Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 17

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 17


"Aku tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah menuntun Pangeran Benawa itu kemari" "Yang aku ketahui, cincin itu justru dibawa oleh Pangeran Benawa yang justru telah meninggalkan istana beberapa lama. Bagaimana mungkin cincin itu dapat jatuh ketangan anakmu" "Tetapi ternyata anakku dapat menemukannya disebuah belumbang kecil. Ia melihat cahaya yang seakan-akan jatuh dari langit dan jatuh dibelakang sebuah gerumbul. Ternyata di belakang gerumbul itu terdapat sebuah belumbang" Harya Wisaka termangu-mangu sejenak, la mencoba menghubungkan peristiwa demi peristiwa. Demikian beruntun. "Hampir saja aku justru terjebak" desis Harya Wisaka. "Aku tidak sempat memberitahukan, bahwa Pangeran Benawa telah datang kemari" jawab Ki Tumenggung. "Tetapi berhati-hatilah, Ki Tumenggung. Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang cerdik dan berani. Ia tentu mempunyai prasangka buruk terhadapku karena aku datang kemari pagi-pagi buta" "Tetapi itu lebih baik daripada Pangeran Benawa datang kemudian" berkata Ki Tumenggung. Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya "Ya. la dapat langsung melibatkan aku dalam soal cincin ini" "Sekarang, semua kesalahan telah aku limpahkan kepada Paksi. Biarlah Paksi bertanggung jawab atas cincin itu" "Kenapa Ki Tumenggung justru melimpahkan tanggungjawab kepada anak Ki Tumenggung" Kenapa Ki Tumenggung tidak justru melindunginya?" "Anak iblis. Biar ia belajar memahami arti hidup. Anak itu tidak boleh menjadi benalu dirumah, meskipun ia anakku" "Kau termasuk orang yang aneh, Ki Tumenggung. Baru saja ia pulang dari sebuah pengembaraan yang panjang sambil membawa cincin kerajaan yang hilang itu" "Tetapi kehadiran anak itu dirumah hanya akan menimbulkan bencana saja" "Apakah Ki Tumenggung akan membiarkan anak itu dihukum jika ia dianggap bersalah?"
"Apa yang harus aku lakukan" Jika aku melibatkan diri, maka tentu akulah yang akan dihukum" Harya Wisaka mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata "Kita memang tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi pada anakmu yang berada di tangan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah orang yang aneh" Ki Tumenggung mengangguk-angguk. "Kau dengar, Pangeran Benawa itu menantang aku?" "Ya" "Banyak kemungkinan dapat terjadi" Ki Tumenggung itu tidak menjawab. "Sudahlah" berkata Harya Wisaka "aku akan kembali. Perburuan akan beralih didalam kota. Pangeran Benawa ternyata telah berada diistana kembali. Seandainya Pangeran Benawa itu tertangkap dimasa pengembaraannya, maka siasialah kematiannya. Ia akan mengalami nasib yang sangat buruk, justru karena cincin itu tidak ada padanya" "Tidak seorangpun yang akan percaya bahwa cincin itu tidak ada padanya" "Ternyata cincin itu ada pada anakmu yang sekarang kau surukkan kedalam mala-petaka" Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi ia merasakan sesuatu yang ganjil pada tekanan kata-kata Harya Wisaka. "Apakah Harya Wisaka itu telah mencurigai aku?" bertanya Ki Tumenggung itu kepada diri sendiri. Dalam pada itu, maka Harya Wisakapun berkata "Nah, Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Aku minta diri. Mudah-mudahan kita berhasil untuk menggenggam cita-cita" Harya Wisaka itu justru mendekati Ki Tumenggung "Cincin itu harus jatuh ketanganku. Pangeran Benawa haruss mati. Pajang akan kehilangan seluruh masa depannya" "Bukankah ada lajur lain yang dapat temurun dan menguasai tahta Pajang?"
"Cincin kerajaan itu ada padaku. Aku akan mempergunakan pengaruhnya untuk memaksakan kehendakku. Banyak orang yang akan mendukung kehadiranku di Pajang" Ki Tumenggung tidak menjawab. Sementara itu, Harya Wisakapun telah minta diri dan meninggalkan halaman rumah Ki Tumenggung. Dalam pada itu, anak laki-laki Ki Tumenggung yang semula berbaring didalam biliknya, ternyata telah menyelinap keluar. Biliknya terasa panas sekali. Bahkan kegelisahannya membuatnya tidak betah berbaring didalam biliknya dan lewat pintu butulan ia berdiri di pintu seketeng. Diluar kehendaknya, ia justru mendengar pembicaraan ayahnya dengan Harya Wisaka. Anak muda itu menyesal sekali, bahwa ia telah mendengar pembicaraan itu. Ia merasa kecewa sekali terhadap sikap ayahnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, yang didengarnya itu justru menjadi beban yang terasa sangat berat di hatinya. "Apa yang sebenarnya ayah kehendaki" Pangkat" Derajad" Atau apa?" bertanya anak muda itu didalam hatinya "sekarangpun ayah telah memilikinya. Ayah adalah seorang Tumenggung. Ayah adalah seorang yang cukup dihormati. Hidupnya berkecukupan. Apalagi" Apakah ayah ingin menjadi Tumenggung Wreda atau malah menjadi seorang Patih jika benar Harya Wisaka berhasil menguasai Pajang?" Sejenak kemudian, halaman rumah Ki Tumenggung yang luas itu menjadi sepi. Harya Wisaka dan para pengikutnya telah meninggalkan halaman itu. Sementara itu Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun telah masuk pula keruang dalam. Ketika dilihatnya adik Paksi itu berada diserambi, iapun bertanya " Apa yang kau lakukan disitu?" "Aku tidak dapat tidur ayah " jawab anak muda itu. "Dimana ibumu?" "Didapur ayah. Ibu ingin menyiapkan minuman buat tamutamu ayah itu" "Mereka sudah pulang" "Mungkin airnya belum mendidih"
Ki Tumenggungpun kemudian telah pergi ke dapur. Dilihatnya Nyi Tumenggung duduk diamben panjang. Disisinya duduk anak perempuannya yang masih saja gemetar. "Kenapa kau umpankan Paksi, Ki Tumenggung" berkata Nyi Tumenggung. "Aku umpankan" Bukankah aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi?" "Tetapi bukankah Ki Tumenggung dapat berdiam diri tanpa menunjuk kepada Paksi?" "Jadi kau ingin leherku dijerat ditiang gantungan oleh Kangjeng Sultan?" "Bukankah Pangeran Benawa tidak membawa kakang Tumenggung" Pangeran Benawa itu sudah akan meninggalkan rumah kita ketika tiba-tiba saja kakang menyebut nama Paksi" "Pangeran Benawa memang tidak membawa aku malam ini. Tetapi besok beberapa orang prajurit akan datang dan menyeretku ke alun-alun. Ditengah-tengah alun-alun sudah siap tiang gantungan yang akan menjerat laherku itu" "Aku tidak yakin bahwa itulah yang akan terjadi atas kakang Tumenggung seandainya kakang Tumenggung tidak menyebut nama Paksi. Tetapi tadi Pangeran Benawa sudah mengatakan, bahwa Paksi akan dapat digantung atau dipancung menurut keputusan Pangeran Benawa sendiri" "Itu terjadi diluar kuasaku" "Kalau saja ayah tidak menyebut nama kakang Paksi" desis adik perempuan Paksi. "Diam kau. Kau tidak tahu apa-apa. Apakah ibumu sudah meracuni otakmu sehingga kau dapat berkata seperti itu?" Namun terdengar suara adik laki-laki Paksi dipintu dapur "Ayah sebenarnya tidak perlu menyebut nama kakang Paksi dihadapan Pangeran Benawa" "Jadi kau juga ingin melihat tubuhku tergantung di alunalun?" "Aku tidak ingin melihat tubuh ayah tergantung di alunalun. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kakang Paksi dipancung besok"
"Salah satu diantara kita akan dikorbankan. Aku mengenal watak Pangeran Benawa yang bengis" "Seharusnya ayah bertahan sampai saat terakhir. Jika ayah menganggap bahwa kakang Paksi memang lebih baik dikorbankan daripada ayah sendiri, maka baru pada saat terakhir, jika segala usaha sudah gagal, ayah dapat menyebut nama kakang Paksi" "Tutup mulutmu" bentak ayahnya "kau memang dungu. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi. Karena itu, jangan ikut campur. Aku tahu apa yang terbaik yang harus aku lakukan. Akupun harus menegakkan kembali wibawaku di rumah ini. Nyi Tumenggung harus menyadari hal ini. Aku tidak mau kau bersikap seperti saat Paksi itu datang, Nyi. Aku lakilaki dan kau tidak lebih dari seorang perempuan. Kau tahu, siapa yang berkuasa dirumah ini siapapun kau" Nyi Tumenggung melihat mata suaminya menjadi merah. Meskipun demikian, naluri seorang ibu masih saja berusaha untuk membela anaknya. Karena itu, maka Nyi Tumenggung itupun berkata "Tetapi aku tidak rela, bahwa Paksi harus menanggung akibatnya karena cincin itu ada dirumah ini. Jika Paksi pergi mencari cincin itu, bukankah ia menjalankan perintah kakang" Jika ia pulang membawa cincin itu, sematamata karena baktinya kepada ayahnya. Tetapi apa yang diperbuat ayahnya terhadapnya?" "Cukup" teriak Ki Tumenggung. Hampir saja tangannya menyambar wajah Nyi Tumenggung. Tetapi anak perempuannya segera memeluk ibunya, sementara adik lakilaki Paksi berusaha menahan tangan ayahnya. Sambil mengibaskan tangannya, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu berkata "Persetan dengan kalian. Siapa yang tidak mau tunduk kepadaku, pergi dari rumah ini?" Namun Nyi Tumenggung menyahut " Siapa yang harus pergi dari rumah ini?" Telinga Ki Tumenggung bagaikan disentuh api. Tetapi anak perempuannya telah menarik ibunya kepintu, sementara anaknya laki-laki masih berusaha menghalangi ayahnya itu.
Ki Tumenggung itu menggeratakkan giginya. Bagaimanapun juga wibawanya sebagai pemimpin di rumah itu memang sudah ternoda. Dalam pada itu cahaya fajarpun mulai mewarnai langit. Kemerah-merahan. Tetapi Ki Tumenggung justru kembali ke biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Namun matanya tidak dipejamkannya. Bahkan giginyalah yang gemeretak menahan geram di hatinya. "Aku gagal menggantungkan harapan karena cincin itu tidak jadi jatuh ketangan Harya Wisaka" katanya didalam hatinya Lalu "Bahkan agaknya Harya Wisaka justru mencurigai aku" Tiba-tiba Ki Tumenggung itupun bangkit. Dihentakkan tangannya padat bibir pembaringannya. Ki Tumenggung memang menjadi sangat gelisah. Demikian pula Nyi Tumenggung, meskipun dengan alasan yang berbeda. Ki Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasibnya sendiri, sementara Nyi Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasib anaknya. Tetapi hari itu, Ki Tumenggung tidak pergi ke istana untuk menjalankan tugasnya. Ia tinggal saja dirumah dengan sangat gelisah, seakan-akan sedang pasrah menunggu nasib. Ki Tumenggung memang tidak yakin, bahwa dirinya tidak akan dilibatkan dalam persoalan cincin kerajaan itu. Kadang-kadang Ki Tumenggung memang menyesal, kenapa ia tergesa-gesa menyebut nama Paksi justru pada saat Pangeran Benawa sudah menyatakan untuk menutup persoalan cincin Kerajaan yang baru saja diketemukannya itu. Namun iapun kemudian menggeram "Tidak. Aku sudah bersikap benar. Pangeran Benawa yang aneh itu tidak dapat dipegang kata-katanya. Meskipun ia sudah mengatakan bahwa persoalannya sudah dilepaskannya, namun dapat saja tiba-tiba Ki Tumenggung itu dipanggil menghadap ke istana untuk diadili. Atau bahkan tiba-tiba saja beberapa orang prajurit dengan membawa pertanda kekuasaan Kangjeng Sultan datang menjemputnya
untuk dibawa langsung menghadap untuk menerima hukuman. Bahkan mungkin hukuman gantung atau pancung. Sehari Ki Tumenggung menunggu tetapi tidak ada utusan dari istana untuk menyampaikan perintah apapun. "Apa yang terjadi di istana?" bertanya Ki Tumenggung kepada diri sendiri. Sementara itu di rumah, Ki Tumenggung selalu marahmarah. Adik laki-laki Paksipun tidak beranjak dari rumahnya. Ia takut bahwa tiba-tiba saja ayahnya menumpahkan kemarahannya kepada ibunya. Sementara itu, adik perempuannya selalu berada disamping ibunya. Pada hari berikutnya kegelisahan Ki Tumenggung terasa semakin mencengkam. Karena itu, maka ia tidak lagi ingin tinggal dirumah. Tetapi Ki Tumenggung itupun telah pergi ke istana. Ki Tumenggung mencoba untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ia hadir ditempat tugasnya seperti tidak terjadi apa-apa atas dirinya dan anak laki-lakinya. Ki Tumenggung itu menjadi heran. Ia tidak mendengar seorangpun diantara kawan-kawannya bertugas menyebutnyebut tentang cincin kerajaan yang telah diketemukan. Iapun tidak melihat sesuatu di istana yang berhubungan dengan cincin kerajaan itu. Ia tidak melihat perubahan apapun terjadi di bangsal pusaka. Para prajurit yang bertugas untuk menjaga bangsal pusaka itu, bertugas sebagaimana biasanya tanpa menunjukkan bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Bahkan ketika ia melihat Pangeran Benawa dengan Raden Sutawijaya melintas di halaman dalam istana, keduanya sama sekali tidak menghiraukannya meskipun ia yakin bahwa Pangeran Benawa itu telah melihatnya ditempat tugasnya. "Apa yang sebenarnya terjadi" Sebuah mimpi buruk?" pertanyaan itu telah bergejolak didalam hatinya. Kepala Ki Tumenggung menjadi pening, sehingga seorang kawannya bertugas bertanya "Apakah Ki Tumenggung Sarpa Biwada sedang sakit. Wajah Ki Tumenggung nampak pucat. Ki Tumenggung nampak sangat gelisah"
Dengan gagap Ki Tumenggung itupun menjawab "Tidak. Aku tidak apa-apa" Kawannya mengangguk kecil. Tetapi kawannya yang lain berkata "Baju Ki Tumenggung basah oleh keringat. Tetapi tangan Ki Tumenggung terasa begitu dinginnya" Ki Tumenggung Sarpa Biwada itupun menyahut "Aku tidak apa-apa" Kawannya itu memang meraba tangan Ki Tumenggung yang basah oleh keringat, tetapi terasa begitu dinginnya. Hari itu memang tidak ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi justru karena itu, Ki Tumenggung menjadi heran. Bahkan kegelisahannya menjadi semakin menekan jantungnya. Ketika sudah waktunya pulang, maka Ki Tumenggungpun meninggalkan tempat tugasnya. Hari itu rasa-rasanya tidak ada yang dapat dikerjakan di tempat tugasnya. Tetapi demikian ia keluar dari pintu gerbang istana, langkahnya tertegun. Ia melihat Harya Wisaka berdiri bersama dua orang pengawalnya. Beberapa orang kawannya mengangguk hormat. Tetapi mereka tidak berhenti. Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada sajalah yang berhenti untuk menemuinya. "Benawa memang gila" geram Harya Wisaka. "Kenapa?" "Agaknya Pangeran Benawa itu belum melaporkan kepada Kangjeng Sultan bahwa cincin itu telah berada ditangannya" Ki Tumenggung mengangguk-angguk. "Ternyata Kangjeng Sultan sama sekali tidak berbuat sesuatu. Bahkan tidak ada gerak apapun diistana yang memberikan pertanda bahwa cincin kerajaan itu sudah kembali" "Ya. Tidak seorangpun menyebutnya. Para prajurit di bangsal pusakapun tidak menunjukkan peningkatan penjagaan atau menunjukkan perubahan apapun. Segalanya berjalan seperti biasa. Kedatangan Pangeran itu kembali dari pengemba-raannyapun sama sekali tidak mendapat sambutan
apa-apa atau barangkali Pangeran Benawa sengaja untuk menghindari sambutan itu" ' Menghadapi orang seperti Benawa kita memang harus berhati-hati sekali. Ia cerdik dan tangkas bergerak. Aku masih menunggu kesempatan untuk benar-benar menantangnya berlomba ketangkasan naik kuda" "Ada yang lebih penting dari berlomba naik kuda" desis Ki Tumenggung. "Ya" sahut Harya Wisaka. "Aku juga ingin tahu, apakah yang terjadi dengan Paksi" "Kau harus bergerak untuk megetahuinya. Mungkin anakmu itu sekarang sudah mati dipancung oleh Pangeran Benawa" Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jika benar, maka istriku akan dapat menjadi pingsan mendengarnya" "Dan kau sendiri?" "Entahlah" jawab Ki Tumenggung. Harya Wisaka menepuk bahu Ki Tumenggung sambil berkata "Nampaknya kau tidak sayang kepada anak-anakmu. Jika kau bekerja keras untuk meraih masa depan yang lebih baik, untuk apa sebenarnya hal itu kau lakukan jika tidak untuk anak-anakmu" Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Harya Wisakapun berkata "Mungkin aku adalah orang yang paling jahanam di istana ini dengan rencana-rencanaku yang barangkali dianggap gila oleh orang lain. Tetapi semuanya itu aku lakukan bagi anak keturunanku" Ki Tumenggung sama sekali tidak menjawab. Sementara itu Harya Wisakapun berkala "Letakkan harapan masa depanmu padamu dan keturunanmu. Maka kau akan berjuang lebih keras lagi. Kita sudah terlanjur basah. Kita tidak dapat melangkah kembali" Ki Tumenggung mengangguk. Katanya "Tetapi tingkah laku Pangeran Benawa dapat membuat aku menjadi gila"
"Kita bukan anak-anak cengeng Ki Tumenggung. Kau pernah berada dalam jajaran keprajuritan sebelum kau dipindahkan kejabatanmu yang sekarang. Bahkan mungkin suatu saat Ki Tumenggung akan kembali bertugas diantara para prajurit. Jiwa Ki Tumenggung sudah ditempa oleh pengalaman Ki Tumenggung yang luas. Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku akan berusaha untuk tidak menjadi gila" Harya Wisaka tertawa. Katanya "Jangan terlalu tegang menghadapi permainan Benawa" Ki Tumenggung mengangguk. "Setiap saat, aku akan menghubungimu, Ki Tumenggung. Ada beberapa orang kawan kita memberikan beberapa keterangan tentang usaha mereka sebelum Pangeran Benawa kembali ke istana" "Ceritanya tentu masih sama saja" jawab Ki Tumenggung. "Mungkin. Tetapi kita sebaiknya mendengar mereka. Ternyata kita terlanjur mempunyai banyak lawan" Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba iapun bertanya "Siapakah sebenarnya yang disebut oleh Pangeran Benawa itu sebagai nujum istana" Sudah berpuluh tahun aku mengabdi, aku belum pernah bertemu, bahkan melihat, orang brewok yang disebut nujum istana itu" Harya Wisakapun tertawa. Katanya "Tentu salah satu jenis permainan Pangeran Benawa" "Ya. Agaknya memang demikian. Permainan Pangeran Benawa tentu tidak akan ada habisnya" Ki Tumenggungpun kemudian telah meninggalkan Harya Wisaka yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Harya Wisaka itupun telah masuk kedalam istana pula Hari itu, Ki Tumenggung masih saja dicengkam oleh kegelisahan. Rasa-rasanya hubungannya dengan seluruh keluarganya telah terputus. Ketika makan sudah disiapkan, Ki Tumenggung sama sekali tidak mau menyentuhnya.
Nyi Tumenggung dan kedua anaknyapun berusaha untuk tidak menimbulkan persoalan dirumah. Mereka sadar, bahwa setiap saat jantung Ki Tumenggung itu akan dapat meledak. Di hari berikutnya, adalah hari pasowanan. Kangjeng Sultan akan hadir dipaseban. Para Pangeran, Sentana, Nayaka Praja dan orang-orang terdekat dilingkungan istana serta para pejabat tinggi istana harus menghadap. Betapapun kegelisahan mencengkam jiwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada, namun ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya Jika ia tidak dapat menghadap di hari pasowanan itu, maka akan dapat timbul prasangka buruk atas dirinya. Apalagi karena baru saja Pangeran Benawa mengambil cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu dari rumahnya. Pada saatnya, maka Kangjeng Sultanpun telah hadir dipaseban. Seperti biasanya, Kangjeng Sultan mendengarkan beberapa laporan serta berbicara langsung dengan para pejabat tinggi istana. Para pengeran serta para sentana. Namun seperti biasa hanya beberapa orang sajalah yang berbicara dalam paseban yang dilakukan setiap selapan hari sekali. Paseban yang nampaknya lebih banyak diselenggarakan sekedar memenuhi tatanan. Sedangkan pembicaraan-pembicaraan yang sebenarnya justru lebih banyak dilakukan dalam pasowanan khusus serta pertemuanpertemuan di lingkungan istana yang lebih kecil lingkupnya. Beberapa orang yang hadir dalam paseban agung itu justru telah mengantuk. Sedangkan Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih banyak merenung tentang dirinya sendiri. Beberapa orang yang berbicara di paseban agung itu adalah para pejabat tinggi yang lebih banyak memberikan laporan tentang keadaan rakyat Pajang. Rakyat Pajang yang hidup dalam suasana yang aman, tenteram dan damai. Tidak ada seorangpun yang merasa tidak puas. Kehidupan yang baik serta kesejahteraan yang tinggi membuat Pajang dikagumi oleh orang-orang manca negara yang sempat berkunjung ke Pajang.
Pangeran Benawa yang ikut mendengarkan laporan-laporan itu mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali ia mendengar laporan betapa Pajang dikagumi orang dari manca negara, jantungnya menjadi berdebar-debar. "Apa yang dikagumi?" bertanya Pangeran Benawa didalam hatinya. Tetapi Pangeran Benawa melihat Kangjeng Sultan mengangguk-angguk puas. Semua laporan sangat menyenangkan hatinya serta memberikan kebanggan kepadanya. Beberapa saat kemudian, para pejabat tinggi yang berkewajiban memberikan laporan telah selesai. Orang-orang yang terkantuk-kantuk justru terbangun. Mereka berharap bahwa paseban akan segera berakhir, sehingga mereka dapat keluar dari bangsal yang terasa menjadi semakin panas itu. Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang duduk dibaris-baris belakang melihat Harya Wisaka duduk dengan kepala tunduk. Sebenarnyalah Harya Wisaka menunggu, apakah dalam paseban agung itu akan disebut-sebut pula tentang cincin kerajaan yang hilang itu. Dalam suasana yang lesu itu, tiba-tiba beberapa orang terguncang jantungnya. Kangjeng Sultan sendiri kemudian berkata "Aku mengucapkan lerima-kasih atas kesetiaan kalian. Pekerjaan yang baik hendaknya kalian teruskan, sedangkan yang tidak baik, dapat kalian tinggalkan. Dalam kesempatan ini, aku, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang bertahta di Pajang, ingin memberikan penghargaan dan ganjaran kepada seorang anak muda yang telah berjasa kepada keluarga istana yang juga berarti berjasa bagi Pajang. Anak muda itu bernama Paksi" Orang-orang yang semula acuh tidak acuh saja, tiba-tiba seperti terbangun dari tidur. Apalagi Ki Tumenggung Sarpa Biwada Ki Tumenggung itu terkejut bukan kepalang. Paksi telah mendapat penghargaan dan ganjaran. "Tentu karena ia dapat membawa kembali cincin kerajaan itu" berkata Ki Tumenggung didalam hati "kenapa bukan aku
saja yang mengaku telah membawa cincin itu kembali setelah aku tidak mempunyai pilihan lain" Namun dahinyapun kemudian berkerut ketika Kangjeng Sultan itu melanjutkan "Anak muda yang bernama Paksi Pamekas itu telah membantu dan bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan puteraku, Pangeran Benawa yang mengalami kecelakaan yang berat ketika puteraku itu sedang mengembara melihat-lihat kenyataan hidup di padesan" Jantung Ki Tumenggung Sarpa Biwada seakan-akan hampir meledak. Rasa-rasanya ia ingin berteriak mengatakan bahwa ialah yang telah membawa cincin kerajaan kembali ke Pajang. Dalam pada itu, Kangjeng Sultanpun berkata "Pangeran Benawa, Katakan apa yang telah terjadi atasmu" "Hamba ayahanda" jawab Pangeran Benawa "mohon perkenan ayahanda" "Katakan" Pangcran Benawa itupun kemudian berceritera bahwa ia telah tergelincir di jurang yang dalam di kaki Gunung Merapi "Untunglah bahwa anak muda yang bernama Paksi Pamekas dengan berani menuruni tebing jurang yang terjal itu. Iapun mengalami kecelakaan. Tetapi keadaannya jauh lebih baik dari kedaanku sendiri, sehingga ia sempat membawa aku pergi dari jurang itu dengan mengambil arah perjalanan yang lain. Ia masih sempat mencari air, menitikkan dibibirku. Memampatkan darah yang mengalir dari luka-lukaku dengan daun metir dan sawang kemladean yang sempat dicarinya disemak-semak" Mereka yang ada di paseban itupun mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Namun Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwadalah yang menjadi sangat gelisah. "Permainan gila" geram Harya Wisaka "cincin itu agaknya masih disembunyikannya. Namun kegelisahaan Harya Wisaka itu memuncak ketika ia melihat Pangeran Benawa itu menyembah ayahandanya. Cincin bermata tiga itu dikenakannya di jari-jari manisnya
"Apakah aku yang sudah menjadi gila?" bertanya Harya Wisaka kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Harya Wisaka, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun menjadi sangat bingung menanggapi peristiwa yang terjadi itu. Ia tidak tahu pasti, apa yang sedang dihadapinya itu. Namun sebenarnyalah yang mereka lihat, Paksi telah dipanggil untuk menghadap dan menerima langsung ganjaran dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya. "Karena sifatnya sebagai seorang kesatria sejati yang bersedia berkorban untuk keselamatan orang lain tanpa pamrih, maka kepada Paksi Pamekas telah aku anugerahkan sebilah keris dengan sekampil uang. Aku tahu, bahwa kau tidak mengharapkannya. Tetapi aku titahkan kepadamu untuk menerimanya. Kau tidak dapat menolak ganjaran dari seorang raja, karena ganjaran itu akan mendatangkan keberuntungan yang berlipat ganda bagimu" Paksi menerima ganjaran itu tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun. Iapun tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya, sehingga ia justru mendapat ganjaran. Namun Harya Wisaka itupun berkata didalam hatinya "Ternyata Pangeran Benawa sudah mempermainkan ayahandanya. Jika saja Kangjeng Sultan mengetahui bahwa ia termasuk sasaran permainan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan sangat marah" Tetapi Harya Wisaka tidak melihat jalan untuk menyampaikan kepada Kangjeng Sultan bahwa Kangjeng Sultan itu sudah dipermainkan oleh puteranya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun berkata didalam hatinya "Tentu laporan Pangeran Benawa kepada Kangjeng Sultan tidak sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Pangeran Benawa merasa sangat berterima-kasih bahwa cincin itu telah kembali kepadanya atau Paksi benar-benar telah menolongnya" Jantung Ki Tumenggung itupun terasa berdegup semakin cepat. Bahkan iapun mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri
"Apakah kedatangan Paksi membawa cincin itu memang satu permainan bersama antara Paksi dan Pangeran Benawa?" Tetapi Ki Tumenggungpun bertanya kepada diri sendiri "Tetapi dimana mereka saling mengenal?" Tetapi baik Ki Tumenggung Sarpa Biwada maupun Harya Wisaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Setelah menyerahkan ganjaran kepada Paksi, maka Kangjeng Sultanpun menutup paseban agung itu. Namun Kangjeng Sultan itu sempat berkata kepada mereka yang datang menghadap "Ayah Paksi, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tentu ikut merasa bahagia pula hari ini bahwa anak laki-lakinya telah mendapat ganjaran. Tetapi lebih dari itu, adalah satu kebanggan orang tua bahwa anaknya memiliki sifat seorang kesatria sejati" Beberapa orang telah berpaling kearah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Memang ada sepercik kebanggaan. Tetapi kebanggaan itu segera larut. Ketika ia mengatakan kepada Pangeran Benawa bahwa Paksilah yang telah membawa cincin kerajaan itu pulang, justru ia berharap bahwa anaknya akan mendapat hukuman. Ia dapat dituduh mencuri cincin yang hilang itu. Pada saat Pangeran Benawa datang untuk mengambil cincin itu, Paksi telah mencoba untuk ingkar. Tetapi yang terjadi justru Paksi mendapat penghargaan sebagai seorang kesatria serta ganjaran sebilah keris bersama wrangkanya serta sejumlah uang. Dalam pada itu, sejenak kemudian, paseban agung itu telah ditutup. Setelah Kangjeng Sultan meninggalkan bangsal, mereka yang menghadappun segera meninggalakan paseban itu pula. Beberapa orang sempat mengucapkan selamat kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun ketika mereka juga ingin mengucapkan selamat kepada Paksi, ternyata Paksi sudah tidak ada di paseban. Dalam pada itu, Harya Wisakapun telah mendekati Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Dengan nada berat Harya Wisaka
itupun berdesis "Satu permainan yang menarik. Apakah kau terlibat dalam permainan ini?" "Tidak" jawab Ki Tumenggung "Aku justru menjadi salah seorang yang telah dipermainkan" "Tetapi sikapmu terhadap anak laki-lakimu aneh" Ki Tumenggung memandang Harya Wisaka dengan kerut didahi. Namun Harya Wisakapun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Ki Tumenggungpun kemudian meninggalkan istana itu dengan hati yang semakin risau. Ia tahu, bahwa Paksi tentu akan pulang dengan membawa ganjaran yang telah diterima. Tetapi Ketika Ki Tumenggung itu sampai dirumah, ia masih belum melihat Paksi. Agaknya Paksi itu telah dibawa Pangeran Benawa ke Kasatrian dan berada disana beberapa lama. Sebenarnyalah Paksi memang berada di Kasatrian. Di Kasatrian Paksi bukan saja berbincang dengan Ki Marta Brewok dan Pangeran Benawa, tetapi hadir juga di kasatrian itu Raden Sutawijaya. Kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Juga permainannya tentang cincin kerajaan yang dibawanya pergi itu. "Sebaiknya Kakangmas Sutawijaya sajalah yang membawa cincin itu. Pada suatu saat aku akan dapat mengalami kesulitan jika aku yang membawanya" "Cincin itu cincinmu adimas" jawab Raden Sutawijaya. "Tidak. Aku belum pernah mendapat limpahan wewenang dari ayahanda" "Bukankah itu hanya menunggu saatnya saja?" desis Raden Sutawijaya. Katanya kemudian "Tetapi kita tahu, bahwa banyak orang yang memburu cincin itu. Antara lain adalah paman Harya Wisaka sendiri. Kita berdua mengetahui akan hal itu" "Ya, kakangmas. Ia memburuaku sampai ke kaki Gunung Merapi. Beruntunglah bahwa aku masih juga sempat pulang" "Tentu bukan hanya paman Harya Wisaka yang telah memburu adimas"
"Benar kakangmas. Beberapa perguruan telah berusaha untuk mencari aku dan sudah jemu untuk diperas agar aku menyerahkan cincin itu" Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya "Karena itu, adimas jangan pergi kemana-mana. Sebaiknya untuk sementara adimas tetap saja berada di istana" Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya "Aku merasa seperti seekor burung didalam sangkar. Aku tidak betah, kakangmas" "Bagaimana jika adimas mohon kepada ayahanda, agar cincin itu disimpan di bangsal pusaka saja seperti sebelum cincin itu dinyatakan hilang" "Aku sudah menghadap ayahanda dan mengatakan bahwa cincin itu sudah aku ketemukan. Tetapi ayahanda nampaknya tidak begitu mempedulikan" "Apa kata ayahanda?" "Ayahanda tidak begitu menanggapinya. Menurut ayahanda, memang akulah yang membawa cincin itu. Ayahanda justru memerintahkan agar aku menyimpan cincin itu baik-baik" "Nah, bukankah itu sudah satu limpahan wewenang kepada adimas, bahwa cincin itu milik adimas?" "Tidak kakangmas. Ada bedanya. Ayahanda berkata `Bawa saja cincin itu dahulu" Raden Sutawijaya tertawa. Katanya "Jangan terlalu risau. Bawa saja cincin itu. Jika cincin itu kau letakkan di bangsal pusaka, maka cincin itu akan benar-benar hilang. Mungkin diambil seseorang dengan kekerasan. Tetapi jika cincin itu ada di jari adimas Pangeran Benawa, tidak akan ada seorangpun yang dapat mengambilnya" "Aku justru akan menjadi sasaran orang-orang yang mencari cincin itu" "Sudah aku katakan, jangan meninggalkan kasatrian. Setidak-tidaknya untuk sementara"
"Tetapi siapakah sebenarnya yang meniup-niupkan berita bahwa siapa yang memiliki cincin ini akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini?" "Siapapun yang mula-mula meniupkan berita itu, namun sekarang setiap orang sudah mempercayainya" "Sementara ayahanda sama sekali tidak menghiraukannya. Seharusnya ayahanda menyadari, bahwa hal ini akan dapat mengguncang ketenangan Pajang" "Aku sudah mencoba menjelaskan. Tetapi ayahanda menganggap bahwa persoalannya adalah persoalan kecil saja. Ayahanda minta aku tidak terlalu memikirkannya" Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian " Jika saja ayahanda tahu apa yang aku lihat. Orang-orang itu memburu Pangeran Benawa seperti seorang sedang memburu tupai" "Sekali lagi aku nasehatkan, jangan meninggalkan kasatrian untuk sementara" "Bukan sekedar tentang aku sendiri, kakangmas. Tetapi tentang orang-orang yang ingin memiliki cincin bermata tiga itu. Beberapa perguruan telah mengerahkan murid-muridnya. Yang satu berbenturan dengan yang lain. Mereka saling mencurigai dan bahkan benturan-benturan kekerasan sudah sering ter-jadi" "Mulai hari ini akan tersebar berita bahwa Pangeran Benawa sudah berada di istana. Dengan demikian mereka akan berhenti bertengkar. Tidak ada lagi yang dipertengkarkan" "Tetapi paman Harya Wisaka?" "Nah, kita sekarang tinggal mengamati paman Harya Wisaka. Kau harus berhati-hati terhadap paman Harya Wisaka yang kita tahu, sangat licik. Sebenarnya paman Harya Wisaka adalah seorang yang pintar, ia banyak memilki pengetahuan dan akal. Tetapi kepandaiannya dan kecerdikannya telah disalah gunakan" "Kakangmas. Ki Tumenggung Sarpa Biwada agaknya telah bekerja-sama dengan paman Harya Wisaka"
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Paksi, maka dilihatnya wajah Paksi yang tegang. "Maaf Paksi" berkata Pangeran Benawa "aku tidak sedang mengada-ada. Tetapi bahwa Harya Wisaka datang ke rumahmu pada saat cincin itu kau serahkan kepada ayahmu, telah mengundang kecurigaanku" Paksi mengangguk dalam-dalam. Katanya "Hamba dapat mengerti, Pangeran" "Karena itu, aku ingin minta kau pulang" Paksi mengangguk lagi sambil menjawab "Hamba Pangeran" "Sebenarnya aku merasa berat untuk membebani tugas yang aku sendiri merasa ragu, apakah kau mampu memikulnya" Paksi menundukkan kepalanya. Ia sudah menduga, tugas apakah yang akan dibebankan kepadanya. "Paksi" berkata Pangeran Benawa selanjurnya "aku ingin minta kepadamu untuk mengamati hubungan antara ayahmu dengan Harya Wisaka" Paksi tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat baginya. Bagaimanapun juga, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu adalah ayahnya, apakah ia akan dapat mencegahnya" Raden Sutawijaya agaknya dapat membaca gejolak perasaan Paksi. Karena itu, maka iapun berkata "Kau tidak usah bertindak sendiri, Paksi. Kau hanya berkewajiban untuk melaporkannya kepada adimas Pangeran Benawa" Paksi mengangguk. Tetapi di wajahnya memancar keraguraguan yang mencengkam. "Paksi" berkata Ki Marta Brewok "pengawasan itu sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada Harya Wisaka. Bukan kepada ayahmu, meskipun pelaksanaannya memang harus dilakukan kepada kedua-duanya. Yang berniat buruk adalah Harya Wisaka. Ayahmu hanya terlibat saja. Meskipun hal itu tidak dapat terjadi jika ayahmu tidak bersedia bekerjasama"
Paksi menarik nafas panjang. Terdengar iapun berdesis "Aku mengerti, guru" "Nah, jika demikian, aku berharap bahwa kau dapat melakukannya dengan baik" berkata Pangeran Benawa "namun kau harus menyadari, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu tinggi dan tangkas berpikir. Karena itu kau harus berhati-hati" "Hamba Pangeran" Paksi mengangguk. "Dalam keadaan tertentu, Harya Wisaka dapat berbuat sangat kejam" berkata Pangeran Benawa kemudian "kau telah melihatnya sendiri, apa yang pernah dilakukannya" "Hamba Pangeran" "Nah, dengan demikian, kau tidak saja harus mengamati hubungan ayahmu dengan Harya Wisaka. Tetapi mungkin sekali kau harus bertindak dalam keadaan yang sangat mendesak. Jika ayahmu membuat Harya Wisaka kecewa, maka Harya Wisaka tentu tidak akan segan-segan menyingkirkannya" berkata Ki Marta Brewok kemudian. "Ya, guru" "Berhati-hatilah" pesan Pangeran Benawa. Paksi mengangguk lagi. Tetapi diwajahnya masih nampak keragu-raguan. Bahkan kemudian dengan nada berat iapun bertanya "Apa yang harus hamba lakukan, jika hamba harus pergi lagi dari rumah" Hamba tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh ayah. Kadang-kadang hamba merasa bahwa rumah itu bukan lagi rumahku" Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya Ayahmu memang aneh, Paksi. Tetapi untuk sementara kita berharap bahwa kau tidak akan pergi dari rumahmu" "Hubungan yang membingungkan" desis Raden Sutawijaya "namun bagaimanapun juga, aku kagum akan sikapmu. Apapun yang dilakukan oleh ayahmu terhadapmu, kau tetap bersikap sebagai seorang anak yang baik" Paksi tidak menjawab. Memang kadang-kadang timbul persoalan didalam dirinya, apakah ia harus bersikap lain terhadap ayahnya. Namun sejak kecil Paksi sudah diajar untuk
mematuhi segala perintah ayahnya itu. Meskipun kadangkadang ia tidak tahu apakah perintah itu wajar atau tidak. Tetapi ayahnya adalah seorang raja dirumahnya. Apapun yang dilakukan tidak seorangpun yang dapat mencegahnya. Sedangkan apa yang dikatakan adalah kebenaran bagi seisi rumahnya. "Paksi" berkata Ki Marta Brewok kemudian "apapun yang pernah dilakukan oleh ayahmu, ia tetap ayahmu. Kau harus patuh kepadanya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak dapat menyatakan pendapatmu. Tentu saja sekedar masukan bagi ayahmu. Keputusan terakhir memang ada di tangan ayahmu. Meskipun demikian setelah kau dewasa penuh, maka kaupun dapat mendengarkan kata nuranimu sendiri. Kau dapat berpijak pada landasan keyakinanmu untuk menanggapi setiap persoalan yang timbul. Namun semua itu tidak akan dapat menghapuskan hubungan antara anak dan ayah pada tempatnya masing-masing" Paksi mengangguk-angguk. Sementara Pangeran Benawapun berkata "Pulanglah Paksi. Ibumu tentu menjadi sangat gelisah menunggumu. Kita tidak tahu, apakah ayahmu sempat menceriterakan bahwa di paseban, kau justru telah mendapat ganjaran dari Kangjeng Sultan. Bukan hukum gantung atau hukum pancung. Sebenarnyalah malam itu aku juga menjadi bingung. Aku tidak mengira bahwa tiba-tiba ayahmu menyebut namamu. Bahkan ayahmu telah menunjuk bahwa kaulah yang telah membawa cincin itu pulang" Paksi mengangguk dalam-dalam. Namun kemudian katanya "Tetapi bagaimana dengan ganjaran uang yang sekampil ini" Keris yang hamba terima merupakan ganjaran dan sekaligus penghargaan yang tidak ternilai bagi hamba. Tetapi uang itu justru membingungkan hamba" "Kenapa kau menjadi bingung" uang itu adalah uangmu" "Tetapi hamba tidak melakukan apa-apa. Apalagi menyelamatkan Pangeran" "Paksi" sahut Pangeran Benawa "yang kau lakukan jauh lebih besar dari sekedar menolong aku yang terperosok
kedalam jurang dengan memeprtaruhkan nyawamu. Jauh lebih besar dari itu. Tanpa kehadiranmu bersamaku, aku sudah menjadi lumat oleh orang-orang yang memburu cincin itu" "Pada kenyataannya justru Pangeranlah yang telah menyelamatkan hamba" "Tidak. Atau katakanlah, kita sudah bekerja bersama. Kau tidak usah membayangkan bahwa jurang itu adalah sebuah lekuk yang dalam dan berdinding batu-batu padas yang runcing. Tetapi jurang dapat berujud apa saja, sementara aku terperosok kedalamnya" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Uang didalam kampil itu terlalu banyak" "Paksi" berkata Raden Sutawijaya "Pangeran Benawa adalah putera seorang Raja. Kau tahu, berapa besarnya kekayaan seorang raja. Nah, kau akan tahu bahwa uang didalam kampil itu tidak berarti apa-apa bagi seorang Raja" "Tetapi bagi hamba?" "Juga tidak seberapa. Bukan berarti upahmu selama kau bersama-sama dengan adimas Pangeran Benawa. Tetapi sekedar ucapan terima-kasih dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya" Paksi menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa berkata "Paksi, selain sebilah keris sebagai penghargaan yang diberikan karena sifat kesatriamu, sekampil uang sekedar pernyataan terima-kasih, maka aku juga ingin memberikan seekor kuda yang baik buatmu" "Seekor kuda?" bertanya Paksi dengan nada tinggi. "Ya. Aku tahu dirumahmu sudah ada beberapa ekor kuda, Tetapi kuda-kuda itu adalah milik ayahmu. Sekarang kau sendiri akan memiliki seekor kuda pula" Paksi memandang Pangeran Benawa dengan sinar mata yang berkilat-kilat. Sebenarnyalah ia memang ingin memiliki seekor kuda. Diam-diam ia memang sering naik kuda milik ayahnya jika ayahnya tidak ada dirumah. Tetapi jika ayahnya mengetahuinya, maka ayahnya akan selalu menjadi sangat marah. Bahkan Paksi pernah mendapat hukuman karena ia
membawa seekor kuda berkeliling kota. Untunglah adikadiknya tidak pernah melaporkannya kepada ayahnya jika Paksi setiap kali membawa kudanya keluar. Demikian pula para pembantu dirumahnya. Tetapi memang pernah terjadi, ayahnya sendiri secara kebetulan melihatnya langsung ketika ayahnya sedang bertugas. Meskipun demikian, sekali-sekali memang ayahnya memberinya kesempatan untuk berkeliling kota dialas punggung kuda, meskipun jarang sekali terjadi. Bahkan kadang-kadang bersama adik laki-lakinya. Hari itu, Paksi telah diperkenankan pulang dengan naik seekor kuda yang besar dan tegar berwarna kelabu. Kuda yang sangat baik menurut penilaian Paksi. "Terima-kasih Pangeran" berkata Paksi berulang kali. Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi sambil berkata "Paksi. Masih ada kewajibanmu. Kau masih harus menuntaskan ilmumu, agar kau tidak dapat lagi dihanyutkan oleh ilmu cleret Tahun itu" Paksi mengerutkan dahinya, sementara Ki Marta Brewok berkata selanjurnya "Kau jngat, bahwa kau pernah diangkat oleh angin pusaran?" Paksi mengangguk kecil. Namun kemudian jantungnya telah dicengkam oleh kegelisahan sebelum ia memasuki halaman rumahnya. -ooo00dw00ooo Jilid 16 NAMUN Paksi memang harus pulang. Dengan demikian ibunya akan menjadi tenang. Iapun harus memberikan laporan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi di paseban meskipun ayahnya itu melihatnya langsung. Sejenak kemudian, Paksipun berjalan menuntun kudanya di halaman rumahnya. Kuda berwarna kelabu yang besar dan tegar. Kuda-kuda ayahnya tidak ada yang sebaik kuda yang diterimanya dari Pangeran Benawa itu.
Jantung Paksi menjadi semakin berdebar ketika ia melihat ayahnya berdiri di pendapa sambil beitolak pinggang. Dengan lantang ayahnya itu bertanya "Dari mana kau curi kuda itu?" Paksi berhenti di halaman. Kemudian iapun menjawab "Hadiah dari Pangeran Benawa, ayah" "Bukankah kau sudah menerima ganjaran dari Kangjeng Sultan sendiri?" "Ya, ayah" "Kenapa kau menerimina hadiah juga dari Pangeran Benawa?" "Entahlah. Aku tidak tahu, ayah" Ayahnya itupun kemudian turun dari pendapa sambil bertanya "Apakah kau dan Pangeran Benawa sengaja mempermainkan aku?" "Tidak, ayah. Sama sekali tidak" "Jika suatu saat aku tahu, bahwa kau dan Pangeran Benawa telah mempermainkan aku, maka kau akan sangat menyesal. Pangeran Benawapun akan menyesal karena aku akan memberitahukan kepada Kangjeng Sultan. Kangjeng Sultan tentu juga merasa sudah dipermainkan pula. Kangjeng Sultan tentu akan bertanya, kenapa cincin itu dapat terlepas dari Pangeran Benawa dan jatuh ketanganmu, apapun yang kau ceriterakannya" "Tetapi aku sama sekali tidak mempermainkan ayah. Aku telah melakukan apa yang harus aku lakukan sesuai dengan perintah ayah" Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian dengan serta merta telah berbalik dan kembali naik ke pendapa. Dan bahkan langsung masuk keruang dalam. Paksipun kemudian membawa kudanya ke belakang. Masih ada tempat di kandang kuda. Seorang pekathik, laki-laki yang rambutnya sudah mulai memutih, datang mendekatinya. Sambil mengamati kuda berwarna kelabu itu iapun berkata "Kuda yang sangat bagus. Raden" "Pemberian Pangeran Benawa, paman"
"Pangeran Benawa?" "Ya, paman" "Pantas sekali, Pangeran Benawa adalah seorang penggemar kuda. Ia mempunyai beberapa ekor kuda. Tentu semuanya kuda yang sangat bagus seperti kuda ini. Beruntung raden mendapat hadiah seekor kuda dari Pangeran Benawa" Paksi tersenyum. Katanya "Aku titipkan kuda itu kepada paman" "Aku memang pekathik disini. Jangan cemas. Aku akan memelihara kuda ini sebaik-baiknya seperti aku memelihara kuda-kuda Ki Tumenggung. Kuda ini akan menjadi kuda terbaik di rumah ini" Paksi masih tersenyum. Katanya "Aku memang beruntung, paman" Paksipun kemudian telah menyerahkan kudanya kepada pekatik itu. Sekilas ia mengamati kuda-kuda lain yang sudah ada di kandang. Agaknya kudanya memang menjadi kuda terbaik" Ketika kemudian Paksi masuk keruang dalam lewat serambi samping, maka ibunya telah mendapatkannya. Dipeluknya anaknya itu sambil berkata "Bukankah kau tidak dihukum, Paksi?" "Tidak, ibu. Ternyata Kangjeng Sultan tidak menghukum aku. Aku justru mendapat beberapa macam ganjaran" "Ganjaran" Ah, berkatalah sebenarnya" "Ya ibu. Aku memang mendapat ganjaran" Paksipun kemudian telah menceriterakan hadiah-hadiah yang diterimanya. Sebilah keris. Uang dan Pangeran Benawa memberinya pula seekor kuda yang sangat baik. "Benar begitu?" "Ya. Ayah juga menyaksikannya, kecuali kuda itu" "Ayahmu tidak bercerita kepadaku" "Mungkin belum" Wajah Nyi Tumenggung itu nampak tereiut. Namun kemudian Nyi Tumenggung itupun telah mencoba tersenyum
sambil berkata "Kau harus bersukur, Paksi" " Ya, ibu. Aku memang harus bersukur" "Sang Pencipta akan selalu melindungimu" desis ibunya. Namun didalami hatinya ibunya itupun berkata bukan salahmu, Paksi. Tetapi ayahmu itu telah membencimu" Dalam pada itu, maka Paksipun kemudian telah berkata "Ibu, aku mohon ibu bersedia menyimpan uang ganjaran yang aku terima. Ketika aku pergi, ibu telah membelikan banyak sekali bekal kepadaku" "Tetapi bekal itu telah kau kembalikan, Paksi. Perhiasanperhiasan itu masih utuh. Bahkan bekal uang yang kau bawapun masih tersisa" "Tetapi aku mohon ibu bersedia menerima dan menyimpannya. Pada suatu saat kita akan memerlukannya" Ibunya mengangguk. Diterimanya sekampil uang yang berat yang diterimanya dari Kangjeng Sultan. "Keris ini akan aku simpan sendiri, ibu" Ibunya mengangguk-angguk. Diamatinya keris yang diterima sebagai ganjaran oleh Paksi itu. Keris yang terselip didalam wrangkanya yang terbuat dari emas. Pada hulu keris itu terdapat beberapa butir permata yang berkilat-kilat. "Keris yang sangat mahal" desis ibunya. "Ya, ibu" "Tetapi keris itu tentu bukan sekedar ganjaran, Paksi" "Maksud ibu?" "Bahwa kau menerima ganjaran sebilah keris itu adalah lambang, bahwa kau telah dibebani pula tanggung-jawab" Wajah Paksi menegang. Dengan dahi berkerut iapun bertanya "Maksud ibu?" "Bukankah kau menerima keris itu karena kau dianggap sebagai seorang kesatria sejati?" "Ya, ibu" "Nah, kewajiban seorang kesatria sejali tidak berhenti sampai saatnya ia menerima ganjaran. Bahwa Kangjeng Sultan menganugerahkan sebilah keris itu, tentu dengan
maksud untuk melestarikan sifat-sifat kesatria didalam dirimu beserta sebuah tanggung-jawab yang berat. Setelah kau menerima ganjaran keris itu, kau tidak dapat membelakangi sifat-sifat kesatria itu" Paksi mengangguk-angguk. Ia baru menyadari, bahwa ganjaran itu bukan ganjaran yang diterimanya karena perbuatannya dan jasa yang telah lewat itu saja. Tetapi ternyata ibunya benar. Keris itu adalah beban yang terletak di pundaknya. "Kenapa Ki Marta Brewok tidak mengatakannya?" bertanya Paksi didalam hatinya. Untunglah bahwa ibunya sempat menterjemahkan maksud Kangjeng Sultan dengan ganjarannya. "Karena itu, Paksi" berkata ibunya selanjutnya "kau justru harus menjaga agar sifat-sifat itu tetap ada padamu dan yang lebih penting kau amalkan" Paksi mengangguk sambil berdesis "Semoga ibu. Aku mohon restu" Ibunya menepuk bahu anak laki lakinya. Katanya "Aku akan berdoa untukmu, Paksi" lbunyapun kemudian lelah masuk kedalam biliknya. Disimpannya uang Paksi dengan baik bersama perhiasanperhiasannya yang telah dikembalikan oleh Paksi. Bahkan Ki Tumenggungpun tidak akan mudah menemukannya. Dalam pada itu, ketika hal itu didengar oleh kedua adiknya, maka keduanya menjadi bangga Keduanya telah menemui Paksi untuk mendengar langsung, bagaimana Paksi menerima ganjaran itu langsung dari Kangjeng Sultan. "Kau tentu berdebar-debar, kakang?" bertanya adiknya perempuan. Paksi tertawa. Katanya "Tentu. Sedangkan untuk berada di paseban aku sudah menjadi gemetar" "Untung, keris dan kampil uang itu tidak terjatuh pada saal kakang menerimanya. Jika kampil uang itu terjatuh dan uangnya bertaburan, maka Kangjeng Sultan akan menjadi ikut
sibuk memungut dan mengumpulkan uang itu" sahut adiknya laki-laki. Paksi tertawa. Kedua adiknyapun tertawa. "Kak" bisik adiknya "belikan aku cincin, ya kak" "Cincin mas bermata tiga. Tidak usah seperti cincin kerajaan. Cincin dengan mata apapun aku mau" "Ah, kau" potong adik laki-laki Paksi "cincin itu tidak penting. Kakang Paksi akan membelikan aku sebuah busur yang bagus. Aku akan ikut lomba panahan yang diselenggarakan di alun-alun setiap permulaa mangsa ketiga, saat gareng-pung mulai berbunyi di pepohonan" "Terserah saja kau minta busur. Tetapi aku minta cincin" "Baik. Baik" sahut Paksi "aku akan menyampaikannya kepada ibu" "Kenapa ibu?" "Uang itu aku titipkan kepada ibu. Bukankah kalian tahu?" "Ya. Tetapi aku minta kakang Paksi. Tidak minta ibu" desis adiknya perempuan. Paksi tertawa pula. Katanya "Baik. Baik. Akulah yang akan membelikan kalian" Bagi Paksi, sikap kedua adiknya itu bagaikan titik-titik embun di tanah yang gersang. Jika saja ibunya tidak bersikap lembut dan kedua orang adiknya tidak bersikap manis kepadanya, maka rumah itu bagaikan neraka. Paksi benarbenar tidak tahu, kenapa ayahnya bersikap keras dan balikan kasar kepadanya. Meskipun ayahnya juga bersikap keras terhadap kedua adiknya, tetapi ayahnya itu tidak berbuat kasar kepada mereka. "Aku adalah anak yang sulung" berkata Paksi didalam hatinya "karena itu, agaknya ayah ingin membentuk aku menjadi laki-laki sebagaimana dikehendaki. Aku akan menjadi contoh bagi adikku, sehingga adikkupun akan menjadi laki-laki pula" Paksi manarik nafas. Namun ia tetap tidak dapat mengerti sikap ayahnya itu. Setelah ia mendapatkan ganjaran keris
serta sebutan kesatria dari Kangjeng Sultan, ayahnya sama sekali tidak menjadi bangga karenanya. "Laki-laki seperti apa yang dikehendaki oleh ayah jika bukan seorang laki-laki dengan sifat dan watak seorang kesatria?" Ternyata kemudian Paksi tidak ingkar. Ia telah minta uang kepada ibunya untuk membelikan sebentuk cincin bermata intan tiga butir bagi adik perempuannya serta sebuah busur yang baik serta anak panahnya bagi adiknya laki-laki" "Kau sendiri akan membeli apa Paksi?" Paksi menggeleng. Katanya "Aku tidak akan membeli apaapa ibu. Kebutuhanku sudah tercukupi. Bahkan aku sudah mempunyai sebilah keris dalam pendok emas tretes permata. Bukankah itu sudah berlebihan bagiku?" "Tetapi keris itu kau terima langsung dari Kangjeng Sultan sendiri?" "Bukankah itu sudah cukup?" "Apakah kau tidak melengkapinya dengan kamus beludru dengan timang emas tretes permata?" "Ah" "Uangmu sangat banyak Paksi. Sangat banyak sekali" Paksi tertawa katanya "Aku justru ingin membeli sebuah kalung susun buat ibu" Ibunya tertawa. Katanya "Kau minta aku mengenakan kalung susun?" Paksi tertawa. "Ora nyebut" desis ibu Paksi sambil tertawa semakin panjang "aku akan ditertawakan gadis-gadis kecil. Orang yang umbulnya ubanan masih mengenakan kalung susun" "Apakah kalung susun hanyan boleh digunakan gadis-gadis muda?" "Memang tidak. Tetapi tentu tidak pantas orang setua ibu mengenakan kalung susun" "Jika demikian, peniti renteng"
Ibunya menepuk bahu Paksi, katanya "Kau tahu, aku sudah mempunyai perhiasan cukup banyak. Bahkan yang kau bawapun masih utuh" Paksi tersenyum sambil mengangguk, la tahu, ibunya me ang sudah mempunyai perhiasan cukup banyak dan lengkap. Dalam pada itu, Paksi yang tinggal di rumahnya itu memang kadang-kadang merasa terganggu oleh sikap ayahnya. Namun Paksi berusaha untuk selalu menahan dirinya. Ia hanya menundukkan kepalanya saja jika ayahnya tiba-tiba saja marah kepadanya tanpa sebab. Seperti dahulu, ayahnya selalu menyebutnya sebagai pemalas yang tidak mempunyai gairah hidup sama sekali. "Kau anakku yam sulung, Paksi. Kau harus memberi contoh yang baik bagi adik-adikmu. Selebihnya, anak mereka yang berada dibawah perintahku di Pajang ini tentu akan berkiblat kepadamu" Paksi hanya dapat menunduk saja. Jika kadang-kadang lidahnya menjadi gemetar untuk menjawab, maka dengan susah payah, Paksi mengekangnya. Apapun yang dilakukan, tetapi ia adalah ayahnya. Karena itu, maka Paksi wajib menghormatinya. Dihari-hari berikutnya, Paksi sudah mulai menemui kawankawannya kembali. Seorang saja diantara mereka mendengar dari ayahnya, bahwa anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada menerima ganjaran dari Kangjeng Sultan, maka kawankawannya telah mendengarnya pula. "Siapakah yang mengatakan kepadamu?" bertanya Paksi kepada kawannya yang bertanya langsung kepadanya. "Ayah" jawab kawannya. "Dari mana ayahmu mengetahui?" "Ayah hadir di paseban" Paksi mensarik nafas dalam-dalam. Ayah kawannya itu adalah seorang Rangga. "Hanya satu kebetulan" jawab Paksi. "Jadi selama ini kau telah mengembara?" bertanya kawannya yang lain.
"Ya sekedar untuk menambah pengalaman serta pengenalan atas hijaunya tanah ini" "Bukan main" desis kawannya. Bahkan seorang kawannya berkata "Kalau saja kau mengajak aku. Aku akan ikut bersamamu" "Lebih banyak membuang waktu" "Akhirnya kau mendapat anugerah itu" "Sudah aku katakan. Hanya karena kebetulan saja. Semangkin kita tidak akan dapat berharap bahwa kebetulan itu akan datang beberapa kali kepada kita" "Berapa lama kau mengembara, Paksi?" bertanya kawannya yang lain. "Setahun lebih sedikit" awab Paksi. "Dalam setahun kau banyak sekali berubah. Kulitmu menjadi semakin hitam. Tetapi tubuhmu menjadi semakin kekar. Kau nampak lebih tua dari umurmu yang sebenarnya. Bukankah kita sebaya?" "Ya. Kita sebaya umurku delapan belas sekarang" "Umurku juga delapan, Tetapi kau nampak jauh lebih matang dari kawan kawan sebaya kita" "Aku lebih terbakar oleh pengembaraanku yang berat" "Kau harus mencertitakan apa yang kau alami dalam pengembaraanmu" Paksi tertawa, katanya "Lain kali aku akan menceriterakan pengalaman pengembaraanku, tentu tidak akan menarik. Ceriteraku tentu tidak ada ubahnya seperti sebuah keluhan panjang" Kawan-kawannya tidak mendeksaknya, agaknya Paksi masih sangat letih, jika bukan bandannya tentu batinnya. sehingga ia masih belum sempat berceritera kepada mereka. Dalam pada itu, selama menemui kawan-kawannya, Paksi pun tidak melupakan gurunya Ketika ia berangkat mengembara ia datang menemuinya dan minta diri kepadanya. Karena itu setelah ia pulang, maka ia berniat untuk segera menemuinya.
Gurunya nampak sangat gembira menerima kedatangan Paksi. Dengan sifat kebapaan Paksipun dibimbingnya masuk ke ruang dalam. "Aku senang melihat kau pulang, Paksi" berkata gurunya "bukakah kau baik-baik saja selama kau mengembara?" "Atas doa dan restu guru, aku dalam keadaan baik selama pengembaraanku. Tuhan Yang Maha Penyaang selalu melindungiku. Beberapa kali aku mengalami kesulitan selama aku mengembara. Namun aku selalu mendapat kemampuan untuk mengatasinya" "Kau harus mengucap sukur, Paksi" "Ya, guru. Aku bersukur bahwa aku dapat menghadap guru lagi" Gurunya menepuk bahu Paksi. Katanya "Kau telah berubah setelah setahun mengembara. Tubuhmu menjadi sangat kuat. Sementara itu, pengalamanmu tentu sudah mengasah otakmu sehingga menjadi lebih tajam" "Mudah-mudahan, guru. Tetapi pada dasarnya otakku memang tumpul" Gurunya tertawa. Katanya "Kau ingat ketika kau akan berangkat, kau minta diri kepadaku" "Ya, guru" "Saat itu aku katakan kepadamu, bahwa kau adalah muridku yang terbaik. Aku berharap bahwa kelak kau akan dapat menggantikan kedudukanku setelah aku menjadi tua dan rapuh" "Aku tidak pantas menerima kepercayaan seperti itu, guru" "Kenapa tidak" Jika muridku yang terbaik saja tidak pantas menerima kepercayaan seperti itu, lalu siapakah lagi yang akan pantas menerimanya" Sedangkan jika tidak ada orang yang dapat menggantikan kedudukanku, maka perguruan ini akan berakhir" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tentu ia juga tidak ingin perguruan itu lenyap begitu saja. Tetapi sebenarnyalah, bahwa perguruan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan ujud perguruan yang terbaik menurut angan-angan Paksi. Murid-
murid dari perguruan itu, tidak sepenuhnya anak-anak muda yang memang ingin berguru. Tetapi seolah-olah sekedar memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh orang tua mereka Paksi itu tersadar ketika gurunya kemudian berkata "Hal itu jangan kau pikirkan sekarang, Paksi. Masih banyak waktu. Aku masih dapat memimpin perguruan ini untuk beberapa waktu mendatang sambil mempersiapkan segala sesuatunya menghadapi masa depan perguruan ini" Paksi menarik nafas panjang. Ternyata yang dimaksud gurunya bukan angan-angannya tentang perguruannya, tetapi tentang kepemimpinannya. "Paksi" berkata gurunya kemudian "Setelah lebih setahun kau meninggalkan perguruan ini, aku ingin melihat apakaih pengalamanmu telah mematangkan ilmumu. Jika kau tidak keberatan, aku ingin membawamu ke sanggar" Paksi menjadi berdebar-debar. Ilmunya tentu sudah tidak murni lagi. la telah menyadap ilmu dari seorang guru yang lain, Ki Marta Brewok. Selebihnya seseorang yang tidak dikenalnya telah memberikan pengaruh pula kepada ilmunya. Bahkan ia telah mendapatkan sebuah tongkat yang kemudian dipergunakannya sebagai senjata yang justru menjadi mapan baginya. Paksi tidak mau mengecewakan gurunya selelah berada di sanggar, karena itu, maka sebelum mereka memasuki sanggar, Paksi telah menceritakan perjalanannya yang panjang, ia bercerita tentang tongkatnya, tentang Ki Marta Brewok dan tengtang Pangaeran Benawa yang saat terakhir mengembara bersamanya. Dalam latihan-latihan bersama, mungkin sekali pengaruh ilmu Pangeran Benawa nampak pada ilmunya. Gurunya tersenyum mendengar cerita Paksi, katanya "Kau telah mendapat anugerah yang besar Paksi, kau telah mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmumu, tentu aku sama sekali tidak merasa kecewa. Dengan demikian, maka kau telah mendapat kekayaan baru. Kekayaan baru itu akan berarti pula bagi perguruan kita ini"
"Ya, guru" Paksi mengangguk. "Dengan demikian aku menjadi semakin yakin, bahwa kau akan dapat menjadi pemimpin bagi perguruan ini kelak. Karena itu, kita wajib mempersiapkannya. Aku dan terutama kau" Paksi tidak menjawab bahkan kepalanya tertunduk. Dalam pada itu gurunyapun berkata "Paksi, marilah. Kita akan berada didalam sanggar" Sejenak kemudian, maka Paksipun telah berada didalam sanggar. Sanggar yang kebetulan sedang sepi. Saat tidak seorangpun sedang berada didalamnya. "Paksi" berkata gurunya "aku sebenarnya menjadi jemu dengan isi dari perguruan kita ini" Paksi mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia bertanya "Maksud guru?" "Perguruan ini bukan perguruan yang memenuhi syarat. Baik tatanan yang ditrapkan didalamnya maupun isinya. Mereka yang datang di perguruan ini, bukanlah orang-orang yang diharapkan. Mereka datang untuk sekedar datang tanpa dorongan niat yang mantap" Jantung Paksi terasa berdenyut lebih cepat. Sementara itu gurunya berkata selanjutnya "Anak-anak para perwira prajurit Pajang itu datang karena keinginan orang tua mereka. Memang ada satu dua orang yang berguru dengan bersungguh-sungguh seperti kau sebelum pergi mengembara. Tetapi yang lain datang untuk sekedar agar tidak dimarahi oleh ayah-ayah mereka. Namun dengan demikian, maka tidak ada kesungguhan yang dapat mendorong mereka untuk menggapai ilmu yang lebih tinggi dari sekedar pantas bagi anak seorang perwira prajurit" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ternyata apa yang dipikirkannya itu telah menggelitik jantung gurunya pula. Memang terbersit suatu kebanggaan dihati Paksi, bahwa pikirannya ternyata sejalan dengan pikiran gurunya, sehingga apabila kelak terjadi perubahan tatanan, gurunya akan mempertanggung-jawabkannya.
"Paksi" berkata gurunya selanjutnya "setidak-tidaknya diperguruan ini akan dipisahkan. Siapakah yang bersungguhsungguh dan siapakah yang sekedar ikut-ikutan. Aku, sebagai seorang hamba yang ditunjuk untuk memberikan ilmu dasar bagi anak-anak muda dari lingkungan kepemimpinan prajurit Pajang, akan dapat memberikan laporan lebih terperinci dari anak-anak para perwira itu" Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Ia sependapat sepenuhnya dengan gagasan gurunya itu. Tetapi gurunya tentu tidak akan dapat merubah tatanan perguruan itu dengan serta merta, karena perguruan itu didirikan bagi kepentingan para perwira yang ingin melihat anak-anaknya berilmu. Dalam pada itu, maka guru Paksi itupun kemudian berkata "Nah, sekarang bersiaplah. Aku ingin melihat sejauh manakah peningkatan ilmumu selama setahun lebih ini" Paksipun kemudian telah mempersiapkan dirinya. Dilepasnya bajunya dan disingsingkannya kain panjangnya. "Kau tidak membawa tongkatmu?" bertanya gurunya "Tidak guru" jawab Paksi. "Baiklah. Aku akan menjadi pasanganmu berlatih sekarang, agar dengan demikian aku dapat mengerti sedalam-dalamnya, tetaran ilmumu sekarang. Ingat, agar aku benar-benar dapat menjajaginya, kau harus bersungguh-sungguh. Sejenak kemudian, maka keduanya telah berada di tengahtengah sanggar sementara gurunya berkata pula "Kau dapat mempergunakan apa saja yang ada didalam sanggar ini Paksi. Disini ada beberapa jenis senjata. Disini juga ada beberapa jenis alat-alat yang lain yang dapat kau manfaatkan. Yang penting aku dapat melihat segi-segi kemampuanmu. Kemampuanmu mempergunakan senjata, kesigapanmu memanfaatkan apa saja yang ada di sekelilingmu serta kecepatan penalaranmu menanggapi keadaan yang tiba-tiba" "Aku akan mencoba, guru" Demikianlah, maka keduanyapun segera bersiap. Gurunya itulah yang lebih dahulu memancing agar Paksi mulai bergerak.
Demikianlah keduanyapun segera terlibat dalam latihan yang semakin lama menjadi semakin cepat. Gurunya tidak sekedar menangkis dan menghindar, tetapi sekali-sekali iapun bahkan menyerang. Sekali-sekali bahkan serangan gurunya mengenai tubuhnya, sehingga Paksi menyeringai menahan sakit. Namun dengan demikian, Paksi telah terpancing untuk menegeluarkan kemampuannya. Latihan itupun kemudian berlangsung semakin sengit. Serangan Guru Paksi itu menjadi semakin sering mengenai tubuh Paksi. Kemudian di tempat-tempat yang berbahaya, sehingga Paksi menjadi benar-benar kesakitan. Beberapa kali Paksi berloncatan surut untuk menghidari seranga-serangan yang datang beruntun. Bahkan akhirnya Paksi menjadi terkurung dan tersudut diujung sanggar. Namun serangan-serangan gurunya itu tidak mereda. Dalam keadaa tersudut Paksi menjadi semakin sulit untuk menghindari serangan-serangan gurunya. Beberapa kali Paksi terdorong dan tersandar disudut dinding. Betapapun Paksi berusaha, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari sudut sanggar. Namun tiba-tiba terngiang-ngiang kata-kata gurunya, bahwa ia dapat mempergunakan segalanya yang ada disanggar itu. Ketika serangan gurunya datang lagi membadai, maka tibatiba saja Paksipun meloncat, menggapai palang bambu yang menyilang. Kaki Paksipun segera terayun sementara tubuhnya terlempar beberapa langkah dari sudut sanggar. Gurunya dengan cepat menanggapi sikap Paksi. Iapun segera berputar dan siap meloncat memburu Paksi. Namun demikian ia berputar, maka serangan Paksipun datang dengan derasnya. Kaki Paksi terjulur dengan sepenuh kekuatannya menyerang kearah dada. Gurunya terkejut mendapat serangan yang demikian cepatnya. Namun dengan sigap gurunya menyilangkan tangannya di-dadanya. Ketika terjadi benturan, gurunya surut
setapak. Namun ternyata hanya merupakan ancang-ancang untuk mengerahkan tenaganya, mendorong kaki Paksi yang mengenai tangannya yang bersilang itu. Paksilah yang kemudian terdorong. Kakinya yang membentur tangan gurunya yang bersilang itu seakan-akan telah terpantul dengan kuatnya. Paksi berputar sekali diudara. Kemudian ia jatuh pada kedua kakinya. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka Paksipun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah, gurunya telah menyerangnya pula. Semakin lama serangan-serangannya menjadi semakin sengit. Karena itu, maka Paksipun harus berloncatan menghindar dan sibuk menangkis. Benturan-benturan telah terjadi. Semakin lama semakin sering. Hampir seluruh tubuh Paksi rasa-rasanya telah tersentuh serangan gurunya yang semakin cepat dan keras. Tulang-tulangnya menjadi nyeri sedangkan persendiannya rasa-rasanya menjadi lemah. Namun Paksi tidak dapat berhenti. Gurunya masih menyerangnya terus. Bahkan gurunya semakin lama semakin meningkatkan ilmunya pula. Dengan demikian Paksupun harus mengerahkan kemampuannya, sehingga akhirnya sampai ke kemampuan puncaknya. Dengan demikian maka latihan itu menjadi semakin seru. Dalam puncak kemampuannya, Paksi mampu memberikan perlawanan yang berarti. Bahkan sekali-kali serangan Paksi mampu menyentuh tubuh gurunya. Namun tekanan yang berat membuat Paksi sekali-kali meloncat keatas balok-balok gelugu yang ditanam berdiri tegak dengan ketinggian yang tidak sama, sekali-kali meloncati palang-palang bambu, berayun dan bahkan bergayut pada kerangka atap sanggar itu. Tetapi dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya, maka keringat Paksi seakan terperas dari tubuhnya. Latihan itu masih berlangsung beberapa lama, keduanya berloncatan di dalam sanggar dari satu sudut ke sudut yang
lain. Dari patok-patok yang ditanam tegak ke palang-palang bambu yang terbujur mendatar. Bergayut dan berayun, melenting dan berputaran di udara. Ketika tenaga Paksi mulai menyusut, maka seranganserangan gurunyapun mulai mereda, bahkan kemudian menjadi semakin lamban, sehingga berhenti sama sekali. Paksi berdiri dengan nafas terengah-engah, namun ternyata bahwa penjajagan itu masih belum selesai, dengan nada berat gurunyapun berkata "Paksi, ambil senjata apa saja yang kau inginkan" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun agaknya gurunyapun bersungguh-sungguh. Bahkan ketika Paksi masih berdiri termangu-mangu, maka gurunyalah yang lebih dahulu mengambil senjata. Sebuah pedang yang tidak terlalu panjang. "Cepat. Aku akan segera mulai. Jika kau terlambat, bukan tanggung jawabku" Untuk beberapa saat Paksi masih termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja gurunya meloncat sambil menjulurkan pedangnya langsung kearah dada. Paksi memang agak terkejut. Namun dengan tangkasnya iapun meloncat kesamping. Sebelum gurunya menyerang lagi, maka Paksipun segera meloncat memungut senjata yang berada disudut sanggar. Sebuah tongkat. Agaknya karena kebiasaannya ia bersenjata tongkat, maka diluar sadarnya, iapun telah memungut tongkat pula dari antara kumpulan senjata itu. Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi dalam latihan yang berat, sementara tenaga Paksi sudah mulai menyusut. Sedangkan serangan-serangan gurunya justru datang membadai. Dengan mengerahkan daya tahannya, Paksi memberikan perlawanan sejauh dapat dilakukan. Bahkan sekali-sekali Paksi sempat juga menyerang. Seperti kata gurunya, ia memang harus bersungguh-sungguh.
Namun akhirnya, gurunya telah meloncat mengambil jarak. Dengan tangannya gurunya memberikan isyarat untuk menghentikan latihan yang berat itu. Nafas Paksi menjadi semakin deras mengalir. Namun gurunyapun kemudian memberikan isyarat pula kepadanya, untuk mengatur pernafasannya sebagaimana dilakukan oleh gurunya. Baru beberapa saat kemudian, gurunya itupun berdesis "Luar biasa, Paksi. Dalam waktu setahun, ilmumu sudah maju demikian pesatnya. Seandainya kau hanya berguru kepadaku, aku tidak akan sanggup mendorongmu untuk melakukan loncatan sepanjang yang lelah kau lakukan" Paksi tidak menjawab. Kepalanya menunduk. Dengan nada berat Paksi berkata "Aku mohon guru menunjukkan kepadaku, apakah yang sebaiknya aku lakuan" Gurunya menepuk bahu Paksi sambil berkata "Kau akan sering datang di sanggar ini lagi, Paksi. Karena itu, aku tidak tergesa-gesa untuk berbicara tentang langkah-langkah yang harus kau lakukan. Tetapi kau telah membuat aku semakin yakin, bahwa kau harus dipersiapkan untuk memimpin perguruan ini di masa mendatang. Tetapi seperti aku katakan, perguruan ini harus berubah. Paksi tidak segera menyahut. Tetapi kepalanya justru menunduk semakin dalam. "Nah, beristirahatlah Paksi. Aku justru menjadi kagum kepadamu. Bukan saja kemampuanmu dalam olah kanuragan sudah menjadi mapan, kaupun sudah mendalami laku untuk menguasai yang tinggi. Kau tentu tidak akan mempergunakan dalam latihan penjajagan ini. Tetapi aku dapat menangkapnya, karena kau memerlukan waktu untuk mematangkan ilmu itu. Kau tentu dapat melakukannya meskipun orang yang kau salah seorang gurumu itu tidak berada disini sekarang. Namun mungkin aku dapat membantumu" "Guru" berkata Paksi selanjutnya "Orang yang aku sebut bernama Ki Marta Brewok itu berada di istana"
"Di istana?" "Ya, di kesatriaan" Dengan demikian kau masih dapat menghubunginya, aku akan menyediakan sanggarku bagimu untuk menyempurnakan ilmumu bersama Ki Marta Brewok, aku akan dapat membantumu sampai ke tempat yang tertinggi" Paksi mengangguk-angguk hormat sambil berkata "Terima kasih guru, aku memang masih dapat menghubungi Ki Marta Brewok. Tetapi apakah aku masih akan dapat selalu datang ke sanggar, inilah yang merisaukan aku" "Kenapa?" "Guru, ayahku kadang-kadang bersikap aneh. Aku tidak mengerti apakah yang sebenarnya dikehendaki atas diriku. Kadang-kadang aku merasa bahwa ayah tidak senang aku berada dirumah" "Mungkin memang ada sesuatu yang tidak kau pahami. Tetapi sendainya kau harus pergi, maka kau akan dapat tinggal disini" Paksi menarik nafas panjang. Sekali lagi ia berkata "Terimakasih guru. Tetapi jika ayah memerintahkan kepadaku untuk melakukan satu tugas tertentu, maka aku tentu tidak akan dapat tinggal disini" "Jangan berprasangka, Paksi. Mudah-mudahan kau tidak harus pergi lagi. Jika cincin itu pernah menjadi alasan ayahmu mengusirmu, sekarang tentu tidak lagi. Cincin itu sudah berada di istana. Ayahmu tentu tidak akan berani memerintahkan kepadamu dan kepada siapapun untuk mengambil cincin itu" Paksi mengangguk-angguk. Katanya "Mudah-mudahan guru. Aku akan merasa sangat senang jika aku mendapat kesempatan cukup luas untuk sering berada di sanggar ini" "Jika kau sempat, Paksi. Temuilah Ki Marta Brewok. Aku mempersilahkannya singgah di sanggarku yang buruk ini. Kehadirannya akan sangat berarti bagiku. Tentu juga bagimu" "Ya, guru. Aku akan menemui Ki Marta Brewok di kasatrian"
"Nah, sekarang kita akan beristirahat. Setelah keringatmu kering, barangkali kau akan mandi lebih dahulu. Bukankah dahulu kau terbiasa mandi disini" Pakiwan itu masih berada di tempatnya. Sumur itu airnya masih jernih seperti dahulu" Paksi tertawa. Katanya "Ya, guru. Aku akan mandi" Sejenak kemudian Paksi sudah berada di belakang sanggar. Terdengar senggot timba berderit ketika Paksi kemudian mengisi jambangan di pakiwan. Namun sambil menimba, Paksi sempat merenungi latihan penjajagan yang baru saja dilakukan. Ia adalah murid yang sudah lama berguru kepada gurunya itu. Namun setelah ia pulang dan pengembaraan, rasa-rasanya ia mengenali sesuatu yang baru pada gurunya. Unsur-unsur dari ilmunya yang dahulu belum pernah dikenalinya. Mungkin dahulu, setahun yang lalu, guru masih menganggap aku belum waktunya untuk diperkenalkan dengan unsur-unsur gerak itu. Namun sekarang, setelah guru menganggap ilmuku semakin maju, maka unsur-unsur gerak itu mulai muncul" berkata Paksi didalam hatinya selagi tangannya sibuk menarik senggot timba. Tetapi bukan hanya pengenalannya yang baru itu saja yang telah direnunginya. Apa yang dikenalinya pada gurunya itu. Rasa-rasanya telah pernah dikenalinya pula disepanjang pengembaraanya selama setahun lebih sedikit itu. "Ah, tenlu saja sebuah kemiripan sifat dan watak dari unsur-unsur gerak itu" berkata Paksi didalam hatinya "Tetapi mungkin unsur-unsur gerak itu bersumber dari mata air yang sama tetapi sudah mengalami perkembangan yang berbeda setelah menempuh alur perjalanan panjang" Paksipun kemudian tidak memikirkannya lagi. Tangannya masih sibuk dengan senggot timbanya. Namun beberapa saat kemudian, jambangan di pakiwan itupun sudah menjadi penuh. Kelika Paksi akan memasuki pakiwan, iapun tertegun. Seorang yang pernah dikenalnya sebelum ia pergi, datang
mendatanginya, seseorang yang telah lama berada di perguruan itu. "Paksi" desis orang itu "bukankah kau Paksi Pamekas?" "Ya, paman" jawab Paksi. Orang itu mendekatinya sambil menepuk bahunya. Katanya "Sudah lama sekali kau tidak nampak Paksi. Apakah kau sedang bepergian jauh?" "Ya, paman. Aku baru saja pulang dari pengembaraanku" "Gurumu juga mengatakan kepadaku, bahwa kau baru saja menjalankan tugas yang dibebankan oleh ayahmu kepadamu" berkata orang itu "sukurlah bahwa kau sudah pulang dengan selamat" "Yang Maha Penyayang melindungku, paman" "Gurumu sangat mengharapkan bahwa pada suatu saat kau datang kembali ke perguruan ini.Ternyata kau sekarang sudah kembali, Paksi" "Ya, paman. Tetapi nampaknya perguruan ini menjadi semakin sepi" Orang itu tersenyum. Katanya "Ya. Perguruan ini menjadi semakin sepi. Jarang ada seorang cantrik yang bersungguhsungguh sebagaimana kau. Yang lain datang keperguruan ini hanya sekedar untuk menyenangkan hati orang tuanya" "Tetapi bukankah kawan-kawan itu masih juga datang?" "Ya, kadang-kadang" "Aku sudah bertemu dengan beberapa orang kawan. Tetapi kami tidak berbicara tentang perguruan ini" "Tentu mereka lebih tertarik untuk mendengarkan pangalamanmu selama mengembara" "Ya. Mereka juga lebih tertarik berbicara tentang kemurahan hati Kangjeng Sultan" "Tentu. Mereka tentu mempertanyakan ganjaran yang telah kau terima" "Ya, paman. Sehingga kami lupa berbicara tentang perguruan ini" "Mereka sudah kehilangan gairah mereka. Apalagi selama gurumu pergi"
"Guru pergi kemana?" bertanya Paksi dengan wajah yang berkerut. "Gurumu pergi ke kaki Gunung Lawu, Paksi. Ada sesuatu yang penting harus dijalaninya. Menurut gurumu ada laku yang masih terhutang, sehingga ia harus melunasinya di kaki Gunung Lawu" "Sejak kapan guru pergi?" Tidak lama setelah kau meninggalkan perguruan ini" "Kapan guru kembali?" "Belum terlalu lama, Paksi" Jantung Paksi menjadi berdebar-debar. Tetapi Paksi berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun di wajahnya Bahkan kemudian Paksipun bertanya "Jadi bagaimana dengan perguruan ini selama guru pergi?" "Akulah yang dibebani tugas untuk menggantikannya selama gurumu pergi. Tetapi kau tahu, aku bukan apa-apa. Meskipun demikian untuk sekedar mendasari ilmu kawankawanmu disini, aku masih mampu. Setidak-tidaknya menurut penilaian gurumu, tetapi wibawaku sama sekali tidak memadaim sehingga kakwan-kawanmu itu tidak lagi merasa terikat oleh perguruan ini" "Tetapi bagaimana dengan orang tua mereka?" "Mereka menjadi sangat kecewa. Sebagian dari mereka menjadi acuh tak acuh. Tetapi sebagian yang lain masih mengirimkan anak-anak mereka kemari. Mereka masih berharap guru datang kembali, sementara mereka juga menganggap aku dapat mengisi kekosongan selama gurumu pergi" Paksi mengangguk-angguk. "Tetapi akulah yang hampir melarikan diri" "Kenapa?" Orang-orang tua kawanmu itu sebagian besar adalah perwira prajurit itu telah menunjuk beberapa orang untuk mengujiku, apakah aku pantas mewakili gurumu untuk sementara" "O"
"Akulah yang hampir mati kehabisan nafas, aku harus mengalami penjajagan dari tiga orang yang mewakili mereka" "Tetapi, bukankah paman dianggap memadai?" "Ya, akhirnya memang demikian, tetapi sejak aku mewakili gurumu, ikatan perguruan ini semalin longgar. Meskipun aku dianggap mampu dari sisi kemampuanku, tetapi dari sisi lain, aku telah gagal. Mudah-mudahan setelah gurumu kembali, perguruan ini dapat pulih kembali" "Mudah-mudahan, paman" "Tetapi gurumulah yang menjadi kecewa" "Kenapa?" "Demikian gurumu pulang, maka ia sekan-akan dihadapkan pada sebuah pengadilan yang dibuat oleh para perwira ilu. Gurumu dianggap meninggalkan tugasnya dengan tidak bertanggung-jawab" "Jadi?" "Gurumu dituntut untuk memulihkan citra perguruan ini sehingga anak-anak mereka kembali lagi berguru dengan tertib" "Tetapi apakah sejak semula perguruan ini tertib?" "Aku mengerti maksudmu" "Bukan maksudku menyalahkan guru" "Ya. Kau tidak menyalahkan guru, karena hak dan wewenang gurumu tidak jelas di perguruan ini. Gurumu seakan-akan dipungut begitu saja dan ditempatkan disini. Gurumu tidak dapat menolak, karena kekancingan yang diterimanya langsung, dari Kangjeng Sultan. Perintah raja adalah keharusan untuk dijalankan. Namun perintah itu tidak dilengkapi dengan tertib pelaksanaannya, termasuk kewajiban mereka yang mengirimkan anaknya berguru di perguruan ini" "Apakah hal seperti itu tidak sebaiknya mengalami perubahan sehingga segala sesuatunya dapat berjalan lebih wajar" "Tentu. Cepat atau lambat. Gurumu sudah mulai memikirkan jalan terbaik untuk melakukannya"
Paksi mengangguk kecil. Namun orang itupun kemudian berkata "Sudahlah Paksi, bukankah kau ingin mandi" Sesudah mandi, kita dapat berbincang panjang" "Baik, paman" jawab Paksi. Orang itupun kemudian meninggal Paksi yang langsung iur uk ke pakiwan. "Paksi termangu-mangu sejenak. Ceritera orang itu sangat menarik perhatiannya. Orang itu memang pembantu dekat gurunya. Tetapi menurut pendapat Paksi, orang itu masih belum cukup untuk menggantikan gurunya, melatih kawankawannya yang berguru di peguruan itu. Tetapi sekedar untuk mengisi kekosongan, mungkin orang itu dapat melakukannya. Guru lelah meninggalkan perguruan ini selama setahun, tetapi tidak lama selalah aku meninggalkan perguruan ini. Dan baru kembali beberapa saat sebelum aku kembali" Namun Paksi itupun kemudian berdesis "Tetapi guru pergi ke kaki Gunung Lawu" Meskipun demikian, hal itu merupakan satu pertanyaan yang ingin dicari jawabnya "Aku akan menemui Ki Marta Brewok di kasatrian sebelum Ki Marta Brewok itu pergi" Demikianlah setelah Paksi selesai mandi dan membenahi pakaiannya, maka kemudian iapun duduk di serambi samping bersama gurunya dan pembantunya. Mereka berbicara panjang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk menyempurnakan perguruan itu. "Aku akan mohon Pangaran Benawa untuk membantu guru" berkata Paksi "Pangeran Benawa akan dapat mohon ayahandanya untuk memberikan wewenang lebih banyak kepada guru untuk mengatur perguruan ini, sehingga perguruan ini akan benar-benar menjadi sebuah perguruan yang diatur dari dalam Perguruan itu sendiri" "Apakah Pangeran Benawa akan mendengarkan penda linu itu, Paksi" Seberapa jauh perkenelanmu dengan Pangeran itu?"
" Pangeran Benawa adalah seorang Pangeran yang sangat baik, guru. Mungkin karena aku secara kebetulan dapat mengembalikan cincin yang hilang itu" "Aku berharap" berkata gurunya "mudah-mudahan kita mendapat jalan" Meskipun demikian, Paksi masih saja ragu-ragu tentang dirinya sendiri. Jika saja ayahnya berniat untuk menyingkirkannya, maka ia harus pergi. Jika ayahnya sekedar mengusirnya, maka ia justru akan dapat menetap bersama gurunya. Tetapi jika ayahnya memberikan tugas yang mengharuskannya pergi, maka ia memang harus pergi" Beberapa saat kemudian, maka Paksipun mohon diri. Ia berjanji untuk datang kembali dikeesokan harinya. "Mudah-mudahan aku benar-benar dapat datang" "Kenapa kau ragu?" bertanya gurunya. "Aku tidak meragukan diriku sendiri, guru. Tetapi aku kadang-kadang tidak dapat membagi waktuku sendiri. Jika ayah memerintahkan kepadaku untuk melakukan sesuatu, maka aku tidak akan dapat menolak" Gurunya tersenyum. Katanya "Kau sudah menjadi semakin dewasa, Paksi. Pada suatu saat, sikap ayahmu akan berubah" "Tetapi ayah masih memperlakukan aku seperti kanakkanak. Bahkan dimata ayahku, adikku nampaknya lebih dewasa dari aku. Karena itu, pekerjaan yang dilakukan oleh kanak-kanakpun kadang-kadang harus aku lakukan" "Kau harus bersabar, Paksi. Semuanya itu akan dapat menjadi laku bagimu untuk mencapai cita-citamu di masa depan" Paksi mengangguk kecil sambil menjawab "Mudahmudahan, guru. Tetapi aku sendiri tidak pernah meyakini satu cita-cita di masa depanku. Hidupku seakan-akan begitu saja bergulir tanpa tujuan" "Paksi. Bagaimanapun juga kau mempunyai pegangan. Jika bukan satu keinginan dimasa depan, kau tentu mempunyai pegangan bagi sikap dan tingkah lakumu" Paksi mengangguk kecil. Katanya "Ya, guru"
"Nah, pegang itu. Jangan sampai lepas" "Ya, guru" Demikianlah, sejenak kemudian, maka Paksipun telah meninggalkan rumah gurunya. Tetapi selagi ia sudah berada diluar rumah, maka Paksi tidak segera pulang. Tetapi ia telah pergi ke istana lewat regol belakang menuju ke kasatrian. Ketika seorang prajurit menghentikannya dan bertanya kepadanya. maka Paksipun menjawab "Aku ingin menghadap Pangeran Benawa. Ada sesuatu yang penting harus aku sampaikan" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ada semacam keragu-raguan dalam hatinya untuk membiarkan Paksi masuk ke gerbang kesatrian. "Apakah kau sudah membuat janji dengan Pangeran Benawa?" bertanya prajurit itu. Paksi menjadi bimbang juga. Namun akhirnya ia berkata dengan jujur "Belum" "Jika demikian, tunggulah disini. Aku akan menghadap dan memberitahukan kepada Pangeran Benawa, bahwa seseorang mohon waktu untuk bertemu" "Baik" jawab Paksi. "Siapa namamu?" "Paksi Pamekas" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia mendengar dari beberapa orang tentang seorang anak muda yang bernama Paksi Pamekas yang telah menerima beberapa ganjaran dari Kangjeng Sultan. Tetapi prajurit itu tidak bertanya lebih lanjut. Iapun segera memasuki gerbang paseban untuk menyampaikan niat Paksi, sementara seorang prajurit lain yang bertugas berkata "Silahkan duduk di gardu itu, Ki Sanak" Paksipun kemudian duduk diatas selembar tikar didalam sebuah gardu yang rendah. Beberapa saat kemudian, maka prajurit yang menyampaikan maksudnya untuk menemuui Pangeran Benawa itu telah keluar lagi dari gerbang kesatrian, iapun kemudian menemui Paksi sambil berkata "Silahkan Ki Sanak,
Pangeran Benawa tidak berkeberatan menerima Ki Sanak di kesatrian" "Terima kasih" sahut paksi sambil bangkit berdiri. Di kesatrian Paksi telah diterima langsung oleh Pangeran Benawa, bukan hanya Pangeran Benawa, tetapi juga oleh Ki Marta Brewok. "Ada sesuatu yang penting Paksi?" bertanya Pangeran Benawa. "Hamba hanya ingin menyampaikan sebuah cerita yang barangkali menarik bagi Pangeran Benawa" "Cerita tentang apa?" "Tentang sebuah perguruan yang didirikan khusus bagi anak para perwira prajurit Pajang" "Maksudmu?" "Paksi kemudian telah bercerita tentang sebuah perguruan yang keadaannya memperihatinkan. Pangeran Benawa mendengarkan dengan sungguhsungguh, bahkan kemudian Pangaeran Benawa itupun mengangguk-angguk, katanya "Perguruan ini memang memerlukan perhatian" "Hamba mohon Pangeran melihat sendiri keadaan perguruan itu" berkata paksi selanjutnya "Bukankah perguruan itu dipimpin oleh Ki Panengah?" "Ya Pangeran, perguruan itu memang dipimpin oleh Ki Panengah" "Baik Paksi, aku akan menemui Ki Panengah, aku tahu bahwa Ki Panengah adalah salah seorang yang berilmu tinggi, aku akan mohon agar perguruan mendapat perhatian yang lebih besar "Juga mengenai tatanan yang berlaku, jika perguruan itu tidak mempunyai tatanan yang tegas, maka untuk selanjutnya perguruan itu tidak akan menjadi besar" "Aku mengerti, Paksi" "Soalnya, bagaimana mengatasi sikap para perwira yang mengirimkan anak-anaknya ke perguruan itu" "Maksudmu?"
"Pada umumnya murid-murid dari perguruan itu adalah anak para perwira prajurit Pajang. Para perwira itulah yang seakan-akan berwenang mengatur tatanan didalam perguruan itu. Tanpa menghiraukan kemampuan dan kesungguhan anakanak mereka yang mereka kirimkan ke perguruan itu" "Jadi harus ada tangan yang lebih kuat yang menentukan tatanan di perguruan itu. Begitu maksudmu?" "Hamba Pangeran" "Baik. Setelah aku melihat perguruanmu, aku akan menghadap ayahanda. Bukankah begitu maksudmu?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawa tersenyum. Katanya kemudian "Bagaimana jika kita pergi menemui Ki Panengah sekarang?" Paksi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Marta Brewok sambil berkata "Guru juga ingin bertemu dengan Ki Marta Brewok" "Aku?" bertanya Ki Marta Brewok "kenapa Ki Panengah itu ingin bertemu dengan aku?" Paksipun kemudian melengkapi ceriteranya dengan latihan penjajagan yang dilakukan oleh gurunya. Lalu katanya "Guru melihat bahwa aku telah mewarisi ilmu dari Ki Marta Brewok" "Gurumu marah?" "Tidak. Sama sekali tidak. Guru justru menganggap bahwa aku telah beruntung dapat menyadap ilmu dari orang lain kecuali guru. Menurut guru, ilmuku akan menjadi semakin lengkap" "Jadi, apa maksud gurumu ingin bertemu dengan aku?" "Ki Marta Brewok akan mendapat keterangan dari guru sendiri nanti, setelah Ki Marta Brewok menemuinya" Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah, aku akan menemui gurumu. Jika Pangeran Benawa akan pergi ke rumah Ki Panengah itu sekarang, aku akan menyertainya" "Ya" sahut Pangeran Benawa "bukankah waktu kita luang" "Hamba Pangeran" jawab Ki Marta Brewok yang di istana itu bernama Ki Waskita.
Bagaimana dengan kau Paksi" Apakah kau masih mempunyai kesempatan sekarang?" "Marilah Pangeran. Hamba akan mengantar Pangeran pergi ke rumah guru" Ternyata Pangeran Benawa tidak menunda-nunda waktu, saat itu juga Paneran Benawa, Paksi dan Ki Marta Brewok telah meninggalkan kasatrian dengan naik kuda. Paksi dan Ki Marta Brewok diperkenankan mempergunakan kuda Pangeran Benawa pula. Kedatangan mereka disambut ramah dengan guru Paksi, mereka dipersilahkan naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan. "Hamba tidak mengira, begitu cepat Pangeran datang ke pondok hamba" berkata Ki Panengah sambil membungkuk hormat. Pangeran Benawa tersenyum, katanya "Paksi telah datang kepadaku, ia telah menceritakan segala segala sesuatu tentang perguruan ini serta latihan penjajagan yang dilakukan oleh Ki Panengah" "Hanya sekedarnya, Pangeran" "Karena itu aku telah datang kemari bersama dengan Ki Waskita yang juga kebetulan berada di Kesatrian" Ki Panengah mengerutkan dahinya, dengan ragu iapun bertanya "Menurut Paksi, yang berada di Kesatrian adalah Ki Marta Brewok?" Pangeran Benawa tertawa, Katanya "Paksi memang mengenal Ki Waskita dengan Ki Marta Brewok" "Hamba mohon maaf Pangeran" desis Ki Panengah. Kepada Ki Marta Brewok, Ki Panengahpun berkata "Aku mohon maaf, Ki Waskita. Aku tidak mengerti bagaimana aku harus menyebut" "Terserah saja, Ki Panengah. Bagiku tidak ada bedanya, apakah aku dipanggil Ki Waskita atau Ki Marta Brewok" "Baiklah aku memanggil sebutan yang sebenarnya, Ki Waskita. Aku mohon maaf, bahwa Paksi selama ini telah menyebut dengan Ki Marta Brewok.
"Bukan salahnya. Aku memang memperkenalkan diriku dengan nama Ki Marta Brewok" Ki Panengah tersenyum sambil berkata kepada Paksi "Sebaiknya kau sekarang tidak menyebutnya dengan Ki Marta Brewok, Paksi. Sebaiknya kau juga memanggil dengan nama Ki Waskita. Bukankah itu lebih pantas?" Ki Waskita justru tertawa. Katanya "Ia sudah terbiasa memanggilku Ki Marta Brewok. Biarlah ia tetap menyebutku dengan nama itu. Aku juga merasa lebih mapan dipanggil Paksi dengan sebutan Ki Marta Brewok" Ki Panengah dan Ki Marta Brewokpun tertawa pula. Paksi juga tertawa pendek. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh pada kedua orang gurunya. Apalagi ketika kemudian Ki Panengah itupun berkata "Paksi, duduklah kau disini. Aku yang telah menjajagi ilmumu, akan berbicara langsung dengan Ki Waskita. Mungkin akan terdapat satu kesimpulan yang akan sangat berarti bagimu" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Benawapun kemudian berkata "Aku akan menemanimu duduk disini, Paksi. Biarlah kedua orang yang telah mewariskan ilmunya kepadamu itu membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang barangkali sangat berarti bagimu" "Ampun, Pangeran" sahut Paksi "yang hamba maksudkan pertama-tama adalah pembicaraan tentang perguruan ini. Tentang masa depannya serta tatanan yang terbaik. Bukan tentang diri hamba sendiri" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya "Keduanya juga tentu akan membicarakan kemungkinan itu. Kita percayakan saja kepada mereka yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pangeran Benawa itupun kemudian berkata "Silahkan Ki Panengah. Mudah-mudahan pembicaraan antara Ki Panengah dan Ki Waskita akan menghembuskan angin yang segar bagi perguruan serta bagi Paksi Pamekas.
Demikianlah, maka kedua orang guru Paksi itupun segera masuk ke ruang dalam Paksi yang duduk di priggitan bersama Pangeran Benawa itu. Seakan-akan tanpa sengaja telah mengtrapkan Aji Sapta Pangrungu. Paksi masih mendengar suara tertawa di belakang pintu pringgitan, namun suara-suara berikutnya seakan-akan telah tertutup bagi telinganya walaupun ia mengetrapkan Aji Sapta Pangrungunya. Tentu Ki Marta Brewok telah memberikan isyarat kepada gurunya, kedua-duanya mempunyai kemampuan menyerap bunyi, sehingga pembicaraan itu hanya mereka degnar berdua atau mereka telah pergi ke sanggar, sehingga telah melampaui jarak jangkau Aji Sapta Pangrungunya. Yang kemudian didengar oleh Paksi adalah kata-kata Pangeran Benawa "Kau tidak usah menjadi gelisah, Paksi kau harus percaya kepada kedua orang gurumu itu" "Tentu Pangeran" jawab Paksi "hamba percaya kepada keduanya. Tetapi yang kurang enak di hati hamba, justru bahwa kedua orang guru hamba itu lebih memikirkan hamba dari pada perguruan ini" "Perguruan ini memang memerlukan pembenahan Paksi. Pembenahan itu tentu saja tidak sekedar pada tatanannya, pada tata tertibnya, tetapi juga pada orang-orang yang menangani perguruan ini" "Maksud Pangeran" Bukankah yang menangani perguruan ini adalah guru. Ki Panengah?" "Ya. Tentu Ki Panengah tidak dapat membenahinya sem diri" "Di perguruan ini ada paman Windu, yang selama ini membantu menangani perguruan ini. Bahkan ketika guru pergi ke kaki Gunung Lawu, paman Windulah yang mewakilinya. "Gurumu pergi ke kaki Gunung Lawu?" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng "Hamba tidak tahu, Pangeran. Menurut paman Windu, guru telah pergi ke kaki Gunung Lawu. Waktunya hampir sama dengan waktu pengembaraanku"
Pangeran Benawa mengerutkan dahinya, sementara Paksi berkata selanjutnya "Guru berangkat beberapa saat setelah hamba pergi mengembara. Guru kembali ke perguruan ini hampir bersamaan waktunya dengan kedatangan hamba kembali di| rumah orang tuaku" "Satu kebetulan" desis Pangeran Benawa. "Tentu satu kebetulan" sahut Paksi. Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Paksi memang lantip. Agaknya Paksi menghubungkan kepergian gurunya dengan pengembaraannya. Sementara kedua gurunya berbicara di ruang dalam, maka Pangeran Benawa berbincang dengan Paksi tentang kemungkinan-kemungkinan bagi perguruan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu. "Kau benar Paksi. Tidak ada ikatan apa-apa disini. Tetapi kau juga benar, bahwa ini bukan salah gurumu. Para perwira mengirimkan anak-anaknya berguru pada Ki Panengah terlalu banyak ikut campur. Mereka hanya mendengarkan pendapat anak-anak mereka yang ingin mendapat berbagai macam kemudahan. Anak-anak muda itu tidak dapat membedakan antara sekedar pergi berguru dengan usaha menguasai berbagai macam ilmu. Apakah itu ilmu pengetahuan atau kanuragan" Karena itu hamba datang menghadap Pangeran" "Baiklah. Kita menunggu kesimpulan pembicaraan antara kedua orang gurumu itu. Hasilnya akan aku sampaikan kepada ayahanda. Jika ayahanda yang menentukan tatanan di perguruan ini atau bahkan ayahanda memerintahkan melepaskan perguruan ini untuk mengatur dirinya sendiri, maka segala sesuatunya akan berjalan lebih baik" "Hamba Pangeran. Hamba sangat mengharapkan, meskipun kata guru, segala sesuatunya tidak akan dapat dilakukan dengan serta merta" "Ya. Setidak-tidaknya menunggu langkah yang akan diambil oleh ayahanda. Tetapi aku akan dapat mengusulkan arahnya"
Paksi mengangguk-angguk sambil berumam "Hamba dan seluruh murid perguruan ini akan sangat berterima kasih, Pangeran" "Perguruan ini tentu todal akan menjadi sesepi ini" "Sejak guru pergi, perguruan ini diserahkan kepada paman Windu, kemudian perguruan ini menjadi sepi. Ketika kemudian guru pulang, maka gurupun telah diadili oleh para perwira yang mengirimkan anak-anaknya berguru disini" "Karena gurumu pergi selama setahun?" "Ya. Tetapi gurupun telah mengaku salah. Para perwira itu telah memerintahkan kepada guru untuk memperbaiki citra perguruan ini, agar anak-anak mereka bersedia untuk berguru lagi. Nampaknya mulai permulaan bulan, guru akan mulai lagi" "Tetapi sebaiknya sekaligus perguruan ini mengetrapkan tatanan baru" "Bukankah itu tergantung pada keputusan Kangjeng Sultan" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ternyata pembicaraan antara kedua orang yang dianggap guru oleh Paksi itu tidak terlalu lama. Selagi Paksi dan Pangeran Benawa masih berbincang tentang perguruan itu, keduanyapun kemudian telah keluar dari ruang dalam. Demikian mereka duduk bersama Pangeran Benawa dan Paksi maka Pangeran Benawapun bertanya "Apakah sudah ditemukan satu kesimpulan?" "Rencana Ki Panengah sudah baik, Pangeran" jawab Ki Waskita "demikian aku mendengar rencananya, maka akupun segera menyetujuinya. Karena itu, kami tidak memerlukan waktu yang panjang" "Apakah Ki Waskita benar-benar sependapat, atau sekedar pembicaraan itu cepat selesai" Ki Waskita tertawa berkepanjangan, sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Katanya "Pangeran memang aneh. Tetapi barangkali kedua-duanya"
Ki Panengahpun tersenyum. Katanya "Bagaimanapun juga, kesimpulannya memang sangat memuaskan bagi kami. Entah bagi pihak yang lain" Pangeran Benawapun tertawa pula. Katanya "Mudahmudahan pihak lain juga menjadi puas karenanya. Setidaktidaknya dengan bekal ini aku akan dapat menghadap ayahanda" Paksi mengerutkan dahinya. Paksipun ikut tertawa pula. Tetapi ada kesan yang lain dari pembicaraan itu. Rasarasanya, Ki Panengah dan Ki Waskita sudah bukan lagi orang yang baru saja berkenalan. Tetapi Paksi tidak bertanya. Siapapun mereka, tetapi mereka telah membimbingnya sehingga ia memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan keduanya juga memberikan pengetahuan bukan saja ilmu kanuragan. Tetapi juga ilmu yang lain. Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Benawapun telah mohon diri. Demikian pula Ki Waskita dan Paksi. "Kau harus pergi ke kasatrian dahulu, Paksi" berkata Pangeran Benawa. "Ya, Pangeran. Hamba harus mengembalikan kuda Pangeran" "Meskipun mungkin pulang ke rumahmu dan pergi ke kesatrian, justru lebih dekat pulang kerumahmu" "Kita dapat lewat di depan rumah Paksi, Pangeran" berkata Ki Waskita "biarlah hamba yang kemudian menuntun kuda itu kembali ke kasatrian" "Tidak, tidak Ki Marta. Biarlah aku pergi ke kasatrian" sahut Paksi dengan serta merta. Ki Waskita tersenyum Katanya "Baiklah. Agaknya kau sangat menghormati orang setua aku ini" Bertiga merekapun kemudian meninggalkan rumah guru Paksi itu kembali ke kesatrian. Paksi tidak terlalu lama berada di kesatrian, selelah mengembalikan kudanya di kandang dan menyerahkan kepada seorang pekathik, maka Paksipun minta diri.
"Sering-sering datang kemari, Paksi" berkata Pangeran Benawa. "Hamba Pangeran. Hamba ikan sering datang mengunjungi Pangeran" Beberapa saat kemudian, Paksipun telah meninggalkan kesatrian. Ia sudah terlalu lama pergi. Mungkin ayahnya akan bertanya-tanya kepadanya, kemana saja ia pergi. Ketika ia memasuki regol rumahnya, terasa dada Paksi menjadi berdebar-debar, Paksi sendiri merasa heran, bahwa setiap kali hal itu terjadi, meskipun Paksi sadar, bahwa ia masuk kedalam rumahnya sendiri. Rumah orang tuanya, dimana ibu, ayah dan adik-adiknya tinggal. Sebenarnyalah ketika Paksi memasuki pintu seketeng, ayahnya kebetulan berada di longkangan. Demikian Paksi muncul, maka ayahnya segera membentaknya "Paksi. Kemana saja kau selama ini" Kerjamu hanya berkeliaran saja kesana kemari. Kenapa kau tidak mempergunakan waktumu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Kau sudah menjadi semakin besar. Semakin dewasa. Apakah kau masih saja bersikap seperti kanak-kanak yang kerjanya sekedar bermain di alun-alun atau pergi ke sungai mengganggu gadis-gadis yang sedang mandi" Kau tidak boleh membanggakan dirimu sebagai anak seorang Tumenggung, sehingga kau boleh berlaku apa saja dihadapan rakyat kecil" Paksi tidak memotong kata-kata ayahnya. Dibiarkannya ayahnya membentak-bentak, baru kemudian setelah ayahnya selesai, Paksi menyahut "Ayah. Aku baru saja pergi menemui guru. Aku ingin kembali keperguruan setelah hampir setahun aku meninggalkannya. Bermacam-macam pertanyaan harus aku jawab. Bahkan guru juga ingin mendengar kisah pengembaraanku" "Meskipun selama lebih dari setahun kau pergi, tidak ada artinya sama sekali bagi peningkatan ilmumu. Gurumu juga pergi setahun. Ia begitu saja meninggalkan perguruan tanpa bertanggung-jawab sama sekali" "Guru baru akan mulai lagi"
"Gurumu adalah jenis orang yang sangat mementingkan diri sendiri" "Tetapi bukankah ayah yang mengirimkan aku untuk berguru kepadanya bersama beberapa orang kawanku" "Kau ingin menyalahkan aku?" "Tidak ayah" "Tetapi sejak permulaan bulan depan, gurumu tidak akan dapat bermalas-malasan lagi. Ia harus benar-benar bekerja keras. Melatih cantrik-cantriknya sehingga menjadi anak-anak muda yang berilmu. Sebelumnya, gurumu bekerja sesuka hatinya. Berapa tahun kau berguru kepadanya. Dan apa yang sudah kau dapatkan selain kemalasan?" ayahnya berhenti sejenak. Lalu kalanya pula "Kau anak seorang prajurit Paksi. Meskipun kau kelak tidak menjadi seorang prajurit, tetapi kau harus memiliki ilmu kanuragan seperti kawan-kawanmu. Jika kau tidak terlalu malas, maka dibawah asuhan gurumu yang sama, kau seharusnya memiliki ilmu yang seimbang dengan yang dimiliki oleh kawan-kawanmu" Paksi tidak menjawab. Bahkan iapun telah menundukkan kepalanya. Baru setelah ayahnya puas, maka Paksipun melangkah masuk keserambi samping. Paksi tertegun ketika ia melihat kedua orang adiknya berada di serambi. "Kenapa ayah marah-marah saja?" "Entahlah. Mungkin ada satu persoalan yang belum terpecahkan. Mungkin di tempat tugas ayah. Mungkin dengan kawan-kawannya atau mungkin ada persoalan-persoalan yang tidak teraba" Adik-adiknya menarik nafas. Adiknya yang perempuan kemudian berkata "Bukankah kakang tidak apa-apa?" "Tidak. Aku tidak apa apa" "Kakang memang pergi terlalu lama, ibu juga menjadi gelisah menunggu kedatangan kakang" "Ibu dimana sekarang?" "Di dapur, kakang" "Di dapur?"
"Ya. Ibu sedang membuat makanan" Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu adiknya perempuan bergayut di lengannya sambil berkata "Bukankah kakang tidak marah kepada ayah?" "Tidak, tentu tidak. Ayahlah yang marah kepadaku" "Maksudku, kakang tidak mendendam?" "Tidak. Kita, maksudku aku dan kalian berdua, harus menghormati ayah dan ibu. Jika ayah atau ibu marah kepada kita, dibalik kemarahannya itu tentu mengandung maksud yang baik" Adiknya mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata "Cincin yang kau belikan agak kebesaran, kakang. Tetapi tidak apa-apa. Nanti juga aku bertambah besar" "Kau kira kau sekarang belum besar" desis adik laki-laki Paksi. Adik perempuannya, yang bergayut pada tangan Paksi berhenti. Ketika ia berpaling, adik laki-laki Paksi itu segera melangkah pergi. Justru masuk keruang dalam sambil berdesis "Kau mau membujuk untuk dibelikan apa lagi" Ketika adik perempuannya mengejarnya, adik laki-laki Paksi itu berlari cepat-cepat menjauh. Paksi tertawa. Ia merasa senang berada diantara kedua adiknya. Dan bahkan Paksi merasa tenang jika ia duduk bersama ibunya. Namun ayahnya kadang-kadang membuat Paksi kebingungan. Dalam pada itu, adalah diluar kesadaran Paksi jika seseorang memperhatikan Paksi sejak ia masuk ke kesatrian. Kemudian keluar lagi bersama Pangeran Benawa dan Ki Waskita. Orang itu juga memperhatikan Paksi saat Paksi kembali ke kesatrian untuk mengembalikan kuda yang dipinjamnya dari Pangeran Benawa. Sewaktu Paksi keluar dari kasatrian, maka orang itu telah menghadap Harya Wisaka dan memberikan laporan tentang kehaidran anak muda itu.
"Kau yakin bahwa anak Tumenggung itu masuk ke kesatrian?" "Aku sedang bertugas mebersihkan halaman kasatrian" jawab orang itu. "Berapaa lama kau membersihkan halaman sehingga kau melihat anak itu datang, pergi, datang lagi dan pergi lagi?" Semuanya itu terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama" "Kemana saja mereka pergi?" "Aku tidak tahu" "Mereka tentu hanya mencoba seekor kuda yang baru dibeli, Pangeran Benawa adalah seorang penggemar kuda. Orang yang berada di kesatrian itu agaknya seorang belantik kuda" "Paksi?" "la ikut-ikutan bermain kuda. Bukankah Pangeran Benawa telah memberinya seekor kuda berwarna kelabu yang bagus dan tegar" Orang yang memberikan laporan itu mengangguk-angguk. Katanya "Mungkin sekali. Aku memang tidak akan dapat mengikuti dan mengamatinya kemana mereka pergi" "Aku akan berbicara kepada ayahnya meskipun aku tidak dapat mempercayai ayahnya sepenuhnya" Sebenarnyalah seperti yang dikatakannya, dikeesokan harinya, Harya Wisaka telah menemui Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Dengan nada dalam Harya Wisaka itupun bertanya "Kemana saja anakmu pergi?" "Menurut keterangannya ia pergi menemui gurunya" "Hanya menemui gurunya?" "Ia hanya mengatakan bahwa ia telah menemui gurunya" "Ia tidak mengatakan bahwa anakmu telah pergi ke kasatrian. Kemudian pergi bersama-sama dengan Pangeran Benawa dan Ki Waskita yang tua itu?" "Tidak" "Bertanyalah kepada anakmu, kemana saja ia pergi bersama Pangeran Benawa"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Tetapi sebelum sempat menjawab, Harya Wisaka telah meninggalkannya sambil berkata "Hati-hati dengan anakmu itu. Aku minta Ki Tumenggung menghubungi aku segera" Ki Tumenggung tidak menjawab karena Harya Wisaka sama sekali tidak berpaling lagi. Dengan geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu bergumam "Anak tidak tahu diri. Ia mulai bertingkah" Ketika lewat tengah hari Ki Tumenggung pulang, ternyata Paksi juga baru saja pulang. Dengan wajah yang geram ayahnyapun memanggilnya "Aku ingin bicara" Paksi termangu-mangu sejenak. Apalagi yang akan dilakukan oleh ayahnya itu. Ketika Paksi menemui ayahnya di pringgitan, adik lakilakinya tiba-tiba saja ikut muncul di pringgitan. Tetapi ayahnya segera mengusirnya "Kau tidak boleh mendengarkan pembicaraan orang lain jika kau tidak berkepentingan" Adik laki-laki Paksi itu termangu-mangu sejenak. Ada perasaan iba di sorot matanya. Ia tahu, bahwa kakaknya itu tentu akan dimarahi lagi. "Apa yang sebenarnya dikehendaki ayah atas kakang Paksi, ia sudah melakukan tugas yang sangat berbahaya itu dan bahkan mempertaruhkan nyawanya. Kakang Paksi sudah berhasil menemukan cincin yang dikehendaki oleh ayah. Jika kemudian cintin itu diambil oleh Pangeran Benawa, tentu bukan salah kakang Paksi" berkata adik laki-lakinya itu didalam hatinya. Tetapi anak muda itu tidak berani melanggar perintah ayahnya itu, maka iapun segera meninggalkan pringgitan. Demikian adik laki-laki Paksi itu hilang dibalik pintu, maka ayahnya itupun mulai membentaknya "Kau kemarin pergi kemana?" "Bukankah aku sudah mengatakan, ayah. Aku pergi menemui guruku" "Hanya menemui gurumu?"
Pendekar Seribu Diri 4 Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina Tersembunyi Hidden 2
^