Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 3

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 3


Dengan mengerahkan tenaganya, Ki Rangga berniat untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan anak muda itu sebelum ia sampai ke batas puncak tenaganya. Tetapi ternyata Ki Rangga telah salah membuat perhitungan. Di saat-saat ia mengerahkan puncak dan bahkan segenap tenaga dan kemampuannya, ia tidak berhasil menundukkan lawannya yang masih muda itu, sehingga pada suatu saat, setelah melewati puncaknya, tenaganyalah yang mulai susut.
Sementara itu Ki Rangga telah mengumpat pula karena lawannya itu seakan-akan sama sekali tidak terpengaruh oleh keringatnya yang mengalir bagaikan diperas dari tubuhnya. Tidak pula terpengaruh oleh panasnya matahari yang bagaikan membakar arena pertempuran itu. Tidak pula terpengaruh oleh pengerahan tenaga yang berlebihan. Nampaknya Risang itu masih saja tetap utuh sebagaimana ia memasuki arena pertempuran di saat pertempuran itu dimulai.
Karena itu, maka Ki Rangga Larasgati, seorang Senapati prajurit Pajang, ternyata mengalami kesulitan menghadapi seorang anak muda, anak Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Namun sebenarnyalah bahwa anak muda itu telah ditempa oleh ketiga orang kakek dan neneknya untuk melandasi ilmu yang akan diwarisinya.
Dalam benturan-benturan senjata yang kemudian terjadi, maka semakin ternyata bahwa kekuatan Ki Rangga benar-benar telah menyusut. Loncatan-loncatannyapun tidak lagi cukup cepat untuk mengimbangi gerak Risang yang masih saja tangkas sebagaimana saat pertempuran itu dimulai.
Ki Rangga itupun kemudian telah mengumpat di dalam hati. Sementara itu, Risang yang melihat kelemahan lawannya, telah berusaha justru meningkatkan serangan-serangannya. Ia harus memanfaatkan keadaan itu sebelum ia sendiri kehabisan tenaga.
Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin lamban di seluruh arena itu diwarnai dengan keringat dan darah. Korban masih saja berjatuhan. Sementara itu, garis pertempuran itu seakan-akan selalu bergetar.
Namun ternyata bahwa Risang masih mampu menghentakkan kemampuannya menyusup di sela-sela pertahanan Ki Rangga Larasgati.
Sebuah goresan telah melukai lengan Ki Rangga, sehingga Ki Rangga yang terkejut itu telah meloncat surut.
"Anak iblis," geram Ki Rangga, "kau telah melukai kulitku."
Namun Risang menjawab, "Nanti aku tembus dadamu dengan tajamnya senjataku."
"Kau gila. Kau kira Pajang tidak sanggup menggilasmu" Kau akan mendapat hukuman picis di alun-alun Pajang," geram Ki Rangga.
"Seandainya demikian, kau tidak akan sempat melihatnya karena kau akan mati di pertempuran ini," jawab Risang.
"Kau akan menyesal," teriak Ki Rangga, "kau telah memberontak. Kau telah berkhianat."
"Kau adalah api yang menyalakan pemberontakan di Tanah Perdikan ini. Kau dan orang-orang tamak di Pajang berusaha memeras kami sebagaimana kalian lakukan atas Tanah Perdikan yang lain. Tanah Perdikan yang kecil dan tidak berdaya tidak akan melakukan perlawanan. Tetapi Tanah Perdikan Sembojan lebih baik diratakan dengan tanah daripada melayani pemerasan sebagaimana kau lakukan," jawab Risang.
"Aku mengemban perintah," Ki Rangga masih berteriak.
"Kau tidak pernah dapat menunjukkan surat kekancingan atasmu bahwa kau melakukan perintah di Tanah Perdikan ini," jawab Risang.
"Persetan anak setan," bentak Ki Rangga.
Pertempuranpun berlangsung semakin sengit. Pasukan Pajang dan pasukan Tanah Perdikan itu akhirnya saling mendesak. Kedua belah pihak memiliki kelemahan dan kekuatannya masing-masing.
Namun akhirnya Ki Rangga harus berpikir berulang kali. Ia sendiri telah terluka. Darah mengalir semakin lama semakin banyak. Ki Rangga itu menyadari pengaruhnya.
Tubuhnya akan dapat menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya ia benar-benar akan dapat dibunuh oleh anak itu.
Apalagi ia yakin bahwa prajurit Pajang hari itu masih belum dapat mengalahkan pasukan pengawal Tanah Perdikan. Meskipun ia melihat bahwa beberapa orang Tanah Perdikan menjadi letih, tetapi para pengawal masih mampu mengimbangi para prajurit, sementara prajurit Jipangpun masih juga bertempur dengan keras. Apalagi di antara orang-orang Tanah Perdikan terdapat orang-orang berilmu tinggi, yang mampu menghisap sekelompok prajurit Pajang, sementara jumlah prajurit Pajang masih di bawah jumlah para pengawal Tanah Perdikan.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Rangga Larasgati selain membuat perhitungan ulang dengan rencananya hari itu menembus sampai ke padukuhan induk.
Apalagi ketika induk pasukan Pajang itu telah diguncang oleh kemarahan Gandar yang meledak-ledak, karena segores luka telah membekas di punggungnya. Luka itu tidak terlalu dalam. Namun memanjang menyilang.
Kemarahan Gandar memang menimbulkan persoalan yang sungguh-sungguh gawat bagi para prajurit Pajang di induk pasukan itu, sehingga hal itu telah mempercepat keputusan Ki Rangga Larasgati untuk menarik pasukannya dari medan yang seakan-akan telah saling mendorong itu.
Apalagi karena kemarahan Gandar itu nampaknya telah mempengaruhi para pengawal sehingga mereka yang mulai lelah, telah menjadi segar kembali. Dengan demikian maka para prajurit Pajang di induk pasukan itupun telah mengalami kesulitan.
Ki Lurah Larasgati tidak dapat mengingkari kenyataan itu sebagaimana kenyataan tentang dirinya sendiri. Sehingga karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat kepada penghubung yang selalu berada di dekatnya.
Dengan isyarat itu, maka penghubung itupun segera mengetahui, bahwa Ki Rangga berniat untuk menarik pasukannya. Karena itulah maka penghubung itupun telah meneriakkan aba-aba sandi bagi para pemimpin kelompok yang meneriakkannya sambung bersambung sampai ke ujung sayap.
Isyarat sandi itu berbeda dengan isyarat sandi pada saat Ki Rangga akan menarik pasukannya beberapa hari sebelumnya. Karena itu, maka para pemimpin dari Tanah Perdikan harus berusaha untuk mengerti dan kemudian menyesuaikan diri dengan perintah itu.
Namun ternyata bahwa Ki Rangga telah memberikan isyarat kedua. Isyarat yang langsung memerintahkan pasukan Pajang itu mengundurkan diri.
Ketika perintah itu sampai ke telinga Kasadha, maka iapun dapat mengerti. Perang itu tidak akan ada gunanya jika dilanjutkan pada hari itu juga selain membunuh beberapa orang korban di kedua belah pihak.
Karena itu, maka Kasadhapun menganggap bahwa perintah Ki Rangga itu adalah perintah yang cukup bijaksana.
Dengan gerakan pasukan yang matang menguasai ilmu perang gelar, maka pasukan Pajangpun mulai bergetar. Namun kemudian serempak pasukan itu bergerak mundur. Tetapi gerak mundur prajurit Pajang adalah gerak mundur yang teratur sambil melindungi diri mereka.
Pasukan Tanah Perdikan memang mendesak terus. Tetapi seperti yang pernah terjadi, Risang tidak berani mengejar pasukan yang mundur itu keluar dari perbatasan Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi menurut pengamatan Risang dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan, bahwa kekuatan Pajang itu masih cukup besar. Jika mereka menyiapkan semua orang yang ada di perkemahan orang-orang Pajang, termasuk para petugas di dapur dan perbekalan, maka kekuatan pasukan Pajang itu akan bertambah besar dengan tenaga-tenaga yang masih segar.
Karena itu, maka Risangpun telah memberikan perintah untuk menghentikan pasukannya di perbatasan sebagaimana pernah diperintahkan oleh ibunya sebelumnya.
Namun para pengawal Tanah Perdikan itu sempat bersorak gemuruh bagaikan hendak meruntuhkan langit ketika mereka berhenti di perbatasan. Beberapa orang memang merasa kecewa bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk menyerang para prajurit Pajang sampai ke landasan pasukannya. Meskipun dengan demikian mereka keluar dari perbatasan, tetapi menyerang landasan perang bagi lawan adalah wajar sekali.
Prajurit Pajang yang telah mundur dari pertempuran itupun segera mendapat perintah untuk berkumpul dalam kelompok-kelompok masing-masing. Baik para prajurit yang datang lebih dahulu bersama Ki Rangga Larasgati maupun yang datang kemudian bersama Kasadha. Sementara itu, kawan-kawan mereka yang terluka yang sempat dibawa mundur telah mereka baringkan di perkemahan dan mendapat perawatan sebaik-baiknya.
Ki Ranggapun kemudian telah memanggil Ki Lurah Kasadha dan setiap pemimpin kelompok untuk berdiri di hadapan pasukan mereka yang terpaksa mundur dari medan.
Ternyata bahwa ada beberapa di antara pemimpin kelompok yang sudah tidak ada lagi. Ada yang telah terbunuh di peperangan dan ada yang terluka berat, sehingga tidak mampu lagi berdiri tegak di hadapan pasukannya.
Dengan singkat Ki Rangga memberikan beberapa perintah. Ki Rangga juga memberikan alasan kenapa ia menarik pasukannya saat itu.
"Kita sudah kehilangan gelora di dalam hati kita untuk menang. Para prajurit sudah menjadi letih sebelum saatnya. Seharusnya kita dapat bertahan dan bertempur sampai matahari terbenam. Tetapi ternyata hari ini kita tidak mencerminkan kegarangan prajurit-prajurit terpilih dari Pajang," Ki Rangga berhenti sejenak, lalu, "Tetapi besok kita akan bersikap lain. Besok kita akan berangkat ke medan dengan semua orang yang ada. Kita hanya akan meninggalkan beberapa orang yang harus mampu menyelesaikan tugas menyediakan makan dan minum bagi para prajurit. Sementara itu, malam ini kita harus dapat memperbaiki jiwa di setiap dada para prajurit. Kita tidak boleh berjiwa kerdil. Tidak berani melihat darah yang tertumpah di medan. Apa artinya seorang prajurit yang tidak berani melihat darah, meskipun itu darahnya sendiri. Aku juga sudah terluka. Iblis kecil itu telah melukai aku. Tetapi aku tidak pernah merasa kalah," Ki Rangga itu berhenti sejenak, lalu, "Tetapi aku bukannya kalian. Kalian bukannya aku, sehingga aku terpaksa mengambil kebijaksanaan menarik pasukan Pajang ini mundur. Namun besok kita akan maju lagi. Kita tidak akan pernah mundur. Kita besok harus memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan. Kita akan menangkap Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan Ki Tumenggung Jaladara dari Jipang. Yang juga tidak boleh lepas adalah anak pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan itu. Aku sendiri yang akan memberinya hukuman."
Para prajurit Pajang itu mendengarkan sesorah dan perintah-perintah Ki Rangga dengan jantung yang berdebaran. Ternyata para prajurit itu sempat menyesali diri mereka sendiri. Mereka merasa kurang keras menghadapi lawan-lawan mereka sehingga pasukan Tanah Perdikan Sembojan dan apalagi para prajurit Jipang sempat memanfaatkan keadaan itu.
Ki Rangga memang tidak berbicara terlalu panjang. Ia sadar bahwa para prajurit telah menjadi letih. Bahkan beberapa orang rasa-rasanya tidak kuat lagi berdiri.
"Baiklah. Kalian boleh beristirahat dengan baik. Kalian telah menjadi letih. Terutama jiwa dan keberanian kalian sudah tidak bertenaga lagi. Malam nanti kalian harus merenung bahwa kalian masih dapat bekerja lebih keras. Berbuat lebih banyak dari yang kau lakukan hari ini," berkata Ki Rangga Larasgati.
Demikianlah, maka para prajurit itupun kemudian telah menebar untuk beristirahat. Sebagian besar dari mereka telah minum sepuas-puasnya untuk menghilangkan perasaan haus yang bagaikan mencekik leher. Sementara itu mereka harus menunggu nasi yang belum masak benar.
Namun dalam pada itu, setelah Ki Rangga mengobati luka-lukanya, maka iapun telah pergi ke dapur. Dengan keras ia membentak-bentak para petugas di dapur yang dinilainya bekerja terlalu lamban.
"Para prajurit itu memerlukan makan segera," teriak Ki Rangga.
Tidak seorangpun berani menjawab. Semuanya telah menjadi semakin sibuk, apapun yang mereka kerjakan.
Tetapi para prajurit itu memang masih harus menunggu jika mereka tidak ingin makan nasi yang belum masak benar sehingga dapat membuat perut mereka menjadi sakit.
Di saat senja turun, maka sebagian dari para prajurit itu telah pergi ke sungai untuk mandi. Tetapi ada sebagian dari mereka yang merasa tidak perlu untuk mandi sore itu.
"Besok di dini hari," jawabnya dengan malas. Ketika kemudian malam turun, maka Ki Rangga yang masih saja marah karena luka-lukanya yang terasa pedih, telah memanggil Kasadha.
Dengan wajah yang tegang, Ki Rangga berkata, "Besok kau dan prajurit-prajuritmu harus lebih bersungguh-sungguh. Kita akan menentukan satu pertempuran hidup atau mati."
Kasadha yang segan berbincang itupun mengangguk sambil menjawab, "Baik Ki Rangga."
"Sebagai lurah prajurit kau harus mampu memberikan contoh," geram Ki Rangga, "menurut penilaianku, prajurit-prajuritmu kurang bersungguh-sungguh. Kau harus menempa jiwanya agar mereka menyadari, betapa besar tugas yang sedang mereka pikul."
Kasadha masih mengangguk sambil menjawab, "Baik Ki Rangga."
Tetapi Ki Rangga itu kemudian berkata, "Tetapi jika pimpinannya tidak lagi memacu para prajuritnya maka akibatnya akan lain. Karena itu tergantung kepadamu. Jika kau masih berpendirian bahwa Tanah Perdikan ini dapat ditangani dengan cara lain, maka kau tidak akan dapat memenangkan perang ini. Jika kau bersikap sebagaimana sikapmu terhadap Tanah Perdikan Gemantar atau bahkan dengan sengaja memberikan kesempatan kepada lawan untuk bernafas maka kalian tentu akan digilasnya sampai lumat."
Kasadha masih akan menahan diri. Tetapi dari dalam dadanya tiba-tiba saja bergejolak perasaannya yang melonjak, "Apakah Ki Rangga melihat bahwa prajurit-prajurit tidak bertempur dengan sungguh-sungguh?"
"Kalian masih dapat meningkatkan kemampuan kalian. Karena keragu-raguanmu, maka semua prajuritmu ikut menjadi ragu-ragu. Mereka merasa bahwa mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, sementara sebenarnya mereka masih dapat meningkatkannya lagi. Niat mereka untuk menangpun menjadi semakin susut. Dan bahkan yang lebih parah lagi, mereka lebih senang lari dari pertempuran daripada mati, meskipun kematiannya mempunyai arti," berkata Ki Rangga.
Wajah Kasadha menjadi merah. Hampir saja ia kehilangan kendali sehingga menumpahkan kemarahannya. Tetapi untunglah, meskipun masih muda, tetapi Kasadha pernah menempuh gejolak kehidupan yang pelik, sehingga ia masih mampu mengendalikan dirinya. Meskipun demikian ia menjawab, "Ki Rangga. Sebagai seorang Senapati Ki Rangga sebenarnya harus mengetahui, apa yang dilakukan oleh prajurit-prajuritku. Aku tidak ingin merendahkan prajurit-prajurit dari kesatuan yang lain. Tetapi setidak-tidaknya prajurit-prajuritku tidak kalah dari mereka. Bagaimanapun juga menghadapi prajurit Jipang, prajurit-prajuritku telah berjuang dengan sekuat tenaganya dan kemampuannya. Hal inilah yang harus Ki Rangga ketahui."
"Cukup," bentak Ki Rangga, "kau kira kau pantas mengajari aku, Ki Lurah. Baru berapa hari kau diangkat menjadi Lurah Penatus prajurit Pajang. Dan kau sudah merasa dirimu berhak sesorah di hadapanku. Kau lupa bahwa aku adalah Rangga dalam tatanan keprajuritan Pajang."
"Tidak Ki Rangga. Aku tidak pernah melupakannya. Bukankah aku justru berkata bahwa karena Ki Rangga seorang Senapati, seharusnya Ki Rangga mampu menilai, apa yang telah terjadi di medan ini," jawab Kasadha.
"Diam," Ki Rangga hampir berteriak sehingga orang-orang yang berada tidak terlalu jauh dapat mendengarnya meskipun mereka tidak tahu apa yang dibicarakan, "aku perintahkan kepadamu Ki Lurah, kau besok harus berbuat lebih baik jika kau tidak ingin aku hadapkan kepada Ki Tumenggung Bandapati yang sekarang mempunyai kekuasaan yang besar di Pajang."
Kasadha menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia menyadari kedudukannya sebagai seorang prajurit yang berada di bawah perintah Ki Rangga Larasgati. Betapapun dadanya bagaikan terbakar.
"Sekarang kau boleh kembali kepada prajurit-prajuritmu. Kau harus membuat mereka menyadari kewajibannya sebagai seorang prajurit Pajang yang besar," berkata Ki Rangga Larasgati. Lalu dengan nada tinggi ia berkata, "Ingat. Kau hanyalah seorang Lurah Penatus prajurit Pajang."
Kasadhapun dengan cepat meninggalkan Ki Rangga Larasgati sebelum darahnya mendidih. Kasadha justru mencemaskan dirinya sendiri jika ia menjadi kehilangan kendali. Karena itu, maka yang terbaik baginya adalah meninggalkan Ki Rangga itu secepatnya.
Ketika Kasadha kembali kepada prajurit-prajuritnya, maka yang dilakukannya pertama-tama adalah melihat mereka yang terluka.
Namun tiba-tiba ia bertanya, "Kita harus menemukan kawan-kawan kita yang terbunuh di peperangan."
"Tiga orang telah kami kuburkan," jawab salah seorang pemimpin kelompok kepercayaan Ki Lurah Kasadha itu.
"Jangan bodoh," sahut Kasadha, "aku yang memimpin upacara pelepasan."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya ia memang belum selesai berbicara. Karena itu maka sejenak kemudian ia berusaha untuk menjelaskan, "Maksudku, selain tiga orang yang sudah kita kuburkan itu, ternyata masih ada delapan orang yang hilang, selain yang luka-luka."
Kasadha mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, "Aku akan melihatnya di medan."
Wajah pemimpin kelompok itu menjadi tegang. Katanya, "Itu akan sangat berbahaya."
"Tidak. Kita tidak akan berbuat curang. Kita mencari kawan-kawan kita. Jika masih ada di antara mereka yang hidup, maka mereka memerlukan sekali pertolongan, itu," jawab Kasadha.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun nampaknya Kasadha tidak memperhatikannya sama sekali. Bahkan Kasadha telah melangkah meninggalkannya.
"Ki Lurah," panggil pemimpin kelompok itu, "Ki Lurah akan pergi sendiri" Jika Ki Lurah menemukan orang-orang terluka itu, apa Ki Lurah dapat membawanya?"
"Aku hanya akan melihat. Tetapi menurut perhitunganku, seandainya ada yang terluka, maka mereka tentu telah dirawat oleh orang-orang Tanah Perdikan. Karena itu, maka aku juga akan pergi ke padukuhan itu, landasan garis perang pertama Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kasadha.
"Tetapi, apakah Ki Lurah tidak akan ditangkap?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Aku percaya bahwa orang-orang Tanah Perdikan Sembojan bukan pengecut yang bertindak licik. Bukankah aku juga pernah mengunjungi para pemimpin Tanah Perdikan?" sahut Kasadha.
Pemimpin kelompok itu hanya termangu-mangu. Sementara itu Kasadha telah melangkah menembus kegelapan.
Tetapi pemimpin kelompok itu tidak berani menyusul Kasadha ke medan dan bahkan ke padukuhan. Mungkin Kasadha pernah dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan, karena ia memang pernah datang berkunjung sebelum pertempuran terjadi. Tetapi ia sendiri akan dapat menimbulkan salah paham, bahkan mungkin akan dapat menyulitkan Ki Lurah Kasadha sendiri.
Karena itu, pemimpin kelompok itu hanya berdiri termangu-mangu. Ia menyadari, betapa gelisahnya perasaan Kasadha yang harus melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nuraninya khususnya tentang Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu Kasadha telah menelusuri jalan bulak menuju ke bekas medan yang menjadi gelap dan sepi. Kasadha sendiri tidak yakin bahwa usahanya akan berhasil. Ia tidak akan dapat berbuat banyak di dalam gelapnya malam, di tanah persawahan yang terinjak-injak kaki para prajurit dan pengawal yang sedang bertempur untuk saling membunuh.
"Apakah mempertahankan satu keyakinan yang berbenturan dengan keyakinan yang lain itu harus diselesaikan dengan kekerasan?" pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya. Sementara itu iapun menganggap bahwa satu keyakinan memang harus dipertahankan.
Kasadha tidak dapat menemukan jawabannya, sebagaimana ia ingin melihat bayangan di dalam kegelapan.
Namun tiba-tiba Kasadha itu terkejut ketika dua orang ternyata telah mengikutinya. Ketika ia berhenti dan berputar, maka kedua orang itu telah mengacukan tombaknya.
"Siapa kau?" bentak seorang di antara keduanya.
Kasadha memang ragu-ragu sebentar. Namun kemudian iapun berkata, "Aku, Kasadha, Lurah Penatus prajurit Pajang."
"Untuk apa kau datang kemari?" bertanya seorang di antara kedua orang itu.
"Aku akan melihat medan. Aku kehilangan delapan orang selain yang gugur. Belum terhitung para prajurit Pajang dari kesatuan yang lain. Mungkin masih ada orang yang tertinggal di medan. Gugur atau terluka parah sehingga tidak dapat meninggalkan medan tanpa bantuan orang lain," jawab Kasadha.
"Medan itu telah kami bersihkan," berkata orang itu, "tidak seorangpun yang tertinggal."
"Kalian menemukan orang-orangku atau prajurit-prajurit Pajang yang lain?" bertanya Kasadha.
"Kau menjadi tawanan kami," berkata orang itu tiba-tiba.
"Tidak," jawab Kasadha, "aku datang tidak dalam rangkaian pertempuran. Aku datang untuk maksud-maksud lain dalam hubungannya dengan kemanusiaan."
"Tetapi kau memasuki daerah kami," berkata orang itu.
"Bawa aku kepada Risang," tiba-tiba Kasadha justru membentak, "aku akan berbicara dengan anak muda itu. Ia adalah contoh seorang laki-laki yang utuh."
"Besok kau akan kami bawa menghadapnya," jawab orang itu.
"Sekarang aku akan bertemu dengan Risang," jawab Kasadha, "seperti kemarin aku juga dapat menemuinya tanpa kesulitan. Aku akan minta ijin untuk melihat-lihat bekas medan pertempuran untuk mencari prajurit-prajuritku yang hilang."
"Malam ini Risang sedang beristirahat," jawab orang itu.
"Tidak. Aku tahu ia ada di padukuhan itu," berkata Kasadha, "bawa aku kepadanya. Aku akan menerima keputusan apapun yang dikatakannya tentang aku."
Kedua pengawal itu ragu-ragu. Sementara seperti malam sebelumnya Kasadha merentangkan tangannya sambil berkata, "Aku Lurah Penatus. Tetapi aku sekarang tidak bersenjata sama sekali."
"Kau akan kami bawa ke gardu induk. Terserah apa yang akan dilakukan atasmu oleh para pemimpin pengawal di gardu induk."
Kasadha tidak menjawab. Ia menurut saja perintah kedua orang pengawal yang membawanya ke gardu induk.
Kasadha memang menjadi termangu-mangu ketika ia melihat, di gardu induk itu terdapat pula beberapa orang prajurit Jipang. Ia sadar, bahwa sikap prajurit Jipang tentu berbeda dengan sikap para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika kedua orang pengawal itu membawa Kasadha masuk ke gardu induk, maka beberapa orang yang ada di dalamnya terkejut. Dua orang prajurit Jipang dengan serta-merta telah berdiri karena mereka melihat seorang prajurit Pajang yang datang ke gardu itu.
"Kami menemukan di bulak, di dekat bekas medan pertempuran siang tadi," lapor salah seorang di antara para pengawal itu.
"Masukkan ke dalam bilik tawanan," perintah pemimpin pengawal yang sedang bertugas, "prajurit itu tentu mempunyai maksud tertentu. Tetapi besok baru kita sempat memeriksanya."
Jantung Kasadha menjadi berdebar-debar. Dengan lantang ia berkata, "Aku sengaja datang untuk menemui, Risang. Aku kemarin juga datang ke padukuhan ini dan bertemu dengan Risang, bahkan dengan Nyi Wiradarta."
"Untuk apa kau akan menemui Risang malam ini?" bertanya salah seorang pemimpin pengawal.
"Aku akan berbicara dengan anak muda itu," jawab Kasadha.
Namun pemimpin pengawal itu sekali lagi berkata, "Masukkan orang itu ke dalam tahanan. Kita akan memeriksanya besok."
Tetapi Kasadha berkata pula, "Aku Lurah Penatus prajurit Pajang. Aku tidak dapat kalian perlakukan seperti itu. Aku akan berbicara dengan Risang."
"Kau tawanan kami. Siapapun kau. Meskipun kau Ki Rangga Larasgati, maka kau tidak dapat menolak," berkata salah seorang prajurit Jipang.
Wajah Kasadha menjadi tegang. Tetapi justru karena itu, maka suaranya menjadi semakin keras, "Aku akan bertemu dengan Risang. Jika kalian menghalangi aku malam ini, maka kalian tentu akan menyesal. Risang tentu akan menghukum kalian."
Tetapi pemimpin pengawal itu berkata, "Kami menjalankan kewajiban kami."
Kasadha hampir kehilangan harapan. Satu-satunya jalan adalah menghentakkan dirinya dan berlari meninggalkan tempat itu. Keluar dari padukuhan dan menghilang di dalam gelap. Jika tidak ada Sambi Wulung dan Jati Wulung yang baru diketahui nama mereka yang sebenarnya jauh setelah mereka berkenalan atau Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu sendiri, maka Kasadha berharap akan dapat luput dari kejaran para pengawal dan para prajurit Jipang.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang, "Biarlah Ki Lurah Kasadha itu bertemu dengan Risang."
Para pengawal dan prajurit Jipang itu berpaling. Yang berdiri di tempat yang remang-remang itu adalah Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Karena itu, maka para pengawalpun tidak dapat menolak perintah itu. Sementara itu Sambi Wulungpun berkata, "Biarlah aku yang membawanya."
Para pengawal dan prajurit Jipang yang ada di gardu itupun kemudian telah menyerahkan Kasadha kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk dibawa ke banjar, karena Risang memang berada di banjar.
"Kenapa kau kemari?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku ingin melihat orang-orangku yang hilang. Apakah mereka masih berada di medan atau berada di sini?" jawab Kasadha.
"Kami merawat beberapa orang prajurit Pajang yang terluka. Kamipun telah menguburkan empat sosok mayat prajurit Pajang," jawab Sambi Wulung.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah mengira bahwa orang-orangnya yang terluka atau yang terbunuh telah dirawat oleh orang-orang Tanah Perdikan. Tetapi ada semacam dorongan yang tidak terlawan yang memaksanya untuk pergi ke padukuhan itu.
Ketika Sambi Wulung dan Jati Wulung sampai ke banjar bersama Kasadha, maka Risang memang terkejut.
"Kau?" desis Risang.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Risangpun berkata, "Marilah, silahkan duduk."
"Kau masih belum beristirahat?" bertanya Kasadha.
"Aku masih harus menyelesaikan beberapa persoalan," jawab Risang. Namun iapun telah bertanya, "kau juga belum beristirahat?"
"Aku kehilangan beberapa orang prajuritku," jawab Kasadha.
"Kau mencarinya?" bertanya Risang.
"Ya. Aku ingin mengetahui nasibnya," jawab Kasadha.
"Beberapa orang telah kami ketemukan," jawab Risang.
"Aku mengucapkan terima kasih," jawab Kasadha, "aku ingin bertemu dengan mereka."
Risang termangu-mangu. Dengan nada rendah ia berkata, "Mereka adalah tawananku."
"Aku tahu. Aku tidak akan mengambil mereka. Tetapi aku ingin melihat keadaan mereka," jawab Kasadha.
"Mereka dalam keadaan baik," jawab Risang, "kami mengetahui paugeran perang. Apa yang harus kami lakukan atas para tawanan."
"Aku tahu," jawab Kasadha, "kau juga bekas seorang prajurit. Kau tentu tahu apa yang harus kau lakukan terhadap para tawanan. Namun rasa-rasanya ada keinginanku untuk bertemu dengan mereka yang terluka parah."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah hal itu tidak akan merugikan dirimu sendiri?"
Kasadha mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia bertanya, "Kenapa?"
"Jika kelak mereka sempat berbicara dengan atasanmu, Ki Rangga Larasgati, bahwa kau ada disini, apakah hal itu tidak akan menimbulkan kecurigaan?" jawab Risang, "apalagi kami di Tanah Perdikan ini telah mendengar sikapmu terhadap Tanah Perdikan Gemantar."
Wajah Kasadha tiba-tiba menunduk. Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Memang satu kemungkinan. Aku yakin bahwa prajurit-prajuritku sendiri tidak akan menuduhku seperti itu. Tetapi prajurit-prajurit dari kesatuan lain atau yang langsung dibawa oleh Ki Rangga Larasgati memang dapat bersikap lain."
"Karena itu, maka pertimbangkan baik-baik niatmu. Sebenarnya aku tidak berkeberatan membawamu ke bagian belakang rumah di sebelah simpang empat itu. Mereka ada disana. Aku tidak tahu apakah mereka prajurit-prajuritmu atau justru prajurit yang berada langsung di bawah perintah Ki Rangga Larasgati," berkata Risang kemudian.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Aku tidak akan melihat mereka. Tetapi aku minta ijin kepadamu untuk sekali lagi meneliti bekas medan itu. Apakah masih ada orang yang tercecer."
"Kami telah melihat dengan teliti," jawab Risang.
"Aku akan menelusuri garis mundur pasukan Pajang," desis Kasadha, "mungkin di seberang garis perbatasan masih ada yang tertinggal. Bukankah para pengawal Tanah Perdikan ini tidak mencarinya di seberang perbatasan?"
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah. Aku antar kau sampai ke perbatasan."
"Tidak-perlu kau sendiri Risang," sahut Kasadha. Tetapi Risang berkata, "Biarlah aku mengantarmu. Kau tidak akan diganggu oleh siapapun."
Kasadha tidak dapat menolak. Risangpun kemudian telah berbenah diri sambil berkata, "Marilah. Kita memerlukan waktu untuk beristirahat. Karena itu, kau jangan sampai terlalu malam tinggal disini."
Keduanyapun kemudian telah keluar dari banjar. Kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung Risang memberikan beberapa pesan, "Jika ibu bertanya, katakan bahwa aku mengantar Kasadha ke perbatasan."
Sambi Wulung memandang Risang dengan ragu. Bagaimanapun juga ia agak mencemaskan keselamatannya. Ia sama sekali tidak mencurigai Kasadha, tetapi di saat ia kembali ke padukuhan, maka akan dapat terjadi kecurigaan. Apalagi prajurit yang langsung berada di bawah perintah Ki Rangga Larasgati.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun berkata, "Biarlah Jati Wulung berada di banjar."
"Kenapa?" bertanya Risang.
"Aku akan pergi bersamamu," jawab Sambi Wulung.
Namun tiba-tiba Kasadha bertanya, "Kau mencurigai aku?"
"Tidak. Aku tidak mencurigaimu. Tetapi jarak dari perbatasan ke padukuhan ini tidak terlalu pendek. Sementara prajurit Pajang yang ada di perkemahan tidak semuanya prajurit-prajuritmu," jawab Sambi Wulung.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika demikian, silahkan."
Risangpun kemudian tidak berkeberatan. Katanya, "Baiklah. Kita akan pergi bersama-sama."
Demikianlah, maka mereka bertiga telah meninggalkan padukuhan. Beberapa orang pengawal memang merasa heran, bahwa Risang telah mengantarkan Kasadha menuju ke bekas medan pertempuran. Namun mereka menjadi agak tenang karena Sambi Wulung yang mereka kenal tingkat ilmunya, telah menyertai anak muda itu.
Ketiga orang itu memang telah menelusuri bekas medan yang garang di siang hari. Kasadha dengan teliti mengamati daerah yang cukup luas itu. Tetapi seperti dikatakan oleh Risang, bahwa tempat itu telah dibersihkan oleh para pengawal Tanah Perdikan. Justru Kasadha sendiri sudah menduga bahwa hal itu telah dilakukan.
Tetapi tanpa dapat dicegahnya, maka langkahnya telah membawanya ke Tanah Perdikan dan bertemu dengan kakak seayahnya itu. Tetapi ada sesuatu yang aneh di hati Kasadha. Meskipun ia tidak dapat mengatakannya kepada siapapun. Ia justru merasa kecewa bahwa ia tidak bertemu dengan Nyi Wiradana. Ibu tirinya. Ia tidak pernah merasakannya sebelumnya. Bahkan ia tidak pernah merasa kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan ibunya untuk berhari-hari, berbulan-bulan bahkan dengan hitungan tahun sekalipun. Tetapi Nyi Wiradana yang bernama Iswari itu ternyata telah menumbuhkan kesan tersendiri di dalam hatinya.
"Aku merasa iri terhadap Risang," berkata Kasadha di dalam hatinya itu, "ia memiliki sosok seorang ibu yang sebenarnya. Bagaimana mungkin Ki Wiradana yang mempunyai seorang isteri seperti Nyi Iswari itu harus mengambil istri yang lain seperti ibuku, Nyi Warsi?"
Kebenciannya kepada seorang laki-laki yang bernama Ki Rangga Gupita justru telah menggelegak di dalam jantungnya.
Sebenarnyalah pada saat itu Ki Rangga Gupita justru telah berada di perkemahan Ki Rangga Larasgati. Tiga orang prajurit Pajang yang bertugas telah menangkapnya ketika Ki Rangga mendekati perkemahan itu. Tetapi Ki Rangga yang pernah bertugas sebagai prajurit sandi itu dengan tenang mengatakan, bahwa ia adalah ayah Kasadha.
"Aku ingin berbicara dengan anakku," berkata Ki Rangga.
"Katakanlah kepada pimpinan kami," jawab prajurit yang menangkapnya, "kau akan kami bawa menghadap Ki Rangga Larasgati."
Ki Rangga Larasgati yang sudah ingin beristirahat itu memang merasa terganggu atas kehadiran seseorang yang mengaku ayak Ki Lurah Kasadha. Karena itu, maka iapun telah membentaknya, "Kenapa kau datang malam-malam begini?"
"Aku tahu, bahwa kesempatan yang paling baik untuk berkunjung ke perkemahan ini adalah di malam hari seperti sekarang ini," jawab Ki Rangga Gupita.
"Siapa kau sebenarnya?" bertanya Ki Rangga Larasgati.
"Aku ayah Ki Lurah Kasadha. Aku adalah bekas prajurit Jipang. Orang memanggilku Ki Rangga Gupita," jawab Ki Rangga.
"Prajurit Jipang," ulang Ki Rangga Larasgati.
"Bekas. Dan aku adalah prajurit Jipang di masa kekuasaan Arya Penangsang. Bukan Jipang sekarang, di bawah kekuasaan Pangeran Benawa. Kau lihat bahwa aku sudah terlalu tua untuk menjadi prajurit sekarang ini?"
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Rangga Larasgati.
"Aku ingin melihat, apakah anakku telah melakukan tugasnya dengan baik. Aku adalah seorang prajurit. Aku tidak mau melihat anakku menjadi seorang prajurit yang kurang baik," berkata Ki Rangga Gupita.
"Anakmu yang telah diangkat menjadi Lurah Penatus itu memang kurang baik," berkata Ki Rangga Larasgati.
"Kenapa?" bertanya Ki Rangga Gupita.
"Ia tidak bersungguh-sungguh. Demikian juga prajurit-prajuritnya yang seratus orang itu. Sebagai seorang prajurit Kasadha selalu dibayangi oleh keragu-raguan, ia tidak menunjukkan gejolak perasaan seorang prajurit di medan perang," berkata Ki Rangga Larasgati.
"Apakah benar begitu?" bertanya Ki Rangga Gupita pula.
"Ia tidak bersungguh-sungguh ingin mengalahkan Tanah Perdikan Sembojan. Seperti sikapnya di Gemantar, maka Ki Lurah Kasadha memang meragukan," jawab Ki Rangga Larasgati.
Ki Rangga Gupita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Tidak. Aku tidak yakin akan keterangan Ki Rangga. Anakku harus berjuang dengan sungguh-sungguh. Ia harus menguasai Tanah Perdikan Sembojan."
Ki Rangga Larasgati menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Kenapa?"
"Ia adalah pewaris Tanah Perdikan ini," jawab Ki Rangga Gupita.
Ki Rangga Larasgati terkejut. Dengan wajah tegang ia bertanya, "Kenapa Ki Rangga dapat mengatakan seperti itu?"
"Ia adalah anak Ki Wiradana, sehingga karena itu, maka ia adalah cucu Ki Gede Sembojan," jawab Ki Rangga Gupita.
Wajah Ki Rangga Larasgati berkerut. Dengan nada rendah ia bertanya, "Tetapi bukankah anak itu anak Ki Rangga?"
"Ia adalah anak tiriku. Anak isteriku. Anak itu lahir karena isteriku adalah bekas isteri Ki Wiradana itu. Tetapi aku mengasuhnya sejak ia lahir. Ki Wiradana sendiri sudah terbunuh di pertempuran," jawab Ki Rangga Gupita.
"Pertempuran yang mana?" desak Ki Rangga Larasgati.
"Melawan segerombolan penjahat yang sangat kuat, yang menyerang Tanah Perdikan ini," jawab Ki Rangga Gupita.
Ki Rangga Larasgati termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian berkata, "Mungkin ia memang tidak bersungguh-sungguh. Ia ingin Tanah Perdikan tidak dapat ditundukkan oleh Pajang, sehingga ia akan dapat merebutnya kemudian tanpa kehilangan haknya sebagai Tanah Perdikan."
"Tidak," jawab Ki Rangga Gupita, "hal itu sulit dilakukannya karena Tanah Perdikan Sembojan cukup kuat. Tetapi bersama dengan tugasnya sebagai prajurit Pajang, ia akan dapat menghancurkan Tanah Perdikan Sembojan sekarang dan membunuh seorang saudaranya laki-laki yang lahir dari ibu yang lain. Jika Risang itu sudah dibunuhnya, maka ia adalah satu-satunya pewaris yang sah atas Tanah Perdikan ini. Jika Tanah Perdikan ini sudah berada di tangan prajurit Pajang, maka hal itu tidak akan sulit diatur. Kasadha harus tunduk kepada ketentuan yang berlaku bagi Tanah Perdikan di Pajang. Ia akan menjadi Kepala Tanah Perdikan yang sah yang akan menjadi pendukung Pajang yang setia."
Wajah Ki Rangga Larasgati nampak membayangkan kebimbangan. Tetapi Ki Rangga Gupita berkata selanjutnya, "Ki Rangga harus yakin bahwa anak itu akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ia akan membunuh Risang dan bahkan Iswari, isteri tua Ki Wiradana."
*** Namun dalam pada itu, Kasadha dan Risang telah berada di perbatasan bersama Sambi Wulung. Tidak ada kesan permusuhan pada kedua orang saudara seayah tetapi berbeda ibu itu. Keduanya ternyata memiliki jiwa besar memandang kenyataan hidup yang harus mereka jalani. Kesalahan orang-orang tua mereka, bukan kesalahan mereka. Betapapun orang tua mereka terlibat ke dalam benturan persoalan yang rumit, tetapi baik Kasadha maupun Risang tidak pernah saling mendendam. Bahkan meskipun mereka berdiri berseberangan dalam pertempuran yang telah menelan korban itu.
"Aku akan kembali ke barak, Risang," berkata Kasadha kemudian.
"Besok aku tetap akan berada di induk pasukan," berkata Risang dengan suara bergetar.
"Aku tidak. Aku tidak akan berada di induk pasukan meskipun Ki Rangga memerintahkan hal itu," jawab Kasadha.
Risang mengangguk kecil. Sementara Kasadhapun telah menyeberangi perbatasan. Sepanjang garis mundur prajurit Pajang, Kasadha masih juga memperhatikan, barangkali ada prajurit yang terlampaui tidak mendapat perawatan karena keadaan. Para pengawal tidak akan mencapai tempat itu, sementara para prajurit Pajang tidak pula memberikan perhatian khusus.
Ternyata Kasadha benar-benar menemukan seorang prajurit yang terluka yang merintih di antara pepohonan di tanggul parit. Nampaknya prajurit itu berusaha untuk dapat minum meskipun sekedar air dari parit. Tetapi haus yang mencekik lehernya sudah tidak tertahankan lagi.
Dengan hati-hati Kasadha mendekati orang itu. Ketika ia yakin, maka iapun segera berjongkok didekatinya sambil berdesis, "Kau terluka?"
Orang itu seperti bermimpi. Antara sadar dan tidak ia merasakan tangan-tangan yang kuat mencengkamnya. Kemudian menariknya dari antara gerumbul-gerumbul di tanggul parit itu.
"Marilah," berkata Kasadha, "aku bantu kau kembali ke barak."
Orang itu sudah demikian lemahnya. Namun ia masih tetap hidup. Suara Kasadha seakan-akan telah membangkitkan harapannya sehingga kekuatannya seakan-akan telah tumbuh kembali, meskipun sekedar untuk dapat bertahan.
Dengan susah payah Kasadha telah memapah orang itu menempuh jalan kembali ke perkemahan. Sementara itu, Kasadha masih juga memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia masih mencari jika ada orang lain lagi yang tertinggal.
Tetapi agaknya sudah tidak ada orang lain yang masih berada di bekas medan pertempuran itu selain yang telah ditolongnya.
Selangkah demi selangkah keduanya berjalan menuju ke perkemahan yang sudah menjadi semakin sepi.
Sementara itu, Ki Rangga Larasgati yang sedang berbicara dengan Rangga Gupita telah memerintahkan kepada prajurit yang bertugas untuk memanggil Kasadha.
"Panggil Ki Lurah. Katakan, ayahnya ada disini dan sedang menunggunya," perintah Ki Rangga Larasgati.
Prajurit itu mengangguk. Iapun segera pergi ke perkemahan Kasadha.
Pada saat itulah Kasadha datang dengan membawa seorang prajurit yang terluka. Prajurit itu memang bukan prajurit dari kesatuan Kasadha. Tetapi prajurit itu adalah prajurit Pajang.
Ketika perintah Ki Rangga Larasgati disampaikan kepada Kasadha, maka jantungnya justru menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak mengharapkan kedatangan ayah tirinya itu. Kebenciannya benar-benar telah memuncak. Namun Kasadha masih berusaha untuk menahan diri.
Tetapi Kasadha masih harus menyerahkan orang yang terluka itu lebih dahulu, baru kemudian ia pergi menghadap Ki Rangga Larasgati.
Para prajurit yang melihat usaha Kasadha menolong orang-orang yang tertinggal di medan memang merasa kagum. Lurah Penatus yang masih muda itu ternyata seorang pemimpin yang benar-benar bertanggung jawab.
"Tidak seorangpun yang berbuat seperti yang dilakukan oleh Ki Lurah," desis seorang pemimpin kelompok prajurit yang langsung berada di bawah perintah Ki Rangga Larasgati. Namun bagi prajurit-prajuritnya sendiri, tindakan itu telah melengkapi sederetan langkah yang mereka kagumi sebelumnya.
Ketika prajurit itu kemudian diterima oleh para petugas yang akan merawatnya, prajurit itu masih sempat berdesis, "Terima kasih Ki Lurah."
Ki Lurah Kasadha menepuk bahu prajurit yang terluka cukup parah itu sambil berkata, "Kau akan cepat sembuh."
Prajurit itu telah menitikkan air matanya. Di luar sadarnya ia berkata, "Aku juga mempunyai seorang anak laki-laki."
Kasadha tersenyum. Katanya, "Beristirahatlah dengan baik. Aku akan menghadap Ki Rangga Larasgati."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Kasadha telah menghadap Ki Rangga Larasgati. Orang yang menyebut dirinya ayahnya telah berada di tempat itu pula.
Demikian Kasadha duduk, maka Ki Ranggapun telah bertanya, "Kenapa pakaianmu terlalu kotor" Apakah kau tidak sempat membenahi diri setelah kau kembali dari medan pertempuran?"
"Bukankah aku sudah menghadap Ki Rangga?" justru Kasadhalah yang ganti bertanya.
"Ya," jawab Ki Rangga, "jadi kenapa?"
Dengan singkat Kasadha memberikan laporan tentang seorang prajurit yang telah diketemukannya. Tetapi ia sama sekali tidak memberikan laporan tentang kepergiannya ke padukuhan pertama di Tanah Perdikan Sembojan.
"Kau telah melakukan sesuatu yang berbahaya," berkata Ki Rangga Larasgati, "Ada kemungkinan bahwa kau disergap oleh orang-orang Tanah Perdikan."
"Aku berada di luar perbatasan Tanah Perdikan itu," jawab Ki Lurah Kasadha.
"Mereka adalah orang-orang yang licik tanpa menghormati hak dan wewenang orang lain," berkata Ki Rangga Larasgati.
Kasadha tidak menjawab. Sekilas ia memandang kepada Ki Rangga Gupita. Namun iapun kemudian telah menundukkan kepalanya.
"Ki Rangga Larasgati memberimu petunjuk. Sebagai pimpinan yang memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari pengalamanmu, maka Ki Rangga melihat kemungkinan itu," berkata Ki Rangga Gupita.
Kasadha masih berdiam diri.
Dalam pada itu, Ki Rangga Larasgatilah yang kemudian bertanya, "Kasadha. Menurut Ki Rangga Gupita, kau adalah satu di antara dua pewaris sah Tanah Perdikan Sembojan. Kenapa kau tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku sebelumnya?"
Kasadha benar-benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Ternyata Ki Rangga Gupita telah menceriterakan keadaannya dan latar belakang kehidupannya. Setidak-tidaknya dalam hubungannya dengan Tanah Perdikan Sembojan.
Hampir saja Kasadha kehilangan kendali. Tentu Ki Rangga Gupitalah yang telah menceriterakannya kepada Ki Rangga Larasgati dengan pamrih tertentu.
Namun untunglah, bahwa ia masih dapat menekan gejolak perasaannya itu. Ia tidak ingin membuat keributan di perkemahan prajurit Pajang itu.
"Kasadha," berkata Ki Rangga Larasgati, "jika demikian maka kesempatan ini adalah kesempatan yang paling baik bagimu. Kesempatan yang mungkin tidak akan pernah kau dapatkan lagi. Dengan kekuatan prajurit Pajang, maka kau harus dapat merebut Tanah Perdikan itu. Seperti dikatakan oleh Ki Rangga Gupita, jika kau berhasil membunuh Risang, maka kau akan menjadi satu-satunya pewaris yang sah atas Tanah Perdikan ini."
Kasadha termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab.
"Kasadha," berkata Ki Rangga Larasgati selanjutnya, "besuk kita akan melanjutkan pertempuran melawan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Aku telah memerintahkan bukan saja para prajurit. Tetapi semua orang yang ikut dalam pasukan ini. Aku telah memerintahkan orang-orang yang selama ini bertugas di dapur untuk ikut bertempur. Prajurit cadangan yang ada di perkemahan harus turun pula ke medan. Aku berharap bahwa dengan gelora yang tinggi, maka besuk kita benar-benar akan dapat memecahkan pertahanan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Adalah tugasmu untuk membunuh Risang serta ibunya," Ki Rangga Larasgati berhenti sejenak. Lalu katanya pula, "Selanjutnya kita dapat mengatur kemungkinan baru bagi Tanah Perdikan ini. Kau dapat mengundurkan diri dari dunia keprajuritan dan memerintah Tanah Perdikan Sembojan di bawah perlindungan prajurit Pajang."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih saja berdiam diri.
"Besok kau bersamaku di induk pasukan. Kita berdua tentu dapat membunuh Risang yang telah dua kali berhadapan dengan aku. Ia justru telah melukaiku di saat aku menerima laporan tentang medan ini," berkata Ki Rangga Larasgati.
Tetapi di luar dugaan Kasadha menjawab, "Aku tidak ingin berhadapan dengan Risang. Aku berada di medan karena aku seorang prajurit yang setia kepada tugasku. Aku tidak mau dituduh, bahwa apa yang aku lakukan disini adalah semata-mata kepentingan pribadiku."
"Tidak ada yang akan menuduhmu demikian," berkata Ki Rangga Larasgati, "tidak ada orang yang tahu tentang dirimu yang sebenarnya."
"Tetapi aku sendiri mengetahui, Ki Rangga. Aku tentu akan merasa setiap tatapan mata sebagai satu tuduhan bahwa aku telah mementingkan kepentinganku sendiri di atas tugasku sebagai seorang prajurit," jawab Kasadha.
"Kau jangan bodoh Kasadha," Ki Rangga Gupita ikut berbicara, "kau jangan berpura-pura seperti itu. Kau harus bertindak atas landasan nuranimu apapun yang kau lakukan. Seandainya kau mementingkan dirimu sendiri, maka jika hal itu menguntungkan pula tugas keprajuritanmu, maka Ki Rangga tentu tidak akan berkeberatan. Justru kau akan dianggap sebagai seorang prajurit yang baik."
"Ayah," jawab Kasadha, "kali ini aku akan mengesampingkan persoalan pribadiku. Aku akan bertempur sebagai seorang prajurit. Aku sudah melakukannya sejak aku memasuki dunia keprajuritan. Kemarin, ketika aku datang ke tempat ini, akupun telah bersiap-siap dan bahkan telah melakukannya. Apalagi ketika aku tahu bahwa di dalam pasukan Tanah Perdikan itu terdapat sepasukan prajurit Jipang."
"Tetapi kau harus mampu membunuh Risang dan ibunya," berkata Ki Rangga Gupita, "satu hal yang tentu sulit kau lakukan dalam keadaan lain. Sekarang kau datang dengan seratus orang prajuritmu ditambah dengan prajurit yang langsung datang di bawah pimpinan Ki Rangga Larasgati. Dengan jumlah yang demikian besar, kau tentu akan dapat melakukannya. Jika hari ini pasukan Pajang masih harus mengundurkan diri, bukan karena kekuatan Pajang kurang dari kekuatan Tanah Perdikan ini. Tetapi Pajang telah merendahkan kekuatan Tanah Perdikan ini dengan menyimpan terlalu banyak tenaga cadangan dan meletakkan para petugas di dapur dan mengurusi perlengkapan. Tetapi jika Ki Rangga memutuskan untuk menurunkan mereka ke medan, maka kekuatan Tanah Perdikan tidak akan banyak berarti bagi Pajang."
"Tidak," jawab Kasadha, "jika aku dan Ki Rangga Larasgati bersama-sama menekan Risang dan apalagi berusaha membunuhnya, maka itu hanya akan mempercepat kekalahan Pajang. Seharusnya kita lebih dahulu mengurangi jumlah kekuatan Tanah Perdikan sebanyak-banyaknya. Seandainya kita tidak membunuh mereka, maka dengan melukai mereka, maka kekuatan Tanah Perdikan akan menjadi susut."
"Kenapa kau menganggapnya demikian?" bertanya Ki Rangga Larasgati, "menurut pengalamanku, jika pimpinan tertinggi satu pasukan telah terbunuh, maka pasukan itu akan menjadi kehilangan tumpuan dan dengan mudah akan dapat dikalahkan."
"Tetapi berbeda dengan pasukan Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kasadha, "di Tanah Perdikan Sembojan, pimpinan tertinggi yang sebenarnya tidak turun ke medan. Nyi Wiradana dan Ki Tumenggung Jaladara berada di belakang medan pertempuran. Jika Risang terbunuh atau terluka, maka keduanya akan segera menggantikan kedudukannya dan semua orang tahu, bahwa ilmu Nyi Wiradana itu tidak akan dapat ditandingi oleh siapapun juga. Bahkan oleh sekelompok besar prajurit Pajang sekalipun. Demikian pula Ki Tumenggung Jaladara. Bahkan seandainya sesuatu terjadi atas Risang, maka dua orang saudara seperguruan yang kemudian aku ketahui bernama Sambi Wulung dan Jati Wulung akan dapat membahayakan seluruh pasukan Pajang. Tetapi jika para pengawal dan prajurit Jipang sudah kehilangan kekuatan dasarnya, maka kita akan dapat menghimpun kelompok-kelompok untuk menghadapi orang-orang terpenting itu. Karena kelompok-kelompok itu tidak akan terganggu oleh para pengawal Tanah Perdikan yang jumlahnya menjadi semakin sedikit sebelum hal itu disadari oleh pimpinan tertinggi Tanah Perdikan. Karena itu, maka yang harus kita lakukan secepat-cepatnya adalah mengurangi kekuatan dan jumlah para pengawal Tanah Perdikan, terutama para prajurit Jipang."
Ki Rangga Larasgati mengangguk-angguk, ia sebenarnya dapat mengerti alasan Kasadha. Tetapi Ki Rangga Gupita telah menjawabnya lebih dahulu, "Tetapi kau harus membunuh Risang dan Nyi Wiradana. Harus. Kau tidak mempunyai pilihan lain."
Kasadha memang menjadi tegang. Tetapi yang memegang perintah di perkemahan itu bukan Ki Rangga Gupita, melainkan Ki Rangga Larasgati.
Sementara itu Ki Rangga Larasgati memang memikirkan kemenangan Pajang di atas segala kepentingan.
Namun Ki Rangga Larasgati itupun kemudian berkata, "Baiklah. Apa yang dianggap penting oleh Kasadha, biarlah dilakukannya. Aku memandangnya sebagai seorang Lurah Penatus Prajurit Pajang. Ia harus bertempur dengan bersungguh-sungguh. Kita besok harus dapat memecahkan pertahanan Tanah Perdikan. Semua prajurit cadangan akan aku kerahkan, sehingga jumlah kita akan bertambah-tambah. Jika besok kita gagal lagi, maka kita akan menunggu tiga hari lagi, karena kita akan memanggil lagi prajurit dari Pajang. Tidak tanggung-tanggung. Semakin banyak semakin baik. Kita akan menggilas Tanah Perdikan menjadi debu."


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Kasadha memang menegang. Tetapi ia tidak dapat mencegah hal itu jika Ki Rangga Larasgati memang akan melakukannya. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Gupita berkata dengan lantang, "Kau jangan bodoh Kasadha. Kau harus melakukannya. Jika kau tidak mau melakukannya karena alasan apapun juga, aku akan menawarkan diri kepada Ki Rangga Larasgati, bahwa aku akan mendampinginya di medan, dengan tugas khusus, membunuh Risang dan Nyi Wiradana."
"Apa ayah merasa mampu membunuh Nyi Wiradana?" bertanya Kasadha. Bahkan karena jantungnya telah menggelegar semakin keras, maka iapun berkata, "Bukankah ibu saja tidak mampu membunuh Nyi Wiradana. Sedangkan kemampuan ayah masih jauh di bawah kemampuan ibu."
"Setan kau," geram Ki Rangga Gupita, "kau jangan merendahkan aku. Aku adalah seorang Rangga yang pernah bertugas dalam pasukan sandi Jipang. Seandainya aku tidak mampu membunuh Nyi Wiradana, maka aku dapat mempergunakan akal dan pengalamanku di antara sekian banyak prajurit Pajang. Aku tidak akan menantang Nyi Wiradana untuk berperang tanding sebagaimana dilakukan oleh ibumu yang keras hati itu. Tetapi aku akan mempergunakan kemampuan keprajuritanku serta pengalamanku sebagai petugas sandi di Jipang."
Kasadha hanya dapat menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun dalam pada itu Ki Rangga Larasgati di luar sadarnya bertanya, "Apakah Nyi Wiradana benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi?"
"Ya," jawab Ki Rangga Gupita dengan serta-merta, "ia memiliki ilmu yang seakan-akan berada di luar penalaran. Ia mampu mengalahkan orang-orang yang dianggap mumpuni dalam olah kanuragan."
"Aku tidak mengira. Ia adalah seorang perempuan cantik yang lembut," berkata Ki Rangga Larasgati, "meskipun umurnya sudah semakin banyak menilik anaknya yang sudah dewasa, namun ia masih menunjukkan ujudnya sebagai seorang perempuan yang menarik."
Meskipun Nyi Wiradana bukan ibunya, tetapi tiba-tiba saja Kasadha bertanya, "Untuk apa Ki Rangga menilai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang menjabat sebagai Senapati tertinggi di Tanah Perdikan ini dalam ujudnya sebagai seorang perempuan?"
Wajah Ki Rangga menjadi panas sesaat. Tetapi iapun kemudian menjawab, "Sebenarnya aku merasa sayang untuk membunuhnya. Tetapi apaboleh buat. Aku sependapat dengan Ki Rangga Gupita. Risang dan Nyi Wiradana harus dibunuh. Kemudian kita akan berbicara tentang masa depan Tanah Perdikan ini."
"Aku telah menawarkan diri untuk melibatkan diri Ki Rangga," berkata Ki Rangga Gupita, "meskipun umurku sudah melampaui umur yang pantas bagi seorang prajurit. Tetapi bukan berarti bahwa aku telah kehilangan kemampuanku sebagai seorang prajurit," berkata Ki Rangga Gupita.
"Ki Rangga Gupita belum terlalu tua. Ki Rangga masih menunjukkan ketegaran seorang perwira yang pantas untuk turun ke medan perang," berkata Ki Rangga Larasgati.
Kasadha mengeluh di dalam hati. Ternyata kedua orang Rangga itu telah berniat saling memanfaatkan keadaan, sehingga mereka akan dapat bekerja bersama. Meskipun belum dapat diketahui apa yang akan terjadi kemudian, setelah mereka menyelesaikan kerja sama itu.
Tetapi Kasadha tidak mau terlibat ke dalam persoalan-persoalan seperti itu lebih jauh. Ia juga cemas tentang dirinya sendiri, apabila ia tidak mampu lagi mengendalikan perasaannya yang seakan-akan telah terombang-ambing dan terhempas berulang kali ke batu karang. Keangkuhan sikap Ki Rangga Larasgati. Ketamakan Ki Rangga Gupita dan Kasadha sendiri tidak tahu, kenapa ia merasa tidak rela atas sikap Ki Rangga Larasgati terhadap Nyi Wiradana, meskipun Nyi Wiradana itu bukan ibunya sendiri.
Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Lurah Kasadha itupun berkata, "Ki Rangga. Baiklah aku mohon diri. Aku juga ingin beristirahat agar besok aku dapat turun ke medan dengan tenaga baru. Aku harap Ki Ranggapun sempat beristirahat. Apalagi Ki Rangga terluka dan berdarah meskipun tidak seberapa. Tetapi Ki Rangga harus memulihkan tenaga sejauh-jauhnya."
Tetapi yang menjawab adalah Ki Rangga Gupita, "Besok aku akan mendampingi Ki Rangga di medan perang. Risang akan mati tanpa mengurangi nama baikmu sebagai seorang prajurit."
Kasadha tidak menjawab. Namun iapun kemudian bangkit sambil berkata, "Selamat malam ayah."
Ki Rangga Larasgati tidak menahannya lagi. Dibiarkannya Kasadha kembali ke pasukannya. Besok ia harus turun ke medan dengan tenaga penuh untuk menghadapi terutama para prajurit dari Jipang.
Dengan kepala tunduk Kasadha menuju ke pasukannya yang sedang tidur nyenyak. Namun pemimpin kelompok kepercayaannya itupun ternyata masih juga belum tidur. Ketika Kasadha datang, maka pemimpin kelompok itu masih duduk bersandar sepotong bambu di perkemahannya sambil menjelujurkan kakinya. Namun iapun segera bangkit ketika ia melihat Kasadha datang.
"Kenapa kau belum tidur?" bertanya Kasadha.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku tidak dapat tidur. Aku tahu Ki Lurah merasa sangat gelisah. Rasa-rasanya aku ikut menjadi gelisah pula."
Kasadha memandang orang itu sekilas. Kemudian katanya, "Tidurlah. Besok kita akan menghadapi para prajurit Jipang."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, "Jika aku boleh mengetahuinya, apa saja yang dikatakan oleh Ki Rangga" Nampaknya ada sesuatu yang penting. Apa pula berita yang dibawa oleh ayah Ki Kasadha yang katanya telah datang ke perkemahan ini pula?"
"Persoalan pribadi. Persoalan yang untuk sementara harus aku kesampingkan," berkata Kasadha. Lalu katanya pula, "Sekarang tidurlah. Pagi-pagi kita harus bangun dan bersiap untuk saling membunuh dengan sesama. Aku tidak tahu, apakah tidak ada cara lain yang dapat ditempuh selain saling berbunuhan."
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Sementara itu Kasadha berdesis, "Untunglah bahwa di dalam pasukan Tanah Perdikan itu terdapat prajurit Jipang yang dapat untuk menyalurkan gejolak di dalam dada ini. Jika tidak, aku dapat menjadi gila disini."
Pemimpin kelompok itu kemudian berkata lirih, "Ki Lurah harus dapat menemukan keseimbangan jiwa dalam tugas ini."
"Sudah aku katakan, prajurit Jipang itu dapat memberikan keseimbangan itu," jawab Kasadha.
"Persoalan apa yang sebenarnya Ki Lurah hadapi" Seharusnya Ki Lurah tidak memikul beban itu sendiri. Apakah mungkin aku dapat membantunya mengangkat beban itu?" pemimpin kelompok itu masih bertanya.
"Sudahlah. Tidak seorangpun yang dapat mencampuri persoalan yang sangat pribadi ini. Namun bagaimanapun juga, aku akan tetap berpegang teguh pada tugas dan janji seorang prajurit," jawab Kasadha. Lalu iapun berdesis, "Terima kasih."
Pemimpin kelompok itu tidak mendesaknya lagi. Tetapi pemimpin kelompok itu mengerti, bahwa di Gemantar, Kasadha telah dianggap tidak tegak sepenuhnya dalam tugas keprajuritannya. Sehingga ia telah ditarik kembali.
Pemimpin kelompok itupun kemudian telah mencoba untuk membaringkan dirinya di antara para prajurit. Ia mencoba untuk melupakan segala-galanya agar ia dapat tidur sehingga tenaganya akan dapat pulih kembali besok jika ia turun kembali ke medan, meskipun ia tidak tahu apakah ia akan mendapat kesempatan untuk keluar lagi dari medan itu karena setiap orang menghadapi kemungkinan yang sama. Mati di peperangan.
Kasadha sendiri juga telah membaringkan tubuhnya. Ia mendapat, tempat yang agak terpisah dari prajurit-prajuritnya. Di bawah atap ilalang, di atas sehelai tikar pandan Kasadha berbaring.
Beberapa saat matanya masih saja terbuka. Namun Kasadha memang hampir kehilangan akal. Kehadiran orang yang mengaku ayahnya itu menambah kalut perasaannya.
Kasadha memang tidak dapat membagi beban dengan para prajuritnya. Ia hanya dapat mengadukan persoalannya kepada Yang Maha Agung.
Sementara itu perkemahan prajurit Pajang itu telah menjadi sepi. Para prajurit termasuk Ki Rangga Larasgati dan tamunya Ki Rangga Gupita telah berbaring di pembaringan masing-masing. Hanya mereka yang bertugas sajalah yang masih berjalan hilir mudik di sekitar perkemahan itu.
Dinginnya malam seakan-akan telah menyusup sampai ke tulang. Embun telah jatuh pula di atas perkemahan itu, sehingga ujung-ujung tombak mereka yang bertugas bagaikan telah direndam di dalam air. Basah.
Namun dalam pada itu, ketika perkemahan itu menjadi lelap, dari kejauhan telah terdengar derap beberapa ekor kuda yang berpacu menuju ke perkemahan itu. Para prajurit yang bertugas yang mendengar derap kaki kuda itu telah bersiap-siap. Beberapa orang telah berada di luar perkemahan dengan ujung tombak yang bergetar.
"Bukan dari arah padukuhan?" desis seorang prajurit.
"Ya. Tidak dari arah Tanah Perdikan," sahut yang lain.
Sebenarnyalah semakin lama memang menjadi semakin jelas. Derap kaki kuda itu memang bukan dari arah Tanah Perdikan.
Beberapa orang prajurit yang sedang tertidurpun ada pula yang terbangun. Kasadha merasakan tanah bagaikan bergetar, sehingga iapun telah terbangun pula.
Empat orang berkuda telah mendekati perkemahan para prajurit Pajang itu. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Dengan cepat pula beberapa orang yang sedang bertugas telah berkumpul. Merekapun dengan sigap berloncatan dengan senjata yang siap di tangan.
Beberapa saat kemudian, maka seakan-akan muncul dari kegelapan empat orang berkuda langsung menuju ke perkemahan. Namun mereka segera memperlambat derap lari kuda mereka ketika mereka melihat beberapa orang prajurit memberikan tanda agar mereka berhenti.
Para prajurit yang menghentikan orang-orang berkuda itupun segera mengenali keempat orang itu dari pakaian mereka, bahwa keempat orang berkuda itu adalah juga prajurit-prajurit Pajang.
"Kami membawa perintah Ki Tumenggung Banda-pati untuk Ki Rangga Larasgati," berkata pemimpin kelompok kecil itu.
Para petugas itupun kemudian telah membawa keempat orang berkuda itu masuk ke dalam perkemahan. Setelah mengikat kuda-kuda mereka, maka keempat orang itupun telah dibawa langsung ke perkemahan Ki Rangga Larasgati.
Di depan perkemahan Ki Rangga keempat orang itu dipersilahkan untuk menunggu sementara seorang prajurit yang bertugas khusus telah membangunkan Ki Rangga yang baru saja sempat tidur.
"Ada apa?" bertanya Ki Rangga yang kemudian bangkit.
"Empat orang utusan Ki Tumenggung Bandapati," jawab prajurit itu.
Wajah Ki Rangga menegang sejenak. Sesuatu dengan tiba-tiba telah bergejolak di dalam hatinya. Apakah Pajang begitu cepat mengetahui kegagalannya hari itu dan begitu cepat pula mengirimkan utusan untuk datang ke perkemahan itu.
Tetapi Ki Rangga tidak mau berteka-teki lebih lama lagi. Iapun telah memerintahkan prajuritnya untuk membawa keempat orang itu masuk.
"Marilah," Ki Ranggapun kemudian telah mempersilahkan keempat orang prajurit itu masuk ke dalam perkemahannya.
Ternyata bahwa dua di antara keempat orang itu telah dikenal dengan baik oleh Ki Rangga Larasgati sebagai pembantu-pembantu terdekat Ki Tumenggung Bandapati.
"Kedatangan kalian mengejutkan kami di perkemahan ini," berkata Ki Rangga.
"Kami membawa perintah Ki Tumenggung," jawab pemimpin kelompok kecil yang sudah dikenal dengan baik oleh Ki Rangga itu.
"Perintah apa yang kau bawa?" bertanya Ki Rangga Larasgati setelah mereka duduk dalam lingkaran di perkemahan yang sempit itu.
Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menunggu lebih lama lagi. Ia memang mendapat perintah untuk melaksanakan tugasnya dengan cepat.
Karena itu, maka pemimpin dari sekelompok kecil prajurit itu berkata, "Ki Rangga. Aku membawa perintah dari Ki Tumenggung Bandapati, bahwa semua prajurit Pajang harus ditarik kembali ke dalam kota."
"He," Ki Rangga terkejut, "bukankah kami sedang menjalankan perintah khusus untuk menyelesaikan persoalan beberapa Tanah Perdikan yang berada di bawah naungan Pajang, termasuk Tanah Perdikan Sembojan?"
"Ya. Tetapi keadaan Pajang menjadi gawat. Ternyata Pajang telah dikepung oleh pasukan Panembahan Senapati dan pasukan Pangeran Benawa. Panembahan Senapati membawa pasukannya dari Barat, sedangkan Pangeran Benawa nampaknya telah mendekati Pajang dari arah Timur," berkata prajurit itu lebih lanjut. Lalu katanya pula, "karena itu, maka semua kekuatan harus ditarik masuk kota. Kita harus bertahan dari serangan yang datang dari Barat maupun dari Timur itu."
"Tetapi bagaimana dengan Tanah Perdikan ini" Ternyata sekelompok prajurit Jipang juga berada disini. Di Tanah Perdikan Sembojan untuk membantu Tanah Perdikan itu," berkata Ki Rangga.
"Jadi pasukan Jipang juga sudah berada disini?" bertanya prajurit itu.
"Ya. Bukankah bagi Pajang akan sama saja arti, jika kami bertempur disini melawan Pajang dan sekaligus menertibkan Tanah Perdikan yang tidak mau lagi tunduk kepada paugeran yang mengikat mereka?" bertanya Ki Rangga.
"Apakah Ki Bandapati telah mengetahui akan hal itu?" bertanya prajurit itu pula.
"Kami mendapat tugas dari Ki Tumenggung Bandapati yang mendapatkan wewenang untuk menyelesaikan persoalan beberapa Tanah Perdikan," berkata Ki Rangga Larasgati. Tetapi katanya kemudian, "Namun Ki Bandapati belum tahu bahwa disini ada pasukan Jipang yang mencoba untuk menghasut dan kemudian membantu Tanah Perdikan Sembojan."
"Tetapi perintah Ki Tumenggung Bandapati itu tegas Ki Rangga. Ki Rangga harus membawa seluruh pasuk an termasuk yang dipimpin oleh Lurah Penatus Kasadha," berkata pemimpin kelompok kecil itu.
Jantung Ki Rangga terasa berdetak semakin cepat. Ia sudah mempersiapkan diri untuk mengerahkan semua kekuatan yang ada termasuk para prajurit yang bertugas di dapur dan mengatur perlengkapan serta pasukan cadangan untuk turun ke medan dan menembus sampai ke padukuhan induk. Menangkap Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang cantik itu dan kemudian membunuh anak laki-laki dari Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Tetapi prajurit yang datang itu mengulangi perintah Ki Tumenggung, "Ki Rangga diperintahkan agar segera berangkat demikian aku menyampaikan perintah ini."
"Ki Tumenggung tidak adil," berkata Ki Rangga, "kami telah mengalami kegagalan disini sehingga kami minta dikirim pasukan Ki Lurah Kasadha kemari. Tetapi demikian kami berpengharapan untuk menyelesaikan tugas ini, kami telah mendapat perintah untuk ditarik kembali. Apalagi malam ini juga. Sebenarnya aku tidak pernah berniat untuk melawan perintah. Tetapi bagaimana pertimbangan kalian, jika besok saja kami berangkat ke Pajang. Besok kami masih akan menghancurkan pasukan pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit Jipang yang ada disini. Bahkan kami minta kalian berempat ikut pula memperkuat pasukan Pajang. Meskipun kalian hanya empat orang, tetapi kemampuan kalian akan sangat berarti. Kalian berempat akan dapat menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan ini yang sebelumnya tidak kami perhitungkan."
Tetapi pemimpin prajurit yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung untuk memanggil Ki Rangga Larasgati itu menggeleng. Katanya, "Aku hanya mendapat perintah untuk memanggil Ki Rangga. Segala sesuatunya tergantung kepada Ki Rangga. Tetapi pesan Ki Tumenggung, Ki Rangga harus segera berada di Pajang sebelum pasukan Mataram bergerak. Nampaknya kekuatan Jipang di sisi Timur tidak akan menentukan. Pasukan Mataram yang besar akan menggilas Pajang jika kita tidak mempersiapkan semua kekuatan yang ada. Kita tidak tahu, kapan Panembahan Senapati akan bergerak. Mungkin hari ini, mungkin besok atau lusa, atau sama sekali tidak. Tetapi kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika Ki Rangga terlambat, maka agaknya akibatnya akan kurang baik. Bukan saja bagi Pajang, tetapi juga bagi Ki Rangga sendiri. Perlu kami beritahukan bahwa pasukan yang ada di Gemantar juga sudah ditarik."
Ki Rangga memang tidak dapat membantah lagi. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja telah masuk ke ruangan itu Ki Rangga Gupita. Tiba-tiba saja ia telah berkata lantang, "Tidak. Ki Rangga Larasgati tidak boleh meninggalkan Tanah Perdikan ini sebelum Risang terbunuh. Ki Rangga dapat menawan Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu dan memperlakukannya sebagai seorang perempuan boyongan."
Keempat orang prajurit itu termangu-mangu. Pemimpin mereka itupun bertanya, "Siapakah orang ini" Ia bukan prajurit Pajang dan aku belum pernah mengenalnya."
Ki Rangga Larasgatipun berkata, "Ki Rangga. Silahkan duduk. Keempat orang ini adalah orang-orang yang mendapat perintah dari Ki Tumenggung Bandapati."
"Tetapi tugas Ki Rangga Larasgati harus diselesaikan dahulu. Aku sudah berjanji untuk bersama-sama membunuh Risang itu. Baru kemudian Ki Rangga Larasgati kembali ke Pajang," berkata Ki Rangga Gupita.
"Tetapi siapakah orang ini Ki Rangga?" desak pemimpin sekelompok kecil prajurit berkuda yang datang itu.
"Ki Rangga Gupita," jawab Ki Rangga Larasgati, "seorang prajurit Jipang."
"Prajurit Jipang," keempat orang prajurit berkuda itu terkejut. Namun Ki Rangga Larasgati dengan cepat menyahut, "Bekas prajurit Jipang di masa kekuasaan Arya Jipang beberapa tahun yang lalu, sebelum Jipang jatuh dan Pajang berdiri."
"Apa kepentingannya disini?" bertanya pemimpin prajurit berkuda itu.
"Ia telah menyatakan kesediaannya membantu aku membunuh Risang," berkata Ki Rangga Larasgati.
"Tetapi dengan demikian Ki Rangga telah membawa orang lain ke dalam tubuh kita. Apakah Ki Rangga Larasgati mempercayainya sepenuhnya?" bertanya pemimpin prajurit berkuda itu.
"Ki Rangga Gupita adalah ayah Ki Lurah Kasadha," jawab Ki Rangga Larasgati. Kemudian katanya pula, "Karena persoalan pribadi, maka Ki Rangga Gupita telah bersedia membantu kita ikut menyerang para pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan prajurit Jipang yang membantu mereka."
Pemimpin prajurit berkuda itu mengangguk-angguk. Jika orang itu ayah Ki Lurah Kasadha, serta Ki Rangga Larasgati ingin memanfaatkan persoalan pribadi orang itu, maka mereka tidak berkeberatan. Tetapi bagaimanapun juga pemimpin prajurit berkuda itu berkata, "perintah Ki Tumenggung sudah jelas."
"Ki Rangga Larasgati telah membawa wewenang ketika ia mendapat perintah untuk datang ke Tanah Perdikan ini. Ia dapat mengambil kebijaksanaan tertentu sehingga tugasnya dapat diselesaikan. Jika Ki Rangga harus kembali malam ini, apa artinya kematian yang telah dikorbankan selama ini" Beberapa orang prajurit telah gugur dan yang lain terluka parah. Apakah pengorbanan mereka dibiarkan sia-sia?" sahut Ki Rangga Gupita.
"Kau ini siapa?" bertanya pemimpin prajurit berkuda itu.
"Apakah kau tidak mempunyai telinga" Bukankah hal itu sudah dijelaskan sehingga seharusnya kau tidak bertanya lagi," jawab Ki Rangga.
Wajah prajurit itu menjadi merah. Dengan lantang ia berkata, "Kau bukan keluarga kami, meskipun kau ayah Ki Lurah Kasadha. Apa hakmu berbicara di antara kami" Jika sekali lagi kau mencampuri persoalan kami, maka kami akan mengusirmu dari tempat ini. Jika perlu dengan kekerasan. Ki Lurah Kasadha akan diperintahkan untuk membawamu pergi atau Ki Lurah Kasadha yang akan dianggap menolak perintah. Kau kira Ki Lurah Kasadha lebih berkuasa dari Ki Tumenggung Bandapati" Jika aku berbicara atas nama Ki Tumenggung Bandapati, maka aku membawa wewenang dari Ki Tumenggung itu. Karena itu aku akan mengulangi perintahnya kepada Ki Rangga Larasgati, kita berangkat kembali ke Pajang. Sekarang."
Dada Ki Rangga Gupitapun bergelora. Tetapi ia menyadari bahwa ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia bukan lagi seorang perwira dalam jajaran prajurit, apalagi prajurit Pajang.
Sementara itu Ki Rangga Larasgatipun tidak mempunyai kesempatan apapun untuk mengelak dari perintah Ki Tumenggung Bandapati. Apalagi Ki Rangga dapat menduga latar belakang dari perintah itu, yang dapat diartikan dalam berbagai kemungkinan. Mungkin beberapa orang pemimpin Pajang melihat bahwa Ki Tumenggung Bandapati telah menyalahgunakan kekuasaannya. Mungkin justru karena iri hati atau usaha orang lain untuk merebut kesempatan yang diperoleh Ki Tumenggung Bandapati dengan memanfaatkan kehadiran prajurit Mataram dan Jipang.
Namun apapun alasannya, prajurit Pajang itu harus ditarik mundur.
Karena itu, maka Ki Rangga telah memanggil beberapa orang pemimpin pasukannya termasuk Ki Lurah Kasadha. Dengan singkat Ki Rangga mengulangi perintah Ki Tumenggung Bandapati lewat keempat prajurit berkuda itu.
Beberapa orang pemimpin memang terkejut. Mereka sudah bersiap-siap untuk memberikan pukulan terakhir kepada Tanah Perdikan Sembojan. Mereka tahu bahwa Ki Rangga telah mempersiapkan segala-galanya. Semua prajurit telah diperintah untuk turun ke medan. Bahkan prajurit yang seharusnya bertugas di dapur sekalipun. Apalagi prajurit yang dipersiapkan sebagai pasukan cadangan.
Namun tiba-tiba perintah itu datang. Seperti angin yang bertiup menyapu awan hitam yang sudah menggantung di langit.
Namun seorang di antara para pemimpin prajurit itu justru mengucap syukur di dalam hatinya. Dengan sepenuh hati ia berkata di dalam dadanya, "Yang Maha Agung ternyata sudi mendengarkan keluhanku."
Orang itu adalah Ki Lurah Kasadha. Sebenarnyalah ia merasa dibebaskan dari tekanan jiwa yang sangat berat. Sementara itu ia berkata pula di dalam hatinya, "Aku akan dapat melawan Jipang dimana saja."
Perintah penarikan itu bagi Kasadha bagaikan pembebasan baginya dari beban yang sangat berat. Seandainya di Tanah Perdikan itu tidak ada prajurit Jipang, maka Kasadha akan kehilangan akal. Bahkan mungkin sekali Kasadha akan memilih kehilangan kedudukan keprajuritannya daripada harus bertempur langsung melawan pimpinan Tanah Perdikan Sembojan itu. Kasadha memang pernah mendapat peringatan karena tindakannya di Gemantar yang tidak mempunyai hubungan pribadi apapun juga. Apalagi di Tanah Perdikan itu.
Demikianlah, maka Ki Ranggapun kemudian telah memerintahkan semua prajuritnya untuk bersiap-siap. Malam itu juga mereka akan meninggalkan perbatasan Tanah Perdikan Sembojan untuk kembali ke Pajang menghadapi tugas yang baru yang nampaknya tidak kalah beratnya dari tugas yang dilakukannya itu. Di Pajang mereka akan berhadapan lagi dengan para prajurit Jipang dan bahkan prajurit Mataram.
Karena prajurit Pajang adalah prajurit yang telah terlatih dengan baik, maka meskipun sebagian dari mereka merasa kecewa, namun dalam waktu singkat mereka telah menyelesaikan persiapan untuk berangkat kembali ke Pajang yang menurut para prajurit dari pasukan berkuda itu menjadi gawat.
Prajurit berkuda itupun telah menunjukkan jalan yang harus mereka lalui agar mereka tidak terjebak ke dalam perkemahan para prajurit Mataram dan Pajang.
Menjelang dini, maka semua persiapan telah selesai. Semua perlengkapan telah terikat di punggung beberapa ekor kuda. Ketika para prajurit dikumpulkan untuk mendapat perintah terakhir, maka Kasadha masih sempat memandang ke kejauhan. Dipandanginya padukuhan pertama dari Tanah Perdikan Sembojan yang menjadi landasan utama pasukan pengawal Tanah Perdikan itu untuk menghadapi Pajang.
Dari kejauhan nampak lampu-lampu minyak serta oncor di regol yang berkeredipan di kelamnya sisa malam. Namun langit memang sudah nampak lebih terang oleh cahaya dini hari.
Kasadha itu menggelengkan kepalanya. Di dalam hatinya ia berjanji bahwa secara pribadi ia tidak akan mengusik kedudukan Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang akan temurun kepada anak laki-lakinya yang bernama Risang, yang dikenalnya sebagai Bharata di dalam satu kesatuan yang bahkan telah pernah menyelamatkan nyawanya di medan pertempuran melawan prajurit Mataram.
"Perang melawan Mataram itu akan diulangi," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Ketika kemudian terdengar bunyi bende sekali, maka Kasadha bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang mendebarkan. Perlahan-lahan ia melangkah ke pasukannya yang telah bersiap. Kemudian terdengar bunyi bende untuk kedua kalinya, sebagai pertanda bahwa semua orang di dalam pasukan itu harus sudah bersiap. Tidak ada lagi yang akan tercecer dan ketinggalan.
Beberapa saat kemudian, maka telah terdengar suara bende untuk ketiga kalinya. Ki Rangga Larasgatipun segera meneriakkan aba-aba bagi pasukannya yang mulai bergerak berangkat menuju ke Pajang.
Sementara itu Ki Rangga Gupita telah ikut pula melangkah di belakang pasukan itu sambil mengumpat tidak habis-habisnya. Ia yang seakan-akan telah melihat mayat Risang dan Nyi Wiradana terkapar harus menerima kenyataan yang ternyata sangat pahit itu. Pasukan Pajang yang tinggal selangkah menginjak Tanah Perdikan Sembojan dan kemudian menghancurkannya, telah meninggalkan Tanah Perdikan itu dalam keadaan utuh.
Namun dalam pada itu, ketika bende itu terdengar dari padukuhan pertama Tanah Perdikan Sembojan, memang telah menimbulkan kesibukan yang luar biasa. di malam hari suara bende itu seakan-akan menjadi semakin jelas. Para pengawal yang bertugas memang mendengar suara bende yang melengking menggetarkan udara. Bende yang suaranya bergema menelusuri malam yang sepi. Karena itu, maka merekapun segera menyampaikan laporan kepada para pemimpin di banjar.
Perintahpun segera diberikan oleh Risang, agar semua pasukan disiapkan. Semua pengawal yang bertugas malam itu harus dengan cepat keluar dari regol padukuhan mengamati keadaan.
Dengan tergesa-gesa semua pengawal yang tersebar di rumah-rumah di padukuhan itu telah disiapkan, dengan cepat mereka menuju keluar regol padukuhan dan menyusun pertahanan. Para prajurit Jipang yang memang sudah terlatih itupun dengan cepat telah bersiaga pula. Seperti sehari sebelumnya, maka pasukanpun segera tersusun dalam gelar yang sederhana.
Risang telah bersiap pula di induk pasukannya. Sambil Wulung dan Jati Wulung telah mendekatinya pula. Sementara Gandar berdiri beberapa langkah di hadapan mereka.
"Nampaknya Pajang telah kehilangan akal, sehingga mereka akan menyerang sebelum fajar," berkata Sambi Wulung.
Risang termangu-mangu. Dengan tegang ia memandang ke arah perkemahan para prajurit Pajang. Tetapi yang nampak hanyalah peletik cahaya obor yang menerangi beberapa bagian dari perkemahan itu.
Ketika kemudian bende berbunyi dua kali, pasukan Tanah Perdikan itupun telah menempatkan dirinya dalam kesiagaan penuh. Sambi Wulung dan Jati Wulung telah siap untuk menempati kedua ujung sayap seberang menyeberang.
Namun pada saat itu Iswari dan Ki Tumenggung Jaladara telah berada pula di medan. Mereka telah mendapat laporan tentang gerakan pasukan Pajang, sehingga dengan tergesa-gesa keduanya telah menemui Risang yang memandang ke arah perkemahan dengan tegang.
"Aku menyangsikan gerakan mereka," berkata Ki Tumenggung Jaladara.
"Maksud Ki Tumenggung?" bertanya Risang.
"Aku tidak menyalahkan persiapan yang kita lakukan. Kita memang harus berbuat demikian tanpa memungkinkan terjadinya akibat yang sangat buruk bagi kita. Tetapi prajurit Pajang itu dapat saja melakukan permainan untuk sekedar mengejutkan kita dan mengganggu istirahat kita," berkata Ki Jaladara. Lalu katanya pula, "Jarak antara kedua landasan pasukan ini memang terlalu dekat meskipun satu sama lain berada di sebelah menyebelah perbatasan. Sementara itu jika Pajang benar-benar menyerang para pengawal dan prajurit masih belum sempat makan. Dengan demikian maka daya tahan mereka dalam pertempuran mendatang tentu tidak akan utuh."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan memerintahkan penghubung untuk menghubungi dapur. Jika mungkin, maka siapa yang sempat makan biarlah makan."
"Apakah Bibi tidak datang ke banjar?" bertanya Iswari.
Risang menggeleng sambil menjawab, "Sejak peristiwa kedatangan empat orang prajurit Pajang itu, maka Bibi tidak mau meninggalkan dapur."
Namun ternyata para prajurit Jipang dan para pengawal tidak sempat untuk makan, karena jarak antara suara bende kedua dan ketiga tidak cukup lama.
Memang sebelum fajar, terdengar bunyi bende untuk ketiga kalinya. Hanya lamat-lamat. Namun cukup jelas bagi setiap pengawal dan prajurit Jipang.
"Harus ada yang menyiapkan makan dan dibawa ke medan," perintah Risang, "apapun cara yang dipergunakan, tetapi kita jangan sampai dikalahkan hanya karena kelaparan."
Sementara itu, maka Risangpun telah mempersiapkan para pengawal dan prajurit Jipang untuk bergerak. Iswari dan Ki Tumenggung Jaladara telah bersiap pula. Mereka memang menjadi marah dengan cara yang ditempuh Pajang. Karena itu, maka Nyi Wiradana dan Ki Tumenggung Jaladara berniat untuk ikut bertempur agar mereka dapat memberi kesempatan kepada para prajurit bergantian makan dan minum karena keduanya akan dapat menghisap kelompok-kelompok prajurit Pajang.
Demikian pula Risang telah memerintahkan kepada Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk mencari cara agar para pengawal dan prajurit tidak kehabisan tenaga karena kelaparan. Sementara itu, Ki Lurah Sasabanpun telah mendapat perintah yang sama pula dari Ki Tumenggung Jaladara.
"Pertempuran ini akan menentukan," berkata Risang.
Dengan demikian, memang terjadi ketegangan di dalam pasukan pengawal yang harus bersiap dengan tergesa-gesa itu. Karena itu, maka pasukan pengawal itu memang agak lambat bergerak. Beberapa saat setelah terdengar suara bende untuk yang ketiga kalinya, barulah pasukan Tanah Perdikan bergerak maju mendekati perbatasan. Sambi Wulung dan Jati Wulungpun dengan tergesa-gesa telah berada di ujung-ujung sayap sebelah menyebelah.
Tiga orang pengawal telah diperintahkan oleh Risang untuk mendahului pasukan dan mengamati keadaan.
Tetapi ketiga orang itu tidak melihat sesuatu di hadapan mereka. Meskipun menjelang fajar udara masih kelam, namun mereka yakin bahwa mereka akan dapat melihat pada jarak beberapa puluh patok jika mereka bertemu dengan pasukan Pajang.
Karena itu, maka ketiganya menjadi cemas. Seorang di antaranya berkata, "Apakah prajurit Pajang telah mengambil jalan melingkar dan menyerang Tanah Perdikan dari jurusan lain?"
"Memang satu kemungkinan," jawab yang lain.
"Lihat. Kita membagi diri menjadi tiga. Satu berjalan sampai ke perbatasan dan yang lain ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Pasukan Pajang itu tentu masih belum jauh," berkata seorang di antara mereka.
Ketiga orang itu memang tidak membuang waktu. Seorang segera berlari-lari ke kiri. Yang lain ke kanan sementara seorang di antara mereka berjalan terus sampai ke perbatasan.
Namun tidak seorangpun di antara mereka yang bertemu dengan pasukan Pajang. Dua orang pengawal yang berlari-lari ke kiri dan ke kanan kemudian menjadi yakin, bahwa pasukan Pajang tidak mengambil jalan lain.
Tetapi pengawal yang berjalan menuju ke perbatasanpun menjadi heran. Ia tidak melihat sesuatu.
Demikianlah, maka akhirnya pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan para prajurit Jipang itupun telah berhenti pula di perbatasan. Sementara langit menjadi merah oleh cahaya fajar.
Risang yang tidak mau berteka-teki telah memanggil Gandar dan mengajaknya untuk melihat perkemahan orang-orang Pajang.
"Berhati-hatilah," berkata Nyi Wiradana.
Risang dan Gandarpun kemudian telah merayap mendekati perkemahan orang-orang Pajang. Sementara itu, langitpun menjadi semakin terang sehingga keduanya harus menjadi semakin berhati-hati.
Namun kedua orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka masih melihat beberapa buah oncor menyala.
Tetapi perkemahan itu nampaknya sepi. Tidak ada seorangpun yang nampak. Baik para petugas yang berjaga-jaga, maupun mereka yang mempersiapkan perlengkapan. Seandainya pasukan Pajang itu menyerang Tanah Perdikan lewat jalan lain, tentu masih ada orang-orang yang tertinggal di perkemahan.
Tetapi perkemahan itu benar-benar sepi.
Dengan sangat berhati-hati kedua orang itu menjadi semakin dekat dengan perkemahan. Tetapi mereka masih tetap tidak melihat seorangpun.
"Kita masuk ke perkemahan," berkata Risang.
"Tunggu. Biarlah aku melihatnya dahulu. Mungkin ini satu jebakan atau satu permainan yang belum kita mengerti," desis Gandar.
Ternyata Gandar tidak menunggu lagi. Iapun segera menyusup masuk ke dalam perkemahan.
Tetapi perkemahan itu memang sudah kosong.
Karena itu, maka Gandarpun telah memberi isyarat kepada Risang untuk memasuki perkemahan itu.
Sebenarnya di perkemahan itu sudah tidak ada seorangpun. Masih ada beberapa macam peralatan dapur yang tertinggal. Tetapi sebagian besar dari peralatan yang diperlukan oleh sepasukan prajurit telah tidak ada. Tidak ada pula persediaan senjata. Tidak ada pula pakaian cadangan dan apalagi orang-orang yang terluka.
"Kosong," desis Risang.
"Memang aneh," berkata Gandar, "mereka telah pergi."
"Tetapi kenapa mereka pergi" Menurut Kasadha, pasukan Pajang justru akan mengerahkan semua orang untuk menyerang hari ini," berkata Risang sambil memandang berkeliling. Masih ada persediaan beras cukup yang agaknya tidak terbawa oleh pasukan Pajang yang telah meninggalkan perkemahan itu.
Beberapa saat Risang dan Gandar berada di perkemahan itu. Ketika matahari mulai nampak memancar di langit, maka Risang dan Gandar itupun yakin bahwa para prajurit Pajang memang telah meninggalkan perkemahannya.
"Kita tidak tahu, apakah alasan mereka yang dengan tiba-tiba saja meninggalkan perkemahannya," berkata Gandar.
"Ya. Aku condong untuk menduga, bahwa mereka justru akan memanggil lagi sekelompok prajurit atau bahkan tidak tanggung-tanggung lagi jumlahnya sehingga mereka yakin akan dapat mengalahkan Tanah Perdikan ini. Tetapi ternyata tidak," berkata Risang.
Namun Gandarpun kemudian berkata, "Marilah. Kita laporkan hal ini kepada Nyi Wiradana."
Risang dan Gandarpun kemudian dengan cepat kembali ke perbatasan. Para pengawal dan prajurit Jipang memang telah gelisah sebagaimana Nyi Wiradana dan Ki Tumenggung Jaladara.
Namun laporan Risang dan Gandar memang telah mengejutkan mereka. Bahkan Nyi Wiradana berkata, "Aku akan melihat sendiri."
Bersama Ki Tumenggung Jaladara, Risang dan Gandar, Nyi Wiradana telah datang ke perkemahan orang-orang Pajang. Meskipun matahari kemudian sudah terbit, namun obor-obor yang terpasang sebagian masih ada yang menyala.
"Apakah ini bukan akal orang-orang Pajang yang mungkin menyerang dari sisi yang lain dari Tanah Perdikan ini?" bertanya Ki Tumenggung Jaladara.
"Tentu terdengar isyarat kentongan," jawab Nyi Wiradana, "pengawal yang masih ada di padukuhan-padukuhan telah mendapat pesan. Bahkan setiap orang. Kehadiran satu pasukan yang besar tentu akan segera terlihat oleh para petugas."
Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Tetapi ia berdesis, "Satu teka-teki."
Nyi Wiradana termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Kita kembali ke perbatasan. Ternyata kita sudah menjadi lengah sehingga para. pengawas tidak tahu apa yang telah terjadi di perkemahan itu. Tetapi menilik bekas dan jejaknya, maka sebuah iring-iringan telah meninggalkan perkemahan ini. Seharusnya pengawas kita mengetahui apa yang telah terjadi. Jangankan seluruh pasukan, seorang berkuda yang keluar dari perkemahan dan meninggalkan tempat itu harus kita ketahui arahnya."
"Tetapi pertempuran itu telah menyita seluruh perhatian kita ibu," desis Risang, "meskipun kita harus mengakui kelengahan itu. Namun nampaknya mereka telah kembali ke Pajang dengan menempuh jalan kecil di sebelah. Kita dapat menelusuri dan bertanya kepada orang-orang di padukuhan yang mungkin mereka lewati."
*** JILID 36 NYI WIRADANA mengangguk-angguk. Namun ia masih berdesis, "Untunglah, bahwa kita tidak melihat mereka pergi. Jika kita tidak melihat sepasukan datang, maka akibatnya akan jauh berbeda."
Risang tidak menjawab. Ia mengerti perasaan ibunya sebagai pimpinan tertinggi pasukan pengawal Tanah Perdikan. Sementara itu Risangpun merasa ngeri seandainya yang terjadi sebagaimana dikatakan oleh ibunya.
"Baiklah," berkata Nyi Wiradana kemudian, "kita tarik pasukan kita ke padukuhan pertama yang kita pergunakan sebagai landasan pertahanan kita. Kita akan melihat perkembangan keadaan selanjutnya."
"Baik ibu," jawab Risang.
"Perintahkan beberapa orang penghubung berkuda untuk mengelilingi Tanah Perdikan dan melihat perkembangan terakhir. Mereka harus juga melihat tempat para pengungsi dari padukuhan-padukuhan di garis pertama. Aku menunggu laporanmu," berkata Nyi Wiradana kemudian.
"Baik ibu," jawab Risang.
Nyi Wiradana yang sudah siap untuk turun ke medan bersama Ki Tumenggung Jaladara itupun kemudian telah kembali ke padukuhan yang menjadi landasan pertahanan pasukan pengawal dan para prajurit Jipang.
Sementara itu Ki Tumenggung Jaladarapun mulai memperhitungkan kemungkinan yang terjadi di Pajang. Jika semua prajurit Pajang telah ditarik, maka agaknya memang ada hubungannya dengan sikap prajurit Mataram dan Jipang yang ada di sebelah Barat dan di sebelah Timur kota.
"Mungkin, akan ada perintah juga bagi kami," berkata Ki Tumenggung Jaladara.
"Nampaknya ketegangan antara Mataram dan Jipang di satu pihak serta Pajang di lain pihak menjadi semakin panas," berkata Nyi Wiradana.
Ki Tumenggung Jaladara mengangguk kecil sambil menjawab, "Tanpa langkah-langkah yang tegas, maka kekalutan di Pajang tidak akan dapat dihentikan. Adipati Demak yang kemudian berkuasa di Pajang tidak mampu atau bahkan sengaja tidak berbuat sesuatu untuk mengendalikan orang-orangnya yang dibawanya dari Demak untuk mendukung kedudukannya."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Kami di Tanah Perdikan ini juga berkepentingan. Jika pemerintahan di Pajang menjadi tertib, maka kedudukan Tanah Perdikan inipun akan menjadi semakin mantap. Demikian juga Tanah Perdikan yang lain yang mendapat Surat Kekancingan dari Demak atau Pajang semasa pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya."
Ki Tumenggung Jaladara mengangguk-angguk. Katanya, "Kita berpengharapan pada perkembangan keadaan. Mudah-mudahan Pajang akan menuju ke penyelesaian yang bermanfaat bagi banyak pihak."
"Kehadiran Mataram dan Jipang akan dapat merubah keadaan," desis Nyi Wiradana.
"Tetapi tugas Pangeran Benawa untuk mengendalikan para prajurit Jipang menjadi sangat berat," berkata Ki Tumenggung Jaladara seakan-akan kepada diri sendiri.
"Kenapa?" bertanya Nyi Wiradana.
"Dendam yang membakar jantung orang-orang Jipang atas kekalahannya di Bengawan Sore masih belum terhapus," jawab Ki Tumenggung Jaladara.
"Bukankah itu sudah lama sekali terjadi?" bertanya Nyi Wiradana, "pada saat itu justru prajurit Pajang datang membantu Tanah Perdikan ini melawan prajurit Jipang yang ingin menjadikan daerah ini landasan perbekalan bagi prajurit-prajuritnya."
"Ya," jawab Ki Tumenggung, "memang sudah lama sekali. Tetapi kekalahan Jipang waktu itu benar-benar pahit."
"Tetapi bukankah orang yang membunuh Adipati Jipang waktu itu adalah orang yang sekarang bekerja sama dengan Pangeran Benawa melawan Pajang?" desak Nyi Wiradana.
Ki Tumenggung Jaladara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bagaimanapun juga Sutawijaya yang kini bergelar Panembahan Senapati itu bertempur atas nama Sultan Hadiwijaya di Pajang, meskipun Sultan Hadiwijaya sendiri tidak tahu bahwa yang membunuh Arya Penangsang adalah putera angkatnya. Menurut laporan yang diterimanya, yang membunuh Arya Penangsang adalah Ki Pemanahan dan Ki Penjawi."
"Apakah Sultan Hadiwijaya benar-benar tidak tahu?" bertanya Nyi Wiradana.
Ki Tumenggung Jaladara menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, "Aku tidak tahu. Bahkan banyak orang yang bertanya-tanya kenapa hadiah yang dijanjikan kepada Ki Gede Pemanahan tidak segera diberikan. Apakah hal itu dilakukan karena Sultan Hadiwijaya merasa dibohongi, atau sebagaimana alasan yang sering disebut-sebut, bahwa akhirnya Mentaok akan jatuh ke tangan Sutawijaya, putera angkatnya, sehingga tidak perlu tergesa-gesa atau sebab-sebab lain."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Keadaan sudah banyak berubah. Dendam Jipang tidak dapat diarahkan kepada Pajang sekarang."
Tetapi Ki Tumenggung Jaladara tertawa. Katanya, "Mungkin bagi mereka yang sempat mempergunakan penalaran. Tetapi mereka yang dibelit oleh perasaannya saja akan bersikap lain. Anak-anak yang saat itu masih remaja dan kebetulan ayahnya terbunuh di peperangan dan yang sekarang menjadi prajurit Jipang, maka dendamnya kepada prajurit Pajang tentu sampai ke ubun-ubun. Karena itu, maka tugas Pangeran Benawa menjadi sangat berat. Ia harus dapat mengendalikan prajurit-prajuritnya agar mereka tidak menjadi kehilangan pengendalian diri karena dendam yang selama ini harus mereka endapkan. Perang ini seakan-akan merupakan satu kesempatan untuk mengaduk kembali dendam dan kebencian mereka terhadap Pajang. Karena mereka tidak mengenal nama lain kecuali Pajang."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Ia menyadari, betapa rumitnya tugas Pangeran Benawa kemudian. Bahkan mungkin setelah Pajang dapat dikalahkan, maka prajurit Jipang yang tahu bahwa perang melawan Pajang sekitar sepuluh tahun yang lalu adalah perang melawan Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati yang dikendalikan oleh Ki Juru Martani yang kemudian bergelar Adipati Mandaraka. Pepatih Mataram yang masih saja mengendalikan perhitungan-perhitungan tata kaprajan dan tata keprajuritan Mataram bersama-sama dengan Panembahan Senapati sendiri.
Dalam pada itu, Risang masih saja sibuk dengan para pengawal setelah ia mempersilahkan Ki Lurah Sasaban yang memimpin prajurit Jipang untuk mundur ke padukuhan yang menjadi landasan pertahanan pasukan Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu Risang masih mengatur orang-orangnya untuk tugas-tugas yang diberikan oleh ibunya. Ia telah memerintahkan beberapa penghubung untuk melihat seluruh Tanah Perdikan. Sekelompok penghubung berkuda harus membagi diri dan secepatnya kembali untuk memberikan laporan, termasuk padukuhan yang disediakan untuk para pengungsi.
Tetapi Risang juga memerintahkan beberapa orang untuk mengikuti jejak pasukan yang meninggalkan perkemahannya itu. Risang ingin meyakinkan apakah para prajurit Pajang itu benar-benar telah kembali ke Pajang atau dengan tujuan lain. Atau hanya satu cara untuk menembus pertahanan Tanah Perdikan Sembojan.
"Aku berada di padukuhan itu," berkata Risang, "semua laporan aku tunggu secepatnya."
Demikianlah, maka para petugas yang harus menelusuri jejak para prajurit Pajangpun segera berangkat, sementara para penghubung masih harus mengambil kuda-kuda mereka di padukuhan.
Hari itu, para prajurit Jipang yang berada di Tanah Perdikan Sembojan serta para pengawal sempat beristirahat. Rasa-rasanya mereka telah melepas ketegangan yang mengantar mereka berangkat ke medan. Namun yang ternyata mereka tidak menemukan lawan mereka.
Di siang hari, menjelang matahari mencapai puncak, maka para penghubung yang telah melihat keadaan di seluruh Tanah Perdikan telah berdatangan di banjar. Risang yang langsung menerima mereka telah mendapat laporan, bahwa tidak ada peristiwa yang harus mendapat perhatian khusus. Para pengawal yang ditinggalkan di setiap padukuhan, serta mereka yang mengawasi perbatasan di segala arah tidak melihat gerakan pasukan di hadapan mereka. Sedangkan para penghubung yang melihat keadaan para pengungsipun telah melaporkan, bahwa mereka nampak lebih tenang dari sehari sebelumnya. Tempat bagi merekapun sudah menjadi semakin tertib sehingga setiap orang telah mendapat tempat yang pantas sesuai dengan keadaan yang gawat serta pembagian makan yang memadai. Orang-orang yang menerima para pengungsi itupun telah bersikap baik dan penuh pengertian, sehingga mereka telah membantu para pengungsi itu sejauh dapat mereka lakukan.
"Syukurlah," berkata Risang, "Tetapi aku masih menunggu laporan dari para pengawal yang aku perintahkan untuk menelusuri jejak para prajurit Pajang."
Ternyata mereka baru menjelang sore hari datang. Itupun baru dua orang. Sedangkan dua orang yang lain masih menelusuri jejak itu lebih jauh lagi agar mereka semakin yakin, kemana para prajurit itu pergi.
"Nampaknya mereka benar-benar kembali ke Pajang," lapor salah seorang dari mereka yang menelusuri jejak itu.
"Agaknya memang satu-satunya kemungkinan," berkata Risang.
"Kedua kawan kami masih akan meyakinkan arah kepergian pasukan itu," desis salah seorang dari kedua petugas itu.
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih. Kita akan menunggu laporan berikutnya."
Namun demikian Risang tidak menjadi lengah. Ia telah memerintahkan untuk memperketat pengawasan.
"Jika kita tidak melihat pasukan itu pergi, maka mungkin sekali kita juga tidak melihat pasukan segelar sepapan yang menyerang Tanah Perdikan ini," berkata Risang.
Menjelang senja, maka prajurit yang bertugaspun telah menebar. Sementara itu yang lain harus juga tetap bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka sempat tidur, namun mereka tidak terpisah dari senjata mereka. Setiap saat mereka akan mempergunakannya jika keadaan tiba-tiba menjadi gawat.
Namun para pengawal dan para prajurit Jipang itu mengerti bahwa telah dilakukan pengawasan yang ketat di seputar Tanah Perdikan. Bukan saja yang menghadap ke perkemahan prajurit Pajang yang telah ditinggalkan itu. Tetapi menebar di seputar Tanah Perdikan itu seluruhnya. Jika di antara mereka melihat tanda-tanda yang mencurigakan, maka mereka harus dengan cepat memberikan laporan. Sedangkan jika keadaan memaksa, mereka akan mempergunakan isyarat kentongan dan panah sendaren.
Sampai menjelang tengah malam, tidak terjadi sesuatu yang penting. Nyi Wiradana dan Ki Tumenggung Jaladara telah kembali ke padukuhan induk. Beberapa orang pengawal berkuda telah berada di padukuhan induk pula. Mereka akan dapat bergerak ke segala arah jika diperlukan.
Risanglah yang masih berada di banjar padukuhan yang menjadi landasan pertahanan pasukan pengawal dan prajurit Jipang. Tetapi Risangpun berpendapat, bahwa seandainya prajurit Pajang itu kembali lagi dan menyerang Tanah Perdikan, agaknya mereka akan datang dari arah yang berbeda.
Akhirnya petugas yang menelusuri kepergian pasukan Pajangpun telah memberikan keyakinan bahwa pasukan Pajang memang telah meninggalkan perbatasan dan kembali ke arah Pajang.
"Baiklah," berkata Risang, "namun jangan sekali-sekali menjadi lengah."
Tetapi ketika Risang berniat untuk beristirahat, maka dua orang penghubung berkuda telah datang dari padukuhan induk. Dengan agak tergesa-gesa ia mencari Risang.
"Ada apa?" bertanya Risang agak cemas.
"Kau dipanggil Nyi Wiradana, sekarang," jawab penghubung itu.
"Apakah ada sesuatu yang penting?" bertanya Risang.
"Aku tidak mendapat pesan apa-apa. Aku hanya mendapat perintah untuk memanggilmu," jawab penghubung itu pula.
Risang memang tidak banyak bertanya. Iapun telah minta diri kepada para pemimpin yang lain serta Ki Lurah Sasaban.
"Aku akan segera kembali. Jika tidak, maka aku akan memerintahkan seorang penghubung untuk datang kemari," berkata Risang ketika ia sudah siap untuk meloncat ke punggung kudanya.
Sejenak kemudian, maka Risang itu sudah berpacu dikawani oleh Gandar. Mereka menembus gelapnya malam dan dinginnya embun yang mulai turun.
Mereka memang tidak memerlukan waktu yang lama. Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki padukuhan induk. Tiga orang yang berjaga-jaga di pintu gerbang sempat menghentikan mereka, namun merekapun segera mengenali bahwa yang berkuda itu adalah Risang.
Sebenarnyalah Risang menjadi gelisah. Karena itu, maka iapun menjadi tergesa-gesa. Ia ingin segera menghadap ibunya dan Ki Tumenggung Jaladara untuk segera, mengetahui perkembangan yang terjadi sehingga ibunya telah memerintahkan untuk memanggilnya.
Di halaman rumahnya Risang telah meloncat turun. Diserahkannya kendali kudanya kepada seorang pengawal yang menyongsongnya. Bersama Gandar maka iapun dengan segera telah masuk ke ruang dalam. Agaknya ibunya dan Ki Tumenggung berada disana.
Ketika Risang membuka pintu pringgitan, maka ia tertegun. Selain ibunya maka dilihatnya Ki Tumenggung Jaladara bersama dua orang prajurit Jipang yang lain, yang agaknya belum lama datang ke Tanah Perdikan Sembojan, karena ia belum mengenal sebelumnya.
"Marilah Risang," ibunya mempersilahkannya masuk.
Risangpun kemudian telah melangkah masuk, sementara Gandar tinggal di luar bersama beberapa orang pengawal.
"Duduklah," desis ibunya.
Ketika kemudian Risang duduk, maka ibunya telah memperkenalkan kedua orang prajurit Jipang itu. Kepada kedua prajurit Jipang itu ibunya juga memperkenalkan Risang, anaknya satu-satunya.
"Seorang anak muda yang tegar," desis salah seorang perwira prajurit Jipang itu.
Risang mengangguk hormat sambil berdesis, "Terima kasih. Tetapi tidak lebih dari seorang anak yang dungu."
Ki Tumenggung Jaladara tersenyum. Katanya, "Aku sudah menceriterakan apa yang telah kau lakukan, anak muda."
"Tentu berlebih-lebihan," desis Risang.
Kedua orang perwira prajurit Jipang itu tertawa. Namun kemudian, Nyi Wiradanalah yang berkata, "Risang. Kedua perwira ini membawa berita khusus bagi Ki Tumenggung Jaladara. Ki Rangga berdua adalah perwira penghubung khusus prajurit Jipang yang ada di sebelah Timur Pajang."
Risang mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia menghubungkan kedatangan kedua orang prajurit itu dengan penarikan pasukan Pajang di perbatasan.
"Biarlah Ki Rangga memberitahukan kepadamu, untuk apa mereka datang kemari," berkata ibunya kemudian.
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika seorang di antara kedua orang prajurit itu berkata, "Anak muda. Kami datang untuk menyampaikan perintah kepada Ki Tumenggung Jaladara."
Risang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak memotong kata-kata prajurit itu.
"Saat ini Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa telah mendapatkan kesepakatan untuk benar-benar memberikan sedikit peringatan kepada Adipati Demak yang berada di Pajang. Pasukan Mataram dan Jipang sudah bersiap untuk bergerak. Karena itu maka kami diperintahkan untuk menghubungi Ki Tumenggung Jaladara. Jika tugasnya di Tanah Perdikan ini selesai, maka pasukan ini akan segera ditarik. Mungkin pasukan Jipang sudah berhasil masuk ke kota Pajang. Tetapi pasukan Ki Tumenggung Jaladara yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Sasaban itu diperlukan untuk menguasai wilayah setelah prajurit Demak ditarik dan dikumpulkan untuk diberangkatkan kembali ke Demak, sementara prajurit Pajang sendiri untuk sementara harus dibatasi geraknya sampai terdapat sikap yang pasti atas mereka," berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Tetapi tiba-tiba Ki Tumenggung Jaladaralah yang menyahut, "Tetapi bagaimana jika pasukan Mataram dan Jipang tidak berhasil memasuki Pajang?"
Kedua orang itu tersenyum. Seorang di antaranya menjawab, "Menurut perhitungan kami, kami akan berhasil. Kecuali pasukan Mataram yang sangat kuat, sementara pasukan Jipangpun cukup memadai, maka diharapkan bahwa kekuatan yang ada di Pajang sendiri tidak akan mendukung sepenuhnya perlawanan Adipati Demak yang ada di Pajang itu. Para prajurit Pajang dan para pemimpin pemerintahan menganggap bahwa tindakan pimpinan tertinggi di Pajang kemudian, yang diharapkan dapat menggantikan kedudukan Sultan Hadiwijaya itu ternyata telah melakukan tindakan yang justru tidak sewajarnya,"
Ki Tumenggung Jaladara tertawa. Katanya, "Aku percaya, bahwa Pajang tidak akan bertahan terlalu lama."
"Jika demikian, bagaimana dengan prajurit yang ada di Tanah Perdikan ini?" bertanya prajurit itu.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Mungkin ibu dan Ki Tumenggung sudah mengatakan, bahwa prajurit Pajangpun telah ditarik dari perbatasan."
"Ya," jawab prajurit itu, "karena itu, kami mohon pertimbangan. Apakah prajurit Jipang sudah memungkinkan untuk ditarik. Bagaimanapun juga kami harus mempersiapkan seluruh kekuatan yang ada untuk menghadapi segala kemungkinan, karena kitapun tahu bahwa prajurit Demak yang ada di Pajang cukup banyak. Selain itu, prajurit-prajurit Pajang sendiri yang dapat memanfaatkan keadaan tentu juga akan bertahan sekuat-kuatnya. Bukan saja mempertahankan Pajang, tetapi mempertahankan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri. Mereka mewarisi ketamakan para prajurit Pajang yang telah mengalahkan Jipang di masa kejayaan Adipati Arya Penangsang."
Sengketa Tahta Leluhur 1 Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 3
^