Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 19

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 19


Risang termangu-mangu sejenak. Ia masih memandang tubuh Bibi yang terbujur diam. Lukanya memang terlalu parah dan tidak mungkin untuk diobati. Namun lawannya, Ki Tanda Permatipun telah terbujur diam pula sebagaimana Bibi.
Kematian Bibi memang merupakan satu pukulan yang berat bagi Risang. Bibi sudah menganggap Risang sebagai anaknya sendiri. Ia, yang mengurungkan niatnya untuk membunuh Nyi Wiradana yang sedang mengandung justru membuatnya merasa ikut memiliki anak yang kemudian dilahirkan oleh Nyi Wiradana itu.
Tetapi Bibi itu sudah tidak ada lagi. Ia gugur saat Tanah Perdikan Sembojan mengalami keadaan yang sangat rumit.
Dalam pada itu, maka pertempuran itupun agaknya benar-benar sudah dapat diselesaikan. Orang-orang Watu Kuning yang tersisa sudah menyerah. Hanya beberapa orang sajalah yang benar-benar berhasil melarikan diri dari medan. Sementara yang lebih banyak lagi telah tertawan.
Beberapa saat kemudian, sebelum matahari turun ke balik gunung, maka para pemimpin Tanah Perdikan Sembojanpun telah berkumpul. Luka Nyi Wiradana memang tidak berbahaya. Bahkan luka Warsi agak lebih parah dari luka-luka Nyi Wiradana meskipun luka Warsipun tidak membahayakan jiwanya. Beberapa orang yang lainpun telah terkena goresan-goresan senjata di tubuhnya.
Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan, anak-anak muda dan bahkan laki-laki yang sudah lebih tua lagi yang telah ikut dalam pertempuran itu harus menyerahkan beberapa di antara mereka kepada tanah kelahiran. Di antara mereka ternyata telah gugur di pertempuran, sementara yang lain terluka. Ada yang parah, tetapi ada juga yang tidak seberapa.
Tanah Perdikan Sembojan memang benar-benar, menjadi berkabung. Demikian pula beberapa Kademangan yang telah ikut melibatkan diri dalam pertempuran itu. Kademangan yang ada di sekitar Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika matahari kemudian turun dan senjapun mulai membayang di langit, para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan masih sibuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka. Demikian pula di bawah pengawasan yang ketat, para tawananpun harus melakukan hal yang sama. Mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka parah.
Sementara itu, Nyi Wiradana, Warsi dan beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah berada di rumah Kepala Tanah Perdikan di padukuhan induk, selain mendapat pengobatan yang lebih baik, merekapun harus beristirahat setelah bertempur mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka.
Bukan saja di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan, tetapi di medanpun orang-orang yang bertugas menyediakan makan dan minum menjadi sibuk. Yang kemudian mereka beri makan dan minum bukan hanya orang-orang Tanah Perdikan itu sendiri, tetapi juga para tawanan. Bagaimanapun juga, Tanah Perdikan Sembojan tidak dapat membiarkan mereka menjadi kelaparan.
Dalam pada itu, Risang dan Kasadha masih tetap berada di medan, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar masih juga menemaninya. Mereka menunggui para pengawal yang masih sibuk meskipun kemudian malam turun. Bergantian mereka makan dan minum tanpa sempat mencuci tubuh mereka yang basah, kotor dan berbau darah.
Sampai lewat tengah malam ternyata pekerjaan itu masih belum selesai seluruhnya. Risang, Kasadha, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar masih juga ada di medan meskipun mereka kemudian duduk bersandar batang-batang perdu yang tumbuh di sekitar medan. Meskipun mereka merasa letih sekali, tetapi mereka tidak sampai hati meninggalkan para pengawal, yang tentu juga letih sekali sebagaimana mereka, menyelesaikan tugas mereka.
Baru menjelang pagi, mereka yang gugur di pertempuran sudah ditempatkan di banjar padukuhan terdekat yang menjadi landasan pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Demikian pula mereka yang terluka, yang menjadi parah telah ditempatkan di rumah Ki Bekel padukuhan itu pula, sementara yang terluka ringan dan masih mampu untuk bergerak lebih banyak, telah dibawa dengan pedati ke padukuhan induk.
Adapun korban yang terbunuh dari orang-orang Watu Kuning akan langsung dikuburkan di dekat sebuah kuburan tua di kaki bukit, sedangkan yang terluka dibawa dengan pedati pula ke padukuhan yang lain yang berada tidak jauh dengan padukuhan yang menjadi landasan pasukan Tanah Perdikan Sembojan.
Seorang pemimpin kelompok prajurit Pajang yang datang bersama Kasadha itu juga terluka. Tetapi tidak berbahaya. Prajurit itu bahkan seakan-akan tidak merasakan bahwa lengannya telah tergores senjata.
Hari berikutnya, maka Tanah Perdikan Sembojan terasa menjadi semakin berkabut. Keluarga mereka yang gugur dan terluka parah tidak dapat menyembunyikan rasa duka. Beberapa orang perempuan telah menangisi anak mereka, suami mereka atau kekasih mereka yang gugur di pertempuran.
Bahkan Risang sendiri juga merasa kehilangan pula. Bibi yang menganggapnya sebagai anaknya pula, telah gugur pula di pertempuran, sampyuh dengan orang yang pernah dikenalnya beberapa puluh tahun yang lalu, Dolop, yang terakhir menyebut dirinya Ki Tanda Permati.
Ketika upacara pelepasan mereka yang gugur di pertempuran dari banjar padukuhan yang menjadi landasan pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu, nampak bahwa Risang benar-benar telah merasa kehilangan. Matanya menjadi berkaca-kaca.
Hari itu Risang masih belum sempat berbicara dengan para tawanan. Iapun sibuk pula membantu Kasadha yang merawat ibunya, di bawah pengobatan Ki Juru Respati. Bahkan juga ikut melayani para pengawal dan anak-anak muda yang terluka dalam pertempuran yang keras dan berat itu.
Beberapa orang anak muda dari Kademangan-kademangan yang ikut membantu dalam pertempuran melawan orang-orang Watu Kuning itupun telah dirawat pula dengan baik. Bahkan orang-orang Watu Kuning yang terluka juga mendapat perawatan pula.
Di sore hari setelah upacara penguburan para korban yang gugur di pertempuran, Risang mulai mencoba berbicara dengan para tawanan. Sebelumnya ia telah berbincang dengan Kasadha tentang sekelompok orang yang mempunyai perilaku yang agak berbeda dengan yang lain. Beberapa jenis keseragaman di antara mereka menunjukkan bahwa mereka satu dengan yang lain mempunyai keterikatan yang lebih tinggi daripada penghuni Padepokan Watu Kuning yang nampaknya berasal dari beragam landasan perguruan.
"Yang kita lihat itu mungkin justru orang-orang Watu Kuning yang sebenarnya," berkata Kasadha.
"Mungkin. Tetapi nampaknya lebih dari satu keterikatan sebuah Padepokan yang mempunyai watak memberikan kebebasan secara pribadi untuk mengembangkan ilmunya. Meskipun ilmunya bersumber pada alas yang sama, namun perkembangannya justru dapat menjadi bermacam-macam bentuknya. Unsur kerja sama di antara merekapun tidak serapat pada kelompok-kelompok yang kita lihat di medan pertempuran itu. Orang-orang Padepokan Watu Kuning yang lain lebih mengandalkan kemampuan mereka secara pribadi. Bahkan mereka tidak membentur gelar Garuda Nglayang kita dengan gelar pula, merupakan satu pertanda bahwa mereka memang lebih mementingkan kemampuan pribadi setiap orang dalam pasukan mereka."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Memang mungkin pula. Tetapi kita coba saja berbicara dengan salah seorang dari mereka. Seorang dari mereka yang kita anggap mempunyai beberapa kesamaan dan nampaknya mempunyai ikatan kerja sama dalam pertempuran itu dan seorang dari kelompok yang lain."
Risang memang sependapat. Iapun kemudian telah menemui para tawanan dan menunjuk dua orang yang mereka anggap mempunyai watak yang berbeda di dalam pertempuran yang telah terjadi.
Secara terpisah Risang dan Kasadha telah berbicara dengan mereka. Namun nampaknya kedua orang itu telah bertekad untuk tidak berbicara tentang diri mereka masing-masing serta tentang Padepokan Watu Kuning.
"Aku dapat memaksamu untuk berbicara," berkata Risang kepada seorang yang dianggapnya salah seorang dari mereka yang memiliki beberapa kesamaan dan keseragaman dalam pertempuran yang telah terjadi itu.
"Apapun yang terjadi, tetapi aku tidak dapat mengatakan yang lain dari yang sudah aku katakan. Aku adalah bagian dari Padepokan Watu Kuning. Jika aku mempunyai kesamaan dengan sekelompok orang dari padepokan yang sama, bukanlah itu wajar sekali" Kami sejak mulai mengenal ilmu kanuragan sampai kami menguasai dasar-dasar ilmu itu, berada dalam asuhan orang-orang yang sama. Tentu ilmu yang mereka turunkan pun sama pula bagi kami. Dan kesamaan itu telah mewarnai sikap dan gerak kami di pertempuran."
"Kesamaan itu tidak pada dasar ilmu yang kalian miliki. Tetapi sikap kalian di medan menghadapi keadaan dan kebersamaan kalian dalam setiap benturan dengan kelompok-kelompok pengawal Tanah Perdikan.," berkata Risang pula.
"Hal seperti itulah yang memang ditanamkan oleh padepokan kami," jawab orang itu.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Orang itu agaknya benar-benar tidak mau berbicara tentang dirinya dan padepokannya. Namun Risangpun kemudian berkata, "Ki Sanak. Aku tidak tergesa-gesa. Kau dapat tinggal disini sebagai tawanan untuk sebulan, dua bulan atau bahkan setahun, sementara kawan-kawanmu akan kami bawa ke Pajang. Selama kau berada di tempat mi, aku masih mempunyai kesempatan untuk berbicara denganmu, Mungkin sebagai seorang yang baru baling mengenal. Mungkin sebagai seorang sahabat karena kau berada di Tanah Perdikan, tetapi juga mungkin sebagai musuh bebuyutan karena kau sudah menyerang Tanah Perdikan ini. Semua itu tergantung kepada sikapmu. Apakah kau bersikap sebagai seorang tamu atau seorang sahabat atau seorang musuh bebuyutan. Sehingga dengan demikian maka perlakuanku atasmu tergantung pada sikapmu itu."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi pada sorot matanya nampak kecemasannya yang mencengkam. Ia memang membayangkan, bahwa perlakuan yang paling kasar dapat terjadi atasnya.
Tetapi hari itu Risang dan Kasadha memang tidak berbuat apa-apa. Orang yang lain, yang kemudian dipanggil oleh Risang, juga tidak mau berkata lebih luas dari pada pengakuannya bahwa ia adalah salah seorang cantrik dari Padepokan Watu Kuning.
Risang dan Kasadha justru lebih percaya kepada orang yang mengaku cantrik dari Padepokan Watu Kuning itu. Ia masih muda dan pada wajahnya nampak betapa ia menjadi ketakutan menghadapi Risang dan Kasadha. Apalagi jika Risang atau Kasadha mulai, membentaknya.
Namun kedua orang itupun kemudian telah dikembalikan ke tempat tahanan mereka masing-masing. Beberapa orang kawannya memang bertanya, apa saja yang telah mereka alami. Namun keduanya memang belum mengalami perlakukan apa-apa.
Orang yang dianggap datang dari sebuah kelompok di luar Padepokan Watu Kuning itu memang menjadi sangat cemas. Ia mengeluh kenapa tiba-tiba saja dirinya yang telah diambil oleh Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.
"Aku akan dapat mengalami perlakukan yang sangat buruk. Meskipun Kepala Tanah Perdikan itu belum berbuat sesuatu sekarang, tetapi pada waktu mendatang, entahlah. Wajahnya nampak keras dan barangkali juga dapat berbuat kasar. Seorang lagi, yang wajahnya mirip, juga nampak keras dan tegas."
Tidak seorangpun di antara kawan-kawannya akan dapat menolong orang itu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berharap agar bukan mereka yang pada kesempatan lain diambil oleh Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk dimintai keterangan.
Di hari berikutnya, kehidupan di Tanah Perdikan Sembojan mulai berjalan wajar kembali. Meskipun orang-orang Tanah Perdikan masih saja berbicara tentang pertempuran yang baru saja terjadi. Jika mereka lewat di dekat banjar padukuhan, maka merekapun selalu berdesis, "Masih banyak tawanan ada di banjar."
Sebenarnyalah tawanan orang-orang Watu Kuning itu ditempatkan di banjar-banjar beberapa padukuhan. Para pemimpin Tanah Perdikan itu sedang mempersiapkan rencana bersama Kasadha untuk menghadap ke Pajang.
Mereka harus segera melaporkan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Sembojan itu untuk mendapatkan penanganan selanjutnya.
Namun dalam pada itu, sebelum Kasadha kembali ke Pajang bersama Risang yang akan memberikan laporan tentang peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan, maka Tanah Perdikan itu telah dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang disertai oleh tiga orang pengiringnya. Seorang yang nampaknya bukan orang kebanyakan.
Ketika di ujung Tanah Perdikan orang itu bertemu dengan para pengawal Tanah Perdikan yang masih selalu siap berjaga-jaga, maka orang itu minta agar ia diantar bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Dua di antara para pengawal itu telah mengantar keempat orang itu langsung ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan di padukuhan induk untuk bertemu dengan Risang.
Sejenak kemudian, keempat orang itu sudah duduk di pendapa ditemui oleh Risang, ibunya dan Kasadha.
Sebagai tuan rumah, setelah mengucapkan selamat datang kepada tamu-tamunya, maka Risangpun kemudian bertanya, siapakah mereka dan untuk apa mereka datang ke Tanah Perdikan Sembojan, justru saat Tanah Perdikan itu baru saja diguncang oleh pertempuran yang telah menelan korban.
"Angger Risang," berkata tamunya, "aku adalah Tumenggung Puspalaga. Aku datang atas nama Panembahan Mas di Madiun. Panembahan Mas telah mendapat laporan, bahwa ada sekelompok prajurit Madiun yang terlibat dalam pertempuran melawan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Mereka bergabung dalam pasukan Padepokan Watu Kuning yang dipimpin oleh Ki Gede Watu Kuning itu sendiri."
Dahi Risang berkerut. Kasadhapun bergeser setapak sementara Nyi Wiradana mengangguk-angguk kecil.
Dengan nada rendah Risang itupun bertanya, "Jadi di dalam pasukan Padepokan Watu Kuning itu terdapat sekelompok prajurit Madiun?"
"Ya. Prajurit Madiun di bawah pimpinan Ki Lurah Mertapraja. Ki Lurah ternyata telah melanggar paugeran sehingga ia telah mengambil langkah yang salah. Ia tidak menghiraukan kedudukannya sebagai seorang prajurit yang tidak boleh melakukan tindakan sendiri, apalagi bertentangan dengan kebijaksanaan atasannya. Nampaknya Ki Lurah Mertapraja telah dihubungi langsung oleh Ki Gede Watu Kuning. Mungkin dengan janji-janji yang membuatnya kehilangan akal dan melakukan tindakan yang tercela itu. Karena itu, maka kami datang untuk melacak, apakah benar ada sekelompok prajurit Madiun yang ikut bertempur di pihak Padepokan Watu Kuning."
Risang mengangguk-angguk kecil. Kepada Kasadha ia berkata, "Aku memang melihat sesuatu yang lain dalam pasukan orang-orang Watu Kuning."
"Ya," sahut Kasadha, "aku juga melihat. Kelompok-kelompok yang mungkin prajurit Madiun yang telah melibatkan diri."
Risang yang kemudian berpaling kepada ibunya bertanya "Apakah ibu juga melihatnya?"
"Ya Risang. Aku juga melihatnya," jawab ibunya.
"Angger Risang," berkata Ki Tumenggung Puspalaga, "jika diperkenankan, apakah aku dapat menemui Ki Lurah Mertapraja" Jika ia tidak mengaku tentang dirinya, maka aku akan dapat mengenalinya kecuali jika ia sudah terbunuh di peperangan."
Risang termangu-mangu sejenak. Sambil memandangi ibunya Risang itu bertanya, "Bukankah kita tidak berkeberatan?"
Ibunya menggeleng. Katanya, "Tidak. Kita akan mengantarkannya ke tempat mereka kita tawan."
Risang mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung menahan senyumnya. Katanya di dalam hati, "Kepala Tanah Perdikan ini masih terlalu muda. Agaknya ada ketergantungan pada ibunya yang sudah cukup lama memangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan ini."
"Baiklah Ki Tumenggung," berkata Risang, "jika Ki Tumenggung ingin berbicara dengan orang yang Ki Tumenggung maksudkan, biarlah kami mengantar Ki Tumenggung."
"Terima kasih Ngger. Mudah-mudahan Ki Lurah itu masih hidup sehingga kami dapat berbicara kepadanya dan menuntut tanggung jawabnya."
"Apakah Ki Tumenggung akan membawa orang itu ke Madiun?" bertanya Kasadha yang agaknya merasa berkeberatan jika Ki Lurah itu akan diambil oleh Ki Tumenggung, karena Ki Lurah itu akan dapat dibawanya ke Pajang untuk memberikan bukti keterlibatan Madiun. Meskipun mungkin di luar pengetahuan Panembahan Mas.
Tetapi jawab Ki Tumenggung, "Tidak. Sama sekali tidak. Aku tahu bahwa Ki Lurah Mertapraja itu akan dibawa ke Pajang untuk dihadapkan kepada para pemimpin di Pajang. Akupun tahu bahwa dengan demikian, Ki Lurah telah mencemarkan nama Kangjeng Adipati di Madiun. Tetapi biarlah ia dihadapkan pada para pemimpin di Pajang untuk mendapatkan hukumannya. Pajang tidak usah mempertimbangkan kemungkinan Madiun akan melindunginya. Sama sekali tidak. Kami serahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan para pemimpin di Pajang, karena Ki Lurah Mertapraja telah melakukan kejahatan terhadap Tanah Perdikan Sembojan yang berada di dalam lingkungan pemerintahan Pajang."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ternyata para pemimpin di Madiun mempunyai pandangan yang cukup luas sehingga mereka tidak berusaha melindungi orang-orangnya yang bersalah.
Demikianlah, maka Risang dan Kasadhapun telah bersiap untuk mengantarkan keempat orang yang datang dari Madiun itu untuk menemui para tawanan. Khususnya mereka yang dalam penglihatan Risang dan Kasadha terdiri dari satu kelompok yang khusus. Sambi Wulung dan Jati Wulung telah diajaknya serta untuk menemani mereka.
Namun dalam pada itu, pada satu kesempatan Nyi Wiradana sempat berbisik, "Hati-hatilah. Nampaknya mereka jujur dan berkata sebenarnya. Meskipun demikian, dapat saja terjadi satu permainan di antara mereka."
Risang mengangguk sambil berdesis, "Ya ibu. Kami akan selalu menunggui apa saja yang mereka lakukan."
Demikianlah, maka Risangpun telah membawa Ki Tumenggung Puspalaga ke sebuah padukuhan terdekat dari tempat para tawanan ditempatkan. Bagaimanapun juga Risang selalu memperhatikan pesan ibunya, sehingga Ki Tumenggung itu tidak langsung diajak ke tempat orang-orang Watu Kuning itu ditawan.
Kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung Risang memerintahkan untuk membawa dua orang di antara mereka yang dianggap memiliki kekhususan di antara pasukan Watu Kuning.
Beberapa saat lamanya Risang dan Kasadha berada di banjar padukuhan itu bersama Ki Tumenggung Puspalaga dan ketiga orang pengawalnya. Merekapun nampaknya menyadari sikap hati-hati Kepala Tanah Perdikan yang muda itu, sehingga mereka tidak memaksa mereka untuk membawanya langsung menemui para tawanan.
Ketika kedua orang itu dibawa dan dihadapkan kepada Ki Tumenggung Puspalaga, maka kedua orang itu terkejut bukan buatan. Wajah mereka menjadi pucat. Tiba-tiba saja mereka menunduk dalam-dalam.
Ki Tumenggung Puspalaga kemudian berkata kepada salah seorang pengiringnya, "Ki Lurah Samekta. Lihat kedua orang itu dan berbicaralah dengan mereka."
"Baik Ki Tumenggung," jawab Ki Lurah Samekta yang kemudian berpaling kepada Risang, "aku mohon ijin untuk berbicara dengan mereka berdua."
"Silahkan. Silahkan Ki Lurah," jawab Risang.
Ki Lurah itupun kemudian bergeser mendekat, Diamatinya kedua orang itu dari ujung kepalanya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Ki Sanak. Siapakah nama lurahmu?"
Pertanyaan itu begitu tiba-tiba. Ki Lurah Samekta tidak bertanya nama mereka atau dari mana asal mereka, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan dengan mereka berdua. Tetapi tiba-tiba saja Ki Lurah Samekta itu bertanya siapakah pemimpin mereka.
Keduanya tidak sempat berpikir. Pertanyaan yang tiba-tiba dan yang harus mereka jawab itu, telah menghentakkan mereka untuk mengatakan apa yang sebenarnya.
Karena itu, maka hampir berbareng keduanya menjawab, "Ki Lurah Mertapraja."
Ki Lurah Samekta mengangguk-angguk. Betapa wajahnya menjadi tegang, namun nampaknya ia masih menahan diri. Dengan geram ia bertanya, "Kalian mengenal kami?"
Kedua orang itu ternyata terkejut mendengar jawaban mereka sendiri. Di hadapan perwira yang berpakaian resmi sebagai prajurit Madiun, maka kedua orang itu rasa-rasanya tidak dapat berbicara lain daripada yang sebenarnya.
Dengan suara gemetar maka kedua orang itu menjawab bersamaan pula, "Ya."
"Jika kalian mengenal kami, siapakah kami berempat?" desak Ki Lurah Samekta.
Seorang di antara keduanya menjawab sendat, "Kami mengenal Ki Tumenggung Puspalaga. Sebelumnya kami belum mengenal Ki Lurah secara pribadi. Tetapi kami tahu, bahwa Ki Lurah adalah Lurah prajurit Madiun."
"Bagus," jawab Ki Lurah Samekta, "dimana sekarang Ki Lurah Mertapraja. Apakah masih hidup atau sudah mati di peperangan yang baru saja terjadi?"
Keduanya memang menjadi sangat ragu-ragu. Jika saja yang bertanya bukan para prajurit Madiun, maka ia akan dapat ingkar. Tetapi kepada para prajurit Madiun itu sendiri, mereka tidak dapat berbuat banyak. Seandainya mereka berdusta, maka keempat orang itu tentu akan dapat menemukan Ki Lurah Mertapraja.
Karena itu, maka seorang di antara mereka menjawab "Sepengetahuan kami Ki Lurah Mertapraja itu telah terluka. Kami tidak tahu dimana Ki Lurah itu dirawat atau bahkan dibunuh sama sekali oleh orang-orang Tanah Perdikan."
"Aku yakin bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan ini," berkata Ki Lurah Samekta.
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi kepala mereka menunduk dalam-dalam.
"Kami akan bertemu dan berbicara dengan Ki Lurah Mertapraja yang telah melanggar paugeran prajurit di Madiun. Yang dilakukan telah mencemarkan nama baik Kadipaten Madiun. Kita, termasuk aku dan kalian, memang merupakan bagian dari Madiun yang nampaknya sedang diliputi persoalan dengan Pajang dan Mataram. Tetapi persoalan-persoalan itu sedang diusahakan untuk dapat dipecahkan dengan baik. Namun tiba-tiba kalian telah melakukan tindakan yang bodoh itu," geram Ki Lurah Samekta.
Kedua orang prajurit itu menunduk semakin dalam. Tetapi mereka sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu Ki Lurah Samektapun kemudian telah beringsut dan berbicara dengan Ki Tumenggung Puspalaga. Katanya, "Kita sebaiknya bertemu dan berbicara dengan Ki Lurah Mertapraja. Biarlah kedua orang itu berusaha mencarinya di antara para tawanan yang tentu saja atas ijin Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan tentu diperlukan pengawalan."
Ki Tumenggung Puspalaga itupun mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya kepada Risang, "Ngger. Angger telah mendengar langsung pendapat Ki Lurah Samekta. Apabila diijinkan, kami ingin bertemu dengan Ki Lurah Mertapraja. Biarlah kedua orang itu mencarinya di antara para tawanan. Keduanya tidak akan berani ingkar karena kami ada disini."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Tumenggung. Biarlah keduanya diantar untuk mencari orang yang bernama Mertapraja karena kami tidak mengenalnya."
Sambi Wulung dan Jati Wulunglah yang telah ditugaskan untuk mengantar kedua orang tawanan itu. Mereka harus menemukan Ki Lurah Mertapraja di antara para tawanan, termasuk yang terluka.
Ternyata kedua orang prajurit Madiun yang melibatkan diri pada Padepokan Watu Kuning itu benar-benar menjadi bingung. Keduanya merasa takut untuk menolak perintah itu. Tetapi keduanya juga merasa sangat cemas untuk menunjukkan orang yang bernama Ki Lurah Mertapraja itu.
Di luar pengetahuan Sambi Wulung dan Jati Wulung keduanya sempat berbicara di antara mereka. Dengan berbisik seorang di antara mereka berkata, "Kita berusaha melarikan diri. Hanya dua orang yang mengawal kita. Sementara kita juga berdua."
"Mereka bersenjata," desis yang lain.
"Kita dahului mereka," jawab kawannya.
"Kita tidak mengenal mereka, apakah mereka memiliki kemampuan tinggi atau tidak."
"Kita akan mencobanya. Jika kita terbunuh karenanya, agaknya itu justru lebih baik, karena jika kita berkhianat terhadap Ki Lurah, kitapun akan dibunuhnya pula. Sementara jika kita menolak perintah Ki Tumenggung Puspalaga, kita dapat dibunuhnya pula atau lebih buruk dari kematian itu sendiri."
Yang seorang lagi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya itu adalah jalan yang terbaik bagi mereka. Apalagi jika mereka kemudian sempat melarikan diri.
Karena itu, ketika mereka sampai di tengah-tengah bulak panjang, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri. Mereka akan dengan tiba-tiba menyerang untuk mendapat kesempatan lebih dahulu, sehingga membuat kedua orang yang mengawalnya itu kehilangan kesempatan untuk bertahan. Apalagi jika mereka berhasil menyerang tempat yang paling lemah dari kedua orang yang mengawalnya itu, sehingga pada serangan pertama keduanya kehilangan sebagian dari kekuatan dan kemampuan mereka karena kesakitan.
Demikian mereka sampai di sebuah simpang empat di tengah-tengah bulak panjang, maka seorang di antara keduanyapun memberi isyarat. Dengan serta-merta keduanya berhenti, berbalik dan langsung menyerang Sambi Wulung yang berjalan di belakang mereka.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang terkejut. Keduanya tidak menyangka bahwa kedua orang tawanan itu dengan tiba-tiba menyerang mereka.
Namun kedua orang tawanan itu belum mengenai Sambi Wulung dan Jati Wulung. Kedua tawanan itu kebetulan tidak berada di hadapan sayap yang dipimpin oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung itu. Keduanya menganggap bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak lebih dari pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang lain.
Tetapi ternyata bahwa perhitungan kedua tawanan itu salah. Sambi Wulung dan Jati Wulung bukannya orang kebanyakan. Mereka memiliki landasan ilmu yang tinggi. Karena itu, meskipun keduanya terkejut, tetapi keduanya tidak memerlukan waktu yang panjang untuk menghentikan perlawanan kedua orang tawanan itu.
Dengan beberapa langkah saja, maka keduanya benar-benar telah dikuasai oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung. Seorang di antara kedua tawanan itu menyeringai menahan sakit karena lengannya terasa bagaikan patah. Ketika dengan serta-merta ia meloncat dan memukul kening Sambi Wulung, ternyata bahwa serangannya itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Sambi Wulung berhasil menangkap pergelangan tangan itu dan memilinnya sehingga orang itu mengaduh kesakitan. Lengannya yang terpilin itu serasa telah dipatahkannya.
Sementara itu, seorang yang lain, yang meloncat menyerang dengan kakinya ke arah dada Jati Wulung, telah kehilangan sasarannya ketika Jati Wulung dengan cepat bergeser ke samping. Demikian kaki itu terjulur tanpa menyentuh sasaran, maka dengan kuatnya Jati Wulung mengangkat kaki yang terjulur itu. Hentakkan itu telah merusak keseimbangannya sehingga orang itu terjatuh di tanah. Dengan cepat ia berusaha untuk bangkit, Namun Jati Wulung dengan cepat menangkap rambut dan dagu orang itu dari arah belakang dengan kedua tangannya.
"Jika kau berusaha untuk melepaskan diri, aku patahkan lehermu," geram Jati Wulung.
Orang itu memang tidak berani bergerak. Ia merasa lehernya memang bagaikan patah. Tangan Jati Wulung terasa demikian kuatnya mencengkam kepalanya, seakan-akan jari-jarinya terbuat dari baja.
Karena keduanya tidak berusaha melawan lagi dan sudah tidak berdaya, maka Sambi Wulungpun bertanya, "Nah, apakah yang kau kehendaki sekarang" Apakah kau merasa lebih baik mati daripada menunjukkan Lurah Mertapraja itu?"
Orang yang terpilin lengannya itu menjawab di sela-sela desah kesakitan, "Ampun. Aku tidak akan berbuat lagi. Aku minta ampun dan jangan patahkan tanganku."
"Kau ternyata terlalu licik. Rasa-rasanya sulit untuk mengampunimu. Kau setiap saat akan dapat berbuat licik lagi seperti ini," geram Sambi Wulung.
"Tidak. Aku berjanji," jawab orang itu. Tetapi Sambi Wulung menjawab, "Mulutmu sama sekali tidak dapat dipercaya. Janjimu tidak berharga sama sekali."
"Tetapi kali ini aku berkata sesungguhnya," jawab orang itu.
"Ternyata kau sudah mempersulit dirimu sendiri. Karena itu, maka setelah kau menunjukkan Ki Lurah Mertapraja, maka kau akan mendapat penanganan khusus. Aku akan melaporkanmu kepada Ki Lurah Samekta dan Ki Tumenggung Puspalaga."
"Jangan. Jangan katakan kepada mereka. Prajurit Madiun memiliki paugeran yang sangat ketat. Mereka dapat bertindak lebih keras dari yang kau duga.," berkata orang yang dipilin tangannya itu.
Tetapi Sambi Wulung menjawab, "Aku tetap tidak mempercayai mulutmu. Bagiku Ki Tumenggung Puspalaga adalah orang yang baik sebagai seorang prajurit."
"Tetapi tolong kami," orang itu hampir menangis.
Sambi Wulungpun kemudian mendorong orang itu sambil membentak, "Cepat, kita akan mengambil Ki Lurah Mertapraja. Kau tidak akan dapat menipu. Seandainya di padukuhan sebelah tidak ada Ki Tumenggung Puspalaga dan para pengiringnya, kau akan dapat menunjuk siapa saja di antara kalian dan menyebutnya sebagai Ki lurah Mertapraja. Tetapi para prajurit Madiun itu tentu sudah mengenal atau salah seorang dari mereka, tidak akan dapat dikelabui lagi."
Kedua orang tawanan itu tidak menjawab lagi. Ketika keduanya dilepaskan, maka keduanya memerlukan beberapa saat untuk mengatasi perasaan sakit mereka.
Namun Sambi Wulung kemudian membentaknya, "Cepat. Para tamu itu sudah menunggu. Kita harus segera kembali dan membawa Ki lurah Mertapraja atau kalian berdua akan digantung di halaman banjar untuk menjadi tontonan orang banyak."
Kedua orang tawanan itu tidak menjawab. Ternyata kedua orang yang mengawal mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi, sehingga dalam waktu sekejap kedua orang tawanan itu sudah menjadi tidak berdaya.
Sejenak kemudian, maka berempat mereka memasuki padukuhan landasan pasukan Tanah Perdikan itu ketika mereka bertempur melawan orang-orang Watu Kuning. Di padukuhan itu terdapat orang-orang Watu Kuning yang tertawan terbanyak dibandingkan dengan padukuhan-padukuhan yang lain.
Di tempat itu, kedua orang tawanan itupun telah dihadapkan kepada para tawanan yang dijaga dengan ketat oleh para pengawal Tanah Perdikan.
Tetapi kedua orang itu tidak segera menunjuk orang yang bernama Ki Lurah Mertapraja. Sambi Wulung, Jati Wulung dan beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga di tempat itu menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Namun kedua orang itu kemudian justru menggeleng sambil berkata, "Tidak ada disini."
"Kau berkata sebenarnya?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya. Aku berkata sebenarnya," jawab orang itu.
"Baiklah. Kita akan melihat para tawanan di padukuhan lain. Jika di padukuhan lain kita juga tidak menemukannya, maka aku akan mempersilahkan salah seorang dari tamu-tamu itu untuk mencarinya sendiri. Jika mereka kemudian menemukannya, itu artinya bencana bagi kalian berdua.," berkata Sambi Wulung.
Kedua orang itu tidak menjawab. Wajah mereka memang nampak tegang. Kecemasan membayang di wajah kedua orang itu. Namun agaknya mereka memang tidak menemukan Ki Lurah Mertapraja di tempat itu.
"Kita akan pergi ke padukuhan di sebelah Selatan. Jika Ki Lurah itu ada di padukuhan sebelah Utara, kau tentu sudah melihatnya karena kau diambil dari sana.," berkata Jati Wulung kemudian.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi keduanya sama sekali tidak berkata sesuatu.
Demikianlah maka kedua orang itupun kemudian telah dibawa ke padukuhan sebelah Selatan untuk mencari Ki Lurah Mertapraja yang akan dihadapkan kepada Ki Tumenggung Puspalaga yang berada di padukuhan yang lain.
Dengan jantung yang berdebaran, kedua orang tawanan itu kemudian memasuki halaman banjar padukuhan di sebelah Selatan yang juga dipergunakan untuk menawan beberapa orang yang tertangkap di pertempuran. Di antara mereka memang terdapat orang-orang yang oleh Risang dan Kasadha diduga berasal dari sekelompok orang yang berbeda dengan orang-orang Watu Kuning yang lain.
*** JILID 52 KEDUA orang itu memang tidak dapat ingkar lagi. Di banjar itu terdapat beberapa orang yang terluka, tetapi tidak terlalu parah. Di antara mereka adalah Ki Lurah Mertapraja.
Tetapi kedua orang itu tidak berani berkata berterus terang. Kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung kedua orang itu hanya mengatakan dari kejauhan, bahwa di antara mereka memang terdapat Ki Lurah Mertapraja.
"Tunjukkan kepada kami orang itu," berkata Sambi Wulung.
"Aku mohon, jangan katakan bahwa akulah yang telah menunjukkannya."
"Kau memang dungu. Kau kira orang itu belum melihat kalian berdua disini bersama kami?" bentak Jati Wulung. "Lihat para tawanan yang sedang berada di pendapa itu memperhatikan kita berempat. Setelah mereka akan dikembalikan ke dalam bilik-bilik tertutup. Seandainya kami tidak mengatakan kepada mereka, namun merekapun akan tahu juga bahwa tentu kalian berdualah yang telah menunjukkan kepada kami."
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka memang tidak dapat ingkar. Dengan cemas keduanya telah melangkah mendekati para tawanan yang sedang makan di pendapa setelah mereka mendapat pengobatan. Sedangkan yang tidak mengalami cidera apapun agaknya masih tetap berada di bilik-bilik tertutup meskipun mereka juga sedang makan sebagaimana yang berada di pendapa itu.
Namun kedua orang itu masih minta kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung, agar mereka nampak bertindak lebih keras kepada mereka berdua, sehingga kesan bahwa mereka terpaksa menunjukkan pemimpinnya itu dapat dilihat langsung oleh Ki Lurah Mertapraja.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang menjadi iba kepada kedua orang itu. Karena itu, maka Sambi Wulung telah mendorong salah seorang di antara keduanya sehingga benar-benar jatuh terjerembab. Wajahnya telah mencium tanah sehingga menjadi kotor oleh debu yang melekat.
"Tunjukkan kepadaku, yang manakah yang bernama Ki Lurah Mertapraja," bentak Sambi Wulung demikian orang itu bangkit. Sementara itu Jati Wulungpun telah menarik baju tawanan yang lain sambil membentak, "Katakan, atau kepalamu akan membentur tiang pendapa itu."
Kedua orang, itupun memandang salah seorang yang terluka yang duduk di antara beberapa orang yang lain.
Tetapi ketika orang itu memandangnya juga dengan sorot mata yang bagaikan api, maka kedua orang itupun justru menundukkan kepalanya.
Tetapi Sambi Wulungpun berkata dengan lantang, "Cepat, tunjukkan kepadaku, siapakah yang bernama Ki Lurah Mertapraja."
Kedua orang itu masih saja ragu-ragu. Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung menekan mereka, maka keduanya menjadi semakin kebingungan.
Namun sebenarnyalah bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulung telah dapat menduga arah tatapan mata kedua orang itu. Merekapun melihat di antara orang-orang yang terluka itu seorang yang memiliki wibawa yang lain dari kawan-kawannya. Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun bahkan menjadi yakin, bahwa orang itulah Ki Lurah Mertapraja.
Meskipun demikian Sambi Wulung itupun berkata, "Baik. Jika kalian berdua atau orang lain di tempat ini tidak ada yang mau menunjukkan, siapakah yang bernama Ki Lurah Mertapraja, maka aku akan memaksa kalian seorang demi seorang. Bukan hanya kalian berdua, tetapi semua orang."
Kedua orang tawanan itu memang menjadi berdebar-debar. Jika mereka tidak mau menunjuk salah seorang di antara mereka, maka mereka tentu akan mengalami perlakuan yang kasar. Kedua orang yang membawa mereka tentu tidak akan hanya sekedar pura-pura. Tetapi keduanya tentu benar-benar akan menyakiti mereka, jauh lebih sakit dari orang-orang yang terluka itu.
Dalam pada itu, para pengawal yang menjaga para tawanan itupun menjadi tegang pula. Mereka menunggu, siapakah di antara para tawanan itu yang bernama Ki Lurah Mertapraja yang sedang dicari itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang mulai menjadi kehilangan kesabaran. Meskipun mereka sudah dapat menduga, siapakah orang yang bernama Mertapraja itu, namun kekerasan hati kedua tawanan itu telah menyinggung harga diri mereka.
Karena itu, kepada dua orang pengawal di banjar itu ia berkata, "Ikat kedua orang ini pada pohon di halaman itu. Mereka harus mengatakan, siapakah yang bernama Mertapraja itu."
Kedua orang itu tidak dapat melawan ketika para pengawal itu mengikat mereka pada dua batang pohon di halaman. Dengan lantang Sambi Wulung berkata, "Nah, sebelum aku menemukan orang yang bernama Mertapraja, maka aku tidak akan berhenti berusaha dengan caraku."
Orang-orang yang berada di banjar itu menjadi tegang. Bukan saja para tawanan, tetapi juga para pengawal. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung. Lebih-lebih lagi kedua orang yang dibawa oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung itu.
Dalam pada itu, maka Sambi Wulung itupun berkata kepada salah seorang pengawal, "Tolong, carikan cambuk. Kalau tidak ada cambuk, ambil rotan dan kalau tidak ada rotan, potong sebatang carang bambu ori atau bambu ampel."
Keringat mengalir membasahi tubuh kedua orang yang terikat itu. Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung berdiri di hadapan mereka dengan wajah yang mulai menunjukkan ketidak-sabaran mereka. Sambil bertolak pinggang Sambi Wulung berteriak, "He, apakah kalian masih tidak mau mengatakan, siapakah yang bernama Mertapraja itu" Lurah Mertapraja?"
Kedua orang yang terikat itu benar-benar merasa tersiksa. Mereka tidak segera dapat memilih, langkah yang manakah yang akan mereka ambil. Seakan-akan semua jalan yang akan ditempuhnya akan dapat mencelakainya.
Dalam pada itu, seorang pengawal telah datang dengan membawa sepotong carang bambu. Bukan bambu ori atau ampel, tetapi bambu wulung.
"Hanya ada bambu wulung di belakang banjar," berkata pengawal itu.
"Bagus," jawab Sambi Wulung. "Carang ini adalah pembunuh ular yang paling baik."
"Nah, apakah kalian masih tidak mau mengatakannya?" bentak Jati Wulung.
Kedua orang yang terikat itu masih diam saja. Tiba-tiba saja Sambi Wulung melangkah mendekati para tawanan itu sambil berkata, "Nah, salah seorang dari kalian harus dapat memaksa kedua orang itu untuk berbicara."
Para tawanan itu justru menjadi semakin tegang. Sejenak Sambi Wulung mengamati orang-orang yang tertawan itu. Baru kemudian ia menunjuk kepada seorang di antara mereka sambil berkata, "Nah, kau. Pergunakan carang pring wulung ini untuk memaksa kawanmu itu berbicara. Biarlah mereka menunjukkan siapakah orang yang bernama Lurah Mertapraja."
Orang yang ditunjuk itupun menjadi sangat terkejut. Bahkan kemudian menjadi gelisah sekali. Orang itulah yang diduga oleh Sambi Wulung bernama Ki Lurah Mertapraja.
"Cepat," bentak Sambi Wulung, "atau aku harus menyeretmu dan mengikatmu pada sebatang pohon yang lain" Apakah aku harus mencambukmu dan memaksamu menunjukkan siapakah Ki Lurah Mertapraja yang bersembunyi di antara anak buahnya" Aku berharap bahwa orang yang bernama Mertapraja itu bersikap jantan. Sebelum orang-orangnya menjadi debu dan ndeg pengamun-amun, sebaiknya ia menyatakan dirinya."
Orang yang diduga Ki Lurah Mertapraja itu memandang dengan sorot mata yang menyala. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia memang berusaha untuk tetap bersembunyi di antara anak buahnya untuk tidak dapat dikenali. Ia menyadari bahwa ia harus bertanggung jawab atas langkah yang diambilnya, membawa anak buahnya melibatkan diri menyerang Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, Sambi Wulungpun membentaknya lagi, "Cepat kau tikus kecil. Paksa kawanmu mengatakan siapakah Ki Lurah Mertapraja, atau kau sendiri yang harus dipaksa untuk berbicara dengan cara yang lebih keras."
Orang itupun kemudian telah bangkit dan melangkah mendekati Sambi Wulung. Meskipun orang itu terluka, tetapi lukanya memang tidak terlalu parah.
Sambi Wulungpun kemudian telah memberikan carang pring wulung kepada orang itu. Katanya, "Paksa orang itu menyebut seorang di antara kalian, siapakah yang bernama Ki Lurah Mertapraja. Seorang prajurit Madiun yang harus bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya yang keluar dari paugeran yang berlaku di Madiun. Jika kau tidak berhasil, maka kau akan mengalami nasib yang sama. Orang lain akan memukulmu sampai kau berbicara. Jika kau sampai mati tidak mau berbicara, biarlah orang lain itu akan menjadi sasaran pertanyaan. Jika kalian semua habis mati dipukuli carang pring wulung, maka justru kami akan terbebas dari kewajiban menyerahkan Ki Lurah Mertapraja."
Kata-kata Sambi Wulung memang cukup berpengaruh. Orang yang disangka Ki Lurah Mertapraja itu memang menjadi semakin gelisah.
"Cepat, lakukan sebelum aku mengambil sikap yang lain," geram Sambi Wulung.
Selangkah demi selangkah orang itu mendekati salah seorang yang terikat. Sementara Jati Wulung yang menungguinya membentaknya lagi, "Cepat. Katakan kepadanya agar ia mulai menunjuk atau kau cambuk orang itu."
Orang itu melangkah semakin mendekati salah seorang di antara mereka yang terikat. Dengan nada berat ia berkata, "Tunjukkan, dimana Ki Lurah Mertapraja."
Orang yang terikat itu menjadi semakin bingung. Sementara itu Jati Wulung berkata, "Cambuk orang itu. Cambuk, cepat, sebelum kau sendiri yang akan terikat."
Orang itu memang tidak dapat berbuat lain. Iapun mulai menyentuh orang yang terikat itu dengan carang pring wulungnya. Tetapi tidak terlalu keras. Sekali lagi orang itu berkata, "Cepat, tunjukkan, dimana Ki Lurah Mertapraja itu. Ia berada di antara kalian."
Orang yang terikat itu masih berdiam diri, sementara orang yang membawa pring wulung itu justru semakin mendekat sambil membentak, "Katakan sebelum aku sendiri mengalami perlakuan buruk seperti yang kau alami."
Tetapi ketika orang itu menjadi semakin dekat dan bahkan menggenggam rambutnya, iapun berbisik, "Jika kau sebut juga, kau akan mati."
Orang itu memang semakin ketakutan dan kebingungan. Namun dalam pada itu Jati Wulung berkata, "Kau sudah memegang cambuk, kau tidak perlu menarik rambutnya. Mundur."
Orang itu memang melangkah mundur. Tetapi perintah-perintah dan bentakan-bentakan itu sangat menyakitkan hatinya.
Namun ia terpaksa sekali lagi mencambuk orang yang terikat itu. Justru semakin sakit. Tetapi masih belum melampaui daya tahannya, sehingga karena itu, maka ia masih menahan keluhannya.
Tetapi Jati Wulung nampak tidak sabar lagi. Katanya, "itukah caramu memaksa seseorang untuk berbicara" Atau aku harus menunjukkan cara yang lain?"
Orang itu memandang Jati Wulung dengan penuh kebencian. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat lain.
Orang yang memegang carang pring wulung itu sendiri memang bingung. Jika ia memukul semakin keras, melampaui daya tahan orang yang terikat itu, mungkin orang itu justru akan mengatakan siapakah Ki Lurah Mertapraja. Tetapi jika ia tidak melakukannya, maka ia sendirilah yang akan mengalaminya.
Memang timbul niatnya untuk membunuh saja orang yang terikat itu. Ia tentu akan mampu melakukan dalam waktu yang pendek. Ia dapat memukul leher orang itu dengan ujung-ujung jari tangannya yang terbuka merapat langsung membunuhnya. Tetapi jika demikian maka orang yang satu lagi, yang juga terikat, akan segera mengatakan, siapakah orang yang bernama Mertapraja itu.
Selagi orang itu kebingungan, maka Jati Wulung telah membentaknya sambil menendang pantatnya, "Cepat."
Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan. Orang itu tidak memukul orang yang terikat itu dengan carang pring wulungnya, Tetapi tiba-tiba saja ia berbalik menyerang Jati Wulung dengan carang itu ke arah matanya sambil berteriak, "He, bangkit semua dari mimpi burukmu. Pengawal yang bertugas tidak cukup banyak untuk menahan kita."
Sikap orang itu memang mengejutkan. Carang pring wulung itu memang hampir saja mengenai sasarannya. Jika carang pring wulung itu melukai mata Jati Wulung, maka ia akan mengalami kesulitan untuk melawan orang yang disangkanya Ki Lurah Mertapraja.
Tetapi Jati Wulung bukan sekedar pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, maka ketika ia melihat gerak yang mencurigakan, iapun dengan cepat telah bergeser selangkah. Ketika carang pring wulung itu terjulur ke matanya, maka Jati Wulung sempat mengelak dengan memiringkan kepalanya sambil merendah.
Namun perintah orang itu ternyata mampu menggerakkan orang-orang yang ditawan di banjar itu.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang sedang ditawan di banjar itu bangkit, Beberapa orang dengan sigapnya berlari ke bilik kawan-kawan mereka ditawan. Mereka berniat untuk melepaskan kawan-kawan mereka dan bersama-sama melawan para pengawal yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak.
Meskipun orang-orang yang ada di luar bilik tertutup itu adalah mereka yang terluka, namun mereka masih juga mampu bergerak cepat. Dua orang dengan serta-merta telah menyerang dua orang pengawal yang tidak siap menghadapi keadaan yang berkembang sangat cepat itu. Karena itu, maka kedua orang itu tidak sempat memberikan perlawanan. Bahkan senjata-senjata mereka dengan cepat pula telah jatuh ke tangan para tawanan.
Untunglah bahwa pengawal yang lain sempat melindungi mereka, sehingga kedua orang itu tidak sempat tertikam senjata mereka sendiri.
Tetapi dalam waktu yang pendek, maka pengawalpun telah bergeser dari tempat mereka dan segera menempatkan diri di tempat-tempat yang rawan. Beberapa orang yang terkejut berusaha menahan mereka yang berusaha menahan mereka yang berusaha membuka pintu bilik tertutup.
Tetapi gerakan yang tiba-tiba itu benar-benar mengejutkan. Beberapa orang tawanan yang berada di pendapa telah mendesak dua orang penjaga di pintu bilik tertutup itu. Sementara yang lain telah berusaha membuka selarak pintu bilik tertutup itu.
Ketika beberapa orang pengawal berlari-lari ke pintu bilik tertutup maka mereka telah terlambat. Bilik itu telah terbuka. Beberapa orang telah menghambur keluar. Sementara seorang di antara mereka yang membuka selarak pintu itu berteriak, "Atas nama Ki Lurah Mertapraja yang telah memerintahkan kita semua untuk bangkit dan melawan."
Banjar itu memang menjadi kisruh. Sementara itu, Jati Wulung yang berhasil menghindari serangan carang pring wulung ke arah matanya, telah bertempur melawan Ki Lurah Mertapraja dengan kemarahan yang membakar jantung.
Di saat Jati Wulung dengan marah bertempur melawan Ki Lurah Mertapraja, maka Sambi Wulung justru meninggalkannya. Dengan lantang Sambi Wulung berteriak, "He, para prajurit Madiun yang tertawan. Jangan menjadi gila. Menyerahlah. Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta dari Madiun telah berada disini. Kami sedang membicarakan persoalan yang menyangkut kalian. Karena itu, jangan membuat persoalan menjadi keruh karena tingkah Ki Lurah Mertapraja. Ki Lurah Mertapraja agaknya menjadi putus asa karena ia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dilakukannya, menyeret kalian dalam tindakan yang tidak terpuji. Baik sebagai prajurit maupun sebagai kawula Panembahan Mas di Madiun. Karena itu, jangan membuat kesulitan kalian menjadi berlipat ganda."
Namun dalam pada itu, Ki Lurah Mertapraja telah menyahut tidak kalah lantangnya, "Jangan dengarkan kata-kata orang yang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Satu kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri. Kita adalah prajurit-prajurit pilihan yang hanya mengenal kemenangan di setiap perjuangan. Hancurkan para pengawal dan kita akan segera kembali ke Madiun. Pengawal yang menjaga kita hari ini tidak terlalu banyak."
Sambi Wulung masih berusaha untuk menenangkan keadaan. Katanya, "Masih ada kesempatan untuk menyerah."
Tetapi orang-orang itu tidak menghiraukannya. Karena itu, maka Sambi Wulungpun berteriak kepada para pengawal, "Lakukan tugas kalian dengan baik. Tetapi kalian bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung."
Para pengawal itupun segera meningkatkan tekanan mereka. Senjata para pengawal itupun segera berputaran. Meskipun demikian para penjaga itu masih tetap mengekang diri agar tidak terlalu banyak terjadi korban.
Meskipun demikian, maka korban memang tidak dapat dihindari. Betapa lembutnya hati seseorang. Namun sikap para tawanan itu benar-benar menyakitkan hati para pengawal. Karena itu, maka ada satu dua di antara para tawanan itu telah memungut apa saja yang dapat mereka pergunakan sebagai senjata. Bahkan potongan kayu, bambu dan batu.
Dalam pada itu, maka Jati Wulung yang marah telah menyerang Ki Lurah Mertapraja dengan segenap kemampuannya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Jati Wulung mempunyai banyak kesempatan untuk menguasai keadaan. Meskipun demikian, Ki Lurah Mertapraja bukannya orang yang tidak berdaya sama sekali. Iapun dengan garangnya telah melakukan perlawanan terhadap Jati Wulung.
Bahkan ternyata bahwa Ki Lurah Mertapraja memang seorang yang memiliki bekal yang memadai bagi seorang lurah prajurit Madiun.
Dalam pada itu, pertempuranpun telah berlangsung di seluruh halaman banjar. Bahkan di halaman samping dan di longkangan. Para tawanan yang telah keluar dari dalam biliknya, berusaha untuk menyusup kemana saja. Mereka berusaha untuk merunduk para pengawal dan menyerang dari belakang. Bahkan ada di antara mereka yang berlari memasuki ruang dalam banjar dan berusaha keluar dari butulan.
Suasana memang menjadi kisruh. Tetapi para pengawal sudah menempatkan dirinya dengan baik. Mereka memang lebih memahami lingkungan banjar padukuhan mereka daripada para tawanan.
Para tawanan yang masih berusaha mengekang diri itu semakin lama terasa semakin panas pula. Apalagi ketika ada di antara para pengawal itu yang mulai terluka.
Sementara itu, Ki Lurah Mertapraja masih saja bertempur melawan Jati Wulung. Selain Ki Lurah memang sudah terluka, sebenarnyalah bahwa sulit baginya untuk mengimbangi kemampuan Jati Wulung. Apalagi Jati Wulung yang sedang marah itu.
Karena itu, dalam waktu yang terhitung tidak terlalu lama Ki Lurah itu sudah menjadi semakin terdesak.
Tetapi agaknya Ki Lurah itu sama sekali tidak mau menyerah untuk kedua kalinya. Ia berusaha untuk bertempur sampai tarikan nafasnya yang terakhir.
Namun Jati Wulung sudah memperhitungkan dengan baik, bahwa Ki Lurah Mertapraja harus tertangkap hidup-hidup. Justru dengan kelebihan yang dimiliki oleh Jati Wulung, maka ia merasa yakin bahwa ia akan dapat menangkap Ki Lurah itu hidup-hidup.
Sambi Wulung yang bertempur di antara para pengawal dengan cepat telah melumpuhkan para tawanan. Tanpa senjata di tangan beberapa orangpun telah jatuh pingsan tersentuh serangan-serangan yang keras. Apalagi sebagian besar para tawanan itupun juga tidak bersenjata.
Dengan demikian, maka perlawanan para tawanan yang seperti meledak itu, dalam waktu yang terhitung singkat telah dapat dikuasai. Seorang pengawal yang hampir saja membunyikan tanda dengan memukul kentongan telah sempat dicegah oleh Sambi Wulung.
"Seluruh Tanah Perdikan akan dapat menjadi gempar," desis Sambi Wulung. "Kita akan mengatasi persoalan di banjar ini."
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, perlawanan para tawanan itu sudah dapat dikuasai. Mereka telah digiring kembali memasuki bilik-bilik tertutup. Namun dengan demikian, korban benar-benar tidak dapat dihindari. Tiga orang pengawal terluka parah. Beberapa orang terluka ringan. Beberapa butir batu mengenai kepala para pengawal yang untung memakai ikat kepala. Tetapi dua orang pengawal pelipisnya berdarah terkena lemparan batu yang tajam.
Ki Lurah Mertapraja memang tidak dapat bertahan lebih lama. Meskipun ia sama sekali tidak ingin menyerah, tetapi serangan-serangan Jati Wulung tanpa mempergunakan senjata, telah membuat nafasnya menjadi sesak. Kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang-kunang. Meskipun ia berusaha untuk tetap sadar dan memberikan perlawanan, namun sentuhan tangan Jati Wulung membuat tubuhnya menjadi sangat kesakitan. Tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak dan sendi-sendinya bagaikan terlepas.
Akhirnya, Ki Lurah benar-benar kehilangan kendali atas kesadarannya. Ketika ia kemudian menjadi pingsan, maka kedua tangannyapun segera diikat di belakang tubuhnya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi termangu-mangu sejenak melihat akibat dari gejolak yang telah terjadi sesaat itu. Namun merekapun kemudian melangkah mendekati kedua orang yang telah diikat pada batang pohon di halaman.
"Lihat Ki Sanak," berkata Sambi Wulung, "yang terjadi itu adalah akibat dari keragu-raguanmu. Mungkin karena kebodohanmu, tetapi juga mungkin karena kau pengecut. Jika kau berani menyebut siapakah Ki Lurah Mertapraja, maka tidak akan jatuh korban seperti ini."
Kedua orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Sambi Wulung berkata selanjutnya, "Kau lihat, apa yang terjadi. Tiga orang pengawal terluka cukup parah. Beberapa yang lain terluka lebih ringan." Sambi Wulung berhenti sejenak, lalu, "Kau tahu berapa orang kawanmu yang terbunuh dalam gejolak yang tidak terlalu lama ini" Empat orang. Ada pula yang terluka parah dan luka-luka yang ringan. Kau tahu bahwa di hari terakhir kami sedang berusaha menyembuhkan kawan-kawanmu yang luka. Pada hari ini, justru yang tidak terluka harus dilukai. Semua itu adalah tanggung jawabmu. Kesalahan itu dibebankan kepadamu."
Kedua orang itu masih saja menunduk, sementara tubuhnya masih terikat pada batang pohon di halaman banjar. Ketika beberapa orang pengawal mendekati, maka Sambi Wulungpun berkata, "Kita akan membawa Ki Lurah Mertapraja."
Tetapi mereka masih harus menunggu Ki Lurah itu sadar dari pingsannya.
"Kenapa kalian tidak membunuh aku saja?" geram Ki Lurah demikian ia menjadi sadar.
"Kami memerlukan kau hidup-hidup. Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta ingin berbicara denganmu. Jika kemudian kau akan dibunuh oleh mereka, itu bukan persoalanku lagi."
Ki Lurah yang baru sadar dari pingsannya itu menggeram. Tetapi tangannya sudah terikat di belakang tubuhnya. Dua orang pengawal bersenjata telanjang menjaganya dengan penuh kewaspadaan.
"Satu tindakan bodoh," geram Jati Wulung. "Karena tingkahmu maka beberapa orang anak buahmu mati terbunuh. Yang lain terluka dan yang tersisa akan mengalami perlakuan yang kasar dan keras dari para pengawal yang marah dan kecewa atas sikapmu dan sikap orang-orangmu."
"Persetan dengan para pengecut itu," sahut Ki Lurah.
"Kau tentu akan berkata seperti itu untuk menutupi kegagalanmu. Jika seorang pemimpin prajurit gagal di peperangan, ia tidak akan dapat membebankan kesalahan atas kegagalan itu kepada anak buahnya," berkata Jati Wulung kemudian.
"Kau bukan seorang prajurit. Kau tidak perlu mengajari aku. Aku seorang Lurah prajurit tentu lebih tahu tentang keprajuritan dari petani-petani dungu di Tanah Perdikan ini."
Ternyata Jati Wulung tidak dapat menahan kemarahannya. Dengan telapak tangannya ia menampar wajah Ki Lurah Mertapraja dengan kerasnya, sehingga mulut Ki Lurah itu berdarah.
Ki Lurah itu mengumpat kasar. Katanya, "Kau dapat berbuat demikian karena kedua tanganku terikat."
"Lepaskan ikatan itu," teriak Jati Wulung yang marah.
"Sudah cukup," Sambi Wulunglah yang menyahut. "Ki Lurah Mertapraja sedang membunuh diri. Biarlah hal itu dilakukan nanti di hadapan Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta."
Jati Wulung menggeram. Tetapi ia memang membatalkan niatnya untuk melepaskan tali ikatan tangan Ki Lurah Mertapraja.
Demikianlah, sejenak kemudian maka Sambi Wulung dan Jati Wulung itupun telah membawa Ki Lurah Mertapraja menuju ke padukuhan tempat Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta menunggu bersama Risang dan Kasadha.
Di perjalanan ikatan tangan Ki Lurah Mertapraja memang dilepaskan. Tetapi di sebelahnya berjalan Jati Wulung dan Sambi Wulung. Sementara itu di belakang mereka berjalan dua orang pengawal dari banjar tempat Ki Lurah Mertapraja ditawan.
Betapapun kerasnya hati Ki Lurah Mertapraja, namun ketika ia melangkah mendekati banjar padukuhan tempat Ki Tumenggung Puspalaga menunggu, terasa jantungnya bergetar semakin cepat. Keringat telah membasahi seluruh tubuhnya. Bukan karena perjalanannya. Tetapi ia benar-benar menjadi gelisah.
Tetapi Ki Lurah Mertapraja juga tidak dapat berusaha melarikan diri. Ia tahu benar bahwa kedua orang yang berjalan di sebelah-menyebelahnya adalah orang berilmu tinggi. Apalagi Jati Wulung yang marah itu telah mengancamnya, "Jika kau berusaha untuk membunuh diri di perjalanan dengan cara apapun juga, maka kau akan diikat lagi. Bahkan kau akan digiring seperti menggiring seekor sapi jantan liar dan dungu."
Ki Lurah Mertapraja tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa orang yang marah-marah dan berilmu tinggi itu darahnya lebih panas dari seorang yang lain yang berjalan di sebelah. Jika ia berbuat sesuatu, mungkin orang itu benar-benar akan menghinakannya di hadapan Ki Tumenggung Puspalaga.
Karena itu, maka Ki Lurah Mertapraja itu berjalan saja sebagaimana diperintahkan oleh Jati Wulung.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, Ki Lurah Mertapraja itu sudah duduk di pendapa banjar padukuhan menghadap Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta. Kepalanya menunduk dalam-dalam, sementara keringatnya mengalir di seluruh tubuhnya. Ia tidak merasakan lagi luka-lukanya yang pedih. Bahkan wajahnya yang menjadi lembab oleh tangan Jati Wulung ketika mereka bertempur.
"Apa kabar Ki Lurah Mertapraja?" bertanya Ki Tumenggung Puspalaga.
Sapa yang kedengarannya cukup ramah itu ternyata membuat jantung Ki Lurah Mertapraja berdegup semakin deras.
Perlahan-lahan kepala Ki Lurah Mertapraja itu terangguk dalam. Katanya, "Kami telah terseret arus sampai ke Tanah Perdikan ini Ki Tumenggung."
"Ya. Aku sudah mendengar laporan tentang kegiatanmu disini. Demikian kami mendapat laporan, maka kami segera mengambil langkah-langkah yang perlu. Tetapi kami terlambat. Kau sudah berangkat ke Tanah Perdikan Sembojan. Ketika aku menyusul kemari, nah, inilah yang aku temui," berkata Ki Tumenggung Puspalaga.
Wajah Ki Tumenggung Puspalaga menjadi merah. Sementara itu Ki Lurah Samekta berkata, "Kenapa hal ini kau lakukan adi?"
Ki Lurah Mertapraja memandang Ki Lurah Samekta dengan wajah yang tegang. Namun Ki Lurah Samekta itupun berkata, "Sekarang aku mengemban tugas sebagai seorang prajurit Madiun, Kau tidak."


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Lurah Mertapraja menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya.
Ki Tumenggung Puspalaga itupun kemudian berkata kepada Risang dan Kasadha, "Kami mohon waktu untuk berbicara dengan orang ini Ngger. Kami sama sekali tidak berniat membawanya ke Madiun. Karena mereka melakukan kesalahan disini, maka segala sesuatunya kami serahkan kepada Angger."
"Silahkan Ki Tumenggung," jawab Risang sambil mengangguk.
"Terima kasih Ngger," berkata Ki Tumenggung kemudian. Lalu katanya kepada Ki Lurah Mertapraja, "Ki Lurah, aku minta kau bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan jujur. Kami ingin tahu apakah yang telah mendorongmu melakukan semua itu. Karena sebenarnyalah Kangjeng Panembahan tentu merasa malu sekali bahwa sekelompok prajuritnya telah ikut melibatkan diri ke dalam laku kejahatan sebagaimana dilakukan oleh Padepokan Watu Kuning. Kamipun harus mendapat penjelasan agar para pemimpin di Tanah Perdikan ini tidak menjadi salah paham terhadap Madiun. Seakan-akan Madiun berdiri di belakang tingkah-laku orang-orang Padepokan Watu Kuning. Sementara itu orang-orang Padepokan Waku Kuning dengan cerdik memanfaatkan perselisihan yang terjadi antara Madiun dan Mataram termasuk Pajang. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan akan dapat menyangka bahwa Madiun telah melakukan satu perbuatan yang licik untuk menguasai Sembojan yang subur sehingga akan dapat menjadi sumber bahan makan bagi Madiun jika terjadi perang yang panjang."
Ki Lurah Mertapraja tidak segera menjawab. Namun kepalanya justru menjadi semakin menunduk.
"Ki Lurah Mertapraja," suara Ki Tumenggung menjadi semakin keras, "aku ingin mendengar jawabmu. Atau aku harus memaksamu menjawab" Meskipun aku berada di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi aku tidak akan segan melakukannya jika kau memang menghendaki aku berbuat demikian."
"Ampun Ki Tumenggung," jawab Ki Lurah Mertapraja, "kami telah menjadi silau oleh janji-janji Ki Gede Watu Kuning."
"Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Gede Watu Kuning," berkata Ki Tumenggung kemudian. "Tentu saja jika Angger Risang mengijinkan."
"Maaf Ki Tumenggung," sahut Risang, "Ki Gede Watu Kuning telah terbunuh di pertempuran yang terjadi antara pasukan Watu Kuning dan Tanah Perdikan Sembojan."
"O," Ki Tumenggung mengangguk-angguk, "jadi Ki Gede sudah terbunuh?"
"Ya Ki Tumenggung, kami tidak mempunyai pilihan lain. Tidak seorangpun yang akan mampu menangkapnya hidup-hidup. Namun kami berhasil membunuhnya di peperangan."
"Ki Gede memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi betapapun tingginya, namun akhirnya ada pula yang lebih tinggi," berkata Ki Tumenggung Puspalaga. "Sebenarnyalah kami orang-orang Madiun memang agak segan kepadanya."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga terbersit kebanggaannya atas ibunya di dalam hatinya. Jika Ki Gede Watu Kuning itu termasuk orang yang disegani di Madiun, maka ibunya tentu akan diperhitungkan pula karena ibunya telah mampu mengatasi kemampuan Ki Gede Watu Kuning.
Risang justru termangu-mangu sejenak ketika Ki Tumenggung Puspalaga itu bertanya, "Siapakah yang telah berhasil membunuh Ki Gede Watu Kuning?"
Risang memang merasa segan untuk mengatakan bahwa ibunyalah yang telah melakukannya. Meskipun memang demikian yang terjadi, tetapi orang lain akan dapat menduga bahwa ia telah berceritera dengan bangga dan sudah tentu merupakan salah satu kesombongan karena ibunya telah mengalahkan orang yang disegani di Madiun.
Karena Risang tidak segera menjawab, maka Kasadhalah yang menjawab, "Yang mengalahkan Ki Gede Watu Kuning adalah Nyi Wiradana, yang pernah menjadi pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Seorang perempuan?" bertanya Ki Tumenggung Puspalaga.
"Ya," jawab Kasadha. "Ibu Risang yang sekarang menjadi Kepala Tanah Perdikan ini."
"O," Ki Tumenggung mengangguk-angguk, "bukan main. Meskipun seorang perempuan, namun ternyata bahwa ilmunya sangat tinggi."
Di luar dugaan Risang menyahut, "Ada dua orang perempuan di Tanah Perdikan ini yang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang adalah ibuku yang telah membunuh Ki Gede Watu Kuning karena ibu tidak mempunyai kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup, sedang seorang perempuan yang lain adalah adiknya, ibu Kasadha."
"Bukan main," desis Ki Tumenggung Puspalaga. "Tentu sangat mengagumkan. Di Madiun yang lebih besar dari Tanah Perdikan ini hanya ada seorang perempuan yang memiliki kemampuan seorang prajurit. Itupun belum setataran dengan Ki Gede Watu Kuning," berkata Ki Tumenggung Puspalaga.
"Apakah ia seorang Senapati?" bertanya Kasadha.
"Anak perempuan Kangjeng Adipati di Madiun," jawab Ki Tumenggung Puspalaga.
Kasadha dan Risangpun mengangguk-angguk. Namun mereka tidak memberikan tanggapan apapun juga, karena perempuan itu adalah putera Kangjeng Panembahan Mas di Madiun.
Sementara itu Ki Tumenggung itupun kemudian memandang Ki Lurah Mertapraja dengan tajamnya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Nah Ki Lurah. Aku ingin mendengar, apakah yang telah dijanjikan oleh Ki Gede Watu Kuning sehingga Ki Lurah telah hanyut dan terseret ikut dalam permainan yang kotor ini?"
Ki Lurah Mertapraja termangu-mangu sejenak. Baru beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku akan menjadi pemimpin pasukan pengawal Tanah. Perdikan ini jika Tanah Perdikan ini sudah dikuasai oleh Ki Gede Watu Kuning."
"Lalu?" desak Ki Tumenggung Puspalaga.
"Dengan demikian aku akan mempunyai kekuasaan yang besar di Tanah Perdikan ini, Ki Tumenggung," jawab Ki Lurah pula.
"Hanya itu" Hanya karena kau ingin menjadi pemimpin pasukan sebuah Tanah Perdikan kau telah berkhianat terhadap tugasmu?"
Ki Lurah Mertapraja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ada janji lain Ki Tumenggung."
"Apa?" desak Ki Tumenggung Puspalaga.
"Jika Tanah Perdikan ini kemudian menjadi besar," jawab Ki Lurah.
"Maksudmu?" "Tanah Perdikan ini akan menjadi landasan perjuangan Ki Gede Watu Kuning selanjutnya. Jangkauan yang lebih tinggi dari sebuah Tanah Perdikan," berkata Ki Lurah.
"Jadi Watu Kuning kemudian akan menentang Madiun dan Pajang serta Mataram" Lalu kau akan menjadi Panglima pasukannya?"
Ki Lurah Mertapraja mengangguk kecil dengan penuh keraguan.
"Ki Lurah," berkata Ki Tumenggung, "kau memang dungu. Kau kira Ki Gede Watu Kuning mempercayaimu" Jika kau sudah berkhianat terhadap Madiun, maka kau adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Jika Ki Gede kemudian berhasil menguasai Tanah Perdikan ini, maka kau tentu akan disingkirkannya. Lambat atau cepat. Jangankan untuk menjadi Panglima pasukannya. Untuk melihat hasil jerih-payahmu merebut Tanah Perdikan inipun kau tidak akan sempat. Apalagi bagi langkah-langkah selanjutnya. Jika kau mendapat janji itu hanya karena kau memiliki satu pasukan yang akan dapat membantu langkah pertama Ki Gede. Tetapi kemudian kau dan orang-orang terpenting dalam pasukanmu akan disingkirkannya."
Ki Lurah Mertapraja menjadi tegang. Keringat dingin semakin membasahi pakaiannya. Namun kemudian dengan nada berat ia berkata, "Aku sadari itu Ki Tumenggung. Tetapi jika aku bertindak lebih dahulu, maka bukan aku yang akan disingkirkannya."
"Jadi kau sudah mempunyai rencana untuk menyingkirkan Ki Gede Watu Kuning dan mengambil alih pimpinan atas Tanah Perdikan ini?" bertanya Ki Tumenggung.
Ki Lurah Mertapraja mengangguk sambil menjawab lirih, "Ya Ki Tumenggung."
Tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu tertawa berkepanjangan. Iapun kemudian berpaling kepada Risang dan Kasadha. Katanya, "Ki Lurah memang seorang pemimpi."
Risang dan Kasadhapun mengangguk-angguk kecil. Mereka tahu kenapa Ki Tumenggung menertawakan jawaban Ki Lurah itu. Bahkan kemudian Ki Tumenggung itupun berkata, "Ki Lurah Mertapraja. Apakah kau tidak pernah mendengar betapa tinggi ilmu Ki Gede Watu Kuning. Bukan hanya Ki Gede saja, tetapi ada beberapa orang lain yang berilmu tinggi. Apa yang dapat kau lakukan seandainya kau benar-benar akan melakukan rencanamu. Bukankah kau hanya akan membunuh diri saja jika kau akan melawan Ki Gede Watu Kuning?"
Wajah Ki Lurah menjadi semakin tegang. Di keningnya keringat mengembun semakin tebal sehingga kemudian mengalir sehingga ia harus mengusap dengan lengan bajunya.
"Ki Lurah," berkata Ki Tumenggung Puspalaga, "aku tahu bahwa ceriteramu adalah ceritera ngayawara. Bukan sekedar mimpi buruk. Tetapi kebohongan yang tidak sempurna sehingga anak-anak pun akan menertawakannya."
Wajah Ki Lurah menjadi semakin tegang. Ada sesuatu yang agaknya ingin dikatakannya. Tetapi keragu-raguan yang sangat telah mencengkam jantungnya.
Namun agaknya Ki Lurah Samekta melihat gejolak perasaan Ki Lurah Mertapraja. Karena itu, maka katanya, "Adi Mertapraja. Apakah masih ada yang ingin adi katakan" Aku melihat sesuatu yang masih tertahan di kerongkongan adi."
Ki Lurah Mertapraja memandang Ki Lurah Samekta dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, "Memang ada Kakang."
"Kenapa tidak kau katakan saja" Ki Tumenggung tentu lebih senang mendengar jawabanmu yang tuntas."
Ki Lurah Mertapraja menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Ampun Ki Tumenggung. Aku memang merasa tidak mampu menandingi Ki Gede Watu Kuning. Tetapi bukankah aku tidak berdiri sendiri."
"Apa pula artinya prajurit-prajuritmu?" bertanya Ki Tumenggung Puspalaga.
"Bukan prajurit-prajuritku. Tetapi ada orang lain yang menurut penilaianku akan dapat mengimbangi kemampuan Ki Gede Watu Kuning."
"Siapa?" Ki Tumenggung memandangnya dengan tajamnya.
Ki Lurah Mertapraja memang menjadi ragu-ragu. Namun Ki Tumenggung Puspalaga itupun berkata, "Ki Lurah. Aku ingin mendengar semuanya. Kau tahu maksudku" Meskipun kau berada di Tanah Perdikan Sembojan, namun aku masih mempunyai wewenang atasmu."
Ki Lurah Mertapraja mengangguk dalam-dalam. Katanya, "Aku mengerti Ki Tumenggung."
"Karena itu sebaiknya kau katakan saja. Apapun akibatnya. Mungkin akan dapat memperingan kesalahanmu. Tetapi dapat pula berakibat sebaliknya."
"Segala sesuatunya tergantung kepada Angger Risang," sambung Ki Lurah Samekta.
Ki Lurah Mertapraja itu beringsut setapak. Katanya, "Ki Tumenggung. Sebenarnyalah bahwa sekelompok orang berilmu tinggi, namun tidak mempunyai pengikut yang cukup telah berdiri di belakangku. Aku tidak takut dikhianati oleh mereka, karena mereka adalah sanak kadangku sendiri. Terutama pamanku dan gurunya. Sementara keduanya tidak mempunyai anak isteri. Aku adalah pewaris yang paling berhak mewarisi semua milik mereka. Juga seandainya mereka berhasil menggeser kedudukan Ki Gede Watu Kuning."
"Mereka bermimpi untuk merebut kepemimpinan Tanah Perdikan ini, kemudian Madiun, Pajang dan Mataram?" bertanya Ki Tumenggung Puspalaga.
Ki Lurah Mertapraja mengangguk kecil. Di wajahnya terbayang kegelisahan dan ketidak-pastian. Ki Lurah sendiri memang tidak tahu apakah ia sedang berbangga dengan pamannya dan guru pamannya atau ia sedang berputus asa karena kegagalannya.
Selagi jantung Ki Lurah sedang terguncang-guncang, maka Ki Tumenggung Puspalaga itupun bertanya, "Siapakah pamanmu dan gurunya itu?"
Ki Lurah Mertapraja memandang Ki Tumenggung itu dengan tatapan mata yang kosong. Bahkan kemudian mulutnya asal saja bergerak. Katanya, "Keduanya adalah pertapa yang ada di kaki pegunungan Kendeng. Keduanya hampir tidak pernah keluar dari pertapaan mereka."
"Kenapa tiba-tiba mereka ingin menguasai Tanah Perdikan ini, Madiun, Pajang dan bahkan Mataram?" bertanya Ki Lurah Samekta dengan dahi berkerut.
Ki Lurah Mertapraja beringsut lagi setapak. Kemudian katanya, "Keduanya telah menerima isyarat dari Penguasa Matahari dan Bulan. Bahkan saatnya sudah tiba bagi mereka. Dari langit telah turun sipat kandel yang akan dapat mendukung keduanya untuk merambah jalan menuju ke kedudukan tertinggi di Tanah ini."
"Apakah bentuk isyarat itu?" bertanya Ki Lurah Samekta.
Ki Lurah Mertapraja tidak segera menjawab. Dipandanginya Ki Tumenggung Puspalaga yang juga memandanginya dengan tajamnya. Bahkan Ki Tumenggung itu kemudian berkata, "Kau belum menjawab pertanyaan Ki Lurah Samekta."
Ki Lurah Mertapraja mengangguk-angguk kecil. Rasa-rasanya ia sudah kehilangan dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan, ancaman-ancaman yang meskipun tidak dikatakan berterus terang, tekanan-tekanan betapa ramahnya kata-kata yang diucapkan, membuat Ki Lurah Mertapraja tidak mempunyai pegangan lagi.
Dengan gagap iapun menjawab, "Paman dan gurunya telah mendapatkan sepasang pusaka yang akan dapat mendukung rencana mereka menguasai Tanah ini."
"Apakah ujud dari sepasang pusaka itu?" bertanya Ki Lurah Samekta.
"Sebilah pedang dan sebilah perisai. Pedang yang jarang ada duanya. Dan bahkan mungkin pedang itu adalah satu-satunya yang ada di muka bumi. Suara dari langit mengatakan bahwa pedang itu bernama Kiai Wisa Raditya dan perisai yang bernama Nyai Lar Sasi. Keduanya terbuat dari bahan yang tidak ada di bumi. Pedang yang berwarna kehitam-hitaman itu mempunyai pamor yang bercahaya kemerah-merahan bagaikan gemerlapnya api di Matahari. Sementara itu perisai yang berwarna kekuning-kuningan itu bagaikan bulatnya bulan saat purnama."
Ki Tumenggung itupun tersenyum. Katanya, "Ki Lurah. Aku kira kau seorang prajurit yang mempunyai penalaran yang masak. Ternyata kau sudah terbius oleh ceritera khayal seperti tentang kucing candramawa yang menunggui bulan bersama seorang bidadari yang sangat cantik."
"Aku tidak berkhayal Ki Tumenggung. Aku pernah melihat pedang serta perisai itu. Paman yakin, bahwa pada saatnya kedua pusaka itu akan membawa aku ke kedudukan tertinggi di Tanah ini," berkata Ki Lurah Mertapraja.
"Lalu, apa yang terjadi?" bertanya Ki Tumenggung.
Ki Lurah Mertapraja memandang orang-orang di sekitarnya. Dipandanginya Risang dan Kasadha berganti-ganti. Kemudian Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta. Agak ke belakang nampak dua orang yang telah membawanya dari padukuhan sebelah.
Wajah Ki Lurah menjadi sangat gelisah. Namun tiba-tiba ia tersenyum dan bahkan tertawa. Katanya, "Tunggu Ki Tumenggung. Pada saatnya Ki Tumenggung akan mengakui kuasaku. Tetapi jangan takut. Ki Tumenggung akan aku angkat menjadi narpacundaka setelah aku menerima kedudukan dari paman dan gurunya."
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dipandanginya wajah Ki Lurah Mertapraja dengan wajah yang tegang. Ki Lurah Samektapun terkejut melihat sikap Ki Lurah Mertapraja yang berubah itu.
Sementara itu, Ki Lurah Mertapraja masih saja tertawa. Namun ketika ia melihat Sambi Wulung dan Jati Wulung yang duduk agak di belakang wajahnya segera menjadi gelap. Dengan nada keras ia berkata, "Kecuali kedua ekor serigala itu. Keduanya harus mati."
Masih belum ada yang menjawab. Ketika Ki Lurah Mertapraja memandang Risang dan Kasadha, iapun berkata, "Kalian dapat memilih anak-anak muda. Jika kalian berpihak kepadaku, maka kalian akan mendapat kedudukan yang baik di Tanah Perdikan ini. Bahkan kemudian di Madiun, Pajang atau Mataram."
Risang dan Kasadhapun menjadi termangu-mangu. Perubahan sikap Ki Lurah Mertapraja itu memang membuat keduanya menjadi berdebar-debar.
Untuk beberapa saat lamanya, maka mereka membiarkan Ki Lurah Mertapraja berbicara tanpa ujung dan pangkal. Tetapi pusaran persoalan yang dikatakannya adalah rencananya untuk menguasai Tanah Perdikan Sembojan, kemudian Madiun, Pajang dan Mataram.
Beberapa kali ia menyebut paman dan gurunya yang telah mendapat pusaka dari langit berujud pedang dan perisai. Senjata yang akan dapat menjadi landasan perjuangan mereka, karena suara dari langit mengatakan, siapa yang memiliki pedang Kiai Wisa Raditya dan perisai Nyai Lar Sasi akan dapat memegang kekuasaan tertinggi di Tanah Jawa.
Ki Tumenggung Puspalaga yang termangu-mangu itupun kemudian bertanya, "Ki Lurah. Apa sebenarnya yang sedang kau lakukan" Apakah kau sadari kata-katamu atau kau sedang terganggu?"
Ki Lurah Mertapraja itupun tertawa. Katanya, "Aku sadar sepenuhnya Ki Tumenggung. Aku tahu pasti dengan siapa aku berbicara. Dengan Ki Tumenggung Puspalaga, Ki Lurah Samekta dan dua anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan. Disana duduk dua ekor serigala yang dengan kasar telah menyiksa prajurit-prajuritku dan aku sendiri untuk mendapatkan pengakuanku bahwa aku adalah Ki Lurah Mertapraja."
Ki Lurah itupun kemudian tertawa berkepanjangan.
"Ki Lurah," berkata Ki Tumenggung, "jika Ki Lurah berkata dengan penuh kesadaran, kenapa Ki Lurah bertingkah laku seperti itu?"
"Kenapa" Aku kenapa?" Ki Lurah justru bertanya, "aku berkata dengan sebenarnya. Sebagai calon penguasa di Tanah ini, maka aku telah memberikan janji kepada kalian dengan kesungguhan hati."
Ki Tumenggung Puspalaga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dipandanginya mata Ki Lurah Mertapraja dengan tajamnya. Ia memang melihat di mata itu membayang kelainan pada kesadaran Ki Lurah. Biji mata yang hitam di tengah putih matanya itu seakan-akan bergerak dengan liar. Sekali-sekali memandangi Ki Tumenggung, namun kemudian berputar-putar dengan gelisah. Bibirnya nampak tersenyum-senyum tanpa arti sama sekali.
Ki Lurah Samekta justru bergeser mendekat. Dengan kerut di keningnya ia berkata, "Ki Lurah. Apakah Ki Lurah ingin pulang?"
"Pulang" Pulang kemana?" mata Ki Lurah Mertapraja bagaikan menyala.
"Apakah adi tidak ingin bertemu dengan isteri dan anak-anak adi?" bertanya Ki Lurah Samekta pula.
Tiba-tiba suara tertawa Ki Lurah Mertapraja itu meledak. Katanya, "Buat apa aku kembali kepada isteriku" Perempuan yang banyak tingkah. He, apakah kau tidak tahu bahwa isteriku selalu berhubungan dengan Ki Tumenggung Resaniti" He, kau tentu tahu kalau Tumenggung Resaniti itu isterinya banyak. Selirnya banyak dan ia masih saja mengejar isteri orang" Tetapi aku relakan isteriku. Jika aku berkuasa kelak, Resaniti akan aku gantung di alun-alun bersama perempuan-perempuannya. Termasuk isteriku."
"Lalu, bagaimana dengan anak-anakmu?" bertanya Ki Lurah Samekta.
"Kau kira anak-anak itu anak-anakku sendiri" Tidak. Mereka adalah anak-anak orang lain. He, kau kira aku dapat menaburkan benih di perut isteriku?" Ki Lurah itu tertawa berkepanjangan.
Ki Lurah Samekta menarik nafas dalam-dalam. Iapun melihat kelainan pada sorot mata Ki Lurah itu. Perlahan-lahan ia berkata kepada Ki Tumenggung, "Ki Tumenggung. Menurut pendengaranku, Ki Lurah Mertapraja memang mempunyai seorang saudara laki-laki yang mempunyai penyakit syaraf. Jika penyakit itu penyakit keturunan, maka dalam keadaan yang tersudut seperti sekarang ini, kekecewaan dan kegagalan, hatinya benar-benar terguncang. Apalagi kepercayaannya yang sesat tentang pusaka-pusaka dari langit itu akan mempercepat guncangan penalarannya."
Tetapi tiba-tiba saja Ki Lurah Mertapraja itu menyahut, "Apa yang kau katakan itu?"
"Kau. Keadaanmu," jawab Ki Lurah Samekta. "Ki Tumenggung sedang menilai, apakah kau pantas menjadi penguasa tertinggi dari Tanah ini."
"Ki Tumenggung Puspalaga maksudmu" Ia tidak berhak menilai aku, karena akulah yang justru berhak menilainya."
Ki Lurah Samekta tidak membantah. Ia memang tidak dapat berbantah dengan seseorang yang sedang terganggu kesadarannya. Bahkan Ki Tumenggung Puspalagapun tidak membantah pula. Dibiarkannya Ki Lurah Mertapraja hanyut ke dunia mimpinya yang ceria.
Kepada Risang dan Kasadha Ki Tumenggung itu berkata, "Ternyata Ki Lurah Mertapraja mempunyai persoalan dengan dirinya sendiri."
"Ya, Ki Tumenggung," jawab Risang. "Latar belakang kehidupannya memang suram. Nampaknya, ia memang seorang prajurit yang baik. Tetapi ia mempunyai cacat yang tersembunyi."
"Ya," sahut Ki Lurah Samekta. "Ada dua kutub kehidupan terdapat di dalam dirinya. Sebagai seorang prajurit, ia adalah seorang laki-laki yang disegani. Di baraknya maupun di medan pertempuran. Tetapi di dalam keluarganya, ia adalah seorang laki-laki yang tidak lengkap. Seorang laki-laki yang tidak berdaya. Kenyataan itulah yang membuatnya tidak mampu mencari pegangan yang kuat bagi dirinya. Apalagi pada dasarnya ada darah yang keruh yang mengalir di dalam tubuhnya."
"He, apa yang kalian bicarakan?" bertanya Ki Lurah Mertapraja. Pandangan matanya masih liar dan seolah-olah berputar-putar.
"Bukan apa-apa Ki Lurah," jawab Ki Lurah Samekta. "Kami sedang membicarakan tentang kedudukan Ki Lurah kelak."
"Kalian tidak usah ikut membicarakan kedudukanku. Sesuai dengan janji dari langit, maka aku akan berada di jenjang tertinggi di Tanah ini. Akulah yang akan mengatur kedudukan kalian," berkata Ki Lurah itu.
"Ya, ya Ki Lurah," jawab Ki Lurah Samekta.
Sementara itu Ki Tumenggung Puspalagapun berkata kepada Risang, "Ngger, inilah kenyataan tentang Ki Lurah Mertapraja. Sejak semula kami memang tidak ingin membawanya ke Madiun. Segala sesuatunya kami serahkan kepada Angger disini. Sayang, keadaan Ki Lurah Mertapraja agak lain dengan para prajurit yang lain. Tetapi mudah-mudahan dalam waktu dekat, keadaannya menjadi semakin baik."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Tumenggung. Ki Lurah Mertapraja akan mendapat tempat yang khusus. Mudah-mudahan ia segera menjadi tenang dan dapat berbicara dengan penuh kesadaran."
Ki Tumenggung Puspalaga mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak dapat bertanya lebih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaannya tentu tidak akan mendapat jawaban yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah Ngger. Kali ini kami akan mengakhiri pertanyaan-pertanyaan kami. Seandainya Angger mengijinkan kami bermalam disini, kami akan dapat melihat perkembangan keadaan Ki Lurah Mertapraja. Mudah-mudahan malam nanti kami dapat berbicara lagi dengan orang itu."
"Tentu tidak Ki Tumenggung. Kami tidak berkeberatan mempersilahkan Ki Tumenggung untuk bermalam dan mungkin nanti malam atau besok dapat berbicara lagi dengan Ki Lurah," jawab Risang.
"Terima kasih Ngger. Ketika akan datang ke Tanah Perdikan ini, aku merasa ragu, apakah kedatanganku akan dapat diterima. Bukan malahan dimusuhi karena ada prajurit Madiun yang terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Namun ternyata bahwa aku diterima dengan baik. Bahkan kami mendapat bantuan yang cukup besar bagi kelancaran tugas kami," berkata Ki Tumenggung Puspalaga.
"Kami bersama-sama ingin mendapatkan kesimpulan yang benar tentang peristiwa yang baru saja terjadi Ki Tumenggung. Seandainya Ki Tumenggung tidak datang kemari, maka akan mungkin sekali kami mempunyai dugaan yang salah terhadap para prajurit Madiun yang terlibat. Seandainya mereka tidak mengaku sekalipun, sebenarnyalah bahwa kami akan dapat menaruh kecurigaan terhadap mereka dengan dugaan-dugaan dan barangkali kesimpulan yang salah tentang kehadiran mereka."
"Beruntunglah bahwa Kepala Tanah Perdikan ini, meskipun masih muda, tetapi mempunyai wawasan yang luas," desis Ki Tumenggung Puspalaga.
"Kami hanya sekedar melakukan kewajiban kami Ki Tumenggung," jawab Risang yang kemudian mempersilahkan Ki Tumenggung untuk kembali ke padukuhan induk.
"Ki Tumenggung akan bermalam di padukuhan induk," berkata Risang kemudian.
Demikianlah, ketika Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta dipersilahkan pergi ke padukuhan induk, maka Ki Mertapraja telah ditempatkan di ruang yang khusus. Dikhawatirkan bahwa Ki Lurah akan dapat berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan orang lain. Bahkan mungkin prajurit-prajuritnya sendiri.
Namun Risang telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga Ki Lurah dengan sebaik-baiknya. Apalagi Ki Lurah telah menyebut-nyebut paman beserta guru pamannya yang telah menerima senjata dari langit.
Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samektapun telah memperingatkannya, bahwa ada kemungkinan kedua orang itu akan ikut campur dengan persoalan Ki Lurah Mertapraja itu.
Ketika kemudian mereka berada di padukuhan induk, serta setelah mereka mempersilahkan Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta beristirahat, maka Risang telah berbicara dengan ibunya, Kasadha dan ibu Kasadha, tentang keadaan salah seorang lurah prajurit Madiun beserta prajurit-prajuritnya yang berada di tangan para pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
"Ternyata Ki Lurah Mertapraja telah terganggu kesadarannya," berkata Risang dengan menceriterakan tingkah lakunya. "Namun juga igauannya tentang paman dan guru pamannya yang telah menerima pusaka-pusaka dari langit."
"Apakah orang itu menyebut nama pusaka-pusaka itu?" bertanya ibu Kasadha.
"Ya. Mereka menyebutnya sebilah pedang bernama Kiai Wisa Raditya dan perisai yang disebutnya Nyai Lar Sasi. Kedua pusaka itu merupakan landasan kekuatan gaib yang akan dapat menjadi tumpuan kekuasaan atas Tanah ini," jawab Risang.
Ibu Kasadha itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia kemudian bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, "Jadi pergulatan untuk menguasai pusaka-pusaka itu masih belum selesai sampai saat ini."
"Maksud ibu?" bertanya Kasadha.
"Sejak berpuluh tahun yang lalu, orang-orang dari golongan hitam yang ingin bukan saja sekedar berkuasa dalam bayangan kekuasaan yang sah, tetapi menyingkirkan kekuasaan yang sah itu, telah mencari pegangan. Ada yang menelusuri keturunannya yang kemudian dengan bangga menceriterakan bahwa ia adalah anak seorang jin yang paling berkuasa di Tanah ini. Ada yang menganggap dirinya titisan dewa yang berkuasa di langit dan ada yang ingin bersandar pada tuah pusaka-pusaka seperti kedua pusaka yang disebut-sebut Ki Lurah Mertapraja. Jika Ki Lurah Mertapraja menyebut-nyebut pusaka yang bernama Kiai Wisa Raditya dan Nyai Lar Sasi, orang itu tentu mempunyai hubungan dengan perguruan yang dinamakan Perguruan Wukir Gading. Pantas jika Ki Lurah Mertapraja yang merasa dinaungi oleh pusaka-pusaka Kiai Wisa Raditya dan Nyai Lar Sasi dapat bekerja sama dengan Padepokan Watu Kuning."
"Tetapi ternyata Ki Lurah Mertapraja beserta paman dan guru pamannya itu mempunyai rencana tersendiri. Mereka berniat menyingkirkan Ki Gede Watu Kuning jika usaha mereka bersama-sama sudah berhasil. Setidak-tidaknya menjadikan Tanah Perdikan ini landasan kekuatan mereka menuju ke Madiun, Pajang dan Mataram. Paman dan guru paman Ki Lurah Mertapraja itu merasa mampu menyingkirkan Ki Gede Watu Kuning."
"Itu adalah salah satu ciri perguruan Wukir Gading. Licik dan sama sekali tidak setia. Tidak semua gerombolan dari golongan hitam yang licik dan tidak setia. Ada di antara mereka yang mempunyai dasar kesetia-kawanan yang sangat tinggi. Tetapi sebaliknya ada pula ciri sebagaimana Perguruan Wukir Gading. Namun nampaknya Padepokan Watu Kuning tidak mengetahui sifat itu. Atau bahkan Padepokan Watu Kuningpun mempunyai rencana seperti itu pula," jawab ibu Kasadha.
Mereka yang mendengarkan keterangan ibu Kasadha itu mengangguk-angguk. Ibu Kasadha memang mempunyai pengalaman hidup di lingkungan orang-orang berilmu hitam sehingga ia dapat mengetahui ciri-ciri dari golongan itu.
Untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Namun kemudian ibu Kasadha itupun berkata, "Jika demikian,-berhati-hatilah. Orang-orang dari Perguruan Wukir Gading adalah orang-orang yang keras kepala. Ki Lurah Mertapraja tentu termasuk orang penting dalam urutan rencana paman dan guru pamannya itu. Mungkin memang ada usaha untuk mengambil Ki Lurah itu dari bilik tawanannya."
"Tetapi bukankah Ki Lurah Mertapraja sudah tidak berarti lagi bagi Perguruan Wukir Gading" Ki Mertapraja dibutuhkan oleh paman dan guru pamannya karena Ki Lurah Mertapraja memiliki sepasukan prajurit yang dapat dimanfaatkan. Tanpa prajurit itu bukankah Ki Lurah sudah tidak berarti apa-apa lagi?" bertanya Kasadha.
"Tetapi jika benar seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, bahwa ia adalah satu-satunya pewaris dari semua warisan paman dan guru pamannya, maka ia tentu sangat diperlukan sebagai penerus usaha-usaha yang pernah dirintisnya. Mungkin pamannya justru akan membentuk kekuatan dengan caranya sendiri. Ki Lurah yang sudah terbiasa memimpin sepasukan prajurit akan dapat dipergunakannya sebaik-baiknya," jawab ibunya.
Kasadha mengangguk-angguk. Kepada Risang ia berkata, "Ternyata persoalan ini masih belum selesai."
"Tetapi agaknya dapat dibatasi," justru ibu Risanglah yang menyahut. "Kekuatan yang menjadi tumpuan Ki Lurah Mertapraja adalah kekuatan beberapa orang saja dari Perguruan Wukir Gading. Tidak seluas pasukan yang dihimpun oleh Padepokan Watu Kuning."
Ibu Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya memang demikian. Tetapi kita harus tetap berhati-hati menghadapi mereka yang nampaknya lebih terbatas itu."
Ibu Risang itupun kemudian bertanya kepada anaknya, "Siapakah yang kau serahi tawanan yang satu itu?"
"Para pengawal. Tetapi paman Sambi Wulung dan Jati Wulung ada disana," jawab Risang.
"Baiklah. Jika paman Sambi Wulung ada disana, maka setidak-tidaknya berdua akan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika terjadi sesuatu di tempat orang itu disimpan," berkata ibunya kemudian.
Demikianlah, maka meskipun Tanah Perdikan itu sudah nampak tenang, tetapi justru orang-orang terpenting di Tanah Perdikan itu menjadi sangat berhati-hati. Meskipun kekuatan yang dicemaskan tidak segarang kekuatan yang datang bersama Ki Gede Watu Kuning, tetapi jika benar paman dan guru paman Ki Lurah Mertapraja itu berusaha untuk mengambilnya, maka Tanah Perdikan itu akan dapat terguncang lagi.
Ketika kemudian senja turun, maka Risang dan Kasadha telah berbincang pula dengan Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta. Mereka masih belum berniat untuk berbicara lagi dengan Ki Lurah Mertapraja. Mereka baru saja mendapat laporan, bahwa keadaan Ki Lurah masih saja tidak menentu. Bahkan baru saja Ki Lurah berteriak-teriak dari dalam bilik tahanannya. Seakan-akan ia sedang memberikan perintah-perintah kepada para prajuritnya. Ki Lurah Mertapraja itu sudah berusaha pula merusak pintu biliknya dan juga dindingnya. Tetapi karena dindingnya terbuat dari kayu, demikian pula pintunya, maka ia tidak berhasil.
"Apakah paman Sambi Wulung dan Jati Wulung masih ada disana?" bertanya Risang.
"Ya. Keduanya masih berada disana," jawab pengawal yang memberikan laporan itu.
"Baiklah. Katakan kepada paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung. Sebaiknya keduanya tetap berada disana. Mereka justru harus berhati-hati sekali," pesan Risang.
Ketika pengawal itu meninggalkan rumah Kepala Tanah Perdikan itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Risang dan Kasadha masih berbincang dengan kedua orang tamunya dari Madiun. Sampai saatnya Nyi Wira-dana mempersilahkan mereka untuk makan malam.
Namun setelah makan malam, maka merekapun duduk lagi di pendapa untuk berbincang lagi tentang berbagai macam persoalan. Tentang Ki Lurah Mertapraja, tentang mendung yang bergantung di atas Madiun, Pajang dan Mataram. Penilaian Madiun atas kekuatan Pajang yang berada di tangan Pangeran Gagak Baning. Namun ternyata bahwa Ki Tumenggung Puspalaga dan Ki Lurah Samekta menjadi sangat berhati-hati.
Keduanya menyadari bahwa mereka berada di Tanah Perdikan yang berkiblat kepada kekuasaan Pajang dan tentu saja juga Mataram. Namun sampai sekian jauh, baik Ki Tumenggung Puspalaga maupun Ki Lurah Samekta tidak menyinggung perasaan Risang dan Kasadha. Keduanya berusaha berbicara pada pokok-pokok persoalan yang wajar dan masuk akal.
Namun setiap kali Ki Tumenggung berkata, "Maaf Ngger. Mungkin aku berdiri pada satu pihak, karena aku adalah seorang prajurit Madiun."
Risang dan Kasadha masih dapat tersenyum mendengar pengakuan itu. Sebagaimana Risang dan Kasadha sendiri kadang-kadang tidak dapat menyembunyikan sudut pandang mereka sebagai orang yang berkiblat kepada Pajang dan Mataram.
Namun kedua belah pihak berusaha untuk membatasi diri, berusaha untuk mengerti tempat berpijak masing-masing. Sehingga keduanya dapat mengerti dan menghormati perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka.
Ternyata mereka telah berbincang cukup lama. Karena itu, maka Risangpun kemudian telah mempersilahkan kedua orang tamunya untuk beristirahat. Kasadhapun kemudian telah masuk ke dalam biliknya. Kawannya, seorang pemimpin kelompok dalam kesatuannya telah berbaring di pembaringan.
Risang ternyata masih saja gelisah. Sepeninggal Bibi, rumah itu memang terasa sepi. Bibi sering mondar-mandir di rumah itu untuk menyediakan makan dan kemudian menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor. Sepeninggal Bibi, yang melakukan adalah orang lain yang tidak ada bedanya dengan orang-orang yang lain lagi.
Karena udara terasa panas di dalam, maka Risangpun telah keluar lewat pintu butulan dan kemudian melalui seketheng turun ke halaman. Gandarlah yang kemudian mendekatinya sambil bertanya, "Kau belum juga tidur?"
"Udara di dalam panas sekali," jawab Risang sambil menggelengkan kepalanya.
"Sekarang kau akan kemana?" bertanya Gandar.
"Tidak kemana-mana. Aku hanya ingin menyejukkan badan sejenak," jawab Risang.
Berdua merekapun berjalan ke regol dan bahkan kemudian keluar regol halaman dan berjalan-jalan dalam gelapnya malam. Di gardu beberapa orang peronda nampak berjaga-jaga. Tiga orang pengawal mereka jumpai berjalan menyusuri lorong-lorong Padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan.
Risang menarik nafas panjang. Ia bangga atas kesiagaan para pengawal Tanah Perdikan.
Bersama Gandar maka keduanya berjalan semakin jauh melingkari jalan-jalan di Padukuhan Induk Tanah Perdikan Sembojan. Di setiap gardu mereka melihat para peronda bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
Namun Risang dan Gandar tidak menjumpai persoalan yang penting di Padukuhan Induk Tanah Perdikan itu.
Adalah di luar dugaannya ketika seorang pemimpin pengawal yang bertugas di regol Padukuhan Induk, dengan tidak sadar bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting, sehingga Nyi Wiradana kedua-duanya berkuda meninggalkan Padukuhan Induk ini?"
Risang dan Gandar memang terkejut. Dengan serta-merta Risang bertanya, "Kapan?"
"Belum lama," jawab peronda itu.
Risang memandang Gandar sejenak. Hampir tidak terdengar ia bergumam, "Kemana?"
"Aku dengar, tawanan yang seorang itu sangat berbahaya," berkata Gandar.
"Mungkin ibu dan bibi itu pergi kesana," desis Risang. "Biarlah aku memberitahu Kasadha. Kami akan kesana. Aku titipkan padukuhan induk ini kepadamu. Berhati-hatilah."
Sebenarnya Gandar juga ingin pergi. Tetapi Risang justru menitipkan Padukuhan Induk itu kepadanya, sehingga dengan demikian maka ia terikat untuk tetap berada di padukuhan induk itu.
Ternyata Risang yang tergesa-gesa kembali ke rumahnya itu telah membangunkan Kasadha. Dengan singkat ia memberitahukan laporan peronda tentang ibu mereka.
"Kau tunggu disini," berkata Kasadha kepada kawannya.
Demikianlah, sejenak kemudian maka keduanyapun telah berpacu menyusul ibu mereka. Mereka memang mengira bahwa keduanya pergi ke padukuhan tempat Ki Lurah Mertapraja ditawan. Agaknya ibu Kasadha benar-benar merasa cemas dengan tawanan yang satu itu.
Jarak antara Risang dan Kasadha dengan kedua ibu mereka cukup panjang. Karena itu, mereka tidak sempat menyusulnya di perjalanan. Namun keduanya hampir pasti bahwa Nyi Wiradana kedua-duanya ada di padukuhan itu.
Sebenarnyalah Risang dan Kasadha menemukan kedua orang perempuan itu di banjar padukuhan.
"Kenapa ibu pergi tanpa memberitahukan kepada kami?" bertanya Risang.
"Aku kira kalian berdua sudah tidur karena letih. Kami tidak mau mengganggu kalian," jawab ibu Risang.
"Kami belum tidur," jawab Risang. "Kami memang berjalan-jalan di luar halaman karena udara terasa panas sekali."
Namun Kasadha sempat menggamit Risang karena sebenarnyalah bahwa ia sudah tertidur.
Tetapi Risang tidak menghiraukannya. Ia sama sekali tidak berpaling kepada Kasadha.
"Kami sebenarnya merasa gelisah justru karena Ki Lurah Mertapraja," berkata ibu Kasadha. "Perguruan yang pernah berbicara tentang pedang Kiai Wisa Raditya dan perisai Nyai Lar Sasi adalah perguruan yang sangat keras. Perguruan itu bukan perguruan yang besar. Pemimpin perguruan itu tidak pernah menerima banyak murid sekaligus. Muridnya hanya ada dua atau tiga saja. Namun yang benar-benar memiliki sifat dan kemampuan gurunya. Mungkin paman Ki Lurah Mertapraja itu salah seorang murid dari perguruan itu. Karena itu aku mencemaskan paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung yang sudah menjadi semakin tua pula."
Risang dan Kasadha hanya mengangguk-angguk saja. Bagi mereka Sambi Wulung dan Jati Wulung adalah orang-orang berilmu tinggi, meskipun masih belum setingkat dengan ibu Risang. Namun mereka juga harus memperhitungkan lawan mereka pada saat itu.
Demikianlah mereka berempat untuk beberapa lama duduk dan berbilang di ruang dalam banjar padukuhan. Namun mereka terkejut ketika terjadi keributan di halaman banjar itu. Dengan serta-merta keempat orang itupun telah keluar dari ruang dalam melintasi pendapa turun ke halaman.
Mereka melihat dua orang peronda terbaring di halaman. Beberapa kawan mereka mengerumuninya dengan gelisah. Sementara itu beberapa orang pengawal menjadi sibuk pula di luar pintu regol halaman banjar itu.
"Apa yang terjadi?" bertanya Risang.
Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berada di tempat itu pula. Kepada para pengawal Sambi Wulung berkata, "Bawa naik ke pendapa, Kita akan melihat kenapa kedua pengawal itu pingsan."
Kedua orang pengawal itupun kemudian telah diangkat dan dibaringkan di atas tikar pandan di pendapa. Sambi Wulung dan Jati Wulung masih berusaha untuk membantu mempercepat kedua orang itu menjadi sadar. Beberapa titik air telah membasahi bibir mereka sehingga untuk beberapa saat kemudian, keduanya mulai bergerak dan membukakan mata.
Seorang di antara mereka berdua ternyata tidak menjadi separah kawannya. Perlahan-lahan anak muda itu berusaha untuk bangkit dan duduk. Sementara kawannya justru berdesah menahan sakit.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Sambi Wulung.
Anak muda yang tidak begitu parah itu mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Dengan nada rendah ia berkata agak terbata-bata, "Kami bertugas mengamati keadaan di sekitar banjar. Ketika kami berdua berada disimpang tiga, tiba-tiba saja kami diserang oleh seseorang yang tidak kami ketahui dari mana datangnya. Aku ternyata masih sempat berteriak ketika kawanku itu tersungkur jatuh. Kemudian akupun tidak ingat apa-apa lagi."
"Siapakah yang menolongmu?" bertanya Jati Wulung.
"Aku tidak tahu," jawab anak muda itu.
"Kamilah yang menolongnya," berkata pengawal yang lain. "Kami memang mendengar teriakannya. Aku tidak tahu apa yang dikatakannya. Tetapi nadanya telah memanggil kami untuk datang. Ketika kami berempat sampai ke simpang tiga, kami temui kedua orang telah terbaring pingsan."
"Apakah kau sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan?" bertanya Sambi Wulung.
"Peristiwa itu terjadi begitu tiba-tiba. Aku melihat bayangan itu terbang menyambar kawanku. Sebelum aku sempat berbuat sesuatu, bayangan itu telah menyerang aku pula. Aku melihat ayunan tangannya. Aku memang mencoba untuk menangkis. Tetapi naluriku mengatakan bahwa aku tidak akan dapat melawannya sehingga aku berteriak memanggil para pengawal yang lain," jawab anak muda itu.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk kecil. Merekapun kemudian berpaling kepada Nyi Wira-dana dan berdesis, "Kita harus berhati-hati menghadapi keadaan seperti ini."
Nyi Wiradana itupun berdesis, "Mereka benar-benar sudah mulai. Gelar perang yang kita pergunakan harus berubah."
"Ya," ibu Kasadha mengangguk-angguk. "Sasaran mereka memang berbeda dengan sasaran orang-orang Watu Kuning. Cara merekapun berbeda. Orang-orang Wukir Gading tidak mempedulikan Tanah Perdikan ini, setidak-tidaknya untuk sementara. Mereka hanya ingin membebaskan Ki Lurah Mertapraja."
"Dengan demikian, maka pusat perhatian kita tertuju kepada Ki Lurah. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak memperhatikan soal-soal lain di Tanah Perdikan ini," desis Nyi Wiradana.
Namun tiba-tiba Nyi Wiradana itu bertanya, "Dimana Ki Lurah itu ditempatkan?"
"Di gandok itu, Nyi," jawab salah seorang pengawal.
Kepada Sambi Wulung Nyi Wiradana itu berkata, "Lihat, apakah ia sedang tidur?"
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menyadari, bahwa seluruh perhatian seakan-akan ditujukan kepada kedua orang anak muda yang menemukan orang yang telah menyerang para pengawal itu di luar halaman banjar. Karena itu, maka iapun segera pergi ke gandok. Dari depan ia masih melihat pintu dan dinding bilik yang dipergunakan untuk menahan Ki Lurah Mertapraja utuh. Tetapi Sambi Wulung ingin meyakinkan apakah bilik itu benar-benar tidak disentuh orang.
Meskipun Sambi Wulung tahu bahwa di belakang gandok itu telah ditempatkan pula dua orang pengawal, tetapi keadaan yang tidak diharapkan mungkin saja terjadi sebagaimana dua orang pengawal yang pingsan itu.
Jati Wulung yang melihat Sambi Wulung justru menuju ke belakang gandok melingkari sudut depan, maka iapun segera menyusul. Iapun tiba-tiba saja mencemaskan para pengawal yang ada di belakang gandok.
Demikian Sambi Wulung berada di belakang gandok, maka iapun terkejut. Ia melihat dua orang pengawal terbaring diam.
Dengan cepat Sambi Wulung berlari mendekati dua sosok tubuh yang terbaring diam itu. Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu. Selagi ia berjongkok memperhatikan tubuh itu, maka ia mendengar derak dinding terbuka.
Sesosok bayang bagaikan terbang menyambarnya. Demikian cepatnya, tangannya terayun ke arah tengkuk Sambi Wulung.
Tetapi Sambi Wulung bukannya sekedar pengawal Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana yang terbaring diam itu. Karena itu, maka demikian tubuh itu menyambar, maka Sambi Wulung justru menjatuhkan dirinya. Demikian bayangan itu melayang di sisinya, kakinya telah bergerak dengan cepatnya.
Bayangan itu memang tidak mengira bahwa ia akan mendapat perlawanan. Karena itu, kaki Sambi Wulung telah terantuk kakinya, sehingga bayangan itupun telah jatuh pula berguling melingkar dua kali. Namun dengan cepat orang itu meloncat bangkit kembali.
"Setan kau," orang itu mengumpat. Namun ia telah siap menyerang Sambi Wulung yang telah bangkit pula.
Namun hampir saja Sambi Wulung lengah. Ketika dari sudut depan gandok itu muncul Jati Wulung, maka Jati Wulung itupun segera berteriak, "Hati-hati, di belakangmu."
Sambi Wulung dengan cepat berbalik. Ia tidak menghiraukan orang yang telah menyerangnya lebih dahulu, karena kehadiran Jati Wulung, Sambi Wulung mempercayakan orang itu kepada Jati Wulung.
Ternyata Jati Wulung cukup tanggap. Dengan cepat ia telah menyerang orang yang gagal melumpuhkan Sambi Wulung.
Orang itu menggeram. Ia menjadi marah sekali bahwa serangannya telah gagal. Bahkan ada orang lain yang telah berani menyerangnya.
Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri menghadapi serangan Jati Wulung. Ia ingin menghancurkan orang yang telah berani menyerangnya itu dalam sekejap.
Karena itu, demikian ia berhasil menghindari serangan Jati Wulung, maka dengan serta-merta orang itu telah membalas menyerangnya. Dengan satu putaran, maka kakinya telah terayun mendatar mengarah ke kening Jati Wulung.
Tetapi sekali lagi orang itu terkejut. Serangannya yang keras dan tiba-tiba itu, sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Orang yang datang itupun berhasil menghindar sebagaimana orang yang datang lebih dahulu.
Demikianlah, maka pertempuranpun telah terjadi di belakang gandok itu. Kedua orang yang tidak dikenal itu menjadi semakin marah. Dua orang Tanah Perdikan ini agak berbeda dengan para pengawal yang lain. Keduanya mampu bertahan untuk beberapa lama. Bahkan menghindari serangan-serangannya yang datang beruntun.
Tusuk Kondai Pusaka 6 Pendekar Naga Geni 15 Pendekar Gagak Cemani Perkampungan Hantu 2
^