Sayap Sayap Terkembang 14
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 14
"Jadi kau sudah akan diwisuda?" bertanya Jangkung.
"Ya," jawab Bharata agak ragu.
"Kakang akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan?" bertanya Riris pula.
"Ya," jawab Bharata yang masih ragu.
"Bukan main. Kau akan menjadi Kepala Tanah Perdikan termuda di Pajang. He, bagaimana memanggil Kakang Bharata kemudian" Ki Gede Bharata atau siapa" Mungkin kau akan berganti nama," berkata Riris seperti pacar wutah.
"Ah," Bharata justru menjadi agak segan. Namun katanya kemudian, "Semua itu belum terpikirkan sekarang."
"Bharata," berkata Jangkung kemudian, "aku berterima kasih bahwa kau telah membawa pesan ayah kepadaku. Sudah tentu aku akan menjalankan sesuai dengan kehendak ayah. Tetapi seandainya ayah tidak berpesan kepadamu, apakah kau tidak akan singgah dan memberitahukan hal itu kepadaku, sehingga jika aku pergi ke Tanah Perdikan Sembojan itu bukan sekedar ikut bersama ayah karena ayah menghendakinya. Tetapi aku pergi ke Tanah Perdikan karena kau memang mengundangku. Sehingga kehadiranku di Tanah Perdikan itu sepenuhnya karena aku memang diundang untuk hadir. Dengan demikian maka aku adalah tamumu. Bukan sekedar mengantarkan seorang tamu. Meskipun tamu itu ayahku."
Wajah Bharata menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia menjawab, "Tentu Jangkung. Seandainya Ki Rangga tidak berpesan kepadaku, maka aku tentu singgah di rumah ini dan mengundangmu. Tetapi justru karena Ki Rangga Dipayuda sudah terlanjur memberikan pesan itu, maka agaknya kurang enak bagiku untuk tidak menyampaikannya."
"Ah, kau jangan mengada-ada Jangkung," desis ibunya. Lalu katanya, "Kami mengucapkan terima kasih Ngger, kau sudah menyampaikan pesan Ki Rangga kepada Jangkung. Aku sekeluarga mendahului mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan kau dapat menjalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Meskipun sejak sebelum kau menjabat, kau sudah banyak terlibat dalam pemerintahan di Tanah Perdikan itu. Namun tanggung jawab sepenuhnya selanjutnya ada di pundakmu."
"Terima kasih Nyi Rangga," jawab Bharata. Namun Bharata masih digelisahkan oleh sikap Jangkung.
Tetapi Jangkungpun kemudian tertawa. Katanya, "Aku memang tidak merasa apa-apa. Justru karena aku yakin, bahwa Bharata dipesan atau tidak dipesan oleh ayah, tentu akan singgah di rumah ini."
"Kenapa kau yakin?" bertanya Bharata yang menjadi kebingungan karena ia tidak tahu arah pembicaraan Jangkung.
Namun Jangkung itu tertawa semakin keras. Katanya, "Alasan bahwa ia membawa pesan ayah justru untuk sekedar menyelubungi rencananya yang sebenarnya."
"Ah," Bharata berdesah. Ia mulai mengerti maksud Jangkung yang mulai menggodanya. Tetapi Bharata justru merasa berbesar hati mendengarnya.
Tetapi Jangkung tidak meneruskannya. Sementara itu, Ririslah yang bertanya kepadanya ibunya tanpa menghiraukan kelakar kakaknya yang tidak diketahui artinya itu, "Apakah ibu juga akan pergi bersama ayah?"
"Ayahmu tidak mengajak aku pergi ke Tanah Perdikan. Kau dengar bahwa pesannya hanya ditujukan kepada Jangkung," jawab ibunya.
"Tetapi sebaiknya ibu pergi. Ibu berhak minta kepada ayah agar ayah mengajak ibu untuk pergi," minta Riris.
"Untuk apa?" bertanya ibunya, "di Tanah Perdikan akan ada sebuah wisuda. Bukan sebuah peralatan pernikahan atau peralatan yang lain. Karena itu, maka yang diundang tentu hanyalah mereka yang pantas untuk menghadiri wisuda itu. Seperti ayahmu dan Ki Lurah Kasadha misalnya. Dalam upacara itu tentu tidak akan diundang perempuan-perempuan yang tidak ada hubungannya dengan wisuda itu. Aku kira satu-satunya perempuan yang hadir adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang sekarang. Ibu Angger Bharata. Tidak ada perempuan yang lain."
Tetapi Riris mendesak, "Ibu tidak akan menghadiri upacara wisuda. Ibu akan menjadi tamu ibu Kakang Bharata. Bukankah tidak ada salahnya seseorang datang bertamu kepada orang lain yang sedang mendapatkan anugerah apapun ujudnya."
Ibu Riris tersenyum. Ia tahu maksud anak gadisnya. Jika ia pergi maka ada kesempatan baginya untuk ikut pula. Namun dalam pada itu Jangkung yang mengerti juga keinginan adiknya, mulai mengganggunya. Katanya, "Sebaiknya ibu tidak pergi."
"Kenapa?" bertanya Riris.
"Jika aku pergi dan ibu pergi, maka kau tidak mempunyai kawan di rumah. Memang di rumah ini masih ada beberapa orang pembantu dan bahkan Sumbaga. Namun apakah ayah, ibu dan aku sampai hati meninggalkan kau sendiri" Seandainya ibu memaksa untuk berangkat, maka sudah tentu bahwa aku akan tetap tinggal di rumah menemanimu."
"Kenapa kau harus tinggal. Kau boleh pergi sesukamu. Ikut ayah atau tidak. Kau tidak usah memikirkan aku. Aku sudah cukup dewasa dan sudah mampu menentukan sikap sendiri," sahut Riris.
"Ah, bagaimanapun juga aku tidak akan sampai hati, Riris. Kau adalah satu-satunya adikku. Karena itu, aku atau ibu akan tinggal di rumah menemanimu," gumam Jangkung.
"Cukup. Cukup," Riris hampir berteriak.
"Aku kasihan kepadamu jika kau harus tinggal di rumah sendiri," berkata Jangkung pula.
"Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu," Riris mulai menjerit seperti biasanya jika ia mulai jengkel kepada kakaknya.
"Sudahlah," potong ibunya, "kau masih saja selalu mengganggu adikmu. Kau tentu sudah tahu maksudnya. Dan Riris masih saja membiarkan dirinya diganggu. Jika kau biarkan saja, maka kakakmu akan jengkel sendiri."
Jangkung justru tertawa semakin keras, sementara Riris beringsut mendekatinya.
"Jangan. Jangan," Jangkung menjauhinya sambil menyeringai, "aku sudah tidak akan mengganggumu lagi. Apalagi disini ada Bharata. Sebaiknya kau jangan terlalu garang."
"Awas kau," geram Riris.
"Jangan sakiti aku. Biarlah aku yang menanyakan kepada Bharata apakah Tanah Perdikan Sembojan dapat menerima jika kami datang sekeluarga," berkata Jangkung kemudian.
Bharata yang hanya menunduk saja sementara Jangkung mengganggu adiknya, tiba-tiba telah mengangkat kepalanya. Pertanyaan itu memang ditunggunya. Karena itu, maka dengan serta-merta ia menjawab, "Tentu, kami akan menerima dengan senang hati. Apalagi jika ibu mengetahui bahwa Ki Rangga Dipayuda adalah pimpinanku langsung saat aku menjadi prajurit."
Jangkunglah yang kemudian menyahut, "Nah, kau dengar. Ia sudah menjawab sebelum aku bertanya."
"Ah, kau," potong ibunya yang kemudian berkata kepada Bharata, "kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu. Tetapi sebaiknya Angger Bharata berhubungan lebih dahulu dengan keluarganya di Tanah Perdikan agar semuanya menjadi jelas dan pasti. Aku juga minta agar jika kelak keluarga Angger di Tanah Perdikan setuju bukan hanya sekedar karena perasaan segan. Tetapi kehadiran kami benar-benar tidak mengganggu. Karena kami tidak ingin membuat orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi semakin sibuk pula."
"Tentu tidak Nyi Rangga," sahut Bharata, "kami akan membagi tugas. Mereka yang memimpin persiapan wisuda adalah justru datang dari Pajang. Sedangkan kami dari Tanah Perdikan hanya menyiapkan kelengkapannya saja, termasuk kepentingan kami sendiri. Tamu-tamu kami dan sanak-kadang yang mungkin akan datang berkunjung."
"Tetapi bukankah Tanah Perdikan harus menyiapkan tempat-tempat penginapan bagi para pejabat dari Pajang" Bukankah itu sudah merupakan tugas yang sangat menyibukkan" Berapa buah rumah harus dipersiapkan. Sementara harus menyiapkan penginapan bagi kami pula," berkata Nyi Rangga Dipayuda.
Namun yang menyahut adalah Riris, "Tetapi bukankah Tanah Perdikan Sembojan cukup luas, sehingga tidak akan. penuh dengan para tamu dari Pajang?"
"Kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri Riris," sahut ibunya, "tetapi kita harus memikirkan kesulitan dan kesibukan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan."
Riris tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi gelap. Sementara Bharata berkata, "Nyi Rangga. Aku akan bertanggung jawab bahwa kehadiran Ki Rangga Dipayuda sekeluarga tidak akan menyulitkan kami. Sebelum aku berangkat ke Pajang kemarin, kami sudah mencoba menghitung-hitung, ada berapa buah rumah yang dapat kami pinjam dan kami siapkan untuk penginapan. Menurut perhitungan kami, maka rumah yang dapat disiapkan itu lebih banyak dari kebutuhan. Karena itu, maka aku memperhitungkan bahwa kehadiran Ki Rangga Dipayuda tidak akan menambah beban kami."
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Riris tentu akan sangat kecewa jika mereka tidak pergi ke Tanah Perdikan. Namun Nyi Rangga itupun kemudian berkata, "Baiklah. Segala sesuatunya akan aku bicarakan dengan Ki Rangga. Mudah-mudahan Ki Rangga tidak berkeberatan jika kami sekeluarga pergi ke Tanah Perdikan Sembojan."
Namun yang menjawab adalah Jangkung, "Tentu tidak. Ayah tentu tidak akan berkeberatan. Peristiwa wisuda seorang Kepala Tanah Perdikan adalah peristiwa yang jarang terjadi. Apalagi yang diwisuda adalah orang yang kita kenal dengan baik. Sedangkan yang mengundang kita sekeluarga adalah justru orang yang diwisuda itu sendiri."
Nyi Rangga mengangguk. Namun ia masih juga berkata, "Tetapi bagaimanapun juga, biarlah ayahmu yang memutuskan."
"Ya. Sudah barang tentu ayah yang akan memutuskan," jawab Jangkung.
Demikianlah, maka keluarga Ki Rangga Dipayuda itu ternyata memang berkeinginan untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Mereka memang ingin melihat peristiwa yang jarang sekali terjadi itu. Sementara itu Riris memang serasa mendapat dorongan lain untuk pergi ke Tanah Perdikan. Kecuali untuk menyaksikan satu peristiwa yang langka, juga ia ingin melihat Bharata itu diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan. Riris sendiri tidak mengetahuinya kenapa ia merasa bangga bahwa Bharata yang muda itu telah menerima jabatan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana setiap kali ia mendengar orang memuji kemampuan Kasadha serta kedudukannya sebagai seorang Lurah Prajurit dalam umurnya yang masih muda itu.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Nyi Ranggapun telah mempersilahkan Jangkung menemani Bharata karena Nyi Rangga akan pergi ke dapur.
"Aku juga," berkata Riris kemudian, "bukankah Kakang tidak jadi pergi ke padukuhan sebelah?"
"Tidak," jawab Jangkung, "aku memang tidak berniat untuk pergi sekarang."
Sepeninggal Nyi Rangga dan Riris, maka Jangkung dan Bharata telah berbicara tentang peristiwa yang menarik yang akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan itu. Peristiwa yang belum pernah dilihatnya. Bahkan Bharatapun berkata, "Aku juga belum pernah melihat upacara semacam itu dimanapun. Tetapi sehari sebelumnya Ki Rangga Kalokapraja akan datang dan mempersiapkan wisuda yang akan diselenggarakan itu. Sudah tentu dengan memberikan petunjuk-petunjuk apa yang harus aku lakukan."
Kasadha mengangguk-angguk, sementara Bharata bertanya, "Tetapi bukankah kau akan pergi?"
"Tidak. Aku sudah membatalkan rencana itu, di rumahku sedang ada tamu penting. Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Ah, kau," desis Bharata. Lalu katanya, "Jika kau akan pergi, pergilah. Aku akan menunggumu. Tetapi aku tidak dapat terlalu lama disini, karena aku akan melanjutkan perjalanan."
"Tidak. Kau tidak akan melanjutkan perjalanan hari ini. Kau akan bermalam disini. Besok pagi kau baru akan meninggalkan rumah ini," berkata Jangkung.
"Aku sudah bermalam di Pajang semalam. Jika aku bermalam lagi disini, maka ibu tentu akan menunggu-nunggu kedatanganku," sahut Bharata.
"Bukankah kau bukan kanak-kanak lagi" Kau sudah akan diwisuda menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan," berkata Jangkung sambil tersenyum.
"Tetapi justru karena aku akan diwisuda, ibu menjadi khawatir. Seperti seseorang yang akan memasuki upacara pengantin, maka selama sepekan ia tidak boleh keluar dari rumah."
"Tetapi bukankah kau tidak akan menjadi pengantin" Bukankah sebulan lagi kau akan diwisuda menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan?" bertanya Jangkung.
Bharatapun hanya dapat tersenyum saja. Sebenarnyalah ia tidak ingin memaksa diri untuk meninggalkan rumah itu hari itu juga. Bahkan ia memang berniat untuk bermalam di rumah Jangkung itu meskipun sebenarnya keperluannya sudah selesai.
Karena itu, maka Jangkungpun berkata, "Jika kau tidak berkeberatan untuk bermalam, marilah, kita pergi bersama-sama."
"Apakah aku tidak mengganggu kepentinganmu?" bertanya Bharata.
"Tidak. Aku hanya akan menunjukkan kuda itu, karena seorang kawanku memerlukannya. Sebenarnya bukan kawanku itu sendiri yang akan memakainya. Tetapi pamannya. Namun agaknya pamannya itu telah mempercayakannya kepada kawanku itu," berkata Jangkung. Lalu katanya pula, "Kuda itu pulalah yang akan aku bawa kepadanya karena nampaknya sesuai dengan keinginannya."
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah jika aku tidak mengganggu."
Demikianlah keduanyapun kemudian minta diri kepada Nyi Rangga dan kepada Riris untuk pergi sebentar.
Malam itu, Bharata bermalam di rumah Jangkung, ia sempat berbicara dengan Sumbaga yang dinilainya sudah berubah. Bahkan anak muda itu seakan-akan tidak lagi berminat untuk berbicara apapun juga. Bahkan selalu menghindarkan dirinya.
Berbeda dengan Sumbaga, maka Riris justru menjadi semakin akrab dengan tamunya. Jarak di antara mereka seakan-akan menjadi semakin sempit. Riris tidak lagi segan untuk berbicara apa saja bahkan bergurau sebagaimana ia bergurau dengan Jangkung dan dengan ibunya.
Sikap Riris membuat hati Bharata menjadi semakin berharap. Meskipun anak muda itu tidak pasti, namun ada semacam harapan yang terbersit pada sikap Riris.
Tetapi Bharata tetap berhati-hati. Ia tidak ingin menangkap bayangan yang setiap saat dapat lenyap tanpa bekas.
Malam itu, Bharata berbaring di pembaringannya sambil tersenyum. Udara di dalam bilik gandok rumah Jangkung itu terasa sejuk sekali, sehingga beberapa saat kemudian, setelah ia berbaring, maka iapun segera tertidur. Mimpi yang manis telah menyambutnya di dalam tidurnya yang nyenyak.
Namun dalam pada itu, di Pajang, di barak prajurit, Kasadha berbaring dengan gelisah. Ia sudah menduga bahwa Bharata tentu akan bermalam di rumah Ki Rangga Dipayuda. Apalagi ia membawa pesan dari Ki Rangga untuk Jangkung. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk berlama-lama tinggal di rumah itu.
"Kenapa Ki Rangga tidak memerintahkan aku saja pergi menemui Jangkung dengan membawa pesannya?" Kasadha itu mengeluh di dalam hatinya.
Namun Kasadha masih selalu berusaha untuk mencari keseimbangan antara perasaannya dan penalarannya. Meskipun sampai lewat tengah malam Kasadha belum dapat memejamkan matanya, namun ia akan berusaha untuk tetap menjaga hubungannya dengan Bharata.
"Ia tidak bersalah," berkata Kasadha kepada dirinya sendiri meskipun tanpa keyakinan. Namun katanya kemudian, "Ia dapat berbuat apa saja untuk menangkap burung dara itu. Tetapi sudah tentu aku juga mendapat kesempatan yang sama. Jika ia akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan, maka aku sudah menjadi Lurah prajurit. Sementara aku masih berpengharapan untuk mendapat kenaikan pangkat yang lebih tinggi."
Tetapi angan-angannya itu tidak dapat menenangkan gejolak perasaannya.
Namun ketika dini hari menjadi semakin dingin, Kasadhapun akhirnya terlena pula. Dengan wajah yang buram ia tertidur beberapa lama. Namun ketika fajar menyingsing, maka iapun telah terbangun sebagaimana kebiasaannya.
Ketika Kasadha membawa sebagian dari prajurit-prajuritnya yang tidak bertugas untuk melakukan pemanasan sebelum memasuki sanggar terbuka karena hari itu pasukannya mendapat giliran untuk mempergunakan sanggar itu, Bharata yang berada di rumah Jangkung telah mandi dan berbenah diri. Ia ingin meninggalkan rumah itu sebelum matahari naik, agar sinarnya belum menggatalkan kulitnya.
Tetapi Bharata masih harus menunggu makan pagi baginya yang disiapkan oleh Riris. Namun demikian, dengan sabar Bharata menunggu. Bahkan ia sama sekali tidak merasa gelisah bahwa matahari ternyata sudah naik.
Bersama Jangkung, Bharata duduk di ruang dalam untuk makan pagi. Ririslah yang melayaninya karena Nyi Rangga Dipayuda sedang sibuk di dapur.
Baru setelah matahari sepenggalah Bharata turun dari tangga pendapa rumah Ki Rangga Dipayuda diiringi oleh Jangkung, Nyi Rangga dan Riris.
"Menjelang hari wisuda aku akan singgah lagi kemari, karena aku harus menghadap Ki Rangga Kalokapraja. Aku juga akan singgah di barak Kasadha dan sudah tentu bertemu pula dengan Ki Rangga Dipayuda," berkata Bharata sambil melangkah turun ke halaman.
"Kami menunggu," sahut Jangkung. Lalu katanya pula, "Namun sebelumnya aku akan bertemu dengan ayah. Bagaimanapun juga aku harus minta pendapatnya."
Demikianlah, sejenak kemudian maka Bharatapun telah menuntun kudanya ke regol halaman rumah Ki Dipayuda. Jangkung, Nyi Rangga dan Riris masih mengiringinya. Baru kemudian mereka berhenti setelah mereka berdiri di regol, sementara Bharata telah siap untuk meloncat naik.
Sekali lagi Bharata minta diri dan sejenak kemudian maka iapun telah melarikan kudanya meninggalkan regol halaman rumah Ki Rangga Dipayuda itu.
Kunjungannya ke rumah Ki Rangga ternyata cukup berkesan bagi Bharata. Di sepanjang perjalanannya ia mengancam angan-angan apa yang sebaiknya dilakukan setelah ia benar-benar diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Sebuah Tanah Perdikan yang cukup besar dan berarti dibandingkan dengan beberapa Tanah Perdikan yang lain.
Panas matahari yang berayun semakin tinggi di langit tidak dihiraukannya. Kudanya berlari menyusuri jalan-jalan bulak, di antara batang-batang padi yang hijau.
Sementara itu di rumahnya, Riris telah minta kepada ibunya, agar ibunya mendesak kepada ayahnya agar mereka benar-benar dapat ikut ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Bukankah kakakmu Jangkung sudah berniat untuk menemui ayahmu untuk menyampaikan keinginanmu?"
"Bukan aku," sahut Riris, "tetapi ibu. Ibu yang minta kepada ayah agar ayah membawa ibu ke Tanah Perdikan Sembojan. Tentu saja ibu akan membawa aku. Aku ingin sekali melihat upacara wisuda itu. Sepanjang umurku, aku belum pernah melihatnya."
"Kau kira aku pernah melihatnya?" sahut ibunya.
"Jika demikian kita harus benar-benar pergi," berkata Riris, "aku akan sangat kecewa sekali jika aku tidak sempat melihatnya. Bukankah ibu juga kecewa?"
"Ya, ya," sahut ibunya, "sudah aku katakan, kakakmu akan minta kepada ayahmu."
"Kakang Jangkung tentu tidak bersungguh-sungguh. Ia hanya berpura-pura saja," gumam Riris.
"Jangan berkata begitu," berkata ibunya, "jika kakakmu mendengar ia akan dapat tersinggung. Ia sudah bersedia untuk berbicara dengan ayah. Tetapi jika kau menganggapnya berpura-pura ia akan dapat mengurungkan niatnya."
Riris tidak menjawab lagi. Namun nampak wajahnya yang cemberut, sementara ibunya berkata, "Kau tidak boleh marah sejak sekarang. Apalagi ibu dan kakakmu sudah menyanggupinya. Jika ayahmu bersikap lain, maka itu persoalanmu dengan ayahmu. Kau dapat marah sepuas-puasnya kepada ayahmu."
Riris masih berdiam diri. Namun wajahnya tidak menjadi terang.
Ternyata ibunya tidak menanggapinya lagi. Iapun meninggalkan Riris yang duduk di amben dapur. Semen tara itu ibunya telah tenggelam kembali dalam kerja yang sibuk.
Dalam pada itu, di barak prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda, Kasadha memang merasa gelisah. Bukan hanya sehari, tetapi di hari berikutnya Kasadha masih saja nampak tidak gembira seperti hari-hari biasanya.
Ternyata Kasadha juga mulai memikirkan ibunya. Apakah ibunya akan pergi ke Sembojan atau tidak.
"Terserah kepada ibu," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Namun demikian ia merasa wajib untuk menemuinya dan mengatakan bahwa Bharata akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.
Untuk itu, maka Kasadha harus minta ijin meninggalkan baraknya barang dua tiga hari. Meskipun hal itu bukan merupakan kesulitan baginya, namun Kasadha merasakan bahwa ia sedang menghadapi persoalan yang rumit, ia harus menjaga perasaan ibunya agar tidak terbenam ke dalam perasaan bersalah tanpa melihat jalan keluar. Namun demikian, ia masih juga harus menunggu sikap ibu Bharata di Tanah Perdikan Sembojan itu.
Tetapi keduanya sudah berjanji untuk berusaha mempengaruhi ibu mereka masing-masing agar pada suatu saat keduanya mampu bertaut kembali tanpa dihantui oleh kenangan masa lalu mereka masing-masing. Karena jika demikian maka untuk selamanya keduanya tidak akan dapat bertaut.
Tetapi pada saat-saat Kasadha merenung, maka timbul pertanyaan di dalam dirinya, "Apakah persoalan kedua orang perempuan itulah yang membuatku selalu gelisah" Bukankah Bharata juga sudah berjanji untuk membujuk ibunya?"
Betapapun Kasadha berusaha untuk ingkar, namun ia pada suatu saat ia harus mengakui, bahwa yang menggelisahkan benar baginya bukan persoalan ibunya dan ibu Bharata, tetapi justru karena Ki Rangga Dipayuda sudah berpesan agar Bharata singgah di rumahnya.
Tetapi Kasadha selalu berusaha untuk mengatasinya dengan penalarannya sehingga ia masih dapat mengendalikan diri menghadapi kegelisahannya itu. Namun kadang-kadang di luar sadarnya, perasaan itu muncul dipermukaan.
Dalam pada itu, Bharata yang telah berada di Tanah Perdikannya dengan penuh gairah mempersiapkan segala sesuatunya menyongsong hari wisudanya. Sekali-sekali terdengar Bharata itu melakukan sesuatu sambil berdendang. Wajahnya nampak selalu cerah dan sekali-sekali senyumnya nampak menghiasi bibirnya.
Setiap orang Tanah Perdikan memang mengenal Bharata yang lebih mereka kenal dengan nama Risang itu sebagai seorang yang ramah. Tetapi ia juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam kerja. Namun pada saat terakhir Risang menjadi nampak lebih cerah dari sebelumnya.
Meskipun demikian, di sanggar Risang tetap nampak bersungguh-sungguh. Ketiga orang gurunya, dua orang kakeknya dan seorang neneknya yang sudah memiliki sebangsal pengalaman melihat bahwa di dalam hati cucunya itu agaknya sedang bersemi perasaan yang menopang harapan di masa depan. Bukan sekedar hari wisudanya yang akan berlangsung tidak lama lagi.
Semakin dekat dengan hari wisudanya, maka di Tanah Perdikan Sembojan itu nampak menjadi semakin sibuk. Rumah-rumah yang dipersiapkan untuk menginap tamu-tamunya telah dibersihkan dan dibenahi. Termasuk rumah yang dipersiapkan untuk penginapan Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya. Risang sangat berharap bahwa Ki Rangga Dipayuda benar-benar akan datang bersama Nyi Rangga, Jangkung dan Riris. Bahkan yang paling diharapkan datang adalah justru Riris.
Yang kemudian menjadi sibuk bukan hanya di Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi para Demangpun menjadi sibuk pula. Mereka berniat untuk membuat seluruh Tanah Perdikan mendukung kegembiraan karena Tanah Perdikan itu akan mendapatkan seorang Kepala Tanah Perdikan.
Namun di dalam kegembiraan itu, Risang masih juga digelisahkan oleh kemungkinan bahwa sikap ibunya terhadap ibu Kasadha tidak sebagaimana diharapkan. Meskipun ibunya pernah berkata bahwa ia menyerahkan hal itu kepada para pemimpin di Tanah Perdikan, namun di saat-saat terakhir, ibunya akan dapat bersikap lain, yang akan dapat membuatnya berselisih paham dengan Kasadha. Apalagi jika Kasadha sudah terlanjur membujuk ibunya untuk bersedia hadir di Tanah Perdikan.
Karena itu selagi masih ada waktu, Risang telah berbicara dengan ketiga orang gurunya. Dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung. Terutama dengan Bibi yang dianggap Risang sebagai seorang yang terlibat langsung dalam persoalan yang terjadi saat itu antara ibunya dengan ibu Kasadha.
"Aku akan berusaha," berkata Bibi.
"Aku mohon Bibi. Aku sudah berjanji kepada Kasadha, bahwa jika ibunya berniat untuk datang ke Tanah Perdikan saat wisuda, ibu tidak akan berkeberatan," desis Risang.
"Tetapi kau juga harus dapat mengerti perasaan ibumu. Aku adalah orang yang saat itu menjadi orang upahan diperintah untuk membunuh ibumu saat ia mengandung kau. Jika saja saat itu hatiku tetap dikuasai oleh iblis, maka aku tentu sudah membunuh ibumu yang saat itu masih belum memiliki kemampuan apapun juga. Aku akan dapat membunuhnya semudah aku memijat buah ceplukan matang di semak-semak. Tetapi untunglah, bahwa sepletik sinar dari Yang Maha Agung telah mengendalikan perasaanku sehingga aku tidak melakukannya," gumam Bibi hampir kepada diri sendiri.
Risang mengangguk kecil. Katanya, "Aku mengerti Bibi. Ceritera itu sudah aku dengar sebelumnya."
"Ini bukan sekedar ceritera Ngger. Tetapi sesuatu yang benar-benar terjadi. Akulah yang harus melakukan itu," sahut Bibi. Masih nampak gejolak perasaannya membayang di wajahnya.
"Ya, ya. Bibi. Aku mengerti. Tetapi bukankah itu sudah lama lampau. Sedangkan ibu Kasadhapun sudah menyesali perbuatannya," berkata Kasadha, "aku tahu pasti, bahwa penyesalan itu bukan sekedar lamis, atau sekedar untuk menyelimuti noda-noda di dalam relung hatinya. Tetapi ibu Kasadha benar-benar telah berubah, sebagaimana Bibi juga berubah," berkata Risang.
"Tetapi ada bedanya. Aku berubah justru saat aku mempunyai kesempatan untuk melakukan kejahatan dan mendapat keuntungan daripadanya. Tetapi Warsi tidak, ia berubah setelah keadaan memaksanya tanpa memberinya kesempatan lain."
"Aku mengerti Bibi. Tetapi aku mohon. Apakah kita tidak dapat memaafkan kesalahan seseorang sementara itu kita selalu ingin dimaafkan apabila kita berbuat salah" Apapun alasannya perubahan itu sudah terjadi. Ibu Kasadha yang bernama Warsi itu tidak mendendam sampai ke liang kuburnya. Sehingga ia mendapat kesempatan itu menyesali perbuatannya dengan jujur," berkata Risang dengan sungguh-sungguh.
Bibi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata perlahan-lahan, "Aku akan mencobanya Ngger. Mudah-mudahan ibumu dapat memaafkannya."
"Tetapi ibu pernah mengatakan bahwa segala sesuatunya terserah kepada orang-orang tua dan para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan ini," desis Risang.
Bibi tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.
Demikianlah hari-hari dilalui dengan kesibukan di Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu di Pajang, Kasadha telah minta ijin kepada Ki Rangga Dipayuda untuk menemui ibunya.
Namun Kasadha belum mengatakan kepentingannya. Meskipun ia pernah menyebut kemungkinan itu kepada Bharata di hadapan Ki Rangga Dipayuda, namun saat itu agaknya Ki Rangga memang tidak begitu memperhatikannya. Apalagi saat itu Bharata sengaja mengelakkan pertanyaannya itu.
Ternyata Ki Rangga memang tidak berkeberatan. Apalagi Kasadha hanya minta ijin untuk dua hari saja.
Tempat tinggal ibunya memang tidak sejauh Tanah perdikan Sembojan. Karena itu, maka Kasadha tidak memerlukan waktu terlalu lama di perjalanan. Dari baraknya Kasadha berangkat sesaat setelah makan pagi. Dan sebelum matahari sampai ke puncak, Kasadha telah menyusuri jalan menuju ke padukuhan tempat tinggal ibunya. Sebuah tempat tinggal yang sederhana yang dihuni oleh ibu dan bibinya yang hidup dalam keadaan sederhana pula. Sementara itu, kakek dan gurunyalah yang setiap kali sering menengok ibu dan bibinya dalam dunianya yang baru yang penuh kesederhanaan itu.
Kedatangan Kasadha telah disambut dengan gembira oleh ibu dan bibinya. Sudah agak lama mereka tidak bertemu. Karena itu, kehadiran Kasadha merupakan tetes kesejukan di hati ibunya dan bibinya yang telah menganyam harapan yang lain terhadap anak muda yang telah diangkat menjadi Lurah prajurit itu.
Kasadha memang tidak ingin merusak suasana itu. Ia tidak segera mengatakan kepentingan menemui ibunya, karena Kasadha tidak yakin apakah ibunya akan merasa gembira atau justru sebaliknya.
Kepada ibu dan bibinya Kasadha hanya mengatakan bahwa ia mendapat kesempatan untuk beristirahat selama dua hari.
"Kau akan bermalam di rumah ini selama dua hari?" bertanya ibunya dengan penuh kegembiraan.
"Ya, ibu," jawab Kasadha, "besok lusa aku harus sudah berada di barak kembali. Karena itu aku akan berangkat dari rumah ini pagi-pagi benar."
Kegembiraan ibunya ternyata diungkapkan pula pada hidangan yang dipersiapkan bagi Kasadha. Bibinya telah menangkap seekor ayam peliharaan mereka, kemudian memotongnya.
Selama Kasadha berada di rumah ibunya, ia dapat melihat bagaimana ibu dan bibinya mengisi kehidupan mereka sehari-hari. Mereka bekerja sebagaimana perempuan-perempuan di padukuhan itu. Ibu dan bibinya berceritera, bahwa sehari-hari mereka juga turun ke sawah. Ikut menanam padi di musim tanam dan ibu menuai padi di musim panen. Mereka mendapat upah yang dapat mereka pakai untuk menyambung hidup mereka. Namun di rumah keduanya juga memelihara ayam, menanam ketela, kacang panjang dan empon-empon untuk meramu obat-obatan. Di halaman dan kebunpun terdapat beberapa batang pohon kelapa yang kelebihannya dari keperluan mereka sendiri dapat ditukarkan dengan keperluan mereka sehari-hari. Bahkan pakaian dan keperluan mereka yang lain.
"Tetapi kau tidak usah memikirkan kami. Puguh," berkata ibunya. "Aku tidak ingin mengurangi penghasilan untuk ibu dan bibi. Jika penghasilanmu tersisa, maka kau dapat menabungnya untuk kepentingan masa depanmu."
"Apakah ibu tidak memerlukan bantuanku?" berkata Kasadha.
"Bukan tidak memerlukan. Tetapi sementara ini keperluan ibu dan bibi sudah tercukupi. Upah yang kami dapatkan ditambah dengan penghasilan kebun dan ternak kami sudah cukup bagi kehidupan kami. Bahkan kami dapat menabung serba sedikit untuk suatu saat dimana kami menjadi semakin tua," berkata ibunya.
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi kerongkongannya bagaikan tersumbat. Ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi. Meskipun setelah perang tandingnya yang terakhir, ada sesuatu yang cacat sehingga ibunya tidak lagi mampu mencapai tataran yang lebih tinggi lagi, tetapi ibunya tetap seorang perempuan yang jarang ada bandingnya. Perempuan yang diketahuinya memiliki ilmu yang lebih tinggi hanyalah ibu Bharata dan mungkin neneknya yang juga menjadi guru ibu serta Bharata sendiri. Namun perempuan itu sudah menjadi semakin tua sehingga keadaan wadagnya tentu sudah tidak mendukung ilmunya itu lagi.
Dalam pada itu bibinyapun berkata, "Kerja ibumu sangat dipuji oleh orang-orang padukuhan ini. Ibumu dapat melakukan pekerjaan lebih baik dari perempuan lain. Apakah saat menanam padi atau saat menuai padi. Bahkan ibumu mengerjakan sawah kami yang hanya sekotak itu sebagaimana laki-laki melakukannya. Mencangkul hampir sehari penuh dapat dilakukannya, yang bahkan kadang-kadang sempat membuat orang-orang padukuhan ini menjadi heran. Bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki."
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi jantungnya serasa menjadi semakin bergetar. Kehidupan ibunya jauh berbeda dengan kehidupan ibu Bharata. Namun yang terjadi itu seakan-akan ibunya harus menuai buah hasil tanamannya sendiri. Namun di samping haru terbersit rasa bangga, bahwa pada saat-saat terakhir ibunya telah meninggalkan suatu kehidupan yang gelap. Penuh nafsu dan dendam tiada berkeputusan.
Namun Kasadha juga terhibur ketika ia melihat ibunya justru tertawa sambil berkata, "Bukan hanya aku. Tetapi bibimu bekerja jauh lebih keras. Tetapi ia memang masih lebih muda dari aku. Bahkan masih ada seorang laki-laki yang ingin mengambilnya sebagai isterinya. Justru seorang yang cukup terpandang di padukuhan ini. Apalagi laki-laki itu masih belum terlalu tua meskipun seorang duda beranak lima."
"Ah, kau ini ada-ada saja," potong bibinya.
Kasadha sempat tersenyum.
Sementara ibunya melanjutkan, "Tetapi aku berkata sebenarnya."
"Aku telah menolaknya," sahut bibinya.
"Justru karena itu, laki-laki itu marah. Ia merasa orang berpengaruh di padukuhan ini. Tetapi kenapa lamarannya ditolak oleh perempuan miskin seperti kami," berkata ibunya.
Sementara itu bibinya berkata, "Ia tidak ingin mengawini aku untuk dijadikan isterinya. Tetapi ia hanya memerlukan tenagaku, karena aku dapat mengerjakan sawah seperti seorang laki-laki sebagaimana dilakukan oleh ibumu."
Ibu Kasadha tertawa. Kasadhapun akhirnya tertawa juga. Ternyata dalam kemiskinannya itu ibunya sempat juga tertawa.
"Tetapi laki-laki itu benar-benar marah," berkata ibunya kemudian, "bahkan pernah mengancam bibimu."
"Apakah arti ancaman itu bagi bibi," sahut Kasadha..
"Aku sudah melaporkan kepada Ki Bekel," berkata bibinya, "tentunya akan lebih baik bagiku daripada aku mempergunakan cara lain."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat bibi."
"Aku juga sependapat," berkata ibunya, "kami tidak akan memilih jalan yang pernah kami tempuh beberapa saat yang telah lewat."
Kasadha tersenyum meskipun ada semacam gejolak di dalam jiwanya. Namun dengan demikian ia yakin, bahwa ibunya telah benar-benar berubah, sehingga baik bibinya maupun ibunya telah memilih jalan yang terbaik dalam tata cara pergaulan dan tatanan hidup di padukuhan itu.
Ketika malam tiba di hari pertama, Kasadha masih belum sampai hati mengutarakan kepentingan kedatangannya. Ia masih ingin ikut merasakan suasana kehidupan ibu dan bibinya sehari-hari.
Namun Kasadha juga merasa cemas, bahwa bibinya akan mengulangi permintaannya agar Kasadha bersedia berpaling kepada anak gadisnya. Gadis yang belum pernah dilihatnya.
Tetapi ternyata bibinya tidak melakukannya. Bibinya sama sekali tidak mengganggunya ketika ia kemudian berbaring di sebuah amben yang besar di ruang dalam rumah ibunya yang sederhana itu.
Di hari berikutnya, Kasadha justru berniat untuk pergi bersama ibu dan bibinya ke sawah. Katanya, "Aku ingin ikut merasakan kehidupan yang utuh di padukuhan ini. Bukankah aku juga sudah terbiasa berada di sawah?"
"Kapan kau turun ke sawah?" bertanya ibunya.
"Bersama guru," jawab Kasadha.
Ibunya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa masa kecil dan remajanya Kasadha lebih banyak bersama, dengan gurunya daripada bersama ibunya.
Seperti yang dikehendaki oleh Kasadha, maka mereka bertiga telah pergi ke sawah setelah Kasadha menempatkan kudanya di halaman belakang. Meskipun ibunya sudah mengatakan bahwa padukuhan itu cukup aman, namun Kasadha masih juga berhati-hati.
Memang tidak banyak yang dikerjakan di sawah karena musim tanam sudah lewat. Mereka hanya ingin membersihkan rerumputan yang tumbuh di sela-sela batang padi yang hijau subur.
"Sawah kami hanya sekotak ini," berkata ibu Kasadha.
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi sawah itu memang tidak cukup luas untuk menghasilkan padi bagi persediaan makan mereka berdua, ibu dan bibinya.
Ibunya yang melihatnya merenung, seakan-akan dapat menangkap perasaan anaknya. Dengan nada dalam ia berkata, "Hasil sawah ini memang tidak mencukupi Kasadha. Tetapi jika kami berdua ikut menuai di sawah para tetangga, maka kamipun mendapat upah dari mereka. Setiap sembilan ikat, kami mendapat seikat padi. Sehingga kadang-kadang kami justru mempunyai kelebihan padi di lumbung kami, yang dapat tukar dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Garam, gula kelapa dan kebutuhan dapur yang lain."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi, bukankah lebih baik jika ibu mempunyai sawah sekotak lagi sehingga tidak akan tergantung pada upah dari orang lain?"
"Kami melakukan bergantian. Kami diupah untuk menuai padi di sawah tetangga, tetapi di hari lain, tetangga itu menuai padi di sawah kami," berkata ibunya, "sehingga kami tidak merasa seorang lebih berarti dari orang lain."
"Meskipun demikian, tentu lebih baik jika sawah ibu dan bibi lebih luas dari yang ada sekarang," berkata Kasadha.
"Tentu," jawab ibunya, "tetapi belum terlalu mendesak."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Ibu, aku mempunyai sedikit uang tabunganku. Jika ibu dan bibi tidak berkeberatan, biarlah uang itu dijadikan sawah meskipun hanya sekotak kecil.."
Ibunya tersenyum. Namun dadanya cukup bergetar. Anak itu disia-siakannya sejak bayinya. Hampir dibuangnya. Namun setelah ia menjadi dewasa, ia masih juga mengerti tentang ibunya yang penuh noda-noda dosa itu.
Karena itu, maka ibunya tidak kuasa menolak uluran tangan anaknya itu, meskipun ia masih bertanya, "Apakah kau sendiri tidak memerlukannya" Mungkin kau sudah merencanakan untuk membeli sesuatu bagi kebutuhanmu nanti."
"Bukankah sawah juga berarti tabungan?" Kasadha justru bertanya.
Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika kau benar-benar ingin menabung dalam ujud sawah, maka biarlah aku mengusahakannya. Mungkin ada orang yang ingin mengurangi luas tanahnya yang berlebihan, yang tidak sempat menggarapnya."
"Jika ibu dan bibi tidak sempat menggarap sendiri, maka bukankah sawah itu dapat diserahkan orang lain?" berkata Kasadha kemudian.
Tetapi bibinya berkata sambil tertawa, "kami dapat melakukannya sendiri. Bahkan lebih dari dua tiga kotak."
Kasadha dan ibunya tertawa.
Namun suara tertawa itu terputus ketika mereka mendengar suara seseorang, "He, apa kerja kalian disini" Bukankah tidak ada kerja di sawah?"
Ketiga orang yang berdiri di pematang itu berpaling. Mereka melihat seseorang berdiri di jalan di sebelah kotak sawah mereka bersama dengan dua orang yang agaknya pembantunya.
Kasadha yang belum mengenal orang itu bertanya, "Siapakah orang itu?"
"Setan itu," desis bibinya.
Tetapi ibunya sempat menyembunyikan senyumnya sambil berdesis, "Orang itulah yang pernah kita bicarakan. Orang yang ingin mengambil bibimu."
Di luar sadarnya Kasadhapun tertawa kecil sambil berdesis, "Agaknya seorang yang cukup terpandang."
"Ah kau," gumam bibinya. Namun dengan cepat disahut oleh ibunya, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa ia seorang yang berpengaruh di padukuhan ini."
Namun bibinya melanjutkan, "Yang akan mengambil aku untuk menjadi budak di rumahnya. Jika aku bersedia menerima lamarannya maka pada suatu saat aku akan membunuhnya."
Ibu Kasadha tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sementara orang itu bertanya lebih keras, "He, apa kerja kalian disini he" Bukankah baru beberapa hari kalian membersihkan rumput dari sawah kalian ini?"
Ibu Kasadha terpaksa menjawab, "Tidak apa-apa, Ki Tunggul. Sekedar melihat, apakah rumput yang telah kami bersihkan itu tumbuh lagi?"
"Kemarilah kalian," teriak orang itu.
Ketiga orang yang berdiri di pematang itu termangu-mangu. Sementara itu orang itu berteriak sekali lagi, "Kemarilah kalian, apakah kalian tidak mendengarnya?"
Ibu Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berdesis, "Marilah. Daripada orang itu marah-marah."
"Kenapa marah-marah?" bertanya Kasadha.
"Ia sudah terbiasa marah-marah," jawab ibunya.
"Tetapi bukankah ia tidak berhak marah kepada setiap orang termasuk kepada bibi dan ibu?" bertanya Kasadha.
"Biarlah kita mengalah," berkata ibunya sambil melangkah menelusuri pematang mendekati orang yang memanggilnya itu.
"Kedua orang itu pengawalnya," desis bibinya, "keduanya dapat berbuat kasar terhadap siapa saja. Bahkan orang yang belum dikenalnya sama sekali."
Kasadha mengangguk-angguk. Iapun condong untuk mengalah agar tidak terjadi persoalan. Apalagi justru ia sedang hadir di tempat itu. Sebagai seorang prajurit ia harus berusaha untuk menghindari timbulnya persoalan yang apalagi mengarah pada kekerasan. Hanya jika tidak ada jalan lain, maka ia bertindak untuk menegakkan paugeran yang berlaku tanpa mementingkan kepentingan diri sendiri.
Demikian ketiga orang itu mendekat, maka orang yang dipanggil Ki Tunggul itu bertanya dengan tatapan mata tajam. Agaknya ia heran melihat kehadiran Kasadha. Katanya, "Siapa anak itu?"
Ibu Kasadha menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya, "Anak itu adalah anakku."
"Anakmu" Apakah anak itu belum pernah datang kemari?" bertanya Ki Tunggul.
Ibu Kasadha masih saja ragu-ragu. Dipandanginya anaknya sejenak. Baru kemudian ia menjawab lagi, "Tidak Ki Tunggul. Ia sudah sering datang kemari. Tetapi memang tidak terlalu sering. Ia tidak, pernah tinggal di rumah lebih dari dua hari sebagaimana sekarang ini."
Ki Tunggul mengangguk-angguk. Namun ia bertanya lebih lanjut, "Dimana tempat tinggal anakmu jika ia tidak tinggal bersamamu di padukuhan ini?"
Ibunya menjadi semakin bimbang. Namun Kasadhalah yang menjawab, "Aku tinggal bersama paman, Ki Tunggul. Aku membantu kerja paman di sawah dan ladangnya yang agak lebih luas dari ladang ibu dan bibiku disini."
Ki Tunggul itu mengangguk-angguk. Namun ia masih saja memandangi pakaian Kasadha yang meskipun tidak mengenakan pakaian seorang prajurit, namun pakaian itu dinilainya lebih baik dari pakaian anak-anak muda padesan yang setiap hari turun ke sawah.
Tiba-tiba saja Ki Tunggul itu bertanya, "Dimana pamanmu tinggal?"
Kasadhapun menjadi ragu-ragu. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka iapun kemudian berkata, "Paman tinggal sedikit di luar dinding Kotaraja."
"Pajang maksudmu?" desak Ki Tunggul.
"Ya Ki Tunggul," jawab Kasadha.
"Itulah agaknya maka kau berpakaian seperti anak-anak muda Pajang. Tetapi apakah kekayaan pamanmu cukup besar, sehingga kau dapat bergaya seperti anak orang yang meskipun tidak kaya, tetapi cukup berada?"
Pertanyaan itu semakin membingungkan Kasadha. Dengan tersendat ia kemudian menjawab, "Pamanku bukan orang kaya. Tetapi ia seorang yang sangat baik. Aku mendapat kesempatan cukup untuk menyesuaikan diri dengan kawan-kawanku. Sudah tentu aku harus tahu diri. Tidak menyesuaikan diri dengan anak orang-orang kaya yang memiliki apa saja yang diinginkannya."
"Tetapi siapa yang kau maksud dengan pamanmu itu?" bertanya Ki Tunggul semakin mendesak.
Namun tiba-tiba saja timbul pikiran aneh di kepala Kasadha. Tanpa minta pertimbangan ibu dan bibinya ia menjawab, "Paman adalah bekas suami bibi ini. Aku datang khusus untuk menyampaikan pesannya."
"Pesan apa?" dahi Ki Tunggul itu berkerut.
"Paman minta bibi mau menerima paman kembali. Paman akan bersedia memenuhi permintaan bibi apapun juga. Termasuk memelihara itik," jawab Kasadha.
"Kenapa memelihara itik?" bertanya Ki Tunggul itu pula.
"Paman bercerai dengan bibi karena soal itik. Bibi ingin memelihara itik, tetapi paman menolaknya. Pertengkaranpun merembet ke soal-soal lain dan membengkak sehingga akhirnya bibi meninggalkan paman," jawab Kasadha.
"Tidak," jawab Ki Tunggul, "bibimu tidak akan kembali kepada pamanmu. Kaupun tidak usah kembali kepadanya. Kau dan bibimu dapat tinggal bersamaku. Aku akan mencukupi kebutuhanmu melebihi pamanmu itu."
Kasadha menarik nafas panjang. Katanya, "Terlambat, Ki Tunggul. Bibi telah menyatakan kesediaannya kembali kepada paman. Sebenarnyalah paman dan bibi belum resmi bercerai," jawab Kasadha sambil berpaling ke arah bibinya.
Wajah bibinya memang menjadi merah. Tetapi ia mengerti maksud Kasadha. Karena itu ketika Ki Tunggul bertanya kepadanya maka bibi Kasadha itupun mengangguk membenarkan, "Aku memang belum bercerai."
"Kalian harus segera menyelesaikan perceraian itu berapapun besar biayanya. Aku akan menanggungnya dan aku ulangi lamaranku agar kau bersedia menjadi isteriku. Hidupmu dan kakak perempuanmu bahkan kemenakanmu itu akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang, bahkan seandainya kau kembali kepada suamimu yang tidak bertanggung jawab itu," berkata Ki Tunggul lantang.
Tetapi bibi Kasadha itu menggeleng. Katanya, "Aku sudah menyatakan untuk bersedia kembali kepada suamiku itu."
"Tidak. Kau tidak boleh kembali kepadanya," Ki Tunggul itu hampir berteriak.
"Jangan berteriak begitu Ki Tunggul," cegah ibu Kasadha, "nanti orang-orang yang sedang membersihkan rerumputan di sela-sela batang padinya itu berdatangan kemari."
"Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa atasku," jawab Ki Tunggul dengan nada tinggi.
"Tetapi adikku tentu merasa malu. Persoalan yang penting ini tidak seharusnya dibicarakan di pinggir jalan bulak seperti ini. Sebaiknya kita bicarakan lain kali. Apalagi adikku telah memberikan jawabannya," desis ibu Kasadha.
"Aku minta kepastian," berkata orang itu.
"Aku sudah memberikan kepastian," jawab bibi Kasadha itu.
"Aku tidak mau kau perlakukan semena-mena. Aku seorang yang berpengaruh disini. Aku dapat mempergunakan pengaruhku untuk memaksamu," berkata Ki Tunggul dengan marah.
"Aku sudah melapor kepada Ki Bekel," jawab bibi Kasadha, "jika Ki Tunggul akan memaksaku, maka Ki Bekel akan campur tangan langsung. Bukankah Ki Tunggul sudah mengetahui?"
"Ki Bekel tidak berani berbuat apa-apa atasku. Kau kira Ki Bekel dapat melindungimu?" geram Ki Tunggul.
"Jika bukan Ki Bekel, aku akan menyampaikannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya," jawab bibi Kasadha.
Laki-laki itu menggeretakkan giginya karena marah. Katanya, "Aku tidak mau bertengkar di pinggir jalan. Tetapi bukan berarti aku tidak akan meneruskan niatku. Sementara itu kau sempat berpikir bahwa aku akan dapat mengangkatmu dan seluruh keluargamu dari lembah kemiskinan."
Bibi Kasadha tidak menjawab lagi. Sementara itu laki-laki itupun berkata sambil bergeser dari tempatnya, "Jangan menunggu aku memerintahkan orang-orangku mengambilmu dengan paksa."
Bibi Kasadha masih tetap berdiam diri. Sementara Ki Tunggul itupun mengajak kedua orang pengiringnya itu melangkah pergi.
"Laki-laki itu mempunyai mata yang tajam," desis ibu Kasadha sambil berpaling ke arah saudara sepupunya.
"Kenapa?" bertanya bibi Kasadha.
"Ia dapat melihat kecantikan seseorang meskipun diselimuti oleh kemiskinan," jawab ibu Kasadha.
"Ah," desah saudara sepupunya, "kau selalu saja mengganggu. Bukankah kau tidak bersungguh-sungguh?"
Ibu Kasadha tertawa. Namun iapun kemudian berkata, "Sudahlah. Agaknya Kasadha sudah cukup lama berada di sawah."
"Aku belum mohon maaf, bahwa aku telah menjawab asal saja," berkata Kasadha kemudian, "seharusnya aku mohon ijin lebih dahulu kepada bibi sebelum aku membual."
"Tidak apa. Jawabku untuk selanjutnya akan berpegang kepada bualanmu itu," jawab bibinya.
"Tetapi bukankah akhirnya orang itu mengetahui bahwa apa yang aku katakan tidak benar?" berkata Kasadha kemudian.
"Mudah-mudahan orang itu sudah melupakannya," jawab bibinya selanjutnya.
Kasadha hanya mengangguk-angguk saja. Sementara ibunya berkata, "Marilah. Sebaiknya kita pulang saja."
Bertiga merekapun kemudian meninggalkan sawah yang hanya sekotak itu. Di sepanjang jalan Kasadha mengulangi niatnya untuk membeli sawah sekotak lagi agar tanah garapan ibu dan bibinya menjadi lebih luas, sehingga hasilnya akan cukup bagi mereka berdua untuk semusim. Dari panen sampai ke panen berikutnya.
Ketika mereka sampai di rumah, maka Kasadhapun telah ikut pula membantu kerja ibu dan bibinya. Membelah kayu bakar dan menimba air untuk mengisi gentong di dapur dan jambangan di pakiwan.
Namun dalam pada itu, Kasadha justru telah mulai digelisahkan lagi oleh keperluannya datang menemui ibunya. Ia sama sekali tidak memikirkan lagi laki-laki yang akan mengambil bibinya, karena bibinya tentu akan dapat menyelesaikannya sendiri dengan cara apapun yang dikehendaki oleh Ki Tunggul. Seandainya Ki Tunggul akan mempergunakan kekerasan, maka bibinya tentu akan dapat mengatasinya. Jika terpaksa maka ibunyapun tentu akan membantunya. Namun jika terjadi demikian, maka kehadiran mereka di padukuhan itu tentu akan menjadi sorotan orang. Karena itu, ia sependapat justru bibinya melaporkannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya jika Ki Bekel tidak dapat mengatasinya. Namun apapun yang dilakukan oleh Ki Tunggul, tidak akan berbahaya bagi bibi dan ibunya asal Ki Tunggul tidak berbuat licik dan pengecut.
Yang kemudian dipikirkan oleh Kasadha, bagaimana ia akan mulai dengan sebuah pembicaraan tentang wisuda di Tanah Perdikan Sembojan.
"Tetapi aku harus mengatakannya," berkata Kasadha kepada diri sendiri.
Karena itulah, ketika mereka makan malam lewat senja, di bawah nyala lampu minyak yang redup, Kasadha telah memaksa diri untuk menyampaikan keperluannya datang ke rumah ibunya.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ibu," berkata Kasadha sambil menelan nasi yang terakhir disuapkan ke mulutnya. Sejenak ia berhenti untuk meneguk wedang sere yang disediakan oleh bibinya.
Ibunya mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah dan suara Kasadha yang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka iapun memperhatikan anaknya itu dengan bersungguh-sungguh pula.
"Ibu," Kasadha mengulangi, "sebenarnya di samping aku datang untuk menengok ibu dan bibi, aku juga membawa sebuah berita yang aku tidak tahu, apakah ibu dan bibi menganggap penting atau tidak."
Ibunya menarik nafas panjang. Katanya, "Aku sudah mengira Ngger. Agaknya kau tidak datang sekedar menengok ibu dan bibimu saja. Tetapi karena aku tidak yakin, maka aku menunggu sampai saatnya kau mengatakannya."
"Besok aku harus kembali ke barak pasukanku. Karena itu, maka malam ini adalah kesempatan terakhir bagiku untuk membicarakannya dengan ibu serta bibi."
"Katakanlah, Puguh. Aku akan mendengarkannya dengan baik, berita apapun yang akan kau sampaikan. Hatiku sekarang sudah tidak lagi mudah terguncang setelah aku mengalami peristiwa yang telah melemparkan aku ke tempat ini dengan sikap dan anutan hidupku sekarang." sahut ibunya.
Kasadha menarik nafas panjang. Lalu katanya dengan patah-patah, "Ibu. Aku akan menyampaikan satu berita yang akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan."
Ternyata dengan dingin ibunya berkata, "Katakanlah Ngger."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ibu, di Tanah Perdikan Sembojan akan diselenggarakan wisuda."
Ibunya mengerutkan dahinya. Namun iapun cepat tanggap. Karena itu maka iapun segera bertanya, "Angger Risang akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan?"
"Ya ibu," jawab Kasadha.
Wajah ibu Kasadha itupun segera berubah. Secerah kegembiraan justru memancar dari sorot matanya. Sambil mengusap rambutnya yang sudah memutih tergerai di dahinya, maka iapun berkata, "Syukurlah. Tanah Perdikan itu tidak lebih lama lagi kosong tanpa seorang pemimpin yang sah. Dengan wisuda itu, maka Tanah Perdikan itu akan mempunyai seorang Kepala Tanah Perdikan yang sebenarnya."
"Aku telah mendapat undangan untuk menghadiri wisuda itu ibu. Risang sendiri datang ke barakku untuk mengundang aku agar aku bersedia datang ke Tanah Perdikan di saat wisuda itu dilaksanakan beberapa pekan lagi," berkata Kasadha.
Ibunya mengangguk-angguk. Namun dengan hati-hati ia bertanya, "Bukankah kau telah menyatakan kesediaanmu untuk datang?"
"Ya ibu. Aku sudah menyatakan, bahwa aku akan datang," jawab Kasadha. Sementara itu jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia berniat untuk mengatakan, bahwa ibunya juga diharapkan untuk datang.
Ibunya melihat sesuatu yang masih tersimpan di hati anaknya itu. Karena itu, maka iapun justru berusaha untuk mengungkit agar yang tersimpan itu juga dilontarkan keluar.
Karena itu, maka ibunya itu justru bertanya, "Apakah ada pesan yang lain yang kau bawa?"
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Ya ibu. Ada yang lain yang akan aku sampaikan."
"Katakan Puguh. Kau tidak perlu ragu-ragu. Sudah aku katakan bahwa hatiku tidak lagi mudah terguncang."
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Ibu. Kami, maksudku aku dan Risang berharap bahwa ibu juga bersedia untuk datang."
Meskipun ibunya sudah mengatakan bahwa hatinya tidak mudah terguncang, namun yang dikatakan oleh Kasadha dengan ragu itu sempat membuat jantungnya bergetar lebih cepat.
Namun sesaat kemudian, ibu Kasadha itu telah menguasai perasaannya sepenuhnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Apakah Risang juga mengundang aku atau kau tawarkan kepadanya bahwa aku akan kau ajak serta?"
"Apakah ada bedanya?" justru Kasadha bertanya kembali.
"Tentu ada bedanya Ngger," jawab ibunya, "jika kau tawarkan kepadanya, bahwa aku akan kau bawa bersamamu, maka belum tentu jika hal itu berkenan di hatinya. Apalagi ibunya. Seandainya kemudian ia mengiakannya, mungkin hal itu hanya karena perasaan segan saja. Sehingga dengan demikian, maka Risang apalagi ibunya tidak menerima kedatanganku dengan ikhlas."
Kasadha mengangguk-angguk. Sepercik keraguan telah membersit di hatinya. Ia dapat mengerti perasaan ibunya. Namun iapun telah berjanji kepada Kasadha bahwa ia akan membujuk ibunya sebagaimana Kasadha akan meyakinkan ibunya bahwa ibunya telah berubah.
Untuk beberapa saat Kasadha merenung. Namun kemudian iapun berkata, "Ibu, sebenarnyalah bahwa aku dan Risang telah bersepakat untuk meyakinkan ibu dan ibu Risang, agar dapat menghapus jarak yang selama ini terbentang di antara ibu dan ibu Risang itu. Permusuhan yang telah lama berlangsung tidak akan dapat memberikan apapun juga, baik kepada ibu maupun kepada ibu Risang. Yang ada justru ketidak-tentraman, ketegangan jiwa dan kebencian yang seakan-akan memburu sepanjang hidup kita."
Ibunya mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku sependapat sepenuhnya dengan pendapatmu itu Kasadha. Akupun sebenarnya tidak berkeberatan untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan, sepanjang aku akan dapat diterima dengan hati terbuka."
Kasadha memandang ibunya dengan tajamnya, seakan-akan ingin melihat apakah isi hatinya sesuai dengan kata-katanya. Namun ibunya itupun menjelaskan, "Aku berkata sebenarnya Kasadha. Aku berada di pihak yang salah, yang harus menempatkan dirinya dalam kedudukan yang lebih rendah. Tetapi aku tidak berkeberatan. Seandainya aku harus berlutut untuk mohon maaf sekalipun, hal itu akan aku lakukan. Justru setelah Iswari itu mau menerimamu dengan kedua belah tangannya, bahkan menganggapmu sebagai anak sendiri. Bagiku sekarang, aku memang sudah tidak ada harganya. Aku hanya dapat mengharap agar kau tidak mengalami nasib seperti aku. Jika Tanah Perdikan Sembojan itu menerimamu dengan baik dan memberimu tempat selayaknya, maka aku tidak akan memberikan harga sama sekali bagi diriku sendiri."
Kasadha justru termangu-mangu. Ternyata sikap ibunya tidak sebagaimana dibayangkan. Ibunya tidak merasa tidak pantas datang karena merasa bersalah. Tetapi juga tidak ingin bersikap sebagai tamu yang terhormat. Ibunya justru bersedia direndahkan sebagai pengakuan atas kesalahannya.
Perasaan Kasadha tersentuh karenanya. Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat melihat ibunya direndahkan dan apalagi dijadikan bahan pangewan-ewan, betapapun besar kesalahannya. Namun di samping perasaan itu, Kasadhapun menganggap bahwa ibunya adalah seorang yang berhati jantan. Ia tidak gentar menghadapi kenyataan betapapun pahitnya. Bahwa dengan dada tengadah ibunya sanggup mengakui kesalahannya, adalah pertanda bahwa ibunya bukan seorang yang berjiwa kerdil. Sebagaimana diingatnya, apa yang pernah dilakukan ibunya, maka ibunya memang mempunyai landasan jiwa yang kuat. Namun yang pada saat itu jalan yang ditempuh oleh ibunya adalah jalan yang sesat.
Karena itu, maka dengan suara yang bergetar Kasadha berkata, "Ibu, kita akan pergi ke Tanah Perdikan dalam keadaan wajar. Mungkin ibu memang membawa beban. Tetapi sudah tentu bukan niat Risang untuk menghadapkan ibu pada sebuah pengadilan. Karena itu, jika kita pergi ke Tanah Perdikan, maka kita akan menyatakan ikut bergembira bahwa Risang telah diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan,"
Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan dengan senang hati datang ke Tanah Perdikan Sembojan. Apapun yang akan aku alami disana. Aku sudah merasa bersyukur bahwa kau mendapat undangan langsung dari Risang sendiri. Apalagi jika Risang itu juga mengundang aku."
Kasadha mengangguk kecil sambil menjawab, "Terima kasih atas sikap ibu yang justru terbuka. Sejak semula aku merasa cemas bahwa ibu akan berkeberatan karena berbagai pertimbangan."
"Nah, katakan kepada Risang, bahwa aku bersedia untuk datang ke Tanah Perdikan Sembojan saat ia diwisuda," berkata ibunya, "asal kau yakin bahwa kesediaannya menerima aku bukan karena terpaksa. Apalagi ibunya, justru karena ia bersikap baik kepadamu. Tentang apa yang akan dilakukan atasku aku tidak akan menghiraukannya."
Kasadha mengangguk-angguk pula. Katanya, "Jika demikian, pada saatnya aku akan datang menjemput ibu dan sudah tentu bibi. Aku mohon bibi bersedia menemani ibu ke Tanah Perdikan Sembojan."
Bibinya mengangguk sambil menjawab, "Sudah tentu aku akan bersedia menemani ibumu. Selama hidupku aku belum pernah menyaksikan wisuda seorang Kepala Tanah Perdikan. Dengan datang ke Sembojan, agaknya aku akan dapat berceritera tentang upacara itu."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Persoalannya dengan ibunya sudah selesai. Nampaknya iapun tidak akan terlalu banyak dibebani persoalan apabila ibu Bharata berkeberatan menerima kehadiran ibunya, karena ibunya justru sudah mengatakan, bahwa ia akan datang jika ia akan dapat diterima dengan ikhlas, apapun yang akan terjadi atas dirinya di Tanah Perdikan kelak. Jika ibu Risang ternyata kemudian tidak ikhlas, maka ibunya tidak akan merasa sakit hati karena telah ditolak.
Tetapi bagaimanapun juga Kasadha tentu akan berusaha untuk menempatkan ibunya pada kedudukan yang wajar meskipun ibunya sendiri sudah mengaku bersalah dan akan menerima perlakuan yang bagaimanapun juga kelak.
Karena itu, maka Kasadhapun kemudian berkata, "Baiklah ibu. Dengan demikian maka aku sudah mendapat satu kepastian bahwa ibu akan datang ke Tanah Perdikan. Tetapi tentu saja tidak akan diperlakukan seperti seorang tertuduh di depan perdata yang akan mengadilinya atau justru seperti seorang terhukum yang harus menjalani hukumannya."
"Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang bakal timbul Kasadha. Aku datang ke Tanah Perdikan hanya akan menyampaikan ucapan selamat dengan ikhlas kepada Angger Risang, sebagaimana sikap ibu Risang yang dengan ikhlas menerimamu dalam rangkuman keluarga Tanah Perdikan Sembojan meskipun ia dan orang-orang tua di Tanah Perdikan tahu siapakah ibumu," berkata ibunya.
"Mudah-mudahan wisuda itu juga menjadi batas pertautan kembali seluruh keluarga Tanah Perdikan Sembojan tanpa saling curiga-mencurigai," berkata Kasadha dengan nada dalam.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum menjawab, mereka telah dikejutkan oleh ketukan perlahan-lahan pada daun pintu rumah mereka yang memang sudah tertutup.
"Siapa?" bertanya bibi Kasadha.
"Buka pintunya," terdengar suara geram di luar. Ketukan di pintu itu bahkan terdengar semakin kertas.
"Siapa?" bertanya bibi Kasadha itu pula.
"Buka saja pintunya, aku akan berbicara," Kasadhapun segera tanggap. Katanya, "Orang yang tadi siang kita temui di sawah."
Ibunya mengangguk sambil berdesis, "Ya. Ki Tunggul. Nampaknya ia sudah benar-benar gila."
"Aku tidak akan membuka pintu," geram Bibi Kasadha.
"Bukalah," minta ibu Kasadha, "nanti pintu itu rusak dan kita harus memperbaikinya. Atau biarlah Kasadha membukakan pintu itu. Silahkan mereka masuk. Ki Tunggul tentu tidak sendiri."
Kasadhapun bangkit dari tempat duduknya sementara wajah bibinya menjadi buram. Bahkan iapun berdesis, "Jika mereka mempergunakan kekerasan, apakah kita akan melayaninya" Lalu bagaimana anggapan tetangga-tetangga terhadap kita" Sikap mereka tentu akan berubah. Mereka akan menganggap kita sebagai hantu-hantu betina yang dijauhi orang."
"Mumpung ada Kasadha. Besok pagi-pagi kita menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Malam ini kita tidak usah ikut campur," jawab ibu Kasadha.
Bibinya tidak membantah lagi, sementara pintupun diketuk semakin keras. Sehingga Kasadha harus menjawab, "Ya, ya. Aku sedang berjalan menuju ke pintu."
Sejenak kemudian, Kasadha telah mengangkat selarak pintu lereg yang terbuat dari anyaman bambu itu. Ia mundur beberapa langkah ketika tiba-tiba saja Ki Tunggul dan dua orang pengikutnya memasuki rumah itu.
"Aku datang dengan maksud baik," berkata Ki Tunggul.
"Marilah, silahkan duduk, Ki Tunggul. Tempatnya masih dikotori sisa-sisa makan yang belum sempat kami singkirkan, karena kami sedang berbincang-bincang," ibu Kasadha itu mempersilahkan sambil membenahi mangkuk-mangkuk yang masih berserakan di amben bambu yang juga dipergunakan Kasadha untuk tidur.
Ki Tunggul tidak menjawab. Tetapi iapun segera duduk di amben itu pula, sementara dua orang pengiringnya berdiri tegak di sebelahnya. Seorang di antaranya meletakkan tangannya pada hulu goloknya yang besar. Sedang yang lain menyilangkan tangannya di dadanya.
Kasadhapun kemudian juga duduk di amben itu pula di sebelah bibinya. Sementara ibunya beringsut, justru ke tengah.
"Kedatangan Ki Tunggul malam-malam telah mengejutkan kami," desis ibu Kasadha.
"Belum terlalu malam," jawab Ki Tunggul, "baru saja senja lewat. Rumah sebelah menyebelah pintunya masih terbuka. Hanya rumah ini sajalah yang sudah menyelarak pintu rumahnya."
"Agaknya kami sudah tidak mempunyai kepentingan apa-apa lagi di luar, Ki Tunggul. Karena itu, maka kami telah menyelarak pintu rumah kami," berkata ibu Kasadha kemudian.
"Baiklah. Aku akan segera mengatakan kepentinganku datang kemari. Sudah aku katakan, bahwa aku berniat baik. Aku akan meneruskan pembicaraan kita di bulak tadi. Aku memang tidak mau bertengkar di jalan meskipun tidak akan ada orang yang berani menegurku. Tetapi aku semata-mata menghormati kalian, perempuan yang katanya merasa malu ribut-ribut di pinggir jalan."
Ibu Kasadha, bibinya dan Kasadha sendiri tidak menjawab. Mereka menunggu Ki Tunggul itu berkata selanjutnya meskipun mereka sudah dapat menduga, apa yang akan dikatakannya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian Ki Tunggul itu berkata, "aku akan melanjutkan pembicaraan kita. Aku benar-benar berniat untuk melamarmu. Sudah hampir setahun aku menduda. Bukankah sudah cukup lama anak-anakku hidup dalam kegersangan karena mereka tidak mempunyai seorang ibu?"
"Dimana ibu-ibu mereka?" bertanya bibi Kasadha.
Sementara Kasadhapun mengerutkan keningnya, karena kesan dari pertanyaan itu adalah bahwa isteri laki-laki itu tidak hanya satu.
Ki Tunggul menjadi tegang mendengar pertanyaan itu. Jawabnya, "Kau tidak perlu tahu kemana mereka pergi. Tetapi mereka adalah perempuan-perempuan yang tidak tahu diri. Perempuan-perempuan malas yang hanya pandai menghabiskan uang untuk bersolek dan membeli barang-barang perhiasan yang tidak sewajarnya. Karena itu mereka sudah aku usir dari rumahku. Aku tidak peduli kemana mereka akan pergi dan apa yang akan mereka lakukan kemudian, karena itu sudah bukan tanggung-jawabku lagi."
"Tetapi ternyata anak-anak mereka membutuhkan mereka," berkata bibi Kasadha.
"Sudahlah. Jangan hiraukan mereka. Aku memerlukan kau, itu saja. Kau akan menjadi isteriku dan menjadi ibu dari anak-anakku. Kau akan dapat hidup lebih baik daripada hidup di gubuk yang miring ini," berkata Ki Tunggul.
"Gubuk ini tidak miring, Ki Tunggul," sela Kasadha tiba-tiba sambil tersenyum.
Namun Ki Tunggul itu membentak, "Kau anak dungu. Kau tentu tahu bahwa gubuk ini buruk, kotor dan pengap."
Kasadha tidak menjawab lagi. Tetapi ia menyembunyikan senyumnya sambil menunduk dalam-dalam.
Sementara bibi Kasadha itu menjawab, "Ki Tunggul, bukankah sudah aku katakan bahwa aku akan segera kembali kepada suamiku. Karena itu, aku tidak dapat memenuhi keinginan Ki Tunggul. Apalagi akupun termasuk perempuan yang malas dan tidak mempunyai kelebihan apapun dari perempuan-perempuan lain."
"Tetapi kau terbiasa bekerja keras. Kau dapat bekerja sehari penuh di sawah melampaui ketahanan kerja seorang laki-laki. Bukankah itu satu kelebihan?" berkata Ki Tunggul.
Kasadhapun tahu pasti mendengar jawaban itu, bahwa bibinya memang tidak akan dijadikan seorang isteri yang sewajarnya. Tetapi ia akan menjadi seorang budak. Karena itu, maka di luar sadarnya timbullah kebenciannya kepada Ki Tunggul itu. Namun Kasadha berusaha untuk tidak mencampuri persoalannya jika tidak terpaksa.
Sementara itu, bibinyapun menjawab, "Sudahlah Ki Tunggul. Aku tidak akan dapat kau jadikan isterimu sekaligus budakmu. Sebaiknya aku kau lupakan saja. Dalam waktu dekat, suamiku tentu akan datang kemari. Soalnya tinggal, apakah aku akan mengikut suamiku ke Pajang atau suamiku yang akan tinggal disini."
Wajah Ki Tunggul menjadi merah. Katanya, "Kau tahu bahwa di padukuhan ini tidak seorangpun yang dapat mencegah kemauanku. Karena itu pikirkan masak-masak. Jika aku tidak mendengar kabar bahwa kau akan kembali ke suamimu, aku akan memberimu kesempatan berpikir beberapa hari lagi. Tetapi justru karena anak itu membawa bawa kabar bahwa kau akan kembali pada suamimu, maka aku harus mendapat kepastianmu sekarang. Aku tidak mau terlambat."
"Aku sudah memberimu kepastian," jawab bibi Kasadha.
"Jangan membuat aku marah," berkata Ki Tunggul, "jika kau mengharap perlindungan dari Ki Bekel, itu akan berarti sia-sia. Ki Bekel tidak akan berani menentangku, ia sudah berada di bawah pengaruhku."
"Jika demikian aku akan melaporkannya kepada Ki Jagabaya. Bahkan jika perlu Ki Demang, karena Ki Tunggul tahu bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang berpegang teguh pada paugeran bebrayan sehingga Ki Jagabaya tentu akan bersedia melindungiku," berkata bibi Kasadha.
"Kau tidak akan mendapat kesempatan," berkata Ki Tunggul.
"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke rumah Ki Jagabaya. Aku sudah tahu rumahnya meskipun agak jauh," berkata bibi Kasadha.
"Kau tidak akan sempat melakukannya meskipun besok pagi-pagi, karena malam ini aku sudah memutuskan membawamu ke rumahku. Aku sudah terlalu sabar menunggumu. Tetapi aku tidak mau didahului oleh suamimu," berkata Ki Tunggul.
"Tidak," bibi Kasadha hampir berteriak, "kau kira aku apa sehingga kau akan dapat membawaku sekehendakmu sendiri?"
"Aku tidak peduli," berkata orang itu. Sambil memberi isyarat kepada kedua orang pengiringnya Ki Tunggul itu berkata, "Aku sudah tidak dapat menahan diri lagi. Kau malam ini harus sudah berada di rumahku. Kau harus berganti pakaian yang pantas sebagai isteriku sehingga kecantikanmu akan semakin nyata."
"Tidak," wajah bibi Kasadha menjadi merah. Namun ketika ia melihat Kasadha, maka iapun mencoba untuk menahan diri. Seperti yang dikatakannya sendiri, ia tidak mau menjadi seorang perempuan yang terasing, karena ia memiliki kemampuan berkelahi. Ia telah berhasil mengatasi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga ia tidak ingin merusaknya jika tidak terpaksa sekali.
Karena itu, maka ia menyerahkan persoalannya kepada Kasadha agar jika Ki Tunggul itu mempergunakan kekerasan, anak muda itu dapat mengatasinya.
"Kedudukan perempuan di desa kecil ini berbeda dengan kedudukan Warsi di padepokannya atau Iswari di Tanah Perdikannya," berkata bibi Kasadha itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah ketika kedua orang pengikut Ki Tunggul itu mulai bergerak, Kasadha berkata, "Ki Tunggul. Bibi telah menyatakan sikapnya. Sebaiknya Ki Tunggul juga menghormati haknya. Karena itu, Ki Tunggul jangan memaksa bibi untuk tunduk kepada kemauan Ki Tunggul. Apalagi menurut kesimpulanku dari pembicaraan Ki Tunggul dan bibi, sebenarnyalah bibi tidak akan menjadi seorang isterinya dengan hak sepenuhnya sebagai seorang isteri yang wajar. Tetapi bibi akan menjadi seorang isteri yang dibebani oleh pekerjaan yang berat karena bibi mampu bekerja keras. Karena itu, biarlah bibi kembali kepada paman tanpa gangguan orang lain. Termasuk Ki Tunggul."
Kemarahan Ki Tunggul menjadi semakin menyala di dadanya. Dengan lantang ia berkata, "Kau anak yang masih berbau kencur. Kau mau apa" Sebaiknya kau bujuk agar bibimu dapat berpikir bening sehingga ia bersedia ikut bersamaku. Kaupun boleh ikut bersamaku dan ibumu sekaligus. Sawahku cukup luas untuk kalian kerjakan menurut kehendakmu."
Kasadha menggeleng. Katanya, "Sudahlah. Kami sudah cukup memberikan penjelasan. Sekarang aku mohon Ki Tunggul pulang saja agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan."
Seorang di antara pengiring Ki Tunggul itu nampaknya tidak sabar lagi. Karena itu maka iapun maju selangkah mendekati Kasadha sambil membentak, "Jika kau membuka mulutmu lagi, aku akan mengoyaknya."
Kasadha tidak segera menjawab. Tetapi iapun telah bangkit berdiri. Tetapi ia melangkah surut ketika pengiring Ki Tunggul itu melangkah maju.
"Ki Sanak," berkata Kasadha, "bukankah kita mempunyai mulut untuk berbicara dan menyelesaikan persoalan kita" Apakah kita perlu mempergunakan kekerasan sehingga di antara kita, orang-orang dewasa saling berkelahi" Bukankah itu akan dapat menjadi bahan tertawaan anak-anak yang masih pantas berkelahi."
Tetapi orang itu tidak menjawab. Tangannyalah yang dengan cepat bergerak menampar wajah Kasadha.
Tetapi tangan itu ternyata tidak menyentuhnya sama sekali. Hampir tidak masuk akal bahwa tangannya tidak mengenai sasaran, sementara Kasadha seakan-akan tidak bergerak sama sekali.
Pengiring Ki Tunggul itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya kemarahannya sudah tak terbendung lagi. Bahwa tangannya tidak menyentuh sasarannya telah membuatnya semakin geram.
Namun Kasadha tidak mau terjadi keributan di dalam rumah itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Ki Sanak. Meskipun aku tahu bahwa kau adalah salah seorang pengikut Ki Tunggul yang tentunya dianggap sebagai orang kuat atau bahkan memiliki ilmu yang tinggi, namun aku tidak akan membiarkan kau atas nama orang yang mengupahmu berbuat sewenang-wenang terhadap bibi. Betapapun lemahnya aku, tetapi aku juga seorang laki-laki. Aku tidak tahu apakah aku mampu melakukan atau tidak. Namun aku akan mencegahmu jika kau akan mengambil bibi di luar kehendak bibi itu sendiri. Karena itu, jika kau ingin memaksakan kehendakmu atas nama orang yang mengupahmu, maka kita tentu akan beradu kekerasan. Tetapi sudah tentu tidak di dalam rumah yang sempit ini. Kita akan berkelahi di luar rumah. Meskipun gelap malam telah menyelimuti halaman rumah ini, tetapi kita tidak akan terganggu karenanya."
Wajah pengiring Ki Tunggul itu menjadi merah. Kemarahannya telah sampai ke ubun-ubun. Apalagi ketika Ki Tunggul berkata, "Selesaikan anak itu."
Kasadha tidak menunggu lagi. Iapun segera bergeser ke pintu, sementara Ki Tunggul telah mengisyaratkan agar kedua pengikutnya mengikutinya.
Sejenak kemudian Kasadha sudah berdiri di halaman rumah ibunya. Sementara itu kedua orang pengikut Ki Tunggul dan bahkan Ki Tunggul sendiri telah keluar pula.
Dalam pada itu terdengar suara Ki Tunggul, "Buatlah anak itu menjadi jera. Ia harus tahu, siapa aku dan seberapa besar pengaruhku disini. Meskipun ia akan berteriak-teriak, jika orang-orang di sekitar rumah ini tahu, bahwa aku ada disini, maka mereka tentu tidak akan berani berbuat apa-apa."
Kasadha hanya berdiam diri saja mendengar kata-kata Ki Tunggul itu. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Jangan ragu-ragu," berkata Ki Tunggul kemudian.
Kedua orang itupun kemudian telah mendekati Kasadha yang melangkah surut justru ke tengah-tengah halaman.
"Kau akan menyesal anak muda," geram salah seorang dari kedua orang pengikut Ki Tunggul, "jika kau mampu bertahan untuk hidup, maka kau tentu akan menjadi cacat untuk seumur hidupmu."
"Tetapi aku akan membiarkan anak yang cacat itu ikut bersama bibinya di rumahku," berkata Ki Tunggul.
Kasadha masih saja berdiam diri. Namun ia benar-benar telah bersiap.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun mulai bergerak. Agaknya merekapun menyadari, melihat sikap Kasadha, maka mereka sudah memperhitungkan, bahwa anak muda itu bukannya anak muda yang kosong sama sekali. Setidak-tidaknya anak muda itu tentu merasa bahwa ia mampu melawan kedua orang pengikut Ki Tunggul itu.
Kasadhapun telah bergeser selangkah surut. Namun iapun kemudian mulai meloncat sambil menggapai salah seorang lawannya untuk memancingnya mulai menyerang.
Sebenarnyalah orang itu menghindari tangan Kasadha. Namun dengan cepat orang itu telah bergerak untuk menyerang.
Dengan demikian, maka perkelahianpun telah di. mulai. Meskipun Kasadha seorang prajurit dan lebih dari itu ia adalah murid Ki Ajar Paguhan, namun ia tidak merendahkan kemungkinan yang dimiliki oleh kedua orang lawannya. Keduanya tentu orang-orang yang terbiasa melakukan kekerasan.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga itupun bergerak semakin cepat. Kedua orang pengikut Ki Tunggul itu menjadi semakin yakin bahwa anak muda itu memang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
Ki Tunggul memperhatikan perkelahian yang terjadi di halaman rumah itu. Dalam kegelapan ia melihat kedua belah pihak saling menyerang dan menghindar.
Namun Ki Tunggul itu mulai menjadi cemas karena kedua orang kepercayaannya itu tidak segera menyelesaikan anak muda itu.
Dengan demikian, maka Ki Tunggulpun segera mendekati arena. Ki Tunggul menjadi semakin jelas melihat mereka yang berkelahi itu karena bulan di langit mulai tersembul dari balik dedaunan yang rimbun di halaman itu.
Dalam pada itu, ternyata ibu dan bibi Kasadha juga keluar dari pintu rumah mereka untuk menyaksikan apakah yang telah terjadi di halaman.
Sebenarnyalah perkelahian itu sudah menjadi semakin sengit. Namun dengan demikian, baik Ki Tunggul maupun ibu dan bibi Kasadha segera melihat, bahwa kemampuan mereka memang kurang seimbang. Beberapa kali Kasadha telah mampu mengenai tubuh lawan-lawannya. Bahkan seorang di antara mereka terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya dan jatuh terlentang. Namun untunglah bahwa ia masih mampu menyelamatkan dirinya.
Dalam perkelahian selanjutnya, maka ibu dan bibi Kasadha melihat bahwa Kasadha benar-benar telah menguasai kedua lawannya. Namun agaknya Kasadha tidak ingin membuat keduanya menjadi sangat malu karena kekalahan mereka yang hanya dalam waktu yang terhitung singkat, sedangkan sebelumnya mereka seakan-akan yakin bahwa mereka akan dapat memperlakukan Kasadha sekehendak hati mereka. Karena itu dalam perkelahian selanjutnya, Kasadha seakan-akan hanya sekedar melayani saja. Ia memang menunggu sampai kedua orang itu kehabisan tenaga dengan sendirinya karena kelelahan.
Namun kedua orang pengikut Ki Tunggul yang merasa selalu terdesak, bahkan beberapa kali telah dikenai serangan Kasadha, tidak membiarkan diri mereka kehilangan kepercayaan Ki Tunggul. Ketika keduanya semakin menyadari kemampuan anak muda itu, maka seorang di antara mereka telah memberikan isyarat agar mereka mempergunakan senjata mereka.
Dengan demikian, sejenak kemudian, maka kedua orang pengikut Ki Tunggul itu telah menarik golok mereka. Dengan geram seorang di antara mereka berkata, "Kau ternyata tidak tahu bahwa kau masih dikasihani. Betapa kami memberi kesempatan kepadamu untuk melihat kenyataan bahwa kau tidak akan mampu menghalangi kami, tetapi agaknya kau memang keras kepala."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Ternyata kedua orang itu sudah mempergunakan senjata mereka, sehingga perkelahian itu akan menjadi bersungguh-sungguh.
Tetapi Kasadha tidak membawa senjatanya. Ketika ia melangkah keluar, ia melupakan pedangnya.
Meskipun demikian Kasadha sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan Kasadha berniat menghentikan perlawanan kedua orang itu jika ternyata mereka bersungguh-sungguh. Menurut perhitungan Kasadha, keduanya tidak akan terlalu berbahaya baginya meskipun keduanya bersenjata.
Namun ternyata ibunyalah yang menjadi cemas. Meskipun ketika ia sempat melihat Kasadha bertempur ia mengerti bahwa ilmu anaknya sudah semakin meningkat, namun menghadapi kedua orang bersenjata itu, ibunya merasa perlu meyakinkan dirinya bahwa Kasadha tidak akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka iapun kemudian telah memanggil anaknya dan berkata, "Kasadha, ini pedangmu."
Kasadha berpaling. Ia melihat ibunya telah melemparkan pedangnya kepadanya.
Dengan tangkas Kasadha menerima pedangnya. Bahkan ketika kedua orang lawannya melangkah maju sambil mengacukan goloknya, Kasadha telah menarik pedangnya pula sambil berkata, "Kalianlah yang telah mendahului menarik senjata dari sarungnya. Karena itu jika darah nanti menetes di halaman rumah ini, bukan tanggung jawabku."
Tantangan Kasadha itu ternyata telah menggetarkan hati kedua orang itu. Anak itu ternyata berbeda dengan orang-orang Bayat yang pernah diperlakukan dengan kasar oleh mereka berdua. Anak itu dengan tatapan mata yang tajam memandang keduanya berganti-ganti, sementara ujung pedangnya dengan mantap terjulur lurus ke depan.
Namun sebelum mereka mulai menggerakkan senjata mereka, Ki Tunggul berkata hampir berteriak, "Hentikan kebodohan kalian berdua. Apakah mata kalian tidak melihat siapakah lawan mereka?"
Kedua orang pengiring Ki Tunggul itu termangu-mangu. Namun Ki Tunggul yang melihat pedang Kasadha kemudian melangkah maju sambil berkata, "Anak ini tentu seorang prajurit."
Kedua orang kepercayaan Ki Tunggul itu menjadi tegang. Namun ibu dan bibi Kasadhapun terkejut mendengar tebakan Ki Tunggul yang tepat itu.
Sementara itu Kasadha sendiri juga menjadi heran. Karena itu maka iapun telah bertanya, "Dari mana Ki Tunggul tahu?"
"Aku pernah menjadi prajurit," jawab Ki Tunggul, "tetapi aku tidak merasa betah karena aku merasa seperti ditelikung oleh paugeran-paugeran yang tidak masuk akal. Selebihnya aku telah membentuk diriku sendiri. Jangan terlalu cepat menepuk dada. Aku sama sekali tidak gentar menghadapi seorang prajurit. Apalagi dengan demikian aku tahu bahwa kau telah membual di hadapanku. Aku tidak senang sama sekali terhadap sikapmu itu, sehingga karena itu, maka aku akan menentukan apa yang akan aku lakukan atasmu. Aku harus membungkam mulutmu bukan hanya untuk sesaat, tetapi untuk selama-lamanya agar apa yang aku lakukan ini tidak berbekas. Kemudian aku akan membawa bibi dan ibumu bersamaku sekarang."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat wajah Ki Tunggul, iapun tahu bahwa Ki Tunggul tentu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Ternyata ibu dan bibinyapun melihat pancaran wajah Ki Tunggul itu, sehingga di luar sadarnya ibu dan bibinya bergeser mendekatinya.
"Kasadha," bisik ibunya, "pandanglah bulan itu. Hisap getaran inti sinarnya dengan seluruh permukaan kulitmu. Kekuatan yang terpancar daripadanya akan menyusup ke lubang-lubang kulitmu sehingga getarannya akan membuat kemampuan dan ilmumu mekar di dalam dirimu, termasuk tenaga dalammu."
Kasadha mengerutkan keningnya. Ia memang menengadahkan wajahnya memandang bulan di langit. Meskipun belum bulat, tetapi bulan itu memancarkan sinarnya yang keemasan menyiram tubuh Kasadha.
Tetapi Kasadha sama sekali tidak tertarik kepada sinar bulan untuk memekarkan kemampuan dan ilmunya, karena gurunya tidak mengajarinya demikian. Namun Kasadha tidak mau mengecewakan ibunya. Beberapa saat ia memandang bulan itu, kemudian mengangkat pedangnya tinggi. Namun di dalam hati ia berkata, "Jika aku dipengaruhi oleh sinar bulan, maka di siang hari atau di saat-saat bulan tidak bersinar, aku merasa bahwa kemampuanku dan ilmuku akan menyusut."
Tetapi apa yang dilakukan oleh Kasadha itu ternyata telah menarik perhatian Ki Tunggul. Katanya, "Kau termasuk salah seorang pemuja bulan dan mendapat kekuatan dari padanya" Persetan. Kau kira aku menjadi gentar karenanya. Pengaruh sinar bulan itu tidak akan menggetarkan selembar rambutku. Apalagi jantungku."
Kasadha tidak menjawab. Tetapi ia mulai melangkah maju mendekati Ki Tunggul sambil menggerakkan ujung pedangnya.
*** JILID 46 KI TUNGGULPUN kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebuah luwuk yang panjang. Pada tangkainya terdapat ukiran yang dihias dengan rambut yang Kasadha mengira rambut itu tentu rambut manusia, sebagaimana sering dilihat sebelumnya, bahwa rambut manusia memberikan kebanggaan tersendiri kepada pemiliknya. Apalagi rambut orang yang telah dibunuhnya dalam persoalan apapun.
"Marilah anak muda," berkata Ki Tunggul, "kita akan bertempur seorang lawan seorang. Jangan menyesal bahwa di padukuhan kecil ini kau bertemu dengan seseorang yang memiliki kemampuan melampaui Senapatimu sekalipun."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Ki Tunggul yang memiliki pengaruh yang besar itu agaknya memang seorang yang tidak mau dikecewakan. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain.
Namun Kasadhapun menyadari, bahwa Ki Tunggul itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Ia mengerti juga bahwa ada kekuatan yang bersumber dari siraman cahaya bulan.
Demikianlah keduanyapun telah berhadapan. Ki Tunggul mulai menggerakkan luwuknya yang kehitam-hitaman. Pamornya nampak berkilat memantulkan cahaya bulan Sementara itu Kasadha menggenggam sebilah pedang yang tajamnya bagaikan membelah cahaya bulan itu.
Sejenak kemudian, luwuk Ki Tunggul itupun mulai terayun. Namun Kasadha yang ingin menjajaginya telah menyentuh luwuk itu dengan pedangnya.
Satu benturan kecil telah terjadi. Tetapi dengan benturan itu keduanya masih belum dapat menduga kekuatan dan kemampuan mereka masing-masing.
Karena itu, maka keduanya masih harus tetap berhati-hati. Masing-masing masih belum tahu pasti, sampai di manakah tataran kekuatan lawannya. Terutama Kasadha yang masih belum melihat sama sekali, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Tunggul, sementara Ki Tunggul telah melihat bagaimana ia mampu mengalahkan para pengawalnya.
Dengan demikian, maka Kasadha masih saja berusaha untuk dapat membentur ayunan senjata lawannya. Ketika sekali-sekali benturan yang keras terjadi, maka Kasadhapun mengetahui, bahwa lawannya memiliki kekuatan yang sangat besar.
Demikianlah, sejenak kemudian, pertempuran antara Kasadha dan Ki Tunggul itu menjadi semakin cepat. Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Bahkan semakin lama semakin tinggi. Luwuk Ki Tunggulpun berputaran semakin cepat. Ayunannyapun menjadi semakin kuat. Beberapa kali Kasadha memang harus meloncat surut untuk menghindari sambaran luwuk Ki Tunggul itu.
Tetapi pedang Kasadhapun tidak pula kalah garangnya. Pedang itu bagaikan terbang menyambar-nyambar. Pantulan kilatan cahaya bulan kadang-kadang memang membuat jantung Ki Tunggul berdebaran apalagi setelah ia menduga bahwa Kasadha termasuk salah seorang pemuja bulan yang mengisap sinarnya dengan lubang-lubang kulitnya untuk meningkatkan kemampuannya.
"Iblis kecil ini ternyata keras kepala," berkata Ki Tunggul di dalam hatinya, "tetapi ia harus benar-benar dihancurkan agar tidak ada lagi tuntutan karena aku telah berani melawan seorang prajurit. Meskipun prajurit itu tidak sedang bertugas, tetapi prajurit muda itu dapat menyatakan bahwa ia sedang melindungi seseorang, apalagi orang itu adalah bibinya."
Karena itu, maka setelah mereka bertempur beberapa saat, Ki Tunggul menjadi tidak sabar lagi. Iapun telah mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak.
Kasadha memang terdesak untuk beberapa saat. Ibunya sempat menjadi cemas melihat keadaannya. Meskipun ia sendiri akan dapat menyelesaikan Ki Tunggul, tetapi itu akan dapat merusak suasana hidupnya sehari-hari.
"Apakah aku harus menyelesaikan persoalan ini sebagaimana pernah aku lakukan?" pertanyaan itu mulai timbul di dalam hati ibu Kasadha itu.
Namun hatinya menjadi sedikit tenang, ketika ia melihat anaknya menjadi mapan lagi. Kasadha tidak lagi nampak terdesak setelah iapun meningkatkan kemampuannya pula. Pedangnya berputar secepat luwuk Ki Tunggul.
Ki Tunggul sempat mengumpat di dalam hati. Anak muda itu ternyata tidak segera dapat ditundukkan. Menurut perhitungannya, sebagaimana dikenalnya, kemampuan para prajurit tidak akan dapat memanjat sampai ke tingkat kemampuan anak muda itu.
Karena itu, maka Ki Tunggul itupun menjadi semakin yakin, bahwa Kasadha adalah seorang yang bukan saja memiliki kemampuan seorang prajurit, tetapi juga pernah berguru kepada seseorang yang ternyata pemuja bulan.
Karena itu, maka dalam siraman sinar bulan, maka kemampuannya telah menjadi semakin berkembang.
Ki Tunggul itupun kemudian berusaha untuk mendesak Kasadha agar anak muda itu lepas dari pengaruh sinar bulan dan bertempur di bawah bayangan pepohonan. Namun ternyata bahwa Ki Tunggul tidak mampu melakukannya. Ternyata Kasadha cukup trampil menanggapi usaha Ki Tunggul itu. Jika serangan Ki Tunggul itu datang memburu, maka dengan tangkasnya Kasadha meloncat berputaran. Namun Ki Tunggul itu tidak pernah dapat mendesak Kasadha sehingga tenggelam dalam bayangan pepohonan yang rimbun di halaman rumah itu. Setiap kali Kasadha sempat menembus desakan lawannya dan kembali berdiri di terangnya sinar bulan yang kekuningan. Sehingga dengan demikian, maka Ki Tunggulpun menjadi semakin yakin, bahwa Kasadha adalah seorang di antara mereka yang berusaha menyerap cahaya bulan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan.
Kasadhapun ternyata mengerti juga usaha lawannya. Justru karena itu, maka Kasadha setiap kali selalu berusaha untuk berada di cerahnya sinar bulan yang bergerak semakin tinggi.
"Anak iblis," geram Ki Tunggul itu di luar sadarnya, "kau kira bulan itu akan dapat menolongmu?"
Kasadha tidak menjawab, tetapi ia menjadi semakin yakin, bahwa lawannya menyangka ia termasuk seorang yang bergantung pada cahaya bulan.
Justru karena itu, maka Kasadha semakin keras berusaha agar ia nampak selalu berusaha berada di bawah cahaya bulan sehingga pada suatu saat ia akan menunjukkan bahwa bulan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Jika ibu menjadi kecewa, aku akan menjelaskan," berkata Kasadha kepada diri sendiri.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tunggul masih saja berusaha mendesak lawannya, tetapi Kasadha justru tetap berusaha bertahan di bawah sinar bulan yang semakin lama seakan-akan menjadi semakin cerah.
Namun sebenarnyalah bahwa kemampuan Ki Tunggul memang tidak dapat untuk mengatasi kemampuan Kasadha. Beberapa kali Ki Tunggullah yang justru terdesak. Sehingga Ki Tunggul itupun mencoba untuk berganti cara. Ia tidak lagi berusaha mendesak Kasadha, tetapi ia justru mencoba memancing agar Kasadha memburunya ke kegelapan oleh bayangan dedaunan.
Mula-mula Kasadha masih mencoba untuk tidak terpancing memasuki bayangan dedaunan. Namun akhirnya ia menjadi jemu untuk selalu menghindari bayangan pepohonan. Justru karena itu, maka ketika Ki Tunggul itu terdesak dan dengan serta-merta meloncat ke bawah lindungan dedaunan, maka Kasadhapun telah memburunya. Dalam pada itu, demikian tubuh Kasadha lepas dari cahaya bulan maka dengan serta-merta Ki Tunggul meloncat menyerangnya sambil berteriak nyaring, "Tengadahkan wajahmu kepada bulan yang kau sembah itu. Mintalah pertolongannya agar kau mampu menyelamatkan dirimu."
Namun Ki Tunggul itu terkejut. Serangannya sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Ketika luwuknya terjulur lurus mengarah kepada Kasadha, maka Kasadhapun dengan tangkasnya telah menangkis serangan itu. Dengan kuatnya Kasadha memukul luwuk itu ke samping. Demikian kerasnya, sehingga hampir saja luwuk itu terlepas dari tangannya. Namun selagi ia berusaha mempertahankan luwuk itu, maka dengan kecepatan melampaui kesadaran Ki Tunggul, pedang Kasadha bergerak terayun mendatar.
Terdengar Ki Tunggul mengaduh perlahan. Sambil meloncat surut Ki Tunggul telah meraba pundaknya. Terasa cairan yang hangat telah meleleh dari luka yang menganga di pundaknya itu. Namun baru sejenak kemudian perasaan pedih menyengat lukanya, setelah keringatnya yang menitik mulai membasahi lukanya itu.
Kasadha tidak memburunya. Tetapi ia menunggu Ki Tunggul mempersiapkan diri untuk melanjutkan pertempuran.
Ibunya yang menjadi cemas melihat Kasadha memburu lawannya ke dalam bayangan dedaunan telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata di bawah bayangan yang menghalangi cahaya bulan, Kasadha masih tetap seorang yang memiliki ilmu yang mampu mengatasi ilmu lawannya.
Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tunggul menggeram, "Ternyata kau memang anak iblis yang licik."
"Kenapa?" bertanya Kasadha.
"Kau menunggu aku menjadi lengah, justru karena aku yakin bahwa kau telah menyerap kekuatan sinar bulan untuk meningkatkan ilmumu yang kotor itu."
"Kenapa aku kau anggap licik" Kenapa kau tidak melakukannya juga karena sinar bulan itu melimpah dan tidak habis aku serap seberapapun aku perlukan?" jawab Kasadha.
"Kau jangan terlalu sombong karena kau sempat melukai aku," geram Ki Tunggul, "tetapi aku sudah bersikap. Kau harus mati dan berkubur di kebun ini. Kau akan diam dan kedua perempuan itupun tidak akan sempat berbicara kepada siapapun. Aku memerlukan bibimu. Jika benar yang seorang itu ibumu maka ia akan mengalami nasib sebagaimana nasibmu. Ia akan diam untuk selama-lamanya. Nah, kau yakin bahwa tidak akan ada saksi yang dapat mengatakan apa yang terjadi disini?"
Tetapi Kasadha tertawa. Katanya, "Jangan berkata begitu Ki Tunggul. Tidak mudah untuk membunuh seseorang, karena kematian kami tidak berada di tanganmu. Juga batas kematianmu tidak berada di tangan kami. Tetapi jika aku akan menjadi perantara, maka kau akan dapat terbunuh disini justru karena kau memang sudah sampai ke batas hidupmu yang sesat itu."
"Tutup mulutmu iblis kecil," geram Ki Tunggul sambil menyerang. Luwuknya terayun deras menebas ke arah leher. Namun Kasadha yang sudah yakin akan kelebihannya, telah menangkis serangan itu. Dengan demikian maka benturan telah terjadi dengan kerasnya. Sekali lagi Ki Tunggul terkejut. Luwuknya hampir saja terlepas dari tangannya.
Dengan demikian, maka akhirnya Ki Tunggul itu menyadari, dengan atau tidak dengan sinar bulan, maka kemampuan anak muda itu memang berada di atas kemampuannya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali membawa kedua pengawalnya ke dalam pertempuran itu dengan satu perintah yang tegas, "Bunuh anak yang sombong itu. Meskipun ia seorang prajurit, tidak seorangpun akan dapat menjadi saksi."
Kasadha meloncat selangkah surut. Jantungnya memang menjadi berdebar-debar. Dengan demikian berarti bahwa ia harus bertempur melawan ketiga orang itu sekaligus. Meskipun seorang demi seorang kemampuan mereka tidak banyak berarti, tetapi bersama-sama mereka akan menjadi lawan yang berat.
Tetapi Kasadha sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Ia tidak mempunyai pilihan lagi. Apalagi Ki Tunggul nampaknya telah berniat untuk benar-benar membunuhnya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Kasadha telah bersiap. Di luar sadarnya ia telah bergeser keluar dari bayangan dedaunan. Sinar bulan yang semakin tinggi itu, rasa-rasanya menjadi semakin terang.
Di waktu Kasadha masih kanak-kanak dan bernama Puguh, jarang sekali ia sempat bermain-main di terangnya bulan. Jika anak-anak sebayanya bermain kejar-kejaran, maka Kasadha harus tinggal di dalam biliknya yang sempit pengap. Yang didengarnya tidak lebih dari makian dan umpatan kasar.
Justru setelah ia dewasa dan menjadi seorang Lurah prajurit, maka rasa-rasanya ia mendapat kesempatan untuk bermain-main sepuas-puasnya di bawah sinar bulan, meskipun permainan yang dilakukan adalah permainan yang berbahaya. Permainan dengan taruhan maut.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Kasadha harus bertempur melawan ketiga orang itu. Ki Tunggul dengan kedua orang pengawalnya, yang keduanya tidak berdaya menghadapinya. Namun bertiga dengan Ki Tunggul mereka akan dapat memecah pemusatan nalar budinya.
Warsi dan adik sepupunya menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka mengerti bahwa Kasadha memiliki kemampuan yang tinggi, namun melawan ketiga orang itu, rasa-rasanya memang akan terlalu berat baginya.
Karena itu Warsipun menjadi semakin berhati-hati. Diamatinya pertempuran itu dengan sungguh-sungguh. Setiap saat ia akan dapat terpanggil untuk berbuat sesuatu, jika Kasadha mengalami kesulitan.
Meskipun demikian, ketika ia melihat Kasadha sudah berada di bawah sinar bulan yang semakin terang itu, hatinya terasa menjadi semakin tegar, meskipun ia masih belum pasti, apakah sinar bulan itu berpengaruh atau tidak atas anak laki-lakinya, karena nampaknya Kasadha sendiri tidak begitu menaruh perhatian atas sinar bulan itu sendiri.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah berlangsung kembali. Memang terasa bagi Kasadha bahwa ia harus lebih banyak mengerahkan tenaganya. Namun dengan tenaga dalamnya, maka Kasadha telah membuat ketiga orang lawannya mengalami kesulitan.
Sambil berloncatan menyerang dan menghindari serangan, Kasadha masih sempat berkata, "Ki Tunggul. Urungkan niatmu. Jika kau masih saja berniat buruk terhadap bibi, maka aku akan dapat kehabisan kesabaran. Tetapi jika kau mengurungkannya, dan bersedia meninggalkan tempat ini, maka kau akan kami maafkan."
Tetapi nampaknya Ki Tunggul juga seorang yang keras hati.
"Hanya ada satu hal yang dapat menghentikan pertempuran ini. Jika kau sudah mati," jawab Ki Tunggul sambil menyerang dengan garangnya.
Kasadha sempat menghindar. Bahkan pedangnya yang berputar telah menggeliat dan menyambar salah seorang pengawal Ki Tunggul itu, sehingga terdengar keluhan tertahan. Sebuah goresan telah menyilang di dada orang itu. Tidak terlalu dalam, namun luka itu telah menitikkan darah.
Ki Tunggullah yang mengumpat kasar. Dengan garangnya ia meloncat menyerang, seakan-akan memberi kesempatan kepada pengawalnya yang terluka untuk memperbaiki kedudukannya. Namun Kasadha sempat bergeser dan menangkis serangan Ki Tunggul. Ketika kemudian pedangnya terjulur, maka Ki Tunggul itu harus meloncat menghindari menjauhi lawannya. Namun dalam pada itu, pengawalnya yang lain telah mencoba mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat ia melenting sambil mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher Kasadha tanpa ragu-ragu. Ia memang benar-benar ingin membunuh anak muda itu.
Namun ternyata bahwa Kasadha telah menghindarinya dengan merendahkan diri, berlutut pada satu kakinya. Namun sementara itu, pedangnya telah terjulur lurus menyongsong lawannya yang menyerangnya.
Pedang itu akan dapat menghunjam ke dada pengawal itu. Tetapi demikian terasa ujung pedang itu menyentuh dada, maka Kasadha justru telah menarik pedangnya. Namun demikian ujung pedang itu telah sempat melukai dada pengawal Ki Tunggul meskipun tidak terlalu dalam.
Pengawal itu terkejut, ia merasa ujung pedang yang tajam itu menyengat dadanya. Sehingga karena itu, maka iapun telah meloncat surut pula beberapa langkah.
Kasadha memang tidak memburunya. Dibiarkannya lawannya yang terluka itu berdiri termangu-mangu. Dengan tangan kirinya ia meraba lukanya yang mengalirkan darah yang hangat itu.
Dua orang pengawal Ki Tunggul telah terluka. Darah telah mengalir dari luka-luka mereka.
Ki Tunggul tidak dapat mengabaikan kenyataan itu. Ia harus membuat perhitungan yang lebih cermat untuk selanjutnya.
"Ki Tunggul," berkata Kasadha, "sebenarnyalah seorang prajurit bukan seorang pembunuh. Karena itu, maka aku tidak ingin membunuh kalian. Aku hanya ingin mencegah kalian melakukan perbuatan yang sewenang-wenang. Karena itu Ki Tunggul. Aku minta kau dan kedua orangmu mengurungkan niatmu untuk mengambil bibi. Bukan hanya sekarang karena aku ada disini. Tetapi besok atau lusa atau kapan saja. Dalam waktu yang tidak lama lagi aku akan datang kemari untuk menengok ibu dan bibi. Jika ternyata terjadi sesuatu atas mereka, maka aku akan langsung berurusan dengan Ki Tunggul. Mungkin aku tidak akan berusaha menahan diri lagi seperti sekarang ini."
Ki Tunggul menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain, karena bagaimanapun juga ia dan kedua orangnya tidak akan dapat mengalahkan prajurit muda itu.
Karena itu, maka kemudian katanya, "Baiklah. Aku mengurungkan niatku membawa bibimu sekarang."
"Sekarang" Bagaimana dengan besok, lusa dan seterusnya," bertanya Kasadha.
Ki Tunggul tidak segera menjawab. Namun Kasadha mendesaknya, "berjanjilah."
"Ya. Ya. Aku berjanji," jawab Ki Tunggul.
"Baiklah. Sekarang bawa orang-orangmu pergi. Besok pagi-pagi aku akan mengantarkan ibu dan bibi ke rumah Ki Bekel dan langsung ke rumah Ki Jagabaya. Aku akan menitipkan keduanya kepada Ki Jagabaya, setidak-tidaknya untuk mengawasinya," berkata Kasadha.
Wajah Ki Tunggul menjadi semakin tegang. Sementara Kasadha masih saja berkata, "Seandainya mereka tidak kuasa melawan pengaruhmu disini karena kau memiliki uang sehingga kau akan dapat berbuat apa saja dengan uangmu, namun kau tidak dapat melawan paugeran. Aku dapat mempergunakan kekuatan prajurit-prajuritku jika perlu untuk menegakkan paugeran itu. Berapapun banyaknya orang yang kau upah, namun prajurit Pajang, jumlahnya lebih banyak lagi."
Ki Tunggul tidak menjawab. Nampaknya anak muda itu bersungguh-sungguh. Sementara itu ia memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi menghadapinya.
Karena itu, maka iapun segera memberi isyarat kepada kedua orangnya untuk meninggalkan halaman rumah perempuan yang menolak untuk diperisteri itu.
Kasadha hanya memandang sambil berdiri termangu-mangu. Baru kemudian ia menarik nafas panjang sambil berkata kepada ibunya, "Mudah-mudahan ia tidak kembali lagi."
Ibunya mengangguk. Katanya dengan nada rendah, "Ya. Agaknya ia tidak akan kembali. Nampaknya ia benar-benar telah jera."
Namun bibinya menyahut, "Meskipun demikian, aku masih akan menemui Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati, sementara kita sendiri tidak dapat langsung melawannya meskipun kita mampu."
Ibu Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, besok pagi-pagi kita pergi menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya untuk mohon perlindungan."
"Bagaimana jika Kasadha ikut bersama kita sebelum ia kembali ke Pajang" Meskipun ia akan sampai ke baraknya lebih siang, tetapi masih dalam hari yang sama," bertanya bibi Kasadha.
Ibu Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu lebih baik. Aku harap Kasadha tidak berkeberatan."
"Baiklah ibu," sahut Kasadha kemudian, "besok aku akan ikut ke rumah Ki Bekel dan Ki Jagabaya."
Demikianlah, mereka bertigapun telah masuk ke dalam rumah mereka setelah Kasadha menutup pintu regol halaman. Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka Kasadhapun telah dipersilahkan untuk beristirahat.
Kasadha merasa beruntung bahwa ibunya sama sekali tidak bertanya tentang pengaruh cahaya bulan bagi ilmunya. Meskipun Kasadha sudah bersedia jawaban seandainya hal itu ditanyakan kepadanya.
Malam itu, Kasadha memang tidak terlalu nyenyak tidur. Ia masih saja memikirkan orang yang bernama Ki Tunggul yang pernah menjadi seorang prajurit yang ingin mengambil bibinya sebagai isterinya sekaligus sebagai budaknya.
Namun kemudian Kasadha juga mulai dibayangi lagi oleh persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Wisuda di Tanah Perdikan Sembojan dan seorang gadis yang bernama Riris.
Meskipun demikian, karena badannya yang terasa letih, maka Kasadhapun akhirnya tertidur juga. Tetapi menjelang fajar, Kasadha telah bangun. Ketika langit menjadi merah, maka senggot timbapun telah berderit. Kasadha telah mengisi jambangan penuh sebelum ia sendiri mandi di sejuknya pagi hari.
Seperti yang direncanakan maka ketika matahari terbit, Kasadha telah mengantar ibu dan bibinya ke rumah Ki Bekel untuk memberikan laporan tentang maksud Ki Tunggul. Namun jawaban Ki Bekel tidak cukup tegas. Ia nampak ragu-ragu meskipun ia dapat mengerti bahwa sikap Ki Tunggul itu tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian maka Kasadha, ibu dan bibinya memang mendapat kesan bahwa Ki Bekel itu tidak dapat bertindak tegas terhadap Ki Tunggul. Sebagaimana keterangan Ki Tunggul, bahwa Ki Bekel telah dapat dipengaruhinya.
Namun baik Kasadha, maupun ibu dan bibinya sama sekali tidak mempersoalkannya. Apalagi mereka memang telah merencanakan pergi menghadap Ki Jagabaya, karena mereka menganggap bahwa Ki Jagabaya akan selalu berpegang pada paugeran yang berlaku.
Ternyata sambutan Ki Jagabaya membesarkan hati ibu dan bibi Kasadha. Apalagi setelah Ki Jagabaya mendengar bahwa Kasadha adalah seorang prajurit Pajang.
"Baiklah Ngger," jawab Ki Jagabaya, "aku akan ikut mengawasi Ki Tunggul. Ternyata orang itu telah membuat banyak gangguan di Kademangan ini. Ki Demangpun pernah menyebut-nyebut namanya. Sementara kamipun sudah menduga bahwa Ki Bekel tidak banyak dapat berbuat apa-apa atas Ki Tunggul itu karena Ki Tunggul adalah seorang yang kaya yang dapat mempergunakan uangnya untuk mendapat pengaruh di padukuhannya. Tetapi hal itu tidak akan berlaku di Kademangan ini Ngger."
"Terima kasih Ki Jagabaya," jawab Kasadha, "kami tidak dapat lain daripada mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Nanti aku harus kembali ke Pajang, sehingga karena itu, maka pagi-pagi aku telah mengantar bibi untuk menghadap Ki Jagabaya agar hatiku menjadi tenang."
"Jangan cemas Ngger. Kami akan membantu bibi dan ibumu sejauh dapat kami lakukan. Akupun nanti akan menyampaikan hal ini kepada Ki Demang agar ketenangan bibimu lebih terjamin," berkata Ki Jagabaya itu kemudian.
Sebenarnyalah Kasadha menjadi tenang. Meskipun sebenarnya Ki Tunggul itu tidak berarti apa-apa bagi ibu dan bibinya, namun agaknya mereka tidak mau merusak anggapan orang-orang padukuhan itu tentang diri mereka.
Demikianlah, maka Kasadha serta ibu dan bibinyapun segera mohon diri, karena Kasadha akan segera kembali ke Pajang.
Keponakan Penyihir 3 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Pembunuh Di Balik Kabut 4
"Jadi kau sudah akan diwisuda?" bertanya Jangkung.
"Ya," jawab Bharata agak ragu.
"Kakang akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan?" bertanya Riris pula.
"Ya," jawab Bharata yang masih ragu.
"Bukan main. Kau akan menjadi Kepala Tanah Perdikan termuda di Pajang. He, bagaimana memanggil Kakang Bharata kemudian" Ki Gede Bharata atau siapa" Mungkin kau akan berganti nama," berkata Riris seperti pacar wutah.
"Ah," Bharata justru menjadi agak segan. Namun katanya kemudian, "Semua itu belum terpikirkan sekarang."
"Bharata," berkata Jangkung kemudian, "aku berterima kasih bahwa kau telah membawa pesan ayah kepadaku. Sudah tentu aku akan menjalankan sesuai dengan kehendak ayah. Tetapi seandainya ayah tidak berpesan kepadamu, apakah kau tidak akan singgah dan memberitahukan hal itu kepadaku, sehingga jika aku pergi ke Tanah Perdikan Sembojan itu bukan sekedar ikut bersama ayah karena ayah menghendakinya. Tetapi aku pergi ke Tanah Perdikan karena kau memang mengundangku. Sehingga kehadiranku di Tanah Perdikan itu sepenuhnya karena aku memang diundang untuk hadir. Dengan demikian maka aku adalah tamumu. Bukan sekedar mengantarkan seorang tamu. Meskipun tamu itu ayahku."
Wajah Bharata menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia menjawab, "Tentu Jangkung. Seandainya Ki Rangga tidak berpesan kepadaku, maka aku tentu singgah di rumah ini dan mengundangmu. Tetapi justru karena Ki Rangga Dipayuda sudah terlanjur memberikan pesan itu, maka agaknya kurang enak bagiku untuk tidak menyampaikannya."
"Ah, kau jangan mengada-ada Jangkung," desis ibunya. Lalu katanya, "Kami mengucapkan terima kasih Ngger, kau sudah menyampaikan pesan Ki Rangga kepada Jangkung. Aku sekeluarga mendahului mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan kau dapat menjalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya. Meskipun sejak sebelum kau menjabat, kau sudah banyak terlibat dalam pemerintahan di Tanah Perdikan itu. Namun tanggung jawab sepenuhnya selanjutnya ada di pundakmu."
"Terima kasih Nyi Rangga," jawab Bharata. Namun Bharata masih digelisahkan oleh sikap Jangkung.
Tetapi Jangkungpun kemudian tertawa. Katanya, "Aku memang tidak merasa apa-apa. Justru karena aku yakin, bahwa Bharata dipesan atau tidak dipesan oleh ayah, tentu akan singgah di rumah ini."
"Kenapa kau yakin?" bertanya Bharata yang menjadi kebingungan karena ia tidak tahu arah pembicaraan Jangkung.
Namun Jangkung itu tertawa semakin keras. Katanya, "Alasan bahwa ia membawa pesan ayah justru untuk sekedar menyelubungi rencananya yang sebenarnya."
"Ah," Bharata berdesah. Ia mulai mengerti maksud Jangkung yang mulai menggodanya. Tetapi Bharata justru merasa berbesar hati mendengarnya.
Tetapi Jangkung tidak meneruskannya. Sementara itu, Ririslah yang bertanya kepadanya ibunya tanpa menghiraukan kelakar kakaknya yang tidak diketahui artinya itu, "Apakah ibu juga akan pergi bersama ayah?"
"Ayahmu tidak mengajak aku pergi ke Tanah Perdikan. Kau dengar bahwa pesannya hanya ditujukan kepada Jangkung," jawab ibunya.
"Tetapi sebaiknya ibu pergi. Ibu berhak minta kepada ayah agar ayah mengajak ibu untuk pergi," minta Riris.
"Untuk apa?" bertanya ibunya, "di Tanah Perdikan akan ada sebuah wisuda. Bukan sebuah peralatan pernikahan atau peralatan yang lain. Karena itu, maka yang diundang tentu hanyalah mereka yang pantas untuk menghadiri wisuda itu. Seperti ayahmu dan Ki Lurah Kasadha misalnya. Dalam upacara itu tentu tidak akan diundang perempuan-perempuan yang tidak ada hubungannya dengan wisuda itu. Aku kira satu-satunya perempuan yang hadir adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang sekarang. Ibu Angger Bharata. Tidak ada perempuan yang lain."
Tetapi Riris mendesak, "Ibu tidak akan menghadiri upacara wisuda. Ibu akan menjadi tamu ibu Kakang Bharata. Bukankah tidak ada salahnya seseorang datang bertamu kepada orang lain yang sedang mendapatkan anugerah apapun ujudnya."
Ibu Riris tersenyum. Ia tahu maksud anak gadisnya. Jika ia pergi maka ada kesempatan baginya untuk ikut pula. Namun dalam pada itu Jangkung yang mengerti juga keinginan adiknya, mulai mengganggunya. Katanya, "Sebaiknya ibu tidak pergi."
"Kenapa?" bertanya Riris.
"Jika aku pergi dan ibu pergi, maka kau tidak mempunyai kawan di rumah. Memang di rumah ini masih ada beberapa orang pembantu dan bahkan Sumbaga. Namun apakah ayah, ibu dan aku sampai hati meninggalkan kau sendiri" Seandainya ibu memaksa untuk berangkat, maka sudah tentu bahwa aku akan tetap tinggal di rumah menemanimu."
"Kenapa kau harus tinggal. Kau boleh pergi sesukamu. Ikut ayah atau tidak. Kau tidak usah memikirkan aku. Aku sudah cukup dewasa dan sudah mampu menentukan sikap sendiri," sahut Riris.
"Ah, bagaimanapun juga aku tidak akan sampai hati, Riris. Kau adalah satu-satunya adikku. Karena itu, aku atau ibu akan tinggal di rumah menemanimu," gumam Jangkung.
"Cukup. Cukup," Riris hampir berteriak.
"Aku kasihan kepadamu jika kau harus tinggal di rumah sendiri," berkata Jangkung pula.
"Aku tidak membutuhkan belas kasihanmu," Riris mulai menjerit seperti biasanya jika ia mulai jengkel kepada kakaknya.
"Sudahlah," potong ibunya, "kau masih saja selalu mengganggu adikmu. Kau tentu sudah tahu maksudnya. Dan Riris masih saja membiarkan dirinya diganggu. Jika kau biarkan saja, maka kakakmu akan jengkel sendiri."
Jangkung justru tertawa semakin keras, sementara Riris beringsut mendekatinya.
"Jangan. Jangan," Jangkung menjauhinya sambil menyeringai, "aku sudah tidak akan mengganggumu lagi. Apalagi disini ada Bharata. Sebaiknya kau jangan terlalu garang."
"Awas kau," geram Riris.
"Jangan sakiti aku. Biarlah aku yang menanyakan kepada Bharata apakah Tanah Perdikan Sembojan dapat menerima jika kami datang sekeluarga," berkata Jangkung kemudian.
Bharata yang hanya menunduk saja sementara Jangkung mengganggu adiknya, tiba-tiba telah mengangkat kepalanya. Pertanyaan itu memang ditunggunya. Karena itu, maka dengan serta-merta ia menjawab, "Tentu, kami akan menerima dengan senang hati. Apalagi jika ibu mengetahui bahwa Ki Rangga Dipayuda adalah pimpinanku langsung saat aku menjadi prajurit."
Jangkunglah yang kemudian menyahut, "Nah, kau dengar. Ia sudah menjawab sebelum aku bertanya."
"Ah, kau," potong ibunya yang kemudian berkata kepada Bharata, "kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu. Tetapi sebaiknya Angger Bharata berhubungan lebih dahulu dengan keluarganya di Tanah Perdikan agar semuanya menjadi jelas dan pasti. Aku juga minta agar jika kelak keluarga Angger di Tanah Perdikan setuju bukan hanya sekedar karena perasaan segan. Tetapi kehadiran kami benar-benar tidak mengganggu. Karena kami tidak ingin membuat orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi semakin sibuk pula."
"Tentu tidak Nyi Rangga," sahut Bharata, "kami akan membagi tugas. Mereka yang memimpin persiapan wisuda adalah justru datang dari Pajang. Sedangkan kami dari Tanah Perdikan hanya menyiapkan kelengkapannya saja, termasuk kepentingan kami sendiri. Tamu-tamu kami dan sanak-kadang yang mungkin akan datang berkunjung."
"Tetapi bukankah Tanah Perdikan harus menyiapkan tempat-tempat penginapan bagi para pejabat dari Pajang" Bukankah itu sudah merupakan tugas yang sangat menyibukkan" Berapa buah rumah harus dipersiapkan. Sementara harus menyiapkan penginapan bagi kami pula," berkata Nyi Rangga Dipayuda.
Namun yang menyahut adalah Riris, "Tetapi bukankah Tanah Perdikan Sembojan cukup luas, sehingga tidak akan. penuh dengan para tamu dari Pajang?"
"Kau jangan hanya memikirkan dirimu sendiri Riris," sahut ibunya, "tetapi kita harus memikirkan kesulitan dan kesibukan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan."
Riris tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi gelap. Sementara Bharata berkata, "Nyi Rangga. Aku akan bertanggung jawab bahwa kehadiran Ki Rangga Dipayuda sekeluarga tidak akan menyulitkan kami. Sebelum aku berangkat ke Pajang kemarin, kami sudah mencoba menghitung-hitung, ada berapa buah rumah yang dapat kami pinjam dan kami siapkan untuk penginapan. Menurut perhitungan kami, maka rumah yang dapat disiapkan itu lebih banyak dari kebutuhan. Karena itu, maka aku memperhitungkan bahwa kehadiran Ki Rangga Dipayuda tidak akan menambah beban kami."
Nyi Rangga mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Riris tentu akan sangat kecewa jika mereka tidak pergi ke Tanah Perdikan. Namun Nyi Rangga itupun kemudian berkata, "Baiklah. Segala sesuatunya akan aku bicarakan dengan Ki Rangga. Mudah-mudahan Ki Rangga tidak berkeberatan jika kami sekeluarga pergi ke Tanah Perdikan Sembojan."
Namun yang menjawab adalah Jangkung, "Tentu tidak. Ayah tentu tidak akan berkeberatan. Peristiwa wisuda seorang Kepala Tanah Perdikan adalah peristiwa yang jarang terjadi. Apalagi yang diwisuda adalah orang yang kita kenal dengan baik. Sedangkan yang mengundang kita sekeluarga adalah justru orang yang diwisuda itu sendiri."
Nyi Rangga mengangguk. Namun ia masih juga berkata, "Tetapi bagaimanapun juga, biarlah ayahmu yang memutuskan."
"Ya. Sudah barang tentu ayah yang akan memutuskan," jawab Jangkung.
Demikianlah, maka keluarga Ki Rangga Dipayuda itu ternyata memang berkeinginan untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Mereka memang ingin melihat peristiwa yang jarang sekali terjadi itu. Sementara itu Riris memang serasa mendapat dorongan lain untuk pergi ke Tanah Perdikan. Kecuali untuk menyaksikan satu peristiwa yang langka, juga ia ingin melihat Bharata itu diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan. Riris sendiri tidak mengetahuinya kenapa ia merasa bangga bahwa Bharata yang muda itu telah menerima jabatan sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana setiap kali ia mendengar orang memuji kemampuan Kasadha serta kedudukannya sebagai seorang Lurah Prajurit dalam umurnya yang masih muda itu.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Nyi Ranggapun telah mempersilahkan Jangkung menemani Bharata karena Nyi Rangga akan pergi ke dapur.
"Aku juga," berkata Riris kemudian, "bukankah Kakang tidak jadi pergi ke padukuhan sebelah?"
"Tidak," jawab Jangkung, "aku memang tidak berniat untuk pergi sekarang."
Sepeninggal Nyi Rangga dan Riris, maka Jangkung dan Bharata telah berbicara tentang peristiwa yang menarik yang akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan itu. Peristiwa yang belum pernah dilihatnya. Bahkan Bharatapun berkata, "Aku juga belum pernah melihat upacara semacam itu dimanapun. Tetapi sehari sebelumnya Ki Rangga Kalokapraja akan datang dan mempersiapkan wisuda yang akan diselenggarakan itu. Sudah tentu dengan memberikan petunjuk-petunjuk apa yang harus aku lakukan."
Kasadha mengangguk-angguk, sementara Bharata bertanya, "Tetapi bukankah kau akan pergi?"
"Tidak. Aku sudah membatalkan rencana itu, di rumahku sedang ada tamu penting. Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Ah, kau," desis Bharata. Lalu katanya, "Jika kau akan pergi, pergilah. Aku akan menunggumu. Tetapi aku tidak dapat terlalu lama disini, karena aku akan melanjutkan perjalanan."
"Tidak. Kau tidak akan melanjutkan perjalanan hari ini. Kau akan bermalam disini. Besok pagi kau baru akan meninggalkan rumah ini," berkata Jangkung.
"Aku sudah bermalam di Pajang semalam. Jika aku bermalam lagi disini, maka ibu tentu akan menunggu-nunggu kedatanganku," sahut Bharata.
"Bukankah kau bukan kanak-kanak lagi" Kau sudah akan diwisuda menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan," berkata Jangkung sambil tersenyum.
"Tetapi justru karena aku akan diwisuda, ibu menjadi khawatir. Seperti seseorang yang akan memasuki upacara pengantin, maka selama sepekan ia tidak boleh keluar dari rumah."
"Tetapi bukankah kau tidak akan menjadi pengantin" Bukankah sebulan lagi kau akan diwisuda menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan?" bertanya Jangkung.
Bharatapun hanya dapat tersenyum saja. Sebenarnyalah ia tidak ingin memaksa diri untuk meninggalkan rumah itu hari itu juga. Bahkan ia memang berniat untuk bermalam di rumah Jangkung itu meskipun sebenarnya keperluannya sudah selesai.
Karena itu, maka Jangkungpun berkata, "Jika kau tidak berkeberatan untuk bermalam, marilah, kita pergi bersama-sama."
"Apakah aku tidak mengganggu kepentinganmu?" bertanya Bharata.
"Tidak. Aku hanya akan menunjukkan kuda itu, karena seorang kawanku memerlukannya. Sebenarnya bukan kawanku itu sendiri yang akan memakainya. Tetapi pamannya. Namun agaknya pamannya itu telah mempercayakannya kepada kawanku itu," berkata Jangkung. Lalu katanya pula, "Kuda itu pulalah yang akan aku bawa kepadanya karena nampaknya sesuai dengan keinginannya."
Bharata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah jika aku tidak mengganggu."
Demikianlah keduanyapun kemudian minta diri kepada Nyi Rangga dan kepada Riris untuk pergi sebentar.
Malam itu, Bharata bermalam di rumah Jangkung, ia sempat berbicara dengan Sumbaga yang dinilainya sudah berubah. Bahkan anak muda itu seakan-akan tidak lagi berminat untuk berbicara apapun juga. Bahkan selalu menghindarkan dirinya.
Berbeda dengan Sumbaga, maka Riris justru menjadi semakin akrab dengan tamunya. Jarak di antara mereka seakan-akan menjadi semakin sempit. Riris tidak lagi segan untuk berbicara apa saja bahkan bergurau sebagaimana ia bergurau dengan Jangkung dan dengan ibunya.
Sikap Riris membuat hati Bharata menjadi semakin berharap. Meskipun anak muda itu tidak pasti, namun ada semacam harapan yang terbersit pada sikap Riris.
Tetapi Bharata tetap berhati-hati. Ia tidak ingin menangkap bayangan yang setiap saat dapat lenyap tanpa bekas.
Malam itu, Bharata berbaring di pembaringannya sambil tersenyum. Udara di dalam bilik gandok rumah Jangkung itu terasa sejuk sekali, sehingga beberapa saat kemudian, setelah ia berbaring, maka iapun segera tertidur. Mimpi yang manis telah menyambutnya di dalam tidurnya yang nyenyak.
Namun dalam pada itu, di Pajang, di barak prajurit, Kasadha berbaring dengan gelisah. Ia sudah menduga bahwa Bharata tentu akan bermalam di rumah Ki Rangga Dipayuda. Apalagi ia membawa pesan dari Ki Rangga untuk Jangkung. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk berlama-lama tinggal di rumah itu.
"Kenapa Ki Rangga tidak memerintahkan aku saja pergi menemui Jangkung dengan membawa pesannya?" Kasadha itu mengeluh di dalam hatinya.
Namun Kasadha masih selalu berusaha untuk mencari keseimbangan antara perasaannya dan penalarannya. Meskipun sampai lewat tengah malam Kasadha belum dapat memejamkan matanya, namun ia akan berusaha untuk tetap menjaga hubungannya dengan Bharata.
"Ia tidak bersalah," berkata Kasadha kepada dirinya sendiri meskipun tanpa keyakinan. Namun katanya kemudian, "Ia dapat berbuat apa saja untuk menangkap burung dara itu. Tetapi sudah tentu aku juga mendapat kesempatan yang sama. Jika ia akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan, maka aku sudah menjadi Lurah prajurit. Sementara aku masih berpengharapan untuk mendapat kenaikan pangkat yang lebih tinggi."
Tetapi angan-angannya itu tidak dapat menenangkan gejolak perasaannya.
Namun ketika dini hari menjadi semakin dingin, Kasadhapun akhirnya terlena pula. Dengan wajah yang buram ia tertidur beberapa lama. Namun ketika fajar menyingsing, maka iapun telah terbangun sebagaimana kebiasaannya.
Ketika Kasadha membawa sebagian dari prajurit-prajuritnya yang tidak bertugas untuk melakukan pemanasan sebelum memasuki sanggar terbuka karena hari itu pasukannya mendapat giliran untuk mempergunakan sanggar itu, Bharata yang berada di rumah Jangkung telah mandi dan berbenah diri. Ia ingin meninggalkan rumah itu sebelum matahari naik, agar sinarnya belum menggatalkan kulitnya.
Tetapi Bharata masih harus menunggu makan pagi baginya yang disiapkan oleh Riris. Namun demikian, dengan sabar Bharata menunggu. Bahkan ia sama sekali tidak merasa gelisah bahwa matahari ternyata sudah naik.
Bersama Jangkung, Bharata duduk di ruang dalam untuk makan pagi. Ririslah yang melayaninya karena Nyi Rangga Dipayuda sedang sibuk di dapur.
Baru setelah matahari sepenggalah Bharata turun dari tangga pendapa rumah Ki Rangga Dipayuda diiringi oleh Jangkung, Nyi Rangga dan Riris.
"Menjelang hari wisuda aku akan singgah lagi kemari, karena aku harus menghadap Ki Rangga Kalokapraja. Aku juga akan singgah di barak Kasadha dan sudah tentu bertemu pula dengan Ki Rangga Dipayuda," berkata Bharata sambil melangkah turun ke halaman.
"Kami menunggu," sahut Jangkung. Lalu katanya pula, "Namun sebelumnya aku akan bertemu dengan ayah. Bagaimanapun juga aku harus minta pendapatnya."
Demikianlah, sejenak kemudian maka Bharatapun telah menuntun kudanya ke regol halaman rumah Ki Dipayuda. Jangkung, Nyi Rangga dan Riris masih mengiringinya. Baru kemudian mereka berhenti setelah mereka berdiri di regol, sementara Bharata telah siap untuk meloncat naik.
Sekali lagi Bharata minta diri dan sejenak kemudian maka iapun telah melarikan kudanya meninggalkan regol halaman rumah Ki Rangga Dipayuda itu.
Kunjungannya ke rumah Ki Rangga ternyata cukup berkesan bagi Bharata. Di sepanjang perjalanannya ia mengancam angan-angan apa yang sebaiknya dilakukan setelah ia benar-benar diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Sebuah Tanah Perdikan yang cukup besar dan berarti dibandingkan dengan beberapa Tanah Perdikan yang lain.
Panas matahari yang berayun semakin tinggi di langit tidak dihiraukannya. Kudanya berlari menyusuri jalan-jalan bulak, di antara batang-batang padi yang hijau.
Sementara itu di rumahnya, Riris telah minta kepada ibunya, agar ibunya mendesak kepada ayahnya agar mereka benar-benar dapat ikut ke Tanah Perdikan Sembojan.
"Bukankah kakakmu Jangkung sudah berniat untuk menemui ayahmu untuk menyampaikan keinginanmu?"
"Bukan aku," sahut Riris, "tetapi ibu. Ibu yang minta kepada ayah agar ayah membawa ibu ke Tanah Perdikan Sembojan. Tentu saja ibu akan membawa aku. Aku ingin sekali melihat upacara wisuda itu. Sepanjang umurku, aku belum pernah melihatnya."
"Kau kira aku pernah melihatnya?" sahut ibunya.
"Jika demikian kita harus benar-benar pergi," berkata Riris, "aku akan sangat kecewa sekali jika aku tidak sempat melihatnya. Bukankah ibu juga kecewa?"
"Ya, ya," sahut ibunya, "sudah aku katakan, kakakmu akan minta kepada ayahmu."
"Kakang Jangkung tentu tidak bersungguh-sungguh. Ia hanya berpura-pura saja," gumam Riris.
"Jangan berkata begitu," berkata ibunya, "jika kakakmu mendengar ia akan dapat tersinggung. Ia sudah bersedia untuk berbicara dengan ayah. Tetapi jika kau menganggapnya berpura-pura ia akan dapat mengurungkan niatnya."
Riris tidak menjawab lagi. Namun nampak wajahnya yang cemberut, sementara ibunya berkata, "Kau tidak boleh marah sejak sekarang. Apalagi ibu dan kakakmu sudah menyanggupinya. Jika ayahmu bersikap lain, maka itu persoalanmu dengan ayahmu. Kau dapat marah sepuas-puasnya kepada ayahmu."
Riris masih berdiam diri. Namun wajahnya tidak menjadi terang.
Ternyata ibunya tidak menanggapinya lagi. Iapun meninggalkan Riris yang duduk di amben dapur. Semen tara itu ibunya telah tenggelam kembali dalam kerja yang sibuk.
Dalam pada itu, di barak prajurit Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda, Kasadha memang merasa gelisah. Bukan hanya sehari, tetapi di hari berikutnya Kasadha masih saja nampak tidak gembira seperti hari-hari biasanya.
Ternyata Kasadha juga mulai memikirkan ibunya. Apakah ibunya akan pergi ke Sembojan atau tidak.
"Terserah kepada ibu," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Namun demikian ia merasa wajib untuk menemuinya dan mengatakan bahwa Bharata akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di Sembojan.
Untuk itu, maka Kasadha harus minta ijin meninggalkan baraknya barang dua tiga hari. Meskipun hal itu bukan merupakan kesulitan baginya, namun Kasadha merasakan bahwa ia sedang menghadapi persoalan yang rumit, ia harus menjaga perasaan ibunya agar tidak terbenam ke dalam perasaan bersalah tanpa melihat jalan keluar. Namun demikian, ia masih juga harus menunggu sikap ibu Bharata di Tanah Perdikan Sembojan itu.
Tetapi keduanya sudah berjanji untuk berusaha mempengaruhi ibu mereka masing-masing agar pada suatu saat keduanya mampu bertaut kembali tanpa dihantui oleh kenangan masa lalu mereka masing-masing. Karena jika demikian maka untuk selamanya keduanya tidak akan dapat bertaut.
Tetapi pada saat-saat Kasadha merenung, maka timbul pertanyaan di dalam dirinya, "Apakah persoalan kedua orang perempuan itulah yang membuatku selalu gelisah" Bukankah Bharata juga sudah berjanji untuk membujuk ibunya?"
Betapapun Kasadha berusaha untuk ingkar, namun ia pada suatu saat ia harus mengakui, bahwa yang menggelisahkan benar baginya bukan persoalan ibunya dan ibu Bharata, tetapi justru karena Ki Rangga Dipayuda sudah berpesan agar Bharata singgah di rumahnya.
Tetapi Kasadha selalu berusaha untuk mengatasinya dengan penalarannya sehingga ia masih dapat mengendalikan diri menghadapi kegelisahannya itu. Namun kadang-kadang di luar sadarnya, perasaan itu muncul dipermukaan.
Dalam pada itu, Bharata yang telah berada di Tanah Perdikannya dengan penuh gairah mempersiapkan segala sesuatunya menyongsong hari wisudanya. Sekali-sekali terdengar Bharata itu melakukan sesuatu sambil berdendang. Wajahnya nampak selalu cerah dan sekali-sekali senyumnya nampak menghiasi bibirnya.
Setiap orang Tanah Perdikan memang mengenal Bharata yang lebih mereka kenal dengan nama Risang itu sebagai seorang yang ramah. Tetapi ia juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam kerja. Namun pada saat terakhir Risang menjadi nampak lebih cerah dari sebelumnya.
Meskipun demikian, di sanggar Risang tetap nampak bersungguh-sungguh. Ketiga orang gurunya, dua orang kakeknya dan seorang neneknya yang sudah memiliki sebangsal pengalaman melihat bahwa di dalam hati cucunya itu agaknya sedang bersemi perasaan yang menopang harapan di masa depan. Bukan sekedar hari wisudanya yang akan berlangsung tidak lama lagi.
Semakin dekat dengan hari wisudanya, maka di Tanah Perdikan Sembojan itu nampak menjadi semakin sibuk. Rumah-rumah yang dipersiapkan untuk menginap tamu-tamunya telah dibersihkan dan dibenahi. Termasuk rumah yang dipersiapkan untuk penginapan Ki Rangga Dipayuda dan keluarganya. Risang sangat berharap bahwa Ki Rangga Dipayuda benar-benar akan datang bersama Nyi Rangga, Jangkung dan Riris. Bahkan yang paling diharapkan datang adalah justru Riris.
Yang kemudian menjadi sibuk bukan hanya di Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi para Demangpun menjadi sibuk pula. Mereka berniat untuk membuat seluruh Tanah Perdikan mendukung kegembiraan karena Tanah Perdikan itu akan mendapatkan seorang Kepala Tanah Perdikan.
Namun di dalam kegembiraan itu, Risang masih juga digelisahkan oleh kemungkinan bahwa sikap ibunya terhadap ibu Kasadha tidak sebagaimana diharapkan. Meskipun ibunya pernah berkata bahwa ia menyerahkan hal itu kepada para pemimpin di Tanah Perdikan, namun di saat-saat terakhir, ibunya akan dapat bersikap lain, yang akan dapat membuatnya berselisih paham dengan Kasadha. Apalagi jika Kasadha sudah terlanjur membujuk ibunya untuk bersedia hadir di Tanah Perdikan.
Karena itu selagi masih ada waktu, Risang telah berbicara dengan ketiga orang gurunya. Dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung. Terutama dengan Bibi yang dianggap Risang sebagai seorang yang terlibat langsung dalam persoalan yang terjadi saat itu antara ibunya dengan ibu Kasadha.
"Aku akan berusaha," berkata Bibi.
"Aku mohon Bibi. Aku sudah berjanji kepada Kasadha, bahwa jika ibunya berniat untuk datang ke Tanah Perdikan saat wisuda, ibu tidak akan berkeberatan," desis Risang.
"Tetapi kau juga harus dapat mengerti perasaan ibumu. Aku adalah orang yang saat itu menjadi orang upahan diperintah untuk membunuh ibumu saat ia mengandung kau. Jika saja saat itu hatiku tetap dikuasai oleh iblis, maka aku tentu sudah membunuh ibumu yang saat itu masih belum memiliki kemampuan apapun juga. Aku akan dapat membunuhnya semudah aku memijat buah ceplukan matang di semak-semak. Tetapi untunglah, bahwa sepletik sinar dari Yang Maha Agung telah mengendalikan perasaanku sehingga aku tidak melakukannya," gumam Bibi hampir kepada diri sendiri.
Risang mengangguk kecil. Katanya, "Aku mengerti Bibi. Ceritera itu sudah aku dengar sebelumnya."
"Ini bukan sekedar ceritera Ngger. Tetapi sesuatu yang benar-benar terjadi. Akulah yang harus melakukan itu," sahut Bibi. Masih nampak gejolak perasaannya membayang di wajahnya.
"Ya, ya. Bibi. Aku mengerti. Tetapi bukankah itu sudah lama lampau. Sedangkan ibu Kasadhapun sudah menyesali perbuatannya," berkata Kasadha, "aku tahu pasti, bahwa penyesalan itu bukan sekedar lamis, atau sekedar untuk menyelimuti noda-noda di dalam relung hatinya. Tetapi ibu Kasadha benar-benar telah berubah, sebagaimana Bibi juga berubah," berkata Risang.
"Tetapi ada bedanya. Aku berubah justru saat aku mempunyai kesempatan untuk melakukan kejahatan dan mendapat keuntungan daripadanya. Tetapi Warsi tidak, ia berubah setelah keadaan memaksanya tanpa memberinya kesempatan lain."
"Aku mengerti Bibi. Tetapi aku mohon. Apakah kita tidak dapat memaafkan kesalahan seseorang sementara itu kita selalu ingin dimaafkan apabila kita berbuat salah" Apapun alasannya perubahan itu sudah terjadi. Ibu Kasadha yang bernama Warsi itu tidak mendendam sampai ke liang kuburnya. Sehingga ia mendapat kesempatan itu menyesali perbuatannya dengan jujur," berkata Risang dengan sungguh-sungguh.
Bibi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata perlahan-lahan, "Aku akan mencobanya Ngger. Mudah-mudahan ibumu dapat memaafkannya."
"Tetapi ibu pernah mengatakan bahwa segala sesuatunya terserah kepada orang-orang tua dan para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan ini," desis Risang.
Bibi tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.
Demikianlah hari-hari dilalui dengan kesibukan di Tanah Perdikan Sembojan. Sementara itu di Pajang, Kasadha telah minta ijin kepada Ki Rangga Dipayuda untuk menemui ibunya.
Namun Kasadha belum mengatakan kepentingannya. Meskipun ia pernah menyebut kemungkinan itu kepada Bharata di hadapan Ki Rangga Dipayuda, namun saat itu agaknya Ki Rangga memang tidak begitu memperhatikannya. Apalagi saat itu Bharata sengaja mengelakkan pertanyaannya itu.
Ternyata Ki Rangga memang tidak berkeberatan. Apalagi Kasadha hanya minta ijin untuk dua hari saja.
Tempat tinggal ibunya memang tidak sejauh Tanah perdikan Sembojan. Karena itu, maka Kasadha tidak memerlukan waktu terlalu lama di perjalanan. Dari baraknya Kasadha berangkat sesaat setelah makan pagi. Dan sebelum matahari sampai ke puncak, Kasadha telah menyusuri jalan menuju ke padukuhan tempat tinggal ibunya. Sebuah tempat tinggal yang sederhana yang dihuni oleh ibu dan bibinya yang hidup dalam keadaan sederhana pula. Sementara itu, kakek dan gurunyalah yang setiap kali sering menengok ibu dan bibinya dalam dunianya yang baru yang penuh kesederhanaan itu.
Kedatangan Kasadha telah disambut dengan gembira oleh ibu dan bibinya. Sudah agak lama mereka tidak bertemu. Karena itu, kehadiran Kasadha merupakan tetes kesejukan di hati ibunya dan bibinya yang telah menganyam harapan yang lain terhadap anak muda yang telah diangkat menjadi Lurah prajurit itu.
Kasadha memang tidak ingin merusak suasana itu. Ia tidak segera mengatakan kepentingan menemui ibunya, karena Kasadha tidak yakin apakah ibunya akan merasa gembira atau justru sebaliknya.
Kepada ibu dan bibinya Kasadha hanya mengatakan bahwa ia mendapat kesempatan untuk beristirahat selama dua hari.
"Kau akan bermalam di rumah ini selama dua hari?" bertanya ibunya dengan penuh kegembiraan.
"Ya, ibu," jawab Kasadha, "besok lusa aku harus sudah berada di barak kembali. Karena itu aku akan berangkat dari rumah ini pagi-pagi benar."
Kegembiraan ibunya ternyata diungkapkan pula pada hidangan yang dipersiapkan bagi Kasadha. Bibinya telah menangkap seekor ayam peliharaan mereka, kemudian memotongnya.
Selama Kasadha berada di rumah ibunya, ia dapat melihat bagaimana ibu dan bibinya mengisi kehidupan mereka sehari-hari. Mereka bekerja sebagaimana perempuan-perempuan di padukuhan itu. Ibu dan bibinya berceritera, bahwa sehari-hari mereka juga turun ke sawah. Ikut menanam padi di musim tanam dan ibu menuai padi di musim panen. Mereka mendapat upah yang dapat mereka pakai untuk menyambung hidup mereka. Namun di rumah keduanya juga memelihara ayam, menanam ketela, kacang panjang dan empon-empon untuk meramu obat-obatan. Di halaman dan kebunpun terdapat beberapa batang pohon kelapa yang kelebihannya dari keperluan mereka sendiri dapat ditukarkan dengan keperluan mereka sehari-hari. Bahkan pakaian dan keperluan mereka yang lain.
"Tetapi kau tidak usah memikirkan kami. Puguh," berkata ibunya. "Aku tidak ingin mengurangi penghasilan untuk ibu dan bibi. Jika penghasilanmu tersisa, maka kau dapat menabungnya untuk kepentingan masa depanmu."
"Apakah ibu tidak memerlukan bantuanku?" berkata Kasadha.
"Bukan tidak memerlukan. Tetapi sementara ini keperluan ibu dan bibi sudah tercukupi. Upah yang kami dapatkan ditambah dengan penghasilan kebun dan ternak kami sudah cukup bagi kehidupan kami. Bahkan kami dapat menabung serba sedikit untuk suatu saat dimana kami menjadi semakin tua," berkata ibunya.
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi kerongkongannya bagaikan tersumbat. Ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi. Meskipun setelah perang tandingnya yang terakhir, ada sesuatu yang cacat sehingga ibunya tidak lagi mampu mencapai tataran yang lebih tinggi lagi, tetapi ibunya tetap seorang perempuan yang jarang ada bandingnya. Perempuan yang diketahuinya memiliki ilmu yang lebih tinggi hanyalah ibu Bharata dan mungkin neneknya yang juga menjadi guru ibu serta Bharata sendiri. Namun perempuan itu sudah menjadi semakin tua sehingga keadaan wadagnya tentu sudah tidak mendukung ilmunya itu lagi.
Dalam pada itu bibinyapun berkata, "Kerja ibumu sangat dipuji oleh orang-orang padukuhan ini. Ibumu dapat melakukan pekerjaan lebih baik dari perempuan lain. Apakah saat menanam padi atau saat menuai padi. Bahkan ibumu mengerjakan sawah kami yang hanya sekotak itu sebagaimana laki-laki melakukannya. Mencangkul hampir sehari penuh dapat dilakukannya, yang bahkan kadang-kadang sempat membuat orang-orang padukuhan ini menjadi heran. Bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki."
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi jantungnya serasa menjadi semakin bergetar. Kehidupan ibunya jauh berbeda dengan kehidupan ibu Bharata. Namun yang terjadi itu seakan-akan ibunya harus menuai buah hasil tanamannya sendiri. Namun di samping haru terbersit rasa bangga, bahwa pada saat-saat terakhir ibunya telah meninggalkan suatu kehidupan yang gelap. Penuh nafsu dan dendam tiada berkeputusan.
Namun Kasadha juga terhibur ketika ia melihat ibunya justru tertawa sambil berkata, "Bukan hanya aku. Tetapi bibimu bekerja jauh lebih keras. Tetapi ia memang masih lebih muda dari aku. Bahkan masih ada seorang laki-laki yang ingin mengambilnya sebagai isterinya. Justru seorang yang cukup terpandang di padukuhan ini. Apalagi laki-laki itu masih belum terlalu tua meskipun seorang duda beranak lima."
"Ah, kau ini ada-ada saja," potong bibinya.
Kasadha sempat tersenyum.
Sementara ibunya melanjutkan, "Tetapi aku berkata sebenarnya."
"Aku telah menolaknya," sahut bibinya.
"Justru karena itu, laki-laki itu marah. Ia merasa orang berpengaruh di padukuhan ini. Tetapi kenapa lamarannya ditolak oleh perempuan miskin seperti kami," berkata ibunya.
Sementara itu bibinya berkata, "Ia tidak ingin mengawini aku untuk dijadikan isterinya. Tetapi ia hanya memerlukan tenagaku, karena aku dapat mengerjakan sawah seperti seorang laki-laki sebagaimana dilakukan oleh ibumu."
Ibu Kasadha tertawa. Kasadhapun akhirnya tertawa juga. Ternyata dalam kemiskinannya itu ibunya sempat juga tertawa.
"Tetapi laki-laki itu benar-benar marah," berkata ibunya kemudian, "bahkan pernah mengancam bibimu."
"Apakah arti ancaman itu bagi bibi," sahut Kasadha..
"Aku sudah melaporkan kepada Ki Bekel," berkata bibinya, "tentunya akan lebih baik bagiku daripada aku mempergunakan cara lain."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sependapat bibi."
"Aku juga sependapat," berkata ibunya, "kami tidak akan memilih jalan yang pernah kami tempuh beberapa saat yang telah lewat."
Kasadha tersenyum meskipun ada semacam gejolak di dalam jiwanya. Namun dengan demikian ia yakin, bahwa ibunya telah benar-benar berubah, sehingga baik bibinya maupun ibunya telah memilih jalan yang terbaik dalam tata cara pergaulan dan tatanan hidup di padukuhan itu.
Ketika malam tiba di hari pertama, Kasadha masih belum sampai hati mengutarakan kepentingan kedatangannya. Ia masih ingin ikut merasakan suasana kehidupan ibu dan bibinya sehari-hari.
Namun Kasadha juga merasa cemas, bahwa bibinya akan mengulangi permintaannya agar Kasadha bersedia berpaling kepada anak gadisnya. Gadis yang belum pernah dilihatnya.
Tetapi ternyata bibinya tidak melakukannya. Bibinya sama sekali tidak mengganggunya ketika ia kemudian berbaring di sebuah amben yang besar di ruang dalam rumah ibunya yang sederhana itu.
Di hari berikutnya, Kasadha justru berniat untuk pergi bersama ibu dan bibinya ke sawah. Katanya, "Aku ingin ikut merasakan kehidupan yang utuh di padukuhan ini. Bukankah aku juga sudah terbiasa berada di sawah?"
"Kapan kau turun ke sawah?" bertanya ibunya.
"Bersama guru," jawab Kasadha.
Ibunya mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa masa kecil dan remajanya Kasadha lebih banyak bersama, dengan gurunya daripada bersama ibunya.
Seperti yang dikehendaki oleh Kasadha, maka mereka bertiga telah pergi ke sawah setelah Kasadha menempatkan kudanya di halaman belakang. Meskipun ibunya sudah mengatakan bahwa padukuhan itu cukup aman, namun Kasadha masih juga berhati-hati.
Memang tidak banyak yang dikerjakan di sawah karena musim tanam sudah lewat. Mereka hanya ingin membersihkan rerumputan yang tumbuh di sela-sela batang padi yang hijau subur.
"Sawah kami hanya sekotak ini," berkata ibu Kasadha.
Kasadha mengangguk-angguk. Tetapi sawah itu memang tidak cukup luas untuk menghasilkan padi bagi persediaan makan mereka berdua, ibu dan bibinya.
Ibunya yang melihatnya merenung, seakan-akan dapat menangkap perasaan anaknya. Dengan nada dalam ia berkata, "Hasil sawah ini memang tidak mencukupi Kasadha. Tetapi jika kami berdua ikut menuai di sawah para tetangga, maka kamipun mendapat upah dari mereka. Setiap sembilan ikat, kami mendapat seikat padi. Sehingga kadang-kadang kami justru mempunyai kelebihan padi di lumbung kami, yang dapat tukar dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Garam, gula kelapa dan kebutuhan dapur yang lain."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Tetapi, bukankah lebih baik jika ibu mempunyai sawah sekotak lagi sehingga tidak akan tergantung pada upah dari orang lain?"
"Kami melakukan bergantian. Kami diupah untuk menuai padi di sawah tetangga, tetapi di hari lain, tetangga itu menuai padi di sawah kami," berkata ibunya, "sehingga kami tidak merasa seorang lebih berarti dari orang lain."
"Meskipun demikian, tentu lebih baik jika sawah ibu dan bibi lebih luas dari yang ada sekarang," berkata Kasadha.
"Tentu," jawab ibunya, "tetapi belum terlalu mendesak."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Ibu, aku mempunyai sedikit uang tabunganku. Jika ibu dan bibi tidak berkeberatan, biarlah uang itu dijadikan sawah meskipun hanya sekotak kecil.."
Ibunya tersenyum. Namun dadanya cukup bergetar. Anak itu disia-siakannya sejak bayinya. Hampir dibuangnya. Namun setelah ia menjadi dewasa, ia masih juga mengerti tentang ibunya yang penuh noda-noda dosa itu.
Karena itu, maka ibunya tidak kuasa menolak uluran tangan anaknya itu, meskipun ia masih bertanya, "Apakah kau sendiri tidak memerlukannya" Mungkin kau sudah merencanakan untuk membeli sesuatu bagi kebutuhanmu nanti."
"Bukankah sawah juga berarti tabungan?" Kasadha justru bertanya.
Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika kau benar-benar ingin menabung dalam ujud sawah, maka biarlah aku mengusahakannya. Mungkin ada orang yang ingin mengurangi luas tanahnya yang berlebihan, yang tidak sempat menggarapnya."
"Jika ibu dan bibi tidak sempat menggarap sendiri, maka bukankah sawah itu dapat diserahkan orang lain?" berkata Kasadha kemudian.
Tetapi bibinya berkata sambil tertawa, "kami dapat melakukannya sendiri. Bahkan lebih dari dua tiga kotak."
Kasadha dan ibunya tertawa.
Namun suara tertawa itu terputus ketika mereka mendengar suara seseorang, "He, apa kerja kalian disini" Bukankah tidak ada kerja di sawah?"
Ketiga orang yang berdiri di pematang itu berpaling. Mereka melihat seseorang berdiri di jalan di sebelah kotak sawah mereka bersama dengan dua orang yang agaknya pembantunya.
Kasadha yang belum mengenal orang itu bertanya, "Siapakah orang itu?"
"Setan itu," desis bibinya.
Tetapi ibunya sempat menyembunyikan senyumnya sambil berdesis, "Orang itulah yang pernah kita bicarakan. Orang yang ingin mengambil bibimu."
Di luar sadarnya Kasadhapun tertawa kecil sambil berdesis, "Agaknya seorang yang cukup terpandang."
"Ah kau," gumam bibinya. Namun dengan cepat disahut oleh ibunya, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa ia seorang yang berpengaruh di padukuhan ini."
Namun bibinya melanjutkan, "Yang akan mengambil aku untuk menjadi budak di rumahnya. Jika aku bersedia menerima lamarannya maka pada suatu saat aku akan membunuhnya."
Ibu Kasadha tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sementara orang itu bertanya lebih keras, "He, apa kerja kalian disini he" Bukankah baru beberapa hari kalian membersihkan rumput dari sawah kalian ini?"
Ibu Kasadha terpaksa menjawab, "Tidak apa-apa, Ki Tunggul. Sekedar melihat, apakah rumput yang telah kami bersihkan itu tumbuh lagi?"
"Kemarilah kalian," teriak orang itu.
Ketiga orang yang berdiri di pematang itu termangu-mangu. Sementara itu orang itu berteriak sekali lagi, "Kemarilah kalian, apakah kalian tidak mendengarnya?"
Ibu Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berdesis, "Marilah. Daripada orang itu marah-marah."
"Kenapa marah-marah?" bertanya Kasadha.
"Ia sudah terbiasa marah-marah," jawab ibunya.
"Tetapi bukankah ia tidak berhak marah kepada setiap orang termasuk kepada bibi dan ibu?" bertanya Kasadha.
"Biarlah kita mengalah," berkata ibunya sambil melangkah menelusuri pematang mendekati orang yang memanggilnya itu.
"Kedua orang itu pengawalnya," desis bibinya, "keduanya dapat berbuat kasar terhadap siapa saja. Bahkan orang yang belum dikenalnya sama sekali."
Kasadha mengangguk-angguk. Iapun condong untuk mengalah agar tidak terjadi persoalan. Apalagi justru ia sedang hadir di tempat itu. Sebagai seorang prajurit ia harus berusaha untuk menghindari timbulnya persoalan yang apalagi mengarah pada kekerasan. Hanya jika tidak ada jalan lain, maka ia bertindak untuk menegakkan paugeran yang berlaku tanpa mementingkan kepentingan diri sendiri.
Demikian ketiga orang itu mendekat, maka orang yang dipanggil Ki Tunggul itu bertanya dengan tatapan mata tajam. Agaknya ia heran melihat kehadiran Kasadha. Katanya, "Siapa anak itu?"
Ibu Kasadha menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian katanya, "Anak itu adalah anakku."
"Anakmu" Apakah anak itu belum pernah datang kemari?" bertanya Ki Tunggul.
Ibu Kasadha masih saja ragu-ragu. Dipandanginya anaknya sejenak. Baru kemudian ia menjawab lagi, "Tidak Ki Tunggul. Ia sudah sering datang kemari. Tetapi memang tidak terlalu sering. Ia tidak, pernah tinggal di rumah lebih dari dua hari sebagaimana sekarang ini."
Ki Tunggul mengangguk-angguk. Namun ia bertanya lebih lanjut, "Dimana tempat tinggal anakmu jika ia tidak tinggal bersamamu di padukuhan ini?"
Ibunya menjadi semakin bimbang. Namun Kasadhalah yang menjawab, "Aku tinggal bersama paman, Ki Tunggul. Aku membantu kerja paman di sawah dan ladangnya yang agak lebih luas dari ladang ibu dan bibiku disini."
Ki Tunggul itu mengangguk-angguk. Namun ia masih saja memandangi pakaian Kasadha yang meskipun tidak mengenakan pakaian seorang prajurit, namun pakaian itu dinilainya lebih baik dari pakaian anak-anak muda padesan yang setiap hari turun ke sawah.
Tiba-tiba saja Ki Tunggul itu bertanya, "Dimana pamanmu tinggal?"
Kasadhapun menjadi ragu-ragu. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka iapun kemudian berkata, "Paman tinggal sedikit di luar dinding Kotaraja."
"Pajang maksudmu?" desak Ki Tunggul.
"Ya Ki Tunggul," jawab Kasadha.
"Itulah agaknya maka kau berpakaian seperti anak-anak muda Pajang. Tetapi apakah kekayaan pamanmu cukup besar, sehingga kau dapat bergaya seperti anak orang yang meskipun tidak kaya, tetapi cukup berada?"
Pertanyaan itu semakin membingungkan Kasadha. Dengan tersendat ia kemudian menjawab, "Pamanku bukan orang kaya. Tetapi ia seorang yang sangat baik. Aku mendapat kesempatan cukup untuk menyesuaikan diri dengan kawan-kawanku. Sudah tentu aku harus tahu diri. Tidak menyesuaikan diri dengan anak orang-orang kaya yang memiliki apa saja yang diinginkannya."
"Tetapi siapa yang kau maksud dengan pamanmu itu?" bertanya Ki Tunggul semakin mendesak.
Namun tiba-tiba saja timbul pikiran aneh di kepala Kasadha. Tanpa minta pertimbangan ibu dan bibinya ia menjawab, "Paman adalah bekas suami bibi ini. Aku datang khusus untuk menyampaikan pesannya."
"Pesan apa?" dahi Ki Tunggul itu berkerut.
"Paman minta bibi mau menerima paman kembali. Paman akan bersedia memenuhi permintaan bibi apapun juga. Termasuk memelihara itik," jawab Kasadha.
"Kenapa memelihara itik?" bertanya Ki Tunggul itu pula.
"Paman bercerai dengan bibi karena soal itik. Bibi ingin memelihara itik, tetapi paman menolaknya. Pertengkaranpun merembet ke soal-soal lain dan membengkak sehingga akhirnya bibi meninggalkan paman," jawab Kasadha.
"Tidak," jawab Ki Tunggul, "bibimu tidak akan kembali kepada pamanmu. Kaupun tidak usah kembali kepadanya. Kau dan bibimu dapat tinggal bersamaku. Aku akan mencukupi kebutuhanmu melebihi pamanmu itu."
Kasadha menarik nafas panjang. Katanya, "Terlambat, Ki Tunggul. Bibi telah menyatakan kesediaannya kembali kepada paman. Sebenarnyalah paman dan bibi belum resmi bercerai," jawab Kasadha sambil berpaling ke arah bibinya.
Wajah bibinya memang menjadi merah. Tetapi ia mengerti maksud Kasadha. Karena itu ketika Ki Tunggul bertanya kepadanya maka bibi Kasadha itupun mengangguk membenarkan, "Aku memang belum bercerai."
"Kalian harus segera menyelesaikan perceraian itu berapapun besar biayanya. Aku akan menanggungnya dan aku ulangi lamaranku agar kau bersedia menjadi isteriku. Hidupmu dan kakak perempuanmu bahkan kemenakanmu itu akan menjadi jauh lebih baik dari sekarang, bahkan seandainya kau kembali kepada suamimu yang tidak bertanggung jawab itu," berkata Ki Tunggul lantang.
Tetapi bibi Kasadha itu menggeleng. Katanya, "Aku sudah menyatakan untuk bersedia kembali kepada suamiku itu."
"Tidak. Kau tidak boleh kembali kepadanya," Ki Tunggul itu hampir berteriak.
"Jangan berteriak begitu Ki Tunggul," cegah ibu Kasadha, "nanti orang-orang yang sedang membersihkan rerumputan di sela-sela batang padinya itu berdatangan kemari."
"Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa atasku," jawab Ki Tunggul dengan nada tinggi.
"Tetapi adikku tentu merasa malu. Persoalan yang penting ini tidak seharusnya dibicarakan di pinggir jalan bulak seperti ini. Sebaiknya kita bicarakan lain kali. Apalagi adikku telah memberikan jawabannya," desis ibu Kasadha.
"Aku minta kepastian," berkata orang itu.
"Aku sudah memberikan kepastian," jawab bibi Kasadha itu.
"Aku tidak mau kau perlakukan semena-mena. Aku seorang yang berpengaruh disini. Aku dapat mempergunakan pengaruhku untuk memaksamu," berkata Ki Tunggul dengan marah.
"Aku sudah melapor kepada Ki Bekel," jawab bibi Kasadha, "jika Ki Tunggul akan memaksaku, maka Ki Bekel akan campur tangan langsung. Bukankah Ki Tunggul sudah mengetahui?"
"Ki Bekel tidak berani berbuat apa-apa atasku. Kau kira Ki Bekel dapat melindungimu?" geram Ki Tunggul.
"Jika bukan Ki Bekel, aku akan menyampaikannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya," jawab bibi Kasadha.
Laki-laki itu menggeretakkan giginya karena marah. Katanya, "Aku tidak mau bertengkar di pinggir jalan. Tetapi bukan berarti aku tidak akan meneruskan niatku. Sementara itu kau sempat berpikir bahwa aku akan dapat mengangkatmu dan seluruh keluargamu dari lembah kemiskinan."
Bibi Kasadha tidak menjawab lagi. Sementara itu laki-laki itupun berkata sambil bergeser dari tempatnya, "Jangan menunggu aku memerintahkan orang-orangku mengambilmu dengan paksa."
Bibi Kasadha masih tetap berdiam diri. Sementara Ki Tunggul itupun mengajak kedua orang pengiringnya itu melangkah pergi.
"Laki-laki itu mempunyai mata yang tajam," desis ibu Kasadha sambil berpaling ke arah saudara sepupunya.
"Kenapa?" bertanya bibi Kasadha.
"Ia dapat melihat kecantikan seseorang meskipun diselimuti oleh kemiskinan," jawab ibu Kasadha.
"Ah," desah saudara sepupunya, "kau selalu saja mengganggu. Bukankah kau tidak bersungguh-sungguh?"
Ibu Kasadha tertawa. Namun iapun kemudian berkata, "Sudahlah. Agaknya Kasadha sudah cukup lama berada di sawah."
"Aku belum mohon maaf, bahwa aku telah menjawab asal saja," berkata Kasadha kemudian, "seharusnya aku mohon ijin lebih dahulu kepada bibi sebelum aku membual."
"Tidak apa. Jawabku untuk selanjutnya akan berpegang kepada bualanmu itu," jawab bibinya.
"Tetapi bukankah akhirnya orang itu mengetahui bahwa apa yang aku katakan tidak benar?" berkata Kasadha kemudian.
"Mudah-mudahan orang itu sudah melupakannya," jawab bibinya selanjutnya.
Kasadha hanya mengangguk-angguk saja. Sementara ibunya berkata, "Marilah. Sebaiknya kita pulang saja."
Bertiga merekapun kemudian meninggalkan sawah yang hanya sekotak itu. Di sepanjang jalan Kasadha mengulangi niatnya untuk membeli sawah sekotak lagi agar tanah garapan ibu dan bibinya menjadi lebih luas, sehingga hasilnya akan cukup bagi mereka berdua untuk semusim. Dari panen sampai ke panen berikutnya.
Ketika mereka sampai di rumah, maka Kasadhapun telah ikut pula membantu kerja ibu dan bibinya. Membelah kayu bakar dan menimba air untuk mengisi gentong di dapur dan jambangan di pakiwan.
Namun dalam pada itu, Kasadha justru telah mulai digelisahkan lagi oleh keperluannya datang menemui ibunya. Ia sama sekali tidak memikirkan lagi laki-laki yang akan mengambil bibinya, karena bibinya tentu akan dapat menyelesaikannya sendiri dengan cara apapun yang dikehendaki oleh Ki Tunggul. Seandainya Ki Tunggul akan mempergunakan kekerasan, maka bibinya tentu akan dapat mengatasinya. Jika terpaksa maka ibunyapun tentu akan membantunya. Namun jika terjadi demikian, maka kehadiran mereka di padukuhan itu tentu akan menjadi sorotan orang. Karena itu, ia sependapat justru bibinya melaporkannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya jika Ki Bekel tidak dapat mengatasinya. Namun apapun yang dilakukan oleh Ki Tunggul, tidak akan berbahaya bagi bibi dan ibunya asal Ki Tunggul tidak berbuat licik dan pengecut.
Yang kemudian dipikirkan oleh Kasadha, bagaimana ia akan mulai dengan sebuah pembicaraan tentang wisuda di Tanah Perdikan Sembojan.
"Tetapi aku harus mengatakannya," berkata Kasadha kepada diri sendiri.
Karena itulah, ketika mereka makan malam lewat senja, di bawah nyala lampu minyak yang redup, Kasadha telah memaksa diri untuk menyampaikan keperluannya datang ke rumah ibunya.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ibu," berkata Kasadha sambil menelan nasi yang terakhir disuapkan ke mulutnya. Sejenak ia berhenti untuk meneguk wedang sere yang disediakan oleh bibinya.
Ibunya mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah dan suara Kasadha yang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka iapun memperhatikan anaknya itu dengan bersungguh-sungguh pula.
"Ibu," Kasadha mengulangi, "sebenarnya di samping aku datang untuk menengok ibu dan bibi, aku juga membawa sebuah berita yang aku tidak tahu, apakah ibu dan bibi menganggap penting atau tidak."
Ibunya menarik nafas panjang. Katanya, "Aku sudah mengira Ngger. Agaknya kau tidak datang sekedar menengok ibu dan bibimu saja. Tetapi karena aku tidak yakin, maka aku menunggu sampai saatnya kau mengatakannya."
"Besok aku harus kembali ke barak pasukanku. Karena itu, maka malam ini adalah kesempatan terakhir bagiku untuk membicarakannya dengan ibu serta bibi."
"Katakanlah, Puguh. Aku akan mendengarkannya dengan baik, berita apapun yang akan kau sampaikan. Hatiku sekarang sudah tidak lagi mudah terguncang setelah aku mengalami peristiwa yang telah melemparkan aku ke tempat ini dengan sikap dan anutan hidupku sekarang." sahut ibunya.
Kasadha menarik nafas panjang. Lalu katanya dengan patah-patah, "Ibu. Aku akan menyampaikan satu berita yang akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan."
Ternyata dengan dingin ibunya berkata, "Katakanlah Ngger."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ibu, di Tanah Perdikan Sembojan akan diselenggarakan wisuda."
Ibunya mengerutkan dahinya. Namun iapun cepat tanggap. Karena itu maka iapun segera bertanya, "Angger Risang akan diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan?"
"Ya ibu," jawab Kasadha.
Wajah ibu Kasadha itupun segera berubah. Secerah kegembiraan justru memancar dari sorot matanya. Sambil mengusap rambutnya yang sudah memutih tergerai di dahinya, maka iapun berkata, "Syukurlah. Tanah Perdikan itu tidak lebih lama lagi kosong tanpa seorang pemimpin yang sah. Dengan wisuda itu, maka Tanah Perdikan itu akan mempunyai seorang Kepala Tanah Perdikan yang sebenarnya."
"Aku telah mendapat undangan untuk menghadiri wisuda itu ibu. Risang sendiri datang ke barakku untuk mengundang aku agar aku bersedia datang ke Tanah Perdikan di saat wisuda itu dilaksanakan beberapa pekan lagi," berkata Kasadha.
Ibunya mengangguk-angguk. Namun dengan hati-hati ia bertanya, "Bukankah kau telah menyatakan kesediaanmu untuk datang?"
"Ya ibu. Aku sudah menyatakan, bahwa aku akan datang," jawab Kasadha. Sementara itu jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia berniat untuk mengatakan, bahwa ibunya juga diharapkan untuk datang.
Ibunya melihat sesuatu yang masih tersimpan di hati anaknya itu. Karena itu, maka iapun justru berusaha untuk mengungkit agar yang tersimpan itu juga dilontarkan keluar.
Karena itu, maka ibunya itu justru bertanya, "Apakah ada pesan yang lain yang kau bawa?"
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Ya ibu. Ada yang lain yang akan aku sampaikan."
"Katakan Puguh. Kau tidak perlu ragu-ragu. Sudah aku katakan bahwa hatiku tidak lagi mudah terguncang."
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Ibu. Kami, maksudku aku dan Risang berharap bahwa ibu juga bersedia untuk datang."
Meskipun ibunya sudah mengatakan bahwa hatinya tidak mudah terguncang, namun yang dikatakan oleh Kasadha dengan ragu itu sempat membuat jantungnya bergetar lebih cepat.
Namun sesaat kemudian, ibu Kasadha itu telah menguasai perasaannya sepenuhnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Apakah Risang juga mengundang aku atau kau tawarkan kepadanya bahwa aku akan kau ajak serta?"
"Apakah ada bedanya?" justru Kasadha bertanya kembali.
"Tentu ada bedanya Ngger," jawab ibunya, "jika kau tawarkan kepadanya, bahwa aku akan kau bawa bersamamu, maka belum tentu jika hal itu berkenan di hatinya. Apalagi ibunya. Seandainya kemudian ia mengiakannya, mungkin hal itu hanya karena perasaan segan saja. Sehingga dengan demikian, maka Risang apalagi ibunya tidak menerima kedatanganku dengan ikhlas."
Kasadha mengangguk-angguk. Sepercik keraguan telah membersit di hatinya. Ia dapat mengerti perasaan ibunya. Namun iapun telah berjanji kepada Kasadha bahwa ia akan membujuk ibunya sebagaimana Kasadha akan meyakinkan ibunya bahwa ibunya telah berubah.
Untuk beberapa saat Kasadha merenung. Namun kemudian iapun berkata, "Ibu, sebenarnyalah bahwa aku dan Risang telah bersepakat untuk meyakinkan ibu dan ibu Risang, agar dapat menghapus jarak yang selama ini terbentang di antara ibu dan ibu Risang itu. Permusuhan yang telah lama berlangsung tidak akan dapat memberikan apapun juga, baik kepada ibu maupun kepada ibu Risang. Yang ada justru ketidak-tentraman, ketegangan jiwa dan kebencian yang seakan-akan memburu sepanjang hidup kita."
Ibunya mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku sependapat sepenuhnya dengan pendapatmu itu Kasadha. Akupun sebenarnya tidak berkeberatan untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan, sepanjang aku akan dapat diterima dengan hati terbuka."
Kasadha memandang ibunya dengan tajamnya, seakan-akan ingin melihat apakah isi hatinya sesuai dengan kata-katanya. Namun ibunya itupun menjelaskan, "Aku berkata sebenarnya Kasadha. Aku berada di pihak yang salah, yang harus menempatkan dirinya dalam kedudukan yang lebih rendah. Tetapi aku tidak berkeberatan. Seandainya aku harus berlutut untuk mohon maaf sekalipun, hal itu akan aku lakukan. Justru setelah Iswari itu mau menerimamu dengan kedua belah tangannya, bahkan menganggapmu sebagai anak sendiri. Bagiku sekarang, aku memang sudah tidak ada harganya. Aku hanya dapat mengharap agar kau tidak mengalami nasib seperti aku. Jika Tanah Perdikan Sembojan itu menerimamu dengan baik dan memberimu tempat selayaknya, maka aku tidak akan memberikan harga sama sekali bagi diriku sendiri."
Kasadha justru termangu-mangu. Ternyata sikap ibunya tidak sebagaimana dibayangkan. Ibunya tidak merasa tidak pantas datang karena merasa bersalah. Tetapi juga tidak ingin bersikap sebagai tamu yang terhormat. Ibunya justru bersedia direndahkan sebagai pengakuan atas kesalahannya.
Perasaan Kasadha tersentuh karenanya. Bagaimanapun juga ia tidak akan dapat melihat ibunya direndahkan dan apalagi dijadikan bahan pangewan-ewan, betapapun besar kesalahannya. Namun di samping perasaan itu, Kasadhapun menganggap bahwa ibunya adalah seorang yang berhati jantan. Ia tidak gentar menghadapi kenyataan betapapun pahitnya. Bahwa dengan dada tengadah ibunya sanggup mengakui kesalahannya, adalah pertanda bahwa ibunya bukan seorang yang berjiwa kerdil. Sebagaimana diingatnya, apa yang pernah dilakukan ibunya, maka ibunya memang mempunyai landasan jiwa yang kuat. Namun yang pada saat itu jalan yang ditempuh oleh ibunya adalah jalan yang sesat.
Karena itu, maka dengan suara yang bergetar Kasadha berkata, "Ibu, kita akan pergi ke Tanah Perdikan dalam keadaan wajar. Mungkin ibu memang membawa beban. Tetapi sudah tentu bukan niat Risang untuk menghadapkan ibu pada sebuah pengadilan. Karena itu, jika kita pergi ke Tanah Perdikan, maka kita akan menyatakan ikut bergembira bahwa Risang telah diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan,"
Ibunya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan dengan senang hati datang ke Tanah Perdikan Sembojan. Apapun yang akan aku alami disana. Aku sudah merasa bersyukur bahwa kau mendapat undangan langsung dari Risang sendiri. Apalagi jika Risang itu juga mengundang aku."
Kasadha mengangguk kecil sambil menjawab, "Terima kasih atas sikap ibu yang justru terbuka. Sejak semula aku merasa cemas bahwa ibu akan berkeberatan karena berbagai pertimbangan."
"Nah, katakan kepada Risang, bahwa aku bersedia untuk datang ke Tanah Perdikan Sembojan saat ia diwisuda," berkata ibunya, "asal kau yakin bahwa kesediaannya menerima aku bukan karena terpaksa. Apalagi ibunya, justru karena ia bersikap baik kepadamu. Tentang apa yang akan dilakukan atasku aku tidak akan menghiraukannya."
Kasadha mengangguk-angguk pula. Katanya, "Jika demikian, pada saatnya aku akan datang menjemput ibu dan sudah tentu bibi. Aku mohon bibi bersedia menemani ibu ke Tanah Perdikan Sembojan."
Bibinya mengangguk sambil menjawab, "Sudah tentu aku akan bersedia menemani ibumu. Selama hidupku aku belum pernah menyaksikan wisuda seorang Kepala Tanah Perdikan. Dengan datang ke Sembojan, agaknya aku akan dapat berceritera tentang upacara itu."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Persoalannya dengan ibunya sudah selesai. Nampaknya iapun tidak akan terlalu banyak dibebani persoalan apabila ibu Bharata berkeberatan menerima kehadiran ibunya, karena ibunya justru sudah mengatakan, bahwa ia akan datang jika ia akan dapat diterima dengan ikhlas, apapun yang akan terjadi atas dirinya di Tanah Perdikan kelak. Jika ibu Risang ternyata kemudian tidak ikhlas, maka ibunya tidak akan merasa sakit hati karena telah ditolak.
Tetapi bagaimanapun juga Kasadha tentu akan berusaha untuk menempatkan ibunya pada kedudukan yang wajar meskipun ibunya sendiri sudah mengaku bersalah dan akan menerima perlakuan yang bagaimanapun juga kelak.
Karena itu, maka Kasadhapun kemudian berkata, "Baiklah ibu. Dengan demikian maka aku sudah mendapat satu kepastian bahwa ibu akan datang ke Tanah Perdikan. Tetapi tentu saja tidak akan diperlakukan seperti seorang tertuduh di depan perdata yang akan mengadilinya atau justru seperti seorang terhukum yang harus menjalani hukumannya."
"Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang bakal timbul Kasadha. Aku datang ke Tanah Perdikan hanya akan menyampaikan ucapan selamat dengan ikhlas kepada Angger Risang, sebagaimana sikap ibu Risang yang dengan ikhlas menerimamu dalam rangkuman keluarga Tanah Perdikan Sembojan meskipun ia dan orang-orang tua di Tanah Perdikan tahu siapakah ibumu," berkata ibunya.
"Mudah-mudahan wisuda itu juga menjadi batas pertautan kembali seluruh keluarga Tanah Perdikan Sembojan tanpa saling curiga-mencurigai," berkata Kasadha dengan nada dalam.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum menjawab, mereka telah dikejutkan oleh ketukan perlahan-lahan pada daun pintu rumah mereka yang memang sudah tertutup.
"Siapa?" bertanya bibi Kasadha.
"Buka pintunya," terdengar suara geram di luar. Ketukan di pintu itu bahkan terdengar semakin kertas.
"Siapa?" bertanya bibi Kasadha itu pula.
"Buka saja pintunya, aku akan berbicara," Kasadhapun segera tanggap. Katanya, "Orang yang tadi siang kita temui di sawah."
Ibunya mengangguk sambil berdesis, "Ya. Ki Tunggul. Nampaknya ia sudah benar-benar gila."
"Aku tidak akan membuka pintu," geram Bibi Kasadha.
"Bukalah," minta ibu Kasadha, "nanti pintu itu rusak dan kita harus memperbaikinya. Atau biarlah Kasadha membukakan pintu itu. Silahkan mereka masuk. Ki Tunggul tentu tidak sendiri."
Kasadhapun bangkit dari tempat duduknya sementara wajah bibinya menjadi buram. Bahkan iapun berdesis, "Jika mereka mempergunakan kekerasan, apakah kita akan melayaninya" Lalu bagaimana anggapan tetangga-tetangga terhadap kita" Sikap mereka tentu akan berubah. Mereka akan menganggap kita sebagai hantu-hantu betina yang dijauhi orang."
"Mumpung ada Kasadha. Besok pagi-pagi kita menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Malam ini kita tidak usah ikut campur," jawab ibu Kasadha.
Bibinya tidak membantah lagi, sementara pintupun diketuk semakin keras. Sehingga Kasadha harus menjawab, "Ya, ya. Aku sedang berjalan menuju ke pintu."
Sejenak kemudian, Kasadha telah mengangkat selarak pintu lereg yang terbuat dari anyaman bambu itu. Ia mundur beberapa langkah ketika tiba-tiba saja Ki Tunggul dan dua orang pengikutnya memasuki rumah itu.
"Aku datang dengan maksud baik," berkata Ki Tunggul.
"Marilah, silahkan duduk, Ki Tunggul. Tempatnya masih dikotori sisa-sisa makan yang belum sempat kami singkirkan, karena kami sedang berbincang-bincang," ibu Kasadha itu mempersilahkan sambil membenahi mangkuk-mangkuk yang masih berserakan di amben bambu yang juga dipergunakan Kasadha untuk tidur.
Ki Tunggul tidak menjawab. Tetapi iapun segera duduk di amben itu pula, sementara dua orang pengiringnya berdiri tegak di sebelahnya. Seorang di antaranya meletakkan tangannya pada hulu goloknya yang besar. Sedang yang lain menyilangkan tangannya di dadanya.
Kasadhapun kemudian juga duduk di amben itu pula di sebelah bibinya. Sementara ibunya beringsut, justru ke tengah.
"Kedatangan Ki Tunggul malam-malam telah mengejutkan kami," desis ibu Kasadha.
"Belum terlalu malam," jawab Ki Tunggul, "baru saja senja lewat. Rumah sebelah menyebelah pintunya masih terbuka. Hanya rumah ini sajalah yang sudah menyelarak pintu rumahnya."
"Agaknya kami sudah tidak mempunyai kepentingan apa-apa lagi di luar, Ki Tunggul. Karena itu, maka kami telah menyelarak pintu rumah kami," berkata ibu Kasadha kemudian.
"Baiklah. Aku akan segera mengatakan kepentinganku datang kemari. Sudah aku katakan, bahwa aku berniat baik. Aku akan meneruskan pembicaraan kita di bulak tadi. Aku memang tidak mau bertengkar di jalan meskipun tidak akan ada orang yang berani menegurku. Tetapi aku semata-mata menghormati kalian, perempuan yang katanya merasa malu ribut-ribut di pinggir jalan."
Ibu Kasadha, bibinya dan Kasadha sendiri tidak menjawab. Mereka menunggu Ki Tunggul itu berkata selanjutnya meskipun mereka sudah dapat menduga, apa yang akan dikatakannya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian Ki Tunggul itu berkata, "aku akan melanjutkan pembicaraan kita. Aku benar-benar berniat untuk melamarmu. Sudah hampir setahun aku menduda. Bukankah sudah cukup lama anak-anakku hidup dalam kegersangan karena mereka tidak mempunyai seorang ibu?"
"Dimana ibu-ibu mereka?" bertanya bibi Kasadha.
Sementara Kasadhapun mengerutkan keningnya, karena kesan dari pertanyaan itu adalah bahwa isteri laki-laki itu tidak hanya satu.
Ki Tunggul menjadi tegang mendengar pertanyaan itu. Jawabnya, "Kau tidak perlu tahu kemana mereka pergi. Tetapi mereka adalah perempuan-perempuan yang tidak tahu diri. Perempuan-perempuan malas yang hanya pandai menghabiskan uang untuk bersolek dan membeli barang-barang perhiasan yang tidak sewajarnya. Karena itu mereka sudah aku usir dari rumahku. Aku tidak peduli kemana mereka akan pergi dan apa yang akan mereka lakukan kemudian, karena itu sudah bukan tanggung-jawabku lagi."
"Tetapi ternyata anak-anak mereka membutuhkan mereka," berkata bibi Kasadha.
"Sudahlah. Jangan hiraukan mereka. Aku memerlukan kau, itu saja. Kau akan menjadi isteriku dan menjadi ibu dari anak-anakku. Kau akan dapat hidup lebih baik daripada hidup di gubuk yang miring ini," berkata Ki Tunggul.
"Gubuk ini tidak miring, Ki Tunggul," sela Kasadha tiba-tiba sambil tersenyum.
Namun Ki Tunggul itu membentak, "Kau anak dungu. Kau tentu tahu bahwa gubuk ini buruk, kotor dan pengap."
Kasadha tidak menjawab lagi. Tetapi ia menyembunyikan senyumnya sambil menunduk dalam-dalam.
Sementara bibi Kasadha itu menjawab, "Ki Tunggul, bukankah sudah aku katakan bahwa aku akan segera kembali kepada suamiku. Karena itu, aku tidak dapat memenuhi keinginan Ki Tunggul. Apalagi akupun termasuk perempuan yang malas dan tidak mempunyai kelebihan apapun dari perempuan-perempuan lain."
"Tetapi kau terbiasa bekerja keras. Kau dapat bekerja sehari penuh di sawah melampaui ketahanan kerja seorang laki-laki. Bukankah itu satu kelebihan?" berkata Ki Tunggul.
Kasadhapun tahu pasti mendengar jawaban itu, bahwa bibinya memang tidak akan dijadikan seorang isteri yang sewajarnya. Tetapi ia akan menjadi seorang budak. Karena itu, maka di luar sadarnya timbullah kebenciannya kepada Ki Tunggul itu. Namun Kasadha berusaha untuk tidak mencampuri persoalannya jika tidak terpaksa.
Sementara itu, bibinyapun menjawab, "Sudahlah Ki Tunggul. Aku tidak akan dapat kau jadikan isterimu sekaligus budakmu. Sebaiknya aku kau lupakan saja. Dalam waktu dekat, suamiku tentu akan datang kemari. Soalnya tinggal, apakah aku akan mengikut suamiku ke Pajang atau suamiku yang akan tinggal disini."
Wajah Ki Tunggul menjadi merah. Katanya, "Kau tahu bahwa di padukuhan ini tidak seorangpun yang dapat mencegah kemauanku. Karena itu pikirkan masak-masak. Jika aku tidak mendengar kabar bahwa kau akan kembali ke suamimu, aku akan memberimu kesempatan berpikir beberapa hari lagi. Tetapi justru karena anak itu membawa bawa kabar bahwa kau akan kembali pada suamimu, maka aku harus mendapat kepastianmu sekarang. Aku tidak mau terlambat."
"Aku sudah memberimu kepastian," jawab bibi Kasadha.
"Jangan membuat aku marah," berkata Ki Tunggul, "jika kau mengharap perlindungan dari Ki Bekel, itu akan berarti sia-sia. Ki Bekel tidak akan berani menentangku, ia sudah berada di bawah pengaruhku."
"Jika demikian aku akan melaporkannya kepada Ki Jagabaya. Bahkan jika perlu Ki Demang, karena Ki Tunggul tahu bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang berpegang teguh pada paugeran bebrayan sehingga Ki Jagabaya tentu akan bersedia melindungiku," berkata bibi Kasadha.
"Kau tidak akan mendapat kesempatan," berkata Ki Tunggul.
"Besok pagi-pagi aku akan pergi ke rumah Ki Jagabaya. Aku sudah tahu rumahnya meskipun agak jauh," berkata bibi Kasadha.
"Kau tidak akan sempat melakukannya meskipun besok pagi-pagi, karena malam ini aku sudah memutuskan membawamu ke rumahku. Aku sudah terlalu sabar menunggumu. Tetapi aku tidak mau didahului oleh suamimu," berkata Ki Tunggul.
"Tidak," bibi Kasadha hampir berteriak, "kau kira aku apa sehingga kau akan dapat membawaku sekehendakmu sendiri?"
"Aku tidak peduli," berkata orang itu. Sambil memberi isyarat kepada kedua orang pengiringnya Ki Tunggul itu berkata, "Aku sudah tidak dapat menahan diri lagi. Kau malam ini harus sudah berada di rumahku. Kau harus berganti pakaian yang pantas sebagai isteriku sehingga kecantikanmu akan semakin nyata."
"Tidak," wajah bibi Kasadha menjadi merah. Namun ketika ia melihat Kasadha, maka iapun mencoba untuk menahan diri. Seperti yang dikatakannya sendiri, ia tidak mau menjadi seorang perempuan yang terasing, karena ia memiliki kemampuan berkelahi. Ia telah berhasil mengatasi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga ia tidak ingin merusaknya jika tidak terpaksa sekali.
Karena itu, maka ia menyerahkan persoalannya kepada Kasadha agar jika Ki Tunggul itu mempergunakan kekerasan, anak muda itu dapat mengatasinya.
"Kedudukan perempuan di desa kecil ini berbeda dengan kedudukan Warsi di padepokannya atau Iswari di Tanah Perdikannya," berkata bibi Kasadha itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah ketika kedua orang pengikut Ki Tunggul itu mulai bergerak, Kasadha berkata, "Ki Tunggul. Bibi telah menyatakan sikapnya. Sebaiknya Ki Tunggul juga menghormati haknya. Karena itu, Ki Tunggul jangan memaksa bibi untuk tunduk kepada kemauan Ki Tunggul. Apalagi menurut kesimpulanku dari pembicaraan Ki Tunggul dan bibi, sebenarnyalah bibi tidak akan menjadi seorang isterinya dengan hak sepenuhnya sebagai seorang isteri yang wajar. Tetapi bibi akan menjadi seorang isteri yang dibebani oleh pekerjaan yang berat karena bibi mampu bekerja keras. Karena itu, biarlah bibi kembali kepada paman tanpa gangguan orang lain. Termasuk Ki Tunggul."
Kemarahan Ki Tunggul menjadi semakin menyala di dadanya. Dengan lantang ia berkata, "Kau anak yang masih berbau kencur. Kau mau apa" Sebaiknya kau bujuk agar bibimu dapat berpikir bening sehingga ia bersedia ikut bersamaku. Kaupun boleh ikut bersamaku dan ibumu sekaligus. Sawahku cukup luas untuk kalian kerjakan menurut kehendakmu."
Kasadha menggeleng. Katanya, "Sudahlah. Kami sudah cukup memberikan penjelasan. Sekarang aku mohon Ki Tunggul pulang saja agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan."
Seorang di antara pengiring Ki Tunggul itu nampaknya tidak sabar lagi. Karena itu maka iapun maju selangkah mendekati Kasadha sambil membentak, "Jika kau membuka mulutmu lagi, aku akan mengoyaknya."
Kasadha tidak segera menjawab. Tetapi iapun telah bangkit berdiri. Tetapi ia melangkah surut ketika pengiring Ki Tunggul itu melangkah maju.
"Ki Sanak," berkata Kasadha, "bukankah kita mempunyai mulut untuk berbicara dan menyelesaikan persoalan kita" Apakah kita perlu mempergunakan kekerasan sehingga di antara kita, orang-orang dewasa saling berkelahi" Bukankah itu akan dapat menjadi bahan tertawaan anak-anak yang masih pantas berkelahi."
Tetapi orang itu tidak menjawab. Tangannyalah yang dengan cepat bergerak menampar wajah Kasadha.
Tetapi tangan itu ternyata tidak menyentuhnya sama sekali. Hampir tidak masuk akal bahwa tangannya tidak mengenai sasaran, sementara Kasadha seakan-akan tidak bergerak sama sekali.
Pengiring Ki Tunggul itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya kemarahannya sudah tak terbendung lagi. Bahwa tangannya tidak menyentuh sasarannya telah membuatnya semakin geram.
Namun Kasadha tidak mau terjadi keributan di dalam rumah itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Ki Sanak. Meskipun aku tahu bahwa kau adalah salah seorang pengikut Ki Tunggul yang tentunya dianggap sebagai orang kuat atau bahkan memiliki ilmu yang tinggi, namun aku tidak akan membiarkan kau atas nama orang yang mengupahmu berbuat sewenang-wenang terhadap bibi. Betapapun lemahnya aku, tetapi aku juga seorang laki-laki. Aku tidak tahu apakah aku mampu melakukan atau tidak. Namun aku akan mencegahmu jika kau akan mengambil bibi di luar kehendak bibi itu sendiri. Karena itu, jika kau ingin memaksakan kehendakmu atas nama orang yang mengupahmu, maka kita tentu akan beradu kekerasan. Tetapi sudah tentu tidak di dalam rumah yang sempit ini. Kita akan berkelahi di luar rumah. Meskipun gelap malam telah menyelimuti halaman rumah ini, tetapi kita tidak akan terganggu karenanya."
Wajah pengiring Ki Tunggul itu menjadi merah. Kemarahannya telah sampai ke ubun-ubun. Apalagi ketika Ki Tunggul berkata, "Selesaikan anak itu."
Kasadha tidak menunggu lagi. Iapun segera bergeser ke pintu, sementara Ki Tunggul telah mengisyaratkan agar kedua pengikutnya mengikutinya.
Sejenak kemudian Kasadha sudah berdiri di halaman rumah ibunya. Sementara itu kedua orang pengikut Ki Tunggul dan bahkan Ki Tunggul sendiri telah keluar pula.
Dalam pada itu terdengar suara Ki Tunggul, "Buatlah anak itu menjadi jera. Ia harus tahu, siapa aku dan seberapa besar pengaruhku disini. Meskipun ia akan berteriak-teriak, jika orang-orang di sekitar rumah ini tahu, bahwa aku ada disini, maka mereka tentu tidak akan berani berbuat apa-apa."
Kasadha hanya berdiam diri saja mendengar kata-kata Ki Tunggul itu. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Jangan ragu-ragu," berkata Ki Tunggul kemudian.
Kedua orang itupun kemudian telah mendekati Kasadha yang melangkah surut justru ke tengah-tengah halaman.
"Kau akan menyesal anak muda," geram salah seorang dari kedua orang pengikut Ki Tunggul, "jika kau mampu bertahan untuk hidup, maka kau tentu akan menjadi cacat untuk seumur hidupmu."
"Tetapi aku akan membiarkan anak yang cacat itu ikut bersama bibinya di rumahku," berkata Ki Tunggul.
Kasadha masih saja berdiam diri. Namun ia benar-benar telah bersiap.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun mulai bergerak. Agaknya merekapun menyadari, melihat sikap Kasadha, maka mereka sudah memperhitungkan, bahwa anak muda itu bukannya anak muda yang kosong sama sekali. Setidak-tidaknya anak muda itu tentu merasa bahwa ia mampu melawan kedua orang pengikut Ki Tunggul itu.
Kasadhapun telah bergeser selangkah surut. Namun iapun kemudian mulai meloncat sambil menggapai salah seorang lawannya untuk memancingnya mulai menyerang.
Sebenarnyalah orang itu menghindari tangan Kasadha. Namun dengan cepat orang itu telah bergerak untuk menyerang.
Dengan demikian, maka perkelahianpun telah di. mulai. Meskipun Kasadha seorang prajurit dan lebih dari itu ia adalah murid Ki Ajar Paguhan, namun ia tidak merendahkan kemungkinan yang dimiliki oleh kedua orang lawannya. Keduanya tentu orang-orang yang terbiasa melakukan kekerasan.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga itupun bergerak semakin cepat. Kedua orang pengikut Ki Tunggul itu menjadi semakin yakin bahwa anak muda itu memang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
Ki Tunggul memperhatikan perkelahian yang terjadi di halaman rumah itu. Dalam kegelapan ia melihat kedua belah pihak saling menyerang dan menghindar.
Namun Ki Tunggul itu mulai menjadi cemas karena kedua orang kepercayaannya itu tidak segera menyelesaikan anak muda itu.
Dengan demikian, maka Ki Tunggulpun segera mendekati arena. Ki Tunggul menjadi semakin jelas melihat mereka yang berkelahi itu karena bulan di langit mulai tersembul dari balik dedaunan yang rimbun di halaman itu.
Dalam pada itu, ternyata ibu dan bibi Kasadha juga keluar dari pintu rumah mereka untuk menyaksikan apakah yang telah terjadi di halaman.
Sebenarnyalah perkelahian itu sudah menjadi semakin sengit. Namun dengan demikian, baik Ki Tunggul maupun ibu dan bibi Kasadha segera melihat, bahwa kemampuan mereka memang kurang seimbang. Beberapa kali Kasadha telah mampu mengenai tubuh lawan-lawannya. Bahkan seorang di antara mereka terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya dan jatuh terlentang. Namun untunglah bahwa ia masih mampu menyelamatkan dirinya.
Dalam perkelahian selanjutnya, maka ibu dan bibi Kasadha melihat bahwa Kasadha benar-benar telah menguasai kedua lawannya. Namun agaknya Kasadha tidak ingin membuat keduanya menjadi sangat malu karena kekalahan mereka yang hanya dalam waktu yang terhitung singkat, sedangkan sebelumnya mereka seakan-akan yakin bahwa mereka akan dapat memperlakukan Kasadha sekehendak hati mereka. Karena itu dalam perkelahian selanjutnya, Kasadha seakan-akan hanya sekedar melayani saja. Ia memang menunggu sampai kedua orang itu kehabisan tenaga dengan sendirinya karena kelelahan.
Namun kedua orang pengikut Ki Tunggul yang merasa selalu terdesak, bahkan beberapa kali telah dikenai serangan Kasadha, tidak membiarkan diri mereka kehilangan kepercayaan Ki Tunggul. Ketika keduanya semakin menyadari kemampuan anak muda itu, maka seorang di antara mereka telah memberikan isyarat agar mereka mempergunakan senjata mereka.
Dengan demikian, sejenak kemudian, maka kedua orang pengikut Ki Tunggul itu telah menarik golok mereka. Dengan geram seorang di antara mereka berkata, "Kau ternyata tidak tahu bahwa kau masih dikasihani. Betapa kami memberi kesempatan kepadamu untuk melihat kenyataan bahwa kau tidak akan mampu menghalangi kami, tetapi agaknya kau memang keras kepala."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Ternyata kedua orang itu sudah mempergunakan senjata mereka, sehingga perkelahian itu akan menjadi bersungguh-sungguh.
Tetapi Kasadha tidak membawa senjatanya. Ketika ia melangkah keluar, ia melupakan pedangnya.
Meskipun demikian Kasadha sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan Kasadha berniat menghentikan perlawanan kedua orang itu jika ternyata mereka bersungguh-sungguh. Menurut perhitungan Kasadha, keduanya tidak akan terlalu berbahaya baginya meskipun keduanya bersenjata.
Namun ternyata ibunyalah yang menjadi cemas. Meskipun ketika ia sempat melihat Kasadha bertempur ia mengerti bahwa ilmu anaknya sudah semakin meningkat, namun menghadapi kedua orang bersenjata itu, ibunya merasa perlu meyakinkan dirinya bahwa Kasadha tidak akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka iapun kemudian telah memanggil anaknya dan berkata, "Kasadha, ini pedangmu."
Kasadha berpaling. Ia melihat ibunya telah melemparkan pedangnya kepadanya.
Dengan tangkas Kasadha menerima pedangnya. Bahkan ketika kedua orang lawannya melangkah maju sambil mengacukan goloknya, Kasadha telah menarik pedangnya pula sambil berkata, "Kalianlah yang telah mendahului menarik senjata dari sarungnya. Karena itu jika darah nanti menetes di halaman rumah ini, bukan tanggung jawabku."
Tantangan Kasadha itu ternyata telah menggetarkan hati kedua orang itu. Anak itu ternyata berbeda dengan orang-orang Bayat yang pernah diperlakukan dengan kasar oleh mereka berdua. Anak itu dengan tatapan mata yang tajam memandang keduanya berganti-ganti, sementara ujung pedangnya dengan mantap terjulur lurus ke depan.
Namun sebelum mereka mulai menggerakkan senjata mereka, Ki Tunggul berkata hampir berteriak, "Hentikan kebodohan kalian berdua. Apakah mata kalian tidak melihat siapakah lawan mereka?"
Kedua orang pengiring Ki Tunggul itu termangu-mangu. Namun Ki Tunggul yang melihat pedang Kasadha kemudian melangkah maju sambil berkata, "Anak ini tentu seorang prajurit."
Kedua orang kepercayaan Ki Tunggul itu menjadi tegang. Namun ibu dan bibi Kasadhapun terkejut mendengar tebakan Ki Tunggul yang tepat itu.
Sementara itu Kasadha sendiri juga menjadi heran. Karena itu maka iapun telah bertanya, "Dari mana Ki Tunggul tahu?"
"Aku pernah menjadi prajurit," jawab Ki Tunggul, "tetapi aku tidak merasa betah karena aku merasa seperti ditelikung oleh paugeran-paugeran yang tidak masuk akal. Selebihnya aku telah membentuk diriku sendiri. Jangan terlalu cepat menepuk dada. Aku sama sekali tidak gentar menghadapi seorang prajurit. Apalagi dengan demikian aku tahu bahwa kau telah membual di hadapanku. Aku tidak senang sama sekali terhadap sikapmu itu, sehingga karena itu, maka aku akan menentukan apa yang akan aku lakukan atasmu. Aku harus membungkam mulutmu bukan hanya untuk sesaat, tetapi untuk selama-lamanya agar apa yang aku lakukan ini tidak berbekas. Kemudian aku akan membawa bibi dan ibumu bersamaku sekarang."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat wajah Ki Tunggul, iapun tahu bahwa Ki Tunggul tentu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Ternyata ibu dan bibinyapun melihat pancaran wajah Ki Tunggul itu, sehingga di luar sadarnya ibu dan bibinya bergeser mendekatinya.
"Kasadha," bisik ibunya, "pandanglah bulan itu. Hisap getaran inti sinarnya dengan seluruh permukaan kulitmu. Kekuatan yang terpancar daripadanya akan menyusup ke lubang-lubang kulitmu sehingga getarannya akan membuat kemampuan dan ilmumu mekar di dalam dirimu, termasuk tenaga dalammu."
Kasadha mengerutkan keningnya. Ia memang menengadahkan wajahnya memandang bulan di langit. Meskipun belum bulat, tetapi bulan itu memancarkan sinarnya yang keemasan menyiram tubuh Kasadha.
Tetapi Kasadha sama sekali tidak tertarik kepada sinar bulan untuk memekarkan kemampuan dan ilmunya, karena gurunya tidak mengajarinya demikian. Namun Kasadha tidak mau mengecewakan ibunya. Beberapa saat ia memandang bulan itu, kemudian mengangkat pedangnya tinggi. Namun di dalam hati ia berkata, "Jika aku dipengaruhi oleh sinar bulan, maka di siang hari atau di saat-saat bulan tidak bersinar, aku merasa bahwa kemampuanku dan ilmuku akan menyusut."
Tetapi apa yang dilakukan oleh Kasadha itu ternyata telah menarik perhatian Ki Tunggul. Katanya, "Kau termasuk salah seorang pemuja bulan dan mendapat kekuatan dari padanya" Persetan. Kau kira aku menjadi gentar karenanya. Pengaruh sinar bulan itu tidak akan menggetarkan selembar rambutku. Apalagi jantungku."
Kasadha tidak menjawab. Tetapi ia mulai melangkah maju mendekati Ki Tunggul sambil menggerakkan ujung pedangnya.
*** JILID 46 KI TUNGGULPUN kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebuah luwuk yang panjang. Pada tangkainya terdapat ukiran yang dihias dengan rambut yang Kasadha mengira rambut itu tentu rambut manusia, sebagaimana sering dilihat sebelumnya, bahwa rambut manusia memberikan kebanggaan tersendiri kepada pemiliknya. Apalagi rambut orang yang telah dibunuhnya dalam persoalan apapun.
"Marilah anak muda," berkata Ki Tunggul, "kita akan bertempur seorang lawan seorang. Jangan menyesal bahwa di padukuhan kecil ini kau bertemu dengan seseorang yang memiliki kemampuan melampaui Senapatimu sekalipun."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Ki Tunggul yang memiliki pengaruh yang besar itu agaknya memang seorang yang tidak mau dikecewakan. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain.
Namun Kasadhapun menyadari, bahwa Ki Tunggul itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Ia mengerti juga bahwa ada kekuatan yang bersumber dari siraman cahaya bulan.
Demikianlah keduanyapun telah berhadapan. Ki Tunggul mulai menggerakkan luwuknya yang kehitam-hitaman. Pamornya nampak berkilat memantulkan cahaya bulan Sementara itu Kasadha menggenggam sebilah pedang yang tajamnya bagaikan membelah cahaya bulan itu.
Sejenak kemudian, luwuk Ki Tunggul itupun mulai terayun. Namun Kasadha yang ingin menjajaginya telah menyentuh luwuk itu dengan pedangnya.
Satu benturan kecil telah terjadi. Tetapi dengan benturan itu keduanya masih belum dapat menduga kekuatan dan kemampuan mereka masing-masing.
Karena itu, maka keduanya masih harus tetap berhati-hati. Masing-masing masih belum tahu pasti, sampai di manakah tataran kekuatan lawannya. Terutama Kasadha yang masih belum melihat sama sekali, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Tunggul, sementara Ki Tunggul telah melihat bagaimana ia mampu mengalahkan para pengawalnya.
Dengan demikian, maka Kasadha masih saja berusaha untuk dapat membentur ayunan senjata lawannya. Ketika sekali-sekali benturan yang keras terjadi, maka Kasadhapun mengetahui, bahwa lawannya memiliki kekuatan yang sangat besar.
Demikianlah, sejenak kemudian, pertempuran antara Kasadha dan Ki Tunggul itu menjadi semakin cepat. Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Bahkan semakin lama semakin tinggi. Luwuk Ki Tunggulpun berputaran semakin cepat. Ayunannyapun menjadi semakin kuat. Beberapa kali Kasadha memang harus meloncat surut untuk menghindari sambaran luwuk Ki Tunggul itu.
Tetapi pedang Kasadhapun tidak pula kalah garangnya. Pedang itu bagaikan terbang menyambar-nyambar. Pantulan kilatan cahaya bulan kadang-kadang memang membuat jantung Ki Tunggul berdebaran apalagi setelah ia menduga bahwa Kasadha termasuk salah seorang pemuja bulan yang mengisap sinarnya dengan lubang-lubang kulitnya untuk meningkatkan kemampuannya.
"Iblis kecil ini ternyata keras kepala," berkata Ki Tunggul di dalam hatinya, "tetapi ia harus benar-benar dihancurkan agar tidak ada lagi tuntutan karena aku telah berani melawan seorang prajurit. Meskipun prajurit itu tidak sedang bertugas, tetapi prajurit muda itu dapat menyatakan bahwa ia sedang melindungi seseorang, apalagi orang itu adalah bibinya."
Karena itu, maka setelah mereka bertempur beberapa saat, Ki Tunggul menjadi tidak sabar lagi. Iapun telah mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak.
Kasadha memang terdesak untuk beberapa saat. Ibunya sempat menjadi cemas melihat keadaannya. Meskipun ia sendiri akan dapat menyelesaikan Ki Tunggul, tetapi itu akan dapat merusak suasana hidupnya sehari-hari.
"Apakah aku harus menyelesaikan persoalan ini sebagaimana pernah aku lakukan?" pertanyaan itu mulai timbul di dalam hati ibu Kasadha itu.
Namun hatinya menjadi sedikit tenang, ketika ia melihat anaknya menjadi mapan lagi. Kasadha tidak lagi nampak terdesak setelah iapun meningkatkan kemampuannya pula. Pedangnya berputar secepat luwuk Ki Tunggul.
Ki Tunggul sempat mengumpat di dalam hati. Anak muda itu ternyata tidak segera dapat ditundukkan. Menurut perhitungannya, sebagaimana dikenalnya, kemampuan para prajurit tidak akan dapat memanjat sampai ke tingkat kemampuan anak muda itu.
Karena itu, maka Ki Tunggul itupun menjadi semakin yakin, bahwa Kasadha adalah seorang yang bukan saja memiliki kemampuan seorang prajurit, tetapi juga pernah berguru kepada seseorang yang ternyata pemuja bulan.
Karena itu, maka dalam siraman sinar bulan, maka kemampuannya telah menjadi semakin berkembang.
Ki Tunggul itupun kemudian berusaha untuk mendesak Kasadha agar anak muda itu lepas dari pengaruh sinar bulan dan bertempur di bawah bayangan pepohonan. Namun ternyata bahwa Ki Tunggul tidak mampu melakukannya. Ternyata Kasadha cukup trampil menanggapi usaha Ki Tunggul itu. Jika serangan Ki Tunggul itu datang memburu, maka dengan tangkasnya Kasadha meloncat berputaran. Namun Ki Tunggul itu tidak pernah dapat mendesak Kasadha sehingga tenggelam dalam bayangan pepohonan yang rimbun di halaman rumah itu. Setiap kali Kasadha sempat menembus desakan lawannya dan kembali berdiri di terangnya sinar bulan yang kekuningan. Sehingga dengan demikian, maka Ki Tunggulpun menjadi semakin yakin, bahwa Kasadha adalah seorang di antara mereka yang berusaha menyerap cahaya bulan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan.
Kasadhapun ternyata mengerti juga usaha lawannya. Justru karena itu, maka Kasadha setiap kali selalu berusaha untuk berada di cerahnya sinar bulan yang bergerak semakin tinggi.
"Anak iblis," geram Ki Tunggul itu di luar sadarnya, "kau kira bulan itu akan dapat menolongmu?"
Kasadha tidak menjawab, tetapi ia menjadi semakin yakin, bahwa lawannya menyangka ia termasuk seorang yang bergantung pada cahaya bulan.
Justru karena itu, maka Kasadha semakin keras berusaha agar ia nampak selalu berusaha berada di bawah cahaya bulan sehingga pada suatu saat ia akan menunjukkan bahwa bulan itu sama sekali tidak mempengaruhinya.
"Jika ibu menjadi kecewa, aku akan menjelaskan," berkata Kasadha kepada diri sendiri.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tunggul masih saja berusaha mendesak lawannya, tetapi Kasadha justru tetap berusaha bertahan di bawah sinar bulan yang semakin lama seakan-akan menjadi semakin cerah.
Namun sebenarnyalah bahwa kemampuan Ki Tunggul memang tidak dapat untuk mengatasi kemampuan Kasadha. Beberapa kali Ki Tunggullah yang justru terdesak. Sehingga Ki Tunggul itupun mencoba untuk berganti cara. Ia tidak lagi berusaha mendesak Kasadha, tetapi ia justru mencoba memancing agar Kasadha memburunya ke kegelapan oleh bayangan dedaunan.
Mula-mula Kasadha masih mencoba untuk tidak terpancing memasuki bayangan dedaunan. Namun akhirnya ia menjadi jemu untuk selalu menghindari bayangan pepohonan. Justru karena itu, maka ketika Ki Tunggul itu terdesak dan dengan serta-merta meloncat ke bawah lindungan dedaunan, maka Kasadhapun telah memburunya. Dalam pada itu, demikian tubuh Kasadha lepas dari cahaya bulan maka dengan serta-merta Ki Tunggul meloncat menyerangnya sambil berteriak nyaring, "Tengadahkan wajahmu kepada bulan yang kau sembah itu. Mintalah pertolongannya agar kau mampu menyelamatkan dirimu."
Namun Ki Tunggul itu terkejut. Serangannya sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Ketika luwuknya terjulur lurus mengarah kepada Kasadha, maka Kasadhapun dengan tangkasnya telah menangkis serangan itu. Dengan kuatnya Kasadha memukul luwuk itu ke samping. Demikian kerasnya, sehingga hampir saja luwuk itu terlepas dari tangannya. Namun selagi ia berusaha mempertahankan luwuk itu, maka dengan kecepatan melampaui kesadaran Ki Tunggul, pedang Kasadha bergerak terayun mendatar.
Terdengar Ki Tunggul mengaduh perlahan. Sambil meloncat surut Ki Tunggul telah meraba pundaknya. Terasa cairan yang hangat telah meleleh dari luka yang menganga di pundaknya itu. Namun baru sejenak kemudian perasaan pedih menyengat lukanya, setelah keringatnya yang menitik mulai membasahi lukanya itu.
Kasadha tidak memburunya. Tetapi ia menunggu Ki Tunggul mempersiapkan diri untuk melanjutkan pertempuran.
Ibunya yang menjadi cemas melihat Kasadha memburu lawannya ke dalam bayangan dedaunan telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata di bawah bayangan yang menghalangi cahaya bulan, Kasadha masih tetap seorang yang memiliki ilmu yang mampu mengatasi ilmu lawannya.
Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tunggul menggeram, "Ternyata kau memang anak iblis yang licik."
"Kenapa?" bertanya Kasadha.
"Kau menunggu aku menjadi lengah, justru karena aku yakin bahwa kau telah menyerap kekuatan sinar bulan untuk meningkatkan ilmumu yang kotor itu."
"Kenapa aku kau anggap licik" Kenapa kau tidak melakukannya juga karena sinar bulan itu melimpah dan tidak habis aku serap seberapapun aku perlukan?" jawab Kasadha.
"Kau jangan terlalu sombong karena kau sempat melukai aku," geram Ki Tunggul, "tetapi aku sudah bersikap. Kau harus mati dan berkubur di kebun ini. Kau akan diam dan kedua perempuan itupun tidak akan sempat berbicara kepada siapapun. Aku memerlukan bibimu. Jika benar yang seorang itu ibumu maka ia akan mengalami nasib sebagaimana nasibmu. Ia akan diam untuk selama-lamanya. Nah, kau yakin bahwa tidak akan ada saksi yang dapat mengatakan apa yang terjadi disini?"
Tetapi Kasadha tertawa. Katanya, "Jangan berkata begitu Ki Tunggul. Tidak mudah untuk membunuh seseorang, karena kematian kami tidak berada di tanganmu. Juga batas kematianmu tidak berada di tangan kami. Tetapi jika aku akan menjadi perantara, maka kau akan dapat terbunuh disini justru karena kau memang sudah sampai ke batas hidupmu yang sesat itu."
"Tutup mulutmu iblis kecil," geram Ki Tunggul sambil menyerang. Luwuknya terayun deras menebas ke arah leher. Namun Kasadha yang sudah yakin akan kelebihannya, telah menangkis serangan itu. Dengan demikian maka benturan telah terjadi dengan kerasnya. Sekali lagi Ki Tunggul terkejut. Luwuknya hampir saja terlepas dari tangannya.
Dengan demikian, maka akhirnya Ki Tunggul itu menyadari, dengan atau tidak dengan sinar bulan, maka kemampuan anak muda itu memang berada di atas kemampuannya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali membawa kedua pengawalnya ke dalam pertempuran itu dengan satu perintah yang tegas, "Bunuh anak yang sombong itu. Meskipun ia seorang prajurit, tidak seorangpun akan dapat menjadi saksi."
Kasadha meloncat selangkah surut. Jantungnya memang menjadi berdebar-debar. Dengan demikian berarti bahwa ia harus bertempur melawan ketiga orang itu sekaligus. Meskipun seorang demi seorang kemampuan mereka tidak banyak berarti, tetapi bersama-sama mereka akan menjadi lawan yang berat.
Tetapi Kasadha sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Ia tidak mempunyai pilihan lagi. Apalagi Ki Tunggul nampaknya telah berniat untuk benar-benar membunuhnya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Kasadha telah bersiap. Di luar sadarnya ia telah bergeser keluar dari bayangan dedaunan. Sinar bulan yang semakin tinggi itu, rasa-rasanya menjadi semakin terang.
Di waktu Kasadha masih kanak-kanak dan bernama Puguh, jarang sekali ia sempat bermain-main di terangnya bulan. Jika anak-anak sebayanya bermain kejar-kejaran, maka Kasadha harus tinggal di dalam biliknya yang sempit pengap. Yang didengarnya tidak lebih dari makian dan umpatan kasar.
Justru setelah ia dewasa dan menjadi seorang Lurah prajurit, maka rasa-rasanya ia mendapat kesempatan untuk bermain-main sepuas-puasnya di bawah sinar bulan, meskipun permainan yang dilakukan adalah permainan yang berbahaya. Permainan dengan taruhan maut.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Kasadha harus bertempur melawan ketiga orang itu. Ki Tunggul dengan kedua orang pengawalnya, yang keduanya tidak berdaya menghadapinya. Namun bertiga dengan Ki Tunggul mereka akan dapat memecah pemusatan nalar budinya.
Warsi dan adik sepupunya menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka mengerti bahwa Kasadha memiliki kemampuan yang tinggi, namun melawan ketiga orang itu, rasa-rasanya memang akan terlalu berat baginya.
Karena itu Warsipun menjadi semakin berhati-hati. Diamatinya pertempuran itu dengan sungguh-sungguh. Setiap saat ia akan dapat terpanggil untuk berbuat sesuatu, jika Kasadha mengalami kesulitan.
Meskipun demikian, ketika ia melihat Kasadha sudah berada di bawah sinar bulan yang semakin terang itu, hatinya terasa menjadi semakin tegar, meskipun ia masih belum pasti, apakah sinar bulan itu berpengaruh atau tidak atas anak laki-lakinya, karena nampaknya Kasadha sendiri tidak begitu menaruh perhatian atas sinar bulan itu sendiri.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah berlangsung kembali. Memang terasa bagi Kasadha bahwa ia harus lebih banyak mengerahkan tenaganya. Namun dengan tenaga dalamnya, maka Kasadha telah membuat ketiga orang lawannya mengalami kesulitan.
Sambil berloncatan menyerang dan menghindari serangan, Kasadha masih sempat berkata, "Ki Tunggul. Urungkan niatmu. Jika kau masih saja berniat buruk terhadap bibi, maka aku akan dapat kehabisan kesabaran. Tetapi jika kau mengurungkannya, dan bersedia meninggalkan tempat ini, maka kau akan kami maafkan."
Tetapi nampaknya Ki Tunggul juga seorang yang keras hati.
"Hanya ada satu hal yang dapat menghentikan pertempuran ini. Jika kau sudah mati," jawab Ki Tunggul sambil menyerang dengan garangnya.
Kasadha sempat menghindar. Bahkan pedangnya yang berputar telah menggeliat dan menyambar salah seorang pengawal Ki Tunggul itu, sehingga terdengar keluhan tertahan. Sebuah goresan telah menyilang di dada orang itu. Tidak terlalu dalam, namun luka itu telah menitikkan darah.
Ki Tunggullah yang mengumpat kasar. Dengan garangnya ia meloncat menyerang, seakan-akan memberi kesempatan kepada pengawalnya yang terluka untuk memperbaiki kedudukannya. Namun Kasadha sempat bergeser dan menangkis serangan Ki Tunggul. Ketika kemudian pedangnya terjulur, maka Ki Tunggul itu harus meloncat menghindari menjauhi lawannya. Namun dalam pada itu, pengawalnya yang lain telah mencoba mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat ia melenting sambil mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher Kasadha tanpa ragu-ragu. Ia memang benar-benar ingin membunuh anak muda itu.
Namun ternyata bahwa Kasadha telah menghindarinya dengan merendahkan diri, berlutut pada satu kakinya. Namun sementara itu, pedangnya telah terjulur lurus menyongsong lawannya yang menyerangnya.
Pedang itu akan dapat menghunjam ke dada pengawal itu. Tetapi demikian terasa ujung pedang itu menyentuh dada, maka Kasadha justru telah menarik pedangnya. Namun demikian ujung pedang itu telah sempat melukai dada pengawal Ki Tunggul meskipun tidak terlalu dalam.
Pengawal itu terkejut, ia merasa ujung pedang yang tajam itu menyengat dadanya. Sehingga karena itu, maka iapun telah meloncat surut pula beberapa langkah.
Kasadha memang tidak memburunya. Dibiarkannya lawannya yang terluka itu berdiri termangu-mangu. Dengan tangan kirinya ia meraba lukanya yang mengalirkan darah yang hangat itu.
Dua orang pengawal Ki Tunggul telah terluka. Darah telah mengalir dari luka-luka mereka.
Ki Tunggul tidak dapat mengabaikan kenyataan itu. Ia harus membuat perhitungan yang lebih cermat untuk selanjutnya.
"Ki Tunggul," berkata Kasadha, "sebenarnyalah seorang prajurit bukan seorang pembunuh. Karena itu, maka aku tidak ingin membunuh kalian. Aku hanya ingin mencegah kalian melakukan perbuatan yang sewenang-wenang. Karena itu Ki Tunggul. Aku minta kau dan kedua orangmu mengurungkan niatmu untuk mengambil bibi. Bukan hanya sekarang karena aku ada disini. Tetapi besok atau lusa atau kapan saja. Dalam waktu yang tidak lama lagi aku akan datang kemari untuk menengok ibu dan bibi. Jika ternyata terjadi sesuatu atas mereka, maka aku akan langsung berurusan dengan Ki Tunggul. Mungkin aku tidak akan berusaha menahan diri lagi seperti sekarang ini."
Ki Tunggul menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain, karena bagaimanapun juga ia dan kedua orangnya tidak akan dapat mengalahkan prajurit muda itu.
Karena itu, maka kemudian katanya, "Baiklah. Aku mengurungkan niatku membawa bibimu sekarang."
"Sekarang" Bagaimana dengan besok, lusa dan seterusnya," bertanya Kasadha.
Ki Tunggul tidak segera menjawab. Namun Kasadha mendesaknya, "berjanjilah."
"Ya. Ya. Aku berjanji," jawab Ki Tunggul.
"Baiklah. Sekarang bawa orang-orangmu pergi. Besok pagi-pagi aku akan mengantarkan ibu dan bibi ke rumah Ki Bekel dan langsung ke rumah Ki Jagabaya. Aku akan menitipkan keduanya kepada Ki Jagabaya, setidak-tidaknya untuk mengawasinya," berkata Kasadha.
Wajah Ki Tunggul menjadi semakin tegang. Sementara Kasadha masih saja berkata, "Seandainya mereka tidak kuasa melawan pengaruhmu disini karena kau memiliki uang sehingga kau akan dapat berbuat apa saja dengan uangmu, namun kau tidak dapat melawan paugeran. Aku dapat mempergunakan kekuatan prajurit-prajuritku jika perlu untuk menegakkan paugeran itu. Berapapun banyaknya orang yang kau upah, namun prajurit Pajang, jumlahnya lebih banyak lagi."
Ki Tunggul tidak menjawab. Nampaknya anak muda itu bersungguh-sungguh. Sementara itu ia memang tidak dapat berbuat apa-apa lagi menghadapinya.
Karena itu, maka iapun segera memberi isyarat kepada kedua orangnya untuk meninggalkan halaman rumah perempuan yang menolak untuk diperisteri itu.
Kasadha hanya memandang sambil berdiri termangu-mangu. Baru kemudian ia menarik nafas panjang sambil berkata kepada ibunya, "Mudah-mudahan ia tidak kembali lagi."
Ibunya mengangguk. Katanya dengan nada rendah, "Ya. Agaknya ia tidak akan kembali. Nampaknya ia benar-benar telah jera."
Namun bibinya menyahut, "Meskipun demikian, aku masih akan menemui Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati, sementara kita sendiri tidak dapat langsung melawannya meskipun kita mampu."
Ibu Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, besok pagi-pagi kita pergi menghadap Ki Bekel dan Ki Jagabaya untuk mohon perlindungan."
"Bagaimana jika Kasadha ikut bersama kita sebelum ia kembali ke Pajang" Meskipun ia akan sampai ke baraknya lebih siang, tetapi masih dalam hari yang sama," bertanya bibi Kasadha.
Ibu Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu lebih baik. Aku harap Kasadha tidak berkeberatan."
"Baiklah ibu," sahut Kasadha kemudian, "besok aku akan ikut ke rumah Ki Bekel dan Ki Jagabaya."
Demikianlah, mereka bertigapun telah masuk ke dalam rumah mereka setelah Kasadha menutup pintu regol halaman. Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka Kasadhapun telah dipersilahkan untuk beristirahat.
Kasadha merasa beruntung bahwa ibunya sama sekali tidak bertanya tentang pengaruh cahaya bulan bagi ilmunya. Meskipun Kasadha sudah bersedia jawaban seandainya hal itu ditanyakan kepadanya.
Malam itu, Kasadha memang tidak terlalu nyenyak tidur. Ia masih saja memikirkan orang yang bernama Ki Tunggul yang pernah menjadi seorang prajurit yang ingin mengambil bibinya sebagai isterinya sekaligus sebagai budaknya.
Namun kemudian Kasadha juga mulai dibayangi lagi oleh persoalan yang menyangkut dirinya sendiri. Wisuda di Tanah Perdikan Sembojan dan seorang gadis yang bernama Riris.
Meskipun demikian, karena badannya yang terasa letih, maka Kasadhapun akhirnya tertidur juga. Tetapi menjelang fajar, Kasadha telah bangun. Ketika langit menjadi merah, maka senggot timbapun telah berderit. Kasadha telah mengisi jambangan penuh sebelum ia sendiri mandi di sejuknya pagi hari.
Seperti yang direncanakan maka ketika matahari terbit, Kasadha telah mengantar ibu dan bibinya ke rumah Ki Bekel untuk memberikan laporan tentang maksud Ki Tunggul. Namun jawaban Ki Bekel tidak cukup tegas. Ia nampak ragu-ragu meskipun ia dapat mengerti bahwa sikap Ki Tunggul itu tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian maka Kasadha, ibu dan bibinya memang mendapat kesan bahwa Ki Bekel itu tidak dapat bertindak tegas terhadap Ki Tunggul. Sebagaimana keterangan Ki Tunggul, bahwa Ki Bekel telah dapat dipengaruhinya.
Namun baik Kasadha, maupun ibu dan bibinya sama sekali tidak mempersoalkannya. Apalagi mereka memang telah merencanakan pergi menghadap Ki Jagabaya, karena mereka menganggap bahwa Ki Jagabaya akan selalu berpegang pada paugeran yang berlaku.
Ternyata sambutan Ki Jagabaya membesarkan hati ibu dan bibi Kasadha. Apalagi setelah Ki Jagabaya mendengar bahwa Kasadha adalah seorang prajurit Pajang.
"Baiklah Ngger," jawab Ki Jagabaya, "aku akan ikut mengawasi Ki Tunggul. Ternyata orang itu telah membuat banyak gangguan di Kademangan ini. Ki Demangpun pernah menyebut-nyebut namanya. Sementara kamipun sudah menduga bahwa Ki Bekel tidak banyak dapat berbuat apa-apa atas Ki Tunggul itu karena Ki Tunggul adalah seorang yang kaya yang dapat mempergunakan uangnya untuk mendapat pengaruh di padukuhannya. Tetapi hal itu tidak akan berlaku di Kademangan ini Ngger."
"Terima kasih Ki Jagabaya," jawab Kasadha, "kami tidak dapat lain daripada mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Nanti aku harus kembali ke Pajang, sehingga karena itu, maka pagi-pagi aku telah mengantar bibi untuk menghadap Ki Jagabaya agar hatiku menjadi tenang."
"Jangan cemas Ngger. Kami akan membantu bibi dan ibumu sejauh dapat kami lakukan. Akupun nanti akan menyampaikan hal ini kepada Ki Demang agar ketenangan bibimu lebih terjamin," berkata Ki Jagabaya itu kemudian.
Sebenarnyalah Kasadha menjadi tenang. Meskipun sebenarnya Ki Tunggul itu tidak berarti apa-apa bagi ibu dan bibinya, namun agaknya mereka tidak mau merusak anggapan orang-orang padukuhan itu tentang diri mereka.
Demikianlah, maka Kasadha serta ibu dan bibinyapun segera mohon diri, karena Kasadha akan segera kembali ke Pajang.
Keponakan Penyihir 3 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Pembunuh Di Balik Kabut 4