Sayap Sayap Terkembang 19
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 19
Ki Krema Waras terkejut melihat empat orang yang kemudian mengangkat menyingkirkan telur-telur dalam keranjang itu dan menjauhkannya dari kakinya.
Sejenak Ki Krema Waras justru termangu-mangu.
Dipandanginya empat orang yang membawa pedang di lambung. Biasanya orang-orang yang pergi ke pasar membawa golok dan diselipkan pada ikat pinggangnya meskipun juga di lambung sebagaimana laki-laki yang berdiri di sekitarnya.
Dengan suara yang berat garang Ki Krema Waras itu bertanya kepada Jati Wulung, yang pertama kali menyingkirkan telur yang ada di keranjang di dekat kakinya, "Siapa kalian he?"
Jati Wulung yang sibuk itu mengangkat wajahnya memandang Ki Krema Waras yang garang itu. Baru kemudian ia menjawab, "Bukankah tidak pantas jika kau injak telur sekeranjang itu" Coba kau kira-kirakan, berapa harga telur yang pecah itu."
"Persetan," geram Ki Krema Waras, "ia tidak mau membayar hutangnya kepadaku."
"Hutang apa?" bertanya Jati Wulung.
Ki Krema Waras termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Apa pedulimu. Ternyata kau adalah orang yang malang karena kau telah mencampuri persoalanku. Bersiaplah untuk mengalami nasib yang paling buruk di antara mereka yang telah bersentuhan dengan kemarahanku."
"Bukankah kami tidak berbuat apa-apa" Bukankah kami sekedar menyingkirkan telur-telur ini?" bertanya Jati Wulung.
"Persetan," geram Ki Krema Waras yang kemudian telah menarik kakinya dari keranjang telur. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Jati Wulung yang juga mundur perlahan-lahan.
Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu telah menyibak menjauh. Mereka menjadi cemas dan bahkan ketakutan. Jika Ki Krema Waras marah maka seisi pasar akan mengalami kesulitan. Pasar itu akan diporak-porandakan. Apalagi Ki Krema Waras datang bersama empat orang kawannya.
Sebenarnyalah bahwa Ki Krema Waras itupun kemudian berteriak, "Saatnya telah datang. Aku pernah dihinakan oleh Ki Demang dan Jagabaya itu disini. Sekarang kalian harus melihat, bahwa aku tidak dapat ditundukkan oleh siapapun. Yang akan memanggil Ki Demang dan Jagabaya itu, lakukanlah sekarang. Nanti kalian akan melihat, bahwa Ki Demang dan Jagabaya itu tidak berarti apa-apa lagi bagiku." Ia berhenti sejenak, lalu, "Sekarang aku akan menyelesaikan tikus-tikus ini dahulu."
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar telah bergeser ke jalan sambil menarik tangan Risang. Agaknya mereka memang mencari tempat yang agak luas jika mereka terpaksa harus mempergunakan kekerasan.
Sementara itu, Gandar telah berpesan kepada Risang, "Hati-hatilah menghadapi mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang tidak sempat mengekang diri menghadapi siapapun juga. Karena itu kau harus berhati-hati."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan melawan orang yang telah memecahkan telur sekeranjang itu."
"Jangan. Pilih yang lain. Orang itu terlalu kasar bagimu," jawab Gandar, "sebaiknya kau menjajagi dahulu kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan memilih lawan yang lain."
Risang tidak menjawab. Sementara itu Jati Wulung dan Sambi Wulung telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Jati Wulung masih juga berkata, "Ki Sanak. Jika Ki Demang dan Ki Jagabaya pernah turun tangan, maka berarti bahwa tindakan yang kau lakukan itu salah. Karena itu, maka kenapa hal itu masih kau ulangi lagi?"
Ki Krema Waras tidak menjawab. Tetapi ia telah melangkah maju mendekati Jati Wulung. Bahkan dengan tangkasnya Ki Krema Waras itu telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Ki Krema Waras tidak mengetahui, siapakah yang telah diserangnya. Karena itu, maka dengan gerak yang sederhana Jati Wulung telah menghindar. Bahkan demikian serangan itu meluncur di sebelahnya, tangannya telah terjulur. Tidak terlalu keras. Tetapi Ki Krema Waras berteriak nyaring karena kemarahan yang menghentak-hentak jantungnya.
Ternyata keempat orang kawannyapun tidak tinggal diam. Mereka telah bergerak pula mendekat. Seorang di antara mereka berkata, "Serahkan kepadaku Ki Krema Waras."
Tetapi jawab Ki Krema Waras, "Selesaikan yang lain, yang telah ikut pula melibatkan diri. Biarlah orang ini aku selesaikan sendiri."
Keempat orang itupun kemudian berpaling kepada tiga orang yang dianggap telah terlibat dalam persoalan telur itu.
Ketika seorang di antara mereka bergerak, maka Risang nampaknya sudah tidak sabar lagi. Ternyata ia terlepas dari pengamatan Gandar ketika ia sempat meloncat menyerang orang yang sedang bergerak itu.
Orang itu terkejut. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak muda itu telah berlari langsung menyerangnya. Sehingga karena itu maka ia tidak sempat menghindari serangan itu yang tiba-tiba itu. Namun demikian orang itu telah berusaha untuk menangkis serangan Risang yang mengarah langsung ke dadanya dengan pukulan tangannya.
Dengan cepat orang itu berusaha memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu dengan tangannya pula. Namun agaknya serangan Risang lebih mapan, sehingga karena itu, ketika terjadi benturan, maka orang itulah yang tergetar beberapa langkah surut sambil menyeringai menahan sakit.
Risang sendiri memang tergetar juga. Tetapi ia masih mampu bertahan sehingga ia tidak terpental surut.
Orang itu telah mengumpat kasar. Iapun menjadi sangat marah mengalami serangan itu. Namun katanya, "Anak yang licik. Kau curi kesempatan. Jika kau sudah mulai, maka aku tidak akan memberimu kesempatan berhenti. Kau akan berhenti jika tanganmu itu sudah aku patahkan."
Tetapi Risang tidak menjawab. Ia telah melangkah maju dan bersiap untuk menyerang.
"Anak ini agaknya telah kerasukan iblis," geram seorang yang lain, "ia sama sekali tidak menunjukkan kewajarannya lagi."
Ternyata Risang menjadi marah mendengar kata-kata itu. Juga dengan tiba-tiba ia telah menyerang orang yang menyebutnya kerasukan itu. Tanpa ancang-ancang dan seakan-akan seperti tidak direncanakan sama sekali.
Orang itupun terkejut pula. Seperti orang yang pertama, maka serangan Risang telah menggetarkannya. Bahkan mendorongnya beberapa langkah surut, karena orang itu tidak sempat menghindari. Orang itu hanya berusaha untuk menangkis dengan tergesa-gesa.
Ternyata bahwa tenaga Risang yang masih sangat muda itu cukup besar. Latihan-latihan yang berat yang dilakukannya telah memberikan bekal yang cukup padanya. Meskipun ia masih belum berpengalaman sama sekali, namun kemampuannya pada dasarnya cukup memadai.
Dua orang yang sudah diserang oleh Risang itu menjadi sangat marah. Merekapun telah mempersiapkan diri untuk membalas. Seorang di antara mereka berteriak, "Anak tidak tahu diri. Jangan menyesal jika tanganmu aku patahkan disini."
Risang segera bersiap menghadapi dua orang sekaligus. Tetapi Sambi Wulung dan Gandar tidak membiarkannya. Merekapun segera bergeser mendekat.
Namun dalam pada itu, dua orang kawan Krema Waras yang lainpun telah melibatkan diri pula. Mereka telah meloncat langsung menyerang. Seorang menyerang Sambi Wulung dan seorang lagi menyerang Gandar.
Dengan demikian maka Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar telah terikat dalam pertempuran dengan lawannya masing-masing, sehingga dengan demikian maka Risang harus bertempur melawan dua orang sekaligus.
Sebenarnyalah Gandar dapat saja menyelesaikan lawannya dalam waktu singkat kemudian membantu Risang. Tetapi dengan sengaja Gandar membiarkan Risang bertempur melawan dua orang itu selagi keduanya tidak bersenjata. Dengan demikian maka Gandar akan dapat mengukur kemampuan Risang, sementara Jati Wulung dan Sambi Wulung akan sempat memperbandingkannya dengan kemampuan Puguh, anak Warsi.
Demikianlah Risang benar-benar bertempur melawan dua orang lawan. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Sekali-sekali menghindar dan sekali-sekali menyerang.
Jati Wulung yang bertempur dengan Ki Krema Waras segera dapat mengukur kemampuan lawannya. Karena itu, maka ia tidak lagi terlalu merasa terikat. Bahkan ia sempat memperhatikan bagaimana Risang mempergunakan ilmunya.
Sementara Sambi Wulungpun tidak merasakan beban pertempuran yang dilakukannya sendiri. Ia sengaja mengikat diri, agar dengan demikian Risang harus bertempur melawan dua orang lawan. Karena menurut pendapat Sambi Wulung, Gandar juga membiarkannya demikian.
Risang yang berbekal ilmu yang cukup karena ia telah menempuh latihan-latihan yang berat itu, untuk beberapa saat merasa betapa sulitnya melawan dua orang itu. Perhatiannya harus terbagi, sehingga kadang-kadang ia telah kehilangan beberapa kesempatan dan bahkan sekali-sekali Risang merasakan serangan lawannya yang mengenainya karena tidak sempat dihindari atau ditangkisnya.
Namun semakin lama anak itu justru menjadi semakin mapan. Ia tidak mau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, sehingga karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Akhirnya justru ia teringat kepada pesan Gandar, bahwa ia tidak boleh sekedar hanyut dalam arus perasaannya, tetapi ia harus tetap mempergunakan penalarannya.
Karena itu, maka beberapa kali Risang justru meloncat mengambil jarak. Ia mulai membuat perhitungan-perhitungan atas keadaan dan kedudukan lawannya. Baru kemudian ia meloncat kembali memasuki arena pertempuran.
Dengan demikian, maka kedudukan Risang menjadi semakin baik. Ia tidak lagi terlalu sering dikenai di saat kedua lawannya menyerang berbareng dari arah yang berbeda. Jika lawannya masih melakukannya, maka Risang justru telah meloncat menjauh. Kemudian dengan tiba-tiba meloncat kembali menyerang salah seorang di antara kedua lawannya itu.
Berdasarkan pengalamannya yang pendek, maka Risang ternyata melihat kelemahan lawan-lawannya. Karena itu, maka setiap kali Risang telah berloncatan, berusaha untuk berada dalam perpanjangan garis lurus yang menghubungkan kedua titik kedudukan lawannya. Dengan demikian ia dapat menyerang seorang di antara lawannya yang berada di paling depan.
Tetapi lawannya memang tidak diam mematung. Merekapun mengerti bahwa kedudukan yang demikian, tidak menguntungkan bagi kedua orang yang bertempur berpasangan itu, sehingga setiap kali mereka harus menyesuaikan diri memencar keluar dari garis lurus itu.
Ternyata Risang dapat memanfaatkan perhatian lawannya atas kelemahan mereka sendiri. Dengan tiba-tiba saja Risang telah menyerang tempat-tempat yang paling lemah dari pertahanan kedua lawannya itu.
Gandar, Jati Wulung dan Sambi Wulung yang memperhatikan pertempuran antara Risang dengan kedua lawannya itu melihat, bahwa Risang mampu memanfaatkan bekal yang telah dibawanya.
Namun kadang-kadang Risang masih juga dipengaruhi oleh gejolak perasaannya. Kadang-kadang ia nampak tergesa-gesa mengambil sikap, sehingga ternyata sikap itu tidak menguntungkannya. Justru pada saat ia meloncat menyerang lawannya yang seorang, ia telah memberi peluang lawannya yang lain menyerangnya dengan cepat, sehingga Risang itu tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak.
Ketika tubuh Risang menjadi semakin kesakitan karena serangan-serangan kedua lawannya yang kadang-kadang berhasil menerobos pertahanannya, maka Risangpun menjadi semakin marah. Namun ia masih saja selalu ingat akan pesan Gandar. Ia tidak boleh kehilangan akal, sehingga setiap langkahnya tidak terlepas dari penalaran yang mapan, meskipun kadang-kadang Risang menjadi tergesa-gesa dan tidak sempat memperhitungkan sikapnya.
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar sendiri masih juga bertempur melawan lawan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ketiga orang itu seakan-akan hanya sekedarnya saja melayani lawan masing-masing.
Bahkan Jati Wulung bertempur dengan kesan tersendiri. Ia memang ingin memberitahukan kepada Krema Waras, bahwa ilmunya itu masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan ilmu yang mapan dalam dunia olah kanuragan.
Namun dalam pada itu, selagi Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar menunggu, apakah yang akan terjadi atas Risang dan kedua orang lawannya itu, telah terdengar isyarat suara kentongan yang dipukul dalam irama yang rampak terputus-putus.
"Setan," geram Ki Krema Waras, "jika Ki Demang dan Ki Jagabaya datang, mereka hanya akan dipermalukan saja disini. Aku akan membuat mereka kehilangan harga diri mereka di hadapan orang-orang sepasar."
"Jangan mengigau," potong Jati Wulung, "jika kau mampu menginjak telur sekeranjang sampai lumat itu sama sekali bukan satu kebanggaan ilmu. Setiap orang akan dapat melakukannya."
"Persetan," geram Krema Waras, "aku ingin membungkammu."
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Kau harus menukar telur yang telah kau pecahkan. Jika kau tidak punya uang, maka timangmu itulah yang harus kau jual. He, dari mana kau mendapatkan timang emas itu" Merampok seperti kebiasaanmu?"
Wajah Krema Waras menjadi merah oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Dengan berteriak nyaring ia menyerang Jati Wulung. Namun serangan itu tidak berarti apa-apa.
Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Mereka mengenal Krema Waras sebagai seorang yang berilmu tinggi dan tidak terkalahkan kecuali jika Ki Demang dan Ki Jagabaya turun langsung menanganinya.
Namun suara kentongan itu tentu memanggil Ki Demang dan Ki Jagabaya.
Tetapi Ki Krema Waras itu sama sekali tidak berhasil menekan lawannya. Bahkan semakin lama tangan orang itu semakin sering menyentuhnya. Semakin lama terasa semakin sakit. Ketika tangan Jati Wulung itu mengenai pipinya, maka rasa-rasanya beberapa buah giginya telah patah, sehingga mulutnya telah berdarah.
Krema Waras mengumpat sejadi-jadinya. Namun Jati Wulung justru tertawa sambil berkata, "Kau pamerkan gigimu yang patah itu kepada Ki Demang."
"Setan kau," geram Ki Krema Waras. "Dua giginya meloncat keluar, satu gigiku justru telah tertelan."
Jati Wulung tertawa semakin keras. Bahkan Sambi Wulungpun sempat tertawa pula karena ia juga mendengar teriakan Krema Waras yang marah itu.
Krema Waras masih mengumpat-umpat. Namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi Jati Wulung.
Karena itulah, maka Krema Waras yang ditakuti oleh seisi pasar itu benar-benar merasa terhina. Dengan serta-merta ia telah mencabut goloknya yang besar sambil berkata lantang, "Jika golok ini sudah keluar dari sarungnya, maka tentu akan terjadi kematian."
"Krema Waras," berkata Jati Wulung, "apakah kau benar-benar akan membunuh?"
"Kau menjadi ketakutan, he?" bentak Ki Krema Waras sambil mengusap darahnya yang masih saja keluar dari mulutnya karena giginya yang patah.
"Aku memang menjadi ketakutan," jawab Jati Wulung.
"Jika demikian menyerahlah. Aku ingin menginjak kepalamu dengan kakiku yang telah aku pergunakan untuk menginjak telur ini," geram Krema Waras.
"Aku bukan ketakutan karena kau bersenjata," jawab Jati Wulung, "tetapi aku menjadi ketakutan bahwa aku akan terpaksa membunuh orang disini."
"Persetan," geram Krema Waras itu sambil meloncat menyerang dengan goloknya.
Jati Wulung meloncat surut beberapa langkah. Tetapi Krema Waras telah memburunya dan menyerangnya dengan goloknya yang terjulur lurus.
Tetapi dengan tangkasnya Jati Wulung kemudian mengelak ke samping dengan loncatan kecil. Namun Krema Waras tidak melepaskannya. Iapun segera menebas mendatar.
Jati Wulung menjadi muak melihat sikapnya. Ia ingin melihat perkembangan pertempuran antara Risang dengan kedua lawannya. Karena itu, maka ketika ujung pedang itu terayun di atas kepalanya yang menunduk, maka Jati Wulung telah menjulurkan kakinya. Dengan cepatnya sehingga Krema Waras tidak sempat mengelak. Lambungnya yang terkena serangan Jati Wulung, sehingga ia telah terlempar dan jatuh terguling di tanah.
Goloknya telah terlepas dari tangannya. Sementara lambungnya terasa betapa sakitnya. Perutnya menjadi mual dan punggungnya serasa patah.
Ketika dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit, maka iapun telah terhuyung-huyung dan bahkan jatuh lagi terbaring di tanah.
Krema Waras menyeringai menahan sakit. Tetapi punggungnya benar-benar seakan-akan patah sehingga tidak mampu lagi menegakkan tubuhnya di saat ia bangkit berdiri.
Jati Wulung memandanginya sejenak. Namun ketika ia kemudian melihat kawan-kawan Krema Waras, maka merekapun telah tidak mampu lagi melawan tanpa sempat menarik senjata mereka.
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar sempat mencari tali untuk mengikat tangan dan kaki ketiga orang itu. Sementara Risang masih harus mengerahkan tenaganya melawan kedua orang lawannya.
Sejenak kemudian, maka Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar dapat memperhatikan anak muda itu dengan saksama. Sementara kedua lawannya justru menjadi gelisah. Apalagi ketika Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar melangkah mendekat. Tetapi ternyata ketiga orang itu tidak mengganggu pertempuran itu.
Risang sendiri ternyata tidak ingin mendapat bantuan. Karena itu maka iapun telah berteriak, "Jangan ganggu aku."
Gandar tersenyum. Ialah yang menjawab, "Kami hanya ingin menonton bagaimana kau mengatasi lawan-lawanmu."
Risang tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berloncatan dari lawan yang seorang melawan yang lain. Jika kedua lawannya menyerang bersama-sama, maka Risang telah berusaha untuk meloncat keluar dari garis serangan mereka.
Ternyata pertempuran itu benar-benar telah memberikan satu pengalaman yang baru bagi Risang. Ia tidak saja berkelahi dengan anak-anak muda padukuhan. Tetapi ia telah bertempur melawan dua orang yang berpengalaman luas. Namun tidak memiliki bekal olah kanuragan yang cukup.
Ternyata latihan-latihan yang berat yang dilakukan oleh Risang telah mampu mendukung kemampuannya. Apalagi tubuhnya yang memang sedang berkembang itu tumbuh dengan baik. Sehingga dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, terasa bahwa kedua lawannya mulai dibayangi oleh susutnya tenaga mereka, sementara Risang masih tetap nampak segar.
Kedua lawannya memang menjadi bimbang menghadapi kenyataan yang terjadi. Tiga orang kawannya telah tidak berdaya, sementara tiga orang kawan lawannya yang muda itu telah berdiri di sekitar arena. Ketika terlintas di benak mereka untuk menarik golok di pinggang mereka, maka telah timbul pula pertanyaan, apakah hal itu tidak justru memancing ketiga orang kawan anak muda itu untuk melibatkan diri.
Karena itu, maka kedua orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Ketika serangan-serangan Risang masih saja cepat dan kuat, serta beberapa kali mengenai mereka, sementara itu ketiga orang kawan anak muda itu berada di pinggir arena, sehingga setiap saat mereka akan dapat berbuat apa saja bahkan membunuh keduanya, maka seorang di antara kedua orang itu telah memberikan isyarat kepada kawannya untuk menghentikan perlawanan.
Agaknya kawannyapun menyadari kesulitan yang akan timbul seandainya mereka bertempur terus. Tenaga mereka semakin susut sementara anak muda itu rasa-rasanya justru menjadi semakin garang.
Karena itu, maka akhirnya kedua orang itupun telah mengambil jarak. Bukan untuk menarik senjatanya di lambung, tetapi merekapun telah menyatakan menghentikan perlawanan.
"Kami menyerah," berkata salah seorang di antara keduanya.
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Gandarlah yang melangkah maju sambil berkata, "Pertempuran ini sudah selesai. Mereka telah menyerah."
Risang mengangguk-angguk. Namun ternyata bahwa anak muda itupun telah mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Seluruh pakaiannya ternyata basah oleh keringat, sementara nafasnyapun mengalir semakin cepat.
"Kenapa mereka berhenti?" bertanya Risang.
"Mereka menyerah," jawab Gandar.
"Pengecut. Laki-laki akan bertempur sampai kemampuan terakhir," geram Risang.
"Mungkin. Tetapi sifat seorang laki-laki yang jantan adalah mereka yang mengakui kenyataan," jawab Gandar.
"Itu sangat membingungkan. Mana yang benar dari kedua sifat yang bertentangan itu?" bertanya Risang.
Gandar tersenyum. Katanya, "Menurut persoalannya. Jika ia mempertahankan kebenaran yang diyakininya, maka ia akan mengerahkan kemampuannya sampai batas terakhir. Tetapi jika sekedar menuruti gejolak ketamakan diri, maka keduanya memang harus berhenti berkelahi. Mengakui kesalahan dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi."
Risang mengerutkan keningnya. Ia masih belum begitu jelas. Tetapi nampaknya memang bukan waktunya untuk membicarakannya saat itu. Apalagi ketika sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda mendatang.
Ternyata Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberapa bebahu Kademangan telah datang.
Seorang petugas di pasar itu telah menemui orang-orang yang telah mengalahkan Krema Waras dan kawan-kawannya itu untuk memberitahukan kehadiran Ki Demang dan para bebahu itu.
"Jadi mereka telah datang?" bertanya Jati Wulung.
"Bawa orang-orang ini kepada mereka," berkata Jati Wulung.
Petugas di pasar itu termangu-mangu. Namun kemudian Jati Wulung mendesaknya, "Ikat tangan mereka. Ambil senjatanya dan serahkan mereka kepada Ki Demang."
Petugas itu tidak mau berpikir lebih lama. Iapun kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Jati Wulung. Dicarinya tali untuk mengikat tangan kedua orang itu.
Sementara itu dengan tergesa-gesa Ki Demang dan para bebahu itu meloncat turun dari kuda mereka. Mengikat pada batang-batang perdu di pinggir jalan di dekat simpang empat. Kemudian dengan langkah panjang mereka memasuki lingkungan pasar yang nampak dibayangi oleh kebingungan dan kecemasan.
"Dimana Krema yang gila itu?" bertanya Ki Demang yang marah.
Beberapa orang telah menunjuk ke arah arena perkelahian itu.
Ketika Ki Demang kemudian mendekat, maka dilihatnya lima orang telah terikat.
Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan sejenak. Dengan nada berat Ki Demang berdesis, "Mereka berlima?"
Petugas di pasar itu mengangguk. Jawabnya, "Ya Ki Demang. Ki Krema datang bersama empat orang kawannya."
"Siapa yang mengikat mereka?" bertanya Ki Demang.
Petugas pasar dan beberapa orang telah berpaling. Tetapi mereka sudah tidak menemukan keempat orang yang telah menangkap Ki Krema Waras itu.
"Tadi mereka ada disini," berkata petugas pasar itu.
"Dimana?" desak Ki Demang.
Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang memang sudah meninggalkan mereka. Namun sejenak kemudian empat orang berkuda telah menyibak orang-orang itu. Dengan lantang Risanglah yang diminta oleh ketiga orang mengawaninya untuk berkata, "Hukumlah mereka, Ki Demang. Jika kemudian mereka mendendam, maka kami akan datang lagi untuk membuat perhitungan. Mungkin kami pada kesempatan lain akan membunuh mereka bersama anak cucu mereka. Tumpas tapis tanpa bekas."
"Tetapi...," Ki Demang tidak sempat menyelesaikan kata-katanya karena keempat orang berkuda itu telah menggerakkan kendali kudanya dan beranjak dari tempatnya, "Selamat tinggal Ki Demang," teriak Risang sambil memacu kudanya meninggalkan tempat itu.
Ki Demang termangu-mangu. Demikian pula dengan Ki Jagabaya.
"Orang-orang aneh," desis Ki Demang. Lalu iapun bertanya kepada petugas pasar itu, "Apa yang telah terjadi?"
Petugas pasar itulah yang kemudian bercerita tentang empat orang penunggang kuda itu. Sejak kedatangan Krema Waras bersama kawan-kawannya, tentang makanan yang tumpah, mlinjo yang diinjak-injak dan telur sekeranjang yang lumat, sehingga mereka terikat tangan dan kakinya.
Ki Demang mengangguk-angguk. Kepada Ki Jagabaya ia berkata, "Orang-orang aneh. Kenapa mereka justru pergi ketika kita datang?"
Ki Jagabaya menggeleng. Namun ia berdesis, "Entahlah. Agaknya mereka orang-orang yang memang berilmu tinggi dan juga rendah hati, sehingga mereka tidak memerlukan ucapan terima kasih dan puji-pujian yang lain."
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berpaling kepada Ki Krema Waras. Wajahnya menjadi merah oleh kemarahan yang membakar jantung.
Sementara itu Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang telah menjadi semakin jauh. Seperti perjalanan sebelumnya, Risang berada di paling depan, sementara Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar ada di belakangnya.
"Pada dasarnya bekal Risang cukup memadai dibandingkan dengan Puguh," berkata Jati Wulung, "tetapi Puguh nampak lebih dewasa menghadapi persoalan-persoalan. Ia lebih berpengalaman dan nampaknya perasaannya lebih mengendap pula. Padahal umur mereka terpaut beberapa lama justru Risang lebih tua, meskipun hanya sekitar setahun."
"Agaknya hal itu dapat dimengerti," berkata Gandar, "Puguh mendapat lebih banyak kesempatan dari Risang. Sementara ini Risang masih sangat terbatas geraknya."
"Memang sulit untuk menjaga anak-anak muda seperti Risang dan Puguh. Kita tentu tidak akan dapat melepaskan Risang sebagaimana melepaskan Puguh. Kali ini saja, rasa-rasanya kita tidak dapat membiarkan Risang bertempur tanpa pengawasan. Sementara itu Puguh hanya diserahkan kepada orang-orang yang tentu tidak akan dapat banyak berbuat dengan banyak memberikan tuntunan, sehingga Puguhlah yang harus lebih banyak mengambil sikap," berkata Jati Wulung.
"Ya. Agaknya kedua orang yang mengaku orang tua Puguh tidak akan menyesali seandainya Puguh itu hilang ditelan oleh liarnya dunia olah kanuragan. Katakan Puguh mati di Song Lawa, maka kedua orang yang mengaku orang tuanya itu tidak akan menyesalinya. Mungkin yang mereka sesali adalah karena mereka tidak akan dapat lagi memperalat anak itu untuk menguasai orang-orang Tanah Perdikan Sembojan," berkata Sambi Wulung.
"Agaknya memang demikian," berkata Gandar. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan mungkin melepaskan Risang untuk mendapatkan pengalaman sebebas Puguh.
Adalah di luar perhitungan Jati Wulung dan Sambi Wulung, bahwa mendekati Tanah Perdikan Sembojan, di lereng bukit-bukit kecil yang memanjang, di bawah rimbunnya pepohonan, terdapat sekelompok orang yang sedang duduk di bawah bayangan dedaunan di saat matahari miring ke Barat.
Orang-orang itupun bagaikan terbangun dari mimpi mereka yang buruk selama mereka duduk terkantuk-kantuk. Yang mula-mula bangkit berdiri adalah orang yang paling disegani di antara mereka, karena orang itu adalah pemimpin dari sekelompok orang-orang yang terkantuk-kantuk itu.
"Bukan kebiasaan kita untuk merampas milik orang lain," berkata orang itu, "tetapi dalam keadaan seperti ini, maka kuda-kuda itu sangat berarti buat kita. Mungkin mereka juga membawa barang-barang berharga yang akan dapat membantu kita untuk beberapa saat sebelum kita bertemu dengan Ki Rangga Gupita dan Warsi yang seakan-akan telah hilang begitu saja."
"Apa yang akan kita lakukan Ki Sumbaga," bertanya seseorang.
"Ada berapa orang yang bersama kita sekarang?" bertanya Ki Sumbaga.
"Tujuh orang." jawab kawannya.
"Jadi sembilan orang bersama kita?" bertanya Ki Sumbaga.
"Tujuh orang bersama kita berdua," jawab orang itu.
"Kau memang dungu. Jika demikian berarti lima orang yang bersama kita sekarang," geram Ki Sumbaga.
"Bukankah itu sudah cukup?" bertanya pengikutnya itu.
"Kumpulkan mereka," berkata Ki Sumbaga itu.
Sejenak kemudian, tujuh orang telah berkumpul termasuk Ki Sumbaga. Sementara itu empat ekor kuda semakin lama menjadi semakin dekat.
"Kita memerlukan kuda," berkata Ki Sumbaga, "sekarang ada orang yang mengirimkan kuda bagi kita. Jangan lewatkan. Bahkan mungkin selain kuda, mereka dapat memberikan sumbangan bagi perjuangan kita yang panjang."
"Tetapi siapakah mereka?" bertanya salah seorang pengikutnya.
"Siapapun mereka. Nampaknya mereka sedang menuju ke Sembojan. Mudah-mudahan mereka orang-orang Sembojan. Mungkin seorang saudagar, atau siapapun juga," berkata Ki Sumbaga. Lalu, "Bukankah tujuan kita duduk-duduk disini juga melihat-lihat barangkali ada sesuatu yang berarti bagi kita" Nah, yang pasti, kuda-kuda itu akan sangat berarti."
Ketujuh orang itupun kemudian telah mulai bergerak turun. Mereka tidak mau kehilangan empat ekor kuda. Karena itu, maka tiga orang di antara mereka telah menyusuri lereng bukit itu. Mereka harus turun di jalan di belakang keempat ekor kuda itu, sehingga kuda-kuda itu tidak akan dapat berlari ke arah yang berlawanan.
Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang terlambat melihat orang-orang yang berada di lereng, di antara pepohonan dan batang-perdu. Ketika mereka melihat beberapa orang berlari-larian menuruni lereng, maka merekapun segera menarik kekang kuda mereka. Dengan cepat Gandar bergeser ke samping Risang yang ada di paling depan.
Memang ada niat Gandar untuk menghindar saja, karena di antara mereka ada Risang. Tetapi ketika Gandar berpaling ke arah Jati Wulung dan Sambi Wulung, maka iapun melihat tiga orang yang lain yang sedang turun pula dari lereng.
Karena itu, maka memang tidak ada kesempatan lain. Sisi lain dari jalan yang mereka lalui, adalah lereng yang rendah, kemudian sebuah sungai kecil yang mengalir menelusuri seurut jalan yang mereka lalui itu. Di seberang sungai kecil itu terdapat sawah yang terhampar.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Jika orang-orang berniat buruk, maka mereka akan terpaksa membenturkan kemampuan mereka.
"Siapakah mereka?" bertanya Risang.
Gandarlah yang menjawab, "Aku tidak tahu."
Jati Wulung dan Sambi Wulung juga belum pernah mengenal orang yang berdiri di tengah jalan itu. Di dalam perang yang terjadi antara Sembojan dengan orang-orang dari balik bukit, keduanya tidak bertemu dengan Ki Sumbaga.
"Maaf Ki Sanak," berkata Ki Sumbaga, "jika Ki Sanak tidak berkeberatan, apakah kami boleh mengetahui, Ki Sanak ini akan pergi ke mana."
Gandar termangu-mangu. Tetapi ia terpancang kepada pernyataan di saat mereka berangkat dari padepokan. Karena itu, hampir di luar kesadarannya ia menjawab, "Kami akan pergi ke Pajang."
"Ke Pajang?" Ki Sumbaga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Memang ada jalan ke Pajang lewat Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Ki Sanak dari mana?"
Gandar memang agak bingung. Namun kemudian jawabnya, "Kami memang orang-orang Pajang. Kami akan kembali dari perjalanan panjang."
"Dari mana?" bertanya Ki Sumbaga.
Akhirnya Gandar menjawab asal saja, "Kami adalah pedagang keliling."
"Pedagang keliling?" ulang Ki Sumbaga, "apa saja yang kalian bawa sehingga kalian harus pergi berempat" Apakah kalian pedagang-pedagang emas intan, atau pusaka-pusaka dan wesi aji atau apa?"
Gandar memang menjadi semakin bingung. Namun kemudian ia masih saja asal menjawab, "Batu-batu bertuah. Batu akik dan sebangsanya. Sayang, dagangan kami sudah habis dalam perjalanan kami."
"Sebenarnya kami memerlukan batu-batu berharga yang mungkin mempunyai tuah tertentu. Tetapi sayang batu-batu berharga itu sudah habis. Namun bukankah dengan demikian uang sudah terkumpul di tanganmu?" bertanya Ki Sumbaga pula.
Gandar yang tidak mengira akan mendapat pertanyaan itu tidak segera dapat menjawab. Ia harus berpikir sejenak, bagaimana ia harus menjawabnya.
Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Ki Sanak. Bukan kebiasaan kami menjual barang-barang kami untuk mendapat uang langsung. Kami meninggalkan barang-barang kami pada orang-orang yang membutuhkan, sementara uangnya dapat dibayar kemudian. Bahkan diangsur sedikit demi sedikit."
"Kau memang baik hati Ki Sanak," jawab Ki Sumbaga, "namun perjalananmu kali ini tentu sekaligus memungut angsuran bagi barang-barangmu yang kau tinggalkan lebih dahulu, mungkin sepekan yang lalu atau sebulan yang lalu atau kapanpun juga."
Gandar menjadi jengkel karenanya. Namun sudah terbayang niat buruk dari orang-orang yang menghentikannya itu. Tidak hanya lima orang sebangsa Krema Waras. Tetapi orang-orang ini nampaknya lebih garang dan memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari Krema Waras dan kawan-kawannya itu.
Namun Gandar yang sebenarnya ingin menghindar karena ia bersama Risang itu, tidak mendapat kesempatan lagi. Sehingga mau tidak mau, ia harus menghadapi orang-orang itu. Bahkan mungkin dengan kekerasan.
Karena itu, maka Gandar tidak menjawab lagi pertanyaan orang itu. Bahkan ialah yang bertanya, "Ki Sanak. Siapakah sebenarnya Ki Sanak" Kami belum sempat bertanya tentang Ki Sanak."
"Kami juga belum bertanya tentang kalian," jawab Ki Sumbaga.
"Bukankah kami sudah menyatakan diri, bahwa kami adalah pedagang keliling yang tinggal di Pajang." jawab Gandar.
"Kau kira aku percaya kepada jawabmu itu?" Ki Sumbaga justru tertawa.
"Baiklah. Jika demikian tidak ada gunanya aku bertanya kepada kalian, karena kalian tentu akan menjawab asal saja. Tetapi meskipun demikian aku ingin juga bertanya tentang maksud kalian menghentikan kami disini," berkata Gandar.
Ki Sumbaga itu termangu-mangu sejenak. Bagaimanapun juga sebagai seorang perwira dari prajurit yang mapan di masa Demak dan selanjutnya Jipang, Ki Sumbaga masih juga berpijak pada harga dirinya.
Namun akhirnya iapun berkata, "Ki Sanak. Kami memerlukan kuda-kuda kalian. Karena itu serahkan kuda-kuda kalian kepada kami."
Gandar mengerutkan keningnya, sementara seorang pengikutnya berdesis di belakang Ki Sumbaga, "Sekaligus uangnya."
Tetapi Ki Sumbaga ragu-ragu, sehingga ternyata akhirnya tetap tidak terucapkan.
Gandar yang sudah mengira itupun kemudian menjawab, "Ki Sanak. Kuda-kuda kami adalah milik kami yang paling berharga. Karena dengan kuda-kuda kami, kami mencari nafkah. Kami yang setiap kali harus menempuh perjalanan panjang, tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa kuda-kuda kami. Karena itu, maka sudah barang tentu kami tidak akan menyerahkannya."
"Ki Sanak," berkata Ki Sumbaga, "apakah harga kuda-kuda kalian itu lebih tinggi dari nilai nyawa kalian" Meskipun kalian memiliki kuda berapapun banyaknya, tetapi tanpa nyawa kalian, maka kuda-kuda itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Karena itu, serahkan kuda-kuda kalian, sehingga nyawa kalian selamat."
"Maaf Ki Sanak," jawab Gandar, "kami tidak dapat melakukannya. Kami akan mempertahankan milik kami. Nah, tingkah laku kalian merupakan jawaban, kenapa kami harus pergi berempat."
Ki Sumbaga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah mengira. Kalian tentu akan mempertahankan kuda-kuda kalian. Karena kuda-kuda kalian itu mempunyai arti yang sangat penting bagi kalian dan keluarga kalian. Tetapi tidak lebih penting dari nyawa kalian. Meskipun demikian, apaboleh buat. Kami harus memaksa kalian. Jika dalam hal ini satu atau dua atau bahkan semuanya di antara kalian mengalami nasib yang paling pahit, bukankah salah kami, karena kami telah menyatakan niat kami dengan cara yang baik. Tetapi kalian telah memaksa kami untuk mempergunakan kekerasan."
"Dongeng yang lucu," jawab Gandar, "barangkali akan dapat membuat anak-anak gembira mendengarnya menjelang tidur, bahwa tanggung jawab dari benturan yang terjadi antara perampok dan orang-orang yang dirampok adalah justru pada mereka yang dirampok."
"Kami bukan perampok," teriak Ki Sumbaga.
"Lalu siapakah kalian," bertanya Gandar, "menghentikan orang-orang berkuda, merampas kudanya dengan kekerasan" Apakah namanya jika bukan perampok" Penyamun atau apa?"
Wajah Ki Sumbaga menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Ia memang akan merampok kuda-kuda itu. Memang tidak ada nama lain yang pantas diberikan kepadanya dan para pengikutnya selain perampok atau penyamun.
Apalagi ketika seorang yang lain, Jati Wulung, berkata, "Daerah ini memang menjadi tidak aman setelah terjadi perang yang cukup besar antara pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan melawan Warsi yang membawa pengikut dan pendukungnya masing-masing. Nampaknya memang satu perebutan hak atas Tanah ini, namun sebenarnya tidak lebih dari usaha merampok secara besar-besaran yang dilakukan oleh bekas prajurit Jipang yang bernama Ki Rangga Gupita dan Warsi sebagai salah seorang pewaris gerombolan Kalamerta yang terkenal itu."
"Cukup," geram Ki Sumbaga, "kau telah menghina kami. Kau hubungkan kami dengan usaha perampokan besar-besaran itu."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Sementara Sambi Wulunglah yang bertanya, "Apakah kalian bukan sisa-sisa dari pengikut Ki Rangga yang menurut pendengaran kami dapat dikalahkan oleh para pengawal Tanah Perdikan itu?"
"Serahkan kuda-kuda kalian," Ki Sumbaga berteriak lebih keras, "aku tidak peduli apa yang kalian katakan."
Gandar, Jati Wulung dan Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Hampir di luar sadarnya Gandar berpaling ke arah Risang. Ternyata Risang sedang memperhatikan Ki Sumbaga dengan saksama. Nampaknya anak muda itu secara naluriah dapat membedakan antara orang yang menghentikannya saat itu dengan Krema Waras dan kawan-kawannya. Sehingga karena itu, maka Risangpun nampaknya tidak mau bertindak dengan tergesa-gesa.
Dalam pada itu, karena orang-orang berkuda itu tidak segera menjawab, maka Ki Sumbaga telah membentak sekali lagi, "Cepat. Turun dari kuda-kuda kalian dan tinggalkan kuda itu di situ."
Gandar tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur. Karena itu, maka iapun kemudian memberi isyarat kepada Jati Wulung dan Sambi Wulung untuk turun dari kuda-kuda mereka.
Risanglah yang menjadi termangu-mangu. Dengan tegang ia bertanya kepada Gandar, "Kenapa kita turun?"
"Di jalan yang tidak terlalu luas ini, lebih baik kita bertempur di atas kaki kita sendiri, karena kita akan dapat lebih menguasai kaki kita daripada kaki-kaki kuda," jawab Gandar.
Ki Sumbaga yang bertanya-tanya melihat sikap orang-orang yang turun dari kudanya karena takut mendengar ancamannya. Tetapi mereka justru akan mempersiapkan diri untuk bertempur.
Karena itu, maka iapun telah mengumpat. Kemudian sambil berteriak ia telah memberikan aba-aba kepada orang-orangnya untuk bersiap.
Dalam pada itu, keempat orang berkuda itu telah mengikat kuda mereka pada batang-batang perdu yang tumbuh di pinggir jalan itu di arah lereng bukit. Kemudian berempat mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Risang sempat melihat ke lereng yang tidak cukup dalam. Namun di bawahnya terdapat sebuah sungai kecil berbatu-batu. Jika mereka bertempur di atas punggung kuda, memang ada kemungkinan kudanya tergelincir dan terguling masuk ke dalam sungai itu. Meskipun tidak dalam, namun akibatnya akan dapat menjadi gawat.
Namun sebenarnyalah Risang menganggap orang-orang itu tidak sebagaimana yang pernah dihadapi di pasar yang ramai itu. Orang-orang yang menghentikan perjalanannya itu nampaknya memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Sehingga karena itu maka Risangpun menjadi lebih berhati-hati.
Ketiga orang yang mengawaninya itu, memang agak mencemaskan keadaan Risang. Namun setidak-tidaknya Risang akan dapat melindungi dirinya sendiri untuk sementara. Dengan demikian maka Jati Wulung, Sambil Wulung dan Gandar itu harus berusaha secepatnya mengurangi jumlah lawan-lawan mereka.
Dalam pada itu, melihat sikap keempat orang berkuda itu Ki Sumbaga menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat menakut-nakuti orang-orang itu dengan menyebut dirinya seorang bekas perwira Jipang.
Sejenak kemudian, maka Ki Sumbagapun telah memberikan aba-aba kepada orang-orangnya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tujuh orang yang terbagi menjadi dua, menghadapi empat orang.
Ki Sumbaga bersama tiga orang pengikutnya menghadapi keempat orang itu dari satu sisi, sedangkan tiga orang yang lain menjaga agar keempat orang itu tidak melarikan diri dan karena itu menghadapinya dari sisi yang lain. Di sebelah jalan itu adalah lereng pebukitan, sementara sebelah yang lain adalah lereng yang meskipun tidak begitu dalam, tetapi di bawahnya terdapat sungai kecil yang berbatu-batu.
Sejenak kemudian, kedua belah pihak telah bersiap. Gandar dan Risang menghadap ke arah tiga orang lawan, sementara Jati Wulung dan Sambi Wulung menghadapi empat orang lawan.
Ketika sekali lagi Ki Sumbaga meneriakkan aba-aba, maka tiba-tiba saja Jati Wulung tertawa. Katanya, "Bagaimanapun juga kau menyamarkan dirimu, namun kau tidak dapat menyembunyikan kebiasaanmu meneriakkan aba-aba."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Sumbaga.
"Kau tentu seorang perwira prajurit. Menurut pengenalanku atas kebiasaan dan bunyi aba-abamu, maka kau tentu seorang perwira prajurit Jipang," berkata Jati Wulung.
"Persetan, jangan mengigau," geram Ki Sumbaga, "aku tidak pernah melihat seorang prajuritpun."
"Apalagi karena kau mengaku tidak pernah melihat seorang prajuritpun. Kau tentu berbohong. Kau tentu bekas prajurit dan bahkan perwira dari jajaran keprajuritan Jipang, sebagaimana pemimpin pasukan yang pernah menyerang Tanah Perdikan ini menurut pendengaranku. Bukan hanya satu kali. Tetapi beberapa kali." jawab Jati Wulung.
"Omong kosong," teriak Ki Sumbaga. Namun kemudian katanya, "Siapapun kau, dan siapapun aku, itu tidak penting. Serahkan kuda-kuda itu. Cepat."
Tetapi Gandarlah yang menjawab, "Sudah aku katakan. Kami memerlukan kuda-kuda kami."
Ki Sumbaga tidak menunda lagi. Perintahnya telah jatuh. Mereka segera mulai menyerang.
Gandar dengan cepat berusaha menarik perhatian dua orang di antara lawan-lawannya, sementara seorang yang lain telah bertempur melawan Risang.
Tidak sebagaimana mereka bertempur melawan Krema Waras. Maka sejak mereka mulai membenturkan kekerasan, maka mereka telah mempergunakan senjata mereka.
Gandar memang agak berdebar-debar melihat lawan Risang itu ternyata menggenggam tombak pendek di tangannya. Senjata yang tidak dipergunakan oleh Risang. Namun untunglah bahwa dalam latihan-latihan, Risang sudah dibiasakan untuk bertempur melawan segala macam senjata.
"Tetapi kali ini ia tidak sedang berlatih. Lawannya tidak akan menahan diri jika ujung tombaknya akan menyentuh kulit anak itu," berkata Gandar di dalam hatinya. Namun ia percaya bahwa bekal yang dibawa oleh Risang cukup memadai.
Gandar sendiri harus bertempur melawan dua orang prajurit. Namun dengan kemampuannya yang tinggi, maka Gandarpun merasa bahwa ia akan mampu mempertahankan dirinya.
Dalam pada itu, Jati Wulung dan Sambi Wulung telah bertempur pula melawan keempat orang lawan mereka, termasuk Ki Sumbaga. Dengan tangkasnya keduanya berloncatan menghindar dan kemudian menyerang lawan-lawan mereka.
Namun beberapa saat kemudian, Jati Wulung telah merasakan tekanan yang sangat berat. Ki Sumbaga ternyata seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Sedangkan Sambi Wulung yang bertempur melawan dua orang pengikut Ki Sumbaga, masih juga sempat bernafas. Keduanya memang bekas prajurit Jipang. Mereka mampu bekerja bersama dengan baik. Tetapi Sambi Wulung adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Dalam pada itu, ternyata Risang mampu mengimbangi kemampuan dan kekuatan lawannya yang bersenjata tombak pendek itu. Dengan tangkasnya anak muda itu berloncatan sambil memutar pedangnya. Sekali-sekali Risang memang harus meloncat menjauh jika ujung tombak itu hampir menggapai dadanya. Namun kemudian iapun telah menyerang sambil mengibaskan pedangnya, menepis ujung tombak lawannya itu.
Ternyata bahwa setelah mereka terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit, orang-orang yang mencegat Risang dan ketiga orang yang menempuh perjalanan bersamanya itu tidak dapat mempertahankan kedudukan mereka. Mereka bertempur berputaran, dan saling menyesuaikan diri. Dengan demikian maka Risangpun telah bergeser menjauh. Sementara justru telah mulai bertempur di batas kaki bukit.
Namun ternyata bahwa Gandar memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan garangnya ia telah membuat kedua lawannya setiap kali justru terdesak.
Bahkan keduanya seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk menyerang.
Ki Sumbaga terkejut ketika dengan tiba-tiba saja ia melihat seorang di antara pengikutnya yang bertempur melawan Gandar telah terlempar jatuh. Bukan pedang Gandar yang mengenai dadanya, namun pada saat orang itu berusaha menangkis serangan pedang Gandar, Gandar telah menyerangnya dengan kakinya yang terjulur lurus menyamping.
Orang itu terlempar dan jatuh pada punggungnya. Sekali ia terguling. Dalam keadaan kalut orang itu telah melenting dan mencoba untuk bangkit. Namun kakinya justru telah tergelincir sehingga orang itu telah terguling di lereng yang tidak begitu dalam. Tetapi tubuhnya telah membentur sebuah batu yang besar di dasar sungai kecil itu.
Terdengar orang itu mengaduh. Namun orang itu ternyata tidak menyerah. Dengan susah payah ia telah merangkak naik. Tangannya menggapai-gapai rerumputan dan pohon-pohon perdu untuk pegangan.
Orang itu memang dapat mencapai bibir jurang yang rendah itu. Tetapi nafasnya yang berkejaran lewat hidungnya seakan-akan justru telah berputus. Karena itu, maka demikian ia mencoba untuk berdiri, maka iapun telah terhuyung-huyung sesaat. Adalah malang baginya. Sekali lagi ia tergelincir dan sekali lagi ia terguling jatuh ke bawah.
Orang itu tidak pingsan. Tetapi ternyata ia sudah tidak mampu lagi merayap ke atas. Tubuhnya tidak lagi terangkat. Apalagi tulang belakangnya memang serasa telah patah.
Ki Sumbaga melihat keadaan itu. Iapun telah menggeram marah. Karena itu, maka iapun telah melepaskan Jati Wulung dan berlari menghadapi Gandar sambil berkata kepada lawan Gandar yang tersisa, "Minggir. bertempurlah bersama orang itu."
Lawan Gandar itu termangu-mangu. Namun iapun segera menyadari bahwa ia harus bertempur bersama kawannya melawan orang yang telah ditinggalkan oleh Ki Sumbaga itu.
Dengan demikian maka Gandar telah berganti lawan. Ia harus bertempur melawan Ki Sumbaga. Sementara Jati Wulung dan Sambi Wulung masing-masing masih harus bertempur melawan dua orang.
Gandar memang menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia merasa gentar menghadapi lawannya itu. Tetapi ia memang merasa cemas bahwa ia akan kehilangan kesempatan untuk mengawasi Risang yang bertempur melawan seorang yang menurut penilaian Gandar, tentu bekas seorang prajurit.
Jati Wulung dan Sambi Wulung ternyata mempunyai perasaan yang sama. Karena itu, maka merekapun segera mengerahkan kemampuan mereka. Namun masih terbatas pada kemampuan wajar mereka. Keduanya tidak ingin dikenali karena ciri-ciri ilmunya. Karena itu, maka jika tidak terpaksa sekali, mereka tidak akan mempergunakan kekuatan ilmu mereka yang melampaui kewajaran.
Namun ternyata bahwa Jati Wulung dan Sambi Wulung benar-benar tangkas. Dengan pedang di tangan mereka telah mampu mendesak lawan-lawan mereka. Meskipun sekali-sekali keduanya harus berloncatan surut pada saat-saat yang gawat, karena kedua lawannya menyerang berbareng dari sisi yang berbeda, sementara kedudukan mereka sendiri kurang menguntungkan.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Risang dengan tegar bertempur melawan seorang lawan yang memang bekas seorang prajurit. Prajurit yang mengalami tempaan yang keras. Apalagi prajurit Jipang di bawah pemerintahan Adipati Jipang yang bergelar Arya Penangsang yang keras dan agak cepat terbakar oleh kemarahannya menghadapi persoalan-persoalan yang apalagi menyinggung harga dirinya.
Namun Risangpun pernah mengalami tempaan yang keras pula justru melampaui seorang prajurit, karena secara khusus Risang dituntun oleh lebih dari seorang guru.
Tetapi bagaimanapun juga, pengalaman seseorang ikut serta menentukan ketangkasan mengambil sikap pada saat-saat tertentu. Karena itu, kadang-kadang Risang memang menjadi bingung menghadapi gerak senjata lawannya.
Meskipun demikian Risang masih tetap menunjukkan perlawanan yang tangguh. Ia selalu ingat pesan Gandar, bahwa ia tidak boleh kehilangan akal. Karena itu, pada keadaan yang terasa sulit, ia tidak mau membiarkan dirinya hanyut tenggelam di dalamnya. Ia selalu berusaha untuk keluar dari kesulitan itu dengan loncatan-loncatan panjang agar mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Ternyata dengan demikian Risang memerlukan arena yang cukup luas, sehingga seakan-akan ia telah terpisah dari lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu, agaknya berusaha untuk mendesak Risang menepi. Lawannya ingin mengurung Risang di tepi jurang yang tidak terlalu dalam itu. Namun dengan demikian, Risang akan berada dalam bahaya. Jika ia tergelincir, maka lawannya akan dengan mudah melontarkan tombak pendeknya pada saat-saat ia tidak mungkin menghindar. Atau menyusulnya terjun turun ke tepi sungai kecil itu untuk menghunjamkan tombaknya di saat Risang belum mapan karena tergelincir jatuh.
Namun agaknya Risang menyadari maksud lawannya. Karena itu, maka ia menjadi sangat berhati-hati, Ia tidak mau tergelincir jatuh ke dalam jurang yang meskipun tidak dalam itu.
Karena itu, maka selain mempertahankan diri dari serangan ujung tombak lawannya yang seakan-akan berputaran di sekeliling tubuhnya itu, Risang juga berusaha untuk menembus usaha lawannya yang mendesak ke bibir jurang.
Beberapa saat Risang harus berjuang. Namun dengan kecepatan gerak yang menghentak, Risang sempat menyerang lawannya dengan menjulurkan pedangnya lurus ke arah dada demikian ia berhasil menangkis serangan ujung tombak lawannya yang mengarah ke lambungnya.
Demikian cepatnya serangan itu sehingga lawannya tidak mempunyai cara lain untuk menghindarinya selain meloncat surut.
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Risang sebaik-baiknya. Sekali lagi ia meloncat memburu. Ketika lawannya menahan serangannya dengan menjulurkan ujung tombak pendeknya, Risang sempat melibat tombak itu dengan pedangnya dan memutarnya, kemudian mengibaskannya menyamping. Demikian ujung tombak itu berkisar dari sasaran, maka Risang sekali lagi telah meloncat menyerang.
Lawannya harus menghindar sekali lagi. Sambil mengumpat ia meloncat surut beberapa langkah sekaligus. Namun dengan demikian ia telah kehilangan kesempatan untuk mengurung Risang di bibir jurang, karena Risang telah meloncat justru ke seberang.
Dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya terjadi di kaki lereng pebukitan. Sekali-sekali Risang harus naik beberapa langkah kelereng. Namun kemudian meloncat lagi turun dan bergeser ke jalan. Namun ia berusaha untuk tidak terdorong ke tepi jurang. Bahkan sebagaimana dilakukan oleh lawannya, maka iapun telah berusaha untuk mengurung lawannya meskipun setiap kali usaha itu harus dilepaskannya.
Jika sekilas-sekilas Gandar sempat melihat anak itu, maka hatinya memang menjadi tenang. Ternyata bahwa Risang akan mampu mempertahankan dirinya. Setidak-tidaknya untuk sementara, karena Gandar mengharapkan Jati Wulung dan Sambi Wulung akan segera menyelesaikan pertempuran itu.
Jati Wulung dan Sambi Wulung memang tidak melepaskan ciri ilmunya yang tinggi. Ia masih berusaha untuk mengatasi lawan-lawannya dengan ketangkasannya.
Ternyata bahwa tingkat kemampuannya yang tinggi dalam olah kanuragan, telah membuat kedua lawannya menjadi kebingungan. Pedang kedua orang itu berputaran semakin cepat. Menyambar-nyambar. Sekali-sekali bergulung-gulung melibat lawannya yang seorang. Namun tiba-tiba pedang itu terjulur lurus ke arah lawannya yang lain. Ketika lawannya yang lain sempat menghindar, maka sebelum lawannya yang pertama meloncat menyerangnya, justru merekalah yang datang menyerang lebih dahulu.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnyalah bahwa lawan-lawan Jati Wulung dan Sambi Wulung telah mengalami kesulitan. Namun mereka masih tetap bertahan. Lawan Jati Wulung bahkan bagaikan membabi buta. Keduanya menjadi sangat marah, bahwa mereka telah terdesak oleh lawannya yang hanya seorang itu.
Dengan mengerahkan kemampuannya, maka kedua orang itu berusaha untuk memecah perhatian Jati Wulung. Keduanya berusaha menyerang dan menghindar dalam kecepatan yang sangat tinggi. Namun Jati Wulunglah yang telah membuat keduanya menjadi kebingungan, karena kadang-kadang keduanya justru hampir berbenturan.
Sementara itu lawan Sambi Wulung telah mempergunakan cara yang lain. Mereka berusaha melibat Sambi Wulung dalam pertempuran jarak pendek. Keduanya berdiri di sebelah menyebelah. Namun ujung-ujung senjata mereka dengan cepat menikam bergantian.
Tetapi seperti Jati Wulung, Sambi Wulungpun memiliki ketangkasan yang sangat tinggi, sehingga dengan demikian, maka lawan-lawannyalah yang setiap kali justru harus berloncatan menjauh.
Dalam pada itu, Ki Sumbaga sempat memperhatikan keadaan orang-orangnya. Ia menyadari, bahwa ternyata orang-orang berkuda yang mengaku pedagang akik dan batu-batu berharga dari Pajang itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia halus segera menyelesaikan lawannya dan kemudian membantu orang-orangnya menyelesaikan orang-orang berkuda itu yang lain.
Karena itu, maka Ki Sumbaga yang tidak mengenali lawannya itu telah mengetrapkan ilmunya.
Gandar yang bertempur melawan Ki Sumbaga itu mulai merasakan perbedaan pada lawannya. Sekali-sekali jika terjadi benturan, terasa seakan-akan lawannya semakin lama menjadi semakin kuat, sehingga rasa-rasanya setiap kali kekuatan lawannya itu justru telah meningkat.
Gandar segera menyadari, bahwa itu bukan satu kewajaran. Tentu ada sejenis ilmu yang telah mendukung sehingga kekuatan lawannya itu menjadi semakin besar. Bukan sekedar karena kekuatan cadangan yang dikerahkan meskipun sampai tuntas.
Namun Gandar yang mengenal ilmu jenis itu mengerti, bahwa pengerahan tenaga akan dapat menimbulkan persoalan lain pada orang itu. Dengan ilmunya maka seakan-akan orang itu harus merangkap kekuatannya, sehingga ia akan menjadi lebih cepat kelelahan sehingga tenaga itu akan segera susut kembali. Tetapi dalam kesempatan tenaga itu berlipat, maka lawannya akan dapat lebih mudah ditundukkannya.
Gandar sendiri yakin bahwa ia akan dapat bertahan sampai saatnya kekuatan orang itu menyusut. Tetapi yang digelisahkannya adalah justru Risang. Pengalaman lawannya yang luas, akan dapat ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.
Karena itu, maka Gandar telah berusaha untuk mengimbangi kekuatan lawan dengan kecepatan geraknya. Dengan dukungan ilmu yang ada di dalam dirinya, maka Gandar telah mempercepat tata geraknya. Tubuhnya yang besar itu seakan-akan menjadi tidak berbobot lagi. Kakinya yang kokoh itu telah melempar-lemparkan tubuhnya seakan-akan mengelilingi lawannya yang meningkatkan kekuatannya sampai pada tingkat di luar kemampuan orang yang manapun juga tanpa rangkapan ilmu.
Namun kecepatan gerak Gandar ternyata telah menimbulkan kesulitan pada orang itu. Gandar berusaha untuk tidak membenturkan senjatanya, karena Gandar mencemaskan senjatanya itu akan dapat terlepas dari tangannya. Dalam sentuhan yang lunak sudah terasa tangannya bagaikan terkelupas kulitnya ketika ia mempertahankan senjatanya agar tidak terlepas.
Tetapi pada suatu saat, ketika Gandar berusaha menghindari benturan pedang, maka ia menjadi lengah. Tiba-tiba saja kaki lawannya telah menghantam pundaknya.
Ternyata kekuatan lawannya benar-benar mengagumkan. Gandar yang tinggi dan besar itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah.
Namun ternyata Gandar memiliki daya tahan yang luar biasa. Dalam landasan ilmunya, maka dengan cepat Gandar bangkit berdiri dan dengan cepat pula memperbaiki keadaannya.
Gandar menggeram menahan sakit. Tulangnya serasa menjadi retak. Sementara lawannya tertawa sambil berkata, "Jangan menyesal. Kau akan mati karena kau telah mempertahankan kuda-kudamu."
Tetapi Gandar tidak mau kehilangan waktu. Ia memiliki kecepatan bergerak lebih tinggi dari lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja tanpa menunggu lawannya selesai berbicara, Gandar telah menyerangnya.
Lawannya terkejut. Ia tidak menyangka bahwa lawannya masih akan mampu menyerangnya demikian cepat seakan-akan tidak merasakan akibat sentuhan kakinya yang menjadi sangat kuat itu.
Betapapun kuatnya, namun Ki Sumbaga bukannya menjadi kebal senjata. Ketika dengan cepat Gandar yang disangka belum mampu mengatasi rasa sakit itu menyerang seperti laju tatit di langit, maka ia berusaha untuk bergeser sambil membenturkan senjatanya menangkis serangan itu. Tetapi Gandar selalu menghindari benturan karena akibatnya akan dapat melemparkan senjatanya sendiri. Namun dengan cepat, Gandar telah merubah serangannya. Ia tidak lagi menjulurkan pedangnya. Tetapi sambil merendah ia menebas mendatar. Perubahan sikap Gandar itu benar-benar tidak teratasi. Karena itu, meskipun Ki Sumbaga berusaha mengelak, tetapi ujung pedang Gandar telah menggores di lengannya.
Ki Sumbaga telah meloncat surut. Dengan geram ia mengumpat. Bahkan kemudian katanya, "Kau memang luar biasa Ki Sanak. Kau dapat mengetahui langkah-langkah yang aku ambil serta mampu mengatasinya. Bahkan kau telah dapat melukai lenganku. Namun dengan demikian akan berarti mempercepat kematianmu."
Gandar berdiri tegak dengan pedang menyilang di dadanya. Ia sudah siap menghadapi apapun juga. Jika orang itu mengerahkan ilmunya yang lain, maka Gandarpun harus meningkatkan ilmunya pula. Jika perlu segala macam ilmu yang ada di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu, ia sempat melihat arena pertempuran yang lain. Jati Wulung dan Sambi Wulung masing-masing benar-benar telah menguasai kedua lawannya, sehingga keduanya seakan-akan hanya dapat berloncatan menghindar. Bahkan semakin lama semakin jauh. Sementara Sambi Wulung telah berhasil melukai kedua orang lawannya meskipun hanya dengan goresan-goresan kecil.
Tetapi dalam pada itu, lawan Risang kadang-kadang mampu membuat Risang kebingungan. Lawannya yang mengetahui bahwa ia masih sangat muda dan belum berpengalaman sama sekali, maka ia mampu membuat tipuan-tipuan yang kadang-kadang membingungkan Risang. Namun setiap kali Risang mengalami kebingungan, maka iapun telah meloncat surut mengambil jarak dan memperbaiki kedudukannya.
Ternyata Ki Sumbagapun melihat perkembangan pertempuran itu. Karena itu, maka betapapun ia mengerahkan ilmunya dan mampu mengalahkan lawannya, tetapi orang-orangnya tidak mempunyai harapan lagi. Apalagi ketika ia mengalami satu kenyataan, bukan ia yang dapat melukai lawannya, apalagi mengalahkannya. Tetapi justru lengannyalah yang telah dilukainya.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain baginya daripada menghindar. Jika ia memaksa untuk bertempur terus, maka akibatnya akan dapat justru menyulitkannya, sementara orang-orangnya masih berkeliaran di balik bukit, di goa-goa dengan penuh kekecewaan. Bukan saja atas kegagalan yang pernah mereka alami, tetapi juga karena orang yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan itu telah hilang tanpa diketahui ujung pangkalnya lagi. Meskipun beberapa orang telah dikirim untuk mencarinya, namun Ki Rangga Gupita dan Warsi belum dapat mereka ketemukan.
Dengan demikian, maka dengan perhitungan seorang prajurit, maka Ki Sumbagapun telah bergeser beberapa langkah, ia memang mulai lagi dengan serangan-serangannya. Namun kemudian terdengar isyarat dari mulutnya. Suitan yang nyaring.
Isyarat itu cepat sampai ke telinga para pengikutnya. Merekapun menganggap bahwa tidak ada kemungkinan lain yang dapat mereka lakukan selain melarikan diri. Seandainya Ki Sumbaga mampu mengimbangi dan bahkan mengalahkan lawannya, tetapi ia tentu memerlukan waktu lebih lama dari kedua orang di antara orang-orang berkuda itu untuk melumpuhkan keempat lawannya. Sementara seorang di antara pengikut Ki Sumbaga itu masih belum dapat menunjukkan satu kepastian.
Karena itu, maka isyarat itu tidak perlu diulangi lagi. Ki Sumbaga dengan para pengikutnya, segera mengambil kesempatan untuk berlari memanjat lereng.
Ketika Risang berusaha untuk mengejar lawannya, Gandar segera memanggilnya dengan bertepuk tangan, karena Gandar tidak ingin menyebut namanya sehingga dapat didengar orang lain. Meskipun hampir saja ia lupa dan berteriak memanggil.
Risang memang berpaling ketika ia mendengar tepuk tangan. Kemudian dilihatnya Gandar memberikan isyarat, agar Risang yang sudah mulai memanjat tebing itu kembali.
Risang termangu-mangu sejenak. Sekali-sekali dipandanginya orang-orang yang berlari memanjat tebing dan yang kemudian menyusup di antara batang-batang perdu.
Ketika kemudian Risang mendekati Gandar, maka iapun bertanya, "Kenapa kita tidak mengejar?"
"Kita tidak tahu, apakah yang ada di bukit itu. Mereka tentu bukan hanya tujuh orang itu saja. Mungkin ada orang lain yang dapat mereka panggil, sehingga kita justru akan mengalami kesulitan."
Risang kemudian berpaling kepada Jati Wulung dan Sambi Wulung. Ternyata keduanyapun sama sekali tidak berniat untuk mengejar orang-orang yang melarikan diri itu.
"Sangat berbahaya," berkata Jati Wulung, "dengan isyarat khusus mereka dapat memanggil orang yang lebih banyak lagi."
Risang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Seorang di antara mereka tergelincir ke dalam sungai itu. Mungkin kita akan mendapat keterangan dari mereka."
Gandar mengangguk-angguk. Tetapi Jati Wulung dan Sambi Wulung justru nampak termangu-mangu. Namun kemudian Jati Wulungpun berkata kepada Gandar, "Tunggu disini bersama Risang. Kami akan melihat orang itu."
Sejenak kemudian, maka Jati Wulung dan Sambi Wulungpun telah turun ke sungai di bawah jurang yang rendah itu.
Namun ternyata orang itu sudah tidak diketemukan lagi. Menilik bekasnya, orang itu sempat mempergunakan sisa-sisa kekuatannya untuk melarikan diri. Agaknya ia sadar jika ia tetap berada di tempat itu, sementara kawan-kawannya melarikan diri, maka ia akan dapat menjadi sasaran. Ia akan diperas untuk memberikan keterangan tentang dirinya dan kelompoknya. Maka demikian ia mendengar isyarat untuk menarik diri, maka dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka iapun telah meninggalkan tempatnya tertatih-tatih menelusuri sungai itu. Tetapi di kelokan, ia telah berusaha memanjat naik dan merangkak di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Perlahan-lahan orang itu telah bergeser semakin lama semakin jauh.
Jati Wulung dan Sambi Wulung tidak berusaha untuk mengikuti jejak itu. Mereka tidak mau terlibat lebih jauh lagi dalam benturan kekerasan. Jati Wulung dan Sambi Wulung mengerti, bahwa orang-orang itu tentu sisa-sisa dari pengikut Ki Rangga Gupita yang masih tetap berada di balik bukit dengan rencana mereka yang belum diketahui.
Karena itu, maka kedua orang itupun telah naik ke atas tanggul di pinggir jalan itu.
"Bagaimana dengan orang itu?" bertanya Risang ketika ia melihat Jati Wulung dan Sambi Wulung muncul dari jurang yang rendah itu.
"Orang itu sudah tidak ada lagi." jawab Jati Wulung, "agaknya ia sempat melarikan diri meskipun harus merangkak."
"Apakah kita tidak perlu mencarinya?" bertanya Risang.
Jati Wulung menggeleng. Katanya, "Ibumu telah menjadi sangat rindu kepadamu. Kita jangan terlalu lama berada di perjalanan, apalagi melibatkan diri dalam persoalan-persoalan yang tidak perlu seperti ini. Kita sudah berhasil mengusir mereka. Aku kira itu sudah cukup."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Ketika Jati Wulung menyebut tentang ibunya, maka Risang tidak membantah lagi. Iapun kemudian diiringi oleh ketiga orang yang menyertainya mendekati kudanya dan kemudian melepaskan talinya.
Sejenak kemudian, ketupat orang itu telah berpacu melanjutkan perjalanan mereka. Kuda-kuda merekapun telah berlari semakin cepat.
Dari balik gerumbul-gerumbul yang lebat di lereng bukit, Ki Sumbaga melihat debu yang mengepul itu sambil mengumpat. Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Tentu orang-orang Sembojan."
"Kenapa?" bertanya seorang pengikutnya.
"Hanya dengan orang-orang seperti itu sajalah Sembojan dapat mengalahkan kita," berkata Ki Sumbaga.
"Tetapi bukankah di Sembojan ada tiga orang tua yang sangat disegani?" berkata salah seorang pengikutnya.
"Mereka sudah terlalu tua, meskipun masih juga dapat mempengaruhi medan. Tetapi agaknya mereka sudah malas untuk langsung bertempur." jawab Ki Sumbaga, "tentu orang-orang inilah yang berada di antara pasukan Sembojan itu."
"Siapakah anak yang masih terlalu muda itu?" tiba-tiba saja salah seorang pengikutnya yang kebetulan bertempur melawan Risang itu bertanya.
Ki Sumbaga merenung sejenak. Kemudian katanya seakan-akan kepada diri sendiri, "Jika benar orang-orang itu adalah orang-orang Sembojan, maka anak itu tentu anak perempuan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang bernama Risang itu. Jika benar ia Risang maka anak itulah yang harus dibunuh, agar anak Warsi mendapatkan haknya sebagai anak laki-laki kedua dari Ki Wiradana. Ketika Pajang sedang kemelut sekarang ini, maka adalah satu kesempatan untuk menguasai Tanah Perdikan ini karena Pajang tidak akan dapat membantunya."
Namun seorang pengikutnya berkata, "Tanpa kekuatan Pajangpun kita tidak dapat merebutnya. Di saat kekuatan kita masih utuh."
Ki Sumbaga, bekas seorang perwira prajurit Jipang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Selagi kita masih utuh, termasuk Ki Rangga, Warsi dan orang-orang Kalamerta, kita tidak mampu mengalahkan Tanah Perdikan. Perhitungan kita telah dikoyak oleh ketajaman panggraita orang-orang Sembojan. Mereka tidak menunggu di seputar padukuhan induk dan bertahan di belakang dinding padukuhan, tetapi mereka justru datang menyongsong kita yang baru turun dari bukit dengan gelar yang utuh. Satu langkah yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Karena itu, maka kitalah yang telah dihancurkan. Sementara itu nafsu Warsi yang bergejolak tanpa kendali sehingga Ki Rangga tidak sempat memikirkan pasukannya. Namun akhirnya Warsi itupun dikalahkan, bahkan hampir mati sementara orang-orang Kalamerta yang dikumpulkan dengan susah payah, seakan-akan telah disapu bersih sepeninggal Kala Sembung."
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Namun sementara itu mereka melihat seseorang merayap naik lereng bukit. Ternyata orang itu adalah orang yang dilemparkan Gandar ke dalam jurang yang rendah itu.
"Ternyata ia mampu menolong dirinya sendiri," berkata Ki Sumbaga.
"Kita harus menemukan Ki Rangga," berkata salah seorang pengikutnya.
"Di padepokan-padepokannya yang terpencar, Ki Rangga dan Warsi tidak dapat diketemukan. Mungkin kedua orang itu telah disembunyikan oleh Ki Randukeling," sahut Ki Sumbaga. Lalu katanya, "Seharusnya Warsi berani melihat dirinya sendiri, ia tidak akan dapat mengalahkan Iswari, isteri tua Ki Wiradana. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, perang tanding itu pernah terjadi. Khusus perang tanding. Sekarang hal itu terulang lagi. Meskipun didahului dengan satu pertempuran yang ikut menentukan. Seandainya pasukan Ki Rangga menang, maka tentu tidak akan terjadi perang tanding itu. Ki Rangga dan para pengikut Kalamerta tentu tidak akan menghormati paugeran perang tanding. Mereka tentu beramai-ramai mengeroyok Iswari dan kemudian membunuhnya."
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Namun dalam goncangan-goncangan yang terjadi dalam pengembaraan mereka, maka harga diri mereka sebagai prajurit dari satu kadipaten yang kokoh dan besar memang menjadi semakin pudar. Kadang-kadang Ki Sumbaga harus merenungi kembali apa saja yang pernah dilakukannya. Bahkan apa yang baru saja dilakukannya. Berusaha merampas beberapa ekor kuda, namun gagal. Sementara itu, bekas prajurit-prajurit yang berpangkat paling rendah, tentu akan berbuat lebih buruk lagi dari yang dilakukan. Mereka tentu akan menyamun, merampok dan bahkan perbuatan-perbuatan yang lebih kasar lagi.
Namun menurut penilaian Ki Sumbaga, justru pada saat-saat Pajang mengalami kesulitan itulah, maka akan terbuka kesempatan yang paling baik. Tetapi ketika satu langkah telah diambil, mereka telah gagal.
Sejenak kemudian, maka Ki Sumbaga itupun berkata, "Suruh orang yang tergelincir ke jurang itu kemari. Kita akan kembali ke balik bukit."
Ki Sumbagapun telah melangkah naik ketika orang yang tergelincir itu mendekatinya.
"Kau masih beruntung, bahwa kau masih hidup," berkata Ki Sumbaga.
"Aku sempat merayap menyingkir," berkata orang itu.
Ki Sumbaga tidak menyahut lagi. Tetapi iapun kemudian melangkah terus diikuti oleh para pengikutnya. Beberapa orang masih berbekas darah di luka-luka mereka yang sudah pempat, setelah mereka menaburkan obat-obat seadanya yang mereka bawa.
Sementara itu, Risang telah berpacu memasuki tlatah Tanah Perdikan Sembojan. rasa-rasanya ia telah memasuki kembali rumah yang telah beberapa lama ditinggalkannya.
Dengan gembira Risang berpacu di paling depan, melintasi jalan-jalan bulak yang panjang, padukuhan-padukuhan yang keheranan melihatnya lewat dan tidak sempat menyapanya, kemudian mendekati pintu gerbang padukuhan induk.
Dari kejauhan Risang telah melihat pintu gerbang itu. Kegembiraannyapun telah melonjak. Sementara warna langitpun telah menjadi kuning kemerahan.
"Alangkah segarnya udara di Tanah Perdikan Sembojan," Risang hampir berteriak di atas punggung kudanya selagi ia masih berada di bulak panjang dimuka pintu gerbang Tanah Perdikan.
Sejenak kemudian, Risang itupun telah memasuki gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Namun di gerbang itu sudah tidak lagi terpasang topeng-topeng kecil yang menakutkan, karena topeng-topeng itu justru telah dipindahkan ke bukit.
*** JILID 18 KETIKA Risang memasuki pintu gerbang halaman rumahnya, maka iapun telah disambut dengan penuh kegembiraan. Bibi, yang kebetulan ada di halaman, telah berlari menyongsongnya dan memeluknya. Bahkan Bibi yang garang itu telah menitikkan air mata sambil berdesis, "Kau baik-baik saja Risang?"
"Ya Bi," jawab Risang, "sebagaimana Bibi lihat. Aku sehat walafiat."
"Kau sudah tumbuh menjadi anak muda yang gagah dan tampan," berkata Bibi, "kau tentu memiliki kemampuan melampaui anak-anak muda kebanyakan."
"Ah. Tidak Bi," jawab Risang, "tidak ada lebihnya. Dimana ibu?"
"Marilah. Kita menemui ibumu," berkata Bibi kemudian, Risang yang menjelang dewasa itu masih juga dibimbing seperti kanak-kanak, naik ke pendapa, melintasi pringgitan masuk ke ruang dalam. Bibi yang menyambut Risang dengan gejolak perasaannya itu seakan-akan tidak melihat orang-orang yang datang bersama Risang itu.
Ketiga orang yang datang bersama Risang memang tidak merasa perlu dipersilahkan. Rumah itu sudah seperti rumah mereka sendiri sehingga merekapun telah masuk ke ruang belakang lewat pintu butulan.
Iswari terkejut ketika ia mendengar suara anaknya. Sementara ia baru beristirahat di dalam biliknya, karena kesehatannya yang memang belum pulih kembali.
Karena itu, maka iapun segera bangkit justru ketika Risang mengetuk pintu biliknya.
Dengan tergesa-gesa Iswari membuka pintu bilik itu. Demikian ia melihat Risang datang, maka iapun langsung memeluknya.
Ternyata bahwa Iswaripun tidak dapat menahan air matanya. Meskipun ia termasuk seorang perempuan yang perkasa, namun bagaimanapun juga, sentuhan pada perasaannya rasa-rasanya memang harus menitikkan air mata.
"Bagaimana dengan keadaanmu?" bertanya ibunya.
"Aku baik-baik saja ibu," jawab Risang, "bagaimana dengan ibu" Dan bagaimana dengan Tanah Perdikan ini?"
"Ibu dalam keadaan baik Ngger. Demikian juga Tanah Perdikan ini." jawab ibunya.
"Jadi tidak terjadi apa-apa dengan Tanah Perdikan ini?" bertanya Risang.
"Tidak. Kenapa" Apakah pamanmu atau orang lain mengatakan sesuatu tentang Tanah Perdikan ini?" bertanya ibunya.
"Tidak ibu," jawab Risang, "tetapi ketika kami memasuki Tanah Perdikan ini, kami telah dicegat oleh sekelompok orang yang ingin merampas kuda-kuda kami."
"O," wajah Iswari menegang. Bahkan juga Bibi yang mendengar pula keterangan itu menjadi berdebar-debar.
Di luar sadarnya ia bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
"Berkelahi," jawab Risang.
Ibunyapun kemudian membimbing Risang sambil berkata, "Duduklah. Seharusnya kau beristirahat. Minum dan barangkali kau juga lapar. Tetapi keteranganmu menarik perhatian."
Risangpun kemudian dibawa duduk di sebuah amben besar bersama Bibi. Dengan nada rendah ibunya berkata, "Nah, sekarang kau ceriterakan apa yang telah terjadi di perjalananmu."
Risang memang mulai berceritera. Tetapi kata-katanya mengalir seperti air di bendungan yang pecah. Mengalir tidak putus-putusnya. Namun justru karena itu, maka ceriteranya menjadi kurang jelas. Apalagi jika Risang mulai bangkit dan menirukan apa yang telah dilakukannya.
Ibunya mengangguk-angguk. Serba sedikit ia tahu, bahwa telah terjadi sesuatu yang gawat di perjalanan anaknya kembali ke Tanah Perdikan.
Karena itu, maka Iswaripun telah menyuruh Bibi memanggil Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Ceritera Risang seperti gerontol wutah. Aku justru sulit menangkap maksudnya dan sulit untuk menggambarkan peristiwanya," berkata Iswari.
"Ibu yang tidak memperhatikan aku," Risang bersungut.
Iswari tersenyum. Katanya, "Mungkin ibu memang agak lambat menangkap keterangan seseorang. Coba, biarlah orang lain mengulangi ceriteramu."
Sambi Wulunglah yang kemudian berceritera tentang perjalanan yang telah mereka tempuh. Sejak mereka meninggalkan padepokan kecil itu, sehingga mereka memasuki regol halaman rumah itu. Bukan saja orang-orang yang mencegat di lereng bukit, tetapi juga orang-orang yang mengganggu ketenangan orang lain di sebuah pasar.
Meskipun tidak dikatakan dengan jelas, tetapi Iswari dapat menangkap maksud Sambi Wulung yang ingin menjajagi kemampuan ilmu Risang dibandingkan dengan orang di luar padepokan. Dengan demikian maka ilmu yang telah dipelajarinya, telah dihadapkan kepada unsur-unsur gerak dari ilmu kanuragan yang susunannya lain sama sekali.
Tetapi orang-orang yang mencegat keempat orang yang memasuki Tanah Perdikan itu bukan sekedar penjajagan. Tetapi mereka benar-benar telah dicegat oleh sekelompok perusuh yang berbahaya.
Karena itu, Iswari telah minta penjelasan beberapa hal yang dianggapnya penting tentang orang-orang yang telah mencegat mereka itu.
"Agaknya mereka adalah orang-orang di balik bukit yang tercecer setelah pertempuran itu selesai." Sambi Wulung menjelaskan.
Namun yang justru bertanya adalah Risang, "Pertempuran yang mana?"
Iswari mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum, "Pertempuran kecil antara orang-orang yang ingin merampok. Seperti yang dilakukan atas kalian di perjalanan."
Risang termangu-mangu sejenak. Namun iapun mengangguk-angguk.
Iswari tidak bertanya lebih jauh. Tetapi ia ingin mencari waktu yang khusus untuk berbicara dengan mereka yang menemani Risang di perjalanan, karena tidak semua hal dapat dibicarakan bersama dengan Risang.
Yang kemudian mereka bicarakan adalah tentang padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Risang, Padepokan yang semakin lama menjadi semakin nampak subur dan meningkat. Sawah dan pategalan yang menjadi garapan para cantrikpun telah dikerjakan dengan baik sehingga hasilnya dapat memenuhi kebutuhan. Bahkan yang tersisa dapat ditukarkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain.
"Apakah di antara kalian tidak ada yang pandai menenun?" bertanya Iswari.
"Belum ibu," jawab Risang, "apakah di Tanah Perdikan ini ada orang yang pandai menenun?"
"Tentu," jawab ibunya.
"Jika demikian, aku akan mengirimkan beberapa orang cantrik untuk belajar menenun disini," berkata Risang kemudian.
Tetapi ibunya menggeleng sambil berdesis, "Apakah di padepokanmu kau dikenal sebagai anak dari Sembojan?"
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa diriku harus dirahasiakan ibu?"
"Serba sedikit kau sudah mengetahui Risang," jawab ibunya, "namun pada suatu saat kau akan mengerti seluruhnya."
"Ibu, jika seperti yang ibu katakan, ada orang yang menginginkan kematianku, kenapa aku harus bersembunyi" Kenapa tidak kita biarkan saja orang itu datang untuk mencoba membunuhku sehingga dengan demikian mereka akan dapat kita tangkap?" bertanya Risang.
Iswari mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Risang tumbuh semakin besar. Nalarnya menjadi semakin panjang, sehingga ia mulai mengurai dan menghitung langkah-langkah yang pernah dilakukannya.
"Risang," berkata Iswari, "ternyata kau menjadi semakin dewasa. Baiklah. Pada satu kesempatan, kita akan berbicara tentang dirimu. Seperti yang baru saja aku katakan, kau akan mengerti seluruhnya. Tetapi sesuai dengan takaran perkembangan umurmu."
Risang mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ibunya. Iapun menyadari, betapa ia memaksa, namun yang oleh ibunya dianggap belum waktunya dikatakan kepadanya, maka ibunya tentu tidak akan mengatakannya.
Sementara itu untuk mengalihkan pembicaraan, maka ibunyapun berkata, "Risang. Aku minta kau datang kali ini, sebenarnyalah aku memang ingin berbicara denganmu tentang beberapa hal yang penting yang harus kau ketahui. Namun selain itu, maka akupun ingin tahu, kemajuanmu di bidang olah kanuragan. Aku ingin mengetahui tataran kemampuanmu selama ini. Dengan demikian aku dapat mengatur sampai sejauh mana aku dapat berbangga dengan anakku."
"Ah ibu," desah Risang, "ilmuku tentu masih sangat jauh dari harapan ibu. Namun aku sudah bekerja bersungguh-sungguh. Aku telah mempergunakan waktuku sesuai dengan takaran yang memang diberikan bagiku. Karena menurut kakek, jika aku memaksa diri melampaui takaran, maka aku justru akan mengalami kesulitan."
"Kau benar Risang," jawab ibunya, "kau harus dapat mengukur kekuatan dasar tubuhmu, umurmu dan tataran-tataran ilmu yang kau panjat. Dengan demikian kau akan meningkat dengan wajar dan lancar. Tanpa merusak tubuhmu sendiri, tetapi juga tidak terlalu lambat."
"Aku sudah mencoba mengikuti semua petunjuk. Tetapi agaknya aku memang kurang cepat menangkap pengetahuan yang diberikan kepadaku. Bukan saja olah kanuragan. Tetapi juga pengetahuan yang lain." jawab Risang.
"Aku senang mendengar jawabmu. Itu lebih baik dari pada kau berkata sebaliknya. Aku akan menjadi sangat berprihatin jika kau berkata kepadaku, bahwa kau sudah menguasai ilmu yang tinggi, pengetahuan yang luas dan pengalaman yang banyak. Tetapi pengakuanmu itu merupakan cambuk yang baik bagimu, sehingga kau akan bekerja lebih baik lagi di masa-masa mendatang," berkata ibunya.
"Terima kasih ibu. Tetapi ibu tidak usah memujiku. Aku akan menjadi bingung," sahut Risang.
Ibunya tertawa. Katanya, "Besok, jika kau sudah beristirahat, kau akan berada di sanggar bersama ibu."
Risang mengangguk kecil. Ia sadar, bahwa ibunya bersungguh-sungguh bagaimanapun sikapnya. Karena itu, maka ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia harus menunjukkan apa adanya, agar ibunya tidak salah menilai tentang dirinya. Ibunya harus tahu tepat, di tataran manakah ia berada pada saat itu.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh ibunya, Risang tidak perlu tergesa-gesa untuk memasuki sanggar.
Demikianlah, beberapa saat kemudian maka Iswaripun berkata, "Nah Risang. Sekarang kau boleh beristirahat atau melihat-lihat isi rumah dan halaman ini yang telah lama kau tinggalkan. Tetapi aku minta kau tidak meninggalkan halaman rumah ini."
"Apakah aku tidak boleh keluar dari halaman?" bertanya Risang.
"Hanya sekarang ini," berkata ibunya lalu, "kau perlu beristirahat, Risang."
Risang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah maka Bibipun telah mengajak Risang keluar dari ruang dalam untuk menghadap ketiga orang kakek dan neneknya. Sementara itu Iswari mendapat keterangan yang lebih terperinci dari Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar.
"Orang-orang itu sangat berbahaya bagi Risang," berkata Sambi Wulung.
"Apakah mereka mengetahui bahwa kalian orang-orang Tanah Perdikan ini?" bertanya Iswari.
"Tidak," jawab Sambi Wulung, "kami mengaku orang-orang Pajang yang berdagang berkeliling. Gandar telah berusaha untuk meyakinkan mereka. Tetapi nampaknya mereka kurang percaya."
Iswari mengangguk-angguk. Namun akhirnya mereka memang menarik satu kesimpulan bahwa orang-orang yang mencegat mereka tentu mengira bahwa mereka adalah Sembojan. Jika demikian maka tidak mustahil, bahwa ada di antara mereka yang sudah menduga, anak muda yang bersama mereka adalah Risang.
"Tetapi Risang bukan anak-anak lagi," berkata Gandar. "Ia sudah mempunyai nalar yang semakin berkembang. Sementara itu iapun telah memiliki bekal meskipun belum cukup tinggi, ilmu kanuragan yang dapat melindungi dirinya."
Iswari mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, "Meskipun demikian aku tidak akan pernah membiarkan Risang keluar seorang diri dari halaman rumah ini."
Gandar mengangguk kecil. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulungpun mengangguk-angguk pula.
Demikianlah, maka di sisa hari itu, Risang memang tidak pergi kemanapun. Ia bersama Bibi berada di serambi samping. Tetapi di malam hari, Risang tidak lagi mau tidur ditunggui siapapun lagi. Ia sudah merasa cukup dewasa dan tidak lagi takut tidur sendiri.
Di hari berikutnya, sebenarnyalah Iswari ingin melihat tataran kemampuan anak laki-lakinya. Karena itu, setelah makan pagi, ibunya berkata kepadanya, "Risang. Nampaknya kau memang memerlukan kesibukan agar kau tidak merasa jemu disini. Apakah kau bersedia pergi ke sanggar hari ini" Kita dapat bermain-main barang sejenak."
"Tentu ibu," jawab Risang, "bukankah dengan demikian aku tidak akan pergi ke mana-mana?"
"Ah. Bukan itu Risang," berkata ibunya, "meskipun aku memang masih ingin memperingatkan agar kau berhati-hati disini setidak-tidaknya untuk saat-saat pendek ini, tetapi aku memang ingin melihat tingkat kemampuanmu."
Risang tertawa pendek. Katanya, "Aku mengerti ibu. Aku tidak bersungguh-sungguh. Orang-orang yang mencegat kami di perjalanan menjelang pintu gerbang Tanah Perdikan itu tentu mengganggu ketenangan ibu. Apalagi dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang timbul akhir-akhir ini meskipun aku belum tahu dengan jelas."
"Kau akan mengetahuinya Risang," berkata ibunya, "tetapi kita hari ini akan bermain di sanggar."
Sebenarnyalah bahwa Risang memang menjadi gembira meskipun sedikit berdebar-debar. Ia menjadi cemas, bahwa ibunya akan kecewa melihat kemajuannya yang dapat dianggap lamban.
"Tetapi aku sudah berupaya sebaik-baiknya," berkata Risang di dalam hatinya.
Demikianlah, setelah bersiap-siap beberapa saat di dalam sanggar, maka Iswari telah minta kepada ketiga orang gurunya untuk hadir pula di dalam sanggar.
"Guru," berkata Iswari, "kami akan bermain sejenak untuk mengetahui tingkat kemampuan cicit guru ini."
Ketiga orang tua-tua itu mengangguk-angguk. Kiai Badra yang mengusap kepala anak itu berkata, "Lakukanlah sebaik-baiknya."
"Kakek terlalu lama meninggalkan aku," desis Risang.
Kiai Badra tertawa. Katanya, "Ada masalah yang harus aku selesaikan. Besok, jika kau kembali ke padepokan, aku akan menyertaimu."
"Betul Kek," Risang menegaskan.
Kiai Badra tersenyum. Katanya, "Tentu. Aku akan beristirahat di padepokanmu yang sejuk dan tenang itu."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Risang sudah bersiap. Sebelum ia harus berlatih bersama ibunya, maka Risang diminta untuk berlatih seorang diri. Dengan demikian maka akan nampak tataran ilmunya sehingga ibunya nanti akan dapat menyesuaikan diri.
Beberapa saat Risang memusatkan nalar budinya di tengah-tengah sanggar. Kemudian perlahan-lahan tangan dan kakinya mulai bergerak. Gerakan-gerakan yang ringan untuk memanasi darahnya.
Ia sekedar berloncat-loncat. Tangannya bergerak dengan ringan dan kadang-kadang tergantung lepas. Unsur-unsur gerak yang masih mendasar sekali. Namun yang semakin lama semakin cepat. Bahkan setelah darahnya menjadi agak panas, Risang mulai dengan unsur-unsur gerak yang semakin keras dan rumit.
Risang memang ingin menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Ia tidak akan memaksa diri untuk melakukan lebih dari yang memang sudah dikuasainya. Ia tidak mau memberikan gambaran yang tidak sewajarnya kepada ibunya.
Untuk beberapa saat Iswari memperhatikan setiap unsur gerak yang ditunjukkan oleh Risang dengan sungguh-sungguh. Namun ternyata bahwa unsur gerak itu telah mengalami beberapa pengaruh yang agaknya sulit untuk dihindari. Risang berada cukup lama bersama Sambi Wulung, Jati Wulung dan terakhir Gandar. Karena itu dalam latihan-latihan yang dilakukan, Risang tidak saja mengenali unsur-unsur gerak yang pernah diajarkan oleh kakeknya, Kiai Badra, tetapi juga dipengaruhi oleh orang-orang yang sangat dekat dengan dirinya itu. Terutama Gandar.
Tetapi Iswari adalah orang yang berhati longgar. Ia tidak merasa dirugikan dengan pengaruh itu. Ia justru melihat unsur-unsur gerak Risang menjadi lebih padat dan hidup, karena bagaimanapun juga, dasar dari ilmu Risang adalah ilmu yang diturunkan oleh Kiai Badra, sebagaimana ilmu yang dikuasai oleh Iswari.
Dengan demikian, maka Risang memang telah dipersiapkan pada suatu saat untuk menerima ilmu Janget Kinatelon sebagaimana yang telah dikuasai oleh Iswari. Ilmu yang mempunyai tingkat yang sangat tinggi. Inti ilmu dari tiga jalur perguruan yang luluh menyatu.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Sokapun memperhatikan tata gerak Risang dengan saksama. Merekapun, melihat beberapa unsur yang agaknya merupakan pengaruh dari unsur gerak jalur perguruan yang lain. Tetapi terasa wajar dan tidak mengganggu.
Bahkan mereka melihat bahwa di dalam mengungkapkan ilmu yang pernah dipelajarinya, nampak sedikit pengalaman membayang dan memberikan warna yang masih samar-samar. Perkembangan telah mulai nampak di samping pengaruhnya.
Ketiga orang tua itu melihat kemungkinan yang baik di masa depan bagi Risang. Meskipun mereka pernah mendapat laporan tentang perkembangan ilmu dan kedewasaan jiwa Puguh, namun mereka tetap berpengharapan agar Risang tidak berada pada tataran di bawah tataran kemampuan Puguh.
Meskipun ketiganya tidak menanamkan benih permusuhan, tetapi mereka berharap bahwa pada suatu saat Risang tidak mengalami kesulitan. Sebagaimana Iswari mampu mengimbangi Warsi. Bagi ketiga orang tua itu, musuh memang tidak dicari. Tetapi di luar kehendak mereka, maka musuh itu datang tanpa dapat dihindari.
Demikianlah Risang telah menunjukkan kepada ibunya, tingkat kemampuannya yang sebenarnya. Dengan tangkasnya anak muda itu berloncatan, menggerakkan tangan dan kakinya sebagaimana ia menyerang, tetapi juga bagaimana ia harus menangkis serangan.
Meloncat dan berputar di udara, menggeliat dan dengan cepat melontarkan dirinya kembali demikian kakinya menjejak tanah.
Iswari mengangguk-angguk. Nampaknya pengetahuan dasar telah dikuasai benar-benar oleh Risang. Tenaganya cukup kuat dan penalarannya berjalan dengan baik dan cermat.
Semakin lama Risang bergerak semakin cepat. Ia tidak saja menunjukkan kemampuannya berlatih di atas lantai sanggar, tetapi ia mulai mempergunakan alat-alat yang ada di dalam sanggar itu. Dengan ringannya ia meloncat ke atas patok-patok batang pohon kelapa yang berdiri tegak dengan tinggi yang tidak sama. Ia berloncatan dari satu patok ke patok lainnya. Sekali-sekali sambil memperagakan bagaikan ia menyerang di atas patok-patok itu dan bagaimana ia menghindari dan menangkis serangan.
Bahkan meloncat, menggeliat dan beberapa kali berlari-larian di atas patok-patok itu. Namun kemudian Risang telah meloncat ke patok-patok yang lebih kecil yang terbuat dari bambu petung, bahkan kemudian di atas patok-patok bambu wulung dan bambu ampel.
Ketiga orang kakek dan neneknya mengangguk-angguk. Namun mereka masih harus membuat pertimbangan-pertimbangan dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang telah melihat kemampuan Puguh.
Tetapi ketiganya memang menganggap bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mempunyai gambaran tentang perbandingan ilmu antara Risang dan Puguh. Bukan saja di saat mereka melakukan latihan. Tetapi benar-benar dalam pertempuran yang sesungguhnya.
Dengan demikian maka mereka akan mempunyai bahan yang cukup untuk berbicara tentang tingkat ilmu Risang.
Namun ketiga orang-orang tua itupun sadar, bahwa mereka tidak boleh terikat sekali kepada Puguh, seolah-olah kesulitan yang akan dihadapi Risang di sepanjang hidupnya hanya datang dari Puguh, anak Warsi.
"Anak itu harus mempunyai wawasan yang luas," berkata Kiai Badra di dalam hatinya.
Demikianlah, mereka telah memperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang dapat dilakukan oleh Risang. Bahkan kemudian Risang tidak saja bermain di atas patok-patok yang berdiri tegak, tetapi iapun kemudian telah meloncat ke atas palang balok yang cukup panjang. Dengan tangkasnya Risang berloncatan di atas palang balok itu. Ternyata bahwa keseimbangan tubuh Risang memang cukup baik. Sehingga baik di atas palang balok maupun tonggak-tonggak kayu dan bambu, Risang tetap dapat mempertahankan keseimbangannya.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Risang mulai mengendorkan tata geraknya. Semakin lama menjadi semakin lamban. Kemudian iapun telah turun dan bergerak di atas lantai. Akhirnya gerakannya benar-benar hampir berhenti. Risang berdiri di atas kakinya yang renggang. Kemudian mengangkat kedua tangannya bersama-sama berulang kali sambil menarik nafas dalam-dalam. Terakhir Risang telah mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala dan turun perlahan-lahan sampai ke dadanya.
"Bagus Risang," hampir di luar sadarnya Nyai Soka berdesis.
"Terima kasih nek," jawab Risang, "hanya itulah yang dapat aku lakukan."
Iswaripun kemudian melangkah ke tengah-tengah sanggarnya. Sambil tersenyum kemudian ia berkata, "Risang. Marilah kita berlatih. Aku ingin tahu pasti, apa yang dapat kau lakukan dalam olah kanuragan. Bukan sekedar menunjukkan unsur-unsur gerak yang manis. Tetapi juga penggunaannya."
Risang mengangguk kecil. Namun iapun menjadi berdebar-debar. Ia tahu bahwa ibunya memiliki ilmu yang tinggi. Namun ia belum pernah berlatih dengan sungguh-sungguh bersama ibunya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Risang yang sedang tumbuh itu, ternyata memiliki ketahanan tubuh yang sangat besar. Meskipun ia baru saja berlatih seorang diri dengan mengerahkan tenaga, namun nampaknya tenaganya masih saja utuh.
Sementara ibunya yang telah berkembang seakan-akan sedang mencapai puncak kemampuannya. Namun dengan hati-hati ibunya mengendalikan diri agar ia tidak membahayakan anaknya.
Sejenak kemudian maka Iswaripun berkata, "Bersiaplah Risang. Kita akan bermain sejenak."
Risang tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar bersiap. Sementara itu Kiai Badra berkata, "Jangan ragu-ragu Risang. Ibumu tidak akan mengalami kesulitan meskipun kau tumpahkan semua kemampuanmu. Dengan demikian kami dapat mengetahui dengan tepat, tingkat kemampuanmu yang sebenarnya."
Risang mengangguk kecil. Bagaimanapun juga, yang berdiri di hadapannya itu adalah ibunya yang tersenyum.
Karena Risang masih berdiam diri, maka ibunyalah yang mulai bergerak. Perlahan-lahan tangannya mulai menggapai dada anaknya.
Tetapi dengan gerak naluriah Risang telah mengelak. Dengan meloncat kecil ke samping, ia sudah dapat membebaskan diri dari sentuhan tangan ibunya.
Namun Iswari tidak membiarkan Risang terlepas dari jangkauannya. Dengan cepat pula Iswari meloncat memburunya. Sekali lagi tangannya menyerang dengan ayunan mendatar ke arah kening.
Tetapi sekali lagi Risang berhasil menghindarinya. Bahkan iapun kemudian telah meloncat menyerang dengan kakinya.
Namun Risang masih nampak ragu-ragu. Karena itu, maka serangannya tidak menyentuh tubuh ibunya, meskipun dengan sengaja Iswari sama sekali tidak menghindarinya.
Katanya, "Risang. Jika kau masih saja ragu-ragu, maka latihan ini tidak akan berlangsung sebagaimana diharapkan untuk mengetahui tingkat ilmumu yang sebenarnya."
Risang mengerutkan keningnya. Sementara itu ibunya berkata selanjutnya, "Bersiaplah. Aku akan benar-benar mengenaimu."
Risang bergeser surut. Namun tiba-tiba saja ibunya telah meloncat demikian cepatnya. Dua jarinya telah menyentuh pundak Risang. Perasaan sakit memang telah menyengatnya, sehingga Risang sekali lagi bergeser surut.
Namun ketika sekali lagi Iswari menyerang, Risang telah berusaha untuk menangkis serangan itu. Bahkan sekaligus telah menyerang lambung ibunya dengan kakinya.
Iswarilah yang kemudian meloncat ke samping sehingga serangan Risang tidak mengenainya. Namun dengan cepat dan tangkas Iswari justru meloncat maju. Tiba-tiba saja telapak tangan Iswari telah menebah dada Risang.
Risang berdesah menahan sakit. Bahkan rasa-rasanya dadanya telah menjadi sesak. Karena itu, maka Risang terpaksa meloncat untuk mengambil jarak, agar ia dapat memperbaiki keadaannya.
Tetapi Ibunya tidak memberinya kesempatan. Demikian Risang melenting mengambil jarak, ibunyapun telah meloncat memburunya.
Risang memang mengeluh di dalam hati. Tetapi ia tahu, bahwa ibunya telah mendesaknya agar ia bersungguh-sungguh. Karena itu, maka untuk selanjutnya, Risang berusaha agar ia tidak saja menjadi sasaran serangan ibunya. Tetapi iapun perlu menyerang untuk mengurangi tekanan.
Karena itu, ketika kemudian ibunya sekali lagi siap untuk meloncat memburunya, tiba-tiba saja dengan tidak diduga-duga, Risanglah yang telah meloncat kembali demikian kakinya menyentuh tanah di saat ia menghindar, menyerang dengan cepat, meskipun masih saja dibayangi oleh keragu-raguan, sehingga serangannya hampir tidak bertenaga.
Ibunya memang terkejut. Tetapi kematangannya bersikap telah mempersiapkannya untuk dengan cepat pula menghindari serangan itu. Bahkan ketajaman panggraitanya telah menangkap betapa lemahnya serangan Risang meskipun cukup cepat dan pada saat yang mapan.
Karena itu, maka untuk memaksa agar Risang berusaha meningkatkan latihannya, demikian Iswari menghindari serangan anaknya, maka tiba-tiba saja ia telah menyerang kembali. Demikian cepat dan didorong oleh kekuatan yang cukup besar, sehingga Risang terdorong beberapa langkah surut.
Risang memang tidak siap menghadapi kecepatan gerak ibunya. Karena itu, iapun terkejut. Ia menyangka bahwa ibunya hanya akan menghindari serangannya saja. Namun tiba-tiba ibunya telah menyerangnya pula.
Dengan sudah payah Risang berusaha mempertahankan keseimbangannya. Hampir saja ia terjatuh karena hentakkan serangan ibunya itu. Namun ia berhasil bertahan dan tetap berdiri. Bahkan kemudian Risangpun telah berdiri tegak kembali.
Namun pada saat yang demikian serangan ibunya telah datang lagi. Cepat dan kuat. Ayunan tangan ibunya yang hampir saja menyambar telinganya, justru telah berdesing keras. Sambaran anginnya terasa menerpa kulitnya.
Risang sempat menarik kepalanya ke samping. Tangan ibunya hanya berjarak setebal daun dari telinganya. Jika telinganya tersentuh serangan itu, maka agaknya telinganya akan dapat terlepas.
Serangan-serangan yang semakin keras dan yang telah menyakiti tubuhnya meskipun tidak berbahaya, telah mendesak Risang untuk semakin bersungguh-sungguh. Dengan tangkasnya Risang telah berloncatan sebagaimana telah ditunjukkan pada saat ia berlatih seorang diri. Namun serangan-serangan Risang nampaknya masih belum dialasi dengan segenap tenaganya oleh keragu-raguan.
Tetapi ketika ibunya semakin mendesaknya dan semakin sering mengenai tubuhnya dan menyakitinya, maka Risang benar-benar merasa semakin didesak untuk lebih bersungguh-sungguh.
Beberapa saat kemudian, maka latihan itu berlangsung semakin cepat. Risang memang harus menyesuaikan dirinya. Ia harus bergerak semakin tangkas dan semakin kuat. Benturan-benturan yang semakin sering terjadi membuat Risang harus mengerahkan kekuatannya. Jika serangan-serangan yang kemudian sering dilakukan oleh ibunya benar-benar menyakitinya, maka mau tidak mau Risang memang harus menghentikan serangan-serangan itu, atau setidak-tidaknya menguranginya.
Dengan demikian maka latihan itu berlangsung semakin lama semakin cepat dan kuat. Serangan-serangan Risangpun menjadi semakin keras pula. Apalagi ketika beberapa kali ia selalu gagal menyentuh kulit ibunya, maka Risangpun menjadi semakin meningkatkan kemampuannya.
Iswari mulai melihat kesungguhan pada anaknya. Karena itu, maka iapun mulai menuntun ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi dari kemampuan olah kanuragan.
Karena ibunya semakin meningkatkan ilmunya, maka untuk mengimbanginya, maka Risangpun telah melakukannya pula. Ia berloncatan semakin cepat dan tangkas. Bahkan kadang-kadang ia harus berputar di udara, berguling dan menyapu kaki ibunya. Tetapi Risang ternyata tidak mampu menyentuh ibunya. Justru semakin cepat ia bergerak, maka rasa-rasanya jarak serangannya dengan sasaran menjadi semakin jauh.
Namun dengan demikian, Risang menjadi semakin cepat bergerak. Tangannya berputaran, sementara kakinya berloncatan. Serangan-serangannya datang beruntun seperti ombak di lautan.
Tetapi tidak satupun serangannya mampu menyentuh ibunya.
Iswari tertawa melihat Risang mulai bermandi keringat. Dengan nada tinggi ia berkata, "Marilah Risang. Lakukan apa yang dapat kau lakukan."
Risang menjadi semakin cepat lagi bergerak. Serangannya datang menyambar-nyambar.
Namun Iswari tidak sekedar menertawakan anaknya. Tetapi ia juga memberikan kesempatan agar anaknya percaya kepada diri sendiri. Karena itu, kadang-kadang ibunya telah mengendurkan geraknya. Bahkan kemudian sekali-sekali ibunya memberikan kesempatan serangan anaknya itu mengenainya.
Tetapi Iswari tetap meningkatkan ilmunya tataran demi tataran. Selapis demi selapis. Dengan demikian maka Iswari telah memaksa Risang mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Sejauh mana ia telah menyadap ilmu kanuragan.
Ketiga orang kakek dan nenek Iswari yang sekaligus menjadi gurunya telah menyaksikan latihan itu dengan sungguh-sungguh. Ternyata Risang bukan saja mampu mempertunjukkan unsur-unsur gerak yang mapan, tetapi iapun mampu mengetrapkan dalam penggunaannya. Bahkan kadang-kadang Risang itu mampu menunjukkan kemampuannya mengatasi keadaan yang sulit dengan gerak yang tidak terduga. Ketika ia terdesak, maka tiba-tiba saja ia menemukan pemecahan yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Demikianlah maka latihan itu berlangsung semakin cepat, sehingga pada suatu saat, Risang memang telah sampai pada puncak kemampuannya. Ketika Iswari meningkatkan lagi ilmunya, maka Risang mulai mengalami kesulitan dan terdesak. Apalagi kadang-kadang Iswari telah menyentuhnya dan bahkan menyakitinya.
Karena itu, maka Iswaripun telah bertahan pada tataran yang tetap. Tetapi yang ingin diketahuinya kemudian adalah ketahanan tubuh Risang menghadapi pertempuran.
Dalam tataran yang seimbang, maka keduanya saling menyerang dan bertahan. Saling mendesak dan menghindar. Iswari menempatkan dirinya pada tataran yang sama dengan anak laki-lakinya berusaha untuk memancing Risang menuangkan ketajaman penalarannya. Kadang-kadang Iswari menyerang dengan cara dan kesempatan yang sama sekali tidak diduga oleh Risang. Namun dengan tangkas pula ia memecahkan kesulitannya sehingga Risang mampu meloncat, mengambil jarak untuk memperbaiki kedudukannya.
Ibunya hanya tersenyum di dalam hati. Namun anak laki-laki itu memang menimbulkan harapan di hatinya, bahwa pada suatu saat ia benar-benar akan mampu menerima warisan ilmu Janget Kinatelon, sehingga ia akan dapat mengatasi kesulitan jika anak Warsi pada suatu saat menantangnya sebagaimana Warsi pernah dan bahkan mungkin masih akan menantangnya berperang tanding.
Namun Iswari masih saja bertempur terus, dengan kecepatan yang tidak berubah. Sementara Risangpun berusaha untuk tetap berada pada tatarannya.
Namun bagaimanapun juga, karena Risang harus mengerahkan segenap kemampuannya, maka rasa-rasanya kekuatannyapun tidak akan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang terlalu panjang.
Tetapi pada saat tertentu, Iswari merasakan betapa daya tahan anaknya cukup tinggi. Ternyata pada batas yang diharapkan, Risang masih tetap menunjukkan kemampuan dan kecepatannya bergerak. Tenaganya masih belum menyusut dan gerakannya tidak mengendor.
Baru beberapa saat kemudian, setelah melewati saat yang diharapkan oleh ibunya, Risang benar-benar tidak dapat mempertahankan tingkat kekuatan dan kecepatan geraknya. Perlahan-lahan tenaganya nampak susut, sementara keringatnya mengalir seperti diperas dari tubuhnya.
Tetapi Risang tidak dapat berhenti sebelum ibunya menghentikan serang-serangannya. Meskipun tenaganya mulai susut, namun Risang masih berusaha untuk melindungi dirinya, karena sentuhan-sentuhan ibunya memang membuatnya merasa sakit.
Untuk beberapa saat ibunya masih menyerangnya. Namun ketika Risang menjadi semakin terdesak, maka Iswaripun mulai mengendorkan serangan-serangannya, sehingga akhirnya Iswarilah yang meloncat mengambil jarak.
Risang yang mulai kelelahan tidak memburunya. Tetapi ia bersiap untuk bertahan sambil berusaha mempergunakan kesempatan itu untuk sekedar beristirahat.
Tetapi ternyata bahwa ibunya tidak menyerang lagi. Namun kemudian sambil tersenyum bertanya, "Apakah kau sudah mulai lelah?"
Risang tidak menjawab. Ia mengerti bahwa ibunya mengetahui bahwa tenaganya sudah mulai susut meskipun ia masih mampu mempertahankan dirinya.
"Baiklah," berkata Iswari kemudian, "kita beristirahat. Kita masih mempunyai waktu untuk berlatih lagi. Sementara itu kakek dan nenekmu telah melihat, sejauh manakah tingkat kemampuanmu."
Risang berpaling kepada ketiga orang kakek dan neneknya. Namun ketiganya tidak mengatakan sesuatu selain tersenyum.
Mutiara Hitam 16 Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala Maut Merah 2
Ki Krema Waras terkejut melihat empat orang yang kemudian mengangkat menyingkirkan telur-telur dalam keranjang itu dan menjauhkannya dari kakinya.
Sejenak Ki Krema Waras justru termangu-mangu.
Dipandanginya empat orang yang membawa pedang di lambung. Biasanya orang-orang yang pergi ke pasar membawa golok dan diselipkan pada ikat pinggangnya meskipun juga di lambung sebagaimana laki-laki yang berdiri di sekitarnya.
Dengan suara yang berat garang Ki Krema Waras itu bertanya kepada Jati Wulung, yang pertama kali menyingkirkan telur yang ada di keranjang di dekat kakinya, "Siapa kalian he?"
Jati Wulung yang sibuk itu mengangkat wajahnya memandang Ki Krema Waras yang garang itu. Baru kemudian ia menjawab, "Bukankah tidak pantas jika kau injak telur sekeranjang itu" Coba kau kira-kirakan, berapa harga telur yang pecah itu."
"Persetan," geram Ki Krema Waras, "ia tidak mau membayar hutangnya kepadaku."
"Hutang apa?" bertanya Jati Wulung.
Ki Krema Waras termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Apa pedulimu. Ternyata kau adalah orang yang malang karena kau telah mencampuri persoalanku. Bersiaplah untuk mengalami nasib yang paling buruk di antara mereka yang telah bersentuhan dengan kemarahanku."
"Bukankah kami tidak berbuat apa-apa" Bukankah kami sekedar menyingkirkan telur-telur ini?" bertanya Jati Wulung.
"Persetan," geram Ki Krema Waras yang kemudian telah menarik kakinya dari keranjang telur. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Jati Wulung yang juga mundur perlahan-lahan.
Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu telah menyibak menjauh. Mereka menjadi cemas dan bahkan ketakutan. Jika Ki Krema Waras marah maka seisi pasar akan mengalami kesulitan. Pasar itu akan diporak-porandakan. Apalagi Ki Krema Waras datang bersama empat orang kawannya.
Sebenarnyalah bahwa Ki Krema Waras itupun kemudian berteriak, "Saatnya telah datang. Aku pernah dihinakan oleh Ki Demang dan Jagabaya itu disini. Sekarang kalian harus melihat, bahwa aku tidak dapat ditundukkan oleh siapapun. Yang akan memanggil Ki Demang dan Jagabaya itu, lakukanlah sekarang. Nanti kalian akan melihat, bahwa Ki Demang dan Jagabaya itu tidak berarti apa-apa lagi bagiku." Ia berhenti sejenak, lalu, "Sekarang aku akan menyelesaikan tikus-tikus ini dahulu."
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar telah bergeser ke jalan sambil menarik tangan Risang. Agaknya mereka memang mencari tempat yang agak luas jika mereka terpaksa harus mempergunakan kekerasan.
Sementara itu, Gandar telah berpesan kepada Risang, "Hati-hatilah menghadapi mereka. Mereka adalah orang-orang kasar yang tidak sempat mengekang diri menghadapi siapapun juga. Karena itu kau harus berhati-hati."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan melawan orang yang telah memecahkan telur sekeranjang itu."
"Jangan. Pilih yang lain. Orang itu terlalu kasar bagimu," jawab Gandar, "sebaiknya kau menjajagi dahulu kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan memilih lawan yang lain."
Risang tidak menjawab. Sementara itu Jati Wulung dan Sambi Wulung telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Jati Wulung masih juga berkata, "Ki Sanak. Jika Ki Demang dan Ki Jagabaya pernah turun tangan, maka berarti bahwa tindakan yang kau lakukan itu salah. Karena itu, maka kenapa hal itu masih kau ulangi lagi?"
Ki Krema Waras tidak menjawab. Tetapi ia telah melangkah maju mendekati Jati Wulung. Bahkan dengan tangkasnya Ki Krema Waras itu telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Ki Krema Waras tidak mengetahui, siapakah yang telah diserangnya. Karena itu, maka dengan gerak yang sederhana Jati Wulung telah menghindar. Bahkan demikian serangan itu meluncur di sebelahnya, tangannya telah terjulur. Tidak terlalu keras. Tetapi Ki Krema Waras berteriak nyaring karena kemarahan yang menghentak-hentak jantungnya.
Ternyata keempat orang kawannyapun tidak tinggal diam. Mereka telah bergerak pula mendekat. Seorang di antara mereka berkata, "Serahkan kepadaku Ki Krema Waras."
Tetapi jawab Ki Krema Waras, "Selesaikan yang lain, yang telah ikut pula melibatkan diri. Biarlah orang ini aku selesaikan sendiri."
Keempat orang itupun kemudian berpaling kepada tiga orang yang dianggap telah terlibat dalam persoalan telur itu.
Ketika seorang di antara mereka bergerak, maka Risang nampaknya sudah tidak sabar lagi. Ternyata ia terlepas dari pengamatan Gandar ketika ia sempat meloncat menyerang orang yang sedang bergerak itu.
Orang itu terkejut. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak muda itu telah berlari langsung menyerangnya. Sehingga karena itu maka ia tidak sempat menghindari serangan itu yang tiba-tiba itu. Namun demikian orang itu telah berusaha untuk menangkis serangan Risang yang mengarah langsung ke dadanya dengan pukulan tangannya.
Dengan cepat orang itu berusaha memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu dengan tangannya pula. Namun agaknya serangan Risang lebih mapan, sehingga karena itu, ketika terjadi benturan, maka orang itulah yang tergetar beberapa langkah surut sambil menyeringai menahan sakit.
Risang sendiri memang tergetar juga. Tetapi ia masih mampu bertahan sehingga ia tidak terpental surut.
Orang itu telah mengumpat kasar. Iapun menjadi sangat marah mengalami serangan itu. Namun katanya, "Anak yang licik. Kau curi kesempatan. Jika kau sudah mulai, maka aku tidak akan memberimu kesempatan berhenti. Kau akan berhenti jika tanganmu itu sudah aku patahkan."
Tetapi Risang tidak menjawab. Ia telah melangkah maju dan bersiap untuk menyerang.
"Anak ini agaknya telah kerasukan iblis," geram seorang yang lain, "ia sama sekali tidak menunjukkan kewajarannya lagi."
Ternyata Risang menjadi marah mendengar kata-kata itu. Juga dengan tiba-tiba ia telah menyerang orang yang menyebutnya kerasukan itu. Tanpa ancang-ancang dan seakan-akan seperti tidak direncanakan sama sekali.
Orang itupun terkejut pula. Seperti orang yang pertama, maka serangan Risang telah menggetarkannya. Bahkan mendorongnya beberapa langkah surut, karena orang itu tidak sempat menghindari. Orang itu hanya berusaha untuk menangkis dengan tergesa-gesa.
Ternyata bahwa tenaga Risang yang masih sangat muda itu cukup besar. Latihan-latihan yang berat yang dilakukannya telah memberikan bekal yang cukup padanya. Meskipun ia masih belum berpengalaman sama sekali, namun kemampuannya pada dasarnya cukup memadai.
Dua orang yang sudah diserang oleh Risang itu menjadi sangat marah. Merekapun telah mempersiapkan diri untuk membalas. Seorang di antara mereka berteriak, "Anak tidak tahu diri. Jangan menyesal jika tanganmu aku patahkan disini."
Risang segera bersiap menghadapi dua orang sekaligus. Tetapi Sambi Wulung dan Gandar tidak membiarkannya. Merekapun segera bergeser mendekat.
Namun dalam pada itu, dua orang kawan Krema Waras yang lainpun telah melibatkan diri pula. Mereka telah meloncat langsung menyerang. Seorang menyerang Sambi Wulung dan seorang lagi menyerang Gandar.
Dengan demikian maka Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar telah terikat dalam pertempuran dengan lawannya masing-masing, sehingga dengan demikian maka Risang harus bertempur melawan dua orang sekaligus.
Sebenarnyalah Gandar dapat saja menyelesaikan lawannya dalam waktu singkat kemudian membantu Risang. Tetapi dengan sengaja Gandar membiarkan Risang bertempur melawan dua orang itu selagi keduanya tidak bersenjata. Dengan demikian maka Gandar akan dapat mengukur kemampuan Risang, sementara Jati Wulung dan Sambi Wulung akan sempat memperbandingkannya dengan kemampuan Puguh, anak Warsi.
Demikianlah Risang benar-benar bertempur melawan dua orang lawan. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Sekali-sekali menghindar dan sekali-sekali menyerang.
Jati Wulung yang bertempur dengan Ki Krema Waras segera dapat mengukur kemampuan lawannya. Karena itu, maka ia tidak lagi terlalu merasa terikat. Bahkan ia sempat memperhatikan bagaimana Risang mempergunakan ilmunya.
Sementara Sambi Wulungpun tidak merasakan beban pertempuran yang dilakukannya sendiri. Ia sengaja mengikat diri, agar dengan demikian Risang harus bertempur melawan dua orang lawan. Karena menurut pendapat Sambi Wulung, Gandar juga membiarkannya demikian.
Risang yang berbekal ilmu yang cukup karena ia telah menempuh latihan-latihan yang berat itu, untuk beberapa saat merasa betapa sulitnya melawan dua orang itu. Perhatiannya harus terbagi, sehingga kadang-kadang ia telah kehilangan beberapa kesempatan dan bahkan sekali-sekali Risang merasakan serangan lawannya yang mengenainya karena tidak sempat dihindari atau ditangkisnya.
Namun semakin lama anak itu justru menjadi semakin mapan. Ia tidak mau melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, sehingga karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Akhirnya justru ia teringat kepada pesan Gandar, bahwa ia tidak boleh sekedar hanyut dalam arus perasaannya, tetapi ia harus tetap mempergunakan penalarannya.
Karena itu, maka beberapa kali Risang justru meloncat mengambil jarak. Ia mulai membuat perhitungan-perhitungan atas keadaan dan kedudukan lawannya. Baru kemudian ia meloncat kembali memasuki arena pertempuran.
Dengan demikian, maka kedudukan Risang menjadi semakin baik. Ia tidak lagi terlalu sering dikenai di saat kedua lawannya menyerang berbareng dari arah yang berbeda. Jika lawannya masih melakukannya, maka Risang justru telah meloncat menjauh. Kemudian dengan tiba-tiba meloncat kembali menyerang salah seorang di antara kedua lawannya itu.
Berdasarkan pengalamannya yang pendek, maka Risang ternyata melihat kelemahan lawan-lawannya. Karena itu, maka setiap kali Risang telah berloncatan, berusaha untuk berada dalam perpanjangan garis lurus yang menghubungkan kedua titik kedudukan lawannya. Dengan demikian ia dapat menyerang seorang di antara lawannya yang berada di paling depan.
Tetapi lawannya memang tidak diam mematung. Merekapun mengerti bahwa kedudukan yang demikian, tidak menguntungkan bagi kedua orang yang bertempur berpasangan itu, sehingga setiap kali mereka harus menyesuaikan diri memencar keluar dari garis lurus itu.
Ternyata Risang dapat memanfaatkan perhatian lawannya atas kelemahan mereka sendiri. Dengan tiba-tiba saja Risang telah menyerang tempat-tempat yang paling lemah dari pertahanan kedua lawannya itu.
Gandar, Jati Wulung dan Sambi Wulung yang memperhatikan pertempuran antara Risang dengan kedua lawannya itu melihat, bahwa Risang mampu memanfaatkan bekal yang telah dibawanya.
Namun kadang-kadang Risang masih juga dipengaruhi oleh gejolak perasaannya. Kadang-kadang ia nampak tergesa-gesa mengambil sikap, sehingga ternyata sikap itu tidak menguntungkannya. Justru pada saat ia meloncat menyerang lawannya yang seorang, ia telah memberi peluang lawannya yang lain menyerangnya dengan cepat, sehingga Risang itu tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak.
Ketika tubuh Risang menjadi semakin kesakitan karena serangan-serangan kedua lawannya yang kadang-kadang berhasil menerobos pertahanannya, maka Risangpun menjadi semakin marah. Namun ia masih saja selalu ingat akan pesan Gandar. Ia tidak boleh kehilangan akal, sehingga setiap langkahnya tidak terlepas dari penalaran yang mapan, meskipun kadang-kadang Risang menjadi tergesa-gesa dan tidak sempat memperhitungkan sikapnya.
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar sendiri masih juga bertempur melawan lawan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ketiga orang itu seakan-akan hanya sekedarnya saja melayani lawan masing-masing.
Bahkan Jati Wulung bertempur dengan kesan tersendiri. Ia memang ingin memberitahukan kepada Krema Waras, bahwa ilmunya itu masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan ilmu yang mapan dalam dunia olah kanuragan.
Namun dalam pada itu, selagi Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar menunggu, apakah yang akan terjadi atas Risang dan kedua orang lawannya itu, telah terdengar isyarat suara kentongan yang dipukul dalam irama yang rampak terputus-putus.
"Setan," geram Ki Krema Waras, "jika Ki Demang dan Ki Jagabaya datang, mereka hanya akan dipermalukan saja disini. Aku akan membuat mereka kehilangan harga diri mereka di hadapan orang-orang sepasar."
"Jangan mengigau," potong Jati Wulung, "jika kau mampu menginjak telur sekeranjang sampai lumat itu sama sekali bukan satu kebanggaan ilmu. Setiap orang akan dapat melakukannya."
"Persetan," geram Krema Waras, "aku ingin membungkammu."
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Kau harus menukar telur yang telah kau pecahkan. Jika kau tidak punya uang, maka timangmu itulah yang harus kau jual. He, dari mana kau mendapatkan timang emas itu" Merampok seperti kebiasaanmu?"
Wajah Krema Waras menjadi merah oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Dengan berteriak nyaring ia menyerang Jati Wulung. Namun serangan itu tidak berarti apa-apa.
Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Mereka mengenal Krema Waras sebagai seorang yang berilmu tinggi dan tidak terkalahkan kecuali jika Ki Demang dan Ki Jagabaya turun langsung menanganinya.
Namun suara kentongan itu tentu memanggil Ki Demang dan Ki Jagabaya.
Tetapi Ki Krema Waras itu sama sekali tidak berhasil menekan lawannya. Bahkan semakin lama tangan orang itu semakin sering menyentuhnya. Semakin lama terasa semakin sakit. Ketika tangan Jati Wulung itu mengenai pipinya, maka rasa-rasanya beberapa buah giginya telah patah, sehingga mulutnya telah berdarah.
Krema Waras mengumpat sejadi-jadinya. Namun Jati Wulung justru tertawa sambil berkata, "Kau pamerkan gigimu yang patah itu kepada Ki Demang."
"Setan kau," geram Ki Krema Waras. "Dua giginya meloncat keluar, satu gigiku justru telah tertelan."
Jati Wulung tertawa semakin keras. Bahkan Sambi Wulungpun sempat tertawa pula karena ia juga mendengar teriakan Krema Waras yang marah itu.
Krema Waras masih mengumpat-umpat. Namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi Jati Wulung.
Karena itulah, maka Krema Waras yang ditakuti oleh seisi pasar itu benar-benar merasa terhina. Dengan serta-merta ia telah mencabut goloknya yang besar sambil berkata lantang, "Jika golok ini sudah keluar dari sarungnya, maka tentu akan terjadi kematian."
"Krema Waras," berkata Jati Wulung, "apakah kau benar-benar akan membunuh?"
"Kau menjadi ketakutan, he?" bentak Ki Krema Waras sambil mengusap darahnya yang masih saja keluar dari mulutnya karena giginya yang patah.
"Aku memang menjadi ketakutan," jawab Jati Wulung.
"Jika demikian menyerahlah. Aku ingin menginjak kepalamu dengan kakiku yang telah aku pergunakan untuk menginjak telur ini," geram Krema Waras.
"Aku bukan ketakutan karena kau bersenjata," jawab Jati Wulung, "tetapi aku menjadi ketakutan bahwa aku akan terpaksa membunuh orang disini."
"Persetan," geram Krema Waras itu sambil meloncat menyerang dengan goloknya.
Jati Wulung meloncat surut beberapa langkah. Tetapi Krema Waras telah memburunya dan menyerangnya dengan goloknya yang terjulur lurus.
Tetapi dengan tangkasnya Jati Wulung kemudian mengelak ke samping dengan loncatan kecil. Namun Krema Waras tidak melepaskannya. Iapun segera menebas mendatar.
Jati Wulung menjadi muak melihat sikapnya. Ia ingin melihat perkembangan pertempuran antara Risang dengan kedua lawannya. Karena itu, maka ketika ujung pedang itu terayun di atas kepalanya yang menunduk, maka Jati Wulung telah menjulurkan kakinya. Dengan cepatnya sehingga Krema Waras tidak sempat mengelak. Lambungnya yang terkena serangan Jati Wulung, sehingga ia telah terlempar dan jatuh terguling di tanah.
Goloknya telah terlepas dari tangannya. Sementara lambungnya terasa betapa sakitnya. Perutnya menjadi mual dan punggungnya serasa patah.
Ketika dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit, maka iapun telah terhuyung-huyung dan bahkan jatuh lagi terbaring di tanah.
Krema Waras menyeringai menahan sakit. Tetapi punggungnya benar-benar seakan-akan patah sehingga tidak mampu lagi menegakkan tubuhnya di saat ia bangkit berdiri.
Jati Wulung memandanginya sejenak. Namun ketika ia kemudian melihat kawan-kawan Krema Waras, maka merekapun telah tidak mampu lagi melawan tanpa sempat menarik senjata mereka.
Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar sempat mencari tali untuk mengikat tangan dan kaki ketiga orang itu. Sementara Risang masih harus mengerahkan tenaganya melawan kedua orang lawannya.
Sejenak kemudian, maka Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar dapat memperhatikan anak muda itu dengan saksama. Sementara kedua lawannya justru menjadi gelisah. Apalagi ketika Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar melangkah mendekat. Tetapi ternyata ketiga orang itu tidak mengganggu pertempuran itu.
Risang sendiri ternyata tidak ingin mendapat bantuan. Karena itu maka iapun telah berteriak, "Jangan ganggu aku."
Gandar tersenyum. Ialah yang menjawab, "Kami hanya ingin menonton bagaimana kau mengatasi lawan-lawanmu."
Risang tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berloncatan dari lawan yang seorang melawan yang lain. Jika kedua lawannya menyerang bersama-sama, maka Risang telah berusaha untuk meloncat keluar dari garis serangan mereka.
Ternyata pertempuran itu benar-benar telah memberikan satu pengalaman yang baru bagi Risang. Ia tidak saja berkelahi dengan anak-anak muda padukuhan. Tetapi ia telah bertempur melawan dua orang yang berpengalaman luas. Namun tidak memiliki bekal olah kanuragan yang cukup.
Ternyata latihan-latihan yang berat yang dilakukan oleh Risang telah mampu mendukung kemampuannya. Apalagi tubuhnya yang memang sedang berkembang itu tumbuh dengan baik. Sehingga dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, terasa bahwa kedua lawannya mulai dibayangi oleh susutnya tenaga mereka, sementara Risang masih tetap nampak segar.
Kedua lawannya memang menjadi bimbang menghadapi kenyataan yang terjadi. Tiga orang kawannya telah tidak berdaya, sementara tiga orang kawan lawannya yang muda itu telah berdiri di sekitar arena. Ketika terlintas di benak mereka untuk menarik golok di pinggang mereka, maka telah timbul pula pertanyaan, apakah hal itu tidak justru memancing ketiga orang kawan anak muda itu untuk melibatkan diri.
Karena itu, maka kedua orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Ketika serangan-serangan Risang masih saja cepat dan kuat, serta beberapa kali mengenai mereka, sementara itu ketiga orang kawan anak muda itu berada di pinggir arena, sehingga setiap saat mereka akan dapat berbuat apa saja bahkan membunuh keduanya, maka seorang di antara kedua orang itu telah memberikan isyarat kepada kawannya untuk menghentikan perlawanan.
Agaknya kawannyapun menyadari kesulitan yang akan timbul seandainya mereka bertempur terus. Tenaga mereka semakin susut sementara anak muda itu rasa-rasanya justru menjadi semakin garang.
Karena itu, maka akhirnya kedua orang itupun telah mengambil jarak. Bukan untuk menarik senjatanya di lambung, tetapi merekapun telah menyatakan menghentikan perlawanan.
"Kami menyerah," berkata salah seorang di antara keduanya.
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Gandarlah yang melangkah maju sambil berkata, "Pertempuran ini sudah selesai. Mereka telah menyerah."
Risang mengangguk-angguk. Namun ternyata bahwa anak muda itupun telah mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Seluruh pakaiannya ternyata basah oleh keringat, sementara nafasnyapun mengalir semakin cepat.
"Kenapa mereka berhenti?" bertanya Risang.
"Mereka menyerah," jawab Gandar.
"Pengecut. Laki-laki akan bertempur sampai kemampuan terakhir," geram Risang.
"Mungkin. Tetapi sifat seorang laki-laki yang jantan adalah mereka yang mengakui kenyataan," jawab Gandar.
"Itu sangat membingungkan. Mana yang benar dari kedua sifat yang bertentangan itu?" bertanya Risang.
Gandar tersenyum. Katanya, "Menurut persoalannya. Jika ia mempertahankan kebenaran yang diyakininya, maka ia akan mengerahkan kemampuannya sampai batas terakhir. Tetapi jika sekedar menuruti gejolak ketamakan diri, maka keduanya memang harus berhenti berkelahi. Mengakui kesalahan dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi."
Risang mengerutkan keningnya. Ia masih belum begitu jelas. Tetapi nampaknya memang bukan waktunya untuk membicarakannya saat itu. Apalagi ketika sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda mendatang.
Ternyata Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberapa bebahu Kademangan telah datang.
Seorang petugas di pasar itu telah menemui orang-orang yang telah mengalahkan Krema Waras dan kawan-kawannya itu untuk memberitahukan kehadiran Ki Demang dan para bebahu itu.
"Jadi mereka telah datang?" bertanya Jati Wulung.
"Bawa orang-orang ini kepada mereka," berkata Jati Wulung.
Petugas di pasar itu termangu-mangu. Namun kemudian Jati Wulung mendesaknya, "Ikat tangan mereka. Ambil senjatanya dan serahkan mereka kepada Ki Demang."
Petugas itu tidak mau berpikir lebih lama. Iapun kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Jati Wulung. Dicarinya tali untuk mengikat tangan kedua orang itu.
Sementara itu dengan tergesa-gesa Ki Demang dan para bebahu itu meloncat turun dari kuda mereka. Mengikat pada batang-batang perdu di pinggir jalan di dekat simpang empat. Kemudian dengan langkah panjang mereka memasuki lingkungan pasar yang nampak dibayangi oleh kebingungan dan kecemasan.
"Dimana Krema yang gila itu?" bertanya Ki Demang yang marah.
Beberapa orang telah menunjuk ke arah arena perkelahian itu.
Ketika Ki Demang kemudian mendekat, maka dilihatnya lima orang telah terikat.
Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan sejenak. Dengan nada berat Ki Demang berdesis, "Mereka berlima?"
Petugas di pasar itu mengangguk. Jawabnya, "Ya Ki Demang. Ki Krema datang bersama empat orang kawannya."
"Siapa yang mengikat mereka?" bertanya Ki Demang.
Petugas pasar dan beberapa orang telah berpaling. Tetapi mereka sudah tidak menemukan keempat orang yang telah menangkap Ki Krema Waras itu.
"Tadi mereka ada disini," berkata petugas pasar itu.
"Dimana?" desak Ki Demang.
Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang memang sudah meninggalkan mereka. Namun sejenak kemudian empat orang berkuda telah menyibak orang-orang itu. Dengan lantang Risanglah yang diminta oleh ketiga orang mengawaninya untuk berkata, "Hukumlah mereka, Ki Demang. Jika kemudian mereka mendendam, maka kami akan datang lagi untuk membuat perhitungan. Mungkin kami pada kesempatan lain akan membunuh mereka bersama anak cucu mereka. Tumpas tapis tanpa bekas."
"Tetapi...," Ki Demang tidak sempat menyelesaikan kata-katanya karena keempat orang berkuda itu telah menggerakkan kendali kudanya dan beranjak dari tempatnya, "Selamat tinggal Ki Demang," teriak Risang sambil memacu kudanya meninggalkan tempat itu.
Ki Demang termangu-mangu. Demikian pula dengan Ki Jagabaya.
"Orang-orang aneh," desis Ki Demang. Lalu iapun bertanya kepada petugas pasar itu, "Apa yang telah terjadi?"
Petugas pasar itulah yang kemudian bercerita tentang empat orang penunggang kuda itu. Sejak kedatangan Krema Waras bersama kawan-kawannya, tentang makanan yang tumpah, mlinjo yang diinjak-injak dan telur sekeranjang yang lumat, sehingga mereka terikat tangan dan kakinya.
Ki Demang mengangguk-angguk. Kepada Ki Jagabaya ia berkata, "Orang-orang aneh. Kenapa mereka justru pergi ketika kita datang?"
Ki Jagabaya menggeleng. Namun ia berdesis, "Entahlah. Agaknya mereka orang-orang yang memang berilmu tinggi dan juga rendah hati, sehingga mereka tidak memerlukan ucapan terima kasih dan puji-pujian yang lain."
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berpaling kepada Ki Krema Waras. Wajahnya menjadi merah oleh kemarahan yang membakar jantung.
Sementara itu Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang telah menjadi semakin jauh. Seperti perjalanan sebelumnya, Risang berada di paling depan, sementara Jati Wulung, Sambi Wulung dan Gandar ada di belakangnya.
"Pada dasarnya bekal Risang cukup memadai dibandingkan dengan Puguh," berkata Jati Wulung, "tetapi Puguh nampak lebih dewasa menghadapi persoalan-persoalan. Ia lebih berpengalaman dan nampaknya perasaannya lebih mengendap pula. Padahal umur mereka terpaut beberapa lama justru Risang lebih tua, meskipun hanya sekitar setahun."
"Agaknya hal itu dapat dimengerti," berkata Gandar, "Puguh mendapat lebih banyak kesempatan dari Risang. Sementara ini Risang masih sangat terbatas geraknya."
"Memang sulit untuk menjaga anak-anak muda seperti Risang dan Puguh. Kita tentu tidak akan dapat melepaskan Risang sebagaimana melepaskan Puguh. Kali ini saja, rasa-rasanya kita tidak dapat membiarkan Risang bertempur tanpa pengawasan. Sementara itu Puguh hanya diserahkan kepada orang-orang yang tentu tidak akan dapat banyak berbuat dengan banyak memberikan tuntunan, sehingga Puguhlah yang harus lebih banyak mengambil sikap," berkata Jati Wulung.
"Ya. Agaknya kedua orang yang mengaku orang tua Puguh tidak akan menyesali seandainya Puguh itu hilang ditelan oleh liarnya dunia olah kanuragan. Katakan Puguh mati di Song Lawa, maka kedua orang yang mengaku orang tuanya itu tidak akan menyesalinya. Mungkin yang mereka sesali adalah karena mereka tidak akan dapat lagi memperalat anak itu untuk menguasai orang-orang Tanah Perdikan Sembojan," berkata Sambi Wulung.
"Agaknya memang demikian," berkata Gandar. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan mungkin melepaskan Risang untuk mendapatkan pengalaman sebebas Puguh.
Adalah di luar perhitungan Jati Wulung dan Sambi Wulung, bahwa mendekati Tanah Perdikan Sembojan, di lereng bukit-bukit kecil yang memanjang, di bawah rimbunnya pepohonan, terdapat sekelompok orang yang sedang duduk di bawah bayangan dedaunan di saat matahari miring ke Barat.
Orang-orang itupun bagaikan terbangun dari mimpi mereka yang buruk selama mereka duduk terkantuk-kantuk. Yang mula-mula bangkit berdiri adalah orang yang paling disegani di antara mereka, karena orang itu adalah pemimpin dari sekelompok orang-orang yang terkantuk-kantuk itu.
"Bukan kebiasaan kita untuk merampas milik orang lain," berkata orang itu, "tetapi dalam keadaan seperti ini, maka kuda-kuda itu sangat berarti buat kita. Mungkin mereka juga membawa barang-barang berharga yang akan dapat membantu kita untuk beberapa saat sebelum kita bertemu dengan Ki Rangga Gupita dan Warsi yang seakan-akan telah hilang begitu saja."
"Apa yang akan kita lakukan Ki Sumbaga," bertanya seseorang.
"Ada berapa orang yang bersama kita sekarang?" bertanya Ki Sumbaga.
"Tujuh orang." jawab kawannya.
"Jadi sembilan orang bersama kita?" bertanya Ki Sumbaga.
"Tujuh orang bersama kita berdua," jawab orang itu.
"Kau memang dungu. Jika demikian berarti lima orang yang bersama kita sekarang," geram Ki Sumbaga.
"Bukankah itu sudah cukup?" bertanya pengikutnya itu.
"Kumpulkan mereka," berkata Ki Sumbaga itu.
Sejenak kemudian, tujuh orang telah berkumpul termasuk Ki Sumbaga. Sementara itu empat ekor kuda semakin lama menjadi semakin dekat.
"Kita memerlukan kuda," berkata Ki Sumbaga, "sekarang ada orang yang mengirimkan kuda bagi kita. Jangan lewatkan. Bahkan mungkin selain kuda, mereka dapat memberikan sumbangan bagi perjuangan kita yang panjang."
"Tetapi siapakah mereka?" bertanya salah seorang pengikutnya.
"Siapapun mereka. Nampaknya mereka sedang menuju ke Sembojan. Mudah-mudahan mereka orang-orang Sembojan. Mungkin seorang saudagar, atau siapapun juga," berkata Ki Sumbaga. Lalu, "Bukankah tujuan kita duduk-duduk disini juga melihat-lihat barangkali ada sesuatu yang berarti bagi kita" Nah, yang pasti, kuda-kuda itu akan sangat berarti."
Ketujuh orang itupun kemudian telah mulai bergerak turun. Mereka tidak mau kehilangan empat ekor kuda. Karena itu, maka tiga orang di antara mereka telah menyusuri lereng bukit itu. Mereka harus turun di jalan di belakang keempat ekor kuda itu, sehingga kuda-kuda itu tidak akan dapat berlari ke arah yang berlawanan.
Jati Wulung, Sambi Wulung, Gandar dan Risang terlambat melihat orang-orang yang berada di lereng, di antara pepohonan dan batang-perdu. Ketika mereka melihat beberapa orang berlari-larian menuruni lereng, maka merekapun segera menarik kekang kuda mereka. Dengan cepat Gandar bergeser ke samping Risang yang ada di paling depan.
Memang ada niat Gandar untuk menghindar saja, karena di antara mereka ada Risang. Tetapi ketika Gandar berpaling ke arah Jati Wulung dan Sambi Wulung, maka iapun melihat tiga orang yang lain yang sedang turun pula dari lereng.
Karena itu, maka memang tidak ada kesempatan lain. Sisi lain dari jalan yang mereka lalui, adalah lereng yang rendah, kemudian sebuah sungai kecil yang mengalir menelusuri seurut jalan yang mereka lalui itu. Di seberang sungai kecil itu terdapat sawah yang terhampar.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Jika orang-orang berniat buruk, maka mereka akan terpaksa membenturkan kemampuan mereka.
"Siapakah mereka?" bertanya Risang.
Gandarlah yang menjawab, "Aku tidak tahu."
Jati Wulung dan Sambi Wulung juga belum pernah mengenal orang yang berdiri di tengah jalan itu. Di dalam perang yang terjadi antara Sembojan dengan orang-orang dari balik bukit, keduanya tidak bertemu dengan Ki Sumbaga.
"Maaf Ki Sanak," berkata Ki Sumbaga, "jika Ki Sanak tidak berkeberatan, apakah kami boleh mengetahui, Ki Sanak ini akan pergi ke mana."
Gandar termangu-mangu. Tetapi ia terpancang kepada pernyataan di saat mereka berangkat dari padepokan. Karena itu, hampir di luar kesadarannya ia menjawab, "Kami akan pergi ke Pajang."
"Ke Pajang?" Ki Sumbaga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Memang ada jalan ke Pajang lewat Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi Ki Sanak dari mana?"
Gandar memang agak bingung. Namun kemudian jawabnya, "Kami memang orang-orang Pajang. Kami akan kembali dari perjalanan panjang."
"Dari mana?" bertanya Ki Sumbaga.
Akhirnya Gandar menjawab asal saja, "Kami adalah pedagang keliling."
"Pedagang keliling?" ulang Ki Sumbaga, "apa saja yang kalian bawa sehingga kalian harus pergi berempat" Apakah kalian pedagang-pedagang emas intan, atau pusaka-pusaka dan wesi aji atau apa?"
Gandar memang menjadi semakin bingung. Namun kemudian ia masih saja asal menjawab, "Batu-batu bertuah. Batu akik dan sebangsanya. Sayang, dagangan kami sudah habis dalam perjalanan kami."
"Sebenarnya kami memerlukan batu-batu berharga yang mungkin mempunyai tuah tertentu. Tetapi sayang batu-batu berharga itu sudah habis. Namun bukankah dengan demikian uang sudah terkumpul di tanganmu?" bertanya Ki Sumbaga pula.
Gandar yang tidak mengira akan mendapat pertanyaan itu tidak segera dapat menjawab. Ia harus berpikir sejenak, bagaimana ia harus menjawabnya.
Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Ki Sanak. Bukan kebiasaan kami menjual barang-barang kami untuk mendapat uang langsung. Kami meninggalkan barang-barang kami pada orang-orang yang membutuhkan, sementara uangnya dapat dibayar kemudian. Bahkan diangsur sedikit demi sedikit."
"Kau memang baik hati Ki Sanak," jawab Ki Sumbaga, "namun perjalananmu kali ini tentu sekaligus memungut angsuran bagi barang-barangmu yang kau tinggalkan lebih dahulu, mungkin sepekan yang lalu atau sebulan yang lalu atau kapanpun juga."
Gandar menjadi jengkel karenanya. Namun sudah terbayang niat buruk dari orang-orang yang menghentikannya itu. Tidak hanya lima orang sebangsa Krema Waras. Tetapi orang-orang ini nampaknya lebih garang dan memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari Krema Waras dan kawan-kawannya itu.
Namun Gandar yang sebenarnya ingin menghindar karena ia bersama Risang itu, tidak mendapat kesempatan lagi. Sehingga mau tidak mau, ia harus menghadapi orang-orang itu. Bahkan mungkin dengan kekerasan.
Karena itu, maka Gandar tidak menjawab lagi pertanyaan orang itu. Bahkan ialah yang bertanya, "Ki Sanak. Siapakah sebenarnya Ki Sanak" Kami belum sempat bertanya tentang Ki Sanak."
"Kami juga belum bertanya tentang kalian," jawab Ki Sumbaga.
"Bukankah kami sudah menyatakan diri, bahwa kami adalah pedagang keliling yang tinggal di Pajang." jawab Gandar.
"Kau kira aku percaya kepada jawabmu itu?" Ki Sumbaga justru tertawa.
"Baiklah. Jika demikian tidak ada gunanya aku bertanya kepada kalian, karena kalian tentu akan menjawab asal saja. Tetapi meskipun demikian aku ingin juga bertanya tentang maksud kalian menghentikan kami disini," berkata Gandar.
Ki Sumbaga itu termangu-mangu sejenak. Bagaimanapun juga sebagai seorang perwira dari prajurit yang mapan di masa Demak dan selanjutnya Jipang, Ki Sumbaga masih juga berpijak pada harga dirinya.
Namun akhirnya iapun berkata, "Ki Sanak. Kami memerlukan kuda-kuda kalian. Karena itu serahkan kuda-kuda kalian kepada kami."
Gandar mengerutkan keningnya, sementara seorang pengikutnya berdesis di belakang Ki Sumbaga, "Sekaligus uangnya."
Tetapi Ki Sumbaga ragu-ragu, sehingga ternyata akhirnya tetap tidak terucapkan.
Gandar yang sudah mengira itupun kemudian menjawab, "Ki Sanak. Kuda-kuda kami adalah milik kami yang paling berharga. Karena dengan kuda-kuda kami, kami mencari nafkah. Kami yang setiap kali harus menempuh perjalanan panjang, tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa kuda-kuda kami. Karena itu, maka sudah barang tentu kami tidak akan menyerahkannya."
"Ki Sanak," berkata Ki Sumbaga, "apakah harga kuda-kuda kalian itu lebih tinggi dari nilai nyawa kalian" Meskipun kalian memiliki kuda berapapun banyaknya, tetapi tanpa nyawa kalian, maka kuda-kuda itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Karena itu, serahkan kuda-kuda kalian, sehingga nyawa kalian selamat."
"Maaf Ki Sanak," jawab Gandar, "kami tidak dapat melakukannya. Kami akan mempertahankan milik kami. Nah, tingkah laku kalian merupakan jawaban, kenapa kami harus pergi berempat."
Ki Sumbaga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah mengira. Kalian tentu akan mempertahankan kuda-kuda kalian. Karena kuda-kuda kalian itu mempunyai arti yang sangat penting bagi kalian dan keluarga kalian. Tetapi tidak lebih penting dari nyawa kalian. Meskipun demikian, apaboleh buat. Kami harus memaksa kalian. Jika dalam hal ini satu atau dua atau bahkan semuanya di antara kalian mengalami nasib yang paling pahit, bukankah salah kami, karena kami telah menyatakan niat kami dengan cara yang baik. Tetapi kalian telah memaksa kami untuk mempergunakan kekerasan."
"Dongeng yang lucu," jawab Gandar, "barangkali akan dapat membuat anak-anak gembira mendengarnya menjelang tidur, bahwa tanggung jawab dari benturan yang terjadi antara perampok dan orang-orang yang dirampok adalah justru pada mereka yang dirampok."
"Kami bukan perampok," teriak Ki Sumbaga.
"Lalu siapakah kalian," bertanya Gandar, "menghentikan orang-orang berkuda, merampas kudanya dengan kekerasan" Apakah namanya jika bukan perampok" Penyamun atau apa?"
Wajah Ki Sumbaga menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Ia memang akan merampok kuda-kuda itu. Memang tidak ada nama lain yang pantas diberikan kepadanya dan para pengikutnya selain perampok atau penyamun.
Apalagi ketika seorang yang lain, Jati Wulung, berkata, "Daerah ini memang menjadi tidak aman setelah terjadi perang yang cukup besar antara pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan melawan Warsi yang membawa pengikut dan pendukungnya masing-masing. Nampaknya memang satu perebutan hak atas Tanah ini, namun sebenarnya tidak lebih dari usaha merampok secara besar-besaran yang dilakukan oleh bekas prajurit Jipang yang bernama Ki Rangga Gupita dan Warsi sebagai salah seorang pewaris gerombolan Kalamerta yang terkenal itu."
"Cukup," geram Ki Sumbaga, "kau telah menghina kami. Kau hubungkan kami dengan usaha perampokan besar-besaran itu."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Sementara Sambi Wulunglah yang bertanya, "Apakah kalian bukan sisa-sisa dari pengikut Ki Rangga yang menurut pendengaran kami dapat dikalahkan oleh para pengawal Tanah Perdikan itu?"
"Serahkan kuda-kuda kalian," Ki Sumbaga berteriak lebih keras, "aku tidak peduli apa yang kalian katakan."
Gandar, Jati Wulung dan Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Hampir di luar sadarnya Gandar berpaling ke arah Risang. Ternyata Risang sedang memperhatikan Ki Sumbaga dengan saksama. Nampaknya anak muda itu secara naluriah dapat membedakan antara orang yang menghentikannya saat itu dengan Krema Waras dan kawan-kawannya. Sehingga karena itu, maka Risangpun nampaknya tidak mau bertindak dengan tergesa-gesa.
Dalam pada itu, karena orang-orang berkuda itu tidak segera menjawab, maka Ki Sumbaga telah membentak sekali lagi, "Cepat. Turun dari kuda-kuda kalian dan tinggalkan kuda itu di situ."
Gandar tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur. Karena itu, maka iapun kemudian memberi isyarat kepada Jati Wulung dan Sambi Wulung untuk turun dari kuda-kuda mereka.
Risanglah yang menjadi termangu-mangu. Dengan tegang ia bertanya kepada Gandar, "Kenapa kita turun?"
"Di jalan yang tidak terlalu luas ini, lebih baik kita bertempur di atas kaki kita sendiri, karena kita akan dapat lebih menguasai kaki kita daripada kaki-kaki kuda," jawab Gandar.
Ki Sumbaga yang bertanya-tanya melihat sikap orang-orang yang turun dari kudanya karena takut mendengar ancamannya. Tetapi mereka justru akan mempersiapkan diri untuk bertempur.
Karena itu, maka iapun telah mengumpat. Kemudian sambil berteriak ia telah memberikan aba-aba kepada orang-orangnya untuk bersiap.
Dalam pada itu, keempat orang berkuda itu telah mengikat kuda mereka pada batang-batang perdu yang tumbuh di pinggir jalan itu di arah lereng bukit. Kemudian berempat mereka bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Risang sempat melihat ke lereng yang tidak cukup dalam. Namun di bawahnya terdapat sebuah sungai kecil berbatu-batu. Jika mereka bertempur di atas punggung kuda, memang ada kemungkinan kudanya tergelincir dan terguling masuk ke dalam sungai itu. Meskipun tidak dalam, namun akibatnya akan dapat menjadi gawat.
Namun sebenarnyalah Risang menganggap orang-orang itu tidak sebagaimana yang pernah dihadapi di pasar yang ramai itu. Orang-orang yang menghentikan perjalanannya itu nampaknya memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Sehingga karena itu maka Risangpun menjadi lebih berhati-hati.
Ketiga orang yang mengawaninya itu, memang agak mencemaskan keadaan Risang. Namun setidak-tidaknya Risang akan dapat melindungi dirinya sendiri untuk sementara. Dengan demikian maka Jati Wulung, Sambil Wulung dan Gandar itu harus berusaha secepatnya mengurangi jumlah lawan-lawan mereka.
Dalam pada itu, melihat sikap keempat orang berkuda itu Ki Sumbaga menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat menakut-nakuti orang-orang itu dengan menyebut dirinya seorang bekas perwira Jipang.
Sejenak kemudian, maka Ki Sumbagapun telah memberikan aba-aba kepada orang-orangnya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tujuh orang yang terbagi menjadi dua, menghadapi empat orang.
Ki Sumbaga bersama tiga orang pengikutnya menghadapi keempat orang itu dari satu sisi, sedangkan tiga orang yang lain menjaga agar keempat orang itu tidak melarikan diri dan karena itu menghadapinya dari sisi yang lain. Di sebelah jalan itu adalah lereng pebukitan, sementara sebelah yang lain adalah lereng yang meskipun tidak begitu dalam, tetapi di bawahnya terdapat sungai kecil yang berbatu-batu.
Sejenak kemudian, kedua belah pihak telah bersiap. Gandar dan Risang menghadap ke arah tiga orang lawan, sementara Jati Wulung dan Sambi Wulung menghadapi empat orang lawan.
Ketika sekali lagi Ki Sumbaga meneriakkan aba-aba, maka tiba-tiba saja Jati Wulung tertawa. Katanya, "Bagaimanapun juga kau menyamarkan dirimu, namun kau tidak dapat menyembunyikan kebiasaanmu meneriakkan aba-aba."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Sumbaga.
"Kau tentu seorang perwira prajurit. Menurut pengenalanku atas kebiasaan dan bunyi aba-abamu, maka kau tentu seorang perwira prajurit Jipang," berkata Jati Wulung.
"Persetan, jangan mengigau," geram Ki Sumbaga, "aku tidak pernah melihat seorang prajuritpun."
"Apalagi karena kau mengaku tidak pernah melihat seorang prajuritpun. Kau tentu berbohong. Kau tentu bekas prajurit dan bahkan perwira dari jajaran keprajuritan Jipang, sebagaimana pemimpin pasukan yang pernah menyerang Tanah Perdikan ini menurut pendengaranku. Bukan hanya satu kali. Tetapi beberapa kali." jawab Jati Wulung.
"Omong kosong," teriak Ki Sumbaga. Namun kemudian katanya, "Siapapun kau, dan siapapun aku, itu tidak penting. Serahkan kuda-kuda itu. Cepat."
Tetapi Gandarlah yang menjawab, "Sudah aku katakan. Kami memerlukan kuda-kuda kami."
Ki Sumbaga tidak menunda lagi. Perintahnya telah jatuh. Mereka segera mulai menyerang.
Gandar dengan cepat berusaha menarik perhatian dua orang di antara lawan-lawannya, sementara seorang yang lain telah bertempur melawan Risang.
Tidak sebagaimana mereka bertempur melawan Krema Waras. Maka sejak mereka mulai membenturkan kekerasan, maka mereka telah mempergunakan senjata mereka.
Gandar memang agak berdebar-debar melihat lawan Risang itu ternyata menggenggam tombak pendek di tangannya. Senjata yang tidak dipergunakan oleh Risang. Namun untunglah bahwa dalam latihan-latihan, Risang sudah dibiasakan untuk bertempur melawan segala macam senjata.
"Tetapi kali ini ia tidak sedang berlatih. Lawannya tidak akan menahan diri jika ujung tombaknya akan menyentuh kulit anak itu," berkata Gandar di dalam hatinya. Namun ia percaya bahwa bekal yang dibawa oleh Risang cukup memadai.
Gandar sendiri harus bertempur melawan dua orang prajurit. Namun dengan kemampuannya yang tinggi, maka Gandarpun merasa bahwa ia akan mampu mempertahankan dirinya.
Dalam pada itu, Jati Wulung dan Sambi Wulung telah bertempur pula melawan keempat orang lawan mereka, termasuk Ki Sumbaga. Dengan tangkasnya keduanya berloncatan menghindar dan kemudian menyerang lawan-lawan mereka.
Namun beberapa saat kemudian, Jati Wulung telah merasakan tekanan yang sangat berat. Ki Sumbaga ternyata seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Sedangkan Sambi Wulung yang bertempur melawan dua orang pengikut Ki Sumbaga, masih juga sempat bernafas. Keduanya memang bekas prajurit Jipang. Mereka mampu bekerja bersama dengan baik. Tetapi Sambi Wulung adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Dalam pada itu, ternyata Risang mampu mengimbangi kemampuan dan kekuatan lawannya yang bersenjata tombak pendek itu. Dengan tangkasnya anak muda itu berloncatan sambil memutar pedangnya. Sekali-sekali Risang memang harus meloncat menjauh jika ujung tombak itu hampir menggapai dadanya. Namun kemudian iapun telah menyerang sambil mengibaskan pedangnya, menepis ujung tombak lawannya itu.
Ternyata bahwa setelah mereka terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit, orang-orang yang mencegat Risang dan ketiga orang yang menempuh perjalanan bersamanya itu tidak dapat mempertahankan kedudukan mereka. Mereka bertempur berputaran, dan saling menyesuaikan diri. Dengan demikian maka Risangpun telah bergeser menjauh. Sementara justru telah mulai bertempur di batas kaki bukit.
Namun ternyata bahwa Gandar memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan garangnya ia telah membuat kedua lawannya setiap kali justru terdesak.
Bahkan keduanya seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk menyerang.
Ki Sumbaga terkejut ketika dengan tiba-tiba saja ia melihat seorang di antara pengikutnya yang bertempur melawan Gandar telah terlempar jatuh. Bukan pedang Gandar yang mengenai dadanya, namun pada saat orang itu berusaha menangkis serangan pedang Gandar, Gandar telah menyerangnya dengan kakinya yang terjulur lurus menyamping.
Orang itu terlempar dan jatuh pada punggungnya. Sekali ia terguling. Dalam keadaan kalut orang itu telah melenting dan mencoba untuk bangkit. Namun kakinya justru telah tergelincir sehingga orang itu telah terguling di lereng yang tidak begitu dalam. Tetapi tubuhnya telah membentur sebuah batu yang besar di dasar sungai kecil itu.
Terdengar orang itu mengaduh. Namun orang itu ternyata tidak menyerah. Dengan susah payah ia telah merangkak naik. Tangannya menggapai-gapai rerumputan dan pohon-pohon perdu untuk pegangan.
Orang itu memang dapat mencapai bibir jurang yang rendah itu. Tetapi nafasnya yang berkejaran lewat hidungnya seakan-akan justru telah berputus. Karena itu, maka demikian ia mencoba untuk berdiri, maka iapun telah terhuyung-huyung sesaat. Adalah malang baginya. Sekali lagi ia tergelincir dan sekali lagi ia terguling jatuh ke bawah.
Orang itu tidak pingsan. Tetapi ternyata ia sudah tidak mampu lagi merayap ke atas. Tubuhnya tidak lagi terangkat. Apalagi tulang belakangnya memang serasa telah patah.
Ki Sumbaga melihat keadaan itu. Iapun telah menggeram marah. Karena itu, maka iapun telah melepaskan Jati Wulung dan berlari menghadapi Gandar sambil berkata kepada lawan Gandar yang tersisa, "Minggir. bertempurlah bersama orang itu."
Lawan Gandar itu termangu-mangu. Namun iapun segera menyadari bahwa ia harus bertempur bersama kawannya melawan orang yang telah ditinggalkan oleh Ki Sumbaga itu.
Dengan demikian maka Gandar telah berganti lawan. Ia harus bertempur melawan Ki Sumbaga. Sementara Jati Wulung dan Sambi Wulung masing-masing masih harus bertempur melawan dua orang.
Gandar memang menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia merasa gentar menghadapi lawannya itu. Tetapi ia memang merasa cemas bahwa ia akan kehilangan kesempatan untuk mengawasi Risang yang bertempur melawan seorang yang menurut penilaian Gandar, tentu bekas seorang prajurit.
Jati Wulung dan Sambi Wulung ternyata mempunyai perasaan yang sama. Karena itu, maka merekapun segera mengerahkan kemampuan mereka. Namun masih terbatas pada kemampuan wajar mereka. Keduanya tidak ingin dikenali karena ciri-ciri ilmunya. Karena itu, maka jika tidak terpaksa sekali, mereka tidak akan mempergunakan kekuatan ilmu mereka yang melampaui kewajaran.
Namun ternyata bahwa Jati Wulung dan Sambi Wulung benar-benar tangkas. Dengan pedang di tangan mereka telah mampu mendesak lawan-lawan mereka. Meskipun sekali-sekali keduanya harus berloncatan surut pada saat-saat yang gawat, karena kedua lawannya menyerang berbareng dari sisi yang berbeda, sementara kedudukan mereka sendiri kurang menguntungkan.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Risang dengan tegar bertempur melawan seorang lawan yang memang bekas seorang prajurit. Prajurit yang mengalami tempaan yang keras. Apalagi prajurit Jipang di bawah pemerintahan Adipati Jipang yang bergelar Arya Penangsang yang keras dan agak cepat terbakar oleh kemarahannya menghadapi persoalan-persoalan yang apalagi menyinggung harga dirinya.
Namun Risangpun pernah mengalami tempaan yang keras pula justru melampaui seorang prajurit, karena secara khusus Risang dituntun oleh lebih dari seorang guru.
Tetapi bagaimanapun juga, pengalaman seseorang ikut serta menentukan ketangkasan mengambil sikap pada saat-saat tertentu. Karena itu, kadang-kadang Risang memang menjadi bingung menghadapi gerak senjata lawannya.
Meskipun demikian Risang masih tetap menunjukkan perlawanan yang tangguh. Ia selalu ingat pesan Gandar, bahwa ia tidak boleh kehilangan akal. Karena itu, pada keadaan yang terasa sulit, ia tidak mau membiarkan dirinya hanyut tenggelam di dalamnya. Ia selalu berusaha untuk keluar dari kesulitan itu dengan loncatan-loncatan panjang agar mendapat kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Ternyata dengan demikian Risang memerlukan arena yang cukup luas, sehingga seakan-akan ia telah terpisah dari lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu, agaknya berusaha untuk mendesak Risang menepi. Lawannya ingin mengurung Risang di tepi jurang yang tidak terlalu dalam itu. Namun dengan demikian, Risang akan berada dalam bahaya. Jika ia tergelincir, maka lawannya akan dengan mudah melontarkan tombak pendeknya pada saat-saat ia tidak mungkin menghindar. Atau menyusulnya terjun turun ke tepi sungai kecil itu untuk menghunjamkan tombaknya di saat Risang belum mapan karena tergelincir jatuh.
Namun agaknya Risang menyadari maksud lawannya. Karena itu, maka ia menjadi sangat berhati-hati, Ia tidak mau tergelincir jatuh ke dalam jurang yang meskipun tidak dalam itu.
Karena itu, maka selain mempertahankan diri dari serangan ujung tombak lawannya yang seakan-akan berputaran di sekeliling tubuhnya itu, Risang juga berusaha untuk menembus usaha lawannya yang mendesak ke bibir jurang.
Beberapa saat Risang harus berjuang. Namun dengan kecepatan gerak yang menghentak, Risang sempat menyerang lawannya dengan menjulurkan pedangnya lurus ke arah dada demikian ia berhasil menangkis serangan ujung tombak lawannya yang mengarah ke lambungnya.
Demikian cepatnya serangan itu sehingga lawannya tidak mempunyai cara lain untuk menghindarinya selain meloncat surut.
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Risang sebaik-baiknya. Sekali lagi ia meloncat memburu. Ketika lawannya menahan serangannya dengan menjulurkan ujung tombak pendeknya, Risang sempat melibat tombak itu dengan pedangnya dan memutarnya, kemudian mengibaskannya menyamping. Demikian ujung tombak itu berkisar dari sasaran, maka Risang sekali lagi telah meloncat menyerang.
Lawannya harus menghindar sekali lagi. Sambil mengumpat ia meloncat surut beberapa langkah sekaligus. Namun dengan demikian ia telah kehilangan kesempatan untuk mengurung Risang di bibir jurang, karena Risang telah meloncat justru ke seberang.
Dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya terjadi di kaki lereng pebukitan. Sekali-sekali Risang harus naik beberapa langkah kelereng. Namun kemudian meloncat lagi turun dan bergeser ke jalan. Namun ia berusaha untuk tidak terdorong ke tepi jurang. Bahkan sebagaimana dilakukan oleh lawannya, maka iapun telah berusaha untuk mengurung lawannya meskipun setiap kali usaha itu harus dilepaskannya.
Jika sekilas-sekilas Gandar sempat melihat anak itu, maka hatinya memang menjadi tenang. Ternyata bahwa Risang akan mampu mempertahankan dirinya. Setidak-tidaknya untuk sementara, karena Gandar mengharapkan Jati Wulung dan Sambi Wulung akan segera menyelesaikan pertempuran itu.
Jati Wulung dan Sambi Wulung memang tidak melepaskan ciri ilmunya yang tinggi. Ia masih berusaha untuk mengatasi lawan-lawannya dengan ketangkasannya.
Ternyata bahwa tingkat kemampuannya yang tinggi dalam olah kanuragan, telah membuat kedua lawannya menjadi kebingungan. Pedang kedua orang itu berputaran semakin cepat. Menyambar-nyambar. Sekali-sekali bergulung-gulung melibat lawannya yang seorang. Namun tiba-tiba pedang itu terjulur lurus ke arah lawannya yang lain. Ketika lawannya yang lain sempat menghindar, maka sebelum lawannya yang pertama meloncat menyerangnya, justru merekalah yang datang menyerang lebih dahulu.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnyalah bahwa lawan-lawan Jati Wulung dan Sambi Wulung telah mengalami kesulitan. Namun mereka masih tetap bertahan. Lawan Jati Wulung bahkan bagaikan membabi buta. Keduanya menjadi sangat marah, bahwa mereka telah terdesak oleh lawannya yang hanya seorang itu.
Dengan mengerahkan kemampuannya, maka kedua orang itu berusaha untuk memecah perhatian Jati Wulung. Keduanya berusaha menyerang dan menghindar dalam kecepatan yang sangat tinggi. Namun Jati Wulunglah yang telah membuat keduanya menjadi kebingungan, karena kadang-kadang keduanya justru hampir berbenturan.
Sementara itu lawan Sambi Wulung telah mempergunakan cara yang lain. Mereka berusaha melibat Sambi Wulung dalam pertempuran jarak pendek. Keduanya berdiri di sebelah menyebelah. Namun ujung-ujung senjata mereka dengan cepat menikam bergantian.
Tetapi seperti Jati Wulung, Sambi Wulungpun memiliki ketangkasan yang sangat tinggi, sehingga dengan demikian, maka lawan-lawannyalah yang setiap kali justru harus berloncatan menjauh.
Dalam pada itu, Ki Sumbaga sempat memperhatikan keadaan orang-orangnya. Ia menyadari, bahwa ternyata orang-orang berkuda yang mengaku pedagang akik dan batu-batu berharga dari Pajang itu memang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia halus segera menyelesaikan lawannya dan kemudian membantu orang-orangnya menyelesaikan orang-orang berkuda itu yang lain.
Karena itu, maka Ki Sumbaga yang tidak mengenali lawannya itu telah mengetrapkan ilmunya.
Gandar yang bertempur melawan Ki Sumbaga itu mulai merasakan perbedaan pada lawannya. Sekali-sekali jika terjadi benturan, terasa seakan-akan lawannya semakin lama menjadi semakin kuat, sehingga rasa-rasanya setiap kali kekuatan lawannya itu justru telah meningkat.
Gandar segera menyadari, bahwa itu bukan satu kewajaran. Tentu ada sejenis ilmu yang telah mendukung sehingga kekuatan lawannya itu menjadi semakin besar. Bukan sekedar karena kekuatan cadangan yang dikerahkan meskipun sampai tuntas.
Namun Gandar yang mengenal ilmu jenis itu mengerti, bahwa pengerahan tenaga akan dapat menimbulkan persoalan lain pada orang itu. Dengan ilmunya maka seakan-akan orang itu harus merangkap kekuatannya, sehingga ia akan menjadi lebih cepat kelelahan sehingga tenaga itu akan segera susut kembali. Tetapi dalam kesempatan tenaga itu berlipat, maka lawannya akan dapat lebih mudah ditundukkannya.
Gandar sendiri yakin bahwa ia akan dapat bertahan sampai saatnya kekuatan orang itu menyusut. Tetapi yang digelisahkannya adalah justru Risang. Pengalaman lawannya yang luas, akan dapat ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.
Karena itu, maka Gandar telah berusaha untuk mengimbangi kekuatan lawan dengan kecepatan geraknya. Dengan dukungan ilmu yang ada di dalam dirinya, maka Gandar telah mempercepat tata geraknya. Tubuhnya yang besar itu seakan-akan menjadi tidak berbobot lagi. Kakinya yang kokoh itu telah melempar-lemparkan tubuhnya seakan-akan mengelilingi lawannya yang meningkatkan kekuatannya sampai pada tingkat di luar kemampuan orang yang manapun juga tanpa rangkapan ilmu.
Namun kecepatan gerak Gandar ternyata telah menimbulkan kesulitan pada orang itu. Gandar berusaha untuk tidak membenturkan senjatanya, karena Gandar mencemaskan senjatanya itu akan dapat terlepas dari tangannya. Dalam sentuhan yang lunak sudah terasa tangannya bagaikan terkelupas kulitnya ketika ia mempertahankan senjatanya agar tidak terlepas.
Tetapi pada suatu saat, ketika Gandar berusaha menghindari benturan pedang, maka ia menjadi lengah. Tiba-tiba saja kaki lawannya telah menghantam pundaknya.
Ternyata kekuatan lawannya benar-benar mengagumkan. Gandar yang tinggi dan besar itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah.
Namun ternyata Gandar memiliki daya tahan yang luar biasa. Dalam landasan ilmunya, maka dengan cepat Gandar bangkit berdiri dan dengan cepat pula memperbaiki keadaannya.
Gandar menggeram menahan sakit. Tulangnya serasa menjadi retak. Sementara lawannya tertawa sambil berkata, "Jangan menyesal. Kau akan mati karena kau telah mempertahankan kuda-kudamu."
Tetapi Gandar tidak mau kehilangan waktu. Ia memiliki kecepatan bergerak lebih tinggi dari lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja tanpa menunggu lawannya selesai berbicara, Gandar telah menyerangnya.
Lawannya terkejut. Ia tidak menyangka bahwa lawannya masih akan mampu menyerangnya demikian cepat seakan-akan tidak merasakan akibat sentuhan kakinya yang menjadi sangat kuat itu.
Betapapun kuatnya, namun Ki Sumbaga bukannya menjadi kebal senjata. Ketika dengan cepat Gandar yang disangka belum mampu mengatasi rasa sakit itu menyerang seperti laju tatit di langit, maka ia berusaha untuk bergeser sambil membenturkan senjatanya menangkis serangan itu. Tetapi Gandar selalu menghindari benturan karena akibatnya akan dapat melemparkan senjatanya sendiri. Namun dengan cepat, Gandar telah merubah serangannya. Ia tidak lagi menjulurkan pedangnya. Tetapi sambil merendah ia menebas mendatar. Perubahan sikap Gandar itu benar-benar tidak teratasi. Karena itu, meskipun Ki Sumbaga berusaha mengelak, tetapi ujung pedang Gandar telah menggores di lengannya.
Ki Sumbaga telah meloncat surut. Dengan geram ia mengumpat. Bahkan kemudian katanya, "Kau memang luar biasa Ki Sanak. Kau dapat mengetahui langkah-langkah yang aku ambil serta mampu mengatasinya. Bahkan kau telah dapat melukai lenganku. Namun dengan demikian akan berarti mempercepat kematianmu."
Gandar berdiri tegak dengan pedang menyilang di dadanya. Ia sudah siap menghadapi apapun juga. Jika orang itu mengerahkan ilmunya yang lain, maka Gandarpun harus meningkatkan ilmunya pula. Jika perlu segala macam ilmu yang ada di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu, ia sempat melihat arena pertempuran yang lain. Jati Wulung dan Sambi Wulung masing-masing benar-benar telah menguasai kedua lawannya, sehingga keduanya seakan-akan hanya dapat berloncatan menghindar. Bahkan semakin lama semakin jauh. Sementara Sambi Wulung telah berhasil melukai kedua orang lawannya meskipun hanya dengan goresan-goresan kecil.
Tetapi dalam pada itu, lawan Risang kadang-kadang mampu membuat Risang kebingungan. Lawannya yang mengetahui bahwa ia masih sangat muda dan belum berpengalaman sama sekali, maka ia mampu membuat tipuan-tipuan yang kadang-kadang membingungkan Risang. Namun setiap kali Risang mengalami kebingungan, maka iapun telah meloncat surut mengambil jarak dan memperbaiki kedudukannya.
Ternyata Ki Sumbagapun melihat perkembangan pertempuran itu. Karena itu, maka betapapun ia mengerahkan ilmunya dan mampu mengalahkan lawannya, tetapi orang-orangnya tidak mempunyai harapan lagi. Apalagi ketika ia mengalami satu kenyataan, bukan ia yang dapat melukai lawannya, apalagi mengalahkannya. Tetapi justru lengannyalah yang telah dilukainya.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain baginya daripada menghindar. Jika ia memaksa untuk bertempur terus, maka akibatnya akan dapat justru menyulitkannya, sementara orang-orangnya masih berkeliaran di balik bukit, di goa-goa dengan penuh kekecewaan. Bukan saja atas kegagalan yang pernah mereka alami, tetapi juga karena orang yang dianggap bertanggung jawab atas kegagalan itu telah hilang tanpa diketahui ujung pangkalnya lagi. Meskipun beberapa orang telah dikirim untuk mencarinya, namun Ki Rangga Gupita dan Warsi belum dapat mereka ketemukan.
Dengan demikian, maka dengan perhitungan seorang prajurit, maka Ki Sumbagapun telah bergeser beberapa langkah, ia memang mulai lagi dengan serangan-serangannya. Namun kemudian terdengar isyarat dari mulutnya. Suitan yang nyaring.
Isyarat itu cepat sampai ke telinga para pengikutnya. Merekapun menganggap bahwa tidak ada kemungkinan lain yang dapat mereka lakukan selain melarikan diri. Seandainya Ki Sumbaga mampu mengimbangi dan bahkan mengalahkan lawannya, tetapi ia tentu memerlukan waktu lebih lama dari kedua orang di antara orang-orang berkuda itu untuk melumpuhkan keempat lawannya. Sementara seorang di antara pengikut Ki Sumbaga itu masih belum dapat menunjukkan satu kepastian.
Karena itu, maka isyarat itu tidak perlu diulangi lagi. Ki Sumbaga dengan para pengikutnya, segera mengambil kesempatan untuk berlari memanjat lereng.
Ketika Risang berusaha untuk mengejar lawannya, Gandar segera memanggilnya dengan bertepuk tangan, karena Gandar tidak ingin menyebut namanya sehingga dapat didengar orang lain. Meskipun hampir saja ia lupa dan berteriak memanggil.
Risang memang berpaling ketika ia mendengar tepuk tangan. Kemudian dilihatnya Gandar memberikan isyarat, agar Risang yang sudah mulai memanjat tebing itu kembali.
Risang termangu-mangu sejenak. Sekali-sekali dipandanginya orang-orang yang berlari memanjat tebing dan yang kemudian menyusup di antara batang-batang perdu.
Ketika kemudian Risang mendekati Gandar, maka iapun bertanya, "Kenapa kita tidak mengejar?"
"Kita tidak tahu, apakah yang ada di bukit itu. Mereka tentu bukan hanya tujuh orang itu saja. Mungkin ada orang lain yang dapat mereka panggil, sehingga kita justru akan mengalami kesulitan."
Risang kemudian berpaling kepada Jati Wulung dan Sambi Wulung. Ternyata keduanyapun sama sekali tidak berniat untuk mengejar orang-orang yang melarikan diri itu.
"Sangat berbahaya," berkata Jati Wulung, "dengan isyarat khusus mereka dapat memanggil orang yang lebih banyak lagi."
Risang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Seorang di antara mereka tergelincir ke dalam sungai itu. Mungkin kita akan mendapat keterangan dari mereka."
Gandar mengangguk-angguk. Tetapi Jati Wulung dan Sambi Wulung justru nampak termangu-mangu. Namun kemudian Jati Wulungpun berkata kepada Gandar, "Tunggu disini bersama Risang. Kami akan melihat orang itu."
Sejenak kemudian, maka Jati Wulung dan Sambi Wulungpun telah turun ke sungai di bawah jurang yang rendah itu.
Namun ternyata orang itu sudah tidak diketemukan lagi. Menilik bekasnya, orang itu sempat mempergunakan sisa-sisa kekuatannya untuk melarikan diri. Agaknya ia sadar jika ia tetap berada di tempat itu, sementara kawan-kawannya melarikan diri, maka ia akan dapat menjadi sasaran. Ia akan diperas untuk memberikan keterangan tentang dirinya dan kelompoknya. Maka demikian ia mendengar isyarat untuk menarik diri, maka dengan sisa tenaga yang ada padanya, maka iapun telah meninggalkan tempatnya tertatih-tatih menelusuri sungai itu. Tetapi di kelokan, ia telah berusaha memanjat naik dan merangkak di balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Perlahan-lahan orang itu telah bergeser semakin lama semakin jauh.
Jati Wulung dan Sambi Wulung tidak berusaha untuk mengikuti jejak itu. Mereka tidak mau terlibat lebih jauh lagi dalam benturan kekerasan. Jati Wulung dan Sambi Wulung mengerti, bahwa orang-orang itu tentu sisa-sisa dari pengikut Ki Rangga Gupita yang masih tetap berada di balik bukit dengan rencana mereka yang belum diketahui.
Karena itu, maka kedua orang itupun telah naik ke atas tanggul di pinggir jalan itu.
"Bagaimana dengan orang itu?" bertanya Risang ketika ia melihat Jati Wulung dan Sambi Wulung muncul dari jurang yang rendah itu.
"Orang itu sudah tidak ada lagi." jawab Jati Wulung, "agaknya ia sempat melarikan diri meskipun harus merangkak."
"Apakah kita tidak perlu mencarinya?" bertanya Risang.
Jati Wulung menggeleng. Katanya, "Ibumu telah menjadi sangat rindu kepadamu. Kita jangan terlalu lama berada di perjalanan, apalagi melibatkan diri dalam persoalan-persoalan yang tidak perlu seperti ini. Kita sudah berhasil mengusir mereka. Aku kira itu sudah cukup."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Ketika Jati Wulung menyebut tentang ibunya, maka Risang tidak membantah lagi. Iapun kemudian diiringi oleh ketiga orang yang menyertainya mendekati kudanya dan kemudian melepaskan talinya.
Sejenak kemudian, ketupat orang itu telah berpacu melanjutkan perjalanan mereka. Kuda-kuda merekapun telah berlari semakin cepat.
Dari balik gerumbul-gerumbul yang lebat di lereng bukit, Ki Sumbaga melihat debu yang mengepul itu sambil mengumpat. Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Tentu orang-orang Sembojan."
"Kenapa?" bertanya seorang pengikutnya.
"Hanya dengan orang-orang seperti itu sajalah Sembojan dapat mengalahkan kita," berkata Ki Sumbaga.
"Tetapi bukankah di Sembojan ada tiga orang tua yang sangat disegani?" berkata salah seorang pengikutnya.
"Mereka sudah terlalu tua, meskipun masih juga dapat mempengaruhi medan. Tetapi agaknya mereka sudah malas untuk langsung bertempur." jawab Ki Sumbaga, "tentu orang-orang inilah yang berada di antara pasukan Sembojan itu."
"Siapakah anak yang masih terlalu muda itu?" tiba-tiba saja salah seorang pengikutnya yang kebetulan bertempur melawan Risang itu bertanya.
Ki Sumbaga merenung sejenak. Kemudian katanya seakan-akan kepada diri sendiri, "Jika benar orang-orang itu adalah orang-orang Sembojan, maka anak itu tentu anak perempuan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang bernama Risang itu. Jika benar ia Risang maka anak itulah yang harus dibunuh, agar anak Warsi mendapatkan haknya sebagai anak laki-laki kedua dari Ki Wiradana. Ketika Pajang sedang kemelut sekarang ini, maka adalah satu kesempatan untuk menguasai Tanah Perdikan ini karena Pajang tidak akan dapat membantunya."
Namun seorang pengikutnya berkata, "Tanpa kekuatan Pajangpun kita tidak dapat merebutnya. Di saat kekuatan kita masih utuh."
Ki Sumbaga, bekas seorang perwira prajurit Jipang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Selagi kita masih utuh, termasuk Ki Rangga, Warsi dan orang-orang Kalamerta, kita tidak mampu mengalahkan Tanah Perdikan. Perhitungan kita telah dikoyak oleh ketajaman panggraita orang-orang Sembojan. Mereka tidak menunggu di seputar padukuhan induk dan bertahan di belakang dinding padukuhan, tetapi mereka justru datang menyongsong kita yang baru turun dari bukit dengan gelar yang utuh. Satu langkah yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Karena itu, maka kitalah yang telah dihancurkan. Sementara itu nafsu Warsi yang bergejolak tanpa kendali sehingga Ki Rangga tidak sempat memikirkan pasukannya. Namun akhirnya Warsi itupun dikalahkan, bahkan hampir mati sementara orang-orang Kalamerta yang dikumpulkan dengan susah payah, seakan-akan telah disapu bersih sepeninggal Kala Sembung."
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Namun sementara itu mereka melihat seseorang merayap naik lereng bukit. Ternyata orang itu adalah orang yang dilemparkan Gandar ke dalam jurang yang rendah itu.
"Ternyata ia mampu menolong dirinya sendiri," berkata Ki Sumbaga.
"Kita harus menemukan Ki Rangga," berkata salah seorang pengikutnya.
"Di padepokan-padepokannya yang terpencar, Ki Rangga dan Warsi tidak dapat diketemukan. Mungkin kedua orang itu telah disembunyikan oleh Ki Randukeling," sahut Ki Sumbaga. Lalu katanya, "Seharusnya Warsi berani melihat dirinya sendiri, ia tidak akan dapat mengalahkan Iswari, isteri tua Ki Wiradana. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, perang tanding itu pernah terjadi. Khusus perang tanding. Sekarang hal itu terulang lagi. Meskipun didahului dengan satu pertempuran yang ikut menentukan. Seandainya pasukan Ki Rangga menang, maka tentu tidak akan terjadi perang tanding itu. Ki Rangga dan para pengikut Kalamerta tentu tidak akan menghormati paugeran perang tanding. Mereka tentu beramai-ramai mengeroyok Iswari dan kemudian membunuhnya."
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Namun dalam goncangan-goncangan yang terjadi dalam pengembaraan mereka, maka harga diri mereka sebagai prajurit dari satu kadipaten yang kokoh dan besar memang menjadi semakin pudar. Kadang-kadang Ki Sumbaga harus merenungi kembali apa saja yang pernah dilakukannya. Bahkan apa yang baru saja dilakukannya. Berusaha merampas beberapa ekor kuda, namun gagal. Sementara itu, bekas prajurit-prajurit yang berpangkat paling rendah, tentu akan berbuat lebih buruk lagi dari yang dilakukan. Mereka tentu akan menyamun, merampok dan bahkan perbuatan-perbuatan yang lebih kasar lagi.
Namun menurut penilaian Ki Sumbaga, justru pada saat-saat Pajang mengalami kesulitan itulah, maka akan terbuka kesempatan yang paling baik. Tetapi ketika satu langkah telah diambil, mereka telah gagal.
Sejenak kemudian, maka Ki Sumbaga itupun berkata, "Suruh orang yang tergelincir ke jurang itu kemari. Kita akan kembali ke balik bukit."
Ki Sumbagapun telah melangkah naik ketika orang yang tergelincir itu mendekatinya.
"Kau masih beruntung, bahwa kau masih hidup," berkata Ki Sumbaga.
"Aku sempat merayap menyingkir," berkata orang itu.
Ki Sumbaga tidak menyahut lagi. Tetapi iapun kemudian melangkah terus diikuti oleh para pengikutnya. Beberapa orang masih berbekas darah di luka-luka mereka yang sudah pempat, setelah mereka menaburkan obat-obat seadanya yang mereka bawa.
Sementara itu, Risang telah berpacu memasuki tlatah Tanah Perdikan Sembojan. rasa-rasanya ia telah memasuki kembali rumah yang telah beberapa lama ditinggalkannya.
Dengan gembira Risang berpacu di paling depan, melintasi jalan-jalan bulak yang panjang, padukuhan-padukuhan yang keheranan melihatnya lewat dan tidak sempat menyapanya, kemudian mendekati pintu gerbang padukuhan induk.
Dari kejauhan Risang telah melihat pintu gerbang itu. Kegembiraannyapun telah melonjak. Sementara warna langitpun telah menjadi kuning kemerahan.
"Alangkah segarnya udara di Tanah Perdikan Sembojan," Risang hampir berteriak di atas punggung kudanya selagi ia masih berada di bulak panjang dimuka pintu gerbang Tanah Perdikan.
Sejenak kemudian, Risang itupun telah memasuki gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Namun di gerbang itu sudah tidak lagi terpasang topeng-topeng kecil yang menakutkan, karena topeng-topeng itu justru telah dipindahkan ke bukit.
*** JILID 18 KETIKA Risang memasuki pintu gerbang halaman rumahnya, maka iapun telah disambut dengan penuh kegembiraan. Bibi, yang kebetulan ada di halaman, telah berlari menyongsongnya dan memeluknya. Bahkan Bibi yang garang itu telah menitikkan air mata sambil berdesis, "Kau baik-baik saja Risang?"
"Ya Bi," jawab Risang, "sebagaimana Bibi lihat. Aku sehat walafiat."
"Kau sudah tumbuh menjadi anak muda yang gagah dan tampan," berkata Bibi, "kau tentu memiliki kemampuan melampaui anak-anak muda kebanyakan."
"Ah. Tidak Bi," jawab Risang, "tidak ada lebihnya. Dimana ibu?"
"Marilah. Kita menemui ibumu," berkata Bibi kemudian, Risang yang menjelang dewasa itu masih juga dibimbing seperti kanak-kanak, naik ke pendapa, melintasi pringgitan masuk ke ruang dalam. Bibi yang menyambut Risang dengan gejolak perasaannya itu seakan-akan tidak melihat orang-orang yang datang bersama Risang itu.
Ketiga orang yang datang bersama Risang memang tidak merasa perlu dipersilahkan. Rumah itu sudah seperti rumah mereka sendiri sehingga merekapun telah masuk ke ruang belakang lewat pintu butulan.
Iswari terkejut ketika ia mendengar suara anaknya. Sementara ia baru beristirahat di dalam biliknya, karena kesehatannya yang memang belum pulih kembali.
Karena itu, maka iapun segera bangkit justru ketika Risang mengetuk pintu biliknya.
Dengan tergesa-gesa Iswari membuka pintu bilik itu. Demikian ia melihat Risang datang, maka iapun langsung memeluknya.
Ternyata bahwa Iswaripun tidak dapat menahan air matanya. Meskipun ia termasuk seorang perempuan yang perkasa, namun bagaimanapun juga, sentuhan pada perasaannya rasa-rasanya memang harus menitikkan air mata.
"Bagaimana dengan keadaanmu?" bertanya ibunya.
"Aku baik-baik saja ibu," jawab Risang, "bagaimana dengan ibu" Dan bagaimana dengan Tanah Perdikan ini?"
"Ibu dalam keadaan baik Ngger. Demikian juga Tanah Perdikan ini." jawab ibunya.
"Jadi tidak terjadi apa-apa dengan Tanah Perdikan ini?" bertanya Risang.
"Tidak. Kenapa" Apakah pamanmu atau orang lain mengatakan sesuatu tentang Tanah Perdikan ini?" bertanya ibunya.
"Tidak ibu," jawab Risang, "tetapi ketika kami memasuki Tanah Perdikan ini, kami telah dicegat oleh sekelompok orang yang ingin merampas kuda-kuda kami."
"O," wajah Iswari menegang. Bahkan juga Bibi yang mendengar pula keterangan itu menjadi berdebar-debar.
Di luar sadarnya ia bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
"Berkelahi," jawab Risang.
Ibunyapun kemudian membimbing Risang sambil berkata, "Duduklah. Seharusnya kau beristirahat. Minum dan barangkali kau juga lapar. Tetapi keteranganmu menarik perhatian."
Risangpun kemudian dibawa duduk di sebuah amben besar bersama Bibi. Dengan nada rendah ibunya berkata, "Nah, sekarang kau ceriterakan apa yang telah terjadi di perjalananmu."
Risang memang mulai berceritera. Tetapi kata-katanya mengalir seperti air di bendungan yang pecah. Mengalir tidak putus-putusnya. Namun justru karena itu, maka ceriteranya menjadi kurang jelas. Apalagi jika Risang mulai bangkit dan menirukan apa yang telah dilakukannya.
Ibunya mengangguk-angguk. Serba sedikit ia tahu, bahwa telah terjadi sesuatu yang gawat di perjalanan anaknya kembali ke Tanah Perdikan.
Karena itu, maka Iswaripun telah menyuruh Bibi memanggil Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Ceritera Risang seperti gerontol wutah. Aku justru sulit menangkap maksudnya dan sulit untuk menggambarkan peristiwanya," berkata Iswari.
"Ibu yang tidak memperhatikan aku," Risang bersungut.
Iswari tersenyum. Katanya, "Mungkin ibu memang agak lambat menangkap keterangan seseorang. Coba, biarlah orang lain mengulangi ceriteramu."
Sambi Wulunglah yang kemudian berceritera tentang perjalanan yang telah mereka tempuh. Sejak mereka meninggalkan padepokan kecil itu, sehingga mereka memasuki regol halaman rumah itu. Bukan saja orang-orang yang mencegat di lereng bukit, tetapi juga orang-orang yang mengganggu ketenangan orang lain di sebuah pasar.
Meskipun tidak dikatakan dengan jelas, tetapi Iswari dapat menangkap maksud Sambi Wulung yang ingin menjajagi kemampuan ilmu Risang dibandingkan dengan orang di luar padepokan. Dengan demikian maka ilmu yang telah dipelajarinya, telah dihadapkan kepada unsur-unsur gerak dari ilmu kanuragan yang susunannya lain sama sekali.
Tetapi orang-orang yang mencegat keempat orang yang memasuki Tanah Perdikan itu bukan sekedar penjajagan. Tetapi mereka benar-benar telah dicegat oleh sekelompok perusuh yang berbahaya.
Karena itu, Iswari telah minta penjelasan beberapa hal yang dianggapnya penting tentang orang-orang yang telah mencegat mereka itu.
"Agaknya mereka adalah orang-orang di balik bukit yang tercecer setelah pertempuran itu selesai." Sambi Wulung menjelaskan.
Namun yang justru bertanya adalah Risang, "Pertempuran yang mana?"
Iswari mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum, "Pertempuran kecil antara orang-orang yang ingin merampok. Seperti yang dilakukan atas kalian di perjalanan."
Risang termangu-mangu sejenak. Namun iapun mengangguk-angguk.
Iswari tidak bertanya lebih jauh. Tetapi ia ingin mencari waktu yang khusus untuk berbicara dengan mereka yang menemani Risang di perjalanan, karena tidak semua hal dapat dibicarakan bersama dengan Risang.
Yang kemudian mereka bicarakan adalah tentang padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Risang, Padepokan yang semakin lama menjadi semakin nampak subur dan meningkat. Sawah dan pategalan yang menjadi garapan para cantrikpun telah dikerjakan dengan baik sehingga hasilnya dapat memenuhi kebutuhan. Bahkan yang tersisa dapat ditukarkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain.
"Apakah di antara kalian tidak ada yang pandai menenun?" bertanya Iswari.
"Belum ibu," jawab Risang, "apakah di Tanah Perdikan ini ada orang yang pandai menenun?"
"Tentu," jawab ibunya.
"Jika demikian, aku akan mengirimkan beberapa orang cantrik untuk belajar menenun disini," berkata Risang kemudian.
Tetapi ibunya menggeleng sambil berdesis, "Apakah di padepokanmu kau dikenal sebagai anak dari Sembojan?"
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Kenapa diriku harus dirahasiakan ibu?"
"Serba sedikit kau sudah mengetahui Risang," jawab ibunya, "namun pada suatu saat kau akan mengerti seluruhnya."
"Ibu, jika seperti yang ibu katakan, ada orang yang menginginkan kematianku, kenapa aku harus bersembunyi" Kenapa tidak kita biarkan saja orang itu datang untuk mencoba membunuhku sehingga dengan demikian mereka akan dapat kita tangkap?" bertanya Risang.
Iswari mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Risang tumbuh semakin besar. Nalarnya menjadi semakin panjang, sehingga ia mulai mengurai dan menghitung langkah-langkah yang pernah dilakukannya.
"Risang," berkata Iswari, "ternyata kau menjadi semakin dewasa. Baiklah. Pada satu kesempatan, kita akan berbicara tentang dirimu. Seperti yang baru saja aku katakan, kau akan mengerti seluruhnya. Tetapi sesuai dengan takaran perkembangan umurmu."
Risang mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud ibunya. Iapun menyadari, betapa ia memaksa, namun yang oleh ibunya dianggap belum waktunya dikatakan kepadanya, maka ibunya tentu tidak akan mengatakannya.
Sementara itu untuk mengalihkan pembicaraan, maka ibunyapun berkata, "Risang. Aku minta kau datang kali ini, sebenarnyalah aku memang ingin berbicara denganmu tentang beberapa hal yang penting yang harus kau ketahui. Namun selain itu, maka akupun ingin tahu, kemajuanmu di bidang olah kanuragan. Aku ingin mengetahui tataran kemampuanmu selama ini. Dengan demikian aku dapat mengatur sampai sejauh mana aku dapat berbangga dengan anakku."
"Ah ibu," desah Risang, "ilmuku tentu masih sangat jauh dari harapan ibu. Namun aku sudah bekerja bersungguh-sungguh. Aku telah mempergunakan waktuku sesuai dengan takaran yang memang diberikan bagiku. Karena menurut kakek, jika aku memaksa diri melampaui takaran, maka aku justru akan mengalami kesulitan."
"Kau benar Risang," jawab ibunya, "kau harus dapat mengukur kekuatan dasar tubuhmu, umurmu dan tataran-tataran ilmu yang kau panjat. Dengan demikian kau akan meningkat dengan wajar dan lancar. Tanpa merusak tubuhmu sendiri, tetapi juga tidak terlalu lambat."
"Aku sudah mencoba mengikuti semua petunjuk. Tetapi agaknya aku memang kurang cepat menangkap pengetahuan yang diberikan kepadaku. Bukan saja olah kanuragan. Tetapi juga pengetahuan yang lain." jawab Risang.
"Aku senang mendengar jawabmu. Itu lebih baik dari pada kau berkata sebaliknya. Aku akan menjadi sangat berprihatin jika kau berkata kepadaku, bahwa kau sudah menguasai ilmu yang tinggi, pengetahuan yang luas dan pengalaman yang banyak. Tetapi pengakuanmu itu merupakan cambuk yang baik bagimu, sehingga kau akan bekerja lebih baik lagi di masa-masa mendatang," berkata ibunya.
"Terima kasih ibu. Tetapi ibu tidak usah memujiku. Aku akan menjadi bingung," sahut Risang.
Ibunya tertawa. Katanya, "Besok, jika kau sudah beristirahat, kau akan berada di sanggar bersama ibu."
Risang mengangguk kecil. Ia sadar, bahwa ibunya bersungguh-sungguh bagaimanapun sikapnya. Karena itu, maka ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia harus menunjukkan apa adanya, agar ibunya tidak salah menilai tentang dirinya. Ibunya harus tahu tepat, di tataran manakah ia berada pada saat itu.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh ibunya, Risang tidak perlu tergesa-gesa untuk memasuki sanggar.
Demikianlah, beberapa saat kemudian maka Iswaripun berkata, "Nah Risang. Sekarang kau boleh beristirahat atau melihat-lihat isi rumah dan halaman ini yang telah lama kau tinggalkan. Tetapi aku minta kau tidak meninggalkan halaman rumah ini."
"Apakah aku tidak boleh keluar dari halaman?" bertanya Risang.
"Hanya sekarang ini," berkata ibunya lalu, "kau perlu beristirahat, Risang."
Risang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah maka Bibipun telah mengajak Risang keluar dari ruang dalam untuk menghadap ketiga orang kakek dan neneknya. Sementara itu Iswari mendapat keterangan yang lebih terperinci dari Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar.
"Orang-orang itu sangat berbahaya bagi Risang," berkata Sambi Wulung.
"Apakah mereka mengetahui bahwa kalian orang-orang Tanah Perdikan ini?" bertanya Iswari.
"Tidak," jawab Sambi Wulung, "kami mengaku orang-orang Pajang yang berdagang berkeliling. Gandar telah berusaha untuk meyakinkan mereka. Tetapi nampaknya mereka kurang percaya."
Iswari mengangguk-angguk. Namun akhirnya mereka memang menarik satu kesimpulan bahwa orang-orang yang mencegat mereka tentu mengira bahwa mereka adalah Sembojan. Jika demikian maka tidak mustahil, bahwa ada di antara mereka yang sudah menduga, anak muda yang bersama mereka adalah Risang.
"Tetapi Risang bukan anak-anak lagi," berkata Gandar. "Ia sudah mempunyai nalar yang semakin berkembang. Sementara itu iapun telah memiliki bekal meskipun belum cukup tinggi, ilmu kanuragan yang dapat melindungi dirinya."
Iswari mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, "Meskipun demikian aku tidak akan pernah membiarkan Risang keluar seorang diri dari halaman rumah ini."
Gandar mengangguk kecil. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulungpun mengangguk-angguk pula.
Demikianlah, maka di sisa hari itu, Risang memang tidak pergi kemanapun. Ia bersama Bibi berada di serambi samping. Tetapi di malam hari, Risang tidak lagi mau tidur ditunggui siapapun lagi. Ia sudah merasa cukup dewasa dan tidak lagi takut tidur sendiri.
Di hari berikutnya, sebenarnyalah Iswari ingin melihat tataran kemampuan anak laki-lakinya. Karena itu, setelah makan pagi, ibunya berkata kepadanya, "Risang. Nampaknya kau memang memerlukan kesibukan agar kau tidak merasa jemu disini. Apakah kau bersedia pergi ke sanggar hari ini" Kita dapat bermain-main barang sejenak."
"Tentu ibu," jawab Risang, "bukankah dengan demikian aku tidak akan pergi ke mana-mana?"
"Ah. Bukan itu Risang," berkata ibunya, "meskipun aku memang masih ingin memperingatkan agar kau berhati-hati disini setidak-tidaknya untuk saat-saat pendek ini, tetapi aku memang ingin melihat tingkat kemampuanmu."
Risang tertawa pendek. Katanya, "Aku mengerti ibu. Aku tidak bersungguh-sungguh. Orang-orang yang mencegat kami di perjalanan menjelang pintu gerbang Tanah Perdikan itu tentu mengganggu ketenangan ibu. Apalagi dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang timbul akhir-akhir ini meskipun aku belum tahu dengan jelas."
"Kau akan mengetahuinya Risang," berkata ibunya, "tetapi kita hari ini akan bermain di sanggar."
Sebenarnyalah bahwa Risang memang menjadi gembira meskipun sedikit berdebar-debar. Ia menjadi cemas, bahwa ibunya akan kecewa melihat kemajuannya yang dapat dianggap lamban.
"Tetapi aku sudah berupaya sebaik-baiknya," berkata Risang di dalam hatinya.
Demikianlah, setelah bersiap-siap beberapa saat di dalam sanggar, maka Iswari telah minta kepada ketiga orang gurunya untuk hadir pula di dalam sanggar.
"Guru," berkata Iswari, "kami akan bermain sejenak untuk mengetahui tingkat kemampuan cicit guru ini."
Ketiga orang tua-tua itu mengangguk-angguk. Kiai Badra yang mengusap kepala anak itu berkata, "Lakukanlah sebaik-baiknya."
"Kakek terlalu lama meninggalkan aku," desis Risang.
Kiai Badra tertawa. Katanya, "Ada masalah yang harus aku selesaikan. Besok, jika kau kembali ke padepokan, aku akan menyertaimu."
"Betul Kek," Risang menegaskan.
Kiai Badra tersenyum. Katanya, "Tentu. Aku akan beristirahat di padepokanmu yang sejuk dan tenang itu."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Risang sudah bersiap. Sebelum ia harus berlatih bersama ibunya, maka Risang diminta untuk berlatih seorang diri. Dengan demikian maka akan nampak tataran ilmunya sehingga ibunya nanti akan dapat menyesuaikan diri.
Beberapa saat Risang memusatkan nalar budinya di tengah-tengah sanggar. Kemudian perlahan-lahan tangan dan kakinya mulai bergerak. Gerakan-gerakan yang ringan untuk memanasi darahnya.
Ia sekedar berloncat-loncat. Tangannya bergerak dengan ringan dan kadang-kadang tergantung lepas. Unsur-unsur gerak yang masih mendasar sekali. Namun yang semakin lama semakin cepat. Bahkan setelah darahnya menjadi agak panas, Risang mulai dengan unsur-unsur gerak yang semakin keras dan rumit.
Risang memang ingin menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Ia tidak akan memaksa diri untuk melakukan lebih dari yang memang sudah dikuasainya. Ia tidak mau memberikan gambaran yang tidak sewajarnya kepada ibunya.
Untuk beberapa saat Iswari memperhatikan setiap unsur gerak yang ditunjukkan oleh Risang dengan sungguh-sungguh. Namun ternyata bahwa unsur gerak itu telah mengalami beberapa pengaruh yang agaknya sulit untuk dihindari. Risang berada cukup lama bersama Sambi Wulung, Jati Wulung dan terakhir Gandar. Karena itu dalam latihan-latihan yang dilakukan, Risang tidak saja mengenali unsur-unsur gerak yang pernah diajarkan oleh kakeknya, Kiai Badra, tetapi juga dipengaruhi oleh orang-orang yang sangat dekat dengan dirinya itu. Terutama Gandar.
Tetapi Iswari adalah orang yang berhati longgar. Ia tidak merasa dirugikan dengan pengaruh itu. Ia justru melihat unsur-unsur gerak Risang menjadi lebih padat dan hidup, karena bagaimanapun juga, dasar dari ilmu Risang adalah ilmu yang diturunkan oleh Kiai Badra, sebagaimana ilmu yang dikuasai oleh Iswari.
Dengan demikian, maka Risang memang telah dipersiapkan pada suatu saat untuk menerima ilmu Janget Kinatelon sebagaimana yang telah dikuasai oleh Iswari. Ilmu yang mempunyai tingkat yang sangat tinggi. Inti ilmu dari tiga jalur perguruan yang luluh menyatu.
Kiai Badra, Kiai Soka dan Nyai Sokapun memperhatikan tata gerak Risang dengan saksama. Merekapun, melihat beberapa unsur yang agaknya merupakan pengaruh dari unsur gerak jalur perguruan yang lain. Tetapi terasa wajar dan tidak mengganggu.
Bahkan mereka melihat bahwa di dalam mengungkapkan ilmu yang pernah dipelajarinya, nampak sedikit pengalaman membayang dan memberikan warna yang masih samar-samar. Perkembangan telah mulai nampak di samping pengaruhnya.
Ketiga orang tua itu melihat kemungkinan yang baik di masa depan bagi Risang. Meskipun mereka pernah mendapat laporan tentang perkembangan ilmu dan kedewasaan jiwa Puguh, namun mereka tetap berpengharapan agar Risang tidak berada pada tataran di bawah tataran kemampuan Puguh.
Meskipun ketiganya tidak menanamkan benih permusuhan, tetapi mereka berharap bahwa pada suatu saat Risang tidak mengalami kesulitan. Sebagaimana Iswari mampu mengimbangi Warsi. Bagi ketiga orang tua itu, musuh memang tidak dicari. Tetapi di luar kehendak mereka, maka musuh itu datang tanpa dapat dihindari.
Demikianlah Risang telah menunjukkan kepada ibunya, tingkat kemampuannya yang sebenarnya. Dengan tangkasnya anak muda itu berloncatan, menggerakkan tangan dan kakinya sebagaimana ia menyerang, tetapi juga bagaimana ia harus menangkis serangan.
Meloncat dan berputar di udara, menggeliat dan dengan cepat melontarkan dirinya kembali demikian kakinya menjejak tanah.
Iswari mengangguk-angguk. Nampaknya pengetahuan dasar telah dikuasai benar-benar oleh Risang. Tenaganya cukup kuat dan penalarannya berjalan dengan baik dan cermat.
Semakin lama Risang bergerak semakin cepat. Ia tidak saja menunjukkan kemampuannya berlatih di atas lantai sanggar, tetapi ia mulai mempergunakan alat-alat yang ada di dalam sanggar itu. Dengan ringannya ia meloncat ke atas patok-patok batang pohon kelapa yang berdiri tegak dengan tinggi yang tidak sama. Ia berloncatan dari satu patok ke patok lainnya. Sekali-sekali sambil memperagakan bagaikan ia menyerang di atas patok-patok itu dan bagaimana ia menghindari dan menangkis serangan.
Bahkan meloncat, menggeliat dan beberapa kali berlari-larian di atas patok-patok itu. Namun kemudian Risang telah meloncat ke patok-patok yang lebih kecil yang terbuat dari bambu petung, bahkan kemudian di atas patok-patok bambu wulung dan bambu ampel.
Ketiga orang kakek dan neneknya mengangguk-angguk. Namun mereka masih harus membuat pertimbangan-pertimbangan dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang telah melihat kemampuan Puguh.
Tetapi ketiganya memang menganggap bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mempunyai gambaran tentang perbandingan ilmu antara Risang dan Puguh. Bukan saja di saat mereka melakukan latihan. Tetapi benar-benar dalam pertempuran yang sesungguhnya.
Dengan demikian maka mereka akan mempunyai bahan yang cukup untuk berbicara tentang tingkat ilmu Risang.
Namun ketiga orang-orang tua itupun sadar, bahwa mereka tidak boleh terikat sekali kepada Puguh, seolah-olah kesulitan yang akan dihadapi Risang di sepanjang hidupnya hanya datang dari Puguh, anak Warsi.
"Anak itu harus mempunyai wawasan yang luas," berkata Kiai Badra di dalam hatinya.
Demikianlah, mereka telah memperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang dapat dilakukan oleh Risang. Bahkan kemudian Risang tidak saja bermain di atas patok-patok yang berdiri tegak, tetapi iapun kemudian telah meloncat ke atas palang balok yang cukup panjang. Dengan tangkasnya Risang berloncatan di atas palang balok itu. Ternyata bahwa keseimbangan tubuh Risang memang cukup baik. Sehingga baik di atas palang balok maupun tonggak-tonggak kayu dan bambu, Risang tetap dapat mempertahankan keseimbangannya.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Risang mulai mengendorkan tata geraknya. Semakin lama menjadi semakin lamban. Kemudian iapun telah turun dan bergerak di atas lantai. Akhirnya gerakannya benar-benar hampir berhenti. Risang berdiri di atas kakinya yang renggang. Kemudian mengangkat kedua tangannya bersama-sama berulang kali sambil menarik nafas dalam-dalam. Terakhir Risang telah mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala dan turun perlahan-lahan sampai ke dadanya.
"Bagus Risang," hampir di luar sadarnya Nyai Soka berdesis.
"Terima kasih nek," jawab Risang, "hanya itulah yang dapat aku lakukan."
Iswaripun kemudian melangkah ke tengah-tengah sanggarnya. Sambil tersenyum kemudian ia berkata, "Risang. Marilah kita berlatih. Aku ingin tahu pasti, apa yang dapat kau lakukan dalam olah kanuragan. Bukan sekedar menunjukkan unsur-unsur gerak yang manis. Tetapi juga penggunaannya."
Risang mengangguk kecil. Namun iapun menjadi berdebar-debar. Ia tahu bahwa ibunya memiliki ilmu yang tinggi. Namun ia belum pernah berlatih dengan sungguh-sungguh bersama ibunya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Risang yang sedang tumbuh itu, ternyata memiliki ketahanan tubuh yang sangat besar. Meskipun ia baru saja berlatih seorang diri dengan mengerahkan tenaga, namun nampaknya tenaganya masih saja utuh.
Sementara ibunya yang telah berkembang seakan-akan sedang mencapai puncak kemampuannya. Namun dengan hati-hati ibunya mengendalikan diri agar ia tidak membahayakan anaknya.
Sejenak kemudian maka Iswaripun berkata, "Bersiaplah Risang. Kita akan bermain sejenak."
Risang tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar bersiap. Sementara itu Kiai Badra berkata, "Jangan ragu-ragu Risang. Ibumu tidak akan mengalami kesulitan meskipun kau tumpahkan semua kemampuanmu. Dengan demikian kami dapat mengetahui dengan tepat, tingkat kemampuanmu yang sebenarnya."
Risang mengangguk kecil. Bagaimanapun juga, yang berdiri di hadapannya itu adalah ibunya yang tersenyum.
Karena Risang masih berdiam diri, maka ibunyalah yang mulai bergerak. Perlahan-lahan tangannya mulai menggapai dada anaknya.
Tetapi dengan gerak naluriah Risang telah mengelak. Dengan meloncat kecil ke samping, ia sudah dapat membebaskan diri dari sentuhan tangan ibunya.
Namun Iswari tidak membiarkan Risang terlepas dari jangkauannya. Dengan cepat pula Iswari meloncat memburunya. Sekali lagi tangannya menyerang dengan ayunan mendatar ke arah kening.
Tetapi sekali lagi Risang berhasil menghindarinya. Bahkan iapun kemudian telah meloncat menyerang dengan kakinya.
Namun Risang masih nampak ragu-ragu. Karena itu, maka serangannya tidak menyentuh tubuh ibunya, meskipun dengan sengaja Iswari sama sekali tidak menghindarinya.
Katanya, "Risang. Jika kau masih saja ragu-ragu, maka latihan ini tidak akan berlangsung sebagaimana diharapkan untuk mengetahui tingkat ilmumu yang sebenarnya."
Risang mengerutkan keningnya. Sementara itu ibunya berkata selanjutnya, "Bersiaplah. Aku akan benar-benar mengenaimu."
Risang bergeser surut. Namun tiba-tiba saja ibunya telah meloncat demikian cepatnya. Dua jarinya telah menyentuh pundak Risang. Perasaan sakit memang telah menyengatnya, sehingga Risang sekali lagi bergeser surut.
Namun ketika sekali lagi Iswari menyerang, Risang telah berusaha untuk menangkis serangan itu. Bahkan sekaligus telah menyerang lambung ibunya dengan kakinya.
Iswarilah yang kemudian meloncat ke samping sehingga serangan Risang tidak mengenainya. Namun dengan cepat dan tangkas Iswari justru meloncat maju. Tiba-tiba saja telapak tangan Iswari telah menebah dada Risang.
Risang berdesah menahan sakit. Bahkan rasa-rasanya dadanya telah menjadi sesak. Karena itu, maka Risang terpaksa meloncat untuk mengambil jarak, agar ia dapat memperbaiki keadaannya.
Tetapi Ibunya tidak memberinya kesempatan. Demikian Risang melenting mengambil jarak, ibunyapun telah meloncat memburunya.
Risang memang mengeluh di dalam hati. Tetapi ia tahu, bahwa ibunya telah mendesaknya agar ia bersungguh-sungguh. Karena itu, maka untuk selanjutnya, Risang berusaha agar ia tidak saja menjadi sasaran serangan ibunya. Tetapi iapun perlu menyerang untuk mengurangi tekanan.
Karena itu, ketika kemudian ibunya sekali lagi siap untuk meloncat memburunya, tiba-tiba saja dengan tidak diduga-duga, Risanglah yang telah meloncat kembali demikian kakinya menyentuh tanah di saat ia menghindar, menyerang dengan cepat, meskipun masih saja dibayangi oleh keragu-raguan, sehingga serangannya hampir tidak bertenaga.
Ibunya memang terkejut. Tetapi kematangannya bersikap telah mempersiapkannya untuk dengan cepat pula menghindari serangan itu. Bahkan ketajaman panggraitanya telah menangkap betapa lemahnya serangan Risang meskipun cukup cepat dan pada saat yang mapan.
Karena itu, maka untuk memaksa agar Risang berusaha meningkatkan latihannya, demikian Iswari menghindari serangan anaknya, maka tiba-tiba saja ia telah menyerang kembali. Demikian cepat dan didorong oleh kekuatan yang cukup besar, sehingga Risang terdorong beberapa langkah surut.
Risang memang tidak siap menghadapi kecepatan gerak ibunya. Karena itu, iapun terkejut. Ia menyangka bahwa ibunya hanya akan menghindari serangannya saja. Namun tiba-tiba ibunya telah menyerangnya pula.
Dengan sudah payah Risang berusaha mempertahankan keseimbangannya. Hampir saja ia terjatuh karena hentakkan serangan ibunya itu. Namun ia berhasil bertahan dan tetap berdiri. Bahkan kemudian Risangpun telah berdiri tegak kembali.
Namun pada saat yang demikian serangan ibunya telah datang lagi. Cepat dan kuat. Ayunan tangan ibunya yang hampir saja menyambar telinganya, justru telah berdesing keras. Sambaran anginnya terasa menerpa kulitnya.
Risang sempat menarik kepalanya ke samping. Tangan ibunya hanya berjarak setebal daun dari telinganya. Jika telinganya tersentuh serangan itu, maka agaknya telinganya akan dapat terlepas.
Serangan-serangan yang semakin keras dan yang telah menyakiti tubuhnya meskipun tidak berbahaya, telah mendesak Risang untuk semakin bersungguh-sungguh. Dengan tangkasnya Risang telah berloncatan sebagaimana telah ditunjukkan pada saat ia berlatih seorang diri. Namun serangan-serangan Risang nampaknya masih belum dialasi dengan segenap tenaganya oleh keragu-raguan.
Tetapi ketika ibunya semakin mendesaknya dan semakin sering mengenai tubuhnya dan menyakitinya, maka Risang benar-benar merasa semakin didesak untuk lebih bersungguh-sungguh.
Beberapa saat kemudian, maka latihan itu berlangsung semakin cepat. Risang memang harus menyesuaikan dirinya. Ia harus bergerak semakin tangkas dan semakin kuat. Benturan-benturan yang semakin sering terjadi membuat Risang harus mengerahkan kekuatannya. Jika serangan-serangan yang kemudian sering dilakukan oleh ibunya benar-benar menyakitinya, maka mau tidak mau Risang memang harus menghentikan serangan-serangan itu, atau setidak-tidaknya menguranginya.
Dengan demikian maka latihan itu berlangsung semakin lama semakin cepat dan kuat. Serangan-serangan Risangpun menjadi semakin keras pula. Apalagi ketika beberapa kali ia selalu gagal menyentuh kulit ibunya, maka Risangpun menjadi semakin meningkatkan kemampuannya.
Iswari mulai melihat kesungguhan pada anaknya. Karena itu, maka iapun mulai menuntun ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi dari kemampuan olah kanuragan.
Karena ibunya semakin meningkatkan ilmunya, maka untuk mengimbanginya, maka Risangpun telah melakukannya pula. Ia berloncatan semakin cepat dan tangkas. Bahkan kadang-kadang ia harus berputar di udara, berguling dan menyapu kaki ibunya. Tetapi Risang ternyata tidak mampu menyentuh ibunya. Justru semakin cepat ia bergerak, maka rasa-rasanya jarak serangannya dengan sasaran menjadi semakin jauh.
Namun dengan demikian, Risang menjadi semakin cepat bergerak. Tangannya berputaran, sementara kakinya berloncatan. Serangan-serangannya datang beruntun seperti ombak di lautan.
Tetapi tidak satupun serangannya mampu menyentuh ibunya.
Iswari tertawa melihat Risang mulai bermandi keringat. Dengan nada tinggi ia berkata, "Marilah Risang. Lakukan apa yang dapat kau lakukan."
Risang menjadi semakin cepat lagi bergerak. Serangannya datang menyambar-nyambar.
Namun Iswari tidak sekedar menertawakan anaknya. Tetapi ia juga memberikan kesempatan agar anaknya percaya kepada diri sendiri. Karena itu, kadang-kadang ibunya telah mengendurkan geraknya. Bahkan kemudian sekali-sekali ibunya memberikan kesempatan serangan anaknya itu mengenainya.
Tetapi Iswari tetap meningkatkan ilmunya tataran demi tataran. Selapis demi selapis. Dengan demikian maka Iswari telah memaksa Risang mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Sejauh mana ia telah menyadap ilmu kanuragan.
Ketiga orang kakek dan nenek Iswari yang sekaligus menjadi gurunya telah menyaksikan latihan itu dengan sungguh-sungguh. Ternyata Risang bukan saja mampu mempertunjukkan unsur-unsur gerak yang mapan, tetapi iapun mampu mengetrapkan dalam penggunaannya. Bahkan kadang-kadang Risang itu mampu menunjukkan kemampuannya mengatasi keadaan yang sulit dengan gerak yang tidak terduga. Ketika ia terdesak, maka tiba-tiba saja ia menemukan pemecahan yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Demikianlah maka latihan itu berlangsung semakin cepat, sehingga pada suatu saat, Risang memang telah sampai pada puncak kemampuannya. Ketika Iswari meningkatkan lagi ilmunya, maka Risang mulai mengalami kesulitan dan terdesak. Apalagi kadang-kadang Iswari telah menyentuhnya dan bahkan menyakitinya.
Karena itu, maka Iswaripun telah bertahan pada tataran yang tetap. Tetapi yang ingin diketahuinya kemudian adalah ketahanan tubuh Risang menghadapi pertempuran.
Dalam tataran yang seimbang, maka keduanya saling menyerang dan bertahan. Saling mendesak dan menghindar. Iswari menempatkan dirinya pada tataran yang sama dengan anak laki-lakinya berusaha untuk memancing Risang menuangkan ketajaman penalarannya. Kadang-kadang Iswari menyerang dengan cara dan kesempatan yang sama sekali tidak diduga oleh Risang. Namun dengan tangkas pula ia memecahkan kesulitannya sehingga Risang mampu meloncat, mengambil jarak untuk memperbaiki kedudukannya.
Ibunya hanya tersenyum di dalam hati. Namun anak laki-laki itu memang menimbulkan harapan di hatinya, bahwa pada suatu saat ia benar-benar akan mampu menerima warisan ilmu Janget Kinatelon, sehingga ia akan dapat mengatasi kesulitan jika anak Warsi pada suatu saat menantangnya sebagaimana Warsi pernah dan bahkan mungkin masih akan menantangnya berperang tanding.
Namun Iswari masih saja bertempur terus, dengan kecepatan yang tidak berubah. Sementara Risangpun berusaha untuk tetap berada pada tatarannya.
Namun bagaimanapun juga, karena Risang harus mengerahkan segenap kemampuannya, maka rasa-rasanya kekuatannyapun tidak akan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang terlalu panjang.
Tetapi pada saat tertentu, Iswari merasakan betapa daya tahan anaknya cukup tinggi. Ternyata pada batas yang diharapkan, Risang masih tetap menunjukkan kemampuan dan kecepatannya bergerak. Tenaganya masih belum menyusut dan gerakannya tidak mengendor.
Baru beberapa saat kemudian, setelah melewati saat yang diharapkan oleh ibunya, Risang benar-benar tidak dapat mempertahankan tingkat kekuatan dan kecepatan geraknya. Perlahan-lahan tenaganya nampak susut, sementara keringatnya mengalir seperti diperas dari tubuhnya.
Tetapi Risang tidak dapat berhenti sebelum ibunya menghentikan serang-serangannya. Meskipun tenaganya mulai susut, namun Risang masih berusaha untuk melindungi dirinya, karena sentuhan-sentuhan ibunya memang membuatnya merasa sakit.
Untuk beberapa saat ibunya masih menyerangnya. Namun ketika Risang menjadi semakin terdesak, maka Iswaripun mulai mengendorkan serangan-serangannya, sehingga akhirnya Iswarilah yang meloncat mengambil jarak.
Risang yang mulai kelelahan tidak memburunya. Tetapi ia bersiap untuk bertahan sambil berusaha mempergunakan kesempatan itu untuk sekedar beristirahat.
Tetapi ternyata bahwa ibunya tidak menyerang lagi. Namun kemudian sambil tersenyum bertanya, "Apakah kau sudah mulai lelah?"
Risang tidak menjawab. Ia mengerti bahwa ibunya mengetahui bahwa tenaganya sudah mulai susut meskipun ia masih mampu mempertahankan dirinya.
"Baiklah," berkata Iswari kemudian, "kita beristirahat. Kita masih mempunyai waktu untuk berlatih lagi. Sementara itu kakek dan nenekmu telah melihat, sejauh manakah tingkat kemampuanmu."
Risang berpaling kepada ketiga orang kakek dan neneknya. Namun ketiganya tidak mengatakan sesuatu selain tersenyum.
Mutiara Hitam 16 Pendekar Rajawali Sakti 91 Ratu Intan Kumala Maut Merah 2