Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 19

Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 19


membantu mereka didapurpun berwenang untuk memberikan perintah-perintah kepada para cantrik yang sedang mendapat giliran bekerja di dapur. Mula-mula semuanya dilakukan dengan canggung. Tetapi semakin lama para cantrik itupun menjadi semakin terbiasa dengan tugas-tugas mereka. Ki Panengah tidak berkeberatan jika ada orang tua dari para cantrik datang untuk menengok anaknya yang berada di padepokan itu. Ki Panengah juga tidak berkeberatan jika mereka melihat anak-anak mereka bekerja keras di padepokan itu. Bahkan beberapa orang tua justru menjadi semakin mantap melihat anak-anaknya mengenali pekerjaan seharihari. Mereka yang terbiasa bangun sampai menjelang matahari di puncak langit, di padepokan itu harus bangun pagi-pagi sekali sebelum fajar. Mereka harus menunaikan segala tugas mereka bagi kehidupan lahir dan batin mereka. Kemudian mereka harus mulai menyelesaikan pekerjaan mereka sampai saatnya matahari terbit. Baru mereka bergantian mandi setelah melakukan latihan-latihan ringan bagi ketahanan tubuh mereka, sebelum mereka memasuki ruang mereka masing-masing sesuai dengan ketentuan, sementara beberapa orang berada di sanggar. Pembantu Ki Panengah yang mewakilinya selama Ki Panengah pergi telah mendapat tugas mengawasi para cantrik, sehingga pembagian tugas itu dapat berjalan lancar. Demikianlah, maka para cantrik yang ada di padepokan itu menempuh kehidupan mereka dengan belajar dan bekerja tanpa melupakan ketakwaan mereka kepada Yang Maha Agung. Ki Tumenggung Sarpa Biwada juga pernah menengok Paksi di padepokannya. Bahkan dalam waktu sebulan, Ki Tumenggung sudah dua kali mengunjungi padepokan itu. Nampaknya Ki Tumenggung sangat memperhatikan keadaan padepokan itu, sehingga dalam percakapannya dengan Ki Panengah Ki Tumenggung telah menanyakan, kapan Ki Panengah itu akan membuka hutan Jabung.
"Jika mereka telah memiliki padepokan sendiri, maka perkembangan mereka tentu akan menjadi semakin pesat" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Ya, Ki Tumenggung" jawab Ki Panengah "doakan saja agar kami segera dapat membuka hutan itu. Namun aku masih harus melatih anak-anak agar mereka siap lahir dan batinnya untuk memulai pekerjaan besar ini" "Jika Ki Panengah memerlukan bantuan, maka aku tidak berkeberatan untuk membantu membuka hutan itu menurut kemampuanku. Orang tua para cantrik yang lain, tentu sependapat dengan aku" "Terima-kasih, Ki Tumenggung. Pada saatnya kami, seisi padepokan ini akan memerlukan bantuan dari segala pihak. Tetapi untuk sementara kami akan berusaha sendiri. Yang penting biarlah anak-anak berlatih mandiri" Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata "Tentu ada batas-batas kemampuan mandiri itu. Seberapa besar tenaga seseorang, maka tentu ada tingkat-tingkat kekuatan. Sehinga pada suatu saat ia akan terbentur pada suatu hal yang tidak terangkat olehnya" "Ya, Ki Tumenggung. Jika anak-anak sampai pada keadaan seperti itu, maka biarlah aku menyampaikan kepada orang tua mereka, termasuk Ki Tumenggung" "Ki Panengah tidak seharusnya membebankan segalagalanya kepada kemurahan hati Ki Gede Pemanahan. Biarlah kami, orang tua para cantrik ikut memikul beban. Tentu akan memberikan kepuasan kepada kami" "Aku mengerti, Ki Tumenggung. Pada saatnya kami akan menyampaikan kepada Ki Tumenggung" "Baiklah Ki Panengah. Aku akan menunggu" Ki Tumenggung itupun kemudian telah minta diri. Iapun minta diri pula kepada Paksi. Perhatian Ki Tumenggung terhadap padepokan itu memang menarik perhatian. Jika ia sekedar ingin menyingkirkan Paksi dari rumahnya, maka ia tidak akan menaruh perhatian
demikian besarnya. Bahkan seakan-akan mendorong agar Ki Panengah segera membuka hutan Jabung. "Memang perlu mendapat perhatian" berkata Ki Waskita. "Ya, Ki. Nampaknya ada maksud tertentu pada Ki Tumenggung. Tetapi semoga hati kamilah yang terlalu kotor, sehingga kami terlalu curiga kepadanya, padahal Ki Tumenggung benar-benar berniat baik" Ki Waskita tersenyum. Katanya "Jarang seseorang mengharap bahwa dirinyalah yang bersalah. Biasanya orang yang jelas bersalahpun menganggap dirinya benar. Dan dirinyalah yang paling benar" Ki Panengahpun tertawa sambil mengangguk-angguk. Meskipun Ki Waskita menanggapinya sambil tersenyum. Namun ternyata hai itu disampaikannya kepada Ki Gede Pemanahan yang sudah mendapat laporan lengkap tentang sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada serta kemungkinan hubungannya dengan Harya Wisaka. "Sikap Ki Tumenggung terhadap anak laki-lakinya yang tiba-tiba saja berubah, juga menarik perhatian" berkata Ki Waskita. "Ya" Ki Pemanahanpun mengangguk-angguk pula. Namun kemudian katanya "Tetapi mungkin Ki Panengah itu benar. Kamilah yang terlalu curiga terhadap seseorang" "Jika saja Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak berhubungan dengan Harya Wisaka, maka agaknya dugaan itu memang benar, Ki Gede. Tetapi menilik apa yang pernah dilakukan Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan dengan siapa ia berhubungan, kecurigaan kita tidak berlebihan" "Ki Panengah memang harus berhati-hati" "Jika Ki Tumenggung itu selalu mendorong agar Ki Panengah segera membuka hutan Jabung, maka agaknya Ki Tumenggung atau orang-orang yang berhubungan dengan Ki Tumenggung itu mempunyai niat tersendiri" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya "Apakah hai ini sudah Ki Waskita bicarakan dengan Ki Panengah?" "Serba sedikit sudah, Ki Gede"
"Jika demikian, apabila sampai pada saatnya Ki Panengah membuka hutan Jabung, maka tentu diperlukan pengamanan yang khusus. Ini bukan berarti bahwa kami tidak mempercayai kemampuan dan kemandirian perguruan Ki Panengah. Tetapi kita juga harus berpijak pada kenyataan, bahwa perguruan itu masih baru lahir" Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya "Aku mempunyai banyak kesempatan untuk berbicara dengan Ki Panengah, Ki Gede. Disela-sela tugas-tugas kami di padepokan itu" "Baiklah, Ki Waskita. Aku minta Ki Waskita memberitahukan kepadaku, kapan Ki Panengah akan membuka hutan Jabung" "Ki Panengah sedang mempersiapkan cantrik-cantriknya lahir dan batin untuk menghadapi tugas yang berat itu" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Namun Ki Gede benar-benar sangat memperhatikan perguruan yang dipimpin Ki Panengah, sehingga ia telah mengirimkan anaknya ke perguruan itu. Bahkan Kangjeng Sultan juga memperkenankan Pangeran Benawa untuk berada di padepokan itu pula. Ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan memang menginginkan bibit-bibit yang meyakinkan bagi masa depan Pajang. Dalam pada itu, anak-anak muda yang berguru di padepokan Ki Panengah itupun telah ditempa dalam berbagai macam ilmu. Mereka bukan saja menjadi seorang anak muda yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi juga anak-anak muda yang cerdas dan mempunyai wawasan luas tentang pemerintahan dan tentang berbagai macam ilmu yang lain. Karena pada dasarnya anak-anak muda itu sudah mempunyai dasar ilmu sebelumnya yang juga mereka terima dari Ki Panengah serta kesungguhan mereka dengan bekerja keras, maka peningkatan ilmu merekapun terasa menjadi lebih cepat. Kehadiran Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Di padepokan itu, keduanya sama sekali tidak dibedakan dengan murid-murid yang lain. Keduanya juga harus bangun pagi-pagi dan melakukan apa yang harus dilakukan oleh murid-murid yang
lain, termasuk menyapu halaman dan menimba air serta bekerja di dapur. Namun ilmu mereka yang sangat tinggi memacu anak-anak muda yang lain untuk semakin keras berlatih. Kemampuan Paksipun membuat kawan-kawannya menjadi heran. Sebelum meninggalkan perguruannya, Paksi memang mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya. Namun setahun kemudian, kemampuannya seolah-olah telah menjadi berlipatganda. Demikianlah, setelah beberapa bulan berlalu, maka Ki Panengah telah mengadakan penilaian atas kemampuan murid-muridnya. Ternyata bahwa kerja keras yang dilakukan oleh para murid itu membuahkan hasil yang memuaskan. Bukan saja Ki Panengah merasa puas, tetapi Ki Waskitapun menganggap bahwa anak-anak muda itu telah berhasil pada tahap pertama. Dengan demikian, maka Ki Panengah mulai membicarakan kemungkinan untuk membuka hutan Jabung. "Bagaimana pendapat Ki Waskita?" bertanya Ki Panengah. "Aku kira memang sudah saatnya, Ki Panengah. Tetapi seperti yang pernah kita bicarakan, kita harus berhati-hati. Sebagaimana kita ketahui, sudah berapa kali Ki Tumenggung Sarpa Biwada mendesak kepada kita, agar Ki Panengah segera membuka hutan Jabung. Tetapi seperti yang Ki Panengah katakan, mudah-mudahan kita keliru. Hati kita yang buram ini terlalu mudah untuk berprasangka buruk terhadap seseorang. Padahal, maksudnya yang sebenarnya adalah baik" Ki Panengah tersenyum. Katanya "Tetapi apa salahnya jika kita berhati-hati" "Sebaiknya kita merencanakan, kapan kita akan mulai membuka hutan itu. Kita harus membuat persiapan yang sebaik-baiknya. Peralatan yang memadai, perencanaan yang matang serta kemauan yang kuat" Ki Panengahpun mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Kita akan menyusun rencana itu. Kita berdua dan beberapa orang akan pergi ke hutan Jabung untuk melihat keadaan sebalai bahan
perencanaan itu. Aku akan minta Ki Kriyadama untuk menyertai kita. Ki Kriyadama akan dapat membantu kita untuk membuat perencanaan yang baik bagi sebuah padepokan yang Ikan berdiri dari beberapa bangunan" "Siapa saja yang akan kita bawa ke hutan Jabung?" berkata Ki Waskita. "Siapa menurut pendapat Ki Waskita?" "Siapa saja, asal bukan Pangeran Benawa" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya. Aku mengerti" Banyak orang yang menginginkannya. Pangeran Benawa diburu orang sejak lama karena ia membawa cincin itu. Apalagi sekarang Pangeran Benawa justru mengenakan cincin itu setiap hari" "Aku mengerti. Orang-orang yang memburunya itu mungkin sekali akan memanfaatkan seliap kesempatan. Jika mereka tahu, bahwa Pangeran Benawa akan pergi ke hutan Habung, maka mereka akan menyergapnya" "Mungkin Harya Wisaka. Tetapi mungkin kelompokkelompok lain. Perguruan-perguruan orang gila yang tentu juga bertebaran di sini setelah mereka mendengar bakwa Pangeran Benawa telah kembali ke istana" "Sebaiknya Pangeran Benawa memang tidak mengenakan cincin itu sehari-hari" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata "Aku kira tidak akan ada bedanya. Orang-orang itu tetap menduga bahwa cincin itu ada pada Pangeran Benawa. Jika mereka tidak menemukan cincin itu pada Pangeran Benawa seandainya mereka dapat menangkapnya, maka nasib Pangeran Benawa akan menjadi sangat buruk" Ki Panengah mengangguk-angguk. Betapapun tingginya ilmu Pangeran Benawa, namun kemungkinan yang paling buruk itupun akan dapat terjadi. Perguruan-perguruan yang dipimpin oleh orang-orang yang tamak itu juga mempunyai beberapa orang berilmu tinggi. Jika mereka dapat bekerja sama, meskipun hanya untuk sementara, maka kekuatan
mereka akan menjadi cukup besar. Sedang disisi lain, Harya Wisaka juga akan mampu mengumpulkan orang-orang berilmu tinggi untuk melakukan hal yang sama terhadap Pangeran Benawa. "Sebaiknya Pangeran Benawa memang tidak ikut bersama kami. Bahkan aku juga berharap Raden Sutawijaya juga tidak" "Paksi?" "Paksi tidak akan menjadi sasaran lagi, karena cincin itu tidak mungkin ada padanya" "Jika ada kepentingan lain?" bertanya Ki Waskita dengan dahi yang berkerut. Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti. Jika demikian, apakah sebaiknya kita berdua saja bersama Ki Kriyadama untuk melihat keadaan serta kemungkinannya?" Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian "Agaknya memang demikian, Ki Panengah. Kita berdua saja bersama Ki Kriyadama" Keduanya ternyata sepakat untuk tidak membawa orang lain ke hutan Jabung. Karena itu, maka dihari berikutnya, Ki Panengah dan Ki Waskita memberitahukan kepada para cantrik, bahwa keduanya akan pergi ke hutan Jabung bersama Ki Kriyadama. Semula para cantrik itu menyatakan keinginan mereka untuk ikut. Bahkan agak memaksa. Tetapi Ki Panengahpun kemudian berkata - Dengar perintahku. Setiap murid harus mendengarkan perintah gurunya" Tidak seorangpun yang kemudian memaksakan kehendak mereka. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijayapun tidak. Jika mereka tidak menurut perintah gurunya, maka akan menjadi contoh yang tidak baik bagi murid-murid yang lain, yang sudah mulai menempatkan diri sebagaimana seharusnya seorang murid. Sebenarnyalah, Ki Panengah dan Ki Waskitapun telah pergi ke hutan Jabung. Bertiga bersama Ki Kriyadama mereka melarikan kuda mereka, keluar pintu gerbang kota.
Semakin lama mereka menjadi semakin jauh dari kota. Merekapun kemudian menyusuri jalan yang semakin lama semakin sempit, sehingga akhirnya kuda mereka berjalan diatas jalan setapak berurutan. Ki Panengah berada dipaling depan. Kemudian Ki Kriyadama dan terakhir adalah Ki Waskita" Karena hutan Jabung memang tidak terlalu jauh dari kotaraja, maka sebelum matahari memanjat sampai ke puncak, mereka sudah berada di hutan Jabung. Merekapun kemudian telah menambatkan kuda mereka. Bertiga mereka melihat-lihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk membuka sebuah padepokan dengan lingkungan pendukungnya. "Hutan ini adalah hutan yang sangat lebat" berkata Ki Waskita. Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Perguruannya benar-benar menghadapi tantangan yang sangat berat. Para cantrik harus bekerja sangat keras untuk membuka hutan itu. "Berapa tahun kalian akan menyelesaikan kerja kalian?" bertanya Ki Kriyadama. "Bagaimana menurut pendapatmu?" "Kalian tidak akan mampu melakukan hanya dengan limabelas orang, atau katakanlah dengan yang lain duapuluh orang. Memang mungkin kalian dapat melakukannya. Tetapi baru ketika murid-muridmu itu menjadi tua, pekerjaan ini akan dapat diselesaikan" Ki Panengah mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskitapun berdesis "Seakan-akan tidak ada sejengkal tanahpun yang luang" "Ya" sahut Ki Panengah "jika aku memaksa anak-anak untuk membuka hutan tanpa pihak lain, maka kapan mereka mendapat kesempatan untuk menempa diri?" "Pertimbangkan, Ki Panengah. Aku tahu maksud Ki Panengah. Tetapi Ki Panengah harus melihat kenyataan ini" "Ki Waskita, bagaimana pendapat Ki Waskita jika hal ini kita bicarakan dengan Ki Gede Pemanahan"
"Aku sependapat" jawab Ki Waskita "aku kira kita lebih baik berbicara langsung dengan Ki Gede Pemanahan daripada dengan orang tua para cantrik" "Tetapi aku akan tetap melibatkan para cantrik, sehingga para cantrikpun akan merasa ikut membangun padepokan itu" "Aku setuju, Ki Panengah" "Nah, jika demikian, maka anak-anak muda yang berguru kepada Ki Panengah tidak akan terlalu banyak kehilangan waktu, justru pada umur mereka yang paling sesuai untuk menempa diri" Beberapa saat lamanya, Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama berada di hutan itu. Mereka memasuki hutan itu sampai beberapa puluh patok untuk melihat-lihai keadaannya. Disana-sini tumbuh pohon-pohon raksasa yang harus ditebang. Sementara itu, hutan itupun pepat dengan pepohonan yang lebih kecil serta pohon-pohon perdu. Dahandahan kering yang patah terbujur lintang. Sebagian sudah menjadi lapuk, diselimuti oleh gerumbul-gerumbul liar yang berduri. Sulur pepohonan terjurai bergayutan dan saling membelit dengan pepohonan yang merambat, merajut pohon yang satu dengan pohon yang lain. "Medan yang sangat berat" berkata Ki Panengah "aku memang harus menyesuaikan keinginan dengan kenyataan ini. Beberapa saat mereka melihat-lihat keadaan, tiba-tiba mereka terkejut mendengar kuda-kuda mereka meringkik. Agaknya kuda-kuda itu melihat sesuatu yang membuat mereka ketakutan. Karena itu, ketiga orang itupun segera berloncatan menerobos lebatnya hutan itu untuk melihat, apa yang terjadi dengan kuda-kuda mereka. Namun demikian mereka muncul dari sela-sela pepohonan yang rapat rapat, mereka melihat kuda-kuda mereka yang tertambat di antara pepohonan yang sudah menjadi jarang yang tumbuh di padang perdu dipinggir hutan, sudah menjadi tenang. Beberapa orang berdiri didekat kuda-kuda mereka berampat. Tiga orang diantara mereka mengelus leher kuda-
kuda yang gelisah itu sehingga menjadi tenang kembali. Agaknya mereka adalah orang-orang yang mengenali kuda dengan baik, sehingga mereka dengan cepat menguasai kudakuda yang terkejut itu. "Selamat siang, Ki Sanak" berkata salah seorang dari mereka. Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama memandang mereka satu demi satu. Mereka melihat tujuh orang yang seakan-akan memang menunggu ketiga orang yang keluar dari hutan itu. "Selamat siang" jawab Ki Panengah meskipun agak ragu. "Kami lewat di padang perdu ini" berkata orang itu "kami memang agak keberatan melihat tiga ekor kuda yang terlambat disini. Karena itu, kami sepakat untuk memanggil kalian dengan mengejutkan kuda-kuda kalian" "Untuk apa kalian memanggil kami?" bertanya Ki Panengah. "Kami hanya ingin tahu, apakah yang kalian lakuan disini" Hutan ini adalah hutan yang sangat lebat yang jarang didatangi orang. Tetapi kalian bertiga memerlukan untuk menembus memasuki hutan ini" "Tidak apa-apa Ki Sanak. Hanya terdorong oleh keinginan untuk mengetahui, apakah isi hutan ini" Orang-orang itu tertawa. Seorang yang bertubuh agak gemuk berkata "Kalian jangan berolok-olok" "Kenapa berolok-olok" Aku berkata sebenarnya" "Baiklah" berkata orang yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban yang selembar-selembar mencuat dari balik ikat kepalanya "jika kau tidak mau mengatakan keperluanmu, kami tidak akan memaksa. Tetapi kuda-kuda kalian ini sangat menarik. Kami masih kekurangan kuda di perguruan kami. Karena iiu, maka kami ingin membeli ketiga ekor kuda kalian ini" Ki Panengah mengerutkan dahinya. Namun sebelum ia menjawab, Ki Waskita telah menjawabnya "Berapa kalian ikan membeli kuda-kuda kami?" Orang yang berambut sudah mulai ubanan itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa, Katanya "Berapa
kalian memberi harga?" "Semula kami tidak berniat menjualnya, Ki Sanak. Tetapi jika kalian bersedia memberikan harga yang tinggi, maka kami akan memikirkannya" Orang yang berambut mulai ubanan itu jusliu termangu mangu. Namun orang yang bertubuh agak gemuk itulah yang menyahut "Tiga keping. Kami mempunyai uang tiga keping untuk membeli tiga ekor kuda kalian" Ki Waskita sama sekali tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa orang-orang itu akan memberikan jawaban asal saja mengucapkan kata-kata. Karena itu, maka Ki Waskita itupun segera menyahut "Satu penghargaan yang tinggi. Orang lain tidak akan berani menghargai kuda-kuda kami semahal itu, sama dengan nilai tiga pincuk nasi megana" Orang yang bertubuh gemuk itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya "Nah, bukankah kami sudah berbaik hati. Nah sekarang relakan kami membawa kuda-kuda kalian pergi. Kami akan memelihara dengan baik. "Nanti dulu, Ki Sanak" cegah Ki Waskita "sebelum kalian pergi, aku ingin bertanya, siapakah kalian dan kalian datang dari perguruan mana?" Orang yang rambutnya mulai ubanan itu melangkah maju sambil berkata "Sudahlah. Jangan bertanya macam-macam. Kami anggap persoalan diantara kita sudah selesai" "Kalian belum membayar tiga keping uang" Orang yang rambutnya mulai ubanan itu berkata "Hentikan gurauanmu itu. Kami akan membawa kuda-kuda kalian" "Tunggu, Ki Sanak. Kalian belum menjawab. Kalian itu siapa dan dari perguruan mana?" Orang berambut ubanan itu tidak menjawab. Demikian orang yang agak gemuk dan orang-orang yang lain. Tiga orang diantara mereka sudah siap untuk melepaskan ikatan ketiga ekor kuda itu untuk membawanya pergi. Sementara yang lainpun telah beranjak pula dari tempat mereka. Namun Ki Waskita itupun justru tertawa sambil berkata "Kalian
memang lucu. Kalian ingin mencuri kuda dihadapan pemiliknya. Kau kira kami akan membiarkannya?" "Kalian mau apa kakek-kakek?" bertanya orang yang berwajah garang dengan goresan cacat di kening. "Jangan main-main dengan orang-orang tua" berkata Ki Waskita. Sebaiknya kalian pergi saja" Ketujuh orang itu tidak menghiraukan peringatan itu. Namun Ki Waskita memang tidak membiarkan mereka pergi membawa kuda-kuda mereka. Karena itu, maka iapun berkata sambil memungut batu sebesar telur "Jangan memaksa kakekkakek tua ini kehilangan gurauannya. Aku dapat melempar siapa yang mencoba membawa kuda-kuda kami" Orang-orang itu tiba-tiba saja tertawa keras-keras. Seorang diantara mereka berkata "Kau memang seorang badut yang lucu, kek" Tetapi belum lagi mulurnya terkatup, orang itu terpelanting jatuh. Kemudian orang itu menggeliat kesakitan sambil merintih. Tangan kirinya memegangi bahu kanannya yang dicengkam kesakitan. Enam orang kawannya terkejut. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Yang mereka tahu, tiba-tiba saja kawannya merintih kesakitan. "Kau melemparnya dengan batu?" bertanya orang yang mulai ubanan. "Ya" jawab Ki Waskita sambil memungut lagi sebutir lutu sebesar telur. Keenam orang itu tiba-tiba saja telah memencar. Namun diluar perhitungan mereka, seorang lagi lelah terdorong beberapa langkah surut. Kemudian jatuh terguling ditanah. Sambil berteriak kesakitan orang itupun menungging sambil memegangi perutnya. Sementara itu, Ki Waskita telah memungut lagi sebutir batu. "Giliran siapa yang akan aku lempar dengan batu ini?" bertanya Ki Waskita "jika aku kehilangan kesabaran, aku tidak akan melempar bahu atau perut kalian. Tetapi dahi kalian sehingga kepala kalian akan pecah"
Orang-orang itupun termangu-mangu sejenak. Yang sudah mencoba untuk melepaskan tambatan kuda-kuda itupun telah mengurungkannya dan bergeser surut, bahkan berdiri dibelakang sebatang pohon untuk berlindung. "Bawa kawan-kawanmu pergi. Tetapi sebut perguruanmu. Jika kalian berkeberatan, maka aku akan membunuh kalian" Orang-orang itu masih berdiri tegak mematung "Cepat, sebut perguruan kalian atau nama pemimpin perguruan kalian" Orang-orang itu masih berdiam diri. Namun merekapun terkejut ketika mereka mendengar derak dahan pohon yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka berdiri itu patah dan jatuh selangkah dari orang yang agak gemuk itu. Ranting dan daun-daunnya telah menimpa seorang yang lain, sehingga terhuyung-huyung. Dengan cepat iapun meloncat menjauh. "Jika kalian tidak menjawab, maka batu berikutnya akan menyambar kepala salah seorang dari kalian" Orang yang rambutnya sudah mulai ubanan itupun akhirnya berkata "Kami adalah murid-murid dari perguruan Goal Lampin" Tetapi Ki Waskita dan Ki Panengah itupun tertawa. Ki Panengahlah yang menyahut "Apakah kalian termasuk laki-laki yang hidup di kerangkeng-kerangkeng di Goa Lampin" Orang yang rambutnya ubanan itu mengerutkan dahinya. Sementara Ki Panengahpun berkata "Kami tahu bahwa kalian masih saja bersaing untuk memburu cincin itu. Itulah sebabnya maka sekarang kalian berkeliaran di sekitar Pajang, karena agaknya kalian sudah mendengar bahwa Pangeran Benawa sudah kembali ke istana. Tetapi kalian jangan menyebut perguruan Goa Lampin" Orang yang rambutnya sudah mulai ubanan itu menjadi berdebar-debar. Ternyata orang-orang tua itu adalah orangorang yang berilmu tinggi yang belum mereka kenal. Mungkin mereka juga orang-orang yang sedang memburu Pangeran Benawa. Karena itu, maka orang yang rambutnya mulai ubanan itu katanya "Apa yang sebenarnya kau ketahui tentang Pangeran Benawa dan cincin itu" Apakah kalian
berada ditempat ini juga karena kalian sedang memburu Pangeran Benawa?" "Ya" jawab Ki Panengah "tetapi kami tidak mau disaingi. Karena itu, kalian harus enyah dari tempat ini serta jangan berkeliaran lagi disekitar Pajang. Tetapi kalian belum menjawab, kalian datang dari perguruan mana?" Orang itu akhirnya menjawab "Kami adalah orang-orang dari perguruan Tegal Arang" Ki Panengah tersenyum. Katanya "Kenapa kalian tidak menyebutnya sejak semula. Sebenarnyalah kami sudah mengetahui bahwa kalian adalah orang-orang Tegal Arang. Tetapi kami ingin tahu, apakah kalian termasuk orang-orang yang jantan yang berani menengadahkan dadanya menghadapi apapun juga. Tetapi ternyata kalian adalah pengecut yang ingin menyembunyikan kenyataan tentang diri kalian sendiri" Tidak seorangpun yang menjawab. Sementara ilu Ki Panengah itupun berkata "pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang kesakitan itu. Tetapi ingat, jangan ganggu kami lagi" "Kami tidak akan mengganggu kalian lagi. Tetapi aku tidak tahu, apakah guru juga berpendirian begitu" desis orang yang berkumis tebal. "Kau masih juga berani mengancam?" bentak Ki Waskita sambil melangkah maju. Orang itu bergeser surut. Tetapi ia tidak menyahut. "Pergilah" ulang Ki Panengah "ceriterakan semuanya yang kau alami kepada gurumu. Jika ia mempunyai keberanian, biarlah ia datang bersama para putut, menguyu dan jejanggan serta semua cantriknya. Kami tidak akan tergetar sama sekali" Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka mulai menolong kawan-kawannya yang kesakitan. "Mereka tidak apa-apa" berkata Ki Panengah "jika saja mereka tidak cengeng, mereka akan dapat berjalan sendiri seperti saat mereka datang. Jangan mencoba meminjam kudaku untuk membawa mereka" Orang-orang itu masih tetap berdiam diri. Namun sejenak
kemudian, orang-orang itu mulai beringsut meninggalkan Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama. Tetapi beberapa langkah kemudian orang yang rambutnya mulai beruban itupun berhenti. Kemudian memutar badannya sambil bertanya "Apakah kalian bersedia menyebut nama dan gelar kalian serta perguruan kalian?" "Itu tidak penting" jawab Ki Panengah "gurumu tentu belum mengenal kami" Orang itu tidak mendesak lagi. Iapun kemudian berbalik pula dan meneruskan langkahnya meninggalkan ketiga orang tua yang berdiri termangu-mangu ditepi hutan itu. Sambil berdesah Ki Panengah itupun berdesis "Mereka masih belum menghentikan usaha mereka untuk memburu Pangeran Benawa" "Jika kita membuka hutan ini, kita memang harus berhati-hati. Mereka akan dapat bekerja bersama meskipun kemudian orang-orang dari berbagai perguruan itu akan dapat bertempur dan saling membunuh" Demikianlah, maka ketiga orang itupun kemudian meninggalkan hutan Jabung dan kembali ke kotaraja. Mereka sudah mendapatkan gambaran tentang hutan yang akan mereka buka. Tetapi mereka juga sudah mendapat gambaran, bahwa orang-orang yang menginginkan cincin itu telah memburu Pangeran Benawa sampai ke Pajang. Bahkan mereka tentu tidak akan segan-segan mengirimkan orangnya untuk mencari Pangeran Benawa di dalam lingkungan dinding Kotaraja dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. "Hal ini harus kita sampaikan kepada Ki Gede Pemanahan untuk mengamankan Pangeran Benawa. Jika perlu, Pangeran Benawa tidak usah terlibat dalam pembukaan hutan itu" gumam ki Panengah. "Tetapi Pangeran Benawa sendiri tentu bersikap" sahut Ki Waskita. Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawa memang bukan benda mati yang dapat mereka letakkan
dimana saja menurut keinginan mereka. Tetapi Pangeran Benawa itu justru mempunyai kemauan yang kadang-kadang justru sulit dimengerti. "Kita akan menghadap Ki Gede" desis Ki Panengah "tentu bersama dengan Ki Kriyadama" Apakah aku juga penting untuk ikut menghadap?" Ki Kriyadama dan Ki Waskita memberikan uraian tentang pembangunan padepokan setelah hutan itu dibuka" "Terserah saja kepada kalian" berkata Ki Kriyadama. Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita masih belum memberikan keterangan kepada murid muridnya. Namun Ki Panengah itupun berkata "Bersiap-siap sajalah. Kita akan segera mulai dengan kerja yang sangat berat" Sebenarnyalah di hari berikutnya, Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama telah menghadap Ki Gede Pemanahan untuk memberikan laporan tentang keadaan hutan Jabung yang akan mereka buka. Ki Gede Pemanahan itu tersenyum. Katanya "Aku dapat mengerti, Ki Panengah. Jadi bagaimana sebaiknya menurut Ki Panengah?" "Kami akan meminta bantuan Ki Gede untuk membuka hutan itu. Tetapi bukan berarti bahwa anak-anak kami dari padepokan tidak akan melakukannya. Kami, para pengasuh berpendapat, bahwa anak-anak kami harus tetap terlibat dalam pembangunan padepokan itu. Tetapi kamipun berpendapat bahwa kami tidak boleh mengorbankan waktu terlalu banyak dari anak-anak tersebut" "Baiklah Ki Panengah. Aku akan mempersiapkan tenaga yang kau inginkan itu" Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya pula "selain untuk mempercepat pembangunan padepokan itu, Ki Panengah dan seisi padepokan itu juga memerlukan pengamanan" Ki Panengah mengangguk-angguk. Ia segera mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ki Gede. Karena itu, maka Ki Panengahpun telah menceriterakan pula kehadiran orangorang dari perguruan Tegal Arang di hutan Jabung.
"Pengeran Benawa tetap terancam oleh orang-orang yang memburu cincin itu, Ki Gede. Kami sebenarnya menginginkan agar Pangeran Benawa tidak terlibat dalam kerja di hutan Jabung. Tetapi aku yakin, bahwa Pangeran Benawa tidak akan bersedia" "Ya. Akupun berpendapat, bahwa Pangeran Benawa akan menolak jika Ki Panengah mengusulkan kepadanya, agar Pangeran Benawa itu tidak usah ikut ke hutan Jabung. Iapun akan menolak jika diusulkan kepadanya untuk menyimpan cincinnya itu, karena ia tahu, bahwa Harya Wisaka juga sedang memburu cincin itu pula" "Jadi menurut Ki Gede?" "Orang-orang yang akan membantu hutan itu adalah orangorang yang akan mampu melindungi kalian pula. Seluruh keluarga padepokan. Bukan maksudku mengatakan bahwa orang-orang yang akan membantu membuka hutan Jabung itu memiliki kemampuan melebihi Ki Panengah, Ki Waskita, Ki I Kriyadama dan anak-anak dari padepokan itu. Tetapi jumlah mereka akan dapat ikut menentukan. Jika orang-orang yang menginginkan Pangeran Benawa karena Pangeran Benawa membawa cincin itu, jumlahnya terlalu banyak, maka kemungkinan buruk akan dapat terjadi. Tetapi dengan orangorang yanp aku kirim untuk membuka hutan itu, maka jumlah itu akan dapal diimbangi" Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya, Ki Panengah itu menegaskan "Apakah Ki Gede akan mengirim sekelompok prajurit ke hutan Jabung?" Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya "Para prajurit akan membantu Ki Panengah membuka hutan itu. Tetapi mel reka tidak akan hadir dihutan itu sebagai prajurit. Mereka akail luluh dengan para cantrik dari padepokan Ki Panengah sebagal satu ujud sumbangsih dari para prajurit" "Terima-kasih, Ki Gede" desis Ki Panengah. "Nah, tentukan saja. Kapan Ki Panengah akan mulai membuka hutan itu. Sekelompok orang akan ikut bersama para cantrik dan membuka hutan Jabung itu. Meskipun setiap hal mereka
bergulat dengan senjata, tetapi mereka tidak akan canggung mempergunakan kapak untuk menebang pepohonan di hutan itu" Demikianlah, maka Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama, seorang yang memilki pengetahuan luas dan memadai untuk membangun sebuah padepokan, telah menentukan saat untuk mulai membuka hutan itu. Orang tua para cantrikpun telah diberi tahu, saat yang penting itu. "Diawal bulan depan, kami akan mulai dengan membuka hutan itu. Pada saat bulan mulai nampak di langit, maka dihari berikutnya, maka pohon yang pertama akan ditebang. Orang tua dari para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Anak-anak mereka akan terlibat dalam satu kerja yang besar. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun bartanya "Apakah para cantrik akan mondar-mandir setiap hari dari padepokan ini ke hutan Jabung?" "Bagaimana cara yang terbaik menurut Ki Tumenggung?" bertanya Ki Panengah. "Sebaiknya para cantrik membangun perkemahan yang dapat menampung mereka di pinggir hutan Jabung. Waktu mereka tidak akan mereka habiskan untuk hilir mudik dari padepokan ini ke hutan Jabung" "Satu pikiran yang baik. Kami akan mempertimbangkan Ki Tumenggung" "Padepokan ini memerlukan waktu dua tiga pekan untuk membangun perkemahan serta mengangkut persediaan bahan makanan. Membuat sumur dan memagari lingkungan yang dipergunakan itu. Kita memang akan kehilangan waktu. Tetapi setelah itu, maka para cantrik tidak perlu lagi hilir mudik dari padepokan ini ke hutan Jabung. Sementara itu, waktu-waktu yang terluang akan tetap dapat dipergunakan untuk meningkatkan ilmu yang disadap diperguruan ini" "Gagasan yang bagus sekali, Ki Tumenggung. Agaknya kami akan dapat mengetrapkan gagasan ini bagi para cantrik" "Kerja ini adalah kerja yang besar, Ki Panengah. Hitungan waktunya adalah hitungan tahun. Bukan hari, pekan atau
bulan sekalipun" "Terima-kasih atas kesediaan Ki Tumenggung ikut memikirkan pertumbuhan padepokan ini" "Bukankah anakku ada di padepokan ini?" Sebenarnyalah bahwa gagasan itu memang sudah direncanakan oleh Ki Kriyadama. Tetapi bahwa Ki Tumenggung telah menyampaikan gagasan itu, justru menjadi perhatian Ki Panengah dan Ki Waskita. Bukan tentang gagasan itu sendiri, karena gagasan itu bukan hal yang baru. Tetapi kenapa gagasan itu disampaikan. Setiap kali Ki Panengah dan Ki Waskita membicarakan Ki Tumenggung Sarpa Biwada, mereka selalu tersenyum masam. Ki Waskita itupun berdesis "Kenapa kita terlalu curiga kepadanya?" "Kecurigaan kita kepadanya, sama seperti kecurigaan kita kepada Harya Wisaka. Kasihan Paksi" desis Ki Panengah. Dalam pada itu, maka persiapan-persiapan telah dilakukan. Peralatan yang akan dibawa, persediaan bahan pangan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Namun Ki Panengah berkata "Jarak hutan Jabung tidak terlalu jauh. Jika ada kekurangan, kita akan segera dapat mengambilnya di padepokan ini" Dalam pada itu, ditempat lain, sekelompok prajuritpun telah mempersiapkan diri pula. Mereka juga mempersiapkan alatalat untuk membuka hutan, Kapak, parang, tali-temali, dan sebagainya. Sedangkan sekelompok yang lain juga sudah mem persiapkan alat-alat pertukangan untuk membuat barakbarak darurat serta pagar pelindungnya. Sedangkan sekelompok kecil bertugas untuk merintis jalan yang lebih lebar menuju ke hutan Jabung. Kerja yang memakan waktu benahun-tahun jika hanya di kerjakan oleh lima-belas orang cantrik saja. Ketika datang waktunya untuk mulai kerja besar itu, maka Ki Gede Pemanahanpun telah mengatur para prajurit untuk berangkat berurutan. Sekelompok prajurit yang mendapat tugas merintis jalan telah berangkat lebih dahulu. Mereka
membuat jalan setapak ke hutan Jabung menjadi jalan yang memungkinkan untuk dilewati pedati-pedati yang akan membawa alat-alat dan pangan ke padang perdu diluar hutan Jabung. Sementara para cantrik yang telah dipersiapkan harus membangun perkemahan yang akan mereka pergunakan sementara, dibantu oleh beberapa orang prajurit yang memiliki ketrampilan pertukangan dipimpin langsung oleh Ki Kriyadama. Namun dalam pada itu, para prajurit yang ditugaskan untuk membantu pembangunan padepokan itu telah menanggalkan ciri-ciri keprajuritan mereka. Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita menyadari sepenuhnya, bahwa bantuan yang diberikan oleh Ki Gede Pemanahan bukannya sekedar bantuan tenaga. Tetapi juga beaya yang besar, karena para prajurit itu masih tetap harus menerima gaji mereka sebagai prajurit dan sedikit tambahan bagi setiap orang, karena mereka terlibat dalam kerja yang berat. Tetapi yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan itu telah disetujuui oleh Kangjeng Sultan, karena setiap persoalan yang menyangkut padepokan itu selalu disampaikannya kepada Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dihari-hari berikutnya, maka kerja membuka hutan Jabung itu menjadi semakin riuh. Para cantrik dari padepokan itu yang dipimpin oleh Ki Panengah dan Ki Waskita, serta para prajurit yang oleh Ki Gede Pemanahan diperbantukan kepada padepokan itu, telah bekerja keras untuk membangun sebuah padepokan. Seperti yang direncanakan, telah dibangun sebuah perkemahan sementara yang terdiri dari beberapa barak memanjang di padang perdu yang telah dibabat. Kerja itu benar-benar kerja yang besar. Ki Panengah harus mengakui, bahwa kerja itu tidak dapat dilakukan oleh para cantrik sendiri. Jika hal itu dilakukan, maka seperti kata Ki Kriyadana, bahwa kerja itu baru akan selesai selelah para Cantrik menjadi tua sementara mereka tidak sempal
menyadap ilmu sebagaimana yang mereka cita-citakan. Namun para cantrik dri padepokan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu sepenuhnya terlibat dalam pembangunan itu, sehingga merasakan ikut bertanggung-jawab terhadap padepokan yang telah mereka bangun itu. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya juga terlibat dalam kerja itu sebagaimana para cantrik yang lain. Ketika Ki Panengah dan Ki Waskita mencoba menghubungi mereka dan minta agar mereka tidak usah ikut dalam kesibukan pembangunan itu, maka sambil tertawa Pangeran Benawa berkata-Apa pula keberatannya" Bukankah dalam kerja itu terdapat banyak orang, sehingga tidak seorangpun akan mengganggu aku?" Ki Panengah dan Ki Waskita tidak dapat memaksa Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya untuk tidak melibatkan diri. Tetapi Ki Panengah dan Ki Waskita memang mencemaskan mereka. Dalam pada itu, kerja yang besar itu ternyata selalu diawasi oleh dua orang dari jarak yang cukup jauh. Kedua orang itu dengan cermat mengikuti kerja para cantrik dan para prajuirt itu dengan seksama. Namun akhirnya mereka mendapat kesimpulan, bahwa di hutan Jabung itu terdapat kekuatan yang cukup besar dan sulit untuk diatasi tanpa persiapan yang memadai. "Ternyata Pangeran Benawa mendapat perlindung yang kuat" berkata salah seorang dari mereka. "Kita memang harus bersabar. Kita tidak akan dapat bertindak dengan tergesa-gesa jika kita ingin berhasil" sahut yan lain. "Tetapi agaknya Harya Wisaka tidak sabar lagi untuk menangkap Pangeran Benawa. Saat ini adalah saat yang tepat untuk menangkapnya dan mengambil cincin dari tangannya. Jika waktunya tertunda-tunda, Harya Wisaka mencemaskan, bahwa cincin itu sudah tidak berada di tangan Pangeran Benawa lagi" "Tetapi apakah cukup kekuatan untuk menguasai para cantrik dan para prajurit yang bekerja membuka hutan itu?"
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Didalamnya dapat pula orang-orang berilmu tinggi seperti Ki Panengah, orang yang berewok itu, Pangeran Benawa sendiri dan Raden ftniawijaya." "Kita hanya wajib melaporkan apa adanya. Segala sesuatu terserah kepada Harya Wisaka" Tetapi kedua orang itu masih harus menunggu dua hari lagi. Seperti hari-hari sebelumnya, merekapun selalu datang dan mengawasi kerja yang sibuk di hutan Jabung itu. Beberapa batang pohon raksasa sudah dirobohkan, sementara beberapa balok yang panjang telah berdiri. Barak yang tiang-tiangnya yang dibuat dari batang-batang kayu bulat yang panjang sebesar bambu petung. Sementara itu kerangka atapnya dibuat dari bambu basah yang juga banyak terdapat dihutan itu. Barak-barak itu memang dibuat hanya untuk sementara. karena itu, maka bahannyapun tidak harus dipilih dengan sangat teliti, meskipun kekuatannya tetap diperhitungkan. "Mereka mempergunakan bahan seadaanya" desis salah seorang yang mengawasi kerja di hutan Jabung itu. "Tetapi bangunan yang sebenarnya bagi padepokan itu tentu dibuat dari kayu yang terpilih" Yang lain mengangguk-angguk. Akhirnya kedua orang itupun telah menghadap Harya Wisaka untuk memberikan laporan, apa yang sudah mereka lihat di Hutan Jabung. "Aku mempunyai kekuatan yang cukup besar. Aku akan ini menghancurkan mereka" berkata Harya Wisaka "Mungkin sekali" jawab salah seorang pengawas itu "Tetapi yang terjadi adalah perang yang yang besar yang tentu akan beranjangan. Pajang tentu akan segera menjatuhkan keputusan untuk menghancurkan kita yang disebutnya sebagai sebuah pemberontakan dan pengkhianatan. Kita tidak akan dapat bersembunyi dan mencuci tangan lagi" "Apakah kita harus menunggu cincin itu terlepas dari tangan Pangeran Benawa?" desis Harya Wisaka. "Tetapi kitapun tidak ingin tersuruk kedalam satu keadaan
yang rumit. Kita akan menjadi buruan yang selalu dikejarkejar" "Kita mempunyai kekuatan untuk melawan" "Itulah yang aku maksudkan. Kita harus mempersiapkan landasan itu lebih dahulu. Setelah kita berhasil menangkap Pangeran Benawa, maka kita akan langsung berada dilandasan itu" "Kau memang gila. Kau kira landasan itu belum dipersiapkan sekarang ini" Apa yang kau ketahui selama ini, he" "Tetapi apakah landasan itu sudah memadai?" "Jangan bodoh. Kita tidak akan bertempur dalam garis perang gelar" Kedua orang yang ditugasi untuk mengawasi hutan Jabung itu termangu-mangu sejenak. Namun Harya Wisaka itupun kemudian berkata "Tetapi memang kita tidak akan terlalu bodoh untuk menyerang mereka. Kita akan memancing orangorang dungu dari beberapa perguruan itu untuk datang lebih dahulu di hutan Jabung" Kedua orang pengawas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun mengangguk-angguk ketika Harya Wisaka berkata "Orang-orang kita yang berada diantara mereka akan memancing agar mereka berusaha menangkap Pengeran Benawa. Dalam pertempuran itu, kedua belah pihak akan hancur. Pada saat itulah kita datang untuk melumatkan keduanya dan menangkap Pangeran Benawa" "Jika demikian, kita harus membuat perhitungan yan matang. Kita tidak boleh terlambat, karena jika kita datang padu saat bantuan dari Pajang datang pula ke hutan Jabung, maka kitalah yang justru akan terjebak" "Kau memang dungu. Kita akan menutup jalan ke Kota Raja. Jika ada penghubung yang pergi ke Pajang untuk minta bantuan, kita akan menghancurkan mereka" "Jadi apa yang harus kami lakukan kemudian?" "Kalian harus tetap mengawasi keadaan. Aku akan bersama dengan beberapa orang yang dapat aku ajak bicara tentang
rencana ini" Sebenarnyalah, bahwa Harya Wisaka telah memanggil tiga orang yang dianggapnya dapat diajak berbicara tentang persoalan-persoalan yang sangat penting. Diantara mereka adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Aku akan tetap berada di Pajang" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada" "Tetapi Ki Tumenggung harus berhati-hati. Ki Tumenggung agaknya sudah dicurigai berhubungan dengan aku, karena aku datang kerumah Ki Tumenggung pada saat Pangeran Benawa juga ada dirumahmu. Sementara itu, aku sadari, bahwa aku adalah orang yang paling dicurigai diistana Pajang ini. Tetapi para pemimpin di Pajang tidak dapat membuktikan bahwa aku telah melakukan kesalahan" "Apa yang akan kita lakukan kemudian, Ki Tumenggung bertanya seorang Rangga yang berkumis lebat. "Ki Rangga Surareja" berkata Harya Wisaka "kita harus menyiapkan segala-galanya. Semua kekuatan harus kita himpun untuk menguasai Pangeran Benawa yang sampai sekarang masih membawa cincin itu. Kemudian seperti yang kita rencana kita akan meninggalkan Pajang dan berlindung di dalam kekuatan kita yang sesungguhnya. Pasukan Pajang tidak akan mudah menemukan kita sehingga pada saatnya kita mengadakan perlawanan terbuka. Kita dapat menghimpun kekuatan disebelah Utara Gunung Kendeng. Kitapun dapat bekerja sama dengan orang-orang Demak yang sejalan dengan rencana kita" "Tetapi bagaimana dengan para pengikut Harya Wisaka yang ada di Pajang?" "Jangan hiraukan mereka. Biar saja mereka dihancurkan oleh pasukan Pajang asal cincin itu sudah ada ditanganku" "Tetapi apakah mereka tidak akan menjadi bebanku?" bertanya Ki Sarpa Biwada. "Tidak seorangpun dapat mengkaitkan Ki Tumenggun dengan usaha menangkap Pangeran Benawa itu. Sampai saat ini yang Ki Tumenggung kerjakan adalah kegiatan dibawah
permukaan. Memang kecurigaan-kecurigaan itu ada dan sepert aku katakan, Ki Tumenggung harus berhati-hati. Tetapi aku yakin, bahwa Ki Tumenggung akan mampu mengelakkannya" "Tetapi jika kemudian Harya Wisaka berhasil dan Hary Wisaka kembali untuk merebut Pajang, aku justru tidak disingkirkan" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Jangan cemas. Rencanaku sudah matang. Orang-orang kita sudah mulai mempengaruhi para pemimpin perguruan yang dungu itu. Mereka sudah mempersiapkan sebuah serangan besar-besaran untuk menangkap Pangeran Benawa. Pada saal itulah kita akan memetik keberhasilan perjuangan yang sudah sekian lama kita lakukan" "Tetapi ingat titipanku" "Jangan takut. Apa artinya seorang Paksi Pamekas. Demikian kita menangkap Pangeran Benawa, mengambil cincinnya, maka semuanya akan mati. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan titipanmu itu. Kau tidak akan merasa terganggu lagi Kau akan memiliki segalanya yang kau inginkan" "Terima-kasih" Ki Tumenggung mengangguk-angguk Demikianlah, Harya Wisaka telah merencanakan segalagalanya. Beberapa orang pengikutnya yang berhasil diseledupkan kedalam lingkungan perguruan-perguruan yang memperebutkan cincin yang disimpan oleh Pangeran Benawa itu telah berhasil menghasut para pemimpinnya untuk membawa Pangeran Benawa ke hutan Jabung. Para pemimpim dari perguruan Tegal Arang yang mendengar keterangan tentang keberadaan Pangeran Banawa di hutan Jabung, dihubungkan dengan laporan orang-orangnya yang bertemu dengan Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama, telah meyakinkan mereka, bahwa hutan Jabung memang sedang dibuka untuk membangun sebuah padepokan. "Pangeran Benawa ada didalamnya" berkata pengikut Harya Wisaka yang berhasil menyelundup kedalam lingkungan perguruan Tegal Arang.
"Kau yakin?" bertanya seorang diantara para pemimpin perguruan Tegal Arang. "Sebaiknya kita mengirim satu dua orang petugas sandi untuk meyakinkannya" berkata pengikut Harya Wisaka yang berhasil menyelundup itu. Ternyata pengamatan para petugas sandi itu membenarkan. Pangeran Benawa ikut dalam pembangunan padepokan itu. Yang kemudian mengamati pembangunan padepokan itu bukan hanya perguruan Tegal Arang, perguruan-perguruan yang lainpun telah melakukannya pula, perguruan Sad, perguruan Goa Lampin dan perguruan-perguruan yang lain. Bahkan merekapun telah melakukan pembicaraan diantara mereka untuk bergabung menyerang mereka yang sedang membuka hutan Jabung itu. "Kita tidak akan bertengkar kemudian. Kita membua janji, bahwa Pangeran Benawa akan menjadi hak siapapun yang berhasil menangkapnya. Demikian pula jika cincin yang ada padanya. Tetapi jika cincin itu sudah dilepaskannya, maka siapapun yang menemukan cincin itulah yang mempunyai hak, sehingga kita tidak perlu untuk saling berperang kemudian" Pernyataan itu ternyata saling disepakati, sehingga dengan demikian, maka merekapun telah mempersiapkan orang-orang mereka untuk menyerang perkemahan yang ada di padang perdu, dipinggir hutan Jabung. "Kita tidak perlu tergesa-gesa" berkata salah seorang diatara mereka" membangun sebuah padepokan dengan membuka hutan itu memerlukan waktu yang lama" "Jadi maksudmu?" bertanya yang lain. "Kita harus berhati-hati. Kita harus tahu benar kekuatan yang ada di hutan Jabung itu" Namun pengikut Harya Wisaka yang diselundupkan kedalam lingkungan perguruan-perguruan yang menginginkah cincin itupun memberikan keterangan, bahwa yang perlu diperhitungkan hanyalah para pemimpin dan murid-murid dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Panengah" "Lalu apa yang lain?" bertanya seseorang yang telah
mengamati pembukaan hutan Jabung itu. "Mereka adalah orang-orang upahan. Mereka adalah orangorang padesaan yang dikumpulkan oleh Ki Panengah dan kemudian diupah untuk membantu mengerjakan pembuatan padepokan itu, karena tidak mungkin para cantrik sendiri yang melakukannya" Para pemimpin perguruan itupun kemudian telah menyetujui rencana penyerangan terhadap orang-orang yang membuka hutan Jabung itu. Tetapi perguruan itu tetap saja berhati-hati. Mereka telah mengirimkan petugas-petugas sandi untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya di hutan Jabung. Tetapi sejak semula para prajurit yang membantu bekerja hutan itu memang tidak mengenakan ciri ciri keprajuritan mereka. Dengan demikian, maka memang sulit untuk diketahui, bahwa mereka sebenarnya adalah para prajuritprajurit yang telatih untuk memegang senjata. Dalam pada itu, maka perguruan-perguruan itupun telah menyusun rencana penyerangan sampai ke bagian-bagian yang terkecil yang harus mereka sepakti. Harya Wisaka mengikuti semua rencana perguruan-perguruan itu lewat orang-orangnya yang dapat diselundupkan kedalam lingkungan mereka. Dengan keterangan-keterangan itulah, maka Harya Wisaka telah mempersiapkan orang-orangnya pula. Pada saat yang tepat pasukannya harus hadiri hutan Jabung. Sementara itu, beberapa orang harus mengawas jalan yang menghubungkan hutan Jabung dengan pintu gerbang kotaraja untuk menahan setiap penghubung yang akan memberikan laporan dan minta bantuan jika serangan orangorang dari perguruan-perguruan yang menginginkan Pangeran Benawa itu datang. Dalam pada itu, pada persiapan dihari-hari terakhir yang direncanakan, maka para pemimpin dari perguruan-perguruan yang ingin menangkap Pangeran Benawa itu telah bertemu Kebo Surutlah yang masih saja dianggap cukup berpengaruh untuk memimpin pertemuan itu. "Seharusnya kau duduk disini, Nyi Melaya Werdi" desis Wira
Bangga. "Iblis kau" geram Nyi Melaya Werdi "bercerminlah. Lihat wajahmu yang buruk itu dipermukaan sendang yang airnya diam. Kau akan malu sendiri" Wira Bangga itu tertawa. Katanya "Kau sekarang menjudi semakin garang Nyi. Mungkin selama ini kau semakin mematangkan ilmumu. Karena itu, kau nampak sedikit lebih kurus. Tetapi karena itu kau menjadi semakin langsing dan semakin cantik" "Aku tantang kau berperang tanding" Wira Bangga tertawa semakin keras. Namun kemudian Sima Pracimapun memotong "He, dimana adikmu Megar Permati?" "Ia tidak masuk. Telinganya selalu menjadi panas mendengar kata-kata kalian yang kotor. Megar Permati takut, bahwa ia tidak akan dapat menahan diri, sehingga salah satu diantara kaian akan dibunuhnya" Sima Pracima tertawa berkepanjangan. Bahkan yang lainpun tertawa pula. Dengan nada tingi Sima Pracima itupun bertanya kepada Gedhag Panunggal "He, Gedhag Panunggal. Kenapa kau diam saja?" "Aku lebih baik diam saja. Aku dan Megar Melati telah membuat janji sendiri" "Setan kau. Iblis kau" geram Melaya Werdi. Gedhag Panunggal masih saja tertawa. Tetapi Kebo Serutlah yang kemudian tertawa "Sudahlah. Duduklah disini, Melaya Werdi. Aku masih menunggu sejodhang nasi gurihmu dan inkungmu yang sepuluh itu" Melaya Werdi tersenyum. Katanya "Sebenarnya aku sudah menyediakan paman. Tetapi aku tidak tahu, dimana paman bersembunyi, sehingga aku tidak tahu, kemana aku harus mengirimnya" "Ah, aku tidak bersembunyi" "Tetapi aku tidak tahu, dimana paman tinggal" Kebo Serut tertawa. Katanya "Baiklah. Kita sisihkan sebentar jodhangmu itu. Kita berbicara tentang rencana kita untuk menyerang Alas Jabung"
Suasanapun kemudian berubah menjadi bersungguh-sungguh. Nyi Melaya Werdipun kemudian memberikan isyarat kepada adiknya, agar Megar Permati memasuki ruangan itu pula. Meskipun suasananya sudah berubah, tetapi Gedhag Panunggal masih saja tersenyum-senyum sambil berdesis "He, kau sempat bersolek pula Megar" Megar Permati sama sekali tidak menjawab, Iapun segera duduk dibelakang kakak perempuannya. Nyi Melaya Werdi. Sejenak kemudian, maka orang-orang itupun mulai berbicara tentang rencana mereka. Namun Kebo Serut masih bertanya "Apakah Rapak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak datang?" "Keduanya adalah orang-orang liar yang tidak dapat diajak berbicara dengan baik-baik" jawab Wira Bangga. "Kita tidak usah menghiraukan perempuan jalanan itu beserta suaminya" Kebo Serut tertawa. Katanya "Jangan membenci Pupuk Rembulung. Setidak-tidaknya untuk sementara" "Ia selalu merasa perempuan yang cantik didunia" "Itulah yang menarik pada seorang perempuan. Siapapun perempuan itu, ia merasa yang paling cantik didunia. Iapun lalu tidak senang jika ada perempuan lain yang merasa cantik pula" "Paman memihak Pupus Rembulung" potong Mega Permati. Melaya Werdipun menggamitnya sambil berdesis "Sudahlah" Megar Permatipun terdiam. Kebo Serutlah yang kemudian membawa orang-orang yang telah terkumpul itu untuk menyusun rencana dalam sebuah pembicaraan yang mendalam. Pertemuan itu telah mensahkan kesepakatan mereka terdahulu. Siapa yang berhasil menangkap Pangeran Benawa dalam pertempuran yang bakal terjadi di hutan Jabung itu, maka ialah yang berhak menawan dan merampas cicin yang dibawanya Kemudian terserah kepadanya, apakah Pangeran Bemawa itu akan dilepaskan atau akan dibunuh. Sementara itu, jika cincin itu sudah terlepas dari tangan Pangeran
Benawa, maka siapa yang berhasil menemukannya, maka ialah yang berhak. Yang lain harus menghindari pertempuran diantara mereka, karena pertempuran itu hanya akan menghambur-hamburkan nyawa para pengikut mereka. Para pemimpin itu telah membicarakan pula, darimana mereka menyerang. Akhirnya merekapun memutuskan untuk menyerang hutan Jabung itu diakhir pekan. Mereka akan berkumpul disekitar hutan Jabung dimalam yang akan diterangi oleh bulan yang hampir penuh. Mereka akan menyerang pada saat matahari akan terbit. "Aku akan memberikan isyarat" berkata Kebo Serut "orangorangku akan melepaskan panah sendaren keempat penjuru, sehingga semuanya akan dapat mendengarnya. Pada saat itulah kita akan menyerang. Nah, siapa pula yang kemudian akan beruntung, bertemu dengan Pangeran Benawa di medan berhasil menangkapnya" Pertemuan itu mereka sepakati pula sebagai pertemuan yang terakhir. Setelah itu, mereka akan bertemu langsung di hutan Jabung bersama pasukan mereka masing-masing dan bersiap menerima isyarat anak panah sendaren. "Ingat, Akhir pekan. Menjelang matahari terbit, anak panah sendaren itu akan meluncur. Siapa yang terlambat adalah ulah mereka sendiri. Pangeran Benawa akan menjadi milik mereka yang datang lebih dahulu" berkata Kebo Serut. Keputusan itu memang sampai ketelinga Harya Wisaka. orangorangnya yang berhasil disusupkan di perguruan-perguruan yang menginginkan cincin itu, telah memberikan laloran, bahwa perguruan-perguruan itu telah mempersiapkan orangorangnya sebaik-baiknya. Mereka akan berkumpul di hutan Jabung pada akhir pekan. "Bagus" desis Harya Wisaka "kita harus memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Kita tunggu sampai kedua belah pihak kehabisan nafas. Kemudian kita akan melumatkan mereka untuk mengambil Pangeran Benawa" Namun dalam pada itu, bukan Harya Wisaka sajalah yang
mendapat laporan tentang kesiagaan beberapa perguruan untuk menyerang hutan Jabung. Tetapi laporan tentang ilu telah ditangkap pula oleh para petugas sandi dari Pajang. Seorang petugas sandi telah berhasil menyusup kedalam lingkungan kegiatan Harya Wisaka. Tetapi ada pula diantara mereka yang berhasil menyusup kedalam lingkungan perguruan-perguruan yang telah mempersiapkan diri untuk menyerang hutan Jabung. Ketika laporan tentang kegiatan Harya Wisika itu sampai ketelinga Ki Tumengung Wirayuda, maka Ki Tumenggungpun lelah menyampaikannya pula kepada Ki Gede Pemanahan. Ki Gede Pemanahan telah mencocokkan laporan itu dengan laporan yang telah diberikan oleh petugas sandi yang menjadi penghubung dengan petugas yang berada dilingkungi perguruan-perguruan yang ingin menyerang hutan Jabung itu "Siapkan pasukan yang dapat bergerak cepat, Ki Tumenggung, disamping pasukan yang harus sudah berada di hutan Jabung. Kita harus menjebak mereka dan menjebak para pengikut Harya Wisaka. Namun kita harus benar-benar memperhitungkan waktu" "Aku sudah mempersiapkan pasukan yang segera aku kirim ke hutan Jabung, Mereka akan pergi kehutan itu di dalam pedati-pedati yang membawa peralatan dan bahan pangan ke hutan Jabung sebagaimana sering dilakukan" "Waktunya tinggal tiga hari lagi, Ki Tumenggung. Mereka akan menyerang hutan Jabung itu pada akhir pekan" "Mulai hari ini beberapa pedati akan pergi ke hutan Jabung, Ki Gede. Sebagaian dari pedati-pedati itu akan membawa bakal dinding bambu yang siap di pasang di perkemahan yang sedang di bangun itu. Ki Kriyadama memang merencanakan untuk membeli dinding-dinding bambu yang sudah dipasarkan. Waktunya tidak memungkinkan untuk menganyam sendiri dinding bambu itu. Apalagi hanya untuk dipakai sementara, sehingga tidak memerlukan dinding bambu yang bermutu terlalui baik"
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya-tanya "Bagaimana dengan Pangeran Benawa Sendiri?" "Sudah diduga, permohonan kami agar Pangeran Benawa berada di istana untuk menjaga segala kemungkinan ditolaknya. Pangeran Benawa justru berharap untuk memancing agar segala-galanya segera dapat diselesaikan" "Aku sudah menduga" desis Ki Gede Pemanahan. Dengan nada berat iapun berkata "Namun dengan demikian, tanggung-jawab kita menjadi berat. Jika terjadi sesuatu atas Pangeran Benawa itu, maka kitalah yang akan digantung oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang sebenarnya sangat mencintai puteranya itu" Ki Tumenggung Wirayuda itu mengangguk-angguk. Katanya "Ya, Ki Gede. Mudah-mudahan kita dapat mengatasi gejolak yang bakal terjadi dihutan Jabung itu" "Kita juga tidak tahu pasti, seberapa besar kekuatan gabungan dari perguruan-perguruan itu, yang nampaknya tidak dapat diabaikan" "Kita berharap bahwa mereka menganggap orang-orang yang bekerja di hutan Jabung itu bukan para prajurit, sehingga persiapan mereka tidak cukup memadai" "Harya Wisaka tahu, bahwa para pekerja itu adalah prajurit-prajurit" "Tetapi Harya Wisaka sengaja tidak membocorkan hal itu. Rahasia itu dipegangnya sebagaimana kita merahasiakannya, karena Harya Wisaka juga ingin menjebak dan mengharap perguruan-perguruan itu dihancurkan agar untuk selanjurnya, Harya Wisaka tidak merasa terganggu oleh mereka" "Harya Wisaka memang cerdik. Kita berharap bahawa Harya Wisaka sendiri ikut dalam pasukan yang akan menangkap Pangeran Benawa itu, sehingga tidak akan dapat menangkapnya" "Mudah-mudahan Ki Gede" "Apakah Ki Tumenggung Wirayuda sudah menghubungi Ki
Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama?" "Sudah, Ki Gede" "Baiklah. Persiapkanlah segala sesuatunya. Pasukan berkuda itu jangan mengecewakan. Penempatan para petugas sandi yang akan mengirimkan berita lewat panah sendaren beranting itu harus benar-benar mapan, sehingga kita segera tahu, kapan pasukan pasukan berkuda itu harus bergerak. Hutan jabung tidak terlalu jauh, sehingga isyarat beranting itu harus benar-benar sampai" "Ada dua jalur yang sudah dipersiapkan, Ki Gede. Tetapi juga jalur lain. Penghubung berkuda itu akan menyampaikan laporan" "Mereka tidak akan sampai ke gerbang kota. Jika Hary Wisaka sudah mempersiapkan rencananya sebagaimana yang kita dengar, maka ia tentu akan menutup jalur kepintu gerbang kota" "Benar, Ki Gede. Tetapi penghubung kita akan menempuh jalur yang lain dari jalur yang diperhitungkan. Mereka sudah merintis jalan mereka sendiri. Tetapi kita berharap, bahwa isyarat beranting dengan panah sendaren itu tidak akan meleset. Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya beban kita cukup berat. Pangeran Benawa berkeras untuk tidak bersedia berada di istana. Bahkan seandainya Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri yang memerintahkannya. Sedangkan jika terjadi sesuatu atas dirinya, kita tentu akan menanggung akibatnya" -ooo00dw00oooJilid 18 "TETAPI kita dapat mengerti jalan pikiran Pangeran Benawa, Ki Gede. Dengan demikian, maka kita akan segera dapat menghancurkan mereka. Demikian pula dengan kekuatan yang dihimpun oleh Harya Wisaka. Kehadiran Ki
Rangga Suraniti di Kotaraja ini agaknya juga sangat menarik perhatian Pangeran Benawa Ketika Pangeran Benawa mendengar bahwa Ki Rangga Suraniti ada di kota, maka Pangeran Benawa langsung memerintahkan untuk mengamatinya. Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga Suraniti sudah berhubungan dengan Harya Wisaka" "Ketika aku mendengar laporan itu, aku menjadi sangat prihatin. Ki Rangga Suraniti adalah seorang prajurit yang sangat baik. Tetapi aku tidak tahu, kenapa ia terjebak oleh bujukan Harya Wisaka. Semula aku mengira bahwa Ki Rangga Suraniti sengaja mencari keterangan tentang niat Harya Wisaka. Tetapi ternyata dugaan itu keliru. Apalagi setelah aku mendengar keterangan Pangeran Benawa yang melihat Ki Rangga Suraniti terlibat langsung dalam benturan dengan beberapa perguruan di lereng Gunung Merapi. Nampaknya Ki Rangga juga sedang memburu Pangeran Benawa pada waktu itu" "Ya, Ki Gede. Beban tugas kita memang sangat berat kali ini. Tetapi aku menjadi sedikit tenang, karena Pangeran Benawa selalu bersama dengan Raden Sutawijaya dan Paksi Pamckas. Meskipun kita mencurigai ayah Paksi, tetapi Paksi sendiri benar-benar dapat dipercaya sebagaimana dikatakan oleh Ki Pa-nengah dan Ki Waskita sendiri. Sedangkan Raden Sutawijaya, sebagaimana kita ketahui.anak muda itu memiliki segala-galanya dalam olah kanuragan" "Kau berkata begitu karena ayah Sutawijaya itu ada disini, Ki Tumenggung" berkata Ki Gede Pemanahan sambil tersenyum. "Tidak, Ki Gede. Aku berkata sebenarnya" jawab Ki Tumenggung Wirayuda bersungguh-sungguh. "Terima-kasih" Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. "Seandainya Raden Sutawijaya bukan seorang yang mumpuni, maka Raden Sutawijaya tentu sudah dilumatkan oleh Harya Penangsang di pinggir Bengawan itu" Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya "Sudahlah. Namun bagaimanapun juga, kita harus mempersiapkan kekuatan yang
cukup untuk menghadapi gejolak yang bakal terjadi di hutan Jabung itu. Perang yang akan terjadi bukan sekedar perang baradu kekuatan pasukan, tetapi juga perang beradu kecerdikan dan ketepatan menghitung waktu" "Ya. Ki Gede" "Aku percaya kepadamu, Ki Tumenggung" berkata Ki Gede Pemanahan. Ki Tumenggung Wirayudapun kemudian telah minta diri. Sementara Ki Gede masih berpesan "Berhati-hatilah" Demikianlah, maka memenuhi pesan Ki Gede, maka Ki Tumenggung Wirayudapun telah berbicara dengan beberapa orang kepercayaannya. Mereka harus mempersiapkan diri dengan diam-diam. Pasukan berkudapun telah dipersiapkan untuk dapat bergerak setiap saat. "Tingkatkan perondaan didalam kota" perintah Ki Tumenggung Wirayuda. Ki Rangga Yudapranata yang memimpin pasukan berkuda yang telah dipersiapkan untuk bergerak dengan cepat, menjadi heran. Dengan nada tinggi ia bertanya "Kenapa perondaan didalam kota yang ditingkatkan?" "Kenapa bukan perondaan disekitar Alas Jabung?" Ki Tumenggung justru bertanya. Ki Rangga itupun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Aku mengerti" Sebenarnyalah Ki Rangga telah meningkatkan perondaan didalam kota. Setiap kali dua tiga orang prajurit berkuda berkeliling menelusuri jalan-jalan kota. Beberapa orang petugas sandi yang dikirim oleh beberapa buah perguruan yang telah mempersiapkan diri untuk menyerang Alas Jabung, dan bahkan juga petugas sandi yang bekerja bagi Harya Wisaka, menganggap bahwa orang-orang Pajang lelah salah menanggapi keadaan. "Petugas sandi Pajang tentu melihat satu kegiatan yang tidak dimengerti. Karena itu, mereka meningkatkan pengawasan didalam kota" berkata salah seorang petugas sandi. Sebenarnyalah, bahwa para prajurit berkuda yang meronda itu
sendiri belum mendapat perintah yang sebenarnya, kenapa mereka harus berada dalam kesiagaan tertinggi. Merekapun menduga, bahwa kota Pajang berada dalam bahaya, sehingga mereka harus meningkatkan kewaspadaan. Setiap saat kota Pajang akan mendapat serangan dari kekuatan yang cukup besar. Harya Wisakapun melihat meningkatnya pengawasan didalam kota. Tetapi Harya Wisaka dan orang-orangnya tidak melihat, bahwa bersamaan dengan pengiriman bahan-bahan bangunan dengan beberapa buah pedati, tetapi ikut pula beberapa kelompok prajurit yang akan memperkuat kedudukan kekuatan yang sudah terlebih dahulu berada di Alas Jabung. Dalam pada itu, orang-orang yang berada di Alas Jabung bekerja sebagaimana biasa. Seakan-akan mereka tidak mengetahui, bahwa kekuatan yang besar dari beberapa perguruan sedang mengintip mereka. Sementara itu, didalam barak sementara, Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama selalu membicarakan perkembangan keadaan sesuai dengan laporan yang mereka terima. "Waktunya tinggal dua hari" berkata Ki Rangga Suratapa, yang mendapat tugas untuk mempimpin para prajurit yang sudah berada di Alas Jabung. "Kita akan berbicara dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya" desis Ki Panengah. "Aku akan mempersilahkan keduanya untuk datang kemari" Sejenak kemudian, maka Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya telah duduk pula bersama dengan mereka. Namun Pangeran Benawa itupun bertanya "Dimana Paksi?" "Hamba belum memanggilnya. Pangeran" jawab Ki Rangga Suratapa. "Biarlah Paksi ikut berbicara bersama kita" "Baik, Pangeran" Sejenak kemudian, Paksipun telah hadir pulan untuk ikut mendengarkan beberapa persoalan yang akan dibicarakan oleh para pimpinan perguruan serta prajurit yang
diperbantukan kepada mereka untuk membangun sebuah padepokan. "Kita akan menghadapi kekuatan yang besar, Ki Panengah" berkata ki Rangga Suratapa kemudian. "Bukankah beberapa kelompok prajurit telah datang bersama dengan bahan-bahan bangunan itu?" "Ya. Tetapi kita belum tahu pasti kekuatan lawan. Beberapa perguruan akan datang bersama-sama. Kitapun harus memperhitungkan kekuatan Harya Wisaka. Kita sudah mendapat berita, bahwa sebagian prajurit yang berada di Prambanan telah ditarik sebelum waktunya. Sementara itu, kelompok yang menggantikannya harus berangkat lebih capat sepekan dari yang seharusnya" "Apa artinya itu, Ki Rangga?" "Artinya, kekuatan Harya Wisaka akan bertambah. Sementara para prajurit yang tidak dapat diperalatnya telah disingkirkan" "Siapakah yang mengaturnya?" "Agaknya otak permainan itu adalah Ki Rangga Suraniti" jawab Ki Rangga Suratapa "tentu saja bekerja bersama dengan beberapa perwira yang bertugas di kotaraja ini. Pada saatnya kita akan dapat menelusurinya" "Bukankah pasukan berkuda tidak terguncang oleh arus bujukan Harya Wisaka?" "Tentu tidak. Harya Wisaka tidak akan berani menembus dinding barak pasukan berkuda" "Belum tentu" desis ki Panengah" selama ini kita menganggap kesetiaan Ki Rangga Suraniti demikian tinggi. Tetapi apa yang terjadi?" "Tetapi didalam pasukan berkuda, kesetiaan itu mengikat beberapa orang perwira. Jika terjadi pengkhianatan harus dilakukan oleh semuanya. Tetapi itu adalah mustahil sekali" "Aku percaya kepada pasukan berkuda, guru" berkata Raden Sutawijaya kemudian. Namun iapun berkata "Meskipun aku juga heran terhadap apa yang terjadi atas Ki Rangga Suraniti"
Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya "Sukurlah. Bukankah kita meletakkan tumpuan kekuatan terakhir kepada pasukan berkuda itu?" "Ya" Pangeran Benawalah yang menyahut "bukankah segala sesuatunya sudah diatur sebaik-baiknya". Bahkan seandainya terjadi kelambatan, bukankah kita akan mampu bertahan untuk waktu yang diperlukan itu?" "Baiklah" berkata Ki Panengah "Tetapi kita harus berhatihati mengawasi para cantrik yang belum mempunyai cukup pengalaman. Mereka harus tetap berada didalam batasanbatasan yang kita berikan kepada mereka" "Aku, kakangmas Sutawijaya dan Paksi akan mengawasi mereka. Kita akan berada didalam satu kelompok tersendiri" "Bukan maksud kami mengecilkan arti kemampuan para cantrik itu. Pangeran. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Panengah bahwa pengalaman para cantrik itu masih sangat terbatas. Karena itu, kami sudah menyiapkan sekelompok prajurit pilihan dari Pasukan Khusus yang akan berada diantara para cantrik" "Apakah itu perlu?" bertanya Pangeran Benawa "Hal itu sama sekali tidak perlu bagi Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan juga bagi Paksi Pamekas. Tetapi hamba kira akan sangat perlu bagi para cantrik yang lain" Pangeran Benawa tertawa. Katanya "Ki Rangga sempat juga bergurau. Kehadiran prajurit dari Pasukan Khusus itu tentu karena Ki Rangga cemas, bahwa aku atau kakangmas Sutawijaya atau kedua-duanya terbunuh di pertempuran. Jika itu terjadi, Ki Ranggalah yang akan digantung oleh ayahanda Sultan" Ki Rangga mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa sebagaimana juga orang-orang lain yang hadir di penemuan itu. Dengan nada tinggi Ki Rangga menyambut "Memang sulit untuk berpura-pura dihadapan Pangeran Benawa"
"Tetapi tidak apa" sahut Raden Sutawijaya "kehadiran prajurit dari Pasukan Khusus itu baik bagi kami. Setidaktidaknya akan mengurangi beban kami" "Baiklah. Hamba harus mengaku" sahut Ki Rangga Suratapa kemudian. Demikianlah, dalam pertemuan itu, Ki Suratapa telah menguraikan rencana pertahanan yang disusunnya. Menurut laporan dari para petugas sandi, termasuk mereka yang telah berhasil menyusup, baik didalam pasukan Harya Wisaka, maupun diperguruan yang bernafsu untuk memiliki cincin yang dipakai oleh Pangeran Benawa itu, serangan akan datang dari semua arah. Mereka akan berebut lebih dahulu untuk menguasai Pangeran Benawa. Baru kemudiam, setelah menurut perhitungan kedua belah pihak kehabisan tenaga, Harya Wisaka akan datang untuk menghancurkan kekuatan yang tersisa. Pangeran Benawa tiba-tiba saja memotong "Aku boleh bangga karenanya. Ternyata aku adalah orang yang sangat penting, sehingga mereka telah memburuku" "Bukan kau, Adimas" sahut Sutawijaya "tetapi cincin itu" Pangeran Benawa tertawa pula. Katanya kemudian "Jika aku harus memiliki, harus jatuh ketangan siapa, aku akan memilih jatuh ketangan orang-orang dari Goa Lampin" Paksi yang lebih banyak berdiam diri mendengarkan, telah ikut tertawa pula, sehingga Pangeran Benawa berpaling kepadanya "Bukankah kau sependapat, Paksi" "Tetapi di tangan orang-orang Goa Lampin, Pangeran akan dipelihara didalam kerangkeng" "Itu tergantung dari sikap kita" "Kalau sikap kita berkenan dihati mereka?" "Aku tidak akan tinggal dikerangkeng sendirian" Yang hadir ditempat itu tertawa semakin keras. Pada umumnya mereka sudah tahu, siapakah yang berada didalam perguruan Goa Lampin itu. Apa pula yang sering dilakukan oleh orang-orang dari Goa Lampin. Namun sejenak kemudian, Pangeran Benawa itupun berkata
"Nah, bagaimana selanjutnya Ki Rangga Suratapa?" "Tepat pada saat yang sudah diperhitungkan, penghubung kita akan memberikan isyarat beranting kepada pasukan berkuda yang sudah siap. Kita akan memberikan perlawanan terhadap pasukan Harya Wisaka sejauh dapat kami lakukan, sampai saatnya pasukan berkuda itu datang. Tetapi menurut perhitungan kami, Harya Wisaka tidak mempunyai waktu cukup untuk menghancurkan kita sampai saatnya pasukan berkuda itu datang" "Kita bermain-main dengan waktu" berkata Raden Sutawijaya. "Kita memang harus membuat perhitungan yang tepat. Selisih beberapa kejap saja, kita benar-benar akan hancur disini oleh pasukan Harya Wisaka. Tetapi jika kita tidak menyiapkan perlawanan itu sejak semula, maka kita tidak akan pernah dapat menangkap Harya Wisaka" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara Ki Panengahpun berkata "Kita percayakan waktu itu kepada Ki Suratapa dan para penghubungnya" "Kami akan berusaha. Kami tahu, jika kami gagal, maka leher kami akan dapat menjadi taruhan" "Baiklah" berkata Ki Panengah "aku akan mempersiapkan para cantrik sebaik-baiknya. Aku minta, prajurit dan pasukan khusus yang akan menghadapi lawan bersama-sama para cantrik, dibiasakan lebih dahulu untuk menyatu, agar mereka menjadi saling mengenal lebih dalam lagi" "Baiklah, Ki Panengah. Nanti aku akan membawa mereka ke barak para cantrik" Demikianlah, maka Ki Rangga Suratapapun telah melakukan persiapan-persiapan terakhirnya. Sambil menebas hutan, para prajurit itupun telah menyiapkan pertahanan sebaik-baiknya. Mereka telah memasang hambatan-hambatan dan bah-kan jerat dan jebakan dihutan yang masih terhitung lebat itu. Justru karena mereka sedang menebangi hutan, maka mereka dapat melakukan pertahanan sebaik-baiknya. Jerat, patokpatok bambu tajam, lubang-lubang dalam yang diatasnya
ditutup dengan dedaunan. Dan berbagai macam hambatan yang lain pada jalur yang mereka perkirakan akan dilalui para penyerang. Adanya jebakan itu telah diberitahukan pula kepada para perwira prajurit berkuda, agar jika pada saatnya mereka turun dimedan, mereka tidak usah memburu lawan yang melarikan diri. "Biarlah itu dilakukan oleh para prajurit yang dapat mengenali pertanda dan isyarat jebakan-jebakan yang mereka buat sendiri" Dihari berikutnya, maka segala sesuatunya telah siap. Esok, menjelang fajar, mereka harus sudah bersiap sepenuhnya untuk bertahan terhadap serangan yang bakal datang seperti banjir bandang. Ketika malam turun, maka Harya Wisakapun telah memerintahkan semua orangnya bersiap. Mereka harus keluar dari kota malam itu dengan diam-diam. Mereka akan berada tidak jauh dari Alas Jabung, tetapi diluar lingkungan yang bakal dipergunakan oleh beberapa perguruan yang akan menyerang esok. Sebenarnyalah Harya Wisaka juga harus memperhitungkan waktu sebaik-baiknya. Harya Wisakapun telah memerintahkan sekelompok orangnya untuk menutup jalur jalan memasuki kota esok pagi, agar permintaan bantuan dari para prajurit di Alas Jabung tidak sampai kepada mereka yang berwenang memerintahkan pasukan berkuda bergerak. Sebenarnyalah malam itu, beberapa orang perguruan telah mempersiapkan diri untuk menyerang esok. Sebagian dari mereka telah mengirimkan orang-orangnya untuk mengamati keadaan. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat mendekat. Mereka hanya dapat melihat dari kejauhan, apa yang dilakukan oleh mereka yang sedang sibuk membuka hutan. Tetapi tidak seorangpun dari para pengawas dan petugas sandi itu yang menduga, bahwa diantara mereka yang bekerja keras menebangi pohon-pohon raksasa itu sedang sibuk membuat rintangan, hambatan dan bahkan jebakan atas
mereka. Menjelang fajar, maka segala-galanya harus telah siap. Semua orang yang telah berada disekitar pesanggrahan di Alas Jabung itu telah menempatkan diri. Sasaran mereka adalah barak yang berada ditengah-tengah padang perdu di pinggir hutan itu. Sebagian dari mereka berniat untuk menyerang lewat daerah terbuka. Tetapi sebagian lagi ingin menyerang dari arah hutan yang masih tertutup oleh pepatnya pepohonan itu. Malam menjelang hari serangan sebagaimana disepakati oleh beberapa perguruan itu adalah malam terang bulan meskipun bulan mesih belumn bulat benar. Beberapa orang cantrik ternyata tidak segera dapat tidur. Bahkan demikian pula Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi. Mereka duduk diatas sebuah batu di halaman barak yang didirikan untuk sementara itu. "Lihat" berkata Raden Sutawijaya "bulan berkalang" "Kenapa dengan bulan berkalang, kamas?" bertanya Pangeran Benawa. "Isyarat akan terjadi bencana di bumi. Besar atau kecil. Mungkin pertempuran esok adalah peristiwa yang sangat kecil bagi dunia ini. Tetapi bagi kita, peristiwa yang akan terjadi esok adalah peristiwa besar" Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah "Seharusnya aku menuruti nasehat beberapa orang untuk berada di istana. Hanya karena aku keras kepala, maka esok akan terjadi perang. Perang itu sendiri tidak apa-apa, bahkan dapat memberikan kesegara kepada kita dan para prajurit. Tetapi yang kemudian menyedihkan adalah akibatnya. Kekerasan, kekejaman dan kematian. Raden Sutawijaya justru tertawa. Katanya "Kau aneh adimas. Seolah-olah ada perang yang tidak berakibat mengerikan. Justru karena akibatnya itulah, maka perang seharusnya dihindari"
Pangeran Benawa menarik nafas panjang, sementara Paksipun tersenyum pula. Bahwa Paksi itupun kemudian berdesis "Dalam hal ini, bukanlah Pangeran telah memperhitungkan untung ruginya" Pangeran Benawa mengangguk kecil sambil menjawab "Ya. Tetapi sekarang aku menjadi ragu. Apakah perhitungan itu tepat untuk ditrapkan sekarang ini" "Sudahlah" berkata Raden Sutawijaya "jika dengan cara ini kita mendapat hasil sebagaimana yang kita kehendaki, maka cara ini adalah cara yang terbaik. Kita akan dapat menghisap kekuatan beberapa perguruan yang bagi Pajang seperti sebuah bi-sul yang semakin lama semakin membengkak. Kita tidak akan mau disiksa oleh perasaan sakit itu terus-menerus. Kita pecahkan bisul itu meskipun kita akan mengalami kesakitan yang memuncak. Tetapi sesudah itu, kita akan bebas dari perasaan sakit yang menyiksa dan bahkan pada suatu saat akan dapat meledak dengan akibat yang tidak dapat diduga. Jika saja mereka yang menjebak kita, akibatnya akan dapat menjadi jauh lebih parah" "Jika kita gagal?" "Ada dua akibat yang dapat terjadi esok. berhasil atau gagal. Jika kita selalu ketakutan dibayangi oleh kegagalan, maka kita tidak akan pernah berbuat sesuatu. Mungkin dengan berdiam diri, kita tidak akan mengalami kegagalan. Tetapi juga tidak akan pernah mengalami keberhasilan" Pangeran Benawa mengangguk-angguk pula. Katanya "Ya. Yang harus kita usahakan, kita tidak boleh gagal" "Kita sudah berbuat sejauh dapat kita lakukan. Kita sudah mengerahkan kemampuan para petugas sandi. Kita sudah berhubungan dengan orang-orang yang pantas kita yakini kemampuannya memperhitungkan langkah-langkah dan tujuan akhir peperangan. Kita sudah berusaha sejauh-jauhnya. Ki Panengah, Ki Waskita serta ayah telah berusaha pula untuk dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya" "Apapun yang akan terjadi, sudah diperhitungkan dengan cermat. Meskipun demikian, apa yang terjadi mungkin tidak
sesuai dengan perhitungan kita, karena keterbatasan kemampuan kita. Namun kita sudah berusaha. Sedangkan penentuan akhir ada di tangan Yang Maha Agung" Paksipun menyela. Raden Sutawijaya menepuk bahu Paksi"Bukan saja berdasarkan atas penglihatan pada permukaan. Tetapi kau sudah menukik kekedalaman" "Ya" desis Pangeran Benawa "kau benar Paksi. Kita memang harus berdoa disamping berusaha sejauh dapat kita lakukan" "Nah, jika demikian, bukankah tidak akan ada kebimbangan lagi dihati adimas?" bertanya Raden Sutawijaya "dalam saatsaat seperti ini, kebimbangan merupakan salah satu hambatan, justru pada saat-saat kita harus bertindak dengan pasti" "Ya, kakangmas" Pangeran Benawa mengangguk "aku mengerti. Aku harus menyingkirkan keragu-raguan itu tanpa mengingkari kenyataan yang dapat terjadi" Ketiganyapun kemudian telah terdiam sejenak. Malam yang sepi menjadi semakin sepi. Di kejauhan terdengar suara-suara malam yang kadang-kadang menyentuh dasar jantung. Sementara itu bulanpun memancar di langit. Esok bulan akan menjadi semakin bulat. Tetapi Pangeran Benawa tidak tahu, apakah esok malam ia masih akan berada di pinggir hutan itu. Pangeran Benawa bukan seorang penakut. Tetapi ia membayangkan juga gerombolan-gerombolan orang yang memburunya sejak ia mengembara sampai malam itu. Orangorang itu besok akan datang dengan senjata terhunus. Namun ketiganya terkejut ketika mereka mendengar desir lembut mendekat. Dengan sikapnya ketiganyapun segera bangkit dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. "Hamba Pangeran" seseorang tiba-tiba saja muncul dari balik gerumbul. "Siapa" Bulan, matahari atau bintang?"
"Hamba, kelapa gading bertangkai ijuk" Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawapun kemudian berkata "kemarilah" Orang itupun mendekatidan berhenti beberapa langkah di hadapan Pangeran Benawa. "Ada apa?" "Ki Suratapa memerintahkan kepada hamba untuk menyampaikannya kepada Pangeran" "Apa pesannya?" "Pangeran bersama Raden Sutawijaya serta Paksi Pamekas dimohon untuk masuk kedalam barak" "Kenapa?" bertanya Pangeran Benawa. "Kami melihat dua orang yang berusaha menyusup lam lingkungan ini" "Kenapa tidak kalian tangkap saja orang itu?" "Kami tidak ingin memberikan kesan kesiagaan Kami hanya mengawasi saja mereka. Menurut penglihatan kami. Mereka sudah menjauh. Tetapi mungkin ada orang lain yang melakukannya dan bahkan diluar pengamatan kami. Pangeian adalah sasaran utama dari gerombolan-gerombolan orang yang sudah mempersiapkan diri untuk menyerong esok fajar" Pangeran Benawa menarik nafas dalam dalam, iapun ke mudian berdesis "Terima-kasih atas peringatanmu. Tetapi apakah aku boleh tahu keadaan kita sekarang?" "Tempat ini sudah terkepung. Mereka berada di segala arah. Bahkan didalam hutan itu pula. Kekuatan mereka memang sangat besar" "Bagaimana perbandingannya dengan kekuatan kita disini?" "Jumlah mereka tentu lebih banyak. Pangeran. Memang diluar dugaan. Tetapi kila sudah memasang hambatan-hambatan. Para prajuritpun telah menyiapkan senjata lontar yang cukup. Bukankah Ki Suratapa sudah berpesan agar Pangeran, Raden Sutawijaya, Paksi dan para cantrik berada didalam pagar yang mengelilingi barak utama itu. Jika ada diantara mereka yang sempat mendekat, para cantrik bersama Ki Pangeran, Ki Waskita dan Ki Kriyadama, sebaiknya bertahan didalam
dinding halaman barak bersama beberapa orang prajurit khusus itu" "Jadi kami harus pergi ke barak utama itu?" bertanya Raden Sutawijaya. "Ya Raden" "Bukankah barak-barak yang lain juga mendapat pengamatan?" "Tetapi sebaiknya Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi Pamekas berada di barak utama" "Jadi kami akan diperlakukan sebagai gadis-gadis pingitan?" "Bukan maksud kami, Pangeran" "Jadi kami hanya akan bertempur jika ada musuh memasuki barak utama?" Orang itu terdiam. Namun Raden Sutawijayalah yang kemudian menjawab "Baiklah. Kami akan pergi ke barak utama yang diberi pagar yang cukup rapat dan tinggi" "Pagar itu membuat lingkungan itu menjadi pengab" desis Pangeran Benawa. Tetapi Raden Sutawijayapun telah mengajak Pangeran Benawa untuk pergi ke barak utama. Kepada petugas yang menghubunginya itu Raden Sutawijaya berkata "Kembalilah Ki Rangga Suratapa. Katakan, bahwa pesannya sudah sampai. Kami akan pergi ke barak utama" "Baik Raden. Hamba mohon diri, Pangeran" Orang itupun kemudian segera beringsut dan kemudian seakan-akan telah hilang dlbayangan gerumbul-gerumbul perdu. "Jadi besok kita akan menjadi penonton saja kakangmas?" bertanya Pangeran Benawa. "Orang itu hanya seorang petugas yang menyampaikan pesan Ki Rangga Suratapa. Kita mengiakan saja pesan itu, apapun yang akan kita lakukan besok" Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tertawa sambil berdesis "Kakangmas memang cerdik" Raden Sutawijaya dan Paksipun tertawa pula. Namun Paksilah
yang kemudian berkata "Tetapi sebaiknya para cantrik itupun dibatasi geraknya. Jika mereka terjun ke medan pertempuran yang paling liar, tentu akan sangat berbahaya. Bekal mereka belum cukup banyak. Apalagi pengalaman mereka" "Ya. Aku sependapat" desis Pangeran Benawa. Demikianlah, mereka bertigapun kemudian telah pergi ke barak utama yang diberi berpagar. Di barak itu para cantrik dari perguruan Ki Panengah itu tinggal. Bukan hanya di saatsaat yang berbahaya. Tetapi mereka memang berada di barak itu. Se-dangkan para pekerja yang lain, yang sebenarnya terdiri dari para prajurit, berada di barak-barak yang lain. Barak yand sederhana dan bahkan sebagian terbuka. Sebenarnyalah bahwa pengamatan di sekitar barak-barak itu dilakukan dengan cermat. Tetapi disamarkan dengan baik. Tidak ada peronda yang berkeliling mengamati keadaan. Tidak ada kelompok-kelompok yang ditempatkan di sekitar tempat itu. kecuali beberapa orang yang berada disebuah gubug kecil di depan barak penyimpanan bahan-bahan dan peralatan. Tempat yang dijaga dan diawasi sejak kerja itu dimulai. Empat orang duduk di gubug kecil itu, dibawah sinar lampu minyak yang berkerdipan. Untuk menahan kantuk mereka bermain macanan dan bas-basan. Ketika salah seorang dari mereka menawarkan untuk bermain dadu, maka kawannyapun menolak. "Jika kita bermain dadu, otak kita tidak terasah untuk menambah kecerdasan. Bermain dadu adalah sepenuhnya untung-untungan" kawanya menolak. "Sekedar menahan kantuk" "Ada cara lain yang lebih bagus" Sementara itu, dua orang yang menyelinap memasuki lingkungan itu mengamati orang-orang yang berada di gubug itu dengan saksama. Namun kemudian seorang diantara mereka berdesis "Penjaga barak itu, sama sekali tidak mengira bahwa esok pagi, demikian matahari terbit, lingkungan ini akan disapu oleh kekuatan yang tidak terlawan yang akan berebut menangkap Pangeran Benawa"
Kawannya tertawa pendek. Katanya "Kitalah yang besok harus mencapai bangunan utama itu paling awal. Pangeran Benawa tentu berada di bangunan itu bersama orang-orang penting serta para cantrik dari perguruan yang sedang membangun pa-depokan itu. Sedangkan di barak-barak yang lain itu tentu merupakan barak bagi para pekerja" "Sebelum matahari sepenggalah, kerja kita tentu sudah selesai. Persoalan yang kemudian timbul, siapa yang dapat menangkap Pangeran Benawa lebih dahulu" "Bahkan mungkin Pangeran Benawa sudah tidak ada di barak itu" "Masih ada. Kemarin sore, Pangeran Benawa masih ada di tempat ini. Sementara itu, tidak ada iring-iringan orang berkuda yang meninggalkan barak ini sampai malam turun" "Kita tidak dapat mengamati isi barak ini dengan jelas. Sulit untuk dapat mendekati. Para pekerja bersama para cantrik menebar dilingkungan yang luas" "Tetapi seorang diantara kawan-kawan kita meyakini" "Apakah kawan kita itu sudah mengenal Pangeran Benawa "Sudah. Kebetulan ia pemah melihat Pangeran Benawa di Pajang yang sedang berkuda dengan dua orang pengawalnya memasuki istana" "Apakah dapat diyakini, bahwa yang dilihatnya memasuki istana itu adalah Pangeran Benawa?" "Ya. Saat itu ia tidak sendiri. Kawannya yang sudah ubanan mengenal Pangeran Benawa dengan baik" Yang lain mengangguk-angguk. Katanya "Sukurlah bahwa Pangeran Benawa masih berada disini. Kita akan mendapat kesempatan terbaik. Orang-orang kita yang berada di hutan itu besok akan dengan serta-merta menghambur langsung ke bangunan utama itu" Beberapa saat keduanya masih mengamati keempat orang penjaga barak penyimpan bahan-bahan bangunan dan hatikan bahan makan. Seorang diantara mereka bergumam "Tempat yang dijaga oleh empat orang itu tentu tempat yanjt paling. Tidak ada barak yang dijaga sebagaimana barak yang lain"
"Jangan-jangan Pangeran Benawa ada di barak itu" "Tentu tidak. Barak itu sangat sederhana meskipun nampaknya kuat. Mungkin di tempat itu disimpan barangbarang berharga bagi pembangunan padepokan itu. Mungkin pula bahan pangan atau alat-alat yang sering dipergunakan oleh para cantrik" "Mungkin. Selain Pangeran Benawa, tempat itu juga penting untuk dikuasai" Kawannya mengangguk-angguk. Namun kemudian tapun berkata "Marilah. Tugas kita sudah berhasil kita lakukan dengan baik. Besok kita akan memasuki lingkungan ini dari arah hutan yang sedang ditebang itu" "Sebaiknya sekarang kita telusuri jalan yang besok pagi akan kita tempuh" "Gelap sekali. Kita hanya berdua" "Bukankah ada cahaya bulan?" "Kita lewat jalan melingkar tetapi jauh lebih mudah dilalui itu" Yang lain tidak menjawab. Namun merekapun kemudian telah bergeser meninggalkan tempat itu. Keduanya sama sekali tidak tahu, bahwa keduanya justru berada dalam pengawasan. Dua orang prajurit yang bertugas, mengikuti mereka dengan diam-diam. Tetapi mereka memang tidak dibenarkan untuk menyerang atau menangkap orang-orang yang sedang menyusup mengamati keadaan. "Untunglah mereka tidak menerobos masuk kedalam hutan" desis salah seorang prajurit yang mengawasi kedua orang yang menyusup kedalam lingkungan barak perkemahan itu. "Ya. Jika mereka memasuki hutan itu, mungkin salah seorang dari mereka akan terkena jerat atau jebakan, sehingga esok mereka tidak akan mengambil arah itu" Namun keduanyapun kemudian berhenti. Mereka tidak merasa perlu mengikuti keduanya sampai jauh keluar lingkungan barak perkemahan. Keduanyapun kemudian
kembali untuk menghubungi keempat orang yang sedang berjaga-jaga di barak penyimpanan bahan-bahan itu. "Kalian baru saja diamati oleh dua orang yang menyusup masuk kedalam lingkungan ini" "Keduanya tidak akan melihat apa-apa disini" jawab salah seorang dari keempat petugas itu sambil bermain macanan. "Ya. Yang mereka lihat adalah kalian berempat" yang tertua diantara keempat orang itu bertanya "Kemana mereka sekarang?" "Keduanya sudah pergi" "Bagus" berkata orang tertua itu "sebenatar lagi, petugas disini akan berganti" "Beritahu para prajurit yang mendapat giliran berikutnya. Jangan hiraukan jika ada orang yang berhasil menyelinap memasuki lingkungan ini dan mengawasi para penjaga disini" "Baik" jawab orang tertua itu. Demikianlah kedua orang itupun meninggalkan keempat petugas itu. Tetapi mereka sempat membuka sedikit pintu barak itu dan menjenguk kedalam. Yang berada di barak itu bukan sekedar bahan-bahan bangunan dan bahan pangan. Tetapi beberapa kelompok prajurit sedang tidur nyenyak didalamnya. Dua orang diantara mereka bertugas untuk berjaga-jaga disudut barak. Prajurit yang menjenguk itu melambaikan tangannya disambut oleh kedua orang yang berjaga-jaga didalam barak itu. Malampun menjadi semakin dalam. Bulan sudah beredar semakin jauh disisi Barat langit. Bintang-bintang gemerlapan mencoba mengimbangi sinar bulan yang terang. Di dini hari, beberapa orang petugaspun telah bangun. Mereka dengan siap yang wajar-wajar saja mulai menyalakan api di dapur. Mereka mulai merebus air dan menanak nasi. Api dan asap didapur itu memang menarik perhatian. Tetapi beberapa orang yang berada didalam kelompok kelompok yang mengepung perkemahan itu berpendapat, bahwa hal itu wajar sekali. Bahkan orang yang mengawasi tempat Itu untuk beberapa lama berkata "Setiap hari dapur itu bangun lebih
awal dari barak-barak yang lain. Mereka harus menyiapkan makan pagi para pekerja dan para cantrik yang jumlahnya lukim banyak" Tetapi kawannya yang lain berdesis "Tetapi tidak sepagi ini" "Mereka agaknya memang terlalu awal bangun. Tetapi selisih waktu itu tidak banyak" Api dan asap itu nampaknya memang diabaikan oleh orangorang yang mengepung perkemahan itu. Apalagi barak-barak di perkemahan itu nampak sepi-sepi saja. Namun sebenarnyalah, para prajurit yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan mereka telah bersiap didalam barak mereka masing-masing. Juga mereka yang berada di barak penyimpanan bahan-bahan bangunan dan bahan pangan. Senjata-senjata merekapun telah diperiksa dengan cermat, bahwa senjata-senjata itu tidak akan mengecewakan di medan perang. Dalam pada itu, beberapa orang memang sudah keluar dari barak mereka. Mereka adalah petugas-petugas yang akan memberikan isyarat-isyarat yang diperlukan sebelum mereka harus memasuki arena untuk bertahan. Dalam pada itu, para pengamat telah melihat gerak pasukan yang mengepung perkemahan itu, yang kebetulan berada di tempat, terbuka. Mereka bergerak menebar. Bukan hanya satu kelompok. Tetapi dari arah lain telah bergerak pula kelompok yang lain. Para petugas sandipun segera melaporkan kepada Ki Rangga Suratapa. Dengan cepat, Ki Ranggapun telah memerintahkan para penghubungnya untuk memberitahukan kepada para pemimpin kelompok. Menjelang fajar, maka para prajurit telah dipersilahkan untuk makan di dalam barak masing-masing. Sementara itu, beberapa orang telah mulai berkeliaran di halaman dan disekitar barak mereka. Ada diantara mereka yang mengambil air, mengamati pagar dan bahkan ada yang hanya dudukduduk saja diatas kekayuan yang roboh.
Sementara itu, pasukan lawanpun bergerak semakin dekat. "Mereka harus masuk arena yang telah kita siapkan" berkata Ki Rangga Suratapa. Menjelang fajar, Ki Rangga sendiri telah berada diluar baraknya. Dua orang penghubung telah memberitahukan bahwa pasukan lawan sudah menjadi semakin dekat. "Mereka benar-benar mengepung kita" berkata seorang penghubung "jika mereka mulai bergerak dan menebar, maka kepungan itu akan menjadi temu gelang. Tidak ada selubang jarumpun yang dapat menjadi jalan untuk meloloskan diri jika kita berniat melakukannya" "Bukankah kita tidak akan meloloskan diri?" "Ya. Aku tahu" "Nah, jika demikian kita tidak memerlukan lubang jarum" Penghubung itu tersenyum. Dalam pada itu, ketika langit menjadi semburat merah, maka kelompok-kelompok yang mengepung pakemahan itupun telah mempersiapkan diri serta membuat acang-ancang. Pada saat itulah, Ki Rangga Suratapa telah memerintahkan orangorangnya untuk keluar dari barak. Yang kemudian nampak adalah orang-orang yang keluar dari barak-barak itu dengan malasnya. Sisa malam masih gelap, tetapi wajah tanah yang terinjak kaki sudah dapat dilihat dengan mata tanpa oncor sekalipun. Mereka sama sekali tidak menunjukkan gerak gerak sekelompok prajurit yang bersiap untuk bertempur. Telapi mereka bergerak menebar sebagaimana para pekerja yang akan pergi ke tempat kerja mereka masing-masing. Namun orang-orang yang mengepung perkemahan itu sudah mulai curiga. Pada saat terang tanah, biasanya pekerjaan sebagaimana membangun padepokan itu tentu belum akan segera dimulai. Karena itu, maka para pemimpin dari kelompok-kelompok pasukan yang mengepung perkemahan itu menjadi sangat tertarik kepada orang-orang yang menebar sebagaimana dilaporkan oleh para petugas mereka yang harus mengamati perkemahan itu.
"Mungkin mereka sudah mendapat laporan kehadiran kita" berkata salah seorang petugas yang mengamati perkemahan itu. "Tidak ada pengaruhnya. Biarlah mereka menyusun pertahanan. Tetapi kita akan segera melumatkan mereka. Mereka tidak akan dapat memberikan perlawanan yang memadai. Meskipun mereka terbiasa mengayunkan kapak, telapi untuk menebang pohon. Tidak diayunkan kepada sasaran yang bergerak. Apalagi sasaran mereka sekarang adalah kita. Bukan hanya sekedar bergerak, tetapi kitalah yang justru akan membantai mereka" Kawannya mengangguk-angguk. Ketika mereka menyampaikan laporan kepada pimpinan mereka, maka merekapun melaporkan sebagaimana yang mereka katakan itu. Dalam pada itu. maka para pemimpin dari perguruan serta gerombolan yang mengepung perkemahan itu tidak sempat membuat uraian yang panjang. Sejenak kemudian, ketika langit menjadi semakin terang, maka meluncurlah panah sendaren ke beberapa arah, bersamaan dengan panah api yang terbang menggores langit yang masih buram. Isyarat itu sebagaimana mereka sepakati adalah isyarat untuk mulai melakukan penyerangan terhadap perkemahannya yang ada dipinggir hutan Jabung itu. Namun ternyata Kebo Serut tidak melakukannya dengan jujur. Ia telah memerintahkan beberapa orangnya untuk tinggal di tempat mereka menunggu fajar. Kebo Serut justru telah bergerak lebih dahulu. Namun ia berpesan, bahwa beberapa saat ke-mudian, setelah kelompoknya mendekati sasaran, orang-orang ilu baru akan melepaskan isyarat itu. Karena itu, maka ketika panah sendaren dan panah api itu meloncur ke udara, kelompok Kebo Serut sudah berada dijarak yang paling dekat dengan sasaran. Dengan sertamerta Kebo Serutpun telah memerintahkan orang-orangnya untuk segera bergerak. Orang-orang yang melepaskan isyarat itu akan segera menyusul mereka.
Kelompok yang dipimpin Kebo Serut itu adalah salah satu diantara kelompok-kelompok yang menyerang dari arah hutan Jabung. Menurut perhitungan, maka mereka akan dengan tiba-tiba muncul dari dalam hutan dan langsung menyerang ba-ngunan induk pada perkemahan yang dianggap tidak mempunyai kekuatan untuk melawan itu. Tetapi ternyata yang telah bergerak lebih dahulu bukannya hanya sekelompok orang yang dipimpin oleh Kebo Serut, hampir semuanya telah bergerak lebih dahulu sebelum isyarat itu dilontarkan, sehingga mereka berada dijarak yang lebih dekil dari yang telah disepakati. Demikianlah, ketika mereka melihat dan mencurigai isyarat panah sendaren dan panah api, maka serentak merekapun telah berlari menyerang perkemahan di pinggir hutan Jabung itu. Sambil berlari merekapun berteriak-teriak bagaikan akan me-runtuhkan langit. Namun bukan hanya mereka sajalah yang menghambur sambil mengacu-acukan senjata. Pada saat yang bersamaan, maka dari setiap barak, para prajuritpun berlari lari keluar dengan senjata telanjang, berdesakan seperti laron yang keluar dari lubang mereka dibawah tanah yang terendam air pada penghunjung musim hujan. Meskipun nampaknya para prajurit yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan itu hanya berlari-larian di sekitar perkemahan, namun sebenarnyalah bahwa mereka telah mendapat perintah-perintah sebelumnya. Sehingga mereka melakukan satu gerakan yang pasti. Lawan dapat saja menjadi bingung melihat gerak orang-orang yang keluar dari peikemahan. Tetapi para prajurit itu sendiri sebenarnya sama sekali tidak menjadi kebingungan. Dalam pada itu, orang-orang yang dengan tergesa-gesa berlari-lari menyerang perkemahan itu, tidak sempat memperhatikan hambatan, jerat atau jebakan-jebakan yang telah dibuat oleh para prajurit yang ikut dalam kerja yang besar, membangun padepokan di hutan Jabung itu.
Seorang tiba-tiba saja terpelanting jatuh, ketika kakinya menyentuh sulur pepohonan yang menyilang. Namun demikian tubuhnya terguling ditanah, maka senjatanya telah terlempar dan hilang di semak-semak. Teriakan nyarinqpun telah menggetarkan udara. Disusul dengan umpatan kasar, ketika dua orang bersama-sama telah terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam karena mereka telah menginjak penutupnya yang disamarkan. Sementara itu, orang yang lain, yang berlari kencang sekali telah melanggar tali yang menyilang tepat dilehernya, sehingga orang itupun telah tercekik hingga pingsan. Banyak peristiwa yang telah terjadi diseputar barak itu. Yang terbanyak adalah mereka yang terperosok ke dalam lubang yang dalam, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk dengan cepat naik lagi. Hambatan, jerat dan jebakanjebakan itu ternyata mempunyai arti yang penting bagi para prajurit yang bertahan. Orang-orang yang datang menyerang seperti banjir bandang itu, tidak lagi dapat memusatkan perhatian mereka sepenuhnya kepada sasaran. Tetapi mereka harus memperhatikan tanah tempat mereka akan menginjakkan kaki mereka. Dengan demikian, maka arus serangan yang datang itupun menjadi semakin lambat pula, sehingga para prajurit itupun sempat menempatkan dirinya sebaik-baiknya. Ketika kemudian pasukan para penyerang itu mulai berbenturan dengan para prajurit yang mempertahankan perkemahannya, merekapun terkejut karenanya. Menilik cara mereka yang bertahan itu bersikap, maka para penyerang itu segera menyadari, bahwa mereka tidak sekedar berhadapan dengan para blandong penebang kayu yang hanya mampu mengayunkan kapak mereka untuk memotong dan membelah kayu. Tetapi ternyata orang-orang itu memiliki kemampuan mempergunakan senjata mereka dengan terampil. Ketika kemudian matahari naik, maka pertempuranpun menjadi semakin seru. Orang-orang yang menyerang
peremahan itu mulai menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang mapan Seorang yang berwajah garang berteriak nyaring "Anak iblis. Dari siapa kalian belajar berkelahi?" Tidak ada yang menjawab. Tetapi putaran pedang tuangorang yang bertahan itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan yang datang dari berbagai arah Itu segera terhambat. Selain beberapa orang diantara mereka tidak mampu lagi bertempur karena jebakan-jebakan yang telah dipasang, maka merekapun telah menghadapi lawan yang berbekal ilmu kanuragan. Jika semula mereka mengira bahwa mereka akan dapat dengan cepat menyelesaikan pekerjaan mereka setepat orang yang menyapu halaman, ternyata mereka telah tertahan demikian benturan terjadi. Sebagian di bibir hutan, sedangkan yang lain dipadang perdu dan ilalang. Kebo Serut yang membawa para pengikutnya menerobos hutan Jabung, menjadi sangat marah. Beberapa orangnya telah terjebak. Sementara itu, demikian mereka sampai dibibir hutan, maka mereka harus menghadapi perlawanan yang keras dari orang-orang yang memiliki bekal kemampuan yang memadai. "Siapakah mereka sebenarnya?" bertanya Kebo Serut kepada diri sendiri. Tetapi Kebo Serut tidak mau terhambat oleh mereka. Kebo Serut ingin segera sampai ke bangunan utama perkemahan sementara itu. Menurut laporan orangorangnya yang telah mengamati perkemahan itu sebelumnya, serta menurut perhitungannya, maka Pangeran Benawa tentu berada di bangunan utama itu. Karena itu, bersama dengan beberapa orang kepercayaannya, Kebo Serut berusaha untuk menerobos pertahanan yang kuat itu, menyusup disela-sela pertempuran, menuju ke bangunan induk. Ternyata bukan hanya Kebo Surut yang melakukannya. Setiap pemimpin kelompok, Gerombolan serta perguruan yang ikut serta menyerang perkemahan itu, berpola pikir sama
dengan Kebo Serut. Karena itu, maka beberapa orang diantara mereka telah berusaha untuk menyusup disela-sela pertahanan yang kuat itu. Dalam pada itu, para cantrik yang berada di bangunan utamapun telah bersiap seluruhnya. Beberapa diantara mereka berniat untuk keluar dari dinding bangunan utama itu. Tetapi Ki Lurah Yudatama, pimpinan prajurit dari Pasukan Khusus yang ditempatkan di barak utama perkembahan sementara itu melarang mereka. "Kenapa?" bertanya salah seorang dari para cantrik itu. "Itu perintah" jawab Ki Lurah singkat. Jawaban itu tidak memuaskannya. Tetapi Ki Panengahpun kemudian menegaskan pula "Kita akan tetap berada di barak utama ini. Kita belum akan turun ke halaman. Kita akan menunggu perkembangan selanjurnya" Ketika hal itu dinyatakan oleh Ki Panengah, maka para cantrikpun tidak berani membantahnya. Meskipun mereka merasa kecewa, tetapi mereka mematuhinya. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya sendiri sebenarnya juga ingin keluar bahkan dari dinding yang memagari halaman barak utama itu. Tetapi ia tidak ingin memberi contoh buruk dengan melawan perintah gurunya. Karena itu, maka keduanya, bersama Paksi, tetap saja berada di bangunan utama perkemahan sementara itu. Dalam pada itu, pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Rangga Suratapa langsung memimpin pasukannya mempertahankan perkemahan itu. Ternyata kelompok-kelompok orang yang menyerang perkemahan sementara itu jumlahnya cukup besar. Jika saja jumlah prajurit yang berada di hutan Jabung itu tidak ditambah, maka para prajurit itu dengan cepat akam mengalami kesulitan. Dalam pada itu, beberapa orang berilmu tinggi yang datang menyerang perkemahan itu, mampu menyusup disela-sela pertempuran menuju ke bangunan utama. Lapisan-lapisan pertahanan yang ada dapat mereka lewati. Beberapa orang
Pembalasan Nyoman Dwipa 2 Dewi Ular Misteri Santet Iblis Kisah Si Rase Terbang 3
^