Sayap Sayap Terkembang 4
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 4
Dari tempat yang agak tinggi, Kiai Badra dan Kiai Soka sempat melihat keadaan di dalam lapis-lapis pagar itu. Dilapis kedua Sambi Wulung dan Jati Wulung masih tertahan bersama keempat orang yang berkuda itu.
Agaknya para penjaga pintu gerbang itu tidak memberikan ijin kepada Kiai Windu dan kawan-kawannya untuk membawa kuda mereka masuk.
Ternyata bahwa mereka telah mengikat kuda-kuda mereka di patok-patok yang sudah tersedia. Di sebelahnya sudah terdapat beberapa ekor kuda yang lain, yang telah datang lebih dahulu.
Kiai Badra dan Kiai Soka ikut menjadi tegang ketika melihat mereka berenam berdiri dimuka pintu gerbang.
Beberapa orang penjaga yang garang nampaknya dengan teliti mengamati mereka seorang demi seorang.
Dari jarak yang cukup jauh, Kiai Badra dan Kiai Soka tidak dapat melihat terlalu jelas apa yang terjadi. Meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan melampaui orang-orang kebanyakan.
Dalam pada itu, di depan pintu gerbang pada lapis yang ketiga, Kiai Windu dan kawan-kawannya telah menunjukkan pertanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah dianggap keluarga di lingkungan sabung ayam itu. Mereka dapat menunjukkan sebuah tanda yang terbuat dari perunggu berbentuk bulat. Di tengah-tengahnya dipahatkan gambar seekor ayam jantan dengan kepala tegak. Kemudian beberapa ciri yang khusus terpahat di bawah gambar ayam itu.
"Bagaimana dengan kedua orang ini?" bertanya penjaga pintu gerbang.
Kiai Windu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi tegang. Mereka berdiri dekat di belakang keempat orang berkuda yang akan menanggung mereka memasuki tempat yang mendebarkan itu.
Namun Kiai Windupun kemudian berkata, "Mereka adalah orang-orang baru. Kami berempat menanggung mereka selama mereka berada di tempat ini."
"Apa jaminannya?" bertanya penjaga yang garang itu.
"Kami berempat," jawab Kiai Windu.
Penjaga itu mengangguk-angguk. Sementara itu para penjaga yang lain nampaknya menaruh perhatian pula kepada mereka.
Sambi Wulung dan Jati Wulung sendiri hanya menunggu keputusan mereka. Apakah mereka diperkenankan memasuki daerah itu atau tidak.
Namun agaknya pemimpin dari para petugas di pintu itu tidak mau bertanggung jawab sendiri. Karena itu, maka pemimpin penjaga pintu gerbang itu berkata, "Tunggulah disini. Aku akan melaporkannya."
Keenam orang itu harus menunggu. Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat memaksa untuk memasuki gerbang itu. Mereka tidak dapat memancing persoalan justru sebelum mereka berada di dalam.
Sementara pemimpin penjaga itu melaporkan kehadiran mereka, keenam orang itu telah bergeser menepi. Kiai Windu sempat berdesis kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung. "Kau dengar. Kami berempatlah yang menjadi tanggungan kalian. Jika kalian berbuat sesuatu yang kurang baik disini, kami berempat akan ikut diperlakukan buruk. Kita di tempat ini tidak dapat memamerkan kemampuan dan ilmu kita. Disini terlalu banyak orang berilmu tinggi. Meskipun aku akui, ilmu kalian berdua ternyata lebih tinggi dari yang aku duga, tetapi setiap pelanggaran ketentuan yang berlaku disini, akan menimbulkan malapetaka."
"Peraturan apa?" bertanya Jati Wulung.
Kiai Windu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "peraturan disini berlandaskan kekuatan. Jika orang-orang yang terkuat disini tidak senang melihat sikap orang lain, maka orang yang bersikap buruk menurut pandangan orang terkuat itu akan mengalami nasib yang malang. Itulah peraturan yang berlaku disini."
"Jadi kenapa orang-orang yang berilmu lebih rendah mau memasuki tempat ini?" bertanya Sambi Wulung.
"Mereka harus berlaku baik terhadap yang terkuat," jawab Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu, dua orang yang nampak lebih garang lagi dari para penjaga itu telah keluar ke pintu gerbang. Keduanya bersenjata keris yang diselipkan pada ikat pinggang di bagian perutnya. Pada wajah mereka yang kasar, nampak kumis yang tebal melintang di atas bibir mereka. Dan kedua-duanya telah memelihara jambang yang panjang pula. Dengan dada terbuka yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat, keduanya kemudian memandangi keenam orang yang berdiri menepi itu.
Kiai Windulah yang tiba-tiba menegur, "He, aku. Inilah."
"O," seorang di antara mereka melangkah mendekat, "jadi kaukah yang datang" Sudah agak lama kau tidak pernah kelihatan."
"Kau mempunyai orang-orang baru?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak. Sulit untuk menerima orang-orang baru yang benar-benar dapat dipercaya," jawab orang yang garang itu. Namun iapun kemudian bertanya, "Jadi kaukah yang membawa orang yang akan menjadi tanggunganmu itu?"
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi tegang. Jika orang yang disebut Kiai Windu itu mengkhianatinya, maka mereka berdua harus berbuat sesuatu. Di hadapannya akan berdiri sekelompok orang yang agaknya berilmu cukup tinggi.
Tetapi agaknya Kiai Windu masih juga bertanya, "Aku belum pernah melihat para penjaga pintu gerbangmu itu. Di lapis pertama dan kedua aku masuk dengan mudah karena mereka telah mengenal aku. Disini aku harus melalui cara yang berlaku karena mereka belum mengenal aku. Menunjukkan pertanda keluarga Song Lawa."
"Maaf Kiai," desis orang berjambang itu sambil tersenyum, "petugas-petugas kami hanya menjaga agar ketertiban tetap dipelihara disini. Tetapi mereka bukan orang-orang baru. Mungkin sebelumnya ia bertugas di tempat lain sehingga jarang Kiai lihat. Atau barangkali Kiai tidak menghiraukan sebelumnya."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Sementara orang berjambang itu bertanya pula, "Siapakah orang yang akan kau tanggung itu?"
"Kawan-kawanku. Dua orang," jawab Kiai Windu.
Karena di tempat itu tidak ada orang lain, maka orang itupun segera mengetahui bahwa keduanya yang dimaksud oleh Kiai Windu adalah dua orang yang berdiri agak terpisah dari tempat orang yang memang sudah menjadi keluarga dari Song Lawa.
"Apakah kau yakin bahwa keduanya dapat dipercaya?" bertanya orang berjambang panjang dan berkumis tebal itu.
Kiai Windu memang ragu-ragu sejenak. Memang terbersit di angan-angannya bahwa ia akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia masih saja merasa ragu. Mungkin kedua orang itu benar-benar akan dapat membunuhnya dengan cara apapun juga. Karena itu, maka iapun berkata, "Sampai saat ini aku percaya kepada mereka. Tetapi Song Lawa memang dapat merubah watak seseorang."
"Mereka menjadi tanggunganmu," berkata orang berjambang itu.
Kiai Windu merenung sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk, "Aku akan menanggung mereka."
Kedua orang berjambang itu saling memandang sejenak. Seorang di antara merekapun kemudian berdesis, "Baiklah. Kami terima mereka. Tetapi ingat, hal itu kami lakukan hanya karena kami mengingat Kiai. Kami sudah begitu akrab dengan Kiai dan kawan-kawan Kiai yang terdahulu. Aku kira kawan-kawan Kiai yang baru inipun akan sebaik kawan-kawan Kiai yang lama."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Mereka orang-orang baik."
Kedua orang berjambang itupun kemudian telah mempersilahkan Kiai Windu berenam untuk memasuki pintu gerbang. Sementara itu orang berjambang itupun berkata, "Hanya bila kami sudah yakin bahwa mereka tidak akan merugikan Song Lawa, maka kami akan memberikan pertanda keluarga. Aku belum tahu berapa pekan ia kerasan tinggal di tempat yang menakjubkan ini. Jika kemudian ia kerasan tinggal disini untuk seterusnya, maka ia akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi kami. Tetapi atas tanggungan Kiai."
Kiai Windu tersenyum. Betapa kecutnya. Namun ia memang berharap bahwa kedua orang itu tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyeret namanya ke dalam kesulitan.
Dari kejauhan Kiai Badra dan Kiai Soka melihat bahwa keenam orang itu telah memasuki pintu gerbang utama. Sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Badra berdesis, "Pintu kesulitan pertama telah dilewati."
"Masih banyak masalah yang akan mereka hadapi," sahut Kiai Soka.
"Ya. Dan kita tidak akan dapat mengikuti dari jarak yang jauh ini. Apalagi jika malam gelap," berkata Kiai Badra.
"Di malam hari kita akan mendekat," gumam Kiai Soka. "Tetapi di siang hari kita dapat berada disini. Jaraknya tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh. Dari tempat yang tinggi ini kita dapat melihat keseluruhan lingkungan Song Lawa."
"Tetapi kita tidak dapat melihat apa yang terjadi di bawah atap barak-barak yang berserakan di dalam lingkungan dinding kayu itu," jawab Kiai Badra.
Kiai Sokapun segera tanggap. Karena itu katanya, "Kau bermaksud memasuki tempat itu di malam hari?"
Kiai Badra tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan katanya, "Mereka telah hilang. Mereka memasuki salah satu barak yang ada di dalam lingkungan Song Lawa."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Barak-barak itu tentu mempunyai beban tugas yang berbeda-beda."
"Agaknya memang demikian," jawab Kiai Badra, "yang satu untuk bermalam orang-orang yang memasuki tempat itu. Dan itu agaknya yang paling panjang itu. Satu lagi untuk berjudi. Satu lagi menyediakan makan dan minum. Tidak bedanya dengan sebuah kedai. Dan entah untuk apa lagi. Yang berasap itu tentu dapur."
Kiai Soka tersenyum. Katanya, "Agaknya dapur itulah yang paling kau kenal."
"Bukankah itu lebih baik daripada mengenali tanah kosong di bagian belakang barak-barak itu," sahut Kiai Badra sambil tertawa.
"Itulah yang mengerikan," berkata Kiai Soka. Orang tua itu tidak tersenyum lagi. Bahkan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Katanya, "berapa orang yang sudah dikubur di tempat itu?"
"Itu adalah gambaran kehidupan di lingkungan ini," berkata Kiai Badra, "mudah-mudahan Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat mengatasinya."
"Seharusnya jika mereka sudah berhasil memasuki lingkungan itu, mereka tidak usah berbuat aneh-aneh agar mereka mendapat kesempatan untuk tetap berada di dalamnya," desis Kiai Soka. "Jika mereka berdua masih memaksa diri untuk bertingkah-laku kasar, maka mereka akan dapat dilemparkan ke lubang kubur di tanah kosong itu."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan keduanya cukup bijaksana."
Kiai Soka tidak menjawab.
Untuk beberapa saat mereka masih mengawasi tempat sabung ayam itu. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu. Mereka melihat arena sabung ayam di halaman tengah yang kosong. Agaknya sabung ayam itu masih belum dimulai dalam satu dua hari lagi.
Satu dua orang memang nampak melintas di halaman, sementara ada lagi dua orang peronda yang mengelilingi tempat itu. Namun belum ada kesan kesibukan yang berarti.
Kiai Badra dan Kiai Sokapun kemudian bergeser menjauh. Mereka memasuki hutan kecil di lereng gunung. Nampaknya tempat yang jarang sekali didatangi oleh seseorang. Bahkan oleh pencari kayu bakar sekalipun. Mereka melihat dahan-dahan kering berserakan tanpa ada yang memungutnya.
Namun agaknya hutan yang masih belum disentuh itu merupakan simpanan yang sangat berarti bagi lembah dan dataran di bawahnya. Di tebing-tebing terjal nampak air mengalir perlahan-lahan. Namun kemudian berkumpul menjadi air terjun yang cukup deras.
Kedua orang tua itupun kemudian telah mencari tempat untuk beristirahat. Mereka kemudian menemukan batu padas yang agak datar di pinggir hutan itu.
Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berada di dalam lingkungan Song Lawa. Satu tempat sabung ayam dan perjudian yang tidak terjangkau oleh paugeran Pajang. Lingkungan yang telah membuat tata kehidupan menurut irama mereka sendiri.
"Kalian akan bertempat tinggal selama disini di tempat yang biasa kalian pergunakan," berkata seorang yang mendapat tugas menerima tamu yang mendapat penyerahan dari para pengawal, kepada Kiai Windu. Lalu, "Tempat itu dapat kami siapkan untuk enam orang. Tidak empat orang."
"Terima kasih," sahut Kiai Windu, "kami akan langsung ke tempat yang disediakan itu."
Merekapun kemudian memasuki sebuah barak yang panjang, yang disekat-sekat oleh dinding bambu yang rangkap.
Kiai Windu berenam telah ditempatkan di sebuah bilik yang agak besar yang diisi dengan sebuah amben yang panjang yang akan dapat dipergunakan oleh enam orang yang meskipun tidak terlalu longgar.
"Memang agak berdesakan," berkata Kiai Windu.
"Apakah kita dapat memilih ruangan?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak," jawab Kiai Windu, "kita harus menerima apa yang sudah disediakan. Jika kita memaksa, akan segera timbul keributan."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Ternyata apa yang diharapkannya dari Sambi Wulung dan Jati Wulung terpenuhi. Keduanya dengan bijaksana mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka tidak lagi berniat membuat persoalan. Kecuali jika persoalan itu datang pada mereka.
Barulah di dalam bilik itu Kiai Windu dan kawan-kawannya mendengar pengakuan Sambi Wulung dan Jati Wulung tentang namanya, Sambi Wulung menyebut dirinya bernama Wanengbaya dan Jati Wulung mengaku bernama Wanengpati.
"Tentu bukan nama-nama asli kalian," tebak Kiai Windu, "kalian mengganti nama kalian dengan nama yang garang, agar kalianpun kelihatan garang pula."
"Nama itu diberikan oleh ayahku sejak aku lahir," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Jangan mengigau seperti itu. Apakah kau belum mempunyai anak meskipun kalian sudah hampir pikun" Kalian tentu tidak akan memberi nama anak yang baru lahir dengan sebutan seperti itu."
Sambi Wulung tiba-tiba menundukkan kepalanya. Tanpa disengaja ia telah menggali kepahitan hidup di masa mudanya. Ia dan Jati Wulung memang tidak lagi mempersoalkan anak. Namun pada saat-saat tertentu, hatinya tergelitik pula karenanya.
"Jangan bicara tentang anak," desisnya.
"Maaf. Aku tidak sengaja menyinggung perasaanmu," berkata Kiai Windu. Lalu katanya, "Nah, sebaiknya kita beristirahat. Tempat ini tempat kita."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera merebahkan dirinya seperti ketiga orang kawan Kiai Windu. Bersama Jati Wulung dan Kiai Windu sendiri, ia masih duduk dan berbicara tentang beberapa hal.
Namun tiba-tiba mereka terkejut karena mereka mendengar pertengkaran di ruang sebelah.
Ketika sambi Wulung dan Jati Wulung bangkit dari tempat duduknya, Kiai Windu berdesis, "Jangan campuri persoalan orang lain disini. Jika kita mencampuri persoalan orang lain, itu berarti kita sudah membuat persoalan."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun Jati Wulung yang mengaku bernama Wanengpati itu bertanya, "Bagaimana jika terjadi sesuatu yang gawat?"
"Setiap orang harus dapat mengatasi persoalan mereka sendiri. Bahkan harus mati sekalipun tidak akan ada orang yang akan melibatkan dirinya."
"Kalau hanya melihat" Maksudku seperti menonton sabung ayam itu sendiri?" bertanya Wanengbaya.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kalau hanya melihat saja, aku kira tidak akan timbul persoalan. Tetapi jangan terlalu dekat."
Wanengbaya dan Wanengpati mengangguk-angguk pula. Keduanyapun segera mengemasi diri. Mereka memang ingin melihat siapakah perempuan yang telah berani memasuki tempat seperti ini. Bahkan sepercik pertanyaan ada di dalam hati mereka, "Apakah perempuan itu Warsi."
Wanengbaya dan Wanengpati memang belum terlalu mengenal dan dikenal oleh Warsi. Namun demikian ada kemungkinan bahwa perempuan itu akan dapat mengenalinya. Karena itu, maka keduanya memang harus berhati-hati.
Bahkan Wanengbaya berdesis perlahan di telinga Wanengpati, "Jika benar Warsi, maka kita harus berhati-hati. Apalagi jika ia datang bersama Kiai Randukeling."
"Apakah kita harus berbuat sesuatu?" bertanya Wanengpati.
"Justru kita harus pandai menghindar," jawab Wanengbaya.
Wanengpati mengangguk-angguk. Namun merekapun kemudian melangkah mendekati pintu. Sementara itu Kiai Windu yang sudah duduk kembali berkata sekali lagi, "Jangan campuri persoalan siapapun dan dalam keadaan yang bagaimanapun jika kau tidak mau mendapat kesulitan."
Wanengbaya dan Wanengpati mengangguk.
Dalam pada itu, keduanya telah berdiri di pintu. Perlahan-lahan keduanya melangkah keluar. Mereka sudah diberi tahu oleh Kiai Windu, dimana letak pakiwan.
Karena itu, maka mereka mempunyai alasan untuk keluar dari barak itu.
Perlahan-lahan keduanya menyusuri lorong sempit di dalam barak itu. Ketika mereka berada di pintu bilik sebelah, maka keduanya sempat melihat seorang perempuan dengan pakaian laki-laki sedang bertengkar dengan seorang laki-laki. Dua orang lainnya berdiri termangu-mangu memperhatikan keduanya yang sedang marah itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak memperhatikan keduanya lebih lama karena mereka tidak dapat berhenti di depan pintu bilik itu, agar mereka tidak dituduh ingin mencampuri persoalan orang lain.
"Bukan Warsi," desis Sambi Wulung.
"Ya. Memang bukan Warsi," jawab Jati Wulung.
Dengan demikian maka keduanya memang tidak mempunyai kepentingan apapun juga. Meskipun hati mereka sebenarnya memang tergelitik untuk mengetahui persoalan di antara kedua orang yang bertengkar itu, namun mereka harus menahan diri.
Sebenarnyalah keduanya memang pergi ke pakiwan. Di longkangan yang terdapat di antara barak yang dipergunakan dan barak yang lain, yang juga dipergunakan untuk bermalam para tamu dari Song Lawa itu, keduanya bertemu dengan seorang yang benar-benar bertubuh raksasa. Buka saja tubuhnya yang tinggi besar melampaui ukuran kebanyakan itu yang menarik perhatian, tetapi ia juga mengenakan ikat pinggang kulit dengan timang emas. Beberapa bulir berlian nampak berkilat-kilat pada timang emasnya itu. Tanpa mengenakan baju, orang itu seakan-akan sengaja memamerkan kekayaannya. Di punggungnya terselip keris dengan pendok emas pula. Seperti pada timangnya, maka pada kerisnya nampak juga beberapa butir berlian yang berkilau. Sedangkan pada jari-jarinya beberapa bentuk cincin dengan mata batu-batu yang sangat mahal disamping bermata berlian.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung memaksa diri tidak menghiraukan orang itu sebagaimana orang itu tidak menghiraukan mereka.
Tetapi ketika mereka menjadi semakin jauh, Sambi Wulung berkata, "Orang itu tentu orang yang sangat kaya."
"Aku menyangsikan, apakah kekayaannya itu didapatnya dengan cara yang wajar," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Dari pakiwan keduanya memang langsung kembali ke dalam bilik mereka. Tetapi mereka tertahan di lorong sempit dalam barak itu, karena agaknya pertengkaran di antara perempuan dan laki-laki itu menjadi semakin seru, sehingga keduanya telah menarik pedang masing-masing.
Beberapa orang yang agaknya sekelompok dengan keduanya berusaha untuk melerai mereka meskipun agak mengalami kesulitan.
"Jangan campuri persoalanku," teriak perempuan itu.
"Aku tidak mencampuri persoalan orang lain. Tetapi persoalanmu adalah persoalanku. Kita, kau dan iparmu itu berangkat bersama-sama dengan kami. Apalagi kami berada di Song Lawa yang dua tiga hari lagi akan menjadi semakin garang."
Orang yang sudah agak tua di antara merekapun berkata, "persoalan di antara kita di Song Lawa ini akan menimbulkan pertanyaan banyak orang. Kenapa justru persoalan di antara kita sendiri."
Kedua orang yang bertengkar itu agaknya sempat berpikir. Namun perempuan yang sangat marah itupun kemudian berkata, "Jika kita tidak menyelesaikannya di tempat ini, maka pada suatu saat kita akan mendapatkan kesempatan."
"Jika kau tetap menghendaki cara ini, maka aku tidak akan berkeberatan," jawab yang lain.
"Kita lupakan saja," berkata yang tertua, "setidak-tidaknya untuk waktu yang kita perlukan berada di tempat ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengetahui dengan pasti persoalan apakah yang terjadi di antara mereka. Namun yang bertengkar itu agaknya adalah saudara ipar.
"Perempuan itu garang juga," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia berdesis, "Ternyata memang tidak ada orang yang tertarik pada pertengkaran ini selain orang-orang dari kelompok mereka sendiri. Orang-orang yang berada di bilik sebelahnya itupun sama sekali tidak menjengukkan kepalanya."
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung terkejut ketika perempuan itu tiba-tiba memandangi mereka. Bahkan menyibak orang-orang sekelompoknya melangkah mendekati Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kenapa kau di situ" Kau mau mencampuri persoalan kami," bertanya perempuan itu dengan nada yang garang.
Sambi Wulunglah yang menjawab dengan tanpa perubahan kesan di wajahnya, "Aku akan lewat. Aku berada di bilik seberang. Tetapi aku tertahan disini. Aku tidak dapat menerobos kalian di saat kalian bertengkar. Karena itu aku menunggu."
"Persetan," geram perempuan itu, "lewatlah. Cepat."
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian melangkah di lorong sempit di antara bilik-bilik di barak yang panjang itu. Beberapa orang memang harus menepi.
Perempuan itu ternyata memperhatikan Sambi Wulung dan Jati Wulung sehingga mereka hilang memasuki pintu biliknya. Agaknya perempuan itu ingin tahu, apakah keduanya benar-benar berada di bilik itu atau sekedar ingin melihat pertengkaran yang terjadi itu.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung benar-benar telah memasuki bilik itu.
Kiai Windu ternyata masih duduk di tempatnya bersandar dinding. Ketika keduanya masuk, maka Kiai Windu itupun berkata, "Aku merasa agak cemas."
"Tentang kami?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Kalian orang baru disini," desis Kiai Windu.
"Kami berusaha untuk menyesuaikan diri," berkata Jati Wulung. Lalu, "Aku pernah berada di tempat perjudian di Gresik. Tetapi suasananya jauh lebih tertib. Prahu-prahu yang lewat bengawan menurunkan orang-orang dari jauh memasuki tempat perjudian yang lebih besar dari tempat ini."
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku belum pernah berada di Gresik. Tetapi apakah tempat itu juga tempat untuk menyabung ayam?"
*** JILID 04 "ADA lebih dari tujuh kalangan sabung ayam," jawab Sambi Wulung, "sepuluh tempat bermain dadu. Tempat panahan yang luas dan apakah disini juga ada binten?"
Kiai Windu menggeleng. Katanya, "Disini tidak ada binten. Panahan disini kurang menarik meskipun ada, yang terbanyak adalah permainan dadu."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada berat Sambi Wulung berkata, "Aku juga ingin tidur."
"Silahkan," berkata Kiai Windu, "aku tidak mengantuk."
Sambi Wulungpun kemudian merebahkan dirinya di atas amben yang besar berjajar dengan ketiga kawan Kiai Windu. Sedangkan Jati Wulung masih juga belum merasa mengantuk.
Tiga orang kawan Kiai Windu itupun sudah tertidur nyenyak. Sementara Sambi Wulungpun segera tertidur pula. Yang kemudian masih duduk dan berbincang adalah Kiai Windu dan Jati Wulung.
Dalam pada itu Jati Wulungpun telah bertanya kepada Kiai Windu, "Bagaimana kita makan disini?"
"Disini ada semacam kedai. Kita dapat memesan makanan sesuai dengan selera kita. Namun tentu saja hanya yang mungkin disediakan," jawab Kiai Windu.
"Jadi disediakan beberapa jenis lauk-pauk disini?" bertanya Jati Wulung.
"Ya." jawab Kiai Windu, "nanti kita akan melihatnya."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Windu bertanya, "Apakah kau tidak ingin tidur lebih dahulu?"
"Tidak. Aku tidak terbiasa tidur di siang hari," jawab Jati Wulung, "betapapun letihnya. Apalagi menjelang senja seperti ini."
Tetapi Kiai Windu itu tersenyum. Katanya, "Ternyata kalian adalah orang-orang yang sangat berpengalaman."
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung.
"Kau bukan saja tidak terbiasa tidur di siang hari. Tetapi kau dan saudaramu itu terbiasa tidur bergantian. Apalagi kalian berdua belum mengenal aku dengan baik," desis Kiai Windu.
"Kaupun memiliki pengalaman yang luas. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau mendapat giliran berjaga-jaga yang pertama. Justru saat yang paling gawat ketika kita memasuki tempat seperti ini?" desis Jati Wulung.
Kiai Windu itupun tertawa pendek. Diperhatikannya ketiga kawannya yang tertidur lelap. Namun seorang di antara mereka nampak gelisah. Meskipun lukanya yang tidak terlalu dalam itu sudah diobati, namun agaknya masih juga terasa pedih.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka yang tertidur itupun justru telah terbangun. Setelan membenahi diri, maka mereka bersama-sama meninggalkan bilik mereka untuk pergi ke kedai di bagian belakang dari tempat perjudian yang disebut Song Lawa itu.
Karena Sambi Wulung dan Jati Wulung nampak ragu-ragu untuk meninggalkan bilik mereka maka Kiai Windupun berkata, "Kita tidak usah mencemaskan barang-barang kita. Tidak ada seorang pencuri pun yang berani masuk ke tempat ini."
Keduanya mengangguk-angguk. Namun Jati Wulung menyahut, "Di tempat lain, keadaannya berbeda. Justru perampok-perampok besar telah berusaha untuk ikut memasuki tempat seperti ini. Mereka bukan saja mencuri, tetapi mereka akan merampok dengan kekerasan."
"Disini penjagaannya cukup kuat untuk melawan perampok-perampok seperti itu," desis Kiai Windu.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia tidak berbicara lagi.
Mereka berenampun kemudian telah berada di bagian belakang dari tempat perjudian dan sabung ayam itu. Sebenarnyalah tempat itu memang cukup luas. Di halaman samping memang terdapat tempat untuk beradu ketrampilan memanah. Tetapi bukan sekedar ketrampilan. Mereka mempergunakan nilai-nilai panahan itu untuk perjudian dengan taruhan yang tinggi.
Di belakang ternyata terdapat sebuah kedai yang besar. Beberapa buah amben dan lincak bambu terdapat di kedai itu. Ketika mereka berenam memasuki kedai itu, ternyata di dalam kedai itu sudah terdapat beberapa orang yang sedang makan dan minum. Dengan tingkah laku yang kasar mereka bertebaran di beberapa amben dan lincak bambu. Dari jarak yang panjang mereka berbicara sambil berteriak-teriak.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu ketika mereka melihat perempuan yang ribut di dalam biliknya itu ada pula di antara mereka yang sudah lebih dahulu duduk di kedai itu. Bahkan seorang perempuan yang lainpun ada di kedai itu pula. Seorang perempuan yang nampak tegar dan agak gemuk. Hampir mirip dengan Bibi, duduk di sudut kedai itu menghadapi nasi dan lauk-pauknya.
Keenam orang itupun kemudian mengambil tempat yang agak terpisah. Betapa kasarnya Kiai Windu dan kawan-kawannya, ternyata mereka masih juga mempergunakan pikiran dan kadang-kadang bersikap tenang dan mapan pula.
Seorang di antara merekalah yang kemudian pergi memesan makan dan minum bagi keenam orang itu.
Beberapa saat kemudian, nasi hangat sebakul kecil telah dihidangkan. Beberapa macam lauk-pauk dan sayur yang masih berasap. Sambal terasi yang baunya membuat mereka bertambah lapar.
Meskipun malam sudah mendekati pertengahannya, tetapi ternyata di kedai itu masih banyak orang yang makan minum atau sekedar berbicara dan berkelakar.
Namun ketika keenam orang itu sedang sibuk menyuapi mulut mereka, maka beberapa orang telah memasuki kedai itu pula. Suara mereka telah lebih dahulu bagaikan mengguncang seisi kedai itu. Tertawa yang keras diselingi dengan umpatan kasar.
Ruangan yang luas itu bagaikan bergetar ketika perempuan yang agak gemuk, yang duduk di sudut itu kemudian berteriak, "He, jangan berbicara terlalu keras dan kasar. Bukankah ini sudah hampir tengah malam?"
Orang-orang itu memang terdiam sejenak. Namun suara tertawa merekapun meledak lagi. Seorang di antara mereka menjawab, "Jangan marah Nyai. Kau sendiri berteriak-teriak dengan suaramu yang melengking meniti rusuk-rusuk atap kedai ini. Sudahlah, biarlah kita berlaku seperti biasanya. Bukankah tempat ini merupakan tempat segala orang dengan segala tingkah lakunya?"
Sambi Wulung terdiam. Namun ketika kedua laki-laki muda itu berkelahi di luar kedai, maka raksasa pemilik kedai itu sama sekali tidak mengganggu mereka.
Perempuan yang agak gemuk itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bergumam, "persetan kalian."
Tanpa menghiraukan mereka yang baru datang itu lagi, maka perempuan gemuk itu telah melanjutkan makannya. Sesuap demi sesuap. Namun ternyata perempuan itu makan banyak sekali.
Sambi Wulung dan Jati Wulunglah yang agaknya juga tertarik sekali oleh kehadiran orang-orang itu. Ketika Jati Wulung bergeser, maka Sambi Wulungpun menahannya sambil berdesis, "Sudahlah."
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kenapa?"
Sambi Wulung menggeleng. Katanya, "Tidak apa-apa."
Kiai Windu termangu-mangu. Meskipun kedua orang itu belum lama dikenalnya, tetapi rasa-rasanya Kiai Windu telah menangkap watak keduanya yang keras dan garang. Kedua orang yang mengaku bernama Wanengbaya dan Wanengpati itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang tidak memperhatikan mereka lagi. Namun justru orang-orang itulah yang telah melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung, duduk di antara enam orang sambil makan dan minum.
Tiba-tiba saja kelakar merekapun terhenti. Mereka saling menggamit dan berbisik.
"Dua orang gila di ngGebayan itu," desis seorang di antara mereka.
"Aku sudah mengira bahwa kita akan bertemu lagi disini," sahut yang lain.
"Mereka justru berenam sekarang," berkata yang lain lagi.
Tidak ada yang menyahut. Tetapi merekapun merasa, bahwa mereka mempunyai lebih banyak kawan di tempat itu.
Namun mereka tidak lagi berkelakar, berteriak dan mengumpat kasar meskipun Sambi Wulung dan Jati Wulung nampaknya tidak menghiraukan mereka.
Untuk beberapa saat, ruangan itu telah menjadi hening. Namun keheningan itu segera dipecahkan lagi ketika seorang yang berwajah keras, bermata setajam mata burung hantu, bertubuh tinggi agak kekurusan, memasuki kedai itu. Dengan nada tinggi tiba-tiba saja ia berkata lantang, "He, Nyai. Kau ada disini."
"Kau," perempuan yang agak gemuk itupun berteriak.
Laki-laki yang bertubuh tinggi agak kekurusan itupun kemudian mendekatinya. Tetapi langkahnya terhenti, ketika tiba-tiba seorang perempuan yang lain, yang di siang harinya hampir saja bertempur dengan kawannya sendiri tiba-tiba saja telah berdiri dan berjalan mendekati laki-laki itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Kau datang juga?"
Laki-laki itu terkejut. Agaknya ia tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan perempuan itu di tempat perjudian dan sabung ayam itu.
"Kenapa kau disini?" bertanya laki-laki itu.
"Seperti kau juga berada disini," jawab perempuan itu.
Laki-laki yang bertubuh tinggi itu tergagap sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku sudah terbiasa berada di tempat ini."
"Jangan pura-pura tidak tahu," desis perempuan itu, "aku juga sudah sering berada disini. Meskipun barangkali tidak sesering kau."
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Silahkan. Kita akan bertemu di permainan dadu lusa. Atau barangkali kau juga ingin bertaruh di tempat sabung ayam?"
"Kau memang berpura-pura bodoh atau memang sudah pikun," berkata perempuan itu, "setiap aku disini, aku selalu berada di lapangan panahan."
"O, ya" laki-laki itu mengangguk-angguk.
"Kau masih berhutang kepadaku," berkata perempuan itu.
Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Akan aku bayar dengan cara yang kau kehendaki."
Tetapi laki-laki itu tidak sempat berbicara lebih panjang. Tiba-tiba saja perempuan yang agak gemuk itu telah mendekatinya. Sambil memegangi lengannya dengan kedua tangannya itu bertanya, "Kau akan makan?"
Laki-laki itu tergagap. Tetapi iapun menjawab, "Ya. Aku akan makan."
Digandengnya laki-laki itu dan disorongnya duduk di sebelah tempat duduknya di sebuah amben kecil. Katanya, "Disini sudah disediakan makan yang cukup. Bukankah kau senang makan pete rebus dengan sambal terasi yang sangat pedas?"
Laki-laki itu masih berpaling ke arah perempuan yang seorang lagi. Tetapi perempuan itu sudah melangkah kembali ke tempat kawan-kawannya duduk.
"Perempuan yang cantik," desis perempuan yang agak gemuk itu.
Laki-laki yang bertubuh tinggi itu tidak menjawab. Namun iapun kemudian memperhatikan makan yang tersedia di hadapan perempuan yang agak gemuk itu.
"Tinggal ini?" bertanya laki-laki.
"Bukankah ini pesananku?" bertanya perempuan itu, lalu, "aku akan memesan buatmu."
"Terima kasih," jawab laki-laki itu.
Perempuan itupun kemudian bangkit. Ia menuju kepada penjual di kedai itu untuk memesan beberapa macam makanan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang baru pertama kali memasuki daerah Song Lawa itupun semakin mengenal, apa yang ada di dalam lingkungan yang terasing itu. Namun keduanya berpaling ke arah Kiai Windu ketika orang itu bertanya, "Kau heran melihat kehidupan disini" Bagaimana dengan Gresik."
"Di Gresik semuanya lebih teratur. Tidak ada orang yang bertindak menurut keinginan sendiri," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Tetapi mereka segera tertarik pada pertengkaran yang terjadi di sudut lain. Dua orang laki-laki yang terhitung masih muda nampaknya telah berselisih. Semakin lama pertengkaran itu menjadi semakin kasar dan keras.
Orang-orang yang ada di kedai itu hanya berpaling saja memandangi mereka. Namun orang-orang itu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Mereka sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Laki-laki yang bertubuh tinggi dan perempuan yang agak gemuk itupun hanya berpaling saja. Keduanya segera tenggelam dalam kesibukan mereka sendiri. Keduanyapun melanjutkan makan dan bergurau sejadi-jadinya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Kiai Windupun berkata, "Tidak ada orang yang membuang-buang waktu untuk mengurusi orang lain."
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu, kedua orang yang bertengkar itu agaknya sudah tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka yang seorang di antara mereka mulai memukul lawannya bertengkar.
Perkelahianpun segera terjadi. Semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya ternyata memiliki ketrampilan yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka perkelahianpun menjadi seimbang.
Untunglah bahwa keduanya bergeser keluar kedai, sehingga tidak merusakkan suasana dan peralatan di dalam kedai itu, sementara pemilik kedai itu sudah melangkah mendekati keduanya seandainya keduanya merusakkan kedainya.
Ternyata pemilik kedai atau orang yang dikuasakan, yang baru keluar dari belakang dinding, adalah orang yang bertubuh raksasa, yang pantas membuka kedai di tempat yang garang seperti itu. Wajahnya menunjukkan kekerasan sikap dan hatinya.
"Itukah pemiliknya?" tiba-tiba Sambi Wulung berdesis.
"Ya," jawab Kiai Windu, "yang lain itu adalah orang-orang yang diupah. Tetapi jangan mengira bahwa mereka bukan orang-orang yang tidak mampu berkelahi."
Sambi Wulung terdiam. Namun ketika kedua laki-laki muda itu berkelahi di luar kedai, maka raksasa pemilik kedai itu sama sekali tidak mengganggu mereka.
Perkelahian itu berlangsung semakin sengit. Namun ternyata bahwa keduanya sama sekali tidak bersenjata. Meskipun demikian ketika serangan-serangan dari kedua belah pihak mulai mengenai tubuh mereka, maka merekapun mulai menyeringai menahan sakit.
Di bawah lampu minyak yang menggapai halaman kedai itu, keduanya nampak semakin garang dan keras. Namun beberapa saat kemudian seorang yang lain telah datang. Dengan serta-merta orang itu telah memasuki arena perkelahian. Namun ternyata bukan membantu salah seorang di antara mereka yang berkelahi. Tetapi ia justru menyerang kedua-duanya.
Kedua laki-laki muda itu ternyata berada di bawah pengaruh laki-laki yang datang kemudian. Ternyata merekapun telah berhenti berkelahi, ketika mereka menyadari kehadirannya.
"Setan," geram laki-laki yang baru datang itu, "kalian telah berkelahi lagi."
"Ia telah mulai lagi," sahut yang seorang. Tetapi yang lain segera memotong, "Bukan aku. Ia telah menggangguku."
"Aku rontokkan gigi kalian. Pergi," geram laki-laki yang datang kemudian.
Keduanya tidak membantah. Namun ketika keduanya mulai beranjak, terdengar suara raksasa pemilik kedai itu, "Bayar dahulu."
"O," kedua laki-laki yang berkelahi itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka menjawab, "Aku belum sempat makan."
"Tetapi kau sudah memesan, dan pesanan itu sudah dihidangkan. Jika kau tidak sempat makan itu salahmu sendiri," geram raksasa itu.
Laki-laki yang datang kemudian itupun berkata pula, "Bayar."
Kedua laki-laki muda itupun kemudian terpaksa mengeluarkan beberapa keping uang untuk membayar makanan yang belum sempat mereka makan.
Ketika ketiga laki-laki di halaman itu pergi, maka raksasa itupun tidak segera masuk kembali. Ia telah duduk pula di sebuah amben bambu di sudut kedai itu mengamati orang-orang yang di tengah malam masih juga berada di-dalam kedainya.
Ki Windu dan kawan-kawannya sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Hanya Sambi Wulung dan Jati Wulung sajalah yang sekali-sekali masih memandang raksasa itu. Bahkan kemudian Jati Wulung berkata, "Sehari orang itu tentu makan seekor kambing."
Tetapi tiba-tiba Kiai Windu berdesis, "Sst. Jangan memperolok-olok begitu. Ia bukan jenis orang yang suka bergurau. Jika ia marah, maka kita akan mendapatkan kesulitan."
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung.
"Kekuatannya melampaui kekuatan seekor kerbau." jawab Kiai Windu, "tidak ada seorangpun yang berani menantangnya. Jika ada, maka orang itu tentu akan menjadi bahan olok-olok, karena ia akan menjadi cacat atau bahkan mati."
"Mati?" Sambi Wulung menjadi heran. "Apakah ia berhak membunuh tanpa batasan?"
"Jangan lupa. Kita berada di Song Lawa," jawab Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Bahkan sambil menunjuk sebuah bangunan yang agak terpisah ia berkata, "Kau lihat rumah kecil itu?"
"Ya," jawab Sambi Wulung.
"Rumah itu khusus dibuat bagi mereka yang menjadi putus asa setelah mengalami kekalahan yang tidak terhitung lagi disini. Atau mungkin karena hal-hal lain. Mereka dapat membunuh diri disana dengan cara yang mereka sukai. Di dalam rumah kecil itu terdapat bermacam-macam senjata dan tali gantungan yang dapat dipergunakan setiap saat. Setiap pagi dan sore. dua orang petugas akan membersihkan tempat itu dan menguburkan mayat-mayat," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Memang luar biasa. Di tempat-tempat lain aku tidak pernah menjumpai hal seperti itu. Di sebelah Barat Pajang, di Gresik, di Bergota dan di tempat-tempat lain yang pernah aku datangi."
"Mungkin. Tetapi tempat-tempat itu tidak terletak di lereng Gunung Kukusan," sahut Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya tempat ini merupakan tempat yang paling wingit dari tempat-tempat yang pernah aku datangi."
"Kau pernah ke tempat judi di Bergota?" bertanya Kiai Windu.
"Ya. Kenapa?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku juga pernah datang ke tempat itu," jawab Kiai Windu.
"Tetapi kita belum pernah bertemu," berkata Sambi Wulung kemudian.
"Aku baru dua kali. Sudah lama aku tidak pernah datang lagi ke Bergota," berkata Kiai Windu pula.
Sambi Wulung tidak menyahut. Ia tertarik kepada orang baru yang memasuki warung itu. Namun ternyata orang itu tidak berbuat apa-apa selain duduk dan memesan makanan.
Beberapa saat Sambi Wulung, Jati Wulung serta Kiai Windu dengan kawan-kawannya masih duduk di kedai itu. Ketika malam menjadi semakin malam, maka mereka berenampun meninggalkan kedai itu dan kembali ke dalam bilik mereka.
Namun ternyata bahwa keadaan telah berubah. Beberapa orang lagi telah memasuki tempat itu, justru di tengah malam. Dengan demikian maka keadaanpun menjadi semakin riuh. Meskipun tengah malam telah lewat.
"Kita mendapat semakin banyak kawan disini," berkata Kiai Windu.
"Ya. Semakin dekat dengan hari-hari yang ditentukan, maka penghuni tempat ini akan menjadi semakin banyak," berkata Jati Wulung. Lalu, "Tetapi apakah barak-barak ini akan dapat menjadi penuh?"
"Lebih dari lima musim aku datang ke tempat ini," jawab kiai Windu, "barak-barak ini biasanya terisi hampir penuh."
"Keributan-keributanpun terjadi setiap hari?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Setiap hari. Di kalangan sabung ayamlah yang paling banyak terjadi. Kemudian di tempat bermain dadu. Yang paling sedikit terjadi keributan adalah di lapangan panahan di belakang. Meskipun demikian pernah terjadi beberapa kali perang tanding dengan panah karena mereka berselisih pendapat tentang taruhan mereka."
"Perang tanding sampai mati?" bertanya Jati Wulung.
"Ada yang mati dan ada yang tidak," jawab Kiai Windu.
Jati Wulungpun kemudian mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat kemudian merekapun telah berbaring di pembaringan. Tetapi Sambi Wulung tidak segera memejamkan matanya. Bahkan kemudian, ia telah bangkit dan duduk di sudut pembaringan di hadapan pintu yang tertutup rapat, bahkan diselarak.
Kiai Windu tidak menegurnya. Ia tahu, bahwa orang itu mendapat giliran untuk berjaga-jaga. Sambi Wulung tidak mau berjaga-jaga sambil berbaring, karena ia akan dapat terseret ke dalam mimpi tanpa disadarinya.
Namun seorang kawan Kiai Windupun telah bangkit pula dan duduk di sebelah Sambi Wulung.
"Kau tidak mengantuk?" bertanya orang itu.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun duduk bersandar dinding sambil berdesis, "Kenapa kau tidak tidur seperti kawan-kawanmu?"
"Sebagaimana kau yang juga tidak mau tidur," jawab orang itu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Di tempat seperti ini kita memang perlu berhati-hati."
Orang itu hanya mengangguk saja. Namun iapun kemudian juga beringsut mencari sandaran pada dinding.
Ternyata barak itu tidak pernah sepi semalam-malaman. Masih saja terdengar orang-orang berbicara. Kadang-kadang terdengar pula suara tertawa.
Menjelang pagi, Jati Wulungpun telah terbangun. Demikian pula seorang kawan Kiai Windu yang lain, sehingga yang berjaga-jagapun kemudian telah berganti.
Namun ternyata tidak terjadi sesuatu di malam itu. Sambi Wulung ternyata masih sempat tidur beberapa saat. Ketika matahari terbit, iapun telah terbangun.
Bergantian pula mereka telah pergi ke pakiwan. Meskipun matahari telah mulai terapung di langit, namun Song Lawa masih nampak lengang. Sebagian besar dari orang-orang yang berada di barak-barak itu ternyata masih tidur nyenyak. Biasanya mereka tidur mulai larut malam dan bangun ketika matahari sudah menjadi agak tinggi.
Seorang di antara kawan-kawan Kiai Windupun agaknya malas juga untuk bangun. Tetapi Kiai Windu membentaknya, "Kawanmu yang luka itupun sudah mandi dan membenahi diri. Jangan ikut-ikutan malas seperti orang lain."
Betapapun matanya masih berat, tetapi iapun telah bangun dan pergi juga ke pakiwan.
Tetapi karena beberapa tempat masih juga terpakai, maka iapun harus menunggu meskipun tidak terlalu lama.
Orang itu terkejut, ketika yang keluar dari salah satu bilik pakiwan itu adalah seorang perempuan. Sambil tersenyum perempuan itu bertanya, "Kenapa kau tidak masuk saja?"
"Semua terisi," jawab kawan Kiai Windu itu.
"Masuk ke bilik ini," berkata perempuan itu.
"Bukankah pakiwan ini baru saja kau pakai?" desis laki-laki itu sambil mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba saja wajah perempuan itu menjadi garang. Sambil menggeretakkan giginya ia berkata, "Kau akan mengintip saat aku mandi he?"
"Gila," sahut kawan Ki Windu itu. "Jika aku ingin kenapa tidak aku lakukan" Bahkan seperti yang kau katakan, memasuki bilik itu selagi kau ada di dalam?"
Mata perempuan itu bagaikan menyala. Katanya, "Jika sekali lagi terjadi seperti itu, aku ambil biji matamu."
"Mataku sangat berharga bagiku. Hampir sama dengan nyawaku," geram laki-laki itu.
Perempuan itu masih belum berpakaian lengkap itu tidak menjawab lagi. Tetapi dari matanya memang memancar kebencian.
Kawan Kiai Windu itupun tidak lagi melayaninya. Iapun segera masuk ke dalam bilik itu, sebelum ada orang lain yang mendahuluinya.
Meskipun ia sudah menyiram tubuhnya dengan air dingin, namun ia masih saja bergumam, "perempuan gila. Dikiranya aku apa, mengintipnya mandi. Apalagi ia sama sekali bukan perempuan yang cantik."
Namun kemudian ia harus mendengarkan seseorang yang di bilik yang lain telah berlagu tembang Dandanggula. Suaranya sama sekali tidak baik, bahkan nadanya sumbang. Susunan kalimatnya kisruh tanpa mengikuti paugeran tembang tentang guru lagu dan guru wilangan.
Tetapi orang-orang lain yang sedang mandi tidak mempedulikannya. Demikian juga kawan Kiai Windu itu. Bahkan iapun menjadi tergesa-gesa, sehingga asal saja tubuhnya menjadi basah.
Sejenak kemudian, keenam orang itupun telah selesai membenahi diri. Merekapun kemudian keluar dari dalam bilik mereka untuk melihat-lihat halaman Song Lawa yang luas itu.
Beberapa kalangan adu ayam sudah siap untuk dipergunakan keesokan harinya. Sementara itu, arena panahan pun telah dibenahi pula. Telah disediakan di arena panahan itu, sasaran yang cukup meskipun biasanya pesertanya tidak terlalu banyak. Tetapi di arena ini taruhannya biasanya lebih besar daripada di tempat lain.
Di halaman tempat perjudian itu Sambi Wulung dan Jati Wulung sempat memperhatikan orang-orang yang bertugas berjalan hilir-mudik. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keras. Raksasa-raksasa itu selain bertugas menyiapkan segala keperluan, juga merupakan kekuatan untuk menjaga agar tempat perjudian itu tidak dikacaukan oleh orang-orang yang datang. Namun mereka tidak banyak mencampuri persoalan yang timbul di antara mereka yang datang berkunjung ke tempat itu, bahkan seandainya persoalan itu sampai pada satu akibat kematian sekalipun. Mereka kadang-kadang memang berusaha untuk melerai pertengkaran. Tetapi tidak selalu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Ketika Kiai Windu memberitahukan hal itu kepada Sambi Wulung, maka Sambi Wulungpun berkata, "Satu kesalahan yang besar telah dilakukan oleh mereka yang berkuasa di Song Lawa."
"Kenapa?" bertanya Kiai Windu.
"Seharusnya mereka mempunyai kekuatan cukup untuk menertibkan tempat ini. Melerai setiap perselisihan dan mengatur setiap permainan," berkata Sambi Wulung.
"Itu hanya memperbanyak pekerjaan saja," jawab Kiai Windu.
"Tetapi orang-orang yang gila pada perjudian tetapi lemah, tidak akan takut datang kemari untuk ikut bermain dadu atau bertaruh pada sabung ayam," berkata Sambi Wulung, "dengan demikian maka pengunjung di tempat ini akan menjadi semakin ramai, sehingga pemasukanpun akan bertambah lagi."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "benar juga. Tetapi segala sesuatunya akan dapat terjadi di luar tempat ini. Misalnya, orang-orang yang dendam terhadap mereka yang menang tetapi lemah, akan dapat membalas dendam di perjalanan kembali ke tempat tinggal masing-masing."
"Tempat ini harus menyediakan pengantar sampai ke padukuhan-padukuhan yang melindunginya dengan paugeran," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Tetapi ia berdesis, "Mungkin hal seperti itu dapat dilakukan. Tetapi agaknya mempunyai banyak kesulitan. Meskipun demikian jika ada kesempatan dapat juga disampaikan kepada mereka yang bertugas disini."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menyadari bahwa cara itu akan sangat sulit ditrapkan di daerah lereng Gunung Kukusan yang sudah terbiasa dengan caranya yang lama. Yang sebenarnya dirasa mengganggu bagi para penghuni lereng Gunung Kukusan yang lain, sebagaimana orang-orang padukuhan ngGebayan yang selalu dibayangi oleh kecemasan.
Dalam pada itu, Kiai Windupun kemudian berkata kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "Kau tunggu kami di dalam. Kami akan keluar sebentar menengok kuda-kuda kami. Meskipun kuda-kuda itu sudah dirawat oleh orang-orang yang khusus ditugaskan, tanpa ditilik langsung, mungkin akan mengalami perlakuan yang kurang baik karena mereka merawat bukan milik mereka sendiri."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Bagaimana jika kami ikut keluar sebentar" Rasa-rasanya ingin juga melihat suasana di luar dinding yang membuat lingkungan ini bagaikan menjadi pengap."
"Jangan keluar," cegah Kiai Windu, "kau belum mempunyai tanda yang dapat kau pergunakan untuk masuk dan keluar. Jika yang bertugas di pintu gerbang itu orang lain yang lebih bebal dari yang terdahulu tanpa mau mendengarkan penjelasan, maka persoalannya akan sulit. Karena itu, lebih kalian berdua berada di dalam. Ingat, kalian akan diberi tanda itu jika kalian dianggap baik dan tidak berbahaya."
"Bukankah disini dapat berbuat apa saja?" bertanya Jati Wulung.
"Maksudnya tentu saja berbahaya bagi tempat ini. Bukan bagi para pengunjung yang lain," jawab Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk.
"Berhati-hatilah. Kami tidak akan lama. Jika kalian merasa sulit untuk mengekang diri melihat segala macam tingkah laku orang disini, masuk saja ke dalam bilik dan berbaring untuk menghilangkan kesal," berkata Kiai Windu kemudian.
"Baiklah. Kami akan menunggu," sahut Sambi Wulung.
Demikianlah maka Kiai Windu dan ketiga orang kawannyapun telah menuju ke pintu gerbang untuk menengok kuda-kuda mereka yang mereka tinggalkan. Agaknya kuda-kuda itu memang kuda-kuda yang mahal dan sudah barang tentu kuda yang baik.
Sepeninggal Kiai Windu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung masih melihat-lihat keadaan. Merekapun kemudian berjalan menuju ke arena panahan yang luas. Ketika dilihatnya beberapa orang yang nampaknya sedang memperhatikan jarak dari tempat memanah dan sasaran, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah melangkah menuju ke sudut lapangan yang luas itu. Keduanyapun kemudian duduk di bawah sebatang pohon rambutan yang kebetulan tidak sedang berbuah.
Sambil bersandar batang pohon rambutan itu Sambi Wulung sempat memperhatikan kesibukan yang semakin meningkat. Sedangkan Jati Wulung kemudian telah berbaring di atas rerumputan.
Sejuk juga rasanya udara di lereng Gunung Kukusan itu. Apalagi angin yang lemah bertiup dari arah ngarai.
Jati Wulung yang berbaring itu, tanpa disadarinya telah dirayapi oleh perasaan kantuk. Matanya perlahan-lahan telah terpejam.
Tetapi ia terkejut ketika Sambi Wulung telah menggamitnya ambil berdesis, "Lihat."
Jati Wulungpun tergagap. Dengan serta-merta ia telah bangkit dan memandang ke arah pandangan Sambi Wulung.
"Kau melihat apa?" bertanya Jati Wulung.
"Anak muda itu," desis Sambi Wulung.
Keduanyapun kemudian memperhatikan seorang anak muda yang berpakaian rapi dan baik dengan bahan yang cukup mahal. Dua orang yang agaknya pengawalnya berjalan di sampingnya sebelah menyebelah. Menilik sikap dan bentuk tubuhnya, maka kedua pengawal itu tentu bukan orang kebanyakan. Mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi.
"Apakah anak itu yang kita cari disini?" desis Sambi Wulung.
Jati Wulung tidak menjawab, tetapi ia terangguk-angguk kecil.
Namun Sambi Wulungpun kemudian berdesis, "Tetapi agaknya anak itu lebih tua dari Risang."
"Ujudnya memang demikian," sahut Jati Wulung. "Jika anak itu lebih tua dari Risang, tentu bukan anak itu yang kita cari."
Sambi Wulung mengangguk-angguk pula sambil berkata, "Wajahnyapun sama sekali tidak mirip dengan Risang. Bagaimanapun keduanya seayah, sehingga tentu ada kesamaan betapapun kecilnya."
"Ya," sahut Jati Wulung, "tetapi kita belum memperhatikan dengan baik. Kita baru melihatnya dari jarak yang agak jauh. Mungkin kita akan mendapat kesempatan untuk mendekati anak muda itu."
Sambi Wulung berkata. Namun anak muda itu telah melintas.
Namun untuk beberapa saat kemudian Sambi Wulung dan Jati Wulung masih berada di tempatnya. Tetapi merekapun tidak lagi memperhatikan orang yang mondar-mandir di lapangan yang akan dipergunakan untuk arena panahan itu. Bahkan Jati Wulung telah berbaring lagi sambil berkata, "Aku tiba-tiba menjadi malas disini. Aku mengantuk."
"Kau semalam kurang tidur," berkata Sambi Wulung, "lewat tengah malam kita masih berada di kedai Kemudian kau sempat tidur sebentar. Namun menjelang pagi, akulah yang tidur."
"Tidak. Sebenarnya jauh dari cukup. Tetapi rasa-rasanya memang udara segar disini. Agak dingin, namun tidak terlalu menggigit. Di hari yang cerah begini aku justru menjadi sangat mengantuk," sahut Sambi Wulung.
"Tidurlah," berkata Sambi Wulung, "aku akan duduk sambil menunggu Kiai Windu datang."
"Mereka agaknya akan langsung ke dalam bilik," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung tidak menyahut. Tetapi ia kembali duduk bersandar pada batang pohon rambutan yang cukup besar itu, sementara Jati Wulung berbaring sambil berbantal kedua telapak tangannya.
Menurut penglihatan Sambi Wulung memang semakin banyak orang yang berada di tempat yang disebut Song Lawa itu. Perempuanpun menjadi semakin banyak pula. Bahkan di antaranya perempuan-perempuan muda yang agaknya tidak untuk berjudi. Tetapi mereka adalah perempuan-perempuan yang lebih banyak bersolek untuk menggoncang hati-hati yang lemah dari laki-laki yang pada umumnya secara wadag terlalu kuat. Meskipun agaknya perempuan-perempuan muda seperti itu tidak memiliki kemampuan ilmu kanuragan, tetapi mereka berada di bawah perlindungan para petugas di Song Lawa, sehingga siapa yang berani mempermainkannya, maka mereka akan berhadapan dengan raksasa-raksasa yang banyak berkeliaran.
Tiba-tiba saja di luar sadarnya Sambi Wulung berkata, "Jauhi mereka agar kita tidak kehilangan jalur tugas kita."
Jati Wulung yang sudah terpejam matanya itu perlahan-lahan beringsut. Tanpa membuka matanya ia bertanya, "Apa yang harus dijauhi?"
"Perempuan-perempuan muda yang sengaja didatangkan kemari," jawab Sambi Wulung.
Namun justru tiba-tiba saja Jati Wulung bangkit. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Yang mana?"
"Awas," desis Sambi Wulung, "jika kau mempunyai persoalan dengan salah seorang dari mereka, maka kau akan dapat kehilangan semua kesempatan yang sudah kau kita peroleh selama ini."
"Bukankah aku tidak apa-apa?" bertanya Jati Wulung.
"Tetapi begitu kau mendengar tentang perempuan-perempuan muda, maka kau sudah kehilangan kantukmu," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Kau selalu curiga. Aku hanya ingin tahu saja."
Sambi Wulung tidak menjawab. Tetapi iapun telah mengangkat wajahnya kesatu arah.
Sebenarnyalah bahwa Jati Wulungpun melihat tiga orang perempuan muda yang lewat diiringi oleh dua orang raksasa petugas dari Song Lawa tersebut.
"Sama sekali tidak menarik," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung berpaling ke arah Jati Wulung yang kemudian duduk di sisinya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tidur sajalah."
"Nanti dulu. Aku memang tiba-tiba menjadi tidak mengantuk lagi," jawab Jati Wulung.
Sambi Wulung tertawa pula. Katanya, "Kau memang harus berhati-hati."
Jati Wulungpun tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Tetapi yang kemudian lewat bukan lagi perempuan-perempuan muda dengan rias yang berlebihan. Yang kemudian melintas di lapangan itu adalah Kiai Windu dengan tiga orang kawan-kawannya.
Ternyata bahwa Kiai Windu telah melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung yang duduk di bawah pohon rambutan itu. Karena itu, maka merekapun telah mendekatinya pula.
Sambil tersenyum Sambi Wulung berkata, "Kalian agaknya telah mengikuti perempuan-perempuan itu."
"Ah," sahut Kiai Windu, "aku kan sudah tua. Aku lebih senang bertaruh di arena sabung ayam daripada mempertaruhkan uangku untuk hal-hal seperti itu. Bahkan mungkin sebelum aku sempat bertaruh dadu, uangku sudah habis tuntas. Bahkan mungkin aku akan dapat menjual kudaku."
Sambi Wulung berpaling ke arah Jati Wulung sambil berkata, "Nah, kau dengar?"
"Bukankah aku tidak berbuat apa-apa?" jawab Jati Wulung.
Sambi Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya tertawa. Dengan nada rendah Kiai Windu berkata, "Mereka adalah pemeras-pemeras yang kasar disini. Namun ada juga orang yang merasa senang dengan pemerasan-pemerasan itu. Dengan bekerja sama para petugas Song Lawa, maka mereka dapat menguras seseorang sampai kering. Tetapi ada juga orang yang merasa dirinya tidak diperas."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hanya memandangi mereka dari jauh saja. Mudah-mudahan dengan demikian aku tidak akan diperas karenanya."
Kiai Windu tertawa semakin keras. Tetapi iapun kemudian berkata, "Sudahlah. Wanengpati akan menjadi marah nanti." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "kami sudah melihat ke dalam bilik sesudah menengok kuda-kuda kami. Karena kalian tidak ada, maka kami telah mencari kalian."
Namun tiba-tiba saja Jati Wulung yang dikenal dengan nama Wanengpati itu berkata, "He, kita belum makan. Kita akan pergi ke kedai."
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Sambil tersenyum ia bertanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau mengajak pergi ke kedai" Apakah kau terbiasa makan sepagi ini."
"Kau lihat matahari sudah melampaui ujung batang nyiur," jawab Jati Wulung.
"Maksudku, kau terbiasa makan pagi, siang dan malam?" Kiai Windu menjelaskan.
Sambi Wulung tertawa. Katanya, "Marilah. Kita melihat siapa saja yang sudah berada di kedai itu."
Yang lainpun tertawa. Jati Wulung sambil bangkit berkata, "Dugaan kalian tentu yang bukan-bukan. Tetapi seandainya benar, apa salahnya" Aku ulangi, aku hanya akan memandangi mereka dari jauh, sehingga tidak seorangpun akan dapat memeras aku."
Semuanya tertawa. Seorang di antara kawan Kiai Windu itu tertawa terlalu keras, sehingga beberapa orang di lapangan itu berpaling kepadanya. Bahkan seorang raksasa yang bertugas di lapangan itu memandangi mereka dengan sorot mata yang tajam.
Namun tiba-tiba raksasa itu melihat Kiai Windu, sehingga justru karena itu, ia telah tertawa sambil melangkah mendekat.
"Cerah sekali agaknya," desis orang itu.
"Kami menemukan kegembiraan disini," jawab Kiai Windu.
"Syukurlah," jawab raksasa yang ternyata telah mengenali Kiai Windu dan kawan-kawannya itu, "apa saja yang kalian bicarakan" Tetapi bukankah kalian tidak menertawakan aku?"
"Ah," sahut Kiai Windu, "kami menertawakan diri kami sendiri. Di rumah kami masing-masing kami tidak perlu makan di pagi hari sampai matahari melewati puncak. Tetapi disini tiba-tiba kami menjadi lapar meskipun hari masih terhitung pagi."
Raksasa itu tertawa pula. Lalu katanya, "pergilah ke kedai itu. Tentu masakannya masih berasap."
"Kami memang akan pergi ke kedai itu," jawab Kiai Windu.
Raksasa itupun kemudian meninggalkan mereka dan kembali mengawasi orang-orang yang menyiapkan lapangan panahan yang akan menjadi salah satu ara perjudian dengan taruhan yang sangat tinggi.
"Nampaknya ia bersikap wajar," berkata Sambi Wulung.
"Kenapa?" bertanya Kiai Windu.
"Aku membayangkan bahwa orang-orang yang bekerja disini tentu orang-orang kasar yang membentak-bentak dan sekali-sekali mengumpat dengan kata-kata kotor," sahut Sambi Wulung.
"Sebagian besar memang demikian," jawab Kiai Windu, "tetapi seperti yang kalian lihat, ada pula yang bersikap wajar."
Tetapi pembicaraan mereka terpotong ketika Jati Wulung berkata, "Kenapa kita masih saja berbicara disini."
Sambi Wulunglah yang menyahut, "Marilah. Orang tua yang satu ini memang aneh."
Merekapun kemudian telah meninggalkan lapangan itu untuk pergi ke kedai. Pada saat mereka mendekati kedai itu, Jati Wulung berdesis, "Mudah-mudahan anak muda itu masih berada di kedai itu."
"Apakah kau tahu bahwa ia berada di kedai?" bertanya Sambi Wulung.
"Jika ia berjalan ke arah ini, ia tentu akan pergi ke kedai atau ke pakiwan yang berada di sebelah kedai itu, meskipun ada pakiwan yang lain. Tetapi dengan pakaian yang sudah rapi dan bahkan bahannya barangkali cukup mahal, maka ia tentu akan pergi ke kedai itu," jawab Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak mengatakannya kepada Kiai Windu.
Ketika mereka memasuki kedai yang cukup luas itu, maka mereka tidak segera melihat, siapa saja yang sudah duduk lebih dahulu. Namun mereka berenampun telah menuju ke sebuah amben yang cukup besar di sudut kedai itu.
Setelah mereka duduk sambil menunggu pesanan mereka, barulah mereka sempat memperhatikan satu demi satu orang-orang yang berada di kedai itu.
Seorang kawan Kiai Windu tiba-tiba saja berdesis sambil tertawa, "Ternyata pelayan yang menghidangkan makanan di kedai ini bukannya yang semalam."
Tiba-tiba saja keenam orang itu serentak berpaling ke arah Jati Wulung. Kiai Windupun berkata sambil tersenyum, "Mereka baru datang hari ini. Karena itu maka Wanengpati telah menjadi kelaparan sepagi ini."
Kawan-kawannya tertawa. Sambi Wulungpun tertawa.
Jati Wulung sendiri tidak ikut juga tertawa. Tetapi perhatiannya ternyata lebih banyak tertuju kepada seorang anak muda yang memang dicarinya.
Tetapi untuk tidak menarik perhatian, maka Jati Wulung telah memberikan isyarat agar Sambi Wulung sajalah yang mempertanyakan anak muda itu.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian Sambi Wulung menggamit Kiai Windu yang duduk di sebelahnya. Tanpa berpaling ke arah anak muda itu Sambi Wulung bertanya, "Kau kenal anak muda itu."
"Anak muda yang mana?" bertanya Kiai Windu.
"Yang duduk di amben panjang di sebelah tiang itu." jawab Sambi Wulung tanpa berpaling pula.
Kiai Windupun tidak dengan serta-merta memandang ke arah yang dikatakan oleh Sambi Wulung. Namun akhirnya ia menemukan pula orang yang dimaksudkan.
Namun tiba-tiba saja wajah Kiai Windu menjadi tegang. Dengan nada rendah ia berkata, "Anak gila itu ternyata datang lagi. Aku mempunyai persoalan dengan anak itu."
"Persoalan apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Tiga rambahan ia tidak membayar taruhan yang disepakati. Dibayarnya aku dengan timang emasnya. Namun ternyata bahwa emas itu dipalsukan. Sayang bahwa aku mengetahui bahwa emas itu palsu setelah aku meninggalkan Song Lawa ini. Apalagi tanpa saksi," jawab Kiai Windu.
"Lalu?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku berhak mengambil bayaran itu. Aku bawa timang emas palsunya itu yang barangkali ia mau menukarnya dengan uang. Atau aku harus memaksanya," berkata Kiai Windu.
"Sudahlah," berkata Sambi Wulung, "dengan demikian akan timbul persoalan sebelum semua acara di Song Lawa ini dimulai."
"Aku merasa ditipunya," desis Kiai Windu.
"Tetapi ia membawa pengawal. Sedikitnya dua orang yang duduk di sebelah menyebelah," berkata Sambi Wulung.
"Mereka hanya bertiga. Kita sedikitnya berenam," berkata Kiai Windu.
Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu, Kiai Windu itupun tersenyum sambil berkata, "Tidak. Aku tidak akan menyeret kalian ke dalam persoalan seperti ini. Dan akupun tidak akan menuntutnya. Di musim perjudian yang lalu, aku menang cukup banyak, sehingga timang emas yang dipalsukan itu tidak berarti apa-apa. Namun jika terasa sakit di hati, justru karena aku merasa tertipu itulah."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada berat Jati Wulung berkata, "Sebaiknya kau tidak mempersoalkannya lagi, kecuali jika ternyata ke bilik di sebelah untuk membunuh diri, maka lebih baik kau tuntut emas palsu itu.. Jika kau terpaksa mati dalam perselisihan itu, maka kau tidak mati karena membunuh diri."
"Ah kau," desis Kiai Windu, "tetapi pendapatmu dapat dipikirkan kemungkinannya."
Jati Wulungpun tertawa. Namun ia bertanya, "Kau tahu nama anak muda itu?"
"Tahu," jawab Kiai Windu, "namanya bagus sekali, sebagaimana wajahnya yang tampan dan pakaiannya yang selalu rapi."
"Ya, siapa?" bertanya Jati Wulung tidak sabar.
"Wikrama," jawab Kiai Windu, "nah bukankah nama yang sangat menarik?"
"Memang nama yang menarik," jawab Sambi Wulung sambil mengangguk-angguk.
Namun Jati Wulungpun telah menarik nafas dalam-dalam pula. Sebenarnyalah ia merasa kecewa mendengar nama itu, karena nama itu bukannya nama dari seseorang yang dicarinya.
Karena itu, maka iapun berkata, "Sayang sekali."
"Apa yang sayang?" bertanya Kiai Windu.
"Anak semuda itu sudah berada di tempat seperti ini," jawab Jati Wulung, "apakah orang tuanya tidak mengawasinya" Menurut pengamatanku, meskipun ia sudah dewasa tetapi tentu belum dewasa penuh."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Kau akan melihat bahwa ada beberapa orang anak muda yang sering datang ke tempat ini. Bahkan ada yang lebih muda dari Wikrama."
"O," Sambi Wulunglah yang menyahut, "jika lebih muda dari anak muda itu, tentu ia belum dewasa."
"Ya. Memang belum dewasa," jawab Kiai Windu, "pengawal-pengawalnyalah yang sudah dewasa dan yang paling banyak mendapat kesenangan disini."
"Kau mengenal mereka?" bertanya Sambi Wulung.
"Tentu," jawab Kiai Windu, "seorang bernama Tanon. Seorang yang agaknya dilahirkan dalam keluarga yang kaya raya sebagaimana Wikrama itu. Ia lebih muda dari anak muda itu. Tetapi nampaknya ia tidak terlalu tertib sebagaimana Wikrama. Yang lebih muda sedikit adalah seorang anak yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ia tidak sekedar bergantung kepada pengawal-pengawalnya seperti Wikrama dan Tanon yang biasanya membawa bukan hanya dua orang pengawal. Tetapi empat atau bahkan lebih."
"Bukan main," desis Jati Wulung, "remaja yang memiliki ilmu yang tinggi?"
"Ya. Namanya Puguh," jawab Kiai Windu.
Jantung kedua orang itu berdesir. Baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung untuk sejenak justru terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun keduanya sempat menahan diri, sehingga perhatian mereka tidak menimbulkan kecurigaan. Bahkan kemudian Sambi Wulung itupun bertanya, "Apa yang mereka lakukan disini?"
"Ah. Kau aneh. Sudah barang tentu berjudi. Memberikan taruhan pada sabung ayam dan permainan dadu. Tetapi Puguh sendiri memiliki kemampuan memanah yang tinggi. Ia memiliki kemampuan bidik yang luar biasa sehingga ia jarang dikalahkan di arena ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi berdebar-debar. Mereka segera teringat kepada Risang. Apakah Risang memiliki kemampuan sebagaimana dimiliki oleh Puguh"
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung belum menyaksikan sendiri seberapa jauh kemampuan remaja yang bernama Puguh itu.
"Mudah-mudahan tugas kami berhasil disini," berkata keduanya di dalam hati.
Jika keduanya berhasil berhubungan dengan Puguh, maka yang mereka perlukan adalah tempat tinggal Puguh itu dan dengan demikian maka akan ada kesempatan untuk mengamatinya. Bahkan ibunya.
Namun keduanyapun yakin, bahwa Warsi telah menjadi seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi setelah kekalahannya beberapa tahun yang lalu dalam perang tanding melawan Iswari.
Bahkan untuk menjajagi keadaan anak itu lebih jauh, Jati Wulung bertanya, "Kiai Windu. Apakah kau dapat membayangkan, bagaimanakah kira-kira ujud dari orang tua mereka. Terutama anak-anak yang masih remaja dan berkeliaran di tempat seperti ini. Kita yang tua-tua inipun sebenarnya harus bertanya kepada diri-sendiri, apakah yang kita cari disini. Apalagi anak-anak yang masih sangat muda, bahkan remaja."
"Aku belum pernah melihat orang tua mereka," jawab Kiai Windu, "nampaknya mereka datang ke tempat ini tanpa pernah bersama dengan orang tua mereka. Dan apakah orang tua mereka mengerti atau tidak, itupun tidak aku ketahui." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "Maaf, aku bukan seorang yang mempunyai kepentingan dengan mereka."
"Ya," sahut Sambi Wulung, "kita memang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan mereka. Tetapi kadang-kadang kita lebih banyak memikirkan orang lain daripada memikirkan diri sendiri. Aku sendiri adalah penjudi yang tidak tanggung-tanggung. Tetapi aku selalu menyesali anak-anak muda yang berada di tempat perjudian. Biarlah kita yang tua-tua ini terlanjur rusak. Tetapi jangan terjadi pada anak-anak muda itu."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Masih ada juga pilihannya padamu. Ternyata kau masih sempat berpikir jauh. He, apakah anakmu sebesar itu?"
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Katanya, "Mana mungkin orang seperti aku sempat mempunyai anak. Tetapi aku bersyukur bahwa demikian yang terjadi, sehingga aku tidak harus menjadi korban karena perasaan kecewa terhadap anak-anakku, bila mereka berada di tempat-tempat seperti ini."
Kiai Windu tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi nampaknya ia justru berpikir. Bahkan kemudian kepalanya menunduk dalam-dalam. Suaranya menjadi berat, "Ki Sanak. Agaknya memang lebih baik tidak mempunyai seorang anakpun daripada mengalami kesulitan yang parah dengan anak-anak kita yang pernah dilahirkan. Aku mempunyai empat orang anak. Tiga di antaranya laki-laki. Semuanya sudah tidak ada lagi. Anakku tinggal seorang perempuan saja. Untunglah aku sudah mempunyai dua orang cucu."
"O," Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun di luar sadarnya Jati Wulung bertanya, "Kenapa dengan mereka?"
"Mereka semua terbunuh dalam perselisihan keluarga yang parah," jawab Kiai Windu, "ketika seorang di antara anakku laki-laki diminta untuk mengawini anak sepupuku, ternyata anakku itu menolak, bagaimanapun aku membujuknya. Penolakan itu dianggapnya satu penghinaan, sehingga akhirnya terjadilah perselisihan itu. Dalam satu benturan kekerasan yang terjadi, yang menurut sepupuku itu untuk menebus malu, maka semua, ketiga anak laki-lakiku terbunuh. Bahkan isteriku pun terbunuh pula, meskipun ia sama sekali tidak melibatkan diri dalam perselisihan itu. Untunglah anak perempuanku sempat melarikan diri dan terlepas dari tangan sepupuku. Sehingga dengan terpaksa sekali, aku harus mengakhiri hidupnya. Semula ada niatku untuk membunuh juga anak perempuannya. Tetapi ternyata aku tidak sampai hati melakukannya. Jika semula aku menganggap bahwa anak perempuan itulah yang menjadi sumber malapetaka. Namun ternyata anak itupun tidak tahu menahu atas langkah-langkah yang diambil oleh ayahnya. Sementara itu kematian ayahnya sudah merupakan hukuman yang berat baginya, karena ibunya telah meninggal pula pada saat ia masih kanak-kanak."
"O, maaf Kiai," desis Jati Wulung, "bukan maksudku untuk mengungkapkan kesedihan di hati Kiai."
"Tidak. Kesedihan itu sudah terkubur bersama ketiga orang anak laki-lakiku. Mereka tidak mati sia-sia. Mereka telah mempertahankan martabat keluarganya. Tiga orang anak laki-lakiku mati bersama lebih dari lima orang lawan mereka." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "sekarang harapanku ada pada cucu-cucuku. Kedua cucuku itu adalah laki-laki."
Yang mendengarkan keterangan Kiai Windu itu mengangguk-angguk. Sementara ia masih berkata, "Ketiga orang kawanku ini hanya seorang saja yang tahu pasti apa yang terjadi saat itu. Ia bersamaku sejak anak-anakku lahir. Yang dua orang di antara mereka bagiku termasuk orang-orang baru meskipun aku tidak meragukan kesetiaannya."
"Tetapi bukankah Kiai tidak akan membiarkan cucu-cucu Kiai itu datang ke tempat seperti ini sebagaimana dilakukan oleh kakeknya?" bertanya Sambi Wulung.
Kiai Windu mengangkat wajahnya. Ia justru tertawa. Namun katanya, "Jangan menunggu pesanan kita menjadi dingin."
Keenam orang itupun kemudian telah makan bersama-sama. Rasanya memang nikmat sekali, sehingga perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada makanan mereka semata-mata.
Mereka sama sekali tidak memperhatikan ketika dua orang datang mendekati mereka. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah menepuk bahu salah seorang kawan Kiai Windu.
Ketika orang itu berpaling, maka yang menepuk bahunya itupun telah melontarkan sekeping logam ke dalam mangkuk nasi kawan Kiai Windu itu.
Wajah kawan Kiai Windu itu menjadi merah. Dengan serta-merta ia bangkit sambil memandangi orang itu berganti-ganti dengan logam yang ada di dalam mangkuknya.
Orang yang memasukkan logam itu tertawa. Katanya, "Kau kenal ciri itu?"
Kawan Kiai Windu itu menjadi semakin tegang. Dengan nada berat ia berkata, "Kau orang Macan Ireng?"
"Kau masih mengenalinya he?" jawab orang itu, "nah, kita ternyata bertemu disini."
"Ya," jawab kawan Kiai Windu, "aku sudah terbiasa disini. Agaknya kau baru sekarang datang ke tempat ini. Siapa yang menanggungmu he" Atau kau sengaja ingin membuat persoalan lagi dengan aku sehingga kau memasuki tempat ini?"
"Kebetulan aku melihatmu disini. Aku hanya sekedar ingin mengingatkan, bahwa persoalan kita masih belum selesai," berkata orang itu.
"Tetapi caramu bagiku adalah satu tantangan," berkata kawan Kiai Windu, "kau masukkan benda itu di dalam mangkukku."
"Aku menunggu sampai kau selesai makan," jawab orang itu, "tetapi jika kau benar-benar tersinggung, apaboleh buat."
"Bagus," jawab kawan Kiai Windu, "aku benar-benar tersinggung dengan caramu. Mari, kita pergi ke lapangan panahan. Kita akan mendapat tempat yang luas untuk berbuat apa saja."
Tetapi Kiai Windu kemudian berdesis, "Buat apa kita meributkannya sekarang. Kita mempunyai banyak waktu. Bukankah kita masih duduk-duduk disini menikmati makanan kita."
"Tetapi tantangan ini tidak dapat aku biarkan," jawab kawan Kiai Windu.
"Aku setuju. Tetapi kenapa sekarang?" bertanya Kiai Windu.
"Mangkukku sudah dikotorinya," jawab kawannya itu.
"Kita minta mangkuk yang lain," jawab Kiai Windu, "jika kita sudah selesai disini, maka terserah kepadamu. Nampaknya orang baru itu memang belum terlalu banyak mengenal tempat ini."
"Persetan dengan tempat ini," jawab orang yang menyebut dirinya dari kelompok Macan Ireng itu. "aku tidak perlu mengenalnya lebih dahulu."
"Jangan hiraukan," berkata Kiai Windu, "duduk dan kita teruskan makan."
Sebelum kawannya menjawab, Kiai Windu telah memberikan isyarat kepada seorang pelayan untuk minta sebuah mangkuk yang bersih.
Kawan Kiai Windupun telah duduk kembali. Ketika ia sempat memandang berkeliling, ternyata beberapa orang yang ada di dalam kedai itu memandanginya.
Karena itu, maka katanya, "Jika kau ingin membuat perhitungan, nanti kita bertemu. Kawanku tidak mau merusakkan kedai ini, karena untuk menggantinya, harganya terlalu mahal. Hampir lipat sepuluh dari harga yang seharusnya."
"Bagus," jawab orang itu, "persoalan kita cukup berharga untuk dinilai dengan ilmu kita."
Kawan Kiai Windu itu tidak menghiraukannya lagi. Ia duduk kembali ketika ia mendapat sebuah mangkuk yang bersih.
Kedua orang itupun kemudian telah melangkah pergi pula. Seorang masih sempat menepuk pundaknya sambil berkata, "Mudah-mudahan kau menepati janjimu."
Kawan Kiai Windu tidak menjawab. Ia sudah menyuapi mulutnya kembali. Sebenarnyalah bahwa ia memang belum selesai makan.
Ketika kedua orang itu sudah keluar dari kedai itu, maka Kiai Windupun berkata, "berikan pertanda itu."
Kawannya mengambil logam dari mangkuknya, mencucinya dengan air bersih yang disediakan untuk mencuci tangan dan memberikannya kepada Kiai Windu.
"Macan Ireng," desis Kiai Windu, "kau mempunyai persoalan apa dengan orang-orang Macan Ireng, he?"
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku pernah melukai seseorang yang ternyata orang Macan Ireng."
"Kenapa kau lukai orang itu?" bertanya Kiai Windu. Lalu, "kapan itu kau lakukan sehingga aku tidak mengetahuinya?"
"Aku sedang dalam perjalanan menengok keluargaku di padukuhan Sempon, dekat Kudus. Aku masih mempunyai seorang paman disana dan anakku ada disana pula," jawab kawan Kiai Windu.
"Ya. Aku tahu bahwa kau pergi ke Kudus lebih dari sebulan yang lalu," berkata Kiai Windu.
"Aku bertemu dengan seseorang yang semula aku tidak tahu, bahwa orang itu adalah orang dari gerombolan Macan Ireng," jawab kawan Kiai Windu, "orang itu berusaha untuk mengambil seorang anak kecil. Mungkin ia memang berniat jahat. Aku kira termasuk usaha pemerasan dengan menuntut tebusan bagi anak kecil itu."
"Anak itu anakmu?" bertanya Kiai Windu.
"Bukan. Anak itu adalah anak pamanku itu," jawab kawan Kiai Windu.
"Kenapa tiba-tiba saja orang Macan Ireng berusaha mengambil anak pamanmu?" bertanya Kiai Windu.
"Pamanku termasuk orang berada di Sempon. Selebihnya, ada semacam perselisihan terjadi di padukuhan Sempon antara keluarga pamanku itu dengan keluarga seorang bebahu yang berpengaruh. Agaknya orang Macan Ireng itu termasuk seorang yang telah diperalat oleh bebahu itu dan sekaligus untuk melakukan pemerasan." jawab kawannya.
"Bagaimana sepeninggalmu" Apakah pamanmu tidak menjadi sasaran yang lunak bagi lawannya?" bertanya Sambi Wulung.
"Paman adalah orang kaya. Ia telah membayar tiga orang untuk melindunginya," jawab kawan Kiai Windu itu.
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Katanya, "Hanya tiga orang untuk menghadapi gerombolan Macan Ireng" He, apakah gerombolan Macan Ireng hanya terdiri dari dua orang itu saja?"
"Tentu tidak," jawab kawan Kiai Windu itu, "tetapi yang tiga orang itu juga anggota dari sebuah gerombolan yang akan dapat menyaingi gerombolan Macan Ireng. Jika Macan Ireng mengganggu salah seorang dari ketiga orang itu, maka akibatnya adalah benturan antara gerombolan. Agaknya untuk sementara Macan Ireng masih merasa segan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun kini orang Macan Ireng itu justru bertemu dengan kawan Kiai Windu di Song Lawa.
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah selesai. Setelah membayar makanan yang mereka makan, merekapun telah meninggalkan kedai itu.
"Kau lagi yang membayar," berkata Sambi Wulung, "nanti akulah yang membayar."
"Kau hanya berdua. Kami berempat," berkata Kiai Windu.
"Tetapi adalah kewajiban kami untuk membayarnya," sahut Jati Wulung.
"Baiklah," jawab Kiai Windu, "tetapi jika kami yang membayar itupun bukan aku. Tetapi kami bergantian empat orang."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tertawa. Tetapi mereka tidak berbicara lagi.
Namun dalam pada itu Sambi Wulung dan Jati Wulung memang harus berhati-hati. Di ngGebayan mereka telah membunuh seorang yang menurut pendapat Sambi Wulung dan Jati Wulung sangat deksura. Bagaimanapun juga keduanya tidak mau dihina. Sementara kawan-kawan dari orang yang terbunuh itu sudah ada di Song Lawa itu pula. Meskipun nampaknya mereka tidak secara serta-merta mendendamnya, tetapi kemungkinan buruk memang dapat terjadi.
Ternyata bahwa kawan Kiai Windu itu tidak melupakan janjinya. Karena itu, maka katanya, "Aku akan menemui orang-orang Macan Ireng itu. Bukankah kami berjanji untuk bertemu di lapangan."
"Satu tontonan yang tentu akan menarik. Tempat ini sudah terlalu ramai untuk berkelahi sekarang," berkata Kiai Windu.
"Tetapi aku tidak akan ingkar janji," jawab kawannya.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah. Tetapi sebaiknya kalian berkelahi tanpa senjata."
"Aku tidak dapat memilih. Terserah orang Macan Ireng itu," jawab kawan Kiai Windu.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada orang-orang Macan Ireng itu.
Sejenak kemudian maka merekapun telah berada di lapangan. Mereka berdiri agak menepi, karena ternyata beberapa orang masih sibuk mempersiapkan lapangan itu untuk dipergunakan pertandingan memanah yang diperjudikan.
Beberapa saat mereka menunggu. Namun ternyata sejenak kemudian mereka melihat sekelompok orang berjalan menuju ke arah mereka.
Kiai Windu terkejut. Katanya, "Apakah mereka semua orang-orang Macan Ireng?"
"Entahlah," jawab kawannya, "beberapa orang di antara mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa berada di Song Lawa."
Kiai Windu menggeram. Katanya, "persetan. Aku memang mengenal mereka yang sudah sering datang ke tempat ini. Mereka tidak pernah menyebut dirinya orang-orang Macan Ireng. Tetapi dua di antara mereka adalah orang-orang Kalamerta."
"Kalamerta," hampir di luar sadarnya Sambi Wulung berdesis.
"Ya. Bekas gerombolan Kalamerta yang semula sudah bercerai berai, namun yang berhasil dihimpun pula oleh pewarisnya," jawab Kiai Windu.
"Aku sudah mendengar tentang hancurnya gerombolan Kalamerta sepeninggal pemimpinnya," desis Jati Wulung.
"Pemimpinnya telah dibunuh oleh pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang pernah mempunyai persoalan dengan Kalamerta jauh sebelumnya. Bukan dengan gerombolannya. Tetapi persoalan pribadi yang diselesaikan dengan perang tanding. Tetapi Kalamerta terbunuh dan Ki Gede Sembojan yang juga hampir mati sampyuh itu dapat disembuhkan oleh seorang ahli pengobatan yang berilmu tinggi. Namun ia tetap cacat," berkata Kiai Windu.
"Apakah pemimpin Tanah Perdikan itu juga sering datang kemari untuk berjudi?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak. Pemimpin Tanah Perdikan itu sudah mati," jawab Kiai Windu.
"Lalu, apa hubungannya dengan orang-orang itu?" bertanya Sambi Wulung pula.
"Tidak ada," jawab Kiai Windu, "tetapi dua orang Kalamerta itu merupakan dua orang di antara mereka yang sering mengawal anak muda yang aku katakan. Masih terlalu muda."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Remaja?" desak Jati Wulung.
"Begitulah. Remaja yang bernama Puguh itu. Menilik kedua orang itu serta kawan-kawannya yang lain, maka agaknya Puguh itupun telah berada disini pula," berkata Kiai Windu kemudian.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk.
Tetapi mereka tidak boleh terlalu menunjukkan perhatian mereka terhadap laki-laki remaja yang bernama Puguh itu.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang datang bersama dengan orang dari gerombolan Macan Ireng itu sudah menjadi semakin dekat. Orang yang telah memasukkan ciri gerombolannya ke dalam mangkuk kawan Kiai Windu itu berjalan di paling depan. Sambil tersenyum iapun kemudian berhenti beberapa langkah di hadapan kawan Kiai Windu yang memang menyongsongnya.
"Ternyata kau jantan," berkata orang dari gerombolan Macan Ireng itu.
"Aku tidak pernah ingkar janji," jawab kawan Kiai Windu, "apalagi dalam persoalan seperti ini."
"Bagus," jawab gerombolan Macan Ireng itu, "tetapi sayang. Keadaan di dalam lingkungan ini tidak terlalu baik untuk melakukan perang tanding. Aku ingin melakukannya di luar."
Kawan Kiai Windu termangu-mangu. Ia merasa bahwa ia tidak memiliki keterangan yang dapat dianggap lengkap untuk memasuki arena, sehingga ia meragukan kejujuran orang Macan Ireng itu. Jika ia memenuhi permintaannya dan ternyata ia terjun ke dalam satu jebakan, maka ia akan mengalami kesulitan, sementara itu ia memang menduga bahwa orang-orang Macan Ireng adalah orang-orang yang licik. Langkah-langkah yang diambil oleh gerombolan itu atas pamannya memang menimbulkan kesan bahwa gerombolan itu bukankah terdiri dari orang-orang yang jujur.
Karena kawan Kiai Windu itu tidak segera menjawab, maka orang dari gerombolan Macan Ireng itu mendesak, "He, apa katamu?"
Tetapi kawan Kiai Windu itu menggeleng. Katanya, "Kenapa kita harus keluar dari Song Lawa" Disini kita mempunyai kesempatan yang luas. Jika kau ingin kita lakukan di tempat yang tersembunyi, kita dapat mencarinya di dalam lingkungan Song Lawa. Tidak di luarnya."
"Kau takut?" bertanya orang Macan Ireng itu.
"Ya," jawab kawan Kiai Windu, "aku takut kau menjadi licik dan berusaha menjebakku. Menurut penglihatanku, kau memang sangat licik. Bukankah yang pernah kau lakukan, atau katakanlah orang-orang dari gerombolanmu mencerminkan kelicikanmu itu?"
Orang macan Ireng itu menjadi tegang. Dengan geram ia berkata, "Kau menghina kami. Dendamku menjadi semakin dalam. Sementara itu kau bersikap seperti seorang pengecut."
"Aku memang pengecut di hadapan orang yang licik. Nah, aku tantang kau berkelahi di dalam lingkungan Song Lawa. Tidak akan ada orang yang mengganggu. Jika ada orang yang menonton biarlah mereka menjadi saksi," berkata kawan Kiai Windu, "justru di hadapan saksi-saksi itu kita dapat menilai, siapakah yang menang dengan sikap jujur."
Suasana memang menjadi tegang. Ketika beberapa orang bergeser, maka Kiai Windu dan kawan-kawannya yang lainpun bergeser pula. Nampaknya Kiai Windu dan kawan-kawannya itu telah menganggap diri mereka satu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu. Apakah mereka juga akan melibatkan diri"
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara seorang remaja melengking, memanggil nama seseorang.
Beberapa orang telah berpaling. Tetapi seorang di antara mereka yang mengikuti orang dari gerombolan Macan Ireng itu bergegas mendekatinya.
"Kau memanggil aku?" bertanya orang itu.
"Apa yang kau lakukan disini?" bertanya remaja itu.
"Aku melihat kawanku yang terlibat dalam perselisihan dengan orang-orang itu," jawab orang yang dipanggilnya.
"Kau atau kawanmu?" bertanya remaja itu.
"Kawanku," jawab yang dipanggil.
"Dan kau akan melibatkan diri" Disini urusan seseorang adalah urusannya sendiri. Bukan urusan orang lain," berkata remaja itu.
"Tetapi ia kawanku," orang yang dipanggil itu berusaha menjelaskan.
"Persetan," remaja itu membentak, "kau datang ke tempat ini bersamaku. Kau hanya berurusan dengan aku. Tidak dengan orang lain meskipun itu kawanmu. Ikut aku bersama semua orang-orangku."
Orang yang dipanggil itu tidak membantah. Ketika remaja itu kemudian pergi, maka orang itupun telah memberikan isyarat, agar beberapa orang kawannyapun pergi juga mengikuti remaja itu.
Yang dipanggil hanyalah empat orang. Sejenak orang Macan Ireng itu termangu-mangu. Namun iapun mengumpat, "Anak bengal itu telah mengganggu rencanaku menyelesaikan persoalan ini dengan tikus gila itu."
"Bukankah kau merencanakan satu kecurangan?" bertanya kawan Kiai Windu.
"Baiklah," berkata orang Macan Ireng itu, "pada satu hari, akan datang kesempatanku untuk membalas dendam."
Kawan Kiai Windu tidak menjawab. Sementara itu, maka orang Macan Ireng itupun telah beranjak.
Tetapi langkahnya terhenti ketika kawan Kiai Windu berkata, "Kau lihat, bahwa orang-orang yang bekerja di lapangan itu sama sekali tidak menghiraukan kita, meskipun seandainya kita saling membunuh disini" Mereka hanya akan menguburkan mayat, siapakah di antara kita yang mati. Tetapi mereka akan minta upah kepada yang menang, karena mereka harus menguburkan mayat itu."
"Persetan dengan mereka," geram orang Macan Ireng itu sambil melangkah pergi.
Beberapa langkah sepeninggal orang-orang Macan Ireng, maka Kiai Windu berdesis, "Mereka memang akan berbuat licik. Untung kau sempat berpikir."
"Mereka memang akan menjebakmu tanpa malu-malu," sahut Jati Wulung.
Namun tiba-tiba saja Kiai Windu berkata, "Anak itulah yang bernama Puguh."
"He?" Sambi Wulung dan Jati Wulung memang agak terkejut.
"Kenapa?" bertanya Kiai Windu, "apakah kau menaruh perhatian khusus terhadap Puguh?"
"Sama sekali tidak. Tetapi aku memang menaruh perhatian terhadap semua remaja yang ada di tempat ini. Bahkan mereka yang baru saja memasuki usia dewasanya. Kita yang tua-tua ini sebentar lagi sudah akan memasuki lubang kubur. Kematian kita tidak akan ada yang menangisinya. Apalagi jika kita mati dibidik yang memang disediakan untuk membunuh diri itu. Tetapi anak-anak muda apalagi yang sedang menginjak usia dewasa dan mereka yang masih remaja, maka hari depan mereka masih panjang. Sementara itu disini mereka mendapat kesempatan untuk berjudi, berkelahi, membunuh dan tidak kalah berbahayanya adalah perempuan-perempuan di kedai itu," sahut Sambi Wulung.
"Kau memang aneh," berkata Kiai Windu, "aku kira tidak ada tiga atau empat orang di lingkungan ini yang mempunyai sikap seperti sikapmu itu. Bahkan orang tua anak-anak muda dan remaja itupun aku kira tidak mempunyai pikiran sejauh itu."
"Tentu banyak yang lain," berkata Sambi Wulung, "terucapkan atau tidak."
"Aku semula juga tidak berpikir seperti itu. Tetapi kini aku mulai memikirkannya," berkata Kiai Windu.
"Bagaimana jika kita usulkan, bahwa batas umur perlu ditentukan di Song Lawa yang gila ini," berkata Jati Wulung.
"Mereka tidak akan sependapat," jawab Kiai Windu.
"Mereka siapa?" bertanya Jati Wulung.
"Mereka yang mendirikan tempat maksiat ini. Mereka tidak akan mempedulikan akibat apapun yang akan terjadi atas mereka yang memasuki tempat ini. Tetapi seperti yang kau ketahui, mereka yang datang akan memasukkan uang. Di setiap tempat perjudian akan dipasang tarip bagi mereka yang memasukinya. Berjudi atau tidak berjudi," berkata Kiai Windu, "dan itu adalah penghasilan tempat ini. Selain itu, kedai itupun memberikan penghasilan yang besar, karena harga makan dan minum di kedai ini lebih mahal dari harga dimanapun juga. Sementara itu, perempuan-perempuan yang kemudian akan memeras itupun memberikan penghasilan yang baik bagi Song Lawa."
Sambi Wulungpun mengangguk-angguk. Sementara itu orang Macan Ireng itupun sudah tidak nampak lagi. Mereka telah hilang di antara beberapa barak penginapan di Song Lawa itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu tempat ini?" tiba-tiba saja Kiai Windu bertanya, "menarik atau justru sebaliknya."
"Bagiku sangat menarik. Lebih-lebih lagi anak-anak muda dan remaja itu. Aku ingin berkenalan dengan mereka," berkata Sambi Wulung.
"Kita masih mempunyai banyak waktu," berkata Kiai Windu, "kau tentu akan mendapat kesempatan itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Ya. Kita masih mempunyai banyak waktu."
Sehari itu Sambi Wulung dan Jati Wulung bersama Kiai Windu dan kawan-kawannya melihat persiapan yang sudah sampai pada tataran terakhir. Beberapa kalangan sabung ayampun telah siap. Di dalam sebuah barak panjang, akan menjadi arena bermain dadu. Permainan yang tidak kalah riuhnya dari permainan sabung ayam. Di lapangan yang luas, telah siap pula tempat untuk menyelenggarakan panahan yang diperjudikan.
Persiapan di hari itu diselingi beberapa kekerasan yang telah terjadi di Song Lawa. Bahkan satu jiwa telah melayang dalam benturan kekerasan itu.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung berusaha menjaga diri mereka agar mereka tidak terlibat dalam benturan-benturan kekerasan. Mereka mempunyai sasaran tugas yang jauh lebih besar dari sekedar menunjukkan kemampuan mereka. Keduanya mempunyai tugas untuk dapat berhubungan dengan anak muda yang bernama Puguh.
Sebenarnya Sambi Wulung dan Jati Wulung merasa tidak sesuai berada di tempat seperti itu. Kadang-kadang hatinya memang digelitik untuk mencampuri persoalan orang lain yang dianggapnya kurang adil. Namun keduanya harus menahan diri agar keduanya tidak terlibat ke dalam persoalan yang justru akan dapat menggagalkan sasaran utama mereka.
Menurut pengamatan Sambi Wulung dan Jati Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya ternyata tidak sekasar yang ia duga. Mereka memang sering mengumpat dengan kata-kata kotor. Tetapi mereka menanggapi persoalan-persoalan yang berkembang dengan sikap yang mengendap.
"Mungkin karena mereka sudah terbiasa berada disini," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya.
Ketika mereka makan siang, maka rasa-rasanya kedai itupun menjadi semakin sesak. Mereka duduk berhimpitan. Mereka tidak dapat duduk mengelilingi makanan dan minuman mereka, karena mereka harus memberikan tempat kepada orang-orang lain. Bahkan ada di antara orang-orang yang makan itu justru duduk-duduk di luar kedai, di bawah rindangnya dedaunan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah melihat beberapa kelompok orang yang mempersiapkan beberapa perangkat gamelan di sudut-sudut lingkungan perjudian Song Lawa itu.
"Untuk apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Di setiap sudut akan ada janggrung malam nanti," jawab Kiai Windu.
"Lengkaplah kemaksiatan di tempat ini," desis Jati Wulung.
"Apakah hal seperti ini tidak kau bayangkan sebelumnya?" bertanya Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu. Namun kemudian Sambi Wulung berkata, "Di tempat-tempat lain tidak diperlengkapi dengan kemaksiatan yang begini kasar. He, jika kau memang pernah pergi ke tempat perjudian di Gresik, kau tentu dapat mengatakan bahwa tempat ini terlalu kasar dan kotor."
"Kau sudah memasuki tempat yang bukan sewajarnya," berkata Kiai Windu. "Jangan menyesal jika kau melihat sesuatu yang kasar, kotor, jorok dan tidak sewajarnya pula."
"Aku mengerti," berkata Sambi Wulung. Namun tiba-tiba Kiai Windu berkata, "Kau menjadi orang aneh disini."
"Justru baru pertama kali aku datang ke tempat ini," jawab Sambi Wulung.
Sebenarnyalah, ketika malam turun, maka di sudut-sudut lingkungan perjudian itu telah siap beberapa lingkaran janggrung. Ketika oncor telah terpasang, maka suara gamelanpun mulai terdengar. Agak riuh, dengan irama yang panas.
Hampir semua orang yang ada di tempat itu telah keluar dari barak-barak mereka. Melihat-lihat lingkungan yang menjadi lebih terang dari biasanya. Apalagi di sudut-sudut lingkungan itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih berada di biliknya bersama Kiai Windu dan ketiga orang kawan-kawannya ketika gamelan sudah terdengar. Seorang kawan Kiai Windu berkata, "He, apakah kita tidak akan melihat janggrung?"
Kiai Windu memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung yang malas. Namun iapun bertanya, "Bagaimana dengan kalian?"
"Aku malas, Kiai," jawab Sambi Wulung.
"Seharusnya kau tidak boleh malas," berkata Kiai Windu, "bukankah kau berniat mengenal anak-anak muda dan yang remaja itu?"
"Ya," jawab Sambi Wulung.
"Nah, marilah kita pergi," ajak Kiai Windu.
Sambi Wulung memandang Jati Wulung yang duduk bersandar dinding justru sambil memejamkan matanya. Namun ketika Sambi Wulung bertanya kepadanya, maka iapun telah membuka matanya, "Apakah kita akan pergi?"
Sejenak ia berpikir. Sementara seorang kawan Kiai Windu berkata, "Tledeknya masih baru."
"Dari mana kau tahu?" bertanya Kiai Windu.
"Hanya kira-kira," jawab kawannya, "bukankah Wanengpati lebih senang tledek yang baru sebagaimana yang berada di kedai siang dan sore ini?"
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bergumam, "Baiklah. Kita melihat janggrung."
Demikianlah mereka berenam telah keluar pula dari bilik mereka. Sementara itu bilik-bilik yang lainpun agaknya telah kosong pula. Ternyata bahwa janggrung itu memang sangat menarik. Bukan saja bagi pengunjung laki-laki yang datang ke Song Lawa, tetapi juga perempuan-perempuan yang telah ada di dalam lingkungan tempat perjudian itu pula.
Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung bersama Kiai Windu dan kawan-kawannya datang ke salah satu lingkaran janggrung itu, agaknya pertunjukan memang baru dimulai. Para penari masih menari tanpa pasangan. Mereka menarikan tarian yang panas dan melagukan tembang yang menggelitik.
Beberapa orang melingkari arena pertunjukan itu. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung melihat bahwa kemaksiatan di tempat itu benar-benar lengkap ketika beberapa orang laki-laki yang duduk-duduk di tempat gelap telah mulai meneguk tuak.
"Kiai," berkata Sambi Wulung, "sudah berapa kali kau kunjungi tempat ini?"
"Tiga kali," jawab Kiai Windu, "kenapa?"
"Aku sudah empat kali," sahut seorang kawan Kiai Windu.
"Selalu ada kegiatan seperti ini?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya," jawab Kiai Windu.
"Dalam keadaan seperti ini apakah tidak mudah terjadi singgungan-singgungan" Apalagi mereka yang sudah mulai mabuk?" desis Sambi Wulung.
"Keadaan seperti ini memang rawan sekali. Tetapi lihatlah di sekitar tempat ini," berkata Kiai Windu.
"Apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Orang-orang yang akan mengusung mayat-mayat yang mungkin akan jatuh di malam ini telah siap," berkata Kiai Windu, "namun pada umumnya mereka masih juga menahan diri agar besok mereka dapat ikut bertaruh di sabungan ayam atau di tempat bermain dadu atau ikut panahan."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kali inipun demikian."
Kiai Windu tidak menjawab. Tetapi ia mengajak mereka untuk pergi ke arena pertunjukkan yang lain.
Seperti di arena yang baru saja mereka tinggalkan, maka yang nampak adalah beberapa orang tledek muda yang menari dengan irama yang panas. Mereka tersenyum-senyum kepada orang-orang yang mengerumuninya. Seolah-olah dengan sengaja mengundang mereka untuk memasuki arena.
Tetapi suasananya masih belum terlalu panas. Orang-orang yang berkerumun masih lebih senang melihat tledek-tledek itu menari. Sementara orang-orang yang berkerumun itu hanya sekedar menonton, meneriaki penari-penari yang terlalu banyak solah dan sekali-sekali bertepuk seiring dengan irama gamelan yang hangat.
Ketika keenam orang itu bergeser ke sudut yang lain, ternyata di tempat itu, pertunjukan baru akan dimulai. Beberapa orang penari memasuki arena. Sejenak mereka memandang berkeliling sambil tersenyum, disambut dengan tepuk tangan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
"Agak terlambat dibanding dengan di tempat-tempat lain," Jati Wulung berdesis.
Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka telah mengambil tempat yang cukup mapan di bawah sebatang pohon gayam.
Namun perhatian mereka tertarik ketika tiba-tiba saja seorang perempuan yang diiringi oleh seorang laki-laki yang bertubuh raksasa sebagaimana para petugas di tempat itu menyelinap di antara mereka yang menonton pertunjukan itu.
Dengan kerut di kening, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Kiai Windu dengan kawan-kawannya melihat perempuan itu menghentakkan tangannya.
"Benar, orang itu yang kau cari?" bertanya laki-laki raksasa itu.
"Perempuan itu memang cantik," desis perempuan yang mendesak maju itu dan berdiri di depan Kiai Windu dan kawan-kawannya.
"Tetapi kau tidak salah lihat?" bertanya kawannya sekali lagi.
"Tidak. Perempuan itulah yang telah mengambil suamiku, namun yang kemudian menyuruhkannya ke dalam perselisihan dengan para petugas disini. Sehingga akhirnya suamiku itu terbunuh disini," berkata perempuan itu.
"Kau tahu petugas yang manakah yang telah membunuh suamimu?" bertanya laki-laki raksasa itu.
"Aku tidak tahu yang mana," jawab perempuan itu, "tetapi itu tidak penting. Aku ingin perempuan itu hidup-hidup."
"Aku akan mengambilnya," geram laki-laki raksasa itu.
Ternyata Sambi Wulung telah berpura-pura memapah Jati Wulung seakan akan sedang mabuk kemudian melemparkannya.
"Jangan sekarang," cegah perempuan itu, "aku masih ingin bermain dadu. Jika kita sudah selesai, maka kita cari keterangan, dimana tempat tinggalnya. Aku lebih senang berurusan dengan perempuan itu di luar lingkungan Song Lawa."
"Baiklah. Tetapi kita harus menyadari, bahwa dimanapun juga perempuan itu tentu mempunyai pelindung. Karena itu, maka untuk mengambilnya, kita harus benar-benar siap melakukannya," berkata laki-laki bertubuh raksasa itu.
"Bukankah kita juga tidak hanya berdua?" desis perempuan itu.
Laki-laki itu tidak menjawab. Namun mereka telah tenggelam dalam tarian yang telah dimulainya. Bahkan laki-laki raksasa itu sempat juga berkata, "perempuan itu memang cantik."
"Kau juga akan terseret ke dalam pelukannya?" bertanya perempuan itu.
Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Nilaimu lain dengan nilai tledek itu meskipun seandainya kecantikanmu sama dengan kecantikannya."
"Persetan," geram perempuan itu. Namun laki-laki itu masih saja tertawa.
Demikianlah maka sejenak kemudian lingkungan perjudian yang disebut Song Lawa itu menjadi ramai. Semakin malam maka irama gamelanpun menjadi semakin hangat. Empat lingkaran keramaian yang dipanaskan oleh tari janggrung yang semakin kasar membuat orang-orang yang mengerumuni menjadi semakin gembira. Beberapa orang yang mulai menjadi mabuk telah ikut menari-nari. Merekapun telah memasuki kebiasaan para penari janggrung yang kasar. Mereka memberikan keping-keping uang kepada para tledek yang menari berputar-putar untuk dapat ikut menari sebagai pasangannya.
Dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung serta Kiai Windu dengan ketiga orang kawannya ternyata hanya melihat-lihat saja. Tidak seorangpun di antara mereka yang ikut meneguk tuak yang dapat memabukkan. Tidak pula ikut menari bersama-sama dengan penari janggrung.
Ketika keadaan menjadi semakin panas, maka tidak dapat dielakkan lagi telah terjadi benturan-benturan kekerasan. Namun seperti yang dikatakan oleh Kiai Windu, pada umumnya mereka masih berusaha untuk menahan diri, karena besok mereka ingin ikut serta dalam sabung ayam, atau permainan dadu serta panahan yang diperjudikan.
Namun ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung melihat remaja yang disebut bernama Puguh itu berada di bawah sebatang pohon preh tidak terlalu jauh dari salah satu arena tari janggrung, maka keduanya telah saling menggamit.
Kiai Windu segera mengerti maksud keduanya ketika keduanya dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian telah mendekati anak muda itu.
Ternyata Sambi Wulung telah berpura-pura memapah Jati Wulung seakan-akan sedang mabuk. Kemudian melemparkannya sehingga Jati Wulung itu terjatuh tidak terlalu jauh dari remaja yang bernama Puguh yang duduk dikelilingi oleh empat orang pengawalnya.
Ketika debu terhambur, maka salah seorang pengawal Puguh itupun mengumpat, "Orang gila. Kau kotori pakaian kami he?"
Sambi Wulunglah yang menyahut, "Maaf Ki Sanak. Adikku memang orang yang tidak tahu diri. Sudah tua masih juga ribut dengan tari janggrung dan bahkan telah mabuk pula."
Seperti yang lain, pengawal Puguh itupun tidak lagi mempersoalkannya. Agaknya merekapun lebih senang bermain besok dari pada malam itu, harus terjadi keributan, karena mereka memang datang untuk berjudi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung telah duduk tidak terlalu jauh dari Puguh dan para pengawalnya. Jati Wulung masih saja bersikap seperti orang mabuk, sehingga Kiai Windu yang juga mendekatinya meskipun masih tetap memelihara jarak, tertawa sambil berbisik kepada kawan-kawannya, "Mereka adalah orang-orang aneh."
"Mungkin mereka mempunyai persoalan dengan anak-anak muda itu," desis seorang kawannya.
"Tidak," jawab Kiai Windu, "ia menaruh perhatian terlalu besar terhadap anak-anak muda dan remaja yang berada di tempat maksiat seperti ini."
"Menarik sekali untuk diperhatikan," berkata kawan Kiai Windu yang lain.
"Tetapi mereka benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Namun ternyata mereka tidak sekasar yang kita duga sebelumnya, sebagaimana mereka menghentikan kita dan melukai salah seorang di antara kita," berkata Kiai Windu.
Pisau Terbang Li 13 Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Senopati Pamungkas I 19
Dari tempat yang agak tinggi, Kiai Badra dan Kiai Soka sempat melihat keadaan di dalam lapis-lapis pagar itu. Dilapis kedua Sambi Wulung dan Jati Wulung masih tertahan bersama keempat orang yang berkuda itu.
Agaknya para penjaga pintu gerbang itu tidak memberikan ijin kepada Kiai Windu dan kawan-kawannya untuk membawa kuda mereka masuk.
Ternyata bahwa mereka telah mengikat kuda-kuda mereka di patok-patok yang sudah tersedia. Di sebelahnya sudah terdapat beberapa ekor kuda yang lain, yang telah datang lebih dahulu.
Kiai Badra dan Kiai Soka ikut menjadi tegang ketika melihat mereka berenam berdiri dimuka pintu gerbang.
Beberapa orang penjaga yang garang nampaknya dengan teliti mengamati mereka seorang demi seorang.
Dari jarak yang cukup jauh, Kiai Badra dan Kiai Soka tidak dapat melihat terlalu jelas apa yang terjadi. Meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan melampaui orang-orang kebanyakan.
Dalam pada itu, di depan pintu gerbang pada lapis yang ketiga, Kiai Windu dan kawan-kawannya telah menunjukkan pertanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah dianggap keluarga di lingkungan sabung ayam itu. Mereka dapat menunjukkan sebuah tanda yang terbuat dari perunggu berbentuk bulat. Di tengah-tengahnya dipahatkan gambar seekor ayam jantan dengan kepala tegak. Kemudian beberapa ciri yang khusus terpahat di bawah gambar ayam itu.
"Bagaimana dengan kedua orang ini?" bertanya penjaga pintu gerbang.
Kiai Windu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi tegang. Mereka berdiri dekat di belakang keempat orang berkuda yang akan menanggung mereka memasuki tempat yang mendebarkan itu.
Namun Kiai Windupun kemudian berkata, "Mereka adalah orang-orang baru. Kami berempat menanggung mereka selama mereka berada di tempat ini."
"Apa jaminannya?" bertanya penjaga yang garang itu.
"Kami berempat," jawab Kiai Windu.
Penjaga itu mengangguk-angguk. Sementara itu para penjaga yang lain nampaknya menaruh perhatian pula kepada mereka.
Sambi Wulung dan Jati Wulung sendiri hanya menunggu keputusan mereka. Apakah mereka diperkenankan memasuki daerah itu atau tidak.
Namun agaknya pemimpin dari para petugas di pintu itu tidak mau bertanggung jawab sendiri. Karena itu, maka pemimpin penjaga pintu gerbang itu berkata, "Tunggulah disini. Aku akan melaporkannya."
Keenam orang itu harus menunggu. Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak dapat memaksa untuk memasuki gerbang itu. Mereka tidak dapat memancing persoalan justru sebelum mereka berada di dalam.
Sementara pemimpin penjaga itu melaporkan kehadiran mereka, keenam orang itu telah bergeser menepi. Kiai Windu sempat berdesis kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung. "Kau dengar. Kami berempatlah yang menjadi tanggungan kalian. Jika kalian berbuat sesuatu yang kurang baik disini, kami berempat akan ikut diperlakukan buruk. Kita di tempat ini tidak dapat memamerkan kemampuan dan ilmu kita. Disini terlalu banyak orang berilmu tinggi. Meskipun aku akui, ilmu kalian berdua ternyata lebih tinggi dari yang aku duga, tetapi setiap pelanggaran ketentuan yang berlaku disini, akan menimbulkan malapetaka."
"Peraturan apa?" bertanya Jati Wulung.
Kiai Windu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "peraturan disini berlandaskan kekuatan. Jika orang-orang yang terkuat disini tidak senang melihat sikap orang lain, maka orang yang bersikap buruk menurut pandangan orang terkuat itu akan mengalami nasib yang malang. Itulah peraturan yang berlaku disini."
"Jadi kenapa orang-orang yang berilmu lebih rendah mau memasuki tempat ini?" bertanya Sambi Wulung.
"Mereka harus berlaku baik terhadap yang terkuat," jawab Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu, dua orang yang nampak lebih garang lagi dari para penjaga itu telah keluar ke pintu gerbang. Keduanya bersenjata keris yang diselipkan pada ikat pinggang di bagian perutnya. Pada wajah mereka yang kasar, nampak kumis yang tebal melintang di atas bibir mereka. Dan kedua-duanya telah memelihara jambang yang panjang pula. Dengan dada terbuka yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat, keduanya kemudian memandangi keenam orang yang berdiri menepi itu.
Kiai Windulah yang tiba-tiba menegur, "He, aku. Inilah."
"O," seorang di antara mereka melangkah mendekat, "jadi kaukah yang datang" Sudah agak lama kau tidak pernah kelihatan."
"Kau mempunyai orang-orang baru?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak. Sulit untuk menerima orang-orang baru yang benar-benar dapat dipercaya," jawab orang yang garang itu. Namun iapun kemudian bertanya, "Jadi kaukah yang membawa orang yang akan menjadi tanggunganmu itu?"
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi tegang. Jika orang yang disebut Kiai Windu itu mengkhianatinya, maka mereka berdua harus berbuat sesuatu. Di hadapannya akan berdiri sekelompok orang yang agaknya berilmu cukup tinggi.
Tetapi agaknya Kiai Windu masih juga bertanya, "Aku belum pernah melihat para penjaga pintu gerbangmu itu. Di lapis pertama dan kedua aku masuk dengan mudah karena mereka telah mengenal aku. Disini aku harus melalui cara yang berlaku karena mereka belum mengenal aku. Menunjukkan pertanda keluarga Song Lawa."
"Maaf Kiai," desis orang berjambang itu sambil tersenyum, "petugas-petugas kami hanya menjaga agar ketertiban tetap dipelihara disini. Tetapi mereka bukan orang-orang baru. Mungkin sebelumnya ia bertugas di tempat lain sehingga jarang Kiai lihat. Atau barangkali Kiai tidak menghiraukan sebelumnya."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Sementara orang berjambang itu bertanya pula, "Siapakah orang yang akan kau tanggung itu?"
"Kawan-kawanku. Dua orang," jawab Kiai Windu.
Karena di tempat itu tidak ada orang lain, maka orang itupun segera mengetahui bahwa keduanya yang dimaksud oleh Kiai Windu adalah dua orang yang berdiri agak terpisah dari tempat orang yang memang sudah menjadi keluarga dari Song Lawa.
"Apakah kau yakin bahwa keduanya dapat dipercaya?" bertanya orang berjambang panjang dan berkumis tebal itu.
Kiai Windu memang ragu-ragu sejenak. Memang terbersit di angan-angannya bahwa ia akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi ia masih saja merasa ragu. Mungkin kedua orang itu benar-benar akan dapat membunuhnya dengan cara apapun juga. Karena itu, maka iapun berkata, "Sampai saat ini aku percaya kepada mereka. Tetapi Song Lawa memang dapat merubah watak seseorang."
"Mereka menjadi tanggunganmu," berkata orang berjambang itu.
Kiai Windu merenung sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk, "Aku akan menanggung mereka."
Kedua orang berjambang itu saling memandang sejenak. Seorang di antara merekapun kemudian berdesis, "Baiklah. Kami terima mereka. Tetapi ingat, hal itu kami lakukan hanya karena kami mengingat Kiai. Kami sudah begitu akrab dengan Kiai dan kawan-kawan Kiai yang terdahulu. Aku kira kawan-kawan Kiai yang baru inipun akan sebaik kawan-kawan Kiai yang lama."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Mereka orang-orang baik."
Kedua orang berjambang itupun kemudian telah mempersilahkan Kiai Windu berenam untuk memasuki pintu gerbang. Sementara itu orang berjambang itupun berkata, "Hanya bila kami sudah yakin bahwa mereka tidak akan merugikan Song Lawa, maka kami akan memberikan pertanda keluarga. Aku belum tahu berapa pekan ia kerasan tinggal di tempat yang menakjubkan ini. Jika kemudian ia kerasan tinggal disini untuk seterusnya, maka ia akan dapat menjadi kawan yang sangat baik bagi kami. Tetapi atas tanggungan Kiai."
Kiai Windu tersenyum. Betapa kecutnya. Namun ia memang berharap bahwa kedua orang itu tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyeret namanya ke dalam kesulitan.
Dari kejauhan Kiai Badra dan Kiai Soka melihat bahwa keenam orang itu telah memasuki pintu gerbang utama. Sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Badra berdesis, "Pintu kesulitan pertama telah dilewati."
"Masih banyak masalah yang akan mereka hadapi," sahut Kiai Soka.
"Ya. Dan kita tidak akan dapat mengikuti dari jarak yang jauh ini. Apalagi jika malam gelap," berkata Kiai Badra.
"Di malam hari kita akan mendekat," gumam Kiai Soka. "Tetapi di siang hari kita dapat berada disini. Jaraknya tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh. Dari tempat yang tinggi ini kita dapat melihat keseluruhan lingkungan Song Lawa."
"Tetapi kita tidak dapat melihat apa yang terjadi di bawah atap barak-barak yang berserakan di dalam lingkungan dinding kayu itu," jawab Kiai Badra.
Kiai Sokapun segera tanggap. Karena itu katanya, "Kau bermaksud memasuki tempat itu di malam hari?"
Kiai Badra tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan katanya, "Mereka telah hilang. Mereka memasuki salah satu barak yang ada di dalam lingkungan Song Lawa."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Barak-barak itu tentu mempunyai beban tugas yang berbeda-beda."
"Agaknya memang demikian," jawab Kiai Badra, "yang satu untuk bermalam orang-orang yang memasuki tempat itu. Dan itu agaknya yang paling panjang itu. Satu lagi untuk berjudi. Satu lagi menyediakan makan dan minum. Tidak bedanya dengan sebuah kedai. Dan entah untuk apa lagi. Yang berasap itu tentu dapur."
Kiai Soka tersenyum. Katanya, "Agaknya dapur itulah yang paling kau kenal."
"Bukankah itu lebih baik daripada mengenali tanah kosong di bagian belakang barak-barak itu," sahut Kiai Badra sambil tertawa.
"Itulah yang mengerikan," berkata Kiai Soka. Orang tua itu tidak tersenyum lagi. Bahkan wajahnya menjadi bersungguh-sungguh. Katanya, "berapa orang yang sudah dikubur di tempat itu?"
"Itu adalah gambaran kehidupan di lingkungan ini," berkata Kiai Badra, "mudah-mudahan Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat mengatasinya."
"Seharusnya jika mereka sudah berhasil memasuki lingkungan itu, mereka tidak usah berbuat aneh-aneh agar mereka mendapat kesempatan untuk tetap berada di dalamnya," desis Kiai Soka. "Jika mereka berdua masih memaksa diri untuk bertingkah-laku kasar, maka mereka akan dapat dilemparkan ke lubang kubur di tanah kosong itu."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan keduanya cukup bijaksana."
Kiai Soka tidak menjawab.
Untuk beberapa saat mereka masih mengawasi tempat sabung ayam itu. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu. Mereka melihat arena sabung ayam di halaman tengah yang kosong. Agaknya sabung ayam itu masih belum dimulai dalam satu dua hari lagi.
Satu dua orang memang nampak melintas di halaman, sementara ada lagi dua orang peronda yang mengelilingi tempat itu. Namun belum ada kesan kesibukan yang berarti.
Kiai Badra dan Kiai Sokapun kemudian bergeser menjauh. Mereka memasuki hutan kecil di lereng gunung. Nampaknya tempat yang jarang sekali didatangi oleh seseorang. Bahkan oleh pencari kayu bakar sekalipun. Mereka melihat dahan-dahan kering berserakan tanpa ada yang memungutnya.
Namun agaknya hutan yang masih belum disentuh itu merupakan simpanan yang sangat berarti bagi lembah dan dataran di bawahnya. Di tebing-tebing terjal nampak air mengalir perlahan-lahan. Namun kemudian berkumpul menjadi air terjun yang cukup deras.
Kedua orang tua itupun kemudian telah mencari tempat untuk beristirahat. Mereka kemudian menemukan batu padas yang agak datar di pinggir hutan itu.
Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berada di dalam lingkungan Song Lawa. Satu tempat sabung ayam dan perjudian yang tidak terjangkau oleh paugeran Pajang. Lingkungan yang telah membuat tata kehidupan menurut irama mereka sendiri.
"Kalian akan bertempat tinggal selama disini di tempat yang biasa kalian pergunakan," berkata seorang yang mendapat tugas menerima tamu yang mendapat penyerahan dari para pengawal, kepada Kiai Windu. Lalu, "Tempat itu dapat kami siapkan untuk enam orang. Tidak empat orang."
"Terima kasih," sahut Kiai Windu, "kami akan langsung ke tempat yang disediakan itu."
Merekapun kemudian memasuki sebuah barak yang panjang, yang disekat-sekat oleh dinding bambu yang rangkap.
Kiai Windu berenam telah ditempatkan di sebuah bilik yang agak besar yang diisi dengan sebuah amben yang panjang yang akan dapat dipergunakan oleh enam orang yang meskipun tidak terlalu longgar.
"Memang agak berdesakan," berkata Kiai Windu.
"Apakah kita dapat memilih ruangan?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak," jawab Kiai Windu, "kita harus menerima apa yang sudah disediakan. Jika kita memaksa, akan segera timbul keributan."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Ternyata apa yang diharapkannya dari Sambi Wulung dan Jati Wulung terpenuhi. Keduanya dengan bijaksana mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka tidak lagi berniat membuat persoalan. Kecuali jika persoalan itu datang pada mereka.
Barulah di dalam bilik itu Kiai Windu dan kawan-kawannya mendengar pengakuan Sambi Wulung dan Jati Wulung tentang namanya, Sambi Wulung menyebut dirinya bernama Wanengbaya dan Jati Wulung mengaku bernama Wanengpati.
"Tentu bukan nama-nama asli kalian," tebak Kiai Windu, "kalian mengganti nama kalian dengan nama yang garang, agar kalianpun kelihatan garang pula."
"Nama itu diberikan oleh ayahku sejak aku lahir," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Jangan mengigau seperti itu. Apakah kau belum mempunyai anak meskipun kalian sudah hampir pikun" Kalian tentu tidak akan memberi nama anak yang baru lahir dengan sebutan seperti itu."
Sambi Wulung tiba-tiba menundukkan kepalanya. Tanpa disengaja ia telah menggali kepahitan hidup di masa mudanya. Ia dan Jati Wulung memang tidak lagi mempersoalkan anak. Namun pada saat-saat tertentu, hatinya tergelitik pula karenanya.
"Jangan bicara tentang anak," desisnya.
"Maaf. Aku tidak sengaja menyinggung perasaanmu," berkata Kiai Windu. Lalu katanya, "Nah, sebaiknya kita beristirahat. Tempat ini tempat kita."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera merebahkan dirinya seperti ketiga orang kawan Kiai Windu. Bersama Jati Wulung dan Kiai Windu sendiri, ia masih duduk dan berbicara tentang beberapa hal.
Namun tiba-tiba mereka terkejut karena mereka mendengar pertengkaran di ruang sebelah.
Ketika sambi Wulung dan Jati Wulung bangkit dari tempat duduknya, Kiai Windu berdesis, "Jangan campuri persoalan orang lain disini. Jika kita mencampuri persoalan orang lain, itu berarti kita sudah membuat persoalan."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun Jati Wulung yang mengaku bernama Wanengpati itu bertanya, "Bagaimana jika terjadi sesuatu yang gawat?"
"Setiap orang harus dapat mengatasi persoalan mereka sendiri. Bahkan harus mati sekalipun tidak akan ada orang yang akan melibatkan dirinya."
"Kalau hanya melihat" Maksudku seperti menonton sabung ayam itu sendiri?" bertanya Wanengbaya.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kalau hanya melihat saja, aku kira tidak akan timbul persoalan. Tetapi jangan terlalu dekat."
Wanengbaya dan Wanengpati mengangguk-angguk pula. Keduanyapun segera mengemasi diri. Mereka memang ingin melihat siapakah perempuan yang telah berani memasuki tempat seperti ini. Bahkan sepercik pertanyaan ada di dalam hati mereka, "Apakah perempuan itu Warsi."
Wanengbaya dan Wanengpati memang belum terlalu mengenal dan dikenal oleh Warsi. Namun demikian ada kemungkinan bahwa perempuan itu akan dapat mengenalinya. Karena itu, maka keduanya memang harus berhati-hati.
Bahkan Wanengbaya berdesis perlahan di telinga Wanengpati, "Jika benar Warsi, maka kita harus berhati-hati. Apalagi jika ia datang bersama Kiai Randukeling."
"Apakah kita harus berbuat sesuatu?" bertanya Wanengpati.
"Justru kita harus pandai menghindar," jawab Wanengbaya.
Wanengpati mengangguk-angguk. Namun merekapun kemudian melangkah mendekati pintu. Sementara itu Kiai Windu yang sudah duduk kembali berkata sekali lagi, "Jangan campuri persoalan siapapun dan dalam keadaan yang bagaimanapun jika kau tidak mau mendapat kesulitan."
Wanengbaya dan Wanengpati mengangguk.
Dalam pada itu, keduanya telah berdiri di pintu. Perlahan-lahan keduanya melangkah keluar. Mereka sudah diberi tahu oleh Kiai Windu, dimana letak pakiwan.
Karena itu, maka mereka mempunyai alasan untuk keluar dari barak itu.
Perlahan-lahan keduanya menyusuri lorong sempit di dalam barak itu. Ketika mereka berada di pintu bilik sebelah, maka keduanya sempat melihat seorang perempuan dengan pakaian laki-laki sedang bertengkar dengan seorang laki-laki. Dua orang lainnya berdiri termangu-mangu memperhatikan keduanya yang sedang marah itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak memperhatikan keduanya lebih lama karena mereka tidak dapat berhenti di depan pintu bilik itu, agar mereka tidak dituduh ingin mencampuri persoalan orang lain.
"Bukan Warsi," desis Sambi Wulung.
"Ya. Memang bukan Warsi," jawab Jati Wulung.
Dengan demikian maka keduanya memang tidak mempunyai kepentingan apapun juga. Meskipun hati mereka sebenarnya memang tergelitik untuk mengetahui persoalan di antara kedua orang yang bertengkar itu, namun mereka harus menahan diri.
Sebenarnyalah keduanya memang pergi ke pakiwan. Di longkangan yang terdapat di antara barak yang dipergunakan dan barak yang lain, yang juga dipergunakan untuk bermalam para tamu dari Song Lawa itu, keduanya bertemu dengan seorang yang benar-benar bertubuh raksasa. Buka saja tubuhnya yang tinggi besar melampaui ukuran kebanyakan itu yang menarik perhatian, tetapi ia juga mengenakan ikat pinggang kulit dengan timang emas. Beberapa bulir berlian nampak berkilat-kilat pada timang emasnya itu. Tanpa mengenakan baju, orang itu seakan-akan sengaja memamerkan kekayaannya. Di punggungnya terselip keris dengan pendok emas pula. Seperti pada timangnya, maka pada kerisnya nampak juga beberapa butir berlian yang berkilau. Sedangkan pada jari-jarinya beberapa bentuk cincin dengan mata batu-batu yang sangat mahal disamping bermata berlian.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung memaksa diri tidak menghiraukan orang itu sebagaimana orang itu tidak menghiraukan mereka.
Tetapi ketika mereka menjadi semakin jauh, Sambi Wulung berkata, "Orang itu tentu orang yang sangat kaya."
"Aku menyangsikan, apakah kekayaannya itu didapatnya dengan cara yang wajar," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Dari pakiwan keduanya memang langsung kembali ke dalam bilik mereka. Tetapi mereka tertahan di lorong sempit dalam barak itu, karena agaknya pertengkaran di antara perempuan dan laki-laki itu menjadi semakin seru, sehingga keduanya telah menarik pedang masing-masing.
Beberapa orang yang agaknya sekelompok dengan keduanya berusaha untuk melerai mereka meskipun agak mengalami kesulitan.
"Jangan campuri persoalanku," teriak perempuan itu.
"Aku tidak mencampuri persoalan orang lain. Tetapi persoalanmu adalah persoalanku. Kita, kau dan iparmu itu berangkat bersama-sama dengan kami. Apalagi kami berada di Song Lawa yang dua tiga hari lagi akan menjadi semakin garang."
Orang yang sudah agak tua di antara merekapun berkata, "persoalan di antara kita di Song Lawa ini akan menimbulkan pertanyaan banyak orang. Kenapa justru persoalan di antara kita sendiri."
Kedua orang yang bertengkar itu agaknya sempat berpikir. Namun perempuan yang sangat marah itupun kemudian berkata, "Jika kita tidak menyelesaikannya di tempat ini, maka pada suatu saat kita akan mendapatkan kesempatan."
"Jika kau tetap menghendaki cara ini, maka aku tidak akan berkeberatan," jawab yang lain.
"Kita lupakan saja," berkata yang tertua, "setidak-tidaknya untuk waktu yang kita perlukan berada di tempat ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak mengetahui dengan pasti persoalan apakah yang terjadi di antara mereka. Namun yang bertengkar itu agaknya adalah saudara ipar.
"Perempuan itu garang juga," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia berdesis, "Ternyata memang tidak ada orang yang tertarik pada pertengkaran ini selain orang-orang dari kelompok mereka sendiri. Orang-orang yang berada di bilik sebelahnya itupun sama sekali tidak menjengukkan kepalanya."
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung terkejut ketika perempuan itu tiba-tiba memandangi mereka. Bahkan menyibak orang-orang sekelompoknya melangkah mendekati Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Kenapa kau di situ" Kau mau mencampuri persoalan kami," bertanya perempuan itu dengan nada yang garang.
Sambi Wulunglah yang menjawab dengan tanpa perubahan kesan di wajahnya, "Aku akan lewat. Aku berada di bilik seberang. Tetapi aku tertahan disini. Aku tidak dapat menerobos kalian di saat kalian bertengkar. Karena itu aku menunggu."
"Persetan," geram perempuan itu, "lewatlah. Cepat."
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian melangkah di lorong sempit di antara bilik-bilik di barak yang panjang itu. Beberapa orang memang harus menepi.
Perempuan itu ternyata memperhatikan Sambi Wulung dan Jati Wulung sehingga mereka hilang memasuki pintu biliknya. Agaknya perempuan itu ingin tahu, apakah keduanya benar-benar berada di bilik itu atau sekedar ingin melihat pertengkaran yang terjadi itu.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung benar-benar telah memasuki bilik itu.
Kiai Windu ternyata masih duduk di tempatnya bersandar dinding. Ketika keduanya masuk, maka Kiai Windu itupun berkata, "Aku merasa agak cemas."
"Tentang kami?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Kalian orang baru disini," desis Kiai Windu.
"Kami berusaha untuk menyesuaikan diri," berkata Jati Wulung. Lalu, "Aku pernah berada di tempat perjudian di Gresik. Tetapi suasananya jauh lebih tertib. Prahu-prahu yang lewat bengawan menurunkan orang-orang dari jauh memasuki tempat perjudian yang lebih besar dari tempat ini."
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku belum pernah berada di Gresik. Tetapi apakah tempat itu juga tempat untuk menyabung ayam?"
*** JILID 04 "ADA lebih dari tujuh kalangan sabung ayam," jawab Sambi Wulung, "sepuluh tempat bermain dadu. Tempat panahan yang luas dan apakah disini juga ada binten?"
Kiai Windu menggeleng. Katanya, "Disini tidak ada binten. Panahan disini kurang menarik meskipun ada, yang terbanyak adalah permainan dadu."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada berat Sambi Wulung berkata, "Aku juga ingin tidur."
"Silahkan," berkata Kiai Windu, "aku tidak mengantuk."
Sambi Wulungpun kemudian merebahkan dirinya di atas amben yang besar berjajar dengan ketiga kawan Kiai Windu. Sedangkan Jati Wulung masih juga belum merasa mengantuk.
Tiga orang kawan Kiai Windu itupun sudah tertidur nyenyak. Sementara Sambi Wulungpun segera tertidur pula. Yang kemudian masih duduk dan berbincang adalah Kiai Windu dan Jati Wulung.
Dalam pada itu Jati Wulungpun telah bertanya kepada Kiai Windu, "Bagaimana kita makan disini?"
"Disini ada semacam kedai. Kita dapat memesan makanan sesuai dengan selera kita. Namun tentu saja hanya yang mungkin disediakan," jawab Kiai Windu.
"Jadi disediakan beberapa jenis lauk-pauk disini?" bertanya Jati Wulung.
"Ya." jawab Kiai Windu, "nanti kita akan melihatnya."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Windu bertanya, "Apakah kau tidak ingin tidur lebih dahulu?"
"Tidak. Aku tidak terbiasa tidur di siang hari," jawab Jati Wulung, "betapapun letihnya. Apalagi menjelang senja seperti ini."
Tetapi Kiai Windu itu tersenyum. Katanya, "Ternyata kalian adalah orang-orang yang sangat berpengalaman."
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung.
"Kau bukan saja tidak terbiasa tidur di siang hari. Tetapi kau dan saudaramu itu terbiasa tidur bergantian. Apalagi kalian berdua belum mengenal aku dengan baik," desis Kiai Windu.
"Kaupun memiliki pengalaman yang luas. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau mendapat giliran berjaga-jaga yang pertama. Justru saat yang paling gawat ketika kita memasuki tempat seperti ini?" desis Jati Wulung.
Kiai Windu itupun tertawa pendek. Diperhatikannya ketiga kawannya yang tertidur lelap. Namun seorang di antara mereka nampak gelisah. Meskipun lukanya yang tidak terlalu dalam itu sudah diobati, namun agaknya masih juga terasa pedih.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka yang tertidur itupun justru telah terbangun. Setelan membenahi diri, maka mereka bersama-sama meninggalkan bilik mereka untuk pergi ke kedai di bagian belakang dari tempat perjudian yang disebut Song Lawa itu.
Karena Sambi Wulung dan Jati Wulung nampak ragu-ragu untuk meninggalkan bilik mereka maka Kiai Windupun berkata, "Kita tidak usah mencemaskan barang-barang kita. Tidak ada seorang pencuri pun yang berani masuk ke tempat ini."
Keduanya mengangguk-angguk. Namun Jati Wulung menyahut, "Di tempat lain, keadaannya berbeda. Justru perampok-perampok besar telah berusaha untuk ikut memasuki tempat seperti ini. Mereka bukan saja mencuri, tetapi mereka akan merampok dengan kekerasan."
"Disini penjagaannya cukup kuat untuk melawan perampok-perampok seperti itu," desis Kiai Windu.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun ia tidak berbicara lagi.
Mereka berenampun kemudian telah berada di bagian belakang dari tempat perjudian dan sabung ayam itu. Sebenarnyalah tempat itu memang cukup luas. Di halaman samping memang terdapat tempat untuk beradu ketrampilan memanah. Tetapi bukan sekedar ketrampilan. Mereka mempergunakan nilai-nilai panahan itu untuk perjudian dengan taruhan yang tinggi.
Di belakang ternyata terdapat sebuah kedai yang besar. Beberapa buah amben dan lincak bambu terdapat di kedai itu. Ketika mereka berenam memasuki kedai itu, ternyata di dalam kedai itu sudah terdapat beberapa orang yang sedang makan dan minum. Dengan tingkah laku yang kasar mereka bertebaran di beberapa amben dan lincak bambu. Dari jarak yang panjang mereka berbicara sambil berteriak-teriak.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu ketika mereka melihat perempuan yang ribut di dalam biliknya itu ada pula di antara mereka yang sudah lebih dahulu duduk di kedai itu. Bahkan seorang perempuan yang lainpun ada di kedai itu pula. Seorang perempuan yang nampak tegar dan agak gemuk. Hampir mirip dengan Bibi, duduk di sudut kedai itu menghadapi nasi dan lauk-pauknya.
Keenam orang itupun kemudian mengambil tempat yang agak terpisah. Betapa kasarnya Kiai Windu dan kawan-kawannya, ternyata mereka masih juga mempergunakan pikiran dan kadang-kadang bersikap tenang dan mapan pula.
Seorang di antara merekalah yang kemudian pergi memesan makan dan minum bagi keenam orang itu.
Beberapa saat kemudian, nasi hangat sebakul kecil telah dihidangkan. Beberapa macam lauk-pauk dan sayur yang masih berasap. Sambal terasi yang baunya membuat mereka bertambah lapar.
Meskipun malam sudah mendekati pertengahannya, tetapi ternyata di kedai itu masih banyak orang yang makan minum atau sekedar berbicara dan berkelakar.
Namun ketika keenam orang itu sedang sibuk menyuapi mulut mereka, maka beberapa orang telah memasuki kedai itu pula. Suara mereka telah lebih dahulu bagaikan mengguncang seisi kedai itu. Tertawa yang keras diselingi dengan umpatan kasar.
Ruangan yang luas itu bagaikan bergetar ketika perempuan yang agak gemuk, yang duduk di sudut itu kemudian berteriak, "He, jangan berbicara terlalu keras dan kasar. Bukankah ini sudah hampir tengah malam?"
Orang-orang itu memang terdiam sejenak. Namun suara tertawa merekapun meledak lagi. Seorang di antara mereka menjawab, "Jangan marah Nyai. Kau sendiri berteriak-teriak dengan suaramu yang melengking meniti rusuk-rusuk atap kedai ini. Sudahlah, biarlah kita berlaku seperti biasanya. Bukankah tempat ini merupakan tempat segala orang dengan segala tingkah lakunya?"
Sambi Wulung terdiam. Namun ketika kedua laki-laki muda itu berkelahi di luar kedai, maka raksasa pemilik kedai itu sama sekali tidak mengganggu mereka.
Perempuan yang agak gemuk itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bergumam, "persetan kalian."
Tanpa menghiraukan mereka yang baru datang itu lagi, maka perempuan gemuk itu telah melanjutkan makannya. Sesuap demi sesuap. Namun ternyata perempuan itu makan banyak sekali.
Sambi Wulung dan Jati Wulunglah yang agaknya juga tertarik sekali oleh kehadiran orang-orang itu. Ketika Jati Wulung bergeser, maka Sambi Wulungpun menahannya sambil berdesis, "Sudahlah."
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kenapa?"
Sambi Wulung menggeleng. Katanya, "Tidak apa-apa."
Kiai Windu termangu-mangu. Meskipun kedua orang itu belum lama dikenalnya, tetapi rasa-rasanya Kiai Windu telah menangkap watak keduanya yang keras dan garang. Kedua orang yang mengaku bernama Wanengbaya dan Wanengpati itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang tidak memperhatikan mereka lagi. Namun justru orang-orang itulah yang telah melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung, duduk di antara enam orang sambil makan dan minum.
Tiba-tiba saja kelakar merekapun terhenti. Mereka saling menggamit dan berbisik.
"Dua orang gila di ngGebayan itu," desis seorang di antara mereka.
"Aku sudah mengira bahwa kita akan bertemu lagi disini," sahut yang lain.
"Mereka justru berenam sekarang," berkata yang lain lagi.
Tidak ada yang menyahut. Tetapi merekapun merasa, bahwa mereka mempunyai lebih banyak kawan di tempat itu.
Namun mereka tidak lagi berkelakar, berteriak dan mengumpat kasar meskipun Sambi Wulung dan Jati Wulung nampaknya tidak menghiraukan mereka.
Untuk beberapa saat, ruangan itu telah menjadi hening. Namun keheningan itu segera dipecahkan lagi ketika seorang yang berwajah keras, bermata setajam mata burung hantu, bertubuh tinggi agak kekurusan, memasuki kedai itu. Dengan nada tinggi tiba-tiba saja ia berkata lantang, "He, Nyai. Kau ada disini."
"Kau," perempuan yang agak gemuk itupun berteriak.
Laki-laki yang bertubuh tinggi agak kekurusan itupun kemudian mendekatinya. Tetapi langkahnya terhenti, ketika tiba-tiba seorang perempuan yang lain, yang di siang harinya hampir saja bertempur dengan kawannya sendiri tiba-tiba saja telah berdiri dan berjalan mendekati laki-laki itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Kau datang juga?"
Laki-laki itu terkejut. Agaknya ia tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan perempuan itu di tempat perjudian dan sabung ayam itu.
"Kenapa kau disini?" bertanya laki-laki itu.
"Seperti kau juga berada disini," jawab perempuan itu.
Laki-laki yang bertubuh tinggi itu tergagap sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku sudah terbiasa berada di tempat ini."
"Jangan pura-pura tidak tahu," desis perempuan itu, "aku juga sudah sering berada disini. Meskipun barangkali tidak sesering kau."
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Silahkan. Kita akan bertemu di permainan dadu lusa. Atau barangkali kau juga ingin bertaruh di tempat sabung ayam?"
"Kau memang berpura-pura bodoh atau memang sudah pikun," berkata perempuan itu, "setiap aku disini, aku selalu berada di lapangan panahan."
"O, ya" laki-laki itu mengangguk-angguk.
"Kau masih berhutang kepadaku," berkata perempuan itu.
Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Akan aku bayar dengan cara yang kau kehendaki."
Tetapi laki-laki itu tidak sempat berbicara lebih panjang. Tiba-tiba saja perempuan yang agak gemuk itu telah mendekatinya. Sambil memegangi lengannya dengan kedua tangannya itu bertanya, "Kau akan makan?"
Laki-laki itu tergagap. Tetapi iapun menjawab, "Ya. Aku akan makan."
Digandengnya laki-laki itu dan disorongnya duduk di sebelah tempat duduknya di sebuah amben kecil. Katanya, "Disini sudah disediakan makan yang cukup. Bukankah kau senang makan pete rebus dengan sambal terasi yang sangat pedas?"
Laki-laki itu masih berpaling ke arah perempuan yang seorang lagi. Tetapi perempuan itu sudah melangkah kembali ke tempat kawan-kawannya duduk.
"Perempuan yang cantik," desis perempuan yang agak gemuk itu.
Laki-laki yang bertubuh tinggi itu tidak menjawab. Namun iapun kemudian memperhatikan makan yang tersedia di hadapan perempuan yang agak gemuk itu.
"Tinggal ini?" bertanya laki-laki.
"Bukankah ini pesananku?" bertanya perempuan itu, lalu, "aku akan memesan buatmu."
"Terima kasih," jawab laki-laki itu.
Perempuan itupun kemudian bangkit. Ia menuju kepada penjual di kedai itu untuk memesan beberapa macam makanan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung yang baru pertama kali memasuki daerah Song Lawa itupun semakin mengenal, apa yang ada di dalam lingkungan yang terasing itu. Namun keduanya berpaling ke arah Kiai Windu ketika orang itu bertanya, "Kau heran melihat kehidupan disini" Bagaimana dengan Gresik."
"Di Gresik semuanya lebih teratur. Tidak ada orang yang bertindak menurut keinginan sendiri," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Tetapi mereka segera tertarik pada pertengkaran yang terjadi di sudut lain. Dua orang laki-laki yang terhitung masih muda nampaknya telah berselisih. Semakin lama pertengkaran itu menjadi semakin kasar dan keras.
Orang-orang yang ada di kedai itu hanya berpaling saja memandangi mereka. Namun orang-orang itu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Mereka sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Laki-laki yang bertubuh tinggi dan perempuan yang agak gemuk itupun hanya berpaling saja. Keduanya segera tenggelam dalam kesibukan mereka sendiri. Keduanyapun melanjutkan makan dan bergurau sejadi-jadinya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Kiai Windupun berkata, "Tidak ada orang yang membuang-buang waktu untuk mengurusi orang lain."
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu, kedua orang yang bertengkar itu agaknya sudah tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka yang seorang di antara mereka mulai memukul lawannya bertengkar.
Perkelahianpun segera terjadi. Semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya ternyata memiliki ketrampilan yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka perkelahianpun menjadi seimbang.
Untunglah bahwa keduanya bergeser keluar kedai, sehingga tidak merusakkan suasana dan peralatan di dalam kedai itu, sementara pemilik kedai itu sudah melangkah mendekati keduanya seandainya keduanya merusakkan kedainya.
Ternyata pemilik kedai atau orang yang dikuasakan, yang baru keluar dari belakang dinding, adalah orang yang bertubuh raksasa, yang pantas membuka kedai di tempat yang garang seperti itu. Wajahnya menunjukkan kekerasan sikap dan hatinya.
"Itukah pemiliknya?" tiba-tiba Sambi Wulung berdesis.
"Ya," jawab Kiai Windu, "yang lain itu adalah orang-orang yang diupah. Tetapi jangan mengira bahwa mereka bukan orang-orang yang tidak mampu berkelahi."
Sambi Wulung terdiam. Namun ketika kedua laki-laki muda itu berkelahi di luar kedai, maka raksasa pemilik kedai itu sama sekali tidak mengganggu mereka.
Perkelahian itu berlangsung semakin sengit. Namun ternyata bahwa keduanya sama sekali tidak bersenjata. Meskipun demikian ketika serangan-serangan dari kedua belah pihak mulai mengenai tubuh mereka, maka merekapun mulai menyeringai menahan sakit.
Di bawah lampu minyak yang menggapai halaman kedai itu, keduanya nampak semakin garang dan keras. Namun beberapa saat kemudian seorang yang lain telah datang. Dengan serta-merta orang itu telah memasuki arena perkelahian. Namun ternyata bukan membantu salah seorang di antara mereka yang berkelahi. Tetapi ia justru menyerang kedua-duanya.
Kedua laki-laki muda itu ternyata berada di bawah pengaruh laki-laki yang datang kemudian. Ternyata merekapun telah berhenti berkelahi, ketika mereka menyadari kehadirannya.
"Setan," geram laki-laki yang baru datang itu, "kalian telah berkelahi lagi."
"Ia telah mulai lagi," sahut yang seorang. Tetapi yang lain segera memotong, "Bukan aku. Ia telah menggangguku."
"Aku rontokkan gigi kalian. Pergi," geram laki-laki yang datang kemudian.
Keduanya tidak membantah. Namun ketika keduanya mulai beranjak, terdengar suara raksasa pemilik kedai itu, "Bayar dahulu."
"O," kedua laki-laki yang berkelahi itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka menjawab, "Aku belum sempat makan."
"Tetapi kau sudah memesan, dan pesanan itu sudah dihidangkan. Jika kau tidak sempat makan itu salahmu sendiri," geram raksasa itu.
Laki-laki yang datang kemudian itupun berkata pula, "Bayar."
Kedua laki-laki muda itupun kemudian terpaksa mengeluarkan beberapa keping uang untuk membayar makanan yang belum sempat mereka makan.
Ketika ketiga laki-laki di halaman itu pergi, maka raksasa itupun tidak segera masuk kembali. Ia telah duduk pula di sebuah amben bambu di sudut kedai itu mengamati orang-orang yang di tengah malam masih juga berada di-dalam kedainya.
Ki Windu dan kawan-kawannya sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Hanya Sambi Wulung dan Jati Wulung sajalah yang sekali-sekali masih memandang raksasa itu. Bahkan kemudian Jati Wulung berkata, "Sehari orang itu tentu makan seekor kambing."
Tetapi tiba-tiba Kiai Windu berdesis, "Sst. Jangan memperolok-olok begitu. Ia bukan jenis orang yang suka bergurau. Jika ia marah, maka kita akan mendapatkan kesulitan."
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung.
"Kekuatannya melampaui kekuatan seekor kerbau." jawab Kiai Windu, "tidak ada seorangpun yang berani menantangnya. Jika ada, maka orang itu tentu akan menjadi bahan olok-olok, karena ia akan menjadi cacat atau bahkan mati."
"Mati?" Sambi Wulung menjadi heran. "Apakah ia berhak membunuh tanpa batasan?"
"Jangan lupa. Kita berada di Song Lawa," jawab Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Bahkan sambil menunjuk sebuah bangunan yang agak terpisah ia berkata, "Kau lihat rumah kecil itu?"
"Ya," jawab Sambi Wulung.
"Rumah itu khusus dibuat bagi mereka yang menjadi putus asa setelah mengalami kekalahan yang tidak terhitung lagi disini. Atau mungkin karena hal-hal lain. Mereka dapat membunuh diri disana dengan cara yang mereka sukai. Di dalam rumah kecil itu terdapat bermacam-macam senjata dan tali gantungan yang dapat dipergunakan setiap saat. Setiap pagi dan sore. dua orang petugas akan membersihkan tempat itu dan menguburkan mayat-mayat," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Memang luar biasa. Di tempat-tempat lain aku tidak pernah menjumpai hal seperti itu. Di sebelah Barat Pajang, di Gresik, di Bergota dan di tempat-tempat lain yang pernah aku datangi."
"Mungkin. Tetapi tempat-tempat itu tidak terletak di lereng Gunung Kukusan," sahut Kiai Windu.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya tempat ini merupakan tempat yang paling wingit dari tempat-tempat yang pernah aku datangi."
"Kau pernah ke tempat judi di Bergota?" bertanya Kiai Windu.
"Ya. Kenapa?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku juga pernah datang ke tempat itu," jawab Kiai Windu.
"Tetapi kita belum pernah bertemu," berkata Sambi Wulung kemudian.
"Aku baru dua kali. Sudah lama aku tidak pernah datang lagi ke Bergota," berkata Kiai Windu pula.
Sambi Wulung tidak menyahut. Ia tertarik kepada orang baru yang memasuki warung itu. Namun ternyata orang itu tidak berbuat apa-apa selain duduk dan memesan makanan.
Beberapa saat Sambi Wulung, Jati Wulung serta Kiai Windu dengan kawan-kawannya masih duduk di kedai itu. Ketika malam menjadi semakin malam, maka mereka berenampun meninggalkan kedai itu dan kembali ke dalam bilik mereka.
Namun ternyata bahwa keadaan telah berubah. Beberapa orang lagi telah memasuki tempat itu, justru di tengah malam. Dengan demikian maka keadaanpun menjadi semakin riuh. Meskipun tengah malam telah lewat.
"Kita mendapat semakin banyak kawan disini," berkata Kiai Windu.
"Ya. Semakin dekat dengan hari-hari yang ditentukan, maka penghuni tempat ini akan menjadi semakin banyak," berkata Jati Wulung. Lalu, "Tetapi apakah barak-barak ini akan dapat menjadi penuh?"
"Lebih dari lima musim aku datang ke tempat ini," jawab kiai Windu, "barak-barak ini biasanya terisi hampir penuh."
"Keributan-keributanpun terjadi setiap hari?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Setiap hari. Di kalangan sabung ayamlah yang paling banyak terjadi. Kemudian di tempat bermain dadu. Yang paling sedikit terjadi keributan adalah di lapangan panahan di belakang. Meskipun demikian pernah terjadi beberapa kali perang tanding dengan panah karena mereka berselisih pendapat tentang taruhan mereka."
"Perang tanding sampai mati?" bertanya Jati Wulung.
"Ada yang mati dan ada yang tidak," jawab Kiai Windu.
Jati Wulungpun kemudian mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat kemudian merekapun telah berbaring di pembaringan. Tetapi Sambi Wulung tidak segera memejamkan matanya. Bahkan kemudian, ia telah bangkit dan duduk di sudut pembaringan di hadapan pintu yang tertutup rapat, bahkan diselarak.
Kiai Windu tidak menegurnya. Ia tahu, bahwa orang itu mendapat giliran untuk berjaga-jaga. Sambi Wulung tidak mau berjaga-jaga sambil berbaring, karena ia akan dapat terseret ke dalam mimpi tanpa disadarinya.
Namun seorang kawan Kiai Windupun telah bangkit pula dan duduk di sebelah Sambi Wulung.
"Kau tidak mengantuk?" bertanya orang itu.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun duduk bersandar dinding sambil berdesis, "Kenapa kau tidak tidur seperti kawan-kawanmu?"
"Sebagaimana kau yang juga tidak mau tidur," jawab orang itu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Di tempat seperti ini kita memang perlu berhati-hati."
Orang itu hanya mengangguk saja. Namun iapun kemudian juga beringsut mencari sandaran pada dinding.
Ternyata barak itu tidak pernah sepi semalam-malaman. Masih saja terdengar orang-orang berbicara. Kadang-kadang terdengar pula suara tertawa.
Menjelang pagi, Jati Wulungpun telah terbangun. Demikian pula seorang kawan Kiai Windu yang lain, sehingga yang berjaga-jagapun kemudian telah berganti.
Namun ternyata tidak terjadi sesuatu di malam itu. Sambi Wulung ternyata masih sempat tidur beberapa saat. Ketika matahari terbit, iapun telah terbangun.
Bergantian pula mereka telah pergi ke pakiwan. Meskipun matahari telah mulai terapung di langit, namun Song Lawa masih nampak lengang. Sebagian besar dari orang-orang yang berada di barak-barak itu ternyata masih tidur nyenyak. Biasanya mereka tidur mulai larut malam dan bangun ketika matahari sudah menjadi agak tinggi.
Seorang di antara kawan-kawan Kiai Windupun agaknya malas juga untuk bangun. Tetapi Kiai Windu membentaknya, "Kawanmu yang luka itupun sudah mandi dan membenahi diri. Jangan ikut-ikutan malas seperti orang lain."
Betapapun matanya masih berat, tetapi iapun telah bangun dan pergi juga ke pakiwan.
Tetapi karena beberapa tempat masih juga terpakai, maka iapun harus menunggu meskipun tidak terlalu lama.
Orang itu terkejut, ketika yang keluar dari salah satu bilik pakiwan itu adalah seorang perempuan. Sambil tersenyum perempuan itu bertanya, "Kenapa kau tidak masuk saja?"
"Semua terisi," jawab kawan Kiai Windu itu.
"Masuk ke bilik ini," berkata perempuan itu.
"Bukankah pakiwan ini baru saja kau pakai?" desis laki-laki itu sambil mengerutkan keningnya.
Tiba-tiba saja wajah perempuan itu menjadi garang. Sambil menggeretakkan giginya ia berkata, "Kau akan mengintip saat aku mandi he?"
"Gila," sahut kawan Ki Windu itu. "Jika aku ingin kenapa tidak aku lakukan" Bahkan seperti yang kau katakan, memasuki bilik itu selagi kau ada di dalam?"
Mata perempuan itu bagaikan menyala. Katanya, "Jika sekali lagi terjadi seperti itu, aku ambil biji matamu."
"Mataku sangat berharga bagiku. Hampir sama dengan nyawaku," geram laki-laki itu.
Perempuan itu masih belum berpakaian lengkap itu tidak menjawab lagi. Tetapi dari matanya memang memancar kebencian.
Kawan Kiai Windu itupun tidak lagi melayaninya. Iapun segera masuk ke dalam bilik itu, sebelum ada orang lain yang mendahuluinya.
Meskipun ia sudah menyiram tubuhnya dengan air dingin, namun ia masih saja bergumam, "perempuan gila. Dikiranya aku apa, mengintipnya mandi. Apalagi ia sama sekali bukan perempuan yang cantik."
Namun kemudian ia harus mendengarkan seseorang yang di bilik yang lain telah berlagu tembang Dandanggula. Suaranya sama sekali tidak baik, bahkan nadanya sumbang. Susunan kalimatnya kisruh tanpa mengikuti paugeran tembang tentang guru lagu dan guru wilangan.
Tetapi orang-orang lain yang sedang mandi tidak mempedulikannya. Demikian juga kawan Kiai Windu itu. Bahkan iapun menjadi tergesa-gesa, sehingga asal saja tubuhnya menjadi basah.
Sejenak kemudian, keenam orang itupun telah selesai membenahi diri. Merekapun kemudian keluar dari dalam bilik mereka untuk melihat-lihat halaman Song Lawa yang luas itu.
Beberapa kalangan adu ayam sudah siap untuk dipergunakan keesokan harinya. Sementara itu, arena panahan pun telah dibenahi pula. Telah disediakan di arena panahan itu, sasaran yang cukup meskipun biasanya pesertanya tidak terlalu banyak. Tetapi di arena ini taruhannya biasanya lebih besar daripada di tempat lain.
Di halaman tempat perjudian itu Sambi Wulung dan Jati Wulung sempat memperhatikan orang-orang yang bertugas berjalan hilir-mudik. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keras. Raksasa-raksasa itu selain bertugas menyiapkan segala keperluan, juga merupakan kekuatan untuk menjaga agar tempat perjudian itu tidak dikacaukan oleh orang-orang yang datang. Namun mereka tidak banyak mencampuri persoalan yang timbul di antara mereka yang datang berkunjung ke tempat itu, bahkan seandainya persoalan itu sampai pada satu akibat kematian sekalipun. Mereka kadang-kadang memang berusaha untuk melerai pertengkaran. Tetapi tidak selalu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Ketika Kiai Windu memberitahukan hal itu kepada Sambi Wulung, maka Sambi Wulungpun berkata, "Satu kesalahan yang besar telah dilakukan oleh mereka yang berkuasa di Song Lawa."
"Kenapa?" bertanya Kiai Windu.
"Seharusnya mereka mempunyai kekuatan cukup untuk menertibkan tempat ini. Melerai setiap perselisihan dan mengatur setiap permainan," berkata Sambi Wulung.
"Itu hanya memperbanyak pekerjaan saja," jawab Kiai Windu.
"Tetapi orang-orang yang gila pada perjudian tetapi lemah, tidak akan takut datang kemari untuk ikut bermain dadu atau bertaruh pada sabung ayam," berkata Sambi Wulung, "dengan demikian maka pengunjung di tempat ini akan menjadi semakin ramai, sehingga pemasukanpun akan bertambah lagi."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "benar juga. Tetapi segala sesuatunya akan dapat terjadi di luar tempat ini. Misalnya, orang-orang yang dendam terhadap mereka yang menang tetapi lemah, akan dapat membalas dendam di perjalanan kembali ke tempat tinggal masing-masing."
"Tempat ini harus menyediakan pengantar sampai ke padukuhan-padukuhan yang melindunginya dengan paugeran," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Tetapi ia berdesis, "Mungkin hal seperti itu dapat dilakukan. Tetapi agaknya mempunyai banyak kesulitan. Meskipun demikian jika ada kesempatan dapat juga disampaikan kepada mereka yang bertugas disini."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menyadari bahwa cara itu akan sangat sulit ditrapkan di daerah lereng Gunung Kukusan yang sudah terbiasa dengan caranya yang lama. Yang sebenarnya dirasa mengganggu bagi para penghuni lereng Gunung Kukusan yang lain, sebagaimana orang-orang padukuhan ngGebayan yang selalu dibayangi oleh kecemasan.
Dalam pada itu, Kiai Windupun kemudian berkata kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, "Kau tunggu kami di dalam. Kami akan keluar sebentar menengok kuda-kuda kami. Meskipun kuda-kuda itu sudah dirawat oleh orang-orang yang khusus ditugaskan, tanpa ditilik langsung, mungkin akan mengalami perlakuan yang kurang baik karena mereka merawat bukan milik mereka sendiri."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Bagaimana jika kami ikut keluar sebentar" Rasa-rasanya ingin juga melihat suasana di luar dinding yang membuat lingkungan ini bagaikan menjadi pengap."
"Jangan keluar," cegah Kiai Windu, "kau belum mempunyai tanda yang dapat kau pergunakan untuk masuk dan keluar. Jika yang bertugas di pintu gerbang itu orang lain yang lebih bebal dari yang terdahulu tanpa mau mendengarkan penjelasan, maka persoalannya akan sulit. Karena itu, lebih kalian berdua berada di dalam. Ingat, kalian akan diberi tanda itu jika kalian dianggap baik dan tidak berbahaya."
"Bukankah disini dapat berbuat apa saja?" bertanya Jati Wulung.
"Maksudnya tentu saja berbahaya bagi tempat ini. Bukan bagi para pengunjung yang lain," jawab Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk.
"Berhati-hatilah. Kami tidak akan lama. Jika kalian merasa sulit untuk mengekang diri melihat segala macam tingkah laku orang disini, masuk saja ke dalam bilik dan berbaring untuk menghilangkan kesal," berkata Kiai Windu kemudian.
"Baiklah. Kami akan menunggu," sahut Sambi Wulung.
Demikianlah maka Kiai Windu dan ketiga orang kawannyapun telah menuju ke pintu gerbang untuk menengok kuda-kuda mereka yang mereka tinggalkan. Agaknya kuda-kuda itu memang kuda-kuda yang mahal dan sudah barang tentu kuda yang baik.
Sepeninggal Kiai Windu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung masih melihat-lihat keadaan. Merekapun kemudian berjalan menuju ke arena panahan yang luas. Ketika dilihatnya beberapa orang yang nampaknya sedang memperhatikan jarak dari tempat memanah dan sasaran, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah melangkah menuju ke sudut lapangan yang luas itu. Keduanyapun kemudian duduk di bawah sebatang pohon rambutan yang kebetulan tidak sedang berbuah.
Sambil bersandar batang pohon rambutan itu Sambi Wulung sempat memperhatikan kesibukan yang semakin meningkat. Sedangkan Jati Wulung kemudian telah berbaring di atas rerumputan.
Sejuk juga rasanya udara di lereng Gunung Kukusan itu. Apalagi angin yang lemah bertiup dari arah ngarai.
Jati Wulung yang berbaring itu, tanpa disadarinya telah dirayapi oleh perasaan kantuk. Matanya perlahan-lahan telah terpejam.
Tetapi ia terkejut ketika Sambi Wulung telah menggamitnya ambil berdesis, "Lihat."
Jati Wulungpun tergagap. Dengan serta-merta ia telah bangkit dan memandang ke arah pandangan Sambi Wulung.
"Kau melihat apa?" bertanya Jati Wulung.
"Anak muda itu," desis Sambi Wulung.
Keduanyapun kemudian memperhatikan seorang anak muda yang berpakaian rapi dan baik dengan bahan yang cukup mahal. Dua orang yang agaknya pengawalnya berjalan di sampingnya sebelah menyebelah. Menilik sikap dan bentuk tubuhnya, maka kedua pengawal itu tentu bukan orang kebanyakan. Mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi.
"Apakah anak itu yang kita cari disini?" desis Sambi Wulung.
Jati Wulung tidak menjawab, tetapi ia terangguk-angguk kecil.
Namun Sambi Wulungpun kemudian berdesis, "Tetapi agaknya anak itu lebih tua dari Risang."
"Ujudnya memang demikian," sahut Jati Wulung. "Jika anak itu lebih tua dari Risang, tentu bukan anak itu yang kita cari."
Sambi Wulung mengangguk-angguk pula sambil berkata, "Wajahnyapun sama sekali tidak mirip dengan Risang. Bagaimanapun keduanya seayah, sehingga tentu ada kesamaan betapapun kecilnya."
"Ya," sahut Jati Wulung, "tetapi kita belum memperhatikan dengan baik. Kita baru melihatnya dari jarak yang agak jauh. Mungkin kita akan mendapat kesempatan untuk mendekati anak muda itu."
Sambi Wulung berkata. Namun anak muda itu telah melintas.
Namun untuk beberapa saat kemudian Sambi Wulung dan Jati Wulung masih berada di tempatnya. Tetapi merekapun tidak lagi memperhatikan orang yang mondar-mandir di lapangan yang akan dipergunakan untuk arena panahan itu. Bahkan Jati Wulung telah berbaring lagi sambil berkata, "Aku tiba-tiba menjadi malas disini. Aku mengantuk."
"Kau semalam kurang tidur," berkata Sambi Wulung, "lewat tengah malam kita masih berada di kedai Kemudian kau sempat tidur sebentar. Namun menjelang pagi, akulah yang tidur."
"Tidak. Sebenarnya jauh dari cukup. Tetapi rasa-rasanya memang udara segar disini. Agak dingin, namun tidak terlalu menggigit. Di hari yang cerah begini aku justru menjadi sangat mengantuk," sahut Sambi Wulung.
"Tidurlah," berkata Sambi Wulung, "aku akan duduk sambil menunggu Kiai Windu datang."
"Mereka agaknya akan langsung ke dalam bilik," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung tidak menyahut. Tetapi ia kembali duduk bersandar pada batang pohon rambutan yang cukup besar itu, sementara Jati Wulung berbaring sambil berbantal kedua telapak tangannya.
Menurut penglihatan Sambi Wulung memang semakin banyak orang yang berada di tempat yang disebut Song Lawa itu. Perempuanpun menjadi semakin banyak pula. Bahkan di antaranya perempuan-perempuan muda yang agaknya tidak untuk berjudi. Tetapi mereka adalah perempuan-perempuan yang lebih banyak bersolek untuk menggoncang hati-hati yang lemah dari laki-laki yang pada umumnya secara wadag terlalu kuat. Meskipun agaknya perempuan-perempuan muda seperti itu tidak memiliki kemampuan ilmu kanuragan, tetapi mereka berada di bawah perlindungan para petugas di Song Lawa, sehingga siapa yang berani mempermainkannya, maka mereka akan berhadapan dengan raksasa-raksasa yang banyak berkeliaran.
Tiba-tiba saja di luar sadarnya Sambi Wulung berkata, "Jauhi mereka agar kita tidak kehilangan jalur tugas kita."
Jati Wulung yang sudah terpejam matanya itu perlahan-lahan beringsut. Tanpa membuka matanya ia bertanya, "Apa yang harus dijauhi?"
"Perempuan-perempuan muda yang sengaja didatangkan kemari," jawab Sambi Wulung.
Namun justru tiba-tiba saja Jati Wulung bangkit. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Yang mana?"
"Awas," desis Sambi Wulung, "jika kau mempunyai persoalan dengan salah seorang dari mereka, maka kau akan dapat kehilangan semua kesempatan yang sudah kau kita peroleh selama ini."
"Bukankah aku tidak apa-apa?" bertanya Jati Wulung.
"Tetapi begitu kau mendengar tentang perempuan-perempuan muda, maka kau sudah kehilangan kantukmu," berkata Sambi Wulung.
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Kau selalu curiga. Aku hanya ingin tahu saja."
Sambi Wulung tidak menjawab. Tetapi iapun telah mengangkat wajahnya kesatu arah.
Sebenarnyalah bahwa Jati Wulungpun melihat tiga orang perempuan muda yang lewat diiringi oleh dua orang raksasa petugas dari Song Lawa tersebut.
"Sama sekali tidak menarik," berkata Jati Wulung.
Sambi Wulung berpaling ke arah Jati Wulung yang kemudian duduk di sisinya. Sambil tersenyum ia berkata, "Tidur sajalah."
"Nanti dulu. Aku memang tiba-tiba menjadi tidak mengantuk lagi," jawab Jati Wulung.
Sambi Wulung tertawa pula. Katanya, "Kau memang harus berhati-hati."
Jati Wulungpun tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Tetapi yang kemudian lewat bukan lagi perempuan-perempuan muda dengan rias yang berlebihan. Yang kemudian melintas di lapangan itu adalah Kiai Windu dengan tiga orang kawan-kawannya.
Ternyata bahwa Kiai Windu telah melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung yang duduk di bawah pohon rambutan itu. Karena itu, maka merekapun telah mendekatinya pula.
Sambil tersenyum Sambi Wulung berkata, "Kalian agaknya telah mengikuti perempuan-perempuan itu."
"Ah," sahut Kiai Windu, "aku kan sudah tua. Aku lebih senang bertaruh di arena sabung ayam daripada mempertaruhkan uangku untuk hal-hal seperti itu. Bahkan mungkin sebelum aku sempat bertaruh dadu, uangku sudah habis tuntas. Bahkan mungkin aku akan dapat menjual kudaku."
Sambi Wulung berpaling ke arah Jati Wulung sambil berkata, "Nah, kau dengar?"
"Bukankah aku tidak berbuat apa-apa?" jawab Jati Wulung.
Sambi Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya tertawa. Dengan nada rendah Kiai Windu berkata, "Mereka adalah pemeras-pemeras yang kasar disini. Namun ada juga orang yang merasa senang dengan pemerasan-pemerasan itu. Dengan bekerja sama para petugas Song Lawa, maka mereka dapat menguras seseorang sampai kering. Tetapi ada juga orang yang merasa dirinya tidak diperas."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hanya memandangi mereka dari jauh saja. Mudah-mudahan dengan demikian aku tidak akan diperas karenanya."
Kiai Windu tertawa semakin keras. Tetapi iapun kemudian berkata, "Sudahlah. Wanengpati akan menjadi marah nanti." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "kami sudah melihat ke dalam bilik sesudah menengok kuda-kuda kami. Karena kalian tidak ada, maka kami telah mencari kalian."
Namun tiba-tiba saja Jati Wulung yang dikenal dengan nama Wanengpati itu berkata, "He, kita belum makan. Kita akan pergi ke kedai."
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Sambil tersenyum ia bertanya, "Kenapa tiba-tiba saja kau mengajak pergi ke kedai" Apakah kau terbiasa makan sepagi ini."
"Kau lihat matahari sudah melampaui ujung batang nyiur," jawab Jati Wulung.
"Maksudku, kau terbiasa makan pagi, siang dan malam?" Kiai Windu menjelaskan.
Sambi Wulung tertawa. Katanya, "Marilah. Kita melihat siapa saja yang sudah berada di kedai itu."
Yang lainpun tertawa. Jati Wulung sambil bangkit berkata, "Dugaan kalian tentu yang bukan-bukan. Tetapi seandainya benar, apa salahnya" Aku ulangi, aku hanya akan memandangi mereka dari jauh, sehingga tidak seorangpun akan dapat memeras aku."
Semuanya tertawa. Seorang di antara kawan Kiai Windu itu tertawa terlalu keras, sehingga beberapa orang di lapangan itu berpaling kepadanya. Bahkan seorang raksasa yang bertugas di lapangan itu memandangi mereka dengan sorot mata yang tajam.
Namun tiba-tiba raksasa itu melihat Kiai Windu, sehingga justru karena itu, ia telah tertawa sambil melangkah mendekat.
"Cerah sekali agaknya," desis orang itu.
"Kami menemukan kegembiraan disini," jawab Kiai Windu.
"Syukurlah," jawab raksasa yang ternyata telah mengenali Kiai Windu dan kawan-kawannya itu, "apa saja yang kalian bicarakan" Tetapi bukankah kalian tidak menertawakan aku?"
"Ah," sahut Kiai Windu, "kami menertawakan diri kami sendiri. Di rumah kami masing-masing kami tidak perlu makan di pagi hari sampai matahari melewati puncak. Tetapi disini tiba-tiba kami menjadi lapar meskipun hari masih terhitung pagi."
Raksasa itu tertawa pula. Lalu katanya, "pergilah ke kedai itu. Tentu masakannya masih berasap."
"Kami memang akan pergi ke kedai itu," jawab Kiai Windu.
Raksasa itupun kemudian meninggalkan mereka dan kembali mengawasi orang-orang yang menyiapkan lapangan panahan yang akan menjadi salah satu ara perjudian dengan taruhan yang sangat tinggi.
"Nampaknya ia bersikap wajar," berkata Sambi Wulung.
"Kenapa?" bertanya Kiai Windu.
"Aku membayangkan bahwa orang-orang yang bekerja disini tentu orang-orang kasar yang membentak-bentak dan sekali-sekali mengumpat dengan kata-kata kotor," sahut Sambi Wulung.
"Sebagian besar memang demikian," jawab Kiai Windu, "tetapi seperti yang kalian lihat, ada pula yang bersikap wajar."
Tetapi pembicaraan mereka terpotong ketika Jati Wulung berkata, "Kenapa kita masih saja berbicara disini."
Sambi Wulunglah yang menyahut, "Marilah. Orang tua yang satu ini memang aneh."
Merekapun kemudian telah meninggalkan lapangan itu untuk pergi ke kedai. Pada saat mereka mendekati kedai itu, Jati Wulung berdesis, "Mudah-mudahan anak muda itu masih berada di kedai itu."
"Apakah kau tahu bahwa ia berada di kedai?" bertanya Sambi Wulung.
"Jika ia berjalan ke arah ini, ia tentu akan pergi ke kedai atau ke pakiwan yang berada di sebelah kedai itu, meskipun ada pakiwan yang lain. Tetapi dengan pakaian yang sudah rapi dan bahkan bahannya barangkali cukup mahal, maka ia tentu akan pergi ke kedai itu," jawab Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak mengatakannya kepada Kiai Windu.
Ketika mereka memasuki kedai yang cukup luas itu, maka mereka tidak segera melihat, siapa saja yang sudah duduk lebih dahulu. Namun mereka berenampun telah menuju ke sebuah amben yang cukup besar di sudut kedai itu.
Setelah mereka duduk sambil menunggu pesanan mereka, barulah mereka sempat memperhatikan satu demi satu orang-orang yang berada di kedai itu.
Seorang kawan Kiai Windu tiba-tiba saja berdesis sambil tertawa, "Ternyata pelayan yang menghidangkan makanan di kedai ini bukannya yang semalam."
Tiba-tiba saja keenam orang itu serentak berpaling ke arah Jati Wulung. Kiai Windupun berkata sambil tersenyum, "Mereka baru datang hari ini. Karena itu maka Wanengpati telah menjadi kelaparan sepagi ini."
Kawan-kawannya tertawa. Sambi Wulungpun tertawa.
Jati Wulung sendiri tidak ikut juga tertawa. Tetapi perhatiannya ternyata lebih banyak tertuju kepada seorang anak muda yang memang dicarinya.
Tetapi untuk tidak menarik perhatian, maka Jati Wulung telah memberikan isyarat agar Sambi Wulung sajalah yang mempertanyakan anak muda itu.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian Sambi Wulung menggamit Kiai Windu yang duduk di sebelahnya. Tanpa berpaling ke arah anak muda itu Sambi Wulung bertanya, "Kau kenal anak muda itu."
"Anak muda yang mana?" bertanya Kiai Windu.
"Yang duduk di amben panjang di sebelah tiang itu." jawab Sambi Wulung tanpa berpaling pula.
Kiai Windupun tidak dengan serta-merta memandang ke arah yang dikatakan oleh Sambi Wulung. Namun akhirnya ia menemukan pula orang yang dimaksudkan.
Namun tiba-tiba saja wajah Kiai Windu menjadi tegang. Dengan nada rendah ia berkata, "Anak gila itu ternyata datang lagi. Aku mempunyai persoalan dengan anak itu."
"Persoalan apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Tiga rambahan ia tidak membayar taruhan yang disepakati. Dibayarnya aku dengan timang emasnya. Namun ternyata bahwa emas itu dipalsukan. Sayang bahwa aku mengetahui bahwa emas itu palsu setelah aku meninggalkan Song Lawa ini. Apalagi tanpa saksi," jawab Kiai Windu.
"Lalu?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku berhak mengambil bayaran itu. Aku bawa timang emas palsunya itu yang barangkali ia mau menukarnya dengan uang. Atau aku harus memaksanya," berkata Kiai Windu.
"Sudahlah," berkata Sambi Wulung, "dengan demikian akan timbul persoalan sebelum semua acara di Song Lawa ini dimulai."
"Aku merasa ditipunya," desis Kiai Windu.
"Tetapi ia membawa pengawal. Sedikitnya dua orang yang duduk di sebelah menyebelah," berkata Sambi Wulung.
"Mereka hanya bertiga. Kita sedikitnya berenam," berkata Kiai Windu.
Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu, Kiai Windu itupun tersenyum sambil berkata, "Tidak. Aku tidak akan menyeret kalian ke dalam persoalan seperti ini. Dan akupun tidak akan menuntutnya. Di musim perjudian yang lalu, aku menang cukup banyak, sehingga timang emas yang dipalsukan itu tidak berarti apa-apa. Namun jika terasa sakit di hati, justru karena aku merasa tertipu itulah."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada berat Jati Wulung berkata, "Sebaiknya kau tidak mempersoalkannya lagi, kecuali jika ternyata ke bilik di sebelah untuk membunuh diri, maka lebih baik kau tuntut emas palsu itu.. Jika kau terpaksa mati dalam perselisihan itu, maka kau tidak mati karena membunuh diri."
"Ah kau," desis Kiai Windu, "tetapi pendapatmu dapat dipikirkan kemungkinannya."
Jati Wulungpun tertawa. Namun ia bertanya, "Kau tahu nama anak muda itu?"
"Tahu," jawab Kiai Windu, "namanya bagus sekali, sebagaimana wajahnya yang tampan dan pakaiannya yang selalu rapi."
"Ya, siapa?" bertanya Jati Wulung tidak sabar.
"Wikrama," jawab Kiai Windu, "nah bukankah nama yang sangat menarik?"
"Memang nama yang menarik," jawab Sambi Wulung sambil mengangguk-angguk.
Namun Jati Wulungpun telah menarik nafas dalam-dalam pula. Sebenarnyalah ia merasa kecewa mendengar nama itu, karena nama itu bukannya nama dari seseorang yang dicarinya.
Karena itu, maka iapun berkata, "Sayang sekali."
"Apa yang sayang?" bertanya Kiai Windu.
"Anak semuda itu sudah berada di tempat seperti ini," jawab Jati Wulung, "apakah orang tuanya tidak mengawasinya" Menurut pengamatanku, meskipun ia sudah dewasa tetapi tentu belum dewasa penuh."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Kau akan melihat bahwa ada beberapa orang anak muda yang sering datang ke tempat ini. Bahkan ada yang lebih muda dari Wikrama."
"O," Sambi Wulunglah yang menyahut, "jika lebih muda dari anak muda itu, tentu ia belum dewasa."
"Ya. Memang belum dewasa," jawab Kiai Windu, "pengawal-pengawalnyalah yang sudah dewasa dan yang paling banyak mendapat kesenangan disini."
"Kau mengenal mereka?" bertanya Sambi Wulung.
"Tentu," jawab Kiai Windu, "seorang bernama Tanon. Seorang yang agaknya dilahirkan dalam keluarga yang kaya raya sebagaimana Wikrama itu. Ia lebih muda dari anak muda itu. Tetapi nampaknya ia tidak terlalu tertib sebagaimana Wikrama. Yang lebih muda sedikit adalah seorang anak yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ia tidak sekedar bergantung kepada pengawal-pengawalnya seperti Wikrama dan Tanon yang biasanya membawa bukan hanya dua orang pengawal. Tetapi empat atau bahkan lebih."
"Bukan main," desis Jati Wulung, "remaja yang memiliki ilmu yang tinggi?"
"Ya. Namanya Puguh," jawab Kiai Windu.
Jantung kedua orang itu berdesir. Baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung untuk sejenak justru terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun keduanya sempat menahan diri, sehingga perhatian mereka tidak menimbulkan kecurigaan. Bahkan kemudian Sambi Wulung itupun bertanya, "Apa yang mereka lakukan disini?"
"Ah. Kau aneh. Sudah barang tentu berjudi. Memberikan taruhan pada sabung ayam dan permainan dadu. Tetapi Puguh sendiri memiliki kemampuan memanah yang tinggi. Ia memiliki kemampuan bidik yang luar biasa sehingga ia jarang dikalahkan di arena ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi berdebar-debar. Mereka segera teringat kepada Risang. Apakah Risang memiliki kemampuan sebagaimana dimiliki oleh Puguh"
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung belum menyaksikan sendiri seberapa jauh kemampuan remaja yang bernama Puguh itu.
"Mudah-mudahan tugas kami berhasil disini," berkata keduanya di dalam hati.
Jika keduanya berhasil berhubungan dengan Puguh, maka yang mereka perlukan adalah tempat tinggal Puguh itu dan dengan demikian maka akan ada kesempatan untuk mengamatinya. Bahkan ibunya.
Namun keduanyapun yakin, bahwa Warsi telah menjadi seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi setelah kekalahannya beberapa tahun yang lalu dalam perang tanding melawan Iswari.
Bahkan untuk menjajagi keadaan anak itu lebih jauh, Jati Wulung bertanya, "Kiai Windu. Apakah kau dapat membayangkan, bagaimanakah kira-kira ujud dari orang tua mereka. Terutama anak-anak yang masih remaja dan berkeliaran di tempat seperti ini. Kita yang tua-tua inipun sebenarnya harus bertanya kepada diri-sendiri, apakah yang kita cari disini. Apalagi anak-anak yang masih sangat muda, bahkan remaja."
"Aku belum pernah melihat orang tua mereka," jawab Kiai Windu, "nampaknya mereka datang ke tempat ini tanpa pernah bersama dengan orang tua mereka. Dan apakah orang tua mereka mengerti atau tidak, itupun tidak aku ketahui." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "Maaf, aku bukan seorang yang mempunyai kepentingan dengan mereka."
"Ya," sahut Sambi Wulung, "kita memang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan mereka. Tetapi kadang-kadang kita lebih banyak memikirkan orang lain daripada memikirkan diri sendiri. Aku sendiri adalah penjudi yang tidak tanggung-tanggung. Tetapi aku selalu menyesali anak-anak muda yang berada di tempat perjudian. Biarlah kita yang tua-tua ini terlanjur rusak. Tetapi jangan terjadi pada anak-anak muda itu."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Masih ada juga pilihannya padamu. Ternyata kau masih sempat berpikir jauh. He, apakah anakmu sebesar itu?"
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Katanya, "Mana mungkin orang seperti aku sempat mempunyai anak. Tetapi aku bersyukur bahwa demikian yang terjadi, sehingga aku tidak harus menjadi korban karena perasaan kecewa terhadap anak-anakku, bila mereka berada di tempat-tempat seperti ini."
Kiai Windu tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi nampaknya ia justru berpikir. Bahkan kemudian kepalanya menunduk dalam-dalam. Suaranya menjadi berat, "Ki Sanak. Agaknya memang lebih baik tidak mempunyai seorang anakpun daripada mengalami kesulitan yang parah dengan anak-anak kita yang pernah dilahirkan. Aku mempunyai empat orang anak. Tiga di antaranya laki-laki. Semuanya sudah tidak ada lagi. Anakku tinggal seorang perempuan saja. Untunglah aku sudah mempunyai dua orang cucu."
"O," Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun di luar sadarnya Jati Wulung bertanya, "Kenapa dengan mereka?"
"Mereka semua terbunuh dalam perselisihan keluarga yang parah," jawab Kiai Windu, "ketika seorang di antara anakku laki-laki diminta untuk mengawini anak sepupuku, ternyata anakku itu menolak, bagaimanapun aku membujuknya. Penolakan itu dianggapnya satu penghinaan, sehingga akhirnya terjadilah perselisihan itu. Dalam satu benturan kekerasan yang terjadi, yang menurut sepupuku itu untuk menebus malu, maka semua, ketiga anak laki-lakiku terbunuh. Bahkan isteriku pun terbunuh pula, meskipun ia sama sekali tidak melibatkan diri dalam perselisihan itu. Untunglah anak perempuanku sempat melarikan diri dan terlepas dari tangan sepupuku. Sehingga dengan terpaksa sekali, aku harus mengakhiri hidupnya. Semula ada niatku untuk membunuh juga anak perempuannya. Tetapi ternyata aku tidak sampai hati melakukannya. Jika semula aku menganggap bahwa anak perempuan itulah yang menjadi sumber malapetaka. Namun ternyata anak itupun tidak tahu menahu atas langkah-langkah yang diambil oleh ayahnya. Sementara itu kematian ayahnya sudah merupakan hukuman yang berat baginya, karena ibunya telah meninggal pula pada saat ia masih kanak-kanak."
"O, maaf Kiai," desis Jati Wulung, "bukan maksudku untuk mengungkapkan kesedihan di hati Kiai."
"Tidak. Kesedihan itu sudah terkubur bersama ketiga orang anak laki-lakiku. Mereka tidak mati sia-sia. Mereka telah mempertahankan martabat keluarganya. Tiga orang anak laki-lakiku mati bersama lebih dari lima orang lawan mereka." Kiai Windu berhenti sejenak, lalu, "sekarang harapanku ada pada cucu-cucuku. Kedua cucuku itu adalah laki-laki."
Yang mendengarkan keterangan Kiai Windu itu mengangguk-angguk. Sementara ia masih berkata, "Ketiga orang kawanku ini hanya seorang saja yang tahu pasti apa yang terjadi saat itu. Ia bersamaku sejak anak-anakku lahir. Yang dua orang di antara mereka bagiku termasuk orang-orang baru meskipun aku tidak meragukan kesetiaannya."
"Tetapi bukankah Kiai tidak akan membiarkan cucu-cucu Kiai itu datang ke tempat seperti ini sebagaimana dilakukan oleh kakeknya?" bertanya Sambi Wulung.
Kiai Windu mengangkat wajahnya. Ia justru tertawa. Namun katanya, "Jangan menunggu pesanan kita menjadi dingin."
Keenam orang itupun kemudian telah makan bersama-sama. Rasanya memang nikmat sekali, sehingga perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada makanan mereka semata-mata.
Mereka sama sekali tidak memperhatikan ketika dua orang datang mendekati mereka. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah menepuk bahu salah seorang kawan Kiai Windu.
Ketika orang itu berpaling, maka yang menepuk bahunya itupun telah melontarkan sekeping logam ke dalam mangkuk nasi kawan Kiai Windu itu.
Wajah kawan Kiai Windu itu menjadi merah. Dengan serta-merta ia bangkit sambil memandangi orang itu berganti-ganti dengan logam yang ada di dalam mangkuknya.
Orang yang memasukkan logam itu tertawa. Katanya, "Kau kenal ciri itu?"
Kawan Kiai Windu itu menjadi semakin tegang. Dengan nada berat ia berkata, "Kau orang Macan Ireng?"
"Kau masih mengenalinya he?" jawab orang itu, "nah, kita ternyata bertemu disini."
"Ya," jawab kawan Kiai Windu, "aku sudah terbiasa disini. Agaknya kau baru sekarang datang ke tempat ini. Siapa yang menanggungmu he" Atau kau sengaja ingin membuat persoalan lagi dengan aku sehingga kau memasuki tempat ini?"
"Kebetulan aku melihatmu disini. Aku hanya sekedar ingin mengingatkan, bahwa persoalan kita masih belum selesai," berkata orang itu.
"Tetapi caramu bagiku adalah satu tantangan," berkata kawan Kiai Windu, "kau masukkan benda itu di dalam mangkukku."
"Aku menunggu sampai kau selesai makan," jawab orang itu, "tetapi jika kau benar-benar tersinggung, apaboleh buat."
"Bagus," jawab kawan Kiai Windu, "aku benar-benar tersinggung dengan caramu. Mari, kita pergi ke lapangan panahan. Kita akan mendapat tempat yang luas untuk berbuat apa saja."
Tetapi Kiai Windu kemudian berdesis, "Buat apa kita meributkannya sekarang. Kita mempunyai banyak waktu. Bukankah kita masih duduk-duduk disini menikmati makanan kita."
"Tetapi tantangan ini tidak dapat aku biarkan," jawab kawan Kiai Windu.
"Aku setuju. Tetapi kenapa sekarang?" bertanya Kiai Windu.
"Mangkukku sudah dikotorinya," jawab kawannya itu.
"Kita minta mangkuk yang lain," jawab Kiai Windu, "jika kita sudah selesai disini, maka terserah kepadamu. Nampaknya orang baru itu memang belum terlalu banyak mengenal tempat ini."
"Persetan dengan tempat ini," jawab orang yang menyebut dirinya dari kelompok Macan Ireng itu. "aku tidak perlu mengenalnya lebih dahulu."
"Jangan hiraukan," berkata Kiai Windu, "duduk dan kita teruskan makan."
Sebelum kawannya menjawab, Kiai Windu telah memberikan isyarat kepada seorang pelayan untuk minta sebuah mangkuk yang bersih.
Kawan Kiai Windupun telah duduk kembali. Ketika ia sempat memandang berkeliling, ternyata beberapa orang yang ada di dalam kedai itu memandanginya.
Karena itu, maka katanya, "Jika kau ingin membuat perhitungan, nanti kita bertemu. Kawanku tidak mau merusakkan kedai ini, karena untuk menggantinya, harganya terlalu mahal. Hampir lipat sepuluh dari harga yang seharusnya."
"Bagus," jawab orang itu, "persoalan kita cukup berharga untuk dinilai dengan ilmu kita."
Kawan Kiai Windu itu tidak menghiraukannya lagi. Ia duduk kembali ketika ia mendapat sebuah mangkuk yang bersih.
Kedua orang itupun kemudian telah melangkah pergi pula. Seorang masih sempat menepuk pundaknya sambil berkata, "Mudah-mudahan kau menepati janjimu."
Kawan Kiai Windu tidak menjawab. Ia sudah menyuapi mulutnya kembali. Sebenarnyalah bahwa ia memang belum selesai makan.
Ketika kedua orang itu sudah keluar dari kedai itu, maka Kiai Windupun berkata, "berikan pertanda itu."
Kawannya mengambil logam dari mangkuknya, mencucinya dengan air bersih yang disediakan untuk mencuci tangan dan memberikannya kepada Kiai Windu.
"Macan Ireng," desis Kiai Windu, "kau mempunyai persoalan apa dengan orang-orang Macan Ireng, he?"
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku pernah melukai seseorang yang ternyata orang Macan Ireng."
"Kenapa kau lukai orang itu?" bertanya Kiai Windu. Lalu, "kapan itu kau lakukan sehingga aku tidak mengetahuinya?"
"Aku sedang dalam perjalanan menengok keluargaku di padukuhan Sempon, dekat Kudus. Aku masih mempunyai seorang paman disana dan anakku ada disana pula," jawab kawan Kiai Windu.
"Ya. Aku tahu bahwa kau pergi ke Kudus lebih dari sebulan yang lalu," berkata Kiai Windu.
"Aku bertemu dengan seseorang yang semula aku tidak tahu, bahwa orang itu adalah orang dari gerombolan Macan Ireng," jawab kawan Kiai Windu, "orang itu berusaha untuk mengambil seorang anak kecil. Mungkin ia memang berniat jahat. Aku kira termasuk usaha pemerasan dengan menuntut tebusan bagi anak kecil itu."
"Anak itu anakmu?" bertanya Kiai Windu.
"Bukan. Anak itu adalah anak pamanku itu," jawab kawan Kiai Windu.
"Kenapa tiba-tiba saja orang Macan Ireng berusaha mengambil anak pamanmu?" bertanya Kiai Windu.
"Pamanku termasuk orang berada di Sempon. Selebihnya, ada semacam perselisihan terjadi di padukuhan Sempon antara keluarga pamanku itu dengan keluarga seorang bebahu yang berpengaruh. Agaknya orang Macan Ireng itu termasuk seorang yang telah diperalat oleh bebahu itu dan sekaligus untuk melakukan pemerasan." jawab kawannya.
"Bagaimana sepeninggalmu" Apakah pamanmu tidak menjadi sasaran yang lunak bagi lawannya?" bertanya Sambi Wulung.
"Paman adalah orang kaya. Ia telah membayar tiga orang untuk melindunginya," jawab kawan Kiai Windu itu.
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Katanya, "Hanya tiga orang untuk menghadapi gerombolan Macan Ireng" He, apakah gerombolan Macan Ireng hanya terdiri dari dua orang itu saja?"
"Tentu tidak," jawab kawan Kiai Windu itu, "tetapi yang tiga orang itu juga anggota dari sebuah gerombolan yang akan dapat menyaingi gerombolan Macan Ireng. Jika Macan Ireng mengganggu salah seorang dari ketiga orang itu, maka akibatnya adalah benturan antara gerombolan. Agaknya untuk sementara Macan Ireng masih merasa segan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun kini orang Macan Ireng itu justru bertemu dengan kawan Kiai Windu di Song Lawa.
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah selesai. Setelah membayar makanan yang mereka makan, merekapun telah meninggalkan kedai itu.
"Kau lagi yang membayar," berkata Sambi Wulung, "nanti akulah yang membayar."
"Kau hanya berdua. Kami berempat," berkata Kiai Windu.
"Tetapi adalah kewajiban kami untuk membayarnya," sahut Jati Wulung.
"Baiklah," jawab Kiai Windu, "tetapi jika kami yang membayar itupun bukan aku. Tetapi kami bergantian empat orang."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tertawa. Tetapi mereka tidak berbicara lagi.
Namun dalam pada itu Sambi Wulung dan Jati Wulung memang harus berhati-hati. Di ngGebayan mereka telah membunuh seorang yang menurut pendapat Sambi Wulung dan Jati Wulung sangat deksura. Bagaimanapun juga keduanya tidak mau dihina. Sementara kawan-kawan dari orang yang terbunuh itu sudah ada di Song Lawa itu pula. Meskipun nampaknya mereka tidak secara serta-merta mendendamnya, tetapi kemungkinan buruk memang dapat terjadi.
Ternyata bahwa kawan Kiai Windu itu tidak melupakan janjinya. Karena itu, maka katanya, "Aku akan menemui orang-orang Macan Ireng itu. Bukankah kami berjanji untuk bertemu di lapangan."
"Satu tontonan yang tentu akan menarik. Tempat ini sudah terlalu ramai untuk berkelahi sekarang," berkata Kiai Windu.
"Tetapi aku tidak akan ingkar janji," jawab kawannya.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah. Tetapi sebaiknya kalian berkelahi tanpa senjata."
"Aku tidak dapat memilih. Terserah orang Macan Ireng itu," jawab kawan Kiai Windu.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada orang-orang Macan Ireng itu.
Sejenak kemudian maka merekapun telah berada di lapangan. Mereka berdiri agak menepi, karena ternyata beberapa orang masih sibuk mempersiapkan lapangan itu untuk dipergunakan pertandingan memanah yang diperjudikan.
Beberapa saat mereka menunggu. Namun ternyata sejenak kemudian mereka melihat sekelompok orang berjalan menuju ke arah mereka.
Kiai Windu terkejut. Katanya, "Apakah mereka semua orang-orang Macan Ireng?"
"Entahlah," jawab kawannya, "beberapa orang di antara mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa berada di Song Lawa."
Kiai Windu menggeram. Katanya, "persetan. Aku memang mengenal mereka yang sudah sering datang ke tempat ini. Mereka tidak pernah menyebut dirinya orang-orang Macan Ireng. Tetapi dua di antara mereka adalah orang-orang Kalamerta."
"Kalamerta," hampir di luar sadarnya Sambi Wulung berdesis.
"Ya. Bekas gerombolan Kalamerta yang semula sudah bercerai berai, namun yang berhasil dihimpun pula oleh pewarisnya," jawab Kiai Windu.
"Aku sudah mendengar tentang hancurnya gerombolan Kalamerta sepeninggal pemimpinnya," desis Jati Wulung.
"Pemimpinnya telah dibunuh oleh pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang pernah mempunyai persoalan dengan Kalamerta jauh sebelumnya. Bukan dengan gerombolannya. Tetapi persoalan pribadi yang diselesaikan dengan perang tanding. Tetapi Kalamerta terbunuh dan Ki Gede Sembojan yang juga hampir mati sampyuh itu dapat disembuhkan oleh seorang ahli pengobatan yang berilmu tinggi. Namun ia tetap cacat," berkata Kiai Windu.
"Apakah pemimpin Tanah Perdikan itu juga sering datang kemari untuk berjudi?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak. Pemimpin Tanah Perdikan itu sudah mati," jawab Kiai Windu.
"Lalu, apa hubungannya dengan orang-orang itu?" bertanya Sambi Wulung pula.
"Tidak ada," jawab Kiai Windu, "tetapi dua orang Kalamerta itu merupakan dua orang di antara mereka yang sering mengawal anak muda yang aku katakan. Masih terlalu muda."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Remaja?" desak Jati Wulung.
"Begitulah. Remaja yang bernama Puguh itu. Menilik kedua orang itu serta kawan-kawannya yang lain, maka agaknya Puguh itupun telah berada disini pula," berkata Kiai Windu kemudian.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk.
Tetapi mereka tidak boleh terlalu menunjukkan perhatian mereka terhadap laki-laki remaja yang bernama Puguh itu.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang datang bersama dengan orang dari gerombolan Macan Ireng itu sudah menjadi semakin dekat. Orang yang telah memasukkan ciri gerombolannya ke dalam mangkuk kawan Kiai Windu itu berjalan di paling depan. Sambil tersenyum iapun kemudian berhenti beberapa langkah di hadapan kawan Kiai Windu yang memang menyongsongnya.
"Ternyata kau jantan," berkata orang dari gerombolan Macan Ireng itu.
"Aku tidak pernah ingkar janji," jawab kawan Kiai Windu, "apalagi dalam persoalan seperti ini."
"Bagus," jawab gerombolan Macan Ireng itu, "tetapi sayang. Keadaan di dalam lingkungan ini tidak terlalu baik untuk melakukan perang tanding. Aku ingin melakukannya di luar."
Kawan Kiai Windu termangu-mangu. Ia merasa bahwa ia tidak memiliki keterangan yang dapat dianggap lengkap untuk memasuki arena, sehingga ia meragukan kejujuran orang Macan Ireng itu. Jika ia memenuhi permintaannya dan ternyata ia terjun ke dalam satu jebakan, maka ia akan mengalami kesulitan, sementara itu ia memang menduga bahwa orang-orang Macan Ireng adalah orang-orang yang licik. Langkah-langkah yang diambil oleh gerombolan itu atas pamannya memang menimbulkan kesan bahwa gerombolan itu bukankah terdiri dari orang-orang yang jujur.
Karena kawan Kiai Windu itu tidak segera menjawab, maka orang dari gerombolan Macan Ireng itu mendesak, "He, apa katamu?"
Tetapi kawan Kiai Windu itu menggeleng. Katanya, "Kenapa kita harus keluar dari Song Lawa" Disini kita mempunyai kesempatan yang luas. Jika kau ingin kita lakukan di tempat yang tersembunyi, kita dapat mencarinya di dalam lingkungan Song Lawa. Tidak di luarnya."
"Kau takut?" bertanya orang Macan Ireng itu.
"Ya," jawab kawan Kiai Windu, "aku takut kau menjadi licik dan berusaha menjebakku. Menurut penglihatanku, kau memang sangat licik. Bukankah yang pernah kau lakukan, atau katakanlah orang-orang dari gerombolanmu mencerminkan kelicikanmu itu?"
Orang macan Ireng itu menjadi tegang. Dengan geram ia berkata, "Kau menghina kami. Dendamku menjadi semakin dalam. Sementara itu kau bersikap seperti seorang pengecut."
"Aku memang pengecut di hadapan orang yang licik. Nah, aku tantang kau berkelahi di dalam lingkungan Song Lawa. Tidak akan ada orang yang mengganggu. Jika ada orang yang menonton biarlah mereka menjadi saksi," berkata kawan Kiai Windu, "justru di hadapan saksi-saksi itu kita dapat menilai, siapakah yang menang dengan sikap jujur."
Suasana memang menjadi tegang. Ketika beberapa orang bergeser, maka Kiai Windu dan kawan-kawannya yang lainpun bergeser pula. Nampaknya Kiai Windu dan kawan-kawannya itu telah menganggap diri mereka satu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu. Apakah mereka juga akan melibatkan diri"
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara seorang remaja melengking, memanggil nama seseorang.
Beberapa orang telah berpaling. Tetapi seorang di antara mereka yang mengikuti orang dari gerombolan Macan Ireng itu bergegas mendekatinya.
"Kau memanggil aku?" bertanya orang itu.
"Apa yang kau lakukan disini?" bertanya remaja itu.
"Aku melihat kawanku yang terlibat dalam perselisihan dengan orang-orang itu," jawab orang yang dipanggilnya.
"Kau atau kawanmu?" bertanya remaja itu.
"Kawanku," jawab yang dipanggil.
"Dan kau akan melibatkan diri" Disini urusan seseorang adalah urusannya sendiri. Bukan urusan orang lain," berkata remaja itu.
"Tetapi ia kawanku," orang yang dipanggil itu berusaha menjelaskan.
"Persetan," remaja itu membentak, "kau datang ke tempat ini bersamaku. Kau hanya berurusan dengan aku. Tidak dengan orang lain meskipun itu kawanmu. Ikut aku bersama semua orang-orangku."
Orang yang dipanggil itu tidak membantah. Ketika remaja itu kemudian pergi, maka orang itupun telah memberikan isyarat, agar beberapa orang kawannyapun pergi juga mengikuti remaja itu.
Yang dipanggil hanyalah empat orang. Sejenak orang Macan Ireng itu termangu-mangu. Namun iapun mengumpat, "Anak bengal itu telah mengganggu rencanaku menyelesaikan persoalan ini dengan tikus gila itu."
"Bukankah kau merencanakan satu kecurangan?" bertanya kawan Kiai Windu.
"Baiklah," berkata orang Macan Ireng itu, "pada satu hari, akan datang kesempatanku untuk membalas dendam."
Kawan Kiai Windu tidak menjawab. Sementara itu, maka orang Macan Ireng itupun telah beranjak.
Tetapi langkahnya terhenti ketika kawan Kiai Windu berkata, "Kau lihat, bahwa orang-orang yang bekerja di lapangan itu sama sekali tidak menghiraukan kita, meskipun seandainya kita saling membunuh disini" Mereka hanya akan menguburkan mayat, siapakah di antara kita yang mati. Tetapi mereka akan minta upah kepada yang menang, karena mereka harus menguburkan mayat itu."
"Persetan dengan mereka," geram orang Macan Ireng itu sambil melangkah pergi.
Beberapa langkah sepeninggal orang-orang Macan Ireng, maka Kiai Windu berdesis, "Mereka memang akan berbuat licik. Untung kau sempat berpikir."
"Mereka memang akan menjebakmu tanpa malu-malu," sahut Jati Wulung.
Namun tiba-tiba saja Kiai Windu berkata, "Anak itulah yang bernama Puguh."
"He?" Sambi Wulung dan Jati Wulung memang agak terkejut.
"Kenapa?" bertanya Kiai Windu, "apakah kau menaruh perhatian khusus terhadap Puguh?"
"Sama sekali tidak. Tetapi aku memang menaruh perhatian terhadap semua remaja yang ada di tempat ini. Bahkan mereka yang baru saja memasuki usia dewasanya. Kita yang tua-tua ini sebentar lagi sudah akan memasuki lubang kubur. Kematian kita tidak akan ada yang menangisinya. Apalagi jika kita mati dibidik yang memang disediakan untuk membunuh diri itu. Tetapi anak-anak muda apalagi yang sedang menginjak usia dewasa dan mereka yang masih remaja, maka hari depan mereka masih panjang. Sementara itu disini mereka mendapat kesempatan untuk berjudi, berkelahi, membunuh dan tidak kalah berbahayanya adalah perempuan-perempuan di kedai itu," sahut Sambi Wulung.
"Kau memang aneh," berkata Kiai Windu, "aku kira tidak ada tiga atau empat orang di lingkungan ini yang mempunyai sikap seperti sikapmu itu. Bahkan orang tua anak-anak muda dan remaja itupun aku kira tidak mempunyai pikiran sejauh itu."
"Tentu banyak yang lain," berkata Sambi Wulung, "terucapkan atau tidak."
"Aku semula juga tidak berpikir seperti itu. Tetapi kini aku mulai memikirkannya," berkata Kiai Windu.
"Bagaimana jika kita usulkan, bahwa batas umur perlu ditentukan di Song Lawa yang gila ini," berkata Jati Wulung.
"Mereka tidak akan sependapat," jawab Kiai Windu.
"Mereka siapa?" bertanya Jati Wulung.
"Mereka yang mendirikan tempat maksiat ini. Mereka tidak akan mempedulikan akibat apapun yang akan terjadi atas mereka yang memasuki tempat ini. Tetapi seperti yang kau ketahui, mereka yang datang akan memasukkan uang. Di setiap tempat perjudian akan dipasang tarip bagi mereka yang memasukinya. Berjudi atau tidak berjudi," berkata Kiai Windu, "dan itu adalah penghasilan tempat ini. Selain itu, kedai itupun memberikan penghasilan yang besar, karena harga makan dan minum di kedai ini lebih mahal dari harga dimanapun juga. Sementara itu, perempuan-perempuan yang kemudian akan memeras itupun memberikan penghasilan yang baik bagi Song Lawa."
Sambi Wulungpun mengangguk-angguk. Sementara itu orang Macan Ireng itupun sudah tidak nampak lagi. Mereka telah hilang di antara beberapa barak penginapan di Song Lawa itu.
"Bagaimana menurut pendapatmu tempat ini?" tiba-tiba saja Kiai Windu bertanya, "menarik atau justru sebaliknya."
"Bagiku sangat menarik. Lebih-lebih lagi anak-anak muda dan remaja itu. Aku ingin berkenalan dengan mereka," berkata Sambi Wulung.
"Kita masih mempunyai banyak waktu," berkata Kiai Windu, "kau tentu akan mendapat kesempatan itu."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Ya. Kita masih mempunyai banyak waktu."
Sehari itu Sambi Wulung dan Jati Wulung bersama Kiai Windu dan kawan-kawannya melihat persiapan yang sudah sampai pada tataran terakhir. Beberapa kalangan sabung ayampun telah siap. Di dalam sebuah barak panjang, akan menjadi arena bermain dadu. Permainan yang tidak kalah riuhnya dari permainan sabung ayam. Di lapangan yang luas, telah siap pula tempat untuk menyelenggarakan panahan yang diperjudikan.
Persiapan di hari itu diselingi beberapa kekerasan yang telah terjadi di Song Lawa. Bahkan satu jiwa telah melayang dalam benturan kekerasan itu.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung berusaha menjaga diri mereka agar mereka tidak terlibat dalam benturan-benturan kekerasan. Mereka mempunyai sasaran tugas yang jauh lebih besar dari sekedar menunjukkan kemampuan mereka. Keduanya mempunyai tugas untuk dapat berhubungan dengan anak muda yang bernama Puguh.
Sebenarnya Sambi Wulung dan Jati Wulung merasa tidak sesuai berada di tempat seperti itu. Kadang-kadang hatinya memang digelitik untuk mencampuri persoalan orang lain yang dianggapnya kurang adil. Namun keduanya harus menahan diri agar keduanya tidak terlibat ke dalam persoalan yang justru akan dapat menggagalkan sasaran utama mereka.
Menurut pengamatan Sambi Wulung dan Jati Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya ternyata tidak sekasar yang ia duga. Mereka memang sering mengumpat dengan kata-kata kotor. Tetapi mereka menanggapi persoalan-persoalan yang berkembang dengan sikap yang mengendap.
"Mungkin karena mereka sudah terbiasa berada disini," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya.
Ketika mereka makan siang, maka rasa-rasanya kedai itupun menjadi semakin sesak. Mereka duduk berhimpitan. Mereka tidak dapat duduk mengelilingi makanan dan minuman mereka, karena mereka harus memberikan tempat kepada orang-orang lain. Bahkan ada di antara orang-orang yang makan itu justru duduk-duduk di luar kedai, di bawah rindangnya dedaunan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah melihat beberapa kelompok orang yang mempersiapkan beberapa perangkat gamelan di sudut-sudut lingkungan perjudian Song Lawa itu.
"Untuk apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Di setiap sudut akan ada janggrung malam nanti," jawab Kiai Windu.
"Lengkaplah kemaksiatan di tempat ini," desis Jati Wulung.
"Apakah hal seperti ini tidak kau bayangkan sebelumnya?" bertanya Kiai Windu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu. Namun kemudian Sambi Wulung berkata, "Di tempat-tempat lain tidak diperlengkapi dengan kemaksiatan yang begini kasar. He, jika kau memang pernah pergi ke tempat perjudian di Gresik, kau tentu dapat mengatakan bahwa tempat ini terlalu kasar dan kotor."
"Kau sudah memasuki tempat yang bukan sewajarnya," berkata Kiai Windu. "Jangan menyesal jika kau melihat sesuatu yang kasar, kotor, jorok dan tidak sewajarnya pula."
"Aku mengerti," berkata Sambi Wulung. Namun tiba-tiba Kiai Windu berkata, "Kau menjadi orang aneh disini."
"Justru baru pertama kali aku datang ke tempat ini," jawab Sambi Wulung.
Sebenarnyalah, ketika malam turun, maka di sudut-sudut lingkungan perjudian itu telah siap beberapa lingkaran janggrung. Ketika oncor telah terpasang, maka suara gamelanpun mulai terdengar. Agak riuh, dengan irama yang panas.
Hampir semua orang yang ada di tempat itu telah keluar dari barak-barak mereka. Melihat-lihat lingkungan yang menjadi lebih terang dari biasanya. Apalagi di sudut-sudut lingkungan itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung masih berada di biliknya bersama Kiai Windu dan ketiga orang kawan-kawannya ketika gamelan sudah terdengar. Seorang kawan Kiai Windu berkata, "He, apakah kita tidak akan melihat janggrung?"
Kiai Windu memandang Sambi Wulung dan Jati Wulung yang malas. Namun iapun bertanya, "Bagaimana dengan kalian?"
"Aku malas, Kiai," jawab Sambi Wulung.
"Seharusnya kau tidak boleh malas," berkata Kiai Windu, "bukankah kau berniat mengenal anak-anak muda dan yang remaja itu?"
"Ya," jawab Sambi Wulung.
"Nah, marilah kita pergi," ajak Kiai Windu.
Sambi Wulung memandang Jati Wulung yang duduk bersandar dinding justru sambil memejamkan matanya. Namun ketika Sambi Wulung bertanya kepadanya, maka iapun telah membuka matanya, "Apakah kita akan pergi?"
Sejenak ia berpikir. Sementara seorang kawan Kiai Windu berkata, "Tledeknya masih baru."
"Dari mana kau tahu?" bertanya Kiai Windu.
"Hanya kira-kira," jawab kawannya, "bukankah Wanengpati lebih senang tledek yang baru sebagaimana yang berada di kedai siang dan sore ini?"
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bergumam, "Baiklah. Kita melihat janggrung."
Demikianlah mereka berenam telah keluar pula dari bilik mereka. Sementara itu bilik-bilik yang lainpun agaknya telah kosong pula. Ternyata bahwa janggrung itu memang sangat menarik. Bukan saja bagi pengunjung laki-laki yang datang ke Song Lawa, tetapi juga perempuan-perempuan yang telah ada di dalam lingkungan tempat perjudian itu pula.
Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung bersama Kiai Windu dan kawan-kawannya datang ke salah satu lingkaran janggrung itu, agaknya pertunjukan memang baru dimulai. Para penari masih menari tanpa pasangan. Mereka menarikan tarian yang panas dan melagukan tembang yang menggelitik.
Beberapa orang melingkari arena pertunjukan itu. Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung melihat bahwa kemaksiatan di tempat itu benar-benar lengkap ketika beberapa orang laki-laki yang duduk-duduk di tempat gelap telah mulai meneguk tuak.
"Kiai," berkata Sambi Wulung, "sudah berapa kali kau kunjungi tempat ini?"
"Tiga kali," jawab Kiai Windu, "kenapa?"
"Aku sudah empat kali," sahut seorang kawan Kiai Windu.
"Selalu ada kegiatan seperti ini?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya," jawab Kiai Windu.
"Dalam keadaan seperti ini apakah tidak mudah terjadi singgungan-singgungan" Apalagi mereka yang sudah mulai mabuk?" desis Sambi Wulung.
"Keadaan seperti ini memang rawan sekali. Tetapi lihatlah di sekitar tempat ini," berkata Kiai Windu.
"Apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Orang-orang yang akan mengusung mayat-mayat yang mungkin akan jatuh di malam ini telah siap," berkata Kiai Windu, "namun pada umumnya mereka masih juga menahan diri agar besok mereka dapat ikut bertaruh di sabungan ayam atau di tempat bermain dadu atau ikut panahan."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kali inipun demikian."
Kiai Windu tidak menjawab. Tetapi ia mengajak mereka untuk pergi ke arena pertunjukkan yang lain.
Seperti di arena yang baru saja mereka tinggalkan, maka yang nampak adalah beberapa orang tledek muda yang menari dengan irama yang panas. Mereka tersenyum-senyum kepada orang-orang yang mengerumuninya. Seolah-olah dengan sengaja mengundang mereka untuk memasuki arena.
Tetapi suasananya masih belum terlalu panas. Orang-orang yang berkerumun masih lebih senang melihat tledek-tledek itu menari. Sementara orang-orang yang berkerumun itu hanya sekedar menonton, meneriaki penari-penari yang terlalu banyak solah dan sekali-sekali bertepuk seiring dengan irama gamelan yang hangat.
Ketika keenam orang itu bergeser ke sudut yang lain, ternyata di tempat itu, pertunjukan baru akan dimulai. Beberapa orang penari memasuki arena. Sejenak mereka memandang berkeliling sambil tersenyum, disambut dengan tepuk tangan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
"Agak terlambat dibanding dengan di tempat-tempat lain," Jati Wulung berdesis.
Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka telah mengambil tempat yang cukup mapan di bawah sebatang pohon gayam.
Namun perhatian mereka tertarik ketika tiba-tiba saja seorang perempuan yang diiringi oleh seorang laki-laki yang bertubuh raksasa sebagaimana para petugas di tempat itu menyelinap di antara mereka yang menonton pertunjukan itu.
Dengan kerut di kening, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Kiai Windu dengan kawan-kawannya melihat perempuan itu menghentakkan tangannya.
"Benar, orang itu yang kau cari?" bertanya laki-laki raksasa itu.
"Perempuan itu memang cantik," desis perempuan yang mendesak maju itu dan berdiri di depan Kiai Windu dan kawan-kawannya.
"Tetapi kau tidak salah lihat?" bertanya kawannya sekali lagi.
"Tidak. Perempuan itulah yang telah mengambil suamiku, namun yang kemudian menyuruhkannya ke dalam perselisihan dengan para petugas disini. Sehingga akhirnya suamiku itu terbunuh disini," berkata perempuan itu.
"Kau tahu petugas yang manakah yang telah membunuh suamimu?" bertanya laki-laki raksasa itu.
"Aku tidak tahu yang mana," jawab perempuan itu, "tetapi itu tidak penting. Aku ingin perempuan itu hidup-hidup."
"Aku akan mengambilnya," geram laki-laki raksasa itu.
Ternyata Sambi Wulung telah berpura-pura memapah Jati Wulung seakan akan sedang mabuk kemudian melemparkannya.
"Jangan sekarang," cegah perempuan itu, "aku masih ingin bermain dadu. Jika kita sudah selesai, maka kita cari keterangan, dimana tempat tinggalnya. Aku lebih senang berurusan dengan perempuan itu di luar lingkungan Song Lawa."
"Baiklah. Tetapi kita harus menyadari, bahwa dimanapun juga perempuan itu tentu mempunyai pelindung. Karena itu, maka untuk mengambilnya, kita harus benar-benar siap melakukannya," berkata laki-laki bertubuh raksasa itu.
"Bukankah kita juga tidak hanya berdua?" desis perempuan itu.
Laki-laki itu tidak menjawab. Namun mereka telah tenggelam dalam tarian yang telah dimulainya. Bahkan laki-laki raksasa itu sempat juga berkata, "perempuan itu memang cantik."
"Kau juga akan terseret ke dalam pelukannya?" bertanya perempuan itu.
Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Nilaimu lain dengan nilai tledek itu meskipun seandainya kecantikanmu sama dengan kecantikannya."
"Persetan," geram perempuan itu. Namun laki-laki itu masih saja tertawa.
Demikianlah maka sejenak kemudian lingkungan perjudian yang disebut Song Lawa itu menjadi ramai. Semakin malam maka irama gamelanpun menjadi semakin hangat. Empat lingkaran keramaian yang dipanaskan oleh tari janggrung yang semakin kasar membuat orang-orang yang mengerumuni menjadi semakin gembira. Beberapa orang yang mulai menjadi mabuk telah ikut menari-nari. Merekapun telah memasuki kebiasaan para penari janggrung yang kasar. Mereka memberikan keping-keping uang kepada para tledek yang menari berputar-putar untuk dapat ikut menari sebagai pasangannya.
Dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung serta Kiai Windu dengan ketiga orang kawannya ternyata hanya melihat-lihat saja. Tidak seorangpun di antara mereka yang ikut meneguk tuak yang dapat memabukkan. Tidak pula ikut menari bersama-sama dengan penari janggrung.
Ketika keadaan menjadi semakin panas, maka tidak dapat dielakkan lagi telah terjadi benturan-benturan kekerasan. Namun seperti yang dikatakan oleh Kiai Windu, pada umumnya mereka masih berusaha untuk menahan diri, karena besok mereka ingin ikut serta dalam sabung ayam, atau permainan dadu serta panahan yang diperjudikan.
Namun ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung melihat remaja yang disebut bernama Puguh itu berada di bawah sebatang pohon preh tidak terlalu jauh dari salah satu arena tari janggrung, maka keduanya telah saling menggamit.
Kiai Windu segera mengerti maksud keduanya ketika keduanya dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian telah mendekati anak muda itu.
Ternyata Sambi Wulung telah berpura-pura memapah Jati Wulung seakan-akan sedang mabuk. Kemudian melemparkannya sehingga Jati Wulung itu terjatuh tidak terlalu jauh dari remaja yang bernama Puguh yang duduk dikelilingi oleh empat orang pengawalnya.
Ketika debu terhambur, maka salah seorang pengawal Puguh itupun mengumpat, "Orang gila. Kau kotori pakaian kami he?"
Sambi Wulunglah yang menyahut, "Maaf Ki Sanak. Adikku memang orang yang tidak tahu diri. Sudah tua masih juga ribut dengan tari janggrung dan bahkan telah mabuk pula."
Seperti yang lain, pengawal Puguh itupun tidak lagi mempersoalkannya. Agaknya merekapun lebih senang bermain besok dari pada malam itu, harus terjadi keributan, karena mereka memang datang untuk berjudi.
Sambi Wulung dan Jati Wulung telah duduk tidak terlalu jauh dari Puguh dan para pengawalnya. Jati Wulung masih saja bersikap seperti orang mabuk, sehingga Kiai Windu yang juga mendekatinya meskipun masih tetap memelihara jarak, tertawa sambil berbisik kepada kawan-kawannya, "Mereka adalah orang-orang aneh."
"Mungkin mereka mempunyai persoalan dengan anak-anak muda itu," desis seorang kawannya.
"Tidak," jawab Kiai Windu, "ia menaruh perhatian terlalu besar terhadap anak-anak muda dan remaja yang berada di tempat maksiat seperti ini."
"Menarik sekali untuk diperhatikan," berkata kawan Kiai Windu yang lain.
"Tetapi mereka benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Namun ternyata mereka tidak sekasar yang kita duga sebelumnya, sebagaimana mereka menghentikan kita dan melukai salah seorang di antara kita," berkata Kiai Windu.
Pisau Terbang Li 13 Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Senopati Pamungkas I 19