Sayap Sayap Terkembang 25
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 25
"Ya," kedua orang anak itu tertawa lagi.
Kasadha dan Risangpun tertawa pula. Di sela-sela suara tertawanya Risang berkata, "Sudah lama sekali kami tidak berjumpa dengan Ki Remeng. Kami memang agak lupa dengan wajahnya. Terima kasih anak-anak. Tetapi dimana rumah mbah Remeng itu?"
Kedua anak itu sama sekali tidak mengerti persoalan yang menyelubungi kehidupan Ki Remeng. Mereka mengenal Ki Remeng seorang tua yang memang senang bergurau dengan anak-anak. Karena itu, maka merekapun mengira bahwa Ki Remeng memang sedang bergurau meskipun kedua orang anak muda itu benar-benar sedang mencarinya. Sehingga karena itu, maka merekapun telah menunjukkan pula dimana rumah Ki Remeng.
Kasadha dan Risang mengangguk-angguk. Namun Kasadha masih bertanya, "Tetapi apakah benar Ki Remeng mempunyai seorang anak yang sedang pergi ke Madiun seperti yang tadi dikatakannya?"
"Sepengetahuanku tidak," jawab anak yang membawa pisau. "Mbah Remeng tinggal seorang diri sejak dahulu."
"Apakah Mbah Remeng orang baru disini?" bertanya Kasadha.
Kedua anak itu nampak merenung. Tetapi yang sedang memperbaiki icir itu menjawab, "Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku tahu mbah Remeng sudah ada di rumahnya, di pinggir desa ini."
Kasadha dan Risangpun kemudian sekali lagi mengucapkan terima kasih sebelum mereka meninggalkan kedua orang anak itu. Namun sekali lagi Risang berpesan, "Jangan bermain-main lagi. Apalagi dengan pisau. Lihat, lampu sudah menyala di padukuhan."
"Kami akan ke sungai untuk membuka pliridan," jawab salah seorang anak itu.
Kasadha dan Risang tidak menyahut lagi. Sulit untuk melarang anak-anak yang mempunyai salah satu kesenangan. Termasuk membuat pliridan di sungai. Apalagi jika dengan pliridan itu mereka dapat menangkap banyak ikan sungai.
Namun seperti yang mereka rencanakan, maka Kasadha dan Risang akan datang ke rumah Ki Remeng di malam hari. Keduanya menduga bahwa pembicaraan tentang harta-benda berharga yang disembunyikan itu tentu tidak akan dapat berlangsung lancar. Tentu ada hambatan-hambatan yang mungkin justru menjadi keras.
Kasadha dan Risangpun sependapat, bahwa Ki Remeng tentu bukan orang kebanyakan. Namun mereka agak menyesal, bahwa mereka tidak sempat memperhatikan orang tua yang telah mereka sapa di sudut padukuhan.
"Kita menunggu sampai tengah malam," berkata Kasadha dengan dahi yang berkerut.
Sambil mengangguk Risang menjawab, "Kita akan keluar dari padukuhan lebih dahulu."
Keduanya memang tidak segera pergi ke rumah Ki Remeng. Tetapi keduanya justru keluar dari padukuhan menuju ke bulak panjang.
Ketika mereka melihat sebuah gubuk kecil di tengah-tengah bulak, maka merekapun mendekatinya. Setelah mereka yakin bahwa gubuk itu kosong, maka mereka telah naik dan menumpang beristirahat sambil menunggu tengah malam.
Angin yang dingin berhembus ke arah pegunungan. Daun padi yang hijau subur nampak gelisah sambil menggeliat digelitik oleh angin malam.
Kasadha dan Risang duduk memeluk lutut di dalam gubuk kecil yang kosong itu. Mereka mulai mereka-reka apa yang kira-kira bakal terjadi.
"Kita akan berusaha untuk tidak mempergunakan kekerasan," berkata Kasadha.
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan Ki Remeng dapat diajak untuk bekerja bersama."
Kasadha mengangguk-angguk pula. Namun anak muda itu tidak menjawab lagi. Sambil bersandar tiang bambu ia memandang ke kejauhan. Wajah malam yang hitam menyelubungi padukuhan Salam yang hanya nampak remang-remang.
Risangpun kemudian juga hanya berdiam diri. Di kejauhan sekelompok kunang berkerlipan hinggap di daun padi. Sementara malam menjadi semakin dingin, maka embunpun mulai membasahi dedaunan.
Di saat keduanya duduk terkantuk-kantuk, maka terdengar ayam jantan berkokok bersahutan di padukuhan. Berbareng Kasadha dan Risangpun mengangkat wajah mereka. Dengan nada rendah Risang berdesis, "Tengah malam, kau dengar kokok ayam itu?"
"Ya," sahut Kasadha yang beringsut menepi. Sejenak kemudian maka Kasadha itupun telah turun dari gubuk diikuti oleh Risang.
Demikian mereka membenahi pakaian mereka maka dari padukuhan terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk.
Kedua orang anak muda itupun segera bersiap. Mereka akan dapat menghadapi segala kemungkinan jika mereka kemudian menemui Ki Remeng di rumahnya.
Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka memang dapat langsung menuju ke bukit untuk melihat apakah harta benda itu memang ada atau tidak. Tetapi Ki Lurah Mertapraja berpesan kepada mereka, agar mereka bertemu dengan Ki Remeng.
Setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka keduanyapun dengan hati yang mantap melangkah menuju ke rumah orang yang disebut Ki Remeng. Bekas seorang pekatik di Madiun.
Keduanya memang tidak menemui kesulitan untuk sampai ke rumah orang tua itu sebagaimana ditunjukkan oleh anak-anak yang sedang bermain dengan icir mereka. Namun ketika mereka melangkah mendekati rumah itu, mereka telah mendengar langkah dari kejauhan. Ketajaman pendengaran mereka telah memperingatkan mereka, bahwa mereka akan berpapasan dengan tidak hanya seorang.
Dengan cepat keduanya meloncati dinding halaman di sisi jalan.
Namun dari atas bibir dinding halaman mereka melihat bahwa yang lewat adalah tiga orang anak-anak sambil membawa kepis. Agaknya anak-anak itu baru saja turun ke sungai untuk menutup pliridan mereka, karena dua di antara anak-anak itu adalah anak-anak yang mereka temui sedang memperbaiki icir mereka.
Kasadha dan Risang saling berpandangan sejenak. Namun keduanyapun tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Kasadha berdesis, "Anak-anak itu membuat jantungku berdebaran saja."
Demikianlah, maka Kasadha dan Risangpun segera melanjutkan langkah mereka menuju ke rumah Ki Remeng yang sudah tidak jauh lagi. Menurut anak-anak itu, maka beberapa puluh langkah lagi, mereka akan sampai ke sebuah rumah yang terletak di pinggir padukuhan Salam itu.
Ketika kemudian mereka berdiri di regol halaman rumah yang luas, mereka termangu-mangu sejenak. Tetapi anak-anak itu memang mengatakan bahwa halaman rumah Ki Remeng adalah halaman yang luas. Tetapi rumahnya hanyalah rumah yang kecil saja di tengah-tengah halaman dan kebun yang luas itu.
"Marilah," berkata Kasadha kemudian, "kita akan berbicara berterus-terang dengan Ki Remeng."
Risang mengangguk sambil berdesis, "Marilah."
Kedua orang anak muda itupun kemudian menyentuh pintu regol rumah Ki Remeng yang terbuat dari anyaman bambu. Ternyata pintu regol itu tidak diselarak, sehingga pintu lereg itupun telah didorong oleh Kasadha sehingga terbuka.
Dengan hati-hati keduanya memasuki halaman itu. Pintupun kembali ditutup dari dalam.
Halaman rumah Ki Remeng memang luas, sedangkan rumahnya yang kecil berada di tengah-tengah. Berbagai macam pohon buah-buahan telah tumbuh di halaman dan kebun di seputar rumahnya.
Namun langkah mereka tertegun ketika mereka mendekati pintu rumah orang tua itu. Beberapa langkah dari pintu rumah itu, mereka mendengar suara seseorang, "Selamat malam anak-anak muda. Aku sudah mengira bahwa kalian akan datang ke rumahku. Karena itu, maka aku telah menunggu meskipun aku harus kedinginan."
Baru kemudian Kasadha dan Risang-melihat seseorang duduk di sudut rumahnya di atas tikar sempit yang dibentangkan di bawah teritisan rumahnya.
"Ki Remeng," desis Kasadha dan Risang hampir berbareng.
Orang tua itupun kemudian berdiri dan melangkah ke pintu rumahnya. Sambil membuka pintu rumahnya iapun mempersilahkan, "Marilah anak-anak muda. Masuklah."
Kasadha dan Risangpun kemudian telah mengikuti orang tua itu masuk ke dalam rumahnya yang kecil. Sebuah amben yang lebar merupakan satu-satunya perabot rumah kecil Itu yang terdapat di ruang dalam.
Kasadha dan Risangpun kemudian duduk di amben itu pula bersama dengan Ki Remeng. Orang tua yang ditemui di sudut padukuhan di saat menjelang senja. Kepada orang tua itu pula mereka telah bertanya tentang Ki Remeng.
"Kalian tentu mendengar dari anak-anak yang bermain di tanggul parit itu," berkata Ki Remeng.
"Tidak," jawab Risang. "Aku mendapat keterangan dari orang lain. Seorang laki-laki tua sebaya dengan Ki Remeng."
Ki Remeng itu tertawa. Katanya, "Kau tidak usah melindungi anak-anak itu. Aku tidak berniat buruk terhadap mereka. Anak-anak itu justru kawan-kawanku yang paling akrab. Aku sadar bahwa anak-anak itu akan memberikan keterangan kepada kalian. Tetapi mereka sama sekali tidak aku anggap bersalah. Aku sama sekali tidak berniat mengajari anak-anak sebaya mereka untuk berbohong."
Kasadha dan Risang berpandangan sejenak. Namun Risang masih juga berkata, "Ki Remeng tidak usah mempersoalkan dari siapa aku mengetahui rumah Ki Remeng."
"Baiklah. Aku tidak akan mempersoalkannya, anak-anak muda. Aku hanya mengatakan bahwa anak-anak itulah yang memberitahukan kepadamu. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak akan berbuat apa-apa terhadap anak-anak itu. Mereka memang tidak bersalah sama sekali." Ki Remeng itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Maaf anak-anak muda, kedatangan anak-anak muda di padukuhan ini tentu bukannya tidak mempunyai maksud. Karena itu, katakan apakah maksud kalian mencari aku?"
"Baiklah kami langsung saja pada persoalannya, Ki Remeng," jawab Kasadha.
Namun kata-katanya terputus. Ki Remeng itupun berkata, "Aku memang lebih senang jika kalian berbicara langsung pada persoalannya. Aku sudah terlalu lama menunggu sehingga aku kedinginan. Akupun sudah mengantuk pula. Bahkan agaknya akupun sudah tahu, untuk apa kalian datang kemari."
Wajah Kasadha dan Risangpun menegang. Sejenak mereka berpandangan. Namun kemudian Kasadha itupun berkata, "Ki Remeng. Jika Ki Remeng telah mengetahui maksud kedatangan kami, maka agaknya aku tidak perlu mengatakannya. Aku tinggal menunggu tanggapan Ki Remeng saja."
"Jangan mengulur-ulur waktu, anak-anak muda. Katakan apakah maksudmu datang kemari. Meskipun aku sudah dapat menduga, tetapi aku minta kalian mengatakannya. Sebelum kalian mengatakannya, aku tidak akan membuat tanggapan apapun juga."
"Baiklah," berkata Kasadha. "Aku datang sebagai utusan Ki Lurah Mertapraja."
"Ki Lurah Mertapraja?" bertanya Ki Remeng. Namun orang itupun kemudian tertawa sambil berkata, "Bukankah tepat dugaanku. Pada saat-saat terakhir ini, ada beberapa orang yang telah datang menemui aku. Mereka mengaku apa saja dalam hubungannya dengan Ki Lurah Mertapraja. Tetapi jangan kau kira bahwa aku tidak mengetahui dimana Ki Lurah sekarang berada."
"Tentu Ki Remeng mengetahuinya," jawab Kasadha. "Bahkan banyak orang yang mengetahuinya Ki Lurah sekarang berada di Pajang. Ia menjadi tawanan prajurit Pajang."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Banyak orang yang mengetahui bahwa Ki Lurah sekarang tertawan. Mereka kemudian mengaku bahwa mereka sempat menghubungi Ki Lurah. Ki Lurah minta agar mereka menemui aku disini. Bukankah kau juga akan berkata demikian?"
"Ya. Aku juga akan berkata seperti itu. Tetapi ketahuilah Ki Remeng, bahwa aku adalah seseorang yang telah mendapat kepercayaannya. Aku tahu dimana Ki Mawur itu menyimpan harta-benda yang sangat berharga milik perguruan Wukir Gading itu. Ki Lurah telah memberitahukannya agar aku datang untuk mengambilnya dan mempergunakannya sebaik-baiknya. Terutama untuk bekal menemukan dan pengobatan Ki Mawur. Tetapi Ki Lurah minta aku berbicara dengan Ki Remeng, agar Ki Remeng tidak merasa terlampaui. Ki Remeng yang bekas pekatik itu sudah mendapat kepercayaan sekian lama menunggui harta-benda milik perguruan Wukir Gading itu."
Tetapi Ki Remeng masih saja tertawa. Katanya, "Kau tentu mendapat keterangan dari orang lain. Mungkin dari seorang prajurit Pajang yang telah memeras Ki Lurah dengan menyakitinya, sehingga karena tidak tahan, maka Ki Lurah telah menyebut namaku. Atau kau mendengar dari Ki Mawur yang terluka parah dan tidak diketahui dimana ia berada. Dengan seribu cara, maka kalian telah mendapat keterangan tentang harta-benda itu."
"Aku dapat mengerti sikap Ki Remeng. Tetapi mungkin Ki Remeng dapat meyakinkan kebenaran keteranganku. Mungkin Ki Remeng mempunyai beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan persoalan yang sedang kita bicarakan, Dengan demikian maka Ki Remeng akan mempercayai keteranganku."
"Anak-anak muda," berkata Ki Remeng kemudian, "aku minta kau urungkan niatmu. Beberapa orang telah datang menemui aku di rumah ini. Tetapi baiklah aku berterus terang bahwa di belakang rumah ini ada empat sosok mayat yang aku kuburkan tanpa diketahui oleh orang lain. Mereka memaksa aku untuk mengatakan dimana harta-benda itu disimpan."
Jantung kedua orang anak muda itu memang berdegup semakin cepat. Tetapi Risang yang harus menahan diri ini berkata, "Apakah Ki Remeng selalu membunuh orang yang datang ke rumah ini?"
"Tidak," jawab Ki Remeng. "Selama mereka tidak memaksa aku untuk mengatakan sesuatu yang aku tidak tahu. Apalagi mereka yang memaksa dengan kekerasan."
"Jika demikian ada bedanya dengan kami," berkata Risang selanjutnya, "kami sama sekali tidak ingin memaksa Ki Remeng untuk mengatakan tentang harta-benda milik perguruan Wukir Gading karena kami sudah mengetahuinya sesuai dengan petunjuk Ki Lurah Mertapraja. Karena itu jika aku datang, hanyalah sekedar untuk memberitahukan, bahwa kami akan mengambil harta-benda itu untuk kepentingan sebagaimana dipesankan oleh Ki Lurah Mertapraja. Karena Ki Lurah juga berpesan agar aku berhubungan dengan Ki Remeng, maka akupun telah memenuhi permintaan itu."
"Kalian tentu mendapat keterangan dari prajurit Pajang yang telah memeras keterangan Ki Lurah dengan cara yang paling keji seperti yang sudah aku katakan. Kemudian jika kalian berhasil, maka prajurit yang memeras keterangan dari Ki Lurah itu tentu akan mendapat bagian."
"Ki Remeng," desis Risang, "kau sudah mulai menghina Ki Lurah Mertapraja."
Ki Remeng terkejut. Dengan dahi berkerut ia bertanya, "Kenapa aku menghina Ki Lurah?"
"Kau kira jiwa Ki Lurah demikian lemahnya, sehingga ada cara untuk memeras keterangannya."
Wajah Ki Remeng justru termangu-mangu sejenak. Ia menyadari, bahwa hati Ki Lurah Mertapraja memang sekeras baja. Ia memang percaya bahwa dengan cara apapun akan sangat sulit untuk memeras keterangan dari mulut Ki Lurah, karena ia akan memilih mati daripada berbicara tentang harta-benda itu.
Namun kemudian iapun berkata, "Jika tidak, maka bagaimana mungkin kalian mendapat pesan itu dari Ki Lurah Mertapraja."
Risang tidak segera dapat menjawab. Namun Kasadhalah yang menyahut, "Aku adalah juru masak di lingkungan keprajuritan Pajang. Aku sering mendapat tugas untuk memberikan rangsum ke dalam bilik tahanannya. Semula aku tidak tahu, siapakah Ki Lurah Mertapraja itu. Namun justru Ki Lurah yang menyapaku. Ia melihat aku dengan heran. Aku tidak tahu kenapa ia menganggap bahwa aku tidak pantas menjadi juru masak. Menurut Ki Lurah, aku masih terlalu muda untuk bekerja di dapur. Karena itu, maka ia mencoba memberi aku kesempatan, untuk berkembang. Ia memberi tugas untuk mencari pamannya yang terluka parah. Aku juga bertugas untuk mengambil harta benda yang disimpannya di lereng bukit dan beberapa pesan yang lain. Namun aku juga diperintahkannya menemuimu. Ki Remeng."
Ki Remeng itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya dengan nada rendah, "Kau tidak mampu meyakinkan aku, anak muda. Jika Ki Lurah yang minta kepadamu untuk membantunya, siapakah yang memberitahu kepada Ki Lurah, bahwa pamannya terluka parah" Siapa pula yang memberitahukan keadaan yang terjadi di luar dinding tahanannya itu?"
Kasadha menggeleng. Katanya, "Dari mana aku tahu, Ki Remeng. Yang aku tahu, Ki Lurah memerintahkan aku untuk menemuimu. Kemudian akupun mengajak kakakku untuk datang ke rumah ini."
"Jadi kalian adalah dua orang bersaudara?" bertanya Ki Remeng.
"Ya," jawab Kasadha. "Beberapa orang justru menyangka bahwa akulah yang lebih tua. Tetapi sebenarnya akulah yang lebih muda. Mungkin karena aku selalu bekerja di dekat api sebagai juru masak, maka aku menjadi lebih hitam dan tampak lebih tua."
"Apa kerja kakakmu ini?" bertanya Ki Remeng.
"Ia mewarisi kerja ayah. Ia pedagang kerbau dan lembu," jawab Kasadha.
"Siapakah sebenarnya namamu?" bertanya Ki Remeng pula.
"Namaku Rantam. Kakakku namanya Umpat," jawab Kasadha.
Tetapi Ki Remeng itu menggeleng. Katanya, "Anak-anak muda. Sudahlah. Jangan mencoba membohongi aku. Ujud kalian tidak sesuai dengan nama yang kalian pakai. Lebih dari itu, aku tidak tahu apa yang kalian katakan."
Tetapi Kasadhapun menjawab, "Kaulah yang membohongi kami, Ki Remeng. Bagaimanapun juga aku dapat menelusuri kata-katamu yang simpang siur itu."
"Anak-anak muda. Hari-harimu menurut gelar lahiriahnya, masih panjang. Karena itu, jangan mencoba melibatkan diri ke dalam persoalan yang rumit. Seperti sudah aku katakan, aku sudah membunuh empat orang dan aku kuburkan di belakang. Itu sudah terlalu banyak. Jangan menambah bebanku lagi. Karena jika kalian memaksaku, aku akan mengubur dua sosok mayat lagi. Mayat anak-anak muda yang justru sedang berkembang."
Kasadha dan Risangpun berpandangan sejenak. Dengan nada berat Kasadhapun berkata, "Baiklah, Ki Remeng. Jika Ki Remeng tetap tidak mempercayai kami, biarlah kami melaksanakan tugas yang dibebankan dan dipercayakan oleh Ki Lurah kepada kami. Kami tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Ki Lurah itu. Sementara itu, kamipun tidak mau menjadi korban ketidak-percayaan Ki Remeng dan dikuburkan di kebun di belakang rumah Ki Remeng."
"Lalu apa yang akan kalian lakukan?" bertanya Ki Remeng.
"Kami menyesal telah singgah di rumah ini, karena ternyata Ki Remeng tidak mempercayai kami. Sekarang kami minta diri. Kami harus pergi ke bukit. Kami tidak mau didahului oleh siapapun juga, karena ternyata bahwa usaha Ki Mawur menyembunyikan harta-benda dari perguruan Wukir Gading itu sudah diketahui banyak orang pula, meskipun tempatnya ia menyembunyikannya masih tetap merupakan rahasia yang hanya kami ketahui selain Ki Remeng. Kamipun tidak mau Ki Remeng mendahului kami karena Ki Remeng ingin berkhianat kepada Ki Mawur dan Ki Lurah Mertapraja."
"Anak-anak muda. Ternyata kalian sudah mendapat ancar-ancar dimana harta-benda itu disimpan. Karena itu, maka untuk tetap menjaga kerahasiaan benda-benda berharga itu, maka apaboleh buat. Aku tidak mempunyai cara lain kecuali dengan membunuh kalian dan menguburkan kalian bersama empat sosok yang telah terlebih dahulu terbaring di kebun belakang," berkata Ki Remeng.
"Tetapi ingat Ki Remeng. Jika kau membunuhku, maka tugas yang dibebankan oleh Ki Lurah Mertapraja tidak akan pernah dapat kami lakukan. Apalagi menyelamatkan Ki Mawur yang terluka parah itu dan selanjutnya berusaha membebaskan Ki Lurah dengan cara apapun juga. Jika perlu kami dapat menyuap para perwira di Pajang sehingga mereka dapat memberi kesempatan Ki Lurah melarikan diri. Jika Ki Lurah kemudian sampai di Madiun, maka Ki Lurah tentu sudah selama. Nah, bayangkan apa yang akan terjadi dengan Ki Lurah yang memiliki kekayaan tidak terhingga. Sementara itu pamannya dapat diselamatkan dari luka-lukanya yang parah?"
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "anak-anak muda. Selama ini memang belum pernah ada orang yang datang kepadaku dengan keterangan selengkap itu. Juga belum ada orang yang dapat menyebut tempat persembunyian benda-benda berharga itu. Meskipun demikian, aku belum dapat mempercayaimu."
"Apakah Ki Remeng juga masih belum percaya kepada kami, jika kami dapat menyebut nama dua buah pusaka yang disimpan bersama dengan benda-benda berharga itu?"
Wajah Ki Remeng menegang. Namun iapun bertanya, "Pusaka-pusaka apa?"
"Kau jangan berpura-pura tidak tahu, Ki Remeng. Ki Lurah Mertapraja mengatakan bahwa di antara benda-benda berharga itu terdapat dua buah pusaka. Kiai Wisa Raditya dan perisai yang dinamai Nyi Lar Sasi," jawab Kasadha.
Wajah Ki Remeng menjadi semakin berkerut. Namun tiba-tiba iapun berkata, "Anak-anak muda. Kalian ternyata mengetahui banyak hal yang seharusnya dirahasiakan. Sementara itu, aku tetap tidak percaya bahwa kalian pernah berhubungan dan mendapat keterangan langsung dari Ki Lurah Mertapraja. Kalian tentu bagian dari orang-orang yang sedang menawan Ki Mawur. Memaksa orang yang terluka parah itu untuk mengatakan dimana ia menyimpan harta benda dan pusaka-pusaka itu. Karena itu, maka kalian berdua harus dibinasakan."
"Apakah menurut pendapatmu, ketahanan jiwani Ki Mawur itu demikian lemahnya sebagaimana kau sebut bahwa Ki Lurah telah menyebut persembunyian benda-benda berharga itu karena terpaksa oleh tekanan yang tidak tertahankan" Apakah memang demikian dangkal penilaianmu atas mereka?"
"Tidak. Tidak," Ki Remeng memang menjadi bingung.
Namun Kasadha itupun berkata, "Ki Remeng. Jika aku berniat berbuat tidak jujur. Buat apa aku datang kepadamu" Kenapa aku tidak langsung pergi ke tempat benda-benda berharga itu disembunyikan, mengambilnya dan membawanya pergi" Tetapi justru karena aku menghormati pesan Ki Lurah Mertapraja, maka aku telah datang kemari."
Ki Remeng itu terdiam sejenak. Wajahnya menjadi tegang. Sekali-sekali dipandanginya Kasadha dengan tajamnya. Namun kemudian diperhatikannya Risang dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Aku melihat kesungguhan di wajah kalian. Tetapi firasatku tetap mengatakan, bahwa kalian telah berbohong kepadaku. Jika tidak seluruhnya, juga sebagian dari padanya."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Jika demikian, maka sebaiknya kami berdua pergi. Kami akan langsung menuju ke bukit di lereng sebelah Selatan. Di antara dua batu terbesar di lereng bukit kecil itu tersimpan benda-benda berharga dan pusaka-pusaka itu."
"Kalian tidak akan pernah sampai kesana," geram Ki Remeng.
"Maksud Ki Remeng?" bertanya Kasadha.
"Sudah aku katakan, kalian terlalu banyak mengetahui. Karena itu, maka kalian harus dibungkam untuk selama-lamanya," sahut Ki Remeng.
"Apakah Ki Remeng sanggup melakukan atas kami berdua?" bertanya Kasadha.
"Apalagi kalian, anak-anak yang baru kemarin sore dapat bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Orang-orang yang mempunyai pengalaman dan bekal yang lengkappun telah aku selesaikan. Sekali lagi aku beritahukan bahwa empat orang berilmu tinggi telah aku kuburkan di belakang rumah ini."
"Jika Ki Remeng berhasil melakukan atas kami berdua, maka Ki Lurahpun akan mati karena pamannya akan mati lebih dahulu. Hidup Ki Lurah semata-mata bersandar tetapi juga diperuntukkan bagi pamannya. Ia tidak mempunyai seorangpun lagi di dunia ini selain pamannya. Isterinya dan anak-anaknya dianggapnya telah berkhianat pula. Dan sekarang, orang yang paling dipercaya, telah mengkhianatinya pula, karena ia telah membunuh orang-orang yang juga dipercayainya serta sedang mengemban tugasnya."
"Tidak. Tidak," Ki Remeng berteriak. "Jangan berbuat licik seperti itu."
"Aku tidak berbuat licik. Tetapi aku berkata sebenarnya."
"Cukup. Bersiaplah untuk mati," geram Ki Remeng.
"Sejak aku melihat kecurigaanmu, maka aku sudah bersiap. Sebenarnya aku hormati kau karena kau adalah kepercayaan Ki Lurah. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan membiarkan tubuh kami terbujur di belakang rumahmu ini," jawab Kasadha.
Tetapi Risangpun kemudian tertawa, "Kau memang aneh, Ki Remeng. Seandainya kita bertempur, maka salah seorang di antara kami akan dapat melarikan diri dan menyampaikannya kepada Ki Lurah, betapa orang kepercayaannya telah berkhianat."
"Tidak. Aku tidak berkhianat. Aku justru melindungi kepentingannya dan kepentingan Ki Mawur," bentak Ki Remeng.
"Jika demikian, terserah kepadamu. Seandainya kau akan berusaha membunuhku, maka akupun akan berbuat sebaliknya. Jika kau mati, maka tidak akan ada saksi. Sebagaimana kau berkhianat, maka akupun dapat berkhianat. Aku dan kakakku akan dapat memiliki benda-benda berharga itu bagi diri kami," berkata Kasadha.
"Persetan dengan kau," suara Ki Remeng menjadi gemetar. Namun nampak keragu-raguan pada sikapnya. Ia berdiri di persimpangan. Apakah ia akan percaya atau tidak.
Namun kemudian Ki Remeng itupun menggeram, "Keluarlah. Jika kalian memang ingin aku kuburkan di belakang rumahku sebagaimana keempat orang yang datang berurutan itu."
"Tidak. Kami sama sekali tidak menginginkannya. Tetapi kaulah yang memaksa apapun yang akan terjadi," jawab Risang.
"Diam. Diam kau. Aku akan mengoyak mulutmu," jawab Ki Remeng hampir berteriak, karena Ki Remeng ingin mengatasi suara yang mengumandang di dadanya. Suara yang mendesaknya untuk mempercayai kedua orang anak muda itu. Tetapi penalarannya tetap menolaknya. Ki Lurah tidak akan mungkin berbicara tentang benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu kepada orang yang baru dikenalnya. Apalagi ia merupakan bagian dari prajurit Pajang, meskipun sekedar juru masak. Sementara itu, Ki Remengpun sulit untuk dapat mempercayai bahwa anak muda itu adalah juru masak. Terasa dalam pembicaraan itu, bahwa anak yang mengaku bernama Rantam itu cukup cerdik, sementara penalarannya berputar dengan baik.
Namun demikian Ki Remengpun menjadi heran, bahwa anak muda itu mengetahui terlalu banyak tentang benda-benda berharga, tentang pusaka-pusaka yang tersimpan dan bahkan tentang keadaan keluarga Ki Lurah Mertapraja.
Tetapi Ki Remeng itupun kemudian berteriak pula, "Kalian harus mati anak-anak muda. Kalian terlalu cerdik bagi seorang juru masak."
"Apa hubungannya kecerdikan dengan pekerjaanku sebagai juru masak" Apa pula hubungan antara kecerdikan dengan pekerjaanmu sebagai pekatik" Pantaskah seorang pekatik memiliki kemampuan berfikir seperti kau, Ki Remeng. Bahkan ilmu yang sangat tinggi?"
"Persetan. Bersiaplah untuk mati anak-anak muda. Sebenarnya aku merasa sayang, bahwa aku harus memotong umurmu yang masih terlalu muda untuk mati. Tetapi apaboleh buat."
Kasadha dan Risangpun kemudian memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus turun ke halaman untuk melawan Ki Remeng yang dalam kebingungannya telah mengambil keputusan untuk menyelesaikan kedua orang anak muda itu.
"Ayo anak-anak muda. Jika kalian tidak mau menundukkan kepalamu untuk aku penggal lehermu, keluarlah. Kita akan mengadu betapa liatnya kulit kita dan betapa kerasnya tulang-tulang kita. Supaya tugasku cepat selesai, maka majulah kalian bersama-sama, sehingga dengan demikian aku akan dapat membunuh kalian bersama-sama pula."
"Baiklah Ki Remeng," jawab Kasadha, "kami akan bertempur di halaman."
Kasadha tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera menggamit Risang dan memberinya isyarat untuk turun ke halaman.
Sejenak kemudian, keduanya memang sudah berada di halaman. Betapapun gelapnya malam, namun ketajaman mata mereka mampu menembus dan melihat dengan jelas ketika Ki Remengpun turun pula ke halaman menyusul mereka.
Kedua belah pihakpun segera mempersiapkan diri, Kasadha dan Risang harus berhati-hati menghadapi orang tua yang tentu berilmu sangat tinggi itu. Mereka tidak mau kehilangan kesempatan karena mereka meremehkan pekatik tua itu. Karena itu, maka mereka memang akan menghadapi Ki Remeng itu bersama-sama. Apalagi mereka sama sekali tidak mempunyai gambaran, seberapa tinggi ilmu orang tua itu.
Ki Remeng yang ketika bertemu dengan Kasadha dan Risang di sudut padukuhan itu nampak sebagai seorang petani tua yang lemah, namun ketika ia berada di gelanggang, maka nampak betapa tegarnya tubuh orang itu. Ketuaannya seakan-akan telah lenyap sama sekali. Meskipun ujung rambutnya yang tergerai di bawah ikat kepalanya masih tetap putih, namun sikap dan geraknya sama sekali berbeda dengan petani tua di sudut padukuhan itu.
Kasadha dan Risangpun mulai mengambil jarak. Sekali-sekali Kasadha memandang Risang yang telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Risang. Masing-masing memang saling mencemaskan yang lain. Kasadha yang merasa telah menerima warisan tertinggi dari gurunya merasa bahwa dalam keadaan yang gawat ia harus melindungi Risang. Namun sebaliknya Risang yang merasa telah ditempa untuk mewarisi kemampuan puncak dari ketiga orang gurunya, tidak akan membiarkan saudaranya dalam kesulitan.
Ketika Ki Remeng mulai bergerak, maka kedua anak muda itupun bergeser pula. Ternyata gelapnya malam tidak mampu menutup penglihatan ketiga orang itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Remeng itupun mulai menyerang. Ketika tangannya terayun menggapai wajah Kasadha, maka Kasadhapun bergeser selangkah surut. Tetapi sambaran angin yang bergetar karena ayunan tangan Ki Remeng telah menampar kulit wajah Kasadha.
Kasadhapun bergeser pula setengah langkah sambil menggerakkan tangannya. Satu tangannya mengembang, tetapi tangannya yang lain berada di depan dadanya.
"Anak yang sombong," geram Ki Remeng. Namun sebelum Ki Remeng menyerang Kasadha, maka Risanglah yang telah menyerang. Kaki kanannya terjulur lurus ke arah lambung orang tua itu. Ketika Ki Remeng menghindari ke samping, maka dengan cepat Risang menyerang dengan putaran kakinya demikian ia meletakkan kaki kanannya.
Ki Remeng terkejut. Dengan tangkasnya ia bergeser surut. Serangan kaki melingkar itu hampir saja menampar keningnya.
"Anak iblis," gumam Ki Remeng.
Namun Ki Remeng tidak menunggu serangan lawannya yang masih muda itu. Dengan cepat, Ki Remengpun menyerang pula. Sasarannya bukan Risang. Tetapi Kasadha yang baru saja bergeser menyesuaikan diri.
Tetapi dengan tangkas Kasadha menghindar. Bahkan dengan cepat iapun membalas menyerang. Tangannya yang menebas ke arah kening, hampir saja mengenai sasarannya.
Tetapi Ki Remeng ternyata cukup tangkas. Dengan cepat ia memiringkan kepalanya, sehingga tangan Kasadha tidak menyentuhnya sama sekali.
Demikianlah Ki Remeng telah bergerak semakin cepat. Tidak lagi nampak sikapnya yang letih kehausan di sudut padukuhan. Yang sedang bertempur itu seakan-akan memang orang lain dari orang yang ditemui oleh kedua anak muda itu menjelang mereka memasuki padukuhan.
Semakin lama pertempuran itupun semakin meningkat pula. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka. Ki Remeng yang harus bertempur melawan kedua orang anak muda itu benar-benar menunjukkan dirinya sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi.
Namun ternyata kemampuan Ki Remeng itu sama sekali tidak menggetarkan jantung Kasadha dan Risang. Meskipun Kasadha masih saja mencemaskan Risang dan sebaliknya. Apalagi ketika Ki Remeng telah memanjat ke tataran ilmu yang semakin tinggi.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, serta lontaran-lontaran serangan yang mendebarkan dilambari dengan ilmu yang tinggi, justru Kasadha menjadi heran melihat kemampuan Risang. Sebaliknya Risangpun bertanya-tanya, betapa Kasadha mampu meningkatkan ilmunya pada tataran yang sangat tinggi.
Dengan kemampuan puncak masing-masing, maka Ki Remeng memang tidak banyak dapat berbuat atas kedua orang anak muda itu. Apalagi melawan keduanya. Untuk mengimbangi ilmu anak muda itu seorang demi seorang, Ki Remeng agaknya masih harus mengasah ilmunya lagi.
Untuk beberapa saat Ki Remeng masih bertahan. Dihentakkannya segala macam kemampuan yang dimilikinya. Ketika ia mendapat kesempatan, maka Ki Remeng telah menakupkan kedua telapak tangannya. Ketika kedua telapak tangannya itu digosokkannya yang satu dengan yang lain, maka asap tipis seakan-akan telah mengepul dari sela-sela kedua telapak tangannya itu.
Namun ketika ia meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah kening Kasadha, maka anak muda itu sama sekali tidak menghindarinya. Tetapi Kasadha telah membentur telapak tangan Ki Remeng itu dengan sisi kedua telapak tangannya yang sejajar, sehingga benturan yang keraspun telah terjadi.
Kasadha memang sedikit terguncang. Selangkah ia terdorong surut. Namun ia masih tetap tegak dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, Ki Remeng telah terlempar beberapa langkah. Bahkan orang tua itu telah jatuh terlentang. Namun orang itu demikian sigapnya. Demikian ia jatuh, maka iapun segera berguling dua kali ke belakang. Sekejap kemudian, maka iapun telah meloncat bangkit dan berdiri tegak.
Risang melihat akibat dari benturan itu dengan jantung yang berdebaran. Ia memang menjadi agak heran melihat benturan ilmu itu. Ia sadar bahwa tenaga dan kekuatan Ki Remeng dilandasi oleh kemampuannya yang tinggi, merupakan satu serangan yang sangat berbahaya. Bahkan mematikan. Namun Kasadha mampu membenturkannya dan justru mampu mendorong Ki Remeng sehingga orang tua itulah yang telah kehilangan keseimbangan. Sementara itu Kasadha hanya tergetar selangkah surut. Meskipun demikian, Risang juga melihat Kasadha kemudian berdiri tegak dan dengan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dengan mengatur pernafasannya, Kasadha berusaha mengatasi perasaan sakitnya.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Remeng telah sekali lagi memusatkan nalar budinya. Ia melupakan perasaan sakitnya. Meskipun tulang punggungnya bagaikan retak, namun dengan sisa kekuatannya yang terakhir ia telah menghentakkan kemampuan puncaknya. Satu hentakkan yang sangat kuat yang dilakukan sebagaimana telah dilakukannya terdahulu. Ketika Ki Remeng menakupkan telapak tangannya, maka di antara kedua telapak tangannya itu masih juga mengepul asap yang tipis.
Kasadhapun telah bersiap pula. Ia akan membentur kekuatan Ki Remeng sekali lagi, jika Ki Remeng itu meloncat menyerangnya.
Tetapi Ki Remeng tidak melakukannya atas Kasadha. Ki Remeng sadar, bahwa ilmunya tidak akan mampu memecahkan pertahanan Kasadha. Karena itu, maka sasaran serangannya kemudian adalah Risang yang mengaku bernama Limpat itu.
Tetapi Risangpun telah mempersiapkan dirinya dengan baik. Ketika Ki Remeng meloncat ke arahnya sambil mengayunkan tangannya ke arah kening Risang, maka Risang telah menyilangkan kedua tangannya pada pergelangan tangannya dengan telapak tangan terbuka dan jari yang merapat menghadap ke arah yang berlawanan.
Sekali lagi terjadi benturan yang sangat keras. Kasadha yang terkejut telah meloncat mendekat. Tetapi ia tidak sempat berusaha melindungi Risang, sementara itu ia tahu betapa besarnya kekuatan yang dihempaskan oleh pukulan tangan Ki Remeng yang berilmu tinggi itu.
Namun yang terjadi kemudian telah mengejutkan Kasadha. Kasadha memang melihat Risang terguncang. Tetapi ia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Meskipun tenaga dan kemampuan Ki Remeng telah menyusut setelah ia membenturkan ilmunya dengan kekuatan dan kemampuan ilmu Kasadha, namun serangan itu masih sangat berbahaya.
Tetapi ternyata Risang masih tetap tegak di tempatnya, meskipun ia harus berdesis menahan sakit di dadanya.
Sementara itu, akibatnya memang sangat buruk bagi Ki Remeng. Setelah ia terpelanting karena membentur pertahanan Kasadha yang tidak terpatahkan, maka sekali lagi ia membentur kekuatan yang tidak diduganya pula.
Ki Remeng itu ternyata telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun sekali lagi ia benar-benar tidak lagi mampu menjaga keseimbangannya. Sekali lagi Ki Remeng jatuh terbanting di tanah. Bahkan ketika Ki Remeng itu berusaha untuk bangkit, yang terdengar adalah keluhan tertahan.
Kasadha dan Risang tiba-tiba saja justru telah saling menilai kemampuan mereka masing-masing. Keduanya melihat satu loncatan yang panjang pada ilmu mereka. Kasadha tidak lagi melihat Risang dalam tataran ilmunya ketika ia bertempur di Tanah Perdikan Sembojan melawan orang-orang yang datang mengacaukan Tanah Perdikannya. Sebaliknya Risangpun melihat betapa Kasadha memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi. Jauh di atas kemampuan yang pernah dilihat sebelumnya.
Tetapi keduanya tidak sempat membuat penilaian lebih jauh. Keduanyapun telah menyimpan pertanyaan tentang peningkatan ilmu mereka masing-masing di dalam hati.
Yang mereka lakukan kemudian adalah melangkah dengan hati-hati mendekati Ki Remeng yang masih terbaring sambil menggeliat.
Kasadha dan Risang itupun kemudian telah berjongkok di sebelah menyebelah Ki Remeng. Dengan nada dalam Kasadha berdesis, "Ki Remeng."
Orang tua itu masih terdengar mengaduh perlahan.
"Tenanglah," berkata Risang kemudian.
Dengan suara yang bergetar Ki Remeng itupun berdesis, "Kenapa tidak kalian bunuh saja aku."
"Kami datang tidak untuk membunuhmu, Ki Remeng. Kami datang untuk melakukan tugas kami sebagaimana pesan Ki Lurah Mertapraja, yang sekarang berada di Pajang," desis Kasadha.
Ki Remeng berusaha mengatur pernafasannya sebaik-baiknya. Ia berbaring lurus dengan kedua tangannya yang diletakkannya di perutnya. Sementara Kasadha dan Risang hanya memandanginya dengan tegang.
Namun kemudian Ki Remeng itu berkata, "Bantu aku duduk anak-anak muda."
Berbareng Kasadha dan Risang telah membantu Ki Remeng yang berusaha untuk duduk.
Dengan kedua tangannya di dada, maka Ki Remeng duduk menyilangkan kakinya. Ditundukkannya wajahnya dengan mata terpejam. Ia sama sekali tidak peduli lagi terhadap kedua orang anak muda yang telah mengalahkannya, seandainya keduanya akan membunuhnya.
Dengan mengatur pernafasannya, maka Ki Remeng berusaha meningkatkan daya tahannya untuk mengatasi rasa sakit di dadanya.
Kasadha dan Risang memang membiarkannya. Mereka justru duduk beberapa langkah dari Ki Remeng. Keduanya sama sekali tidak mengganggunya.
Sementara itu, malampun merangkak menjelang fajar. Bintang-bintang sudah bergeser jauh dari tempatnya semula. Sementara itu, warna semburat mereka telah membayang di langit.
Beberapa saat kemudian, maka terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Bayang-bayang dedaunan menjadi semakin jelas. Demikian pula pepohonan di halaman dan kebun Ki Remeng yang luas itu.
Kasadha dan Risang sempat memperhatikan keadaan di sekeliling rumah itu. Untunglah bahwa halaman dan kebun rumah Ki Remeng cukup luas. Demikian pula halaman dan kebun tetangga-tetangganya sehingga tidak seorangpun yang mendengar keributan yang terjadi di halaman rumah kecil itu.
Beberapa saat kemudian, menjelang terang tanah, Ki Remeng itupun mulai mengangkat wajahnya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya seakan-akan seluruh isi dadanya hendak dikosongkannya.
Setelah beberapa kali hal itu dilakukan, maka iapun kemudian bertanya sekali lagi dengan suaranya yang dalam, "Anak-anak muda, kenapa kalian tidak membunuh aku saja."
Kasadha dan Risangpun justru bangkit dan melangkah mendekat. Sambil berjongkok di sebelahnya Kasadha berkata, "Sudah aku katakan pula Ki Remeng. Kami tidak datang untuk membunuh. Kami datang untuk menjalankan perintah Ki Lurah Mertapraja."
"Apakah kalian berkata sejujurnya?" bertanya Ki Remeng.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Sebagian yang aku katakan adalah benar. Tetapi sebagian memang tidak."
"Aku sudah mengira. Karena itulah maka kalian telah membuat aku ragu-ragu," desis Ki Remeng yang sudah berhasil mengatasi sebagian rasa sakitnya.
"Tetapi bahwa Ki Lurah minta kami menyelamatkan pamannya adalah benar. Dan kami benar-benar akan melakukannya. Semata-mata atas dasar perikemanusiaan. Kami tahu bahwa Ki Lurah Mertapraja bukan seorang yang sangat jahat. Tetapi ia adalah seorang yang terlempar dari kebahagiaan hidup sebuah keluarga karena kemiskinan pribadi meskipun ia berkecukupan yang disebabkan oleh cacatnya, sehingga Ki Lurah itu di rumahnya selalu dibayangi oleh perasaan rendah diri. Tetapi berlawanan dengan kehidupannya di lingkungan keluarganya, maka ia adalah harimau yang garang di lingkungan keprajuritan serta seorang yang menggantungkan nafsu kuasanya pada bintang di langit."
"Yang kau katakan itu benar," desis Ki Remeng.
"Bukan hanya itu. Tetapi juga letak benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu," sambung Kasadha.
"Ya. Kau benar pula," Ki Remeng mengangguk-angguk.
"Selain itu maka Ki Lurah memang berpesan agar aku datang kepada Ki Remeng serta permintaannya agar kami berusaha membebaskan pamannya," berkata Kasadha. Lalu katanya, "Nah, apakah Ki Remeng percaya."
"Aku percaya anak muda. Tetapi yang lain tidak. Aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang juru masak. Aku percaya bahwa namamu Rantam dan nama kakakmu Limpat."
"Ia memang kakakku. Itu kebenaran," sahut Kasadha.
"Aku percaya karena ujud kalian memang mirip sekali," berkata Ki Remeng. Lalu katanya pula, "Bahwa di antara ceritera kalian ada yang tidak benar itulah yang telah membuat aku ragu-ragu. Jika kalian benar-benar jujur, kenapa kalian masih harus berbohong meskipun hanya sebagian?"
"Baiklah," berkata Kasadha. "Yang akan aku katakan hanyalah yang benar dan yang Ki Remeng anggap benar. Yang lain tidak akan aku singgung lagi, meskipun aku berkata dengan jujur, bahwa memang ada bagian-bagian yang tidak benar."
"Baiklah anak-anak muda. Apapun yang kalian lakukan, tetapi aku sudah kalah. Bahkan kalian berhak membunuh aku, karena aku sudah berniat membunuh kalian," berkata Ki Remeng.
"Aku tidak akan membunuhmu, karena Ki Lurah tidak berpesan seperti itu. Bahkan Ki Lurah berpesan agar kau ikut serta mengambil dan menyelamatkan benda-benda berharga itu," sahut Kasadha.
"Aku tidak dapat menolak lagi. Hidupku kini sudah bukan milikku lagi," jawab orang tua itu.
"Baiklah Ki Remeng," berkata Kasadha kemudian. "Jika demikian, maka apakah Ki Remeng tidak berkeberatan jika kami berdua beristirahat di rumah Ki Remeng sampai besok sore. Besok sore kita bersama-sama akan pergi ke bukit itu."
"Silahkan anak-anak muda. Aku tentu tidak akan berkeberatan. Apalagi hanya sekedar numpang beristirahat di rumah ini sampai besok sore. Kalian ambilpun aku tidak akan dapat menolak."
"Jangan berkata begitu Ki Remeng. Kami akan merasa kecewa, karena kami tidak melihat keikhlasan Ki Remeng. Ki Remeng hanya didorong oleh perasaan kecewa karena Ki Remeng tidak berhasil membunuh kami berdua dan menguburkan di sebelah jajaran sosok tubuh orang-orang yang telah kau bunuh. Mungkin kuburan itu pada suatu saat akan dapat menjadi kebanggaan Ki Remeng, bahwa Ki Remeng telah berhasil membunuh orang-orang berilmu tinggi dan menguburkannya berjajar di belakang rumah Ki Remeng."
"Tidak anak-anak muda. Tidak. Sama sekali tidak," sahut Ki Remeng dengan serta-merta.
"Jika demikian aku tidak senang dengan sikap Ki Remeng itu," berkata Kasadha.
"Baiklah. Jika demikian aku mohon maaf," desis orang tua itu.
Demikianlah, maka Ki Remengpun telah mempersilahkan Kasadha dan Risang untuk beristirahat di rumah itu. Namun demikian, kedua orang anak muda itu cukup berhati-hati, bergantian mereka mandi dan berbenah diri. Ketika kemudian Ki Remeng minta ijin untuk berada di dapur, menjerang air untuk minum serta menanak nasi, maka Kasadha dan Risang bergantian membantunya sekaligus mengawasinya.
Demikianlah sehari itu Kasadha dan Risang memang berada di rumah Ki Remeng. Kedua anak muda itu telah melihat pula, empat pertanda tempat Ki Remeng menguburkan orang-orang yang pernah dibunuhnya. Meskipun tidak nampak gundukan tanah sebagaimana terdapat di kuburan, namun Ki Remeng telah memberinya tanda yang hanya diketahuinya sendiri. Di atas kuburan itu Ki Remeng telah meletakkan sebuah batu yang cukup besar serta ditanamnya batang-batang sembojan di atasnya.
Kedua anak muda itu memang menjadi berdebar-debar. Jika mereka tidak berhasil mempertahankan diri, maka mereka berdua juga akan terbujur di sebelahnya pula.
Dengan singkat Ki Remeng juga menceriterakan keempat orang yang datang tidak bersama-sama. Seorang demi seorang. Kebanyakan dari mereka ternyata hanya menduga-duga saja bahwa Ki Remeng mengetahui tempat benda-benda berharga itu disembunyikan.
"Aku membunuh mereka semata-mata karena aku mempertahankan diri," berkata orang tua itu. "Mereka memaksa aku untuk mengatakan dimana benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu disembunyikan."
"Bukankah kami berdua tidak memaksa Ki Remeng untuk mengatakan sebagaimana orang-orang itu" Tetapi kenapa Ki Remeng juga akan membunuh kami?" bertanya Risang.
"Sudahlah Ngger," desis Ki Remeng. "Jika hal itu tidak kautanyakan kepadaku, maka aku merasa bahwa aku memang tidak berhak lagi untuk tetap hidup."
"kami hanya ingin mengetahui, apakah benar Ki Remeng membunuh orang-orang itu karena mempertahankan diri?" sahut Risang.
"Benar anak muda. Tetapi jika aku ingin membunuhmu itu, karena kalian terlalu banyak mengetahui."
Risang tidak bertanya lagi tentang keempat orang yang telah terbunuh itu. Tetapi Risang dan Kasadha mulai bertanya tentang paman Ki Lurah Mertapraja.
"Aku berkata sebenarnya anak-anak muda, bahwa aku tidak tahu pasti dimana Ki Mawur itu berada. Tetapi aku yakin bahwa ia berada di tangan orang-orang yang telah berkhianat terhadap perguruan Wukir Gading itu," jawab Ki Remeng.
"Apakah Ki Remeng sama sekali tidak mempunyai gambaran, dimana mereka berada?" bertanya Kasadha.
"Tidak. Tetapi jika anak-anak muda bersungguh-sungguh untuk membebaskan Ki Mawur, maka aku akan bersedia membantu. Namun kalian harus menyadari, bahwa kita akan berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi."
"Apakah menurut perhitungan Ki Remeng kita tidak akan mampu menghadapi mereka?" bertanya Kasadha.
"Kalian berdua memang berilmu tinggi. Tetapi yang aku tidak tahu, berapa orang yang harus kita hadapi," berkata Ki Remeng.
"Aku berkata sesungguhnya, bahwa Ki Lurah Mertapraja benar-benar berharap bahwa pamannya dapat diselamatkan. Bagi Ki Lurah, maka nilai pamannya itu baginya, jauh lebih tinggi dari benda-benda berharga yang telah diberitahukannya kepadaku. Juga lebih tinggi dari pusaka-pusaka yang disebutnya berasal dari langit itu. Bahkan segala macam cita-cita dan jabatan yang diinginkannya. Karena itu, kami benar-benar ingin menolongnya."
Ki Remeng memandang kedua orang anak muda itu dengan ragu-ragu. Sementara Kasadha menjelaskan, "Ki Remeng. Jika kami adalah orang-orang tamak yang hanya mementingkan harta-benda, maka bagi kami segalanya sudah dapat kami lakukan. Tanpa datang kepada Ki Remeng dan tanpa berusaha menemukan Ki Mawur. Jika hal ini aku katakan, sebenarnya aku ingin meyakinkan Ki Remeng, bahwa kedatangan kami kemari bukan semata-mata karena ketamakan kami. Sebenarnyalah kami yakin bahwa ada yang bernilai lebih tinggi dari harta-benda yang seberapapun banyaknya."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Katanya, "Aku menyesal sekali akan sikapku terhadap kalian anak-anak muda, meskipun aku belum tahu pasti, apakah yang sebenarnya sedang kalian lakukan. Karena aku masih merasa bahwa ada hal-hal yang kalian sembunyikan."
"Kau benar Ki Remeng. Tetapi nanti malam setelah kita berada dibukit, maka semuanya akan menjadi jelas bagimu. Tidak akan ada lagi yang tersembunyi. Senang atau tidak senang, kau akan melihat satu kenyataan. Tetapi jika kau benar-benar ingin melihat Ki Lurah Mertapraja selamat dan dalam keadaan baik, maka kau tidak mempunyai pilihan lain kecuali membantu kami menemukan benda-benda berharga itu serta melepaskan Ki Mawur dari tangan orang-orang yang sudah memberontak dan menangkapnya saat ia berada dalam keadaan parah."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Ia memang menyadari kedudukannya, bahwa ia tidak akan dapat melawan kehendak kedua orang anak muda yang masing-masing mampu meredam ilmunya yang tertinggi.
Ketika kemudian matahari bergeser dan turun di arah Barat, Kasadha dan Risangpun segera bersiap-siap untuk pergi ke bukit. Keduanya juga mempersilahkan Ki Remeng untuk bersiap-siap, karena mereka akan melihat apakah harta-benda yang dipersoalkan itu memang ada.
Demikianlah, sedikit lewat senja, ketika orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Remeng untuk menuju ke bukit kecil di tengah-tengah padang perdu itu. Di atas bukit kecil itu di lereng berbatu-batu tersimpan harta-benda yang tidak terhingga nilainya serta sepasang pusaka yang dianggap sangat berharga karena pusaka-pusaka itu telah diturunkan dari langit.
Seperti yang direncanakan, maka Kasadha dan Risang telah sepakat akan bertemu dengan Sambi Wulung, Jati Wulung dan pemimpin kelompok prajurit dari Pajang itu.
Demikian Kasadha bertiga keluar dari padukuhan, merekapun segera berjalan menyusuri jalan bulak yang panjang. Kemudian mereka memasuki padang rumput, lalu merekapun memasuki sebuah padang perdu.
Dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung dan pemimpin kelompok itu ternyata telah berada di sebelah Barat bukit sebagaimana direncanakan. Jika tidak mungkin, maka mereka akan menunggu di sebelah Selatan bukit.
Namun ternyata bahwa menurut Sambi Wulung, tidak ada sesuatu yang perlu dicemaskan jika mereka berada di sebelah Barat bukit.
Demikianlah ketiga orang itu telah menunggu sambil duduk di atas bebatuan. Bahkan Jati Wulung yang berada di atas batu yang besar, telah membaringkan dirinya. Rasa-rasanya tulang belakangnya terasa pegal-pegal setelah sehari-harian berjalan hilir mudik sehingga akhirnya mereka berada di sebelah Barat bukit kecil itu.
Namun Jati Wulung itu tiba-tiba telah berguling dan dengan tangkasnya turun dan berjongkok di balik batu itu. Sementara Sambi Wulung dan pemimpin kelompok itupun berusaha untuk bergeser ke belakang batang-batang perdu.
Mereka ternyata telah mendengar langkah kaki-kaki beberapa orang yang mendekati tempat mereka.
Namun tiba-tiba saja langkah itu terhenti. Tidak lagi terdengar suara apapun, sehingga bukit kecil dan sekitarnya itu menjadi sunyi hening.
Baru sejenak kemudian terdengar bunyi burung hantu yang terdengar ngelangut di sepinya malam.
Tetapi suara burung hantu itu ternyata telah disahut oleh derik bilalang berkepanjangan.
Dengan demikian maka baik Kasadha, maupun Sambi Wulung menjadi saling mengenal, siapakah yang sedang menunggu dan siapakah yang sedang lewat.
Beberapa saat kemudian, maka dua kelompok kecil yang masing-masing terdiri dari tiga orang itupun telah bertemu.
Ki Remeng memang menjadi curiga, bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki akan terjadi. Apalagi ketika Kasadha bertanya, "Ki Remeng. Apakah belum ada sosok tubuh yang dikuburkan disini?"
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Sepengetahuanku belum anak muda."
"Bagaimana pendapatmu jika di kaki bukit ini juga dikubur sesosok tubuh yang beku?"
Jawab Ki Remeng memang mengejutkan. Demikian pasrahnya ia kepada keadaan, sehingga yang terbayang di mata Kasadha dan Risang adalah orang tua yang tertatih-tatih dan keletihan berjalan di sudut padukuhan setelah bekerja sehari-harian di sawahnya. Sehingga dengan demikian, maka Ki Remeng yang hadir di kaki bukit itu adalah bukan Ki Remeng yang tegar dan garang, yang mengubur empat orang yang telah dibunuhnya di belakang rumahnya. Tetapi kembali sosok orang yang ditemuinya di sudut padukuhan.
Dengan nada rendah Ki Remeng itu menjawab, "Anak-anak muda. Apapun yang akan kau lakukan atas aku dan atas harta-benda berharga itu akan dapat kalian lakukan. Membunuh aku, kemudian mengambil benda-benda berharga itu. Bukankah aku tidak akan dapat melawan" Namun demikian, masih ada satu permintaanku justru sebagaimana yang kalian janjikan, bahwa aku akan mengetahui segala-galanya jika aku sudah berada disini. Mungkin rencana kalian, setelah memberikan pengakuan itu, kalian akan menyingkirkan aku untuk selama-lamanya, agar aku tidak dapat berbicara lagi kepada siapapun dan tentang apapun."
"Kau masih saja curiga, Ki Remeng," jawab Kasadha. "Sudah aku katakan, bahwa kita akan bersama-sama membebaskan paman dari Ki Lurah Mertapraja itu."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara apapun. Matanya yang redup memandang bukit kecil berbatu-batu itu. Bukit yang sudah beberapa lama ditungguinya, karena di dalamnya tersimpan benda-benda berharga serta pusaka-pusaka yang dipercayainya akan dapat mengangkat derajat perguruan Wukir Gading.
Namun Ki Remengpun harus melihat kenyataan, bahwa di dalam tubuh perguruan Wukir Gading sendiri telah terjadi benturan sikap dari para pendukungnya.
Dalam pada itu, maka Kasadhapun berkata, "Ki Remeng. Aku akan menepati janjiku. Aku akan mengatakan yang sebenarnya tentang kami dan tugas-tugas kami."
Ki Remeng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berdiam diri.
Merekapun kemudian telah duduk di atas bebatuan. Dengan hati-hati Kasadhapun telah menjelaskan apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Ia tidak menyembunyikan kenyataan tentang dirinya dan tentang Risang serta orang-orang yang datang bersamanya.
Ki Remeng mengangguk-angguk kecil. Ternyata ia telah berhadapan dengan sekelompok kekuatan yang datang dari Pajang. Kekuatan yang tidak mampu diatasinya.
Tetapi satu hal yang membesarkan hatinya, bahwa anak-anak muda yang justru memimpin sekelompok petugas dari Pajang itu bukan orang-orang yang berhati batu. Mereka masih mendengarkan panggilan nurani mereka. Mereka bukan saja menjalankan tugas, tetapi mereka benar-benar berniat membebaskan Ki Mawur yang berada di tangan orang-orang yang telah memberontak terhadap pimpinan perguruan Wukir Gading.
Ki Remengpun percaya bahwa niat itu bukannya termasuk tugas yang dibebankan kepada mereka oleh para pemimpin di Pajang. Tetapi semata-mata karena mereka berniat untuk membantu memperingan penderitaan Ki Lurah Mertapraja.
Meskipun Ki Lurah itu seorang tawanan bagi mereka, namun mereka tidak sampai hati membiarkan Ki Lurah itu menderita berkepanjangan.
"Bagaimana pendapatmu Ki Remeng," tiba-tiba Kasadha bertanya dengan nada berat.
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku berhadapan dengan satu kenyataan. Tetapi bagiku, rencana kalian untuk membebaskan Ki Mawur adalah rencana yang didorong oleh rasa kemanusiaan yang tinggi itu membesarkan hatiku."
"Bagaimana pendapat Ki Remeng tentang sikap Pajang?" bertanya Kasadha pula.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut jalan pikiran para pemimpin di Pajang, sikap itu wajar sekali," jawab Ki Remeng.
"Apakah Ki Remeng masih tetap pada pendirian Ki Remeng untuk membantu kami melepaskan Ki Mawur dari tangan orang-orang yang telah menangkapnya?"
"Ya," jawab Ki Remeng. "Aku membayangkan satu penderitaan yang berkepanjangan. Orang-orang yang menawannya itu tentu berusaha untuk memeras keterangannya, sementara ia dalam keadaan yang sangat lemah. Aku yakin bahwa Ki Mawur akan tetap merahasiakan tempat benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu disembunyikan. Tetapi dalam keadaan antara sadar dan tidak dapat saja di luar kehendaknya, meluncur nama-nama yang bersangkutan dengan benda-benda berharga itu. Karena itu, pernah datang beberapa orang yang memaksaku untuk berbicara tentang benda-benda berharga itu."
"Jika demikian, baiklah. Kami akan meneruskan segala rencana kami. Kami akan memindahkan benda-benda itu dari tempatnya, karena kami masih belum akan langsung kembali meninggalkan tempat ini. Kami masih harus mencari orang yang bernama Ki Mawur dan membawanya ke Pajang, Jika Ki Mawur itu dapat diselamatkan, maka hal itu akan banyak berarti, bukan saja bagi Ki Lurah Mertapraja, tetapi juga tentang banyak hal, terutama yang menyangkut orang-orang Wukir Gading."
"Apakah benda-benda berharga dan pusaka-pusaka itu akan dipindahkan?" bertanya Ki Remeng.
"Ya," jawab Kasadha.
"Apakah menurut pendapat kalian, memindahkan benda-benda berharga itu akan menjadi lebih baik bagi keselamatan benda-benda berharga itu?" bertanya Ki Remeng.
"Menurut pendapatku memang demikian," jawab Kasadha. "Setidak-tidaknya Ki Mawur tidak akan dapat menunjukkan tempatnya jika di luar sadarnya ia berbicara tentang benda-benda itu. Aku yakin, dalam keadaan sadar ia tidak akan mengatakannya betapapun tingkat penderitaan yang dialaminya. Tetapi seseorang akan dapat kehilangan kesadarannya sesaat jika ia berada dalam keadaan yang parah. Panasnya dapat meninggi, sehingga kehilangan kendali atas kata-kata yang diucapkannya."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Sementara itu Risangpun bertanya, "Menurut pendapat Ki Remeng, apakah kita akan mengalami kesulitan untuk memindahkan benda-benda berharga itu?"
Ki Remeng menggeleng. Katanya, "Tidak. Benda-benda berharga itu ada di dalam beberapa peti yang tidak terlalu besar, sehingga kita masing-masing akan dapat membawa satu peti."
"Baiklah," berkata Kasadha. "Kita akan mencari tempat yang paling baik untuk menyimpan benda-benda berharga itu. Sebelum matahari terbit, kita harus sudah dapat menyelesaikan pekerjaan kita."
Ki Remeng mengangguk mengiakan. Namun kemudian katanya, "Apakah rencana kalian akan memindahkan benda-benda berharga itu di tempat yang jauh, atau sekedar beringsut dari tempatnya?"
"Untuk sementara, kita akan menggeser saja benda-benda berharga itu. Tetapi untuk selanjutnya kita harus benar-benar mengamankannya," jawab Kasadha.
Ki Remeng mengangguk-angguk, sementara Risang bertanya, "Apakah Ki Remeng mengetahui tempat yang terbaik untuk memindahkan benda-benda berharga itu?"
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, "Di sekitar tempat ini lingkungannya hampir sama. Hutan perdu dan tanah berbatu-batu."
"Marilah Ki Remeng," berkata Risang, "kita akan melihat-lihat."
Ki Remeng memang tidak dapat menolak. Bersama Kasadha dan Risang, Ki Remengpun menelusuri sela-sela pohon perlu untuk mencari tempat yang terbaik yang akan dipergunakan untuk memindahkan benda-benda berharga yang akan digali dari lereng bukit itu, sementara Sambi Wulung dan kedua orang yang lain tetap berada di tempat mereka sambil mengawasi keadaan.
Baru beberapa saat kemudian Kasadha dan Risang menemukan tempat yang baik. Di sela-sela bongkah-bongkah padas yang ditandai oleh sebatang pohon ketapang yang kira-kira berjarak duapuluh langkah serta di sisi yang lain terdapat sebuah batu yang sangat besar yang nampaknya sulit untuk dipindahkan, mereka berpendapat, bahwa tempat itu merupakan tempat yang sesuai.
Demikianlah, maka merekapun segera memutuskan untuk memindahkan benda-benda berharga malam itu juga.
"Apakah kita mempunyai alat untuk menggali tanah di lereng bukit kecil dan kemudian menggali tempat untuk memindahkan peti-peti itu?" bertanya Ki Remeng.
"Kami sudah memperhitungkannya, Ki Remeng," jawab Kasadha. "Paman Sambi Wulung dan Jati Wulung tentu sudah menyediakannya."
Ki Remeng mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak bertanya lagi.
Kasadhapun tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian telah minta semua orang yang datang bersamanya untuk menggali benda-benda berharga yang disembunyikan.
Ki Remeng yang ingin meyakinkan dirinya, sengaja tidak menyatakan sesuatu tentang tempat persembunyian benda-benda berharga itu. Namun ternyata bahwa Kasadha dan orang-orang yang datang bersamanya itu benar-benar mengetahui dengan pasti, dimana benda-benda itu disembunyikan.
"Mereka tidak berbohong," berkata Ki Remeng di dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah tenggelam dalam kerja. Mereka telah menggali tanah yang tidak terlalu keras. Meskipun tempat itu berbatu-batu padas, namun agaknya karena tempat itu memang pernah digali, sehingga tanah yang kemudian ditimbunkan kembali tidak lagi terlalu keras.
Namun ternyata galian tanah tempat benda-benda berharga itu disembunyikan cukup dalam. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu cukup lama untuk menggali kembali peti-peti yang disembunyikan di tempat itu.
Berganti-ganti mereka turun ke dalam lubang galian itu. Bahkan Ki Remengpun ikut pula turun membantu menggali.
"Apakah peti-peti itu memang disimpan sangat dalam atau bahkan sudah berhasil diketemukan orang lain?" bertanya Kasadha di luar sadarnya.
"Tidak anak muda," sahut Ki Remeng. "Aku ikut menggali lubang ini pula saat peti-peti itu disembunyikan. Hanya ada empat orang saat itu. Aku, Ki Mawur, Ki Lurah Mertapraja dan Pemimpin Padepokan Wukir Gading itu sendiri."
"Tetapi dari mana orang-orang yang datang ke rumahmu mengetahui bahwa kau terlibat dalam usaha menyimpan peti-peti itu?" bertanya Risang.
"Aku sependapat dengan kalian. Dalam keadaan tidak sadar karena luka-lukanya yang parah, mungkin karena panasnya meninggi atau karena sebab-sebab lain, Ki Mawur pernah menyebut namaku," jawab Ki Remeng.
"Bahkan mungkin tempat ini," desis Kasadha. Tetapi Ki Remeng menyahut, "Masih beberapa jengkal lagi. Sudah aku katakan, aku ikut menggali."
Kasadha dan Risang tidak bertanya lagi. Namun merekapun bekerja semakin keras bergantian.
Ketika Kasadha dan Risang mulai menjadi gelisah, maka tiba-tiba cangkul yang mereka pergunakan telah menyentuh sesuatu. Kasadha yang kebetulan mengayunkan cangkul itu justru terkejut. Di luar sadarnya ia berdesis, "Agaknya kita akan segera mendapatkannya."
Dengan demikian, maka mereka yang menggali lubang yang cukup besar itu menjadi semakin berpengharapan bahwa kerja mereka tidak sia-sia.
Sebenarnyalah bahwa akhirnya mereka telah menemukan setumpuk peti kayu yang berisikan benda-benda berharga itu. Bahkan merekapun telah menemukan sebuah peti kayu yang panjang. Dengan segera mereka mengetahui bahwa peti yang panjang itu adalah peti yang dipergunakan untuk menyimpan pusaka tertinggi milik perguruan Wukir Gading. Demikian pula ketika mereka menemukan peti yang besar tetapi pipih. Tentu peti tempat menyimpan perisai yang disebut Nyai Lar Sasi.
Meskipun sudah mulai merapuh, namun peti-peti itu masih cukup kuat bertahan beberapa waktu lagi. Sehingga untuk sementara mereka yang menggali benda-benda berharga itu masih belum perlu memikirkan untuk mengganti peti-petinya.
Satu-persatu mereka telah mengangkat peti-peti itu dan menaruhnya di sebelah lubang yang besar yang telah mereka gali. Sementara itu malam sudah menjadi semakin dalam. Sedangkan pekerjaan mereka masih cukup banyak. Mereka harus mengangkat dan membawa peti-peti itu, sementara mereka masih harus menggali lubang yang baru. Meskipun tidak sedalam lubang itu, namun lubang itu memang tidak boleh terlalu dangkal.
Ketika peti-peti itu semuanya sudah terangkat, serta keenam orang yang akan memindahkan peti-peti itu sudah berkerumun, maka Kasadhapun berkata, "Kita akan membuka satu dari antara peti-peti itu untuk melihat isinya. Sebelum kita bekerja keras memindahkan peti-peti itu, kita harus yakin, bahwa isinya memang cukup berharga."
Tidak seorangpun yang menolak. Bahkan Ki Remeng juga tidak, meskipun ia tahu pasti, bahwa isi peti-peti itu adalah barang-barang berharga.
Karena itu, maka Kasadhapun telah membuka satu di antara peti-peti kayu itu. Disaksikan oleh lima orang yang lain, maka Kasadha ingin meyakinkan, apa yang tersimpan di dalam peti-peti itu.
Ketika peti itu terbuka, maka orang-orang yang berjongkok melingkar itu harus menahan nafasnya kecuali Ki Remeng yang memang sebelumnya sudah lebih dulu mengetahui apakah isinya.
Di dalam peti itu terdapat berbagai macam perhiasan yang terbuat dari emas dan berlian. Meskipun di dalam kegelapan malam, ternyata permata yang terdapat di peti itu sempat berkilat memantulkan cahaya bintang yang berkeredipan di langit.
"Kita sekarang harus mempercayai, bahwa yang dikatakan oleh Ki Lurah itu bukan sekedar igauannya. Benda-benda berharga ini memang benar-benar ada," berkata Kasadha.
"Aku mengetahui isi dari peti-peti itu," berkata Ki Remeng. "Salah satu di antara peti-peti itu berisi bukan perhiasan. Tetapi terdiri dari berjenis senjata. Keris, cundrik, luwuk, patrem dan sebagainya. Pendok serta sarungnya terbuat dari emas yang ditretes dengan permata, sehingga harganya menjadi sangat mahal."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Benda-benda berharga ini nilainya memang sangat tinggi, sehingga beberapa pihak telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendapatkannya."
"Anak-anak muda," berkata Ki Remeng dengan nada yang berat. "Ketika aku tumbuh menjadi seorang remaja, aku sama sekali tidak pernah berpikir, bahwa pada suatu saat aku harus membunuh sesama. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa aku akhirnya memang menjadi seorang pembunuh. Ketika aku mulai memasuki perguruan, maka jalan ke arah itu sudah terasa. Ternyata bahwa setelah aku menjadi semakin tua, maka aku menjadi semakin sering membunuh. Terakhir aku membunuh berturut-turut empat orang yang datang ke rumahku karena benda-benda berharga ini."
Namun tiba-tiba pembicaraan mereka itupun terputus. Mereka mendengar isyarat yang aneh. Seperti suara angkup keluwih. Tetapi di tempat itu tidak terdapat pohon keluwih.
Kasadha yang mendapat perintah untuk mempertanggung-jawabkan tugas yang berat itu, bergeser selangkah sambil menengadahkan wajahnya. Sementara itu, suara yang terdengar itu segera hilang. Yang terdengar kemudian adalah aum anjing hutan yang kelaparan.
Ki Remeng yang kemudian juga bangkit berdiri berkata, "Aku tidak pernah mendengar aum anjing seperti itu. Disini tidak ada anjing hutan, apalagi serigala."
"Jadi, maksud Ki Remeng, suara itu merupakan isyarat?" bertanya Risang.
"Ya," jawab Ki Remeng.
"Aku sependapat," sahut Kasadha. Lalu iapun kemudian berkata dengan nada meninggi, "Kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan."
Keenam orang itupun segera mempersiapkan diri. Dengan nada berat Kasadha berkata, "Ternyata ada juga orang yang mengetahui tempat ini. Mereka tentu orang-orang berilmu tinggi. Kita sama sekali tidak mengetahui bahwa yang kita lakukan selama ini dalam pengamatan orang lain."
"Mereka tentu orang-orang yang pernah mendengar namaku. Mereka mengawasi rumahku siang dan malam tanpa henti-hentinya. Sehingga akhirnya mereka mendapat kesempatan ini."
"Atau Ki Mawur benar-benar telah terlepas dari kesadarannya sehingga terlanjur dari mulutnya rahasia yang dipertahankannya mati-matian itu?" desis Risang.
"Berhati-hatilah," berkata Kasadha. "Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi."
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, mereka mendengar gemerisik langkah dari dua arah.
Sejenak kemudian, empat orang telah berdiri beberapa langkah dari Kasadha yang berdiri di paling depan. Seorang di antara mereka adalah seorang yang bertubuh kecil. Namun agaknya orang itulah yang menjadi pemimpin dari keempat orang yang datang itu.
"Akhirnya kami menemukan apa yang kami cari, Remeng. Selama ini kami hanya menduga-duga saja," berkata orang bertubuh kecil itu. "Tetapi aku tidak mengira bahwa kau akhirnya telah berkhianat. Kau telah memberatkan nyawamu daripada kesetiaanmu kepada perguruan kita."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Remeng.
"Empat orang telah kau bunuh. Kami mengagumi ilmumu yang sangat tinggi. Namun ketika datang dua orang yang mampu mengalahkanmu, maka ternyata kau tidak berani menanggung akibatnya untuk tidak membuka rahasia dari benda-benda berharga milik perguruan kita."
"Aku tidak tahu apa yang kau katakan," desis Ki Remeng.
"Ki Remeng. Kami berempat tidak mau datang menemuimu. karena kami menganggap bahwa kau adalah seorang yang memiliki kesetiaan yang sangat tinggi. Kau tidak akan mengatakan dimana benda-benda berharga itu disembunyikan. Kami mengira bahwa kau tentu akan memilih mati seandainya kami berusaha memeras keteranganmu. Karena itu, aku memilih dengan sabar menunggu bahwa satu saat kau akan melihat benda-benda berharga itu atau mungkin memindahkannya setelah empat orang datang kepadamu, namun berhasil kau bunuh. Tetapi dugaanku salah. Ternyata kau tidak memilih mati. Ketika kau dapat dikalahkan oleh kedua orang anak muda itu, kau telah membuka rahasia demi keselamatanmu. Tetapi kamilah yang ternyata telah beruntung. Kamilah yang akan memiliki benda-benda berharga itu. Namun ketahuilah, bahwa kami akan tetap menjunjung tinggi perguruan kita. Kami akan tetap mempergunakan benda-benda berharga itu bagi kepentingan perguruan," berkata orang bertubuh kecil itu.
"Kau jangan mengigau Surabawa. Kau kira aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan bersama beberapa orang kawanmu" Kau telah berkhianat dan memberontak terhadap guru. Kau bunuh guru yang sedang sakit dan kau bawa Ki Mawur yang terluka parah, karena kau inginkan benda-benda berharga ini. Kesetiaanmulah yang telah menjadi kabur karena nafsumu menguasai harta benda ini. Kau kira aku tidak tahu, bahwa kau telah bekerja sama dengan seorang prajurit Madiun yang juga akan berkhianat terhadap Kangjeng Panembahan di Madiun. Kalian bersepakat untuk mempergunakan benda-benda yang nilainya tidak terhitung ini untuk membiayai sebuah pengkhianatan yang lebih besar."
Tetapi orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya, "Aku tidak berkeberatan apapun yang hendak kau katakan, karena sebentar lagi kau dan orang-orang yang telah menemukan benda-benda berharga milik perguruan kita ini akan mati. Kau tidak pantas lagi hidup, dengan gelimang pengkhianatanmu itu. Jika kelak cita-cita perguruan Wukir Gading tercapai, maka orang-orang seperti kau ini, jika masih diberi kesempatan hidup, akan mengaku sebagai orang-orang yang paling berjasa dan menuntut penghargaan tertinggi dari perguruan."
"Bagaimana dengan kau, Surabawa?" bertanya Ki Remeng.
Surabawa tertawa berkepanjangan. Katanya, "Sebagaimana kau lihat, aku memang seorang pahlawan, karena aku telah menyelamatkan benda-benda berharga ini dari orang-orang yang tidak kita kenal."
"Kenapa kau tidak memperkenalkan dirimu kepada orang-orang yang datang ini?" bertanya Ki Remeng.
"Tentu. Karena sebentar lagi mereka akan mati, ada baiknya aku mengenal nama-nama mereka, asal mereka dan untuk apa mereka berusaha untuk mengambil benda-benda berharga itu," jawab orang yang disebut Surabawa itu.
"Apakah itu perlu Ki Sanak," tiba-tiba saja Kasadha menyahut sambil melangkah maju.
"Perlu sekali Ki Sanak," sahut Surabawa.
"Bukankah kau melihat segala sesuatunya yang terjadi" Bukankah kau melihat bagaimana kami berdua dapat mengalahkan Ki Remeng dan bahkan kau dapat menyebut kami anak-anak muda" Dengan demikian maka kalian tentu mendengar percakapan kami. Kalian tentu mendengar kami menyebut nama kami, asal kami dan kepentingan kami datang kemari," jawab Kasadha.
"Sayang anak muda. Kami tidak mendekat, tetapi kami yakin, kalian adalah orang-orang berilmu tinggi. Terbukti kalian dapat mengalahkan Ki Remeng. Meskipun kalian berdua, namun untuk mengalahkan Ki Remeng memang diperlukan ilmu yang sangat tinggi. Namun ternyata kalian dapat melakukannya."
"Jika kalian yakin kami dan juga Ki Remeng berilmu tinggi, kenapa kalian sekarang berempat berani datang kemari, sedangkan kami berenam" Apakah itu pertanda bahwa kalian ingin minta agar kami membantu usaha kalian membunuh diri?" bertanya Kasadha.
"Lidahmu ternyata melampaui tajamnya ujung duri kemarung. Baik anak muda. Katakan siapakah namamu, asalmu dan dari siapa kalian tahu bahwa Ki Remeng telah mendapat kepercayaan untuk menunggui harta-benda yang jumlahnya tidak terhingga milik perguruan Wukir Gading itu?"
Kasadhalah yang kemudian tertawa. Katanya, "Rahasia yang kalian sembunyikan itu sudah bukan rahasia lagi. Mungkin sebentar lagi akan datang sekelompok orang lain yang akan mengambil benda-benda berharga itu. Jika kami dapat mendengar tentang benda-benda yang kau anggap milik perguruan Wukir Gading itu, maka tentu banyak orang lain yang telah mendengarnya pula, meskipun rahasia itu baru tersebar pada saat-saat terakhir."
"Sebutkan namamu," bentak Surabawa.
"Namaku Rantam. Ini kakakku namanya Limpat," jawab Kasadha. "Kami datang dari ujung bumi dengan titah untuk mengambil pusaka-pusaka yang turun dari ujung langit."
"Cukup," Surabawa itu hampir berteriak. "Sebutkan nama ayah dan ibumu. Sebentar lagi lehermu akan aku tebas sehingga putus."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Sementara keempat orang itu mulai bergerak.
Ki Remeng yang menyadari, bahwa keempat orang itu tentu akan membunuhnya dalam keadaan apapun, maka ia telah memilih untuk berpihak kepada Kasadha yang menurut pendapatnya memiliki getar kemanusiaan yang lebih tebal meskipun ia berasal dari luar perguruannya. Karena itu, maka katanya, "Surabawa. Meskipun kita berasal dari perguruan yang sama, tetapi aku tidak memilih untuk berpihak kepadamu. Apalagi kau datang untuk membunuhku. Karena itu, maka aku akan berdiri di pihak anak-anak muda ini."
"Aku sudah mengira. Agaknya kau sudah tidak mempunyai tempat lagi untuk berdiri. Siapapun yang berhasil membawa benda-benda berharga itu tentu akan membunuhmu. Karena itu, kau masih mendapat kesempatan untuk mempergunakan ilmumu yang tinggi itu untuk yang terakhir kalinya," berkata Surabawa.
"Bagus," berkata Ki Remeng. "Kau mengenal aku dan aku mengenalmu. Siapa di antara kita yang akan mati malam ini."
Surabawa mengerutkan dahinya. Katanya, "Jadi kau benar-benar tidak akan menebus dosamu dengan menyerahkan lehermu" Aku berhak atas nama perguruan menjatuhkan hubungan mati atasmu."
"Ternyata kau mulai merasa gentar, sehingga kau harus berlindung di balik nama perguruanku. Sudahlah Surabawa, kita sudah sama-sama melampaui pertengahan abad. Kita sudah sama-sama meresapi ilmu sampai ke tulang sungsum. Sekarang kita akan melihat, siapakah di antara kita yang ternyata lebih baik," berkata Ki Remeng.
Surabawa menggeram. Namun kemudian iapun memberikan perintah kepada kawan-kawannya. Katanya, "Bersiaplah untuk membunuh. Kita tidak mempunyai pilihan lain."
Demikian keempat orang itu mulai bergeser, maka Kasadhapun telah bergeser pula. Demikian pula Risang dan Sambi Wulung serta Jati Wulung. Namun Kasadhapun berkata, "Dua di antara kita akan menjaga benda-benda pusaka itu."
Sambi Wulunglah yang kemudian berdesis kepada Jati Wulung, "Kawani pemimpin kelompok itu menjaga benda-benda berharga yang sudah terlanjur dinaikkan dari lubang itu."
Jati Wulung mengangguk kecil. Iapun kemudian berdiri di dekat peti-peti yang sudah dikeluarkan dari lubang persembunyiannya itu bersama pemimpin kelompok yang dibawa Kasadha dari Pajang.
Ternyata Ki Remeng langsung bersiap menghadapi Surabawa. Agaknya keduanya memang telah menyimpan persoalan di hati masing-masing, sehingga pada satu kesempatan, mereka benar-benar bersiap untuk bertempur.
Kepada ketiga orang kawannya, Surabawa berkata, "Berhati-hatilah. Dua orang anak muda itu berilmu tinggi. Mereka bersama-sama dapat mengalahkan Ki Remeng yang ternyata pengecut ini. Kalian tidak usah ragu-ragu. Bunuh saja mereka, termasuk kedua orang yang tidak berani memasuki gelanggang itu. Kita akan mengubur mereka bersama Ki Remeng di dalam lubang yang sudah mereka gali, sementara peti-peti itu akan kita bawa kembali ke perguruan, karena perguruan kita masih sangat memerlukannya."
Ki Remenglah yang menyahut, "Omong kosong. Kalian tidak pernah memikirkan perguruan kita. Benda-benda berharga itu telah membuat kalian berkhianat."
"Persetan," geram Surabawa. "Kenapa kedua orang itu tidak bergabung dengan kawan-kawannya" Kesombongan kalian akan membuat kalian menyesal."
Ki Remeng tidak menjawab. Namun ia mulai bergeser di sela-sela bebatuan untuk mencari tempat yang cukup lapang.
Sementara itu, seorang yang bertubuh tinggi besar telah mendekati Kasadha sambil berkata, "Sayang, bahwa kau akan mati muda."
Kasadha sama sekali tidak menjawab. Namun iapun segera mempersiapkan diri. Ia sadar, bahwa orang itupun tentu berilmu tinggi.
Yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah berhadapan dengan Risang yang sudah bersiap pula. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu telah meloncat menyerang Risang yang berdiri termangu-mangu.
Namun dengan tangkas Risang sempat mengelakkan serangan itu. Bahkan Risangpun sempat keluar dari sekumpulan bebatuan meskipun tidak sebesar dua buah batu yang menjadi ancar-ancar tempat penyimpanan benda-benda berharga itu.
Di sisi yang lain, Sambi Wulungpun telah terlibat pula dalam pertempuran melawan seorang yang bertubuh sedang, namun yang otot-ototnya seakan-akan telah mencuat keluar dari kulitnya.
Sebenarnyalah Jati Wulung menjadi kecewa bahwa ia harus menyingkir dari arena, karena Sambi Wulung menganggap bahwa sebaiknya ia bertempur seorang diri. Namun bagi Jati Wulung, Sambi Wulung adalah saudara tua seperguruan, sehingga ia merasa bahwa Sambi Wulung memang memiliki kelebihan daripadanya.
Karena itu, maka Jati Wulung tidak membantah.
Meskipun demikian, maka Jati Wulung dan pemimpin kelompok itupun selalu bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi. Jika keadaan menjadi gawat, maka mereka tentu tidak akan tetap berdiam diri saja.
Demikianlah, maka Ki Remengpun telah mulai bertempur pula. Sekali-sekali masih terdengar Surabawa tertawa. Namun suara tertawanya semakin lama menjadi semakin hambar dan akhirnya hilang sama sekali. Ia harus benar-benar memusatkan perhatiannya kepada lawannya.
Surabawa tahu bahwa Ki Remeng memang berilmu tinggi. Tetapi ternyata bahwa Ki Remeng yang dihadapinya itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari dugaannya.
Sementara itu ia mengetahui bahwa Ki Remeng telah dikalahkan oleh kedua orang anak muda itu. Karena ia melihat dari kejauhan di dalam keremangan malam, maka ia tidak dapat menilai dengan pasti kemampuan kedua orang anak muda yang telah berhasil menemukan tempat persembunyian benda-benda berharga itu setelah mereka mengalahkan Ki Remeng. Baru di hari berikutnya, Surabawa berhasil melihat kedua orang anak muda itu lagi meskipun dari kejauhan. Namun keduanya tidak lagi sedang memperlihatkan kemampuan mereka.
Meskipun keduanya seperguruan, tetapi Surabawa dan Ki Remeng sudah agak lama berpisah, sehingga keduanya tidak lagi tahu pasti perkembangan ilmu masing-masing. Ternyata perkembangan ilmu Ki Remeng dalam waktu yang singkat telah meningkat dengan pesat. Sehingga ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka Surabawa mulai digelisahkan oleh kemampuan Ki Remeng.
Orang yang bertubuh tinggi besar dan berilmu tinggi pula berusaha dengan cepat untuk menguasai anak muda yang mengaku bernama Rantam itu. Namun ternyata bahwa ilmunya yang tinggi itu juga telah membentur ilmu yang tinggi pula. Beruntunglah bahwa Kasadha saat itu sudah menyelesaikan laku yang dijalaninya untuk mewarisi ilmu gurunya sampai tuntas. Sehingga karena itu, maka ia dapat mengimbangi kemampuan lawannya yang tinggi itu.
Sementara itu, Risangpun tidak segera dapat dikuasai oleh lawannya. Anak muda itu juga sudah sampai kepada tingkat tertinggi dari tataran ilmu yang diwarisinya dari kedua orang kakek dan seorang neneknya. Sehingga dengan demikian, maka Risang memiliki bekal yang mapan untuk menghadapi lawannya yang kekurus-kurusan itu.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Sambi Wulung dengan hati-hati menghadapi lawannya. Ia sadar, bahwa orang-orang yang datang itu tentu orang-orang berilmu tinggi. Sikap mereka yang yakin akan dapat mengambil benda-benda berharga itu menunjukkan bahwa mereka mempunyai kepercayaan diri yang sangat besar.
Tetapi Sambi Wulung juga bukan anak kemarin sore di dunia olah kanuragan. Kematangan ilmu serta pengalamannya yang sangat luas, membuat Sambi Wulung menjadi seorang lawan yang sulit untuk dapat dikalahkan oleh lawannya.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Ki Remang yang menganggap Surabawa telah berkhianat, bahkan telah menahan Ki Mawur, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyelesaikannya. Sebaliknya Surabawa yang ingin memiliki benda-benda berharga itu seutuhnya, memang tidak akan memberi kesempatan Ki Remeng untuk tetap hidup.
Karena itu, maka keduanyapun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk membuat perhitungan sampai akhir.
Ternyata kedua orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itu telah berhasil mengembangkannya. Meskipun dasar-dasar ilmu mereka masih menunjukkan beberapa ciri yang bersamaan, namun pengembangannya memang berbeda. Ki Remeng yang tua itu seolah-olah menjadikan unsur-unsur gerak yang dikuasainya menjadi berat. Namun setiap gerakannya menjadi sangat berbahaya bagi lawannya. Sementara itu, Surabawa tubuhnya bagaikan tidak mempunyai bobot lagi. Ia berloncatan dengan cepat, menyilang dan membujur. Namun kemudian tiba-tiba saja serangan datang seperti angin ribut.
Tetapi Ki Remeng tetap tegar menghadapi kecepatan gerak lawannya. Ia sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan sedikit beringsut, Ki Remeng sudah berhasil menghalau serangan-serangan lawannya yang datang beruntun.
Namun dengan demikian bukan berarti bahwa Ki Remeng tidak mampu bergerak cepat. Pada satu kesempatan, tiba-tiba saja Ki Remeng itupun menyerang dengan cepatnya menyeruak pertahanan Surabawa.
Dengan demikian pertempuran antara keduanyapun menjadi semakin lama semakin sengit.
Orang yang bertubuh tinggi besar itupun terkejut ketika serangannya membentur pertahanan Kasadha. Ternyata anak muda itu memiliki tenaga yang sangat besar pula.
Dengan demikian maka orang bertubuh raksasa itu harus berhati-hati. Iapun menyadari, bahwa seseorang yang telah berani datang ke tempat itu, dan bahkan berani bertempur melawan Ki Remeng meskipun berdua, tentu orang yang memiliki bekal yang cukup.
Karena itu, maka orang bertubuh tinggi dan besar itu tidak dapat dengan tergesa-gesa berusaha menyelesaikan pertempuran. Ia harus berusaha mengetahui kekuatan dan kelemahan lawannya yang masih muda itu.
Sementara itu, Kasadha yang baru saja mewarisi seluruh landasan ilmu dari perguruannya, justru didorong untuk mencoba kemampuan tertinggi yang telah diwarisinya itu.
Sebelumnya ia memang telah mencoba kemampuannya itu melawan puncak ilmu Ki Remeng. Ternyata bahwa ia mampu mengimbangi kemampuan pekatik tua itu. Sehingga karena itu maka ia ingin menilai ilmunya lebih jauh dengan perbandingan ilmu dari orang berilmu tinggi yang lain.
Karena itulah, maka Kasadhapun dengan tegar menghadapi lawannya. Meskipun lawannya itu ujudnya lebih tinggi dan lebih besar dari anak muda itu, namun Kasadha sama sekali tidak terdesak surut.
Bahkan semakin lama kekuatan Kasadha seakan-akan menjadi semakin bertambah-tambah. Ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu meningkatkan kemampuannya, maka justru Kasadhalah yang telah mendesaknya.
Raksasa itu menggeram marah. Apalagi ketika Kasadha mulai berhasil menembus pertahanannya. Sekali-sekali serangan Kasadhalah yang telah mengenai tubuh lawannya.
Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan yang bertempur melawan Risang ternyata memiliki kecepatan gerak yang sangat tinggi. Kakinya yang panjang berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah.
Tetapi Risang tidak terpancing oleh tata gerak yang panjang dari lawannya. Bahkan Risangpun kemudian seolah-olah tidak beringsut dari tempatnya. Ia hanya berputar dan bergeser sedikit-sedikit saja. Bahkan seakan-akan kakinya justru telah melekat di tanah berbatu padas di lereng bukit kecil itu.
Lawannyalah yang justru kehilangan kesabaran. Karena Risang tidak, terpancing oleh gerakannya, maka orang itulah yang kemudian menyerangnya beruntun seperti ombak di lautan. Susul-menyusul tidak henti-hentinya.
Risang masih tetap kokoh seperti batu karang. Serangan-serangan itu justru tidak dihindarinya. Tetapi beberapa kali ia sengaja membentur serangan itu.
Namun dengan demikian Risang telah menunjukkan keperkasaannya, sehingga lawannya mulai menjadi gelisah. Tataran demi tataran sudah didaki, sehingga orang itu sudah mencapai kemampuannya yang tertinggi. Namun orang yang bertubuh tinggi itu sama sekali masih belum dapat menundukkan anak muda itu.
Sekali-sekali orang itu sempat melihat apa yang terjadi di lereng bukit itu. Ternyata bahwa ketiga kawannya yang lain, masih juga belum berhasil menguasai lawannya.
Sebenarnyalah menurut perhitungan mereka, bahwa salah seorang dari mereka akan dengan cepat mengalahkan lawannya. Kemudian maka yang lainpun akan segera dapat dikalahkannya pula.
Ki Surabawapun ternyata masih belum mampu mengalahkan Ki Remeng. Jika ia dapat mengalahkan pekatik tua itu, maka ia akan dapat membantu kawan-kawannya untuk membunuh satu demi satu orang-orang yang sudah menguasai peti-peti itu.
Tetapi Ki Surabawa dan kawan-kawannya memang salah hitung. Yang mereka perhitungkan memang tidak lebih dari tiga orang. Ki Remeng dan dua orang anak muda yang menurut penglihatan mereka, bersama-sama mengalahkan Ki Remeng.
Jika ada orang lain, maka orang lain itu tentu orang-orang yang tidak berdaya dan memang tidak perlu diperhitungkan.
Tetapi ternyata seorang kawan Ki Surabawa yang bertempur melawan Sambi Wulung juga telah mengalami kesulitan.
"Iblis dari mana saja yang datang ke tempat ini," geram Ki Surabawa di dalam hatinya.
Namun Ki Remeng itupun sangat menjengkelkannya. Meskipun Ki Surabawa telah mengerahkan kemampuannya, tetapi ia masih juga belum berhasil mengalahkan Ki Remeng.
*** JILID 58 "KENAPA kedua orang anak muda itu tidak mengalami kesulitan untuk mengalahkan setan tua yang buruk ini?" pertanyaan itu telah mengganggunya. Jika Ki Remeng ternyata berilmu sangat tinggi, maka kedua orang anak muda itu tentu juga berilmu tinggi, sehingga kawan-kawannya juga akan mengalami kesulitan.
"Remeng," geram Ki Surabawa kemudian, "ternyata selama kita berpisah, kau mampu mengembangkan ilmumu dengan baik. Tetapi kau jangan bermimpi bahwa kau akan dapat mengalahkan aku."
"Aku tidak bermimpi, Surabawa. Tetapi bahwa aku akan mengalahkanmu itu adalah satu kenyataan yang tidak akan dapat kau ingkari. Karena itu menyerahlah."
"Jangan sombong Remeng. Aku bukan tikus-tikus clurut sebagaimana yang telah kau bunuh dan kau kubur di belakang rumahmu."
"Kau memang bukan tikus clurut, Surabawa. Tetapi apa bedanya tikus clurut dengan tikus tanah?" sahut Ki Remeng.
"Persetan kau Remeng. Kau merasa mempunyai kawan anak-anak muda berilmu tinggi. Tetapi kau akan menyesal. Setelah pertempuran ini selesai, maka kaupun akan dibantai di lereng bukit ini."
"Seandainya demikian, maka aku akan merasa lebih senang daripada dibantai oleh saudara seperguruanku sendiri yang telah berkhianat," jawab Ki Remeng.
"Kau memang berhati iblis, Remeng," geram Surabawa.
Ki Remeng tidak menjawab. Namun pertempuranpun berlangsung semakin sengit. Ki Remeng masih saja lebih banyak bertahan, sementara Surabawa bergerak semakin lama semakin cepat.
Namun pada saat Surabawa kehilangan sasaran, karena tiba-tiba saja Ki Remeng meloncat ke samping, maka tiba-tiba saja pekatik tua itu telah menghentakkan kemampuannya. Dengan tidak diduga, maka Ki Remeng telah menyerang Surabawa.
Surabawa memang terkejut. Karena itu, maka ia tidak sempat mengelak. Serangan Ki Remeng yang langsung mengarah ke dadanya telah dibenturnya dengan menyilangkan tangannya di dadanya.
Ki Remeng ternyata telah tergetar. Ia justru meloncat selangkah surut.
Namun dalam pada itu, Surabawa telah terdorong pula beberapa langkah mundur.
Namun sejenak kemudian, keduanya telah bersiap kembali untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ki Remeng ternyata tidak ingin bertempur berkepanjangan. Karena itu, maka Ki Remeng telah berniat untuk mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka Ki Remeng yang telah berdiri beberapa langkah dari Surabawa itu segera memusatkan nalar budinya. Disiapkannya puncak kemampuannya untuk mengakhiri pertempuran itu. Ki Remeng memang tidak dapat memastikan, apakah ia mampu mengatasi ilmu Surabawa, saudara seperguruannya itu. Namun bagi Ki Remeng, maka salah seorang di antara mereka pada akhirnya tentu akan mati juga.
Karena itu, maka Ki Remengpun telah menakupkan kedua telapak tangannya. Ketika dari sela-sela kedua telapak tangannya yang digosokkannya itu nampak asap tipis yang mengepul, maka Ki Surabawapun mengetahui, bahwa Ki Remeng benar-benar telah sampai ke puncak ilmunya.
Ki Surabawa yang memiliki landasan ilmu yang sama itupun segera berbuat hal yang sama pula. Itupun telah menakupkan kedua telapak tangannya pula. Menggosokkan yang satu dengan yang lain dan seperti telapak tangan Ki Remeng, maka asap yang tipispun telah mengepul pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Remeng telah meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dahi Ki Surabawa.
Sementara itu, Ki Surabawapun telah siap pula menghadapinya. Ia sama sekali tidak berusaha menghindar. Bagaimanapun juga pertempuran itu memang harus berakhir.
Karena itu, maka Ki Surabawapun telah mengayunkan tangannya pula membentur ayunan tangan Kiai Remeng.
Benturan yang keraspun telah terjadi. Dua kekuatan ilmu dari sumber yang sama telah beradu.
Akibatnya memang sangat mengejutkan. Ki Remeng terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian tidak lagi dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga iapun terbanting jatuh di atas tanah berbatu padas.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Sekali Ki Remeng itu menggeliat. Namun kemudian tulang-tulangnya bagaikan berpatahan, sehingga Ki Remeng itu hanya dapat mengerang kesakitan.
Sedangkan akibat yang terjadi atas Surabawa ternyata lebih parah lagi. Ilmu Ki Remeng yang meskipun bersumber dari perguruan yang sama, namun selapis lebih tinggi itu telah melemparkannya beberapa langkah. Ketika Surabawa itu jatuh terlentang sebagaimana Ki Remeng, kepalanya telah membentur sebongkah batu yang banyak terdapat di lereng bukit itu.
Akibatnya ternyata telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Ki Surabawa sama sekali tidak mampu mengeluh.
Ternyata Ki Surabawa itupun telah mati meskipun penyebabnya bukan saja getar benturan yang memukul dadanya, tetapi juga karena kepalanya telah membentur batu sehingga tulangnya menjadi retak.
Jati Wulung yang melihat keadaan Ki Remeng segera berlari mendekati. Namun ia sempat berdesis, "Hati-hati. Awasi peti-peti ini."
Ketika Jati Wulung kemudian berjongkok di sisi Ki Remeng, maka Jati Wulungpun mengetahui, bahwa Ki Remeng telah pingsan.
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak tahu dimana ia mendapatkan air.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Jati Wulung hanyalah membuka bagian dada baju Ki Remeng agar tubuhnya terasa segar oleh embun malam yang menitik.
Sementara itu, Kasadha, Risang dan Sambi Wulung masih bertempur dengan sengitnya. Namun sebenarnyalah Kasadha dan ternyata juga Risang, seakan-akan justru sedang menguji kemampuan mereka masing-masing.
Jika mereka sebelumnya bertempur melawan Ki Remeng berdua, maka kini mereka sepenuhnya menggantungkan diri pada kemampuan mereka sendiri-sendiri.
Kasadha yang bertempur melawan orang yang bertubuh raksasa itu bukan saja berusaha untuk mendesak dan menguasai lawannya. Tetapi ia masih juga sempat menilai kemampuannya sendiri yang ditingkatkannya selapis demi selapis.
Dengan demikian, maka Kasadha dapat meyakini betapa ilmunya memang telah meloncat jauh dari sebelumnya. Saat-saat ia berada di sanggar merupakan saat yang sangat berarti baginya. Dan iapun menyadari, bahwa kesempatan itu didapatkannya karena Ki Rangga Dipayuda memang dengan sungguh-sungguh membantunya.
Tanpa usaha Ki Rangga Dipayuda, maka Kasadha tidak akan mendapat kesempatan itu.
Karena itulah, maka selain kepada gurunya, iapun merasa sangat berterima kasih kepada Ki Rangga.
Dengan keyakinan akan kemampuannya, maka Kasadhapun kemudian telah berniat untuk segera mengakhiri pertempuran. Apalagi setelah Ki Remeng dan lawannya bersama-sama terpelanting jatuh. Kasadha belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Remeng dan Ki Surabawa.
Dalam pada itu, Risangpun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak pula. Iapun merasakan betapa kemampuannya telah jauh meningkat. Dengan landasan ilmu yang diwarisinya dan laku yang berat di saat terakhir, maka ia mampu mengimbangi lawannya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan dan berilmu tinggi itu. Dengan pertempuran itu, maka Risangpun menjadi semakin yakin akan dirinya bahwa ia telah mencapai satu tataran yang tinggi.
Dengan demikian, maka baik Kasadha maupun Risang telah memanjatkan ilmunya sampai ke batas tertinggi.
Ternyata kedua lawannya, termasuk orang-orang berilmu tinggi dari perguruan Wukir Gading itu tidak mampu lagi melawan anak-anak muda yang justru mulai mengembangkan sayap-sayap ilmu mereka, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kedua orang itu sudah benar-benar terdesak.
Sementara itu, Sambi Wulungpun telah sampai pada batas pengendalian dirinya. Apalagi ketika lawannya itu semakin lama menjadi semakin kasar. Bahkan telah melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan selain mulutnya yang mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor.
Karena itu, ketika Sambi Wulung itu melihat Ki Remeng dan lawannya telah menyelesaikan pertempuran dengan akibat yang belum diketahuinya dengan pasti, maka Sambi Wulungpun telah menghentakkan ilmunya pula.
Lawannya yang berilmu tinggi itu ternyata masih belum sempat menggapai tataran ilmu sebagaimana Ki Remeng dan Ki Surabawa. Namun demikian serangan-serangannya cukup berbahaya. Tangannya menyambar-nyambar dengan cepatnya, mengarah ke sasaran yang paling berbahaya.
Namun Sambi Wulung yang sudah mengerahkan kemampuan ilmunya pula tidak kehilangan kesempatan karenanya. Bahkan beberapa kali ia telah menembus pertahanan lawannya dengan serangan-serangannya yang cepat dan keras.
Dengan demikian, maka lawan Sambi Wulung benar-benar berada dalam kesulitan. Sementara Sambi Wulung tidak menahan dirinya lagi. Serangan-serangan justru menjadi semakin deras sehingga semakin sulit untuk dihindari.
Di lingkaran pertempuran yang lain, lawan Kasadha dan lawan Risang, ternyata mengalami nasib yang sama. Tetapi karena kedua orang anak muda itu sedang berusaha menilai kemampuan mereka sendiri, maka kedua orang lawan mereka itupun justru seakan-akan telah disediakan sebagai bahan untuk menguji kemampuan anak-anak muda itu.
Dengan cermat Kasadha mengamati tataran demi tataran kemampuan puncaknya. Apalagi lawannya termasuk seorang yang berilmu tinggi. Sekali-sekali Kasadha justru membiarkan lawannya mendapat kesempatan untuk menyerangnya dengan puncak kemampuannya. Sementara Kasadha tidak berusaha menghindari serangan itu. Bahkan telah membenturnya.
Dalam pada itu, Risang yang ingin meyakinkan kemampuannya, tidak segera mengakhiri pertempuran. Sekali-sekali ia mendesak lawannya dengan puncak kemampuannya. Namun kemudian ilmunya itu dikendorkannya selapis. Ia ingin tahu akibatnya, apakah dengan demikian ia segera mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka sekali-sekali Risang itu dengan garang mendesak lawannya. Namun kemudian beberapa langkah ia terpaksa bergeser surut.
Tetapi ketika waktunya menjadi semakin mendesak, menjelang langit menjadi merah, maka Kasadha dan Risangpun sampai pada satu kesimpulan bahwa pertempuran itu harus diakhiri. Kedua anak muda itu seolah-olah telah mendapatkan satu keyakinan, bahwa ilmu mereka benar-benar telah berada pada tataran yang tinggi, bahkan dengan jarak beberapa lapis dari lawannya.
Kasadha dan Risang itu terhentak ketika mereka melihat, Sambi Wulung yang berada di puncak ilmunya, meloncat membentur serangan lawannya. Ketika benturan itu terjadi, maka kedua anak muda itu sempat mendengar teriakan kesakitan.
Teriakan itu seakan-akan telah menghentikan Kasadha, Risang dan kedua lawan mereka untuk sesaat. Mereka sempat melihat Sambi Wulung terguncang. Namun dalam pada itu lawannya tidak lagi mampu bertahan. Orang itu tidak saja berteriak kesakitan, tetapi ia masih juga mengumpat-umpat dengan kasarnya, sehingga akhirnya tubuhnya jatuh terguling di tanah.
Dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah, sementara kedua tangannya memegangi dadanya yang rasa-rasanya telah pecah.
Ketika orang itu kemudian terdiam, maka lawan-lawan Kasadha dan Risangpun bagaikan terbangun dari mimpi buruk mereka. Ki Surabawa dan seorang kawan mereka telah terbaring diam. Sementara itu mereka telah berhadapan dengan anak-anak muda yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka kedua orang itu seakan-akan telah menjadi berputus-asa. Mereka tidak lagi mempunyai harapan untuk dapat hidup. Apalagi selain anak-anak muda yang bertempur itu, masih ada orang lain yang akan dapat ikut memasuki arena pertempuran. Bahkan mungkin orang-orang itu juga berilmu tinggi.
Karena itu dalam keputus-asaannya kedua orang itu tidak lagi berniat untuk menyelamatkan diri, karena mereka yakin bahwa hal itu tidak akan dapat mereka lakukan. Satu-satunya usaha mereka, meskipun agaknya sulit untuk dapat terjadi, karena ilmu anak-anak muda itu terlalu tinggi bagi mereka.
Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lagi.
Namun ternyata bahwa mereka memang tidak dapat melakukannya. Kasadha dan Risang ternyata berusaha untuk menuntaskan penilaian mereka atas ilmu puncak mereka. Karena itu, pada saat-saat terakhir, kedua anak muda itu telah berusaha melihat akibat dari hentakan kekuatan puncak mereka.
Satu benturan yang dahsyat tidak dapat dihindari ketika Kasadha meloncat sambil mengayunkan tangannya dalam ilmu puncaknya yang belum lama diwarisinya dari gurunya.
Ternyata kekuatan ilmu itu memang luar biasa. Lawan Kasadha yang berilmu tinggi itu sama sekali tidak sempat mengaduh. Meskipun orang itu berusaha menangkis serangan Kasadha dengan menyilangkan tangannya di depan kepalanya, namun serangan Kasadha itu demikian kuatnya, dilambari dengan ilmu pamungkasnya, sehingga tangan Kasadha tidak tertahan oleh kedua tangan lawannya yang bersilang. Satu serangan yang keras telah mengenai dahi lawannya yang gagal dilindunginya itu.
Sementara itu, Risangpun telah berniat untuk mengakhiri perlawanan orang bertubuh tinggi itu. Namun ketika Risang sudah siap menghancurkan lawannya, maka iapun teringat, bahwa masih diperlukan keterangan dimana paman Ki Lurah Mertapraja itu disembunyikan. Karena itu, Risang justru menjadi ragu-ragu. Jika ia membunuh juga lawannya itu, maka ia akan kehilangan petunjuk sama sekali, kemana mereka harus melacak jejak Ki Mawur yang dikuasai oleh orang-orang yang dianggap berkhianat kepada para pemimpin Padepokan Wukir Gading justru dalam keadaan luka parah.
Karena itu, maka Risang berusaha untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.
Justru karena itu, maka ia tidak segera dapat menguasai lawannya sepenuhnya. Apalagi lawannya benar-benar sudah menjadi putus-asa, sehingga apa yang dilakukannya sama sekali sudah tidak diperhitungkannya lagi.
Sementara itu lawan Kasadha telah terbaring diam. Karena itu, Kasadha dan Sambi Wulung yang sudah kehilangan lawannya itupun sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi antara Risang dan lawannya. Bahkan Jati Wulungpun telah bangkit pula berdiri dengan jantung yang berdebaran menyaksikan bagaimana Risang berusaha menguasai lawannya tanpa membunuhnya.
Dengan mata yang tidak berkedip Jati Wulung itu berdesis, "Luar biasa. Kemampuan Risang telah meloncat jauh ke depan."
Sebenarnyalah Kasadha juga sempat melihat, betapa Risang dengan ilmunya yang tinggi, berusaha untuk menangkap lawannya hidup-hidup. Adalah di luar kesadarannya, jika Kasadha ternyata sempat menilai dan memperbandingkan ilmu kakaknya itu dengan ilmunya sendiri.
Ternyata Kasadha masih juga mengagumi kemampuan Risang. Beberapa kali Risang mengabaikan kesempatan untuk menghancurkan lawannya. Ia memang tidak ingin membunuhnya. Namun dengan demikian, maka Risang seakan-akan dengan sengaja telah memamerkan ketrampilannya. Bahkan ilmunya yang tinggi itu.
Lawan Risang itu benar-benar telah kehilangan harapan sama sekali. Bahkan orang itu telah menjadi mata gelap dan membabi buta. Namun Risang masih belum membunuhnya. Serangan-serangan Risang justru menjadi sangat dibatasi. Bahkan nampak betapa Risang menjadi cemas, bahwa lawannya akan terbunuh.
Dengan demikian, maka Risang kadang-kadang justru malahan telah dikenai oleh serangan-serangan lawannya yang semakin tidak terkendali itu. Tetapi, betapapun kuat dan kerasnya serangan-serangan itu, rasa-rasanya Risang tidak merasakan kesakitan. Daya tahannya menjadi semakin tinggi, sehingga mampu mengatasi perasaan sakit oleh serangan-serangan lawannya itu.
Namun dalam pada itu, benturan-benturan yang terjadi, ternyata tidak lagi mampu diatasi oleh lawannya yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu. Semakin lama tenaganya menjadi semakin susut. Bahkan kemudian perasaan sakitpun telah menjalari seluruh tubuhnya.
Dengan demikian, maka betapapun api kemarahan, kebencian dan bahkan dendam dan putus-asa, tetapi pada saatnya, keadaan wadagnya tidak lagi mampu mendukungnya lagi. Bahkan untuk bunuh diri sekalipun, orang itu sudah tidak lagi memiliki kemampuan. Ketika tangan Risang menghantam dadanya, maka iapun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian orang itupun telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terguling di tanah. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Bahkan tulang-tulangnya seakan-akan telah berpatahan.
Risang melihat keadaan lawannya yang sudah tidak berdaya lagi. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu lagi atasnya. Selangkah demi selangkah ia mendekatinya dengan hati-hati. Ia sadar bahwa lawannya yang tidak lagi berpengharapan itu akan dapat berbuat sesuatu yang tidak terduga-duga, karena ia sudah siap menghadapi kematian sebagaimana kawan-kawannya yang telah terbaring diam.
Kaum Pemuja Setan 1 Mata Elang Karya Hey Sephia Berkelana 1
"Ya," kedua orang anak itu tertawa lagi.
Kasadha dan Risangpun tertawa pula. Di sela-sela suara tertawanya Risang berkata, "Sudah lama sekali kami tidak berjumpa dengan Ki Remeng. Kami memang agak lupa dengan wajahnya. Terima kasih anak-anak. Tetapi dimana rumah mbah Remeng itu?"
Kedua anak itu sama sekali tidak mengerti persoalan yang menyelubungi kehidupan Ki Remeng. Mereka mengenal Ki Remeng seorang tua yang memang senang bergurau dengan anak-anak. Karena itu, maka merekapun mengira bahwa Ki Remeng memang sedang bergurau meskipun kedua orang anak muda itu benar-benar sedang mencarinya. Sehingga karena itu, maka merekapun telah menunjukkan pula dimana rumah Ki Remeng.
Kasadha dan Risang mengangguk-angguk. Namun Kasadha masih bertanya, "Tetapi apakah benar Ki Remeng mempunyai seorang anak yang sedang pergi ke Madiun seperti yang tadi dikatakannya?"
"Sepengetahuanku tidak," jawab anak yang membawa pisau. "Mbah Remeng tinggal seorang diri sejak dahulu."
"Apakah Mbah Remeng orang baru disini?" bertanya Kasadha.
Kedua anak itu nampak merenung. Tetapi yang sedang memperbaiki icir itu menjawab, "Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku tahu mbah Remeng sudah ada di rumahnya, di pinggir desa ini."
Kasadha dan Risangpun kemudian sekali lagi mengucapkan terima kasih sebelum mereka meninggalkan kedua orang anak itu. Namun sekali lagi Risang berpesan, "Jangan bermain-main lagi. Apalagi dengan pisau. Lihat, lampu sudah menyala di padukuhan."
"Kami akan ke sungai untuk membuka pliridan," jawab salah seorang anak itu.
Kasadha dan Risang tidak menyahut lagi. Sulit untuk melarang anak-anak yang mempunyai salah satu kesenangan. Termasuk membuat pliridan di sungai. Apalagi jika dengan pliridan itu mereka dapat menangkap banyak ikan sungai.
Namun seperti yang mereka rencanakan, maka Kasadha dan Risang akan datang ke rumah Ki Remeng di malam hari. Keduanya menduga bahwa pembicaraan tentang harta-benda berharga yang disembunyikan itu tentu tidak akan dapat berlangsung lancar. Tentu ada hambatan-hambatan yang mungkin justru menjadi keras.
Kasadha dan Risangpun sependapat, bahwa Ki Remeng tentu bukan orang kebanyakan. Namun mereka agak menyesal, bahwa mereka tidak sempat memperhatikan orang tua yang telah mereka sapa di sudut padukuhan.
"Kita menunggu sampai tengah malam," berkata Kasadha dengan dahi yang berkerut.
Sambil mengangguk Risang menjawab, "Kita akan keluar dari padukuhan lebih dahulu."
Keduanya memang tidak segera pergi ke rumah Ki Remeng. Tetapi keduanya justru keluar dari padukuhan menuju ke bulak panjang.
Ketika mereka melihat sebuah gubuk kecil di tengah-tengah bulak, maka merekapun mendekatinya. Setelah mereka yakin bahwa gubuk itu kosong, maka mereka telah naik dan menumpang beristirahat sambil menunggu tengah malam.
Angin yang dingin berhembus ke arah pegunungan. Daun padi yang hijau subur nampak gelisah sambil menggeliat digelitik oleh angin malam.
Kasadha dan Risang duduk memeluk lutut di dalam gubuk kecil yang kosong itu. Mereka mulai mereka-reka apa yang kira-kira bakal terjadi.
"Kita akan berusaha untuk tidak mempergunakan kekerasan," berkata Kasadha.
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan Ki Remeng dapat diajak untuk bekerja bersama."
Kasadha mengangguk-angguk pula. Namun anak muda itu tidak menjawab lagi. Sambil bersandar tiang bambu ia memandang ke kejauhan. Wajah malam yang hitam menyelubungi padukuhan Salam yang hanya nampak remang-remang.
Risangpun kemudian juga hanya berdiam diri. Di kejauhan sekelompok kunang berkerlipan hinggap di daun padi. Sementara malam menjadi semakin dingin, maka embunpun mulai membasahi dedaunan.
Di saat keduanya duduk terkantuk-kantuk, maka terdengar ayam jantan berkokok bersahutan di padukuhan. Berbareng Kasadha dan Risangpun mengangkat wajah mereka. Dengan nada rendah Risang berdesis, "Tengah malam, kau dengar kokok ayam itu?"
"Ya," sahut Kasadha yang beringsut menepi. Sejenak kemudian maka Kasadha itupun telah turun dari gubuk diikuti oleh Risang.
Demikian mereka membenahi pakaian mereka maka dari padukuhan terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk.
Kedua orang anak muda itupun segera bersiap. Mereka akan dapat menghadapi segala kemungkinan jika mereka kemudian menemui Ki Remeng di rumahnya.
Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka memang dapat langsung menuju ke bukit untuk melihat apakah harta benda itu memang ada atau tidak. Tetapi Ki Lurah Mertapraja berpesan kepada mereka, agar mereka bertemu dengan Ki Remeng.
Setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka keduanyapun dengan hati yang mantap melangkah menuju ke rumah orang yang disebut Ki Remeng. Bekas seorang pekatik di Madiun.
Keduanya memang tidak menemui kesulitan untuk sampai ke rumah orang tua itu sebagaimana ditunjukkan oleh anak-anak yang sedang bermain dengan icir mereka. Namun ketika mereka melangkah mendekati rumah itu, mereka telah mendengar langkah dari kejauhan. Ketajaman pendengaran mereka telah memperingatkan mereka, bahwa mereka akan berpapasan dengan tidak hanya seorang.
Dengan cepat keduanya meloncati dinding halaman di sisi jalan.
Namun dari atas bibir dinding halaman mereka melihat bahwa yang lewat adalah tiga orang anak-anak sambil membawa kepis. Agaknya anak-anak itu baru saja turun ke sungai untuk menutup pliridan mereka, karena dua di antara anak-anak itu adalah anak-anak yang mereka temui sedang memperbaiki icir mereka.
Kasadha dan Risang saling berpandangan sejenak. Namun keduanyapun tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Kasadha berdesis, "Anak-anak itu membuat jantungku berdebaran saja."
Demikianlah, maka Kasadha dan Risangpun segera melanjutkan langkah mereka menuju ke rumah Ki Remeng yang sudah tidak jauh lagi. Menurut anak-anak itu, maka beberapa puluh langkah lagi, mereka akan sampai ke sebuah rumah yang terletak di pinggir padukuhan Salam itu.
Ketika kemudian mereka berdiri di regol halaman rumah yang luas, mereka termangu-mangu sejenak. Tetapi anak-anak itu memang mengatakan bahwa halaman rumah Ki Remeng adalah halaman yang luas. Tetapi rumahnya hanyalah rumah yang kecil saja di tengah-tengah halaman dan kebun yang luas itu.
"Marilah," berkata Kasadha kemudian, "kita akan berbicara berterus-terang dengan Ki Remeng."
Risang mengangguk sambil berdesis, "Marilah."
Kedua orang anak muda itupun kemudian menyentuh pintu regol rumah Ki Remeng yang terbuat dari anyaman bambu. Ternyata pintu regol itu tidak diselarak, sehingga pintu lereg itupun telah didorong oleh Kasadha sehingga terbuka.
Dengan hati-hati keduanya memasuki halaman itu. Pintupun kembali ditutup dari dalam.
Halaman rumah Ki Remeng memang luas, sedangkan rumahnya yang kecil berada di tengah-tengah. Berbagai macam pohon buah-buahan telah tumbuh di halaman dan kebun di seputar rumahnya.
Namun langkah mereka tertegun ketika mereka mendekati pintu rumah orang tua itu. Beberapa langkah dari pintu rumah itu, mereka mendengar suara seseorang, "Selamat malam anak-anak muda. Aku sudah mengira bahwa kalian akan datang ke rumahku. Karena itu, maka aku telah menunggu meskipun aku harus kedinginan."
Baru kemudian Kasadha dan Risang-melihat seseorang duduk di sudut rumahnya di atas tikar sempit yang dibentangkan di bawah teritisan rumahnya.
"Ki Remeng," desis Kasadha dan Risang hampir berbareng.
Orang tua itupun kemudian berdiri dan melangkah ke pintu rumahnya. Sambil membuka pintu rumahnya iapun mempersilahkan, "Marilah anak-anak muda. Masuklah."
Kasadha dan Risangpun kemudian telah mengikuti orang tua itu masuk ke dalam rumahnya yang kecil. Sebuah amben yang lebar merupakan satu-satunya perabot rumah kecil Itu yang terdapat di ruang dalam.
Kasadha dan Risangpun kemudian duduk di amben itu pula bersama dengan Ki Remeng. Orang tua yang ditemui di sudut padukuhan di saat menjelang senja. Kepada orang tua itu pula mereka telah bertanya tentang Ki Remeng.
"Kalian tentu mendengar dari anak-anak yang bermain di tanggul parit itu," berkata Ki Remeng.
"Tidak," jawab Risang. "Aku mendapat keterangan dari orang lain. Seorang laki-laki tua sebaya dengan Ki Remeng."
Ki Remeng itu tertawa. Katanya, "Kau tidak usah melindungi anak-anak itu. Aku tidak berniat buruk terhadap mereka. Anak-anak itu justru kawan-kawanku yang paling akrab. Aku sadar bahwa anak-anak itu akan memberikan keterangan kepada kalian. Tetapi mereka sama sekali tidak aku anggap bersalah. Aku sama sekali tidak berniat mengajari anak-anak sebaya mereka untuk berbohong."
Kasadha dan Risang berpandangan sejenak. Namun Risang masih juga berkata, "Ki Remeng tidak usah mempersoalkan dari siapa aku mengetahui rumah Ki Remeng."
"Baiklah. Aku tidak akan mempersoalkannya, anak-anak muda. Aku hanya mengatakan bahwa anak-anak itulah yang memberitahukan kepadamu. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak akan berbuat apa-apa terhadap anak-anak itu. Mereka memang tidak bersalah sama sekali." Ki Remeng itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Maaf anak-anak muda, kedatangan anak-anak muda di padukuhan ini tentu bukannya tidak mempunyai maksud. Karena itu, katakan apakah maksud kalian mencari aku?"
"Baiklah kami langsung saja pada persoalannya, Ki Remeng," jawab Kasadha.
Namun kata-katanya terputus. Ki Remeng itupun berkata, "Aku memang lebih senang jika kalian berbicara langsung pada persoalannya. Aku sudah terlalu lama menunggu sehingga aku kedinginan. Akupun sudah mengantuk pula. Bahkan agaknya akupun sudah tahu, untuk apa kalian datang kemari."
Wajah Kasadha dan Risangpun menegang. Sejenak mereka berpandangan. Namun kemudian Kasadha itupun berkata, "Ki Remeng. Jika Ki Remeng telah mengetahui maksud kedatangan kami, maka agaknya aku tidak perlu mengatakannya. Aku tinggal menunggu tanggapan Ki Remeng saja."
"Jangan mengulur-ulur waktu, anak-anak muda. Katakan apakah maksudmu datang kemari. Meskipun aku sudah dapat menduga, tetapi aku minta kalian mengatakannya. Sebelum kalian mengatakannya, aku tidak akan membuat tanggapan apapun juga."
"Baiklah," berkata Kasadha. "Aku datang sebagai utusan Ki Lurah Mertapraja."
"Ki Lurah Mertapraja?" bertanya Ki Remeng. Namun orang itupun kemudian tertawa sambil berkata, "Bukankah tepat dugaanku. Pada saat-saat terakhir ini, ada beberapa orang yang telah datang menemui aku. Mereka mengaku apa saja dalam hubungannya dengan Ki Lurah Mertapraja. Tetapi jangan kau kira bahwa aku tidak mengetahui dimana Ki Lurah sekarang berada."
"Tentu Ki Remeng mengetahuinya," jawab Kasadha. "Bahkan banyak orang yang mengetahuinya Ki Lurah sekarang berada di Pajang. Ia menjadi tawanan prajurit Pajang."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Banyak orang yang mengetahui bahwa Ki Lurah sekarang tertawan. Mereka kemudian mengaku bahwa mereka sempat menghubungi Ki Lurah. Ki Lurah minta agar mereka menemui aku disini. Bukankah kau juga akan berkata demikian?"
"Ya. Aku juga akan berkata seperti itu. Tetapi ketahuilah Ki Remeng, bahwa aku adalah seseorang yang telah mendapat kepercayaannya. Aku tahu dimana Ki Mawur itu menyimpan harta-benda yang sangat berharga milik perguruan Wukir Gading itu. Ki Lurah telah memberitahukannya agar aku datang untuk mengambilnya dan mempergunakannya sebaik-baiknya. Terutama untuk bekal menemukan dan pengobatan Ki Mawur. Tetapi Ki Lurah minta aku berbicara dengan Ki Remeng, agar Ki Remeng tidak merasa terlampaui. Ki Remeng yang bekas pekatik itu sudah mendapat kepercayaan sekian lama menunggui harta-benda milik perguruan Wukir Gading itu."
Tetapi Ki Remeng masih saja tertawa. Katanya, "Kau tentu mendapat keterangan dari orang lain. Mungkin dari seorang prajurit Pajang yang telah memeras Ki Lurah dengan menyakitinya, sehingga karena tidak tahan, maka Ki Lurah telah menyebut namaku. Atau kau mendengar dari Ki Mawur yang terluka parah dan tidak diketahui dimana ia berada. Dengan seribu cara, maka kalian telah mendapat keterangan tentang harta-benda itu."
"Aku dapat mengerti sikap Ki Remeng. Tetapi mungkin Ki Remeng dapat meyakinkan kebenaran keteranganku. Mungkin Ki Remeng mempunyai beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan persoalan yang sedang kita bicarakan, Dengan demikian maka Ki Remeng akan mempercayai keteranganku."
"Anak-anak muda," berkata Ki Remeng kemudian, "aku minta kau urungkan niatmu. Beberapa orang telah datang menemui aku di rumah ini. Tetapi baiklah aku berterus terang bahwa di belakang rumah ini ada empat sosok mayat yang aku kuburkan tanpa diketahui oleh orang lain. Mereka memaksa aku untuk mengatakan dimana harta-benda itu disimpan."
Jantung kedua orang anak muda itu memang berdegup semakin cepat. Tetapi Risang yang harus menahan diri ini berkata, "Apakah Ki Remeng selalu membunuh orang yang datang ke rumah ini?"
"Tidak," jawab Ki Remeng. "Selama mereka tidak memaksa aku untuk mengatakan sesuatu yang aku tidak tahu. Apalagi mereka yang memaksa dengan kekerasan."
"Jika demikian ada bedanya dengan kami," berkata Risang selanjutnya, "kami sama sekali tidak ingin memaksa Ki Remeng untuk mengatakan tentang harta-benda milik perguruan Wukir Gading karena kami sudah mengetahuinya sesuai dengan petunjuk Ki Lurah Mertapraja. Karena itu jika aku datang, hanyalah sekedar untuk memberitahukan, bahwa kami akan mengambil harta-benda itu untuk kepentingan sebagaimana dipesankan oleh Ki Lurah Mertapraja. Karena Ki Lurah juga berpesan agar aku berhubungan dengan Ki Remeng, maka akupun telah memenuhi permintaan itu."
"Kalian tentu mendapat keterangan dari prajurit Pajang yang telah memeras keterangan Ki Lurah dengan cara yang paling keji seperti yang sudah aku katakan. Kemudian jika kalian berhasil, maka prajurit yang memeras keterangan dari Ki Lurah itu tentu akan mendapat bagian."
"Ki Remeng," desis Risang, "kau sudah mulai menghina Ki Lurah Mertapraja."
Ki Remeng terkejut. Dengan dahi berkerut ia bertanya, "Kenapa aku menghina Ki Lurah?"
"Kau kira jiwa Ki Lurah demikian lemahnya, sehingga ada cara untuk memeras keterangannya."
Wajah Ki Remeng justru termangu-mangu sejenak. Ia menyadari, bahwa hati Ki Lurah Mertapraja memang sekeras baja. Ia memang percaya bahwa dengan cara apapun akan sangat sulit untuk memeras keterangan dari mulut Ki Lurah, karena ia akan memilih mati daripada berbicara tentang harta-benda itu.
Namun kemudian iapun berkata, "Jika tidak, maka bagaimana mungkin kalian mendapat pesan itu dari Ki Lurah Mertapraja."
Risang tidak segera dapat menjawab. Namun Kasadhalah yang menyahut, "Aku adalah juru masak di lingkungan keprajuritan Pajang. Aku sering mendapat tugas untuk memberikan rangsum ke dalam bilik tahanannya. Semula aku tidak tahu, siapakah Ki Lurah Mertapraja itu. Namun justru Ki Lurah yang menyapaku. Ia melihat aku dengan heran. Aku tidak tahu kenapa ia menganggap bahwa aku tidak pantas menjadi juru masak. Menurut Ki Lurah, aku masih terlalu muda untuk bekerja di dapur. Karena itu, maka ia mencoba memberi aku kesempatan, untuk berkembang. Ia memberi tugas untuk mencari pamannya yang terluka parah. Aku juga bertugas untuk mengambil harta benda yang disimpannya di lereng bukit dan beberapa pesan yang lain. Namun aku juga diperintahkannya menemuimu. Ki Remeng."
Ki Remeng itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya dengan nada rendah, "Kau tidak mampu meyakinkan aku, anak muda. Jika Ki Lurah yang minta kepadamu untuk membantunya, siapakah yang memberitahu kepada Ki Lurah, bahwa pamannya terluka parah" Siapa pula yang memberitahukan keadaan yang terjadi di luar dinding tahanannya itu?"
Kasadha menggeleng. Katanya, "Dari mana aku tahu, Ki Remeng. Yang aku tahu, Ki Lurah memerintahkan aku untuk menemuimu. Kemudian akupun mengajak kakakku untuk datang ke rumah ini."
"Jadi kalian adalah dua orang bersaudara?" bertanya Ki Remeng.
"Ya," jawab Kasadha. "Beberapa orang justru menyangka bahwa akulah yang lebih tua. Tetapi sebenarnya akulah yang lebih muda. Mungkin karena aku selalu bekerja di dekat api sebagai juru masak, maka aku menjadi lebih hitam dan tampak lebih tua."
"Apa kerja kakakmu ini?" bertanya Ki Remeng.
"Ia mewarisi kerja ayah. Ia pedagang kerbau dan lembu," jawab Kasadha.
"Siapakah sebenarnya namamu?" bertanya Ki Remeng pula.
"Namaku Rantam. Kakakku namanya Umpat," jawab Kasadha.
Tetapi Ki Remeng itu menggeleng. Katanya, "Anak-anak muda. Sudahlah. Jangan mencoba membohongi aku. Ujud kalian tidak sesuai dengan nama yang kalian pakai. Lebih dari itu, aku tidak tahu apa yang kalian katakan."
Tetapi Kasadhapun menjawab, "Kaulah yang membohongi kami, Ki Remeng. Bagaimanapun juga aku dapat menelusuri kata-katamu yang simpang siur itu."
"Anak-anak muda. Hari-harimu menurut gelar lahiriahnya, masih panjang. Karena itu, jangan mencoba melibatkan diri ke dalam persoalan yang rumit. Seperti sudah aku katakan, aku sudah membunuh empat orang dan aku kuburkan di belakang. Itu sudah terlalu banyak. Jangan menambah bebanku lagi. Karena jika kalian memaksaku, aku akan mengubur dua sosok mayat lagi. Mayat anak-anak muda yang justru sedang berkembang."
Kasadha dan Risangpun berpandangan sejenak. Dengan nada berat Kasadhapun berkata, "Baiklah, Ki Remeng. Jika Ki Remeng tetap tidak mempercayai kami, biarlah kami melaksanakan tugas yang dibebankan dan dipercayakan oleh Ki Lurah kepada kami. Kami tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Ki Lurah itu. Sementara itu, kamipun tidak mau menjadi korban ketidak-percayaan Ki Remeng dan dikuburkan di kebun di belakang rumah Ki Remeng."
"Lalu apa yang akan kalian lakukan?" bertanya Ki Remeng.
"Kami menyesal telah singgah di rumah ini, karena ternyata Ki Remeng tidak mempercayai kami. Sekarang kami minta diri. Kami harus pergi ke bukit. Kami tidak mau didahului oleh siapapun juga, karena ternyata bahwa usaha Ki Mawur menyembunyikan harta-benda dari perguruan Wukir Gading itu sudah diketahui banyak orang pula, meskipun tempatnya ia menyembunyikannya masih tetap merupakan rahasia yang hanya kami ketahui selain Ki Remeng. Kamipun tidak mau Ki Remeng mendahului kami karena Ki Remeng ingin berkhianat kepada Ki Mawur dan Ki Lurah Mertapraja."
"Anak-anak muda. Ternyata kalian sudah mendapat ancar-ancar dimana harta-benda itu disimpan. Karena itu, maka untuk tetap menjaga kerahasiaan benda-benda berharga itu, maka apaboleh buat. Aku tidak mempunyai cara lain kecuali dengan membunuh kalian dan menguburkan kalian bersama empat sosok yang telah terlebih dahulu terbaring di kebun belakang," berkata Ki Remeng.
"Tetapi ingat Ki Remeng. Jika kau membunuhku, maka tugas yang dibebankan oleh Ki Lurah Mertapraja tidak akan pernah dapat kami lakukan. Apalagi menyelamatkan Ki Mawur yang terluka parah itu dan selanjutnya berusaha membebaskan Ki Lurah dengan cara apapun juga. Jika perlu kami dapat menyuap para perwira di Pajang sehingga mereka dapat memberi kesempatan Ki Lurah melarikan diri. Jika Ki Lurah kemudian sampai di Madiun, maka Ki Lurah tentu sudah selama. Nah, bayangkan apa yang akan terjadi dengan Ki Lurah yang memiliki kekayaan tidak terhingga. Sementara itu pamannya dapat diselamatkan dari luka-lukanya yang parah?"
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "anak-anak muda. Selama ini memang belum pernah ada orang yang datang kepadaku dengan keterangan selengkap itu. Juga belum ada orang yang dapat menyebut tempat persembunyian benda-benda berharga itu. Meskipun demikian, aku belum dapat mempercayaimu."
"Apakah Ki Remeng juga masih belum percaya kepada kami, jika kami dapat menyebut nama dua buah pusaka yang disimpan bersama dengan benda-benda berharga itu?"
Wajah Ki Remeng menegang. Namun iapun bertanya, "Pusaka-pusaka apa?"
"Kau jangan berpura-pura tidak tahu, Ki Remeng. Ki Lurah Mertapraja mengatakan bahwa di antara benda-benda berharga itu terdapat dua buah pusaka. Kiai Wisa Raditya dan perisai yang dinamai Nyi Lar Sasi," jawab Kasadha.
Wajah Ki Remeng menjadi semakin berkerut. Namun tiba-tiba iapun berkata, "Anak-anak muda. Kalian ternyata mengetahui banyak hal yang seharusnya dirahasiakan. Sementara itu, aku tetap tidak percaya bahwa kalian pernah berhubungan dan mendapat keterangan langsung dari Ki Lurah Mertapraja. Kalian tentu bagian dari orang-orang yang sedang menawan Ki Mawur. Memaksa orang yang terluka parah itu untuk mengatakan dimana ia menyimpan harta benda dan pusaka-pusaka itu. Karena itu, maka kalian berdua harus dibinasakan."
"Apakah menurut pendapatmu, ketahanan jiwani Ki Mawur itu demikian lemahnya sebagaimana kau sebut bahwa Ki Lurah telah menyebut persembunyian benda-benda berharga itu karena terpaksa oleh tekanan yang tidak tertahankan" Apakah memang demikian dangkal penilaianmu atas mereka?"
"Tidak. Tidak," Ki Remeng memang menjadi bingung.
Namun Kasadha itupun berkata, "Ki Remeng. Jika aku berniat berbuat tidak jujur. Buat apa aku datang kepadamu" Kenapa aku tidak langsung pergi ke tempat benda-benda berharga itu disembunyikan, mengambilnya dan membawanya pergi" Tetapi justru karena aku menghormati pesan Ki Lurah Mertapraja, maka aku telah datang kemari."
Ki Remeng itu terdiam sejenak. Wajahnya menjadi tegang. Sekali-sekali dipandanginya Kasadha dengan tajamnya. Namun kemudian diperhatikannya Risang dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Aku melihat kesungguhan di wajah kalian. Tetapi firasatku tetap mengatakan, bahwa kalian telah berbohong kepadaku. Jika tidak seluruhnya, juga sebagian dari padanya."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Jika demikian, maka sebaiknya kami berdua pergi. Kami akan langsung menuju ke bukit di lereng sebelah Selatan. Di antara dua batu terbesar di lereng bukit kecil itu tersimpan benda-benda berharga dan pusaka-pusaka itu."
"Kalian tidak akan pernah sampai kesana," geram Ki Remeng.
"Maksud Ki Remeng?" bertanya Kasadha.
"Sudah aku katakan, kalian terlalu banyak mengetahui. Karena itu, maka kalian harus dibungkam untuk selama-lamanya," sahut Ki Remeng.
"Apakah Ki Remeng sanggup melakukan atas kami berdua?" bertanya Kasadha.
"Apalagi kalian, anak-anak yang baru kemarin sore dapat bangkit berdiri dan berjalan tertatih-tatih. Orang-orang yang mempunyai pengalaman dan bekal yang lengkappun telah aku selesaikan. Sekali lagi aku beritahukan bahwa empat orang berilmu tinggi telah aku kuburkan di belakang rumah ini."
"Jika Ki Remeng berhasil melakukan atas kami berdua, maka Ki Lurahpun akan mati karena pamannya akan mati lebih dahulu. Hidup Ki Lurah semata-mata bersandar tetapi juga diperuntukkan bagi pamannya. Ia tidak mempunyai seorangpun lagi di dunia ini selain pamannya. Isterinya dan anak-anaknya dianggapnya telah berkhianat pula. Dan sekarang, orang yang paling dipercaya, telah mengkhianatinya pula, karena ia telah membunuh orang-orang yang juga dipercayainya serta sedang mengemban tugasnya."
"Tidak. Tidak," Ki Remeng berteriak. "Jangan berbuat licik seperti itu."
"Aku tidak berbuat licik. Tetapi aku berkata sebenarnya."
"Cukup. Bersiaplah untuk mati," geram Ki Remeng.
"Sejak aku melihat kecurigaanmu, maka aku sudah bersiap. Sebenarnya aku hormati kau karena kau adalah kepercayaan Ki Lurah. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan membiarkan tubuh kami terbujur di belakang rumahmu ini," jawab Kasadha.
Tetapi Risangpun kemudian tertawa, "Kau memang aneh, Ki Remeng. Seandainya kita bertempur, maka salah seorang di antara kami akan dapat melarikan diri dan menyampaikannya kepada Ki Lurah, betapa orang kepercayaannya telah berkhianat."
"Tidak. Aku tidak berkhianat. Aku justru melindungi kepentingannya dan kepentingan Ki Mawur," bentak Ki Remeng.
"Jika demikian, terserah kepadamu. Seandainya kau akan berusaha membunuhku, maka akupun akan berbuat sebaliknya. Jika kau mati, maka tidak akan ada saksi. Sebagaimana kau berkhianat, maka akupun dapat berkhianat. Aku dan kakakku akan dapat memiliki benda-benda berharga itu bagi diri kami," berkata Kasadha.
"Persetan dengan kau," suara Ki Remeng menjadi gemetar. Namun nampak keragu-raguan pada sikapnya. Ia berdiri di persimpangan. Apakah ia akan percaya atau tidak.
Namun kemudian Ki Remeng itupun menggeram, "Keluarlah. Jika kalian memang ingin aku kuburkan di belakang rumahku sebagaimana keempat orang yang datang berurutan itu."
"Tidak. Kami sama sekali tidak menginginkannya. Tetapi kaulah yang memaksa apapun yang akan terjadi," jawab Risang.
"Diam. Diam kau. Aku akan mengoyak mulutmu," jawab Ki Remeng hampir berteriak, karena Ki Remeng ingin mengatasi suara yang mengumandang di dadanya. Suara yang mendesaknya untuk mempercayai kedua orang anak muda itu. Tetapi penalarannya tetap menolaknya. Ki Lurah tidak akan mungkin berbicara tentang benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu kepada orang yang baru dikenalnya. Apalagi ia merupakan bagian dari prajurit Pajang, meskipun sekedar juru masak. Sementara itu, Ki Remengpun sulit untuk dapat mempercayai bahwa anak muda itu adalah juru masak. Terasa dalam pembicaraan itu, bahwa anak yang mengaku bernama Rantam itu cukup cerdik, sementara penalarannya berputar dengan baik.
Namun demikian Ki Remengpun menjadi heran, bahwa anak muda itu mengetahui terlalu banyak tentang benda-benda berharga, tentang pusaka-pusaka yang tersimpan dan bahkan tentang keadaan keluarga Ki Lurah Mertapraja.
Tetapi Ki Remeng itupun kemudian berteriak pula, "Kalian harus mati anak-anak muda. Kalian terlalu cerdik bagi seorang juru masak."
"Apa hubungannya kecerdikan dengan pekerjaanku sebagai juru masak" Apa pula hubungan antara kecerdikan dengan pekerjaanmu sebagai pekatik" Pantaskah seorang pekatik memiliki kemampuan berfikir seperti kau, Ki Remeng. Bahkan ilmu yang sangat tinggi?"
"Persetan. Bersiaplah untuk mati anak-anak muda. Sebenarnya aku merasa sayang, bahwa aku harus memotong umurmu yang masih terlalu muda untuk mati. Tetapi apaboleh buat."
Kasadha dan Risangpun kemudian memang tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus turun ke halaman untuk melawan Ki Remeng yang dalam kebingungannya telah mengambil keputusan untuk menyelesaikan kedua orang anak muda itu.
"Ayo anak-anak muda. Jika kalian tidak mau menundukkan kepalamu untuk aku penggal lehermu, keluarlah. Kita akan mengadu betapa liatnya kulit kita dan betapa kerasnya tulang-tulang kita. Supaya tugasku cepat selesai, maka majulah kalian bersama-sama, sehingga dengan demikian aku akan dapat membunuh kalian bersama-sama pula."
"Baiklah Ki Remeng," jawab Kasadha, "kami akan bertempur di halaman."
Kasadha tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera menggamit Risang dan memberinya isyarat untuk turun ke halaman.
Sejenak kemudian, keduanya memang sudah berada di halaman. Betapapun gelapnya malam, namun ketajaman mata mereka mampu menembus dan melihat dengan jelas ketika Ki Remengpun turun pula ke halaman menyusul mereka.
Kedua belah pihakpun segera mempersiapkan diri, Kasadha dan Risang harus berhati-hati menghadapi orang tua yang tentu berilmu sangat tinggi itu. Mereka tidak mau kehilangan kesempatan karena mereka meremehkan pekatik tua itu. Karena itu, maka mereka memang akan menghadapi Ki Remeng itu bersama-sama. Apalagi mereka sama sekali tidak mempunyai gambaran, seberapa tinggi ilmu orang tua itu.
Ki Remeng yang ketika bertemu dengan Kasadha dan Risang di sudut padukuhan itu nampak sebagai seorang petani tua yang lemah, namun ketika ia berada di gelanggang, maka nampak betapa tegarnya tubuh orang itu. Ketuaannya seakan-akan telah lenyap sama sekali. Meskipun ujung rambutnya yang tergerai di bawah ikat kepalanya masih tetap putih, namun sikap dan geraknya sama sekali berbeda dengan petani tua di sudut padukuhan itu.
Kasadha dan Risangpun mulai mengambil jarak. Sekali-sekali Kasadha memandang Risang yang telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Risang. Masing-masing memang saling mencemaskan yang lain. Kasadha yang merasa telah menerima warisan tertinggi dari gurunya merasa bahwa dalam keadaan yang gawat ia harus melindungi Risang. Namun sebaliknya Risang yang merasa telah ditempa untuk mewarisi kemampuan puncak dari ketiga orang gurunya, tidak akan membiarkan saudaranya dalam kesulitan.
Ketika Ki Remeng mulai bergerak, maka kedua anak muda itupun bergeser pula. Ternyata gelapnya malam tidak mampu menutup penglihatan ketiga orang itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Remeng itupun mulai menyerang. Ketika tangannya terayun menggapai wajah Kasadha, maka Kasadhapun bergeser selangkah surut. Tetapi sambaran angin yang bergetar karena ayunan tangan Ki Remeng telah menampar kulit wajah Kasadha.
Kasadhapun bergeser pula setengah langkah sambil menggerakkan tangannya. Satu tangannya mengembang, tetapi tangannya yang lain berada di depan dadanya.
"Anak yang sombong," geram Ki Remeng. Namun sebelum Ki Remeng menyerang Kasadha, maka Risanglah yang telah menyerang. Kaki kanannya terjulur lurus ke arah lambung orang tua itu. Ketika Ki Remeng menghindari ke samping, maka dengan cepat Risang menyerang dengan putaran kakinya demikian ia meletakkan kaki kanannya.
Ki Remeng terkejut. Dengan tangkasnya ia bergeser surut. Serangan kaki melingkar itu hampir saja menampar keningnya.
"Anak iblis," gumam Ki Remeng.
Namun Ki Remeng tidak menunggu serangan lawannya yang masih muda itu. Dengan cepat, Ki Remengpun menyerang pula. Sasarannya bukan Risang. Tetapi Kasadha yang baru saja bergeser menyesuaikan diri.
Tetapi dengan tangkas Kasadha menghindar. Bahkan dengan cepat iapun membalas menyerang. Tangannya yang menebas ke arah kening, hampir saja mengenai sasarannya.
Tetapi Ki Remeng ternyata cukup tangkas. Dengan cepat ia memiringkan kepalanya, sehingga tangan Kasadha tidak menyentuhnya sama sekali.
Demikianlah Ki Remeng telah bergerak semakin cepat. Tidak lagi nampak sikapnya yang letih kehausan di sudut padukuhan. Yang sedang bertempur itu seakan-akan memang orang lain dari orang yang ditemui oleh kedua anak muda itu menjelang mereka memasuki padukuhan.
Semakin lama pertempuran itupun semakin meningkat pula. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka. Ki Remeng yang harus bertempur melawan kedua orang anak muda itu benar-benar menunjukkan dirinya sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi.
Namun ternyata kemampuan Ki Remeng itu sama sekali tidak menggetarkan jantung Kasadha dan Risang. Meskipun Kasadha masih saja mencemaskan Risang dan sebaliknya. Apalagi ketika Ki Remeng telah memanjat ke tataran ilmu yang semakin tinggi.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, serta lontaran-lontaran serangan yang mendebarkan dilambari dengan ilmu yang tinggi, justru Kasadha menjadi heran melihat kemampuan Risang. Sebaliknya Risangpun bertanya-tanya, betapa Kasadha mampu meningkatkan ilmunya pada tataran yang sangat tinggi.
Dengan kemampuan puncak masing-masing, maka Ki Remeng memang tidak banyak dapat berbuat atas kedua orang anak muda itu. Apalagi melawan keduanya. Untuk mengimbangi ilmu anak muda itu seorang demi seorang, Ki Remeng agaknya masih harus mengasah ilmunya lagi.
Untuk beberapa saat Ki Remeng masih bertahan. Dihentakkannya segala macam kemampuan yang dimilikinya. Ketika ia mendapat kesempatan, maka Ki Remeng telah menakupkan kedua telapak tangannya. Ketika kedua telapak tangannya itu digosokkannya yang satu dengan yang lain, maka asap tipis seakan-akan telah mengepul dari sela-sela kedua telapak tangannya itu.
Namun ketika ia meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah kening Kasadha, maka anak muda itu sama sekali tidak menghindarinya. Tetapi Kasadha telah membentur telapak tangan Ki Remeng itu dengan sisi kedua telapak tangannya yang sejajar, sehingga benturan yang keraspun telah terjadi.
Kasadha memang sedikit terguncang. Selangkah ia terdorong surut. Namun ia masih tetap tegak dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, Ki Remeng telah terlempar beberapa langkah. Bahkan orang tua itu telah jatuh terlentang. Namun orang itu demikian sigapnya. Demikian ia jatuh, maka iapun segera berguling dua kali ke belakang. Sekejap kemudian, maka iapun telah meloncat bangkit dan berdiri tegak.
Risang melihat akibat dari benturan itu dengan jantung yang berdebaran. Ia memang menjadi agak heran melihat benturan ilmu itu. Ia sadar bahwa tenaga dan kekuatan Ki Remeng dilandasi oleh kemampuannya yang tinggi, merupakan satu serangan yang sangat berbahaya. Bahkan mematikan. Namun Kasadha mampu membenturkannya dan justru mampu mendorong Ki Remeng sehingga orang tua itulah yang telah kehilangan keseimbangan. Sementara itu Kasadha hanya tergetar selangkah surut. Meskipun demikian, Risang juga melihat Kasadha kemudian berdiri tegak dan dengan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dengan mengatur pernafasannya, Kasadha berusaha mengatasi perasaan sakitnya.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Remeng telah sekali lagi memusatkan nalar budinya. Ia melupakan perasaan sakitnya. Meskipun tulang punggungnya bagaikan retak, namun dengan sisa kekuatannya yang terakhir ia telah menghentakkan kemampuan puncaknya. Satu hentakkan yang sangat kuat yang dilakukan sebagaimana telah dilakukannya terdahulu. Ketika Ki Remeng menakupkan telapak tangannya, maka di antara kedua telapak tangannya itu masih juga mengepul asap yang tipis.
Kasadhapun telah bersiap pula. Ia akan membentur kekuatan Ki Remeng sekali lagi, jika Ki Remeng itu meloncat menyerangnya.
Tetapi Ki Remeng tidak melakukannya atas Kasadha. Ki Remeng sadar, bahwa ilmunya tidak akan mampu memecahkan pertahanan Kasadha. Karena itu, maka sasaran serangannya kemudian adalah Risang yang mengaku bernama Limpat itu.
Tetapi Risangpun telah mempersiapkan dirinya dengan baik. Ketika Ki Remeng meloncat ke arahnya sambil mengayunkan tangannya ke arah kening Risang, maka Risang telah menyilangkan kedua tangannya pada pergelangan tangannya dengan telapak tangan terbuka dan jari yang merapat menghadap ke arah yang berlawanan.
Sekali lagi terjadi benturan yang sangat keras. Kasadha yang terkejut telah meloncat mendekat. Tetapi ia tidak sempat berusaha melindungi Risang, sementara itu ia tahu betapa besarnya kekuatan yang dihempaskan oleh pukulan tangan Ki Remeng yang berilmu tinggi itu.
Namun yang terjadi kemudian telah mengejutkan Kasadha. Kasadha memang melihat Risang terguncang. Tetapi ia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Meskipun tenaga dan kemampuan Ki Remeng telah menyusut setelah ia membenturkan ilmunya dengan kekuatan dan kemampuan ilmu Kasadha, namun serangan itu masih sangat berbahaya.
Tetapi ternyata Risang masih tetap tegak di tempatnya, meskipun ia harus berdesis menahan sakit di dadanya.
Sementara itu, akibatnya memang sangat buruk bagi Ki Remeng. Setelah ia terpelanting karena membentur pertahanan Kasadha yang tidak terpatahkan, maka sekali lagi ia membentur kekuatan yang tidak diduganya pula.
Ki Remeng itu ternyata telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun sekali lagi ia benar-benar tidak lagi mampu menjaga keseimbangannya. Sekali lagi Ki Remeng jatuh terbanting di tanah. Bahkan ketika Ki Remeng itu berusaha untuk bangkit, yang terdengar adalah keluhan tertahan.
Kasadha dan Risang tiba-tiba saja justru telah saling menilai kemampuan mereka masing-masing. Keduanya melihat satu loncatan yang panjang pada ilmu mereka. Kasadha tidak lagi melihat Risang dalam tataran ilmunya ketika ia bertempur di Tanah Perdikan Sembojan melawan orang-orang yang datang mengacaukan Tanah Perdikannya. Sebaliknya Risangpun melihat betapa Kasadha memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi. Jauh di atas kemampuan yang pernah dilihat sebelumnya.
Tetapi keduanya tidak sempat membuat penilaian lebih jauh. Keduanyapun telah menyimpan pertanyaan tentang peningkatan ilmu mereka masing-masing di dalam hati.
Yang mereka lakukan kemudian adalah melangkah dengan hati-hati mendekati Ki Remeng yang masih terbaring sambil menggeliat.
Kasadha dan Risang itupun kemudian telah berjongkok di sebelah menyebelah Ki Remeng. Dengan nada dalam Kasadha berdesis, "Ki Remeng."
Orang tua itu masih terdengar mengaduh perlahan.
"Tenanglah," berkata Risang kemudian.
Dengan suara yang bergetar Ki Remeng itupun berdesis, "Kenapa tidak kalian bunuh saja aku."
"Kami datang tidak untuk membunuhmu, Ki Remeng. Kami datang untuk melakukan tugas kami sebagaimana pesan Ki Lurah Mertapraja, yang sekarang berada di Pajang," desis Kasadha.
Ki Remeng berusaha mengatur pernafasannya sebaik-baiknya. Ia berbaring lurus dengan kedua tangannya yang diletakkannya di perutnya. Sementara Kasadha dan Risang hanya memandanginya dengan tegang.
Namun kemudian Ki Remeng itu berkata, "Bantu aku duduk anak-anak muda."
Berbareng Kasadha dan Risang telah membantu Ki Remeng yang berusaha untuk duduk.
Dengan kedua tangannya di dada, maka Ki Remeng duduk menyilangkan kakinya. Ditundukkannya wajahnya dengan mata terpejam. Ia sama sekali tidak peduli lagi terhadap kedua orang anak muda yang telah mengalahkannya, seandainya keduanya akan membunuhnya.
Dengan mengatur pernafasannya, maka Ki Remeng berusaha meningkatkan daya tahannya untuk mengatasi rasa sakit di dadanya.
Kasadha dan Risang memang membiarkannya. Mereka justru duduk beberapa langkah dari Ki Remeng. Keduanya sama sekali tidak mengganggunya.
Sementara itu, malampun merangkak menjelang fajar. Bintang-bintang sudah bergeser jauh dari tempatnya semula. Sementara itu, warna semburat mereka telah membayang di langit.
Beberapa saat kemudian, maka terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Bayang-bayang dedaunan menjadi semakin jelas. Demikian pula pepohonan di halaman dan kebun Ki Remeng yang luas itu.
Kasadha dan Risang sempat memperhatikan keadaan di sekeliling rumah itu. Untunglah bahwa halaman dan kebun rumah Ki Remeng cukup luas. Demikian pula halaman dan kebun tetangga-tetangganya sehingga tidak seorangpun yang mendengar keributan yang terjadi di halaman rumah kecil itu.
Beberapa saat kemudian, menjelang terang tanah, Ki Remeng itupun mulai mengangkat wajahnya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Kemudian dihembuskannya seakan-akan seluruh isi dadanya hendak dikosongkannya.
Setelah beberapa kali hal itu dilakukan, maka iapun kemudian bertanya sekali lagi dengan suaranya yang dalam, "Anak-anak muda, kenapa kalian tidak membunuh aku saja."
Kasadha dan Risangpun justru bangkit dan melangkah mendekat. Sambil berjongkok di sebelahnya Kasadha berkata, "Sudah aku katakan pula Ki Remeng. Kami tidak datang untuk membunuh. Kami datang untuk menjalankan perintah Ki Lurah Mertapraja."
"Apakah kalian berkata sejujurnya?" bertanya Ki Remeng.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Sebagian yang aku katakan adalah benar. Tetapi sebagian memang tidak."
"Aku sudah mengira. Karena itulah maka kalian telah membuat aku ragu-ragu," desis Ki Remeng yang sudah berhasil mengatasi sebagian rasa sakitnya.
"Tetapi bahwa Ki Lurah minta kami menyelamatkan pamannya adalah benar. Dan kami benar-benar akan melakukannya. Semata-mata atas dasar perikemanusiaan. Kami tahu bahwa Ki Lurah Mertapraja bukan seorang yang sangat jahat. Tetapi ia adalah seorang yang terlempar dari kebahagiaan hidup sebuah keluarga karena kemiskinan pribadi meskipun ia berkecukupan yang disebabkan oleh cacatnya, sehingga Ki Lurah itu di rumahnya selalu dibayangi oleh perasaan rendah diri. Tetapi berlawanan dengan kehidupannya di lingkungan keluarganya, maka ia adalah harimau yang garang di lingkungan keprajuritan serta seorang yang menggantungkan nafsu kuasanya pada bintang di langit."
"Yang kau katakan itu benar," desis Ki Remeng.
"Bukan hanya itu. Tetapi juga letak benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu," sambung Kasadha.
"Ya. Kau benar pula," Ki Remeng mengangguk-angguk.
"Selain itu maka Ki Lurah memang berpesan agar aku datang kepada Ki Remeng serta permintaannya agar kami berusaha membebaskan pamannya," berkata Kasadha. Lalu katanya, "Nah, apakah Ki Remeng percaya."
"Aku percaya anak muda. Tetapi yang lain tidak. Aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang juru masak. Aku percaya bahwa namamu Rantam dan nama kakakmu Limpat."
"Ia memang kakakku. Itu kebenaran," sahut Kasadha.
"Aku percaya karena ujud kalian memang mirip sekali," berkata Ki Remeng. Lalu katanya pula, "Bahwa di antara ceritera kalian ada yang tidak benar itulah yang telah membuat aku ragu-ragu. Jika kalian benar-benar jujur, kenapa kalian masih harus berbohong meskipun hanya sebagian?"
"Baiklah," berkata Kasadha. "Yang akan aku katakan hanyalah yang benar dan yang Ki Remeng anggap benar. Yang lain tidak akan aku singgung lagi, meskipun aku berkata dengan jujur, bahwa memang ada bagian-bagian yang tidak benar."
"Baiklah anak-anak muda. Apapun yang kalian lakukan, tetapi aku sudah kalah. Bahkan kalian berhak membunuh aku, karena aku sudah berniat membunuh kalian," berkata Ki Remeng.
"Aku tidak akan membunuhmu, karena Ki Lurah tidak berpesan seperti itu. Bahkan Ki Lurah berpesan agar kau ikut serta mengambil dan menyelamatkan benda-benda berharga itu," sahut Kasadha.
"Aku tidak dapat menolak lagi. Hidupku kini sudah bukan milikku lagi," jawab orang tua itu.
"Baiklah Ki Remeng," berkata Kasadha kemudian. "Jika demikian, maka apakah Ki Remeng tidak berkeberatan jika kami berdua beristirahat di rumah Ki Remeng sampai besok sore. Besok sore kita bersama-sama akan pergi ke bukit itu."
"Silahkan anak-anak muda. Aku tentu tidak akan berkeberatan. Apalagi hanya sekedar numpang beristirahat di rumah ini sampai besok sore. Kalian ambilpun aku tidak akan dapat menolak."
"Jangan berkata begitu Ki Remeng. Kami akan merasa kecewa, karena kami tidak melihat keikhlasan Ki Remeng. Ki Remeng hanya didorong oleh perasaan kecewa karena Ki Remeng tidak berhasil membunuh kami berdua dan menguburkan di sebelah jajaran sosok tubuh orang-orang yang telah kau bunuh. Mungkin kuburan itu pada suatu saat akan dapat menjadi kebanggaan Ki Remeng, bahwa Ki Remeng telah berhasil membunuh orang-orang berilmu tinggi dan menguburkannya berjajar di belakang rumah Ki Remeng."
"Tidak anak-anak muda. Tidak. Sama sekali tidak," sahut Ki Remeng dengan serta-merta.
"Jika demikian aku tidak senang dengan sikap Ki Remeng itu," berkata Kasadha.
"Baiklah. Jika demikian aku mohon maaf," desis orang tua itu.
Demikianlah, maka Ki Remengpun telah mempersilahkan Kasadha dan Risang untuk beristirahat di rumah itu. Namun demikian, kedua orang anak muda itu cukup berhati-hati, bergantian mereka mandi dan berbenah diri. Ketika kemudian Ki Remeng minta ijin untuk berada di dapur, menjerang air untuk minum serta menanak nasi, maka Kasadha dan Risang bergantian membantunya sekaligus mengawasinya.
Demikianlah sehari itu Kasadha dan Risang memang berada di rumah Ki Remeng. Kedua anak muda itu telah melihat pula, empat pertanda tempat Ki Remeng menguburkan orang-orang yang pernah dibunuhnya. Meskipun tidak nampak gundukan tanah sebagaimana terdapat di kuburan, namun Ki Remeng telah memberinya tanda yang hanya diketahuinya sendiri. Di atas kuburan itu Ki Remeng telah meletakkan sebuah batu yang cukup besar serta ditanamnya batang-batang sembojan di atasnya.
Kedua anak muda itu memang menjadi berdebar-debar. Jika mereka tidak berhasil mempertahankan diri, maka mereka berdua juga akan terbujur di sebelahnya pula.
Dengan singkat Ki Remeng juga menceriterakan keempat orang yang datang tidak bersama-sama. Seorang demi seorang. Kebanyakan dari mereka ternyata hanya menduga-duga saja bahwa Ki Remeng mengetahui tempat benda-benda berharga itu disembunyikan.
"Aku membunuh mereka semata-mata karena aku mempertahankan diri," berkata orang tua itu. "Mereka memaksa aku untuk mengatakan dimana benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu disembunyikan."
"Bukankah kami berdua tidak memaksa Ki Remeng untuk mengatakan sebagaimana orang-orang itu" Tetapi kenapa Ki Remeng juga akan membunuh kami?" bertanya Risang.
"Sudahlah Ngger," desis Ki Remeng. "Jika hal itu tidak kautanyakan kepadaku, maka aku merasa bahwa aku memang tidak berhak lagi untuk tetap hidup."
"kami hanya ingin mengetahui, apakah benar Ki Remeng membunuh orang-orang itu karena mempertahankan diri?" sahut Risang.
"Benar anak muda. Tetapi jika aku ingin membunuhmu itu, karena kalian terlalu banyak mengetahui."
Risang tidak bertanya lagi tentang keempat orang yang telah terbunuh itu. Tetapi Risang dan Kasadha mulai bertanya tentang paman Ki Lurah Mertapraja.
"Aku berkata sebenarnya anak-anak muda, bahwa aku tidak tahu pasti dimana Ki Mawur itu berada. Tetapi aku yakin bahwa ia berada di tangan orang-orang yang telah berkhianat terhadap perguruan Wukir Gading itu," jawab Ki Remeng.
"Apakah Ki Remeng sama sekali tidak mempunyai gambaran, dimana mereka berada?" bertanya Kasadha.
"Tidak. Tetapi jika anak-anak muda bersungguh-sungguh untuk membebaskan Ki Mawur, maka aku akan bersedia membantu. Namun kalian harus menyadari, bahwa kita akan berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi."
"Apakah menurut perhitungan Ki Remeng kita tidak akan mampu menghadapi mereka?" bertanya Kasadha.
"Kalian berdua memang berilmu tinggi. Tetapi yang aku tidak tahu, berapa orang yang harus kita hadapi," berkata Ki Remeng.
"Aku berkata sesungguhnya, bahwa Ki Lurah Mertapraja benar-benar berharap bahwa pamannya dapat diselamatkan. Bagi Ki Lurah, maka nilai pamannya itu baginya, jauh lebih tinggi dari benda-benda berharga yang telah diberitahukannya kepadaku. Juga lebih tinggi dari pusaka-pusaka yang disebutnya berasal dari langit itu. Bahkan segala macam cita-cita dan jabatan yang diinginkannya. Karena itu, kami benar-benar ingin menolongnya."
Ki Remeng memandang kedua orang anak muda itu dengan ragu-ragu. Sementara Kasadha menjelaskan, "Ki Remeng. Jika kami adalah orang-orang tamak yang hanya mementingkan harta-benda, maka bagi kami segalanya sudah dapat kami lakukan. Tanpa datang kepada Ki Remeng dan tanpa berusaha menemukan Ki Mawur. Jika hal ini aku katakan, sebenarnya aku ingin meyakinkan Ki Remeng, bahwa kedatangan kami kemari bukan semata-mata karena ketamakan kami. Sebenarnyalah kami yakin bahwa ada yang bernilai lebih tinggi dari harta-benda yang seberapapun banyaknya."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Katanya, "Aku menyesal sekali akan sikapku terhadap kalian anak-anak muda, meskipun aku belum tahu pasti, apakah yang sebenarnya sedang kalian lakukan. Karena aku masih merasa bahwa ada hal-hal yang kalian sembunyikan."
"Kau benar Ki Remeng. Tetapi nanti malam setelah kita berada dibukit, maka semuanya akan menjadi jelas bagimu. Tidak akan ada lagi yang tersembunyi. Senang atau tidak senang, kau akan melihat satu kenyataan. Tetapi jika kau benar-benar ingin melihat Ki Lurah Mertapraja selamat dan dalam keadaan baik, maka kau tidak mempunyai pilihan lain kecuali membantu kami menemukan benda-benda berharga itu serta melepaskan Ki Mawur dari tangan orang-orang yang sudah memberontak dan menangkapnya saat ia berada dalam keadaan parah."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Ia memang menyadari kedudukannya, bahwa ia tidak akan dapat melawan kehendak kedua orang anak muda yang masing-masing mampu meredam ilmunya yang tertinggi.
Ketika kemudian matahari bergeser dan turun di arah Barat, Kasadha dan Risangpun segera bersiap-siap untuk pergi ke bukit. Keduanya juga mempersilahkan Ki Remeng untuk bersiap-siap, karena mereka akan melihat apakah harta-benda yang dipersoalkan itu memang ada.
Demikianlah, sedikit lewat senja, ketika orang itupun telah meninggalkan rumah Ki Remeng untuk menuju ke bukit kecil di tengah-tengah padang perdu itu. Di atas bukit kecil itu di lereng berbatu-batu tersimpan harta-benda yang tidak terhingga nilainya serta sepasang pusaka yang dianggap sangat berharga karena pusaka-pusaka itu telah diturunkan dari langit.
Seperti yang direncanakan, maka Kasadha dan Risang telah sepakat akan bertemu dengan Sambi Wulung, Jati Wulung dan pemimpin kelompok prajurit dari Pajang itu.
Demikian Kasadha bertiga keluar dari padukuhan, merekapun segera berjalan menyusuri jalan bulak yang panjang. Kemudian mereka memasuki padang rumput, lalu merekapun memasuki sebuah padang perdu.
Dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung dan pemimpin kelompok itu ternyata telah berada di sebelah Barat bukit sebagaimana direncanakan. Jika tidak mungkin, maka mereka akan menunggu di sebelah Selatan bukit.
Namun ternyata bahwa menurut Sambi Wulung, tidak ada sesuatu yang perlu dicemaskan jika mereka berada di sebelah Barat bukit.
Demikianlah ketiga orang itu telah menunggu sambil duduk di atas bebatuan. Bahkan Jati Wulung yang berada di atas batu yang besar, telah membaringkan dirinya. Rasa-rasanya tulang belakangnya terasa pegal-pegal setelah sehari-harian berjalan hilir mudik sehingga akhirnya mereka berada di sebelah Barat bukit kecil itu.
Namun Jati Wulung itu tiba-tiba telah berguling dan dengan tangkasnya turun dan berjongkok di balik batu itu. Sementara Sambi Wulung dan pemimpin kelompok itupun berusaha untuk bergeser ke belakang batang-batang perdu.
Mereka ternyata telah mendengar langkah kaki-kaki beberapa orang yang mendekati tempat mereka.
Namun tiba-tiba saja langkah itu terhenti. Tidak lagi terdengar suara apapun, sehingga bukit kecil dan sekitarnya itu menjadi sunyi hening.
Baru sejenak kemudian terdengar bunyi burung hantu yang terdengar ngelangut di sepinya malam.
Tetapi suara burung hantu itu ternyata telah disahut oleh derik bilalang berkepanjangan.
Dengan demikian maka baik Kasadha, maupun Sambi Wulung menjadi saling mengenal, siapakah yang sedang menunggu dan siapakah yang sedang lewat.
Beberapa saat kemudian, maka dua kelompok kecil yang masing-masing terdiri dari tiga orang itupun telah bertemu.
Ki Remeng memang menjadi curiga, bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki akan terjadi. Apalagi ketika Kasadha bertanya, "Ki Remeng. Apakah belum ada sosok tubuh yang dikuburkan disini?"
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, "Sepengetahuanku belum anak muda."
"Bagaimana pendapatmu jika di kaki bukit ini juga dikubur sesosok tubuh yang beku?"
Jawab Ki Remeng memang mengejutkan. Demikian pasrahnya ia kepada keadaan, sehingga yang terbayang di mata Kasadha dan Risang adalah orang tua yang tertatih-tatih dan keletihan berjalan di sudut padukuhan setelah bekerja sehari-harian di sawahnya. Sehingga dengan demikian, maka Ki Remeng yang hadir di kaki bukit itu adalah bukan Ki Remeng yang tegar dan garang, yang mengubur empat orang yang telah dibunuhnya di belakang rumahnya. Tetapi kembali sosok orang yang ditemuinya di sudut padukuhan.
Dengan nada rendah Ki Remeng itu menjawab, "Anak-anak muda. Apapun yang akan kau lakukan atas aku dan atas harta-benda berharga itu akan dapat kalian lakukan. Membunuh aku, kemudian mengambil benda-benda berharga itu. Bukankah aku tidak akan dapat melawan" Namun demikian, masih ada satu permintaanku justru sebagaimana yang kalian janjikan, bahwa aku akan mengetahui segala-galanya jika aku sudah berada disini. Mungkin rencana kalian, setelah memberikan pengakuan itu, kalian akan menyingkirkan aku untuk selama-lamanya, agar aku tidak dapat berbicara lagi kepada siapapun dan tentang apapun."
"Kau masih saja curiga, Ki Remeng," jawab Kasadha. "Sudah aku katakan, bahwa kita akan bersama-sama membebaskan paman dari Ki Lurah Mertapraja itu."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara apapun. Matanya yang redup memandang bukit kecil berbatu-batu itu. Bukit yang sudah beberapa lama ditungguinya, karena di dalamnya tersimpan benda-benda berharga serta pusaka-pusaka yang dipercayainya akan dapat mengangkat derajat perguruan Wukir Gading.
Namun Ki Remengpun harus melihat kenyataan, bahwa di dalam tubuh perguruan Wukir Gading sendiri telah terjadi benturan sikap dari para pendukungnya.
Dalam pada itu, maka Kasadhapun berkata, "Ki Remeng. Aku akan menepati janjiku. Aku akan mengatakan yang sebenarnya tentang kami dan tugas-tugas kami."
Ki Remeng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih berdiam diri.
Merekapun kemudian telah duduk di atas bebatuan. Dengan hati-hati Kasadhapun telah menjelaskan apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Ia tidak menyembunyikan kenyataan tentang dirinya dan tentang Risang serta orang-orang yang datang bersamanya.
Ki Remeng mengangguk-angguk kecil. Ternyata ia telah berhadapan dengan sekelompok kekuatan yang datang dari Pajang. Kekuatan yang tidak mampu diatasinya.
Tetapi satu hal yang membesarkan hatinya, bahwa anak-anak muda yang justru memimpin sekelompok petugas dari Pajang itu bukan orang-orang yang berhati batu. Mereka masih mendengarkan panggilan nurani mereka. Mereka bukan saja menjalankan tugas, tetapi mereka benar-benar berniat membebaskan Ki Mawur yang berada di tangan orang-orang yang telah memberontak terhadap pimpinan perguruan Wukir Gading.
Ki Remengpun percaya bahwa niat itu bukannya termasuk tugas yang dibebankan kepada mereka oleh para pemimpin di Pajang. Tetapi semata-mata karena mereka berniat untuk membantu memperingan penderitaan Ki Lurah Mertapraja.
Meskipun Ki Lurah itu seorang tawanan bagi mereka, namun mereka tidak sampai hati membiarkan Ki Lurah itu menderita berkepanjangan.
"Bagaimana pendapatmu Ki Remeng," tiba-tiba Kasadha bertanya dengan nada berat.
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku berhadapan dengan satu kenyataan. Tetapi bagiku, rencana kalian untuk membebaskan Ki Mawur adalah rencana yang didorong oleh rasa kemanusiaan yang tinggi itu membesarkan hatiku."
"Bagaimana pendapat Ki Remeng tentang sikap Pajang?" bertanya Kasadha pula.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menurut jalan pikiran para pemimpin di Pajang, sikap itu wajar sekali," jawab Ki Remeng.
"Apakah Ki Remeng masih tetap pada pendirian Ki Remeng untuk membantu kami melepaskan Ki Mawur dari tangan orang-orang yang telah menangkapnya?"
"Ya," jawab Ki Remeng. "Aku membayangkan satu penderitaan yang berkepanjangan. Orang-orang yang menawannya itu tentu berusaha untuk memeras keterangannya, sementara ia dalam keadaan yang sangat lemah. Aku yakin bahwa Ki Mawur akan tetap merahasiakan tempat benda-benda berharga serta pusaka-pusaka itu disembunyikan. Tetapi dalam keadaan antara sadar dan tidak dapat saja di luar kehendaknya, meluncur nama-nama yang bersangkutan dengan benda-benda berharga itu. Karena itu, pernah datang beberapa orang yang memaksaku untuk berbicara tentang benda-benda berharga itu."
"Jika demikian, baiklah. Kami akan meneruskan segala rencana kami. Kami akan memindahkan benda-benda itu dari tempatnya, karena kami masih belum akan langsung kembali meninggalkan tempat ini. Kami masih harus mencari orang yang bernama Ki Mawur dan membawanya ke Pajang, Jika Ki Mawur itu dapat diselamatkan, maka hal itu akan banyak berarti, bukan saja bagi Ki Lurah Mertapraja, tetapi juga tentang banyak hal, terutama yang menyangkut orang-orang Wukir Gading."
"Apakah benda-benda berharga dan pusaka-pusaka itu akan dipindahkan?" bertanya Ki Remeng.
"Ya," jawab Kasadha.
"Apakah menurut pendapat kalian, memindahkan benda-benda berharga itu akan menjadi lebih baik bagi keselamatan benda-benda berharga itu?" bertanya Ki Remeng.
"Menurut pendapatku memang demikian," jawab Kasadha. "Setidak-tidaknya Ki Mawur tidak akan dapat menunjukkan tempatnya jika di luar sadarnya ia berbicara tentang benda-benda itu. Aku yakin, dalam keadaan sadar ia tidak akan mengatakannya betapapun tingkat penderitaan yang dialaminya. Tetapi seseorang akan dapat kehilangan kesadarannya sesaat jika ia berada dalam keadaan yang parah. Panasnya dapat meninggi, sehingga kehilangan kendali atas kata-kata yang diucapkannya."
Ki Remeng mengangguk-angguk. Sementara itu Risangpun bertanya, "Menurut pendapat Ki Remeng, apakah kita akan mengalami kesulitan untuk memindahkan benda-benda berharga itu?"
Ki Remeng menggeleng. Katanya, "Tidak. Benda-benda berharga itu ada di dalam beberapa peti yang tidak terlalu besar, sehingga kita masing-masing akan dapat membawa satu peti."
"Baiklah," berkata Kasadha. "Kita akan mencari tempat yang paling baik untuk menyimpan benda-benda berharga itu. Sebelum matahari terbit, kita harus sudah dapat menyelesaikan pekerjaan kita."
Ki Remeng mengangguk mengiakan. Namun kemudian katanya, "Apakah rencana kalian akan memindahkan benda-benda berharga itu di tempat yang jauh, atau sekedar beringsut dari tempatnya?"
"Untuk sementara, kita akan menggeser saja benda-benda berharga itu. Tetapi untuk selanjutnya kita harus benar-benar mengamankannya," jawab Kasadha.
Ki Remeng mengangguk-angguk, sementara Risang bertanya, "Apakah Ki Remeng mengetahui tempat yang terbaik untuk memindahkan benda-benda berharga itu?"
Ki Remeng termangu-mangu sejenak. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, "Di sekitar tempat ini lingkungannya hampir sama. Hutan perdu dan tanah berbatu-batu."
"Marilah Ki Remeng," berkata Risang, "kita akan melihat-lihat."
Ki Remeng memang tidak dapat menolak. Bersama Kasadha dan Risang, Ki Remengpun menelusuri sela-sela pohon perlu untuk mencari tempat yang terbaik yang akan dipergunakan untuk memindahkan benda-benda berharga yang akan digali dari lereng bukit itu, sementara Sambi Wulung dan kedua orang yang lain tetap berada di tempat mereka sambil mengawasi keadaan.
Baru beberapa saat kemudian Kasadha dan Risang menemukan tempat yang baik. Di sela-sela bongkah-bongkah padas yang ditandai oleh sebatang pohon ketapang yang kira-kira berjarak duapuluh langkah serta di sisi yang lain terdapat sebuah batu yang sangat besar yang nampaknya sulit untuk dipindahkan, mereka berpendapat, bahwa tempat itu merupakan tempat yang sesuai.
Demikianlah, maka merekapun segera memutuskan untuk memindahkan benda-benda berharga malam itu juga.
"Apakah kita mempunyai alat untuk menggali tanah di lereng bukit kecil dan kemudian menggali tempat untuk memindahkan peti-peti itu?" bertanya Ki Remeng.
"Kami sudah memperhitungkannya, Ki Remeng," jawab Kasadha. "Paman Sambi Wulung dan Jati Wulung tentu sudah menyediakannya."
Ki Remeng mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak bertanya lagi.
Kasadhapun tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian telah minta semua orang yang datang bersamanya untuk menggali benda-benda berharga yang disembunyikan.
Ki Remeng yang ingin meyakinkan dirinya, sengaja tidak menyatakan sesuatu tentang tempat persembunyian benda-benda berharga itu. Namun ternyata bahwa Kasadha dan orang-orang yang datang bersamanya itu benar-benar mengetahui dengan pasti, dimana benda-benda itu disembunyikan.
"Mereka tidak berbohong," berkata Ki Remeng di dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah tenggelam dalam kerja. Mereka telah menggali tanah yang tidak terlalu keras. Meskipun tempat itu berbatu-batu padas, namun agaknya karena tempat itu memang pernah digali, sehingga tanah yang kemudian ditimbunkan kembali tidak lagi terlalu keras.
Namun ternyata galian tanah tempat benda-benda berharga itu disembunyikan cukup dalam. Karena itu, maka mereka memerlukan waktu cukup lama untuk menggali kembali peti-peti yang disembunyikan di tempat itu.
Berganti-ganti mereka turun ke dalam lubang galian itu. Bahkan Ki Remengpun ikut pula turun membantu menggali.
"Apakah peti-peti itu memang disimpan sangat dalam atau bahkan sudah berhasil diketemukan orang lain?" bertanya Kasadha di luar sadarnya.
"Tidak anak muda," sahut Ki Remeng. "Aku ikut menggali lubang ini pula saat peti-peti itu disembunyikan. Hanya ada empat orang saat itu. Aku, Ki Mawur, Ki Lurah Mertapraja dan Pemimpin Padepokan Wukir Gading itu sendiri."
"Tetapi dari mana orang-orang yang datang ke rumahmu mengetahui bahwa kau terlibat dalam usaha menyimpan peti-peti itu?" bertanya Risang.
"Aku sependapat dengan kalian. Dalam keadaan tidak sadar karena luka-lukanya yang parah, mungkin karena panasnya meninggi atau karena sebab-sebab lain, Ki Mawur pernah menyebut namaku," jawab Ki Remeng.
"Bahkan mungkin tempat ini," desis Kasadha. Tetapi Ki Remeng menyahut, "Masih beberapa jengkal lagi. Sudah aku katakan, aku ikut menggali."
Kasadha dan Risang tidak bertanya lagi. Namun merekapun bekerja semakin keras bergantian.
Ketika Kasadha dan Risang mulai menjadi gelisah, maka tiba-tiba cangkul yang mereka pergunakan telah menyentuh sesuatu. Kasadha yang kebetulan mengayunkan cangkul itu justru terkejut. Di luar sadarnya ia berdesis, "Agaknya kita akan segera mendapatkannya."
Dengan demikian, maka mereka yang menggali lubang yang cukup besar itu menjadi semakin berpengharapan bahwa kerja mereka tidak sia-sia.
Sebenarnyalah bahwa akhirnya mereka telah menemukan setumpuk peti kayu yang berisikan benda-benda berharga itu. Bahkan merekapun telah menemukan sebuah peti kayu yang panjang. Dengan segera mereka mengetahui bahwa peti yang panjang itu adalah peti yang dipergunakan untuk menyimpan pusaka tertinggi milik perguruan Wukir Gading. Demikian pula ketika mereka menemukan peti yang besar tetapi pipih. Tentu peti tempat menyimpan perisai yang disebut Nyai Lar Sasi.
Meskipun sudah mulai merapuh, namun peti-peti itu masih cukup kuat bertahan beberapa waktu lagi. Sehingga untuk sementara mereka yang menggali benda-benda berharga itu masih belum perlu memikirkan untuk mengganti peti-petinya.
Satu-persatu mereka telah mengangkat peti-peti itu dan menaruhnya di sebelah lubang yang besar yang telah mereka gali. Sementara itu malam sudah menjadi semakin dalam. Sedangkan pekerjaan mereka masih cukup banyak. Mereka harus mengangkat dan membawa peti-peti itu, sementara mereka masih harus menggali lubang yang baru. Meskipun tidak sedalam lubang itu, namun lubang itu memang tidak boleh terlalu dangkal.
Ketika peti-peti itu semuanya sudah terangkat, serta keenam orang yang akan memindahkan peti-peti itu sudah berkerumun, maka Kasadhapun berkata, "Kita akan membuka satu dari antara peti-peti itu untuk melihat isinya. Sebelum kita bekerja keras memindahkan peti-peti itu, kita harus yakin, bahwa isinya memang cukup berharga."
Tidak seorangpun yang menolak. Bahkan Ki Remeng juga tidak, meskipun ia tahu pasti, bahwa isi peti-peti itu adalah barang-barang berharga.
Karena itu, maka Kasadhapun telah membuka satu di antara peti-peti kayu itu. Disaksikan oleh lima orang yang lain, maka Kasadha ingin meyakinkan, apa yang tersimpan di dalam peti-peti itu.
Ketika peti itu terbuka, maka orang-orang yang berjongkok melingkar itu harus menahan nafasnya kecuali Ki Remeng yang memang sebelumnya sudah lebih dulu mengetahui apakah isinya.
Di dalam peti itu terdapat berbagai macam perhiasan yang terbuat dari emas dan berlian. Meskipun di dalam kegelapan malam, ternyata permata yang terdapat di peti itu sempat berkilat memantulkan cahaya bintang yang berkeredipan di langit.
"Kita sekarang harus mempercayai, bahwa yang dikatakan oleh Ki Lurah itu bukan sekedar igauannya. Benda-benda berharga ini memang benar-benar ada," berkata Kasadha.
"Aku mengetahui isi dari peti-peti itu," berkata Ki Remeng. "Salah satu di antara peti-peti itu berisi bukan perhiasan. Tetapi terdiri dari berjenis senjata. Keris, cundrik, luwuk, patrem dan sebagainya. Pendok serta sarungnya terbuat dari emas yang ditretes dengan permata, sehingga harganya menjadi sangat mahal."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Benda-benda berharga ini nilainya memang sangat tinggi, sehingga beberapa pihak telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendapatkannya."
"Anak-anak muda," berkata Ki Remeng dengan nada yang berat. "Ketika aku tumbuh menjadi seorang remaja, aku sama sekali tidak pernah berpikir, bahwa pada suatu saat aku harus membunuh sesama. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa aku akhirnya memang menjadi seorang pembunuh. Ketika aku mulai memasuki perguruan, maka jalan ke arah itu sudah terasa. Ternyata bahwa setelah aku menjadi semakin tua, maka aku menjadi semakin sering membunuh. Terakhir aku membunuh berturut-turut empat orang yang datang ke rumahku karena benda-benda berharga ini."
Namun tiba-tiba pembicaraan mereka itupun terputus. Mereka mendengar isyarat yang aneh. Seperti suara angkup keluwih. Tetapi di tempat itu tidak terdapat pohon keluwih.
Kasadha yang mendapat perintah untuk mempertanggung-jawabkan tugas yang berat itu, bergeser selangkah sambil menengadahkan wajahnya. Sementara itu, suara yang terdengar itu segera hilang. Yang terdengar kemudian adalah aum anjing hutan yang kelaparan.
Ki Remeng yang kemudian juga bangkit berdiri berkata, "Aku tidak pernah mendengar aum anjing seperti itu. Disini tidak ada anjing hutan, apalagi serigala."
"Jadi, maksud Ki Remeng, suara itu merupakan isyarat?" bertanya Risang.
"Ya," jawab Ki Remeng.
"Aku sependapat," sahut Kasadha. Lalu iapun kemudian berkata dengan nada meninggi, "Kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan."
Keenam orang itupun segera mempersiapkan diri. Dengan nada berat Kasadha berkata, "Ternyata ada juga orang yang mengetahui tempat ini. Mereka tentu orang-orang berilmu tinggi. Kita sama sekali tidak mengetahui bahwa yang kita lakukan selama ini dalam pengamatan orang lain."
"Mereka tentu orang-orang yang pernah mendengar namaku. Mereka mengawasi rumahku siang dan malam tanpa henti-hentinya. Sehingga akhirnya mereka mendapat kesempatan ini."
"Atau Ki Mawur benar-benar telah terlepas dari kesadarannya sehingga terlanjur dari mulutnya rahasia yang dipertahankannya mati-matian itu?" desis Risang.
"Berhati-hatilah," berkata Kasadha. "Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi."
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, mereka mendengar gemerisik langkah dari dua arah.
Sejenak kemudian, empat orang telah berdiri beberapa langkah dari Kasadha yang berdiri di paling depan. Seorang di antara mereka adalah seorang yang bertubuh kecil. Namun agaknya orang itulah yang menjadi pemimpin dari keempat orang yang datang itu.
"Akhirnya kami menemukan apa yang kami cari, Remeng. Selama ini kami hanya menduga-duga saja," berkata orang bertubuh kecil itu. "Tetapi aku tidak mengira bahwa kau akhirnya telah berkhianat. Kau telah memberatkan nyawamu daripada kesetiaanmu kepada perguruan kita."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Remeng.
"Empat orang telah kau bunuh. Kami mengagumi ilmumu yang sangat tinggi. Namun ketika datang dua orang yang mampu mengalahkanmu, maka ternyata kau tidak berani menanggung akibatnya untuk tidak membuka rahasia dari benda-benda berharga milik perguruan kita."
"Aku tidak tahu apa yang kau katakan," desis Ki Remeng.
"Ki Remeng. Kami berempat tidak mau datang menemuimu. karena kami menganggap bahwa kau adalah seorang yang memiliki kesetiaan yang sangat tinggi. Kau tidak akan mengatakan dimana benda-benda berharga itu disembunyikan. Kami mengira bahwa kau tentu akan memilih mati seandainya kami berusaha memeras keteranganmu. Karena itu, aku memilih dengan sabar menunggu bahwa satu saat kau akan melihat benda-benda berharga itu atau mungkin memindahkannya setelah empat orang datang kepadamu, namun berhasil kau bunuh. Tetapi dugaanku salah. Ternyata kau tidak memilih mati. Ketika kau dapat dikalahkan oleh kedua orang anak muda itu, kau telah membuka rahasia demi keselamatanmu. Tetapi kamilah yang ternyata telah beruntung. Kamilah yang akan memiliki benda-benda berharga itu. Namun ketahuilah, bahwa kami akan tetap menjunjung tinggi perguruan kita. Kami akan tetap mempergunakan benda-benda berharga itu bagi kepentingan perguruan," berkata orang bertubuh kecil itu.
"Kau jangan mengigau Surabawa. Kau kira aku tidak tahu apa yang telah kau lakukan bersama beberapa orang kawanmu" Kau telah berkhianat dan memberontak terhadap guru. Kau bunuh guru yang sedang sakit dan kau bawa Ki Mawur yang terluka parah, karena kau inginkan benda-benda berharga ini. Kesetiaanmulah yang telah menjadi kabur karena nafsumu menguasai harta benda ini. Kau kira aku tidak tahu, bahwa kau telah bekerja sama dengan seorang prajurit Madiun yang juga akan berkhianat terhadap Kangjeng Panembahan di Madiun. Kalian bersepakat untuk mempergunakan benda-benda yang nilainya tidak terhitung ini untuk membiayai sebuah pengkhianatan yang lebih besar."
Tetapi orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya, "Aku tidak berkeberatan apapun yang hendak kau katakan, karena sebentar lagi kau dan orang-orang yang telah menemukan benda-benda berharga milik perguruan kita ini akan mati. Kau tidak pantas lagi hidup, dengan gelimang pengkhianatanmu itu. Jika kelak cita-cita perguruan Wukir Gading tercapai, maka orang-orang seperti kau ini, jika masih diberi kesempatan hidup, akan mengaku sebagai orang-orang yang paling berjasa dan menuntut penghargaan tertinggi dari perguruan."
"Bagaimana dengan kau, Surabawa?" bertanya Ki Remeng.
Surabawa tertawa berkepanjangan. Katanya, "Sebagaimana kau lihat, aku memang seorang pahlawan, karena aku telah menyelamatkan benda-benda berharga ini dari orang-orang yang tidak kita kenal."
"Kenapa kau tidak memperkenalkan dirimu kepada orang-orang yang datang ini?" bertanya Ki Remeng.
"Tentu. Karena sebentar lagi mereka akan mati, ada baiknya aku mengenal nama-nama mereka, asal mereka dan untuk apa mereka berusaha untuk mengambil benda-benda berharga itu," jawab orang yang disebut Surabawa itu.
"Apakah itu perlu Ki Sanak," tiba-tiba saja Kasadha menyahut sambil melangkah maju.
"Perlu sekali Ki Sanak," sahut Surabawa.
"Bukankah kau melihat segala sesuatunya yang terjadi" Bukankah kau melihat bagaimana kami berdua dapat mengalahkan Ki Remeng dan bahkan kau dapat menyebut kami anak-anak muda" Dengan demikian maka kalian tentu mendengar percakapan kami. Kalian tentu mendengar kami menyebut nama kami, asal kami dan kepentingan kami datang kemari," jawab Kasadha.
"Sayang anak muda. Kami tidak mendekat, tetapi kami yakin, kalian adalah orang-orang berilmu tinggi. Terbukti kalian dapat mengalahkan Ki Remeng. Meskipun kalian berdua, namun untuk mengalahkan Ki Remeng memang diperlukan ilmu yang sangat tinggi. Namun ternyata kalian dapat melakukannya."
"Jika kalian yakin kami dan juga Ki Remeng berilmu tinggi, kenapa kalian sekarang berempat berani datang kemari, sedangkan kami berenam" Apakah itu pertanda bahwa kalian ingin minta agar kami membantu usaha kalian membunuh diri?" bertanya Kasadha.
"Lidahmu ternyata melampaui tajamnya ujung duri kemarung. Baik anak muda. Katakan siapakah namamu, asalmu dan dari siapa kalian tahu bahwa Ki Remeng telah mendapat kepercayaan untuk menunggui harta-benda yang jumlahnya tidak terhingga milik perguruan Wukir Gading itu?"
Kasadhalah yang kemudian tertawa. Katanya, "Rahasia yang kalian sembunyikan itu sudah bukan rahasia lagi. Mungkin sebentar lagi akan datang sekelompok orang lain yang akan mengambil benda-benda berharga itu. Jika kami dapat mendengar tentang benda-benda yang kau anggap milik perguruan Wukir Gading itu, maka tentu banyak orang lain yang telah mendengarnya pula, meskipun rahasia itu baru tersebar pada saat-saat terakhir."
"Sebutkan namamu," bentak Surabawa.
"Namaku Rantam. Ini kakakku namanya Limpat," jawab Kasadha. "Kami datang dari ujung bumi dengan titah untuk mengambil pusaka-pusaka yang turun dari ujung langit."
"Cukup," Surabawa itu hampir berteriak. "Sebutkan nama ayah dan ibumu. Sebentar lagi lehermu akan aku tebas sehingga putus."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Sementara keempat orang itu mulai bergerak.
Ki Remeng yang menyadari, bahwa keempat orang itu tentu akan membunuhnya dalam keadaan apapun, maka ia telah memilih untuk berpihak kepada Kasadha yang menurut pendapatnya memiliki getar kemanusiaan yang lebih tebal meskipun ia berasal dari luar perguruannya. Karena itu, maka katanya, "Surabawa. Meskipun kita berasal dari perguruan yang sama, tetapi aku tidak memilih untuk berpihak kepadamu. Apalagi kau datang untuk membunuhku. Karena itu, maka aku akan berdiri di pihak anak-anak muda ini."
"Aku sudah mengira. Agaknya kau sudah tidak mempunyai tempat lagi untuk berdiri. Siapapun yang berhasil membawa benda-benda berharga itu tentu akan membunuhmu. Karena itu, kau masih mendapat kesempatan untuk mempergunakan ilmumu yang tinggi itu untuk yang terakhir kalinya," berkata Surabawa.
"Bagus," berkata Ki Remeng. "Kau mengenal aku dan aku mengenalmu. Siapa di antara kita yang akan mati malam ini."
Surabawa mengerutkan dahinya. Katanya, "Jadi kau benar-benar tidak akan menebus dosamu dengan menyerahkan lehermu" Aku berhak atas nama perguruan menjatuhkan hubungan mati atasmu."
"Ternyata kau mulai merasa gentar, sehingga kau harus berlindung di balik nama perguruanku. Sudahlah Surabawa, kita sudah sama-sama melampaui pertengahan abad. Kita sudah sama-sama meresapi ilmu sampai ke tulang sungsum. Sekarang kita akan melihat, siapakah di antara kita yang ternyata lebih baik," berkata Ki Remeng.
Surabawa menggeram. Namun kemudian iapun memberikan perintah kepada kawan-kawannya. Katanya, "Bersiaplah untuk membunuh. Kita tidak mempunyai pilihan lain."
Demikian keempat orang itu mulai bergeser, maka Kasadhapun telah bergeser pula. Demikian pula Risang dan Sambi Wulung serta Jati Wulung. Namun Kasadhapun berkata, "Dua di antara kita akan menjaga benda-benda pusaka itu."
Sambi Wulunglah yang kemudian berdesis kepada Jati Wulung, "Kawani pemimpin kelompok itu menjaga benda-benda berharga yang sudah terlanjur dinaikkan dari lubang itu."
Jati Wulung mengangguk kecil. Iapun kemudian berdiri di dekat peti-peti yang sudah dikeluarkan dari lubang persembunyiannya itu bersama pemimpin kelompok yang dibawa Kasadha dari Pajang.
Ternyata Ki Remeng langsung bersiap menghadapi Surabawa. Agaknya keduanya memang telah menyimpan persoalan di hati masing-masing, sehingga pada satu kesempatan, mereka benar-benar bersiap untuk bertempur.
Kepada ketiga orang kawannya, Surabawa berkata, "Berhati-hatilah. Dua orang anak muda itu berilmu tinggi. Mereka bersama-sama dapat mengalahkan Ki Remeng yang ternyata pengecut ini. Kalian tidak usah ragu-ragu. Bunuh saja mereka, termasuk kedua orang yang tidak berani memasuki gelanggang itu. Kita akan mengubur mereka bersama Ki Remeng di dalam lubang yang sudah mereka gali, sementara peti-peti itu akan kita bawa kembali ke perguruan, karena perguruan kita masih sangat memerlukannya."
Ki Remenglah yang menyahut, "Omong kosong. Kalian tidak pernah memikirkan perguruan kita. Benda-benda berharga itu telah membuat kalian berkhianat."
"Persetan," geram Surabawa. "Kenapa kedua orang itu tidak bergabung dengan kawan-kawannya" Kesombongan kalian akan membuat kalian menyesal."
Ki Remeng tidak menjawab. Namun ia mulai bergeser di sela-sela bebatuan untuk mencari tempat yang cukup lapang.
Sementara itu, seorang yang bertubuh tinggi besar telah mendekati Kasadha sambil berkata, "Sayang, bahwa kau akan mati muda."
Kasadha sama sekali tidak menjawab. Namun iapun segera mempersiapkan diri. Ia sadar, bahwa orang itupun tentu berilmu tinggi.
Yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah berhadapan dengan Risang yang sudah bersiap pula. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu telah meloncat menyerang Risang yang berdiri termangu-mangu.
Namun dengan tangkas Risang sempat mengelakkan serangan itu. Bahkan Risangpun sempat keluar dari sekumpulan bebatuan meskipun tidak sebesar dua buah batu yang menjadi ancar-ancar tempat penyimpanan benda-benda berharga itu.
Di sisi yang lain, Sambi Wulungpun telah terlibat pula dalam pertempuran melawan seorang yang bertubuh sedang, namun yang otot-ototnya seakan-akan telah mencuat keluar dari kulitnya.
Sebenarnyalah Jati Wulung menjadi kecewa bahwa ia harus menyingkir dari arena, karena Sambi Wulung menganggap bahwa sebaiknya ia bertempur seorang diri. Namun bagi Jati Wulung, Sambi Wulung adalah saudara tua seperguruan, sehingga ia merasa bahwa Sambi Wulung memang memiliki kelebihan daripadanya.
Karena itu, maka Jati Wulung tidak membantah.
Meskipun demikian, maka Jati Wulung dan pemimpin kelompok itupun selalu bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi. Jika keadaan menjadi gawat, maka mereka tentu tidak akan tetap berdiam diri saja.
Demikianlah, maka Ki Remengpun telah mulai bertempur pula. Sekali-sekali masih terdengar Surabawa tertawa. Namun suara tertawanya semakin lama menjadi semakin hambar dan akhirnya hilang sama sekali. Ia harus benar-benar memusatkan perhatiannya kepada lawannya.
Surabawa tahu bahwa Ki Remeng memang berilmu tinggi. Tetapi ternyata bahwa Ki Remeng yang dihadapinya itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari dugaannya.
Sementara itu ia mengetahui bahwa Ki Remeng telah dikalahkan oleh kedua orang anak muda itu. Karena ia melihat dari kejauhan di dalam keremangan malam, maka ia tidak dapat menilai dengan pasti kemampuan kedua orang anak muda yang telah berhasil menemukan tempat persembunyian benda-benda berharga itu setelah mereka mengalahkan Ki Remeng. Baru di hari berikutnya, Surabawa berhasil melihat kedua orang anak muda itu lagi meskipun dari kejauhan. Namun keduanya tidak lagi sedang memperlihatkan kemampuan mereka.
Meskipun keduanya seperguruan, tetapi Surabawa dan Ki Remeng sudah agak lama berpisah, sehingga keduanya tidak lagi tahu pasti perkembangan ilmu masing-masing. Ternyata perkembangan ilmu Ki Remeng dalam waktu yang singkat telah meningkat dengan pesat. Sehingga ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka Surabawa mulai digelisahkan oleh kemampuan Ki Remeng.
Orang yang bertubuh tinggi besar dan berilmu tinggi pula berusaha dengan cepat untuk menguasai anak muda yang mengaku bernama Rantam itu. Namun ternyata bahwa ilmunya yang tinggi itu juga telah membentur ilmu yang tinggi pula. Beruntunglah bahwa Kasadha saat itu sudah menyelesaikan laku yang dijalaninya untuk mewarisi ilmu gurunya sampai tuntas. Sehingga karena itu, maka ia dapat mengimbangi kemampuan lawannya yang tinggi itu.
Sementara itu, Risangpun tidak segera dapat dikuasai oleh lawannya. Anak muda itu juga sudah sampai kepada tingkat tertinggi dari tataran ilmu yang diwarisinya dari kedua orang kakek dan seorang neneknya. Sehingga dengan demikian, maka Risang memiliki bekal yang mapan untuk menghadapi lawannya yang kekurus-kurusan itu.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Sambi Wulung dengan hati-hati menghadapi lawannya. Ia sadar, bahwa orang-orang yang datang itu tentu orang-orang berilmu tinggi. Sikap mereka yang yakin akan dapat mengambil benda-benda berharga itu menunjukkan bahwa mereka mempunyai kepercayaan diri yang sangat besar.
Tetapi Sambi Wulung juga bukan anak kemarin sore di dunia olah kanuragan. Kematangan ilmu serta pengalamannya yang sangat luas, membuat Sambi Wulung menjadi seorang lawan yang sulit untuk dapat dikalahkan oleh lawannya.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Ki Remang yang menganggap Surabawa telah berkhianat, bahkan telah menahan Ki Mawur, tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyelesaikannya. Sebaliknya Surabawa yang ingin memiliki benda-benda berharga itu seutuhnya, memang tidak akan memberi kesempatan Ki Remeng untuk tetap hidup.
Karena itu, maka keduanyapun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk membuat perhitungan sampai akhir.
Ternyata kedua orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itu telah berhasil mengembangkannya. Meskipun dasar-dasar ilmu mereka masih menunjukkan beberapa ciri yang bersamaan, namun pengembangannya memang berbeda. Ki Remeng yang tua itu seolah-olah menjadikan unsur-unsur gerak yang dikuasainya menjadi berat. Namun setiap gerakannya menjadi sangat berbahaya bagi lawannya. Sementara itu, Surabawa tubuhnya bagaikan tidak mempunyai bobot lagi. Ia berloncatan dengan cepat, menyilang dan membujur. Namun kemudian tiba-tiba saja serangan datang seperti angin ribut.
Tetapi Ki Remeng tetap tegar menghadapi kecepatan gerak lawannya. Ia sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan sedikit beringsut, Ki Remeng sudah berhasil menghalau serangan-serangan lawannya yang datang beruntun.
Namun dengan demikian bukan berarti bahwa Ki Remeng tidak mampu bergerak cepat. Pada satu kesempatan, tiba-tiba saja Ki Remeng itupun menyerang dengan cepatnya menyeruak pertahanan Surabawa.
Dengan demikian pertempuran antara keduanyapun menjadi semakin lama semakin sengit.
Orang yang bertubuh tinggi besar itupun terkejut ketika serangannya membentur pertahanan Kasadha. Ternyata anak muda itu memiliki tenaga yang sangat besar pula.
Dengan demikian maka orang bertubuh raksasa itu harus berhati-hati. Iapun menyadari, bahwa seseorang yang telah berani datang ke tempat itu, dan bahkan berani bertempur melawan Ki Remeng meskipun berdua, tentu orang yang memiliki bekal yang cukup.
Karena itu, maka orang bertubuh tinggi dan besar itu tidak dapat dengan tergesa-gesa berusaha menyelesaikan pertempuran. Ia harus berusaha mengetahui kekuatan dan kelemahan lawannya yang masih muda itu.
Sementara itu, Kasadha yang baru saja mewarisi seluruh landasan ilmu dari perguruannya, justru didorong untuk mencoba kemampuan tertinggi yang telah diwarisinya itu.
Sebelumnya ia memang telah mencoba kemampuannya itu melawan puncak ilmu Ki Remeng. Ternyata bahwa ia mampu mengimbangi kemampuan pekatik tua itu. Sehingga karena itu maka ia ingin menilai ilmunya lebih jauh dengan perbandingan ilmu dari orang berilmu tinggi yang lain.
Karena itulah, maka Kasadhapun dengan tegar menghadapi lawannya. Meskipun lawannya itu ujudnya lebih tinggi dan lebih besar dari anak muda itu, namun Kasadha sama sekali tidak terdesak surut.
Bahkan semakin lama kekuatan Kasadha seakan-akan menjadi semakin bertambah-tambah. Ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu meningkatkan kemampuannya, maka justru Kasadhalah yang telah mendesaknya.
Raksasa itu menggeram marah. Apalagi ketika Kasadha mulai berhasil menembus pertahanannya. Sekali-sekali serangan Kasadhalah yang telah mengenai tubuh lawannya.
Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan yang bertempur melawan Risang ternyata memiliki kecepatan gerak yang sangat tinggi. Kakinya yang panjang berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah.
Tetapi Risang tidak terpancing oleh tata gerak yang panjang dari lawannya. Bahkan Risangpun kemudian seolah-olah tidak beringsut dari tempatnya. Ia hanya berputar dan bergeser sedikit-sedikit saja. Bahkan seakan-akan kakinya justru telah melekat di tanah berbatu padas di lereng bukit kecil itu.
Lawannyalah yang justru kehilangan kesabaran. Karena Risang tidak, terpancing oleh gerakannya, maka orang itulah yang kemudian menyerangnya beruntun seperti ombak di lautan. Susul-menyusul tidak henti-hentinya.
Risang masih tetap kokoh seperti batu karang. Serangan-serangan itu justru tidak dihindarinya. Tetapi beberapa kali ia sengaja membentur serangan itu.
Namun dengan demikian Risang telah menunjukkan keperkasaannya, sehingga lawannya mulai menjadi gelisah. Tataran demi tataran sudah didaki, sehingga orang itu sudah mencapai kemampuannya yang tertinggi. Namun orang yang bertubuh tinggi itu sama sekali masih belum dapat menundukkan anak muda itu.
Sekali-sekali orang itu sempat melihat apa yang terjadi di lereng bukit itu. Ternyata bahwa ketiga kawannya yang lain, masih juga belum berhasil menguasai lawannya.
Sebenarnyalah menurut perhitungan mereka, bahwa salah seorang dari mereka akan dengan cepat mengalahkan lawannya. Kemudian maka yang lainpun akan segera dapat dikalahkannya pula.
Ki Surabawapun ternyata masih belum mampu mengalahkan Ki Remeng. Jika ia dapat mengalahkan pekatik tua itu, maka ia akan dapat membantu kawan-kawannya untuk membunuh satu demi satu orang-orang yang sudah menguasai peti-peti itu.
Tetapi Ki Surabawa dan kawan-kawannya memang salah hitung. Yang mereka perhitungkan memang tidak lebih dari tiga orang. Ki Remeng dan dua orang anak muda yang menurut penglihatan mereka, bersama-sama mengalahkan Ki Remeng.
Jika ada orang lain, maka orang lain itu tentu orang-orang yang tidak berdaya dan memang tidak perlu diperhitungkan.
Tetapi ternyata seorang kawan Ki Surabawa yang bertempur melawan Sambi Wulung juga telah mengalami kesulitan.
"Iblis dari mana saja yang datang ke tempat ini," geram Ki Surabawa di dalam hatinya.
Namun Ki Remeng itupun sangat menjengkelkannya. Meskipun Ki Surabawa telah mengerahkan kemampuannya, tetapi ia masih juga belum berhasil mengalahkan Ki Remeng.
*** JILID 58 "KENAPA kedua orang anak muda itu tidak mengalami kesulitan untuk mengalahkan setan tua yang buruk ini?" pertanyaan itu telah mengganggunya. Jika Ki Remeng ternyata berilmu sangat tinggi, maka kedua orang anak muda itu tentu juga berilmu tinggi, sehingga kawan-kawannya juga akan mengalami kesulitan.
"Remeng," geram Ki Surabawa kemudian, "ternyata selama kita berpisah, kau mampu mengembangkan ilmumu dengan baik. Tetapi kau jangan bermimpi bahwa kau akan dapat mengalahkan aku."
"Aku tidak bermimpi, Surabawa. Tetapi bahwa aku akan mengalahkanmu itu adalah satu kenyataan yang tidak akan dapat kau ingkari. Karena itu menyerahlah."
"Jangan sombong Remeng. Aku bukan tikus-tikus clurut sebagaimana yang telah kau bunuh dan kau kubur di belakang rumahmu."
"Kau memang bukan tikus clurut, Surabawa. Tetapi apa bedanya tikus clurut dengan tikus tanah?" sahut Ki Remeng.
"Persetan kau Remeng. Kau merasa mempunyai kawan anak-anak muda berilmu tinggi. Tetapi kau akan menyesal. Setelah pertempuran ini selesai, maka kaupun akan dibantai di lereng bukit ini."
"Seandainya demikian, maka aku akan merasa lebih senang daripada dibantai oleh saudara seperguruanku sendiri yang telah berkhianat," jawab Ki Remeng.
"Kau memang berhati iblis, Remeng," geram Surabawa.
Ki Remeng tidak menjawab. Namun pertempuranpun berlangsung semakin sengit. Ki Remeng masih saja lebih banyak bertahan, sementara Surabawa bergerak semakin lama semakin cepat.
Namun pada saat Surabawa kehilangan sasaran, karena tiba-tiba saja Ki Remeng meloncat ke samping, maka tiba-tiba saja pekatik tua itu telah menghentakkan kemampuannya. Dengan tidak diduga, maka Ki Remeng telah menyerang Surabawa.
Surabawa memang terkejut. Karena itu, maka ia tidak sempat mengelak. Serangan Ki Remeng yang langsung mengarah ke dadanya telah dibenturnya dengan menyilangkan tangannya di dadanya.
Ki Remeng ternyata telah tergetar. Ia justru meloncat selangkah surut.
Namun dalam pada itu, Surabawa telah terdorong pula beberapa langkah mundur.
Namun sejenak kemudian, keduanya telah bersiap kembali untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ki Remeng ternyata tidak ingin bertempur berkepanjangan. Karena itu, maka Ki Remeng telah berniat untuk mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka Ki Remeng yang telah berdiri beberapa langkah dari Surabawa itu segera memusatkan nalar budinya. Disiapkannya puncak kemampuannya untuk mengakhiri pertempuran itu. Ki Remeng memang tidak dapat memastikan, apakah ia mampu mengatasi ilmu Surabawa, saudara seperguruannya itu. Namun bagi Ki Remeng, maka salah seorang di antara mereka pada akhirnya tentu akan mati juga.
Karena itu, maka Ki Remengpun telah menakupkan kedua telapak tangannya. Ketika dari sela-sela kedua telapak tangannya yang digosokkannya itu nampak asap tipis yang mengepul, maka Ki Surabawapun mengetahui, bahwa Ki Remeng benar-benar telah sampai ke puncak ilmunya.
Ki Surabawa yang memiliki landasan ilmu yang sama itupun segera berbuat hal yang sama pula. Itupun telah menakupkan kedua telapak tangannya pula. Menggosokkan yang satu dengan yang lain dan seperti telapak tangan Ki Remeng, maka asap yang tipispun telah mengepul pula.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Remeng telah meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dahi Ki Surabawa.
Sementara itu, Ki Surabawapun telah siap pula menghadapinya. Ia sama sekali tidak berusaha menghindar. Bagaimanapun juga pertempuran itu memang harus berakhir.
Karena itu, maka Ki Surabawapun telah mengayunkan tangannya pula membentur ayunan tangan Kiai Remeng.
Benturan yang keraspun telah terjadi. Dua kekuatan ilmu dari sumber yang sama telah beradu.
Akibatnya memang sangat mengejutkan. Ki Remeng terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian tidak lagi dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga iapun terbanting jatuh di atas tanah berbatu padas.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Sekali Ki Remeng itu menggeliat. Namun kemudian tulang-tulangnya bagaikan berpatahan, sehingga Ki Remeng itu hanya dapat mengerang kesakitan.
Sedangkan akibat yang terjadi atas Surabawa ternyata lebih parah lagi. Ilmu Ki Remeng yang meskipun bersumber dari perguruan yang sama, namun selapis lebih tinggi itu telah melemparkannya beberapa langkah. Ketika Surabawa itu jatuh terlentang sebagaimana Ki Remeng, kepalanya telah membentur sebongkah batu yang banyak terdapat di lereng bukit itu.
Akibatnya ternyata telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Ki Surabawa sama sekali tidak mampu mengeluh.
Ternyata Ki Surabawa itupun telah mati meskipun penyebabnya bukan saja getar benturan yang memukul dadanya, tetapi juga karena kepalanya telah membentur batu sehingga tulangnya menjadi retak.
Jati Wulung yang melihat keadaan Ki Remeng segera berlari mendekati. Namun ia sempat berdesis, "Hati-hati. Awasi peti-peti ini."
Ketika Jati Wulung kemudian berjongkok di sisi Ki Remeng, maka Jati Wulungpun mengetahui, bahwa Ki Remeng telah pingsan.
Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak tahu dimana ia mendapatkan air.
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Jati Wulung hanyalah membuka bagian dada baju Ki Remeng agar tubuhnya terasa segar oleh embun malam yang menitik.
Sementara itu, Kasadha, Risang dan Sambi Wulung masih bertempur dengan sengitnya. Namun sebenarnyalah Kasadha dan ternyata juga Risang, seakan-akan justru sedang menguji kemampuan mereka masing-masing.
Jika mereka sebelumnya bertempur melawan Ki Remeng berdua, maka kini mereka sepenuhnya menggantungkan diri pada kemampuan mereka sendiri-sendiri.
Kasadha yang bertempur melawan orang yang bertubuh raksasa itu bukan saja berusaha untuk mendesak dan menguasai lawannya. Tetapi ia masih juga sempat menilai kemampuannya sendiri yang ditingkatkannya selapis demi selapis.
Dengan demikian, maka Kasadha dapat meyakini betapa ilmunya memang telah meloncat jauh dari sebelumnya. Saat-saat ia berada di sanggar merupakan saat yang sangat berarti baginya. Dan iapun menyadari, bahwa kesempatan itu didapatkannya karena Ki Rangga Dipayuda memang dengan sungguh-sungguh membantunya.
Tanpa usaha Ki Rangga Dipayuda, maka Kasadha tidak akan mendapat kesempatan itu.
Karena itulah, maka selain kepada gurunya, iapun merasa sangat berterima kasih kepada Ki Rangga.
Dengan keyakinan akan kemampuannya, maka Kasadhapun kemudian telah berniat untuk segera mengakhiri pertempuran. Apalagi setelah Ki Remeng dan lawannya bersama-sama terpelanting jatuh. Kasadha belum tahu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Remeng dan Ki Surabawa.
Dalam pada itu, Risangpun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak pula. Iapun merasakan betapa kemampuannya telah jauh meningkat. Dengan landasan ilmu yang diwarisinya dan laku yang berat di saat terakhir, maka ia mampu mengimbangi lawannya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan dan berilmu tinggi itu. Dengan pertempuran itu, maka Risangpun menjadi semakin yakin akan dirinya bahwa ia telah mencapai satu tataran yang tinggi.
Dengan demikian, maka baik Kasadha maupun Risang telah memanjatkan ilmunya sampai ke batas tertinggi.
Ternyata kedua lawannya, termasuk orang-orang berilmu tinggi dari perguruan Wukir Gading itu tidak mampu lagi melawan anak-anak muda yang justru mulai mengembangkan sayap-sayap ilmu mereka, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kedua orang itu sudah benar-benar terdesak.
Sementara itu, Sambi Wulungpun telah sampai pada batas pengendalian dirinya. Apalagi ketika lawannya itu semakin lama menjadi semakin kasar. Bahkan telah melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan selain mulutnya yang mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor.
Karena itu, ketika Sambi Wulung itu melihat Ki Remeng dan lawannya telah menyelesaikan pertempuran dengan akibat yang belum diketahuinya dengan pasti, maka Sambi Wulungpun telah menghentakkan ilmunya pula.
Lawannya yang berilmu tinggi itu ternyata masih belum sempat menggapai tataran ilmu sebagaimana Ki Remeng dan Ki Surabawa. Namun demikian serangan-serangannya cukup berbahaya. Tangannya menyambar-nyambar dengan cepatnya, mengarah ke sasaran yang paling berbahaya.
Namun Sambi Wulung yang sudah mengerahkan kemampuan ilmunya pula tidak kehilangan kesempatan karenanya. Bahkan beberapa kali ia telah menembus pertahanan lawannya dengan serangan-serangannya yang cepat dan keras.
Dengan demikian, maka lawan Sambi Wulung benar-benar berada dalam kesulitan. Sementara Sambi Wulung tidak menahan dirinya lagi. Serangan-serangan justru menjadi semakin deras sehingga semakin sulit untuk dihindari.
Di lingkaran pertempuran yang lain, lawan Kasadha dan lawan Risang, ternyata mengalami nasib yang sama. Tetapi karena kedua orang anak muda itu sedang berusaha menilai kemampuan mereka sendiri, maka kedua orang lawan mereka itupun justru seakan-akan telah disediakan sebagai bahan untuk menguji kemampuan anak-anak muda itu.
Dengan cermat Kasadha mengamati tataran demi tataran kemampuan puncaknya. Apalagi lawannya termasuk seorang yang berilmu tinggi. Sekali-sekali Kasadha justru membiarkan lawannya mendapat kesempatan untuk menyerangnya dengan puncak kemampuannya. Sementara Kasadha tidak berusaha menghindari serangan itu. Bahkan telah membenturnya.
Dalam pada itu, Risang yang ingin meyakinkan kemampuannya, tidak segera mengakhiri pertempuran. Sekali-sekali ia mendesak lawannya dengan puncak kemampuannya. Namun kemudian ilmunya itu dikendorkannya selapis. Ia ingin tahu akibatnya, apakah dengan demikian ia segera mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka sekali-sekali Risang itu dengan garang mendesak lawannya. Namun kemudian beberapa langkah ia terpaksa bergeser surut.
Tetapi ketika waktunya menjadi semakin mendesak, menjelang langit menjadi merah, maka Kasadha dan Risangpun sampai pada satu kesimpulan bahwa pertempuran itu harus diakhiri. Kedua anak muda itu seolah-olah telah mendapatkan satu keyakinan, bahwa ilmu mereka benar-benar telah berada pada tataran yang tinggi, bahkan dengan jarak beberapa lapis dari lawannya.
Kasadha dan Risang itu terhentak ketika mereka melihat, Sambi Wulung yang berada di puncak ilmunya, meloncat membentur serangan lawannya. Ketika benturan itu terjadi, maka kedua anak muda itu sempat mendengar teriakan kesakitan.
Teriakan itu seakan-akan telah menghentikan Kasadha, Risang dan kedua lawan mereka untuk sesaat. Mereka sempat melihat Sambi Wulung terguncang. Namun dalam pada itu lawannya tidak lagi mampu bertahan. Orang itu tidak saja berteriak kesakitan, tetapi ia masih juga mengumpat-umpat dengan kasarnya, sehingga akhirnya tubuhnya jatuh terguling di tanah.
Dari sela-sela bibirnya telah mengalir darah, sementara kedua tangannya memegangi dadanya yang rasa-rasanya telah pecah.
Ketika orang itu kemudian terdiam, maka lawan-lawan Kasadha dan Risangpun bagaikan terbangun dari mimpi buruk mereka. Ki Surabawa dan seorang kawan mereka telah terbaring diam. Sementara itu mereka telah berhadapan dengan anak-anak muda yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka kedua orang itu seakan-akan telah menjadi berputus-asa. Mereka tidak lagi mempunyai harapan untuk dapat hidup. Apalagi selain anak-anak muda yang bertempur itu, masih ada orang lain yang akan dapat ikut memasuki arena pertempuran. Bahkan mungkin orang-orang itu juga berilmu tinggi.
Karena itu dalam keputus-asaannya kedua orang itu tidak lagi berniat untuk menyelamatkan diri, karena mereka yakin bahwa hal itu tidak akan dapat mereka lakukan. Satu-satunya usaha mereka, meskipun agaknya sulit untuk dapat terjadi, karena ilmu anak-anak muda itu terlalu tinggi bagi mereka.
Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lagi.
Namun ternyata bahwa mereka memang tidak dapat melakukannya. Kasadha dan Risang ternyata berusaha untuk menuntaskan penilaian mereka atas ilmu puncak mereka. Karena itu, pada saat-saat terakhir, kedua anak muda itu telah berusaha melihat akibat dari hentakan kekuatan puncak mereka.
Satu benturan yang dahsyat tidak dapat dihindari ketika Kasadha meloncat sambil mengayunkan tangannya dalam ilmu puncaknya yang belum lama diwarisinya dari gurunya.
Ternyata kekuatan ilmu itu memang luar biasa. Lawan Kasadha yang berilmu tinggi itu sama sekali tidak sempat mengaduh. Meskipun orang itu berusaha menangkis serangan Kasadha dengan menyilangkan tangannya di depan kepalanya, namun serangan Kasadha itu demikian kuatnya, dilambari dengan ilmu pamungkasnya, sehingga tangan Kasadha tidak tertahan oleh kedua tangan lawannya yang bersilang. Satu serangan yang keras telah mengenai dahi lawannya yang gagal dilindunginya itu.
Sementara itu, Risangpun telah berniat untuk mengakhiri perlawanan orang bertubuh tinggi itu. Namun ketika Risang sudah siap menghancurkan lawannya, maka iapun teringat, bahwa masih diperlukan keterangan dimana paman Ki Lurah Mertapraja itu disembunyikan. Karena itu, Risang justru menjadi ragu-ragu. Jika ia membunuh juga lawannya itu, maka ia akan kehilangan petunjuk sama sekali, kemana mereka harus melacak jejak Ki Mawur yang dikuasai oleh orang-orang yang dianggap berkhianat kepada para pemimpin Padepokan Wukir Gading justru dalam keadaan luka parah.
Karena itu, maka Risang berusaha untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.
Justru karena itu, maka ia tidak segera dapat menguasai lawannya sepenuhnya. Apalagi lawannya benar-benar sudah menjadi putus-asa, sehingga apa yang dilakukannya sama sekali sudah tidak diperhitungkannya lagi.
Sementara itu lawan Kasadha telah terbaring diam. Karena itu, Kasadha dan Sambi Wulung yang sudah kehilangan lawannya itupun sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi antara Risang dan lawannya. Bahkan Jati Wulungpun telah bangkit pula berdiri dengan jantung yang berdebaran menyaksikan bagaimana Risang berusaha menguasai lawannya tanpa membunuhnya.
Dengan mata yang tidak berkedip Jati Wulung itu berdesis, "Luar biasa. Kemampuan Risang telah meloncat jauh ke depan."
Sebenarnyalah Kasadha juga sempat melihat, betapa Risang dengan ilmunya yang tinggi, berusaha untuk menangkap lawannya hidup-hidup. Adalah di luar kesadarannya, jika Kasadha ternyata sempat menilai dan memperbandingkan ilmu kakaknya itu dengan ilmunya sendiri.
Ternyata Kasadha masih juga mengagumi kemampuan Risang. Beberapa kali Risang mengabaikan kesempatan untuk menghancurkan lawannya. Ia memang tidak ingin membunuhnya. Namun dengan demikian, maka Risang seakan-akan dengan sengaja telah memamerkan ketrampilannya. Bahkan ilmunya yang tinggi itu.
Lawan Risang itu benar-benar telah kehilangan harapan sama sekali. Bahkan orang itu telah menjadi mata gelap dan membabi buta. Namun Risang masih belum membunuhnya. Serangan-serangan Risang justru menjadi sangat dibatasi. Bahkan nampak betapa Risang menjadi cemas, bahwa lawannya akan terbunuh.
Dengan demikian, maka Risang kadang-kadang justru malahan telah dikenai oleh serangan-serangan lawannya yang semakin tidak terkendali itu. Tetapi, betapapun kuat dan kerasnya serangan-serangan itu, rasa-rasanya Risang tidak merasakan kesakitan. Daya tahannya menjadi semakin tinggi, sehingga mampu mengatasi perasaan sakit oleh serangan-serangan lawannya itu.
Namun dalam pada itu, benturan-benturan yang terjadi, ternyata tidak lagi mampu diatasi oleh lawannya yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu. Semakin lama tenaganya menjadi semakin susut. Bahkan kemudian perasaan sakitpun telah menjalari seluruh tubuhnya.
Dengan demikian, maka betapapun api kemarahan, kebencian dan bahkan dendam dan putus-asa, tetapi pada saatnya, keadaan wadagnya tidak lagi mampu mendukungnya lagi. Bahkan untuk bunuh diri sekalipun, orang itu sudah tidak lagi memiliki kemampuan. Ketika tangan Risang menghantam dadanya, maka iapun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian orang itupun telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh terguling di tanah. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Bahkan tulang-tulangnya seakan-akan telah berpatahan.
Risang melihat keadaan lawannya yang sudah tidak berdaya lagi. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu lagi atasnya. Selangkah demi selangkah ia mendekatinya dengan hati-hati. Ia sadar bahwa lawannya yang tidak lagi berpengharapan itu akan dapat berbuat sesuatu yang tidak terduga-duga, karena ia sudah siap menghadapi kematian sebagaimana kawan-kawannya yang telah terbaring diam.
Kaum Pemuja Setan 1 Mata Elang Karya Hey Sephia Berkelana 1