Sayap Sayap Terkembang 6
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 6
Beberapa saat kemudian, mereka berenam telah berada di kedai bersama beberapa orang yang lain. Kedai yang luas itu memang cukup menampung orang cukup banyak.
Keenam orang itu ternyata telah memilih tempat yang justru berada agak di luar, agar tidak merasa terlalu panas dan terlalu sibuk.
Ternyata bahwa perut yang lapar, kelelahan dan haus membuat mereka mapan sekali duduk di sebuah amben yang besar berenam sambil menghadapi mangkuk masing-masing.
Untuk beberapa saat, mereka masih dapat menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan. Namun beberapa sakat kemudian, tiba-tiba saja sebuah batu yang cukup besar, tidak kurang dari satu genggaman tangan telah jatuh di mangkuk Jati Wulung sehingga mangkuk itu menjadi pecah.
Serentak ia berpaling. Sementara itu suara tertawa telah terdengar memenuhi kedai itu.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia teringat kepada seseorang yang telah memasukkan sekeping uang di mangkuk salah seorang dari kawan Kiai Windu. Namun yang dimasukkan ke dalam mangkuknya bukan uang, tetapi justru batu sebesar genggaman tangan sehingga memecahkan mangkuknya dan isinyapun telah berhamburan.
Orang yang melemparkan batu itu ternyata adalah orang yang berkepala botak yang telah dikalahkannya di arena panahan.
"Kau memang benar Kiai Windu," berkata Jati Wulung, "aku tidak perlu menunggu besok atau malam nanti. Sekarang orang itu sudah menuntut kekalahannya."
"Berhati-hatilah," berkata Kiai Windu, "nampaknya orang itu bukan orang kebanyakan. Aku belum pernah melihat sebelumnya ia berada disini."
Namun dalam pada itu Jati Wulung masih belum berbuat sesuatu. Ia memang menunggu orang itu mendekatinya.
Sambil tertawa berkepanjangan, orang itu memang melangkah mendekat. Ia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang di kedai itu. Sedangkan orang-orang di kedai itupun tidak banyak pula yang memperhatikannya. Sesaat mereka memang berpaling ke arahnya. Namun kemudian mereka lebih baik memperhatikan makan dan minuman mereka daripada memperhatikan orang lain.
"Kau adalah pemanah terbaik yang pernah aku temui," berkata orang berkepala botak itu, "aku mengakui, bahwa kau telah melampaui kemampuanku memanah. Sebelumnya, akulah yang terbaik. Namun kehadiranmu membuat wibawaku menurun di lapangan panahan."
"Bukan maksudku," berkata Jati Wulung, "aku hanya sekedar mengambil kemenangan untuk makan siang ini."
"Kau semakin menghinaku," berkata orang berkepala botak itu, "kau justru dengan sengaja mengenai sasaran dengan nilai denda. He, apakah kau memang ingin menantang aku."
Wajah Jati Wulung menjadi merah. Tetapi ketika ia melihat orang-orang di sekitarnya masih tenang-tenang saja, maka iapun menjadi tenang pula.
"Ki Sanak," berkata orang berkepala botak itu, "karena kau merebut wibawaku di arena panahan, maka aku ingin mendapatkannya kembali disini. Jika kau mau berjongkok dan minta maaf kepadaku, maka aku tidak akan mengganggumu lagi meskipun kau akan turun pula ke arena panahan. Aku dapat menyingkir ke kelompok lain atau melakukan kegiatan yang lain."
Jati Wulung hampir kehilangan kesabarannya. Namun ia masih berusaha menguasai diri.
"He. Kenapa kau diam saja" Jika kau sesali kesombonganmu di arena panahan itu, berjongkoklah cepat sebelum aku mengambil keputusan lain," berkata orang berkepala botak itu.
Jati Wulung memang sudah menjadi panas. Iapun kemudian turun dari amben.
"Nah, ternyata kau berani mengakui kesalahanmu. Marilah. Aku akan mengampunimu," desis orang itu.
Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan. Jati Wulung telah menyambar mangkuk di hadapan Sambi Wulung yang masih berisi minuman hangat. Dengan serta-merta minuman itu telah dilontarkan ke wajah orang yang berkepala botak itu.
Orang berkepala botak itu ternyata sama sekali tidak menduga, sehingga karena itu, maka wedang sere hangat itu benar-benar telah menyiram wajahnya.
Orang itu bergeser selangkah surut. Wajahnya menjadi merah bagaikan membara. Bukan saja karena minuman yang masih hangat itu, tetapi juga karena kemarahan yang semakin memuncak.
Orang-orang yang ada di dalam kedai itu memang tertarik melihat sikap Jati Wulung. Semula mereka menduga bahwa Jati Wulung yang menyebut dirinya bernama Wanengpati itu memang benar-benar akan berlutut. Tetapi ternyata yang dilakukan justru sebaliknya.
Sementara di antara mereka yang melihat apa yang terjadi di arena panahan, segera mengetahui, bahwa orang berkepala botak itu telah mendendam Wanengpati karena kekalahannya yang mutlak di arena.
"Kau benar-benar orang gila," geram orang berkepala botak itu, "tadi aku masih berbaik hati dan bersedia memberikan maaf jika kau minta. Sekarang kau mendapat kesempatan lagi."
"Persetan," geram Jati Wulung.
Sambi Wulung hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan mampu mencegah benturan kekerasan yang akan terjadi. Namun ia masih ingin memperingatkan kepada Jati Wulung, bahwa tujuan mereka ke Song Lawa adalah untuk mengenal dan mengetahui tempat tinggal Puguh. Bukan untuk hal-hal yang lain.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah berdiri pula mendekati Jati Wulung. Diambilnya mangkuk yang masih berada di tangan Jati Wulung itu. Ia seolah-olah tidak peduli apa yang akan terjadi. Namun ia sempat berbisik, "perkelahian ini tidak termasuk dalam tugas kita."
"Kita sudah melakukannya beberapa kali," desis Jati Wulung.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian berkata kepada seorang pelayan, "Tolong, isi mangkukku ini. Wedang sere panas."
Kiai Windu dan kawan-kawannya hanya termangu-mangu saja. Meskipun mereka tahu, bahwa Sambi Wulung berkata sesuatu kepada Jati Wulung, tetapi mereka tidak mendengar apa yang dikatakannya.
Dalam pada itu, ketika Jati Wulung dan orang berkepala botak itu sudah bersiap, maka dua orang yang bertubuh raksasa datang mendekat sambil berkata kepada dua orang yang akan berkelahi itu, "Minggir. Jangan berkelahi di kedai ini. Kalian dapat merusakkan barang-barang kami sehingga kalian harus mengganti dengan harga yang sangat tinggi. Apalagi jika salah seorang dari kalian mati. Maka yang hidup akan menanggung beban yang berat, atau ikut mati pula."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia telah bergeser menjauh dari kedai itu dan justru berada di tempat yang lapang. Sementara itu orang berkepala botak itupun menyusulnya pula.
Orang-orang yang makan di kedai itu masih juga makan. Sementara itu, Jati Wulung masih sempat melihat Puguh diikuti oleh beberapa orang pengawalnya menuju ke kedai itu. Mereka berpaling sejenak. Namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi.
Dalam pada itu, orang berkepala botak yang marah sekali itu agaknya tidak sabar lagi. Wajahnya dan pakaiannya memang sudah basah oleh wedang sere yang hangat.
"Bersiaplah," ia menggeram.
Jati Wulung tidak menjawab. Namun iapun telah bersiap pula.
Dalam pada itu, dua orang yang baru datang ke kedai itu masih berdiri di dekat tempat duduk Sambi Wulung. Seorang di antara mereka berkata, "Kedua-duanya belum pernah aku lihat sebelumnya."
"Ya. Keduanya orang baru. Tetapi kasihan orang itu. Ia memiliki kemampuan memanah tiada taranya. Tetapi di tangan orang berkepala botak itu ia akan menjadi permainan yang mengasyikkan. Agaknya jika ia tahu siapa si botak itu, maka ia tidak akan berani menyombongkan dirinya di arena," desis yang lain.
"Kau kenal si botak itu?" bertanya kawannya.
"Orang itulah yang dikenal dengan sebutan Orang Hutan berkepala Besi," jawab yang lain.
"O," kawannya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "sayang. Orang itu sudah terbentur pada Kepala Besi di hari kedua. Masih banyak waktu yang tersisa. Kenapa ia sudah mengorbankan dirinya sekarang."
"Ia terlalu sombong dengan kemampuan bidiknya," jawab yang lain, "tetapi Kepala Besi itu namanya sudah terlalu banyak dikenal."
"Di pesisir Utara. Tetapi belum disini," jawab kawannya.
Keduanyapun kemudian bergeser dan duduk di sebuah amben. Ketika keduanya mulai memesan makanan, maka orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu sudah mulai bergerak.
Sambi Wulung memang menjadi berdebar-debar mendengar pembicaraan itu. Apalagi ketika Kiai Windu berdesis, "jadi orang itulah yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu."
"Kau pernah mendengar?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Namanya memang ditakuti di pesisir Utara. Tetapi tiba-tiba sekarang ia berada disini?" jawab Kiai Windu. Namun di luar sadarnya Kiai Windu berkata, "Kemelut di daerah Alas Mentaok agaknya telah memanggilnya."
Sambi Wulung terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan serta-merta ia bertanya, "Kemelut yang manakah yang kau maksud?"
Kiai Windulah yang terkejut kemudian. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun berkata, "Tidak. Tidak ada apa-apa dengan Mentaok."
Ketika agaknya Sambi Wulung masih akan bertanya lagi, Kiai Windu mendahuluinya, "perkelahian itu sudah mulai."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Perkelahian antara orang berkepala botak yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu dengan Jati Wulung yang dikenal bersama Wanengpati memang sudah mulai.
Namun dalam pada itu orang berkepala botak itu masih sempat bertanya sambil meloncat menyerang, "Sebelum mati, sebut namamu."
"Wanengpati," jawab Jati Wulung.
"Nama orang gila itupun gila pula," geram orang berkepala botak itu.
"Sebelum kepalamu yang botak itu pecah, siapa namamu he?" bertanya Jati Wulung.
"Biwara," jawab orang itu. Lalu, "Tetapi aku lebih dikenal dengan sebut Orang Hutan berkepala Besi. Aku tidak sakit hati disebut Orang Hutan, juga tidak marah dipanggil Kepala Besi. Nah, sekarang kau akan segera mati setelah mengetahui siapa aku. Seandainya kau menyesal, namun kau sudah tidak akan mendapat kesempatan pengampunan lagi."
Jati Wulung masih akan berbicara lagi. Tetapi serangan lawannya tiba-tiba datang dengan derasnya, seperti tiupan angin prahara.
Karena itu, maka Jati Wulung terpaksa memusatkan perhatiannya pada serangan lawannya. Dengan tangkasnya ia melenting menghindar sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran.
"Anak iblis," geram orang berkepala botak yang menyebut dirinya Birawa, "bagaimana mungkin kau menghindari seranganku."
Jati Wulung telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih juga berkata, "Namamu sama sekali tidak dikenal. Seperti nama kebanyakan petani yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Bahkan seorang juragan didaerah Pajang akan lebih banyak dikenal daripada namamu."
"Aku koyak mulutmu," geram orang itu.
"Kenapa tidak kau lakukan saja daripada kau berteriak-teriak" Nah, ketahuilah, bahwa berteriak-teriak seperti itu adalah ciri orang yang kurang yakin akan dirinya sendiri," berkata Jati Wulung.
Orang itu memang menjadi semakin marah. Dengan kecepatan yang sulit diikuti, maka iapun telah menyambar Jati Wulung dengan telapak tangannya ke arah kening. Namun sekali lagi serangannya sia-sia karena Jati Wulung telah bergeser. Bahkan dengan tiba-tiba saja Jati Wulung telah berputar dan bertumpu pada satu tumitnya. Kakinya yang sebelah yang menyilang kakinya yang lain, telah terpancang dengan kuatnya ketika kakinya yang semula menjadi tumpuannya berputar telah bergerak menyamping.
Gerak itu demikian cepatnya, sehingga orang berkepala botak itu menjadi sangat terkejut karenanya.
Dengan demikian, maka dengan langkah yang panjang, orang berkepala botak itu telah meloncat beberapa langkah surut.
"Bukan main," terdengar salah seorang dari kedua orang yang semula membicarakan tentang orang berkepala botak itu.
Sambi Wulung sempat berpaling ke arah mereka. Ternyata keduanya dengan sungguh-sungguh telah memperhatikan kedua orang yang berkelahi itu.
"Jarang ada orang yang berhasil lolos dari serangan Kepala Besi itu," desis orang yang agaknya memang pernah mengenal orang berkepala botak itu.
Sementara itu kedua orang yang bertempur itu semakin lama memang menjadi semakin cepat. Keduanya memiliki ketrampilan yang tinggi dan tenaga yang besar. Bahkan beberapa saat kemudian mereka telah merambah ke tenaga cadangan mereka.
Orang yang disebut Orang Hutan dan bernama Birawa itu memang merasa heran bahwa seseorang yang berada di Song Lawa itu mampu mengimbanginya beberapa lama. Bahkan orang yang bernama Wanengpati itu nampaknya sampai tataran tertentu akan dapat meningkatkan ilmunya lagi.
Dengan demikian kemarahan Birawa itupun menjadi semakin memuncak. Ia meningkatkan tenaga cadangannya tataran demi tataran. Namun lawannyapun telah meningkat pula. Seakan-akan Wanengpati itupun menjadi semakin lama semakin kuat dan tangkas.
Sambi Wulung memperhatikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ia tahu bahwa Jati Wulung memiliki ilmu yang tinggi meskipun belum setinggi Kiai Soka dan Kiai Badra. Tetapi tidak pada tataran yang jauh lebih rendah. Bahkan dalam beberapa hal, Jati Wulung masih mempunyai kemungkinan pula untuk berkembang.
Kiai Windupun menjadi tegang karenanya. Ia pernah mendengar serba sedikit tentang orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi. Di pesisir Utara nama itu disebut-sebut sebagai nama yang menggetarkan jantung.
Namun Kiai Windupun tahu bahwa Wanengpati itu juga memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan ia pernah menjajagi langsung kemampuan dua orang yang bernama Wanengbaya dan Wanengpati. Kiai Windu berempat tidak mampu mengimbangi kedua orang itu. Bukan sekedar berpura-pura. Tetapi benar-benar mereka berempat telah dikalahkan.
Beberapa saat kemudian, maka sikap dan gerak Orang Hutan berkepala Besi itu menjadi semakin keras dan bahkan kasar. Menurut pengalaman Kiai Windu, Wanengbaya dan Wanengpati semula juga dikiranya termasuk golongan orang-orang kasar. Tetapi ternyata kekasaran itu bukanlah sifat dan watak keduanya yang sebenarnya.
Rencana mereka memasuki Song Lawa telah membuat kedua orang itu dengan sengaja menjadi kasar.
Jati Wulung memang tidak menunjukkan tata gerak yang kasar pada mulanya. Tetapi ketika orang berkepala botak itu menjadi keras dan kasar, maka Jati Wulungpun mulai teringat, bahwa ia berada di Song Lawa.
Karena itu, maka tiba-tiba saja tata geraknya telah berubah. Ia tidak lagi bergerak dengan hati-hati. Tidak lagi menjaga agar tidak menimbulkan kesan yang keras dan bahkan liar. Ketika orang berkepala botak itu mengumpat kotor sambil menyerang dengan kasar, ternyata Jati Wulung telah melakukannya pula.
Namun karena Kiai Windu berada di luar arena, ia dapat melihat perubahan itu. Apalagi karena Kiai Windu sendiri mempunyai penilaian yang lain atas kekerasan Wanengpati itu. Tetapi bagi orang lain, maka perubahan itu sama sekali tidak dapat mereka ketahui. Yang nampak kemudian oleh orang-orang yang sekali-sekali berpaling ke arah perkelahian itu adalah bahwa keduanya berkelahi menurut kebiasaan yang terjadi di Song Lawa. Keras, kasar dan bahkan liar.
Orang-orang yang berada di dalam kedai, kebanyakan semula sama sekali tidak menghiraukan perkelahian itu kecuali beberapa orang tertentu. Namun ketika perkelahian itu menjadi semakin meningkat, maka merekapun mulai tertarik. Ketika kedua orang yang bertempur itu bergerak semakin cepat, dengan benturan-benturan yang semakin keras dan serangan-serangan yang semakin kasar pula, maka satu demi satu mereka mulai memperhatikannya.
Dua orang yang telah membicarakan sebelumnya tentang Orang Hutan berkepala Besi itu menjadi heran, bahwa lawan Orang Hutan itu masih juga mampu bertahan.
"Ternyata ada juga orang yang berilmu tinggi memasuki tempat perjudian ini," desis orang yang pernah mengenali Kepala Besi itu.
Ketegangan ternyata telah menjalar ke seluruh isi kedai itu. Mereka tidak lagi bersikap acuh saja. Yang mereka lihat kemudian adalah sesuatu yang luar biasa.
Kiai Windu yang juga menjadi tegang berbisik di telinga Sambi Wulung, "Bagaimana menurut pendapatmu. Aku ingin tahu agar jantungku tidak meledak."
"Ingin tahu tentang apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Kau adalah saudaranya. Kau tentu tahu, apakah Wanengpati telah sampai ke puncaknya atau belum. Jika orang berkepala botak itu meningkatkan lagi ilmunya, bahkan sampai kepada ilmu puncaknya apakah saudaramu itu masih mempunyai kemampuan yang dicadangkannya pula?" bertanya Kiai Windu.
"Kau aneh," desis Sambi Wulung, "orang seperti aku seharusnya tidak menjadi gelisah melihat perkelahian seperti itu, meskipun kita belum tahu bagaimana akan akhirnya."
"Kau jangan menambah aku menjadi semakin berdebar-debar," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun dengan demikian ia sadar bahwa orang yang bernama Kiai Windu itu memang sangat memperhatikannya dan memperhatikan Jati Wulung. Kecemasan Kiai Windu terhadap Jati Wulung menunjukkan, bahwa pergaulan, mereka yang belum terlalu lama itu telah menumbuhkan perasaan kesetiakawanan meskipun perkenalan mereka terjadi dengan cara yang aneh.
"Kau belum menjawab," desak Kiai Windu yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin seru.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak ingin berteka-teki. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat meramalkan apa yang akan terjadi, karena aku belum lalui, sampai dimana tataran kemampuan orang berkepala botak itu."
Kiai Windu termangu-mangu sejenak. Iapun tidak tahu pasti tataran kemampuan Kepala Besi itu. Apakah ia masih mampu meningkatkan ilmunya lebih jauh lagi, atau hanya beberapa lapis saja. Namun ia masih bertanya, "Kalian dapat mengalahkan aku berempat. Aku yakin bahwa saat itu kau berdua belum sampai pada puncak kemampuanmu. Nah, katakan, apakah yang dilakukan oleh Jati Wulung itu masih jauh dari batas kemampuannya atau sudah menjadi semakin dekat."
"Jangan seperti anak-anak," berkata Sambi Wulung, "kita sudah kenyang makan garamnya kehidupan yang keras seperti ini."
Kiai Windu tidak bertanya lagi. Namun ia menjadi semakin gelisah melihat perkelahian yang keras dan kasar itu. Bahkan apalagi ketika ia melihat, Kepala Besi itu beberapa kali dengan sengaja berusaha untuk membenturkan kepalanya pada kepala lawannya.
Sambi Wulungpun menjadi tegang. Satu pengalaman baru baginya dan juga bagi Jati Wulung, bahwa seseorang berusaha untuk membenturkan kepalanya ketika mereka sedang bertempur. Namun Jati Wulung cukup tangkas untuk selalu menghindarinya.
Namun dalam pertempuran yang kasar, tiba-tiba saja keduanya sempat berdiri pada jarak yang dekat. Adalah di luar dugaan bahwa tiba-tiba saja Kepala Besi itu telah meraih telinga Jati Wulung. Jati Wulung sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan melakukan hal tersebut. Karena itu, maka ketika semuanya itu terjadi dengan cepat Jati Wulung tidak sempat menghindar.
Ternyata sambil memegangi telinga Jati Wulung Orang Hutan berkepala Besi itu telah membenturkan kepalanya ke kepala Jati Wulung.
Benturan itu demikian kerasnya, sehingga terdengar Jati Wulung mengeluh tertahan.
Tetapi Kepala Besi itu tidak melepaskan pegangannya. Belum lagi Jati Wulung sempat berbuat sesuatu, maka sekali lagi telah terjadi benturan kepala antara keduanya.
Sekali lagi Jati Wulung mengaduh. Kepalanya rasa-rasanya menjadi retak oleh benturan itu. Kepala lawannya itu benar-benar terasa bagaikan terbuat dari besi. Dan itulah agaknya maka lawannya mendapat gelar berkepala besi.
Sambi Wulung yang berada di luar arena menjadi tegang melihat cara orang berkepala botak itu berkelahi. Hampir saja ia meloncat berdiri. Namun ia masih sempat mencegah dirinya sendiri.
Bukan hanya Sambi Wulung, tetapi Kiai Windu dan kawan-kawannyapun menjadi tegang pula. Bahkan terdengar Kiai Windu mengumpat, "Gila."
Sementara itu dua orang yang telah membicarakan Kepala Besi itu sebelumnya terdengar berdesah pula. Seorang di antara mereka berkata, "Nah, sampailah batas umur orang yang malang itu. Kemampuannya memanah yang luar biasa itu ternyata telah menjerumuskannya ke kematian."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Ia sama sekali tidak menduga pada saat ia belajar memanah. Tetapi ia memang terlalu sombong. Seandainya ia dapat sedikit mengekang dirinya, ia tidak akan menjadi sasaran kemarahan yang meledak itu."
Yang lain tidak menjawab. Mereka melihat untuk ketiga kalinya orang yang disebut berkepala besi itu membenturkan kepalanya.
Jati Wulung telah benar-benar menjadi pening. Ia tidak mau menunggu kepalanya benar-benar menjadi retak. Karena itu, maka ia harus berbuat sesuatu.
Dengan kekuatan tenaga cadangannya, maka Jati Wulung mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi cengkeraman itu memang begitu kuat, sehingga jika ia memaksa, maka telinganya mungkin akan terlepas dari kepalanya. Karena itu, maka ia harus mengambil jalan lain.
Karena itu, maka Jati Wulung itu justru melekat semakin rapat. Tiba-tiba saja dengan sepenuh kekuatannya, ia telah mengangkat lututnya menghantam bagian bawah perut lawannya.
Serangan itu demikian kerasnya karena didorong oleh segenap kekuatan tenaga cadangannya, sehingga orang berkepala besi itu terdengar mengaduh namun kemudian mengumpat kasar. Apalagi ketika sekali lagi Jati Wulung mengulangi serangannya.
Pegangan tangan orang berkepala besi itu telah menjadi kendor. Dengan serta-merta Jati Wulung telah mempergunakan kesempatan itu. Ia telah mengibaskan kedua tangan lawannya dengan menyusupkan kedua lengannya di antara kedua lengan lawan. Ketika Jati Wulung mengambangkan tangannya, maka pegangan lawannya atas telinganyapun telah terlepas.
Dalam pada itu. selagi orang berkepala besi itu masih menyeringai menahan sakit, maka Jati Wulung telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Betapapun kepalanya terasa pening, namun ia masih sempat melihat ujud lawannya. Karena itu, maka dengan kekuatan yang ada padanya, sambil memiringkan tubuhnya, kakinya telah terjulur ke dada orang itu.
Satu benturan yang keras telah terjadi. Kekuatan kaki Jati Wulung telah menghantam dada orang yang disebut Orang Hutan Berkepala Besi itu.
Demikian besar kekuatan Jati Wulung, maka lawannya yang berkepala botak itu telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan iapun telah kehilangan keseimbangannya dan kemudian jatuh di tanah.
Jati Wulungpun ternyata telah menjadi sangat marah mendapat perlakuan lawannya seperti itu. Namun ketika ia siap meloncat menerkam lawannya, rasa-rasanya tanah di depan kakinya itu telah bergerak.
Agaknya kepala Jati Wulung masih terasa pening. Karena itu, maka iapun telah mengurungkan niatnya. Bahkan ia telah berdiri tegak untuk mempergunakan waktu yang ada, memusatkan nalar budinya untuk mengerahkan daya tahan tubuhnya.
Untunglah bahwa lawannyapun tidak segera bangun. Dadanya rasa-rasanya telah tersumbat bukit padas, sementara itu isi perutnya terasa seakan-akan telah diremas.
Untuk beberapa saat orang itupun harus mengatasi perasaan sakit itu. Sambil mengumpat kasar, maka iapun kemudian tertatih-tatih untuk bangkit berdiri.
Orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu terkejut ketika dilihatnya lawannya berdiri tegak dan siap untuk menerkamnya.
Sebenarnyalah bahwa Jati Wulung telah berhasil mencapai daya tahan tertinggi di dalam dirinya, sehingga perasaan peningnya telah jauh berkurang. Bahkan perutnya yang juga menjadi mual oleh benturan di kepalanya itu telah dapat diatasinya. Dengan demikian maka Jati Wulung itu telah siap untuk mengulangi pertempuran itu seandainya dari permulaan sekalipun. Apalagi ia telah mendapatkan satu pengalaman baru, bahwa kepala yang botak itu merupakan salah satu senjata dari lawannya.
Untuk beberapa saat keduanya berdiri berhadapan dan saling memandang dengan sorot mata kemarahan. Orang yang berkepala sekeras besi itu kemudian menggeram, "Anak setan kau. Kepalamu ternyata tidak pecah oleh benturan-benturan itu."
"Cobalah sekali lagi," sahut Jati Wulung, "kau akan menyesal, bahwa aku akan memecahkan kepalamu dengan sisi telapak tanganku."
"Persetan," Kepala Besi itu hampir berteriak.
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapinya.
Sambi Wulung yang melihat saudara seperguruannya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan lawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan iapun mulai mempunyai keyakinan, bahwa untuk seterusnya Jati Wulung tidak akan terjebak lagi oleh kekuatan Kepala Besi itu.
Sementara itu Kiai Windupun berdesis, "Bukan main."
"Apa yang bukan main," bertanya Sambi Wulung.
"Saudaramu itu," jawab Kiai Windu.
Sebenarnyalah, bahwa Jati Wulung mampu melepaskan diri itu merupakan satu hal yang sangat menarik perhatian. Dua orang yang memperhatikan pertempuran itupun telah menjadi sangat heran. Bahkan seorang yang telah mengenal Kepala Besi itu berkata, "Orang ini memang liat. Ternyata ia belum mati."
"Luar biasa," berkata yang lain, "sesuatu yang tidak dapat dijangkau dengan nalar."
Sementara itu Jati Wulung telah melanjutkan pertempuran itu. Dengan segenap tenaga dan kemampuannya orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.
Jika kebiasaan di Song Lawa itu seseorang tidak ingin mencampuri persoalan orang lain, maka yang terjadi saat itu memang agak berbeda. Biasanya orang-orang itu tidak mengacuhkannya jika dua orang, bahkan sekelompok orang berkelahi. Tetapi ternyata bahwa perkelahian antara Kepala Besi dan Jati Wulung itu benar-benar menarik perhatian. Orang-orang yang sedang makan di dalam kedai itu, seakan-akan perhatiannya telah terpusat kepada perkelahian yang sedang terjadi itu. Bahkan di luar sadarnya, beberapa orang telah bangkit dan melangkah keluar kedai. Demikian pula Kiai Windu dan kawan-kawannya. Meskipun tempat duduk mereka telah berada di batas luar dari kedai itu, namun mereka telah bangkit dan melangkah mendekat. Sambi Wulung tidak mencegah mereka. Iapun justru telah ikut pula mendekat.
Beberapa orang lain yang tidak dapat melihat karena tertutup oleh orang-orang yang telah berdiri itu, ikut berdiri pula. Sehingga akhirnya hampir semua orang yang berada di dalam kedai itu telah keluar.
Para petugas di kedai itu tidak sempat memberi peringatan kepada orang-orang itu untuk membayar lebih dahulu. Bahkan mereka sendiri telah dengan tergesa-gesa bergeser untuk menyaksikan perkelahian yang jarang terjadi sebagaimana yang mereka saksikan itu. Dua orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Sebenarnyalah, kedua orang itu telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit pula. Keduanya bergerak dengan cepat sambil melontarkan kekuatan yang sangat besar. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka keduanya benar-benar telah menunjukkan betapa besar tenaga dan kemampuan mereka. Namun sedikit demi sedikit daya tahan mereka berduapun telah terguncang pula.
Dalam pada itu, maka orang berkepala botak itu agaknya sudah tidak telaten lagi. Menurut perhitungannya, seharusnya lawannya sudah tidak akan mampu bertahan lebih lama ketika ia telah membenturkan kepalanya. Namun ternyata orang itu masih tetap memberikan perlawanan yang justru kadang-kadang membingungkan.
Karena itu, maka orang berkepala botak itu telah meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak. Ia harus menghancurkan lawannya. Ia sudah dikalahkan di arena panahan, sehingga wibawanya telah turun. Karena itu, maka ia harus menebusnya di arena perkelahian itu.
Tetapi ternyata memang tidak terlalu mudah.
Demikianlah, dalam puncak kemarahannya, maka orang berkepala botak itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia memang lebih percaya kepada kepalanya, sehingga ia selalu mencari kesempatan untuk dapat membenturkan kepalanya itu.
Namun lawannya yang telah mengetahui letak kekuatannya, selalu berusaha menghindari sentuhan kepalanya yang botak itu. Bahkan serangan-serangan Jati Wulungpun sama sekali tidak mengarah ke kepala atau bagian-bagiannya. Jati Wulung yang telah mengenali tubuh seseorang dengan baik, dimana letak kekuatan dan kelemahannya, lebih mengarahkan serangan-serangannya ke leher, ulu hati dan lambung. Hanya dengan kekuatan sepenuhnya Jati Wulung menyerang ke arah dada orang itu.
Tetapi orang berkepala botak itu telah mempergunakan kepala sebagai perisai. Ia selalu menunduk dan menangkis serangan-serangan itu dengan kepalanya. Bahkan setiap kali ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan kepalanya pula.
Dalam puncak ilmunya, maka Jati Wulung menjadi berdebar-debar. Dari botak kepalanya itu, ia melihat seakan-akan asap yang tipis mengepul. Kepala itu seakan-akan telah menjadi panas dan membara.
Sebenarnyalah, bahwa orang berkepala botak yang menyebut dirinya bernama Birawa itu memang telah memusatkan segenap ilmunya pada kemampuannya yang tertinggi. Betapa tangkasnya orang itu kemudian. Tubuhnya seakan-akan menjadi ringan dan geraknyapun semakin cepat. Namun kepalanya rasa-rasanya menjadi bertambah berbahaya.
Ketika Jati Wulung menyerangnya dengan kakinya mengarah ke ulu hati, maka orang itu dengan sengaja telah merunduk rendah demikian cepatnya sehingga kaki Jati Wulung itu telah membentur kepala lawannya.
Benturan itu memang menggetarkan jantung. Jati Wulung memang terdorong beberapa langkah surut.
Bahkan ia telah menjatuhkan dirinya untuk menguasai keseimbangannya kembali. Dengan cepat ia melenting berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun orang yang berkepala botak itupun telah surut beberapa langkah. Betapapun keras kepalanya, tetapi dorongan kekuatan Jati Wulung benar-benar telah mendorongnya dengan kekuatan yang terasa betapa besarnya.
Seperti Jati Wulung orang itu tidak dapat bertahan untuk tetap tegak. Iapun terjatuh pula. Tetapi juga seperti Jati Wulung orang itu telah dengan tangkasnya meloncat berdiri.
Untuk beberapa saat keduanya masih tetap berdiri di tempatnya. Ternyata keduanya telah mengalami hambatan pada gerak berikutnya. Keduanya tidak dapat dengan serta-merta menyerang lawannya.
Jati Wulung memang merasakan, bahwa Kepala Besi itu menjadi panas. Ketika kakinya mengenai kepala itu, rasa-rasanya seakan-akan memang telah menyentuh bara. Karena itu, maka iapun arus berusaha mengatasi perasaan sakit itu.
Demikian pula Kepala Besi itu. Kekuatan ilmu Jati Wulung ternyata memang luar biasa. Demikian kuatnya hentakkan pada kepalanya itu, meskipun tidak menimbulkan luka pada kulitnya, namun kepala itu memang terasa pening. Meskipun seandainya kepala itu terbuat dari besi sekalipun, tetapi goncangan di bagian dalamnya, benar-benar mempunyai akibat yang gawat.
Untuk beberapa saat keduanya menegakkan kembali kesiagaan mereka. Namun pertempuran itupun sejenak kemudian telah dimulai lagi.
Sambi Wulung yang masih juga memandangi perkelahian itu dengan tegang, telah melihat Puguh yang menyibak beberapa orang yang lain dan berdiri di paling depan. Beberapa orang pengawalnyapun kemudian ikut pula bersamanya. Agaknya remaja yang hampir menginjak usia dewasanya itu benar-benar tertarik melihat perkelahian yang keras dan sengit itu.
Sementara itu Kiai Windu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat, maka nafasnyapun kadang-kadang telah terhenti oleh ketegangan yang terasa mencekiknya.
Kepala Besi yang telah sampai ke puncak ilmunya itu memang mulai merasa gelisah bahwa ia masih juga belum dapat mengalahkan apalagi membunuh lawannya. Orang yang menyebut dirinya bernama Wanengpati itu memang benar-benar liat. Ia mampu bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti, namun iapun memiliki kekuatan yang jarang ada tandingnya.
Ketika Kepala Besi itu merasa tenaganya mulai susut, justru karena ia telah mengerahkan tenaga, ilmu dan kemampuannya tanpa mengekang diri oleh kemarahan yang memuncak, maka kegelisahanpun mulai terasa menggelitiknya.
Ternyata keduanya telah berkelahi cukup lama. Langitpun mulai menjadi suram karena matahari sudah hampir terbenam.
Namun orang-orang yang mengelilingi arena itu belum beringsut. Mereka tidak lagi ingat arena sabung ayam dan permainan dadu. Bahkan beberapa orang yang semula berada di lapangan panahan, telah datang pula melihat perkelahian yang sengit itu.
Dalam pada itu, Jati Wulung yang menyadari kekuatan dan senjata lawannya yang aneh itu, telah membuat perhitungan-perhitungan yang lebih masak. Ia telah memusatkan kekuatan ilmunya pada kaki dan sisi telapak tangannya, sehingga ia memiliki ketangkasan yang penuh untuk mengarahkan serangan-serangannya.
Dengan kecepatan gerak yang sangat tinggi, maka akhirnya Jati Wulung berhasil menembus pertahanan orang berkepala botak itu. Meskipun sekali-sekali serangan tangan Jati Wulung masih juga mengenai kepala yang bagaikan telah menjadi bara itu, namun iapun telah berhasil menyentuh bagian-bagian lain yang lemah pada tubuh lawannya.
Beberapa kali Kepala Besi itu telah terdorong surut. Bahkan ketika dengan cepat Kepala Besi itu menyerang Jati Wulung dengan kepalanya, seperti seekor kerbau yang gila menanduk lawannya maka Jati Wulung telah menunggu sesaat. Tepat pada saatnya, ia telah meloncat menyamping selangkah. Demikian lawannya itu berada di depannya dan berusaha untuk menghentikan serangannya yang gagal, maka dengan penuh tenaganya, Jati Wulung telah menyerang orang itu dengan kakinya ke arah punggung di bagian bawah. Demikian kerasnya serangan itu, sehingga Kepala Besi tidak sempat berhenti. Ia justru terdorong dengan keras ke depan tanpa dapat mengekang diri.
Ternyata bahwa Kepala Besi itu telah membentur sebatang pohon dengan kepalanya yang botak itu.
Akibatnya memang luar biasa. Sebatang pohon yang memang tidak terlalu besar itu ternyata telah retak dan roboh. Sementara itu bekasnya bukan saja sekedar bekas batang yang patah. Tetapi pada batas batang yang retak dan patah itu memang terdapat lingkaran luka bakar pada kulit batang pohon itu.
Jantung orang-orang yang menyaksikannya seakan-akan telah berhenti berdetak. Namun ternyata bahwa peristiwa itu telah disusul oleh peristiwa yang menggemparkan pula. Ketika orang berkepala botak itu dengan tangkas memutar tubuhnya, maka yang dilihatnya adalah lawannya itu bagaikan terbang telah datang menyerangnya. Ketika Jati Wulung itu masih berada di udara, ia sempat menggeliat memiringkan tubuhnya dan kakinyalah yang kemudian terjulur lurus menghantam dadanya.
Tidak ada kesempatan untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Orang berkepala botak itu telah terlempar mundur. Justru punggungnyalah yang telah membentur batang pohon yang baru saja patah karena kepalanya.
Ternyata Jati Wulung memang telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada padanya. Karena itu, maka kekuatan yang sangat besar dan mendorong serangan itu, telah membuat dada orang berkepala botak itu bagaikan pecah. Seakan-akan sebongkah batu hitam telah dihentakkan menindih dadanya itu.
Apalagi kemudian oleh dorongan kekuatan itu, punggungnya menghantam sebatang pohon. Punggung orang itu memang tidak sekuat kepalanya yang terlatih dan yang mampu melepaskan ilmunya yang jarang dimiliki orang lain, sehingga kepala yang botak itu bagaikan telah menjadi bara. Namun punggungnyalah yang terasa bagaikan patah. Hentakan yang keras dan kuat pada batang kayu yang telah patah itu, membuatnya benar-benar kehilangan keseimbangan.
Orang berkepala botak itu masih berusaha bangun. Namun ternyata ia sama sekali tidak mampu. Bahkan iapun kemudian telah terjatuh dan terbaring di tanah. Pingsan.
Jati Wulung masih berdiri tegak, ia memang merasakan kakinya yang bagaikan menghantam segunduk balu padas. Namun dengan cepat Jati Wulung dapat mengatasi perasaan sakit pada pergelangan kakinya itu, sehingga dengan demikian maka iapun telah mampu berdiri tegak dengan kesiapan penuh.
Ketika Jati Wulung bergerak selangkah maju, tiba-tiba saja beberapa orang telah bergeser. Menilik sikap mereka, agaknya mereka menjadi marah karena peristiwa yang terjadi atas orang berkepala botak itu.
Namun dalam pada itu ternyata Kiai Windupun telah bergeser pula diikuti oleh ketiga orang kawannya. Hanya bergeser selangkah. Tetapi gerak itu telah menarik perhatian orang-orang yang agaknya kawan Kepala Besi yang pingsan itu.
Sejenak suasana memang menjadi sangat tegang. Sambi Wulung sendiri justru masih berdiri diam di tempatnya.
Namun orang-orang yang agaknya kawan Kepala Besi itu memang harus dikalahkan. Apalagi mereka.
Karena itu, maka kawan orang berkepala botak itu kemudian telah memindahkan perhatian mereka kepada Kepala Besi yang pingsan itu. Empat orang telah bergeser mendekat dan berjongkok di sebelahnya.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja orang remaja telah menyusup dan menyibak di antara orang-orang yang berkerumun. Remaja itu adalah Puguh. Dengan serta-merta iapun telah menepuk bahu Jati Wulung sambil berkata, "Luar biasa. Kau ternyata seorang yang luar biasa."
Jati Wulung memandang anak muda itu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Aku merasa perlu untuk mengajarinya sedikit sopan kepada orang lain."
*** JILID 06 PUGUH mengangguk-angguk. Dipandanginya beberapa orang kawan Kepala Besi itu sedang sibuk berusaha menyadarkannya. Seorang yang berjambang dan berkumis lebat, dengan bulu dada yang memenuhi sebidang dadanya, telah mengambil air di kedai. Kemudian perlahan-lahan dititikkannya air itu di bibir Kepala Besi yang pingsan.
Jati Wulung tidak menunggu terlalu lama. Iapun kemudian bergeser kembali ke kedai.
"Marilah," Jati Wulung mempersilahkan Puguh, "duduklah. Kita dapat beristirahat."
"Beristirahatlah," jawab Puguh, "bukankah aku tidak berbuat apa-apa sehingga tidak perlu beristirahat."
"Kita minum sejenak," ajak Jati Wulung yang memang ingin mendapat kesempatan berbicara dengan Puguh.
"Baiklah. Akulah yang membayar," berkata Puguh kemudian.
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau mengecewakan anak muda itu. Apalagi ketika ia kemudian berkata, "Aku belum pernah mengagumi seseorang selain guruku. Sekarang aku mengagumimu."
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Tentu jauh berbeda. Jika aku mendapat lawan yang berilmu selapis saja, maka aku tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Untung bahwa orang yang mengaku berkepala besi itu tidak lebih dari sebongkah batu padas yang belum diasah sama sekali."
Perkelahian yang terjadi itu memang agak lain dari perkelahian-perkelahian sebelumnya. Biasanya tidak banyak orang yang menaruh perhatian. Bahkan mereka condong untuk tidak berpaling. Tetapi perkelahian itu ternyata telah menarik banyak perhatian. Bahkan orang-orang masih juga membicarakan setelah Jati Wulung duduk kembali di tempat duduknya di kedai itu.
Seorang petugas yang juga bertubuh raksasa sempat mendekatinya sambil berdesis, "Kau telah melakukan sesuatu yang menggemparkan. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin ini bukan yang terakhir. Aku hanya ingin berpesan, jika kelak kau harus berkelahi lagi, hati-hatilah. Jangan merusakkan kedaiku ini supaya kau tidak usah menggantinya."
"Bukankah aku sekarang juga tidak merusakkannya selain barangkali mangkuk yang kotor atau minumanmu yang tumpah?" sahut Jati Wulung.
"Ya. Sekarang memang tidak," jawab petugas itu.
"Nah, aku sekarang haus," berkata Jati Wulung.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah minum lagi. Jati Wulung, Sambi Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya bersama dengan Puguh dan beberapa orang pengawalnya.
"Siapa namamu?" bertanya Puguh tiba-tiba.
"Wanengpati," jawab Jati Wulung.
"Kau berasal dari mana?" bertanya Puguh pula.
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Jangan bertanya tentang asal usul. Aku adalah orang yang tidak mempunyai asal-usul. Kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang ditiup angin. Kemanapun arahnya."
Puguh tertawa. Katanya, "Apakah kau seorang Dalang" He, kau pandai menirukannya. Kleyang kabur kanginan, kandang langit, kemul mega. Bukankah begitu?"
Jati Wulunglah yang tertawa. Lalu katanya, "Aku hanya menirukan orang-orang berbicara demikian. Aku sama sekali bukan seorang Dalang atau pelaku wayang topeng."
Puguh tertawa semakin keras. Sambil memandang berkeliling ia bertanya, "Inikah kawan-kawanmu?"
"Ya," jawab Jati Wulung.
"Semua memiliki kemampuan seperti kau?" bertanya Puguh pula.
"Bertanyalah kepada mereka," sahut Jati Wulung.
Ketika Puguh berpaling ke arah Sambi Wulung, maka dengan serta-merta Sambi Wulung berkata, "Tidak. Kami tidak memiliki kemampuan seperti Wanengpati yang gila itu. Kami memang mengikutinya memasuki Song Lawa dengan bertumpu kepadanya."
"Kami siapa?" bertanya Puguh.
"Kami. Aku dan kawan-kawanku ini," jawab Sambi Wulung.
"Bukankah kau dan Wanengpati orang-orang baru seperti juga Kepala Besi itu" Tetapi bukankah yang lain sudah sering datang kemari," bertanya Puguh.
Sambi Wulung menjadi tegang sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum, "Ya. Kiai Windu dan ketiga kawanku yang lain pernah memasuki Song Lawa."
Puguh mengangguk-angguk sambil tersenyum pula. Lalu katanya, "Pengawal-pengawalku tidak ada yang memiliki kemampuan yang memadai. Kalau saja Wanengpati mau bergabung dengan kami."
Satu kesempatan yang memang diharapkan. Tetapi Jati Wulung tidak akan dapat menjawab dengan serta-merta, agar justru tidak menimbulkan kecurigaan. Bahkan dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah kau sudah beberapa kali datang ke tempat seperti ini?"
Tetapi jawabnya sama sekali tidak diharapkannya. Dengan wajah muram Puguh berkata, "pertanyaan yang paling aku benci."
"O, aku minta maaf," desis Jati Wulung, "bukan maksudku menyinggung perasaanmu."
"Kau. Kau tidak menyinggung perasaanku. Mungkin perasaankulah yang terlalu lemah untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu," jawab Puguh.
"Baiklah," berkata Jati Wulung, "kita tidak berbicara tentang hal-hal yang dapat menyentuh perasaan. Kita bicara tentang makanan di kedai ini saja."
Tetapi wajah Puguh sudah berubah. Ia nampak menjadi muram. Meskipun sekali-sekali ia mencoba tersenyum, namun di luar sadarnya kadang-kadang ia telah termenung sambil memandang ke kejauhan. Agaknya pada anak muda itu terdapat beban perasaan yang memberatinya.
Sementara itu dua orang yang sejak sebelumnya telah berbicara tentang Kepala Besi itupun sempat keluar dari kedai itu lewat di sebelah amben tempat Jati Wulung duduk. Keduanya berhenti sejenak, sementara seorang dari mereka berkata, "Luar biasa. Kau masih tetap hidup setelah kau berkelahi dengan Kepala Besi. Bahkan jika kau mau nampaknya kau akan dapat membunuhnya. Tetapi berhati-hatilah. Kepala Besi adalah orang yang ditakuti dan mempunyai banyak pengikut di salah satu tempat di pesisir Utara."
"Terima kasih atas peringatan ini," jawab Jati Wulung.
"Nah, sejak besok, kau dapat menggulung semua pengikut di lapangan panahan," berkata yang seorang.
"Aku tidak ingin lagi untuk ikut panahan," berkata Jati Wulung dengan nada rendah.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun telah meninggalkan kedai itu.
Ternyata Jati Wulung dan kawan-kawannyapun tidak terlalu lama lagi berada di kedai itu. Ketika mereka memandang keluar, maka yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Kawan-kawannya telah membawanya ke dalam biliknya untuk mendapat perawatan.
Namun dalam pada itu, Puguh tidak lupa pada janjinya. Sambil tersenyum ia berkata, "Aku yang akan membayar semuanya."
"Terima kasih," berkata Jati Wulung. Tetapi ia masih juga berkata, "Tetapi bukankah aku yang telah menang di arena panahan."
"Biar saja," jawab Puguh, "aku ingin membayar kali ini, meskipun barangkali di kesempatan lain aku akan meminjam uangmu."
Yang lain hanya tertawa saja. Sementara itu, Puguh telah menghitung berapa harga makanan dan minuman yang telah dimakan dan diminum oleh sekelompok orang itu.
"Ayah dan ibumu tentu seorang yang kaya raya," tiba-tiba saja Jati Wulung berdesis.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sebaiknya kita tidak usaha berbicara tentang ayah dan ibuku, sebagaimana kita tidak usah berbicara kenapa aku berada di tempat ini."
"O," Jati Wulung mengangguk-angguk. Ia tidak boleh mendesak terus. Juga tentang tempat tinggalnya, atau padepokannya atau dalam hubungan yang lain. Ia harus dapat mengendalikan diri untuk mencapai sasaran sebagaimana diharapkan.
Sejenak kemudian, merekapun telah meninggalkan tempat itu. Namun agaknya Puguh masih akan memasuki tempat permainan dadu. Karena itu, maka Jati Wulungpun berkata kepadanya, "Kami akan beristirahat."
"Kau tidak ikut bermain dadu?" bertanya Puguh.
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Dalam keadaan seperti ini lebih baik tidur barang sebentar."
Puguhpun tersenyum. Agaknya anak muda itu mengerti, bahwa setelah orang yang dikenalnya bernama Wanengpati itu berkelahi, maka agaknya ia memerlukan mengendapkan perasaannya yang bergejolak.
Demikianlah, maka Jati Wulung dan Sambi Wulungpun telah melangkah menuju ke biliknya. Namun Kiai Windu kemudian berdesis, "Aku juga akan melihat permainan dadu sebentar. Nanti aku segera menyusul."
"Silahkan," sahut Sambi Wulung, "bahkan mungkin kamilah yang akan menyusul kalian ke tempat permainan itu."
Namun Jati Wulung menyahut, "Aku benar-benar akan tidur."
Sambi Wulung hanya tersenyum saja. Sementara itu Kiai Windu dan kawan-kawannya ternyata telah melangkah menuju ke barak permainan dadu. Namun agaknya ia tidak mengambil jalan yang sama dengan Puguh dan para pengawalnya.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berjalan menyusuri lorong setapak menuju ke biliknya. Sambil melangkah Sambi Wulung sempat bergumam, "Kau agak terdorong langkah."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak dapat berbuat lain."
"Di arena panahan, kau telah dipanaskan oleh sikap Kepala Besi itu sehingga kau harus menunjukkan kemampuanmu. Aku juga ikut panahan dan memenangkannya meskipun tidak menyolok," berkata Sambi Wulung pula.
"Tetapi bukankah dengan demikian, kita menjadi lebih mengenal Puguh?" bertanya Jati Wulung.
"Tetapi kita menjadi bahan pembicaraan dan setiap orang akan memperhatikan kita. Juga dendam Kepala Besi itu harus menjadi perhitungan kita," berkata Sambi Wulung.
Bagi Jati Wulung, Sambi Wulung adalah saudara tuanya. Karena itu maka ia tidak menjawab lagi. Ia memang mengakui, bahwa ia telah agak terdorong dalam permainan panahan, sehingga akibatnya ia harus berkelahi dengan orang yang disebut Kepala Besi itu.
Tetapi semuanya telah terjadi. Jati Wulung tidak akan dapat mengulangi lagi langkah-langkahnya. Yang dapat dimanfaatkan dari semua peristiwa itu adalah hubungan mereka yang lebih dekat dengan orang yang memang mereka cari di tempat perjudian itu. Puguh. Anak Warsi.
Demikianlah, maka akhirnya Jati Wulung itupun berkata, "Aku akan tidur barang sejenak. Mudah-mudahan aku dapat menenangkan perasaanku yang masih saja terasa berdebaran."
"Tidurlah," jawab Sambi Wulung, "biarlah aku duduk disini."
Jati Wulung tidak berkata sesuatu lagi. Iapun merebahkan dirinya di pembaringan. Ia benar-benar melepaskan segala macam beban di perasaannya, sehingga dengan demikian ia cepat dapat tidur dengan nyenyak. Apalagi ia memang benar-benar ingin beristirahat.
Sambi Wulung yang tidak merasa mengantuk sama sekali duduk di sudut amben yang agak besar itu bersandar dinding. Ketika ia kemudian mengedarkan pandangan matanya ke seluruh isi ruangan, maka dilihatnya beberapa ikat bekal yang dibawa oleh Kiai Windu dengan kawan-kawannya. Seperti dirinya sendiri, maka merekapun hampir tidak membawa bekal apapun. Hanya beberapa lembar kain yang diikat dalam satu bungkusan kecil.
Adalah di luar sadarnya, jika Sambi Wulung kemudian setelah menutup dan menyelarak pintu bilik, melihat-lihat beberapa ikat bekal yang dibawa oleh Kiai Windu dan kawan-kawannya.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang menarik perhatian Sambi Wulung adalah bahwa di dalam ikatan itu terdapat pakaian dari bahan yang sama. Sambi Wulung tidak dapat melihat dengan cermat. Ia tidak mau membuka ikatan bekal yang sedikit itu, karena agaknya Kiai Windu adalah orang yang sangat teliti, sehingga jika ia membukanya dan mengikatnya kembali, Kiai Windu akan mengetahuinya.
"Nampaknya mereka membawa selembar baju yang seragam," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya. Namun karena baju itu ada di dalam lipatan yang terikat, maka ia tidak dapat menduga, pakaian jenis apakah yang dibawa oleh Kiai Windu itu.
Sambi Wulung tidak mau membuat jarak antara dirinya dengan Kiai Windu dan kawan-kawannya yang nampaknya dapat diajak berkawan di dalam lingkungan yang garang sebagaimana Song Lawa itu. Bagaimanapun juga, persoalan-persoalan yang tidak diperhitungkan akan dapat timbul di dalam lingkungan yang aneh dan penuh dengan berjenis-jenis watak dan sifat. Sedangkan untuk sementara, nampaknya Kiai Windu dan kawan-kawannya tidak akan menambah kesulitan jika kesulitan itu datang, bahkan mereka agaknya akan dapat membantu mereka apabila diperlukan sekali.
Karena itu maka Sambi Wulung akan tetap menjaga hubungan yang baik yang sudah terjalin antara dirinya dan Jati Wulung dengan Kiai Windu dan kawan-kawannya, meskipun cara mereka berkenalan melalui jalan yang agak aneh.
Dalam pada itu, ternyata Kyai Windu dan kawan-kawannya sudah berada di barak permainan dadu. Mereka menelusuri permainan dari lingkaran yang satu ke lingkaran yang lain. Mereka mengamati betapa uang mengalir dari satu tangan ke tangan yang lain, berputar dan kembali lagi. Namun sebagian dari uang itu telah berhenti di tangan orang-orang yang saat itu sedang beruntung.
Kiai Windu dan kawan-kawannya ternyata tidak hanya sekedar melihat-lihat saja. Mereka mulai menebar dan turun ke arena yang berbeda-beda.
Tetapi agaknya mereka cukup berhati-hati. Mereka tidak hanyut dalam gejolak perasaan mereka di arena perjudian. Tetapi mereka sempat berpikir dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang harus mereka pilih di antara beberapa kemungkinan yang lain.
Karena itu, maka selama Kiai Windu beberapa kali mengunjungi Song Lawa, mereka tidak pernah mengalami kesulitan yang tidak teratasi. Mereka selalu memperhitungkan setiap uang yang mereka lepaskan dalam permainan itu. Satu kali mereka memang harus mengalami kekalahan. Tetapi di kesempatan lain mereka dapat memenangkan permainan itu.
Ternyata Kiai Windu agak lama juga berada di barak permainan dadu bersama kawan-kawannya. Namun agaknya seorang di antara kawannya telah mengalami kekalahan. Beberapa kali uang yang dipasang telah mengalir lepas dari tangannya.
Tetapi orang itu sempat mengendalikan diri. Ketika uang yang disediakan buat hari itu sudah sampai pada hitungan terbanyak, maka iapun telah berhenti.
Ketika ia mendekati seorang kawannya yang bermain di lingkaran yang berbeda, ternyata kawannya itu telah memenangkan permainan. Karena itu, maka kawannya itupun bertanya kepadanya, "Apakah kau akan mencoba lagi?"
Tetapi orang yang telah kalah itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku justru ingin menonton saja." Namun dalam satu kesempatan ia berbisik, "Aku sedang mengamati seseorang."
Yang sedang memenangkan permainan dadu itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdesis, "Lakukanlah. Jika perlu panggil aku."
Kawannya menepuk bahunya. Kemudian iapun tergeser meninggalkan orang yang sedang memenangkan permainan itu.
Sementara itu, ternyata Kiai Windu sendiri juga telah menang meskipun tidak terlalu banyak dan perlahan-lahan sekali. Tetapi orang itu memang memiliki kesabaran yang tinggi di dalam arena perjudian. Perhitungannya cukup cermat. Ia dengan sabar menunggu orang-orang lain memasang uangnya. Baru kemudian ia menjatuhkan pilihan.
Dalam pada itu, seorang di antara kawannya telah bergeser menjauh. Ia memang sedang memperhatikan seseorang yang agaknya sangat menarik perhatiannya.
Ternyata orang yang diperhatikan, dan kemudian diikuti oleh kawan Kiai Windu itu adalah seorang laki-laki separo baya. Tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan punggungnya sedikit bongkok. Wajahnya yang kasar membuatnya nampak garang.
Orang bertubuh bongkok itu telah menemui beberapa orang petugas berturut-turut. Beberapa orang bertubuh raksasa yang ada di dalam barak permainan dadu itu. Setiap kali ia berbicara dengan sungguh-sungguh namun hanya beberapa kalimat saja. Jika ia kemudian meninggalkan petugas itu, maka nampaknya petugas itu menjadi lebih bersiaga.
Ketika orang bertubuh bongkok itu sampai petugas yang terakhir di dalam barak itu, maka ia berbicara agak panjang. Nampaknya beberapa pesan telah diberikan secara khusus. Tetapi kawan Kiai Windu itu tidak dapat menangkap sedikitpun isi dari pembicaraan itu.
Beberapa saat kemudian orang bertubuh bongkok itupun telah meninggalkan barak itu. Namun hal yang sama dilakukan pula terhadap para petugas dimanapun ditemuinya. Para petugas yang baru berjalan dari satu tempat ke tempat lainpun telah dihentikannya dan diajaknya berbicara sebagaimana para petugas di dalam barak tempat bermain dadu.
Kawan Kiai Windu itu tidak mengikutinya lebih jauh. Agaknya terlalu berbahaya baginya. Sementara itu, iapun masih belum dapat menemukan pertanda yang dapat dikenalinya dari ujud maupun sikap orang itu.
Sejenak kemudian, kawan Kiai Windu itupun telah kembali ke barak permainan dadu. Seorang lagi di antara kawan-kawannya telah selesai pula bermain dan berdiri di belakang Kiai Windu yang nampaknya tidak kalah itu.
Ketika ia sudah berdiri di belakang kawannya yang menunggui Kiai Windu itu, iapun telah menggamitnya sambil bertanya, "Bagaimana dengan kau?"
Orang itu berpaling. Katanya sambil tersenyum, "Aku benar-benar menang kali ini. Kiai Windupun menang pula. Hanya kau sajalah yang kalah, sementara kawan kita yang seorang lagi nampaknya juga tidak kalah."
"Aku sial hari ini," berkata kawan Kiai Windu yang kalah itu, "tetapi aku mempunyai ceritera tersendiri."
Kawannya yang menang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu ceritera yang menarik."
Beberapa saat mereka masih berada di barak itu. Namun akhirnya mereka berempatpun telah meninggalkan barak itu. Kiai Windu dan dua orang kawannya memang memenangkan permainan dadu itu meskipun tidak terlalu banyak, sedangkan seorang lagi telah kalah sampai batas terakhir keping uangnya yang disediakan untuk hari itu. Bahkan ketika kemudian mereka sempat menghitung-hitung secara kasar, ternyata kekalahan yang seorang itu lebih banyak dari kemenangan Kiai Windu dan kedua orang kawannya yang lain.
Tetapi Kiai Windu masih juga tertawa. Katanya, "Biarlah hari ini kita mengalami kekalahan kecil. Besok kita tebus di lapangan panahan asal kita tidak berada dalam satu arena dengan Wanengpati dan Wanengbaya."
"Tidak pula dengan Kepala Besi dan dua orang lain yang ada di arena bersama mereka," berkata kawan Kiai Windu yang kalah itu.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Ternyata banyak orang yang memiliki kemampuan membidik melampaui kita."
Yang lainpun tertawa pula.
Namun dalam pada itu, kawan Kiai Windu yang kalah itu telah menceriterakan apa yang dilihatnya. Seorang yang agak bongkok yang telah menghubungi hampir semua petugas. Tidak hanya yang berada di dalam barak permainan dadu, tetapi juga di luarnya yang beberapa orang dapat dilihatnya.
Kiai Windu termangu-mangu sejenak. Tiga-tiba saja ia berkata, "Apakah orang itu petugas Song Lawa yang dikirim keluar tempat perjudian ini untuk mengamati suasana dan dapat melihat sesuatu yang menarik perhatiannya di luar?"
"Aku tidak pasti," jawab kawannya itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi nampaknya berita atau mungkin perintah yang disampaikan itu penting dan harus segera merata."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi bukankah hari-hari kita tidak mulai sekarang?"
"Tidak," jawab seorang kawannya, "setidak-tidaknya mulai dua hari lagi."
Kiai Windu tiba-tiba berhenti sejenak. Katanya, "Ya hari ini memang mungkin sekali dijumpainya sesuatu yang menarik perhatian mereka, maksudku para petugas dari Song Lawa ini. Kita memang mulai dari sekarang. Maksudku hari ini."
"Apa yang sudah kita mulai?" bertanya seorang kawannya.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Satu susulan dari keseluruhan kewajiban yang dibebankan kepada kita. Mungkin orang bongkok itu melihat atau bertemu dengan mereka yang bertugas untuk mengenali jalan-jalan di sekitar medan."
Kawan-kawan Kiai Windu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Ya. Agaknya mereka. Atau apapun yang mereka curigai berhubungan dengan tempat ini."
"Satu peringatan bagi kita," jawab Kiai Windu. Bahkan mereka berempat kemudian telah berdiri di tempat yang terbuka, justru tidak berada di dekat seorangpun yang lalu lalang beberapa langkah dari mereka.
"Bagaimana penilaian kita terhadap dua orang yang berada di bilik kita itu?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya.
Ketiga orang kawannya termangu-mangu. Seorang di antara mereka sempat juga melihat orang yang lewat beberapa langkah dari mereka sehingga kepalanya berpaling.
"He," kawannya menggamit, "kau lihat perempuan yang lewat dengan golok di lambung itu."
"O, tidak." orang itu tergagap.
"Nah, bagaimana tanggapanmu terhadap dua orang yang menyebut dirinya Wanengbaya dan Wanengpati itu?" bertanya kawannya.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya. "Mereka nampaknya baik-baik saja."
"Dimana perempuan dengan golok di lambung itu sekarang?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya.
"Nampaknya ia pergi ke barak permainan dadu," jawab orang itu hampir di luar sadarnya.
"Nah, jika pertanyaannya menyangkut perempuan, ia tanpa berpikir dapat menjawab dengan baik," berkata seorang kawannya yang lain.
"Ah," orang itu baru sadar. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Maksudku, tidak ada kesulitan dengan keduanya."
"Jawabanmu semakin kabur," desis Kiai Windu, "coba, sekarang kita berbicara dengan sungguh-sungguh tentang kedua orang itu. Apakah mereka akan dapat menjadi hambatan bagi kita atau tidak. Atau bahkan sebaliknya."
Ketiga orang kawannyapun menjadi bersungguh-sungguh pula. Seorang di antara mereka bertanya, "Mereka bagi kita adalah orang-orang aneh. Perhatiannya justru lebih banyak kepada anak-anak muda yang berada di Song Lawa ini. Nampaknya ia sangat menyesali kehadiran mereka disini."
"Menurut penglihatanku," berkata yang lain, "keduanya bukan orang kasar sebagaimana yang kita lihat. Mereka memang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Song Lawa ini. Mereka lebih membuat diri mereka kasar dan kadang-kadang liar. Tetapi mereka agaknya mempunyai kepentingan lain."
"Ya," berkata yang seorang, "merekapun tentu bukan penjudi yang sebenarnya meskipun mereka menyebut daerah perjudian seperti Gresik, Bergota, di sebelah Barat Pajang dan beberapa tempat yang lain."
"Baiklah," berkata Kiai Windu, "pada umumnya kita berpendapat bahwa keduanya bukan orang-orang yang perlu mendapat perhatian terlalu besar. Namun demikian, banyak kemungkinan dapat terjadi. Keduanya memang orang-orang berilmu tinggi. Jika keduanya menjadi salah paham, maka sikap mereka tidak akan dapat kita perhitungkan."
"Kita memang harus menjaga hubungan baik itu," berkata salah seorang di antara mereka, "dalam satu dua hari ini kita akan melihat, apa saja yang mereka lakukan disini."
"Tetapi kita harus lebih berhati-hati terhadap Wanengpati. Agaknya ia mempunyai watak yang lebih keras dari Wanengbaya. Wanengpati kadang-kadang tidak terlalu banyak dapat membuat pertimbangan sebelum bertindak, sehingga kadang-kadang ia terjerumus ke dalam gejolak perasaannya tanpa penalaran," berkata Kiai Windu, "ternyata ia telah mengguncangkan lapangan panahan dan iapun telah menghancurkan kesombongan orang yang disebut Kepala Besi itu."
"Ya," seorang kawannya mengangguk-angguk, "nampaknya Wanengbaya tidak setuju dengan sikapnya itu."
Kiai Windu dan kawan-kawannya yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian Kiai Windu berkata, "Marilah. Kita kembali ke bilik kita."
Ketika keempat orang itu sampai ke bilik mereka, ternyata mereka mendapatkan pintu bilik mereka diselarak dari dalam. Karena itu, maka merekapun telah mengetuk perlahan-lahan.
Sambi Wulunglah yang kemudian membuka pintu itu. Sambil tersenyum iapun bertanya, "Apakah kalian sudah selesai?"
Salah seorang kawan Kiai Windu menjawab, "Uangku yang aku sediakan untuk hari ini telah habis."
"Untuk hari ini?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya, Aku selalu menyediakan uang untuk setiap hari. Aku tidak mau berjudi berlarut-larut. Jika persediaanku untuk sehari telah habis, maka aku harus berhenti bermain, menunggu sampai hari berikutnya," jawab kawan Kiai Windu itu.
"Luar biasa," desis Sambi Wulung, "jarang sekali orang dapat mengekang diri seperti itu. Apalagi di tempat perjudian seperti ini. Itulah agaknya para petugas mengatakan, bahwa di hari-hari pertama, kadang-kadang sudah ada orang yang membunuh diri. Orang itu tentu tidak mempunyai kendali atas dirinya sendiri sebagaimana kau."
Kawan Kiai Windu itu tersenyum. Namun iapun berkata, "Aku tiba-tiba saja menjadi lapar."
"Ah kau," kawannya telah mendorongnya masuk, "aku mengantuk. Aku ingin berbaring barang sejenak sebelum pergi ke warung itu."
Kiai Windu sendiri tidak mengatakan sesuatu. Tetapi sekilas diperhatikannya barang-barangnya serta milik kawan-kawannya. Nampaknya letaknya tidak berubah. Menurut dugaannya, kedua orang yang telah lebih dahulu berada di dalam bilik itu tidak menyentuh barang-barangnya yang hanya sedikit itu.
Ketika kemudian Sambi Wulung duduk lagi di sudut amben, maka kawan-kawan Kiai Windupun telah berbaring di amben itu. Namun Kiai Windu yang duduk di sebelah Wanengbaya itupun berkata, "Aku justru menang hari ini."
"Kau?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Meskipun tidak terlalu banyak," jawab Kiai Windu.
"Kita akan menikmatinya di kedai nanti," berkata Sambi Wulung.
"Ya. Kita akan menikmatinya. Bukankah kau juga menang hari ini. Apalagi Wanengpati," jawab Kiai Windu sambil tersenyum, "Jika ia mau, maka semua uang yang ada di lapangan panahan dapat diambilnya."
"Ah," Wanengbaya tersenyum, "ia memang orang bengal. Seharusnya ia tidak berbuat seperti itu, sehingga ia harus berkelahi dengan orang yang disebut Kepala Besi yang mempunyai pengaruh besar di pesisir Utara. Kepala Besi itu tentu tidak akan menerima perlakuan sebagaimana dialaminya. Jika ia tidak sempat membalas dendam disini, maka pada kesempatan lain, ia akan membawa orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya di pesisir Utara."
"Untuk apa?" bertanya Kiai Windu.
"Untuk membalas dendam," jawab Wanengbaya.
"Membalas dendam siapa?" Kiai Windu justru bertanya. Kemudian katanya, "Jika ia ingin membalas dendam terhadap Wanengpati kemana ia harus mencarinya" Karena kau dan Wanengpati nampaknya pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Bahkan iapun kemudian bertanya, "Apakah kau ingin tahu, dimana kami tinggal?"
Kiai Windupun tertawa. Jawabnya, "Tidak. Aku tidak akan memaksamu untuk mengatakan tempat tinggalmu, karena aku sudah yakin bahwa kau dan Wanengpati memang tidak mempunyai tempat tinggal yang mapan."
Sambi Wulung justru tertawa pula. Katanya, "Jika yang kau katakan itu tidak benar, aku akan dengan serta-merta menyebut tempat tinggalku. Tetapi karena yang kau katakan itu benar, maka aku tidak dapat mengatakan apa-apa."
"Jahanam kau," geram Kiai Windu sambil bangkit berdiri. Tetapi tertawanya masih juga terdengar. Katanya, "Siapapun kau dan Wanengpati, tetapi Wanengpati telah menang banyak sekali hari ini."
"Ia tidak melanjutkan permainan," berkata Sambi Wulung.
Kiai Windu melangkah mondar-mandir di sebelah pembaringan. Namun kemudian ia berkata, "Apa rencanamu malam nanti?"
"Terserah kepada Wanengpati," jawab Sambi Wulung, "namun di tempat lain kita tidak akan dapat mengatur berdasarkan kemampuan kita, apakah kita akan menang atau kalah. Semuanya tergantung pada dadu atau ayam yang kita sabung."
"Agaknya kalian tidak banyak tertarik kepada permainan yang lain kecuali panahan," berkata Kiai Windu.
"Aku belum tahu," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windupun tidak bertanya lagi. Tetapi ia telah duduk pula di amben bambu yang cukup besar itu.
Keduanyapun untuk sejenak saling berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah dengkur mereka yang sedang tertidur. Ternyata kawan Kiai Windu yang merasa lapar itupun telah tertidur pula sebagaimana kawannya yang mengantuk.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin gelap, keenam orang itu telah berada di kedai yang masih sibuk. Beberapa orang telah keluar dan masuk berganti-ganti. Sambi Wulung dan Jati Wulung yang sempat memperhatikan orang-orang yang hilir mudik itu sempat menilai beberapa jenis sifat dan watak orang.
Selagi mereka sibuk dengan pesanan mereka masing-masing, maka tiba-tiba saja Puguh dan beberapa orang pengawalnya telah memasuki kedai itu pula. Demikian ia melihat Jati Wulung, maka sambil tertawa ia telah mendekatinya.
"Sudah lama kau disini?" bertanya Puguh.
"Sudah anak muda," Jati Wulungpun tertawa pula.
"Nah, marilah. Aku yang akan membayar makanan dan minumanmu," berkata Puguh.
"Ah," Jati Wulung menggeleng, "terima kasih. Bukannya aku menolak. Tetapi aku datang berenam."
"Tidak apa-apa. Aku telah menang dalam permainan dadu," berkata Puguh.
"Tiga kawanku juga telah menang. Sementara seorang yang lain telah menang pula di arena panahan," jawab Jati Wulung.
"Dan sudah barang tentu kau sendiri," sahut Puguh pula.
Tetapi sambil tersenyum Jati Wulung menggeleng. Katanya, "Aku kalah dimana-mana. Tetapi terima kasih atas kebaikan hatimu. Besok mungkin aku memerlukanmu. Apalagi jika semua uangku telah habis sehingga aku memerlukan pinjaman."
Puguh tertawa berkepanjangan. Katanya, "Baiklah. Jika kau memerlukan, katakan saja kepadaku. Atau bahkan mungkin akulah yang datang kepadamu untuk meminjam lebih dahulu."
Jati Wulung tertawa pula. Sambi Wulung dan Kiai Windu serta kawan-kawannyapun tertawa pula.
"Ternyata anak ini sempat pula berkelakar," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya. Menurut penglihatannya, wajah Puguh biasanya nampak murung dan bersungguh-sungguh. Senyumnya terlalu mahal dan sorot matanya kadang-kadang memancarkan kecurigaan. Tetapi dengan Jati Wulung ia dapat menjadi akrab.
Puguhpun kemudian telah duduk pula di dalam kedai itu. Karena Jati Wulung tidak mau menerima tawarannya, maka Puguh telah mengambil tempat tersendiri bersama para pengawalnya.
Namun dalam pada itu, Kiai Windulah yang nampak menjadi agak gelisah. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja ia berkata kepada kawan-kawannya, "Kita menengok kuda-kuda kita sejenak."
Ketiga kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian merekapun mengangguk kecil. Seorang di antara mereka berkata, "Marilah. Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kekurangan makan."
Ketiga kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian merekapun mengangguk kecil. Seorang di antara mereka berkata, "Marilah. Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kekurangan makan."
Tetapi Kiai Windu tidak lupa membayar makanan dan minuman bukan saja bagi dirinya dan ketiga orang kawannya. Tetapi juga bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Tunggulah sebentar," berkata Kiai Windu, "kami akan menengok kuda-kuda kami."
"Silahkan," berkata Sambi Wulung. Lalu, "Jika tidak disini, kami dapat kalian jumpai di dalam bilik kami."
"Kau tidak melihat permainan dadu?" bertanya Kiai Windu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Mungkin kami akan kesana. Tetapi mungkin aku akan menunggu sampai rambahan-rambahan panahan itu berlangsung lagi."
Kiai Windupun tersenyum pula. Sambil menepuk bahu Sambi Wulung ia berkata, "jaga saudaramu itu baik-baik."
Jati Wulung memandanginya dengan tajamnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Kau takut bahwa aku akan menjadi liar disini?"
"Bukankah kalian menjadi liar sejak belum memasuki tempat ini?" bertanya Kiai Windu.
"He," Jati Wulung menjadi tegang. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, "Kau benar. Bahkan aku menjadi liar sejak lahir."
Kiai Windu dan kawan-kawannyapun tertawa. Sambil melangkah pergi Kiai Windu berkata, "Kau sempat merajuk, he?"
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia menjadi tertarik kepada Puguh. Karena itu, maka ia memberi isyarat kepada Sambi Wulung untuk mendekati anak muda yang sedang makan itu.
"He, marilah. Mungkin kalian ingin makan bersama aku" Dimana kawan-kawanmu itu?" bertanya Puguh.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian duduk bersama Puguh dan para pengawalnya. Para pengawal Puguh itu tahu pasti, bahwa Jati Wulung yang dikenal bernama Wanengpati. itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu mereka. Apalagi jika kawannya yang bernama Wanengbaya itu juga. Maka berdua mereka merupakan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada pengawal itu.
"Jika Puguh mampu mengikat keduanya, mungkin kami tidak diperlukan lagi," berkata para pengawal itu di dalam hatinya.
"Kalian mau makan apa?" bertanya Puguh dengan ramah.
Jati Wulung menggeleng. Katanya sambil tersenyum, "Aku sudah kenyang. Aku hanya ingin duduk disini. Kawan-kawanku itu sedang pergi menengok kuda mereka yang ditambatkan di luar."
"Bukankah kuda-kuda itu sudah dititipkan" Biasanya orang-orang yang menjaga kuda itu mengurusnya dengan baik. Dari penyediaan makanan sampai kebersihannya."
Jati Wulung memang tidak begitu mengetahui tentang penitipan kuda di Song Lawa. Namun ia menjawab, "Kawanku itu sangat sayang kepada kudanya. Seperti menyayangi anak-anaknya."
Puguh tersenyum. Iapun kemudian beringsut untuk memberi tempat yang lebih baik kepada Jati Wulung dan Sambi Wulung yang sudah duduk di antara mereka.
Di luar dugaan Jati Wulung, Puguh masih saja memujinya. Dengan suara berat ia akhirnya berkata, "Sampai saat ini orang yang disebut Kepala Besi itu masih belum keluar dari biliknya. Ia telah mendapat perawatan dari tabib Song Lawa ini."
"Disini ada tabib?" bertanya Jati Wulung.
"Ada. Disini ada semuanya. Ada tabib tetapi juga ada bilik di sudut halaman itu," jawab Puguh, "mereka yang ingin sembuh dari penderitaannya apapun sebabnya dapat memanggil tabib dengan upah tersendiri. Tetapi siapa yang ingin mengakhiri penderitaan dengan cara lain, mungkin penderitaan batin karena kalah tanpa dapat dihitung lagi, dipersilahkan untuk pergi ke bilik itu."
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Memang menarik sekali."
"Kau baru kali ini berkunjung ke Song Lawa," desis Puguh itu lebih lanjut.
"Ya," jawab Jati Wulung, "meskipun aku telah mengunjungi tempat-tempat perjudian dimana-mana. Namun ternyata bahwa tempat ini sangat menarik."
Puguh tertawa, iapun kemudian masih banyak berceritera tentang lingkungan Song Lawa yang sebagian sudah dikenal oleh Jati Wulung dan Sambi Wulung. Namun ternyata Puguh tidak berceritera sama sekali tentang dirinya sendiri. Betapapun Jati Wulung dan Sambi Wulung selalu menghindar.
Jati Wulung dan Sambi Wulung tidak ingin dicurigai karena keinginannya untuk mengetahui keadaan Puguh secara pribadi. Karena itu, maka mereka tidak dapat memaksa agar Puguh mengatakan lebih banyak dari apa yang dilihatnya tentang anak muda di tempat perjudian yang disebut Song Lawa itu.
Beberapa saat lamanya Jati Wulung dan Sambi Wulung sempat berbicara dengan Puguh di antara para pengawalnya. Namun kemudian keduanya telah minta diri untuk melihat-lihat permainan dadu. Mungkin mereka tertarik untuk ikut bermain.
"Nanti aku menyusul," berkata Puguh.
Jati Wulung dan Sambi Wulungpun kemudian telah meninggalkan kedai itu. Demikian mereka memasuki kegelapan, maka Sambi Wulungpun berdesis, "Kepribadiannya sama sekali tidak sebagaimana kita duga sebelumnya. Keterangannya yang kita peroleh tentang anak itu sebelum kita menjumpainya, agaknya terlalu berlebihan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita hanya menduga sebelumnya. Menilik sifat ibunya dan laki-laki yang mungkin dianggap ayahnya, Ki Rangga Gupita. Kita juga membayangkan lingkungannya yang kasar cara hidup yang sedikit liar."
"Namun ternyata anak itu agak lain," desis Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, "Kita melihat permainan dadu sebentar."
Dalam pada itu, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya telah berada di luar pintu gerbang. Kepada petugas di pintu mereka mengatakan bahwa mereka ingin melihat kuda-kuda mereka.
"Malam-malam begini?" bertanya petugas yang bertubuh raksasa itu.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Aku tenggelam di permainan dadu sehingga aku lupa melihat kuda-kuda kami."
"Percayakan kepada kami. Kami sudah berpengalaman mengurusi kuda jenis apapun," berkata penjaga pintu gerbang itu.
Tetapi sambil tertawa Kiai Windu berkata, "Aku sudah rindu kepada kudaku. Demikian juga kawan-kawan ini. Kami hanya sebentar, asal saja sempat melihatnya. Kami masih akan kembali ke permainan dadu itu."
Penjaga itu tidak menghiraukan lagi. Dibiarkannya saja keempat orang itu melihat kudanya yang sudah ditempatkan dikandang khusus bagi kuda-kuda yang dititipkan, yang masih terletak di lingkungan dinding berlapis di Song Lawa itu.
Namun ketika mereka berada di kandang kuda itu, mereka telah mendengar suara cengkerik di balik dinding. Perlahan-lahan Kiai Windu mendekatinya. Kemudian diucapkannya kata sandi pelahan-lahan, "He, kau itu Pager Bubrah. Lihat awan di depan deretan bintang."
"Bagus," terdengar desis di balik dinding, "tempatku cukup terlindung di balik semak-semak."
"Kau tergesa-gesa?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak. Ada pesanmu?" bertanya yang di luar dinding.
"Seorang yang agak bongkok telah memberikan laporan yang mencurigakan," desis Kiai Windu.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Sementara seorang kawan Kiai Windu mendekatinya sambil bertanya, "Suara anjing menggonggong itu" Ternyata aku hampir tidak mendengarnya mula-mula."
"Ya. Telinganya harus lebih peka dalam tugas ini," sahut Kiai Windu.
"Ternyata kita memang sudah mulai," berkata kawannya, "apakah orang di luar itu pernah bertemu dan berhubungan dengan orang bongkok?" bertanya Kiai Windu hampir berbisik.
"Aku agaknya memang pernah bertemu," jawab orang di luar dinding.
Sementara itu, seorang di antara kawan Kiai Windu itu telah menarik kudanya keluar dari kandang. Karena dengan sengaja ia membuat kudanya terkejut, maka kuda itu telah melonjak dan meringkik keras.
Penjaga yang ada di pintu gerbang mendengar pula ringkik kuda itu. Tetapi ia tidak begitu menghiraukannya. Karena menurut perhitungannya, keempat orang itu tentu tidak akan mencuri kuda. Seandainya mereka ingin melakukannya, mereka tidak akan dapat melontarkan kuda-kuda yang dicurinya lewat di atas dinding yang agak tinggi itu.
Sementara itu Kiai Windu bertanya pula, "Dimana kau bertemu dengan orang itu?"
"Agak jauh dari tempat ini. Namun agaknya orang itu memang memperhatikan kami. Apakah orang bongkok itu orang Song Lawa?" bertanya yang di luar.
"Ya. Orang bongkok itu telah memberikan laporan yang tidak aku mengerti. Mungkin melaporkan kehadiranmu," desis Kiai Windu.
"Orang bongkok atau dua orang tua atau salah seorang di antara mereka," bertanya yang di luar.
"Orang bongkok," jawab Kiai Windu.
Sejenak mereka terdiam. Seorang lagi kawan Kiai Windu telah mengeluarkan kudanya pula dari kandang. Beberapa saat kuda-kuda yang ada di dalam kandang itu memang agak ribut.
Ternyata seorang telah mendekati mereka. Seorang petugas dari Song Lawa sehingga Kiai Windu harus memberi isyarat kepada orang di luar dinding untuk diam.
"Kenapa dengan kuda-kuda itu?" bertanya petugas itu.
"Siapa kau?" bertanya Kiai Windu.
"Aku petugas yang mengurusi kuda-kuda titipan. Kenapa kau malam-malam begini membuat ribut di kandang kuda?" bertanya petugas itu.
"Aku ingin melihat kudaku. Siang tadi kami tidak sempat melakukannya. Kami sibuk bermain dadu," jawab kawan Kiai Windu itu.
"Tetapi jangan menakut-nakuti kuda yang lain. Jika ada di antara kuda-kuda itu yang terlepas karena ketakutan, kalian harus menangkapnya," berkata petugas itu.
"Bukankah kuda-kuda itu tidak akan dapat keluar?" bertanya Kiai Windu.
"Tetapi jika kuda itu berlari-lari di longkangan ini, akan cukup melelahkan untuk menangkapnya," berkata petugas itu.
"Baiklah. Aku akan bertanggung jawab," sahut Kiai Windu.
Sejenak kemudian, orang itupun meninggalkan kandang kuda itu sementara Kiai Windu dan kawan-kawannya terpaksa menunggunya sehingga menjadi semakin jauh. Baru kemudian Kiai Windu melanjutkan membicarakannya dengan orang yang di luar.
"Bagaimana dengan orang tua itu?" bertanya Kiai Windu.
"Kau mau mendengar?" bertanya orang di luar.
"Katakan, aku tidak tergesa-gesa juga," berkata Kiai Windu.
Suara di luar dinding itu terhenti sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku menjumpai dua orang tua di lereng gunung yang agak tinggi. Tetapi mereka nampaknya dengan sengaja telah menyembunyikan dirinya."
"Apakah mereka tahu siapa kau?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak. Agaknya mereka tidak tahu. Tetapi keduanya justru mencurigakan," jawab suara di luar dinding.
"Kenapa keduanya tidak kau tangkap dan kau bawa ke landasan pertama dari tugas ini dan kau serahkan kepada mereka yang berada di landasan pertama itu?" bertanya Kiai Windu.
"Niatku juga demikian," jawab orang di luar dinding, "tetapi gagal."
"Kenapa gagal?" bertanya Kiai Windu selanjutnya.
Orang di luar dinding itupun kemudian menceriterakan usahanya untuk menangkap kedua orang tua itu. Mula-mula keduanya nampak jinak dan tidak berbahaya. Tetapi ketika keduanya akan ditangkap, ternyata kelima orang di luar dinding itu tidak mampu melakukannya.
"Kami telah bertempur," berkata orang itu. Sekilas teringat angan-angannya apa yang telah terjadi.
Berlima itu telah menemukan dua orang tua yang duduk dibatu-batu padas di atas sebuah tebing. Dari tempat itu, keduanya dapat jelas melihat lingkungan Song Lawa, meskipun tanpa dapat melihat bagian-bagian yang kecil. Tanpa dapat mengenali orang-orang yang nampak sekecil bilalang.
Kelima orang itu mencurigai dua orang tua yang nampaknya memang sedang mengamati Song Lawa dengan tujuan yang tidak jelas. Karena itu, maka kedua orang tua itu akan dibawa ke landasan tugas mereka berlima. Tetapi orang-orang tua itu menolak sehingga kelima orang itu mencoba untuk memaksa.
Tetapi setelah bertempur beberapa saat, maka ternyata kedua, orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Tanpa kesulitan apapun mereka setiap kali mampu melepaskan diri dari kepungan. Bahkan sekali-sekali menyentuh tubuh mereka berlima berganti-ganti. Sentuhan itu tidak terlalu keras, tetapi rasa sakitnya bagaikan menembus sampai ke sungsum.
"Ternyata keduanya adalah orang yang berilmu sangat tinggi," berkata orang di luar dinding itu.
"Dimana mereka berdua sekarang?" bertanya Kiai Windu.
"Kami tidak tahu. Keduanya tiba-tiba saja terlepas dari tangan kami dan menghilang di antara semak-semak di lereng gunung ini," jawab orang di luar dinding.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian bertanya, "Apakah sudah kau laporkan?"
"Sudah kami laporkan," jawab orang di balik dinding, "kedua orang itu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh."
"Baiklah," berkata Kiai Windu pula. Kemudian iapun bertanya, "Bagaimana dengan orang bongkok itu?"
"Agaknya kami pernah melihatnya. Kami berlima sedang mengadakan pengamatan lingkungan Song Lawa ini," jawab orang di luar dinding, "tetapi orang itupun tidak dapat kami tangkap, dan tiba-tiba telah menghilang pula."
"Apakah menurut dugaanmu orang bongkok itu ada hubungannya dengan kedua orang tua itu?" bertanya Kiai Windu pula.
"Agaknya tidak. Keduanya kami jumpai di tempat yang jauh berbeda. Tetapi kemungkinan itu memang ada juga," jawab suara itu.
"Baik. Beri aku laporan berikutnya jika ada yang penting. Usahakan untuk menemukan dua orang tua itu. Orang bongkok itu telah berada disini. Di Song Lawa," berkata Kiai Windu.
Pembicaraan itu terputus. Kiai Windupun kemudian memerintahkan kawan-kawannya untuk mengembalikan kuda yang telah mereka ambil dari kandang sekedar untuk mengelabui para petugas jika mereka melihat apa yang mereka lakukan.
Sejenak kemudian keempat orang itupun telah siap untuk kembali ke lingkungan Song Lawa dengan memasuki pintu gerbang dilapis terakhir yang dijaga ketat itu.
Sementara itu seorang kawannya berdesis, "Agaknya memang perlu perhatian khusus."
"Ya," jawab Kiai Windu.
Sedangkan kawannya yang lain berkata, "Bukankah tugas ini tidak termasuk dalam rencana induk dalam gerakan ini?"
"Memang tidak," jawab Kiai Windu, "menurut rencana induk, baru dua hari lagi orang-orang kita bergerak. Tetapi seperti yang aku katakan, kita atau katakan para petugas itu harus dibekali dengan pengenalan medan. Karena itu, maka ada beberapa orang yang ditugaskan khusus untuk mengenali medan ini."
Kawan-kawannya tidak bertanya lagi. Mereka sudah berada di dekat pintu gerbang. Tanpa kesulitan merekapun kemudian masuk kembali ke dalam lingkungan Song Lawa melewati pintu gerbang di lapis terakhir dari dinding yang berlapis itu.
Namun mereka berempat masih mencari tempat yang tidak banyak diperhatikan orang di dalam lingkungan yang khusus itu. Sementara itu di barak permainan dadu masih terdengar betapa ramainya orang-orang yang ikut dalam permainan itu.
"Kita harus bekerja lebih cepat," berkata Kiai Windu, "kita harus segera mengumpulkan laporan itu."
"Kita sudah mempunyai bahan yang lengkap tentang tempat ini setelah kita beberapa kali melibatkan diri dalam perjudian disini," berkata seorang kawannya, "namun demikian, mungkin masih ada juga yang terlampau dari pengamatan kami."
"Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian," berkata Kiai Windu, "hadirnya dua orang berilmu tinggi yang menyebut dirinya Wanengbaya dan Wanengpati serta kedatangan orang yang mempunyai nama terkenal di pesisir Utara, Orang Hutan berkepala Besi itu."
Ketiga orang kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Kita tidak tahu dengan pasti, untuk apa mereka berada disini. Tetapi Wanengbaya dan Wanengpati nampaknya bukan orang yang mempunyai niat buruk. Mungkin keduanya mempunyai kepentingan tertentu, justru terhadap anak-anak muda yang ada di sini. Setiap kali yang mereka bicarakan adalah tentang anak-anak muda. Keduanya nampaknya sangat menyesal melihat bahwa di tempat ini ada juga anak-anak muda dan bahkan remaja."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Marilah. Kita kembali ke barak permainan dadu. Usahakan untuk dapat melihat lagi orang bongkok itu. Tetapi kita harus berhati-hati. Ternyata disini hadir orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi."
Demikianlah keempat orang itupun kemudian telah memasuki barak permainan dadu. Namun ternyata bahwa mereka melihat para petugas nampaknya menjadi semakin bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Orang-orang bertubuh raksasa itu berdiri di setiap sudut dan berjalan hilir mudik disepanjang barak.
"Tentu akibat kedatangan orang bongkok itu," berkata Kiai Windu di dalam hatinya.
Sementara itu, ternyata Kiai Windu dan kawan-kawannya tidak menjumpai Wanengpati di dalam barak permainan dadu itu. Karena itu, maka keduanyapun tidak ikut bermain pula.
"Kita kembali ke bilik," berkata Kiai Windu.
Mereka berempatpun kemudian meninggalkan tempat permainan dadu itu.
Namun di pintu, seorang kawan Kiai Windu telah berhenti. Bahkan di luar sadarnya mulutnya telah bersiul lirih.
Kawannya yang lain telah mendorongnya dengan sikunya sambil berdesis, "Apalagi yang kau lihat?"
"O, tidak apa-apa," jawab orang itu.
Namun kawannya yang lain berdesis, "Kenapa tidak kau sapa saja perempuan itu dan kau ajak makan dan minum di kedai itu?"
"Aku tidak melihatnya," jawab kawannya yang bersiul kecil itu.
Yang lain tertawa. Kiai Windupun tertawa. Sementara perempuan yang lewat itu sama sekali tidak berpaling.
Dalam pada itu, maka orang yang telah memberikan isyarat dengan gonggong anjing sehingga Kiai Windu telah berada di kandang kuda itupun telah meninggalkan semak-semak tempat ia bersembunyi. Beberapa puluh langkah, ia telah bergabung dengan tiga orang kawannya yang lain. Dengan sangat berhati-hati merekapun telah bergerak menjauhi dinding dari Song Lawa yang merupakan lingkungan yang gawat itu.
Semakin jauh mereka dari Song Lawa, mereka merasa bahwa mereka menjadi semakin aman. Mereka agaknya memang sudah terlepas dari kemungkinan diketahui oleh para petugas di tempat perjudian itu, meskipun merekapun tetap menyadari, bahwa petugas dari Song Lawa itu tentu ada juga yang berkeliaran sampai jarak yang agak jauh dari tempat perjudian itu sendiri. Bahkan mungkin di padukuhan-padukuhan di kaki gunung itu.
*** Namun sebenarnyalah bahwa keempat orang itu tidak mengetahui, bahwa semua tingkah lakunya telah diikuti oleh dua orang tua yang pernah berkelahi melawan mereka. Dua orang tua yang luput dari tangan mereka. Bahkan ternyata bahwa kedua orang tua itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sementara itu, ketika keempat orang itu telah menjadi semakin jauh, kedua orang tua itu justru telah berhenti. Mereka duduk di atas batu-batu padas di lereng gunung itu dalam kegelapan malam.
"Bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya seorang di antara mereka.
"Yang lain," Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak mengerti. Untuk siapakah mereka bekerja. Jika mereka bekerja untuk sekelompok penjahat yang berkeberatan besar, atau gabungan dari beberapa kelompok penjahat, maka keadaan akan menjadi gawat. Penjahat-penjahat itu tentu mengetahui bahwa disini terdapat banyak sekali uang dan tentu juga perhiasan. Banyak barang-barang berharga yang kadang-kadang menjadi taruhan."
Tetapi Kiai Badrapun berkata, "Jika sekelompok penjahat akan memasuki lingkungan itu, tentu diperlukan kekuatan yang sangat banyak. Di Song Lawa itu kecuali para pengawalnya yang tentu sudah terlatih, juga terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan bertempur. Jika para penjahat itu menyerang Song Lawa, maka mereka akan menghadapi para petugas dan orang-orang yang ada di Song Lawa itu. Para penjudi itu tentu tidak akan merelakan uang dan barang-barangnya yang berharga diambil oleh para penjahat."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Apakah ada kemungkinan lain?"
"Tentu ada. Tetapi aku tidak dapat menebak," berkata Kiai Soka.
Keduanya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Kiai Sokapun berdesis, "Ada landasan pertama bagi tugas mereka itu."
Kiai Badra memandang ke kejauhan, seakan-akan ingin menembus ke kegelapan. Dengan nada rendah iapun berkata, "Bagaimana caranya agar kita dapat memberitahukan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung."
"Memang satu masalah," sahut Kiai Soka, "jika mereka tidak mengetahuinya, ada kemungkinan keduanya terjebak dalam persoalan yang dapat menyulitkan kedudukan mereka."
Kiai Badra akan menjawab. Namun tiba-tiba saja ia menggamit Kiai Soka.
Ternyata Kiai Sokapun tanggap. Karena itu, maka keduanya tidak lagi berbicara. Keduanya duduk saja sambil memandang ke depan. Namun telinga mereka telah mereka buka lebar-lebar. Ternyata mereka mendengar desir lembut mendekat.
Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka keduanyapun mengetahui bahwa yang datang mendekati mereka bukannya hanya seorang.
Kiai Badra dan Kiai Soka sama sekali tidak beranjak dari tempat duduk mereka. Tetapi mereka bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian beberapa orang telah muncul dari balik gerumbul. Mereka langsung mengepung mereka berdua. Seorang yang berdiri di depan mereka, memberi isyarat kepada seorang yang lain untuk mendekat.
"Apakah benar mereka berdua?" bertanya orang itu, yang agaknya pemimpin dari kelompok orang yang mengepungnya.
Orang yang datang mendekat itupun mengamati Kiai Badra dan Kiai Soka sejenak. Kemudian iapun mengangguk. Katanya, "Ya. Dua orang inilah yang telah lepas dari tangan kami."
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata, "Nah, jika demikian kita akan menangkapnya dan membawa keduanya."
Kiai Badra dan Kiai Soka masih berdiam diri. Mereka dengan demikian mengetahui bahwa di antara orang-orang yang mengepungnya itu adalah orang-orang yang pernah berusaha menangkapnya.
"Ki Sanak," berkata pemimpin kelompok itu, "sekarang kalian tidak perlu melarikan diri. Tidak ada gunanya. Menyerah sajalah. Kau akan kami bawa ke tempat kami."
Kiai Badralah yang kemudian bertanya, "Tetapi apakah salah kami terhadap kalian. Kita baru saja bertemu. Dan tiba-tiba kalian ingin menangkap kami."
"Jika kalian memang tidak bersalah, kami tentu akan segera melepaskan kalian," berkata pemimpin kelompok itu.
"Tetapi apakah kalian berhak menangkap seseorang" Siapakah kalian?" bertanya Kiai Soka.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Siapapun kami, itu tidak penting bagi kalian. Kamilah yang ingin tahu, siapakah kalian berdua."
Tetapi jawab Kiai Badra, "Siapapun kami, juga tidak penting bagi kalian. Tetapi jika kalian merasa berhak menangkap kami tanpa landasan kekuasaan apapun, maka kamipun berhak menangkap kalian."
"Persetan," geram pemimpin kelompok itu, "kalian jangan membuat persoalan menjadi semakin rumit. Ikut kami. Kami hanya ingin tahu serba sedikit tentang kalian berdua. Kenapa kalian mengawasi tempat perjudian itu."
"Kami tidak mengawasi tempat perjudian itu," jawab Kiai Soka, "kami tidak peduli sama sekali."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti hal itu kita bicarakan. Marilah, ikutlah kami," berkata pemimpin kelompok yang telah mengepung dua orang tua itu.
Kiai Soka dan Kiai Badra sempat memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun sebelum mereka mengatakan sesuatu, pemimpin kelompok itu telah mendahuluinya, "Kami semua berjumlah tujuh orang. Dua orang lebih banyak dari saat kau sempat melarikan diri. Tetapi selain jumlah kami yang lebih banyak, di antara kami terdapat orang-orang yang berilmu, sehingga kalian tidak akan lagi dengan mudah dapat menghindari kami."
"Ki Sanak," berkata Kiai Badra, "sebenarnya tidak ada persoalan bagi kita. Seandainya kalian sedang mengamati Song Lawa untuk kepentingan kalian, dan kami juga melakukan untuk kepentingan kami, apakah salahnya" Kita tidak usah bertengkar. Kita dapat berbuat sesuai dengan kepentingan kita masing-masing tanpa saling mengganggu."
"Sayang," berkata pemimpin kelompok itu, "kami tidak dapat berbuat demikian. Kami ingin menangkap kalian berdua."
"Baiklah jika demikian," berkata Kiai Badra, "kami juga ingin menangkap kalian bertujuh."
Pemimpin kelompok itu menjadi tegang. Namun iapun kemudian berkata kepada kawan-kawannya, "Agaknya kita berhadapan dengan orang-orang tua yang kurang waras. Berhati-hatilah. Meskipun mereka agak kurang waras, tetapi mereka berilmu tinggi."
Ketujuh orang itupun segera mempersiapkan pula. Sambil tertawa Kiai Badra berkata, "jadi kau menganggap bahwa kami kurang waras karena sikap kami" Jika demikian, maka kalianpun tidak waras pula karena kalian juga akan menangkap kami."
Pemimpin kelompok itu tidak menyahut. Tetapi iapun segera memberikan perintah, "Tangkap mereka. Jika mereka melawan, kalian mendapat wewenang untuk melakukan kekerasan. Tetapi usahakan agar kita dapat menangkap mereka hidup-hidup."
Namun ketika orang-orang itu mulai bergerak, Kiai Badrapun berkata, "Kita akan menangkap mereka sebanyak-banyaknya. Terutama pemimpinnya. Jangan biarkan ia melarikan diri."
"Persetan," geram pemimpin dari kelompok itu.
Kiai Badra dan Kiai Soka tidak sempat menjawab lagi. Orang-orang itupun segera mulai bergerak. Nampaknya mereka lebih berhati-hati daripada yang pernah mereka lakukan. Sementara itu menilik sikapnya, maka memang ada di antara mereka orang-orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dari yang lain.
Kiai Badra dan Kiai Soka tidak segera dapat mengetahui tingkat ilmu orang-orang itu. Karena itu, maka mereka merasa wajib untuk tetap berhati-hati.
Ketika orang-orang itu mulai menyerang, maka Kiai Badra dan Kiai Soka justru telah berpencar.
Ternyata orang-orang yang mengepung kedua orang tua itu sulit untuk tetap mengurung keduanya dalam kepungan. Ketika mereka sudah mulai bertempur, maka kedua orang itu benar-benar tidak dapat dibatasi geraknya. Keduanya berloncatan di atas batu-batu padas dalam gelapnya malam.
Tetapi orang-orang yang berusaha menangkap kedua orang tua itu memang menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Dua orang di antara mereka adalah orang yang mempunyai ilmu melampaui kawan-kawan mereka yang lain. Semakin seru pertempuran itu, maka Kiai Badra dan Kiai Soka semakin dapat menilai kemampuan lawan-lawan mereka sehingga keduanyapun dapat mengetahui, siapakah di antara mereka yang memiliki ilmu tertinggi.
Dengan demikian maka perhatian Kiai Badra dan Kiai Soka adalah tertuju kepada kedua orang itu. Dua orang yang memiliki kelebihan.
Ketika pertempuran itu meningkat semakin cepat, maka Kiai Badra dan Kiai Sokapun telah mengambil jarak semakin jauh. Dua lingkaran pertempuran terjadi di lereng gunung yang kadang-kadang miring berbatu-batu.
Kiai Soka ternyata telah berhadapan dengan tiga orang di antara lawan-lawannya, sedangkan Kiai Badra harus berhadapan dengan empat orang lawan.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang ingin menangkap kedua orang tua itu telah mengalami kesulitan. Di atas tanah yang sulit, yang kadang-kadang terdapat bagian-bagian yang licin, namun kadang-kadang juga bagaikan bergerigi tajam, mereka tidak dapat bergerak sebagaimana mereka bertempur di tempat yang datar.
Sementara itu, Kiai Badra dan Kiai Soka memang memiliki kemampuan yang sulit untuk diimbangi oleh lawan-lawannya. Kedua orang tua itu bukan saja berilmu tinggi, tetapi mereka seakan-akan telah begitu akrab dengan medan.
Karena itu, semakin lama mereka bertempur, maka ketujuh orang yang ingin menangkapnya itu justru semakin mengalami kesulitan. Kedua orang tua itu bergerak semakin cepat, justru di atas tanah yang semakin sulit diinjak.
Bahkan kemudian ternyata bahwa justru serangan-serangan orang tua itulah yang mulai mengenai lawan-lawannya. Semakin lama bahkan menjadi semakin sering.
Orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang lain itupun berusaha untuk memancing perhatian orang tua itu. Mereka berusaha mempercepat tata gerak mereka. Serangan-serangan merekapun datang membadai. Namun kedua orang tua itu seakan-akan tidak terpengaruh karenanya. Mereka masih saja mampu bergerak melampaui kecepatan semua lawan-lawannya.
Bahkan seorang di antara kedua orang tua itu berkata, "Kami memang ingin menangkap kalian. Jangan menyesal, jika kami membawa kalian ke tempat yang tidak kalian mengerti sama sekali."
"Persetan," geram pemimpin kelompok itu, "aku tidak akan dapat kau takut-takuti."
Belum lagi mulutnya terkatup rapat, maka ujung tiga buah jari lawannya yang merapat telah mengenai dadanya.
Orang itu telah terdorong surut. Keluhan yang pendek terdengar. Pemimpin kelompok itu hampir saja jatuh terjerembab. Apa lagi tidak jauh dari arena perkelahian itu terdapat lereng yang agak terjal. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi seseorang yang terjatuh ke dalamnya, akan sulit untuk dapat segera bangkit. Tubuhnya tentu akan dikoyak oleh batu-batu padas yang runcing tajam.
Demikianlah, semakin lama maka keseimbangan dari pertempuran itupun menjadi semakin berat sebelah. Justru kedua orang tua itulah yang telah berhasil menguasai medan. Keduanya mampu bergerak kemana mereka kehendaki, meskipun lawan mereka berlipat banyaknya.
Namun akhirnya, Kiai Badra dan Kiai Soka memandang bahwa perkelahian itu sama sekali tidak ada gunanya. Keduanya juga tidak ingin benar-benar menangkap ketujuh orang itu, karena mereka tidak mempunyai kelengkapan untuk menahan mereka. Sedangkan untuk membunuh mereka, keduanya sama sekali tidak berniat. Keduanya belum tahu pasti siapakah mereka, sehingga kematian harus dinilai dengan cermat.
Karena itu, maka akhirnya Kiai Badra telah memberi isyarat kepada Kiai Soka untuk meninggalkan arena saja. Seperti yang telah terjadi, maka dengan diam-diam mereka telah hilang dari arena pertempuran.
Demikianlah pula saat itu. Kedua orang itu telah mempercepat gerak mereka. Namun tiba-tiba saja keduanya dengan loncatan-loncatan panjang telah mengambil jarak.
Pemimpin kelompok yang ingin menangkap kedua orang itu memang sudah dapat memperhitungkan bahwa kedua orang itu akan meninggalkan arena. Namun pemimpin kelompok itu sama sekali tidak berusaha mencegahnya, atau memberikan aba-aba untuk menahan agar keduanya tidak sempat menghindar. Pemimpin kelompok itu justru memberikan kesempatan kepada keduanya untuk menghindar bukan karena keduanya merasa kalah. Tetapi keduanya merasa tidak perlu lagi melanjutkan perkelahian itu.
Menurut perhitungan pemimpin kelompok itu, kepergian kedua orang itu memberikan arti yang baik baginya. Ia tidak akan kehilangan kewibawaan di mata anak buahnya, karena lawan-lawanlah yang telah meninggalkan gelanggang. Bahkan seandainya kepergian lawannya itu sempat ditahan, maka pertempuran berikutnyapun akan mempunyai akibat yang pahit. Kekalahan.
Ternyata kepergian kedua orang itu, membuat pemimpin kelompok itu sedikit menengadahkan wajahnya. Dengan geram ia berkata, "Mereka melarikan diri."
"Apakah kita tidak mencarinya?" bertanya salah seorang kepercayaannya yang kurang puas menghadapi cara berkelahi kedua orang tua yang dianggapnya telah menghina mereka bertujuh.
Pemimpin kelompok itu menggeleng. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita tidak akan dapat mencarinya. Tidak ada gunanya, selain sekedar membuang waktu dan tenaga, juga kemungkinan yang lain akan dapat terjadi."
Orang-orangnya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka juga mengalami kelelahan yang sangat.
"Marilah. Kita kembali ke landasan gerak kita," berkata pemimpin kelompok itu.
Ternyata merekapun telah bergerak. Ketujuh orang itu telah menuju kembali ke landasan gerak mereka.
Dalam pada itu, Kiai Badra dan Kiai Soka, demikian melepaskan lawan-lawan mereka, telah bergeser ke tempat yang lebih tinggi. Mereka telah duduk pula dibatu-batu padas membicarakan ketujuh orang yang ingin menangkap mereka.
"Kenapa mereka menganggap mempunyai wewenang untuk menangkap seseorang?" bertanya Kiai Soka.
Kiai Badra menggeleng sambil berkata, "Entahlah. Mungkin mereka memang merasa mempunyai kewenangan itu. Mungkin mereka merasa terlalu kuat untuk dapat melakukannya atas orang lain yang dianggapnya lemah. Atau katakanlah, mereka terbiasa berbuat apa saja tanpa ada yang sempat menghalangi."
"Bagaimana kalau kita mencari keterangan lebih jauh tentang mereka?" bertanya Kiai Soka.
"Apa yang akan Kiai lakukan?" bertanya Kiai Badra.
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam, sementara Kiai Soka berkata, "Untuk sementara, biarlah kita tidak terlalu banyak memperhatikan mereka, selama kita masih dapat berlari-lari menghindar jika kita bertemu seperti yang terjadi saat ini. Namun bahwa mereka tentu merupakan satu gerakan yang besar, yang berhubungan dengan Song Lawa itu agaknya hampir dapat dipastikan. Tetapi siapakah mereka, dan apa kepentingan mereka itulah yang tidak kita ketahui."
"Tetapi menilik sikap dan cara mereka bertempur, agaknya mereka bukan para penjahat yang keras dan kasar. Namun kemampuan mereka tidak berada di bawah kemampuan orang-orang kasar dan bahkan liar sekalipun," desis Kiai Badra.
Kedua orang tua itupun mengangguk-angguk. Namun untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri merenungi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan yang mereka alami.
*** Dalam pada itu. di Song Lawa Kiai Windu dan kawan-kawannya telah berada di dalam bilik mereka pula. Beberapa orang di antaranya mereka telah terbaring di pembaringan. Yang kemudian duduk di sudut adalah Jati Wulung dan seorang kawan Kiai Windu. Untuk beberapa saat merekapun saling berdiam diri. Namun tiba-tiba kawan Kiai Windu itu bertanya, "He, kau lihat seorang perempuan dengan pedang di lambung?"
Jati Wulung berpaling. Namun sambil mengerutkan keningnya ia menyahut, "Tidak. Aku tidak melihatnya."
"Bohong. Kau tentu melihatnya. Atau seorang perempuan yang berpakaian seperti laki-laki. Nampaknya ia tidak membawa senjata. Tetapi ia tentu mempunyai senjata rahasia, atau pengawalnya yang selalu mengamatinya dari kejauhan sehingga seolah-olah perempuan itu hanya seorang diri," desis orang itu.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun menjawab, "Aku tidak banyak memperhatikan perempuan."
"Ah, jangan begitu," sahut kawan Kiai Windu, "kau juga selalu memperhatikan perempuan-perempuan di tempat ini."
Jati Wulung justru tertawa. Katanya, "Aku lebih senang memperhatikan ayam aduan daripada perempuan."
"He, siang tadi aku melihat seorang perempuan berbaju kuning seperti kulitnya di tempat sabung ayam," berkata kawan Kiai Windu.
"Sudahlah," desis Jati Wulung, "kita berbicara yang lain. Mungkin tentang permainan dadu, adu ayam atau panahan?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Disandarkannya kepalanya pada dinding ruangan. Namun ia berdesah, "Paling menyenangkan adalah berbicara tentang diri sendiri. He, bagaimana mungkin kau dapat menang melawan orang yang ditakuti di pesisir Utara itu" Dengan demikian, jika kau mau pergi ke pesisir Utara, maka kau akan menjadi hantu disana."
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7 Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk Si Kumbang Merah 17
Beberapa saat kemudian, mereka berenam telah berada di kedai bersama beberapa orang yang lain. Kedai yang luas itu memang cukup menampung orang cukup banyak.
Keenam orang itu ternyata telah memilih tempat yang justru berada agak di luar, agar tidak merasa terlalu panas dan terlalu sibuk.
Ternyata bahwa perut yang lapar, kelelahan dan haus membuat mereka mapan sekali duduk di sebuah amben yang besar berenam sambil menghadapi mangkuk masing-masing.
Untuk beberapa saat, mereka masih dapat menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan. Namun beberapa sakat kemudian, tiba-tiba saja sebuah batu yang cukup besar, tidak kurang dari satu genggaman tangan telah jatuh di mangkuk Jati Wulung sehingga mangkuk itu menjadi pecah.
Serentak ia berpaling. Sementara itu suara tertawa telah terdengar memenuhi kedai itu.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ia teringat kepada seseorang yang telah memasukkan sekeping uang di mangkuk salah seorang dari kawan Kiai Windu. Namun yang dimasukkan ke dalam mangkuknya bukan uang, tetapi justru batu sebesar genggaman tangan sehingga memecahkan mangkuknya dan isinyapun telah berhamburan.
Orang yang melemparkan batu itu ternyata adalah orang yang berkepala botak yang telah dikalahkannya di arena panahan.
"Kau memang benar Kiai Windu," berkata Jati Wulung, "aku tidak perlu menunggu besok atau malam nanti. Sekarang orang itu sudah menuntut kekalahannya."
"Berhati-hatilah," berkata Kiai Windu, "nampaknya orang itu bukan orang kebanyakan. Aku belum pernah melihat sebelumnya ia berada disini."
Namun dalam pada itu Jati Wulung masih belum berbuat sesuatu. Ia memang menunggu orang itu mendekatinya.
Sambil tertawa berkepanjangan, orang itu memang melangkah mendekat. Ia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang di kedai itu. Sedangkan orang-orang di kedai itupun tidak banyak pula yang memperhatikannya. Sesaat mereka memang berpaling ke arahnya. Namun kemudian mereka lebih baik memperhatikan makan dan minuman mereka daripada memperhatikan orang lain.
"Kau adalah pemanah terbaik yang pernah aku temui," berkata orang berkepala botak itu, "aku mengakui, bahwa kau telah melampaui kemampuanku memanah. Sebelumnya, akulah yang terbaik. Namun kehadiranmu membuat wibawaku menurun di lapangan panahan."
"Bukan maksudku," berkata Jati Wulung, "aku hanya sekedar mengambil kemenangan untuk makan siang ini."
"Kau semakin menghinaku," berkata orang berkepala botak itu, "kau justru dengan sengaja mengenai sasaran dengan nilai denda. He, apakah kau memang ingin menantang aku."
Wajah Jati Wulung menjadi merah. Tetapi ketika ia melihat orang-orang di sekitarnya masih tenang-tenang saja, maka iapun menjadi tenang pula.
"Ki Sanak," berkata orang berkepala botak itu, "karena kau merebut wibawaku di arena panahan, maka aku ingin mendapatkannya kembali disini. Jika kau mau berjongkok dan minta maaf kepadaku, maka aku tidak akan mengganggumu lagi meskipun kau akan turun pula ke arena panahan. Aku dapat menyingkir ke kelompok lain atau melakukan kegiatan yang lain."
Jati Wulung hampir kehilangan kesabarannya. Namun ia masih berusaha menguasai diri.
"He. Kenapa kau diam saja" Jika kau sesali kesombonganmu di arena panahan itu, berjongkoklah cepat sebelum aku mengambil keputusan lain," berkata orang berkepala botak itu.
Jati Wulung memang sudah menjadi panas. Iapun kemudian turun dari amben.
"Nah, ternyata kau berani mengakui kesalahanmu. Marilah. Aku akan mengampunimu," desis orang itu.
Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan. Jati Wulung telah menyambar mangkuk di hadapan Sambi Wulung yang masih berisi minuman hangat. Dengan serta-merta minuman itu telah dilontarkan ke wajah orang yang berkepala botak itu.
Orang berkepala botak itu ternyata sama sekali tidak menduga, sehingga karena itu, maka wedang sere hangat itu benar-benar telah menyiram wajahnya.
Orang itu bergeser selangkah surut. Wajahnya menjadi merah bagaikan membara. Bukan saja karena minuman yang masih hangat itu, tetapi juga karena kemarahan yang semakin memuncak.
Orang-orang yang ada di dalam kedai itu memang tertarik melihat sikap Jati Wulung. Semula mereka menduga bahwa Jati Wulung yang menyebut dirinya bernama Wanengpati itu memang benar-benar akan berlutut. Tetapi ternyata yang dilakukan justru sebaliknya.
Sementara di antara mereka yang melihat apa yang terjadi di arena panahan, segera mengetahui, bahwa orang berkepala botak itu telah mendendam Wanengpati karena kekalahannya yang mutlak di arena.
"Kau benar-benar orang gila," geram orang berkepala botak itu, "tadi aku masih berbaik hati dan bersedia memberikan maaf jika kau minta. Sekarang kau mendapat kesempatan lagi."
"Persetan," geram Jati Wulung.
Sambi Wulung hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan mampu mencegah benturan kekerasan yang akan terjadi. Namun ia masih ingin memperingatkan kepada Jati Wulung, bahwa tujuan mereka ke Song Lawa adalah untuk mengenal dan mengetahui tempat tinggal Puguh. Bukan untuk hal-hal yang lain.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun telah berdiri pula mendekati Jati Wulung. Diambilnya mangkuk yang masih berada di tangan Jati Wulung itu. Ia seolah-olah tidak peduli apa yang akan terjadi. Namun ia sempat berbisik, "perkelahian ini tidak termasuk dalam tugas kita."
"Kita sudah melakukannya beberapa kali," desis Jati Wulung.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian berkata kepada seorang pelayan, "Tolong, isi mangkukku ini. Wedang sere panas."
Kiai Windu dan kawan-kawannya hanya termangu-mangu saja. Meskipun mereka tahu, bahwa Sambi Wulung berkata sesuatu kepada Jati Wulung, tetapi mereka tidak mendengar apa yang dikatakannya.
Dalam pada itu, ketika Jati Wulung dan orang berkepala botak itu sudah bersiap, maka dua orang yang bertubuh raksasa datang mendekat sambil berkata kepada dua orang yang akan berkelahi itu, "Minggir. Jangan berkelahi di kedai ini. Kalian dapat merusakkan barang-barang kami sehingga kalian harus mengganti dengan harga yang sangat tinggi. Apalagi jika salah seorang dari kalian mati. Maka yang hidup akan menanggung beban yang berat, atau ikut mati pula."
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia telah bergeser menjauh dari kedai itu dan justru berada di tempat yang lapang. Sementara itu orang berkepala botak itupun menyusulnya pula.
Orang-orang yang makan di kedai itu masih juga makan. Sementara itu, Jati Wulung masih sempat melihat Puguh diikuti oleh beberapa orang pengawalnya menuju ke kedai itu. Mereka berpaling sejenak. Namun kemudian mereka tidak menghiraukannya lagi.
Dalam pada itu, orang berkepala botak yang marah sekali itu agaknya tidak sabar lagi. Wajahnya dan pakaiannya memang sudah basah oleh wedang sere yang hangat.
"Bersiaplah," ia menggeram.
Jati Wulung tidak menjawab. Namun iapun telah bersiap pula.
Dalam pada itu, dua orang yang baru datang ke kedai itu masih berdiri di dekat tempat duduk Sambi Wulung. Seorang di antara mereka berkata, "Kedua-duanya belum pernah aku lihat sebelumnya."
"Ya. Keduanya orang baru. Tetapi kasihan orang itu. Ia memiliki kemampuan memanah tiada taranya. Tetapi di tangan orang berkepala botak itu ia akan menjadi permainan yang mengasyikkan. Agaknya jika ia tahu siapa si botak itu, maka ia tidak akan berani menyombongkan dirinya di arena," desis yang lain.
"Kau kenal si botak itu?" bertanya kawannya.
"Orang itulah yang dikenal dengan sebutan Orang Hutan berkepala Besi," jawab yang lain.
"O," kawannya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "sayang. Orang itu sudah terbentur pada Kepala Besi di hari kedua. Masih banyak waktu yang tersisa. Kenapa ia sudah mengorbankan dirinya sekarang."
"Ia terlalu sombong dengan kemampuan bidiknya," jawab yang lain, "tetapi Kepala Besi itu namanya sudah terlalu banyak dikenal."
"Di pesisir Utara. Tetapi belum disini," jawab kawannya.
Keduanyapun kemudian bergeser dan duduk di sebuah amben. Ketika keduanya mulai memesan makanan, maka orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu sudah mulai bergerak.
Sambi Wulung memang menjadi berdebar-debar mendengar pembicaraan itu. Apalagi ketika Kiai Windu berdesis, "jadi orang itulah yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu."
"Kau pernah mendengar?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Namanya memang ditakuti di pesisir Utara. Tetapi tiba-tiba sekarang ia berada disini?" jawab Kiai Windu. Namun di luar sadarnya Kiai Windu berkata, "Kemelut di daerah Alas Mentaok agaknya telah memanggilnya."
Sambi Wulung terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan serta-merta ia bertanya, "Kemelut yang manakah yang kau maksud?"
Kiai Windulah yang terkejut kemudian. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun berkata, "Tidak. Tidak ada apa-apa dengan Mentaok."
Ketika agaknya Sambi Wulung masih akan bertanya lagi, Kiai Windu mendahuluinya, "perkelahian itu sudah mulai."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Perkelahian antara orang berkepala botak yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu dengan Jati Wulung yang dikenal bersama Wanengpati memang sudah mulai.
Namun dalam pada itu orang berkepala botak itu masih sempat bertanya sambil meloncat menyerang, "Sebelum mati, sebut namamu."
"Wanengpati," jawab Jati Wulung.
"Nama orang gila itupun gila pula," geram orang berkepala botak itu.
"Sebelum kepalamu yang botak itu pecah, siapa namamu he?" bertanya Jati Wulung.
"Biwara," jawab orang itu. Lalu, "Tetapi aku lebih dikenal dengan sebut Orang Hutan berkepala Besi. Aku tidak sakit hati disebut Orang Hutan, juga tidak marah dipanggil Kepala Besi. Nah, sekarang kau akan segera mati setelah mengetahui siapa aku. Seandainya kau menyesal, namun kau sudah tidak akan mendapat kesempatan pengampunan lagi."
Jati Wulung masih akan berbicara lagi. Tetapi serangan lawannya tiba-tiba datang dengan derasnya, seperti tiupan angin prahara.
Karena itu, maka Jati Wulung terpaksa memusatkan perhatiannya pada serangan lawannya. Dengan tangkasnya ia melenting menghindar sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran.
"Anak iblis," geram orang berkepala botak yang menyebut dirinya Birawa, "bagaimana mungkin kau menghindari seranganku."
Jati Wulung telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih juga berkata, "Namamu sama sekali tidak dikenal. Seperti nama kebanyakan petani yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Bahkan seorang juragan didaerah Pajang akan lebih banyak dikenal daripada namamu."
"Aku koyak mulutmu," geram orang itu.
"Kenapa tidak kau lakukan saja daripada kau berteriak-teriak" Nah, ketahuilah, bahwa berteriak-teriak seperti itu adalah ciri orang yang kurang yakin akan dirinya sendiri," berkata Jati Wulung.
Orang itu memang menjadi semakin marah. Dengan kecepatan yang sulit diikuti, maka iapun telah menyambar Jati Wulung dengan telapak tangannya ke arah kening. Namun sekali lagi serangannya sia-sia karena Jati Wulung telah bergeser. Bahkan dengan tiba-tiba saja Jati Wulung telah berputar dan bertumpu pada satu tumitnya. Kakinya yang sebelah yang menyilang kakinya yang lain, telah terpancang dengan kuatnya ketika kakinya yang semula menjadi tumpuannya berputar telah bergerak menyamping.
Gerak itu demikian cepatnya, sehingga orang berkepala botak itu menjadi sangat terkejut karenanya.
Dengan demikian, maka dengan langkah yang panjang, orang berkepala botak itu telah meloncat beberapa langkah surut.
"Bukan main," terdengar salah seorang dari kedua orang yang semula membicarakan tentang orang berkepala botak itu.
Sambi Wulung sempat berpaling ke arah mereka. Ternyata keduanya dengan sungguh-sungguh telah memperhatikan kedua orang yang berkelahi itu.
"Jarang ada orang yang berhasil lolos dari serangan Kepala Besi itu," desis orang yang agaknya memang pernah mengenal orang berkepala botak itu.
Sementara itu kedua orang yang bertempur itu semakin lama memang menjadi semakin cepat. Keduanya memiliki ketrampilan yang tinggi dan tenaga yang besar. Bahkan beberapa saat kemudian mereka telah merambah ke tenaga cadangan mereka.
Orang yang disebut Orang Hutan dan bernama Birawa itu memang merasa heran bahwa seseorang yang berada di Song Lawa itu mampu mengimbanginya beberapa lama. Bahkan orang yang bernama Wanengpati itu nampaknya sampai tataran tertentu akan dapat meningkatkan ilmunya lagi.
Dengan demikian kemarahan Birawa itupun menjadi semakin memuncak. Ia meningkatkan tenaga cadangannya tataran demi tataran. Namun lawannyapun telah meningkat pula. Seakan-akan Wanengpati itupun menjadi semakin lama semakin kuat dan tangkas.
Sambi Wulung memperhatikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ia tahu bahwa Jati Wulung memiliki ilmu yang tinggi meskipun belum setinggi Kiai Soka dan Kiai Badra. Tetapi tidak pada tataran yang jauh lebih rendah. Bahkan dalam beberapa hal, Jati Wulung masih mempunyai kemungkinan pula untuk berkembang.
Kiai Windupun menjadi tegang karenanya. Ia pernah mendengar serba sedikit tentang orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi. Di pesisir Utara nama itu disebut-sebut sebagai nama yang menggetarkan jantung.
Namun Kiai Windupun tahu bahwa Wanengpati itu juga memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan ia pernah menjajagi langsung kemampuan dua orang yang bernama Wanengbaya dan Wanengpati. Kiai Windu berempat tidak mampu mengimbangi kedua orang itu. Bukan sekedar berpura-pura. Tetapi benar-benar mereka berempat telah dikalahkan.
Beberapa saat kemudian, maka sikap dan gerak Orang Hutan berkepala Besi itu menjadi semakin keras dan bahkan kasar. Menurut pengalaman Kiai Windu, Wanengbaya dan Wanengpati semula juga dikiranya termasuk golongan orang-orang kasar. Tetapi ternyata kekasaran itu bukanlah sifat dan watak keduanya yang sebenarnya.
Rencana mereka memasuki Song Lawa telah membuat kedua orang itu dengan sengaja menjadi kasar.
Jati Wulung memang tidak menunjukkan tata gerak yang kasar pada mulanya. Tetapi ketika orang berkepala botak itu menjadi keras dan kasar, maka Jati Wulungpun mulai teringat, bahwa ia berada di Song Lawa.
Karena itu, maka tiba-tiba saja tata geraknya telah berubah. Ia tidak lagi bergerak dengan hati-hati. Tidak lagi menjaga agar tidak menimbulkan kesan yang keras dan bahkan liar. Ketika orang berkepala botak itu mengumpat kotor sambil menyerang dengan kasar, ternyata Jati Wulung telah melakukannya pula.
Namun karena Kiai Windu berada di luar arena, ia dapat melihat perubahan itu. Apalagi karena Kiai Windu sendiri mempunyai penilaian yang lain atas kekerasan Wanengpati itu. Tetapi bagi orang lain, maka perubahan itu sama sekali tidak dapat mereka ketahui. Yang nampak kemudian oleh orang-orang yang sekali-sekali berpaling ke arah perkelahian itu adalah bahwa keduanya berkelahi menurut kebiasaan yang terjadi di Song Lawa. Keras, kasar dan bahkan liar.
Orang-orang yang berada di dalam kedai, kebanyakan semula sama sekali tidak menghiraukan perkelahian itu kecuali beberapa orang tertentu. Namun ketika perkelahian itu menjadi semakin meningkat, maka merekapun mulai tertarik. Ketika kedua orang yang bertempur itu bergerak semakin cepat, dengan benturan-benturan yang semakin keras dan serangan-serangan yang semakin kasar pula, maka satu demi satu mereka mulai memperhatikannya.
Dua orang yang telah membicarakan sebelumnya tentang Orang Hutan berkepala Besi itu menjadi heran, bahwa lawan Orang Hutan itu masih juga mampu bertahan.
"Ternyata ada juga orang yang berilmu tinggi memasuki tempat perjudian ini," desis orang yang pernah mengenali Kepala Besi itu.
Ketegangan ternyata telah menjalar ke seluruh isi kedai itu. Mereka tidak lagi bersikap acuh saja. Yang mereka lihat kemudian adalah sesuatu yang luar biasa.
Kiai Windu yang juga menjadi tegang berbisik di telinga Sambi Wulung, "Bagaimana menurut pendapatmu. Aku ingin tahu agar jantungku tidak meledak."
"Ingin tahu tentang apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Kau adalah saudaranya. Kau tentu tahu, apakah Wanengpati telah sampai ke puncaknya atau belum. Jika orang berkepala botak itu meningkatkan lagi ilmunya, bahkan sampai kepada ilmu puncaknya apakah saudaramu itu masih mempunyai kemampuan yang dicadangkannya pula?" bertanya Kiai Windu.
"Kau aneh," desis Sambi Wulung, "orang seperti aku seharusnya tidak menjadi gelisah melihat perkelahian seperti itu, meskipun kita belum tahu bagaimana akan akhirnya."
"Kau jangan menambah aku menjadi semakin berdebar-debar," berkata Kiai Windu.
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun dengan demikian ia sadar bahwa orang yang bernama Kiai Windu itu memang sangat memperhatikannya dan memperhatikan Jati Wulung. Kecemasan Kiai Windu terhadap Jati Wulung menunjukkan, bahwa pergaulan, mereka yang belum terlalu lama itu telah menumbuhkan perasaan kesetiakawanan meskipun perkenalan mereka terjadi dengan cara yang aneh.
"Kau belum menjawab," desak Kiai Windu yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin seru.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak ingin berteka-teki. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat meramalkan apa yang akan terjadi, karena aku belum lalui, sampai dimana tataran kemampuan orang berkepala botak itu."
Kiai Windu termangu-mangu sejenak. Iapun tidak tahu pasti tataran kemampuan Kepala Besi itu. Apakah ia masih mampu meningkatkan ilmunya lebih jauh lagi, atau hanya beberapa lapis saja. Namun ia masih bertanya, "Kalian dapat mengalahkan aku berempat. Aku yakin bahwa saat itu kau berdua belum sampai pada puncak kemampuanmu. Nah, katakan, apakah yang dilakukan oleh Jati Wulung itu masih jauh dari batas kemampuannya atau sudah menjadi semakin dekat."
"Jangan seperti anak-anak," berkata Sambi Wulung, "kita sudah kenyang makan garamnya kehidupan yang keras seperti ini."
Kiai Windu tidak bertanya lagi. Namun ia menjadi semakin gelisah melihat perkelahian yang keras dan kasar itu. Bahkan apalagi ketika ia melihat, Kepala Besi itu beberapa kali dengan sengaja berusaha untuk membenturkan kepalanya pada kepala lawannya.
Sambi Wulungpun menjadi tegang. Satu pengalaman baru baginya dan juga bagi Jati Wulung, bahwa seseorang berusaha untuk membenturkan kepalanya ketika mereka sedang bertempur. Namun Jati Wulung cukup tangkas untuk selalu menghindarinya.
Namun dalam pertempuran yang kasar, tiba-tiba saja keduanya sempat berdiri pada jarak yang dekat. Adalah di luar dugaan bahwa tiba-tiba saja Kepala Besi itu telah meraih telinga Jati Wulung. Jati Wulung sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan melakukan hal tersebut. Karena itu, maka ketika semuanya itu terjadi dengan cepat Jati Wulung tidak sempat menghindar.
Ternyata sambil memegangi telinga Jati Wulung Orang Hutan berkepala Besi itu telah membenturkan kepalanya ke kepala Jati Wulung.
Benturan itu demikian kerasnya, sehingga terdengar Jati Wulung mengeluh tertahan.
Tetapi Kepala Besi itu tidak melepaskan pegangannya. Belum lagi Jati Wulung sempat berbuat sesuatu, maka sekali lagi telah terjadi benturan kepala antara keduanya.
Sekali lagi Jati Wulung mengaduh. Kepalanya rasa-rasanya menjadi retak oleh benturan itu. Kepala lawannya itu benar-benar terasa bagaikan terbuat dari besi. Dan itulah agaknya maka lawannya mendapat gelar berkepala besi.
Sambi Wulung yang berada di luar arena menjadi tegang melihat cara orang berkepala botak itu berkelahi. Hampir saja ia meloncat berdiri. Namun ia masih sempat mencegah dirinya sendiri.
Bukan hanya Sambi Wulung, tetapi Kiai Windu dan kawan-kawannyapun menjadi tegang pula. Bahkan terdengar Kiai Windu mengumpat, "Gila."
Sementara itu dua orang yang telah membicarakan Kepala Besi itu sebelumnya terdengar berdesah pula. Seorang di antara mereka berkata, "Nah, sampailah batas umur orang yang malang itu. Kemampuannya memanah yang luar biasa itu ternyata telah menjerumuskannya ke kematian."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Ia sama sekali tidak menduga pada saat ia belajar memanah. Tetapi ia memang terlalu sombong. Seandainya ia dapat sedikit mengekang dirinya, ia tidak akan menjadi sasaran kemarahan yang meledak itu."
Yang lain tidak menjawab. Mereka melihat untuk ketiga kalinya orang yang disebut berkepala besi itu membenturkan kepalanya.
Jati Wulung telah benar-benar menjadi pening. Ia tidak mau menunggu kepalanya benar-benar menjadi retak. Karena itu, maka ia harus berbuat sesuatu.
Dengan kekuatan tenaga cadangannya, maka Jati Wulung mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi cengkeraman itu memang begitu kuat, sehingga jika ia memaksa, maka telinganya mungkin akan terlepas dari kepalanya. Karena itu, maka ia harus mengambil jalan lain.
Karena itu, maka Jati Wulung itu justru melekat semakin rapat. Tiba-tiba saja dengan sepenuh kekuatannya, ia telah mengangkat lututnya menghantam bagian bawah perut lawannya.
Serangan itu demikian kerasnya karena didorong oleh segenap kekuatan tenaga cadangannya, sehingga orang berkepala besi itu terdengar mengaduh namun kemudian mengumpat kasar. Apalagi ketika sekali lagi Jati Wulung mengulangi serangannya.
Pegangan tangan orang berkepala besi itu telah menjadi kendor. Dengan serta-merta Jati Wulung telah mempergunakan kesempatan itu. Ia telah mengibaskan kedua tangan lawannya dengan menyusupkan kedua lengannya di antara kedua lengan lawan. Ketika Jati Wulung mengambangkan tangannya, maka pegangan lawannya atas telinganyapun telah terlepas.
Dalam pada itu. selagi orang berkepala besi itu masih menyeringai menahan sakit, maka Jati Wulung telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Betapapun kepalanya terasa pening, namun ia masih sempat melihat ujud lawannya. Karena itu, maka dengan kekuatan yang ada padanya, sambil memiringkan tubuhnya, kakinya telah terjulur ke dada orang itu.
Satu benturan yang keras telah terjadi. Kekuatan kaki Jati Wulung telah menghantam dada orang yang disebut Orang Hutan Berkepala Besi itu.
Demikian besar kekuatan Jati Wulung, maka lawannya yang berkepala botak itu telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan iapun telah kehilangan keseimbangannya dan kemudian jatuh di tanah.
Jati Wulungpun ternyata telah menjadi sangat marah mendapat perlakuan lawannya seperti itu. Namun ketika ia siap meloncat menerkam lawannya, rasa-rasanya tanah di depan kakinya itu telah bergerak.
Agaknya kepala Jati Wulung masih terasa pening. Karena itu, maka iapun telah mengurungkan niatnya. Bahkan ia telah berdiri tegak untuk mempergunakan waktu yang ada, memusatkan nalar budinya untuk mengerahkan daya tahan tubuhnya.
Untunglah bahwa lawannyapun tidak segera bangun. Dadanya rasa-rasanya telah tersumbat bukit padas, sementara itu isi perutnya terasa seakan-akan telah diremas.
Untuk beberapa saat orang itupun harus mengatasi perasaan sakit itu. Sambil mengumpat kasar, maka iapun kemudian tertatih-tatih untuk bangkit berdiri.
Orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu terkejut ketika dilihatnya lawannya berdiri tegak dan siap untuk menerkamnya.
Sebenarnyalah bahwa Jati Wulung telah berhasil mencapai daya tahan tertinggi di dalam dirinya, sehingga perasaan peningnya telah jauh berkurang. Bahkan perutnya yang juga menjadi mual oleh benturan di kepalanya itu telah dapat diatasinya. Dengan demikian maka Jati Wulung itu telah siap untuk mengulangi pertempuran itu seandainya dari permulaan sekalipun. Apalagi ia telah mendapatkan satu pengalaman baru, bahwa kepala yang botak itu merupakan salah satu senjata dari lawannya.
Untuk beberapa saat keduanya berdiri berhadapan dan saling memandang dengan sorot mata kemarahan. Orang yang berkepala sekeras besi itu kemudian menggeram, "Anak setan kau. Kepalamu ternyata tidak pecah oleh benturan-benturan itu."
"Cobalah sekali lagi," sahut Jati Wulung, "kau akan menyesal, bahwa aku akan memecahkan kepalamu dengan sisi telapak tanganku."
"Persetan," Kepala Besi itu hampir berteriak.
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapinya.
Sambi Wulung yang melihat saudara seperguruannya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan lawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan iapun mulai mempunyai keyakinan, bahwa untuk seterusnya Jati Wulung tidak akan terjebak lagi oleh kekuatan Kepala Besi itu.
Sementara itu Kiai Windupun berdesis, "Bukan main."
"Apa yang bukan main," bertanya Sambi Wulung.
"Saudaramu itu," jawab Kiai Windu.
Sebenarnyalah, bahwa Jati Wulung mampu melepaskan diri itu merupakan satu hal yang sangat menarik perhatian. Dua orang yang memperhatikan pertempuran itupun telah menjadi sangat heran. Bahkan seorang yang telah mengenal Kepala Besi itu berkata, "Orang ini memang liat. Ternyata ia belum mati."
"Luar biasa," berkata yang lain, "sesuatu yang tidak dapat dijangkau dengan nalar."
Sementara itu Jati Wulung telah melanjutkan pertempuran itu. Dengan segenap tenaga dan kemampuannya orang yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.
Jika kebiasaan di Song Lawa itu seseorang tidak ingin mencampuri persoalan orang lain, maka yang terjadi saat itu memang agak berbeda. Biasanya orang-orang itu tidak mengacuhkannya jika dua orang, bahkan sekelompok orang berkelahi. Tetapi ternyata bahwa perkelahian antara Kepala Besi dan Jati Wulung itu benar-benar menarik perhatian. Orang-orang yang sedang makan di dalam kedai itu, seakan-akan perhatiannya telah terpusat kepada perkelahian yang sedang terjadi itu. Bahkan di luar sadarnya, beberapa orang telah bangkit dan melangkah keluar kedai. Demikian pula Kiai Windu dan kawan-kawannya. Meskipun tempat duduk mereka telah berada di batas luar dari kedai itu, namun mereka telah bangkit dan melangkah mendekat. Sambi Wulung tidak mencegah mereka. Iapun justru telah ikut pula mendekat.
Beberapa orang lain yang tidak dapat melihat karena tertutup oleh orang-orang yang telah berdiri itu, ikut berdiri pula. Sehingga akhirnya hampir semua orang yang berada di dalam kedai itu telah keluar.
Para petugas di kedai itu tidak sempat memberi peringatan kepada orang-orang itu untuk membayar lebih dahulu. Bahkan mereka sendiri telah dengan tergesa-gesa bergeser untuk menyaksikan perkelahian yang jarang terjadi sebagaimana yang mereka saksikan itu. Dua orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Sebenarnyalah, kedua orang itu telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit pula. Keduanya bergerak dengan cepat sambil melontarkan kekuatan yang sangat besar. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka keduanya benar-benar telah menunjukkan betapa besar tenaga dan kemampuan mereka. Namun sedikit demi sedikit daya tahan mereka berduapun telah terguncang pula.
Dalam pada itu, maka orang berkepala botak itu agaknya sudah tidak telaten lagi. Menurut perhitungannya, seharusnya lawannya sudah tidak akan mampu bertahan lebih lama ketika ia telah membenturkan kepalanya. Namun ternyata orang itu masih tetap memberikan perlawanan yang justru kadang-kadang membingungkan.
Karena itu, maka orang berkepala botak itu telah meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak. Ia harus menghancurkan lawannya. Ia sudah dikalahkan di arena panahan, sehingga wibawanya telah turun. Karena itu, maka ia harus menebusnya di arena perkelahian itu.
Tetapi ternyata memang tidak terlalu mudah.
Demikianlah, dalam puncak kemarahannya, maka orang berkepala botak itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia memang lebih percaya kepada kepalanya, sehingga ia selalu mencari kesempatan untuk dapat membenturkan kepalanya itu.
Namun lawannya yang telah mengetahui letak kekuatannya, selalu berusaha menghindari sentuhan kepalanya yang botak itu. Bahkan serangan-serangan Jati Wulungpun sama sekali tidak mengarah ke kepala atau bagian-bagiannya. Jati Wulung yang telah mengenali tubuh seseorang dengan baik, dimana letak kekuatan dan kelemahannya, lebih mengarahkan serangan-serangannya ke leher, ulu hati dan lambung. Hanya dengan kekuatan sepenuhnya Jati Wulung menyerang ke arah dada orang itu.
Tetapi orang berkepala botak itu telah mempergunakan kepala sebagai perisai. Ia selalu menunduk dan menangkis serangan-serangan itu dengan kepalanya. Bahkan setiap kali ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan kepalanya pula.
Dalam puncak ilmunya, maka Jati Wulung menjadi berdebar-debar. Dari botak kepalanya itu, ia melihat seakan-akan asap yang tipis mengepul. Kepala itu seakan-akan telah menjadi panas dan membara.
Sebenarnyalah, bahwa orang berkepala botak yang menyebut dirinya bernama Birawa itu memang telah memusatkan segenap ilmunya pada kemampuannya yang tertinggi. Betapa tangkasnya orang itu kemudian. Tubuhnya seakan-akan menjadi ringan dan geraknyapun semakin cepat. Namun kepalanya rasa-rasanya menjadi bertambah berbahaya.
Ketika Jati Wulung menyerangnya dengan kakinya mengarah ke ulu hati, maka orang itu dengan sengaja telah merunduk rendah demikian cepatnya sehingga kaki Jati Wulung itu telah membentur kepala lawannya.
Benturan itu memang menggetarkan jantung. Jati Wulung memang terdorong beberapa langkah surut.
Bahkan ia telah menjatuhkan dirinya untuk menguasai keseimbangannya kembali. Dengan cepat ia melenting berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun orang yang berkepala botak itupun telah surut beberapa langkah. Betapapun keras kepalanya, tetapi dorongan kekuatan Jati Wulung benar-benar telah mendorongnya dengan kekuatan yang terasa betapa besarnya.
Seperti Jati Wulung orang itu tidak dapat bertahan untuk tetap tegak. Iapun terjatuh pula. Tetapi juga seperti Jati Wulung orang itu telah dengan tangkasnya meloncat berdiri.
Untuk beberapa saat keduanya masih tetap berdiri di tempatnya. Ternyata keduanya telah mengalami hambatan pada gerak berikutnya. Keduanya tidak dapat dengan serta-merta menyerang lawannya.
Jati Wulung memang merasakan, bahwa Kepala Besi itu menjadi panas. Ketika kakinya mengenai kepala itu, rasa-rasanya seakan-akan memang telah menyentuh bara. Karena itu, maka iapun arus berusaha mengatasi perasaan sakit itu.
Demikian pula Kepala Besi itu. Kekuatan ilmu Jati Wulung ternyata memang luar biasa. Demikian kuatnya hentakkan pada kepalanya itu, meskipun tidak menimbulkan luka pada kulitnya, namun kepala itu memang terasa pening. Meskipun seandainya kepala itu terbuat dari besi sekalipun, tetapi goncangan di bagian dalamnya, benar-benar mempunyai akibat yang gawat.
Untuk beberapa saat keduanya menegakkan kembali kesiagaan mereka. Namun pertempuran itupun sejenak kemudian telah dimulai lagi.
Sambi Wulung yang masih juga memandangi perkelahian itu dengan tegang, telah melihat Puguh yang menyibak beberapa orang yang lain dan berdiri di paling depan. Beberapa orang pengawalnyapun kemudian ikut pula bersamanya. Agaknya remaja yang hampir menginjak usia dewasanya itu benar-benar tertarik melihat perkelahian yang keras dan sengit itu.
Sementara itu Kiai Windu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat, maka nafasnyapun kadang-kadang telah terhenti oleh ketegangan yang terasa mencekiknya.
Kepala Besi yang telah sampai ke puncak ilmunya itu memang mulai merasa gelisah bahwa ia masih juga belum dapat mengalahkan apalagi membunuh lawannya. Orang yang menyebut dirinya bernama Wanengpati itu memang benar-benar liat. Ia mampu bergerak dengan kecepatan yang sulit diikuti, namun iapun memiliki kekuatan yang jarang ada tandingnya.
Ketika Kepala Besi itu merasa tenaganya mulai susut, justru karena ia telah mengerahkan tenaga, ilmu dan kemampuannya tanpa mengekang diri oleh kemarahan yang memuncak, maka kegelisahanpun mulai terasa menggelitiknya.
Ternyata keduanya telah berkelahi cukup lama. Langitpun mulai menjadi suram karena matahari sudah hampir terbenam.
Namun orang-orang yang mengelilingi arena itu belum beringsut. Mereka tidak lagi ingat arena sabung ayam dan permainan dadu. Bahkan beberapa orang yang semula berada di lapangan panahan, telah datang pula melihat perkelahian yang sengit itu.
Dalam pada itu, Jati Wulung yang menyadari kekuatan dan senjata lawannya yang aneh itu, telah membuat perhitungan-perhitungan yang lebih masak. Ia telah memusatkan kekuatan ilmunya pada kaki dan sisi telapak tangannya, sehingga ia memiliki ketangkasan yang penuh untuk mengarahkan serangan-serangannya.
Dengan kecepatan gerak yang sangat tinggi, maka akhirnya Jati Wulung berhasil menembus pertahanan orang berkepala botak itu. Meskipun sekali-sekali serangan tangan Jati Wulung masih juga mengenai kepala yang bagaikan telah menjadi bara itu, namun iapun telah berhasil menyentuh bagian-bagian lain yang lemah pada tubuh lawannya.
Beberapa kali Kepala Besi itu telah terdorong surut. Bahkan ketika dengan cepat Kepala Besi itu menyerang Jati Wulung dengan kepalanya, seperti seekor kerbau yang gila menanduk lawannya maka Jati Wulung telah menunggu sesaat. Tepat pada saatnya, ia telah meloncat menyamping selangkah. Demikian lawannya itu berada di depannya dan berusaha untuk menghentikan serangannya yang gagal, maka dengan penuh tenaganya, Jati Wulung telah menyerang orang itu dengan kakinya ke arah punggung di bagian bawah. Demikian kerasnya serangan itu, sehingga Kepala Besi tidak sempat berhenti. Ia justru terdorong dengan keras ke depan tanpa dapat mengekang diri.
Ternyata bahwa Kepala Besi itu telah membentur sebatang pohon dengan kepalanya yang botak itu.
Akibatnya memang luar biasa. Sebatang pohon yang memang tidak terlalu besar itu ternyata telah retak dan roboh. Sementara itu bekasnya bukan saja sekedar bekas batang yang patah. Tetapi pada batas batang yang retak dan patah itu memang terdapat lingkaran luka bakar pada kulit batang pohon itu.
Jantung orang-orang yang menyaksikannya seakan-akan telah berhenti berdetak. Namun ternyata bahwa peristiwa itu telah disusul oleh peristiwa yang menggemparkan pula. Ketika orang berkepala botak itu dengan tangkas memutar tubuhnya, maka yang dilihatnya adalah lawannya itu bagaikan terbang telah datang menyerangnya. Ketika Jati Wulung itu masih berada di udara, ia sempat menggeliat memiringkan tubuhnya dan kakinyalah yang kemudian terjulur lurus menghantam dadanya.
Tidak ada kesempatan untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Orang berkepala botak itu telah terlempar mundur. Justru punggungnyalah yang telah membentur batang pohon yang baru saja patah karena kepalanya.
Ternyata Jati Wulung memang telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada padanya. Karena itu, maka kekuatan yang sangat besar dan mendorong serangan itu, telah membuat dada orang berkepala botak itu bagaikan pecah. Seakan-akan sebongkah batu hitam telah dihentakkan menindih dadanya itu.
Apalagi kemudian oleh dorongan kekuatan itu, punggungnya menghantam sebatang pohon. Punggung orang itu memang tidak sekuat kepalanya yang terlatih dan yang mampu melepaskan ilmunya yang jarang dimiliki orang lain, sehingga kepala yang botak itu bagaikan telah menjadi bara. Namun punggungnyalah yang terasa bagaikan patah. Hentakan yang keras dan kuat pada batang kayu yang telah patah itu, membuatnya benar-benar kehilangan keseimbangan.
Orang berkepala botak itu masih berusaha bangun. Namun ternyata ia sama sekali tidak mampu. Bahkan iapun kemudian telah terjatuh dan terbaring di tanah. Pingsan.
Jati Wulung masih berdiri tegak, ia memang merasakan kakinya yang bagaikan menghantam segunduk balu padas. Namun dengan cepat Jati Wulung dapat mengatasi perasaan sakit pada pergelangan kakinya itu, sehingga dengan demikian maka iapun telah mampu berdiri tegak dengan kesiapan penuh.
Ketika Jati Wulung bergerak selangkah maju, tiba-tiba saja beberapa orang telah bergeser. Menilik sikap mereka, agaknya mereka menjadi marah karena peristiwa yang terjadi atas orang berkepala botak itu.
Namun dalam pada itu ternyata Kiai Windupun telah bergeser pula diikuti oleh ketiga orang kawannya. Hanya bergeser selangkah. Tetapi gerak itu telah menarik perhatian orang-orang yang agaknya kawan Kepala Besi yang pingsan itu.
Sejenak suasana memang menjadi sangat tegang. Sambi Wulung sendiri justru masih berdiri diam di tempatnya.
Namun orang-orang yang agaknya kawan Kepala Besi itu memang harus dikalahkan. Apalagi mereka.
Karena itu, maka kawan orang berkepala botak itu kemudian telah memindahkan perhatian mereka kepada Kepala Besi yang pingsan itu. Empat orang telah bergeser mendekat dan berjongkok di sebelahnya.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja orang remaja telah menyusup dan menyibak di antara orang-orang yang berkerumun. Remaja itu adalah Puguh. Dengan serta-merta iapun telah menepuk bahu Jati Wulung sambil berkata, "Luar biasa. Kau ternyata seorang yang luar biasa."
Jati Wulung memandang anak muda itu sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, "Aku merasa perlu untuk mengajarinya sedikit sopan kepada orang lain."
*** JILID 06 PUGUH mengangguk-angguk. Dipandanginya beberapa orang kawan Kepala Besi itu sedang sibuk berusaha menyadarkannya. Seorang yang berjambang dan berkumis lebat, dengan bulu dada yang memenuhi sebidang dadanya, telah mengambil air di kedai. Kemudian perlahan-lahan dititikkannya air itu di bibir Kepala Besi yang pingsan.
Jati Wulung tidak menunggu terlalu lama. Iapun kemudian bergeser kembali ke kedai.
"Marilah," Jati Wulung mempersilahkan Puguh, "duduklah. Kita dapat beristirahat."
"Beristirahatlah," jawab Puguh, "bukankah aku tidak berbuat apa-apa sehingga tidak perlu beristirahat."
"Kita minum sejenak," ajak Jati Wulung yang memang ingin mendapat kesempatan berbicara dengan Puguh.
"Baiklah. Akulah yang membayar," berkata Puguh kemudian.
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau mengecewakan anak muda itu. Apalagi ketika ia kemudian berkata, "Aku belum pernah mengagumi seseorang selain guruku. Sekarang aku mengagumimu."
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Tentu jauh berbeda. Jika aku mendapat lawan yang berilmu selapis saja, maka aku tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Untung bahwa orang yang mengaku berkepala besi itu tidak lebih dari sebongkah batu padas yang belum diasah sama sekali."
Perkelahian yang terjadi itu memang agak lain dari perkelahian-perkelahian sebelumnya. Biasanya tidak banyak orang yang menaruh perhatian. Bahkan mereka condong untuk tidak berpaling. Tetapi perkelahian itu ternyata telah menarik banyak perhatian. Bahkan orang-orang masih juga membicarakan setelah Jati Wulung duduk kembali di tempat duduknya di kedai itu.
Seorang petugas yang juga bertubuh raksasa sempat mendekatinya sambil berdesis, "Kau telah melakukan sesuatu yang menggemparkan. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin ini bukan yang terakhir. Aku hanya ingin berpesan, jika kelak kau harus berkelahi lagi, hati-hatilah. Jangan merusakkan kedaiku ini supaya kau tidak usah menggantinya."
"Bukankah aku sekarang juga tidak merusakkannya selain barangkali mangkuk yang kotor atau minumanmu yang tumpah?" sahut Jati Wulung.
"Ya. Sekarang memang tidak," jawab petugas itu.
"Nah, aku sekarang haus," berkata Jati Wulung.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah minum lagi. Jati Wulung, Sambi Wulung, Kiai Windu dan kawan-kawannya bersama dengan Puguh dan beberapa orang pengawalnya.
"Siapa namamu?" bertanya Puguh tiba-tiba.
"Wanengpati," jawab Jati Wulung.
"Kau berasal dari mana?" bertanya Puguh pula.
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Jangan bertanya tentang asal usul. Aku adalah orang yang tidak mempunyai asal-usul. Kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang ditiup angin. Kemanapun arahnya."
Puguh tertawa. Katanya, "Apakah kau seorang Dalang" He, kau pandai menirukannya. Kleyang kabur kanginan, kandang langit, kemul mega. Bukankah begitu?"
Jati Wulunglah yang tertawa. Lalu katanya, "Aku hanya menirukan orang-orang berbicara demikian. Aku sama sekali bukan seorang Dalang atau pelaku wayang topeng."
Puguh tertawa semakin keras. Sambil memandang berkeliling ia bertanya, "Inikah kawan-kawanmu?"
"Ya," jawab Jati Wulung.
"Semua memiliki kemampuan seperti kau?" bertanya Puguh pula.
"Bertanyalah kepada mereka," sahut Jati Wulung.
Ketika Puguh berpaling ke arah Sambi Wulung, maka dengan serta-merta Sambi Wulung berkata, "Tidak. Kami tidak memiliki kemampuan seperti Wanengpati yang gila itu. Kami memang mengikutinya memasuki Song Lawa dengan bertumpu kepadanya."
"Kami siapa?" bertanya Puguh.
"Kami. Aku dan kawan-kawanku ini," jawab Sambi Wulung.
"Bukankah kau dan Wanengpati orang-orang baru seperti juga Kepala Besi itu" Tetapi bukankah yang lain sudah sering datang kemari," bertanya Puguh.
Sambi Wulung menjadi tegang sejenak. Namun kemudian iapun tersenyum, "Ya. Kiai Windu dan ketiga kawanku yang lain pernah memasuki Song Lawa."
Puguh mengangguk-angguk sambil tersenyum pula. Lalu katanya, "Pengawal-pengawalku tidak ada yang memiliki kemampuan yang memadai. Kalau saja Wanengpati mau bergabung dengan kami."
Satu kesempatan yang memang diharapkan. Tetapi Jati Wulung tidak akan dapat menjawab dengan serta-merta, agar justru tidak menimbulkan kecurigaan. Bahkan dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah kau sudah beberapa kali datang ke tempat seperti ini?"
Tetapi jawabnya sama sekali tidak diharapkannya. Dengan wajah muram Puguh berkata, "pertanyaan yang paling aku benci."
"O, aku minta maaf," desis Jati Wulung, "bukan maksudku menyinggung perasaanmu."
"Kau. Kau tidak menyinggung perasaanku. Mungkin perasaankulah yang terlalu lemah untuk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu," jawab Puguh.
"Baiklah," berkata Jati Wulung, "kita tidak berbicara tentang hal-hal yang dapat menyentuh perasaan. Kita bicara tentang makanan di kedai ini saja."
Tetapi wajah Puguh sudah berubah. Ia nampak menjadi muram. Meskipun sekali-sekali ia mencoba tersenyum, namun di luar sadarnya kadang-kadang ia telah termenung sambil memandang ke kejauhan. Agaknya pada anak muda itu terdapat beban perasaan yang memberatinya.
Sementara itu dua orang yang sejak sebelumnya telah berbicara tentang Kepala Besi itupun sempat keluar dari kedai itu lewat di sebelah amben tempat Jati Wulung duduk. Keduanya berhenti sejenak, sementara seorang dari mereka berkata, "Luar biasa. Kau masih tetap hidup setelah kau berkelahi dengan Kepala Besi. Bahkan jika kau mau nampaknya kau akan dapat membunuhnya. Tetapi berhati-hatilah. Kepala Besi adalah orang yang ditakuti dan mempunyai banyak pengikut di salah satu tempat di pesisir Utara."
"Terima kasih atas peringatan ini," jawab Jati Wulung.
"Nah, sejak besok, kau dapat menggulung semua pengikut di lapangan panahan," berkata yang seorang.
"Aku tidak ingin lagi untuk ikut panahan," berkata Jati Wulung dengan nada rendah.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun telah meninggalkan kedai itu.
Ternyata Jati Wulung dan kawan-kawannyapun tidak terlalu lama lagi berada di kedai itu. Ketika mereka memandang keluar, maka yang disebut Orang Hutan berkepala Besi itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Kawan-kawannya telah membawanya ke dalam biliknya untuk mendapat perawatan.
Namun dalam pada itu, Puguh tidak lupa pada janjinya. Sambil tersenyum ia berkata, "Aku yang akan membayar semuanya."
"Terima kasih," berkata Jati Wulung. Tetapi ia masih juga berkata, "Tetapi bukankah aku yang telah menang di arena panahan."
"Biar saja," jawab Puguh, "aku ingin membayar kali ini, meskipun barangkali di kesempatan lain aku akan meminjam uangmu."
Yang lain hanya tertawa saja. Sementara itu, Puguh telah menghitung berapa harga makanan dan minuman yang telah dimakan dan diminum oleh sekelompok orang itu.
"Ayah dan ibumu tentu seorang yang kaya raya," tiba-tiba saja Jati Wulung berdesis.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sebaiknya kita tidak usaha berbicara tentang ayah dan ibuku, sebagaimana kita tidak usah berbicara kenapa aku berada di tempat ini."
"O," Jati Wulung mengangguk-angguk. Ia tidak boleh mendesak terus. Juga tentang tempat tinggalnya, atau padepokannya atau dalam hubungan yang lain. Ia harus dapat mengendalikan diri untuk mencapai sasaran sebagaimana diharapkan.
Sejenak kemudian, merekapun telah meninggalkan tempat itu. Namun agaknya Puguh masih akan memasuki tempat permainan dadu. Karena itu, maka Jati Wulungpun berkata kepadanya, "Kami akan beristirahat."
"Kau tidak ikut bermain dadu?" bertanya Puguh.
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Dalam keadaan seperti ini lebih baik tidur barang sebentar."
Puguhpun tersenyum. Agaknya anak muda itu mengerti, bahwa setelah orang yang dikenalnya bernama Wanengpati itu berkelahi, maka agaknya ia memerlukan mengendapkan perasaannya yang bergejolak.
Demikianlah, maka Jati Wulung dan Sambi Wulungpun telah melangkah menuju ke biliknya. Namun Kiai Windu kemudian berdesis, "Aku juga akan melihat permainan dadu sebentar. Nanti aku segera menyusul."
"Silahkan," sahut Sambi Wulung, "bahkan mungkin kamilah yang akan menyusul kalian ke tempat permainan itu."
Namun Jati Wulung menyahut, "Aku benar-benar akan tidur."
Sambi Wulung hanya tersenyum saja. Sementara itu Kiai Windu dan kawan-kawannya ternyata telah melangkah menuju ke barak permainan dadu. Namun agaknya ia tidak mengambil jalan yang sama dengan Puguh dan para pengawalnya.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berjalan menyusuri lorong setapak menuju ke biliknya. Sambil melangkah Sambi Wulung sempat bergumam, "Kau agak terdorong langkah."
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak dapat berbuat lain."
"Di arena panahan, kau telah dipanaskan oleh sikap Kepala Besi itu sehingga kau harus menunjukkan kemampuanmu. Aku juga ikut panahan dan memenangkannya meskipun tidak menyolok," berkata Sambi Wulung pula.
"Tetapi bukankah dengan demikian, kita menjadi lebih mengenal Puguh?" bertanya Jati Wulung.
"Tetapi kita menjadi bahan pembicaraan dan setiap orang akan memperhatikan kita. Juga dendam Kepala Besi itu harus menjadi perhitungan kita," berkata Sambi Wulung.
Bagi Jati Wulung, Sambi Wulung adalah saudara tuanya. Karena itu maka ia tidak menjawab lagi. Ia memang mengakui, bahwa ia telah agak terdorong dalam permainan panahan, sehingga akibatnya ia harus berkelahi dengan orang yang disebut Kepala Besi itu.
Tetapi semuanya telah terjadi. Jati Wulung tidak akan dapat mengulangi lagi langkah-langkahnya. Yang dapat dimanfaatkan dari semua peristiwa itu adalah hubungan mereka yang lebih dekat dengan orang yang memang mereka cari di tempat perjudian itu. Puguh. Anak Warsi.
Demikianlah, maka akhirnya Jati Wulung itupun berkata, "Aku akan tidur barang sejenak. Mudah-mudahan aku dapat menenangkan perasaanku yang masih saja terasa berdebaran."
"Tidurlah," jawab Sambi Wulung, "biarlah aku duduk disini."
Jati Wulung tidak berkata sesuatu lagi. Iapun merebahkan dirinya di pembaringan. Ia benar-benar melepaskan segala macam beban di perasaannya, sehingga dengan demikian ia cepat dapat tidur dengan nyenyak. Apalagi ia memang benar-benar ingin beristirahat.
Sambi Wulung yang tidak merasa mengantuk sama sekali duduk di sudut amben yang agak besar itu bersandar dinding. Ketika ia kemudian mengedarkan pandangan matanya ke seluruh isi ruangan, maka dilihatnya beberapa ikat bekal yang dibawa oleh Kiai Windu dengan kawan-kawannya. Seperti dirinya sendiri, maka merekapun hampir tidak membawa bekal apapun. Hanya beberapa lembar kain yang diikat dalam satu bungkusan kecil.
Adalah di luar sadarnya, jika Sambi Wulung kemudian setelah menutup dan menyelarak pintu bilik, melihat-lihat beberapa ikat bekal yang dibawa oleh Kiai Windu dan kawan-kawannya.
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang menarik perhatian Sambi Wulung adalah bahwa di dalam ikatan itu terdapat pakaian dari bahan yang sama. Sambi Wulung tidak dapat melihat dengan cermat. Ia tidak mau membuka ikatan bekal yang sedikit itu, karena agaknya Kiai Windu adalah orang yang sangat teliti, sehingga jika ia membukanya dan mengikatnya kembali, Kiai Windu akan mengetahuinya.
"Nampaknya mereka membawa selembar baju yang seragam," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya. Namun karena baju itu ada di dalam lipatan yang terikat, maka ia tidak dapat menduga, pakaian jenis apakah yang dibawa oleh Kiai Windu itu.
Sambi Wulung tidak mau membuat jarak antara dirinya dengan Kiai Windu dan kawan-kawannya yang nampaknya dapat diajak berkawan di dalam lingkungan yang garang sebagaimana Song Lawa itu. Bagaimanapun juga, persoalan-persoalan yang tidak diperhitungkan akan dapat timbul di dalam lingkungan yang aneh dan penuh dengan berjenis-jenis watak dan sifat. Sedangkan untuk sementara, nampaknya Kiai Windu dan kawan-kawannya tidak akan menambah kesulitan jika kesulitan itu datang, bahkan mereka agaknya akan dapat membantu mereka apabila diperlukan sekali.
Karena itu maka Sambi Wulung akan tetap menjaga hubungan yang baik yang sudah terjalin antara dirinya dan Jati Wulung dengan Kiai Windu dan kawan-kawannya, meskipun cara mereka berkenalan melalui jalan yang agak aneh.
Dalam pada itu, ternyata Kyai Windu dan kawan-kawannya sudah berada di barak permainan dadu. Mereka menelusuri permainan dari lingkaran yang satu ke lingkaran yang lain. Mereka mengamati betapa uang mengalir dari satu tangan ke tangan yang lain, berputar dan kembali lagi. Namun sebagian dari uang itu telah berhenti di tangan orang-orang yang saat itu sedang beruntung.
Kiai Windu dan kawan-kawannya ternyata tidak hanya sekedar melihat-lihat saja. Mereka mulai menebar dan turun ke arena yang berbeda-beda.
Tetapi agaknya mereka cukup berhati-hati. Mereka tidak hanyut dalam gejolak perasaan mereka di arena perjudian. Tetapi mereka sempat berpikir dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang harus mereka pilih di antara beberapa kemungkinan yang lain.
Karena itu, maka selama Kiai Windu beberapa kali mengunjungi Song Lawa, mereka tidak pernah mengalami kesulitan yang tidak teratasi. Mereka selalu memperhitungkan setiap uang yang mereka lepaskan dalam permainan itu. Satu kali mereka memang harus mengalami kekalahan. Tetapi di kesempatan lain mereka dapat memenangkan permainan itu.
Ternyata Kiai Windu agak lama juga berada di barak permainan dadu bersama kawan-kawannya. Namun agaknya seorang di antara kawannya telah mengalami kekalahan. Beberapa kali uang yang dipasang telah mengalir lepas dari tangannya.
Tetapi orang itu sempat mengendalikan diri. Ketika uang yang disediakan buat hari itu sudah sampai pada hitungan terbanyak, maka iapun telah berhenti.
Ketika ia mendekati seorang kawannya yang bermain di lingkaran yang berbeda, ternyata kawannya itu telah memenangkan permainan. Karena itu, maka kawannya itupun bertanya kepadanya, "Apakah kau akan mencoba lagi?"
Tetapi orang yang telah kalah itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku justru ingin menonton saja." Namun dalam satu kesempatan ia berbisik, "Aku sedang mengamati seseorang."
Yang sedang memenangkan permainan dadu itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdesis, "Lakukanlah. Jika perlu panggil aku."
Kawannya menepuk bahunya. Kemudian iapun tergeser meninggalkan orang yang sedang memenangkan permainan itu.
Sementara itu, ternyata Kiai Windu sendiri juga telah menang meskipun tidak terlalu banyak dan perlahan-lahan sekali. Tetapi orang itu memang memiliki kesabaran yang tinggi di dalam arena perjudian. Perhitungannya cukup cermat. Ia dengan sabar menunggu orang-orang lain memasang uangnya. Baru kemudian ia menjatuhkan pilihan.
Dalam pada itu, seorang di antara kawannya telah bergeser menjauh. Ia memang sedang memperhatikan seseorang yang agaknya sangat menarik perhatiannya.
Ternyata orang yang diperhatikan, dan kemudian diikuti oleh kawan Kiai Windu itu adalah seorang laki-laki separo baya. Tubuhnya tidak terlalu besar, bahkan punggungnya sedikit bongkok. Wajahnya yang kasar membuatnya nampak garang.
Orang bertubuh bongkok itu telah menemui beberapa orang petugas berturut-turut. Beberapa orang bertubuh raksasa yang ada di dalam barak permainan dadu itu. Setiap kali ia berbicara dengan sungguh-sungguh namun hanya beberapa kalimat saja. Jika ia kemudian meninggalkan petugas itu, maka nampaknya petugas itu menjadi lebih bersiaga.
Ketika orang bertubuh bongkok itu sampai petugas yang terakhir di dalam barak itu, maka ia berbicara agak panjang. Nampaknya beberapa pesan telah diberikan secara khusus. Tetapi kawan Kiai Windu itu tidak dapat menangkap sedikitpun isi dari pembicaraan itu.
Beberapa saat kemudian orang bertubuh bongkok itupun telah meninggalkan barak itu. Namun hal yang sama dilakukan pula terhadap para petugas dimanapun ditemuinya. Para petugas yang baru berjalan dari satu tempat ke tempat lainpun telah dihentikannya dan diajaknya berbicara sebagaimana para petugas di dalam barak tempat bermain dadu.
Kawan Kiai Windu itu tidak mengikutinya lebih jauh. Agaknya terlalu berbahaya baginya. Sementara itu, iapun masih belum dapat menemukan pertanda yang dapat dikenalinya dari ujud maupun sikap orang itu.
Sejenak kemudian, kawan Kiai Windu itupun telah kembali ke barak permainan dadu. Seorang lagi di antara kawan-kawannya telah selesai pula bermain dan berdiri di belakang Kiai Windu yang nampaknya tidak kalah itu.
Ketika ia sudah berdiri di belakang kawannya yang menunggui Kiai Windu itu, iapun telah menggamitnya sambil bertanya, "Bagaimana dengan kau?"
Orang itu berpaling. Katanya sambil tersenyum, "Aku benar-benar menang kali ini. Kiai Windupun menang pula. Hanya kau sajalah yang kalah, sementara kawan kita yang seorang lagi nampaknya juga tidak kalah."
"Aku sial hari ini," berkata kawan Kiai Windu yang kalah itu, "tetapi aku mempunyai ceritera tersendiri."
Kawannya yang menang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu ceritera yang menarik."
Beberapa saat mereka masih berada di barak itu. Namun akhirnya mereka berempatpun telah meninggalkan barak itu. Kiai Windu dan dua orang kawannya memang memenangkan permainan dadu itu meskipun tidak terlalu banyak, sedangkan seorang lagi telah kalah sampai batas terakhir keping uangnya yang disediakan untuk hari itu. Bahkan ketika kemudian mereka sempat menghitung-hitung secara kasar, ternyata kekalahan yang seorang itu lebih banyak dari kemenangan Kiai Windu dan kedua orang kawannya yang lain.
Tetapi Kiai Windu masih juga tertawa. Katanya, "Biarlah hari ini kita mengalami kekalahan kecil. Besok kita tebus di lapangan panahan asal kita tidak berada dalam satu arena dengan Wanengpati dan Wanengbaya."
"Tidak pula dengan Kepala Besi dan dua orang lain yang ada di arena bersama mereka," berkata kawan Kiai Windu yang kalah itu.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Ternyata banyak orang yang memiliki kemampuan membidik melampaui kita."
Yang lainpun tertawa pula.
Namun dalam pada itu, kawan Kiai Windu yang kalah itu telah menceriterakan apa yang dilihatnya. Seorang yang agak bongkok yang telah menghubungi hampir semua petugas. Tidak hanya yang berada di dalam barak permainan dadu, tetapi juga di luarnya yang beberapa orang dapat dilihatnya.
Kiai Windu termangu-mangu sejenak. Tiga-tiba saja ia berkata, "Apakah orang itu petugas Song Lawa yang dikirim keluar tempat perjudian ini untuk mengamati suasana dan dapat melihat sesuatu yang menarik perhatiannya di luar?"
"Aku tidak pasti," jawab kawannya itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi nampaknya berita atau mungkin perintah yang disampaikan itu penting dan harus segera merata."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi bukankah hari-hari kita tidak mulai sekarang?"
"Tidak," jawab seorang kawannya, "setidak-tidaknya mulai dua hari lagi."
Kiai Windu tiba-tiba berhenti sejenak. Katanya, "Ya hari ini memang mungkin sekali dijumpainya sesuatu yang menarik perhatian mereka, maksudku para petugas dari Song Lawa ini. Kita memang mulai dari sekarang. Maksudku hari ini."
"Apa yang sudah kita mulai?" bertanya seorang kawannya.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Satu susulan dari keseluruhan kewajiban yang dibebankan kepada kita. Mungkin orang bongkok itu melihat atau bertemu dengan mereka yang bertugas untuk mengenali jalan-jalan di sekitar medan."
Kawan-kawan Kiai Windu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Ya. Agaknya mereka. Atau apapun yang mereka curigai berhubungan dengan tempat ini."
"Satu peringatan bagi kita," jawab Kiai Windu. Bahkan mereka berempat kemudian telah berdiri di tempat yang terbuka, justru tidak berada di dekat seorangpun yang lalu lalang beberapa langkah dari mereka.
"Bagaimana penilaian kita terhadap dua orang yang berada di bilik kita itu?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya.
Ketiga orang kawannya termangu-mangu. Seorang di antara mereka sempat juga melihat orang yang lewat beberapa langkah dari mereka sehingga kepalanya berpaling.
"He," kawannya menggamit, "kau lihat perempuan yang lewat dengan golok di lambung itu."
"O, tidak." orang itu tergagap.
"Nah, bagaimana tanggapanmu terhadap dua orang yang menyebut dirinya Wanengbaya dan Wanengpati itu?" bertanya kawannya.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya. "Mereka nampaknya baik-baik saja."
"Dimana perempuan dengan golok di lambung itu sekarang?" tiba-tiba Kiai Windu bertanya.
"Nampaknya ia pergi ke barak permainan dadu," jawab orang itu hampir di luar sadarnya.
"Nah, jika pertanyaannya menyangkut perempuan, ia tanpa berpikir dapat menjawab dengan baik," berkata seorang kawannya yang lain.
"Ah," orang itu baru sadar. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Maksudku, tidak ada kesulitan dengan keduanya."
"Jawabanmu semakin kabur," desis Kiai Windu, "coba, sekarang kita berbicara dengan sungguh-sungguh tentang kedua orang itu. Apakah mereka akan dapat menjadi hambatan bagi kita atau tidak. Atau bahkan sebaliknya."
Ketiga orang kawannyapun menjadi bersungguh-sungguh pula. Seorang di antara mereka bertanya, "Mereka bagi kita adalah orang-orang aneh. Perhatiannya justru lebih banyak kepada anak-anak muda yang berada di Song Lawa ini. Nampaknya ia sangat menyesali kehadiran mereka disini."
"Menurut penglihatanku," berkata yang lain, "keduanya bukan orang kasar sebagaimana yang kita lihat. Mereka memang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Song Lawa ini. Mereka lebih membuat diri mereka kasar dan kadang-kadang liar. Tetapi mereka agaknya mempunyai kepentingan lain."
"Ya," berkata yang seorang, "merekapun tentu bukan penjudi yang sebenarnya meskipun mereka menyebut daerah perjudian seperti Gresik, Bergota, di sebelah Barat Pajang dan beberapa tempat yang lain."
"Baiklah," berkata Kiai Windu, "pada umumnya kita berpendapat bahwa keduanya bukan orang-orang yang perlu mendapat perhatian terlalu besar. Namun demikian, banyak kemungkinan dapat terjadi. Keduanya memang orang-orang berilmu tinggi. Jika keduanya menjadi salah paham, maka sikap mereka tidak akan dapat kita perhitungkan."
"Kita memang harus menjaga hubungan baik itu," berkata salah seorang di antara mereka, "dalam satu dua hari ini kita akan melihat, apa saja yang mereka lakukan disini."
"Tetapi kita harus lebih berhati-hati terhadap Wanengpati. Agaknya ia mempunyai watak yang lebih keras dari Wanengbaya. Wanengpati kadang-kadang tidak terlalu banyak dapat membuat pertimbangan sebelum bertindak, sehingga kadang-kadang ia terjerumus ke dalam gejolak perasaannya tanpa penalaran," berkata Kiai Windu, "ternyata ia telah mengguncangkan lapangan panahan dan iapun telah menghancurkan kesombongan orang yang disebut Kepala Besi itu."
"Ya," seorang kawannya mengangguk-angguk, "nampaknya Wanengbaya tidak setuju dengan sikapnya itu."
Kiai Windu dan kawan-kawannya yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian Kiai Windu berkata, "Marilah. Kita kembali ke bilik kita."
Ketika keempat orang itu sampai ke bilik mereka, ternyata mereka mendapatkan pintu bilik mereka diselarak dari dalam. Karena itu, maka merekapun telah mengetuk perlahan-lahan.
Sambi Wulunglah yang kemudian membuka pintu itu. Sambil tersenyum iapun bertanya, "Apakah kalian sudah selesai?"
Salah seorang kawan Kiai Windu menjawab, "Uangku yang aku sediakan untuk hari ini telah habis."
"Untuk hari ini?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya, Aku selalu menyediakan uang untuk setiap hari. Aku tidak mau berjudi berlarut-larut. Jika persediaanku untuk sehari telah habis, maka aku harus berhenti bermain, menunggu sampai hari berikutnya," jawab kawan Kiai Windu itu.
"Luar biasa," desis Sambi Wulung, "jarang sekali orang dapat mengekang diri seperti itu. Apalagi di tempat perjudian seperti ini. Itulah agaknya para petugas mengatakan, bahwa di hari-hari pertama, kadang-kadang sudah ada orang yang membunuh diri. Orang itu tentu tidak mempunyai kendali atas dirinya sendiri sebagaimana kau."
Kawan Kiai Windu itu tersenyum. Namun iapun berkata, "Aku tiba-tiba saja menjadi lapar."
"Ah kau," kawannya telah mendorongnya masuk, "aku mengantuk. Aku ingin berbaring barang sejenak sebelum pergi ke warung itu."
Kiai Windu sendiri tidak mengatakan sesuatu. Tetapi sekilas diperhatikannya barang-barangnya serta milik kawan-kawannya. Nampaknya letaknya tidak berubah. Menurut dugaannya, kedua orang yang telah lebih dahulu berada di dalam bilik itu tidak menyentuh barang-barangnya yang hanya sedikit itu.
Ketika kemudian Sambi Wulung duduk lagi di sudut amben, maka kawan-kawan Kiai Windupun telah berbaring di amben itu. Namun Kiai Windu yang duduk di sebelah Wanengbaya itupun berkata, "Aku justru menang hari ini."
"Kau?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Meskipun tidak terlalu banyak," jawab Kiai Windu.
"Kita akan menikmatinya di kedai nanti," berkata Sambi Wulung.
"Ya. Kita akan menikmatinya. Bukankah kau juga menang hari ini. Apalagi Wanengpati," jawab Kiai Windu sambil tersenyum, "Jika ia mau, maka semua uang yang ada di lapangan panahan dapat diambilnya."
"Ah," Wanengbaya tersenyum, "ia memang orang bengal. Seharusnya ia tidak berbuat seperti itu, sehingga ia harus berkelahi dengan orang yang disebut Kepala Besi yang mempunyai pengaruh besar di pesisir Utara. Kepala Besi itu tentu tidak akan menerima perlakuan sebagaimana dialaminya. Jika ia tidak sempat membalas dendam disini, maka pada kesempatan lain, ia akan membawa orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya di pesisir Utara."
"Untuk apa?" bertanya Kiai Windu.
"Untuk membalas dendam," jawab Wanengbaya.
"Membalas dendam siapa?" Kiai Windu justru bertanya. Kemudian katanya, "Jika ia ingin membalas dendam terhadap Wanengpati kemana ia harus mencarinya" Karena kau dan Wanengpati nampaknya pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Bahkan iapun kemudian bertanya, "Apakah kau ingin tahu, dimana kami tinggal?"
Kiai Windupun tertawa. Jawabnya, "Tidak. Aku tidak akan memaksamu untuk mengatakan tempat tinggalmu, karena aku sudah yakin bahwa kau dan Wanengpati memang tidak mempunyai tempat tinggal yang mapan."
Sambi Wulung justru tertawa pula. Katanya, "Jika yang kau katakan itu tidak benar, aku akan dengan serta-merta menyebut tempat tinggalku. Tetapi karena yang kau katakan itu benar, maka aku tidak dapat mengatakan apa-apa."
"Jahanam kau," geram Kiai Windu sambil bangkit berdiri. Tetapi tertawanya masih juga terdengar. Katanya, "Siapapun kau dan Wanengpati, tetapi Wanengpati telah menang banyak sekali hari ini."
"Ia tidak melanjutkan permainan," berkata Sambi Wulung.
Kiai Windu melangkah mondar-mandir di sebelah pembaringan. Namun kemudian ia berkata, "Apa rencanamu malam nanti?"
"Terserah kepada Wanengpati," jawab Sambi Wulung, "namun di tempat lain kita tidak akan dapat mengatur berdasarkan kemampuan kita, apakah kita akan menang atau kalah. Semuanya tergantung pada dadu atau ayam yang kita sabung."
"Agaknya kalian tidak banyak tertarik kepada permainan yang lain kecuali panahan," berkata Kiai Windu.
"Aku belum tahu," jawab Sambi Wulung.
Kiai Windupun tidak bertanya lagi. Tetapi ia telah duduk pula di amben bambu yang cukup besar itu.
Keduanyapun untuk sejenak saling berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah dengkur mereka yang sedang tertidur. Ternyata kawan Kiai Windu yang merasa lapar itupun telah tertidur pula sebagaimana kawannya yang mengantuk.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin gelap, keenam orang itu telah berada di kedai yang masih sibuk. Beberapa orang telah keluar dan masuk berganti-ganti. Sambi Wulung dan Jati Wulung yang sempat memperhatikan orang-orang yang hilir mudik itu sempat menilai beberapa jenis sifat dan watak orang.
Selagi mereka sibuk dengan pesanan mereka masing-masing, maka tiba-tiba saja Puguh dan beberapa orang pengawalnya telah memasuki kedai itu pula. Demikian ia melihat Jati Wulung, maka sambil tertawa ia telah mendekatinya.
"Sudah lama kau disini?" bertanya Puguh.
"Sudah anak muda," Jati Wulungpun tertawa pula.
"Nah, marilah. Aku yang akan membayar makanan dan minumanmu," berkata Puguh.
"Ah," Jati Wulung menggeleng, "terima kasih. Bukannya aku menolak. Tetapi aku datang berenam."
"Tidak apa-apa. Aku telah menang dalam permainan dadu," berkata Puguh.
"Tiga kawanku juga telah menang. Sementara seorang yang lain telah menang pula di arena panahan," jawab Jati Wulung.
"Dan sudah barang tentu kau sendiri," sahut Puguh pula.
Tetapi sambil tersenyum Jati Wulung menggeleng. Katanya, "Aku kalah dimana-mana. Tetapi terima kasih atas kebaikan hatimu. Besok mungkin aku memerlukanmu. Apalagi jika semua uangku telah habis sehingga aku memerlukan pinjaman."
Puguh tertawa berkepanjangan. Katanya, "Baiklah. Jika kau memerlukan, katakan saja kepadaku. Atau bahkan mungkin akulah yang datang kepadamu untuk meminjam lebih dahulu."
Jati Wulung tertawa pula. Sambi Wulung dan Kiai Windu serta kawan-kawannyapun tertawa pula.
"Ternyata anak ini sempat pula berkelakar," berkata Sambi Wulung di dalam hatinya. Menurut penglihatannya, wajah Puguh biasanya nampak murung dan bersungguh-sungguh. Senyumnya terlalu mahal dan sorot matanya kadang-kadang memancarkan kecurigaan. Tetapi dengan Jati Wulung ia dapat menjadi akrab.
Puguhpun kemudian telah duduk pula di dalam kedai itu. Karena Jati Wulung tidak mau menerima tawarannya, maka Puguh telah mengambil tempat tersendiri bersama para pengawalnya.
Namun dalam pada itu, Kiai Windulah yang nampak menjadi agak gelisah. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja ia berkata kepada kawan-kawannya, "Kita menengok kuda-kuda kita sejenak."
Ketiga kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian merekapun mengangguk kecil. Seorang di antara mereka berkata, "Marilah. Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kekurangan makan."
Ketiga kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian merekapun mengangguk kecil. Seorang di antara mereka berkata, "Marilah. Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak kekurangan makan."
Tetapi Kiai Windu tidak lupa membayar makanan dan minuman bukan saja bagi dirinya dan ketiga orang kawannya. Tetapi juga bagi Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Tunggulah sebentar," berkata Kiai Windu, "kami akan menengok kuda-kuda kami."
"Silahkan," berkata Sambi Wulung. Lalu, "Jika tidak disini, kami dapat kalian jumpai di dalam bilik kami."
"Kau tidak melihat permainan dadu?" bertanya Kiai Windu.
Sambi Wulung tersenyum. Katanya, "Mungkin kami akan kesana. Tetapi mungkin aku akan menunggu sampai rambahan-rambahan panahan itu berlangsung lagi."
Kiai Windupun tersenyum pula. Sambil menepuk bahu Sambi Wulung ia berkata, "jaga saudaramu itu baik-baik."
Jati Wulung memandanginya dengan tajamnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Kau takut bahwa aku akan menjadi liar disini?"
"Bukankah kalian menjadi liar sejak belum memasuki tempat ini?" bertanya Kiai Windu.
"He," Jati Wulung menjadi tegang. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, "Kau benar. Bahkan aku menjadi liar sejak lahir."
Kiai Windu dan kawan-kawannyapun tertawa. Sambil melangkah pergi Kiai Windu berkata, "Kau sempat merajuk, he?"
Jati Wulung tidak menjawab. Tetapi ia menjadi tertarik kepada Puguh. Karena itu, maka ia memberi isyarat kepada Sambi Wulung untuk mendekati anak muda yang sedang makan itu.
"He, marilah. Mungkin kalian ingin makan bersama aku" Dimana kawan-kawanmu itu?" bertanya Puguh.
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian duduk bersama Puguh dan para pengawalnya. Para pengawal Puguh itu tahu pasti, bahwa Jati Wulung yang dikenal bernama Wanengpati. itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu mereka. Apalagi jika kawannya yang bernama Wanengbaya itu juga. Maka berdua mereka merupakan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada pengawal itu.
"Jika Puguh mampu mengikat keduanya, mungkin kami tidak diperlukan lagi," berkata para pengawal itu di dalam hatinya.
"Kalian mau makan apa?" bertanya Puguh dengan ramah.
Jati Wulung menggeleng. Katanya sambil tersenyum, "Aku sudah kenyang. Aku hanya ingin duduk disini. Kawan-kawanku itu sedang pergi menengok kuda mereka yang ditambatkan di luar."
"Bukankah kuda-kuda itu sudah dititipkan" Biasanya orang-orang yang menjaga kuda itu mengurusnya dengan baik. Dari penyediaan makanan sampai kebersihannya."
Jati Wulung memang tidak begitu mengetahui tentang penitipan kuda di Song Lawa. Namun ia menjawab, "Kawanku itu sangat sayang kepada kudanya. Seperti menyayangi anak-anaknya."
Puguh tersenyum. Iapun kemudian beringsut untuk memberi tempat yang lebih baik kepada Jati Wulung dan Sambi Wulung yang sudah duduk di antara mereka.
Di luar dugaan Jati Wulung, Puguh masih saja memujinya. Dengan suara berat ia akhirnya berkata, "Sampai saat ini orang yang disebut Kepala Besi itu masih belum keluar dari biliknya. Ia telah mendapat perawatan dari tabib Song Lawa ini."
"Disini ada tabib?" bertanya Jati Wulung.
"Ada. Disini ada semuanya. Ada tabib tetapi juga ada bilik di sudut halaman itu," jawab Puguh, "mereka yang ingin sembuh dari penderitaannya apapun sebabnya dapat memanggil tabib dengan upah tersendiri. Tetapi siapa yang ingin mengakhiri penderitaan dengan cara lain, mungkin penderitaan batin karena kalah tanpa dapat dihitung lagi, dipersilahkan untuk pergi ke bilik itu."
Jati Wulung tersenyum. Katanya, "Memang menarik sekali."
"Kau baru kali ini berkunjung ke Song Lawa," desis Puguh itu lebih lanjut.
"Ya," jawab Jati Wulung, "meskipun aku telah mengunjungi tempat-tempat perjudian dimana-mana. Namun ternyata bahwa tempat ini sangat menarik."
Puguh tertawa, iapun kemudian masih banyak berceritera tentang lingkungan Song Lawa yang sebagian sudah dikenal oleh Jati Wulung dan Sambi Wulung. Namun ternyata Puguh tidak berceritera sama sekali tentang dirinya sendiri. Betapapun Jati Wulung dan Sambi Wulung selalu menghindar.
Jati Wulung dan Sambi Wulung tidak ingin dicurigai karena keinginannya untuk mengetahui keadaan Puguh secara pribadi. Karena itu, maka mereka tidak dapat memaksa agar Puguh mengatakan lebih banyak dari apa yang dilihatnya tentang anak muda di tempat perjudian yang disebut Song Lawa itu.
Beberapa saat lamanya Jati Wulung dan Sambi Wulung sempat berbicara dengan Puguh di antara para pengawalnya. Namun kemudian keduanya telah minta diri untuk melihat-lihat permainan dadu. Mungkin mereka tertarik untuk ikut bermain.
"Nanti aku menyusul," berkata Puguh.
Jati Wulung dan Sambi Wulungpun kemudian telah meninggalkan kedai itu. Demikian mereka memasuki kegelapan, maka Sambi Wulungpun berdesis, "Kepribadiannya sama sekali tidak sebagaimana kita duga sebelumnya. Keterangannya yang kita peroleh tentang anak itu sebelum kita menjumpainya, agaknya terlalu berlebihan."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Katanya, "Kita hanya menduga sebelumnya. Menilik sifat ibunya dan laki-laki yang mungkin dianggap ayahnya, Ki Rangga Gupita. Kita juga membayangkan lingkungannya yang kasar cara hidup yang sedikit liar."
"Namun ternyata anak itu agak lain," desis Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, "Kita melihat permainan dadu sebentar."
Dalam pada itu, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya telah berada di luar pintu gerbang. Kepada petugas di pintu mereka mengatakan bahwa mereka ingin melihat kuda-kuda mereka.
"Malam-malam begini?" bertanya petugas yang bertubuh raksasa itu.
Kiai Windu tersenyum. Katanya, "Aku tenggelam di permainan dadu sehingga aku lupa melihat kuda-kuda kami."
"Percayakan kepada kami. Kami sudah berpengalaman mengurusi kuda jenis apapun," berkata penjaga pintu gerbang itu.
Tetapi sambil tertawa Kiai Windu berkata, "Aku sudah rindu kepada kudaku. Demikian juga kawan-kawan ini. Kami hanya sebentar, asal saja sempat melihatnya. Kami masih akan kembali ke permainan dadu itu."
Penjaga itu tidak menghiraukan lagi. Dibiarkannya saja keempat orang itu melihat kudanya yang sudah ditempatkan dikandang khusus bagi kuda-kuda yang dititipkan, yang masih terletak di lingkungan dinding berlapis di Song Lawa itu.
Namun ketika mereka berada di kandang kuda itu, mereka telah mendengar suara cengkerik di balik dinding. Perlahan-lahan Kiai Windu mendekatinya. Kemudian diucapkannya kata sandi pelahan-lahan, "He, kau itu Pager Bubrah. Lihat awan di depan deretan bintang."
"Bagus," terdengar desis di balik dinding, "tempatku cukup terlindung di balik semak-semak."
"Kau tergesa-gesa?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak. Ada pesanmu?" bertanya yang di luar dinding.
"Seorang yang agak bongkok telah memberikan laporan yang mencurigakan," desis Kiai Windu.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Sementara seorang kawan Kiai Windu mendekatinya sambil bertanya, "Suara anjing menggonggong itu" Ternyata aku hampir tidak mendengarnya mula-mula."
"Ya. Telinganya harus lebih peka dalam tugas ini," sahut Kiai Windu.
"Ternyata kita memang sudah mulai," berkata kawannya, "apakah orang di luar itu pernah bertemu dan berhubungan dengan orang bongkok?" bertanya Kiai Windu hampir berbisik.
"Aku agaknya memang pernah bertemu," jawab orang di luar dinding.
Sementara itu, seorang di antara kawan Kiai Windu itu telah menarik kudanya keluar dari kandang. Karena dengan sengaja ia membuat kudanya terkejut, maka kuda itu telah melonjak dan meringkik keras.
Penjaga yang ada di pintu gerbang mendengar pula ringkik kuda itu. Tetapi ia tidak begitu menghiraukannya. Karena menurut perhitungannya, keempat orang itu tentu tidak akan mencuri kuda. Seandainya mereka ingin melakukannya, mereka tidak akan dapat melontarkan kuda-kuda yang dicurinya lewat di atas dinding yang agak tinggi itu.
Sementara itu Kiai Windu bertanya pula, "Dimana kau bertemu dengan orang itu?"
"Agak jauh dari tempat ini. Namun agaknya orang itu memang memperhatikan kami. Apakah orang bongkok itu orang Song Lawa?" bertanya yang di luar.
"Ya. Orang bongkok itu telah memberikan laporan yang tidak aku mengerti. Mungkin melaporkan kehadiranmu," desis Kiai Windu.
"Orang bongkok atau dua orang tua atau salah seorang di antara mereka," bertanya yang di luar.
"Orang bongkok," jawab Kiai Windu.
Sejenak mereka terdiam. Seorang lagi kawan Kiai Windu telah mengeluarkan kudanya pula dari kandang. Beberapa saat kuda-kuda yang ada di dalam kandang itu memang agak ribut.
Ternyata seorang telah mendekati mereka. Seorang petugas dari Song Lawa sehingga Kiai Windu harus memberi isyarat kepada orang di luar dinding untuk diam.
"Kenapa dengan kuda-kuda itu?" bertanya petugas itu.
"Siapa kau?" bertanya Kiai Windu.
"Aku petugas yang mengurusi kuda-kuda titipan. Kenapa kau malam-malam begini membuat ribut di kandang kuda?" bertanya petugas itu.
"Aku ingin melihat kudaku. Siang tadi kami tidak sempat melakukannya. Kami sibuk bermain dadu," jawab kawan Kiai Windu itu.
"Tetapi jangan menakut-nakuti kuda yang lain. Jika ada di antara kuda-kuda itu yang terlepas karena ketakutan, kalian harus menangkapnya," berkata petugas itu.
"Bukankah kuda-kuda itu tidak akan dapat keluar?" bertanya Kiai Windu.
"Tetapi jika kuda itu berlari-lari di longkangan ini, akan cukup melelahkan untuk menangkapnya," berkata petugas itu.
"Baiklah. Aku akan bertanggung jawab," sahut Kiai Windu.
Sejenak kemudian, orang itupun meninggalkan kandang kuda itu sementara Kiai Windu dan kawan-kawannya terpaksa menunggunya sehingga menjadi semakin jauh. Baru kemudian Kiai Windu melanjutkan membicarakannya dengan orang yang di luar.
"Bagaimana dengan orang tua itu?" bertanya Kiai Windu.
"Kau mau mendengar?" bertanya orang di luar.
"Katakan, aku tidak tergesa-gesa juga," berkata Kiai Windu.
Suara di luar dinding itu terhenti sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku menjumpai dua orang tua di lereng gunung yang agak tinggi. Tetapi mereka nampaknya dengan sengaja telah menyembunyikan dirinya."
"Apakah mereka tahu siapa kau?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak. Agaknya mereka tidak tahu. Tetapi keduanya justru mencurigakan," jawab suara di luar dinding.
"Kenapa keduanya tidak kau tangkap dan kau bawa ke landasan pertama dari tugas ini dan kau serahkan kepada mereka yang berada di landasan pertama itu?" bertanya Kiai Windu.
"Niatku juga demikian," jawab orang di luar dinding, "tetapi gagal."
"Kenapa gagal?" bertanya Kiai Windu selanjutnya.
Orang di luar dinding itupun kemudian menceriterakan usahanya untuk menangkap kedua orang tua itu. Mula-mula keduanya nampak jinak dan tidak berbahaya. Tetapi ketika keduanya akan ditangkap, ternyata kelima orang di luar dinding itu tidak mampu melakukannya.
"Kami telah bertempur," berkata orang itu. Sekilas teringat angan-angannya apa yang telah terjadi.
Berlima itu telah menemukan dua orang tua yang duduk dibatu-batu padas di atas sebuah tebing. Dari tempat itu, keduanya dapat jelas melihat lingkungan Song Lawa, meskipun tanpa dapat melihat bagian-bagian yang kecil. Tanpa dapat mengenali orang-orang yang nampak sekecil bilalang.
Kelima orang itu mencurigai dua orang tua yang nampaknya memang sedang mengamati Song Lawa dengan tujuan yang tidak jelas. Karena itu, maka kedua orang tua itu akan dibawa ke landasan tugas mereka berlima. Tetapi orang-orang tua itu menolak sehingga kelima orang itu mencoba untuk memaksa.
Tetapi setelah bertempur beberapa saat, maka ternyata kedua, orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Tanpa kesulitan apapun mereka setiap kali mampu melepaskan diri dari kepungan. Bahkan sekali-sekali menyentuh tubuh mereka berlima berganti-ganti. Sentuhan itu tidak terlalu keras, tetapi rasa sakitnya bagaikan menembus sampai ke sungsum.
"Ternyata keduanya adalah orang yang berilmu sangat tinggi," berkata orang di luar dinding itu.
"Dimana mereka berdua sekarang?" bertanya Kiai Windu.
"Kami tidak tahu. Keduanya tiba-tiba saja terlepas dari tangan kami dan menghilang di antara semak-semak di lereng gunung ini," jawab orang di luar dinding.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian bertanya, "Apakah sudah kau laporkan?"
"Sudah kami laporkan," jawab orang di balik dinding, "kedua orang itu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh."
"Baiklah," berkata Kiai Windu pula. Kemudian iapun bertanya, "Bagaimana dengan orang bongkok itu?"
"Agaknya kami pernah melihatnya. Kami berlima sedang mengadakan pengamatan lingkungan Song Lawa ini," jawab orang di luar dinding, "tetapi orang itupun tidak dapat kami tangkap, dan tiba-tiba telah menghilang pula."
"Apakah menurut dugaanmu orang bongkok itu ada hubungannya dengan kedua orang tua itu?" bertanya Kiai Windu pula.
"Agaknya tidak. Keduanya kami jumpai di tempat yang jauh berbeda. Tetapi kemungkinan itu memang ada juga," jawab suara itu.
"Baik. Beri aku laporan berikutnya jika ada yang penting. Usahakan untuk menemukan dua orang tua itu. Orang bongkok itu telah berada disini. Di Song Lawa," berkata Kiai Windu.
Pembicaraan itu terputus. Kiai Windupun kemudian memerintahkan kawan-kawannya untuk mengembalikan kuda yang telah mereka ambil dari kandang sekedar untuk mengelabui para petugas jika mereka melihat apa yang mereka lakukan.
Sejenak kemudian keempat orang itupun telah siap untuk kembali ke lingkungan Song Lawa dengan memasuki pintu gerbang dilapis terakhir yang dijaga ketat itu.
Sementara itu seorang kawannya berdesis, "Agaknya memang perlu perhatian khusus."
"Ya," jawab Kiai Windu.
Sedangkan kawannya yang lain berkata, "Bukankah tugas ini tidak termasuk dalam rencana induk dalam gerakan ini?"
"Memang tidak," jawab Kiai Windu, "menurut rencana induk, baru dua hari lagi orang-orang kita bergerak. Tetapi seperti yang aku katakan, kita atau katakan para petugas itu harus dibekali dengan pengenalan medan. Karena itu, maka ada beberapa orang yang ditugaskan khusus untuk mengenali medan ini."
Kawan-kawannya tidak bertanya lagi. Mereka sudah berada di dekat pintu gerbang. Tanpa kesulitan merekapun kemudian masuk kembali ke dalam lingkungan Song Lawa melewati pintu gerbang di lapis terakhir dari dinding yang berlapis itu.
Namun mereka berempat masih mencari tempat yang tidak banyak diperhatikan orang di dalam lingkungan yang khusus itu. Sementara itu di barak permainan dadu masih terdengar betapa ramainya orang-orang yang ikut dalam permainan itu.
"Kita harus bekerja lebih cepat," berkata Kiai Windu, "kita harus segera mengumpulkan laporan itu."
"Kita sudah mempunyai bahan yang lengkap tentang tempat ini setelah kita beberapa kali melibatkan diri dalam perjudian disini," berkata seorang kawannya, "namun demikian, mungkin masih ada juga yang terlampau dari pengamatan kami."
"Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian," berkata Kiai Windu, "hadirnya dua orang berilmu tinggi yang menyebut dirinya Wanengbaya dan Wanengpati serta kedatangan orang yang mempunyai nama terkenal di pesisir Utara, Orang Hutan berkepala Besi itu."
Ketiga orang kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, "Kita tidak tahu dengan pasti, untuk apa mereka berada disini. Tetapi Wanengbaya dan Wanengpati nampaknya bukan orang yang mempunyai niat buruk. Mungkin keduanya mempunyai kepentingan tertentu, justru terhadap anak-anak muda yang ada di sini. Setiap kali yang mereka bicarakan adalah tentang anak-anak muda. Keduanya nampaknya sangat menyesal melihat bahwa di tempat ini ada juga anak-anak muda dan bahkan remaja."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Marilah. Kita kembali ke barak permainan dadu. Usahakan untuk dapat melihat lagi orang bongkok itu. Tetapi kita harus berhati-hati. Ternyata disini hadir orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi."
Demikianlah keempat orang itupun kemudian telah memasuki barak permainan dadu. Namun ternyata bahwa mereka melihat para petugas nampaknya menjadi semakin bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Orang-orang bertubuh raksasa itu berdiri di setiap sudut dan berjalan hilir mudik disepanjang barak.
"Tentu akibat kedatangan orang bongkok itu," berkata Kiai Windu di dalam hatinya.
Sementara itu, ternyata Kiai Windu dan kawan-kawannya tidak menjumpai Wanengpati di dalam barak permainan dadu itu. Karena itu, maka keduanyapun tidak ikut bermain pula.
"Kita kembali ke bilik," berkata Kiai Windu.
Mereka berempatpun kemudian meninggalkan tempat permainan dadu itu.
Namun di pintu, seorang kawan Kiai Windu telah berhenti. Bahkan di luar sadarnya mulutnya telah bersiul lirih.
Kawannya yang lain telah mendorongnya dengan sikunya sambil berdesis, "Apalagi yang kau lihat?"
"O, tidak apa-apa," jawab orang itu.
Namun kawannya yang lain berdesis, "Kenapa tidak kau sapa saja perempuan itu dan kau ajak makan dan minum di kedai itu?"
"Aku tidak melihatnya," jawab kawannya yang bersiul kecil itu.
Yang lain tertawa. Kiai Windupun tertawa. Sementara perempuan yang lewat itu sama sekali tidak berpaling.
Dalam pada itu, maka orang yang telah memberikan isyarat dengan gonggong anjing sehingga Kiai Windu telah berada di kandang kuda itupun telah meninggalkan semak-semak tempat ia bersembunyi. Beberapa puluh langkah, ia telah bergabung dengan tiga orang kawannya yang lain. Dengan sangat berhati-hati merekapun telah bergerak menjauhi dinding dari Song Lawa yang merupakan lingkungan yang gawat itu.
Semakin jauh mereka dari Song Lawa, mereka merasa bahwa mereka menjadi semakin aman. Mereka agaknya memang sudah terlepas dari kemungkinan diketahui oleh para petugas di tempat perjudian itu, meskipun merekapun tetap menyadari, bahwa petugas dari Song Lawa itu tentu ada juga yang berkeliaran sampai jarak yang agak jauh dari tempat perjudian itu sendiri. Bahkan mungkin di padukuhan-padukuhan di kaki gunung itu.
*** Namun sebenarnyalah bahwa keempat orang itu tidak mengetahui, bahwa semua tingkah lakunya telah diikuti oleh dua orang tua yang pernah berkelahi melawan mereka. Dua orang tua yang luput dari tangan mereka. Bahkan ternyata bahwa kedua orang tua itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sementara itu, ketika keempat orang itu telah menjadi semakin jauh, kedua orang tua itu justru telah berhenti. Mereka duduk di atas batu-batu padas di lereng gunung itu dalam kegelapan malam.
"Bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya seorang di antara mereka.
"Yang lain," Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak mengerti. Untuk siapakah mereka bekerja. Jika mereka bekerja untuk sekelompok penjahat yang berkeberatan besar, atau gabungan dari beberapa kelompok penjahat, maka keadaan akan menjadi gawat. Penjahat-penjahat itu tentu mengetahui bahwa disini terdapat banyak sekali uang dan tentu juga perhiasan. Banyak barang-barang berharga yang kadang-kadang menjadi taruhan."
Tetapi Kiai Badrapun berkata, "Jika sekelompok penjahat akan memasuki lingkungan itu, tentu diperlukan kekuatan yang sangat banyak. Di Song Lawa itu kecuali para pengawalnya yang tentu sudah terlatih, juga terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan bertempur. Jika para penjahat itu menyerang Song Lawa, maka mereka akan menghadapi para petugas dan orang-orang yang ada di Song Lawa itu. Para penjudi itu tentu tidak akan merelakan uang dan barang-barangnya yang berharga diambil oleh para penjahat."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Apakah ada kemungkinan lain?"
"Tentu ada. Tetapi aku tidak dapat menebak," berkata Kiai Soka.
Keduanya mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Kiai Sokapun berdesis, "Ada landasan pertama bagi tugas mereka itu."
Kiai Badra memandang ke kejauhan, seakan-akan ingin menembus ke kegelapan. Dengan nada rendah iapun berkata, "Bagaimana caranya agar kita dapat memberitahukan kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung."
"Memang satu masalah," sahut Kiai Soka, "jika mereka tidak mengetahuinya, ada kemungkinan keduanya terjebak dalam persoalan yang dapat menyulitkan kedudukan mereka."
Kiai Badra akan menjawab. Namun tiba-tiba saja ia menggamit Kiai Soka.
Ternyata Kiai Sokapun tanggap. Karena itu, maka keduanya tidak lagi berbicara. Keduanya duduk saja sambil memandang ke depan. Namun telinga mereka telah mereka buka lebar-lebar. Ternyata mereka mendengar desir lembut mendekat.
Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka keduanyapun mengetahui bahwa yang datang mendekati mereka bukannya hanya seorang.
Kiai Badra dan Kiai Soka sama sekali tidak beranjak dari tempat duduk mereka. Tetapi mereka bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian beberapa orang telah muncul dari balik gerumbul. Mereka langsung mengepung mereka berdua. Seorang yang berdiri di depan mereka, memberi isyarat kepada seorang yang lain untuk mendekat.
"Apakah benar mereka berdua?" bertanya orang itu, yang agaknya pemimpin dari kelompok orang yang mengepungnya.
Orang yang datang mendekat itupun mengamati Kiai Badra dan Kiai Soka sejenak. Kemudian iapun mengangguk. Katanya, "Ya. Dua orang inilah yang telah lepas dari tangan kami."
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata, "Nah, jika demikian kita akan menangkapnya dan membawa keduanya."
Kiai Badra dan Kiai Soka masih berdiam diri. Mereka dengan demikian mengetahui bahwa di antara orang-orang yang mengepungnya itu adalah orang-orang yang pernah berusaha menangkapnya.
"Ki Sanak," berkata pemimpin kelompok itu, "sekarang kalian tidak perlu melarikan diri. Tidak ada gunanya. Menyerah sajalah. Kau akan kami bawa ke tempat kami."
Kiai Badralah yang kemudian bertanya, "Tetapi apakah salah kami terhadap kalian. Kita baru saja bertemu. Dan tiba-tiba kalian ingin menangkap kami."
"Jika kalian memang tidak bersalah, kami tentu akan segera melepaskan kalian," berkata pemimpin kelompok itu.
"Tetapi apakah kalian berhak menangkap seseorang" Siapakah kalian?" bertanya Kiai Soka.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Siapapun kami, itu tidak penting bagi kalian. Kamilah yang ingin tahu, siapakah kalian berdua."
Tetapi jawab Kiai Badra, "Siapapun kami, juga tidak penting bagi kalian. Tetapi jika kalian merasa berhak menangkap kami tanpa landasan kekuasaan apapun, maka kamipun berhak menangkap kalian."
"Persetan," geram pemimpin kelompok itu, "kalian jangan membuat persoalan menjadi semakin rumit. Ikut kami. Kami hanya ingin tahu serba sedikit tentang kalian berdua. Kenapa kalian mengawasi tempat perjudian itu."
"Kami tidak mengawasi tempat perjudian itu," jawab Kiai Soka, "kami tidak peduli sama sekali."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti hal itu kita bicarakan. Marilah, ikutlah kami," berkata pemimpin kelompok yang telah mengepung dua orang tua itu.
Kiai Soka dan Kiai Badra sempat memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun sebelum mereka mengatakan sesuatu, pemimpin kelompok itu telah mendahuluinya, "Kami semua berjumlah tujuh orang. Dua orang lebih banyak dari saat kau sempat melarikan diri. Tetapi selain jumlah kami yang lebih banyak, di antara kami terdapat orang-orang yang berilmu, sehingga kalian tidak akan lagi dengan mudah dapat menghindari kami."
"Ki Sanak," berkata Kiai Badra, "sebenarnya tidak ada persoalan bagi kita. Seandainya kalian sedang mengamati Song Lawa untuk kepentingan kalian, dan kami juga melakukan untuk kepentingan kami, apakah salahnya" Kita tidak usah bertengkar. Kita dapat berbuat sesuai dengan kepentingan kita masing-masing tanpa saling mengganggu."
"Sayang," berkata pemimpin kelompok itu, "kami tidak dapat berbuat demikian. Kami ingin menangkap kalian berdua."
"Baiklah jika demikian," berkata Kiai Badra, "kami juga ingin menangkap kalian bertujuh."
Pemimpin kelompok itu menjadi tegang. Namun iapun kemudian berkata kepada kawan-kawannya, "Agaknya kita berhadapan dengan orang-orang tua yang kurang waras. Berhati-hatilah. Meskipun mereka agak kurang waras, tetapi mereka berilmu tinggi."
Ketujuh orang itupun segera mempersiapkan pula. Sambil tertawa Kiai Badra berkata, "jadi kau menganggap bahwa kami kurang waras karena sikap kami" Jika demikian, maka kalianpun tidak waras pula karena kalian juga akan menangkap kami."
Pemimpin kelompok itu tidak menyahut. Tetapi iapun segera memberikan perintah, "Tangkap mereka. Jika mereka melawan, kalian mendapat wewenang untuk melakukan kekerasan. Tetapi usahakan agar kita dapat menangkap mereka hidup-hidup."
Namun ketika orang-orang itu mulai bergerak, Kiai Badrapun berkata, "Kita akan menangkap mereka sebanyak-banyaknya. Terutama pemimpinnya. Jangan biarkan ia melarikan diri."
"Persetan," geram pemimpin dari kelompok itu.
Kiai Badra dan Kiai Soka tidak sempat menjawab lagi. Orang-orang itupun segera mulai bergerak. Nampaknya mereka lebih berhati-hati daripada yang pernah mereka lakukan. Sementara itu menilik sikapnya, maka memang ada di antara mereka orang-orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dari yang lain.
Kiai Badra dan Kiai Soka tidak segera dapat mengetahui tingkat ilmu orang-orang itu. Karena itu, maka mereka merasa wajib untuk tetap berhati-hati.
Ketika orang-orang itu mulai menyerang, maka Kiai Badra dan Kiai Soka justru telah berpencar.
Ternyata orang-orang yang mengepung kedua orang tua itu sulit untuk tetap mengurung keduanya dalam kepungan. Ketika mereka sudah mulai bertempur, maka kedua orang itu benar-benar tidak dapat dibatasi geraknya. Keduanya berloncatan di atas batu-batu padas dalam gelapnya malam.
Tetapi orang-orang yang berusaha menangkap kedua orang tua itu memang menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Dua orang di antara mereka adalah orang yang mempunyai ilmu melampaui kawan-kawan mereka yang lain. Semakin seru pertempuran itu, maka Kiai Badra dan Kiai Soka semakin dapat menilai kemampuan lawan-lawan mereka sehingga keduanyapun dapat mengetahui, siapakah di antara mereka yang memiliki ilmu tertinggi.
Dengan demikian maka perhatian Kiai Badra dan Kiai Soka adalah tertuju kepada kedua orang itu. Dua orang yang memiliki kelebihan.
Ketika pertempuran itu meningkat semakin cepat, maka Kiai Badra dan Kiai Sokapun telah mengambil jarak semakin jauh. Dua lingkaran pertempuran terjadi di lereng gunung yang kadang-kadang miring berbatu-batu.
Kiai Soka ternyata telah berhadapan dengan tiga orang di antara lawan-lawannya, sedangkan Kiai Badra harus berhadapan dengan empat orang lawan.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang ingin menangkap kedua orang tua itu telah mengalami kesulitan. Di atas tanah yang sulit, yang kadang-kadang terdapat bagian-bagian yang licin, namun kadang-kadang juga bagaikan bergerigi tajam, mereka tidak dapat bergerak sebagaimana mereka bertempur di tempat yang datar.
Sementara itu, Kiai Badra dan Kiai Soka memang memiliki kemampuan yang sulit untuk diimbangi oleh lawan-lawannya. Kedua orang tua itu bukan saja berilmu tinggi, tetapi mereka seakan-akan telah begitu akrab dengan medan.
Karena itu, semakin lama mereka bertempur, maka ketujuh orang yang ingin menangkapnya itu justru semakin mengalami kesulitan. Kedua orang tua itu bergerak semakin cepat, justru di atas tanah yang semakin sulit diinjak.
Bahkan kemudian ternyata bahwa justru serangan-serangan orang tua itulah yang mulai mengenai lawan-lawannya. Semakin lama bahkan menjadi semakin sering.
Orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang lain itupun berusaha untuk memancing perhatian orang tua itu. Mereka berusaha mempercepat tata gerak mereka. Serangan-serangan merekapun datang membadai. Namun kedua orang tua itu seakan-akan tidak terpengaruh karenanya. Mereka masih saja mampu bergerak melampaui kecepatan semua lawan-lawannya.
Bahkan seorang di antara kedua orang tua itu berkata, "Kami memang ingin menangkap kalian. Jangan menyesal, jika kami membawa kalian ke tempat yang tidak kalian mengerti sama sekali."
"Persetan," geram pemimpin kelompok itu, "aku tidak akan dapat kau takut-takuti."
Belum lagi mulutnya terkatup rapat, maka ujung tiga buah jari lawannya yang merapat telah mengenai dadanya.
Orang itu telah terdorong surut. Keluhan yang pendek terdengar. Pemimpin kelompok itu hampir saja jatuh terjerembab. Apa lagi tidak jauh dari arena perkelahian itu terdapat lereng yang agak terjal. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi seseorang yang terjatuh ke dalamnya, akan sulit untuk dapat segera bangkit. Tubuhnya tentu akan dikoyak oleh batu-batu padas yang runcing tajam.
Demikianlah, semakin lama maka keseimbangan dari pertempuran itupun menjadi semakin berat sebelah. Justru kedua orang tua itulah yang telah berhasil menguasai medan. Keduanya mampu bergerak kemana mereka kehendaki, meskipun lawan mereka berlipat banyaknya.
Namun akhirnya, Kiai Badra dan Kiai Soka memandang bahwa perkelahian itu sama sekali tidak ada gunanya. Keduanya juga tidak ingin benar-benar menangkap ketujuh orang itu, karena mereka tidak mempunyai kelengkapan untuk menahan mereka. Sedangkan untuk membunuh mereka, keduanya sama sekali tidak berniat. Keduanya belum tahu pasti siapakah mereka, sehingga kematian harus dinilai dengan cermat.
Karena itu, maka akhirnya Kiai Badra telah memberi isyarat kepada Kiai Soka untuk meninggalkan arena saja. Seperti yang telah terjadi, maka dengan diam-diam mereka telah hilang dari arena pertempuran.
Demikianlah pula saat itu. Kedua orang itu telah mempercepat gerak mereka. Namun tiba-tiba saja keduanya dengan loncatan-loncatan panjang telah mengambil jarak.
Pemimpin kelompok yang ingin menangkap kedua orang itu memang sudah dapat memperhitungkan bahwa kedua orang itu akan meninggalkan arena. Namun pemimpin kelompok itu sama sekali tidak berusaha mencegahnya, atau memberikan aba-aba untuk menahan agar keduanya tidak sempat menghindar. Pemimpin kelompok itu justru memberikan kesempatan kepada keduanya untuk menghindar bukan karena keduanya merasa kalah. Tetapi keduanya merasa tidak perlu lagi melanjutkan perkelahian itu.
Menurut perhitungan pemimpin kelompok itu, kepergian kedua orang itu memberikan arti yang baik baginya. Ia tidak akan kehilangan kewibawaan di mata anak buahnya, karena lawan-lawanlah yang telah meninggalkan gelanggang. Bahkan seandainya kepergian lawannya itu sempat ditahan, maka pertempuran berikutnyapun akan mempunyai akibat yang pahit. Kekalahan.
Ternyata kepergian kedua orang itu, membuat pemimpin kelompok itu sedikit menengadahkan wajahnya. Dengan geram ia berkata, "Mereka melarikan diri."
"Apakah kita tidak mencarinya?" bertanya salah seorang kepercayaannya yang kurang puas menghadapi cara berkelahi kedua orang tua yang dianggapnya telah menghina mereka bertujuh.
Pemimpin kelompok itu menggeleng. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita tidak akan dapat mencarinya. Tidak ada gunanya, selain sekedar membuang waktu dan tenaga, juga kemungkinan yang lain akan dapat terjadi."
Orang-orangnya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah mereka juga mengalami kelelahan yang sangat.
"Marilah. Kita kembali ke landasan gerak kita," berkata pemimpin kelompok itu.
Ternyata merekapun telah bergerak. Ketujuh orang itu telah menuju kembali ke landasan gerak mereka.
Dalam pada itu, Kiai Badra dan Kiai Soka, demikian melepaskan lawan-lawan mereka, telah bergeser ke tempat yang lebih tinggi. Mereka telah duduk pula dibatu-batu padas membicarakan ketujuh orang yang ingin menangkap mereka.
"Kenapa mereka menganggap mempunyai wewenang untuk menangkap seseorang?" bertanya Kiai Soka.
Kiai Badra menggeleng sambil berkata, "Entahlah. Mungkin mereka memang merasa mempunyai kewenangan itu. Mungkin mereka merasa terlalu kuat untuk dapat melakukannya atas orang lain yang dianggapnya lemah. Atau katakanlah, mereka terbiasa berbuat apa saja tanpa ada yang sempat menghalangi."
"Bagaimana kalau kita mencari keterangan lebih jauh tentang mereka?" bertanya Kiai Soka.
"Apa yang akan Kiai lakukan?" bertanya Kiai Badra.
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam, sementara Kiai Soka berkata, "Untuk sementara, biarlah kita tidak terlalu banyak memperhatikan mereka, selama kita masih dapat berlari-lari menghindar jika kita bertemu seperti yang terjadi saat ini. Namun bahwa mereka tentu merupakan satu gerakan yang besar, yang berhubungan dengan Song Lawa itu agaknya hampir dapat dipastikan. Tetapi siapakah mereka, dan apa kepentingan mereka itulah yang tidak kita ketahui."
"Tetapi menilik sikap dan cara mereka bertempur, agaknya mereka bukan para penjahat yang keras dan kasar. Namun kemampuan mereka tidak berada di bawah kemampuan orang-orang kasar dan bahkan liar sekalipun," desis Kiai Badra.
Kedua orang tua itupun mengangguk-angguk. Namun untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri merenungi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan yang mereka alami.
*** Dalam pada itu. di Song Lawa Kiai Windu dan kawan-kawannya telah berada di dalam bilik mereka pula. Beberapa orang di antaranya mereka telah terbaring di pembaringan. Yang kemudian duduk di sudut adalah Jati Wulung dan seorang kawan Kiai Windu. Untuk beberapa saat merekapun saling berdiam diri. Namun tiba-tiba kawan Kiai Windu itu bertanya, "He, kau lihat seorang perempuan dengan pedang di lambung?"
Jati Wulung berpaling. Namun sambil mengerutkan keningnya ia menyahut, "Tidak. Aku tidak melihatnya."
"Bohong. Kau tentu melihatnya. Atau seorang perempuan yang berpakaian seperti laki-laki. Nampaknya ia tidak membawa senjata. Tetapi ia tentu mempunyai senjata rahasia, atau pengawalnya yang selalu mengamatinya dari kejauhan sehingga seolah-olah perempuan itu hanya seorang diri," desis orang itu.
Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun menjawab, "Aku tidak banyak memperhatikan perempuan."
"Ah, jangan begitu," sahut kawan Kiai Windu, "kau juga selalu memperhatikan perempuan-perempuan di tempat ini."
Jati Wulung justru tertawa. Katanya, "Aku lebih senang memperhatikan ayam aduan daripada perempuan."
"He, siang tadi aku melihat seorang perempuan berbaju kuning seperti kulitnya di tempat sabung ayam," berkata kawan Kiai Windu.
"Sudahlah," desis Jati Wulung, "kita berbicara yang lain. Mungkin tentang permainan dadu, adu ayam atau panahan?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Disandarkannya kepalanya pada dinding ruangan. Namun ia berdesah, "Paling menyenangkan adalah berbicara tentang diri sendiri. He, bagaimana mungkin kau dapat menang melawan orang yang ditakuti di pesisir Utara itu" Dengan demikian, jika kau mau pergi ke pesisir Utara, maka kau akan menjadi hantu disana."
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7 Pendekar Mata Keranjang 10 Titisan Darah Terkutuk Si Kumbang Merah 17