap Arwah.
Pangeran Matahari terkejut! Astaga! Dia baru sadar.
Lentera Iblis punya pantangan rahasia. Yaitu tidak boleh tersentuh oleh cairan
yang keluar dari tubuh manusia, terutama berasal dari orang yang memegangnya.
Cairan itu bisa saja berupa keringat, air kencing, ludah bahkan termasuk juga
darah! Pangeran Matahari cepat tekap mulutnya dengan tangan kiri. Namun saat itu
tubuhnya telah terhuyung ke depan. Dalam keadaan seperti itu mulut tak mampu
lagi menahan muntah. Ketika mulut terbuka yang menyembur ternyata adalah darah
kental berbuku-buku! Bersamaan dengan itu tubuh Pangeran Matahari tersungkur ke
depan. Lentera iblis terlepas dari tangannya, menggelinding ke arah tebaran
muntahan darah di tanah!
Pangeran Matahari cepat ulurkan tangan menjangkau lentera agar tidak bersentuhan
dengan muntahan darah.
Hanya seujung kuku dia akan berhasil menyentuh Lentera Iblis mendadak ada satu
bayangan hijau berkelebat.
Semula Wiro dan kawan-kawan mengira Sinuhun Muda Ghama Karadipa yang muncul,
turun tangan untuk menolong Pangeran Matahari. Tapi apa yang kemudian terjadi
membuat semua orang jadi melengak kaget!
WIRO SABLENG BULAN BIRU DI MATARAM
13 NTAH dari mana datangnya tiba-tiba muncul lima cahaya biru panjang yang ujudnya
hampir menyerupai Ebenang menyambar ke arah lima bagian tubuh
Pangeran Matahari. Bau santar kemenyan terbakar meme-
nuhi udara, menggidikan! Lalu terdengar suara drett drett!
Sosok Pangeran Matahari serta merta kaku. Tangan yang diulur seolah berubah
menjadi batu. Sekujur tubuh, mulai dari leher, dada, pinggang, dua tangan, dan
sepasang kaki dilibat cahaya benang biru membuat keadaannya tidak beda seperti
dijahit mati. Semua anggota badan tidak bisa digerakkan lagi. Di atas batok
kepala menancap lima benda aneh berbentuk jarum panjang sejengkal berwarna biru!
Mulut dibuka hendak berteriak tapi tidak ada suara yang keluar.
"Lima Jarum Penjahit Raga!" Ucap Wiro dengan mata terbelalak. Matanya memandang
cepat berkeliling seperti tengah mencari seseorang. Saat itu dilihatnya Lentera
Iblis yang menggelinding di tanah hanya sejengkal lagi akan menyentuh muntahan
darah Pangeran Matahari. Wiro serta merta berteriak. "Cepat menyingkir! Lentera
jahanam akan segera meledak!"
Walau saat itu ketiganya menderita luka dalam dan masih terbaring di tanah namun
dengan mengerahkan tenaga yang ada, Wiro, Ratu Randang, dan Sakuntaladewi cepat
berdiri lalu melompat sejauh yang bisa dilakukan, mencari tempat yang aman.
Ketiganya berkelebat ke balik satu gundukan batu setinggi pinggul yang berada di
belakang tumbangan tiga pohon jati.
Ledakan dahsyat kembali menggelegar di hutan jati.
Lentera Iblis hancur berkeping-keping mengeluarkan pancaran cahaya merah kuning
Suling Naga 10 Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis Tanah Kutukan 2
^